JURNAL GIZI KLINIK INDONESIA Volume 2, No.1, Juli 2005: 1 - 7
PERSEPSI CITRA TUBUH DAN KENDALA UNTUK MENURUNKAN BERAT BADAN PADA REMAJA SLTP DI KOTA YOGYAKARTA DAN KABUPATEN BANTUL Novriani Tarigan1, Hamam Hadi2, Madarina Julia3
ABSTRACT Background: The prevalence of obesity in children and adolescents is increasing, both in the developed and developing countries. Obesity has been reported to be related to the impairment of body image, but this association has not been studied among Indonesian adolescents. Objective: To assess the perception of body image and the obstacles for reducing body weight in obese junior high school adolescents in the District of Yogyakarta and Bantul. Methods: This is a cross sectional study, using both quantitative and qualitative approaches. Body images were assessed using Body Image Assessment for Obesity (BIA-O) with 8 figures. In depth interview were used to assess the perceptions of body images and the obstacles in reducing body weight faced by the obese adolescents. Results: Obese adolescents had significantly larger dissatisfaction to their body images compared to their non-obese peers, i.e. mean (95%CI) scores of dissatisfaction of 1.89 (1.69 – 2.08) in obese adolescents compared to –0.27 (-0.49 to 0.05) in non-obese adolescents. Most of the obese adolescents had tried to reduce their weight, mostly in order to have a better looks, but failures and hardships in the efforts had made most of them stopped trying. Conclusion: Obese adolescent were not satisfied with their image. Most of them had tried to reduce body weight but failures had made them stop trying. Key words: Adolescent obesity, body image, body dissatisfaction, obstacles in reducing body weight
PENDAHULUAN Obesitas sudah menjadi masalah serius dan prevalensinya sedang meningkat di banyak negara, baik di negara industri maupun di negara berkembang (1). Di Indonesia, prevalensi obesitas pada balita menurut SUSENAS menunjukkan peningkatan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Di perkotaan, pada tahun 1989 didapatkan prevalensi 4,6% laki-laki dan 5,9% perempuan. Kasus obesitas pada remaja lebih banyak ditemukan pada perempuan 10,2% dibandingkan lakilaki 3,1% (2). Pada remaja SLTP di Surabaya prevalensi obesitas sebesar 8,5% (3). Di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul tahun 2003 didapatkan prevalensi obesitas masing-masing 7,8% dan 2,0% (4). Obesitas merupakan keadaan status nutrisi dengan penyebab multifaktor yang selalu dihubungkan dengan
peningkatan risiko dan mortalitas beberapa penyakit seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, dan kanker. Obesitas memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan, status psikososial, kualitas hidup dan usia harapan hidup. Penurunan beban penyakit pada obesitas dalam populasi dapat diupayakan dengan mengidentifikasi faktor-faktor risiko obesitas, yang nantinya dapat dimodifikasi melalui program intervensi (5). Obesitas remaja penting untuk diperhatikan, karena masalah berat badan dan faktor risiko yang mengikutinya cenderung berlanjut sampai masa dewasa. Penyakit yang timbul dari persoalan berat badan ternyata berhubungan dengan lamanya seseorang mengalami kegemukan (6). Bersama dengan berbagai persoalan medis yang berhubungan dengan kelebihan berat badan, ketidakpuasan citra tubuh (body image dissatisfaction—BID) telah dikenali sebagai konsekuensi psikosial paling konsisten dari obesitas (7). Citra tubuh adalah suatu konsep pribadi seseorang tentang penampilan fisiknya. Konsep ini bisa atau tidak bisa berhubungan dengan kenyataan objektif. Masingmasing orang memegang suatu image dari bentuk tubuh seseorang yang sempurna dan membandingkan tubuhnya dengan orang sempurna tadi. Seseorang yang senang terhadap bentuk tubuhnya dikatakan atau disebut sebagai positive self image. Perubahanperubahan pubertas dan akibat dari kematangan seksual sering membuat remaja merasa kebingungan dan memperhatikan dengan seksama tubuh mereka. Remaja perempuan nampaknya lebih rentan untuk membangun negative body image (8). Citra tubuh seseorang mengacu pada perasaan, gambaran dan perilaku perorangan berhubungan dengan tubuhnya (9). Ketidakpuasan terhadap ukuran tubuh didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara ukuran tubuh dengan taksiran ukuran tubuh yang ideal (10). Rasa percaya diri berbanding terbalik dengan ketidakpuasan seseorang terhadap citra tubuhnya, sehingga orang dengan ketidakpuasan yang besar terhadap citra tubuhnya mempunyai rasa percaya diri yang lebih rendah, sedangkan orang yang memiliki
1. 2. 3.
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Medan Magister Gizi dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta Bagian Anak RS Dr. Sardjito/Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
2
Novriani Tarigan, Hamam Hadi, Madarina Julia
ketidakpuasan yang rendah terhadap citra tubuhnya akan mempunyai rasa percaya diri yang lebih tinggi (11). Remaja perempuan yang obes telah dijajah berat badannya, menyendiri, dan menjadi sasaran kesulitankesulitan kesehatan mental. Gadis yang obes telah menyadari ketidakpuasan yang lebih besar secara bermakna terhadap bentuk dan berat badannya dibandingkan dengan gadis yang tidak obes. Namun demikian, gadis-gadis yang tidak obes juga menyatakan ketidakpuasan terhadap berat badannya dan hampir 70% dari seluruh subjek telah pernah mencoba menurunkan berat badan dalam tahun yang sedang berjalan (12). BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan menggunakan rancangan cross sectional, dilengkapi dengan metode kualitatif. Subjek penelitian diambil dari populasi remaja SLTP berusia antara 12– 15 tahun di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul yang didentifikasi dari survei Penelitian Bersama Mengenai Obesitas pada Remaja SLTP di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul tahun 2003 (4). Dari survei tersebut diperoleh data 191 remaja obes dan 182 remaja tidak obes. Dengan mensetarakan terhadap jenis kelamin, usia, dan asal sekolah, dari data tersebut diambil 96 pasang remaja obes dan tidak obes. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2004. Data identitas subjek diperoleh dari data penelitian sebelumnya (4). Subjek penelitian, baik yang obes maupun yang tidak obes diukur kembali tinggi badan dan berat badannya untuk memastikan bahwa tidak ada perubahan status obesitas. Bila terjadi perubahan, remaja tersebut berubah dari obes menjadi tidak obes atau sebaliknya tidak obes menjadi obes, maka remaja tersebut tidak disertakan pada penelitian ini. Penggantinya diambil sesuai ketentuan. Tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm, sedangkan berat badan ditimbang menggunakan timbangan injak dengan kapasitas 150 kg dan tingkat ketelitian 0,1 kg. Selanjutnya hasil pengukuran yang diperoleh dibandingkan dengan baku NCHS/CDC untuk laki-laki dan perempuan usia 2– 20 tahun dengan indikator yang digunakan adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Dinyatakan obes bila IMT subjek penelitian berada pada atau di atas kurva persentil 95 dari Baku NCHS/CDC. Tidak obes bila berada di bawah kurva persentil 95 dari Baku NCHS/CDC (13). Data citra tubuh remaja dikumpulkan dengan menggunakan Body Image Assesment for Obesity (BIAO) 8 gambar (Gambar 1)(10,14). Dari gambar tersebut masing-masing gambar yaitu nomor 1-8 untuk laki-laki dan perempuan dibuat dalam bentuk kartu tersendiri,
kartu tersebut diberi nomor di belakangnya. Kartu dikocok, kemudian responden diminta untuk memilih satu gambar yang paling tepat menggambarkan ukuran tubuhnya pada saat itu, kemudian dicatat nomor gambar yang dipilihnya. Nomor ini adalah skor Current Body Size (CBS). Kemudian kartu dikocok kembali dan ditunjukkan susunan baru, responden kembali diminta memilih satu gambar yang paling tepat menggambarkan ukuran tubuh yang paling diinginkan, kemudian dicatat. Nomor ini adalah skor Ideal Body Size (IBS). Kartu dikocok ulang ketiga kalinya untuk menghasilkan susunan acak delapan gambar, responden kembali diminta memilih satu gambar yang menggambarkan sebuah ukuran tubuh yang menurut keyakinannya adalah nyata/masuk akal untuk dipertahankan dalam jangka waktu yang lama, kemudian dicatat. Nomor ini adalah skor Reasonable Body Image (RBS). CBS dikurangi IBS (CBS IBS), dan RBS dikurangi IBS (RBS – IBS) adalah skor ketidakpuasan terhadap ukuran tubuh. Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif dan menggunakan uji t dengan derajat kemaknaan 95 % dan p<0,05. Data kualitatif yaitu kendala yang dihadapi remaja obes dalam menurunkan berat badan diambil dengan melakukan wawancara mendalam. Hal-hal yang diungkap dalam wawancara mendalam pada remaja obes adalah: 1) Pendapat tentang ukuran tubuh sekarang 2) Apakah ingin menurunkan berat badan? Mengapa? 3) Usaha apa yang sudah pernah dilakukan untuk menurunkan berat badan, dan apa manfaat usaha tersebut. 4) Masalah diet dan berat badan yang ideal. 5) Pendapat teman-teman terhadap ukuran tubuh, dan apa pengaruhnya.
1
2
3
4
5
6
7
8
1
2
3
4
5
6
7
8
GAMBAR 1. Body Image Assesment for Obesity (BIA-O) delapan gambar
Persepsi Citra Tubuh dan Kendala Untuk Menurunkan Berat Badan
Jumlah responden yang dilakukan wawancara mendalam adalah sebanyak 8 orang dengan kriteria: 1 orang remaja paling tidak puas (responden 1 laki-laki), 1 orang yang paling puas (responden 6 perempuan), 1 orang dengan tinggi badan paling tinggi (responden 2 laki-laki), 1 orang dengan tinggi badan paling rendah (responden 5 perempuan), 1 orang dengan berat badan paling tinggi (responden 4 laki-laki), 1 orang dengan berat badan paling rendah (responden 3 laki-laki), dan 1 orang dengan IMT paling tinggi (responden 8 laki-laki) dan 1 orang dengan IMT paling rendah (responden 7 perempuan). Responden telah dihubungi sebelumnya untuk mengatur waktu dan tempat pertemuan di sekolah. Wawancara direkam setelah memperoleh persetujuan dari responden. Pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif dilakukan langsung oleh peneliti. Data kualitatif disajikan dan dianalisis dengan metode kuotasi. HASIL DAN BAHASAN Hasil pengukuran antropometri remaja obes memperoleh mean ± standard deviation (SD) indeks massa tubuh (IMT) 30,38 ± 3,12 sedangkan remaja tidak obes 18,29 ± 2,69. Pada Tabel 1 terlihat ada perbedaan yang bermakna antara mean citra tubuh keadaan tubuh saat ini (CBS), keadaan tubuh yang diinginkan (RBS), keadaan tubuh yang bisa dipertahankan dalam waktu yang lama (RBS),
ketidakpuasan keadaan tubuh saat ini dengan keadaan yang diinginkan (CBS - IBS) dan ketidakpuasan keadaan tubuh yang bisa dipertahankan dalam waktu yang lama dengan keadaan yang diinginkan (RBS – IBS) remaja obes dan tidak obes (P<0,05). Madrigal et al (15) dalam penelitiannya menggunakan 9 gambar dan menterjemahkan nomor gambar ke IMT sebagai berikut : Nomor gambar 1-3 = IMT < 19,9; gambar 4-5 = IMT = 20-24,9; gambar 6-7 = IMT = 2529,9; gambar 8-9 = IMT > 30. Bila nomor gambar tersebut disesuaikan dengan penelitian ini yang hanya menggunakan 8 gambar maka diperoleh urutan sebagai berikut: nomor gambar 1-2 = IMT < 19,9; gambar 3-4 = IMT = 20-24,9; gambar 5-6 = IMT = 25-29,9; gambar 7-8 = IMT > 30. Mean CBS remaja obes sebesar 5,71 bila diterjemahkan ke IMT maka remaja obes menyatakan bahwa IMT keadaan tubuhnya saat ini adalah 25-29,9. Sedang mean CBS remaja tidak obes 3,3 dan bila diterjemahkan ke IMT adalah 20-24,9. Ada perbedaan yang bermakna pilihan gambar CBS remaja obes dengan remaja tidak obes. Hal ini sejalan dengan penelitian Gordon-Larsen (16) yang menyatakan ada perbedaan bermakna pilihan gambar CBS remaja obes dan tidak obes. Ketika ditanyakan nomor gambar keadaan tubuh yang diinginkan atau ideal, remaja obes dan tidak obes sepakat untuk memilih nomor yang hampir sama. Mean IBS remaja
TABEL 1. Citra tubuh pada kelompok obes dan tidak obes Citra tubuh Mean (IK 95%) CBS
Mean (IK 95%) IBS
a
b
Mean (IK 95%) RBS
c
3
Obes
Tidak obes
t
p
5,71 (5,50 – 5,92)
3,30 (3,14 – 3,48)
17,52
<0,001*
3,83 (3,69 – 3,95)
3,57 (3,45 –3,69)
2,78
0,006*
4,76 (4,59 – 4,93)
3,42 (3,29 – 3,54)
12,66
<0,001*
Mean (IK 95%) selisih CBS IBS
d
1,89 (1,69 – 2,08)
-0,27 (-0,49 – 0,05)
14,68
<0,001*
Mean (IK 95%) selisih RBS IBS
e
0,94 (0,79 – 1,09)
-0,16 (-0,32 – 0,003)
9,86
<0,001*
Keterangan: * Signifikan (p<0,05) a Current Body Size (CBS) = Nomor gambar keadaan tubuh saat ini b Ideal Body Size (IBS) = Nomor gambar keadaan tubuh yang diinginkan c Reasonable Body Size (RBS) = Nomor gambar keadaan tubuh yang bisa dipertahankan dalam waktu yang lama. d Selisih CBS-IBS = Ketidakpuasan keadaan tubuh saat ini dengan keadaan yang diinginkan. e Selisih RBS-IBS = Ketidakpuasan keadaan tubuh yang bisa dipertahankan dalam waktu yang lama dengan keadaan yang diinginkan.
