Editor: I Nyoman Yoga Segara
Memberdayakan RUMAH IBADAT, Memakmurkan UMAT
Penulis: Habibi Zaman Riawan Ahmad, H. Fatchan Kamal, A. Fachruddin, M. Ishom, Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, Mardjuki, Muchtar, Achmad Ubaidillah, Agus Mulyono, Pormadi Simbolon, I Nyoman Yoga Segara, Selamet, Achmad Rosidi
KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG Kementerian Agama RI DAN DIKLAT Badan Litbang dan Diklat PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Puslitbang Kehidupan Keagamaan TAHUN 2015 Jakarta, 2015
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
i
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
ISBN : 978-602-8739-39-9 xxxii + 378 hlm; 15 x 21 cm. Cetakan ke-1 November 2015
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit. Penulis: Habibi Zaman Riawan Ahmad, H. Fatchan Kamal, A. Fachruddin, M. Ishom, Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, Mardjuki, Muchtar, Achmad Ubaidillah, Agus Mulyono, Pormadi Simbolon, I Nyoman Yoga Segara, Selamet, Achmad Rosidi
Editor: I Nyoman Yoga Segara Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE
Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://puslitbang1.kemenag.go.id
ii
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karuniaNya, Puslitbang Kehidupan Keagamaan dapat menerbitkan naskah buku kehidupan keagamaan. Buku “Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat” yang diterbitkan pada 2015 ini adalah hasil penelitian yang dilaksanakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada 2014. Buku yang diterbitkan ini adalah kompilasi dari hasil penelitian tentang model-model pemberdayaan rumah ibadat agama-agama di Indonesia. Penelitian tersebut diselenggarakan di tujuh lokasi, yaitu Surabaya (Masjid Al Falah, Masjid Nasional Al Akbar), Banjarmasin (Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Jami’ Sungai Jengah, Mesjid Raya Sabilal Muhtadin, Mesjid Hasanuddin Madjedie), Medan (HKBP Cinta Damai, HKBP Maranatha), Papua (GKI Maranatha Remu, GKI Immanuel Boswezen), Yogyakarta (Gereja Jetis, Gereja Kumetiran), Denpasar (Pura Desa dan Puseh, Pura Subak) dan Semarang (Vihara Tanah Putih, Vihara Maha Bodhi). Buku ini sangat kaya dengan data lapangan dan analisis yang diharapkan dapat memberikan sumbangan besar, baik untuk pengembangan teori sosial, budaya dan keagamaan, serta sebagai bahan pertimbangan bagi pemangku kebijakan. Selain itu, buku ini dapat menjadi referensi utama bagi praktisi dan akademisi. Dengan demikian, buku ini secara praksis diharapkan menjadi model untuk mengelola rumah ibadat dengan tujuan memakmurkan umat. Terbitnya buku ini tidak dapat dilepaskan dari bantuan dan kerjasama semua pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Kepala Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan dan sambutan untuk buku ini
2.
Pakar yang telah bersedia membaca dan memberikan prolog dan epilog Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
iii
3.
Editor yang telah melakukan editing, menyelaraskan, dan menyajikan pengantar untuk memudahkan pembaca menyelami isi buku ini
4.
Narasumber, informan, pembantu lapangan dan semua pihak, baik saat penelitian ini dilaksanakan maupun setelah penelitian ini disajikan dalam berbagai forum diskusi ilmiah, sehingga hasil penelitian akhirnya dapat dikomplilasi menjadi buku
Namun demikian, terbitnya buku ini juga tidak lepas dari kekurangan, baik secara substansi maupun hal teknis lainnya. Untuk itu, ijinkan kami dengan kerendahan hati mohon maaf sekaligus meminta saran dan kritik agar terbitan berikutnya dapat diperbaiki dan disempurnakan. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Jakarta, November 2015 Kepala,
H. Muharam Marzuki, Ph.D Nip. 19630204 199403 1 002
iv
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI
Syukur Alhamdulillah ke hadapan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, laporan penelitian Model-Model Pemberdayaan Rumah Ibadat Agama di Indonesia Tahun 2014 akhirnya dapat dibukukan dengan judul “Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat”. Sampai saat diterbitkan menjadi buku, penelitian ini telah mampu menjawab sejumlah masalah pokok tentang model pemberdayaan rumah ibadat. Hasil penelitian ini tidak saja penting bagi Badan Litbang dan Diklat, tetapi juga secara umum sangat strategis bagi Kementerian Agama RI dalam mengambil kebijakan terkait pemberdayaan rumah ibadat. Pada sisi yang lain, penelitian ini dapat menjadi referensi akademik dan ilmiah bagi penelitian selanjutnya. Sebagaimana telah diuraikan panjang lebar dalam buku ini, penelitian ini merepresentasikan semangat yang sama dalam memberdayakan modal sosial rumah ibadat, meskipun oleh agama-agama dilakukan dengan model yang beragam. Varian model pemberdayaan ini selain karena kearifan lokal di tujuh wilayah (Medan, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banjarmasih dan Papua), juga terutama aspek teologis agama masing-masing. Namun dalam konsep pemberdayaan dan modal sosial yang dikaitkan dengan total quality management, hasil penelitian ini sangat kaya data dan maknawinya. Satu hal yang juga sangat berharga adalah penelitian ini telah berhasil mengungkap sejumlah faktor yang mendukung dan menghambat pemberdayaan rumah ibadat selama ini. Meskipun faktor penghambatnya telah diberikan rekomendasi, tetap saja masalah tersebut harus dicarikan jalan keluarnya oleh unit-unit yang berkepentingan pada Kementerian Agama. Harapannya, hasil penelitian ini dapat digunakan sehingga rumah ibadat di masa depan dapat berfungsi lebih maksimal dalam rangka meningkatkan partisipasi dan kemakmuran umatnya, selain yang utama dan pertama adalah peningkatan kualitas rohani.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
v
Melalui pemberdayaan rumah ibadat dengan berbagai model yang sejak dulu telah dilakukan secara mandiri dan swadaya, Kementerian Agama telah dimudahkan dalam menjalankan tugas dan fungsi pembinaan kepada umat beragama. Namun upaya peningkatan kualitas taqwa dan iman ini, tidak semata menjadi tugas Kementerian Agama, sehingga sinergi dan kolabororasi dengan pihak lain menjadi kebutuhan untuk terus ditingkatkan. Semoga dengan dibukukannya hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan menjadi rujukan utama bagi semua pihak. Sebagai apresiasi atas pencapaian hebat ini, ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya khusus diberikan kepada para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Namun demikian, sebagai karya manusia, buku ini mungkin tidak luput dari kesalahan, sehingga diperlukan sumbang saran dan kritik untuk penyempurnaan buku ini di masa-masa yang akan datang. Selamat membaca.
