TESIS
PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENURUNKAN BERAT BADAN, LINGKAR PERUT DAN INDEKS MASSA TUBUH PADA WANITA OBESITAS
MYRA ELEN SULISTIO
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN BIOMEDIK UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010
TESIS
PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENURUNKAN BERAT BADAN, LINGKAR PERUT DAN INDEKS MASSA TUBUH PADA PEREMPUAN OBES
MYRA ELEN SULISTIO
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010
i
PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENURUNKAN BERAT BADAN, LINGKAR PERUT DAN INDEKS MASSA TUBUH PADA PEREMPUAN OBES
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
MYRA ELEN SULISTIO 0790761027
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU N BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 30 Nopember 2010
Pembimbing II
Pembimbing I
Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila Sp.And.FAACS
Prof.Dr.dr.J.Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp. And.
NIP : 194612131971071001
NIP : 194402011964091001
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca sarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And.FAACS NIP : 194612131971071001
Prof. DR. Dr. A.A.Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP : 195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai Oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 30 November 2010
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pasca sarjana Universitas Udayana, No : 1801/H14.4/HK/2010 Tanggal 26 Nopember 2010
Ketua
:
Anggota
:
Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And.FAACS
1. Prof. Dr.dr.Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And 2. Prof. dr. N. Agus Bagiada, Sp. BIOK. 3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 4. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih karunia-Nya, sehingga penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “Pemberian astaxanthin oral menurunkan berat badan, lingkar perut, indeks massa tubuh pada perempuan obes” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir studi untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Dengan selesainya laporan penelitian ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat, penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS selaku ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Universitas Udayana dan pembimbing I yang telah memberikan banyak sekali masukan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 2. Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And. selaku pembimbing II, yang dengan sangat sabar memberikan pengarahan dan bimbingan yang sangat berharga dalam menyusun tesis ini. 3. Prof. dr. N. Agus Bagiada, Sp. BIOK. selaku penguji yang banyak sekali membantu dan selalu memberikan petunjuk dan pengarahan yang berharga v
setiap kali penulis menemukan kesulitan dalam menyusun tesis, sehingga penelitian dapat berjalan dengan lancar. 4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D selaku penguji yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama penyusunan tesis ini. 5. Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp. FK selaku penguji yang sangat sabar dalam membimbing, mengarahkan dan memberi masukan yang sangat berharga, dari awal penyusunan penelitian sampai selesainya tesis ini. 6. Drs. I. Ketut Tunas, Msi yang dengan tekun dan sabar memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuk dalam analisis statistik. 7. Para dosen pengajar bagian Ilmu Biomedik FK Universitas Udayana, teman-teman sependidikan dan seluruh karyawan bagian Ilmu Biomedik, serta semua pihak yang telah membantu selama pendidikan, penelitian dan penulisan tesis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya. 8. Sahabat-sahabat tercinta, dr Lilis, dr Feny Adriani, dr Henti Widowati, dr Juliani Suprapto, dr Aurellia serta sahabat-sahabat lainnya yang selalu mendukung, menolong, memberikan semangat kepada penulis sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan lancar. 9. Para karyawan di HoME klinik di Tangerang, yang selalu memberikan semangat dan sudah banyak sekali membantu selama melakukan penelitian.
vi
10. Keluarga terkasih, suami tercinta Sukma Wijaya, terimakasih atas dukungan yang luar biasa. Terimakasih kasih juga untuk Malvin dan Nathania yang selalu membantu mama dalam menyusun penulisan tesis, sehingga mama dpat mengerjakan tugas dengan baik. Serta kedua orang tua, saudara-saudara atas doa, dukungan dan pengertiannya selama penulis menempuh pendidikan. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Semoga Allah Yang Maha Pengasih, senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada mereka semua.
Denpasar, Nopember 2010
Penulis.
vii
ABSTRAK PEMBERIAN ASTAXANTHIN ORAL MENURUNKAN BERAT BADAN, LINGKAR PERUT DAN INDEKS MASSA TUBUH PADA PEREMPUAN OBES Kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan (obesitas) saat ini telah menjadi epidemi global dan di Indonesia sendiri menurut survey tahun 1997 terdapat 8.1% penderita overweight dan 6.8% penderita obesitas. Overweight dan obesitas merupakan faktor risiko berbagai penyakit dan terapinya meliputi diet, olah-raga, perubahan tingkah laku, dan obat penurun berat badan. Obat penurun berat badan jangka panjang adalah sibutramin dan orlistat, namun keduanya mempunyai efek samping yang mengganggu kesehatan. Oleh karena itu perlu diupayakan penggunaan obat atau suplemen lain yang dapat menurunkan berat badan tanpa efek samping yang berpotensi mengganggu kesehatan penggunanya. Astaxanthin sebagai antioksidan diketahui dapat menurunkan berat badan pada tikus percobaan. Astaxanthin memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat Tumor necrosis factor alfa (TNF-α), TNF-α adalah sitokin yang juga diproduksi oleh jaringan lemak dan adiposit. Penumpukan asam lemak bebas pada jaringan adiposa akan meningkatkan TNF-α sehingga terjadilah resistensi insulin. Sebaliknya penurunan TNF-α akan menyebabkan penurunan berat badan dan meningkatkan sensitivitas insulin. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui efek pemberian astaxanthin secara oral terhadap penurunan berat badan, lingkar perut, dan Indeks Massa Tubuh pada perempuan obes. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan rancangan pre-test post-test control group design yang dilakukan pada 18 orang perempuan obes dengan IMT > 25 kg/m2. Usia antara 30 – 45 tahun, sesuai kriteria inklusi. Subyek dibagi dalam 2 kelompok yaitu yang mendapatkan terapi astaxantin 4 mg setiap hari dan yang mendapatkan plasebo selama 60 hari. Pada hari ke 60 dilakukan pengukuran ulang berat badan, IMT, dan lingkar perut. Hasil penurunan berat badan rata-rata kelompok astaxantin 4 mg (66.22 ± 1,91) dibandingkan dengan kelompok plasebo (69,17 ± 2,02), terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05), begitupun penurunan rata-rata Indeks Massa Tubuh (IMT) pada kelompok astaxantin (25,10 ± 1,35) dibandingkan dengan kelompok Plasebo (27,52 ± 2,69) juga berbeda bermakna (p < 0,05), tetapi Variabel lingkar perut pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan secara bermakna (p > 0.05). Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian astaxanthin 4 mg secara oral selama 60 hari pada perempuan obes, mampu menurunkan berat badan dan IMT secara bermakna dibandingkan dengan plasebo, namun tidak disertai dengan penurunan lingkar perut secara bermakna. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah subyek lebih banyak dan jangka waktu lebih lama untuk mengetahui mekanisme dan efek jangka panjang astaxantin dalam menurunkan berat badan. Kata kunci: astaxanthin, perempuan obes, berat badan, lingkar perut, indeks massa tubuh.
viii
ABSTRACT ORAL ADMINISTRATION OF ASTAXANTHIN DECREASES BODY WEIGHT, WAIST CIRCUMFERENCE AND BODY MASS INDEX IN OBESE WOMEN
Overweight and obesity are now becoming a global epidemic. A National health survey in 1997 showed that 8.1% of the population was overweight and another 6.8% suffered obesity. Overweight and obesity are important risk factors for many diseases. Treatment consists of diet therapy, physical activity, behavioral therapy, and weight-loss drugs. The long-term weight-loss drugs of, sibutramine and orlistat are both have adverse effects on health. Therefore it is necessary to discover other drug or supplement which can promote weight loss without any serious side effects. Astaxanthin as an antioxidant is known to produce weight loss in experimental mice. Astaxanthin possesses an antiinflammatory property by inhibiting tumor necrosis factor alfa (TNF-α), TNF-α is a cytokine produced by adipose tissue and adipocytes. Building up of fatty acids in the adipose tissue will increase the level of TNF-α, causing insulin resistance. On the contrary, a decrease in the level of TNF-α will cause weight loss and an increase in insulin sensitivity. This research aims to evaluate the effects of oral administration of astaxanthin to obese women on weight loss, body mass index and waist circumference. This is an experimental research using the pre-test post-test control group design on 18 females with BMI > 25 kg/m2, Aged between 30 – 45 years old, all met in the inclusion criteria. Subjects were divided into 2 groups, one receiving therapy with 4 mg astaxanthin daily and the other control group with Plasebo for 60 days. At the beginning and day 60 of the research, all subjects underwent measurement of weight, BMI, and waist circumference. Mean weight loss in the astaxanthine group was 66.22 kg ± 1,91 kg, compaired with Plasebo group 0.74 kg ± 0.41 kg was statistically significant ( p < 0,05 ), this indicated a decrease in Body Mass Index (BMI) in the astaxanthine group 25,10 kg ± 1,35 kg, compared to the Plasebo group 27,52 kg ± 2,69 kg was also stastitically significant ( p < 0.05 ). However the waist circumference variable from both groups did not show any stastiticalyl significant ( p > 0.05 ). In this research, oral administration of 4 mg astaxanthine once daily for 60 days in obese showed decrease in body weight and BMI significantly compared to Plasebo, however there was no concomitant significant decrease in waist circumference. The results of this research can be used as a base for further studies in a larger number of subjects and longer period of research to elucidate astaxanthine’s mechanisms and long term effect on weight loss. Keywords: astaxanthine, obese woman, weight loss, weight circumference, body mass index.
ix
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ........................................................................................... i PRASYARAT GELAR ..................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................. iv UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. v ABSTRAK ......................................................................................................... viii ABSTRACT........................................................................................................ix DAFTAR ISI ..................................................................................................... x DAFTAR TABEL ..............................................................................................xiv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR SINGKATAN....................................................................................xvii DAFTAR LAMBANG ...................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………...... 1 1.1
Latar Belakang……………………………………………………….... 1
1.2
Rumusan Masalah…………………………………………………....... 5
1.3
Tujuan Penelitian……………………………………………................ 5
1.3.1
Tujuan Umum………………………………………………………..... 5
1.3.2
Tujuan Khusus……………………………………………………........ 5
1.4
Manfaat Penelitian ................................................................................. 6
1.4.1
Manfaat Ilmiah ....................................................................................... 6
1.4.2
Manfaat Aplikasi ....................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….... 7 2.1
Berat Badan Lebih dan Obesitas……………………………………..... 7
2.1.1
IMT……………………………………………..................................... 8
x
2.1.2
Lingkar Perut.........……………………………………………………..10
2.2
Berat Badan………………………………………………………….....11
2.2.1
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi obesitas……......................... 13
2.2.1.1 Faktor genetik versus lingkungan……………………………………... 13 2.2.1.2 Faktor Hormonal……………………………………………………..... 14 2.2.1.3 Sel-sel Lemak………………………………………………………......14 2.2.1.4 Tingkat Metabolisme………………………………………………….. 15 2.2.2
Penyebab lain Obesitas……………………….....................………….. 15
2.2.2.1 Penyebab Psikologis…………………………………………………... 15 2.2.2.2 Kurangnya aktivitas………………………………………………........ 16 2.2.2.3 Diet…………………………………………………………………......16 2.3
Lemak Tubuh………………………………………………………….. 17
2.3.1
Pengertian Lemak tubuh………………………………………..……... 17
2.3.2
Fungsi Lemak Tubuh…………………………………………………...18
2.3.3 Jaringan Adiposa.....................................................................................19 2.4
Metabolisme Lemak…………………………………………………....20
2.5
Manajemen Berat Badan dan Obesitas………………………………... 24
2.5.1
Terapi Diet…………………………………………………………….. 24
2.5.2
Aktivitas Fisik…………………………………………………............. 25
2.5.3
Terapi Perilaku........................................................................................ 27
2.5.4
Terapi Medikamentosa ...........................................................................27
2.6
Radikal Bebas ........................................................................................ 28
2.6.1
Definisi Radikal Bebas............................................................................28
2.6.2 Sumber Radikal Bebas……………………………………………….... 29 2.6.3 Tahapan Pembentukan Radikal Bebas ................................................... 30 2.6.4
Sifat Radikal Bebas ................................................................................ 30
2.7
Antioksidan ............................................................................................ 32
2.7.1
Definisi Antioksidan .............................................................................. 32
2.7.2
Penggolongan Antioksidan .................................................................... 33
2.7.2.1 Antioksidan Primer…………………………………………………..... 33 2.7.2.2 Antioksidan Sekunder………………………………………………..... 34
xi
2.7.3 Mekanisme Kerja Antioksidan……………………………………….... 34 2.8
Astaxanthin…………………………………………………………..... 36
2.8.1 Struktur Kimia, Absorpsi, dan Metabolisme…………………………... 37 2.8.2
Astaxanthin Sebagai Antioksidan........................................................... 37
2.9
Peranan Astaxanthin Dalam Anti-Aging Medicine................................. 40
2.10
Peranan Astaxanthin Terhadap Penurunan Berat Badan….................... 40
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN……….. 42 3.1
Kerangka Konsep…………………………………………………….... 42
3.2
Hipotesis Penelitian………………………………………………….....44
BAB IV METODE PENELITIAN.................................................................... 45 4.1
Rancangan Penelitian………………………………………………….. 45
4.2
Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………..... 46
4.3
Populasi dan Sampel…………………………………………………... 46
4.3.1
Populasi Penelitian…………………………………………………….. 46
4.3.2
Kriteria Subyek………………………………………………………... 47
4.3.2.1 Kriteria Inklusi……………………………………………………….... 47 4.3.2.2 Kriteria Ekslusi....................................................................................... 47 4.3.2.3 Kriteria Drop-Out…………………………………………………........47 4.3.3
Penentuan Besar Sampel Minimal…………………………………….. 47
4.4
Variabel Penelitian…………………………………………………….. 49
4.4.1
Identifikasi Variabel…………………………………………………....49
4.4.2
Klasifikasi Variabel………………………………………………….....49
4.4.3 Definisi Operasional Variabel……………………………………….....49 4.5
Alat dan Bahan Penelitian……………………………………………...50
4.5.1
Alat Yang Digunakan………………………………………………......50
4.5.2
Bahan Penelitian Yang Digunakan…………………………………..... 50
4.6
Prosedur Penelitian................................................................................. 51
4.7
Alur Penelitian……………………………………………………….... 52
4.8
Analisis Data…………………………………………………………... 53
xii
BAB V HASIL PENELITIAN ......................................................................... 54 5.1
Uji Normalitas Data ............................................................................... 54
5.2
Uji Homogenitas..................................................................................... 55
5.3
Uji Komparabilitas ................................................................................. 56
5.3.1 Berat Badan Sebelum Perlakuan ............................................................56 5.3.2 Indeks Massa Tubuh Sebelum Perlakuan .............................................. 57 5.3.3 Lingkar perut Sebelum Perlakuan...........................................................58 5.4
Analisis Efek Perlakuan ......................................................................... 59
5.4.1 Analisis Efek Perlakuan Terhadap Berat Badan..................................... 59 5.4.2 Analisis Efek Perlakuan Terhadap IMT..................................................60 5.4.3
Analisis Efek Perlakuan Terhadap Lingkar Perut...................................62
BAB VI PEMBAHASAN.................................................................................. 64 6.1
Subyek Penelitian ...................................................................................64
6.2
Pengaruh Pemberian Astaxanthin terhadap Penurunan Berat Badan dan IMT ..................................................................................................64
6.3
Manfaat Astaxanthin sebagai Antioksidan terhadap Kesehatan ............. 70
6.4
Peranan Astaxanthine dalam Anti Aging Medicine..................................72
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN................................................................ 73 7.1
Simpulan ................................................................................................ 73
7.2
Saran .......................................................................................................73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 75 LAMPIRAN .......................................................................................................84
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1
Klasifikasi BMI dan Lingkar Perut Asia Pasifik...................................9
5.1
Uji Normalitas Berat badan, IMT, dan Lingkar Pinggang Sebelum dan Sesudah Perlakuan……………………………………… 55
5.2
Uji Homogenitas Berat Badan, IMT, dan Lingkar Pinggang Sebelum dan Sesudah Perlakuan……………………………………….56
5.3
Rerata Berat Badan Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan.....56
5.4
Rerata Indeks Massa Tubuh Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan.................................................................................................57
5.5
Rerata Lingkar Perut Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan.................................................................................................58
5.6
Rerata Berat Badan Sesudah Diberikan Perlakuan Antar Kelompok Plasebo dengan Kelompok Perlakuan................................... 59
5.7
Rerata IMT Sesudah Diberikan Perlakuan Antar Kelompok Plasebo dengan Kelompok Perlakuan................................... 61
5.8
Rerata Lingkar Perut Sesudah Diberikan Perlakuan Antar Kelompok Plasebo dengan Kelompok Perlakuan................................... 62
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1
Struktur Kimia Astaxanthin.................................................................... 37
3.1
Kerangka Konsep.................................................................................... 43
4.1
Rancangan Penelitian.............................................................................. 45
4.2
Alur Penelitian.........................................................................................52
5.1
Grafik Berat badan Sebelum perlakuan Dan Berat Badan Sesudah Perlakuan Antar Kelompok.......................................................60
5.2
Grafik IMT Sebelum Perlakuan dan IMT Sesudah Perlakuan Antar Kelompok..................................................................... 61
5.3
Grafik Lingkar perut Sebelum Perlakuan Dan Penurunan Lingkar Perut Sesudah Perlakuan Antar Kelompok............................................. 63
xv
DAFTAR SINGKATAN
ACSM
: American College of Sport Medicine
BB
: Berat badan
BMI
: Body Mass Index
BPOM
: Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Cat
: Katalase
Cm
: Centimeter
CPT I
: Carnitine Palmytoyl Transferase I
CPT II
: Carnitine Palmytoyl Transferase II
DNA
: Deoxyribonucleic Acid
FADH2
: Flavin Adenin Dinukleotide
FDA
: Food and Drug Administration
FFA
: Free Fatty Acid
HoME
: House of Myra Elen
IL-6
: Interleukin-6
IMT
: Indeks Massa Tubuh
Kg
: Kilogram
KJ
: Kilo Joule
Kkal
: Kilokalori
Ko A
: Ko-enzim A
xvi
NAD
: Nicotinamide adenine dinucleotide
NADH
: Nicotinamide adenine dinucleotide dehidrogenase
NHLBI
: National Heart Lung and Blood Institute
NO
: Nitric oxide
PUFA
: Poly Unsaturated Fatty Acid
SOD
: Super Oxide Dismutase
SCOUT
: Sibutramine Cardiovascular Outcome Trial
TB
: Tinggi badan
TNF
: Tumor necrosis factor
WHO
: World Health organization
xvii
DAFTAR LAMBANG
α
: Alfa
β
: Beta
%
: persen
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Uji Normalitas Data Berat badan, IMT dan Lingkar Perut............................84
2
Uji Beda Berat Badan Pre, IMT Pre, Lingkar perut Pre, Berat Badan post, IMT post, dan Lingkar perut post .................................................................... 85
3.
