KHITAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KESEHATAN
SKRIPSI
Dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk Memperoleh gelar Sarjana (S1)
Oleh :
SITI KHOTIJAH NIM : 131410000052
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU) JEPARA 2015
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM
TERAKREDITASI B NOMOR : 032/BAN-PT/Ak-XII/S1/X/2009 TERAKREDITASI B NOMOR : 032/BAN-PT/Ak-XII/S1/X/2009 Alamat : Jalan Taman Siswa (Pekeng) no.: 09 Jepara 59427 Alamat : Jalan Taman Siswa (Pekeng) no.:Tahunan 09 Tahunan Jepara 59427 Telp/Fax.: (0291) 593132/085640019811 Telp/Fax.: (0291) 593132/085640019811 http://www.syariah.unisnu.ac.id; E-Mail :
[email protected] http://www.syariah.unisnu.ac.id; E-Mail :
[email protected]
PERSETUJUAN Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan telah menyetujui skripsi sudara: Nama
: SITI KHOTIJAH
NIM
: 131410000052
Fakultas
: Syari’ah dan Hukum
Program Studi
: Al-Ahwal al-Syakhshiyyah
Judul
: KHITAN
MENURUT
HUKUM
ISLAM
DAN
KESEHATAN Untuk diujikan dalam munaqasyah skripsi. Nama
Tanggal
Tanda tangan
Siti Khotijah
.....................
....................
Tanggal
Tanda tangan
.....................
....................
Pembimbing
Drs. H. Ahmad Barowi, M,Ag
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, saya, Nama: Siti Khotijah NIM: 131410000052, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini: 1. Seluruhnya merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diterbitkan dalam bentuk dan keperluan apapun. 2. Tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan rujukan dalam penulisan skripsi ini. Saya bersedia menerima sanksi dari fakultas apabila dikemudiaan hari ditemukan ketidak benaran dari pernyataan ini.
Jepara, 10 Maret 2015 Penulis,
Siti Khotijah NIM: 131410000052
ABSTRAK Indonesia adalah negara yang kaya akan tradisi. Ada yang berasal dari Islam dan bukan Islam. Khitan adalah salah satu tradisi yang dilaksanakan di Indonesia yang juga merupakan perwujudan amalan keagamaan. Sebenarnya khitan mempunyai hukum tetap bagi seorang laki-laki. Berbeda dengan khitan perempuan yang masih menjadi perdebatan dikalangan ulama. Untuk itulah penulis mencoba menggali lagi secara mendalam persoalan tentang khitan ini supaya menjadi kejelasan dikemudian hari dengan mengangkat judul “Khitan Menurut Hukum Islam dan Kesehatan.” Masalah yang akan dibahas adalah bagaimana hukum khitan menurut pandangan hukum Islam dan bagaimana pandangan khitan dalam perspektif kesehatan. Hal itu dimaksud untuk mengetahui dan memahami hukum khitan menurut pandangan hukum Islam dan kesehatan baik khitan bagi laki-laki maupun khitan bagi perempuan khususnya. Metode yang dipakai adalah menggunakan metode yuridis normative dan jenis penelitian deskriptif analisis yang berasal dari sumber data primer dan sekunder. Pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan secara induktif. Mengenai hukum khitan, para ulama madzhab berbeda pendapat mengenai hukum khitan. Akan tetapi mereka sepakat bahwa khitan telah disyariatkan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Menurut Hukum Islam khitan bagi seorang laki-laki adalah wajib dan bagi seorang perempuan adalah sebuah kesunatan. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil al-Qur’an, hadits, dan dari beberapa penelitian-penelitian sebelumnya yang menjelaskn bahwa khitan mempunyai banyak manfaat, baik dari segi ibadah (menambah kenikmatan dalam berhubungan suami istri) maupun dari segi kesehatan (membersihkan kotoran/najis yang jika dibiarkan akan menumpuk dan menjadikan sarang penyakit). Namun, sunnah bagi seorang perempuan diartikan bahwasannya tidak boleh dipraktikkan dengan memotong klitoris secara berlebihan, karena khitan bagi perempuan adalah penyeimbang nafsu antara nafsu binatang dengan tidak bernafsu sama sekali. Oleh karena itu, perlu diyakini bahwa sesungguhnya setiap syariat Allah akan ada hikmahnya. Kata Kunci: Khitan, Hukum Islam, Kesehatan
MOTTO
اب الد ََّوا ُءالدَّا َء’بَ َرا َ ِب ِا ْذ ِن هللاِ َع َّز َو َج َّل َ ص َ َِل ُك ِل دَاءٍ دَ َواء’فَ ِاذَاأ Setiap penyakit pasti memiliki obat, bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya, maka dia akan sembuh dengan seizin Allah SWT. (HR. Muslim)
PERSEMBAHAN
Penyusunan skripsi ini saya persembahkan kepada: Almamaterku UNISNU Jepara, Fakultas Syri’ah dan Ilmu Hukum, Program Studi Al-Akhwal Al-Syakhshiyyah. Dan Keluargaku tercinta: Ayahanda Sadi Wongso (alm) dan Ibunda Kasrumi, Kakak-kakakku; Agus Rohman, Ahmad Said, Nor Sidiq, Mbak-mbakku; Raudlotun Nikmah, Nailus Sofwah Juga si Imut Zidny, Wildan, dan Zuma.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “KHITAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN KESEHATAN”. Disusun guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata (S1) dalam Ilmu Syari’ah dan Ilmu Hukum Program Studi AlAhwal Al-Syakhshiyyah (AS) Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara. Shalawat serta Salam senantiasa terlimpahkan kehadirat junjungan kita Nabi Agung Baginda Rasulullah saw yang telah menjelaskan kepada manusia tentang isi kandungan al-Qur’an sebagai petunjuk jalan menuju kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangan dan kelemahan mengingat terbatasnya kemampuan penulis, namun berkat Rahmat Allah SWT serta pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Harapan penulis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Dalam penyusunan skripsi ini, perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom, MH. Selaku Rektor UNISNU Jepara. 2. Bapak Drs. H. Ahmad Barowi TM, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum program Studi Al-Akhwal Al-Syakhshiyyah (AS) serta selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan saransaran dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Hudi, S. H. I, M. Si selaku Ka. Prodi Al-Akhwal Al-Syakhshiyyah (AS) fakultas Syari’ah dan Hukum. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara yang telah mendidik, membina, dan menghantarkan penulis untuk menempuh kematangan dalam berfikir dan berperilaku.
5. Bapak Supa’at, Ibu Ropah dan Muhammad Taqwim S.Kep sebagai pihak yang membantuku dalam proses penelitian skripsi ini. 6. Ayahanda Sadi Wongso (alm) dan Ibunda Kasrumi tercinta, atas curahan kasih sayang dan ketulusan do’anya serta dengan keikhlasan dan kesungguhan hati memberi bantuan moril maupun materiil yang tidak ternilai harganya. 7. Saudara-saudaraku tersayang ca’ Agus dan mba’ Nikmah, ca’ Said dan Mba’ Nailus, juga ca’ Idiq yang selalu memberi semangat dan membantuku dari sejak awal sampai akhirnya menyelesaikan skripsi ini. Untuk malaikatmalaikat kecilku (de’ zidny, de’ Wildan dan de’ Zuma) yang terus memberikan tawa mungil mereka, sehingga disaat kondisi menurun, merekalah yang selalu menghibur dan menumbuhkan semangatku kembali. 8. Masq tersayang yang senantiasa setia dan sabar menjadi sandaran hati, beserta keluarga; ibu’, yai dan bu’ nor, khafidz juga nok fidloh atas kasih sayang yang tercipta. 9. Rekan-rekan seperjuangan (mbak Tun, Obed, pak dlo, om bud, om Musa, Mahmud, dan khususnya adikku tercinta de’ Nun) yang dalam kebersamaan kita memberikan banyak pelajaran hidup. Juga semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan sumbangan pemikiran demi terselesainya skripsi ini. Semoga amal kebaikan mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT dan dijauhkan mereka dari sifat dengki dan berlaku dzalim. Amiin. Akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dalam arti yang sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin yaa rabbal ‘alamin.
Jepara, 10 Maret 2015 Penulis,
Siti Khotijah
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….
i
HALAMAN NOTA PERSETUJUAN ……………………………………
ii
HALAMAN NOTA PENGESAHAN……………………………………....
iii
DEKLARASI ………………………………………………………………
iv
ABSTRAK …………………………………………………………………
v
HALAMAN MOTTO ……………………………………………………..
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………….
vii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..
viii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….
x
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................
1
B. Penegasan Judul ................................................................
8
C. Rumusan Masalah .............................................................
9
D. Tujuan Penelitian ………………………………………...
9
E. Manfaat Penelitian .............................................................
9
F. Telaah Pustaka ................................................................... 10
BAB II
G. Metode Penelitian ..............................................................
10
H. Sistematika Penulisan .........................................................
15
TINJAUAN TEORITIS TENTANG KHITAN A. Sejarah Khitan ...................................................................
17
B. Pengertian khitan dan tata caranya ....................................
19
C. Dalil Qur’an Dan Sunnah (Hadits) Tentang Khitan ..........
22
D. Tujuan dan Hikmah Khitan ...............................................
25
E. Waktu Pelaksanaan Khitan
................................................
27 BAB III
DESKRIPSI UMUM TENTANG PRAKTIK KHITAN A. Fatwa-Fatwa Mengenai Khitan .........................................
32
BAB IV
BAB V
B. Konsep Hukum Islam Tentang Khitan ..............................
37
1. Khitan Bagi Laki-Laki .................................................
37
2. Khitan untuk Perempuan (Khifadh)..............................
41
C. Khitan di Tinjau dari Aspek Kesehatan ............................
43
1. Khitan Laki-Laki Dalam Tinjauan Medis ...................
43
2. Khitan Perempuan Dalam Tinjauan Medis .................
44
ANALISIS TENTANG KHITAN A. Khitan Dalam Pandangan Hukum Islam ...........................
46
1. Pengertian khitan .........................................................
46
2. Hukum Khitan .............................................................
47
B. Khitan Dalam Pandangan Kesehatan (Medis) ...................
56
PENUTUP A. Kesimpulan
........................................................................
63 B. Saran ...................................................................................
66
C. Penutup ..............................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHUUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan Allah SWT. di muka bumi ini semata-mata untuk menjadi khalifah. Sebagai khalifah manusia dituntut untuk dapat membangun kehidupan yang layak di bumi, yakni kehidupan yang diridlai Allah.
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-an’am: 165). 1 Salah satu amanat kekhalifahan tersebut adalah tanggung jawab terhadap pembentukan generasi. Generasi yang dimaksud bukan sekedar generasi yang siap mengeksploitasi alam demi pencapaian kesejahteraan dalam bidang materi, tetapi bagaimana agar tanggung jawab pembentukan generasi itu mewujud kedalam upaya pembentukan generasi yang menjelmakan al-Qur’an kedalam tingkah laku yang tidak memiliki orientasi lain, kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Karena bagaimana mungkin Islam akan menjadi rahmatal lil’alamin, jika syariatnya hanya ada dalam gagasan dan teori tanpa diterjemahkan ke
1
Depag RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta: 1989, hal. 217
dalam perbuatan. Oleh karena itu, dengan cara bagaimana seorang ibu khususnya orang tua dalam menunaikan tanggung jawab mereka terhadap pembentukan generasi Qur’ani kepada anak-anaknya?. Jawaban atas pertanyaan itu ada dalam satu kata yang sudah sangat populer, yaitu pendidikan. Namun pendidikan yang dimaksud lebih dari sekedar pendidikan formal di sekolah-sekolah. Makna pendidikan tersebut mencakup seluruh aspek pembinaan sejak seorang anak manusia lahir ke dunia hingga akhir hayatnya, yang antara lain meliputi: pendidikan individu, pendidikan keluarga, dan pendidikan masyarakat dimana masing-masing pendidikan itupun mempunyai aspeknya sendiri-sendiri. Begitu pula halnya dengan materi pendidikan yang harus diberikan, mencakup beragam bidang. Diantaranya ialah pendidikan iman, moral, fisik, akal pikiran, psikologis, sosial dan bahkan seksual.2 Namun, kali ini penulis hanya akan memaparkan salah satu aspek dari pendidikan individu yang dianggap sangat penting untuk diangkat kepermukaan, terutama di era sekarang, dimana orang-orang sudah sedemikian
menganggap
remeh
terhadap
persoalan-persoalan
yang
sebenarnya sangat mendasar. Khususnya yang berhubungan dengan agama (Islam). Seperti muslim yang menjalankan perintah Allah hanya sekedar memenuhi kewajiban sebagai hamba-Nya tanpa menghayati makna dalam beribadah, dan bahkan tidak sedikitpun ingin mengetahui hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya. 2
2, hal. 6-7
Achmad Ma’ruf Asrori, dkk, Berkhitan Akikah Kurban, Surabaya: Al-Miftah, 1998, cet.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya mengetahui apa itu syari’at Islam dan apa saja tujuan utama disyari’atkannya agama Islam, sehingga dalam menjalankan tugas sebagai khalifah dibumi ini mampu mengemban amanat dengan sebenar-benarnya. Kata syari’at nampaknya sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan popular khususnya pada masyarakat yang beragama Islam. Menurut bahasa berarti peraturan atau undang-undang. Dan menurut istilah adalah peraturan-peraturan mengenai tingkah laku yang mengikat, harus dipatuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sedangkan syari’at Islam adalah seluruh ketentuan ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.3 Adapun tujuan utama disyari’atkannya agama Islam diantaranya adalah: 1. Menjaga agama (hifzh ad-din) 2. Menjaga kehormatan (hifzh al-irdh) 3. Menjaga jiwa (hifzh an-nafsi) 4. Menjaga harta (hifzh al-mal) 5. Menjaga keturunan (hifzh al-nasl).4 Kaitannya dengan pembentukan generasi Qur’ani, disinilah Islam sangat berperan penting seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwasannya seorang muslim harus mampu menjaga kelima tujuan syari’at Islam tersebut
3
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2010, hal.
