PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL MENGENAI PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT, KALIMANTAN TIMUR
SANTUN MUH. PAMUNGKAS E34101083
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Skripsi
:
Nama Mahasiswa NRP Departemen Fakultas
: : : :
Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur Santun Muhammad Pamungkas E34101083 Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Kehutanan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Ir. Haryanto R. Putro, MS
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F
NIP : 131 476 561
NIP : 131 760 834
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan IPB Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP : 131 430 799
Tanggal Lulus:
PERSEPSI MASYARAKAT LOKAL MENGENAI PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT, KALIMANTAN TIMUR
SANTUN MUH. PAMUNGKAS
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 2006
Santun Muhammad Pamungkas. E34101083. Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur. Di bawah bimbingan: Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F RINGKASAN Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983. Sebelum kegiatan kehutanan beroperasi di kawasan HLGL, daerah ini telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Gunung Lumut juga merupakan daerah tangkapan air untuk sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dan masyarakat desa sekitar kawasan merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan dalam pengelolaan HLGL, masing-masing sebagai pihak yang diberikan wewenang untuk mengelola kawasan tersebut dan pihak yang paling sering berinteraksi dan memanfaatkan sumber daya dari HLGL. Kegiatan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan dikhawatirkan menjadi ancaman bagi kelestarian HLGL. Hal ini dikarenakan persepsi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan sulit dipahami oleh berbagai pihak di luar masyarakat tersebut. Seberapa dalam persepsi masyarakat harus diketahui terlebih dahulu agar persepsi mereka terhadap hutan dapat dibangun secara tepat dan terarah (Tungabdi, 1997). Hal ini dikarenakan persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya (Toch&McLean dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995). Sedangkan menurut McKinnon et al. (1993), keberhasilan pengelolaan suatu kawasan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui bentuk-bentuk interaksi masyarakat lokal dan kontribusi mereka terhadap usaha pelestarian HLGL; 2) Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap HLGL dan; 3) Mengetahui persepsi masyarakat mengenai pengelolaan HLGL. Penelitian ini dilakukan di tiga desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut , Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Ketiga desa tersebut adalah Desa Rantau Layung, Kecamatan Rantau Buta; Dusun Muluy (Desa Swanslutung), Kecamatan Muara Komam; dan Desa Blimbing, Kecamatan Long Ikis. Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 10 Oktober 2005 sampai dengan tanggal 30 Januari 2006, dengan waktu efektif di lapangan 55 hari. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat tulis, panduan wawancara, alat perekam suara (tape recorder) dan kamera. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa Rantau Layung, Dusun Muluy dan Desa Blimbing yang diasumsikan mewakili masyarakat desa sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut, berjumlah 50 orang. Sebagai data penunjang/pendukung bahan dan alat yang dibutuhkan antara lain demografi/monografi desa yang bersangkutan, peraturan pemerintahan yang menyangkut pengelolaan kawasan HLGL, peta kawasan HLGL, dan segala informasi lainnya yang terkait dalam pengelolaan HLGL. Kerangka pemikiran didasarkan pada bentuk interaksi masyarakat lokal dengan kawasan hutan dipengaruhi oleh adat dan kebudayaan mereka yang merupakan hasil dari pengalaman masa lalu dan informasi yang diberikan oleh Dinas Kehutanan mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Informasi tersebut kemudian akan dinilai berdasarkan pengalaman masa lalu masyarkat yang kemudian akan membentuk persepsi mereka mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Tingkat pengertian dan pemahaman masyarakat sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku sehubungan dengan apa yang dipahami tersebut (Jauhari, 1993 dalam Surata, 1993). Untuk mengetahui pemahaman dan sikap masyarakat ini digunakan metode wawancara dan observasi lapang. Untuk kegiatan pengumpulan data metode yang digunakan adalah studi Pustaka, metode wawancara (interview), dan metode pengamatan (observation). Adapun data-data yang dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data penunjang. Perolehan data yang berupa catatan-catatan dari hasil pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam dengan responden yang berkompeten dan studi
pustaka akan dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan Hingga saat ini kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan di HLGL antara lain pemancangan dan pemeliharaan batas, perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, dan rehabilitasi lahan yang rusak. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat dan pihak pemerintah melalui dinas -dinas terkait. Masyarakat ketiga desa tempat penelitian telah berada di sekitar kawasan hutan lindung Gunung Lumut jauh sebelum ditetapkannya daerah Gunung Lumut dan sekitarnya sebagai kawasan Hutan Lindung. Desa Rantau Layung (RL) yang memiliki wilayah seluas 18.914 hektar sebagian wilayah desanya berada dalam kawasan Hutan Lindung, namun luas wilayah desa yang termasuk ke dalam kawasan hutan lindung belum diketahui secara pasti. Luas keseluruhan wilayah dusun Muluy adalah 12.953 hektar, semuanya berada di dalam kawasan HLGL. Sedangkan wilayah Desa Blimbing berada di luar kawasan, , walaupun dalam perencanaan ke depannya, wilayah desa ini diharapkan menjadi buffer zone bagi kawasan HLGL Hutan Lindung Gunung Lumut bersinggungan langsung dengan 13 desa di 4 kecamatan yang secara langsung akan mempengaruhi tekanan terhadap hutan lindung. Data tahun 2002 dalam Wahyuni (2004) menyebutkan bahwa desa di sekitar 2 HLGL dengan penduduk terpadat adalah desa Blimbing, sebesar 21,97 jiwa/km . 2 Kepadatan penduduk Desa RL sebesar 1,10 jiwa/km dan Dusun Muluy sebesar 1,50 2 jiwa/km . Tingkat pendidikan masyarakat sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut tergolong rendah. Dari 50 informan 9 diantaranya tidak pernah bersekolah, 31 orang pernah bersekolah sampai tingkat SD, 9 orang sampai tingkat SMP dan hanya 1 orang yang bersekolah hingga SMU. Masyarakat di ketiga desa tersebut menggantungkan kehidupan mereka dari kegiatan bertani dengan sistem pertanian ladang berpindah. Kegiatan lain dari masyarakat untuk menambah penghasilannya adalah dengan menjual hasil hutan (buah-buahan, daging buruan, burung, gaharu, dll.), mendulang emas, supir, serta buruh. Interaksi masyarakat dengan HLGL dilihat dari pemanfaatan hasil hutan dari HLGL oleh masyarakat dan kepemilikan lahan dalam kawasan HLGL. Pemanfaatan hasil hutan dilihat dari pemanfaatan kayu, satwa, buah dan madu, kemudian dikategorikan pada pemanfaatan subsisten dan pemanfaatan untuk dijual (komersil). Meskipun hampir semua informan mengaku mengetahui mengenai status hutan lindung gunung lumut, namun mengenai batas HLGL para informan hanya mengetahuinya pada titik-titik tertentu saja. Informan dari Desa Rantau Layung sebagian besar mengaku baru mengetahui mengenai keberadaan HLGL ketika pada tahun 2003 kegiatan penataan batas yang dilakukan oleh Badan Planologi Kehutanan masuk ke dalam areal kebun rotan mereka, sebagian lagi baru mengetahui mengenai status hutan lindung ketika mulai banyak penelitian yang dilakukan di desa mereka terkait dengan Hutan Lindung Gunung Lumut. Penyuluhan tentang peran HLGL telah dilakukan pada ketiga desa. Desa Rantau Layung dan Desa Blimbing, yang telah pernah merasakan efek yang cukup menguntungkan dari kegiatan pemanenan kayu dan perkebunan, mendukung keberadaan HLGL selama kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan ikut diperhatikan. Warga Dusun Muluy yang memegang teguh kebudayaan dan adat Pasir mendukung kegiatan pengelolaan HLGL dengan syarat, hak mereka atas hutan adat mereka diakui dan mereka diberi hak untuk mengelola hutan adat mereka, baik itu yang berada di luar ataupun di dalam kawasan hutan lindung
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 14 November 1983 sebagai putra terakhir dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ahmad Syamsuddin Suryana dan Ibu Nanan Kursiani. Penulis mengikuti pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Inpres Baraya I Makassar sejak tahun 1989 hingga tahun 1995, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 6 Makassar hingga tahun 1998. Tahun 1998 hingga tahun 2001, penulis menempuh pendidikAN di Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 17 Makassar. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2001 melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Fakultas Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Selama melaksanakan studi di IPB, penulis pernah melakukan Praktek Umum Kehutanan di KPH Banyumas Barat dan di
KPH Banyumas Timur, Praktek Umum
Pengelolaan Hutan di KPH Ngawi, Getas. Selain itu penulis menempuh Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Ujung Kulon, Propinsi Banten. Sebagai salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan maka penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur” dibawah bimbingan: Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini merupakan karya ilmiah hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 sampai dengan bulan Januari 2006, dengan Judul ”Persepsi Masyarakat Lokal Mengenai Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur”. Penelitian ini merupakan bagian
dari program Lembaga Penelitian
Tropenbos
Internasional Indonesia (TBI-Indonesia) ”Trade-off between biodiversity values and forest exploitation in selected forest area of the Gunung Lumut Untir-Beratus extention area”. Penelitian ini berusaha menggali bentuk-bentuk interaksi masyarakat sekitar kawasan dan persepsi mereka mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Dengan diketahuinya persepsi masyarakat sekitar kawasan, bentuk dan kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan diharapkan dapat lebih baik dan ikut melibatkan masyarakat. Sehingga dukungan masyarakat terhadap keberadaan Hutan Lindung Gunung dapat dicapai. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih kepada pembimbing skripsi Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc.F; seluruh staf Lembaga Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia yang telah membiayai penelitian dan membantu pengumpulan data dan informasi di lapangan, lembaga swadaya masyarakat PeMA Paser, pihak instansi pemerintah Kabupaten Pasir, serta masyarakat Desa Rantau Layung, Dusun Muluy dan Desa Blimbing atas kerjasamanya dan kesediaannya untuk memberikan data dan informasi kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Bogor, September 2006
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kepada Allah SWT karena atas berkah dan karunia-Nya lah maka penulis dapat merampungkan penulisan skripsi. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Ir. Muhdin, MSc.F sebagai dosen penguji dari Departemen
Manajemen
Hutan
atas
masukan
dan
sarannya
dalam
penyempurnaan skripsi. 2.
Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Bapak Dr. Ir Rinekso Soekmadi, MSc.F selaku dosen pembimbing atas segala ilmu, nasihat, arahan serta kesabarannya selama penulis melaksanakan kegiatan penelitian hingga terselesaikannya penulisan skripsi.
3.
Bapak Iden, Ibu Nanan dan saudara-saudaraku di Makassar atas do’a, kasih sayang dan motivasi tiada henti beserta seluruh Om, Bibi, Sepupu dan Keponakan yang selalu mendukung penulis.
4.
Lembaga Penelitian Tropenbos Internasional Indonesia yang telah mendanai penelitian ini, Bapak Dr. Dicky Simorangkir, Alfan Subekti, Sutan Lubis, Tunggul, Kak Alfa, Indrawan Suryadi, Yana Suryana, Santi, Alice, Ibu Widya, Elisabeth, Deni, Devi, Ninu’, Alda, Pak Sariman, Bang Pijar, pak Alfred dan seluruh staf TBI Indonesia atas keramahan, kebersamaan dan seluruh bantuannya dalam pelaksaanan penelitian.
5.
Seluruh dosen pendidik Fakultas Kehutanan, khususnya Dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata atas semua ilmu yang diberikan.
6.
Staf KPAP DKSHE: Ibu Evan, Ibu Titin, Pak Acu, Ibu Eti, Ibu Fifi, Pak Hasan, Bibi dan seluruh staf Fakultas Kehutanan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
7.
Keluarga
Besar
KSH
Ceria
angkatan
38
atas
kebersamaan
dan
persaudaraannya selama ini. 8.
Rekan-rekan peneltian Hutan Lindung Gunung Lumut; Edith, Irma dan Sony.
9.
Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, September 2006 Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................................i DAFTAR TABEL................................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR............................................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................................vi
I. PENDAHULUAN..............................................................................................................1 I.1 Latar Belakang.................................................................................................1 I.2 Tujuan...............................................................................................................2 I.3 Manfaat.............................................................................................................2 II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................3 II.1 Persepsi..........................................................................................................3 II.2 Persepsi Terhadap Lingkungan....................................................................5 II.3 Masyarakat Desa............................................................................................5 II.4 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan...................................................6 II.5 Hutan Lindung................................................................................................7 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN.......................................................................9 III.1 Sejarah dan Status Kawasan.......................................................................9 III.2 Kondisi Fisik..................................................................................................9 III.2.1 Letak dan Luas................................................................................9 III.2.2 Iklim...............................................................................................10 III.2.3 Hidrologi........................................................................................10 III.2.4 Tanah dan Geologi........................................................................10 III.2.5 Bentuk Lahan dan Topografi.........................................................11 III.3 Kondisi Biologi............................................................................................11 III.3.1 Keanekaragaman Flora.................................................................11 III.3.2 Keanekaragaman Fauna...............................................................11 III.4 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat.........................................................12 IV. METODE PENELITIAN...............................................................................................14 IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian.....................................................................14 IV.2 Bahan dan Peralatan..................................................................................14 IV.3. Kerangka Pemikiran..................................................................................14 IV.4 Metode Pengumpulan Data........................................................................15 IV.5 Analisis Data...............................................................................................17 V. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................................18 V.1 Karakteristik Desa dan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut............................................................................................................18
V.1.1 Desa Rantau Layung.....................................................................18 V.1.1.a Sejarah...........................................................................18 V.1.1.b Letak dan Luas..............................................................18 V.1.1.c Aksesibilitas...................................................................19 V.1.1.d Kependudukan..............................................................20 V.1.1.e Ekonomi.........................................................................20 V.1.1.f Fasilitas Umum...............................................................22 V.1.1.g Pendidikan.....................................................................22 V.1.2 Dusun Muluy..................................................................................23 V.1.2.a Sejarah...........................................................................23 V.1.2.b Letak dan Luas..............................................................24 V.1.2.c Aksesibilitas...................................................................25 V.1.2.d Kependudukan..............................................................25 V.1.2.e Ekonomi.........................................................................25 V.1.2.f Fasilitas Umum...............................................................26 V.1.2.g Pendidikan.....................................................................26 V.1.3 Desa Blimbing................................................................................27 V.1.3.a Sejarah...........................................................................27 V.1.3.b Letak dan Luas..............................................................27 V.1.3.c Aksesibilitas...................................................................28 V.1.3.d Kependudukan...............................................................28 V.1.3.e Ekonomi.........................................................................29 V.1.3.f Fasilitas Umum...............................................................29 V.1.3.g Pendidikan.....................................................................30 V.1.4 Sosial Budaya Masyarakat Desa Sekitar Kawasan.......................30 V.2 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan Lindung Gunung Lumut.......33 V.2.1 Hasil Hutan Kayu...........................................................................34 V.2.2 Perburuan Satwa...........................................................................35 V.2.3 Buah dan Madu..............................................................................36 V.2.4 Pemanfaatan Lahan.......................................................................37 V.3 Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut.............................................40 V.3.1 Penataan Batas Hutan Lindung.....................................................41 V.3.2 Perlindungan dan Pengamanan Kawasan.....................................42 V.3.3 Inventarisasi Potensi Kawasan......................................................43 V.3.4 Rehabilitasi Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat.....................43 V.4 Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut............................................................................................................44 V.4.1 . Pengetahuan Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut.................................................................45
V.4.2. Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu Terhadap Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut...............................................................................47 V.4.2.a. Persepsi Masyarakat Desa Rantau Layung..................50 V.4.2.b. Persepsi Masyarakat Dusun Muluy..............................54 V.4.2.c.
Persepsi
Masyarakat
Desa
Blimbing.............................58 VI. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................................61 VI.1 Kesimpulan..................................................................................................61 VI.2 Saran............................................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................63 LAMPIRAN.......................................................................................................................65
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Klasifikasi Informan.......................................................................................................16 2. Data Kependudukan di Tiga Desa Sekitar HLGL..........................................................20 3. Interaksi Masyarakat Desa dengan HLGL....................................................................33 4. Hasil Hutan dari HLGL yang Dijual oleh Masyarakat....................................................33 5. Jenis Satwa yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat........................................................36 6. Tipe Lahan dan Hutan Desa Menurut Masyarakat Suku Pasir.....................................37 7. Pengetahuan Masyarakat Mengenai HLGL..................................................................45 8. Pengetahuan Masyarakat Mengenai Fungsi HLGL......................................................46 9. Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu terhadap Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut.................................................48
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Proses pembentukan persepsi model Litterer dalam Wibowo (1987)..........................4
2.
Dasar pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan.......5
3.
Kerangka pemikiran penelitian persepsi masyarakat mengenai
pengelolaan
Hutan Lindung Gunung Lumut....................................................................................15 4.
Jembatan penghubung menuju Desa Rantau Layung...............................................19
5.
Bangunan SD di Desa Rantau Layung.......................................................................22
6.
Sejarah pemukiman Dusun Muluy..............................................................................23
7. Perumahan Dusun Muluy............................................................................................25 8. Kondisi Jalan Menuju Desa Blimbing..........................................................................28 9. Peta Batas Kawasan HLGL berdasarkan RTRWP Kalimantan 1999 dan orientasi batas kawasan 2003...................................................................................................42
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Peta Hutan Lindung Gunung Lumut...........................................................................65
2.
Daftar Informan dan Responden yang diwawancarai di desa/dusun sekitar kawasan......................................................................................................................66
3.
Daftar Pertanyaan yang Diajukan Kepada Para Informan..........................................67
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Hutan Lindung Gunung Lumut merupakan salah satu dari empat kawasan hutan lindung yang berada di Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 24/Kpts/Um/1983. Pada mulanya kawasan ini merupakan areal konsesi HPH Telaga Mas, yang telah beroperasi sejak tahun 1970-an. Sebelum kegiatan kehutanan beroperasi di wilayah ini, kawasan hutan Gunung Lumut telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser secara turun temurun. Mereka telah sejak zaman dahulu memenuhi kebutuhan hidupnya dari wilayah hutan Gunung Lumut, baik itu kebutuhan pangan, papan ataupun lahan. Dengan dibukanya kawasan hutan Gunung Lumut untuk kegiatan kehutanan, dalam hal ini sebagai areal konsesi HPH PT. Telaga Mas, pemerintah mengharapkan agar perekonomian dan tingkat kesejahteraan penduduk sekitar kawasan dapat meningkat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Nasib penduduk sekitar kawasan tidak mengalami perubahan, sedangkan areal hutan di kawasan tersebut justru menjadi rusak. Padahal daerah Gunung Lumut merupakan daerah tangkapan air untuk sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Dengan pertimbangan tersebut maka kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya oleh pemerintah ditunjuk menjadi kawasan hutan lindung sejak tahun 1983. Banyak pihak yang terkait dan berkepentingan dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut, namun Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dan masyarakat desa sekitar kawasan merupakan pihak yang paling memiliki kepentingan dalam pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir sebagai pihak yang diberikan wewenang untuk mengelola kawasan tersebut, sedangkan masyarakat desa sebagai pihak yang paling sering berinteraksi dan memanfaatkan sumber daya dari Hutan Lindung Gunung Lumut. Masyarakat desa membuka lahan untuk pemukiman dan ladang serta kebun. Kayu yang mereka ambil dari hutan dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, pembuatan perabot rumah tangga dan alat perkakas, serta sebagai bahan pembuat alat transportasi. Madu, gaharu, dan rotan merupakan sumberdaya hutan yang mereka pungut untuk menunjang perekonomian keluarga. Beberapa jenis hewan mamalia mereka buru sebagai sumber protein mereka, selain terkadang mereka jual sebagai tambahan penghasilan. Namun dengan ditetapkannya kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya sebagai kawasan hutan lindung, kegiatan masyarakat desa yang telah dilakukan sejak zaman dulu dan diwariskan secara turun temurun, oleh beberapa pihak, dikhawatirkan
menjadi ancaman bagi kelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut. Hal ini dikarenakan persepsi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan sulit dipahami oleh berbagai pihak di luar masyarakat tersebut. Hal ini bisa menimbulkan konflik antar berbagai pihak, kurangnya dukungan masyarakat terhadap kegiatan pembangunan, dan tidak dapat dirasakannya manfaat dari status hutan lindung itu oleh masyarakat. Seberapa dalam persepsi masyarakat harus diketahui terlebih dahulu agar persepsi mereka terhadap hutan dapat dibangun secara tepat dan terarah (Tungabdi, 1997). Hal ini dikarenakan persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya (Toch&McLean dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995). Sedangkan menurut McKinnon et al. (1993), keberhasilan pengelolaan suatu kawasan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya.
I.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui bentuk-bentuk interaksi masyarakat lokal dan kontribusi mereka terhadap usaha pelestarian Hutan Lindung Gunung Lumut
2.
Mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap Hutan Lindung Gunung Lumut
3.
Mengetahui persepsi masyarakat mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut
I.3 Manfaat Data dan informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan sistem pengelolaan Gunung Lumut, terutama menyangkut pemberdayaan masyarakat desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan (Walgito, 2002). Penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Woodworth & Marquis, 1957; Branca, 1964 dalam Walgito, 2002). Pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya itu. Sedangkan menurut Wibowo (1987), persepsi adalah suatu gambaran pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu obyek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi itu dengan dirinya dan lingkungan ia berada. Sehingga dengan persepsi, individu dapat menyadari serta dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang terdapat di sekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2002). Persepsi ditentukan oleh faktor-faktor dalam diri individu baik, faktor internal meliputi kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas alat indera dan jenis kelamin. Maupun faktor eksternal seperti pengaruh kelompok, pengalaman masa lalu dan perbedaan latar belakang sosial-budaya (Surata, 1993). Hal ini juga didukung oleh Wibowo (1987), bahwa persepsi seseorang tergantung kepada seberapa jauh suatu obyek membuat impresi (kesan) bagi seseorang. Persepsi juga melibatkan derajat pengertian kesadaran, suatu arti atau suatu penghargaan terhadap obyek tersebut. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Objek dan lingkungan yang melatarbelakangi persepsi merupakan kebulatan atau kesatuan yang sulit dipisahkan. Objek yang sama dengan situasi
sosial yang berbeda, dapat
menghasilkan persepsi yang berbeda (Walgito, 2002). Pembentukan persepsi menurut Litterer dalam Wibowo (1987) terbagi kedalam tiga fase yaitu selektivitas, penutupan (closure) dan interpretasi. Pada fase pertama yaitu seleksi, informasi tertentu dipisahkan oleh pertimbangan yang jauh dengan batas awal persepsi. Kemudian pada fase penutupan (closure), informasi yang telah diseleksi disusun menjadi satu kesatuan. Dan pada fase interpretasi, informasi dinilai kemudian terbentuklah persepsi. Dalam model pembentukan persepsi menurut Litterer dalam Wibowo, pengalaman-pengalaman masa silam sangat berpengaruh terhadap interpretasi (Gambar 1).