4
Novriani Tarigan, Hamam Hadi, Madarina Julia
obes 3,83 sedangkan remaja tidak obes 3,57. Dengan demikian remaja obes pun menginginkan tubuh yang ideal atau IMT 20-24,9. Tidak ada perbedaan bermakna pada pilihan gambar IBS remaja obes dan tidak obes (16). Untuk nomor gambar RBS ada perbedaan yang bermakna antara remaja obes dengan tidak obes. Remaja obes cukup realistis untuk menyatakan keadaan tubuh yang bisa dipertahankan dalam waktu yang lama, dengan mean hampir mendekati 5. Keadaan ini mungkin disebabkan kesulitan yang mereka alami dalam menurunkan berat badan. Sedangkan jawaban remaja tidak obes konsisten pada kisaran angka 3, dengan keyakinan mereka dapat mempertahankan keadaan tubuhnya sama seperti yang mereka nyatakan saat ini dan yang mereka inginkan. Ada perbedaan yang bermakna selisih mean CBSIBS remaja obes dan tidak obes (16). Sama dengan hasil penelitian ini selisih CBS-IBS remaja obes dan tidak obes berbeda secara bermakna. Mean selisih CBS-IBS remaja obes hampir mendekati 2. Artinya remaja obes tidak puas dengan keadaan tubuhnya, dan ingin menurunkannya 2 nomor dari keadaan saat ini. Sedangkan remaja tidak obes juga tidak puas dengan tubuhnya dengan mean negatif 0,27. Artinya keadaan tubuh saat ini dengan tubuh yang diinginkan belum sesuai. Hal ini dimungkinkan karena definisi tidak obes dalam penelitian ini adalah < 95 persentil NCHS/CDC, sehingga di dalam kelompok remaja tidak obes dimungkinkan ada remaja yang mempunyai berat normal atau kurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Wadden et al, perempuan obes mempunyai ketidakpuasan yang lebih besar secara signifikan dibandingkan perempuan yang tidak obes, namun perempuan yang tidak obes juga menyatakan ketidakpuasannya (12). Selisih RBS-IBS remaja obes dan tidak obes berbeda secara bermakna. Mean selisih RBS-IBS remaja obes mendekati 1, berarti remaja obes menyatakan keadaan tubuh yang bisa mereka pertahankan dalam waktu yang lama 1 nomor di atas yang mereka inginkan. Sedangkan mean selisih RBS-IBS remaja tidak obes negatif 0,16. Walaupun menginginkan nomor gambar IBS di atas nomor CBS, namun remaja tidak obes merasa tidak mampu mencapai IBS yang mereka inginkan. Hasil Analisis Data Kualitatif dengan Wawancara Mendalam Kendala Remaja Obes dalam Menurunkan Berat Badan Ketika kepada remaja obes ditanyakan bagaimana pendapatnya tentang ukuran tubuhnya saat itu, seluruh responden menyatakan kelebihan berat badan dengan istilah yang berbeda-beda. “ Oh my God (teriak….pelan) bentuk tubuh sekarang bulat, tapi lucu, trus …. kegedean ya (responden 5, tinggi badan paling rendah, perempuan ).
“ Nggak berbentuk deh, ya hancur, ukurannya besar “ (responden 6, paling puas, perempuan). Ketika ditanyakan lanjut, apakah ingin menurunkan berat badan sebagian besar menyatakan ya: “ … kalo bisa berat badan saya turun, …. kalo saya itu pake celana nggak bagus, karena perut saya terlalu buncit” (responden 1, paling tidak puas, laki-laki). “ Pengen, tapi sulit (sambil tersenyum) “ (responden 7, IMT paling rendah, perempuan) Tetapi satu orang menjawab : “ Pernah, pernah terbersit pikiran itu, tapi setelah saya bayangkan cara untuk menjadi kurus itu memang seperti disiksa itu, jadi saya buang pikiran itu jauhjauh” (responden 8, IMT paling tinggi, laki-laki). Ketika peneliti menanyakan lanjut maksud disiksa itu apa, dengan nada malas responden menjawab: “ Harus diet, lari-lari, itu membuat saya seperti tersiksa “ (responden 8, IMT paling tinggi, laki-laki). Pada jawaban pertanyaan mengapa ingin menurunkan berat badan, secara umum responden menyatakan ingin kurus saja di samping juga masih ada responden yang memberi jawaban alasan kesehatan, agar mudah mendapatkan pakaian, serta menghindari ejekan. Terdapat beberapa responden yang tingkat pemahamannya tentang obesitas sudah cukup baik karena mereka menyatakan menurunkan berat badan agar sehat. “ … biar lebih sehat ya, karena orang gemuk itu kan biasanya penyakitan, trus kalo olahraga bisa lebih cepat jadi nggak malu gitu, nggak diejek gemuk “ (responden 3, berat badan paling rendah, laki-laki). “ karena gemuk itu nggak enak sih, sulit olahraga, beli pakaian nggak cukup, jadinya kalo beli pakaian pakai ukuran orang dewasa “ (responden 7, IMT paling rendah, perempuan). Pada pertanyaan usaha apa yang sudah pernah dilakukan untuk menurunkan berat badan, sebagian besar menjawab sudah melakukan usaha yang bermacam-macam, seperti minum obat-obatan, jamu, mengurangi makan, puasa, olahraga lari, fitness, bahkan menggunakan stagen agar terlihat langsing. Namun ada juga yang menyatakan belum melakukan usaha apapun secara serius. “… minum obat-obat, kayak itu lho ideal, merit…. saya pakai 3 bulan, 2 bulan, setelah itu pindah ke obat lain, diet…. sekarang kalo saya ada kegiatan rapat di organisasi desa agar penampilan saya itu agak menarik, nggak terlihat perut buncit saya
Persepsi Citra Tubuh dan Kendala Untuk Menurunkan Berat Badan
memakai ikat, yang itu lho, yang bisa mengikat…. oh stagen” (responden 1, paling tidak puas, laki-laki). Pernah ikut fitness, di Mandala Krida di sana ada klub, saya pakai alat untuk angkat besi, mengencangkan dada, lari, sepeda, gerakan tangan dan kaki” (responden 2, tinggi badan paling tinggi, laki-laki). Ketika ditanya lebih lanjut apakah usaha-usaha tersebut masih dikerjakan saat ini, sebagian besar menjawab tidak, alasan yang paling banyak adalah tidak ada waktu untuk olahraga karena sibuk dengan tugastugas di sekolah, les karena sebentar lagi sudah mengikuti ujian akhir di SLTP. Sebagian lagi menjawab tidak bisa melakukan usaha penurunan berat badan karena situasi lingkungan yang tidak mendukung, dan karena usaha yang dilakukan tidak berhasil. “ … tapi kata Bapak (orangtuanya) jangan, mikir pelajaran dulu aja, saya kan udah dekat mau ujian… lebih baik belajar dulu” (responden 5, tinggi badan paling rendah, perempuan). “ … kalo saya lagi marah atau apa, saya lampiaskan bukan apa-apa, tapi makannya saya banyakin.... saya sulit sekali ngurangin makan, kalo saya nggak liat saya nggak makan nggak apa-apa, tapi ibu saya kan catering, setiap hari ada pesanan kue/makanan “ (responden 1, paling tidak puas, laki-laki) “ (tertawa) iya tuh, puasa senin kemis kayaknya malah bikin semakin gendut gitu, mungkin pas bukanya malah jadi banyak makan…. tapi di rumah kami semuanya gendut “ (responden 6, paling puas, perempuan). Ketika peneliti mencoba menggali pengetahuan responden tentang manfaat usaha menurunkan berat badan sebagian besar menyatakan supaya kurus, ada juga menyatakan untuk alasan kesehatan, namun satu orang menyatakan tidak tahu. Ketika dicoba dengan pertanyaan yang berbeda (maknanya sama) responden tersebut bisa menjawab dengan baik, artinya pengetahuannya tentang kelebihan berat badan sebenarnya baik. Sisanya menyatakan untuk berpakaian, tidak minder. “ Saya tidak tau, karena saya tidak pernah merasakan apa yang dinamakan kurus, kecuali sebelum TK itu “ (responden 8, IMT paling tinggi, laki-laki). “ …. Obesitas itu menyebabkan kemungkinan terkena penyakit itu lebih besar daripada orang kurus, jantung koroner, penyumbatan pembuluh darah…. “ (responden 8, IMT paling tinggi, laki-laki).
5
“ … kalo nyari baju gampang, kemana-mana nggak minder “ (responden 5, tinggi badan paling rendah, perempuan). Ada beberapa pertanyaan yang maksudnya untuk mengetahui pengetahuan responden tentang diet, berat badan ideal, sebagian besar menyatakan tidak mungkin menurunkan berat badan dengan tidak makan beberapa hari, lagi pula makan itukan syarat hidup. Bila seseorang melakukan diet ketat itu bagus asal mampu saja melakukannya. Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam mencapai berat badan ideal dinyatakan hampir semua responden, walau sebagian kecil menyatakan bahwa perempuan itu harus memiliki berat badan ideal. “ Saya rasa nggak, ya kalo menurunkan berat badan itu makan yang teratur aja, trus kalo nggak makan berhari-hari, nanti setelah kita nggak makan.... nantinya tambah besar, makannya lebih banyak “ (responden 4, berat badan paling tinggi, laki-laki). “ Itu malah bahaya, kan makan itu syarat hidup ya, kita harus makan, kalo nggak makan nanti bisa mati “ (responden 3, berat badan paling rendah, laki-laki). “ Kalo seperti itu menunjukkan kalo perempuan itu terlalu patuh kepada laki-laki, perempuan dan lakilaki itu tidak sama tapi tidak boleh dibedakan, di atas rendahkan gitu lho “ (responden 8, IMT paling tinggi, laki-laki). “ Ya kan kalo cewek itu kalo diliat orang kan enak kalo kecil, banyak yang tertarik, kalo gemuk itu kan nggak ada yang tertarik, kalo laki-laki sama aja harusnya sama-sama ideal gitu lho…. kalo bisa saya punya pacar badannya kecil, langsing, mungil “ (responden 2, tinggi badan paling tinggi, laki-laki). Remaja obes sepakat bahwa bila teman-teman mereka membicarakan tentang ukuran tubuhnya itu bukan ejekan, tapi saran atau sekedar mengingatkan. “ Banyak yang suruh diet, terutama cewek-cewek, dikecilin badannya, nggak usah makan banyak gitu, diingatinlah “ (responden 2, tinggi badan paling tinggi, laki-laki). Pembicaraan teman-teman remaja obes tentang ukuran tubuh mereka ternyata mempengaruhi pola makan mereka. Sebagian kecil menyatakan tidak terpengaruh. “ Kalo baru dibilangin, usahain ngurangin makan “ (responden 5, tinggi badan paling rendah, perempuan).
