KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR
oleh: SONY SAMUELTA SURBAKTI E34101055
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG LUMUT KABUPATEN PASIR KALIMANTAN TIMUR
Oleh:
SONY SAMUELTA SURBAKTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN Sony Samuelta. E 34101055. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Kalimantan Timur Dengan pembimbing: Ir. Haryanto, MS dan Dr. Rinekso Soekmadi, Msc. F Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL) adalah salah satu dari empat hutan lindung yang ada di Kabupaten Pasir. Pemerintah Kabupaten Pasir mengeluarkan kebijakan untuk mengatur pengelolaan HLGL, yaitu kebijakan yang mengatur langsung kepada kegiatan pengelolaan dan kebijakan yang ditujukan kepada para stakeholder HLGL. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan HLGL dan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan supaya fungsi dari HLGL tetap dalam prinsip-prinsip kelestarian. HLGL dikelola oleh 10 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder tersebut adalah Masyarakat Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului, Dinas Kehutanan Pasir, Bappeda Pasir, UPTD Planologi Balikpapan, BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur, Persatuan Masyarakat Adat Paser dan TBI Indonesia selaku LSM dan PT. Rizky Kacida Reana sebagai pihak swasta yang memiliki IUPHKK yang berada di sekitar kawasan HLGL. Masyarakat Desa Rantau Layung, Pinang Jatus, dan Dusun Mului melakukan kegiatan pengelolaan yang termasuk ke dalam pemanfaatan kawasan dan khusus untuk Dusun Mului kegiatan pengelolaan mereka selain pemanfaatan juga melakukan penggunaan kawasan yang merubah fungsi dari HLGL, hal ini tidak sesuai dengan UU 41/1999 dan Keppres 32/1990. Dinas Kehutanan melakukan kegiatan pengelolaan berupa perencanaan yang terutang dalam Renstra Dinas Kehutanan tahun 2001-2005. Programprogram tersebut antara lain penyuluhan kepada masyarakat, rehabilitasi, penataan batas, dan lain sebagainya. Tetapi program kerja tersebut belum ada yang dapat terlaksana oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir di kawasan HLGL, hanya penataan batas yang sudah terlaksana, itu pun masih belum maksimal karena implementasi yang dilakukan tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Bupati Pasir. Bappeda
menyusun
RTRWK
Pasir
2001-2005
tidak
melibatkan
masyarakat sekitar dan dalam kawasan HLGL. UPTD Planologi dalam
melaksanakan orientasi batas tidak melibatkan ketua adat setempat sebagai bahan masukan bagi penataan batas HLGL. BKSDA dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan belum melakukan secara maksimal dalam hal pengawasan peredaran satwaliar dan tumbuhan dari dalam kawasan HLGL. PT. Rizky Kacida Reana melakukan kegiatan pengelolaan berupa penggunaan kawasan yang berbentuk penggunaan jalan eks-logging yang membelah HLGL. Aksesibilitas yang mudah ini harus menjadi perhatian khusus oleh Dinas Kehutanan Pasir, karena seringnya terjadi pembalakan haram menggunakan jalan ini. Tidak adanya satu unit pengelolaan yang khusus mengelola kawasan HLGL secara menyeluruh menjadi satu dari tiga akar masalah kebijakan yang ada. Menurut PP 44/2004 suatu KPHL (Kesatuan Pengelola Hutan Lindung) menjadi salah satu syarat pengelolaan suatu kawasan hutan lindung. Penataan batas yang ada sekarang juga menjadi akar masalah dalam pengelolaan HLGL. Terjadinya konflik antara masyarakat dan instansi pemerintah menunjukkan lemahnya peran pemerintah dalam mengelola kawasan. Konflik yang dilihat melalui pendekatan kebijakan adalah akar masalah yang terakhir. Masyarakat sebagai stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap HLGL tidak diikutsertakan dalam implementasi kebijakan telah dilakukan. Penelitian ini merekomendasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Pasir harus segera membentuk suatu unit manajemen yang kuat dan solid dalam mengelola secara keseluruhan kawasan HLGL. Pelibatan masyarakat dalam penataan batas partispatif adalah rekomendasi kebijakan untuk memecahkan masalah dalam penataan batas.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota hujan dan nyaman Bogor pada tanggal 23 Agustus1982 dari pasangan terkasih Drs. Sehati Surbakti dan Rinteta Tarigan. Penulis merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Penulis menempuh badai kehidupan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Bogor dan akhirnya lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, merupakan rencana Tuhan, penulis lolos dalam seleksi Undangan Siswa Masuk IPB (USMI) pada jurusan tercinta Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas “ter-asik” Kehutanan. Selama berjuang di bangku perkuliahan, penulis menjadi anggota Himpunan
Mahasiswa
Konservasi
Sumberdaya
Hutan
dan
Ekowisata
(HIMAKOVA) pada Kelompok Pemerhati Burung “prenjak”, Kelompok Pemerhati Reptil Amfibi “phyton”, dan Fotografi dan Multimedia Konservasi Alam “FOKA”. Pada bulan Juni-Agustus 2005 penulis mengikuti Praktek Pengenalan di BKPH Rawa Timur-KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Slamet-KPH Banyumas Timur serta Praktek Pengelolaan Hutan di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pada bulan Februari-Mei 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional Meru Betiri-Jawa Timur. Selama perkuliahan penulis aktif di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dalam Komisi Kesenian (KOMKES) dari tahun 2001-2006. Pada tahun 2004, untuk mengembangkan kreatifitas dan keahlian dalam bidang konservasi, penulis ikut ambil bagian sebagai “angkatan pioneer” Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB dalam Divisi Primata Departemen Pengabdian Masyarakat. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah (dalam keadaan jatuh bangun baik fisik “plasmodium” maupun mental) dengan judul “Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Kalimantan Timur” dengan pembimbing “para orang-orang pintar” Ir. Haryanto, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, Msc. F.
KATA PENGANTAR Sedalam-dalamnya penulis menyadari hanya karena berkat Tuhan sajalah karya penelitian ini dapat terwujud. Yang menjadi judul dari penelitian ini adalah “Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Kabupaten Pasir Kalimantan Timur”. Isi dari karya ini dibuat untuk mengkaji kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia yang telah ada dan mencoba merumuskan rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemecahan akar masalah yang ada dalam pengelolaan hutan melalui pendekatan kebijakan. Masukan dan kritik untuk penelitian ini sangat diharapkan bagi penulis untuk kebaikan kita semua yang berada di dalam sektor kehutanan dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Berharap penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan bagi para pengambil keputusan dalam pengelolaan hutan lestari. Mari kita bangun kembali kejayaan kehutanan Indonesia kita.
Bogor, 15 Juni 2006
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH Segala kemuliaan hanya bagi Tuhanku Yesus Kristus yang telah menjadi Tuhan dan Juruselamatku, yang karena oleh-Nya, dari-Nya, hanya untuk-Nya penelitian dan hasil buah karya ini dapat selesai. Dengan perasaan rendah hati dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak dan Mamak tersayang, tercinta, dan terkasih atas segala doa, pengorbanan, air mata, keringat, dan kekuatan yang dicurahkan kepada penulis (terima kasih Tuhan atas mereka). 2. The Surbakti Family: Sari Peulisa Surbakti, S.Hut, Rehulina Surbakti, S. Sos ….., dan Tawarta Sakty Surbakti, C.S. Sos (ini doa Bang!!) atas makian, jeritan kesakitan, doa, dan harapan (aku tahu itu semua untuk kebaikanku, mari kita lebih indahkan keluarga kita!!) Tuhan Yesus baik. 3. Ir. Haryanto, MS (Babeh) dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc. F (pembela DKSHE), senang bergaul dengan orang-orang pintar. 4. Saudara-saudaraku di “rumah keduaku” KOMKES, khususnya angkatan perusak mental lawan `38 (Darma ”Katro” Bonifacius Hutabarat, Tommy “Tante” Sinambela, Ganda “Otto nai” Sinaga, Maria “Maryanto”, Vivin “Tobing”, Berlian “Brutu”, Emma “diem aza sih”, Wisye “WC” So Wat, Ara “Gokil” Gultom, Michael “Mekel” Hutahuruk), tolong jaga rumah kita sepeninggalan Bapak kalian ini. Yesus berkati. 5. Saudara-saudaraku di KSH 38 (aku bangga bersaudara dengan kalian semua), khusus Santun “Nope”, Edith “Buaya”, Irma “Unyil”, dan juga para calon pengambil keputusan akhir pengelolaan kawasan “anak-anak MKK”. 6. Saudara-saudaraku di PMK-E dan KEMAKI-E, khusus buat Monic “Aci” (thanks konsumsinya, benar enak dan menguras kantongku). 7. Bapak dan Ibu di Departement of Forest Resource Conservation and Ecotourism, khususnya Ir Dones Rinaldi, MSc. F selaku “pembimbing ketiga” (thanks Pap atas saat-saat spiritual, keahlian, dan semprotannya!!), Mr. Acu (selaku “pembimbing keempat”), Ibu Epan, Ibu Titin, dan Pak Husein (kapan kita ngegosip lagi?), Tuti, Eti, Yatna, Opik (“gandeng”),
Dudi (Pak RT), Dewi dan Oyip (Ibu-ibu MKK), Bambang (laboran MKK), Dr. Lilik Budi Prasetyo (GIS specialist) atas pinjaman lab SDAF, serta crew SDAF yang rela tempatnya dijajah. 8. Tropenbos Internasional Indonesia atas bantuan informasi dan fasilitas selama kegiatan penelitian, khusus kepada Dr. Dicky Simorangkir “Abang Forester Idol” (Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk penelitian ini. Saya sudah lulus nih, Bang. Saya siap diajak kerjasama), Indra, S. Hut, Tunggul Butar Butar (atas sangsangnya), Pijar (kapan kita……lagi?),
Sariman
“Crystal”,
Alfred
(saudaraku
seiman
di
Balikpapan), Sultan Lubis, Pak Djun, Yana, Alfa (kakakku), Esmeralda (adikku), Devi, Elisabeth Wetik, dan Mba Alice (tercantik di kantor). 9. Kepada para stakeholder HLGL yaitu Dinas Kehutanan Pasir, Bappeda Pasir, BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur, Masyarakat Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, Dusun Mului, PeMA (Persatuan Masyarakat Adat Paser), UPTD Planologi Balikpapan, dan PT. RKR. Terima kasih banyak. 11. Pihak-pihak yang karena terlalu banyak dan tidak dapat disebutkan satupersatu yang mendorong terbentuknya karya ini. 10. Tuhan Yesus “Alpha and Omega” yang pertama dan yang terakhir (Pribadi yang memegang masa depanku dan aku tidak takut lagi akan masa depan!!!).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...............................................................................................
i
DAFTAR TABEL .......................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................................
1
B. Tujuan Penelitian ................................................................................
2
C. Manfaat Penelitian ..............................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Stakeholder .......................................................................
3
B. Analisisis Stakeholder ........................................................................
4
C. Pengertian Kebijakan Publik ..............................................................
8
D. Pengelolaan Hutan Multi-stakeholder ................................................
12
E. Desentralisasi dan Peran serta Masyarakat di dalam Pengelolaan Hutan ..................................................................................................
15
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah dan Status Kawasan .............................................................
17
B. Kondisi Fisik Kawasan .....................................................................
17
1. Letak dan Luas..............................................................................
17
2. Iklim..............................................................................................
18
3. Hidrolgi.........................................................................................
18
4. Tanah dan Geologi........................................................................
18
C. Kondisi Biologi ................................................................................. .
19
1. Keanekaragaman Flora .................................................................
19
2. Keanekaragaman Fauna ................................................................
19
D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ................................................
20
IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 22 B. Ruang Lingkup dan Peralatan ................................................................ 22 C. Metode Pengumpulan Data .................................................................... 22
D. Analisis dan Sintesis Data...................................................................... 28 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Konsep Ideal Pengelolaan HLGL................................................
29
B.
Karakteristik Stakeholder Pengelolaan HLGL ............................
30
B.1 Masyarakat Desa Rantau Layung .....................................
31
B.2 Masyarakat Desa Pinang Jatus..........................................
34
B.3 Masyarakat Dusun Mului..................................................
35
B.4 Dinas Kehutanan Pasir......................................................
38
B.5 Bappeda Pasir ...................................................................
40
B.6 UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan ..........................
42
B.7 Tropenbos Internasional Indonesia ...................................
43
B.8 Persatuan Masyarakat Adat Paser .....................................
45
B.9 BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur ............................................................
47
B.10 PT. Rizky Kacida Reana ..................................................
47
C. Penggolongan Stakeholder HLGL....................................................
49
D. Interaksi antar Stakeholder dalam pengelolaan HLGL ....................
52
E. Evaluasi Kebijakan ...........................................................................
56
E.1
Permasalahan Kebijakan Pengelolaan HLGL......................
56
E.1.1
Kehadiran Unit Pengelola....................................................
56
E.1.2
Pengukuhan Kawasan ..........................................................
57
E.1.3
Konflik Melalui Pendekatan Kebijakan...............................
59
E.1.3.1 Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu ...................................
59
E.1.3.2 Penggunaan Kawasan ..........................................................
60
E.1.3.3 Konflik antar Stakeholder....................................................
61
E.2
Kesenjangan (gaps) dalam Pengelolaan HLGL...................
65
F. Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan HLGL ...................................
65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ......................................................................................
72
B. Saran.................................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
73
LAMPIRAN ......................................................................................................
75
DAFTAR TABEL No
Halaman
1. Daftar Responden ...............................................................................
24
2. Observasi Lapang ...............................................................................
25
3. Penelusuran Dokumen dan Wawancara .............................................
25
4. Interaksi masyarakat Desa Rantau Layung dengan HLGL ................
33
5. Interaksi masyarakat Desa Pinang Jatus dengan HLGL ....................
35
6. Interaksi masyarakat Dusun Mului dengan HLGL.............................
38
7. Program Penelitian yang diwadahi oleh TBI Indonesia............................... 44 8. Jenis Pengaruh,asal kewenangan, dan bentuk kepentingan stakeholder HLGL………………………………………………………… 52 9. Pemanfaatan satwa yang dilakukan oleh masyarakat .........................
60
10. Analisis isi dan implementasi peraturan perundangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh stakeholder HLGL..........................................
63
10. Bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh stekholder HLGL..............
69
11. Rekomendasi kebijakan stakeholder HLGL berdasarkan analisis isi dari kebijakan yang dikeluarkan stakeholder.......................................... 70
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Stakeholder table................................................................................. 7 Gambar 2. Proses pembuatan kebijakan................................................................9 Gambar 3. Tiga elemen sistem kebijakan .............................................................10 Gambar 4. Gambaran pengelolaan hutan multi-level........................................... 14 Gambar 5. Skema tata praja konservasi sumberdaya hutan................................. 14 Gambar 6. Peta Lokasi Hutan Lindung Gunung Lumut...................................... 18 Gambar 7. Kerangka penelitian.......................................................................... 27 Gambar 8. Pohon madu (Koompasia malacensis[1] ) dan burung kuau (Argusianus argus[2] )................................................. 32 Gambar 9. Sejarah perpindahan warga Dusun Mului…….........................….... 36 Gambar 10. Penggolongan stakeholder Hutan Lindung Gunung Lumut........... 49 Gambar 11. Interaksi stakeholder Hutan Lindung Gunung Lumut.................... 55
DAFTAR LAMPIRAN Tabel 12. Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ................... 75 Tabel 13. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan.................... 77 Tabel 14. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung ............................................. ............................
81
Tabel 15. UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.............................
82
Tabel 16. PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.............................................................................
83
Tabel 18. PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan..................
84
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Kabupaten Pasir adalah salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur yang sebagian wilayahnya terdiri dari kawasan hutan. Sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No. 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Kalimantan Timur, Kabupaten Pasir memiliki kawasan hutan seluas 628.730 Ha dan berdasarkan fungsinya terdiri dari hutan lindung dengan luas 116.952 Ha, cagar alam dengan luas 109.302 Ha, hutan produksi terbatas dengan luas 145.350, hutan produksi dengan luas 257.126 Ha, serta kawasan non budidaya kehutanan lainnya dengan luas 531. 664 Ha. Pemerintah Kabupaten Pasir, menurut PP No. 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan, memiliki wewenang dari pemerintah pusat dalam mengelola kawasan hutannya, termasuk Hutan Lindung Gunung Lumut (HLGL). Kawasan HLGL menjadi sangat penting karena kawasan ini merupakan hulu dari 2 Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Kendilo dan DAS Telake yang menjadi sumber air bagi masyarakat Kabupaten Pasir dan sekitarnya. Selain itu, kawasan ini juga menjadi sumber keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang mewakili
jenis-jenis yang endemik untuk Pulau
Kalimantan. Diantaranya seperti owa kalimantan (Hylobates muellerii), lutung merah (Presbytis rubicunda), lutung dahi putih (Presbytis frontata), bekantan (Nasalis larvatus), beruang madu (Helarctos malayanus), burung kuau/merak kalimantan
(Argusianus
argus),
rangkong
badak
(Buceros
rhinoceros).
Keanekaragaman flora yang memiliki nilai endemisitas tinggi seperti kayu ulin (Eusideroxylon zwagerii) dan meranti (Shorea spp). Upaya melakukan kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan kawasan HLGL menjadi sangat penting demi menjaga kelestarian dari fungsi hutan lindung tersebut. Mengingat pentingnya kawasan HLGL, maka Pemerintah Kabupaten Pasir mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan HLGL diantaranya
2
tentang penataan batas, uraian tugas Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir, hubungan atara para “stakeholder”1 HLGL, dan lain sebagainya. Berdasarkan dari berbagai informasi yang ada, kinerja kebijakan yang dikeluarkan oleh para stakeholder HLGL, implementasi kebijakan dirasakan masih belum memenuhi harapan karena masih adanya masalah yang berkaitan dengan konflik antara stakeholder HLGL, illegal logging, dan lain sebagainya. Maka evaluasi kebijakan ini diharapkan mampu mengidentifikasi akar masalah dan kesenjangan kebijakan yang terjadi akibat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh para stakeholder HLGL. Sehingga dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut.
B. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengevaluasi setiap kebijakan yang terkait dengan pengelolaan HLGL 2. Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang sejalan dengan prinsip-prinip kelestarian
C. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan bagi perbaikan kebijakan pengelolaan HLGL, khususnya bagi pihak pengelola.
1
Istilah stakeholder diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi para pihak, pemangku para pihak, dan pihak terkait. Dalam penelitian ini digunakan istilah stakeholder untuk mempertahankan makna yang terkandung di dalamnya.