Pembentukan
Pengalaman
Persepsi
masa silam
Mekanisme pembentukan persepsi
Interpretasi
Informasi
Selektivitas
Persepsi Sampai ke individu Penutupan (Closure)
Perilaku
Gambar 1 Proses pembentukan persepsi model Litterer dalam Wibowo (1987)
Vandemarkn dan Leth (1977) dalam Surata (1993), menyebutkan persepsi indivi du dibatasi oleh perbedaan pengalaman, motivasi dan keadaan, perbedaan kapasitas alat indera dan perbedaan sikap, nilai dan kepercayaan. Perbedaan inilah yang akhirnya menimbulkan perbedaan dalam memberikan makna terhadap stimuli, seperti kecenderungan mempersepsi apa yang sesuai dengan sikap, nilai-nilai dan kebutuhan seseorang (selective perception), kecenderungan hanya menerima stimuli yang konsisten dengan sikap, nilai dan kepercayaan (selective retention). Hal ini sejalan dengan pernyataan Jauhari (1993) ) dalam Surata (1993),
bahwa tingkat pengertian atau
pemahaman seseorang sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku sehubungan dengan apa yang dipahami tersebut. Karakteristik
penting
dari
faktor-faktor
pribadi
dan
sosial
yang
dapat
mempengaruhi persepsi menurut Osley (1972) dalam Sadli (1976) adalah: 1.
Faktor ciri khas dari obyek stimulus yang terdiri dari nilai, arti, familiaritas dan intensitas.
2.
Faktor
pribadi,
termasuk
didalamnya
kecerdasaan, minat dan emosinya.
ciri
khas
individu
seperti
tingkat
3.
Faktor pengaruh kelompok, artinya respon orang lain dapat memberi arahan sesuatu tingkah laku yang sesuai.
4.
Faktor perbedaan latar belakang kultural.
II.2 Persepsi Terhadap Lingkungan Persepsi
seseorang
terhadap
lingkungan
mencerminkan
cara
melihat,
kekaguman, kepuasan serta harapan-harapan yang diinginkan dari lingkungannya (Edmund & Letey, 1973 dalam Surata, 1993). Persepsi terhadap lingkungan meliputi berbagai aspek yang luas, selain persepsi sensoris individual yaitu penglihatan dan pendengaran, persepsi terhadap lingkungan juga meliputi kesadaran dan pengalaman manusia terhadap lingkungan. Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya karena tidak ada perilaku tertentu tanpa persepsi; perilaku adalah hasil persepsi masa lalu dan permulaan persepsi berikutnya (Toch & McLean dalam Kemp et al., 1975 dalam Hasibuan, 1995). Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar mengenai konservasi maka kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan.
Seperti
yang
dikemukakan
oleh
Pranowo
(1985),
bahwa
persepsi
masyarakat dalam memandang hutan akan dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat seperti kebutuhan akan kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak dan lain-lain serta budaya yaitu kepercayaan, adat istiadat, cerita rakyat dan sebagainya. Sehingga agar persepsi masyarakat terhadap lingkungan dapat dibangun secara tepat dan terarah maka seberapa dalam persepsi masyarakat terhadap sesuatu hal harus diketahui terlebih dahulu. Pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan berupa satu kesatuan yang saling mendukung (Gambar 2). Mengamati
Mendengarkan
Mengajukan pertanyaan
Gambar 2 Dasar pendekatan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap lingkungan (Whyte, 1971 dalam Surata, 1993)
II.3 Masyarakat Desa Masyarakat adalah kelompok atau himpunan orang-orang yang hidup bersama dan terjalin satu sama lainnya sehingga menghasilkan kebudayaan. Sedangkan pengertian dari desa merupakan himpunan penduduk yang cenderung homogen dengan sifat kegotongroyongan dan kekeluargaan yang tinggi serta bermata pencaharian utama dari sektor pertanian (Hasansulama et al., 1983). Sehingga masyarakat desa adalah
himpunan penduduk agraris cenderung homogen yang menempati wilayah tertentu dan memiliki kebudayaan dengan sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang tinggi. Masyarakat desa umumnya bermata pencaharian dari sektor pertanian sehingga pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian hanya merupakan sambilan saja, sehingga di saat masa panen atau masa menanam padi tiba maka pekerjaan-pekerjaan sambilan tersebut ditinggalkan (Soekanto, 1982). Kehidupan masyarakat desa yang pada umumnya bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya alam disekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakaian dan tempat tinggal dalam mempertahankan hidupnya terhadap setiap ancaman yang datang dari dalam maupun luar lingkungan hidupnya. Hal ini demi mencapai dan menciptakan kemajuan dalam hidupnya (Hasansulama et al., 1983).
II.4 Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan Interaksi adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi. Manusia berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Ia membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya (Soemarwoto, 1994). Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya;dalam hal ini adalah hutan merupakan hubungan sirkuler, yang mengandung arti bahwa interaksi yang terjadi antara manusia dan hutan bersifat kompleks, karena pada umumnya dalam hutan terdapat banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur lain, sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan segera dilihat dan dirasakan, tetapi pada akhirnya cepat atau lambat akan berpengaruh kepada kehidupan manusia (Soemarwoto, 1994). Interaksi antara masyarakat sekitar dengan kawasan hutan yang mengarah pada kerusakan kawasan disebabkan oleh (Suratmo, 1974): 1.
tingkat pendapatan masyarakat sekitar relatif rendah
2.
terbatasnya lapangan pekerjaan dan sulit mencari tambahan penghasilan
3.
kebutuhan hasil hutan yang tidak terpenuhi karena terbatasnya di pasaran
4.
pekerjaan mencuri relatif lebih mudah dan memberikan penghasilan lebih besar
5.
adanya tukang tadah hasil curian
6.
kurangnya patroli keamanan kawasan hutan
7.
masalah mental, kebiasaan dan seba-sebab khusus lainnya.
Kondisi sosial-ekonomi masyarakat adalah segala aspek yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup manusia (Soekmadi, 1987).
II.5 Hutan Lindung Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah, dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan-ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004). Pelaksanaan kegiatan pengelolaan Hutan Lindung menurut SK Menteri Kehutanan 464/Kpts-II jo No. 140/Kpts-II/1998 dan SK Dirjen PHPA No. 129/ Kpts/DJVI/1996 meliputi (Ngadiono, 2004): 1.
inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna, potensi wisata, dan potensi sumberdaya air
2.
pemancangan dan pemeliharaan batas
3.
perlindungan dan pengamanan fungsi ekosistem dan kawasan
4.
rehabilitasi hutan yang rusak
5.
pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan, dan
6.
peningkatan peran serta masyarakat. Pasal 19 ayat (2) PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam hutan lindung meliputi usaha budidaya tanaman obat (herba), tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, dan usaha budidaya sarang burung wallet. Pemanfaatan jasa lingkungan hutan lindung sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat (3) meliputi usaha wisata alam, olahraga tantangan, pemanfaatan air, perdagangan karbon (carbon trade), serta usaha penyelamatan hutan dan lingkungan. Sedangkan menurut Kittrodge dalam Manan (1998) pengertian hutan lindung adalah suatu kawasan yang ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu, terutama dikelola atas dasar pengaruhnya yang menguntungkan terhadap pergerakan air dan tanah, jadi tidak untuk menghasilkan kayu maupun makanan ternak. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Akan tetapi kawasan hutan lindung dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, bahkan kegiatan pertambangan pun diizinkan untuk dilaksanakan dengan pola pertambangan tertutup dengan seizin Menteri Kehutanan. (UU No. 41 Tahun 1999). Untuk
pelaksanaan
pengelolaan
kawasan
hutan
lindung
dilakukan
oleh
pemerintah daerah tingkat II (Kotamadya/Kabupaten) sebagaimana diatur dalam PP No. 62 Tahun 1998. Adapun urusan pengelolaan yang dimaksud adalah kegiatan pemancangan
batas,
pemeliharaan
batas,
mempertahankan
luas
dan
fungsi,
pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan pemanfaatan jasa lingkungan.
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
III.1 Sejarah dan Status Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) pada tahun 1970-an masih merupakan areal konsesi HPH PT Telaga Mas. Pada tanggal 15 Januari 1983, kawasan ini ditunjuk sebagai
hutan
lindung
berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.
24/Kpts/Um/1983 tentang Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan propinsi Kalimantan Timur. Walaupun demikian status HLGL masih penunjukkan belum dikukuhkan. Sehingga secara legalitas, status HLGL masih lemah karena belum sah secara hukum. Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) merupakan satu dari empat hutan lindung yang berada di kabupaten Pasir propinsi Kalimantan Timur. Kawasan ini terletak di arah timur laut Tanah Grogot, ibukota kabupaten Pasir dan berjarak ± 84 km dari Penajam. Luas keseluruhan kawasan HLGL adalah 35.350 Ha (UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan). Penataan batas pada kawasan HLGL telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh tim orientasi tata batas dari Baplan Balikpapan dan Dinas Kehutanan Pasir yaitu pada tahun 1986, 1990 dan tahun 2003. Dengan panjang batas yang ditata batas berturut-turut adalah 100.975 meter, 20.600 meter dan 121.575 meter. Di sekitar kawasan hutan lindung terdapat 13 desa dengan 1 dusun berada dalam kawasan di 4 kecamatan. Sampai saat ini kegiatan-kegiatan logging masih terjadi di dan sekitar kawasan HLGL, baik yang secara legal oleh beberapa HPH di areal konsesi dan yang memiliki IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) maupun kegiatan illegal logging yang semakin marak akhir-akhir ini. Kegiatan tersebut telah memberikan tekanan dan gangguan bagi keberadaan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kesadaran dan pengetahuan sebagian masyarakat di dan sekitar HLGL terhadap fungsinya masih kurang. Umumnya mereka memanfaatkan hutan dengan mengambil rotan dan madu yang merupakan produk hutan non-kayu. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun dijual (TBI Indonesia, 2004).
III.2 Kondisi Fisik III.2.1 Letak dan Luas o
Hutan Lindung Gunung Lumut terletak pada koordinat geografis 116 02’ 57’’o
o
o
116 50’ 41’’ Bujur Timur dan 01 19’ 18’’- 01 49’ 33’’ Lintang Selatan. Hutan lindung ini secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan Batu Sopang, Muara Komam, Long Ikis dan Long Kali, di bawah
pengawasan Dinas Kehutanan kabupaten Pasir,
propinsi Kalimantan Timur. Peta kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dapat dilihat pada Lampiran 1. Hutan Lindung Gunung Lumut memiliki luas sekitar 35.350 hektar (berdasar UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan), dengan batas wilayah antara lain : Sebelah Utara
: Desa Kepala Telake
Sebelah timur
: Desa Muara Lambakan, Desa Belimbing, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta
Sebelah Selatan
: Desa Kasungai, Desa Busui, Desa Rantau Layung
Sebelah Barat
: Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa Prayon,
Desa Long Sayo, Desa Swanslutung
III.2.2 Iklim Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL), berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk dalam tipe iklim A atau sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika.
Kawasan ini
memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 rata-rata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan. III.2.3 Hidrologi Hutan Lindung Gunung Lumut merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan tersebut. HLGL merupakan daerah tangkapan air untuk dua DAS besar di kabupaten Pasir yaitu DAS Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (20 km) di Tanah Grogot dan DAS Telake di kecamatan Long Kali. Kedua DAS tersebut memegang peranan penting sebagai sumber persediaan air bagi 68 daerah di sekitarnya termasuk Tanah Grogot ibukota kabupaten Pasir, Batu Sopang, Muara Komam dan Long Ikis. Beberapa sungai yang terkait dengan kawasan HLGL antara lain: Sungai Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (panjang 20 km), Sungai Telewong (panjang 3,5 km) Sungai Kesungai (panjang 54,5 km). Selanjutnya dijumpai pula anak-anak sungai yang relatif banyak dari Sub DAS Kesungai dengan panjang bervariatif mulai dari 0,5 km – 2,0 km, diantaranya Sungai Semau, Sungai Sembinai, Sungai Prayan, Sungai Prayamlin, Sungai Kelato, Sungai Buntut, Sungai Lempesu, Sungai Maridun, Sungai Belimbing, Sungai Merurong, Sungai Apo, Sungai Sunna, Sungai Beleko, Sungai Punan, dan sebagainya. III.2.4 Tanah dan Geologi Menurut peta tanah eksplorasi dalam laporan orientasi batas UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan (2003), jenis tanah di kawasan HLGL adalah jenis tanah komplek
podsolik merah-kuning, latosol dan litosol dari bahan induk batuan beku endapan metamorf dengan fisiografi pegunungan patahan. Berdasarkan peta geologi propinsi Kalimantan Timur, kawasan HLGL umumnya tersusun dari batuan paleogen, pra tersier tak dibedakan dan batuan basah. III.2.5 Bentuk Lahan dan Topografi Secara fisiografik, kawasan HLGL terdiri dari bentuk lahan dataran berbukit dan perbukitan, yang terbagi kedalam 6 subsistem lahan, yakni : 1. Dataran sedimen yang berbukit dengan punggung bukit curam, pada bagian barat, mempunyai pola drainase trellis. 2. Dataran sedimen yang berbukit, terdapat pada bagian barat daya, mempunyai pola drainase dendritik. 3. Perbukitan dengan punggung linear yang mempunyai lereng terjal di suatu sisi, terdapat di bagian barat, mempunyai pola drainase trellis. 4. Perbukitan batuan beku bukan endapan yang tidak simetris atau teratur, terdapat di bagian timur, mempunyai pola drainase dendritik. 5. Punggung bukit dan gunung karst yang curam, terdapat melintang dari arah timur laut ke barat daya, mempunyai pola drainase karstik. 6.Kelompok punggung gunung batuan bukan endapan, terdapat di bagian utara, mempunyai pola drainase rectangular. Secara umum kawasan HLGL memiliki kondisi topografi lereng datar berombak (0-8 %) dan bergelombang (8-15 %), yaitu dengan luas masing-masing 2.662 Ha (45.18 %) dan 1.160 Ha (19.69 %).
III.3 Kondisi Biologi III.3.1 Keanekaragaman Flora Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman (1999) dalam Aipassa (2004), menyatakan bahwa vegetasi yang ada pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora mulai dari tingkat pertumbuhan semai sampai dengan pohon. Jenis sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea indica) dan Buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (Bangkirai) dan jenisjenis Keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis Mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, akar tunjuk, tumbuhan obat lainnya juga termasuk sarang burung walet. III.3.2 Keanekaragaman Fauna
Kawasan
HLGL
memiliki
keanekaragaman
satwaliar
yang
cukup
tinggi,
diantaranya dari kelompok mamalia adalah Babi jenggot (Sus barbatus), Kijang kuning (Muntiacus atherodes), Beruang madu (Helarctos malayanus), Pelanduk napu (Tragulus napu), Rusa sambar (Cervus unicolor), Tenggalung malaya (Viverra tangalunga), Landak raya (Hystrix brachyura), Sero ambrang (Aonys cinerea), Tupai tanah (Tupaia tana), Bajing
kecil
telinga-hitam
(Nannosciurus
melanotis),
Bajing
tanah
ekor-tegak
(Rheithrosciurus macrotis) dan masih banyak lagi. Untuk jenis mamalia primata antara lain Lutung dahi-putih (Presbytis frontata), Lutung merah (Presbytis rubicunda), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina), Kukang (Nycticebus coucang), Bekantan (Nasalis larvatus) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri). Owa kelawat ditemukan pada komunitas hutan primer dan merupakan jenis yang peka terhadap gangguan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut (PPLH UNMUL, 1999 dalam Aipassa, 2004). Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat 2 jenis yang termasuk kategori Lower Risk (beresiko rendah) yaitu Babi jenggot (Sus barbatus) dan Owa kelawat (Hylobates muelleri). Untuk kelompok burung (aves), banyak sekali jenis-jenis yang terdapat dalam kawasan HLGL diantaranya jenis yang endemik di Kalimantan; Bondol kalimantan (Lonchura fuscans), Tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), Sikatan kalimantan (Cyornis superbus) dan Pentis kalimantan (Prionochilos xanthopygius), jenis-jenis Enggang; Julang emas (Aceros undulatus), Rangkong badak (Buceros rhinoceros), Enggang jambul (Aceros comatus), Enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), Julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan Rangkong gading (Buceros vigil), Kacembang gading (Irena puella), Luntur diard (Harpactes diardii), Kucica hutan (Copsychus malabaricus), Tukik tikus (Sasia abnormis), Sempur hujan sungai (Cymbirhynchus macrorhynchos), Paok delima (Pitta granatina), Kuau raja (Argusianus argus), Elang ular (Spilornis cheela palidus), Seriwang asia (Tersiphone paradisi) dan lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di kawasan HLGL diantaranya ular cincin emas (Boiga dendrophilia), Katak tanduk (Megophrys nasuta) dan lain sebagainya.
III.4 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Wilayah kawasan hutan Gunung Lumut sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional sesungguhnya wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi kedalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa disekitarnya dan 1 dusun berada dalam kawasan di 4 kecamatan. Dimana batas -batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti sungai Pias,
sungai Tiwei, sungai Mului, Kesunge, dll (Saragih, 2004). Pada umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, terkecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung dan bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan (Wahyuni et al., 2004) Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil dan besar disekitar kawasan seperti Kendilo dan Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan baik itu dari wilayah Hutan Lindung (HL) maupun dari hutan disekitar HL (hutan adat). Seperti kebutuhan akan kayu bakar, perumahan, pangan (air, sayuran dan daging/ikan), obat-obatan dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam di dan sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani dipenuhi dengan cara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut. Pada umumnya masyarakat desa-desa yang berada dalam dan di sekitar HLGL bekerja dalam bidang pertanian dengan pengelolaan lahan pertanian yang masih tradisional (Wahyuni et al., 2004). Jenis mata pencaharian lain yang digeluti oleh masyarakat adalah berdagang, PNS, TNI/POLRI, karyawan perusahaan serta bidang lainnya. Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan yang dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah penyangga kawasan HLGL (Wahyuni et al., 2004).
Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah
pendapatannya adalah dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini dilakukan hanya pada saat gagal panen), menjadi tukang ojeg motor dan buruh.
IV. METODE PENELITIAN
IV.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut , Kabupaten Pasir, Propinsi Kalimantan Timur. Ketiga desa tersebut adalah Desa RantauLayung, Kecamatan Rantau Buta; Dusun Muluy (Desa Swanslutung), Kecamatan Muara Komam; dan Desa Blimbing, Kecamatan Long Ikis. Pemilihan ketiga desa tersebut sebagai lokasi penelitian karena dianggap mewakili desa-desa yang wilayahnya berada di dalam kawasan (Dusun Muluy), setengah wilayah desanya berada dalam kawasan tetapi pemukiman dan kebun serta ladang mereka berada diluar kawasan (Desa Rantau Layung), dan desa yang seluruh wilayah desanya berada diluar kawasan tapi masih berbatasan dengan kawasan hutan lindung (Desa Blimbing). Penelitian ini dilaksanakan
sejak tanggal 10 Oktober 2005 sampai dengan
tanggal 30 Januari 2006, dengan waktu efektif di lapangan 55 hari.
IV.2 Bahan da n Peralatan Bahan dan peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah alat tulis, panduan wawancara, alat perekam suara (tape recorder) dan kamera. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa RantauLayung, Dusun Muluy dan Desa Blimbing yang diasumsikan mewakili masyarakat desa sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut. Selain itu, sebagai data penunjang/pendukung bahan dan alat yang dibutuhkan antara lain demografi/monografi desa yang bersangkutan, peraturan pemerintahan yang menyangkut pengelolaan kawasan HLGL, peta kawasan HLGL, dan segala informasi lainnya yang terkait dalam pengelolaan HLGL.
IV.3 Kerangka Pemikiran Bentuk interaksi masyarakat lokal dengan kawasan hutan dipengaruhi oleh adat dan kebudayaan mereka yang merupakan hasil dari pengalaman masa lalu. Informasi yang diberikan oleh Dinas Kehutanan mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut akan disusun menjadi satu kesatuan yang mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman serta sikap mereka mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Informasi tersebut kemudian akan dinilai berdasarkan pengalaman masa lalu masyarkat yang kemudian akan membentuk persepsi mereka mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Upaya penggalian persepsi ini dilakukan dengan mengetahui pemahaman dan sikap masyarakat mengenai status kawasan dan sistem pengelolaan kawasan. Tingkat pengertian dan pemahaman masyarakat sangat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan membentuk pola sikap dan tingkah laku sehubungan dengan apa yang dipahami tersebut (Jauhari, 1993 dalam Surata, 1993).
Untuk mengetahui pemahaman dan sikap masyarakat ini digunakan metode wawancara dan observasi lapang. Hasil wawancara dan observasi ini kemudian dianalisis dengan mereduksinya menjadi data yang lebih ringkas dan dilakukan penggolongan berdasarkan tingkat pemahaman dan sikap. Dari hasil analisis ini diharapkan dapat diketahui persepsi masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya hutan di Hutan Lindung Gunung Lumut. Kawasan Hutan Gunung Lumut Masyarakat Lokal
Adat dan kebudayaan
Pemerintah Daerah
Pengalaman
Informasi
masa lalu
Peraturan Pengelolaan Hutan Lindung
Closure Pemahaman dan sikap mengenai status dan pengelolaan kawasan Interpretasi Persepsi mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut
Perilaku Masyarakat
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut
IV.4 Metode Pengumpulan Data Sebelum melakukan pengumpulan data di masyarakat terlebih dahulu dilakukan klasifikasi terhadap masyarakat berdasarkan ketokohan mereka dalam masyarakat (perangkat desa, tokoh adat, tokoh agama, masyarakat umum). Perangkat desa, tokoh adat dan tokoh agama menjadi informan kunci yang memberikan informasi mengenai persepsi masyarakat desa secara umum.Untuk mengevaluasi informasi yang diperoleh dari para informan serta untuk melengkapi informasi yang masih kurang dipilih secara acak beberapa orang responden dari masyarakat umum. Secara keseluruhan jumlah informan dan responden dari ketiga desa itu berjumlah 50 orang. Klasifikasi informan dan responden dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi Informan Klasifikasi informan
Jumlah Desa/Dusun Rantau Layung
54
Perangkat desa 2
Muluy
21
-
1
2
7
10
Blimbing
119
2
3
1
14
20
Jumlah
194
4
6
4
36
50
KK
Tokoh adat 2
Tokoh masyarakat 1
Masyarakat umum 15
Total Informan 20
Pemilihan informan dari masyarakat umum dilakukan berdasarkan kesediaan mereka untuk menjawab pertanyaan. Perangkat desa yang berada di Dusun Muluy (RT), tidak bersedia untuk diwawancara. Luasnya wilayah desa, dan banyaknya masyarakat yang tinggal di ladang, serta sebagian masyarakat lainnya ada yang bekerja di luar desa selama menunggu masa panen juga menjadi kendala dalam memilih informan dari masyarakat umum. Daftar informan dan responden selengkapnya disajikan pada Lampiran 2. Untuk kegiatan pengumpulan data metode yang digunakan adalah: 1.
Studi Pustaka dan Literatur Dilakukan di kantor desa dan dinas kehutanan kabupaten pasir untuk mengetahui mengenai kondisi masyarakat dan kegiatan yang diperbolehkan di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL). Pustaka dan literatur lain yang terkait dengan pengelolaan HLGL diperoleh dari pihak-pihak lain yang terkait (Hasil penilitian perguruan tinggi, LSM atau instansi lainnya).
