PERSEPSI MASYARAKAT ISLAM TERHADAP TRADISI SADRANAN DI DESA TUMANG KECAMATAN CEPOGO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam
Oleh SITI NURHIDAYAH NIM 11408130 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2010
KEMENTRIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721 Website : www.stainsalatiga.ac.id E-mail :
[email protected]
PENGESAHAN KELULUSAN Skripsi saudara : Siti Nurhidayah dengan Nomor Induk Mahasiswa 11408130 yang berjudul Persepsi Masyarakat Islam terhadap Tradisi Sadranan di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali Tahun 2010
telah
dimunaqosahkan dalam Sidang Panitia Ujian Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, pada hari Selasa tanggal 25 Septeber 2010, dan telah di terima sebagian dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I.)
Salatiga, 25 Septenber 2010 Panitia Ujian
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Di mana ada kemauan, Di siitu ada jalan Setiap jalan terdapat banyak kesempatan Kesempatan adalah pilihan Hanya ada satu kata Tidak ada yang abadi melainkan perubahan
www.sitinurhidayah.com
PERSEMBAHAN Untuk orang tuaku, Keluarga dan Sahabatku Teman seperjuangan di HMI Cabang Salatiga Dan teman spesialku yang selalu setia menemaniku di saat senang dan sedihku Terimakasih untuk semuanya YAKUSA
ABSTRAK Nurhidayah,Siti. 2010. Persepsi Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Sadranan Di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali Pembimbing : Dra. Nur Hasanah, M.Pd Kata Kunci : Persepsi Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Sadranan Penelitian ini upaya untuk mengetahui Persepsi Masyarakat Islam Terhadap Tradisi Sadranan Di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, pertanyaan pertama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah pemahaman masyarakat terhadap tradisi sadranan di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.? (2) Bagaimanakah masyarakat memahami bahwa tradisi sadranan mengandung nilai-nilai keagamaan? (3) Bagaimanakah masyarakat memahami bahwa tradisi sadranan masih di lestarikan di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali? Untuk menjawab Pertanyaan itu maka penulis mencoba menggunakan dengan pendekatan penelitian Kwalitatif Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme . Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila Nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, makmur, dan tenteram Berdasarkan pada yang telah diuraikan dalam analisis pembahasan masalah, landasan teori, data dan wacana yang berkembang, maupun untuk memenuhi tujuan penelitian ini, peneliti berkesimpulan (1) Bahwa benar masyarakat di Desa Tumang memiliki pemahaman yang baik terhadap tradisi sadranan, terbukti dari jawaban beberapa responden, hampir seluruhnya memiliki jawaban yang sama, disamping itu dari data pengamatan peneliti masyarakat di Desa Tumang memahami makna tiap kegiatan yang mereka jalani dimulai dari makna sesaji, tatacara upcara, hingga silaturahmi (2) Bahwa benar tradisi sadranan memiliki muatan religius atau keagamaan yang sangat kental dan alami, dari data terdahulu diungkapkan bahwa dalam setiap kegiatan yang dilakukan, kesuluruhan mengandung makna keagamaan yang sangat kental yaitu tiga unsur yaitu Amal, Ikhlas dan Syukur (3) Bahwa Tradisi sadranan di Desa Tumang, kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, merupakan salah satu tradisi jawa yang bersifat sosial religius dan masih hidup sampai sekarang, sebagai inventarisasi salah satu kekayaan budaya jawa yang perlu dilestarikan .
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: SITI NURHIDAYAH
NIM
: 11408130
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 10 Agustus 2010 Yang menyatakan
SITI NURHIDAYAH
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan taufiq serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang menurut penulis amat berat ini. Dan semoga shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan keharibaan Rasulullah Muhammad SAW. serta para sahabat dan para pengikutnya. Skripsi
merupakan
kewajiban
setiap
mahasiswa
dalam
rangka
memperoleh gelar kesarjanaan. Oleh karena itu penulis menyusun skripsi yang berjudul “ PERSEPSI MASYARAKAT ISLAM TERHADAP TRADISI SADRANAN DI DESA TUMANG KECAMATAN CEPOGO KABUPATEN BOYOLALI dengan selesainya skripsi ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada : 1.
Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga, yang telah memberi kesempatan penulis untuk menuntut ilmu di lembaga tersebut.
2.
Ibu Dra. Nur Hasanah, M.Pd yang selalu memberi motivasi dan membimbing sampai terselesaikanya skripsi ini.
3.
Bapak/ibu dosen jurusan tarbiyah STAIN Salatiga, yang dengan ilmunya, penulis menjadi tambah wawasan.
4.
Bapak Kepala Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali
5.
Seluruh teman – teman yang turut membantu terselesainya skripsi ini.
Semoga segala bentuk bantuan mendapat balasan dari Allah SWT, Amin
Salatiga, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………..................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………
iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………………………
iv
HALAMAN ABSTRAK……………………………………………….
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN…………………………..
vi
KATA PENGANTAR………………………………………………….
vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………
viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……………………………………………......... 1 B. Perumusan Masalah…………………………………………….. 5 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 6 D. Kegunaan Penelitian ………………………………………….... 6 E. Penegasan Istilah ……………………………………………….. 7 F. Metode Penelitian………………….……………………………. 8 G. Sistematika Penulisan Skripsi……...………………………........ 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Tradisi Kebudayaan Nyadran….......……… 17 1. Landasan Historis Kebudayaan Jawa...………………………14 2. Sadranan Dalam Tradisi Jawa......................………………… 22 3. Hikmah Sadranan..................................................................... 23 4. Ritual Sadraan.......................................................................... 26 B. Tradisi Kebudayaan Nyadran Dalam Pandangan Islam................ 29 BAB III PAPARAN DATA DAN TAEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Tumang.......……………………………33 1. Letak Geografis...................... ………………………………. 33 2. Kondisi Keagamaan... …………………………...…………. 33 3. Kondisi Sosial.... …………………………………………… 33 B. Profil Tradisi Sadranan di Desa Tumang…..………………........ 34
1. Sejarah Tradisi Sadranan................…………………………. 34 2. Pelaku Tradisi Sadranan…………………………………….. 35 3. Ritual Tradisi Sadrtanan ......................................................... 36 4. Nilai Keagamaan...................................................................... 38 BAB IV PEMBAHASAN A. Tinjauan Ritual Budaya Sadranan .....………………………….. 42 B. Tinjauan Nilai Ke-Islaman Sadranan........................................... 45 C. Tinjauan Pelestarian Tradisi Sadranan.................................... 49 D. Analisis Data................................................................................. 56 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………...... 57 B. Saran ………………………………………………………........ 58 C. Pentup............................................................................................ 58 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...... 59 LAMPIRAN – LAMPIRAN …………………………………………...... 60
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan sosial budaya masyarakat pada umumnya meliputi berbagai aspek kehidupan dan kehidupan peradaban manusia yang terus menerus mengalami perkembangan. Agama merupakan salah satu unsur yang mendominasi kehidupan sosial suatu masyarakat. Di Indonesia mempunyai beberapa jenis agama yang dianut oleh masyarakatnya. Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia yang sangat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama Islam dan agama-agama lain di Indonesia telah disyahkan dan dijadikan sebagai pedoman hidup yang berisi norma-norma atau kaidah-kaidah dalam masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang. Kemunculan berbagai ritual kebudayaan di berbagai daerah mempunyai karakteristik tersendiri di tiap daerahnya, hal itu disebabkan adanya perbedaan keadaan lingkungan dan sebagian besar lahir atas peninggalan nenek moyang di daerahnya, sehingga budaya merupakan harta yang tak ternilai bagi pelaku budaya, karena budaya merupakan pencipta peradaban yang kuat. Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama nyadran atau sadranan merupakan ungkapan refleksi sosial-keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran
dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah. Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan
yang
memiliki
kesamaan
dalam
ritus
dan
objeknya.
Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam
leluhur,
selamatan (kenduri),
membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari
daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama. Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan
hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan. Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya,
seperti budaya
gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar. Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda. Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan
Tuhan
meningkatkan
dan
masyarakat
pengembangan
(sosial),
kebudayaan
sehingga dan
akhirnya
tradisi
yang
akan sudah
berkembang menjadi lebih lestari. Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme . Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status
sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi, saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya, rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram. Nyadran dalam konteks Indonesia saat ini telah menjelma sebagai refleksi, wisata rohani kelompok masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari. Masyarakat, yang disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak menyedot tenaga sekaligus (terkadang) sampai mengabaikan religiusitas, melalui nyadran, seakan tersentak kesadaran hati nuraninya untuk kembali bersentuhan dan bercengkrama dengan nilai-nilai agama Dari uraian tersebut di atas, peneliti sangat tertarik dan mencoba untuk
melakukan
sebuah
penelitian
yang
berjdul
:
PERSEPSI
MASYARAKAT ISLAM TERHADAP TRADISI SADRANAN DI DESA TUMANG KECAMATAN CEPOGO KABUPATEN BOYOLALI. B. Perumusan Masalah Budaya merupakan peninggalan nenek moyang harus kita lestarikan, akan tetapi tentunya sebagai umat beragama kita wajib melestarikan budaya tersebut dengan tidak bertentangan pada Al-Qur’an dan Hadist, Beberapa permasalahan dapat dirinci dari problem pokok tersebut yaitu : 1. Bagaimanakah pemahaman masyarakat terhadap tradisi sadranan di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.?
2. Bagaimanakah
masyarakat
memahami
bahwa
tradisi
sadranan
mengandung nilai-nilai keagamaan? 3. Bagaimanakah masyarakat memahami bahwa tradisi sadranan masih di lestarikan di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali? C. Tujuan Penelitian Secara Umum hal yang harus dicapai dlam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap tradisi sadranan di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. 2. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat memahami bahwa tradisi sadranan mengandung nilai-nilai keagamaan. 3. Untuk mengetahui apakah masyarakat memahami bahwa tradisi sadranan masih di lestarikan di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara teoritik guna menyumbangkan wacana baru dalam dunia sosial dan budaya, mengenai adanya ritual “nyadran” oleh warga muslim di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.. Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan pemahaman, pertama kepada masyarakat muslim tentang budaya-budaya yang mereka miliki dalam sudut pandang agama, kedua penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para tokoh masyarakat setempat mengenai ritual ini sehingga dalam proses pelaksanaanya sesuai dengan ajaran agama Islam.