Jakarta, Kepala
November 2015
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
vi
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
PROLOG MAKMURKAN RUMAH IBADAT, MAKMURKAN UMAT Oleh Imam Addaruqutni Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI)
Tidak secara spesifik, berbagai macam rumah ibadat: masjid, gereja, vihara, pura, dan sebagainya, lebih dari sekadar konstruksi bangunan an sich yang semula secara fungsional merupakan fasilitas ritualistik, pada tataran lanjut dalam spektrum sosiologis dan kultural, praktis merupakan wahana kehidupan sub-kultur dalam suatu masyarakat bahkan negara. Dikatakan sub-kultur oleh karena berbagai rumah ibadah tersebut memang menyemai dan sekaligus merupakan fasilitas bagi proses internalisasi segenap nilai yang bersumber dari ajaran agama yang dianut oleh jamaahnya dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada. Meskipun dalam beberapa aspek malahan boleh jadi dalam banyak aspek terdapat varian perbedaan di antara berbagai rumah ibadah, kiranya hal itu dapat dipahami oleh karena secara herarkis proses penyemaian nilai itu diderivasi dari sumber ajaran agama masing-masing di mana para pemegang otoritas dalam rumah ibadah itu apakah kyai atau ustad di masjid, para rahib dan/atau pendeta di gereja, pada bhiksu dan pedanda masing-masing di vihara dan pura dan sebagainya memegang peran kunci (key role) dan sentral yang sekaligus mengkonstruksi semacam corak herarkis dalam perspektif tatanan nilai dan pola sosial. Kondisi demikian jelas berbeda dengan pola umum yang berlangsung dalam masyarakat luar rumah ibadat, yaitu masyarakat dari komunitas jamaah tersebut berasal. Dengan demikian, berbagai rumah ibadat juga menjelma sebagai pranata sosial (social institution) dan juga pranata budaya (cultural institution) yang bersifat otonom jika ditimbang dari perspektif (secara teknis) sterilnya dari dominasi kepentingan di luar misi pokok sebagaimana konsep idealnya. Lebih dari itu, bahkan berbagai rumah ibadat tersebut secara sosial dan kultural dalam batas tertentu mampu mengambil peran transformatif sebagaimana dilihat oleh Emile Durkheim (The Elementary Forms of Religious Life, 1912) ketika secara sosiologis Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
vii
terutama secara antropologis terbukti bahwa berbagai pengalaman religious menjadi dasar bagi terbinanya suatu tatanan sosial (social order) yang khas dalam suatu masyarakat yang dilatarbelakangi oleh spiritualitas keagamaan. Lebih jauh, bahwa berbagai rumah ibadat tersebut dengan bertemu, berkumpul, dan kemudian bergaulnya jamaah yang sebelumnya merupakan individu-individu dengan latar belakang beragam, kemudian memasuki wilayah kesadaran bersama (cosmic consciousness) baik dalam, misalnya, kepentingan dan solidaritas (social transformation) yang, jika didekati menurut model analisis intrinsik dari tingkat mikro sampai makro, oleh Peter M. Blau (Exchange and Power in Social Life, 1964) bahwa gejala saling asosiasi dan saling empati dalam jamaah tersebut melahirkan rasa senang dan bahagia (mutual awareness) yang boleh jadi kontras dengan keberadaannya dalam masyarakat luar jamaah, yakni masyarakat dari mana masing-masing individu berasal. Bahkan meski model saling asosiasi dan empati tersebut harus menuntut biaya yang, berbeda dengan model formal transaksi komersial, tidak menghitung untung-rugi atau semacam nilai riel yang akan diperoleh (capital gain) atas sejumlah pengorbanan yang dikeluarkannya tetap saja dilakukan dengan ikhlash dan senang hati. Motif kebaikan ekatologis kiranya juga dapat ditimbang sebagai alasan utama kerelaan untuk saling asosiasi dan empati atas sesama jamaah tersebut. Dalam hal ini, sebagaimana ditawarkan oleh sosiolog Amerika George C. Homans (Social Behavior as Exchange,1958, termasuk karyanya yang lain The Human Group, Social Behavior: Its Elementary Forms, 1961) dengan mempertimbangkan pola tingkah laku yang berlangsung di permukaan (up-stream level) di kalangan jamaah, secara fundamental sertamerta berlangung juga terjadinya semacam pertukaran (nilai) sosial di level bawah (down stream) antara yang bersifat profane dan yang sublime, antara yang artifisial dan yang substansial, dan seterusnya termasuk antara yang duniawiah dengan yang ukhrawiyah. Pertukaran (nilai) sosial tersebut berlangsung begitu kompleks, misalnya antara pemimpin jamaah dengan jamaah, antar-individu dalam jamaah, antara nilai-nilai yang semula dianut dalam masyarakat dengan nilai-nilai yang datang dari mimbar dan sebagainya. Sementara itu, telaah Max Weber (Die Wirtschaftsethic der Weltreligionen, 1915) khususnya menyangkut etika ekonomi keagamaan
viii
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
yang nampaknya ingin menjustifikasi bahwa agama apapun pada aspek psikologis justru mengambil peran penting dalam memicu meningkatnya sikap pandang praktis dan pragmatis bagi pemeluknya. Karena itu, sejalan dengan Homans, bagi Weber, etika (ekonomi) keagamaanlah, jika dirunut, yang akan secara efektif membangkitkan kinerja profesional ekonomis dalam dunia modern sebagaimana sekarang ini. Secara khusus pandangan teoritisnya yang tertuang dalam publikasinya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, (edisi Jerman: Die Protestantische Ethik und Der Geist Des Kapitalismus) sebagaimana dimuat dalam Archiv fur Social wisssenschaft und Socialpolitik, 1905, menelaah ajaran etika Protestan pada umumnya dan khususnya Protestan aliran Calivinis yang didasarkan atas data statistika bahwa di Eropa modern (sekitar akhir abad 19 awal abad 20) di mana para pejabat, birokrat, kaum kapitalis sampai para pekerjanya pada umumnya terdiri dari pemeluk Kristen Protestan. Berbeda dengan kapitalisme klasik yang rakus dengan semangat mendapat keuntungan tanpa batas dan tidak bermoral, Weber menekankan bahwa kapitalisme modern yang disemangati oleh etika Protestan justru mementingkan profesionalisme serta disiplin yang ketat bahwa bekerja dan kerja keras merupakan tugas hidup sebagai ibadah. Sementara itu, sebagaimana dalam Protestan, Islam juga menekankan pentingnya memperhatikan keseimbangan (tawazzun) atau keberimbangan proporsional (tanasub) antara semangat mencari keduniaan dan mencita-citakan kebahagiaan di akherat (al-Qur’an; al-Qashash/28: 77) yang diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “Siapa pun yang menghendaki keduniaan hendaknya dengan menguasai ilmunya, siapa pun yang menghendaki akheratnya hendaknya juga dengan menguasai ilmunya, dan siapapun yang menghendaki keberhasilan keduanya juga harus dengan ilmu”. Demikian juga doktrin kebaikan (al-ihsan) dalam Islam yang terkenal: “Bekerjalah untuk duniamu seolah kamu akan hidup selamanya, serta berbuatlah untuk akheratmu (ibadah) seakan kamu merasa akan mati esuk hari” (I’mal li dunyaka ka-annaka ta’isyu abadan wa’mal li-akhiratika kaannaka tamutu ghadan).”
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
ix
Karena itu, dalam Islam kemalasan sangat dikecam. Demikian juga kemiskinan karena malas adalah keburukan dan sangat dikecam. Bahkan Nabi Muhammad menegaskan bahwa tangan yang di atas jauh lebih bagus dari tangan yang di bawah. Pemberi lebih terhormat dari yang menerima. Semangat karitatif adalah di anatara orisinalitas etika sosial Islam di mana yang kaya memungkinkan meringankan beban si miskin. Di atas semua itu adalah bahwa ethos kehidupan yang produktif dalam arti seluas-luasnya ini merupakan ethos universal Islam. Demikian juga tentang spirit bahwa hidup itu berarti memberi manfaat bagi sesama terdapat dalam ajaran berbagai agama yang dalam Islam hal ini sangat ditegaskan Khairukum anfa’ukum li al-nas (Sabda Nabi Muhammad SAW). Dalam konteks masjid, secara historis sosiologis masjid pada jaman Nabi Muhammad pun, bahkan terutama Masjid Nabi sendiri di Madinah pada era beliau, telah menjadi semacam epicentrum bagi transformasi sosial seluas-luasnya. Di samping sebagai tempat shalat, masjid menjalankan peran multi-fungsi sehingga masalah sosial politik dan budaya juga dapat dibahas dalam masjid ini. Misalnya, mengatasi krisis perdamaian antar-suku dan strategi perang serta negosiasi (politik), masalah pertanian dan perdagangan (ekonomi), kebersihan dan penampilan di tengah umum (public performance) serta pemberantasan buta huruf (budaya), dan sebagainya banyak dibahas dalam Masjid Nabi. Itulah sebabnya hadits-hadits Nabi Muhammad meliputi berbagai hal kehidupan yang terbanyak justru merespon permasalahan umat. Konstruksinya semacam umat bertanya Nabi menjawab. Karena itu kian hari Masjid Nabi semakin dipenuhi jamaah sehingga muncul semacam pemikiran perlu membuat cluster jamaah yang diakomodasi lewat semacam berbagai pemondokan (saqifah-saqifah) yang dibangun di sekitar Masjid Nabi oleh para sahabat yang kaya dan selanjutnya diwaqafkan ke Masjid. Karena itu seperti saqifah Bani Sa’adah (bidang politik) memang tempat berkumpulnya kelompok elite umat yang intens dengan persoalan pemerintahan/kenegaraan, saqifah Abdurrahman bin Auf (bidang ekonomi) tempat berkumpulnya kelompok profesional serta mereka yang minat menekuni wilayah ini, dan saqifah Labid al-Anshariy untuk pembarantasan buta huruf (bidang budaya) dan pendidikan/pengajaran (tarbiyah/ta’lim) untuk menyebut beberapa contoh. Sampai sekarang, fenomena kedekatan masjid dengan kehidupan sosial-budaya umat dan
x
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
kehidupan bazariy masih kuat terlihat baik di Masjid al-Haram (Makkah) dan Masjid al-Nabi (Madinah). Dengan menunjuk pada sejumlah pandangan teoritis di atas, kiranya dapat memperkaya kerangka analisis komparatif yang lebih radikal antara perspektif kuantitatif dengan perpektif kualitatif sebagaimana yang kedua ini ditekankan oleh buku ini. Apalagi jika mengingat bahwa berbagai rumah ibadat memang bisa dibedakan secara tajam dengan lembaga-lembaga industri dan bisnis. Kiranya beberapa contoh di atas juga masuk dalam kategori model pemberdayaan dengan mentransendensikan semua social capital yang ada dalam spektrum rumah ibadat agama apapun, khususnya masjid. Buku Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat yang diterbitkan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang ada di tangan khalayak pembaca ini, dengan banyak data kualitatif ingin mengurai dengan detail peran pemberdayaan/pemakmuran rumah ibadat berbagai agama di Indonesia melalui telaah model-model pemberdayaannya dengan objek penelitian (kasus) di tujuh wilayah yang dikaitkan dengan Total Quality Management (TQM) sebagai alat analisis yang lazim berlaku dalam dunia industri (business). Pendekatan analisis TQM ini pada hemat saya memang perlu elaborasi lebih mendalam oleh karena konstruksi teoritis yang terbangun lebih menekankan pada kinerja profit oriented di dunia industri di mana hal ini kontras dengan spirit yang melatari kinerja rumah ibadat dengan social capital yang ada secara agregat yang umumnya lebih menekankan keikhlassan beramal sebagai di antara paradigma (nilai) sosial yang menyemai di dalamnya.