2.
Metode wawancara (interview) Yaitu dengan wawancara terhadap informan kunci (perangkat desa, tokoh adat, tokoh
masyarakat)
masyarakat
desa
untuk
mendapatkan
mengenai
pengelolaan
gambaran HLGL.
umum
pemahaman
Wawancara
terhadap
masyarakat desa juga dilakukan untuk melengkapi keterangan yang diberikan oleh informan kunci. Wawancara juga dilakukan terhadap instansi pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan HLGL. 3.
Metode pengamatan (observation) Dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara informasi yang diberikan oleh masyarakat dengan kegiatan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun data-data yang dikumpulkan terdiri dari data pokok dan data penunjang,
yaitu: 1. Data Pokok Merupakan data yang diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi) dan wawancara mendalam, diantaranya:
§
Masyarakat lokal meliputi biodata (nama, umur, agama, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan mata pencaharian), lama tinggal, sejarah Gunung Lumut, pengertian dan pemahaman mengenai pengelolaan dan status Gunung Lumut, kegiatan yang mereka lakukan terkait dengan Gunung Lumut.
§
Pemda meliputi sejarah Gunung Lumut, pengelolaan Pemda (, visi&misi Pemda, program yang telah dan akan dilakukan di Gunung Lumut, dll.), persepsi mengenai sistem pengelolaan dan status Gunung Lumut, interaksi dan kontribusi terhadap Gunung Lumut.
2. Data Penunjang Data ini diambil untuk menunjang data pokok yang telah ada meliputi demografi dan monografi desa sekitar Gunung Lumut, kondisi fisik dan biologi lingkungan Gunung Lumut, data umum masing-masing pihak atau instansi yang berhubungan dengan pengelolaan Gunung Lumut serta sejarah lokasi penelitian. Data dapat diperoleh dari data umum yang dimiliki pihak terkait serta studi literatur.
IV.5 Analisis Data Perolehan data yang berupa catatan-catatan dari hasil pengamatan langsung di lapangan, wawancara mendalam dengan responden yang berkompeten dan studi pustaka/literatur dianalisis berdasarkan tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus. Reduksi data dilakukan dengan menyederhanakan data yang diperoleh dari lapangan dengan meringkas dan menggolongkannya. Kegiatan ini dilakukan untuk menajamkan dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga didapat data utama yang menjadi pokok penelitian serta mendapatkan kesimpulan akhir. Penyajian data dilakukan secara naratif deskriptif serta ditunjang dengan bentukbentuk bagan dan tabel untuk mempermudah pemahaman mengenai hasil analisis data yang telah diperoleh secara lebih terpadu. Terakhir, penarikan kesimpulan dengan melakukan verifikasi data yaitu melakukan pemikiran ulang dan peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan yang kokoh dan tepat.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1 Karakteristik Desa dan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut Kawasan hutan Gunung Lumut, jauh sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung telah didiami oleh masyarakat Suku Paser secara turun temurun. Menurut Saragih (2004) masyarakat Dayak Paser yang mendiami kawasan hutan sekitar Gunung Lumut telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional wilayah hutan Gunung Lumut dan sekitarnya telah terbagi ke dalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa sekitarnya. Batas antar desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, punggung bukit atau gunung. Akses transportasi menuju desa-desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut relatif cukup sulit, kecuali untuk desa-desa yang berada di sebelah selatan kawasan hutan lindung karena dilalui oleh jalan lintas propinsi. Untuk desa-desa yang berada di sebelah barat, timur dan utara kawasan pada umumnya jalur transportasinya berupa jalan tanah yang diperkeras dengan batu, yang pada musim penghujan sulit untuk dilalui oleh kendaraan bermotor. Desa-desa dan dusun lokasi penelitian terletak di sebelah barat dan timur kawasan hutan Lindung Gunung Lumut. Dusun Muluy terletak di sebelah barat, Desa Blimbing dan Desa Rantau Layung berada di sebelah timur kawasan hutan lindung. V.1.1 Desa Rantau Layung V.1.1.a Sejarah Semula pemukiman penduduk Rantau Layung tersebar di muara Sungai Prayan dan sepanjang pinggiran Sungai Kesungai. Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah Kolonial memindahkan penduduk ke daerah Long Ikis dan Batu Kajang untuk mempermudah pengaturan penduduk karena kedua daerah tersebut relatif lebih mudah diakses. Pada tahun 1940-an warga Rantau Layung kembali ke daerah mereka, namun masih tersebar di sekitar muara Sungai Prayan dan sepanjang Sungai Kesungai Penduduk mulai hidup secara berkelompok membentuk komunitas desa pada tahun 1940-an atas perintah pemerintah Hindia-Belanda. Pada mulanya pemukiman penduduk tersebar dari muara Sungai Prayan hingga ke hilir Sungai Kesungai di Batu Sopang. Pada tahun 1990-an warga desa mulai membentuk pemukiman yang berkelompok dalam satu kawasan yang merupakan lokasi pemukiman penduduk saat ini V.1.1.b Letak dan Luas Desa Rantau Layung secara administrasi pemerintahan berada dalam wilayah Kecamatan Batu Sopang. Di sebelah utara desa ini berbatasan dengan Dusun Muluy, sebelah barat berbatasan dengan Desa Uko dan Desa Prayon, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Buta, dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Lombok.
Desa yang memiliki wilay ah seluas 18.914 hektar ini sebagian wilayah desanya berada dalam kawasan Hutan Lindung. Namun luas wilayah desa yang termasuk ke dalam kawasan hutan lindung belum diketahui secara pasti. V.1.1.c Aksesibilitas Akses tranportasi yang tersedia untuk menuju Desa Rantau Layung dapat ditempuh melalui jalur sungai dari Desa Batu Kajang melalui Desa Rantau Buta. Lama perjalanan dengan melalui sungai berkisar antara tiga hingga lima jam. Jalur transportasi darat juga dapat digunakan untuk mencapai desa ini melalui bekas jalan logging HPH PT. Telaga Mas yang menghubungkan desa ini dengan Simpang Pait, Kecamatan Long Ikis. Namun sejak PT. Telaga Mas tidak beroperasi lagi di desa ini jalan logging tersebut tidak terawat. Topografi jalan yang curam dan melewati beberapa sungai menyebabkan jalan sulit dilalui oleh kendaraan roda empat, terutama pada musim penghujan. Terdapat enam jembatan penyeberangan sungai yang terbuat dari kayu yang harus dilalui untuk mencapai desa ini. Kondisi jembatan-jembatan tersebut saat ini sudah rusak dan seringkali terputus sehingga desa sering terisolir, terutama pada musim penghujan. Kondisi jembatan menuju Desa Rantau Layung kami tampilkan pada Gambar 4
Gambar 4 Jembatan penghubung menuju Desa Rantau Layung Pada awal tahun 2000-an, HPH PT. Telaga Mas yang berniat untuk membuka areal konsesi di wilayah desa ini telah membuka jalan penghubung darat ke arah Desa Rantau Buta. Jalur transportasi ini relatif lebih dekat dan lebih aman dibandingkan jalur transportasi darat menuju Simpang Pait. Saat itu jalan rintisan dibuka namun belum diperkeras dengan batu, sehingga pada musim penghujan jalan menjadi berlumpur dan licin. Sejak PT. Telaga Mas tidak beroperasi lagi di desa ini jalan rintisan tersebut kembali tertutup.
V.1.1.d Kependudukan Berdasarkan data kependudukan desa, Desa Rantau Layung dihuni oleh 54 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk mencapai 214 orang. Kepadatan 2
penduduk hanya 1,13 jiwa/km . Suku Paser menjadi etnik yang dominan di Desa Rantau Layung. Dari 54 Kepala Keluarga yang mendiami desa ini, 47 keluarga diantaranya merupakan Suku Paser asli. Keluarga hasil perkawinan Suku Banjar dan Suku Paser sebanyak enam keluarga. Satu Keluarga lagi merupakan hasil perkawinan Suku Dayak Kapuas dengan Suku Paser. Seluruh penduduknya memeluk agama Islam, namun masih sangat dipengaruhi oleh kepercayaan nenek moyang mereka. Tabel 2 Data Kependudukan di Tiga Desa Sekitar HLGL No
Desa/Dusun
Luas 2
(km )
Jumlah KK
Jumlah Penduduk (Jiwa) Laki-laki
Perempuan
Kepadatan
Jumlah
Penduduk (jiwa/km2)
1.
Rantau Layung
189,13
54
118
96
214
1,13
2.
Muluy
129,53
21
64
49
113
0,87
3.
Blimbing
132,00
109
691
646
1337
10,13
V.1.1.e Ekonomi Mayoritas penduduk Rantau Layung berprofesi sebagai petani peladang. Setiap tahunnya, tiap kepala keluarga membuka ladang seluas 0,25-2 ha untuk ditanami padi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama setahun ke depan. Padi yang dihasilkan hanya untuk dikonsumsi sendiri, tidak untuk dijual. Tidak setiap tahun penduduk mengolah ladang. Beberapa keluarga yang merasa bahwa panen-panen mereka tahun sebelumnya masih mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka tahun berikutnya terkadang memilih untuk melakukan pekerjaan lainnya. Kepala desa Rantau Layung pada saat penelitian dilakukan memilih untuk tidak membuka ladang karena merasa kebutuhan sehari-harinya dapat dipenuhi dari honor sebagai kepala desa, selain itu hasil panen tahun-tahun sebelumnya masih mencukupi kebutuhan keluarganya. Beberapa orang penduduk Rantau Layung membuka warung sebagai usaha sampingan untuk menambah penghasilan. Dua dari pengusaha warung ini memilih untuk tidak membuka ladang pada tahun ini karena mereka merasa kebutuhan berasnya masih mencukupi, selain itu mereka ingin lebih serius untuk mengembangkan usaha dagang mereka. Mereka bertindak sebagai pengumpul hasil kebun masyarakat desa lainnya, seperti rotan atau daging hewan buruan, untuk mereka jual ke Rantau Buta atau Batu Kajang. Selain itu terdapat seorang penduduk Rantau Layung yang bermukim di Desa Rantau Buta yang benar-benar berprofesi sebagai pedagang. Sejak akhir dekade 1990-an masyarakat Desa Rantau Layung memanfaatkan kayu yang berada di wilayah desanya, baik itu yang berasal dari kebun mereka ataupun hutan adat mereka untuk dijual ke cukong-cukong kayu di luar desa mereka. Kayu-kayu
hasil tebangan itu, ada yang dijual oleh mereka ke Batu Kajang dan Rantau Buta dengan cara mengangkutnya melalui jalur sungai ada juga yang mereka taruh di pinggir jalan logging untuk kemudian diambil oleh para pembelinya langsung. Karena wilayah hutan adat mereka termasuk dalam kawasan hutan lindung, maka sejak tahun awal tahun 2005 kegiatan penjualan kayu yang berasal dari hutan adat dihentikan oleh masyarakat. Mantan kepala desa sebelumnya merupakan salah satu pelaku kegiatan penebangan kayu yang paling aktif.
Hasil dari kegiatannya itu mampu mencukupi kebutuhan
keluarganya hingga saat ini sehingga dia merasa tidak perlu untuk membuka ladang. Salah satu alasan pengunduran dirinya sebagai kepala desa adalah karena pernah terlibat dalam kegiatan illegal logging di kawasan hutan lindung, namun tuduhan ini tidak dapat dibuktikan. Selain dari hasil pertanian (ladang dan kebun) dan hasil hutan kayu, penduduk Rantau Layung juga memungut hasil hutan non kayu untuk menambah penghasilan mereka. Daging hewan buruan dan madu selain untuk dikonsumsi sendiri, juga mereka jual ke desa-desa tetangga, atau tamu-tamu yang datang mengunjungi desa mereka (peneliti, pegawai dinas kabupaten, dll). Hasil kebun penduduk Rantau Layung yang bisa mereka jual diantaranya adalah rotan, karet, buah-buahan dan kopi. Saat ini karena harga kopi semakin rendah, dan mutu kopi produksi desa ini kalah bersaing dengan kopi-kopi dari luar sehingga hampir semua penduduk tidak merawat kebun kopi mereka lagi. Mereka beralasan tenaga yang mereka keluarkan tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan. Rotan merupakan komoditas utama mereka saat ini. Meskipun mereka mengeluhkan harganya yang rendah (Rp. 7000/bal), namun mereka tetap memanen rotan-rotan dari kebun mereka karena itulah satu-satunya hasil kebun mereka yang dapat menghasilkan uang saat ini. Budidaya karet baru mereka lakukan saat ini. Sebelum orang Banjar masuk ke Desa Rantau Layung, penduduk asli belum memiliki kemampuan untuk menyadap karet. Dengan bermukimnya beberapa orang Banjar di desa mereka, beberapa orang penduduk sudah mulai bisa menyadap karetnya sendiri. Pada musim-musim tertentu, ketika hasil pertanian mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, atau ketika mereka membutuhkan uang untuk sesuatu yang sangat penting, penduduk Rantau Rayung terkadang menambang emas secara tradisional di sungai-sungai sekitar desa mereka. Penambangan emas ini dilakukan harus dengan seizin dari ketua adar desa itu. Berdasarkan hasil penelitian Tim Sosek dari kegiatan Ekspedisi di Hutan Lindung Gunung Lumut yang diprakarsai oleh Tropenbos Internasional Indonesia diperoleh data mengenai pengeluaran masyarakat untuk Desa Rantau Layung per tahunnya mencapai Rp. 16.341.900 per tahun per keluarga. Besarnya jumlah pengeluaran dari penduduk Rantau Layung ini dikarenakan Pak Abad, yang bermukim di Rantau Buta dan berprofesi sebagai pedagang dimasukkan dalam responden yang dipilih oleh tim sosek.
V.1.1.f Fasilitas umum Fasilitas publik yang tersedia di desa ini antara lain masing-masing satu unit bangunan SD dan rumah dinas guru, mushalla, rumah dinas untuk ketua adat dan kepala desa, satu unit penggilingan padi dan yang sedang dibangun saat ini adalah kantor desa. Penggilingan padi hanya beroperasi pada akhir minggu. Tiap penduduk yang menggiling padi dikenai biaya sepersepuluh dari jumlah padi yang mereka giling untuk biaya operasional mesin. Listrik belum mencapai desa ini, kecuali yang berasal dari generator milik desa dan milik pribadi masing-masing penduduk. Jaringan listrik dibangun untuk menghubungkan antara generator desa dengan rumah-rumah penduduk. Namun rumah-rumah yang berada paling sebelah selatan desa belum tersambung dengan jaringan ini. Untuk memperoleh listrik setiap keluarga harus membayar Rp. 7000 per malamnya. Karena mahalnya iuran ini tidak setiap malam penduduk menyambung listrik ke rumahnya. Umumnya penduduk akan berkumpul pada malam hari di rumah-rumah penduduk yang memiliki TV dan parabola. Saat ini ada sepuluh keluarga yang sudah memiliki TV, tetapi hanya lima orang yang memiliki parabola. Fasilitas komunikasi tidak tersedia di desa ini.
Gambar 5 Bangunan SD di Desa Rantau Layung Fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau posyandu tidak terdapat di desa ini. Pada musim-musim kering, ketika jalur transportasi darat dapat dilalui mobil, sebulan sekali Puskesmas Keliling dari Kecamatan Long Ikis mendatangi desa ini untuk memberikan pelayanan kesehatan. Sungai Kesungai merupakan sumber air utama bagi penduduk Rantau Layung. Mereka menggunakannya untuk mandi, mencuci sekaligus untuk air minum. Tidak terdapat fasilitas kakus di dusun ini, sehingga masyarakat membuang hajatnya di sungai ini juga. Ada beberapa sungai kecil yang mereka bendung sebagai sumber air minum, namun bila hujan tidak turun seminggu, sumber air ini mengering. V.1.1.g Pendidikan Desa Rantau Layung hanya memiliki fasilitas pendidikan untuk tingkat SD. Tenaga pengajarnya juga kurang memadai. Desa Rantau Layung memiliki 3 tenaga pengajar, 2 orang telah diangkat sebagai pegawai negeri sedang yang seorang lagi masih tenaga honorer. Karena para tenaga pengajar tersebut tidak membawa keluarga mereka, maka waktu mengajar mereka tidak selalu efektif selama satu bulan. Mereka sering izin pulang secara
bergantian, namun sering juga bersamaan, sehingga sekolah sering diliburkan. Jumlah murid SD di Desa Rantau Layung tidak lebih dari 50 siswa yang tersebar di 6 kelas. Salah seorang warga Rantau Layung saat ini sedang mengikuti pendidikan perguruan tinggi di Tana Grogot dengan bantuan biaya dari desa. Lulusan SMU ada lima orang, dan yang lulus SMP ada tiga orang. Selebihnya hanya mengenyam bangku pendidikan SD bahkan ada beberapa orang yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal. Bentuk bangunan SD yang berada di Desa Rantau Layung kami tampilkan pada Gambar 5. V.1.2 Dusun Muluy V.1.2.a Sejarah
Gambar 6 Sejarah pemukiman Dusun Muluy Menurut penuturan dari wakil ketua adat Dusun Muluy, Masyarakat Muluy pada mulanya hidup berpencar di kaki Gunung Lumut dan di pinggiran Sungai Muluy. Pada tahun 1970-an, ketika HPH PT. Telaga Mas mulai beroperasi di sekitar kawasan Gunung Lumut dibentuk pula suatu desa transmigrasi yang selain menampung para pekerja perusahaan juga menyediakan perumahan untuk Suku Paser. Desa ini terletak di KM 70 jalan logging HPH PT. Telaga Mas Namun tidak semua Suku Paser Muluy bersedia untuk menyatu dengan suku lainnya yang ada di Desa Swanslutung. Akhirnya Suku Paser Muluy yang tidak mau bergabung tersebut kembali mendiami kampong lama mereka di sekitar Sungai Muluy. Sebelum mendiami lokasi Dusun Muluy yang sekarang ini, masyarakat Muluy beberapa kali berpindah lokasi perkampungan. Selain di sekitar Sungai Muluy mereka sempat bermukim di kaki Gunung Lumut untuk kemudian pindah lagi ke Gunung Janas. Sejarah perpindahan pemukiman Dusun Muluy dapat dilihat pada Gambar 6.
Dinas Sosial Kabupaten Pasir, dalam rangka program Komunitas Adat Terpencil, menawarkan kepada masyarakat Muluy untuk membangun rumah dengan biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Tujuannya adalah agar masyarakat Muluy dapat terkumpul dalam satu lokasi, sehingga program penyuluhan kepada masyarakat dapat dilakukan dengan lebih efektif. Letak pemukiman ditentukan oleh keinginan penduduk. Pada waktu itu terdapat dua pilihan lokasi, yang pertama terletak di tepi Sungai Muluy, yang merupakan kampung Muluy sebelumnya, namun jauh dari jalan transportasi utama. Pilihan yang kedua adalah di bekas tempat penimbunan kayu milik HPH PT. Telaga Mas yang berada di pinggir jalan logging, namun jauh dari sumber air. Berdasarkan hasil musyawarah antar penduduk Muluy, mereka memlih untuk membangun pemukiman yang lebih dekat ke jalur transportasi, di bekas tempat penimbunan kayu HPH PT. Telaga Mas, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 7. Letak lokasi pemukiman yang berada dalam kawasan hutan lindung tidak diketahui oleh penduduk Muluy. Saat itu mereka belum mengetahui mengenai status hutan lindung. Dinas Sosial yang mengetahui bahwa lokasi penampungan tersebut berada dalam kawasan hutan lindung tidak melakukan koordinasi ulang dengan pihak Dinas Kehutanan karena beranggapan bahwa pembangunan perumahan untuk masyarakat Muluy telah disetujui oleh Bupati. Pada tahun 2001 penduduk Muluy telah menempati rumah baru mereka. Kayu untuk bahan bangunan sebagian diambil dari hutan adat Muluy, sebagian lainnya disediakan oleh pihak kontraktor. Penduduk Muluy juga dilibatkan dalam pembangunan perumahan tersebut dengan upah Rp. 350 ribu untuk tiap unit rumah yang mereka bangun. Jumlah bangunan yang selesai pada waktu itu 52 unit. Namun saat ini dua unit telah dibongkar untuk menambah luas unit bangunan lainnya. Dan dari 50 unit rumah yang ada saat ini, hanya 48 unit yang dimanfaatkan, sedang 2 unit lainnya dibiarkan kosong, karena pemilik sebelumnya telah meninggal dunia. V.1.2.b Letak dan Luas Secara administratif Dusun Muluy berada dalam wilayah pemerintahan Desa Swanslutung, Kecamatan Muara Komam. Dusun ini berbatasan dengan Desa Muarapayang dan Desa Kepala Telake di sebelah utara. Di sebelah baratnya berbatasan dengan Desa Swanslutung, desa induk dusun ini. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Layung dan Desa Long Sayo dan di sebelah timurnya berbatasan dengan Desa Pinang Jatus. Luas keseluruhan wilayah dusun ini 12.953 hektar. Data mengenai luas dusun Muluy didasarkan pada pengakuan wakil ketua adat Dusun Muluy yang di dasarkan pada peta wilayah adat Kampung Muluy yang dibuat bersama Yayasan PADI.
Luas itu mencakup
wilayah pemukiman, ladang dan kebun serta wilayah hutan adat milik masyarakat Muluy .
