HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK DAN KEBIASAAN SENAM AEROBIK DENGAN INDEKS MASSA TUBUH, LINGKAR PERUT DAN KOMPOSISI LEMAK TUBUH
DISQA DEWINTAMI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Senam Aerobik dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Disqa Dewintami NIM I14110121
________________________ *Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
ABSTRAK DISQA DEWINTAMI. Hubungan konsumsi pangan, aktivitas fisik dan kebiasaan senam aerobik dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan HADI RIYADI. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara konsumsi pangan, aktivitas fisik dan kebiasaan senam aerobik dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Desain penelitian menggunakan metode cross sectional. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara purposive dengan jumlah subyek sebanyak 40 orang dengan kriteria inklusi: perempuan, tidak merokok, tidak minum alkohol, sehat jasmani dan rohani serta bersedia menjadi subjek penelitian. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada kelompok aerobik dan non aerobik. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan (p<0.05) antara kebiasaan senam aerobik (intensitas) dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh, dan juga terdapat hubungan signifikan (p<0.05) antara kebiasaan senam aerobik (durasi dan frekuensi) dengan lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Lebih lanjut hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan (p>0.05) antara konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Kata kunci: aktivitas fisik, indeks massa tubuh, kebiasaan senam aerobik, komposisi lemak tubuh, konsumsi pangan dan lingkar perut
ABSTRACT DISQA DEWINTAMI. The association between food consumption, physical activity and aerobic exercise habit with body mass index, waistline and body fat composition. Supervised by DRAJAT MARTIANTO and HADI RIYADI. This study aimed to analyze the correlation between food consumption, physical activities and aerobic routine with body mass index, waistline and body fat composition. The design of this study was a cross sectional method. Places of study was determined purposively by the number of subjects as many as 40 people with inclusion criteria: women, non-smoker, non-alcoholic, physically and mentally healthy, and also willing to be the subject of study. Mann-Whitney’s test showed that there is no significant differences between aerobic and non aerobic respondents in adequacy level of energy and nutrition. Spearman's test results showed that there is a significant correlation (p<0.05) between aerobic routine (intensity) with body mass index, waistline and body fat composition, and there is also a significant correlation (p<0.05) between aerobic routine (duration and frequency) with waistline and body fat composition. Further, Spearman’s test showed that there is no significant correlation (p>0.05) between food consumption and physical activities with body mass index, waistline and body fat composition.
Keywords: aerobic routine, body fat composition, body mass index, food consumption, physical activities and waistline
HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN, AKTIVITAS FISIK DAN KEBIASAAN SENAM AEROBIK DENGAN INDEKS MASSA TUBUH, LINGKAR PERUT DAN KOMPOSISI LEMAK TUBUH
DISQA DEWINTAMI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Judul Skripsi : Hubungan Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Senam Aerobik dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Nama : Disqa Dewintami NIM : I14110121
Disetujui oleh
Dr Ir Drajat Martianto, MSi Pembibing 1
Dr Ir Hadi Riyadi, MS Pembimbing 2
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik dan Kebiasaan Senam Aerobik dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh” sebagai syarat untuk melakukan penelitian pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor dapat terselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi dan Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen pembibing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, masukan, kritik dan saran yang sangat membangun selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. 2. dr. Naufal Muharam Nurdin selaku dosen pemandu dan penguji yang telah banyak memberikan masukan positif dan membangun selama proses seminar hingga sidang skripsi ini. 3. Orangtuaku tersayang, Papa Lingga dan Mama Rina serta kakak Dirza dan adik-adikku Diaz dan Diona, serta keluarga besarku yang telah memberikan dukungan dan doa bagi kelancaran penulisan skripsi ini. 4. Temanku Sry Novi Yanti Sofya yang telah membantu input dan pengolahan data sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 5. Temanku tersayang Nadya Noerani dan Faradita yang selalu memberi dukungan dan doa bagiku untuk tetap semangat. 6. Sahabatku tersayang Alm. Muhammad Dhira yang telah banyak memberikan aku semangat dan memotivasi hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Peneliti mengetahui bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Agustus 2016
Disqa Dewintami
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Hipotesis
3
Manfaat Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Pola Konsumsi Pangan
3
Pengukuran dan Penilaian Konsumsi Pangan
4
Metode Food Recall 2 x 24 Jam
4
Metode Food Frequency Questionnaire
5
Aktivitas Fisik
6
Senam Aerobik
7
Antropometri
7
Indeks Massa Tubuh
8
Lingkar Perut
9
Komposisi Lemak Tubuh
9
KERANGKA PEMIKIRAN
10
METODE PENELITIAN
12
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
12
Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh
12
Jenis dan Cara Pegambilan Data
13
Pengolahan dan Analisis Data
14
Definisi Operasional
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
16
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
16
Karakteristik Responden
16
Usia
16
Pendidikan Terakhir
17
Pendapatan
17
Pekerjaan
18
Indeks Massa Tubuh
18
Lingkar Perut
19
Komposisi Lemak Tubuh
19
Keikutsertaan dalam Sanggar Aerobik
20
Pola Konsumsi Pangan
20
Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
22
Energi
22
Protein
23
Lemak
24
Karbohidrat
24
Aktivitas Fisik
25
Kebiasaan Senam Aerobik
27
Hubungan Antar Variabel
28
Hubungan Konsumsi Pangan dengan Indeks Massa
28
Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Hubungan Aktivitas Fisik dengan Indeks Massa
28
Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Hubungan Kebiasaan Senam Aerobik dengan Indeks
29
Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh SIMPULAN DAN SARAN
30
Simpulan
30
Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL 1
Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan PAL
7
2
Klasifikasi IMT berdasarkan WHO untuk Asia Pasifik
8
3
Klasifikasi komposisi lemak tubuh wanita menurut Werner 2006
9
4
Jenis dan cara pengumpulan data
13
5
Sebaran responden berdasarkan usia
17
6
Sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir
17
7
Sebaran responden berdasarkan pendapatan
18
8
Sebaran responden berdasarkan pekerjaan
18
9
Sebaran responden berdasarkan indeks massa tubuh
19
10
Sebaran responden berdasarkan lingkar perut
19
11
Sebaran responden berdasarkan komposisi lemak tubuh
20
12
Lama peserta mengikuti sanggar aerobik
20
13
Sebaran responden berdasarkan kelompok pangan yang paling sering dikonsumsi
21
14
Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi responden
22
15
Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan energi
23
16
Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan protein
23
17
Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan lemak
24
18
Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat
25
19
Aktivitas fisik yang paling sering dilakukan responden
25
20
Sebaran responden berdasarkan tingkat aktivitas fisik
26
21
Rata-rata alokasi waktu responden pada hari kerja
26
22
Rata-rata alokasi waktu responden pada hari libur
27
23
Sebaran intensitas dan durasi berdasarkan frekuensi senam
28
DAFTAR GAMBAR 1
Kerangka pemikiran
11
DAFTAR LAMPIRAN 1 Sebaran responden berdasarkan frekuensi makan 2 Uji beda variabel data antara kelompok aerobik dan non aerobik 3 Uji Hubungan Konsumsi Pangan dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh 4 Uji Hubungan Aktivitas Fisik dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh 5 Uji Hubungan Aktivitas Fisik Hari Kerja dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh 6 Uji Hubungan Aktivitas Fisik Hari Kerja dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh 7 Uji Hubungan antara Kebiasaan Senam Aerobik dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh 8 Uji Hubungan Keikutsertaan Senam dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh 9 Nilai PAR Aktivitas Sehari-hari
34 35 36 36 37 37 38 38 39
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyediakan aneka kemudahan sangat berdampak pada gaya hidup masyarakat yang semakin santai (sedentary) sehingga menyebabkan terjadinya masalah gizi lebih. Gizi lebih terjadi karena asupan gizi berlebih yang tidak diimbangi dengan keluaran energi melalui aktivitas fisik. Gizi lebih merupakan masalah gizi yang sering dijumpai dan potensial untuk mengakibatkan gangguan kesehatan akibat berbagai komplikasi. Era globalisasi telah mengubah gaya hidup dan pola makan masyarakat sehingga permasalahan gizi lebih telah menjadi masalah besar di negara berkembang seperti Indonesia. Gizi lebih dan obesitas khususnya jika disertai dengan lingkaran perut yang besar, turut memberikan kontribusi yang signifikan pada permasalahan kesehatan, penurunan kualitas hidup dan peningkatan biaya kesehatan (Gibney et al. 2008). Menurut data Riskesdas tahun 2010, 14% balita termasuk gizi lebih, besarnya hampir sama dengan balita kurus. Menurut data Riskesdas tahun 2013 prevalensi obesitas perempuan dewasa usia >18 tahun 32.9%, naik 18.1% dari tahun 2007 (13.9%) dan 17.5% dari tahun 2010 (15.5%). Prevalensi gemuk pada remaja usia 16–18 tahun sebanyak 7.3% yang terdiri dari 5.7% gemuk dan 1.6% obesitas. Prevalensi gizi lebih di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat terutama di daerah perkotaan berkaitan dengan adanya perubahan pola hidup dan kebiasaan makan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia pun cenderung mempunyai aktivitas yang kurang gerak (sedentary activities) karena adanya perubahan pola kerja dan kemajuan di bidang transportasi (Hadi 2005). Pola konsumsi sangat mempengaruhi tingkat kesehatan dan penampilan fisik seseorang. Mengonsumsi makanan cepat saji dan camilan yang mengandung kolesterol, kalori dan lemak tinggi dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih. Kurangnya konsumsi serat dari sayuran dan buah-buahan juga dapat memperburuk keadaan seseorang yang memiliki pola konsumsi yang tidak baik. Aktivitas fisik yang kurang baik juga merupakan faktor penunjang gizi lebih. Perubahan pola makan dan aktivitas fisik ini berakibat semakin banyaknya penduduk dengan golongan tertentu mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas (Almatsier 2009). Indeks massa tubuh (IMT) merupakan metode tradisional yang digunakan untuk mengukur ukuran tubuh dalam studi epidemiologi, namun langkah-langkah alternatif seperti lingkar perut (Wei et al. 1997; Welborn dan Dhaliwal 2007), rasio perut-pinggul (Jansses et al. 2004; Bigaard et al. 2005) dan perut (Ho et al. 2003; Ashwell dan Hsieh 2005) telah digunakan untuk menggambarkan adipositas sentral untuk memprediksi risiko kardiovaskular. Obesitas sentral telah dipandang sebagai masalah yang berkembang, khususnya di kalangan populasi Asia di mana individunya memiliki IMT normal namun proporsi lingkar perut yang besar. Lingkar perut pada pria berkisar antara 94.0-101.9 cm dan pada wanita berkisar antara 80.0-87.9 cm dengan berbagai kelebihan berat badan dari 25-29.9 kg/m2 yang merupakan faktor risiko untuk diabetes tipe II dan penyakit kardiovaskular (WHO 2000a).