343-345 4
Tim Riset Penerbit Al-Qir’ah, Khitan Dalam Perspektif Syariat dan Kesehatan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 4-5
pada diri masing-masing. Khususnya masalah kebersihan diri yang sering orang acuh atau bahkan tidak sadar. “bersih pangkal sehat” itulah kata mutiara yang banyak tertempel di sekolah-sekolah. Hal itu jelas bahwa kesehatan selalu disimbolkan dengan kebersihan, dua kata yang selalu berkaitan satu dengan yang lainnya. Sedangkan menurut tinjauan kesehatan (medis), bila dikaitkan dengan tujuan syariat Islam, maka dapat didapati bahwa tujuan utama syariat Islam dalam bidang kesehatan adalah menjaga jiwa (hifzh al-nafsi).5 Menjaga jiwa yang dimaksud adalah menjaga badan, anggota tubuh maupun menjaga kesehatannya dengan menjauhkan dari hal-hal yang dapat membahayakan dan
membinasakan
dengan
cara
menghindarinya.
Tidak
boleh
menjerumuskan jiwa, baik yang menyangkut raga atau jiwanya. Oleh karena itu Allah menghalalkan segala sesuatu yang baik dan memerintahkan untuk mengusahakannya. Sebaliknya, Allah mengharamkan hal-hal yang jelek dan melarang setiap sesuatu yang akan mengakibatkan bahaya. Telah dikemukakan pula oleh Rasulullah saw. dalam mengharamkan segala sesuatu yng akan berdampak bahaya, penganiayaan, dan pengrusakan. Beliau bersabda:
ِ َضرر وال )ض َر َار (رواه مالك والدار قطين َ َ َ َ َال
“Tidak boleh ada yang membahayakan dan yang dibahayakan.”6
5 6
Ibid., hal. 5 Imam Asy-Syafi’I, Musnad Syafi’i, Beirut: Daar al-Fikri, t.th, hal. 324
Islam telah menjadikan dasar pengharaman sesuatu karena madzarat, kerusakan, dan dosa. Untuk meyakinkan tujuan syariat yang satu ini yaitu menjaga jiwa, maka menjaga kesehatan adalah hal yang utama. Apabila sakit pun Allah memerintahkan untuk berobat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dari Usamah bin Syuraik:
ِ ياَ رسو َل: فَ َقالوا، فَجآء الْعراب ِمن هنَا وههنَا، فَسلَّمت ثَّ قَ ع ْدت ، للا ََ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ََ َ َ ض َع لَه َد َواء غَْي َر َ أَنْ تَ َد َاوى ؟ فَ َق َ ض ْع َداء إِالَّ َو َ َ (تَ َداوْوا فَِإ َّن للاَ َع َّزَو َج َّل َلْ ي: ال ِ داء و ) اح ِد ا ْْلَِرِم َ َ “Ia berkata, ketika aku berada disisi Rasulullah datanglah orang Arab Baduwi, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berobat?” Rasul Menjawab: berobatlah, sesungguhnya Allah tidak memberikan penyakit kecuali Dia memberikan penawarnya kecuali satu penyakit saja.” “apa itu ya Rasulullah?” Tanya mereka. Rasul menjawab, “Penyakit tua (pikun).”7 Begitu pula agama Islam menyeru kepada umatnya agar senantiasa menjadi mukmin yang kuat fisik, emosi, dan spiritualnya. Rasulullah bersabda:
ِ ب إِل ِ َّ للا ِم َن اْل ْؤِم ِن الض ِع ْيف َ َّ اَلْم ْؤمن اْل َق ِوي َخ ْي ر َواَ َح
8ِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim) Segala penyakit dan juga obatnya harus dikembalikan kepada Allah
SWT. Karena Islam sangat menentang keras segala bentuk khurafat dan takhayul yang berhubungan dengan penyakit dan pengobatan. Seperti pengobatan dengan jin, setan dan ruh-ruh jahat. Allah berfirman: 7
Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz 3, Beirut: Daar al-Fikri, t.th, hal. 443 Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Qadr, Bab fil Amr bil Quwwah wa Tark Al’Ajuz, Juz 4, Beirut: Daar al-Fikri, t.th, hal. 2052 8
“Dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku. Dan yang akan mematikan aku, dan kemudian akan menghidupkanku (kembali).” (QS. Asy-syu’ara[42]:79-80).9 Firman Allah diatas menceritakan tentang prinsip Nabi Ibrahim di saat sakit. Oleh karena itu Allah mengharamkan thiyarah, ramalan, jampijampi yang di gantungkan di leher-leher ataupun dirumah-rumah, serta mendatangi dukun dan para peramal.10 Untuk
menentang
pengobatan
cara
mereka,
maka
gunakan
pengobatan secara medis yang sesuai dengan Islam. Yakinlah sesungguhnya Allah yang menjadikan segala sesuatu, baik sakit maupun sembuh. Dengan demikian, berdasarkan kaidah yang telah dikemukakan, maka penulis akan meneliti, memahami, dan mengkaji terhadap beberapa hal yang paradoks ini, yakni mengenai masalah khitan (sunat) yang kaya akan manfaat khususnya dalam bidang kesehatan. Namun, banyak adanya perbedaan pendapat yang menarik tentang permasalahan ini, di satu sisi terdapat ulama’ yang memfatwakan bahwa khitan bagi perempuan adalah sunnah dan memuliakannya. Di sisi lain, ada ulama’ atau kelompok yang menjelaskan dan menegaskan bahwa khitan bagi kaum perempuan hukumnya haram. Pada satu kesempatan, seorang dokter spesialis memberikan pernyataan mengejutkan, bahwa khitan memberikan faedah yang tidak terhingga bagi kaum hawa bila ditinjau dari sisi medis dan kejiwaan. Namun, 9
Depag RI., Op. Cit., hal. 579 Asy-Syaikh Al-Qardhawi, Al Halal wa Al-Haram, jakarta: Bina Ilmu, Cet.1 hal. 67
10
dalam kesempatan lain, ada juga dokter yang mengatakan bahwa khitan adalah kejahatan yang dilakukan kepada kaum hawa, menyakiti fisik dan melukai kejiwaannya.11 Dalam pembahasan nanti penulis tidak sekedar mencari kejelasan tentang masalah khitan bagi perempuan semata. Akan tetapi pembahasan masalah khitan bagi laki-laki pun akan di paparkan pula baik dari segi hukum dan hikmah disyari’atkannya khitan menurut hukum Islam maupun bagi kesehatan. Dengan alasan lain bahwa kebanyakan masyarakat, khususnya orang tua mengkhitankan anak-anak mereka dilakukan tidak disertai dengan penghayatan terhadap makna khitan. Mereka merasa cukup dengan membawa anak mereka kepada ahli khitan dan membayar upah sekian rupiah, lalu selesai. Mereka tidak pernah mencari tahu makna apa yang ada di balik khitan itu, sehingga mereka tidak tanggap akan konsekuensi spiritual dan sosial dari khitan itu.12 Atas dasar latar belakang kasus diatas, maka dalam penyusunan Skripsi ini penulis ingin melakukan penelitian dan mencoba memahami lebih lanjut terhadap persoalan yang sangat urgen ini dengan mengangkat sebuah judul “Khitan Menurut Hukum Islam dan Kesehatan”.
B. Penegasan Judul
11 12
Ibid., hal. 3 Ibid., hal. 9
Untuk menghindari kerancuan, kesalah pahaman serta membatasi permasalahan yang penulis maksudkan, maka perlu adanya penegasan dalam peristilahan yang penulis pakai dalam judul skripsi ini. Khitan
: Pemotongan kulit di bagian ujung kelamin laki-laki. Dan untuk wanita sering dinamakan sunat.13 Dalam
penelitian
ini
akan
lebih
menekankan
pada
pembahasan khitan perempuan. Hukum Islam: Peraturan-peraturan dan ketentuan yang berdasarkan agama Islam, sebagaimana al-Qur’an dan al-Hadis.14 Kesehatan
: Ketahanan jasmani, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan
(tuntunan-Nya),
mengembangkannya,
berdasar
dan
memelihara
rumusan
MUI
serta dalam
musyawarah Nasional tahun 1983.15 Dengan demikian, pokok masalah dalam judul skripsi ini adalah studi analisis hukum khitan menurut pandangan hukum Islam dan kesehatan serta kaitannya dari keduanya.
C. Rumusan Masalah Agar penulis bisa melakukan analisis dengan baik dan mendalam serta tepat dalam mencapai sasaran yang hendak dicapai, maka penulis
13
Ibid., hal. 160 Trisno Yuwono & Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya: Arkola, hal. 202 15 Ahsin W. Al-Hafidz, Fiqh Kesehatan, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 4 14
merumuskan beberapa rumusan masalah, sehingga akan lebih memudahkan penulis dalam membahas permasalahan yang sedang penulis teliti. Adapun perumusan masalah dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hukum khitan menurut pandangan hukum Islam? 2. Bagaimana pandangan khitan dalam perspektif kesehatan?
D. Tujuan Penelitian Suatu penelitian dapat dikatakan bernilai apabila penelitian itu mempunyai tujuan. Maka berdasarkan apa yang telah penulis uraikan sebelumnya, tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana hukum khitan menurut pandangan hukum Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan khitan menurut perspektif kesehatan.
E. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat dari penelitian ini secara teoritis
diharapkan
dapat bermanfaat antara lain sebagai berikut: 1. Menambah referensi ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. 2. Memberikan
informasi
kepada
masyarakat
untuk
mendapatkan
pemahaman tentang bagaimana hukum khitan menurut pandangan hukum islam dan kesehatan.
3. Bagi setiap muslim mampu memahami bagaimana pengaruh positif khitan terhadap kesehatan. 4. Menjadi wacana bagi seluruh umat islam agar memperhatikan kesehatan melalui pelaksanaan khitan
F. Telaah Pustaka Dalam buku-buku yang berkaitan dengan Khitan (“khitan dalam persepektif syari’ah dan kesehatan” yang ditulis oleh Tim Riset Penerbit AlQira’ah, “Berkhitan Akikah Kurban yang benar menurut ajaran islam” karya Achmad Ma’ruf Asrori dan Suheri Ismail, dan “Cara Bijak Rasulullah dalam Mendidik Anak” karangan Nur Kholish Rif’ani tentang mengkhitan anak pada waktunya), dalam buku “fiqh kesehatan” karya Ahsin W. al-Hafidz, dan dalam buku “Indahnya Syariat Islam” karangan Syeh Ali A. al-Jarjawi tentang hikmah khitan. Dalam al-Qur’an, Kitab-kitab Hadits, Kamus-kamus Hukum dan Ensiklopedi di bidang hukum.
G. Metode Penelitian Metode mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai suatu tujuan, dengan memakai teknik serta alat-alat untuk mendapatkan kebenaran yang objektif dan terarah dengan baik. 1. Metode Pendekatan Metode yang digunakan penulis dalam mengadakan penelitian guna mengumpulkan data yang dianalisis, yaitu melalui penelitian yuridis
normatif. Penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder atau juga disebut penelitian hukum kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum serta sejarah hukum untuk memahami adanya hubungan antara ilmu-ilmu hukum dengan hukum positif.16 2. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Deskriptif adalah untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejalagejala lainnya. Maksudnya adalah
untuk memepertegas hipotesis-
hipotesis agar dapat membantu memperkuat teori-teori baru. Jadi deskriptif analisis disini mempuyai tujuan untuk menggambarkan aspekaspek yuridis atau hukum khitan menurut pandangan hukum islam dan kesehatan. 3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini meliputi sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung melalui sumber dari pihak pertama atau data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan yakni dari para medis atau pihak lain yang sering menangani khitan dan pihak lain yang terkait. Disamping itu juga dari sumber data sekunder yaitu sumber data yang berupa buku-buku, kitab-kitab, tulisan-tulisan, dan sumber data tertulis lainnya dari hasil studi pustaka dan arsip. 16
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penilitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 14
4. Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data yang diperlukan untuk penelitian, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Data Primer Pengumpulan data menggunakan cara mengadakan penelitian lapangan (field reseach) untuk memperoleh data dengan jalan: 1. Observasi Cara pengumpulan data observasi yaitu perhatian terfokus terhadap
gejala,
kejadian
atau
sesuatu
dengan
maksud
menafsirkannya, mengungkapkan faktor-faktor penyebab dan menemukan
kaidah-kaidah
yang
mengaturnya.17
Metode
pengumpulan data dilakukan dengan cara langsung mengenai bagaimana hukum dan hikmah dari khitan menurut hukum islam dan kesehatan. 2. Wawancara Pengumpulan data dengan wawancara, dalam penelitian ini pada dasarnya merupakan metode tambahan atau pendukung dari keseluruhan bahan hukum yang dihimpun melalui studi kepustakaan. Adapun wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan wawancara dengan cara meminta informasi atau ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar disekitar
17
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, Cet. 2, hal. 37
pendapat
dan
keyakinannya.18Hal
ini
dilakukan
adanya
keterbatasan waktu, biaya dalam penelitian. Sample yang diambil dari penelitian ini adalah ulama’ dan ahli medis. b. Data Sekunder Dalam pengumpulan data sekunder ini dipergunakan caracara: 1. Riset kepustakaan/Library Reseach Riset kepustakaan yaitu metode pengumpulan data dengan cara mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literaturliteratur, catatan-catatan, laporan-laporan19 serta obyek penelitian yang berkaitan dengan khitan dalam hukum Syariat Islam dan Kesehatan. 2. Jenis data dari sudut sumber dan kekuatan mengikat Oleh karena yang hendak diteliti adalah perilaku hukum, dalam penelitian ini data sekunder yang dari sudut mengikatnya digolongkan dalam: a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, terdiri dari al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, makalah, hasil
18 19
Ibid., hal. 49 Nur Khoiri, Metode Penelitian Pendidikan, Jepara: INISNU, 2012, hal. 115
penelitian, fiqh ibadah, kitab-kitab yang berhubungan dengan khitan, dan lain-lain. c. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus-kamus hukum dan ensiklopedi dibidang hukum.20 3. Analisis Data Untuk menganalisis data dipergunakan analisis kualitatif yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasi dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat di ceritakan kepada orang lain. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara induktif, setelah data terkumpul maka langkah berikutnya adalah menganalisis data yang merupakan cara untuk mencari dan menata secara sistematis catatan hasil wawancara, observasi dan lainnya.21Penelitian menggambarkan
yang
dilakukan
(mendeskripsikan)
perspektif hukum islam dan kesehatan.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
20 21
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 13 Nur Khoiri, Op. Cit., hal. 117
bertujuan
mengenai
khitan
untuk dalam
Untuk mengetahui isi atau materi skripsi secara menyeluruh, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Bagian Muka, terdiri dari: Halaman judul, halaman nota persetujuan pembimbing, halaman nota
pengesahan,
deklarasi,
Abstrak,
halaman
motto,
halaman
persembahan, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi. 2. Bagian isi, terdiri dari beberapa bab: BAB I
: Pendahuluan Bab ini meliputi latar belakang masalah, penegasan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: Tinjauan Teoritis Tentang Khitan Bab ini membahas tentang sejarah khitan, pengertian dan tata cara khitan menurut imam madzhab, tujuan dan hikmah, dan waktu pelaksanaan khitan.