Ciputat, 20 Oktober 2015
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
xi
xii
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
PRAKATA EDITOR Dalam konteks pembinaan umat beragama, terlebih dalam kehidupan keagamaan yang sangat khas Indonesia, rumah ibadat memiliki peran yang sangat strategis. Bahkan sejak kehadiran agama-agama besar ke nusantara, rumah ibadat telah menjadi episentrum, tempat di mana para pemimpin agama dan umatnya melakukan perjumpaan jasmaniah, dan terutama rohaniah. Pada akhirnya, emanasi nilai-nilai kerohanian lebih banyak ditemukan di rumah ibadat. Akibatnya ada semacam “ketidakrelaan” rumah ibadat disepadankan “seperti” sekolah, kantor, atau balai pertemuan. Rumah ibadat berkenaan dengan yang suci dan sakral. Selalu seperti itu. Henri Lefebvre (1971) mengartikan ruang sakral dengan istilah second nature (alam kedua) di mana kondisi obyektif yang dimaknai secara sosial dan historis sebagai tempat suci. Tidak berlebihan akhirnya, kalangan tradisional, terutama di daerah pedesaan misalnya, akan memperlakukan rumah ibadat sebagai fetishism of space. Bagi mereka, rumah ibadat nyaris tidak memiliki peluang untuk aktivitas non ibadat. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, rumah ibadat kini juga menjadi wahana aktivitas non ibadat, namun masih berhubungan erat dengan nilai-nilai keagamaan. Fenomena ini dapat terjadi karena ruang untuk aktivitas keagamaan juga semakin terbatas dilakukan secara bebas. Bagaimanapun, rumah ibadat menyimpan banyak modal sosial yang jika diberdayakan akan berdampak langsung untuk memenuhi dan meningkatkan kualitas hidup. Kebutuhan hidup ini melingkupi jasmani dan rohani, keduanya terdapat interrelasi. Semangat ini dapat dijumpai, misalnya dalam Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) IV di Jakarta yang salah satu keputusannya menyatakan peran dan fungsi masjid selain sebagai pusat ibadat, juga tempat ber-muamalah, pemberdayaan dan persatuan umat, meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia, kecerdasan umat dan tercapainya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT dalam wilayah NKRI. Sementara bagi umat Kristiani, gereja tidak hanya dipahami sebatas gereja para imam yang sibuk dengan ritual, melainkan juga gereja Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
xiii
para nabi yang peka terhadap masalah-masalah sosial. Bahkan konteks panggilan gereja kini tercakup dalam tiga agenda pokok gereja di dalam dunia, yaitu menegakkan keadilan, mewujudkan perdamaian, dan memajukan kesejahteraan dalam dan bagi seluruh masyarakat. Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa agama-agama pada umumnya juga memiliki ajaran agar umatnya memberikan sebagian harta yang dimiliki bagi kegiatan ibadat, kegiatan sosial (filantropi) dan kemanusiaan. Dalam setiap agama pula, ibadat tidak semata-mata dipahami sebagai bentuk kesalihan individu yang tercermin dalam ibadat ritual keseharian, tetapi terkait pula dengan kesalihan sosial. Untuk itu tidak heran jika kini banyak rumah ibadat justru berperan besar sebagai lembaga sosial, menghimpun dana umat, melakukan pengelolaan, dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang dianggap membutuhkan. Dengan demikian rumah ibadat memiliki peran tidak hanya sebagai tempat untuk beribadat dan pembinaan keagamaan namun juga sebagai tempat pemberdayaan masyarakat. Bagaimana dengan agama-agama lainnya? Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat pada 2014 telah melakukan kajian dan penelitian mendalam tentang model pemberdayaan rumah ibadat berbagai agama di Indonesia, dengan fokus untuk mengeksplorasi masalah pokok: bagaimana rumah ibadat dikelola untuk memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama; upaya yang dilakukan pengelola rumah ibadat untuk mengoptimalkan modal sosial yang ada; dan faktor pendukung dan penghambat pengelolaan rumah ibadat. Penelisikan atas tujuan penelitian tersebut didekati melalui teknik wawancara mendalam, observasi dan focus group discussion. Penelitian ini dilakukan di tujuh lokasi, yaitu Surabaya (Masjid Al Falah, Masjid Nasional Al Akbar), Banjarmasin (Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Jami Sungai Jengah, Masjid Raya Sabilal Muhtadin, Masjid Hasanuddin Madjedie), Medan (HKBP Cinta Damai, HKBP Maranatha), Sorong (GKI Maranatha Remu, GKI Immanuel Boswezen), Yogyakarta (Gereja Jetis, Gereja Kumetiran) Denpasar (Pura Desa dan Pura Puseh, Pura Subak Pakel II) dan Semarang (Vihara Tanah Putih, Vihara Maha Bodhi).
xiv
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Ragam Model Pemberdayaan Rumah Ibadat Total quality management atau TQM yang telah lama digunakan dalam dunia bisnis, dalam penelitian ini menjadi perspektif besar dan “teman dialog” selama penelitian. Pilihan ini menjadi penting untuk mengelaborasi konsep pemberdayaan seperti disampaikan Jim Ife dalam Suharto (1997) (baca juga Payne, 1997; Saraswati, 1997) dan konsep modal sosial sebagaimana dijelaskan ahli-ahli ilmu sosial, seperti Hanifan (1916), lalu berturut-turut Colemen (1988), Putnam (1993, 1995, 1999) dan Fukuyama (1995). Pemberdayaan, modal sosial dan TQM menjadi kata kunci dalam analisis penelitian ini (lihat lebih jauh tinjauan pustaka). Dalam setiap simpulan penelitian ini, paling tidak ada tiga hal pokok yang dapat disaripatikan – selain sebagai representasi konteks waktu dan tempat penelitian, juga hasil diskusi teoritik yang menunjukkan bahwa Pertama, rumah ibadat memiliki fungsi yang sangat strategis dalam memberdayakan umatnya, karena rumah ibadat tidak semata memiliki fungsi sebagai tempat ritual, namun dapat berfungsi dalam berbagai bidang. Ada ruang sakral dan profan yang dimanfaatkan secara proporsional. Modal sosial yang dimiliki rumah ibadat dapat dikelola dan diberdayakan berdasarkan pemanfaatan atas ruang dalam rumah ibadat. Setiap ruang memiliki kegiatan yang berbeda-beda. Kedua, model pemberdayaan rumah ibadat berbeda-beda, selain karena norma yang dianut masing-masing agama, juga karena kearifan lokal di mana rumah ibadat itu berada. Bahkan dalam satu wilayah juga memiliki keragaman cara, sebagaimana ditemukan dibeberapa lokasi penelitian. Ketiga, secara umum, terdapat faktor pendorong pemberdayaan rumah ibadat dan umat. Hal ini karena peran atau kontribusi aktif para pemuka agama, majelis agama dan pemerintah, terutama pemerintah daerah. Hampir semua rumah ibadat telah memiliki kemandirian dalam pengelolaannya, dilakukan secara mandiri atau swadaya bahkan ada yang dikelola dengan pola hierarkhis dan terstruktur. Tiga simpulan tersebut setidaknya menjadi jawaban awal atas pertanyaan apakah modal sosial yang dimiliki rumah ibadat dan para pengelolanya selama ini telah mampu diberdayakan secara maksimal? Selanjutnya, bagaimana model pemberdayaan modal sosial dan Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
xv
optimalisasi faktor pendukung sehingga hasil pemberdayaan tersebit mampu memakmurkan umatnya, berikut dapat dibaca dalam ragam model pemberdayaannya. Model Pemberdayaan Masjid di Kota Surabaya yang disajikan Habibi Zaman Riawan Ahmad dan H. Fatchan Kamal boleh dianggap sebagai model pemberdayaan yang lebih banyak memaksimalkan modal sosial, seperti trust, norms dan networking, modal sosial yang diwilayah lain tidak begitu besar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masjid memiliki peran dalam upayanya melakukan pemberdayaan di masyarakat. Masjid tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ritual semata, namun dapat banyak berbuat dalam berbagai bidang. Kemampuan masjid dalam mengelola sumberdaya manusia di internal mereka, dan kemampuan mengembangkan modal sosial menjadikan sebuah masjid dapat menjalankan fungsinya. Untuk itu sebagai upaya menjaga fungsi masjid, perlu adanya penajaman mengenai kondisi sumberdaya manusia di dalamnya dengan melihat realitas manajemen yang dilakukan, dan analisis terhadap aset yang dimiliki. Bagi pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama Republik Indonesia perlu melakukan sebuah proses bimbingan dan dorongan agar hambatan-hambatan dalam proses pemberdayaan masyarakat dan pengembangan masjid dapat diatasi dengan baik. Model Pemberdayaan Masjid di Banjarmasin yang disajikan A. Fachruddin dan M. Ishom dianggap sebagai upaya para pengelolanya memberdayakan rumah ibadat dengan cara membangun jejaring (networking) dalam memuliakan masjid-masjid bersejarah dan sektoral yang banyak terdapat di provinsi “seribu sungai” tersebut. hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberdayaan masjid dilakukan melalui mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian (pemanfaatan), dan pengawasan bervariasi sesuai tipologinya. Pada masjid raya dan masjid sektoral mekanismenya lebih menekankan manajemen top-dwon, yang berpangkal kepada penyandang dana utama atau pengurus yayasan yang cukup besar. Yang unik adalah masjid tipe bersejarah, seperti Masjid Sultan Suriansyah dan Masjid Jami Sungai Jengah. Keduanya hanya mendapat bantuan dari pemerintah secara tentatif, dan selebihnya dari bantuan swadaya masyarakat. Pada kedua