6
Novriani Tarigan, Hamam Hadi, Madarina Julia
“ Tidak biasa aja, saya nggak ambil fikir apa yang mereka bicarakan, soalnya kan lama-lama nanti kan jadi beban gitu “ (responden 4, berat badan paling tinggi, laki-laki). “ Tidak ada, makannya tetap “ (responden 8, IMT paling tinggi, laki-laki). Perhatian tentang berat badan dan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh biasanya berhubungan dengan keinginan untuk mengubah penampilan dengan cara membatasi asupan makanan dan teknik-teknik diet lainnya. Banyak penyebab yang membuat motivasi remaja obes meningkat atau menurun dalam melakukan usaha penurunan berat badan.. Ada 3 faktor yang dapat mengubah pola makan yaitu 1) faktor perorangan, seperti karakter, pengetahuan dan emosi pribadi, seperti rasa percaya diri; 2) faktor perilaku yang mencakup keinginan atau motivasi dan 3) faktor lingkungan yang mencakup aspek-aspek lingkungan yang mendukung, memberi jalan, atau mendorong untuk terikat pada perilaku tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah pengaruh-pengaruh rekan sebaya, dukungan sosial, norma-norma sosial dan peluang tertentu (17). Kerangka konsep usaha menurunkan berat badan pada remaja obes dapat dilihat pada Gambar 2.
KESIMPULAN DAN SARAN Ada perbedaan yang bermakna antara mean citra tubuh keadaan tubuh saat ini (CBS), keadaan tubuh yang diinginkan (RBS), keadaan tubuh yang bisa dipertahankan dalam waktu yang lama (RBS), ketidakpuasan keadaan tubuh saat ini dengan keadaan yang diinginkan (CBS IBS) dan ketidakpuasan keadaan tubuh yang bisa dipertahankan dalam waktu yang lama dengan keadaan yang diinginkan (RBS – IBS), antara remaja obes dan tidak obes. Dari hasil wawancara mendalam dapat disimpulkan bahwa remaja obes sudah berusaha untuk menurunkan berat badan, walaupun sebagian belum. Usaha-usaha yang dilakukan belum sepenuhnya mendapat dukungan sehingga sebagian usaha tersebut gagal disebabkan berbagai faktor. Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan agar remaja obes melakukan usaha menurunkan berat badan yang terprogram dengan baik. Oleh karena itu, perlu sosialisasi cara menurunkan berat badan yang sehat dan benar. Bila dimungkinkan pendirian Centra Mitra Remaja Sehat pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kerjasama Departemen Pendidikan dan Pengajaran dengan Departemen Kesehatan. Di tempat tersebut remaja obes bisa berkonsultasi dengan dokter, ahli gizi, instruktur olahraga dan psikolog untuk membicarakan masalah-masalahnya, juga bisa saling berbagi dengan teman-teman sebaya yang obes. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala SLTP Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, siswasiswi yang telah bersedia dijadikan subjek penelitian dan khususnya siswa-siswi obes yang meluangkan waktunya dalam wawancara mendalam serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. RUJUKAN 1.
2.
GAMBAR 2. Kerangka konsep usaha menurunkan berat badan pada remaja obes
Soerasmo R, Taufan H. Childhood obesity: Evaluation and Management. Dalam: Tjokroprawiro A, Hendromartono, Ari S, Hans T, Agung P, Sri M, editors. Naskah Lengkap National Obesity Symposium I, 20-21 Juli 2002; Surabaya. Perkeni, DNC. p. 155-70. Sjarif DR. Obesity in Child Hood, Pathogenesis and Management. Dalam: Tjokroprawiro A, Hendromartono, Ari S, Hans T, Agung P, Sri M, editors. Naskah Lengkap National Obesity Symposium I, 2021 Juli 2002; Surabaya. Perkeni, DNC. p. 155-70.
Persepsi Citra Tubuh dan Kendala Untuk Menurunkan Berat Badan
3.
Adiningsih S. Ukuran Pertumbuhan dan Status Gizi Remaja Awal. Dalam: Dala Sandjaja, Abas BJ, Iman S, Gustina S, Rochamah, Budi H, editors. Prosiding Kongres Nasional Persagi dan Temu Ilmiah XII; Jakarta, Indonesia. 2002a. p.94-110. 4. Mahdiah. Prevalensi Obesitas dan Hubungan Konsumsi Fast Food dengan Kejadian Obesitas pada Remaja SLTP Kota dan Desa di Daerah Istimewa Yogyakarta [tesis]. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gajah Mada; 2004. 5. Metcalf PA, Scragg RKR, Willoughby P, Finau S, Tipene L. Ethnic Differences in Perceptions of Body Size in Middle-aged European, Maori, and Pasicific People Living in New Zealand. Int J Obes 2000;24:593-9. 6. Gill TP. The Global Epidemic of Obesity. Am J Clin Nutr 1999;8:75-81. 7. Matz PE, Myles SF, Gary DF, Thomas AW. Correlates of Body Image Dissatisfaction among Overweight Women Seeking Weight Loss. J Consult Clin Psychol 2002;70:1040-4. 8. Adolescents and Body Image: what’s typical and what’s not. March/April 2002. Copy Editor; 6 :1-4. 9. Heinberg LJ, Katherine CW, Kevin T. Body Image. Rickert Vaughn I, editors. Adolescent Nutrition Assesment and Management. Chapman and Hall; 1999. p. 136-156. 10. Williamson DA, LG Womble, NLZucker, DL Reas, MA White, DC Blouin, et al. Body Image of Assesment for Obesity (BIA-O): Development of a New Procedure. Int J Obes 2000;24:1326-32.
7
11. Friedman MA, Brownell KD. Psychological Correlates of Obesity: Moving to the Next Research Generation. Psycho Bullet 1995:117:3-20. 12. Wadden TA , GD Foster , AJ Stunkard, JR Linowitz. Int J Obes 1989;3:89. 13. Kuczmarski RJ, Ogden CL, Guo SS, et al. 2000 CDC Growth Charts for the United States Methods and Development National Center for Health Statistic. Vital Health Stat 2002; 11 (246). 14. Ziebland S, J Robertson, J Jay, A Neil. Body Image and Weight Change in Middle Age: a Qualitative Study. Int J Obes 2002;26 1083-91. 15. Madrigal H, A Sanchez-Villegas, MA MartinezGonzalez, J Kearney, MJ Gibney, J de Irala, et al. Underestimation of Body Mass Index through Perceived Body Image as Compared to Self-Reported Body Mass Index the European Union. Public Health 2000;114:468-73. 16. Gordon-Larsen P. Obesity-Related Knowledge, Attitude, and Behaviors in Obese and non Obese Urban Philadelphia Female Adolescents. Obes Res 2001;9:112-18. 17. Stevens J, Carol EC, Mary S, Simone A F, Sarah L, Alberta B, et al. Develompment of a Questionnaire to Assess Knowledge, Attitudes, and Behaviors in American Indian Children. Am J Clin Nutr 1999;69(Suppl):773S-81S.
JURNAL GIZI KLINIK INDONESIA Volume 2, No.1, Juli 2005: 8 - 12
HUBUNGAN ANTARA POLA KONSUMSI PROTEIN DAN Fe DENGAN DAYA TAHAN JANTUNG PARU ATLET SEPAKBOLA PS SEMEN PADANG TAHUN 2003 Kusumawati M1, BM Wara Kushartanti2, Moch. Noerhadi2
ABSTRACT Background: Low cardiorespiratory endurance will decrease the speed and skill in playing soccer. Good cardiorespiratory endurance is important factor in exercise and competition to reach the optimal achievement of the PS. Semen Padang soccer team players. Protein and Fe constitute a supporting factor in forming hemoglobin which is needed for increasing the cardiorespiratory endurance. Objective: This study was aimed at finding out the correlation between protein and Fe consumption patterns with the cardiorespiratory endurance of Semen Padang soccer team players in 2003. Methods: This was cross-sectional design of 23 PS. Semen Padang soccer team players. The variables were protein and Fe consumption patterns, hemoglobin concentration and cardiorespiratory endurance. The analysis method was regression Chi-square, multiple linier, and partial correlation. Results: There was no correlation between protein (p=0,683) and Fe (p=0,168) consumption patterns with hemoglobin concentration; there was correlation between hemoglobin concentration with the cardiorespiratory endurance (p=0,022); there was no correlation between protein consumption pattern (p=0,395) with the cardiorespiratory endurance; there was significant correlation between Fe consumption pattern with the cardiorespiratory endurance (p=0,009). Conclusion: Protein and Fe consumption patterns influenced the cardiorespiratory endurance athlete PS.Semen Padang through hemoglobin rate cause of hemoglobin rate have significant relation with the cardiorespiratory endurance Key words: Athlete, Fe, protein, soccer, hemoglobin.
PENDAHULUAN Prestasi olahraga merupakan akumulasi kualitas fisik, teknik, taktik dan kematangan psikis yang mampu ditampilkan olahragawan dalam suatu pertandingan (1). Aktivitas olahraga membutuhkan metabolisme optimal dari makronutrien yang tergantung dari adanya dan ketersediaan mikronutrien seperti vitamin dan mineral. Agar cukup energi untuk latihan olahraga, menu atlet harus mengandung 60–70% karbohidrat, 20–25% lemak dan 10– 15% protein dari total energi yang dibutuhkan (2). Total besi (Fe) di dalam tubuh manusia berjumlah empat sampai lima gram, sebagian besar (70%) berada di dalam molekul hemoglobin (3). Vitamin C dapat mempercepat absorpsi Fe nonheme empat kali lipat serta memindahkan Fe dari transferin di dalam plasma ke feritin hati (4,5).
Fe dan protein sebagai unsur pembentuk hemoglobin berguna mengangkut oksigen ke seluruh tubuh yang dibutuhkan untuk metabolisme aerobik. Klub sepakbola PS Semen Padang berdiri 1 Nopember 1980, merupakan klub semiprofesional dengan nama Galatama Semen Padang. Mulai tahun 1995 sejak kompetisi Galatama diubah menjadi Liga Indonesia klub PS Semen Padang berubah dari klub semiprofesional menjadi klub profesional dan selalu ikut dalam percaturan persepakbolaan Liga Indonesia (6). Belum diketahuinya hubungan konsumsi protein dan konsumsi Fe dengan daya tahan jantung-paru atlet, maka penulis ingin melakukan penelitian yang bersifat cross-sectional dengan sasaran atlet sepakbola PS Semen Padang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi konsumsi protein dan Fe dengan daya tahan jantung-paru atlet sepakbola PS Semen Padang. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini noneksperimen menggunakan teknik wawancara dan tes, dengan rancangan penelitian cross-sectional. Jenis variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (konsumsi protein dan konsumsi Fe), variabel antara (kadar Hb), variabel terikat (Daya tahan jantung-paru) dan variabel pengganggu (konsumsi vitamin C, umur, merokok). Data konsumsi diperoleh melalui recall 2 x 24 jam dan diolah menggunakan food processor II. Kadar hemoglobin diperoleh menggunakan metode cyanmethemoglobin dan daya tahan jantung-paru dengan menghitung nilai prediksi ambilan oksigen maksimum menggunakan metode tes multi-tahap. Pengolahan data menggunakan komputer dan analisis data dilakukan secara univariat (frekuensi dan persentase), bivariat (regresi dan chi-square) dan multivariat (regresi linier berganda dan parsial). HASIL DAN BAHASAN Analisis Univariat Karakteristik atlet dapat dilihat pada Tabel 1. Ratarata konsumsi protein atlet 112,96 ± 35,51 gr (Tabel 2). 1. 2.
