PERSEPSI DAN TRADISI KHITAN PEREMPUAN DI MASYARAKAT PASIR BUAH KARAWANG: PENDEKATAN HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Ulfah Hidayah NIM : 1110043100004
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZAB FIQH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK Ulfah Hidayah. NIM 1110043100004. PERSEPSI DAN TRADISI KHITAN PEREMPUAN DI MASYARAKAT PASIR BUAH KARAWANG: PENDEKATAN HUKUM ISLAM. Program Studi Perbandingan Madzab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Madzab Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435/2014 M. ix + 82 halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat Kampung Pasir Buah di Karawang terhadap khitan perempuan. Karena pada saat ini, masyarakat banyak yang salah persepsi dalam pemahaman tentang tujuan khitan perempuan dalam syariat Islam. Dalam hukum Islam telah dijelaskan hukum mengkhitankan anak perempuan dan bagaimana tata cara yang sesuai dengan syariat. Namun disamping itu banyak juga masalah yang timbul ditengah masyarakat tentang praktik khitan perempuan yang menuai kontroversi. Dalam skripsi ini juga dijelaskan mengenai kebijakan pemerintah dalam menyikapi masalah khitan perempuan yang dituangkan dalam Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 dan Keputusan MUI Nomor 9A tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dengan menggunakan metode quesioner dan wawancara sebanyak 15 responden, dalam hal ini yang dijadikan objek penelitian ini merupakan para masyarakat kampung Pasir Buah, tokoh agama dan ahli medis terkait dengan permasalahan yang diteliti. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisisan angket quesioner kepada warga, ahli agama dan ahli medis mengenai khitan perempuan yang berkaitan dengan pandangan responden terhadap hukum, tata cara, tujuan, manfaat dari khitan perempuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat terhadap khitan perempuan yaitu untuk menjalankan syariat Islam dan sunnah Rasul yang sudah menjadi tradisi di tengah masyarakat Pasir Buah, meski mereka banyak yang salah persepsi terhadap hukum mengkhitankan anak perempuan yang sesuai dengan syariat Islam. Namun mereka tetap melakukannya karena anggapan untuk mengislamkan si anak. Dan sudah menjadi tradisi di masyarakat yang susah untuk dihapuskan meski banyak kontrovesi yang timbul di dalam maupun luar negeri. Kata kunci : khitan perempuan, persepsi, FGM Pembimbing I
: Afwan Faizin, MA
Pembimbing II
: Arip Purkon, MA
vii
KATA PENGANTAR بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah Rabb Seru Sekalian alam, atas segala nikmat dan anugerahnya penulis ucapkan Alhamdulillah karena dengan segala kemudahan, pertolongan dan ridha yang telah Allah limpahkan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi yang penulis lakukan dengan kerja keras diiringi dengan do’a akhirnya telah rampung. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad Saw, yang telah menyelematkan manusia dari kesesatan. Tak lupa juga kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan kepada seluruh umatnya sampai akhir zaman. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari do’a, bimbingan dan partisipasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada yang telah berjasa dan yang terhormat: 1.
Dr. H. JM. Muslimin, M.A, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku ketua program study Perbandingan Madzab dan Hukum serta bapak Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si, selaku sekretaris program study Perbandingan Madzab dan Hukum.
3.
Bapak Afwan Faizin, MA dan bapak Arip Purkon, MA, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.
4.
Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Khususnya untuk dosen Ibu Siti Hanna, Lc. MAg. yang sudah meluangkan waktunya untuk diwawancarai serta bapak Nur Rohim Yunus, LL.M yang sudah memberikan support dan arahan.
5.
Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
6.
Kedua orang tua tercinta, tersayang dan terkasih di haribaan Allah Swt, H. M. Thoifur dan Hj. Siti Sahiroh. Semoga Allah senantiasa menyayangi mereka.
7.
Kepada seluruh kakak kandung, kakak ipar, dan keponakan yang penulis sayangi. Terima kasih atas segala do’a tulus, didikan, nasihat, cinta dan kasih sayang yang telah kalian curahkan. Semoga Allah membalas jasa-jasa dan kebaikannya.
8.
Sahabat dan keluarga besar PMF kelas A dan B, PMFK dan PMH angkatan 2010, kawan-kawan Gontor Putri 3 angkatan 2009, teman-teman PA dan SJS dan adik kelas PA, kawan-kawan KKN Gemeter.
9.
Semua pihak yang turut membantu dan menyelesaikan skripsi ini. Semoga jasa dan amal baik mereka mendapat balasan yang berlipat dari Allah
Swt. dan menjadikannya amal jariyah yang tak pernah berhenti mengalir hingga yaumil qiyamah. Dan semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dan dapat ikut serta berperan membantu dalam arah memajuan pendidikan, bermanfaat bagi orang banyak serta membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Akhirnya semoga Allah SWT, memberikan petunjuk ke jalan yang diridhai-Nya serta mencurahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin
Jakarta, 3 September 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING.............................................................ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI.....................................................................iii LEMBAR PERNYATAAN........................................................................................iv KATA PENGANTAR.................................................................................................v ABSTRAK..................................................................................................................vii DAFTAR ISI.............................................................................................................viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................1 B. Batasan dan Rumusan Masalah.......................................................5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................6 D. Metode Penelitian............................................................................8 1. Jenis Penelitian...........................................................................8 2. Pendekatan Penelitian................................................................8 3. Sumber Data Penelitian..............................................................8 4. Alat Pengumpul Data.................................................................9 5. Analisa Data.............................................................................10 E. Review Studi..................................................................................10 F. Sistematika Penulisan....................................................................12
BAB II
TINJAUAN KHITAN PEREMPUAN DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Praktik Khitan Perempuan...................................14 B. Sejarah Khitan dalam Dunia Islam................................................17 C. Hukum Khitan Perempuan dan Dalilnya.......................................22 D. Hikmah dan Faedah Khitan Perempuan........................................40
viii
BAB III
PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN DI INDONESIA DAN DASAR HUKUMNYA A. Tradisi dan Praktik Khitan Perempuan di Indonesia.....................47 1. Tradisi dan Praktik Khitan Perempuan di Beberapa Daerah di Indonesia. ............................................................................... 47 2. Tradisi dan Praktik Khitan Perempuan Masyarakat Pasir Buah di Karawang.............................................................................49 B. Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Mengeluarkan Peraturan Tentang Khitan Perempuan...........................................................53 1. Kontroversi Khitan Perempuan di Indonesia..........................53 2. Dasar Legitimasi Diberlakukannya Khitan Perempuan di Indonesia..................................................................................57
BAB IV
ANALISIS
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
PERSEPSI
MASYARAKAT KAMPUNG PASIR BUAH DI KARAWANG TENTANG KHITAN PEREMPUAN A. Pandangan dan Dasar Pemikiran Masyarakat Terhadap Khitan Perempuan................................................................................62 B. Penilaian dan Sikap Masyarakat Terhadap Adanya Kontrovesi Khitan Perempuan....................................................................76 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan....................................................................................82 B. Saran..............................................................................................84
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................85 LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Khitan masih tetap dianggap sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, maka seperti pendidikan seks lainnya, persoalan khitan jarang dijumpai di forum-forum formal. Hingga sekarang khitan terhadap perempuan terus dipermasalahkan.1 Dalam syariat Islam, khitan merupakan suatu ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai kelanjutan dari ajaran Nabi Ibrahim As.2 Dalam masalah khitan perempuan ini tidak ditemukan dalil yang qatȋ’ dilȃlah (menunjukan adanya kepastian hukum), sehingga terjadilah perbedaan pendapat dikalangan ulama. Khitan bagi perempuan disyariatkan sebagaimana halnya bagi pria, apa pun derajat hukumnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah,3 bahwa ada yang mewajibkan, mensunnahkan dan ada pula yang memubahkan.4 Sehingga menurut pendapat Syekh Mahmud Syaltut, ulama dari Mesir berpendapat bahwa khitan termasuk masalah ijtihad. Namun begitu masih sering muncul kontrovesi seputar khitan bagi perempuan, baik di dalam maupun luar negeri. Perbedaan dan perdebatan tersebut terjadi karena berbagai alasan dan sudut pandang yang berbeda. Yang kontra bisa jadi 1
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010) cet. ke-1, h.59. 2 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003) cet. ke-1, h. 287. 3 Lihat juga masalah ini dalam buku Jami’ Ahkam Al-Qur’an, Al-Qurthubi:2/93. 4 Imam Zaki Al-Barudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, Penterjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004) cet. ke-1, h.35.
1
2
karena kurangnya informasi tentang ajaran Islam, kesalahan penggambaran tentang khitan yang syar‟i bagi perempuan, dan mungkin juga karena sudah antipati terhadap Islam. Pelaksanaan khitan bagi perempuan juga harus didasarkan pada asas kemaslahatan, maka menjadi boleh bahkan sunnah. Sebaliknya bila menimbulkan efek negatif (mudharat bagi perempuan) seperti dapat menghilangkan kenikmatan seksual perempuan maka hukumnya tidak boleh.5 Dan apabila dilihat dari sisi tujuan syariat dalam metode maqasid al-syarȋ’ah adalah mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemafsadatan atau kombinasi keduanya. Definisi yang lebih tegas dan operasional dikemukakan oleh „Izzuddin bin „Abd al-Salam sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Imam Mawardi:6 “Barangsiapa yang berpandangan bahwa tujuan syara‟ adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat, maka berarti dalam dirinya terdapat keyakinan dan pengetahuan mendalam bahwa kemaslahatan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia-siakan sebagaimana kemafsadatan yang ada dalamnya juga tidak boleh didekati walaupun dalam masalah tersebut tidak ada ijma’, nash, dan qiyas yang khusus.”7 Namun sepertinya banyak sekali kaum muslimin yang belum memahami halihwal tentang hukum dan manfaat khitan perempuan.8 Dan banyaknya isu dan propaganda dari pihak-pihak yang terus berambisi untuk menjauhkan umat Islam dari 5
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h.305. Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, (Jakarta: LKIS, t.th) h. 181. 7 „Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam 2/160. 8 Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, penterjemah Abu Nabil (Solo: Penerbit Zam-Zam, 2008), cet. ke-1, h.5. 6
3
ajaran agamanya sendiri. Sehingga sempat terjadi pelarangan khitan perempuan di beberapa negara termasuk Indonesia. Pada tahun 1960, diadakan sebuah konferensi yang disponsori PBB yang bertema Participation of women in Public Life di Addis Adaba. Delegasi perempuan Afrika ketika itu mempertanyakan kepada WHO tentang khitan pada perempuan yang dinilainya sebagai pelanggaran martabat dan kemanusiaan (violation of human dignity). Setelah itu pihak WHO melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa khitan pada perempuan di beberapa tempat di Afrika dinilai sebagai problem serius (a serious medical problem).9 Namun lain halnya dengan prosedur pelaksanaan khitan perempuan yang dikehendaki syariat Islam adalah dengan hanya melepaskan tudung klitoris sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah, untuk tidak berlebihan dalam mengkhitankan anak perempuan, agar mendapat maslahat yang diharapkan dan terhindar dari mudharat yang dikhawatirkan akan membahayakan.10 Disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah bahwa khitan juga merupakan perwujudan kesucian badaniyah yang berdampak positif pada kesehatan. Kebersihan, baik dalam konteks khitan maupun yang lain, merupakan bagian dari syari‟at Islam yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.11
9
Lilian Passmore Sanderson, Against The Mutilation of Women: The Struggle to End Unnecessary Suffering, (London: Itacha Press, 1981) h. 7-11. 10 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h.306. 11 Kementrian Agama RI, Tafsir Ilmi “Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains”, (Jakarta: Penerbit Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dan LIPI).
4
Dengan demikian keberatan yang dikemukakan dari berbagai kalangan seperti terhadap pelaksanaan khitan perempuan tidak pada tempatnya bila hal itu dilakukan dalam rangka kemaslahatan yang lebih besar dengan memberikan kemuliaan bagi kaum perempuan melalui kontrol dan penyaluran libidonya.12 Dan perlu diketahui bahwa Nabi tidak pernah menginginkan pelaksanaan khitan yang menyiksa perempuan. Justru meluruskan tradisi Female Genital Mutilation (FGM) yang terjadi pada masyarakat Arab pada waktu itu.13 Pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang bersifat diskriminatif dan patriarkhis terhadap agama Islam tidaklah dapat dibenarkan, karena pandangan seperti ini memberikan pandangan yang kontradiktif dengan visi kesetaraan dan kemuliaan manusia. Kontradiksi terhadap kalam Tuhan dan atau ucapan-ucapan Nabi ini pastilah tidak boleh terjadi. Apa yang datang dari Tuhan pastilah tidak ada yang salah sebagaimana terdapat pada firman Allah Swt. dalam surat Fushilat ayat 42.14 Pemerintah Indonesia sendiri mengambil kebijakan WHO untuk tidak membolehkan adanya ketentuan khitan bagi perempuan karena dinilai bertentangan dengan HAM. Ini dibuktikan dengan terbitnya Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, pada 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan.
12
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 306. Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 57. 14 Abuddin Nata, ed, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Fiqih dan Ibadah, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008), cet. ke-1, h.303-304. 13
5
Namun pemerintah juga tidak bisa langsung melarang kaum muslimin sebab kenyataannya ketentuan khitan bagi perempuan tetap berjalan di masyarakat malah diyakini sebagai kewajiban minimal sunah Nabi Muhammad Saw. sehingga beredar fatwa MUI tentang dibolehkannya khitan bagi perempuan pada tahun 2008 untuk menjawab persoalan khitan ini asalkan sesuai dengan standar kesehatan dan medis. Tentunya hal ini bertentangan dengan surat Edaran Depkes yang justru melarang praktik khitan perempuan. Hal inilah yang menjadi tumpang tindih peraturan di Indonesia akan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dan tidak lama kemudian pada tahun 2010 kementrian kesehatan mengeluarkan suatu peraturan yaitu PERMENKES Nomor 1636 Tahun 2010 Tentang Sunat Perempuan, yang didalamnya berisikan petunjuk ahli medis dalam melakukan tindakan khitan perempuan dan legalitas kewenangan bagi ahli medis untuk melakukan tindakan khitan perempuan apabila diminta oleh pasien (orang tua bagi anak yang akan dikhitan). Hal inilah yang menyulut kembali kontroversi akan masalah khitan perempuan bagi pihak yang kontra dan memandang Permenkes itu sebagai kebijakan yang membuka peluang dan otoritas bagi tenaga medis untuk melakukan layanan khitan perempuan dan sebagai bentuk legalitas khitan perempuan di Indonesia. Lalu bagaimana dengan sikap masyarakat dalam menghadapi problema tentang khitan perempuan itu, yang mana tidak jarang masyarakat yang masih tetap mempertahankan perintah Rasulullah yaitu mengkhitan anak perempuannya baik dengan konsep tradisi, kesehatan, perintah agama atau hanya sekedar menjalankan sunnah Rasul. Lalu apa yang membuat masyarakat di sebagian daerah di Indonesia
6
tetap melanggengkan ajaran khitan ini. Dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk menulis sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PERSEPSI DAN TRADISI KHITAN PEREMPUAN DI MASYARAKAT PASIR BUAH : PENDEKATAN HUKUM ISLAM” B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka perlu diadakannya suatu penelitian yang komprehensif terhadap ajaran khitan perempuan dalam masyarakat di Indonesia. Studi ini difokuskan pada kajian hukum Islam memandang persepsi masyarakat dalam menjalankan ajaran khitan perempuan khususnya pada masyarakat di kampung Pasir Buah, Karawang Barat. 2. Rumusan Masalah Berangkat dari uraian latar belakang yang tertera di atas, penulis rumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, diantaranya yaitu: 1.
Bagaimana pelaksanaan khitan perempuan di masyarakat kampung Pasir Buah, Karawang?
2.
Bagaimana persepsi masyarakat di kampung Pasir Buah, Karawang terhadap khitan perempuan dengan pendekatan hukum Islam?
3.
Apakah dasar legitimasi diberlakukannya khitan perempuan di Indonesia ditinjau dari Putusan Majelis Ulama Indonesia Nomor 9A Tahun 2008 dan Terbitnya Permenkes RI No.1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pelaksanaan khitan perempuan pada masyarakat di kampung Pasir Buah, Karawang. b. Untuk mengetahui persepsi masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang terhadap khitan perempuan menggunakan pendekatan hukum Islam. c. Untuk mengetahui peraturan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa praktik khitan perempuan masih dapat diberlakukan di Indonesia. d. Menemukan fakta yang menjadi alasan seseorang melakukan khitan perempuan terhadap anaknya. 2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah; a. Mengungkap persepsi masyarakat terhadap khitan perempuan yang masih menjalankan ajaran khitan perempuan di zaman sekarang terkait dengan tinjauan hukum Islam, dengan menganalisis pendapat para ahli hukum Islam, pandangan juru khitan dan ahli medis, dan pandangan masyarakat terkait dengan khitan perempuan. b. Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada kaitannya dengan praktik khitan perempuan di Indonesia dilihat dari aspek keagamaan dan aspek yuridis peraturan di Indonesia.
8
c. Memberikan saatu karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. d. Dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat secara umum dalam memahami lebih mendalam mengenai khitan perempuan. e. Hasil penelitian diharapkan dapat mengembangkan pola pikir kritis dan dinamis bagi penulis serta semua pihak dalam menyikapi masalah khitan perempuan dalam penerapan kehidupan. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni penelitian yang difokuskan untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dijadikan sumber informasi, untuk menganalisa data non-statistik. Sedangkan metode penelitiannya menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). 2. Pendekatan Penelitian Untuk
memperoleh
suatu
karya
yang
benar-benar
dapat
dipertanggungjawabkan, maka dalam penelitian penulis menggunakan dua macam pendekatan yaitu: a. Secara normatif, yaitu hukum doktiner yang dilakukan dalam penelitian untuk mendapat dasar pemikiran, dalam perumusan konsep yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang bersumber dari kitab-kitab fiqh klasik, buku-
9
buku, atikel-artikel di internet yang ada hubungannya dengan pembahasan skripsi ini. b. Secara historis, yaitu dengan menulusuri sejarah tentang khitan perempuan, khitan perempuan dalam masyarakat modern, khitan perempuan yang berdampak pada aktivitas seksual. 3. Sumber data penelitian Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder: a. Data Primer 1. Studi Kepustakaan (library research) dari buku, artikel, karya-karya ilmiah yang terkait dengan penilitian ini. Seperti Kitab-kitab fiqih, pendapatpendapat para ahli terkait permasalahan skripsi ini. 2. Quesioner dan wawancara (interview), yaitu cara pengumpulan data melalui penyebaran angket dan tanya jawab langsung dengan responden yang mengetahui permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah tokoh agama, masyarakat kampung Pasir Buah, dan para juru sunat (paraji) atau ahli medis, terkait dengan permasalahan yang diteliti. b. Data sekunder Observasi di wilayah Kampung Pasir Buah dengan melakukan pengamatan terhadap kejadian-kejadian di lapangan terkait dengan khitan perempuan pada masyarakat kampung Pasir Buah dengan mayoritas aliran agama Islam Nahdlatul Ulama, meskipun dari tata cara beribadah mereka masih manut pada
10
yang lebih paham (taqlid) karena memang dilihat dari faktor pendidikan yang kurang terhadap syariat agama Islam. 4. Alat Pengumpul Data Karena jenis penilitian ini adalah penelitian lapangan (field research) di Pasir Buah, maka metode pengumpulan data yang dilakukan dengan quesioner dengan menyebar angket dan wawancara mendalam, pengamatan langsung yaitu pengamatan terhadap praktik khitan perempuan di Kampung Pasir Buah dan penelusuran data-data sekunder yang berkaitan dengan penilitian yang dilakukan. 5. Analisa data Dalam pengolahan data digunakan metode content analitis. Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundangundangan, dan artikel, diurai dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah yang telah dirumuskan. Selanjutnya semua bahan dan data dianalisa secara deduktif, yakni suatu bentuk penalaran yang berpangkal dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini (self-evident) dan berakhir suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus.15 Dalam penelitian ini proposisi umum tersebut berupa kaedah-kaedah hukum. E. Review Studi
15
AmiruddindanZainalAsikin, PengantarMetodePenelitianHukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h. 4
11
Studi terhadap masalah khitan baik khitan laki-laki atau khitan perempuan di Indonesia sudah banyak dan terus di up-date dalam berbagai bentuk karya. Begitu juga kajian tentang khitan perempuan yang telah banyak dikupas oleh para ulama fuqoha dan pakar kesehatan, baik nasional bahkan internasional. Namun dalam karya ilmiah yang ingin penulis sajikan dalam skripsi ini penulis ingin membahas mengenai persepsi masyarakat terhadap khitan perempuan yang masih tetap menjalankan ajaran khitan perempuan di zaman sekarang dikaitkan dengan tinjauan hukum Islam. Sedangkan diera sekarang khitan perempuan merupakan problematika yang menimbulkan pro dan kontra baik di dalam maupun di luar negeri. Sementara sejauh penelusuran penulis dari karya ilmiah yang telah dibuat oleh rekan-rekan sebelumnya sebagai tugas akhir pendidikan strata satu di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, ditemukan beberapa tulisan ilmiah yang telah membahas perihal khitan perempuan. Dan disini penulis ingin menyajikan kembali sebuah karya ilmiah dengan tema Khitan Perempaun namun dengan teknik penyajian data yang berbeda yaitu menganalisis persepsi masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang yang masih tetap menjalankan praktik khitan perempuan dikaitkan dengan hukum Islam. Berikut beberapa hasil penelusuran yang terkait; pertama, Haeriyah, Problematika Khitan Perempuan (Analisa Hukum Islam dan Medis), 2010. Memaparkan masalah khitan perempuan yang diidentifikasi merugikan hak kesehatan, baik terkait atas hak reproduksi dan atau hak pemenuhan kepuasan seksual, yang dilihat dari perspektif ahli medis.
12
Kedua, Rabiyatul Adawiyah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Khitan Perempuan Dalam Masyarakat Modern (Studi Kasus Masyarakat Angke, Tambora, Jakarta Barat), 2010. Membahas tentang penelitian praktik Khitan Perempuan yang masih dilakukan di era modern pada masyarakat Angke, Jakarta Barat serta mengungkapkan alasan konsep dasar khitan perempuan menurut hukum islam. Daftar di atas, memiliki fokus kajian sendiri-sendiri dengan pembahasan yang berbeda satu sama lain. Jika dicermati, mungkin kajian yang akan penulis buat hampir sama dengan dengan skripsi karya Rabiatul Adawiyah, namun disini penulis mengambil tempat penelitian yang berbeda yaitu dengan objek penelitian masyarakat suku Sunda di Karawang yang masih tetap menjalankan praktik khitan perempuan meski banyak problematika di zaman sekarang terkait khitan perempuan. Serta adanya pembahasan mengenai kebijakan pemerintah dalam menyikapi masalah khitan perempuan yang dituangkan dalam Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 dan Keputusan MUI Nomor 9A tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan yang akan dibahas dalam skripsi ini nanti. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, dimana masing-masing bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut; Bab pertama berisikan pendahuluan menguraikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi, dan sistematika penulisan.
13
Bab kedua menjelaskan tinjauan umum tentang khitan perempuan dalam hukum Islam yang meliputi pengertian, sejarah dan praktik khitan dalam dunia Islam, pendapat ulama fuqoha beserta landasan hukumnya, hikmah dan faedah khitan perempuan. Bab ketiga akan memaparkan perihal tinjauan umum praktik khitan perempuan di beberapa daerah di Indonesia dengan membandingkan hasil penilitian tradisi dan praktik khitan di Karawang khususnya di kampung Pasir Buah yang menjadi objek penelitian, serta kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan peraturan tentang khitan perempuan beserta pemaparan dasar legitimasi atas pemberlakuan praktik khitan perempuan di Indonesia dengan mengacu pada Putusan MUI tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan nomor 9A Tahun 2008 dan Permenkes No 1636 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan. Bab keempat merupakan analisis hukum Islam terhadap persepsi dan tradisi masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang terhadap khitan perempuan yang mana masih tetap menjalankan ajaran khitan perempuan dimasa kini meski telah timbul problematika berupa kontrovesi pro dan kontra terkait dengan khitan perempuan. Bab kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang di dalamnya akan berisikan kesimpulan dan saran yang bersifat kontribusi membangun bagi dunia akademis.