3
II. Tinjauan Pustaka A. Pengertian Stakeholder Freeman (1984)2 mendefinisikan stakeholder sebagai suatu grup atau individu yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh tujuan dari suatu kegiatan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Roling dan Wagemaker (1998)2 mengemukakan definisi yang lebih mendalam yaitu orang yang berkepentingan terhadap sumberdaya alam yang terdiri dari pengguna sumberdaya alam ataupun para pengelola lainnya. Stakeholder
adalah
orang-orang
atau
organisasi-organisasi
yang
dipengaruhi oleh suatu kegiatan atau dapat mendukung berhasilnya suatu kegiatan bahkan dapat menghambat tujuan dari suatu kegiatan (Social Development Department of USA, 1995)3. Menurut Project Management Institut (1996)4 stakeholder adalah individu atau suatu organisasi yang secara aktif ikut serta dalam suatu kegiatan, atau mempunyai kepentingan baik yang berdampak negatif maupun positif sebagai bagian dari kegagalan ataupun kesuksesan dari suatu kegiatan. Stakeholder adalah setiap orang atau kelompok yang terlibat oleh atau dapat terpengaruh oleh suatu keputusan atau oleh suatu kegiatan (Dick, 1997)5. Mengacu pada UNHABITAT and UNEP (2001)6, stakeholder adalah: 1. Mereka yang kepentingannya terpengaruh oleh suatu program atau mereka yang kegiatannya secara kuat mempengaruhi suatu program 2. Mereka yang menyampaikan informasi, sumberdaya, dan keahliannya dibutuhkan untuk perencanaan dan pengimplementasian suatu program 3. Mereka yang mengontrol implementasi dan alat
2
Melalui publikasi internet pada Http://www.idrc.ca. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006. Melalui publikasi internet pada Http://www.euforic.org. Diakses pada tanggal 5 Mei 2006 4 Melalui publikasi internet pada Http://www.stsc.hill.af. Diakses pada tanggal 5 Mei 2006 5 Melalui publikasi internet pada Http://www.scu.edu.au. Diakses pada tanggal 10 Mei 2006. 6 Melalui publikasi internet pada Http://www.unhabitat.org. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006 3
4
B. Analisis Stakeholder Analisis stakeholder adalah suatu pendekatan untuk memahami suatu sistem dengan cara mengidentifikasi pemeran utama atau stakeholder utama dari suatu sistem dan menilai kepentingan mereka dalam sistem tersebut. Definisi ini sangat berguna dalam mendefinisikan analisis stakeholder dengan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dan menyatakan batasannya tetapi ini tidak dapat diharapkan untuk memecahkan semua masalah atau gambaran yang ada di dalam sebuah sistem (Grimble et al. 1995). Menurut Allen dan Kilvington dalam Hermawan et al. (2005), analisis stakeholder adalah suatu identifikasi pihak-pihak utama, analisis kepentingan, dan bagaimana kepentingan tersebut berpengaruh terhadap suatu program. Pendapat lain menyatakan bahwa analisis para pihak adalah suatu ringkasan yang mampu menggambarkan para pihak yang mempengaruhi dan terkena dampak atau dipengaruhi pada suatu sistem pengelolaan (Harding, 2002 dalam Hermawan et al. 2005). Identifikasi stakeholder dilakukan dengan cara mengelompokkan yang menjadi kebutuhan dan harapan dari individu ataupun kelompok lalu mengolah harapan tersebut untuk mencapai tujuan dari suatu kegiatan. Menurut Social Developement of USA (2006) tujuan dari kegiatan identifikasi stakeholder adalah untuk membantu mengidentifikasi: a. Orang atau kelompok yang termasuk dalam anggota penunjang kegiatan (walaupun anggotanya dibentuk pada saat perencanaan kegiatan atau pada saat implementasi kegiatan) b. Aturan-aturan dalam pelaksanaan suatu kegiatan c. Siapa yang membangun ataupun yang memelihara hubungan antara stakeholder d. Siapa yang akan diinformasikan dan dimintai saran tentang kegiatan tersebut e. Akan sangat membantu dalam pengambilan keputusan
5
Menurut Rolling dan Wagemaker (1998) kegunaan dari kegiatan identifikasi stakeholder adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui secara tepat pola interaksi antara stakeholder yang ada b. Secara analisis dapat memodifikasi campur tangan terhadap stakeholder c. Sebagai alat mengelola pembuatan kebijakan d. Sebagai alat untuk memperkirakan terjadinya konflik Grimble dan Wellard (1996) menekankan pentingya kegunaan dari analisis stakeholder dalam memahami kempleksitas dan perbandingan antara tujuan dari sistem dengan stakeholder. Demikian juga Freeman dan Gilbert (1987) mengemukakan konsep “pengelolaan stakeholder” sebagai batasan untuk membantu pengelola mengetahui gangguan dan bisnis lingkungan yang kompleks. Stakeholder analisis dimodifikasi dari metode partisipatif perencanaan pengelolaan seperti Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA), yang digunakan dengan menyatukan kepentingan dan ketidaksamaan dari kelompok yang memiliki pengaruh yang rendah (Preety et al. 1995). Menurut (Freeman dan Gilbert, 1987) analisis stakeholder digunakan untuk melihat perbedaan dan mempelajari kriteria para stakeholder. Adapun kriteria tersebut adalah: a. Kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dari setiap stakeholder (Freeman, 1984) b. Kepentingan (kepentingan) dan pengaruh (influence) yang mereka punya (Grimble dan Wellard, 1996) c. Program maupun kebijakan yang dikeluarkan d. Kerjasama dan koalisi yang dilakukan antara stakeholder Grimble et al. (1995) menyatakan bahwa tahapan dalam stakeholder analisis meliputi: a. Mengidentifikasi tujuan utama dari analisis b. Membangun pengertian tentang sistem dan pembuat keputusan dalam sistem c. Mewawancara kepentingan para stakeholder, karekteristiknya, dan keadaannya
6
d. Mengetahui pola interaksi antara stakeholder e. Menjelaskan pilihan-pilihan dalam pengelolaan Kilvington (2001) dalam Hermawan et al. (2005) analisis stakeholder digunakan untuk: a. Mengidentifikasi karakter para stakeholder b. Mengetahui kepentingan para stakeholder dalam hubungannya dengan permasalahan yang harus dicari jalan keluarnya c. Mengidentifikasi konflik kepentingan antara stakeholder d. Mengetahui hubungan antara stakeholder yang mungkin dapat dilibatkan dalam kerjasama pengelolaan e. Memperkirakan kapasistas para stakeholder f. Membantu memperkirakan jenis partisipasi yang melibatkan para stakeholder Menurut Social Development Department of USA (1995) tahapan dalam melakukan analisis stakeholder adalah: a. Menggambarkan tabel stakeholder b. Melakukan penilaian terhadap setiap kepentingan stakeholder yang kaitannya dengan keberhasilan tujuan dan hubungan antar pengaruh c. Mengidentifikasi resiko dan asumsi yang dapat mempengaruhi kegiatan perencanaan dan keberhasilan pengelolaan Pembuatan tabel stakeholder melihat aspek-aspek berikut: a. Mengidentifikasi dan mencatat semua stakeholder potensial b. Mengidentifikasi kepentingan mereka kaitannya dalam masalah yang ada ditempatkan dalam tujuan dari kegiatan pengelolaan. Sebagai catatan satu stakeholder dapat memililiki berbagai kepentingan c. Menilai dampak dari kegiatan pengelolaan terhadap kepentingan tiap stakeholder (positif, negatif, atau tidak diketahui)
7
Gambar 1. Stakeholder table
Stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi adalah individu atau organisasi yang berinteraksi baik langsung maupun tak langsung yang sangat kuat terhadap sumberdaya, sehingga stakeholder tersebut melakukan usaha tinggi dalam memuaskan keinginan dan perlu diawasi. Stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah, hanya perlu dimonitor dengan usaha yang minimum. Untuk stakeholder yang berada diantaranya, perlu dilakukan pemberian informasi dan pemuasan yang seimbang (UN-HABITAT & UNEP, 2001). Stakeholder dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Titik awal adalah dengan membagi daftar stakeholder ke dalam primer maupun sekunder. Stakeholder primer adalah orang ataupun kelompok yang secara langsung terpengaruh oleh suatu kegiatan. Termasuk para pengguna umum ataupun yang terpengaruh negatif . Dalam banyak kasus stakeholder primer akan dikategorikan ke dalam penilaian sosial ekonomi (ODA, 1995). Stakeholder sekunder adalah orang atau kelompok yang menjadi jembatan atau penghubung dalam suatu kegiatan, termasuk pemerintah atau institusi lainnya. Terkadang kelompok ini tidak merasa sebagai stakeholder dalam suatu kegiatan karena mereka merasa mereka yang mempunyai seluruh kegiatan (McLaren, 2006)7.
7
Melalui publikasi internet pada Http://www.landcareresearch.com. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006.
8
Stakeholder sekunder tidak mempunyai hubungan langsung dalam suatu kegiatan tetapi mereka mempunyai pengaruh yang penting untuk suatu yang sejalan dengan tujuan dari mereka sendiri. Yang termasuk ke dalam stakeholder sekunder adalah pemerintah, pelanggan, investor, lembaga non-pemerintah, dan lain-lain (Canadian Society of Association Executives, 2006)8. Stakeholder
kunci
adalah
orang
atau
kelompok
yang
mampu
mempengaruhi (influence) atau orang atau kelompok yang penting (important) dari stakeholder untuk mencapai keberhasilan dari suatu kegiatan. Pengaruh (influence) tersebut mengacu pada seberapa kuatnya pengaruh dari stakeholder. Kepentingan (importance) mengacu pada para stakeholder yang masalah, kebutuhan, dan kepentingannya menjadi prioritas dalam perencanaan kegiatan – jika stakeholder yang penting tersebut tidak terbantu maka kegaitan tersebut tidak dapat berhasil (Association of Social Anthropologist of UK and Commonwealth, 2006)9.
C. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihanpilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah (Dunn, 2003). Kebijakan publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu masalah, (2) dan apa yang menyebabkan dan mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dan dampak dari kebijakan publik tersebut (Kartasasmita, 1997). Kebijakan kehutanan adalah pendirian atau sikap masyarakat, golongan, atau pemerintah yang bertujuan sedemikian rupa sehingga manfaat-manfaat yang senantiasa diharapkan dari sumberdaya hutan ini tetap dapat diperoleh masyarakat dengan optimal dan lestari. (Basjarudin, 1976). Kebijakan pengelolaan hutan berwawasan lingkungan merupakan arahanarahan pokok yang memuat cara, maupun tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam mengelola hutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan pertimbangan untuk tetap menjaga keberadaan sumberdaya 8 9
Melalui publikasi internet pada Http://www.csea.com. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006. Melalui publikasi internet pada Http://www.theasa.org. Diakses pada tanggal 9 Mei 2006
9
hutan dan mutu lingkungan hidup, serta kelangsungan dan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan dan kehutanan di masa mendatang baik dalam aspek ekologi, ekonomi, teknologi, politik, maupun sosial budaya (Anonymus, 1986). Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan meliputi perumusan masalah peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi (Dunn, 2003). Perumusan masalah
Peramalan
Rekomendasi
Pemantauan
Evaluasi
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Penilaian Kebijakan
Gambar 2. Proses pembuatan kebijakan
Perumusan masalah adalah fase di dalam proses pengkajian dimana analis yang dihadapkan pada informasi mengenai konsekuensi beberapa kebijakan, mengalami suatu ”situasi yang menyulitkan, membingungkan, dimana kesulitan memang tersebar ke seluruh situasi, yang kesemuanya membentuk keutuhan kesatuan masalah”. Peramalan adalah fase dimana memungkinkan kita untuk menghasilkan informasi tentang nilai atau kegunaan dari kebijakan yang lalu atau yang akan datang. Rekomendasi adalah fase yang memungkinkan kita untuk menghasilkan tentang kemungkinan bahwa serangkaian tindakan yang akan datang akan mendatangkan akibat-akibat yang bernilai. Pemantauan adalah fase yang memungkinakan kita menghasilkan informasi tentang sebab-sebab masa lalu dan akibat dari kebijakan yang diterapkan. Evaluasi adalah fase yang mencakup
10
informasi tentang nilai atau kegunaan dari kebijakan masa lalu atau kebijakan yang akan datang. Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat diidenitfikasi, untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik (Dunn, 2003). Analis kebijakan, dengan demikian, adalah salah satu diantara sejumlah banyak aktor lain di dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system),
atau seluruh institusional dimana di dalamnya kebijakan dibuat,
mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Kebijakan publik (public policy) merupakan rangkaian pilihan yang saling berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, yang diformulasikan di dalam berbagai bidang (issue) dari pertahanan, energi, dan kesehatan hingga ke pendidikan, kesejahteraan, dan lain-lain. Pelaku kebijakan
Lingkungan kebijakan
Kebijakan publik
Gambar 3. Tiga elemen sistem kebijakan (Dunn, 2003)
Kriteria dalam penyusunan rekomendasi kebijakan publik dalam Dunn (2003) adalah sebagai berikut: 1. Efektivitas (effectiveness); kaitannya dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan 2. Efisiensi (efficiency); kaitannya dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efisiensi tertentu. 3. Kecukupan (adequacy); berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas
memuaskan
kebutuhan,
nilai,
atau
kesempatan
yang
menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
11
4. Perataan/kesamaan (equity); erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usahanya yang secara adil didistribusikan 5. Responsivitas (responsiveness); berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok masyarakat tertentu. Kebijakan dapat memenuhi kriteria efektivitas, efisiensi, dan perataan tetapi jika belum dapat menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya perumusan suatu kebijakan. 6. Ketepatan (appropriateness); biasanya bersifat terbuka, karena definisi per kriteria ini dimaksudkan untuk menjangkau keluar kriteria yang sudah ada. Oleh karenanya tidak ada dan tidak dapat dibuat definisi baku mengenai kriteria kelayakan.
D. Pengelolaan Hutan Lindung Menurut Undang Undang No. 41 tahun 1999, yang dimaksud dengan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Adapun kriteria dari hutan lindung menurut PP No. 44 tahun 2004 pasal 24, dengan memenuhi salah satu: 1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skore) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih 2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % (empat puluh per seratus) atau lebih 3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih di atas permukaan laut
12
4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 % (lima belas per seratus) 5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air 6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai Kegiatan yang dapat maupun dilarang dilakukan di dalam kawasan hutan lindung menurut Keppres No. 32 tahun 1990 adalah: Kegiatan yang dilarang
Kegiatan yang dapat dilakukan
Di dalam kawasan hutan lindung dilarang
Di dalam kawasan lindung dapat dilakukan
melakukan kegiatan budidaya, kecuali yang
kegiatan eksplorasi mineral dan air tanah serta
tidak mengganggu fungsi lindung (Pasal 37
kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan
ayat 1)
bencana alam
Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan: 1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. 2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan 3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan 4. Perlindungan dan konservasi hutan Menurut PP No. 44 tahun 2004 ayat 1 kegiatan yang perencanaan hutan meliputi: a. Inventarisasi hutan b. Pengukuhan kawasan hutan c. Penatagunaan kawasan hutan d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan e. Penyusunan rencana kehutanan. Setiap peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidak ada definisi yang jelas tentang arti atau definisi yang pasti dan lengkap dari pengelolaan hutan.
E. Pengelolaan hutan multi-stakeholder Menurut Johnson and Scholes (2005) stakeholder adalah sekumpulan orang atau kelompok yang membentuk organisasi tertentu untuk mencapai tujuan organisasi ataupun untuk memenuhi tujuan pribadi anggota organisasi tersebut.
13
Yang termasuk dalam stakeholder pengelola hutan adalah komunitas lokal, pemerintah, lemabaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, BUMN/D, koperasi dan usaha swasta atau dapat lebih jelas terlihat pada gambar berikut:
koperasi
Swasta
LSM
BUM N
Desa desa kecamatan daerah nasional
Pemda
Perguruan Tinggi
Gambar 4. Gambaran pengelolaan hutan multi-level
Dari gambar di atas dapatlah dikatakan bahwa perlu adanya pembangunan kelembagaan antar stakeholder dalam pengelolaan kawasan hutan tertentu. Sistem pengelolaan hutan tidak saja multi-stkeholder, tetapi juga di berbagai tingkatan (multi-level) dan lintas tingkatan (PT. Graha Manunggal Wirasembada, 2001). Pada tingkat nasional, kelembagaan yang mengelola bidang kehutanan berada di bawah Departemen Kehutanan, pada tingkat propinsi di bawah Dinas Kehutanan Propinsi dan pada tingkat Kabupaten di bawah Dinas Kehutanan Kabupaten. Dinas Kehutanan Propinsi bertanggung jawab pada Gubernur serta kepada Menteri Kehutanan kaitannya dengan tugas pembantuan. Di tingkat Kabupaten, Dinas Kehutanan bertanggung jawab pada Bupati (Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah Kutai Barat, 2001). Kebijakan harus didukung dengan mekanisme tata praja yang berorientasi pada pada transparansi, efektifitas dan pertanggung-gugatan (akuntabilitas)
14
publik. Gambar berikut menyajikan data skema tata praja yang menjamin pengurusan hutan yang bertanggung-gugat (Putro, 2004): Konvensi perjanjian internasional
Komunitas global
Lembaga Publik di tingkat pusat: Fungsi koordinasi
Umpan balik Lembaga pemerintah di daerah
Instrumen kebijakan pusat
Lembaga publik tingkat Kabupaten
Lembaga independen: LSM, universitas
Lembaga swasta pro-konservasi
Instrumen kebijakan daerah Proses publik untuk menjamin akuntabilitas
Program konservasi sumberdaya hutan: pengelolaan kawasan lindung, pemanfaatan berkelanjutan
Masalah lapangan: Tata batas, konflik SDH, pembagian biaya dan manfaat, dsb
Gambar 5. Skema tata praja konservasi sumberdaya hutan
Kesulitan yang dialami oleh pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah: 1. Luasnya cakupan kawasan konservasi di Indonesia 2. Minimnya dana untuk konservasi 3. Terbatasnya sumberdaya manusia 4. Kuatnya
ego
departemen
sektoral
(seperti
Departemen
Pertambangan atau Departemen Pertanian) untuk mengeksploitasi kawasan konservasi, yang memuncukan konflik antar departemen, disamping inter Departemen Kehutanan sendiri. 5. Lemahnya penegakan hukum (Anonymous, 2003). Implikasi kebijakan pembangunan Negara Indonesia yang bersifat sektoral dan sentralis dari pengelolaan sumberdaya alam telah membuat tiadanya ruang bagi masyarakat untuk memberikan kontrol dan lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan (Noorhalis, 2002).
15
F. Desentralisasi dan peran serta masyarakat di dalam pengelolaan hutan Desentralisasi adalah penyelengaraan pemerintahan yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada daerah, baik dalam penyerahan tugas, kewajiban, kewenangan
maupun
maupun
tanggung
jawab
tertentu.
Desentralisasi
dimaksudkan untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Yusuf, 1996). Sebenarnya, desentralisasi adalah alat atau cara untuk mencapai pemerintahan yang sebaik-baiknya, dan bukanlah desentralisasi itu sendiri yang menjadi tujuan. Pengelolaan sumberdaya alam maupun kawasan konservasi bisa saja dilakukan oleh pemerintah pusat. Tetapi, hal tersebut sangat tergantung dari kemapuan pemerintah pusat itu sendiri, adanya sistem pemerintahan yang baik (good governance) serta tersedianya sumberdaya, baik sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lainnya dari segi kuantitas maupun kualitas. Disamping itu juga terdapat berbagai prasyarat lainnya seperti pengelolaan yang adil, transparan, akuntabilitas dan peran serta masyarakat (Anonymous, 2003). Peran serta masyarakat menurut Arimbi dalam Anonymous (1993) adalah proses komunikasi dua arah yang terus-menerus untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara penuh atas proses pengelolaan kawasan konservasi. Peran serta didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan (feed-forward information) dan komunikasi dari masyarakat kepada pemerintah tentang atas kebijakan tersebut (feedback information). Peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan sifatnya, yaitu yang pertama, peran serta masyrakat yang bersifat konsultatif, dimana anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu, akan tetapi keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat yang mengambil keputusan. Kedua, adalah peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, dimana masyarakat dan dan pejabat pembuat keputusan berunding untuk mendapatkan pemecahan masalah dan secara bersama pula membuat keputusan (Arimbi dan Santosa, 1993). Menurut Santosa dan Arimbi (1993) manfaat lain dari peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan, yaitu:
16
1. Sebagai proses pembuatan suatu kebijakan; karena masyarakat sebagai kelompok yang berpotensi menanggung akibat dari suatu kebijakan, memiliki hak untuk dikonsultasi (rights to consult) 2. Sebagai suatu strategi; dimana melalui peran serta masyarakat suatu kebijakan pemerintah akan mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas (credible) 3. Peran serta masyarakat juga ditujukan sebagai alat komunikasi bagi pemerintah – yang dirancang untuk melayani pemerintah – untuk mendapatkan informasi dan dalam pengambilan keputusan, sehingga mendapatkan keputusan yang responsif 4. Peran serta masyarakat dalam penyelesaian konflik atau masalah; didayagunakan sebagai sutau cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian konsesus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi tersebut adalah, dengan bertukar pikiran maupun pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi ketidakpercayaan (mistrust) dan kerancuan (blases). Pasal 36 Keppres No. 32 tahun 1990 menyinggung tentang pengelolaan kawasan lindung tentang keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung sebagai berikut: 1. Pemerintah tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya terhadap kawasan lindung 2. Pemerintah tingkat I dan II mengumumkan kawasan-kawasan lindung sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 34 kepada masyarakat. Menurut Anonymous (2003), peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung dapat dilihat dari faktor-faktor berikut: 1.
