PERSENTASE KARKAS DAN KOMPOSISI KIMIA DAGING MARMOT LOKAL JANTAN PADA BERBAGAI LEVEL PEMBERIAN VITAMIN C
NADIA D24102036
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERSENTASE KARKAS DAN KOMPOSISI KIMIA DAGING MARMOT LOKAL JANTAN PADA BERBAGAI LEVEL PEMBERIAN VITAMIN C
Oleh : NADIA D24102036
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 September 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Rachjan G. Pratas, M.Sc. NIP. 130 517 038
Ir. Kukuh B. Satoto, MS. NIP. 130 540 382
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRur.Sc. NIP. 131 624 188
PERSENTASE KARKAS DAN KOMPOSISI KIMIA DAGING MARMOT LOKAL JANTAN PADA BERBAGAI LEVEL PEMBERIAN VITAMIN C
SKRIPSI NADIA
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN NADIA. D24102036. 2006. Persentase Karkas dan Komposisi Kimia Daging Marmot Lokal Jantan pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. H. Rachjan Gunasah Pratas, M.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS. Marmot sebagai ternak penghasil daging pengganti yang kualitas dagingnya perlu diperhatikan karena berhubungan langsung dengan kesehatan konsumen. Kandungan lemak dan kolesterol yang tinggi dapat dijadikan indikator konsumen untuk mengkonsumsi daging, karena kekhawatiran akan penyakit jantung dan arteriklorosis. Vitamin C merupakan faktor yang dapat menurunkan kadar lemak dan kolesterol dalam tubuh, oleh karena itu penambahannya dalam ransum komplit marmot diharapkan dapat menurunkan kadar lemak dan kolesterol daging yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh penambahan vitamin C terhadap persentase karkas dan komposisi kimia daging marmot lokal jantan. Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor, selama 10 minggu dari bulan Januari - Maret 2006. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan enam perlakuan yaitu level vitamin C : 0, 3, 4, 5, 6 dan 7 mg/hari dan tiga kelompok yaitu bobot badan tinggi (460-500 g), sedang (360-450 g) dan rendah (250-350 g). Pengaruh perlakuan dianalisa dengan sidik ragam (ANOVA) dan jika terdapat perbedaan terhadap perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil secara keseluruhan menunjukan bahwa suplementasi vitamin C tidak berpengaruh terhadap bobot hidup akhir (391,67-470 g), kadar abu (1,27-1,56 %), protein (17,74-20,24%) dan lemak (1,32-1,81%), tetapi memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap kadar air daging (73,64-76,83%) serta sangat nyata (p<0,01) terhadap persentase karkas (37,96-40,42 %) dan kolesterol daging (1,07-1,59 mg%). Untuk menghasilkan daging yang berkualitas disarankan penambahan vitamin C 6 mg/ekor/hari pada ransum untuk marmot dewasa. Kata-kata kunci : marmot, daging, vitamin C, karkas, kolesterol
ABSTRACT Percentage of Carcass and Chemical Composition of Meat of Local Male Guinea Pig on Different Levels of Vitamin C Intake Nadia, R. G. Pratas, and K. B. Satoto Vitamin C is a factor that can lower the level of fat and cholesterol in the body; therefore, the addition of vitamin C in guinea pig feed is expected to be able to decrease the fat and cholesterol level in the meat produced. This research is aimed at studying the influence of vitamin C supplement on the percentage of carcass and chemical composition of local male guinea pig meat. This research was conducted in the Field Laboratory of Animal Meat Nutrition and Work, Department of Nutrition Science and Feed Technology, Bogor Agriculture University, for 10 weeks, from January to March 2006. The design used is Random Group Design with 6 treatments 0, 3, 4, 5, 6 and 7 mg/day and three groups : high body weight (460-500 g), medium body weight (360-450 g) and low body weight (250-350 g). The influence of the treatments was analyzed using Different Study Analysis, and in case there were different treatments, Duncan test would be carried out. The result showed that vitamin C supplement did not have any influence on finally body weight (391.67-470g), ash (1.27-1.56%), protein (17.74-20.24%) and fat (1.32-1.81%) meat, but it gave a significant effect (p<0.05) on water content (73.6476.83%), and a very significant effect (p<0.01) on the meat cholesterol (1.07-1.59 mg%) and carcass percentage (37.96-40.42%). To produce carcass weight and optimal quality meat, it is recommended that each adult guinea pig should be given 6 mg of vitamin C supplement a day. Keywords: Guinea Pig, Meat, Vitamin C, Carcass, Cholesterol
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Desember 1984 di Sukabumi Jawa Barat, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Najib dan Ibu Nurlela. Pendidikan penulis dimulai pada tahun 1989 di TK Aisyiah 2 Sukabumi. Pada tahun 1990 penulis melanjutkan ke SDN Karang Tengah I Sukabumi dan tamat pada tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan di MTs Persatuan Islam 35 dan lulus pada tahun 1999, penulis melanjutkan ke SMUN 3 Sukabumi dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis diterima menjadi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Peternakan, Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Persentase Karkas dan Komposisi Kimia Daging Marmot Lokal Jantan Pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C”. Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian dari bulan Januari sampai Maret 2006 di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Meningkatnya biaya produksi dan pemeliharaan ternak menjadikan harga bahan pangan hewani terutama daging (sapi, kambing dan unggas) mahal. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat sehingga asupan kebutuhan protein pun rendah. Mengingat peranan penting protein bagi tubuh yaitu sebagai zat pengatur dan pembangun maka penulis ingin memberikan paparan mengenai sumber protein hewani yang dapat dijadikan alternatif sebagai penghasil daging pengganti. Marmot dapat dijadikan sebagai penghasil daging, biaya pemeliharaannya relatif lebih mudah dan murah. Nilai gizi yang diberikan daging marmot dapat dikatakan baik untuk kesehatan konsumen karena memiliki kadar lemak dan kolesterol yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ternak lain. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kadar lemak dan kolesterol pada daging marmot adalah vitamin C. Marmot tidak dapat mensintesa vitamin C dalam tubuhnya oleh karena itu asupannya bergantung dari luar yang kebutuhannya harus benar-benar diperhatikan. Penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat untuk kalangan akademis serta para pembaca pada umumnya sebagai sumber referensi.
Bogor, September 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ...................................................................................................... ii ABSTRACT ........................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ...............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii PENDAHULUAN ...............................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................ Hipotesa .................................................................................................. Tujuan .....................................................................................................
2 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
4
Marmot .................................................................................................... 4 Vitamin C ................................................................................................ 4 Vitamin C bagi Marmot ........................................................................... 6 Bobot Hidup Akhir ................................................................................. 7 Karkas ..................................................................................................... 7 Komposisi Kimia Daging ....................................................................... 8 Air ............................................................................................... 8 Abu (Mineral) ........................................................................... 8 Protein ......................................................................................... 9 Lemak ......................................................................................... 9 Kolesterol .................................................................................... 10 METODE ............................................................................................................ 12 Lokasi dan waktu .................................................................................... Materi ..................................................................................................... Ternak .......................................................................................... Kandang dan Peralatan ............................................................... Ransum ...................................................................................... Rancangan .............................................................................................. Perlakuan .................................................................................... Model ......................................................................................... Peubah yang Diamati ................................................................... Prosedur .................................................................................................. Pemberian Vitamin C .................................................................. Pemberian Pakan dan Air Minum ..............................................
12 12 12 12 12 13 13 13 14 14 14 14
Metode Analisa Komposisi Kimia Daging dan Penentuan Kadar Vitamin C dalam Ransum .......................................................... 14 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 18 Bobot Hidup Akhir ................................................................................. Persentase Karkas ................................................................................... Kadar Air ................................................................................................ Abu .......................................................................................................... Protein ..................................................................................................... Lemak ..................................................................................................... Kolesterol ................................................................................................
18 19 20 22 22 23 25
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 28 Kesimpulan ............................................................................................. 28 Saran ....................................................................................................... 28 UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................... 29 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 30 LAMPIRAN ........................................................................................................ 32
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Ransum Komplit Marmot ......................................................
13
2. Bobot Hidup Akhir Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C .................................................................................................
18
3. Presentase Karkas Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C ..
19
4. Kadar Air Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C .
20
5. Kadar Abu Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C
22
6. Kadar Protein Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C ..................................................................................................