Gambar 7 Perumahan Dusun Muluy
V.1.2.c Aksesibilitas Dusun Muluy terletak pada KM 61 jalan logging HPH PT. Telaga Mas. Jalan logging ini menghubungkan Simpang Pait, Kecamatan Long Ikis dengan Desa Swanslutung, yang merupakan desa induk daru Dusun Muluy. Kondisi jalan ini cukup baik dan terawat karena masih dimanfaatk oleh PT. Rizki Kacida Reana. Pada musim penghujan jalan menjadi licin, tapi masih dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai Dusun Muluy dari Kota Balikpapan sekitar enam jam dengan menggunakan mobi. Dari Kecamatan Long Ikis waktu yang dibutuhkan sekitar dua jam. Untuk mencapai desa induk Swanslutung waktu yang dibutuhkan adalah satu setengah jam dengan menggunakan sepeda motor. Penduduk Muluy umumnya menggunakan sepeda motor untuk menuju ke Desa Swanslutung atau ke Kecamatan Long Ikis V.1.2.d Kependudukan Berdasarkan data kependudukan yang dipegang oleh wakil ketua adat, Dusun Muluy dihuni oleh 21 KK dengan jumlah penduduk mencapai 113 jiwa. Berdasarkan administrasi pemerintahan, dusun ini terletak pada RT 8, Desa Swanslutung. Seluruh penduduknya merupukan Suku Paser Muluy. Terdapat sepasang suami istri suku Banjar yang menjadi guru di SD Muluy. Seluruh penduduknya memeluk agama Islam, namun pengaruh kepercayaan nenek moyang mereka masih sangat kuat. V.1.2.e Ekonomi Seluruh penduduk Muluy bermatapencaharian sebagai petani ladang. Penduduk yang telah berkeluarga biasanya membuka lahan untuk dijadikan ladang setiap 1-2 tahun sekali. Kondisi topografi sekitar desa yang berbukit-bukit menyebabkan ladang penduduk berada di lereng bukit sehingga hasilnya kurang maksimal. Penduduk yang belum berkeluarga ikut membantu keluarga mereka yang telah berkeluarga untuk mengolah
ladang. Beberapa orang pemuda bekerja sebagai pegawai kontrakan di perusahaan kayu. Biasanya mereka bekerja untuk jangka waktu 4-8 bulan. Hasil ladang mereka hanya untuk konsumsi mereka sendiri. Untuk mendapatkan penghasilan mereka menjual binatang buruan, madu, gaharu dan buah-buahan. Namun saat ini gaharu semakin sulit mereka temukan, sehingga mereka sudah sangat jarang menjualnya. Rotan tidak termasuk dalam hasil kebun yang mereka jual karena usia kebun rotan mereka masih sangat muda. Kebun rotan peninggalan orang-orang tua dulu telah hancur ketika pembangunan HTI untuk tanaman sengon mengambil lahan kebun rotan mereka. Binatang buruan sebagian besar mereka konsumsi sendiri. Bila mereka benarbenar membutuhkan uang tunai, atau pada saat jebakan mereka menghasilkan banyak buruan dan tidak mungkin untuk dihabiskan sendiri barulah mereka menjual daging buruan. Pada musim paceklik, penduduk Muluy mencari emas di sungai-sungai sekitar pemukiman mereka, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun hal itu perlu dimusyarawahkan dulu oleh penduduk kampung dan atas seizin ketua adat. V.1.2.f Fasi litas umum Fasilitas umum yang tersedia di Dusun Muluy antara lain satu unit gedung SD bantuan dari Depdiknas, satu unit televisi dan parabola, dua unit kamar mandi/WC, mushalla, balai pertemuan dan satu unit genset pembangkit listrik. Fasilitas TV dan parabola diletakkan di gedung sekolah dan pada malam hari penduduk berkumpul di sekolah untuk menonton acara tv. Untuk mengoperasikan genset, Dusun Muluy mendapatkan bantuan satu drum solar tiap bulannya dari HPH PT. Rizki Kacida Reana. Fasilitas kamar mandi/WC sangat jarang digunakan oleh penduduk Muluy. Air untuk WC hanya bersumber dari tadahan air hujan sehingga bila hujan tidak turun WC tidak dapat digunakan. WC hanya dimanfaatkan oleh pengunjung yang datang ke desa ini. Penduduk umumnya memanfaatkan Sungai Muluy dan Sungai Lelam sebagai sumber air untuk mandi dan minum. Saat ini, dengan bantuan dari PADI, sedang direncanakan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air yang memanfaatkan air terjun yang berada di Sungai Muluy. Selain itu, dari pemerintahan kabupaten, Dusun Muluy mendapatkan bantuan program air bersih. Namun bentuk programnya, hingga penelitian ini selesai dilakukan belum menemukan solusi yang tepat, apakah memompa dari Sungai Lelam atau menggunakan bak-bak penampungan air untuk menampung air hujan. V.1.2.g Pendidikan Fasilitas pendidikan yang ada di Dusun Muluy hanya untuk tingkat SD saja. SD ini baru beroperasi sekitar dua tahun yang lalu. Namun dengan program akselerasi, saat ini SD tersebut telah memiliki empat tingkatan kelas. Jumlah murid 18 siswa, dengan dua orang tenaga pengajar.
Penduduk
Muluy
hampir
semuanya
tidak
mengikuti
pendidikan
formal.
Pendidikan Kejar Paket C pernah diadakan di dusun Muluy, namun tidak semua penduduk mengikutinya. V.1.3 Desa Blimbing V.1.3.a Sejarah Suku Paser mulai mendiami wilayah Desa Blimbing sejak zaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1965, ketika pemberontakan PKI berkobar, oleh pihak militer desa ini sempat dikosongkan untuk mempermudah pemerintah dalam menumpas pemberontakan tersebut. Hampir semua masyarakat Desa Blimbing mengungsi ke Kecamatan Long Ikis. Ketika pemberontakan telah berhasil diberantas, pada tahun 1970 penduduk mulai kembali ke desa mereka. Penduduk desa ini pada awalnya merupakan keturunan Suku Paser dari desa Pinang Jatus dan hidup menyebar sepanjang Sungai Blimbing. Namun dengan terbukanya akses jalan banyak Suku Paser dari desa-desa lain mulai mencari peruntungan mereka di desa ini. Pada tahun 1997, karena sedikitnya jumlah penduduk, pemerintah Kabupaten Pasir memberikan opsi kepada Desa Blimbing untuk bersatu dengan Desa Tiwei atau menerima program transmigrasi. Saat itu syarat untuk membentuk suatu desa adalah memiliki minimal 50 kk. Masyarakat Desa Blimbing memilih untuk menerima program transmigrasi dan menyediakan lahan khusus di Dusun Masempa untuk pemukiman transmigran. Pada tahun itu transmigran yang datang berjumlah 125 KK. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah dusun di desa ini bertambah menjadi tiga dusun. Ketiga dusun tersebut adalah Dusun Kondis, Dusun Lumbang dan Dusun Marosempa. Yang disebut terakhir adalah dusun yang diperuntukkan khusus untuk transmigran. V.1.3.b Letak dan Luas Desa Blimbing secara administratif terletak dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Long Ikis. Di sebelah barat desa ini berbatasan dengan Desa Pinang Jatus, sebelah utara dengan Desa Muara Pias, sebelah selatan dengan Desa Tiwei, dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Munggu. Pada tahun 2003, hutan desa yang berada di Bukit Kondis seluas 500 ha dijadikan sebagai hutan reboisasi oleh Dinas Kehutanan. Oleh masyarakat Desa Blimbing hutan reboisasi ini dianggap sebagai hutan lindung.
Gambar 8 Kondisi Jalan Menuju Desa Blimbing V.1.3.c Aksesibilitas Desa Blimbing dilalui oleh jalan lintas propinsi yang menghubungkan simpang pait di kecamatan Long Ikis dengan Desa Kepala Telake.Jarak dari Simpang Pait hingga ke desa Blimbinh lebih kurang 23 km. Kondisi jalan yang ada saat ini rusak parah. Pada saat musim hujan turun, jalan berubah menjadi lumpur yang sering menyebabkan kendaraan sulit untuk melaluinya, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8. Kendaraan roda empat dengan fasilitas double gardan dapat melalui jalan ini dengan waktu tempuh satu setengah hingga dua jam. Dalam kondisi kering waktu tempuh dari Simpang Pait hingga desa ini sekitar satu jam. V.1.3.d Kependudukan Berbeda dengan Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy yang wilayah pemukiman penduduknya relatif terkumpul dalam satu area, pemukiman di Desa Blimbing tersebar dalam tiga dusun. Wilayah pemukiman di setiap dusun juga tidak terkumpul dalam satu area, melainkan tersebar hampir di seluruh wilayah dusun tersebut. Hanya Dusun Marosempa yang wilayah pemukimannya relatif terkumpul dalam satu area karena merupakan Dusun Transmigrasi yang telah ditata oleh Pemerintahan Daerah. Berdasarkan data pada tahun 2002, jumlah penduduk Blimbing pada tahun itu mencapai 1881 jiwa dengan 495 KK (Anonim, 2002 dalam Wahyuni et al., 2004). Namun menurut data yang dimiliki oleh kepala desa Blimbing, saat ini jumlah penduduknya menurun drastis karena sejumlah transmigran telah pindah dari Desa Blimbing. Pindahnya transmigran ini disebabkan karena lahan jatah untuk para transmigran seluas dua hektar dirasakan tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Selain itu, sejak kebun pisang milik penduduk diserang virus pada tahun 2002-2003, perekonomian masyarakat Blimbing menjadi terpuruk. Masyarakat transmigran yang tadinya bisa bekerja sebagai distributor hasil pisang tidak memiliki pekerjaan lagi. Meskipun
Desa
Blimbing
merupakan
desa
transmigrasi,
namun
karena
transmigrasinya berupa transmigrasi lokal kabupaten, maka penduduk Desa Blimbing masih
didominasi oleh Suku Paser. Beberapa orang penduduk transmigran berasal dari Jawa dan Banjar. V.1.3.e Ekonomi Sebelum tahun 2002, perekonomian Blimbing sangat didukung dari hasil perkebunan pisang masyarakat. Selain bertani ladang, yang sepertinya sudah merupakan kebudayaan masyarakat desa Suku Paser,
penduduk Blimbing memiliki
kebun-kebun pisang yang sangat subur. Pisang-pisang dari kebun masyarakat ini dijual ke desa-desa tetangga. Bahkan sejak tahun 1997, pisang-pisang dari Desa Blimbing mulai diekspor ke Pulau Jawa dan Bali. Perekonomian Desa Blimbing pada waktu itu tergolong baik. Dalam waktu sebulan hasil panen pisang mereka bisa memberikan keuntungan Rp 2 juta-Rp 4 juta. Karena telah terbiasa mendapatkan penghasilan dari hasil kebun pisang mereka, maka penduduk Desa Blimbing pada umumnya tidak mencari penghasilan dari usaha yang lain. Namun sejak virus menyerang kebun pisang mereka, perekonomian penduduk Blimbing menjadi lesu. Karena sebagian besar kebun mereka ditanami pisang, mereka tidak memperoleh penghasilan lagi. Mereka hanya bisa menjual hasil ladang mereka seperti cabe, atau buah-buahan. Penduduk transmigran yang masih bertahan saat ini menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap burung di hutan di sekitar kaki Gunung Lumut. Madu dan hewan buruan sulit untuk diperoleh di Desa Blimbing karena kondisi hutannya yang sudah rusak. Masyarakat asli Blimbing tidak ada yang melakukan kegiatan berburu di daerah Gunung Lumut karena daerah tersebut masuk ke dalam wilayah Desa Pinang Jatus. Saat ini penduduk Blimbing mulai menanam sawit di bekas kebun pisang mereka. Mereka mengharapkan perkebunan sawit dapat menggantikan kebun pisang mereka yang sudah tidak menghasilkan sama sekali. Rata-rata penduduk Blimbing membuka kebun sawit seluas dua hingga enam hektar. V.1.3.f Fasilitas umum Fasilitas umum yang dimiliki oleh desa ini antara lain dua unit gedung SD dan rumah dinas guru, balai desa, mushalla dan sarana telepon satelit umum. Terdapat juga satu unit bangunan puskesmas pembantu yang baru didirikan pada tahun 2004. Namun tenaga kesehatannya jarang berada di lokasi. Fasilitas WC umum tersedia di belakang balai desa, tapi lebih sering hanya dimanfaatkan untuk tamu-tamu yang berkunjung ke Desa Blimbing. Penduduk Blimbing sendiri memanfaatkan Sungai Blimbing untuk mandi dan buang hajat. Untuk minum dan masak sebagian besar penduduk Blimbing memanfaatkan sumur (aliran air yang dibendung). Terdapat satu unit gedung kantor desa. Namun karena letaknya yang rendah berada di pinggir sungai sehingga pada saat musim hujan, kantor desa ini sering terendam. Untuk itu, maka saat ini mereka sedang membangun kantor desa baru yang letaknya berada di tengah desa. Penggilingan padi merupakan fasilitas umum yang
dioperasikan pada hari rabu dan kamis, atau bila cukup banyak masyarakat yang ingin menggiling padi. Biaya operasi dipungut dari tiap orang yang menggunakannya. Terdapat satu unit genset pembangkit listrik, namun saat ini sudah tidak digunakan lagi. Hal ini dikarenakan pemukiman penduduk yang menyebar luas sehingga sulit untuk menyalurkan listrik dari generator tersebut. Untuk memperoleh penerangan sebagian penduduk memanfaatkan pembangkit listrik tenaga matahari yang merupakan bantuan dari pemerintah. Namun tidak setiap penduduk memiliki fasilitas ini. Saat ini baru 40 rumah yang dapat menikmati fasilitas tersebut dan dari 40 rumah yang memiliki pembangkit listrik tenaga matahari, saat ini tidak lebih dari 10 rumah yang masih berfungsi
alatnya.
Selebihnya
masih
memanfaatkan
lampu
minyak
tanah
atau
menggunakan generator pribadi. V.1.3.g Pendidikan Data mengenai tingkat pendidikan masyarakat di desa Blimbing tidak dapat penulis peroleh karena tidak tersedia di kantor desa. Namun secara umum, tingkat pendidikan masyarakat di Desa Blimbing jauh lebih maju bila dibandingkan di dua desa lokasi penelitian lainnya. Karena letaknya yang relatif lebih dekat ke kota kecamatan sehingga cukup banyak penduduk Blimbing yang bisa menyekolahkan anaknya hingga tingkat SMU. Untuk fasilitas pendidikan pun Desa Blimbing lebih maju. Terdapat 2 unit gedung SD dan terdapat enam orang tenaga pengajar yang kesemuanya telah diangkat menjadi pegawai negeri. Jumlah muridnya mencapai 80 orang. V.1.4 Sosial-Budaya Masyarakat Desa Sekitar Kawasan Seperti telah disebutkan sebelumnya, kawasan hutan Gunung Lumut telah didiami oleh 13 generasi Suku Paser yang tersebar di tiga belas desa di sekitar kawasan. Meskipun saat ini mulai banyak penduduk pendatang yang bermukim di desa-desa sekitar
kawasan
tersebut,
namun
kebudayaan
dan
adat
Suku
Paser
masih
mempengaruhi kehidupan masyarakatnya. Di setiap desa, selain kepala desa dan pengurus desa lainnya, terdapat juga lembaga adat yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa sekitar kawasan peran ketua adat dirasakan lebih berpengaruh bila dibandingkan peran kepala desa. Kepala desa dan perangkat
desanya
hanya
berperan
sebagai
penghubung
masyarakat
dengan
pemerintah kabupaten dan kecamatan, seperti pengurusan kartu identitas atau penerimaan subsidi dari pemerintah. Penyelesaian sengketa atau setiap masalah yang dihadapi masyarakat, seperti rebutan tanah, perusakan pohon buah atau penentuan lokasi ladang, lebih dipercayakan kepada ketua adat. Lembaga adat di suatu desa pada umumnya terdiri dari seorang ketua adat dan wakilnya, sebagaimana yang ditemui di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy. Lembaga adat yang berada di Desa Blimbing sudah jauh lebih lengkap dengan adanya sekertaris dan bendahara adat, selain wakil ketua adat, untuk meringankan pekerjaan
ketua adat. Hal ini dikarenakan letak Desa Blimbing yang lebih mudah dijangkau dengan kendaraan bermotor sehingga interaksi mereka dengan lembaga adat, seperti Persatuan Masyarakat Adat Paser (PeMA Paser) lebih intensif, sehingga lembaga adat mereka lebih berkembang bila dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya. Pengangkatan dan pemberhentian ketua adat ditentukan oleh masyarakat. Pengetahuan mengenai sejarah desa serta hukum-hukum adat sangat berperan dalam pemilihan ketua adat. Pada umumnya ketua adat yang dipilih adalah kerabat dekat dari ketua adat sebelumnya, baik itu anak laki-laki, adik atau keponakan dari ketua adat sebelumnya. Menurut keterangan warga Rantau Layung, lembaga adat di desa tersebut sempat vakum selama dua puluh tahun setelah meninggalnya ketua adat yang terdahulu. Baru pada tahun 1999, ketika PeMA Paser mulai aktif melakukan kegiatan di Desa Rantau Layung, lembaga adat di desa tersebut juga mulai aktif lagi. Pada waktu itu yang dipilih menjadi ketua adat adalah adik dari ketua adat yang sebelumnya, karena dianggap paling mengetahui mengenai sejarah desa dan aturan adat yang berlaku. Karena tidak berfungsinya lembaga adat tersebut selama beberapa tahun, maka banyak generasi muda di desa ini yang tidak mengetahui mengenai peraturan adat mereka secara mendalam. Mereka hanya mengetahui mengenai peraturan adat yang umum, seperti tidak boleh merusak atau menebang pohon buah dan madu dan batas-batas kebun milik masyarakat. Peranan ketua adat sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muluy. Sikap ketua adat menentukan sikap masyarakat Muluy ketika menghadapi suatu permasalahan. Ketika ketua adat mereka menolak suatu hal maka masyarakat Muluy juga akan menolak hal tersebut. Hal ini terjadi karena Dusun Muluy merupakan suatu Dusun yang hanya dihuni oleh masyarakat Suku Paser. Meskipun mereka secara administrasi pemerintahan berada di dalam wilayah Desa Swanslutung, namun sejak awal mereka telah menolak untuk bersatu dengan warga pendatang dari suku lain yang berada di desa tersebut. Ketua adat di Desa Blimbing baru menjabat selama setahun setelah ayahnya, ketua adat sebelumnya meninggal dunia. Usianya masih tergolong muda, sehingga untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat dia banyak berkonsultasi dengan wakilnya yang jauh lebih tua dan para sesepuh desa yang lebih berpengalaman. Berbeda dengan di dua lokasi penelitian lainnya, ketentuan adat yang berlaku di desa ini telah terdokumentasikan dengan baik, sehingga mempermudah penyelesaian permasalahan. Meskipun di desa ini terdapat warga transmigran, ketentuan adat Paser diberlakukan juga kepada warga transmigran tersebut meskipun mereka bukan dari Suku Paser. Namun karena keberadaan warga transmigran itu pula, peranan kepala desa di desa ini lebih terasa bila dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya. Kebudayaan
dan
adat
yang
masih
dipertahankan
diantaranya
adalah
pelaksanaan syukuran sebelum membuka ladang dan setelah pelaksanaan panen. Ada
juga acara bayar hajat untuk penyembuhan orang sakit. Peraturan mengenai lingkungan terdapat juga dalam aturan adat mereka. Di antaranya larangan untuk menebang pohon buah dan pohon tempat lebah membuat sarang, serta larangan untuk memburu binatang yang masih muda atau induk binatang yang sedang bunting. Hukuman untuk pelanggar peraturan ini bisa berupa denda uang atau barang yang ditentukan oleh ketua adat dalam suatu acara semacam rembuk desa. Seperti pada umumnya masyarakat desa di Indonesia, masyarakat desa di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut juga bermata pencaharian utama sebagai petani. Pada umumnya mereka membuka lahan hutan untuk dijadikan ladang. Sistem pengelolaannya dilakukan secara tradisional dengan sistem perladangan berpindah. Lahan yang mereka gunakan sebagai ladang akan digunakan selama 2 atau 3 tahun, untuk kemudian mereka akan membuka lahan baru untuk ladang mereka. Hal ini dikarenakan pada tahun ke dua atau ke tiga hasil pertanian dari lahan tersebut akan menurun kuantitasnya karena penurunan kesuburan tanah di lahan ladang tersebut. Kegiatan berladang dilakukan secara gotong royong oleh semua warga desa yang tidak memiliki kesibukan lain. Mereka menyebut gotong royong dengan istilah sempolo. Kegiatan berladang dimulai dengan membuka lahan dengan menebang pohonpohon di lokasi ladang. Ladang dipilih sendiri oleh warga yang hendak mengolah ladang dengan persetujuan ketua adat, untuk menghindari agar ladang yang dibuka tidak overlap dengan ladang miliki kebun atau ladang warga yang lain. Pembukaan lahan ini mereka sebut nebas. Setelah 2-3 minggu, ladang yang telah ditebas lalu dibakar. Sebelum dibakar, mereka membersihkan sekeliling lahan sekitar 1-2 meter dari kayu kering atau bahan yang mudah terbakar, untuk menghindari agar api tidak menjalar ke lahan lain. Setelah kegiatan pembakaran lahan telah berlalu seminggu, kegiatan selanjutnya membersihkan lahan dari kayu-kayu besar yang tidak habis terbakar. Mereka menyebutnya dengan manduk untuk kegiatan ini. Setelah manduk selesai barulah mereka menanaminya dengan padi (menugal). Kegiatan berladang ini mulai dari membuka lahan hingga panen memakan waktu 8-10 bulan. Setiap kegiatan berladang ini selalu dilakukan secara gotong royong, mulai dari anak kecil hingga orang tua. Sejak dahulu masyarakat Suku Paser telah membagi wilayah desa mereka menjadi beberapa peruntukan lahan. Peruntukan lahan yang umum berada dalam setiap desa adalah Strat/kampong (pemukiman), umo (ladang), kebun, lati pengramu, alas, sunge (sungai) dan sipung bua. Karena banyaknya interaksi dengan dunia luar dan semakin jarangnya penggunaan istilah-istilah tradisional dalam kehidupan sehari-hari, saat ini penduduk desa, terutama generasi mudanya, mulai melupakan istilah-istilah dan pengertian dari peruntukan lahan tersebut.
V.2. Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan Lindung Gunung Lumut Kehidupan masyarakat desa pada umumnya
bertumpu pada pemanfaatan
sumberdaya alam di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakaian, dan tempat tinggal dalam mempertahankan hidupnya terhadap setiap ancaman yang datang dari dalam maupun luar lingkungan hidupnya (Hasansulama et al., 1983). Secara turun temurun masyarakat desa sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut telah memanfaatkan kawasan hutan sebagai tempat menuai berbagai macam sumberdaya alam, seperti kayu, rotan, damar, madu, binatang buruan dan berbagai macam buah-buahan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian penduduk mengambil hasil hutan untuk konsumsi sendiri, sedangkan sebagian penduduk yang lain menjual hasil hutan tersebut untuk memperoleh uang tunai untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka yang tidak dapat disediakan oleh hutan. Kebutuhan lahan untuk berladang, berkebun atau pemukiman juga mereka manfaatkan dari kawasan hutan yang ada di sekitar mereka. Dari tiga desa tempat penelitian dilakukan, yaitu Desa Rantau Layung, Dusun Muluy, dan Desa Blimbing, menunjukkan bahwa aktivitas mereka tidak terlepas dari sumberdaya hutan di sekitarnya, baik itu yang berasal dari dalam Kawasan Hutan Lindung ataupun dari hutan-hutan yang berada di sekitarnya. Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat, dan hasil hutan yang mereka jual ke luar desa untuk mendapatkan barang yang tidak dapat mereka produksi atau peroleh dari lingkungan mereka: Tabel 3 Interaksi Masyarakat Desa dengan HLGL No
Desa/Dusun
Pemanfaatan Hasil Hutan dari HLGL Kayu Ya
1.
Rantau Layung
2.
Muluy
3.
Blimbing
Jumlah
Satwa
Tdk
ya
Buah
tdk
ya
Memiliki Lahan
Madu
tdk
ya
Dalam HLGL
Tdk
ya
Tdk
5
15
11
9
19
1
17
3
0
20
10
0
10
0
10
0
10
0
10
0
0
20
2
18
0
20
0
20
0
20
15
35
23
27
29
21
27
23
10
40
Tabel 4 Hasil Hutan dari HLGL yang Dijual oleh Masyarakat No
Desa/Dusun
Hasil Hutan yang Dijual Kayu Ya
Satwa Tdk
Ya
Buah
Tdk
ya
Madu
Tdk
Ya
Tdk
1.
Rantau Layung
5
15
13
7
6
14
14
6
2.
