Editor : Haidlor Ali Ahmad
Hubungan Umat Beragama: STUDI KASUS PENUTUPAN / PERSELISIHAN RUMAH IBADAT Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Hubungan Umat Beragama STUDI KASUS PENUTUPAN/ PERSELISIHAN RUMAH IBADAT
Editor : Haidlor Ali Ahmad
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012
i
Kata Pengantar
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) hubungan umat beragama: studi kasus penutupan/perselisihan rumah ibadat/ Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Ed. I. Cet. 1. ---Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012 xxviii + 364 hlm; 14,8 x 21 cm ISBN 978-602-8739-11-5 Hak Cipta pada Penerbit .................................................................................................................................................................... Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa seizin sah dari penerbit .................................................................................................................................................................... Cetakan Pertama, Oktober 2012 .................................................................................................................................................................... HUBUNGAN UMAT BERAGAMA: STUDI KASUS PENUTUPAN/PERSELISIHAN RUMAH IBADAT .................................................................................................................................................................... Editor : Haidlor Ali Ahmad Tata Letak : Sugeng Design Cover Firdaus .................................................................................................................................................................... Foto Ilustrasi Cover: Kolase Foto Rumah Ibadat dan Aktivitas Keagamaan di Indonesia Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp/Fax. (021) 3920425, 3920421
[email protected]
ii
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya “Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku Tahun 2012 ini, sebagian besar merupakan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2011. Kami menghaturkan ucapan terima kasih kepada para pakar dalam menulis prolog, juga kepada para peneliti sebagai editor buku ini yang secara tekun telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, yang akhirnya dapat hadir di hadapan pembaca yang budiman. Pada tahun 2012 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku yang diterbitkan, buku-buku tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan Kontemporer di Indonesia.
2.
Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia.
iii
Kata Pengantar
3.
Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.
4.
Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia
5.
Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama
6.
Hubungan Umat Beragama: Perselisihan Rumah Ibadat.
7.
Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik, Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.
8.
Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.
9.
Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.
Studi Kasus Penutupan/
Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggitingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan. Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas
iv
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
berbagai kekurangan tersebut. Akhirnya, ucapan terimakasih kami haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.
Jakarta, Oktober 2012 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan NIP. 19691110 199403 1 005
v
Kata Pengantar
vi
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 merupakan kesepakatan majelis-majelis agama tingkat pusat yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) bersama wakil dari Kementerian Agama RI dan Kementerian Dalam Negeri RI. PBM tersebut berisikan tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Sejak disahkan PBM tersebut dan diikuti langkah-langkah sosialisasi kepada para pejabat terkait, pemuka agama dan tokoh masyarakat tingkat pusat hingga daerah agar dapat menjadikannya sebagai pedoman dan mengimplementasikannya. Diantara hasilnya, telah terbentuk Forum Kerukunan Umat
vii
Sambutan
Beragama (FKUB) provinsi dan kabupaten/kota. Implementasi regulasi ini sebagaimana dipaparkan dalam hasil penelitian, memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi terpeliharanya kerukunan umat beragama. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI terus mengawal implementasi PBM tersebut dengan melakukan penelitian dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas melalui penerbitan buku-buku hasil penelitian. Pada tahun 2009 telah diterbitkan hasil penelitian dengan judul, “Efektivitas Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”. Menyusul tahun 2010 diterbitkan hasil penelitian dengan judul, “Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal 8,9 dan 10 PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”. Tahun 2011 diterbitkan hasil penelitian, “Pendirian Rumah Ibadat di Berbagai Daerah: Pelaksanaan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”. Pada tahun 2012 sekarang ini diterbitkan hasil penelitian, “Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat” Rumah ibadat bagi tiap agama merupakan tempat bahkan pusat kegiatan ritual kegamaan, sosial dan budaya. Oleh karena itu, keberadaan rumah ibadat kebutuhan bagi tiap agama. Untuk menjaga ketertiban dan ketenangan dalam beribadah perlu dibuat peraturan yang menjadi landasan pokoknya. Masalah pemeliharaan kerukunan, keberadaan dan pemberdayaan FKUB, serta pendirian rumah ibadat merupakan substansi yang dimuat dalam PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Buku ini mengungkap beberapa kasus pendirian rumah ibadat. Kasus-kasus pendirian rumah ibadat bukan hanya menyangkut suatu agama tertentu, melainkan dialami oleh semua penganut agama. Realita ini merupakan tantangan bagi kehidupan umat beragama, dalam upaya memelihara keharmonisan kehidupan bersama.
viii
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Buku ini diharapkan menjadi buku yang informatif, menyajikan informasi seputar pendirian rumah ibadat yang pada tiap-tiap agama dengan harapan umat beragama makin memahami betapa pentingnya sossialisasi dan implementasi PBM Tahun 2006. Saya menyambut baik penerbitan hasil penelitian ini sebagai bagian upaya sosialisasi PBM Tahun 2006, secara khusus mengenai pendirian rumah ibadat. Ucapan terima kasih khususnya disampaikan kepada Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan dan umumnya kepada para peneliti yang telah melaksanakan tugas dengan baik. Semoga buku ini dapat menjadi referensi dalam rangka pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Jakarta, Oktober 2012 Pgs. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003
ix
Sambutan
x
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
PROLOG Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat Oleh M. Ridwan Lubis Guru Besar Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendahuluan Keberadaan rumah ibadat secara ideal adalah tempat setiap umat beragama memperoleh nuansa kehidupan yang rukun dan damai karena rumah ibadat wilayah kehidupan setiap orang untuk melepaskan diri dari tekanan kehidupan duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Justru yang terjadi, keberadaan rumah ibadat menjadi persoalan yang rawan mengganggu kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Hal ini disebabkan karena keberadaan rumah ibadat, dalam persepsi berbagai pihak belum berfungsi untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Penyebab utamanya adalah keberadaan rumah ibadat belum bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan kepentingan jangka pendek termasuk kepentingan politis. Di antara faktor politis itu adalah kesan adanya sejumlah upaya untuk merubah peta konfigurasi perimbangan umat
xi
Prolog
beragama. Hal ini disebabkan karena sebagian umat beragama melihat bahwa peta konfigurasi baik mayoritas atau minoritas menjadi lambang kualitas keberagamaan atau tegasnya kuantitas merupakan artikulasi dari kualitas. Padahal, kualitas keberagamaan sesungguhnya tidak selalu berbanding lurus dengan kondisi kuantitas umat beragama. Tegasnya, kualitas keberagamaan sama sekali tidak diukur dari jumlah populasi umat beragama akan tetapi sangat tergantung dari komitmen umat terhadap wawasan, penghayatan, pengamalan, jaringan serta keberadaan lembagalembaga keagamaan. Faktor politis berikutnya adalah bahwa rumah ibadat dipahami masyarakat sebagai wujud dari keberadaan umat beragama penggunan rumah ibadat bersangkutan sehingga hegemoni yang semula dimiliki kelompok umat tertentu belum sepenuhnya siap untuk menerima kenyataan adanya kelompok umat beragama yang lain. Sementara itu, masih sering dijumpai dalam berbagai kasus perselisihan antar umat beragama adanya kelompok yang mendirikan rumah ibadat tanpa mempertimbangkan adanya peraturan baik pusat maupun daerah serta tidak menimbang terlebih dahulu aspek psikologis masyarakat yang berdiam di sekitar lokasi rencana pendirian namun dengan serta merta mendirikan rumah ibadat. Faktor ketiga adalah masyarakat masih belum memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kebangsaan yaitu setiap warga negara memiliki jarak yang sama terhadap negara demikian juga negara memiliki jarak yang sama terhadap semua warga negara. Hal inilah yang akan ditelusuri pengkajiannya dalam laporan penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang berlangsung pada tahun 2011 yang lalu yang mengambil lokasi di tujuh daerah penelitian. Judul besar penelitian ini adalah Pola Perselisihan Antar Umat Beragama Di Indonesia: Kasus Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat. Penelitian ini memusatkan agenda penelitian pada tujuh lokasi penelitian, yaitu: Tangerang Selatan, Bogor,
xii
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Palangkaraya, Kupang, Jayapura, Gresik dan Badung. Dilihat dari segi tipologi daerah penelitian memiliki ciri khas masing-masing. Tangerang Selatan adalah kota yang secara administratif berada sebagai daerah pinggiran (hinterland) Jakarta akan tetapi menjadi tempat migrasi dari berbagai asal daerah sehingga Tangerang Selatan juga menjadi sasaran urbanisasi. Urbanisasi merupakan perkembangan pergerakan populasi yang tidak hanya terkait dengan persoalan demografis tetapi juga dengan aspek budaya maupun agama. Sekalipun dalam skala yang lebih kecil, persoalan perselisihan pendirian rumah ibadat juga terjadi di Palangkaraya, Kupang, Jayapura, Badung. Hal inilah kemudian yang cukup memprihatinkan dalam pola relasi antar umat beragama di Indonesia. Penelitian ini berangkat dari empat permasalahan yaitu 1. Bagaimana kualitas perselisihan akibat pendirian rumah ibadat di berbagai daerah di Indonesia ? 2. Bagaimana intensitas peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan ? 3. Bagaimana peran FKUB, majelis agama, ormas keagamaan dalam penyelesaian perselisihan ? 4. Bagaimana respon dan saran masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan ? Pertanyaan pertama, membahas tentang kualitas perselisihan yaitu untuk meneliti apakah perselisihan di antara umat beragama menyentuh aspek yang terdalam sehingga termasuk dalam jenis kontravensi atau hanya sekedar kompetisi di permukaan sementara di dalam kehidupan sosial sehari-hari mereka justru dapat melakukan kerjasama terutama yang terkait dengan kegiatan di berbagai pranata sosial. Kualitas perselisihan perlu diberikan penjelasan yang lebih kongkrit yaitu apakah masyarakat sudah sampai pada taraf tidak mengakui hak
xiii
Prolog
keberadaan umat lain yang mendirikan rumah ibadat atau hanya sekedar sikap tidak setuju terhadap rencana pendirian rumah ibadat. Apakah sikap tidak setuju masyarakat disebabkan karena mereka telah memiliki pengalaman traumatis akibat persinggungan rencana pendirian rumah ibadat atau juga karena akibat dari mereka yang telah memperoleh informasi melalui opini publik terhadap berbagai kesulitan yang ditimbulkan akibat berdirinya rumah ibadat di sekitar pemukiman mereka. Selain dari itu, juga perlu dikaji apakah masyarakat yang tidak setuju dapat memberikan alternatif jalan keluar, sehingga umat beragama yang berbeda tetap memperoleh kesempatan melaksanakan ibadah sebagai hak asasi setiap manusia. Pertanyaan kedua, membahas tentang peran pemerintah di dalam menangani perselisihan itu. Sebagai institusi yang menjadi representasi seluruh kepentingan masyarakat maka pemerintah selayaknya melepaskan diri dari kepentingan individu atau kelompok akan tetapi ia menempatkan diri sebagai mewakili seluruh kepentingan. Hal itu dapat dilakukan aparat pemerintah manakala mereka telah memiliki pemahaman yang jelas terhadap makna keberagamaan dalam negara Pancasila yang telah memperoleh jaminan konstitusional di dalam UUD 1945. Perangkat kepribadian berikutnya adalah kemampuan pejabat pemerintah sebagai bentuk hasil pengalaman di dalam menangani berbagai konflik antar sosial. Di dalam itu, mereka mempunyai kemampuan dalam merumuskan pendekatan win-win solution. Dalam setiap negosiasi tentulah setiap orang harus menyadari bahwa mereka tidak mungkin memperoleh haknya secara paripurna akan tetapi terbatas secara minimal pada hak-hak dasarnya. Idealisme sebagai seorang pejabat publik hendaklah menjadi perhatian, yaitu seberapa jauh komitmen dalam melaksanakan tata aturan yang ada atau juga kreasi dalam
xiv
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
menggagas peraturan daerah sebagai wujud kesepakatan masyarakat. Sebaliknya manakala instansi pemerintah di daerah di samping kurang memahami adanya PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 akan lebih kritis lagi manakala mereka sebagai pejabat publik justru melakukan pemihakan terhadap kelompok umat tertentu. Akibatnya terkesan adanya sikap dan perlakuan diskriminatif terhadap satu kelompok dan memberi peluang kelompok lain memonopoli keuntungan semuanya (zero sum game). Gejala lain adalah karena orientasi terhadap kegiatan demokratisasi adalah keuntungan yang bersifat materi maka terdapat kesan bahwa persoalan kerukunan umat beragama dipandang secara simplistis. Pandangan itu adalah menganggap persoalan urusan kerukunan sebagai persoalan sederhana, remeh temeh sehingga konflik terkesan dibiarkan berlarut-larut yang selanjutnya kemudian merembet ke berbagai persoalan sehingga terjadi pemekaran konflik. Akibatnya, di samping persoalan pokok belum terselesaikan muncul lagi persoalan lain. Oleh karena itu, pemahaman tentang wawasan kebangsaan kepada umat beragama perlu dilakukan proses sosialisasi sekaligus internalisasi. Persoalan ketiga, peran masyarakat yang diwakili oleh FKUB maupun ormas keagamaan dalam mencari titik simpul dalam penyelesaian perselisihan. Dilihat dari asal usul munculnya gagasan penguatan peran masyarakat dalam proses penyelesaian perselisihan, maka peran FKUB sebagai lembaga formal yang merepresentasikan kepentingan masyarakat sangat diharapkan. Alasannya adalah karena FKUB sebagai wadah yang secara teoritis memiliki dua fungsi yaitu representatif dan aspiratif. Funsgi representatif adalah seluruh anggota FKUB sekalipun mulanya berasal dari lingkungan keagamaan yang berbeda akan tetapi begitu mereka ditetapkan sebagai anggota FKUB maka dengan sendirinya suara mereka adalah suara seluruh masyarakat dan
xv
Prolog
umat beragama di daerah bersangkutan. Demikian juga, sebagai anggota FKUB yang mewakili kepentingan seluruh umat beragama tentulah harus mampu menyerap dan menyalurkan aspirasi setiap umat beragama sesuai dengan kemestiannya. Pertimbangan penentuan keanggotaan FKUB adalah terletak pada kearifan, kematangan kepribadian, kepemimpinan, dan keteladanan. Oleh karena itu, seorang yang menjadi anggota FKUB adalah mereka yang secara otomatis memiliki suara yang berwibawa dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi, konsep ideal yang demikian dalam kenyataannya kurang teraktualisasi dalam pembentukan FKUB pada hampir semua daerah. Akibatnya, FKUB sulit diharapkan untuk berperan sebagai pihak yang mampu melakukan mediasi karena masyarakat sendiri melihat mereka dalam posisi yang kurang netral. Menimpakan kesalahan terhadap FKUB juga kurang proporsional karena kemungkinan belum tersosialisasi dalam bentuk wawasan maupun pelatihan sehingga mereka masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan berbagai program. Di samping masih terkesan Pemerintah Daerah kurang memberikan perhatian yang memadai terhadap keberadaan FKUB. Penelitian ini hendaknya dapat memberikan gambaran posisi FKUB yang telah mampu melakukan peran aktifnya atau sebaliknya juga memberi penjelasan tipologi FKUB yang masih merupakan bagian dari persoalan. Pertanyaan keempat, saran dan pendapat masyarakat dalam upaya penyelesaian perselisihan. Masyarakat seharusnya berdasar pengalaman masa lalu memiliki perhatian terhadap perselisihan kasus pendirian rumah ibadat. Apakah masyarakat dapat menerima pendirian rumah ibadat dalam kasus telah memenuhi aturan PBM serta peraturan pemerintah daerah. Peneliti menemukan jawabannya bahwa masyarakat menerima dengan damai setelah pendirian rumah ibadat tersebut sudah
xvi
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
memenuhi seluruh ketentuan yang termuat dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan kemudian diperkuat oleh berbagai Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota atau juga Peraturan Daerah.
Proses Interaksi Sosial Sebagai tanda adanya masyarakat adalah terjadinya interaksi sosial. Proses interaksi sosial dapat berlangsung dalam empat bentuk yaitu melalui imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati (Abu Ahmadi: 44). Menurut Sukanto (Burhan Bungin, 2006: 58-61) proses interaksi sosial terjadi dalam dua bentuk: asosiatif dan disosiatif. Asosiatif adalah proses yang terjadi saling pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang perorang atau kelompok satu dengan lainnya sehingga tercapai tujuan-tujuan bersama. Asosiatif dapat terjadi dalam berbagai bentuk antara lain kerjasama (cooperation) dan akomodasi (accomodation). Bentukbentuk kerjasama adalah (1) gotong royong, (2) perjanjian pertukaran kepentingan, (3) penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik (4) koalisi yaitu dua organisasi atau kelompok melakukan kerjasama untuk meraih tujuan bersama (5) kerjasama dua kelompok untuk mengerjakan bisnis atau proyek tertentu. Sementara bentuk kedua dari asosiatif adalah akomodasi yaitu menunjukkan pada proses menuju keadaan yang seimbang (equilibrium) atau terjadinya proses yang sedang berlangsung yang menampakkan adanya suasana peredaan konflik. Di antara bentuk akomodasi itu adalah (1) coersion akibat dari adanya paksaan maupun kekerasan secara fisik atau psikologis (2) compromise yaitu masing-masing pihak berselisih mengurangi tuntutannya (3) mediation yaitu penyelesaian melalui pihak ketiga yang diterima para pihak (4)
xvii
Prolog
conciliation yaitu mempertemukan keinginan dari pihak-pihak yang berselisih (5) toleration yaitu adanya pohak-pihak yang menghindari terlibat dalam perselisihan (6) stalemate yaitu para pihak berselisih yang memiliki kekuatan seimbang berhenti pada satu titik tertentu (6) adjudication yaitu penyelesaian tidak tercapai melalui jalan kompromi dan akhirnya ditempuh melalui pengadilan. Dengan merujuk kepada dua model interaksi sosial yaitu asosiatif dan disosiatif maka perlu diperoleh informasi dari para peneliti tentang bentuk interaksi yang lebih dominan pada lokasi penelitian. Kasus-kasu perselisihan yang terjadi erat kaitannya juga dengan peran yang dilakukan FKUB, ormas keagamaan dan tentunya juga yang tidak kalah pentingnya adalah aparat pemerintah daerah sebagai sasaran utama pengambil peran pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama dalam kaitannya pendirian rumah ibadat. Melihat dari tiga kemungkinan yang terjadi izin pendirian atau penertiban bahkan yang lebih kritis lagi penutupan rumah ibadat. Dalam kaitan ini yang terjadi tentunya adalah proses interaksi sosial yang sudah berada pada tahap disosiatif. Pertanyaannya adalah apa yang dilakukan FKUB dan ormas keagamaan lainnya. Proses awal yang diharapkan terjadi adalah terwujudnya upaya membangun kerjasama (cooperation) guna meeujudkan keseimbangan (equilibrium) dan apabila hal itu tidak bisa terwujud maka dilakukan langkah kedua yaitu akomodasi (accomodation) dengan memilih salah satu di antara enam opsi yang ditawarkan di atas. Demikian juga, Pemerintah Daerah setelah mengalami kebuntuan dalam membangun keseimbangan sosial maka harus ada langkah kebijakan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum (adjudication). Akan tetapi dengan kuatnya pertimbangan masa depan jabatan politik maka sedikit sekali Pemerintah Daerah yang melakukan langkah
xviii
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
tersebut. Bahkan yang terkesan adalah membiarkan benih konflik tersebut berlarut-larut dengan harapan pada waktunya akan terjadi kejenuhan dan masyarakat yang berkonflik kembali menemukan kesimbangan baru (stalemate). Pada masyarakat tradisional yang terikat dalam ikatan kekerabatan maka sekalipun mereka memiliki perbedaan kepercayaan akan tetapi masih ada alternatif penyelesaian dengan cara yang lain, yaitu melalui bentuk kearifan lokal. Hal ini disebabkan karena kearifan adalah bersumber dari hasil pengalaman dalam menjaga keseimbangan hidup manusia dengan lingkungan. Sehingga mereka memiliki tokoh panutan yang memiliki ikatan batin dengan rakyat (patron-client relationship). Akan tetapi, oleh karena kreasi lahirnya kearifan lokal bukanlah pekerjaan mudah karena akan membutuhkan waktu serta kesepakatan seluruh warga masyarakat adat. Oleh karena itu, terjadinya perubahan sosial dari fase agraris menuju kepada industri sering terjadi masyarakat akan memasuki babak anomali sehingga terjadi kekaburan jati diri yang melahirkan kejutan budaya. Pada taraf ini, kerarifan lokal tidak lagi berfungsi secara maksimal sementara kearifan lokal baru pada kultur moderen belum berhasil dirumuskan. Dalam kondisi yang seperti itu, maka lahirnya perselisihan akan sulit dicari penyelesaiannya. Oleh karena itu, pemerintah dan FKUB harus sungguh-sungguh mempersiapkan diri dalam melakukan antisipasi terhadap perubahan sosial itu. Melihat adanya bermacam pola perselisihan yang terjadi di berbagai daerah maka hendaknya baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak memandang sederhana persoalan konflik di masyarakat. Sebagai bagian akhir dari prolog ini maka berbagai pihak terkait (stakeholder) hendaknya mengambil peran masing-masing dalam merumuskan secara mendasar strategi
xix
Prolog
penyelesaian konflik akibat pendirian rumah ibadat. Sehingga kebijakan pemeliharaan kerukunan menjadi dasar kebijakan pembangunan pada semua daerah di Indonesia. Rumusan yang menjadi pedoman yuridis formal terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia belum berhasil diwujudkan. Hal ini tentunya menjadi salah satu rekomendasi yang perlu disampaikan kepada pihak yang berwenang untuk itu. Selanjutnya, keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) masih belum dapat berbuat secara maksimal akibat dari keberadaan wadah tersebut belum sepenuhnya memperoleh tempat dalam membangun berbagai langkah kerjasama maupun akomodasi antar umat beragama di Indonesia. Oleh karena itu sudah waktunya dipertimbangkan adanya forum atau badan pengembangan kerukunan yang bersifat nasional yang secara permanen melakukan pembinaan atau monitoring dan evaluasi terhadap seluruh gerakan menuju kerukunan umat beragama di Indonesia. Terakhir, kerukunan umat beragama menuju kerukunan yang dinamis dan aktif bukanlah persoalan yang sederhana. Oleh karena itu, selayaknya dilakukan secara berkesinambungan program sosialisasi gerakan kerukunan sehingga ia merupakan gerakan yang mengakar sampai kepada lapisan masyarakat yang paling bawah.
Bahan Bacaan Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2007 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2006 Elizabeth K Nottingham, Agama Dan Masyarakat, Terjemahan Abdul Muis Naharong, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996.
xx
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2011 Puslitbang Kehidupan Beragama, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media Group, 2004 Tim Peneliti, Perselisihan Terkait Pendirian, Penertiban Dan Penutupan Rumah Ibadat Di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kemenag, 2011
xxi
Prolog
xxii
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
PRAKATA EDITOR
Dalam masyarakat Indonesia yang plural dan sangat beragam dalam berbagai aspek – yakni etnis, sosial, agama, budaya, adat istiadat dan lain-lain – kerukunan hidup umat beragama merupakan hal yang sangat penting. Bahkan kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional. Sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 (Perpres No. 5 tahun 2010 Buku II, bab II:48). Dalam rangka mewujudkan dan memelihara kerukunan umat beragama telah diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, salah satu dari tiga isi pokoknya ialah pendirian rumah ibadat. Pengaturan pendirian rumah ibadat bukanlah intervensi Negara atau pemerintah terhadap agama, melainkan bersifat pengadministrasian saja. Hal ini tampak dalam PBM Bab IV tentang Pendirian Rumah Ibadat Pasal 14, sebagai berikut: Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung.
xxiii
Prakata Editor
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: Daftar nama dan tanda tangan pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3). Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa, rekomendasi tertulis kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Kasus pendirian rumah ibadat yang dijadikan sasaran penelitian adalah pendirian rumah ibadat yang menimbulkan persoalan, baik yang rencana pembangunannya sudah dimulai sejak sebelum atau setelah lahirnya PBM. Lokasi studi kasus pendirian rumah ibadat tersebut meliputi kawasan Indonesia bagian barat, yakni: 1) Kota Tangerang Selatan Prov. Banten; 2) Kota dan Kabupaten Bogor Prov. Jawa Barat; 3) Kabupaten Gresik Prov. Jawa Timur; wilayah bagian tengah meliputi: 1) Kota Palangkaraya Prov Kalimantan Tengah; 2) Kabupaten Badung Prov. Bali; dan bagian timur meliputi: 1) Kota Kupang Provinsi Nusa tenggara Timur; 2) Kota dan Kabupaten Jayapura Prov. Papua. Pemilihan lokasi meliputi tiga wilayah, barat, tengah dan timur, dengan posisi mayoritas dan minoritas umat beragama yang berbeda-beda – wilayah barat mayoritas Muslim, tengah mayoritas Hindu, dan timur mayoritas Katolik dan Kristen dimasudkan untuk mengetahui bagaimana nasib umat beragama
xxiv
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
minoritas (dalam mendirikan rumah ibadat) di lingkungan mayoritas umat beragama yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nasib umat beragama minoritas nyaris sama, mengalami kesulitan dalam mendirikan rumah ibadat. Bukan hanya umat Kristiani yang mengalami kesulitan mendirikan gereja di wilayah barat yang mayoritas Muslim. Tetapi umat Islam minoritas di wilayah tengah (Bali) yang mayoritas Hindu dan di wilayah timur yang mayoritas Katolik dan Kristen juga mengalami kesulitan dalam mendirikan masjid dan mushala yang tidak diatur oleh PBM. Dengan diterbitkannya buku ini diharapkan agar para pembaca dapat mengetahui realita permasalahan seputar rumah ibadat. Selanjutanya bagi umat beragama khususnya bagi kelompok mayoritas – tidak terkecuali di wilayah barat, tengah dan timur – agar bisa bersikap lebih dewasa dan lebih toleran terutama dalam menyikapi pembangunan rumah ibadat di kalangan minoritas. Hal ini dimaksudakan agar kerukunan hidup umat beragama semakin terpelihara.
Jakarta, Oktober 2012 Editor
Haidlor Ali Ahmad
xxv
Prakata Editor
xxvi
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ...
iii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI........................................................................................................
vii
Prolog; Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/ Perselisihan Rumah Ibadat M. Ridwan Lubis .........................................................................................
xi
Prakata Editor ..............................................................................................
xxiii
Daftar Isi ........................................................................................................
xxvii
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten M. Yusuf Asry ................................................................................................
1
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban, dan Penutupan Rumah Ibadat di Kota dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat Akmal Salim Ruhana .................................................................................
57
xxvii
Daftar Isi
Studi Kasus Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Perumnas Kota Baru Driyorejo Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik Titik Suwariyati ............................................................................................
123
Studi Kasus Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat di Kab. Badung, Bali Bashori A. Hakim ......................................................................................... Studi Kasus Rumah Kalimantan Tengah
Ibadat
di
Kota
173
Palangkaraya,
Drs. Mursyid Ali ............................................................................................
213
Studi Kasus Perselisihan Terkait Pendirian, Penertiban, dan Penutupan Rumah Ibadat di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur Haidlor Ali Ahmad ......................................................................................
247
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban, dan Penutupan Rumah Ibadat di Kota/Kab. Jayapura Provinsi Papua Ibnu Hasan Muchtar...................................................................................
xxviii
305
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten
Oleh : M.Yusuf Asry
1
M. Yusuf Asry
2
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
PENDAHULUAN
Keberadaan rumah ibadat bagi pemeluk agama merupakan tempat suci (sacral) dan sekaligus tempat mencari dan memperoleh ketenangan hidup dan harmoni kehidupan, baik dalam relasi dengan Tuhan (hablumminalllah) maupun dengan sesama manusia (hablum minnas). Namun dalam proses pendiriannya dan pelaksanaan atau implementasi dan revitalisasi fungsinya adakalanya mengalamai rintangan dan kesulitan. Kasus terjadi karena penolakan oleh masyarakat, penertiban dan penutupan oleh pemerintah. Permasalahan akibat pendirian rumah ibadat dan pelaksanaan fungsinya telah menjadi gejala atau fenomena global yang mengusik kerukunan antarumat beragama, mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Sebagai contoh adalah rencana pembangunan masjid di kawasan Islamic Center di Ground Zero New York yang berdekatan dengan Gedung Wall Trade Center (WTC) dan Gedung Pertahanan Amerika Serikat yang runtuh oleh benturan pesawat yang dibajak ekstrimis pada tangal 1 September 2001. Sikap kelompok masyarakat Amerika Serikat ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Bahkan timbul gerakan anti masjid yang biasanya dalam bentuk vandalisme dan tuntutan hukum (Republika, 31 Maret 2011:12). Masjid Babri di Kota Ayodhya, India
3
M. Yusuf Asry
dihancurkan oleh sebagian pengikut Hindu telah memicu lahirnya kekerasan dan konflik sosial yang berdampak luas hingga ke wilayah Pakistan dan Bangladesh. Pembakaran Masjid Beit Fajjar oleh pemukim Yahudi di dekat Betlehem juga telah mengganggu proses perdamaian antara Palestina dan Israel. Indonesia sebuah negara yang memiliki penduduk yang mejemuk dengan multiagama (multireligious) seperti adanya pemeluk Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu dan multibudaya (multiculturalisme) seperti dalam etnis, bahasa dan budaya. Para pemeluk agama tersebut mendirikan rumah ibadat masing-masing yang tercatat cukup banyak dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sebagai contoh pada tahun 2004 saja telah mencapai 700.000-an rumah ibadat (Balitbang dan Diklat, 2011:3) Di kalangan umat beragama di Indonesia sebagaimana di belahan bumi lainnya juga terjadi kasus perselisihan seputar pendirian rumah ibadat. Adalah sungguh tepat dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengan Nasional (RPJMN) 2010 – 2014, bahwa permasalahan seputar rumah ibadat perlu mendapat perhatian untuk memelihara kerukunan umat beragama dan pembangunan. Sebagai contoh permasalahan kecil yang fenomenal ialah penolakan warga Ciketing kota Bekasi terhadap rumah tinggal yang dialih-fungsikan sebagai rumah ibadat komunitas Gereja Huria Batak Kristen Protestan (HKBP), dan sekaligus menolak pendiriannya. Penolakan secara tidak langsung terhadap pemberian lokasi rencana pendirian masjid raya oleh warga umat mayoritas dan pemerintah di Meumere, Nusa Tenggara Timur. Demikian pula kasus kesulitan gereja Kristen di daerah tersebut (M. Yusuf Asry dan Akmal Salim Ruhana, 2009). Sekedar menggambarkan kasus perselisihan rumah ibadat di sini dikemukakan hasil pemantauan lembaga swadaya
4
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
masyarakat (LSM) pada tahun 2010. Center for Religious and CrossCultural Studies (CRCS) mencatat 39 kasus (2011:34), The Wahid Institute 62 kasus (22011:117), Setara Institut 59 kasus (2011), dan Moderate Muslim Soceity 81 kasus (2011:12). Hasil pemantauan Kepolisian Republik Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini mengungkapkan kasus yang menonjol terkait masalah agama dan rumah ibadat adalah berbentuk pengrusakan, penyerangan dan protes dari umat beragama lainnya berjumlah 196 kasus. Perinciannya: tempat ibadat Kristiani 142 kasus (gereja 59 kasus, rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadat 60 kasus, ruko dan gedung lainnya 23 kasus), tempat ibadat Islam 20 kasus, Hindu 6 kasus dan tempat ibadat lainnya 2 kasus (Saleh Saaf, 2010: 4). Kasus perselisihan akibat pendirian rumah ibadat tersebut dialami oleh semua pemeluk agama, sebagian pada proses pendirian, dan ada pula dalam rangka penertiban, dan atau penutupan oleh berbagai faktor penyebabnya. Sehubungan fenomena dan fakta tersebut adalah menarik diungkapkan melalui sebuah penelitian tentang perselisihan akibat pendirian rumah ibadat, dan upaya penyelesainnya. Dalam hal ini mereferensi pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tanggal 21 Maret 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Masalah penelitian ini secara umum adalah mengapa terjadi perselisihan dalam pendirian, penertiban dan/atau penutupan rumah ibadat pada berbagai daerah di Indonesia. Secara khusus pertanyaan penelitian ini dirumuskan, yaitu: 1) Bagaimana kualitas perselisihan akibat pendirian rumah ibadat, dan mengapa terjadi perselisihan tersebut? 2) Bagaimana intensitas peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan tersebut? 3) Bagaimana peranan FKUB, majelis agama dan ormas keagamaan dalam penyelesaian
5
M. Yusuf Asry
perselisihan tersebut? 4) Bagaimana respon dan saran masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan tersebut? Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui jawaban dari keempat pertanyaan penelitian dimaksud. Hasil kegiatan berguna: 1) Secara akademis melengkapi temuan penelitian sejenis sebelumnya. Kajian yang menggunakan pendekatan yuridis/regulasi, sosial-budaya dan ekonomi serta agama. 2) Secara praktis menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan tentang pendirian rumah ibadat, dan penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumat ibadat, baik bagi Kementerian Agama maupun Badan Kesbanglinmas, dan FKUB. Majelis-majelis agama dan ormas keagamaan, terutama panitia dan pengurus rumah ibadat. Dalam tulisan ini digunakan beberapa definisi operasional yang meliputi: rumah ibadat, kerukunan umat beragama, perselisahan, kompleksitas, intensitas, dan peran. Rumah ibadat ialah bangunan yang memiliki ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Kerukunan umat beragama ialah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 1). Kerukunan umat beragama ialah kerjasama aktivitas sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Perselisihan adalah bersimpangan. Bersimpangan sikap dan pendapat tentang pendirian rumah ibadat yang terlihat pada sikap setuju dan tidak setuju atau pro-kontra. Perselisihan di sini antara pihak panitia, pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan masyarakat setempat, dan/atau dengan pihak
6
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
lainnya seperti pemerintah daerah, Kantor Kementerian Agama dan FKUB. Substansi yang dipermasalahkan meliputi: pendirian, penertiban dan/atau penutupan rumah ibadat. Acuannya ialah PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab VI tentang Penyelesaian Perselisihan pasal 21 dan 22 yang terkait Bab IV tentang Pendirian Rumah Ibadat Pasal 13, 14, 15, 16 dan 17, dan Bab V tentang Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagai Tempat Peribatan Pasal 18 dan 19. Kompleksitas berarti kerumitan atau kesulitan dalam proses penyelesaian perselisihan tentang pendirian rumah ibadat. Intensitas berarti kesungguhan dalam penyelesaian perselisihan dalam pendirian rumah ibadat yang terlihat dari prosesnya melalui musyawarah hingga ke pengadilan. Peran ialah pelaksanaan tugas penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat, dan/atau pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadah tanpa izin. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan rumah ibadat dalam rangka implementasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Di antaranya dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan ialah penelitian dengan judul Efektivitas Sosialisasi PBM (2007), Revitalisasi Wadah Kerukunan di Berbagai Daerah di Indonesia (2009), dan Penelitian Rumah Ibadat (2010). Di antara hasil penelitian tersebut, bahwa dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah ibadat menyatakan telah mengetahuinya meski belum optimal. Pedoman tersebut umumnya dilaksanakan oleh panitia pembangun rumah ibadat yang menyadari pentingnya, dan berwawasan ke depan. Sedangkan di pedesaan, dan terutama pada penganut agama mayoritas di suatu tempat tampak belum menjadikan PBM sebagai pedoman prioritas dalam pendirian rumah ibadat. Rumah ibadat yang pembangunannya diterima dengan damai adalah yang memenuhi aturan PBM dan peraturan
7
M. Yusuf Asry
Pemerintah Daerah. Faktor komunikasi dan dan nilai-nilai kearifan lokal yang terpelihara berperan sebagai media pendekatan. Pendirian rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan penolakan lebih disebabkan oleh faktor perbedaan paham keagamaan, dan berbagai kepentingan para elite agama dan prestise sosial, pengembangan jumlah umat, kepentingan ekonomi dan kekuasaan, ego mayoritas dan arogansi minoritas. Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang dikomunikasikan oleh media mass, dan oleh sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seakan terbebankan hanya pada umat Kristiani. Sesungguhnya juga terbebankan pada umat lain seperti Islam, Hindu dan Buddha yang menempati posisi minoritas di tengah pemeluk agama mayoritas. Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan pendirian rumah ibadat disarankan agar disiplin mematuhi aturan PBM, dan mengamalkan kearifan lokal yang mendukung dan toleransi sosial. Berbeda dengan penelitian ini yang berupaya mengungkap secara spesifik perselisihan seputar pendirian rumah ibadat hingga penertiban, dan atau penutupan, serta upaya dan hasil penyelesaiannya. Penelitian ini dilakukan pada lokasi yang berbeda. Dengan demikian diharapkan tulisan ini akan melengkapi hasil penelitian sebelumnya. Kerangka pikir berangkat dari kondisi saat ini adanya fenomena dan fakta perselisihan seputar pendirian dan pelaksanaan fungsi rumah ibadat, baik pada tataran global maupun nasional. Perselisihan tersebut mencakup penolakan, penertiban dan penutupan rumah ibadat. Suatu penyelesaian perselisihan mengacu pada PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab VI pasal 21 dan 22, yaitu melalui musyawarah, dan jika tidak dicapai, penyselesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan. Aspek yang dilihat dalam penelitian ini ialah pada kompleksitas perselisihan, sebab
8
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
perselisihan, intensitas peran pemerintah, FKUB, majelis agama dan ormas keagamaan dalam upaya penyelesaian perselisihan, respon dan saran masyarakat terhadap penyelesaian perselisihan. Acuan analisisnya menggukan pendekatan: regulasi, sosial budaya dan ekonomi, serta agama. Kondisi yang diharapkan ialah terselesaikan perselisihan sehingga terpelihara kerukunan antarumat beragama, terjaga ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Secara ringkas kerangka pikir tersebut disusun dalam gambar sebagai berikut:
Bagan Kerangka Pikir
9
M. Yusuf Asry
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Kecamatan Pamulang dan Kecamatan Serpong Utara Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, dengan pertimbangan: 1) Penganut agama beragam (heterogin), yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu; 2) Terdapat kasus perselisihan rumah ibadat, (a) antara Kristen dan masyarakat, dan (b) antara Buddha dan pengembang (developer) perumahan serta pemerintah daerah; 3) Dalam perselisihan terlibat masyarakat, pemerintah, FKUB, dan ormas keagamaan. Unit analisis penelitian ini ialah: 1) Gereja Bethel Indonesia (GBI) “ Kunir”, Jln Kunir No. 85, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Kecamatan Pamulang. 2) Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) “Jemaat Efatta” Jln. Puri Raya Blok D6 No. 1-2, Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, dan 3) Vihara Siripada Jln. Raya Serpong Blok B/10 No. 54 Perum Vila Melati Mas, Serpong Utara. Data dihimpun melalui studi kepustakaan/dokumen, wawancara dan pengamatan. Narasumber sebanyak 18 informan meliputi unsur: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, Kantor Pemerintah Daerah dan Kesbanglinmas, BP2T, KUA, Lurah, pengurus FKUB, pengurus majelis-majelis agama, pimpinan ormas keagamaan, pengurus rumah ibadat dan warga masyarakat. Pengamatan dilakukan pada tiap rumah ibadat yang diperselisihkan. Analisis data kualitatif menggunakan tiga alur kegiatan yaitu: reduksi data, penyajian data dan verifikasi penarikan kesimpulan (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992 : 1520). Hasil penelitian sementara dipresentasikan pada saat di lapangan dengan 20 nara sumber dari para pihak yang berselisih, dan yang terlibat dalam upaya penyelesaian perselisihan. Tulisan ini merupakan ringkasan hasil penelitian tersebut yang disusun atas
10
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
lima bagian, yaitu: 1) Pendahuluan, 2) Selayang Pandang Kota Tangerang Selatan dari tingkat kota hingga dua kecamatan yang merupakan lokus penelitian ini, 3) Temuan hasil penelitian, 4) Analisis, dan 5) Kesimpulan dan rekomendasi.
11
M. Yusuf Asry
12
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
SELAYANG PANDANG KOTA TANGERANG SELATAN
Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu dari delapan kabupaten/kota di Provinsi Banten. Daerah ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang pada tahun 2008. Luas wilayah Kota Tangerang Selatan mencapai 147,19 km2 atau 1,52% dari luas wilayah Provinsi Banten dengan batas-batas: sebelah utara Kecamatan Pinang, Kecamatan Larangan dan Kecamatan Ciledug Kota Tangerang; sebelah timur Kota Jakarta Selatan; sebelah selatan Kota Depok dan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat; dan sebelah barat Kecamatan Cisauk Pagedangan dan Kecamatan Kelapa Dua Kabupaten Tangerang. Secara administratif Kota Tangerang Selatan terbagi pada 7 kecamatan yaitu: Kecamatan Serpong, Serpong Utara, Pondok Aren, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang dan Kecamatan Setu (BPS Provinsi Banten, 210: 9 dan 40). Penduduk Kota Tangerang Selatan tahun 2009 tercatat 1.303.569 jiwa, terdiri dari: 658.701 laki-laki (50,53%) dan 644.868 perempuan (49,47%) (BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2010). (BPS Provinsi Banten, Hasil Sensus Penduduk 2010/ SP 2010: 6,10 dan 13). Kota Tangerang Selatan dihuni banyak suku, di antaranya yang dominan secara berurutan ialah etnis Betawi, Sunda,
13
M. Yusuf Asry
Jawa, Cina, Minang dan Batak. Etnis asli ialah Betawi dan Sunda. Selebihnya adalah pendatang. Dalam kehidupan sosial budaya, khususnya di Kecamatan Pamulang dan Serpong Utara sebagian besar beragama Islam. Pada masa lalu kental dengan tradisi, dan mulai berubah sejak marak gerakan dakwah dan pengajian, komunikasi dan silahturahim terbuka. Ada pameo, “sekali orang datang ke Tangerang, berat untuk meninggalkannya”. Pendatang menjadi orang Tangerang (Ahmad Djabir, Abdul Rozak, 2010: 6). Dari segi pendidikan pada tahun 2009 data Kota Tangerang Selatan masih menyatu dengan Kabupaten Tangerang, yaitu: tidak tamat SD 23,45%, tamat SD 24,03%, Tamat SLTP 19,84%, tamat SLTA 26,14%, D1&2 0,52%, D3&S1 6,01% (BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2010: 115116). Dari segi ekonomi yang menonjol ialah aktivitas perdagangan, industri, jasa, dan sebagaian kecil pertanian, sebagai suatu profesi penduduk asli. Kehidupan keagamaan di Kota Tangerang Selatan secara umum tercermin pada lambang Provinsi Banten dalam bentuk ”Kubah Masjid”. Hal ini melambangkan kultur masyarakat Banten yang agamis, termasuk Kota Tangerang Selatan. Agama mayoritas Islam. Komposisi pemeluk agama terdiri dari Islam 949,340 jiwa (90.76%), Kristen 51.970 jiwa (4.97%), Katolik 33.799 jiwa (3.23%), Hindu 2.144 jiwa (0,20%), Buddha 8.447 jiwa (0,81%), Khonghucu 250 jiwa (0.02%) dan Kepercayaan 7 jiwa. Ormas keagamaan tumbuh dan berkembang. Di antaranya terdapat 25 ormas Islam. (Kesbanglinmas, Daftar dan Nama Ormas, Organisasi Kepemudaaan dan LSM Kota Tangerang Selatan, 2009), yang berpengaruh dominan ialah NU, Muhammadiyah dan MUI.
14
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Pamulang sebuah kecamatan yang berada di pusat pemerintahan di Kota Tangerang Selatan. Luas wilayahnya mencapai 2.123,891 ha, berbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Ciputat, selatan dan timur dengan Kota Depok, serta sebelah barat dengan Kecamatan Serpong (Profile Kota Tangerang Selatan, 2009:1). Pamulang terdiri dari 8 Kelurahan, 162 RW dan 851 RT. Kedelapan kelurahan dimaksud yaitu : Kedaung, Pamulang Barat, Pondok Benda, Pondok Cabe Ilir, Bambu Apus, Pamulang Timur dan Benda Baru (Profile Kota Tangsel, 2009:1). Penduduk Pamulang menurut data bulan Januari 2011 berjumlah 231.222 jiwa yang terdiri dari laki-laki 117.133 jiwa (50,66%) dan perempuan 114.089 jiwa (49,34%). (Kecamatan Pamulang: 2011). Mayoritas penduduk kecamatan ini ialah etnis Betawi dan Sunda. Selebihnya yang dominan secara berurutan ialah suku Jawa, Tionghoa, Minang dan Batak. Salah satu dari kelurahan tersebut, Pondok Cabe Udik terdapat lokasi GBI Kunir yang menjadi sasaran penelitian ini. Kecamatan Serpong Utara memiliki luas wilayah 2.560.298 ha yang berbatasan dengan kecamatan-kecamatan, di sebelah selatan dengan Kecamatan Setu, barat dengan Kecamatan Cisauk dan sebelah timur dengan Kecamatan Pamulang dan Ciputat. Kecamatan Serpong Utara terdiri dari 9 Kelurahan, 101 RW dan 412 RT. Penduduk Serpong Utara pada tahun 2010 berjumlah 106.745 jiwa yang terdiri dari 53.065 laki-laki (49,71%) dan 53.680 perempuan (50,29%). Vihara Siripada yang menjadi sasaran penelitian ini terletak di Jelupang.
15
M. Yusuf Asry
1.
KASUS PERSELISIHAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT DAN PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG SEBAGAI TEMPAT IBADAT a. Pembangunan Pamulang
Gereja
Bethel
Indonesia
Lokasi Pembangunan Fisik GBI “Kunir”
16
“Kunir”,
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
17
M. Yusuf Asry
18
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
PROFIL SINGKAT NAMA
:
GEREJA BHETEL INDONESIA “KUNIR”
ALAMAT
:
JL. KUNIR NO. 85 KEL. PONDOK CABE UDIK, KECAMATAN PAMULANG, KOTA TANGERANG SELATAN
BERDIRI
:
TAHUN 2003
KEBAKTIAN
:
DI PT FABIOLA JL.KUNIR NO. 56A
SEKERTARIAT
:
KOMPLEK RUKO PONDOK CABE MUTIARA BLOK B12, CIPUTAT
PIMPINAN
:
PDT ICHWAN DARMAWAN
PENDETA
:
PDT ICHWAN DARMAWAN
JEMAAT
:
± 245 ORANG (DEWASA, REMAJA DAN ANAK-ANAK)
KASUS
:
2004 DAN 2010
PIHAK TERLIBAT
:
WARGA, GBI DAN KANTOR KEMENAG SEBAB UTAMA : 1)
PEMELUK GEREJA GBI PERLU RUMAH IBADAT PERMANEN (FAKTOR AGAMA)
2)
PENDIRIAN GEREJA DINILAI BERLEBIHAN DARI KEBUTUHAN UMAT YANG NYATA DAN SUNGGUHSUNGGUH (FAKTOR REGULASI)
3)
PENDIRIAN GEREJA DI TENGAH UMAT BERAGAMA LAIN DIKHAWATIRKAN
19
M. Yusuf Asry
TERJADI AGAMA)
1)
PEMURTADAN
(FAKTOR
4)
RELASI PENGURUS GBI DAN PEMUKA AGAMA SERTA TOKOH MASYARAKAT KURANG KOMUNIKATIF (FAKTOR SOSIAL-BUDAYA).
5)
TANDA TANGAN PERSETUJUAN PENDIRIAN GEREJA DITAWARKAN IMBALAN DANA (FAKTOR EKONOMI)
Perdirian Gereja Bhetel Indonesia “Kunir”
Menurut Pdt. Ichwan Darmawan, selaku pimpinan Jemaat Gereja Bethel Indonesia “Kunir”, bahwa aktivitas pembinaan iman Kristiani di Pondok Cabe Udik telah diselenggarakan sejak tahun 2003. Saat ini anggota GBI mencapai 135 orang dewasa, 50 pemuda/ remaja, dan 60 anak-anak. Pada tanggal 31 Agustus 2004 GBI didaftarkan pada Kementerian Agama Provinsi Banten Up. Bimas Kristen Protestan di bawah Kepala Pembimas Youke Lougal, S.PAK (Surat No. KW.28/I/BA.00/010/2004). Sebelumnya, induk Gereja ini telah terdaftar di Ditjen Bimas Kristen Protestan Kementerian Agama pada tahun 1989 (SK No. 41 Tahun 1979 dan No. 211 tanggal 2 Nopember 1989). Sejak berdiri GBI “Kunir” tahun 2003, aktivitas peribadatan dilakukan pada sebuah ruangan milik PT Fabiola di Jln Kunir No. 56A. Pada tahun 2004, GBI bermaksud mendirikan sebuah bangunan gereja yang permanen dengan membeli sebidang tanah bekas sirkuit seluas 2.948m2, sertifikat hak milik di Jalan Kunir No. 83 RW. 05 Pondok Cabe Udik.
20
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Pendirian GBI telah mendapat rekomendasi persetujuan dari berbagai pihak terkait: 1) Kepala Desa Pondok Cabe Udik (surat No. 640/DS/PKU/2004 tanggal 20 Agustus 2004), 2) Camat Pamulang (surat No. 452/09 tanggal 4 Agustus 2004), 4) Kepala Kepolisian Sektor Pamulang (surat No. Pol 893/IX/2004/SekPam tanggal 16 September 2004), 5) Koramil Ciputat (surat No. B/19006/IX/2004 tanggal 30 September 2004), 5) Komandan Kodim 0506 Tangerang (surat No B/110-5/2/204 tgl 16 Februari 2005), 6) Warga lingkungan RT 01,02, 05 RW 05 Kepala Desa Pondok Cabe Udik untuk pembuatan IMB GBI (2 Agustus 2004). 7) Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang tidak berkeberatan atas pembangunan rumah ibadat GBI Pondok Mutiara dengan pertimbangan dan keputusan selanjutnya menjadi wewenang Bupati (surat No. B.09/0.6.11/dps.5/03/2005 tanggal 18 Maret 2005), 8) Badan Pekerja Daerah Banten GBI (surat No. 062 tanggal 27 April 2009), 9) Rekomendasi persetujuan Kementerian Agama Kabupaten Tangerang (surat No. Kd.28.04 /BA.01.2/863/2006 tanggal 8 Agustus 2006) dan FKUB Kabupaten Tangerang/FKUB KAB.PMG/VII/2008 tanggal 22 Juli 2008. Selain itu terdapat Pernyataan Polres Metro Jakarta Selatan, bahwa tidak ada kewajiban/kewenangan/keharusan serta tidak pada tempatnya Kepolisian Resort Jakarta Selatan untuk memberikan pendapat/ rekomendasi tentang pendirian tempat ibadat (surat No. Pol.B/479/III/2005/Resjaksel tanggal 1 Maret 2005). Atas dasar rekomendasi persetujuan/pernyataan tidak keberatan untuk pembangunan GBI tersebut, maka Pendeta Muda Ichwan Darmawan mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) GBI di Jalan Kunir No. 83 di atas tanah hak milik sertifikat yang diketahui Camat Pamulang. Surat permohonan dilampiri site plan bangunan yang disahkan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) dengan tinggi bangunan 4 lantai (16M),
21
M. Yusuf Asry
luas bangunan fisik 834,6 M2, di atas tanah 2.948 M2 (surat No.653.1/9701-BP2T/2009 tanggal 29 September 2009). Pada tanggal 10 September 2009, Bupati Tangerang (H. Ismed Iskandar) menerbitkan Surat Keputusan tentang izin pemanfaatan ruang kepada pemohon Ichwan Darmawan untuk sarana ibadat Gereja GBI Pondok Cabe Udik, Pamulang (Keputusan No. 653/KEP9143-BP2T/2009). Pada tanggal 23 November 2009, Bupati Tangerang menerbitkan Keputusan No.645/11366BP2T/2009 tentang IMB. Dalam waktu 12 bulan sejak dikeluarkan IMB tidak ada pelaksanaan kegiatan, maka izin tersebut batal dengan sendirinya. Pada awal bulan Juli 2010 akan dimulai pembangunan fisik GBI dengan mengerahkan mesin alat berat, dengan diupayakan tidak mengganggu warga sekitar (Ichwan Darwawan: 24 dan 25 Februari 2011). Pada saat akan mulai pemasangan tiang pancang pendirian GBI tersebut terjadi demonstrasi penolakan yang diikuti pengajuan surat keberatan kepada pihak yang berwenang (Aep Safrudin, H. Nana Suardi dan Leni Kurniasih: 26 Februari 2011).
Penolakan Masyarakat Pada tanggal 22 Desember 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Pamulang menyampaikan hasil survei Tim Khusus menjawab permintaan Pdt. Ichwan Darmawan pimpinan Jemaat GBI tentang rencana perdirian gereja di Jln Kunir, Pondok Cabe Udik. Dalam surat tersebut dikemukakan jumlah penduduk dewasa di RW 05 sebanyak 988 jiwa yang terdiri dari: 572 Islam memiliki sebuah masjid dan 2 mushalla, 218 Kristen dan Katolik memiliki 2 gereja, 1 kapel dan 1 tempat ibadat, 140 umat Buddha mempunyai 2 vihara, dan 58 khonghucu memiliki 1 kelenteng. Masyarakat sekitar mayoritas Muslim menolak rencana pembangunan GBI di
22
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Jalan Kunir RW 05 Pondok Cabe Udik (surat tanggal 14 Desember 2004). Pada tanggal 22 Desember 2004, MUI Kecamatan Pamulang menyatakan bahwa mayoritas Muslim di RW 05/RT 03 menolak pembangunan GBI secara terang-terangan (surat No.41/MUI/XII/ 2004). Penolakan dengan alasan: desain pembangunan GBI yang besar dan megah sedangkan penganut Kristen dan Katolik yang dewasa sebanyak 218 orang, dan itupun telah berdiri 4 tempat ibadat (2 gereja, 1 kapel dan 1 tempat ibadat). Jarak antargereja yang ada hanya sekitar 150m. Penduduk sekitarnya mayoritas Muslim. Pada tanggal 18 September 2006, MUI Kecamatan Pamulang merekomendasikan kepada Kepala Kantor Kemenag dan Bupati Tangerang perihal persetujan pendirian GBI dicabut karena tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, pada saat peninjauan lapangan tanpa mengikutsertakan aparat dan tokoh masyarakat setempat, dan rekomendasi tersebut tidak mengacu pada PBM Bab 4 pasal 13 mengenai pendirian rumah ibadat, serta disarankan mengoptimalkan penggunaan gereja yang ada (surat No.47/MUI/PML/IX/2006 tanggal 18 September 2006). Pada tanggal 23 September 2006, Tim Peninjau dan Survei MUI juga menyatakan kepada Kemenag Kabupaten Tangerang bahwa rekomendasi yang diberikan tanpa pengecekan keabsahan data di lapangan. Selanjutnya atas nama masyarakat Pondok Cabe Udik mengharapkan agar Walikota Tangerang Selatan melaksanakan Keputusan Walikota No. 47 tentang penyelenggaraan perizinan terhitung tanggal 3 Agustus 2009, dengan meninjau Keputusan Bupati Tangerang perihal IMB GBI yang dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 2009 (surat No.645/11366-BP2T/2006). Keputusan Bupati Tangerang “batal demi hukum”. Selanjutnya mengusulkan kepada Kementerian
23
M. Yusuf Asry
Agama agar mencabut rekomendasi persetujuan pendirian GBI yang disampaikan kepada Bupati dalam rangka pembatalan IMB GBI (surat tertanggal 11 April 2010). Pada tanggal 15 Juli 2010, atas nama masyarakat Pondok Cabe Udik menyampaikan surat kepada Ketua DPRD Kota Tangerang Selatan “kiranya berkenan mengawal dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang menolak rencana pembangunan GBI. Warga RW 05 bersama masyarakat Pondok Cabe Udik menyatakan berkeberatan atas didirikan GBI di Jalan Kunir No. 83. Unsur masyarakat meliputi pengurus masjid dan mushola majelis-majelis taklim, Ikatan Remaja Masjid, tokoh pemuda dan pengurus Persatuan Iman Tauhid Islam (PITI/Tionghoa), ormas Muhammadiyah setempat dan LSM Perkasa. Alasan penolakan antara lain: di RW 05 Pondok Cabe Udik telah berdiri 2 Gereja Kristen yaitu GBIS, dan GPdI. Bangunan gereja yang ada cukup menampung jemaat Kristiani dalam beribadat. Penerbitan IMB seharusnya dikeluarkan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan, dan bukan oleh pemerintah Kabupaten Tangerang. Selain itu bangunan GBI yang direncanakan sesuai site plan seluas 834.6m2 berlantai 4. Sedangkan jumlah umat GBI hanya sebanyak 245 orang. Lokasi tanah GBI tersebut berbatasan dengan Mushola Al-Kautsar, dan disekelilingnya rumah warga Muslim. Semula warga tidak tahu tentang peruntukan lokasi tersebut untuk rumah ibadat GBI. Disarankan agar umat Kristiani memanfaatkan gereja yang ada. Dampak perselisihan tersebut berdampak lahirnya “sikap kaku” antara pendeta dan pihak gereja dengan warga. Relasi pemeluk agama tampak “kurang cair”. Sekalipun kerjasama antarumat beragama tetap terbuka, tetapi untuk penolokan pendirian gereja baru oleh sementara warga dianggap “harga mati”. Konsensus tampak sulit diwujudkan kecuali pembangunannya
24
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
dipindahkan ke daerah lain (Nana Suardi, 26 Februari 2011). Perselisihan ini mereda sementara menunggu selesai pemilihan kepala daerah (Pilkada ulang dilaksanakan pada tanggal 27 Februari 2011).
Upaya Penyelesaian Perselisihan Untuk kasus perselisihan pendirian GBI “Kunir”, Pemerintah, institusi penegak hukum dan FKUB telah memberikan surat/rekomendasi persetujuan untuk pendiriannya. Mulai dari Camat Pamulang (2004), Polri Metro Jaya (2004), Kodim 0506 (2004), Korem 052 (2005), Kejari (2005) hingga Kemenag Kabupaten Tangerang (2008) dan FKUB (2008). Bupati Tangerang menerbitkan IMB GBI tanggal 23 Nopember 2009, sesudah pemekaran Kota Tengerang Selatan dari Kabupaten Tangerang pada tahun 2008. Sedangkan Perwako No. 47 terbit pada tahun 2009 yang menyatakan perizinan diurus oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan berlaku sejak tanggal 3 Agustus 2009. Proses perijinan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang sejak tahun 2004. IMB baru terbit pada tanggal 23 November 2009. Untuk menyelesaikan perselisihan antara pendirian dan penolakan pembangunan GBI “Kunir”, maka pada tahun 2010, Walikota Tangerang Selatan mengeluarkan surat berisi “Penghentian Pembangunan Fisik Gereja Bethel” (surat No.645.8/2243/kesra/ Setda/2010 tanggal 16 Juli 2010). Adapun pertimbangannnya ialah : 1) Masyarakat sekitar keberatan sehingga dikhawatirkan timbul gejolak keresahan masyarakat, 2) Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah membuka pelayanan perizinan sejak tanggal 1 Agustus 2009, termasuk IMB, dan 3) IMB GBI yang dikeluarkan oleh Pemetintah Kabupaten Tangerang tanggal 23
25
M. Yusuf Asry
Nopember 2009 bertentangan dengan Tangerang Selatan No. 47 tahun 2009.
Peraturan
Walikota
Majelis agama dan ormas keagamaan tidak terlihat perannya dalam mengatasi perselisihan dalam pendiririan GBI tersebut. Demikian pula tidak terlihat peran dari kalangan LSM dan perguruan Tinggi dalam penyelesaian perselisihan tersebut.
Respon dan Saran Masyarakat Respon masyarakat terhadap penyelesaian perselisihan tentang pendirian GBI.: 1) Pemerintah mengeluarkan rekomendasi persetujuan pendirian GBI tanpa komunikasi dengan para pihak yang berselisih. 2) Penerbitan IMB GBI tanpa izin lingkungan padahal sejak tahun 2004 telah ditolak oleh masyarakat. 3) IMB batal demi hukum karena melewati batas waktu 12 bulan. 4) Site plan bangunan GBI sangat megah dan luas melebihi keperluan nyata dibandingkan jumlah jemaat, dan gereja sejenis telah berdiri di RW 05 Pondok Cabe Udik. Masyarakat menyarankan: 1) GBI beribadat menyatu dengan gereja di RW 05. 2) Pemerintah dan pihak GBI agar melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk musyawarah mengatasi perselisihan terhadap pendirian GBI. 3) Memproses kembali IMB baru.
26
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
b. Rumah Tinggal sebagai Tempat Ibadat Komunitas Gereja Pentakosta di Indonesia “Jemaat Efatta”, Komplek Perum Puri Pamulang c. Gambar Rumah Tinggal yang Dimanfaatkan Sebagai Tempat Ibadat Komunitas GPdI
27
M. Yusuf Asry
PROFIL SINGKAT NAMA
:
KOMUNITAS GEREJA PANTEKOSTA DI INDONESIA (GPdI) JEMAAT EFATA
ALAMAT
:
JL. PURI RAYA BLOK D6 NO.1/2 RT 04 RW 25 KELURAHAN PAMULANG BARAT, KECAMATAN PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN
KEGIATAN
:
MULAI TAHUN 2006
PIMPINAN
:
Pdt.YOSEPH SUMAKUL, S.Th
PENDETA
:
Pdt.YOSEPH SUMAKUL, S.Th
JEMAAT
:
30 ORANG (DEWASA & REMAJA)
KASUS
:
DESEMBER 2009
PIHAK TERLIBAT
:
WARGA, GPdI DAN KANTOR KEMENAG
SEBAB UTAMA
: 1) PEMELUK GPdI BUTUH FASOS UNTUK RUMAH IBADAT PERMANEN (FAKTOR AGAMA) 2) MENGGANGGU KETETIBAN UMUM (FAKTOR REGULASI) 3) PERMOHONAN IZIN PEMANFAATAN RUMAH TINGGAL SEBAGAI TEMPAT IBADAT (FAKTOR REGULASI) 4) RELASI DAN KOMUNIKASI PIMPINAN GPdI DAN PEMUKA AGAMA KURANG KOMUNIKATIF (FAKTOR SOSIAL BUDAYA)
28
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Rumah Tinggal sebagai Tempat Ibadat GPdI “Jemaat Efatta” Menurut Pdt. Joseph Sumakul S.Th pimpinan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Efatta, bahwa ia menempati rumah tempat tinggalnya di Jalan Puri Raya Blok D6 No. 1 dan 2 RT 04/RW25, Kelurahan Pamulang Barat pada tahun 2006. Pada awal menempati rumah tersebut bulan Oktober 2006 Pdt. Sumakul melapor kepada Ketua RT Syahban yang ketika itu RT 7 RW10 Pamulang Barat. Di samping itu juga memberitahukan penyelenggaraan pembinaan iman Kristiani bersama keluarga dan warga seiman pada tiap hari Minggu. Sejak tahun 2006 hingga 2009 aktivitas pembinaan dan peribadatan umat GPdI di Puri Raya Pamulang Barat berlangsung lancar dan aman. Pada tahun 2008 terjadi penggantian ketua RT dari Syahban kepada Sulis Setiono, yang pada saat terjadi perselisihan Sulis menjadi ketua RW 25. Pada tahun 2009 terjadi demonstrasi oleh warga terhadap pelaksanaan peribadatan GPdI di Jalan Puri Raya. Diduga protes muncul sebagai dampak perkelahian antara warga RT 04 (Alif) dengan Ketua RT 03 bernama Hook yang berkebetulan beragama Kristen pada tanggal 5 Desember 2009. Karena peran Polsek Pamulang, masalah tersebut dapat didamaikan. Namun pada tanggal 10 Desember 2009 terpetik isu akan tejadi demo ke rumah Pdt Joseph Sumakul. Pdt.Sumakul meminta bantuan Polsek untuk mengamankan perayaan Natal tanggal 13 Desember 2009. Pada tanggal 20 Desember 2009 terjadi pengumpulan tandatangan atas dokumen yang berisi keberatan atas kegiatan peribadatan di rumah Pdt. Sumakul. Pernyataan tersebut ditanda-tangani oleh warga RT04 dan RT03 dengan alasan “mengganggu ketertiban umum”.
29
M. Yusuf Asry
Pada tanggal 27 Desember 2009 ketua RW 25 Sulis Setyono memfasilitasi pertemuan yang dihadiri sekitar 50 warga RT 04 dan RW sekitarnya untuk mencari solusi atas penolakan warga atas pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat. Namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Atas saran Purwanto (Kanit Polsek Pamulang) agar kedua belah pihak mengajukan penyelesaian perselisihan kepada pemerintah dan FKUB. Pendeta Sumakul juga meminta tandatangan dari beberapa warga sekitar rumahnya yang berisi pernyataan “tidak keberatan” adanya kegiatan peribadatan di rumah Pdt. Joseph Sumakul. Pernyataan mana disampaikan kepada Camat melalui Sekretaris Camat Oki Pudianto. Namun hingga tanggal 16 Juni 2010, bahkan hingga saat ini belum tercapai penyelesaian. Dengan adanya aksi demo warga terhadap kegiatan peribadatan di rumah tempat tinggal tersebut, Pdt. Sumakul mengupayakan mediasi melalui surat kepada berbagai pihak : 1) MUI Kota Tangerang Selatan “untuk menengahi dan mengarahkan umat Muslim di Perum Pamulang agar bisa saling menghormati umat beragama” (16 uni 2010); 2) Ketua Komnas HAM RI “untuk dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah kami ini, dan memperjuangkan hak-hak kami untuk dapat melakukan kewajiban kami sebagai umat beragama” (No. 04/JE/PAM/7/2010 tanggal 15 Juli 2010); 3) Lurah Pamulang Barat untuk menginformasikan sebanyak 14 warga RT04 /RW25 Pamulang Barat yang menandatangani pernyataan tidak keberatan atas keberadaan tempat peribadatan umat Kristen (12 Februari 2010). Selanjutnya juga mengirim surat kepada: 4) Ketua FKUB yang menginformasikan adanya ancaman dan tidak adanya
30
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
kesimpulan musyawarah dengan Camat Pamulang. Memohon kepada FKUB untuk mengadakan mediasi dengan Ketua RW 25 Pamulang Barat (No. 02/JE/PAM/VII/2010 tanggal 8 Juli 2010), dan menyampaikan bahwa Sekertaris FKUB (Fachruddin) memfitnah Pdt. Joseph Sumakul, mohon ditangani kembali demi terciptanya keadilan dan kerukunan umat beragama (No. 01/JE/PAM/VII/2010 tanggal 8 Juli 2010), dan Walikota Tangerang Selatan berisi pernyataan yang ditandatangani oleh warga Kristen/Katolik di Perumahan Puri Pamulang sebanyak 130 orang dari 64 KK meminta sarana fasilitas umum untuk pembinaan umat Kristen, sekaligus menginformasikan pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat pembinaan kerohaniaan iman Kristiani (28 Desember 2010). Alasan penyelenggaraan ibadah rutin tiap minggu di Perum Puri Pamulang menurut Pdt. Joseph Sumakul ialah karena : 1) Kebutuhan akan tempat beribadat dan pembinaan keimanan keluarga beserta warga Perum Puri Pamulang dan sekitarnya; 2) Belum ada sarana tempat ibadat khusus bagi umat Kristiani di Puri Pamulang; 3) Tidak ada fasum/fasos untuk gereja yang permanen, sedangkan jumlah umat semakin bertambah dan perlu rumah ibadat yang permanen.