Kedekatan masyarakat dengan kawasan
2.
Adanya faktor kepentingan, baik secara historis, sosial-religi, ekologi maupun ekonomi masyarakat lokal / adat
3. Adanya kepedulian dan komitmen (seperti yang ditunjukkan oleh
lembaga swadaya pemerintah lingkungan maupun oleh kelompok pecinta lingkungan hidup)
17
III. Kondisi Umum Lokasi Penelitian A. Sejarah dan Status Kawasan HLGL pada tahun 1970-an masih merupakan areal konsesi HPH PT. Telaga Mas. Sejak tahun 1983, kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.24/Kpts/Um/1983. Meskipun demikian, sampai saat ini kegiatan-kegiatan logging masih terjadi dalam dan sekitar kawasan HLGL, baik oleh beberapa konsesi yang memiliki HPH dan IUPHK maupun kegiatan illegal logging yang semakin marak akhir-akhir ini. Kegiatan tersebut telah memberikan tekanan dan gangguan bagi keberadaan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kesadaran sebagian masyarakat dalam dan sekitar HLGL terhadap fungsinya masih kurang. Umumnya mereka memanfaatkan hutan dengan mengambil rotan dan madu yang merupakan produk hutan non-kayu. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun dijual (TBI Indonesia, 2004).
B. Kondisi Fisik B. 1. Letak dan Luas HLGL terletak pada koordinat geografis 116o 02’ 57’’- 116o 50’ 41’’ Bujur Timur dan 01o 13’ 08’’- 01o 45’ 33’’ Lintang Selatan. Hutan lindung ini secara administratif berada di wilayah Kecamatan Batu Sopang, Muara Komam, Long Ikis dan Long Kali, di bawah pengawasan Dinas Kehutanan kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. HLGL memiliki luas sekitar +35.550 Ha10 dengan batas wilayah: Sebelah Utara
: Desa Kepala Telake
Sebelah timur
: Desa Muara Lambakan, Desa Belimbing, Desa Tiwei, Desa Rantau Layung, Desa Rantau Buta, dan Desa Pinang Jatus
Sebelah Selatan
: Desa Kasungai, Desa Busui, dan Desa Rantau Layung
Sebelah Barat
: Desa Batu Butok, Desa Uko, Desa Muara Kuaro, Desa Prayon, Desa Long Sayo, dan Desa Swanslutung
10
Berdasarkan data dari Laporan Hasil Orientasi Batas Kawasan Hutan di Kelompok Hutan Lindung Gunung Lumut Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir
18
Gambar 6. Peta Lokasi HLGL Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
B. 2. Iklim Kawasan HLGL berdasarkan data iklim tahun 1994-1998, berdasarkan sistem klasifikasi Scmidth dan Ferguson (1951) termasuk dalam tipe iklim A atau sangat basah. Kawasan ini memiliki rata-rata curah hujan pada tahun 1982-1993 sebesar 165,83 mm/bulan dengan 8,92 hari hujan dan pada tahun 1994-1998 ratarata curah hujan sebesar 216,38 mm/bulan dengan 10,36 hari hujan.
B. 3. Hidrologi HLGL merupakan merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air di kawasan tersebut. Hutan lindung tersebut merupakan daerah tangkapan air untuk dua DAS besar yaitu DAS Kendilo dengan anak sungai Sungai Busui (20 km) dan DAS Telake.
B. 4 Tanah dan Geologi Jenis tanah yang ada di wilayah HLGL meliputi jenis tanah Ultisol dan Inceptisol. Jenis Ultisol berasal dari lithologi batuan sedimen yang mengandung
19
mineral felsic dan mineral campuran. Tekstur tanah bervariasi dari kasar, cukup halus sampai halus dengan drainase menunjukkan kelas baik. Jenis tanah Ultisol terdiri dari 2 kelompok besar tanah yaitu Tropudults dan Kandiudults. Sedangkan formasi geologi yang membangun HLGL adalah tiga formasi batuan yaitu Pemaluan Bed, Palaogene dan Pulau Balang Bed.
C. Kondisi Biologi C. 1. Keanekaragaman Flora Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman (1999) dalam Aipassa (2004), menyatakan bahwa vegetasi yang ada pada kawasan HLGL terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder dengan berbagai keanekaragaman jenis flora. Jenis sungkai (Peronema canescens), mali-mali (Leea indica) dan buta ketiap (Milletia sp) merupakan jenis-jenis tumbuhan dominan pada komunitas hutan primer selain dijumpai pula asosiasi beberapa jenis yang tergolong suku Dipterocarpaceae, seperti Shorea laevis (bangkirai) dan jenis-jenis keruing (Dipterocarpus spp). Pada komunitas hutan sekunder jenis mahang (Macaranga sp.) merupakan jenis dominan. Hasil hutan non kayu yang ada antara lain adalah rotan, madu, damar, gaharu, tumbuhan obat, serta sarang burung walet.
C. 2. Keanekaragaman Fauna Kawasan HLGL memiliki keanekaragaman satwaliar yang cukup tinggi, diantaranya dari kelompok mamalia adalah babi jenggot (Sus barbatus), kijang kuning (Muntiacus atherodes), beruang madu (Helarctos malayanus), pelanduk napu (Tragulus napu), rusa sambar (Cervus unicolor), tenggalung malaya (Viverra tangalunga), landak raya (Hystrix brachyura), sero ambrang (Aonys cinerea), tupai tanah (Tupaia tana), bajing kecil telinga hitam (Nannosciurus melanotis), dan bajing tanah ekor-tegak (Rheithrosciurus macrotis). Untuk jenis mamalia primata antara lain lutung dahi-putih (Presbytis frontata), lutung merah (Presbytis rubicunda), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), kukang (Nycticebus coucang), bekantan (Nasalis larvatus) dan owa kelawat (Hylobates muelleri). Owa kelawat ditemukan pada komunitas
20
hutan primer dan merupakan jenis yang peka terhadap gangguan berupa perubahan struktur dan komposisi hutan dan sekaligus merupakan indikator masih utuhnya kawasan hutan di daerah tersebut (PPLH Universitas Mulawarman, 1999 dalam Aipassa, 2004). Dari semua jenis mamalia yang telah teridentifikasi, terdapat dua jenis yang termasuk kategori lower risk (beresiko rendah) yaitu babi jenggot (Sus barbatus) dan owa kelawat (Hylobates muelleri). Untuk kelompok burung (aves), dalam kawasan HLGL keanekaragaman jenisnya tergolong tinggi diantaranya jenis yang endemik di Pulau Kalimantan adalah bondol kalimantan (Lonchura fuscans), tiong batu kalimantan (Pityriasis gymnocephala), sikatan kalimantan (Cyornis superbus) dan pentis kalimantan (Prionochilos xanthopyangius). Jenis-jenis enggang seperti julang emas (Aceros undulatus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang jambul (Aceros comatus), enggang klihingan (Anorrhinus galeritus), julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan rangkong gading (Buceros vigil), kacembang gading (Irena puella), luntur diard (Harpactes diardii), kucica hutan (Copsychus malabaricus), tukik
tikus
(Sasia
abnormis),
sempur
hujan
sungai
(Cymbirhynchus
macrorhynchos), paok delima (Pitta granatina), kuau raja (Argusianus argus), elang ular (Spilornis cheela palidus), seriwang asia (Tersiphone paradisi) dan lain sebagainya. Sedangkan dari kelompok reptilia dan amphibi jenis yang terdapat di kawasan HLGL diantaranya Ular cincin emas (Boiga dendrophilia) dan katak tanduk (Megophrys nasuta).
D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Wilayah kawasan Hutan Gunung Lumut sebelum ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, wilayah tersebut telah didiami oleh masyarakat adat Dayak Paser secara turun temurun bahkan telah mencapai 13 generasi. Sehingga secara tradisional sesungguhnya wilayah HLGL dan sekitarnya telah terbagi ke dalam hak kelola tradisional (adat) oleh 13 wilayah adat desa-desa di sekitarnya dan satu dusun berada dalam kawasan yang termasuk dalam empat kecamatan. Dimana batas-batas desa tersebut dikenal dengan batas-batas alam yaitu daerah aliran sungai, ataupun punggung bukit atau gunung. Seperti Sungai Pias, Sungai Tiwei, Sungai Mului, Sungai Kesungai dan lain-lain (Saragih, 2004). Pada
21
umumnya kepadatan populasi penduduk desa-desa tersebut sangatlah rendah, kecuali desa-desa yang berada pada bagian selatan hutan lindung dan bersinggungan langsung dengan jalan raya Kalimantan Timur-Kalimantan Selatan (Wahyuni et al., 2004). Bagi masyarakat sekitar kawasan, HLGL berperan secara ekologis sebagai sumber protein hewani masyarakat serta mendukung kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan dan transportasi sungai bagi masyarakat. Kebutuhan protein hewani yang bersumber dari binatang buruan atau ikan sungai, demikian juga sebagai sumber air minum bagi rumah tangga, dan sebagai daerah tangkapan air bagi sungai-sungai kecil dan besar di sekitar kawasan seperti Sungai Kendilo dan Sungai Telake. Masyarakat asli yang bertempat tinggal di sekitar kawasan HLGL memenuhi hampir semua kebutuhannya dari wilayah hutan baik itu dari wilayah hutan lindung maupun dari hutan di sekitar hutan lindung. Seperti kebutuhan akan kayu bakar, perumahan, pangan (air, sayuran, dan daging/ikan), obat-obatan, dan upacara adat. Masyarakat yang berdiam di dan sekitar kawasan HLGL memiliki ketergantungan terhadap ketersediaan berbagai macam jenis pangan yang berasal dari hutan, secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan protein hewani dipenuhi secara berburu di dalam hutan dan bahkan kegiatan tersebut merupakan kegiatan utama sebagai cara mendapatkan uang tambahan bagi beberapa rumah tangga yang berdiam di kawasan tersebut. Pada umumnya masyarakat desa-desa yang berada dalam dan di sekitar HLGL bekerja di bidang pertanian dengan pengelolaan lahan pertanian yang masih tradisional (Wahyuni et al., 2004). Jenis mata pencaharian lain masyarakat adalah berdagang, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan serta bidang lainnya. Dominasi pekerjaan masyarakat sebagai petani, terlihat dari luasan lahan yang dijadikan areal pertanian dan perkebunan di daerah sekitar kawasan HLGL. Upaya-upaya lain dari masyarakat untuk menambah pendapatannya adalah dengan mendulang emas (bagi desa tertentu, kegiatan ini dilakukan hanya pada saat gagal panen), menjadi tukang ojek motor, dan buruh.
22
IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dalam kawasan HLGL yang berlokasi di desa sekitar kawasan yaitu Desa Rantau Layung dan Desa Pinang Jatus, komunitas dalam kawasan yaitu Dusun Mului, Kabupaten Pasir, dan Kota Balikpapan Propinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini dilaksanakan selama 54 hari efektif yaitu pada bulan Oktober 2005 sampai dengan Februari 2006.
B. Ruang Lingkup dan Peralatan Ruang
Lingkup
penelitian
ini
adalah
pihak-pihak
yang
terkait
(stakeholder) dalam setiap pengelolaan HLGL, seperti masyarakat sekitar dan dalam kawasan, Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Balai Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi Wilayah Paser, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), baik lokal (Persatuan Masyarakat Adat Paser) maupun internasional (Tropenbos Internasional Indonesia), pihak swasta yaitu HPH (PT. Rizky Kacida Reana), dan pihak-pihak terkait lainnya. Peralatan penelitian yang digunakan adalah peta kawasan HLGL, tape recorder, kamera, handycam, panduan wawancara dan alat tulis.
C. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode: 1. Metode pengamatan (observation) langsung, dengan tujuan mengamati secara langsung pihak-pihak terkait (stakeholder) dalam hal pengelolaan kawasan HLGL, mengetahui masalah-masalah yang ada di lapangan. 2. Metode wawancara mendalam (in-depth interviewing), yaitu wawancara responden setiap stakeholder secara mendalam untuk memahami setiap jawaban dari pertanyaan yang diajukan secara fleksibel, terbuka, tidak baku, informal, dan tepat sasaran.
23
3. Studi pustaka dan literatur Studi ini dilakukan untuk menunjang keabsahan dan pendalaman data untuk menganalisis data yang akan dilakukan. Adapun data-data yang diambil terdiri atas data pokok dan data penunjang, yaitu: a. Data Pokok, adalah data yang diambil melalui pengamatan langsung di lapangan (observasi lapang) dan wawancara mendalam yang di dalamnya meliputi: • Masyarakat lokal: biodata, bentuk interaksi dengan kawasan HLGL, kerarifan lokal masyarakat adat yang kaitannya dengan pengelolaan hutan, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, pola interaksi dengan para stakehoder yang lain. • HPH: biodata, bentuk interaksi yang mereka lakukan terhadap kawasan HLGL, kontribusi yang diberikan terhadap pengelolaan HLGL, kontribusi yang diberikan pada masyarakat sekitar HPH, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, interaksi dengan para stakehoder yang lain. • Pemda: Sejarah kawasan, visi dan misi (terutama di sektor kehutanan), bentuk interaksi dengan kawasan HLGL, potensi kawasan hutan di Kabupaten Pasir, permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kawasan HLGL dan penyelesaiannya, program maupun rencana strategi pembangunan
kehutanan
di
Kabupaten
Pasir,
kebijakan
yang
dikeluarkan kaitannya dengan pengelolaan kawasan HLGL, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, rencana tata ruang dan wilayah Kabupaten Pasir, pola interaksi dengan para stakehoder yang lain. • LSM: Sejarah kawasan, visi misi LSM, potensi kawasan HLGL, kontribusi terhadap kawasan HLGL, harapan terhadap para pengelola kawasan HLGL (stakeholder) yang lain, harapan terhadap HLGL, pola interaksi dengan para stakehoder yang lain. • Masalah-masalah pengelolaan hutan yang terjadi di lapangan.
24
b. Data Penunjang Adapun data sekunder yang akan diambil meliputi rencana strategis sektor kehutanan Kabupaten Pasir tahun 2001-2005, potensi kehutanan Kabupaten Pasir, potensi HLGL, undang-undang yang berkaitan dengan sektor kehutanan, rencana tata ruang Kabupaten Pasir, kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan HLGL serta semua kebijakan yang berkaitan dengan kawasan HLGL. Tabel 1. Daftar nama responden No. 1. 2.
Nama Ir. Abdul Azis Maulana, MSi Gatot Bintara, DS, S.Sos
3.
Ir. Bambang Purwanto
4.
A.S Fathur Rahman
5.
Romif Erwinadi
7. 8 9. 10.
Samsuddin Dedi Armansyah Ardiansyah Dr. Dicky Simorangkir
Posisi/Jabatan Kepala Dinas Kepala Seksi Inventarisasi Pengkodean dan Perpetaan Kepala Seksi Pengelolaan Hutan Lindung Kepala Bidang Program Pembangunan Kepala Sub Bidang Perhubungan Staf Dinas Ketua Dewan Adat Sekretaris Ketua Tim Program
11.
Tunggul Butar Butar
Forest Partnership Team
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Jidan Jahan Jiham Semok Abdul Rifai Marli Ali Abad Nasrul Madan Lawut Jeket Sumadi Graham Doni
Wakil Ketua Adat Anggota masyarakat Anggota masyarakat Ketua Adat Kepala Desa Ketua RT Wakil Ketua Adat Tetua masyarakat Anggota masyarakat Anggota masyarakat Ketua adat Anggota masyarakat Kepala Desa Anggota masyarakat Anggota masyarakat
Institusi Dinas Kehutanan Pasir Dinas Kehutanan Pasir Dinas Kehutanan Pasir Bappeda Bappeda Dinas Sosial PeMA Paser PeMA Paser Tropenbos Internasional Indonesia Tropenbos Internasional Indonesia Dusun Muluy Dusun Muluy Dusun Muluy Desa Rantau Layung Desa Rantau Layung Desa Rantau Layung Desa Rantau Layung Desa Rantau Layung Desa Rantau Layung Desa Rantau Layung Desa Pinang Jatus Desa Pinang Jatus Desa Pinang Jatus Desa Pinang Jatus Desa Pinang Jatus
25
Tabel 2. Observasi lapang Sumber data Jenis data Tujuan penelitian Kawasan • Keadaan implementasi kebijakan di • Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL HLGL kawasan HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan • Potensi kawasan HLGL hutan lindung lestari
Tabel 3. Penelusuran dokumen dan wawancara Sumber data Jenis data Masyarakat Rantau Layung, • Bentuk kepentingan dengan Desa Pinang Jatus, dan Dusun kawasan HLGL Mului • Kearifan lokal kaitannya dengan pengelolaan kawasan
Tujuan • Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Dinas Kehutanan Kabupaten Paser
Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Paser
BKSDA Seksi Konservasi Wilayah Pasir
• • • • • •
Visi dan misi Renstra 2001-2005 Peta kawasan Tupoksi Sejarah kawasan Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain • Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL • RTRW Kabupaten Paser • Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain • Peta kondisi penutupan lahan Kabupaten Paser • Tupoksi • Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL • Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap
26
• Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
stakeholder HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan
• Kebijakan yang dikeluarkan berkaitan dengan pengelolaan kawasan • Bentuk kepentingan dengan kawasan HLGL
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
Persatuan Masyarakat Adat Paser • Visi dan misi • Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap • Kerjasama dengan stakeholder lain stakeholder HLGL • Bentuk kepentingan dengan • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk kawasan HLGL mencapai pengelolaan hutan lindung lestari Tropenbos Internasional Indonesia
PT. Rizky Kacida Reana
• Visi dan misi • Program yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan • Bentuk kepentingan dengan kawasan • Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain • Bentuk kepentingan dengan kawasan • Bentuk kerjasama dengan stakeholder lain
• Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan lindung lestari • Mengevaluasi setiap kebijakan pengelolaan HLGL yang dikeluarkan oleh setiap stakeholder HLGL • Merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan HLGL yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan lindung lestari
27
Karakteristik SDA dan SDM Hubungan antara SDM dan SDA Masalah di lapangan
Kebijakan tiap stakeholder
Hubungan antara stakeholder
SITUATION
STRUCTURE
Kawasan yang khas Tata batas Illegal logging Pengelolaan kawasan dengan paradigma lama Stakeholder masih ego sektoral
Stakeholder HLGL Jenis kebijakan tiap stakeholder Interaksi antar stakeholder dalam konteks kelembagaan pengelolaan HLGL
Gambar 7. Kerangka penelitian
Perturan informal
BEHAVIOR
Program dan aktivitas para stakeholder HLGL
Rekomenedasi Kebijakan Pengelolaan HLGL Lestari (expected performance)
PERFORMANCE
Indikator-indikator kinerja yang dapat diamati di lapangan antara lain: perburuan, illegal logging, perladangan bergulir dan lain sebaginya (exisisting performance)
28
D. Analisis dan Sintesis Data Analisis data yang digunakan dalam pengolahan data menggunakan analisis deskriptif dan tabulasi (penyajian data dalam bentuk tabel). Data-data yang telah diambil dan dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan metode content analysis (analisis isi) yang mendeskripsikan setiap isi dari kebijakan yang ada dalam pengelolaan HLGL. Analisis hirarki digunakan untuk melihat antara keterkaitan perundang-undangan yang berlaku dari undang-undang skala nasional, peraturan pemerintah daerah, Surat Keputusan Bupati, kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta, hingga kearifan lokal masyarakat sekitar dan dalam hutan yang berkaitan dalam pengelolaan HLGL. Data yang diperoleh diklasifikasi berdasarkan Situation, Structure, Behavior, dan Performance (SSBP). Kemudian data disintesakan untuk memahami kondisi dari Situation, Stucture, Behavior, dan Performance dari HLGL. Metode SSBP digunakan untuk mengidentifikasi rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dari pengelolaan HLGL lestari.