Inform Consent.............................................................................................87
4.
Ethical Clearance ........................................................................................ 88
xix
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan kegemukan/obesitas semakin meningkat di seluruh dunia termasuk di kawasan Asia Pasifik. Survei nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa mengalami overweight (IMT 25-27) dan 6,8% mengalami obesitas. Pada wanita 10,5 % overweight dan 13,5 % obesitas (Hadi, 2005). Kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas merupakan keadaan abnormal dimana terjadi penumpukan lemak pada jaringan adiposa yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut ialah faktor keturunan (genetik), usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, makanan yang berkalori tinggi terutama yang banyak mengandung lemak, penyakit hormonal, kurang olah raga, penggunaan alkohol (Ikeuchi et al, 2007). Lemak dalam makanan yang berlebihan adalah penyebab utama dari kelebihan berat badan dan obesitas, juga penyebab penyakit lainnya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa simpanan lemak yang tinggi berbanding terbalik dengan aktivitas fisik (Horowitz, 2001). Di samping masalah estetik dan berkurangnya rasa percaya diri, overweight dan obesitas dengan penimbunan lemak visceral, ternyata merupakan sumber risiko berbagai penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke dan dislipidemia (Burke, 2002; Lee et al, 2004).
2
Beberapa parameter yang mempunyai korelasi erat dengan lemak dalam tubuh adalah berat badan, lingkar perut dan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Crespo, 2003; Flier, 2001; Noel, 2002). Penanganan penurunan berat badan umumnya dilakukan dengan diet, olahraga, perubahan tingkah laku dan terapi medikamentosa atau kombinasi semuanya (Pestacello and Van Heest, 2000). Olahraga saja ternyata tidak mencukupi bila digunakan sebagai satu-satunya cara untuk menurunkan berat badan, karena menurut suatu metaanalisis penurunan berat badan dengan olah raga saja hanya 3 kg per tahun, berbeda jauh dengan penurunan sebesar 11 kg dengan diet (Laine and Goldmann, 2008). Namun olahraga memberikan manfaat kesehatan antara lain berupa peningkatan kebugaran termasuk mengurangi lemak tubuh dan dampak utamanya dapat menurunkan berat badan (Manore and Thompson, 2000). Jumlah minimum latihan fisik (olahraga) yang dibutuhkan untuk menurunkan berat badan masih belum jelas (Gordon, 2003; Noel, 2002). Olahraga sebaiknya dilakukan secara teratur dengan memperhatikan komponen utama dari olahraga yaitu jenis olahraga, intensitas, durasi, frekuensi dan progresivitas latihan (Astrand et al, 2003). Untuk menurunkan berat badan pada individu dengan overweight dan obesitas, jumlah pemakaian energi total dalam latihan harus lebih dari 10.465 KJ per hari (2503,6 kkal/hari) (Pestacello, 2000). Untuk itu diperlukan latihan fisik aerobik dengan intensitas sedang setiap hari (Schoeller, 1997). Untuk memelihara berat badan dan kesehatan, individu dapat melakukan latrihan fisik
3
aerobik yang memakai energi total sebesar kira-kira 200 kkal per sesi latihan yang dilakukan paling sedikit 4 kali per minggu (ACSM, 2001). Selain dengan diet dan olahraga, penurunan berat badan dapat dibantu dengan mengkonsumsi obat-obat penurun berat badan, namun penggunaan obat-obat ini harus berhati-hati, mengingat kemungkinan adanya efek samping yang dapat mengganggu kesehatan, contohnya adalah ditariknya sibutramine dari peredaran karena adanya penelitian terbaru yang menunjukkan meningkatnya angka kesakitan penyakit infark miokardial dan stroke, bila sibutramin diberikan pada penderita obesitas dengan penyakit hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, dan riwayat stroke (James et al, 2010; Sayburn, 2010). Juga adanya penambahan peringatan pada obat orlistat tentang adanya risiko kerusakan hati yang dapat berakibat fatal walaupun kasusnya sangat jarang (FDA, 2010). Obat-obat penurun berat badan lainnya pun memiliki masalah efek samping yang tidak berbeda sesuai dengan golongannya, karena itu mungkin diperlukan alternatif obat atau suplemen yang dapat membantu menurunkan berat badan tanpa menimbulkan efek samping (Laine and Goldman, 2008). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada tikus menunjukkan bahwa antioksidan dapat membantu proses penurunan berat badan tikus seperti dalam penelitian Ikeuchi et al (2007), penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian astaxanthin 0,6 mg/kg berat badan tikus selama 60 hari dapat menghambat kenaikan berat badan tikus dalam diet yang berisi sepuluh kali jumlah lemak (tanpa mengubah asupan energi).
4
Astaxanthin adalah salah satu antioksidan yang dapat menjaga berat badan yang merupakan karotenoid alami dan memiliki kekuatan antioksidan yang jauh lebih poten dibandingkan antioksidan lain yang sudah dikenal seperti vitamin E dan C. Senyawa ini lebih kuat 550 kali dibandingkan vitamin E dan 40 kali lebih kuat dibandingkan beta karoten dalam mengikat singlet oksigen (Vincent, 2007). Astaxanthin juga memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin seperti Tumor necrosis factor atau TNF-. Tumor necrosis factor adalah sitokin yang juga diproduksi oleh jaringan lemak dan adiposit. Penumpukan asam lemak bebas pada jaringan adiposa akan meningkatkan TNF- sehingga terjadilah resistensi insulin. Sebaliknya penurunan TNF- akan menyebabkan penurunan berat badan dan meningkatkan sensitivitas insulin (Kersshaw and Flier, 2004). Pada penelitian ini, pemberian astaxanthin diharap dapat menurunkan berat badan pada manusia, dimana sepengetahuan kami, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Dari penelitian yang sudah pernah dilakukan pada tikus, ditemukan bahwa astaxanthin diduga dapat membantu proses penurunan berat badan (Ikeuchi et al, 2007), sehingga sumber risiko berbagai penyakit metabolik yang merupakan salah satu faktor penyebab penuaan dini dapat dikurangi. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, maka astaxanthin berkaitan dengan anti-aging medicine dalam mencegah, menghambat atau bahkan memperlambat proses penuaan.
5
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan
uraian diatas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut: 1.
Apakah pemberian astaxanthin oral dapat menurunkan berat badan pada perempuan obes ?
2.
Apakah pemberian astaxanthin oral dapat menurunkan lingkar perut pada perempuan obes ?
3.
Apakah pemberian astaxanthin oral dapat menurunkan Indeks massa tubuh pada perempuan obes ?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum : Untuk mengetahui pengaruh pemberian astaxanthin oral terhadap penurunan berat badan, penurunan lingkar perut dan penurunan indeks massa tubuh yang dilihat dari hitungan berat badan, lingkar perut, dan indeks massa tubuh (IMT) pada perempuan obes.
1.3.2 Tujuan Khusus: 1. Untuk mengetahui
pemberian astaxanthin oral menurunkan berat badan
perempuan obes. 2. Untuk mengetahui pemberian astaxanthin oral menurunkan lingkar perut perempuan obes. 3. Untuk mengetahui pemberian astaxanthin oral menurunkan indeks massa tubuh perempuan obes.
6
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat ilmiah Untuk memberikan tambahan ilmu pengetahuan dalam hal menurunkan berat badan, lingkar perut dan indeks massa tubuh dengan pemberian astaxanthin oral.
1.4.2 Manfaat aplikasi Untuk memberikan arahan pada masyarakat bahwa astaxanthin oral dapat digunakan untuk menurunkan berat badan, lingkar perut, dan indeks massa tubuh dan diharapkan mengurangi terjadinya obesitas dengan segala macam risikonya, bila terbukti dan dapat diaplikasikan pada masyarakat.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Berat Badan Lebih (Overweight) dan Obesitas (Obesity) Prevalensi overweight atau obesitas semakin meningkat di kawasan Asia Pasifik. Survei nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa mengalami overweight (BMI 25-27) dan 6,8% mengalami obesitas, pada wanita 10,5 % mengalami overweight dan 13,5 % mengalami obesitas (Hadi, 2005). Kelebihan berat badan (Overweight) dan obesitas merupakan keadaan yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan dalam jaringan adiposa yang dapat mengganggu kesehatan. Penyebab dasar obesitas dan kegemukan adalah ketidakseimbangan energi antara banyaknya kalori yang dikonsumsi dan kalori yang dikeluarkan (Labib, 2003). Kelebihan berat badan (overweight) adalah keadaan berlebihan berat badan dibandingkan berat ideal yang disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak ataupun jaringan bukan lemak (Crespo, 2003). Untuk wilayah Asia Pasifik dianjurkan untuk menggunakan batas IMT yang berbeda dengan IMT untuk orang kaukasus, yaitu IMT 18,5 – 22,9 sebagai IMT normal, IMT Lebih dari 23,0 sebagai Overweight dan IMT > 25,0 sebagai obesitas (Inoue & Zimmet, 2000). Obesitas adalah penyakit kronis yang berkembang dari interaksi genotipe dan lingkungan, serta melibatkan integrasi sosial, perilaku, budaya, fisiologis, metabolik, dan faktor genetik (Egger dan Binns, 2001).
8
Untuk mengetahui Berat Badan ideal dapat menggunakan rumus Brocca sebagai berikut (Azwar, 2004) :
BB ideal = (TB – 100) – 10% (TB – 100)
Batas ambang berat badan yang diperbolehkan adalah ditambah 10%. Bila lebih dari 10% sudah terjadi kegemukan/obesitas ringan dan bila diatas 20% sudah terjadi obesitas berat. Contoh: wanita dengan TB = 161 cm, BB = 58 kg BB ideal
= (161 – 100) – 10% (161 – 100) = 61 – 6,1 = 54,9 (55 kg)
Jadi, BB 58 kg masih dalam batas normal karena < 10%.
2.1.1 IMT ( Indeks Massa Tubuh) IMT tidak menggambarkan distribusi lemak tubuh, akan tetapi dapat digunakan untuk memperkirakan prevalensi obesitas dan risiko penyakit yang berhubungan dengan obesitas (Pestacello, 2000; WHO, 2000; DepKes RI, 2002). Pengukuran antropometri yang paling sering digunakan adalah rasio antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m) kuadrat, yang disebut Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai berikut (Inoue & Zimmet, 2000) : IMT =
BB (kg) ----------------TB x TB (m)
9
Tabel 2.1 Klasifikasi BMI dan Lingkar Perut Asia Pasifik
Classification
BMI (kg/m2)
Risk of co-morbidities Waist circumference < 90 cm (men) < 80 cm (women)
Underweight
< 18.5
Normal range
18.5-22.9
Overweight At risk Obese I Obese II
90 cm (men) 80 cm (women)
Low risk (but increased risk of clinical problems) Average
Average
Increased Moderate Severe
Moderate Severe Very Severe
Increased
23 23-24.9 25-29.9 30
(Sumber : Inoue & Zimmet, 2000).
Contoh: wanita dengan TB = 161 cm, BB = 58 kg 58 IMT = ---------------- = 22,37 (normal) 1,61 x 1,61 IMT normal pada wanita antara 18.5- 22.9. Seorang wanita dikatakan kurus bila IMT nya < 17, dan overweight bila IMT nya > 23. Bila IMT > 25 orang tersebut menderita obesitas dan perlu diwaspadai karena biasanya orang tesebut juga menderita penyakit degeneratif seperti Diabetes Melitus tipe 2, hipertensi, hiperkolesterol dan kelainan metabolisme lain yang memerlukan pemeriksaan lanjut, baik klinis ataupun laboratorium.
10
2.1.2 Lingkar Perut Adanya kelebihan lemak di perut tidak proporsional terhadap total lemak tubuh adalah prediktor independen dari faktor risiko dan morbiditas. Lingkar perut berkorelasi positif dengan kandungan lemak visceral abdomen (Lohman and Milliken, 2003). Pada penelitian terbukti bahwa lingkar perut yang diukur pada pertengahan anatara batas terbawah rongga iga dan krista iliaka lebih praktis dilakukan untuk mengetahui distribusi lemak abdomen dan predisposisi penyakit (WHO, 2000). Obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mengakibatkan peningkatan risiko untuk penyakit kronis dan secara signifikan meningkatkan biaya kesehatan. Hal ini penting untuk mengembangkan intervensi untuk mencegah kenaikan berat badan dan mengupayakan pemeliharaan jangka panjang penurunan berat badan. Data ilmiah literatur menunjukkan pentingnya meningkatkan aktivitas fisik dalam upaya menjaga berat badan. Ada bukti bahwa tingkat aktivitas fisik yang memadai meminimalkan kenaikan berat badan, dan bila dilakukan kombinasi aktivitas fisik dengan pengurangan konsumsi energi, akan mempercepat penurunan berat badan (Van Baak, 2005). Overweight dan obesitas merupakan faktor risiko untuk penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, hipertensi dan stroke, dan beberapa jenis kanker. Konsekuensi kesehatan dengan terjadinya obesitas adalah mulai dari peningkatan risiko kematian dini sampai dengan kondisi peyakit kronis serius yang dapat mengurangi kualitas hidup (WHO, 2007).