xvi
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
masjid ini diterapkan mekanisme buttom-up di mana antara pengurus dengan jemaah sama-sama merasakan kepuasan karena masjid yang mereka banggakan masih tetap eksis, sekalipun hanya melayani bidang peribadatan, pendidikan, dan dakwah. Model Pemberdayaan Gereja HKBP di Medan yang disajikan Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, dan Mardjuki dapat dikatakan sebagai model pemberdayaan dengan cara membangun strong leadership dan kemandirian jamaat. Hal ini dapat dibaca saat peneliti menggambarkan Gereja HKBP, baik Gereja Cinta Damai dan Maranatha yang selama ini rutin melayani jamaat juga aktif dalam melaksanakan kegiatan sosial, seperti memberikan santunan untuk jamaat yang sakit, meninggal, dan kurang mampu. Gereja HKBP merupakan gereja yang memiliki kemandirian, di mana kegiatan gereja dibiayai sepenuhnya oleh jamaat melalui dana persembahan yang dihimpun secara sukarela. Dana persembahan dari jamaat, dimanfaatkan untuk empat hal, yaitu pertama untuk pengelolaan Gereja seperti pembayaran listrik, telephon, PAM, kebersihan, dan biaya hidup pendeta. Kedua, untuk pembangunan gereja seperti rehabilitasi gedung. Ketiga, untuk disetor ke pusat HKBP. Keempat, yaitu dana diakonia untuk kegiatan sosial. Pengelolaan dana tersebut diadministrasikan oleh pengurus secara baik, dan dilaporkan secara berkala kepada jamaat. Di samping itu dilakukan audit oleh auditor internal, auditor KHBP distrik dan HKBP pusat. Memang, usaha pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak gereja terhadap jamaat dan masyarakat nampak belum signifikan, hal ini karena secara finansial gereja masih terbatas, dan masih fokus pada pembangunan gedung, yaitu gedung “Serba Guna” untuk Gereja HKBP Cinta Damai dan gedung gereja untuk HKBP Maranatha. Model Pemberdayaan GKI di Kota Sorong yang di sajikan Muchtar dan Achmad Ubaidillah adalah model pemberdayaan dengan merefleksikan teologi melalui diakonia transformatif. Model pemberdayaan ini dapat dibaca bahwa GKI Marantha Remu dan Immanuel Bozwesen yang merupakan kelompok Kristen Protestan beraliran Calvinis dengan struktur keorganisasian menganut model Presbyterial Sinodal, serta merupakan denominasi Gereja Kristen Injili di tanah Papua memiliki dan menerapkan model manajemen yang sama baik dalam hal manajemen organisasi maupun manajemen keuangan. Setiap Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
xvii
keputusan terkait dengan perencanaan kegiatan dirumuskan dan diputuskan dalam sidang jemaat sebagai forum tertinggi di aras jemaat yang pelaksanaan sidangnya berdasarkan pada tata gereja, peraturan pokok, peraturan khusus serta peraturan pelaksanaan Gereja Kristen Injili di tanah Papua. Model pemberdayaan yang dilakukan mengacu pada model teologi diakonia transformatif selain model diakonia yang bersifat karitatif. Sedangkan model manajemen dan kepemimpinan yang diterapkan adalah model manajemen Kristus dan Model Kepemimpinan Transformasional. Partisipasi aktif jemaat berjalan dengan baik sehingga menentukan keberhasilan program-program yang diselenggarakan oleh gereja maka Pelaksana Harian Majelis Jemaat di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong. Model Pemberdayaan Gereja di Kota Yogyakarta yang disajikan Agus Mulyono dan Pormadi Simbolon adalah model pemberdayaan yang dilakukan dengan cara menegakkan hirarkhi dan meneruskan keteladanan para romo yang sudah banyak berjasa. Para pengurus Gereja Jetis dan Gereja Kumetiran dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama digariskan secara hirarkis mulai dari Uskup (Keuskupan), diturunkan lagi kepada Kevikepan (perwakilan uskup dengan wilayah tertentu), kemudian dilaksanakan dalam paroki oleh pastor paroki beserta jajarannya. Pola ini merupakan kekhasan Katolik, dan pola organisasinya sama untuk Paroki-Paroki. Perbedaannya, berjalan tidaknya organisasi Paroki tergantung kepemimpinan dan kreativitas Pastor Paroki. Memang pemberdayaan ekonomi umat untuk kedua gereja di atas tidak begitu kelihatan namun model pemberdayaannya dialihkan dengan memfasilitasi pelatihan-pelatihan kepada umat, misalnya berdagang. Ada juga pemberian pinjaman dana dengan keringanan pembayaran cicilan di bulan keempat seperti yang dilakukan di paroki Santo Albertus Jetis Yogyakarta. Pemberdayaan ekonomi umat pada umumnya bersifat karitatif, bantuan bagi umat yang kurang mampu. Umat yang kurang mampu dibantu berupa dana membiayan uang sekolah atau uang sosial bagi yang sakit atau berduka. Model pemberdayaan ini dapat dilangsungkan dengan baik karena disokong oleh kesadaran umat yang
xviii
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
cukup tinggi, terutama persembahan sukarela, juga sumbangan tenaga, dan waktu Model Pemberdayaan Pura di Kota Denpasar yang disajikan I Nyoman Yoga Segara dan Selamet menjadi model pemberdayaan yang khas dengan adanya konsep “pembagian dunia” atau struktur alam yang dikontekstualisasi melalui ajaran Rwa Bhineda, Tri Mandala dan Tri Hita Karana. Bagaimanapun, pemberdayaan rumah ibadat umat Hindu di Bali, khususnya di Denpasar sangat berkaitan erat dengan klasifikasi pura yang masing-masing klasifikasi pura tersebut memiliki pengempon atau komunitas di pura bersangkutan, sehingga pemberdayaan tempat ibadat sangat tergantung pula dari program dan kegiatan yang mereka (baca: pengempon), baik yang rutin maupun kegiatan-kegiatan insidental untuk komunitas internalnya. Berdasarkan pemetaan seperti tersebut, modal sosial yang dimiliki sebuah pura untuk memberdayakan pengemponnya akan secara konkrit, dirasakan, dinikmati dan tepat sasaran untuk para pengemponnya, baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi melalui koperasi, LPD, pasar, dll; kebutuhan seni-budaya melalui sekaa atau kelompok-kelompok sosial yang memberikan kesempatan kepada umat untuk mengekspresikan seni dan budayanya; kebutuhan rohani melalui aktivitas keagamaan. Artinya pemberdayaan pura semata untuk memenuhi kebutuhan manusia akan nilai-nilai ketuhanan yang bersifat rohaniah yang diimplementasikan ke dalam konsep parahyangan, kebutuhan manusia secara jasmaniah (pawongan) dan kebutuhan untuk hidup dialam semesta atau lingkungan hidup (palemahan). Tujuan ini adalah inti dari ajaran Tri Hita Karana yang implementasinya secara konkrit juga dilakukan di pura berdasarkan Tri Mandala, yaitu nista mandala untuk kegiatan manusia secara profan, madya mandala masih untuk kegiatan manusia tetapi lebih berorientasi kepada Tuhan dan utama mandala total untuk Tuhan. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan total management quality telah secara nyata dan langsung dilakukan oleh para pengempon secara mandiri dan otonom meskipun berada dalam atap yang sama, yakni manajemen pemerintahan baik melalui desa pakraman maupun desa dinas. Artinya Pengempon Pura Kawitan, Pura Swagina, Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan Jagat tetap berada dalam satu wilayah. Sinergi ini menghasilkan kemampuan untuk
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
xix
membagi kekuatan kepada para leader dari masing-masing komunitas (pengempon). Model Pemberdayaan Vihara di Kota Semarang yang disajikan Achmad Rosidi adalah model pemberdayaan rumah ibadat dengan titik tekan memandirikan vihara melalui yayasan yang kuat, dan menjadikan dunia pendidikan sebagai wahana meningkatkan kualitas sumber daya manusia Buddhis. Sedangkan pelayanan dibidang keagamaan dilakukan melalui peribadatan mingguan, perayaan hari-hari besar, dan konsulting serta umat dapat menemui para Bikkhu setiap saat di vihara masingmasing. Manajemen kelembagaan dibidang sosial diselenggarakan oleh yayasan, dan urusan pelayanan keagamaan peran diambil oleh vihara yang dipimpin oleh para Bikkhu. Modal sosial didasarkan pada kepercayaan (trust) manajemen yayasan pada figur para Bikkhu. Modal sosial lainnya adalah trust dari umat Buddha yang makin menyadari peran yang diambil oleh vihara, juga kharisma para Bikkhu yang memimpin di vihara juga makin besar.
