BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Alasan Pemilihan Judul Penulis memilih judul “Asas Persamaan Perlakuan di Depan Hukum
dalam Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 2006/No.9 tahun 2006 dan Putusan No.41/G/2008/PTUN-BDG serta Putusan No.127 PK/TUN/2009,” karena materi muatan dalam Peraturan Bersama Menteri1 Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 tahun 2006/No. 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, menarik untuk dikaji. Penilaian atau pengujian (review) apakah isi PBM sudah sesuai ataukah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya di bawah Hukum, norma hukum, atau asas hukum, misalnya seperti penilaian yang dilakukan oleh
1
Untuk selanjutnya dalam Skripsi ini Peraturan Bersama Menteri dimaksud Penulis singkat dengan PBM.
1
hakim apakah isi PBM sesuai dengan prinsip „lex superior derogate lex inferiore‟, khususnya penilaian atas Pasal-Pasal PBM yang mengatur tentang pendirian rumah ibadat terhadap asas hukum atau prinsip hukum, dalam hal ini Penulis fokuskan kepada asas persamaan perlakuan di depan hukum adalah perlu dan menarik sebagai bahan kajian dan suatu eksersais keilmuan dalam bidang hukum. Satu diantara Pasal dari PBM yang menarik untuk diuji secara ilmiah adalah Pasal yang mensyaratkan adanya dukungan masyarakat2 setempat paling sedikit enam puluh orang, sebelum suatu ijin pendirian rumah ibadat dapat diterbitkan oleh aparat yang berwenang kepada mereka sebagai pemohon yang berhak untuk melaksanakan kebebasan beragama mereka, beribadat di suatu rumah ibadat. Ada kesan, bahwa Pasal tersebut kemungkinan dapat menyulitkan kelompok minoritas agama yang hendak mendirikan rumah ibadat di suatu daerah tertentu dengan mayoritas masyarakatnya beragama lain. Sehingga, manakala kesan bakal ada kemungkinan kesulitan itu terjadi, maka dapat saja orang berpendapat bahwa, terjadi kesenjangan perlakuan hukum kepada kelompok minoritas agama oleh yang berwenang dibandingkan dengan perlakuan terhadap kelompok mayoritas agama dengan menyandera (hijacking) pendirian suatu rumah ibadat. Bahkan, yang lebih parah lagi, hijacking seperti itu dapat saja dimanfaatkan oleh para petualang politik yang doyan menggunakan isu agama supaya mendapat tiket menuju ke kekuasaan. Dengan kata lain, dapat dikatakan adanya kemungkinan terjadinya diskriminasi, yang dalam skripsi ini disebut sebagai ketiadaan atau pengabaian prinsip hukum, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun pembiaran (ommision), persamaan perlakuan di depan hukum 2
Pasal 14 Ayat (2b).
2
dalam PBM. Hal inilah yang membuat Penulis tertarik memilih judul sebagaimana telah dikemukakan di atas. Meskipun harus Penulis akui, bahwa topik sejenis sudah pernah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum UKSW Salatiga,3 yang mengkaji tentang peraturan tersebut di atas, namun kajian dalam skripsi yang pernah ditulis itu berbeda dengan penelitian Penulis ini. Perbedaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. Bahwa karya tulis ini hanya memuat kajian atas prinsip hukum dalam PBM yang mengatur pendirian suatu rumah ibadat4. Soal atau isu yang ada adalah apakah eksis persamaan perlakuan penerapan PBM. Dengan kata lain apakah ada nilai asas persamaan di hadapan hukum di balik Putusan hakim yang mengadili dan memutus perkara yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadat? Penulis pastikan, bahwa isu seperti ini belum pernah dibicarakan oleh penulispenulis skripsi di Fakultas Hukum UKSW Salatiga sebelumnya. Aspek yang belum dibicarakan oleh penulis dalam karya tulis terdahulu adalah bahwa dalam perspektif Ilmu Hukum, adanya persyaratan bagi ilmuan hukum (jurists), bahwa dalam suatu pengkajian ilmiah dalam bidang hukum, para pengkaji itu harus, paling kurang mengkaji kaedah dan asas dalam suatu keputusan badan peradilan, yang dalam hal ini kajian mengenai bagaimana penerapan PBM oleh hakim dalam mengadili dan memutus perkara konkret yang berkaitan dengan boleh tidaknya didirikan rumah ibadat.