11
Overweight dan obesitas menyebabkan efek metabolik buruk pada tekanan darah, kolesterol, trigliserida, dan resistensi insulin. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan obesitas adalah kesulitan pernafasan, muskuloskeletal kronis, serta masalah kulit dan infertilitas. Obesitas juga meningkatkan risiko kanker payudara, usus besar, prostat, endometroium, ginjal, dan empedu. Kegemukan kronis dan obesitas memberikan kontribusi yang signifikan untuk osteoarthritis, penyebab utama dari kecacatan pada orang dewasa. Dalam analisis yang dilakukan WHO tahun 2002, dilaporkan bahwa sekitar 58% dari diabetes, 21% penyakit jantung iskemik, dan 8-42% dari kanker tertentu, secara global diakibatkan oleh BMI di atas 25 kg/m2 (WHO, 2007). Wanita yang belum menopause yang mengalami penurunan berat badannya, tidak selalu memperlihatkan ada korelasi antara penurunan berat badan dengan berkurangnya lingkar perut. Pada saat terjadi penurunan berat badan, kehilangan lemak tubuh belum tentu hanya terjadi pada daerah visceral abdominal, tetapi dapat juga berasal dari bagian tubuh lainnya seperti lengan atas, panggul dan paha atas (Egger and Binns, 2001).
2.2 Berat Badan Berat badan manusia berbeda2, namun pd tingkat individu, umumnya berat badan relatif stabil. Variasi berat badan individu umumnya hanya 0.5% saja dalam waktu 6-8 minggu. Data jangka panjang pun menunjukkan perubahan berat badan yang minimal saja, bahkan pada penderita diabetes sekalipun yang dalam jangka
12
waktu persentase per tahun hanya mengalami fluktuasi berat badan sekitar 3.7 4.6% saja (Dulloo, 2005; Keesey, 1997). Jangka panjang antara 10–30 tahun pun individu mengalami perubahan berat badan hanya sekitar 7–20% saja dari berat rata-ratanya. Semua ini menunjukkan adanya pengaturan berat badan walaupun dalam derajat yang berbeda-beda pada tiap individu (Dullo, 2005). Penting untuk ditekankan beberapa ciri utama keseimbangan energi pada manusia dan pengaturan berat badan (Dullo, 2005): 1.
Manusia tidak menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran energi berdasarkan asupan dan keluaran harian, juga tidak mengkompensasi secara langsung kelebihan asupan energi di satu hari dengan kekurangan energi di keesokan harinya. Asupan dan keluaran energi yang hampir seimbang biasanya terjadi dalam 1-2 minggu. Penelitian yang lebih lama sulit dilaksanakan dan tidak praktis karena adanya kesalahan kumulatif (cummulative errors), namun tidak dapat diragukan bahwa selama berbulan bulan bahkan bertahun-tahunpun asupan dan keluaran energi hampir sama besarnya pada individu yang berat badan dan komposisi tubuhnya tetap.
2.
Hampir samanya asupan dan keluaran energi dalam jangka panjang ini mestinya sangat tepat bila mengingat secara teoritis asupan energi yang berbeda 1% saja dapat meningkatkan atau menurunkan berat badan sebesar 10 kg dalam 10 tahun. Namun hal ini tidak terjadi pada kebanyakan individu yang berat badannya tetap stabil, dalam batas beberapa kilogram saja, selama beberapa dekade.
13
3.
Orang dewasa yang stabil berat badannya selama beberapa bulan, tahun dan dekadepun tidak mungkin mengalami berat badan yang stabil secara absolute, jadi akan selalu ada fluktuasi berat badan di sekitar angka tertentu. Untuk mengerti bagaimana deviasi jangka pendek berat badan dikoreksi
melalui perubahan asupan energi, keluaran energi, atau keduanya masih merupakan hal yang perlu diteliti. Dalam hidup sehari-hari, kestabilan berat badan dalam jangka panjang mungkin dicapai melalui pola hidup kita dalam mengatur diri dimana perubahan pada asupan makanan, komposisi tubuh dan keluaran energi, yang semuanya saling berhubungan.
2.2.1 Faktor-faktor utama yang mempengaruhi obesitas (Sharkey, 2003) : 1. Faktor genetik versus lingkungan 2. Faktor hormonal 3. Sel-sel lemak 4. Tingkat metabolisme.
2.2.1.1 Faktor genetik versus lingkungan Faktor genetik yang diketahui mempunyai peranan kuat adalah parental fatness, kegemukan lebih umum terjadi pada anak-anak jika orang tuanya gemuk (anak-anak memiliki risiko 80% untuk gemuk). Penelitian terhadap anak kembar identik yang dibesarkan pada lingkungan yang berbeda juga mengindikasikan bahwa kegemukan memiliki akar genetik. Namun pola dan hubungannya belum
14
diketahui. Orang yang obesitas, makan lebih banyak dan berolahraga lebih sedikit, dan hal yang sama berlaku pada anak mereka. Namun, dalam penelitian kembar identik, ditemukan heritabilitas yang tinggi bagi berat dan indeks massa tubuh dan menyimpulkan bahwa berat tubuh dan kegemukan berada dibawah kontrol genetik yang kuat, dan bahwa lingkungan anak-anak sendiri memiliki sedikit pengaruh. Penemuan terbaru mengenai gen, sebagian ikut mendukung alasan ini (Sharkey, 2003).
2.2.1.2 Faktor Hormonal Walaupun sangat jarang, ada kalanya obesitas disebabkan karena tidak adanya keseimbangan hormon-hormon, seperti pada cushing syndrome, adreanocortical hyperactivity, hypogonadism dan lain-lain. Seseorang yang tidak peka terhadap hormon insulin, menyebabkan penyaluran energi ke dalam sel berkurang, sehingga mengakibatkan penimbunan lemak (Wirahadikusumah, 2000).
2.2.1.3 Sel-sel Lemak Beberapa tahun terakhir ini, para peneliti telah mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sel lemak. Kelebihan kalori disimpan dalam sel lemak dalam bentuk triglyceride. Beberapa individu memiliki lebih banyak sel lemak, yang menyebabkan mereka menyimpan lemak lebih banyak. Dengan perkembangan metode untuk menentukan ukuran dan jumlah sel lemak, para peneliti telah mampu mengikuti perkembangan obesitas. Kelihatannya sel lemak dapat
15
menambah ukuran atau jumlahnya dan ini dapat didorong oleh konsumsi makanan yang berlebihan. Biasanya bayi yang gemuk sering dianggap sebagai bayi yang sehat, tapi pemberian makanan yang berlebihan pada beberapa tahun pertama akan mendorong perkembangan sel lemak yang lebih besar dan lebih banyak (3 kali lipat). Kegemukan yang terjadi ketika dewasa ditandai dengan pembesaran sel lemak namun, jumlah sel lemak tidak menunjukkan perubahan yang terjadi (Heymsfield, 2001).
2.2.1.4 Tingkat metabolisme Orang yang mempunyai kecepatan metabolisme rendah cenderung lebih mudah gemuk dibandingkan dengan orang yang mempunyai metabolisme cepat. Hal ini disebabkan karena metabolisme yang rendah, energi yang dikonsumsi lebih lambat untuk dipecah menjadi glikogen sehingga akan lebih banyak lemak yang disimpan di dalam tubuh. Obesitas tiga kali lebih banyak dijumpai pada wanita dibanding pria, karena metabolisme pada wanita lebih rendah apalagi pada masa menopause dimana sudah tidak ada lagi ovulasi (Sharkey, 2003).
2.2.2 Penyebab lain obesitas 1. Penyebab psikologis 2. Kurangnya aktivitas/olahraga 3. Diet.
16
2.2.2.1 Penyebab Psikologis Obesitas dapat berasal dari masalah emosi yang mendasar. Makan berlebih (overeating) seringkali menjadi mekanisme pertahanan untuk melarikan diri dari kenyataan. Adakalanya saat gangguan psikologis yang dialaminya menghilang maka kebiasaan overeating ini juga akan menghilang, tetapi seringkali yang terjadi adalah kebiasaan overeating ini menetap dan lama kelamaan timbul obesitas (Egger & Binn, 2001). Selain itu perilaku yang salah dapat menimbulkan obesitas juga, perilaku salah ini antara lain seperti kebiasaan mengemil, melupakan makan pagi, makan secara berlebihan, frekuensi makan yang tidak teratur, menghindari nasi, dan kurang menggunakan energi (Wirahadikusumah, 2000).
2.2.2.2 Kurangnya aktivitas Obesitas dapat terjadi apabila kalori yang masuk dalam tubuh melebihi dari jumlah kalori yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari. Akibat kelebihan kalori dan kurangnya aktivitas ini menyebabkan terjadinya penimbunan lemak pada bagian-bagian tubuh tertentu seperti pinggang, pinggul, paha, lengan dan perut (Sharkey, 2003).
2.2.2.3 Diet Diet yang tidak tepat dapat menyebabkan obesitas. Diet yang terlalu banyak pantangan, melewatkan makan siang atau malam (skipping meals), makan tidak teratur, makan sekaligus banyak (binge eating), dan kebiasaan makan ekstra
17
ditengah malam, semuanya dapat memacu timbulnya obesitas. Juga terdapat hubungan antara frekuensi kegagalan menurunkan berat badan dengan berat badan saat ini, biasanya penyebabnya adalah faktor psikologis dan fisiologis. Kegagalan berulang-ulang untuk mempertahankan penurunan berat badan akan mengakibatkan motivasi berkurang karena menurunnya rasa percaya terhadap diri sendiri dan terhadap program yang dijalankan. Sulitnya mempertahankan penurunan berat badan disebabkan oleh beberapa mekanisme fisiologis jangka panjang yang timbul sebagai reaksi tubuh terhadap penurunan berat badan seperti penurunan metabolisme tubuh, peningkatan rasa lapar, berkurangnya pengeluaran energi, perubahan hormonal (penurunan kadar leptin dan insulin), lebih mudah lelah sehingga pergerakan menjadi lebih sedikit, penurunan aktivitas sistem saraf simpatik dan peningkatan pola penyimpanan lemak (Egger & Binn, 2001).
2.3 Lemak Tubuh 2.3.1 Pengertian Lemak tubuh Lemak adalah sekelompok ikatan organik, yang terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O), yang bersifat larut dalam pelarut tertentu. Lemak tubuh biasanya dinyatakan sebagai persentase lemak badan (PLB) yaitu persentase berat lemak terhadap berat badan (Jebb dan Wells, 2005). Lemak juga merupakan suatu zat yang kaya akan energi, merupakan salah satu sumber energi untuk proses metabolisme tubuh. Nutrisi lemak dapat disimpan sebagai cadangan makan di dalam sel-sel lemak. Lemak sendiri didapat oleh tubuh melalui dua cara, yaitu asupan makanan dan produksi dari organ hati
18
(Lichtenstein and Jones, 2001). Lemak ditemukan pada banyak sel dalam bentuk butir-butir lemak kecil. Adiposit merupakan sel lemak khusus untuk menyimpan lemak (Frayn and Blaak, 2005).
2.3.2 Fungsi Lemak tubuh Lemak merupakan sumber energi yang ideal untuk sel-sel tubuh. Satu gram lemak mengandung 9 kkal, dua kali dari jumlah energi yang dikandung karbohidrat dan protein (Gurr, 2000). Lemak dalam tubuh berfungsi sebagai : 1.
Cadangan energi yang disimpan sebagai jaringan lemak atau adiposa, yang ditimbun di tempat-tempat tertentu dan sebagai bantalan organ tubuh tertentu, yang memberikan fiksasi organ tersebut (Lichstein and Jones, 2001).
2.
Jaringan lemak di bawah kulit berfungsi melindungi tubuh dari hawa dingin dan pada wanita memberikan countour khas feminim (Nugroho, 2009).
3.
Sebagai sumber energi, yang dapat diperoleh dari pembongkaran simpanan lemak di jaringan lemak subkutan dan visceral. Penggunaan lemak tubuh akan menyebabkan penurunan simpanan lemak, terutama bila melakukan olahraga rutin dengan intensitas sedang setiap hari dalam jangka waktu lama (Gurr,2000). Fungsi lemak secara umum adalah sebagai sumber energi, pelindung organ
tubuh, pembentuk sel, sumber asam lemak esensial, alat angkut vitamin larut lemak, menghemat protein, memberi rasa kenyang dan kelezatan, sebagai pelumas, dan memelihara suhu tubuh (Nugroho, 2009).
19
2.3.3 Jaringan Adiposa Jumlah lemak kurang lebih 12-14 % dari berat badan seorang pria dan kurang lebih 25 % dari berat badan seorang wanita. Jaringan lemak manusia berisi kurang lebih 87% lipid (Frayn and Blaak 2005). Ada 2 tipe jaringan lemak yaitu jaringan lemak putih dan jaringan lemak coklat. Jaringan lemak putih berisi tetes lemak yang banyak sehingga penampakan terlihat nukleus terdesak ke tepi. Jaringan adiposa terutama menyimpan trigliserida dan kolesterol ester. Jaringan lemak coklat berbentuk poligonal. Nukleus meskipun terletak tidak ditengah tetapi tidak juga di tepi. Sel lemak berwarna coklat, karena kandungan mitokondrianya. Disebut juga lemak bayi untuk menyimpan panas (Frayn and Blaak 2005). Sel lemak adalah tempat cadangan energi tubuh kita yang cukup besar. Cadangan energi yang disimpan tidak hanya berasal dari lemak tetapi juga dari karbohidrat. Asam lemak dilepaskan dari lipoprotein oleh lipoprotein lipase, masuk ke sel lemak dan diubah menjadi trigliserida. Lemak dikeluarkan dari penyimpanan jika dibutuhkan. Sel lemak mempunyai peran penting dalam mempertahankan kadar trigliserida dan asam lemak bebas dalam sirkulasi. Jumlah sel lemak dipengaruhi oleh jumlah masukan makanan, peningkatan jumlah kortisol, penurunan somatotropin dan penurunan aktivitas fisik (Frayn and Blaak 2005). Secara klinis, lemak yang penting adalah fosfolipid, trigliserida (lemak netral), kolesterol dan asam lemak (Lichtenstein and Jones, 2001).
20
Jaringan adiposit saat ini tidak lagi hanya merupakan tempat penyimpanan lemak dan sumber energi tetapi juga sebagai suatu organ endokrin yang aktif melepaskan asam lemak bebas dan menghasilkan beberapa sitokin yang disebut adipositokin atau adipokin, diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin 6 (IL-6), leptin, dan adiponektin (Fawcett, 2002). Tumor necrosis factor- adalah sitokin yang juga diproduksi oleh jaringan lemak dan adiposit. Penumpukan asam lemak bebas pada jaringan adiposa akan meningkatkan TNF- meningkat sehingga terjadilah resistensi insulin. Sebaliknya penurunan TNF- akan meningkatkan sensitivitas insulin dan menyebabkan penurunan berat badan (Kershaw and Flier, 2004).
2.4 Metabolisme Lemak Lemak yang diabsorpsi dari makanan dan lemak yang disintesis oleh hepar dan jaringan adiposa, dibawa oleh darah ke berbagai jaringan dan organ tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi dan/atau disimpan sebagai cadangan lemak. Pada umumnya hanya 3% jumlah glukosa makanan yang dapat disimpan sebagai Glikogen dijaringan otot dan hati, sedangkan 30% glukosa itu diubah menjadi lemak di jaringan adiposa (Heymsfield et al, 2001). Lemak disimpan sebagai triasilgliserol (trigliserida) yang sebagian besar terdapat dalam jaringan adiposa, dapat juga ditemukan dalam otot rangka dan plasma. Jaringan adiposa merupakan sumber cadangan energi terbesar dalam tubuh (Klein and Romijn, 2003; Mayes and Botham, 2003).