Keberatan Masyarakat Pada tanggal 18 Desember 2009 warga Komplek Puri Pamulang menyatakan “merasa keberatan atas penggunaan rumah pribadi milik Pdt. Joseph Sumakul, S.Th sebagai tempat ibadat/ kebaktian/gereja (GPdI Jemaat Efata). Alasan keberatan pemanfaatan rumah tempat tinggal sebagai tempat kegiatan peribatan secara rutin ialah: 1)
31
M. Yusuf Asry
“mengganggu ketertiban umum” karena konsentrasi massa yang dapat semakin bertambah; 2) Perparkiran dapat mengganggu lalulintas jalan umum. Apabila kegiatan peribadatan tersebut dibiarkan/diteruskan akan dapat menyulut konflik yang bermuatan SARA (Pernyataan ditandatangani oleh 48 warga RW 25 yang diketahui oleh Ketua RT 03 dan Ketua RW 25 Kelurahan Pamulang Barat).
Upaya Penyelesaian Perselisihan Pada tanggal 27 Desember 2009, Ketua RW 25 Perum Puri Pamulang Barat (Sulis Setiono) menyelenggarakan pertemuan mencari solusi tentang protes masyarakat terhadapat aktivitas jemaat GPdI yang dihadiri sekitar 50 warga, termasuk Pdt. Joseph Sumakul di lapangan RT 04. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Pada tanggal 1 Februari 2010, Sekertaris Camat mengundang rapat pihak terkait di Kantor Kecamatan Pamulang. Rapat juga tidak menghasilkan kesepakatan. Pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2010, Camat Pamulang mengundang rapat 10 orang yang dihadiri pihak terkait di Kantor Kecamatan Pamulang. Rapat tersebut juga tidak menghasilkan kesepakatan. Perselisihan pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat rutin mingguan di rumah Pdt. Joseph Sumakul hingga penelitian ini dilakukan belum ada solusinya. Sejumlah lembaga dan pemerintah yang dimintai sebagai mediator dalam penyesesaian perselisihan tersebut juga tidak semua memberikan tanggapan secara nyata.
Respon dan Saran Masyarakat
32
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Respon masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan antara pemanfaatan rumah tempat tinggal sebagai tempat peribadatan rutin oleh jemaat GPdI Puri Pamulang dengan yang berkeberatan belum terdapat titik temu. Di antaranya ialah 1) FKUB seharusnya mencarikan solusinya secara intensif. 2) GPdI terkesan memaksakan kehendak untuk mendapatkan fasos atau fasum untuk pembangunan gereja yang permanen dari kelurahan. 3) Pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat tidak perlu izin sementara, karena selama tidak dipermasalahkan. 4) Jaminan keamanan dalam kebaktian merupakan tanggung jawab yang bersangkutan. 5) Komunikasi pimpinan dan jemaat GPdI dengan warga kurang lancar. 6) Sikap Pdt. Yoseph Sumakul terhadap warga yang beda pendapat cenderung agresif. 7) Upaya pemerintah dan kelurahan mencari solusi kasus perselisihan disebut kegagalan. Selanjutnya masyarakat menyarankan: 1) Kegiatan pembinaan keimanan/peribatan GPdI “Jemaat Efata” agar digabungkan dengan GPdI sejenis. 2) Mengupayakan fasum/fasos untuk pembangunan GPdI yang permanen. 3) Pemerintah dan FKUB memfasilitasi pembangunan komunikasi yang efektif antara pimpinan GPdI dengan tokoh agama dan pemuka agama. 4) Mendorong GPdI agar mengupayakan lokasi untuk dibangun gereja yang permanen dengan konsultasi pihak kelurahan dan kecamatan.
33
M. Yusuf Asry
d. Lahan Fasos Vihara Siripada, Serpong Gambar Lahan Fasos Vihara Siripada dibangun Hotel Feducia
34
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
PROFIL SINGKAT NAMA
:
VIHARA SIRIPADA
ALAMAT
:
JL. RAYA SERPONG BLOK B/10 NO.54 PERUM VILLA MELATI MAS, DESA JELUPANG KEC.SERPONG, KOTA TANGERANG SELATAN (115310) TLP. 021-5386879
BERDIRI
:
TAHUN 2006
PIMPINAN
:
SUDIONO RAIS (KETUA PEMBINA YAYASAN) YAHYA SANTOSA(PENGURUS)
PANDITA
:
YAHYA SANTOSA
PENGANUT
:
+ 200 ORANG (DEWASA & REMAJA)
KASUS
:
TAHUN 2006
PIHAK TERLIBAT
:
PT PT COWELL DEVELOMENT TBK (PENGEMBANG), PENGURUS VIHARA SIRIPADA, DAN PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG
SEBAB UTAMA
:
1. PERMOHONAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) VIHARA SIRIPADA DI ATAS TANAH FASOS (FAKTOR REGULASI) 2. PERUBAHAN LOKASI PERUNTUKKAN FASOS (FAKTOR REGULASI) 3. TUKAR GULING LAHAN UNTUK SARANA VIHARA SIRIPADA TIDAK JELAS (FAKTOR REGULASI DAN EKONOMI)
35
M. Yusuf Asry
Kepemilikan Fasos untuk Vihara Siripada Serpong Menurut Yahya Santosa selaku Ketua Pembina Yayasan Vihara Siripada dan pemuka agama Buddha, bahwa pada tanggal 14 Oktober 2005, pengurus vihara memohon izin kepada Bupati Tangerang untuk menggunakan lahan milik pemerintah menjadi saran peribadatan bagi pemeluk Buddha (Surat No. 410). Pada tanggal 9 Februari 2006, Bupati Tangerang (H. Ismet Iskandar) mengeluarkan keputusan persetujuan penggunaan tanah fasilitas sosial milik pemerintah Kabupaten Tangerang oleh Vihara Siripada untuk sarana ibadah dengan luas 3.257 M2 (Kep. No. 593/Kep.24Huk/2006). Fasos dimaksud terletak di Perumahan Villa Melati Mas Jl. Raya Serpong Blok B 10 No. 54 Desa Jelupang, Kecamatan Serpong Utara Tangerang (15310 Telp. 021.5386879). Pada tanggal 28 Juni 2010, Bupati Tangerang menerbitkan Surat Keputusaan tentang perubahan atas Keputusan No. 593/Kep.24-Huk/2006 sebagaimana tersebut di atas mengenai persetujuan penggunaan tanah fasilitas sosial milik pemerintah Kabupaten Tangerang oleh Vihara Siripada untuk sarana ibadat. Berdasar survei dan pengukuran ulang atas tanah yang digunakan Vihara Siripada pada tanggal 28 Februari 2008 luas tanah tersebut ternyata hanya 1.964m2. Sisa dari ukuran tahun 2006 seluas 1.293m2 disediakan tanah di Perumahan Melati Mas Residence dari PT Cowell Development Tbk kepada Pemerintah Kabupaten Tangerang. Lahan tersebut disetujui penggunaannya sebagai sarana ibadat oleh Vihara Siripada (Kep. No. 593/Kep.265-Huk/2010). Yayasan Vihara Sriripada pernah mengajukan permohonan rekomendasi penerbitan sertifikat hak milik a/n Vihara Siripada atas tanah seluas 3.257m2 (Surat No.03 tgl 2 Mei 2007). Namun tidak mendapat tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Tangerang dan Gubernur Banten.
36
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Yayasan Vihara Siripada telah membangun Vihara Siripada, gedung pendidikan dan sejumlah bangunan pendukung lainnya dengan memanfaatkan tanah 1.900m2. Sisanya 1.371m2 digunakan oleh Hanan Soeharto, SH untuk pembangunan Hotel Feducia. Hal inilah yang memicu perselisihan antara pihak Vihara Siripada dengan Pemerintah Kabupayen Tangerang dan Pengembang dan Pemilik Hotel Feducia. Sebagai tukar guling pada tahun 2008, PT Cowell Development Tbk menggantikan sebagian tanah fasos Vihara Siripada yang terkena jalur jalan dan selokan. Pengurus Vihara Siripada mengirim surat kepada Hamam Soeharto yang menyatakan penolakan izin lingkungan pendirian Hotel Feducia Serpong (surat No. 009/SKI/Sekretariat/SIP/XI/2008 tanggal 2 Desember 2008). Selain itu Yayasan Vihara Siripada mengirim surat kepada Bupati Tangerang menolak izin lingkungan, dan sekaligus memohon salinan IMB (No. 25/SKI/Sekretariat/Siripada/XI/2010 tanggal 5 Nopember 2010).
Perubahan Peruntukan Fasilitas Sosial Pada tahun 2006, PT Cowell Development Tbk menyerahkan tanah fasos kepada Pemerintah Kabupaten Tangerang di Perum Villa Melati Mas, yang dalam berita acaranya disebutkan termasuk tanah fasos Vihara Siripada yang terdiri dari tanah jalan dan selokan (Surat No.046/Cowell Presdir/VII/2008). Lahan 2.358m2 yang diberikan pada tahun 2006, sebagiannya akan dibangun Hotel Feducia milik Hanan Soeharto, SH. Dengan demikian terjadi perubahan peruntukan lahan fasos menjadi tempat dibangun lahan bisnis. Pihak Hotel Feducia telah memiliki IMB sehingga melanjutkan pembangunan hotel dengan mengambil bagian tanah yang semula diperuntukkan untuk vihara. Selisih kekurangan 1.293m2 telah
37
M. Yusuf Asry
diserahkan tanah fasilitas sosial dari PT Cowell Develompment Tbk d/h PT Internusa Antarcipta kepada pemerintah daerah. Menurut Yahya Santosa diperoleh informasi lahan tersebut dimaksudkan sebagai tukar ganti kekurangan tanah vihara seluas 1.293m2. Namun hingga saat penelitian ini dilakukan belum terdapat solusi dari Pemerintah Kabupaten Tangerang atau pun Kota Tangerang Selatan.
Penyelesaian Perselisihan Bupati Tangerang mengeluarkan keputusan pada tahun 2010, bahwa: 1) Perubahan atas keputusan Bupati Tangerang (Surat No.593/kep/.24-Huk/2006) tentang penggunaan fasos melalui Pemerintah Kabupaten Tangerang oleh Vihara Siripada untuk sarana ibadat. 2) Menyetujui penggunaan tanah fasos melalui pemerintah Kabupaten Tangerang untuk sarana ibadat Vihara Siripada yang berlokasi: - di Komplek Perum Villa Melati Mas seluas ……….. = 1.964M2, - di Komplek Perum Villa Mas Residence seluas ……. = 1.293M2 Jumlah
= 3.257M2
(Keputusan Bupati Tangerang No. 593/Kep.265-Huk/2010tanggal 28 Juni 2010). PT Cowell Develoment Tbk menyediakan tanah fasos dan menyerahkannya kepada Pemerintah Kabupaten Tangerang di Perum Villa Melati Mas, yang diperutukkan kepada Vihara Siripada. Dengan demikian tukar guling tanah telah dilakukan, tetapi dengan nilai harga tanah yang lebih rendah, berada dalam dua hamparan, dan tidak jelas batas-batasnya.
38
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Sekalipun solusi terhadap lahan Vihara Siripada dari segi luas tanah telah terpenuhi, tetapi dari pihak vihara masih tetap mempertanyakan dan memohon penjelasan atas perubahan lahan yang diperutukkan bagi sarana peribatan umat Buddha di Kota Tangerang Selatan. Pihak Vihara juga tidak memberikan persetujuan lingkungan untuk pembangunan Hotel Feducia yang menggunakan lahan yang sejak tahun 2006 untuk kepentingan sarana peribatan Vihara Siripada.
Respon dan Saran Masyarakat Respon warga masyarakat terhadap penyelesaian perselisihan atas perubahan sebagian tanah fasos Vihara Siripada: 1) Perubahan lahan fasos kepada lahan untuk bisnis berbeda dari peruntukan yang sesungguhnya. 2) Pemerintah Kabupaten Tangerang terlihat lemah dalam memanfaatkan tanah fasos yang menjadi milik pemerintah yang berasal dari pengembang perumahan. 3) Pemerintah daerah tidak tegas dalam penyelesaian perselisihan berkenaan dengan tanah fasos untuk kepentingan sarana peribadatan Vihara Siripada. Masyarakat menyarankan, sebagai berikut: 1) Perlu kejelasan tukar guling tanah fasos untuk sarana peribadatan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang, dan sekaligus penyerahan tanah yang diperuntukkan bagi Vihara Siripada. 2) Perlu kemudahan dari Pemerintah Kabupaten Tangerang dalam pengurusan sertifikat tanah fasos untuk sarana peribadatan.
ANALISIS Untuk pendirian rumah ibadat agar terpelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat,
39
M. Yusuf Asry
maka dibuat aturan dalam PBM tahun 2006. Bab IV tentang pendirian rumah ibadat, Bab V tentang Izin sementara Pemanfatan Bangunan Gedung, dan VI tentang Penyelesaian Perselisihan. Sesuai judul penelitian ini difokuskan pada perselisihaan di seputar pendirian rumah ibadat dan penyelesaiannya. Perselisihan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam suatu masyarakat, tak terkecuali umat beragama. Perselisihan dapat membawa kondisi yang baik karena cenderung terjadi perubahan umat, dan kondisi buruk jika perselisihan itu berkelanjutan tanpa solusi yang dianggap bermanfaat bagi para pihak yang berselisih. Artinya di sini yang dicari bukan hanya sebab terjadi perselisihaan, tetapi juga bagaimana menyelesaikan perselisihan. Ada kata kunci panyelesaian perselisihan yang dimuat dalam pasal 21 dan 22 PBM. Dari segi pentahapan penyelesaian perselisihan terdapat tiga tahap. Pertama, musyawarah oleh masyarakat. Di sini dapat berperan majelis-majelis agama, ormas keagamaan, dan LSM lintas agama, bahkan tokoh masyarakat dan pemuka agama secara personal. Kedua, musyawarah oleh Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Kementerian Agama, dengan mempertimbangkan pendapat FKUB. Pentahapan berlansung jika musyawarah tahap pertama tidak berhasil diselesaikan. Ketiga, pengadilan yang menyelesaikan perselisihan. Forum musyawah dalam penyelesaian perselisihan tampak belum optimal, dan paling banyak tiga kali. Selanjutnya terhenti, kasusnya menjadi “mengambang”, dan sewaktu-waktu muncul kembali, karena bersifat “laten”. Penyelesaian perselisihan dari segi kompleksitasnya ternyata perselisihan seputar rumah ibadat sangat kompleks, dan terbukti ketiga kasus tersebut tidak terselesaikan, baik oleh masyarakat maupun melalui inisiasi pemerintah daerah dan kantor kemenag,
40
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
serta FKUB. Apalagi intensitasnya dalam arti frekwensi pertemuan penyelesaian terhitung rendah, karena paling banyak tiga kali pertemuan yang melibatkan para pihak yang berselisih.. Sekalipun tidak terselesaikan pada tingkat musyawarah belum ada yang mangajukan perselisihan tersebut ke pengadilan. Kasus perselisihan rumah ibadat, Gereja Bethel Indonesia “Kunir” karena penolakan warga. Proses awalnya lebih dominan peran pemerintah sehingga terlihat banyak terlibat instansi yang memberikan rekomendasi persetujuan terhadap pendirian GBI tersebut. Proses penolakan oleh masyarakat diabaikan. Pada saat peninjauan ke lokasi pihak yang berselisih tidak dilibatkan. Sekalipun secara formal keputusan tentang IMB keluar, tetapi bagi masyarakat tetap merupakan permasalahan. Akhirnya Walikota Tangerang Selatan menghentikan pembangunan fisik Gereja Bethel Indonesia. Hingga saat penelitian ini dilaksanakan perselisihan tersebut tak terselesaikan. Berbeda halnya dengan perselisihan kasus pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat secara rutin mingguan. Menjadi simalakama, diberikan izin atau tidak. Menarik kasus Gereja Pantekosta di Indonesia “Jemaat Efata” Pamulang Barat. Ketika tidak ada izin aktivitas pembinaan iman dan peribadatan malah aman. Begitu ada upaya kearah pengusulan izin sementara justru mengundang demonstrasi. Musyawarah beberapa kali untuk menyelesaikan perselisihan, di tingkat RW hingga kantor kecamatan. Namun, musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan. Karena masing-masing bersikukuh mempertahankan pendapatnya, antara pro dan kontra. Karena di balik sebab nyata (eksplisit) perselisihan adalah karena menyangkut tiga hal pokok yaitu identitas diri sebagai penganut agama, perasaan terancam dari penganut agama satu dengan yang lainnya, dan karen kepentingan ekonomi.
41
M. Yusuf Asry
Nampak dari rencana pembangun (site plan) GBI Kunir yang cukup besar dibandingkan dengan jumlah jemaat (sekitar 200-an). Begitu pula kasus GPdI Jemaat Efata menunjukkan identitas diri ada dengan kebaktian bersama, dan tampak meminta fasilitas rumah ibadat yang sama dengan yang diperoleh umat Islam dari lingkungan perumahan. Faktor yang menonjol ialah rasa terancam bagi warga (yang berbeda agana), karena adanya penyiaaran agama yang berorientasi pada penambahan jumlah penganut. Faktor lain yang tak kalah pentingnya ialah kepentingan ekonomi seperti kasus tanah Vihara Siripada berubah fungsi untuk pembangunan hotel. Solusi yang ditawarkan kurang menyentuh rasa keadilan dan hukum. Penyelesaian kasus perselisihan “selesai tetapi tidak tuntas”. Solusi tetap berpotensi untuk dipertanyakan, dan merupakan potensi konflik laten. Ketiga kasus perselisihan mengenai akibat pendirian rumah ibadat tersebut mengindikasikan tidak terselesaikan. Penghentian pembangunan rumah ibadat yang baru, pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat, perubahan fungsi fasos untuk rumah ibadat kepada kepentingan bisnis menjadi perselisihan yang tak terselesaikan. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi. Di sisi lain peranata musyawarah untuk penyelesaian perselisihan tampak belum intensif. Kasus GBI sangat dominan peran aparat tanpa mengajak musyawarah pihak yang berselisih. Kasus GPdI sempat diadakan 3 (tiga) kali musyawarah tanpa hasil kesepakatan, bahkan kasus Wihara Siripada seakan tertutup pintu musyawarah. Namun, sejauh ini tidak ada kasus pendirian rumah ibadat yang diajukan ke pengadilan. Dari segi peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat tergolong pada intensitas rendah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan kementerian agama. Apalagi ormas keagamaan dan majelis-majelis agama
42
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
hampir tidak terlihat sama sekali, kecuali atas undangan secara formal. Dalam melihat perselisihan dan upaya penyelesaian di seputar rumah ibadat paling tidak terdapat tiga aspek. Pertama, aspek yuridis atau regulasi; kedua, aspek sosial-budaya dan ekonomi; dan ketiga, aspek agama. Dari aspek ini peneliti mencoba melihat kompleksitas perselisihan dan sejauhmana intensitas peran menyelesaikannya, baik oleh pemerintah, FKUB, majelis agama, dan ormas keagamaan. Dari aspek yuridis atau regulasi pendirian GBI telah memenuhi ketentuan yang berlaku, sekalipun sebagian mengacu pada SKB No. 1 Tahun 1969, dan sebagian lagi mengikuti aturan dalam PBM Tahun 2006. IMB GBI telah terbit pada tahun 2009. Namun tetap mendapat penolakan dari masyarakat sehingga terbit surat Walikota Tangerang Selatan untuk “penghentian pembangunan fisik GBI”. Hal ini mengindikasikan lemahnya pendekatan pada aspek sosial, budaya dan komunikasi antar pemuka agama. PBM Tahun 2006 Bab V mengatur “Izin Sementara Pemanfaaatan Bangunan Gedung”. Bangunan gedung bukan rumah ibadat yang dimanfaatkan sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan: 1) laik fungsi, dan 2) pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: a) Izin tertulis dari pemilik bangunan, b) rekomendasi tertulis lurah/kepala desa, c) pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota, dan d) pelaporan tertulis kepada kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota. Izin sementera dikeluarkan oleh bupati/walikota, dan dapat dilimpahkan kepada camat.
43
M. Yusuf Asry
Di Kecamatan Pamulang tidak kurang dari 35 bangunan gedung atau ruko yang dimanfaatkan sebagai tempat ibadat, termasuk GPdI di Pamulang Barat. Semuanya tanpa izin dan tidak terdaftar di Kantor Kementerian Agama, tetapi tercatat di Kantor Kepolisian Sektor Pamulang. Pencatatan karena adanya laporan dalam rangka pengamanan (Edi Wibowo, 28 Februari 2011). Dalam kasus ini regulasi tampak belum tersentuh. Namun aktivitas kebaktian berlangsung aman. Bahkan ketika diurus izin sementara muncul kecurigaan, dan mengundang demo penolakan seperti yang dialami oleh GPdI di Pamulang Barat. Akibat dari pendekatan sosial, budaya dan komukasi antarpemuka agama tidak lancar dan belum efektif. Adanya perubahan sebagian lokasi dan fungsi fasos untuk sarana rumah ibadat Vihara Siripada menjadi lahan bisnis (hotel), dan sulit mengurus sertifikat hak milik mengindikasikan implementasi regulasi atau aturan PBM belum berjalan sesuai tujuan pedoman tersebut. Kasus lahan untuk sarana vihara ini sangat kental dengan kepentingan ekonomi atau bisnis. Pendekatan sosial, budaya dan agama terabaikan. Peran FKUB sangat didambakan dalam penyelesaian perselisihan tentang rumah ibadat. Namun dengan keterbasan dana, sarana dan tenaga, maka perannya seakan “pemadam kebakaran” (K.H. Ahmad Dahlan, 3 Maret 2011). Ketua FKUB tersebut menuturkan kondisi dan aktivitas FKUB Kota Tangerang Selatan yang dibentuk pada tahun 2009 dan dikukuhkan pada tanggal 9 Desember 2009. Kantor atau sekretariat FKUB belum ada. Belum terjalin komunikasi antara FKUB dan Dewan Penasihat FKUB. Sosialisasi PBM tahun 2006 minim karena tidak tersedia fasilitas dan dana. Dana operasional FKUB dari Pemerintah Kota Tangerang Selatan tahun 2011 sebesar Rp. 100 juta. Kegiatan strategis masih terbatas, yaitu: silaturahim tokoh lintas agama (15 Juli 2010) dan
44
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Sosialisasi PBM Tahun 2006 bagi lurah, camat dan SKPD. Sekalipun demikian telah mengeluarkan rekomendasi persetujuan pendirian 3 (tiga) rumah ibadat, yaitu: HKBP di Ciputat (27 Juli 2010), HKBP di Serpong (24 Desember 2010), dan Gereja Kristen Indonesia di Serpong (24 Desember 2010).
45
M. Yusuf Asry
46
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
PENUTUP
Kesimpulan 1) Perselisihan di seputar pendirian rumah ibadat di Kota Tangerang Selatan merupakan kasus yang rumit atau kompleks, baik pendirian rumah ibadat yang baru, maupun pengurusan izin sementara, IMB dan pengurusan sertifikat tanah fasilitas sosial sebagai sarana peribadatan. 2) Sebab utama perselisihan di seputar pendirian rumah ibadat dibalik yang mengemuka terdapat tiga faktor yang dominan yaitu: karena identitas diri sebagai umat beragama, merasa terancan atas perkembangan agama bagi penganut agama lainnya, dan kepentingan ekonomi (bisnis). 3) Sebab utama tersebut terlihat dari faktor penyebab yang mengemuka dari ranah regulasi, sosial budaya, ekonomi dan agama. Ranah regulasi ialah tidak terpenuhi sebagian persyaratan dalam PBM, tidak menunjukan kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh atau berlebihan didasarkan site plan bangunan, mengganggu ketertiban umum, pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat tanpa keterangan izin sementera, dan penggunaan fasos tanpa sertifikat kepemilikan dan izin mendirikan bangunan (IMB). Dari ranah sosial dan
47
M. Yusuf Asry
budaya ialah relasi dan komunikasi antar pemuka agama terbatas, kurang lancar serta kurang tulus dan efektif. Dari ranah agama ialah adanya spirit misi/dakwah yang tidak terkendali dikhawatirkan terjadi pemurtadan. 4) Peran Pemerintah Kota Tangerang Selatan, kecamatan hingga kelurahan, jajaran Kantor Kementerian Agama dalam menyelesaikan perselisihan di seputar pendirian rumah ibadat belum intesif, sebagaimana terlihat pada ketiga model perselisihan yang ditemukan berkelanjutan, dan belum terselesaikan dengan tuntas. GBI “Kunir” sejak tahun 2004, Gereja Pantekosta di Indonesia “Jemaat Efata” sejak tahun 2009, dan Vihara Siripada sejak tahun 2006 hingga penelitian ini dilakukan belum terselesaikan (Maret 2011). 5) Peran Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan masih kurang proaktif dalam penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat, dan pemanfaatan bangunan gedung atau rumah tinggal sebagai tempat ibadat karena lemah dalam pendataan, dan dalam pembinaannya, dan kurang melibatkan warga masyarakat yang berselisih. 6) Hanya dalam jumah kecil peran FKUB Kota Tangerang Selatan yang responsif terhadap penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat dan pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat. Namun lemah dalam pendataan dan lambat dalam penyelasaian perselisihan, karena faktor netralitas dan profesionalitas sumber daya manusia, kantor sekertariat yang belum tersedia, dan bantuan dana operasional yang terbatas. 7) Denominasi di kalangan pemeluk Kristen sangat beragam (untuk nasional sekitar 326 buah) memiliki ciri peribadatan dan tata keanggotaan yang berlainan, sedangkan umumnya jumlah pengguna dan persetujuan masyarakat tidak terpenuhi,
48
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
sehingga memanfaatkan bangunan gedung dan rumah tinggal sebagai tempat ibadat tanpa izin sementara, dan hanya terdaftar pada kantor keposisian, karena terkait dengan keamanan. 8) Respon masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat yang dimediasi pemerintah dinilai masih rendah. Sementara pengelola rumah ibadat cenderung eksklusif dan aggresif yang terbukti dari permohonan mediasi ke berbagai instansi pemerintah di daerah hingga institusi komnas HAM dan Presiden RI. 9) Saran masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan dalam pendirian rumah ibadat baru maupun pengurusan izin sementara pemanfaatan bangunan gedung atau rumah tinggal sebagai tempat ibadat, dan pengurusan sertifikat tanah fasilitas sosial untuk sarana peribadatan, perlu segera dibuat peraturan bupati/walikota tentang petunjuk teknis pedoman operasional pendirian rumah ibadat.
Implikasi Temuan 1. Jika implementasi PBM 2006 memperhatikan kultur masyarakat Banten umumya dan masyarakat Kota Tangerang Selatan khususnya yang dikenal toleran dan agak “cuek” dalam relasi keagamaan, maka akan terpelihara kerukunan umat beragama, sekaligus perselisihan akibat pendirian rumah ibadat dengan mudah dapat diselesaikan. 2. Jika semakin banyak pemanfaatan bangunan gedung dan rumah tinggal sebagai tempat ibadat tanpa izin sementara tanpa pembinaan dari kementerian agama dan instansi terkait, maka
49
M. Yusuf Asry
dapat terjadi gangguan terhadap kerukunan antarumat beragama. 3. Jika komunikasi antarpemuka agama berlangsung secara alami dan intensif, maka tingkat “kecurigaan” antarumat beragama dapat diminimalisasi sehingga pendirian rumah ibadat dapat terlaksana dalam suasana saling pengertian.
Rekomendasi
1) Walikota Tangerang Selatan hendaknya menerbitkan peraturan tentang petunjuk operasional pendirian dan penyelesaian perselisihan seputar rumah ibadat yang didirikan dengan memperhatikan kearifan lokal dalam upaya implementasi dan sosialisasi PBM No.9 dan 8 Tahun 2006.
2) Pemda dan Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan hendaknya memfasilitasi pertemuan-pertemuan melalui pendekatan sosial budaya dan silaturahim antarpemuka agama secara rutin dan terjadwal guna menumbuhkan sikap saling pengertian sehingga dapat mempermudah penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat
3) Kantor kementerian agama kabupaten/kota bersama FKUB hendaknya bekerjasama dengan kepolisian melakukan pendataan pemanfaatan bangunan gedung dan rumah tinggal sebagai tempat ibadat agar dapat disentuh pembinaan kerukunan antarumat beragama.
4) Pengurus rumah ibadat tiap pemeluk agama hendaknya membuat sertifikat kepemilikan tanah dan IMB dengan mengupayakan kemudahan dari BP2T, pemerintah daerah, Pemerintah Kota Tengerang Selatan dan kantor kementerian agama kabupaten/ kota.
50
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
5) Panitia
pendirian rumah ibadat sebelum melakukan pembangunan hendaknya diadakan terlebih dahulu studi kelayakan yang komprehensif, dengan mempertimbangkan komposisi pemeluk agama, budaya lokal, jumlah pengguna atau umat yang dilayani, dan besaran gedung yang akan dibangun agar terhindar dari kesan berlebihan yang mengindikasikan kemegahan di tengah lingkungan kehidupan masyarakat yang sederhana.
51
M. Yusuf Asry
52
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang dan Diklat, Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya (Edisi yang Disempurnakan), Kementerian Agama RI, Jakarta, 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2010, Serang, 2011. Djabir Ahmad dan Abdul Rojak, Ed., Potret Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Tangerang, FKUB Tangerang, 2010. Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman, Quqlitative Data Analysis, TerjemahanTjetjep Rohendi Rohidi, Analisis data Kualitatif, UI Press, Jakarta, 1972. Ranjabar, Jacobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Ghalia Indoneesia, Jakarta, 2006. Rojak, Abdul, Sirajudin dan Istijar Nusantara, Sejarah Berdirinya Kota Tangerang Selatan, Green Komunika, Pamulang, 2010. Salim, Peter, Advanced English-Indonesia Dictionary, (t.tp), 1991.
53
M. Yusuf Asry
Surat/Dokumen: Keputusan Bupati Tangerang No.645/11366-BP2T/2009 tentang Ijin Mendirikan Bangunan tanggal 23 Desember 2009. Fisik Gereja Bethel Indonesia” tanggal 16 Juli 2010. Peraturan Walikota Tangerang Selatan No. 46 tahun 2009 tentang Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang dan Peaturan Bupati Tangerang di Kota Tangerang Selatan Tanggal 3 Agustus 2009. Peraturan Walikota Tangerang Selatan No. 47 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perijinan Tanggal 3 Agusutus 2009. Polsek
Metro Pamulang, “Daftar Data Rumah/Ruko Dipergunakan untuk Kebaktian Umat.
yang
KUA Serpong, Data Rumah Ibadah di Kecamatan Serpong, 2010. Kecamatan Serpong, Profil Kecamatan Serpong,2009. Bakesbangpol dan Linmas, Kota Tangerang Selatan “Daftar NamaNama Organisasi Kemasysarakatan, Organisasi Kepemudaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat”, Pamulang, 2010. FKUB Provinsi Banten, “Laporan Kegiatan Kerja Tahun 2009 – 2010”, Serang, 2010. ------“Laporan Hasil Dialog dan Kunjungan Kerja ke FKUB Kabupaten Kota Se-Provinsi Banten”, 2010. FKUB Kota Tangerang Selatan, “Laporan Singkat Kegiatan FKUB”, Pamulang, 2011. KUA Kecamatan Pamulang, “Laporan dan Evaluasi Kerja, 2010. MUI Kec.Pamulang, “Peninjauan Kembali Rekomendasi No.KD.28.04/ BA.01.2/683/ 2006”, 2 Oktober 2006.
54
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
Seharja, Wahyu, GBI Sepenuh, “Pernyataan tentang Tidak Pernah Memberikan Dukungan kepada Rencana Pembangunan Gereja GBI, 27 September 2006. Rais, Sudiono, “Penolakan IMB atas Hotel Fiducia” Serpong, 25 Januari 2010. Rais, Sudiono dan Yahya Santosa,“Tangapan Surat Keputusan Bupati Tangerang No.593/Kep.265-Huk/2010 tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Tangerang No.593/Kep.24Huk/2006”, 25 November 2010. Sumakul, Joseph, Surat GPdI tentang Kronologi Kasus Gereja pantekota di Indonesia “Jemaat Efata”, 16 Juni 2010. Surat
Walikota Tangerang Selatan, No. 645/8.2243/Kesra/Setda/2010 Perihal “Penghentian Pembangunan
“Pernyataan Bersama Masyarakat yang Menolak Pendirian Gereja di Kelurahan Pondok Cabe Udik, Pamulang. Winarno, Lazarus, GPdI Jemaat Eben Haezer, “Pernyataan tentang Mencabut Kembali Persetujuan dan Menolak Rencana Pembangunan Gereja GBI”, 26 September 2006. Yahya, Santosa, “Tanggapan Surat kepada Bupati Tangerang” tanggal 25 Nopember 2010. “Selayang Pandang Provinsi Banten” dalam Banten Harmoni No. 01/XII/2009, hal.7-9.
55
M. Yusuf Asry
56
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat di Kota dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Oleh : Akmal Salim Ruhana
57
Akmal Salim Ruhana
58
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salahsatu hal yang kerap mengganggu kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia adalah masalah di seputar rumah ibadat. Sejumlah kasus perusakan rumah ibadat, misalnya, terjadi tahun 2004.1 Kasus-kasus itu belakangan ini bahkan cenderung meningkat sebagaimana dilaporkan sejumlah lembaga. CRCS, misalnya, mencatat terdapat 18 kasus rumah ibadat pada 2009, dan pada 2010 meningkat menjadi 39 kasus.2 Demikian juga The Wahid Institute mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap rumah ibadat. Bahwa pada tahun 2010 terjadi 28 kasus pelanggaran dan 34 tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat (total 62 kasus).3 Angka ini lebih besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski dengan adanya perluasan wilayah kajian. Adapun SETARA Institute pada tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadat yang
1 PGI bahkan memiliki data sejumlah gereja yang dirusak/ditutup sejak 1945 hingga 2010. Lihat http://pgi.or.id/ page/36694/penutupan-gereja.html. diunduh pada 7 April 2011. 2 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: CRCS UGM, 2011, hlm. 34. 3 Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: The Wahid Inst., 2011, hlm. 17.
59
Akmal Salim Ruhana
mengalami gangguan dalam berbagai bentuknya, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah, dan lain-lain.4 Bahkan, Moderate Muslim Society mencatat dari 81 kasus intoleransi, sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadat, dan intimidasi.5 Meski data kasus di atas ada yang mempermasalahkan perihal “gambar nasional” yang diklaimnya,6 namun secara faktual kasus-kasus itu tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Melihat dinamika dan intensitasnya, tak heran jika masalah di seputar rumah ibadat menjadi isu penting saat ini dan juga merupakan salahsatu permasalahan dalam pembangunan nasional sebagaimana ditegaskan di dalam RPJMN 2010-2014. Di samping itu, kasus rumah ibadat yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia menegaskan bahwa ini problem nasional—meski persebarannya tidak merata. Dilaporkan, daerah yang paling banyak memiliki kasus terkait rumah ibadat adalah Provinsi Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta, dan seterusnya. Berikut data CRCS terkait perkembangan jumlah kasus rumah ibadat di Indonesia 2008-2010:7 4 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: SETARA, 2011, hlm. 9. 5 Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: Moderate Muslim Society, 2011, hlm. 12. 6 Misalnya disampaikan Ketua PBNU, Drs. H. Slamet Effendi Yusuf, saat menjadi narasumber pada Launching dan Diskusi Laporan Tahunan Kehidupan Beragama CRCS tanggal 1 Februari 2011 di Jakarta. Bahwa, menurutnya, di dalam Laporan Tahunan yang dijuduli “...di Indonesia” (baca: nasional) ini hanya meliput informasi dari media dan terutama di Bagian Barat Indonesia, kurang memberi perhatian ke wilayah Timur Indonesia. Hal ini berakibat adanya kesan kasus rumah ibadat di Indonesia hanya menimpa umat Kristiani yakni dengan sulitnya mendirikan gereja. Padahal, lanjut Slamet, ia banyak mendapat laporan dari umat Muslim di wilayah Timur Indonesia, misalnya NTT dan Papua, yang juga mengalami kasus rumah ibadat dengan sulitnya mendirikan masjid—dengan menunjuk sejumlah laporan-aduan kasus masjid dari Pengurus NU daerah yang diterimanya melalui SMS. 7 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia terbitan CRCS tahun 2008, 2009, dan 2010.
60
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
2008 (total 12 kasus) 1. Jawa Barat 7 kasus (58%) 2. DKI Jakarta 2 kasus (17%)
3. Papua, Lampung, dan NTB masing-masing 1 kasus (8%)
2009 (total 18 kasus) 1. Jawa Barat 8 kasus (45%) 2. DKI Jakarta 4 kasus (22%) 3. Jawa Timur 2 kasus (11%)
1. Jawa Barat 21 kasus (53%) 2. DKI Jakarta 6 kasus (15%)
4. Jawa Tengah, Riau, Bali, dan Sumatera Selatan, masing-masing 1 kasus (6%)
4. Jawa Timur 2 kasus (5%) 5. Lampung, Banten, Jateng, Jatim, Bali, Kaltim, Sulsel, dan Papua, masingmasing 1 kasus (2%)
2010 (total 39 kasus)
3. Sumut 3 kasus (8%)
Salahsatu kasus yang kini masih menyita perhatian publik bahkan pimpinan negara8 adalah kasus Gereja Kristen Indonesia Bakal Pos Taman Yasmin, Kota Bogor (selanjutnya cukup disebut GKI Yasmin). Kasus lokal ini diketahui telah menasional dengan adanya massivitas pemberitaan media nasional, atau bahkan mengglobal karena telah diliput sejumlah media asing. Hingga makalah ini ditulis, kasus ini belum selesai dan sejumlah pihak masih ‘berseteru’ di tengah kesimpangsiuran duduk persoalannya. Bahwa sebagaimana diberitakan, GKI Yasmin mengklaim telah memiliki IMB namun tidak dapat membangun gereja dan beribadat di lokasi gerejanya. Konon IMB itu telah teruji keabsahannya di meja pengadilan (sejak tingkat PTUN, PT TUN, hingga Mahkamah Agung) 8 Lihat antara lain pernyataan juru bicara kepresidenan di http://pgi.or.id/ article/65890/persoalan-gki-yasmin-harus-diselesaikan-melalui-langkah-politik. html, lihat juga http://www.mediaindonesia.com/read/ 2011/04/04/268/284/1/Istana-PantauPenyelesaian-Kasus-GKI-Yasmin diunduh pada 7 April 2011.
61
Akmal Salim Ruhana
yang semuanya memenangkan GKI Yasmin atas pihak yang menggugatnya. Di sisi lain, penolakan pendirian gereja tetap diinginkan pihak tertentu dengan alasan ketidakabsahan IMB, dan mendesak pemerintah daerah tetap menyegel lokasi pembangunan gereja. Posisi pemerintah daerah, dalam perkembangan terakhir (7/4/2011) telah mencabut IMB gereja meski menimbulkan protes keras pihak GKI. Kasus lainnya terjadi di Kabupaten Bogor, yakni kasus rencana pendirian gereja Paroki Santo Joannes Baptista Parung (selanjutnya disebut SJB Parung). Kasus ini masih menggantung dan belum terselesaikan hingga kini. Dalam kasus terkait gereja Katolik ini diberitakan warga masyarakat melakukan penolakan pendirian gereja yang berlokasi di Kampung Tulang Kuning Desa Waru Kecamatan Parung Kabupaten Bogor ini. Belum adanya sejumlah rekomendasi dan bukti dukungan warga sekitar menyebabkan proses perolehan IMB terhambat dan gereja urung dibangun, hingga kini. Mencermati berbagai permasalahan di seputar rumah ibadat sebagaimana tersebut di atas, muncul pertanyaan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Pertanyaan ini kian penting mengingat kehadiran PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 (peraturan yang salahsatunya menjelaskan perihal pendirian rumah ibadat) yang sedang dan terus disosialisasikan oleh pemerintah, sejatinya menjadi solusi atas permasalahan di sekitar rumah ibadat ini. Untuk itulah, penelitian ini menemukan konteks dan urgensinya.
Permasalahan Berdasarkan gambaran di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah mengapa perselisihan tentang pendirian, penertiban dan penutupan rumah ibadat terjadi di berbagai daerah
62
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Indonesia. Untuk itu, disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana dan mengapa kedua kasus rumah ibadat ini terjadi? 2. Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan terkait kasus ini? 3. Bagaimana peran FKUB dalam penyelesaian perselisihan ini? 4. Bagaimana respon masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan tersebut?
Tujuan dan Kegunaan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana perselisihan penertiban, atau penutupan rumah diperselisihkannya.
tentang pendirian, ibadat dan sebab
2. Mengetahui peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan. 3. Mengetahui peran FKUB dalam penyelesaian perselisihan. 4. Mengetahui respon perselisihan tersebut.
masyarakat
terhadap
penyelesaian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi faktual mengenai kasus GKI Yasmin, Bogor, dan SJB Parung, sehingga dapat berkontribusi pada upaya berbagai pihakberkepentingan dalam penyelesaian permasalahan ini. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi kredibel tentang kasus ini diantara pemberitaan atau informasi terbatas yang telah ada namun kurang research-based.
63
Akmal Salim Ruhana
Definisi Operasional Perselisihan di seputar rumah ibadat secara konseptual didefinisikan sebagai perselisihan antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan kantor kementerian agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai rumah ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama pengguna rumah ibadat dan karena ketidakpastian pelayanan pemerintah daerah. Artinya, perselisihan rumah ibadat terjadi menyangkut tertib aturan dan pemenuhan berbagai persyaratan, yakni persyaratan administratif, teknis, dan khusus. Dalam kaitan ini, acuan peraturan yang secara khusus mengaturnya adalah PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14. Perselisihan dapat terkait pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat. Dalam konteks kasus GKI Yasmin yang terjadi adalah ketiga-tiganya, sedangkan dalam kasus SJB Parung lebih terkait pada pendirian saja.
Kerangka Pemikiran Masalah di seputar rumah ibadat kerap terjadi seiring dinamika kehidupan umat beragama di dalam pluralitas kehidupan masyarakat Indonesia. Keberagaman agama dan keyakinan masyarakat berkelindan dengan masalah-masalah sosial ekonomi di sekitarnya bersinggungan satu sama lain yang, dalam satu dan lain hal, menyebabkan gesekan dan konflik. Secara simbolik, keberadaan
64
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
rumah ibadat juga merupakan gambaran eksistensi umat beragama bersangkutan dalam ‘kontestasi’ demografi keagamaan di wilayah tersebut. Mengingat potensi gangguan kerukunan yang disebabkan masalah rumah ibadat ini, pemerintah memiliki peranan penting sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator, maksudnya, pemerintah harus menjalankan tugas utamanya menjaga ketenteraman dan ketertiban umum yang terganggu masalah rumah ibadat, misalnya, dengan membuat aturan-aturan. Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 diterbitkan sebagai regulasi yang mengatur perihal pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral karena disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator, maksudnya, pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani dan melindungi umat beragama dalam melaksanakan ibadat, termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator, maksudnya, pemerintah berupaya memberdayakan umat beragama dalam kehidupan beragama, termasuk dalam menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat. Dari perspektif itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami kasus-kasus terkait rumah ibadat adalah hal-hal sebagai berikut: Pertama, ranah regulasi. Secara teoritik, keberadaan suatu peraturan (regulation) adalah untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, karena peraturan sejatinya adalah serangkaian ketentuan yang dirumuskan bersama dan harus ditaati bersama demi ketertiban umum. Di lapangan, alasan yang kerap diberikan ketika sejumlah rumah ibadat dipermasalahkan adalah soal izin
65
Akmal Salim Ruhana
pendirian bangunan rumah ibadat, serta serangkaian persyaratannya sebagaimana diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. Rumah ibadat atau tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk ibadat kerap dipermasalahkan dan diperselisihkan ketika belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan. Meski demikian, dalam beberapa kasus terjadi perselisihan terhadap rumah ibadat yang sudah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Untuk itu, pada ranah regulasi ini penting melihat keterpenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur, yakni terkait persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan persyaratan khusus. Hal ini merujuk pada Pasal 13 dan 14 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Dalam hal kasus terjadi sebelum terbitnya PBM, maka SKB No. 1 Tahun 1969 atau regulasi daerah lainnya yang berlaku sebagai lex specialis. Kedua, ranah politik-ekonomi-sosial-budaya. Kehadiran komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas pribumi yang telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang tidak jarang ‘meminjam’ sentimen agama. Penelitian Usman Pelly (1999) yang mencari akar kerusuhan etnis di era reformasi mengonfirmasi hal ini. Penelitian itu menyimpulkan bahwa kerusuhan etnis sejak awal era reformasi berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberi petunjuk kuat bahwa tatanan sosial kehidupan majemuk telah hancur. Kelompok menengah telah memaksa kelompok etnis pribumi untuk puas hidup di papan bawah dan terpinggirkan. Potensi konflik kemudian memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan.9 Konsep ingroup9 Usman Pelly, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58,
66
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
outgroup10 juga kerap berlaku. Kehadiran rumah ibadat agama lain dalam struktur sosial yang telah mapan sebelumnya, kerap menimbulkan penolakan dan/atau perselisihan. Demikian juga di ranah budaya, kehadiran rumah ibadat lain yang mengindikasikan adanya komunitas umat beragama lain kerap dianggap ‘gangguan’ bagi stabilitas budaya masyarakat setempat yang telah mapan. Demikian pula dalam hal ekonomi, pendatang yang secara ekonomi lebih kuat, kerap mendapatkan ‘perlawanan’ dari komunitas pribumi yang lebih lemah.11 Ketiga, ranah keberagamaan. Intoleransi beragama kerap juga dituding sebagai penyebab adanya penolakan atau perselisihan terkait rumah ibadat. Inklusifitas keagamaan tidak bisa menerima kehadiran (rumah ibadat) pemeluk agama lain di sekitarnya.12 Dari ketiga ranah ini, dapat digambarkan kerangka pikir penelitian ini yang sekaligus menunjukkan pendekatan yang dilakukan dalam proses analisis kasus ini:
Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia. 10 Lebih jauh dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990. 11 Sebagai contoh, konflik Ambon, menurut kajian Badan Litbang dan Diklat, pada mulanya dipicu soal kesenjangan sosial-ekonomi yang kemudian ‘meminjam’ identitas agama untuk melakukan massifikasi dukungan perlawanan. 12 SETARA Institute menegaskan hal ini, misalnya. Bahwa kasus-kasus penolakan rumah ibadat bukan soal peraturan melainkan intoleransi masyarakat. Lihat lebih lanjut dalam http://health.kompas.com/ read/2010/09/21/15584227/Masalahnya.Bukan.PBM..tapi.Intoleransi, diunduh pada 8 April 2011.
67
Akmal Salim Ruhana
Ranah Regulasi/peraturan
Faktafakta dalam kasus rumah ibadat
Ranah Politik-EkonomiSosial-Budaya
Ranah Keberagamaan
Apakah proses pendirian gereja sesuai ketentuan PBM, SKB1/1969, atau peraturan khusus lainnya?
Apakah ada motif/unsur ekonomi, politik, sosial, atau budaya dalam kasus perselisihan ini? Kesenjangan poleksosbud? Dinamika politik lokal?
Bagaimana kondisi kehidupan beragama di daerah sasaran penelitian? Adakah intoleransi beragama? Isu agama/SARA?
Penelitian Terdahulu Penelitian terkait rumah ibadat sudah banyak dilakukan. Diantaranya oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010 lalu. Penelitian yang dilakukan di 6 lokasi penelitian itu antara lain menyimpulkan bahwa pendirian rumah ibadat dapat berjalan baik dengan terpenuhinya ketentuan (PBM, SKB 1/1969, dll.) serta adanya komunikasi yang baik antara pihak panitia pembangunan dengan lingkungan sekitar. Penelitian ini juga menunjukkan adanya
68
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
berbagai kesulitan dalam pendirian masjid di beberapa daerah di bagian Timur Indonesia, sebagaimana hal serupa dialami sejumlah panitia pendirian gereja di bagian Barat Indonesia. Penelitian lain terbaru, yang antara lain langsung menjadikan GKI Yasmin dan SJB Parung sebagai salahsatu lokusnya, adalah penelitian-bersama yang dilakukan oleh Yayasan Paramadina, MPRK-UGM, dan ICRP. Penelitian berjudul “Problematika Pendirian Gereja di Jakarta dan Sekitarnya: Sebuah Analisis Pendahuluan atas Peran Regulasi Negara dan Regulasi Sosial” ini, melihat peran-peran regulasi negara dan sosial dalam kasus-kasus rumah ibadat. Dilakukan pula kategorisasi kasus, menjadi: bermasalah sejak awal, bermasalah di awal kemudian tidak bermasalah/lancar, lancar di awal kemudian dipermasalahkan, dan bermasalah sejak awal hingga akhir. Diantara kesimpulan penelitian ini adalah terdapat inefisiensi dan potensi penghambatan pendirian rumah ibadah dalam praktek regulasi saat ini. Hal ini antara lain dicontohkan dari gereja yang sudah memenuhi syarat tandatangan dan syarat rekomendasi namun tetap belum memperoleh IMB. Simpulan lain, relasi gereja dengan masyarakat sekitar, terutama tokohnya, sangat berperan dalam menentukan apakah gereja akan menghadapi kendala atau tidak. Penelitian lain dalam tema serupa sesungguhnya telah cukup banyak, meski dalam lingkup dan angle berbeda. Diantara penelitian itu adalah penelitian Ibnu Hasan Muchtar tentang Kasus Ciketing, Bekasi, dan penelitian Ahsanul Khalikin tentang Kasus Gereja HKBP di Depok. Penelitian-penelitian terdahulu dalam banyak hal cukup beririsan dengan penelitian atas kasus GKI Yasmin dan SJB Parung ini. Namun demikian, ada ruang yang dapat diisi, sekaligus distingsi penelitian kali ini, yakni kedalaman dalam memahami
69
Akmal Salim Ruhana
setiap kasus tersebut (GKI Yasmin dan SJB Parung) dengan pendekatan yang lebih lengkap: regulasi dan non-regulasi.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan/dokumen dan pengamatan lapangan serta wawancara. Sejumlah dokumen dari berbagai pihak, termasuk salinan putusan pengadilan, dapat diperoleh. Sejumlah pihak dapat diwawancara langsung, antara lain: juru bicara panitia pendirian GKI Yasmin, pendeta GKI Yasmin, penasihat hukum GKI Yasmin, ketua dan pengurus Forkami, panitia pembangunan gereja SJB Parung, Kankemenag Kota dan Kabupaten Bogor, FKUB Kota dan Kabupaten Bogor, MUI, dan masyarakat sekitar lainnya. Disamping itu, wawancara-tertulis dan via telepon dilakukan terhadap sejumlah pihak. Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik melalui tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan. Dalam kaitan ini, upaya penyimpulan juga menggunakan teknik pembobotan yang meski bersifat penilaian relatif-subjektif namun dapat membantu menggambarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada. Untuk menguji keabsahan data digunakan teknik triangulasi13 dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain. Informasi versi GKI Yasmin, versi Forkami dan versi Pemkot serta informasi versi panitia SJB Parung dan penolaknya dipadu (dan diadu?) secara komplementatif dan bersifat fakta an sich, menyisihkan perspektif antar pihak yang parsial. 13
70
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Rosdakarya, Bdg, 2002, hlm. 178.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
GAMBARAN UMUM KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
Kondisi Geografis-Demografis-Poleksosbud Kota Bogor,14sekitar 60 kilometer dari ibukota Jakarta, berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Kota ini memiliki luas wilayah 111,73 km², dengan jumlah penduduk 949.066 jiwa (2010), dan kepadatan penduduk 8.494 orang/km2. Di utara, Kota Bogor berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Bojonggede, dan Kemang Kabupaten Bogor; di timur dengan Kecamatan Sukaraja dan Ciawi Kabupaten Bogor; di selatan dengan Kecamatan Cijeruk dan Caringin Kabupaten Bogor; dan di barat dengan Kecamatan Kemang dan Dramaga Kabupaten Bogor. Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan, yakni: Bogor Utara, Bogor Barat, Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Selatan, dan Tanah Sereal.
14 Sejumlah data geografis-demografis diambil dari Kota Bogor Dalam Angka 2010 dan www.kotabogor.go.id., sedangkan data keagamaan diambil dari Kantor Kementerian Agama Kota Bogor.
71
Akmal Salim Ruhana
Kota Bogor dipimpin Walikota Diani Budianto yang memimpin untuk kali kedua. Incumbent ini didukung Partai Golkar, PDIP dan PKS serta tujuh partai kecil lainnya, yakni Partai Patriot, PBSD, PSI, PKPI, PPDI, dan PDK dalam pemilukada 2008 lalu. Sedangkan komposisi DPRD: Demokrat 15 kursi, PKS 7 kursi, Golkar 6 kursi, dan sisanya untuk partai lainnya. Kedudukan geografis Kota Bogor sebagai penyangga ibukota berimplikasi pada heterogenitas penduduk sekaligus kompleksitas permasalahannya. Di sisi lain, posisi strategis itu menjadi daya tawar tersendiri secara ekonomi. Sedangkan Kabupaten Bogor15 merupakan daerah penyangga ibukota yang memiliki wilayah yang cukup luas, yakni 2.371,21 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di utara; Kabupaten Karawang di timur; Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di selatan; serta Kabupaten Lebak di barat. Kabupaten dengan 40 kecamatan ini memiliki jumlah penduduk 4.477.344 jiwa (2009) dengan tingkat kepadatan 1.820 jiwa/km². Kabupaten Bogor dipimpin Bupati Rachmat Yasin, yang dalam pemilukada diusung oleh PPP dan PDIP. Sedangkan komposisi DPRD: Demokrat 14 kursi, Golkar 7 kursi, PDIP 7 kursi; PPP 6 kursi, PKS 6 kursi, Gerindra 6 kursi, PAN 3 kursi, dan Hanura 1 kursi. Kedudukan geografis Kabupaten Bogor sebagai penyangga ibukota berimplikasi pada heterogenitas penduduk sekaligus kompleksitas permasalahannya. Di sisi lain, posisi strategis itu, 15 Sejumlah data geografis-demografis diambil dari Kabupaten Bogor Dalam Angka 2010, sedangkan data keagamaan diambil dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor.
72
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
termasuk potensi pariwisatanya, menjadi daya tawar tersendiri secara ekonomi.
Kondisi Kehidupan Keagamaan Komposisi pemeluk agama dan rumah ibadat di Kota Bogor adalah: Islam 843.199 jiwa (83,7%) dengan 695 masjid.; Kristen 87.422 jiwa (8,7%) dengan 88 gereja; Katolik 45.032 jiwa (4,5%) dengan 2 gereja; Hindu 12.549 jiwa (1,2%) dengan 2 pura; Buddha 11.346 jiwa (1,2%) dengan 20 vihara; dan agama lainnya 7.970 jiwa (0,8%). Sebagai daerah dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Kota Bogor memiliki banyak organisasi kemasyarakatan keagamaan Islam, yakni: MUI, LPTQ, DDII, LDII, DMI, GUPPI, PHBI, MDI, NU, Muhammadiyah, PUI, LPPM, BKSPP, FKPP, Al-Irsyad, Persis, Aisyiyah, Satkar Ulama, AMII, Al-Hidayah, Mathlaul Anwar, IPHI, ICMI, BKPRMI, IPQAH, dan Pemuda Ansor. Selain itu, di Kota Bogor terdapat 199 TKA/TKQ dengan 796 orang gurunya, juga terdapat 247 TPA/TPQ dengan 741 orang gurunya. Di kota ini juga terdapat 431 majelis taklim dan 215 lembaga dakwah dengan 1.979 da’i atau mubalignya. Sedangkan komposisi pemeluk agama di Kabupaten Bogor, menurut data Kankemenag Kabupaten Bogor, sebagai berikut: Islam 3.769.506 jiwa (98%), Kristen 30.893 jiwa (0,01%), Katolik 25.695 jiwa (0,01%), Hindu 8.500 jiwa (0,002%), Buddha 20.955 jiwa (0,005%), dan agama Khonghucu 2.447 jiwa (0,001%). Terdapat 4.746 masjid, 29 gereja Kristen, 3 gereja Katolik, 4 pura, dan 11 vihara. Terdapat banyak ormas keagamaan, antara lain: MUI, PGI, PHDI, KWI, WALUBI, MAKIN, NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Mathlaul Anwar, MDI, dan Al-Irsyad.
73
Akmal Salim Ruhana
Sekilas tentang GKI Yasmin dan Gereja SJB Parung Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin yang merupakan anggota PGI ini berencana membangun gereja yang berlokasi di pinggir jalan Taman Yasmin III, di Jl. KH. Abdullah bin Nuh No. 31, Curug Mekar, Bogor Barat, Kota Bogor. Semula, jemaat beribadat di gereja GKI Jl. Pengadilan 35 Bogor. Atas alasan perkembangan jumlah jemaat dari waktu ke waktu dan ekses sosialnya di sana (seperti soal lahan parkir yang sempit), sangat diperlukan bangunan gereja baru, yakni gereja di Taman Yasmin, yang direncanakan untuk melayani ibadat sekitar 300 jemaat.16 Secara geografis, lokasi bakal gereja berada di sekitar (dan satu RT dengan penghuni) Komplek Taman Yasmin III dan perkampungan masyarakat, yang mayoritas beragama Islam. Secara ekonomis, kehidupan masyarakat komplek Taman Yasmin dari kalangan berpunya, sedangkan warga di sekitar/di luar komplek relatif menengah ke bawah. Adapun SJB Parung mulai lahir pada 19 November 1989, yakni dengan bergabungnya 4 kelompok persekutuan doa/stasi, yakni Stasi Gunung Sindur, ARCO, Lebakwangi, dan Bojongsari. Adapun perkembangan umat Katolik sendiri di Parung dan sekitarnya bermula pada 1977 dimana terdapat sejumlah guru Inpres dari Jawa Tengah yang beragama Katolik untuk mengisi formasi di beberapa sekolah di beberapa kecamatan, yakni: Kecamatan Parung, Gunung Sindur, Sawangan, Sawangan Baru, Tajurhalang, dan Sasakpanjang. Dengan berkembangnya penduduk dan sejalan dengan itu bertambahnya pula jumlah jemaat, maka untuk pelayanan ibadat diperlukan suatu rumah 16 Lihat Slide berjudul “Menengok Perjalanan GKI Bogor-Bakal Pos Taman Yasmin”, yang dipresentasikan pada gelar perkara di Komnas HAM, 21 Mei 2010 oleh GKI.
74
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
ibadat yang memadai. Maka pada 1991-1993 mulai membeli tanah seluas 7.000 m2 di Kampung Tulang Kuning, Desa Waru, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Tempat ini dinilai strategis secara transportasi karena ada di simpang tiga jalur Bogor-JakartaTangerang, dan relatif di tengah secara geografis wilayah pelayanan sebuah paroki yang mencakup 4 kecamatan. Secara geografis, lokasi bakal gereja berada di Kampung Tulang Kuning, di tengah perkampungan masyarakat Parung yang mayoritas beragama Islam, serta beberapa komplek perumahan baru. Secara ekonomis, kehidupan masyarakat relatif menengah ke bawah.
75
Akmal Salim Ruhana
76
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
TEMUAN PENELITIAN
I. KASUS GKI YASMIN Gambaran Kronologis Kasus Untuk memahami kasus ini secara jernih, perlu merunut secara kronologis peristiwa demi peristiwa yang terjadi— didasarkan informasi-lintas berbagai pihak, sebagai berikut:17 Waktu 2001
10 Mar 2002
Peristiwa Bertambahnya jemaat GKI Yasmin di Jl. Pengadilan 35, menurut kajian internal GKI, diperlukan gereja baru (untuk 300 orang). GKI membeli tanah seluas 1720 m2 di Taman Yasmin. GKI menyatakan berhasil mengumpulkan sebanyak 170 orang yang menandatangani Surat Pernyataan Tidak Keberatan pendirian gereja di Taman Yasmin. Di sisi lain, warga setempat (terutama MAM, RT setempat yang didatangi panitia) menolak keberadaan GKI di sana karena mayoritas sekitarnya muslim.
17 Secara komplementatif-selektif pemaduan informasi dilakukan dari 3 versi keterangan: versi GKI (Slide dan penjelasan), versi Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesia, warga muslim sekitar lokasi), dan versi Pemerintah Kota.
77
Akmal Salim Ruhana
20032006
FebMei 2006
13 Juli 2006
18Agt 2006
78
Sosialisasi dilakukan oleh panitia, pada: 1 Maret 2003, 25 Oktober 2005, 8 Januari 2006, 12 Januari 2006, 14 Januari 2006, dan 15 Januari 2006. Kegiatan-kegiatan tersebut dihadiri oleh warga masyarakat sekitar termasuk pemuda, tokoh masyarakat dan warga lainnya. Dalam pertemuan-pertemuan itu pihak GKI menyatakan mendapat persetujuan berupa tandatangan. Di sisi lain, pihak warga tetap menolak rencana pendirian gereja—seperti pada sosialisasi tgl 14 Januari 2006, dimana RT 08/08 menolak dengan surat pernyataan penolakan. Panitia mengusahakan dan mendapatkan sejumlah bahan persyaratan, yakni: 1. Rekomendasi pembangunan gereja dari Walikota Bogor (15/2/2006); 2. Saran Teknis Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor (3/3/2006); 3. Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah dalam Rangka Perubahan Penggunaan Tanah dari Kantor Pertanahan Kota Bogor (14/3/ 2006); 4. Penilaian Saran Teknis Lalu Lintas dari Dinas Lalin dan Angkutan Jalan Kota Bogor (15/2/ 2006); 5. Surat izin Pembuatan Jalan Masuk dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor (12/4/2006); 6. Saran Teknis Kepala Dinas Bina Marga (17/4/2006); dan 7. Pengesahan Site Plan dari Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor (30/5/2006). GKI memperoleh SK Walikota Bogor tentang IMB No. 645.8.372 Tahun 2006, ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor (a.n. Walikota) Dilakukan sosialisasi pembangunan gedung gereja yang dihadiri Ketua dan Sekretaris MUI Bogor, Camat Bogor Barat, perwakilan ulama, kepala desa, kapolsek, wakapolsek, kepala keamanan desa, ketua LPM, perwakilan warga masyarakat.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
19Agt 2006 11Okt 2006
6 Des 2006
10 Jan 2007
Mar 2007
Apr 2007
10 Feb 2008 Feb 2008
Peletakan batu pertama gereja yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah Kota Bogor yang menyampaikan kata sambutan dari Walikota. Muncul opsi dari Sekda Kota Bogor untuk memindahkan lokasi pembangunan gereja karena adanya protes dari kelompok tertentu kepada Walikota agar pembangunan tidak diteruskan. Ada surat pemberitahuan dari PT. Inti Innovaco bahwa di lokasi Sektor VII, Perumahan Taman Yasmin tidak terdapat fasilitas sosial untuk pembangunan rumah ibadah non-Muslim. Atas dasar surat ini GKI bertahan di lokasi Jl. Abd. Bin Nuh No. 31. Pembangunan dimulai berdasarkan IMB, dengan mulai dilakukan pemasangan pondasi tiang pancang. Masyarakat setempat mulai resah dan menyalurkan aspirasinya via ormas Islam. Anggota DPRD Kota Bogor meninjau lapangan dan mengadakan dialog dengan pihak gereja dan Ketua RT setempat. Terakhir diputuskan untuk sementara kegiatan pembangunan gereja dihentikan dan pembangunan dinyatakan status quo. Pihak gereja melaksanakan kegiatan pembangunan lagi, dan terus membangun meski ditegur oleh Ketua RT setempat dengan surat bernomor: 148/17/RT08/IV/2007 tanggal 30 April 2007. Hal ini memancing timbulnya demonstrasi-demonstrasi warga muslim Kota Bogor. Terjadi demonstrasi di DPRD Bogor yang meminta agar IMB GKI Yasmin untuk dicabut. Forum warga Curug Mekar membuat surat permohonan pembatalan IMB pembangunan gereja ke Dinas Tata Kota Pemkot Bogor.