BAB II TINJAUAN KHITAN PEREMPUAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Praktik Khitan Perempuan 1. Pengertian Khitan Secara Bahasa Secara bahasa kata khitan atau khitanan dalam bahasa Arab berasal dari kata َ َخ ْزًٕب-ََُِٓ ْخز٠َ -َََٓ( َخزkhatana-yakhtinu-khatnan) mengandung arti harfiah „menyunat/memotong‟.1 ْ dengan fathah pada kha‟ dan sukun pada Sedangkan kata al-khatnu (َُٓ)اٌ َخ ْز ta terdapat dua kata ُ ْع َزس٠َ ٞ َخ ْزٓ َاٌغالَ َاٌزyaitu khitan, anak laki-laki yang dikhitan bisa disebut juga dengan istilah i‟dzar dan
ضع َاٌمطع َِٓ َاٌزوشِٛ:ْ اٌ ِخزَبyaitu
memotong bagian dari zakar laki-laki. Ada juga yang mengkhususkan istilah khitan yaitu istilah khitan untuk laki-laki dan istilah khifadh untuk perempuan.2 Ada juga kata al-ikhtitan (َُْ)ا ِال ْخزِزَب. Kata khitan sendiri merupakan kata ْ yaitu benda atau merupakan tempat khitan dari kata subyek (fa‟il) al-khatin (َُِٓ)اٌ َخبر orang yang mengkhitan. Abu Syamah sebagaimana disebutkan oleh Imad Zaki Al-Barudi menyebutkan bahwa para ahli bahasa menyatakan bahwa kata i‟dzar berlaku untuk
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah,1973) h.114. 2 Abȋ al-Husain Ahmad Ibn Fȃris Ibn Zakariya, Kamus Mu‟jam Muqayyisu al-Lughah, (Beirut: Dȃr al-Fikri,t.th) h. 245.
14
15
keduanya. Baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan kata khafdun atau khafdan hanya berlaku untuk kaum perempuan.3 Abu Ubaidah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata. “Jika dikatakan „Adzartul Jariyah wal Ghulaam‟ artinya aku mengkhitankan anak perempuan dan anak laki-laki. Kata „adzara dan khatana memiliki kesamaan dari segi pola kata maupun makna.”4 Sementara Imam Jauhari menambahkan, “Namun pada umumnya orang-orang menggunakan kata khafadat untuk konteks kaum perempuan.”5 Adapun penyebutan istilah khitan lazim disebut sunat atau sunatan karena mengikuti sunnah Rasulallah Saw. sesuai dengan sunnah fitrah, seperti halnya dengan istilah yang biasa digunakan di negara Indonesia. 2. Pengertian Khitan Secara Terminologi Sedangkan secara terminologi pengertian khitan dalam istilah fiqih dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Imam al-Mawardi, ulama fiqih mazhab Syafi‟i, khitan bagi perempuan adalah membuang bagian paling atas faraj (vagina) yaitu ujung kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva (klitoris) pada bagian atas kemaluan perempuan yang
3
Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Al-Qur‟an Wanita 1, Penerjemah Tim Penerjemah Pena (Jakarta: Pena Pundi Aksara, t.th) h. 43. 4 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fathul Baari 28, Peniliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Bazz, penerjemah Amiruddin (Jakarta:Pustaka Azzam,2011), cet ke-2, h. 758 5 Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Al-Qur‟an Wanita 1, h. 43.
16
bentuknya seperti biji kurma atau jengger ayam jago.6 Pemotongan itu baiknya dilakukan hanya pada bagian atasnya saja dan tidak memotong seluruh bagian klitoris. Khitan dalam istilah kedokteran disebut Circumcision / Sirkumsisi. Menurut Kamus Saku Kedokteran DORLAND, circumcision adalah7: Pemotongan praeputium atau kelentit depan. Female c., setiap cara, baik memotong bagian eksternal genitalia wanita atau infibulasi. Pharaonic c., jenis sirkumsisi pada wanita yang terdiri dari dua cara: cara radikal dimana klitoris, labia minor, dan labia mayor diangkat dan jaringan tersisa diperkirakan, dan bentuk yang telah dimodifikasi, dimana kulup dan glans klitoris serta daerah yang berbatasan dengan labia minora diangkat. Sunna c., bentuk sirkumsisi pada wanita dimana kulup klitoris diangkat.8 Prosedur pelaksanaan khitan perempuan yang dikehendaki syariat Islam adalah dengan hanya melepaskan tudung klitoris sebagaimana sabda Rasulallah yang diriwayatkan oleh Ummu „Atiyah, “Ada seorang juru khitan bagi anak-anak perempuan Madinah, maka Rasulallah berpesan, „Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan merupakan kecintaan suami.” Dalam riwayat Abȗ Daud diriwayatkan sabdanya, “Potong tipis saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami.”9
6
Muslim, SahȋhMuslim bi Syarh al-Nawawȋ, Jilid 3, (Bairȗt: Dȃr al-Ihyȃ li al-Turats Al„Arabi, 1974) h.148; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003) cet. Ke-1, h. 302-303. 7 Poppy Kumala, dkk (pent.), Kamus Saku Kedokteran DORLAND, Ed. 25, (Jakarta: EGC, 1998) h. 232. 8 Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan (Jakarta: Al-Mughni Press dan Mitra Inti Foundation, 2006) cet. ke-2, h. 2 9 Imȃm Sulaimȃn bin Asy‟ats Al-Sijistȃnȋ, Sunan Abî Dâwûd, Kitâb al-Adâb, Bâb Mâ Jâa fî alKhitân, hadis nomor: 5271, (Beirȗt: Dȃr Al-Fikr, t.th) h. 264; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 306.
17
Dilihat dari istilah khitan secara terminologi baik istilah fiqih maupun kedokteran, penulis menyimpulkan bahwasanya khitan sebaiknya dilakukan dengan cara yang ringan yaitu dengan cara membuang bagian ujung kelentit (smegma) sesuai dengan nasihat Nabi Saw. dalam hadis di atas. Agar mendapat maslahat dan terhindar dari resiko atau mudhorot dari khitan perempuan. B. Sejarah Khitan dalam Dunia Islam Orang yang pertama kali melakukan khitan adalah nabi Ibrahim As. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh hadist Rasulallah Saw. yang diriwayatkan oleh alBukhori, Muslim, Ahmad dan lain-lain dari Hurairah berkata: َِٗ ٠ْ َ َهللاَُ َعَبٍَٝط َ َِْ يَُهللاُٛشحَاَْ َسع٠َ٘شَٝاٌضٔبدَعَٓاالعشجَعَٓاثَٛحذثٕبَاث:َتَثَٓحّضحَلبي١اخجشٔبَشع ْ َ عٍَ َُ َلبيَٚ ٍَُِغَٚ ٜاٖ َاحّذ َاٌجخبسََٚ َ(سُٚ ِ اخززٓ َثِ ْبٌمَذَٚ ًََٓ َ َعَٕخ١ْ ِٔ ِٗ َاٌ َغالََ َثع ََذ َثَ َّب١ْ ٍَ ُُ َ َع١ْ ِ٘ اخزَزََٓ َاِ ْث َش ٔٓ
َ)ٟمٙ١اٌجٚ
... dari Abu Hurairah Rasulallah Saw. bersabda Ibrahim As. berkhitan saat berusia 80 tahun dengan dengan kapak kecil.(HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Baihaqȋ)11 Dalam riwayat al-Baihaqȋ ditambahkan bahwa, kedua putra nabi Ibrahim juga dikhitan, nabi Isma‟il dikhitan ketika usianya 13 tahun, sedangkan nabi Ishaq dikhitan dalam usia 7 hari.12
10
al-Hafizal-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, (Makkah: Dȃr al-Bȃz, 1994) h.325-326; Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhȃrȋ, Al- Adab al-Mufrad, (Beirȗt: Dȃr al-Kutub al-I‟lmiyah, 1986) cet. ke-1, h. 363. 11 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fathal-Bȃrȋ buku 28 , Peneliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, penterjemah Amiruddin (Jakarta:Pustaka Azzam, 2011) cet ke-2, hal.764. 12 Lihat al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h.326.
18
Di kalangan bangsa Arab, khitan telah menjadi tradisi sejak Nabi Ibrahim As. dan Nabi Ismail As. Sesudah tersebar Islam keseluruh dunia, maka kebiasaan tersebut juga dikukuhkan oleh ajaran Islam dan cepat diikuti oleh bangsa-bangsa penganut Islam lainnya.13 Sedangkan nabi Muhammad Saw. sendiri, tidak dikhitan oleh ayah atau paman atau kakeknya, namun dalam banyak riwayat diceritakan bahwa beliau lahir dalam keadaan sudah terkhitan. Hal ini dapat dimaklumi karena posisi beliau sebagai nabi dan kondisi terlahir seperti ini merupakan sebagian dari kelebihan beliau. Kebiasaan orang Arab Makkah sebelum Islam datang, kemungkinan tidak dikhitan, apalagi kaum perempuannya. Namun di Madinah, selain laki-laki dikhitan ada juga kebiasaan perempuannya yang dikhitan. Hal ini nampak dari peringatan Nabi Saw. kepada Ummu „Atiyyah yang konon juga berprofesi sebagai tukang sunat tidak menyunat secara berlebihan.14 Hadis ini diriwayatkan dengan dua versi. 1. Riwayat Pertama: ْ َعَْجذَٚ َ ُّٟ ِ َّبُْ َثُْٓ َ َع ْج ِذ َاٌشَّحْ َّ ِٓ َاٌ ِّذ َِ ْشم١ْ ٍََح َّذثََٕبَ ُع ْ ُ١ِ ة َثُْٓ َ َع ْج ِذ َاٌ َّش ِح َاُْ َ َح َّذثََٕبَٚ ْ َلَ َبال َ َح َّذثََٕبَ َِشُّٟ َاْلَ ْش َد ِع ِ َّ٘بَٛ ٌَُا ْ َع َْٓ َ َع ْج ِذُّٟ ِفَٛاٌ ُى ْ ة ْ ُِ َح َّّ ُذ َثُْٓ َ َح َّغبَْ َلَب َي َ َع ْج ُذ ْ ََّخ١ ٍْش َع َْٓ َأُ َِّ َ َع ِط١َّ ه َث ِْٓ َ ُع ًََّ ِخ َأَ َّْ َا ِْ َشأَح٠بس َ َََْٔاْل ِ ٍَِّ ٌَا ِ َّ٘بَٛ ٌَا ِ ظ ْ ٌََِِ ُّأَ َحتَٚ ٌََِ ٍْ َّشْ َأَ ِحَٝهَأَحْ ظ َّ ٍَّط ْ َٔوب ًَ َِ َاٌجَ ْعٝ َْ َذَر َ ٌَِفَإ ِ ََّْ َرٟ ِىِٙ ْٕ ُ َعٍَّ َُ ََالَرَٚ َِٗ ١ْ ٍََهللاَُ َعٝ َ َُّٟ َِبَإٌَّجٌَََٕٙ ِخَفَمَب َي٠َخزُِٓ َثِ ْبٌ َّ ِذ ٔ5
)دٚداٛاَٖاثٚ(س
Dari Ummi „Atiyyah diceritakan bahwa di Madinah terdapat seorang perempuan tukang sunat /khitan, lalu Rasulallah saw bersabda kepada 13
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1996), Cet. ke-1, h. 179. 14 Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, h. 4 15 Imȃm Sulaimȃn bin Asy‟ats Al-Sijistȃnȋ, Sunan Abî Dâwûd, h. 264.
19
perempuan tersebut: jangan berlebihan, sesungguhnya hal itu lebih baik/disukai bagi perempuan dan lebih disenangi oleh lelaki.(HR. Abu Daud). Hadis di atas diriwayatkan oleh Abȗ Daȗd dari Sulaiman ibn Abd al-Rahman dan Abd al-Wahab – dari- Marwan – dari- Muhammad ibn Hassȃn – dari – Abd alMalik ibn „Umayir dari Ummu „Atiyyah. Hadis ini dihukumkan oleh Abȗ Daȗd sendiri sebagai hadis da‟if dengan beberapa alasan: Pertama, Muhammad ibn Hassȃn adalah perawi yang majhul (tidak diketahui, baik identitas maupun karakternya), dan diriwayatkan melalui jalan lain yang mursal dan tidak kuat. Dan menurut Al-Dzahabi Ibn Hassȃn merupakan orang yang tidak dikenal (la Yu‟raf). Kesimpulannya, hadis ini adalah da‟if.16 2. Riwayat Kedua َيَهللاٛب َسعٌََٙفمبيٞاسٛخَرخفضَاٌد١بَأُ ََ َعطٌَٙمبي٠َ ًٕخَا ِْشأَح٠ظَلبي َوبَْثبٌّذ١عَٓاٌضحبن َاثَٓل ْ َ ْٟ ض َٖاٚج َ(س َِ َْٚعٕذَاٌ َضَٝ َأَ ْخظَٚ ِٗ ْخَٛ ٌٍَٜ َفَبَِٔٗاعشْٟ ِىِٙ ْٕ ُال َرَٚ ِ َخَاخف١بَأََعط٠ٍََُعَٚٗ١ٍَهللاَعٍٝط ٔ7
)ٟمٙ١اٌج
Dari al-Dahhak diceritakan bahwa di kota Madinah terdapat seorang perempuan tukang sunat yang bernama Ummu „Atiyyah, lalu Rasulallah saw memperingatkannya dengan bersabda: Wahai Ummu „Atiyyah, sunatilah, tapi jangan berlebihan (ketika memotong), karena sesungguhnya hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih disukai oleh suami.(HR. Baihaqȋ) Hadist ini sama dengan yang pertama di atas, diriwayatkan oleh Hakim dalam al-Mustadrak, al-Baihaqȋ dalam al-Sunan al-Kubra dan al-Saghir, Abȗ Nu‟aim dalam al-Ma‟rifah, al-Tabrani dalam al-Mu‟jam al-Kabir dan Ibn „Adiy dalam al-
16
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, hadis nomor: 5271, h. 264. al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h.
17
324.
20
Kamil. Kesemuanya melalui perawi yang disifatkan da‟if. Ibn Hajar al-„Asqalani yang mengupas panjang jalur periwayatan hadis ini menyimpulkan keda‟ifannya.18 Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Tabrani dalam al-Mu‟jam al-Awsat dan al-Saghir dari Anas melalui Ahmad ibn Yahya, dari Muhammad ibn Sallam alJumahi, dari Za‟idah ibn Abȋ al-Ruqqad, dari Tsabit al-Bunani dari Anas dengan lafaz yang hampir sama. Al-Haitsami mengatakan bahwa sanad ini hasan.19 Berbeda dengan kaum perempuan, setelah Islam datang, baik di Makkah maupun di Madinah, kaum lelakinya dipastikan bahwa mereka dikhitan. Adanya perintah atau penjelasan dari Rasulallah Saw. yang cukup banyak dan jelas, meskipun beberapa diantaranya merupakan hadist da‟if, menunjukkan hal itu. Terlebih lagi banyaknya riwayat yang menjelaskan bahwa Hasan dan Husain, dua cucu Nabi Saw, dikhitan pada hari ketujuh kelahirannya.20 Konsep khitan biasanya dilakukan atas dasar ajaran agama, bukan saja agama Islam tetapi juga beberapa agama lain. Namun yang dominan di dalam masyarakat Islam dan Yahudi bahwa khitan adalah perintah agama yang harus dilakukan. Khitan merupakan ritual keagamaan yang bersifat tradisional yang ada sebelum Islam,
18
Al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, h. 324 dan al-Sunan al-Saghȋr, jilid 2, h. 281-282, hadis no. 3712;. Lihat kajian lengkapnya dalam Ibn Hajar, Talkhis al-Habir, jil. 4, h. 1408, hadist no. 1806 yang dinukil juga oleh al-Syaukani dalam Nail al-Autȃr, jilid 1, h. 137-139. 19 Al-Tabarani, al-Mu‟jam al-Ausat, jil. 3, h. 133, hadis no 2274; al-Tabaranȋ, al-Mu‟jam alsaghir, jilid 1, h. 47-48; al-Haytsami, Majma‟ al- Zawa‟id, jilid 5, h. 175. 20 Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, h. 4-5.
21
dengan bentuk-bentuk yang beragam mulai dari hanya simbol, pembersihan, mencolek, membersihkan kotoran hingga pada perusakan alat kelamin perempuan.21 Namun lain halnya dalam agama Islam syarat khitan dalam Islam pada filosofinya mengajarkan prinsip kebersihan, kesucian, kesehatan dan kefitrahan dengan mencontoh sunnah Nabi Saw.22 Dalam al-Qur‟an, Allah Swt. berfirman: ّ َّْ ِِ َ َُ ِحتََُّاٌ ُّز٠َٚ َ َٓ١ِاثََّٛ َُّ ِحتُّ َاٌز٠َََهللا ََٓ٠َِّ ِشٙط Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah: 222) Khitan dalam Islam dimaksudkan sebagai bukti keyakinan bahwa seseorang sudah menjadi Islam. Dan khitan ini awalnya diterapkan hanya pada laki-laki dengan memotong kulup ujung kelamin mereka ketika mereka hendak menjadi muslim. Meskipun praktik khitan ini, sebelum Islam lahir, sudah berkembang dikalangan tribal suku bangsa Arab waktu lampau. Bahkan juga diwajibkan dalam agama Yahudi dan Kristen, sebelum Islam muncul, praktik khitan juga sudah ada di negeri-negeri lainnya, seperti di Afrika, Asia, dan Eropah masa purba.23 Berdasarkan sejarah yang disebutkan di atas, penulis berpendapat bahwasanya sudah sangat jelas khitan itu ada sejak masa Nabi Ibrahim As. sebagai perintah dari Allah Swt. dan perintah syariat khitan diteruskan oleh Rasulallah Saw. mengenai masalah khitan bagi perempuan pada zaman Rasulallah Saw. sudah ada dan dalam 21
Asriati. Hal. 15 mengutip Anita Rahman, Khitan perempuan di Indonesia: Pengetahuan dan Sikap Para Tokoh Agama (Studi Kasus di Kecamatan Cijeruk Jawa Barat dan Kemayoran, DKI Jakarta) Hasil Penelitian Adik Wibowo, Harni, Ambar Wahyuningsih, Emiarti. Dalam Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010) cet ke-1, h. 53. 22 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 307. 23 “Khitan Perempuan: Praktik Purba Yang Harus Dihapuskan ,” Perempuan Bergerak, Edisi III, Juli-September, 2013, h. 4.
22
hadis pun telah dijelaskan. Meski kekuatan hadisnya da‟if namun banyak diriwayatkan oleh banyak perawi yang mendukung keshahihan hadis tersebut. Jadi hadis tentang pensyariatan khitan perempuan dapat diterima. C. Hukum Khitan Perempuan dan Dalilnya Syekh Mahmud Syaltut berpendapat sebagaimana dikatakan oleh Mayam Ibrahim Hindi bahwa khitan termasuk masalah ijtihad. Namun, para ahli fiqih bersepakat tentang legalitas khitan perempuan dalam syari‟at Islam. Buktinya kitabkitab kalangan ahli fiqih empat madzab menyebutkan perbedaan pendapat seputar status wajib atau sunnahnya khitan bagi perempuan. Tidak ada satupun dari mereka yang berpendapat haram atau makruh.24 Berikut penjelasan mengenai perbedaan pendapat status hukumnya: 1. Wajib Di antara kalangan yang berpendapat wajibnya khitan bagi laki-laki dan wanita adalah Al-Sya‟bi, Rabi‟ah, Al-Auza‟i,Yahya bin Sa‟id Al-Anshari, madzab Syafi‟iyah dan Hanabilah.25 Imam Nawawi berkata:26 ”Khitan dalam pandangan Imam Asy-Syafi‟ adalah wajib hukumnya. Imam al-Syafi‟i berpendapat bahwa khitan itu adalah wajib hukumnya, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.
24
Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, Penterjemah Abu Nabil (Solo: Penerbit Zam-Zam, 2008) cet. ke-1, h. 25. 25 Al-Hȃfiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathal-Bȃrȋ X , (Kairo: Dȃr Al-Rayyan li Al-Turats, 1986) h. 353; dan Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nailal-Autar I (Beirȗt: Dȃr Al-Qalm, t.th) h. 145-146 26 Syarh al-Nawawȋ li Sahihi Muslim, jilid 3, (Al-Azhȃr: Maktabah Usȃmah Al-Islȃmiyyah, t.th) h. 148.
23
Imam Yahya, ulama-ulama Itrah, Al-Syafi‟i dan segolongan ulama menetapkan,
bahwa
berkhitan
itu
diwajibkan
atas
lelaki
dan
atas
perempuan.27Mansur bin Yusuf al-Buhuti mengatakan, “Diwajibkan khitan ketika memasuki usia baligh, selagi tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya, baik bagi laki-laki, banci, ataupun wanita.”28 Sedangkan Ibrahim bin Dhawayan berkata, “Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan wanita.”29 Sedangkan pendapat keras yang datang dari ulama kontemporer yaitu Saleh al-Fauzan. Ahli fikih dari Saudi Arabia ini berpendapat bahwa khitan perempuan itu wajib dan harus dilakukan sejak kecil.30 Kalangan yang mewajibkan khitan bagi laki-laki maupun perempuan beralasan dengan dalil-dalil berikut ini:31 Firman Allah Ta‟ala : ْ َِِٓ َ َْ َِبَ َوبَٚ َفَب١ْ َِٕ ََُ َح١ِ٘ هَاَ َِْارَجِعَْ ٍَِِخََاِ ْث َشا ََْٓ١َاٌ ُّ ْش ِش ِو َ ١ْ ٌََِٕبَا١ْ ْ َ َحَٚثُ ََُا “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. An-Nahl: 123).
27
Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Autar, Jilid 1, h. 138; T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqah Islam, (Kelantang: Pustaka Aman Press SDN BHD 1987) cet. ke-2, h. 362. 28 Syaikh Manshur bin Yusuf, Al-Raudul Murbi‟, Jilid I, (Beirȗt: Dȃr al-Fikr,1985) h. 19. 29 Ibrahȋm bin Sȃlim Dhawayan, Mȃnar al-Sabȋl fi Syarh al-Dalil I (Riyadh: Maktabah AlMa‟arif) h. 30;; Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Tuhfatal-Wadud,(Kairo: Dȃr al-Rayyan li Al-Turats,t.th) h. 146;Al-Hȃfiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathal-Bȃrȋ X , h. 353; dan Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nailal-Autar I, h. 145-146. 30 Luthfi Assyaukanie, POLITIK, HAM, dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) cet. ke-1, h. 125. 31 Lihat Fath al-Bȃrȋ, X : 353-355; Al-Mughnȋ karya Ibnu Qudamah, I : 85-86; Tuhfat alWadȗd, h. 146-150; dan Nail al-Autar, I : 145-146.
24
Sedangkan khitan termasuk ajaran millah Ibrahim. Bahkan, ia termasuk di antara kalimat-kalimat yang Allah ujikan kepada Ibrahim, sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya yang artinya:َ ََُّٓ َّّٙ َذَفَبر ٍ َّ ٍِ ََُ َسثَُُّٗثِ َى١ْ ِ٘ َِِ ْث َشَاٍََِِٝ ِرَا ْثزَٚ “Dan ingatlah , ketika Ibrahim diuji Rabb-Nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya...” (Al-Baqarah:124) Biasanya,
suatu
ujian
berkenaan
dengan
sesuatu
yang
wajib.32
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata tentang ayat ini: “Allah menguji Ibrahim agar bersuci di lima tempat di bagian kepala dan lima tempat lainnya di tubuh. Yakni, menggunting kumis, berkumur, istinsyaq, bersiwak dan membelah sisiran rambut. Sedangkan yang di tubuh adalah menggunting kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan mencabut ketiak dan mencuci organ yang digunakan untuk buang air besar dan air kecil dengan air ( istinja ).”33 Qatadah berkata, “yang dimaksud dengan hal itu (agama Ibrahim) adalah khitan.” Pandangan ini adalah pandangan sebagian ulama madzab Maliki dan juga merupakan pendapat Imam Asy-Syafi‟i. Ibnu Suraij mengatakan pendapat itu adalah berlandaskan pada ijma‟. Karena adanya keharaman untuk melihat pada aurat orang lain, maka dia beralasan, “Andaikata khitan itu tidak wajib, pastilah seseorang tidak akan diperkenankan untuk melihat aurat seseorang yang dikhitan.” Dengan alasan yang
32
Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajȃr Al-Asqalani, Fath al-Bȃrȋ X, h. 354. Al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h.
33
325.