Dinas Kesehatan Propinsi Jambi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta
Hubungan Antara Pola Konsumsi Protein dan Fe dengan Daya Tahan Jantung Paru
TABEL 1. Karakteristik atlet Variabel
n
%
Umur (tahun) 20–24 25–29 30–34
6 13 4
26,1 56,5 17,4
Status perkawinan Kawin Belum kawin
11 12
47,8 52,2
Asal Sumatera Jawa Ambon
14 4 1
60,9 17,4 4,3
1 3
4,3 13,0
Kebiasaan merokok Merokok Tidak merokok
7 16
30,4 69,6
Status kepegawaian Kontrak Karyawan
16 7
69,6 30,4
Papua Luar/Asing
Rata-rata tingkat konsumsi protein atlet sebesar 1,72 gr/ kg BB, masih di bawah 2,8 gr/kg BB yang menurut penelitian Poortmans and Dellalieux (7), tidak merusak fungsi ginjal. Konsumsi protein atlet ini juga sama dengan konsumsi protein 2 klub (A&B) atlet sepakbola profesional di Skotlandia di mana rata-rata asupan protein Klub A: 103 ± 26 mg (15,3 ± 2,6%) dan Klub B: 108 ± 20 mg (14,3 ± 2%) dari total energi (8). Jumlah ini sedikit lebih rendah dari penelitian atlet laki-laki olimpiade Amerika Serikat cabang balap sepeda, lari, renang, sepatu es, hockey, yudo, angkat besi, tenis, yaitu sebesar 139 gr/ hari (17,44% dari total energi) (9). Demikian pula penelitian pada atlet Cina ditemukan rata-rata asupan protein sebesar 320 gr/hari (21% dari total energi) (10). Ternyata proporsi asupan protein dari total energi pada atlet sepakbola PS Semen Padang lebih rendah jika dibandingkan dengan atlet
laki-laki Olympiade Amerika Serikat maupun atlet renang dan angkat besi Cina. Hal ini diduga karena pola makan sehari-hari atlet Amerika Serikat dan Cina berbeda dengan atlet PS Semen Padang. Rata-rata konsumsi Fe atlet sebesar 24,08 ± 1,04 mg (Tabel 2). Konsumsi Fe ini lebih tinggi dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) rata-rata untuk pria umur 20–45 tahun yaitu sebesar 13 mg (11), tetapi sesuai dengan yang dianjurkan yaitu seorang atlet harus melebihi jumlah kebutuhan dalam RDA (12). Jumlah ini lebih tinggi dari hasil penelitian pada atlet lari sprint, pelari jarak dekat, pelari jarak jauh, lompat tinggi dan lempar cakram di Jepang yaitu 18 ± 1,5 mg, 20 ± 0,5 mg, 32 ± 2,6 mg, 17 ± 0,5 mg dan 19 ± 0,5 mg (13). Hal ini disebabkan pola makan atlet PS Semen Padang lebih banyak mengkonsumsi sumber Fe heme yang penyerapannya memang lebih baik dibanding Fe nonheme (4). Rata-rata konsumsi vitamin C atlet sebesar 129,50 ± 67,73 mg (Tabel 2). Tingkat konsumsi vitamin C atlet ini lebih tinggi dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) ratarata untuk pria umur 20–45 tahun sebesar 60 mg (11). Kadar hemoglobin atlet sebesar 15,75 ± 0,14 gr/dl (Tabel 2). Kadar hemoglobin atlet ini termasuk rendah dibandingkan standar kadar hemoglobin yang ditetapkan bagi olahragawan oleh Pusat Kesehatan Olahraga (PKO) yaitu sebesar 16% untuk pria (14). Namun jumlah ini sama dengan hasil pengolahan data sekunder kadar hemoglobin anggota ABRI yaitu 15,79 ± 1,03 gr/dl (15). Hal ini disebabkan karena pola konsumsi dan latihan yang dilakukan ABRI hampir sama dengan atlet sepakbola PS Semen Padang. Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian pada atlet sepakbola yaitu 14,54 ± 0,98 gr/dl (16). Perbedaan ini disebabkan metode pengukuran kadar hemoglobin dalam penelitian atlet sepakbola menggunakan metode Sahli (16). Daya tahan jantung-paru atlet 51,45 ± 1,56 ml/kg/ menit (Tabel 2), telah memenuhi persyaratan standar daya tahan jantung-paru untuk olahraga sepakbola yang ditetapkan oleh Perhimpunan Pembina Kesehatan Olahraga Indonesia (PPKORI) sebesar 50–57 ml/kg/menit (17). Sama dengan penelitian Harling dkk (18) rata-rata V’O2maks 51,1 ± 5,8 ml/kg/menit. Juga sama dengan
TABEL 2. Analisis deskriptif variabel penelitian Variabel
Rata-rata
9
Standar deviasi
Minimum
Maksimum
Konsumsi protein (gr)
112,96
35,51
55,5
212,0
Konsumsi Fe (mg)
24,08
6,75
12,9
39,4
Konsumsi vitamin C (mg)
129,50
67,73
36,8
296,0
Kadar hemoglobin (gr/dl)
15,75
0,68
14,3
16,8
Daya tahan jantung-paru (ml/kg.BB/menit)
51,45
7,49
40,5
64,0
10
Kusumawati M, BM Wara Kushartanti, Moch. Noerhadi
penelitian Williford dkk (19) bahwa rata-rata V’O2maks tim sepakbola sekolah tinggi olahraga di Amerika 51,5 ± 6,8 ml/kgBB/menit walaupun tes performance (V’O2maks) menggunakan treadmill test. Penelitian pada pemain sepakbola profesional di Singapura didapatkan V’O2maks 58,2 ± 3,7 ml/kg/menit (20). Hal ini disebabkan karena pola latihan serta umur pemain sepakbola profesional di Singapura (23,6 ± 4,9) berbeda dengan umur atlet PS Semen Padang (26,65 ± 3,02). Tetapi hasil penelitian Agustini dan Mas’ud (16) didapatkan V’O2maks kelompok sepakbola 60,79 ± 11,37, perbedaan ini disebabkan metode pengujian V’O2maks menggunakan step up test. Hubungan Pola Konsumsi Protein dengan Kadar Hemoglobin Dari Tabel 3 dapat dilihat hubungan konsumsi protein dengan kadar hemoglobin hasilnya tidak bermakna secara statistik (p=0,683). Hal ini disebabkan karena ratarata konsumsi protein telah mencukupi angka kebutuhan atlet sehingga tidak terlihat ada peningkatan kadar hemoglobin dengan bertambahnya konsumsi protein. Hubungan Pola Konsumsi Fe dengan Kadar Hemoglobin Berdasarkan Tabel 3 diperoleh hasil bahwa hubungan konsumsi Fe dengan kadar hemoglobin hasilnya tidak bermakna secara statistik (p=0,168). Hal ini disebabkan karena rata-rata konsumsi Fe telah mencukupi angka kebutuhan atlet sehingga tidak terlihat ada peningkatan kadar hemoglobin dengan bertambahnya konsumsi Fe. Kenaikan kadar hemoglobin ini akan terlihat
jika konsumsi Fe rendah (21), di mana terjadi perbedaan kenaikan rata-rata kadar hemoglobin pada kelompok kadar hemoglobin rendah yang diberi suplementasi sebesar 1,05 gr/dl lebih tinggi dibandingkan pada kelompok plasebo (kelompok yang tidak diberi perlakuan) (p=0,001). Penelitian ini sama hasilnya dengan penelitian pada pelari, yaitu didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara asupan Fe dengan kadar Hb (r=0,145) (22). Hal ini disebabkan karena pada pelari cenderung terjadi hemodilusi sehingga tidak terjadi peningkatan kadar hemoglobin dengan peningkatan asupan Fe atau suplementasi Fe (23). Hubungan Kadar Hemoglobin dengan Daya Tahan Jantung-Paru Dari Tabel 3 dapat dilihat hubungan kadar hemoglobin dengan daya tahan jantung-paru atlet PS Semen Padang mempunyai hubungan positif (r=0,475) dan bermakna (p=0,022). Hal ini senada karena hemoglobin dibutuhkan untuk membawa oksigen ke jaringan termasuk jantung-paru. Bila terjadi penurunan kadar hemoglobin dalam darah, maka akan terjadi juga penurunan transpor oksigen sehingga menyebabkan pembuluh jaringan perifer berdilatasi (24). Akibatnya akan meningkatkan jumlah darah yang kembali ke jantung sampai nilai yang lebih tinggi. Jadi akan meningkatkan beban kerja jantung, sehingga daya tahan jantung-paru semakin berkurang. Pada analisis statistik pun dapat dilihat bahwa atlet yang mempunyai kadar hemoglobin baik mempunyai kesempatan 14,4 kali daya tahan jantung-parunya lebih baik dibandingkan atlet yang mempunyai kadar hemoglobin kurang.
TABEL 3 . Analisis korelasi dan regresi bivariat Variabel Independen
Variabel Dependen
Protein Fe Variabel Independen
R
r
2
p
Persamaan Regresi
Daya tahan jantung-paru
O,186
0,035
0,395
Y= 47,014 + 0,03929 X
Daya tahan jantung-paru
0,533
0,284
0,009*
Y= 37,192 + 0,592 X
R
r
2
p
Persamaan Regresi
Variabel Antara
Protein
Hb
0,090
0,008
0,683
Y= 15,552 + 0,00173 X
Fe
Hb
0,297
0,088
0,168
Y= 15,023 + 0,0301X
Variabel Antara
Variabel Dependen
R
r
2
p
Persamaan Regresi
Hb
Daya tahan jantung-paru
0,475
0,226
0,022*
Y= -30,658 + 5,214 X
Keterangan: * Signifikan (p<0,05)
Hubungan Antara Pola Konsumsi Protein dan Fe dengan Daya Tahan Jantung Paru
Hubungan antara Pola Konsumsi Protein dengan Daya Tahan Jantung-Paru Dari Tabel 3 dapat dilihat hubungan kadar hemoglobin dengan daya tahan jantung-paru terlihat tidak ada hubungan (p=0,395). Hal ini disebabkan karena rata-rata konsumsi protein atlet telah mencukupi angka kebutuhan yang diserap untuk pembentukan hemoglobin sehingga tidak terjadi peningkatan daya gabung dengan oksigen yang dibutuhkan untuk menunjang daya tahan jantungparu dan gerak tubuh. Hubungan antara Pola Konsumsi Fe dengan Daya Tahan Jantung-Paru Atlet. Dari Tabel 3 diperoleh hasil bahwa hubungan pola konsumsi Fe dengan daya tahan jantung-paru didapatkan hubungan positif dan kuat (r=0,533) serta amat sangat bermakna (p=0,009). Bermaknanya hubungan ini disebabkan karena Fe yang diserap selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin juga dibutuhkan pada mioglobin termasuk otot jantung sehingga kenaikan konsumsi Fe juga diikuti dengan kenaikan daya tahan jantung-paru. Penelitian ini didukung penelitian Noerhadi (21) bahwa terjadi perbedaan kenaikan rata-rata nilai VO2maks pada kelompok yang diberi suplementasi sebesar 0,41 ml/KgBB/menit dibandingkan pada kelompok plasebo (p>0,05). Analisis Multivariat Setelah dilakukan analisis regresi menggunakan metode enter ternyata tidak ada interaksi antara pola konsumsi vitamin C dengan tingkat konsumsi Fe dalam pembentukan kadar hemoglobin (p=0,306). Variabel yang paling berpengaruh terhadap daya tahan jantung-paru setelah dianalisis menggunakan regresi metode backward antara variabel umur, kebiasaan merokok, pola konsumsi protein, pola konsumsi Fe dengan daya tahan jantung-paru ternyata variabel pola konsumsi Fe yang sangat berpengaruh terhadap daya tahan jantung paru (p=0,009). Pengaruh pola konsumsi Fe terhadap daya tahan jantung-paru dianalisis dengan korelasi parsial dengan mengontrol variabel terkendali umur dan kebiasaan merokok. Hasilnya ternyata pola konsumsi Fe bisa mempengaruhi daya tahan jantung-paru sebesar 12% (p=0,117) sedangkan sebesar 88% lagi dipengaruhi oleh variabel lain. Pola konsumsi protein dan pola konsumsi Fe secara bersama-sama tidak ada hubungan dengan daya tahan jantung-paru atlet PS Semen Padang (p=0,656). KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian pada atlet sepakbola PS Semen Padang dapat disimpulkan sebagai berikut :
11
1.
Pola konsumsi protein yang sesuai dengan kebutuhan atlet maka daya tahan jantung-paru atlet baik . 2. Semakin tinggi konsumsi Fe atlet maka daya tahan jantung-paru atlet semakin tinggi. Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian disarankan agar dalam penyusunan menu atlet sepakbola PS Semen Padang perlu dipertahankan konsumsi protein yang sesuai dengan kebutuhan atlet dan konsumsi Fe minimal dua kali angka kecukupan gizi rata-rata agar daya tahan jantung-paru atlet baik. Diharapkan ada penelitian lanjutan dengan melibatkan variabel-variabel lain yang diasumsikan mempengaruhi daya tahan jantung-paru antara lain jumlah rokok yang dihisap per hari, intensitas latihan. RUJUKAN 1.