79
Akmal Salim Ruhana
14 Feb 2008 28 Feb 2008
10 Mar 2008
4 Sep 2008
2 Feb 2009 25Feb 2009
Mar 2009
25Apr 2009
80
GKI menerima surat dari Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor No. 503/208 – DTKP perihal Pembekuan IMB. GKI mengirimkan surat kepada Walikota Bogor perihal keberatan dan penolakan atas surat pembekuan IMB yang diterbitkan Kepala DTKP (dengan tembusan ke berbagai pihak) GKI Jl. Pengadilan No. 35 mengadu ke Komnas HAM. Sebagai responnya Komnas HAM mengirim surat No. 592/K/PMT/ IV/08 tertanggal 7 April 2008 kepada Menteri Agama Republik Indonesia perihal Penolakan Pembekuan IMB GKI Yasmin. Selain itu, GKI mengambil jalur hukum terhadap Surat Pembekuan Kepala DTKP tersebut. Ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung bahwa Pemkot, khususnya DTKP, dikalahkan dalam hal Pembekuan IMB. Pada tanggal yang sama akhirnya Pemkot banding atas Putusan PTUN Bandung. Ada putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta menguatkan putusan PTUN Bandung, Pemkot kalah. Kasasi yang diajukan oleh Pemkot tidak memenuhi syarat formal dan ditolak oleh MA karena yang menjadi obyek gugatan adalah merupakan keputusan pejabat daerah. Terjadi lagi kegiatan pembangunan gereja, kemudian didemo oleh warga Muslim se-Curug Mekar yang mengakibatkan terjadinya pemasangan spanduk penolakan warga dan penutupan akses ke area pembangunan gereja. Terjadi demo di lokasi pembangunan gereja untuk menghalau pekerja yang sedang melanjutkan pekerjaan gereja.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
15 Mei 2009
8 Jan 2010
20 Jan 2010
30 Jan 2010
4 Feb 2010
9 Feb 2010
11 Feb 2010
Warga mulai mencari data kebenaran sesuai data yang tertera dalam Form Tidak Keberatan, dan akhirnya diketemukan, data yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Beberapa orang menyatakan tidak pernah menandatangani pernyataan data seperti format tersebut, bahkan ada juga yang merasa tidak hadir dalam pertemuan di kelurahan/sosialisasi itupun dalam lembaran daftar hadir dan tanda tangan penerimaan uang sebagai pengganti uang transport. Pembangunan dilanjutkan kembali namun karena ada surat agar menghentikan, pekerjaan dihentikan. Pagar yang baru dibangun dan bedeng proyek dirusak sekelompok orang. Warga Curug Mekar sepakat untuk membentuk wadah koordinasi, yakni Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesia, belakangan juga membuat situs www.forkami.com) Forkami menemukan dan melaporkan adanya indikasi pemalsuan tanda tangan warga yang digunakan sebagai syarat pembuatan IMB Gereja GKI Yasmin ke POLRESTA dengan membawa 7 orang saksi dan diantar oleh sekitar 150 orang HJ, warga Curug, dijadikan tersangka karena laporan dari pihak GKI. Forkami melaporkan indikasi pemalsuan tanda tangan warga atas nama Haris Fadilah dan Idrus, tertera pada berkas pertemuan tanggal 8 Januari 2006 Warga datang ke Polresta untuk klarifikasi indikasi pemalsuan tanda tangan warga yang dipalsukan untuk dicocokkan dengan data dari DTKP, namun DTKP tidak bisa menunjukkan form data tandatangan dimaksud. Forkami bertemu dengan pihak Pemkot yang menghasilkan kesanggupan Pemkot untuk membatalkan IMB Gereja GKI Yasmin. (Pada 15-20 Febr, tahap peneguran di lapangan)
81
Akmal Salim Ruhana
22 Feb 2010 23 Feb 2010
24 Feb 2010 25 Feb 2010 8 Mar 2010 11 Mar 2010
18 Mar 2010 24 Mar 2010
25Mar 2010 27Mar 2010 Apr 2010
82
Pemkot Mengundang Forkami, FKUB, Kemenag dan gereja untuk menyelesaikan permasalahan. Pihak gereja tidak datang. Warga cekcok dengan pemborong yang akan memasang baja ringan. Satpol PP datang membawa barang bukti baja ringan—bahwa selama masa menunggu PK pembangunan tidak boleh dulu. Pihak pemborong tetap melakukan pekerjaannya. Muncul surat pembatalan rekomendasi dari Walikota Bogor, No. 503/367/Huk, yang menyatakan bahwa “…. adanya sikap keberatan dan protes dari masyarakat ..” Ada surat dari Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, perihal permohonan agar kegiatan pembangunan gereja GKI Yasmin dihentikan. Dipasang tulisan “DISEGEL” di pagar lokasi gereja. Pada saat itu terjadi cekcok antara pihak GKI, Pol PP, dan Forkami, serta adanya pengancaman dengan menggunakan clurit. Segel hilang, dicopot oleh oknum tertentu. Dua hari kemudian, 20 Maret 2010, segel baru dipasang lagi oleh Pol PP. Masyarakat dan perwakilan Forkami menemui Kesbang, Satpol PP dan Tapem (atas nama walikota), menanyakan perkembangan usul pembatalan rekomendasi. Forkami dan warga mengajukan 3 saksi ke Polresta atas tuduhan pemalsuan data yang diajukan oleh panitia gereja. Warga membawa MK ke Polresta, klarifikasi dengan data yang diberikan ke Polresta tersebut. BAP MK ditunda karena sakit. Proses pengajuan saksi-saksi, dan proses BAP MK.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
8 Apr 2010 10 Apr 2010
AprJun 2010
3 Mei 2010 24 Mei 2010 27 Mei 2010
JunAg 2010 12 Agt 2010
Klarifikasi soal PK ke PTUN Bandung. Berkas pemalsuan lainnya (Lurah AA dan Mjk) belum juga dilimpahkan ke kejaksaan. GKI menyiapkan acara misa pada 11 April 2010 dengan memasukkan kursi ke dalam lokasi dengan mencopot segel. Warga protes. Kasatpol PP kembali memasang segel. Warga jemaat GKI Yasmin beribadah di trotoar di depan lokasi pembangunan gedung gereja, yaitu berturut-turut pada tanggal 11 April 2010, tanggal 25 April 2010, 2 Mei 2010, 9 Mei 2010, 16 Mei 2010, 23 Mei 2010, dan 6 Juni 2010. AI (Ketua Forkami) diperiksa terkait dengan pengrusakan bedeng dan pagar di lokasi gereja dan dijadikan tersangka atas pasal 170 KUHP. Forkami bersama Tim Pembela Muslim (TPM) ke Komnas HAM untuk klarifikasi keberadaan JD yang mengaku staf ahli Komnas HAM, dan lain-lain. MK tidak mau lagi didampingi oleh lawyer yg diberikan oleh Forkami, Th, dan malah diadukan oleh MK ke Polresta atas tuduhan memalsukan tanda tangan MK. MK juga ingin mencabut BAP-nya dikarenakan apa yang tertuang di BAP-nya hasil tekanan. Proses pemberkasan dan pelimpahan perkara HJ dan MK. Sidang Kasus HJ. Dilanjutkan sidang II pada 19 Agustus 2010, sidang III pada 26 Agustus 2010, Sidang IV pada 21 Oktober 2010, Sidang V pada 28 Oktober 2010, sidang VI pada 4 November 2010, sidang VII pada 2 Desember 2010, sidang VIII pada 9 Desember 2010, sidang IX pada 16 Desember 2010, dan sidang X pada 23 Desember 2010.
83
Akmal Salim Ruhana
25 Agt 2010 27 Agt 2010
19 Des 2010
20 Des 2010
25 Des 2010
26 Des 2010
20 Jan 2011
84
Sidang I kasus MK. Dilanjutkan sidang II pada 1 September 2010. Satpol PP melepas segel Gereja GKI Yasmin dan pada hari itu juga para panitia pembangunan gereja dan lawyer-nya memasuki areal gereja GKI. Warga minta ke Walikota, Sesdakot, Astapraja, Kapolresta untuk segera memerintahkan Kasat Pol PP untuk memasang kembali segel tersebut. Esoknya (28 Agustus 2010) segel dipasang lagi. Ketika jemaat GKI melakukan misa Minggu pagi di trotoar, datang sekelompok rombongan dari Jakarta yang dipimpin oleh BG dan ES anggota DPR dari PDIP, membongkar segel dengan paksa tanpa ijin dari Satpol PP ataupun Pemkot. Dengan tekanan dari warga baik demo ke Pemkot dan Mako Pol PP akhirnya jam 18.00 segel dipasang kembali oleh Pol PP dengan dikawal oleh anggota Polisi. Pihak Jemaat Gereja GKI memaksa mengadakan Misa di depan lokasi/trotoar yang dilakukan mulai jam 17.00 yaitu dengan mendirikan tenda dan kemudian Misa yang telah dihalau oleh ratusan warga tetapi aparat tetap saja tidak tegas. Dari mulai subuh aparat Kepolisian dan Brimob serta satpol PP mensterilkan lokasi tersebut karena jemaat GKI tetap memaksa akan melakukan Misa Minggu Pagi seperti yang biasa mereka lakukan di setiap Minggu pagi. Warga berkumpul ratusan untuk meyakinkan bahwa tidak akan digunakan untuk Misa lagi. MK diputus bersalah oleh PN Bogor dan dijatuhi vonis 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan, karena terbukti telah memalsukan tanda tangan warga sebagai syarat mendapatkan IMB.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
24 Feb 2011 6 Mar 2011
8 Mar 2011 11 Mar 2011
17 Apr 2011 ?
Putusan MA tentang Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara terkait Kandsus Surat Pembekuan IMB GKI Yasmin Jemaat GKI beribadat di dalam lokasi dengan membuka segel. Sore harinya lokasi kembali digembok. Demikian juga minggu berikutnya (13 Maret 2011), namun jemaat tidak bisa masuk karena segel/lokasi dijaga ketat oleh keamanan—mengingat besarnya potensi bentrokan dengan warga yang juga menginginkan segel tetap terpasang. Pemkot melaksanakan perintah putusan MA dengan mencabut Surat Pembekuan IMB yang pernah dikeluarkannya pada 14 Februari 2008. Pemkot mencabut IMB atas dasar adanya kecacatan dalam salahsatu syaratnya—sebagaimana telah terbukti divonisnya MK sebagai pelaku pemalsuan tanda tangan syarat perolehan IMB tersebut. Pemkot juga menawarkan tempat pengganti, meski masih ditolak pihak GKI. Jemaat GKI melakukan ibadat Minggu pagi di depan Istana Negara, sekaligus sebagai bentuk protes atas kondisi yang dialaminya. Dan seterusnya... (hingga makalah ini ditulis, proses kasus masih terus berjalan)
Dari kronologi kasus ini, secara singkat dapat digambarkan titik-titik masa penting dan kondisi-kondisinya, sebagai berikut:
85
Akmal Salim Ruhana
A
B
2001
13 Juli 2006
Proses Awal
IMB terbit
C
D
E
14 Febr 2008
8 Mar 2011
SK Pembekuan IMB terbit
SK Pembekuan IMB dicabut
11 Mar 2011 IMB dicabut
Rentang waktu A ke B adalah masa sosialisasi dan pemenuhan persyaratan IMB oleh pihak panitia GKI. Pada rentang ini masyarakat belum terlalu aware selain informasi proses yang terbatas. Masyarakat sekitar, misalnya, kaget karena tiba-tiba diketahui ada peletakan batu pertama gereja di lokasi, yang konon sudah ber-IMB. Posisi B ke C adalah masa protes warga dan sesekali berselisih fisik. Posisi C ke D adalah masa tahap demi tahap proses peradilan, dari PTUN, PT TUN, hingga MA, yang selalu dimenangkan pihak GKI. Bias informasi/pemberitaan terjadi pada tahap ini, yakni seolah-olah yang terjadi adalah proses hukum terhadap IMB, padahal sesungguhnya terhadap Surat Pembekuan IMB.18 Posisi D ke E sangat singkat jaraknya, sebagai pelaksanaan putusan MA dan sikap Pemkot selanjutnya. Perselisihan yang terjadi adalah segitiga, dengan tiga pihak yakni: GKI, Pemkot, dan warga muslim sekitar/Forkami. Pemkot berhadapan dengan GKI terkait IMB dan permasalahan pembekuan serta pencabutannya, GKI dengan warga dalam kasus di lapangan,
18 Bias ini menyebabkan sejumlah kesan: bahwa IMB telah benar dan tanpa masalah; penolakan terhadap GKI dipandang sebagai pure penolakan gereja yang ber-IMB (mengabaikan perihal keabsahan IMB); Pemkot membangkang putusan peradilan; dan sebagainya. Peneliti, hingga saat makalah ditulis, belum mendapat akses yang luas dari pihak-berkepentingan (GKI dan Pemkot) untuk mengonfirmasi dan meneliti perihal keabsahan IMB, padahal hal itu termasuk pokok persoalan.
86
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
dan Pemkot dengan warga dalam gugatan IMB. ‘Bandul’ kebijakan Pemkot dalam perebutan GKI-warga. Perihal keberlakuan peraturan, posisi A ke B menggunakan Ingub No. 28 Tahun 1990, sedangkan B dan selanjutnya semestinya menggunakan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006—sesuai pasal 29 tentang penyesuaian peraturan perundang-undangan daerah terhadap PBM selambatnya dalam 2 tahun pascaterbitnya PBM, yakni 21 Maret 2008.
Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Perselisihan Meski dalam tahap tertentu menjadi pihak berselisih, namun sebagai pihak yang berkewajiban melayani umat beragama dan menjamin ketertiban masyarakat, Pemkot Bogor telah cukup banyak melakukan perannya, khususnya dalam penyelesaian perselisihan terkait GKI Yasmin. Awal sekali, ketika mulai ada protes warga terhadap rencana pendirian gereja GKI Yasmin pada Oktober 2006, Pemkot Bogor memberikan opsi pemindahan lokasi gereja. Searah dengan itu, komunikasi Pemkot melalui Kesbang dan Satpol PP terus dilakukan dalam rangka mencari solusi atas kondisi pertentangan yang terjadi. Penerbitan Surat Pembekuan IMB yang meski di kemudian hari justru menjadi bibit perselisihan-hukum pemkot dengan GKI Yasmin dan warga, adalah juga upaya pemkot dalam menangani kasus ini. Meski di sisi lain hal ini dapat dikesankan sebagai ketundukan aparat terhadap keinginan dan tekanan pihak tertentu, namun sejatinya Surat No. 503/208-DTKP itu diterbitkan agar pertentangan dalam masyarakat mereda. Nyatanya memang sebaliknya, pertentangan antar pihak kian tereskalasi dengan kondisi persidangan PTUN-PTTUN-MA yang melibatkan banyak emosi dan pewacanaan yang liar atau keluar konteks.
87
Akmal Salim Ruhana
Dalam perkembangan selanjutnya, pemkot melakukan upaya penyelesaian perselisihan dengan merujuk Pasal 21 PBM, dengan langkah-langkah sebagaimana tertera dalam surat Sekda Bogor tanggal 21 Februari 2010, yakni: a) penerbitan surat penghentian pelaksanaan pembangunan; b) pemanggilan para pihak; c) verifikasi data/kelengkapan administrasi; d) musyawarah antar pihak; dan e) perumusan hasil musyawarah. Upaya-upaya ini serta sejumlah pertemuan fasilitasi dan dialog memang tidak juga menemui titik temu—selain justru pemkot kian ‘tertekan’ dengan wacana pembangkangan hukum yang digaungkan pihak GKI pascakemenangannya di setiap tahap proses peradilan, PTUN hingga MA. Selain itu, pemkot tertekan dengan wacana “pembatasan hak beribadat” yang terjadi ketika media marak memberitakan perihal jemaat GKI yang beribadat di trotoar/pinggir jalan. Pasca keputusan MA tentang kasasi soal Surat Pembekuan IMB (11/3/2011), pemkot mencabut Surat Pembekuan IMB dimaksud sebagai bentuk pelaksanaan perintah putusan MA, dan tiga hari kemudian mencabut SK IMB dengan alasan adanya indikasi kecacatan dalam proses pengajuan IMB sebagaimana putusan PN terkait pemalsuan tandatangan oleh MK. Sejalan dengan itu, dalam maksud memfasilitasi kegiatan ibadat warganya, pemkot memberikan penawaran kepada GKI Yasmin berupa pemindahan lokasi dan ganti rugi lahan pendirian gereja/ruislag serta segala biaya pembangunan yang telah dikeluarkan. Namun demikian, GKI bersikukuh ingin di lokasi tersebut dan bahkan mengajukan sejumlah protes terhadap kebijakan pemkot. Senarai peran pemkot di atas, dari kacamata pihak GKI, memang bermakna sebaliknya. Bagi GKI, pemkot-lah yang menjadi sumber masalah, yakni dengan: terbitnya Surat Pembekuan IMB
88
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
yang pernah dikeluarkannya, penyegelan lokasi gereja di Jalan KH. Abdullah bin Nuh, pencabutan surat rekomendasi Walikota, hingga pencabutan IMB atas nama GKI Yasmin. Di sisi lain, proses gugat menggugat dan perselisihan di pengadilan memposisikan Pemkot sebagai pihak lawan bagi GKI. Hal ini dan kesan tidak tegasnya sikap Pemkot kian menurunkan peran Pemkot di mata GKI.
Peran FKUB dalam Penyelesaian Perselisihan FKUB Kota Bogor belum pernah mengeluarkan rekomendasi tertulis terkait pendirian gereja GKI Yasmin karena proses terbitnya IMB sebelum lahirnya PBM—yang notabene PBM menjadi landasan keberadaan FKUB. Namun demikian, pascamunculnya perselisihan terkait GKI Yasmin, FKUB Kota Bogor telah turut serta bersama Pemkot melakukan upaya penyelesaian dalam serangkaian dialog dan pertemuan fasilitasi. Misalnya, dalam rapat penyelesaian masalah GKI Yasmin di Balaikota Bogor pada 18 Februari 2010 dan di Ruang Rapat Sekda Kota Bogor pada 22 Februari 2010, beberapa pengurus FKUB terlibat aktif memberikan prasaran dan solusi permasalahan. Dalam perkembangannya, FKUB Kota Bogor terus menjaga kondusivitas kerukunan masyarakat Bogor dan mengawal kasus ini meski dalam porsi yang tidak terlalu dominan—mengingat kapasitas dan keterbatasannya. Sejatinya FKUB dapat lebih berperan sebagai pihak yang berwenang dan diamanati PBM untuk berdialog, menyerap dan menyalurkan aspirasi umat, termasuk menangani kasus-kasus kerukunan umat beragama.
89
Akmal Salim Ruhana
Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Perselisihan Sejak kasus perselisihan terjadi tahun 2006, masyarakat sekitar menganggap Pemkot lamban dan tidak tegas, terbukti dengan terus bergulirnya kasus ini. Penyebabnya, sebagaimana ditengarai salah seorang tokoh masyarakat, karena konon ada oknum yang terlibat dalam proses penerbitan IMB yang terkesan dipaksakan atau hasil bergaining. Bahkan proses pengadilan pun diduga by design dengan melemahkan posisi Pemkot melawan GKI. ‘Tuduhan’ pendapat masyarakat ini memang sulit terkonfirmasi, namun pihak GKI sendiri merasa Pemkot tidak tegas dan bahkan dinilai membangkang putusan pengadilan, seraya menduga ada kebijakan yang bias kepentingan politik, karena tekanan partai tertentu yang berkuasa. Pemkot sendiri menegaskan bahwa yang dilakukannya adalah semata soal ketertiban umum dan pemenuhan peraturan, bukan soal agama. Buktinya, Pemkot tetap berupaya memfasilitasi aktivitas ibadat warganya dengan penawaran lokasi pengganti dan kompensasi lainnya. Perkembangan terakhir, pasca dicabutnya IMB, pihak GKI masih tetap ngotot ingin menempati lokasi gereja itu dengan melakukan serangkaian demo dan protes didukung sejumlah elemen masyarakat sipil dan media. Di sisi lain, masyarakat bersikap wait and see dan terus mengawal kasus ini, tak ingin “kecolongan” (lagi)—bahkan dengan meng-update perkembangan kasus ini di situs www.forkami.com.
90
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
II. KASUS PAROKI ST. JOANNES BAPTISTA PARUNG Gambaran Kronologis Kasus Untuk memahami kasus gereja SJB Parung ini perlu merunut secara kronologis peristiwa demi peristiwa yang terjadi, sebagai berikut: Waktu 1977
19911993
1992 s.d. skrg
2001
Febr. 2005 19 Jan 2007 25 Jan 2007 1 Febr
Peristiwa Di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor terdapat 15 orang guru SD Inpres jemaat Katolik, yang terus berkembang semakin banyak, sementara di sana tidak memiliki gedung gereja. SJB berupaya untuk mempunyai tanah di Tulang Kuning. Akhirnya gereja memiliki tanah sebagai bakal lokasi gereja, yakni sekitar 7.000 m2 di Kampung Tulang Kuning, Waru, Parung. Dengan menggunakan tenda, misa dan aktivitas rohani diadakan di lapangan terbuka milik Felix Juhari di Lebak Wangi, Parung. Di samping itu, SJB terus bersosialisasi dan berhubungan dengan warga dan aparat sekitar Tulang Kuning. Aktivitas sosial non keagamaan (posyandu, bakti sosial, dan olah raga) terus digalakkan. SJB hendak mendirikan Gedung Serba Guna (ada IMB), namun digagalkan oleh aksi massa Ikatan Remaja Masjid (Irmas), Parung. SJB berniat Paskahan di Tulang Kuning. Paskahan tersebut digagalkan oleh aksi sekelompok orang yang tidak jelas identitasnya. Masyarakat Kampung Tulang Kuning membuat pernyataan penolakan pembangunan gereja SJB Parung di daerahnya. MUI mengeluarkan surat penolakan pembangunan gereja SJB Parung, SJB mengajukan permohonan IMB kepada Bupati Bogor,
91
Akmal Salim Ruhana
2007
22 Febr 2007 27/4/07 29 Mei 2007
24 Juni 2007
Agustus 2007 24 Sept 2007
2008 16 - 22 Maret 2008
92
dengan surat No. 08/II/PPG/2007, dengan disertai berkas dokumen pendukung. Dikatakan ada 2000 jemaat, dan belum ada gereja di 6 kecamatan sekitar Parung. Kesbanglinmas melakukan verifikasi/pemeriksaan KTP warga yang menyetujui pendirian rumah ibadat SJB di Kampung Tulang Kuning. FKUB Kabupaten Bogor disahkan oleh Bupati. MUI menyampaikan surat kepada Bupati Bogor No. 21/MUI-Kec/V/2007 perihal Keberatan Pembangunan Gereja dan Pembangunan Tenda Permanen.Dikatakan bahwa permohonan belum memenuhi kebutuhan nyata sesuai pasal 13 PBM, karena sudah ada gereja di daerah Parung dan sekitarnya, dan dinilai cukup. Juga disebutkan rencana SJB telah menimbulkan keresahan. Panitia pendirian gereja SJB Parung menyampaikan surat No. 016/PPG/VI/07 dengan tembusan ke berbagai pihak/instansi, perihal tanggapan terhadap surat MUI Kec. Parung No. 21/MUI-Kec./V/2007 tentang Keberatan Pembangunan Gereja dan Pembangunan Tenda Permanen. Bahwa gereja yang ada adalah gereja Kristen, sementara gereja Katolik belum ada. Persetujuan warga sekitar dikatakan telah ada mencapai 127 KK atau 464 orang. Misa Agustusan/misa sore berlangsung di Tulang Kuning dan lancar. Ada Misa HUT Paroki di Tulang kuning aman dan kondusif. Umat yang hadir sekitar 1.000 orang. Parkir dikelola oleh warga Muslim setempat dan keuangan parkir untuk mereka. Misa Tahun Baru 2008, berlangsung aman (hadir juga oleh Danramil dan Kapolsek). Selama pekan suci, 16 - 23 Maret 2008, gereja berniat lagi paskahan di Tulang Kuning setelah berkoordinasi dengan aparat keamanan dan aparat pemerintah serta melibatkan
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
22 Mar 2008
23 Mar 2008
21 Agt 2009
16 Des 2009
21 Des 2009 Jan-Febr 2010
1 April 2010
umat non Katolik sekitar Tulang Kuning (menangani keamanan dan perparkiran). Upacara Malam Paskah dan Hari Raya (Minggu) Paskah digagalkan oleh aksi demo FKRM “Jamiul Fataa”, Desa Waru Induk, Kec. Parung. Malam Paskah, umat Paroki mencari gereja Katolik terdekat agar bisa Misa Malam Paskah sesuai anjuran Pastor Alfonsus Sutarno, PR. Di Tulang Kuning sendiri tetap diadakan Misa Malam Paskah dalam ruangan yang ada. Minggu, Hari Raya Paskah, Misa Paskah diadakan di Kapel Susteran OSF (Marsudirini), Telaga Kahuripan, Parung kurang lebih 10 km dari Tulang Kuning. Rapat Muspika Parung membicarakan permasalahan rencana pendirian gereja SJB, yg dihadiri unsur Muspika Parung, MUI, Fosiru, Ulama Kamtibmas, Apdesi, dan Paguyuban Kades Parung Camat Parung mengirimkan Surat Teguran I kepada Ketua Dewan Pastoral SJB Parung, agar menghentikan seluruh kegiatan keagamaan di lokasi karena belum memiliki IMB dan atas alasan kondusifitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Peninjuan lokasi sebelumnya dilakukan. Camat Parung kembali mengirimkan Surat Teguran II kepada Ketua Dewan Pastoral SJB Parung, BKMT dan IPHI memberikan surat penolakan pendirian gereja di Tulang Kuning pada 5 Januari 2010. Hal yang sama disampaikan DPC NU pada 15 Februari 2010; 40 DKM se-Parung pada 20 Februari 2010; serta Forum Silaturahmi Umat-Ulama-Umara (Fosiru) dan DMI pada 30 Februari 2010. Camat Parung, melalui surat No. 451.1/201/trantib, melaporkan kepada Bupati telah terjadi unjuk rasa warga karena SJB Parung tetap melakukan kegiatan peribadatan di lokasi.
93
Akmal Salim Ruhana
21 April 2010 26/4/10
5 Mei 2010
19 Sep 2010
20 Sept 2010
30 Nov 2010
23 Des 2010 29 Des 2010
94
Surat Rekomendasi dari FKUB Kabupaten Bogor yang berisi “tidak merekomendasikan” pendirian gereja SJB di Tulang Kuningsanto FPI melalui suratnya nomor 001/SS/DPW-FPI/IV/2010 menyatakan sikap menolak rencana pembangunan gereja SJB parung. Rapat Lengkap Pengurus FKUB (termasuk dihadiri anggota wakil dari Katolik) membuat keputusan tentang Paroki SJB Parung, setelah melihat berbagai pertimbangan, maka “tidak merekomendasikan” rencana pembangunan, dan meminta “menghentikan seluruh kegiatan keagamaan” di tempat tersebut sesuai Surat Camat Parung. MUI melalui surat No. 02/MUI-Kec/Huk.IX/2010 menyampaikan permohonan kepada Bupati agar menutup tempat tinggal yang dipakai tempat kebaktian di Tulang Kuning. Badan Perizinan Terpadu Kab. Bogor menyampaikan surat jawaban dari SJB perihal permohonan penggunaan tanah untuk kegiatan pembangunan tempat ibadat dan rumah tinggal, dengan “tidak dapat diproses lebih lanjut” dengan alasan belum terpenuhinya persyaratan sebagaimana ketentuan Pasal 14 PBM. Bupati mengeluarkan surat penghentian seluruh kegiatan Gereja Paroki SJB, dengan surat No. 453.2/556-Huk. dengan alasan belum terpenuhinya persyaratan sesuai Pasal 14 PBM. Bupati melalui surat No. 453.2/557-Huk. menjawab Surat Dirjen Kemenkumham soal informasi kelanjutan proses izin pembangunan gereja SJB Parung. Mediasi di Pendopo Kab Bogor di hadapan bupati, Danrem, Dandim, kapolres, camat, dan ketua MUI Parung, dan pengurus FKUB. Surat Pastoral Parung Nomor 027/ST.JB/XII/2010 sebagai tanggapan atas surat Bupati, menyatakan bahwa cakupan
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
30 Des 2010
1 Jan 2011 7 Jan 2011
17 Jan 2011
19 Jan 2011
wilayah meliputi 3 desa di Kec. Parung berjumlah 99 orang, dan telah ada dukungan lebih dari 60 orang. Hanya saja data pendukung belum ditandatangan RT/RW dan Kepala Desa—dikatakan karena adanya tekanan psikologis tertentu. Tim Lengkap Pemda Kab. Bogor (BPT/SatpolPP/Hukum/Kesbanglinmas) berkunjung ke lokasi Paroki SJB Parung, disertai Camat, Kades Waru, FKUB Kab. Bogor, MUI Kec. Parung, Kepolisian dan TNI, serta wartawan. Tujuannya untuk observasi lokasi dan verifikasi pengajuan IMB (2007) dan IPPT (2010). Hasilnya akan disampaikan ke Bupati. Rapat terkait Paroki SJB Parung dihadiri Bupati, FKUB, dan MUI Kab Bogor SJB menyampaikan surat Nomor 029/ST.JB/I/2011 yang ditujukan kepada Menteri Agama tentang Permohonan Referensi untuk rekomendasi pendirian gereja SJB Parung, yang intinya meminta Menteri memberikan surat referensi kepada Kankemenag Kab. Bogor dan FKUB Kab. Bogor agar dapat segera mengeluarkan rekomendasi pendirian gereja SJB Parung karena menilai syarat dukungan masyarakat telah ada. Surat disebutkan ditembuskan ke FKUB dan Kankemenag Kab. Bogor, namun nyatanya tidak dikirimkan/ditembuskan dengan alasan tertentu. Camat Parung menyampaikan surat kepada Bupati No. 453.2/20-Kec perihal Laporan Kegiatan Peribadatan, yang menginformasikan bahwa hingga 16 Januari 2011 kegiatan peribadatan masih tetap dilakukan oleh pihak dewan pastoral dengan sekitar 250 jemaat di lokasi. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan kerawanan/konflik. Camat Parung menyampaikan surat kepada Bupati No. 453.2/25-Kec perihal laporan Hasil Penelitian Administrasi Kependudukan, yang menyatakan bahwa di 4 desa (Waru, Waru Jaya, Parung, dan Pemagarsari—disertai surat
95
Akmal Salim Ruhana
laporan dari keempat kepala desa) jumlah warga ber-KTP agama Katolik total berjumlah 79 orang. 24 Jan FKUB Kab. Bogor membuat Penjelasan Seputar Gereja dan 2011 Peribadatan di Pastoral Paroki GSB Parung, dengan menyimpulkan alasan belum terpenuhinya ketentuan Pasal 14 PBM. s/d skrg Jemaat SJB sebanyak kurang lebih 250 orang tetap melakukan kegiatan peribadatan di lokasi SJB, Parung. Jemaat SJB tetap melaksanakan rangkaian perayaan 21-24 Paskah (Hari Kamis Putih 21 April, Hari Jumat Agung 22 April April, Malam Paskah 23 April, dan Minggu Paskah 24 April 2011 2011) di Tulang Kuning, meski dua hari sebelumnya Bupati mendesak agar SJB melaksanakan paskah di gereja Telaga Kahuripan.19 ? Dan seterusnya... (hingga makalah ini ditulis, proses kasus masih terus berjalan)
Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Perselisihan Peran Pemerintah Kabupaten Bogor (Pemkab) sejak perselisihan terjadi pada 2007 (atau sebelumnya) hingga kini cukup optimal. Sejumlah tindakan seperti penanganan melalui korespondensi, pencegahan konflik di lapangan, hingga fasilitasi dialog/pertemuan penyelesaian masalah. Sementara komunikasi melalui korespondensi terus dilakukan, sejumlah pertemuan langsung pun digelar. Misalnya pada 21 Agustus 2009 diadakan Rapat Muspika Parung untuk membicarakan permasalahan rencana pendirian gereja SJB, yang dihadiri unsur: Muspika 19 Lihat “Umat Katolik Parung Tolak Pindah dari Tulang Kuning“ dalam http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2011/04/22/brk,20110422329411,id.html, diunduh tanggal 24 April 2011.
96
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Parung, MUI, Fosiru, Ulama Kamtibmas, Apdesi, dan Paguyuban Kades Parung. Kemudian tanggal 23 Desember 2010 dilakukan mediasi di Pendopo Kabupaten Bogor di hadapan Bupati, Danrem, Dandim, Kapolres, Camat, Ketua MUI Parung, dan pengurus FKUB. Bahkan, untuk menyelesaikan kasus ini, pada 30 Desember 2010 Tim Lengkap Pemkab Bogor, terdiri atas BPT, Satpol PP, Bag. Hukum, dan Kesbanglinmas langsung berkunjung ke lokasi Paroki SJB Parung, yang disertai Camat, Kades Waru, FKUB Kab. Bogor, MUI Kec. Parung, Kepolisian dan TNI, serta wartawan. Tujuannya untuk observasi lokasi dan verifikasi pengajuan IMB yang diajukan tahun 2007 dan IPPT tahun 2010. Pertemuan ini menghasilkan sejumlah hal yang hasilnya kemudian akan disampaikan ke Bupati.20 Perkembangan terbaru, ketika jemaat SJB sekitar 250 orang tetap melakukan kegiatan peribadatan di lokasi SJB Parung, Pemkab dan aparat di bawahnya terus memantau perkembangan kondisi agar tidak terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Peran FKUB dalam Penyelesaian Perselisihan FKUB Kabupaten Bogor yang disahkan Bupati pada 27 April 2007 telah cukup berperan dalam penyelesaian kasus SJB Parung ini. Bahkan dalam posisinya sebagai salahsatu pemberi rekomendasi tertulis sebagaimana dimaksud pasal 14 PBM, posisinya dianggap kian penting.21 Bahwa pada 5 Mei 2010 dalam suatu 20 Suasana pertemuan ini sempat memanas dan diwarnai isu demo massa, namun penjagaan oleh kepolisian dan TNI di lokasi (rumah Romo Gatot) itu berjalan lancar. Lihat “Oknum Tokoh Agama...” Suara Pembaharuan, 30 Desember 2011. 21 Bahwa pihak panitia gereja SJB merasa atas pengaruh MUI dan FKUB Bogor-lah (yang tidak merekomendasikan permohonan) sehingga para ketua RT/RW dan Kepala Desa enggan memberi tanda tangan pengesahan daftar dukungan warga sekitar, padahal
97
Akmal Salim Ruhana
Rapat Lengkap Pengurus FKUB yang juga dihadiri anggota wakil dari Katolik, Romo Stn, telah membuat keputusan tentang Paroki SJB Parung. Setelah mempertimbangkan berbahai hal, maka FKUB “tidak merekomendasikan” rencana pembangunan, dan bahkan meminta “menghentikan seluruh kegiatan keagamaan” di tempat tersebut, sebagaimana Surat Camat Parung. FKUB juga turut berperan dalam Tim Lengkap Pemda Kab. Bogor (BPT, Satpol PP, Bagian Hukum, dan Kesbanglinmas, yang pada 30 Desember 2010 melakukan kunjungan ke lokasi Paroki SJB Parung, yang disertai Camat, Kades Waru, FKUB Kab. Bogor, MUI Kec. Parung, Kepolisian dan TNI, serta wartawan. Kunjungan ini bertujuan untuk observasi lokasi dan verifikasi pengajuan IMB (2007) dan IPPT (2010). Peran aktif FKUB dalam kasus perselisihan memang dirasakan tidak mudah oleh beberapa anggotanya. Di satu sisi hendak menengahi antar pihak, namun di sisi lain, mereka harus menghadapi masyarakat yang tidak jarang kurang tahu peraturan.22 Namun, FKUB yang berkantor di Kantor Kesbangpol
menurutnya secara pribadi beberapa ketua RT sudah mendukung. Baca misalnya surat Paroki SJB tanggal 29 Desember 2010, juga wawancara dengan pengurus gereja, A dan SH, pada 3 Maret 2011. Namun kemudian hal ini diklarifikasi FKUB Kab. Bogor dalam Penjelasannya tanggal 24 Januari 2011, yang menerangkan bahwa memang hingga saat itu belum pernah ada permohonan dari SJB dengan persyaratan yang lengkap, sehingga FKUB tidak bisa merekomendasikan; juga ditegaskan kembali dalam wawancara ketua dan seorang wakil FKUB Kab. Bogor pada 2 Maret 2011. 22 Misalnya diceritakan MR dan KY, ketua dan anggota FKUB Kab. Bogor, dalam wawancara dengan peneliti pada 2 Maret 2011. Ketika menangani kasus pendirian rumah ibadat di daerah Kec.... Kab. Bogor, mereka dikepung massa yang berdemo dan menuduh kedua anggota FKUB itu telah ‘dibayar’ pihak panitia untuk membela. Beruntung kondisi berangsur terkendali, dengan penjelasan yang cukup dari keduanya. Cerita lain, mereka sempat disogok sejumlah uang bahkan kendaraan oleh pihak yang meminta rekomendasi FKUB, lalu tersiar kabar mereka telah ‘terbeli,’ namun sejatinya sogokan ditolak dan hal ini justru telah membuat malu pihak penyogok, saat kasus penyogokan ini mereka ungkap.
98
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Linmas ini tetap berupaya untuk menciptakan kerukunan dan ketertiban umum.
Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Perselisihan Terhadap upaya penyelesaian perselisihan terkait Paroki SJB oleh Pemkab (yakni permintaan penghentian aktivitas keagamaan di Tulang Kuning), banyak pihak di dalam masyarakat memberikan dukungan. Hal ini setidaknya dilihat dari pernyataan sejumlah ormas Islam dan/atau kelompok masyarakat di Kecamatan Parung—yang segaris dengan kebijakan Pemkab itu. Di sisi lain, upaya Pemkab ini ditentang pihak gereja yang didukung sejumlah elemen, seperti FKKJ dan media, yang tetap hendak membangun gereja di lokasi sekarang. Di sisi lain lagi, terdapat sejumlah masyarakat yang tidak acuh dengan perkembangan yang terjadi, terutama warga sekitar yang tidak terlalu mau tahu dengan urusan agama lain selain pemenuhan ekonomi keluarganya. Yang terakhir ini misalnya ditunjukkan oleh Hal, seorang tukang ojek di pertigaan Parung, ditanya soal demonstrasi menolak gereja SJB yang pernah terjadi beberapa waktu lalu, dikatakannya dengan lurus, tanpa beban: “Ah, abdi mah tara ngiringan [demo]. Nu penting mah kampung aman jeung abdi tiasa ngojeg” (Ah, saya tidak mau ikut-ikutan [berdemo]. Yang penting daerah ini aman dan saya bisa menarik ojek.)23 Pihak SJB Parung sendiri menyatakan ketidakpuasan dengan kondisi saat ini yang terkesan dibiarkan menggantung—padahal 23 Wawancara singkat dengan Hal, tukang ojek yang tinggal di daerah Parung, pada 3 Maret 2011. Jika pendapat Hal mewakili sebagian besar masyarakat sekitar lokasi, boleh jadi sikap semacam apatisme itulah yang membuat kondisi saat ini cenderung tidak ada gejolak—padahal di sisi lain SJB Parung terkesan melawan kebijakan Pemkab.
99
Akmal Salim Ruhana
berbagai persyaratan telah terus diupayakan, dan diklaim telah terpenuhi.24 Kondisi ini juga memprihatinkan. Meski ibadat mingguan masih bisa terus dilakukan di lokasi dengan tenda semipaten tanpa gangguan, namun sesekali kondisi menghangat terutama untuk momen-momen tahunan seperti Misa Paskah.
24 Wawancara dengan Romo Gt, dan beberapa pengurus gereja SJB di lokasi pada 3 Maret 2011.
100
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
ANALISIS
I. Analisa terhadap Kasus GKI Yasmin Ranah Regulasi Meski terbitnya IMB pada 13 Juli 2006 (baca: 4 bulan pasca terbitnya PBM) namun ketentuan PBM belum digunakan karena segala proses perizinan dilakukan jauh hari sebelumnya. Maka ketentuan yang digunakan dalam permohonan IMB adalah Instruksi Gubernur Jawa Barat No. 28 Tahun 199025 sebagai lex specialis dari SKB No.1/BER/mag-mdn/1969. Dari penelusuran datadata dan wawancara, ditemukan beberapa hal sebagai berikut: Ketentuan dalam Ingub Jabar 28/1990 a. perhatikan pendapat tertulis kepala kandepag setempat
Terpenuhi? belum
Keterangan Ditegaskan oleh Kandepag Kota Bogor melalui surat tgl 29 April 2010 tentang “...belum pernah mengeluarkan rekomendasi tertulis terkait dengan gereja GKI..”
25 Selengkapnya lihat dalam Memahami Konflik dan Strategi Penanggulangannya, DIPA Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen Agama Jawa Barat, 2006, hlm. 143.
101
Akmal Salim Ruhana
b. sesuaikan dengan perencanaan tata guna dan tata ruang setempat yang melibatkan Bappeda, PU, Pemerintahan, Kesra, Kandepag
ya
c. sesuaikan dengan kebutuhan penduduk domisili setempat dgn jumlah minimal 40 KK d. perhatikan dan pertimbangkan kondisi dan keadaan setempat
belum
e. perhatikan izin dari masyarakat sekitarnya
ya, denga n catata n
ya, denga n catata n
Telah ada 1. Rekomendasi Walikota Bogor (15/2/06); 2. Saran Teknis DLHK (3/3/06); 3. Pertimb Teknis Kantor Pertanahan (14/3/06); 4. Penilaian Saran Dinas Lalin dan Angkutan Jalan (15/2/06); 5. Surat izin Pembuatan Jalan Masuk dari Dinas Bina Marga (12/4/06); 6. Saran Teknis Kepala Dinas BinaMarga (17/4/06); dan 7. Pengesahan Site Plan dari Dinas Tata Kota dan Pertamanan (30/5/06)— minus Kandepag Warga sekitar lokasi (Taman Yasmin III), hanya 4 keluarga yang beragama Kristen, itupun tidak semuanya sedenominasi. Kebanyakan jemaat dari luar Kelurahan Curug Mekar.26 Panitia telah melakukan serangkaian pertemuan dengan warga sekitar, bahkan pada 2002-2006 terus berkomunikasi dengan M, ketua RT setempat —meski selalu ditolak permohonannya. Panitia mengajukan 170 ttd/nama sebagai warga yang tidak keberatan, yang disertakan dalam berkas permohonan IMB. Meski kemudian beberapa di antaranya terbukti
26 Wawancara dengan AS, warga komplek Taman Yasmin III, se-RT dengan lokasi gereja (ring I).
102
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
f. perhatikan pendapat tertulis dari MUI, DGI, Parisada Hindu Darma, MAWI, Walubi, Ulama/rokhaniaw an setempat g. tidak mengalihfungsikan suatu tempat atau bangunan untuk digunakan tempat ibadat
belum
ya
sebagai palsu, dan pemalsu (MK) sudah divonis 3 bulan.27 Tidak ada satupun pendapat tertulis dari majelis-majelis agama tersebut, selain justru (di kemudian hari) ada pendapat tertulis berupa pernyataan menolak rencana pembangunan gereja di Taman Yasmin dari MUI Kota Bogor, tertanggal 14 Juni 2010. Telah ada surat dari Kantor Pertanahan Kota Bogor tentang Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah dalam Rangka Perubahan Penggunaan Tanah, tertanggal 14 Maret 2006.
Dari gambaran di atas, secara regulasi (Ingub Jabar 28/1990) terdapat ketidakterpenuhan sejumlah persyaratan untuk diprosesnya permohonan pendirian gereja GKI Yasmin. Jikapun menggunakan perangkat regulasi SKB 1/1969 atau PBM, posisinya 27
Penjelasan lain disampaikan BS dan JD (jubir dan lawyer GKI) dalam wawancara pada 27 Februari 2011. Bahwa ada beberapa acara pra/sosialisasi yang dilakukan GKI dengan warga, dan beberapa tandatangan yang terbukti palsu itu ada pada berkas pertemuan yang tidak disertakan dalam berkas permohonan IMB yang diajukan ke Walikota—sehingga permohonan IMB bersih dari pemalsuan (pen). Ditambahkan JD, jikapun benar palsu pun hanya 4 orang saja sementara yang lainnya benar dan mencukupi syarat minimum. Selain itu, IMB bersifat einmalig, sekali jadi, tidak bisa dibatalkan meski kemudian terbukti di kemudian hari salahsatu syaratnya cacat. Dari berbagai berkas yang didapat, peneliti menemukan bahwa Surat Pernyataan Tidak Keberatan yang diajukan adalah pertemuan tanggal 8 Januari 2006 dan 15 Januari 2006 yang terbukti mengandung tandatangan palsu, misalnya merujuk pada poin 8 dalam surat jawaban Kantor BPN tertanggal 14 Maret 2006, yang menjawab surat permohonan dari panitia GKI. Terkait einmalig, pendapat peneliti, dalam diktum keempat SK IMB terdapat kalimat “...dengan ketentuan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekurangan atau kekeliruan akan diadakan perubahan sebagaimana mestinya,” maka SK sejatinya bisa ditinjau ulang.
103
Akmal Salim Ruhana
akan sama karena perihal dukungan warga sekitar dan sejumlah pendapat tertulis belum terpenuhi. Sampai di sini dapat dipahami pihak-pihak yang menolak keberadaan GKI Yasmin dengan alasan cacat hukumnya IMB yang dipegang panitia pembangunan gereja. Namun, penerbitan, pembekuan, dan lalu pencabutan IMB adalah fakta—yang perlu mendapat penjelasan dari aspek-aspek lainnya (ranah poleksosbud dan keagamaan). Perkembangan terakhir, Walikota memang telah mencabut IMB dengan salahsatu alasannya karena terdapat indikasi kecacatan persyaratan pengajuannya, berkesesuaian/mendahului kesimpulan penelitian ini.28 Menarik mencermati putusan pengadilan yang konon mengukuhkan keabsahan IMB. Dari pemeriksaan dan pencermatan berkas-berkas putusan ditemukan hal-hal, sebagai berikut:29 a. Yang digugat oleh penggugat/GKI adalah surat SK Pembekuan IMB yang dikeluarkan dan ditandatangani Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP) tanggal 14 Februari 2008 —dan bukan IMB itu sendiri. b. Isi putusan PTUN adalah mengabulkan gugatan Para Penggugat, menyatakan batal surat Kepala DTKP, dan memerintahkan tergugat (DTKP) mencabut surat pembekuan tersebut.
28 Bahwa penelitian (lapangan) ini dilakukan pada 21 Februari s.d. 3 Maret 2011, di saat posisi SK Pembekuan IMB masih berlaku dan putusan MA belum ada. Sedangkan penulisan laporan/makalah ini dilakukan medio April 2011. 29 Selengkapnya cermati berkas Putusan PTUN Bandung Nomor: 41/G/2008/PTUN-BDG tanggal 25 September 2008, putusan PTTUN Jakarta Nomor: 241/B/2008/PT.TUN.JKT tanggal 2 Februari 2009, dan putusan PK Mahkamah Agung Nomor: 127 PK/TUN/2009 tanggal 24 Februari 2011.
104
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
c. Isi putusan PT TUN adalah menerima permohonan banding para tergugat (DTKP), dan menguatkan putusan PTUN (yang menyatakan surat pembekuan IMB batal). d. Isi putusan PK Mahkamah Agung adalah menyatakan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon PK (Kepala DTKP) tidak dapat diterima. Dari data itu maka perihal keabsahan IMB belum masuk ke ranah hukum/pengadilan, sebagaimana senantiasa diberitakan di media massa dan diwacanakan oleh pihak GKI seolah-olah yang dipengadilankan itu adalah soal keabsahan IMB. Disinilah justeru titik krusial permasalahan yang menyebabkan penolakan warga. Jika titik krusial ini terus dihindari dan bias pemberitaan terus menggelinding, kiranya permasalahan belum akan selesai.30 Jika hendak menggugat ketidakabsahan IMB sejatinya di-PTUN-kan saja oleh warga, dan jika dimenangkan maka IMB itu bisa dicabut atas perintah pengadilan. Hanya saja, nampaknya warga lebih memilih jalur meminta (atau menekan?) pihak yang mengeluarkan IMB, yakni Pemkot, untuk meninjau keberadaan IMB yang pada proses penerbitannya mereka nilai mengabaikan sejumlah syaratadministratifnya. Pemkot dinilai bisa menggunakan ‘diktum koreksi’ dalam IMB, sebagaimana layaknya selalu ditemui dalam suatu surat keputusan, yang mengatakan “...dengan ketentuan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekurangan atau kekeliruan akan diadakan perubahan sebagaimana mestinya.”
30
Dalam wawancara, peneliti tidak mendapat akses yang cukup untuk meneliti secara lebih jauh ihwal keabsahan IMB yang menjadi core yang diperselisihkan. Penjelasan mengenai proses lahirnya IMB dengan transparansi informasi proses penerbitannya sejatinya perlu dijelaskan oleh parapihak terkait, sebagai jawaban atas ‘dugaan’ (atau meminjam bahasa BS, ‘fitnah’) yang berkembang.
105
Akmal Salim Ruhana
Ranah Poleksosbud dan Keagamaan Searah dengan analisa regulasi, ranah politik-ekonomisosial-budaya penting dilihat untuk membantu menjelaskan kenapa perselisihan terkait GKI Yasmin terjadi. Bahwa suatu fenomena sosial tidak disebabkan oleh sesuatu yang tunggal, melainkan banyak faktor yang terlibat dan berperan. Mengenai peran agama dalam dinamika politik lokal memang ada yang mengasumsikan kuat dan/atau sebaliknya.31 Bahwa isu politik selalu berhubungan dengan isu agama tidak bisa dipungkiri, sejarah menunjukkan hal itu. Dalam konteks perselisihan GKI Yasmin, aura politik lokal memang dipersepsi ada. Misalnya ditegaskan JD, jemaat sekaligus lawyer GKI, bahwa kasus perselisihan ini terjadi karena pengaruh ‘partai tertentu’ terhadap walikota-incumbent, DB, yang diusungnya. Buktinya, ditambahkan JD, kasus ini baru terjadi di periode kedua walikota, dahulu tidak ada masalah apa-apa.32 Namun hal ini agak terbantah oleh fakta bahwa penolakan warga terhadap pendirian gereja sudah terjadi sejak awal (2002, sebelum DB menjabat) ketika Ketua RT setempat waktu itu, MAM, selalu menolak permohonan panitia bahkan dalam 5 kali kunjungan panitia ke rumahnya. Ketika belakangan Pemkot mencabut IMB GKI Yasmin, DB sendiri menegaskan yang menjadi urusannya bukan soal agama, melainkan IMB yang memang menjadi ranah/wilayah kebijakannya.33 Meski demikian,
31 Baca misalnya AA GN Ari Dwipayana,”Agama di Bilik Suara: Representasi Agama dalam Demokrasi di Ranah Lokal,” dalam Zainal Abidin Bagir, dkk., Pluralisme Kewargaan, Bandung: CRCS-Mizan, 2011. Bandingkan dengan kajian tematik dalam Nawala, The Wahid Institute, No. 3/TH I/Agustus-November 2006. 32 Wawancara dengan JD pada 27 Februari 2011 di depan lokasi gereja. 33 Dalam http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=88511, diunduh 10 April 2011.
106
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
adanya motif politis agama dalam balutan kebijakan politik memang sulit diabaikan sekaligus sulit dibuktikan. Kondisi ekonomi rata-rata jemaat GKI yang ‘bermobil’, di satu sisi, dan ekonomi warga sekitar (di luar komplek Taman Yasmin/ring II) yang notabene di bawah rata-rata, mengundang perhatian untuk dicermati. Bahwa sejumlah warga yang diajak oleh panitia pendirian gereja dalam ‘pertemuan prasosialisasi’ adalah para warga dari ring II itu, bukan warga Taman Yasmin yang di ring I yang sudah jelas-jelas menolak proses pendirian gereja. Selain itu, ada sejumlah ‘uang transport’ yang diberikan panitia pasca pertemuan-pertemuan itu. Hal-hal ini memunculkan asumsi ekonomis tertentu, meski tidak terlalu signifikan berlaku dalam kasus ini—bahwa penolakan terjadi baik di ring I maupun II. Warga Komplek Taman Yasmin (ring I) kebanyakan pandatang dari berbagai daerah dengan ras dan suku yang berbeda. Warga di luar komplek (Curug, Cijahe, dan Wangkal) sedikit homogen, warga pribumi Bogor yang kebanyakan bersuku Sunda. Adapun calon jemaat GKI kebanyakan dari luar wilayah dengan ragam latar belakang suku dan ras. Meski demikian, segregasi sosial antarpihak tidak menonjol dalam hal ini, karena kebanyakan jemaat juga adalah pribumi warga Bogor. Hanya saja, komunikasi sosial terlihat kurang terjalin dengan baik. Lebih lagi, dalam perkembangannya, komunikasi antarpihak kian menjauh karena GKI (dengan ‘bantuan advokatif’ sejumlah jaringan tokoh dan LSM) di satu sisi gencar meng-expose isu ‘ketertindasan beragama’ ke berbagai media, yang dalam tingkat tertentu menyudutkan masyarakat setempat dan aparat pemerintahan. Di sisi lain, masyarakat semakin tidak simpati dengan GKI, terlebih ketika GKI selalu ‘mempertontonkan’ ibadat Minggu pagi di pinggir jalan atau trotoar di depan lokasi—yang memberi kesan adanya intoleransi beragama, dan hal itu menyudutkan warga.
107
Akmal Salim Ruhana
Upaya pihak Pemkot mengajak dialog GKI bahkan tidak gayung bersambut. Di ranah keagamaan, isu keagamaan berupa pemurtadan mengemuka menyertai kasus ini. Bahkan sejumlah elemen umat Islam pernah mengadakan acara aksi damai bertema “Umat Bersatu tolak Agenda Pemurtadan,” yang berkait erat dengan pendirian gereja GKI Yasmin.34 Searah dengan itu, AI, ketua Forkami, menceritakan pengalamannya didatangi seorang ibu yang mengaku suaminya telah didekati dan dialihagamakan oleh oknum tertentu di sekitar komplek Taman Yasmin. Selain itu, tambahnya, pernah ada oknum gereja yang datang ke rumahrumah menyebarkan misinya. 35 Namun demikian, sebagian informan menyatakan hal ini sebagai isu sampingan, sebagaimana disampaikan AS, anggota FKUB Kota Bogor. Bahwa sejauh ini sulit menemukan bukti Kristenisasi itu, seraya lebih harus introspeksi ke dalam (internal umat Islam sendiri) terkait adanya isu bantuan dari oknum tertentu untuk masyarakat yang berkekurangan, “apakah kita sudah memperhatikan mereka?” 36 Sejumlah pendapat media menyatakan adanya intoleransi keagamaan yang terjadi dalam kasus ini. Hal itu kian ditegaskan dengan foto-foto ibadat di trotoar para jemaat GKI Yasmin, yang ‘bercerita-lebih-banyak’ tentang kesan adanya ketidaksediaan
34
Tabligh Akbar diadakan oleh FUI Bogor pada Minggu tanggal 23 Januari 2011 pukul 07.00-12.00 wib di lapangan samping Kantor Radar Bogor, berseberangan dengan lokasi gereja Jl. KH. Abdullah bin Nuh. 35 Meski peneliti belum berhasil mengonfirmasi dan bertemu dengan yang bersangkutan karena sudah pindah rumah yang cukup jauh, cerita/pengalaman AI itu kiranya mewakili gambaran adanya kekhawatiran warga Muslim setempat terkait isu Kristenisasi di wilayah ini. Sejumlah VCD yang menceritakan atau berisi ihwal pemurtadan juga tampaknya semakin menguatkan asumsi masyarakat tentang Kristenisasi ini— sebagaimana peneliti disarankan AI untuk melihat beberapa fakta via VCD-VCD itu. 36 Wawancara dengan AS pada 2 Maret 2011.
108
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
warga Muslim terhadap hak beribadat jemaat GKI. Mewakili warga Muslim sekitar, Ketua Forkami, AI, membantah hal itu dengan penjelasan bahwa warga Muslim sangat toleran dan welcome dengan umat lain yang tertib hukum dengan tidak mengajarkan agama pada orang yang sudah beragama. Buktinya mereka biasa dan bisa bertetangga dengan baik dengan umat-umat lain.37 Terkait hal-hal di atas, menarik mencermati analisa Sidney Jones dalam laporannya tentang “Kristenisasi dan Intoleransi.”38 Bahwa belakangan ini intoleransi beragama meningkat di Indonesia sebagai akibat ‘pertarungan aksi-reaksi’ antara hardline Islamists dan Christian evangelicals dalam ladang-garap yang sama. Bahkan Provinsi Jawa Barat (dimana Kota Bogor berada) menjadi tempat yang sangat ditarget. Dijelaskan dalam laporan ICG: Most agree that West Java is one of the fastest growing areas for evangelical Christianity, although no one is quite sure why. One official suggested that the many workers in the region’s large industrial estates, uprooted from their traditional social networks, were attracted to groups that offer ready-made communities. An official at the Indonesian Communion of Churches, a Protestant umbrella organisation, said the big evangelical organisations were deliberately targeting West Java and Banten, the provinces that ring Jakarta, in the hope that a pincer movement of proselytisation would eventually gain them a bigger foothold in the capital. Others attributed the growth simply to the large amounts
37
Wawancara dengan AI pada 26 Februari 2011. Laporan Asia Briefing No. 114, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, yang diterbitkan International Crisis Group, sebuah lembaga kajian kebijakan antarnegara berpusat di Brussel, yang dirilis pada 24 November 2010. 38
109
Akmal Salim Ruhana
of funding available for Christian outreach activities in the wider metropolitan Jakarta area.39 Jika amatan Jones ini benar, maka isu pemurtadan atau Kristenisasi (dan/atau Islamisasi) bukanlah semata isu sampingan— sebagaimana ada yang mengatakan itu isu strategis untuk penggalangan massa saja. Tegasnya, ada indikasi-makro sedang terjadi proses penguatan kontestasi/kompetisi di antara agama dakwah/mission itu. ‘Gesekan’ penyiaran agama di ladang yang sama itu sesekali tercermin dalam sikap-sikap yang dapat dikategorikan intoleran.
II. Analisa terhadap Kasus SJB Parung Ranah Regulasi Proses pembangunan gereja SJB Parung mengikuti ketentuan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, meski panitia pembangunan gereja mengajukan permohonan IMB-nya pada 1 Februari 2007. Dari penelusuran data-data dan wawancara, diketahui hal-hal sebagai berikut: Ketentuan dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 “...berdasarkan keperluan nyata dan sungguh-sungguh”?
39
hlm. 2.
110
Terpenuhi?
ya
Keterangan Terdapat sejumlah pemeluk agama Katolik di sekitar Parung, dan belum ada gereja Katolik— selain 6 gereja Kristen.
Laporan ICG, Asia Briefing No. 114, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance,
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
ya, dengan catatan
Persyaratan Administratif Persyaratan Teknis
ya, dengan catatan
Persyaratan Khusus
...tetap menjaga KUB, trantib, dan sesuai perUU-an”
ada sedikitnya 90 nama/ KTP calon pengguna yg disahkan pejabat stempat
Belum
dukungan masyarakat setempat sedikitnya 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; rekomendasi tertulis Kakankemenag kab/kota rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota
Belum
Belum
Belum
Panitia telah sedapat mungkin memenuhi peraturan perundangan dan menjaga trantib, meski juga tetap beraktivitas di lokasi yang notabene telah dilarang oleh Camat/Pemkab. Sejumlah surat/berkas terkait dilaporkan lengkap, hanya saja BPT mnyatakan belum bisa memproses lebih lanjut (soal tanah) Pihak panitia mengklaim sudah berhasil mengumpulkan sebanyak 99 orang calon pengguna dari 3 desa, hanya saja hasil penelitian adminduk oleh Camat Parung didapat baru 79 orang. Pihak panitia sudah mengumpulkan pendukung lebih dari 60 orang warga sekitar, hanya saja daftar belum bisa diajukan karena belum disahkan oleh RT/RW dan Lurah/Kepala Desa setempat. Rekomendasi tertulis belum diberikan
FKUB “tidak merekomendasikan” pendirian gereja SJB Parung dengan alasan belum terpenuhinya syarat 90/60 dan soal KUB
111
Akmal Salim Ruhana
Dari gambaran di atas, secara regulasi (PBM No. 9 dan 8/2006) terdapat ketidakterpenuhan sejumlah persyaratan untuk diprosesnya permohonan pendirian gereja SJB Parung. Ketidakterpenuhan itu tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi faktor-faktor lainnya yang justru mungkin lebih dominan menyebabkan keterhambatan keluarnya izin tersebut.
Ranah Poleksosbud dan Keagamaan Dinamika politik lokal ditengarai sedikit banyak berpengaruh dalam kasus ini. Bahkan Panitia Pembangunan Gereja menegaskan hal itu dengan menyebutkan “situasi/kondisi politik di Kabupaten Bogor mendominir hambatan perkembangan gereja” sebagai salahsatu masalah eksternal yang dihadapinya.40 Hal ini juga berkaitan dengan janji pemilu pada pemilukada lalu, sebagaimana dikatakan salahseorang pengurus SJB Parung.41 Namun demikian, sebagaimana kasus GKI Yasmin, sulit mengonfirmasi kebenaran hal ini meski sulit pula mengabaikannya. Secara umum masyarakat sekitar lokasi adalah warga menengah ke bawah secara ekonomi, namun demikian, tidak ditemukan fakta-fakta yang mendukung adanya asumsi ekonomis yang mempengaruhi kasus ini. Bahwa pihak SJB Parung pernah melakukan beberapa kali kegiatan bakti sosial bagi masyarakat, hal itu semata untuk ‘mendekatkan’ hubungan.
40
Lihat Dasa Warsa Panitia Pembangunan Gereja Santo Joannes Baptista Parung 2000-2010, sebuah laporan internal, hlm. 10. Juga dikuatkan dalam wawancara tanggal 3 Maret 2011 dengan Romo Gt dan beberapa pengurus gereja. 41 Wawancara pengurus SJB Parung pada 3 Maret 2010, di lokasi Kp. Tulang Kuning.
112
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Bahwa jemaat SJB Parung mayoritas datang dari luar wilayah Tulang Kuning, sehingga posisi sebagai pendatang membutuhkan ‘pendekatan’ dan akseptasi yang cukup dari masyarakat sekitar. Di sisi lain, keberadaan SJB yang sudah berpuluh tahun di Tulang Kuning sesungguhnya memberi arah pada sosialisasi yang memadai. Yang agak mengemuka justru konflik intern dalam internal paroki sendiri, yang diakui pengurus sebagai tantangan internal.42 Dalam hal keagamaan, sedikit serupa dengan kasus GKI Yasmin, bahwa mayoritas penolak adalah warga masyarakat sekitar yang beragama Islam atau bahkan mengatasnamakan suatu organisasi Islam. Meski tidak menjadikan perihal ideologis sebagai alasan penolakan, melainkan persoalan keterpenuhan persyaratan yang bersifat administratif, namun sulit dipungkiri aura pseudo-intolerance sebagai akibat persaingan dakwah-misi agama yang boleh jadi suatu efek impor dari kasus lain di daerah lain. Tegasnya, umat Muslim setempat mungkin menjadi sangat berhati-hati dengan perkembangan misionari di wilayahnya akibat agresivitas misionari agama di wilayah lain yang menggunakan cara-cara yang tidak tepat. Meski belum tentu benar, namun adanya rasa keterancaman saja sudah cukup mendorong suatu sikap resistan tertentu.
42
Lihat Dasa Warsa... hlm. 10
113
Akmal Salim Ruhana
114
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
PENUTUP
Post Scriptum: Ke Arah Penyelesaian Perselisihan Beribadat merupakan pokok dalam beragama, karenanya kebebasan beribadat adalah keniscayaan hakiki. UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) menegaskan hal itu. Hanya saja, kebebasan beribadat tidaklah sama dengan kebebasan mendirikan rumah ibadat. Kebebasan beribadat berarti hak seseorang untuk meyakini dan mengabdi pada Tuhannya, hak yang asasi dalam forum internum setiap umat beragama. Sedangkan kebebasan mendirikan rumah ibadat berarti hak sekelompok umat beragama untuk memfasilitasi kegiatan ibadat, yang dalam pelaksanaannya ‘harus’ bersinggungan dengan hak pihak lain. Karena bangunan rumah ibadat pastilah berada dalam suatu tanah dan lingkungan sosial, maka ada ruang interaksi yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, harus ada upaya penyelesaian kasus ini agar hak beribadat dapat terpenuhi dan hak mendirikan rumah ibadat dapat terlaksana dengan tetap memenuhi ketentuan dan acceptable dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Meski tidak berpretensi menjadi solusi, namun upaya tetap harus dilakukan. Penyelesaian perselisihan kasus-kasus ini hendaknya terus dilakukan dan dalam kerangka PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 (yang saat ini de jure berlaku), khususnya terkait pasal 21 tentang penye-
115
Akmal Salim Ruhana
lesaian perselisihan. Ketika perselisihan tidak berhasil ditangani sendiri para pihak berselisih (Ayat 1) maka penyelesaian oleh walikota dibantu Kantor Kementerian Agama serta dengan pertimbangan FKUB kota, dilakukan dengan adil dan tidak memihak (Ayat 2). Hingga laporan ini ditulis, proses Kasus GKI Yasmin masih berjalan dengan kesiapan Pemerintah Kota untuk menyelesaikan masalah ini.43 Namun jika kemudian upaya itu tidak juga menuntaskan, maka sebaiknya diselesaikan melalui pengadilan (Ayat 3), yakni dengan pengujian keabsahan IMB yang dipermasalahkan itu. Namun, dalam perkembangan terakhir, hal ini sudah tidak relevan karena IMB dimaksud sudah dicabut. Maka Pasal 14 Ayat 2 PBM dapat dilakukan dengan fasilitasi yang moderat, atau dengan mekanisme lain yang disepakati bersama para pihak (local wisdoms?). Untuk ini, kedewasaan dan kebijaksanaan semua pihak menjadi keniscayaan. Di samping jalur regulasi/hukum itu, penting juga mensterilkan kebijakan pemerintahan dari keberpihakan terhadap kelompok tertentu. Ekses pemilukada sejatinya mendapatkan ‘pengawalan’ publik untuk kebijakan yang adil dan menenteramkan semua pihak. Komunikasi yang baik antarpihak merupakan regulasi-sosial sangat penting dan menentukan.44 Sementara misi/dakwah penting untuk dilakukan secara baik dalam koridor peraturan atau kesepakatan bersama. Searah dengan itu, pendidikan masyarakat tentang hidup bersama dalam
43 Walikota Bogor sudah menegaskan akan menyelesaikan kasus ini dengan baik, yang didukung DPRD. Lihat pernyataannya dalam http://health.kompas.com/read /2011/04/ 01/1949587/walkot.bogor.akan.selesaikan. GKI. yasmin. 44 Mengkonfirmasi hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan (2010) bahwa komunikasi yang baik antar pihak (termasuk menjauhi praktik-praktik di luar kewajaran: pemalsuan, suap, dsb, pen) dapat membantu ketercapaian titik-temu dalam proses permohonan pendirian rumah ibadat.