E. Penegasan Istilah 1. Pengertian Tradisi Tradisi adalah peristiwa budaya yang merupakan warisan dari para pendahulu kita yang telah mewariskan nilai budaya yang tinggi sehinga menjadikan identitas yang kuat serta mengakar dikaangan masyarakat (Purwadi, 2007:546) 2. Pengertian Persepsi a. Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses menerimam menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada rangsangan panca indera atau data (Sobur, 2009:446) b. Menurut muhadjir dalam sobur (2009:445) persepsi adalah suatu proses dengan nama individu atau organisasi dan menafsirkan kesankesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka atau objek yang diamati Dari beberapa pengertian di atas, dapat di garis bawahi bahwa maksud dari judul penelitian ini adalah penafsiran masyarakat muslim tentang kegiatan yang rutin di lakukan yaitu sadranan. Indikator Penelitian 1. Ritual yang diadakan tiap bulan safar dan ruwah 2. Kunjungan makam 3. Pembersihan Makam 4. Perwujudan Rasa Syukur 5. Pelestarian Budaya
6. Silaturahmi 7. Pesta rakyat F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif dipandang sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku ini dapat diamati terhadap faktafakta yang ada saat sekarang dan melaporkanya seperti apa yang akan terjadi. Pendekatan kualitatif ini berkaitan erat dengan sifat unik dari realitas sosial. Menurut sifatnya data kualitatif adalah data yang tak berbentuk bilangan (Hasan, 2003:32), data kualitatif yaitu semua bahan, keterangan, dan fakta-fakta yang tidak dapat dihitung dan diukur secara matematis karena berwujud keterangan verbal (kalimat dan kata). Serta lebih bersifat proses. Data kualitatif hanya dapat digolongkan dalam wujud kategori-kategori. Misalnya pernyataan orang tentang suatu keadaan bagus, buruk, mencekam, menarik, membosankan, sangat istimewa dan sebagainya. Hakekatnya adalah manusia sebagai makhluk sosial, psikis, dan budaya yang mengaitkan makna dan interpretasi dalam bersikap dan bertingkah laku. Makna interpretasi itu sendiri dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan sekitar.
2. Kehadiran Peneliti Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai instrumen penelitian, artinya peneliti terjun langsung ke lapangan untuk proses penelitian dan pemgumpulan data, adapun karakteristik dalam penelitian ini adalah : Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sistim wawancara tidak berstruktur, peneliti memungkinkan melakukan hal tersebut. Dengan latar belakang kebudayaan, artinya peneliti memiki pengetahuan dasar tentang ritual kebudayaan sadranan sehingga memungkinkan untuk mengembangkan pertanyaan untuk wawancara secara mendalam di lapangan. Peneliti mengadakan komunikasi dengan objek penelitian memakai bahasa Jawa Krama Alus, yang memungkinkan komunikasi lebih akrab dan mudah dipahami sehingga akan terjalin baik antara peneliti dan responden. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data secara terperinci mengenai hal-hal yang bertalian dengan permasalahan yang sedang diteliti, misalnya mengenai pelaksanaan sadranan di tempat penelitian, pandangan kepala daerah setempat mengenai konsep dasar sadranan, kondisi lingkungan tempat penelitian dan lain sebagainya.
3. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan difokuskan pada persepsi Masyarakat Islam terhadap tradisi sadranan di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. 4. Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh melalui sumber lapangan. Sumber data lapangan adalah Kepala daerah pemangku adat, warga Desa Tumang sebagai pelaku budaya dan ulama setempat. Sedangkan sumber sekunder yaitu dokumen-dokumen yang merupakan hasil laporan, hasil penelitian, serta buku-buku yang ditulis orang lain tentang persepsi Masyarakat Islam terhadap tradisi sadranan di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali.. 5. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, wawancara mendalam untuk menggali informasi lebih dalam mengenai pikiran serta perasaan responden, untuk mengetahui lebih jauh bagaimana responden memandang dunia berdasarkan perspektifnya. Wawancara dilakukan dalam bentuk percakapan informal dengan menggunakan lembaran berisi garis besar tentang apa-apa yang akan ditanyakan, yaitu : a. Pengalaman responden dalam mengikuti tradisi sadranan.
b. Pendapat, pandangan, tanggapan, tafsiran atau pikiran responden tentang tradisi sadranan c. Pendapat, pandangan, tanggapan, tafsiran atau pikiran responden (ulama) tentang tradisi sadranan d. Latar belakang responden mengenai pendidikan, pekerjaan, daerah asal, keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya. 6. Analisis Data Data dalam penelitian kualitatif sangat beragam bentuknya, ada berupa catatan wawancara, rekaman suara, gambar, foto, peta, dokumen, bahkan rekaman pada shoting lapangan. Analisis data adalah Melakukan perbandingan antara bagian dengan keseluruhan, dengan memakai proporsi, lalu menyimpulkan (Hasan, 2003:31). analisis data ini sendiri akan dilakukan dalam tiga cara yaitu : a. Reduksi Data Data yang diperoleh dilapangan ditulis dalam bentuk uraian yang sangat lengkap dan banyak. Data tersebut direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok, difokuskan kepada hal-hal yang penting dan berkaitan dengan masalah, sehingga memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil wawancara. reduksi dapat membantu dalam memberikan kode kepada aspek-aspek yang dibutuhkan.
b. Pengkajian data Analisis ini dilakukan untuk mengkaji data-data yang telah tereduksi dengan kajian ilmu yang berhubungan dengan tema penelitian, dalam hal ini data-data wawancara yang diperoleh di lapangan tentang tradisi sadranan c. Kesimpulan dan Verifikasi Data yang sudah dipolakan, difokuskan dan disusun secara sistematis baik melalui reduksi dan pengkajian data kemudian disimpulkan
sehingga
makna
data
bisa
ditemukan.
Namun
kesimpulan itu baru bersifat sementara saja dan bersifat umum. Supaya kesimpulan diperoleh secara lebih mendalam, maka diperlukanya data yang baru sebagai penguji terhadap kesimpulan di awal tadi. 7. Pengecekan Keabsahan Temuan Teknik pemeriksaan data dalam penelitian ini dilaksanakan berdasarkan beberapa kriteria tertentu, yang dibagi menjadi empat kriteria yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan keabsahan, yaitu : a. Derajat Kepercayaan (Credibility) Kredibilitas ini merupakan konsep pengganti dari konsep validitas internal dalam penelitian kuantitatif, Kriteria kredibilitas ini berfungsi untuk melakukan penelaahan data secara akurat agar tingkat kepercayaan penemuan dapat dicapai. Adapun teknik dalam menentukan kredibilitas ini adalah memperpanjang masa observasi,
menganalisis
kasus
negatif,
menggunakan
bahan
referensi,
membicarakan dengan orang lain serta member check. b. Keteralihan (transferability) Konsep ini merupakan pengganti dari vadilitas eksternal dalam penelitian kuantitatif. Validitas eksternal diperlukan dalam penelitian
kuantitatif
untuk memperoleh
generalisasi.
Dalam
kualitatif generalisasi tidak dipastikan, ini bergantung pada pemakai, apakah akan dipastikan lagi atau tidak, karena tidak akan terjadi situasi yang sama. Transferability hanya melihat kemiripan sebagai kemungkinan terhadap situasi-situasi yang berbeda. Teknik yang digunakan untuk transferabilitas ini dilakukan dengan uraian rinci (Thick descrition) c. Kebergantungan (Dependendability) Konsep ini merupakan pengganti dari konsep reability dalam penelitian kuantitatif, reability tercapai bila alat ukur yang digunakan secara berulang-ulang dan hasilnya sama. Dalam penelitian kualitatif, alat ukur bukan benda melainkan manusia atau si peneliti itu sendiri. Lain dari pada itu, rancangan penelitian terus berkembang. Yang dapat dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah pengumpulan data sebanyak mungkin selama penelitian. Teknik yang digunakan untuk mengukur kebergantungan adalah auditing, yaitu pemeriksaan data yang sudah dipolakan.
d. Kepastian (confirmability) Konsep ini merupakan pengganti dari konsep objektifitas pada penelitian kuantitatif. Bila pada kualitatif, objektifitas itu diukur melalui orangnya atau penelitianya. Diakui bahwa peneliti itu memiliki pengalaman subjektif. Namun, bila pengamatan tersebut dapat disepakati oleh beberapa orang, maka pengalaman peneliti itu bisa dipandang objektif. Jadi persoalan objektifitas dan subjektifitas dalam peneliti kualitatif sangat ditentukan oleh seseorang (Pohan, 2007:140). 8. Tahap-Tahap Penelitian a. Kegiatan admisnistratif yang meliputi : pengajuan ijin operasional untuk penelitian dari ketua STAIN Salatiga kepada pihak kepala desa, yaitu kepala Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, menyusun pedoman wawancara dan administrasi lainnya. b.
Kegiatan lapangan yang meliputi 1) Survei awal untuk mengetahui gambaran lokasi 2) Memilih sejumlah warga dan pemangku adat sebagai informen yang dilanjutkan dengan responden penelitian. 3) Melakukan observasi lapangan dengan melakukan wawancara sejumlah
responden
pengumpulan data
maupun
informen
sebagai
langkah
4) Menyaji data dengan susunan dan urutan yang memungkinkan memudahkan dalam melakukan pengkajian data 5) Mereduksi data dengan cara membuang data-data yang lemah atau menyimpang, setelah mulai tampak adanya kekurangan data sebagai akibat proses reduksi data 6) Melakukan verifikasi untuk membuat kesimpulan-kesimpulan sebagai deskriptif temuan penelitian 7) Menyusun laporan akhir untuk dijilid dan dilaporkan Penelitian ini dilaksnakan dengan asisten peneliti dan memakan waktu selama 90 hari dengan rincian alokasi waktu sebagai berikut : 1) Persiapan (pengurusan ijin, penyusunan desain operasional, dan pembuatan instrumen, pengumpulan data) selama 15 hari 2) Pengumpulan data selama 35 hari 3) Pengolahan dan analisis 20 hari 4) Penyusunan laporan selama 15 hari 5) Revisi dan penggandaan selama 5 hari G. Sistematika Penulisan Skripsi Dalam memahami skripsi ini, maka perlu diketahui tata urutan penulisanya, adapun tata urutanya sebagai berikut : BAB I
:
PENDAHULUAN Pendahuluan memuat : latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan
istilah,
metode penelitian dan sistematika penulisan
skripsi. BAB II
LANDASAN TEORI Landasan teori berisi tentang teori-teori yang berhubungan dengan variabel penelitian yaitu : tradisi yang meliputi pengertian, tata cara, dan hal-hal yang berhubungan dengan sadranan persepsi yang meliputi pengertian dan faktor yang berhubungan.