23
7. Kadar Lemak Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C .................................................................................................
24
8. Kolesterol Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C
25
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Bentuk Aktif Vitamin C ........................................................................
5
2. Grafik Hubungan Level Vitamin C dengan Persentase Karkas Marmot ...................................................................................................
20
3. Grafik Hubungan Level Vitamin C dengan Kadar Air Daging Marmot. ..................................................................................................
21
4. Peranan Vitamin C pada Perombakan Lemak menjadi Energi .............
24
5. Grafik Hubungan Level Vitamin C dengan Kadar Kolesterol Daging Marmot. .................................................................................................
26
6. Biosintesis Asam-asam Empedu dari Kolesterol ...................................
27
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. ANOVA Bobot Hidup Akhir Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C ................................................................................................. 33 2. ANOVA Presentase Karkas Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C .. ...............................................................................................
33
3. ANOVA Kadar Air Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C .................................................................................................
33
4. ANOVA Kadar Abu Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C .................................................................................................
33
5. ANOVA Kadar Protein Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C ..................................................................................................
34
6. ANOVA Kadar Lemak Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C ..................................................................................................
34
7. ANOVA Kolesterol Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C ..................................................................................................
34
PENDAHULUAN Latar Belakang Masyarakat secara luas pada umumnya telah mulai memilih menu makanan bergizi untuk dikonsumsi. Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Selain memberikan kenikmatan tersendiri bagi konsumen yang memakannya, daging juga memiliki kandungan gizi yang lengkap sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi. Pada saat sekarang ini banyak konsumen produk hewani yang telah mengerti akan pentingnya memilih menu makanan yang sehat serta terhindar dari penyakit, seperti jantung koroner dan hiperkolesterolemia akibat konsumsi lemak dan kolesterol yang berlebih sehingga dibutuhkan alternatif daging yang memiliki nilai nutrisi tinggi tetapi rendah lemak dan kolesterol. Marmot merupakan salah satu sumber daging yang telah lama dikonsumsi oleh penduduk di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, data konsumsi dan banyaknya orang yang memelihara marmot belum diketahui secara pasti karena belum dilakukan penelitian yang seksama mengenai hal itu. Ini terjadi karena banyaknya orang beranggapan bahwa bisnis dengan hewan yang berukuran kecil dianggap selalu rugi, namun bila diperhitungkan berdasarkan kesehatan dan manfaat bagi yang mengkonsumsinya, maka keuntungan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan berupa uang yang diperoleh dari peternakan dalam skala kecil. Hewan ini mempunyai tubuh yang kecil, pakannya berupa rumput dan hijauan, berkembang biak dengan cepat sehingga banyak dipelihara. Kebutuhan pakan marmot mencakup energi, asam amino, protein, lemak, mineral dan vitamin. Ransum bagi marmot harus mempunyai komposisi 18% protein, 3 kkal/g energi dapat dicerna, 0,8 – 1,0% Ca, 0,4 – 0,7% P dan 200 mg vitamin C per kg ransum. Jika dilihat keadaannya, sebenarnya marmot memiliki potensi untuk diternakkan dalam rangka meningkatkan gizi keluarga. Hal ini disebabkan marmot mudah dipelihara, daya reproduksinya tinggi, memungkinkan hijauan dan sisa – sisa dapur dirubah menjadi daging yang murah. Selain itu, marmot dapat mencapai bobot 700 – 850 g untuk betina dan 950 – 1200 g untuk jantan.
Marmot termasuk ke dalam hewan yang tidak dapat mensintesis vitamin C dalam tubuhnya sendiri, oleh karena itu kebutuhan vitamin C dalam tubuhnya bergantung kepada pemberiannya dari luar. Peranan vitamin C adalah dalam pembentukkan kolagen interseluler. Kolagen merupakan senyawa protein yang banyak terdapat dalam tulang rawan, kulit bagian dalam tulang dan dentin. Oleh karena pentingnya vitamin C bagi marmot maka kebutuhannya harus diperhatikan serta jumlah yang tepat bagi marmot agar sesuai dengan yang diperlukan. Daging marmot masih belum populer bila dibandingkan dengan spesies ternak lainnya, tetapi daging ini dapat dijadikan pengganti baik seluruhnya atau sebagian dari produk makanan yang sudah umum diproduksi sehingga diperlukan pengetahuan (informasi) mengenai komposisi baik secara fisik yaitu berdasarkan karkas maupun kimianya yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan kolesterol. Perumusan Masalah Penggunaan marmot sebagai alternatif ternak penghasil daging pengganti karena mudah dipelihara, daya reproduksinya tinggi dan dapat memanfaatkan hijauan limbah dapur sebagai makanannya sehingga biaya pemeliharaannya pun relatif murah. Walaupun dapat memakan sisa – sisa sayuran, marmot memerlukan asupan vitamin yang lebih dari luar terutama vitamin C karena marmot termasuk ke dalam salah satu spesies hewan yang tidak dapat mensintesa vitamin C di dalam tubuhnya. Vitamin C tersebut dapat dicampur dengan ransum, dilarutkan dalam air minum ataupun secara oral dengan menggunakan spoit dan feeding tube. Pemberian vitamin C ini berguna sebagai anti stress, membantu penyerapan zat besi dalam usus halus, membantu proses penyembuhan luka, daya tahan tubuh terhadap infeksi dan berperan dalam pembentukan hormon steroid dari kolesterol. Hipotesa Marmot termasuk ke dalam salah satu hewan yang memerlukan asupan vitamin C dari luar karena tidak dapat mensintesa vitamin C di dalam tubuhnya. Penambahan vitamin C pada marmot dapat meningkatkan penampilan produksi baik secara kualitas yaitu menurunkan kadar lemak dan kolesterol maupun kuantitas yaitu meningkatkan karkas yang dihasilkan. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui berapa banyak penambahannya.
2
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari tingkat penambahan vitamin C pada berbagai level yang berbeda serta pengaruhnya terhadap penampilan produksi daging marmot lokal jantan dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya.
3
TINJAUAN PUSTAKA Marmot Marmot lokal termasuk ke dalam Kingdom : Animalia, Filum : Chordata, Kelas : Mamalia, Ordo : Rodentia, Famili : Caviidae, Genus : Cavia dan Species : Cavia Porcellus (Wikipedia, 1999). Marmot (Cavia Porcellus) merupakan salah satu hewan yang sering digunakan untuk percobaan sehingga termasuk ke dalam salah satu hewan laboratorium. Hal ini dikarenakan marmot dapat menghasilkan 4-8 anak per kelahiran, rataan lama hidup 2-3 tahun dan mudah dipelihara. Pet Lovers (penyayang binatang) sering menggunakan marmot sebagai hewan peliharaan karena dilihat memiliki keunikan tersendiri dari tubuhnya. Selain jenis marmot yang sering digunakan dalam laboratorium dan sebagai hewan kesayangan ada juga jenis marmot liar, hewan ini hidup di hutan dan padang rumput didalam lubang yang digali sendiri atau lubang yang ditinggalkan oleh hewan lain. Hewan ini umumnya hidup berkelompok dalam kelompok kecil antara 5–10 ekor dan keluar lubang di malam hari untuk mencari sumber pakan kemudian mengkonsumsinya karena hewan ini termasuk kedalam hewan yang beraktifitas pada malam hari (Herman, 2002). Marmot mempunyai panjang kepala dan badan antara 225 - 355 mm dengan bobot hidup dewasa antara 450-700 g. Marmot mempunyai tubuh padat (stocky body), kaki belakang pendek dan telinga pendek. Kaki belakang panjang dengan 3 buah jari dan kaki depan mempunyai 4 buah jari, semuanya seperti tangan dengan kuku tajam. Marmot dapat kawin sepanjang tahun. Marmot liar menghasilkan anak 1–4 ekor per litter dan marmot yang dipelihara mempunyai litter dengan jumlah anak lebih besar. Masa bunting sekitar 60–70 hari pada marmot jinak. Anaknya dapat berlari dalam beberapa jam, dirawat sekitar 3 minggu dan dewasa kelamin pada umur 55–70 hari. Masa hidupnya dapat sampai 8 tahun (Herman, 2002). Vitamin C Istilah vitamin berasal dari nama vitamine yang diberikan oleh Casimir Funk untuk faktor tambahan yang kemudian diperhatikan sebagai tiamin, dikemukakan oleh Eijkman dalam tahun 1987 untuk mencegah polyneuritis, penyakit beri – beri pada ayam petelur. Vitamin yang sekarang diakui adalah persenyawaan organik :
(a) komponen dari bahan makanan tapi bukan karbohidrat, lemak, protein dan air, (b) terdapat dalam bahan makanan dalam jumlah yang sangat sedikit, (c) essensial untuk perkembangan jaringan normal dan untuk kesehatan, pertumbuhan dan hidup pokok, (d) apabila tidak terdapat dalam ransum atau tidak tepat diabsorpsi atau dipergunakan, mengakibatkan penyakit defisiensi yang khas atau sindrom, dan (e) tidak dapat disintesis oleh hewan dan maka dari itu harus tersedia dalam ransum, dengan beberapa pengecualian (Wahju, 1997). Vitamin C biasa disebut juga asam askorbat dengan rumus kimia C6H8O6. Asam askorbat sangat mudah larut dalam air tetapi tidak larut dalam zat – zat pelarut lemak (Sediaoetama, 1976). Zat ini juga sangat mudah teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat yang mudah pula tereduksi menjadi asam askorbat seperti terlihat pada Gambar 1. Di dalam tubuh vitamin C berfungsi sebagai anti stress, daya tahan tubuh, bersifat antioksidan, berperan dalam sintesis kolagen dan karnitin, membantu penyerapan Fe++ ke dalam darah dan memicu kolesterol dalam tubuh untuk membentuk asam empedu (Piliang, 2004).