Irianto DP. Makanan Olahragawan dalam Menghadapi Pertandingan Olahraga. Edisi kedua. 1998. 2. Departemen Kesehatan RI. Gizi Olahraga Untuk Prestasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 1997. 3. Gibson RS. Principles of Nutritional Assessment. New York Oxford: Oxford University Press; 1990. 4. Wirakusumah ES. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Edisi Kedua. Jakarta: Trubus Agriwidya; 1999. 5. Almatsier S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2001. 6. Kori’un HB, Yosrizal. Kerbau Merah Dari Indarung, Perjalanan Semen Padang di lintas Sepakbola Indonesia. Edisi Pertama. Padang: PT. Semen Padang; 2002. 7. Poortmans JR, and Dellalieus O. Do Regular High Protein Diets Have Potential Health Risk on Kidney Fuction in Athelets. Int J Sport Nutr 2000;10(1):28–38. 8. Maughan J. Energy and Macronutrient Intakes of Profesional Football (Soccer) Players. Br J Sports Med 1997;31:45–47. 9. Grandjean AC & JS Ruud. Olympic Athletes, Nutrition In Exercise And Sport, 2nd ed. London: CRC Prers; 1994. 10. Chen JD, JF Wang, KJ Li, YW Zhao, SW Wang, Y Jiao & XY How. Nutritional Problems And Measures In Elite And Amateur Athletes. Am J Clin Nutr 1989;1989:49. 11. Muhilal JF, dan Hardiansyah. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; 1998. 12. Brouns F. Nutritional Needs of Athletes. England: John Wiley & Sons Ltd; 1993.
12
Kusumawati M, BM Wara Kushartanti, Moch. Noerhadi
13. Sugiura K, Suzuku I, and Kobayashi K. Nutritional Intake of Elite Japanese Track and Field Athletes. Int J Sport Nutr 1999;9:202-13. 14. Soerjodibroto W. Gizi Olahraga . Jakarta: PJO KONIFKUI; 1980. 15. Permaesih D, Rosmalina Y, Moeloek D, Herman S. Cara Praktis Penduga Tingkat Kesegaran Jasmani. Buletin penelitian Kesehatan 2001;29(4):174-83. 16. Agustini NI, Mas’ud I. Gambaran Status Gizi dan VO2 Max Kelompok Olahragawan dan Kelompok Mahasiswa Kedokteran. Medika 1989;15(1):30-34. 17. Kosasih E. Olahraga Teknik & Program Latihan. Edisi Revisi. Jakarta: Akademika Pressindo; 1993. 18. Harling SA, Tong RJ, and Micleborough TD. The Oxygen Uptake Response Running Exhaustion at Peak Treadmill Speed. Med Sci Sports Exerc 2003;4:663-67. 19. Williford HN, Kirkpatrick J, Olson MS, Blessing DL, Wang NZ. Physical and Performance Characteristics of Successful High School Football Players. Am J Sports Med 1994;22(6):859-62.
20. Aziz AR. The Relationship between Maximal Oxygen Uptake and Repeated Sprint Performance Indices in Field Hockey and Soccer Players. The Journal of Sport Medicine and Physical Fitness 2000;40:195–200. 21. Noerhadi M. Pengaruh Suplementasi Fe Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin dan Kapasitas Aerobik pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta Angkatan Tahun 1999-2000. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2000. 22. Robertston JD, Maughan RJ, Milne ACM, and Davidson RJL. Hematological Status of Male Runners in Relation to the Extent of Physical Training. Int J Sport Nutr 1992;2:306-75. 23. Deakin V & Inge K. Training nutrition. Clinical Sport Nutrition. Sydney: McGraw-Hill Book Company; 1994. 24. Guyton AC & Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 9th ed. 1996. (Terjemahan) Setiawan I, Tengadi A, Santoso A. Jakarta: CV. EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997.
JURNAL GIZI KLINIK INDONESIA Volume 2, No.1, Juli 2005: 13 - 21
HUBUNGAN POLA MAKAN DENGAN PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PENGIDAP DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN DI RSU GUNUNG JATI CIREBON Juleka1, Ahmad H Asdie2, Susetyowati3
ABSTRACT Background: Diabetes Mellitus (DM) is a chronic disease which has increasing prevalence today. The result of epidemiological study in Indonesia showed that DM prevalence was 1,5-2,3% to population aging over 15 years. DM disease cannot be cured but can be controlled to slow down the complications. Consumption planning is a major component in DM management. there are 3 main principles applied in the supply of food to diabetics, i. e. number of calories, type of food and meal schedule. Observation result shows that over 50% of diabetics do not follow the suggested consumption planning. Objective: The purpose of the study was to investigate the relationship between eating pattern and control of glucose to type 2 diabetics patients. Methods: The study was an analytic observational type using cross sectional design. Purposively taken samples were diabetic type 2 inpatients at Gunung Jati Hospital, Cirebon. Glucose of type 2 diabetics was determined through examination of glucose during fasting and 2 hours post prandial using enzymatic method gained from medical assessment data, and eating pattern gained from 24 hours recall method for 4 days. To know the relationship between eating pattern and control of glucose to type 2 diabetics, chi square, odds ratio (OR) significance and logistic regression were tested. Results: There was relationship between energy (OR=31.6,CI= 5.00-199.76), carbohydrate (OR=12.7,CI=1.30124.3) and fat (OR=5.20, CI=1.08-24.89) intake with glucose control of type 2 diabetics, there was relationship between sugar consumtion and process result (OR=13.1, CI= 2.5966.2) of vegetables (OR=31.6, CI=3.74-267.6) and fruits (OR=5.16, CI=1.41-18.91) with glucose control, there was no relationship between protein intake and meal schedule with glucose control of type 2 diabetics. Key words: Eating pattern, diabetic type 2 DM, glucose control
PENDAHULUAN Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit menahun yang dewasa ini prevalensinya semakin meningkat. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5–2,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pengidap DM (1).
Jumlah pengidap DM yang berkunjung ke puskesmas sebanyak 98 % adalah jenis DM tipe 2 (2,3). Berdasarkan keadaan tersebut dapat dimungkinkan bila di masa yang akan datang penyakit DM dengan komplikasinya akan berkembang menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia. Hasil penelitian di Jawa Barat diketahui prevalensi DM sebesar 1,1% (4) dan berdasarkan laporan Rumah Sakit Umum Gunung Jati Cirebon tahun 2002 diketahui jumlah pengidap DM yang berobat jalan sebanyak 248 orang dan meningkat menjadi 9.817 orang pada tahun 2003 (5). Tujuan pengelolaan DM jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan/gejala diabetes sehingga pengidap dapat menikmati kehidupan yang sehat dan nyaman. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan senantiasa mengontrol metabolik yang baik seperti dicerminkan oleh normalnya kadar glukosa dan lemak darah (6). Dalam usaha untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal pada pengidap dibutuhkan tenaga, motivasi, waktu, pengetahuan dan biaya serta kerjasama pengidap dengan tim dokternya (7). Pengelolaan penyakit DM yaitu melalui edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Pengaturan makan untuk pengidap merupakan komponen utama dalam pengelolaan diabetes, sehingga perlu penetapan komposisi diet yang sesuai untuk mengontrol glukosa darah (1). Prinsip pemberian diet diabetes adalah 3 (tiga) J yaitu: jenis makanan, jumlah kalori dan jadwal makan. Prinsip 3 J tersebut juga dianjurkan bagi pengidap DM yang menjalani rawat jalan. Jenis bahan makanan dan jumlah kalori harus benar-benar diperhatikan, demikian halnya dengan waktu makan (7). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a) Hubungan jumlah asupan zat gizi dengan pengendalian kadar glukosa darah pengidap DM tipe 2; b) Hubungan jenis bahan makanan yang dikonsumsi dengan pengendalian kadar glukosa darah pengidap DM tipe 2; c) Hubungan jadwal makan dengan pengendalian kadar glukosa darah pengidap DM tipe 2; d) Faktor yang paling dominan dalam pengendalian kadar glukosa darah pengidap DM tipe 2.
1. 2.
3.
RSU Meuraka Banda Aceh Bagian Penyakit Dalam RS Dr. Sardjito/Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta Instalasi Gizi RS Dr. Sardjito/Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
14
Juleka, Ahmad H Asdie, Susetyowati
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang dilakukan adalah observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Gunung Jati Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat yang dimulai tanggal 1 September sampai 14 Oktober 2004. Populasi penelitian ini adalah pengidap DM rawat jalan di Cirebon, sedangkan sampel pada penelitian ini adalah pengidap DM tipe 2 yang rawat jalan di RSU Gunung Jati Cirebon. Jumlah sampel dilakukan perhitungan berdasarkan rumus perhitungan sampel untuk rancangan cross sectional, yaitu 49 sampel dan didapatkan sebanyak 52 sampel. Variabel independen penelitian ini adalah asupan energi, karbohidrat, protein, lemak, konsumsi gula dan hasil olahannya, sayuran dan buah serta jadwal makan. Sedangkan variabel dependennya adalah kadar glukosa darah. Data kadar glukosa darah diperoleh dari hasil pemeriksaan glukosa darah yang dilakukan di laboratorium RSU Gunung Jati Cirebon dengan metode oksidasi glukosa atau o-toluidin yang diperoleh dari data catatan rekam medis RSU Gunung Jati Cirebon. Data tentang asupan zat gizi dikumpulkan dengan metode recall 24 jam yang dilakukan selama 4 hari. Penggunaan jenis bahan makanan yang dikonsumsi yaitu gula dan hasil olahannya, sayuran dan buah serta Jadwal makan sampel diperoleh dari rekapitulasi food recall Jumlah asupan zat gizi dihitung dengan memakai program FP2 (Food Processor serie 2). Untuk mengetahui ada hubungan antar variabel penelitian digunakan uji kai kuadrat dan untuk mengetahui besarnya faktor risiko digunakan nilai odds ratio (OR). HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Subjek Penelitian Jumlah pengidap DM tipe 2 yang didapatkan pada penelitian ini sebanyak 52 pengidap yang terdiri dari 21 pengidap dengan kadar glukosa darah terkendali dan 31 pengidap dengan kadar glukosa darah tidak terkendali. Kadar glukosa darah dikategorikan menjadi terkendali apabila kadar glukosa darah puasa 80-125 mg/ dl dan kadar glukosa darah 2 jam post prandial (pp) 80178 mg/dl serta pada pengidap DM berusia >60 tahun dikategorikan terkendali bila kadar glukosa darah puasa 80-150 mg/dl dan 2 jam pp 80-200 mg/dl. Karakteristik subjek penelitian dijelaskan pada Tabel 1. Asupan Energi Tabel 2 menunjukkan hubungan asupan energi dengan pengendalian kadar glukosa darah dengan nilai OR= 31,6, CI= 5,00-199,76, yang berarti bahwa pengidap
yang memiliki asupan energi melebihi kebutuhan mempunyai risiko 31 kali lebih besar untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali dibandingkan dengan pengidap yang asupan energinya sesuai kebutuhan. Asupan Karbohidrat Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan karbohidrat memiliki hubungan yang bermakna dengan pengendalian kadar glukosa darah dengan nilai OR=12,7, CI=1,30-124,3, (Tabel 3). Hal ini dapat dijelaskan bahwa pengidap dengan asupan karbohidrat lebih memiliki risiko untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali 12 kali lebih besar dari pengidap dengan asupan karbohidrat baik. Asupan Protein Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa asupan protein tidak berhubungan dengan pengendalian kadar glukosa darah dengan nilai OR=1,05, CI=0,5316,89. Hal ini menjelaskan bahwa asupan protein bukan merupakan faktor risiko terhadap pengendalian kadar glukosa darah pada pengidap diabetes melitus. Asupan Lemak Tabel 5 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna tingkat asupan lemak dengan pengendalian kadar glukosa darah dengan nilai OR=5,20, CI=1,08-24,89. Hal ini berarti pengidap yang asupan lemak melebihi kebutuhan memiliki risiko untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali 5 kali lebih besar dibandingkan pengidap yang asupan lemaknya sesuai kebutuhan. Konsumsi Gula dan Hasil Olahannya Tabel 6 menunjukkan konsumsi bahan makanan jenis gula dan hasil olahannya memiliki hubungan yang bermakna dengan pengendalian kadar glukosa darah dengan nilai OR=13,1, CI= 2,59-66,2. Ini menggambarkan bahwa pengidap yang mengkonsumsi gula dan hasil olahannya tidak baik yaitu >5% total kalori memiliki risiko 13 kali lebih besar untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali dibandingkan dengan pengidap yang konsumsi gula dan hasil olahannya sesuai anjuran. Konsumsi Sayuran Hubungan konsumsi sayuran dengan pengendalian kadar glukosa darah dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisis uji kai kuadrat menunjukkan ada hubungan konsumsi sayuran dengan pengendalian kadar glukosa darah, dengan nilai OR=31,6, CI=3,74-267,6. Hal ini berarti pengidap yang mengkonsumsi sayuran dalam jumlah kurang dari 2 porsi sehari atau tidak mengkonsumsi mempunyai risiko 31 kali lebih besar untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali dibandingkan dengan
Hubungan Pola Makan dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah
15
TABEL1. Karakteristik subjek penelitian
Karateristik Kelompok umur : Dewasa (18–55 th) Manula (> 55 th) Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan Tingkat pendidikan : Rendah Menengah Atas Tinggi Jenis pekerjaan : Pensiunan PNS/ABRI Swasta Ibu rumah tangga Lama menderita DM : Baru < 6,5 th Lama > 6,5 th Status gizi : Kurus Normal Lebih Aktivitas fisik : Rutin Tidak rutin Penggunaan obat : Sesuai resep Tidak sesuai resep Konsultasi gizi : Pernah Tidak pernah
Kadar glukosa darah terkendali n %
Kadar glukosa darah tidak terkendali n %
3 18
5,6 34,8
12 19
23,1 36,5
11 10
21,2 19,2
11 20
21,2 38,5
7 13 1
13,4 25,0 1,9
6 19 6
11,5 36,5 11,6
10 1 1 9
19,2 1,9 1,9 17,3
7 6 1 17
13,5 11,5 1,9 3,27
16 5
30,8 9,6
13 18
25,0 34,6
5 10 6
9,6 19,2 11,5
3 10 18
5,6 19,2 34,6
6 15
11,5 28,8
0 31
0,0 59,6
21 0
40,4 0,0
47 5
50,0 9,6
11 10
21,2 19,2
18 23
34,8 25,0
8 (15,4%) 11 (21,2%) 2 (3,8%)
4 (7,6%) 4 (7,7%) 23 (44,3%)
12 (23,0%0 15 (28,9%) 25 (48,1%)
21 (40,4%)
31 (59,
52 (100,0%)
ab
1,00
0,13-3,81 <0,001ab
31,6 5,00-199,7
Fischer Exact Test : Signifikan (p<0,05)
pengidap yang mengkonsumsi sayuran sesuai anjuran yaitu minimal 2 porsi dalam sehari. Konsumsi Buah Tabel 8 menunjukkan bahwa konsumsi buah memiliki hubungan dengan pengendalian kadar glukosa
darah, dengan nilai OR=5,16, CI=1,41-18,91. Hal ini berarti pengidap yang mengkonsumsi buah dalam jumlah kurang dari 2 porsi sehari atau tidak mengkonsumsi mempunyai risiko 5,16 kali lebih besar untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali dibandingkan dengan pengidap yang mengkonsumsi buah 2-5 porsi dalam sehari.