116
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
keberagaman penting untuk terus digalakkan secara arif. Hal-hal ini dapat dilakukan terhadap kedua kasus di atas. Faktor-faktor yang dapat mendukung penyelesaian kasus ini antara lain: a) Ketegasan pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan atau penegakan regulasi di bidang pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat; b) Adanya kebijakan yang adil dan bebas-kepentingan; c) Komunikasi yang baik antarpihak dengan saling menahan diri, berpikir jernih, dan bersikap bijak; serta d) Adanya pemahaman yang memadai di kalangan umat beragama tentang wawasan kebangsaan (4 pilar kebangsaan). Sedangkan faktor-faktor yang dapat menghambat penyelesaian kasus ini antara lain: a) Politisasi, eksploitasi, dan/atau komersialisasi kasus bernuansa agama ini untuk kepentingan lainnya; b) Keterbatasan pemahaman terhadap aturan terkait pendirian rumah ibadat dan peraturan terkait lainnya; serta c) Upaya penyiaran agama yang di luar koridor ketentuan atau dengan cara-cara yang tidak semestinya.
Kesimpulan Dari kronologi dan analisa kasus-kasus ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut: • Kasus GKI Yasmin 1. Kasus GKI Yasmin adalah kasus perselisihan segitiga (PemkotGKI-warga) terkait rencana pendirian gereja GKI yang disebabkan sejumlah hal. Hal-hal itu antara lain: terbitnya IMB yang ‘diduga’ cacat hukum, keterbatasan dan bias informasi pendirian rumah ibadat, serta pseudo-intoleransi yang berkaitan dengan praktik penyiaran agama yang tidak sewajarnya.
117
Akmal Salim Ruhana
2. Peran Pemerintah telah cukup baik, dengan upaya komunikasi, mediasi, dan fasilitasi yang dilakukan. Meski demikian, dalam perspektif tertentu hal-hal itu menjadi tidak berarti karena dipersepsi sebagai titik-picu permasalahan dan menjadi salahsatu pihak berselisih. 3. Peran FKUB tidak cukup dominan, selain terus turut aktif bersama pemerintah dalam menangani dan menuntaskan permasalahan ini. 4. Respon masyarakat terbagi atas dua; warga GKI memprotes kebijakan penyelesaian a la Pemkot, di sisi lain, warga lebih searah dengan kebijakan Pemkot dan dalam posisi wait and see mengawal perkembangan selanjutnya. Di sisi lain lagi, sejumlah tokoh masyarakat dan LSM terus membela GKI dengan menekan pihak Pemkot dan bahkan dengan menggelembungkan isu ini hingga ke tingkat internasional. • Kasus SJB Parung 1. Kasus SJB Parung adalah kasus perselisihan terkait rencana pendirian gereja SJB Parung yang mendapat penolakan dari sejumlah pihak, terutama dengan alasan belum terpenuhinya beberapa persyaratan sebagaimana diatur di dalam PBM No.9 dan 8 Tahun 2006 dan alasan ketenteraman masyarakat. Ketidakterpenuhan itu erat kaitannya dengan pseudointoleransi yang berkaitan dengan praktik penyiaran agama yang tidak sewajarnya—yang boleh jadi merupakan efek impor dari kasus lain di wilayah lain. 2. Peran Pemerintah telah cukup baik, dengan upaya korespondensi, mediasi, dan dialog-fasilitasi yang terus dilakukan. Meski demikian, dalam konteks tertentu kebijakan Pemerintah dinilai kurang menguntungkan.
118
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
3. Peran FKUB telah cukup baik dalam penyelesaian perselisihan bahkan menjadi pihak yang menentukan—sebagai ‘pintu’ bagi berjalannya proses lanjutan. Posisinya akan lebih signifikan jika perannya sebagai penampung aspirasi dan panutan masyarakat diperkuat. 4. Respon masyarakat secara umum mendukung kebijakan penyelesaian kasus ini, meski di sisi lain ada yang memahami sebaliknya, atau bagi pihak lain yang lebih apatis menjadi tidak bermakna apa-apa. Sedangkan pihak SJB merasa tidak puas karena kasus ini seperti dibiarkan menggantung.
Rekomendasi Dari sejumlah kesimpulan tersebut di direkomendasikan sejumlah hal, sebagai berikut:
atas
dapat
1. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan peraturan terkait lainnya perlu disosialisasikan kepada segenap umat beragama dan aparat pemerintah daerah, dengan penjelasan yang memadai tentang ‘ruh’ dan maksud setiap pasal/klausul. Hal ini untuk menghindari adanya celah-celah ‘penyiasatan’ yang dapat berujung pada perselisihan antarpihak. 2. Pemerintah (dalam setiap tingkatannya) hendaknya tegas dalam menerapkan peraturan, dan dilaksanakan dengan adil dan tidak diskriminatif. Di sisi lain, para pihak hendaknya bersikap bijak dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperkeruh suasana. 3. Bias pemberitaan dan pewacanaan yang tidak tepat perlu dihentikan. Dalam hubungan ini, para pihak, termasuk media massa, hendaknya bisa menjelaskan atau memberitakan kasus ini secara benar dan berimbang. Demikian juga, semua fihak
119
Akmal Salim Ruhana
agar menahan diri dengan tidak berkomentar di atas keterbatasan informasi faktual, atau bahkan tidak memanfaatkan isu-sensitif agama ini untuk kepentingankepentingan politik sesaat. 4. Perlu peningkatan wawasan kebangsaan, paham moderat, dan budaya tertib hukum di kalangan umat beragama. Di satu sisi, moderasi paham keagamaan dengan peningkatan toleransi dan wawasan kebangsaan perlu dilakukan. Di sisi lain, ranah hukum sejatinya menjadi pegangan bersama dalam menyelesaikan perselisihan, jika upaya-upaya selainnya mengalami kebuntuan. 5. Kegiatan dakwah atau mission hendaknya dilakukan secara benar dan diarahkan pada peningkatan pemahaman dan pengamalan agama, bukan melulu dalam semangat rekrutmen umat atau kompetisi-negatif dengan melakukan berbagai cara yang tidak seharusnya. 6. Perlu kajian dan penelitian lebih jauh dan updated terhadap kasus-kasus ini dan kasus lainnya dengan senantiasa mengarahkan pada upaya penyelesaian-permanen terhadap kasus-kasus dimaksud. Untuk ini, kerjasama FKUB, LSM, peneliti, dan para pihak sangat diharapkan dapat bersinergi.
120
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Zainal Abidin, dkk., Pluralisme Kewargaan, Bandung: CRCSMizan, 2011. Dasa Warsa Panitia Pembangunan Gereja Santo Joannes Baptista Parung 2000-2010, sebuah laporan kegiatan (internal) PPG Dasa Warsa 2000-2010, Gereja Santo Joannes Baptista Parung, tt. International Crisis Group, Asia Briefing No. 114, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, Brussel: ICG, 2010. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama, Edisi ke-11, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009. Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: The Wahid Institut, 2011. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: CRCS UGM, 2011. Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: Moderate Muslim Society, 2011.
121
Akmal Salim Ruhana
Memahami Konflik dan Strategi Penanggulangannya, DIPA Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen Agama Jawa Barat, 2006. Menengok Perjalanan GKI Bogor-Bakal Pos Taman Yasmin, slide yang dipresentasikan pada gelar perkara di Komnas HAM, 21 Mei 2010 oleh GKI. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002. Nawala, The Wahid Institute, No. 3/TH I/Agustus-November 2006. Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: SETARA Institute, 2011. Pelly, Usman, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia. Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya: Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
122
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Studi Kasus Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Perumnas Kota Baru Driyorejo Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik Oleh : Titik Suwariyati
123
Titik Suwariyati
124
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari segi suku bangsa, budaya, dan agama. Setidaknya terdapat 1.128 suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan beragam budayanya masing-masing. Selain itu, setidaknya ada enam agama yang banyak dipeluk penduduk Indonesia dan ratusan aliran kepercayaan/keyakinan, yang menyebar di berbagai provinsi dengan komposisi yang beraneka ragam. Di satu sisi, kemajemukan ini merupakan khazanah kekayaan bangsa yang patut dibanggakan, namun di sisi lain sekaligus merupakan tantangan yang harus dikelola dengan baik. Dalam konteks kemajemukan agama dan keyakinan, kerukunan umat beragama menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dijaga dan dipelihara dalam bingkai kehidupan bernegara. Hal ini karena kerukunan umat beragama merupakan pilar penting bagi terwujudnya kerukunan nasional, dan merupakan modal sosial yang harus dijaga dan dikelola sebagai salah satu potensi dalam pembangunan bangsa. Kerukunan umat beragama sendiri diartikan sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
125
Titik Suwariyati
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kerukunan umat beragama bukanlah kondisi yang statis melainkan dinamis seiring dinamika kehidupan umat beragama. Fluktuasinya dipengaruhi oleh banyak faktor dan situasi, yang tidak semata-mata faktor keagamaan. Kajian Badan Litbang dan Diklat, misalnya, mendaftar sejumlah faktor non-keagamaan yang memengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Faktor-faktor non-keagamaan ini biasanya berdampak besar dan luas. Adapun faktor keagamaan sendiri ada sebelas, yaitu: penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan pendirian rumah ibadat. Di antara faktor-faktor keagamaan yang pada tahun belakangan ini kerap mengganggu kondisi kerukunan umat beragama adalah masalah di seputar rumah ibadat. Variasinya cukup beragam, antara lain: penolakan pendirian rumah ibadat, penertiban tempat ibadat, hingga penutupan rumah ibadat. Mengingat variasi, skala dan jumlahnya cenderung meningkat, sehingga tidak heran jika masalah di seputar rumah ibadat ini menjadi isu penting dan juga merupakan salah satu permasalahan dalam pembangunan nasional sebagaimana tersurat di dalam RPJMN 2010-2014. Berbagai laporan tahunan, misalnya, menghitung dan melaporkan adanya kecenderungan yang meningkat dalam hal gangguan terhadap rumah ibadat tersebut. Bahwa jika pada tahun 2009 lalu Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)
126
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
mencatat terdapat 18 kasus di seputar rumah ibadat, dengan cakupan wilayah yang sama pada tahun 2010 ini meningkat menjadi 39 kasus.45 Demikian juga The Wahid Institute mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap rumah ibadat. Bahwa pada tahun 2010 ini terjadi 28 kasus pelanggaran dan 34 tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat (total 62 kasus).46 Angka ini lebih besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski dengan adanya perluasan wilayah laporan. Adapun SETARA Institute pada tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadat yang mengalami gangguan dalam berbagai bentuknya, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah, dan lain-lain.47 Bahkan, Moderate Muslim Society mencatat dari 81 kasus intoleransi, sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadat, dan intimidasi.48 Sebagian kalangan umat beragama juga merasa sulit dalam mendirikan rumah ibadat. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), misalnya, pada 1 Desember 2007 melayangkan surat kepada Presiden, menyatakan keluhannya karena berbagai peristiwa penutupan rumah ibadatnya dan merasa kesulitan ketika hendak mendirikan rumah ibadat di berbagai tempat. Dalam surat itu disertakan data kondisi rumah ibadat gereja, sebagai berikut: sebanyak 27 gereja ditutup dan belum dapat digunakan untuk beribadat; sebanyak 24 gereja sudah dibuka dan dapat digunakan untuk beribadat kembali; sebanyak 14 45
CRCS UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta:
2011, hlm. 34. 46 The Wahid Inst., Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: 2011, hlm. 17. 47 SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: 2011, hlm. 9. 48 Moderate Muslim Society, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: 2011, hlm. 12.
127
Titik Suwariyati
tempat ibadat/gereja digunakan untuk beribadah secara pindahpindah; 6 gereja digunakan ibadat meski dalam tekanan; dan terdapat 37 gereja tanpa keterangan. Total keseluruhan gereja dimaksud adalah 108 buah. Kesulitan juga dihadapi umat Muslim di Kupang Barat, sebagaimana dilaporkan SETARA Institute 2010. Bahwa warga Muslim di Desa Manusak Kupang Timur dan di Kupang Barat mengalami kesulitan mendirikan masjid. Di lokasi ini telah berdiri mushalla, sementara warga Muslim bermaksud meningkatkan status mushalla menjadi masjid, namun sudah 10 tahun keinginan warga Muslim ini ditolak oleh masyarakat sekitar. 49 Mencermati berbagai permasalahan di seputar rumah ibadat di Indonesia sebagaimana gambaran di atas, muncul pertanyaan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Pertanyaan ini kian penting mengingat kehadiran PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 (peraturan yang salahsatunya menjelaskan perihal pendirian rumah ibadat) yang sedang dan terus disosialisasikan oleh pemerintah, sejatinya menjadi solusi atas permasalahan di sekitar rumah ibadat ini. Untuk itulah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011 mengadakan penelitian khusus mengenai berbagai kasus di seputar rumah ibadat. Selain menjawab problem aktual di lapangan, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengklarifikasi data dan informasi berbagai pihak mengenai gangguan terhadap rumah ibadat tersebut di atas yang ditengarai tidak seutuhnya benar. Penelitian ini memiliki keterkaitan sekaligus distingsi yang jelas dengan penelitian serupa tahun 2010 lalu. Jika pada tahun 2010 lalu Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian 49 SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: 2011, hlm. 12.
128
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
terhadap sejumlah rumah ibadat yang hendak didirikan dan mendapat resistansi masyarakat dan yang tidak mendapat resistansi (damai), pada 2011 ini fokusnya adalah rumah ibadat yang diperselisihkan, baik berupa pendirian, penertiban, maupun penutupan. Artinya, akan dilakukan pendalaman terhadap kasus perselisihan yang terjadi.
Permasalahan Berdasarkan gambaran di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah mengapa perselisihan tentang pendirian, penertiban dan penutupan rumah ibadat terjadi di berbagai daerah Indonesia. Untuk itu, disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi, dan mengapa diperselisihkan? 2. Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan? 3. Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian perselisihan? 4. Bagaimana respon perselisihan tersebut?
masyarakat
terhadap
penyelesaian
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi dan alasan diperselisihkan. 2. Mengetahui peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan.
129
Titik Suwariyati
3. Mengetahui peranan FKUB penyelesaian perselisihan.
dan
majelis
agama
dalam
4. Mengetahui respon masyarakat terhadap hal perselisihan dimaksud.
Kegunaan Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat diperoleh dan terverifikasinya data dan informasi faktual mengenai sejumlah rumah ibadat yang mengalami penutupan/diperselisihkan. Dengan demikian, adanya informasi mengenai data faktual ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah sebagai bahan untuk menyusun kebijakan terkait dengan implementasi peraturan pendirian rumah ibadat dalam rangka upaya peningkatan kerukunan umat beragama. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan memberi penjelasan atas kedalaman penyebab dan berbagai motivasi kasus-kasus rumah ibadat yang dilaporkan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Definisi Operasional Secara konseptual kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 1). Dengan demikian, kerukunan umat beragama akan terwujud jika segenap umat beragama memiliki toleransi yang tinggi, saling pengertian, saling menghormati,
130
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan pada tingkat tertentu dapat melakukan kerjasama. Artinya, dalam konteks di seputar masalah rumah ibadat, umat beragama hendaknya dapat menerima dan memahami kebutuhan rumah ibadat umat agama lain, serta memberikan penghormatan, penghargaan atas kesetaraan pengamalan agama, dan jika dapat, membantu dalam prosesnya. Sedangkan perselisihan di seputar rumah ibadat secara konseptual didefinisikan sebagai perselisihan antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan kantor departemen agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai rumah ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama pengguna rumah ibadat dan karena ketidakpastian pelayanan pemerintah daerah. Artinya, perselisihan rumah ibadat terjadi menyangkut tertib aturan dan pemenuhan berbagai persyaratan, yakni persyaratan administratif, teknis, dan khusus. Dalam kaitan ini, acuan peraturan yang secara khusus mengaturnya adalah PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14. Perselisihan dalam penelitian ini dapat terkait pendirian, penertiban, ataupun penutupan rumah ibadat. Perselisihan pendirian dan penutupan dimaksudkan terhadap rumah ibadat yang diperselisihkan oleh masyarakat. Sedangkan penertiban dimaksudkan pada tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk rumah ibadat (rumah ibadat sementara). Adapun rumah ibadat dalam penelitian ini adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara
131
Titik Suwariyati
permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 7).
Kerangka Berpikir Masalah di seputar rumah ibadat kerap terjadi seiring dinamika kehidupan umat beragama di dalam pluralitas kehidupan masyarakat Indonesia. Keberagaman agama dan keyakinan masyarakat berkelindan dengan masalah-masalah sosial ekonomi di sekitarnya bersinggungan satu sama lain yang, dalam satu dan lain hal, menyebabkan gesekan dan konflik. Secara simbolik, keberadaan rumah ibadat juga adalah gambaran eksistensi umat beragama bersangkutan dalam ‘kontestasi’ demografi keagamaan di wilayah tersebut. Mengingat potensi gangguan kerukunan yang disebabkan masalah rumah ibadat ini, pemerintah memiliki peranan penting sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator, maksudnya, pemerintah harus menjalankan tugas utamanya menjaga ketentraman dan ketertiban umum yang terganggu masalah rumah ibadat, misalnya, dengan membuat aturan-aturan. Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 diterbitkan sebagai regulasi yang mengatur perihal pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral karena disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator, maksudnya, pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani dan melindungi umat beragama dalam melaksanakan ibadat, termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator, maksudnya, pemerintah berupaya memberdayakan umat
132
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
beragama dalam kehidupan beragama, termasuk menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat.
dalam
Dari perspektif itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami kasus-kasus terkait rumah ibadat, khususnya dalam konteks Indonesia yang dalam penelitian ini digunakan pendekatan antara lain sebagai berikut: 1. Ranah regulasi Alasan yang kerap diberikan ketika sejumlah rumah ibadat dipermasalahkan adalah soal izin pendirian bangunan rumah ibadat, serta serangkaian persyaratannya sebagaimana diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. Rumah ibadat atau tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk ibadat kerap dipermasalahkan dan diperselisihkan ketika belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan. Meski demikian, dalam beberapa kasus terjadi perselisihan terhadap rumah ibadat yangt sudah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Untuk itu, pada ranah regulasi ini penting melihat keterpenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur, yakni terkait persyaratan admnistratif, persyaratan teknis, dan persyaratan khusus. Hal ini merujuk pada Pasal 13 dan 14 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. 2. Ranah sosial-ekonomi-budaya Kehadiran komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas pribumi yang telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang tidak jarang ‘meminjam’ sentimen agama. Penelitian Usman Pelly (1999) yang mencari akar kerusuhan etnis di era reformasi mengonfirmasi hal ini. Penelitian itu menyimpulkan bahwa kerusuhan etnis sejak awal era reformasi berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberi petunjuk kuat bahwa tatanan sosial kehidupan majemuk telah
133
Titik Suwariyati
hancur. Kelompok menengah telah memaksa kelompok etnis pribumi untuk puas hidup di papan bawah dan terpinggirkan. Potensi konflik kemudian memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan.50 Konsep ingroup-outgroup juga kerap berperan dalam hal ini. Kehadiran rumah ibadat agama lain dalam struktur sosial yang telah mapan sebelumnya, kerap menimbulkan penolakan dan/atau perselisihan. Demikian juga di ranah budaya, kehadiran rumah ibadat lain yang mengindikasikan adanya komunitas umat beragama lain kerap dianggap ‘gangguan’ bagi stabilitas budaya masyarakat setempat yang telah mapan. Demikian pula dalam hal ekonomi, pendatang yang secara ekonomi lebih kuat, kerap mendapatkan ‘perlawanan’ dari komunitas pribumi yang secara ekonomi lebih rendah. 3. Ranah keberagamaaan Intoleransi beragama kerap juga dituding sebagai penyebab adanya penolakan atau perselisihan terkait rumah ibadat. Inklusifitas keagamaan tidak bisa menerima kehadiran (rumah ibadat) pemeluk agama lain di sekitarnya.
Penelitian Terdahulu Penelitian serupa dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010 lalu. Penelitian yang dilakukan di 6 lokasi
50 Usman Pelly, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yaysan Obor Indonesia,
134
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
penelitian ini menghasilkan kesimpulan antara lain sebagai berikut: • Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari tiap agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan peradaban yang dijiwai dengan nilai-nilai kesucian (sacral). Dalam pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan menjadi tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas kegiatan. • Dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah ibadat telah diketahui, tetapi belum optimal, hanya dilaksanakan pada panitia pembangun rumah ibadat yang menyadari pentingnya dan berwawasan ke depan. Sedangkan pada umumnya di pedesaan, dan terutama pada panganut agama mayoritas di suatu tempat belum menjadikan prioritas kegiatan. • Pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, selain karena terpenuhi sesuai aturan PBM dan peraturan pemerintah daerah, juga karena adanya komunikasi dan kerukunan hidup antar umat beragama, serta nilai-nilai kearifan lokal yang terpelihara sebagai media pendekatan. Pendirian rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan penolakan, lebih disebabkan faktor perbedaan paham keagamaan, dan berbagai kepentingan para elite agama dalam prestise sosial, pengembangan jumlah umat, kehidupan ekonomi dan kekuasaan. Di samping itu, karena ego mayoritas dan arogansi minoritas. • Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang dikomunikasikan oleh media massa dan oleh sebagaian lembaga swadaya masyarakat (LSM) ialah terbebankan pada umat Kristiani, tetapi sesungguhnya juga terbebankan pada
135
Titik Suwariyati
umat Islam, Hindu dan Buddha yang minoritas di tengah pemeluk agama mayoritas. • Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan pendirian rumah ibadat ialah dengan kedisiplinan mematuhi aturan PBM, disertai pengamalan kearifan lokal yang mendukung dan toleransi sosial. Penelitian lain dalam tema serupa sesungguhnya telah cukup banyak, meski lingkupnya masih terbatas. Adapun distingsi penelitian kali ini adalah penekanan pada kedalaman dalam memahami kasus tentang pendirian, penertiban, dan penutupan rumah ibadat.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang mendalam dan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan/dokumen dan pengamatan lapangan serta wawancara. Bahan pustaka yang digunakan antara lain Laporan Tahunan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, laporan tahunan beberapa LSM berkaitan, dan media massa. Karena bersifat verifikatif, maka data awal itu akan menjadi pedoman pada pelaksanaan pengumpulan data di lapangan (spotchecking). Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan pedoman wawancara. Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui tahap-tahap editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan. Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain. Menurut
136
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Patton (1987) triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat keterpercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda, misalnya membandingkan hasil wawancara dengan hasil pengamatan, dengan dokumen, membandingkan apa yang dikatakan orang di muka umum dan ketika sendirian, membandingkan antara pendapat rakyat biasa dengan pejabat pemerintah, serta membandingkan antara informasi pada saat situasi penelitian dengan saat normal sepanjang waktu.51
Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan adanya kasus perselisihan terkait pendirian rumah ibadat terjadi di daerah ini dalam hal ini pendirian Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel.
51 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 178.
137
Titik Suwariyati
138
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
GAMBARAN UMUM KABUPATEN GRESIK
Kabupaten Gresik adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Wilayah Kabupaten Gresik di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah timur berbatasan dengan Selat Madura, di sebelah selatan dengan Kota Surabaya, Kab. Sidoarjo, dan Kab. Mojokerto, sedangkan sebelah barat dengan Kab. Lamongan. Kab. Gresik mempunyai luas wilayah 1.101.25 km². Dengan jumlah penduduk 1.223.512 jiwa yang terdiri dari laki-laki 615.763 jiwa dan perempuan 607.749 jiwa. Kepadatan penduduk mencapai 1.019 jiwa per-km². Secara administratif kabupaten ini terbagi atas 18 kecamatan. Gresik sudah dikenal sejak abad ke-11 ketika tumbuh menjadi pusat perdagangan tidak saja antar pulau, tetapi sudah meluas ke berbagai negara. Sebagai kota bandar, Gresik banyak dikunjungi pedagang dari Cina, Arab, Gujarat, Kalkuta, Siam, Bengali, Campa dan lain-lain. Sejak abad ke-14 Gresik sudah menjadi salah satu pelabuhan utama dan kota dagang yang cukup penting, serta menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dari Maluku menuju Sumatera dan daratan Asia (termasuk India dan Persia). Hal ini berlanjut hingga era VOC. Perkembangan Kota Gresik berawal dari masuknya agama Islam yang kemudian menyebar ke seluruh Pulau Jawa, tidak
139
Titik Suwariyati
terlepas dari nama Nyai Ageng Pinatih, beliau adalah janda kaya raya yang juga seorang syah bandar. Konon suatu saat, para pelaut anak buah Nyai Ageng Pinatih menemukan seorang bayi asal Blambangan (Kabupaten Banyuwangi) yang dibuang ke laut oleh orang tuanya. Bayi ini kemudian diberi nama Jaka Samudra. Setelah perjaka bergelar Raden Paku yang kemudian menjadi penguasa pemerintah yang berpusat di Giri Kedaton, dari tempat inilah beliau kemudian dikenal dengan panggilan Sunan Giri. Kalau Syekh Maulana Malik Ibrahim pada jamannya dianggap sebagai para penguasa, tiang para raja dan menteri, maka Sunan Giri disamping kedudukannya sebagai seorang sunan atau wali (penyebar agama Islam) juga dianggap sebagai sultan/prabu (penguasa pemerintahan). Sunan Giri dikenal menjadi salah satu tokoh wali songo ini, juga dikenal dengan Prabu Satmoto atau Sultan Ainul Yaqin. Sunan Giri dinobatkan sebagai penguasa pemerintahan pada tahun 1487 M. Peristiwa tersebut kemudian dijadikan sebagai hari lahirnya Kota Gresik. Sunan Giri memerintah Gresik selama 30 tahun dan dilanjutkan oleh keturunanya sampai kurang lebih 200 tahun. Di Gresik terdapat makam bersejarah, yaitu makam Maulana Malik Ibrahim (di Gapuro), makam Sunan Giri (di Desa Giri), Makam Sunan Prapen (cucu Sunan Giri) di Desa Klangonan, makam Fatimah binti Maimun, Makam Kanjeng Sepuh dan petilasan Sunan Kalijaga di kawasan Gunung Surowiti Kecamatan Panceng. Makam-makam tersebut telah menjadi tujuan wisata religi (ziarah) bagi para peziarah (wisatawan) dari berbagai daerah. Kesemua makam itu telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan ilmu pengetahuan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Karena banyaknya makam para wali, Kota Gresik terkenal sebagai kota wali. Di samping itu, Kota Gresik juga bisa disebut dengan Kota Santri, karena keberadaan pondok-pondok pesantren
140
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
dan sekolah yang bernuansa Islami, yaitu madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah hingga perguruan tinggi yang cukup banyak di kota ini. Kerajinan yang bernuansa Islam juga banyak diproduksi oleh masyarakat Kota Gresik, misalnya kopyah, sarung, mukenah, sorban dan lain-lain. Lokasi penelitian ini di Kecamatan Driyorejo salah satu kecamatan di Kab. Gresik yang terletak di ujung selatan yang berbatasan dengan Kec. Laskarsantri Kota Surabaya dan Kec. Taman Kab. Sidoarjo, sebelah timur dengan Kec. Karangpilang Kota Surabaya, dan sebelah barat dengan Kec. Wringinanom Kab. Gresik. Luas Kecamatan Driyorejo 5.129,720 ha, terdiri atas tanah sawah 1.639,590 ha, pekarangan/halaman 2.174,990 ha, tegal/kebun 1.052.060 ha, dan lainnya 263,080 ha. Kondisi tanahnya berbukit dan tanahnya berbatu cadas, sehingga sangat keras dan tidak bisa dibuat sumur. Kebutuhan air penduduk dipenuhi oleh PDAM. Sawah di Kecamatan Driyorejo sudah kurang menghasilkan padi karena air tercemar limbah pabrik. Karena di Kec. Driyorejo banyak berdiri pabrik berskala nasional seperti Maspion, KIA, Garuda Food, Mie Sedap dan lain-lain. Industri yang terdapat di Kecamatan Driyorejo meliputi 35 industri besar, 56 industri sedang, dan 71 industri kecil atau rumah tangga. Karena merupakan daerah industri dan letaknya yang berbatasan dengan Kota Surabaya, Kec. Driyorejo menjadi daerah pengembangan pemukiman dan salah satunya adalah komplek perumahan milik Perum Perumnas yang sudah ada sejak tahun 1995 yang bernama Perum Perumnas Kota Baru Driyorejo. Tingkat pendidikan masyarakat Kab. Gresik cukup tinggi mengingat jarak Gresik dan Surabaya sangat dekat. Dilihat dari
141
Titik Suwariyati
tingkat pendidikan, penduduk Kab. Gersik sebagai berikut: SLTA: 364 orang, DIII: 11 orang, S1: 261 orang dan S2: 50 orang. Di samping sarana dan prasarana yang cukup memadai - terdapat sarana pendidikan dari taman kanak-kanak hingga SMU atau SMK baik yang dikelola oleh negeri maupun swasta - tingkat ekonomi penduduk juga menunjang untuk mereka menyekolahkan anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Di Kab. Gresik sendiri ada Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang cukup besar, di samping perguruan tinggi swasta lainnya. Mata pencaharian sebagian penduduk sebagai petani tambak bandeng, udang dan ikan air tawar, petani sawah, nelayan, PNS, dan karyawan swasta, dan yang terbanyak sebagai karyawan industri dan di sektor informal. Lebih khusus lagi penduduk Kec. Driyorejo banyak yang bekerja di sektor formal, karena di wilayah ini ada perum perumnas yang cukup besar. Penghuninya hampir semuanya bekerja di Surabaya, baik sebagai PNS maupun karyawan swasta. Dilihat dari agamanya, penduduk yang beragama Islam berjumlah 938.948 orang, Kristen: 3.780 orang, Katolik: 2.351 orang, Hindu: 1.635 orang, dan Buddha: 578 orang. Sedangkan rumah ibadat berupa masjid: 373 buah, langgar: 579 buah, gereja Katolik 2 buah, gereja Kristen 11 buah, dan pura 4 buah. Aktivitas keagamaan pada umumnya berupa pengajian, sema’an al-Quran, TPA dan TPQ. Karena di Gresik banyak terdapat makam para wali, maka banyak pula warga, baik dari Gresik maupun luar Gresik yang berziarah, dan kegiatan ini dilakukan hampir setiap hari. Organisasi keagamaan yang dominan di Kab. Gresik adalah Nahdlatul Ulama (NU), di samping itu ada pula Muhammadiyah yang mempunyai yayasan pendidikan berbagai jenjang, dari TPA sampai perguruan tinggi, selain itu ada pula LDII, Salafi, dan HTI.
142
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
KASUS PENDIRIAN GEREJA KRISTEN BETHANY INDONESIA DAN GEREJA KATOLIK SANTO GABRIEL
Kasus pembangunan rumah ibadat terjadi di Perumnas Kota Baru Driyorejo. Komplek perumahan ini diresmikan tahun 1995 oleh Presiden Megawati dan direncanakan menjadi perumahan terbesar di Asia Tenggara dengan 6000 unit rumah yang pada awalnya dan akan dibangun lagi jika semua unit sudah terjual. Pada tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi, sehingga rumah-rumah yang sudah jadi tidak laku dan banyak yang gagal dibangun. Melihat kondisi seperti ini, salah satu solusinya diusulkan agar Perumnas bekerjasama dengan TNI AL untuk menyediakan perumahan bagi para anggota TNI AL dengan beberapa keringanan. Karena itu banyak lahan dan rumah yang sudah jadi dibeli oleh Koperasi Angkatan Laut dan oleh Koperasi Angkatan Laut rumah-rumah itu dijual kepada para anggotanya. Akhirnya perumahan ini yang dulunya sepi dan rawan kriminalitas, mulai ramai dengan datangnya para penghuni, dan mulai aman serta terus berkembang dengan berbagai kegiatan terutama ekonomi dan pendidikan.
143
Titik Suwariyati
Ramainya para penghuni Perumnas Driyorejo ini yang mayoritas beragama Islam, mereka secara swadaya membangun masjid dan mushalla sebagai sarana peribadatan kaum Muslim yang kini jumlahnya mencapai 23 buah. Masjid dan mushalla ini dibangun di lahan fasum. Melihat hal ini, warga Perumnas Driyorejo yang beragama Kristen dan Katolik berkeinginan pula mendirikan gereja agar mereka tidak perlu ke Surabaya untuk melakukan kebaktian setiap minggu. Keinginan umat Nasrani untuk mendirikan gereja ini pada awalnya disampaikan kepada Manager Cabang Perum Perumnas Kantor Regional VI Cab. Gresik. Melihat kenyataan bahwa memang sudah ada rumah ibadat untuk umat Islam, maka Manager Cabang Perum Perumnas Kantor Regional VI Cab. Gresik mengirim surat kepada General Manager Perum Perumnas Regional VI di Surabaya dengan nomor Reg.VI/Cab.Grs/403/09/2005 tanggal 7 September 2005 perihal Permohonan Lahan Fasum untuk sarana ibadah. Isi surat tersebut adalah permohonan pemakaian lahan fasum di Blok 12 H yang akan digunakan oleh 8 gereja dengan pembagian 3 denominasi yaitu Protestan, Karismatik dan Gereja Bethel Indonesia (AGAPE). Surat ini kemudian direspon oleh General Manager dengan surat balasan nomor Reg.VI/Cab.Grs/403/09/2005 tanggal 13 Oktober 2005 yang menyatakan bahwa karena di Perumnas Kota Baru Driyorejo belum ada sarana ibadat umat non- Muslim. Pada prinsipnya General Manager menyetujui penyerahan tanah tersebut untuk kepentingan tempat ibadat umat Kristen dan Katolik dengan ketentuan bahwa peruntukan dan penggunaan lahan untuk pembangunan gereja tersebut dilaksanakan berdasarkan persetujuan Bupati Kep. Daerah Kab. Gresik. Dari surat tersebut jelas bahwa pihak Perum Perumnas Kantor Regional VI Surabaya mengetahui bahwa penggunaan fasos dan fasum untuk bangunan tertentu harus melalui prosedur
144
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
tertentu. Hal ini dikuatkan dengan surat Sekda Kab. Gresik kepada Manager Cab. Perum Perumahan Driyorejo No. 450/809/403.74/2005 tanggal 20 Oktober 2005 perihal Pemberitahuan Pemakaian Fasum. Surat ini menjawab surat dari Manager Cab. Perum Perumnas Driyorejo No. Reg.VI/Cab.Grs/806/09/2005 tgl 17 Sept 2005 perihal Pemberitahuan Pemakaian Lahan Fasum untuk tempat ibadat. Dalam surat ini diterangkan bahwa, 1) bentuk kegiatan fisik yang ada di atas tanah fasum harus disesuaikan pada site plan yang sudah ada sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) seyogyanya lahan fasum untuk keperluan tempat ibadat diserahkan dulu ke pemerintah daerah melalui tim verifikasi fasos/fasum; dan 3) Pemda Kab. Gresik yang akan mengatur peruntukannya. Sementara itu, Manager Perum Perumnas Cab. Gresik juga menulis surat kepada Bupati Gresik No. Reg.VI/809/10/2005 tanggal 31 Oktober 2005 perihal persetujuan peruntukan dan penggunaan lahan untuk pembangunan gereja. Dalam perkembangannya, sampai pada tahun 2007 pihak Perum Perumnas Kota Baru Driyorejo belum menyerahkan fasum kepada Pemerintah Kab. Gresik, sehingga belum diproses kelanjutannya sampai akhirnya ada surat dari Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Komando Armada RI Kawasan Timur Pangkalan Utama TNI AL/Danlantamal) kepada Bupati Gresik No. B/141-20/03/14/Lant-V tanggal 10 Oktober 2007 perihal permohonan izin mendirikan gereja Katolik dan Kristen. Isi surat sebagai berikut: 1.
Dasar: a. Surat dari Gereja Bethany Indonesia No. 09/GBI-JD/VIII/2007 tanggal 13 Agustus 2007 perihal permohonan perizinan
145
Titik Suwariyati
b. Surat dari Gereja Katolik Paroki Santo Yusup No. 006/PANPEMB/KPP/XII/04 tanggal 9 Desember 2004 perihal Permohonan Lahan Ibadah (Gereja) Umat Katolik. c. Surat dari Gereja Katolik Paroki Santo Yusup No. 008/PANPEMB/KPP/XI/2005 tanggal 14 November 2005 perihal permohonan surat dinas untuk mendapatkan surat persetujuan lahan tempat ibadat d. Surat dari Perum Perumnas Regional VI Cabang Gresik No. Reg.VI/Cab.Grs/808/09/2005 tanggal 7 September 2005 perihal pemberitahuan pemakaian lahan untuk sarana ibadat. e. Surat Pemkab Gresik No. 450/809/403.74/2005 tanggal 20 Oktober 2005 perihal pemberitahuan pemakaian fasum. 2.
Sehubungan dengan hal di atas, pihak Lantamal V mengizinkan kepada Panitia Pembangunan Gereja Kristen dan Katolik untuk mendirikan gereja di lahan Perumahan TNI AL Driyorejo masing-masing seluas 500 m² dan areal parkir bersama seluas 420 m² (gambar terlampir)
Mencermati surat Danlantamal tersebut, nampaknya Panitia Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Yusup sebagai gereja yang membawahi keuskupan di Driyorejo nampaknya tanpa menghiraukan adanya peraturan perubahan peruntukan lahan fasos dan fasum, di samping itu, karena surat ini dibuat pada bulan Oktober 2007 yang artinya PBM telah lahir. Berbekal surat izin dari Danlantamal, Panitia Pembangunan Gereja Bethany Indonesia membuat surat yang ditujukan kepada Ketua RT 10 Giok, Ketua RT 22 Giok, Ketua RT 23 Giok, Ketua RT 24 Giok, dan Ketua RT 25 Giok. Surat ini dengan maksud memberitahukan/mensosialisasikan surat persetujuan pembangunan Gereja Bethany Indonesia di tanah
146
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
fasum Perumahan TNI AL Wilayah Jl. Giok Kota Baru Driyorejo Gresik yang dikeluarkan oleh Danlantamal. Berbekal surat persetujuan pembangunan gereja dari Danlantamal inilah yang dijadikan acuan oleh Panitia Pembangunan Gereja Bethany Indonesia untuk melakukan pembangunan sampai bangunan fisik gereja itu selesai. Dilihat dari bentuk bangunannya, dari luar nampak gereja ini seperti rumah biasa, tidak ada simbol-simbol yang menunjukkan sebagai bangunan gereja, sehingga warga sekitar tidak tahu kalau bangunan itu bangunan gereja. Sampai saat ini Gereja Kristen Bethany Indonesia sudah dipergunakan namun kegiatannya tidak mencolok dalam arti jemaatnya tidak banyak. Memurut informasi dari Kepala KUA Kec. Driyorejo, tidak adanya reaksi atas kebaktian yang dilakukan di Gereja Kristen Bethany Indonesia karena warga di sekitar gereja kebanyakan dari Angkatan Laut. Melihat situasi yang cukup tenang, Panitia Pembangunan Gereja Katolik Santo Gabriel berniat memulai membangun gereja dengan mengadakan upacara peletakan batu pertama. Acara seremonial ini mengundang para pejabat di lingkungan Kecamatan Driyorejo. Melihat ada upacara peletakan batu pertama pembangunan gereja, masyarakat terkejut, karena tahu bahwa belum ada izin pembangunan gereja. Masyarakat pun mulai resah, bahkan kemudian juga mempertanyakan status Gereja Kristen Bethany Indonesia yang sudah berwujud bangunan dan sudah dipergunakan untuk kebaktian. Sementara, pada tanggal 21 Maret 2006 telah lahir PBM Nomor: 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. PBM Nomor: 9 dan 8 ini telah disosialisasikan secara berjenjang. Pengurus FKUB
147
Titik Suwariyati
tingkat provinsi yang memperoleh sosialisasi PBM dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama maupun Kementerian Dalam Negeri, kemudian menyosialisasikan kepada para pengurus FKUB, tokoh agama, tokoh masyarakat di tingkat kabupaten. Hasil dari sosialisasi ini nampak antara lain ketika masyarakat mulai paham akan adanya peraturan yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadat yang menjadi salah satu isi PBM. Hal ini dibuktikan dengan respon dari Panitia Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia yang mengirim surat kepada Bupati Gresik dengan nomor: 57/GBI-JP/VII/2008 tanggal 13 Juli 2008 perihal Permohonan Ijin Mendirikan Bangunan. Surat ini mendapat jawaban dari Bupati Gresik dengan surat nomor: 050/679/403.71/2008 tanggal 24 Sept 2008. Inti dari isi surat tersebut adalah: 1) Berdasarkan pengesahan site plan tanggal 6 Agustus 2004 Nomor: 503.648/3671/403.51.3/2004 lokasi lahan tersebut peruntukannya adalah sebagai pertokoan 2) Lahan belum diserahkan kepada Pemeritah Kab. Gresik, sehingga masih menjadi kewenangan pihak pengembang 3) Hendaknya pihak pengembang menyerahkan terlebih dahulu fasos-fasum kepada Pemerintah Kab. Gresik. Dari surat jawaban Bupati Gresik tersebut jelas bahwa prosedur yang benar adalah fasos-fasum dalam suatu areal pemukiman perumahan harus diserahkan oleh pengembang dalam hal ini Perum Perumnas kepada Pemerintah Daerah Kab. Gresik. Namun demikian pembangunan gereja terus dilakukan, sambil mereka memenuhi persyaratan khusus sebagaimana tercantum pada pasal 14 PBM yaitu tentang 90 orang pengguna dan dukungan 60 orang dari masyarakat sekitar. Pada saat ini digambarkan suasana sudah mulai panas, para tokoh agama
148
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
maupun tokoh masyarakat Kec. Driyorejo berusaha mengendalikan masyarakat yang sudah kasak kusuk akan menghentikan pembangunan gereja tersebut secara paksa. Di tingkat kabupaten dilakukan rapat koordinasi sampai beberapa kali. Dalam salah satu rapatnya, menugaskan FKUB Kab. Gresik untuk melakukan verifikasi terhadap 90 orang pengguna dan 60 orang pendukung dari masyarakat sekitar. Hasil dari verifikasi tersebut dituangkan dalam surat FKUB yang ditujukan kepada Bupati Gresik No. 12/FKUB.G/11/2008 tanggal 12 Nopember 2008 perihal Rekomendasi yang isinya: setelah dilakukan penelaahan/pemeriksaan terhadap berkas permohonan dan hasil verifikasi faktual/tinjauan lapangan, FKUB tidak menyetujui permohonan pembangunan Gereja Bethany Indonesia dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) Secara administrasi berkas permohonan panitia pembangunan Gereja Krsiten Bethany Indonesia, belum/tidak memenuhi syarat/ketentuan sebagaimana tercantum dalam pasal 14 ayat 2 butir a dan b PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006; 2) Dari hasil verifikasi faktual/tinjauan lapangan/lokasi terbukti tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini diperkuat dengan surat keterangan dari Kepala Desa Mulung sebagaimana terlampir. Surat ini dilampiri juga dengan Berita Acara Rapat Pleno FKUB Kab. Gresik Hasil verifikasi FKUB Kab. Gresik tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kepala Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kab. Gresik kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Perijinan Kab. Gresik No. 450/21/403.77/2009 perihal rekomendasi yang pada intinya karena belum memenuhi persyaratan pendirian rumah ibadat, agar jangan menerbitkan IMB untuk pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia.
149
Titik Suwariyati
No
Asal Desa
1 2 3 4 5
Mulung Petiken Randegansari Cangkir Gadung Jumlah
Jumlah Identitas KTP Pengguna Dukungan 7 67 62 4 12 10 95 67
Status Agama Pengguna Katolik Kristen 6 1 60 2 3 1 8 3 16 1 88 7
Hasil verifikasi FKUB ini direspon oleh masyarakat sekitar pembangunan gereja dengan membuat surat atas nama RW VII Perumnas KBD Desa Randangsari Kec. Driyorejo No. 02/KBD/23/III/2009 tanggal 23 Maret 2009 yang menyatakan bahwa mereka menyetujui pembangunan gereja tersebut. Surat ini dilampiri tanda tangan warga sebanyak 23 lembar. Surat ini ditandatangani oleh Ketua RW 08 Desa Randangsari dan diketahui oleh Kepala Desa Randegansari. Persoalan pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel ini sudah pernah diserahkan ke tingkat Provinsi Jawa Timur, namun oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan FKUB Provinsi Jawa Timur dikembalikan ke Kab. Gresik untuk diselesaikan. Untuk itu, pemerintah daerah bersamasama dengan Kantor Kemenag Kab. Gresik, FKUB secara aktif melakukan rapat koordinasi mengingat Panitia Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel tetap melaksanakan pembangunan dengan berpedoman telah mendapat ijin dari Danlantamal. Pada tanggal 30 September 2009 Kepala Kesbanglinmas Kab. Gresik mengirim surat kepada Ketua Panitia Pembangunan Gereja Bethany Indonesia No. 450/630/537.77/2009 berkaitan
150
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
dengan pemberhentian kegiatan pembangunan gereja. Surat tersebut dibuat sebagai tindaklanjut surat FKUB Kab. Gresik No. 12/FKUB.GSK/II/2008 tanggal 12 Nopember 2008 perihal rekomendasi pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia yang belum memenuhi persyaratan khusus sebagaimana yang diamanatkan oleh PBM, sehingga surat ini menguatkan rekomendasi FKUB bahwa agar panitia pembangunan menghentikan pembangunan gereja tersebut karena belum memenuhi persyaratan sebagaimana peraturan yang ada (PBM). Tidak hanya Gereja Kristen Bethany Indonesia yang masih tetap melakukan pembangunannya, Gereja Katolik Santo Gabrielpun demikian pula. Untuk itu pada tanggal 21 Januari 2010 Kepala Kesbangpollinmas mengirim surat kepada Ketua Panitia Pembangunan Gereja Katolik Santo Gabriel di Perumahan Kota Baru Driyorejo Nomor: 450/33/437.77/2009 perihal: Teguran Pelaksanaan Pembangunan Gereja Katolik. Surat ini dikirim sebagai tindak lanjut laporan Camat Driyorejo tanggal 18 Januari 2010 No. 453.2/34/437.108/2010 kepada Bupati Gresik yang menyatakan bahwa masih ada kegiatan fisik pembangunan Gereja Katolik di Desa Mulung Kec. Driyorejo. Untuk itu melalui surat ini Kepala Kesbangpollinmas Kab. Gresik memerintahkan agar Panitia Pembangunan Gereja Katolik Santo Gabriel agar tidak melanjutkan pembangunan gereja tersebut sebelum mendapatkan ijin dari Pemerintah Kab. Gresik. Dengan adanya kedua surat ini, rupanya Panitia Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Panitia Pembangunan Gereja Katolik Santo Gabriel menginformasikannya kepada Danlantamal Armatim V Surabaya, dan Danlantamal pun mengirim surat kepada Kepala Kantor Kesbangpol dan Linmas Kab. Gresik dengan No. B/22.20/03/14/Lant V tanggal 3 Februari 2010 perihal pelaksanaan pembangunan Gereja Katolik di
151
Titik Suwariyati
Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo. Danlantamal menulis surat yang isinya sebagai berikut: 1. Dasar a.
Surat Komandan Lantamal V No. B/141-20/03/14/Lant. V tanggal 10 Oktober 2007 perihal Permohonan Izin Mendirikan Gereja Kristen dan Katolik.
b. Surat Komandan Lantamal V No. B/164-20/03/14/Lant. V tanggal 12 Nopember 2009 perihal Permohonan Izin Mendirikan Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo Kab. Gresik. c.
Surat Kepala Kesbangpollinmas kepada Ketua Panitia Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Kota Baru Driyorejo No. 450/33/437.77/2010 tanggal 21 Januari 2010 perihal Teguran Pelaksanaan Pembangunan Gereja Katolik.
2. Sehubungan dengan hal di atas, mohon agar pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo Kab. Gresik tetap dapat dilanjutkan mengingat surat izin pembangunan telah dikirimkan kepada Bupati Gresik pada tahun 2007. Melihat pembangunan gereja yang terus dilakukan, padahal masyarakat tahu bahwa belum ada ijin pembagunan kedua gereja itu, masyarakat semakin resah dan ada keinginan gereja itu dirusak saja, beruntung emosi warga ini masih bisa dikendalikan oleh para tokoh agama, satu di antaranya adalah KH. Sururi, seoang tokoh agama yang masih cukup muda, mantan anggota DPRD Tk II Kab. Gresik. Akhirnya pada tanggal 10 Pebruari 2010 atas nama Warga Muslim Perumnas Kota Baru Driyorejo menulis surat kepada Bupati Gresik perihal Keberatan Pembangunan Rumah Ibadat (Gereja) di Perumnas Kota Baru
152
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Driyorejo. Dalam surat tersebut dinyatakan pula jika pemerintah daerah tidak bisa mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pembangunan gereja tersebut, dikhawatirkan akan terjadi pengrusakan massal oleh masyarakat. Menerima surat dari Warga Muslim Perumnas Kota Baru Driyorejo, Bupati kembali melakukan rapat koordinasi dengan unit terkait. Keputusan dari rapat tersebut adalah menugaskan Kepala Kantor Kesbangpol dan Linmas Kab. Gresik mengirim surat kepada Komandan Pangkalan Utama TNI AL V No. 450/105/437.77/2010 perihal Pelaksanaan Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo. Isi: 1.
Berdasarkan Peraturan Mendagri No. 9 Tahun 2009 tentang pedoman penyerahan prasarana, sarana dan utilitas perumahan dan pemukiman di daerah. Bahwa pengelolaan lahan fasum, fasos dan utilitas oleh para pihak termasuk lahan fasum, fasos dan utilitas untuk tempat dan/atau rumah ibadat harus terlebih dahulu diawali dengan penyerahan lahan fasum, fasos dan utilitas dari pengembang kepada pemeritah daerah, baru kemudian dapat diminta oleh para pihak kepada pemda untuk dikelola dengan persetujuan DPRD.
2.
Berdasarkan PBM, ada persyaratan khusus yaitu 90 pengguna dan 60 pendukung dari masyarakat sekitar.
3.
Bahwa surat permohonan ijin mendirikan bangunan untuk gereja tertanggal 13 Juli 2008 nomor: 57/GBI-JD/VII/2008 telah ditolak berdasarkan surat Bupati Gresik tertanggal 24 September 2008 Nomor: 050/679/403.71/2008 karena tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam perundang-undangan.
153
Titik Suwariyati
4.
Memperhatikan beberapa ketentuan tersebut di atas sebagaimana point 1, 2, dan 3 dan untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kerukunan antarumat beragama serta untuk mencegah terjadinya gejolak masyarakat di sekitar wilayah perumahan (Perumnas) Driyorejo sebagai akibat dari pembangunan gereja, maka dengan ini diminta kepada para pihak agar dapatnya menghentikan semua aktifitas pembangunan gereja di lokasi perumahan (Perumnas) Driyorejo
Surat tersebut direspon oleh Komandan Pangkalan Utama TNI AL V dengan membalas surat kepada Kepala Kantor Kesbangpol dan Linmas Kab. Gresik No. B/64.20/03/14/Lant V tanggal 30 Maret 2010 Isi surat tersebutsebagai berikut: 1. Dasar a. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. b. Surat Komandan Lantamal V No. B/141-20/03/14/Lant. V tanggal 10 Oktober 2007 perihal Permohonan Izin Mendirikan Gereja Kristen dan Katolik. c. Surat Kepala Kesbangpollinmas kepada Ketua Panitia Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Kota Baru Driyorejo No. 450/33/437.77/2009 tanggal 24 Februari 2010 perihal Teguran Pelaksanaan Pembangunan Gereja Katolik Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo 2. Sehubungan dengan hal di atas, bersama ini disampaikan beberapa hal sebagai berikut (daftar nama sesuai dengan lampiran):
154
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
a. Pembangunan Gereja Bethany Indonesia dan Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo tersebut telah sesuai dengan yang ditentukan dalam PBM tersebut sebagai berikut: 1) Mendapat dukungan paling sedikit 90 orang pengguna masing-masing rumah ibadat tersebut. 2) Mendapat dukungan paling sedikit 60 orang dari masyarakat setempat yang berada di sekitar masingmasing rumah ibadat tersebut. b. Pembangunan Gereja Bethany Indonesia dan Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo sangat dibutuhkan oleh dinas TNI AL mengingat pembangunan rumah ibadat tersebut merupakan pelaksanaan dari fungsi faswatpres Lantamal V. 3. Pembangunan dua rumah ibadat di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo akan tetap dilaksanakan mengingat pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan dan keimanan anggota militer/PNS TNI AL dan warga sekitarnya. Pada tanggal 19 Mei 2010 Kepala Satuan Polisi Pamong Praja melaporkan kepada Bupati Gresik dengan surat No. 050/207/437.90/2010 perihal Laporan Hasil Pemanggilan PPNS terhadap Panitia Pembangunan Gereja di Driyorejo. Isi suratsebagai berikut: • Melakukan pemanggilan I terhadap Kapten Marinir Patmono Daniel selaku panitia pembangunan gereja di Kec. Driyorejo pada tanggal 9 April 2010. Pihak panitia pembangunan gereja tidak hadir.
155
Titik Suwariyati
• Pada tanggal 12 April 2010 dilakukan pemanggilan II. Panita tidak hadir lagi hanya menginformasikan via telepon bahwa Kapten Marinir Patmono Daniel sedang mengikuti diklat. •
Pada tanggal 6 Mei 2010 dilakukan pemanggilan ke III dan panita tetap tidak hadir.
Setelah beberapa lama dilihat perkembangan situasinya, ternyata proses pembangunan kedua gereja masih tetap berlangsung, maka dilakukan rapat koordinasi pada tanggal 27 Oktober 2010. Berita acara rapat koordinasi pembangunan gereja Kristen Bethany dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Desa Mulung Kec. Driyorejo. Hari
:
Rabu
Tanggal
:
27 Oktober 2010
Tempat
:
Ruang Rapat Graita Eka Praja Kantor Bupati Gresik
Pimpinan Rapat
:
1. Ketua
: Asisten I
2. Pendamping
:
Kakan Kesbangpol Linmas
3. Pendamping
:
Ketua FKUB Kab. Gresik
Peserta Rapat : 1. Dewan Penasehat FKUB Kab. Gresik 2. Anggota FKUB Kab. Gresik 3. Perwakilan dari Badan Penanaman Modal dan Perijinan Kab. Gresik
156
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
4. Perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kab. Gresik 5. Perwakilan dari Satuan Polisi Pamong Praja Kab. Gresik 6. Perwakilan dari Intelkam Polres Gresik 7. Perwakilan dari Intel Kodim 0817 Gresik 8. Perwakilan dari Intel Kejaksaan Negeri Gresik 9. Perwakilan dari Sub Denpom Gresik 10. Perwakilan dari Sub Garnisun Gresik 11. Perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional 12. Muspika Kec. Driyorejo 13. Kepala Desa Mulung Hasil Keputusan: •
Bahwa pendirian Gereja Kristen Bethany dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Desa Mulung Kec. Driyorejo tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ttg Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat khususnya pasal 14 ayat (2);
•
Pemerintah Kab. Gresik dituntut ketegasannya tentang penghentian/pembongkaran tempat ibadat Gereja Kristen Bethany dan Gereja Katolik Santo Gabriel yang tidak dilengkapi dengan perijinan yang berlaku;
•
Pembangunan Gereja Kristen Bethany dan Gereja Katolik Santo Gabriel harus segera dihentikan;
157
Titik Suwariyati
•
Menyerahkan fasos-fasum kepada pemda penggunaaannya diserahkan kepada pemda;
dan
•
Simbol-simbol atau label-label yang ada pada Gereja Kristen Bethany dan Gereja Katolik Santo Gabriel harus segera diturunkan.
Pada hari yang sama tanggal 27 Oktober 2010, Komandan Pangkalan Utama TNI AL V mengirim surat kepada Bupati Gresik No. B/1483/X/2010 perihal: Kelengkapan Persyaratan Khusus Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Driyorejo Gresik. Isi surat: 1. Dasar a. PBM No. 9 dan 8 Th 2006 b. Surat Komandan Lantamal V No. B/64-20/03/14/Lant V tgl 30 Maret 2010 perihal Pembangunan Gereja Oikumene dan Gereja Katolik di di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo. c. Surat Kepala Kesbangpollinmas kepada Ketua Panitia Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Kota Baru Driyorejo No. 450/105/437.77/2009 tanggal 24 Februari 2010 perihal: Pelaksanaan Pemb Gereja Katolik Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo 2. Sehubungan dengan hal di atas, disampaikan beberapa hal sebagai berikut: a. Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo sangat diperlukan oleh Dinas TNI AL mengingat pembangunan rumah ibadat tersebut merupakan pelaksanaan dari fungsi faswatpers (fasilitas perawatan personil) lantamal V;
158
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
b. Pendirian rumah ibadat diperuntukkan bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa namun apabila komposisi jumlah penduduk umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kab/kota atau provinsi; c. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif, teknis bangunan gedung, dan persyaratan khusus, adapun persyaratan khusus tersebut adalah: 1) Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat (warga yang beragama Katolik) paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang. 2) Dukungan masyarakat setempat (warga yang beragama selain Katolik) paling sedikit 60 (enam puluh) orang. Dikirimkan kelengkapan persyaratan khusus berupa daftar nama pengguna rumah ibadat sebanyak 95 orang dan daftar nama dukungan masyarakat setempat sebanyak 67 orang. Setelah dilakukan penelitian terhadap berkas daftar nama 90 orang pengguna dan 60 orang pendukung ternyata sama dengan yang telah diverifikasi oleh FKUB. Pada tanggal 21 Desember 2010 diadakan rapat Muspida Plus, karena rapat dihadiri oleh unsur DPRD Kab. Gresik, Polres Gresik, Kejaksaan Negeri Gresik, Pengadilan Negeri Gresik, Kodim 0817 Gresik, Sub Garnisun 0817 Gresik, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik, Satuan Polisi Pamong Praja kab. Gresik, Kantor Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kab. Gresik, dan Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah Kab. Gresik. Materi rapat yaitu pokok persoalan “Pendirian Rumah Ibadat Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Desa Mulung Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik”.
159
Titik Suwariyati
Dalam notulasi rapat ini dikemukakan kronologi munculnya kasus perselisihan pembangunan rumah ibadat ini sejak tahun 2004, pada saat pengesahan site plan oleh Bupati Gresik Nomor: 503.648/3671/403.51.3/2004 lokasi lahan fasum di lokasi perum perumnas Kota Baru Driyorejo peruntukannya sebagai pertokoan. Kemudian adanya surat Surat dari Manager Cabang Perum Perumnas Kantor Regional VI Cab. Gresik kepada General Manager Perum Perumnas Regional VI di Surabaya no. Reg.VI/Cab.Grs/403/09/2005 tanggal 7 September 2005 perihal Permohonan Lahan Fasum untuk sarana ibadat di lahan fasum di Blok 12 H yang akan digunakan oleh 8 gereja dengan pembagian 3 denominasi yaitu Protestan, Karismatik dan Gereja Bethel Indonesia (AGAPE). Sebagai bahan pertimbangan diinformasikan bahwa di Perumnas Kota Baru Driyorejo sudah ada 23 masjid/mushalla di lokasi fasum dan sudah digunakan untuk beribadah oleh umat Islam. Kronologi peristiwa ini diakhiri dengan surat Badan Penanaman Modal dan Perijinan Kab. Gresik Nomor: 503/582/437.77/2010 dan Nomor: 503/583/437.77/2010 tanggal 22 Nopember 2010 perihal penghentian pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel. Kesimpulan rapat Muspida Plus ini adalah pendirian rumah ibadat Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Desa Mulung Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain: 1. Pendirian rumah ibadat Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel belum memiliki IMB akan tetapi pembangunannya sampai sekarang sudah mencapai:
160
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
a.
Bangunan fisik Gereja Kristen Bethany Indonesia telah mencapai 90%
b.
Bangunan fisik Gereja Katolik Santo Gabriel telah mencapai 30%
2. Fasum/fasos seharusnya seharusnya diserahkan terlebih dahulu oleh pengembang kepada Pemerintah Kabupaten Gresik 3. Untuk pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain memenuhi persyaratan tersebut, harus memenuhi persyaratan khusus PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 pasal 14 ayat (2) yaitu: a.
Daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
b.
Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa
Persyaratan-persyaratan tersebut belum terpenuhi sebagai persyaratan administratif, persyatan teknis, maupun persyaratan khusus, permohonan panitia pembangunan rumah ibadat yang disampaikan kepada Bupati Gresik. Hasil rapat Muspida Plus ini kemudian ditindaklanjuti oleh Bupati Gresik dengan mengirim surat kepada Pengurus Gereja Bethany Indonesia dan Pengurus Gereja Katolik Santo Gabriel di Perum Perumnas Kota Baru Driyorejo dengan nomor: 450/777/437.77/2010 tanggal 28 Desember 2010 perihal: Penghentian Kegiatan Pembangunan Gereja Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel. Mengacu pada hasil rapat Muspida Plus bahwa pembangunan kedua gereja tersebut belum memenuhi ketentuan perundang-undangan, maka:
161
Titik Suwariyati
1.
Seluruh kegiatan pembangunan Gereja Bethany Indonesia dan Pengurus Gereja Katolik Santo Gabriel yang terletak di Kota Baru Driyorejo, Desa Mulung Kec. Driyorejo Driyorejo Kab. Gresik harus dan segera dihentikan.
2.
Melepaskan segala simbol-simbol atau label-label yang ada pada Bethany Indonesia dan Pengurus Gereja Katolik Santo Gabriel yang terletak di Kota Baru Driyorejo, Desa Mulung Kec. Driyorejo Driyorejo Kab. Gresik; serta
3.
Menghentikan segala bentuk kegiatan, peribadatan/kebaktian di Gereja Bethany Indonesia dan Pengurus Gereja Katolik Santo Gabriel yang terletak di Kota Baru Driyorejo, Desa Mulung Kec. Driyorejo Driyorejo Kab. Gresik.
Surat Bupati ini ditembuskan kepada 1) Ketua DPRD Kab. Gresik, 2) Kepala Polisi Resort Gresik, 3) Komandan Komando Distrik Militer 0817 Gresik, 4) Ketua Pengadilan Negeri Gresik, 5) Kepala Kejaksaan Negeri Gresik, 6) Komandan Pangkalan Utama TNI AL V, 7) Dansubgar 0817, 8) Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Gresik, 9) Kepala Kantor Kesbanglinmas Kab. Gresik, 10) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kab. Gresik, 11) Kepala Bagian Pemerintahan Umum Setda Kab. Gresik, 12) Kepala Bagian Hukum Setda Kab. Gresik, 13) Ketua FKUB Kab. Gresik, 14) Ketua MUI Kab. Gresik, 15) Muspika Kecamatan Driyorejo, 16) Kepala Desa Mulung. Pada saat penelitian ini dilakukan, tidak nampak aktivitas pembangunan kedua gereja. Gereja Bethany Indonesia fisik bangunannya sudah selesai 100%. Dari luar bentuk bangunannya seperti rumah biasa, namun nampaknya bagian utama rumah itu merupakan ruangan cukup luas atau semacam aula. Di depan telah dipasang papan nama Gereja Kristen TNI AL Bethany Indonesia dengan disertai jadwal kebaktian. Sedangkan Gereja
162
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Katolik Santo Gabriel telah selesai bangunan temboknya dan telah berbentuk gereja, tinggal penyelesaiannya saja. Pada waktu terjadi peristiwa Temanggung, Muspika Kecamatan Driyorejo dan KUA Kec. Driyorejo, Kapolsek mengadakan rapat pada tanggal 10 Februari 2011 dengan agenda utama memelihara dan mengendalikan kondisi Kec. Driyorejo yang suhunya cukup panas dengan adanya kasus pembangunan rumah ibadat ini, agar peristiwa Temanggung tidak terjadi di Driyorejo. Mengetahui ada rapat koordinasi ini, pengurus Gereja Bethany Indonesia mengirim surat kepada Kapolsek Driyorejo Gresik dengan nomor: 64/GBI-KBD/II/2011 tanggal 12 Februari 2011 perihal Permohonan Perlindungan dan Keamanan Peribadatan. Pada intinya mengingat perkembangan situasi Kamtibmas yang terjadi dewasa ini, meminta perlindungan ketertiban, keamanan, kenyamanan pelaksanaan seluruh aktifitas peribadatan di Gereja Krsiten TNI AL Bethany Jl. Raya Giok Kota Baru Driyorejo Gresik. Surat ini ditembuskan kepada 1) Kapolda Jatim, 2) Pangdam V Brawijaya, 3) Pangarmatim, 4) Gubernur Jatim, 5) Kementerian Agama Jatim, 6)Danlantamal V, 7) Kapolres Gresik, Dandim 0817 Gresik, 8) Muspika Driyorejo, 9) Lurah Mulung, 10) Ketua Umum Sinode Gereja Bethany Indonesia, dan 11) Koord Bethany Jatim. Yang banyak dipertanyakan adalah mengapa Bupati Gresik, Kepala Kesbanglinmas dan lainnya tidak mendapat tembusan? Informasi terakhir dari Yarham, ketua tim verifikasi, bahwasannya pada tanggal 16 Maret 2011, FKUB bersama panitia pembangunan gereja dan Muspida datang ke lokasi gereja untuk melakukan rapat. Mereka disambut oleh KH. Sururi dan warga, hadir pula wartawan media cetak dan elektronik. Rapat dipimpin oleh orang dari BIN Jatim. Yarham menggambarkan suasana rapat saat itu sangat tegang dan hasilnya mentaati surat Bupati Gresik.