Catatan Akhir Selain menemukan ragam model pemberdayaan di atas, hasil penelitian ini juga berhasil menggali sejumlah hambatan yang dihadapi para pengelola atau pengurus rumah ibadat (lihat faktor penghambat dan pendukung masing-masing penelitian). Beberapa wilayah penelitian masih menghadapi hambatan untuk memaksimalkan modal sosial rumah ibadat, sehingga perlu ditindaklanjuti dengan pertama, sinergitas dan kolaborasi antara Kementerian Agama dengan instansi lain, seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Pemerintah dan swasta untuk melakukan pemberdayaan rumah ibadat di bidang sosial ekonomi. Kedua, Kementerian Agama melakukan pembinaan dan sosialisasi yang intensif kepada pemuka agama masing-masing rumah ibadat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa rumah ibadat dapat juga menjadi sentra pelayanan dan pemberdayaan yang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ritual (rohani) semata, tetapi juga kewirausahaan (ekonomi),
xx
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
pendidikan, sosial-budaya dan kebutuhan profan lainnya tanpa sedikitpun mengurangi kesakralan rumah ibadat. “Rumah ibadat berdaya, umat beragama makmur”, itulah idealisasi hasil pemberdayaan rumah ibadat yang diharapkan di masa mendatang. Lalu bagaimana caranya, dan apa modelnya? Buku ini akan menjadi pemandu pembaca untuk “berenang” di lautan data dan analisis para peneliti. Selamat membaca dan semoga bermanfaat [*]
Jakarta,
Agustus
2015
I Nyoman Yoga Segara
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
xxi
xxii
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ...............................................
iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ..............................................
v
PROLOG ....................................................................................
vii
PRAKATA EDITOR ................................................................
xiii
DAFTAR ISI .............................................................................
xxiii
Pendahuluan Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian .............
4
Metode Penelitian .....................................................................
5
Tinjauan Pustaka Definisi Konsep .........................................................................
7
Kerangka Teori ..........................................................................
10
Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................
20
Model Pemberdayaan Masjid di Kota Surabaya: Memaksimalkan Trust, Norms dan Networking Habibi Zaman Riawan Ahmad dan H. Fatchan Kamal .......
23
Model Pemberdayaan Masjid di Banjarmasin: Membangun Jejaring untuk Memuliakan Masjid Bersejarah dan Masjid Sektoral A. Fachruddin dan M. Ishom .............................................
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
73
xxiii
Model Pemberdayaan Gereja HKBP di Medan: Membangun Strong Leadership dan Kemandirian Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, dan Mardjuki ..
97
Model Pemberdayaan GKI di Kota Sorong: Merefleksikan Teologi melalui Diakonia Transformatif Muchtar dan Achmad Ubaidillah .....................................
121
Model Pemberdayaan Gereja di Kota Yogyakarta: Menegakkan Hirarkhi dan Meneruskan Keteladanan Para Romo Agus Mulyono dan Pormadi Simbolon ............................
155
Model Pemberdayaan Pura di Kota Denpasar: “Membagi Dunia” melalui Rwa Bhineda, Tri Mandala dan Tri Hita Karana I Nyoman Yoga Segara dan Selamet .................................
185
Model Pemberdayaan Vihara di Kota Semarang: Memandirikan Vihara melalui Pendidikan Achmad Rosidi ....................................................................
217
EPILOG ......................................................................................
243
INDEKS .....................................................................................
245
xxiv
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rumah ibadat memiliki peran dalam pembinaan umat masingmasing agama, khususnya di bidang keagamaan. Rumah ibadat biasanya dimaknai sebagai ruang sakral, dimana fungsinya sebagai tempat melaksanakan ibadat dan tempat atau ruang suci yang harus terpisahkan dengan aktivitas-aktivitas duniawi. Sebagai tempat suci maka rumah ibadat berbeda dengan bangunan atau tempat lain seperti sekolah, balai pertemuan, gedung perkantoran, atau pasar. Henri Lefebvre (1971) mengartikan ruang sakral tersebut dengan istilah second nature (alam kedua) di mana kondisi obyektif ruang telah ditransformasikan dan dimaknai secara sosial dan historis sebagai tempat suci. Bagi kaum tradisional rumah ibadat diperlakukan sebagai fetishism of space sehingga tidak ada peluang aktivitas non ibadat. Bagi sebagian umat Islam, misalnya masjid berfungsi sebagai tempat shalat saja, itupun bila jamaah shalatnya ramai, tidak ada aktivitas non-shalat atau ibadat mahdhah bisa dilakukan oleh masyarakat di masjid. Namun demikian, di samping berfungsi dalam kegiatan keagamaan rumah ibadat juga berfungsi bagi tempat pelaksanaan aktivitas sosial bagi jamaah atau masyarakat di lingkungan sekitar. Hal demikian tidak lepas dari adanya konsepsi teologis agama-agama yang memberikan tuntunan moralitas kepada manusia untuk mengasihi sesama manusia sehingga agama juga memiliki nilai sosial. Hampir semua agama di samping menekankan kesalihan individu juga kesalihan sosial. Agama-agama umumnya juga memiliki ajaran agar umatnya memberikan sebagian harta yang dimiliki bagi kegiatan ibadat, kegiatan sosial (filantropi) dan kemanusiaan. Dalam setiap agama, ibadat tidak semata-mata dipahami sebagai bentuk kesalihan individu yang tercermin dalam ibadat ritual keseharian, tetapi terkait pula dengan kesalihan sosial. Untuk itu tidak heran jika banyak rumah ibadat yang berperan sebagai lembaga sosial, menghimpun dana umat, melakukan pengelolaan, dan mendistribusikannya kepada pihak-pihak yang dianggap membutuhkan.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
1
Dengan demikian rumah ibadat memiliki peran tidak hanya sebagai tempat untuk beribadat dan pembinaan keagamaan namun juga sebagai tempat pemberdayaan masyarakat. Misalnya dalam Islam, yang melalui Muktamar Dewan Masjid Indonesia (DMI) IV di Jakarta, peran dan fungsi masjid dinyatakan bahwa masjid memiliki fungsi sebagai tempat ibadat dan tempat ber-muamalah. Lebih rinci dijelaskan dalam muktamar tersebut, peran dan fungsi masjid adalah sebagai pusat ibadat, pemberdayaan dan persatuan ummat, meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia, kecerdasan umat, tercapainya masyarakat adil makmur, yang diridhoi Allah SWT dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara itu bagi umat Kristiani, gereja tidak hanya dipahami hanya sebatas gereja para imam yang sibuk dengan ritual, melainkan juga gereja para nabi yang peka terhadap masalah-masalah sosial. Bahkan konteks panggilan gereja kini tercakup dalam tiga agenda pokok gereja di dalam dunia, yaitu menegakkan keadilan, mewujudkan perdamaian, dan memajukan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Di sinilah nampak adanya persoalan terkait manajemen (baca: pengelolaan) rumah ibadat. Pada satu sisi, ada rumah ibadat yang hanya difungsikan oleh pengelolanya hanya sebatas ruang untuk tempat beribadat atau pembinaan keagamaan, namun sebagian rumah ibadat lainnya, peran rumah ibadat juga telah difungsikan untuk kegiatan sosial, pemberdayaan umat, bahkan pengembangan ekonomi. Dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010-2014 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Buku II Bab II Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, dijelaskan bahwa negara dan pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memberikan fasilitas dan pelayanan pemenuhan hak dasar warga tersebut. Berkaitan dengan kualitas beragama yang belum optimal, dinyatakan bahwa pelayanan kehidupan beragama masih terbatas, untuk itu pemerintah perlu lebih meningkatkan perannya dalam memberikan pelayanan dan fasilitas kepada umat beragama dalam menjalankan aktivitas keagamaannya dengan mudah dan aman. Melihat peran rumah ibadat yang begitu penting dan strategis, maka banyak dukungan diberikan terhadap rumah
2
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
ibadat baik oleh masing-masing jamaah rumah ibadat dan masyarakat, juga diberikan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat melalui Kementerian Agama maupun pemerintah daerah. Kementerian Agama melalui berbagai bentuk program dan kegiatan, salah satunya adalalah memberikan bantuan kepada rumahrumah ibadat dan ormas-ormas keagamaan. Pemberian bantuan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi tumbuh dan berkembangnya kehidupan beragama di masyarakat. Bantuan dimaksud bila dilihat dari jumlah nominal tidak banyak menolong dan mengatasi kebutuhan para penerima bantuan. Akan tetapi, dari segi tanggung jawab, perlindungan, pengayoman, dan layanan terhadap kehidupan beragama di Indonesia sangatlah bermakna. Program bantuan Kementerian Agama ini memiliki makna strategis di samping sebagai pengembangan manajemen rumah ibadat dalam mengelola rumah ibadat, juga untuk menunjang peran sosial rumah ibadat dalam pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, mengingat besarnya jumlah rumah ibadat maka bantuan tersebut tidak dapat menjangkau seluruh rumah ibadat yang ada. Berdasarkan data statistik hasil sensus jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 dan data jumlah rumah ibadat tahun 2011 oleh PIKMAS Kemenag, diketahui bahwa jumlah penduduk dan rumah ibadat,1 adalah: umat Islam 207.176.162; jumlah masjid 239.497,2 umat Kristen 16.528.513; jumlah gereja 60.170, umat Katolik 6.907.873; jumlah gereja 11.021, umat Hindu 4.012.116; jumlah pura 24.837, umat Buddha 1.703.254; jumlah vihara 2.354, dan umat Konghucu 117.091; jumlah kelenteng 552. Berdasarkan data tersebut, terdapat sejumlah preposisi yang menarik, yaitu Pertama, sejumlah bantuan yang diberikan kepada rumah ibadat seringkali tidak proporsional antara kebutuhan riil dengan besar bantuan. Akibatnya, seringkali pembangunan rumah ibadat ‘berhenti’ di tengah jalan. Atau sebaliknya, beberapa bantuan akhirnya tidak tepat sasaran karena besarannya tidak sesuai dengan kebutuhan pengelola. 1 Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2012, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama 2 Jumlah ini sudah mengalami perubahan, misalnya jumlah masjid pada 2012 adalah 288.117 (sumber: Bimas Islam dalam Angka 2012).