21
Di dalam rongga mulut, lemak tidak mengalami pencernaan karena tidak ada enzim yang dapat memecahkannya. Kemudian di dalam lambung, pemecahan lemak oleh enzim lipase, pengaruhnya tidak ada, karena pH lambung tidak cocok untuk aktivitas enzim tersebut. Di dalam duodenum, lemak dipecah oleh enzim lipase yang berasal dari sekresi pankreas. Metabolisme lemak dapat terjadi di hampir semua sel tubuh, terutama di hati (Guyton, 2006). Di dalam sel-sel hati dan jaringan adiposa, kilomikron segera dipecah menjadi asam-asam lemak dan gliserol. Selanjutnya asam-asam lemak dan gliserol tersebut, dibentuk kembali menjadi simpanan trigliserida. Proses pembentukan trigliserida ini dinamakan esterifikasi. Sewaktu-waktu jika kita membutuhkan energi dari lipid, trigliserida dipecah menjadi asam lemak dan gliserol, untuk ditransportasikan menuju sel-sel untuk dioksidasi menjadi energi. Proses pemecahan lemak jaringan ini dinamakan lipolisis. Asam lemak tersebut ditransportasikan oleh albumin ke jaringan yang memerlukan dan disebut sebagai asam lemak bebas/FFA (free fatty acid). Asam lemak bebas pada umumnya berupa asam-asam lemak rantai panjang (Guyton, 2006). Tidak semua asam lemak bebas yang dihasilkan melalui lipolisis digunakan sebagai energi. Asam lemak bebas yang tidak dioksidasi akan mengalami reesterifikasi menjadi trigliserida di dalam jaringan adiposa ataupun hepar, atau disimpan dalam trigliserida intramuskuler. Bila laju reesterifikasi tidak mampu mengimbangi laju lipolitik, terjadi peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma, sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit yang berhubungan dengan lipid. Asam lemak bebas yang digunakan untuk energi diaktifkan oleh
22
enzim asil-KoA sintetase, kemudian dibawa ke dalam mitokondria dan diubah oleh CPT (Carnitine Palmitoyl Transferase) menjadi Asil-KoA. Asil-KoA mengalami oksidasi β menjadi asetil-KoA. Asetil-KoA masuk ke dalam siklus asam sitrat untuk menghasilkan energi. Di sisi lain, jika kebutuhan energi sudah mencukupi, asetil KoA dapat mengalami lipogenesis menjadi asam lemak dan selanjutnya dapat disimpan sebagai trigliserida (Guyton, 2006). Langkah-langkah masuknya asil KoA ke dalam mitokondria dijelaskan sebagai berikut (Kathleen and Peter, 2006) : 1.
Asam lemak bebas (FFA) diaktifkan menjadi asil-KoA dengan adanya ATP dan koenzim A, serta dikatalisir oleh enzim asil-KoA sintetase (tiokinase).
2.
Setelah menjadi bentuk aktif, asil-KoA dikonversikan oleh enzim carnitine palmytoyl transferase I (CPT I) yang terdapat pada membran eksterna mitokondria menjadi asil carnitine. Setelah menjadi asil carnitine, barulah senyawa tersebut bisa menembus membran interna mitokondria.
3.
Pada membran interna mitokondria terdapat enzim asil carnitine translokase yang bertindak sebagai pengangkut asil karnitin ke dalam dan karnitin keluar.
4.
Asil karnitin yang masuk ke dalam mitokondria selanjutnya bereaksi dengan KoA (Ko-enzim A) dengan dikatalisir oleh enzim carnitine palmytoyl transferase II (CPT II) yang ada di membran interna mitokondria menjadi Asil KoA dan carnitine dibebaskan.
5.
Asil KoA yang sudah berada dalam mitokondria ini selanjutnya masuk dalam proses oksidasi β.
23
Untuk memperoleh energi, asam lemak bebas dapat dioksidasi dalam proses yang dinamakan oksidasi β dan berlangsung di mitokondria. Dalam oksidasi β, asam lemak bebas masuk ke dalam rangkaian siklus dengan 4 tahapan proses dan pada setiap proses, diangkat 2 atom C dengan hasil akhir berupa asetil KoA, selanjutnya aetil KoA masuk ke dalam siklus asam sitrat (Kathleen and Peter, 2006). Reaksi-reaksi yang terjadi ada beberapa tahap (Kathleen and Peter, 2006) : 1.
Reaksi pertama adalah reaksi pembentukan enoil KoA dengan cara oksidasi. Enzim asil KoA dehidrogenase berperan sebagai katalis dalam reaksi ini. Koenzim yang dibutuhkan dalam reaksi ini adalah FAD yang berperan sebagai akseptor hidrogen. Dua molekul ATP dibentuk untuk tiap pasang electron yang ditransportasikan dari molekul FADH2 melalui sistem transport elektron.
2.
Pada reaksi kedua, enzim enoil KoA hidratase merupakan katalis yang menghasilkan L-hidroksiasil KoA, reaksi ini adalah reaksi hidrasi terhadap ikatan rangkap antara C-2 dan C-3.
3.
Reaksi ketiga adalah reaksi oksidasi yang mengubah hidroksiasil koenzim A menjadi ketoasil koenzim A. Enzim L-hidrokdiasil koenzim A dehidrogenase melibatkan NAD yang direduksi menjadi NADH. Tahap keempat adalah reaksi pemecahan ikatan C-C, sehingga menghasilkan
asil koenzim A dan asil koenzim A yang mempunyai jumlah atom C dua buah lebih pendek dari molekul semula. Asil KoA yang terbentuk pada reaksi tahap 4, mengalami metabolisme lebih lanjut melalui reaksi tahap 1 hingga tahap 4 dan
24
demikian seterusnya sampai rantai C pada asam lemak bebas terpecah menjadi molekul-molekul asetil KoA yang mengandung 2 atom C dan asil-KoA yang telah kehilangan 2 atom C, demikian seterusnya hingga hasil yang terakhir adalah 2 asetil-KoA. Asetil-KoA yang dihasilkan oleh oksidasi β ini akan masuk siklus asam sitrat (Guyton, 2006).
2.5 Manajemen Berat Badan dan Obesitas Manajemen berat badan yang efektif bagi individu dan kelompok berisiko terkena obesitas melibatkan berbagai strategi jangka panjang. Ini termasuk pencegahan, perawatan berat badan, pengelolaan ko-morbiditas dan penurunan berat badan. Manajemen berat badan meliputi (Kopelman dan Caterson, 2005) : 1. Terapi diet 2. Aktivitas fisik 3. Terapi perilaku 4. Terapi medikamentosa
2.5.1 Terapi Diet: - Diet rendah kalori untuk penurunan berat badan pada orang yang overweight dan obesitas. Mengurangi kalori dari lemak adalah yang paling praktis karena lemak mengandung kalori paling tinggi. - Mengurangi asupan lemak saja tanpa menurunkan asupan kalori tidak mencukupi, jadi sebaiknya mengurangi asupan lemak disertai pengurangan asupan karbohidrat juga.
25
- Diet sebaiknya diatur secara individual dengan pengurangan kalori sebesar 500 – 1000 kalori dari asupan rata-rata harian sehingga terjadi penurunan berat badan sekitar 0.5 – 1.0 kg setiap minggunya, penurunan berat badan 0.5 – 1.0 kg setiap minggu adalah penurunan berat badan yang sehat menurut WHO (WHO, 2000) .
2.5.2 Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang disebabkan oleh kontraksi otot rangka yang menyebabkan peningkatan pemakain energi (Van Baak and Saris, 2005). Latihan fisik atau olahraga adalah bagian dari aktivitas fisik, merupakan gerakan tubuh yang terencana, terstruktur, dan berulang yang dilakukan untuk memperbaiki atau memelihara satu atau lebih komponen kebugaran tubuh (Pestacello, 2000). Efisiensi latihan fisik berasal dari volume (durasi, distance dan repetisi), intensitas ( beban dan kecepatan), serta densitas (frekuensi) ( Burke, 2002), Latihan fisik/olahraga adalah bagian dari aktivitas fisik, yang dianjurkan sebagai bagian dari terapi penurunan berat badan, karena menyebabkan: -
Membantu penurunan berat badan.
-
Dapat menurunkan lemak abdominal.
-
Meningkatkan kebugaran sistem kardiorespirasi.
-
Membantu mempertahankan berat badan setelah program penurunan berat badan.
26
-
Anjurannya adalah dimulai dengan latihan fisik sedang selama 30 – 45 menit 3 – 5 kali seminggu.
Kebugaran tubuh adalah keadaan tubuh yang dimiliki atau dicapai individu sehingga mampu untuk melakukan aktivitas fisik. Latihan fisik/olahraga merupakan alternatif untuk meningkatkan derajat kebugaran seseorang termasuk mengurangi lemak tubuh. kegunaan utama latihan fisik adalah penurunan berat badan, perbaikan sistem fungsional paru jantung (cardiorespirasi system) yang meliputi hipertropi otot jantung, penurunan detak jantung istirahat, peningkatan stroke volume, peningkatan volume darah dan hemoglobin serta menambah jumlah pembuluh kapiler (Sharkey, 2003). Dalam upaya untuk memperbaiki kebugaran seseorang termasuk mengurangi lemak dan meningkatkan kebugaran atau daya tahan paru jantung, American
College
of
Sport
Medicine
atau
ACSM
(ACSM,
2001)
merekomendasikan untuk melakukan olahraga aerobik, seperti berjalan, berlari, bersepeda, berenang, joging, senam aerobik dan lain-lain. Latihan hendaknya dilakukan 3-5 kali perminggu, pada intensitas 60-90% detak jantung maksimum selama 20-60 menit. Jenis latihan dapat dikerjakan secara teratur maupun intermitten (Jakicic, 2003), resistance training yang dikerjakan secara teratur dapat juga mengurangi lemak tubuh (Pestacello, 2000). Olahraga saja biasanya tidak cukup untuk menurunkan berat badan karena menurut meta-analisis, olah raga hanya menurunkan berat badan 3 kg saja dalam satu tahun. Bahkan salah satu penelitian menunjukkan bahwa olahraga dengan intensitas sedang sampai berat selama 60 menit setiap hari, enam kali seminggu
27
dalam setahun, hanya menurunkan berat badan 1,4 kg pada wanita dan 1,8 kg pada pria (Laine and Goldmann, 2008).
2.5.3 Terapi Perilaku -
Terapi perilaku merupakan terapi yang baik diterapkan dalam proses penurunan dan juga dalam fase mempertahankan berat badan.
-
Dokter sebaiknya memahami motivasi penurunan berat badan pasien, menganalisa kesiapan pasien dalam melaksanakan program, dan mengambil langkah-langkah tepat untuk memotivasi pasien selama terapi.
-
Terapi perilaku untuk mendukung pola makan sehat dan aktivitas fisik harus digunakan secara teratur karena bermanfaat dalam mencapai penurunan berat badan.
2.5.4 Terapi Medikamentosa (Eckel, 2008): -
Obat penurun berat badan dapat digunakan sebagai bagian dari program penurunan berat bdan yang juga harus melibatkan diet dan aktivitas fisik.
-
Umumnya terapi medikamentosa dianjurkan pada IMT lebih dari 30 atau lebih dari 27 yang disertai penyakit penyulit obesitas.
-
Harus dilakukan penilaian secara berkala terhadap efektifitas dan keamanan obat agar terhindar dari efek samping yang berpotensi untuk mengganggu kesehatan pemakainya.
Salah satu terapi medikamentosa yang sempat beredar di Eropa beberapa tahun yang lalu adalah rimonabant, tetapi rimonabant ini ditolak di Amerika
28
Serikat oleh FDA, namun kemudian pada tahun 2007 ditarik dari peredaran karena terjadi peningkatan angka kejadian depresi, cemas, dan pikiran bunuh diri pada pemakai rimonabant (Astrup, 2010). Sibutramin ditarik dari peredaran karena adanya penelitian terbaru SCOUT (Sibutramine Cardiovascular Outcome Trial), yang menunjukkan peningkatan angka kesakitan penyakit infark miokardial dan stroke bila sibutramin diberikan pada penderita obesitas dengan penyakit hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner dan riwayat stroke (James et al, 2010). Orlistat juga mendapat penambahan label peringatan dari Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat tentang adanya risiko kerusakan hati yang dapat berakibat fatal walaupun kasusnya sangat jarang (FDA, 2010). Di Indonesia saat ini hanya ada dua obat penurun berat badan yang diizinkan oleh BPOM, yaitu orlistat (Xenical®) dan diethylpropion (Apisate®). Diethylpropion termasuk golongan simpatomimetik amin dengan efek samping yang agak mirip dengan sibutramine namun efeknya minimal.
2.6 Radikal Bebas 2.6.1 Definisi Radikal Bebas Radikal bebas didefinisikan sebagai suatu molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (unpaired electron) pada bagian terluar orbitnya dan dapat bertahan dalam waktu yang sangat singkat (waktu paruh 10-14 sampai 10-13 detik) sehingga menjadi komponen yang tidak stabil dan sangat reaktif (Pham-Huy et al, 2008).
29
Elektron yang tidak berpasangan ini, akan berusaha untuk menarik elektron dari molekul lainnya untuk mendapatkan kembali konfigurasi pasangan elektron, oleh karena itu radikal bebas sangat reaktif. Sebuah radikal bebas yang berhasil mengambil elektron dari sesuatu molekul lain yang stabil, akan menyebabkan molekul tersebut kehilangan satu elektron dan berubah menjadi radikal bebas baru. Proses berantai ini dapat menyebabkan perubahan struktur pada molekul lainnya (Pham-Huy et al, 2008).
2.6.2 Sumber Radikal Bebas Radikal bebas dan senyawa oksigen yang reaktif (reactive oxygen species) yang dapat merusak sel berasal dari proses metabolisme normal dalam tubuh dan dari luar tubuh. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh terjadi terus menerus dalam
sel
sebagai
reaksi
enzimatik
maupun
bukan
reaksi
enzimatik
(Bagchi, 1998). Pembentukan radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh dan luar tubuh. Radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh timbul akibat berbagai proses kimia kompleks di dalam tubuh, berupa hasil sampingan dari proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada proses respirasi, proses pencernaan dan proses metabolisme, diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma dan inti sel. Peningkatan radikal bebas pun dapat dipicu oleh stres atau olah raga yang berlebihan sedangkan radikal bebas yang berasal dari luar tubuh didapat dari polutan seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor,
30
radiasi sinar matahari, makanan berlemak, kopi, alkohol, bahan racun pestisida, dan masih banyak lagi yang lainnya (Pham-Huy et al., 2008).
2.6.3 Tahapan Pembentukan Radikal Bebas Reaksi radikal bebas dapat dibagi menjadi tiga tahap (Barry and Jhon, 2007), yaitu : 1. Tahap Inisiasi, yaitu tahap yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas. RH + O2
R+ + HO2+
2. Tahap Propagasi, yaitu tahap dimana radikal bebas cenderung bertambah banyak dengan membuat reaksi rantai dengan molekul lain. R+ + O2
RO2+
3. Tahap Terminasi, yaitu apabila terjadi reaksi antara radikal bebas dengan radikal bebas lain atau antara radikal bebas dengan suatu senyawa pembasmi radikal (scavenger). R+ + R+
R:R
Reaksi rantai ini dapat diakhiri dengan adanya reaksi antara satu radikal dengan radikal lainnya atau dengan adanya antioksidan. Apabila tidak terjadi proses terminasi, maka akan terjadi proses berantai yang sangat merusak.
2.6.4 Sifat Radikal Bebas Radikal bebas memiliki dua sifat (Barry and Jhon, 2007) yaitu : 1. Reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron.