25
sama Abu Abdullah berkata, “Ibnu Abbas sangat menekankan masalah khitan ini. Sampai-sampai dia berkata, „Dalil yang menjadi landasan wajibnya adalah, bahwa menutup aurat itu wajib‟. Dengan alasan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Suraij di atas. Khitan juga merupakan syiar kaum muslimin. Dengan demikian, maka ia adalah wajib, sebagaimana syiar-syiar yang lain. Khitan juga disyariatkan untuk kaum perempuan.”34 Sabda Nabi Muhammad Saw. kepada seorang laki-laki yang baru saja masuk Islam. Khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan. Karena itu merupakan ciri ke-Islaman. Nabi Saw. berkata kepada laki-laki yang baru memeluk Islam.35 ُ َْاُ ْخجِش:َْح َلبي ََٚٗ١ٍَهللاَعٍَٝطٟ َإٌجٌِٝ َِٗ َعَٓخ ِذ ِٖ َأَََُٗ َخب َء َا١ْ ِت َعَٓاَث د ٍ ١ْ ٍَُ َثَٓ ُو١َعَٓعث ِ ٍ ٠عَٓاثَٓ ُخ َش ٖ6
ْ كَ َعْٕهََ َش ْع َش ُ ّْ ٍََلذَاَ ْع:عٍَُفمبي )دَٚداَٛاثَٚاَٖاحّذٚكَ(س َْ ٍَ ْْ يَُاحَُٛم٠ََاٌ ُى ْف ِش ِ ٌْ ََا:َذَلبي
Dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Aku diberitahu oleh Utsaim bin Kulaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya ia datang kepada Nabi saw lalu berkata, „Aku telah memeluk Islam.‟ Maka Nabi Saw bersabda: “Buanglah rambut darimu rambut kekufuran, Ia mengatakan „Cukurlah‟”(HR.Ahmad dan Abu Daud)37 Dan dalam redaksi lain sabda Nabi saw:
34
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fath al-Bȃrȋ, h.762. Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al- Wajiz: Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Tim Tashfiyah LIPIA (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2001) cet. ke-2, h. 31. 36 Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm al-Abadi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, (Beirȗt: Dȃr al-Kutub al-I‟lmiyah, 1998), Jilid 2, h. 325; dan Imȃm Baihaqȋ, Al-Sunan al-Baihaqȋ, Jilid 1,(Makkah:Maktabah Dȃr al-Bȃz,1994) h. 172. 37 Al-Imam Al-Syaukani, Ringkasan Nail al- Autar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011) cet. ke-2, h. 90. 35
26
ْ ه َ َش ْع َش َاٌ ُى ْفش ََٚ دٚداٛاثَٚ اٖ َاحّذٚاخززَُٓ(سٚ َ ْٕ ك َ َع ِ ٌْ َ َا: َطُ َلبي َالخ َشٟ َاخشُِعُٗ َاََْ َإٌجٟٔاخجش:لبي َ ٖ8)ٟمٙ١اٌج Juraij berkata: Dan aku diberitahu oleh orang lain yang bersama dia bahwa Nabi Saw. bersabda kepada orang lain: ”Buanglah dari padamu rambut kekufuran dan berkhitanlah” (HR.Ahmad, Abu Daud, Baihaqi)39 Menurut Imam Syafi‟i bahwasanya hadis di atas tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Artinya, khitan bagi laki-laki dan perempuan diwajibkan.40 Demikian juga hadis yang berbunyi: ْ َاَاٌزَم ْ َاِ َر:َََيَهللاَصَٛلبيَسع:َٓفمبٌذَعبئشخ١ٔعئًَعبئشخَعَٓاٌزمبءَاٌخزب ًَ َُ تَاٌْ ُغ ْغ َ َ َخََٚ ََاٌ ِخزَبَٔب َِْفَمَ ْذٝ 41
)َٞاٌزشِزَٚٞاَٖاٌجخبسٚ(س
Ketika dua khitan bertemu maka diwajibkan mandi.(HR. Bukhori, Tirmidzi)42 Di dalam kitab Manarus Sabil, menurut Ibrahim Dhawayan hadis tersebut mengindikasikan bahwa kaum wanita dulu berkhitan. Ahmad berkata, „Ibnu Abbas bersikap keras dalam masalah ini sampai diriwayatkan darinya bahwa haji dan shalatnya orang yang tidak berkhitan tidak sah‟.”43
38
al-Hafizal-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h.
323. 39
Al-Imam Al-Syaukani, Terjemahan Nailal-Autar, penterjemah Mu‟ammal Hamidy,dkk (Surabaya: PT.Bina Ilmu,t.th) h. 99. 40 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 304. 41 Sahihal-Bukhȃrȋ, jilid 1, bȃb idzȃ iltaqaa al-khitanȃni, h. 111; Syaikh Syamsuddin Muhammad ibn al-Khatnib As-Syarbani, Kitȃb Mughnȋ al-Muhtaj, bȃb Ghusl, (Bairȗt: Dȃr alMa‟rifah), h.117; Musnad Imam As-Syȃfi‟ȋ (1/37) dalam Abȋ Muhammad Husain Mas‟ud Al-Baghwi, Syarh Al-Sunnah, Jilid 1, (Bairȗt:Dȃr al-Kutub Al-I‟lmiyyah). 42 Sunan Al-Tirmȋdzȋ Kitab Al-Jamȋ‟ Al-Sahih, h. 182 dan imam-imam lain. Hadist ini shahih. 43 Ibrȃhȋm bin Sȃlim Dawayȃn, Manarus Sabil fi Syarhid Dalil,h.30.
27
Syaikh Abu Asybal Zuhairi sebagaimana dikatakan oleh Maryam Ibrahim Hindi berkata,”Dua khitan adalah letak khitan yang dimiliki laki-laki dan perempuan”. Bila maknanya tidak demikian, tentunya beliau bersabda, „Apabila khitan laki-laki bertemu dengan farji perempuan, maka mandi telah menjadi wajib.‟ Ungkapan dua khitan ini mengindikasikan bahwa khitan disyariatkan bagi laki-laki dan perempuan.44 ْ َاَ ٌْ َضقَٚ ََبَاالَسْ ثَ ِعَِٙٓ َ ُش َعج١ْ ََعٍَُلَب َيَاِ َراَلَ َعذََثَٚٗ١ٍَهللاَعٍَٝطَٟ ِ َشحََاََْ َإٌَج٠ْ َُ٘ َشِٟعَٓاَث َََاٌ ِخزَبَْ ََثِ ْبٌ ِخزَب َِْفمَ ْذ 45
ْ ت )دٚداٛاَٖاثًٚ(س َُ َاٌ ُغ ْغ َ َخَٚ
Dari Abȗ Hurairah, Rasulallah bersabda: jika sudah bersatu keempat paha, dan bersentuhan dua barang yang dikhitan, maka sudah jatuh kewajiban mandi. (lafaz ini adalah riwayat Abu Daud). Riwayat dan sanad hadis ini bahwasanya hadis ini diriwayatkan oleh alBukhari, Muslim, Abȗ Daud, Ahmad, al-Darimi, Ibn Majah, al-Nasa‟i dan lainlain dari Abȗ Hurairah dengan lafaz yang berbeda. Berikut perinciannya: Lafaz al-Bukhari:46 ْ َبَاَِٙٓ َ ُش َعج١ْ َظ َث َت َ َخَٚ َ ٍَاِ َراَ َخ:َعٍَُلبيَٚٗ١ٍَهللاَعٍَٝطٟشحَعَٓإٌج٠َ٘شٟعَٓاث َ َ َذَ٘بَفَمَ ْذٙالسْ ثَ ِع َثُ َُ َ َخ َ )ٞاَٖاٌجخبسًَٚ(س َُ ْاٌ ُغ ْغ Lafaz Muslim:47 ْ َبَاَِٙٓ َ ُش َعج١ْ َظ َث َِٗ ١ْ ٍَتَ َع َِ َعٍَُلبَٚٗ١ٍَهللاَعٍَٝطٟشحَعَٓإٌج٠َ٘شٟعَٓاث َ َخَٚ َ َ َذَ٘بَفَمَ ْذٙالسْ ثَ ِع َثُ ََُ َخ َ ٍَال َراَ َخ َ )ٍُاَِٖغًٚ(س َُ ْاٌ ُغ ْغ 44
Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, h. 29. Imam Sulaiman bin Asy‟ats As-Sijistani Al-Azdi, al-Sunan Abȋ Dȃwud, hadis no. 186. 46 Al-Hafiz al-Bukhȃrȋ, Sahih al- Bukhȃrȋ, hadis no. 291, h. 111 47 Muslim, al-Sahih, hadis no. 525 dan 526; Syaikh Al-Albani, Silsilah al-Ahȃdits al-Sahihah, jilid 5, (Riyȃd:Maktabah al-Ma‟ȃrif, 1995) h. 96 45
28
Lafaz riwayat „Aisyah: Dalam Sunan al-Tirmidzȋ:48 ْ َصَٚ َعٍَُاِ َراَ َخبَٚٗ١ٍَهللاَعٍَٝطَٟ ِع ََْٓعَبئِ َش َخََلبٌذَلبيَإٌَج )ٞز١ِاَٖاٌزشًٚ(س َُ تَاٌ ُغ ْغ َ َخَٚ ََاٌ ِخزَبَْ َفم ْذ Jika hadis di atas (lafaz Abȗ Daud dari Abȗ Hurairah dan al-Tirmidzȋ dari „Aisyah) diartikan secara harfiah, maka hal itu menunjukan bahwa perempuanperempuan muslimah adalah dikhitan.49 Hadis-hadis tersebut berlaku umum, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Bahkan Nabi Muhammad Saw. membenarkan praktik khitan yang dilakukan terhadap perempuan pada zamannya. Beliau bersabda “Apabila kalian melakukan khitan terhadap anak perempuan, maka potonglah ujungnya dan jangan berlebihan. Sesungguhnya hal itu lebih menyenangkan baginya dan lebih membahagiakan bagi suaminya.50 Khitan bagi anak perempuan menurut kaum salaf juga hukumnya wajib sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad.51 َ ًشاَحذثَٗاَْاََعٍمّخَاخجشرَٗاَْثٕبد١ْ اَْث ِىَٚعّشَٟٔاخجش:َ٘تَلبيََٚٓاثَٟٔاخجش:حذثٕبَاطجغَلبي ََفبربَ٘ٓفّشدَٞعذٌَٝفبسعٍذَاٍَٝث:َٓ ؟َلبٌذٙ١ٍٙ٠ٌََََِٓٓٙٛاالَٔذع:ًٌَعبئشخ١َعبٌئشخَ( ُخزَِٓ )َفمٟاخ
48
Imam Al-Tirmidzȋ, Al-Jami‟ al- Sahih, hadis no.109 (Beirȗt: Dȃr al-Fikr, 1980), h. 182. Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, h. 33. 50 I‟anah al-Tȃlibȋn, jilid 4 (Beirȗt: Dȃr al-Fikr) h. 198 dalam Keputusan Fatwa MUI Nomor 9A Tahun 2008. 51 Al-Adab al-Mufrad, no. 1247, sebagaimana yang tercantum dalam Silsilah al-Ahȃdȋts Sahihah, karya al-Albȃni, jilid 2, h.348, Ketika mentakhrij hadits no. 722, al-Albȃni mengatakan, “Sanadnya tak menutup kemungkinan hasan. Para perawinya tsiqah, selain Ummu „Alqamah. Namanya adalah Marjanah. Ia ditsiqahkan oleh Ajali dan Ibnu Hibban, serta para perawi tsiqah telah meriwayatkan darinya.” 49
29
َٖٛطب َاخشخ١َاف َش ٍ :فمبٌذ-ش١وبْ َرا َشعش َوثَٚ -حشن َساعٗ َطشثب٠َٚ ٕٝزغ٠َ ٗذ َفشار١ َاٌجٟعبٌئشخ َف َ 5ٕ)ٞاَٖاٌجخبسَٖٚ(سٛاخشخ Dari Ummi „Alqamah bahwasanya keponakan-keponakan perempuan Aisyah ra. telah dikhitan, lalu ditanyakanlah kepada Aisyah, “Tidakkah sebaiknya kita carikan untuk mereka orang yang bisa menghibur mereka?”Aisyah menjawab, “Baiklah”. Aisyah lantas mengutus seseorang pada Adi dan si Adi pun mendatangi mereka. Ketika berjalan di rumah dan melihat Adi bernyanyinyanyi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan jingkrak-jingkrak – dan rambutnya panjang- Aisyah pun langsung berseru “O, Setan! Usir dia, usir dia”(HR. Bukhori). Demikianlah sikap Asiyah ra, salah seorang faqih golongan sahabat. Dengan kedalaman ilmu yang dimilikinya, ia pun mengakui dan menetapkan khitan bagi anak perempuan.53 2. Sunnah Sebagaimana dikatakan oleh T.M. Hasybi Ash-Siddieqi: “Kata Abȗ Hanȋfah, Malik dan Murtada: “khitan itu, disunahkan atas lelaki dan atas perempuan” dalam buku ini ditegaskan bahwa hadis yang menegaskan kewajiban khitan , tidak ada. Sehingga ditetapkan bahwa khitan itu dihukumi suatu sunnah.54 Menurut Imam Malik dan sejumlah ulama, hukum khitan adalah sunnah.55 Dengan argumen dari hadist Abu Hurairah ra. bahwa Rasulallah saw bersabda: ْ َ َُُ ْاْل١ٍِرَ ْمَٚ بسة ْ ِشحَ ْاٌف٠َ٘شٟعَٓاث َ 56)ٗ١ٍَٔ ْزفُ َاالثَب ِطَ(ِزفكَعَٚ بس ِ َظف ِ لَضَُّ اٌ َّشَٚ َُ ِاال ْعزِحْ ذَادَٚ َُْط َشحَُ َخ ّْظَ ْاٌ ِخزَب 52
Imam Hafiz Muhammad ibn Ismȃ‟il al-Bukhȃrȋ, Al-Adab Al-Mufrad, hadis nomor 1247, h.
364. 53
Wahid Abdus Salam Bali, 474 Ibadah Salah Kaprah, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2006) h.
87-88. 54
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqah Islam, (Kelantang: Pustaka Aman Press SDN BHD 1987) cet. ke-2, h. 362. 55 Syaikh Ahmad Imad Zaki Al-Burudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004) cet. ke-1, h. 33.
30
Fitrah itu ada lima perkara: Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak (Muttafaq alaih)57 Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abȗ Daud, al-Tirmidzȋ, al-Nasa‟i, Ibn Majah, Ahmad dan masih banyak lagi perawi lain, semuanya alZuhri dari Sa‟id ibn Musayyab dari sahabat Abȗ Hurairah dari Rasulallah Saw. dengan beberapa lafaz yang berbeda.58 Sedangkan Malik meriwayatkannya dan Abȗ Sa‟ad al-Maqburi dari bapaknya (Kisaan) dari Abȗ Hurairah dari Rasulallah Saw. juga dengan beberapa versi lafaz seperti terurai di bawah ini sesuai dengan perawinya. a) Lafaz al-Bukhori : Terdapat 3 lafaz yang diriwayatkan oleh Bukhori salah satunya yaitu: ْ َِ َخً ْاٌف٠اَٚ َشحََ ِس٠ْ ُ٘ َشَِٟٓ أَث ُّ ي َط َش َحُ َخ ّْظ َْ ت ع َِ َّ١ٓ ْاٌ ُّ َغ َِ َِذ ْث١َٓ َع ِع َْ َُّ َح َّذثََٕبعٞاٌض ْ٘ ِش ََ َبَُْ لَب١َ َح َّذثََٕب ُع ْفٍَِٟح َّذثََٕب َع ْ َ َُُ ْاْل١ٍِرَ ْمَٚ َاْل ْث ِظ ْ ِٓ ْاٌف َوزبة:ٞبسة )اٌجخبس َْ ِِ َْ خَ ّْظَٚأ ِ ْ ََُٔ ْزفَٚ ِاال ْعزِحْ ذَا َُدَٚ َُْط َش َِح ْاٌ ِخزَب ِ لَضَُّ اٌ َّشَٚ َبس ِ َظف َ 59)َثبة لضَّ اٌشبسة.اٌٍجبط Riwayat dari Abû Hurairah: Ada lima hal yang temasuk fitrah, yaitu: Khitan, mencukur bulu yang ada di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, menggunting kumis.(HR.Bukhori).
56
Al-Bukhȃrȋ, al-Sahih, hadis no. 5889; Muslim, al-Sahih, h. 152-153; Abu Dȃwud, al-Sunan, jilid 4,hadis no. 4198, h. 265; al-Tirmidzi, al-Sunan, hadis no. 2756, h.91; al-Nasa‟i, al-Sunan, hadis no. 9, 10, 11, h. 20-21. 57 Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, Penerjemah Nashirul Haq, (Jakarta: Penerbit Mustaqiim, 2003) cet. ke-1, h. 80. 58 Al-Bukhȃrȋ, al-Sahih, hadis no. 5889; Muslim, al-Sahih, h. 152-153; Abu Dȃwud, al-Sunan, jilid 4,hadis no. 4198, h. 265; al-Tirmidzi, al-Sunan, hadis no. 2756, h.91; al-Nasa‟i, al-Sunan, hadis no. 9, 10, 11, h. 20-21. 59 Abi Abdillah Muhammad ibn Ismȃ‟il Al-Bukhȃri, Al-Jamȋ‟ Al-Sahih, jilid 4, Bab Qassu AlSyȃrib, hadis no. 5889, (Al-Matba‟ah Al-Salafiyah) h. 72.
31
Hadis riwayat Imam Bukhari di atas mauqûf, hanya sampai perawi Abȗ Hurairah. Akan tetapi ke-mauquf-an riwayat Imam Bukhari tertutupi dengan riwayat Imam Muslim di bawah ini yang menunjukkan bahwa hadis tersebut marfu‟. b) Lafaz Muslim : ََْٓ َٕخَع١ْ َ١ثَ ْى ٍش َح َّذثََٕباثَُْٓ ُعَُٛبََْ لَب َيَ أَث١َٓ ُع ْف َْ عًبع١ِّ ة َخ ٍَ ْ ُشثَُْٓ َحش١ْ َ٘ ُصَٚ إٌَّبلِ ُذٚ َع ّْشَٚ َجَ َخ١ْ َشِٟثَ ْى ِشثَُْٓ أَثَُٛح َّذثََٕب أَث ْ ِي ْاٌف ُّ َْٓ ِِ َْ َخ ّْظَٚط َش َحُ َخ ّْظَ أ ََ َعٍَّ ََُ لَبَٚ َِٗ ١ْ ٍَهللاُ َع ََّ ٍَّٝط َِّ َِٓ إٌَّج َْ َشحََ ع٠ْ ُ٘ َشَِٟٓ أَث َْ ت ع َِ َّ١ٓ ْاٌ ُّ َغ َِ َِذ ْث١َٓ َع ِع َْ عٞ َِّ اٌض ْ٘ ِش َ ٟ ْ َ َُُ ْاْل١ٍِرَ ْمَٚ ِاال ْعزِحْ ذَا َُدَٚ َُْط َش َِح ْاٌ ِخزَب ْ ِْاٌف َثبة خظبي.ٖبسٙ َوزبة اٌط:ٍُة َ(ِغ ِ بس ِ ْ ََُٔ ْزفَٚ بس ِ لَضَُّ اٌ َّشَٚ َاْلثِ ِظ ِ َظف 6ٓ
)اٌفطشح
Riwayat dari Abu Hurairah: Ada lima hal yang temasuk fitrah, yaitu: Khitan, mencukur bulu yang ada di sekitar kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menggunting kumis (HR.Muslim) c) Lafaz Riwayat Al-Nasa‟i: ْ ِٓ ْاٌف َاْلثِ ِظ َْ ِِ َ َخ ّْظ:ي ََ َعٍَّ ََُ لَبَٚ َِٗ ١ْ ٍَهللاُ َع ََّ ٍَّٝط َِّ َِٓ إٌَّج َْ َشحََ ع٠ْ ُ٘ َشَِٟٓ أَث َْ ع َ ٟ ِ ْ ََُٔ ْزفَٚ َح ٍْكَُاٌ َعبَٔ َِخَٚ َُْط َش ِحَ ْاٌ ِخزَب 6ٔ
ْ َ َُُ ْاْل١ٍِرَ ْمَٚ )اَٖإٌغبئٚةَ(س َِ َظف ِ َبس ِ اخ ُزَاٌشٚبس
Hadis di atas tidak memerlukan pembahasan dari status hadis dan hukum pengamalannya, karena sudah dipastikan marfu‟ (disandarkan kepada Rasulullah Saw.), muttasil (sanadnya bersambung sampai ke Rasulullah saw.) dan sahih (kualitas seluruh periwayat tidak bermasalah), berarti hadis tersebut maqbul (dapat diterima). Jadi Hukum hadis ini sahih mengikut kaedah ilmu hadis. Sedangkan
60
Muslim, Sahih Muslim Syarh al-nawawȋ , Bab Khamsu min al-Fitrah,( Dȃr al-Ihya li alTurats al-„Arabi, 1972) h. 152-153 61 Al-Hafiz al-Nasȃi, Sunan al-Nasȃi, Jilid 1, Bab Kitȃb al-Taharah, hadis no. 9, 10, dan 11, (Beirȗt: Dȃral-Fikr) cet ke-1, h. 20-21.
32
perbedaan lafaz di atas hanya mendahulukan satu jenis dari yang lainnya, tanpa ada yang terbuang atau adanya unsur tambahan. Beberapa hadis di atas adalah riwayat dengan makna. Karena itu, hal tersebut tidak mengurangi keshahihan hadis ini. Hadis di atas dijadikan argument bahwa hukum khitan bagi perempuan itu sunnah dengan alasan bahwa khitan dalam hadis tersebut disebut bersamaan dengan amalan-amalan yang status hukumnya adalah sunnah, seperti memotong kumis, memotong kuku dan seterusnya, sehingga khitan juga dihukumi sunnah seperti amalan fitrah yang lainnya. Dan fitrah ini ada yang memaknai bahwa fitrah artinya sunnah, kebiasaan baik. Hal ini akan berarti bahwa kelima hal yang diungkapkan adalah hanya berupa kebiasaan baik yang disarankan agama. Dampaknya, hukum khitan baik untuk laki-laki dan perempuan hukumnya adalah sunnah. Dan bahwasanya bentuk (sighah)-nyapun menggunakan bentuk umum, karena itu perempuan termasuk yang diperintahkan. Alasannya fitrah atau agama dengan ajarannya, bukan hanya ditujukan kepada kaum lelaki namun juga kaum perempuan.62 3. Mubah Menurut madzab Hanafi dan Hanbali, khitan bagi perempuan hanya merupakan suatu kehormatan atau kemuliaan.63Sehingga khitan bagi kaum
62
Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan. h. 14-15. Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 304.
63
33
perempuan hukumnya mubah (boleh).64Berikut dasar hukumnya yaitu berupa hadis Rasulallah Saw: 65
)اَٖاحّذَعَٓاعّخٍٚش َخب ِيَ َِ ْى ُش َِخٌٍَِِٕ َغبءَ(س ِ ٌَِ ْاٌ ِخزَبُْ َ ُعَٕخ:ََََصَٟلبيَإٌج:ََٗلبي١عَٓاثَٓاعبِخَعَٓاث
Khitan adalah suatu sunnah bagi kaum pria dan suatu kemuliaan bagi kaum wanita (Riwayat Ahmad dari Usamah).66 ْ َع ْجذَٚ َ ُّٟ ِ َّبُْ َثُْٓ َ َع ْج ِذ َاٌشَّحْ َّ ِٓ َاٌ ِّذ َِ ْشم١ْ ٍََح َّذثََٕبَ ُع ْ ُِ ١ة َثُْٓ َ َع ْج ِذ َاٌ َّش ِح َاُْ َ َح َّذثََٕبَٚ ْ َلَ َبال َ َح َّذثََٕبَ َِشُّٟ َاْلَ ْش َد ِع ِ َّ٘بَٛ ٌَُا ْ َع َْٓ َ َع ْج ِذُّٟ ِفَٛاٌ ُى ْ ة ْ ُِ َح َّّ ُذ َثُْٓ َ َح َّغبَْ َلَب َي َ َع ْج ُذ ْ ََّخ١ ٍْش َع َْٓ َأُ َِّ َ َع ِط١َّ ه َ ْث ِٓ َ ُع ًََّ ِخ َأَ َّْ َا ِْ َشأَح٠بس َ َََْٔاْل ِ ٍَِّ ٌَا ِ َّ٘بَٛ ٌَا ِ ظ َّ ٍَّٝط ْ َٔوب ٌَََِِٝ ُّأَ َحتَٚ َ ٌَِ ٍْ َّشْ أَ ِحَٝه َأَحْ ظ َ ٌِ َفَإ ِ َّْ َ َرٟ ِىِٙ ْٕ ُ َعٍَّ َُ ََال َرَٚ َ ِٗ ١ْ ٍََهللاُ َ َع َ َ ُّٟ َِب َإٌَّجٌََٙ َٕ ِخ َفَمَب َي٠َذ َر َْخزُِٓ َثِ ْبٌ َّ ِذ 67
ًَِ ْاٌجَ ْع
Ummi „Atiyyah berkata: Sesungguhnya kaum perempuan di kota Madinah dikhitan. Rasulullah saw. Bersabda kepadanya: “Jangan engkau habiskan ketika mengkhitan perempuan, karena itu akan lebih baik bagi kaum perempuan dan lebih disenangi suaminya. (HR. Abȗ Dawud) Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath al-Bȃrȋ, “Syekh Abȗ „Abdillah bin Hajj menjelaskan dalam kitab Al-Madkhal, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah khitan perempuan, apakah mereka berlaku umum atau dibedakan antara perempuan Timur dan Perempuan Barat. Apakah perempuan Timur dikhitan sedangkan perempuan Barat tidak, hanya karena tidak
64
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Inodnesia:Fath al-Bȃrȋ, h. 760. al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra,h.