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
3
Kedua, disinyalir penyaluran bantuan rumah ibadat mengalir kepada kelompok-kelompok tertentu yang berasosiasi dengan oknum tertentu pula. Ketiga, bantuan rumah ibadat yang biasanya berbentuk uang selalu dikaitkan dengan bantuan untuk pembangunan fisik, sehingga dalam tingkat tertentu justru bantuan tidak berdampak langsung untuk menciptakan kesejahteraan umat. Keempat, rumah ibadat memiliki potensi yang besar khususnya terkait modal sosial, namun umumnya belum secara optimal bisa dimanfaatkan dengan baik. Empat preposisi tersebut masih menjadi permasalahan diberbagai komunitas agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha) terkait pola manajemen dan perannya dalam pemberdayaan umat beragama, baik di bidang keagamaan maupun sosial kemasyarakatan, serta untuk melihat sejauhmana efektivitas bantuan yang diberikan Kementerian Agama dan pihak lain terhadap rumah-rumah ibadat. Artinya, meskipun rumah ibadat sebagai salah satu pranata keagamaan menjadi unsur penting dalam penyelenggaraan pembangunan di bidang agama, sampai saat ini eksistensi pranata tersebut belum sepenuhnya mampu menunjukkan performa seperti yang diharapkan masyarakat. Atas masalah ini, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat berusaha menggali informasi mengenai pemberdayaan rumah ibadat dalam upaya memakmurkan umat diberbagai agama dalam satu kajian mengenai “Model-Model Pemberdayaan Rumah Ibadat Berbagai Agama di Indonesia”. Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan permasalahan pokoknya melalui pertanyaan penelitian, yaitu (1) bagaimana model pengelolaan rumah ibadat dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama? (2) bagaimana pengurus rumah ibadat dalam mengoptimalisasikan modal sosial yang ada? (3) bagaimana mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian dan pengawasan terhadap dana bantuan yang diterima? dan (4) faktor-faktor apakah yang menjadi pendorong dan penghambat
4
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
pengelolaan rumah ibadat dalam pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat? Empat pertanyaan kunci penelitian tersebut menjadi penuntun untuk menghasilkan tujuan penelitian, yaitu (1) mengetahui model-model pengelolaan rumah ibadat dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama, (2) Mengetahui upaya rumah ibadat dalam mengoptimalisasikan modal sosial yang ada, (3) Mengetahui mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian (pemanfaatan), pengawasan terhadap dana bantuan yang diterima, dan (4) mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pengelolaan rumah ibadat dalam pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi seluruh unit Eselon I (masing-masing Ditjen Bimas) pada Kementerian Agama RI dalam merumuskan kebijakan pembimbingan dan mendorong pembinaan rumah ibadat di masing-masing agama serta instansi lainnya yang terkait dengan rumah ibadat dalam memberdayakan umat beragama ke arah yang lebih baik dan profesional; referensi dan bahan kajian lebih lanjut bagi akademisi, para pakar dan pemerhati lembaga sosial keagamaan dan rumah ibadat, dan basis bagi penyusunan kebijakan tentang model-model pemberdayaan rumah ibadat.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam terhadap sejumlah informan dan key person. Informan dipilih berdasarkan kualitas dan tidak menekankan aspek kuantitas, yaitu informan yang berasal dari pengurus rumah ibadat dari berbagai agama (sesuai unit analisisnya), dan beberapa anggota masyarakat (jamaah rumah ibadat) serta tokoh agama yang memahami persoalan pengelolaan rumah ibadat diwilayahnya. Sebelum penggalian data primer melalui pelaksanaan wawancara dilakukan penggalian data sekunder sebagai bahan/informasi awal terkait rumah ibadat yang diperoleh dari sumbersumber resmi yang dianggap relevan dengan objek dan tema penelitian.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
5
Lamanya waktu penggalian data di lapangan adalah 15 hari. Adapun lokasi penelitian adalah di 8 provinsi yang disetiap provinsi dilakukan penelitian terhadap dua rumah ibadat dalam satu agama, yaitu rumah ibadat tingkat Kabupate/Kota dan rumah ibadat tingkat desa/kelurahan yang dikelola masyarakat, namun untuk mendapatkan data yang lebih mendalam maka penggalian data hanya difokuskan di dua rumah ibadat saja dalam satu lokasi Kabuapten/kota. Langkah selanjutnya adalah pemilihan atau reduksi data, pengelompokkan, dan ketegorisasi data, dengan jalan abstraksi yang merupakan upaya memuat rangkuman inti, proses dan pernyataan. Selanjutnya dilakukan analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia. Sebagai tahap akhir sebelum menyusun simpulan, dilakukan interpretasi data dengan cara memaknai, mendiskusikan, membandingkan dan mencocokkan dengan teori yang ada.
6
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan dapat diartikan “memampukan” dan ‘memandirikan masyarakat’ (Kartasasmita, 1997:12). Dalam bahasa Inggris, pemberdayaan sepadan dengan “empowerment”, yang memiliki arti empowerment aims to increase the power of disadvantaged (Jim Ife dalam Suharto, 1997:214), yaitu pemberian atau peningkatan “power” atau “kekuasaan” kepada masyarakat lemah atau kurang beruntung (disadvantaged). Dari pengertian tersebut tedapat dua pengertian kunci, yaitu “kekuasaan” dan “kelompok lemah” (Ife dalam Suharto, 2005:59). Kekuasaan di sini tidak dalam arti kekuasaan politik yang sempit, namun penguasaan atas berbagai hal seperti pilihan-pilihan dan kesempatan hidup, kemampuan membuat keputusan, kemampuan menentukan kebutuhan hidup, kemampuan menjangkau dan mempengaruhi pranatapranata masyarakat (kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan), kemampuan mengekspresikan gagasan, kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal dan informal, serta kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distibusi dan pertukaran barang/jasa, dan lainnya. Istilah pemberdayaan atau empowerment, juga dapat diartikan sebagai pemberkuasaan atau pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada masyarakat yang lemah atau kurang beruntung. Dalam diskursus ini, pemberdayaan memiliki maksud pengembangan masyarakat dengan banyak metode seperti kemandirian, penekanan terhadap partisipasi, penggunaan jaringan kerja, dan pemerataan.3 Lebih lanjut pemberdayaan
3 Gary Craig dan Magorie Mayo, “Editorial Introduction: Managing Conflict through Community Development.” Community Development Journal, Vol 2 No 33 (1995: 77-79).
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
7
merupakan bagian dari pada pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Tujuan dasar dari pemberdayaan adalah keadilan sosial dengan memberikan ketentraman kepada masyarakat yang lebih besar serta persamaan politik dan sosial melalui upaya saling membantu dan belajar melalui pengembangan langkah-langkah kecil guna tercapainya tujuan yang lebih besar (Payne, 1997:268). Secara konseptual pemberdayaan harus mencakup enam hal, yaitu: learning by doing (belajar dan tindakan konkrit), problem solving (pemecahan masalah), self-evolution (evaluasi secara mandiri), self-development and coordination (pengembangan diri dan hubungan luas), self-selection (pemilihan langkah secara mandiri), dan selfdecision (memutuskan secara mandiri) (Saraswati, 1997:79-80).
Modal Sosial Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Untuk menghadapi masalah-masalah tersebut, diperlukan kerjasama dan kebersamaan yang baik dari segenap anggota masyarakat. Konsep modal sosial (sosial capital) dalam mainstream ilmu sosial pertama kali diusung oleh Hanifan (1916). Konsep tersebut semakin popular oleh Colemen (1988), Putnam (1993, 1995, 1999), Fukuyama (1995) dan ilmuwan sosial lainnya. Menurut pencetusnya, Lyda Judson Hanifan, modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi mengandung arti kiasan, namun merupakan asset atau modal nyata yang penting dalam kehidupan. Contoh modal sosial menurut Hanifan dapat berupa kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial. Sedangkan Putnam (1993) menyatakan bahwa modal sosial merupakan unsur utama pembangunan masyarakat madani (civil community). Modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama organisasi sosial seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang terkordinasi (Putnam, 1993:167).