3
Budi Wahyudiono Purnomo Wibowo, S.H., Implementasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 tahun 2006 tentang Hak Kebebasan Beragama dan Beribadat,Studi Kasus Gereja Kerasulan Baru Indonesia Guwokajen dan Gereja Kristen Jawa Karang Duren Sawit Boyolali, FH UKSW, 2011. 4
Putusan Hakim yang menggunakan atau mengaplikasikan prinsip hukum dalam PBM yang mengatur pendirian rumah ibadat dapat dilihat dalam Bab III Skripsi ini.
3
Dalam skripsi terdahulu, belum dibahas suatu keputusan peradilan. Ada memang, seperti telah Penulis kemukakan di atas, penulis yang hanya membangun argumen tentang kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat menurut pandangan subyektif dari pengelola rumah-rumah ibadat tertentu. Namun, bangunan argumen itu tidak ada contoh konkret sebagaimana yang dilakukan Penulis terhadap Putusan-Putusan Hakim yang dikaji dalam skripsi ini. Semestinya, kalaupun pandangan seperti penulis skripsi di atas, yaitu argumen hasil temuan bahwa ada kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat, dan apabila hal seperti itu harus distudi, maka demi obyektifitas dan persyaratan penelitian hukum yang valid, pandangan-pandangan yang obyektif, yang dimuat di dalam suatu putusan pengadilanlah yang seharusnya distudi. Karena, pandangan-pandangan itu telah dikemukakan di dalam ruang persidangan yang terbuka untuk umum. Sedangkan skripsi tersebut sangat subyektif, membangun argumen dengan tidak mengikutsertakan pandangan atau pendapat, bahkan keputusan boleh tidaknya ijin pendirian rumah ibadat tersebut diterbitkan dari sudut pandang aparat setempat yang ada dalam suatu surat keputusan, apalagi pandangan tersebut bukanlah pejabat pembuat putusan pengadilan, atau hakim. Sedangkan penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah yang argumennya akan dibangun oleh skripsi ini mendasarkan diri pada keputusan hakim (obyektifitas) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkraht van gewijde). Dalam hal ini, keputusan hakim itu adalah satuan amatan penelitian Penulis yaitu Putusan No. 41/G/2008/PTUN-BDG dan Putusan No. 127 PK/TUN/2009. Dengan kata lain, dapat Penulis katakan bahwa skripsi sebagaimana ditulis oleh penulis terdahulu berdimensi subyektif, sedangkan skripsi ini lebih berdimensi
4
obyektif karena mengkaji suatu putusan pengadilan yang dibuat oleh instansi berwenang (having the power and capacity to contract). Sedikit lebih menarik, dan yang juga perlu Penulis kemukakan di sini yaitu bahwa perbedaan antara skripsi ini dengan skripsi sebelumnya5 adalah bahwa skripsi ini ilmu hukum murni sedangkan skripsi sebelumnya skripsi yang berdimensi sosiologi hukum6. Selanjutnya, hal yang juga penting untuk dikemukakan pada bagian awal skripsi ini adalah bahwa skripsi ini juga berdimensi judicial review yang per definisi dirumuskan sebagai berikut : “the simplified procedure by which, since 1977, prerogative and other remedies have been obtainable in the high court against inferior courts, tribunals, and administrative authorities on an application for the judicial review of a decision, the court may grant *Certiorari, *Mandamus, *Prohibition, a *Declaration, or an *Injunction; it may also award damages.”7 Judicial review merupakan suatu konsep yang berasal dari sistem hukum Inggris. Dimaksudkan dengan judicial review, sebagaimana rumusan pengertian di atas, adalah penyerderhanaan prosedur (hukum acara) yang oleh karena hak luar biasa dan penyelesaian lainnya yang menjadi wewenang suatu pengadilan
5
Lihat Catatan kaki No.1. supra.