65
325. 66
Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita,h. 49. Imȃm Sulaimȃn bin Asy‟ats Al-Sijistȃnȋ, Sunan Abî Dâwûd, Kitâb al-Adâb, Bâb Mâ Jâa fî al-Khitân, hadis nomor: 5271, h. 264. 67
34
ada daging lebih yang harus dipotong pada perempuan Barat, sedangkan perempuan Timur memilikinya.68 Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm dalam kitab „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd menjelaskan beberapa pendapat ulama khitan bagi perempuan dengan berdasarkan hadis ini: Ada perbedaan antara kaum perempuan al-Masyrîq (wilayah Timur) dan kaum perempuan al-Maghrîb (wilayah Barat). Perempuan wilayah Barat tidak perlu dikhitan karena pada kemaluannya tidak terdapat kelebihan yang dapat dipotong sebagaimana yang disyari‟atkan. Sedangkan perempuan wilayah Timur dapat dikhitan sebagaimana yang disyari‟atkan69. Dalam hal ini tidak ada penjelasan tentang hukum khitan perempuan. Dan bagi mereka/perempuan yang sejak lahir tidak ada daging lebih yang biasa dikhitan, maka dia tidak perlu dikhitan. Baik dia berada di daerah al-Maghrȋb atau alMasyrȋq.70 Namun jika mereka ingin melakukan khitan maka dibolehkan hukumnya mubah. Kesimpulan dari hadis di atas tidak ada indikasi hukum tentang khitan bagi kaum perempuan, karena hadis tersebut bersifat informative. Rasulullah Saw. memerintahkan kepada Ummi „Atiyah untuk hati-hati dalam melakukan khitan kepada kaum perempuan karena ada resiko yang akan ditanggung oleh kaum perempuan apabila terjadi kesalahan pada khitan. 68
Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalȃnȋ, Fathal-Bȃrȋ ; Ibnu al-Haj Abu „Abdillah Muhammad bin Muhammad Al-Abdari, Al-Mudkhal (Kairo:Maktabah dȃr al-Turats,t.th); Syaikh Ahmad Imad Zaki Al-Burudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, h. 34. 69 Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm al-Abadi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Jilid XIV, h. 123. 70 Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, h. 45.
35
Penjelasan Ummi „Atiyah menunjukkan bahwa
khitan perempuan
merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Madinah, bukan perintah dari Rasulullah Saw. tidak ada penjelasan bagaimana dengan masyarakat Makkah, ketika Rasulullah Saw. masih berada di Makkah. 4. Makrumah (hanya kehormatan bagi perempuan). Ahli fiqh kontemporer, Wahbah al-Zuhaili dari Suriah dalam al-Fiqh alIslami wa Adillatuhu menyatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah suatu kemuliaan yang jika dilaksanakan dianjurkan untuk tidak berlebihan, agar ia tidak kehilangan kenikmatan seksual.71 Beliau juga mengatakan mengenai pendapat Madzab Hanafi dan Madzab Maliki bahwasanya kedua madzab ini berpendapat sama yaitu: khitan perempuan hukumnya makrumah, sedangkan khitan laki-laki hukumnya sunnah.72 Dalam kitab al-Mughni dan Syarh al-Kabir karya al-Maqdisi ditegaskan bahwa hukum khitan wajib atas laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak wajib atas mereka.73 Dalam kitab Mu‟jam al-Fiqh al-Hanbali dikatakan: Hukum khitan wajib atas laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak wajib atas mereka. Dan jika seorang tua masuk Islam kemudian dia takut jika disunat (akan membahayakan kesehatan dan jiwanya) maka dia 71
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhal-Islamȋ wa „Adillatuhu,(Damaskus: Dȃr al-Fikr,1997), h.642; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 304. 72 Lihat. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamȋ wa „Adillatuhu, jilid 1, cet ke-4, h. 460-461; Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalȃnȋ, Fath al-Bȃrȋ X, h. 280. ; Lihat juga Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukȃnȋ, Nail al-Autar, jilid 1, (Beirȗt: Dȃr al-Qalam, t.th) h. 138. 73 Lihat Ibn Qudamah, al-Mughnȋ, jilid 1,(Kairo: Maktabah al-Qȃhirah,t.th) h. 70-71; ibn Qudamah, Syarh al-Kabir, jil.1 hal. 85-86.
36
terlepas dari kewajiban dikhitan. Namun jika orang tua tadi percaya, maka dia harus melakukannya (dikhitan).74 Hal senada menjadi pendapat mayoritas kalangan akademisi muslim. Imam Ahmad berkata, “Kewajiban berkhitan bagi kaum laki-laki lebih ditekankan. Karena jika seorang laki-laki tidak berkhitan, kulit yang menutupi ujung penis tersebut akan menjuntai. Dan kotoran yang ada didalamnya tidak dapat dibersihkan. Sedangkan pembersihan kulit yang berada pada bagian atas kemaluan perempuan lebih mudah.”75 Sehingga khitan pada perempuan dianggap tidak terlalu ditekankan untuk dilaksanakan. Dalam buku Fiqh Khitan Perempuan karya Ahmad Luthfi Fathullah dijelaskan hadis yang menyatakan bahwa khitan bagi perempuan merupakan makrumah yaitu dengan berdasar kepada hadis:76 َٖاٍٚش َخب ِي َ َِ ْى ُش َِخ ٌٍَِِٕ َغبء َ(س ِ ٌَِ ْاٌ ِخزَبُْ َ ُعَٕخ:ٍُعَٚٗ١ٍَهللاَعٍَٝطَٟلبيَإٌج:ََٗلبي١عَٓاثَٓاعبِخَعَٓاث 77 )احّذَعَٓاعّخ Khitan merupakan sunnah buat laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan (HR.Ahmad dari Usamah).78 Namun beberapa catatan dan perincian jalur sanadnya dapat dilihat sebagai berikut. Terdapat dua jalur periwayatan hadist ini:
74
Mu‟jam al-Fiqh al-Hanbali, jil. 2, hal.296, dalam kata Khitan. Ibnu Hajar al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fathul Bari 28, h. 760. Dan Syaikh Ahmad Imad Zaki Al-Burudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, h. 33. 76 Hadis-hadis yang dijadikan referensi dalam membicarakan khitan perempuan adalah riwayat sahih Bukhȃrȋ Muslim, Sunan Abu Dawȗd, Nasȃ‟i al-Muwattȃ‟ Imam Mȃlik, Imam Nawȃwȋ. 77 al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h. 325. 78 Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, hadist no.19794; al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn alHusain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, Kitab al-Asyribah, Bab Al-Sultan Yukrihu „ala alKhitan, h. 325. 75
37
Pertama riwayat yang bermuara pada al-Hajjȃj ibn Arta‟ah,79beliau meriwayatkannya dengan tiga versi yaitu: a) Al-Hajjȃj –dari- Abȋ Malȋh –dari- Usamah –dari- Rasulullah saw. Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Baihaqȋ dalam al-Sunan al-Kubra.80 ْ ََٓا ْثَِٟٕ ْع٠َ ْح َ َح َّذثََٕبَ َعجَّبد٠َح َّذثََٕب َ ُع َش ٍََّٝط َِ َّاَ َ َع ِٓ َ ْاٌ َحد َ َ َّٟ ِأ َ َّْ َإٌَّجِٙ ١ِح َ ْث ِٓ َأُ َعب َِخَ َع َْٓ َأَث١ ِ َٛاٌ َع ِ ٍَِّ ٌَْاَِّٟبج َع َْٓ َأَث ْ َعٍَّ ََُلَب َيَٚ َِٗ ١ْ ٍَهللاَ َع )ٟبلٙ١َاٌجَٚاَٖاحّذَٚاٌ ِخزَبُْ َ ُعَّٕخٌٍَِ ِّش َخب ِيَ َِ ْى ُش َِخٌٍَِِّٕ َغب َِء(س ََّ ْ س ْ ُْٓ َثَ ْى ِش َثُٛأَ ْخجَ َشَٔب َأَث َ َّصاُْ َ َح َّذثََٕبَٛ ٌَا َْ ُةُّٛ٠ََّبَْ َ َح َّذثََٕب َ َع ْج َذاُْ َ َح َّذثََٕب َأ١َح َ ُْٓ َ ُِ َح َّّ ِذ َثَُُٛٗأَ ْخجَ َشَٔب َأَث١َِاٌفَم ِ بس ِ َاٌ َح ْ ُْٓذَُث١ٌَِٛ ٌْا ََهللاٍٝط-َ ِّٝ ِط َ َع َِٓإٌَّج ٍ ْ ثَبَْ َع َْٓ َ ُِ َح َّّ ِذ َ ْث ِٓ َ َعدْ الََْ َع َْٓ َ ِع ْى ِش َِ َخَ َ َع ِٓ َا ْث َِٓ َعجَّبَٛ ِذ َ َح َّذثََٕبَاثُْٓ َث١ٌَِٛ ٌَا 8ٔ
.ف١ض ِع َ َ)َ٘ َزاَِِ ْعَٕبدٟٔاَٖطجشاٚ(س.»َ«َ ْاٌ ِخزَبُْ َ ُعَّٕخٌٍَِ ِّش َخب ِيَ َِ ْى ُش َِخٌٍَِِّٕ َغب ِء:ََلَب َي-ٍُعَٚٗ١ٍع
b) Al-Hajjȃj –dari- Abi Malȋh –dari- Usamah –dari- Syidȃd ibn Aus –dariRasulallah Saw. diriwayatkan oleh Ibn Abȋ Syaibah dalam Musannaf Ibn Syaibah, Ibn Abȋ Hatim dalam al-I‟lal, dan Tabaranȋ dalam al-Mu‟jam alkabir.82 ْ َِع َْٓ َأَث،َ ًٍ َعََٓ َس ُخ،َ بج ْ ُْٓ َح َّذثََٕب َ َعجَّب ُد َثََلَب َي:َ ط َلَب َي ٍَ َعََٓ َح َّد،َ ََّا ِ َٛاٌ َع ٍ ََْٚعََٓ َش َّذا ِد َ ْث ِٓ َأ،َ ح١ ِ ٍَِّ ٌَاٟ ْ )ٟٔاَٖطجشاَٚ(س.َاٌ ِخزَبُْ َ ُعَّٕخٌٍََِ ِّش َخب ِيَ َِ ْى ُش َِخٌٍَِِّٕ َغب َِء:ٍَُعَٚٗ١ٍَهللاَعٍَٝط ِيَُهللاَُٛسع
79
Kredibilitas al-Hajjȃj diperselisihkan ulama, banyak yang mendhaifkannya dan ada juga yang mengatakan beliau termasuk penghafal hadis, hanya saja sering sekali mentadlis. Ibn Hajar menyimpulkan pendapat ulama dengan mengatakan bahwa beliau salah seorang fuqaha, jujur, namun banyak salah dan banyak tadlis. Hal yang sedemikian juga dikatakan oleh al-Zahabi. Lihat keterangan biografi al-Hajjȃj dalam kitab-kitab dibawah ini: al-Kamil, jil.2, hal.518-527; Mizan al-I‟tidad, jil. 2, hal. 197; al-Majuruhin, jil.1, hal. 225-228; Tahzib al-Kamal,jil.5, hal.420-429;al-Kasyif, jil.1, hal.311; Taqrib al-Tahzib, hal. 152. 80 Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, hadist no.19794;al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn alHusain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, Kitab al-Asyribah, Bab Al-Sultan Yukrihu „ala alKhitan (Makkah: Dȃr al-Bȃz, 1994),h. 325. 81 al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra,h. 325 82 Al-Tabrȃnȋ, al-Mu‟jam al-Kabir, jil. 7, (Al-Mushil: Maktabah „Ulum wa al-Hikam,1983) h. 273-274.
38
َش عَٓلزبدح١ذَثَٓثش١عَعَٓعع١وََٚثٕبٞدَٚثَٓعجذَهللاَاْلَٚثٕبَعّشٞشَاٌزغزش١٘ حذثٕب َأحّذَثَٓص8ٖ
)ٟٔاَٖطجشاَٚاٌخزبَْعٕخٌٍَشخبيَِىشِخٌٍَٕغبءََ(س:ََلبي:َذَعَٓاثَٓعجبط٠عَٓخبثشَثَٓص
c) Al-Hajjȃj –dari- Madkhul –dari- Abȋ Ayyub –dari- Rasulallah Saw. diriwayatkan oleh Ahmad seperti yang diisyaratkan oleh Ibn Hajar dalam Talkhis al-habir dan Ibn Abȋ Hatim.84 َاٌخزبَْعٕخٌٍَشخبي:َعٍَُلبيَٚٗ١ٍَهللاَعٍٝيَهللاَطٛةَعَٓسعٛ٠َاٟعَٓحدبجَعَِٓذخًَعَٓاث )اَٖاحّذِٚىشِخٌٍَٕغبءَ(س Al-Hajjȃj sendiri dinilai sebagai perawi yang suka mentadlis (menyembunyikan sesuatu) dan riwayatnya sering bertentangan, karena itu beliau disifatkan sebagai perawi yang lemah bahkan Ibn Abd al-Barr menyatakan bahwa riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah. Kedua, Riwayat Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh al-Tabaranȋ dalam al-Mu‟jam al-kabir dan al-Baihaqȋ dalam al-Sunan al-kubra dan Ma‟rifat alSunan wa al-Atsar. Namun riwayat ini dida‟ifkan sendiri oleh al-Baihaqȋ dan beliau menafikan hadis ini sebagai sabda Rasulallah Saw, akan tetapi hanya perkataan Ibn Abbas. Dengan demikian maka hadis ini bukan sabda Rasulallah Saw, akan tetapi hanya perkataan seorang sahabat, atau yang dikenal dengan istilah mauquf.85
83
Al-Tabaranȋ, Mu‟jam al-Kabir, Jilid 12, hadis no. 12828. Ibn Hajȃr al-Asqalȃnȋ, Talkhis al-Habȋr fi Takhrȋj Ahadists al-Raȋi‟i al-Kabȋr, jilid 4, hadis no. 1806, (Maktabah Kulliyah Al-Azhariyyah, 1987) h.1407. 85 Lihat al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h. 325; al-Tabrȃnȋ, al-Mu‟jam al-Kabir, jilid 7, h. 273-274. 84
39
َح١ًٍََِٟعَٓحدبخعَٓأث١َثٕبَِحّذَثَٓفضٍٝاطًَثَٓعجذَاْلعََٚثٕبَٞٓثَِٓعحبقَاٌزغزش١حذثٕبَ اٌحغ ََِىشِخَََٚاٌخزبَْعٕخٌٍَشخبي:ٍََُعَٚٗ١ٍَهللاَعٍٝيَهللاَطَٛلبيَسع:َطَلبيَٚٗعَٓشذادَثَٓأ١عَٓأث َ 86)ٟٔاَٖاٌطجشٌٍٕٚغبءَ(س Hadist ini dihukumkan hasan oleh al-Suyutȋ dalam al-Jami‟ al-saghir namun dkritisi oleh al-Munawi dalam fayd al-Qadir bahwa hadis ini da‟if dengan menukil pendapat al-Iraqi dan Ibn Hajar.87 Kesimpulannya, hadis pertama diriwayatkan secara marfu‟ sebagai perkataan Nabi Saw. namun sanadanya da‟if. Sedangkan riwayat kedua mauquf, hanya perkataan sahabat, bukan sebagai perkataan Nabi Saw, kekuatannya juga da‟if. Dengan segala catatan yang terdapat pada hukum hadis ini, yaitu keda‟ifannya, maka secara tekstual hukum taklifi yang dapat disimpulkan adalah hukum khitan buat laki-laki sunnah, hukum khitan buat perempuan makrumah. Yang menjadi perhatian bahwasanya dalam hukum taklifi yang populer, dikenal lima istilah yang urutan hirarkinya sebagai berikut: a)
Wajib
b)
Sunnah
c)
Mubah
86
al-Tabrȃnȋ, al-Mu‟jam al-Kabir, jilid 7, h. 273-274. Al-Suyuti, al-Jȃmi‟ al-Saghȋr, jilid 1, hadis no. 4129, h. 558; Syamsuddin Abdurrauf AlManawi, Fayd al-Qȃdir Syarh al-Jȃmi‟ Al-Saghȋr, jilid 3 (Saudi: Maktabah Nazȃr Al-Mustȃfa Al-Bȃz, 1998), h. 616. 87
40
d)
Makruh dan
e)
Haram
Istilah makrumah sangat jarang digunakan. Sehingga posisi makrumah pada hirarki hukum taklifi menjadi sebuah pertanyaan karena dalam urutan tersebut tidak ada hukum yang disebut dengan istilah makrumah seperti disebutkan pada hadishadis tentang khitan. Seandainya makrumah diletakkan pada posisi sunnah, mengapa Rasulallah saw tidak menggabungkannya langsung dengan mengatakan sunnah li al-rijal wa alnisa. Atau jika mubah, maka digunakan kata yang biasa digunakan seperti ja‟iz. Namun dengan pemisahan yang jelas pada teks hadis menunjukan bahwa ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, memasukkannya pada posisi mubah adalah lebih tepat, meski harus dijelaskan juga bahwa ada nilai plusnya karena ada makna implisit dalam kata makrumah, bukan mubah.88 Melihat pemaparan di atas, bisa dilihat bahwa tidak ditemukan dalil yang qath‟i dilalah (menunjukan adanya kepastian hukum), tentang hukum khitan, wajib, sunnah, atau mustahabbah. Terlepas dari semua itu, khitan bagi kaum perempuan telah digariskan oleh agama, sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. D. Hikmah dan Faedah Khitan Perempuan89 1. Khitan Memiliki Nilai Ibadah
88
Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, h. 45-46. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, (Kairo:Dar al-Rayyan lit Turats,t.th) h. 172. 89
41
Khitan merupakan pangkal fitrah, syi‟ar, dan syari‟ah. Khitan merupakan salah satu masalah yang membawa kesempurnaan al-Din yang disyari‟atkan Allah Swt. lewat lisan Nabi Ibrahim As. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 123. Khitan juga merupakan pernyataan „Ubudiyyah terhadap Allah Swt. ketaatan melaksanakan perintah, hukum dan kekuasaannya.90 Al-Adawi dalam Hasyiyah al-Kharsyi berkata, “Khitan perempuan adalah amalan yang bersifat ibadah. Maka, ia harus dikerjakan dan sudah sah dengan kadar seminimal apapun.”91 Khitan ialah mengikuti jejak nabi Ibrahim As. karena manusia pertama yang melaksanakan khitan ialah nabi Ibrahim As. dan kita umat nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk mengikuti ajaran nabi Ibrahim As. Dengan berkhitan berarti melaksanakan perintah Rasulallah Saw. orang yang melaksanakan perintah agama berarti dia orang yang taqwa kalau dia sudah menjadi orang bertaqwa maka dia menjadi kekasih Allah Saw. dengan anak mulai dikhitan diharapkan sejak itu pula tertanam jiwa taqwa kepada Allah Swt.92 2. Khitan
dapat
Menyeimbangkan
Libido
Seksual
Perempuan
dan
dapat
Mencerahkan Wajah Tujuan khitan perempuan adalah untuk mengendalikan syahwatnya. Apabila perempuan dibiarkan tidak berkhitan maka ia akan memiliki syahwat yang 90
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) cet. ke-1, h. 181-182. 91 Syaikh Ali bin Ahmad Al-Adawi, Hasyiyatul Adawi „alal Kharsyi,Jilid 3, (Beirut:Darul Kutub Al-Ilmiyyah,1997) h. 412. 92 Wagino Ali Mashuri, Kebersihan dan Kesehatan dalam Ajaran Islam, (Pasuruan: PT. GBI Pasuruan, 1995) cet. ke-4, h. 55.
42
sangat besar. Namun apabila khitan dilakukan secara berlebihan maka syahwatnya akan melemah, sehingga keinginan suami (dalam berhubungan intim) tidak bisa sempurna. Namun apabila dipotong dengan tidak berlebihan, maka keinginan suami pun akan tercapai dengan penuh keseimbangan.93 Al-Ghazali sebagaimana dikatakan oleh Maryam Ibrahim Hindi berkata setelah menyebutkan hadis, “Khitanilah dan jangan berlebihan, sesungguhnya itu lebih mencerahkan wajah dan lebih nikmat bagi suami.” Maksudnya air dan darah yang mengalir ke wajah lebih banyak dan jimak menjadi lebih berkualitas.94 Dalam penjelasan sabda Nabi Saw. “Sebab, itu lebih bisa mencerahkan wajah,” Al-Munawi berkata, “Maksudnya air dan darah (yang mengalir ke wajah) jadi lebih banyak dan pesona serta cahaya wajah semakin elok.”95 Kalau kulit ujung kemaluan tidak dipotong kulit bagian dalam yang halus itu banyak ujung-ujung syaraf peka mudah terangsang, sehingga kalau kulit ini tidak dipotong tidak dapat dipakai lebih lama tidak bisa mengimbangi pihak perempuan, akhirnya hubungan kedua belah pihak kurang memuaskan, kalau tidak mampu manahan diri pihak perempuan banyak yang menyalurkan syahwatnya bukan pada tempat yang semestinya. Ternyata hal ini sudah disebutkan dalam ajaran Islam lewat hadis Nabi Saw. berbunyi:
93
Ibnu Taimiyah, Al-Fatwa al-Kubra I (Beirȗt: Dȃr al-Kutub Al-I‟lmiyyah,1987) cet ke-1 h. 273-274.; Lihat ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Tuhfatal-Wadȗd (Kairo: Dȃr al-Rayyan li al-Turats,t.th) h. 165. 94 Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, h. 141. 95 Syamsuddin Abd al-rauf al-Manawi, Faid al-Qȃdir Syarh al-Jȃmi‟ Al-Saghȋr (Saudi: Maktabah Nazȃr Al-Mustȃfa Al-Bȃz, 1998), h. 271; Najasyi Ali Ibrahim, Al-Khitȃn fȋ Syarȋ‟ahalIslȃmiyyah, cet ke-1 (Kairo: Maktabah al-Taufȋqiyyah, 1997) h.35.