8
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Sementara Fukuyama (1995) menyebutkan adanya keunggulan modal sosial dibanding modal material atau modal ekonomi, modal sosial justru semakin bertambah apabila semakin dikelola dan dipergunakan dengan baik. Penggunaan modal sosial akan meningkatkan efesiensi dalam pengelolaan suatu kegiatan pembangunan secara umum. Fukuyama juga menyatakan, kepercayaan (trust) muncul jika di masyarakat itu terdapat nilai (shared values) sebagai dasar dari kehidupan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Dengan kepercayaan, orang tidak akan mudah curiga yang sering menjadi penghambat. Di samping itu, jaringan (networks) memiliki dampak yang sangat positif dalam usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal (Fukuyama, 1995:125) Pengertian yang hampir serupa dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, ia mendefinisikan modal sosial adalah keseluruhan sumberdaya baik aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui. Sedangkan Halpem (2005) secara eksplisit menyatakan bahwa modal sosial itu meliputi networks, norma dan sanksi. Modal sosial antara komunitas yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan (Halpem, 2005:12). Dari beberapa teori modal sosial yang telah dikemukakan para ahli di atas, dapat diambil pengertian tentang modal sosial yang relevan dengan tujuan penelitian ini yaitu potensi fisik atau material dan spiritual yang dimiliki suatu komunitas rumah ibadat yang apabila dibangun dan ditumbuhkembangkan secara baik merupakan kekuatan yang strategis untuk mengembangkan rumah ibadat sehingga mampu menjalankan perannya di masyarakat secara maksimal. Dengan memahami modal sosial sebagaimana tersebut di atas, maka dalam pengelolaan rumah ibadat terdapat modal sosial yang potensial. Modal sosial itu muncul dari adanya interaksi antara jamaah dan lingkungan komunitas rumah ibadat. Relasi intim yang terbangun antara jamaah akan melahirkan ikatan emosional sebagai sesama jamaat rumah ibadat. Besarnya modal sosial yang diperoleh oleh seseorang atau suatu lembaga seperti rumah ibadat, tergantung pada seberapa besar kuantitas maupun kualitas jaringan yang diciptakannya, serta seberapa besar Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
9
volume modal ekonomi, budaya dan sosial. Dengan demikian, seperti halnya modal ekonomi, modal sosial juga bisa bersifat produktif dan tidak produktif.
Kerangka Teori Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. 4 Dilihat dari sejarahnya, kemunculan dan berdirinya rumah ibadat di Indonesia adalah bersamaan dengan muncul dan berkembangnya agama-agama itu sendiri. Rumah ibadat dalam sejarahnya berfungsi tidak hanya sebagai rumah ibadat saja, melainkan juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan (pembinaan) keagamaan dan penyebaran masing-masing agama. Dalam RPJMN Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama dinyatakan bahwa negara memberikan fasilitas dan pelayanan pemenuhan hak dasar pada setiap warga negara. Ini berarti negara turut memberikan fasilitas terhadap rumah-rumah ibadat sebagai tempat ibadat dan pembinaan keagamaan masyarakat. Namun demikian karena banyaknya jumlah rumah ibadat yang ada, maka fasilitas, pelayanan, dan bantuan yang diberikan pemerintah bagi rumah-rumah ibadat tidak dapat menjangkau seluruh rumah ibadat yang ada. Akibatnya rumah-rumah ibadat lebih banyak dikelola secara mandiri oleh masyarakat sehingga model pengelolaan rumah ibadat juga menjadi sangat beragam. Terkait rumah ibadat umat Islam, khususnya masjid, ada beberapa tipologi masjid berdasarkan tipe tingkat kewilayahan dan keaktifan pengurusnya. Berdasarkan tingkat kewilayahan, masjid terbagi menjadi masjid negara (berada di tingkat pemerintahan pusat), masjid nasional (masjid provinsi yang ditetapkan pemerintah menjadi masjid nasional), masjid raya (masjid tingkat provinsi), masjid agung (masjid tingkat kabupaten/kota), masjid besar (masjid tingkat kecamatan), masjid Jami 4 Ini adalah definisi yang terdapat dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.
10
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
(masjid tingkat desa/kelurahan), dan masjid yang ada di lingkungan masyarakat.5 Berdasarkan keaktifan pengurus masjid, masjid dikategorikan dalam tiga kategori, yaitu pertama, masjid statis. Para pengurus masjid hanya mengurus jamaah tetap yang setiap shalat fardhu datang ke masjid untuk melaksanakan shalat fardhu. Kedua, masjid aktif. Para pengelola masjid selain melakukan sebagai mana pada tipe statis, juga merangkul jamaah yang ada di sekitar masjid. Sifat kepengurusan juga lebih terbuka dibanding masjid pasif, dan ketiga, masjid professional. Para pengelola masjid selain melakukan sebagaimana masjid aktif juga merangkul jamaah yang potensial di luar masjid dan leboh bersikap professional dalam pengelolaan masjid (Direktorat Urais, Ditjen Bimas Islam, 2007:55-57). Di samping beberapa tipologi tersebut, terdapat tipologi masjid yang didasarkan atas status pengelolaan, status kepemilikian, status pembiayaan, dan letak geografis. Berdasarkan status pengelolaan masjid terbagi dalam masjid yang dikelola oleh keluarga, masyarakat, yayasan, organisasi, perusahaan/instansi tertentu, dan pemerintah. Berdasarkan status kepemilikian, maka status tanah ada yang bersifat wakaf dan non wakaf. Sedangkan berdasarkan status pembiayaan, maka pembiayaan masjid terbagi dalam dibiayai oleh pribadi atau keluarga tertentu secara mandiri, masyarakat secara bergotong royong, dan masjid yang dibangun dengan dana utama dari pemerintah. Untuk tipologi berdasarkan letak geografis maka masjid terbagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Untuk tipologi rumah ibadat dari agama Katolik, terbagi dalam hirarki sebagai gereja katedral atau gereja keuskupan (wilayah keuskupan), dan gereja paroki, sebuah keuskupan menjadi pusat keagamaan dari beberapa gereja paroki di wilayah teritorial tertentu. Dalam agama Kristen hirarki semacam dalam agama Katolik ada dalam sinode Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), secara hirarki adalah gereja HKBP tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Untuk sinode lainnya maka gereja-gereja itu umumnya memiliki otoritas tersendiri di bawah kepemimpinan pendetanya.
5
Direktoral Urais, Ditjen Bimas Islam (2007:53-54)
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
11
Tipologi pura juga sama, yaitu pura keluarga (kawitan, paibon, padharman) yang dipuja oleh keluarga yang memiliki ikatan daearh, pura berdasarkan wilayah teritorial (kahyangan tiga) yang dipuja oleh masyarakat adat pakraman, pura berdasarkan kesamaan profesi (pura Melanting bagi pedagang atau pura Subak bagi petani) dan pura umum yang dipuja oleh umat Hindu tanpa melihat golongan. Secara hirarkhis dimulai dari keluarga, desa pakraman, dan provinsi (kahyangan jagat). Sementara vihara ada yang bersifat hirarkhis, yaitu vihara tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Bagi rumah ibadat agama Buddha, maka rumah ibadat berafiliasi dalam beberapa majelis agama dalam Buddha, seperti Mahayana, Terevada, Budayana, Tantrayana dan lainnya. Namun demikian dalam Buddha, jumlah rumah ibadat yang paling banyak adalah pada Terevada dan Mahayana. Tipologi rumah ibadat ini disamping terbagi berdasarkan segmentasi majelis agama juga terbagi dalam vihara (tempat ibadat utama dan ritual untuk hari-hari tertentu) dan cetya (tempat untuk ibadat para biksu). Adapun untuk rumah ibadat Khonghucu, saat ini jumlahnya masih relatif sedikit dan tersebar dalam wilayah Indonesia, untuk jumlah rumah ibadat terbesar ada di Sumatera Utara dan Bangka Belitung. Rumah-rumah ibadat umumnya dibangun secara swadaya oleh masyarakat untuk keperluan bersama sebagai bagian integral dari dorongan keyakinan keagamaan. Peningkatan rumah ibadat dari segi kuantitas perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas pengelolaan rumah ibadat dalam menjalankan fungsinya, baik dalam memberikan pelayanan ibadat maupun pemberdayaan masyarakat dalam arti luas. Untuk itu penting bagaimana menggalang dan menggerakkan modal sosial dan segenap potensi yang dimiliki masjid menjadi kekuatan yang berkembang secara simultan dan timbal balik, rumah ibadat makmur, umat sejahtera. Sebaliknya umat sejahtera rumah ibadat makmur. Dari uraian di atas, modal sosial memiliki beberapa elemen pokok yang mencakup (1) kepercayaan (trust), yaitu meliputi kejujuran, keadilan, sikap egaliter, toleran, keramahan, dan saling menghormati, (2) jaring sosial (social networks), yaitu meliputi partisipasi, resiprositas (timbal-balik), solidaritas, dan kerjasama, dan (3) pranata (institutions), yaitu meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama, norma, sanksi, serta aturan-aturan. Ketiga elemen tersebut tidak bersifat given, untuk itu perlu diciptakan,
12
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