BAB III
: Deskripsi Umum Tentang Praktik Khitan Bab ini membahas fatwa-fatwa tentang khitan. konsep hukum islam tentang khitan dan khitan di tinjau dari aspek kesehatan
BAB IV
: Analisis Tentang Khitan Bab ini membahas analisis khitan menurut pandangan hukum islam dan analisis khitan dalam ilmu kesehatan.
BAB V
: Penutup
Mencakup kesimpulan, saran-saran dan penutup. 3. Bagian Akhir, terdiri dari: Daftar Pustaka, lampiran, daftar riwayat hidup.
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG KHITAN
D. Sejarah Khitan Dalam berbagai literatur klasik banyak ditemukan bahwa umat terdahulu telah melakukan khitan. Dalam Injil Barnabas, dikemukakan bahwa Nabi Adam as. adalah orang yang pertama kali dikhitan. Khitannya dilakukan setelah ia bertaubat dari memakan buah khuldi. Namun keturunannya meninggalkan praktik ini, hingga Allah memerintah untuk melakukan khitan kepada Nabi Ibrahim as.22bahkan dalam kitab Mughni Al Muhtaj dikatakan bahwa laki-laki yang pertama melakukan khitan adalah Nabi Ibrahim as.23Kemudian Nabi Ibrahim mengkhitan anaknya Nabi Ishaq as. pada hari ketujuh setelah kelahirannya dan mengkhitan Nabi Ismail as. pada saat aqil baligh.24 Pada masa Babilonia dan Sumeria Kuno, yakni sekitar tahun 3500 SM, mereka juga sudah melakukan praktik berkhitan ini. Hal ini diperoleh dari sejumlah prasasti yang berasal dari peradaban bangsa Babilonia dan Sumeria Kuno. Pada prasasti itu, tertulis tentang praktik-praktik berkhitan secara perinci. Begitu juga pada masa bangsa Mesir Kuno sekitar tahun 2200 SM. Prasasti yang tertulis pada makam Raja Mesir yang bernama Tutankhamun, tertulis praktik berkhitan di kalangan raja-raja (Firaun). 22
Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, Khitan Dalam Perspektif Syariat dan Kesehatan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 19 23 Muhammad Al Khatib Asy-Syarbini, Mughni Al Muhtaj Ila Ma’rifat Al Ma’ani Al Fadhul Minhaj, Juz V, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1995, hal. 540 24 Saad Al-Marshafi, “Al-Hadits Al-Khitan Hujjiyatuha Wa Fiqhuha” Penerj. Amir Zain Zakariya, Khitan, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet II, hal.56
Khitan atau sunnat merupakan tradisi yang sudah ada dalam sejarah. Tradisi itu sudah dikenal oleh penduduk kuno Meksiko, demikian juga oleh suku-suku Bangsa Benua Afrika. Sejarah menyebutkan, tradisi khitan sudah berlaku di kalangan Bangsa Mesir Kuno. Tujuannya, sebagai langkah untuk memelihara kesehatan dari baksil-baksil yang dapat menyerang alat kelamin, karena
adanya
kulup
yang
bisa
di
hilangkan
kotoranya
dengan
khitan.25Berbagai suku bangsa dipedalaman Afrika seperti suku Musawy (Afrika Timur) dan suku Nandi menjadikan khitan sebagai inisiasi (upacara aqil baligh) bagi para pemuda mereka.Setelah khitan barulah para pemuda diakui secara adat dan berstatus sebagai orang dewasa. Para pemuda yang dikhitan akan di kalungkan potongan qulfah hingga sembuh.26Khitan sangat erat kaitannya dengan budaya Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam). Sampai saat ini khitan masih dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan Sebagian penganut Kristen dari Sekte Koptik.27 Adapun Yahudi, mereka sangat memperhatikan urusan khitan. Mereka menggolongkan orang yang tidak dikhitan sebagai orang-orang penyembah berhala yang jahat (paganisme). Ajaran Nasrani pun pada dasarnya memerintahkan untuk berkhitan, hal ini dapat ditemukan dalam Injil Barnabas yang mengemukakan bahwa Al-Masih dikhitan. Dia menyuruh pengikutnya berkhitan, akan tetapi umat Nasrani tidak melakukan khitan. Sedangkan orang
25
Ahmad Salabi, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, t.tp: Amzah, 2001, hal. 68 Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Shaleh: Telaah Pendidikan Terhadap Sunnah Rasulullah SAW., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. III, hal. 91 27 Alwi Shihab, islam inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama, Bandung: Mizan, 1999, Cet. IV, hal. 275 26
Arab Jahiliyah melakukan khitan karena mengikuti kebiasaan nenek moyang, yaitu Ibrahim as. Imam
al-Qurthubi
dalam
tafsirnya
mengemukakan,
sesuai
kesepakatan para ulama sesungguhnya Ibrahim adalah orang yang pertama kali dikhitan. Sungguh telah diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra.
Sesungguhnya Nabi bersabda:
ِ َكا َن اِبْ َر ِاهْى ُم أ ََّوَل الن استَ َح َّد َّ َب َوأ ََّوَل َم ْن ق ََ َاحت ْ َّاس ْ ص َشا ِربَهُ َواََّوَل َم ْن َ َت َرأَى الشَّْي )(رواه البخارى “Nabi Ibrahim AS adalah orang yang pertama dikhitan, dia adalah orang yang pertama melihat rambutnya beruban, yang pertama mencukur kumis dan orang yang pertama kali mencukur rambut kemaluan.”(HR. Bukhari)28
E. Pengertian Khitan dan Tata Caranya Menurut bahasa, khitan berasal dari kata khatana, yang berarti “khitan bagi laki-laki”, sedang bagi perempuan adalah khafd. Arti dari bahasa tersebut adalah bagian kemaluan laki-laki atau perempuan yang dipotong.29 Sementara itu menurut istilah, khitan ialah memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki agar terhindar dari berkumpulnya kotoran dibawah kulub dan memudahkan pembersihannya setelah buang air kecil.30Sementara bagi anak perempuan khitan dilakukan dengan cara memotong bagian dari kulit yang ada diatas vagina, yaitu diatas pembuka
28
Imam Al-Bukhari, al-Adab Al-Mufrad Ahsin W. al-Hafidz, Fiqh Kesehatan, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 99 30 Ahsin W. al-Hafidz, Kamus Fiqih, Jakarta: Amzah, 2013, hal. 122
29
liang vagina (klitoris).31Khitan disyariatkan bagi orang yang sudah baligh atau mendekati masa baligh dan orang yang berkhitan boleh melihatnya.32 Sedangkan Abu Bakar Usman al-Bakri mendefinisikan khitan sebagai berikut: “Khitan adalah memotong bagian yang menutupi khasafah (kepala kemaluan) sehingga kelihatan semuanya, apabila kulit yang menutupi khasafah tumbuh kembali maka tidak ada lagi kewajiban untuk memotongnya kembali”.33 Sementara Imam al-Mawardi mendefinisikan khitan sebagai berikut : “Khitan adalah pemotongan kulit yang menutupi kepala penis (khasafah), yang baik adalah mencakup memotongan pangkal kulit dan pangkal kepala penis (khasafah), minimal tidak ada lagi kulit yang menutupinya.”34 Sebagaimana dikemukakan oleh DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyah Aulad Fi al-Islam, khitan bisa juga berarti bagian yang dipotong atau tempat timbulnya konsekuensi syara’,35 sebagaimana diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra;
ِا ِ َاْلِتَان )ب الْغُ ْس ُل (رواه املسلم ج و د ق ف ان ى ق ت ل ا ا ذ ْ ْ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ "Apabila bertemu dua bagian yang dikhitan, maka diwajibkan mandi” (HR. Muslim).
31
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 15 32 Ahsin W. Al-Hafidz, loc. cit., hal. 122 33 Abu Bakar Usman Bin Muhammad Dimyati Al Bakri, I’anatut Thalibin, Juz IV, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, t.t, hal. 283 34 Ahmad Bin Ali Bin Hajar, Fathul Bari, Juz 10, Baerut: Dar Al Fikr, t.t, hal. 340 35 Abdullah Nasih Ulwan, “Tarbiyatul Aulad Fil Islam” penerj. Halilullah Ahmad Masykur Hakim, Pendidikan Anak Dalam Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996, Cet III, hal. 85
Adapun cara khitan bagi anak laki-laki Menurut madzhab Hanafi adalah dengan cara dipotongnya semua kulit yang menutupi hasyafah. Oleh karena itu, jika ada bayi yang lahir dalam keadaan telah dikhitan tetapi belum semua kulitnya terpotong, ia perlu diperiksa kembali. Jika yang terpotong lebih dari separuh kulit, berarti ia telah terkhitan dengan sempurna. Dan jika yang terpotong separuh atau kurang dari separuh, maka ia perlu dikhitan ulang.36 Madzhab Maliki, Madzhab Hanbali, dan Imam Nawawi
salah
seorang pengikut Imam Syafi’i juga berpendapat demikian. Sedangkan
khitan
wanita
dilakukan
dengan
beberapa
cara,
diantaranya adalah : 1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (Jaldah/colum/prapeutium) yang menutupi klitoris.37Cara ini dianjurkan dalam Islam, karena akan membersihkan kotoran-kotoran putih yang bersembunyi di balik kulit tersebut atau menempel di bagian klitorisnya atau yang sering disebut (smegma), Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farji, demi tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu senggama.38 2. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti Menghilangkan sebagian kecil dari klitoris, jika memang klitorisnya
36
Ibid.,hal. 34 Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011, hal. 236 38 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Jilid I, Damaskus: Daar Al-Fikr Al-Islami, hal. 356 37
terlalu besar dan menonjol. Ini bertujuan untuk mengurangi hasrat seks wanita yang begitu besar dan membuatnya menjadi lebih tenang dan disenangi oleh suami.Hal itu berdsarkan sabda Nabi Muhammad saw. Kepada Ummu Athiyah:
ِ ِ ِِ الزْو ِج َّ َواَ ْحظَى ِعْن َد،ض ُر لِْل َو ْج ِه َ ْ فَانَّهُ اَن،اَشم ْي َوالَتَ ْن ِهك ْي
“Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami”39 Para fuqaha umumnya sependapat dengan pendapat di atas. Lebih
lanjut, Ibnu Taimiyah menerangkan, bahwa tujuan utama khifadh adalah untuk menstabilkan syhwat, sebagai salah satu cara guna menanggulangi perbuatan keji seperti zina. Sebaliknya, jika khifadh dilakukan secara berlebihan, maka bisa menimbulkan lemah syahwat.40 F. Dalil Qur’an Dan Sunnah (Hadits) Tentang Khitan 1. Al-Qur’an a. QS. an-Nahl: 123
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu:”Ikutilah agama Ibrahim yang lurus” (QS. an-Nahl [16]: 123)41
b. QS. al-Hajj: 78 39
Abu Bakar Usman Bin Muhammad Abu Dimyati Al Bakri, I’anatut Thalibin, Juz IV, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, t.t, hal. 198 40 Achmad Ma'ruf Asrari, dkk., Berkhitan Akikah Kurban Yang Benar Menurut Ajaran Islam, Surabaya: Al Miftah, 1998, cet. II, hal.37 41 Depag RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta: 1989, hal.420
”ikutilah agama orang tuamu Ibrahim.Dia (Allah) telah menamai kamu sekalianorang-orang muslim dari dahulu, dan begitupula dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.”(QS. al-Hajj [22]: 78)42 c. QS. al-Baqarah: 124
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim". (QS. al-Baqarah [2]: 124).43 2. Hadits a. HR. Bukhari dan Muslim
َت بِالْ ُق ُد ْوِم ْ ََثَانُ ْو َن َسنَةً َو ََ َاخت
ِ اِخت ت َعلَْي ِه َّ َت ابْ َر ِاهْي ُم َخلِْي ُل ْ َالر ْْحَ ِن بَ ْع َد َمااَت ََ َ ْ )(رواه خبارى و مسلم
“Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan Yang Maha Pengasih telah berkhitan dengan kampak pada saat beliau berumur delapan puluh tahun.” (HR Bukhari dan Muslim).44
ِ ِْ اِذَا اْلْتَ َقى )ب الْغُ ْس ُل (رواه املسلم َ اْلتَانَان فَ َق ْد َو َج "Apabila bertemu dua bagian yang dikhitan, maka diwajibkan mandi” (HR. Muslim) b. HR. Ibnu Majjah 42
Ibid., hal.523 Ibid.,hal. 32 44 Imam Abi Husain bin Hajjaj Qusairi An Naisaburi, op.cit., hal. 1839
43
ِ ِ ص الشَّا ِر ف ُّ َ اَ ْْلِتَا ُن َواْ ِال ْستِ ْح َد ُاد َوق:اَلْ ِفطَْرةُ َخَْس ُ ب َوتَ ْقلْي ُم اْالَظْ َفا ِر َونَْت )اْ ِالبْ ِط(رواه ابن ماجه “Fithrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku,dan mencabut bulu ketiak” (HR. Ibnu Majjah)45
c. HR. Ahmad
“Buanglah rambut (HR.Ahmad)46
)َت (رواه اْحد َ اَلْ ِق َعْن ْ َِاخت ْ ك َش ْعَر الْ ُك ْف ِر َو
kufur
darimu
dan
berkhitanlah“
ِاَ ْْلِتَا ُن ُسنَّة ِِف م )الر َج ِال ُم َكَّرَمة ِِف النِم َس ِا ِ (رواه اْحد
“Berkhitan itu sunat bagi laki-laki dan mulia dilakukan perempuan” (HR. Ahmad)47 d. HR. Al-Hakim
ِ ِِ الزْو ِج َّ َواَ ْحظَي ِعْن َد،ض ُر لِْل َو ْج ِه َ ْ فَاْنَّهُ اَن،اَشم ْي َوالَتَ ْن ِهك ْي “Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami” (HR. Al-Hakim)48
ِ ِ َِّ اِنَّهُ الن، َع ْن َعائِ َشةَ َر ِضي للاُ َعْن َها الَ َس ِن َو ْ َت َُ صلَّى للاُ َعلَْيه َو َسلم َم خ َ ب ُ َ ِ ْ الُس )السابِ ِع َوَال َد ِتُ َما (رواه الاكم َّ ي يَ ْوَم َْ “Dari Aisyah ra., Sesungguhnya Nabi saw. mengkhitankan Hasan dan Husain ketika berusai tujuh hari dari kelahirannya.”(HR. Al-Hakim)49