2
Wanita lebih mudah mengalami gizi lebih dibandingkan dengan pria. Menurut data yang diperoleh pada tahun 1997, 14% pria mengalami gizi lebih dan 3% menderita obesitas, sedangkan wanita 20% mengalami gizi lebih dan 6% mengalami obesitas. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah aktivitas fisik yang kurang pada wanita terutama pada masa menopause. Wanita lebih banyak menyimpan lemak, sedangkan pria lebih banyak massa otot dan tulang (Powers SP 1980). Masyarakat, khususnya wanita, mulai menyadari bahwa kesehatan sangat penting, demikian pula dengan performa fisik yang optimal, hal ini terlihat dari banyaknya iklan berbagai produk penurun berat badan sebagai penunjang performa fisik yang optimal. Keadaan ini pula yang menunjang berkembangnya pusat-pusat kebugaran yang menjanjikan penurunan berat badan dan seringnya berupa senam khususnya senam aerobik. Senam aerobik merupakan salah satu latihan fisik yang digunakan sebagai sarana untuk menurunkan berat badan sehingga tubuh menjadi ideal. Senam aerobik juga bermanfaat untuk kesehatan kardiovaskular, fleksibilitas, kekuatan otot, serta pembakaran lemak tubuh. Gerakan dalam senam aerobik diciptakan secara sistematis dan terencana sehingga mudah untuk diikuti. Kraemer (2002) menemukan bahwa latihan aerobik empat hari/minggu, 30-45 menit per sesi latihan, akan menurunkan konsentrasi serum leptin sampai 17.5% setelah berlatih 12 minggu, tetapi pada latihan yang kurang dari 12 minggu tidak terdapat perubahan pada konsentrasi leptin. Performa fisik dan kesehatan merupakan dua hal yang berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, diperlukan adanya asupan gizi seimbang dari makanan dan aktivitas fisik yang seimbang pula. Secara umum, usaha untuk menurunkan berat badan dapat dilakukan dengan mengatur pola konsumsi, meningkatkan aktivitas fisik untuk mengeluarkan energi tubuh, atau kombinasi keduanya. Motivasi dan pengendalian diri yang kuat untuk melakukan penurunan berat badan sangat dibutuhkan sehingga hal ini tidak mudah untuk dilakukan (Wirakusumah 1994). Melihat adanya fenomena seperti itu, penelitian ini penting untuk dilaksanakan mengingat gizi lebih memiliki risiko komorbiditas yang tinggi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan mortalitas.
Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara konsumsi pangan, aktivitas fisik dan kebiasaan senam aerobik dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi karakteristik responden meliputi usia, pendidikan terakhir, pendapatan dan pekerjaan. 2. Mempelajari konsumsi pangan dan tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat responden. 3. Menganalisis aktivitas fisik yang dilakukan responden dan tingkat kedisiplinan dalam menjalani senam aerobik.
3
4. Mempelajari hubungan konsumsi pangan, aktivitas fisik dan kebiasaan senam aerobik dengan indeks massa tubuh, lingkat perut dan komposisi lemak tubuh responden.
Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Konsumsi pangan yang memenuhi angka kecukupan gizi akan mempengaruhi indeks massa tubuh, lingkar perut, dan komposisi lemak tubuh seseorang. 2. Semakin tinggi aktivitas fisik harian seseorang akan mempengaruhi indeks massa tubuh. 3. Kesertaan peserta dalam sanggar aerobik akan mempengaruhi indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh seseorang.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bemanfaat untuk memberikan informasi mengenai hubungan konsumsi pangan, aktivitas fisik dan kebiasaan senam aerobik dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada wanita agar lebih memerhatikan status gizi demi kesehatan tubuh dan penampilan fisik. Kegunaan lain bagi pengusaha pusat kebugaran, penelitian dapat dijadikan sebagai masukan dalam upaya pengembangan dan perluasan usaha terutama untuk kepentingan konsumen. Kegunaan lebih lanjut diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pemerintah dan instansi terkait dalam penyusunan program kesehatan melalui aktivitas olahraga khususnya senam aerobik.
TINJAUAN PUSTAKA
Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu terterntu. Pola makan atau kebiasaan makan suatu masyarakat dapat dicermati antara lain melalui adanya pangan pantangan atau larangan atau tabu karena pangan tersebut dianggap dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat maupun keluarga (Sanjur 1982). Pangan memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia (Khomsan dan Sulaeman 1996). Pangan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia yang terpenting dalam peningkatan kualitas fisik, mental dan kecerdasan. Disamping untuk menghilangkan rasa lapar, fungsi utama dari pangan adalah sebagai sumber kehidupan, yaitu sebagai sumber zat gizi untuk memenuhi
4
kebutuhan tubuh akan energi, protein, lemak, karbohidrat dan sebagainya sehingga kita mampu melaksanakan segala aktivitas kehidupan secara maksimal. Khomsan dan Sulaeman (1996) menyatakan manusia makan untuk hidup dan bukan sebaliknya hidup untuk makan maka berdasar fungsi makanan untuk kehidupan ini, apa yang dimakan oleh seseorang haruslah dapat menjamin bahwa makanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan zat gizinya, tidak menimbulkan gejala kesakitan dan kejiwaan (aman) dan tentunya harus dapat memenuhi selera. Pengukuran dan Penilaian Konsumsi Pangan Salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi seseorang atau masyarakat secara tidak langsung adalah pengukuran konsumsi pangan. Pengukuran konsumsi pangan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Kualitatif dapat diketahui melalui frekuensi makan, kebiasaan makan, serta cara memperoleh makanan. Metode yang sering digunakan adalah food frequency dan dietary history. Kuantitatif dapat diketahui melalui jumlah makanan dan zat gizi yang dikonsumsi. Metode yang sering digunakan adalah food recall 24 jam, perkiraan makanan, penimbangan makanan, food account, inventaris, maupun pencatatan (Supariasa et al. 2002). Metode Food Recall 2 x 24 Jam Metode ini digunakan untuk memperkirakan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang selama sehari sebelum wawancara dilakukan dan data yang diperoleh bersifat kualitatif sehingga apabila ingin memperoleh data kuantitatif maka jumlah konsumsi makanan dinyatakan dengan URT (Ukuran Rumah Tangga). Menurut Supariasa (2002) langkah-langkah pelaksanaan food recall 24 jam ialah: 1. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga selama kurun waktu 24 jam yang lalu. 2. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). 3. Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DGKA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia. Agar wawancara berjalan secara sistematis, perlu dipersiapkan kuesioner sebelumnya sehingga wawancara terarah menurut urutan waktu dan pengelompokkan bahan makanan. Urutan waktu makan sehari dapat disusun berupa makan pagi, siang malam, snack serta makanan jajanan (Supariasa 2002). Pengukuran konsumsi makanan dengan recall apabila hanya dilakukan 1 x 24 jam tidak representatif, sehingga recall seharusnya dilakukan berulang-ulang dengan hari yang tidak berturut-turut minimal dilakukan recall 2 x 24 jam. Metode recall memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah: 1. Mudah dilakukan. 2. Cepat dan dapat mencakup banyak responden. 3. Biaya murah karena tidak memerlukan tempat dan peralatan khusus. 4. Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf. 5. Dapat menghitung asupan makanan yang benar-benar dikonsumsi harian oleh responden.
5
Diantara kelebihan penggunaan metode recall terdapat kekurangan, di antaranya: 1. Bila recall dilakukan hanya satu hari tidak dapat menggambarkan asupan makanan harian responden. 2. Ketepatan metode tergantung dari daya ingat responden. 3. Adanya flat slope syndrome, dimana terdapat kecenderungan responden yang kurus akan melaporkan konsumsinya lebih banyak dan responden gemuk melaporkan konsumsinya lebih sedikit. 4. Membutuhkan tenaga terlatih dan terampil dalam memperkirakan URT dan ketepatan alat bantu. 5. Responden harus diberikan penjelasan dan motivasi dari tujuan penelitian. 6. Recall sebaiknya tidak dilakukan saat acara besar seperti akhir pekan, upacara keagamaan, selamatan dan sebagainya agar dapat mengetahui gambaran konsumsi makanan sehari-hari. Metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi contoh dalam mengonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari, minggu, bulan, atau dalam satu tahun. Kuesioner terdiri dari list jenis makanan dan minuman (Achadi EL 2007). Jenis FFQ di antaranya adalah sebagai berikut: a. Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi sehingga menggunakan standar porsi. b. Semiquantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong roti, secangkir kopi. c. Quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi contoh, seperti kecil, sedang, atau besar. Kelebihan FFQ yaitu : 1. Dapat diisi sendiri oleh contoh. 2. Machine readable (dapat dibaca oleh mesin). 3. Relatif murah untuk populasi yang besar. 4. Dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dengan penyakit. 5. Data usual intake lebih representatif dibandingkan diet record beberapa Hari. Kekurangan FFQ yaitu: 1. Kemungkinan tidak menggambarkan usual food atau porsi yang dipilih oleh contoh. 2. Tergantung pada kemampuan contoh untuk mendeskripsikan dietnya Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data pangan secara kualitatif dan informasi deskripsi tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk data kualitatif pangan ataupun intake konsumsi zat gizi. Namun, metode frekuensi pangan juga dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif. Hal ini tergantung dari tujuan penelitian, apakah hanya ingin menggali frekuensi penggunan pangan saja atau juga dengan konsumsi zat gizinya. Metode ini memungkinkan kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu selama kurun waktu spesifik dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuesioner yang digunakan mempunyai
6
dua komponen utama, yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Supariasa et al. 2001).
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik merupakan salah satu bentuk penggunaan energi tubuh, jika asupan kalori berlebihan dan tidak diikuti oleh aktivitas fisik yang tinggi akan menyebabkan kelebihan berat badan. Aktivitas fisik merupakan salah satu komponen yang berperan dalam penggunaan energi. Penggunaan energi tiap jenis aktivitas berbeda tergantung dari tipe, durasi dan berat badan orang yang melakukan aktivitas tersebut. Semakin berat aktivitas, semakin lama waktunya dan semakin berat badan orang yang melakukannya maka energi yang dikeluarkan pun lebih banyak, akibatnya kebutuhan energi pun lebih banyak. Aktivitas seperti olahraga jika dilakukan secara teratur dan dengan takaran yang cukup akan memberikan keuntungan, yaitu menjaga kesehatan sepanjang hidup dan mencegah dari penyakit salah makan (eating disorders) dan obesitas (Guthrie 1995). Tingginya aktivitas fisik memiliki potensi perlindungan melawan obesitas dengan memelihara keseimbangan energi dan mencegah penumpukan jaringan lemak yang berlebihan (Hanley et al. 2000). Menurut Depkes (2002) menjelaskan bahwa olahraga yang baik dilakukan dengan melihat intesitas latihan (frekuensi dan lama latihan). Latihan fisik olahraga dengan frekuensi tiga kali seminggu dengan durasi waktu minimal 30 menit membantu untuk mempertahankan kesehatan fisik. Olahraga yang dilakukan secara teratur dan berkesinambungan dapat meningkatkan kualitas fisik seseorang. Kualitas manusia secara keseluruhan cenderung akan meningkat apabila kualitas fisik meningkat. Hal ini membuktikan bahwa ada keterkaitan antara kualitas fisik dan non fisik seperti yang dinyatakan dalam sebuah istilah klasik ”Mensana In Corpore Sano” yang artinya ”Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Sejalan dengan itu, partisipasi masyarakat dalam kegiatan olahraga sangat diharapkan guna meningkatan kualitas kesehatan dan kualitas manusia secara keseluruhan. FAO/WHO/UNU (2001) menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah variabel utama setelah angka metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi. Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam dan ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
PAL: Physical activity level (tingkat aktivitas fisik) PAR: Physical activity rate (jumlah energi yang dikueluarkan untuk tiap jenis aktivitas per satuan waktu tertentu)
Tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL menurut FAO/WHO/UNU (2001) tercantum dalam tabel berikut:
7
Tabel 1 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan PAL Kategori Nilai PAL Ringan (sedentary lifestyle) 1.40-1.69 Sedang (active or moderately active lifestyle) 1.70-1.99 Berat (vigorous or vigorously active lifestyle) 2.00-2.40 Sumber: FAO/WHO/UNU (2001).