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Metode penelitian berisi tentang jenis penelitian, subyek dan obyek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengambilan sampel dan analisis data.
BAB IV
PEMBAHASAN Pada
bab
ini akan menguraikan
analisis
tentang
pandangan masyarakat, pemuka adat, terhadap persepsi Masyarakat Islam terhadap tradisi sadranan di Desa Tumang Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. BAB V
PENUTUP Berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran yang berhubungan dengan pihak terkait
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Tradisi Kebudayaan Nyadran 1.
Landasan Historis Kebudayaan Jawa Soerjano dalam Maryati (2003:9) Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta “budhayyah” yang merupakan bentuk jamak dari kata “Buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersngkutan dengan budi atau akal. Lebih lanjut dikatakan oleh E.B, Tylor memberikan definisi yang diterjemahkan sebagai berikut: “Kebudayaan
adalah
kompleks
yang
mencangkup
pengetahuan,kepercayaan kesenian,moral,hukum,adat istiadat dan
lain-lain
kemampuan-kemampuan
serta
kebiasaan-
kebaasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat” ( Soerjano S, 1982 :133 ) Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi
(1974 : 133)
Merumuskan Kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Karya
masyarakat
menghasilkan
teknologi
dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan kejasmaniah (material culture) yang diperlukan ole manusia untuk menguasai alam sekitarnya,agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan pada keperluan mayarakat”
Dari berbagai pengertian diatas, secara global dapat peneliti rangkuman sebagai berikut : Kebudayaan adalah segala hasil budaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Budi berarti cipta, rasa dan karsa, sedang daya berarti kekuatan, sehingga budidaya dapat diartikan kekuatan dari cipta, rasa, dan karsa. Cipta merupakan kekuatan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain yang menghasilkan filsafah serta ilmu, pengetahuan. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan, guna mengetahui masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Cipta dan rasa dapat dinamakan kebudayaan rohaniah (spiritual atau imaterial Cultural). Karsa yaitu kehendak yang menentukan kegunaan agar sesuai dengan kepentingan
sebagian besar
atau
dengan seluruh masyarakat.
Kebudayaan jawa adalah hasil budaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berkaitan dengan kehidupan mayarakat di Jawa ( Soerjano S, 1982 :168 ) Berkembangnya suatu kebudayaan berada ditengah – tengah kehidupan sosial masyarakat, sesuai dengan berbagai kebutuhan dan atau berbagai kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat dimaksud karsa
masyarakat,
mewujudkan
norma-norma
dan
nilai-nilai
kemasyarakatan yang perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Semuanya tadi merupakan pengetahuan
yang bersifat sosiologis, yakni adanya hubungan-hubungan sosial dalam membentuk kebudayaan masyarakat.
Sosiologi bukan ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetauan kerohanian. Bagaimana perilaku gunung merapi itu, merupakan permasalahan pengetahuan alam, sedang mempelajari Islam adalah peersoalan agama atau kerohanian. Akan tetapi bagaimana usaha masyarakat untuk menghidari bagaimana cara gunung merapi, maupun usaha bersama masyarakat dalam rangka mendirikan tempat ibadah, adalah masyarakat dalam bidang sosiologi. Sosiologi jawa, dapat diterangkan sebagai mebicarakan masyarakat jawa dengan seluruh keidupannya (Soerjano S, 1982:5 ). Pada umumnya orang jawa, cenderung mempunyai kesadaran tinggi terhadap orang-orang lain. Dalam kehidupan orang tidaklah sendiri, melainkan orang-orang mengelilingi masing-masing pribadi sehingga membentuk masyarakat. Adalah hal yang sangat bijaksana bilamana dalam kontak kehidupan bermasyarakat berlangsung tanpa perselisihan, mau mengakui secara sopan kehadiran atau keberadaan orang lain. Dari sudut pandang sosiologi, kehdupan kemasyarakatan jawa telah memilik pranata-pranata yang sudah berlangsung lama, dari nenek moyang leluhur jawa dan diwariskan secara turun temurun. Dari generasi ke generasi, sehingga menjadi adat istiadat yang mentradisi dalam kehidupan bersama. Pranata itu ada pada setiap sendi kehidupan
masyarakat jawa, bak dalam rangka menata hubungan antar individu, antara individu dengan kelompok dan atau masyarakat,antar kelompok, antar kelompok dengan masyarakat, begitu pula sebaliknya, maupun menata kehidupan bersama demi kehidupan yang baik. Pranata-pranata tersebut bersifat mengikat, wajib dipatuhi oleh seuruh anggota masyarakat dan dijaga eksistensinya. Pelanggaran atas pranata akan mendapatakan sangsi dari masyrakat, yaitu berupa sangsi sosial yang bergantung atas kualitas atau tigkat pelanggarannya Sebagaimana diuraikan diatas, disamping sikap sopan santun, prinsip rukun dan hormat, pranata-pranata dalam kehidupan sosial masyarakat jawa antara lain berbentuk catatan kehidupan berbau mitos, sesuau yang dianggap gawat atau ”Wingit”, maupun yang mengarah kepada pemujaan kepada Tuhan. Pranata-pranata jawa juga disebut ”Kejawen” atau kejawaan yang yang merupakan suatu cap Deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan jawa yang dianggap sebagai hakekatnya jawa. Sebagai suatu sistem pemikiran, ”Kejawen” lengkap pada dirinya yang berisikan kosmologi, meteologi, seperangkat konveksi yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya jawa. Sebenarnya nilainilai hidup orang jawa adalah sabar, rilo, dan narimo yang merupakan nilai hidup dari pangestu sebagai usaha manusia untuk mengambil jarak terhadap ”jagad cilik”nya serta kemudian murni menjadi urusan Tuhan. (Murtadho,2002:15)
Sosiologi jawa, selalu membantu penafsiran terhadap kehidupan sosial masyarakat Jawa kedalam tempat pembagian tipe ideal, yaitu Santri, Abangan, Priyayi, dan Wong Cilik. Santri terdiri atas orangorang yang memeluk dan melaksanakan ajaran Islam. ”Abangan” merupakan kategori bagi orang-orang jawa yang mengaku islam namun kurang
atau
tidak
menjalankan
syriatnya,
bahkan
cenderung
menjalankan ajaran ”Kejawen” seperti ”Slamatan” atau bersaji, ”Sesirih”, atau ”Laku Tapa” atau bersemedi dan sebagainya. ”Priyayi” dalah golongan masyarakat Jawa yang dianggap elite atau kelas atas baik dalam ukuran Derajat, Pangkat, maupun Samat atau dilihat dari prespektif derajat keturunannya, pangkat jabatannya, ataupun kekayaanya. ”Wong Cilik” artinya masyarakat kelas bawah, tipe orang-orang seperti ini sering disebut ”Pidak Pedaraan” atau masyarakat kebanyakan. Dari keempat tipe ideal masyarakat Jawa tersebut terjalin hubungan-hubungan sosial, sehingga menimbulkan pengalamanpengalaman dan perubahan-perubahan sosial dan perkembangan kehidupan sosial. Artinya bahwa pada suatu saat keempat kategori tipe ideal masyarakat Jawa dimaksud dapat bersama-sama dalam suatu aktifitas yang dikehendaki bersama dan pada kesempatan yang lain masing-masing
melaksanakan
kehendaknya
sendiri-sendiri
atau
kelompoknya. Begitu pula kali lainnya aktifitas hubungan hanya dilakukakan oleh dua atau tiga kategori saja. Demikianlah proses-
proses perubahan budaya yang berlangsung dalam kehidupan sosial masyarakatnya. 2.
Sadranan Dalam Tradisi Jawa Sadranan adalah suatu tradisi masyrakat Jawa telah berlangsung turun temurun, sejak nenek moyang leluhur Jawa hingga sekarang. Oleh masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah, tradisi sadranan masih dilaksanakan dan dipertahankan eksistensinya. Pada umumnya tradisi sadranan bertujuan untuk menghormati arwah leluhurnya dengan mendatangi kuburannya dan mendoakannya. Kegiatan tersebut pada prinsipnya seperti halnya ziarah kubur. Sadranan berasal dari bahasa arab ”Shod’ron” yang artinya mendekatkan diri pada Allah. Dalam hal ini nampak jelas adanya pengaruh Islam sangatlah kuat, dilihat dari istilah maupun maksudnya. Di dalam ajaran Islam salah satu cara pendekatan diri kepada Allah adalah dengan berbakti kepada orang tua yang disebut ”Birul Walidain”. Allah akan memberikan sayang sebanding rasa sayangnya kepada orang tua, demikianlah salah satu ajaran Islam yang berkembang didalam kehidupan sosial masyarakat Jawa. Berangkat dari ajaran tersebut kemudian berkembang secara luas menjadi tradisi Jawa dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa termasuk yang beragama Islam, sampai sekarang dengan istilah sadranan. Sadranan dalam tradisi Jawa mrupakan kegiatan pewarisan serangkaian kebiasaan dari nilai-nili generasi ke generasi berikutnya
(Budhi Santosa, 1984:18) Berkaitan tentang hal itu lebih komplit dijelaskan bahwa pelaksanaan tradisi sadranan dikandung untuk menjaga hubungan serasi dan harmonis baik vertikal maupun horizontal, manusia melakukan upacara ritual sebagai kelakuan baku. Dimana pelaksanaan ritualnya berorientasi pada tokoh mitos yang diangkat dan diyakini karena karismanya dianggap mampu melindungi dan memberikan kesejahteraan serta ketentraman hidup bagi kehidupan masyarakatnya (Budhi Santosa,1984:219). Sebagai tradisi Jawa, sadranan merupakan pelaksanaan ritual yang bersifat sosial religius yang maksudnya mencakup aspek sosial berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan kemasyarakatan, serta aspek religius yaitu berhubungan dengan kewajiban dan atau kepentingan berketuhanan. Tradisi sadranan adalah milik bersama dilaksanakan dengan jiwa dan semangat kebersamaan masyarakat Jawa sebagai persembahan kepada Tuhannya. 3.