G. Tujuan dan Hikmah Khitan 45
Ibnu Majjah, Sunan Ibn Majjah, Juz I, Baerut: daar Al Fikr, tt, hal. 107
46
Abu Dawud 356, Baihaqi 1/.172, Ahmad 3/414 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ 79 47 Abu Bakar Ahmad Bin Ali Al Baihaqi, Sunan Al Kubra, Juz VIII, Baerut: Daar al Fikr, tt, hal. 324 48 Abu Bakar Usman Bin Muhammad Abu Dimyati Al Bakri, I’anatut Thalibin, Juz IV, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, t.t, hal. 198 49 Muhammad Al khatib Al syarbini, Mughni Al Muhtaj Ila Ma’rifat Al Ma’ani Al Fadhul Minhaj, Juz V, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1995, hal. 540
Khitan merupakan bentuk penyempurnaan eksistensi manusia lahir dan batin. Ketika Allah berjanji akan mengangkat Nabi Ibrahim menjadi pemimpin umat manusia, Allah pun memberitahukan kepadanya bahwa Ia akan membuat tanda khusus bagi dia dan keturunannya, yakni khitan. Karenanya, khitan lantas menjadi indikator masuknya seseorang ke agama Nabi Ibrahim as. Adapun tujuan khitan secara Syariah diantaranya adalah: 1. Tujuan utama syariah kenapa khitan itu disyariatkan adalah karena menghindari adanya najis pada anggota badan saat shalat. Karena, tidak sah shalat seseorang apabila ada najis yang melekat pada badannya. Dengan khitan, maka najis kencing yang melihat disekitar kulfah (kulub) akan jauh lebih mudah dihilangkan bersamaan dengan saat seseorang membasuh kemaluannya setelah buang air kecil. 2. Mengikuti sunnah Rasulullah saw. 3. Mengikuti sunnah Nabi Ibrahim as. Sedangkan hikmah khitan dalam kesehatan diantaranya adalah: 1. Dengan menyunat selaput ujung dzakar, diharapkan seseorang terbebas dari berbagai kotoran yang tersembunyi di belakangnya, sekaligus menjauhkan kemungkinan bersarangnya kotoran dan bau busuk di dalamnya. 2. Dengan menyunat selaput ujung dzakar, orang akan terhindar dari bahaya terkurungnya batang penis pada waktu sedang tegang. 3. Khitan mengurangi kemungkinan terserangnya kanker dan ini sudah di buktikan. Penyakit kanker sering menyerang orang yang selaput luar atau
selaput ujung dzakarnya menyempit. Sedangkan umat islam yang mewajibkan khitan jarang sekali mengalami penyakit ini. 4. Jika khitan dilakukan pada waktu bayi, maka kita bisa mencegah bayi tersebut terserang penyakit suka mengompol. 5. Khitan juga bisa mengurangi tingkat masturbasi (onani) pada anak-anak yang baru baligh.50 6. Khusus bagi perempuan, khitan dapat Menghilangkan hiper seks dan memusnahkan sifat berlebih-lebihan dalam seks, Mencegah bau tidak sedap yang keluar dari vagina perempuan, Mengurangi timbulnya penyakit radang saluran kencing, dan menghindari munculnya infeksi organ kelamin.51 Disisi lain, khitan menjadi penyeimbangan antara nafsu binatang dengan tidak bernafsu sama sekali. Nafsu itu ibarat api. Jika api terlalu kecil, masakan tidak matang. Tapi jika terlalu besar, masakan bisa gosong. Jika nafsu birahi melampaui batas, maka orang akan sama dengan binatang. Sebaliknya, jika tidak mempunyai nafsu sama sekali, tentu ia sama dengan benda-benda mati seperti tanah, batu dan sebagainya. Khitan menempatkan orang pada posisi pertengahan.52 Imam Ibnul Qayyim juga berkata bahwa berbagai manfaat terkandung dalam
khitan
diantaranya
kebersihan,
kesucian,
keindahan,
dan
menyeimbangkan gejolak seksualitas. Jika nafsu manusia melampaui batas
50
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010, cet. IV,
hal 161 51
Ibid.,hal. 109-112 Achmad Ma'ruf Asrari, dkk.,op. Cit., hal. 98-99
52
dan menimbulkan bahaya, maka hal itu tak ubahnya seperti binatang. Apabila kelentit laki-laki dan klitoris perempuan tidak dikhitan, hal itu akan dapat menimbulkan prilaku yang buas dalam seks sehingga tidak pernah merasa cukup dalam hubungan suami istri.53 Selain itu, khitan merupakan salah satu bentuk ubudiyyah (ketaatan mutlak) kepada Allah untuk melaksanakan perintah-Nya. Dengan kata lain, melalui khitan seorang anak dididik untuk mau berjuang dan rela berkorban dalam rangka menegakkan agama Allah. Meskipun ia harus berhadapan dengan senjata, meskipun harus ada darah yang menetes, bahkan ada bagian tubuhnya yang teriris, namun karena itu perintah Allah, maka dengan sabar dan tawakal ia ikhlas menjalaninya.54 Ilmu kedokteran modern kini telah berhasil mengungkapkan manfaat yang beragam dari khitan. Hal ini sebagaimana yang diyakini bahwa ajaran Islam tidak akan memerintahkan kepada sesuatu kecuali yang bernilai kebaikan bagi umatnya.
H. Waktu Pelaksanaan Khitan Menyimak pendapat para ulama tentang waktu pelaksanan khitan dapat dikelompokan dalam tiga waktu yaitu: 1. Waktu Wajib
53
Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, op. cit., hal. 81 Achmad Ma’ruf Asrari, dkk.,loc. cit., hal. 99
54
Menurut keterangan Syekh Abu Bakar bin Muhammad Satha adDimyati dalam kitab I’anatut Thalibin bahwa khitan diwajibkan bagi lakilaki baligh, berakal dan berfisik sehat.55 Sementara madzhab Syafi’i berpendapat bahwa waktu khitan yang diwajibkan adalah sesudah aqil baligh, karena sebelum aqil baligh seorang anak tidak wajib menjalankan syariat agama.56Waktu wajib khitan adalah pada saat baligh, karena pada saat itulah wajib melaksanakan sholat. Tanpa khitan shalat tidak sempurna sebab suci merupakan syarat sah shalat tidak bias terpenuhi.57 Usia baligh merupakan batas usia taklif (pembebanan hukum syar’i). Sejak usia baligh itulah seorang anak tergolong mukallaf (terbebani hukum syar’i). Apa yang diwajibkan syariat kepada muslim wajib dilaksanakannya,sedang yang diharamkan wajib dijauhinya.58 Satu hal yang diwajibkan syara’ kepada anak berusia aqil baligh ialah menunaikan shalat lima waktu sehari semalam. Sedang khitan merupakan syarat sahnya shalat, sehingga ketika anak menginjak usia baligh maka ia wajib dikhitan agar kewajiban ibadah dapat ditunaikan. Dengan
demikian,
jelaslah
bahwa
semua
ulama
sepakat
menyatakan kewajiban melaksanakan khitan ketika anak sudah baligh. Bagi orang tua muslim wajib memerintahkan anak melaksanakan khitan
55
Abu Bakar Utsman bin Muhammad Dimyati Al Bakri, op. cit., hal. 283 Achmad Ma’ruf Asrari, dkk.,op. cit., hal. 39 57 Nur Kholis Rif’ani, Cara Bijak Rasulullah dalam Mendidik Anak, Yogyakarta: Real Book, 2013, hal. 57 58 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan Dan Maknanya), Jakarta: Pustaka Amani, 2001, Cet. I, hal. 119 56
jika ia sudah mencapai usia tersebut. Karena pada masa itu anak dituntut kewajibannya melaksanakan syariat agama. 2. Waktu sunnah Tentang waktu yang disunnahkan mayoritas ulama sepakat bahwa waktu yang dimaksud adalah sebelum aqil baligh. Kategori waktu sunnah dalam khitan yang ditentukan dalam rentang waktu (masa) persiapan menyongsong usia mukallaf. Pada usia tujuh tahun anak dilatih melaksanakan shalat karena sudah memasuki usia pra baligh.59Hal ini untuk mengajarkan anak agar terbiasa dan siap menjadi anak shaleh yang didambakan keluarga. Sementara pengikut Imam Hanafi dan Maliki menentukan bahwa waktu khitan yang disunnahkan adalah masa kanak-kanak, yakni pada usia 9 atau 10 tahun atau anak mampu menahan sakit bila dikhitan.60 Asy-Syafi’i menekankan keutamaan khitan ketika anak masih kecil. Memang agaknya jika kita merujuk Rasulullah saw. saat mengkhitankan cucunya Hasan dan Husain pada usia bayi yakni baru berusia tujuh hari, sebagaimana disebutkan dalam Hadits Nabi saw. bahwasannya Aisyah ra. mengatakan :
ِ ِ َِّ اِنَّهُ الن، َع ْن َعائِ َشةَ َر ِضي للاُ َعْن َها الَ َس ِن َو ْ َت َُ صلَّى للاُ َعلَْيه َو َسلم َم خ َ ب ُ َ ِ ِ ِ ْ الُس )الساب ِع َوَال َدتُ َما (رواه الاكم َّ ي يَ ْوَم َْ
Dari Aisyah ra., Sesungguhnya Nabi saw. mengkhitankan Hasandan Husain ketika berusai tujuh hari dari kelahirannya. (HR. Al-Hakim)61
59
Ibid., hal. 122 Saad Al-Marshafi, op. cit., hal. 55.
60
Jika memang demikian, maka hari ketujuh dari kelahiran anak merupakan hari istimewa bagi orang tua. Pasalnya, mereka harus mengerjakan banyak hal yakni mengaqiqahkan, mencukur rambut, menamai dan sekaligus mengkhitankan anaknya. Kembali pada waktu sunnah pelaksanaan khitan Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari memberikan keterangan yang fleksibel sebagai berikut: a. Pelaksanaan khitan di sunnahkan pada usia bayi 7 hari mengikuti jejak Rasulullah saw. b. Jika pada usia tujuh hari belum terlaksana, maka disunnahkan pada usia 40 hari. c. Jika pada usia 40 hari belum terlaksana, maka disunnahkan pada usia 7 tahun, karena pada usia ini anak harus dilatih melaksanakan shalat.62 3. Waktu makruh Waktu makruh melaksanakan khitan yakni dimana fisik anak kurang memungkinkan menanggung rasa sakit untuk berkhitan, waktu yang dimaksud adalah bayi kurang dari umur 7 hari. Adapun menurut keterangan lain khitan pada waktu anak berusia kurang dari tujuh hari semenjak kelahirannya dimakruhkan karena
61 62
Muhammad Al khatib Al syarbini,op. cit., hal. 540 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hal. 123.
selainfisiknya lemah, juga di sinyalir menyerupai perbuatan orang yahudi.63 Sedangkan masalah walimatul khitan, Pengikut madzhab Syafi’i memandang baik akan pelaksanaannya dengan tujuan mensyukuri nikmat Allah dan mencari pahala sedekah. Namun hukumnya tidak wajib, Karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkannya. Imam al-Adzra’i mengatakan bahwa yang dipandang baik adalah mengadakan walimah ketika mengkhitan anak laki-laki, bukan anak perempuan, karena anak perempuan akan merasa malu jika keadaan dirinya diumumkan kepada khalayak. Menurut Abu Zakaria, pengarang kitab Mughni al-Muhtaj, ini adalah pendapat yang terbaik.64 Dengan demikian, tidak ada jeleknya mengadakan walimah khitan. Dengan walimah khitan itu kita bisa menyedekahkan makanan. Demikian pula menghadiri undangan walimah khitan akan membahagiakan orang yang mengundang kita dan mempererat tali silaturrahim.
63 64
Ibid., hal. 124. Achmad Ma’ruf Asrari, dkk.,op. cit., hal. 46
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG PRAKTIK KHITAN
I. Fatwa-Fatwa Mengenai Khitan Fatwa adalah pendapat ulama tentang suatu masalah tertentu, yang prosedurnya diawali dengan pertanyaan. Di Indonesia fatwa bersifat kelompok umumnya lahir dari organisasi-organisasi keagamaan, seperti Majelis Tarjih oleh Muhammadiyyah, Bahtsul Masail dalam NU, dan Majelis Fatwa dalam MUI.65 Sedangkan fatwa menurut arti syari’at ialah suatu penjelasan hukum syari’ah dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau tidak jelas (ragu-ragu) dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan yakni kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat banyak.66 Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta, suatu istilah yang juga merujuk pada profesi memberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa
bisa
berupa
perorangan,
lembaga
ataupun
siapa
saja
yang
membutuhkannya.67 Karena fatwa mempunyai kedudukan penting dalam agama Islam, maka dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan
65
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAde MIA,2010, hal. 52 Rohadi Abdul Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1991, hal. 7 67 Ensiklopedi Islam jilid 2, Jakarta, PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1997, hal. 6 66
kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan dalam menghadapi persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang. Seperti halnya permasalah khitan pada perempuan menjadi bahan yang diperselisihkan oleh para ulama bahkan oleh para dokter sendiri, oleh karena itu, penting dalam menguraikan hal ini guna menjawab keraguan dan kebimbangan umat muslim yang awam mengenai hukum khitan perempuan. Berikut adalah hasil fatwa-fatwa tentang hukum khitan: 1. Ketua MUI Bidang Remaja dan Perempuan, Prof. Dr. Chuzaimah Y. Tanggo,
ketika
membahas
persoalan
khitan
perempuan.