Sedentary (aktivitas ringan) adalah bila seseorang tidak banyak melakukan kerja fisik, tidak berjalan jauh, menggunakan alat transportasi, tidak latihan atau berolahraga secara teratur misalnya pelajar. Kategori sedang adalah bila seseorang tidak terlalu banyak menggunakan energi namun lebih banyak dari aktivitas ringan, atau memiliki aktivitas sedang hingga berat yang teratur seperti jogging, berlari, aerobik, dan sebagainya yang dapat meningkatkan PAL dari 1.55 (ringan) menjadi 1.75 (sedang). Aktivitas berat adalah bila seseorang memiliki aktivitas yang banyak mengeluarkan energi dalam kesehariannya seperti berenang dan menari selama dua jam, mencangkul, berjalan kaki dan mengangkat beban yang berat (FAO/WHO/UNU 2001).
Senam Aerobik Senam aerobik adalah serangkaian gerak yang dipilih secara sengaja dengan cara mengikuti irama musik yang dipilih sehingga melahirkan ketentuan ritmis, kuntinuitas dan durasi tertentu (Martadinata 2007). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan jantung dan paru-paru serta pembentukan tubuh. Gerakan dalam senam aerobik mampu menyebabkan denyut jantung meningkat sedemikian rupa ke target latihan atau disebut juga zona latihan serta mengandung kalestenik yang berguna untuk pembentukkan tubuh. Irama musik yang digunakan dalam senam aerobik bertindak sebagai patokan kecepatan serta penjaga motivasi serta semangat dari para pelaku latihan agar tetap on. Kombinasi antara frekuensi, intensitas dan durasi sangat efektif dalam latihan senam aerobik. Interaksi dari faktor-faktor tersebut memberikan stimulus yang berlebihan. Secara umum, semakin rendah stimulus semakin rendah pula efek latihan, begitu pula sebaliknya. Latihan yang menyeluruh seperti latihan ketahanan dan fleksibilitas sangat dianjurkan untuk mempertahankan kekuatan otot dan daya tahan serta fleksibilitas (ACSM 2008).
Antropometri Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang mencakup body weight dan body dimension/build. Teknik yang lazim digunakan antara lain tinggi badan, berat badan, lingkar perut dan tebal lipatan kulit. Teknik pengukuran antropometri biasanya dilakukan pada berbagai lokasi pengukuran yang berbeda dengan instrumen yang berbeda-beda pula. Beberapa teknik (seperti penilaian tebal lipatan kulit) adalah untuk mengestimasi komposisi tubuh atau lemak tubuh, sementara teknik lain (seperti IMT) adalah penilaian untuk body build (ACSM 2008; Thang et al. 2006).
8
Cara untuk mengevaluasi komposisi tubuh manusia sangat bervariasi. Komposisi tubuh dapat diperkirakan melalui pemeriksaan di laboratorium maupun di lapangan dengan cara yang beragam dalam hal kompleksitas, biaya dan akurasi. Salah satu cara yang paling akurat untuk menilai komposisi tubuh adalah dengan hydrostatic weighing yang juga dikenal sebagai underwater weighing, yang merupakan kriteria standar/baku emas untuk menilai komposisi tubuh. Pengukuran ini secara teori sangat sederhana, namun pemeriksaannya memerlukan peralatan laboratorium yang mahal dan seringkali tidak nyaman untuk subjek. Oleh karena itu, pemeriksaan ini jarang dilakukan (ACSM 2008). Menurut ACSM (2008) dan dikemukakan dalam penelitian Thang et al. (2006), berikut ini adalah beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai antropometri: 1. Tabel tinggi badan dan berat badan. 2. Indeks Massa Tubuh. 3. Rasio perut-pinggul (Waist-to-hip ratio). 4. Lingkar perut. 5. Tebal lipatan kulit. 6. Bioelectrical Impedance Analysis. 7. Hydrostatic weighing Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh (IMT) adalah rasio standar berat badan terhadap tinggi badan dan sering digunakan sebagai indikator kesehatan umum. IMT dihitung dengan menggunakan persamaan berat badan dalam kilogram/kuadrat tinggi badan ke dalam satuan meter. Menurut WHO (2000) dalam Sugondo (2006) IMT diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 2 Klasifikasi IMT menurut kriteria Asia Pasifik Kategori IMT (kg/m2) Underweight Normoweight Overweight Berisiko Obese I Obese II
<18.5 18.5-22.9 >23 23.0-24.9 25.0-29.9 >30.0
Sumber: WHO (2000) dalam Sugondo (2006)
Penggunaan IMT sebagai parameter dalam menentukan total lemak tubuh seseorang memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan dibanding cara yang lain. Pengukuran IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan perhitungan yang sederhana, cepat dan murah dalam populasi tertentu. Pengukuran IMT rutin dilakukan dan sering digunakan dalam studi-studi epidemiologi. Namun kelemahannya, IMT tidak dapat menjelaskan tentang distribusi lemak dalam tubuh seperti pada obesitas sentral maupun obesitas abdominal maupun menggambarkan jaringan lemak viseral. Nilai IMT berbeda tiap ras/etnis tertentu dan tidak membedakan antara laki-laki maupun perempuan. Nilai IMT yang tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi dapat juga karena
9
jaringan otot (Thang et al. 2006; Shakher et al. 2004 dalam Tomlinson et al. 2008). Lingkar Perut Garis perut merujuk pada garis horizontal di mana garis perut itu adalah yang tersempit, atau pada penampakan umum perut. Orang-orang yang menjalai diet sering dikatakan mencoba "memperbaiki" garis perutnya. Ukuran perut atau lingkaran perut seseorang menandakan obesitas seseorang. Lemak perut berlebih adalah faktor risiko berkembangnya penyakit jantung dan penyakit terkait obesitas lainnya. National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) mengklasifikasikan risiko penyakit terkait obesitas tinggi jika seseorang memiliki lingkar perut lebih dari 90 cm bagi laki-laki, dan wanita memiliki lingkar perut lebih dari 80 cm. Lingkar perut dan rasio pinggang-pinggul adalah prediktor peristiwa kardiovaskular (The Europian Heart Journal 2007). Komposisi Lemak Tubuh Komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Korelasi yang kuat terdapat antara gizi lebih dan peningkatan risiko berbagai penyakit kronis (penyakit arteri koroner), diabetes, hipertensi, kanker tertentu, hiperlipidemia. Penilaian komposisi tubuh dapat membantu untuk menetapkan berat badan yang optimal bagi kesehatan dan kinerja fisik (ACSM 2008). Werner 2006 mengklasifikasikan komposisi lemak tubuh wanita sebagai berikut. Tabel 3 Klasifikasi komposisi lemak tubuh wanita menurut Werner 2006 Usia Kurus Baik Sekali Baik Cukup Gemuk Sangat Gemuk
≤ 19 tahun (%) ≤ 12 17 17.1-22 22.1-27 27.1-32
20-29 tahun (%) ≤ 12 18 18.1-23 23.1-28 28.1-33
30-39 tahun (%) ≤ 12 19 19.1-24 24.1-29 29.1-34
40-49 tahun (%) ≤ 12 20 20.1-25 25.1-30 30.1-35
≥ 50 tahun (%) ≤ 12 21 21.1-26 26.1-31 31.1-36
≥ 32.1
≥ 33.1
≥ 34.1
≥ 35.1
≥ 36.1
Sumber: Werner (2006: 113)
10
KERANGKA PEMIKIRAN Kelebihan berat badan merupakan masalah gizi yang sering dijumpai di negara berkembang seperti Indonesia dan seringnya dialami oleh wanita. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor intrinsik, ekstrinsik dan gaya hidup. Faktor intrinsik yaitu faktor yang berasal dari dalam tubuh individu seperti fisiologi, usia dan jenis kelamin. Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berasal dari luar tubuh seperti pendidikan, pendapatan dan pekerjaan. Gaya hidup seseorang pun dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada status gizi seseorang, seperti teknologi, kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol dan lainnya. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi bagaimana pola konsumsi seseorang baik dari segi frekuensi, jumlah dan jenis, kebiasaan jajan, serta pengaruhnya pada tingkat aktivitas individu mulai dari tingkat aktivitas ringan hingga aktivitas berat. Aktivitas individu tersebut dapat berbeda tergantung pada faktor-faktor tersebut dan juga tergantung pada kebutuhan individu itu sendiri. Aerobik menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kelebihan berat badan tersebut. Peserta senam aerobik melakukan aktivitas senam aerobik dan aktivitas di luar senam aerobik. Tingkat aktivitas senam aerobik mencakup intensitas, durasi dan frekuensi latihan, sedangkan aktivitas di luar senam aerobik dibagi menjadi tiga yakni aktivitas ringan, sedang dan berat. Aktivitas senam aerobik dan aktivitas di luar senam aerobik tersebut akan mempengaruhi indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Kepatuhan dalam melakukan senam aerobik akan sangat berdampak pada indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh seseorang. Kepatuhan tersebut terletak pada variabel-variabel seperti intensitas, durasi dan frekuensi dalam latihan senam aerobik.
11
Faktor intrinsik: Fisiologi Usia Jenis Kelamin
Pola Konsumsi Pangan: Frekuensi Makan Jumlah dan Jenis Makanan Kebiasaan Jajan Status Gizi: IMT Lingkar Perut Komposisi Lemak Tubuh
Gaya hidup: Teknologi Merokok Narkoba Alkohol
Faktor Ekstrinsik: Pendidikan Pendapatan Pekerjaan
Tingkat Aktivitas: Aktivitas Fisik di luar senam aerobik Aktivitas senam aerobik
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi pangan, aktivitas fisik dan kebiasaan senam aerobik dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Keterangan: : variabel yang diteliti : garis hubung yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : garis hubung yang tidak diteliti
12
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di sanggar aerobik di kota Jakarta, yaitu Kelapa Gading Sports Mall dan Earthliving Fitness, yang kemudian dibandingkan dengan nonpeserta senam aerobik. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive, dengan pertimbangan kemudahan akses, memenuhi karakteristik yang ditetapkan yaitu kelompok yang biasa senam aerobik dan tidak biasa senam aerobik, serta kesediaan menjadi responden. Proses pengambilan data dilakukan selama dua hari (hari kerja dan hari libur), kemudian pengumpulan dan pengolahan data dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Mei-Juni 2015.
Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Populasi yang dijadikan contoh pada penelitian ini adalah anggota senam aerobik di Kelapa Gading Sports Mall dan Earthliving Fitness yang datang pada saat dilakukan pengukuran antropometri. Penarikan contoh dilakukan secara purposive sebanyak 40 orang dan berjenis kelamin wanita dengan kriteria inklusi tidak merokok, tidak minum alkohol, sehat jasmani dan rohani serta bersedia menjadi responden serta kriteria eksklusi yaitu keadaan sakit fisik dan kejiwaan. Penentuan proporsi responden digunakan proporsi 50:50 jika proporsi aktual tidak diketahui (dianggap responden aerobik sebesar 2.5% dan non aerobik sebesar 2.5%). Penentuan jumlah responden berdasarkan perhitungan Lemeshow 1991:
Keterangan: n : jumlah sampel minimum yang diperlukan Z₁₋α∕₂ : derajat kepercayaan (1.96) p : proporsi responden aerobik (0.025) 1-p : proporsi responden non aerobik N : jumlah populasi d : limit error (0.1)
13
Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi identitas responden, pola konsumsi pangan, kebiasaan senam aerobik, tingkat aktivitas dan data antropometri. Tabel 4 menunjukkan jenis dan cara pengumpulan data. Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data No 1 2 3 4 5
Jenis Data Karakteristik responden Pola konsumsi
Variabel Nama, usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan Frekuensi makan, jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi Kebiasaan senam Frekuensi, intensitas dan durasi aerobik Tingkat aktivitas Kegiatan yang dilakukan responden sepanjang hari Data antropometri Tinggi badan Berat badan Lingkar perut Komposisi lemak tubuh
Cara Kuesioner FFQ dan food recall 2 x 24 jam Kuesioner Recall aktivitas fisik 2 x 24 jam Microtoise Bathroom scale Body tape measure Body fat analyzer bz-2008
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran antropometri pada saat responden akan latihan. Responden yang telah diukur keadaan antropometrinya lalu diberi kuesioner. Data konsumsi pangan diperoleh dengan cara food recall 2 x 24 jam yaitu dengan meminta responden menyebutkan makanan yang dikonsumsi dalam sehari dari mulai bangun tidur hingga tidur, kemudian dikonversikan ke dalam bentuk bahan pangan mentah dan dihitung kandungan zat gizi energi, protein, karbohidrat dan lemak dengan menggunakan DKBM. Recall makanan dilakukan dua hari (hari kerja dan hari libur) supaya data yang didapat lebih representatif. Supariasa (2002) menyatakan bahwa pada beberapa penelitian mengenai konsumsi pangan menunjukkan minimal dua kali recall 2 x 24 jam tanpa berturut-turut dapat menghasilkan gambaran asupan gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu. Data konsumsi pangan diperoleh pula dengan cara food frequency questionnaire (FFQ) yaitu dengan memberi daftar jenis pangan yang dikonsumsi responden dan frekuensi responden dalam mengonsumsi pangan tersebut. Pengukuran berat badan dilakukan dengan cara responden berdiri di atas bathroom scale dengan ketelitian 0.5 kg tanpa menggunakan sepatu dan aksesoris lain yang ada di tubuh kecuali pakaian. Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm dengan melepaskan sepatu dan berdiri di lantai yang rata dengan kaki sejajar leher, bokong, punggung dan kepala bagian belakang menyentuh dinding tegak lurus, tangan lurus ke bawah di sisi badan secara wajar (Jellife dan Jelliffe 1989). Lingkar perut diukur dengan cara responden membuka sebagian baju sehingga bagian badan yang sejajar dengan pusar terbuka lalu lingkari meteran secara longgar pada kulit sekeliling perut dimulai dari pusar dan baca skala pada meteran tersebut. Komposisi lemak tubuh diukur menggunakan body fat analyzer bz-2008 dengan cara meletakan kedua ibu jari di tombol yang sudah disediakan pada alat. Data sekunder terdiri dari jumlah
14
peserta senam aerobik di masing-masing klub senam serta fasilitas yang ada di lokasi penelitian.
Pengolahan dan Analisis Data Data diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS versi 16.0 for windows. Tahapan pengolahan data dimulai dari coding, entry, cleaning dan selanjutnya analisis. Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan statistik. Analisis statistik korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan antar variabel yang bersifat ordinal, sedangkan analisis korelasi Pearson digunakan untuk menguji hubungan antar variabel yang bersifat skala (rasio dan interval). Data dan jumlah konsumsi pangan dikonversikan ke dalam bentuk energi, protein, karbohidrat dan lemak dengan menggunakan DKBM (Hardinsyah & Briawan 1994) dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: Kgij : Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan pangan yang dikonsumsi Bj : Berat bahan makanan j (gram) Gij : kandungan zat gizi I dari bahan makanan j BDDj : Persen bahan makanan j yang dapat dimakan Kemudian dihitung tingkat kecukupan zat gizinya dengan rumus sebagai berikut:
Untuk menentukan AKG individu dapat dilakukan dengan koreksi terhadap berat badan yaitu dengan rumus sebagai berikut:
Tingkat konsumsi energi dan protein dikelompokkan menjadi tiga yaitu: defisiensi tingkat berat (<70% AKG), defisiensi tingkat sedang (70%-79% AKG) dan defisiensi tingkat ringan (80-89% AKG) (Depkes RI 1996). Data IMT menggunakan batas ambang yang terpapar pada Depkes 2002 sebagai indikator cut off point. Data aktivitas senam aerobik diperoleh dengan menggunakan kuesioner mengenai frekuensi latihan setiap minggu dan alokasi waktu setiap latihan. Data tigkat kedisiplinan respinden dalam melakukan latihan senam aerobik dilakukan dengan menghitung jumlah kehadiran responden selama penelitian dibagi dengan jumlah latihan yang seharusnya dilakukan selama penelitian berlangsung dan dikalikan dengan 100%.
15
Definisi Operasional Responden adalah peserta senam aerobik berjenis kelamin wanita yang bersedia menjadi subyek penelitian. Karakteristik responden adalah identitas pribadi yang meliputi nama lengkap, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, pendapatan dan lama mengikuti senam aerobik. Berat badan adalah massa tubuh yang dinyatakan dalam kilogram. Tinggi badan adalah jarak yang diukur antara tumit dengan puncak kepala dengan posisi badan berdiri tegak menghadap ke depan yang dinyatakan dengan satuan sentimeter. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan, yang dinilai dengan menggunakan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Pendidikan terakhir adalah jenjang pendidikan formal yang telah diperoleh responden dan dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu <6 tahun, 6 tahun, 9 tahun, 12 tahun, dan >12 tahun. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang dilakukan responden meliputi PNS, wiraswasta, buruh, dan lain-lain. Pendapatan adalah jumlah pemasukkan yang diperoleh responden dari pekerjaan dan dinyatakan dalam bentuk rupiah dan digolongkan ke dalam golongan pendapatan tinggi, sedang dan rendah. Senam aerobik adalah kegiatan fisik yang dilakukan secara teratur oleh responden di sebuah klub senam tertentu. Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang mencakup body weight dan body dimension/build. Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah rasio standar berat badan terhadap tinggi dan sering digunakan sebagai indikator kesehatan umum. Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi responden dan diukur dengan menggunakan food recall 2 x 24 jam dan semi quantitative food frequency questionnaire (SQ-FFQ). Pola konsumsi adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Lingkar perut adalah garis horizontal yang tersempit dari perut yang diukur dengan cara mengelilingi perut menggunakan body tape measurement dan dinyatakan dalam satuan sentimeter. Food recall 2 x 24 jam adalah metode memperkirakan jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang selama sehari sebelum wawancara. FFQ (Food Frequency Questionnaire) adalah lembar kuesioner yang meliputi jenis makanan yang dikonsumsi serta frekuensi konsumsi responden dalam satuah/hari, /minggu, /bulan dan tidak pernah. Aktivitas fisik adalah semua kegiatan fisik tubuh yang dilakukan selama 24 jam oleh responden berupa jenis aktivitas dan durasi aktivitas tersebut yang dilakukan pada hari libur dan hari kerja.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kelapa Gading Sports Mall Kelapa Gading Sports Mall adalah sebuah pusat kebugaran yang terletak di Blok HF3 Kelapa Gading, Mahaka Square, Jl Raya Kelapa Nias Jakarta Utara. Pusat kebugaran ini berada di dalam Hotel Santika. Pusat kebugaran ini sudah dilengkapi dengan fasilitas yang cukup baik seperti jogging-treadmill, stationary bike, ab crunch machine, pec deck fly, calf press dan sebagainya, serta memiliki sarana lain seperti sauna dan spa. Kelas-kelas yang diadakan di pusat kebugaran ini juga cukup banyak, salah satunya adalah kelas senam aerobik. Peserta senam aerobik di pusat kebugaran ini pun cukup banyak, yaitu sekitar 20-30 orang, yang terdiri atas anggota lama dan anggota baru. Earthliving Fitness Earthliving Fitness adalah sebuah sanggar yang terletak di Jl Waru No 9 Rawamangun Pulogadung Jakarta Timur. Sanggar kebugaran ini diperuntukkan bagi yang menginginkan tubuh sehat, bugar, ideal dan atletis. Fasilitas di sanggar kebugaran ini cukup baik, seperti alat-alat kebugaran yang cukup lengkap, dan juga terdapat sarana seperti sauna dan spa. Sanggar kebugaran ini mengadakan kelas seperti zumba, dance, body language dan aerobik, dengan pelatih-pelatih khusus yang bersertifikat. Peserta senam aerobik di pusat kebugaran ini pun cukup banyak, yaitu sekitar 20-25 orang, yang sebagian besar terdiri atas anggota lama. Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diamati adalah usia, pendidikan terakhir, pendapatan, pekerjaan, indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Jumlah responden sebanyak 40 orang yang terdiri dari 20 sampel aerobik dan 20 sampel non aerobik. Pemilihan responden menggunakan kriteria inklusi yaitu berjenis kelamin wanita, tidak merokok, tidak minum alkohol, sehat jasmani dan rohani serta bersedia menjadi responden serta kriteria eksklusi yaitu keadaan sakit fisik dan kejiwaan. Usia Usia responden berkisar antara 19-60 tahun. Usia sampel dikategorikan berdasarkan rentang usia menurut Depkes RI (2009), yaitu remaja akhir (17-25 tahun); dewasa awal (26-35 tahun); dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (4655 tahun); dan lansia akhir (56-65 tahun). Tabel 5 menunjukkan sebaran responden berdasarkan usia.
17
Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan usia Usia 17-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun Total
Aerobik n 5 4 8 1 2 20
Non Aerobik % n 25 1 20 4 40 8 5 7 10 0 100 20
Jumlah % n 5 6 20 8 40 16 35 8 0 2 100 40
% 15 20 40 20 5 100
Jumlah responden dengan persentase terbesar (40%) terdapat pada usia dewasa akhir (36-45 tahun), baik kelompok aerobik maupun non aerobik, sedangkan persentase terkecil (5%) terdapat pada usia lansia awal (46-55 tahun) untuk kelompok aerobik dan usia remaja akhir (17-25 tahun) untuk kelompok non aerobik. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada usia kelompok aerobik dan non aerobik. Pendidikan terakhir Pendidikan terakhir responden berkisar mulai dari SMA, D3, S1 hingga S2. Tabel 6 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir. Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan pendidikan terakhir Pendidikan terakhir SMA D3 S1 S2 Total
Aerobik n 7 7 6 0 20
Non Aerobik % n 35 1 35 7 30 10 0 2 100 20
Jumlah % n 5 8 35 14 50 16 10 2 100 40
% 20 35 40 5 100
Jumlah responden dengan persentase terbesar terdapat pada SMA dan D3 untuk kelompok aerobik (35%) dan pada kelompok non aerobik adalah S1 (50%). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada pendidikan terakhir kelompok aerobik dan non aerobik. Pendapatan BPS (2010) membedakan pendapatan menjadi empat golongan, yaitu sangat tinggi (>Rp3.500.000/bln); tinggi (Rp2.500.000-Rp3.500.000/bln); sedang (Rp1.500.000-Rp2.500.000/bln); dan rendah (
18
Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan pendapatan Pendapatan Tidak ada Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Total
Aerobik n 6 0 6 2 6 20
% 30 0 30 10 30 100
Non Aerobik n 1 0 6 4 9 20
% 5 0 30 20 45 100
Jumlah n 7 0 12 6 15 40
% 17.5 0 30 15 37.5 100
Jumlah responden dengan persentase terbesar terdapat pada kategori sangat tinggi, baik kelompok aerobik (30%) maupun non aerobik (45%), sedangkan persentase terkecil (0%) terdapat pada kategori rendah. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada pendapatan kelompok aerobik dan non aerobik. Pekerjaan Jenis pekerjaan dalam penelitian ini meliputi pengajar dan wiraswasta. Tabel 8 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pekerjaan. Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan Pekerjaan Tidak bekerja Pengajar Wiraswasta Total
Aerobik n 6 3 11 20
% 30 15 55 100
Non Aerobik n 1 10 9 20
% 5 50 45 100
Jumlah n 7 13 20 40
% 17.5 32.5 50 100
Jumlah responden dengan persentase terbesar terdapat pada jenis pekerjaan wiraswasta untuk kelompok aerobik (55%) dan pengajar untuk kelompok non aerobik (50%). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada pekerjaan kelompok aerobik dan non aerobik. Indeks Massa Tubuh (IMT) Indeks massa tubuh responden dikategorikan menurut WHO (2000) dalam Sugondo (2006), yaitu underweight (<18.5); normal (18.5-22.9); overweight (2324.9); obes 1 (25-29.9); dan obes 2 (>30). Tabel 9 menunjukkan sebaran responden berdasarkan IMT.