Hikmah Sadranan Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban ini dinamakan dengan bulan Ruwah. Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah berasal dari kata ngluru dan arwah. Dalam pandangan falsafah jawa, bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat yang tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur. Selama bulan Ruwah itu masyarakat Jawa mengadakan upacara Nyadran (berasal dari kata Sraddha), mengunjungi makam leluhur
untuk membersihkan makam dan menabur bunga. Upacara Sraddha ini sudah dilakukan sejak jaman Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap bulan Ruwah. Ritual slametan Nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya menyelenggaran upacara Nyadran secara umum (komunal) yang diselenggarakan pada siang hari hingga sore. Masingmasing warga membuat tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk sama-sama mengadakan do’a dan makan bersama (kenduri). Ada juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan do’a bersama di makam. Menu makanan yang dipersiapkan biasanya berupa nasi gurih dan lauknya. Sebagai sesaji, terdapat makanan khas yaitu ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis makanan ini dipercaya memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan (khotho’an), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem sebagai simbol permintaan maaf. Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir
dalam setiap upacara/slametan yang terkait dengan kematian. Makna yang terkandung dalam sesaji ini adalah agar arwah mendapatkan tempat yang damai di sisi-Nya. Sementara itu di masyarakat yang lain ada yang mengemas makanan itu ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi. Selain dipakai untuk munjung (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, makanan itu juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari makanan tadi. Selanjutnya, acara puncak sadranan itu dimulai dengan membersihkan makam. Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, tokoh desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois,
maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anakanak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Fenomena yang dipaparkan di atas menunjukkan bagaimanakah keislaman masyarakat jawa. Pada umumnya keislaman masyarakat jawa masih berupa Islam pelangi, warna warni dan campur aduk. Dalam satu hal mereka mengaku sebagai muslim tetapi di sisi lain masih melakukan praktik peninggalan Majapahit yang bercorak Hindu. Tetapi hal ini tidak dipersoalkan oleh masyarakat karena ada beberapa persamaan. Di antara persamaannya adalah dalam berziarah, soal cara berbeda hal itu bisa dimaklumi karena agamanya berbeda. 4.
Ritual Sadranan Bagi masyarakat Jawa, kegiatan tahunan yang bernama Nyadran
atau
sadranan
merupakan
ungkapan
refleksi
sosial-
keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritus ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Nyadran dalam tradisi Jawa biasanya dilakukan pada bulan tertentu, seperti menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah.
Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritus dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya, di mana Nyadran biasanya ditentukan waktunya oleh pihak yang memiliki otoritas di daerah, dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif. Tradisi Nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan Nyadran masih kental dengan budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam oleh Wali Songo. Secara sosio-kultural, implementasi dari ritual Nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan.
Prosesi ritual Nyadran biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/aterater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap)
kenduri.
Tetangga
dekat
juga
mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama. Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk (berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anakanak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila. Kemudian, kebayan desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anakanak mengamini. Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar. Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri. Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan. (dekill.blogspot.com) B. Tradisi Kebudayaan Nyadran Dalam Pandangan Islam Pemikiran dan perasaan dalam kebudayaan Islam tidak diasaskan kepada pengetahuan khalifah yang nisbi, tapi pada pengetahuan rabb yang mutlak pengetahuan rabb iru dihimpun dalam kitab al Qur-an dan hadits, jadi kebudayaan terbentuk melalui usaha berfikir manusia dalam mengamalkan perintah rabb, yang tercantum dalam al qur-an dan hadits (Gazalba, 1988:27) Sehingga cara berfikir tersebut terimplementasikan dalam bentuk tingkah laku, perbuatan, dan bereaksi pada tindakan kelompok manusia dalam sosial, ekonomi , politik, ilmu pengetahuan, kesenian dan falsafah. Maka dalam kebudayaan Islam asas yang yang dijadikan landasan adalah Al Qur’an dan hadits dan norma-normanya berasal dari usaha berfikir manusia pribadi atau kelompok. Cara berlaku, berbuat dan pelaksanaan yang
diamalkan oleh kelompok itu membentuk mereka menjadi kesatuan sosial dan masyarakat. Cara berlaku, berbuat dan pelaksanaan taqwa membentuk cara hidup Islam, disebut kebudayaan Islam. Kebudayaan yang diamalkan oleh masyarakat Islam adalah lanjutan daripada pengamalan agama Islam, Kebudayaan merupakan bentuk ijtihad manusia sebagai manifestasi tuhan maha pencipta, Dalam hal ini Maududi (1969:72), mengartikanya sebagai bentuk riset akademik khusus dan usaha intelektual, yang menghasilkan seluruh proses legislatif, proses itu membuat kebudayaan Islam dinamik, kemungkinkanya berkembang dan berevolusi dalam keadaan yang berubah. Memang di dalam Islam disyari’atkan pula melakukan ziarah kubur. Disyari’atkan ziarah kubur itu dengan maksud untuk mengambil pelajaran (‘ibrah) dan ingat akan kehidupan akhirat, dengan syarat tidak mengucapkan kata-kata yang mendatangkan murka Allah swt. Sebagai misal, meminta sesuatu kepada penghuni kubur (orang mati) dan memohon pertolongan kepada selain Allah dan semisalnya. Dasar pensyari’atan ziarah kubur adalah hadis;
ﻋَﻦْ ﺑُﺮَﯾْﺪَةَ ﻗَﺎلَ ﻗَﺎلَ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﮫِ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻧَﮭَﯿْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ زِﯾَﺎرَةِ اﻟْﻘُﺒُﻮ ِر ﻓَﺰُورُوھَﺎ Dari Buraidah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda, “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim)
ِﻋَﻦْ أَﺑِﻲ ﺳَﻌِﯿﺪٍ اﻟْﺨُﺪْرِيﱢ ﻗَﺎلَ ﻗَﺎلَ رَﺳُﻮلُ اﻟﻠﱠﮫِ ﺻَﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﮫُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ وَﺳَﻠﱠﻢَ إِﻧﱢﻲ ﻧَﮭَﯿْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ زِﯾَﺎرَة اﻟْﻘُﺒُﻮرِ ﻓَﺰُورُوھَﺎ ﻓَﺈِنﱠ ﻓِﯿﮭَﺎ ﻋِﺒْﺮَةً وَﻻَ ﺗَﻘُﻮْﻟُﻮْا ﻣَﺎ ﯾَﺴْﺨَﻂُ اﷲُ ﻋﺰ و ﺟﻞ
Dari
Abu
Sa’id
al-Khudri
r.a.
Rasulullah
saw.
bersabda,
“Sesungguhnya aku pernah mencegah kalian dari ziarah kubur, maka (sekarang) ziaralah kuburan; karena padanya mengandung ‘ibrah (pelajaran), namun janganlah kalian mengucapkan kata-kata yang menyebabkan Allah murka (kepada kalian).” (HR al-Hakim dan Baihaqi tetapi penggalan kalimat terakhir dari riwayat, al-Bazzar). Yang diajarkan oleh Rasulullah ketika berziarah adalah mendo’akan ahli kubur, seperti dengan ucapan
َ ُاﻟﺴﱠﻼَمُ ﻋَﻠَﯿْﻜُﻢْ أَھْﻞَ اﻟﺪﱢﯾَﺎرِ ﻣِﻦَ اﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﯿﻦَ وَاﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﯿﻦَ وَإِﻧﱠﺎ إِنْ ﺷَﺎءَ اﻟﻠﱠﮫُ ﻟَﻼَﺣِﻘُﻮنَ أَﺳْﺄَل اﻟﻠﱠﮫَ ﻟَﻨَﺎ وَﻟَﻜُﻢُ اﻟْﻌَﺎﻓِﯿَﺔ Salam sejahtera atas kalian wahai penduduk penduduk dari Mukminin dan Muslimin, Semoga kasih sayang Allah atas yg terdahulu dan yang akan datang, dan Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul kalian (HR Muslim).
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Paparan Informasi dari Wawancara 1. Waktu dan Tempat Penelitian Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 12 Juli 2010 di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Pada Pukul 09.00 – 16.00, dengan agenda penelitian yaitu melakukan wawancara kepada pelaku ritual sadranan di lokasi penelitian. Masyarakat desa tumang menempati area seluas 395,350 Ha, dengan jumlah penduduk 6791 jiwa terdiri dari 3361 laki-laki dan 3430 perempuan. Tercatat ke dalam 1581 KK mayoritas berpencaharian sebagai petani yakni 1542 orang, disamping itu mayoritas penduduk merupakan pemeluk agama islam yaitu 6469, bersama pemeluk agama lain seperti kristen, katholik, maupun penghayatan kepercayaan terhadap tuhan yang maha wsa dalam jumlah minoritas (Monografi Desa : 2010) Pada hari Senin, tanggal 12 Juli 2010 dilaksanakan acara pembukaan nyadran di desa Tumang tepatnya di area pemakaman Kyai Ranggasasi, kegiatan tersebut merupakan awal dari acara nyadran untuk seluruh masyarakat desa Tumang. 2. Instrumen Wawancara Rincian pertanyaan yang dilakukan sebagai instrumen wawancara adalah sebagai berikut : a. Profil Nara Sumber
1) Nama 2) Status Sosial 3) Agama b. Pandangan Mengenai Ritual Nyadran 1) Bagaimana Sejarah budaya sadranan di desa Tumang? 2) Apakah yang mengikuti sadranan hanyalah untuk orang Islam? 3) Bagaimanakah tata cara sadranan di desa Tumang? 4) Menurut anda, bagaimana sadranan dalam agama Islam? 5) Kapan Sadranan di desa Tumang diadakan ? 6) Dimana upacara sadranan dilaksanakan? 7) Mengapa upacara dilaksanakan di Makam? 8) Mengapa dilaksanakan ditengah malam? 9) Apakah makna sesaji yang disajikan? 10) Apakah ada masyarakat dari luar desa tumang yang menyaksikan upacara tradisi tersebut? 11) Apakah maksud tradisi silaturahmi ini setelah upacara selesai dilaksanakan? 3. Hasil Wawancara Adapun hasil dari pross wawancara yang telah kami laksanakan adalah sebagai berikut : Nara Sumber 1 : Sastro (Ketua RW, Desa Tumang, Keadaan Ekonomi adalah sederhana) a. Bagaimana Sejarah budaya sadranan di desa Tumang?