Beliau
mengomentari larangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan himbauan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) untuk tidak mengkhitan perempuan, menganggap mereka telah mencampuri urusan agama yang bukan wewenang manusia sama sekali. Dalam rubrik tanya jawab agama, MUI pun hanya menghimbau untuk tidak berlebihan dalam hal mengkhitan perempuan. Dalam rubrik tersebut, MUI menegaskan khitan perempuan sebagai syari’ah, di mana salah satu manfaatnya adalah mengurangi nafsu birahi perempuan. MUI sepertinya enggan untuk memastikan pelarangan khitan perempuan, tidak sebagaimana ketegasan pengharaman yang difatwakan Majlis Fatwa Mesir dan ulama-ulama alAzhar, Kairo. Yaitu pada bulan Juni-Juli 2007 mereka mengeluarkan fatwa haram bagi khitan perempuan. Fatwa ini didasarkan pada keburukan
(dharar) yang diakibatkan dari praktik khitan yang selama ini dilakukan masyarakat. Sementara dalam kaidah fiqh Islam dinyatakan, segala bentuk kerusakan dan keburukan harus dihapuskan (la dharara wa la dhirar). Dalam pandangan Majlis Fatwa ini, khitan perempuan bukan termasuk persoalan ibadah atau agama. Tapi persoalan tradisi dan adat kebiasaan manusia, sehingga bisa dilarang karena kepastian medis atas keburukan praktik tersebut. Fatwa ini menuai protes dari beberapa ulama yang berbasis SalafiWahabi.Fatwa ini dianggap sebagai kecerobohan dan mencederai syari’ah Islam. Menurut beberapa ulama tersebut, berbagai teks hadis telah membolehkan dan tidak melarang khitan perempuan sama sekali. Bagi mereka sesuatu yang dibolehkan dan tidak dilarang Nabi saw. tidak bisa dilarang siapapun, termasuk ulama Mesir atau al-Azhar. Persoalan khitan perempuan adalah persoalan syari’ah atau agama, yang tidak bisa dicampuri urusan manusia. Apalagi khitan juga terbukti bermanfaat bagi penangkalan HIV-AIDS. Sayangnya, khitan yang dicontohkan untuk penangkalan HIV-AIDS adalah khitan laki-laki bukan khitan perempuan. 2. Syaikh al-Qardlawi berfatwa mengenai khitan perempuan. Ketika beliau ditanya apakah hukum khitan bagi perempuan haram? Dan apakah orang tua yang mengkhitan anak perempuannya berdosa? Beliau pun menjawab, jika mengkaji pendapat-pendapat para ahli fiqih mengenai khitan perempuan, juga pandangan ulama madzhab, maka akan didapati beragamnya pendapat mereka tentang hal ini. Ada yang mengatakan wajib,
ada yang berpendapat istihbab, dan ada pula yang berpandangan sunnah bagi laki-laki dan mukarramah bagi perempuan. Hukum permasalahan ini tidak terdapat kesamaan. Tetapi, untuk keluar dari perbedaan tersebut adalah dengan cara menggabungkan semua pendapat mereka, yaitu bahwa khitan bagi perempuan hukumnya boleh (jawaz). Boleh bukan berarti istihbab (anjuran) dan bukan pula wajib. Bagi beliau yang berpendapat wajib atau istihbab tidak akan menafikan boleh. Begitu puala yang berpendapat mukarramah, maka hukum boleh lebih dekat kepadanya. Karena arti mukarramah adalah perkara yang terpuji dan dianggap baik menurut kebiasaan.68 bahkan Sebagian dokter ada yang menguatkan dan sebagian lagi menentangnya tentang hukum khitan ini, demikian pula dengan ulama. Barangkali pendapat yang paling moderat, paling adil, paling rajih, dan paling dekat dalam kenyataan dalam masalah ini adalah khitan ringan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits meskipun tidak sampai kedrajat shahih, bahwa nabi pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi mengkhitan wanita ini, sabdanya:
ِ ِ ِِ الزْو ِج َّ َواَ ْحظَي ِعْن َد،ض ُر لِْل َو ْج ِه َ ْ فَانَّهُ اَن،اَشم ْي َوالَتَ ْن ِهك ْي
69
“Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami”
68
Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, Khitan Dalam Perspektif Syariat dan Kesehatan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 36-37 69 Abu Bakar Utsman bin Muhammad Dimyati Al Bakri, I’anatut Thalibin, Juz IV, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, t.t, hal. 198
Mengenai masalah ini, keadaan di masing-masing-masing negara Islam tidak sama. Artinya, ada yang melaksanakan khitan wanita dan ada pula yang tidak. Namun bagaimanapun, bagi orang yang memandang bahwa mengkhitan wanita itu lebih baik bagi anak-anaknya, maka hendaklah ia melakukannya. Akan hal orang yang tidak melakukannya, maka tidaklah ia berdosa, karena khitan itu tidak lebih dari sekedar memuliakan wanita, sebagaimana kata para ulama dan seperti yang telah disebutkan dalam beberapa atsar. Adapun khitan bagi laki-laki, maka itu termasuk syiar islam, sehingga para ulama menetapkan bahwa apabila imam mengetahui warga negaranya tidak berkhitan, maka wajiblah ia memeranginya sehingga mereka kembali kepada aturan yang istimewa yang membedakan umat islam dari lainnya ini.70 3. Syaikh Alam Nashr, mantan mufti Mesir berkata, “ sesungguhnya khitan perempuan termasuk syiar-syiar Islam. Kaum muslimin telah sepakat dalam
melakukannya,
begitu
pula
para
ulama
sepakat
pensyariatannya. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat
atas
mengenai
hukumnya. Apakah kedudukannya wajib atau sunnah, hal itu disebabkan kerajihan sanad dan dalilnya argumentatif.”71 4. Syaikh Jadul Haq Ali Jadul Haq, mantan Shaikh Al-Azhar Mesir berkata, “mengenai khitan, sungguh permasalahan tersebut dapat merujuk pada nash-nash syar’i, juga pendapat ulama’ fiqih yang dalil-dalilnya dari kitab70
DR. Yusuf Al-Qardlawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I, Jakarta: Gema Insani, 1995, hal. 555-556 71 Fatwa Dar Al-Ifta’ Mesir nomor 280/63 tanggal 11 September 1950 M.
kitab sunnah dan fiqih. Khitan bagi laki-laki ataupun perempuan adalah sifat
dari
fitrah,
Islam
mengajarkan
dan
menganjurkan
untuk
melakukannya. Hal ini dapat diketahui seperti apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw mengenai tata cara khitan. Bagi perempuan dikhitan dengan cara sedikit mengurangi bagian klitoris yang terdapat dalam ujung kemaluan perempuan.72
J. Konsep Hukum Islam Tentang Khitan Mengenai hukum khitan, para ulama madzhab berbeda pendapat mengenai hukum khitan. Akan tetapi mereka sepakat bahwa khitan telah disyariatkan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Adapun hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan perempuan: 1. Khitan Bagi Laki-Laki Mengenai hukum khitan ini, DR. Saad al-Marsyafi dalam bukunya Ahaaditsu al-Khitan Hujjiyatuha wa Fiqhuha, mengemukakan bahwa hukum khitan bagi laki-laki dibedakan menjadi dua: Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa hukum khitan itu wajib bagi laki-laki. Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Hanbali, pendapat yang shahih dan masyhur dari pengikut Imam Sya'bi, Rabi'ah, al-Auzai dan Yahya bin Said al-Anshari, dan Imam al-Atha'.73Dan sebagian besar ulama ahli fikih pengikut Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa khitan wajib untuk laki-laki. 72
Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, op. cit., hal. 33 Achmad Ma'ruf Asrari, dkk.,Berkhitan Akikah Kurban Yang Benar Menurut Ajaran Islam,Surabaya:Al Miftah, 1998, cet. II, hal.. 18 73
Adapun alasan atau dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan khitan bagi laki-laki wajib adalah sbb.: a. Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. bersabda:
ِ اِخت ِ َت بِالْ ُق ُد ْوِم َّ َت ابْ َر ِاهْي ُم َخلِْي ُل ْ َالر ْْحَ ِن بَ ْع َد َمااَت ْ ت َعلَْيه ََثَانُ ْو َن َسنَةً َو ََ َاخت ََ َ ْ )(رواه خبارى و مسلم “Nabi Ibrahim,kekasih Tuhan Yang Maha Pengasih telah berkhitan dengan kampak pada saat beliau berumur delapan puluh tahun.” (H.R Bukhari dan Muslim).74 Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan, padahal beliau sudah berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu:”Ikutilah agama Ibrahim yang lurus” (QS. an-Nahl [16]: 123)75 Menurut Imam Nawawi, ayat ke-123 surat an-Nahl tersebut memerintahkan kepada kita untuk mengikuti syariat Nabi Ibrahim as. Hal itu menunjukkan, bahwa segala ajaran beliau wajib kita ikuti, kecuali jika ada dalil yang menyatakan hal tersebut sunnah, seperti bersiwak dan lain-lain.76Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing, kalau tidak dikhitan maka sama dengan orang yang menyentuh najis, sehingga sholatnya tidak sah. Sholat adalah 74
Imam Abi Husain bin Hajjaj Qusairi An Naisaburi, op.cit.,hal. 1839 Depag RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta: 1989, hal.420 76 Achmad Ma'ruf Asrari, Depag RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta: 1989, hal. 21 75
ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya wajib. b. Rasulullah bersabda kepada seseorang yang masuk Islam: Dari Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya dia datang kepada Rasulullah, seraya berkata, "Saya telah masuk Islam." Maka Rasulullah, bersabda:
“Buanglah rambut (H.R.Ahmad)77
)َت (رواه اْحد َ اَلْ ِق َعْن ْ َِاخت ْ ك َش ْعَر الْ ُك ْف ِر َو
kufur
darimu
dan
berkhitanlah“
c. Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat sesuatu yang dilarang. Ini menujukkan bahwa khitan wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat hukumnya. d. Khitan hukumnya wajib karena salah satu bentuk syiar Islam yang dapat membedakan antara muslim dan non muslim. Sehingga ketika mendapatkan Jenazah ditengah peperangan melawan non muslim, dapat dipastikan sebagai jenazah muslim jika ia berkhitan. Kemudian jenazahnya bisa diurus secara Islam.78 kedua, adalah pendapat yang menyatakan bahwa khitan itu hukumnya sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Hanafi, termasuk pendapat yang kuat dalam mazhab Imam Malik, dan pendapat
77
Abu Dawud 356, Baihaqi 1/.172, Ahmad 3/414 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ 79 78 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan Dan Maknanya), Jakarta: Pustaka Amani, 2001, Cet. I, hal. 114
sebagian pengikut Imam Syafi'i. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu Abi Musa dari sahabat-sahabat Imam Ahmad dan Hasan al-Bashri. Alasan mereka diantaranya adalah: a. Nabi Muhammad saw bersabda:
ِاَ ْْلِتَا ُن ُسنَّة ِِف م )الر َج ِال ُم َكَّرَمة ِِف النِم َس ِا ِ (رواه اْحد
“Berkhitan itu sunat bagi laki-laki dan mulia dilakukan perempuan” (HR. Ahmad)79 Akan tetapi, menurut Ibnu Hajar, Hajjaj
adalah seorang
pemalsu (mudallis) dan haditsnya mengandung kejanggalan. Kadang-kadang ia meriwayatkan hadits itu seperti diatas, tetapi terkadang ada tambahan Syaddad bin Aus setelah ayahnya Abul Malih. Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan bahwa
berkenaan
dengan hadits itu ada riwayat lain yang tidak melalui jalur Hajjaj, yaitu yang telah diriwayatkan oleh Thabrani di dalam buku Al-Kabir dan Baihaqi di dalam hadits Ibnu Abbas yang marfu'. Namun menurut Baihaqi, hadits yang dimaksud sanad-nya lemah, dan lebih condong mauquf.80 b. Imam Ibnu Majjah dari Nabi saw
ف ُ اْالَظْ َفا ِر َونَْت
ِ ص الشَّا ِر ب َوتَ ْقلِْي ُم ُّ َ اَ ْْلِتَا ُن َواْ ِال ْستِ ْح َد ُاد َوق:اَلْ ِفطَْرةُ َخَْس )اْ ِالبْ ِط(رواه ابن ماجه
“Fithrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak” (HR. Ibnu Majjah)81 79
Abu Bakar Ahmad Bin Ali Al Baihaqi, Sunan Al Kubra,Juz VIII, Baerut: Daar al Fikr, tt, hal. 324 80 Achmad Ma'ruf Asrari, Suheri Ismail dan Khairul Faizin, op. cit., hal. 22-23 81 Ibnu Majjah, Sunan Ibn Majjah, Juz I, Baerut: daar Al Fikr, tt, hal. 107
c. Pengikut mazhab Hanafi berpendapat, bahwa khitan itu termasuk salah satu bentuk syiar Islam. Dan tidak semua hal yang termasuk syiar Islam itu wajib. Selain ada yang wajib, seperti shalat, puasa, dan haji, ada pula yang mustahab seperti membaca talbiyah, menggiring hewan ke tempat penyembelihan waktu haji, dan ada juga yang masih diperselisihkan hukumnya seperti azan, shalat Id, memotong hewan kurban, dan khitan.82 2. Khitan untuk Perempuan (Khifadh) Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Sebagian mengatakan wajib, sebagian mengatakan itu sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja. Oleh karena itu, hukum khitan bagi perempuan dapat dikelompokkan menjadi tiga: Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa hukum khitan bagi wanita adalah wajib. Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur dari pengikut Imam Syafi'i dan Imam Hambali. Dasar hukumnya sama seperti kewajiban khitan bagi laki-laki. Mereka juga berdalil dengan fakta tentang diperbolehkannya membuka aurat untuk urusan berkhitan serta tidak diperbolehkannya memotong anggota badan kecuali untuk sesuatu yang hukumnya wajib. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan hadits,
ِا ِ َاْلِتَان )ب الْغُ ْس ُل (رواه املسلم ج و د ق ف ان ى ق ت ل ا ا ذ ْ ْ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ 82
Achmad Ma'ruf Asrari, Suheri Ismail dan Khairul Faizin, loc. cit., hal. 23
"Apabila dua bagian yang dikhitan telah bertemu, maka telah mewajibkan adanya mandi". Hal itu menunjukkan, bahwa pada zaman dahulu wanita telah berkhitan. Bahkan ada yang berkata, " Seorang laki-laki diperbolehkan memaksa istrinya untuk berkhitan seperti halnya memaksanya untuk mengerjakan shalat".83 Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa khitan bagi wanita tidaklah wajib, hanya sunnah saja, ini merupakan pendapat sebagian pengikut Imam Hanafi, Imam Malik, dan beberapa pengikut Imam Syafi'i. Mereka menggunakan sejumlah dalil yang menyatakan, bahwa khitan untuk laki-laki hukumnya sunnah dan khitan merupakan syiar agama Islam. Juga adanya anjuran khitan bagi orang banci. Seandainya khitan bagi wanita bukan sunnah, tentu orang banci tidak perlu berkhitan, sebab boleh jadi ia adalah seorang wanita.84 Alasan lain karena khitan bagi laki-laki tujuannya membersihkan sisa air kencing yang najis yang terdapat pada kulit tutup kepala dzakar, sedangkan suci dari najis merupakan syarat shalat. Sedangkan khitan bagi wanita hanyalah untuk mengecilkan syahwatnya, yang ini hanyalah untuk mencari sebuah kesempurnaan dan bukan sebuah kewajiban. Ketiga, pendapat yang menyatakan, bahwa khitan bagi wanita hukumnya mustahab (dipandang baik) atau mukarramah (kemuliaan). Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, juga pendapat
83
Ibid.,hal. 30 Ibid.,hal. 31
84