29
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Konsep Ideal Pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut Pengelolaan hutan lindung menurut PP No. 25 tahun 2000 tentang Perencanaan Kehutanan menyatakan bahwa wewenang pengelolaan kawasan hutan lindung ada di tangan di tangan Pemerintah Kabupaten. Untuk itulah Pemerintah Kabupaten Pasir membentuk Dinas Kehutanan Pasir pada tahun 2001 sebagai instansi yang berada langsung di bawah Bupati Pasir yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan setiap kawasan hutan kecuali cagar alam. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, studi pustaka, dan wawancara mendalam dapat diketahui sampai dengan sekarang kawasan HLGL masih berada dalam tanggung jawab Dinas Kehutanan Pasir. Hal ini ini tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Mengacu pada PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan, yang bertanggung jawab terhadap setiap pengelolaan kawasan hutan lindung adalah sebuah unit pengelolaan yang khusus mengelola satu kawasan hutan lindung atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Pasir. Berdasarkan UU No. 41 tahun 1999, pengelolaan hutan meliputi kegiatan: 1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. 2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan 3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan 4. Perlindungan dan konservasi hutan Menurut PP No. 44 tahun 2004 ayat 1 kegiatan yang perencanaan hutan meliputi: 1. Inventarisasi hutan 2. Pengukuhan kawasan hutan 3. Penatagunaan kawasan hutan 4. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan 5. Penyusunan rencana kehutanan
30
Kawasan HLGL memerlukan satu unit pengelola karena dari sekian banyaknya stakeholder HLGL tidak ada satu pun yang melakukan kegiatan pengelolaan secara menyeluruh. Stakeholder HLGL hanya melakukan hanya di salah satu kegiatan pengelolaan hutan. Kaitannya dalam pembentukan satu unit pengelola, Pemerintah Kabupaten Pasir mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 tentang pembentukan kelompok kerja pengelolaan hutan lindung gunung lumut dan Surat Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim forum sistem informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial Kabupaten Pasir. Kebijakan di atas dapat digunakan sebagai langkah awal dari pelibatan seluruh stakeholder Kabupaten Pasir dalam mengelola kawasan HLGL secara keseluruhan. Melalui kebijakan tersebut Pemerintah Kabupaten Pasir diharapkan mampu membentuk suatu unit pengelola khusus atau KPHL HLGL yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati Pasir.
B. Karakteristik Stakeholder Pengelolaan HLGL B.1. Masyarakat Desa Rantau Layung Desa Rantau Layung terletak di sekitar kawasan HLGL yang sebagian wilayahnya adalah kawasan HLGL. Secara administratif Desa Rantau Layung berada di Kecamatan Batu Sopang serta di utara berbatasan dengan Desa Pinang Jatus, Desa Long Sayo, dan Tiwei, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rantau Buta, sebelah barat berbatasan dengan Desa Long Gelang, Kecamatan Kuaro, dan sebelah sebelah barat berbatasan dengan Desa Long Sayo, Desa Prayon dan Desa Uko. Menurut data statistik kecamatan Desa Rantau Layung memiliki luas 183,18 2
km . Jumlah kepala keluarga Desa Rantau Layung adalah 58 kepala keluarga dengan jumlah penduduk total 149 jumlah jiwa. Desa Rantau Layung mayoritas adalah suku Paser Kendilo.11 Sebelum menempati daerah yang sekarang Desa Rantau Layung terletak di rantau sungai Kesungai. Pada masa penjajahan Belanda Mereka hidup terpencar 11
Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
31
antara satu dengan yang lainnya tetapi masih dalam satu daerah. Kemudian Belanda menawarkan kepada warga Rantau Layung untuk pindah ke Long Ikis atau Batu Kajang, karena di sana akses untuk keluar lebih mudah. Tetapi pada tahun 1945 warga Rantau Layung memilih untuk kembali ke daerahnya semula, tetapi hingga sekarang masih ada warga Rantau Layung yang memutuskan untuk menetap di Long Ikis dan Batu Kajang. Asal kata desa tersebut adalah karena adanya pohon layung, sejenis duren, yang ada di daerah asal mereka dulu. Warga Rantau Layung bermata pencaharian utama sebagai petani di ladang mereka yang ditanami oleh padi ladang. Ladang mereka terletak di sekitar desa mereka tetapi tidak berada di dalam kawasan HLGL. Lahan tempat mereka berladang bervariasi luasnya yaitu sekitar ±1 ha setiap kepala keluarga tetapi dapat lebih luas sesuai dengan kemampuan dari setiap kepala keluarga tersebut. Desa Rantau Layung menerapkan kebijakan adat bahwa setiap kepala keluarga berhak memiliki 1 ha kebun. Kebun tersebut oleh setiap kepala keluarga ditanami rambutan, durian, pisang, singkong, ubi, rotan, dan juga pinang. Warga Rantau Layung sangat tergantung pada HLGL karena tanpa HLGL warga Rantau Layung tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tambahan mereka. Cara yang mereka lakukan adalah warga Rantau Layung sangat bergantung pada HLGL. Hal ini dapat dilihat dari cara memenuhi kebutuhan biaya hidup tambahannya, warga Rantau Layung melakukan kegiatan mengambil hasil hutan ke dalam kawasan HLGL. Adapun hasil hutan yang mereka ambil berupa burung, rotan, madu, gaharu, menjerat binatang seperti kancil, rusa, kijang, babi hutan, dan juga ikan. Madu yang dimanfaatkan oleh warga Rantau Layung diambil dari pohon madu (Koompasia malacensis) yang berada tersebar di dalam maupun di sekitar kawasan HLGL. Karena hal tersebut maka pohon madu dikeramatkan oleh warga Rantau Layung dan akan dikenai denda yang sangat besar bila ada yang menebang pohon tersebut karena itu sama saja dengan membunuh kehidupan dari suatu keluarga.
32
1
2
Gambar 8. Pohon madu (Koompasia malacensis[1] ) dan burung kuau (Argusianus argus[2] ) Sumber (2): http://bird.incoming.jp/08/jpgl/1063.jpg
Setiap kepala keluarga atau orang yang telah dewasa akan memiliki satu atau lebih pohon madu sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Khusus untuk orang yang baru dewasa dapat mencari pohon madu yang ada di dalam kawasan yang belum dimiliki oleh warga yang lain dan segera melaporkannya kepada ketua adat pohon madu akan mulai dibersihkan pada waktu akhir musim hujan dan lebah akan mulai menghinggapi pohon madu tersebut pada waktu awal musim kering dan madu akan siap dipanen pada saat akhir musim kering atau awal musim hujan. Tetapi dalam satu tahun belum tentu pohon madu akan menghasilkan sarang madu karena tergantung dari banyak sedikitnya hujan yang turun di daerah tersebut. Semakin sedikit atau tidak turun hujan maka kesempatan untuk mendapatkan madu akan lebih besar. Dalam satu pohon madu dapat dijumpai 1 atau lebih sarang madu yang memiliki hasil madu kira-kira 5 liter sampai dengan 20 liter dengan harga 1 liter madu di dalam desa dijual dengan harga Rp. 50.000. Rotan yang dimanfaatkan oleh warga Rantau Layung berasal dari luar kawasan HLGL tetapi tidak jarang dari mereka juga mengambil rotan dari dalam kawasan. Sebab rotan yang ada di dalam kawasan HLGL relatif masih besar dan panjang-
33
panjang. Mereka mengambil rotan dengan tidak terjadwal, artinya mereka hanya mengambil rotan pada saat mereka membutuhkan saja. Warga Rantau Layung menangkap burung di dalam kawasan HLGL. Burung yang mereka tangkap biasanya dijual kepada pengumpul yang berasal dari kota Pasir yang datang khusus ke dusun mereka walau tidak pasti kapan. Biasanya warga Rantau Layung menangkap burung pada musim kering, karena musim kering memudahkan mereka untuk melihat burung yang akan mereka tangkap. Burung merak kalimantan atau burung kuau (Argusianus argus) diburu khusus untuk dijadikan bahan pangan mereka atau bulu dari burung tersebut dijadikan hiasan di rumah-rumah. Untuk jenis burung yang dijual biasanya adalah murai batu, bubut alang-alang selain itu burung-burung tersebut dijadikan binatang piaraan mereka karena bunyi yang bagus menurut mereka. Berburu hewan buruan seperti kijang kancil (Tragulus napu), rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus barbatus), dan juga kijang (Muntiacus muntjak) dilakukan oleh warga Rantau Layung untuk memenuhi kebutuhan protein mereka dan juga sebagai sumber penghasilan tambahan. Cara yang paling sering mereka lakukan adalah dengan jerat. Hasil buruan dibawa mereka langsung ke pasar dan dijual. Tabel 4. Interaksi masyarakat Desa Rantau Layung dengan kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut Keluarga
Berladang
Mengumpulkan
Berburu
1
__
9
9
2
__
9
9
3
__
4
madu
Mencari
Mencari
Mencari
gaharu
burung
rotan
9
9
__
9
__
9
9
__
__
9
9
__
9
__
__
9
9
5
__
9
9
9
__
6
__
9
9
9 __
__
9
34
B.2 Masyarakat Desa Pinang Jatus Desa Pinang Jatus terletak di dalam wilayah administratif Kecamatan Long Kali, yang berbatasan di utara dengan Desa Muara Lambakan, dan Perkuin, sebelah selatan dengan Desa Tiwei dan Desa Rantau Layung, sebelah timur dengan Desa Belimbing, dan sebelah barat dengan Desa Swanselutung. Desa Pinang Jatus terdiri dari 60 kepala keluarga dengan jumlah total penduduk 283 jumlah jiwa. Mayoritas penduduk Desa Pinang Jatus adalah suku Paser Telake. Dinamakan Desa Pinang Jatus karena pada jaman dahulu kala ada seseorang yang melanggar perturan adat di desa tersebut sebanyak 100 real, tetapi karena tidak mampu maka orang tersebut mengganti dengan 100 batang pohon pinang. Pada tahun 1960 agama Kristen masuk ke desa tersebut, maka sebagian warga Desa Pinang Jatus memeluk agama Kristen. Banyak dari warga Desa Muara Lambakan yang tidak mau memeluk agama Islam pindah ke Desa Pinang Jatus. Berbeda dengan Dusun Mului yang berada di dalam kawasan dan Desa Rantau Layung yang sebagian wilayahnya terdiri merupakan kawasan HLGL, maka Desa Pinang Jatus adalah desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HLGL dengan jarak kurang lebih 20 km dari pusat desa. Bertani padi ladang di sekitar desa adalah mata pencaharian utama mereka. Dengan pembagian 1 ha atau lebih sesuai dengan kemampuan dari masing-masing kepala keluarga. Warga Desa Pinang Jatus tidak terlalu tergantung dengan kawasan HLGL karena jarak yang jauh antara desa dengan kawasan. Hampir semua kebutuhan hidup warga Desa Pinang Jatus dapat dicukupi dari daerah sekitar mereka. Akan tetapi warga Pinang Jatus tetap mengandalkan hasil hutan yang berasal dari kawasan HLGL sebagai sumber penghasilan tambahan mereka.
35
Tabel 5. Interaksi masyarakat Desa Pinang Jatus dengan kawasan HLGL Keluarga
Berladang
Mengumpulkan
Berburu
1
__
__
2
__
__
__
3
__
__
4
__
__
5
__
madu
9
9
Mencari
Mencari
Mencari
gaharu
burung
rotan
9
9
__
__
9
__
__
9
9
__
__
9
9
9
__
9
9
9
B.3 Masyarakat Dusun Mului Dusun Mului merupakan komunitas suku Paser yang berada di dalam kawasan HLGL, yang secara administratif masuk ke dalam Desa Swanselutung, Kecamatan Muara Komam, dengan luas wilayah 496,78 km2. Mempunyai batas wilayah utara berbatasan dengan Desa Kepala Telake, selatan dengan Desa Muara Payang, timur dengan Desa Long Sayo, dan barat dengan Desa Lusan12. Dusun Mului terdiri dari 18 kepala keluarga dengan 118 jumlah jiwa yang menempati 58 rumah yang berada di sepanjang jalan logging PT. Rizky Kacida Reana kilometer 58. Dusun Mului termasuk RT 8 yang merupakan bagian dari Desa Swanselutung. Pada tahun 1970-an warga Mului hidup berpencar antara satu keluarga dengan yang lainnya yaitu di daerah hulu Sungai Sowan dan Sungai Mului atau yang lebih dikenal dengan daerah Mului Lama. Mereka beralih tempat pada tahun 2001 atas bantuan dari Dinas Sosial Kabupaten Pasir warga Mului direlokasi dari tempatnya yang lama ke tempat yang baru dalam bagian dari proyek masyarakat tertinggal. Dinas Sosial berrtujuan menempatkan mereka ke daerah yang lebih baik. Hal ini dikarenakan lingkungan daerah yang lama dirasakan tidak sehat lingkungan, hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang relatif tidak bertambah dari tahun ke tahun karena banyaknya balita masyarakat Dusun Mului yang menderita sakit penyakit dan meninggal sebelum tumbuh remaja.
12
Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
36
Gambar 9. Sejarah perpindahan warga Dusun Mului Sumber: Tropenbos Internasional Indonesia
Masyarakat Dusun Mului hidup dari bercocok tanam padi ladang yang ditanam secara bergulir dari satu daerah ke daerah yang lain, yang meraka namakan ladang bergulir. Mereka menolak ungkapan ladang berpindah karena apa yang mereka lakukan berbeda, yaitu dengan kembali ke tempat semula setelah berpindah beberapa kali. Luas dari ladang mereka berbeda-beda antara satu keluarga dengan yang lainnya tergantung kesanggupan masing keluarga. Tanaman lain yang menjadi komoditi warga Mului berupa kopi, rotan, pisang, durian, elai, dan tanaman buah-buahan lainnya. Tanaman tersebut mereka tanam di sekitar dusun mereka tempati. Hasil dari tanaman buah tersebut dijual dan dapat menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat. Selain bertani mereka juga berternak ayam karena mudah dipelihara dan dapat mencari makanannya sendiri. Warga Mului sangat bergantung pada HLGL. Hal ini dapat dilihat dari untuk memenuhi kebutuhan biaya lainnya warga Mului mencukupi kebutuhannya dengan cara mengambil hasil hutan ke dalam kawasan HLGL. Adapun yang mereka ambil
37
seperti burung, rotan, madu, gaharu, menjerat binatang seperti kancil, rusa, kijang, babi hutan, dan juga ikan. Warga Mului memiliki kebijakan adat sendiri dalam mengatur pola pemanfaatan hasil hutan yang bertujuan untuk mencegah terjadi kerusakan hutan dan juga untuk kesejahteraan masyarakat Mului sendiri. Madu yang dimanfaatkan oleh warga Mului diambil dari pohon madu (Koompasia malacensis) yang berada tersebar di dalam kawasan HLGL. Karena hal tersebut maka pohon madu dikeramatkan oleh warga Mului dan akan dikenai denda yang sangat besar bila ada yang menebang pohon tersebut karena itu sama saja dengan membunuh penghidupan dari suatu keluarga. Setiap kepala keluarga atau orang yang telah dewasa akan memiliki satu atau lebih pohon madu sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Khusus untuk orang yang baru dewasa dapat mencari pohon madu yang ada di dalam kawasan yang belum dimiliki oleh warga yang lain dan segera melaporkannya kepada ketua adat pohon madu akan mulai dibersihkan pada waktu akhir musim hujan dan lebah akan mulai menghinggapi pohon madu tersebut pada waktu awal musim kering dan madu akan siap dipanen pada saat akhir musim kering atau awal musim hujan. Tetapi dalam satu tahun belum tentu pohon madu akan menghasilkan sarang madu karena tergantung dari banyak sedikitnya hujan yang turun di daerah tersebut. Semakin sedikit atau tidak turun hujan maka kesempatan untuk mendapatkan madu akan lebih besar. Dalam satu pohon madu dapat dijumpai 1 atau lebih sarang madu yang memiliki hasil madu kira-kira 5 liter sampai dengan 20 liter dengan harga 1 liter madu di dalam desa dijual dengan harga Rp. 50.000. Rotan yang dimanfaatkan oleh warga Mului berasal dari luar kawasan HLGL tetapi tidak jarang dari mereka juga mengambil rotan dari dalam kawasan. Sebab rotan yang ada di dalam kawasan HLGL relatif masih besar dan panjang-panjang. Mereka mengambil rotan dengan tidak terjadwal, artinya mereka hanya mengambil rotan diwaktu senggang mereka saja. Warga Mului menangkap burung di kawasan HLGL. Burung yang mereka tangkap biasanya dijual kepada pengumpul yang berasal dari kota Pasir yang datang
38
khusus ke dusun mereka walau tidak pasti kapan. Biasanya warga Mului menangkap burung pada musim kering, karena musim kering memudahkan mereka untuk melihat burung yang akan mereka tangkap. Burung merak Kalimantan atau burung kuau diburu khusus untuk di jadikan pangan mereka atau bulu dari burung tersebut dijadikan hiasan di rumah-rumah. Untuk jenis burung yang dijual biasanya adalah murai batu, dan punai selain itu burung-burung tersebut dijadikan binatang piaraan mereka karena bunyi yang menurut mereka bagus. Berburu hewan buruan seperti kijang kancil (Tragulus napu), rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus barbatus), dan juga kijang (Muntiacus muntjak) dilakukan oleh warga Mului untuk memenuhi kebutuhan protein mereka dan juga sebagai sumber penghasilan tambahan. Cara yang paling sering mereka lakukan adalah dengan jerat. Hasil buruan dibawa mereka langsung ke pasar dan dijual. Tabel 6. Interaksi Masyarakat Dusun Mului dengan Kawasan HLGL Keluarga Berladang Mengumpulkan Berburu Mencari madu gaharu 1 9 9 9 9 __ 2 9 9 9 __ __ 3 9 9 __ 4 9 9 9 __ 5 9 9 9 __ 6 9 9 9 __ 7 9 9 9 8 9 9 9 9
Mencari burung 9
Mencari rotan 9
__
__
9 9 9
__
__
9 9 9
__ __
9 __
B.4 Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir adalah instansi pemerintah yang langsung dibawahi oleh Bupati Kabupaten Pasir. Sesuai dengan surat keputusan Bupati Pasir nomor 17 tahun 2001 tentang uraian tugas Dinas Kehutanan Pasir, bahwa Dinas Kehutanan Pasir mempunyai tugas melaksanakan kewenangan otonomi daerah kabupaten di bidang kehutanan sesuai dengan data inventarisasi kewenangan Pemerintahan Kabupaten Kabupaten Pasir sebagai daerah otonom, yang ditetapkan oleh Bupati merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini. Dinas ini juga mempunyai fungsi sebagai perumus kebijaksanaan teknis sesuai dengan lingkup
39
tugasnya, penerbitan rekomendasi teknis perijinan dan pelayangan umum serta pembinaan terhadap unit pelaksanaan teknis dinas dan cabang dinas dalam lingkup tugasnya. Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir dibagi menjadi lima sub dinas yang terdiri dari: 1. Sub Dinas Pembinaan Hutan 2. Sub Dinas Penyuluhan 3. Sub Dinas Pengusahaan Hutan 4. Sub Dinas Penataan Hutan 5. Sub Dinas Perlindungan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan Pengelolaan HLGL dalam Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir secara langsung ditangani oleh Sub Dinas Perlindungan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan yang memiliki tugas membantu Kepala Dinas dalam melaksanakan sebagian tugas bidang perlindungan dan pengendalian kebakaran hutan sesuai dengan kebijaksanaan teknis yang telah ditetapkan. Adapun fungsi dari sub dinas ini adalah: 1. Pengumpulan dan pensistematisan, pengolahan, dan penyajian data 2. Pengaturan dan perumusan cara penjagaan, pengawasan guna mewujudakan perlindungan hutan 3. Penghimpunan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah hutan dan kehutanan 4. Penyelesaian masalah yang berhubungan dengan sengketa hukum dan perundang-undangan kehutanan 5. Pengkordinasian upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan 6. Pengaturan dan perumusan bagi terwujudnya perlindungan flora dan fauna 7. Pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan bidang tugasnya 8. Pelaksanaan tugas yang diberikan oleh Kepala Dinas 9. Pemberian penilaian dan penandatanganan BP3 bawahannya Sub Dinas Perlindungan Hutan dan pengendalian kebakaran hutan terdiri: 1. Seksi Pengamanan Hutan dan Monitiring 2. Seksi Pengeloaan Hutan Lindung
40
3. Seksi Kebakaran Hutan Seksi pengelolaan hutan lindung mempunyai tugas sebagai berikut: 1. Membantu kepala sub dinas sesuai dengan bidang tugasnya 2. Mengumpulkan, mensistematiskan, mengolah, dan menyajikan data 3. Mengatur, merumuskan pengelolaan hutan lindung, dan mengatur serta merumuskan bagi terwujudnya perlindungan flora dan fauna 4. Melaksanakan kegiatan yang yang sesuai dengan bidang tugasnya 5. Melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya maupun oleh kepala dinas 6. Memberikan penilaian dan menandatangani BP3 bawahannya
B.5 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pasir Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) merupakan lembaga pemerintah daerah yang bertugas mengumpulkan semua data dan program yang direncanakan oleh semua instansi-instansi pemerintah di wilayah Kabupaten Pasir. Bappeda merencanakan pembangunan wilayah Kabupaten Pasir dalam skala makro di semua bidang kerja Kabupaten Pasir termasuk bidang kehutanan. Hasil yang didapat oleh Bappeda dituangkan dalam bentuk Program Perencanaan Daerah (Propeda) dan juga dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten. Melalui Propeda dan RTRW, Bappeda menuangkan apa yang menjadi keinginan dari masing-masing instansi pemerintah kabupaten dengan tujuan untuk menciptakan kesinergisan dan supaya tidak terjadi tumpang tindih kepentingan masing-masing instansi. Wewenang Bappeda berdasar Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Bappeda No. 14 tahun 2002 tentang fungsi Bappeda kabupaten Pasir adalah sebagai lembaga koordinatif dengan perencanaan daerah pada seluruh sektor (Nooryashini et. al., 2004). Dalam pengelolaan HLGL, Bappeda mengambil peran dan posisi sebagai perencana dan pembuat kebijakan tidak sebagai dinas teknis yang bekerja secara operasional. Menurut Surat Keputusan Bupati Pasir No. 10 tahun 2000, tugas pokok Bappeda adalah membantu Bupati Pasir (dalam menentukan kebijaksanaan di bidang perencanaan pembangunan serta penilaian atas pelaksanaannya. Prinsipnya dalam
41
suatu program kerja atau kegiatan, Bappeda berwenang dalam masalah makro sedangkan teknisnya dinas terkait yang melaksanakan. Dalam pengelolaan Kabupaten Pasir, Bappeda bekerjasama dengan instansiinstansi lainnya seperti Dinas Perhubungan, Sub Dinas Pengairan, Kantor Pertanahan, Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Perikanan dan Sumberdaya Kelautan Pasir, Dinas Bapedalda Pasir, Badan Seketariat Daerah Pasir, dan Dinas Kehutanan Pasir. Dan untuk pengelolaan kawasan HLGL Bappeda bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Pasir, Tropenbos Internasional Indonesia, dan Badan Pengedalian Dampak Lingkungan Pasir dalam bentuk pelatihan GIS (Geographic Information System). Dalam bidang kerjanya Bappeda tidak mengeluarkan kebijakan yang mengatur secara langsung pengelolaan HLGL, karena Bappeda hanya berbentuk badan atau lembaga, bukan dinas terkait dengan bidang kehutanan. Bappeda mengumpulkan setiap data yang ada dari Dinas Kehutanan yang dituangkan dalam RTRW Kabupaten Pasir. Sesuai dengan Surat Keputusan Bupati No. 357 tahun 2005 tentang Pembentukan Tim Forum Sistem Informasi Geografis Pasir dalam Kegiatan Penyusunan Basis Data Spasial Kabupten Pasir maka dapat dilihat adanya kerjasama antara seluruh instansi pemerintah untuk menyusun database masing-masing informasi yang hasil akhirnya adalah terciptanya RTRW Kabupaten Pasir tahun 2006-2011. Karena selama ini yang menjadi penyusun utama RTRW adalah Bappeda. Dengan adanya forum ini, RTRW Kabupaten Pasir akan menjadi lebih valid karena melibatkan semua instansi pemerintah daerah yang mewakili kepentingannya masing-masing. Maka tumpang tindih kepentingan dan konflik lahan dapat dihindari. Menurut Undang Undang No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang pasal 36 menyebutkan bahwa adalah hak setiap orang untuk mengetahui rencana tata ruang dan berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam buku RTRW Kabupaten Pasir tahun 2001, dapat dilihat bahwa pelibatan masyarakat tidak ada sama sekali. Hanya camat saja
42
yang mewakili masyarakat, padahal apa yang diinginkan oleh masyarakat belum tentu dapat terakomodir oleh camat. Desa-desa di sekitar kawasan HLGL tidak mengetahui bahwa desa mereka menjadi bagian dari kawasan lindung menurut RTRWK tahun 2001. Untuk pelibatan masyarakat di desa-desa sekitar Kawasan HLGL, cukup ketua adat beserta wakilnya saja yang mengetahui rencana penyusunan RTRW Kabupaten Pasir. Ini berguna untuk menghindari ketidaktahuan masyarakat antara kawasan HLGL dengan lahan yang diusahakan oleh masyarakat untuk berladang dan berkebun rotan.