Zaman dahulu pada bulan Ruwah (Sya’ban) orang –orang yang punya saudara/kerabat yang sudah meninggal dan dimakamkan di pemakaman Tumang berta’ziah dan membersihkan kuburan (makam) dari rerumputan setelah selesai, orang-orang tersebut mampir ketempat sanak saudara yang berdekatan dengan makam, kegiatan berziarah ini berlangsung tiap tahun akhirnya orang-orang yang berdekatan dengan makam menyediakan makanan dan minuman untuk keluarga atau saudara yang telah selesai berziarah, tradisi orang kampung kalau kedatangan tamu biasanya pasti menyediakan makanan walaupun cuma seadanya akhirnya semakin lama orang yang masih hidup,banyak yang tinggal didaerah lain,dan tiap tahun semua berziarah kemakam sanak saudaranya tersebut, sehingga terjadilah tradisi sadranan (silaturahmi). b. Apakah yang mengikuti sadranan hanyalah untuk orang Islam? Yang mengikuti sadranan bukan hanya umat Islam saja, semua umat beragama mengikuti acara ini. Kecuali pada malam hari, pada waktu Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan sanak saudara yang telah meninggal dunia biasanya yang datang cuma orang-orang yang beragama Islam c. Bagaimanakah tata cara sadranan di desa Tumang? Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua
dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan bersih-bersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal d. Menurut anda, bagaimana sadranan dalam agama Islam? Menurut
saya
acara
sadranan
ini
boleh/bagus
dilaksanakan,sebab agama Islam menganjurkan untuk silaturahmi. Acara sadranan ini intinya adalah silaturahmi e.
Kapan Sadranan di desa Tumang diadakan ? Sadranan di Desa Tumang diadakan seiap tanggal 20 bulan Ruwah/Sya’ban Bagaimana proses jalannya Nyadran dilakukan? Pertama upacara adat (penyerahan luruk dari Dinas Pariwisata ke Juru Kunci Makam) yaitu prosesinya meliputi pergantian luruk (kain kafan guna membungkus makam), setiap rumah bawa kenduri (tumpeng), lalu bawa sesaji, setelah terkumpul kenduri dan luruk yang lama disodakohkan / dibagikan pada warga yang datang ditempat (ada juga yang percaya dapat mendatangkan berkah dan dibawa pulang untuk persyarat), setelah proses ini dilakukan semua dilakukan sambutan – sambutan dari Bupati, Juru Kunci Makam, Kepala Desa, setelah itu pembacaan silsilah dilanjutkan Tahlil dan terakhir do’a.
f. Dimana upacara sadranan dilaksanakan?
Malam dan pagi hari dilaksanakn di makam dan pada siang hari dilaksanakan silaturahmi dirumah-rumah warga Tumang. g. Mengapa upacara dilaksanakan di Makam ? Sadranan itu intinya berziarah dan silaturahmi. Ziarah kubur memang biasanya dilaksanakan dimakam dan di dalam makam sudah disediakan bangunan untuk acara tirakatan, Dzikir, dan Tahlil h. Mengapa dilaksanakan ditengah malam? Upacara sadranan dilaksanakan ditengah malam karena suasana hening dan sunyi, agar orang-orang yang berdoa bisa khusuk dan dalam agama Islam pun mengajarkan beribadah dan sholat malam hari. i. Apakah makna sesaji yang disajikan? Sebenarnya itu bukan sesaji akan tetapi shodaqoh, warga menyiapkan makam dan minuman dimakam dengan bertujuan untuk di berikan kepada orang-orang yang telah selesai berziarah. j. Apakah ada masyarakat dari luar desa tumang yang menyaksikan upacara tradisi tersebut? Upacara melek bengi dan Dzikir Tahlil, di malam hari biasanya yang datang dari luar desa Tumang, sedangkan orang-orang yang disekitar makam hanya menyiapkan makanan dan minuman untuk orang-orang yang datang ke makam. k. Apakah maksud tradisi silaturahmi ini setelah upacara selesai dilaksanakan?
Setelah upacara dimalam hari diadakan silaturahmi ke tempat sanak saudaranya teman dan kerabat, dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan (silaturahmi), sebab pada zaman sekarang orangorang sudah mempunyai kesibukan sendiri-sendiri sehingga kecil kemungkinan untuk berkunjung ketempat saudara /teman. Pada waktu sadranan ini orang-orang yang mempunyai kerabat/teman
di
Tumang
meluangkan
waktunya
untuk
bersilaturahmi orang-rang Tumang yang tinggal diluar desa Tumang, yang merantau (memperbaiki nasib dikota ) bahkan yang bertempat tinggal diluar negeri semua meluangkan waktunya untuk pulang kampung dan menghadiri sadranan dan bersilaturahmi. Nara Sumber 2 : Mbah Gino (Juru kunci makam, Keadaan Ekonomi adalah sederhana) a. Bagaimana Sejarah budaya sadranan di desa Tumang? Telah berjalan turun temurun dari nenek moyang hingga sampai saat ini b. Apakah yang mengikuti sadranan hanyalah untuk orang Islam? Yang mengikuti sadranan bukan hanya umat Islam saja, semua umat beragama mengikuti acara ini. Kecuali pada pada waktu Dzikir dan Tahlil c. Bagaimanakah tata cara sadranan di desa Tumang? Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah
saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan bersih-bersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal d. Menurut anda, bagaimana sadranan dalam agama Islam? Nyadran bagaikan kebutuhan kita semua jadi merasa puas bila telah melakukannya, sebab ini suatu kebutuhan kita semua, bila tidak dilakukan seperti orang yang kehausan ingin minum, kegiatan ini pun seperti halnya demikian e.
Kapan Sadranan di desa Tumang diadakan ? Sadranan di Desa Tumang diadakan seiap tanggal 20 bulan Ruwah/Sya’ban
f. Dimana upacara sadranan dilaksanakan? Malam dan pagi hari dilaksanakn di makam dan pada siang hari dilaksanakan silaturahmi dirumah-rumah warga Tumang. g. Mengapa upacara dilaksanakan di Makam ? Ziarah kubur memang dilaksanakan dimakam dan di dalam makam h. Mengapa dilaksanakan ditengah malam? Upacara sadranan dilaksanakan ditengah malam karena suasananya nyaman dan sedang tidak banyak kesibukan, jadi banyak yang
i. Apakah makna sesaji yang disajikan? Sebenarnya sesaji itu sebagai rasa syukur yng dibagikan kepada peziarah j. Apakah ada masyarakat dari luar desa tumang yang menyaksikan upacara tradisi tersebut? Dzikir Tahlil, di malam hari biasanya yang datang dari luar desa Tumang, k. Apakah maksud tradisi silaturahmi ini setelah upacara selesai dilaksanakan? orang-orang yang mempunyai kerabat/teman di Tumang meluangkan waktunya untuk bersilaturahmi orang-rang Tumang yang tinggal diluar desa Tumang, yang merantau semua meluangkan waktunya untuk pulang kampung dan bersilaturahmi Nara Sumber 3 : Wongso (Penduduk Setempat, Keadaan Ekonomi adalah sederhana) a. Bagaimana Sejarah budaya sadranan di desa Tumang? Telah berjalan turun temurun dari nenek moyang hingga sampai saat ini b. Apakah yang mengikuti sadranan hanyalah untuk orang Islam? Yang mengikuti sadranan bukan hanya umat Islam saja, semua umat beragama mengikuti acara ini. Kecuali pada pada waktu Dzikir dan Tahlil c. Bagaimanakah tata cara sadranan di desa Tumang?
Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan bersih-bersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal d. Menurut anda, bagaimana sadranan dalam agama Islam? Nyadran bagaikan kebutuhan kita semua jadi merasa puas bila telah melakukannya, sebab ini suatu kebutuhan kita semua, bila tidak dilakukan seperti orang yang kehausan ingin minum, kegiatan ini pun seperti halnya demikian e.
Kapan Sadranan di desa Tumang diadakan ? Sadranan di Desa Tumang diadakan seiap tanggal 20 bulan Ruwah/Sya’ban
f. Dimana upacara sadranan dilaksanakan? Malam dan pagi hari dilaksanakn di makam dan pada siang hari dilaksanakan silaturahmi dirumah-rumah warga Tumang. g. Mengapa upacara dilaksanakan di Makam ? Ziarah kubur memang dilaksanakan dimakam dan di dalam makam h. Mengapa dilaksanakan ditengah malam?
Upacara sadranan dilaksanakan ditengah malam karena suasananya nyaman dan sedang tidak banyak kesibukan, jadi banyak yang i. Apakah makna sesaji yang disajikan? Sebenarnya sesaji itu sebagai rasa syukur yng dibagikan kepada peziarah j. Apakah ada masyarakat dari luar desa tumang yang menyaksikan upacara tradisi tersebut? Dzikir Tahlil, di malam hari biasanya yang datang dari luar desa Tumang, k. Apakah maksud tradisi silaturahmi ini setelah upacara selesai dilaksanakan? orang-orang yang mempunyai kerabat/teman di Tumang meluangkan waktunya untuk bersilaturahmi orang-rang Tumang yang tinggal diluar desa Tumang, yang merantau semua meluangkan waktunya untuk pulang kampung dan bersilaturahmi Nara Sumber 4 : Nur Kholiq (Guru, keadaan Ekonomi adalah cukup) a. Bagaimana Sejarah budaya sadranan di desa Tumang? Kurang begitu tahu, karena secara rutin memang dilakukan dari nenek moyang hingga sekarang b. Apakah yang mengikuti sadranan hanyalah untuk orang Islam?
Yang mengikuti sadranan bukan hanya umat Islam saja, semua umat beragama mengikuti acara ini. Kecuali pada pada waktu Dzikir dan Tahlil c. Bagaimanakah tata cara sadranan di desa Tumang? Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan bersih-bersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal d. Menurut anda, bagaimana sadranan dalam agama Islam? Pertama budaya ini untuk melestarikan budaya nenek moyang yang telah ada dalam sejarah, yang kedua menyakini kita untuk mendoakan leluhur yang telah menyiarkan Islam e. Kapan Sadranan di desa Tumang diadakan ? Sadranan di Desa Tumang diadakan seiap tanggal 20 bulan Ruwah/Sya’ban f. Dimana upacara sadranan dilaksanakan? Malam dan pagi hari dilaksanakn di makam dan pada siang hari dilaksanakan silaturahmi dirumah-rumah warga Tumang. g. Mengapa upacara dilaksanakan di Makam ?