Muluy
0
10
9
1
0
10
9
1
3.
Blimbing
0
20
2
18
0
20
0
20
V.2.1 Hasil Hutan Kayu Beberapa hasil hutan yang dipungut oleh masyarakat desa dari dalam hutan antara lain kayu, rotan, gaharu, madu, buah, jamur, dan buah-buahan. Tapi tidak semua hasil hutan itu dipungut dari dalam kawasan hutan lindung. Warga Dusun Muluy memanfaatkan kayu dari dalam Hutan Lindung Gunung Lumut, yang menurut pengakuan mereka, termasuk ke dalam wilayah hutan adat mereka. Tetapi kayu yang dimanfaatkan oleh mereka adalah kayu-kayu yang berasal dari bukaan ladang mereka. Mereka tidak pernah menebang kayu selain untuk membuka ladang. Kayu yang mereka tebang digunakan untuk keperluan mereka sendiri. Seperti membuat atau memperbaiki rumah dan membuat peralatan rumah tangga dari kayu. Beberapa peralatan yang mereka gunakan untuk berladang mereka buat dari kayu. Mereka tidak bersedia untuk menjual kayu dari wilayah hutan adat mereka karena khawatir dengan kemungkinan beroperasinya perusahaan kayu di wilayah hutan adat merek a. Menurut informasi dari ketua adat dan kepala desa di Desa Rantau Layung, penduduk Rantau Layung dulunya memanfaatkan kayu dari dalam Hutan Lindung Gunung yang termasuk wilayah desa mereka. Kegiatan itu semakin marak ketika HPH PT. Telaga Mas hendak beroperasi di wilayah desa mereka. Ketika itu HPH PT. Telaga Mas menawarkan kepada penduduk untuk membeli kayu yang ditebang oleh penduduk bila mereka bersedia untuk menariknya dari dalam kawasan hutan ke pinggir jalan logging dengan harga yang cukup tinggi. Namun ketika perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi lagi di desa, kegiatan penebangan kayu semakin berkurang. Semenjak Operasi Hutan Lestari dilaksanakan, dan tertangkapnya seorang penduduk Rantau Layung dalam operasi tersebut kegiatan penebangan di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Kepala Desa Rantau Layung saat ini merupakan mantan illegal logger, tidak mengherankan dia mengalami kesulitan untuk melarang warganya tidak melakukan penebangan di dalam kawasan hutan lindung. Kepala desa sebelumnya mengundurkan diri dari jabatannya karena tersangkut kasus illegal logging. Sebelum operasi Hutan Lestari dilaksanakan, warga Rantau Layung memang cukup banyak yang menggantungkan pendapatannya dari hasil penjualan kayu. Hanya beberapa orang, yang tidak memiliki alat dan kekurangan tenaga, yang tidak melakukan kegiatan penebangan. Beberapa kayu gelondongan dan kayu-kayu yang sudah berupa papan, banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan desa. Kayu-kayu tersebut merupakan milik warga yang mereka tebang dari hutan di sekitar desa mereka, termasuk dari dalam kawasan hutan lindung. Untuk memenuhi kebutuhan kayu mereka, baik itu untuk membuat dan membetulkan rumah atau membuat peralatan lainnya, masyarakat Rantau Layung memanfaatkan kayu dari tebangan mereka pada saat membuka ladang atau dari kebun-kebun mereka sendiri yang terletak di luar kawasan. Keterangan ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan Kepala Desa dan Ketua Adat Desa Rantau Layung. Namun berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat umum, diketahui bahwa saat ini kegiatan penebangan masih dilakukan di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Kayu hasil tebangan itu mereka jual ke cukong di Rantau Buta. Hal ini dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat, dan diketahui oleh perangkat desa serta ketua
adat. Namun mereka tidak mampu untuk melarang kegiatan, dan berpura-pura tidak mengetahui kegiatan tersebut. Menurut informan tersebut, para oknum masyarakat tersebut melakukan kegiatan penebangan liar karena terdorong oleh kebutuhan hidup. Salah satu oknum tersebut mengaku membutuhkan biaya untuk menikah dan melahirkan anaknya. Karena harga hasil pertanian yang semakin menurun, sedangkan biaya hidup semakin tinggi membuat mereka tergiur untuk mendapatkan uang secara cepat meskipun resikonya cukup tinggi. Apalagi peralatan dan bahan bakar untuk kegiatan penebangan disediakan oleh cukong kayu tersebut. Di Desa Blimbing pemanfaatan kayu untuk bahan bangunan sebagian besar dibeli dari penggergajian kayu. Hanya rumah di ladang saja yang menggunakan kayu hasil tebangan mereka. Subsidi dari pemerintah untuk membuat rumah sederhana di desa ini membuat penduduk tidak perlu repot menebang pohon untuk membuat kayu. Kondisi hutan desa yang sebagian besar sudah rusak juga menyebabkan penduduk tidak memiliki pilihan selain membeli dari penggergajian. Beberapa wilayah hutan desa yang masih memiliki pohonpohon yang besar telah ditetapkan oleh Dinas Kehutanan sebagai hutan reboisasi sehingga masyarakat tidak berani untuk menebang pohon-pohon di wilayah tersebut. V.2.2 Perburuan Satwa Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, sebagian besar penduduk desa sekitar kawasan melakukan kegiatan berburu dalam kawasan hutan. Hasil buruan mereka selain untuk konsumsi keluarga, terkadang mereka jual ke desa-desa induk atau ke Kecamatan. Jenis hewan yang diburu untuk dijual dagingnya antara lain rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus atherodes), dan pelanduk/kancil (Tragulus napu),. Daging kedua hewan ini mereka jual dengan harga Rp. 15.000,- per kilogram. Berdasarkan wawancara dengan penduduk Desa Blimbing, babi hutan (Sus barbatus ) termasuk hewan yang diburu dan dijual dagingnya oleh masyarakat yang memeluk agama kristen yang cukup banyak penganutnya di Desa Pinang Jatus dan Muara Lambakan. Masyarakat desa lokasi penelitian berburu babi hutan hanya untuk mengurangi gangguan terhadap ladang mereka dan untuk makanan bagi anjing peliharaan mereka. Untuk jenis burung mereka jual dalam kondisi hidup. Jenis burung yang mereka jual adalah dari jenis Kucica hutan (Copsychus malabaricus ) jantan. Harga perekornya mencapai Rp. 35.000,-. Beberapa hewan lainnya seperti tetung/landak (Hystrix brachyura), ayom/trenggiling (Manis javanicus), dan kuau/merak (Argusianus argus) juga mereka buru untuk dikonsumsi sendiri. Selain daging untuk dikonsumsi, beberapa bagian dari hewan tertentu mereka koleksi untuk dijadikan hiasan, seperti duri landak dan bulu burung kuau/merak (Argusianus argus). Penduduk di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy melakukan kegiatan berburu mereka di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Sedangkan penduduk Desa Blimbing, dengan alasan jarak yang terlalu jauh lebih memilih untuk berburu di sekitar desa mereka, walaupun beberapa tahun belakangan ini hewan buruan semakin sulit mereka peroleh. Mereka menangkap hewan buruan mereka dengan menggunakan jerat, membawa anjing pemburu, tombak, atau melakukan suar, teknik berburu dengan menggunakan senter,
pada malam hari. Teknik-teknik ini mereka gunakan untuk menangkap hewan mamalia. Untuk kegiatan berburu diperlukan waktu 3-4 hari di dalam hutan. Masyarakat yang letak ladangnya jauh dari pemukiman penduduk, terkadang bisa mendapatkan hewan buruan seperti payau atau kijang dengan memasang jerat di sekitar ladang mereka. Tabel 5 Jenis Satwa yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Desa Nama lokal
Nama Latin
Pemanfaatan
Rusa/payau
Cervus unicolor
Daging dikonsumsi dan dijual
Kijang/telaus
Muntiacus atherodes
Daging dikonsumsi dan dijual
Pelanduk/kancil
Tragulus napu
Daging dikonsumsi dan dijual
Ikan sungai
Konsumsi sendiri
Landak/tetung
Hystrix brachyura
Daging dikonsumsi, duri jadi hiasan
Trenggiling/ayom
Manis javanicus
Daging dikonsumsi
Babi hutan
Sus barbatus
Dikonsumsi, dijual, jadi makanan anjing
Kuau
Argusianus argus
Dikonsumsi, bulu jadi hiasan
Kucica hutan/murai
Copsychus malabaricus
Dijual hidup
Selain daging dari hewan buruan, burung hidup juga menjadi incaran masyarakat untuk diburu karena harganya yang cukup mahal di pasaran. Cara menangkap burung ini dengan menggunakan lem di ranting yang dihinggapi oleh burung tersebut. V.2.3 Buah dan Madu Hampir semua masyarakat desa sekitar HLGL mengambil buah dan madu dari dalam hutan, baik itu kawasan hutan lindung ataupun hutan desa mereka yang tidak termasuk HLGL. Masyarakat Desa Rantau Layung, karena jarak yang cukup jauh dari HLGL, lebih sering mengambil buah dari kebun-kebun mereka yang berada di sekitar pemukiman. Mereka baru masuk ke dalam hutan bila musim buah sedang mencapai puncaknya. Dari 20 informan yang diwawancarai di Desa Rantau Layung, 19 orang mengatakan bahwa mereka ikut mengambil buah di dalam kawasan HLGL, tapi mayoritas mengatakan bahwa mereka mengambil buah hanya sebatas untuk konsumsi keluarga. Hanya 6 orang yang menjual buah yang mereka pungut dari hutan. Tidak seperti menjual rotan atau hasil buruan mereka, buah yang mereka ambil baru dijual bila pengumpul buah dari simpang pait naik ke desa mereka. Mereka tidak pernah membawa sendiri hasil buah mereka ke luar desa untuk di jual. Warga Desa Blimbing tidak pernah mengambil buah dari dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Mereka telah menanam beberapa tanaman buah, seperti rambutan, durian, asam (sejenis mangga) dan pisang, di kebun mereka. Buah hasil kebun mereka lebih sering untuk konsumsi sendiri daripada untuk dijual. Khusus untuk durian dan pisang, ada beberapa warga yang bersedia membeli dari masyarakat untuk di jual di luar desa mereka. Warga Dusun Muluy, dikarenakan letak hutan yang sangat dekat dari desa mereka, dan masih banyak buah-buahan trerdapat di dalamnya, mereka selalu mangambil buah dari dalam kawasan HLGL. Bekas ladang mereka sangat jarang mereka tanami dengan pohon buah. Kebanyakan pohon buah yang tumbuh di kebun mereka tumbuh dengan sendirinya,
bukan karena ditanam. Mereka tidak pernah menjual buah yang mereka ambil dari dalam hutan, semuanya untuk konsumsi sendiri. Kegiatan memanen madu, pada umumnya dilakukan secara berkelompok. Jumlah anggota dalam setiap kelompok itupun bervariasi, mulai dari tiga orang sampai dengan 20 orang. Madu yang diperoleh dari hasil panen itu akan dibagi rata kepada tiap anggota kelompok, tanpa memandang usia dan aktif atau tidaknya mereka dalam kegiatan memanen madu. Orang tua, remaja, ataupun anak-anak akan memperoleh bagian yang sama bila mereka ikut hadir pada saat panen madu dilakukan. Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung, karena kondisi hutan yang berada di sekitar desa mereka masih cukup bagus, masih terdapat cukup banyak pohon madu sehingga hampir tiap tahun mereka dapat memanen madu. Hasil dari panen madu ini selain untuk konsumsi sendiri sering juga mereka jual dengan harga yang cukup menguntungkan. Harga satu liter madunya berkisar antara Rp. 30.000,- hingga Rp. 50.000,-. Sedangkan di Desa Blimbing, meskipun masih terdapat beberapa pohon madu di desa mereka, namun lebah madunya tidak pernah membuat sarang di pohon-pohon tersebut. Hal ini disebabkan karena kondisi hutan di desa mereka yang telah rusak sehingga lebahlebah sulit untuk memperoleh makanan yang bisa diolah menjadi madu. Mereka baru bisa mendapatkan madu bila mendapatkan undangan dari kerabat mereka di Desa Pinang Jatus yang memiliki pohon madu. Namun menurut pengakuan beberapa informan, sudah hampir lima tahun belakangan ini mereka tidak pernah memanen madu lagi. V.2.4 Pemanfaatan Lahan Seperti telah disebutkan sebelumnya, masyarakat suku pasar membagai lahan desa mereka menjadi beberapa peruntukan. Jenis lahan yang umum ada di tiap desa adalah ladang/umo, Strat/kampong, Kebun, lati pengramu, alas, sunge, sipung bua. Penjelasan mengenai peruntukan lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Tipe Lahan dan Hutan Desa Menurut Masyarakat Suku Paser Jenis Lahan Ladang/Umo
Kepemilikan Individu
Keterangan Tempat penduduk menanam padi, digunakan hingga 2-3 tahun
Strat/Kampong
Individu
Lahan yang digunakan penduduk untuk membangun rumah, pemukiman
Kebun
Individu
Bekas umo yang ditanami karet, kopi atau rotan
Lati pengramu
Kolektif
Bekas umo yang dibiarkan begitu saja agar kelak menjadi hutan sekunder yang bisa dimanfaatkan lagi untuk berladang
Alas
Kolektif
Hutan primer, bisa dimanfaatkan kayunya namun harus seizin masyarakat
Sunge
Kolektif
Tempat MCK, , air minum, sarana transportasi, sumber ikan
Sipung bua
Individu
Bekas umo yang ditanami dengan buah-buahan dan rotan
Sipung bua meskipun dimiliki secara individu namun hasil buah yang terdapat di lahan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Berbeda dengan kebun yang ditanami karet, kopi atau rotan. Karena kebun relatif lebih ada perlakuan perawatan oleh individu yang memilikinya, maka hasil dari kebun hanya boleh dinikmati oleh pemilik kebun tersebut. Sedangkan lati pengramu, karena dibiarkan begitu saja, bekas ladang tersebut dimiliki kembali oleh desa dan setiap penduduk berhak untuk mengolahnya kemudian, namun hak untuk mengolahnya kembali menjadi ladang tetap dimiliki oleh keturunan yang telah membuka ladang ditempat itu sebelumnya. Seseorang yang membuka ladang di atas sebidang lahan diakui haknya untuk memiliki lahan tersebut selama dia menginginkannya. Ketua adat sangat memegang peranan mengenai hak kepemilikan lahan ini. Lahan bekas ladang pada umumnya akan dialihfungsikan menjadi kebun, sipung bua, atau dibiarkan begitu saja menjadi lati pengramu bila lahan tersebut kemampuan memproduksi padinya semakin menurun. Tidak ada ketentuan adat yang mengatur mengenai luas maksimal lahan yang boleh dikelola oleh masyarakat. Masyarakat boleh membuka ladang seluas -luasnya sesuai dengan kemampuan mereka untuk mengolahnya. Jumlah anggota keluarga sangat berperan dalam luas lahan yang dikelola oleh masyarakat. Semakin banyak anggota keluarga maka luas ladang yang dikelola juga bisa semakin luas. Hal ini dikarenakan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengelola ladang tersedia dan ladang yang luas juga dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tiap anggota keluarga tersebut. Pada umumnya luas ladang dan kebun atau sipung bua berkisar antara 1,5 ha hingga 5 ha. Bekas ladang yang telah berubah menjadi lati pengramu sewaktu-waktu dapat difungsikan lagi menjadi ladang bila telah melewati masa waktu tertentu, 5-10 tahun, dengan asumsi unsur haranya telah kembali normal sehingga bisa memproduksi padi secara normal kembali. Umumnya lati pengramu akan diolah kembali menjadi ladang oleh keturunan orang yang membuka lahan tersebut. Jumlah kebun atau sipung bua yang dimiliki oleh setiap keluarga, biasanya, sangat bergantung pada jumlah anggota keluarga. Setiap orang tua berusaha untuk mewariskan sebidang kebun untuk setiap anaknya. Lahan yang ditanami dengan pohon buah (sipung bua) sulit untuk diubah menjadi ladang karena adanya peraturan adat yang melarang untuk menebang pohon buah. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masyarakat di Dusun Muluy tidak menanami bekas ladang mereka dengan pohon buah yang diberikan oleh Dinas Kehutanan. Pendatang berhak memiliki lahan bila mereka menikah dengan penduduk asli desa setempat. Namun lahan yang berhak mereka kelola adalah kebun yang merupakan hak dari pasangan mereka. Pendatang yang tidak memiliki ikatan pernikahan atau persaudaraan dengan penduduk setempat memperoleh hak untuk mengelola lahan bila telah memperoleh izin dari masyarakat desa setempat. Warga transmigran di Desa Blimbing diberi hak untuk mengelola lahan seluas 2 hektar oleh penduduk asli Blimbing. Namun mereka kesulitan untuk memperoleh hak untuk membuka ladang. Mereka hanya bisa membantu di ladang milik
penduduk asli. Tidak mengherankan ketika perkebunan pisang di Desa Blimbing terserang virus dan tidak mampu berproduksi lagi, banyak warga transmigran yang pergi meninggalkan desa ini karena tidak mampu menghidupi keluarga mereka dari lahan yang mereka miliki. Kondisi lahan hutan di wilayah Desa Rantau Layung dan wilayah adat Dusun Muluy masih cukup baik. Lahan hutan di Desa Blimbing hampir seluruhnya telah diubah menjadi ladang dan perkebunan.
Hutan adat (alas) milik desa bisa dikatakan telah
hilang, hanya pada puncak-puncak bukit yang memang sulit untuk ditanami saja kondisi hutannya relatif masih cukup baik. Hutan reboisasi yang ditetapkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir sebenarnya merupakan hutan yang kondisinya masih cukup baik. Menurut penuturan beberapa orang warga di hutan reboisasi tersebut terdapat banyak pohon ulin yang besar-besar. Entah dengan alasan apa maka Dinas Kehutanan menetapkan hutan yang ditumbuhi dengan pohon-pohon besar menjadi hutan reboisasi. Lahan pemukiman, ladang, dan kebun Desa Rantau Layung dan Desa Blimbing terletak di luar kawasan HLGL. Wilayah Desa Blimbing bahkan terletak jauh di luar kawasan, walaupun dalam perencanaan ke depannya, wilayah desa ini diharapkan menjadi buffer zone bagi kawasan HLGL. Pemukiman Desa Rantau Layung terletak 5 km di sebelah timur dari HLGL, namun kebun masyarakat
(lati pengramu dan kebun)
berbatasan langsung dengan HLGL. Alas nareng (hutan adat) milik Desa Rantau Layung termasuk ke dalam wilayah Hutan Lindung Gunung Lumut. Dusun Muluy sendiri wilayah pemukiman, ladang dan kebun masyarakatnya berada di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Saat ini, beberapa orang warga Desa Rantau Layung dan Desa Blimbing sudah ada yang berinisiatif untuk membuat akte tanah atas kebun dan ladang mereka. Namun dengan adanya pajak tanah mereka tidak mengaktekan semua kebun yang mereka miliki. Hanya kebun yang benar-benar menghasilkan saja yang mereka buat aktenya. Sisa kebun lainnya mereka tetap miliki dengan pengakuan dari masyarakat desa seperti kebudayaan mereka yang dahulu. Dengan sistem kepewarisan lahan dan tidak adanya batasan mengenai luas lahan yang berhak untuk dikelola oleh setiap anggota masyarakat, beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa suatu saat lahan yang termasuk dalam kawasan HLGL bisa berubah fungsi menjadi ladang atau kebun penduduk. Kekhawatiran ini dapat diminimalkan bila pendidikan masyarakat desa di sekitar kawasan lebih ditingkatkan. Beperapa orang anak penduduk desa yang sempat merasakan pendidikan hinggja jenjang SMA memilih untuk bekerja di kota. Dengan berkurangnya pemuda di desa kebutuhan lahan untuk berladang pun semakin berkurang, sehingga tekanan terhadap hutan lindung dapat diminimalisir. Akses jalan darat yang baik juga merupakan alternatif agar penduduk mengurangi aktifitasnya di kawasan hutan lindung. Dengan terbukanya
akses jalan, hasil pertanian (karet, rotan dan sawit) dapat mereka jual ke luar desa. Lapangan pekerjaanpun semakin banyak. . V.3 Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Pada awal tahun 1970-an, kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya merupakan areal konsesi HPH PT. Telaga Mas. Dengan latar belakang potensi tambang, peranannya sebagai daerah tangkapan air untuk dua DAS besar di Kabupaten Pasir, yaitu DAS Kendilo dan DAS Telake, serta kepentingan sumber peneletian ilmiah maka pemerintah propinsi mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk menjadikan kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya sebagai kawasan hutan lindung. Pada tanggal 15 Januari 1983 Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan No. 24/Kpts/Um/1983 mengenai Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Propinsi Kalimantan Timur yang menunjuk kawasan hutan Gunung Lumut dan sekitarnya menjadi kawasan hutan lindung. Menurut berbagai peraturan perundangan yang menyangkut kawasan hutan lindung, pengelolaan hutan lindung diserahkan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah tingkat II tempat hutan lindung bersangkutan berada. Dalam hal ini, pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut diserahkan kepada Dinas Kehutanan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir. Namun karena berbagai alasan, maka pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut belum dapat dilakukan secara optimal. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir sendiri baru terbentuk pada tahun 2001. Luasnya kawasan hutan Kabupaten Pasir, dengan berbagai macam status kawasan, dan terbatasnya sumberdaya manusia menyebabkan Hutan Lindung Gunung Lumut belum dapat dikelola secara intensif oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir. Meskipun demikian, ada beberapa pihak dengan beragam kegiatan yang melakukan aktivitas di sekitar dan di dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Baik itu dari pihak pemerintah (propinsi maupun kabupaten), lembaga penelitian, perusahaan tambang dan HPH, lembaga swadaya masyarakat (baik lokal, nasional maupun internasional) dan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan lindung. Berdasarkan PP No. 62/1998, Pasal 6 disebutkan bahwa urusan pengelolaan hutan
lindung
mencakup
kegiatan
pemancangan
batas,
pemeliharaan
batas,
mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan pemanfaatan jasa lingkungan. Sedangkan menurut Ngadiono (2004) kegiatan pengelolaan hutan lindung meliputi: 1)inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna, potensi wisata, dan potensi sumber air, 2)pemancangan dan pemeliharaan batas, 3) perlindungan dan pengamanan
fungsi
ekosistem
dan
kawasan,
4)rehabilitasi
hutan
yang
rusak,
5)pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan, dan 6)peningkatan peran masyarakat.