OH
O
O
C
C
C
O
C
O
C
H
C
OH
C
O OH
C
H
C
OH
C
H
H
CH2OH L –asam askorbat (bentuk reduksi)
CH2OH L-asam dehidro askorbat (bentuk oksidasi)
Gambar 1. Bentuk Aktif Vitamin C (Harper et al., 1979)
5
Harper et al. (1979) menyatakaan bahwa fungsi vitamin C adalah (1) Hidroksi prolin dalam sintesa kolagen, (2) Proses penguraian tirosin, (3) Sintesa epinefrin dari tirosin pada tahap dopamine-hidroksilase, (4) Pembentukan asam empedu pada tahap awal 7-α-hidroksilase, (5) Penyerapan Fe, (6) Terdapat dalam korteks adrenal yang digunakan ketika kelenjar tersebut dirangsang oleh hormon adrenokortikotropik, (7) antioksidan yang larut dalam air. Vitamin C dari makanan diserap usus dan masuk ke dalam peredaran darah terutama melalui usus kecil dalam beberapa jam setelah makan. Kadar vitamin C dalam darah hanya sebentar naik karena zat ini segera diambil jaringan dan setiap ada kelebihan segera dikeluarkan melalui ginjal (Suhardjo dan Kusharto, 1989). Vitamin C juga dapat terserap sangat cepat dari alat pencernaan masuk ke dalam saluran darah dan dibagikan ke dalam jaringan tubuh. Kelenjar andrenalin mengandung vitamin C yang sangat tinggi. Pada umumnya tubuh menahan vitamin C sangat sedikit. Pada kondisi normal pemberian vitamin C secara berlebihan akan meningkatkan sekresi vitamin C melalui urin, tetapi jika kondisi tubuh buruk sebagian besar vitamin C akan ditahan jaringan tubuh (Winarno, 1992). Piliang (2004) menyatakan bahwa defisiensi vitamin C akan mengakibatkan pembentukan kolagen yang tidak normal, terganggunya metabolisme asam-asam lemak, stress, mudah infeksi, scurvy dan dalam jangka panjang tulang akan menjadi rapuh, gigi keropos karena serat kolagennya menjadi lemah dan rapuh. Vitamin C bagi Marmot Pada umumnya hewan–hewan domestik, seperti ayam, kambing, sapi, domba, kucing, anjing dan babi mempunyai kemamapuan mensintesis vitamin C dalam tubuhnya tetapi tingkat kemampuan ini bervariasi untuk masing–masing jenis hewan. Menurut Winarno (1992) hingga saat ini hanya terdapat 5 spesies hewan yang memerlukan vitamin C yaitu manusia, kera, marmot (guinea pig), kelelawar (Indian fruit bat) dan burung (red-vented bulbus). Marmot tidak dapat mensintesis vitamin C dalam tubuhnya karena tidak memiliki enzim L-gulano-γ-lakton oksidase (Piliang, 2004). Enzim ini berperan untuk mengubah glukosa menjadi asam askorbat. Piliang (2004) juga menyatakan bahwa vitamin C pada marmot berada di hati dalam bentuk terikat untuk melindungi vitamin C terhadap proses degradasi oleh enzim-enzim hati.
6
Kebutuhan vitamin C bagi marmot sangat penting terutama bagi marmot yang sakit, induk bunting dan anak yang baru tumbuh. Marmot memerlukan sekurang–kurangnya 1,2 mg/100g berat badan setiap hari. Vitamin C yang diperlukan dapat dicampur dengan pellet dengan perbandingan 1,5 g/kg makanan. Kekurangan vitamin C bagi marmot akan menyebabkan penyakit Scurvy (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Bobot Hidup Akhir Bobot hidup akhir adalah bobot ternak sebelum dipotong, setelah mengalami pemuasaan selama kurang lebih 15 jam. Maksud dari ternak dipuasakan yaitu agar diperoleh bobot tubuh kosong dan mempermudah proses penyembelihan terutama bagi ternak yang agresif atau liar. Bobot hidup akhir dipengaruhi oleh protein dalam pakan yang diberikan serta jumlah makanan yang dikonsumsi (Soeparno,1992). Karkas Potongan karkas marmot sama dengan potongan karkas komersial pada kelinci yaitu dengan memisahkan kepala, melepaskan kulit, memotong keempat kaki dipersendian karpal dan tarsal, dan mengeluarkan organ – organ dari dalam tubuhnya. Komponen karkas yang utama, yaitu tulang, otot dan lemak yang dihubungkan dengan berat tubuh dikurangi isi saluran pencernaan dengan daging merupakan komponen utamanya. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah terhenti. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging dan juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor yang menentukan adalah bobot karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan (Soeparno, 1992).
7
Komposisi Kimia Daging Komposisi kimia daging terdiri dari air, protein, lemak dan abu secara proporsinal dapat berubah bila proporsi salah satu variabel mengalami perubahan (Soeparno, 1992). Faktor yang mempengaruhi komposisi kimia daging antara lain faktor perbedaan pertumbuhan, pakan, bangsa, umur, lokasi otot dan penyimpanan (Lawrie, 1995). Air Air merupakan komponen utama dari semua struktur sel dan merupakan media kelangsungan proses metabolisme dan reaksi kimia di dalam tubuh. Air yang tersedia bagi tubuh termasuk yang terdapat dalam makanan cair maupun padat dikonsumsi, serta air yang terbentuk di dalam sel sebagai hasil proses oksidasi makanan. Air endogenous ini disebut air metabolik atau air oksidasi. Air metabolik ini jumlahnya kira–kira 15% dari total air yang diperoleh dari konsumsi makanan dan minuman sehari – hari (Suhardjo dan Kusharto, 1989). Kehilangan air dari dalam tubuh dapat melalui empat jalan yaitu : kulit, sebagai keringat; paru-paru, sebagai uap air; ginjal, sebagai urin dan usus dalam feses (Harper et al., 1979) Mikroorganisme memerlukan air untuk hidup dan berkembang biak, oleh karena itu pertumbuhan mikroba didalam daging sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang tersedia. Daging mengandung sekitar 70 % air dengan kisaaran 65-80 % (Soeparno, 1992). Abu (Mineral) Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya (Fardiaz et al., 1992). Menurut Sutardi (1982), dalam analisa proksimat kadar abu (mineral) ditentukan dengan membakar contoh bahan makanan pada suhu 500 – 600 0C. Dalam suhu yang demikian tingginya semua bahan organik terbakar dan akhirnya teruapkan. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral bahan makanan. Menurut Lawrie (1995) kadar abu daging sebesar 0,65 % sedangkan menurut Forrest et al. (1975) kadar abu daging relatif konstan yaitu sebasar 1%.