31
2. Dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungan untuk menarik elektron. Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun perlu diingat bahwa tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibanding dengan oksidan yang bukan radikal. Hal ini disebabkan oleh karena kedua sifat radikal bebas diatas, yaitu reaktivitas yang tinggi dan kecenderungan membentuk radikal baru, yang pada gilirannya nanti apabila menjumpai molekul lain akan membentuk radikal baru lagi, sehingga terjadilah reaksi rantai (chain reaction). Diantara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi (Barry and Jhon, 2007). Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel (Barry and Jhon, 2007), yaitu : 1. Asam lemak, khususnya asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. 2. DNA, yang merupakan perangkap genetik. 3. Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi dan pembentuk matriks serta sitoskeleton. Perusakan sel oleh radikal bebas reaktif didahului oleh kerusakan membran sel, dengan terjadi rangkaian proses sebagai berikut (Barry and Jhon, 2007) :
32
1. Terjadi ikatan kovalen antara radikal bebas dengan komponen-komponen membran (enzim-enzim membran, komponen karbohidrat membran plasma), sehingga terjadi perubahan struktur dari fungsi reseptor. 2. Oksidasi gugus tiol pada komponen membran oleh radikal bebas yang menyebabkan proses transpor lintas membran terganggu. 3. Reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung asam lemak tidak jenuh majemuk (PUFA = poly unsaturated fatty acid). Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas berefek langsung terhadap kerusakan membran sel, antara lain dengan mengubah fluiditas, cross-linking, struktur dan fungsi membran; dalam keadaan yang lebih ekstrim akhirnya akan menyebabkan kematian sel. Kerusakan struktur subseluler secara langsung mempengaruhi pengaturan metabolisme. Sebagai contoh adalah: disrupsi membran lisosom menyebabkan pelepasan
enzim-enzim
hidrolitik
lisosom
yang
selanjutnya
mampu
memperantarai perusakan intraseluler dan memperkuat kemampuan radikal bebas dalam menginduksi kerusakan sel (Barry and Jhon, 2007).
2.7 Antioksidan 2.7.1 Definisi antioksidan Antioksidan dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Oksidasi adalah suatu reaksi kimia dimana terjadi pengurangan elektron dari atom atau grup atom. Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron, tetapi dalam arti biologis
33
pengertian antioksidan lebih luas lagi, yaitu semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam (Pangkahila, 2007).
2.7.2 Penggolongan Antioksidan Penggolongan antioksidan dibagi menjadi dua (Barry, 2007), yaitu : 1. Antioksidan Primer 2. Antioksidan Sekunder
2.7.2.1 Antioksidan Primer Antioksidan Primer atau antioksidan internal adalah antioksidan yang dapat disintesis oleh tubuh. Antioksidan ini bekerja mencegah pembentukan radikal bebas baru dengan cara mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang kurang mempunyai dampak negatif. Yang termasuk dalam Antioksiden Primer adalah: 1. Super Oxide Dismutase (SOD), yang ada di dalam tubuh manusia, yaitu yang berada di mitokondria (Mn SOD) dan di sitoplasma (Cu Zn SOD). 2. Katalase (Cat) dalam sitoplasma, dapat mengkatalisir H2O2 menjadi H2O dan O2. Komponen katalase adalah Fe. 3. Bermacam-macam enzim peroksidase, seperti glutation peroksidase yang dapat meredam H2O2 menjadi H2O melalui system siklus redoks glutation.
34
4. Senyawa yang mengandung gugusan sulfhidril (glutation, sistein, kaptopril) dapat mencegah timbunan radikal hidroksil dengan mengkatalisir menjadi H2O. Stress oksidatif terdapat pada keadaan dimana jumlah radikal bebas melebihi kapasitas kemampuan netralisasi antioksidan. Stress oksidatif timbul sejalan dengan bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alamipun akan semakin berkurang.
2.7.2.2 Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder atau antioksidan eksternal, adalah antioksidan yang berasal dari makanan atau didapat dari luar tubuh. Tidak dihasilkan oleh tubuh tetapi berasal dari makanan seperti Vitamin A, beta karoten, Vitamin C, Vitamin E, Selenium, Flavonoid dan lain-lain. Antioksidan ini bekerja dengan cara memutuskan rantai reaksi pembenntukan radikal bebas asam lemak pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid.
2.7.3 Mekanisme Kerja Antioksidan Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi (Gordon, 2003) : 1. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R’, ROO’) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
35
turunan radikal antioksidan (A’) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipid. 2. Fungsi
kedua
merupakan
fungsi
sekunder
antioksidan,
yaitu
memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil. Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A’) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon, 2003). Inisiasi
:
R’ + AH
RH + A’ Radikal lipida
Propagasi :
ROO’ + AH
ROOH + A’
Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang akan diuji (Gordon, 2003). AH + O2
A’ + HOO’
AH + ROOH
RO’ + H2O + A’
36
2.8 Astaxanthin Astaxanthin (3,3’-dihydro-ß,ß-carotene-4,4’-diodine), adalah pigmen merah yang termasuk grup pigmen karotenoid alami yang memiliki aktivitas bilogis sebagai antioksidan yang kuat dan dapat ditemukan secara luas di alam (Maher, 2000; Hussein, et al, 2006). Banyak dari makanan yang sering dikonsumsi manusia pada umumnya juga mengandung pigmen astaxanthin. Astaxanthin dapat ditemukan pada biota laut diantaranya pada alga hijau Haematococcus Pluvialis, pada jenis crustacean seperti kepiting, ranjungan, lobster, dan udang yang memang berwarna merah karena terakumulasi astaxanthin. Satu contohnya lagi adalah daging ikan salmon yang bewarna pink (Hussein, et al, 2006). Selain memberi warna pada binatang, telah ditemukan bahwa pigmen astaxanthin merupakan zat essensial bagi pertumbuhan normal dan bertahannya hidupnya binatang-binatang tersebut. Penelitian terhadap ekstrak lobster Homarus astacus menghasilkan suatu senyawa aktif yang terkarakterisasi sebagai astaxanthin (Naguib, 2000; Michel and Linan-Cabello, 2000). Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa keberadaan astaxanthin berlimpah di alam ini, namun hampir semuanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah. Biota laut yang paling memungkinkan sebagai sumber astaxanthin tertinggi adalah alga hijau (Haematococcus Pluvialis) (Hussein, et al, 2006). Alga hijau ini adalah satusatunya spesies yang saat ini diketahui dapat mensintesis dan mengakumulasi ASX dalam jumlah yang tinggi. Kandungan astaxanthinnya mencapai 1000 hingga 3000 kali lipat astaxanthin yang dapat diakumulasi pada daging ikan salmon (Suseela, et al, 2006). Haematococcus Pluvialis juga mengandung jenis
37
senyawa karoten lainnya berupa lutein, likopen dan β-karoten. Keberadaan astaxanthin dalam mikroalga ini biasanya berupa ester dari berbagai macam asam lemak (Rodriguez, 2001).
2.8.1 Struktur Kimia, Absorpsi, dan Metabolisme Astaxanthin molekul yang serupa dengan karotenoid akrab disebut β karoten, tetapi perbedaan-perbedaan kecil dalam struktur, memberi perbedaan besar dalam sifat kimia dan biologis dari kedua molekul. Kekuatan astaxanthin terletak pada potensinya dalam mencegah berbagai penyakit dan gangguan kesehatan lain. Sebagai antioksidan, astaxanthin memiliki aktivitas menetralkan singlet oxygen dan peroksida lipid. Astaxanthin memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin (Vincent, 2007).
Gambar 2.1 Struktur kimia Astaxanthin (Dikutip dari: Hans Visser, Gerhard Sandmann, and Jan C. Verdoes, 2005:264)
2.8.2 Astaxanthin sebagai Antioksidan Astaxanthin memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin, seperti tumor necrosis factor α (TNF-a), prostaglandin E-2 (PGE-2), interleukin 6 (IL-6) and nitric oxide (NO) (Hussein, et al, 2006).
38
Seluruh jenis karotenoid termasuk astaxanthin, melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif melalui 2 mekanisme, yaitu menetralkan singlet oksigen dan peroksida lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lemak dan kerusakan oksidasi oleh membran sel dan jaringan (Goto, et al, 2001; Suseela, et al, 2006). Astaxanthin menetralkan singlet oksigen melalui mekanisme fisik, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas, sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai (Goto, et al, 2001). Astaxanthin memiliki potensi menghambat terjadinya singlet oksigen yang merupakan radikal bebas, lebih besar dibandingkan karotenoid lain dan vitamin E. Stabilitas astaxanthin terhadap radiasi sinar ditemukan bahwa astaxanthin lebih stabil dibandingkan dengan tokoferol dan likopen (Goto, et al., 2001). Astaxanthin merupakan antioksidan yang larut dalam lemak, sehingga memungkinkan melewati membran sel yang kaya akan lemak dan jaringan. Astaxanthin mampu bereaksi dengan radikal lain dengan berbagai cara, hal tersebut disebabkan karena karakteristik karotenoid yang kaya akan elektron, sehingga sangat atraktif terhadap radikal, oleh sebab itu mampu melindungi komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Beutner, et al, 2000). Kandungan astaxanthin dalam rumput laut memiliki aktivitas menghambat paparan sinar UV dan juga memiliki efek protektif terhadap terbentuknya radikal
39
bebas
yang
diproduksi
oleh
foto-oksidasi
akibat
paparan
sinar
UV
(Hawkins, 2003., Stahl et al, 2000). Studi banding antara astaxanthin dan jenis karoten lainnya telah memperlihatkan bahwa astaxanthin memiliki aktivitas antioksidan 10 kali lebih kuat dari kelompok karoten lain seperti β-karoten, canthaxanthin, lutein, dan zeaxanthin (Naguib, 2000). Studi banding lainnya juga telah dilakukan yakni antara senyawa astaxanthin dan vitamin E sebagai pencegah oksidasi pada lemak, hasilnya menunjukkan bahwa astaxanthin memiliki efektivitas 100-500 kali lebih baik dari vitamin E dalam hal pencegahan peroksidasi lemak secara in vivo (Hussein. et al, 2006). Ada beberapa jenis antioksidan yang pada keadaan tertentu dapat menjadi prooksidan sehingga mempunyai efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh. Antioksidan dari golongan karotenoid yang dapat menjadi prooksidan yaitu β karoten, lycopene dan zeaxanthin (Martin et al,1999., Naguib, 2000). Bahkan antioksidan yang sudah sangat dikenal seperti vitamin C, vitamin E dam zinc dapat menjadi prooksidan. Sedangkan astaxanthin tidak pernah menjadi prooksidan. Hal ini merupakan faktor penting lain yang membedakan Astaxanthin dari antioksidan lain dan dikatakan bahwa astaxanthin memiliki kekuatan antioksidan yang luar biasa (Beutner et al, 2000). Di kedokteran olahraga, astaxanthin bisa meningkatkan daya tahan otot (Malmsten, 1998) dan untuk kesehatan kulit, mencegah terjadinya kerutan (Yamashita, 2002).
40
2.9 Peranan Astaxanthin Dalam Anti-Aging Medicine Secara alami tubuh dapat menghasilkan antioksidan. Namun sejalan dengan bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alami pun akan semakin berkurang. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralisirnya. Akibatnya intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak. Stres oksidatif adalah penyebab utama penuaan dini dan timbulnya penyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung, Alzheimer, dan lain-lain. Untuk menghambat proses penuaan dan mengurangi stres oksidatif, diperlukan asupan antioksidan yang cukup dan optimal ke dalam tubuh (Pangkahila, 2007). Astaxanthin merupakan pigmen karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan yang luar biasa dan tidak bersifat, sehingga mempunyai efek protektif terhadap terbentuknya radikal bebas sehingga dapat menghambat kerusakan akibat radikal bebas tersebut prooksidan (Maher, 2000), sehingga proses penuaan dapat dicegah, diperlambat atau bahkan dihambat.
2.10 Peranan Astaxanthin Terhadap Penurunan Berat Badan Dalam penelitian Ikeuchi et al (2007), menunjukkan bahwa astaxanthin menghambat kenaikan berat badan dalam diet yang berisi sepuluh kali jumlah lemak (tanpa mengubah asupan energi) ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol, yaitu pada pemberian astaxanthin 0,6 mg/kg BB pada tikus.
41
Astaxanthin memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin seperti Tumor necrosis factor- atau TNF-, Tumor necrosis factor- adalah sitokin yang juga diproduksi oleh jaringan lemak dan adiposit. Penumpukan asam lemak bebas pada jaringan adiposa akan meningkatkan TNF- sehingga terjadi resistensi insulin. Sebaliknya penurunan TNF- akan menyebabkan penurunan berat badan dan meningkatkan sensitivitas insulin (Kersshaw and Flier, 2004). Meskipun penelitian yang ada sekarang tidak menyebutkan mekanisme khusus dari astaxanthin sebagai penurun berat badan, tetapi efek anti inflamasi dari astaxanthin dapat diperkirakan mempunyai efek terhadap penurunan berat badan, walaupun masih harus dikonfirmasi (Okamoto et al, 2006). Bagaimanapun, penelitian in vitro, clinical trials jangka panjang dan skala besar diperlukan untuk mengkonfirmasi kegunaan astaxanthin tersebut.
42
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep Obesitas merupakan keadaan abnormal dimana terjadi penumpukan lemak pada jaringan adiposa, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Bisa disebabkan oleh faktor keturunan (genetik), usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, hiperlipidemia, makanan yang mengandung asam lemak jenuh, kurang olah raga, penggunaan alkohol. merokok, penyakit, hormonal dan obat-obatan (Ikeuchi et al, 2007). Lemak makanan yang berlebihan adalah penyebab utama dari kelebihan berat badan dan obesitas, juga penyebab penyakit lainnya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa simpanan lemak yang tinggi berbanding terbalik dengan aktivitas fisik (Horowitz, 2001). Penanganan penurunan berat badan sering dilakukan dengan diet, olahraga, perubahan tingkah laku dan obat-obat penurun berat badan. atau kombinasi semuanya (Pestacello dan Van Heest, 2000). Saat ini banyak yang mencari cara lain untuk menurunkan berat badan dengan mengkonsumsi obat-obatan penurun berat badan, dimana efek samping yang timbul dari penggunaan obat-obatan tersebut juga tinggi, karena itu mungkin diperlukan alternatif obat atau suplemen yang dapat membantu menurunkan berat badan tanpa menimbulkan efek samping (Laine and Goldman, 2008). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada tikus, bahwa antioksidan dapat membantu proses penurunan berat badan tikus seperti dalam penelitian Ikeuchi, et al (2007), yang menunjukkan bahwa pemberian astaxanthin dapat menghambat kenaikan
43
berat badan tikus dalam diet yang berisi sepuluh kali jumlah lemak (tanpa mengubah asupan energi). Astaxanthin memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin seperti Tumor necrosis factor- atau TNF-,. Tumor necrosis factor- adalah sitokin yang juga diproduksi oleh jaringan lemak dan adiposit. Penumpukan asam lemak bebas pada jaringan adiposa akan meningkatkan TNF- sehingga terjadi resistensi insulin. Sebaliknya penurunan TNF- akan menyebabkan penurunan berat badan dan meningkatkan sensitivitas insulin (Kersshaw and Flier, 2004). Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka yang ada, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut:
ASTAXANTHIN
Faktor Internal: Genetika Hormon Psikologis Umur Jenis Kelamin TNF - α
Perempuan
TNF - α
Penurunan Berat Badan, Lingkar Perut, Indeks massa tubuh
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Faktor Eksternal: Makanan Cuaca/Iklim Penyakit Bahan Kimia & Obatobatan
44
Berdasarkan gambar 3.1 dapat diketahui bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi berat badan, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan astaxanthin. Faktor internal meliputi faktor genetika, hormon, faktor psikologis, umur, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternal meliputi makanan, cuaca/iklim, penyakit, bahan kimia dan obat-obatan.
3.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep penelitian diatas, maka dapat ditetapkan hipotesis penelitian, yaitu : 1. Pemberian Astaxanthin oral menurunkan berat badan pada perempuan obes. 2. Pemberian Astaxanthin oral menurunkan lingkar perut pada perempuan obes. 3. Pemberian Astaxanthin oral menurunkan Indeks massa tubuh pada wanita obesitas.