Dinas Kehutan Propinsi Kalimantan Timur bersama PPLH Unmul pernah menyusun rencana unit pengelolaan hutan lindung pada tahun 2000. Salah satu diantara rencana itu adalah pembentukan badan pengelola hutan lindung. Namun perencanaan tersebut belum dapat terealisasi hingga saat ini. Saat ini, melalui Surat Keputusan Bupati Pasir No. 340 tahun 2005, telah dibentuk Pokja Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut yang melibatkan berbagai pihak yang terkait dan berkepentingan terhadap Kawasan Hutan Gunung Lumut sebagai anggota tetap dan anggota tidak tetap. Perwakilan masyarakat desa sekitar Hutan Lindung Gunung Lumut termasuk dalam anggota tidak tetap dari pokja ini. Perwakilan masyarakat desa yang menjadi anggota pokja ini adalah kepala desa dan perwakilan tokoh masyarakat Desa Rantau Layung, Rantau Buta, Pinang Jatus, Swanslutung, Kepala Telake, Kesungai dan Dusun Muluy. Pokja ini bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan pemeliharaan, pelestarian fungsi Hutan Lindung Gunung Lumut sebagai kawasan penyangga bagi kawasan di sekitarnya dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hingga saat ini kegiatan pengelolaan yang telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir antara lain pemancangan dan pemeliharaan batas (bekerjasama dengan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan), perlindungan dan pengamanan kawasan (bekerjasama dengan aparat TNI dan POLRI serta masyarakat), inventarisasi potensi kawasan (bekerjasama dengan berbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi), dan rehabilitasi lahan yang rusak serta pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan yang dilakukan bekerjasama dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat. Pihak pemerintah juga beberapa kali memberikan bantuan kepada masyarakat melalui dinas-dinas terkait. V.3.1 Penataan Batas Hutan Lindung Gunung Lumut Menindaklanjuti penunjukan kawasan Gunung Lumut sebagai Hutan Lindung, pada tahun 1986 Badan Planologi Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur melakukan kegiatan tata batas kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Adapun batas kawasan yang ditata batas panjangnya mencapai 100.975 meter. Sebagai penanda batas dibuat pal batas dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) atau kelas kayu awet setempat lainnya dengan ukuran 15 cm x 15 cm x 30 cm. Luas kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut berdasar pengukuran Badan Planologi Kehutanan Pasir adalah 35.350 hektar. Setelah penataan batas tersebut, Badan Planologi Kehutanan telah melakukan rekonstruksi dan orientasi pal batas yaitu pada tahun 1990 dan terakhir pada tahun 2003. Pada tahun 1990 batas yang direkonstruksi hanya sepanjang 20.600 meter. Pada tahun 2003 panjang batas yang diorientasi mencapai 121.575 meter. Berdasarkan data hasil orientasi pal batas pada tahun 2003 tercatat 223 pal batas rusak akibat lapuk, 979 pal batas hilang atau tidak ditemukan karena rusak atau diambil oleh masyarakat sekitar kawasan, dan 3 pal batas yang kondisinya baik (Baplan, 2003). Sebagai penanda batas kawasan sementara untuk mengganti pal yang rusak atau hilang digunakan cat merah pada batang pohon di dekat
lokasi pal batas sebelumnya. Selain itu, sepanjang batas yang diorientasi ditemukan juga beberapa pelanggaran, yaitu: pemukiman penduduk (Dusun Muluy), perladangan/kebun, dan penebangan liar. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir berencana untuk kembali melakukan rekonstruksi pal batas pada tahun 2007 agar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dapat dikukuhkan statusnya oleh Menteri Kehutanan, tidak hanya sebatas status penunjukan saja. Dari tiga kali kegiatan penataan batas yang telah dilakukan belum sekalipun dari ketiga kegiatan tersebut berhasil “temu gelang”. Sedangkan salah satu syarat untuk pengukuhan suatu kawasan adalah apabila kegiatan pengukuran batas telah “temu gelang”.
Gambar 9 Peta Batas Kawasan HLGL berdasarkan RTRWP Kalimantan 1999 dan orientasi batas kawasan 2003 Batas kawasan hutan lindung menurut hasil kegiatan orientasi batas tahun 2003 ternyata berbeda dengan batas kawasan hutan lindung berdasarkan RTRWP Kalimantan Timur tahun 1999. Hal ini perlu diperhatikan pula dalam usaha pengukuhan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, karena dapat menimbulkan konflik antar instansi pemerintah. V.3.2 Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Kegiatan pengamanan kawasan yang dilakukan di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut bersifat insidentil dan tidak kontinyu. Hal ini disebabkan karena Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir tidak memiliki tenaga pengamanan khusus (polisi hutan). Tenaga polisi hutan hingga saat ini hanya dimiliki oleh UPTD Pengelolaan Hutan Pasir. UPTD Pengelolaan Hutan Pasir adalah sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah
propinsi atau unit pelaksana teknis Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur di Kabupaten Pasir dan merupakan bagian dari struktur organisasi Dishut Kalimantan Timur yang terbagi ke dalam 3 bagian yaitu sub bagian tata usaha, seksi peredaran hasil hutan dan perlindungan hutan dan seksi produksi dan bina hutan (Nooryashini et. al., 2004). Untuk pengamanan sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, UPTD Pengelolaan Hutan Pasir memiliki petugas lapangan yang terdiri dari Pengawas Hutan Lapangan (PHL) dan koordinator PHL. Pengamanan kawasan hutan dilakukan oleh Polisi Hutan di bagian PHL Muara Komam, PHL Batu Kajang, PHL Long Ikis, PHL Kuaro, PHL Long Kali dan PHL Waru. Untuk kegiatan pengamanan dalam kawasan hanya sesekali dilakukan bila ada informasi dari masyarakat mengenai kegiatan pembalakan liar. Untuk hal ini, Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir melakukan kerjasama dengan aparat TNI dan kepolisian serta LSM lokal. Ancaman pembalakan liar di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut cukup besar karena akses ke dalam kawasan cukup mudah dengan adanya jalan logging milik HPH PT. Telaga Mas yang membelah Hutan Lindung Gunung Lumut. V.3.3 Inventarisasi Potensi Kawasan Kegiatan inventarisasi potensi kawasan dilakukan oleh banyak pihak. Selain Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, beberapa lembaga penelitian juga ikut terlibat dalam kegiatan ini. Pihak -pihak
tersebut
antara
lain:
Fakultas
Kehutanan
Universitas
Mulawarman, Badan Pusat Penelitian Penelitian Kalimantan Samarinda, Tropenbos International Indonesia, Center of Social Forestry, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman, dan Wanariset-Samboja. Penelitian yang menyangkut potensi flora dan masyarakat sekitar kawasan telah sering dilakukan. Namun penelitian menyangkut potensi fauna dalam kawasan masih sangat kurang, baru sebatas burung dan primata. Sedangkan penelitian mengenai potensi wisata tidak ada sama sekali. Seringnya kegiatan penelitian yang dilakukan di desa-desa tertentu, cukup membantu Dinas Kehutanan dalam kegiatan sosialisasi mengenai status Gunung Lumut sebagai kawasan Hutan Lindung kepada masyarakat desa sekitar kawasan. Desa-desa yang sering menjadi lokasi kegiatan penelitian, pada umumnya warga masyarakatnya cukup tahu mengenai status kawasan hutan tersebut. Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy adalah desa yang cukup sering dijadikan lokasi penelitian. Sedangkan Desa Blimbing, karena letaknya yang cukup jauh dari Hutan Lindung Gunung Lumut sangat jarang dijadikan lokasi penelitian yang menyangkut Hutan Lindung Gunung Lumut. V.3.4 Rehabilitasi Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat Kegiatan perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat desa sekitar kawasan menyebabkan lahan hutan, yang ada di dalam maupun di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, menjadi rusak. Untuk merehabilitasi lahan hutan yang rusak tersebut maka Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir memberikan bantuan bibit pohon
kepada masyarakat desa. Kegiatan pemberian bantuan bibit ini selain dalam rangka rehabilitasi lahan juga dimaksudkan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam pemberdayaan masyarakat ini antara lain Dinas Sosial, Yayasan PADI Indonesia, PeMA Paser, WALHI Kaltim dan HIMPLI. Pendampingan masyarakat yang dilakukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat diantaranya dilakukan dalam bidang pendidikan, kearifan lokal, budidaya kehutanan dan perkebunan, aturan adat dan pengetahuan lokal, penanganan illegal logging serta pengenalan hutan lindung kepada masyarakat.
V.4 Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Persepsi adalah suatu gambaran pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu obyek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi itu dengan dirinya dan lingkungan ia berada (Wibowo, 1987). Persepsi ditentukan oleh oleh faktor-faktor dalam diri individu baik faktor internal meliputi kecerdasan, minat, emosi, pendidikan, pendapatan, kapasitas alat indera dan jenis kelamin. Maupun faktor eksternal seperti pengaruh kelompok, pengalaman masa lalu dan perbedaan latar belakang sosial-budaya (Surata, 1993). Pranowo (1985) menyebutkan bahwa persepsi masyarakat dalam memandang hutan akan dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat seperti kebutuhan akan kayu bakar, kayu bangunan, pakan ternak dan lain-lain serta budaya, yaitu kepercayaan, adat istiadat, cerita rakyat dan sebagainya. Dalam hal persepsi masyarakat mengenai pengelolaan hutan lindung dalam penelitian ini faktor ciri khas dari obyek stimulus, dalam hal ini Hutan Lindung Gunung Lumut, yang terdiri dari familiaritas dan intensitas sangat berperan dalam pembentukan persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat dalam suatu desa di desa-desa sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut mengenai pengelolaan hutan lindung cenderung homogen, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan dan jalur informasi yang dapat diakses oleh masyarakt dalam suatu desa cenderung sama. Sulitnya akses jalan keluar dari desa mereka menyebabkan sebagian besar masyarakat mendapatkan informasi melalui tokoh-tokoh masyarakat desa yang sering berinteraksi dengan orang luar, baik itu yang datang ke desa mereka atau yang ditemui di luar wilayah desa. Namun persepsi masyarakat suatu desa dengan masyarakat desa yang lainnya berbeda cukup signifikan dikarenakan perbedaan faktor pengalaman masa lalu dan latar belakang sosial-budaya. Pembentukan persepsi menurut Litterer dalam Wibowo (1987) dibagi menjadi tiga fase. Pada fase pertama yaitu seleksi, informasi sampai kepada individu. Informasi tersebut diterima, namun belum tentu mampu dipahami oleh setiap individu karena keterbatasan minat, pengetahuan dan emosi pada saat itu. Kemudian pada fase
penutupan, kepingan-kepingan informasi yang telah diseleksi tersebut disusun menjadi satu kesatuan pengetahuan yang akan mempengaruhi sikap individu. Ketika penilaian informasi tersebut telah dilakukan pada fase interpretasi maka akan terbentuklah persepsi yang baru mengenai suatu hal, dalam hal ini kegiatan pengelolaan hutan lindung. Penilaian informasi pada fase interpretasi sangat bergantung pada pengalaman masa lalu dan faktor sosial-budaya setempat. V.4.1 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Kawasan hutan sekitar Gunung Lumut telah ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung sejak tahun 1983. Namun masyarakat desa yang terdapat di sekitar kawasan hutan lindung sangat sedikit yang mengetahui mengenai status tersebut. Pada Tabel 7, dapat dilihat pengetahuan masyarakat umum mengenai keberadaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Tabel 7 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Keberadaan HLGL No.
1.
Desa/Dusun
Rantau
Status GL
Batas
Ikut Kegiatan
Penyuluhan
Fungsi Hutan
sebagai HL
HLGL
Tata Batas
Tentang HLGL
Lindung
Tahu
Tdk
Tahu
Tdk
Ya
Tdk
Pernah
18
2
7
13
1
19
8
Tdk
Tahu
12
11
Tdk 9
Layung 2.
Muluy
10
0
10
0
0
10
9
1
10
0
3.
Blimbing
10
10
0
20
0
20
9
11
9
11
Jumlah
38
12
17
33
1
49
26
24
30
20
Warga Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung, sebagian besar mengetahui mengenai status Hutan Lindung Gunung Lumut melalui para peneliti yang sering melakukan kegiatan di desa mereka. Selain itu faktor dekatnya batas kawasan dengan pemukiman mereka menyebabkan mereka cukup berminat untuk tahu lebih banyak lagi mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Penduduk Blimbing, dari 20 orang yang berhasil diwawancarai, hanya setengahnya yang mengetahui mengenai status Hutan Lindung Gunung Lumut, 6 orang diantaranya merupakan aparat desa dan perangkat adat. Jauhnya jarak batas kawasan dengan pemukiman penduduk menyebabkan penduduk umum kurang mengetahui mengenai keberadaan HLGL. Mengenai batas Hutan Lindung Gunung Lumut, dari 50 orang penduduk yang diwawancarai di tiga desa, hanya 17 orang yang mengatakan tahu batas hutan lindung, itupun hanya pada titik tertentu saja. Warga Rantau Layung, dari 20 orang yang diwawancara, hanya 7 orang yang tahu batas hutan lindung. Selain ketua adat dan kepala desa, sisanya adalah orang-orang yang ikut terlibat dalam kegiatan penelitian dan inventarisasi yang sering dilakukan di desa mereka. Batas yang mereka ketahui hanya pada pertemuan Sungai Seranum dan Sungai Prayan. Sedangkan warga Muluy, hampir semuanya mengetahui mengenai batas hutan lindung karena letak pemukiman mereka
yang berada di sebelah dalam dari batas kawasan hutan lindung. Batas yang mereka ketahui hanya yang berada dekat dari pemukiman mereka. Tidak semua batas hutan lindung yang berada dalam wilayah adat kampung mereka ketahui. Penduduk Blimbing yang diwawancarai semuanya mengatakan tidak tahu mengenai batas hutan lindung. Dari 50 orang penduduk dari tiga desa tersebut hanya satu orang penduduk Rantau Layung yang mengikuti kegiatan tata batas pada tahun 1986, yang pada waktu itu dia masih bermukim di luar wilayah desa. Pengetahuan masyarakat mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut sebagian besar mereka peroleh dari para peneliti yang melakukan aktivitas penelitian di desa mereka. Selain dari kegiatan penelitian, penyuluhan juga terkadang dilakukan oleh Dinas Kehutanan. Penduduk Rantau Layung, hanya 8 dari 20 orang yang diwawancarai yang mengatakan pernah mengikuti kegiatan penyuluhan mengenai hutan lindung. Kegiatan penyuluhan yang mereka maksudkan pun terkadang rancu dengan kegiatan penelitian, sebab di Desa Rantau Layung dan Dusun Muluy setiap kegiatan penelitian yang dilakukan di desa mereka pada umumnya diawali dengan perkenalan kepada seluruh kampung. Acara perkenalan ini seringkali menyinggung mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut. Penduduk Dusun Muluy hanya satu orang yang mengatakan tidak pernah ada kegiatan penyuluhan. Keberadaan Dusun Muluy yang berada dalam kawasan hutan lindung menyebabkan kampung ini cukup sering menjadi sasaran penyuluhan oleh Dinas Kehutanan. Sedangkan Penduduk Desa Blimbing, 9 orang dari 20 orang penduduk yang diwawancara mengatakan bahwa penyuluhan mengenai hutan lindung cukup sering dilakukan terutama sejak adanya kegiatan reboisasi di wilayah desa mereka. Kegiatan reboisasi dilakukan di lahan desa seluas 500 ha. Namun kegiatan reboisasi ini menimbulkan kontroversi karena dilakukan di lahan berhutan yang kondisinya masih baik. Penduduk Blimbing sering rancu dalam memahami hutan lindung gunung lumut. Mereka sering berorientasi pada wilayah hutan yang dijadikan lahan reboisasi bila berbicara mengenai hutan lindung. Tabel 8 Pengetahuan Masyarakat Mengenai Fungsi Hutan Lindung Gunung Lumut Fungsi Hutan Lindung Pengatur tata air, pencegah erosi Pelindung hewan dan tumbuhan supaya lestari Untuk diwariskan kepada anak cucu
Rantau Layung 6
Muluy 4
Blimbing 5
10
4
12
4
2
3
Dari para informan yang di wawancarai di dusun tersebut, hanya informan kunci dan beberapa informan yang cukup dekat dengan informan kunci saja yang mengetahui mengenai fungsi hutan lindung sebagai pengatur tata air. Sedangkan warga umum lebih beranggapan bahwa fungsi hutan lindung adalah sebagai tempat untuk melindungi tumbuhan dan hewan hutan yang tidak boleh dimanfaatkan untuk dijual oleh masyarakat.
Selain itu mereka juga beranggapan bahwa hutan lindung ditetapkan agar hutan tetap ada untuk diwariskan kepada anak cucu untuk bekal hidup mereka. Pengetahuan masyarakat, yang diwakili oleh para informan dan resopnden, mengenai fungsi hutan lindung dapat dilihat pada Tabel 8. Pada umumnya masyarakat desa telah mengetahui mengenai kegiatan yang boleh dan dilarang dalam kawasan hutan lindung. Mereka mengatakan bahwa kegiatan penebangan pohon di dalam wilayah hutan lindung tidak dibenarkan. Kegiatan penebangan pohon diizinkan bila kayu hasil tebangannya dipergunakan untuk kebutuhan masyarakat desa setempat dan telah diizinkan dalam musyawarah masyarakat desa. Kegiatan penjualan kayu dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan. Meskipun demikian, kegiatan penebangan kayu masih sering dilakukan oleh penduduk desa sekitar kawasan. V.4.2 Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu terhadap Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Persepsi seseorang akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pengertian atau pemahaman mereka terhadap suatu hal. Faktor-faktor eksternal, seperti pengalaman masa lalu dan latar belakang sosial-budaya juga merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan persepsi seseorang terhadap pengelolaan hutan lindung.
Sikap dan
perilaku masyarakat dapat mencerminkan persepsi mereka
mengenai kegiatan pengelolaan hutan lindung yang telah dilakukan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut yang telah dilakukan antara lain berupa pemancangan dan pemeliharaan batas, perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, dan rehabilitasi lahan yang rusak serta pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan. Pengalaman masa lalu dan latar belakang sosial budaya yang berbeda menyebabkan persepsi antara satu desa dengan desa yang lainnya mengenai pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut bisa berbeda, seperti yang kami perlihatkan pada Tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9 Pengaruh Budaya dan Pengalaman Masa Lalu terhadap Persepsi Masyarakat Mengenai Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Desa/Dusun Persepsi Penataan Batas Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) Rantau Layung - Batas yang ada saat ini tidak sah - Batas hutan lindung terdapat pada pertemuan Sungai Sranum dan Sungai Praian - Batas hutan adat desa adalah batas hutan lindung
Muluy
- Batas hutan lindung tidak berarti - Batas hutan adalah batas antara hutan adat antar desa
Blimbing
- HLGL tidak berbatasan dengan wilayah Desa Blimbing - Batas hutan lindung diberi papan pengumuman Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Rantau Layung - Pelanggaran dalam wilayah hutan adat yang dilakukan oleh masyarakat desa diselesaikan secara adat - Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak luar bila tidak bisa dilakukan oleh aparat desa dilaporkan kepada pihak yang berwenang Muluy - Perlindungan dan pengamanan kawasan hutan lindung yang masuk ke dalam wilayah adat Kampung Muluy merupakan tanggung jawab warga Muluy Blimbing
- Batas kawasan yang jelas merupakan salah satu jaminan keamanan kawasan
Kebudayaan
Pengalaman
- Sistem perladangan bergulir yang menjadikan lahan bekas ladang sebagai kebun, sipung bua, atau lati pangeramu - Lati pangeramu diwariskan kepada keturunan, dan pada kurun waktu tertentu (510 thn) dpt dijadikan ladang kembali - Peruntukan lahan secara adat telah dipetakan secara partisipatif dengan bantuan CIFOR - Wilayah hutan Gunung Lumut merupakan tanah ulayat Suku Pasir Muluy - Peruntukan lahan secara adat telah dipetakan secara partisipatif dengan bantuan Yayasan PADI Indonesia - Lahan desa kebanyakan telah berubah menjadi kebun masyarakat - Peruntukan lahan secara adat kurang detail
- Pembelian kayu hasil tebangan masyarakat oleh HPH PT. Telaga Mas - Pemberian fee untuk kayu-kayu yang ditebang oleh PT. Telaga Mas yang berada di wilayah Desa Rantau Layung
- Wilayah hutan adat hanya boleh dipergunakan untuk kebutuhan masyarakat desa dan harus seizin ketua adat dalam musyawarah desa - Ikatan kekeluargaan dalam masyarakat masih sangat kuat - Sanksi atau denda bagi siapa saja yang melakukan aktivitas dalam wilayah hutan adat tanpa seizin ketua adat - Masyarakat masih sangat memegang teguh adat dan kebudayaan mereka - Lembaga pemerintahan desa lebih memiliki pengaruh kepada masyarakat dibandingkan
- Kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh pendatang - Vakumnya lembaga adat desa selama 20 tahun Penangkapan salah satu anggota masyarakat dalam operasi hutan lestari pada tahun 2005 - Hanya menjadi penonton selama HPH PT. Telaga Mas beroperasi di wilayah Gn. Lumut - Pendampingan intensif oleh Yayasan PADI Indonesia dan PeMA Paser mengenai hak adat - Lahan reboisasi di Gunung Kondis yang dinyatakan oleh pemerintah desa sebagai
- Telah menetap di wilayah kaki Gunung Lumut secara turun temurun - Pembangunan pemukiman yang dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir - Kegiatan berkebun (pisang) memberikan kesejahteraan ekonomi yang cukup lumayan - Kegiatan reboisasi (GNRHL) di area Gunung Kondis seluas 500 ha.