19
Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan indeks massa tubuh IMT Underweight Normal Overweight Obes 1 Obes 2 Total Rata-rata
Aerobik n 0 14 2 3 1 20 20.9 ± 1.60
% 0 70 10 15 5 100
Non Aerobik n 1 5 4 8 2 20 26.4 ± 0.78
% 5 25 20 40 10 100
Jumlah n 1 19 6 11 3 40
% 2.5 47.5 15 27.5 7,5 100
Jumlah responden dengan persentase terbesar terdapat pada kategori normal (20.9) pada kelompok aerobik yaitu sebesar 70% dan obes 1 (26.4) pada non aerobik yaitu sebesar 40%, sedangkan persentase terkecil terdapat pada kategori underweight, baik pada kelompok aerobik (0%) maupun non aerobik (5%). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada IMT kelompok aerobik dan non aerobik. Lingkar Perut Lingkar perut merupakan indikator yang mengukur jaringan lemak khususnya pada bagian abdominal. Lingkar perut lebih banyak digunakan dan memberikan hasil pengukuran yang lebih baik daripada rasio lingkar pinggangpanggul (RLPP) dalam menentukan distribusi penumpukkan jaringan lemak abdominal. NHLBI (1998) mengevaluasi lingkar perut pada individu sebagai pengukuran obesitas abdominal dengan WC ≥ 80 cm pada perempuan. Tabel 10 menunjukkan sebaran responden berdasarkan lingkar perut. Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan lingkar perut Lingkar Perut
Aerobik n Normal 16 Obesitas Abdominal 4 Total 20 Rata-rata 70.6 ± 4.57
Non Aerobik % n 80 9 20 11 100 20 89.8 ± 7.27
Jumlah % n 45 25 50 15 100 40
% 62.5 37.5 100
Lingkar perut kelompok aerobik sebagian besar (80%) tergolong dalam kategori normal (70.6), sedangkan kelompok non aerobik sebagian besar (50%) tergolong dalam kategori obesitas abdominal (89.8). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada lingkar perut kelompok aerobik dan non aerobik. Komposisi Lemak Tubuh Komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi relatif dari jaringan lemak dan jaringan bebas lemak dalam tubuh. Persentase lemak tubuh adalah perbandingan massa lemak tubuh dengan komposisi tubuh. Tabel 11 menunjukkan sebaran responden berdasarkan komposisi lemak tubuh.
20
Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan komposisi lemak tubuh Komposisi Lemak Kurus Baik sekali Baik Cukup Gemuk Sangat Gemuk Total Rata-rata
Aerobik n 0 0 2 5 9 4 20 31.5 ± 2.05
% 0 0 10 25 45 20 100
Non Aerobik n 0 0 1 0 8 11 20 42.3 ± 4.43
% 0 0 5 0 40 55 100
Jumlah n 0 0 3 5 17 15 40
% 0 0 7.5 12.5 42.5 37.5 100
Komposisi lemak tubuh kelompok aerobik sebagian besar (45%) tergolong dalam kategori gemuk (31.5) sedangkan kelompok non aerobik sebagian besar (55%) tergolong dalam kategori sangat gemuk (42.3). Hasil uji beda MannWhitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada komposisi lemak tubuh kelompok aerobik dan non aerobik. Keikutsertaan dalam Sanggar Aerobik Responden aerobik sebagian besar telah lama menjadi anggota sanggar aerobik. Tabel 12 menunjukkan lama peserta mengikuti sanggar aerobik. Tabel 12 Lama peserta mengikuti sanggar aerobik Lama (tahun) Jumlah responden n % 2 3 15 3 2 10 4 5 25 5 9 45 7 1 5 Total 20 100
Peserta aerobik sebagian besar (45%) mengikuti sanggar aerobik selama lima tahun, sedangkan sebagian kecil (5%) mengikuti sanggar aerobik selama tujuh tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keikutsertaan peserta dalam mengikuti sanggar aerobik sangat baik. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara keikutsertaan senam dengan indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh. Pola Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Konsumsi pangan dapat dianalisis dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kualitas konsumsi pangan dapat diketahui melalui semikuantitatif food frequency
21
questionnaire (FFQ) sedangkan kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui melalui kuisioner food recall 2x24 jam. Pola konsumsi pangan ditentukan berdasarkan frekuensi konsumsi bahan pangan per minggunya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis kelompok pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh kelompok aerobik maupun non aerobik dengan frekuensi terbesar per minggunya dari makanan pokok adalah nasi; golongan protein hewani adalah ayam; golongan protein nabati adalah tempe pada kelompok aerobik dan tahu pada kelompok non aerobik; golongan sayur adalah sawi pada kelompok aerobik dan wortel pada kelompok non aerobik; golongan buah adalah pisang pada kelompok aerobik dan jeruk manis pada kelompok non aerobik; golongan jajanan adalah gorengan; dan golongan lainnya adalah gula. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada konsumsi sawi dan pisang antara kelompok aerobik dan non aerobik. Tabel 13 menunjukkan sebaran responden berdasarkan kelompok pangan yang paling sering dikonsumsi. Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan kelompok pangan yang paling sering dikonsumsi Aerobik Non Aerobik Kelompok Frekuensi/minggu Frekuensi/minggu P value Pangan Nasi 13 15 0.165 Ayam 6 5 0.403 Tahu 7 6 0.104 Tempe 5 6 0.899 Sawi 7 3 0.004 Wortel 6 5 0.442 Pisang 6 5 0.028 Jeruk Manis 5 4 0.382 Gorengan 3 3 0.855 Gula 6 8 0.201 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan pokok kelompok non aerobik (20 kali/minggu) lebih besar dibandingkan dengan kelompok aerobik (17 kali/minggu). Hasil tersebut menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi konsumsi pangan pokok kelompok non aerobik adalah sekitar 3 kali sehari, sedangkan kelompok non aerobik adalah sekitar 2 kali sehari. Rata-rata frekuensi konsumsi sumber protein baik hewani maupun nabati pada kelompok aerobik (38 kali/minggu) lebih besar dibandingkan dengan kelompok non aerobik (30 kali/minggu). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ratarata frekuensi konsumsi protein kelompok aerobik adalah sekitar 5 kali sehari, sedangkan kelompok non aerobik adalah sekitar 4 kali sehari. Rata-rata frekuensi konsumsi sayuran kelompok aerobik (25 kali/minggu) lebih tinggi dibandingkan dengan non aerobik (15 kali/minggu). Hasil tersebut, menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi konsumsi sayuran pada kelompok aerobik adalah sekitar 4 kali sehari sedangkan pada kelompok non aerobik adalah sekitar 2 kali sehari. Rata-rata frekuensi konsumsi buah kelompok aerobik (26 kali/minggu)
22
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non aerobik (14 kali/minggu). Hasil tersebut menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi konsumsi buah kelompok aerobik adalah sekitar 4 kali sehari, sedangkan kelompok non aerobik adalah sekitar 2 kali sehari. Jenis jajanan yang paling banyak dikonsumsi pada kedua kelompok adalah gorengan. Rata-rata frekuensi konsumsi jajanan kelompok aerobik (5 kali/minggu) lebih kecil dibandingkan dengan non aerobik (6 kali/minggu). Konsumsi golongan lainnya menunjukkan yang paling banyak dikonsumsi pada kelompok aerobik dan non aerobik adalah gula yaitu masing masing sebesar 6 kali per minggu dan 8 kali per minggu. Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan (intake) berbagai jenis pangan yang diharapkan dapat memenuhi kecukupan zat gizi seseorang untuk dapat hidup sehat dan aktif. Tingkat kecukupan gizi masing-masing individu berbeda sesuai dengan usia, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan seseorang. Angka kecukupan gizi mengacu pada Permenkes RI No. 75 tahun 2013. Tingkat kecukupan gizi dapat digolongkan ke dalam lima tingkatan, yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG); defisit tingkat sedang (70-79% AKG); defisit tingkat ringan (80-89% AKG); normal (90-119% AKG); dan kelebihan (≥120% AKG). Tabel 14 menunjukkan rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi kelompok aerobik dan non aerobik. Tabel 14 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi responden Zat Gizi Energi Asupan (Kal) Kecukupan (Kal) Tingkat kecukupan (%) Protein Asupan (g) Kecukupan (g) Tingkat kecukupan (%) Lemak Asupan (g) Kecukupan (g) Tingkat kecukupan (%) Karbohidrat Asupan (g) Kecukupan (g) Tingkat kecukupan (%)
Aerobik
Non Aerobik
Rata-rata
p value
1830 2160 84.4 ± 25.7
2012 2110 95.8 ± 31.6
1921 2135 90.1 ± 29.0 0.304
68.0 56.7 120.2 ± 49.6
98.3 56.9 172.6 ± 64.6
83.2 56.8 146.4 ± 62.7 0.153
41.9 64.6 63.7 ± 35.8
51.3 60.1 87.0 ± 48.3
46.6 62.3 75.4 ± 43.6 0.194
341.5 314.3 108.5 ± 36.2
350.9 314.0 112.0 ± 44.0
346.2 314.2 110.3 ± 39.8 0.455
Energi Energi berfungsi sebagai sumber tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaruh suhu dan kegiatan fisik. Rata-rata asupan energi responden adalah
23
sebesar 1921 Kal/hari. Hasil ini melebihi angka rata-rata asupan kalori per kapita per hari Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 1812.9 Kal/kap/hari (Susenas 2013). Kelompok non aerobik memiliki rata-rata asupan energi (2012 Kal/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aerobik (1830 Kal/hari). Tabel 15 menunjukkan sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan energi. Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan energi Kategori Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Lebih Total
Aerobik n 5 6 3 4 2 20
% 25 30 15 20 10 100
Non Aerobik n 7 1 1 5 6 20
% 35 5 5 25 30 100
Jumlah n 12 7 4 9 8 40
% 30 17.5 10 22.5 20 100
Tingkat kecukupan energi kelompok aerobik sebagian besar (30%) tergolong dalam kategori defisit tingkat sedang, sedangkan pada kelompok non aerobik sebagian besar (35%) tergolong dalam kategori defisit tingkat berat, namun rata-rata tingkat kecukupan energi responden secara keseluruhan adalah sebesar 90.1% yang tergolong dalam kategori normal. Tingkat kecukupan energi kelompok non aerobik (95.8%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aerobik (84.4%). Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada tingkat kecukupan energi kelompok aerobik dengan non aerobik. Protein Protein berfungsi sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, neurotransmitter, penguat struktur, penguat imunitas dan untuk pertumbuhan (WHO 2000). Rata-rata asupan protein responden adalah sebesar 83.2 g/hari. Hasil ini melebihi angka rata-rata asupan protein per kapita per hari Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 58.73 g/kap/hari (Susenas 2013). Kelompok non aerobik memiliki rata-rata asupan protein (98.3 g/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aerobik (68.0 g/hari). Tabel 16 menunjukkan sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan protein. Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan protein Kategori Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Lebih Total
Aerobik n 3 1 2 4 10 20
% 15 5 10 20 50 100
Non Aerobik n 0 0 3 2 15 20
% 0 0 15 10 75 100
Jumlah n 3 1 5 6 25 40
% 7.5 2.5 12.5 15 62.5 100
Tingkat kecukupan protein responden sebagian besar tergolong dalam kategori berlebih, baik kelompok aerobik (50%) maupun non aerobik (75%).