45
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian astaxanthin ini merupakan penelitian ekperimental, dengan menggunakan rancangan pretest-posttest control group design (Pocock, 2008). Rancangan penelitian dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan (P) sebagai berikut: 1. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol → Kelompok yang diberi plasebo 2. Kelompok kedua yang merupakan kelompok perlakuan → Kelompok yang diberi astaxanthin 4 mg/hari Perlakuan pada kedua kelompok harus sama, kecuali terhadap perlakuan dan pemberian obat yang diteliti untuk menghindari variasi biologis (Sastroasmoro and Ismael, 2008). Percobaan dilakukan selama 60 hari. Dosis astaxanthin yang diberikan disesuaikan dengan dosis atau jumlah obat dalam sediaan yang dikonsumsi oleh manusia. Sediaan yang digunakan adalah Asthin Force® yang mengandung 4 mg astaxanthin. P0 O1 P
S
O2
R P1 O3 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
O4
46
P
: Populasi
S
: Sampel
R
: Random
O1
: Pengambilan data sebelum perlakuan pada kelompok plasebo (pretest)
O3
: Pengambilan data sebelum perlakuan pada kelompok yang akan diberi astaxanthin 4 mg (pretest)
P0
: Perlakuan pada kelompok kontrol dengan pemberian plasebo
P1
: Perlakuan pada kelompok dengan pemberian astaxanthin 4 mg per hari
O2
: Pengambilan data setelah mendapatkan perlakuan plasebo selama 60 hari (posttest)
O4
: Pengambilan data setelah mendapatkan perlakuan astaxanthin 4 mg per hari selama 60 hari (Posttest)
4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Klinik HoME, Karawaci, Tangerang pada bulan Juli 2010.
4.3 Populasi dan sampel 4.3.1 Populasi penelitian Populasi penelitian adalah sekelompok subjek atau data dengan karakteristik tertentu (Sastroasmoro, 2008). Populasi penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu populasi target dan populasi terjangkau. 1.
Populasi target dalam penelitian ini adalah wanita usia 30-45 tahun.
47
2.
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah wanita yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2.
4.3.2 Kriteria Subyek 4.3.2.1 Kriteria inklusi: 1.
Perempuan usia 30-45 tahun.
2.
Memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) > 25 kg/m2.
3.
Bersedia menjadi subyek penelitian dan menandatangani inform consent.
4.3.2.2 Kriteria eksklusi: Wanita yang mempunyai riwayat: 1. Menderita penyakit Diabetes Mellitus tipe 2 2. Hiper atau Hipotiroid dan Penyakit Jantung Koroner (PJK) 3. Sedang menggunakan obat penurun berat badan 4. Menggunakan kontrasepsi 5. Terdapat gangguan siklus menstruasi dan hormonal.
4.3.2.3 Kriteria drop-out: 1.
Sakit
2.
Tidak minum obat lebih dari 3 hari
4.3.3 Penentuan besar sampel minimal: Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Pocock (2008) :
48
2 σ2 n
= ---------------- X
ƒ (α,β )
(µ2 - µ1)2
Keterangan : n
= Besar sampel
µ2
= Rerata berat badan total sebelum perlakuan pada kelompok \ perlakuan = Rerata berat badan total sesudah perlakuan pada kelompok
µ1
perlakuan σ
= Simpangan baku kontrol
ƒ (α,β) = Besarnya dilihat pada Tabel Pocock Berdasarkan penelitian pendahuluan terhadap 5 sampel pada setiap kelompok diperoleh pada kelompok kontrol didapat hasil rerata berat badan = 71,88 dan simpangan baku = 0,82, pada kelompok perlakuan didapat rerata berat badan = 70,38 dan simpangan baku = 0,61 ( Sulistio, 2010).
n =
2(0,82)2 _______________
X 10,5
(71,88 – 70,38)2 =
6,27 , dibulatkan jadi 7 orang.
Berdasarkan hasil tersebut, jumlah subyek dalam penelitian ini ditambahkan 20% menjadi 9 orang dan total semuanya 9 x 2 = 18 orang
49
4.4
Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi Variabel a. Variabel bebas b. Variabel tergantung
4.4.2 Klasifikasi Variabel 1. Variabel bebas
: Pemberian astaxanthin dengan dosis 4 mg/hari
2. Variabel tergantung : Berat badan, lingkar perut dan indeks massa tubuh
4.4.3 Definisi Operasional Variabel 1. Astaxanthin adalah suatu bahan alamiah yang dihasilkan oleh Haematococcus Pluvialis. Sediaan yang digunakan adalah Asthin Force® yang mengandung 4 mg astaxanthin. 2. Berat badan adalah berat badan yang masuk klasifikasi obesitas, diukur dengan timbangan berat badan standar yang ditera dengan ketepatan 10-2 kg. Sedangkan tinggi badan diukur dengan stapedometer dengan ketepatan 10-1 cm. 3. Lingkar perut diukur dengan menentukan dahulu arcus costae kanan dan kiri, kemudian tentukan spina ishiadica anterior superior (SIAS) kanan dan kiri, ukur sepanjang midclavicular line kanan kiri, dibagi 2, dalam posisi bernapas normal dilakukan pengukuran lingkar perut menggunakan meteran fleksibel dengan ketepatan 10-1 cm.
50
4. Indeks massa tubuh adalah pengukuran antropometri yang paling sering digunakan yaitu dengan mengukur rasio antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m) kuadrat.
4.5 Alat dan Bahan Penelitian 4.5.1 Alat yang digunakan adalah: 1.
Stapedometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur tinggi badan.
2.
Alat timbang Tanita model TBF 300 untuk mengukur berat badan.
3.
Pengukuran menggunakan rumus Body Mass Index (BMI) untuk mengukur indeks massa tubuh.
4.
Pengukuran lingkar perut dengan mernggunakan alat ukur meteran fleksibel.
4.5.2 Bahan Penelitian yang digunakan 1. Astaxanthin 4 mg oral yang diproduksi oleh PT. SOHO INDUSTRI PHARMASI. Nama Dagang
: ASTHIN FORCE
Nama Kimia
: Natural Astaxanthin
Produksi
: PT. SOHO INDUSTRI PHARMASI
2. Plasebo
: Amilum.
51
4.6
Prosedur Penelitian 1.
Penelitian ini dilakukan pada 18 orang perempuan yang memenuhi kriteria inklusi.
2. Obat-obat yang berhubungan dengan penurunan berat badan dihentikan selama 7 hari. 3. Subyek dibagi dalam dua kelompok secara random, yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. 4. Pada kelompok pertama yang merupakan kelompok kontrol, dilakukan pengukuran berat badan, lingkar perut dan indeks massa tubuh. 5. Pada kelompok kedua yang merupakan kelompok perlakuan, dilakukan pengukuran berat badan, lingkar perut dan indeks massa tubuh. 6. Kelompok kontrol diberi plasebo 1 kali perhari selama 60 hari. 7. Kelompok perlakuan diberi astaxanthin 4 mg/hari selama 60 hari. 8. Pengukuran pada kelompok dicatat sebagai data pretest. 9. Setelah 60 hari, pada kedua kelompok dilakukan pengukuran kembali berat badan, lingkar perut, dan indeks massa tubuh yang dicatat sebagai data postest. 11. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan program SPSS.
52
4.7 Alur Penelitian
WANITA OBESITAS 30-45 tahun
Kelompok Kontrol Berat Badan Lingkar Perut IMT
Kelompok Perlakuan Berat Badan Lingkar Perut IMT
Plasebo
Astaxanthin 4 mg per hari
Berat Badan Lingkar Perut IMT
Berat Badan Lingkar Perut IMT
ANALISIS DATA
LAPORAN
Bagan 4.2 Alur Penelitian
PRETEST 0 hari
POST TEST 60 hari
53
4.8 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Analisis Deskriptif. Semua data dianalisis secara deskriptif
2.
Uji Normalitas. Digunakan Uji Shapiro-Wilk, didapatkan data berdistribusi normal.
3.
Uji Homogenitas. Uji homogenitas dilakukan dengan homogenity of variance test dengan Levene Test (Uji F), didapatkan data homogen.
4.
Uji T tidak berpasangan (T-Independent). karena didapatkan data berdistribusi normal dan homogen, maka Uji Komparatif dilakukan dengan Uji T tidak berpasangan.
5.
Data diolah dengan program SPSS Version 16 for windows.
54
BAB V HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 18 orang sebagai sampel, 9 orang diantaranya sebagai kelompok kontrol (plasebo) dan 9 orang sebagai kelompok perlakuan yaitu pemberian Astaxanthin 4 mg per hari. Dalam pembahasan ini akan diuraikan uji normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data Data berat badan, IMT, dan lingkar perut baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada tabel 5.1 berikut.
55
Tabel 5.1 Uji Normalitas Berat badan, IMT, dan Lingkar Pinggang Sebelum dan Sesudah perlakuan
Kelompok Subjek Berat badan Pre Plasebo Berat badan Pre Astaxanthin Berat badan Post Plasebo Berat badan Post Astaxanthin IMT pre Plasebo IMT pre Astaxanthin IMT post Plasebo IMT post Astaxanthin Lingkar Pinggang Pre Plasebo Lingkar Pinggang Pre Astaxanthin Lingkar Pinggang Post Plasebo Lingkar Pinggang Post Astaxanthin
n 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
p 0,055 0,138 0,055 0,058 0,063 0,237 0,061 0,210 0,293 0,054 0,170 0,083
Keterangan Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
5.2 Uji Homogenitas Data berat badan Pretest, IMT pretest, lingkar perut pretest, berat badan postest, IMT postest, dan lingkar perut postest antara plasebo dengan kelompok Astaxanthin
baik
sebelum perlakuan maupun
sesudah
perlakuan
diuji
homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada tabel 5.2 berikut.
56
Tabel 5.2 Uji Homogenitas Berat Badan, IMT, dan Lingkar Pinggang Sebelum dan Sesudah perlakuan Kelompok Subjek Berat badan pre IMT pre Lingkar Pinggang pre Berat badan post IMT post Lingkar Pinggang post
f
p
Keterangan
0,684 1,829 2,461 1,993 1,611 1,031
0,421 0,195 0,136 0,177 0,223 0,325
Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen
5.3 Uji Komparabilitas 5.3.1 Berat Badan sebelum perlakuan Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata berat badan antar kelompok sebelum diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent test disajikan pada Tabel 5.3 berikut.
Tabel 5.3 Rerata Berat Badan Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek Plasebo Astaxanthin 4 mg
n
Rerata Berat Badan (kg)
SB
9
70,07
2,02
9
68,23
2,70
t
p
1,63
0,122
57
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata berat badan kelompok Plasebo adalah 70,072,02, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 68,232,70. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent test menunjukkan bahwa nilai t = 1,63 dan nilai p = 0,122. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata berat badannya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05).
5.3.2 Indeks Massa Tubuh Sebelum Perlakuan Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) antar kelompok sebelum diberikan perlakuan berupa Astaxanthin 4 mg per hari. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent test disajikan pada Tabel 5.4 berikut.
Tabel 5.4 Rerata Indeks Massa Tubuh Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek Plasebo
Astaxanthin 4 mg
n
Rerata IMT (kg/m2)
SB
9
27,58
2,72
9
25,83
t
p
1,74
0,100
1,27
Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata IMT kelompok Plasebo adalah
27,582,72, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 25,831,27.
58
Analisis kemaknaan dengan uji t-independent test menunjukkan bahwa nilai t = 1,74 dan nilai p = 0,100. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata IMTnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05).
5.3.3 Lingkar perut Sebelum Perlakuan Uji Komparabilitas bertujuan untuk membandingkan rerata lingkar perut antar kelompok sebelum diberikan perlakuan berupa Astaxanthin 4 mg per hari. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent test disajikan pada Tabel 5.5 berikut. Tabel 5.5 Rerata Lingkar Perut Antar Kelompok Sebelum Diberikan Perlakuan
Kelompok Subjek
Plasebo Astaxanthin 4 mg
n
Rerata Lingkar Perut (cm)
SB
9
100,67
4,39
9
98,67
t
p
0,859
0,403
5,43
Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata lingkar perut kelompok Plasebo adalah
100,674,39, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah
98,675,43. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent test menunjukkan bahwa nilai t = 0,859 dan nilai p = 0,403. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok
59
sebelum diberikan perlakuan, rerata lingkar perutnya
tidak berbeda secara
bermakna (p > 0,05).
5.4 Analisis Efek Perlakuan 5.4.1 Analisis efek perlakuan terhadap berat badan Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan berat badan sesudah perlakuan antara kelompok plasebo dengan kelompok astaxanthin sesudah diberikan perlakuan berupa astaxanthin 4 mg. Hasil analisis kemaknaan dengan uji tindependent disajikan pada Tabel 5.6 berikut.
Tabel 5.6 Rerata Berat Badan Sesudah Diberikan Perlakuan antar Kelompok Plasebo dengan Kelompok Perlakuan
Kelompok Subjek Plasebo Astaxanthin 4 mg
n
Rerata Berat Badan (kg)
SB
9
69,17
2,02
9
66,22
t
p
2,495
0,024
1,91
Tabel 5.6 di atas, menunjukkan bahwa rerata berat badan kelompok Plasebo adalah 69,172,02, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 66,221,91. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent test menunjukkan bahwa nilai t =
60
2,495 dan nilai p = 0,024. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan, rerata berat badannya berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Gambar 5.1 Grafik Berat Badan Sebelum Perlakuan dan Berat Badan Sesudah perlakuan Antar Kelompok.
5.4.2 Analisis efek perlakuan terhadap IMT Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan IMT sesudah perlakuan antara kelompok plasebo dengan kelompok perlakuan sesudah diberikan perlakuan berupa astaxanthin 4 mg. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.7 berikut.
61
Tabel 5.7 Rerata IMT Sesudah Diberikan Perlakuan Antar Kelompok Plasebo dengan Kelompok Perlakuan
Kelompok Subjek Plasebo Astaxanthin 4 mg
n
Rerata IMT (kg/m2)
SB
9
27,52
2,69
9
25,10
t
P
2,92
0,016
1,35
Tabel 5.7 di atas, menunjukkan bahwa rerata IMT kelompok Plasebo adalah
27,522,69, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 25,101,35.
Analisis kemaknaan dengan uji t-independent test menunjukkan bahwa nilai t = 2,92 dan nilai p = 0,016. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan, rerata IMTnya berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Gambar 5.2 Grafik IMT Sebelum Perlakuan dan IMT Sesudah Perlakuan Antar Kelompok.
62
5.4.3 Analisis Efek Perlakuan Terhadap lingkar perut Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata lingkar perut sesudah perlakuan antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa astaxanthin 4 mg. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.8 berikut. Tabel 5.8 Rerata Lingkar perut Sesudah Diberikan Perlakuan Antar Kelompok Plasebo dan Kelompok Perlakuan Kelompok Subjek Plasebo Astaxanthin 4 mg
N 9 9
Rerata Lingkar Perut (cm) 99,44 96,89
SB
t
P
1,080
0,296
4,53 5,47
Tabel 5.8 di atas, menunjukkan bahwa rerata lingkar perut kelompok Plasebo adalah 99,444,53, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 96,895,47. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent test menunjukkan bahwa nilai t = 1,080 dan nilai p = 0,296. Hal ini berarti bahwa kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan, rerata lingkar perutnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05).
63
Gambar 5.3 Grafik Lingkar Perut Sebelum Perlakuan dan Sesudah Perlakuan Antar Kelompok.
64
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Subyek Penelitian Untuk menguji pemberian astaxanthin terhadap penurunan berat badan, IMT, dan lingkar perut, maka dilakukan penelitian pada perempuan obes. Sebagai sampel digunakan perempuan usia 30-45 tahun, tidak mempunyai riwayat menderita Diabetes Mellitus tipe 2, Hiper atau Hipotiroid dan Penyakit Jantung Koroner (PJK), tidak sedang menggunakan obat penurun berat badan, tidak menggunakan kontrasepsi, tidak mengalami gangguan siklus menstruasi, dan hormonal. Sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini berjumlah 18 orang, dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol P0 (Plasebo), kelompok P1 (astaxanthin 4 mg). Penelitian dilakukan selama 60 hari.
6.2. Pengaruh Pemberian Astaxanthin terhadap Penurunan Berat Badan dan IMT Sebelum dilakukan uji inferensial terhadap data berat badan sebelum perlakuan, IMT sebelum perlakuan, lingkar perut sebelum perlakuan, selisih berat badan, selisih IMT, dan selisih lingkar perut antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, terlebih dahulu data diuji normalitasnya dengan Uji Shapiro Wilk dan homogenitas antar kelompok dengan uji Levene test. Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada lampiran 1 (uji normalitas data) dan lampiran 2 (uji homogenitas antar kelompok), data berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05).