6
Dr. Jeferson Kameo SH., LL.M., mengatakan bahwa tidak salah apabila seorang jurist memelajari Sosiologi Hukum, namun, Kameo mengingatkan bahwa Sosiologi Hukum itu bukan Ilmu Hukum. Sosiologi Hukum itu Ilmu sosial yang mengkaji hukum sebagai obyek. Seorang Jurist tidak mengkaji hukum dalam pengertian mengobok-obok hukum, atau kemudian menggunakan hukum menjadi alat menjadi kaya atau mencari makan, namun memelajarinya untuk dipatuhi.
7
Edited by Elizabeth A. Matin, MA., A Dictionary of Law, Oxford University Press, 1997, Fourth Edition, New York, p. 252.
5
tinggi. Pengadilan yang lebih tinggi itu menilai (review) bahwa ada hal yang bertentangan. Review juga dilakukan oleh pengadilan terhadap keputusan tata usaha negara maupun badan peradilan seperti berbagai tribunal dengan berbagai pemberian ganti rugi apabila ternyata pengadilan menemukan adanya perbuatan melawan hukum. Dimaksud dengan judicial review dalam skripsi ini dapat dilihat dalam Putusan No. 41/G/2008/PTUN-BDG8 jo. No. 241/B/2008/PT TUN. JKT9 jo. No. 127 PK/TUN/200910. Penulis berpendapat bahwa di dalam perkara tersebut terlihat dengan jelas dimensi pengujian (review) terhadap keputusan administrasi negara oleh lembaga kehakiman/hakim (judicial) (PTUN) yang dibuat dalam rangka pembangunan pendirian rumah ibadat. Satu dari alat pengukur dalam pengujian yang dilakukan oleh para Majelis Hakim yang mengadili perkara itu adalah PBM. Dengan kata lain dalam skripsi ini terdapat satu dimensi judicial review yang terdapat dalam putusan pengadilan. Adanya pengujian (review) oleh hakim (judicial), dan yang paling penting, menuruti definisi judicial review sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas adalah bahwa pengujian itu dilakukan terhadap putusan administrasi negara (beschiking). Dari tulisan ilmiah ini diharapkan dapat ditemukan kembali suatu kaedah yang mengatur mengenai suatu perbuatan (something to do), dalam hal ini, perbuatan pemberian ijin pendirian rumah ibadat di daerah yang mayoritas
8
Selanjutnya dalam skripsi ini disingkat dengan Putusan 41.
9
Selanjutnya dalam skripsi ini disingkat dengan Putusan 241.
10
Uraian lengkap Putusan-putusan itu, yang Penulis olah sebagai suatu Hasil Penelitian dan oleh sebab itu ditaruh di bawah judul Hasil Penelitian dalam Bab III. Selanjutnya pada skripsi ini Penulis singkat dengan Putusan 127.
6
masyarakatnya beragama berbeda dengan kelompok minoritas yang akan mendirikan rumah ibadat.
1.2.
Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara Hukum.11 Tiga ciri penting dalam setiap
negara hukum (the rule of law) seperti diungkapkan oleh A.V. Dicey yaitu supremasi hukum (supremacy of law), persamaan perlakuan di depan hukum12 (equality before the law) dan asas legalitas (due process of law). Sebagai negara yang mengakui rule of law, mengingat Konstitusi Indonesia menyebut negara Indonesia adalah negara hukum, persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, diakui di dalam konstitusi Indonesia. Dengan adanya asas persamaan dan pengakuan seperti itu, maka sudah barang tentu, segala sikap, bentuk dan tindakan diskrimitatif yang memanifestasi, termasuk di dalam beschiking Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) adalah merupakan sikap dan tindakan yang terlarang, tidak terkecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara sekalipun, yang dinamakan affirmative actions.13 Prinsip ini dimuat dalam Pasal 27 Ayat (1) Konstitusi Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa:
11
Pasal 1 Ayat (3) Ketetapan MPR tgl 9 November 2001 tentang Perubahan Ketiga UUD Negara Republik Indonesia.