24
Rata-rata tingkat kecukupan protein responden secara keseluruhan adalah sebesar 146.4% yang tergolong dalam kategori berlebih. Hal tersebut dikarenakan responden mengonsumsi berbagai jenis protein tiap kali makan, seperti ayam, daging, ikan dan telur. Tingkat kecukupan protein kelompok non aerobik (172.6%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aerobik (120.2%). Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada tingkat kecukupan protein kelompok aerobik dan non aerobik. Lemak Lemak merupakan komponen struktural dari semua sel-sel tubuh dan merupakan zat gizi penghasil energi terbesar serta merupakan sumber energi penting untuk kontraksi otot. Kontribusi energi dari lemak sebaiknya 35% pada anak usia 1-3 tahun, 30% pada usia 4-18 tahun dan 25% pada orang dewasa (Kemenkes 2014). Rata-rata asupan lemak responden secara keseluruhan adalah sebesar 46.6 g/hari. Kelompok non aerobik memiliki rata-rata asupan lemak (51.3 g/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aerobik (41.9 g/hari). Tabel 17 menunjukkan sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan lemak. Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan lemak Kategori Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Lebih Total
Aerobik n 12 2 1 4 1 20
% 60 10 5 20 5 100
Non Aerobik n 10 1 1 2 6 20
% 50 5 5 10 30 100
Jumlah n 22 3 2 6 7 40
% 55 7.5 5 15 17.5 100
Tingkat kecukupan lemak responden sebagian besar tergolong dalam kategori defisit tingkat berat, baik kelompok aerobik (60%) maupun non aerobik (50%), namun rata-rata tingkat kecukupan lemak responden secara keseluruhan adalah sebesar 75.4% yang tergolong dalam kategori defisit tingkat sedang. Tingkat kecukupan lemak kelompok non aerobik (87.0%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aerobik (63.7%). Hal ini dikarenakan kelompok aerobik sebagian besar lebih membatasi konsumsi lemak dibandingkan dengan kelompok non aerobik. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada tingkat kecukupan lemak kelompok aerobik dan non aerobik. Karbohidrat Karbohidrat merupakan salah satu zat gizi makro, sumber energi utama dan memegang peranan penting bagi tubuh untuk melakukan aktivitas. Karbohidrat ada yang dapat dicerna oleh tubuh untuk menghasilkan energi dan ada pula yang tidak dapat dicerna oleh tubuh melainkan sebagai serat makanan. Rata-rata asupan karbohidrat responden secara keseluruhan adalah sebesar 346.2 g/hari. Kelompok non aerobik memiliki rata-rata asupan karbohidrat (350.9 g/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aerobik (341.5 g/hari). Tabel 18 menunjukkan sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat.
25
Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan tingkat kecukupan karbohidrat Kategori Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Normal Lebih Total
Aerobik n 3 0 5 3 9 20
% 15 0 25 15 45 100
Non Aerobik n 5 0 1 7 7 20
% 25 0 5 35 35 100
Jumlah n 8 0 6 10 16 40
% 20 0 15 25 40 100
Tingkat kecukupan karbohidrat kelompok aerobik sebagian besar (45%) tergolong dalam kategori berlebih, sedangkan pada kelompok non aerobik sebagian besar (35%) tergolong dalam kategori normal dan berlebih, namun ratarata tingkat kecukupan karbohidrat secara keseluruhan adalah sebesar 110.3% yang tergolong dalam kategori normal. Tingkat kecukupan karbohidrat kelompok non aerobik (112.0%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok aerobik (108.5%). Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05) pada tingkat kecukupan karbohidrat kelompok aerobik dan non aerobik.
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Jumlah energi yang dibutuhkan tubuh tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002). Aktivitas fisik kelompok aerobik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non aerobik. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada aktivitas fisik kelompok aerobik dan non aerobik. Tabel 19 menunjukkan aktivitas fisik yang paling sering dilakukan responden. Tabel 19 Aktivitas fisik yang paling sering dilakukan responden Hari Kerja (menit) Aktivitas
PAR
Aerobik
tidur pekerjaan RT umum berjalan tanpa beban bermain laptop nonton tv/film 1.4 duduk aerobik intensitas tinggi
1 2.8 3.2 1.8 1.72 1.2 4.5
402.75 76.5 100.75 58.50 62.50 200.50 63
Hari Libur (menit) Non Aerobik 405 66.25 45.25 73.75 79.5 261.75 0
Aerobik 431 77.50 104.50 51 89 134 30
Non Aerobik 466 67 88.75 50.50 108 141 0
Rata-rata aktivitas fisik kelompok aerobik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok non aerobik. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas kelompok aerobik yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan kegiatan berjalan tanpa
26
beban, pekerjaan rumah tangga umum dan kegiatan aerobik, sedangkan pada kelompok non aerobik lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur, bermain laptop, menonton tv dan duduk. Tabel 20 menunjukkan sebaran responden berdasarkan tingkat aktivitas fisik. Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan tingkat aktivitas fisik Responden Aerobik Non Aerobik
Hari Kerja (%) Ringan Sedang 20 75 90 10
Tinggi 5 0
Ringan 10 40
Hari Libur (%) Sedang 85 60
Tinggi 5 0
Tingkat aktivitas fisik dikategorikan kedalam tiga yaitu ringan dengan ilai PAL 1.45-1.69, sedang dengan nilai PAL 1.70-1.94 dan berat dengan nilai PAL 1.95-2.00 (FAO/WHO/UNU 2001).
Rata-rata PAL hari kerja dan hari sekolah pada kelompok aerobik (1.83) lebih besar dibandingkan dengan kelompok non aerobik (1.62). Aktivitas fisik kelompok aerobik pada hari kerja sebagian besar (75%) tergolong sedang, sedangkan pada kelompok non aerobik sebagian besar (90%) tergolong ringan. Aktivitas fisik kelompok aerobik maupun non aerobik pada hari libur tergolong sedang, namun pada kelompok aerobik (85%) lebih tinggi dibandingkan dengan non aerobik (60%). Hal ini dikarenakan aktivitas aerobik yang dilakukan kelompok aerobik. Tabel 21 menunjukkan rata-rata akolasi waktu responden pada hari kerja. Tabel 21 Rata-rata alokasi waktu responden pada hari kerja Aktivitas hari kerja Tidur mandi/berpakaian/berdandan Makan Memasak Ibadah/sholat pekerjaan RT umum naik mobil/bus/angkot mengendarai mobil mengendarai motor berjalan tanpa beban aktivitas di waktu luang bermain laptop/internet ngobrol/diskusi/rapat nonton tv/film 1.4 aerobik intensitas tinggi Duduk membaca 1.5
Aerobik (menit) 402.75 38 42.75 48.50 21 76.50 10.50 40.50 8 100.75 128.50 58.50 40.50 62.50 63 200.50 13.50
Non Aeroik (menit) 405 44 47.75 28 43 66.25 17 20 19 45.25 122.50 73.75 83.50 79.50 0 261.75 40.50
Tabel di atas menunjukkan aktivitas fisik responden dengan rata-rata alokasi waktu yang paling banyak pada hari kerja adalah tidur, duduk, aktivitas di waktu luang dan berjalan tanpa beban. Rata-rata kelompok aerobik menghabiskan waktu paling banyak untuk berjalan tanpa beban yaitu selama 100.75 menit
27
perhari dan aerobik selama 63 menit perhari, sedangkan rata-rata kelompok non aerobik menghabiskan waktu paling banyak untuk berdiskusi yaitu selama 83.5 menit perhari dan menonton televisi selama 79.5 menit perhari. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada aktivitas hari kerja kelompok aerobik dan non aerobik. Tingkat aktivitas fisik ditentukan oleh dua faktor yaitu jenis dan durasi masing-masing aktivitas fisik. Perbedaan aktivitas kelompok aerobik dan non aerobik di hari libur terdapat pada aktivitas senam aerobik yang masih dilakukan kelompok aerobik. Hasil uji beda Mann-Whitney menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada aktivitas hari libur kelompok aerobik dan non aerobik. Tabel 22 menunjukkan rata-rata alokasi waktu responden pada hari libur. Tabel 22 Rata-rata alokasi waktu responden pada hari libur Aktivitas hari libur Tidur mandi/berpakaian/berdandan Makan memasak Ibadah/sholat pekerjaan RT umum naik mobil/bus/angkot mengendarai mobil mengendarai motor berjalan tanpa beban aktivitas di waktu luang bermain laptop/internet ngobrol/diskusi/rapat nonton tv/film 1.4 ke pasar/warung shopping aerobik intensitas tinggi duduk
Aerobik (menit) 431 38 42.75 45 36 77.50 9 31.50 9.50 104.50 146.25 51 22.50 89 9 37.75 30 134
Non Aeroik (menit) 466 45.25 55.75 49 46.75 67 2 3 4 88.75 189.25 50.50 2 108 24 30.75 0 141
Pengukuran aktivitas fisik dilakukan sebanyak 2x24 jam yaitu pada hari kerja dan hari libur. Oleh karena itu, untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik responden, dilakukan uji beda Wilcoxon. Hasil uji beda Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada aktivitas hari kerja dan hari libur responden.
Kebiasaan Senam Aerobik Kebiasaan senam aerobik terdiri dari intensitas, durasi dan frekuensi senam. American College of Sport Medicine merumuskan cara menentukan intensitas senam seseorang yaitu dengan pengukuran DNM, yaitu denyut nadi maksimal yang dihitung berdasarkan rumusan 220 dikurangi dengan usia, kemudian dikalikan dengan intensitas membakar lemak 60% DNM. intensitas senam aerobik harus mencapai target zone sebesar 60-90% dari frekuensi DNM.