8
Protein Protein terdiri dari asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh karbohidrat dan lemak. Protein berfungsi sebagai zat pembangun, pengatur dan sebagai bahan bakar bagi tubuh. Bardasarkan struktur susunan molekulnya protein terbagi ke dalam dua bagian: (1) protein fibriler yaitu protein yang berbentuk serabut, tidak larut dalam pelarut-pelarut encer, baik larutan garam, asam, basa ataupun alkohol. Contohnya : kolagen, aktin, miosin (2) protein globular yaitu protein yang berbentuk bola, larut dalam garam dam asam encer. Contohnya : protein susu (kasein) dan telur (albumin) (Winarno, 1992). Protein bahan makanan dalam analisis proksimat ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Metode ini menganut asumsi bahwa semua nitrogen bahan makanan berasal dari protein dan semua protein bahan makanan mengandung N sebesar 16 %. Protein bahan makanan ditentukan dengan menganalisis kandungan nitrogennya. Hasil yang diperoleh dikalikan dengan 6,25 yaitu faktor kelipatan N yang diperoleh dari 100/16 (Sutardi, 1982). Lawrie (1995) menyatakan bahwa rata-rata protein daging sebesar 19 %, sedangkan menurut Forrest et al. (1975) bahwa protein daging relatif konstan yaitu sebesar 18-22 %. Sumbangan terbesar dari daging sebagai bahan makanan adalah kandungan proteinnya yang berkualitas tinggi karena daging mampu menyediakan asam-asam amino esensial seperti arginin, histidin, lysin, metionin, triptopan, valin dan treonin dalam jumlah besar. Pembentukkan protein di dalam tubuh dipengaruhi oleh status fisiologi hewan tersebut yaitu hewan masih muda membutuhkan lebih banyak protein untuk masa pertumbuhan (sesuai dengan fungsi) dibandingkan hewan dewasa (Arnim,1985). Lemak Lemak dan minyak termasuk ke dalam kelompok senyawa lipida, yang pada umumnya mempunyai sifat yang sama yaitu tidak larut dalam air. Lemak merupakan bahan padat pada suhu kamar, diantaranya disebabkan kandungannya yang tinggi akan asam lemak jenuh yang secara kimia tidak mengandung ikatan rangkap, sehingga mempunyai titik lebur yang lebih tinggi (Winarno, 1992).
9
Lemak digolongkan menjadi lemak sederhana, lemak gabungan dan turunan lemak. Lemak sederhana adalah ester dari asam-asam lemak (ester asam-asam lemak dan gliserol) dan wax (ester asam lemak dan alkohol). Lemak gabungan mengandung beberapa gugus selain alkohol dan asam lemak, seperti asam fosfor, nitrogen atau karbohidrat, contohnya fosfolipid (lechitin) dan glikolipid (cerebrosida). Turunan lemak merupakan senyawa yang dihasilkan oleh hidrolisa lipida sederhana ataupun lipida gabungan, contohnya : kolesterol (Frandson, 1992). Menurut Sutardi (1982), kadar lemak mempunyai hubungan yang negatif dengan kadar air. Jika kadar lemak tubuh meningkat yaitu bertambah bobot hidupnya maka kadar airnya berkurang, demikian pula pertambahan usia akan meningkatkan kadar lemakanya. Lemak yang dimaksud sebagai lemak urat daging adalah lemak intramuskuler yang umumnya terdiri dari lemak sejati dan mengandung fosfolipid dari fraksi-fraksi yang tidak tersabun, seperti kolesterol (Lawrie, 1995). Kadar lemak daging bervariasi antara 1,5-13 % (Forrest et al., 1975) dan pada umumnya tergantung kadar lemak bahan makanan yang dikonsumsi (Anggorodi, 1973). Kolesterol Kolesterol merupakan senyawa turunan lipida atau biasa disebut Derived Lipids yang merupakan bagian penting dalam sel dan jaringan tubuh otak, syaraf, ginjal, limpa, hati dan kulit, yang demikian dinamakan Endogenous Cholesterol karena berasal dari dalam tubuh. Kolesterol yang berasal dari luar tubuh disebut Exogenous Cholesterol biasanya terdapat pada kuning telur, ikan, otak dan hati. Kolesterol di dalam mukosa usus dan kulit diubah menjadi 7-dehydro kolesterol yang merupakan provitamin D, selain itu juga dibutuhkan sebagai prekursor hormonhormon kelamin (Suhardjo dan Kusharto, 1989). Kolesterol merupakan kelompok sterol yang khas terdapat pada hewan (Anggorodi, 1995). Bagian terbesar kolesterol tubuh berasal dari sintesis (sekitar 1 g/hari), sedangkan hanya sekitar 0,3 g/hari dilengkapi oleh makanan sehari-hari. Sekitar setengah kolesterol yang dikeluarkan tubuh dieksresi dalam feses setelah diubah menjadi garam empedu (Harper et al., 1979). Jika jumlah kolesterol dalam makanan meningkat maka sintesis dalam hati dan usus menurun, sebaliknya jika jumlah kolesterol dalam makanan sedikit maka sintesis kolesterol dalam hati dan usus akan meningkat untuk pemenuhan kebutuhan
10
jaringan dan organ lain. Jalur utama pengeluaran kolesterol dari dalam tubuh adalah melalui konversi oleh hati menjadi asam empedu yang berkaitan dengan glisin dan taurin membentuk garam empedu, kemudian disekresikan dalam duodenum. Sebagian besar asam empedu direabsorpsi oleh hati melalui sirkulasi dan selanjutnya disekresikan kembali kedalam empedu. Asam empedu akan keluar melalui feses sehingga akan terjadi penurunan kolesterol (Muchtadi et al., 1992).
11
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama 10 minggu dari bulan Januari - Maret 2006. Materi Ternak Ternak yang digunakan 18 ekor marmot lokal jantan yang diperoleh dari Hamtaro House, Indira Farm, Laladon, Bogor dengan rataan bobot badan marmot pada awal penelitian 250-500 g. Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan dalam penelitian adalah kandang individu sebanyak 18 buah. Kandang terbuat dari kawat berukuran 30 x 30 x 30 cm dengan ketinggian 35 cm diatas permukaan lantai yang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat air minum serta tempat penampungan feses dan urin yang diletakkan di bawah kandang. Peralatan yang digunakan adalah feeding tube, timbangan, freezer dan blender. Ransum Ransum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ransum komplit kelinci komersial dari Hamtaro House, Indira Farm, Laladon, Bogor, yang berbentuk pellet dengan bahan dasar yang digunakan adalah rumput, bungkil kedelai, onggok, pollard, dedak halus, tepung ikan, mollases, asam amino, probiotik, vitamin dan mineral. Komposisi ransum komplit marmot dapat dilihat pada tabel 1. Bahan vitamin C yang digunakan berupa asam askorbat murni yang dilarutkan dalam air dengan perbandingan 1 mg : 1 ml
Tabel 1. Komposisi Ransum Komplit Marmot (asfed) Komposisi
Kandungan Ransum (%)
Bahan Kering
88,12
Abu
6,95
Protein Kasar
17,35
Serat Kasar
13,82
Lemak Kasar
2,36
Beta-N
47,64
Ca
1,26
P
0,61
NaCl
0,32
Energi Bruto
3288 (kkal/kg)
Vitamin C
0,109 (mg)*
Sumber : Hasil analisa Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan IPB (2006) * = Hasil analisa Lab. Kimia, Pusat Antar Universitas IPB (2006)
Rancangan Perlakuan Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok, dengan enam perlakuan dan tiga kelompok. Sebanyak 18 ekor marmot dibagi kedalam tiga kelompok berdasarkan bobot badan tinggi (460-500 g), sedang (360-450 g) dan rendah (250-350 g). Masing-masing kelompok terdiri dari enam perlakuan, yaitu level vitamin C : 0, 3, 4, 5, 6, 7 mg/hari untuk R1, R2, R3, R4, R5 dan R6. Model Model percobaan dapat dirumuskan sebagai berikut : Yij = μ + ρi+ τj + εij Keterangan : Yij = nilai pengamatan perlakuan ke-i, kelompok ke-j μ
= rataan umum
ρi = pengaruh perlakuan ke-i τj = pengaruh kelompok ke-j εij = eror ( galat ) perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
13