43
ْ َِِٓ َ َِٓٙ ١ْ ٍََ َعٌََٝ ِى َْٓاِرَمَٚ َد ْ ٍَُخ١ْ ض َ َب َِء١َاٌ َح ِ ْ َْ َخ ُْض ًءاَ َِِٓ َاٌٍَ َزاَُٛرِ ْغعَٚ ََُاٌ َش ُخ ًَِرِ ْغ َعخٍََٝاٌ َّشْ اَ ِحَ َع ِ َف “seorang perempuan itu mempunyai kelebihan atas seorang laki-laki dengan 99 bagian dari kelezatan bersetubuh, tetapi rasa malu membuat mereka lebih banyak takut.”96 3. Khitan Bagi Perempuan Merupakan Kehormatan Diri Khitan dalam tradisi diyakini dapat mengurangi agresifitas seksual perempuan. Karena itu khitan agaknya lebih tepat, perempuan dipandang terhormat oleh budaya saat itu.97 Syaikh Jad al-Haq berkata sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, “Sebagian para medis berpendapat bahwa khitan perlu untuk dilakukan bagi perempuan.” Karena, khitan dapat mengendalikan gejolak nafsu seksual, terutama ketika mereka menginjak masa pubertas98 yang merupakan fase usia paling berbahaya dalam kehidupan anak gadis. Kiranya ungkapan sebagian riwayat hadis tentang khitan perempuan sebagai perbuatan mulia, hal ini menunjukan kepada kita bahwa khitan mengandung penjagaan dan sebagai jalan menuju kesucian diri. Di samping juga efektif menghentikan cairan berlendir yang dapat memicu peradangan uretra dan alat reproduksi, sehingga lebih rentan terhadap berbagai penyakit berbahaya.99 Mereka juga mengatakan anak gadis yang tidak dikhitan maka mereka akan tumbuh dengan gejolak birahi yang sangat tinggi
96
Wagino Ali Mashuri, Kebersihan dan Kesehatan dalam Ajaran Islam, h. 57. Abuddin Nata, ed, Kajian Tematik Al-Qur‟an Tentang Fiqih dan Ibadah (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008) cet ke-1, h. 309 98 Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, h. 93. 99 Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, h.142. 97
44
dan dapat menimbulkan pergaulan bebas di zaman ini dan semakin longgarnya tatanan hukum kepada penyimpangan dan kerusakan. 4. Khitan Merupakan Pembeda Kaum Muslimin dengan Pengikut Agama Lain. 5. Pelaksanaan Khitan Secara Umum Dimaksudkan Untuk Penjagaan Kesehatan (Steinmetz)100 Pada hakikatnya khitan mengandung arti kesucian dan kebersihan dari kotoran-kotoran serta penyakit. Berkhitan merupakan salah satu dari pendidikan kesehatan dalam Islam yang sangat penting. Terutama kesehatan pada alat kelamin agar senantiasa terpelihara dari najis maupun kotoran perilaku.101 Dapat menghindarkan dari penyakit kanker. Menurut pendapat Ali Akbar sebagaimana disebutkan oleh Maryam Ibrahim Hindi bahwa perempuan yang tidak berkhitan dapat menimbulkan penyakit bagi suami (pasangannya) bila bersetubuh, karena kelentitnya mengeluarkan smegma yang berbau busuk dan dapat menjadi perangsang timbulnya kanker pada zakar laki-laki dan kanker pada leher rahim wanita, sebab didalamnya hidup hama, virus yang menyebabkan kanker tersebut. Hinselman juga beranggapan bahwa laki-laki yang tidak berkhitan bisa menjadi sebab timbul kanker leher rahim bagi wanita pasangannya.102
100
Ahmad Ramali, Peraturan-Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara‟ Islam, (Jakarta: Balai Pustaka, 1951), h. 158. 101 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 289-290. 102 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, h. 183.
45
Pendapat Hamid al-Ghawabi dalam artikelnya yang berjudul Khitan Wanita dalam Tinjauan Agama dan Medis keuntungan khitan bagi wanita dari sisi medis sebagaimana disebutkan oleh Maryam Ibrahim Hindi:103 a) Cairan lendir yang keluar dari sepasang bibir kelamin bagian dalam, jika keduanya tidak dipotong bersama ujung klitoris dalam proses khitan, akan menumpuk dan membusuk hingga memunculkan bau tidak sedap dan rentan infeksi yang terkadang menjalar ke vagina, atau bahkan hingga saluran kencing (uretra). b) Pemotongan dalam khitan berfungsi untuk mengurangi tingkat sensitivitas seksual anak perempuan, dimana ia sudah tidak memiliki suatu organ yang sekedar bersentuhan saja dapat mengakibatkan birahi. Dengan bigitu anak tidak mudah gugup sedari kecil. Seperti halnya sabda Rasulallah Saw. ketika menyatakan bahwa khitan suatu kehormatan bagi perempuan sekaligus mencerahkan wajah, apabila klitoris tidak diambil secara keseluruhan dalam proses khitan. Bila tidak maka perempuan akan mudah gugup dan wajahnya pucat.
Dan
pelaksanaan
khitan
disarankan
pada
ahli
medis
yang
berpengalaman. c) Muhammad Ali Al-Bar yang berpendapat khitan adalah sunnah dan mengandung banyak manfaat. Ia berkata bagi perempuan adalah sunnah. Dilakukan dengan memotong sedikit bagian dari klitoris. Klitoris yang dimiliki perempuan layaknya zakar pada pria. Hanya saja bentuknya sangat kecil dan 103
Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, h. 69-71.
46
tidak dilalui saluran air kencing. Di ujung klitoris terdapat kulit kulup meskipun sangat kecil, tapi menyimpan bahaya, sebagaimana kulup yang dimiliki lelaki. Sebab, di kulit inilah cairan menumpuk dan menjadi sarang pertumbuhan mikroba. Klitoris adalah organ yang sangat sensitif seperti ujung zakar. Organ ini juga bisa ereksi. Tak diragukan bahwa organ ini sangat ampuh meningkatkan libido dan nafsu birahi. Sehingga bisa digolongkan sebagai pemicu tindak perzinahan apabila tidak mampu menajaga hasrat nafsunya. Namun demikian Rasulallah Saw. telah memerintahkan perempuan tukang khitan agar menghilangkan sedikit bagian dari organ klitoris dan tidak momotong semuanya, agar si perempuan tidak mengalami frigiditas. Selama pelaksanaan khitan bagi perempuan dilakukan sesuai dengan cara dan prosedur yang benar, baik dari sisi syari‟at Islam sesuai dengan ajaran Rasulallah dan dari sisi medis. Sesungguhnya khitan perempuan akan mendapatkan manfaat yang sesuai dengan apa yang diyakini dan diharapkan oleh si pelaku khitan perempuan. Serta terhindar dari mudharat yang selama ini menjadi kekhwatiran banyak pihak atas khitan perempuan.
BAB III PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN DI INDONESIA DAN DASAR HUKUMNYA
A. Tradisi dan Praktik Khitan Perempuan di Indonesia 1. Tradisi dan Praktik Khitan Perempuan di Beberapa Daerah di Indonesia. Di Indonesia khitan perempuan adalah kebiasaan yang muncul seiring masuknya Islam. Di Nusantara khitan sudah dikenal sebelum Islam datang, sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Terbukti dari penemuan di Museum Batavia, Jakarta memperlihatkan zakar asli pria suku Badui yang telah dikhitan.1 Di Jawa Barat suku Badui (suku Sunda asli) juga sudah mengenal khitan yang dianggap sebagai bagian dari kepercayaan mereka sejak para leluhurya.2Di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Population Council pada tahun 2001-2003 di enam provinsi di Indonesia, di enam Kabupaten dan kota yaitu: Padang, Padang Pariaman, Serang, Kutai Kartanegara, Sumenep, Makasar, Bone dan Gorontalo disimpulkan bahwa mayoritas kaum perempuan muslimahnya dikhitan.3 Di Makasar, sunatan atau khitanan merupakan upacara yang senantiasa dilaksanakan sebagai pelengkap daur hidup. Masyarakat Bugis mengenal khitan pada laki-laki dan pada perempuan. 1
Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003) cet. ke-1, h. 303. Muhammad Syauki, “Khitan Perempuan Perspektif Hadis dan Sirkumsisi Perempuan Menurut WHO” (Skripsi S1 Fakultas Usuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010) h. 22. 3 Ahmad Luthfi Fathullah, Fiqih Khitan Perempuan, (Jakarta: Al-Mughni Press dan Mitra Inti Foundation, 2006) cet. ke-2, h. 57. 2
47
48
Bagi masyarakat etnis Banten, khitan perempuan merupakan keharusan yang diajarkan agama Islam untuk menjaga kesucian atau kebersihan, yang apabila tidak dijalankan, maka haram hukumnya. Bagi masyarakat etnis Lampung, khitan anak perempuan dianggap sunat sebai atau tuntutan tradisi yang diwariskan turun temurun, sehingga tidak ada alasan untuk tidak melakukannya. Anak perempuan yang tidak dikhitan akan dinilai kurang cantik dan bercahaya. Secara sosial akan dianggap tidak pantas, karena melanggar tradisi dan ajaran agama. Tradisi khitan perempuan sesungguhnya dikenal dalam masyarakat Jawa, khususnya lingkungan Kesultanan Yogyakarta.Tradisi ini dinamakan tetesan, yang harus dilakukan oleh perempuan sejak lahir hingga dewasa. Di beberapa daerah Jawa lainnya, khitan perempuan dikenal sebagai sumpitan. Akan tetapi, tradisi tersebut tidak dijadikan sebagai keharusan. Karena khitan perempuan telah dilakukan turun-temurun, maka proses internalisasinya pun dilakukan dari generasi ke generasi. Proses ini menyebabkan tradisi khitan perempuan dianggap sebagai wajar dan tidak perlu dipersoalkan. Bahkan, aneh dan perlu dipermasalahkan apabila tidak dilakukan khitan perempuan.4 Dari fenomena di atas penulis dapat menyimpulkan bahwasanya khitan perempuan yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia didasarkan pada tradisi yang sudah sangat mendarah daging pada masyarakat Indonesia dan merupakan 4
Riastiani Musyarofah,dkk, Khitan Perempuan: Tradisi dan Ajaran Agama Yang Menindas, (Jogjakarta: Pusat Stadi Kependudukan dan Kebijakan UGM dan Ford Foundation, 2003), Perempuan Bergerak, h. 18-20.
49
ajaran agama untuk menjalankan sunnah Rasul. Jika landasan agama/fiqh yang menjadi pegangan masyarakat, maka hal ini dapat dimaklumi karena mayoritas penduduk Indonesia bermadzab Syafi‟i dan pendapat ini sangat kuat mempengaruhi masalah-masalah ritual, termasuk khitan yang menurut madzab Syafi‟i hukumnya wajib.5 Meskipun banyak motif lain dari alasan melakukan khitan tersebut. Dalam catatan penelitian tersebut, cara pengkhitanan yang dilakukan sangat beragam. Ada yang hanya mencubit 3.0%, ada yang menggores dan mengerik 24.3%, ada yang menusuk dan menindik 1.1%, insisi 49.2%, dan eksisi 22.4%.Usia anak perempuan dikhitan yaitu: usia 0-4 tahun 55.0%, usia 5-9 tahun 85.2%, usia 10-14 tahun 96.0%. Orang yang melakukan khitan dukun bayi sebanyak 56.6%, dukun sunat 11.8%, bidan 30.2%, dan lain-lain 1.4%. Alasan mereka memilih bidan karena praktis, prasyarat sedikit, tenaga klinis terlatih, punya peralatan steril, tarif tidak berbeda dengan dukun bayi, mudah diakses (bagian dari paket persalinan). 2. Tradisi dan Praktik Khitan Perempuan Masyarakat Pasir Buah di Karawang Dari hasil penelitian yang penulis dapat dengan metode quesioner yang disebarkan kepada 15 responden di kampung Pasir Buah, Karawang menghasilkan data sebagai berikut:
5
Ahmad Luthfi Fathullah, Fiqih Khitan Perempuan, (Jakarta: Al-Mughni Press dan Mitra Inti Foundation, 2006) cet. ke-2, h. 57.
50
B. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Mengeluarkan Peraturan tentang Khitan Perempuan 1. Kontroversi Khitan Perempuan di Indonesia Perdebatan tentang khitan perempuan mulai mengemuka pada 1960 oleh aktivis dan tenaga medis di Afrika.6Berdasarkan data Amnesty International diperkirakan ada 2 juta perempuan dan anak perempuan dikhitan setiap tahun. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan sekitar 140 juta anak perempuan dan perempuan dewasa di seluruh dunia mengalami praktik mutilasi kelamin.7 Dan berdasarkan data UNICEF, salah satu lembaga PBB yang peduli terhadap kondisi kesehatan dan perlindungan anak mengungkapkan, saat ini sebanyak 30 juta anak perempuan di bawah usia 15 tahun masih beresiko mengalami praktik khitan perempuan. Tingginya resiko yang ditimbulkan khitan perempuan membuat beberapa negara melakukan pelarangan terhadap praktik tersebut, misalnya parlemen Mesir yang mengesahkan UU tentang pelarangan Khitan Perempuan. Bagi yang melanggar akan dikenai dan kurungan penjara. Begitu juga perdebatan hebat yang terus menerus terjadi mengenai masalah khitan perempuan di negara Mesir, karena pelarangan terhadap praktik khitan perempuan disinyalir suatu perbuatan dari kaum sekuler. Apalagi keputusan tersebut dibantu oleh fatwa Syaikh Azhar yang
6
“Khitan Perempuan: Praktik Purba Yang Harus Dihapuskan ,” Perempuan Bergerak, Edisi III, Juli-September, 2013, h. 25. 7 “Sunat Wanita Indonesia dan Afrika Berbeda,” Obornew.com, 24 Maret 2014, diakses pada 24 Maret 2014 dari Obornew.com.
51
sekarang menjabat, yaitu Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi dan para pengikutnya. Meski demikian, ulama-ulama Islam tetap mendakwahkan kepada seluruh masyarakat bahwa melakukan khitan bagi perempuan merupakan perintah syariat dan petunjuk yang dicintai Rasulallah Saw. akan tetapi dakwah mereka yang telah mereka usahakan seolah tersembunyi dibelakang maraknya propaganda kaum sekuler melalui sarana informasi yang ada.8 Berikut penjelasan singkat dari ulama Al-Azhar dan juga fatwa Daar alIftaa Mesir: Universitas Azhar dalam tahun-tahun belakangan ini mengeluarkan fatwa untuk umat Islam dengan harapan agar fatwa tersebut dapat menjadi pembeda antara yang haq dengan yang batil. Setelah menyebutkan dalil-dalil dan pendapat para ulama fiqih, mufti menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa para ulama ahli fiqih telah menyepakati bahwa khitan bagi kaum pria dan perempuan merupakan salah satu dari fitrah agama Islam dan juga salah satu syiar Islam serta merupakan suatu perbuatan yang terpuji. Fatwa-fatwa tersebut dikeluarkan oleh para ulama al-Azhar seperti Syaikh Jadul Haq dan juga fatwa Daar al-ifta Mesir di bawah pimpinan Syaikh Jadul Haq pula yaitu pada tanggal 29 Januari 1981 M. Begitupula ketika Daarul Ifta dipimpin oleh Syaikh Muhammad Sayyid Tantawi telah mengeluarkan fatwa yang sama menyangkut
8
masalah
khitan
perempuan
dalam
forum
resmi
yang
Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, penterjemah Nashirul Haq, (Jakarta: Penerbit Mustaqiim, 2003) h. 10.
52
didokumentasikan dalam kitab kumpulan fatwa-fatwa Islam pada jilid yang ke-21 yang diterbitkan pada tahun 1994 M, yaitu yang tertera pada halaman 7864.9 Fatwa lain setelah kepemimpinan Muhammad Sayyid Tantawi Daar al- Ifta dipimpin oleh Nasr Farid Washil, mufti Republik Mesir mengatakan sebagaimana disebutkan juga oleh Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinawi bahwasanya syariat Islam tidak pernah memaksa untuk melakukan khitan perempuan, akan tetapi syariat juga tidak pernah memberikan ultimatum berupa larangan untuk melakukan khitan bagi perempuan. Perkara tersebut kembali kepada sahib almaslahah (orang yang bersangkutan, orang tua dan putrinya) dengan menggunakan pendapat dari para dokter yang telah terbukti memiliki karakter yang terpuji dan adil.10 Pelarangan terhadap khitan perempuan yang dilakukan oleh kaum sekuler di Mesir bila dilihat dari sisi syariat merupakan suatu hal yang membahayakan dan kesesatan yang tersembunyi, yang seorang ulama manapun tidak boleh membiarkannya begitu saja. Dan juga merupakan suatu pemberian legalitas atas perbuatan penyepelean terhadap sunnah Rasulallah.11 Lain lagi di Asia, praktik khitan perempuan hingga saat ini masih dilakukan di Pakistan, India, Bangladesh, dan Malaysia.
9
Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, h.75-
76. 10
Lihat Majalah Ad-Dustur terbit pada tanggal 20 September 1996 M; Syaikh Muhammad AsSayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, h.78. 11 Lihat Kumpulan Fatwa Imam Besar Jadul Haq Ali Jadul Haq, jilid 3/47, yang dinukil dari kitab Al-Ikhtiyar Syarh Al-Mukhtar , karya Al- Maushuli juz 2, hal. 121 dalam Kitab Al-Karamah dalam Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, h.14.
53
Awal Januari 2003, PBB telah meluncurkan kampanye zero tolerance terhadap praktik khitan perempuan. PBB juga menyatakan bahwa 6 Februari sebagai Hari Internasional Toleransi Nol terhadap Mutilasi Alat Kelamin Perempuan (International Day of Zero Tolerance to Female Genital Mutilation).12 WHO menyampaikan bahwa FGM dalam bentuk apapun tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan dimanapun. WHO berdasarkan etika dasar kesehatan mengatakan bahwa mutilasi bagian tubuh yang tidak perlu tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan.13 Kontroversi tentang khitan perempuan tidak hanya terjadi di negara-negara lain tetapi di Indonesia juga mengalaminya. Problematika khitan perempuan telah menjadi dilema bagi pemerintah Indonesia karena banyaknya kalangan yang pro dan kontra terhadap masalah khitan perempuan. Baik dari kalangan pemuka agama, medis maupun ormas-ormas perlindungan hak asasi perempuan. Hal ini dipicu setelah PBB dalam Sidang Majelis Umum telah sepakat mengeluarkan resolusi pelarangan khitan perempuan. Dasar dari pelarangan tersebut adalah karena khitan perempuan dinilai membahayakan kesehatan reproduksi dan psikologi perempuan. Sebagai realisasi atas resolusi tersebut, Majelis Umum PBB meminta 193 negara anggotanya mengeluarkan kecaman dan larangan terhadap praktik khitan perempuan.
12
“Khitan Perempuan: Praktik Purba Yang Harus Dihapuskan ,” Perempuan Bergerak,h. 25. “Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan”, Kompas.com 26 Juni 2010, artikel diakses pada 24 Maret 2014 dari http://forum.kompas.com/medis/30607-sunat-perempuan-tinjauan-dari-sisimedis.html. 13
54
Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia merespon positif resolusi yang dikeluarkan oleh PBB. Salah satu respon Indonesia ialah dikeluarkannya Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen RI (HK 00.07.1.31047 tahun 2006 ) tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Sayangnya, larangan tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun 2010 melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 1636 justru melegalkan dan memperbolehkan khitan perempuan. Bahkan dalam Permenkes tersebut diatur secara detail bagaimana tata laksana khitan perempuan sekaligus memberi otoritas kepada pekerja medis.14 Pasca terbitnya Permenkes terebut kontrovesi tentang khitan perempuan di Indonesia kembali menjadi perdebatan oleh berbagai pihak, baik pihak kesehatan maupun para ormas-ormas agama dan ormas pembela hak kaum perempuan. 2. Dasar Legitimasi Diberlakukannya Khitan Perempuan di Indonesia a. Melalui
Peraturan
Menteri
Kesehatan
(Permenkes)
Nomor
1636/MENKES/PER/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan.15 Menurut Kementerian Kesehatan, alasan dikeluarkannya Permenkes tersebut karena praktik khitan perempuan tidak bisa dihapuskan. Faktanya praktik ini masih banyak terjadi di Indonesia dengan alasan budaya/tradisi. Menurut Kementerian Kesehatan, praktik khitan perempuan yang dilakukan di Indonesia bukanlah seperti yang digambarkan oleh PBB. Tidak ada praktik 14
“Warta Perempuan: Hapuskan Praktik Khitan Perempuan di Indonesia” , Perempuan Bergerak, h. 10-11. 15 Lihat Permenkes Nomor 1636/MENKES/PER/2010/Tentang Sunat Perempuan.
55
pemotongan
klitoris
seperti
yang
terjadi
di
Afrika.16
negara-negara
Berdasarkan penelitian menurut Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, khitan perempuan di Indonesia tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menyebabkan dampak negatif pada anak perempuan itu sendiri. Selain itu khitan perempuan yang ada di Indonesia merupakan bagian dari ketentuan agama Islam. Sedangkan di Afrika, FGM (Mutilasi alat kelamin perempuan) sangat melanggar hak asasi perempuan dan secara medis juga sangat buruk.17 Dipilihnya dukun bayi oleh masyarakat karena khitan perempuan terkait dengan praktik budaya. Karena terkait dengan budaya inilah dukun dianggap menjadi orang yang paling tahu untuk melakukan praktik tersebut. Dukun juga dipilih karena sejak tahun 2006 melalui Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen
RI
melarang
petugas
kesehatan
melakukan
medikalisasi sunat perempuan. Walaupun sudah ada larangan, masih banyak masyarakat yang melakukan khitan perempuan, karena menganggap hal itu terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan. Karena masih banyak masyarakat yang melakukan khitan perempuan, maka tahun 2010 Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1636 tentang Sunat Perempuan, dimana melalui Permenkes ini diatur secara detil bagaimana tata
16
“Warta Perempuan: Hapuskan Praktik Khitan Perempuan di Indonesia” , Perempuan Bergerak, h. 11. 17 “Pemerintah Pastikan Tak akan Larang Sunat bagi Perempuan”, artikel diakses pada 24 Maret 2014, dari http://suaraborneo.com/?m=201301&paged=3.html.
56
laksana khitan perempuan yang sekaligus memberikan otoritas kepada pekerja medis.18 Dari penjelasan diatas penulis berpendapat bahwa permenkes No. 1636 tahun 2010 merupakan suatu aturan bagi para pekerja medis dalam memberikan pelayanan khitan perempuan kepada masyarakat yang ingin melakukan khitan agar sesuai dengan prosedur kesehatan yang apabila di lakukan oleh tenaga ahli medis diharapkan khitan perempuan di Indonesia dilakukan sesuai dengan aturan standar medis dan ajaran agama. Sehingga tidak terjadi kekhwatiran yang selama ini menjadi problematika khitan perempuan di seluruh dunia. Dan peraturan menteri kesehatan tersebut bukanlah suatu aturan mutlak yang melegalkan praktik khitan perempuan menjadi sebuah keharusan. Dan lebih tepat disebut sebagai Standar Operational Prosedur (SOP) bagi pekerja medis. b. Putusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 9A Tahun 200819 Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas Islam menolak upaya pelarangan khitan perempuan oleh pihak manapun. Bahwasanya Islam juga telah mengatur tata cara khitan perempuan, yang sesuai ajaran Rasulallah saw pada hadis yang diriwayatkan oleh Ummu „Atiyah. Menurut MUI, khitan merupakan bagian dari ajaran Islam yang sangat dianjurkan
18
untuk
dilaksanakan
oleh
laki-laki
dan
perempuan.
MUI
Emi Nurjasmi,”Jangan Melakukan Khitan Perempuan”, Perempuan Bergerak, h. 15-16. Lihat Keputusan Fatwa MUI Nomor 9A Tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan di Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Penerbit Erlangga) h. 229-237. 19
57
mengeluarkan Fatwa Nomor 9ATahun 2008, yang intinya khitan perempuan adalah ibadah yang dianjurkan.20 Menurut Asroruniam Saleh: ”Masalah khitan bukan terminologi medis tetapi terminologi agama sehingga menentukan boleh tidaknya bukan karena pertimbangan medis tetapi pertimbangan agama. Kemudian pelasanaannya harus memperhatikan kaidah-kaidah keselamatan jiwa dan juga mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan.”21 Begitu juga yang dinyatakan oleh Salah Ghaul22 dan juga telah disebutkan oleh Syaikh Jadul Haq23 sebagaimana disebutkan oleh Maryam Ibrahim Hindi, ia menerangkan dalam pelaksanaan khitan, “Tidak dibenarkan meninggalkan petunjuk dan pengajaran Rasulallah saw untuk kemudian mengambil ucapan orang lain, meskipun ia seorang dokter. Sebab, kedokteran adalah ilmu pengetahuan dan karakter ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Bukti kebenaran pernyataan tersebut adalah bahwa pendapat para dokter dalam masalah ini beragam. Sebagian berpendapat tidak perlu
20
“MUI Anggap Sunat Perempuan Sesuai UUD 1945” Kompas, 21 Januari 2013, Artikel diakses pada 1 April 2014 dari Tempo.com. 21 “Pemerintah Pastikan Tak akan Larang Sunat bagi Perempuan”, artikel diakses pada 24 Maret 2014, dari http://suaraborneo.com/?m=201301&paged=3.html. 22 Dikutip dari Koran al-Ahrar, tanggal 26 Oktober 1994 M dalam Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, penerjemah Abu Nabil, (Solo: Penerbit Zam-Zam, 2008), cet. ke-1, h.99. 23 Syaikh Al-Azhar ke-42, pengarang Al-Fiqh Al-Islamiy Murunatuh wa Tathawwuruh, Buhuts Fatawa Islamiyah fi Al-Ijtihad wa Syuruthuh,dll; “Syaikh Jadul Haq: Pelita Umat Abad 21” artikel diakses pada 26 Maret 2014 dari m.kompasiana.com/post/read/120056/2/syaikh-jadul-haqpelita-umat-abad-21.html.