16
Juleka, Ahmad H Asdie, Susetyowati
TABEL 4. Hubungan asupan protein dengan pengendalian kadar glukosa darah Asupan protein
Kadar glukosa darah
OR 95 % CI
Jumlah
p 2,5
Terkendali
Tidak terkendali
Kurang (90%) Baik (90-110%) Lebih (> 110%)
5 (17,3%) 3 (5,8%) 9 (17,3%)
6 (11,5%) 6 (11,5%) 19 (36,6%)
15 (28,8%) 9 (17,3%) 28 (53,9%)
Jumlah
21 (49,4%)
31 (59,9%)
52 (100,0%)
a
0,53-16,89 4,61a
1,05 0,21-5,21
Keterangan : a : Fischer Exact Test
Jarak Waktu Makan
Analisis Multivariat (Regresi Logistik)
Tabel 9 menunjukkan tidak ada hubungan jarak antarwaktu makan dengan pengendalian kadar glukosa darah. Namun, secara deskriptif menggambarkan bahwa sebagian besar pengidap yang memiliki kadar glukosa terkendali mempunyai jarak antarwaktu makan yang baik.
Setelah dilakukan uji statistik antara variabel secara bersama-sama ternyata variabel yang dominan menentukan terkendali atau tidak terkendalinya kadar glukosa darah adalah konsumsi sayuran (P<0,05) dengan nilai OR=33,12, CI=1,25-877,2 (Tabel 10).
Hubungan Pola Makan dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah
Hubungan Asupan Energi dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Dalam proses perubahannya menjadi energi, zat-zat makanan harus dipecah terlebih dahulu menjadi bahan dasar seperti glukosa serta masuk ke dalam sel melalui proses metabolisme. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa melalui proses metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar (6). Pada pengidap penyakit diabetes melitus tipe 2 memiliki jumlah insulin normal atau berlebih. Namun, reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang sehingga jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel lebih sedikit (7). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa tidak terkendalinya kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2 disebabkan oleh tingginya produksi glukosa yang berasal dari asupan energi yang melebihi kebutuhan dan tidak mampu diserap dan diedarkan ke dalam sel-sel yang membutuhkan karena rendahnya reseptor insulin. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian bahwa pengidap DM tipe 2 dengan asupan energi melebihi
kebutuhan memiliki risiko 31 kali lebih besar untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali dibandingkan dengan pengidap yang asupan energinya sesuai kebutuhan. Hasil ini sesuai dengan penelitian pada pengidap diabetes melitus dengan berat badan gemuk yang mengalami penurunan asupan energi rata-rata per hari diikuti dengan penurunan kadar glukosa darah, demikian juga pada pengidap yang memiliki berat badan normal dengan asupan energi yang mendekati normal diikuti dengan terkendalinya kadar glukosa darah (8). Hubungan Asupan Karbohidrat dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna jumlah asupan karbohidrat dengan pengendalian kadar glukosa darah. Pengidap DM tipe 2 yang asupan karbohidrat melebihi kebutuhan memiliki risiko 12 kali lebih besar untuk tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah dibandingkan dengan pengidap yang asupan karbohidratnya sesuai kebutuhan.
TABEL 6. Hubungan konsumsi gula dan hasil olahannya dengan pengendalian kadar glukosa darah Kadar glukosa darah Terkendali
OR 95 % CI
Jumlah
p 0,03
Tidak terkendali
19 (36,5%) 2 (3,8)
13 (25,0%) 18 (34,6%)
32 (80,8%) 20 (19,2%)
21 (40,4%)
31 (59,6%)
52 (100,0%)
ab
13,1 2,59-66,2
Fischer Exact Test
TABEL 7. Hubungan konsumsi sayuran dengan pengendalian kadar glukosa darah Konsumsi sayuran
Kadar glukosa darah Terkendali
p <0,001
Tidak terkendali
15 (28,8%) 6 (11,6%)
12 (23,1%) 19 (36,5%)
27 (51,9%) 25 (48,1%)
Jumlah
21 (40,4%)
31 (59,6%)
52 (100,0%)
Keterangan : : Fischer Exact Test b : Signifikan (p<0,05)
OR 95 % CI
Jumlah
Baik (>2 porsi) Kurang (<2 porsi)
a
17
ab
31,6 3,74-267,65
18
Juleka, Ahmad H Asdie, Susetyowati
Tidak terkendalinya kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2 yang asupan karbohidratnya melebihi kebutuhan disebabkan karena tingginya pembentukan glukosa yang bersumber dari karbohidrat dan rendahnya reseptor insulin. Pada pengidap DM tipe 2, jumlah insulin bisa normal atau lebih, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat dalam permukaan sel yang kurang (9). Mekanisme penurunan glukosa darah oleh insulin melalui peningkatan laju penggunaan glukosa melalui oksidasi glikogenesis yaitu proses pembentukan glikogen dari glukosa. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa pengidap DM tipe 2 yang memiliki kekurangan resptor insulin menyebabkan rendahnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel dan rendahnya laju oksidasi glikogenesis untuk merubah glukosa menjadi glikogen yang akan disimpan di hati dan otot sebagai cadangan energi (10). Hubungan Asupan Protein dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna tingkat asupan protein dengan pengendalian kadar glukosa darah. Hal tersebut dikarenakan fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak. Protein akan digunakan sebagai sumber energi apabila ketersediaan energi dari
sumber lain yaitu karbohidrat dan lemak tidak mencukupi melalui proses glikoneogenesis. Pencernaan protein menghasilkan asam amino dan sebagian besar asam amino digunakan untuk pembangunan protein tubuh. Bila tidak tersedia cukup karbohidrat dan lemak untuk kebutuhan energi maka sebagian dari asam amino dipecah melalui jalur yang sama dengan glukosa untuk menghasilkan energi (10,11). Meskipun analisis menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata namun secara deskriptif ada kecenderungan pengidap DM tipe 2 yang mengkonsumsi protein melebihi kebutuhan memiliki kadar glukosa darah tidak terkendali, hal ini dikarenakan bahwa pada pengidap diabetes yang tidak terkendali protein tubuh akan dipecah menjadi asam amino yang akan digunakan sebagai substrat untuk proses glukoneogenesis sehingga kadar glukosa darah pengidap diabetes semakin meningkat (7). Protein dalam jumlah yang berlebihan akan diubah menjadi lemak dan disimpan dalam tubuh yang juga akan menjadi substrat untuk proses glukoneogenesis (10). Hubungan Asupan Lemak dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Kelebihan asupan lemak akan menimbulkan suplai lemak berlebihan dalam hati sehingga melalui proses li-
TABEL 8. Hubungan konsumsi buah dengan pengendalian kadar glukosa darah Kadar glukosa darah
Konsumsi buah
Terkendali
Jumlah
p 0,012
Tidak terkendali
Baik (2-5 porsi) Kurang (<2 porsi)
17 (32,7%) 4 (7,7%)
14 (26,9%) 17 (32,7%)
31 (59,6%) 26 (40,4%)
Jumlah
21 (40,4%)
31 (59,6%)
52 (100,0%)
Keterangan : : Fischer Exact Test b : Signifikan (p<0,05)
a
OR 95 % CI ab
5,16 1,41-18,91
Hubungan Pola Makan dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah
19
TABEL 10. Hubungan antara variabel bebas dengan pengendalian kadar glukosa darah Variabel bebas Asupan energi (lebih) Asupan karbihidrat (lebih) Asupan lemak (lebih) Konsumsi gula dan hasil olahan Konsumsi sayuran Konsumsi buah
p
OR
95% CI
0,566 0,707 0,641 0,822 b 0,036 0,621
3,1 1,96 0,45 10839,5 33,12 1,53
0,65-146,9 0,09-64,67 0,016-12,57 0,00-1,6E 1,25-877,2 0,07-46,77
Keterangan : b : Signifikan (p<0,05)
pogenesis dan dengan bantuan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) lemak dapat disimpan di jaringan adiposa sedangkan gliserol dapat diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis (10). Adanya kelainan patologis pada pengidap DM tipe 2 berupa rendahnya reseptor insulin telah menimbulkan rendahnya kadar glukosa dalam sel-sel tubuh. Hal ini mendorong terjadinya proses glukoneogenesis untuk memobilisasi cadangan lemak tubuh agar menghasilkan glukosa yang dibutuhkan sel-sel tersebut. Proses ini menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa asupan lemak yang melebihi kebutuhan pada pengidap DM tipe 2 telah menyebabkan tidak terkendalinya kadar glukosa darah. Sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengidap DM tipe 2 yang asupan lemaknya melebihi kebutuhan memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk tidak mampu mengendalikan kadar glukosa darah dibandingkan pengidap DM tipe 2 yang asupan lemak sesuai dengan kebutuhan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heilbronn dkk (12) yang membuktikan bahwa pemberian diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2 yang memiliki kadar glukosa darah tidak terkendali. Hubungan Konsumsi Gula dan Hasil Olahan dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah. Gula dalam proses pencernaan cepat diabsorbsi oleh saluran pencernaan dan langsung masuk ke dalam aliran darah sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat dengan cepat. Pada pengidap DM di mana terjadi kelainan patologis sebagai efek dari kurangnya insulin yang berakibat berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh maka dengan tingginya konsumsi gula dan hasil olahannya akan mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah (13). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang membuktikan bahwa pengidap yang mengkonsumsi gula
dan hasil olahannya tidak baik yaitu >5% total kalori memiliki risiko 13 kali lebih besar untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali dibandingkan dengan pengidap yang konsumsi gulanya sesuai anjuran. Hubungan Konsumsi Sayuran dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Hasil penelitian membuktikan bahwa ada hubungan konsumsi sayuran dengan pengendalian kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2 dan pengidap yang mengkonsumsi sayuran dalam jumlah kurang dari 2 porsi sehari atau tidak pernah mempunyai risiko 31 kali lebih besar untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali dibandingkan dengan pengidap yang mengkonsumsi sayuran sesuai anjuran yaitu minimal 2 porsi dalam sehari. Adanya hubungan konsumsi sayuran dengan pengendalian kadar glukosa darah pada pengidap DM tipe 2 dapat dijelaskan bahwa dengan konsumsi serat sesuai kebutuhan dapat menimbulkan rasa kenyang akibat masuknya karbohidrat komplek yang menyebabkan menurunnya selera makan dan akhirnya menurunkan konsumsi makan. Di samping itu serat juga mengandung kalori rendah sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah dan lemak dalam tubuh (14,15,16). Meningkatnya konsumsi serat menguntungkan karbohidrat penyebab diabetes terutama gula-gula sederhana karena dapat memperlambat gerak laju gula dari lambung ke usus kecil, atau melawan peningkatan konsentrasi gula darah yang cepat setelah makan gula (12). Mekanisme serat yang tinggi dapat memperbaiki kadar gula darah yaitu berhubungan dengan kecepatan penyerapan makanan (karbohidrat) masuk ke dalam aliran darah yang dikenal dengan glycemic index (GI). Indeks ini mempunyai angka dari 0 sampai 100 di mana makanan yang cepat dirombak dan cepat diserap masuk ke aliran darah mempunyai angka GI yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Sebaliknya makanan yang lambat dirombak dan lambat diserap masuk ke aliran