12
Seperti telah Penulis kemukakan di atas, hal inilah yang menjadi vocal point atau pusat kajian skripsi ini.
13
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, 2010, Cetakan ke-1, Jakarta, hlm.,128.
7
“segala warga Negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Ketentuan Konstitusional di Indonesia sebagaimana Penulis kemukakan di atas itu, mengkristalisasikan pandangan dan sekaligus keyakinan setiap orang bahwa tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara Republik Indonesia dalam penegakan peraturan perundang-undangan,14 demikian pula memberi kesempatan untuk aktif di dalam urusan pemerintahan dengan syarat-syarat yang berlaku sama bagi setiap orang.15 Pasal 28I Ayat (2) TAP-MPR tentang Perubahan kedua UUD 1945 juga mencerminkan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum, yaitu bahwa: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskrimitatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskrimitatif itu”. Demikian pula dengan pengaturan yang ada di dalam pengakuan bangsabangsa beradab di muka bumi misalnya dalam Article 7 Universal Declaration of Human Right, ditegaskan bahwa: “All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.”
14
Dalam skripsi ini fokus studi akan dilakukan terhadap PBM, Putusan Pengadilan.
15
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rieka Cipta, 2001, Cetakan ke-2, Jakarta, hlm.,132.
8
Semua orang adalah sama di muka hukum dan tanpa diskriminasi apa pun berhak atas perlindungan hukum yang sama. Semua orang berhak atas perlindungan yang sama tanpa diskriminasi apa pun yang melanggar Deklarasi ini dan dari hasutan apapun untuk melakukan diskriminasi. Ketentuan tersebut di atas mencakup tiga aspek. Aspek yang pertama adalah persamaan di depan hukum. Aspek kedua yaitu perlindungan hukum yang sama. Dan, aspek yang ketiga adalah perlindungan tidak adanya perlakuan yang diskriminatif.16 Hal lain yang sangat penting dalam negara hukum (rechtsstaat) adalah bahwa negara hukum itu merupakan suatu tempat dimana hak asasi manusia dapat tumbuh subur, karena hanya di negara hukumlah keberadaan hak asasi manusia dijamin.17 Hal itu dapat dilihat dari tujuan negara hukum, yaitu melindungi hakhak dan kebebasan asasi manusia warga negaranya untuk mewujudkan kesejahteraan umum dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang.18 Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia merupakan asas pokok, prinsip utama yang menentukan bahwa suatu negara merupakan negara hukum. Dalam kaitan dengan uraian di atas, hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah melekat pada pribadi manusia sejak manusia dilahirkan, bersifat inheren. Walaupun hak asasi manusia itu sudah ada sejak adanya manusia itu,
16
Peter Baehr, Pieter van Dijk, Adnan Buyung Nasution, Leo Zwaak, Instrumen Internasional Pokok Hak - Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, 2001, Ed.II, Jakarta, hlm., 200. 17
Dr. Khrisna Harahap, SH., MH., Ham dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafiti Budi, 2003, Bandung, hlm., 22.
18
Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publising, 2005, Cetakan ke-2, Malang, hlm., 44.