- Keberadaan petugas khusus membantu melindungi dan mengamankan kawasan Desa/Dusun Persepsi Inventarisasi Potensi Kawasan Rantau Layung - Membantu memahami manfaat tumbuhtumbuhan yang ada di lingkungan mereka - Membantu kaum muda untuk lebih memahami adat dan kebudayaan mereka - Membantu memahami fungsi hutan lindung dan kegiatan yang diperbolehkan dalam kawasan Muluy - Mencurigai sebagai upaya pihak luar untuk mengambil alih pemanfaatan kekayaan bumi wilayah adat Muluy
Blimbing
- Kegiatan yang diperlukan untuk menyampaikan kebutuhan masyarakat desa kepada pemerintah
Rehabilitasi Lahan dan Pemberdayaan Masyarakat Rantau Layung - Kegiatan pemberdayaan masyarakat belum terlalu menunjukkan hasil - Penanaman karet di ladang, merupakan salah satu upaya masyarakat untuk merehabilitasi lahan Muluy - Mencurigai adanya kepentingan terselubung dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan rehabilitasi lahan
Blimbing
- Pemberian bantuan bibit dan rehabilitasi lahan merupakan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
lembaga adat
hutan lindung Kebudayaan
Pengalaman
- Penggunaan tanaman untuk pengobatan secara tradisional sangat jarang digunakan oleh penduduk
- Tidak memiliki lembaga adat selama 20 tahun - Obat-obatan medis lebih mudah diperoleh - Kegiatan penelitian mengenai potensi masyarakat cukup sering dilaksanakan
- Warga sangat patuh kepada ketua adat - Hutan merupakan warisan untuk anak cucu
- Dibabatnya kebun rotan milik kampung untuk lahan HTI tanaman sengon - Penilitian mengenai kandungan tambang perut bumi untuk kepentingan pertambangan - Pendampingan intensif oleh Yayasan PADI Indonesia mengenai kelestarian hutan - Kegiatan penelitian masih sangat jarang dilakukan di Desa Blimbing - Penyuluhan oleh dinas -dinas pemerintahan Kabupaten Pasir cukup sering dilakukan
-
- Larangan menebang pohon buah dan pohon tempat lebah membuat sarang
- Bantuan bibit Jati, Kemiri, Mahoni dan Karet oleh CIFOR pada tahun 2002 - Pembangunan jalan rintis menuju Rantau Buta oleh PT Telaga Mas
- Larangan menebang pohon buah dan pohon tempat lebah membuat sarang
- Pemberian bantuan bibit tanaman buahbuahan untuk ditanam di bekas ladang - Pembangunan perumahan penduduk oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir - Pembayaran fee oleh PT. Rizki Kacida Reana - Keberhasilan perkebunan pisang menopang ekonomi penduduk desa hingga tahun 2002 -Penerimaan transmigran pada tahun 1997
- Wilayah desa sebagian besar telah diperuntukkan sebagai kebun masyarakat
V.4.2.a Persepsi Masyarakat Desa Rantau Layung Masyarakat Desa Rantau Layung baru menyadari bahwa sebagian wilayah desa mereka masuk ke dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut ketika pada tahun 2003 ketika Badan Planologi Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur melakukan orientasi batas, yang merupakan kegiatan penataan batas yang ketiga setelah sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 1986 dan 1990. Jalan rintis dan penandaan batas dengan cat merah pada pohon yang dilakukan dalam kegiatan orientasi batas itu masuk ke dalam kebun rotan milik warga Rantau Layung. Menurut keterangan dari ketua adat Desa Rantau Layung, perwakilan masyarakat desa menghadap Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dan menyatakan penolakan mereka terhadap batas kawasan hasil orientasi batas tersebut. Dalam musyawarah yang dilakukan antara Kepala Dinas Kehutanan dan masyarakat Desa Rantau Layung akhirnya disepakati bahwa kegiatan penataan batas akan ditinjau kembali dan permintaan masyarakat agar batas hutan lindung digeser sejauh lima kilometer dari pemukiman desa disetujui oleh pihak Dinas Kehutanan. Mengenai batas kawasan sebagian besar penduduk yang berhasil diwawancara mengatakan tidak tahu secara pasti. Ketua adat dan kepala desa mendapatkan informasi mengenai batas hutan lindung yang pasti dari para peneliti yang melakukan kegiatan penelitian di desa tersebut. Salah seorang penduduk (Responden FRL) mengatakan pernah mengikuti kegiatan tata batas pada tahun 1986. Namun ketika itu dia belum menjadi penduduk desa. Menurut penuturan salah satu informan (Informan E-RL), yang pernah menjabat sebagai sekertaris desa, pemberitahuan mengenai keberadaan hutan lindung dalam wilayah desa mereka telah pernah diberitahukan oleh pemerintah kabupaten pada tahun 1980-an, namun karena tidak memahami mengenai makna hutan lindung, maka informasi tersebut tidak disebarkan kepada masyarakat desa. Warga Rantau Layung meminta agar batas kawasan Hutan Lindung sejauh 5 km ke arah barat pemukiman mereka karena di sanalah batas terjauh antara lati pangeramu (bekas ladang yang sudah tidak digunakan lagi) dengan hutan adat mereka. Dan bila melihat peta peruntukan lahan milik desa, yang dibuat bekerjasama dengan CIFOR, hampir seluruh hutan adat milik Desa Rantau Layung terletak dalam kawasan Hutan Lindung. Ketua adat Rantau Layung dan wakil ketua adat Muluy menyatakan bahwa hutan adat bagi Suku Pasir merupakan cadangan lahan untuk anak cucu mereka. Kegiatan pemungutan hasil hutan pun dibatasi hanya untuk hasil hutan non-kayu untuk wilayah hutan adat (alas). Wilayah di luar hutan adat merupakan lahan yang dapat mereka olah untuk kehidupan sehari-hari mereka. Ketika lahan kebun mereka diambil sebagai kawasan hutan lindung mereka menolak karena beranggapan bahwa mereka telah menyediakan lahan dengan fungsi yang sama dengan hutan lindung tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan dan beberapa orang penduduk, mereka mengatakan bahwa aktivitas HPH PT. Telaga Mas, yang beroperasi di wilayah
desa mereka dengan melakukan kegiatan penebangan dan membeli kayu hasil tebangan juga memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam memandang pengelolaan hutan lindung. Pada tahun 2002-2004 dengan mengantongi izin IPK PT. Telaga Mas melakukan
aktivitas
penebangan
di
wilayah
Desa
Rantau
Layung.
Lokasi
penebangannya menurut Kepala Desa berada di luar wilayah hutan lindung. Setiap kubik kayu yang mereka panen disertai dengan pembayaran fee kepada desa. Selain itu mereka juga membeli kayu hasil tebangan masyarakat dengan syarat kayu tersebut diletakkan di pinggir jalan. Asal kayu tidak mereka permasalahkan. Akibatnya masyarakat yang membutuhkan uang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka melakukan kegiatan penebangan di hampir seluruh wilayah desa. Penebangan dalam wilayah hutan adat pun dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat. Kegiatan illegal logging cukup marak dilakukan di Desa Rantau Layung. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang penduduk desa dan informan, pada tahun 1999 kegiatan pembalakan liar banyak dilakukan oleh orang-orang dari luar desa mereka, terutama dari Banjar. Konflik antar penduduk dengan pendatang pun sempat terjadi, yang berakhir dengan diusirnya para pendatang. Namun beberapa orang pendatang memilih untuk menetap karena menikah dengan penduduk asli. Karena tidak memiliki modal untuk membiayai hidup keluarga, maka para pendatang itu menjual kayu yang ditebang dari kebun milik istri mereka. Hal ini diikuti oleh penduduk asli, dan puncaknya ketika HPH PT. Telaga Mas beroperasi di desa ini. Tahun 2004, kontrak PT. Telaga Mas berakhir. Kegiatan pembalakan liar masih dilakukan oleh beberapa orang oknum masyarakat karena masih terdapat cukongcukong di daerah Rantau Buta yang bersedia membeli kayu dari mereka. Ketidak setujuan ketua adat terhadap kegiatan ini sempat menimbulkan konflik antara penduduk yang pro dan kontra terhadap kegiatan pembalakan liar. Penduduk yang melakukan kegiatan illegal logging mengatakan bahwa jumlah yang mereka tebang sangat sedikit, hanya satu pohon selama 2-3 bulan, dan pada saat itu harga-harga barang kebutuhan pokok meningkat pesat, sedangkan harga hasil kebun mereka, seperti rotan dan kopi justru menurun. Selain itu, lembaga adat di Desa Rantau Layung sempat vakum selama 20 tahun setelah meninggalnya ketua adat yang dulu. Baru pada tahun 1999 Desa Rantau Layung memiliki ketua adat yang baru dalam suatu musyawarah desa yang diprakarsai oleh PeMA Pasir. Akibat dari ketiadaan lembaga adat selama 20 tahun, banyak pemuda-pemuda desa yang tidak mengetahui mengenai adat dan kebudayaan desa mereka. Beberapa orang beranggapan bahwa peraturan adat yang saat ini hanya buatan saja, bukan budaya atau warisan dari nenek moyang mereka. Sedangkan yang menolak kegiatan illegal logging beranggapan bahwa kegiatan penebangan di wilayah hutan adat tidak dibenarkan secara adat karena lahan tersebut diperuntukkan sebagai “tabungan” masyarakat pada saat musim paceklik, ketika ladang benar-benar sudah tidak menghasilkan lagi.
Kepala Desa Rantau Layung mengakui bahwa dia dulu juga sempat ikut dalam kegiatan illegal logging tersebut. Bahkan kepala desa sebelumnya diberhentikan karena terkait kasus illegal logging, walaupun akhirnya tidak dapat dibuktikan dalam persidangan. Namun salah seorang penduduk Rantau Layung tertangkap dalam Operasi Hutan Lestari yang dilakukan pada awal tahun 2005 di wilayah hutan adat Rantau Layung yang masuk ke dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Akibat penangkapan tersebut kegiatan penebangan di wilayah hutan adat relatif berkurang. Sikap ketua adat pun menjadi lebih lunak terhadap para pelaku penebang liar, karena tidak menginginkan ada warganya yang dijebloskan lagi ke dalam penjara. Pada saat kami melakukan penelitian, meskipun mengetahui mengenai kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh beberapa orang oknum masyarakat di wilayah hutan adat yang berada dalam kawasan hutan lindung, ketua adat membiarkannya dengan alasan bahwa kegiatan itu dilakukan oleh para pemuda yang baru berkeluarga yang membutuhkan modal untuk membangun keluarganya. Kepala desa sendiri tidak berani untuk melaporkan penduduknya yang melakukan illegal logging karena khawatir kesalahannya yang dulu diungkit kembali. Penangkapan salah seorang anggota masyarakat memberikan dampak yang cukup nyata dalam perubahan pandangan penduduk Rantau Layung dalam hal perlindungan dan pengamanan kawasan. Pihak yang sebelumnya menghendaki agar para pelaku illegal logging dihukum secara tegas, memilih agar hukumannya disesuaikan dengan hukum adat desa yang berlaku berupa pembayaran denda. Para pelaku dan mantan pelaku, termasuk kepala desa, juga memilih penyelesaian secara adat dari pada menempuh jalur hukum. Sebagian besar penduduk Rantau Layung yang diwawancarai mengatakan fungsi hutan lindung adalah sebagai tempat untuk melindungi hewan dan tumbuhan supaya lestari sehingga dapat diwariskan kepada anak cucu mereka. Hal ini serupa dengan pandangan mereka mengenai fungsi hutan adat (alas). Namun dengan seringnya kegiatan inventarisasi potensi kawasan, terutama potensi masyarakat sekitar kawasan, yang dilakukan di desa mereka, beberapa orang penduduk mulai memahami bahwa fungsi utama hutan lindung adalah untuk mencegah banjir dan erosi, sehingga aliran air sungai yang mereka butuhkan untuk minum, mandi, cuci dan masak dapat terjamin. Pemikiran mereka yang semula mengatakan bahwa setiap pemungutan hasil hutan tidak diperbolehkan dalam wilayah hutan lindung, mulai terbuka. Mereka mulai memahami bahwa yang tidak diperbolehkan adalah kegiatan penebangan kayu untuk kepentingan komersil. Kebutuhan kayu untuk kepentingan pembangunan rumah penduduk dalam jumlah yang kecil diizinkan dengan sepengetahuan kepala desa dan ketua adat sehingga dapat dipertanggung jawabkan bila ada investigasi oleh pihak aparat penegak hukum. Ketiadaan lembaga adat selama 20 tahun menyebabkan sebagian pemuda Rantau Layung tidak memahami kebudayaan mereka, dengan adanya penggalian
potensi masyarakat, para pemuda yang semula tidak tahu akhirnya menjadi tahu mengenai
kebudayaan
mereka
karena
dipaksa
untuk
mencari
tahu
mengenai
kebudayaan mereka. Pengetahuan tradisional mengenai manfaat tumbuh-tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari banyak tidak diketahui, seperti contohnya
obat-obatan
tradisional dari tumbuh-tumbuhan. Kemudahan memperoleh obat medis yang mudah diperoleh di warung-warung menyebabkan obat dari tumbuhan mulai terlupakan. Dengan adanya kegiatan penelitian, tumbuhan yang semula mulai dilupakan manfaatnya mulai diperhatikan kembali, walaupun sebagian besar mengatakan lebih senang menggunakan obat-obatan produksi pabrik karena lebih efisien. Hampir semua penduduk mengatakan bahwa kegiatan inventarisasi potensi kawasan berperan penting dalam mengingatkan mereka kembali mengenai adat dan kebudayaan yang dulu mereka miliki, walaupun beberapa
orang
penduduk
beranggapan
bahwa
kegiatan
inventarisasi
potensi
kawasanlah yang menciptakan kebudayaan-kebudayaan tersebut. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di Desa Rantau Layung pernah dilakukan oleh CIFOR dan PT. Telaga Mas. Bantuan bibit jati, kemiri, mahoni, dan karet pada tahun 2002 yang dilakukan oleh CIFOR selain bermaksud untuk merehabilitasi lahan yang dibuka
untuk
berladang
oleh
penduduk
juga
bermaksud
untuk
meningkatkan
kesejahteraan penduduk dengan mengajarkan penduduk untuk berkebun. Pelatihan budidaya rotan juga pernah dilakukan oleh CIFOR di desa ini. Menurut penduduk kegiatan ini terhenti ketika bibit yang mereka tanam berhasil tumbuh dengan baik. Semua penduduk mengatakan tidak mengetahui mengenai keuntungan dari kegiatan mereka menanam
jati
dan
mahoni.
Mereka
mengaku
tidak
mengetahui
bagaimana
memanfaatkan tanaman jati dan mahoni tersebut. Sedangkan tanaman kemiri menurut mereka cukup membantu kehidupan ekonomi karena dapat dijual buahnya, walaupun keuntungannya sedikit. Karet dan rotan merupakan tanaman yang saat ini mulai dilirik penduduk untuk dijadikan penopang ekonomi mereka. Rotan sejak dulu merupakan komoditi utama masyarakat yang memberikan keuntungan secara ekonomi. Namun saat ini harga rotan semakin menurun, bahkan harga satu ikat rotan (25 batang yang dibagi empat) lebih murah daripada harga satu kilogram gula pasir, Rp. 5.000/ikat. Tanaman karet baru mulai diminati oleh penduduk dalam dua tahun belakangan ini, mereka masih harus menunggu empat atau lima tahun lagi untuk mendapatkan hasilnya. PT. Telaga Mas ketika beroperasi di wilayah Desa Rantau Layung pada tahun 2002-2004 memberikan bantuan berupa pembuatan jalan rintisan menuju Desa Rantau Buta di hilir Sungai Kesungai. Dengan pembukaan jalan menuju Rantau Buta diharapkan perekonomian Desa Rantau Layung dapat meningkat. Namun ketika masa kontrak PT. Telaga Mas telah berakhir, jalan ini belum sempat diperkeras, sehingga saat ini jalan tersebut telah tertutup kembali dengan semak-semak. Selain itu pembangunan rumah dinas untuk ketua adat juga didanai oleh PT. Telaga Mas.
Meskipun telah cukup banyak kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di Desa Rantau Layung, penduduk merasakan tidak banyak kemajuan yang mereka alami dalam hal kesejahteraan. Ketua adat, dan beberapa penduduk yang kami wawancara justru mengatakan bahwa saat ini mereka semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan
hidup
mereka.
Tokoh-tokoh
desa
sependapat
bahwa
kesejahteraan
masyarakat dapat meningkat bila akses transportasi darat menuju Desa Rantau Layung dibenahi. Perlu menjadi perhatian pemerintah kabupaten, khususnya dinas kehutanan, bila bermaksud untuk memperbaiki akses transportasi darat menuju Desa Rantau Layung adalah fakta bahwa penduduk Desa Rantau Layung memiliki pengalaman menjual hasil hutan kayu. Sehingga ada kekhawatiran bila akses transportasi lancar, tekanan terhadap kawasan hutan lindung yang berada pada wilayah Desa Rantau Layung dapat meningkat. Untuk mencegah hal itu, teknik budidaya perkebunan, karet ataupun sawit, perlu dilakukan secara intensif. Selain itu ketersediaan pasar untuk hasil perkebunan masyarakat perlu dicari, sehingga masyarakat tidak kesulitan dalam menjual hasil perkebunan mereka. Kerjasama antar dinas pemerintahan kabupaten perlu ditingkatkan, misalnya dengan dinas perdagangan, dinas perkebunan, dan dinas sosial. Perubahan peruntukan lahan yang semula untuk ladang (umo) menjadi kebun, akan menyebabkan peruntukan lahan lainnya juga akan berubah. Kebudayaan masyarakat melakukan kegiatan ladang bergulir akan menyebabkan lahan lati pangeramu akan semakin cepat berubah peruntukannya untuk menjadi ladang kembali. Oleh sebab itu perlu dibuat peraturan tegas mengenai jumlah luas lahan kebun atau sipung bua yang berhak dimiliki oleh keluarga. Hal ini untuk menghindari terjadinya perubahan peruntukan lahan dari alas menjadi ladang, kebun ataupun sipung bua. V.4.2.b Persepsi Masyarakat Dusun Muluy Lokasi perumahan untuk warga Dusun Muluy di bekas tempat penimbunan kayu milik HPH PT. Telaga Mas pada tahun 2001 dipilih oleh warga dusun sendiri dan telah disetujui oleh Bupati Pasir. Pembangunan perumahan ini sendiri merupakan Program Komunitas Adat Terpencil yang dijalankan oleh Dinas Sosial. Kurangnya koordinasi antar dinas pemerintahan kabupaten menyebabkan letak lokasi pemukiman berada dalam kawasan hutan lindung. Menurut penuturan wakil ketua adat Muluy, masyarakat Dusun Muluy tidak terlalu peduli dengan kegiatan orientasi batas tahun 2003 yang melalui lahan kebun dan ladang mereka. Menurut mereka pemukiman mereka sah keberadaannya karena dibangun oleh pihak pemerintah kabupaten sendiri. Selain itu kenyataan bahwa mereka telah bermukim di wilayah kaki Gunung Lumut sejak zaman nenek moyang mereka, menyebabkan mereka merasa memiliki hak ulayat terhadap wilayah di sekitar Gunung Lumut. Meskipun kurang menaruh perhatian terhadap tata batas hutan lindung, masyarakat Muluy memiliki pandangan mengenai kegiatan penataan batas yang perlu
dilakukan.