20
Juleka, Ahmad H Asdie, Susetyowati
darah mempunyai angka GI yang rendah sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah (18). Hubungan Konsumsi Buah dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan kadar glukosa darah adalah kandungan serat, adanya zat anti nutrien, bentuk fisis, pemasakan, keadaan dan besar partikel pada pati, protein dan adanya interaksi antara protein dan zat pati. Bila dibandingkan dengan bahan makanan tinggi serat lain buah-buahan memiliki indeks glikemik relatif lebih rendah setelah kacang-kacangan yaitu 50%, biji-bijian 60%, sayuran 65%, sedangkan kacang-kacangan hanya 31% (19). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang membuktikan bahwa konsumsi buah memiliki hubungan dengan pengendalian kadar glukosa darah. Dari hasil recall diketahui pada pengidap yang memiliki kadar glukosa darah tidak terkendali yang mengonsumsi buah <2 porsi memiliki asupan energi tinggi. Hal tersebut dikarenakan jenis selingan yang dikonsumsi mengandung karbohidrat dan lemak yang tinggi, seperti bakwan, ubi goreng dan pisang goreng. Selain memiliki indeks glikemik yang relatif rendah buah-buahan juga mengandung serat yang cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan perasaan kenyang dan puas yang membantu mengendalikan nafsu makan dan menghindari asupan energi yang berlebihan (13). Sehingga dapat dijelaskan bahwa pada pengidap yang mengkonsumsi buah dalam jumlah yang kurang akan cenderung memiliki asupan energi yang melebihi kebutuhan karena pengidap DM cenderung merasa lapar akibat sel-sel yang kekurangan glukosa. Hubungan Jarak Antarwaktu Makan dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Hasil penelitian menunjukkan jarak antar waktu makan tidak berhubungan secara nyata dengan pengendalian kadar glukosa darah. Hal tersebut disebabkan karena jadwal makan yang baik pada pengidap DM dalam penelitian ini tidak diikuti dengan jumlah porsi makanan yang dianjurkan. Hal ini mengakibatkan asupan zat gizi seperti energi, karbohidrat dan lemak melebihi kebutuhan. Pengidap diabetes dianjurkan untuk makan dalam jumlah kecil namun sering, yaitu lima sampai dengan enam kali sehari. Hal ini agar asupan makanan tidak meningkatkan kadar gula darah secara drastis, sebaliknya pada tenggang antara waktu makan tidak terjadi penurunan drastis kadar gula darah. Sebaiknya pengidap DM makan secara teratur. Frekuensi makan juga sebaiknya lebih sering, namun dengan porsi yang lebih
kecil. Hal ini dimaksudkan agar fluktuasi kadar glukosa darah tidak begitu besar (20). Sebaiknya pengidap DM makan secara teratur. Frekuensi makan juga sebaiknya lebih sering, namun dengan porsi yang lebih kecil agar fluktuasi kadar glukosa darah tidak begitu besar. Namun dalam penelitian ini tidak bisa menjelaskan fluktuasi kadar glukosa darah pengidap DM karena pemeriksaan kadar glukosa darah hanya dilakukan satu kali (7). Hubungan Pola Makan dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah Hasil analisis multivariat terhadap variabel-variabel yang pada analisis bivariat memiliki nilai P<0,25, yaitu asupan energi, karbohidrat dan lemak yang melebihi kebutuhan, konsumsi gula dan hasil olahannya, sayuran dan buah menunjukkan bahwa variabel yang dominan menentukan terkendali atau tidak terkendalinya kadar glukosa darah adalah konsumsi sayuran (P<0,05). Suatu penelitian di Amerika membuktikan bahwa diet serat yang tinggi yaitu 25 gram/hari mampu memperbaiki pengontrolan gula darah, menurunkan peningkatan insulin yang berlebihan di dalam darah serta menurunkan kadar lemak darah (21). Penelitian dengan studi kohort yang dilakukan selama 16 tahun juga membuktikan bahwa salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM adalah diet yang rendah serat dan lemak tak jenuh ganda (22). Hal tersebut juga didukung oleh Suyono (23) yang menyatakan bahwa hasil penelitian membuktikan meskipun diet seseorang tinggi karbohidrat namun toleransi glukosa akan tetap membaik bila disertai dengan tinggi serat minimal 30–40 gr/hari. KESIMPULAN DAN SARAN Asupan energi, Karbohidrat dan lemak berhubungan dengan pengendalian kadar glukosa darah pada pengidap diabetes melitus tipe 2 sedangkan asupan protein tidak berhubungan dengan pengendalian kadar glukosa darah. Konsumsi jenis bahan makanan gula dan hasil olahannya, sayuran dan buah berhubungan dengan pengendalian kadar glukosa darah pada pengidap diabetes melitus tipe 2. Jadwal makan pada pengidap diabetes melitus tipe 2 tidak berhubungan dengan pengendalian kadar glukosa darah. Di antara faktor-faktor yang berhubungan dengan pengendalian kadar glukosa darah konsumsi sayuran merupakan faktor dominan. Sehubungan dengan hasil penelitian tersebut disarankan kepada pengidap diabetes melitus tipe 2 agar memperhatikan pola makan terutama berkaitan dengan asupan energi, karbohidrat dan lemak serta konsumsi gula, sayuran dan buah. Kepada tim pengelola penyakit
Hubungan Pola Makan dengan Pengendalian Kadar Glukosa Darah
diabetes melitus diharapkan dapat meningkatkan kerja sama dalam penanganan pengidap diabetes melitus terutama dalam pengaturan pola makan, melalui penyuluhan dan konsultasi gizi tentang pentingnya pengaturan pola makan yang tepat agar dapat mengendalikan kadar glukosa darah sehingga akan menurunkan risiko komplikasi. Penelitian ini hanya mengukur pengendalian kadar glukosa darah melalui pengukuran kadar glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial (pp) sehingga nilainya sangat variatif dari waktu ke waktu. Dengan demikian kami menyarankan untuk melakukan penelitian dengan masalah yang sama dengan melakukan pengukuran Hb A1c sehingga pengukuran kadar glukosa darah lebih akurat. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini terlaksana atas bantuan serta dukungan berbagai pihak. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktur Rumah Sakit Umum Gunung Jati Cirebon, para dokter dan staf di poliklinik penyakit dalam serta teman-teman di poliklinik gizi yang terlibat pada penelitian ini. Juga kepada pengidap DM yang bersedia menjadi responden penelitian, serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. RUJUKAN 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia. 2002. Soegondo S, Pradona S, Gatut S, Suharko S. The Status of Diabetes Control in Indonesia: a National Edit of Patients with Type 2 Diabetes Mellitus in the Year 2001. Majalah Kedokteran Indonesia 2003;53(6):283-89. Suminarti W, Purba M, Handayani ND, Wiyono P. Perubahan Berat Badan dan Kadar Gula Darah pada Kelompok Senam Diabetes Persadia Cabang RS DR Sardjito Yogyakarta. Naskah Lengkap Kongres Nasional Persagi; 2002; Jakarta; Indonesia. Suyono S. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Pasien Diabetes Mellitus. Cetakan Pertama. Jakarta: Pusat Diabetes & Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo-FKUI; 1999. RSU Gunung Jati. Laporan Tahunan Rumah Sakit Umum Gunung Jati Cirebon. Cirebon: RSU Gunung Jati; 2004. Syahbudin S. Diabetes Melitus dan Pengelolaannya. Cetakan Kedua. Jakarta: Pusat Diabetes & Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo-FKUI; 2002. Asdie AH. Patogenesis dan Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Medika Fakultas Kedokteran UGM; 2000.
8.
21
Salman. The Role of Standart in Controling Blood Glucose Level ini Patient with Diabetes Mellitus Type 2 at Manado General Hospital. Majalah Kedokteran Indonesia 2003;53(11):398-403. 9. Edgren AR. Diabetes Mellitus, Health Sites, Inc.653 West 23rd Street #287, Panama City, FL 32405, 31 Agustus 2004, 10. Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2003. 11. Djojosoebagio S, Piliang WG. Fisiologi nutrisi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIPres); 1996. 12. Heilbronn LK, Noakes M, Clifton PM. The Effect of High and Low Glycemic Index Energy Restricted Diet on Plasma Lipid and Glucose Profile in Type 2 Diabetic Subject with Varying Glycemic Control. J Am Coll Nutr 2002:21(2);120-27. 13. Soegondo S, Sukardji K. Sukrosa dan Diabetes Melitus. Cetakan Kedua. Jakarta: Pusat Diabetes & Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto MangunkusumoFKUI; 2002. 14. Stark A, Madar Z. Dietary Fibre. In: Goldberg. 1st ed. Functional Foods: Designer Foods, Pharmafoods, and Nutraceuticals. New York: Chapman & Hall; 1994. p.183-201. 15. Southgate DAT. Dietary Fibre Analysis. Norwich: The Royal Society of Chemistry. 1995. 16. Posted GJ. Makalah Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor; Mei 2002. 17. Linder MC. 1985. Nutritional Biochemistry and Metabolism. (Terjemahan) Parakkasi A. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press); 1992. 18. Harland BF, Oberleas D. Effects of Dietary Fiber and Phytate on the Homeostasis and Bioavailability of Minerals. Boca Raton: CRC Press; 2001. 19. Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko M. Indeks Glikemik berbagai Makanan Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003. 20. Infokes. Penderita Diabetes perlu Makan Teratur, 31 Agustus 2004 09:25:41 21. Campbell LV, Marmot PE, Dyer JA, et al. The Highmonounsaturated Fat Diet as a Practical Alternative for NIDDM. The Science Behind Atkins ; 19 Agustus 2004 22. Hu FB, Manson JE, Stampfer MJ, Colditz G, Liu S, Solomom CG, Willett WC. Diet, Lifestyle, and the Risk of type 2 Diabetes Mellitus in Women, Original Article 2001:345;790-97. 23. Suyono S. Pengaturan Makan dan Pengendalian Glukosa Darah. Cetakan Kedua. Jakarta: Pusat Diabetes & Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo-FKUI; 2002.