Pengaruh perlakuan dianalisa dengan sidik ragam (ANOVA) dan jika terdapat perbedaan terhadap perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan (Stell dan Torrie, 1993). Peubah yang Diamati 1. Bobot hidup akhir yaitu bobot hidup marmot setelah dipuasakan kurang lebih 15 jam sebelum dipotong setelah masa pemeliharaan. 2. Persentase karkas dari bobot hidup akhir, dengan membandingkan bobot karkas dengan bobot hidup akhir dikalikan 100 %. 3. Komposisi kimia daging marmot meliputi, kadar air, abu, protein, lemak dan kolesterol total. Prosedur Pemberian Vitamin C Pemberian vitamin C dilakukan pada pagi hari sebelum ternak diberi makan, yang diberikan secara oral dengan menggunakan feeding tube sesuai perlakuan. Pemeliharaan dilakukan selama 10 minggu, 2 minggu pertama merupakan masa adaptasi dan 8 minggu berikutnya diberi perlakuan. Pemberian Pakan dan Air minum Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari sebanyak 20-30 g dan pemberian air minum dilakukan ad libitum. Metode Analisa Komposisi Kimia Daging dan Penentuan Kadar Vitamin C dalam Ransum Daging digiling dengan menggunakan blender yang bertujuan untuk mendapatkan contoh daging yang homogen untuk analisis kimia selanjutnya. Analisis kimia daging dilakukan secara proksimat yaitu dengan menganalisis kadar air, abu, protein dan lemak total. Analisis dilakukan mengikuti petunjuk dari Association of Official Analytical Chemistry AOAC (1995). Kadar kolesterol daging dianalisa dengan menggunakan metode Lieberman-Buchard (Kleiner dan Dotti, 1958). Kadar Air (AOAC, 1995). Sebanyak 5 g contoh daging ditimbang dalam wadah botol dimana bobot kering total wadah telah diketahui lebih dahulu. Wadah beserta
14
isinya dipanaskan dalam oven dengan suhu 105 0C sehingga diperoleh bobot konstan. Kadar air dihitung dengan rumus : Kadar Air (%) = Bobot air yang menguap (g) X 100 % Bobot awal contoh (g) Kadar Abu (AOAC, 1995). Cawan yang akan digunakan untuk pengabuan adalah cawan porselin yang diberi perlakuan sebelumnya yaitu dikeringkan dalam oven, didinginkan, dikeringkan dalam eksikator dan ditimbang sebagai bobot cawan. Sebanyak 5 g contoh daging ditempatkan ke dalam cawan porselin tersebut kemudian dimasukan ke dalam tanur dan dipijarkan pada suhu 600 0C hingga bobotnya konstan. Cawan diambil dan didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang. Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar Abu (%) = Bobot abu (g) X 100 % Bobot contoh (g) Kadar Protein (AOAC, 1995). Kadar protein ditetapkan dengan metode Kjeldahl. Sekitar 200 mg contoh daging dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 150 ml. Selenium serta 10 ml H2SO4 pekat dimasukan ke dalam labu tersebut dan didestruksi sampai filtrat jernih, umumnya selama 30 menit. Setelah itu labu didiamkan sampai dingin dan larutan dipindahkan kedalam labu destilasi yang diisi dengan batu didih kemudian ditambahkan 300 ml aquadest dan 100 ml NaOH kemudian didestilasi. Destilat (hasil destilasi) kemudian ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi 10 ml H2SO4 0,3 N. Selanjutnya dititrasi dengan larutan NaOH 0,3. Kadar protein dapat dihitung dengan rumus : Kadar Protein (%) = ( ml blanko – ml titran )x NaOHx6,25x14 X 100% gram contoh Kadar Lemak (AOAC, 1995). Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode Soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Contoh daging sejumlah 5 g dibungkus dengan kertas saring dan dimasukan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet. Alat kondensor diletakan di bawahnya. Pelarut heksan dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam lemak yang jernih.
15
Pelarut dalam lemak didestilasi dan ditampung kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C hingga mencapai bobot tetap kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemaknya ditimbang dan bobot lemak dapat diketahui. Kadar lemak dihitung dengan rumus : Kadar Lemak (%) = Bobot lemak (g) X 100 % Bobot contoh (g) Kolesterol Total (Kleiner dan Dotti, 1958). Analisis kandungan kolesterol total (mg%) dilakukan dengan menggunakan metode Lieberman Burchard. Sampel daging diambil kira-kira 0,2 g lalu dimasukan ke dalam tabung berskala 10 kemudian ditambahkan campuran alkohol dengan eter 3:1 sebanyak 12 ml dan diaduk hingga bercampur dengan baik. Larutan didiamkan sambil diaduk selama 15 menit. Pengaduk dibilas dengan alkohol dan eter 3:1 dan volume disetarakan menjadi 15 ml, lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam gelas piala 50 ml dan dipanaskan pada penangas air sampai kering. Ekstrak residu dilarutkan dengan 2,5 ml kloroform sedikit demi sedikit atau dicuci sebanyak 2x dan dimasukan ke dalam tabung reaksi 10 ml untuk disetarakan volumenya menjadi 5 ml. Lima ml kolesterol standar (0,4 mg kolesterol dalam 5 ml kloroform) dimasukan ke dalam tabung reaksi yang lain. Keduanya diatambahkan 2 ml asetat anhidrida dan 10 μl H2SO4 pekat, kemudian dikocok sampai timbul warna hijau dan disimpan selama 15 menit di dalam ruang gelap. Selanjutnya dilakukan pembacaan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Nilai kolesterol diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan rumus berikut : Kolesterol (mg%) = absorbans sampel X konsentrasi standar X 100 % absorbans standar
berat sampel
Penentuan Kadar vitamin C (Apriyantono, 1989). Kadar vitamin C yang terkandung dalam ransum pellet di ukur dengan menggunakan spektrofotometer. Sampel sebanyak 10 g dihancurkan dalam blender dengan menggunakan larutan metafosfat-asam asetat. Hancuran tersebut disaring dan diambil sebanyak 15 ml kemudian ditambahkan 0,75 g arang aktif, kocok merata. Bahan disaring kemudian diambil 4 ml dan ditambahkan 1 tetes thiourea 10 % dan 1 ml larutan dinitrofenilhidrazin (dalam tabung reaksi).
16
Blanko serupa dibuat tanpa penambahan dinitrofenilhidrazin. Tabung reaksi dimasukan ke dalam water bath 37 0C selama 3 jam kemudian ditambahkan 5 ml H2SO4 85 % dan dikocok hingga merata. Absorbansi larutan dibaca pada 540 nm setelah dibiarkan selama 30 menit.
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Hidup Akhir Hasil analisa statistik menunjukan bahwa perlakuan pemberian vitamin C pada marmot menunjukan hasil yang tidak nyata seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Bobot Hidup Akhir Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C Perlakuan
Bobot Hidup Akhir (g)
R1 (Kontrol, tanpa penambahan vitamin C)
396,67 + 23,09
R2 (Penambahan vitamin C sebanyak 3 mg)
391,67 + 36,85
R3 (Penambahan vitamin C sebanyak 4 mg)
403,30 + 25,16
R4 (Penambahan vitamin C sebanyak 5 mg)
410,00 + 17,32
R5 (Penambahan vitamin C sebanyak 6 mg)
423,33 + 32,14
R6 (Penambahan vitamin C sebanyak 7 mg)
470,00 + 40,00
Bobot hidup akhir dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan ternak tersebut. Semakin ternak tersebut tumbuh maka berat hidup akan semakin besar. Menurut Winarno (2002) fungsi protein merupakan sebagai pengendalian pertumbuhan, oleh karena itu asupan protein dalam ransum akan mempengaruhi laju pertumbuhan seekor ternak. Ransum yang diberikan pada setiap perlakuan sama, dalam jumlah yang sama dan mengandung zat makanan (Energi dan Protein) yang sama sehingga bobot badan yang dihasilkan tidak banyak berbeda. Konsumsi ransum marmot yang diberi perlakuan penambahan vitamin C sampai pada level 7 mg/ekor/hari menujukan hasil yang tidak nyata yaitu sebesar 27,63-28,30 g/ekor/hari Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yurmiati (1991) pada kelinci bahwa perbedaan jumlah ransum memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot hidup akhir. Pemberian vitamin C sampai pada level 7 mg belum memberikan hasil yang nyata, ini dikarenakan vitamin C tidak langsung berperan dalam peningkatan bobot hidup akhir melainkan bergantung kepada jumlah asupan energi dan proteinnya. Bobot hidup akhir yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 391,67-470 g.