Menurut mereka batas wilayah adat antara satu desa dengan desa yang
lainnya perlu diperjelas sehingga masyarakat desa yang satu tidak memiliki dalih bahwa mereka tidak mengetahui batas wilayah adat mereka dalam melakukan aktivitas. Selain itu dengan adanya batas wilayah adat antar desa ini diharapkan agar setiap penduduk desa menjaga kelestarian hutan di wilayah adat mereka masing-masing. Kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan pun dapat diserahkan kepada masyarakat desa yang
wilayah
adatnya
termasuk
ke
dalam
kawasan
hutan
lindung,
sehingga
tanggungjawab mengenai kelestarian hutan pun dapat dikenakan kepada masyarakat desa yang bersangkutan. Alasan utama mereka menghendaki agar perlindungan dan pengamanan hutan lindung yang berada dalam wilayah adat Kampung Muluy diserahkan kepada masyarakat Muluy sendiri adalah adanya kekhawatiran bahwa bila perlindungan dan pengamanan diserahkan kepada pihak luar maka masyarakat Muluy tidak dapat lagi memungut hasil hutan yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu pengalaman masa lalu mereka ketika PT. Telaga Mas melakukan penebangan pohon di wilayah adat mereka, sedangkan mereka hanya bisa menjadi penonton menyebabkan mereka tidak percaya lagi kepada pihak luar yang bermaksud mengelola hutan adat mereka. Mereka memiliki kecurigaan, bahwa ketika pihak luar (orang-orang selain penduduk Muluy) diserahkan tugas untuk mengamankan wilayah hutan mereka, justru kayu-kayu dari wilayah hutan mereka akan diangkut keluar Dusun Muluy dengan alasan pengelolaan yang tidak mereka pahami. Menurut
penuturan
wakil
ketua
adat
dan
beberapa orang penduduk Muluy, alasan lain yang menyebabkan mereka beranggapan bahwa penataan batas antar wilayah adat desa penting adalah karena adanya kejadian penebangan liar yang dilakukan oleh penduduk Rantau Layung dalam wilayah hutan adat Muluy. Hutan adat Desa Rantau Layung dan hutan adat Dusun Muluy berbatasan. Saat itu penduduk Rantau Layung tersebut beralasan bahwa dia tidak mengetahui batas pasti hutan adat tersebut. Penduduk Muluy khawatir kejadian tersebut berulang, dan kerusakan hutan yang terjadi di wilayah mereka menyebabkan pihak luar beranggapan penduduk Muluy lah yang menyebabkan kerusakan itu. Dengan adanya batas yang jelas antar desa, penduduk Muluy merasa memiliki alasan yang lebih kuat untuk menuntut para pelanggar batas. Masyarakat Muluy masih sangat memegang teguh adat dan kebudayaan mereka. Bimbingan yang intensif dari Yayasan PADI Indonesia dan PeMA Paser menyebabkan warga Muluy semakin memahami dan berani untuk menuntut hak adat mereka. Ketua adat memegang peranan penting dalam menentukan sikap masyarakat mengenai suatu kegiatan yang dilakukan di wilayah desa mereka. Penolakan dari ketua adat berarti penolakan dari seluruh penduduk Muluy. Pihak-pihak yang bermaksud melaksanakan kegiatan dalam wilayah Dusun Muluy harus mendapat persetujuan ketua adat. Mereka tidak segan untuk mengusir dan memungut denda dari pihak-pihak yang
mereka rasa bisa merusak lingkungan mereka. Kegiatan pertambangan, walaupun baru berupa penelitian, merupakan aktivitas yang ditolak oleh penduduk Muluy untuk dilakukan dalam wilayah dusun mereka. Menurut penuturan wakil ketua adat, mereka selalu mencurigai setiap orang yang berkunjung ke dusun mereka. Setiap orang yang bermaksud melakukan kegiatan di wilayah dusun akan ditanyai secara mendetail mengenai maksud dan tujuannya. Kegiatan inventarisasi potensi kawasan sering mereka curigai sebagai upaya awal pihak luar untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang terdapat di wilayah kampung mereka. Oleh sebab itu, sangat sulit untuk mendapatkan bantuan masyarakat Muluy mengenai potensi desa mereka. Diakui olehnya, meskipun mereka menerima para peneliti namun informasi yang dia berikan pun seringkali sangat minim, karena adanya kekhawatiran itu. Penduduk Muluy beranggapan bahwa lingkungan desa, baik itu sungai, kebun, ladang, hutan dan segenap kekayaan di dalamnya, merupakan satu-satunya harta yang mereka miliki yang dapat mereka wariskan kepada anak-cucu mereka. Ketika potensi desa mereka diketahui oleh pihak luar, mereka khawatir akan terjadi eksploitasi terhadap lingkungan mereka seperti yang terjadi sebelumnya. Kebun rotan yang dulunya ditanam oleh nenek moyang mereka dibabat habis ketika pemerintah bermaksud membuat HTI Sengon. Masyarakat Muluy tidak mendapatkan pengganti rugian sedikit pun. Selain itu kegiatan penelitian pertambangan juga merusak wilayah hutan mereka karena menebang pohon dan menggali tanah. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir yang bermaksud melakukan kegiatan rehabilitasi lahan pada bekas-bekas ladang penduduk Muluy juga menghadapi kesulitan dalam pelaksanaannya. Bantuan bibit pohon durian, mangga dan rambutan yang jumlahnya mencapai ratusan telah diserahkan kepada penduduk. Janji pemberian biaya perawatan juga telah diberikan. Namun penduduk Muluy kurang mendukung kegiatan ini. Sebagian besar bibit dibiarkan berada di halaman depan rumah mereka. Satu atau dua bibit mereka tanam dekat rumah mereka. Ada juga beberapa orang yang menanam di bekas ladang mereka, namun jumlahnya sangat sedikit dan tidak mereka rawat. Sebagian besar bibit yang ditanam mati karena kalah bersaing dengan belukar. Penduduk Muluy bukannya tidak mau menjaga lingkungan mereka. Menurut mereka, bekas ladang mereka dalam beberapa tahun akan ditumbuhi pohon dengan sendirinya, tanpa harus ditanami pohon oleh mereka. Hal ini telah berlangsung bertahuntahun. Selain itu adanya peraturan adat yang akan memberikan sanksi/denda bagi para penebang pohon buah menyebabkan masyarakat enggan menanam pohon buah di bekas ladang mereka. Mereka khawatir ketika mereka harus membuka ladang lagi di lahan tersebut mereka akan dikenai sanksi karena menebang pohon buah yang mereka tanam sendiri. Selain itu ada kekhawatiran bahwa bantuan bibit yang diberikan itu tidak menjadi miliki penduduk Muluy, sehingga ketika pohon-pohon tersebut telah besar justru
pihak luar yang akan memanfaatkannya dengan alasan merekalah yang memberikan bibit tersebut. Ada beberapa karakter masyarakat Muluy, yang mungkin sulit untuk dipahami oleh pihak luar. Menurut penuturan wakil ketua adat, dan diakui oleh beberapa orang penduduk Muluy, masyarakat Muluy telah terbiasa hidup sederhana. Mereka tidak segan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti makan, minum dan tempat untuk bernaung. Mereka tidak segan untuk bekerja seharian di ladang, masuk hutan beberapa hari untuk berburu, atau bekerja bergotong royong untuk membangun rumah. Namun pada dasarnya, masyarakat Muluy lebih senang untuk hidup santai. Ketika kebutuhan mereka untuk makanan telah terpenuhi, mereka lebih senang untuk tidur, berbincang-bincang sesama penduduk kampung, atau bermain-main di sungai atau di hutan. Diakui oleh masyarakat Muluy, mereka memiliki penyakit malas untuk melakukan kegiatan yang tidak menarik menurut mereka, meskipun kegiatan tersebut dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Kegiatan pemberdayaan masyarakat, bila menurut mereka memang diperlukan akan dengan antusias mereka ikuti. Bila menurut mereka tidak memberikan keuntungan, mereka akan menolak atau melaksanakannya dengan senang hati. Ketika kegiatan Kejar Paket C dilaksanakan, sebagian besar penduduk mengikuti kegiatan ini karena merasa perlu karena pada waktu itu mereka telah sering berinteraksi dengan pihak luar. Bantuan perumahan yang diberikan oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir, pembangunannya juga dibantu oleh penduduk Muluy karena mereka beranggapan rumah sangat penting dalam kehidupan mereka. Namun ketika kegiatan pelatihan budidaya rotan diadakan di desa mereka, sebagian besar penduduk melaksanakannya dengan setengah hati, hal ini dikarenakan mereka beranggapan bahwa rotan, tanpa perlu ditanam, banyak tumbuh dalam hutan di sektiar desa mereka.Pelatihan budidaya rotan ini memang memberikan hasil berupa kebun rotan untuk penduduk, namun karena jarak tanam yang sangat rapat, sehingga mereka kesulitan untuk memanennya. Pemberian bantuan bibit durian, rambutan dan mangga yang menurut pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dapat membantu perekonomian penduduk Muluy dilaksanakan dengan setengah hati oleh penduduk Muluy. Hal ini dikarenakan menurut mereka buah-buahan yang berasal dari hutan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka juga kesulitan dalam menjual hasil buah tersebut. Penduduk Muluy cukup merasa nyaman dengan kehidupan mereka saat ini. Pemukiman Dusun Muluy yang berada dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut merupakan salah satu tantangan terbesar dalam kegiatan pengelolaannya. Relokasi pemukiman dan penduduk merupakan alternatif dalam kegiatan pengelolaan yang akan sulit untuk dilakukan. Relokasi pemukiman dengan meletakkannya diluar kawasan hutan lindung tidak akan menyebabkan interaksi masyarakat Muluy dengan hutan Gunung Lumut akan terhenti. Hal ini dikarenakan budaya mereka dibangun di
sekitar kaki Gunung Lumut tersebut. Meskipun pemukiman mereka berada di luar kawasan, namun aktivitas sehari-hari mereka seperti berladang dan berkebun serta berburu masih akan dilakukan di dalam kawasan. Perlu kebijakan khusus dan penyuluhan yang lebih intensif dalam mengelola kawasan hutan lindung di wilayah Dusun Muluy ini. Pemberian satus enclave dengan perjanjian pembatasan jumlah penduduk merupakan pilihan yang cukup bijaksana dalam kegiatan pengelolaan. Peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan-pelatihan tertentu untuk para pemuda dapat mendorong penduduk Muluy untuk mencari lapangan pekerjaan di luar desa mereka. Pemuda-pemuda Dusun Muluy memiliki potensi untuk bekerja di luar dusun mereka, namun karena kurangnya keahlian yang mereka miliki sehingga mereka tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja luar. Diharapkan dengan pelatihan-pelatihan, misalnya kursus mengenai mesin, atau keahlian lainnya diharapkan para pemuda Muluy dapat memiliki modal dalam bersaing dengan tenaga kerja di luar daerah mereka. V.4.2.c Persepsi Masyarakat Desa Blimbing Berbeda dengan dua desa tempat penelitian lainnya, penduduk Blimbing kurang menaruh perhatian terhadap pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Jarak pemukiman mereka yang relatif jauh dari Gunung Lumut menyebabkan mereka kurang menaruh perhatian terhadap keberadaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Interaksi warga Blimbing dengan kawasan hutan lindung pun sangat jarang. Hanya para warga transmigran yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap burung di kaki Gunung Lumut, yang termasuk dalam wilayah Desa Pinang Jatus. Meskipun dari segi kebudayaan, masyarakat Desa Blimbing dengan masyarakat Dusun Muluy dan Desa Rantau Layung tidak jauh berbeda, namun masyarakat Desa Blimbing sudah tidak terlalu menggantungkan hidup mereka dari kegiatan memungut hasil hutan. Kegiatan ladang bergulir masih tetap dilakukan oleh penduduk Blimbing, namun mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari kegiatan berkebun daripada memungut hasil hutan. Lahan di wilayah Desa Blimbing sebagian besar diperuntukkan untuk kebun masyarakat. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2002 masyarakat Belimbing telah berhasil mengembangkan budidaya pisang yang hasilnya bisa mereka ekspor sampai ke Pulau Jawa dan Bali. Hasil dari perkebunan pisang ini sangat membantu meningkatkan perekonomian Desa Blimbing. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada waktu itu sebagian besar lahan masyarakat desa diperuntukan sebagai kebun pisang. Para aparat desa dan pengurus adat mengatakan bahwa wilayah desa tidak termasuk ataupun berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Sebagian besar penduduk bahkan baru mengetahui mengenai status Gunung Lumut sebagai hutan lindung ketika kami menanyakannya. Diakui oleh Kepala Desa Blimbing, bahwa Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir pernah menyinggung mengenai status Hutan Lindung Gunung Lumut. Namun sepanjang ingatannya, kawasan hutan lindung tidak disebutkan
berada dalam wilayah Desa Blimbing.
Semua penduduk Blimbing yang kami tanyai
menyatakan bahwa sebagian wilayah Desa Pinang Jatus-lah
yang berbatasan dan
masuk dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Hal ini dikarenakan, kaki Gunung Lumut yang berada di sebelah timur merupakan wilayah adat Desa Pinang Jatus. Dari kaki Gunung Lumut hingga pemukiman Desa Pinang Jatus berjarak kira-kira 25 km. Sedangkan pemukiman Desa Blimbing berjarak 5 km dari pemukiman Desa Pinang Jatus. Dengan jauhnya jarak antara Desa Blimbing dengan Gunung Lumut, penduduk Desa Blimbing meyakini bahwa wilayah desa mereka tidak termasuk dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. Dinas Kehutan Kabupaten Pasir memiliki proyek rehabilitasi lahan kritis seluas 500 ha di Desa Blimbing. Letak lahan yang direhabilitasi tersebut berada di daerah Gunung Kondis. Meskipun dikatakan rehabilitasi lahan kritis, namun kenyataannya lahan di Gunung Kondis tersebut masih ditumbuhi dengan pepohonan yang besar-besar. Di bawah naungan pohon-pohon besar itulah ditanami dengan tanaman mahoni, kemiri, durian dan rambutan. Lahan yang dijadikan lahan rehabilitasi ini oleh penduduk Blimbing disebut sebagai kawasan hutan lindung milik desa. Di sekeliling lahan rehabilitasi ini dipasangi dengan papan pengumuman yang berisi jenis-jenis tanaman yang ditanam di lahan tersebut dan tahun penanamannya. Papan pengumuman ini berfungsi juga sebagai batas lahan rehabilitasi tersebut. Pandangan penduduk Blimbing yang beranggapan bahwa lahan rehabilitasi tersebut adalah hutan lindung, maka penduduk Blimbing beranggapan bila memang wilayah desa mereka berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Lumut maka seharusnya ada papan pengumuman yang menerangkan mengenai batas tersebut. Namun karena selama ini mereka tidak menemukan adanya papan pengumuman yang menjelaskan mengenai batas tersebut maka mereka beranggapan bahwa desa mereka tidak berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Lumut. Mengenai kegiatan pengelolaan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengamanan kawasan, hampir semua penduduk Blimbing mengambil sikap tidak peduli. Letak Hutan Lindung Gunung Lumut yang berada di luar batas wilayah desa mereka menyebabkan mereka tidak merasa perlu bertanggung jawab mengenai keamanan dan perlindungan Hutan Lindung Gunung Lumut. Ketidakpedulian ini terutama ditunjukkan oleh warga asli Desa Blimbing. Penduduk transmigran justru lebih peduli dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan Hutan Lindung Gunung Lumut. Ketidak pedulian warga asli Blimbing dalam hal perlindungan dan pengamanan Hutan Lindung Gunung Lumut dikarenakan mereka beranggapan bahwa daripada memusingkan keamanan wilayah desa lain, lebih baik mereka mengurus kebun-kebun sawit mereka yang baru mereka tanam untuk menggantikan tanaman pisang yang terserang oleh virus. Karena akibat serangan virus maka perekonomian Desa Blimbing menjadi lesu. Dengan adanya bantuan kredit bibit sawit dari Dinas Perkebunan,
penduduk
mulai
aktif
lagi
melakukan
kegiatan
di
kebun-kebun
mereka,
dan
perekonomian Desa Blimbing secara perlahan-lahan mulai bergerak lagi. Sedangkan penduduk transmigran di desa Blimbing lebih peduli terhadap pengamanan dan perlindungan
Hutan
Lindung
Gunung
Lumut
karena
beberapa
dari
mereka
menggantungkan perekonomian keluarga mereka dari kegiatan menangkap burung di sekitar kaki Gunung Lumut. Mereka khawatir bila kondisi hutan Gunung Lumut menjadi rusak
maka
burung-burung
menjadi
enggan
untuk
hidup
di
wilayah
tersebut,
sebagaimana yang terjadi di Desa Blimbing yang sebagian besar hutannya telah diubah menjadi kebun oleh masyarakatnya. Penduduk transmigran di Desa Blimbing mendapat jatah tanah seluas 2 ha untuk mereka olah. Namun tanah seluas 2 ha tersebut, menurut pengakuan para transmigran, tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Menurut penduduk Blimbing, perlindungan dan pengamanan hutan lindung baru dapat terjamin bila ada petugas khusus yang melaksanakan kegiatan pengamanan tersebut. Selain itu batas kawasan yang jelas juga dapat mengurangi kemungkinan perusakan oleh masyarakat. Sebab dengan batas yang jelas, masyarakat tidak bisa lagi berdalih bahwa mereka tidak mengetahui mengenai status kawasan tersebut. Persepsi mereka mengenai kegiatan pengamanan kawasan ini didasarkan pada pengalaman desa mereka dalam melindungi dan mengamankan lahan rehabilitasi di desa mereka. Aparat desa secar rutin memeriksa kondisi lahan rehabilitasi tersebut, sehingga masyarakat tidak berani melakukan kegiatan yang merusak di lahan rehabilitasi tersebut karena takut di denda atau di hukum. Kegiatan inventarisasi potensi kawasan sangat jarang dilakukan di Desa Blimbing. Menurut kepala desa, kegiatan penelitian yang dilakukan di Desa mereka baru dilakukan sebanyak
tiga kali, termasuk dengan kegiatan yang kami lakukan. Semua
penduduk Blimbing yang kami wawancara mempunyai persepsi bahwa kegiatan inventarisasi potensi desa, baik itu potensi lingkungan ataupun masyarakatnya, memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan kebutuhan masyarakat desa kepada para pengambil kebijakan, baik itu di tingkat kabupaten, propinsi ataupun dari pusat. Oleh sebab itu, ketika kami mewawancarai mereka, sebagian besar dari mereka mengeluarkan keluhan-keluhan mereka mengenai kondisi ekonomi desa yang memburuk sejak kebun pisang mereka terkena virus. Kegiatan penyuluhan, diakui oleh masyarakat Blimbing, cukup sering dilakukan. Namun menurut mereka, selama kondisi jalan menuju desa mereka tidak mengalami perbaikan maka kesejahteraan masyarakat akan sulit untuk ditingkatkan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan -
Jarak pemukiman penduduk dengan Hutan Lindung Gunung Lumut sangat mempengaruhi interaksi dan persepsi masyarakat. Semakin dekat pemukiman dengan hutan lindung maka intensitas interaksi akan semakin tinggi dan kepedulian masyarakat akan semakin meningkat.
-
Penduduk Muluy yang perkampungannya berada dalam kawasan berinteraksi dengan hutan lindung dengan cara memanfaatkan lahan dalam kawasan untuk pemukiman, ladang dan kebun. Kayu, daging hewan buruan, madu dan buah dipungut dari dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi. Sebagian besar keluarga di Desa Rantau Layung masih memanfaatkan kayu untuk dijual
untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kayu, hewan buruan dan madu yang dijual untuk meringankan beban ekonomi penduduk selain diperoleh dari kebun yang berbatasan dengan hutan lindung juga diperoleh dari dalam hutan lindung itu sendiri. Interaksi penduduk Blimbing sangat minim. Hanya dilakukan oleh warga transmigran, yaitu menangkap burung Kucica hutan (Copsychus malabaricus). -
Pada umumnya, keluarga muda di Desa Rantau Layung masih menggantungkan kebutuhan ekonominya dari penjualan hasil hutan seperti kayu, daging hewan dan madu. Beberapa keluarga mulai mencoba berdagang dan menanam pohon karet dan kelapa sawit di kebunnya. Penduduk Muluy masih sangat menggantungkan hidupnya dari hasil ladang dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan di Desa Blimbing, penduduk sudah sangat jarang berinteraksi dengan hutan karena mereka lebih mengutamakan hasil perkebunan mereka untuk menunjang kebutuhan hidup.
-
Masyarakat antara satu desa dengan desa yang lain di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut memiliki persepsi yang berbeda dalam memandang pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut. Hal ini disebabkan latar belakang budaya dan pengalaman masalalu yang berbeda antara satu desa dengan desa lainnya.
-
Masyarakat Rantau Layung yang pernah mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan kayu dan kelembagaan adatnya pernah vakum selama 20 tahun, menginginkan
agar masyarakat masih diizinkan memanfaatkan kayu dari dalam
kawasan hutan adat selama hal itu untuk kebutuhan masyarakat dan telah disetujui oleh musyawarah desa, tetapi menyangkut keamanan dan perlindungan hutan lindung mereka beranggapan diperlukan petugas khusus. -
Masyarakat Muluy yang masih sangat memegang teguh adat dan kebudayaan mereka mempersepsikan kegiatan pengelolaan hutan lindung sebagai upaya-upaya pihak luar untuk mengambil alih wilayah adat mereka. Mereka menginginkan agar
dalam pengelolaan hutan lindung ke depan memperhatikan hak-hak adat tiap desa yang wilayahnya termasuk ke dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut. -
Masyarakat Belimbing yang interaksinya dengan masyarakat luar lebih intensif dan kegiatan ekonominya lebih berkembang, mempersepsikan kegiatan pengelolaan hutan lindung sebagai upaya melestarikan kawasan hutan Gunung Lumut agar kondisi lingkungan tetap baik. Mereka memandang kegiatan pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut dilakukan oleh petugas khusus dengan wilayah kerja diberi batas-batas yang jelas. Karena di desa mereka tidak ada tanda yang menunjukkan batas hutan lindung dan tidak ada petugas yang pernah memberikan penjelasan mengenai Hutan Lindung Gunung Lumut secara khusus kepada mereka, masyarakat Blimbing beranggapan desa mereka tidak termasuk atau berbatasan dengan Hutan Lindung Gunung Lumut.
VI.2 Saran Penyusunan
rencana
pengelolaan
Hutan
Lindung
Gunung
Lumut
agar
secepatnya dapat terealisasi dengan memperhatikan keinginan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan. Pembentukan semacam Badan Pengelola Hutan Lindung Gunung Lumut selain diisi oleh staf Dinas Kehutan Kabupaten Pasir perlu juga melibatkan para pihak yang memiliki kepentingan dengan HLGL, terutama masyarakat desa sekitar kawasan. Pembagian hutan lindung ke dalam blok-blok pengelolaan yang disesuaikan dengan batas wilayah adat antar desa patut dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan hutan lindung.
DAFTAR PUSTAKA
Aipassa, M. 2004. Nilai Ekologi dan Hidrologi Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dan Permasalahan Serta Ancamannya. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut di Tanah Grogot. Balikpapan.
Dirjen PHKA. 2004. Kumpulan Peraturan Perundangan Terkait dengan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Buku II). Dirjen PHKA & JICA. Jakarta. Hasansulama, M.I; E. Mahmudin & T.J Sugarda. 1983. Sosiologi Pedesaan. Departemen Pendidikan Dan kebudayaan. Jakarta. Hasibuan, S.H. 1995. Studi Pola Hidup Masyarakat Desa Sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. MoF-Tropenbos Kalimantan Programme. 2004. Analisis Stakeholder di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut (Muluy, Pinang Jatus, Kepala Telake, Perkuwen, Rantau Layung dan Muara Lambakan, kabupaten Pasir Kalimantan Timur). MoFTropenbos Kalimantan Programme. Balikpapan. Ngadiono. 2004. 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia, Refleksi dan Prospek. Yayasan Adi Sanggoro. Bogor. Nooryashini, S.J.; E. Wetik & I. Suryadi. 2004. Identifikasi dan Kajian Awal Mengenai Stakeholder di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut dan Sekitarnya, kabupaten Pasir Kalimantan Timur. TBI Indonesia. Balikpapan. Pranowo, H.A. 1985. Manusia dan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sadli, S. 1976. Perserpsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang. UI-Press. Jakarta. Saragih, B. 2004. Nilai Ekonomi Kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Bagi Masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Pasir. Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut di Tanah Grogot. Balikpapan. Soekanto, S. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar. CV. Rajawali. Jakarta. Soekmadi, R. 1987. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pencari Kayu Bakar di Taman Nasional Baluran. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soemarwoto, O. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Bandung. Surata, S.P.K. 1993. Persepsi Seniman Lukis Tradisi Bali Terhadap Konservasi Burung. Tesis. Pascasarjana Jurusan Pengembangan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suratmo, F.G. 1974. Perlindungan Hutan. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi IPB. Bogor. Tungabdi, R. 1997. Persepsi dan Motivasi Kelompok Pecinta Alam Bogor-jakarta Terhadap Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan. 2003. Hasil Orientasi Batas Kawasan Hutan di Kelompok Hutan Lindung Gunung Lumut Dinas Kehutanan kabupaten Pasir. Laporan. UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan. Balikpapan. Wahyuni, T.; Suryanto; Amblani & S. Utari. 2004. Kajian Sosial Ekonomi Pengelolaan Hutan Lindung. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda. Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). ANDI. Yogyakarta. Wibowo, S. 1987. Persepsi Pengunjung Tentang Lingkungan Rekreasi dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya Studi di Taman Mini Indonesia Indah dan Kebun Raya Cibodas. Tesis. Pascasarjana Jurusan Pengembangan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1 Peta Hutan Lindung Gunung Lumut
Sumber: TBI-Indonesia
Lampiran 2. Daftar Informan dan Responden yang diwawancarai di desa/dusun sekitar kawasan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Nama Informan A-RL Informan B-RL Informan C-RL Informan D-RL Informan E-RL Responden ARL Responden BRL Responden CRL Responden DRL Responden ERL Responden FRL Responden GRL Responden HRL Responden IRL Responden JRL Responden KRL Responden LRL Responden MRL Responden NRL Responden ORL Informan A-M Informan B-M Informan C-M Responden AM Responden BM Responden CM Responden DM Responden EM Responden FM Responden GM Informan A-B Informan B-B Informan C-B Informan D-B Informan E-B Informan F-B Responden AB Responden BB Responden CB Responden DB Responden EB Responden FB Responden GB Responden HB Responden IB Responden JB Responden KB Responden LB Responden MB Responden NB
Umur 58 56 30 30 52 28 37 45 36 31 46 48 49 30 36 33 36 45 45 27 42 50 38 60 38 35 43 45 50 48 43 34 64 35 35 59 35 36 31 65 30 49 58 54 33 25 36 37 35 42
Pekerjaan Tani Tani Perangkat Desa Tani Tani Tani Tani Dagang dan Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Dagang dan Tani Tani Dagang dan Tani Tani Dagang dan Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Tani Menangkap burung
Suku Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Banjar Dayak Pasir Pasir Pasir Pasir Banjar Pasir Pasir Pasir Banjar Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Pasir Jawa
Keterangan Ketua Adat Wakil Ketua Adat Kepala Desa Ketua RT Mantan Sekdes Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Mantan Ketua RT Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Wakil Ketua Adat Tokoh masyarakat Tokoh Masyarakat Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Ketua Adat Bendahara Adat Wakil Ketua Adat Kepala Desa Sekertaris Desa Tokoh Masyarakat Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum Masyarakat umum
Lampiran 3 Daftar Pertanyaan yang Diajukan Kepada Para Informan 1. Masyarakat Desa • Sejarah desa • Data kependudukan dan luas desa • Mata pencaharian penduduk desa • Ketentuan adat (terutama yang terkait dengan lingkungan) • Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) • Interaksi masyarakat desa dengan hutan (hutan adat maupun HLGL) • Pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat • Kegiatan pengelolaan HLGL yang pernah dilakukan oleh Dinas Kehutanan • Kegiatan perusahaan swasta yang pernah beroperasi di Desa tersebut • Kegiatan yang pernah dilakukan oleh pihak lain di desa terkait dengan pengelolaan HLGL • Pengetahuan mengenai status HLGL • Pengetahuan mengenai fungsi HLGL • Permasalahan yang timbul dengan keberadaan HLGL • Potensi HLGL • Harapan dan saran mengenai pengelolaan HLGL 2. Dinas Kehutanan • Sejarah Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) • Kegiatan pengelolaan yang pernah dan akan dilakukan di HLGL (penataan batas, perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan, rehabilitasi lahan, dan pemberdayaan masyarakat) • Kerjasama yang pernah dan akan dilakukan terkait dengan pengelolaan HLGL • Permasalahan dan kendala dalam kegiatan pengelolaan HLGL