Ziarah kubur memang dilaksanakan dimakam dan di dalam makam h. Mengapa dilaksanakan ditengah malam? Upacara sadranan dilaksanakan ditengah malam karena suasananya nyaman dan sedang tidak banyak kesibukan, jadi banyak yang i. Apakah makna sesaji yang disajikan? Sebenarnya sesaji itu sebagai rasa syukur yang dibagikan kepada peziarah j. Apakah ada masyarakat dari luar desa tumang yang menyaksikan upacara tradisi tersebut? Dzikir Tahlil, di malam hari biasanya yang datang dari luar desa Tumang, k. Apakah maksud tradisi silaturahmi ini setelah upacara selesai dilaksanakan? orang-orang yang mempunyai kerabat/teman di Tumang meluangkan waktunya untuk bersilaturahmi orang-rang Tumang yang tinggal diluar desa Tumang, yang merantau semua meluangkan waktunya untuk pulang kampung dan bersilaturahmi Nara Sumber 5 : Masjuki (Sesepuh, Keadaan Ekonomi Adalah Sederhana) a. Bagaimana Sejarah budaya sadranan di desa Tumang?
dahulu pada bulan Ruwah (Sya’ban) orang –orang yang punya saudara/kerabat yang sudah meninggal dan dimakamkan di pemakaman Tumang berta’ziah dan membersihkan kuburan (makam) dari rerumputan setelah selesai, orang-orang tersebut mampir ketempat sanak saudara yang berdekatan dengan makam, kegiatan berziarah ini berlangsung tiap tahun akhirnya orang-orang yang berdekatan dengan makam menyediakan makanan dan minuman untuk keluarga atau saudara yang telah selesai berziarah, tradisi orang kampung kalau kedatangan tamu biasanya pasti menyediakan makanan walaupun cuma seadanya akhirnya semakin lama orang yang masih hidup,banyak yang tinggal didaerah lain,dan tiap tahun semua berziarah kemakam sanak saudaranya tersebut, sehingga terjadilah tradisi sadranan b. Apakah yang mengikuti sadranan hanyalah untuk orang Islam? Yang mengikuti sadranan bukan hanya umat Islam saja, semua umat beragama mengikuti acara ini. Kecuali pada pada waktu Dzikir dan Tahlil c. Bagaimanakah tata cara sadranan di desa Tumang? Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan
bersih-bersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal d. Menurut anda, bagaimana sadranan dalam agama Islam? Pertama budaya ini untuk melestarikan budaya nenek moyang yang telah ada dalam sejarah, yang kedua menyakini kita untuk mendoakan leluhur yang telah menyiarkan Islam e. Kapan Sadranan di desa Tumang diadakan ? Sadranan di Desa Tumang diadakan seiap tanggal 20 bulan Ruwah/Sya’ban f. Dimana upacara sadranan dilaksanakan? Malam dan pagi hari dilaksanakn di makam dan pada siang hari dilaksanakan silaturahmi dirumah-rumah warga Tumang. g. Mengapa upacara dilaksanakan di Makam ? Ziarah kubur memang dilaksanakan dimakam dan di dalam makam h. Mengapa dilaksanakan ditengah malam? Upacara sadranan dilaksanakan ditengah malam karena suasananya nyaman dan sedang tidak banyak kesibukan, jadi banyak yang i. Apakah makna sesaji yang disajikan? Sebenarnya sesaji itu sebagai rasa syukur yng dibagikan kepada peziarah
j. Apakah ada masyarakat dari luar desa tumang yang menyaksikan upacara tradisi tersebut? Dzikir Tahlil, di malam hari biasanya yang datang dari luar desa Tumang, k. Apakah maksud tradisi silaturahmi ini setelah upacara selesai dilaksanakan? orang-orang yang mempunyai kerabat/teman di Tumang meluangkan waktunya untuk bersilaturahmi orang-rang Tumang yang tinggal diluar desa Tumang, yang merantau semua meluangkan waktunya untuk pulang kampung dan bersilaturahmi B. Paparan Informasi dari Pengamatan 1. Waktu dan Tempat Pengamatan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 12 Juli 2010 di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Pada Pukul 09.00 – 16.00, dengan agenda penelitian yaitu melakukan pengamatan terhadap keadaan lingkungan pelaksanaan ritual Sadranan di lokasi penelitian. 2. Hasil Pengamatan a. Keadaan Desa Tumang Dalam kehidupan sosial masyarakat telah terjalin kehidupan yang harmonis baik dalam tata pemerintahan desa maupun tata kemasyarakatan. tata pemerintahan desa berjalan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku dimana terlaksana kerja
sama yang baik antara perangkat desa dan badan perwakilan desa serta lembaga – lembaga desa yang lain berikut masyarakat desa Tumang saling bahu-membahu, bantu-membantu dalam pelaksaaan pemerintah, pembangunan maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal tersebut benar-benar nyata adanya, terlihat sebagai bukti adalah dibuatnya APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang menampung aspirasi aspirasi yang berkembang dalam forum rembuk desa. APBD tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya dan harus dipertanggung jawabkan setiap bulan. Berikut dengan penelitian ini, penelitian melihat visi dan misi APBD 2010 Desa Tumang, telah mencanankan bidang kemasyarakatan tertulis antara lain : 1) Melaksanakan Adat-Istiadat sosial dan budaya masyarakat Desa Tumang 2) Mengadakan pembinaan bidang sosial budaya masyarakat dan adat istiadat yang dilandasi norma sosial b. Sesaji Tradisi Sadranan Desa Tumang Sesaji atau ”uba-rampe”yang diadakan untuk disajikan dalam tradisi sadranan Desa Tumang meliputi sebagai berikut: 1) Ingkung ayam Ingkung untuk,setelah
adalah
ayam
dibersihkan
satu
seperlunya
ekor
yang
dibiarkan
kemudian
dimasak
opor,selanjutnya disajikan untuk diberi santan kental dan diletakan di tempat (wadhah) tertentu sebagai sesaji 2) Tumpeng Tumpeng terdiri atas nasi putih dibentuk kerucut atau menyerupai
gunung,disertai
lauk
pauk
berupa
sambal
goreng,bergedel,tempe,dan kerupuk. 3) Jajan Pasar Jajan pasar berupa berbagai macam makanan yang dapat dibeli di pasar.Makanan yang utama atau harus ada dalam sesaji jajan pasar adalah jadah dan wajik,sedang yang lain terserah yang menyajikan. c. Tatacara Tradisi Sadranan di Desa Tumang Tradisi sadranan di Desa Tumang dilaksanakan dalam dua bentuk kegiatan yaitu berbentuk upacara religius dan berbentuk kegiatan sosial kemayarakatan. 1) Upacara Religius Berupa
suatu
persembahan
ditujukan
kepada
Tuhan,bertempat di kuburan atau makam ”cikal-bakal” atau leluhur masyarakat Desa Tumang bernama Kyai Ranggasasi dan istrinya Nyai Ranggasasi. Dilaksanakan tepat pada tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) waktu pukul
24.00 atau tengah malam
dipimpin oleh juru kunci makam dan diikuti seluruh masyarakat dengan membawa sesaji dalam wadah”tenong”.Upacara religius
tradisi sadranan di Desa Tumang didahului degan pembacaan tahlil dan kendurian,diakhiri makan bersama.Karena sesaji kenduri berada dalam”tenong”, maka upacara tersebut juga disebut ”Tenongan” Upacara berlangsung kurang lebih 1 jam. Adapun bacaan tahlil adalah sebagai berikut : a) Basmallah b) Surat Yasin c) Surat Al-Ikhlas d) Surat Al Falaq e) Surat Al-Baqoroh 1 – 5 f) Al Baqoroh 163 g) Al Baqoroh 255 h) Al Baqoroh 285 i) Al Baqoroh 286 j) Surat Hud 73 k) Al ahzab 33, l) Al Ahzab 56 m) Ali Imron 173 n) Al Anfal 40 o) Ayat Kursi
p) Istifghfar q) Shalawat r) Tahlil s) Do’a
BAB IV PEMBAHASAN A. Tinjauan Ritual Sadranan Dari berbagai item pertanyaan yang disampaikan peneliti kepada responden, secara garis besar dari responden memiliki interpretasi yang sama, terbukti dari beberapa jawaban responden memiliki essensi yang sama. Untuk lebih jelasnya kami paparkan dalam uraian pemahaman mayarakat terhadap tradisi sadranan dibawah ini: 1. Bagaimana sejarah budaya sadranan di desa Tumang? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Sastro (Ketua RW). Zaman dahulu pada bulan Ruwah (Sya’ban) orang – orang yang punya saudara/kerabat yang sudah meninggal dan dimakamkan di pemakaman Tumang berta’ziah dan membersihkan kuburan (makam) dari rerumputan setelah selesai, orang-orang tersebut mampir ketempat sanak saudara yang berdekatan dengan makam, kegiatan berziarah ini berlangsung tiap tahun akhirnya orang-orang yang berdekatan dengan makam menyediakan makanan dan minuman untuk keluarga atau saudara yang telah selesai berziarah, tradisi orang kampung kalau kedatangan tamu biasanya pasti menyediakan makanan walaupun cuma seadanya akhirnya semakin lama orang yang masih hidup, banyak yang tinggal di daerah lain,dan tiap tahun semua berziarah kemakam sanak saudaranya tersebut, sehingga terjadilah tradisi sadranan (silaturahmi). Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Tulus Sarwanto
pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75. Dari hasil wawancara di atas, dan berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa Tradisi sadranan dipahami masyarakat desa tumang sebagai agenda yang rutin dilakukan setiap tanggal 20 Ruwah (Syaban), tradisi sadranan telah dipersiapkan masyarakat secara matang, terlihat dari beberapa tempat masyarakat telah siap untuk melaksanakan ritual tersebut, persiapan fisik seperti umbul-umbul, bendera, uba rampe, pembersihan makam dan lain sebagainya. Masyarakat Desa Tumang adalah masyarakat yang telah hidup sejak lama secara turun-temurun, dari generasi ke generasi, dengan segala budayanya yang berkembang sesuai kemajuan jaman, berikut adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi tradisi. Di antara tradisi dimaksud terdapat tradisi sadranan yang sampai sekarang masih hidup dilaksanakan oleh masyrakat Desa Tumang. Jadi sadranan di Desa Tumang merupakan warisan budaya leluhur atau hasil dari budaya leluhur jawa, yang tidak diketahui siapapun penciptanya dan kapan mulai dilaksanakan 2. Apakah yang mengikuti sadranan hanyalah untuk orang Islam? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Masjuki. Yang mengikuti sadranan bukan hanya umat Islam saja, semua umat beragama mengikuti acara ini. Kecuali pada malam hari, pada waktu Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan sanak saudara yang telah meninggal
dunia biasanya yang datang cuma orang-orang yang beragama Islam. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Nur Kolik dan Mbah Wongso pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 76. Hasil wawancara di atas juga sesuai berdasarkan teori yang telah dipaparkan sebelumnya Sebagai tradisi Jawa, sadranan merupakan pelaksanaan ritual yang bersifat sosial religius yang maksudnya mencakup aspek sosial berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan kemasyarakatan, serta aspek religius yaitu berhubungan dengan kewajiban dan atau kepentingan berketuhanan. Tradisi sadranan adalah milik bersama dilaksanakan dengan jiwa dan semangat kebersamaan masyarakat Jawa sebagai persembahan kepada Tuhannya. B. Tinjauan Nilai Ke-Islaman Sadranan Pemahaman Masyarakat Terhadap Nilai-nilai keagamaan Tradisi Sadranan 1. Menurut anda, bagaimana sadranan dalam agama Islam? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Sastro (Ketua RW). Acara sadranan ini boleh/bagus dilaksanakan, sebab agama Islam menganjurkan untuk silaturahmi. Acara sadranan ini intinya adalah silaturahmi. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Teguh Haryadi selaku ketua RT pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 74, 77, dan 78.