58
melakukan khitan perempuan sedang sebagian yang lain memandang perlu melakukannya.24 Dari putusan MUI tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan, penulis setuju akan tindakan dan sikap pemerintah dalam menghadapi polemik khitan perempuan di Indonesia. Keluarnya PERMENKES nomor 1636 Tahun 2010 Tentang Sunat Perempuan dan Keputusan MUI nomor 9A Tahun 2008 Tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan merupakan suatu kebijakan pemerintah yang seimbang dan bijaksana yang harus kita dukung. Karena sesungguhnya khitan perempuan dalam Islam merupakan ajaran yang di syari‟atkan perintahnya, meskipun hukum pelaksanaanya berbeda-beda tergantung dari kemasalahatan yang akan dicapai tiap individu dan bukanlah suatu keharusan yang mana apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. MUI sendiri memberi pernyataan bahwa hukum khitan perempuan adalah makrumah suatu ajaran baik dalam menjalankan perintah agama.
24
Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, h. 99.
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI MASYARAKAT KAMPUNG PASIR BUAH DI KARAWANG TENTANG KHITAN PEREMPUAN
A. Pandangan dan Dasar Pemikiran Masyarakat Terhadap Khitan Perempuan. Fenomena khitan perempuan pada masyarakat kampung Pasir Buah sesungguhnya berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang khitan perempuan itu sendiri. Menurut Mead persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, penglihatan, dan pendengaran yaitu proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu. Stimulus yang diindera itu diorganisasikan, sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera itu.1 Dalam persepsi, objek menimbulkan stimulus yang mengenai penginderaan, objek yang di persepsi dapat berada di luar individu yang mempersepsi, namun juga dapat berada dalam diri orang yang mempersepsi. Dalam mempersepsi diri sendiri orang akan dapat mengevaluasi dan melihat dirinya. Bila objek persepsi terletak di luar orang yang mempersepsi, maka objek dapat berwujud benda-benda, situasi dan juga dapat berwujud manusia. Bila objek persepsi benda-benda di sebut persepsi sosial.2
1
George Ritzer, dkk, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana, 2004) h. 274-275 dalam Jurnal Komunitas diakses pada 1 April 2014 dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas. 2 Bimo Walgito,Psikologi Sosial. (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), h. 47.
62
63
Tindakan anggota-anggota masyarakat kampung Pasir Buah melangsungkan kebiasaan khitan perempuan merupakan tindakan sosial yang dikontrol oleh mekanisme sosial. Dengan demikian, tindakan anggota-anggota masyarakat kampung Pasir Buah adalah tindakan yang didasarkan pada pertimbangan dari sistem makna dan sistem nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak dan melahirkan serangkaian perilaku atau tindakan. Kemudian sistem makna dari nilai yang dimiliki bersama tersebut dikomunikasikan melalui sistem simbolik.3Dan sistem simbolik tersebut menciptakan suatu kebudayaan. Dan konsep kebudayaan menurut Geertz terdiri dari dua bagian yaitu kebudayaan sebagai sebuah sistem pengetahuan dan sistem makna, dan kebudayaan sebagai sistem nilai.4 Dan perlu diketahui bahwa khitan perempuan merupakan suatu bentuk simbolik dan dibalik praktik tersebut terkandung makna-makna yang dipahami oleh masyarakat Kampung Pasir Buah. Bentuk-bentuk simbolik disini dianggap sebagai penyimpanan makna dan melalui tindakan simbolik ini pula bisa dipahami budaya masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis bahwasanya masyarakat di Karawang masih melanggengkan tradisi praktik khitan perempuan. Hal ini ditunjukan dari jawaban responden yang mencapai 100% atas jawaban dalam
3
Ignas Kleden, Paham Kebudayaan Clifford Geertz. (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 12, dalam Jurnal Komunitas diakses pada 1 April 2014 dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas. 4 Ignas Kleden,After the Fact Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog Clifford Geertz. (Yogyakarta: LKIS, 1999), h. xiv.
64
quesioner
yang sudah penulis sebarkan pada 15 responden menunjukan mereka
hampir seluruhnya telah mengkhitankan anak perempuannya. Sedangkan usia anak yang dikhitan yaitu pada data yang diperoleh penulis menunjukan 60% anak perempuan dikhitan pada usia 1-7 pasca kelahiran dan 6.7% pada usia 40 hari dan sisanya 33.3% pada usia 1 tahun keatas. Hal ini tergantung pada keyakinan orang tua masing-masing anak. Namun dari data yang diperoleh bahwasanya masyarakat mengkhitankan anak perempuannya sebelum usia baligh hal ini dikarenakan khitan perempuan sesuatu hal yang tabu dan pelaksanaannya pun tidak dirayakan seperti halnya khitan pada anak laki-laki. Seperti kutipan wawancara penulis dengan responden yaitu: Pada usia berapa anak perempuan anda dikhitan? Jawaban: 3 hari, kalau sudah kegedeean takut nantinya, malu juga, kita yang mengkhitankan juga malu, kalo perempuan emang bagusnya umur segitu masalahnya umur segitu masih keliatan kaluar ininya yang putihnya itu jadi itu yang diambil yang putih kayak biji kacang itu tapi putih, tapi kalo yang ga bisa kepanjangan nanti hasrat si cewenya ilang.5 Apabila kita analisis dengan hukum Islam Al-Mawardi berpendapat bahwa waktu pelaksanaan khitan ada 2 macam: waktu yang diwajibkan dan waktu yang lebih disukai. Waktu yang diwajibkan adalah ketika mencapai umur baligh, dan waktu yang lebih disukai adalah sebelum mencapai umur baligh. Pilihan waktu yang dimubahkan adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran. Hal ini sesuai dengan riwayat Al-Thabrani di kitab Al-Ausath dari Ibn-Abbas, dia berkata, سثع يٍ انسُح في انصثي يسًى ٍ(في انساتع ٔيخرTujuh perkara sunnah pada anak; diberi anak pada hari ke tujuh dan 5
Wawancara pribadi penulis dengan Nunung, Karawang, 6 April 2014.
65
dikhitan)6. Namun ada juga yang berpendapat dimubahkan pada hari ketika ia dilahirkan. Jika pelaksanaannya diundur, bisa dilakukan pada hari keempat puluh, atau pada tahun ke tujuh setelah dilahirkan. Abu Al-Faruj Al-Saraksi berkata sebagaimana diungkapakan oleh Syaikh Muhammad As-Sayyid As-Syinnawi: “Melakukan khitan pada seorang anak yang masih kecil terdapat maslahat, yaitu dilihat dari sisi kulitnya. Karena kulit seseorang setelah mencapai usia dewasa akan menguat dan mengeras, oleh karena itu banyak ulama yang membolehkan melakukan khitan sebelum usia dewasa.” Namun Ibnu Mundzir berkata sebagaimana diaktakan oleh Syaikh Muhammad As-Sayyid As-Syinnawi: “Pada pembahasan ini tidak terdapat larangan dan waktu pelaksanaan khitan tidak terdapat khabar yang dapat dijadikan rujukan dan tidak ada sunnah yang dapat dipakai sebagai sandaran hukum.” Oleh karena itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa waktu pelaksanaan khitan tidaklah dikhususkan pada waktu-waktu tertentu, dan juga pelaksanaan khitan tersebut tidaklah diwajibkan pada waktu kecil.7 Dan untuk masalah walimah khitan perempuan ini menunjukan sebanyak 40% masyarakat di Karawang tidak melakukan syukuran (perayaan) khitan perempuan dengan alasan karena khitan perempuan tidak umum dirayakan sebagaimana walimah pada khitan laki-laki. Dan 46.7% responden yang melakukan syukuran, tapi hanya lingkungan keluarga dekat. 6
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fath Bȃrȋ buku 28 , Peneliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, penerjemah Amiruddin (Jakarta:Pustaka Azzam, 2011) cet ke-2, hal.766. 7 Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, penterjemah Nashirul Haq, (Jakarta: Penerbit Mustaqiim, 2003) h. 55-57
66
Kaum muslimin pada zaman dahulu juga menyembunyikannnya, tidak melaksanakan walimah, dan tidak mengundang orang banyak. Dari Hasan, ia berkata, “Utsman bin Abu Al-Ash diundang ke tempat khitan (wanita), ia lalu menolak menghadirinya. Ia berkata, “Dahulu kami tidak mengahdiri khitan perempuan, yaitu pada zaman Rasulullah, dan tidak mengundang orang untuk menghadirinya.8 Artinya, mengadakan pertemuan (walimah) dalam rangka khitan perempuan dan menghidangkan makanan pada pertemuan tersebut adalah sesuatu yang para sahabat tidak mengakui keberadaannya pada zaman Rasulallah Saw. dan riwayat ini adalah riwayat shahih.9 Hasil penelitian dari Population Council tahun 2004 menunjukkan bahwa di Indonesia dukun bayi, dukun sunat, dan bidan merupakan penyedia pelayanan khitan perempuan. Dari 2.215 kasus khitan perempuan di beberapa daerah menunjukkan bahwa 68% dilakukan oleh pengkhitan tradisional dan 32% dilakukan oleh tenaga kesehatan, terutama bidan.10 Sedangkan di kota Karawang dari penelitian yang dilakukan oleh penulis kepada beberapa responden dengan presentase 73.3% menunjukan bahwasanya saat ini khitan perempuan dilakukan oleh bidan, dengan alasan agar lebih aman, 73.3% dikarenakan tukang khitan tradisional (paraji) sudah tidak ada saat ini dengan presentase 6.7%, dan 0% dengan alasan adanya larangan mengkhitankan anak perempuan pada tukang khitan tradisional. Namun ada juga 20%
8
Ditakhrij oleh Ahmad dalam musnadnya No. 17874. Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, penerjemah Nashirul Haq, (Jakarta: Penerbit Mustaqiim, 2003) h. 59. 10 Www.population council.com diakses pada 26 Maret 2014. 9
67
mengkhitankan pada paraji. Sebagaimana kutipan dari hasil wawancara dengan beberapa responden yang salah satunya penulis kutip yaitu: Dimana dan dengan siapa biasanya anda mengkhitankan anak perempuan? Alasannya?Jawaban responden: dengan Bidan di Klinik, karena udah ga ada dukun beranak sekarang.11Dan Jawaban:biasanya kalo disni mah kalau ga bidan, kan paraji (dukun beranak). Kan sekarang diharuskan sama bidan bukan sama paraji agar lebih aman udah diharuskan sama bidan kayak gitu, ga boleh ada dukun beranak lagi.12 Hal ini sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh Menteri Kesehatan dalam Permenkes RI No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan yang tertuang dalam Bab II Penyelenggaraan Sunat Perempuan, Pasal 2 ayat 1 dan 213: 1. Sunat perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu 2. Tenaga kesehatan tertentu yang dapat memberikan pelayanan sunat perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dokter, bidan, dan perawat yang telah memiliki izin praktik, atau surat izin kerja. Hasil penelitian menunjukkan 14 dari 15 responden menjawab khitan perempuan dilakukan dengan cara mencolek ujung klitoris dengan presentase 93.3% dan hanya seorang responden yang menjawab (6.7%) khitan dilakukan dengan cara memotong sedikit dari bagian klitorisnya. Dan ini masih dalam zona aman dan sesuai syari‟at. Responden pada masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang khitan perempuan dilakukan dengan menggores bagian yang berwarna putih seperti biji kacang pada ujung klitoris. Tanpa memotong bagian klitoris itu sendiri. Sehingga hal ini sesuai dengan ajaran Rasulallah saw, dalam hadisnya yaitu:
11
Wawancara pribadi dengan Ani, Karawang, 6 April 2014. Wawancara pribadi dengan Mala, Karawang, 6 April 2014. 13 Berita Negara RI, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1636/Menkes/Per/XI/2010 Tentang Sunat Perempuan. 12
68
ب تٍُْ َع ْث ِذ ان َّر ِح ِيى ْاْلَ ْش َج ِع ُّي قَ َاَل َح َّذثََُا َيرْ َٔاٌُ َح َّذثََُا ِ َح َّذثََُا ُسهَ ْي ًَاٌُ تٍُْ َع ْث ِذ انرَّحْ ًَ ٍِ ان ِّذ َي ْشقِ ُّي َٔ َع ْث ُذ ْان ََّْٕا ًاريَّ ِح أَ ٌَّ ا ْي َرأَج َ َْ َك ْت ٍِ ُع ًَي ٍْر ع ٍَْ أُ ِّو َع ِطيَّحَ ْاْل ِ ِب ْان ُكٕفِ ُّي ع ٍَْ َع ْث ِذ ْان ًَه ِ ُي َح ًَّ ُذ تٍُْ َح َّساٌَ قَا َل َع ْث ُذ ْان ََّْٕا ِ ص َّ صهَّى ْ ََكا ك أَحْ ظَى نِ ْه ًَرْ أَ ِج َٔأَ َحةُّ ِِنَى ْانثَ ْع ِم َ َِّللاُ َعهَ ْي ِّ َٔ َسهَّ َى ََل ذُ ُْ ِٓ ِكي فَإ ِ ٌَّ َرن َ َد ذ َْخرٍُِ تِ ْان ًَ ِذيَُ ِح فَقَا َل نََٓا انَُّثِ ُّي 14
)(رٔاِ اتٕدأد
Dari Ummi „Atiyyah diceritakan bahwa di Madinah terdapat seorang perempuan tukang sunat /khitan, lalu Rasulallah saw bersabda kepada perempuan tersebut: jangan berlebihan, sesungguhnya hal itu lebih baik/disukai bagi perempuan dan lebih disenangi oleh lelaki.(HR. Abu Daud). Kemudian dari hasil penelitian yang didapat oleh penulis mengenai pengetahuan masyarakat mengenai hukum khitan perempuan yaitu 40% menjawab bahwa hukum khitan perempuan wajib dan 33.3% menjawab sunnah sisanya 20% menjawab hukum khitan perempuan hanya mubah dan seorang responden tidak mengetahui hukum khitan perempuan (6.7%). Serta dari jawaban yang disediakan penulis yaitu makrumah tidak ada responden yang menjawab hukum khitan itu makrumah, hal itu wajar karena dalam hirarki hukum dalam syariat Islam tidak dikenal istilah makrumah. Sehingga wajar jika bagi masyarakat, makrumah merupakan istilah yang asing. Jika dianalis dalam hukum Islam juga hukum mengkhitankan anak perempuan itu merupakan ijtihad ulama yang mana tidak ada kesepakatan oleh ulama mengenai hukum khitan untuk perempuan. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat pada kalangan ulama ada yang berpendapat wajib, sunnah, mubah dan makrumah sebagaimana sudah dijelaskan oleh penulis pada bab 2 dalam skrispsi ini. 14
Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Kitâb al-Adâb, Jilid 5, Bâb Mâ Jâa fî al-Khitân, hadis nomor: 1721, hal. 264.
69
Alasan masyarakat kampung Pasir Buah yang mengkhitankan anak perempuannya yaitu berdasarkan pada perintah agama dan sunnah Rasul seabanyak 60% , karena alasan tradisi di kampung mereka dengan presentasi 26.7% dan sisanya karena alasan kesehatan 13.3%. Manfaat khitan perempuan menurut mereka adalah untuk melaksanakan syari‟at agama Islam dan untuk menjadikan si Anak sebagai muslim. Hal ini didapat dari hasil penelitian oleh penulis bahwa responden dengan presentasi 33.3% menjawab manfaat khitan perempuan adalah untuk mengislamkan anak, 26.7% untuk menyeimbangkan syahwat perempuan, 26.7% yang menjawab bahwa manfaat khitan perempuan untuk kesehatan. Seperti jawaban salah seorang responden yaitu: “Orang islam, kalo gitu-gitu saya juga ga paham cuman taunya anak perempuan dikhitan, tradisi, cuman manfaatnya itu kalo orang islam dikhitan kalo yang lain (non-Islam) kan ga gitu kan. Orang Arab juga ga ( pengalaman waktu jadi TKW). Kencingnya lancar, anak-anak kita udah jadi Islam, umumnya kan gitu. Anak laki-laki juga kalo belum sunat belum boleh ikut ke mesjid. Belum sunat belum bersih. Untuk mengislmkan anak perempuan waktu habis lahir 40 hari. Umumnya gitu.15 Dan dari hasil survei yang dilakukan peneliti hampir seluruh warga dari kampung Pasir Buah yang memiliki anak perempuan
bahwasanya mereka telah
mengkhitankan anak perempuannya. Meskipun mereka kurang mengetahui manfaat dari khitan dan bahkan ada yang mengetahui bahwa manfaat khitan bagi perempuan itu tidak ada sama sekali namun tetap mengkhitankan anak perempuan mereka karena
15
Wawancara Pribadi dengan Yayah, Karawang, 6 April 2014.
70
alasan tradisi dan untuk meng-Islamkan anak sebanyak 13.3% Seperti kutipan wawancara dengan salah seorang responden yaitu : “Tujuannya udah tradisi orang sunda, kalo orang sunda Islam tradisinya kayak, yang kedua ga ada kalo cewek mah walaupun ga dikhitan juga ga ada bakteri ga ada ga ada masalah cewek kalo ga dikhitan cuman ngikutin tradisi aja. Manfaatnya ga ada juga sih, kita ngambilnya lebih ke tradisi suku sunda. Suku sunda Islamnya. Kalo suku sunda kalo bukan Islamnya juga ga masalahnya kalo kita kalo disunda cewek kalo ga disunat katanya kurang afdhal. Tapi itu sih orang beda-beda pendapatnya tapi kalo kerja (manfaat) ga ada ada kalo cowok ada karna mengandung bakteri”.16 Sedangkan manfaat yang dikemukakan oleh bidan sebagai ahli medis yang melakukan khitan perempuan mengungkapkan bahwa: “Ada manfaat dari khitan perempuan untuk kebersihan, karena apabila tidak dikhitan di vagina akan menumpuk kotoran, yang akan mengakibatkan infeksi, karena kotoran tersebut akan mesuk kedalam vagina”.17 Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis yang perlu dianalisis lebih komprehensif yaitu persepsi masyarakat Kampung Pasir buah berdasarkan tujuan dari mengkhitankan anak perempuan mereka yaitu bertujuan untuk mengislamkan si anak. Mayoritas dari mereka beranggapan bahwa khitan merupakan salah satu cara untuk mengislamkan si anak. Yang menjadi pertanyaan apakah dalam Islam syarat seseorang untuk menjadi muslim adalah dengan khitan?, seperti halnya pemahaman yang selama ini menjadi sebuah keyakinan masyarakat Pasir Buah di Karawang yaitu mengislamkan anak perempuan adalah dengan mengkhitankan si anak saat baru lahir. Sehingga sebagian masyarakat kampung Pasir Buah menganggap khitan bagi perempuan hukumnya wajib seperti halnya khitan bagi laki-laki. Atas hal ini penulis 16
Wawancara Pribadi dengan Nunung. Karawang, 6 April 2014. Wawancara Pribadi dengan Evi Mei, AM Keb. Karawang, 10 April 2014.
17
71
mencari jawaban yang lebih kompeten kepada nara sumber yang paham akan masalah syari‟at Islam yang dikutip dari hasil wawancara mengenai pendapatnya yaitu: “Kalau orang mau masuk Islam atau orang sudah masuk Islam, misal (muallaf). Itu kan dengan khitan bagi laki-laki itu harus wajib dan mungkin itu juga yang terjadi pada pemahaman masyarakat itu bahwa perempuan itu harus dikhitan baru dia jadi Islam. Tadi saya katakan bahwa ketika khitan perempuan msih khilafiyah ya masih perbedaan pendapat maka tidak terkait dnegan dosa dan pahala. Juga tidak terkait dengan agama tentunya. Kalau kita katakan untuk mengislamkan maka berarti perempuan itu tidak dikhitan maka tidak Islam dong, padahal tidak begitu kedudukannya. Nah jadi mungkin saya memahami masyarakat ini mengqiyaskan dengan laki-laki. Syarat orang Islam itu apa sih? Ya mengucap syahadat setelah itu memang harus ibadah, ketika beribadah itu dia harus thaharah, nah ketika harus thaharah itulah baru khitan itu muncul. Karena bagi orang laki-laki sangat menonjol ketika thaharah atau tidaknya ketika dikhitan itu. Jadi larinya kesitu bukan khitan menjadi syarat Islam tapi menjadi syarat kesucian ibadah itu”.18 Hubungan Islam dengan khitan lebih kepada persoalan kebersihan (Thaharah). Karena seperti yang kita ketahui tidak ada satu agama pun yang betulbetul memperhatikan thaharah seperti agama Islam.19 Ajaran akan proses penyucian dan pembersihan dalam Islam harus dilakukan secara lahir maupun bathin. Dan persepsi masyarakat kampung Pasir Buah bahwa jika mereka melahirkan anak perempuan maka harus dikhitan sebagai wujud dari proses penyucian dan pembersihan sebagai perintah dari syariat agama Islam untuk dapat menjalankan ibadah. Cara ini mereka anggap sebagai meng-Islamkan anak perempuan yaitu dengan melakukan khitan. Untuk memperjelas identitas anak mereka sebagai seorang muslim. 18
Wawancara pribadi penulis dengan Sitti Hanah, LC, MAg di Tangerang, pada 16 April
2014. 19
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzab, penerjemah: Masykur A.B, dkk, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996) cet ke-2, h. 3.
72
Khitan juga merupakan adab dalam menyambut kelahiran bayi. Perkara ini mereka lakukan dengan tujuan untuk menjaga kesucian lahir dan bathin manusia selain untuk mempercantik paras rupa dan wajah bagi perempuan.20 Sejak masih dalam kandungan, orang tua biasanya mengadakan acara-acara keagamaan untuk menyambut sang bayi. Jika melihat proses tersebut, sesungguhnya kita tidak diberikan pilihan untuk berislam atau memilih yang lain. “Menu” keagamaan yang diberikan sejak sebelum lahir hingga dewasa hanya satu agama yaitu Islam. Sehingga umat Islam, mau tidak mau berislam tanpa tahu mengapa harus Islam. Sehingga kita mengenal istilah “Islam Turunan”. Dan salah satu cara orang tua di kampung Pasir Buah untuk meng-Islamkan anak perempuannya yaitu dengan khitan.Namun yang perlu kita perhatikan yaitu tidak hanya menjadikan seorang muslim sebagai “Islam Turunan” yaitu berislam tanpa mengerti dan menjalankan agama yang dianutnya. Sahingga ber-Islam hanya menjadi identitas kultural bukan kesadaran spriritual.21 Dan perlu kita ketahui bahwasanya khitan bukanlah syarat mutlak untuk meng-Islamkan seseorang. Karena dasar teologis perintah khitan bagi laki-laki maupun perempuan tidak ada dalam Al-Qur‟an. Walaupun ada beberapa ayat dari AlQur‟an yang digunakan sebagai argumen bahwa perintah khitan itu wajib oleh sebagian ulama, namun para ahli fiqih mengatakan, Al-Qur‟an memang tidak menyebutkan secara eksplisit maupun implisit, namun kitab suci ini memberi isyarat 20
“Adab Menyambut Kelahiran Bayi Menurut Islam”, Artikel diakses pada 1 April 2014 dari http://ms.m.wikipedia.org/wiki/Adab-menyambut- kelahiran –bayi- menurut- islam.html 21 “Menjadi Muslim, Pilihan atau Turunan”, Kompas, tanggal 27 Maret 2013, Artikel diakses pada 1 April 2014, dari http//:m.kompasiana.com/post/read/546310/3/menjadi-musli-pilihan-atauturunan.html
73
mengenainya dalam pernyataan umum. Perintah Allah kepada Muhammad Saw. untuk mengikuti millah Nabi Ibrahim As. mengandung banyak tafsiran oleh para ulama. Yang sebagian ditafsirkan oleh ulama bahwa salah satu millah itu adalah khitan. Meskipun ada sumber dari hadis Nabi Muhammad saw. atas khitan perempuan, sebagaimana disebutkan dan dijelaskan diatas pada bab sebelumnya, tapi semuanya mengandung kontroversi dalam aspek validitasnya. Para ulama berbeda dalam mengambil kesimpulan menyangkut nilai dan kualifikasi atas hadis-hadis tersebut. Berbeda dengan khitan laki-laki yang perintahnya merupakan sunnah muakkad yaitu sunnah yang sangat dianjurkan, bahkan wajib, karena jelas manfaatnya bagi kesehatan reproduksi laki-laki, tapi khitan bagi perempuan para ulama tidak sepakat dalam satu hukum tertentu. Mayoritas ulama selain madzab Syafi‟i menyatakan itu “suatu kehormatan”. Ini mengandung makna dibolehkan, tidak diwajibkan atau disunnahkan. Bahkan dalam pendapat madzab Syafi‟i sebenarnya tidak sepakat, sebagian ulama pengikut madzab ini ada yang tidak mewajibkannya. 22 Begitu juga pendapat narasumber yang sudah penulis wawancarai mengenai pendapat dan sikap Syaikh Muhammad Syayid Tantawi yang juga mantan Ulama MUI di Mesir, yaitu pendapat beliau mengatakan: “Ini merupakan ijtihad pribadi, dia melihat bahwa tidak ada nash yang mewajibkan orang berkhitan, kecuali nash tadi yang digunakan oleh madzab imam Syafi‟i. Dan selama masih ada perebadan ulama maka itu merupakan masalah ijtihadiyah, yang mana setiap orang boleh melakukan ijtihad, dan 22
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fath Bȃrȋ buku 28 , Peneliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, penerjemah Amiruddin (Jakarta:Pustaka Azzam, 2011) cet ke-2, hal.759; “Tafsir Edisi 27: Khitan Perempuan”, Rahimma, Artikeldiakses pada 1 April 2014 dari www.rahima.or.id
74
beliau melihat bahwa lebih maslahat tidak mengkhitan perempuan, alasannya lagi-lagi itu asumsi yang dibuat oleh masyarakat internsional bahwa itu menyakiti perempuan. Ketika ada unsur menyakiti itu akhirnya ditutup jalan itu. Alasan kedua selain masalah ijtihad sepihak namun ketika itu beliau posisinya sebagai ketua MUI , maka ia juga harus selaras dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah sudah melarang, maka perlu juga ada legalitas agama. Dan mungkin beliau “al khuruj min al-khilaf” keluar dari perselisihan karena kan rame disana (Mesir) dan itu merupakan masalah yang begitu prinsipil dari pada nanti mengacak-acak persatuan umat Islam maka dibuat satu pendapat saja dengan pemerintah.23 Jadi persepsi masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang atas praktik khitan bagi perempuan sebagai simbol meng-Islamkan anaknya adalah kurang tepat. Karena seluruh manusia hakikatnya sudah beriman (muslim) sejak lahir. Seperti dijelaskan dalam firman Allah swt dalam surat (QS Al-A‟raf: 172): Artinya: dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"(QS. Al-A‟raf: 172).