Imam Hanafiyyah, dan Malikiyyah.85 Beberapa ulama lain juga berpendapat demikian dengan berdalil pada sebuah hadits:
ِاَ ْْلِتَا ُن ُسنَّة ِِف م )الر َج ِال ُم َكَّرَمة ِِف النِم َس ِا ِ (رواه اْحد “Berkhitan itu sunat bagi laki-laki dan mulia dilakukan perempuan” (HR.Ahmad)86
K. Khitan Ditinjau Dari Aspek Kesehatan 3. Khitan Laki-Laki Dalam Tinjauan Medis Para ahli medis modern telah mendapatkan berbagai hasil penelitian ilmiah, bahwa bermacam-macam penyakit organ seks yang muncul lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang tidak dikhitan. Prof. Wezwill menulis sebuah artikel, ia menyatakan. “saya pada awalnya adalah salah seorang yang sangat menentang dan memusuhi khitan. Pada tahu 1975 saya telah mulai mengampanyekan larangan khitan. Namun, pada decade delapan puluhan saya mendapati hasil sebuah penelitian medis yang mengungkapkan adanya peradanganperadangan pada kelamin anak-anak yang tidak dikhitan. Setelah itu saya meneliti lebih lanjut dan melakukan pengujian secara seksama terhadap hasil penelitian yang didapatkan sebelumnya. Ternyata hasil yang didapatkan cukup mengejutkan, yaitu sebaliknya daripada yang selama ini saya yakini. Bahwa penelitian tersebut benar, dimana anak yang tidak dikhitan akan timbul pada kelaminnya berbagai penyakit yang
85
Tim Riset Penerbit Al-Qir’ah, loc. cit., hal. 30 Abu Bakar Ahmad Bin Ali Al Baihaqi, Sunan Al Kubra,J uz VIII, Baerut: Daar al Fikr, tt, hal. 324 86
membahayakan. Sejak itulah akhirnya saya berubah haluan 180 derajat dengan mengampanyekan khitan agar dilakukan bagi anak-anak.87 Doctor Scohoen menegaskan dalam penelitiannya, bahwa anak yang dikhitan akan memudahkan membersihkan organ-organ kelamin, dan terjaganya dari bakteri-bakteri kotor membahayakan yang berkumpul pada bagian dalam kelentit. Doctor Marks juga mengemukakan hasil tiga penelitian yang menyatakan bahwa penyakit AIDS dapat diminimalisir dengan khitan. Doctor Wollberg mengidentifikasikan 1103 laki-laki Amerika Serikat yang mengidap penyakit kanker kemaluan dikarenakan mereka tidak dikhitan pada masa kanak-kanaknya.88 Dari banyak pendapat diatas, terlihat bahwa khitan bagi laki-laki hukumnya wajib, dengan banyak alasan, salah satunya adalah terhindar dari berbagai macam penyakit. 4. Khitan Perempuan Dalam Tinjauan Medis Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah melakukan penelitian tentang pengaruh khitan perempuan.Lembaga ini memantau dan mengawasi terhadap kemungkinan adanya bahaya dan akibat negatif dari pelaksanaan khitan perempuan. Para peneliti tersebut memberi catatan: “telah terdapat penyimpangan dalam khitan perempuan. Kebiasaankebiasaan (khitan perempuan) yang terjadi dalam kaitannya dengan hal tersebut, yaitu berupa menghilangkan (memotong) organ reproduksi 87
Riset Penerbit Al-Qir’ah, op. cit., hal. 82 Ibid., hal 87
88
bagian luar perempuan, baik sebagian atau seluruhnya, atau sebagai akibat potongan tersebut memunculkan adanya efek-efek negatif lain terhadap anak perempuan yang bersangkutan. Mereka melakukan hal tersebut bisa saja karena dilatar belakangi ilmu pengetahuan, agama, ataupun berobat yang sebenarnya tidak berfungsi sebagai pengobatan.”89Hal itu yang sering kali dimanfaatkan untuk menjadi argumen bagi sekelompok orang yang tidak setuju. Berbeda dengan Doctor Muhammad Ali al-Bar, beliau berkata, “Khitan termasuk hal yang mudah dan gampang, Didalamnya terkandung tujuan yang banyak. Jika ditinggalkan maka akan bahaya dan mendapat petaka yang besar.”Khitan dapat menahan nafsu seks yang kuat, mengurangi libido, dan menghindari zina, khususnya bagi perempuan yang belum mampu menikah atau perempuan menjanda baik yang ditinggal wafat suaminya ataupun cerai.90 Dengan mendalami pendapat dan perkataan diatas, maka perlu diyakini bahwa sesungguhnya setiap syariat Allah akan ada hikmahnya.
89
Ibid.,hal. 49 Ibid.,hal. 96
90
BAB IV ANALISIS TENTANG KHITAN
C. Khitan Dalam Pandangan Hukum Islam 1. Pengertian khitan Khitan menurut sejarah adalah sunnah para Nabi dan merupakan tatacara
yang telah dilaksanakan oleh berbagai bangsa, sejak zaman
purbakala. Semua dilaksanakan sesuai dengan kebisaaan masing-masing. Dari sejarah para Nabi yang masyhur, khitan itu mendapat tempat yang khusus dari urutan upacara keagamaan sejak Nabi Adam, Nabi Nuh,Nabi Ibrahim, sampai dengan Nabi Isa dan terakhir Nabi Muhammad saw. Namun ada yang berpendapat bahwa Orang yang mula-mula melaksanakan khitan adalah Nabi Ibrahim as. Tidak ada seorangpun yang melaksanakan sebelumnya. Beliau menerima wahyu dari Allah SWT.agar umatnya melaksanakan khitan, mulai dari Nabi Ibrahim sendiri. Pada waktu itu umur Nabi Ibrahim as sudah mencapai 80 tahun. Adapun alat yang digunakan adalah semacam kampak (suatu alat yang terbaik pada waktu itu). Menurut bahasa, “khitan” berasal dari kata khatn, yang berarti khitan bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan adalah khafd. Namun ada pula yang berpendapat, bahwa istilah khatn berlaku baik bagi laki-laki
maupun perempuan. Makna kata asli kata khitan dalam bahasa Arab adalah bagian kemaluan laki-laki atau perempuan yang dipotong.91 Sementara itu menurut istilah, khitan ialah memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki agar terhindar dari berkumpulnya kotoran dibawah kulub dan memudahkan pembersihannya setelah buang air kecil.92Sementara bagi anak perempuan khitan dilakukan dengan cara memotong bagian dari kulit yang ada diatas vagina, yaitu diatas pembuka liang vagina (klitoris).93 2. Hukum Khitan Para ulama sepakat, bahwa khitan telah disyari'atkan, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Namun mereka juga mempunyai pendapat masing-masing tentang syari’at tersebut apakah bersifat wajib, sunnah, atau bahkan mustahab (dipandang baik) atau mukarramah (kemuliaan). Oleh karena itu, berikut adalah penjelasan beserta dasar hukumnya: a. Khitan Wajib bagi Laki-Laki dan Perempuan. Pendapat yang mengatakan bahwa khitan hukumnya wajib diantaranya adalah menurut Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hanbali. Mereka sepakat bahwa dengan didasarkan pada millah Nabi Ibrahim as khitan dihukumi wajib bagi laki-laki maupun perempuan.
91
Achmad Ma'ruf Asrari, dkk, Berkhitan Akikah Kurban Yang Benar Menurut Ajaran Islam, Surabaya: Al Miftah, 1998, cet. II, hal. 11 92 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Fiqih, Jakarta: Amzah, 2013, hal. 122 93 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 15
Karena salah satu millah Nabi Ibrahim as adalah khitan. Sebagaimana firman Allah SWT:
”ikutilah agama orang tuamu Ibrahim.Dia (Allah) telah menamai kamu sekalianorang-orang muslim dari dahulu, dan begitupula dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.”(QS. al-Hajj [22]: 78)94
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim". (QS. al-Baqarah [2]: 124).95
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu:”Ikutilah agama Ibrahim yang lurus” (QS. an-Nahl [16]: 123)96 Berdasarkan dalil-dalil diatas, benar adanya bahwa orang Islam diwajibkan untuk melakukan khitan. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur kepada Allah sebagai hambanya, yaitu dengan mengikuti 94
Depag RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta: 1989, hal. 523 Ibid.,hal. 32 96 Ibid, hal. 420 95
sunnah Rasul-Nya. Salah satu sunnah beliau adalah mengikuti ajaran Nabi Ibrahim as. Imam Malik dan Imam Hambali juga berpendapat bahwa orang yang tidak berkhitan tidaksah menjadi imam dan tidak diterima syahadatnya.97 Disamping alasan tersebut, khitan juga mengandung fungsi kesucian, kebersihan dan berhias, artinya bahwa dengan khitan dapat membersihkan kotoran/najis yang melekat pada bagian yang di khitan, karena orang yang tidak di khitan, lama-kelamaan kotoran yang dikeluarkan bebarengan ketika buang air kecil akan menumpuk dan mengendap didalam kulit yang menutupi hasyafah, sehingga menjadikan najis dan mengakibatkan tidak sahnya shalat seseorang. Seperti halnya Bapak Supa’at, seorang tokoh agama di desa Ngasem
kecamatan
Batealit
Jepara.
Ketika
beliau
ditanya
bagaimanakah hukum khitan bagi laki-laki, dengan tegas beliau mengatakan bahwa khitan bagi seorang muslim wajib hukumnya. Kenapa khitan wajib, karena dengan khitanlah seorang laki-laki mampu menghilangkan najis yang terbawa ketika buang air kecil. Sedangkan jika seorang laki-laki tidak dikhitan maka berakibat mengendapnya najis dan akan menghalangi jalannya ibadah, khususnya shalat.98 Sedangkan diwajibkannya khitan bagi seorang perempuan karena bahwasannya mereka para Imam berdalil dengan fakta tentang 97
Abdul Aziz Dahlan, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet I, hal. 926 98
Supa’at. Wawancara 02 Maret 2015
diperbolehkannya membuka aurat untuk urusan berkhitan serta tidak diperbolehkannya memotong anggota badan kecuali untuk sesuatu yang hukumnya wajib. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan hadits:
ِا ِ َاْلِتَان )ب الْغُ ْس ُل (رواه املسلم ج و د ق ف ان ى ق ت ل ا ا ذ ْ ْ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ "Apabila dua bagian yang dikhitan telah bertemu, maka telah mewajibkan adanya mandi". Hadits ini menunjukkan sebagai dalil bahwa perempuan dan laki-laki di khitan.Dalam farji perempuan terdapat anggota tubuh yang lebih terdapatt pada vagina khususnya (kelentit perempuan), oleh karena itu harus dihilangkan.99Bahkan karena wajibnya, seorang laki-laki diperbolehkan memaksa istrinya untuk berkhitan seperti halnya memaksanya untuk mengerjakan shalat.100 Dari penjelasan diatas, dapat dipahami mengapa khitan sangat dianjurkan, dan bahkan sampai diwajibkan. Hal ini karena selain mengikuti sunnah Rasulullah saw, juga karena banyaknya manfaat bagi pelaku khitan itu sendiri, seperti menghindari diri dari najis/kotoran yang berakibat tidak sahnya shalat bagi seorang lakilaki. Sedangkan bagi seorang perempuan, diwajibkannya khitan memang semata-mata melaksanakan kewajiban sebagai seorang
99
Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, Khitan Dalam Perspektif Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 30 100 Achmad Ma'ruf Asrori, dkk.,op. cit., hal. 30
Syariat dan Kesehatan,
hamba yaitu beribadah kepada Allah dengan mengikuti sunnah RasulNya. b. Khitan Sunnah bagi Laki-Laki dan Perempuan. Adapun yang berpendapat bahwa khitan laki-laki dan perempuan adalah sunnah yaitu sebagian pengikut Imam Hanafi, Imam Maliki dan beberapa pengikut Imam Syafi’i. Mereka berdasar pada hadits Rasulullah saw.:
ِاَ ْْلِتَا ُن ُسنَّة ِِف م )الر َج ِال ُم َكَّرَمة ِِف النِم َس ِا ِ (رواه اْحد
“Berkhitan itu sunat bagi laki-laki dan mulia dilakukan perempuan” (HR. Ahmad)101 Hadits diatas menjelaskan bahwa khitan bagi seorang laki-laki hukumnya adalah sunnah. Ini artinya, meskipun ada yang berpendapat bahwa khitan adalah salah satu bentuk syiar Islam. Tapi tidak semua hal yang termasuk syiar Islam itu wajib.102
ِ ِ ص الشَّا ِر ف ُّ َ اَ ْْلِتَا ُن َواْ ِال ْستِ ْح َد ُاد َوق:اَلْ ِفطَْرةُ َخَْس ُ ب َوتَ ْقلْي ُم اْالَظْ َفا ِر َونَْت )اْ ِالبْ ِط(رواه ابن ماجه
“Fitrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku,dan mencabut bulu ketiak” (HR. Ibnu Majjah)103 Dalam hadits tersebut Nabi mensejajarkan khitan dengan
memotong kumis, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan dan memotong kuku. Sedangkan jenis ibadah tersebut bukanlah perkara yang wajib, maka khitan adalah perkara sunnah bukan wajib. 101
Abu Bakar Ahmad Bin Ali Al Baihaqi, Sunan Al Kubra,Juz VIII, Baerut: Daar al Fikr,
tt, hal. 324 102
Achmad Ma'ruf Asrori, dkk, op. cit., hal. 23 Ibnu Majjah, Sunan Ibn Majjah, Juz I, Baerut: daar Al Fikr, tt, hal. 107
103
Adapun alasan lain karena adanya anjuran khitan bagi orang banci. Seandainya khitan bagi wanita bukan sunnah, tentu orang banci tidak perlu berkhitan, sebab boleh jadi ia adalah seorang wanita.104 Dan kenapa sunnah, karena apabila alat kelamin laki-laki dan klitoris perempuan tidak dikhitan, hal itu akan dapat menimbulkan prilaku yang buas dalam seks sehingga tidak pernah merasa cukup dalam hubungan suami istri.105Di sinilah peranan khitan yaitu menjadi penyeimbangan antara nafsu binatang dengan tidak bernafsu sama sekali. Nafsu itu ibarat api, jika api terlalu kecil, masakan tidak matang. Tapi jika terlalu besar, masakan bisa gosong. Jika nafsu birahi melampaui batas, maka orang akan sama dengan binatang. Sebaliknya, jika tidak mempunyai nafsu sama sekali, tentu ia sama dengan benda-benda mati seperti tanah, batu dan sebagainya. Khitan menempatkan orang pada posisi pertengahan (keseimbangan).106 Pendapat Ibu Ropah yang berprofesi sebagai “dukun bayi” dan bertempat tinggal di desa Ngasem, kecamatan Batealit juga berpendapat, ketika beliau ditanya apakah seorang wanita di khitan, beliau menjawab iya. Dan ketika ditanya kenapa harus dikhitan, beliau menjelaskan bahwa mengkhitan bayi perempuan adalah sebuah kesunatan, karena dengan khitan, seorang perempuan mampu mengurangi syahwat, bahkan beliau ibaratkan seperti listrik yang tadinya mempunyai tegangan 100 watt, dengan dikhitan tegangan itu 104
Achmad Ma'ruf Asrari, dkk, op. cit., hal. 31 Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, op. cit., hal. 81 106 Achmad Ma'ruf Asrari, dkk.,op. Cit., hal. 98-99 105
akan turun menjadi 50 watt.107Jadi, sudah selayaknya sebagai seorang perempuan tidaklah bernafsu buas melebihi seorang laki-laki dalam hubungan seks, karena sejatinya, perempuan adalah makhluk Allah yang bersifat lembut. c. Khitan Sebagai Kemuliaan (Mukarramah) bagi Perempuan. Pendapat ini dikemukakan oleh para pengikut Imam Hanafi, sebagian pengikut Imam Malik dan Imam Hanbali.108 Beberapa ulama lain juga berpendapat demikian dengan berdalil pada sebuah hadits:
ِاَ ْْلِتَا ُن ُسنَّة ِِف م )الر َج ِال ُم َكَّرَمة ِِف النِم َس ِا ِ (رواه اْحد “Berkhitan itu sunat bagi laki-laki dan mulia dilakukan perempuan” (HR.Ahmad)109 Dalam hadits tersebut dikemukakan bahwa khitan bagi perempuan hukumnya mukarramah (kemuliaan). Akan tetapi, menurut Ibnu Hajar, Hajjaj adalah seorang pemalsu (mudallis) dan haditsnya
mengandung
kejanggalan.