163
Titik Suwariyati
164
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
ANALISIS
Mencermati kronologi kasus perselisihan pendirian rumah ibadat Gereja Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel, ditinjau dari ranah regulasi, bahwasannya pembangunan dua gereja tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang ada. Pertama, status fasos dan fasum secara prosedural oleh pihak pengembang yaitu Perum Perumnas harus diserahkan terlebih dahulu kepada Pemerintah Daerah Kab. Gresik. Kalau sudah diserahkan barulah masyarakat mengajukan untuk dijadikan tempat ibadat. Penyerahan fasos dan fasum ini belum pernah dilakukan oleh fihak Perum Perumnas kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik. Kedua, persyaratan khusus berupa 90 orang pengguna dan 60 pendukung memang ada daftar namanya, namun setelah dilakukan verifikasi oleh FKUB Kab. Gresik, hasilnya tidak memenuhi syarat. Pemerintah Daerah Kab. Gresik dalam hal ini telah berperan secara maksimal baik sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator, pemerintah daerah telah berusaha menjaga ketenteraman dan ketertiban umum yang dimungkinkan akan terganggu dengan pembangun Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel yang pada dasarnya telah dibangun tanpa mengindahkan peraturan sebagaimana
165
Titik Suwariyati
diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Sebagai fasilitator, pemerintah daerah telah menyediakan beberapa gereja baik gereja Kristen maupun Katolik yang sudah ada yang dirasakan masih bisa memenuhi kebutuhan umat Nasrani untuk melakukan kebaktian. Pemerintah daerah sebagai dinamisator, telah memberdayakan unsur-unsur terkait seperti para tokoh agama, FKUB, ormas keagamaan dalam penyelesaian kasus pembangunan gereja ini. Penduduk yang bertempat tinggal di Perumnas Kota Baru Driyorejo pada umumnya pendatang dari luar Kab. Gresik, banyak dari mereka merupakan penduduk pindahan dari Surabaya dan merekalah yang umumnya beragama Katolik atau Kristen. Sebagaimana disinyalir oleh Usman Pelly (1999) kehadiran komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas pribumi yang telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang tidak jarang ‘meminjam’ sentimen agama. Ini yang terjadi di Driyorejo yang warganya secara ekonomi lebih mapan dan tingkat pendidikan juga lebih tinggi daripada penduduk asli, apalagi masyarakat Kab. Gresik yang selama ini sangat dikenal sebagai masyarakat “Kota Santri”. Ketika warga Muslim yang tinggal di Kota Baru Driyorejo segera membangun masjid atau mushalla, umat Kristiani-pun ingin membangun gereja, namun mereka terbentur dengan berbagai persyaratan. Dalam kasus perselisihan pendirian Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel, ada dua pihak yang terlibat langsung yaitu pihak pertama adalah Panitia Pembangunan Gereja dan Danlantamal V Surabaya. Pihak kedua adalah Pemerintah Daerah Kab. Gresik beserta jajarannya. Pihak pertama merasa bahwa lahan yang ada Kota Baru Driyorejo sudah menjadi milik TNI AL karena sudah dilakukan jual beli oleh Koperasi TNI AL, sehingga peruntukan lahan itu sepenuhnya menjadi kebijakan
166
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Danlantamal, karena itulah Danlantamal memberikan ijin pembangunan gereja di lokasi itu dengan mengabaikan adanya peraturan khusus yang mengatur pendirian rumah ibadat yaitu PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Sementara itu, pihak kedua berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga ketika persyaratan belum terpenuhi, maka pembangunan gereja itu belum bisa dilaksanakan.
167
Titik Suwariyati
168
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
PENUTUP
Kesimpulan 1. Perselisihan pendirian Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel dengan Pemerintah Daerah Kab. Gresik beserta jajarannya karena Panitia Pembangunan Gereja telah mendapat ijin dari Danlantamal karena lahan itu milik Angkatan Laut. Setelah terbitnya PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 Panitia Pembangunan Gereja merasa telah memenuhi persyaratan khusus yaitu adanya 90 orang pengguna dan 60 orang pendukung. Sementara Pemerintah Daerah Kab. Gresik menganggap persyaratan belum ada yang terpenuhi. 2. Sejak awal kasus ini muncul, keterlibatan Pemerintah Daerah Kab. Gresik sangat tinggi baik sebagai regulator, fasilitator maupun dinamisator. Disadari sejak awal jika masalah pembangunan gereja ini tidak ditangani dengan sungguhsungguh, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kerusuhan, karena selama ini masyarakat sekitar telah berusaha menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang anarkhis. Untuk itu pemerintah daerah selalu memfasilitasi setiap ada rapat yang menghadirkan fihak-fihak yang bersengketa maupun rapat koordinasi dengan Kesbangpol dan Linmas, FKUB maupun para
169
Titik Suwariyati
tokoh agama. Untuk itu Bupati Gresik kemudian menerbikan surat keputusan yang isinya seluruh kegiatan pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel yang terletak di Kota Baru Driyorejo Kab. Gresik harus dan segera dihentikan. 3. FKUB Kab. Gresik mempunyai kontribusi yang cukup signifikan karena selama ini selalu diminta pendapatnya oleh Pemerintah Daerah, sampai pada saat dilakukan verifikasi persyaratan khusus 90 orang pengguna dan 60 orang pendukung dilakukan oleh satu tim yang terdiri para anggota FKUB. 4. Situasi masyarakat di sekitar lokasi pembangunan gereja di Kecamatan Driyorejo cukup panas. Menurut beberapa informan, sekarang ini situasi masih bisa dikendalikan, tetapi kalau Pemerintah Daerah tidak bisa menyelesaikan kasus ini, masyarakat akan bertindak sendiri dan ini dibuktikan dengan surat dari warga Muslim Perumnas Kota Baru Driyorejo kepada Bupati Gresik yang menyatakan keberatan atas pembangunan rumah ibadat (gereja) di Perumnas KBD. Kalau pemda tidak bisa mengambil tindakan tegas untuk menghentikan pembangunan gereja tersebut, dikhawatirkan akan terjadi pengrusakan massal oleh masyarakat
170
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gresik, Gresik Dalam Angka 2010 _________, Kecamatan Driyorejo Dalam Angka 2010 CRCS UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: 2011 Moderate Muslim Society, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: 2011 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002 Pelly, Usman, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, JanuariApril 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: 2011. The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: 2011 -o0o-
171
Titik Suwariyati
172
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Studi Kasus Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat di Kabupaten Badung, Bali
Oleh : Bashori A. Hakim
173
Bashori A. Hakim
174
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perihal pendirian rumah ibadat merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji, terlebih sejak dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 & 8 Tahun 2006. Menarik, karena dengan adanya PBM itu dinamika permasalahan terkait pendirian rumah ibadat di berbagai daerah terlihat semakin meningkat, yang dengan sendirinya berpengaruh terhadap kerukunan umat beragama. Karena itu, kerukunan umat beragama bukanlah kondisi yang statis, melainkan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan umat beragama. Fluktuasinya dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak semata-mata faktor keagamaan. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui salahsatu kajiannya mengidentifikasi ada sejumlah faktor nonkeagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Adapun faktor keagamaan sendiri teridentifikasi ada beberapa aspek, antara lain: penyiaran agama, bantuan (keagamaan) luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok
175
Bashori A. Hakim
sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan “pendirian rumah ibadat”. Di antara faktor-faktor keagamaan yang akhir-akhir ini kerap mengganggu kondisi kerukunan umat beragama adalah persoalan di seputar rumah ibadat. Permasalahannya cukup bervariasi, mulai dari penolakan pendirian rumah ibadat, penertiban hingga penutupan tempat/rumah ibadat. Mengingat variasi permasalahan dan jumlahnya cenderung meningkat setiap tahun, maka tidak mengherankan jika permasalahan di seputar rumah ibadat menjadi isu penting dan merupakan salahsatu permasalahan dalam pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2010 – 2014. Beberapa lembaga pengkajian dalam laporan tahunannya mencatat adanya kecenderungan yang meningkat dalam hal gangguan terhadap rumah ibadat. Center for Religious and Crosscultural Studies (CRCS) mencatat, pada tahun 2009 terdapat 18 kasus di seputar rumah ibadat. Dengan cakupan wilayah yang sama, pada tahun 2010 meningkat menjadi 39 kasus (CRCS, 2011:34). Demikian pula The Wahid Institute mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap rumah ibadat. Pada tahun 2010 tercatat ada 62 kasus, dengan rincian 28 kasus pelanggaran dan 34 kasus tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat. Angka ini lebih besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski ada perluasan wilayah laporan (The Wahid Institute, 2011:17). SETARA Institute pada tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadat yang mengalami gangguan dalam berbagai bentuk, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah, dan lain-lain (SETARA Institute, 2011:9). Bahkan, lebih rinci Moderate Moslem Society mencatat dari 81 kasus intoleransi, sebanyak 63 kasus (80 %) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadat, dan intimidasi (Moderate Moslem Society, 2011:12).
176
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Di Provinsi Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, umat beragama lain merasakan kesulitan mendirikan rumah ibadat terlebih sejak dikeluarkannya Perda Bali berupa Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003 tentang Prosedur dan Ketentuan-Ketentuan Pembangunan Tempat-Tempat Ibadat di Wilayah Provinsi Bali (Hakim, Laporan Studi Kasus Pendirian Rumah Ibadat di Kota Denpasar, Bali, 2010). Dengan adanya Keputusan Gubernur Bali itu maka umat beragama di Provinsi Bali dalam kaitannya dengan persoalan pendirian rumah ibadat tentu memiliki dinamikanya sendiri. Apalagi dalam beberapa tahun kemudian dikeluarkan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 yang salah satu materinya juga berisi perihal pendirian rumah ibadat. Kehadiran PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 yang sedang dan terus disosialisasikan oleh pemerintah, diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan di sekitar rumah ibadat. Namun bagaimana pengaruhnya dalam kehidupan keagamaan masyarakat hinggga kini, perlu diketahui sesuai kondisi riil di lapangan. Untuk itulah maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2011 mengadakan penelitian khusus mengenai berbagai kasus di seputar rumah ibadat di berbagai daerah, termasuk di Provinsi Bali. Selain untuk mengungkap problem aktual di lapangan, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengklarifikasi data dan informasi dari berbagai pihak mengenai gangguan terhadap rumah ibadat yang ditengarai tidak seutuhnya benar. Penelitian ini memiliki keterkaitan sekaligus distingsi yang jelas dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010 yang lalu. Jika pada tahun 2010 fokus penelitian terhadap sejumlah rumah ibadat yang hendak didirikan dan mendapat resistensi masyarakat dan yang tidak mendapat resistensi (damai), pada tahun 2011 ini fokusnya
177
Bashori A. Hakim
adalah tentang pendirian rumah ibadat yang diperselisihkan, ditertibkan, serta yang ditutup.
PERMASALAHAN Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: mengapa terjadi kasus perselisihan tentang pendirian, penertiban, dan penutupan rumah ibadat di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap beberapa permasalahan berikut: 1) Bagaimana kasus perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi; 2) Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan tersebut; 3) Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian perselisihan.
Tujuan Tujuan penelitian adalah untuk: 1) Mengetahui kasus perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat di Kabupaten Badung; 2) Mengetahui peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan; 3) Mengetahui peran FKUB dalam penyelesaian perselisihan.
Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Pimpinan Kementerian Agama dan instansi terkait sebagai bahan dalam menyusun kebijakan berkenaan dengan implementasi peraturan terkait rumah ibadat, dalam upaya peningkatan kerukunan umat beragama. Selain itu, diharapkan dapat memberikan penjelasan
178
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
lebih mendalam dalam mengungkap berbagai kasus tentang rumah ibadat di lokasi penelitian.
Batasan Istilah Untuk menyamakan persepsi, ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini yang perlu dijelaskan. Mengacu kepada buku “Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya” yang diterbitkan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, beberapa istilah dimaksud berikut penjelasannya adalah: 1. Perselisihan (akibat pendirian rumah ibadat), ialah perselisihan antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai rumah ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama pengguna rumah ibadat. 2. Rumah ibadat, adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. 3. Tempat ibadat keluarga, untuk umat Islam disebut mushalla/langgar/surau/meunasah; untuk umat Kristen disebut kapel/rumah doa; untuk umat Katolik disebut kapel; untuk umat Hindu disebut sanggah/mrajan/panti/paibon; untuk umat Buddha disebut cetya; dan untuk umat Khonghucu disebut siang hwee/co bio/cong bio/kong tek su.
179
Bashori A. Hakim
4. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), adalah forum yang dibentuk masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. 5. Kerukunan umat beragama, adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 6. Panitia pembangunan rumah ibadat, adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat. 7. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat, adalah izin yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat. 8. Persyaratan administratif, misalnya surat kepemilikan tanah tempat rumah ibadat akan dibangun; sedangkan persyaratan teknis misalnya persyaratan tata bangunan gedung (Puslitbang Kehidupan Keagamaan, PBM No. 9 & 8 Tahun 2010 & Tanya Jawabnya, 2010).
Kerangka Pemikiran Kerangka berpikir yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah, bahwa keberadaan rumah ibadat di suatu tempat, pada dasarnya secara simbolik dapat dijadikan pertanda atas keberadaan umat beragama di lingkungan tempat dimaksud. Dengan kata lain, keberadaan gereja di suatu wilayah misalnya, menunjukkan keberadaan umat Kristiani di lingkungan wilayah
180
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
tersebut; demikian pula keberadaan masjid, pura, vihara dan seterusnya. Semakin banyak jumlah rumah ibadat di suatu wilayah – dengan demikian – mengindikasikan bahwa jamaah/jemaat atau umat beragamanya banyak pula. Asumsi demikian sejalan dengan “kerangka dasar” pemikiran yang diterapkan dalam PBM Bab IV Pendirian Rumah Ibadat, khususnya terkait Pasal 14 Ayat (2 a) yang menyebutkan bahwa pendirian rumah ibadat – juga – harus memenuhi persyaratan khusus, antara lain: daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat (PBM No.9 & 8 Tahun 2006). Gesekan – bahkan di antaranya cenderung menimbulkan konflik – antarumat beragama, selain pada umumnya bermula dari persoalan-persoalan sosial, budaya, ekonomi dan politik, tidak dapat dipungkiri di antaranya – juga – dipicu oleh persoalan pendirian rumah ibadat. Bahkan tentang pendirian rumah ibadat ini di beberapa daerah merupakan issu sentral yang menimbulkan permasalahan di kalangan umat beragama. Untuk memahami permasalahan terkait rumah ibadat, dapat didekati paling tidak melalui tiga aspek yaitu: aspek regulasi, aspek sosial – ekonomi – budaya, serta aspek keberagamaan. Aspek regulasi, tentang izin pendirian bangunan (IMB) rumah ibadat merupakan permasalahan yang sering timbul dalam pendirian rumah ibadat, di samping kelengkapan persyaratan lain dalam pendirian rumah ibadat sebagaimana diatur dalam PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. “Peraturan lainnya” yang dimaksud di sini ialah bahwa di Kabupaten Badung dan Provinsi Bali pada umumnya ada pergub terkait pendirian rumah ibadat yang di antaranya ada aturan yang tidak singkron dengan aturan sejenis dalam PBM No. 9 & 8 Tahun 2006. Dengan demikian di Kabupaten Badung umat beragama ketika hendak mendirikan rumah ibadat harus mengacu kepada PBM No. 9 & 8 Tahun 2006
181
Bashori A. Hakim
dan Pergub Provinsi Bali. Rumah ibadat atau bangunan bukan rumah ibadat yang dipergunakan untuk tempat ibadat ketika tidak atau belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan di atas – dengan demikian – dipermasalahkan atau diperselisihkan. Namun, dalam beberapa kasus mungkin saja terjadi perselisihan terhadap rumah ibadat yang sudah memiliki IMB, atau sebaliknya terjadi kasus penggunaan bangunan bukan rumah ibadat dipergunakan untuk tempat ibadat yang tidak dipersoalkan, baik oleh masyarakat setempat maupun pemerintah setempat. Aspek sosial, ekonomi dan budaya, rasa sentimen keagamaan, kerap timbul dari persoalan-persoalan yang pada dasarnya tidak terkait secara langsung dengan keagamaan. Dalam kasus komunitas tertentu, kehadiran kelompok pendatang – yang kemudian sukses di bidang tertentu termasuk bidang ekonomi – dalam struktur komunitas “pribumi” yang telah mapan, acapkali menimbulkan friksi sosial – yang dalam tingkat tertentu – dapat menjalar ke arah “sentimen agama”. Konsep in-group dan outgroup dalam konteks ini menjadi relatif berperan. Kehadiran rumah ibadat agama lain dalam suatu komunitas yang telah mapan sebelumnya, sering menimbulkan persoalan karena adanya penolakan dari komunitas yang telah mapan. Demikian pula dari aspek budaya, kehadiran rumah ibadat lain yang mengindikasikan hadirnya komunitas umat beragama lain, seringkali dianggap dapat “mengganggu” stabilitas budaya masyarakat setempat yang telah mapan. Aspek keberagamaan, sikap intoleransi kelompok agama tertentu terhadap kelompok agama lain, dapat menimbulkan perselisihan bahkan penolakan terhadap kehadiran rumah ibadat kelompok agama lain. Inklusifitas keagamaan akan menimbulkan penolakan atas kehadiran rumah ibadat umat lain.
182
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Metode Metode yang dipergunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif, dengan bentuk studi kasus. Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara, studi dokumentasi dan pustaka, serta pengamatan. Data yang terkumpul diolah melalui tahap: editing, klasifikasi, komparasi dan interpretasi untuk memperoleh pengetahuan baru. Wawanca dilakukan kepada sejumlah informan yang dianggap mengetahui tentang permasalahan yang dikaji, dengan menggunakan pedoman wawancara. Studi pustaka dilakukan dengan menelaah buku-buku, majalah dan media cetak lain terkait dengan permasalahan yang dikaji. Sedangkan pengamatan dilakukan terhadap obyek-obyek tertentu yang terkait, sejauh yang dapat dilakukan. Proses pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif analitik. Untuk menguji keabsahan data dipergunakan teknik triangulasi dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain. Menurut Patton (1987) – sebagaimana dikutip Moleong – triangulasi dalam konteks kajian ini dilakukan dengan sumber yakni membandingkan dan mengecek balik suatu informasi melalui waktu dan alat ukur yang berbeda untuk menguji derajat keterpercayaan informasi yang diperoleh. Melalui cara demikian maka dalam proses pengumpulan data dilakukan pembandingan, misalnya antara hasil wawancara dengan hasil pengamatan, dengan dokumen terkait, membandingkan antara pendapat masyarakat umum dengan pejabat, serta antara informasi pada saat penelitian dengan saat normal (Moleong, 2002:178).
183
Bashori A. Hakim
184
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
GAMBARAN SEKILAS KABUPATEN BADUNG
Kondisi Geografi Kabupaten Badung secara geografis terletak antara 80.14’20” – 80.50’48” Lintang Selatan dan 115.05’00” – 115.26’16” Bujur Timur. Luas wilayahnya 418.52 Km2 atau sekitar 7,43 % dari luas Pulau Bali. Batas-batas wilayahnya, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, sebelah timur Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar, dan Kota Denpasar, sebelah selatan Samudera Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tabanan. Dilihat dari segi pemerintahan, wilayah Kabupaten Badung secara administratif terbagi menjadi 6 kecamatan dan 62 desa/kelurahan, dengan rincian 16 kelurahan dan 46 desa dinas. Keenam kecamatan dimaksud yaitu: Kuta Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang. Ibukota kabupaten terletak di Kecamatan Mengwi, dengan pusat pemerintahan terletak di Desa Sempidi, Kecamatan Mengwi. Dilihat dari tingkat kemandiriannya, seluruh desa/kelurahan di kabupaten ini tergolong kategori swa sembada. Sedangkan dari segi karakteristik daerah, ada 26 desa/kelurahan tergolong klasifikasi daerah urban (perkotaan) dan
185
Bashori A. Hakim
36 selebihnya merupakan daerah rural (pedesaan). Berbeda dengan berbagai daerah lain di Indonesia, wilayah Badung dan seluruh wilayah Provinsi Bali yang lain selain terbagi menurut administrasi pemerintahan, terbagi pula menurut wilayah/daerah adat. Adapun pembagian wilayah adat untuk masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut: Kecamatan Kuta Selatan memiliki 9 desa adat, Kecamatan Kuta 6 desa adat, Kecamatan Kuta Utara 8 desa adat, Kecamatan Mengwi 38 desa adat, Kecamatan Abiansemal 34 desa adat, serta Kecamatan Petang 27 desa adat (BPS Kabupaten Badung, 2010). Di Kabupaten Badung, kasus-kasus terkait perselisihan rumah ibadat terdapat di Kecamatan Kuta Utara (tiga kasus) dan Kecamatan Kuta Selatan (satu kasus). Dengan demikian maka lokus kajian ini lebih dikonsentrasikan di kedua kecamatan di atas. Kecamatan Kuta Utara memiliki 6 desa/kelurahan, meliputi 3 kelurahan dan 3 desa dinas, dengan klasifikasi 4 desa/kelurahan dalam kategori urban (perkotaan) dan 2 desa/kelurahan kategori rural (pedesaan). Selain itu terdapat 8 desa adat, yaitu: Kerobokan, Padonan, Tandeg, Canggu, Berawa, Tuka, Dalung dan Padangluwih (BPS. Kabupaten Badung, 2010). Kecamatan Kuta Selatan memiliki 6 desa/kelurahan, meliputi 3 kelurahan dan 3 desa dinas, dengan klasifikasi 3 desa/kelurahan kategori urban (perkotaan) dan 3 desa/kelurahan kategori rural (pedesaan), serta 9 desa adat yaitu: Jimbaran, Tanjung Benoa, Tengkulung, Pecatu, Ungasan, Kampial, Peminge, Bualu, dan Kutuh (BPS. Kabupaten Badung, 2010).
Demografi Penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2009 berjumlah 388.514 jiwa, terdiri atas 195.206 laki-laki dan 193.308 perempuan.
186
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,21 % dengan kepadatan rata-rata 928 jiwa per km2. Jumlah kepala keluarga 95.553 dengan rata-rata 4 jiwa setiap KK. Jumlah penduduk dilihat dari kewarganegaraan, WNI sebanyak 388.242 jiwa dan WNA 272 jiwa. Dilihat dari persebaran penduduk antar kecamatan, Kecamatan Mengwi dihuni oleh penduduk terbanyak yaitu 108.469 jiwa atau 27,92 % dari jumlah seluruh penduduk Kabupaten Badung. Kecamatan Abiansemal memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua, yaitu sebanyak 80.991 jiwa atau 20,85 %, dan Kecamatan Petang merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil yaitu 28.392 jiwa atau 7,31 % (BPS Kabupaten Badung, 2010). Persebaran penduduk di tiap kecamatan selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut : Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Badung Tahun 2009 *) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Kuta Selatan Kuta Kuta Utara Mengwi Abiansemal Petang Jumlah
Laki-laki 36.153 20.202 30.407 53.753 40.399 14.292
Perempuan 34.814 19.133 29.953 54.716 40.592 14.100
Jumlah 70.967 39.335 60.360 108.469 80.991 28.392 388.514
*) Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2010. Mobilitas penduduk tahun 2009 meliputi penduduk meninggal 648 jiwa laki-laki dan 546 jiwa perempuan, sedang penduduk yang lahir 1.230 jiwa laki-laki dan 1.062 perempuan. Sementara itu, penduduk yang datang berjumlah 2.691 jiwa laki-
187
Bashori A. Hakim
laki dan 3.302 perempuan, sedang penduduk yang pindah berjumlah 925 jiwa laki-laki dan 1.372 jiwa perempuan.
Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi Dalam rangka mencerdaskan masyarakat, dilakukan pembangunan bidang pendidikan antara lain melalui peningkatan sarana dan prasarana pendidikan untuk menunjang keberhasilan bidang pendidikan. Di Kabupaten Badung sampai tahun 2009 terdapat 169 TK, 268 SD/MI, 47 SMP, 20 SMA, dan 16 SMK; dengan jumlah siswa, TK 10.908 murid, SD/MI 57.906 murid, SMP 23.902 siswa, SMA 8.273 siswa, dan SMK 8.604 siswa. Satu-satunya perguruan tinggi negeri di Kabupaten Badung adalah Universitas Udayana, yang pada tahun 2009 memiliki jumlah mahasiswa sebanyak 17.386 orang. Perguruan Tinggi lainnya adalah perguruan tinggi swasta sebanyak 4 buah, yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi BIITM Kuta Badung, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Dyana Pura, dan Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Triatmajaya. Lebih dari dua pertiga wilayah Kabupaten Badung adalah lahan pertanian. Pembangunan pertanian diupayakan untuk peningkatan produktivitas dan diversifikasi tanaman untuk kebutuhan pangan dan pelestarian lingkungan. Kabupaten Badung yang letaknya bersebelahan dengan Kota Denpasar, usaha akomodasi bagi para wisatawan baik domestik maupun asing cukup maju, dengan tersedianya 94 hotel bintang pada tahun 2009, hotel melati 455 buah, serta pondok wisata 401 buah.
188
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Kehidupan Keagamaan Penduduk Kabupaten Badung dilihat dari segi agama, terdiri atas berbagai pemeluk agama. Penduduk beragama Hindu menempati posisi mayoritas, yakni sebanyak 346.241 jiwa (89,12 %). Penduduk beragama Islam 29.242 jiwa (7,53 %), Budha 1.093 jiwa (0,28 %), Kristen Protestan 6.368 jiwa (1,64 %), dan Katolik 5.570 jiwa (1,43 %). Sementara itu belum ada data tentang penganut agama Khonghucu di kabupaten ini. Untuk melaksanakan peribadatan, masing-masing umat beragama memiliki tempat peribadatan (bangunan suci). Tempat peribadatan dimaksud berikut jumlah masing-masing adalah: pura kahyangan tiga 354 buah, pura sad/dang kahyangan 11 buah, pura kahyangan lainnya 1.411 buah; masjid 20 buah, mushalla 16 buah, gereja Kristen 43 buah, gereja Katolik 7 buah, klenteng/vihara 5 buah. Jumlah pemeluk agama perkecamatan pada tahun 2009 secara rinci dapat dilihat dalam tabel 2 berikut : Tabel 2 Jumlah Penduduk Menurut Penganut Agama Di Kabupaten Badung Tahun 2009 *) Kecamatan
Hindu
Islam
Budha
Kuta Selatan Kuta Kuta Utara Mengwi Abiansemal Petang Jumlah
60.736 22.040 53.671 101.792 80.027 27.975 346.241
8.415 14.937 835 3.900 809 346 29.242
210 429 232 138 20 64 1.093
Kristen Protestan 931 1.060 2.862 1.405 110 6.368
Katolik
Jumlah
675 869 2.760 1.234 25 7 5.570
70.967 39.335 60.360 108.469 80.991 28.392 388.514
*) Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2010.
189
Bashori A. Hakim
Dari tabel di atas terlihat, di Kecamatan Kuta Utara dengan jumlah penduduk 60.360 jiwa, sebagian besar penduduk atau sekitar (88,90 %) terdiri atas umat Hindu, kemudian menyusul umat Islam (1,39 %). Jumlah umat Kristen dan Katolik hampir berimbang, sedangkan umat Buddha menempati posisi minoritas yakni sekitar (0,39 %). Adapun tempat ibadat yang tersedia di Kecamatan Kuta Utara meliputi: pura kahyangan tiga 18 buah, pura sad/dang kahyangan 1 buah, pura kahyangan lainnya 101 buah, masjid 5 buah, mushalla 6 buah, gereja Kristen 8 buah, gereja Katolik 4 buah (BPS. Kabupaten Badung, 2010). Di Kecamatan Kuta Selatan dengan jumlah penduduk 70.967 jiwa, sebagian besar penduduk (85,59 %) terdiri atas umat Hindu. Umat Islam menempati posisi kedua (11,86 %). Jumlah umat Kristen dan Katolik hampir berimbang sedangkan jumlah umat Buddha menempati posisi minoritas (0,29 %). Adapun tempat ibadat yang tersedia di Kecamatan Kuta Selatan meliputi: pura kahyangan tiga 27 buah, pura sad/dang kahyangan 4 buah, pura kahyangan lainnya 97 buah, masjid 4 buah, mushalla 2 buah, gereja Kristen 5 buah, gereja Katolik 1 buah, klenteng/vihara 2 buah (BPS. Kabupaten Badung, 2010). Di Kabupaten Badung, kesadaran untuk bersama-sama menjaga dan memelihara kerukunan serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat sudah berlangsung sejak lama. Kesadaran tersebut semakin menguat setelah terjadi pergolakan politik di Indonesia tahun 1998 yang menimbulkan konflik sosial bahkan muncul pula konflik yang berbau SARA terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Situasi ini dianggap bisa merusak kerukunan yang sudah terjaga dengan baik selama ini. Oleh karena itu, para tokoh/pimpinan lembaga/majelis agama yang ada di Bali dalam beberapa kali pertemuan menyepakati untuk membicarakan perlunya sebuah wadah yang dapat dipakai untuk menjembatani
190
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
komunikasi masing-masing komponen dalam masyarakat dengan cepat dan tepat. Atas saran Bupati Badung dan didorong oleh kebutuhan bersama para pimpinan agama untuk menjaga kerukunan dan kedamaian di Badung, maka dibentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) ditetapkan dengan SK Bupati Badung No. 2642 A tertanggal 27 Desember 1999. Keberadaan FKAUB ditangani oleh Bagian Sosial Sekretariat Daerah Kabupaten Badung. Setelah Bagian Sosial dilikuidasi tahun 2000, FKAUB ditangani Dinas Sosial, dan tahunn 2001 ditangani Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung sampai dikeluarkan SK Bupati tentang perubahan menjadi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tahun 2008. FKUB memiliki visi sebagai mitra terdepan pemerintah dalam membangun kerukunan umat beragama di Kabupaten Badung. Adapun misinya, pertama memelihara kerukunan intern dan antar umat beragama, kedua memberdayakan FKUB, ketiga memfasilitasi pendirian rumah ibadat sesuai kebutuhan nyata dari umat dengan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan. Terpeliharanya kerukunan antar umat beragama di Bali, khususnya Kabupaten Badung antara lain juga adanya dukungan kearifan lokal Bali seperti, menyama braya/pasiddhikaran yaitu budaya hidup bersama sebagai satu saudara. Prinsip dan semangat menyama braya ini sudah menjadi komitmen bersama masyarakat Bali bahwa di atas segala-galanya komunikasi menjadi penting. Melalui komunikasi, kerukunan dan selanjutnya kerjasama bisa ditingkatkan.
191
Bashori A. Hakim
192
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
KASUS-KASUS RUMAH IBADAT
Kasus-kasus Perselisihan Rumah Ibadat Di Kabupaten Badung dan Provinsi Bali pada umumnya, “mushalla” yang menurut PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 tidak termasuk kategori rumah ibadat dan masuk kategori tempat ibadat keluarga (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, 2010 : 62-63), ternyata dalam kenyataan masyarakat Bali mushalla dianggap dan diberlakukan sebagaimana masjid. Rupanya dalam kaitannya dengan tataaturan rumah ibadat masyarakat Bali lebih mendasarkan kepada peraturan daerah (perda) dibanding dengan PBM No. 9 & 8 Tahun 2010. Menurut Perda Provinsi Bali yang tertuang dalam Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003 tentang Prosedur dan Ketentuan-Ketentuan Pembangunan Tempat-Tempat Ibadat di Wilayah Provinsi Bali, dalam Pasal 2 Ayat (1) dinyatakan bahwa pembangunan tempat-tempat ibadat (pura, masjid, mushalla, langgar, surau, gereja, kapela, pos pelayanan iman, vihara, cetya) di wilayah Provinsi Bali harus mendapat ijin tertulis dari Gubernur Bali (Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003). Melihat realita demikian, maka dalam kajian kasus tentang perselisihan rumah ibadat di Badung, “mushalla” – yang menurut
193
Bashori A. Hakim
PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 merupakan tempat ibadat keluarga – juga menjadi bagian yang dikaji. Di Kabupaten Badung, berdasarkan penuturan beberapa informan terdapat beberapa kasus terkait perselisihan rumah ibadat, yakni di Kecamatan Kuta Utara terdapat 3 kasus dan di Kecamatan Kuta Selatan terdapat 1 kasus.
1. Kasus Perselisihan Rumah Ibadat Di Kecamatan Kuta Utara a. Kasus Mushalla At-Taqwa Mushalla At-Taqwa berada di bawah Yayasan Budi Santosa, terletak di Jalan Bidadari II D, Desa Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Mushalla tersebut pertama dibangun tahun 1996 di atas tanah kaveling seluas 200 m2 dan telah diperluas/ditambah dengan luas tanah dan bangunan menjadi 400 m2. Saat ini tanah yayasan telah bertambah luasnya menjadi 750 m2, dengan perincian 400 m2 untuk bangunan mushalla dan 350 m2 untuk parkir. Menurut penuturan beberapa informan dari unsur pengurus mushalla, pada tahun 1993/1994 Yayasan Darmasanti menyelenggarakan shalat Jumat dengan memasang tenda biru di tanah kosong yang belum dimanfaatkan untuk dibangun bungalow. Selama kurang lebih dua tahun berjalan, tanah tersebut akan digunakan/dibangun sehingga kegiatan shalat Jumat harus segera dipindahkan. Dengan dana terbatas dari jamaah, sementara harus segera pindah maka dicari tanah yang terjangkau harganya; dan diperoleh tanah kaveling di tengah sawah dengan luas 200 m2 milik warga setempat dan telah dijual kepada seorang pengusaha kaveling tanah.
194
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Selanjutnya, tanah tersebut dibeli Yayasan Darmasanti dan langsung dibangun mushalla bekerjasama dengan Bank Dagang Bali. Pada saat itu pula nama yayasan diminta untuk diubah dan kemudian diganti dengan nama Yayasan Budi Santosa. Bangunan mushalla seluruhnya dalam bentuk bangunan permanen, dan pada saat ini mushalla tersebut dapat menampung sekitar 600 jamaah shalat Jumat. Mushalla tersebut digunakan utamanya untuk shalat Jumat. Kegiatan lainnya di bidang pendidikan yaitu TPA/TPQ, majelis taklim kaum bapak, dan majelis taklim kaum ibu. Di bawah Yayasan Budi Santosa juga mengadakan kifayah yaitu perkumpulan kematian. Kronologi timbulnya kasus mushalla di atas secara singkat adalah, bahwa sejak pergantian pejabat klian dinas pada awal tahun 2010, pengurus mushalla didatangi pejabat tersebut meminta agar mengurus ijin pendiriannya. Perselisihan di sini lebih kepada masyarakat non Muslim yang diwakili klian dinas mempermasalahkan keberadaan mushalla yang belum memiliki ijin (IMB). Masyarakat juga pernah akan melakukan demo, tetapi tidak jadi dilakukan karena saling kenal baik antar mereka. Puncaknya, pada bulan Februari 2010 ada SMS dari seseorang ke Polda Bali, isinya pemberitahuan akan ada demo tanggal 26 Februari jam 13.00 di Mushalla At-Taqwa Jl. Bidadari II D No. 11 Br. Mertanadi, Kerobokan Klod Kuta Utara oleh warga nonMuslim sekitar mushalla sekitar 60 orang dipimpin W dan M dalam rangka menolak keberadaan mushalla tersebut karena tidak mempunyai IMB dan pendiriannya dianggap tidak memenuhi persyaratan jumlah warga Muslim yang tinggal di sekitar mushalla; dan pada saat pendirian mushalla tersebut tahun 1998 warga sekitar mushalla/penyanding tidak setuju, namun Kaling yang dulu atas nama N menyetujui karena pada waktu itu ada kakak dari
195
Bashori A. Hakim
Kaling tersebut duduk sebagai anggota dewan sehingga pendirian mushalla tersebut diijinkan. SMS tersebut diteruskan ke MUI dan sampai ke pengurus mushalla. Pada hari H ancaman demo, telah berdatangan aparat Polda ke lokasi mushalla. Ternyata hal itu hanya issu karena orang yang disebutkan akan memimpin demo tidak tahu menahu hal itu. Menurut penuturan beberapa unsur pengurus mushalla, teguran untuk mengurus ijin dan ancaman penolakan terhadap keberadaan mushalla terutama dilakukan ketua klian dinas, disebabkan desakan dari sebagian anggota masyarakat dalam hal ini pemilik bungalow dan penghuninya yang merasa terganggu dengan kemacetan kendaraan saat jamaah pulang shalat Jumat. Pengurus mushalla telah berupaya mengurus perijinan, antara lain memenuhi persyaratan pendirian rumah ibadat, menghimpun tanda tangan umat pemeluk Islam/penduduk Muslim dewasa telah terpenuhi lebih 90 orang dan dukungan penduduk setempat sekitar mushalla telah terkumpul 30 orang. Ketua mushalla aktif melakukan pendekatan dengan berbagai elemen masyarakat termasuk para pemuda, sehingga hubungan antar mereka cukup baik.
b. Kasus Mushalla Nurul Hikmah Mushalla ini terletak di Perumahan Dalung Indah, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara. Mushalla dibangun pada sekitar tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pada beberapa tahun yang lalu –setelah dikeluarkannya PBM No. 9 & 8 Tahun 2006– akan diadakan renovasi bangunan, ternyata terdapat reaksi dari pihak aparat Pemda Badung. Pihak Satpol PP Kabupaten Badung mendatangi lokasi mushalla dan memerintahkan kepada Pengurus Mushalla Nurul Hikmah agar
196
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
menghentikan rencana renovasi bangunan mushalla. Pihak pengurus mushalla diminta memproses pengurusan IMB Mushalla Nurul Hikmah terlebih dahulu sebelum melakukan renovasi bangunan mushalla. Demikian penuturan beberapa Pengurus Mushalla Nurul Hikmah. Pengurus mushalla merasa kesulitan jika memproses pengurusan IMB, karena di samping mushalla telah relatif cukup lama dibangun, untuk pengurusan IMB harus memenuhi persyaratan-persyaratan pendirian rumah ibadat sebagaimana diatur dalam Pergub Provinsi Bali Tahun 2003 dan PMB No. 9 & 8 Tahun 2006. Sekalipun ada kasus penyetopan renovasi bangunan mushalla oleh Satpol PP Kabupaten Badung dan kesulitan pengurusan IMB, namun aktivitas peribadatan di Mushalla Nurul Hikmah hingga saat penelitian ini dilakukan, masih tetap berjalan seperti waktu-waktu sebelumnya tanpa ada gangguan dari pihak lain.
c. Kasus Rencana Pendirian Mushalla Yayasan al-Hikmah di Perumahan Dalung Permai, Kelurahan Kerobokan Kaja, Kecamatan Kuta Utara, pada tahun 2002 merencanakan membangunan sebuah mushalla. Melalui panitia pengadaan tanah, dibelilah tanah dari developer seluas 4 are (400 m2). Semula tanah tersebut oleh developer disediakan untuk fasum dan direncanakan untuk membangun ruko. Karena telah dibeli oleh Yayasan al-Hikmah, maka pada tahun 2006 areal tanah itu dipergunakan oleh warga Muslim setempat untuk tempat salat Taraweh, salat Idul Adha dan tempat aktivitas pemotongan hewan qurban. Dalam proses selanjutnya, warga Muslim setempat –melalui Yayasan al-Hikmah– areal tanah yang sudah dibeli itu akan dibangun mushalla dan tempat pengajian –
197
Bashori A. Hakim
majelis taklim– pada tahun 2007 mulai dipagar. Namun kegiatan pemagaran tersebut ditolak oleh warga Hindu setempat, dengan alasan bahwa tanah tersebut diperuntukkan sebagai fasum, untuk membangun ruko. Namun berkat pendekatan kepada warga Hindu setempat yang dilakukan oleh unsur pengurus Yayasan alHikmah, lambat laun pemagaran tersebut dapat dilanjutkan. Kini lahan tanah tersebut oleh warga Muslim sekitar dipergunakan untuk tempat pengajian bapak-bapak/ibu-ibu dan kaum remaja, tanpa dibangun bedeng atau sejenisnya dan hanya dengan lantai tanah dipasang tenda setiap akan dipergunakan untuk tempat pengajian. Yang pasti, rencana pembangunan mushalla diurungkan hingga kini.
2. Kasus Perselisihan Rumah Ibadat Di Kecamatan Kuta Selatan Di Kecamatan Kuta Selatan terdapat satu kasus perselisihan rumah ibadat, yakni berupa kasus perselisihan tentang “pemindahan bangunan” Mushalla Baitul Ummah yang terletak di JL. Taman Griya Nusa Dua, Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan. Mushalla dibangun oleh umat Islam secara swadana pada tahun 2010, di atas tanah yang dibeli secara swadaya oleh umat Islam setempat. Dengan dana seadanya, mushalla dibangun sangat sederhana, yakni berupa “bedeng” beratap seng, tiang bambu dan berlantai flor semen. Pada tahap selanjutnya, pihak Pengurus Yayasan Baitul Ummah melalui Panitia Pembangunan Mushalla merencanakan pemindahan bangunan Mushalla Baitul Ummah yang bersifat sementara itu ke areal tanah yang terletak di sebelah kiri mushalla dengan bangunan yang permanen. Mulai awal tahun 2011 dengan dana yang relatif terbatas Panitia Pembangunan Mushalla mulai merintis pembangunan fondasi mushalla. Mengetahui hal itu kemudian Satpol PP Kabupaten Badung mendatangi Pengurus Yayasan
198
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Baitul Ummah dan Panitia Pembangunan Mushalla, meminta agar menghentikan pembangunan mushalla tersebut dengan alasan belum ada IMB, melangar ketentuan Perda Bali Nomor 4 Tahun 1974 tentang Bangunan. Menurut pengakuan unsur Pengurus Yayasan Baitul Ummah, pihak Satpol PP Kabupaten Badung telah berkali-kali mendatangi lokasi Mushalla Baitul Ummah dengan maksud yang sama. Klimaksnya, pada tanggal 4 Pebruari 2011 pihak Satpol PP Kabupaten Badung meminta Pengurus Yayasan Baitul Ummah –diwakili Kyt– untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya antara lain, pengakuan melakukan pelanggaran ketentuan Perda No.4 tentang Bangunan, serta bersedia menghentikan kegiatan di lokasi bangunan sampai dengan dikeluarkannya IMB dari Dinas Cipta Karya Kabupaten Badung. Dengan adanya surat pernyataan di atas, maka hingga saat penelitian ini dilakukan, pembangunan fondasi mushallah tersebut dihentikan sementara, sambil menunggu proses pengurusan IMB ke Pemda Badung. Untuk sementara ini umat Islam setempat melakukan salat jamaah di bangunan sementara berupa bedeng sebagaimana telah dipaparkan di atas.
A. Kasus-kasus Rumah Ibadat yang Tidak Menimbulkan Perselisihan Selain terdapat kasus-kasus perselisihan rumah ibadat sebagaimana telah dipaparkan di atas, terdapat pula kasus-kasus rumah ibadat yang tidak menimbulkan perselisihan. Yang dimaksud dengan kasus-kasus rumah ibadat yang tidak menimbulkan perselisihan di sini adalah rumah-rumah ibadat yang proses pendirian/pembangunan atau renovasinya tidak menimbulkan perselisihan, baik dari kalangan masyarakat
199
Bashori A. Hakim
setempat, Pemda, Kantor Kementerian Agama Kabupaten maupun FKUB setempat, sekalipun tidak memenuhi prosedur pendirian rumah ibadat sebagaimana ditetapkan dalam PBM No. 9 & 8 Tahun 2006. Adanya hubungan emosional ataupun hubungan baik antara personal pengurus rumah ibadat dengan kepala lingkungan/tokoh adat setempat serta unsur pejabat pemda, tampaknya dapat mencairkan proses pendirian suatu rumah ibadat atau penggunaan bangunan dengan cara alih fungsi untuk tempat ibadat sekalipun prosedur pendirian/penggunaan rumah ibadat tidak terpenuhi. Rumah-rumah ibadat dimaksud adalah: 1. Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB), didirikan di lingkungan Banjar Pagending, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara. Gereja yang dibangun pada tahun 2009 itu, pada saat proses pembangunannya tak memiliki IMB, namun tidak timbul perselisihan di kalangan masyarakat sekitar. Pihak Satpol PP pun juga tidak mempersoalkan pembangunannya sekalipun belum memiliki IMB; 2. Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) Jemaat Pelambingan, terletak di Desa Canggun, Kecamatan Kuta Utara. Gereja yang dibangun sekitar lima tahun yang lalu (tahun 2006) itu, sekalipun tak ada IMB, namun pembangunannya tetap berlanjut tanpa ada pihak yang memperselisihkan; 3. Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) Jemaat Abian Base, di Banjar Gede, Kelurahan Abian Base, Kecamatan Mengwi. Gereja yang dibangun di atas tanah “desa adat” itu ketika direnovasi pada tahun 2005 juga tidak menimbulkan perselisihan dalam masyarakat maupun pihak Pemda setempat, sekalipun tidak memiliki IMB;
200
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
4. Empat gereja menggunakan bangunan ruko yang ada di Sentral Parkir Kuta/Kuta Galika. Bangunan-bangunan ruko tersebut dipergunakan secara alih fungsi oleh para pengurus gereja untuk kegiatan peribadatan/kebaktian jemaatnya tanpa melalui proses permohonan untuk memperoleh surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung dari Pemda Kabupaten Badung. Keempat gereja dimaksud adalah: 1) Gereja Bali Yewon Church, 2) Gereja Cina, 3) Gereja Injili Steven Chong, dan 4) Gereja Rock Kuta/Gereja Betel Indonesia. Sekalipun keempat gereja tersebut dipergunakan kegiatan kebaktian oleh jemaat masing-masing gereja, namun tidak ada yang mempermasalahkan, baik kepala lingkungan, pemerintah setempat ataupun masyarakat sekitar ruko. Dari kenyataan di atas mengindikasikan adanya dinamika dalam persoalan rumah ibadat di Kabupaten Badung, antara lain bahwa keberadaan (termasuk pendirian) rumah ibadat umat Islam dan umat Kristiani di wilayah Badung tidak terlalu menjadi persoalan bagi masyarakat (Hindu) sekitarnya, manakala hubungan dan komunikasi antara pengurus rumah ibadat dengan kepala lingkungan/para tokoh adat setempat terjalin dengan baik, atau ada hubungan emosional seperti kekerabatan/persaudaraan atau pertemanan. Sebaliknya, jika hubungan tidak harmonis atau tidak terdapat hubungan persaudaraan, keberadaan maupun pendirian rumah ibadat di atas mereka perselisihkan. Dengan demikian, timbulnya perselisihan tentang keberadaan dan pendirian rumah ibadat di atas menandakan adanya disharmoni atau tidak adanya hubungan emosional antara komunitaskomunitas tersebut. Atas timbulnya kasus-kasus perselisihan rumah ibadat di atas, baik Pemda Kabupaten Badung maupun FKUB belum
201
Bashori A. Hakim
melakukan penanganan sesuai fungsi masing-masing, karena kasus perselisihannya baru sampai di tingkat lokal dan dapat diatasi oleh pihak-pihak yang berselisih dan pejabat/pimpinan adat di tingkat lokal. Terhadap kasus beberapa ruko di Sentral Parkir Kuta yang dialih-fungsikan menjadi gereja (4 gereja), belum ada upaya penertiban dari Pemda Kabupaten Badung. Demikian penuturan dari berbagai kalangan, antara lain: unsur pemda, FKUB Badung, serta pengurus beberapa rumah ibadat terkait.
202
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
ANALISIS
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa rumah ibadat adalah merupakan kebutuhan setiap komunitas umat beragama untuk menunaikan ibadah/kebaktian secara bersama sesuai ajaran agama yang mereka yakini. Keberadaan rumah ibadat di suatu lingkungan komunitas agama merupakan simbol keberadaan sekaligus eksistensi agama yang bersangkutan. Demikian penting suatu rumah ibadat bagi suatu komunitas agama, karena di antaranya menyangkut aspek simbol maupun eksistensi bagi komunitas agama yang bersangtkutan, sehingga untuk pengadaan/pendiriannya di suatu lingkungan masyarakat “seringkali” mempengaruhi sikap emosional keagamaan terhadap umat beragama yang bersangkutan. Akibatnya, pendirian rumah ibadat tidak jarang menjadi pemicu timbulnya konflik antarumat beragama, bahkan di kalangan internal umat beragama. Kenyataan demikian sejalan dengan hasil identifikasi tentang faktor-faktor yang memengaruhi kerukunan umat beragama yang dilakukan Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama –melalui salahsatu kajiannya- yang menyebutkan bahwa “pendirian rumah ibadat” merupakan salah satu aspek dari faktor keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama.
203
Bashori A. Hakim
Dalam konteks itulah maka peran pemerintah menjadi sentral, untuk mengatur tentang pendirian rumah ibadat dalam upaya menangkal kemungkinan timbulnya konflik di kalangan umat beragama yang diakibatkan oleh pendirian rumah ibadat. Peran demikian tidak dapat dimaknai sebagai keikutsertaan pemerintah “mencampuri” urusan internal suatu agama, tetapi lebih sebagai peran “regulasi”. Berkenaan dengan kebutuhan rumah ibadat bagi masingmasing umat beragama di atas, di Provinsi Bali –termasuk di dalamnya Kabupaten Badung– sejak dikeluarkan Perda Bali berupa Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003 serta PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 terutama terkait dengan pendirian rumah ibadat, penambahan rumah ibadat bukanlah menjadi konsentrasi bagi kalangan umat beragama, terutama umat beragama non-Hindu (Hakim, Laporan Studi Kasus Pendirian Rumah Ibadat di Kota Denpasar, Bali, 2010). Mereka mengaku sudah saatnya lebih mengutamakan pembinaan umat, sedangkan pendirian rumah ibadat mereka lakukan jika benar-benar mereka butuhkan. Persyaratan pendirian rumah ibadat dalam kedua peraturan di atas yang mereka rasakan sulit untuk dipenuhi, rupanya menjadi alasan utama mereka, di samping keberadaan mereka di lingkungan minoritas dari segi jumlah umat. Sekalipun kenyataan dalam masyarakat tak berlaku tirani mayoritas-minoritas, namun kedua peraturan di atas dirasakan sulit untuk dipenuhi oleh kalangan umat minoritas. Meskipun demikian, umat Islam dan Kristen sekalipun merasakan ada kesulitan memenuhi persyaratan administratif, namun ada penambahan rumah ibadat di beberapa kecamatan. Penambahan pendirian rumah ibadat yang dilakukan, terkesan seperti dipaksakan. Hal ini terindikasi dari pendirian beberapa rumah ibadat yang proses pendiriannya tidak memenuhi
204
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
persyaratan administratif sebagaimana ditetapkan dalam Perda Bali/Keputusan Gubernur Bali No.33 Tahun 2003 ataupun PBM No. 9 & 8 Tahun 2006, sekalipun pendiriannya tidak diperselisihkan. Terdapatnya beberapa gereja Kristen yang pembangunannya tidak memiliki IMB –tapi tetap dibangun dan tidak ada yang mempersoalkan– seperti Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) di Banjar Pagending, GKPB di Desa Canggun, serta GKPB di Banjar Gede, menjadi penguat uraian di atas. Timbulnya beberapa kasus tentang perselisihan rumah ibadat di kalangan masyarakat Kabupaten Badung, kebanyakan lebih pada persoalan regulasi, yakni tentang persyaratan IMB. Kasus-kasus perselisihan rumah ibadat yang timbul seperti, kasus Mushalla at-Taqwa dan Mushalla Nurul Hikmah yang keduanya terdapat di Kecamatan Kuta Utara serta Mushalla Baitul Ummah di Kecamatan Kuta Selatan, yang digugat oleh Satpol PP maupun Klian Dinas setempat karena tidak adanya persyaratan IMB, menunjukkan bahwa aspek regulasi masih menjadi persoalan sentral dalam pendirian rumah ibadat di kalangan masyarakat. Sedangkan kasus rencana pendirian mushalla di Perumahan Dalung Permai Kecamatan Kuta Utara yang akan menggunakan areal tanah fasum/untuk rencana bangunan ruko, yang ketika hendak dilakukan pemagaran areal tanah ditolak oleh warga – Bali/Hindu– setempat, adalah lebih pada persoalan aspek sosialekonomi, bahkan budaya setempat. Dapat dipahami, memang, tanah yang sedianya diperuntukkan oleh developer untuk bengunan ruko –sekalipun telah dibeli oleh Yayasan al-Hikmah– kemudian hendak dibangun mushalla, pada awalnya mendapat penolakan dari warga sekitar. Alasan warga setempat cukup rasional karena mendasarkan kepada kepentingan yang lebih umum yakni kepentingan ekonomi masyarakat luas, di samping memang menyalahi prosedur tata bangunan. Terlepas dari alasan
205
Bashori A. Hakim
demikian, betapapun, unsur budaya terasa ikut serta mewarnai menjadi pemicu penolakan, karena warga Muslim sekitar yang akan menggunakan mushalla adalah terdiri atas para pendatang yang pada umumnya dari Jawa. Dalam kasus ini, lagi-lagi faktor komunikasi, hubungan baik dan pendekatan yang dilakukan oleh Pengurus Yayasan al-Hikmah kepada tokoh masyarakat dan warga setempat, menjadi hal yang penting. Buktinya, warga setempat yang semula bersikap menolak terhadap pemagaran areal tanah di atas, lambat-laun berubah sehingga pemagaran dapat dilanjutkan. Timbulnya berbagai kasus di seputar rumah ibadat di Kabupaten Badung sebagaimana dipaparkan di atas, baik yang berupa perselisihan pendirian rumah ibadat maupun pendirian rumah ibadat yang tidak menimbulkan kasus perselisihan, antara lain akibat dari kurang maksimalnya sosialisasi PBM No. 9 & 8 di kalangan masyarakat utamanya masyarakat bawah. Sementara itu, posisi PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 atas keberadaan Perda Bali berupa Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003 terutama yang menyangkut perihal pendirian rumah ibadat –karena ada perbedaan pengaturan dalam hal yang sama– apabila tidak segera diklarifikasi oleh pejabat yang berwenang, dapat menimbulkan kerancuan dan tumpang-tindih dalam pengaturan pendirian rumah ibadat.
206
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berkut: 1. Perselisihan tentang pendirian rumah ibadat di Kabupaten Badung, pada umumnya lebih pada persoalan regulasi, terutama tidak adanya IMB; Tidak lengkapnya persyaratan pembangunan tersebut sekaligus dijadikan sebagai momen penertiban oleh aparat pemerintah daerah, dalam hal ini Satpol PP. Sedangkan perselisihan lainnya, lebih pada aspek sosialekonomi dan budaya. Di antara perselisihan yang timbul tersebut dapat dicairkan melalui proses pendekatan dan hubungan baik dengan pihak-pihak/aparat terkait serta masyarakat yang memperselisihkan. 2. Baik pihak pemda maupun FKUB setempat belum berperan melakukan penanganan secara proaktif terhadap kasus-kasus perselisihan rumah ibadat yang timbul, karena kasus perselisihannya baru sampai tingkat lokal dan dapat diselesaikan/diatasi oleh pihak-pihak yang berselisih.
207
Bashori A. Hakim
3. Terdapatnya kasus-kasus rumah ibadat, baik yang diperselisihkan maupun yang tidak diperselisihkan, mengindikasikan kurang maksimalnya sosialisasi PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 di Kabupaten Badung. 4. Adanya tumpang-tindih antara peraturan dalam Keputusan Gubernur Bali N0.33 Tahun 2003 dengan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadat, jika tidak segera diklarifikasi dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan peraturan yang sama.
Rekomendasi 1. Sekalipun kasus-kasus perselisihan rumah ibadat yang timbul di kalangan masyarakat masih bertaraf lokal dan dapat diatasi sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, kiranya pemda maupun FKUB setempat sesuai tugas dan fungsi masingmasing secara proaktif melakukan pemantauan terhadap kasus-kasus perselisihan rumah ibadat yang timbul di wilayahnya, dengan melakukan pembinaan agar kasus serupa tidak timbul pada waktu mendatang. Pengenalan terhadap aspek perselisihan yang timbul, apakah aspek regulasi ataukah aspek sosial-ekonomi, budaya maupun aspek keagamaan, perlu dilakukan, untuk bahan evaluasi sekaligus upaya antisipatif. 2. Untuk mengurangi timbulnya kasus di seputar rumah ibadat, baik yang diperselisihkan maupun yang tidak oleh pihak aparat ataupun masyarakat, perlu kiranya Pemda Kabupaten Badung bersinergi dengan instansi dan lembaga terkait melakukan sosialisasi PBM No. 9 & 8 secara terprogram dengan mengikutsertakan unsur aparat terkait, para tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat sebagai peserta sosialisasi.
208
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
3. Untuk memperoleh kepastian dalam pelaksanaan peraturan terkait dengan pendirian rumah ibadat, diharapkan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali bersama Pemda Bali atau instansi yang berwenang segera mengupayakan klarifikasi peraturan menyangkut tentang pendirian rumah ibadat dari kedua peraturan yakni Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003 dan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006.
209
Bashori A. Hakim
210
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian –Suatu Pendekatan Praktek- Jakarta, PT. Rineka Cipta, Edisi Revisi V. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Badung, 2010, Badung Dalam Angka, Badung, Badan Pusat Statistik. Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), 2011, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010,Yogyakarta, CRCS UGM. Creswell, John W., Aris Budiman, et. All (Ed.), 2002, Research Design –Qualitative & Quantitative Approaches, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif, Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cet.II. Gubernur Bali, 2003, Keputusan Gubernur Bali, Nomor 33 Tahun 2003, Pemda Provinsi Bali, Bali. Hakim, A., Bashori, 2010, Laporan Studi Kasus Pendirian Rumah Ibadat di Kota Denpasar, Bali, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Moderate Moslem Society, 2011, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta, MMS, 2011.
211
Bashori A. Hakim
Moleong, J. Lexy, 2003, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosdakarya . Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kemenag RI., 2010, Laporan Studi Kasus tentang Pendirian Rumah Ibadat di Berbagai Daerah, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. ------------- , 2010, Sosialisasi PBM & Tanya- Jawabnya “Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan”, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan. SETARA Institute, 2011, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, 2010, Jakarta, Setara Institute. The
212
Wahid Institute, 2011, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi, 2010, Jakarta, The Wahid Institute.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Oleh : Drs. Mursyid Ali
213
Drs. Mursyid Ali
214
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan sangat beragam dalam berbagai aspek seperti suku, budaya, sosial, agama dsb, kerukunan hidup umat beragama merupakan salah satu persoalan yang sangat penting. Kerukunan harus senantiasa dipelihara dan ditingkatkan oleh segenap lapisan dan kelompok sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar proses pembangunan berlangsung lancar sesuai dengan yang diharapkan. Kerukunan merupakan sesuatu yang sangat dinamis dan senantiasa berubah. Tidak ada masyarakat yang terus selalu rukun atau terus menerus konflik. Fluktuasi kerukunan dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor agama seperti perbedaan paham keagamaan, penyiaran agama, pembangunan rumah ibadat, maupun faktor non-agama seperti kesenjangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Aktualisasi kelompok seharusnya tidak menjadi ancaman bagi kelompok lain, bahkan dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan sosial, jika saja orang di dalamnya tetap mempunyai pegangan dan keyakinan bersama sebagai satu bangsa. Proses
215
Drs. Mursyid Ali
demokrasi memberikan peluang kepada setiap kelompok untuk mengungkapkan jatidirinya. Ada proses penyamaan dan penyetaraan semua kelompok dalam ruang publik dan mengikis diskriminasi. Semua orang bebas mengungkapkan keinginannya. Namun bila kebebasan itu tidak terkendali, dapat “kebablasan” dan mengundang perpecahan, termasuk perpecahan di kalangan umat beragama. Suasana kurang nyaman atau kurang rukun di lingkungan umat beragama bisa disebabkan dan dipicu banyak faktor. Salah satu faktor keagamaan yang tahun-tahun belakangan ini acapkali mengganggu kondisi kerukunan umat beragama di berbagai daerah adalah persoalan tempat ibadat. Kasus rumah ibadat ini cukup bervariasi antara lain terkait dengan penolakan pendirian rumah ibadat, penyalahgunaan, penertiban, perusakan, serta penutupan rumah ibadat. Untuk mengetahui secara lebih jelas dan mendapat gambaran yang lebih lengkap dan utuh berkenaan dengan berbagai kasus terkait rumah ibadat ini, khususnya yang terjadi di kota Palangka Raya, Puslitbang Kehidupan Keagamaan memandang perlu dilakukan penelitian tersendiri, terutama menyangkut dengan beberapa pertanyaan penelitian berikut : 1) Bagaimana perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat yang terjadi, dan mengapa diperselisihkan; 2) Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan; 3) Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian perselisihan; 4) Bagaimana respon masyarakat setempat mengenai perselisihan rumah ibadat. Untuk lebih jelasnya, beberapa pertimbangan yang dijadikan alasan mengapa kajian tentang perselisihan rumah ibadat ini dipandang penting dan perlu dilakukan antara lain :
216
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Pertama, persoalan perselisihan rumah ibadat ini merupakan salah satu isu penting terkait upaya perwujudan, pemeliharaan, dan peningkatan kerukunan umat beragama. Kedua, munculnya kasus perselisihan rumah ibadat di berbagai daerah, bila berlangsung berlarut-larut dan tidak segera diselesaikan, sangat potensial dapat mengganggu dan menghambat upaya perwujudan kerukunan dan keutuhan bangsa. Ketiga, untuk mengetahui duduk perkaranya secara lebih jelas dan mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang perselisihan rumah ibadat ini, perlu dilakukan penelitian. Keempat, beragam informasi dan temuan kajian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan masukan yang bermakna oleh jajaran pimpinan Kementerian Agama dan pihak-pihak terkait dalam penyusunan kebijakan, khususnya tentang kasus perselisihan rumah ibadat dan masalah kerukunan pada umumnya di masingmasing wilayah terkait.
Tujuan Penelitian Sejalan dengan permasalahan yang dipaparkan di atas, tujuan kajian ini meliputi : 1) Mengetahui perselisihan tentang pendirian, penertiban atau penutupan rumah ibadat setempat dan alasan diperselisihkan; 2) mengetahui peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan; 3) Mengetahui peran FKUB dan majelis agama dalam penyelesaian perselisihan; 4 ) Mengetahui respon masyarakat terhadap perselisihan rumah ibadat.
Kegunaan Penelitian Berbagai informasi dan kenyataan lapangan yang menjadi temuan kajian ini, diharapkan akan menjadi masukan tambahan
217
Drs. Mursyid Ali
yang bermakna bagi jajaran pimpinan Kementerian Agama serta pihak-pihak terkait dan berkepentingan lainnya dalam rangka penyusunan kebijakan khususnya mengenai perselisihan rumah ibadat dan upaya perwujudan kerukunan umat beragama. Selain itu diharapkan dapat dijadikan informasi awal untuk lembaga atau perorangan yang berminat melakukan kajian sejenis secara lebih luas dan mendalam.
218
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Administrasi Pemerintahan Secara administratif pemerintahan, Kota Palangka Raya, selain menyandang fungsi sebagai ibukota propinsi, merupakan wilayah administrasi pemerintahan tingkat kota di lingkungan Provinsi Kalimantan Tengah. Kota Palangka Raya ini terdiri dari lima wilayah kecamatan. Masing-masing Kecamatan Pahandut, Sabangau, Jekan Raya, Bukit Batu, dan Kecamatan Rakumpit, yang meliputi 30 Kelurahan, 157 Rukun Warga (RW), dan sebanyak 642 Rukun Tetangga (RT). Wilayah Kota Palangka Raya dibatasi oleh, di sebelah utara dan timur Kabupaten Kali Mas; di sisi selatan bersebelahan dengan Kabupaten Palang Pisau; dan di bagian barat bertetangga dengan Kabupaten Katingan. Secara keseluruhan Kota Palangka Raya mempunyai luas wilayah 2678,51 km2, yang sebagian besar atau seluas 2485,75 km2 (92,8 %) merupakan kawasan hutan. Sisanya seluas 45,54 km2 (1,7%) perkampungan atau pemukiman, 42,86 km2 (1,67 %) sungai dan danau, 12,65 km2 (0,5 %) tanah pertanian, 22,30 km2 (0,9 %) merupakan areal perkebunan, dan lain-lain seluas 69,41 km2 (2,5 %).
219
Drs. Mursyid Ali
Jumlah penduduk Palangka Raya tercatat sebanyak 200.998 jiwa, terdiri dari penduduk perempuan sebesar 50,37 % dan sebanyak 49,27 % laki-laki, dengan tingkat kepadatan penduduk relatif rendah yakni sekitar hanya 75 orang per km2.52
Kehidupan Sosial Di lingkungan Kota Palangka Raya, tercatat tidak kurang dari sebanyak 272 organisasi sosial kemasyarakatan yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam bentuk yayasan sebanyak 66 buah - organisasi keagamaan 43 buah – organisasi sosial 72 buah – LSM 33 buah – partai politik sebanyak 24 buah, dan organisasi paguyuban sebanyak 34 buah.53 Organisasi kemasyarakatan (Ormas) tersebut merupakan organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan YME, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila ( UU Nomor : 8 Thn 1985). Adapun fungsi Ormas-ormas ini meliputi ; a) wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya; b) wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tatanan organisasi; c) wadah peran serta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional; d) sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antaranggota dan antarormas, antarormas dengan organisasi 52 53
Raya, 2007.