JURNAL GIZI KLINIK INDONESIA Volume 2, No.1, Juli 2005: 22 - 27
PENGARUH SUPLEMENTASI TABLET FE DENGAN SUPERVISI SUAMI PADA IBU HAMILTERHADAP UMUR KEHAMILAN DI KABUPATEN BANTUL Dhuto Widagdo1, Hamam Hadi2, Wiryatun Lestariana3
ABSTRACT Background: The high prevalence of anemia pregnant women anemia in Indonesia reaches 50%–70%, and it is caused by many factors. First, it may be caused by low compliance of iron supplementation and second, it may be caused by bad distribution of iron supplementation. This prevalence results some effect: high maternal mortality rate, neonatal mortality rate, anemia in infancy, and low productivity. One solution to overcome this prevalence is by giving iron supplementation to pregnant women with husband’s supervision. Objective: This study aims to examine the relationship between iron supplementation with compliance, Hb value, average of age gestation under husband’s supervision. Methods: This was quasi experimental non-equivalent control group design. Subjects were pregnant women aged 20–28 weeks whose hemoglobin level 8 gr/dl to 15 gr/dl. Subject were taken from three sub-districts of Bantul District, Special Teritory of Yogyakarta. Subject were divided into two groups, the first group (n=55) received 60 mg iron supplementation with husband’s supervision and the second group (n=65) received 60 mg iron supplementation without husband’s supervision. Results: The compliance of first the group was higher than the second group (x2=19,48 p<0,01). In the first group, iron supplementation was effective to increase Hb level it was statistically insignificant (p>0,05). In the second group, iron supplementation was also effective to increase Hb level and it is statistically significant (p<0,05). The difference of Hb level between two groups was insignificant. After the predictor variable was controlled using multivariate regression test, it showed that iron supplementation with husband’s supervision was effective to increased Hb level 0,8 gr/dl and statistically significant (p<0,05). The gestation average of two groups was similar, but after predictor variable was controlled using multivariate test, it showed that iron supplementation with husband’s supervision had one week gestation longer than those group without husband’s supervision. Conclusion: Iron supplementation with husband’s supervision are effective to lengthen one week age gestation. Key words: Pregnant women, iron supplementation, supervision, compliance, age gestation
PENDAHULUAN Sebagian besar anemia di Indonesia adalah karena kekurangan besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Hb), sehingga disebut “anemia kekurangan besi” (1). Anemia adalah suatu keadaan kadar Hb di
dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang yang bersangkutan (2). Defisiensi Fe dapat disebabkan antara lain karena kurangnya kandungan Fe (relatif) dalam diet, adanya hambatan absorbsi Fe, karena perdarahan, kehamilan dan lain-lain (3). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, angka prevalensi anemia ibu hamil sebesar 63,5%. Di Kabupaten Bantul berdasarkan hasil survei cepat tahun 1995 angka prevalensi anemia sebesar 69,7%. Pengaruh negatif defisiensi besi terhadap kesehatan adalah anemia dan gangguan pengangkutan oksigen ke jaringan, ibu hamil dalam keadaan anemia akan mempunyai risiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) dua kali lebih tinggi dibanding yang tidak menderita anemia (4). Anemia juga menyebabkan kehamilan berakhir dengan abortus dan lahir mati (5). Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan antara lain dengan pemberian suplementasi tablet Fe, peningkatan pengetahuan melalui penyuluhan langsung ataupun media cetak dan elektronik, serta melibatkan berbagai sektor terkait, namun tingkat penurunannya belum menggembirakan (1). Tablet Fe yang didistribusikan di kalangan ibu hamil di Indonesia, masih mengalami banyak kendala karena hambatan sosial budaya dan psikologi karena kepatuhan ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet Fe masih rendah. Hambatan bau, rasa, dan efek samping dari minum tablet Fe merupakan faktor penyebab rendahnya kepatuhan selain kurangnya dukungan keluarga (6). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi tablet Fe dengan supervisi oleh suami terhadap umur kehamilan. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu alternatif dalam program suplementasi tablet Fe utuk penanggulangan anemia dan menurunkan angka prevalensi prematur. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan quasi non equivalent control group 1. 2. 3.
BPP-GAKY Magelang Magister Gizi dan Kesehatan UGM, Yogyakarta Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
Pengaruh Suplementasi Tablet Fe dengan Supervisi Suami pada Ibu Hamil
design pada ibu hamil dengan usia kehamilan 20–28 minggu. Penelitian dilaksanakan di 3 kecamatan (Kecamatan Bantul, Bambang Lipuro dan Pundong) di Kabupaten Bantul, Provinsi DIY, pada bulan Agustus sampai November 2002. Subjek penelitian adalah ibu hamil dengan umur kehamilan 20-28 minggu dan kadar Hb (8 gr/dl - 15 gr/dl). Dari hasil pemeriksaan kadar Hb dan umur kehamilan berjumlah 168 orang, namun yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 135 orang (80,36%). Selanjutnya subjek dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok I adalah suplementasi tablet Fe dengan supervisi oleh suami (Kecamatan Bantul 64 orang) dan kelompok II adalah suplementasi tablet Fe tanpa supervisi oleh suami (Kecamatan Bambang Lipuro dan Pundong 71 orang). Pemberian suplementasi dilakukan setiap hari sesuai dengan program selama 16 minggu (3 bulan), sedangkan untuk melakukan supervisi setiap subjek dibekali formulir supervisi untuk suami. Data yang dikumpulkan meliputi kadar Hb sebelum dan sesudah (umur kehamilan 36 minggu) intervensi dengan menggunakan metode cyanmethemoglobin, asupan gizi dengan recall 24 jam sebanyak 5 kali, enhacer dan inhibitor zat besi, status gizi (Lingkar Lengan Atas dan Indek Masa Tubuh) sebanyak 5 kali, kepatuhan berdasarkan formulir yang dikumpulkan 1 bulan sekali, data tinggi badan, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, paritas, jarak kehamilan dikumpulkan sekali selama penelitian. Sedangkan data umur kehamilan dikumpulkan pada setelah melahirkan dihitung berdasarkan tanggal lahir dikurangi hari perkiraan mentsruasi terakhir dibagi tujuh (untuk menentukan umur kehamilan dalam minggu), pengolahan menggunakan komputer. Pengolahan data menggunakan program komputer, untuk data asupan makanan menggunakan FP II (Food Processor II). Keputusan pengujian hipotesis penelitian didasarkan pada taraf signifikansi p<0,05 dengan program stata uji statistik t-test dan regresi linier. HASIL DAN BAHASAN Hasil uji t-test dan chi=square terhadap kadar Hb awal, umur ibu hamil, pendidikan, pendapatan, paritas, jarak hamil, dan asupan gizi (kecuali vitamin C) secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (Tabel 1). Perbedaan rata-rata umur kehamilan pada kelompok ibu hamil dengan supervisi dan kelompok ibu hamil tanpa supervisi dapat dilihat pada Tabel 2. Analisis univarian rata-rata umur kehamilan pada kelompok ibu hamil dengan supervisi suami dan kelompok ibu hamil tanpa supervisi suami adalah 38,85±3,19 dan 38,14±2,66 minggu secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05).
23
Namun demikian dalam analisis multivarian dengan menggunakan uji regresi linier berganda didapatkan bahwa suplementasi tablet Fe dengan supervisi suami berpengaruh lebih tinggi terhadap umur kehamilan dibandingkan dengan suplementasi tablet Fe tanpa supervisi suami (Tabel 3), Dapat dilihat secara umum setelah mengendalikan faktor-faktor jarak kehamilan, asupan kalori, asupan protein, asupan vitamin C, asupan besi, tingkat kepatuhan, Hb2, dan BMI, umur kehamilan rata-rata kelompok ibu hamil yang mendapat suplementasi tablet Fe dengan supervisi suami 1 minggu lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ibu hamil yang mendapat suplementasi Fe tanpa supervisi suami dan secara statistik bermakna (p<0,05). Hal ini sesuai dengan pendapat Alisyahbana (4) anemia dapat menyebabkan BBLR di mana 75% dari BBLR disebabkan karena kurang umur kehamilan. Fakta ini juga sesuai dengan hasil penelitian Jamil (7), bahwa kepatuhan minum tablet Fe pada kelompok dengan supervisi lebih tinggi dibandingkan dengan kepatuhan minum tablet Fe pada kelompok tanpa supervisi, hasil selengkapnya pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet Fe pada kelompok dengan supervisi dan tanpa supervisi masing-masing 38 (69,09%) dan 17 (30,19%), secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok dengan supervisi lebih patuh dibandingkan dengan kelompok tanpa supervisi. Sedangkan peran suami dengan cara mengingatkan ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet Fe pada kelompok dengan supervisi dan tanpa supervisi dapat dilihat pada Tabel 5. Rata-rata suami mengingatkan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet Fe pada kelompok ibu hamil dengan supervisi dan tanpa supervisi masingmasing 41% dan 1,5%. Fakta ini menunjukkan bahwa suami berperan dalam meningkatkan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet Fe. Ditinjau dari sebab ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi tablet Fe, terlihat bahwa alasan ketidakpatuhan pada kelompok ibu hamil tanpa supervisi lebih banyak dibandingkan dengan kelompok ibu hamil dengan supervisi. Sedangkan sebab ketidakpatuhan mengkonsumsi tablet Fe secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6. Selanjutnya dari hasil penelitian tersebut diperoleh hasil pemeriksaan kadar Hb ibu hamil sebelum dan sesudah intervensi serta perubahannya dengan hasil sebagai berikut: rata-rata kadar Hb ibu hamil pada kelompok dengan supervisi dan rata-rata kadar Hb ibu hamil pada kelompok tanpa supervisi adalah 11,79±1,93 dan 11,82±1,78 gr/dl. Setelah disuplementasi pada kelompok dengan supervisi mengalami kenaikan
24
Dhuto Widagdo, Hamam Hadi, Wiryatun Lestariana
TABEL 1. Data karakteristik responden
Variabel Umur <20 thn 20-35 thn >35 thn Pendidikan SD SLTP SLTA PT Pekerjaan Tidak bekerja Buruh Wiraswasta Petani Peg. Swasta PNS/TNI/Polisi Pendapatan Perkapita < 196.600 >196.600 Paritas ke : 1 2 3 >4 Jarak hamil : <1 thn 2 thn 3 thn >4 thn Kadar Hb awal (gr/dl) Asupan Gizi : Energi (Kkal%AKG) Protein (gr%AKG) Zat Besi (mg%AKG) Vit. C (mg%AKG) Vit. A (RE%AKG) Kalsium (mg%AKG)
Kelompok Dengan Supervisi Tanpa Supervisi Suami (n=55) Suami (n=65)
2
χ / t-test
p
1 (7,1%) 48 (87,27%) 6(10,91%
1 (0,015%) 63 (94,1%) 1 (0,015%)
-2,06
0,04*
17(30,91%) 11(20%) 19(34,54%) 8(14,55%)
19 (29,2%) 19 (29,2%) 25 (38,5%) 2 (3,01%)
-2,06
0,49
26(47,27%) 8(14,55%) 10(18,18%) 2(3,64%) 6(10,91%) 3(5,45%)
35 (53,8%) 7 (10,8%) 9 (13,8%) 9 (13,8%) 4 (6,2%) 1 (1,5%)
0,72
0,44
41 (81,67%) 14 (25,45%)
57 (87,69%) 8 (12,31%)
3,44
0,06
19(34,54%) 26(47,27%) 3(5,45%) 7(12,74%)
27 (41,5%) 26 (40,0%) 10 (15,4%) 24 (63,2%)
-1,12
0,26
3(5,45%) 6(10,91%) 5(9,09%) 41(74,55%) 11,62 ± 1,89
1 (2,6%) 6 (15,8%) 8 (21,1%) 51(78,46%) 11,27 ± 1,04
0,99
0,32
1,29
0,19
1585,18(63,79%) 47,30(78,84%) 11,58(25,19%) 81,41(116,30%) 5405,82 (772,26%) 374,13(41,57%)
1705,20(68,62%) 60,46 (100,78%) 11,78 (25,62%) 79,84 (114,06%) 9492,34 (1356 %) 397,26(44,14%)
-1,18 -1,35 -0,28 0,18 5,70 -0,74
0,58 0,16 0,86 0,01 0,91 0,13
Keterangan : 2 χ untuk variabel kategorikal dan t-test untuk variabel berskala rasio AKG : Angka kecukupan gizi AKG Vit. C AKG Kalori : 2585 Kkal AKG Fe AKG Protein : 60 gr AKG Vit. A AKG Kalsium : 900 mg * = Signifikan (p<0,05)
: 70 mg : 46 mg : 700 RE