65
Analisis komparabilitas sebelum diberikan perlakuan (pre test) dengan astaxanthin 4 mg antara kedua kelompok pada variabel berat badan, IMT dan Lingkar perut digunakan uji t-independent. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa rerata berat badan kelompok Plasebo adalah 70,072,02, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 68,232,70. Dengan uji t-independent test didapatkan bahwa kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata berat badannya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05). Demikian juga pada IMT, didapatkan bahwa kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata IMTnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05), dengan rerata IMT kelompok Plasebo adalah 27,582,72, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 25,831,27. Sedangkan pada variabel lingkar perut juga didapatkan bahwa kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan, rerata lingkar perutnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05), dengan rerata lingkar perut kelompok Plasebo adalah 100,674,39, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 98,675,43. Hal ini menunjukkan bahwa baik pada variabel berat badan, IMT, maupun lingkar perut sebelum diberikan perlakuan adalah sama. Analisis efek perlakuan sesudah diberikan perlakuan (post test) dengan astaxanthin 4 mg antara kedua kelompok pada variabel berat badan, IMT dan Lingkar perut digunakan uji t-independent. Dalam analisis ini dibandingakan rerata sesudah perlakuan pada masing-masing nilai variabel, yaitu berat badan post, IMT post, dan lingkar perut post. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa rerata berat badan kelompok Plasebo adalah
69,172,02, rerata kelompok
astaxanthin 4 mg adalah 66,221,91. Dengan uji t-independent test didapatkan
66
bahwa kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa astaxanthin 4 mg, rerata berat badannya berbeda secara bermakna (p < 0,05). Demikian juga pada IMT, didapatkan bahwa kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa astaxanthin 4 mg, rerata IMTnya menurun secara bermakna (p < 0,05), dengan rerata IMT kelompok Plasebo adalah 27,52 2,69, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 25,100 1,35. Sedangkan pada variabel lingkar perut didapatkan bahwa kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa astaxanthin 4 mg, rerata lingkar perutnya tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05), dengan rerata lingkar perut kelompok Plasebo adalah 99,44 4,53, rerata kelompok astaxanthin 4 mg adalah 96,89 5,47. Variabel lingkar perut pada kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan secara bermakna (p > 0,05) dan hanya mengalami penurunan sebesar 1,2%. Menurut Egger & Binns (2001), wanita yang belum menopause yang mengalami penurunan berat badan, tidak selalu memperlihatkan ada korelasi antara penurunan berat badan dengan berkurangnya lingkar perut. Pada saat terjadi penurunan berat badan, kehilangan lemak tubuh belum tentu hanya terjadi pada daerah visceral abdominal, tetapi dapat juga berasal dari bagian tubuh lainnya seperti lengan atas, panggul dan paha atas. Disamping itu penelitian ini hanya dilakukan selama 60 hari. Untuk mendapatkan penurunan lingkar perut yang bermakna dibutuhkan waktu pemberian astaxanthin oral lebih lama dibandingkan waktu penelitian untuk penurunan berat badan. Pada penurunan lingkar perut juga dibutuhkan intensitas aktifitas fisik yang rutin dalam jangka waktu lama dan perlu adanya pengukuran lemak/persentasi lemak ataupun otot-otot tubuh. Jadi waktu
67
penelitian yang hanya 60 hari ini, tidak cukup lama untuk mendapatkan penurunan lingkar perut yang bermakna/signifikan. Variabel berat badan dan IMT sesudah diberikan perlakuan terjadi penurunan yang bermakna (p<0,05) yaitu masing-masing terdapat penurunan sebesar 2,9%, hasil ini didukung oleh penelitian Ikeuchi, et al. (2007), yang menyatakan bahwa pemberian astaxanthin 0,6 mg/kg berat badan tikus selama 60 hari dapat menghambat kenaikan berat badan tikus dalam diet yang berisi sepuluh kali jumlah lemak (tanpa mengubah asupan energi). Lebih lanjut disebutkan pada penelitian tersebut bahwa antioksidan dapat membantu proses penurunan berat badan tikus. Hal ini juga dapat diterapkan pada manusia, mengingat Astaxanthin adalah salah satu antioksidan yang dapat menjaga berat badan yang merupakan karotenoid alami, disamping itu astaxanthin juga memiliki kekuatan antioksidan yang jauh lebih poten dibandingkan antioksidan lain yang sudah dikenal seperti vitamin E dan C. Senyawa ini lebih kuat 550 kali dibandingkan vitamin E dan 40 kali lebih kuat dibandingkan beta karoten dalam mengikat singlet oksigen (Vincent, 2007). Selain kekuatan antioksidan yang cukup tinggi, Astaxanthin juga memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin seperti Tumor necrosis factor atau TNF-,. Yang mana Tumor necrosis factor- adalah sitokin yang juga diproduksi oleh jaringan lemak dan adiposit. Penumpukan asam lemak bebas pada jaringan adiposa akan meningkatkan TNF- sehingga terjadilah resistensi insulin. Sebaliknya penurunan TNF- akan menyebabkan penurunan berat badan dan meningkatkan sensitivitas insulin (Kersshaw and Flier, 2004).
68
Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan, Astaxanthin diduga dapat membantu proses penurunan berat badan, sehingga sumber risiko berbagai penyakit metabolik yang merupakan salah faktor penyebab penuaan dini dapat dikurangi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa astaxanthin merupakan upaya dari anti-aging medicine dalam mencegah, menghambat atau bahkan memperlambat proses penuaan (Vincent, 2007). Telah diketahui bahwa obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mengakibatkan peningkatan risiko untuk penyakit kronis dan secara signifikan meningkatkan biaya kesehatan. Dengan adanya intervensi yaitu dengan memberikan astaxanthin 4 mg pada perempuan obes dapat mencegah kenaikan berat badan dan meningkatkan pemeliharaan jangka panjang penurunan berat badan. Pentingnya meningkatkan aktivitas fisik dalam upaya kontrol, dan juga untuk meminimalkan kenaikan berat badan, dan bila digunakan dalam kombinasi dengan pengurangan konsumsi energi dapat mempercepat penurunan berat badan. (Van Baak, 2005). Overweight dan obesitas merupakan faktor risiko untuk penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, hipertensi dan stroke, dan beberapa jenis kanker. Konsekuensi kesehatan dari adanya obesitas adalah mulai dari peningkatan risiko kematian dini sampai dengan kondisi kronis serius yang dapat mengurangi kualitas hidup (WHO, 2007). Overweight dan obesitas menyebabkan efek metabolik buruk pada tekanan darah, kolesterol, trigliserida, dan resistensi insulin. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan obesitas adalah kesulitan pernafasan, muskuloskeletal
69
kronis, serta masalah kulit dan infertilitas. Obesitas juga meningkatkan risiko kanker payudara, usus besar, prostat, endometroium, ginjal, dan empedu. Kegemukan kronis dan obesitas memberikan kontribusi yang signifikan untuk osteoarthritis, penyebab utama dari kecacatan pada orang dewasa. Dalam analisis yang dilakukan WHO tahun 2002, dilaporkan bahwa sekitar 58% dari diabetes, 21% penyakit jantung iskemik, dan 8-42% dari kanker tertentu, secara global diakibatkan oleh BMI di atas 25 kg/m2 (WHO, 2007). Manajemen berat badan yang efektif bagi individu dan kelompok berisiko terkena obesitas melibatkan berbagai strategi jangka panjang. Ini termasuk pencegahan, perawatan berat badan, pengelolaan ko-morbiditas dan penurunan berat badan. Dalam penelitian ini, penggunaan astaxanthin dalam penurunan berat badan mudah dilakukan, sebab astaxanthin adalah antioksidan yang mudah didapatkan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Naguib (2000) yang menyatakan bahwa keberadaan astaxanthin berlimpah di alam ini, namun hampir semuanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah. Salah satunya adalah ekstrak lobster Homarus astacus yang menghasilkan suatu senyawa aktif yang terkarakterisasi sebagai astaxanthin. Biota laut yang paling memungkinkan sebagai sumber astaxanthin adalah alga hijau (Haematococcus Pluvialis) yang juga mengandung jenis senyawa karoten lainnya berupa lutein, likopen dan βkaroten. Keberadaan astaxanthin dalam mikroalga ini biasanya berupa ester dari berbagai macam asam lemak (Rodriguez, 2001).
70
6.3 Manfaat Astaxanthin sebagai Antioksidan terhadap Kesehatan Telah diketahui bahwa Astaxanthin memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sitokin, seperti tumor necrosis factor alfa (TNF-α), prostaglandin E2 (PGE-2), interleukin 6 (IL-6) and nitric oxide (NO) (Hussein et al, 2006). Sehingga dengan pemberian astaxanthin, diharapkan dapat membantu pencegahan berbagai gejala penyakit yang timbul akibat obesitas. Seluruh jenis karotenoid termasuk astaxanthin melindungi tubuh dari kerusakan oksidatif melalui 2 mekanisme, yaitu menetralkan singlet oksigen dan peroksida lipid. Astaxanthin menunjukkan aktivitas kuat dalam mencerna radikal bebas dan memberikan perlindungan melawan peroksidasi lemak dan kerusakan oksidasi oleh membran sel dan jaringan (Goto et al, 2001., Suseela et al, 2006). Melalui mekanisme fisik, Astaxanthin menetralkan singlet oksigen, dimana energi yang berlebihan dari singlet oksigen tersebut ditransfer ke struktur karotenoid yang kaya akan elektron dan mengubah energinya menjadi panas, sehingga tidak terbentuk singlet oksigen lagi serta bereaksi dengan radikal lain untuk mencegah dan menghentikan reaksi rantai (Goto et al., 2001). Astaxanthin memiliki potensi menghambat terjadinya singlet oksigen lebih besar dibandingkan karotenoid lain dan vitamin E. Stabilitas astaxanthin terhadap radiasi sinar ditemukan bahwa astaxanthin lebih stabil dibandingkan dengan tokoferol dan likopen (Goto et al., 2001). Astaxanthin merupakan antioksidan yang larut dalam lemak, sehingga memungkinkan melewati membran sel yang kaya akan lemak dan jaringan. Astaxanthin mampu bereaksi dengan radikal lain dengan berbagai cara, hal
71
tersebut disebabkan karena karakteristik karotenoid yang kaya akan elektron, sehingga sangat atraktif terhadap radikal, oleh sebab itu mampu melindungi komponen sel lain (lemak, protein, DNA) dari kerusakan oleh radikal bebas (Mortensen et al., 1997). Studi banding antara astaxanthin dan jenis karoten lainnya telah memperlihatkan bahwa astaxanthin memiliki aktivitas antioksidan 10 kali lebih kuat dari kelompok karoten berupa β-karoten, canthaxanthin, lutein, dan zeaxanthin (Naguib, 2000). Studi banding lainnya juga telah dilakukan yakni antara senyawa astaxanthin dan vitamin E sebagai pencegah oksidasi pada lemak, hasilnya menunjukkan bahwa astaxanthin memiliki efektivitas 100-500 kali lebih baik dari vitamin E dalam hal pencegahan peroksidasi lemak secara in vivo (Hussein, et al, 2006). Ada beberapa jenis antioksidan yang pada keadaan tertentu dapat menjadi prooksidan sehingga mempunyai efek negatif dengan menyebabkan oksidasi di dalam tubuh. Antioksidan dari golongan karotenoid yang dapat menjadi prooksidan yaitu β karoten, lycopene dan zeaxanthin (Martin et al, 1999., Naguib, 2000). Bahkan antioksidan yang sudah sangat dikenal seperti vitamin C, vitamin E dam zinc dapat menjadi prooksidan. Sedangkan astaxanthin tidak pernah menjadi prooksidan. Hal ini merupakan faktor penting lain yang membedakan Astaxanthin dari antioksidan lain dan dikatakan bahwa astaxanthin memiliki kekuatan antioksidan yang kuat (Beutner, et al, 2000).
72
6.4 Peranan Astaxanthin dalam Anti Aging Medicine Secara alami tubuh dapat menghasilkan antioksidan. Namun sejalan dengan bertambahnya usia, kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan alami pun akan semakin berkurang. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif, yaitu suatu keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralisirnya. Akibatnya intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang lebih banyak. Stres oksidatif adalah penyebab utama penuaan dini dan timbulnya penyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung, Alzheimer, dan lain-lain. Untuk menghambat proses penuaan dan mengurangi stres oksidatif, diperlukan asupan antioksidan yang cukup dan optimal ke dalam tubuh (Pangkahila, 2007). Astaxanthin merupakan pigmen karotenoid alami yang memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan yang luar biasa (Maher, 2000), sehingga dapat menghambat kerusakan akibat radikal bebas, akibatnya proses penuaan dapat dicegah, diperlambat atau bahkan dihambat.
73
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, pemberian Astaxanthin pada perempuan obes dengan dosis 4 mg didapatkan simpulan sebagai berikut: 1.
Pemberian Astaxanthin oral dapat menurunkan berat badan pada perempuan obes.
2.
Pemberian Astaxanthin oral tidak dapat menurunkan lingkar perut pada perempuan obes.
3.
Pemberian Astaxanthin oral dapat menurunkan Indeks massa tubuh pada perempuan obes.
7.2 Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: 1. Bagi masyarakat dengan obesitas, dapat mengkonsumsi astaxanthin oral, karena astaxanthin yang merupakan antioksidan kuat, juga dapat menurunkan berat badan dan menurunkan indeks massa tubuh. 2.
Perlu penelitian lebih lanjut bila ingin mengetahui efek astaxanthin oral terhadap penurunan lingkar perut dengan melakukan penelitian pada masalah yang sama dan jangka waktu lamanya penelitian yang lebih panjang, variabel pemeriksaan ditambah dengan pemeriksaan persentase lemak tubuh , serta jumlah subyek penelitian lebih banyak, dan bila perlu
74
dikombinasi dengan latihan fisik/olahraga. Diharapkan dengan melakukan itu semua pada penelitian selanjutnya akan didapatkan penurunan lingkar perut yang bermakna/signifikan.
75
DAFTAR PUSTAKA American College of Sports Medicine. 2001. Position Stand. Appropriate intervention Strategies for Weight Loss and Prevention of Weight Regain for Adults. Medical Science Sports Exercise. 33(12):21452156. Astrand, P.O. Rodahl, K., Dahl, H.A., Stromme, S.B. 2003. Physiological Bases of Exercise. Textbook of Work Physiology fourth edition. Champaign: Human Kinetics. Astrup, A. 2010. Drug Management in Obesity-Efficacy Versus Safety, New England Journal of Medicine. 363;3, 288-290. Azwar, A. 2004. “Tubuh Sehat Ideal dari Segi Kesehatan.” Dalam: Seminar Kesehatan Obesitas. Jakarta: Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI. Bagchi, K., Puri, S. 1998. Free Radicals and Antioxidants in Health and Disease. cited 2009 August, 5. Barry, H., Jhon, M.C., Gutteridge. 2007. Free Radicals in Biology and Medicine. Fourth edition, Oxford University Press, New York. Beutner, S., Bloedorn, B., Frixel, S., Blanco, I., Hoffman, T., Martin, H., Mayer, B., Noack, P., Ruck, C., Schmidt. M., Schulke, I., Sell, S., Ernst, H., Haremza, S., Seybold, G., Sies, H., Stahl, W., Walsh, R. (2000). Quantitative assessment of antioxidant properties of natural colorants and phytochhemicals: carotenoids, flavonoids, phenols, and
76
indigoids. The role of Bcarotene in antioxidant functions. Journal of the Science of Food and Agriculture. 81:559-568. Burke, L., Deakin, V. 2002. Clinical Sports Nutrition. NSW, McGraw Hill Book Co, Australia. Crespo, CJ., Smit, E. 2003. Obesity: Etiology, Assesment. Treatment and Prevention. In Andersen. Champaign: Human Kinetics. 3-15. Departemen Kesehatan
Republik
Indonesia. 2002. Survei terpadu
mendukung Indonesia Sehat 2010. Jakarta. Litbangkes Depkes R.I. Eckel, R.H. 2008. Nonsurgical Management of Obesity in Adults. New England Journal of Medicine. 358; 18: 1941-50. Dulloo, A.G, 2005. Energy balance and body weight homeostasis, in “Clinical Obesity in adults and children”, Second Edition, Kopelman, Caterson, and Diets (Eds). pp 67-79. Egger, G. and Binns, A, 2001. The Experts’ Weight Loss Guide, Allen & Unwin, Australia. FDA (Food and Drug Administration) website accessed at 20.40 on 2010, June 9. Flier, J.S. 2001. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th Ed. Vol 1. Newyork: McGraw-Hill. pp 479-486. Frayn, K.N. and Blaak, E.E. 2005. Metabolic fuels and obesity: carbohydrate and lipid metabolism in skeletal muscle and adipose tissue, in Clinical Obesity in Adults and Children, Kopelman PG, Caterson ID, Dietz WH (Eds), Blackwell, pp 102-122.