220
Kota Palangka Raya Dalam Angka 2010 Daftar ORMAS, LSM, dan PARPOL, Badan Kesbang dan Linmas Kota Palangka
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
kekuatan politik, badan permusyawaratan/perwakilan rakyat, dan pemerintah. Sementara lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat, warga negara RI secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan organisasi/ lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Keberadaan LSM bertujuan supaya kegiatannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan sejalan dengan pembangunan di daerah, dalam lingkup pembangunan nasional, serta berfungsi sebagai : 1) Wahana partisipasi masyarakat guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat; 2) Wahana partisipasi masyarakat dalam pembangunan; 3) Wahana pengembangan kebudayaan masyarakat; 4) Wahana pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi/lembaga. Berkenaan dengan kehidupan sosial politik di Palangka Raya tercatat sebanyak 24 partai politik yang berkiprah dalam pemilihan umum. Berdasarkan hasil pemilu 2009 di Kota Palangka Raya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meraih dukungan suara terbesar pertama. Disusul di urutan kedua dan ketiga partai Demokrat dan partai Golkar. Untuk anggota DPRD Kota Palangka Raya, komposisinya sebagai berikut: PDIP sebanyak empat orang, partai Demokrat tiga orang, Golkar tiga orang, PAN, PKS, Gerindra, masing-masing dua wakil. Selebihnya Hanura, PKPI, PKB, PDP, PPP, PDS, PBB, PBR, dan Partai Buruh, masing-masing memperoleh seorang anggota DPRD.
221
Drs. Mursyid Ali
Budaya Selanjutnya bila ditinjau dari sisi etnis, etnis Dayak merupakan etnis terbesar di Palangka Raya dan Kalteng. Sensus penduduk tahun 2000, mencatat sekitar 43 persen, penduduk setempat berasal dari etnis Dayak (Ngaju, Sampit, Bakumpai, Katingan, dan Mayan). Selebihnya sekitar 24 persen etnis Banjar, 18 persen etnis Jawa, dan sisanya Batak, Madura, Minang, dan Tionghoa. Untuk menopang hidup kesehariannya, etnis Dayak banyak berkiprah sebagai pejabat/pegawai dan petani. Etnis Banjar, selain sebagai pegawai, bersama dengan etnis Tionghoa dominan di bidang perdagangan. Sedangkan etnis Jawa banyak berkiprah di bidang pertanian, pegawai dan perdagangan. Menurut Musni Umberan dkk 54, dalam masyarakat Dayak rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan saling memiliki masih sangat kental karena diikat dalam hubungan darah atau garis keturunan (genealogis). Ikatan genealogis ini mewujudkan rasa hormat, kesetiaan, solidaritas dan kerukunan dalam masyarakat. Masyarakat Dayak diikat oleh norma dan aturan (adat) yang dijadikan pedoman hidup, bertidak dan berperilaku, serta mengikat setiap anggota. Kebersamaan, saling memiliki, saling menolong, serta memelihara keselarasan, merupakan konsep dasar hidup masyarakat Dayak yang harus diwariskan secara turun-temurun. Mikhail Coomans55 menuturkan bahwa orang Dayak menerima hidup yang dikaruniakan kepadanya. Dunia ilahi sudah mengatur hidup ini. Dengan mematuhi adat yang diberikan nenek moyang, hidup ini akan berkembang, diperkuat, dilindungi, dan diperkaya. Manusia harus mengembangkan, memelihara, dan
54 55
222
Depdikbud, Konsep Pemujaan Masyarakat Dayak, 1997. Mikhail Coomans, Manusia Daya, Gramedia, 1987
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
melindungi hidupnya dengan menuruti contoh yang diberikan nenek moyang seperti yang diuraikan dalam mitos-mitos. Dalam pemikiran orang Dayak, kehidupan mengambil perhatian utama. Rintangan tertentu yang mengancam hidup dapat mereka atasi sendiri. Tetapi terhadap rintangan lain yang disebabkan dunia ilahi, mereka tak berdaya. Di balik segala kejadian itu mereka melihat roh-roh, atau nenek moyang yang menghukum atau suka menngganggu. Hal itu dapat dipulihkan, diamankan dan dinetralisir melalui upacara-upacara sakral. Setelah segala kehidupan diatur melalui hukum adat, roh tertinggi mengasingkan diri di tempat khusus yang menjadi tujuan dan jalan bagi arwah orang yang meninggal. Cakra peredaran hidup mulai dan berakhir pada roh tertinggi itu. Dengan mentaati adat dan teladan nenek moyang, maka hidup akan terjamin baik di dunia maupun kelak di akhirat. Pandangan eskatologis orang Dayak berharap akan dipersatukan kembali dengan kaum kerabat yang telah meninggal dan dengan nenek moyangnya. Harapan itu sangat kental, sehingga sikap ini menjadi hambatan untuk pindah agama lain (Fridolin Ukur).
Kehidupan Agama Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat Palangka Raya agama merupakan kebutuhan dasar dan mempunyai makna sentral dalam perjalanan hidupnya. Sebagai salah satu acuan hidup, agama dijadikan pedoman utama dalam upaya aktualisasi jati diri dan berperilaku dalam kehidupan sosial keseharian, serta menyatu dengan norma-norma sosial budaya lokal. Secara teoritis agama berisi seperangkat nilai yang berpengaruh sebagai pegangan moral yang dapat mengendalikan dan membatasi tindak-tanduk para pemeluknya. Para pemeluk
223
Drs. Mursyid Ali
agama berupaya agar perilakunya selalu sesuai dengan pesan dan nilai-nilai agama yang dianutnya menuju suatu kehidupan yang sejahtera lahir-bathin, penuh kedamaian dan keselamatan. Seperti halnya masyarakat di berbagai perkotaan, masyarakat Kota Palangka Raya termasuk masyarakat yang majemuk, baik dari segi sosial, budaya, etnis, maupun keyakinan agama. Dilihat dari sisi komposisi penduduk menurut agama, di kota Palangka Raya pada tahun 2009, tergambar bahwa sebagian besar yakni sekitar 59,61 % penduduk setempat beragama Islam. Sisanya sebanyak 31,51 % Protestan, 5,01 % Katolik, 3,30 % Hindu, dan sebanyak 0,57 % beragama Buddha. Untuk lebih jelas dan terinrinci bisa disimak lewat tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Prosentase Jumlah Penduduk Palangka Raya Menurut Agama Tahun 2009 No.
Agama
Frekuensi
Prosentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Islam 104.400 59,61 Protestan 55.195 31,51 Katolik 8.773 5,01 Hindu 5.776 3,30 Budha 1.005 0,57 Jumlah 175.146 100,00 Sumber : Kantor Kementerian Agama Palangka Raya, Th. 2010 Catatan : Pemeluk Kong Hu Chu, tidak ada data. Jumlah rumah ibadat untuk masing-masing kelompok agama di lingkungan Kota Palangka Raya meliputi: bagi kelompok Muslim tersedia 138 masjid, Protestan 119 gereja, Katolik sebanyak
224
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
11 gereja, Hindu 14 pura, dan kelompok Buddha memiliki 4 buah vihara. Tabel 2 Jumlah Rumah Ibadat di Kota Palangka Raya Tahun 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Agama Islam Protestan Katolik Hindu Budha Jumlah
Rumah Ibadat 138 Masjid 114 Gereja 11 Gereja 14 Pura 4 Vihara 286
Prosentase (%) 48,25 41,60 3,85 4,90 1,40 100,00
Dari Tabel 1 dan 2 di atas, bila dibandingkan presentase pemeluk agama dengan prosentase rumah ibadat masing-masing kelompok, terlihat bahwa prosentase masjid yang tersedia bagi kelompok Muslim (48,25 %) lebih sedikit dari prosentase penganut agama Islam (59,61 %). Begitu juga dengan kelompok Katolik yang prosentase penganutnya sebesar 5,01% - prosentase rumah ibadarnya lebih kecil yakni 3, 85 %. Sementara kelompok Protestan (Kristen) yang prosentase pemeluk sebanyak 31,51 % - memiliki rumah ibadat lebih banyak yaitu sebesar 41,60 % dari jumlah rumah ibadat secara keseluruhan di Palangka Raya. Kelompok Hindu yang prosentase penganutnya sebesar 3,30 % berbanding dengan prosentase pura sebesar 4,90 %. Sedangkan kelompok Buddha dengan prosentase penganut sebanyak 0,57 % berbanding dengan vihara yang dimiliki sebesar 1,40 %.
225
Drs. Mursyid Ali
Selanjutnya mengenai berbagai organisasi keagamaan di lingkunan Kota Palangka Raya terdapat skitar 46 organisasi yang berkiprah di bidang keagamaan yang tercatat di pemda setempat. Di lingkungan kelompok Muslim setempat terdapat dua ormas yang relatif besar pengaruhnya. Pertama, Nahdlatul Ulama (NU) yang banyak berkiprah di bidang dakwah, pembinaan agama, pendidikan dan politik melalui pondok pesantren, madrasah, tempat ibadat, majelis taklim, kelompok yasinan/tahlilan dan lembaga sosial lainnya. Kedua, kelompok Muhammadiyah dengan beragam aktivitasnya di bidang pendidikan, kesehatan, sosial ekonomi, melalui lembaga pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi, rumah sakit/klinik, panti asuhan, koperasi, dan usaha lain di sektor jasa. Selain itu ada sejumlah organisasi kelompok kawula muda seperti HMI – PMII dan IMM yang aktif dalam pembinaan (kaderisasi) generasi muda, diskusi dan dialog tentang iptek, sosial dan politik. Agak mirip dengan Muhammadiyah, kelompok Kristen dan Katolik setempat berkiprah dalam pembinaan jemaat, penyiaran, pendidikan, dan sosial melalui organisasi gereja, lembaga pendidikan, klinik, panti asuhan dan diskusi berkala. Sementara kelompok Hindu dan Buddha, secara umum aktivitasnya relatif terbatas, lebih bersifat internal seperti pembinaan agama anggota, dan peringatan hari besar keagamaan. Selain jumlah penganutnya memang relatif sedikit. Kedua kelompok ini terkesan lebih berorientasi pada konsolidasi internal dan tidak membawa misi ke luar kelompok.56
56
226
Wawancara dengan pengurus FKUB setempat.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
HASIL KAJIAN
A. Kasus Rumah Ibadat Berdasarkan laporan Kementerian Agama dan Kesbang Linmas serta penuturan para tokoh ormas keagamaan setempat, secara umum tradisi kehidupan keagamaan di Kota Palangka Raya di tahun-tahun belakangan sampai sekarang, semuanya berjalan normal, tidak banyak hambatan atau gangguan. Masing-masing kelompok dapat melaksanakan aktivitas keagamaan dan peribadatannya tanpa gangguan berarti. Tidak ada kasus atau konflik bernuansa agama, termasuk kasus rumah ibadat secara terbuka yang melibatkn massa atau kelompok-kelompok keagamaan secara luas. Kondisi kehidupan keagamaan yang relatif kondusif tersebut, menurut penuturan para pejabat terkait serta pimpinan majelis-majelis agama setempat antara lain karena makin tumbuh dan meningkatnya kesadaran dan saling pengertian antarkelompok masyarakat dan agama. Masyarakat setempat tentu saja banyak mengambil hikmah dan pelajaran dari kerusuhan Dayak-Madura beberapa waktu silam yang sempat memporak-porandakan tatanan kehidupan sosial masyarakat yang merugikan semua pihak. Para tokoh masyarakat, agama, dan pejabat setempat nampaknya telah wanti-wanti dan tidak akan
227
Drs. Mursyid Ali
serampangan bersikap dan bertindak. Dalam penyelesaian berbagai persoalan yang muncul lebih banyak menggunakan pendekatan kearifan lokal melalui dialog dan musyawarah secara kekeluargaan antar pihak-pihak terkait bersama pemerintah setempat. Walaupun tidak ada konflik keagamaan termasuk kasus rumah ibadat secara terbuka dan mengganggu kerukunan, namun beberapa peristiwa dan kasus-kasus kecil yang bersipat temporer, mudah diselesaikan, khususnya yang terkait rumah ibadat, sesekali bisa saja muncul seperti kasus berikut ini : 1. Kasus Penyalahgunaan Tempat Tinggal Menjadi “Rumah Ibadat” Atas dasar izin Kantor Wilayah Kementrian Agama (Bimas Kristen) setempat, sebuah rumah tinggal di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya, digunakan sebagai tempat ibadat/kebaktian (2010). Karena dipandang tidak sesuai dengan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, dan dapat mengganggu suasana lingkungan, masyarakat sekitar mengajukan protes dan keberatan. Kemudian melalui proses beberapa kali dialog dan pertemuan yang bersifat kekeluargaan, yang melibatkan para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pejabat pemerintah setempat, rumah tinggal yang dijadikan tempat kebaktian tersebut ditutup. Pemda dan tokoh agama menyarankan kepada kelompok Kristen agar membangun gereja di tempat lain mengingat kondisi wilayah sangat memungkinkan, banyak lahan kosong, dengan mengikuti prosedur yang berlaku. (Wawancara dengan FKUB dan Kesbang Linmas).57 57
Linmas
228
Laporan FKUB Propinsi Kalteng dan Wawancara dengan Pejabat Kesbang
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
2. Penyalahgunaan Sarana Publik Menjadi Tempat Ibadat Kasus sejenis di atas juga terjadi dalam bentuk penyalahgunaan ruang hotel, restoran “Dian Wisata” Palangka Raya (2010) sebagai tempat ibadat mingguan. Atas dasar protes dan kesepakatan bersama pihak-pihak terkait ; pemilik hotel, tokoh agama, dan masyarakat setempat, akhirnya tempat kebaktian tersebut dilarang oleh Walikota. (Wawancara dengan Kesbang Linmas). 3. Pembangunan Mushalla Pembangunan Mushalla di komplek perumahan di Kecamatan Jekan Raya (2010) pada mulanya diprotes oleh kelompok nonMuslim sekitar karena tidak sesuai dengan aspirasi lingkungan. Namun setelah melalui proses permusyawaratan yang bersifat kekeluargaan (kearifan lokal), yang melibatkan tokoh agama, kelompok paguyuban dan aparat Pemda setempat, akhirnya disepakati bahwa mushalla tersebut dapat dibangun dan difungsikan, atas dasar pertimbangan – selain mushalla itu bukan mesjid – terpeliharanya kerukunan umat beragama harus diutamakan. (Wawancara dengan FKUB Palangka Raya). 4. Kesepakatan tidak perlu dibangun fasilitas umum untuk memelihara kelestarian lingkungan, keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kerukunan warga, di salah satu tempat permukiman (perumahan) di Kecamatan Menteng, Palangka Raya, penduduk setempat bersepakat di lingkungan perumahan mereka tidak perlu dibangun fasilitas umum seperti pertokoan (mall), rumah ibadat, sekolah-sekolah dan lainnya. (Wawancara dengan FKUB Palangka Raya).
229
Drs. Mursyid Ali
B. Peran Pemerintah Daerah Kepala Badan Kesbang Linmas dan Pol Kalimantan Tengah, Rugini menuturkan bahwa pemerintah Kalteng dengan segenap aparatnya berkomitmen untuk berupaya secara serius agar tidak ada kekerasan dan tindakan anarkhis di Kalteng serta berupaya meningkatkan kerukunan, kedamaian, harmonisasi, integritas, dalam kehidupan masyarakat.58 Belajar dari pengalaman masa silam (kasus Dayak – Madura), masyarakat Kalteng sekarang ini tidak mudah terprovokasi dengan isu agama dan suku, antara lain karena filosofi huma betang yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Dayak dan warga setempat lainnya. Dalam filosofi huma/rumah betang tersebut terdapat sejumlah kepala keluarga yang terdiri dari berbagai suku dan agama, namun bisa hidup tenteram, penuh toleransi, kebersamaan dan kerjasama. Dari sisi lain menurut Rugini, sejak leluhur sampai saat ini, masyarakat setempat mudah diatur, patuh pada pimpinan, penurut dan mudah mengalah, sehingga cukup susah bila ada orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menghasut dan memecah-belah persatuan masyarakat yang sudah ada. Meskipun demikian, kesabaran masyarakat Dayak pasti ada batasnya, jangan dipojokkan terus. Kalau terus dipojokkan mereka bangkit dan bertekad mempertahankan diri serta membela martabat serta kehormatannya. Selanjutnya Gubernur Teras Narang59, meminta semua pihak agar jangan sampai terjadi kekerasan dan tindakan anarkhis berkaitan dengan kerukunan dan kedamaian masyarakat 58 59
230
Harian Tabengan, 23 Februari, 2011, hal. 4. Harian Tabengan, 23 Februari, 2011.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
setempat. Hal ini sudah menjadi komitmen Pemda dan segenap jajarannya. Kepada masyarakat pendatang, Gubernur berharap agar dapat hidup bersama, seiring-sejalan dan menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat. Masyarakat Kalteng diminta bersama-sama menjaga ketenteraman, keamanan dan kerukunan hidup bermasyarakat. Hindari kekerasan dan main hakim sendiri, namun lebih mengutamakan toleransi, dialog, dan musyawarah dalam mencari solusi suatu permasalahan. Terkait dengan berbagai persoalan tentang kerukunan, termasuk kasus perselisihan rumah ibadat menurut Kakanwil Kemenag Kalteng, Pemda telah menggariskan: 1) Menyediakan fasilitas kantor dan anggaran bagi FKUB; 2) melakukan dialog dan coffee morning secara berkala; 3) Monitoring kasus-kasus melalui instansi terkait; 4) Meningkatkan fungsi dan peran peranata lokal seperti lembaga adat dan kelompok paguyuban; 5) Mempermudah pendirian rumah ibadat; 6) Menghindari perilaku tindak kekerasan dan anarkhis; 7) Mengutamakan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan masalah.
C. Peran FKUB Berikut, berkenaan dengan peran FKUB, terkait dengan tugasnya yang diatur PBM Nomor 9-8, tahun 2006, pasal 9, beberapa aktivitas/program yang sudah dilakukan antara lain : 1 ) melakukan dialog dengan pemuka agama, pemuka masyarakat dan pejabat pemerintahan tentang kerukunan dan rumah ibadat; 2) Monitoring kasus keagamaan; 3) Sosialisasi PBM bersama Pemda dan Kemenag; 4) Melakukan seminar kerukunan bekerja sama dengan STAIN; 5) Mengikuti berbagai kegiatan kerukunan yang diselenggarakan pemerintah dan ormas-ormas keagamaan.
231
Drs. Mursyid Ali
Beberapa faktor yang menguntungkan dalam upaya kerukunan dan pelaksanaan fungsi FKUB dituturkan Ketua FKUB (M. Yamin) antara lain: 1) Tersedianya sekretariat/kantor dan anggaran dari Pemda, serta bantuan dana Kemenag; 2) Dukungan politis yang besar dari pemerintah; 3) Peran pemersatu para pemuka agama, adat dan tokoh masyarakat setempat; 4) Budaya masyarakat Dayak yang cinta damai dan lingkungan, patuh terhadap adat dan pimpinan serta toleran; 5) Mengambil pembelajaran (hikmah) dari kasus kerusuhan Dayak-Madura beberapa waktu lampau. Sementara faktor yang dipandang bisa menghambat, antara lain: 1) Kurang mandiri, banyak ketergantungan terhadap pemerintah khususnya dana; 2) Kesibukan para fungsionaris; 3) Keterbatasan sumber daya.
D. Respon Masyarakat Menyangkut ihwal kiprah pemerintah dan FKUB, terkait soal rumah ibadat setempat, menurut menurut Sudirson (dosen), dan beberapa narasumber lainnya terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berbagai pihak terkait dengan masalah kerukunan dan rumah ibadat misalnya : 1) Pemerintah, FKUB dan ormas keagamaan, sering lamban atau kurang sigap. Setelah muncul kasus, baru bertindak; 2) Langkanya tokoh atau figur yang punya otoritas dan bisa diterima oleh kalangan luas; 3) Pengurus FKUB, kurang bervariasi; 4) Sentimen primordial kedaerahan dan kelompok makin menonjol, serta praktek persaingan politik kurang sehat antarkelompok dapat mengganggu proses demokratisasi dan kerukunan. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang lebih konkrit dan terarah antara lain: 1) Peningkatan fungsi-fungsi
232
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
keamanan dan intelejen melalui Kominda (Kejaksaan, Polri, TNI, dan BIN); 2) Mengikutsertakan kalangan perguruan tinggi dan pengusaha dalam penanganan masalah kerukunan dan tugas FKUB; 3) Menggalakkan dialog dan kerjasama kemanusiaan lintas agama, etnis, sosial, budaya dan profesi; 4) Mengurangi sentimen primordial dan orientasi kelompok yang menghambat demokratisasi.
233
Drs. Mursyid Ali
234
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
ANALISIS
Kelompok Sosial, Budaya, dan Agama 1. Sebagian besar, sekitar 43 persen penduduk Kota Palangka Raya, secara etnis berasal dari suku Dayak. Kelompok ini menganut kepercayaan keagamaan Kaharingan, Kristen dan Islam dan berkiprah di bidang pemerintahan selaku pejabat dan pegawai negeri, karyawan swasta dan petani. Selebihnya Etnis Banjar (24 %), Muslim, bergerak di sektor perdagangan dan pegawai negeri. Etnis Jawa (+/- 18 %), umumnya beragama Islam, mengandalkan hidup kesehariannya selaku petani, pegawai dan dagang. Sisanya suku Madura, Minang, Bugis (Muslim), Tionghoa, dan Batak. 2. Beberapa karakteristik masyarakat Dayak antara lain : 1) Konsep dasar hidup kebersamaan; 2) Ikatan kekeluargaan yang kental atas dasar genealogis; 3) Taat pada adat dan pimpinan; 4) Cinta damai dan lingkungan; 5) Menghindari konflik. 3. Dilihat dari perbandingan prosentase pemeluk agama dan prosentase rumah ibadat, kelompok Kristen dengan penganut sebanyak 31,5 % memiliki rumah ibadat lebih banyak yakni sekitar 41,60 % dari jumlah rumah ibadat setempat secara keseluruhan. Sementara kelompok Muslim yang umatnya
235
Drs. Mursyid Ali
sekitar 59,7 % - memiliki masjid sebanyak 48,25 %. Kelompok Katolik dengan prosentase pemeluk 5,01 % - mempunyai rumah ibadat lebih sedikit yaitu 3,85 %. Pengikut Hindu setempat sebanyak 3,30 % berbanding dengan 4,90 % rumah ibadat (pura). Sedangkan bagi kelompok Buddha sebanyak 0,57 %, memiliki prosentase yang lebih besar yakni 1,40 % dari jumlah rumah ibadat secara keseluruhan. Besarnya jumlah rumah ibadat Kristen di atas dipandang seiring dengan banyaknya sekte aliran atau denominasi di lingkungan Kristen masing-masing membutuhkan gereja sendiri. Selain itu sebagian sekte Kristen ini dianggap relatif agresif dan antusias dalam penyebaran agamanya. 4. Disimak dari sisi organisasi keagamaan, di Palangka Raya terdapat sekitar 43 ormas keagamaan. Di kalangan Muslim ada beberapa organisasi yang relatif besar dan berpengaruh seperti : 1) Muhammadiyah yang berkiprah di sektor-sektor pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dakwah, dan jasa; 2) NU, yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, pembinaan ibadah dsb; 3) HMI, PMII, IMM, aktif dalam pembinaan kepemimpinan dan politik di kalangan kawula muda. Sementara kelompok Kristen (PGI) dan Katolik, mirip dengan Muhammadiyah dan NU dengan jumlah yang lebih kecil. Kedua kelompok ini sangat aktif di bidang pendidikan, pebinaan spiritual melalui gereja, santunan sosial dan kesehatan. Adapun kelompok Hindu, Buddha serta Konghucu mungkin lebih banyak dan fokus melakukan pembinaan yang bersifat internal. 5. Selain kelompok-kelompok di atas, di wilayah Kota Palangka Raya terdapat kelompok paguyuban yang menurut catatan Kesbang Linmas sebanyak 34 Organisasi yang berasal dari berbagai etnis dan tersebar di berbagai daerah. Kelompok ini bersifat kekeluargaan dan bertujuan serta fokus pada
236
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
pembinaan silaturrahim dan kesejahteraan anggota. Selain kesejahteraan, khususnya setelah kerusuhan Dayak-Madura sampai sekarang, kelompok ini juga sering dilibatkan dalam penyelesaian berbagai permasalahan lingkungan termasuk dalam penyelesaian konflik keagamaan yang muncul di wilayah setempat.
Kasus Rumah Ibadat 1. Berkenaan dengan persoalan perselisihan rumah ibadat di Kota Palangka Raya, berdasarkan laporan dan wawancara dengan para narasumber, sejak berlakunya PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 sampai sekarang (Februari 2011), tidak ada perselisihan rumah ibadat yang melibatkan masa dan berlarut-larut penyelesaiannya, baik menyangkut pendirian penertiban maupun penutupan rumah ibadat. Namun demikian, pernah juga muncul kasus tempat ibadat yang relatif mudah diselesaikan sendiri oleh warga setempat melalui dialog dan musyawarah secara kekeluargaan. 2. Bentuk kasus perselisihan tempat ibadat tersebut : a) Penggunaan rumah tinggal dan ruang publik berupa hotel dan mall yang dipakai sebagai tempat ibadat atau kebaktian mingguan yang diprotes oleh kelompok Muslim karena tidak sesuai dengan PBM; b) Kasus keberatan kelompok Kristen terhadap pendirian mushala di komplek perumahan karena dipandang tidak sesuai dengan aspirasi lingkungan yang mayoritas Kristen. 3. Perselisihan kasus tempat ibadat di atas, berhasil diselesaikan dengan damai melalui dialog dan musyawarah secara kekeluargaan yang melibatkan tokoh-tokoh lingkungan, pemuka agama, pengurus tempat ibadat, pemuka adat, aparat
237
Drs. Mursyid Ali
kelurahan sampai tingkat RT/RW sebelum dilaporkan ke tingkat lebih tinggi (kota) dan FKUB. Untuk memelihara kerukunan dan kebersamaan, kelompok Kristen atas kesadaran sendiri menutup tempat kebaktian karena tidak sesuai dengan ketentuan. Sekaligus juga menyetujui dibangun dan difungsikannya mushalla yang termasuk kategori rumah ibadat keluarga untuk pemenuhan kebutuhan kelompok Muslim setempat.
Peran Pemerintah 1. Sehubungan dengan permasalahan rumah ibadat, Pemda Propinsi Kalimantan Tengah tidak atau belum pernah mengeluarkan perda atau pergub. Dalam hal ini menurut para nara sumber, mengenai pengaturan rumah ibadat, Pemda setempat mengacu pada PBM Nomor 9-8 Tahun 2006. Selaku penaggung jawab utama, Pemda setempat bersama-sama tokoh agama, adat dan pemuka masyarakat lainnya memberikan perhatian dan dukungan politis yang tinggi terhadap masalah kerukunan. Belajar dari pengalaman kerusuhan Dayak-Madura beberapa waktu silam, Pemda dengan segenap aparatnya berkomitmen dan berupaya tidak ada perilaku tindak kekerasan dan anarkhis di Kalteng, serta senantiasa meningkatkan kerukunan, kedamaian, harmonisasi, sinergitas dalam kehidupan masyarakat. 2. Menyangkut persoalan FKUB, Pemda dan Kemenag telah menyediakan fasilitas kantor dan dana, melaksanakan sosialisasi PBM, dialog dengan para tokoh agama, adat, dan masyarakat. Dalam hal pendirian rumah ibadat, Pemda selalu memberikan kemudahan, khususnya bidang perizinan, dan penyediaan lahan. Di wilayah Kalteng yang luas dan banyak
238
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
lahan kosong, tidak pantas ada rumah tinggal atau fasilitas umum dijadikan rumah ibadat. (Wawancara dengan Kesbang). Dalam penyelesaian konflik atau perselisihan, maka dialog dan musyawarah harus dikedepankan. 3. Dalam penanganan konflik atau kasus, Pemda dipandang kurang sigap dan relatif lamban. Tindakan baru dilakukan setelah kasus terjadi dan melibatkan massa. Fungsi-fungsi keamanan dan intelijen belum berperan optimal. Koordinasi antar aparat dan monitor situasi di lapangan tentang kerukunan sering diabaikan.
Peran FKUB 1. Pengaduan tentang konflik perselisihan rumah ibadat, lebih banyak disampaikan pada tokoh agama, masyarakat, ormas, dan aparat setempat, daripada disampaikan secara langsung kepada pimpinan FKUB. Demikian juga penyelesaian perselisihan rumah ibadat menurut para tokoh ormas, pada umumnya melalui dialog dan musyawarah serta kesepakatan lingkungan yang melibatkan para tokoh agama, adat, masyarakat, dan aparat pemerintah setempat. Hal ini terjadi karena beberapa faktor seperti: 1) FKUB, relatif masih baru, belum terpublikasi secara luas; 2) Kewenangan dan fasilitas terbatas; 3) Belum mewakili semua komponen umat beragama setempat; 4) Keberadaan FKUB di tingkat kabupaten/kota, sementara kasus/persoalan terjadi di tingkat kelurahan/kecamatan. 2. Penanganan masalah kerukunan dan konflik umat beragama, memerlukan pendekatan dan wawasan yang lebih komprehensif, sementara komposisi kepengurusan FKUB pada umumnya terdiri dari para tokoh agama. Oleh karena itu
239
Drs. Mursyid Ali
dipandang perlu mempertimbangkan kemungkinan perluasan partisipasi personalia FKUB seperti dari kalangan perguruan tinggi, pengusaha dan partisipan lainnya. 3. Dominasi kelompok mayoritas agama dalam komposisi kepengurusan FKUB cenderung berdampak pada kelompok minoritas lebih banyak bersikap pasif dan menyesuaikan diri dengan sikap dan kehendak yang dominan, sehingga dapat mengurangi nilai obyektifitas. Penyusunan pengurus ke depan hendaknya relatif lebih longgar dan tidak berorientasi pada faktor proporsional keagamaan semata secara kaku. 4. Di kalangan kelompok Kristen terdapat banyak sekte, aliran, atau sub-kelompok yang berada di luar kendali PGI yang dipandang representasi kelompok Kristen dalam forum-forum resmi keagamaan. Begitu pula di lingkungan Muslim, juga terdapat kelompok-kelompok kecil yang merasa aspirasinya belum tertampung oleh MUI atau ormas keagamaan Islam lainnya yang duduk di FKUB. Oleh karena itu, mungkin saja kelompok yang tidak terwakili tersebut, merasa tidak terikat dengan keputusan FKUB.
240
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan diskripsi di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Sejak berlakunya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 sampai sekarang (Februari 2011), tidak pernah terjadi kasus perselisihan rumah ibadat secara terbuka, melibatkan massa secara luas dan berlarut-larut. Beberapa kasus menyangkut rumah ibadat yang terbilang kecil, sederhana, temporer dan relatif mudah diselesaikan yakni: 1) Penggunaan rumah tinggal, mall, dan ruang hotel sebagai tempat kebaktian yang diprotes kelompok Muslim karena tidak sesuai dengan ketentuan PBM; 2) Pendirian mushala di tempat pemukiman yang ditolak kelompok Kristen karena dipandang tidak sesuai dengan aspirasi lingkungan yang menurut mereka mayoritas nonMuslim. 2. Kedua kasus tempat ibadat di atas kemudian berhasil diselesaikan melalui dialog dan musyawarah serta kesepakatan lingkungan yang melibatkan para tokoh agama, tokoh adat, aparat kelurahan serta pemuka masyarakat setempat. Atas dasar kesadaran dan kerelaan sendiri serta untuk kepentingan
241
Drs. Mursyid Ali
berbagai pihak yang lebih besar yaitu terpeliharanya kerukunan masyarakat, kelompok Kristen menutup tempat kebaktian karena tidak sesuai dengan ketentuan PBM. Selain itu kelompok Kristen juga menyetujui pembangunan mushala yang menurut PBM masuk kategori rumah ibadat keluarga, untuk pemenuhan kebutuhan ibadat kelompok Muslim setempat. 3. Belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman tragis kerusuhan Dayak-Madura beberapa waktu silam, Pemda Kalteng dengan segenap aparatnya berkomitmen dan berupaya agar tidak ada perilaku dan tindak kekerasan dan anarkhis serta senantiasa meningkatkan kerukunan, kedamaian harmonisasi, toleransi, sinergitas dalam kehidupan masyarakat setempat. Memberikan dukungan politis yang besar, fasilitas kantor dan anggaran terhadap FKUB serta mempermudah proses perizinan dan penyediaan lahan pendirian rumah ibadat. 4. Dalam penanganan kasus konflik sosial, aparat sering dianggap kurang sigap atau relatif lamban. Setelah kasus terjadi dan membesar, baru aparat turun tangan. Hal ini menurut salah seorang tokoh perguruan tinggi setempat lantaran fungsifungsi keamanan dan intelijen belum optimal. 5. Peran FKUB dipandang masyarakat setempat masih kurang optimal karena beberapa faktor antara lain: 1) FKUB relatif baru terbentuk, belum terpublikasi secara luas; 2) Kewenangan dan fasilitas terbatas; 3) Kurang mewakili segenap komponen umat beragama yang ada dalam masyarakat; 4) Keberadaan FKUB di tingkat kabupaten/kota, sementara persoalan/kasus yang ditangani berada di tingkat kelurahan atau kecamatan. 6. Dominasi kelompok mayoritas agama dalam kepengurusan FKUB, cenderung berdampak pada kelompok minoritas
242
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
bersikap pasif, dan senantiasa berupaya menyesuaikan diri dengan kehendak kelompok mayoritas, sehingga memperlancar proses tapi juga mengurangi nilai obyektifitas dalam keputusan. 7. Penanganan masalah kerukunan dan konflik umat beragama memerlukan wawasan dan pendekatan yang lebih komprehensif, sementara umumnya pimpinan FKUB terdiri dari para tokoh agama. 8. Secara umum FKUB banyak bergantung pada pemerintah, terutama di bidang dana dan fasilitas lainnya, sehingga dapat mengurangi kemandirian.
Rekomendasi 1. Diperlukan berbagai upaya peningkatan intensitas dan efektifitas sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, diberbagai kalangan dan lapisan masyarakat secara lebih luas, agar isi PBM lebih mudah dipahami dan diterapkan. 2. Perluasan partisipasi komponen masyarakat dan peningkatan sinergisitas antara FKUB, dengan kalangan perguruan tinggi, pemuka adat, dan pengusaha. 3. Menggalakkan dialog dan kerjasama kemanusiaan lintas agama, etnis, budaya, sosial dan profesi. 4. Perlu dilaksanakan berbagai upaya agar secara bertahap ketergantungan FKUB terhadap pemerintah bisa dikurangi, misalnya melalui berbagai usaha pemberdayaan umat.
243
Drs. Mursyid Ali
244
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fedyani, Konflik dan Integrasi, Perbedaan Faham Dalam Ajaran Islam, Rajawali, Jakarta, 1986. Atho
Mudzar, Konflik Etnis-Religius Indonesia Kontemporer, Balitbang dan Diklat Deoag, 2002.
Andik Purwasitho, Komunikasi Multikultural, Universitas Muhammadiyah, Surakarta 2003. Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya Dalam Angka, 2009.anya Jawab, 2008. Endang Turmudzi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS, 2003. Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, Mizan, Bandung, 2001. Mursyid Ali, Choirul Fuad, Peta Kerukunan Umat beragama di Indonesia, Kementrian Koordinator Bidang Kesra, 2005. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalteng, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979 Peter. L. Berger, Thomas Huckman, Tafsir Atas Kenyataan, LP3ES, 1990. Saiful Mudjani, Masalah Toleransi Antar Agama, LSI, 2006.
245
Drs. Mursyid Ali
246
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur
Oleh : Haidlor Ali Ahmad
247
Haidlor Ali Ahmad
248
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Permasalahan di seputar rumah ibadat memang tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat kasus terkait rumah ibadat juga terjadi. Rencana pembangunan Islamic Center di Ground Zero (yang konon juga adalah pembangunan mesjid), telah memicu pertentangan antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra rencana pembangunan. Di India bahkan terjadi kekerasan dan konflik sosial yang dipicu oleh penghancuran Masjid Babri di Kota Ayodhya, yang bahkan telah meluas pula ke wilayah Pakistan dan Bangladesh. Sementara itu, proses perdamaian antara Palestina dan Israel juga kembali terganggu oleh adanya konflik horisontal akibat pembakaran Masjid Beit Fajjar oleh pemukim Yahudi di dekat Betlehem, Tepi Barat. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa masalah di seputar rumah ibadat tidak khas Indonesia, melainkan dialami oleh negara-negara lain yang memiliki setting dan karakter kehidupan keagamaan yang berbeda dengan Indonesia. Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari segi suku bangsa, budaya, dan agama. Setidaknya terdapat 1.128 suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan beragam budayanya masing-masing. Selain itu, setidaknya ada
249
Haidlor Ali Ahmad
enam agama yang banyak dipeluk penduduk Indonesia dan ratusan aliran kepercayaan/keyakinan, yang menyebar di berbagai provinsi dengan komposisi yang beraneka ragam. Di satu sisi, kemajemukan ini merupakan khazanah kekayaan bangsa yang patut dibanggakan, namun di sisi lain sekaligus merupakan tantangan yang harus dikelola dengan baik. Dalam konteks kemajemukan agama dan keyakinan, kerukunan umat beragama menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dijaga dan dipelihara dalam bingkai kehidupan bernegara. Hal ini karena kerukunan umat beragama merupakan pilar penting bagi terwujudnya kerukunan nasional, dan merupakan modal sosial yang harus dijaga dan dikelola sebagai salah satu potensi dalam pembangunan bangsa. Kerukunan umat beragama bukanlah kondisi yang statis melainkan dinamis seiring dinamika kehidupan umat beragama. Fluktuasinya dipengaruhi oleh banyak faktor dan situasi, yang tidak semata-mata faktor keagamaan. Kajian Badan Litbang dan Diklat, misalnya, mendaftar sejumlah faktor nonkeagamaan yang memengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Faktor-faktor non-keagamaan ini biasanya berdampak besar dan luas. Adapun faktor keagamaan sendiri ada sebelas, yaitu: penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan pendirian rumah ibadat. Di antara faktor-faktor keagamaan yang pada tahun belakangan ini kerap mengganggu kondisi kerukunan umat beragama adalah masalah di seputar rumah ibadat. Variasinya cukup beragam, antara lain: penolakan pendirian rumah ibadat, penertiban tempat ibadat, hingga penutupan rumah ibadat.
250
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Mengingat variasi, skala dan jumlahnya cenderung meningkat, sehingga tidak heran jika masalah di seputar rumah ibadat ini menjadi isu penting dan juga merupakan salahsatu permasalahan dalam pembangunan nasional sebagaimana tersurat di dalam RPJMN 2010-2014. Berbagai laporan tahunan, misalnya, menghitung dan melaporkan adanya kecenderungan yang meningkat dalam hal gangguan terhadap rumah ibadat tersebut. Pada tahun 2009 lalu Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) mencatat terdapat 18 kasus di seputar rumah ibadat, dengan cakupan wilayah yang sama pada tahun 2010 ini meningkat menjadi 39 kasus;60 The Wahid Institute mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap rumah ibadat. Pada tahun 2010 terjadi 28 kasus pelanggaran dan 34 tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat (total 62 kasus).61 Angka ini lebih besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski dengan adanya perluasan wilayah laporan. SETARA Institute pada tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadat yang mengalami gangguan dalam berbagai bentuknya, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah, dan lain-lain.62 Moderate Muslim Society mencatat dari 81 kasus intoleransi, sebanyak 63 kasus (80%) merupakan aksi penyerangan, penolakan rumah ibadat, dan intimidasi.63 Sebagian kalangan umat beragama juga merasa sulit dalam mendirikan rumah ibadat. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia 60 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: CRCS UGM, 2011, hlm. 34. 61 Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: The Wahid Inst., 2011, hlm. 17. 62 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: SETARA Institute, 2011, hlm. 9. 63 Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: Moderate Muslim Society, 2011, hlm. 12.
251
Haidlor Ali Ahmad
(PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), misalnya, pada 1 Desember 2007 melayangkan surat kepada Presiden, menyatakan keluhannya karena berbagai peristiwa penutupan rumah ibadatnya dan merasa kesulitan ketika hendak mendirikan rumah ibadat di berbagai tempat. Dalam surat itu disertakan data kondisi rumah ibadat gereja, sebagai berikut: sebanyak 27 gereja ditutup dan belum dapat digunakan untuk beribadat; sebanyak 24 gereja sudah dibuka dan dapat digunakan untuk beribadat kembali; sebanyak 14 tempat ibadat/gereja digunakan untuk beribadah secara pindahpindah; 6 gereja digunakan ibadat meski dalam tekanan; dan terdapat 37 gereja tanpa keterangan. Total keseluruhan gereja dimaksud adalah 108 buah. Kesulitan juga dihadapi umat Muslim di Kupang Barat, sebagaimana dilaporkan SETARA Institute 2010. Bahwa warga Muslim di Desa Manusak Kupang Timur dan di Kupang Barat mengalami kesulitan mendirikan masjid. Di lokasi ini telah berdiri mushalla, sementara warga Muslim bermaksud meningkatkan status mushalla menjadi masjid, namun sudah 10 tahun keinginan warga Muslim ini ditolak oleh masyarakat sekitar. 64 Mencermati berbagai permasalahan di seputar rumah ibadat di Indonesia sebagaimana gambaran di atas, muncul pertanyaan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Pertanyaan ini kian penting mengingat kehadiran PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 (peraturan yang salahsatunya menjelaskan perihal pendirian rumah ibadat) yang sedang dan terus disosialisasikan oleh pemerintah, sejatinya menjadi solusi atas permasalahan di sekitar rumah ibadat ini. Untuk itulah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011 akan mengadakan penelitian khusus mengenai berbagai kasus di 64 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: SETARA Institute, 2011, hlm. 12.
252
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
seputar rumah ibadat. Selain menjawab problem-aktual di lapangan, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengklarifikasi data dan informasi berbagai pihak mengenai gangguan terhadap rumah ibadat tersebut di atas yang ditengarai tidak seutuhnya benar. Penelitian ini memiliki keterkaitan sekaligus distingsi yang jelas dengan penelitian serupa tahun 2010 lalu. Jika pada tahun 2010 lalu Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian terhadap sejumlah rumah ibadat yang hendak didirikan dan mendapat resistansi masyarakat dan yang tidak mendapat resistansi (damai), pada 2011 ini fokusnya adalah rumah ibadat yang diperselisihkan, baik berupa pendirian, penertiban, maupun penutupan. Artinya, akan dilakukan pendalaman terhadap kasus perselisihan yang terjadi.
Permasalahan 1.
Bagaimana perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi, dan mengapa diperselisihkan?
2.
Bagaimana peran perselisihan?
3.
Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian perselisihan?
4.
Bagaimana respon masyarakat perselisihan tersebut?
pemerintah
dalam
terhadap
penyelesaian
penyelesaian
Tujuan dan Kegunaan 1.
Mengetahui dan mendiskripsikan perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi dan alasan diperselisihkan.
253
Haidlor Ali Ahmad
2.
Mengetahui dan mendiskripsikan peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan.
3.
Mengetahui dan mendiskripsikan peranan FKUB dan majelis agama dalam penyelesaian perselisihan.
4.
Mengetahui dan mendiskripsikan respon masyarakat terhadap hal perselisihan dimaksud.
Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain untuk memberi masukan bagi para pengambil kebijakan, khususnya di lingkungan Kementerian Agama dan umumnya di lingkungan Kementerian Dalam Negeri serta fihak-fihak lain yang terkait dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama dan lebih spesifik dalam penanganan kasus-kasus pendirian rumah ibadat.
Definisi Operasional Secara konseptual kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 1). Dengan demikian, kerukunan umat beragama akan terwujud jika segenap umat beragama memiliki toleransi yang tinggi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan pada tingkat tertentu dapat melakukan kerjasama. Artinya, dalam konteks di seputar masalah rumah ibadat, umat beragama hendaknya dapat menerima dan memahami kebutuhan rumah ibadat umat agama lain, serta memberikan penghormatan, penghargaan atas
254
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
kesetaraan pengamalan agama, dan jika dapat, membantu dalam prosesnya. Sedangkan perselisihan di seputar rumah ibadat secara konseptual didefinisikan sebagai perselisihan antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan kantor departemen agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai rumah ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama pengguna rumah ibadat dan karena ketidakpastian pelayanan pemerintah daerah. Artinya, perselisihan rumah ibadat terjadi menyangkut tertib aturan dan pemenuhan berbagai persyaratan, yakni persyaratan administratif, teknis, dan khusus. Dalam kaitan ini, acuan peraturan yang secara khusus mengaturnya adalah PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14. Perselisihan dalam penelitian ini dapat terkait pendirian, penertiban, ataupun penutupan rumah ibadat. Perselisihan dalam penelitian ini terkait pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat. Perselisihan pendirian dan penutupan dimaksudkan terhadap rumah ibadat yang diperselisihkan oleh masyarakat. Sedangkan penertiban dimaksudkan pada tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk rumah ibadat (rumah ibadat sementara). Adapun yang dimaksud dengan rumah ibadat dalam penelitian ini adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masingmasing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang
255
Haidlor Ali Ahmad
dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat (7).
Kerangka Berpikir Masalah di seputar rumah ibadat kerap terjadi seiring dinamika kehidupan umat beragama di dalam pluralitas kehidupan masyarakat Indonesia. Keberagaman agama dan keyakinan masyarakat berkelindan dengan masalah-masalah sosial ekonomi di sekitarnya bersinggungan satu sama lain, yang dalam satu dan lain hal, menyebabkan gesekan dan konflik. Secara simbolik, keberadaan rumah ibadat juga adalah gambaran eksistensi umat beragama bersangkutan dalam ‘kontestasi’ demografi keagamaan di wilayah tersebut. Mengingat potensi gangguan kerukunan yang disebabkan masalah rumah ibadat ini, pemerintah memiliki peranan penting sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator, maksudnya, pemerintah harus menjalankan tugas utamanya menjaga ketenteraman dan ketertiban umum yang terganggu masalah rumah ibadat, misalnya, dengan membuat aturan-aturan. Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 diterbitkan sebagai regulasi yang mengatur perihal pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral karena disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator, maksudnya, pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani dan melindungi umat beragama dalam melaksanakan ibadat, termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator, maksudnya, pemerintah berupaya memberdayakan umat beragama dalam kehidupan beragama, termasuk dalam menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat.
256
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Dari perspektif itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami kasus-kasus terkait rumah ibadat, khususnya dalam konteks Indonesia yang dalam penelitian ini digunakan pendekatan antara lain sebagai berikut:
Ranah regulasi Alasan yang kerap diberikan ketika sejumlah rumah ibadat dipermasalahkan adalah soal izin pendirian bangunan rumah ibadat, serta serangkaian persyaratannya sebagaimana diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. Rumah ibadat atau tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk ibadat kerap dipermasalahkan dan diperselisihkan ketika belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan. Meski demikian, dalam beberapa kasus terjadi perselisihan terhadap rumah ibadat yang sudah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Untuk itu, pada ranah regulasi ini penting melihat keterpenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur, yakni terkait persyaratan admnistratif, persyaratan teknis, dan persyaratan khusus. Hal ini merujuk pada Pasal 13 dan 14 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Ranah sosial-ekonomi-budaya Kehadiran komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas pribumi yang telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang tidak jarang ‘meminjam’ sentimen agama. Penelitian Usman Pelly (1999) yang mencari akar kerusuhan etnis di era reformasi mengonfirmasi hal ini. Penelitian itu menyimpulkan bahwa kerusuhan etnis sejak awal era reformasi berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberi petunjuk kuat bahwa tatanan sosial kehidupan majemuk telah hancur. Kelompok menengah telah memaksa kelompok etnis
257
Haidlor Ali Ahmad
pribumi untuk puas hidup di papan bawah dan terpinggirkan. Potensi konflik kemudian memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan.65 Konsep ingroup-outgroup juga kerap berperan dalam hal ini. Kehadiran rumah ibadat agama lain dalam struktur sosial yang telah mapan sebelumnya, kerap menimbulkan penolakan dan/atau perselisihan. Demikian juga di ranah budaya, kehadiran rumah ibadat lain yang mengindikasikan adanya komunitas umat beragama lain kerap dianggap ‘gangguan’ bagi stabilitas budaya masyarakat setempat yang telah mapan. Demikian pula dalam hal ekonomi, pendatang yang secara ekonomi lebih kuat, kerap mendapatkan ‘perlawanan’ dari komunitas pribumi yang secara ekonomi lebih rendah.
Ranah keberagamaaan Intoleransi beragama kerap juga dituding sebagai penyebab adanya penolakan atau perselisihan terkait rumah ibadat. Inklusifitas keagamaan tidak bisa menerima kehadiran (rumah ibadat) pemeluk agama lain di sekitarnya.
Penelitian Terdahulu Penelitian serupa dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010 lalu.
65 Usman Pelly, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia,
258
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Penelitian yang dilakukan di 6 lokasi penelitian ini menghasilkan kesimpulan antara lain sebagai berikut: 1. Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari tiap agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan peradaban yang dijiwai dengan nilai-nilai kesucian (sacral). Dalam pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan menjadi tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas kegiatan. 2. Dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah ibadat telah diketahui, tetapi belum optimal, hanya dilaksanakan pada panitia pembangun rumah ibadat yang menyadari pentingnya dan berwawasan ke depan. Sedangkan pada umumnya di pedesaan, dan terutama pada panganut agama mayoritas di suatu tempat belum menjadikan prioritas kegiatan. 3. Pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, selain karena terpenuhi sesuai aturan PBM dan peraturan pemerintah daerah, juga karena adanya komunikasi dan kerukunan hidup antar umat beragama, serta nilai-nilai kearifan lokal yang terpelihara sebagai media pendekatan. Pendirian rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan penolakan, lebih disebabkan faktor perbedaan paham keagamaan, dan berbagai kepentingan para elite agama dalam prestise sosial, pengembangan jumlah umat, kehidupan ekonomi dan kekuasaan. Di samping itu, karena ego mayoritas dan arogansi minoritas. 4. Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang dikomunikasikan oleh media massa dan oleh sebagaian LSM ialah terbebankan pada umat Kristiani, tetapi sesungguhnya
259
Haidlor Ali Ahmad
juga terbebankan pada umat Islam, Hindu dan Buddha yang minoritas di tengah pemeluk agama mayoritas. 5. Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan pendirian rumah ibadat ialah dengan kedisiplinan mematuhi aturan PBM, disertai pengamalan kearifan lokal yang mendukung dan toleransi sosial. Penelitian lain dalam tema serupa sesungguhnya telah cukup banyak, meski lingkupnya masih terbatas. Adapun distingsi penelitian kali ini adalah penekanan pada kedalaman dalam memahami kasus tentang pendirian, penertiban, dan penutupan rumah ibadat.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang mendalam dan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sebelum melakukan kajian lapangan peneliti melakukan studi kepustakaan. Bahan pustaka yang digunakan antara lain Laporan Tahunan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, laporan tahunan beberapa LSM berkaitan, dan media massa. Karena bersifat verifikatif, maka data awal itu akan menjadi pedoman pada pelaksanaan pengumpulan data di lapangan (spotchecking). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan,1) Metode wawancara yang dilakukan terhadap informan kunci, meliputi beberapa pejabat dan staf pegawai kantor kemenag tingkat propinsi, kota dan KUA, pejabat kesbang linmas, anggota FKUB, panitia pembangunan rumah ibadat, dan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, lurah, RW dan RT; 2) Observasi secara terbatas dan cenderung secara kebetulan, karena keterbatasan peneliti berinteraksi dengan masyarakat; 3) Studi dokumentasi,
260
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
untuk melengkapi data yang diperoleh melalui metode wawancara dan observasi. Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain. Menurut Patton (1987) triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat keterpercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda, misalnya membandingkan hasil wawancara dengan hasil pengamatan, dengan dokumen, membandingkan apa yang dikatakan orang di muka umum dan ketika sendirian, membandingkan antara pendapat rakyat biasa dengan pejabat pemerintah, serta membandingkan antara informasi pada saat situasi penelitian dengan saat normal sepanjang waktu.66 Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui tahap-tahap editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan.
Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan adanya kasus-kasus perselisihan terkait pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat yang terjadi di daerah tersebut. Selain itu, pemilihan lokasi ini juga mempertimbangkan keterwakilan wilayah Indonesia bagian tengah, sebagai bentuk keseimbangan mayoritasminoritas pemelukan agama di wilayah tersebut.
66 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 178.
261
Haidlor Ali Ahmad
262
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
GAMBARAN UMUM KOTA KUPANG
Kondisi Geografi Kota Kupang terletak di antara 10°36’14”-10°39’58” lintang selatan dan 123°32’23” -123°37’01” bujur timur. Luas wilayah Kota Kupang mencapai 180,27 km2. Berdasarkan administrasi kepemerintahan Kota Kupang dibatasi oleh: • Teluk Kupang di sebelah utara, • Kecamatan Kupang Tengah dan Kupang Barat Kabupaten Kupang di sebelah timur. • Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang di sebelah selatan, • Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan TelukSemau di sebelah barat. Kota kupang terdiri dari 47 kelurahan, yang tergabung dalam 4 kecamatan, yakni Kecamatan Alak, Maulafa, Oebobo dan Kelapa Lima. Keempat kecamatan tersebut memiliki luas wilayah yang berbeda-beda, Kecamatan Alak merupakan kecamatan dengan wilayah paling luas,sedangkan Kecamatan Kelapa Lima
263
Haidlor Ali Ahmad
merupakan kecamatan dengan wilayah paling sempit. Secara rinci luas wilayah kecamatan di Kota Kupang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Luas Wilayah Kecamatan di Kota Kupang No. 1 2 3 4
Kecamatan Alak Maulafa Oebobo Kelapa Lima Kota Kupang
Luas Wilayah (km2) 86.91 54.80 20.32 18.24 180,27
Prosentase dari luas wilayah kota 48.21 30.40 11,27 10,12 100
Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kota Kupang dapat dilihat pada tabel 2 Tabel 2 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Jumlah Penduduk No
Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
1 2 3 4
Jumlah
Alak 23.802 22.001 45.803 Maulafa 28.276 27.557 55.853 Oedobo 57.702 57.227 114.979 Kelapa Lima 38.092 37.067 75.227 Jumlah 147.872 143.922 291.794 67 Catatan: Berdasarkan Registrasi Penduduk 299. 67
264
Kota Kupang Dalam Angka2010: 43.
Rasio Jenis Kelamin 108 102 100 102 102
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi Kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat di Kota Kupang cukup variatif dan masing-masing etnis yang ada di sana identik dengan pekerjaan atau mata pencaharian tertentu. Meski pulau-pulau di NTT merupakan pulau-pulau kecil dan dikelilingi lautan yang luas, namun putra-putra daerah lebih akrab dengan budaya darat, berenang pun banyak yang tidak bisa. Orientasi mata pencaharian putra daerah cenderung menjadi pegawai negeri.68 Tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh informan yang lain, etnis Timor pada umumnya bekerja sebagai PNS (dari staf hingga pejabat), sebagai karyawan rendahan, buruh di sektor-sektor non formal antara lain sebagai buruh nelayan, menjalankan perahu milik orang-orang Bugis dan pedagang kecil-kecilan.69 Menurut Pdt. Hd belakangan ini ada dinamika yang dialami putra-putra daerah, misalnya dari pengalaman menjadi pembantu di warung-warung milik orang Lamongan, sekarang sudah ada beberapa warung milik putra daerah yang menjajakan makanan sebagaimana yang biasa dijajakan oleh pendatang dari Lamongan.70 Selain etnis Timor, etnis Jawa pada umumnya juga bekerja sebagai PNS, selebihnya mereka menguasai pasar di Kota Kupang sebagai pedagang pakaian, sembako, dan sayur-sayuran, usaha pemotongan ayam, tukang bakso, dan yang perempuan berjualan jamu gendong. Sedangkan pengusaha restoran besar dari etnis Jawa pada umumnya didominasi para pendatang dari Solo, sedangkan pendatang dari Lamongan mendominasi restoran, warung makan hingga penjaja makanan kaki lima dengan ciri khas 68
Wawancara dengan Pdt. Hd, 25-2-2011. Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani maslah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 70 Wawancara dengan Pdt.Hd, 25-2-2011. 69
265
Haidlor Ali Ahmad
dagangan ikan bakar, ayam bakar dan pecel lele yang biasanya diberi label Lamongan.71 Etnis Minang dikenal sebagai pedagang bersekala besar, sebagai pemilik toko dan rumah makan Padang; Etnis Bugis juga sebagai pedagang bersekala besar, sebagai pemiliki toko pakaian, toko sembako, pemilik tambak, pemilik perahu.72 Pada umumnya para pendatang dilihat dari sisi ekonomi lebih baik dibandingkan dengan penduduk pribumi. Karena para pendatang memiliki etos kerja yang lebih tinggi, memiliki kegigihan dan mereka serius dalam bekerja.73 Karena roda perekonomian di Kota Kupang dikuasai oleh etnis-etnis pendatang terutama Bugis sehingga ketika terjadi kerusuhan tahun 1998 ekonomi di Kupang mengalami kelumpuhan selama 3 bulan.74 Demikian juga ketika muncul SMS provokatif (bertepatan dengan waktu penelitian ini dilaksanakan), hampir saja terjadi kelumpuhan ekonomi. Di pasar-pasar tradisional banyak kios-kios tutup dan beberapa jenis barang kebutuhan sehari-hari sulit didapat, karena banyak pelaku-pelaku ekonomi yang tidak melakukan aktifitas.
Jumlah Pemeluk Agama Jumlah pemeluk agama mayoritas di Provinsi NTT penganut agama Katolik (55%), pada urutan kedua Kristen (35%) sedangkan 71 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani maslah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 72 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani maslah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 73 Wawancara dengan Pdt. Hd, 25-1-2011. 74 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011.
266
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Islam menduduki urutan ke 3 atau termasuk minoritas (8.6%). Namun persebaran penganut agama di wilayah Provinsi NTT tidak merata, sehingga penganut Katolik bukan sebagai penganut agama mayoritas di semua wilayah kabupaten/kota. Penganut agama Katolik sebagai penganut agama mayoritas di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Ende, Flores Timur, Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Sikka, dan Lembata. Sedangkan penganut agama Kristen sebagai penganut agama mayoritas terdapat di wilayah Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Alor, Sumba Timur, Sumba Barat, dan Rote Ndao. Jumlah pemeluk agama di Kota Kupang mayoritas adalah penganut agama Kristen (178,944 jiwa), pemeluk agama Katolik pada urutan kedua (67, 582 jiwa), dikuti penganut agama Islam (41.741 jiwa), penganut agama Hindu (2.111 jiwa) dan penganut agama Buddha (416 jiwa).
Jumlah Rumah Ibadat Jumlah rumah ibadat di Kota Kupang sebanyak 319 buah, dengan rincian umat Kristen memiliki 208 gereja, umat Katolik 49 gereja, umat Islam 56 masjid, dan umat Hindu 6 pura.75 Data rumah ibadat yang bersumber dari Kota Kupang dalam Angka 2010 di atas memiliki perbedaan dengan data yang bersumber BPS Provinsi NTT dan dari Kanwil Kementerian Agama NTT. Menurut data BPS Provinsi umat Katolik memiliki 38 gereja (termasuk kapela) selisih 11 gereja; umat Kristen memiliki 138 gereja, selisih 70 gereja; umat Islam memiliki 54 masjid (termasuk mushala), selisih 2 masjid.76
75 76
Kota Kupang dalam Angka 2010: 104. BPS Provinsi NTT dari Kanwil Kementerian Agama NTT.
267
Haidlor Ali Ahmad
Rumah ibadat (khususnya masjid) di Kota Kupang dahulu sebelum kerusuhan tahun 1998 dalam kondisi yang memprihatinkan. Pada waktu terjadi kerusuhan banyak masjid yang dibakar, maka setelah direnovasi pada tahun 1999-2000, banyak masjid-masjid di Kota Kupang yang berubah menjadi bagus, kecuali Masjid Raya.
Ormas keagamaan Ormas keagamaan Katolik yang terdapat di Kota Kupang antara lain, Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Pemuda Katolik, Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan kelompok kategorial antara lain Legio Maria, Serikat St. Vinsensius, dan Karismatik.77 Sedangkan ormas keagamaan Kristen yang terdapat di Kota Kupang antara lain, Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Persatuan Gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Persatuan Gereja Pantekosta Indonesia (PGPI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), Forum Pemuda Kristen (FPK), Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (Yupenkris), Forum Komunikasi Intern Pimpinan Gereja Kristen (FKIPGK), dan Lembaga Pengembangan Paduan Suara Gerejawi Daerah (LPPD).78 Ormas keagamaan Islam yang terdapat di Kota Kupang antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan ormas-ormas under bow-nya, [Muslimat NU, Gerakan Pemuda Ansor, Fatayat NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)], 77 Sumber Kasi Urusan Agama Katolik Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTT dikoreksi oleh RD dari Bimas Katholik Kemenag dalamrapat konsinyering tanggal 20 -4-2011 . 78 Wawancara dengan salah seorang pejabat di Kanwil Kemenag Provinsi NTT,
268
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Muhamadiyah dan ormas-ormas under bow-nya, [Aisyiah, Nasyiatul Aisyiyah], Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ikatan Persaudaraan Haji, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Al-Iryad, Wanita Islam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ), Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4).
Hubungan dan Kerjasama Antarumat Menurut Kakanwil Kementerian Agama Provinsi NTT dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kupang hubungan antarumat beragama di Kupang tidak ada masalah, justru yang bermasalah adalah hubungan intern umat Kristen, karena ada denominasi yang belum terdaftar tapi sudah melakukan aktivitas keagamaan, dan memiliki banyak cabang, serta anggotanya diperoleh dari denominasi-denominasi yang lain dengan iming-iming materi.79 Kepala Kantor Kemenag Kota Kupang menambahkan, bahwa di Kota Kupang antar penganut agama saling menghargai. Masyarakatnya cinta damai. Terdapat banyak keluarga dengan berbagai pemeluk agama.80 Namun faktanya, tidak seperti yang diungkapkan tiga pejabat Kementerian Agama di atas. Di NTT atau khususnya di Kota Kupang ternyata rawan konflik antaragama. Masyarakat Kota Kupang sangat mudah terpicu oleh konflik-konflik yang terjadi di daerah lain. Sebagaimana saat penelitian ini sedang berlangsung, suasana Kota Kupang cukup tegang dengan adanya
79 Wawancara dengan Kakanwil Kemenag Prov. NTT tanggal 22-2-2011 dan Kepala Kantor Kemenag Kab. Kupang tanggal 24-2-2011. 80 Wawancara dengan Kepala Kantor Kemenag Kota Kupang, 24-2-2011.
269
Haidlor Ali Ahmad
isu SMS provokatif untuk melakukan pembalasan konflik yang terjadi di Temanggung Jawa Tengah. Lebih dari itu, beberapa informan kami menyampaikan bahwa di Kota Kupang hubungan antar umat beragama Islam di satu sisi dengan umat Katolik dan Kristen di sisi lain masih sering terjadi konflik. Hingga tahun 2007 ceramah keagamaan yang dilakukan oleh umat Islam masih sering dilempari batu. Mendirikan rumah ibadat bagi umat Islam banyak mengalami kesulitan, jika bukan masjid Amal Bakti Muslim Pancasila selalu menghadapi banyak kendala.81 Dalam hubungan antar etnis, di kalangan masyarakat Kota Kupang terdapat sentimen antaretnis tertentu. Misalnya, orang Kupang ketika menjual tanah lebih memilih pembeli dari kalangan Tionghoa, mereka tidak suka menjual tanah kepada orang Bugis karena takut kelak tanahnya untuk membangun masjid.82 Hal yang sama disampaikan oleh salah seorang anggota panitia pembangunan salah satu masjid di Kota Kupang “jika ada nonMuslim jual tanah, kemudian ada orang Islam yang mau beli, biasanya akan dipersulit proses pembeliannya”.83 Hubungan antar umat di tingkat provinsi NTT agak rawan. Namun karena minoritas (Islam) cenderung mengalah sehingga hubungan antarumat beragama di NTT secara semu kelihatan harmonis. Misalnya, di Kabupaten Manggarai ada orang yang melempar masjid sehingga kaca jendela masjid pecah, namun fihak yang berwajib mengatakan hal tersebut hanya masalah kecil. 81
Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 82 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani masalah keagamaan, 1-3-2011. 83 Wawancara dengan SS, ,2-3-2011.