Persentase Karkas Persentase karkas dihitung dengan membandingkan bobot karkas dengan bobot hidup akhir dikalikan 100 %. Persentase karkas menjadi salah satu indikator produksi ternak yang dihasilkan. Tabel 3. Persentase Karkas Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C Perlakuan
Persentase Karkas (%)
R1 (Kontrol, tanpa penambahan vitamin C)
38,04B + 0,74
R2 (Penambahan vitamin C sebanyak 3 mg)
37,96B + 0,47
R3 (Penambahan vitamin C sebanyak 4 mg)
40,42A + 0,51
R4 (Penambahan vitamin C sebanyak 5 mg)
38,47B + 0,70
R5 (Penambahan vitamin C sebanyak 6 mg)
38,54B + 1,00
R6 (Penambahan vitamin C sebanyak 7 mg)
38,05B + 0,50
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) ditandai dengan huruf besar.
Sidik ragam memberikan hasil yang sangat nyata (p<0,01). Perlakuan R3 (40,42 %) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena pertambahan bobot badan marmot yang diberi penambahan vitamin C sebanyak 4 mg memberikan hasil yang nyata pula yaitu sebasar 2,32 g/ekor/hari dengan kisaran 1,19-2,32 g/ekor/hari. PBB yang tinggi akan menghasilkan berat karkas yang tinggi sehingga persentase yang dihasilkan akan ikut meningkat. Menurut Soeparno (1992) bahwa persentase karkas biasanya meningkat seiring dengan meningkatnya bobot badan. Persentase karkas pada penelitian ini berkisar antara 37,96-40,42 % (Tabel 3). Korelasi antara level vitamin C dengan persentase karkas mengikuti persamaan y = -0,0046 x + 38,596 dengan R2 = 8 x 10-5 seperti terlihat pada Gambar 2. Selain itu persentase karkas marmot tertinggi ini diduga karena peranan vitamin C dalam pembentukan kolagen. Kolagen adalah salah satu protein serat yang merupakan komponen utama jaringan ikat dan kulit pembentuk tulang dan gigi. Serat kolagen yang baik akan membentuk tulang yang besar dan kuat sehingga secara tidak langsung akan memperbesar karkas yang dihasilkan.
19
Persentase Karkas (%)
41 40.5 40 39.5 39 38.5 38 37.5 37 36.5
y = -0.0046x + 38.596 R2 = 8E-05 Ket : y= Persentase Karkas (%) x= Level Vitamin C (mg)
0
3
4
5
6
7
Level Vitam in C (m g)
Gambar 2. Grafik Hubungan Level Vitamin C dengan Persentase Karkas Marmot. Tanpa vitamin C maka serat yang terbentuk sedikit dan tidak normal sehingga dalam jangka panjang akan mengakibatkan tulang rapuh, gigi keropos karena serat kolegennya lemah dan rapuh (Piliang, 2004). Kadar Air Hasil sidik ragam menunjukan bahwa pemberian vitamin C berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar air daging. Dengan uji jarak Duncan, rataan kadar air untuk R5 (73,64%) berbeda nyata dengan R1 (75,51%) dan R2 (76,83%) namun tidak berbeda nyata dengan R3 (74,48%), R4 (74,97%), R6 (74,46%). Tabel 4. Kadar Air Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C Perlakuan
Kadar Air (%)
R1 (Kontrol, tanpa penambahan vitamin C)
75,51ba + 0,78
R2 (Penambahan vitamin C sebanyak 3 mg)
76,83a + 0,89
R3 (Penambahan vitamin C sebanyak 4 mg)
74,48bc + 0,93
R4 (Penambahan vitamin C sebanyak 5 mg)
74,97bc + 0,86
R5 (Penambahan vitamin C sebanyak 6 mg)
73,64c + 0,65
R6 (Penambahan vitamin C sebanyak 7 mg)
74,46bc + 0,18
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (p<0,05) ditandai dengan huruf kecil.
Kadar air daging pada penelitian ini berkisar antara 73,64-76,83%, hasil ini masih berada dalam kisaran yang dinyatakan oleh Soeparno (1992) bahwa daging mengandung sekitar 70 % air dengan kisaran antara 65-80 %. Selain itu juga, daging
20
dengan kadar air tinggi akan memicu pertumbuhan mikroba sehingga mempercepat pembusukan. Korelasi antara level vitamin C dengan kadar air daging mengikuti persamaan y = -0,4049 x + 76,415 dengan nilai R2 = 0,4873 seperti terlihat pada
Kadar Air Daging Marmot (%)
Gambar 3. 78
y = -0.4094x + 76.415
77
R2 = 0.4873 Ket : y= Kadar Air Daging Marmot (%) x= Level Vitamin C (mg)
76 75 74 73 72 0
3
4
5
6
7
Level Vitamin C (mg)
Gambar 3. Grafik Hubungan Level Vitamin C dengan Kadar Air Daging Marmot. Khotijah (1999) melaporkan bahwa kadar air daging kelinci yang diberi penambahan vitamin E pada ransumnya menghasilkan perbedaan yang nyata dikerenakan fungsi vitamin E sebagai sebagai antioksidan, dimana dapat membantu menghambat proses oksidasi. Kerusakan sel diakibatkan dinding sel yang rusak akibat proses oksidasi. Dengan penambahan vitamin E diharapkan cairan dalam membran akan tetap terjaga sehingga secara tidak langsung akan mengurangi kehilangan cairan karkas. Fungsi yang sama juga ditemukan pada vitamin C yaitu sebagai antioksidan, olehkarena itu penambahan vitamin C kemungkinan dapat menguragi kehilangan cairan sel tubuh yang secara tidak langsung kehilangan cairan karkas. Kadar air tertinggi ada pada perlakuan R2 yaitu sebesar 76,82 % memiliki bobot badan terrendah yaitu sebasar 391,67 g. Menurut Sutardi (1980) pada ternak dewasa bahwa kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak tubuh, semakin tinggi bobot badan ternak maka kadar lemaknya semakin tinggi sehingga kadar air dalam tubuhnya pun semakin rendah, begitu pula sebaliknya.