Dari hasil wawancara di atas Masyarakat memiliki pemahaman bahwa sadranan merupakan bentuk kegiatan untuk meningkatkan kesalehan sosial, dalam hal ini adalah silaturahmi, berbagi rasa sebagai ungkapan rasa syukur, toleransi, dan membangun persatuan antar umat Islam di desa Tumang. Berdasarkan pengamatan peneliti Nilai-nilai keagamaan terlihat dari upacara pada tengah malam yang dilakukan dimakam, bacaan tahlil dan do’a merupakan wujud dari penghormatan mereka terhadap para leluhur dengan maksud untuk mengirim do’a karena masyarakat memahami do’a tersebut akan membantu perjalanan para leluhur menuju zat yang maha sempurna a. Makna Sosial Religius Upacara Sadranan Masyarakat Jawa terkenal sebagai masyarakat yang sosial religius. Artinya bahwa di dalam kehidupan masyarakat Jawa berlaku norma-norma sebagai tatanan hidup bersama yang harus dipatuhi dan dilaksanakan, itu dapat disebut sebagai tatanan sosial. Sedang religius maksudnya berhubungan dengan praktek berketuhanan, kiranya dalam hal ini masyarakat Jawa tidak perlu disaksikan, karena sudah sejak lama mengenal adanya tuhan dan berketuhanan. Jadi yang dimaksud dengan masyarakat sosial religius adalah masyarakat yang memiliki norma-norma sebagai tatanan hidup bersama yang dipatuhi dan dilaksanakan serta mengenal tuhan dan berketuhanan.
Mengenai tradisi sadranan bersifat sosial religius dapat ditunjukan sebagai berikut : sifat sosialnya terletak pada sesaji dan tatacaranya yang merupakan normatik atau tatanan baku yang dilaksanakan mayarakat Desa Tumang dalam tradisi sadranan. Sifat religiusnya tercermin dalam maksud dan tujuan pelaksanaan upacaranya, yaitu melakukan persembahan terhadap Tuhan atau menyampaikan rasa syukur terhadap Tuhan b. Sebagai Ungkapan Rasa Syukur Masyarakat Desa Tumang seperti telah diketahui, merupakan masyarakat pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa. Oleh sebab itu mempunyai kesadaran akan kewajibanya dalam berketuhanan dalam melakukanpengabdian dan persembahan kepada-Nya. Salah satu bentuk pengabdian dan persembahan yang dimaksud yaitu menyampaikan rasa syukur, atas segala yang dikaruniakan oleh Allah, baik berupa keselamatan, kesehatan, keentraman lahir batin, limpahan rejeki dan kemudahan-kemudahan sertayang lainya, dimana elah dirasakan sebagai nikmat di dalam hidupnya. Rasa syukur kepada tuhan biasa disampaikan atas keberhasilanya terbatas dari berbagai cobaan hidup, penderitaan dan kesengsaraan yang dialami. Rasa syukur biasa diungkapkan berkenaan dengan kesuksesan yang telah dicapai dan disadari itu adalah kehendak Tuhan. Dengan logika seperti diungkapkan di atas,
maka peneliti dapat mengungkapkan bahwa tradisi sadranan bagi masyarakat Tumang memiliki berbagai fungsi, salah satunya berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan rasa syukur itu merupakan pernyataan bersama secara komulatif dengan tanpa memandang segala perbedaan yang ada. Hanya oleh karena itu mayoritas masyarakat desa Tumang adalah pemeluk agama Islam, dalam upacara religius lebih menonjolkan Islamnya. c. Perwujudan Sikap Rukun Sikap rukun telah menjadi ciri yang dimiliki oleh masyarakat Jawa.
Pelaksanakaan
sikap
rukun
dalam
kehidupan
sosial
kemasyarakatan lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, jauh dari rasa permusuhan ,menjaga perdamaian, saling tolong-menolong dalam hal kesulitan, bantu-membantu bila kekurangan dan bahu-membahu dalam prakarsa bersama. Seperti halnya tradisi sadaranan di Desa Tumang dirasakan menjadi milik besama masyarakatnya, dilaksanakan oleh seluruh masyarakatnya, dijiwai rasa kebersamaan penuh persaudaraan dan penuh persahabatan atau familiar, tanpa ada persaingan maupun perselisihan. Oleh karena itu pelaksanaan tradisi sadranan bagi masyarakat desa Tumang juga berfungsi sebagai perwujudan sikap rukun
d. Perwujudan Sikap Hormat Seperti yang telah dijelaskan terdahulu,bahwa tradisi sadranan di Desa Tumang pada hakekatnya sama dengan ziarah kubur, yaitu kunjungan ke makam leluhur dengan mendoakan dan berharap mendapatkan pahala bagi leluhurnya itu agar cepat mencapai surgawi. Perilaku
demikian
mewujudkan
sikap
hormat
yang
terkandung dalam tradisi sadranan. Sikap hormat yang lain terwujud dalam perilaku silaturrohmi, dimana para orang tua meninggalkan keangkuhannya datang bertandang kerumah orang muda. Dalam silaturohmi tersebut tidak berarti yang muda lebih terhormat dari yang tua, akan tetapi kunjungan yang tua kepada yang muda dianggap membawa berkah, sehingga kedatangannya disambut dengan rasa hormat. Maka tidaklah berlebihan bila tradisi sadranan bagi masyarakat Desa Tumang memiliki fungsi sebagai perwujudan sikap hormat. e. Perwujudan Sikap Optimis Sikap optimis artinya percaya diri yaitu suatu sikap yang menaruh harapan besar akan tercapainya keberhasilan bagi dirinya. Sikap optimis membuat seseorang tidak ragu-ragu dalam bertindak atau melangkah. Sikap optimis terwujud dalam kesungguhannya untuk meaksanakan serta keyakinannya yang beranggapan bahwa Tuhan
akan memberikan limpahan karunia dan limpahan rejeki. Bilamana banyak tamu yang datang maka akan banyak pula menghabiskan makanan yang disajikan, maka akan banyak pula rejeki yang akan didapatkan nanti. Keyakinan sedemikian rupa merupakan perwujudan sikap optimis masyarakat Desa Tumang, sebagai salah satu fungsi yang dapat diungkapkan dari pelaksanaan tradisi sadranan dimaksud C. Tinjauan Pelestarian Sadranan Pemahaman Masyarakat desa Tumang terhadap pelestarian tradisi sadranan 1. Bagaimanakah tata cara sadranan di desa Tumang? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Mbah Gino (Juru kunci makam). Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan bersihbersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Muhlasin pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 74. Berdasarkan hasil wawancara di atas sesuai dengan hasil pengamatan peneliti bahwa Proses ritual sadranan dilaksanakan Pada
malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di makam Tumang agar diampuni semua dosanya oleh Allah SWT, acara ini diadakan dimakam (cungkup). Pada hari tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) jam 05.00 wib diadakan bersih-bersih makam yang diadakan oleh warga sekitar makam dan orang-orang yang punya kerabat yang sudah meninggal. 2. Kapan sadranan di desa Tumang diadakan ? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Sastro (Ketua RW). Sadranan di Desa Tumang diadakan setiap tanggal 20 bulan Ruwah/Sya’ban. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Muhlasin pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 74. Berdasarkan hasil wawancara di atas sesuai dengan hasil pengamatan peneliti bahwa Proses ritual sadranan dilaksanakan Pada malam hari tanggal 20 Ruwah (Syaban) jam 00.00 WIB 3. Dimana upacara sadranan dilaksanakan? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Nur Kholik. Malam dan pagi hari dilaksanakan di makam dan pada siang hari dilaksanakan silaturahmi dirumah-rumah warga Tumang. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Rusdi (Mudin) pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75
Berdasarkan hasil wawancara di atas sesuai dengan hasil pengamatan peneliti bahwa proses ritual sadranan diadakan do’a bersama Dzikir dan Tahlil untuk mendoakan arwah saudara yang dimakamkan di Makam Tumang 4. Mengapa upacara dilaksanakan di Makam? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Mbah Gino (Juru Kunci Makam). Sadranan itu intinya berziarah dan silaturahmi. Ziarah kubur memang biasanya dilaksanakan dimakam dan di dalam makam sudah disediakan bangunan untuk acara tirakatan, Dzikir, dan Tahlil. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Cipto Wiyono (Warga) pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75 dan 76 Hasil wawancara di atas sesuai teori sebelumnya hal tersebut merupakan suatu persembahan ditujukan kepada Tuhan, bertempat di kuburan atau makam ”cikal-bakal” atau leluhur masyarakat Desa Tumang bernama Kyai Ranggasasi dan istrinya Nyai Ranggasasi. Dilaksanakan tepat pada tanggal 20 Ruwah (Sya’ban) waktu pukul 24.00 atau tengah malam dipimpin oleh juru kunci makam dan diikuti seluruh masyarakat dengan membawa sesaji dalam wadah”tenong”. Upacara religius tradisi sadranan di Desa Tumang didahului dengan pembacaan tahlil dan kendurian, diakhiri makan bersama. Karena sesaji kenduri
berada dalam ”tenong”, maka upacara tersebut juga disebut ”Tenongan” Upacara berlangsung kurang lebih 1 jam 5. Mengapa dilaksanakan pada tengah malam? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan masjuki (warga). Upacara sadranan dilaksanakan ditengah malam karena suasana hening dan sunyi, agar orang-orang yang berdoa bisa khusuk dan dalam agama Islam pun mengajarkan beribadah dan sholat malam hari. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Slamet Martono pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75, 76 dan 77 Sesuai dengan deskripsi datanya, tata cara tradisi sadranan dilaksanakan dalam dua bentuk kegiatan, yaitu upacara religius dan kegiatan sosial kemasyarakatan, maka penelitian dalam analisis pembahasan pertama, Bahwa persembahan dan pengabdian kepada Tuhan sebagai berikut kewajiban setiap manusia harus nyata-nyata dilakukan
dalam
bentuk
kegiatan.