77
Gordon, P. M. 2003. Hyperlipidemia and Dyslipidemia. In Ehrman JK et al. Clinical Exercise Physiology. Champaign : Human Kinetics. 2003. 169-184. Goto, S., Kogure, K., Abe, K., Kimata, Y., Kitahama, K., Yamashita, E., Terada, H. 2001. Efficient Radical Trapping at The Surface and Inside The Phospholipid Membrane is Responsible for highly Potent Antiperoxidative Activity of The Carotenoid Astaxanthin. Biochemica et Biophysica Acta. Vol 1512:251-258. Gurr, M.I. 2000. Fats, in Human Nutrition and Dietetics, Garrow JS, James WPT, Ralph A (Eds), Churchill Livingstone, pp.97-120 Gurrici, S. et al. 1998. Relationship between body fat and mass body index: defferences between Indonesian and Dutch Caucasian. Eur J Clin Nutr. 52(11):779-83. Guyton, A.C. and Hall, J. E. 2006. Textbook of Medical Physiolofy. 11th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. p. 996-1010. Hadi, H. 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional, Pidato pengukuhan Guru Besar, FKUGM. Hawkins, E.B. 2003. Astaxanthin and Oxidative Stress. Journal of Natural Pharmacy, October, pp. 20-21. Heymsfield, S. et al. 2001. Evaluation of human adiposity. In: Bjorntorp, editor. International textbook of obesity. New York: John Wiley and Sons, Ltd. P. 85-97.
78
Horowitz, J.F. 2001. Regulation of Lipid Mobilization and Oxidation During Exercise in Obesity. Exerc Sport Sci Rev. 29(1): 42-46. Hussein, G., Sankawa, U., Goto, H., Matsumoto, K., Watanabe, H. 2006. Astaxanthin, a Carotenoid with Potential in Human Health and Nutrition. J. Nat. Prod. Vol 69: 443-449. Ikeuchi, M., Koyama, T., Takahashi, J., Yazawa, K. 2007. Effects of Astaxanthin in Obese Mice Fed a Hight-Fat Diet. Jurnal Biosci, Biotechnol, Biochem. 71(4): 893-899. Jakicic, J.M. 2003 Physical Activity as a Therapeutic Modality. In Andersen R.E. Obesity: Etiology, Assesment, Treatment and Prevention. Champaign: Human Kinetics. 203-215. James, W.P.T. et al, 2010, Effects of Sibutramine on Cardiovascular Outcome in Overweight and Obese Subjects, NEJM 363(10): 905-17. Jebb, S. and Wells, J. 2005. Measuring body composition in adults and children, in Clinical Obesity in Adults and Childhood. Kopelman PG, Caterson ID, Dietz WH (Eds), Blackwell Publishing. pp. 12-28. Kathleen, M.B. and Peter A.M. 2006. In Harper’s Illustrated Biochemistry. 27th edition. McGraw Hill. New York. P. 194-198. Kersshaw, E.E., Flier J.S., 2004. Adipose Tissue as an Endocrine Organ. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 89, pp 25482556. Keesey,
R.E.,
Hirvonen,
M.D.
2005.
Body
Weight
Determination and adjustment, J. Nutr. 127: 1875S-1883S.
Set-Points:
79
Klein S, Romijin JA. 2003. Obesity. In Larsen PR et al. Williams Textbook of Endocrinology. 10th Ed, Philadelphia : Mosby Co. P. 1619-1641. Kopelman, P.G., Caterson, I.D. 2005. An overview of obesity management, in Clinical Obesity in Adults and Childhood. Kopelman PG, Caterson ID, Dietz WH (Eds), Blackwell Publishing pp. 319-326 Laine, C., Goldmann, D. 2008. In the Clinic Obesity, Annals of Internal Medicine 2008, October. Lee, R., Nieman D., Raval, R. et al. 2004. The effects of acute moderate exercise on serum lipids and lipoproteins in mildly obese women. Int/Sports Med; 12:537-542. Lichtenstein, A.H., Jones, P.J.H. 2001. Lipids absorption and transport. In Present Knowledge in Nutrtion. 8th Ed. p 93-103/ ISLI Press, Washington DC. Lohman, T.G., Milliken, L. 2003. Body Composition Assesment in The Obese. In Andersen Obesity: Etiology, Assesment, Treatment, Prevention. Champaign: Human Kinetics. 73-84. Maher, T.J. 2000. Astaxanthin: A Versatile Carotenoid Anti Oxidant. International Journal of Integrative Medicine – Vol 2, No 4 July/ August. Malmsten, C. 1998. Dietary Supplementation with Astaxanthin-rich Algae Meal Improves Muscle Endurance-A Double Blind Study on Male Students. Karolinska Institute, Gustavsberg, Sweden.
80
Manore, M., Thompson, J. 2000. Sport nutrition for health and performance. Chaimpaign, IL : Human Kinetics.. Mantzoros, C. 1999. The role of leptin in human obesity and disease: a review of current evidence. Ann Intern Med. 130(8):671-80. Martin, H. et al. 1999. Anti and Prooxidant Properties of Carotenoids. J. Prakt. Chem. 341(3):302-308. Mayes, P.A., Botham, K.M. 2003. Lipid transport & storage. In Muray RK et al. Harper’s illustrated biochemistry. 26th Ed. new York : Lange Medical Books/ McGraw-Hill. p 205-218. Mc Ardle, W.D., Katch, F.L., Katch, V.L. 1996. Exercise Physiology: Energy, Nutrition, and Human Performance. 4th Ed. Baltimore: Williamsand Wilkins. Mortensen, A. et al. 1997. Comparative mechanism and rates of free radical scavenging by carotenoid antioxidants. FEBS Letters., 418:91-97. Murray, R.K. 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. USA. Mac Graw Hill Company 28: 101. Nagaki, Y., Mihara, M., Tsukahara, H., Ono, S. 2006. The supplementation effect of astaxanthin on accommodation and asthenopia. Journal of Clinical Therapeutics & Medicines. 22(1):41-54. Naguib, Y.M.A. 2000. Antioxidant Acticities of Astaxanthin and Related Carotenoids. Journal of Agricultural Chemicals, 48:1150-1154 .
81
National Task Force on the Prevention and Treatment of Obesity (NTFPTO). 2000. Overweight, obesity, and health risk. Arch Intern Med. 160:898-904 . Noel, P.H., Pugh, J.A. 2002. Body Mass Indeks. Management of Overweight and Obesity in Adults. 325: 757-761. Nugroho.
2009.
Respirasi
Seluler.
Available
from:
http://biodas.files.wordpress.com/2007/09/04-respirasi-sel.ppt. Accessed July 02, 2009. Okamoto, Y., Kihara, S., Funahashi, J., Matsuzawa, Y., Libby, P. 2006. Adiponectin: a key adipocytokine in metabolic syndrome. Clin Sci;110: 267–7. Pangkahila, W. 2007. Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Anti Aging Medicine, cetakan ke-1, Jakarta, penerbit buku Kompas, 13-23. Pestacello, L.S., Van Heest, J.L. 2003. Physical activity mediates a healthier body weight in the present of obesity. Br. J. Sport Med. 34:86-93. Pham-Huy, L.A.P, He. H., and Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidants in Disease and Health. Int J Biomed Sci. 4: 89-96. Pocock, S.J. 2008, The size of a Clinical Trial, Clinical Trials, A Practical Approach, p 123-127. Rodriguez, D.B. 2001. A Guide in Carotenoids Analysis in Food. ILSI Press. International Life Sciences Institute. Washington.
82
Sayburn, A. 2010. Withdrawal of sibutramine leaves European doctors with just one obesity drug, BMJ; 340:c477. Schoeller, D.A., Shay, K., Kushner, R.F. 1997. How much Physical activity is Needed to Minimize Weight Gain in Previously Obese Women? Am J Clinical Nutrition. 66:551-556. Shiratori, K., Ogami, K., Nitta, T. 2005. The effects of Astaxanthin on Accomodation and Astenopia Efficacy Identification Study in Health Volunteers. Clinical Medicine 21(6): 283-285. Sharkey, B. J. 2003. Kebugaran dan Kesehatan. PT Rajagrafindo Persada.2003: 23. Shimidzu, N., Goto, M., Miki, W. 1996. Carotenoids as singlet oxygen quenchers in marine organisms. Fisheries Science. 62(6):637-650 . Simanjuntak, D.H., Sudaryati, E. 1998. Aspek Pencegahan Radikal Bebas Melalui Antioksidan. Majalah Kedokteran Indonesia, vol 48:1: 50-54. Sohal R, Mockett R, Orr, W. 2002. Mechanisms of aging: an appraisal of the oxidative stress hypothesis. Free Radic Biol Med 33(5): 575–86. Stahl, W., Heinrich, U., Jungmann, H., Sies, H., Tronnier, H. 2000. Carotenoids and Carotenoids plus Vitamin E Protectagainst UltravioletLight-induced Erythema in Humans. Journal of American Society for Clinincal Nutrition, 71:795-798. Stunkard, A.J, 2005. An adoption study of human obesity, New England Journal of Medicine, 314, 193-198. Sulistio, M.E. 2010. Penelitian Pendahuluan. Unpublished Data.
83
Suseela,M.R., Toppo, K. 2006. Haemotococcus pluvialis - a Green Algae, Richest Natural Source of Astaxanthin. Current Science. Vol 90 (12): 1602-1603. Van Baak, M.A., Saris, V.H.M. 2005. Exercise and Obesity in Clinical Obesity in Adults and children. Editor: Kopelman, Catrerson, and Dietz. Published by Backwell, N. Pp. 363-379. Vincent, W. 2007. Terapi dan Pencegahan Penyakit dengan Astaxanthin, Jurnal Simposia Vol. 6, No.12. WHO Techinal Report Series 894. 2000. Obesity: Preventing and managing the global epidemic. Geneva: World Health Organization. Wirahadikusumah, M. 2001. Biokimia Protein, Enzim, dan Asam Nukleat. Bandung. Penerbit ITB Bandung. 53-54. Yamashita, E. 2002. Cosmetic Benefit of Dietary Supplements Containing Astaxanthin and Tocotrienol on Human Skin. Food Style. 21 6(6): 112-17. Yuko, M. 2000. Antioxidant Activity of Polar Caretonoids Including Astaxanthin β Glucosiade from Marine Bacterium on PC Liposomes. Fisheries Science; 66 : 980-985.
84
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Uji Normalitas Data Berat badan, IMT, dan Lingkar perut. Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova klp BB pre
Plasebo
Statistic
df
.234
Astaxanthin 4 mg .206 BB post Plasebo .234 Astaxanthin 4 mg .221 IMT pre Plasebo .279 Astaxanthin 4 mg .220 IMT post Plasebo .273 Astaxanthin 4 mg .216 LP pre Plasebo .204 Astaxanthin 4 mg .249 LP post Plasebo .221 Astaxanthin 4 mg .219 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
9
.170
.838
9
.055
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
.200* .170 .200* ..131 .200* .113 .200* .200* .113 .200* .200*
.875 .838 .840 .805 .897 .802 .892 .907 .837 .883 .854
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
.138 .055 .058 .063 .237 .061 .210 .293 .054 .170 .083
85
LAMPIRAN 2
Uji Beda Berat Badan pre, IMT pre, Lingkar Perut pre, Berat Badan post, IMT post, Lingkar Perut post. Group Statistics Klp BB pre
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Plasebo
9
70.067
2.0199
.6733
Astaxanthin 4 mg BB post Plasebo Astaxanthin 4 mg IMT pre Plasebo Astaxanthin 4 mg
9 9 9 9 9
68.233 69.167 66.221 27.578 25.833
2.7009 2.0199 2.9086 2.7170 1.2738
.9003 .6733 .9695 .9057 .4246
IMT post Plasebo
9
27.5222
2.68969
.89656
Astaxanthin 4 mg
9
25.1000
1.34536
.44845
Plasebo
9
100.67
4.387
1.462
Astaxanthin 4 mg
9
98.67
5.431
1.810
Plasebo
9
99.44
4.531
1.510
Astaxanthin 4 mg
9
96.89
5.465
1.822
LP pre LP post
86
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F BB pre
Equal variances assumed
.684
Sig. .421
Equal variances not assumed BB post Equal variances assumed
1.829
.195
Equal variances not assumed IMT pre Equal variances assumed
2.461
.136
Equal variances not assumed IMT post Equal variances assumed
1.993
.177
Equal variances not assumed LP pre
Equal variances assumed
1.611
.223
Equal variances not assumed LP post
Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.031
.325
t-test for Equality of Means
T 1.631
95% Confidence Std. Interval of the Sig. Mean Error Difference (2- Differen Differen tailed) ce ce Lower Upper
df 16
.122 1.8333 1.1242
-.5499 4.2166
1.631 14.816
.124 1.8333 1.1242
-.5655 4.2322
2.495
16
.024 2.9456 1.1804
.4432 5.4479
2.495 14.260
.025 2.9456 1.1804
.4182 5.4729
1.744
16
.100 1.7444 1.0002
-.3760 3.8649
1.744 11.355
.108 1.7444 1.0002
-.4487 3.9376
2.917
16
.016 2.12222 1.00247 -.00291 4.24736
2.917 11.767
.021 2.12222 1.00247 -.06676 4.31121
.859
16
.403
2.000
2.327
-2.934
6.934
.859 15.323
.403
2.000
2.327
-2.952
6.952
16
.296
2.556
2.366
-2.461
7.572
1.080 15.469
.297
2.556
2.366
-2.475
7.586
1.080
87
LAMPIRAN 3 SURAT PERSETUJUAN PEMBERIAN ASTAXANTHIN Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Alamat
:
No. KTP
:
Telah memahami penjelasan yang diberikan oleh Dokter bahwa pemberian Astaxanthin 4 mg sehari selama 60 hari, diharapkan dapat : 1. Menurunkan Berat Badan 2. Menurunkan lingkar perut 3. Menurunkan Indeks massa tubuh Oleh karena itu selanjutnya diharapkan dapat mencegah terjadinya penyakit Diabetes Melitus (kencing manis), penyakit jantung, hipertensi (darah tinggi), stroke dan kanker. Kepada saya, Dokter menerangkan bahwa pemberian Astaxanthin dapat menimbulkan efek samping reaksi alergi. Namun hal tersebut jarang terjadi. Apabila timbul efek samping akan diberikan pengobatan sebaik-baiknya. Dengan menyadari manfaat dan kemungkinan terjadinya efek samping pada diri saya, maka risiko ini akan menjadi tanggung jawab saya sendiri, dan saya tidak akan menuntut. Sepenuhnya saya mengerti dan dengan sadar menyatakan persetujuan dengan menandatangani formulir ini tanpa tekanan dari pihak manapun. Jakarta, Dokter, Tanda tangan & nama jelas
Perawat, Tanda tangan & nama jelas
Pasien, Tanda tangan & nama jelas
Keluarga Pasien, Tanda tangan & nama jelas
88