270
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Insiden tersebut sudah dibicarakan di FKUB, tapi karena jumlah wakil umat Islam di FKUB kecil, maka fihak Islam cenderung mengalah.84
Faktor Pendukung Kerukunan Karena masyarakat beragama di Kota Kupang dapat saling bekerjasama hingga memasuki ranah keagamaan. Misalnya, pada hari raya Iedul Fitri, ketika umat Islam sedang menunaikan shalat Ied, sebagai penjaga keamanannya dari kalangan pemuda Kristen dan Katolik. Sebaliknya ketika umat Kristen dan Katolik sedang melaksanakan ritual pada hari Natal/Paskah dijaga oleh muda-mudi Muslim. Selain itu, di Kota Kupang biasa diselenggarakan Natal bersama, dalam acara tersebut juga dihadiri tokoh-tokoh agama lain, antara lain dari MUI dan juga disuguhkan lagu-lagu kasidah dari muda-mudi Muslim. Demikian pula pada waktu bulan Ramadlan diadakan buka bersama juga hadir tokoh-tokoh dari agama lain, dan fokal group Kristen/Katolik. Di kantor, setelah apel pagi hari Senin biasa dilakukan doa bersama selain doa-doa khusus. Masyarakat merasa semuanya bersaudara. Pada waktu kerusuhan 1998, meski Asrama Haji Kupang dan beberapa buah masjid dibakar oleh pemuda-pemuda Kristen, tapi masih ada beberapa pemuda Kristen ikut bersama-sama menjaga masjid agar tidak dibakar.85 Masyarakat Kota Kupang memiliki kearifan lokal berkaiatan dengan kerukunan hidup bersama, yaitu “kitong samua basodara” (kita semua bersaudara).86 Dalam realita kehidupan masyarakat di daerah-daerah masih sering terjadi kawin mawin antar penganut 84
Wawancara dengan AM, 1-3-2011; dokumen fax terlampir. Wawancara dengan Pdt HD. 86 Drs. Abdulkadir Makarim, Timor Express, 1 Maret 2011. 85
271
Haidlor Ali Ahmad
agama.87 Selain itu, kerukunan yang masih melekat antar individu misalnya salah seorang informan mengatakan bahwa dia memiliki saudara seorang Muslim yang dengan suka rela menyekolahkan keponakannya yang berbeda agama ke Seminari, sehingga menjadi pastur. Sebagai anak yang baik, ketika pamannya berkeinginan menunaikan ibadah haji, ia pun membiayai keinginan pamannya untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima. Selain itu di wilayah NTT yang lain hingga tahun 1998 banyak pembangunan rumah ibadat yang panitianya terdiri dari berbagai penganut agama. Demikian juga panitia Musabaqah Tilawati Quran (MTQ) gabungan dari berbagai penganut agama.88 Keraifan lokal, gotong royong dahulu kuat sekali di masyarakat kelas bawah. Dalam upacara perkawinan maupun upacara kematian mereka yang mengalami kekurangan biaya bisa meminjam uang, setelah selesai dan memperoleh sumbangan dari sanak saudara dan tetangga baru dilakukan pembayaran pinjaman. Sekarang kearifan lokal ini telah mengalami pergeseran.89
Faktor Penghambat Kerukunan Faktor penghambat kerukunan misalnya konflik antarumat beragama yang terjadi pada tahun 1998, merupakan imbas dari konflik Ambon dan peristiwa Ketapang Jakarta. Sebagai imbas konflik Ambon pada waktu itu diisukan ada dua kapal yang mengangkut orang Islam (Laskar Jihad) yang sedang menuju ke NTT, akibatnya anak-anak muda yang tidak berfikir panjang
87
Wawancara dengan Ant, Wawancara dengan ARB, 2-3-2011. 89 Wawancara dengan Pdt. Hd, 25-3-2011. 88
272
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
kemudian membakar asrama haji, dan selanjutnya sekitar 20 masjid di Kota Kupang dibakar dan dirusak 90. Pada saat penelitian ini dilakukan di Kota Kupang sedang diguncang SMS yang berbunyi antara lain “Bakar, Usir dan Hancurkan” Yang maksudnya “bakar asrama haji dan masjid, usir umat Islam dari Kupang dan hancurkan aset milik umat Islam” Batas waktu ancaman tersebut antara tanggal 22-27 Februari 201191. Drs.H.Abdulkadir Makarim, mengatakan fantastis ketika di Kota Kupang di tabuh Gong Perdamaian oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, 8 Februari 2011 pada waktu yang bersamaan di Temanggung Jawa Tengah terjadi kerusuhan.92 Untuk mengatasi isu SMS provokatif tersebut agar tidak meresahkan masyarakat atau menimbulkan konflik antar umat dilakukan berbagai upaya antara lain: 1) Sejak tanggal 22 Februari 2011 Asrama Haji Kupang, semua rumah ibadah umat Islam, baik berupa masjid maupun mushala, kampus perguruan tinggi milik umat Islam dijaga oleh polisi. Polda NTT tidak mau mengambil resiko dengan adanya SMS provokatif tersebut. 2) Pemda tanggal 22 Februari 2011 mengeluarkan Seruan Bersama Pemerintah Provinsi NTT Bersama Pemimpin Agama-Agama NTT yang isinya: a) Agar masyarakat tetap tenang dan senantiasa menjaga kerukunan di antara pemeluk agama serta tidak 90
Wawancara dengan Im, 24-2-2011 dan Imam di salah satumasjid Masjid di Kota Kupang, 25-2-2011 91 Wawancara dengan Sng,24-2-2011 92 Drs. Abdulkadir Makarim, Timor Express, 1 Maret 2011.
273
Haidlor Ali Ahmad
terprovokasi dengan berbagai isu dan aksi kekerasan di daerah lain belakangan ini. b) Masyarakat NTT meningkatkan dialog dan komunikasi antarumat lintas agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan mahasiswa serta komponen strategis masyarakat terkait lainnya untuk mencegah semua jenis konflik dan tetap menjaga kerukunan yang telah terpelihara di Provinsi NTT selama ini. c) Mengimbau dan mendukung aparat keamanan menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah NTT guna menciptakan suasana damai dan kundusif di tengah-tengah masyarakat NTT. Seruan bersama tersebut ditandatangani oleh Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya; Wagub NTT, Ir. Esthon L. Foenay, MSi; a.n.Uskup Agung Kupang, Rm. Gerandus Duka, Pi; Sinode Gereja Masehi Injili Timor, Pdt. Robert Litelnoni, STh; Ketua Majelis Ulama Indonesia, Drs.H.Abdulkadir Makarim; Ketua PHDI, Drs.I.G.M.Putra Kusuma. MSi; 3) Pada tanggal 25 Februari 2011 MUI Provinsi NTT mengundang rapat berbagai ormas Islam di Kota Kupang, termasuk tokoh agama dan tokoh pemuda Islam untuk menyikapi munculnya SMS provokatif tersebut. Yang pada kesimpulannya “Kita harus melindungi diri kita, keluarga kita, umat Muslim, masjid kita dan aset-aset yang dimiliki umat Muslim”. 4) MUI Provinsi NTT membentuk SMS Senter (085237068685). Dengan adanya SMS Senter ini diharapkan setiap individu Muslim yang menerima SMS yang bersifat provokatif agar tidak disampaikan kepada orang lain (teman) tapi disampaikan ke SMS Senter. Sejak dibentuknya SMS Senter yang baru sehari, sudah 117 sms yang masuk.
274
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
5) Tokoh pemuda melakukan safari ke sejumlah tempat ibadat di Kota Kupang, yang dilakukan pada hari Sabtu-Minggu (26-27 Februari 2011), untuk melakukan sosialisasi bahwa Kupang dalam kondisi aman. Aksi yang difasilitasi oleh Novanto Center (NC) dihadiri oleh Ketua BP Sinode GMIT, Ketua Pemuda Katolik NTT, Ketua GMKI Cabang Kupang, Ketua Pemuda Gereja, Ketua HMI Cabang Kupang, Ketua BKPRMI NTT, Ketua BKPRMI Kota Kupang, beberapa tokoh pemuda Kristen Protestan dan pemuda Muslim, Asisten I Kota Kupang dan Asisten II Kota Kupang. Rombongan dipimpin oleh Direktur NC, H.Muhammad Ansor. Lokasi safari adalah Masjid Al-Hidayah Oesapa, Masjid Nurul Huda Pasar Inpres Naikoten, Masjid Al-Istiqomah BTN Kolhua, dan Masjid Al-Muhajirin Tuak Daun Merah. Di setiap lokasi, rombongan diterima Imam Masjid, pengurus yayasan dan jamaah masjid setempat sekitar 50 orang. Aksi ini untuk melakukan sosialisasi bahwa Kota Kupang dalam suasana kundusif dan tidak akan terjadi kerusuhan sebagaimana ancaman SMS provokatif, dan masyarakat dianjurkan untuk kembali beraktifitas karena ekonomi pada sektor-sektor tertentu nyaris lumpuh.93 6) Seorang provokator ditangkap oleh intel ketika memasuki gereja. Setelah digeledah di dalam tasnya diketemukan ada KTP 93 Wawancara dengan MAR, 27-2-2011; Kupang Metro, Senin, 28 Februari 2011; Pengamatan peneliti dan wawancara dengan pemilik salah satu warung makan, gejala kelumpuhan ekonomi antara lain terlihat di pasar-pasar komoditas tertentu, misalnya ikan laut dan sayur-sayuran sulit didapat. Selama dua hari tanggal 26-27 Februari 2011 kami ingin makan ikan bakar tidak tersedia di warung langganan kami. Kata pemilik warung “di pasar langka ikan, karena banyak angin, nelayan enggan melaut. Harga ikan mahal sekali Pak. Ikan yang biasanya Rp 15 ribu per ekor, menjadi Rp 75-100 ribu”. Padahal sebenarnya orang-orang Bugis bukannya enggan melaut karena banyak angin, tapi lebih memilih di rumah, siap siaga menghadapi ancaman kerusuhan yang puncaknya jatuh pada tanggal 27 Februari 2011. Selain itu juga banyak pedagang yang menutup toko dan kiosnya, dan banyak juga orang tua yang melarang anak-anak mereka masuk sekolah, sehingga banyak lembaga-lembaga pendidikan yang meliburkan sekolahnya.
275
Haidlor Ali Ahmad
dari berbagai daerah, sarung dan kufiah, seolah-olah dia seorang Muslim, padahal dia seorang Kristen.94 Senada dengan yang disampaikan oleh AM, ada seorang mantan satpam dari Bogor beragama Kristen masuk Gereja Paulus di Jl Suharto. Orang tersebut membawa bungkusan seperti bom yang ternyata isinya antara lain berupa kufiah, baju dinas brimob dan borgol. AM menginginkan kasus ini dipublikasikan, agar diketahui oleh masyarakat umum. Supaya tidak menyinggung perasaan umat Kristiani redaksinya dibuat sedemikian rupa “Ada orang yang mengalami gangguan jiwa yang memasuki gereja dengan membawa kufiah. Padahal dia beragama Kristen dan berasal dari Bogor.” AM menyayangkan penangkapan ini tidak pernah dipublikasikan.95 Menurut seorang imam salah satu masjid di Kota Kupang, faktor-faktor yang menjadi penghambat kerukunan di Kupang antara lain adalah: 1) pengaruh/imbas dari konflik/kerusuhan yang terjadi di luar NTT; 2) Kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dan pendatang. Dimana pada umumnya kondisi para pendatang secara sosial ekonomi lebih baik dibandingkan dengan penduduk asli. Sehingga terjadi kecemburuan sosial.96 Yang menjadi faktor penghambat kerukunan lainya ialah masyarakat Kupang non-Muslim sepertinya alergi melihat sesuatu yang berbau Islam, sehingga bangunan yang memiliki ciri keislaman sering menghadapi hambatan. Misalnya, pembangunan Rumah Susun Mahasiswa Muhamadiyah di Liliba Atas yang merupakan 94 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 95 Wawancara dengan AM, 1-3-2011. 96 Wawancara dengan berbagai kalangan (salah seorang pejabat Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTT, salah seorang pejabat Kesbang Linmas Kota Kupang, Im, dan Pdt. Hd) di tempat dan waktu yang berbeda namun jawabannya kurang lebih sama.
276
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
bantuan dari Menteri Perumahan didemo oleh masyarakat nonMuslim. Memang bangunan tersebut belum memiliki IMB, namun sudah memperoleh persetujuan dari pemerintah setempat.97 Hasil pengamatan peneliti ketika baru sehari di Kupang, peneliti melihat staf di Bidang Urusan Agama Katolik ketika menghadap kepada atasannya mereka selalu menunduk apalagi ketika memberikan atau menyerahkan sesuatu kepada atasanya (misalnya, map atau buku), mereka menunduk seperti orang Islam sedang ruku’ (gerakan menunduk dalam shalat) dan mereka juga merendahkan nada bicaranya. Sehingga peneliti sempat berkelakar dengan Kabid Urusan Agama Katolik, sementara kami sedang membicarakan masalah kerukunan antar umat beragama di Kota Kupang “bagaimana orang sesopan itu bisa melakukan konflik, bisa berperang? Apakah kalau mau membunuh permisi dulu?”. Seorang sopir yang selalu mengantar peneliti mengatakan dalam berbicara dengan atasan selalu merendahkan nada suaranya.98 Namun ternyata dalam kesempatan wawancara dengan informan yang lain, kami peroleh pemeo “Masyarakat Kupang di depan menunduk di belakang menanduk”.99 Artinya, fenomena tingkah laku sopan mereka tidak sesuai dengan perilaku sebenarnya yang temperamental. Di Kupang sentimen etnis (ta’asub ashabiyah) cukup tinggi. Informan kami mencontohkan, panitia pembangunan Mushala AlFaidah menggunakan Mir orang asli Alor, sebagai tameng. Padahal Mir kurang memiliki kecakapan untuk berdialog maupun melakukan bargaining dengan pihak-pihak yang menentang
97 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 98 Wawancara dengan Yf, 27-2-211. 99 Wawancara dengan ARP, 2-3-2011.
277
Haidlor Ali Ahmad
pembangunan mushala. Sementara yang lain adalah orang-orang pendatang, seperti Jun (imam mushala) pendatang dari Jawa tidak berani di depan. Sebaliknya Mir sebagai orang asli Alor lebih aman jika berada paling depan.100
100
278
Wawancara dengan MAR di kediaman ARP, 2-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
HASIL KAJIAN
Kasus Pendirian Rumah Ibadat Di Kota Kupang umat Islam sebagai kelompok minoritas setelah kerusuhan tahun 1998 merasa kesulitan untuk membangun rumah ibadat. Hal ini tercermin di kantor-kantor pemerintahan seperti Kantor Gubernur NTT, Kantor Wali Kota Kupang, dan Universitas Nusa Cendana tidak tersedia mushala, meski hanya berupa sebuah ruangan kecil. Karena sifat peribadatan umat Muslim (shalat) dengan frekuensi hitungan jam, berbeda dengan peribadatan umat lain, maka ketiadaan sarana (tempat ibadat) bagi umat Muslim ini dirasakan menyulitkan bagi umat Muslim (pegawai/mahasiswa maupun tamu) untuk menunaikan ibadah shalat lima waktu khususnya untuk shalat dzuhur dan ashar. Sebaliknya untuk kalangan mayoritas sangat mudah mendirikan rumah ibadat, bahkan banyak ruko-ruko yang dijadikan sebagai tempat ibadat.101 Hampir setiap pendirian masjid di Kota Kupang selalu dipermasalahkan, kecuali pembangunan Masjid Amal Bakti Muslim Pancasila. Di Kota Kupang terdapat empat buah Masjid Amal Bakti 101
Wawancara dengan MAR, 27-2-2011.
279
Haidlor Ali Ahmad
Muslim Pancasila, yaitu: 1) Masjid Darul Hidayah di Perumahan BTN Kolhua; 2) Masjid Nurul Iman di Oebobo; 3) Masjid Baitur Rahman di Perumnas Kelapa Lima; 4) Masjid Al Mutaqin WK Kelapa Lima102. Pada mulanya pembangunan Masjid Amal Bakti Nurul Iman di Oebobo tidak berjalan mulus, tapi kemudian Presiden Suharto memberi intruksi kepada Gubernur NTT (pada waktu itu), maka akhirnya Gubernur yang meletakkan batu pertama pembangunan masjid tersebut. Demikian pula pembangunan Masjid Al-Mutaqin yang semula merupakan swadaya masyarakat, tapi karena dipersulit bahkan tidak jauh dari lokasi rencana pembangunan masjid tersebut kemudian dibangun gereja. Sehingga di lokasi pembangunan masjid tersebut dibangun Masjid Amal Bakti dan diberi nama yang sama dengan masjid yang direncanakan pembangunannya oleh masyrakat, yakni Masjid Al-Mutaqin103. Sesuai dengan fokus penelitian ini, berkenaan dengan kasus perselisihan pendirian rumah ibadat yang masih terjadi perselisihan hingga/setelah berlakunya PBM nomor 9 dan 8 tahun 2006, di Kota Kupang terdapat 5 kasus, yaitu: 1) Kasus pendirian rumah ibadat Rodlotul Jannah di Mantasih; 2) Kasus pendirian rumah ibadat di RSS Baumata; 3) Kasus pendirian Masjid Baitur Rahman Batuplat Kecamatan Alak; 4) Kasus pembangunan Masjid Al Ikhwan di Jl. Bajawa; dan 5) Kasus pembangunan Mushala Al-Faidah di RSS Liliba Oesapa.104 Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan penelitian pada 3 kasus yang disebut terakhir.
102 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani maslah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 103 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 104 Meski sebenarnya pebangunan mushala tidak diatur oleh PBM, karena mushala masuk kategorirumah ibadat keluarga.
280
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
1) Pendirian Masjid Baitur Rahman Batuplat Kecamatan Alak Sebelum terjadi kerusuhan tahun 1998, umat Muslim di Batuplat biasanya melakukan shalat Jumat dan tarawih di masjid bawah105 yang berjarak sekitar dua kilo meter dari tempat tinggal mereka. Namun pada waktu terjadi kerusuhan tahun 1998, masjid tersebut dibakar oleh para perusuh. Pada bulan Ramadlan tahun 1999 umat Muslim Batuplat melakukan shalat tarawih di rumah seorang warga, karena masjid sedang dalam perbaikan. Pada tahun 2001 dalam rapat warga Muslim untuk menyambut bulan Ramadlan diputuskan sebagai tempat shalat tarawih direncanakan di teras rumah warga. Namun sebelum datang bulan Ramadlan rencana shalat tarawih di teras rumah itu berubah, berpindah ke rumah warga yang lain yang kebetulan kosong. Untuk itu, kemudian diadakan gotong royong menghilangkan sekat-sekat kamar rumah tersebut dan menambah bagian mighrabnya. Setelah itu panitia penyelenggara shalat tarawih berkirim surat kepada Lurah untuk meminta izin penggunaan rumah sebagai tempat shalat jamaah warga Muslim. Menjelang Ramadlan tiba tanah lokasi rumah tersebut diwakafkan oleh pemiliknya untuk dijadikan tempat ibadat. Maka sejak itu (awal tahun 2002) umat Muslim di Batuplat berniat untuk membangun masjid di tanah yang sudah diwakafkan oleh pemiliknya itu.106 Berkenaan dengan adanya niat membangun rumah ibadat, maka masyarakat pun segera menggalang dana. Setelah dana terkumpul masyarakat Muslim Batuplat kemudian memulai pembangunan rumah ibadat (masjid). Karena belum ada ijin, maka 105 Karena topografi pemukaan tanah di Kota Kupang tidak merata/turun naik, maka masyarakat Kota Kupang biasa menyebut tempat yang tinggi dengan sebutan atas dan tempat yang rendah dengan sebutan bawah. 106 Wawancara dengan SS,2-3-2011.
281
Haidlor Ali Ahmad
pihak panitia diminta agar segera mengurus perijinan. Masih pada tahun 2002, panitia sudah melengkapi persyaratan administrasi sesuai dengan peraturan yang berlaku pada waktu itu. Akan tetapi sebelum ijin pembanguan rumah ibadat itu diperoleh, pembanguan masjid tersebut diprotes oleh warga non-Muslim Batuplat dan akhirnya proses pembangunannya dihentikan. Dengan alasan tempat ibadat (masjid) tidak boleh dibangun di tengah-tengah pemukiman penduduk107. Setelah lahirnya PBM, panitia berupaya melengkapi persyaratan-persyaratan sesuai dengan ketentuan PBM, termasuk daftar pengguna 90 orang dan pendukung 60 orang.108 Karena pada waktu itu FKUB belum terbentuk, sehingga tidak ada rekomendasi dari FKUB dengan didampingi Ketua MUI Kota menghadap kepada Sekda untuk menyerahkan berkas persyaratan perijinan tersebut. Dengan demikian panitia tinggal menunggu rekomendasi dari Walikota. Selanjutnya panita memperoleh memo dari Walikota. Namun memo tersebut tidak diberikan kepada panitia, melainkan hanya ditujukkan oleh Wakil Walikota, sebagai pejabat yang menerima kedatangan panitia dan panitia hanya memoto memo tersebut, tidak mengambilnya. Setelah itu, Wakil Walikota menyarankan agar panitia pembangunan masjid menghadap kepada Kepala Dinas Tatakota untuk penyelesaian IMB.109 Karena memo tidak diambil oleh panitia, akhirnya memo tersebut ada di pihak Binsos, tapi ketika ditanyakan oleh panitia, Binsos mengatakan bahwa memo itu tidak ada di pihaknya. Sebaliknya Binsos menunggu dikeluarkannya memo dari Walikota. Sehingga panitia merasa “dipingpong”. Akhirnya ijin pendirian 107
Wawancara dengan imam salah satu masjid di Kota Kupang, 25-2-2011. Wawancara dengan SS, 2-3-2011. 109 Wawancara dengan SS,2-3-2011. 108
282
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Masjid di Batuplat masih berputar antara Walikota, Binsos dan Dinas Tata Kota. Dengan kata lain permasalahannya masih berputar di birokrasi tingkat atas di Pemkot Kupang. 110 Padahal apabila mengacu kepada PBM, setelah penyerahan semua persayaratan perijinan, selambat-lambatnya setelah 90 hari Walikota harus memberikan jawaban. Tapi setelah melewati waktu tersebut panitia tidak memperoleh jawaban apa-apa dan berkas perijinan diserahkan kembali tanpa rekomendasi.111
Alasan Penolakan Masyarakat Sebagian masyarakat non-Muslim sekitar menolak rencana pembangunan masjid di lingkungan mereka, dengan alasan mengganggu ketenangan, antara lain penggunaan pengeras suara. Padahal, umat Muslim sejak semula menggunakan rumah tinggal yang sudah diwakafkan oleh pemiliknya untuk masjid, dalam pelaksanaan peribadatan, shalat, khutbah ataupun ceramah keagamaan tidak pernah menggunakan pengeras suara. Dari semula umat Muslim di Batuplat telah berupaya dalam pelaksanaan peribadatannya untuk tidak mengganggu masyarakat 112 lingkungannya yang berbeda agama. Sebagian masyarakat non-Muslim di Kota Kupang umumnya dan Batuplat khususnya dalam bersikap terhadap umat Islam setempat selalu mengaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah lain, misalnya kasus eksekusi hukuman mati Tibo di Poso dan terakhir kasus pembakaran gereja di Temanggung Jawa 110
Wawancara dengan SS,2-3-2011. Wawancara dengan SS,2-3-2011. 112 Wawancara dengan SS,2-3-2011. 111
283
Haidlor Ali Ahmad
Tengah. Jika terjadi peristiwa-peristiwa semacam itu di daerah lain, maka sebagian umat non-Muslim di Kupang pun bersikap kurang harmonis terhadap umat Islam, demikian pula reaksinya terhadap pembangunan masjid termasuk pembangunan masjid di Batuplat. Demikian pula sikap mereka terhadap fihak pendukung pembangunan masjid (60 orang) jika mau tandatangan diancam, antara lain dengan kata-kata ”awas, jika nanti terjadi apa-apa!” 113
Solusi Pemkot Pada bulan Oktober 2008 diadakan pertetemuan antara tokoh-tokoh agama dan MUI Kota Kupang dengan Walikota. Pada waktu itu Walikota memberikan solusi sebidang tanah untuk pembangunan masjid di Batuplat.114 Tanah pemberian Wali Kota tersebut berjarak sekitar satu kilo meter dari lokasi pembanguan masjid yang dibatalkan/dari tempat pemukiman umat Muslim sebagai calon penggunanya. Sedangkan di lokasi pemberian Walikota itu tidak ada pemukiman.115 Di lokasi baru hanya ada satu KK Muslim. Sehingga menimbulkan pertanyaan dari masyarakat Muslim setempat, tanah itu untuk apa jauh dari pemukiman? Seandainya jadi dibangun masjid di sana, siapa yang mengurus?116 Tanah pemberian Wali Kota itu ternyata juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Karena tanah tersebut kemudian dipertanyakan oleh DPRD setempat, kebijakan Walikota itu menggunakan dana apa? Menggunakan dana APBD atau APBN? Demikian pula dari kalangan panitia pembangunan masjid juga 113
Wawancara dengan SS,2-3-2011. Wawancara dengan SS,2-3-2011. 115 Wawancara dengan MAR,27-2-2011. 116 Wawancara dengan SS, 2-3-2011. 114
284
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
mempertanyakan status tanah tersebut, apa dasar hibahnya?117 Akhirnya, umat Muslim di Batuplat menjadi sangsi dengan status tanah tersebut, sehingga mereka minta kejelasan keabsahan hibah dari pemkot, kalau tidak jelas, mereka khawatir sewaktu-waktu tanah tersebut bisa diambil kembali.118 Dengan adanya lokasi baru untuk pembangunan masjid, maka kemudian dibentuk panitia pembangunan masjid yang baru. Karena status tanahnya masih belum jelas, maka panitia yang baru pun tidak melakukan aktivitas apa-apa.119 Disamping karena tidak ada dana, maka panitia tidak mampu membangun. Hingga penelitian ini dilaksanakan, tanah tersebut masih berupa lahan kosong.120 Para informan dari non-Muslim memberikan informasi yang berbeda berkenaan dengan kasus pendirian masjid di Batuplat, dua orang pejabat Kesbang Linmas mengatakan “sekarang kasus perselisihan masjid di Batuplat ini sudah teratasi”.121 Sedangkan Pdt. Hd mengatakan, bahwa rekomendasi dari FKUB untuk pendirian masjid di Batuplat sudah keluar.122 Namun faktanya, di tempat yang lama, pembangunan masjid yang sudah sampai pada pembangunan dinding dan kusen pintu maupun jendela itu akhirnya terbengkelai karena belum ada atapnya. Sedangkan di tempat yang baru (tanah pemberian Walikota) masih berupa tanah kosong.
117
Wawancara dengan SS, 2-3-2011. Wawancara dengan SS, 2-3-2011. 119 Wawancara dengan SS, 2-3-2011. 120 Wawancara dengan MAR,27-2-2011. 121 Wawancara dengan Ant dan Yog, 25-2-2011. 122 Wawancara dengan Pdt. Hd. 118
285
Haidlor Ali Ahmad
Saran Masyarakat FKUB menyarankan agar bangunan (di tempat lama) yang sudah terlanjur berupa dinding batu itu dialihkan untuk pembanguan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Karena pembangunan TPA proses perijinannya tidak serumit pembangunan masjid. Jangan sampai bangunan yang sudah separoh jadi itu terlalu lama terbengkelai, nanti kusen pintu dan jendela yang sudah terpasang dan balok kayu yang sudah tersedia sejak tahun 2002 bisa lapuk karena kehujanan dan kepanasan.123
2. Kasus Pendirian Masjid Al-Ikhwan di Jl. Bajawa Rencana pembangunan Masjid Al Ikhwan di Jl.Bajawa sudah dimulai sejak April 1996, sepuluh tahun sebelum PBM disusun. Tanah lokasi pembangunan masjid seluas 500 m2 dan sudah ada sertifikatnya. Masjid tersebut rencananya akan dibangun dua tingkat ke bawah, memanfaatkan kemiringan tanah. Luas bangunan lantai 110x10 m dan lantai bawah 70 m2 untuk kamar marbot, kamar mandi, tempat wudlu, WC dan lain-lain.124 Namun rencana pembangunan masjid ini diprotes oleh masyarakat non-Muslim sekitar. Sehingga rencana pembangunannya dibatalkan. Padahal renacana pembangunan masjid di Jl. Bajawa sudah merupakan kebutuhan nyata karena di sekitar lokasi terdapat umat Muslim yang jumlahnya mencapai 80 KK. Lebih besar dari jumlah pengguna (90 orang) sebagaimana ketentuan PBM.125
123
Wawancara dengan MAR, di kediaman SS, 2-3-2011. Wawancara dengan ARB, 2-3-2011. 125 Wawancara dengan imam salah satu masjid di Kota Kupang, 25-2-2011. 124
286
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Kelengkapan Persyaratan Untuk pembangunan masjid di Jl Bajawa ini panitia sudah berupaya melengkapi persyaratan perijinan sebagai berikut: 1) pembentukan panitia pembangunan masjid, 2) Ijin tingkat kelurahan, 3) Gambar proyeksi, 4) Ikrar wakaf (tahun 1996). Setelah berlakunya PBM, rencana pembangunan masjid diulang dari awal, mengikuti proses sesuai ketentuan PBM.126 Hingga penelitian ini dilaksanakan tanah lokasi pembangunan masjid ini masih berupa lahan kosong.
Kasus-kasus yang muncul a) Shalat berjamaah di rumah (sementara belum ada masjid) dilempari batu. b) Ada seorang guru MAN yang sedang membangun rumah tinggal, dipermasalahkan oleh masyarakat sekitar dikira akan membangun masjid.127 Karena suasananya kurang kundusif, sekarang sedang cooling dawn, dan sementara kegiatan yang dilakukan hanya membersihkan lokasi tempat pembangunan masjid.128
Peran FKUB Dalam kasus pembangunan masjid di Jl. Bajawa ini FKUB tidak bisa berbuat banyak. Salah seorang anggota FKUB dari unsur Islam hanya bisa memberi saran agar pembangunan masjid 126
Wawancara dengan ARB, 2-3-2011. Wawancara dengan ARB,2-3-2011. 128 Wawancara dengan ARB,2-3-2011. 127
287
Haidlor Ali Ahmad
dibatalkan dan diganti dengan pembangunan mushala, karena pembanguan mushala tidak perlu ijin seperti pembangunan masjid.129
3. Kasus Pendirian Mushala Al-Faidah Oesapa Mushala Al-Faidah, sebuah bangunan semi permanen didirikan pada tahun 2003. Lokasi didirikan Mushala Al-Faidah di Komplek RSS Liliba Kelurahan Oesapa Kecamatan Kelapa Lima. Latar belakang didirikan Mushala Al-Faidah ini karena developer tidak menyediakan fasilitas untuk rumah ibadat (masjid/mushala) di pemukiman RSS Liliba. Oleh karena itu umat Muslim yang tinggal di RSS tersebut mengumpulkan dana dan kemudian membeli tanah untuk mendirikan rumah ibadat. Mushala Al-Faidah didirikan di atas tanah kapling milik Masri Irwan Blegur yang dibeli dari Oliva Odje tanggal 6-9-2002 dan tanah milik Rasda Lima Diding yang dimiliki sejak tahun 2002. Kemudian pada tahun 2005 diperluas dengan tanah milik Said Umar yang dibeli dari Orgen Romas Belu, 24-22005. Luas masing-masing kapling 270 m2 sehingga total tanah yang disediakan untuk pembangunan mushala tersebut seluas 810 m2. Namun tanah tersebut masih merupakan milik pribadi belum diwakafkan. Meskipun hanya berupa mushala, sejak rencana awal pembangunannya sudah banyak menghadapi kendala, antara lain: Pertama, dari Koperasi Pegawai Negeri Dirtag Provinsi NTT berupa rekomendasi dengan nomor: 07/Kpn,Dirtag-NTT/2002. Inti dari isi rekomendasi tersebut kurang lebih: 1) Tanah kapling yang dibagi dengan hak milik adalah untuk tujuan perbaikan tunjangan 129
288
Wawancara dengan MAR di kediaman ARB, 2-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
kesejahteraan anggota dengan dilatari anggota belum memiliki tanah untuk kebutuhan rumah tinggal; 2) Bahwa kapling dimaksud diperuntukkan bagi pembangunan rumah tinggal, bukan untuk tujuan pengbangunan yang lain; 3) Tanah kapling yang sudah dibagikan kepada anggota dilarang untuk dipindahtangankan kepada pihak lain/pihak ke tiga, baik itu pegawai negeri non anggota, keluarga maupun pihak luar (masyarakat umum). Rekomendasi itu ditandatangani oleh Ketua Pengurus Koperasi Dirtag Prov NTT, Sumral B. Manoe, SH. Menurut Mir jika ditelusuri rekomendasi tersebut illegal.130 Kedua, Lurah Oesapa melalui surat nomor: 451.2/266/KOSP/2003 tanggal 5 November 2003 ditandatangani oleh RA Penna, Lurah Oesapa. Isi surat meminta agar pembangunan mushala dihentikan. Surat Lurah tersebut berdasarkan protes warga non-Muslim sekitar mushala karena tidak setuju atas pembangunan mushala. Mir meragukan alasan Lurah tersebut, karena banyak tanda tangan yang kelihatannya dipalsu. Selain itu menurut Mir tidak semua warga non-Muslim sekitar mushala menolak keberadaan mushala, karena sebagian di antara mereka ada yang meminta aliran listrik dan air dari mushala untuk kebutuhan seharihari dan pada hari Iedul Adha penduduk sekeliling tidak terkecuali non-Muslim biasa dibagi daging korban131. Belakang jamaah mushala Al-Faidah semakin banyak meliputi warga Muslim di RSS Liliba, Komplek Politeknik, warga Muslim yang tinggal di belakang asrama Sumba dan belakang lembaga pemasyarakatan. Sehingga jika waktu shalat Jumat atau waktu bulan Puasa jamaahnya luber ke luar. Pada tanggal 18 Januari 130 131
Wawancara dengan MIB, 27-2-2011. Wawancara dengan salah seorang penggagas berdirinya mushala Al-Faidah, 23-
2-2011.
289
Haidlor Ali Ahmad
2010 Pengurus Mushala Oesapa berkeinginan mengembangkan bangunan mushala yang sudah ada, sebagai tindak lanjut dari hasil rapat umat Muslim Oesapa Tanggal 10-01-2010. Alasan pengembangan bangunan mushala karena jumlah jamaah semakin banyak dan persyaratan suatu pemukiman, yang salah satunya adalah tersedianya rumah ibadat. Untuk itu, pengurus mushala kemudian berkirim surat kepada Wali Kota Kupang dengan nomor surat: 02//PPM-RSS/OESAPA/I/2010. Dalam surat tersebut juga dikemukakan bahwa pembangunan mushala tersebut sudah berlangsung ±7 tahun dengan berbagai jalan formal dan prosedural dan sebelumnya sudah berkirim surat, 1) No.76/PPM-RSS/OesapaLLB/II/2003 perihal: Pemberitahuan; 2) No.80//PPM-RSS/OesapaLLB/II/2003 perihal: Pemberitahuan; 3) No. 04/PPM-RSS/OESAPALLB/III/’09 perihal: Keberadaan Al-Faidah. Surat yang ditandatangani Masri Irwan Blegur (Ketua) dan Zilman Syarif (sekretaris) mengharapkan adanya kebijakan Wali Kota sebagai wujud toleransi antarumat beragama. Tembusan surat disampaikan kepada: 1) Ketua DPRD Kota Kupang, 2) Kapolresta Kupang, 3) Ketua Bappeda Kota Kupang, 4) Kadin Pemukiman dan Tata Ruang Kota Kupang, 5) Kaban Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat, 6) Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi NTT (sekarang Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTT), 7) Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Kupang, 10) Ketua FKUB Kota Kupang, Camat Kelapa Lima, Lurah Oesapa, Rukun Warga (RW), dan Rukun Tetangga (RT). Dengan adanya rencana pembangunan mushala tersebut berkembang isu di kalangan masyarakat khususnya non-Muslim, bahwa mushala Al Faidah akan dikembangkan menjadi masjid, sebagaimana dikatakan oleh Pdt. Hd, bahwa permasalahan muncul karena mushala mau dikembangkan menjadi masjid.132 Akan tetapi 132
290
Wawancara dengan Pdt.Hd, 25-2-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
bukti-bukti berupa dokumen dari panitia tidak ada yang menyebut kata masjid.
Faktor Lingkungan Di Oesapa terdapat lima gereja, yakni GMIT terdiri dari 1) Gereja Nazaret, 2) Gereja Bethel Oesapa, dan 3) Gereja Ora Et Labora; dan Gereja Pantekosta terdiri dari 1) Gereja Jamaat Tunas Daun dan 2) Gereja Jemaat Bukit Zaitun, serta satu Kapela Santo Petrus. Disamping itu terdapat dua masjid, yaitu Masjid Al-Hidayah dan Masjid Al-Fitra.133 Faktor lingkungan lokasi pendirian rumah ibadat dipandang tidak memenuhi syarat. Di tengah-tengah tempat pemukiman penduduk, berbatasan langsung dengan rumah penduduk dan penduduk sekitarnya adalah non-Muslim. Pada umumnya masyarakat menganggap bahwa rumah ibadat tidak boleh dibangun di tempat pemukiman, sebaliknya jamaah lingkungan Mushala Al-Faidah menginginkan di lingkungannya ada sarana ibadah, di mana seharusnya pihak pengembang (developer) menyediakan fasos dan fasum (termasuk sarana ibadat). Dengan adanya masjid/mushala di dekat lingkungan tempat tinggal, mereka tidak kesulitan melakukan shalat jamaah lima waktu, dan sekaligus dapat dijadikan sebagai sarana dan prasarana mengajarkan ilmuilmu agama kepada anak-anak mereka.134 Keberatan masyarakat non-Muslim sekitar karena faktor lingkungan, Ant dan Yog yang merupakan pejabat di Kesbang Linmas mengatakan di Oesapa sudah ada 4 masjid.135 Ternyata yang 133
Wawancara dengan EHB, 28-2-2011. Wawancara dengan AN, SB, Sis, SJ, dan Fu. 135 Wawancara dengan Ant dan Yog, 25-2-2011. 134
291
Haidlor Ali Ahmad
dikatakan oleh Ant dan Yog itu tidak benar, karena Pdt. Hd mengatakan alasan masyarakat non-Muslim karena di Oesapa sudah ada 2 buah masjid. Setelah peneliti crosscheck, menurut beberapa orang pengurus (takmir) Mushala Al-Faidah di Oesapa memang sudah ada dua masjid. Demikian juga menurut keterangan Lurah Oesapa yakni Masjid Al-Hidayah sekitar 5 km dan masjid Al Fitra sekitar 2 km dari lokasi Mushala Al-Faidah. Karena letaknya cukup jauh, sehingga masyarakat Muslim sekitar Mushala Al-Faidah merasa kejauhan untuk melakukan shalat jamaah lima waktu dan terutama untuk menunaikan shalat Jumat.136 Lurah Oesapa – merujuk kepada rekomendasi Koperasi Pegawai Negeri yang melarang pemindahan hak tanah – mempertanyakan boleh tidaknya tanah yang diperuntukkan sebagai perumahan/tempat tinggal kemudian difungsikan untuk rumah ibadat. Sementara ke lima gereja Kristen dan satu kapela berada di luar komplek perumahan.137 Dalam hal ini dari kalangan Muslim di Kota Kupang, (antara lain Pengurus FKUB, Dosen Unmuh Kupang yang salah seorang panitia pembangunan mushala) mengatakan bahwa ada perbedaan karakter peribadatan Islam dengan agama-agama lain. Peribadatan Islam (khususnya shalat lima waktu) dilakukan dengan hitungan jam, sedangkan kebaktian yang dilakukan umat Kristiani dilakukan seminggu sekali. Karena frekuensi peribadatannya berbeda, maka kebutuhan akan rumah ibadatnya juga sangat berbeda. Karena kebaktian bersifat mingguan, maka tempat peribadatannya agak jauh atau terpisah di luar perumahan tidak ada masalah. Tapi karena karakter peribadatan Islam dalam hitungan jam, maka sangat sulit bagi umat Islam jika rumah ibadatnya jauh di luar perumahan. Apa lagi untuk 136 137
292
Wawancara dengan AN, SB, Sis, SJ, dan Fu. Wawancara dengan EHB,28-2-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
shalat Isya (waktu malam) dan Subuh (dini hari) tentu akan lebih aman bila dilakukan di tempat ibadat yang letaknya berdekatan dengan tempat tinggal.
Faktor Ekonomi dan Kecemburuan Sosial Penduduk Kelurahan Oesapa mayoritas dari etnis Bugis yang secara ekonomis lebih baik dibandingkan dengan penduduk pribumi.138 Hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi kelompok masyarakat yang lain baik secara etnis maupun keagamaan. Sebagaimana dikatakan Pdt. Hd “masalah perselisihan rencana pembangunan masjid adalah masalah komunikasi. Sebaiknya di fihak panitia pembangunan tidak mengatakan sudah memiliki dana untuk membangun masjid. Hal itu justru dapat menimbulkan iri hati di kalangan masyarakat sekitar yang berbeda agama. Sehingga untuk rencana pembangunan masjid ini masih butuh waktu.”139 Kecemburuan itu juga tampak dari wawancara peneliti dengan RT di RSS Oesapa, RT yang wilayahnya meliputi Mushala Al-Faidah ini mempertanyakan dana yang dimiliki oleh panitia pembangunan mushala tersebut dari mana asalnya?140
Peran FKUB Menurut Mir, FKUB belum berbuat banyak terhadap kasus perselisihan pendirian rumah ibadat di Oesapa.141 Sementara seorang anggota FKUB mengatakan bahwa FKUB sudah pernah 138
Wawancara dengan beberapa informan, Ant, Im, Pdt Hd dll dalam waktu dan kesempatan berbeda. 139 Wawancara dengan Pdt. Hd 25-2-2011. 140 Wawancara dengan Jer, 28-2-2011. 141 Wawancara dengan Mir, 27-2-2011.
293
Haidlor Ali Ahmad
membahas masalah Mushala Al-Faidah142. FKUB sudah pernah memediasi hingga ke Wali Kota. Namun yang paling menghambat peran FKUB karena proses perijinan sudah dihambat pada tingkat kelurahan dan camat. Misalnya daftar pengguna dan pendukung pendirian rumah ibadat tidak memperoleh pengesahan di tingkat kelurahan. Sehingga FKUB tidak bisa memberikan rekomendasi.143
Solusi yang Ditawarkan Pemkot Karena berlarut-larutnya perselisihan pembangunan Mushala Al-Faidah, maka Pemkot Kupang memberikan solusi mencarikan tanah, tapi hingga sekarang belum berhasil. Pada awalnya Wali Kota berjanji akan mencarikan tanah sebagai pengganti lokasi pembanguan mushala dan tanah lokasi mushala yang lama tetap sebagai milik umat Muslim dan akan digunakan sebagai tepat Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), tapi hingga sekarang belum ada realisasinya.144
142
Wawancara dengan Ant dan Yog, 25-2-2011. Wawancara dengan MAR, 27-2-2011. 144 Wawancara dengan Mir, 27-2-2011. 143
294
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
ANALISIS
Administratif/Prosedural/Regulasi Masalah perselesihan pendirian rumah ibadat (masjid/ mushala) yang terjadi di Kota Kupang, pada umumnya rencana/awal pembangunannya sudah dilakukan sebelum tahun 2006, atau sebelum diterbitkannya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Namun sejak awal berdirinya masjid/mushala tersebut sudah menghadapi tantangan dari sebagian anggota masyarakat setempat yang berbeda agama. Kemudian setelah lahirnya PBM, panitia pendirian rumah ibadat menghadapi permasalah proses perijinan, ada yang dihambat di tingkat bawah (RT/RW dan lurah) dan yang lain ada yang di tingkat dinas di pemerintah kota. Dengan kata lain, meskipun panitia pembangunan masjid sudah berupaya memenuhi persaratan-persaratan yang diperlukan, namun pihak penentang (termasuk di dalamnya aparat pemerintah) berupaya menghambat dengan berbagai cara. Hal itu lebih tampak jelas pada pembangunan mushala (rumah ibadat keluarga) – yang tidak diatur oleh PBM – masih dituntut untuk melengkapi persyaratan-persaratan layaknya masjid.
295
Haidlor Ali Ahmad
Hubungan Pribumi-Pendatang Hubungan antara pribumi dan pendatang dapat dikatakan dalam suasana “keharmonisan semu”. Pertama, karena pada umumnya pendatang memeluk agama yang berbeda dengan agama mayoritas penduduk pribumi Kota Kupang. Ketika ada isu SMS provokatif antara lain ada SMS yang berbunyi “bakar, hancurkan dan usir”. Kata usir secara mudah dapat diketahui ditujukan kepada para pendatang. Meskipun di sisi lain keberadaan pendatang juga dibutuhkan oleh masyarakat khususnya Kota Kupang dan umumnya Provinsi NTT. Hal itu terbukti ketika terjadi kerusuhan tahun 1998, Kota Kupang mengalami kelumpuhan ekonomi selama 3 bulan dan ketika muncul SMS provokatif, beberpa sektor ekonomi nyaris lumpuh. Disamping itu ada perlakuan yang berbeda terhadap pribadi-pribadi pribumi dibandingkan dengan pendatang. Misalnya kasus perselisihan pembangunan mushala di RSS Oesapa, yang lebih menampilkan Mir sebagai orang asli Alor dari pada yang lain sebagai pendatang. Padahal Mir kurang memiliki kecakapan untuk berkomunikasi. Sementara yang lain sebagai pendatang meskipun banyak yang sarjana sebagai dosen tapi akan lebih riskan jika diposisikan di garis depan.
Fungsi Pemerintah Dinamisator
Sebagai
Regulator,
Fasilitator
dan
Berdasarkan informasi dari beberapa orang staf Urais Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTT, salah seorang pejabat Kantor Kemenag Kota Kupang dan Mir bahwa pihak Kelurahan Oesapa selama ini tidak bersedia memberikan rekomendasi. Padahal Camat
296
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
Kelapa Lima sudah menyetujui.145 Ketika peneliti mempertanyakan “yang memberikan rekomendasi kan FKUB dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota?” Salah seorang takmir mushala mengatakan bahwa untuk perijinan tersebut sudah disediakan blanko dari pemkot yang antara lain ada kolom rekomendasi dari kelurahan dan camat.146 Menurut pengamatan peneliti terhadap salah seorang pejabat di Kanwil Kemenag Provinsi NTT dan salah seorang pejabat Kantor Kemenag Kota Kupang kelihatan ada rasa takut dan berupaya menutup-nutupi kasus perselisihan rumah ibadat di Kota Kupang. Lebih jelas lagi pada diri salah seorang pejabat Kantor Kemenag Kota ketika kami wawancarai mengatakan “tidak tahu tentang perselisihan pendirian rumah ibadat di Oesapa”. Tetapi ketika hal itu kami sampaikan kepada salah seorang takmir di Oesapa, takmir tersebut mengatakan bahwa, tidak mungkin pejabat tersebut tidak mengetahui permasalah Mushala Al-Faidah Oesapa, karena yang bersangkutan sering khutbah dan ceramah di sini (pen: Mushala Al-Faidah) dan isterinya juga orang sini (pen: Oesapa)”.147 Demikian pula ketika saya konfirmasi kepada salah seorang anggota FKUB Kota Kupang, kami memperoleh jawaban ada kesan ketakutan di kalangan para pejabat Kanwil Kemenag dan Kantor Kemenag Kota, sehingga dalam kasus perselisihan pendirian rumah ibadat, mereka selalu menyuruh FKUB yang bicara.148 Dalam hal ini, peneliti tidak menyalahkan para pejabat Kanwil Kemenag dan Kantor Kemenag Kota karena suasana di NTT khususnya di Kota dan Kabupaten Kupang memang tidak kundusif untuk mengungkapkan 145
Wawancara dengan dua orang sataf di Kanwil Kemenag Provinsi NTT, 23-2-2011 dan pejabat di jajaran Kantor Kemenag Kota Kupang, 24-2-2011. 146 Wawancara dengan Mir, 23-2-2011. 147 Wawancara dengan Mir, 27-2-2011. 148 Wawancara dengan MAR, 27-2-2011.
297
Haidlor Ali Ahmad
fakta secara apa adanya. Apa lagi pada saat penelitian ini berlangsung suasana Kota dan Kabupaten Kupang sedang tegang dengan adanya ancaman kerusuhan melalui SMS provokatif. Lurah Oesapa mengharapkan agar perselisihan masalah pendirian mushala ini dapat diselesaikan sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku, mengacu kepada PBM dan ada kepastian hukum dan administrasi yang benar.149 Menurut hemat peneliti, justru di sini letak peliknya permasalahan sehingga pihak panitia pembangunan mushala merasa dipermainkan, karena pendirian mushala tidak diatur oleh PBM. Edialnya fungsi pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator tapi faktanya banyak orang dari kelompok keagamaan tertentu ketika menjadi PNS atau pejabat pemerintah yang seharusnya melepaskan baju kelompok keagamaannya dalam artian melepaskan diri dari kepentingan kelompok keagamaannya, sebaliknya dapat memposisikan diri sebagai yang mewakili pemerintah dalam mengayomi seluruh umat beragama. Dari deskripsi di atas masih banyak aparat pemerintah yang masih berusaha menghabat proses perijinan pembangunan rumah ibadat. Sehingga dari beberapa orang panitia pembangunan rumah ibadat ada yang merasa proses pengurusan perijinannya dijegal di tingkat RT/RW dan lurah dan ada pula yang merasa “dipingpong” di tingkat pemkot. Pendirian rumah ibadat di Kota Kupang, khususnya bagi umat Muslim, baik mushala maupun masjid sarat dengan unsur-unsur politik. Sehingga sering masalah perselisihan antar umat sudah selesai tapi kemudian dipolitisasi, sehingga ada saja hambatan yang muncul. Jika ada solusi dari pejabat tinggi di pemkot lebih dikarenakan kepentingan politik berkaitan dengan 149
298
Wawancara dengan EHB,28-2-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
pemilukada. Sebaliknya, ketika ada aparat (non-Muslim) yang berupaya berbuat adil menjadi pengayom bagi semua penganut agama termasuk di dalamnya umat Islam, justru akhirnya tersingkir dari percaturan politik elit di NTT.150
Perlu Ada Dialog Antarumat Dalam suatu wawancara dengan Pdt. Hd, ia menanyakan kepada peneliti tingkat urgensinya rumah ibadat bagi umat Islam, peneliti sampaikan bahwa bagi umat Islam ada ajaran yang mengatakan bahwa shalat jamaah memiliki pahala yang berlipat ganda dibandingkan salat sendiri-sendiri di rumah. Sehingga hal ini mendorong umat Islam untuk mendirikan sarana untuk shalat jamaah, baik sekedar berupa mushala lebih-lebih bisa berupa masjid. Di samping itu, ada hikmah yang bisa dipetik dari kebiasaan shalat berjamaah, antara lain akan meningkatkan pergaulan antar individu (Jawa: sesrawungan); menumbuhkan nilai sosial kemasyarakatan, misalnya jika ada jamaah yang sakit akan mudah diketahui oleh anggota masyarakat yang lain, selanjutnya mereka akan membesuknya; Jika ada yang kena musibah mereka juga akan lebih cepat menerima informasi dan menggalang solidaritas. Sebenarnya, nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan rasa solidaritas semacam itu juga bisa ditumbuhkembangkan kepada seluruh anggota masyarakat tanpa pandang agamanya. Sehingga masyarakat umum akan dapat merasakan kemanfaatannya. Untuk itu kiranya cukup beralasan apa yang dikatakan Pdt. Hd di atas “masalah perselesihan rencana pembangunan masjid adalah masalah komunikasi”. 150 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011.
299
Haidlor Ali Ahmad
300
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
PENUTUP
Kesimpulan 1. Dari ketiga kasus perselisihan pendirian rumah ibadat yang ada, pihak panitia pembangunan sudah berupaya mengikuti peraturan yang ada baik sejak sebelum lahirnya PBM maupun setelah diberlakukannya PBM. Hambatan itu tampak jelas, ketika yang dibangun hanya mushala yang tidak diatur oleh PBM juga masih memperoleh hambatan. 2. Peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan belum maksimal, karena masih banyak aparat pemerintah yang belum bisa melepas baju kelompok keagamaannya dan menjadi aparat yang mampu mengayomi seluruh penganut agama. Jika ada solusi cenderung untuk kepentingan politik dalam pemilukada. 3. Peranan FKUB penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadah juga belum bisa maksimal, karena proses perijinan sudah dihambat pada tingkat bawah RT, RW dan kelurahan. 4. Respon masyarakat yang terhadap pembangunan rumah ibadat tampak ada yang menggerakkan maupun yang menakutnakuti, disamping mereka juga masih belum mengetahui urgensinya pembangunan rumah ibadat bagi umat lain.
301
Haidlor Ali Ahmad
Rekomendasi 1. Berkenaan dengan uapaya panitia pembangunan rumah ibadat yang sudah memenuhi persayaratan perijinannya diharapkan agar aparat pemerintah terkait dapat memberikan kemudahan dan FKUB serta kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota dapat segera memberikan rekomendasi. Demikian pula kepala daerah juga dapat menerbitkan IMB-nya sesuai dengan peraturan yang berlaku (PBM). 2. Berkenaan dengan kasus-kasus perselisihan pembangunan rumah ibadat aparat pemerintah terkait hendaknya dapat berlaku adil dan dapat mengayomi terhadap semua penganut agama sehingga dapat mewujudkan hubungan antarumat beragama dan pemerintah yang lebih kondusif. 3. FKUB hendaknya dapat bersikap lebih proaktif dan dapat menjadi mediator bagi mereka yang sedang berselisih dalam masalah pendirian rumah ibadat. 4. Untuk lebih memberikan pemahaman masyarakat yang berbeda agama terhadap urgesinya pembangunan rumah ibadat bagi umat lain perlu adanya dialog antarumat bergama sehingga dapat meminimalisasi terjadinya perselisihan masalah pendirian rumah ibadat.
302
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya. CRCS UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: 2011. Kanwil Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur, Profil Pelayanan Bidang Urusan Agama Katholik,2009. Kupang Metro, Senin, 28 Februari 2011. Makarim, Abdulkadir, Drs. H., “Pentingnya Kerukunan (Antara Harapan dan Kenyataan)”, Timor Express, Selasa, 1 Maret 2011. Moderate Muslim Society, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: 2011. PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2009. SETARA
Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: 2011.
The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: 2011.
303
Haidlor Ali Ahmad
304
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat di Kota/Kabupaten Jayapura Provinsi Papua
Oleh : Ibnu Hasan Muchtar
305
Kata Pengantar
306
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan di seputar rumah ibadat tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat kasus terkait rumah ibadat juga terjadi. Rencana pembangunan Islamic Center di Ground Zero (yang konon juga adalah pembangunan mesjid), telah memicu pertentangan antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra rencana pembangunan. Di India bahkan terjadi kekerasan dan konflik sosial yang dipicu oleh penghancuran Masjid Babri di Kota Ayodhya, yang bahkan telah meluas pula ke wilayah Pakistan dan Bangladesh. Sementara itu, proses perdamaian antara Palestina dan Israel juga kembali terganggu oleh adanya konflik horisontal akibat pembakaran Masjid Beit Fajjar oleh pemukim Yahudi di dekat Betlehem, Tepi Barat. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa masalah di seputar rumah ibadat tidak khas Indonesia, melainkan dialami oleh negara-negara lain yang memiliki setting dan karakter kehidupan keagamaan yang berbeda dengan Indonesia. Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari segi suku bangsa, budaya, dan agama. Setidaknya terdapat 1.128 suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan
307
Kata Pengantar
beragam budayanya masing-masing. Selain itu, setidaknya ada enam agama yang banyak dipeluk penduduk Indonesia dan ratusan aliran kepercayaan/keyakinan, yang menyebar di berbagai provinsi dengan komposisi yang beraneka ragam. Di satu sisi, kemajemukan ini merupakan khazanah kekayaan bangsa yang patut dibanggakan, namun di sisi lain sekaligus merupakan tantangan yang harus dikelola dengan baik. Dalam konteks kemajemukan agama dan keyakinan, kerukunan umat beragama menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dijaga dan dipelihara dalam bingkai kehidupan bernegara. Hal ini karena kerukunan umat beragama merupakan pilar penting bagi terwujudnya kerukunan nasional, dan merupakan modal sosial yang harus dijaga dan dikelola sebagai salah satu potensi dalam pembangunan bangsa. Kerukunan umat beragama sendiri diartikan sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kerukunan umat beragama bukanlah kondisi yang statis melainkan dinamis seiring dinamika kehidupan umat beragama. Fluktuasinya dipengaruhi oleh banyak faktor dan situasi, yang tidak semata-mata faktor keagamaan. Kajian Badan Litbang dan Diklat, misalnya, mendaftar sejumlah faktor non-keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Faktor-faktor non-keagamaan ini biasanya berdampak besar dan luas. Adapun faktor keagamaan sendiri ada sebelas, yaitu: penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan,
308
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan pendirian rumah ibadat. Di antara faktor-faktor keagamaan yang pada tahun belakangan ini kerap mengganggu kondisi kerukunan umat beragama adalah masalah di seputar rumah ibadat. Variasinya cukup beragam, antara lain: penolakan pendirian rumah ibadat, penertiban tempat ibadat, hingga penutupan rumah ibadat. Mengingat variasi, skala dan jumlahnya cenderung meningkat, sehingga tidak heran jika masalah di seputar rumah ibadat ini menjadi isu penting dan juga merupakan salahsatu permasalahan dalam pembangunan nasional sebagaimana tersurat di dalam RPJMN 2010-2014. Berbagai laporan tahunan, misalnya, menghitung dan melaporkan adanya kecenderungan yang meningkat dalam hal gangguan terhadap rumah ibadat tersebut. Pada tahun 2009 Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) mencatat terdapat 18 kasus di seputar rumah ibadat, dengan cakupan wilayah yang sama pada tahun 2010 ini meningkat menjadi 39 kasus.151 Demikian juga The Wahid Institute mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap rumah ibadat. Bahwa pada tahun 2010 ini terjadi 28 kasus pelanggaran dan 34 tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat (total 62 kasus).152 Angka ini lebih besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski dengan adanya perluasan wilayah laporan. Adapun SETARA Institute pada tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadat yang mengalami gangguan dalam berbagai
151
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: CRCS UGM,
2011, hlm. 34. 152 Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: The Wahid Institute, 2011, hlm. 17.
309
Kata Pengantar
bentuknya, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah, dan lain-lain.153 Bahkan, Moderate Muslim Society mencatat dari 81 kasus intoleransi, sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadat, dan intimidasi.154 Sebagian kalangan umat beragama juga merasa sulit dalam mendirikan rumah ibadat. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), misalnya, pada 1 Desember 2007 melayangkan surat kepada Presiden, menyatakan keluhannya karena berbagai peristiwa penutupan rumah ibadatnya dan merasa kesulitan ketika hendak mendirikan rumah ibadat di berbagai tempat. Dalam surat itu disertakan data kondisi rumah ibadat gereja, sebagai berikut: sebanyak 27 gereja ditutup dan belum dapat digunakan untuk beribadat; sebanyak 24 gereja sudah dibuka dan dapat digunakan untuk beribadat kembali; sebanyak 14 tempat ibadat/gereja digunakan untuk beribadah secara pindahpindah; 6 gereja digunakan ibadat meski dalam tekanan; dan terdapat 37 gereja tanpa keterangan. Total keseluruhan gereja dimaksud adalah 108 buah. Kesulitan juga dihadapi umat Muslim di Kupang Barat, sebagaimana dilaporkan SETARA Institute 2010. Bahwa warga muslim di Desa Manusak Kupang Timur dan di Kupang Barat mengalami kesulitan mendirikan masjid. Di lokasi ini telah berdiri mushalla, sementara warga muslim bermaksud meningkatkan status mushalla menjadi masjid, namun sudah 10 tahun keinginan warga Muslim ini ditolak oleh masyarakat sekitar. 155 153 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: SETARA Institute, 2011, hlm. 9. 154 Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: Moderate Muslim Society, 2011, hlm. 12. 155 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: SETARA Institute, 2011, hlm. 12.
310
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Mencermati berbagai permasalahan di seputar rumah ibadat di Indonesia sebagaimana gambaran di atas, muncul pertanyaan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Pertanyaan ini kian penting mengingat kehadiran PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 (peraturan yang salahsatunya menjelaskan perihal pendirian rumah ibadat) yang sedang dan terus disosialisasikan oleh Pemerintah, sejatinya menjadi solusi atas permasalahan di sekitar rumah ibadat ini. Untuk itulah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011 akan mengadakan penelitian khusus mengenai berbagai kasus di seputar rumah ibadat. Selain menjawab problem aktual di lapangan, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengklarifikasi data dan informasi berbagai pihak mengenai gangguan terhadap rumah ibadat tersebut di atas yang ditengarai tidak seutuhnya benar. Penelitian ini memiliki keterkaitan sekaligus distingsi yang jelas dengan penelitian serupa tahun 2010 lalu. Jika pada tahun 2010 lalu Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian terhadap sejumlah rumah ibadat yang hendak didirikan dan mendapat resistansi masyarakat dan yang tidak mendapat resistansi (damai), pada 2011 ini fokusnya adalah rumah ibadat yang diperselisihkan, baik berupa pendirian, penertiban, maupun penutupan. Artinya, akan dilakukan pendalaman terhadap kasus perselisihan yang terjadi.
Permasalahan Berdasarkan gambaran di atas, maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah mengapa perselisihan tentang pendirian, penertiban dan penutupan rumah ibadat terjadi di berbagai daerah Indonesia. Untuk itu, disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
311
Kata Pengantar
1. Bagaimana perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi, dan mengapa diperselisihkan? 2. Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan? 3. Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian perselisihan? 4. Bagaimana respon perselisihan tersebut?
masyarakat
terhadap
penyelesaian
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi dan alasan diperselisihkan. 2. Mengetahui peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan. 3. Mengetahui peranan FKUB penyelesaian perselisihan.
dan
majelis
agama
dalam
4. Mengetahui respon masyarakat terhadap perselisihan dimaksud.
Kegunaan Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat diperoleh dan terverifikasinya data dan informasi faktual mengenai sejumlah rumah ibadat yang mengalami penutupan/diperselisihkan. Dengan adanya informasi mengenai data faktual ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah sebagai bahan untuk menyusun kebijakan terkait dengan implementasi peraturan pendirian rumah ibadat dalam rangka upaya peningkatan kerukunan umat beragama. Selain itu, hasil penelitian ini
312
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
diharapkan memberi penjelasan atas kedalaman penyebab dan berbagai motivasi kasus-kasus rumah ibadat yang dilaporkan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Definisi Operasional Secara konseptual kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 1). Dengan demikian, kerukunan umat beragama akan terwujud jika segenap umat beragama memiliki toleransi yang tinggi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan pada tingkat tertentu dapat melakukan kerjasama. Artinya, dalam konteks di seputar masalah rumah ibadat, umat beragama hendaknya dapat menerima dan memahami kebutuhan rumah ibadat umat agama lain, serta memberikan penghormatan, penghargaan atas kesetaraan pengamalan agama, dan jika dapat, membantu dalam prosesnya. Sedangkan perselisihan di seputar rumah ibadat secara konseptual didefinisikan sebagai perselisihan antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan kantor kementerian agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai rumah ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama
313
Kata Pengantar
pengguna rumah ibadat dan karena ketidakpastian pelayanan pemerintah daerah. Artinya, perselisihan rumah ibadat terjadi menyangkut tertib aturan dan pemenuhan berbagai persyaratan, yakni persyaratan administratif, teknis, dan khusus. Dalam kaitan ini, acuan peraturan yang secara khusus mengaturnya adalah PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14. Perselisihan dalam penelitian ini dapat terkait pendirian, penertiban, ataupun penutupan rumah ibadat. Perselisihan dalam penelitian ini terkait pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat. Perselisihan pendirian dan penutupan dimaksudkan terhadap rumah ibadat yang diperselisihkan oleh masyarakat. Sedangkan penertiban dimaksudkan pada tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk rumah ibadat (sementara). Adapun rumah ibadat dalam penelitian ini adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 7).
Kerangka Berpikir Masalah di seputar rumah ibadat kerap terjadi seiring dinamika kehidupan umat beragama di dalam pluralitas kehidupan masyarakat Indonesia. Keberagaman agama dan keyakinan masyarakat berkelindan dengan masalah-masalah sosial ekonomi di sekitarnya bersinggungan satu sama lain yang, dalam satu dan lain hal, menyebabkan gesekan dan konflik. Secara simbolik, keberadaan rumah ibadat juga adalah gambaran eksistensi umat
314
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
beragama bersangkutan dalam ‘kontestasi’ demografi keagamaan di wilayah tersebut. Mengingat potensi gangguan kerukunan yang disebabkan masalah rumah ibadat ini, pemerintah memiliki peranan penting sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator, maksudnya, pemerintah harus menjalankan tugas utamanya menjaga ketentraman dan ketertiban umum yang terganggu masalah rumah ibadat, misalnya, dengan membuat aturan-aturan. Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 diterbitkan sebagai regulasi yang mengatur perihal pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral karena disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator, maksudnya, pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani dan melindungi umat beragama dalam melaksanakan ibadat, termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator, maksudnya, pemerintah berupaya memberdayakan umat beragama dalam kehidupan beragama, termasuk dalam menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat. Dari perspektif itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami kasus-kasus terkait rumah ibadat, khususnya dalam konteks Indonesia yang dalam penelitian ini digunakan pendekatan antara lain sebagai berikut: 1. Ranah regulasi Alasan yang kerap diberikan ketika sejumlah rumah ibadat dipermasalahkan adalah soal izin pendirian bangunan rumah ibadat, serta serangkaian persyaratannya sebagaimana diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. Rumah ibadat atau tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk ibadat kerap dipermasalahkan dan diperselisihkan ketika belum memenuhi
315
Kata Pengantar
persyaratan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan. Meski demikian, dalam beberapa kasus terjadi perselisihan terhadap rumah ibadat yangt sudah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Untuk itu, pada ranah regulasi ini penting melihat keterpenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur, yakni terkait persyaratan admnistratif, persyaratan teknis, dan persyaratan khusus. Hal ini merujuk pada Pasal 13 dan 14 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. 2. Ranah sosial-ekonomi-budaya Kehadiran komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas pribumi yang telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang tidak jarang ‘meminjam’ sentimen agama. Penelitian Usman Pelly (1999) yang mencari akar kerusuhan etnis di era reformasi mengonfirmasi hal ini. Penelitian itu menyimpulkan bahwa kerusuhan etnis sejak awal era reformasi berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberi petunjuk kuat bahwa tatanan sosial kehidupan majemuk telah hancur. Kelompok menengah telah memaksa kelompok etnis pribumi untuk puas hidup di papan bawah dan terpinggirkan. Potensi konflik kemudian memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan.156 Konsep ingroup-outgroup juga kerap berperan dalam hal ini. Kehadiran rumah ibadat agama lain dalam struktur sosial yang telah mapan sebelumnya, kerap menimbulkan penolakan dan/atau perselisihan. Demikian juga di ranah budaya, kehadiran rumah 156 Usman Pelly, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia,
316
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
ibadat lain yang mengindikasikan adanya komunitas umat beragama lain kerap dianggap ‘gangguan’ bagi stabilitas budaya masyarakat setempat yang telah mapan. Demikian pula hal ekonomi, pendatang yang secara ekonomi lebih kuat, kerap mendapatkan ‘perlawanan’ dari komunitas pribumi yang secara ekonomi lebih rendah. 3. Ranah keberagamaaan Intoleransi beragama kerap juga dituding sebagai penyebab adanya penolakan atau perselisihan terkait rumah ibadat. Inklusifitas keagamaan tidak bisa menerima kehadiran (rumah ibadat) pemeluk agama lain di sekitarnya. Dari ketiga ranah ini, dapat digambarkan kerangka pikir penelitian ini yang sekaligus menunjukkan pendekatan yang dilakukan dalam proses analisis kasus ini: Apakah proses pendirian Ranah gereja sesuai ketentuan Regulasi/peraturan PBM, SKB1/1969, atau peraturan khusus lainnya? Faktafakta dalam kasus rumah ibadat
Ranah Politik-EkonomiSosial-Budaya
Apakah ada motif/unsur ekonomi, politik, sosial, atau budaya dalam kasus perselisihan ini? Kesenjangan poleksosbud? Dinamika politik lokal?