21
Abu Abu adalah bahan anorganik sisa dari pembakaran bahan organik. Berdasarkan hasil analisa statistik bahwa penambahan vitamin C tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu daging. Tabel 5. Kadar Abu Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C Perlakuan
Kadar Abu (%)
R1 (Kontrol, tanpa penambahan vitamin C)
1,34 + 0,25
R2 (Penambahan vitamin C sebanyak 3 mg)
1,27 + 0,04
R3 (Penambahan vitamin C sebanyak 4 mg)
1,37 + 0,12
R4 (Penambahan vitamin C sebanyak 5 mg)
1,49 + 0,42
R5 (Penambahan vitamin C sebanyak 6 mg)
1,56s + 0,26
R6 (Penambahan vitamin C sebanyak 7 mg)
1,39 + 0,11
Pemberian vitamin C sampai pada level 7 mg pada marmot dewasa tidak menunjukan adanya pengaruh yang nyata. Hal ini diduga karena vitamin C tidak berkaitan secara langsung dengan kadar abu daging melainkan pada penyerapan mineral di dalam tubuh. Vitamin C dapat menyebabkan peningkatan beberapa ion metal di dalam tubuh (Piliang, 2004), salah satunya dalam metabolisme Fe, terutama membantu penyerapan Fe di usus dan pemindahannya ke dalam darah (Linder, 1992). Kadar abu pada penelitian ini berkisar antara 1,27-1,56 % (Tabel 5). Menurut Forest et al. (1975) bahwa kadar abu daging relatif konstan yaitu sekitar 1%. Protein Protein terdiri dari asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh karbohidrat dan lemak. Protein berfungsi sebagai zat pembangun, pengatur dan sebagai bahan bakar bagi tubuh (Winarno, 1992). Hasil sidik ragam menunjukan bahwa pemberian vitamin C tidak berpengaruh nyata terhadap protein daging seperti terlihat pada Tabel 6. Hal ini diduga karena protein yang banyak dipengaruhi oleh vitamin C adalah kolagen yang merupakan protein serat komponen pembentuk tulang dan gigi sedangkan protein terbesar yang terdapat pada daging adalah aktin dan miosin sehingga penambahan vitamin C sampai pada level 7 mg tidak memberikan perbedaan yang nyata pada kadar protein daging
22
Tabel 6. Kadar Protein Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C Perlakuan
Protein (%)
R1 (Kontrol, tanpa penambahan vitamin C)
18,71 + 1,57
R2 (Penambahan vitamin C sebanyak 3 mg)
18,19 + 1,20
R3 (Penambahan vitamin C sebanyak 4 mg)
20,24 + 0,74
R4 (Penambahan vitamin C sebanyak 5 mg)
20,06 + 1,03
R5 (Penambahan vitamin C sebanyak 6 mg)
17,97 + 1,59
R6 (Penambahan vitamin C sebanyak 7 mg)
19,74 + 1,74
Kadar protein daging lebih banyak dipengaruhi oleh kadar protein ransum yang diberikan. Ransum yang diberikan pada penelitian ini sama, mengandung protein yang sama dan diberikan dalam jumlah yang sama diduga menyebabkan hal ini terjadi. Kadar protein yang tidak nyata dikarenakan konsumsi ransum yang tidak nyata pula seperti dilaporkan Setiawati (2006) bahwa konsumsi marmot pada setiap perlakuan relatif sama yaitu sebesar 27,63-28,30 g/ekor/hari. Kadar protein daging pada penelitian ini berkisar antara 17,97-20,24%. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan yang diperoleh Wikipedia (1999) yaitu sebesar 21%. Forrest et al. (1975) menyatakan bahwa protein daging relatif konstan antara 18-22%. Lemak Kadar lemak daging memiliki peranan penting dalam menentukan aroma dan keempukan daging (Forest et al., 1975). Berdasarkan hasil analisa statistik bahwa pemberian vitamin C menunjukan hasil yang tidak nyata terhadap kadar lemak daging. Kisaran kadar lemak daging yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 1,321,81%, Forrest et al. (1975) menyatakan bahwa kadar lemak daging bervariasi sekitar 1,5-13%. Hal ini diduga karena jenis komposisi pakan yang diberikan selama pemeliharaan relatif sama sehingga kadar lemak daging yang dihasilkan tidak jauh berbeda. Anggorodi (1973) menyatakan bahwa persentase lemak daging pada umumnya tergantung kadar bahan makanan yang dikonsumsi.
23
Tabel 7. Kadar Lemak Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C Perlakuan
Lemak (%)
R1 (Kontrol, tanpa penambahan vitamin C)
1,61 + 0,45
R2 (Penambahan vitamin C sebanyak 3 mg)
1,44 + 0,41
R3 (Penambahan vitamin C sebanyak 4 mg)
1,62 + 0,20
R4 (Penambahan vitamin C sebanyak 5 mg)
1,81 + 0,06
R5 (Penambahan vitamin C sebanyak 6 mg)
1,51 + 0,34
R6 (Penambahan vitamin C sebanyak 7 mg)
1,32 + 0,21
Vitamin C berperan dalam pembentukan karnitin yang berfungsi membantu asam-asam lemak masuk ke mitokondria untuk dirombak kembali menjadi energi (Lehninger,1982) sehingga lemak tidak banyak tertimbun di dalam tubuh. Ini menghasilkan kadar lemak daging marmot lebih rendah bila dibandingkan dengan daging ternak lain. Peranan vitamin C dalam perombakan lemak menjadi energi terlihat pada Gambar 4. Lisin dan Metionin Enzim Hidroksilase + Vitamin C Karnitin Karnitin transferase Transport Asam Lemak ke Mitokondria Energi Gambar 4. Peranan Vitamin C pada Perombakan Lemak menjadi Energi (Lehninger, 1982).
24
Kolesterol Kolesterol merupakan bagian penting dalam sel dan jaringan-jaringan tubuh, otak, syaraf, ginjal, hati serta memegang peranan dalam produksi asam empedu, beberapa hormon dan sintesis vitamin D (Suhardjo dan Kusharto, 1989). Hasil sidik ragam menunjukan bahwa pemberian vitamin C berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap kolesterol daging. Tabel 8. Kolesterol Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C Perlakuan
Kolesterol (mg%)
R1 (Kontrol, tanpa penambahan vitamin C)
1,59A + 0,18
R2 (Penambahan vitamin C sebanyak 3 mg)
1,56A + 0,07
R3 (Penambahan vitamin C sebanyak 4 mg)
1,34B + 0,05
R4 (Penambahan vitamin C sebanyak 5 mg)
1,31B + 0,15
R5 (Penambahan vitamin C sebanyak 6 mg)
1,07C + 0,05
R6 (Penambahan vitamin C sebanyak 7 mg)
1,11C + 0,01
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) ditandai dengan huruf besar
Dengan uji jarak Duncan rataan kolesterol R1 (1,59 mg%) dan R2 (1,56 mg%) tertinggi, kemudian diikuti R3 (1,34 mg%) dan R4 (1,31 mg%) serta R5 (1,07 mg%) dan R6 (1,11 mg%) (tabel 8). Kolesterol daging yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 1,07-1,59 mg%. Korelasi antara kadar kolesterol daging marmot dengan level vitamin C adalah negatif yaitu semakin tinggi level vitamin C yang diberikan maka kadar kolesterol di dalam daging marmot semakin menurun dengan persamaan y = - 0,1114 x + 1,72 dengan R2 = 0,9168 seperti terlihat dalam Gambar 5. Hal ini karena vitamin C dapat memicu kolesterol di dalam tubuh untuk membentuk asam empedu sehingga dengan mudah terbuang melalui feses. Atmosukarto dan Rahmawati (2003) menyatakan bahwa vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang dapat menurunkan kolesterol dalam tubuh serta dapat menurunkan tekanan darah dan kekurangan vitamin C dapat menyebabkan penggumpalan darah yang dapat memicu penyakit jantung dan stroke.
25
Kolesterol Daging Marmot (mg%)
1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
y = -0.1114x + 1.72 R2 = 0.9168 Ket : y= Kolesterol Daging Marmot (mg%) x= Level Vitamin C (mg) 0
3
4
5
6
7
Level Vitamin C (mg)
Gambar 5. Grafik Hubungan Level Vitamin C dengan Kadar Kolesterol Daging Marmot. Vitamin C berperan pada tahap awal pembentukan asam empedu yaitu merangsang enzim 7 α-Hidroksilase untuk melakukan reaksi 7 α-Hidroksilasi kolesterol sehingga terbentuklah asam-asam empedu seperti asam taurokolat, asam deoksikolat dan asam litokolat, seperti terlihat pada gambar 6. Pembentukan asam empedu merupakan satu-satunya jalan bagi kolesterol untuk keluar dari tubuh. Oleh karena itu defisien vitamin C akan mengganggu pembentukan asam empedu dan akan menyebabkan penumpukkan kolesterol (Harper et al., 1979). Marmot merupakan hewan yang membutuhkan serat ransum yang tinggi sekitar 10-30 % (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Serat merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan kadar kolesterol di dalam darah. Pakan yang banyak mengandung serat maka akan lebih kuat mengikat asam empedu, karena serat mempunyai daya ikat yang kuat terhadap asam empedu. Akibatnya asam empedu bersama serat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk kotoran. Dengan demikian semakin banyak serat yang dimakan, bertambah pula feses yang dikeluarkan, sehingga berbagai macam sterol juga dikeluarkan (Muchtadi et al., 1992).