28
Intensitas senam dikatakan sangat ringan apabila hanya mencapai 35-59%; ringan apabila mencapai 60-69%; sedang apabila mencapai 70-79%; tinggi apabila mencapai 80-89%; dan sangat tinggi apabila mencapai >90%. Latihan aerobik yang baik dilakukan dengan frekuensi tiga sampai lima kali per minggu dengan durasi latihan 20-30 menit setiap latihan (Wilmore & Costill 1994). Tabel 23 menunjukkan sebaran subyek aerobik berdasarkan kebiasaan senam aerobik. Tabel 23 Sebaran intensitas dan durasi berdasarkan frekuensi senam Frekuensi (x/minggu) ≤3 4-5 >5
Intensitas (%) 82.16 84.07 88.90
Durasi (menit) 60 68.57 60
Tabel di atas menunjukkan bahwa intensitas senam berbanding lurus dengan frekuensi senam. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi frekuensi senam seseorang maka intensitas senamnya akan semakin tinggi. Rata-rata intensitas, durasi dan frekuensi senam aerobik responden secara keseluruhan adalah 84%, 66 menit dan 4.3 kali/minggu. Hasil ini menunjukkan bahwa intensitas senam aerobik responden termasuk dalam target zone tinggi dengan durasi dan frekuensi senam yang sangat tinggi. Hubungan Antar Variabel Hubungan Konsumsi Pangan dengan IMT, LP dan Komposisi Lemak Tubuh Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara konsumsi pangan (tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat) saat penelitian dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Hasil penelitian ini sejalan dengan studi Halkjær et al. (2006) di Denmark bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara asupan energi dengan lingkar perut, namun hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Elliot et al. (2011) di Queensland dan Maruf et al. (2012) di Nigeria yang menunjukkan bahwa asupan lemak berhubungan nyata dengan lingkar perut. Perbedaan hasil penelitian diduga karena jumlah dan usia subyek yang diteliti berbeda. Penelitian di Queensland menggunakan subyek sebanyak 2460 orang dan usia subjek berkisar antara 5-17 tahun. Adapun penelitian di Nigeria menggunakan subyek sebanyak 3038 dengan usia ≥15 tahun. Penelitian Ranggadwipa (2014) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara asupan energi dengan massa lemak tubuh dan lingkar perut. Salah satu penyebabnya diduga karena pola konsumsi pangan peserta aerobik sudah terbentuk ke arah pola konsumsi pangan yang baik. Hubungan Aktivitas Fisik dengan IMT, LP dan Komposisi Lemak Tubuh Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara aktivitas fisik (hari kerja dan hari libur) saat penelitian dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh, namun pada hasil uji korelasi Spearman antara aktivitas fisik hari kerja dengan indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh diperoleh hasil yang signifikan (p<0.05) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik hari kerja
29
dengan indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh, namun tidak dengan lingkar perut. Hal ini dapat terjadi karena 100% sampel aerobik melakukan aktivitas senam aerobik secara rutin yaitu lima hari dalam seminggu di hari kerja, sedangkan pada hari libur hanya 45% sampel aerobik yang melakukan aktivitas senam aerobik. Hasil korelasi sejalan dengan penelitian Dieny (2007) yang menyatakan bahwa semakin tinggi aktivitas fisik seseorang, maka status gizinya semakin baik. Penelitian Adeline et al. (2013) juga menyatakan bahwa aktivitas fisik berkaitan erat dengan penurunan persentasi lemak tubuh terutama lemak viseral, namun penelitian Adeline et al. yang menyatakan bahwa aktivitas fisik mampu menurunkan ukuran lingkar perut tidak sejalan dengan penelitian ini. Hal ini dapat terjadi karena meskipun karakteristik aktivitas fisik kedua kelompok memiliki perbedaan, lingkar perut kedua kelompok tidak berbeda nyata. Penelitian Ranggadwipa (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna dan korelasi negatif antara aktivitas fisik dengan massa lemak tubuh. Hubungan Kebiasaan Senam Aerobik dengan IMT, LP dan Komposisi Lemak Tubuh Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) bersifat negatif (r=-364 , r=-375 dan r=-368) antara kebiasaan senam aerobik (intensitas) saat penelitian dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas senam aerobik maka indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh semakin ideal. Hasil korelasi sejalan dengan penelitian Mirkin dan Hoffman (1984) yang menyatakan bahwa olahraga yang paling efektif dalam menurunkan berat badan adalah olahraga yang dilakukan dengan keras dan terus menerus, seperti lari, bersepeda, renang dan senam aerobik. Oleh karena itu, tingkat kedisiplinan atau intensitas senam aerobik sangat berpengaruh pada status gizi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) bersifat negatif (r=-320 dan r=-320) antara kebiasaan senam aerobik (durasi dan frekuensi) saat penelitian dengan lingkar perut dan komposisi lemak tubuh, namun tidak pada indeks massa tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi durasi dan frekuensi senam aerobik maka lingkar perut dan komposisi lemak tubuh akan semakin kecil. Hasil korelasi sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bolivar et al. (2013) dengan contoh wanita sebanyak 217 orang di wilayah Columbia yaitu terdapat korelasi negatif antara durasi olahraga dengan lingkar perut dan komposisi lemak tubuh. Durasi dan frekuensi olahraga yang tinggi per minggu dapat mengurangi kadar lemak dalam tubuh.
30
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konsumsi pangan (tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan karbohidrat) saat penelitian dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh, tidak berhubungan. Tidak ditemukan hubungan antara aktivitas fisik total di hari kerja dan hari libur dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh, namun aktivitas fisik hari kerja berhubungan negatif dengan indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh. Semakin tinggi aktivitas fisik di hari kerja semakin rendah (ideal) indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh. Intensitas senam aerobik berhubungan negatif dengan indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh. Semakin tinggi intensitas senam aerobik semakin rendah (ideal) indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh. Ditemukan hubungan negatif antara durasi dan frekuensi senam aerobik dengan komposisi lemak tubuh. Durasi dan frekuensi senam aerobik yang semakin tinggi membuat komposisi lemak tubuh menjadi semakin ideal.
Saran Penelitian ini menyarankan pentingnya meningkatkan aktivitas fisik guna memelihara indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh yang ideal. Aktivitas senam aerobik ditemukan baik dalam menjaga keidealan indeks massa tubuh dan komposisi lemak tubuh bila dilakukan secara teratur dengan intensitas, durasi dan frekuensi latihan yang optimal. Saran bagi penelitian selanjutnya untuk menambahkan jumlah responden, menyesuaikan karakteristik antar responden, menggunakan alat pengukuran antropometri dengan tingkat akurasi yang baik serta mengkaji lebih lanjut faktor selain konsumsi pangan, aktivitas fisik dan kebiasaan senam aerobik dengan indeks massa tubuh, lingkar perut dan komposisi lemak tubuh.
31
DAFTAR PUSTAKA Achadi EL. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Press. Adeline ME, Tanudjaja GN, Kalangi SJ. 2013. Hubungan antara aktivitas fisik dengan lingkar perut pada siswa obes sentral. Jurnal (eBM), Vol 1 No 1, 455-460. Angka Kecukupan Gizi. 2013. Tabel Angka Kecukupan Gizi 2013 bagi Orang Indonesia. Tersedia dalam: http://gizi.depkes.go.id [Diakses tanggal 7 Juli 2014]. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. American College of Sport Medicine (ACSM), 2008. Guidelines for exercise testing and prescription. 7th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins. Ashwell M, Hsieh SD. 2005. Six reasons why the waist-to-height ratio is a rapid and effective global indicator for health risks of obesity and how its use could simplify the international public health message on obesity. Int J Food Sci Nutr 56, 303–307. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2010. Analisis kemiskinan, ketenagakerjaan dan distribusi pendapatan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bigaard J, Frederiksen K, Tjønneland A, Thomsen BL, Overvad K, Heitmann B. 2005. Waist circumference and body composition in relation to all-cause mortality in middle-aged men and women. Int J Obes (Lond) 29, 778–784. Bolivar HM, Bermudez SR, Sanchez JH. 2012. Correlation of anthropometric variables, conditional and exercise habits in activite olders. Columbia Medica Vol 43 No 3 2012. Depkes RI. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya. Aksara. _________. 2002. Pedoman Praktis Memantau Status Gizi orang Dewasa. Jakarta. _________. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta. Dieny FF. 2007. Hubungan body image, aktivitas fisik, asupan energi dan protein dengan status gizi pada siswi SMA. [Skripsi]. Semarang ID. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro. Elliot SA, Truby H, Lee A, Harper C, Abbott RA, Davies SW. 2011. Associations of body mass index and waist circumference with: energy intake and percentage energy from macronutrients, in a cohort of Australian children. Nutrition Journal 10, 58. FAO/WHO/UNU. 2001. Human Energy Requirement. FAO/WHO/UNU, Rome. Gabe Mirkin, M. D dan Hoffman M. 1984. Kesehatan Olahraga (Petrus Lukmanto dan Henny lukmanio, penerjemah). Jakarta: PT Grafidian Jaya. Gibney MJ. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Gibson RS. 2005. Principle of Nutrition Assesment. Oxford (US): Oxford University Press. Gordon-Larsen P, Adair LS, Popkin BM. 2002. Ethnic differences in physical activity and inactivity patterns and overweight status. Obes Res 10 (3): 141-9. Guthrie. 1995. Human Nutrition. Masby: New York.
32
Hadi H. 2005. Beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan pembangungan kesehatan nasional. Pidato pengukuhan guru besar fakultas kedokteran UGM. Yogyakarta. Halkjær J, Tjønnelad A,Thomsen BL, Overvad K, Sørensen TIA. 2006. Intake of macronutrients as predictors of 5-y changes in waist circumference. Am J Clin Nutr. 84:789-797. Han TS, Sattar N, Lean M. 2006. Assessment of obesity and its clinical implications. BMJ volume 333. Hanley AJ, Harris SB, Gittelsohn J, Wolever TMS, Saksvig B, Zinman B. 2000. Overweight among children and adolescent in native cannadian community: prevalence and assosiated factor, am. Journal Clinical Nutrition 2000 (71): 693-700. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi pangan. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. IPB, Bogor. Ho SY, Lam TH, Janus ED. 2003. The Hong Kong Cardiovascular Risk Factor Prevalence Study steering committee. Waist to stature ratio is more strongly associated with cardiovascular risk factors than other simple anthropometric indices. Ann Epidemiol 13, 683–691. Irawati A, Tjukarni T, Puspitasari S. 1998. Penelitian Pemberian Tambahan Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Pada Murid Sekolah Dasar. Penelitian Gizi dan Makanan Jilid 21. Jansses I, Katzmarzyk PT, Ross P. 2004. Waist circumference and not body mass index explains obesity-related health risk. Am J Clin Nutr 79, 379–384. Jelliffe DB, EFP Jelliffe. 1989. Community Nutritional Assesment with Special Reference to Less Technically Developed Countries. New York: Oxford University Press. [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Gizi Seimbang 2014. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Bina Gizi. [3 Februari 2015]. Tersedia pada: http://gizi.depkes.go.id/pgs-2014-2 Khomsan, Sulaeman. 1996. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Jakarta: Rajawali Sport. Kraemer RR, Kraemer GR, Acevedo EO, Hebert EP, Temple E, Bates M, Haltom R, Quinn S, Castracabe VD. 1999. “Effects of Aerobic Exerciseon Serum Leptin Levels in Obese Women”. European Journal of Applied Physiology 80 (2): 154-158. Lawrence de Koning, Merchant AT, Pogue J, Anand SS. 2007. "Waist circumference and waist-to-hip ratio as predictors of cardiovascular events: meta-regression analysis of prospective studies". European Heart Journal 28 (7): 850-6. Lemeshow S, Lwanga SK. 1991. Sample Size Determination in Health Studies: a Practical Manual. Switzerland: WHO. Martadinata. 2007. Senam Aerobik dan Peningkatan Kesegaran Jasmani. Jakarta: Cerdas Jaya. Maruf FA, Akosile CO, Umunnah JO. 2012. Physical activity, dietary intake and anthropometric indices of a group of Nigerian university undergraduates. AJPARS. 4(1):8-12.
33
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Powers PS. 1980. Obesity: The Regulation of Weight. Williams and Wilkins Company. Baltimore: USA. Ranggadwipa. 2014. Hubungan aktivitas fisik dan asupan energi terhadap massa lemak tubuh dan lingkar perut pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Samsudin. 1993. Gizi lebih pada Anak Dan Masalahnya dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi V. Jakarta: LIPI. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Practices in Nutrition. New York: Prentice Hall, Inc. Sugondo, Sidartawan. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Obesitas. Jilid III Edisi IV. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. IPB Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi. Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. [Susenas] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2013. Rata-rata Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita per Hari Menurut Provinsi. Jakarta (ID):BPS. http://www.bps.go.id/webbeta/frontend/linkTabelStatis/view/id/951 Wei M, Gaskill SP, Haffner SM, Stern MP. 1997. Waist circumference as the best predictor of noninsulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) compared to body mass index, waist/hip ratio and other anthropometric measurements in Mexican Americans–a 7-year prospective study. Obes Res 5, 16–23. Welborn TA, Dhaliwal SS. 2007. Preferred clinical measures of central obesity for predicting mortality. Eur J Clin Nutr 61, 1373-1379. Werner, Hoeger dan Hoeger SA. 2006. Principles and Labs for Fitness and Wellness. USA: ThomsonWadsworth. [WHO] World Health Organization. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Report of a WHO consultation. Geneva, Switzerland (CH): WHO. Willet W. 1998. Nutritional Epidemiology: Second Edition. New York: Oxford University Press. Wirakusumah E. 1994. Cara Aman dan Efektif Menurunkan Berat Badan. Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. World Health Organization. 2000a. Obesity: Preventing and Mana-ging the Global Epidemic. WHO Technical report series No. 894. Geneva: WHO.