A. 6 UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan Kegiatan yang dilakukan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan di Kabupaten Pasir secara umum adalah mendukung dalam penyediaan peta dan melakukan pengukuran terfokus pada pal batas, inventarisasi potensi kayu dalam areal hutan produksi, pemantauan pemukiman di dalam kawasan hutan, membuat perencanaan hutan serta pemantauan perkembangan kawasan hutan. Kegiatan yang dilakukan di kawasan HLGL, diantaranya adalah melakukan pengukuran dan pembuatan tata batas kawasan hutan dan pemukiman dalam kawasan yang kemudian diikuti dengan rekonstruksi batas; kawasan HLGL sudah dilakukan 2x rekonstruksi pal batas yaitu pada tahun 1990 dan tahun 2003. Dengan panjang batas yang ditata batas berturut-turut adalah 20.600 Km dan 121.575 Km dengan ukuran pal batas yang dibuat UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan 15x15x30 cm terbuat dari kayu jenis ulin (Eusideroxylon zwageri) atau kayu kelas awet setempat. Kondisi pal batas kawasan HLGL terakhir yang dilakukan tim orientasi batas UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan tahun 2003 menghasilkan data sebanyak 1208 buah pal batas dengan rincian sebanyak 223 buah pal batas rusak akibat lapuk dan sebanyak 979 buah hilang atau tidak ditemukan karena dirusak dan dicabut oleh masyarakat sekitar kawasan serta masih terdapat 3 buah pal batas dalam kondisi baik (UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan, 2003).
43
B.7 Tropenbos Internasonal Indonesia Tropenbos Internasional Indonesia (TBI Indonesia) merupakan lembaga non pemerintah yang bergerak di bidang kehutanan yang berdiri di tahun 1987. Inti dari lembaga non pemerintah ini adalah penelitian di bidang kehutanan dan baru-baru ini menambah kegiatan besarnya dalam forest partnership yang tujuan akhirnya adalah untuk kegiatan penelitian. TBI Indonesia memiliki visi yaitu mendukung usaha-usaha pengeloalaan hutan secara lestari untuk kepentingan masyarakat, konservasi, dan pembangunan yang berkelanjutan. Misi TBI Indonesia adalah mendukung usaha-usaha pemnfaaatan dan pengelolaan hutan secara lebih baik bagi kepentingan lingkungan yang sehat, pembangunan yang berkelanjutan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya di Kalimantan Timur. Karena merupakan lembaga non pemerintah, maka TBI Indonesia tidak mengeluarkan kebijakan yang menunjang pengelolaan kawasan HLGL. Tetapi dalam kegiatannya, TBI Indonesia mendukung pengelolaan HLGL dan juga berinteraksi dengan lembaga pemerintahan untuk memberi masukan-masukan guna menyusun kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan HLGL kepada Pemerintah Kabupaten Pasir. Kegiatan penelitian yang telah diwadahi oleh TBI Indonesia untuk kemajuan pengelolaan HLGL dinyatakan dalam tabel di bawah ini.
44
Tabel 7. Program penelitian yang diwadahi oleh TBI Indonesia No.
Program Penelitian
Deskripsi Program
Pihak-pihak yang Terlibat Centre for Environmental Science (Netherlands), National Herbarium (Netherlands), The van Vollenhove Institute (Netherlands), Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Samarinda), Herbarium Loka Litbang Satwa Primata Wanariset (Samboja),
1.
Pertukaran nilai-nilai keanekaragam hayati dan eksploitasi hutan di area hutan tertentu wilayah Gunung Lumut, UntirBeratus dan sekitarnya (Trade-off biodiversity values and forest exploitation in selected forest areas of the Gunung Lumut Untir-Beratus extention area)
Penelitian ini bertujuan mempelajari pertukaran antara pelestarian keaneakaragam hayati dan ekstraksi produkproduk hutan (kayu dan non kayu) untuk membantu Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah dalam melakukan peran mereka untuk menutupi biaya pelestarian yang kian meningkat.
2.
Desain dan pengembangan suatu sistem monitoring dan sertifikasi yang efektif untuk mendukung pengelolaan hutan produksi yang berkelanjutan di Indonesia (Design and development of an effective monitoring and certification system to support sustainable management of production forest in Indonesia)
Penelitian ini akan menyeleksi dan mengadaptasikan suatu model pengelolaan hutan berkelanjutan dengan memperhatikan proses desentralisasi yang sedang berlangsung saat ini dan mempertimbangkan hak-hak dan kemitraan dari semua pihak terkait yang relevan serta mengembangkan sistem informasi yang efektif dan layak untuk mendukung model pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan untuk memantau praktek di tingkat konsesi.
International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (Netherlands), Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS (Surakarta), CIFOR (Bogor), Fakultas Kehutanan IPB (Bogor), Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (Yogyakarta), Departemen Kehutanan, PT. Hutan Sanggam Labanan Lestari
3.
Pengelolaan hutan hujan tropis yang berkelanjutan di Kalimantan: Pengembangan silvikultur dan konservasi genetik Ulin (Eusideroxylon zwageri) (Sustainable management of the tropical rainforest in Kalimantan: Silviculture development and genetic conservation of Ulin (Eusideroxylon zwageri)
Pusat Penelitian dan Pengembangan, Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman (Yogyakarta), Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan (Samarinda), Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Samarinda), Herbarium Loka Litbang Satwa Primata Wanariset (Samboja)
4.
Analisis Kelembagaan dalam Era Kebijakan Desentralisasi Kehutanan– Kasus di Propinsi
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan strategi pengelolaan berkelanjutan dari sumber genetik ulin untuk tujuan pelestariandan ditujukan pada penanganan isu-isu silvikultur dan pelestarian sumber genetik dari ulin, pemberdayaan masyarakat lokal untuk melakukan kegiatan pelestarian genetik (secara in situ dan ex situ) dan menyediakan bibit tanaman generatif dan vegetatif untuk rehabilitasi tegakan alam yang rusak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelembagaan kebijakan kehutanan era desentralisasi di Indonesia yang
Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan (Samarinda), Badan Penelitian dan
45
Kalimantan Timur Indonesia (An Institutional Analysis of Forest Policy Decentralisation - The case of East Kalimantan Province, Indonesia)
5.
Penilaian Keanekaragaman hayati di kawasan HLGL
dapat memberikan keuntungan untuk masyarakat lokal dan mendorong kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan sehingga memperoleh pemahaman tindakan yang lebih baik akan pemanfaatan sumberdayahutan dan untuk mengusulkan perubahan kebijakan yang mampu mendorong kelestarian pemanfaatan sumberdaya hutan Kegiatan ini merupakan rencana kegiatan TBI Indonesia pada tahun 2005. TBI Indonesia bermaksud melaksanakan ekspedisi kehati atau Biodiversity Assessment untuk mengumpulkan data kenakaragaman hayati yang baru, yang dapat digunakan untuk mendukung implementasi rencana pengelolaan HLGL
Pengembangan (Litbang) Kehutanan, Departemen Kehutanan
Centre for Environmental Science (Netherlands), National Herbarium (Netherlands), Naturalis (Netherlands), Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Samarinda), Herbarium Loka Litbang Satwa Primata Wanariset (Samboja), Balitbang Kehutanan Kalimantan (Samarinda), LIPI
B.8 Persatuan Masyarakat Adat Paser Persatuan Masyarakat Adat Paser (PeMA Paser) adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal yang ada di Kecamatan Long Ikis, Kecamatan Long Ikis. Lembaga ini berdiri di tahun 2000 yang dulunya bernama Aliansi Masyarakat Adat Paser yang kemudian berubah nama menjadi Persatuan Masyarakat Adat Paser dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat. Pada tahun 2002 resmi menjadi anggota AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Adapun yang menjadi tujuan dididrikannya PeMA adalah sebagai berikut: 1. Menjadi wadah perjuangan bersama dalam menegakkan hak-hak dan hukum adat masyarakat adat Paser 2. Mengembalikan kepercayaan diri, harkat, dan martabat masyarakat adat Paser
46
3. Meningkatkan rasa percaya diri, harkat, dan mertabat perempuan masyarakat adat Paser sehingga mereka mampu menikmati hak-haknya 4. Mengembalikan kedaulatan masyarakat adat Paser untuk mempertahankan hak ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan, hukum adat dan beragama 5. Mengembangkan kemampuan masyarakat adat Paser dalam mengelola sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh PeMA Paser selama ini adalah: 1. Menghadirkan berbagai pertemuan kerjasama dengan pemerintah daerah, LSM lokal, nasional maupun internasional, berkaitan dengan pembahasan kebijakan, antara lain mengenai kehutanan (hutan lindung) pengelolaan sumberdaya alam, dan lain-lain 2. Melakukan sosialisasi kegiatan PeMA Paser 3. Memfasilitasi penyelesaian konflik di dalam masyarakat adat sendiri 4. Memfasilitasi pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan 5. Memfasilitasi
pelatihan-pelatihan
di
dalam
masyarakat
adat
untuk
menguatkan kapasitas kelembagaan dan komunitas 6. Mengikuti berbagai pelatihan guna meningkatkan kapasitas personil PeMA Paser 7. Mempersiapkan oraganisasi untuk menjadi wadah pengelola bantuan secara langsung 8. Melakukan sosialisasi kegiatan loket di beberapa desa yang termasuk ke dalam DAS Adang dan berbagai persiapan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan ini 9. Melakukan kegiatan pembangunan ekonomi kerakyatan dengan membuat kelompok usaha bersama yang dikelola oleh perempuan adat 10. Melakukan kegiatan pendokumentasian adat Sesuai dengan tujuan utamanya, PeMA Paser dapat dikatakan salah satu stakeholder dari pengelola kawasan HLGL. Hal ini dikarenakan PeMA sudah banyak melakukan kegiatan dan berinteraksi dengan masyarakat di desa-desa dalam maupun
47
sekitar kawasan HLGL. Yang menjadi kelebihan dari PeMA Paser dibandingkan dengan stakeholder lainnya adalah bahwa PeMA Paser dapat diterima oleh masyarakat adat di desa sekitar HLGL karena anggota dari PeMA Paser merupakan orang asli dari suku Paser dan fasih berbahasa Paser.
B.9. Badan Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi Pasir Badan Konservasi Sumberdaya Alam Seksi Konservasi Pasir (BKSDA) Pasir menjadi salah satu stakeholder dalam pengelolaan HLGL karena BKSDA bertanggungjawab dalam peredaran satwa maupun tumbuhan di seluruh Kabupaten Pasir. Dengan menggunakan SATS (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa) yang dikeluarkan oleh BKSDA, setiap orang dapat melakukan kegiatan pengangkutan tumbuhan dan satwa dari dalam kawasan hutan di Kabupaten Pasir dan juga dapat mengeluarkannya dari wilayah Kabupaten Pasir. Hubungan BKSDA Pasir dengan instansi pemerintahan yang lain selama ini dirasakan kurang baik karena perbedaan garis koordinasi. BKSDA langsung dibawah garis koordinasi Pemerintah Pusat atau Departemen Kehutanan sedangkan instansi lainnya di bawah garis koordinasi Kepala Pemerintah Daerah atau Bupati Pasir. Tetapi akhir-akhir ini hubungan BKSDA dengan instansi pemerintah Kabupaten Pasir, dalam hal ini Dinas Kehutanan, mulai terjalin kerjasama. Dapat dilihat dari kegiatan inventarisasi anggrek hitam yang dilakukan oleh kedua instansi ini guna menyelamatkan populasi dari anggrek hitam yang ada di kawasan hutan yang berdekatan dengan pemukiman penduduk.
B.10. PT. Rizky Kacida Reana Sejak Indonesia mengalami masa desentralisasi dan pengeluaran izin atas usaha kayu diberikan oleh pemerintah kabupaten yaitu Dishut. PT. Rizky Kacida Reana (PT. RKR) mendapatkan izin pemanfaatan kayu hasil hutan sejak tahun 1970an. PT. RKR merupakan salah satu perusahaan swasta yang beroperasi di bidang pengusahaan kayu di Kabupaten Pasir yang memegang IUPHHK dari 15 IUPHHK yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Pasir tahun 2001.
48
Saat ini sedang menunggu keputusan Menteri Kehutanan untuk mengubah izin IUPHHK menjadi HPH PT. RKR baru memulai kegiatan pada bulan Januari tahun 2003 dengan luas areal konsesi sebesar 30.000 ha di desa Lusan dan Binangon, Kecamatan Muara Komam; areal konsesi berjarak 100 km dari kawasan HLGL Produksi hasil tebangan PT. RKR setiap bulan adalah sekitar 4000 m3 dengan izin tebangan seluas 1000 Ha/tahun (MoF-Tropenbos Kalimantan Programme, 2004). Pelaksana teknis PT. RKR adalah PT. Tran Jaya Pratama dengan jumlah karyawan sebanyak ± 60 orang. Lokasi karyawan (camp karyawan) berada di km 70 dari Simpang Pait, Kecamatan Long Ikis Kabupaten Pasir. Total jumlah karyawan PT. RKR keseluruhan mencapai 125 orang dengan status kerja harian, borongan dan bulanan (MoF-Tropenbos Kalimantan Programme, 2004). Mayoritas karyawan PT. RKR merupakan pendatang dari Pulau Jawa. Lokasi kantor perwakilan berada di Simpang Lombok. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar kawasan HLGL diberi hak dan kewajiban oleh Pemerintah Pusat (untuk pemegang HPH) dan Kabupaten Pasir (untuk pemegang IUPHHK). Semua perusahaan tersebut mempunyai kewajiban untuk merehablitasi lahan dan hutan dan membayar retribusi (Nooryashini et al., 2004). PT. RKR melakukan pembinaan desa dalam program pemberdayaan masyarakat untuk dusun Mului, desa Muara Payang, Long Sayo, Swan Selutung, dan Lusan. Jenis bantuan yang diberikan pada dusun Mului berupa bahan bakar solar untuk gen set satu drum (1000 liter) setiap bulan serta dana insentif Rp 150.000/bulan. Selain itu PT. RKR juga mengontrak pekerja sebagai hawkman dari Muluy dengan status harian, walaupun akhirnya banyak masyarakat Mului yang mengundurkan diri dan tidak memperpanjang kontrak karena pekerjaan yang dirasakan terlalu berat. PT. RKR juga membina pembangunan Dusun Mului dengan memberikan papan kayu yang akan digunakan untuk membangun rumah-rumah masyarakat.