Meskipun demikian praktik khitan yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat kampung Pasir Buah tidaklah salah, karena khitan merupakan syiar agama Islam. Dan apabila mereka menganggap hukumnya wajib itupun ada dasarnya sebagaimana pendapat yang dikeluarkan oleh madzab Syafi‟i. Dan telah kita ketahui bahwa
23
Wawancara pribadi penulis dengan Sitti Hanah, LC, MAg di Tangerang, pada 16 April
2014.
75
mayoritas umat muslim di Indonesia bermadzab Syafi‟i. Namun yang perlu diluruskan adalah persepsi mereka bahwa khitan perempuan adalah untuk mengIslamkan si Anak. Karena ayat di atas sudah jelas tanpa orang tua mengkhitankan anaknya, hakikatnya setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan fitrah yang dimaksud adalah beriman Islam (Muslim). Dan tidak ada satupun ulama yang berpendapat bahwa khitan bagi perempuan adalah simbol untuk meng-Islamkan si Anak. Dan apabila khitan dihubungkan dalam masalah keagamaan lebih tepatnya. Khitan itu merupakan salah satu masalah yang membawa kesempurnaan al-Din yang disyari‟atkan Allah swt. Karena khitan merupakan pangkal fitrah, syi‟ar, dan syari‟ah. Lewat lisan Nabi Ibrahim as. Sebagaimana terdapat dalam al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 123. Khitan juga merupakan pernyataan Ubudiyyah terhadap Allah swt, ketaatan melaksanakan perintah, hukum dan kekuasaannya.24Jadi, bukanlah suatu bentuk pengidentitasan ke-Islaman seseorang sebagaimana persepsi masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang. Al-Adawi dalam Hasyiyatul Kharsyi berkata: “Khitan wanita adalah amalan yang bersifat ibadah. Maka, ia harus dikerjakan dan sudah sah dengan kadar seminimal apapun.”25 Menurut pendapat Al-Adawi di atas penulis menyimpulkan bahwa khitan hanyalah suatu pelaksanaan ibadah yang ada dalam syariat agama Islam, bukan suatu 24
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) cet. ke-1, h. 181-182. 25 Syaikh Ali bin Ahmad Al-Adawi, Hasyiyatul Adawi „alal Kharsyi, Jilid 3, (Beirut:Dar alKutub Al-Ilmiyyah,1997) h. 412.
76
cara meng-Islamkan seseorang. Karena khitan merupakan masalah ijtihadiyah yang mana hukumnya pun berbeda-beda dari setiap pendapat ulama berdasarkan dalil yang digunakan. Dan dalil tentang masalah khitan bukanlah merupakan qat‟i dilȃlah yaitu dalil yang pasti/kuat yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadis mutawattir. Sehingga jika anak perempuan yang baru lahir dari orang tua yang beragama Islam tidak dikhitan maka akan tetap menjadi seorang muslimah. B. Penilaian dan Sikap Masyarakat Terhadap Adanya Kontrovesi Khitan Perempuan. Khitan adalah tradisi masyarakat kuno (sunnah qodimah). Tradisi khitan perempuan tidak mudah dihapuskan seketika, karena praktik itu telah jadi tradisi yang mengakar di masyarakat. Penghapusan seketika atas praktik budaya ini, tentu akan menimbulkan resistensi dan reaksi keras masyarakat, bahkan boleh jadi penentangan terhadap misi utamanya yaitu, Tauhid. Dari penelitian yang sudah dilakukan penulis sebanyak 80% responden ketika ditanya apakah mereka pernah mendengar isu pelarangan dan dampak negatif khitan perempuan di beberapa negara melalui media informasi, mereka menjawab bahwasanya masyarakat kampung Pasir Buah tidak pernah mendengar atau mengetahui akan kontrovesi khitan perempuan yang ramai dibicarakan oleh banyak negara termasuk Indonesia. Hal ini dilihat dari beberapa faktor, yaitu rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, kurangnya kepekaan terhadap masalah sosial yang ada di dalam negeri, serta tidak adanya sosialisasi terhadap masyarakat tentang khitan perempuan oleh pihak-pihak terkait.
77
Menurut analisis penulis bahwasanya khitan perempuan pada masyarakat kampung Pasir Buah dan hampir seluruh mayoritas suku sunda di Karawang bukanlah suatu permasalahan yang serius seperti halnya pembicaraan pada beritaberita di media baik berita dalam negeri maupun berita dari luar negeri. Khitan perempuan di masyarakat kampung Pasir Buah sudah merupakan kebiasaan tradisi yang baik menurut mereka. Terutama masalah khitan perempuan merupakan syiar dan syariat agama Islam. Khitan itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat kampung Pasir Buah dan sudah menjadi ciri keislaman mereka dari agama lainnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Saw. yang digunakan sebagai argumen oleh Imam Syafi‟i bahwa perintah khitan itu wajib karena mengandung hikmah sebagai pembeda kaum muslimin dengan pengikut agama lain. ُ ْ اُ ْخثِر: ْج قال ٔ ّة عٍ اَتِ ْي ِّ عٍ ج ِذ ِِ اَََُّ َجا َء اِنى انُثي صهى َّللا عهي ٍخ ع ٍ عثيى تٍ ُكهَ ْي ِ ٍ عٍ اتٍ ُج َري 76
ُ ًْ َ قذ اَ ْسه: سهى فقال )ك َش ْع َر ْان ُك ْف ِر يَقُْٕ ُل احْ هَ ْق (رٔاِ احًذ ٔ اتٕ دأد َ ُْ ق َع ِ اَ ْن: د ز قال
Dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Aku diberitahu oleh Utsaim bin Kulaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya ia datang kepada Nabi saw lalu berkata, „Aku telah memeluk Islam.‟ Maka Nabi Saw. bersabda “Buanglah rambut darimu rambut kekufuiran, Ia mengatakan „Cukurlah‟” (HR. Ahmad dan Abȗ Daud)27 Dan dalam redaksi lain sabda Nabi saw:
26
Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm al-Abadi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, (Beirȗt: Dȃr al-Kutub al-I‟lmiyah, 1998), Jilid 2, h. 325; dan Imȃm Baihaqȋ, Al-Sunan al-Baihaqȋ, Jilid 1, (Makkah:Maktabah Dȃr al-Bȃz,1994) h. 172. 27 Al-Imam Al-Syaukani, Ringkasan Nail al- Autar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011) cet. ke-2, h. 90.
78
ْ ٔ رٔاخررٍُ (رٔاِ احًذ ٔاتٕدأد ك َش ْع َر ان ُك ْف َ ُْ ق َع ِ اَ ْن:اخثرَي اخرُيعُّ اٌََ انُثي ص و قال َلخ َر:قال 78
)انثيٓقي
Juraij berkata: Dan aku diberitahu oleh orang lain yang bersama dia bahwa Nabi saw bersabda kepada orang lain:”Buanglah dari padamu rambut kekufuran dan berkhitanlah” (HR.Ahmad, Abu Daud, Baihaqi)29 Menurut Imam Syafi‟i bahwasanya hadis di atas tidak dibedakan antara lakilaki dan perempuan. Artinya, khitan bagi laki-laki dan perempuan diwajibkan.30 Begitu juga masyarakat kampung pasir Buah beranggapan bahwa perempuan harus dikhitan sebagaimana juga laki-laki hanya saja perempuan dilakukan saat masih bayi agar tidak merasa malu. Terlebih tidak ada dampak negatif pada khitan perempuan yang masyarakat temukan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukan persentasi 80% responden sepakat menjawab bahwa selama ini tidak ada dampak negatif pada khitan perempuan dan 20% responden menjawab ada dampak negatif pada khitan perempuan apabila dipotong secara berlebihan. Dan mereka yakin bahwa khitan merupakan amalan yang baik. Sehingga mereka tidak begitu merespon kontroversi tentang khitan perempuan yang terjadi selama ini. Yang sudah menimbulkan perpecahan dari beberapa pihak karena perbedaan pendapat tentang dampak buruk dari khitan.
28
al-Hafizal-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jilid 8, (Makkah: Dȃr al-Bȃz, 1994) h. 323. 29 Al-Imam Alsyaukani, Terjemahan Nail al-Autar, penerjemah Mu‟ammal Hamidy,dkk (Surabaya: PT.Bina Ilmu,t.th) h. 99. 30 Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003) cet. ke-1, h. 304.
79
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan ada warga yang pernah mendengar isu tentang pelarangan khitan, namun tetap tidak terpengaruh oleh pemberitaan tersebut. Kutipannya sebagai berikut: Apa pendapat anda mengenai pihak-pihak yang melakukan pelarangan khitan bagi perempuan? Dan bagaimana sikap anda? Jawaban: ga jadi masalah, ga terpengaruh sama isu itu masalahnya ke cewenya ga ada efek samping kalo kita ga dikhitan juga ga jadi masalah. Soalnya ga ada bakteri ga ada apa. Kalo emang tata caranya benar ga ada tapi pernah dulu ngedenger cuman ga tau gosip ga tau apa motongnya kepanjangan jadi hasrat si ceweknya ga ada, cuman itu doang, makanya kita masih menjalankan tradisi itu31 Selama pelaksanaan khitan dilakukan dengan baik dan tidak berlebihan maka tidak akan timbul dampak buruk seperti yang diisukan. Dan praktik khitan yang terjadi pada masyarakat kampung Pasir Buah dilakukan dengan cara yang tepat dan tidak berlebihan oleh tenaga ahli medis (bidan). Berikut kutipan wawancara penulis dengan responden yang juga seorang bidan: Dan dari bidan sendiri sebelum melakukan khitan memberikan pengertian kepada orang tua bayi bahwasanya khitan itu hanya untuk membersihkan. Dan praktikanya yaitu dengan cara membersihkan dengan kapas DTT disela-sela labia mayor, guna membersihkan kotoran yang menumpuk di bagian itu. Untuk masalah pengambilan bagian yang berwarna putih pada ujung klitoris itu tidak semua dilakukan, karna tidak semua bayi ada bagian kecil yang tumbuh di ujung klitoris yang biasa di ambil saat dikhitan. Dan dalam khitan perempuan yang kami lakukan tidak ada praktik pengguntingan klitoris, karena klitoris merupakan bagian yang lembut dan sensitif, yang akan menimbulkan bahaya apabila dipotong.32 Dari kesimpulan kutipan wawancara diatas bahwa hukum khitan mubah kembali kepada permasalahan maslahat, boleh dilakukan jika memang membawa
31
Wawancara Pribadi dengan Nunung, Karawang, 6 April 2014 Wawancara pribadi dengan bidan Evy Mei. AM Keb. Karawang, 10 April 2014.
32
80
manfaat dan dianggap perlu jika memang kondisi klitoris panjang atau tumbuh bagian ujung klitoris yang perlu dibuang (smegma). Hal ini seperti pernyataan Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm dalam kitab „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd menjelaskan beberapa pendapat ulama khitan bagi perempuan dengan berdasarkan hadis ini: Ada perbedaan antara kaum perempuan al-Masyrîq (wilayah Timur) dan kaum perempuan al-Maghrîb (wilayah Barat). Perempuan wilayah Barat tidak perlu dikhitan karena pada kemaluannya tidak terdapat kelebihan yang dapat dipotong sebagaimana yang disyari‟atkan. Sedangkan perempuan wilayah Timur dapat dikhitan sebagaimana yang disyari‟atkan33. Bahkan disini yang menjadi masalah dalam lingkungan sosial apabila mereka tidak mengkhitankan anak perempuannya. Seperti penuturan salah satu warga kampung Pasir Buah yang penulis wawancarai: “ga mungkin kalo di muslim mah, adat kebiasaan, sehingga akan ada omongan (olok-olok) apabila tidak mengkhitankan anak perempuan.”34 Sehingga sudah dipastikan masyarakat kampung pasir Buah akan tetap menjalankan tradisi khitan perempuan, karena mereka menganggap suatu tradisi yang baik untuk menjalankan syariat Islam. Selagi tidak ada dampak negatif mereka akan tetap yakin dan percaya bahwa khitan untuk perempuan sama baiknya dengan khitan pada laki-laki. Yang justeru akan mendatangkan manfaat. Seperti halnya alasan narasumber yang berprofesi sebagai dosen di PTN Islam UIN Jakarata juga
33
Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm al-Abadi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Jilid XIV, h. 123. 34 Wawancara Pribadi dengan Karji, Karawang, 6 April 2014.
81
berpendapat khitan bagi perempuan itu wajib karena ada manfaat bagi si perempuan yaitu: “Pertama untuk kesehatan pastinya untuk kesehatan. Untuk kepentingan ibadah maka sepatutnya kita membersihkan anggota badan kita, karena disitu menjamin diterima atau tidaknya ibadah kita. Itu yang palling penting. Yang kedua karena percaya dengan hadis Rasul tadi (khitan itu dapat mencerahkan wajah dan menyenangkan suami) apabila meyakini itu. Dan apabila ada dua hikmah itu mengapa kita melakukan kan? Itu saja sudah sangat baik buat perempuan. Yang dicari apa sih dari seorang perempuan yaitu menyenangkan suami.”35 Dan ini ditunjukan dengan presentase 86.6% jawaban responden yang akan tetap melestarikan tradisi khitan perempuan di Kampung Pasir Buah, 6.7 tidak dan sisanya masih ragu-ragu 6.7%. Mengenai pengetahuan mereka tentang peraturan pemerintah yang diterbitkan oleh Mentri Kesehatan melalui Permenkes nomor 1636 tahun 2010 sebanyak 80% mereka menjawab tidak mengetahui dan sisanya 20% mengetahui. Begitu juga mengenai Fatwa MUI tentang hukum pelarangan khitan perempuan mereka yang tidak mengetahui mencapai 86.7% dan sedikit yang mengetahui yaitu 13.3%. Kesimpulan penulis bahwasanya peraturan pemerintah yang membahas khitan perempuan baik dari PERMENKES maupun Fatwa MUI tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Hal ini juga dikarenakan tidak adanya sosialisasi dari pihak dinas kesehatan maupun dari tokoh agama setempat. Dan 73% responden setuju apabila ada pihak tertentu mengadakan sosialisasi tentang khitan perempuan.
35
Wawancara pribadi penulis dengan Sitti Hanah, LC, MAg di Tangerang, pada 16 April
2014.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian terkait dengan judul skripsi Persepsi dan Tradisi Khitan Perempuan di Masyarakat Pasir Buah Karawang : Pendekatan Hukum Islam, penulis dapat menyimpulkan beberapa poin guna menjawab rumusan masalah: 1.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis untuk menjawab permasalahan bagaimana pelakasanaan khitan perempuan di Kampung Pasir Buah bahwasanya masyarakat masih melanggengkan tradisi praktik khitan perempuan. Hal ini ditunjukan dari jawaban responden yang mencapai 100% atas jawaban dalam quesioner menunjukan
mereka
yang sudah penulis sebarkan pada 15 responden
hampir
seluruhnya
telah
mengkhitankan
anak
perempuannya. Dengan usia anak yang dikhitan yaitu 60% anak perempuan dikhitan pada usia 1-7 pasca kelahiran dan 6.7% pada usia 40 hari dan sisanya 33.3% pada usia 1 tahun keatas. Hal ini tergantung pada keyakinan orang tua masing-masing anak. Dengan cara mencolek ujung klitoris dengan presentase 93.3% dan hanya seorang responden yang menjawab (6.7%) khitan dilakukan dengan cara memotong sedikit dari bagian klitorisnya. 2.
Persepsi masyarakat di Kampung Pasir Buah Karawang terhadap khitan perempuan bahwasanya mereka melakukan khitan karena alasan agama dan sunah Rasul. Meskipun mereka berbeda pendapat atas pandangan hukum khitan perempuan 40% responden menjawab hukum khitan perempuan wajib dan 82
83
33.3% menjawab sunnah sisanya 20% menjawab hukum khitan perempuan hanya mubah dan seorang responden tidak mengetahui hukum khitan perempuan (6.7%). Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh penulis yang perlu dianalisis lebih komprehensif yaitu persepsi masyarakat Kampung Pasir buah berdasarkan tujuan dari mengkhitankan anak perempuan mereka yaitu bertujuan untuk mengislamkan si anak. Mayoritas dari mereka beranggapan bahwa khitan merupakan salah satu cara untuk mengislamkan si anak. Padahal kenyataannya dalam syariat hukum Islam tidak ada dalil yang menjelaskan mengenai tujuan khitan perempuan adalah untuk mengislamkan anak, karena anak yang lahir dari seorang muslim maka agama anak tersebut mengikuti agama orangtuanya yaitu Islam meski tanpa dikhitan. Namun persepsi mereka tidak serta merta dibantah karena bisa jadi itu hanya pengqiyasan thaharah sebagai syarat sahnya ibadah sebagaimana tujuan khitan pada laki-laki. 3. Mengenai pelarangan khitan perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari’ah karena khitan baik bagi laki-laki maupun perempuan merupakan fitrah dan syiar Islam. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam Keputusan MUI Nomor 9A Tahun 2008. Pemerintah dari kementrian kesehatan juga mengeluarkan peraturan tentang khitan perempuan sebagai kebijaksanaan terhadap masalah khitan yang sudah menjadi kontrovesi di Indonesia, namun perlu kita ketahui bahwa PERMENKES No. 1636 tahun 2010 Tentang Sunat Perempuan bukanlah suatu legitimasi terhadap keharusan khitan bagi perempuan. Peraturan tersebut merupakan suatu peraturan dalam rangka memberikan perlindungan pada
84
perempuan, pelaksanaan khitan perempuan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan agama, standar pelayanan dan standar profesi untuk menjamin keamanan dan keselamatan perempuan yang dikhitan. B. Saran Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang ingin direkomendasikan: 1. Kepada Dinas Kesehatan,pakar medis dan akademisi yang berkompeten dalam masalah kesehatan perlu mengadakan penelitian lebih mendalam lagi tentang khitan perempuan. Hal ini mengingat belum banyaknya data dari sisi medis yang mengungkap masalah manfaat dari khitan perempuan secara komprehensif. Dan penulis
menyarankan
agar
data
yang
dihasilkan
tidak
mengandung
pendeskriminatifan terhadap salah satu pihak. 2. Perlunya sosialisasi langsung kepada masyarakat khususnya pada masyarakat yang masih melakukan tradisi khitan oleh pakar ahli agama tentang khitan perempuan yang sesuai dengan ajaran syari’at agama Islam. Mengingat dari hasil penelitian penulis banyak masyarakat melakukan khitan yang bersandarkan pada keyakinan akan melakukan tanpa mempertanyakan maksud dari tindakan tersebut. Khitan yang awalnya dalam hadis bertujuan untuk menjaga kehormatan perempuan dan menyenangkan suami. Namun dalam perkembangannya, ketika sudah menjadi ritual yang harus dilaksanakan menjadi kabur tentang maksud pelaksanaan tindakan semula dan mereka-reka makna yang mungkin dimaksudkan oleh khitan perempuan tersebut, yakni untuk meng-Islamkan si anak.
DAFTAR PUSTAKA Buku/ Jurnal/ Skripsi Al-Qur‟an Al-Karim Al-Abadi, Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm. „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd. Jilid 2. Beirȗt: Dȃr al-Kutub al-I‟lmiyah, 1998. Al-Adawi, Syaikh Ali bin Ahmad. Hasyiyatul Adawi „alal Kharsyi. Jilid 3. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah,1997. Al-Albani, Syaikh. Silsilah al-Ahȃdits al-Sahihah. Jilid 5. Riyȃd: Maktabah alMa‟ȃrif, 1995. Al-Asqalȃnȋ, al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajȃr. Edisi Indonesia: Fath al-Bȃrȋ. Penerjemah Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam,2011. __________. Fath al-Bȃrȋ X. Kairo: Dȃr al-Rayyan li al-Turȃts, 1986. __________. Talkhis al-Habȋr fi Takhrȋj Ahadists al-Raȋi‟i al-Kabȋr. Jilid 4. Maktabah Kulliyah Al-Azhariyyah, 1987. Al-Baghwi, Abȋ Muhammad Husain Mas‟ud. Syarh Al-Sunnah. Jilid 1. Bairȗt:Dȃr alKutub Al-I‟lmiyyah, t.th. Al-Baihaqi, al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali. Al-Sunan alKubra. Jilid 8. Makkah: Dȃr al-Bȃz, 1994 Al-Barudi, Imam Zaki. Edisi Indonesia: Tafsir Wanita. Penerjemah Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004. __________. Tafsir Al-Qur‟an Wanita 1, Penerjemah Tim Penerjemah Pena (Jakarta: Pena Pundi Aksara, t.th) h. 43. Al-Bukhȃri, Abi Abdillah Muhammad ibn Ismȃ‟il. Al-Jamȋ‟ Al-Sahih, Jilid 4. AlMatba‟ah Al-Salafiyah. Al-Bukhȃrȋ, Imam Hafiz Muhammad ibn Ismȃ‟il. Al-Adab Al-Mufrad. Beirȗt: Dȃr alKutub Al-I‟lmiyyah, 1986. __________. Sahih al- Bukhȃrȋ. Kairo: Dȃr al-Rayyan li al-Turats,1986.
85
86
Al-Habib, Abd al-Malik. Kitab Adab al-Nisa. Beirut: Dar al-Gharb al-Islam, 1992. Alin, Qrunbum.“The Political Economy of Infibulation” dalam jurnal for Sudanese Studies. Sudan: Karthoum University Press, 1991 Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud. Kairo:Dar alRayyan lit Turats,t.th. Al-Khalafi, Abdul Azhim bin Badawi. Al- Wajiz: Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2001. Al-Manawi, Syamsuddin Abdurrauf. Fayd al-Qȃdir Syarh al-Jȃmi‟ Al-Saghȋr. Jilid 3. Saudi: Maktabah Nazȃr Al-Mustȃfa Al-Bȃz, 1998 Al-Nasai, Al-Hafiz. Sunan al-Nasȃi, Jilid 1. Beirȗt: Dȃr al-Fikr, t.th. Al-Nawawi. Sahȋh Muslim bi Syarh Al-Nawawȋ, Jilid 3. Bairȗt: Dȃr al-Ihyȃ li alTurats Al-„Arabi, 1974. Al-Shieddieqy, T.M. Hasbi. Hukum-Hukum Fiqah Islam. Kelantang: Pustaka Aman Press SDN BHD 1987. Al-Sijistani, Imȃm Sulaimȃn bin Asy‟ats. Sunan Abî Dâwûd. Beirȗt: Dȃr Al-Fikr, t.th Al-Syafi‟i, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf bin Marri Al-Huzama. Syarh al-Nawawȋ li Sahihi Muslim. Jilid 3. Al-Azhȃr: Maktabah Usȃmah AlIslȃmiyyah, t.th Al-Syarbani, Syaikh Syamsuddin Muhammad ibn al-Khatnib, Kitȃb Mughnȋ alMuhtaj. Bairȗt: Dȃr al-Ma‟rifah, t.th. Al-Syaukȃnȋ, Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Autar. Jilid 1. Beirȗt: Dȃr al-Qalam, t.th __________. Ringkasan Nail al- Autar. Cet.II. Jakarta: Pustaka Azzam, 2011. __________. Terjemahan Nail al-Autar. Penerjemah Mu‟ammal Hamidy,dkk. Surabaya: PT.Bina Ilmu,t.th Al-Syinnawi, Syaikh Muhammad As-Sayyid. Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita. Penerjemah Nashirul Haq. Jakarta: Penerbit Mustaqiim, 2003.