34
LAMPIRAN Lampiran 1 Sebaran responden berdasarkan frekuensi makan Responden Aerobik Responden Non Aerobik Kelompok Pangan Frekuensi/minggu Frekuensi/minggu Pangan pokok Nasi 13 15 Mie 0 1 Jagung 1 1 Ubi 1 1 Kentang 2 1 Protein hewani Ayam 6 4 Daging sapi 1 2 Daging kambing 0 1 Ikan darat segar 5 3 Ikan lele 1 1 Telur ayam 5 3 Telur puyuh 1 0 Ikan laut segar 5 1 Ikan teri 0 1 Ikan asin 0 0 Protein nabati Tahu 6 7 Tempe 6 5 Kacang ijo 1 1 Oncom 0 0 Sayuran Kangkung 4 3 bayam 4 3 Sawi 7 3 Kol putih 3 2 Wortel 6 5 Buah Pisang 6 2 Pepaya 5 3 Jeruk manis 5 4 Jambu biji 4 1 Mangga 5 3 Jajanan Bakso 1 1 Siomay 1 1 Mie ayam 1 1
P value
0.165 0.075 0.635 0.246 0.153 0.403 0.069 0.264 0.289 0.010 0.880 0.509 0.002 0.598 0.739 0.104 0.889 0.595 0.896 0.521 0.789 0.004 0.460 0.442 0.028 0.161 0.382 0.026 0.005 0.792 0.269 0.686
35
Responden Aerobik Responden Non Aerobik Kelompok Pangan Frekuensi/minggu Frekuensi/minggu Gorengan 3 3 Lainnya Gula 6 8 Kopi 4 2 Teh 5 8
P value 0.855 0.201 0.015 0.185
Lampiran 2 Uji beda variabel data antara kelompok aerobik dan non aerobik Variabel data Signifikansi (p) Karakteristik Usia 0.107 IMT 0.032 Lingkar Perut 0.024 Komposisi Lemak Tubuh 0.018 Pendidikan Terakhir 0.012 Pendapatan 0.115 Pekerjaan 0.801 Kelompok pangan yang paling sering dikonsumsi Nasi 0.165 Ayam 0.403 Tahu 0.104 Tempe 0.899 Sawi 0.004 Wortel 0.442 Pisang 0.028 Jeruk Manis 0.382 Gorengan 0.855 Gula 0.201 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Energi 0.304 Protein 0.153 Lemak 0.194 Karbohidrat 0.455 Aktivitas Fisik Hari kerja 0.000 Hari Libur 0.022 Hari kerja dan Hari Libur 0.001 *) Uji beda Mann-Whitney; **) Uji beda t-test, ***)Uji beda Wilcoxon
36
Lampiran 3
Uji Hubungan Konsumsi Pangan dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Correlations tkgE tkgP tkgL tkgKH IMT
Spearman's rho tkgE
**
Koefisien korelasi 1.000 .529 .722 Sig. (2-tailed) N
tkgP
Koefisien korelasi .529
N
Sig. (2-tailed) N
N IMT
**
40
40
40
**
**
.
40
40
40
**
**
*
.000
.465
.811
.695
40
40
.072 -.028
.088
40
.002 .659 40
40
.862
.589
40
40
1.000 .367 -.065 -.022 -.127
.002
.465
-.047 -.039 -.064
*
.000
.367
.020 .692 40
40
40
.892
.434
40
40
1.000 -.195 -.113 -.158
.002 .020
40
40
.
.229
.489
.329
40
40
40
40
**
.877**
Koefisien korelasi -.047
.072 -.065 -.195 1.000 .656
Sig. (2-tailed)
.659 .692
N LP
40
.002
LP lemak
.000 .774
**
1.000 .481
.481
**
40
.
tkgKH Koefisien korelasi .737 Sig. (2-tailed)
40
**
.000
Koefisien korelasi .722
.737
.000 .000
40
Sig. (2-tailed)
tkgL
.
**
.774 40
40
40
.229
.
.000
.000
40
40
40
40
Koefisien korelasi -.039 -.134 -.089 -.114 .656 Sig. (2-tailed) N
.811
.408 .583
40
40
lemak Koefisien korelasi -.064 Sig. (2-tailed) N
40
40
.589 .434
40
40
1.000 .557**
.485 .000
.
.000
40
40
40
**
**
1.000
.000
.
40
40
.088 -.127 -.158 .877
.695
**
.329 .000
40
40
40
.557
**. Korelasi signifikan di level 0.01 (2-tailed). *. Korelasi signifikan di level 0.05 (2-tailed).
Lampiran 4 Uji Hubungan Aktivitas Fisik dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Correlations akfisik IMT
LP lemak
Spearman's rho akfisik Koefisien korelasi 1.000 -.227 -.090 -.174 Sig. (2-tailed)
.
N IMT
40
40
.284
40
40
**
.877**
Koefisien korelasi -.227 1.000 .656 Sig. (2-tailed)
.159
.
.000
.000
40
40
40
40
N LP
.159 .583
**
1.000 .557**
Koefisien korelasi
.127 .656
Sig. (2-tailed)
.435
.000
.
.000
40
40
40
40
**
**
1.000
.000 .000
.
N
lemak Koefisien korelasi -.174 .877 .557 Sig. (2-tailed)
.284
N **. Korelasi signifikan di level 0.01 (2-tailed).
40
40
40
40
37
Lampiran 5 Uji Hubungan antara Aktivitas Fisik Hari Kerja dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Correlations akfisikday IMT Spearman's rho akfisikkerja Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N IMT
Sig. (2-tailed) N LP
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
lemak
1.000 -.322 -.247 -.378* . .043 .125 40
Koefisien korelasi
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
LP lemak
*
40
.016
40
40
**
.877**
*
-.322 1.000 .656 .043
.
.000
.000
40
40
40
40
-.028 .656
**
1.000 .557**
.864 .000
.
.000
40
40
40
40
*
**
**
1.000
.016 .000 .000
.
-.378 .877 .557
40
40
40
40
*. Korelasi signifikan di level 0.05 (2-tailed). **. Korelasi signifikan di level 0.01 (2-tailed).
Lampiran 6 Uji Hubungan antara Aktivitas Fisik Hari Libur dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Correlations akfisikend IMT Spearman's rho akfisiklibur Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N IMT
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
LP
1.000 -.034 .026 -.022 . 40
.834 .874 40
.000
.000
40
40
40
40
**
.174 .000
N **. Korelasi signifikan di level 0.01 (2-tailed).
.877**
.
Sig. (2-tailed)
Sig. (2-tailed)
40
**
.834
.220 .656
Koefisien korelasi
.895
40
-.034 1.000 .656
Koefisien korelasi
N lemak
LP lemak
40
1.000 .557** .
.000
40
40
40
**
**
1.000
-.022 .877 .557
.895 .000 .000 40
40
40
. 40
38
Lampiran 7
Uji Hubungan antara Kebiasaan Senam Aerobik dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Correlations frekue nsi
intensitas durasi Spearman's rho intensitas Koefisien korelasi
1.000 .948
Sig. (2-tailed) N durasi
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
frekuensi Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N IMT
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
LP
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
lemak
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
**
.948
**
IMT -.364
LP *
lemak
-.375’ -.368*
.
.000
.000
.021
.017
.020
40
40
40
40
40
40
.948
**
1.000 1.000
**
-.294 -.320’ -.320*
.000
.
.
.065
.044
.044
40
40
40
40
40
40
**
**
1.000
.000
.
.
.065
.044
.044
40
40
40
40
40
40
**
.877**
.948 1.000
-.294 -.320’ -.320*
*
-.294
.021
.065
.065
.
.000
.000
40
40
40
40
40
40
-.364
-.294 1.000 .656
1.000 .557**
-.286
-.224
.074
.164
.164
.000
.
.000
40
40
40
40
40
40
*
*
*
**
**
1.000
-.368
-.320
-.224 .656
**
-.320
.877
.557
.020
.044
.044
.000
.000
.
40
40
40
40
40
40
**. Korelasi signifikan di level 0.01 (2-tailed). *. Korelasi signifikan di level 0.05 (2-tailed).
Lampiran 8
Hubungan Keikutsertaan Senam dengan Indeks Massa Tubuh, Lingkar Perut dan Komposisi Lemak Tubuh Correlations LamaPeserta IMT
Spearman's rho LamaPeserta Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N IMT
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
LP
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
lemak
Koefisien korelasi Sig. (2-tailed) N
*. Korelasi signifikan di level 0.05 (2-tailed). Korelasi signifikan di level 0.01 (2-tailed).
LP lemak
1.000 -.322* -301 -.349* . 40
.043 .059 40
.028
40
40
**
.877**
*
-.322 1.000 .746 .043
.
.000
.000
40
40
40
40
-.242 .656** 1.000 .557** .132 .000
.
.000
40
40
40
40
*
**
**
1.000
.028 .000 .000
.
-.349 .877 .710
40
40
40
40
39
Lampiran 9 Nilai PAR Aktivitas Fisik Aktivitas sehari-hari Tidur
PAR 1
Mandi/berpakaian/berdandan
2.3
Makan
1.5
Memasak
2.1
Ibadah/sholat
1.5
Kuliah/seminar/praktikum
1.5
Mengerjakan tugas/belajar
1.5
Pekerjaan RT umum
2.8
Mengepel
4.4
Menyetrika
1.7
Mencuci baju
2.8
Mencuci piring
1.7
Menyapu
2.3
Naik mobil/bus/angkot
1.2
Mengendarai mobil
2
Mengendarai motor
2.7
Berjalan tanpa beban
3.2
Aktivitas di waktu luang
1.4
Berbisnis/dagang
1.4
Bermain laptop/internet
1.8
Ngobrol/diskusi/rapat
1.4
Nonton tv/film
1.72
Ke pesta
1.4
Ke pasar/warung
4.6
Shopping
4.6
Aerobik intensitas tinggi
4.5
Berdiri/bw beban
2.2
Duduk
1.2
Membaca 1.5
2.5
Basket Sepak bola/futsal Berenang
7.74 8 1.4
Voli
6.06
Tenis/badminton
5.92
Mendengarkan radio/musik
1.43
Jogging Bersepeda
6 6.2
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Oktober 1993. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari Bapak Lingga dan Ibu Rina. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1997-1999 di TK Aisyiyah 24 Jakarta Timur dan melanjutkan di SD Muhammadiyah 41 Jakarta Timur pada tahun 19992002 dan pindah ke SD Yayasan Perguruan Cikini Jakarta Pusat pada tahun 20022005. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun 2005-2008 di SMP Yayasan Perguruan Cikini Jakarta Pusat kemudian melanjutkan di SMAN 21 Jakarta Timur pada tahun 2008-2011. Tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Penulis melakukan Internship Dietetik di RSUD Cibinong dan melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Pabuaran Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. Penulis mengikuti kegiatan organisasi MAX!! selama kuliah.