49
C. Penggolongan Stakeholder HLGL HLGL dikelola oleh para stakeholder yang mengelola dengan cara dan kegiatannya masing-masing menurut kepentingan dan tugasnya. Dilihat dari identifikasi stakeholder di atas dapat terlihat bahwa ada 10 stakeholder yang mengelola kawasan HLGL. Mengacu pada Freeman dan Gilbert (1987), kriteria yang digunakan dalam pengklasifikasian stakeholder terhadap suatu kegiatan adalah berdasarkan: 1. Kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dari setiap stakeholder (Freeman, 1984) 2. Kepentingan (kepentingan) dan pengaruh (influence) yang mereka miliki (Grimble dan Wellard, 1996) 3. Program maupun kebijakan yang dikeluarkan 4. Kerjasama dan koalisi yang dilakukan antara stakeholder Berdasarkan kriteria di atas maka penggolongan stakeholder HLGL digambarkan dalam tabel stakeholder (stakeholder mapping) berikut:
Gambar 10. Penggolongan stakeholder HLGL
50
Melihat gambar tersebut dapat dilihat bahwa stakeholder HLGL memiliki beragam posisi dalam hal kepentingan dan pengaruhnya terhadap kawasan HLGL. Kepentingan stakeholder dilihat dari seberapa tinggi atau rendahnya kepentingan dari stakeholder terhadap kawasan HLGL baik dari pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan, penataan hutan, rehabilitasi hutan, serta perlindungan dan konservasi hutan (UU No. 41 tahun 1999). Kepentingan dari sebuah stakeholder dianalisis dari tingkat ketergantungan dari stakeholder terhadap kawasan dan juga dilihat berdasarkan stakeholder yang paling awal terkena dampak jika adanya perubahan yang terjadi pada kawasan, baik yang positif maupun negatif. Sedangkan pengaruh dianalisis berdasarkan seberapa kuatnya kekuasaan yang dimiliki oleh stakeholder dapat mempengaruhi pengelolaan kawasan HLGL. Masyarakat desa sekitar dan dalam hutan yang ada di HLGL, Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului merupakan stakeholder yang memiliki pengaruh dan kepentingan tinggi. Memiliki kepentingan yang tergolong tinggi karena masyarakat ketiga desa ini sangat bergantung kepada kawasan HLGL. Kebutuhan masyarakat dicukupi dari kawasan HLGL yang meliputi kegiatan berburu satwa sebagai sumber protein dan penghasilan, kegiatan pengumpulan madu hutan, rotan, dan gaharu yang mencukupi kebutuhan mereka dalam penghasilan rumah tangga tambahan. Khusus untuk masyarakat Dusun Mului, kawasan HLGL menjadi tempat bagi kegiatan berladang mereka. Kegiatan berladang ini sudah ada sebelum penetapan kawasan HLGL. Ketiga stakeholder ini memiliki pengaruh yang tinggi karena jika ditelusuri dengan seksama sejarah yang dimiliki oleh mereka erat kaitannya dengan kawasan HLGL karena mereka sudah ada jauh sebelum adanya penetapan HLGL (1983), bahkan jauh juga dari penetapan areal konsesi dari PT. Telaga Mas (1970). Maka ketiga stakeholder ini memiliki pengaruh yang tinggi berdasarkan hak tenurial dari leluhur mereka dan akan sangat sulit untuk mentraslokasi mereka ke tempat yang baru. Dinas Kehutanan Pasir, Bappeda Pasir, UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan, dan BKSDA Seksi Konservasi Wilayah Pasir berada digolongkan
51
sebagai stakeholder yang memiliki pengaruh yang tinggi tetapi memiliki kepentingan rendah. Dinas Kehutanan Pasir dan Bappeda Pasir berpengaruh tinggi karena kedua institusi ini memiliki wewenang langsung dari pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Pasir. Dinas Kehutanan memiliki wewenang langsung dalam hal pengelolaan seluruh kawasan Hutan yang berada dalam wilayah adminstratif Kabupaten Pasir (PP No. 62 tahun 1998 dan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990), kecuali kawasan dengan status kawasan pelestarian alam, kawasan suaka margasatwa, dan taman buru (UU No. 5 tahun 1990, UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 68 tahun 1998). Bappeda Pasir memiliki wewewang yang juga berasal Bupati Pasir dalam hal perencanaan tingkat kabupaten Pasir (tugas pokok dan fungsi Bappeda No. 14 tahun 2002 tentang fungsi Bappeda Kabupaten Pasir serta Perda Kabupaten Pasir No. 20 tahun 2000). Kaitannya dengan pengelolaan HLGL adalah Bappeda Pasir bertugas untuk menyusun RTRW Kabupaten Pasir yang salah satu isinya adalah perencanaan kawasan lindung karena HLGL termasuk ke dalam kriteria kawasan lindung. UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan memiliki wewenang yang berasal dari Gubernur Propinsi Kalimantan Timur (Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 50 tahun 2000 Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah), dimana hasil dari segala kegiatan UPTD ini akan digunakan sebagai dasar penataan batas kawasan HLGL. BKSDA Seksi Koservasi Wilayah Pasir memiliki pengaruh yang tinggi dalam hal pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa dari seluruh kawasan hutan yang ada di Kabupaten Pasir tanpa terkecuali. Asal kewenangan dari BKSDA ini adalah langsung dari pemerintah pusat atau Departemen Kehutanan, sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 dan UU No. 41 tahun 1999.
52
Tabel 8. Jenis pengaruh, asal kewenangan, dan bentuk kepentingan stakeholder Hutan Lindung Gunung Lumut Stakeholder Asal Jenis Bentuk kepentingan
Masyarakat Desa Rantau
kewenangan
pengaruh
Kerarifan lokal
Hak tenurial
Pemanfaatan hutan
Kerarifan lokal
Hak tenurial
Pemanfaatan hutan
Kerarifan lokal
Hak tenurial
Pemanfaatan hutan dan penggunaan
Layung Masyarakat Desa Pinang Jatus Masyarakat Dusun Mului
kawasan Dinas Kehutanan
Pemkab Pasir
Hak mandat
Penataan hutan Perencanaan hutan Rehabilitasi Perlindungan dan konservasi hutan
Bappeda UPTD
Planologi
Pemkab Pasir
Hak Mandat
Penataan hutan
Pemprop
Hak Mandat
Penataan hutan
Hak Mandat
Pelindungan dan konservasi hutan
Balikpapan
Kaltim
BKSDA Pasir
Pemerintah Pusat
TBI
-
-
Perlindungan dan konservasi hutan
PeMA Paser
-
-
Perlindungan hutan
PT. RKR
-
-
Penggunaan kawasan
D. Interaksi antara Stakeholder dalam Pengelolaan HLGL Dalam mengelola semua hutan lindung yang berada di Kabupaten Pasir, Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir memiliki sub dinas yang langsung mempunyai tugas dalam mengelola HLGL yaitu sub dinas perlindungan hutan dan pengendalian kebakaran hutan. Tetapi dalam pengelolaan HLGL Dinas Kehutanan Pasir belum melakukan upaya yang maksimal karena berbagai macam kendala. Masalah yang dihadapi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir adalah usia yang masih tergolong muda, berdiri tahun 2001. Sehingga dalam pelaksanaan tugas antara sub dinas dan juga peralatan yang menunjang pengelolaan hutan lindung dirasakan menjadi faktor penghambat dalam pengelolaan HLGL. Dinas Kehutanan Pasir dalam menjaga kawasan hutan lindung seluruh Kabupaten Pasir, dengan luas
53
total 116.952 ha (Maulana, 2004) hanya memiliki 2 personil polisi kehutanan. Walaupun dalam bulan Februari kemarin ada penambahan 2 personil polisi kehutanan, tetap jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah total kawasan hutan lindung. Pengaturan yang ditetapkan di Dinas Kehutanan, 2 orang personil Polisi Kehutanan yang ada digilir 2 orang personil per kawasan per minggu. Tetapi pada kenyataannya patroli ke dalam kawasan HLGL dapat mencapai enam bulan sekali karena minimnya dana yang tersedia untuk kegiatan pengamanan kawasan. Peralatan yang dimiliki Dinas Kehutanan dalam pengelolaan hutan lindung khususnya dalam bidang pengamanan kawasan hutan sangat minim. Radio yang harusnya menjadi alat komunikasi antara kawasan dengan Dinas Kehutanan Pasir tidak ada sehingga alur komunikasi tidak terbentuk. Radio sangat penting dalam pengelolaan khususnya pengamanan kawasan karena banyaknya illegal logging yang terjadi di dalam kawasan karena adanya akses yang membelah HLGL. Mobil maupun motor patroli yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan tidak mencukupi dalam pengelolaan kawasan hutan, mobil patroli hanya berjumlah satu buah dan motor patroli hanya berjumlah 2 buah dan keadaannya tidak layak untuk dijadikan kendaraan patroli ataupun untuk meninjau kawasan. Kawasan HLGL sebelum adanya peta Tata Guna Hutan Kesepakatan adalah merupakan areal HPH PT. Telaga Mas dan PT. Telaga Mas dilarang untuk melakukan aktivitas di plot yang ditetapkan sebagai kawasan HLGL. Maka aksesibilitas yang membelah HLGL dan juga yang mengitari kawasan ini bekas jalan logging. Dengan memantau keadaan di lapangan, terlihat bahwa jalan tersebut digunakan sebagai jalan keluar masuk yang bebas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan penebangan liar. Jalan yang ditemukan sering digunakan dalam kegiatan penebangan liar ini terdapat di jalan menuju Desa Rantau Layung dan Desa Pinang Jatus. Selama ini masyarakat sekitar dan dalam kawasan belum dilibatkan dalam pengamanan kawasan karena selama ini Dinas Kehutanan Pasir tidak membangun usaha pendekatan persuasif dengan masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan.
54
Pelibatan masyarakat sangat penting untuk mengefisisensikan dana dan juga usaha. Khusus untuk Dusun Mului Dinas Kehutanan perlu membangun jaringan komunikasi karena dusun ini berada di dalam kawasan HLGL dan menurut laporan mereka sering terjadi pencurian kayu di wilayah dusun mereka. Karena itu Dinas Kehutanan bekerjasama dengan PT. RKR membentuk Himpunan Warga Mului yang bertujuan khusus untuk kegiatan pengamanan kawasan. Desa Rantau Layung dan Desa Pinang Jatus diharapkan diikutsertakan juga dalam pengamanan kawasan karena letak kedua desa ini merupakan pintu masuk dari jalan yang sering digunakan dalam kegiatan illegal logging. Sebenarnya masyarakat desa-desa sekitar dan dalam kawasan HLGL sudah mengetahui dan sering melihat langsung kegiatan penebangan liar tersebut. Tetapi karena ketakutan dan keterbatasan dana yang dimiliki oleh masyarakat maka masyarakat merasa tidak perlu melapor kepada Dinas Kehutanan Pasir. Untuk itu perlunya radio yang menghubungkan antara masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan dengan Dinas Kehutanan Pasir untuk mencegah dan menanggulangi kegiatan penebangan liar. Pos jaga Polisi Kehutanan juga sangat diperlukan dalam kegiatan pengamanan kawasan karena jika dilihat secara langsung kawasan HLGL mudah dijangkau oleh siapa pun. Juga Dinas Kehutanan Pasir tidak mengeluarkan izin resmi untuk mengawasi dan mengontrol pihak-pihak yang memasuki kawasan ini. Pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat tiga desa (Desa Rantau Layung, Dusun Mului, dan Desa Pinang Jatus) meliputi pengumpulan madu, berburu satwa, berladang (khusus Dusun Mului), mencari rotan, mencari gaharu, dan mencari burung. Jika dilihat secara langsung dapat jelas terlihat pelibatan masyarakat dalam mengelola hutan dengan stakeholder lain sangat rendah. Padahal sebenarnya masyarakat merupakan kunci dari pengelolaan HLGL karena faktanya masyarakat ketiga desa ini sudah memanfaatkan HLGL jauh sebelum adanya SK Penunjukkan yang dibuat oleh Menteri Kehutanan tahun 1982. Dusun Mului yang paling tergantung dengan keberadaan HLGL karena mereka berada di dalam kawasan dan
55
hampir sebagian kebutuhan hidup mereka dicukupi dari sumberdaya alam yang ada di dalam Kawasan HLGL. Dinas Kehutanan Pasir yang diharapkan sebagai ujung tombak dari pengelolaan HLGL juga belum melakukan upaya yang berarti dalam membangun kerjasama dengan masyarakat. Ini terbukti dari masih banyaknya masyarakat desa yang belum mengetahui arti dan fungsi dari HLGL. Dengan bekerjasama dengan UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan dan Bappeda Pasir, Dinas Kehutanan Pasir harusnya bekerja sama dalam sosialisasi untuk batas-batas kawasan HLGL dengan hutan yang sudah dikelola oleh masyarakat. Masyarakat Dusun Mului harus diberi pengertian lebih lanjut karena dusun ini memanfaatkan HLGL dengan merubah fungsi kawasan yaitu dengan cara membabat hutan yang ada dan menggantikannya dengan ladang untuk menanam padi. Hal ini jika terus dibiarkan akan merusak dan mengesampingkan fungsi lindung dari HLGL karena enclave yang ada sekarang pasti akan semakin meluas di hari kedepannya. Hal ini juga dirasakan oleh PeMA, yang merupakan LSM lokal, memiliki usul untuk memindahkan masyarakat Dusun Mului ke daerah yang lebih layak dan tidak mengganggu fungsi dari HLGL yaitu ke daerah Tompok dan Long Sayung. Tetapi karena tidak ada hubungan kerjasama yang jelas antara Dinas Kehutanan dan Bappeda dengan PeMA maka usul ini belum sampai dilaksanakan sampai sekarang.
Gambar 11. Interaksi stakeholder HLGL
56
E. Evaluasi Kebijakan Pengelolaan HLGL Dalam kegiatannya selama ini, para stakeholder HLGL belum mengeluarkan kebijakan tentang pengelolaan hutan lindung ini secara khusus. Kebijakan yang ada masih berupa surat keputusan Bupati tentang suatu kegiatan ataupun program yang dilakukan di dalam kawasan HLGL. Untuk itulah yang dilakukan adalah melihat implementasi dari surat keputusan bupati, program yang telah direncanakan serta implementasi di lapangan melalui Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, serta Keputusan Menteri yang berlaku di Indonesia.
E. 1 Permasalahan kebijakan pengelolaan HLGL E. 1.1 Kehadiran unit pengelola HLGL HLGL dalam keberadaannya sekarang dikelola oleh stakeholder yang mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kegiatan yang dikategorikan ke dalam pengelolaan HLGL. Tidak ada stakeholder yang mengelola kawasan HLGL yang meliputi semua kegiatan pengelolaan yang disebutkan oleh UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 44 tahun 2004. Masyarakat Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Dusun Mului melakukan kegiatan yang bersifat lebih ke arah pemanfaatan hasil hutan non kayu yaitu perburuan satwa, menangkap burung, mengumpulkan madu, mengumpulkan gaharu, dan mencari rotan. Dinas Kehutanan Pasir melakukan kegiatan pengelolaan HLGL memfokuskan kegiatan pengelolaan ke arah perencanaan. Menurut rencana strategis Dinas Kehutanan Pasir tahun 2001-2005 kegiatan yang direncanakan oleh Dinas Kehutanan Pasir yaitu penyuluhan kehutanan, penataan batas, pengawasan dan pengendalian perusakan kawasan hutan, pembuatan papan himbauan, inventarisasi flora dan fauna, pemeliharaan batas hutan lindung, dan penataan hutan. Dari semua kegiatan yang direncanakan oleh Dinas Kehutanan Pasir, hanya dalam penyuluhan dan kegiatan penataan batas saja yang dapat terlaksana. Bappeda Pasir kaitannya dalam kegiatan pengelolaan hutan lindung hanya ke arah penetapan HLGL ke dalam kawasan lindung yang ditetapkan ke dalam RTRW
57
Kabupaten Pasir tahun 2001-2005. UPTD Planologi Balikpapan dalam pengelolaan HLGL melakukan kegiatan tentang penataan batas berupa orientasi batas yang telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh Tropenbos Internasional Indonesia semuanya adalah bersifat penelitian yang dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi para stakeholder lain dalam melakukan aktivitas pengelolaan HLGL, khususnya bagi Pemerintah Kabupaten Pasir. Begitu pula dengan PeMA, tidak mengeluarkan kebijakan yang berpengaruh secara langsung terhadap pengelolaan HLGL karena kegiatan atau program yang telah dilakukan PeMA lebih mengarah kepada masyarakat sekitar dan dalam HLGL. BKSDA Seksi Konservasi Wilayah III Pasir Kalimantan Timur memiliki kewenangan yang berasal dari pemerintah pusat. Dalam kegiatannya BKSDA hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan cagar alam yang pengelolaannya langsung dipegang oleh pemerintah pusat. BKSDA hanya memiliki wewenang dalam pengawasan peredaran tumbuhan dan satwa dari dalam seluruh kawasan hutan di Kabupaten Pasir, termasuk HLGL, sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan SK MenHut No. 62/Kpts-II/1998. Sebagai stakeholder swasta, PT. RKR melakukan kegiatan pengelolaan kawasan HLGL hanya ke dalam kegiatan penggunaan kawasan yaitu penggunaan jalan bekas logging yang membelah kawasan HLGL. Ketidakhadiran unit pengelola HLGL menunjukkan bahwa masih lemahnya peran pemerintah Kabupaten Pasir dan juga belum jelasnya kebijakan yang memberikan panduan tentang lahirnya sebuah unit pengelola hutan lindung.
E. 1.2 Pengukuhan kawasan HLGL Di tahun 1986, kegiatan penataan batas HLGL pernah dilakukan oleh Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Balikpapan sesuai dengan Berita Acara Tata Batas No. 02/BATB/IV/Sub.1-1/1986. Dalam Buku Berita acara tersebut dijelaskan bahwa telah dilakukan pembuatan pal batas walaupun hanya meliputi bagian kawasan HLGL dengan panjang trayek 100.975 meter. Dalam kegiatan ini pembuatan pal
58
batas belum mancakup keseluruhan kawasan HLGL (belum temu gelang) karena keterbatasan dana. Dalam perencanaan strategik (renstra) Dinas Kehutanan Pasir tahun 20012005 dinyatakan bahwa akan diadakannya kegiatan yaitu kegiatan pemeliharaan batas hutan lindung yang ditargetkan di tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005. Kegiatan tersebut diadakan oleh Dinas Kehutanan tetapi kegiatan tersebut tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Bupati Pasir. Yang seharusnya dilakukan adalah pemasangan pal batas berupa kayu atau beton, tetapi pada pelaksanaan hanya menandai pohon sekitar dengan cat merah. Resiko hal tersebut dapat berupa penghapusan ataupun pergeseran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab atau bisa pula luntur karena terhapus oleh aliran hujan pada batang pohon. Pelaksanaan kegiatan penataaan batas dan juga pemeliharaan batas yang ditargetkan empat kali dalam setahun tetapi hanya delaksanakan sekali dalam empat tahun. Pada tahun 2001, Bupati Pasir mengeluarkan SK No. 746 tahun 2001 tentang petunjuk teknis pelaksanaan rekonstruksi batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya. Dalam surat ini disebutkan bahwa adanya pelibatan masyarakat yang diwakili oleh tokoh masyarakat adat ataupun tokoh masyarakat setempat. Hal ini dimaksudkan agar hutan lindung tidak melintasi hutan milik masyarakat yang digunakan untuk berkebun, menghindari konflik. Karena dalam pemasangan batas akan dilakukan rintis batas sejauh 2 meter di sekitar pal batas dan di sepanjang jalur rintis. Menurut laporan hasil orientasi batas kawasan HLGL pada tahun 2003, UPTD telah melakukan kegiatan orientasi batas di kawasan HLGL. Hasil laporan tersebut menyatakan bahwa dari panjang batas 121,575 km terdapat total pal batas 1208 buah, dengan rincian 223 buah rusak, 979 buah hilang, dan 3 buah dalam kondisi yang masih baik. Ini dapat dapat dilihat bahwa dari total 1208 buah, pal batas yang tidak jelas kondisinya ada 3 buah (tidak dinyatakan) dan dari jumlah pal batas yang hilang, maka kawasan HLGL belum menghasilkan batas yang temu gelang. Di Desa Rantau Layung pernah ditemukan konflik karena pelaksanaan surat keputusan Bupati di atas yang tidak lengkap yaitu di tahun 2002/2003. Orang-orang
59
yang melaksanakan kegiatan rekonstruksi batas tersebut tidak melibatkan pihak desa dan juga masyarakat, hasilnya terjadinya pembabatan kebun rotan milik masyarakat untuk pemasangan pal batas. Menurut Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 22 menyebutkan bahwa tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Juga menurut PP No. 34 tahun 2002 pasal 12 menyebutkan bahwa pembagian hutan ke dalam blokblok, terdiri dari blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya. HLGL pembagian kawasannya belum sampai pada tahap pembagian hutan berdasarkan blokblok pengelolaan. Maka Dinas Kehutanan sebagai stakeholder yang bertugas merancang pengelolaan hutan lindung maka dirasakan perlu untuk memasukkan kegiatan penataan
kawasan HLGL ke dalam blok-blok yang bertujuan untuk
mempermudah kegiatan pengelolaan. Kegiatan pengukuhan kawasan HLGL yang telah ada sekarang menunjukkan juga bahwa masih lemahnya peran dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Pasir. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kali penataan batas dilakukan hasil yang didapat masih belum temu gelang.