Ranah Keberagamaan
Bagaimana kehidupan Adakah beragama? agama/SARA?
kondisi beragama? intoleransi Isu
317
Kata Pengantar
Penelitian Terdahulu Penelitian serupa dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010 lalu. Penelitian yang dilakukan di 6 lokasi penelitian ini menghasilkan kesimpulan antara lain sebagai berikut: • Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari tiap agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan peradaban yang dijiwai dengan nilai-nilai kesucian (sacral). Dalam pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan menjadi tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas kegiatan. • Dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah ibadat telah diketahui, tetapi belum optimal, hanya dilaksanakan pada panitia pembangun rumah ibadat yang menyadari pentingnya IMB dan berwawasan ke depan. Sedangkan pada umumnya di pedesaan, dan terutama pada panganut agama mayoritas di suatu tempat belum menjadikan prioritas kegiatan. • Pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, selain karena terpenuhi sesuai aturan PBM dan peraturan pemerintah daerah, juga karena adanya komunikasi dan kerukunan hidup antar umat beragama, serta nilai-nilai kearifan lokal yang terpelihara sebagai media pendekatan. Pendirian rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan penolakan, lebih disebabkan faktor perbedaan paham keagamaan, dan berbagai kepentingan para elite agama dalam prestise sosial, pengembangan jumlah umat, kehidupan ekonomi dan kekuasaan. Di samping itu, karena ego mayoritas dan arogansi minoritas.
318
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
• Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang dikomunikasikan oleh media massa dan oleh sebagaian lembaga swadaya masyarakat (LSM) ialah terbebankan pada umat Kristiani, tetapi sesungguhnya juga terbebankan pada umat Islam, Hindu dan Buddha yang minoritas di tengah pemeluk agama mayoritas. • Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan pendirian rumah ibadat ialah dengan kedisiplinan mematuhi aturan PBM, disertai pengamalan kearifan lokal yang mendukung dan toleransi sosial. Penelitian lain dalam tema serupa sesungguhnya telah cukup banyak, meski lingkupnya masih terbatas. Adapun distingsi penelitian kali ini adalah penekanan pada kedalaman dalam memahami kasus tentang pendirian, penertiban, dan penutupan rumah ibadat yang terjadi di lokasi penelitian.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan studi kasus yang mendalam dan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan/dokumen dan pengamatan lapangan serta wawancara. Pengamatan lapangan dengan cara mendatangi rumah ibadat yang menjadi sasaran penelitian dalam hal ini 3 rumah ibadat Islam yaitu Masjid Al-Muhajirin Komplek Brimob Abepura, Masjid Kuba Koya Barat dan Masjid Al-Mawaddah Rt. 01/IX Jl. Feliyau II Hawai Sentani Kab. Jayapura. Wawancara dilakukan dengan berbagai informan di antaranya: Kepala Bidang Pendidikan Agama Islam Kantor Kemenag Wilayah Papua, Kepala Kantor Kemenag Kota Jayapura, Kasub TU dan Kasi Pendais dan Pemberdayaan Masjid
319
Kata Pengantar
Kota Jayapura, PWNU, Pengurus MUI Provinsi dan Kota Jayapura, Kepala KUA Distrik Abepura, pengurus FKUB Kota dan Kabupaten Jayapura. Bahan pustaka yang digunakan antara lain laporan tahunan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, laporan tahunan beberapa LSM berkaitan, dan media massa. Karena bersifat verifikatif, maka data awal itu akan menjadi pedoman pada pelaksanaan pengumpulan data di lapangan (spotchecking). Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan pedoman wawancara. Analisis data dilakukan dengan memperhatikan semua unsur yang menjadi fokus kajian dengan cara deskriptif-analitik, melalui tahap-tahap editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan. Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain dengan kata lain informasi dari satu informan ditanyakan ulang dan dikroscek kepada informan lainnya baik dari pihak yang mengusulkan pembangunan maupun pihak yang menolak. Menurut Patton (1987) triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat keterpercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda, misalnya membandingkan hasil wawancara denan hasil pengamatan, dengan dokumen, membandingkan apa yang dikatakan orang di muka umum dan ketika sendirian, membandingkan antara pendapat rakyat biasa dengan pejabat pemerintah, serta membandingkan informasi pada saat situasi penelitian dengan saat normal sepanjang waktu.157
157 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 178.
320
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura Papua. Pemilihan di dua wilayah ini mengingat keterbatasan kasus yang ada di satu wilayah sebagai mana dalam desain operasional semula adalah di salah satu kabupaten/kota dengan jumlah kasus minimal 3 (tiga) kasus perselisihan terkait pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat yang terjadi di daerah tersebut yaitu 2 masjid dan 1 vihara. Setelah dilakukan pembahasan dan diskusi bersama pejabat Kantor Kementerian Agama Wilayah maupun Kota Jayapura, Sekretaris FKUB Kota Jayapura, Pengurus MUI kota dan provinsi, pengurus ormas Islam (PWNU), dan pengecekan di lapangan ternyata tidak terdapat kasus untuk vihara dan rumah ibadat agama lain selain masjid, maka diputuskan untuk melakukan penelitian khusus rumah ibadat Islam yaitu masjid dan ditemukan hanya dua masjid di Kota Jayapura dan satu masjid di Kabupaten Jayapura yang lokasinya cukup berjauhan.
321
Kata Pengantar
322
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kondisi Geografis Provinsi Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Nugini bagian barat atau West New Guinea. Provinsi Papua yang memiliki luas 317.062 km2 atau 17,04 persen dari luas Indonesia (1.860.359,67 km2), merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini kemudian diganti menjadi 'Papua' sesuai UU No.21/2001 Otonomi Khusus Papua. Pada masa era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea), asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama 'Papua' sedangkan bagian baratnya menjadi Irian Jaya Barat. Ibu kota Provinsi papua adalah Jayapura, provinsi ini terbentuk dari 28 kabupaten, dua di antaranya adalah kabupaten pemekaran yaitu Kab. Deiyay dan Kab. Intan Jaya dan 1 Kota yaitu Jayapura.
323
Kata Pengantar
Batas wilayah Provinsi Papua sebelah utara Samudera Pasifik, sebelah selatan Laut Arafuru, sebelah barat Laut Seram-Laut Banda Provinsi Maluku, sebelah timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea. (www.papua.go.id).
Kondisi Demografis Pada tahun 2009, berdasarkan hasil proyeksi SUPAS05 BPS, penduduk Papua berjumlah 2.097.482 jiwa, dengan rasio jenis kelamin 51,83% laki-laki dan 48,17% perempuan (Papua dalam Angka 2010: 77). Mengacu pada perbedaan tofografi dan adat istiadat, penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar. Pertama, penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang (rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan; Kedua, penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lembah serta kaki gunung. Umumnya mereka bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan; Ketiga, penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan berternak secara sederhana. Dalam bidang kerohanian pada tahun 2009, jumlah penduduk Papua yang memeluk agama Kristen tercatat 1.956.749 orang, atau sekitar 64,3 persen dari total penduduk Papua. sementara pemeluk agama Katolik mencapai 21,99%, Islam 13,43% dan sisanya pemeluk agama Hindu dan Buddha. Jumlah tempat peribadatan yang ada di Papua juga didominasi oleh tempat peribadatan Kristen yang tercatat sebanyak 4.121 gereja. Sedangkan jumlah tempat peribadatan Katholik mencapai 1.427 gereja, tempat peribadatan Islam mencapai 757 masjid/musholla/langgar, tempat peribadatan Hindu sebanyak 33
324
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
pura dan tempat peribadatan Buddha sebanyak 11 vihara. (Papua dalam angka 2010: 136).
Kehidupan Sosial-Budaya Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Seni tradisional yang terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Kamoro, Dani, dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik di antaranya dapat ditemukan di kalangan suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya Maru, Mandacan, Biak, Arni, dan Sentani. Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilineal). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan. Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang sangat unik, seperti yang ditunjukkan oleh budaya suku Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat genderang dengan menggunakan darah. Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa Dani disebut win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan dijadikan festival budaya lembah Baliem.
Kehidupan Keagamaan Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah
325
Kata Pengantar
lain, mayoritas penduduknya beragama Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua, penganut agama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Pada umumnya masyarakat Papua majemuk, baik dalam hal suku, agama maupun budaya. Dalam kemajemukan itu, mereka tetap membina kerukunan hidup antarumat beragama, kelompok umat beragama senantiasa memahami sejarah perkembangan agamaagama di wilayah ini dan atas kesadaran akan sejarah itulah maka mereka pun saling menghargai satu sama lain.
Kota Jayapura Nama Kota Jayapura pada awalnya adalah Hollandia. Nama tersebut diberi oleh Kapten Sachse pada tanggal 07 Maret 1910. Kata Hollandia berasal dari kata hol = lengkung atau teluk, land = tanah atau tempat. Jadi Hollandia artinya tanah yang melengkung atau tanah/tempat yang berteluk. Sebagaimana keadaan geografi Negeri Belanda atau Holland atau Nederland yang berteluk-teluk, keadaan geografi Kota Jayapura hampir sama dengan garis pantai utara Negeri Belanda itu. Kondisi alam yang berlekuk-lekuk inilah yang mengilhami Kapten Sachse untuk mencetuskan nama Hollandia di atas nama asli Numbay. Numbay diganti nama sampai 4 kali Hollandia, Kotabaru, Sukarnopura, dan terakhir Jayapura. Kota Madya Daerah Tingkat II Jayapura berdiri sejak tanggal 21 September 1993 berdasarkan Undang - undang No. 6 Tahun 1993. Luas wilayah Kota Jayapura 94.000 ha. Di wilayah tersebut terdapat ±30% tidak layak huni, karena terdiri dari perbukitan yang terjal, rawa-rawa dan hutan dengan kemiringan tanah 40% yang bersifat konservasi dan hutan lindung. Kota ini terdiri dari 5 distrik yaitu Distrik Abepura, Jayapura Selatan, Jayapura Utara, Muara
326
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Tami dan Heram. Kota Jayapura terbagi dalam 24 kelurahan dan 15 kampung. Wilayah Kota Jayapura mempunyai batas administratif, di sebelah utara Lautan Pasifik, selatan Distrik Arso Kabupaten Keerom, timur Negara PNG, barat Distrik Sentani dan Depapre Kabupaten Jayapura (www.papua.go.id).
Penduduk Menurut data dari kantor Kemenag Kota Jayapura pada tahun 2009, penganut agama yang berada di wilayah ini terdiri dari Kristen 113.314 jiwa, Katolik 43.248 jiwa, Islam 94.953 jiwa, Hindu 2.495 jiwa, Buddha 1.927 jiwa. Dari komposisi penduduk menurut penganut agama, maka dapat disimpulkan bahwa penduduk Kota Jayapura mayoritas adalah penganut agama Kristen. (BPS Kota Jayapura, Kota Jayapura dalam Angka 2010: 26).
Data Umat Pemeluk Agama dirinci Menurut Kecamatan Kota Jayapura Tahun 2009 No Distrik
Islam
Kristen
Katolik
Hindu
Buddha Jumlah
1. 2. 3. 4. 5.
27.450 30.649 23.263 13.591 94.953
37.796 30.680 20.775 10.690 13.373 113.314
11.831 15.683 8.740 3.203 3.611 43.248
1.102 689 621 83 2.495
701 745 379 102 1.927
Jayapura Utara Jayapura Selatan Abepura Muara Tami Heram Jml
78.880 78.626 53.778 27.669 16.984 255.937
Sumber: Kantor Kemenag Kota Jayapura 2010,
327
Kata Pengantar
Sedangkan data mengenai jumlah tempat ibadat menurut agama yang terdapat di Kota Jayapura pada tahun 2009 terdiri dari, gereja Kristen 270 buah, gereja Katolik 19 buah, masjid 106 buah, vihara 2 buah, dan pura 1 buah. Jumlah Tempat Ibadat di Kota Jayapura per-Distrik Tahun 2009 No 1.
Distrik
Jayapura Utara 2. Jayapura Selatan 3. Abepura 4. Muara Tami 5. Heram JUMLAH
Mas-jid
Mush ola
Gereja Kristen
Gereja Katolik
Viha Pura Jumlah ra
38
2
85
3
-
-
128
31
4
57
4
1
-
97
21 4 12 106
5 36 4 51
68 25 35 270
5 4 3 19
1 2
1 1
101 69 54 449
Sumber: Kantor Kemenag Kota Jayapura 2010, hal.75 Perselisihan tentang pendirian rumah ibadat juga terjadi di daerah ini, program penelitian di Kota Jayapura di fokuskan di 2 tempat yaitu di Masjid Quba di Jln. Trans Papua, Sowakarsa, Koya Barat, Distrik Muaratami dan Mesjid Al – Muhajirin Komplek Mako Brimob Polda Papua yang berada di Jl. Raya Abepura No.1, Distrik Jayapura Selatan.
Kabupaten Jayapura Kabupaten Jayapura adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua. Ibukota kabupaten ini terletak di Sentani, 33 km dari Kota Jayapura. Berdasarkan hasil pengolahan cepat sensus penduduk 2010 di Kabupaten Jayapura, jumlah penduduk Kabupaten Jayapura 114.515 jiwa, terdiri dari 60.672 laki-laki dan 53.843 perempuan. Penduduk terbanyak di Distrik Sentani (41,66
328
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
%) dan Distrik Airu dengan persentase terkecil (0.70 %). Luas wilayah Kabupaten Jayapura 17.516.60 km2 yang terbagi dalam 19 distrik 139 kampung dan 5 kelurahan. Penyebaran penduduk Kabupaten Jayapura masih terpusat pada distrik Sentani dan distrik-distrik sekitarnya seperti Sentani Timur, Sentani Barat dan Waibu. Batas-batas wilayah administratif Kabupaten ini meliputi; sebelah utara Samudera Pasifik dan Kabupaten Sarmi, sebelah selatan Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Tolikara, sebelah timur Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom, sebelah barat Kabupaten Sarmi. (BPS Kab. Jayapura, Angka Sementara Sensus Penduduk 2010 Kab. Jayapura :3). Di wilayah ini terdapat sebuah danau yang luas dan menjadi ciri khas, danau yang berada di wilayah Kabupaten Jayapura yaitu Danau Sentani yang luasnya 9.639 ha, yang meliputi wilayah Distrik Sentani, Sentani Timur, Ebungfauw dan Waibu. Keadaan topografi berupa lereng relatif terjal dengan kemiringan 5%-30% serta mempunyai ketinggian 0,5m-1500m dpl. Daerah pesisir pantai utara berupa dataran rendah yang bergelombang dengan kemiringan 0%-10% yang ditutupi dengan endapan alluvial. Secara fisik, selain daratan juga terdiri dari rawa (13.700 ha). Sebagian besar wilayah Kabupaten Jayapura (72,09%) berada pada kemiringan di atas 41%, sedangkan yang mempunyai kemiringan 0-15% berkisar 23,74%. Secara fisik, selain daratan juga terdiri dari rawa (13.700 ha). Sebagian besar wilayah Kabupaten Jayapura (72,09%) berada pada kemiringan diatas 41%, sedangkan yang mempunyai kemiringan 0-15% berkisar 23,74%. (www.jayapurakab.go.id).
329
Kata Pengantar
330
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
KASUS-KASUS RUMAH IBADAT
A. Kasus Masjid Al-Muhajirin Komplek Brimob Abepura 1. Kasus perselisihan terkait pendirian a. Sejarah berdirinya Masjid Rencana pendirian masjid ini bermula dari desakan kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh yang dirasakan para anggota satuan Brimob Polda Papua dan keluarganya yang beragama Islam bertempat tinggal di Asrama dalam satu komplek dengan Mako Brimob di Jalan Raya Abepura Nomor 1 Jayapura. Mengingat sejak berdirinya Mako Sat Brimob Papua dari tahun 1968 hingga pertengahan tahun 2006 belum terdapat sarana ibadat berupa masjid bagi anggota yang beragama Islam. Berdasarkan hal di atas maka dilakukan pertemuan seluruh anggota Sat Brimob Polda Papua (Islam dan non-Islam) pada tanggal 26 September 2006 di Aula Koesjaeri Brimob Kotaraja tentang rencana pembangunan masjid di lingkungan Sat Brimob Polda Papua dan menghasilkan kesepakatan: 1. Seluruh anggota menyetujui rencana untuk dibangunnya sarana ibadat satu masjid di lingkungan Satuan Brimob Polda Papua;
331
Kata Pengantar
2. Tempat akan dibangung masjid adalah eks lapangan tennis yang sudah dua tahun terakhir tidak dipakai lagi; 3. Dana untuk pembangunan masjid adalah dana sumbangan sukarela anggota yang beragama Islam; 4. Dana yang berasal dari luar bersifat bantuan yang tidak mengikat berdasarkan proposal usulan kepada instansi pemerintah, suwasta, perusahaan-perusahaan dan kaum Muslimin Kota Jayapura melalui masjid-masjid yang sudah ada. Berdasarkan hasil pertemuan tersebut Kasat Brimob yang pada saat itu dijabat oleh Drs. Irwanto KBP NRP 61050755 pada tanggal 22 Januari 2007 mengeluarkan Surat Perintah No. Pol: Sprin/23/I/2007/Sat.Bm memerintahkan kepada Para Perwira dan Bintara yang nama, pangkat, jabatan dan NRP yang tercantum dalam lampiran untuk nomor 1 sd. 24 disamping melaksanakan tugas dan tanggung jawab sehari-hari, ditunjuk sebagai panitia dalam rangka Pembangunan Masjid Al-Muhajirin Sat Brimob Polda Papua di Jayapura hingga selesainya Pembangunan Masjid dimaksud. Dengan surat perintah disebut di atas maka panitia mulai bekerja dengan mengumpulkan dana dan beberapa administrasi untuk mendukung kelancaran rencana dimaksud di antaranya melakukan: 1. Menulis surat kepada Kakanwil Kemenag Papua untuk penentuan arah kiblat; 2. Memohon rekomendasi pembangunan masjid dari Kanwil Departemen Agama (waktu itu); 3. Membuat surat edaran tentang rencana pembangunan Masjid Al-Muhajirin;
332
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
4. Membuat rencana pembangunan dan;
anggaran
yang
dibutuhkan
dalam
5. Membuat gambar rencana arsitektur, struktur, mekanikal dan elektrikal masjid.158
b. Terjadinya Protes Setelah berlangsung pembangunan selama dua sampai tiga bulan dan telah mencapai ± 40%, terjadi protes dari sebagian anggota Satuan Brimob yang beragama Kristen dengan melakukan demonstrasi di depan Kantor Polda Papua dan menuntut untuk bertemu dengan Kepala Polisi Daerah Papua untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang pembangunan masjid yang sedang berlangsung. Para pendemo menuntut agar Kepala Polda Papua menghentikan pembangunan Masjid Al-Muhajirin di lingkungan Mako Sat Brimobda di Kotaraja Jayapura. Dengan adanya demo yang dilakukan oleh sebagian anggota Brimobda yang beragama Kristen – mereka juga merupakan jemaat dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI) yang terletak hanya berkisar 50 M dari komplek Mako Brimobda – maka Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen Pol. Drs. Tommy T. Jacobus mengeluarkan surat No. Pol. B/862/IV/2007 Prihal: Penghentian Sementara Pelaksanaan Proyek Pembangunan di Sat Brimobda Papua yang ditujukan kepada Kepala Satuan Brimobda Papua walaupun dalam rujukan surat Kapolda tidak tercantum atas desakan para pendemo159.
158
Kronologis Pembangunan Masjid Al-Muhajirin Wawancara dengan beberapa jemaah shalat zuhur Masjid Al-Muhajirin tanggal, 24 Februari 2011 159
333
Kata Pengantar
Isi surat Kepala Kepolisian Daerah Papua yang ditujukan kepada Kepala Satuan Brimobda Papua adalah sebagai berikut: 1. Rujukan: Surat Kasat Brimob Polda No. Pol. B/1107/XI/2006/Sat Bm. Tanggal 20 Nopember 2006 tentang Permohonan Bantuan Dana Pembangunan 2. Diperintahkan kepada Kasat untuk menghentikan semua proyek pembangunan secara swadaya yang sedang dilaksanakan di Sat Brimobda Papua. 3. Penghentian tersebut didasarkan pada fakta sebagai berikut: a.
Belum adanya izin tertulis dari Kapolda Papua tentang pemanfaatan lahan untuk pembangunan tersebut;
b. Lahan yang sekarang digunakan untuk pembangunan tersebut sudah direncanakan untuk pembangunan perluasan kantor Sat Brimob, yang telah dalam proses pengajuan ke Mabes Polri; c.
Setelah diberlakukannya sistem DIPA dalam pengelolaan keuangan negara yang berbasis kinerja, maka pembangunan yang bersifat swadaya harus dilengkapi persyaratan yang ketat termasuk sumber anggarannya;
d. Untuk pembangunan yang sudah terlanjur dibangun sampai saat ini, akan dialih fungsikan menjadi Kantor Sat Brimob sesuai dengan perencanaan semula.160 Berdasarkan surat Kepala Polda tersebut di atas maka panitia pembangunan Masjid Al-Muhajirin dihentikan, walaupun pelaksanaan ibadah dan kegiatan-kegiatan pengajian baik secara dinas maupun di luar dinas tetap berjalan. 160
334
Surat Kepala Polda Papua ke Kasat Brimobda tanggal 30 April 2007
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
2. Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Kasus Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Kota Jayapura Papua pada awal rencana pembangunan Masjid AlMuhajirin telah menerima permohonan pengajuan untuk didaftarkan sebagai sebuah masjid sarana ibadat di lingkungan Kesatrian Satuan Brimob Papua dengan nomor surat No. Pol.: B/246/XII/2006/ Sat. Bm yang ditanda tangani oleh Kepala Satuan Brimob Polda Papua Drs. Irwanto tanggal 10 Desember 2006. Merespon surat permohonan ini maka Kepala Kontor Departemen Agama (sekarang: Kementerian Agama) telah mengeluarkan surat nomor: Kd.26.13/1/BA.00.5/008/2007 tertanggal 5 Januari 2007 perihal Rekomendasi Pembangunan Masjid Al-Muhajirin Kompleks Sat Brimob Polda Papua Kotaraja Kota Papua yang isinya Kepala Kantor responsife, mendukung dan memberikan rekomendasi terhadap pembangunan Masjid AlMuhajirin Kompleks Sat Brimob Polda Papua Kota Jayapura. Terhadap perselisihan yang terjadi di tengah-tengah proses pembangunan di dalam lingkungan internal antar anggota Sat Brimob yang pro dan yang kontra, Kantor Kementerian Agama Kota merasa tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan ini, disebabkan keberadaan masjid yang diperselisihkan di bawah satu institusi pemerintah yaitu institusi Polda Papua. Oleh Karen itu maka dari pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Kota Jayapura sampai tulisan ini di buat belum/tidak bertindak untuk menyelesaikan perselisihan yang ada dalam internal Mako Brimob Polda Papua.161
161
Wawancara dengan Kepala Kantor Kemenag Kota Papua tanggal 25 Februari
2011.
335
Kata Pengantar
3. Peran FKUB Dari hasil wawancara dengan salah satu pengurus FKUB Kota Jayapura dapat disimpulkan bahwa FKUB Kota Jayapura sampai saat ini belum bertindak atau melakukan sesuatu untuk penyelesaian perselisihan pendirian masjid yang berada di Satuan Brimob Polda, bebarapa kali sering dimunculkan dalam bentuk pertanyaan ketika rapat-rapat yang membahas masalah kerukunan antarumat beragama oleh sebagian majelis/pemuka agama misalnya pemuka agama Hindu dalam berbagai kesempatan, namun tidak mendapat respon yang memadai. Di antara alasan FKUB tidak mengambil peran cukup dalam perselisihan pendirian rumah ibadat ini selain pihak panitia pembangunan tidak pernah mengajukan permohonan rekomendasi dari FKUB sebagai kelengkapan persyaratan khusus sebagaimana diatur dalam PBM tahun 2006 pasal 14, juga karena pembangunan rumah ibadat ini di dalam wilayah internal Satuan Brimob Polda Papua dan perselisihan terjadi antar anggota Satuan Brimob itu sendiri dan penanganannya telah dilakukan oleh institusi Polda Papua. Sedangkan alasan panitia pembangunan masjid tidak mengajukan permohonan rekomendasi kepada FKUB Kota Jayapura disebabkan karena pemahaman panitia pembangunan terhadap PBM tahun 2006 belum ada, pembangunan rumah ibadat itu sendiri di bawah suatu institusi pemerintah, juga pada saat merencanakan pembangunan dan dimulainya pembangunan keberadaan FKUB Kota Jayapura sendiri belum diketahui oleh masyarakat.162
162 Wawancara dengan Sekretaris FKUB Kota Jayapura Drs. I. Made Sunartha tanggal 28 Februari 2011
336
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
4. Peran Majelis Agama (MUI) Sebagaimana dikemukan di atas bahwa baik pemerintah (Kementerian Agama Kota Jayapura) maupun FKUB Kota Jayapura tidak bisa berbuat banyak berkenaan dengan perselisihan yang terjadi dalam pembangunan Masjid Al-Muhajirin, hal serupa juga terjadi pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Jayapura. Walaupun dalam berbagai kesempatan sering permasalahan Masjid Al-Muhajirin dipersoalkan namun tidak menjadi perhatian penuh yang harus dilakukan disebabkan karena perselisihan ini terjadi di dalam salah satu institusi pemerintah yang dianggap dapat menyelesaikan persoalannya sendiri163.
5. Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Kasus Kerukunan antarumat beragama di Kota Jayapura khususnya dan umumnya di Provinsi Papua sangat baik dan berjalan secara natural/alami. Sepanjang kedatangan penganut berbagai agama ke Papua dengan niat baik, maka mereka akan dapat hidup bersama dengan baik pula. Tetapi jika kedatangan mereka dengan niat/tujuan yang tidak baik maka bukan orang Papua yang akan menghukum mereka, tetapi alam yang akan menghukum mereka. Tingkat toleransi penduduk Papua cukup kuat. Mereka dapat ada saling menghargai dan saling pengertian. Tetapi jika ada orang baru datang kemudian membuat aturan sendiri tidak mengindahkan kearifan lokal yang ada, maka bukan hanya orang Papua yang menentang tetapi orang yang sudah lama tinggal di
163
Wawancara dengan salah satu pengurus MUI Kota Jayapura tangal, 23 April
2011.
337
Kata Pengantar
daerah ini bersama-sama dengan penduduk asli akan menghadapinya, akan melaporkan ke pihak yang berwenang, karena jika terjadi sesuatu aparat yang berwenanglah yang menghadapi mereka. Di Provinsi Papua juga terdapat forum-forum pemuda, keagamaan tetapi mereka tetap bergerak dalam wilayah kewenangan mereka dan mereka masih sangat patuh kepada induk organisasinya. Berkenaan dengan keberadaan masjid yang dibangun dan sedang terhenti di komplek Brimob sesungguhnya secara resmi pihak gereja tidak pernah ikut campur menentang atau menolaknya, namun sebagian anggota jemaat yang mereka juga anggota Sat Brimob yang tinggal di asrama yang memprotes pembangunan masjid. Ada beberapa alasan penolakan mereka, di antaranya: a. Tidak mengikuti prosedur sebagaimana Telah diatur dalam PBM tahun 2006; b. Keberadaannya di dalam instansi pemerintah (jika ada tempat ibadat muslim maka juga harus ada tempat ibadat agama lain); c. Sudah ada dua masjid yang tidak terlalu jauh dari lingkungan komplek Brimob; d. Pada awal pembangunannya diperkirakan hanya mushalla tetapi ternyata masjid; e. Tinggi masjid melebihi tinggi kantor itu sendiri karena bertingkat dua. Sebagai tanggapan terhadap keberadaan masjid yang terhenti pembangunannya sudah cukup lama maka:
338
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
a.
Posisinya dikembalikan kepada institusi Polda Papua yang telah meminta diberhentikan pembangunannya;
b. Karena pembangunannya sudah permanen maka jika ada pembangunan kantor agar bangunan masjid itu diintegrasikan menjadi perkantoran, sedangkan untuk beribadah anggota yang beragama Islam cukup dibangunkan mushalla yang letaknya agak ke belakang.164
B. Kasus Rumah Ibadat/Masjid Kuba Kampung Koya Barat Abepura Masjid Kuba ini terletak di Jalan Trans Papua Kampung Koya Koso Distrik Abepura Kota Jayapura, berjarak kurang lebih 25 km dari ibukota Distrik/Kecamatan Abepura dan 30 km dari ibukota Jayapura menuju arah Kabupaten Keerom. Daerah ini terkenal dengan daerah tranmigrasi dari Jawa/Bali dan transmigrasi lokal, selain itu banyak juga warga pendatang berasal dari Sulawesi Selatan yang telah lama bermukim di Kota Jayapura baik mereka sebagai pedagang atau pegawai negeri sipil yang sukses dan membeli tanah dan berusaha di bidang pertanian, perikanan ataupun peternakan di wilayah ini. Wilayah ini juga terkenal dengan daerah pemancingan ikan tawar, yang kolam-kolam ikan buatan yang dimiliki oleh para pendatang dari Kota Jayapura. Mengingat daerah ini sejak dibuka tahun 1990-an sampai sekarang terus membuka diri untuk didatangi oleh para pendatang tidak terkecuali yang beragama Islam maka kebutuhan akan tempat ibadat tidak dapat terelakkan. 164 Disarikan dari hasil wawancara dengan Wakil Ketua dan Wakil Sekretaris pengurus Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI) Kotaraja Abepura tanggal 28 Februari 2011.
339
Kata Pengantar
Pada tahun 1996 atas prakarsa beberapa warga pendatang berasal dari Sulawesi Selatan untuk mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Kuba. Maka mulailah mereka membuat pondasi masjid di atas tanah seorang warga Muslim berasal dari Sulawesi Selatan. Namun proses pembangunan masjid ini dikemudian hari dipersoalkan oleh ondoafi (ketua adat setempat yang sekaligus menjadi kepala kampong) karena belum mendapatkan persetujuan/surat pelepasan tanah ulayat. Pembangunan terhenti cukup lama karena dari pihak ondoafi minta uang ganti rugi. Beberapa tahun terakhir atas kemurahan hati seorang pengusaha (H. Syukur) dilakukan pendekatan kepada ondoafi yang mempersoalkan tanah tempat pendirian masjid dan dapat dicapai kesepakatan untuk membayar sejumlah uang sebagai tanda pelepasan dari adat. Dengan demikian berdasarkan surat keterangan nomor: 64/ K.4/2006 tanggal 25 Juni 2006 yang ditanda tangani oleh ondoafi Pdt. Elly Waskai, T atas nama ondoafi dan kepala kampung dan H. Syukur atas nama Masjid Kuba maka pembangunan Masjid Kuba dapat diteruskan. Persoalan terhentinya pembangunan Masjid Kuba bukan disebabkan perselisihan antar warga Muslim dengan non-Muslim atau karena gugatan mengapa membangun masjid, akan tetapi semata-mata karena persoalan tanah yang belum mendapatkan surat keterangan pelepasan dari adat setempat, dalam hal ini dari ondoafi. 165 Keterangan dan informasi yang kami dapatkan dari pihak panitia pembangunan Masjid Kuba, kami jadikan bahan untuk dikonfirmasikan kepada Pdt. Elly Waskai selaku ondoafi dan kepala 165 Wawancara dengan H. Muhammad Nong Panitia Pembangunan Masjid Kuba 24 Februari 2011
340
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
kampung pada saat itu (sekarang sudah diganti) dan mendapatkan pembenaran bahwa terhentinya pembangunan masjid bukan persoalan agama atau peraturan menurut PBM tahun 2006 namun karena persoalan tanah yang belum mendapatkan keterangan pelepasan dari adat. Kerukunan umat beragama di wilayah ini khususnya dan umumnya di Kota Jayapura sangat kondusif, dalam pembangunan rumah ibadat sampai saat ini belum menggunakan peraturan bersama (PBM tahun 2006) tetapi masih berjalan sebagaimana biasa menggunakan kearifan lokal setempat. Banyak pembangunan rumah ibadat yang dilakukan dengan saling membantu/gotong royong. Masjid Kuba misalnya dari pihak ondoafi sendiri sering memberikan bantuan baik tenaga maupun berupa support moral. Sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama Pdt. Elly Waskai banyak memberikan kontribusi dalam perkembangan wilayah Koya Barat dan umumnya wilayah di sekitarnya seperti Kampung Nafri, Koya Koso dengan cara memberikan kesempatan kepada para pendatang membuka lahan pertanian dengan perjanjian yang diatur berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam hal pertanian misalnya pembagian antara pemilik lahan dan yang menggarap dahulu adalah 1:2 jika lahannya 3 ha maka pembagiannya 1 ha untuk pemilik dan 2 ha bagi penggarap setelah dalam waktu jangka 3 tahun perkebunannya sudah dapat dipanen. Sedangkan hasil dalam jangka pendek dapat dinikmati oleh para penggarap. Namun akhir-akhir ini perjajian bergeser menjadi 1:1. Dengan prakarsa ini maka semakin terbukalah wilayah ini dengan hadirnya para pendatang baru.166
166
Wawancara dengan Andoafi Pdt. Elly Waskai T. tanggal 24 Februari 2011
341
Kata Pengantar
C. Kasus Masjid Al-Mawaddah Rt. 01/IX Jl. Feliyau II Hawai Sentani Kab. Jayapura 1. Kasus Perselisihan terkait Pendirian a. Sejarah berdirinya Memperhatikan kenyataan bahwa kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh tentang tempat ibadat masyarakat Muslim di sekitar wilayah RW 9 Kelurahan Sentani Kota Distrik Sentani karena mengingat semakin bertambah jumlah warga Muslim yang bermukim di wilayah ini, maka beberapa warga yang dianggap sesepuh berinisiatif untuk mendirikan sebuah rumah ibadat (masjid). Untuk mewujudkan niat baik ini maka mulailah mengumpulkan dana/sumbangan dari masyarakat Muslim sekitar dan membeli sebidang tanah berukuran 30 x 30 M, milik seorang Muslim pendatang yang telah dibeli dari warga asli sebelumnya dengan harga Rp. 42.000.000,- dicicil sampai dengan tahun 2010.167
b. Kelengkapan Administrasi Mengawali rencana pembangunan masjid ini maka dibentuk panitia pembangunan yang diketuai oleh H. Usman David. Selanjutnya panitia menyiapkan berkas-berkas administrasi untuk bahan pengajuan izin mendirikan bangunan (IMB) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya peruntukan pembangunan rumah ibadat sebagaimana diatur dalam PBM Nomor: 9 dan 8 tahun 2006. Dalam PBM tahun 2006 ini pengaturan tentang pendirian rumah ibadat diatur di dalam Bab. IV pasal 13 dan pasal 14 di 167
342
Wawancara dengan Imam Masjid Al-Mawaddah Hasan tagl 25 Februari 2011
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
antaranya pada pasal 13 ayat 1 disebutkan pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Sedangkan pada pasal 14 ayat 1 berbunyi pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung, pada ayat 2 selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. Daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat sebanyak 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat; b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. Rekomendasi tertulis kepala Kantor Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) kabupaten/kota; d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. Untuk memenuhi persyaratan khusus yang disebut di atas maka panitia telah melakukan kegiatan sesuai dengan prosedur yang berlaku sbb: a. Untuk memenuhi persyaratan yang pertama maka panitia telah mengumpulkan nama-nama colon pengguna dan mendapatkan tanda tangan yang disahkan oleh pejabat kelurahan melalui RT dan RW dengan jumlah usulan sebanyak 104 orang calon pengguna. b. Memenuhi persyaratan kedua yaitu persetujuan warga sekitar maka dapat terkumpul sebanyak 71 orang warga sekitar lengkap dengan tanda tangan dan pengesahan dari pejabat kelurahan setempat melalui RT dan RW dengan Surat Pernyataan Nomor: 24/RT. 01/IX/2008, yang ditandatangani
343
Kata Pengantar
oleh Ketua RT. Ismail Yoku, mengetahui/menyetujui Ondoafi/Ketua Adat Sentani Daneil H. Yoku dan disahkan/mengetahui Kepala Kelurahan Sentani Kota Porto Imbiri, S. STP, M. Ap. c. Sedangkan untuk mendapatkan rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama juga panitia telah melayangkan permohonan dan mendapatkannya melalui surat Rekomendasi Pembangunan Masjid yang ditanda tangani oleh Kepala Kantor Departemen Agama (waktu itu) Kabupaten Jayapura Ferdinan Makadada, A. Ma., SE pada tanggal 13 Juni 2007. d. Untuk rekomendasi tertulis dari FKUB Kabupaten Jayapura sampai saat penelitian dilakukan memang belum diajukan permohonannya disebabkan ketika saat pengurusan surat-surat persetujuan, rekomendasi dan izin mendirikan bangunan (IMB) FKUB Kabupaten Jayapura baru terbentuk dan belum dilantik oleh Bupati Jayapura. Namun demikian menurut penuturan ketua panitia pembangunan masjid secara lisan ketua FKUB Kabupaten Jayapura telah mengetahui dan memberikan persetujuan untuk melanjutkan pembangunannya. Sebagaimana juga dituturkan oleh salah satu wakil ketua dan bendahara FKUB Kabupaten Jayapura kepada penulis. Sedangkan untuk persyaratan adminstratif dan persyaratan teknis bangunan gedung hal ini telah terpenuhi dengan telah diterbitkannya IMB oleh Bupati Kabupaten Jayapura Habel Melkias Suwae, S. Sos., MM dengan surat Nomor: 10/645/PEM. KANJPR/2010 yang ditandatangani tanggal 23 Februari 2010.168
168 Dirangkum dari hasil pertemuan dengan panitia pembangunan masjid tanggal 26 Februari 2011 dan dukumen lengkap yang ada surat pernyataan dan daftar calon pengguna, surat pernyataan tidak keberatan warga sekitar, surat pernyataan tanah
344
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
c. Munculnya perselisihan Sebagaimana dituturkan oleh ketua panitia pembangunan masjid yang dihadiri juga oleh Sekretaris dan Imam Masjid AlMawaddah dalam pertemuan dengan peneliti pada tanggal 26 Februari 2011 bertempat di Masjid Al-Mawaddah bahwa pada awalawal perencanaan dan pembangunan tidak ada persoalan yang berarti terkecuali persoalan penyelesaian surat tanah dari ondoafi/ketua adat169. Untuk kasus ini penyelesaiannya telah dilakukan dan telah mendapatkan surat pernyataan persetujuan tidak keberatan yang diketahui oleh ondoafi/ketua adat setempat bahwa tanah yang akan digunakan untuk pembangunan masjid ini tidak bemasalah karena telah diselasaikan antara pihak panitia dan pihak pemilik semula yaitu Gustaf A. Yoku, Yakop A. Yoku dan Ismail Yoku dengan imbalan sebesar Rp. 12.000.000,- dua kali pembayaran. Protes muncul dari seorang warga bernama Panitua (Pnt) Abner Inggamer, seorang pensiunan PNS Kantor Wilayah Kementerian Agama Papua. Pada mulanya dia termasuk yang membubuhkan tanda tangan persetujuan tidak keberatan, namun setelah berjalan pembangunan dia protes dan sering marah-marah dari depan rumahnya yang berjarak cukup dekat hanya 50 m dari pagar masjid. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh Abner Inggamer ini: a. Memaki-maki tukang ketika bekerja namun oleh jemaah masjid tidak ditanggapi; tidak bermasalah, surat rekomendasi Kementerian Agama Kab. Jayapura, IMB dari Bupati Kabupaten Jayapura. 169 Catatan: Seperti telah menjadi pengetahuan umum bahwa di tanah Papua sistem hukum adat masih sangat kuat dan berlaku bahkan dapat saja lebih kuat dari hukum ketatanegaraan yang ada khusunya dalam soal-soal tanah ulayat.
345
Kata Pengantar
b. Ketika jemaah masjid pada hari Minggu beberapa waktu lalu melakukan kerja bakti membersihkan masjid dan sekitar dia melapor kepada polisi bahwa warga terganggu dengan kegiatan yang dilakukan oleh jemaah masjid karena jemaah masjid melakukan keributan, polisi sempat datang dan mendapatkan jemaah sedang kerja bakti maka polisi pun pulang kembali; c. Beberapa waktu lalu juga ketika dikumandangkan azan maghrib Abner Inggamer marah-marah dan berkata “apakah Tuhan Yesus itu tuli?’ d. Pada bulan Januari 2010 Abner Inggamer menulis surat kepada Bupati Jayapura perihal Permohonan Pembatalan Pembangunan Masjid dengan melampirkan daftar pernyataan warga yang menolak berjumlah 95 orang. Namun setelah dikonfirmasi panitia kepada yang namanya tertera mereka mengatakan bahwa mereka tidak pernah menandatanganinya dan kemungkinan tanda tangan palsu. Surat pengaduan ini juga ditembuskan kepada: 1). Ketua DPRD Kabupaten Jayapura, 2). Kapolres Kabupaten Jayapura, 3). Kepala Kementerian Agama, 4). Kepala Kantor Pos Cabang Jayapura di Sentani, 5). Lurah Sentani Kota, dan 6). Ondoafi/Ondofolo Ifar Besar, namun tidak mendapat tanggapan.170 Di antara isi surat pengajuan keberatan yang juga melampirkan daftar tanda tangan warga, walaupun oleh panitia diragukan keabsahannya dan sudah mengkonfirmasikannya kepada Ketua RW. Adapun isi surat keberatan tersebut sebagai berikut: a. Masjid dibangun di tengah-tengah warga non-Muslim (umat Kristen); 170
2011
346
Hasil wawancara dengan panitia pembangunan Masjid tanggal 26 Feruari
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
b. Terdapat unsur “penipuan” pada saat meminta persetujuan warga dikatakan untuk pembangunan mushalla bukan masjid; c. Masjid dibangun di atas tanah miring “daerah aliran sungai” (DAS) sehingga mengganggu mengalirnya air hujan dan menyebabkan banjir; d. Dengan adanya pembangunan ketidakrukunan antarwarga;
masjid
maka
muncul
e. Dengan berdirinya masjid menggangu ketenangan warga; f.
Suara loud speaker ketika azan terlalu kuat menggangu warga sekitar.
g. Yang paling pokok dalam surat keberatannya adalah bahwa pendirian rumah ibadat (masjid) ini melanggar peraturan yang berlaku yaitu PBM tahun 2006 Bab IV pasal 13 dan 14. Tidak ada rekomendasi Kementerian Agama, tidak ada rekomendasi FKUB dan tidak ada izin Bupati Kabupaten Jayapura.
d. Upaya Penyelesaian Bedasarkan informasi yang dihimpun dari pihak panitia dan dari penelaahan dokumen-dukumen yang ada maka dilakukan pertemuan untuk menggali lebih lanjut kebenaran informasi dengan mengundang pihak-pihak terkait yaitu FKUB Kabupaten Jayapura, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Jayapura dan pihak yang berkeberatan yaitu Abner Inggamer di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jayapura pada tanggal 28 Februari 2011. Dalam pertemuan yang difasilitasi Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jayapura masing-masing diminta untuk menyampaikan kondisi, peran masing-masing dan solusi
347
Kata Pengantar
pemecahan serta harapan. Berikut kesimpulan dari penuturan masing-masing narasumber: 1. Pimpinan FKUB Kabupaten Jayapura Pimpinan FKUB dalam hal ini Ketua FKUB diwakili oleh 2 orang masing-masing Wakil Ketua FKUB dari unsur Islam Faisal Shaleh, S. Ag, M. HI dan Bendahara FKUB Pdt. Lambert Sarwuna, S. Th. Selain menyampaikan permohonan maaf ketua karena tidak dapat hadir keduanya menyampaikan bahwa FKUB sampai saat ini belum mengetahui ada persoalan terhadap pembangunan Masjid Al-Mawaddah. Tetapi disampaikan bahwa walaupun izin tertulis dari FKUB untuk pembangunan Masjid ini tidak ada tetapi izin lisan kepada ketua FKUB pernah disampaikan. 2. Warga yang mencabut dukungan terhadap pembangunan (Pnt. Abner Inggamer) Pnt. Abner Inggamer dalam waktu yang cukup lama menyampaikan alasan mengapa mencabut dukungan dan menolak keberadaan masjid sebagaimana telah diuraikan di atas yang paling pokok adalah bahwa pembangunan masjid ini tidak sesuai prosedur dan PBM tahun 2006 dan juga terdapat unsur penipuan yang semula di rencana pembangunan mushalla tetapi yang terjadi adalah pembangunan masjid. Dengan bukti dokumen yang peneliti miliki, semua yang dituduhkan dan menjadi alasan penolakan, ditunjukkan dan dibacakan maka terbantahlah semua yang menjadi alasan Pnt. Abner Inggamer.
2. Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Kasus Dari penuturan panitia pembangunan sebenarnya yang mencabut persetujuan pembangunan masjid ini hanya satu orang, yaitu Abner Inggamer. Semula dia ikut menandatangani surat tanda
348
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
persetujan warga, tetapi pada tahap berikutnya berbalik dan membuat surat laporan serta menyertakan daftar warga lain yang katanya ikut menolak, walaupun kebenarannya diragukan dan dalam kenyataan tidak ada warga non-Muslim seorang pun yang pernah secara langsung menyatakan keberatan mereka. Hal ini sudah dikonfirmasikan kepada ketua RW setempat. Walaupun dari surat pengaduan Abner Inggamer kepada Bupati terlihat adanya tembusan untuk berbagai instansi terkait, tetapi Kepala Kantor Kementerian Agama merasa tidak pernah menerima surat tembusan dimaksud. Oleh karenanya Kepala Kantor Kementerian Agama beserta jajarannya sangat responsif ketika informasi ini disampaikan dan bersama-sama turun langsung meninjau lokasi pembangunan masjid. Selanjutnya diagendakan pertemuan untuk memfasilitasi dengan cara mendengar langsung dari pihak yang merasa berkeberatan terhadap pembangunan masjid dimaksud, sekaligus mengundang pihak FKUB yang diwakili oleh Wakil Ketua dan Bendaharanya. Lebih lanjut Kepala Kantor Kementerian Agama akan berusaha menyelesaikan perselisihan terhadap pendirian Masjid AlMawaddah. Kegiatan pembangunan masjid ini sendiri tetap berlangsung sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunannya yang diperkirakan baru 25 % dari rencana pembangunannya yang dua lantai. Demikian pula kegiatan beribadat baik shalat lima waktu maupun shalat Jum’at juga terus berlangsung.
3. Peran FKUB dan Majelis Agama Keberadaan FKUB Kabupaten Jayapura sendiri sudah sejak tahun 2008 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten
349
Kata Pengantar
Jayapura yang kemudian mengalami perubahan lampirannya Nomor 301 tahun 2008 menjadi lampiran Nomor: 86 tahun 2009 tertanggal 27 Maret 2009. Perubahan ini selain disebabkan karena ada perubahan nomenklatur Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Jayapura juga karena ada usulan perubahan pengurus. Dilihat dari susunan lampiran Surat Keputusan Bupati Kabupaten Jayapura, kepengurusan FKUB Kabupaten Jayapura ini cukup lengkap karena terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu: 1) Dewan Penasehat FKUB, 2) Pengurus FKUB dan, 3) Sekretariat FKUB dalam satu lampiran Surat Keputusan Bupati Nomor: 86 Tahun 2009 tanggal 27 Maret 2009. Walaupun isi Surat Keputusan Bupati ini demikian lengkap, namun FKUB Kabupaten Jayapura belum bekerja secara optimal sebagaimana dituturkan oleh masing-masing Wakil Ketua dan Bendahara FKUB kepada penulis. Adapun beberapa kegiatan yang pernah dilakukan oleh FKUB selama ini baru terbatas sosialisasi PBM tahun 2006 yang baru dilaksanakan di 4 distrik dari 19 distrik yang ada di Kabupaten Jayapura. Selain sosialisasi, kegiatan lain yang dilakukan FKUB baru sebatas menulis ucapan selamat dalam spanduk pada hari-hari besar keagamaan atas nama FKUB. Belum optimalnya peran FKUB selama ini, antara lain terlihat dari: 1) FKUB belum pernah mengeluarkan surat rekomendasi berkenaan dengan pendirian rumah ibadat; 2) Persoalan perselisihan menyangkut pembangunan Masjid Al-Mawaddah luput dari pengetahuan FKUB. Sampai pada pertemuan yang dilakukan di Kantor Kementerian Agama pengurus FKUB tidak mengetahui adanya perselisihan yang terjadi. Alasan utama belum berperannya secara optimal FKUB selama ini adalah belum sepenuhnya ada perhatian dari Pemda Kabupaten Jayapura terhadap keberadaan dan manfaat dari FKUB
350
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
itu sendiri. Hal ini terlihat dari belum adanya sarana dan prasara yang disediakan untuk FKUB seperti kantor dan sarana lainnya. Dari segi pendanaan selama ini ada beberapa kegiatan yang dibiayai oleh pemda kabupaten melalui Kantor Kesbanglinmas yang pengaturan keuangannya juga oleh Kantor Kesbanglinmas. Dari Kantor Kementerian Agama juga tidak rutin mendapat anggaran misalnya pernah ada tahun 2010 sebesar Rp 20 juta namum tahun ini 2011 tidak ada.171 Selain FKUB Kabupaten Jayapura yang belum sepenuhnya berfungsi sehingga belum berperan dalam penyelesaian kasuskasus seperti perselisihan pembangunan Masjid Al-Mawaddah Hawai, majelis agama dalam hal ini MUI juga belum berperan, karena MUI Kabupaten Jayapura tidak/belum mendapat laporan dari panitia pembangunan masjid.
4. Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Kasus Terdapat berbagai respon dan tanggapan dari masyarakat terhadap perselisihan dan penyelesaian kasus Masjid Al-Mawaddah. Inti dari tanggapan mereka berupa harapan, karena perselisihan yang terjadi baru diketahui oleh sebagian kecil anggota masyarakat dan yang mempersoalkan pembangunan masjid ini hanya satu orang. Dalam hal ini Kementerian Agama dan FKUB Kabupaten Jayapura diharapkan dapat segera memfasilitasi penyelesaian kasus ini. Masyarakat khususnya yang beragama Islam dan sebagai pendatang menyadari bahwa kedatangan mereka ke wilayah ini semata-mata untuk mencari nafkah, menjalankan tugas sebagai PNS, menginginkan dapat hidup dalam lingkungan kebersamaan. 171 Dirangkum dari hasil wawancara dengan Wakil Ketua dan Bendahara FKUB, Kepala Kantor Kementerian Agama tanggal 28 Februari 2011.
351
Kata Pengantar
Oleh karenanya sebelum ada rencana pembangunan Masjid ini mereka berusaha memahami dan mengikuti peraturan yang berlaku yaitu PBM tahun 2006. Pembangunan masjid ini didasari oleh kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh karena di wilayah Hawai belum ada masjid/mushalla, sedangkan umat Islam yang ada di sekitar kampung Hawai ini cukup banyak dan melebihi persyaratan yang disyaratkan oleh PBM tahun 2006.
352
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
ANALISIS PENELITIAN
Persoalan di seputar pendirian rumah ibadat menjadi persoalan yang pelik. Hal ini diawali oleh adanya perbedaan dalam konsep keumatan antara Islam dan non-Islam khususnya Nasrani (Kristen dan Katolik). Bagi umat Islam yang datang dari berbagai latar belakang aliran, organisasi dan mazhab dapat melakukan ibadat shalat secara bersama di masjid atau mushalla tanpa melihat perbedaan ras, suku, bahasa, maupun organisasi. Oleh karena itu motivasi pendirian rumah ibadat pada umat Islam dilatar belakangi oleh keperluan nyata dan sungguh-sungguh dan melihat kapasitas yang bisa ditampung oleh sebuah masjid/mushalla. Sebaliknya di kalangan penganut agama Kristen khususnya yang terdiri dari berbagai denominasi, sekte, aliran maupun suku menyulitkan mereka untuk sebuah gereja menjadi tempat ibadat bersama, disamping berbagai motivasi jemaat. Oleh karena itu berkembanglah semangat pendirian rumah ibadat pada setiap sekte yang terkadang menimbulkan gesekan-gesekan sosial seperti yang terjadi di beberapa daerah. Untuk mengatur lalulintas di seputar pendirian rumah ibadat maka pemerintah mulai pertengahan tahun 2005 sd.
353
Kata Pengantar
2006 lalu memfasilitasi majelis-majelis agama untuk merumuskan sebuah peraturan yang dapat disepakati bersama, maka lahirlah Peraturan Bersama Menag dan Mendagri yang dikenal dengan PBM Nomor: 9 dan 8 Tahun 2006 yang berlaku untuk semua agama di seluruh wilayah NKRI. Dalam kasus penolakan 2 (dua) masjid yang menjadi fokus penelitian ini dapat dilihat pembahasan kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan regulasi yang ada sehingga menjadi penyebab terjadinya penolakan atau faktor nonregulasi yang lebih menonjol:
A. Ranah Regulasi Dari dua masjid yang mendapat penolakan dari sebagian masyarakat masing-masing dapat kita lihat posisinya jika kita sesuaikan dengan regulasi yang ada (PBM Tahun 2006). Dari penelusuran data-data dan wawancara, ditemukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kasus Rumah Ibadat/Masjid Al-Muhajirin Komplek Brimob Abepura PBM 2006 Bab IV pasal 13 & 14
Pasal 13 1. keperluan nyata dan sungguh-sungguh
354
Terpen uhi Ya/tdk
Keterangan
ya
Menurut ketua panitia sejak berdirinya Mako Brimob Papua tidak ada tempat ibadat khusus sehingga keperluan anggota maupun keluarga untuk beribadat harus keluar komplek yang berjarak ± 800 – 1 km. Ibadat dilakukan 5 kali dalam sehari dan
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Pasal 14 Ayat 1
tdk
Pasal 14 Ayat 2 poin a sd. c
ya
Pasal 14 Ayat 2 poin d
tdk
Pasal 16 Persyaratan diajukan kepada Bupati/Walikota untuk mendapatkan IMB rumah ibadat
ya
juga keperluan tempat pendidikan agama anak-anak dan orangtua. Dari jumlah personil 1520 org, 1043 org beragama Islam. Keberadaan masjid di dalam lingkungan institusi pemerintah Calon pengguna 1043 org Pendukung lebih dari cukup karena semua anggota non-Muslim menyetujui Terbit rekomendasi dari Kakandepag (waktu itu). Ayat 2 poin d tidak terpenuhi karena walaupun FKUB sudah terbentuk namun belum efektif Telah diajukan kepada Walikota Cq. Kepala Dinas Tata Kota tanggal 8 Mei 2007
2. Kasus Masjid Al-Mawaddah Jl. Feliyau II Hawai Sentani Kab. Jayapura Terpenuhi PBM 2006
Keterangan Ya/tdk
Bab IV pasal 13 & 14 Pasal 13 1. keperluan nyata dan sungguh-sungguh
ya
Tidak terdapat masjid dalam radius 3 km dan dan terdapat jumlah umat Islam jauh melebihi ketentuan dalam PBM yang bermukim di sekitar
355
Kata Pengantar
masjid yang sedang dibangun Pasal 14 Ayat 1 Pasal 14 Ayat 2 poin a sd. c
Pasal 14 Ayat 2 poin d
Pasal 16
ya
Semua persyaratan terpenuhi
ya
Dokumen lengkap
tdk
Ayat 2 poin d tidak terpenuhi karena walaupun FKUB sudah terbentuk namun belum efektif, rekomendasi tertulis tidak ada, tapi secara lisan sudah dan diakuai oleh ketua melalui 2 orang wakil ketua dalam pertemuan tgl 1 Maret 2011
ya
Sudah mendapatkan IMB dari Bupati tertanggal 23 Februari 2010.
B. Ranah Non Regulasi Setiap terjadinya suatu persoalan di seputar kehidupan sosial tidak disebabkan oleh sesuatu yang tunggal, melainkan banyak faktor yang terlibat dan berperan. Dalam kasus dua masjid di atas, akan dilihat pula dari sisi non regulasinya. Kasus Masjid Al-Muhajirin Komplek Brimop Adepura Jayapura, dari sisi regulasi dapat dikatakan belum sepenuhnya memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam PBM tahun 2006, namun hal ini tidak menjadi hal utama yang dipersoalkan oleh para penentang atau penggugat karena awalnya seluruh anggota baik yang Muslim maupun yang non-Muslim sudah menyatakan setuju. Selain itu PBM tahun 2006 untuk wilayah
356
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Papua belum berjalan efektif. Hal ini terlihat dari sejak terbentuknya FKUB di kedua wilayah Kabupaten dan Kota Jayapura belum pernah memberikan rekomendasi samasekali bagi pendirian rumah ibadat. Dari hasil pantauan di beberapa tempat yang sedang dibangun tempat ibadat (gereja dan masjid) sebagian besar tidak mengajukan/mengurus izin. Munculnya perotes justru setelah proses pembangunan berjalan. Hal ini pula yang menjadi tanda tanya dari pihak panitia pembangunan Masjid Al-Muhajirin. Dari hasil penelusuran terungkap berbagai dugaan di antaranya: 1) Sebagian anggota yang beragama Kristen mendapat hasutan dari pihak luar; 2) Muncul rasa iri hati mengapa di berbagai institusi pemerintah hanya tempat ibadat Muslim, sementara tidak tidak tersedia tempat ibadat bagi agama lain; 3) Pengaruh media massa yang sering memberitakan tentang kesulitan-kesulitan pembangunan tempat ibadat (khususnya gereja) di wilayah Indonesia bagian barat, sehingga menjadi salah satu pemicu perselesihan pembangunan masjid di wilayah timur, khususnya di Jayapura. Dalam kontek keagamaan nampaknya tidak menjadi satu persoalan yang dianggap sangat serius, para pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan dari berbagai latar belakang agama dan suku tentu tidak datang ke tanah Papua untuk mencari perselisihan namun kedatangan mereka hanya untuk mencari nafkah. Oleh karena itu mereka sangat menghindari hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan perselisihan terutama dengan penduduk pribumi yang notabene berama Kristen. Sedangkan untuk kasus Masjid Al-Mawaddah Hawai Sentani, karena yang memprotes hanya satu orang, yang membawa-bawa atas nama warga lain. Hal ini dianggap sebagai persoalan pribadi antara tetangga, namun demikian perlu diselesaikan dengan cara memfasilitasi antara kedua belah pihak
357
Kata Pengantar
oleh pemerintah daerah dan pihak-pihak Kementerian Agama, FKUB dan majelis agama.
terkait,
yakni
Faktor non regulasi di atas disinyalir kuat memengaruhi munculnya protes sebagian anggota Sat Brimobda terhadap pembangunan Masjid Al-Muhajirin, dapat pula dimaklumi dan dipahami, jika semula diperkirakan masjid yang akan dibangun adalah tempat yang hanya cukup menampung anggota shalat berjamaah lima waktu dan shalat Jum’at, namun tiba-tiba bangunan yang berdiri menjadi dua lantai dengan ukuran yang cukup besar (± 40 m x 40 m), bangunan menara masjid menjulang tinggi melebihi kantor induk Mako Brimob itu sendiri, sedangkan tidak berjauhan dari tempat berdirinya masjid sedang dibangun gedung Gereja Kristen Injili di Tanah Papua yang cukup besar bahkan terbesar di Provinsi Papua. Disini perlunya kearifan masing-masing pihak diperlukan.
358
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
PENUTUP
Kesimpulan Dari uraian dan analisis di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Di kedua wilayah penelitian terdapat penolakan sebagian warga terhadap pembangunan rumah ibadat (masjid); 2. FKUB di kedua wilayah penelitian sudah terbentuk pada awalawal setelah ditandatangani PBM Tahun 2006 namun sampai sekarang belum efektif; 3. Penolakan terhadap pembangunan Masjid Al-Muhajirin oleh sebagian anggota yang beragama Kristen di Komplek Sat Brimob Papua, bukan disebabkan karena tidak sesuai dengan yang diatur oleh PBM karena PBM itu sendiri belum efektif berjalan, namun lebih disebabkan oleh pengaruh ekternal seperti hasutan dari pihak luar, rasa cemburu dan pengaruh media massa; 4. Untuk Kasus Masjid Al-Mawaddah menurut peraturan sudah terpenuhi sesuai dengan PBM tahun 2006, namun masih terjadi penolakan, lebih disebabkan oleh dendam pribadi;
359
Kata Pengantar
5. Pemerintah dalam hal ini institusi Polri melalui Polda Papua telah mengambil langkah tegas dengan memerintahkan untuk menghentikan pembangunan Masjid Al-Muhajrin dan telah dilaksanakan, sedangkan untuk kegiatan beribadatnya tetap berjalan seagaimana biasa; 6. Tidak berperannya FKUB dan majelis agama dalam kasus Masjid Al-Muhajirin disebabkan karena lokasi pembangunan itu sendiri terletak di dalam instansi pemerintah dan sudah ditangani secara baik oleh institusi yang bersangkutan; 7. Untuk kasus Masjid Al-Mawaddah belum berperannya pemerintah, FKUB dan majelis agama karena tidak mendapatkan laporan dan informasi adanya penolakan dari salah satu warga sekitar; 8. Kasus Masjid Kuba Kampung Koya Barat Abepura, sempat terhentinya pembangunan masjid ini bukan disebabkan penolakan masyarakat setempat karena tidak sesuai dengan PBM tahun 2006 atau karena sentimen agama, akan tetapi lebih disebabkan oleh persoalan adat, yaitu setiap pembelian sebidang tanah harus ada surat tanda pelepasan dari ketua adat setempat (ondoafi).
Rekomendasi 1. Pemerintah baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Agama perlu terus mendorong pemerintah daerah untuk memfasilitasi FKUB agar dapat berjalan efektif melalui instruksi dan himbauan; 2. Perlu penanganan yang lebih arif terhadap kasus Masjid AlMuhajirin yang cukup dilematis karena pembangunan masjid sudah bejalan 60% dengan dana swadaya masyarakat Muslim
360
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Papua. Jika sangat mendesak bangunan masjid berlantai dua itu akan dirobohkan. Oleh karena itu perlu dilakukan dialog sebelum pelaksanaan pembangunan; 3.
Untuk kasus Masjid Al-Mawaddah, pemerintah dan pihak terkait, yakni Kementerian Agama Kabupaten Jayapura, FKUB dan majelis agama perlu duduk bersama dan memediasi perselisahan antar tetangga sehingga tidak menimbulkan konflik yang lebih luas;
4. Sosialisasi PBM tahun 2006 untuk wilayah Papua perlu diintensifkan, memperhatikan masih minimnya pengetahuan sebagian besar masyarakat terhadap isi peraturan bersama ini.
361
Kata Pengantar
362
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya: Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan. Jakarta: 2010. Bagir, Zainal Abidin, dkk., Pluralisme Kewargaan, Bandung: CRCSMizan, 2011. CRCS UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta:, 2011. Demetouw, Timothius J., Menyusuri Perubahan Kinerja Pegawai Di Kabupaten Jayapura, Badan Pengembangan dan Penelitian Derah Papua, 2009. International Crisis Group, Asia Briefing No. 114, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, Brussel: ICG, 2010. Memahami Konflik dan Strategi Penanggulangannya, DIPA Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen Agama Jawa Barat, 2006. Menengok Perjalanan GKI Bogor-Bakal Pos Taman Yasmin, slide yang dipresentasikan pada gelar perkara di Komnas HAM, 21 Mei 2010 oleh GKI.
363
Kata Pengantar
Moderate Muslim Society, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta:, 2011. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002. Pelly, Usman, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia. SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: 2011. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990. The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta:, 2011. ________________, Nawala, No. 3/TH I/Agustus-November 2006.
-o0o-
364
Editor : Haidlor Ali Ahmad
Hubungan Umat Beragama: STUDI KASUS PENUTUPAN / PERSELISIHAN RUMAH IBADAT Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012
Di satu sisi rumah ibadat adalah merupakan tempat bahkan pusat kegiatan ritual keagamaan, pembinaan mental spiritual, pendidikan agama, kegiatan sosial, budaya, dan penyiaran agama. Oleh karenanya rumah ibadat dipandang sebagai simbol agama. Karena fungsinya yang sedemikian rupa, di sisi lain rumah ibadat suatu agama sering dipandang oleh penganut agama lain sebagai ancaman. Keberadaan rumah ibadat terutama yang akan didirikan di suatu tempat sering dipandang sebagai ancaman bagi eksistensi agama yang telah ada lebih dulu di tempat itu. Sebagaimana hasil penelitian yang tertuang dalam buku ini, hampir setiap pendirian rumah ibadat mengalami hambatan, karena tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditentukan (PBM). Ada pula yang karena sejak awal rencana pembangunannya sudah ditolak oleh penganut agama lain yang mayoritas, sehingga upaya-upaya pemenuhan persyaratan yang sudah ditentukan dalam peraturan selalu dihambat, baik oleh masyarakat sekitar, maupun oleh aparat yang seharusnya memfasilitasi pendirian rumah ibadat yang sudah merupakan kebutuhan nyata dan sungguh bagi penganut agama yang ingin mendirikannya. Tentunya sangatlah memprihatinkan melihat realita betapa sulitnya membangun rumah ibadat. Apalagi jika kesulitan itu merupakan rekayasa yang dilakukan oleh kalangan yang menetang kehadirannya. Sehingga peraturan yang dengan kehadirannya dapat mempermudah, memberikan solusi dan bahkan mewajibkan pihak berwenang untuk memfasilitasi, tetapi justru oleh para penentang dimanfaatkan untuk mempersulit dan bahkan kalau dapat untuk menggagalkannya sama sekali. Disini menunjukkan ketaatan umat beragama kepada peraturan dan sikap toleransi sedang diuji.
ISBN
978-602-8739-09-2