Kadang-kadang
ia
meriwayatkan hadits itu seperti diatas, tetapi terkadang ada tambahan Syaddad bin Aus setelah ayahnya Abul Malih. Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan bahwa berkenaan dengan hadits itu ada riwayat lain yang tidak melalui jalur Hajjaj, yaitu yang telah diriwayatkan oleh Thabrani di dalam buku al-Kabir dan Baihaqi di dalam hadits Ibnu Abbas yang marfu'. Namun menurut Baihaqi,
107
Ropah, wawancara 24 Februari 2015 Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, op. cit., hal.31 109 Abu Bakar Ahmad Bin Ali Al Baihaqi, Sunan Al Kubra,J uz VIII, Baerut: Daar al Fikr, tt, hal. 324 108
hadits yang dimaksud sanad-nya lemah, dan lebih condong mauquf.110 Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa meskipun ada yang berpendapat bahwa khitan perempuan (khifadh) adalah wajib, akan tetapi tidak ada satu dalil pun yang kuat yang dapat dijadikan dasar. Yang ada hanya dalil yang mewajibkan khitan bagi anak laki-laki. Demikian pula dengan pendapat yang menyatakan bahwa hukum khitan bagi perempuan adalah sebuah kemuliaan/dipandang baik (mustahab) tidak ada dalilnya, kecuali hadits yang diriwayakan oleh Imam Ahmad diatas. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum khitan bagi perempuan adalah sunnah sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, juga bukhari dan Muslim yang artinya: “Fithrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku,dan mencabut bulu ketiak.”Lafald khitan dalam hadits tersebut bersifat umum, baik untuk laki-laki maupun perempuan.Hadits ini lebih utama dari hadits yang menyatakan bahwa khitan itu dipandang baik bagi perempuan. Hal itu dapat diperkuat lagi dengan dasar hadits lain yang artinya, “Apabila dua bagian yang dikhitan telah bertemu, maka telah mewajibkan adanya mandi". Menurut Imam Ahmad bisa diketahui, bahwa wanita muslimah pada zaman dahulu selalu ber-khifadh.
110
Achmad Ma'ruf Asrari, dkk., op. cit., hal. 22-23
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa khitan bagi perempuan (khifadh) adalah memotong sebagian kecil dari kulit kemaluan yang menonjol diatas lubang kencing (klitoris). Namun, dalam hal ini Rasulullah saw mengingatkan bahwa dalam memotongnya tidak boleh berlebihan,111dan tidak boleh menyakiti. Oleh karena itu, perlu memperhatikan batasan-batasan menurut syariat, yaitu sebagai berikut: 1. Tidak boleh menganiaya apalagi sampai melewati batas, yaitu penghilangan (pembinasaan) dengan cara memotong habis kelentit farji perempuan. Sehingga perempuan akan kehilangan dalam mendapati kenikmatan biologis yang disyariatkan. Praktik ini dikalangan masyarakat Mesir lebih dikenal dengan istilah khitan Fir’aun. 2. Tidak boleh dilakukanoleh orang yang bukan ahlinya, seperti yang diyakini dan dipraktikkan oleh masyarakat pedalaman ataupun yang tidak berpendidikan. Orang yang melakukan khitan haruslah dokter spesialis dan yang ahli dalam bidangnya. 3. Tidak boleh menggunakan peralatan kecuali harus yang bersih, steril, dan sesuai untuk melakukan khitan. Begitu pula tempat yang akan dijadikan praktik khitan harus pada tempatnya seperti rumah sakit, klinik, atau medical centre.112 Sedangkan khitan perempuan dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah : 111
Ahsin W. al-Hafidz, Fikih Kesehatan, Jakarta: Amzah, 2007, hal. 100 Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, Khitan Dalam Perspektif Syariat dan Kesehatan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010, hal. 38-40 112
1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (Jaldah/colum/prapeutium) yang menutupi klitoris.113 2. Menghilangkan sebagian kecil dari klitoris, jika memang klitorisnya terlalu besar dan menonjol. Ini bertujuan untuk mengurangi hasrat seks wanita yang begitu besar dan membuatnya menjadi lebih tenang dan disenangi oleh suami. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. Kepada Ummu Athiyah:
ِ ِ ِِ الزْو ِج َّ َواَ ْحظَى ِعْن َد،ض ُر لِْل َو ْج ِه َ ْ فَانَّهُ اَن،اَشم ْي َوالَتَ ْن ِهك ْي
“Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami”114 Berbeda dengan khitan laki-laki, bahwa dengan adanya pendapat para ulama yang dikuatkan oleh dalil-dalil al-Qur’an diatas, maka jelas
sekali bahwa hukum khitan bagi seorang laki-laki adalah wajib. Karena disamping banyaknya hikmah bagi pelaku khitan, ia juga mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah dengan mengikuti sunnah Rasullullah saw.
D. Khitan Dalam Pandangan Kesehatan (Medis) Khitan termasuk perkara yang disyariatkan Allah SWT kepada hambaNya demi menyempurnakan kesehatan jasmani maupun rohani sesuai dengan fitrahnya.115
113
Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011, hal. 236 Abu Bakar Usman Bin Muhammad Abu Dimyati Al Bakri, I’anatut Thalibin, Juz IV, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, t.t, hal. 198 115 Abdul Aziz Dahlan et al, Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. I, hal. 76 114
Islam juga telah mempertegas tentang tujuan pentingnya berkhitan, yakni untuk bersuci dan menjaga kesucian.116Khitan erat kaitannya dengan pemeliharaan kebersihan kemaluan karena orang lebih mudah membersihkan kelaminnya sesudah buang air kecil. Khitan adalah aspek penting dalam thaharah (kesucian dan kebersihan) yang sangat ditekankan dalam syariat Islam. Ketika kulit yang menutupi penis tidak dikhitan, maka air kencing dan kotoran yang lain dapat mengumpul di bawah lipatan kulit. Daerah ini dapat menjadi infeksi dan penyakit karena menjadi tempat pertumbuhan bakteri.117 Para ahli medis modern telah mendapatkan berbagai hasil penelitian ilmiah, bahwa bermacam-macam penyakit organ seks yang muncul akhirakhir ini lebih banyak ditemukan pada orang-orang yang tidak dikhitan. Sementara mereka yang dikhitan jarang sekali didapati memiliki penyakit tersebut.118 Prof. Wezwill menulis sebuah artikel, ia menyatakan. “saya pada awalnya adalah salah seorang yang sangat menentang dan memusuhi khitan. Pada tahu 1975 saya telah mulai mengampanyekan larangan khitan.Namun, pada dekade delapan puluhan saya mendapati hasil sebuah penelitian medis yang mengungkapkan adanya peradangan-peradangan pada kelamin anakanak yang tidak dikhitan. Setelah itu saya meneliti lebih lanjut dan melakukan pengujian secara seksama terhadap hasil penelitian yang didapatkan 116
Abu Hadian Syafiarahman, Hak-hak Anak Dalam Syariat Islam (Dari Janin Hingga Pasca Kelahiran), Yogyakarta: Al-Manar, 2003, Cet I, hal. 78 117 Norma Tarazi, Wahai Ibu Kenali Anakmu : Pegangan Orang Muslim Mendidik Anak, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001, Cet I, hlm. 12 118 Tim Riset Penerbit Al-Qira’ah, op. cit., hal. 83
sebelumnya.Ternyata hasil yang didapatkan cukup mengejutkan, yaitu sebaliknya daripada yang selama ini saya yakini. Bahwa penelitian tersebut benar, dimana anak yang tidak dikhitan akan timbul pada kelaminnya berbagai penyakit yang membahayakan. Sejak itulah akhirnya saya berubah haluan 180 derajat dengan mengampanyekan khitan agar dilakukan bagi anak-anak.119 Para ahli kedokteran mengungkapkan bahwa khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit tersebut dan semakin lama endapan tersebut semakin banyak. Dapat dibayangkan berapa lama seseorang melakukan kencing dalam sehari dan berapa banyak endapan yang disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam setahun. Oleh karenanya beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita penyakit kelamin lebih banyak dari kalangan yang tidak dikhitan. M. Taqwim, S.Kep salah satu tenaga medis di lingkungan RSI Sultan Hadlirin Jepara juga berpendapat bahwa seorang laki-laki memang harus dikhitan. Karena disamping adalah sebagai pembersihan dari najis yang melekat pada tubuh, yang disitu terdapat banyak bakteri yang akan menimbulkan banyak penyakit, khitan juga sebagai pembeda antara seorang
119
Riset Penerbit Al-Qir’ah, op. cit., hal. 82
muslim dan non-muslim. Oleh karena itu, bagi seorang Muallaf (orang yang baru masuk Islam) diwajibkan baginya melaksanakaan khitan.120 Sedangkan tradisi khitan anak perempuan barangkali sudah setua sejarah manusia itu sendiri, sebab ia banyak ditemukan dalam sejarah agamaagama sebelum Islam, misalnya Yahudi dan sebagian Kristen. Seiring dengan itu, para pemeluk agama ini meneruskan ritual itu hingga sekarang. Kendati tak semua pemeluk agama melakukannya, karena khitan sendiri mengandung perdebatan di dalamnya, tetap saja agama menjadi satu dorongan kuat untuk melakukannya. Dr. Muhammad Ali al-Bar, beliau berkata, “khitan termasuk hal yang mudah dan gampang, Didalamnya terkandung tujuan yang banyak. Jika ditinggalkan maka akan bahaya dan mendapat petaka yang besar.”Khitan dapat menahan nafsu seks yang kuat, mengurangi libido, dan menghindari zina, khususnya bagi perempuan yang belum mampu menikah atau perempuan menjanda baik yang ditinggal wafat suaminya ataupun cerai.121 Apabila dilihat dari kenyataan, praktik khitan di Indonesia kebanyakan dilakukan dengan membuat perlukaan kecil pada daerah klitoris. Bahkan, banyak yang hanya mempraktikkan “sunat psikologis” dimana khitan wanita dilakukan hanya sekadar penorehan sedikit (dengan) ujung jarum, sehingga keluar setetes darah, dan orang tua pasien sudah puas. Praktik khitan perempuan bukan hanya monopoli orang yang berpendidikan rendah tapi juga dilakukan oleh keluarga muda, sarjana, dan para karyawan yanghidup di 120
Muhammad Taqwim, wawancara 04 Maret 2015 Riset Penerbit Al-Qir’ah, op. cit., hal. 96
121
perkotaan. Mereka justru bersemangat melakukan terhadap anaknya, bahkan meski mereka sendiri di masa kecilnya tidak mengalaminya. Khitan perempuan lebih sering dipraktikkan pada waktu masih bayi, yaitu waktu “puputan” dimana orang yang mengkhitan tidak lain adalah seorang dukun bayi. Seperti halnya Ibu Ropah yang mengkhitan setiap bayi perempuan ketika berumur 7 hari atau pada tepatnya pada waktu puputan dengan sebuah alat yang sering beliau sebut ani-ani.122Hal itu dilakukan dengan maksud mengurangi nafsu (syahwat), yang apabila tidak dikhitan maka dapat menimbulkan kebuasan nafsu dalam berhubungan suami Istri. Dan itu dapat merugikan diantara keduanya. Namun menurut M. Taqwim, S.Kep khitan bagi seorang perempuaan tidaklah diharuskan, akan tetapi boleh dilakukan, hanya saja tidak boleh berlebihan. Artinya, jika hal itu dilakukan dengan tanpa aturan yang benar dan dianggap sebuah penyiksaan, maka khitan itu lebih baik ditinggalkan.123 Meskipun demikian, Ilmu kesehatan modern masih tetap berpendirian bahwa kebersihan adalah pangkal kesehatan. Banyak ayat al-Qur’an yang menganjurkan hidup bersih dan teratur. Tidak heran kalau kebersihan merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan Nabi Muhammad saw. pada pengikutnya dan dijadikan sendi dasar dalam kehidupan sehari-hari.124 Khitan dipandang kaum muslimin sebagai syarat aturan kebersihan. Faedahnya untuk kebersihan alat kelamin, agar mudah dibersihkan dari sisa-
122
Ropah, op. cit. Muhammad Taqwim, op. cit. 124 R. H. Su’dan, Al Quran Dan Panduan Kesehatan Masyarakat, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Pruma Yasa, 1997, hal. 12 123
sisa air seni.125 Orang yang tidak dikhitan tidak akan bisa bersih kelaminnya, maka dalam Islam khitan sebagai solusi agar manusia terhindar dari kotoran yang bisa mengganggu ibadahnya. Sebagaimana diketahui, bahwa khitan termasuk sunnah Nabi Muhammad saw dan petunjuk Nabi Ibrahim as. Hal ini sudah cukup untuk mengatakannya sebagai kesunatan. Di samping nash-nash syariat yang sesuai dengan kenyataan secara ilmiyah dan teruji bahwa khitan mempunyai nilai kesehatan.Dari berbagai kesesuaian ini perintah khitan datang dari syariat maupun dari ilmu kedoketaran. Bagi kehidupan manusia, kesehatan jelas sangat penting terlebih bagi fisik (lahiriyah) semata, tetapi yang utama adalah kesehatan hati dan akal.Kesehatan diperlukan orang untuk ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dengan demikian tanpa tubuh sehat orang tidak akan bisa menjalankan ibadah dan dia akan merasa berat menjalankannya. Dengan mendalami pendapat dan penjelasan diatas, maka perlu diyakini bahwa sesungguhnya setiap syariat Allah akan ada hikmahnya. Adapun hikmah khitan laki-laki bagi kesehatan antara lain adalah: 1. Dengan dikhitan akan terjaga dari radang kemaluan 2. Khitan akan memberikan kekebalan pada anak dari terjangkit penyakit radang saluran kencing 3. Dengan khitan mampu terhindar dari penyakit kelamin 4. Khitan juga mampu mencegah kanker
125
Ibid.,hal. 85
Sedangkan hikmah khitan bagi perempuan dilihat dari segi kesehatan adalah: 1. Dengan dikhitan, akan mengurangi sensitifitas klitoris 2. Mencegah orgasme yang sakit bagi perempuan saat berhubungan 3. Menghindari perempuan hiper seks penyebab sensitifitas klitoris 4. Mencegah bau tidak sedap yang keluar dari vagina 5. Mengurangi timbulnya penyakit radang saluran kencing 6. Dan menghindari munculnya infeksi organ kelamin Oleh karena itu tidak ada alasan lagi melarang seorang laki-laki ataupun perempun untuk dikhitan. Karena dengan khitan akan terhindar dari segala macam penyakit, bahkan banyak keuntungan ketika laki-laki dan perempuan dikhitan, khususnya dalam hal berhubungan suami istri yaitu menambah kenikmatan senggama.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Mengingat tidak ada dalil yang jelas dan pasti dari al-Quran dan hadits, para ulama berselisih sesuai dengan pandangan masing-masing terhadap dalil, atau sesuai dengan teks dalil itu sendiri. Meskipun demikian, penulis mencoba meringkas pendapat para ulama tersebut sebagai jawaban atas pokok masalah yang ada, dan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Khitan dalam Pandangan Hukum Islam Para ulama sepakat, bahwa khitan telah disyari'atkan, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Namun mereka juga mempunyai pendapat masing-masing tentang syari’at tersebut apakah bersifat wajib, sunnah, atau bahkan mustahab (dipandang baik) atau mukarramah (kemuliaan). Berikut penjelasannya: a. Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan Imam Hanbali. Penganut paham ini mereferensikan pada millah Nabi Ibrahim as. b. Khitan sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Adapun yang berpendapat bahwa khitan laki-laki dan perempuan adalah sunnah yaitu sebagian pengikut Imam Hanafi, Imam Maliki dan beberapa pengikut Imam Syafi’i.