E. 1.3 Konflik melalui pendekatan kebijakan E. 1.3.1 Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu Dalam pemanfaatan Hutan Lindung menurut UU No. 41 tahun 1999 pasal 26 dan PP N.34 tahun 2002 pasal 18, pemanfaatan yang dapat dilakukan dalam hutan lindung berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan non kayu. Juga PP No. 34 tahun 2002 menambahkan bahwa pemanfaatan yang dilakukan di dalam hutan lindung hanya dapat dilakukan dalam blok pemanfaatan. Selama ini kawasan hutan lindung hanya dimanfaatkan oleh masyarakat desa sekitar dan dalam hutan yaitu Desa Rantau Layung, Desa Pinang Jatus, dan Desa Mului. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat ketiga desa tersebut adalah berburu satwa, mencari gaharu, mencari burung, berladang, mengumpulkan madu, dan
60
mencari rotan. Karena belum adanya penataan batas yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Pasir, ke dalam blok-blok maka masyarakat sampai sekarang dapat bebas melakukan kegiatan di atas. Masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan berburu satwa diantaranya kancil, rusa, landak, kijang, burung. Menurut PP No. 34 tahun 2002 pasal 21 kegiatan perburuan satwa di dalam hutan lindung diperkenankan dengan syarat perburuan dilakukan dengan cara tradisional dan satwa yang diburu bukan satwa yang dilindungi. Tabel 9. Pemanfaatan satwa yang dilakukan oleh masyarakat Jenis satwa
Status
Kuau (Argusianus argus)
Dilindungi
Murai batu Madi hijau Cucak kelabu Kucica hutan Kucica kampung Merbah mata merah Berinji kelabu Punai Delimukan jamrud Kancil (Tragulus napu) Babi hutan (Sus barbatus) Kijang (Muntiacus muntjak) Landak (Hystrix brachyura) Rusa (Cervus timorensis)
Tidak dilindungi Tidak dilindungi Tidak dilindungi Tidak dilindungi Tidak dilindungi Tidak dilindungi Tidak dilindungi Tidak dilindungi Tidak dilindungi Dilindungi Tidak dilindungi Dilindungi Dilindungi Dilindungi
Digunakan untuk Daging dikonsumsi, bulu menjadi hiasan rumah Dijual Dijual Dijual, dikonsumsi Dijual Dijual, dikonsumsi Dijual, dikonsumsi Dijual Dijual Dijual Dikonsumsi Dijual, dikonsumsi Dijual, dikonsumsi Dikonsumsi Dijual, dikonsumsi
Melihat tabel di atas dapat dilihat bahwa masyarakat desa sekitar dan dalam hutan melakukan perburuan satwa jenis-jenis kebanyakan yang dilindungi. Dinas Kehutanan bekerjasama dengan BKSDA Sekesi Konservasi Pasir perlu melakukan penyuluhan khusus tentang jenis-jenis yang dilindungi tersebut. Serta BKSDA perlu melakukan pengawasan secara ketat dalam peredaran satwa dari kawasan HLGL dengan peninjauan ke kawasan HLGL dan melakukan penertiban terhadap para pengumpul di pasar.
E. 1.3.2 Penggunaan kawasan Warga Dusun Mului menggunakan kawasan HLGL untuk kegiatan sehari-hari mereka dengan kegiatan bercocok tanam. Jika dilihat secara langsung kegiatan ini
61
tidak dibenarkan karena sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 pasal 38 merubah fungsi lindung dari hutan lindung dan berdampak sangat besar bagi Dusun Mului sendiri dan Kabupaten Pasir pada umumnya. Sesuai dengan Keppres No. 32 tahun 1990 menyatakan bahwa menjadi tugas dari Pemerintah Daerah tingkat II untuk mengadakan penyuluhan masyarakat tentang kawasan hutan. Dinas Kehutanan Pasir pada saat ini belum melakukan penyuluhan dan pengertian pada masyarakat desa dalam dan sekitar HLGL tentang arti dan manfaat HLGL.
E.1.3.3 Konflik antar stakeholder Menurut SK Bupati Pasir No 746 tahun 2001 tentang petunjuk teknis pelaksanaan rekonstruksi batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya menyebutkan bahwa pelaksanaan rekonstruksi batas melibatkan tokoh masyarakat adat setempat tetapi dalam pelaksanaan tidak dilakukan bahkan pemberitahuan kepada pihak desa setempat juga tidak dilakukan. Menurut PP 44 tahun 2004 pasal 20 ayat 4 menyebutkan bahwa panitia tata batas harus dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hak-hak atas tanah di dalam kawasan dan di sepanjang batas kawasan hutan. Tokoh masyarakat ada dilibatkan sebagai bahan masukkan dan pertimbangan bagi penataan batas kawasan HLGL untuk dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hak milik masyarakat secara turun temurun (hak tenurial) dan hak milik berdasarkan adat (hutan adat). SK Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 tentang pembentukan kelompok kerja pengelolaan Hutan Lindung Gunung Lumut tidak mengikutsertakan tokoh masyarakat adat sekitar dan dalam HLGL dalam pengelolaan HLGL. Hal ini menjadi sangat perlu, untuk menjaga agar kegiatan pengelolaan HLGL yang dilakukan oleh anggota dari kelompok kerja ini tidak bertentangan dengan kearifan lokal yang ada di desa sekitar dan dalam kawasan HLGL. Dan juga pelibatan pihak desa sekitar hutan belum ada. Rencana strategis Dinas Kehutanan Pasir 2001-2005 menyatakan programprogram yang berkaitan dengan pengelolaan HLGL yaitu penyuluhan kehutanan,
62
penataan batas, pengawasan dan pengendalian perusakan kawasan hutan, pembuatan papan himbauan, inventarisasi flora dan fauna, pemeliharaan batas hutan lindung, dan penataan hutan. Tetapi dalam implementasi di lapangan belum ada. Program yang baru dapat terpenuhi hanya dalam hal penataan batas walaupun tidak secara benar dilakukan karena tidak sesuai dengan SK Bupati Pasir No 746 tahun 2001. Kurangnya personil Polisi Kehutanan dan terlalu luasnya kawasan yang harus dikelola menjadi hal yang harus diperhatikan. Surat Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim forum sistem informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial Kabupaten Pasir masih juga belum melibatkan tokoh masyarakat adat setempat sebagai bahan pertimbangan. RTRW Kabupaten Pasir 2001-2005 yang telah ditetapkan oleh Bupati Pasir juga masih memiliki kendala dalam hal pelibatan masyarakat sekitar dan dalam kawasan. Hal ini dapat dilihat dari ketidaktahuan masyarakat sekitar dan dalam kawasan bahwa kawasan HLGL termasuk dalam kawasan lindung dari Kabupaten Pasir. Sesuai dengan UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, hak setiap orang dalam ikut serta menyusun RTRW. Laporan Hasil orientasi batas kawasan HLGL tahun 2003 memperlihatkan bahwa kerjasama antara Dinas Kehutanan dan UPTD Planologi Balikpapan masih belum erat. Dalam panitia orientasi tata batas tidak adanya anggota yang berasal dari Dinas Kehutanan Pasir. Menurut PP No.44 tahun 2004 yang bertanggung jawab dalam hal penataan batas adalah Pemerintah Kabupaten dan yang membentuk tim penataan batas adalah juga Pemerintah Kabupaten Pasir. Pemerintah Propinsi hanya mengeluarkan pedoman penyelenggaran penataan batas saja.
63
Tabel 10. Analisis isi dan implementasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh para stakeholder Jenis Kebijakan/Kearifan Instansi yang Isi Implementasi Evaluasi mengeluarkan Keputusan Bupati Pasir No. 746 tahun Pemerintah Adanya pelibatan tokoh Pada saat pelaksanaan, Sosialisasi yang kurang 2001 tentang petunjuk teknis daerah masyarakat adat setempat terjadi konflik karena kepada masyarakat dan pelaksanaan rekonstruksi batas kawasan batas HLGL melewati pelibatan langsung tokoh hutan produksi dan hutan lindung dan batas kebun rotan milik masyarakat dalam kawasan konservasi lainnya warga penyusunan tata batas HLGL Bentuk pal tidak sesuai Pengawasan rekonstruksi dengan semestinya oleh yang berwenang Keputusan Bupati No. 340 tahun 2005 Pemerintah Pelibatan semua Masih dalam proses Tidak adanya pelibatan tentang pembentukan kelompok kerja daerah stakeholder dalam masyarakat khususnya ketua pengelolaan HLGL pengelolaan HLGL adat setempat Keputusan Bupati Pasir No. 357 tahun Pemerintah Para stakeholder HLGL Tokoh masyarakat adat Tidak adanya pelibatan tokoh 2005 tentang Surat Keputusan Bupati daerah ikut serta dalam forum setempat tidak masyarakat adat setempat pasir No. 357 tahun 2005 tentang tersebut diikutsertakan dalam tidak diikutsertakan dalam pembentukan tim forum sistem forum tersebut forum tersebut informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial kabupaten pasir Renstra Dinas Kehutanan Pasir 2001- Dinas • Program penyuluhan • Program penyuluhan Implementasi secara penuh 2005 Kehutanan untuk setiap pelaksanaan belum tercapai • Kegiatan penataan batas • Pelaksanaan penataan kebijakan • Patroli tidak ada batas yang tidak sesuai Kurangnya personil PolHut dengan Keputusan Bupati Pasir No. 746 tahun 2001 RTRW Kabupaten Pasir 2001-2005 Bappeda Pasir Tidak adanya pelibatan Dalam penyusunan Masyarakat tidak masyarakat dalam batas HLGL, diikutsertakan, minimal ketua menyusun RTRW masyarakat desa sekitar adat dan kepala desa Kabupaten dan dalam kawasan tidak diikutsertakan
64
SATS (SK MenHut No. 62 Kpts-II 1998)
BKSDA Pasir
Laporan hasil orientasi batas kawasan HLGL tahun 2003
UPTD Planologi Balikpapan
Kearifan lokal
Masyarakat
Kearifan lokal
Masyarakat
Semua jenis tumbuhan • Belum adanya • BKSDA harus segera atau satwa yang berasal pengawasan yang melakukan pengawasan dari kawasan hutan yang dilakukan oleh rutin terhadap pengumpul berada di Kabupaten BKSDA • Penyuluhan terhadap Pasir berada dalam Pasir dalam masyarakat dalam dan pengawasan BKSDA pelaksanaanya sekitar kawasan akan status Pasir • Masyarakat masih dari jenis-jenis yang memanfaatkan jenis dilindungi satwa yang dilindungi • Kerjasama antara BKSDA Pasir dan Dinas Kehutanan Pasir Penataan batas kawasan Belum temu gelang Rekonstruksi ulang untuk HLGL penataan batas Tidak adanya kerja sama dengan Dinas Kehutanan Pelarangan tentang Masyarakat dalam dan Pengawasan di pasar, perburuan satwa induk sekitar kawasan tidak khususnya terhadap para dan jumlah yang dibatasi pernah melakukan pengumpul (tidak boleh lebih dari 1 perburuan dengan skala ekor per jenis) besar Pelarangan penebangan Masyarakat tidak pernah ⎯ pohon madu (Koompasia menebang pohon jenis malacensis) ini karena menyangkut masa depan suatu keluarga
65
E. 2 Kesenjangan (Gaps) dalam pelaksanaan pengelolaan HLGL Kaitannya dengan pengelolaan HLGL yang telah ada, terlihat bahwa adanya kesenjangan yang terjadi. Kegiatan pengelolaan HLGL yang selama ini terjadi belum memenuhi harapan karena tidak adanya suatu unit menajemen yang khusus dalam mengelola kawasan HLGL. Dalam PP No. 44, KPHL berfungsi dalam setiap aktivitas pengelolaan hutan lindung, mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasan (monitoring) kegiatan yang dilakukan oleh setiap stakeholder. Masayarakat sebagai stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi dan stakeholder yang paling pertama kali terkena dampak bila terjadinya kerusakan HLGL tidak diikutsertakan secara aktif. Belum adanya saling kerjasama aktif antara Dinas Kehutanan dan UPTD Planologi beserta masyarakat dalam kegiatan penataan batas. Dan juga yang menjadi kesenjangan dalam pengelolaan HLGL adalah adanya tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Kabupaten dan Propinsi dalam penataan batas.
F. Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan HLGL Pengelolaan HLGL selama ini sudah mengadopsi semua kebijakan yang dikeluarkan oleh 10 stakeholder utama HLGL yang sudah disebutkan sebelumnya tetapi masih memiliki kecenderungan untuk sulit diterima oleh semua pihak. Adanya perbedaan dalam nilai kepentingan dan pengaruh setiap stakeholder menjadi kendala utama sulitnya mewujudkan kebijakan yang mampu untuk diterima oleh semua pihak. Mengacu pada Dunn (2003), yang menjadi kriteria dalam merumuskan kebijakan publik adalah dengan melihat hal-hal berikut: 1. Efektivitas (effectiveness); kaitannya dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan 2. Efesisensi (efficiency) ; kaitannya dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efisiensi tertentu. 3. Kecukupan (adequacy); berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan
66
adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. 4. Perataan / kesamaan (equity); erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompokkelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usahanya yang secara adil didistribusikan 5. Responsivitas (responsiveness); berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok masyarakat tertentu. Kebijakan dapat memenuhi kriteria efektivitas, efisiensi, dan perataan tetapi jika belum dapat menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya perumusan suatu kebijakan. 6. Ketepatan (appropiateness); biasanya bersifat terbuka, karena definisi per kriteria ini dimaksudkan untuk menjangkau keluar kriteria yang sudah ada. Oleh karenanya tidak ada dan tidak dapat dibuat definisi baku mengenai kriteria kelayakan. Pemerintah Kabupaten Pasir dalam hal ini Bupati Pasir mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan penataan batas yaitu Surat Keputusan Bupati Pasir No. 746 tahun 2001. Dalam Surat Keputusan ini terlihat bahwa sebenarnya ada peranan masyarakat dalam penataan batas tetapi masih hanya bersifat penulisan di atas kertas tidak sampai kepada perundingan dengan masyarakat dalam hal tumpang tindih kepentingan lahan. Di satu sisi Pemerintah Kabupaten Pasir ingin merekonstruksi batas HLGL tetapi di sisi lain masyarakat ingin supaya HLGL tetap dengan syarat tidak mengganggu kepentingan dari mereka dalam hal penggunaan kawasan dengan bentuk kebun rotan, ladang mereka, ataupun bentuk lain dari penggunaan kawasan. Dalam pengikutsertaan masyarakat pihak desa harus mengetahui isi dari surat keputusan ini, karena untuk menghindari anggapan masyarakat bahwa adanya “orang asing” yang memasuki wilayah atau tempat masyarakat berusaha.
67
Keputusan Bupati Pasir No. 340 tahun 2005 tentang pembentukan kelompok kerja pengelolaan HLGL dapat terlihat peranan masyarakat terabaikan karena pihak yang terlibat dalam kelompok kerja HLGL ini hanya sampai kepada tingkat kecamatan bukan tingkat desa. Juga perlu diperhatikan fungsi dari ketua adat sekitar dan dalam kawasan. Hal ini dirasakan perlu karena pada dasarnya yang menjadi stakeholder kunci dari pengelolaan HLGL adalah masyarakat sekitar dan dalam kawasan, serta fungsi ketua adat adalah menghindari pengelolaan yang tidak sesuai dengan adat istiadat suku Paser yang dapat menyebabkan dampak negatif bagi masyarakat sekitar dan dalam hutan. Hak tenurial di sini harus diperhatikan karena pada dasarnya masyarakat sudah ada sebelum hutan yang menjadi sandaran hidup mereka ditetapkan menjadi hutan lindung. Balai Konservasi Sumberdaya Hutan Seksi Konservasi Wilayah Pasir juga perlu dilibatkan dalam kelompok kerja ini, setidaknya mereka ditempatkan dalam posisi anggota tidak tetap karena BKSDA sebenarnya langsung bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan). Peran BKSDA adalah sebagai pengawas dalam alur distribusi jenis tumbuhan dan satwa dari kawasan HLGL. Laporan hasil orientasi batas kawasan hutan di kelompok HLGL Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir Kalimantan Timur yang dikeluarkan oleh UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan terlihat bahwa adanya pal batas yang hilang sebanyak 979 atau dapat disimpulkan masih belum temu gelang. Karena pentingnya status kawasan salah satunya adalah penataan batas maka UPTD Planolgi Balikpapan harus segera melakukan kegiatan rekonstruksi batas kawasan HLGL bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Pasir dengan tujuan harus segera mendapatkan batas kawasan yang temu gelang. Laporan ini juga harus diklarifikasi tentang pelanggaran yang dimaksud. Hal ini dapat dilihat dari butir 5 lampiran 5 yang menyebutkan pemukiman Mului sebagai pelanggaran. Jika dilihat dari sejarahnya Dusun Mului menetap di sana atas dasar program desa tertinggal yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Pasir. Maka UPTD Planologi Kehutanan Balikpapan harus mencari klarifikasi kepada Dinas Sosial Pasir.
68
Penataan kawasan yang meliputi pembagian kawasan ke dalam blok-blok dapat menjadi salah satu solusi bagi masalah enclave Dusun Mului. Pemukiman dan perladangan di dusun Mului dapat menjadi bagian dari blok penyangga dari HLGL. Menurut UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 34 tahun 2002 yang dimaksud dengan pengelolaan hutan adalah meliputi kegiatan: 1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. 2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan 3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan 4. Perlindungan dan konservasi hutan Stakeholder yang berada di Kabupaten Pasir selama ini melakukan kegiatan pengelolaan HLGL hanya salah satu dari kegiatan pengelolaan hutan (UU No. 41 tahun 1999 dan PP No. 34 tahun 2002), belum adanya stakeholder HLGL melakukan semua kegiatan pengelolaan secara meneluruh (tabel 10). Untuk mencapai tujuan dari fungsi lindung dari kawasan HLGL maka Pemerintah Kabupaten Pasir perlu untuk mengeluarkan kebijakan yang isinya menetapkan satu unit kegiatan pengelolaan yang jelas, yang mengelola kawasan HLGL secara total baik dari sisi penataan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan perlindungan dan konservasi hutan sesuai dengan PP No. 44 tahun 2004.