87
Al-Tabrȃnȋ. Al-Mu‟jam al-Kabir. Jilid 7. Al-Mushil: Maktabah „Ulum wa alHikam,1983 Al-Tirmidzȋ, Imam. Al-Jami‟ al- Sahih. Beirȗt: Dȃr al-Fikr, 1980. Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamȋ wa „Adillatuhu. Damaskus: Dȃr al-Fikr,1997 Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003. Assyaukanie, Luthfi. POLITIK, HAM, Dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Bali, Wahid Abdus Salam. 474 Ibadah Salah Kaprah. Jakarta: Penerbit Amzah, 2006 Bouhdiba, Abdelwahab. Sexuality in Islam, London, Boston, Melbourne & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1995. Dhawayan, Ibrahȋm bin Sȃlim. Mȃnar al-Sabȋl fi Syarh al-Dalil I. Riyadh: Maktabah Al-Ma‟arif, t.th Fathullah, Ahmad Lutfi. Fiqh Khitan Perempuan (Jakarta: Al-Mughni Press dan Mitra Inti Foundation, 2006. Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1996. Hindi, Maryam Ibrahim. Misteri Di Balik Khitan Wanita. Penerjemah Abu Nabil. Solo: Penerbit Zam-Zam, 2008. Ibnu Taimiyah, Al-Fatwa al-Kubra I. Beirȗt: Dȃr al-Kutub Al-I‟lmiyyah,1987 Ibnu Zakariya, Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris. Kamus Mu‟jam Muqayyisu alLughah. Beirut: Dȃr al-Fikri,t.th. Ibrahim, Najasyi Ali. Al-Khitȃn fȋ Syarȋ‟ah al-Islȃmiyyah. Kairo: Maktabah alTaufȋqiyyah, 1997. Kementrian Agama RI, Tafsir Ilmi “Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains”. Jakarta: Penerbit Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI dan LIPI. “Khitan Perempuan: Praktik Purba Yang Harus Dihapuskan”. Perempuan Bergerak. Edisi III. (Juli-September, 2013)
88
Kleden, Ignas. After the Fact Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog Clifford Geertz. Yogyakarta: LKIS, 1999. __________. Paham Kebudayaan Clifford Geertz. Jakarta: LP3ES, 1988 Koso-Thoma, Olontiko. The Sircumcision of women: A Strategy for Education. London: Zed Book, 1987. Kumala, Poppy, dkk (pent.). Kamus Saku Kedokteran DORLAND, Ed. 25, (Jakarta: EGC, 1998. Majelis Ulama Indonesia (MUI). Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008. Mashuri, Wagino Ali. Kebersihan dan Kesehatan dalam Ajaran Islam. Cet.VI. Pasuruan: PT. GBI Pasuruan, 1995. Mawardi, Ahmad Imam. Fiqh Minoritas. Jakarta: LKIS, t.th. Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzab. Penerjemah: Masykur A.B, dkk. Cet.II. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996. Musyarofah, Riastiani, dkk. “Khitan Perempuan: Tradisi dan Ajaran Agama Yang Menindas.” Jogjakarta: Pusat Stadi Kependudukan dan Kebijakan UGM dan Ford Foundation, 2003. Perempuan Bergerak. Edisi III. (Juli-September, 2013): h. 18-20 Nata Abuddin. Ed. Kajian Tematik Al-Qur‟an Tentang Fiqih dan Ibadah. Bandung: Penerbit Angkasa, 2008. Nurjasmi, Emi. ”Jangan Melakukan Khitan Perempuan”, Perempuan Bergerak, Edisi III, Juli-September, h. 15-16 Qudamah, Ibnu. Al-Mughnȋ. Jilid 1. Kairo: Maktabah al-Qȃhirah,t.th Ramali, Ahmad. Peraturan-Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara‟ Islam. Jakarta: Balai Pustaka, 1951. Sanderson, Lilian Passmore. Against The Mutilation of Women: The Struggle to End Unnecessary Suffering. London: Itacha Press, 1981. Syaikh Manshur bin Yusuf. Al-Raudul Murbi‟. Jilid I. Beirȗt: Dȃr al-Fikr,1985.
89
Syauki, Muhammad. “Khitan Perempuan Perspektif Hadis dan Sirkumsisi Perempuan Menurut WHO”. Skripsi S1 Fakultas Usuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2010. Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010. Utomo, Setiawan Budi. Fikih Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003) cet. ke-1, h. 287. Walgito, Bimo. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset, 2003. “Warta Perempuan: Hapuskan Praktik Khitan Perempuan di Indonesia” , Perempuan Bergerak, Edisi III, Juli-September, 2013, h. 10-11 Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Penerjemah, 1973.
Jakarta:
Yayasan Penyelenggara
Website “Adab Menyambut Kelahiran Bayi Menurut Islam”, Artikel diakses pada 1 April 2014 dari http://ms.m.wikipedia.org/wiki/Adab-menyambut- kelahiran –bayimenurut- islam.html Akbar, Asmaulludin. “Khitan Pada Laki-Laki dan Perempuan,” artikel diakses pada 24 Maret 2014 dari Amalludin-akbar.blogspot.com/2013/makalah-khitan pada laki-laki dan perempuan.html. “Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan”. Kompas.com 26 Juni 2010. Artikel diakses pada 24 Maret 2014 dari http://forum.kompas.com/medis/30607-sunatperempuan-tinjauan-dari-sisi-medis.html. “Menjadi Muslim, Pilihan atau Turunan”. Kompas, tanggal 27 Maret 2013. Diakses pada 1 April 2014 dari http//:m.kompasiana.com/post/read/546310/3/menjadimuslim-pilihan-atau-turunan.html “MUI Anggap Sunat Perempuan Sesuai UUD 1945” Kompas, 21 Januari 2013, Artikel diakses pada 1 April 2014 dari Kompas.com “Pemerintah Pastikan Tak akan Larang Sunat bagi Perempuan”, artikel diakses pada 24 Maret 2014, dari http://suaraborneo.com/?m=201301&paged=3.html
90
Ritzer, George, dkk. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana, 2004. Dalam Jurnal Komunitas diakses pada 1 April 2014 dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas. “Sunat Perempuan: Tinjauan dari Sisi Medis, Kompas.com 26 Juni 2010, artikel diakses pada 24 Maret 2014 dari http://forum.kompas.com/medis/30607-sunatperempuan-tinjauan-dari-sisi-medis.html. “Sunat Wanita Indonesia dan Afrika Berbeda,” Obornew.com, 24 Maret 2014. Artikel diakses pada 24 Maret 2014 dari Obornew.com Wawancara Wawancara Pribadi dengan Ani, Karawang, 6 April 2014. Wawancara Pribadi dengan Dewi, Karawang, 6 April 2014 Wawancara Pribadi dengan Evi Mei, AM Keb. Karawang, 10 April 2014 Wawancara Pribadi dengan Karji, Karawang, 6 April 2014. Wawancara Pribadi dengan Mala, Karawang, 6 April 2014. Wawancara Pribadi dengan Nesih, Karawang, 6 April 2014 Wawancara Pribadi dengan Nunung, Karawang, 6 April 2014. Wawancara Pribadi dengan Oom, Karawang, 6 April 2014 Wawancara Pribadi dengan Oyoh, Karawang, 6 April 2014 Wawancara Pribadi dengan Siti Hanna, Lc. M.Ag. Tangerang, 16 April 2014. Wawancara Pribadi dengan Yayah, Karawang, 6 April 2014
Wawancara pribadi dengan ahli agama Nama
: Siti Hanna
Tempat
: Kampus UIN Jakarta
1. Hukum melaksanakan khitan perempuan serta landasan khitan perempuan? Jawab: Hukum khitan perempuan..dari 4 madzab, madzab yang mengatakan khitan perempuan itu wajib hanya madzab syafi’i sedangkan madzab yang lain hanya sunnah fadhilah, keutamaan saja, karena hadisnya “al hakam wajibu li dzakar wa mukaramatul li nisa” artinya khitan itu wajib bagi laki2 dan sunah untuk perempuan. Ketika membahas kata mukarramah ini lah yang menjadi perbedaan para ulama ada yang mangatakan wajib ada juga yang mengatakan mukaramah ini sebagai kemuliaan bagi perempuan bukan penekanan. Mengapa Madzab syafi’i mngatakan itu wajib karena melihat dari tujuan dari khitan yaitu untuk sama2 untuk thaharah (pembersihan) dan thaharah itu laki-laki maupun perempuan sama2 memerlukan, jika laki2 diwajibkan khitan maka perempuan juga sama, itulah alasannya. Terkait perbedaan hadis yg tadi (hadis ttg khitan) sama2 memakai namun beda persepsinya beda penafsirannya, kalau yang mengatakan tidak boleh karena mereka memakai hadisnya,saya tidak baca teksnya,namun ketika itu Rasulallah mengatakan kepada paraji untuk memotong jangan terlalu banyak karena itu akan menghilangkan itunya (klitoris). Dan ini menunjukan bahwa perkataan Rasalullah ga bilang perintah wajib namun hanya arahan untuk bagaimana lebih berhati2, dan ini untuk perbedaannya. Cuman untuk madzab syafi’i itu wajib. 2. Lalu bagaimana pendapat anda sendri mngenai hukum khitan itu? Jawab: Pendapat saya lebih pada cenderung ke pendapat madzab syafi’i, berarti wajib juga. Alasannya pertama khitan itu termasuk sunah mushib ada 10 sunah mushib yakni bukan sunnah fithroh namun selaras dengan fitrah manusia, diantaranya khitan. Nah ketika dikhitan itu hikmah segala macam maka bukan cuma laki-laki, perempuan juga bisa melakukan, itu (alasan) yg pertama. Khitan juga bisa membedakan mana orang musyrik mana yang lain maka kita perlu berkhitan. kedua karena kesehatan sudah pasti orang muslim lebih memilih alasan kesehatan pertama karena khitan dapat menghindarkan gangguan penyakit. Dan yang dikhitan pada perempuan itu bukan pemotongan namun itu hanya pemahaman orang, namun yang dipotong yg dikasih titik yang diujung yang ada smegmanya itu (tindik bahasa orang
awam). Ketika ditindik akan memperlancar jalur saat hubungan suami istri dan ada hadis yang mengatakan dapat mencerahkan wajah perempuan. 3. Bagaimana pendapat anda mngenai hadis2 tentang khitan yang banyak dinyatakan dhaif? Jawab: Hadis dhaif menjadi kuat ketika banyak diriwayatkan, dan bnyaknya versi hadis yang lain yang intinya sama maka itu saling menguatkan. 4. Apakah ibu pernah mendengar larangan khitan? Dari yang saya tahu, khitan itu kan sebenarnya bukan ajaran agama saja namun juga adat dari ribuan tahun yang lalu hanya bentuknya banyak yang menyakitkan perempuan. Seperti bibir vagina si perempuan harus dijahit untuk dapat memberikan kepuasan pada suaminya saat berhubungan, dan itu sangatlah menyakitkan perempuan, dan itu yang menakutkan sampai ditusuk-tusuk sehingga menimbulkan firgid. Dan ketika Islam datang memberikan anjuran arahan-arahan Khitan berjalan sebagamaiman ajaran nabi Ibrahim karena nabi Ibrahim juga melakukan khitan. Hanya saja ketika itu muncul gerakan-gerakan agar umat Islam yang terserabut dari sebuah fithrah. Apa yang diambil pertama masalah pelarangan jilbab. Khitan itu adalah hal kedua yang dilakukan orang-orang barat untuk dicabut perintahnya, Itu di Mesir. Masalah pertama mengenai jilbab pertama-tama jilbab merupakan wajib, namun menjadi hanya anjuran. Ketika banyak orang-orang yang keluar masuk luar negeri orang barat meragukan kewajiban penggunaan jilbab. Dan ada seorang aktifis perempuan yang keluar negeri dan melepas jilbabnya sebagai simbol bahwa jilbab itu tidak wajib. Sehingga sekarang di Mesir tidak lagi diwajibkan berjilbab. Kemudian orang-orang barat berifikir apalagi setelah jilbab, mungkin sunnah fithroh yaitu masalah khitan perempuan. Ada suatu keluarga miskin dan mereka tidak tahu kalau dia sedang diberdayakan, didatangkan paraji bahwa dia tidak tahu cara khitan bagaimana. Lalu disorot praktek khitan yang salah jadi menggambarkan bahwa praktek khitan perempuan itu menyakitkan perempuan, sebgaimana dengan beritaberita yang telah beredar di masyarkat mengenai korban anak perempuan yang meninggal karena telah dikhitan, dan itu hanyalah rumor di Mesir yang dilakukan oleh orang-orang barat untuk menghapuskan fithrah dari thaharoh yaitu pelarangan terhadap khitan perempuan. Sehingga sejak saat itu PBB memberlakukan pelarangan praktek khitan perempuan dan melarang semua dokter untuk melakukan praktek khitan perempuan, perbuatan itu dapat dipidanakan. Sehingga banyak dokter-dokter Islam menentang itu dan mereka maju ke pengadilan. Pada tingkat pertama mereka (pemerintah) menang. Pada tingkat kedua banding Ikatan Dokter Muslim yang
menang. Pada tingkat ketiga kalah lagi. Sehingga diberlakukan pelarangan praktik khitan perempuan. Untuk saat ini saya belum tahu apakah sudah ada revolusi atas perubahan larangan itu, namun dari yang terakhir saya pulang dari Mesir masih diberlakukan larangan praktik khitan perempuan. Sehingga apabila ingin melakukan khitan perempuan kecuali dilakukan dengan cara ngumpet-ngumpet (diam2), jadi praktek ilegal dan itu lebih bahaya. Di Indonesia juga diberlakukan larangan praktik khitan perempuan, namun masyarakat belum banyak yang tahu sehingga masih tetap melakukan khitan perempuan. Dan bahaya itu karena dokter tidak mau melakukan dan mereka melakukan khitan pada orang yang tidak begitu memahami cara khitan jadi lebih baik ke dokter. Sehingga larangan itu kembali dicabut pada (masyarakat Indonesia). Dan sekarang justru orang-orang yahudi laki-laki, perempuan itu dikhitan. 5. Larangan fatwa MUI dimesir mengenai khitan perempuan? Jawab: Ini merupakan ijtihad pribadi, dia melihat bahwa tidak ada nash yang mewajibkan orang berkhitan, kecuali nash tadi yang digunakan oleh madzab imam Syafi’i. Dan selama masih ada perebadan ulama maka itu merupakan masalah ijtihadiyah, yang mana setiap orang boleh melakukan ijtihad, dan beliau melihat bahwa lebih maslahat tidak mengkhitan perempuan, alasannya lagi-lagi itu asumsi yang dibuat oleh masyarakat internsional bahwa itu menyakiti perempuan. Ketika ada unsur menyakiti itu akhirnya ditutup jalan itu. Alasan kedua selain masalah ijtihad sepihak namun ketika itu beliau posisinya sebagai ketua MUI , maka ia juga harus selaras dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah sudah melarang, maka perlu juga ada legalitas agama. Dan mungkin beliau “al khuruj min al-khilaf” keluar dari perselisihan karena kan rame disana (Mesir) dan itu merupakan masalah yang begitu prinsipil dari pada nanti mengacak-acak persatuan umat Islam maka dibuat satu pendapat saja dengan pemerintah. 6. Dampak negatif khitan perempuan? Jawab: Saya sih belum pernah dengar tentang dampak negatif itu, kalaupun ada itu justru baca dari brita-berita yang kejadiannya jauh dari daerah kita dari keluarga kita, mungkin di brita diberitakan perempuan menjadi frigiditas, itu karena kesalahan dari cara khitan. Kalau sepanjang ini sih tidak pernah menemukan.
Manfaat khitan pr?
Pertama untuk kesehatan pastinya untuk kesehatan. Untuk kepentingan ibadah maka sepatutnya kita membersihkan anggota badan kita, karena disitu menjamin diterima atau tidaknya ibadah kita. Itu yang palling penting. Yang kedua karena percaya dengan hadis Rasul tadi (khitan itu dapat mencerahkan wajah dan menyenangkan suami) apabila meyakini itu. Dan apabila ada dua hikmah itu mengapa kita melakukan kan? Itu saja sudah sangat baik buat perempuan. Yang dicari apa sih dari seorang perempuan yaitu menyenangkan suami. 7. Adakah dampak negatif apabilah perempuan tidak dikhitan? Jawab: Saya pernah mengikuti sebuah perkuliahan di Mesir. Seorang syaikh disana mengatakan bahwa “perempuan tidak dikhitan itu tidak dapat menjaga syahwatnya” sehingga ada hadis yang mengatakan khitan perempuan itu untuk menjaga kehormatan perempuan. Jadi kelihatnnya perempuan itu lebih cuek, jadi khitann merupakan untuk menjaga diri (menjaga iffah). Maka beliau juga mengatakan khitan perempuan itu tidak dengan dokter namun dengan tabib agama. Meskipun ada permepuan yang tidak dikhitan itu bisa menjaga iffah itu alhamdulillah, tapi kita diperintahkan secara umum bahwa untuk menjaga diri perempuan salah satu caranya yaitu dengan dikhitan. Seandainya ada orang yang tidak dikhitan bisa menjaga diri itu alhamdulillah namun kita kan tidak tahu, anak perempuan kita kan masih kecil, kita berusaha mendidik dia, kita mendidik secara teori tapi tetap ajaran2 rasul yang bersifat sunnah seperti khitan perempuan tadi. Banyak positifnya apabila melakukan itu. 8. Perlukah sosialisasi ajaran khitan perempuan kepada masyarakat, karena yang saya ketahui banyak masyarakat yang mengetahui bahwa khitan perempuan itu hanya tradisi.? Jawab: Larangan khitan itu masih baru dicabutnya di Indonesia, dan masih jarang tokoh2 agama yang mengangkat itu. Maka ketika diangkatlah ceramah sosialisasi merupakan kesempatan bagi tokoh agama, mahasiswa ketika KKN, pengajian2, itu merupakan kesempatan untuk mengkomunikasikan hukum khitan perempuan. Jadi tidak hanya paham sekedar ikut2an. Dan selama masih ada yang mengatakan tidak wajib, maka bagi yang tidak melakukan itu tidak berdosa. Hanya saja ketika kita melakukan bukan karena dosa ataupun pahala, namun lebih ke sehat mana (manfaat/faidah) bukan kepada kependekatan dosa pahala. 9. Masyarakat ada yg brpendapat untuk mengislamkan, bagaimana pendapat ibu? Syarat Islam itu sendiri apa?
Jawab: Kalau orang mau masuk Islam atau orang sudah masuk Islam, misal (muallaf). Itu kan dengan khitan bagi laki-laki itu harus wajib dan mungkin itu juga yang terjadi pada pemahaman masyarakat itu bahwa perempuan itu harus dikhitan baru dia jadi Islam. Tadi saya katakan bahwa ketika khitan perempuan msih khilafiyah ya msh perbedaan pendapat maka tidak terkait dnegan dosa dan pahala. Juga tidak terkait dengan agama tentunya. Kalau kita katakan untuk mengislmakan maka berarti perempuan itu tidak dikhitan maka tidak Islam dong, padahal tidak begitu kedudukannya. Nah jadi mungkin saya memahami msyarakat ini mengqiyaskan dengan laki-laki. Syarat orang isalm itu apa sih? Ya mengucap syahadat setelah itu memang harus ibadah, ketika beribadah itu dia harus thaharah, nah ketika harus thaharah itulah baru khitan itu muncul. Karena bagi orang laki-laki sangat menonjol ketika thaharah atau tidaknya ketika dikhitan itu. Jaid larinya kesitu bukan khitan menjadi sayrat islam tapi menjadi sayrat kesucian ibadah itu. 10. Lalu bagaimana dengan bayi yang lahir dari orang tua muslim maka sudah pasti muslim? Jawab: Iya, kita lahir dari keluarga muslim tidak menunggu mengucap syahadat, ya kita lahir maka sudah Islam
Wawancara pribadi dengan ahli medis. Nama
: Evi Mey, AMKeb
Tempat
: Puskesmas Karawang
1.
Sejauh mana praktik khitan perempuan masih berlangsung di masyarkat karawang?
Jawab: Ga, ga semua ya, ga semua masyarakat tu mau mengkhitankan anaknya, jd kita ksh pngertian, klo khitan itu maksudnya sepeerti apa, membersihkan ya, lalu kita kembalikan lagi ke ibunya terutama. Ada yang mau ada yang tidak. Untuk sekarang ini penduduk masyarakat karawang itu masih banyak, ada lah masih banyak sih tidak, tapi masih ada yang membawa bayinya kesini untuk dikhitan. Lalu kita jelasin ya khitan ini untuk membersihkan tidak ada apa-apanya. 2.
Alasan masyarakat lebih memilih datang kepada ahli medis dari pada dukun paraji?
Jawab: Pertama, karena dukun paraji sudah tidak ada, sudah hampir tidak banyak seperti dulu dan mungkin mulut ke mulut ada tetangganya yg di puskesmas ni bisa, jadi dia dateng kesini gitu.. 3.
Bagaimana cara dan metode khitan yang biasa ahli medis lakukan?
Jawab: Kalo disini kita sih membersihkan dg kpas dtt ya disela-sela itu ya labia mayor sama labia minornya itu kita bersihkan dulu, seperti itu. 4.
Kmren saya udah mlakukan wawancara dengan beberapa warga trutama ibu-ibu mereka mngatakan bahwasanya membuang yang putih-putihnya di ujung kelentitnya?
Jawab: Ga semua di ujung itu ada putihnya. Jadi ga semua keadaan bayi ada putihputihnya. Karena putih-putihnya itu ada di labianya itu. Karen mereka masih pake bedak klo habis pipis dibedakin, itu yang kita bersihin. Jadi untuk menggunting atau ini ga. 5.
Kmudian dalam kurikulum bidan sendiri ada ga sih tentang khitan perempuan diajarkan ga?
Jawab: Ga sih ga diajarin, jadi dari kurikulum tidak ada. Ga ada, ga ada sama sekali.
6.
Tujuan dari khitan perempuan itu sendri itu apa?
Jawab: Tujuan dari khitan, khitan itu membersihkan sama halnya dengan laki-laki, semua sama khitan itu kan mungkin ya saya ga terlalu banyak ini hfl arabnya, yang penting intinya membersihkan saja, sama halnya laki-laki kan membersihkan kulitnya dibuka. Jadi hanya membersihkan saja sih, intinya. Jadi ga ada yang namanya memotong sedikitpun dari klitoris itu, ga ada. 7.
Bagamana pendapat anda mengenai manfaat dari khitan perempuan, sebelumnya manfaat khitan perempuan dari sisi medis itu ada ga sih?
Jawab: Ada, untuk kebersihan, jadi klo kita tidak khitan itu kadang dilabia itu numpuk kotoran, itu yang bisa infeksi kan nanti akhirnya masuk ke vagina. Kita mengajarkan kebersihan aja kepada masyarakat. 8.
Bagamana Pendapat anda mengenai mitos bahwasanya khitan perempuan itu dapat mengendalikan libido perempuan, apakah itu benar dan ada hubungnnya dengan penguranga libido perempuan ?
Jawab: Kalo itu sih belum ada penelitian tentang itu, kalo itu sih saya belum bisa jawab, klo masalah pengurangan, perlu ada penelitian satu orang yang disunat dengan yang ini tidak disunat. Jadi sama aja lah ga ada perbedaan. Memang itu kan disitukan pusat syaraf. 9.
Ada juga yang mngatakan brmanfaat saat berhubungan nanti saat si perempuan itu dewasa, dapat mngendalikn libido!
Jawab: Kalo masalah itu ya, hanya mitos aja waktu saya belajar waktu itu intinya prilaku seksual tidak ada ininya tergntung kitanya aja? 10. Adakah dampak negatif dari khitan perempuan? Jawab: Kalo berlebeihan ada dampak negatif mungkin ada ya, yang digunting itu ya, tapi kalo misalkan yang selama ini standar-satndar aja ga masalah.