c. Khitan sebagai kemuliaan (mukarramah) bagi perempuan. Pendapat ini dikemukakan oleh para pengikut Imam Hanafi, sebagian pengikut Imam Malik dan Imam Hanbali. Mereka berpendapat, bahwa khitan bagi perempuan bukan sunnah, akan tetapi mukarramah (kemuliaan). Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan, bahwa meskipun ada yang berpendapat bahwa khitan perempuan (khifadh) adalah wajib, akan tetapi tidak ada satu dalil pun yang kuat yang dapat dijadikan dasar. Yang ada hanya dalil yang mewajibkan khitan bagi anak laki-laki. Demikian pula dengan pendapat yang menyatakan bahwa hukum khitan bagi perempuan adalah sebuah kemuliaan/dipandang baik (mustahab) tidak ada dalilnya, kecuali hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad diatas. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum khitan bagi perempuan adalah sunnah sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, juga Bukhari dan Muslim yang artinya: “Fithrah ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu yang tumbuh di sekitar kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” selain itu, khitan bagi perempuan juga mampu menyeimbangkan nafsu, karena apabila tidak dikhitan, maka hal itu akan dapat menimbulkan prilaku yang buas dalam seks sehingga tidak pernah merasa cukup dalam hubungan suami istri. Khitan perempuan lebih sering dipraktikkan pada waktu masih bayi, yaitu waktu “puputan” dimana orang yang mengkhitan tidak lain
adalah seorang dukun bayi. Praktik khitan kebanyakan dilakukan dengan membuat perlukaan kecil pada daerah klitoris, dan bukan hanya monopoli orang yang berpendidikan rendah tapi juga dilakukan oleh keluarga muda, sarjana, dan para karyawan yang hidup di perkotaan. Mereka justru bersemangat melakukan terhadap anaknya, bahkan meski mereka sendiri di masa kecilnya tidak mengalaminya. Sama halnya dengan khitan bagi seorang laki-laki, bahwa dengan adanya pendapat para ulama yang dikuatkan oleh dalil-dalil al-Qur’an, maka jelas sekali bahwa hukum khitan bagi seorang laki-laki adalah wajib. Karena khitan mampu menghindari diri dari najis/kotoran yang berakibat tidak sahnya shalat bagi seorang laki-laki. Dan apabila kotoran itu tidak dibersihkan, maka akan menumpuk dan menjadikan sarang penyakit. 2. Khitan Dalam Perspektif Kesehatan Bagi kehidupan manusia, kesehatan jelas sangat penting terlebih bagi fisik (lahiriyah). Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa salah satu kunci kesehatan adalah dengan berkhitan. Para ahli kedokteran mengungkapkan bahwa khitan mempunyai faedah bagi kesehatan karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian kotoran, virus, najis dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit tersebut dan semakin lama endapan tersebut semakin banyak.
Adapun hikmah khitan laki-laki bagi kesehatan antara lain adalah: 5. Dengan dikhitan akan terjaga dari radang kemaluan 6. Khitan akan memberikan kekebalan pada anak dari terjangkit penyakit radang saluran kencing 7. Dengan khitan mampu terhindar dari penyakit kelamin 8. Khitan juga mampu mencegah kanker Sedangkan hikmah khitan bagi perempuan dilihat dari segi kesehatan adalah: 7. Dengan dikhitan, akan mengurangi sensitifitas klitoris 8. Mencegah orgasme yang sakit bagi perempuan saat berhubungan 9. Menghindari perempuan hiper seks penyebab sensitifitas klitoris 10. Mencegah bau tidak sedap yang keluar dari vagina 11. Mengurangi timbulnya penyakit radang saluran kencing 12. Dan menghindari munculnya infeksi organ kelamin Oleh karena itu tidak ada alasan lagi melarang seorang laki-laki atau pun perempuan untuk dikhitan. Karena dengan khitan akan terhindar dari segala macam penyakit, bahkan banyak keuntungan ketika laki-laki dan perempuan dikhitan, khususnya dalam hal berhubungan suami istri yaitu menambah kenikmatan senggama. B. Saran Adapun saran dalam kajian skripsi ini dapat dipahami sebagai berikut: 1. Perlunya kesadaran dari masyarakat serta perlunya penyuluhan masalah khitan. Karena selama ini masyarakat hanya sekedar menjalani tradisi
dengan membawa anak-anak mereka kepada ahli khitan, tanpa ingin mengetahui apa sebenarnya khitan tersebut, bagaimana hukumya menurut syari’at Islam dan apa saja manfaat khitan di lihat dari segi kesehatan (medis). Oleh karena itu, hendaklah masyarakat mengetahui secara jelas bahwa hukum khitan bagi seorang laki-laki adalah wajib, dan bagi seorang perempuan adalah sebuah kesunatan, dengan sarat memotongnya tidak boleh berlebihan. Artinya, tidak boleh menghilangkan seluruh bagian dari klitoris, karena pentingnya organ vital bagi perempuan. Masyarakat juga harus sadar betul bahwa khitan mempunyai banyak manfaat salah satunya adalah terhindar dari berbagai macam penyakit. 2. Setiap terdapat perbedaan pendapat dalam masalah hukum, hendaknya diambil pendapat yang membawa kemaslahatan dan bukti sebuah penelitian ilmiah berkenaan dengan manfaat yang ditimbulkan dengan adanya pelaksanaan khitan baik bagi seorang perempuan maupun laki-laki. 3. Adanya perbedaan pendapat harus menjadi keberagaman bukan justru mengakibatkan perpecahan, yang dengan perbedaan tersebut menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang agama, hukum dan kesehatan. C. Penutup Dengan segala rasa syukur kepada Allah SWT yang senantiasa memberi rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik tanpa adanya hambatan yang berarti. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
Penelitian ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak penelitian yang harus dilakukan seputar masalah khitan bagi para perempuan khususnya dan masalah-masalah hukum Islam
pada umumnya yang oleh karena
keterbatasan kemampuan tidak lupa penulis mohon maaf, apabila dalam penyusunan kalimat maupun bahasa yang mungkin masih dijumpai banyak kekeliruan, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang baik guna perbaikan dimasa mendatang. Mudah-mudahan atas terselesainya penulisan skripsi yang penulis buat ini kiranya Allah SWT memberikan ridla-Nya, semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung di akhirat nanti dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bermanfaat bagi penuntut ilmu pada umumnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA Abu Dawud, Imam, Sunan Abu Dawud, Juz 3, Beirut: Daar al-Fikri, t.th. Ahmad Bin Ali Bin Hajar, Fathul Bari, Juz 10, Baerut: Dar Al Fikr, t.th. Ahmad, Abu Bakar Bin Ali Al Baihaqi, Sunan Al Kubra, Juz VIII, Baerut: Daar al Fikr, t.th. Al-Hafidz, Ahsin W., FiqhKesehatan, Jakarta: Amzah, 2010. Al-Hafidz, Ahsin W., KamusFiqih, Jakarta: Amzah, 2013. Al-Marshafi, Saad, Al Hadits Al-Khitan Hujjiyatuha Wa Fiqhuha diterjemahkan oleh Amir Zain Zakariya, Khitan, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet II. Al-Qardhawi, Asy-Syaikh, Al Halal wa Al-Haram, Jakarta: Bina Ilmu, Cet.1. Al-Qardlawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I, Jakarta: Gema Insani, 1995. Asrori, Achmad Ma’ruf, dkk, Berkhitan Akikah Kurban, Surabaya: Al-Miftah, 1998, cet. 2. Asy-Syafi’i, Imam, Musnad Syafi’i, Beirut: Daar al-Fikri, t.th. Asy-Syarbini, Muhammad Al Khatib, Mughni Al Muhtaj Ila Ma’rifat Al Ma’ani Al Fadhul Minhaj, Juz V, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1995. Azzam, Abdul Aziz Muhammad & Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah, 2010. Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Jilid I, Damaskus: Daar Al-Fikr Al-Islami, t.th. Dahlan, Abdul Aziz, dkk.,Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet I. Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta: 1989. Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, Cet. 2. Ensiklopedi Islam jilid 2, Jakarta, PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 1997.
Fatah, Rohadi Abdul, Analisa Fatwa Keagamaan Dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1991. Halim, M. Nipan Abdul, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan Dan Maknanya), Jakarta: PustakaAmani, 2001, Cet. I. Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, Jakarta: Erlangga, 2011. Ibnu Majjah, Imam, Sunan Ibn Majjah, Juz I, Baerut: daar Al Fikr, t.th. Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Shaleh: Telaah Pendidikan Terhadap Sunnah Rasulullah SAW., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. III. Khoiri, Nur, Metode Penelitian Pendidikan, Jepara: INISNU, 2012. Mujieb, M. Abdul, Mabruru Tholhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2010. Muslim, Imam, Kitab Al-Qadr, Bab fil Amr bil Quwwah wa Tark Al’Ajuz. Juz 4, Beirut: Daar al-Fikri, t.th. Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Academia, 2010. Rif’ani, Nur Kholis, Cara Bijak Rasulullah dalam Mendidik Anak, Yogyakarta: Real Book, 2013. Salabi, Ahmad, Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, t.tp: Amzah, 2001. Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999, Cet. IV. Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penilitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Su’dan, Al Quran Dan Panduan Kesehatan Masyarakat, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Pruma Yasa, 1997. Syafiarahman, Abu Hadian, Hak-hak Anak Dalam Syariat Islam (Dari Janin Hingga Pasca Kelahiran), Yogyakarta: Al-Manar, 2003, Cet I. Tarazi, Norma, Wahai Ibu Kenali Anakmu :Pegangan Orang Muslim Mendidik Anak, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001, Cet I. Tim Riset Penerbit Al-Qir’ah, Khitan Dalam Perspektif Syariat dan Kesehatan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Ulwan, Abdullah Nasih, “Tarbiyatul Aulad Fil Islam” penerj. Halilullah Ahmad Masykur Hakim, Pendidikan Anak Dalam Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996, Cet III. Usman, Abu Bakar Bin Muhammad Dimyati Al Bakri, I’anatut Thalibin, Juz IV, Baerut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, t.th. Yuwono, Trisno & Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya: Arkola.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Siti Khotijah NIM : 131410000052 Tempat Tanggal Lahir: Jepara, 10 Agustus 1991 Agama : Islam Alamat : Ngasem Rt. 21 Rw. 03 Kecamatan Batealit Kabupaten Jepara Orang Tua: a. Ayah : Sadi Wongso (alm) b. Ibu : Kasrumi Pendidikan: a. MI Miftahul Huda Ngasem Lulus Tahun 2003 b. MTs Walisongo Pecangaan Lulus Tahun 2006 c. SMA N 1 Pecangaan Lulus Tahun 2009 d. Semester Akhir Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ Jepara Tahun 2015
Jepara, 10 April 2015
Siti Khotijah