9
tetapi suatu hak atau kebebasan yang dimiliki oleh orang tidak bisa terasa manfaatnya selama ia belum dapat leluasa menikmati hak-hak itu tanpa gangguan. Ia baru merasa manfaat hak asasi manusia kalau hak-hak itu tidak terhilang atau yang sempat tidak terjamin menjadi terjamin lagi.19 Indonesia sebagai negara hukum tentu saja memiliki tujuan bernegara yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial, dengan menjamin hak-hak warga negaranya. Jaminan atas hak asasi manusia seperti telah dikemukakan di atas tertuang dalam beberapa TAP-MPR tentang perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan perundang-undangan juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan tunduk pada prinsipprinsip hak asasi manusia, satu diantara hak-hak itu adalah persamaan perlakuan di depan hukum. Asas persamaan perlakuan di depan hukum menjadi dasar dari semua peraturan
perundang-undangan.20
Sesuatu
yang
dianggap
penting
oleh
keseluruhan pihak yang terkait, harus sedapat mungkin diatur bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan, melalui wakil-wakilnya, dan diatur sejauh materinya memungkinkan untuk itu, dengan cara yang sama bagi para pihak tersebut. Peraturan tidak boleh ditunjukan kepada suatu kelompok tertentu yang dipilih, di dalam suatu peraturan tidak boleh adanya pembedaan semuanya, efek suatu peraturan tidak boleh menimbulkan ketidaksamaan (diskriminasi), dan dalam hubungan antara suatu peraturan dan peraturan lainnya tidak boleh timbul 19
Ibid, hlm., 45.
20
Definisi Peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 Angka (2) UU No.12 tahun 2011 adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan
10
ketidaksamaan (kontradiksi). Tidak boleh adanya Peraturan Perundang-undangan yang ditunjukkan kepada sekelompok orang tertentu. Karena, bila hal ini terjadi maka akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dan kesewenang-wenangan di depan hukum.21 Kebebasan beragama sebagai HAM di Indonesia, yang dijamin dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia Pasal 29 Ayat (2)22, serta Pasal 22 UndangUndang No.39 tahun 1999 Ayat (1) dan (2)23, harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum. Peraturan Perundang-undangan yang berkenaan dengan hak beragama tidak boleh menimbulkan diskriminasi antara umat beragama dalam menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya, termasuk juga dalam pendirian rumah ibadat yang diatur dalam PBM. Meskipun perlindungan dan jaminan diakui di dalam rumusan kertas perundangan di Indonesia seperti telah penulis kemukakan di atas, namun demikian belum tentu suatu tindakan, misalnya suatu tindakan (beschiking) Pejabat TUN tidak lagi akan menimbulkan diskriminasi, pengesampingan dan ketiadaan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum. Oleh karena itulah diperlukan judicial review, dalam pengertian sebagaimana dianut di dalam skripsi ini dan sudah dikemukakan di atas, dengan tujuan untuk memastikan bahwa kekuasaan pemerintah tetap berada di dalam
21
Prof. Dr. Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, RajaGrafindo Persada, 2011, Cetakan ke-3, Jakarta hlm.,149.
22
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
23
(1) “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurutagamanya dan kepercayaannya itu.” (2) “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.”
11
batas-batas hukumnya masing-masing (to keep the powers of government within their legal bounds)24 dalam arti memertahankan prinsip-prinsip hukum. Kasus paling mutakhir yang dapat memerlihatkan dengan jelas manifestasi dari tindakan yang rule of law atau yang bernegara hukum terjadi di Indonesia yaitu pembangunan suatu rumah ibadat25. Ijin Mendirikan Bangunan dari Rumah Ibadat A Quo26 tersebut diterbitkan karena Rumah Ibadat A Quo telah memenuhi segala syarat pendirian rumah ibadat yang diatur dalam PBM. Namun, ditengah pelaksanaan pembangunan Rumah Ibadat A Quo, Kepala Dinas27 justru menerbitkan surat No. : 503/208–DTKP perihal Pembekuan Ijin tertanggal 14 Februari 200828. Alasan diterbitkannya Pembekuan Ijin tersebut oleh karena masyarakat se-Kota itu berkeberatan atas diterbitkannya IMB Rumah Ibadat A Quo. Hal ini dapat membuktikan anggapan adanya intoleransi dari kelompok mayoritas.29
Oleh
karena
merasa
dirugikan
maka
pihak-pihak
yang
berkepentingan, Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo mengajukan Gugatan ke Pengadilan (PTUN Bandung) yang telah memperoleh Putusan 41. Kepala Dinas
24
Carendish Law Card, Constitutional law, Carendish Publishing Ltd, 1997,1998, pp. 47-48.