26
Kolesterol (Vitamin C) 7-α-hidroksikolesterol
7-α-hidroksi-4-kolesten-3-on
3α, 7α- dihidroksi-kolestan
7a, 12a- dihidroksi-4-kolesteen-3-0n
Kenodeoksikolil- Ko A
3a,7a,12a-trihidroksikolestan
Asam tauro dan gliko kenodioksikolat
3α,7α12α-2-6-tetrahidroksi kolestan
Asam Litokolat
3α,7α12α-Trihidroksi kolestanoil-Ko A
Kolil Ko-A
Asam Taurokolat
Asam glikokolat
Asam deoksikolat Gambar 6. Biosintesis Asam-asam Empedu dari Kolesterol (Harper et al., 1979). Supaya sistem metabolisme lemak tidak terganggu, asam empedu baru dalam sistem pencernaan harus tersedia. Asam empedu baru dibentuk dari kolesterol tubuh. Peningkatan sekresi empedu menyebabkan semakin banyak pula eksresi kolesterol melalui feses sehingga konsentrasi kolesterol tubuh akan menurun. Astawan et al. (2005) melaporkan dalam penelitiannya pada tikus bahwa kandungan serat yang tinggi dalam ransum secara nyata dapat menurunkan kadar kolesterol total. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya asam empedu yang diikat oleh serat ransum sehingga terbawa keluar melalui feses.
27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Suplementasi vitamin C berpengaruh nyata terhadap persentase karkas (37,96-40,42 %), kadar air (73,64-76,83 %) dan kolesterol total (1,07-1,59 mg%) daging marmot lokal jantan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap bobot hidup akhir (391,67-470 g), kadar abu (1,27-1,56 %), kadar protein (17,97-20,24 %) dan kadar lemak (1,32-1,81 %). Khusus untuk kolesterol, menurun dengan makin meningkatnya level vitamin C dengan mengikuti persamaan y = -0,1114 x + 1,72 (R2 = 0,9168). Penambahan vitamin C sebanyak 6 mg/ ekor/ hari untuk marmot dewasa mampu meningkatkan kualitas daging marmot dilihat dari kadar air dan kolesterol total dagingnya. Saran Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui sampai sejauh mana penambahan vitamin C untuk menurunkan kadar kolesterol daging marmot lokal jantan dengan level yang lebih tinggi.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada kedua orang tua, Bapak Najib dan Ibu Nurlela yang telah banyak berjasa, membesarkan, mendidik, memberikan do’a dan motivasi yang tiada hentinya. Kepada Dr. Ir. H. Rachjan Gunasah Pratas, M.Sc dan Ir. Kukuh Budi Satoto, MS selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan membantu penyusunan mulai dari awal proposal hingga tahap akhir penyusunan skripsi. Kepada Ir. Widya Hermana, M.Si selaku pembimbing akademik selama penulis menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Selain itu ucapan terimakasih disampaikan kepada Ir. Didid Diapari, M.Si selaku penguji seminar serta Dr. Ir. Sumiati, M.Sc dan Ir. Sri Rahayu, M.Si selaku penguji sidang yang telah menguji, mengkritik dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini, serta kepada seluruh staf pengajar yang telah memberikan bekal selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Kepada kedua adikku tercinta Mahira dan Umar atas kasih sayangnya, serta Eky Ramdani yang telah memberikan semangat, dorongan dan perhatiannya selama ini. Terimakasih penulis ucapkan kepada rekan sepenelitian Afridha Adellia, F dan Yuri Setiawati atas suka duka dan kebersamaannya. Miawati, S.Pi, Reny, Sonya, Hilda, Anak-anak Asrama Putri 39’ kamar 187 & 189 dan teman-teman Nutrisi 39’ atas persahabatannya. Terakhir penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, 4 September 2006
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Anggorodi, R. 1973. Ilmu Makanan Ternak Umum. Institiut Pertanian Bogor. Bogor. Apriyantono, A. 1989. Analisis Pangan : Petunjuk Laboratorium. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. AOAC. 1995. Official Methods of the Association of Official Analytical Chemistry. 16th Edition. AOAC Int., Washington. Arnim. 1985. Pengaruh umur terhadap sifat fisik dan kimia daging sapi Peranakan Ongole. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Astawan, M, T. Wresdiyati dan A. B. Hertanta. 2005. Pemanfaatan rumput laut sebagai sumber serat pangan untuk menurunkan kolesterol darah tikus. Hayati, Jurnal Biosains. 12 (1) : 23-27. Atmosukarto, K dan M. Rahmawati. 2003. Mencegah penyakit degeneratif dengan makanan. Cermin Dunia Kedokteran. 140 : 41-49. Fardiaz, D., N. Andarwulan, H. Wijaya dan N. L. Puspitasari. 1992. Teknik Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Forrest, J. C., E. D. Aberle., H. B. Hedrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principle of Meat Science. W. H. Freeman and Company, San Fransisco. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Terjemahan : Srigandono, B dan Koen Praseno. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Harper, H. A., V. W. Rodwell dan P. A. Mayes. 1980. Biokimia. Terjemahan : M. Muliawan. Penerbit Buku Kedokteran E.G.C. Jakarta. Herman, R. 2002. Marmot Ternak Sahabat Keluarga Miskin Untuk Sumber Daging. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Khotijah, L. 1999. Pengaruh penambahan vitamin E (L-α-Tocoferol Acetate) dalam ransum terhadap penampilan dan beberapa sifat karkas kelinci. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kleiner, I. S dan L. B. Dotti. 1958. Laboratory Instructions in Biochemistry. 5th Edition. The C. V. Mosby Company, New York. Lawrie, R. A. 1995. Ilmu Daging. Terjemahan: A. Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta. Linder, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Terjemahan : A. Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Muchtadi, D, N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Metode Kimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Piliang, W. G. 2004. Nutrisi Vitamin Volume II. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sediaoetama, A. D. 1976. Ilmu Gizi dan Ilmu Diit di Daerah Tropik. Balai Pustaka. Jakarta. Smith, B. J dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Steel, R. G. D dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : M. Syah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. Suhardjo dan M. C. Kusharto. 1989. Prinsip – prinsip Ilmu Gizi. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutardi, T. 1982. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wikipedia. 1999. Guinea Pig. http://en.wikipedia.org/wiki/guinea_pig [8 Agustus 2006]. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yurmiaty, H. 1991. Pengaruh pakan, umur potong dan jenis kelamin terhadap bobot hidup, karkas dan sifat dasar kulit kelinci “Rex”. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
31
LAMPIRAN
Lampiran 1 ANOVA Bobot Hidup Akhir Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C SK db JK KT F hit F 0,05 F 0,01 Perlakuan 5 12395,83 2479,167 2,783 3,33 5,64 Blok 2 2008,33 1004,167 1,127 4,10 7,56 Galat 10 8908,33 890,833 Total 17 23312,50 Lampiran 2 ANOVA Persentase Karkas Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C SK db JK KT F hit F 0,05 F 0,01 Perlakuan 5 13,0635 2,6127 5,81 3,33 5,64 Blok 2 1,0806 0,5403 1,20 4,10 7,56 Galat 10 4,5006 0,4501 Total 17 18,6447 Lampiran 3 ANOVA Kadar Air Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C SK db JK KT F hit F 0,05 F 0,01 Perlakuan 5 18,0214 3,6043 5,3118 3,33 5,64 Blok 2 0,2166 0,1083 0,1596 4,10 7,56 Galat 10 6,7854 0,6785 Total 17 25,0234 Lampiran 4 ANOVA Kadar Abu Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C SK db JK KT F hit F 0,05 F 0,01 Perlakuan 5 0,1571 0,0314 0,4941 3,33 5,64 Blok 2 0,0520 0,0260 0,4090 4,10 7,56 Galat 10 0,6359 0,0636 Total 17 0,8450
33
Lampiran 5 ANOVA Kadar Protein Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C SK db JK KT F hit F 0,05 F 0,01 Perlakuan 5 14,6683 2,9337 1,3399 3,33 5,64 Blok 2 0,3761 0,1881 0,0859 4,10 7,56 Galat 10 21,8949 2,1895 Total 17 36,9394 Lampiran 6 ANOVA Kadar Lemak Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C SK db JK KT F hit F 0,05 F 0,01 Perlakuan 5 0,4285 0,0857 0,9202 3,33 5,64 Blok 2 0,2704 0,1352 1,4522 4,10 7,56 Galat 10 0,9312 0,0931 Total 17 1,6301 Lampiran 7 ANOVA Kolesterol Daging Marmot pada Berbagai Level Pemberian Vitamin C SK db JK KT F hit F 0,05 F 0,01 Perlakuan 5 0,7241 0,1448 22,0264 3,33 5,64 Blok 2 0,0784 0,0392 5,9590 4,10 7,56 Galat 10 0,0657 0,0066 Total 17 0,8682
34