Kedua,
Bahwa
pelaksanaan
persembahan dan pengabdian kepada Tuhan harus sebaik-baiknya, dengan suatu keteraturan, dalam keheningan dan pemusatan pemikiran maupun peraturan. Ketiga, Bahwa melaksanakan persembahan dan pengabdian kepada Tuhan harus dengan keyakian yang beranggapan pasti diterima oleh-Nya. Maka seyogyanya diucapkan adalah doa-doa dan puji-pujian 6. Apakah makna sesaji yang disajikan?
Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Nur Kholik (Guru). Menurut pemahaman masyarakat sesaji adalah shodaqoh, warga menyiapkan makam dan minuman dimakam dengan tujuan untuk di berikan kepada orang-orang yang telah selesai berziarah sebagai ungkapan rasa syukur. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Supriyadi pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 76 dan 77 Berdasarkan teori sebelumnya Bahwa Makna Sesaji Tradisi Sadranan Desa Tumang adalah : a. Ingkung ayam ”Ingkung ayam” yaitu sesaji berupa seekor ayam utuh (tidak dipotong-potong) yang telah dimasak opor hingga lezat rasanya. ”ingkung” tersebut sebagai simbol kepasrahan atau penyerahan diri yang tulus dan ikhlas. Seseorang yang telah menyerahkan dirinya (pasrah) kepada tuhan seharusnya dengan tulus ikhlas, apapun yang akan terjadi pada dirinya merupakan kehendak tuhan yang harus dijalani
dengan
tanpa
melakukan
perlawanan,
sebagaimana
disimbolkan dengan ”ingkung ayam” dimaksud b. Tumpeng ”Tumpeng” dalam tradisi sadranan di Desa Tumang terdiri atas : nasi putih berbentuk kerucurt menyerupai gunung, sambal
goreng, bergedel, tempe dan kerupuk. ”tumpeng” dengan berbagai rincianya itu, merupakan simbol-simbol dari maksud tertentu. Hadirnya nasi dalam sesaji diartikan sebagai simbol kehidupan manusia, karena nasi merupakan makanan pokok yang berfungsi sebagai sumber energi, putih dalam nasi menggambarkan kesucian, bentuk kerucut bagaikan gunung menyimbolkan arah pada satu titik dari mana dan kemana hidup manusia, yaitu Tuhan. Dengan kekuatan dan kekuatanya yang maha besar, seperti disimbolkan dalam bentuk menyerupai gunung. c. Jajan Pasar ”Jajan Pasar” adalah yang dibeli di pasar, berupa segala makanan baik buah-buahan seperti ”polo kependhem” maupun ”polo gemandhul” juga berujud makanan olahan misalnya jadah, dan wajik serta lainya. Hal tersebut merupakan simbol kemakmuran, artinya bahwa manakala suatu masyarakat itu dalam hidup dan kehidupanya makmur, maka dalam segala macam jajanan dapat dibeli dipasar, sedangkan jadah wajik merupakan simbol kesuburan, yang mana bagi masyarakat petani akan mendatangkan kemakmuran 7. Apakah ada masyarakat dari luar desa tumang yang menyaksikan upacara tradisi tersebut? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Mbah Gino (Juru Kunci Makam). Upacara melek bengi dan Dzikir Tahlil, di malam hari sebagian besar dilakukan oleh masyarakat yang datang dari luar desa
Tumang,
sedangkan orang-orang
yang
disekitar
makam
hanya
menyiapkan makanan dan minuman untuk orang-orang yang datang ke makam. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Rohadi pada tanggal 12 Juli 2010, dan bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 75 dan 77 Berdasarkan pengamatan peneliti, upacara melek bengi yang dilaksanakan, sebagian yang hadir adalah masyarakat luar daerah, mereka memiliki maksud untuk mendo’akan leluhur yang mereka menganggap bahwa mereka berjasa dalam penyebaran agama Islam di jawa, sehingga selain untuk wisata spritual juga sebagai ibadah kepada Allah 8. Apakah maksud tradisi silaturahmi ini setelah upacara selesai dilaksanakan? Berdasarkan wawancara tanggal 12 Juli 2010 dengan Masjuki (Sesepuh Desa Tumang). Setelah upacara dimalam hari diadakan silaturahmi ke tempat sanak saudaranya teman dan kerabat, dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan (silaturahmi), sebab pada zaman sekarang orang-orang sudah mempunyai kesibukan sendiri-sendiri sehingga kecil kemungkinan untuk berkunjung ketempat saudara/teman. Pada waktu sadranan ini orang-orang yang mempunyai kerabat/teman di Tumang meluangkan waktunya untuk bersilaturahmi kerabat yang tinggal diluar desa Tumang. Hal ini dapat penulis buktikan sebagaimana dalam wawancara dengan Tulus Sarwanto pada tanggal 12 Juli 2010, dan
bisa juga dilihat dalam dokumentasi penelitian sebagaimana terlampir halaman 74, 75, 76, 77 dan 78 Berdasarkan teori sebelumnya Sikap rukun telah menjadi ciri yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Pelaksanakaan sikap rukun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi, jauh dari rasa permusuhan ,menjaga perdamaian, saling tolong-menolong dalam hal kesulitan, bantu-membantu bila kekurangan dan bahu-membahu dalam prakarsa bersama. Seperti halnya tradisi sadaranan di Desa Tumang dirasakan menjadi milik besama masyarakatnya, dilaksanakan oleh seluruh masyarakatnya, dijiwai rasa kebersamaan penuh persaudaraan dan penuh persahabatan atau familiar, tanpa ada persaingan maupun perselisihan. Oleh karena itu pelaksanaan tradisi sadranan bagi masyarakat desa Tumang juga berfungsi sebagai perwujudan sikap rukun. D. Analisis Data Berdasarkan hasil wawancara sebagaimana yang penulis dapatkan, terjadi kesesuaian antara teori dengan persepsi masyarakat muslim, serta didukung atas data dari hasil dokumentasi. Maka dalam hal ini penulis menari garis merah, bahwa tradisi sadranan merupakan kebudayaan jawa yang saat ini masih dilaksanakan dan sebagai wujud dari kesalehan sosial masyarakat jawa pada umumnya dan warga Tumang pada khususnya.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan
pada
yang
telah
diuraikan
dalam
analisis
pembahasan masalah, landasan teori, data dan wacana yang berkembang, maupun untuk memenuhi tujuan penelitian ini, peneliti berkesimpulan sebagai berikut 1. Bahwa benar masyarakat di Desa Tumang memiliki pemahaman yang baik terhadap tradisi sadranan, terbukti dari jawaban beberapa responden, hampir seluruhnya memiliki jawaban yang sama, disamping itu dari data pengamatan peneliti masyarakat di Desa Tumang memahami makna tiap kegiatan yang mereka jalani dimulai dari makna sesaji, tatacara upcara, hingga silaturahmi. 2. Bahwa benar tradisi sadranan memiliki muatan religius atau keagamaan yang sangat kental dan alami, dari data terdahulu diungkapkan bahwa
dalam
setiap
kegiatan
yang dilakukan,
kesuluruhan mengandung makna keagamaan yang sangat kental yaitu tiga unsur yaitu Amal, Ikhlas dan Syukur. 3. Bahwa Tradisi sadranan di Desa Tumang, kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, merupakan salah satu tradisi jawa yang bersifat sosial religius dan masih
hidup
sampai sekarang,
sebagai
inventarisasi salah satu kekayaan budaya jawa yang perlu dilestarikan
B.
Saran 1. Sadranan merupakan budaya nenek leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan,
untuk
itu
diharapkan masyarakat desa
tumang
melakukan sebuah dokumentisasi agar tradisi sadranan ini lestari sampai ke tangan anak dan cucu dari masyarakat itu sendiri 2. Bagi masyarakat desa Tumang, jadikan sadranan ini menjadi aset pariwisata spiritual bagi masyarakat Tumang dan sekitarnya C.
Penutup Demikian skripsi ini saya buat dengan sesungguhnya, mohon maaf jika terdapat kesalahan, manusia hanyalah berusaha dan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT
DAFTAR PUSTAKA
Abul A’la Maududi. 1969. the Islamic law and constitution, lahore: Islamic publicaation Ltd. Budhisantoso. S. 1984. Upacara Tradisional kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan masyarakat, dalam analisis kebudayaan, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cik Hasan Bisri dan Eva Rufaidah. 2002. Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial, Jakarta : PT Rajawali Grafindo Persada Hasan, Iqbal. 2003. Pokok-Pokok Materi Statistik 1 (Statistik Deskriptif), Jakarta, Balai Pustaka Hatsin, Abu. 2007. Islam dan Humanism, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Maryati, Sri nanik, 2003, Makna Filosofis Tradisi Sadranan, Skripsi Tidak Diterbitkan. Sukoharjo : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Murtadho. 2002. Islam Jawa Keluar Dari Kemelut Santri Vs Abangan, Jogjakarta, Lappera Pustaka Utama. PJ. Zoetmulder. 1982. Culture, Jakarta, Aksara Baru. Purwadi. 2007. Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa, Yogyakarta, Panji Pustaka Selo Sumardjan dan sulaeman sumardi. 1974. Jakarta, Penerbit Jembatan
Setangkai Bunga Sosiologi,
Sobur, Alex. 2009. Psikologi Umum, Bandung, Pustaka SetiaSoerjono Soekamto. 1992. Sosiologi suatu pengantar, Jakarta, CV Rajawali