25
Uraian lengkap mengenai kasus itu Lihat Bab III Hasil Penelitian dan Analisis Skripsi ini.
26
Supaya memersingkat, tanpa menghilangkan otentisitas kasus itu, untuk selanjutnya, sejauh menyangkut rumah ibadat dalam Putusan-putusan pada Bab III, Penulis singkat dengan Rumah Ibadat A Quo, semua kata dimulai dengan huruf besar. Nama yang lebih jelas dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan yang sudah terbuka untuk umum dan Nomor-nomor Putusannya sudah dikemukakan pula oleh Penulis di dalam skripsi ini. 27
Untuk selanjutnya dalam skripsi ini, sama dengan di atas, tanpa bermaksud menghilangkan otentisitas namun untuk memermudah dan memersingkat penyebutan maka pihak itu hanya akan disebut dengan Kepala Dinas saja. 28
Selanjutnya di dalam skripsi ini hanya akan disingkat dengan Pembekuan Ijin.
29
Hal ini dapat juga dipengaruhi oleh budaya lokal dalam kehidupan beragama di wilayah tertentu namun, dalam penelitian ini Penulis tidak melihat hal tersebut. Karena fokus Penulis pada asas persamaan perlakuan di depan hukum dalam PBM dan Putusan Pengadilan. Jadi hal tersebut dapat dilihat oleh peneliti lain.
12
yang adalah Tergugat dalam sengketa tersebut, mengajukan permohonan Peninjauan Kembali30. Kini, sengketa itu telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap yaitu Putusan 127. Bagaimanakah asas hukum persamaan perlakuan di depan hukum yang ada dalam Putusan tersebut? Hal itu jugalah yang telah menjadi latar belakang penelitian dan penulisan karya tulis ini.
1.3.
Rumusan Masalah Bagaimana Asas Persamaan Perlakuan di Depan Hukum yang berlaku di
Indonesia dalam PBM dan dalam Putusan 41 serta 127 Mahkamah Agung yaitu dalam sengketa TUN antara Wakil Rumah Ibadat A Quo dengan Kepala Dinas?
1.4.
Tujuan Penelitian Penulis ingin mengetahui bagaimana Asas Persamaan Perlakuan di Depan
Hukum yang berlaku di Indonesia dalam PBM dan dalam Putusan 41 serta 127 Mahkamah Agung yaitu dalam sengketa TUN antara Wakil Rumah Ibadat A Quo dengan Kepala Dinas.
1.5.
Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum, bermaksud untuk mengetahui dan
menggambarkan kaedah-kaedah persamaan perlakuan di depan hukum yang ada di Indonesia. Konkretnya, bagaimana kaedah-kaedah dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan perlakuan yang sama di depan hukum atau equality before the law itu dimanifestasikan, baik di dalam peraturan perundang-undangan yang
30
Selanjutnya disingkat PK.
13
mengatur mengenai pendirian rumah ibadat, maupun di dalam keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Baik peraturan, maupun keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu menjadi satuan amatan dalam penelitian dan akan dikemukakan sebagai suatu hasil penelitian dalam skripsi ini. Satuan amatan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan, TAP-MPR tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Putusan MA tentang sengketa ijin pendirian rumah ibadat. Satuan Analisis dari penelitian ini adalah Bagaimana Asas Persamaan Perlakuan di Depan Hukum yang berlaku di Indonesia dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006/No. 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat serta dalam putusan Mahkamah Agung yaitu Putusan No. 41 / G / 2008 / PTUN-BDG dan Putusan No. 127 PK/TUN/2009 dalam sengketa TUN umat beragama tertentu dengan Kepala Dinas di suatu Kota.31
31
Periksa catatan kaki No. 27, hlm., 12, Supra.
14