69
Tabel 10. Bentuk pengelolaan stakeholder HLGL dengan kawasan HLGL Stakeholder Rantau Layung Pinang Jatus Mului
Dinas Kehutanan Bappeda BKSDA UPTD Planologi TBI Indonesia PeMA Paser PT. RKR
Bentuk interaksi dengan HLGL Berburu, mencari burung, mengumpulkan madu, mengumpulkan gaharu, mencari rotan Berburu, mencari burung, mengumpulkan madu, mengumpulkan gaharu, mencari rotan Berburu, mencari burung, mengumpulkan madu, mengumpulkan gaharu, mencari rotan Berladang Penyusunan Renstra 2001-2005 Penyusunan RTRW Pengawasan peredaran jenis tumbuhan dan satwa dari kawasan Penataan batas kawasan Penelitian Memajukan masyarakat sekitar dan dalam kawasan Penggunaan jalan dalam kawasan
Jenis pengelolaan (UU No. 41 tahun 1999) Pemanfaatan hutan Pemanfaatan hutan Pemanfaatan hutan Penggunaan kawasan Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Perlindungan dan konservasi hutan Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Perlindungan dan konservasi hutan
Penggunaan kawasan
70
Tabel 11. Rekomendasi kebijakan stakeholder HLGL berdasarkan analisis isi dari kebijakan yang dikeluarkan stakeholder Kebijakan
Isi
Rekomendasi
Tujuan
Keputusan Bupati Pasir No. 746 tahun 2001 tentang petunjuk teknis pelaksanaan rekonstruksi batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung dan kawasan konservasi lainnya
Petunjuk teknis pelaksanaan penataan batas kawasan hutan Pasir
Masyarakat mengerti dan sadar akan arti dan fungsi HLGL Menghindari masalah teknis yang berhubungan dengan masyarakat
Keputusan Bupati No. 340 tahun 2005 tentang pembentukan kelompok kerja pengelolaan HLGL Keputusan Bupati Pasir No. 357 tahun 2005 tentang Surat Keputusan Bupati pasir No. 357 tahun 2005 tentang pembentukan tim forum sistem informasi geografis pasir dalam kegiatan penyusunan basis data spasial kabupaten pasir
Forum GIS
Kerjasama antara DisHut dan masyarakat sekitar dan dalam kawasan Memasukkan peran serta masyarakat dalam penataan batas kawasan HLGL Pihak desa mendapat informasi yang jelas dan langsung dari Pemerintah Kabupaten Pasir Masyarakat perlu mengetahui penyusunan RTRWK Pelibatan tokoh masyarakat adat sekitar dan dalam kawasan BKSDA Pasir juga ikut dalam kelompok kerja
Renstra Dinas Kehutanan Pasir
Program kerja DisHut tahun 20012005
Kerjasama antara DisHut dan Bappeda secara aktif Mempertimbangkan hasil-hasil penelitian dari TBI dalam pengelolaan HLGL Pengawasan secara intensif akses yang membelah HLGL
RTRW Kabupaten Pasir
Tata ruang Kab. Pasir
SATS (SK MenHut No. 62 Kpts-II 1998)
Izin peredaran tumbuhan dan satwa
Laporan Hasil orientasi batas kawasan HLGL tahun 2003
Penataan batas
Kerjasama antara masyarakat dan Bappeda Perjanjian kerjasama antara BKSDA Pasir dengan DisHut Pasir dan sosialisasi yang berkesinambungan dengan masyarakat sekitar dan dalam hutan Kerjasama antara UPTD Planologi dan DisHut Pasir Klarifikasi tentang pemukiman Mului dengan Dinas Sosial Pasir Pelibatan masyarakat bukan hanya
Tentang pembentukan kelompok kerja pengelolaan HLGL
Menghindari konflik lahan Masyarakat ikut serta secara aktif menjaga kawasan HLGL Menghindari pengelolaan yang bersifat negatif bagi adat istiadat suku Paser Tercapainya tujuan akhir pengelolaan HLGL yaitu terjaganya fungsi dari hutan lindung lestari Menghindari terjadinya tumpang tindih kepentingan lahan antar instansi Kabupaten Pasir Menghindari terjadinya konflik lahan Menghindari terjadinya extinction of endemic species Menghindari konflik lahan
terjadinya
71
sebagai tenaga buruh tetapi sebagai bahan pertimbangan Pembagian kawasan HLGL ke dalam blok-blok
72
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan: 1. Dari penelitian ini yang menjadi akar masalah dari kebijakan pengelolaan HLGL adalah: a. Keberadaan unit pengelola HLGL, b. Pengukuhan kawasan, dan c. Konflik antara stakeholder melalui pendekatan kebijakan. 2. Kesenjangan-kesenjangan kebijakan dapat dilihat dari masalah di lapangan berupa: a. Tidak adanya unit pengelola HLGL yang aktivitasnya mencakup seluruh aktivitas pengelolaan hutan b. Tidak adanya pelibatan masyarakat dalam kegiatan penataan batas c. Tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten dalam hal penataan batas 3. Untuk mengatasi kesenjangan kebijakan yang ada, maka penelitian ini merekomendasikan: a. Membentuk unit pengelolaan HLGL yang melibatkan secara optimal peran stakeholder HLGL b. Melakukan penataan batas partisipatif bersama masyarakat c. Menetapkan kebijakan yang khusus mengelola HLGL
B. Saran: 1. Melakukan kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Pasir dengan Pemerintah Pusat dalam pembentukan unit pengelolaan HLGL 2. Dinas Kehutanan perlu melibatkan masyarakat dalam hal penataan batas partisipatif sebagai langkah pertama untuk menyelesaikan masalah kebijakan yang ada
73
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1986. Kebijaksanaan Pengelolaan Hutan dengan Pertimbangan Lingkungan Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Kehutanan Berwawasan Lingkungan. Bogor: Laporan Proyek Penelitian Pengembangan Efisisensi Pengunaan Sumber-sumber Kehutanan. Anonymous. 2001. Pekerjaan Kebijakan Makro Kehutanan. Jakarta: Laporan Pembaharuan Kebijakan dan Sistem Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Anonymous, 2003. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peranserta Masyarakat. Jakarta:Techical Report ICEL. Arimbi, H. P dan Mas Achmad Santosa. 1993. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan. Jakarta: WALHI dan Friends of the Earth – Indonesia. Dunn, Wiliam. N. 2002. Analisis Kebijakan Publik. Muhajir Darwin, penerjemah. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia. Freeman, R.E. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Pitman, Boston, MA, USA. Freeman, R.; Gilbert, D., Jr 1987. Managing Stakeholder Relations. Lexington Books, Toronto, Canada. Grimble, R.; Chan, M.K.; Aglionby, J.; Quan, J. 1995. Trees and Trade-Offs: A Stakeholder Approach to Natural Resource Management. International Institute for Environment and Development. Gatekeeper Series 52.London, United Kingdom. Grimble, R.; Wellard, K. 1996. Stakeholder Methodologies in Natural Resource Management: A Review of Principles, Contexts, Experiences and Opportunities. London. Kelompok Kerja Program Kehutanan Daerah Kutai Barat, 2001. Program Kehutanan Kabupaten Kutai Barat. Sendawar: Pemerintah Kabupaten Kutai Barat. Manktelow, Rachel. 2005. Stakeholder Analysis & Stakeholder Management. USA. Noorhalis. 2002. Menggali Kearifan di Kaki Meratus. PT. Grafika Wangi Kalimantan. Banjarmasin. ODA (Overseas Development Administration). 1995. Guidance Note 0n How to Do Stakeholder Analysis of Aid Projects and Programmes. ODA, London, UK. Pretty, J.; Guijt, I.; Scoones, I.; Thompson, J. 1995. A Trainer’s Guide for Participatory Learning And Action. International Institute for Environment and Development, London, United Kingdom. Project Management Institute. 1996. Project Management Body of Knowledge. 130 South State Road, Upper Darby, PA 19082 USA. Röling, N.; Jiggins, J. 1998. The Ecological Knowledge System, Facilitating Sustainable Agriculture: Participatory Learning and Adaptive Management in
74
Times of Environmental Uncertainty. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom. Röling, N.; Wagemakers, M. 1998. Facilitating Sustainable Agriculture: Participatory Learning and Adaptive Management in Times of Environmental Uncertainty. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Widodo, J. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendekia. Wiratno, Daru Indriyo, Ahmad Syarifudin dan Ani Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. Jakarta: The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Yusuf, Asep Warlan. 1996. Sendi Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah dalam Kerangka Perwujudan Otonomi yang Nyata, Dinamis dan Bertanggung Jawab. Bandung: Citra Aditya.
75
Content Analysis Peraturan Yang Berlaku Di Indonesia Tentang Hutan Lindung Disandingkan Dengan Keadaan Di Lapangan Tabel 12. Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan UU 41/1999 Pasal 1
Kebijakan Isi Definisi hutan lindung
Keterangan
Kenyataan di lapangan
Yang harus dilakukan
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Masyarakat Dusun Mului, Desa Rantau Layung, dan Desa Pinang Jatus tidak tahu tentang definisi dari hutan lindung
Perlu adanya sosialisasi yang berkelanjutan tentang definisi dari Hutan Lindung di desa-desa dalam atau sekitar kawasan yang dilkukan oleh Pemda.
Masyarakat Dusun Mului, Desa Rantau Layung, dan Desa Pinang Jatus tidak tahu tentang fungsi dari Hutan Lindung secara keseluruhan
Perlu sosialisasi dari pihak Pemda untuk mengadakan sosialisasi dengan warga Dusun Mului, Desa Rantau Layung, dan Desa Pinang Jatus
UU 41/1999 Pasal 6
Pembagian hutan berdasarkan fungsi hutan
Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: a. hutan konservasi, b. hutan lindung, dan c. hutan produksi.
UU 41/1999 Pasal 15
Pengukuhan kawasan hutan
Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses • Kawasan HLGL baru sebatas SK • Perlu dengan segera membuat SK sebagai berikut : penunjukan Penetapan HLGL a. penunjukan kawasan hutan, • Berdasarkan kenyataan di lapangan • Perlu segera menata ulang b. penataan batas kawasan hutan, penataan batas tidak diseratai dengan kawasan HLGL yang disertai oleh c. pemetaan kawasan hutan, dan pemasangan pal batas permanen pemasangan pal batas. d. penetapan kawasan hutan. • Pemetaan sudah dilkukan oleh Pemda, dalam hal ini Bappeda dalam RTWK Pasir.
UU 41/1999 Pasal 22
Tata hutan dan rencana pegelolaan
Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam • Belum adanya pembagian ekosisistem blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan yang jelas rencana pemanfaatan hutan. • Belum adanya blok-blok yang membagi kawasan HLGL Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa • Adanya pemanfaatan yang dilakukan
UU
Pemanfaatan
Perlu segera adanya pembagian kawasan berdasarkan blok karena ada pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat Perlu dilakukan pengawasan
76
41/1999 Pasal 26
hutan lindung
UU 41/1999 Pasal 38
Penggunaan kawasan
UU 41/1999 Pasal
Perlindungan hutan oleh polisi kehutanan
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, oleh masyarakat berupa berladang dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. • Pemanfaatan yang dilakukan oleh Tropenbos bekerja sama dengan Wanariset dan Loka Satwa Primata, berupa kegiatan penelitian Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa • Adanya pemanfaatan yang dilakukan mengubah fungsi pokok kawasan hutan. oleh masyarakat berupa berladang • Adanya akses yang membelah kasasan HLGL Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus • Dinas Kehutanan Pasir hanya mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan memiliki 2 personel Polisi Kehutanan hutan atau wilayah hukumnya; • Jarangnya personel Polisi Kehutanan untuk melakukan patroli di dalam kawasan HLGL
terhadap kegiatan pemanfaatan
Perlu dilakukan pengawasan yang ketat karena akses ini digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kegiatan illegal logging Perlu penambahan personel polisi kehutanan karena banyak terjadi pelanggaran illegal logging
Tabel 13. Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan Kebijakan
Keterangan
Kenyataan di lapangan
Yang harus dilakukan
77
Peraturan PP 34/2002 Pasal 12
Isi Tata hutan pada hutan lindung
PP 34/2002 Pasal 18
PP 34/2002 Pasal 19
(1) Tata hutan pada hutan lindung dilaksanakan pada setiap unit pengelolaan, yang memuat kegiatan: a. penentuan batas-batas hutan yang ditata; b. inventarisasi, identifikasi, dan perisalahan kondisi kawasan hutan; c. pengumpulan data sosial, ekonomi dan budaya di hutan dan sekitarnya; d. pembagian hutan ke dalam blok-blok; e. registrasi; dan f. pengukuran dan pemetaan. (2) Pembagian hutan ke dalam blok-blok, terdiri dari: a. blok perlindungan; b. blok pemanfaatan; dan c. blok lainnya
• Belum adanya penataan batas yang jelas berupa pemasangan pal-pal batas • Belum adanya pembagian kawasan HLGL ke dalam blokblok
• Penataan batas kawasan • Pembagian kawasan ke dalam blok-blok untuk pembagian khususnya dalam pemanfaatan kawasan
Pemanfaatan hutan pada hutan lindung
(1) Pemanfaatan hutan pada hutan lindung dapat berupa: a. pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatan jasa lingkungan; atau c. pemungutan hasil hutan bukan kayu. (2) Pemanfaatan hutan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan pada blok pemanfaatan.
Masyarakat memanfaatkan sudah memanfaatkan kawasan berupa: mencari gaharu, perlebahan, buah-buahan.
Pengawasan tentang pemanfaatan hutan dan kawasan HLGL terhadap masyarakat desa sekitar dan dalam kawasan HLGL
Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung
(1) Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung berupa segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan. (2) Pemanfaatan kawasan meliputi: a. usaha budidaya tanaman obat (herba); b. usaha budidaya tanaman hias; c. usaha budidaya jamur;
Warga Mului mengubah fungsi lahan dalam kegiatan berladang
78
PP 34/2002 Pasal 21
Pemungutan hasil hutan non kayu pada hutan lindung
d. usaha budidaya perlebahan; e. usaha budidaya penangkaran satwa liar; atau f. usaha budidaya sarang burung walet. (3) Dalam pelaksanaan pemanfaatan kawasan pada hutan lindung tidak boleh: a. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; b. membangun sarana dan prasarana permanen; dan/atau c. mengganggu fungsi kawasan. (1) Kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c, dapat dilaksanakan dengan mengambil hasil hutan bukan kayu yang sudah ada secara alami dengan tidak merusak fungsi utama kawasan. (2) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain berupa: a. mengambil rotan; b. mengambil madu; c. mengambil buah dan aneka hasil hutan lainnya; atau d. perburuan satwa liar yang tidak dilindungi dan dilaksanakan secara tradisional. (3) Masyarakat dilarang melakukan pemungutan hasil hutan yang dilindungi undang-undang.
Masih adanya masyarakat yang melakukan kegiatan perburuan terhadap jenis-jenis satwa yang dilindungi oleh undang-undang
Perlunya kontrol terhadap penyebaran tumbuhan dan satwa dari dalam kawasan HLGL yang dilakukan oleh BKSDA Seksi Konservasi Wilayah Pasir bekerjasama dengan Dinas Kehutanan
79
PP 34/2002 Pasal 72
Penggunaan kawasan hutan
1) Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan secara selektif untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi. 2) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam: a. hutan lindung; atau b. hutan produksi 3) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi penggunaan untuk: a. tujuan strategis; dan atau b. kepentingan umum terbatas. 4) Penggunaan kawasan hutan untuk tujuan strategis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi kegiatan; a. kepentingan religi; b. pertahanan dan keamanan; c. pertambangan; d.pembangunan ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi terbarukan; e. pembangunan jaringan telekomunikasi; atau f. pembangunan jaringan instalasi air. 5) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan umum terbatas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b antara lain meliputi kegiatan pembangunan; a. jalan umum dan jalan (rel) kereta api; b. saluran air bersih dan atau air limbah; c. pengairan; d. bak penampungan air; e. fasilitas umum; f. repeater telekomunikasi
Adanya akses yang membelah HLGL
Perlu pengawasan terhadap akses ini karena akses ini digunakan untuk jalan keluar masuk kegiatan illegal logging
80
g. stasiun pemancar radio; atau h. stasiun relay televisi
81
Tabel 14. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Kebijakan Peraturan Keppres 32/90 Pasal 36
Isi Penetapan kawasan lindung
Keppres 32/90 Pasal 39
Pengendalian kawasan lindung
Keterangan
Kenyataan di lapangan
Yang harus dilakukan
(1) Pemerintah Daerah Tingkat II mengupayakan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan kawasan lindung. (2) Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II mengumumkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada masyarakat
Dinas Kehutanan Kabupaten Pasir belum maksimal dalm pemberitahuan tentang kawasan Hutan
Perlunya penyuluhan secara berkelanjutan tentang pentapan kawasan HLGL khususnya kepada masyarakat Desa/Dusun yang berada di dalam atau sekitar kawasan Huan LIndung Gunung Lumut
(1) Pemerintah Daerah Tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan pemantauan, pengawasan dan penertiban.
Tidak adanya patroli yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan di dalam kawasan HLGL
Perlu adanya penmbahan personel Polisi Khusus Kehutanan
82
Tabel 15. UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Kebijakan Peraturan Isi UU Hak dan 24/1992 kewajiban Pasal 4
Keterangan
Kenyataan di lapangan
Yang harus dilakukan
1. Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. 2. Setiap orang berhak untuk a. mengetahui rencana tata ruang; b. berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Masyarakat tidak diikutsertakan dalam penetapan kawasan HLGL
Rekonstruksi ulang penataan batas serta manfaat dari penetapan kawasan HLGL yang melibatkan masyarakat
83
Tabel 16. PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Kebijakan Peraturan Isi PP No. 47 Jenis kawasan tahun 1997 lindung Pasal 10
PP No. 47 tahun 1997 Pasal 33
Kriteria kawasan hutan lindung
Keterangan
Kenyataan di lapangan
Yang harus dilakukan
2. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut; c. kawasan resapan air.
Masyarakat desa sekitar kawasan belum mengetahui arti dan fungsi dari hutan lindung
Sosialisasi tentang arti dan fungsi hutan lindung
(1) Kriteria kawasan lindung untuk kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf (a )adalah : a. kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai (skor) 175 atau lebih; b. kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih; dan/atau c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 m atau lebih.
-
-
84
Tabel 18. PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan Kebijakan
Kenyataan di lapangan
Yang harus dilakukan
(1) Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan: a. Inventarisasi hutan; b. Pengukuan kawasan hutan; c. Penatagunaan kawasan hutan; d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan; dan e. Penyusunan rencana kehutanan.
Belum adanya pengukuhan kawasan dengan SK Penetapan Tata batas belum temu gelang
Syarat perencanaan hutan
Perencanaan kehutanan dilaksanakan : a. secara transparan, partis ipatif dan bertanggunggugat; b. secara terpadu dengan memperhatikan kepentingan nasional, sektor terkait dan masyarakat serta mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan berwawasan global; c. dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah termasuk kearifan tradisional.
Belum adanya pelibatan masyarakat Kearifan tradisonal masyarakat desa sekitar dan dalam hutan masih diabaikan
Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir harus segera mengusulkan kepada Menteri Kehutanan tentang Penetapan HLGL UPTD Planologi beserta Dinas Kehutanan bekerja sama dalam penataan batas dan harus temu gelang (syarat pengukuhan kawasan) Seluruh stakeholder duduk bersama untuk mendapatkan bentuk pengelolaan HLGL yang terbaik
Unit pengelolaan hutan
(1) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (2) huruf c dibentuk berdasarkan kriteria dan standar yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Unit Pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi pada hutan konservasi; b. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung pada hutan lindung; c. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi pada hutan produksi.
Belum adanya pengelolaan HLGL
Peraturan PP No. 44 tahun 2004 Pasal 3
Isi Jenis kegiatan perencanaan hutan
PP No. 44 tahun 2004 Pasal 4
PP No. 44 tahun 2004 Pasal 28
Keterangan
unit
85
PP No. 44 tahun 2004 Pasal 32
Bagian dari unit pengelola dan tanggung jawab intitusi pengelola
(1) Pada setiap unit Pengelolaan Hutan dibentuk institusi pengelola. (2) Institusi pengelola bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi: a. perencanaan pengelolaan; b. pengorganisasian; c. pelaksanaan pengelolaan; dan d. pengendalian dan pengawasan.
Belum adanya pengelola HLGL
unit