dikembangkan, dan didayagunakan melalui mekanisme sosial budaya dalam suatu unit sosial. Untuk menjawab elemen pokok di atas, ada tiga parameter untuk mengukur apakah rumah ibadat memiliki modal sosial yang kuat atau lemah, yaitu (1) adanya kepercayaan antar sesama jamaah maupun jamaah terhadap pengurus rumah ibadat, (2) sejauhmana jaringan kerjasama antara komunitas sosial keagamaan tertentu dengan rumah ibadat, dan (3) sejauhmana nilai-nilai dan norma yang terdapat dalam agama diyakini dan dijalankan bersama oleh jamaah rumah ibadat, jika nilai dan norma tersebut secara kolektif dijalankan maka akan dapat berperan dan berfungsi bagi kemajuan rumah ibadat. Untuk itu penting dilakukan pengelolaan modal sosial secara baik sehingga bisa produktif dan terbangun kuat. Untuk itu rumah ibadat perlu dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang baik. Manajemen berarti proses penggunaan sumber daya secara efektif menangani suatu urusan untuk mencapai sasaran yang diharapkan. Manajemen juga adalah ilmu dan seni dalam perencanaan, pengorganisasian dan pengontrolan daripada benda dan tenaga manusia untuk mencapai tujuan yang ditentukan lebih dahulu. Selain dikelola dengan manajemen yang baik, rumah ibadat juga perlu dikelola berdasarkan suatu kepemimpinan yang andal. Kepemimpinan adalah perihal tentang seni tata cara atau kemampuan untuk membimbing, menuntun seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, kemampuan memengaruhi, menuntun, dan membimbing seseorang atau kelompok dan mempunyai visi dalam pribadinya sebagai landasan berpijak untuk mencapai cita-cita ataupun tujuan organisasi tersebut. Pada dasarnya, manajemen dan kepemimpinan mempunyai persamaan yakni menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, walaupun dalam prosesnya mempunyai perbedaan tertentu sesuai dengan konteksnya. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan dalam dinamika kehidupan modern, sebagian rumah ibadat itu sudah dikelola dengan manajemen dan kepemimpinan modern. Salah satu teori manajemen yang banyak dikembangkan dalam era modern ini adalah Total Quality Management atau TQM yang merupakan suatu usaha dalam proses perbaikan guna mencapai hasil Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
13
yang baik, khususnya dalam mutu atau kualitas dari suatu produk. Dalam sejarahnya, TQM lahir di Amerika pada 1980an. Konsep manajemen ini dikalangan Angkatan Laut Amerika disebut Total Quality Leadership (TQL). Sedangkan di Jepang disebut Total Quality Control (TQC) dan di Singapore disebut Total Quality Process (TQP). Sedangkan di Indonesia dikenal dengan nama Pengendalian Mutu Terpadu (PMT). 6 Manajemen Mutu Total yang merupakan adaptasi dari TQM mengacu pada metode manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas dalam organisasi bisnis. TQM adalah pendekatan manajemen komprehensif yang bekerja horizontal di seluruh organisasi dengan melibatkan semua departemen dan karyawan, serta memperluas baik ke ‘belakang’ maupun ke ‘depan’, termasuk bagi para pemasok dan klien. TQM hanya salah satu dari banyak akronim yang
6 Sejarah lahirnya TQM diawali dari Ellias Whitney yang memperkenalkan ‘pengendalian mutu’ pada awal abad 19 dalam bentuk pengecekan barang yang akan dikirim kepelanggan dengan cara memisahkan barang cacat untuk kepuasan konsumen. Pendekatan ini dikenal dengan pengendali mutu klasik. Tahun 1924, Dr. Walter Shewhart memperkenalkan “bagan kendali control (controlchart)” yang bermanfaat untuk mengetahui apakah mutuproduk yang dihasilkan berada pada batas yang dikehendaki, sehingga inspeksi dilakukan hanya pada sampel barang dan dapat mengurangi biaya. Fungsi pengendalian mutu ini mulai dikembangkan dalam berbagai perusahaan. Pada 1950, Dr.W. Edward Deming memperkenalkan konsep “pengendalian mutu menyeluruh dalam perusahaan”. Deming menekankan pentingnya statistic control dalam proses produksi dan perbaikan mutu produksi. Deming memberikan kontribusi dengan teori “14 Butir Untuk Manajemen”. Deming dan Schewart mengembangkan konsepsiklus “PDCA” (plan-do-check-action). “Plan” meliputi identifikasi masalah, memperoleh data, dan mengembangkan rekomendasi. “Do” meliputi penerapan solusi berbagai percobaan. “Check” berupa pengamatan setelah penerapan untuk memastikan apakah hasil yang diperoleh sesuai rencana. “Act” melibatkan kegiatan perubahan permanen jika hasilnya efektif bagi peningkatan atau kembali pada kondisi sebelumnya jika penerapannya bermasalah. Pada 1961, Dr. AV Feigenbaum memperkenalkan konsep “make it right at the first time”. Konsep ini akan berkembang dan menjadi salah satu dasar Total Quality Management (TQM). Pada 1979, Phillips B. Crosby menekankan “pentingnya pimpinan puncak” untuk menciptakan iklim kerja yang nyaman dan meyakinkan bahwa mutu adalah misi pokok yang harus dicapi oleh organisasi. Dan bahwa karyawan di semua tingkatan dapat dimotivasi untuk mengejar peningkatan tetapi motivasi tersebut tidak akan berhasil kecuali disediakan alat untuk meningkatkannya. Pada 1987, lahirlah suatu standar tentang sistem manajemen mutu yaitu ISO 9000, Quality Management System.
14
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
digunakan untuk menamai sebuah sistem manajemen yang berfokus pada mutu.7 TQM menyediakan kerangka-kerangka kerja untuk menerapkan produktivitas yang lebih berkualitas dan inovatif secara efektif yang dapat meningkatkan profitabilitas dan daya saing organisasi. TQM diterapkan bukan hanya pada industri manufaktur, tetapi juga industri jasa. Industri jasa atau non barang ini mulai diterapkan seperti pada Rumah Sakit, Puskesmas, dan lain sebagainya. TQM dapat juga dipergunakan oleh lembaga usaha yang berorientasi profit (keuntungan), seperti perusahaan atau lembaga nirlaba (non-profit). Dari uraian tersebut, prinsip dan unsur pokok dalam TQM dapat disimpulkan, sebagai berikut: 1.
Kepuasaan pelanggan, kepuasan pelanggan merupakan sasaran utama yang harus dicapai, karena dalam TQM konsep kualitas suatu produk tidak lagi tergantung kepada kesesuaian dengan spesifikasi tertentu, tetapi kualitas sebuah produk itu ditentukan oleh pelanggan.
2.
Respek terhadap setiap orang, karyawan merupakan sumber daya organisasi yang paling bernilai. Karena itu setiap orang dalam perusahaan diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan untuk terikat dan berpartisipasi dalam tim pengambilan keputusan.
3.
Manajemen berdasarkan fakta, dalam hal ini setiap keputusan selalu didasarkan pada data bukan sekedar pada perasaan.
4.
Perbaikan berkesinambungan, untuk mencapai kesuksesan tersebut perlu melakukan proses perbaikan secara sistematis dan berkesinambungan. Dalam proses ini dipakailah siklus PDCA (Plan-Do-Chek-Act), yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan hasil dan tindakan korektif terhadap hasil yang sudah diperoleh.
7 Akronim lainnya termasuk CQI (Continuous Quality Improvement/Peningkatan Putu Berkelanjutan), SQC (Statistical Quality Control/Pengendalian Kualitas Statistik), QFD (Quality Function Deployment), QIDW (Quality in Daily Work/Kualitas dalam Pekerjaan Sehari-Hari), TQC (Total Quality Control/Pengendalian Mutu Total), dan lainlain.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
15
TQM kemudian banyak dikembangkan oleh para ahli manajemen, salah satunya adalah Malcolm Baldrige Quality Award (MBQA). MBQA merupakan “award” yang dimulai sejak 1988, dan ditujukan untuk meningkatkan TQM perusahaan-perusahaan Amerika. Baldrige8 pada awalnya menggunakan Total Quality Management, seperti “kualitas pelatihan”, “kualitas perencanaan”, “kualitas team” dan seterusnya. Namun belajar dari pengalaman, kata “quality” akhirnya tidak digunakan lagi dalam menetapkan kriteria, dan sejak 1995 diganti dengan kata “performance” yang memberikan tekanan kualitas pada keseimbangan semua aspek organisasi sebagai sebuah sistem, bukan hanya menekankan pada produk atau jasa yang bebas dari cacat, dan pada kepuasan konsumen saja seperti pada TQM.9
MBQA digunakan sebagai kerangka kerja (framework) untuk mengevaluasi dan mendiagnosis kinerja sitem manajemen organisasi secara keseluruan. Selain itu, MBQA merupakan common language yang memfasilitasi pertukaran informasi antara organisasi di Amerika. MBQA memiliki tujuh kriteria dasar pelaksanaan TQM yang harus dipenuhi dengan baik oleh perusahaan yang ikut kompetisi. Ketujuh kriteria itu 8 Malcolm Baldrige adalah Menteri Perdagangan Amerika dari 1981 sampai meninggalnya secara tragis dalam kecelakaan “rodeo” tahun 1987, yang dipandang telah memberikan kontribusi bagi peningkatan efektifitas dan efisiensi jangka panjang pemerintah. 9 Diadaptasi dari Mark Graham Brown: Baldrige Award Winning Quality, How to Interpret the Baldrige Criteria for Performance Excellence (New York, CRC Press, 17th Edition, 2008).
16
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
setiap tahunnya dikaji ulang sesuai dengan kondisi perindustrian saat itu, sehingga makin lama kriteria-kriteria tersebut makin disempurnakan. Ketujuh kriteria yang digunakan dalam MBQA terdiri dari: 1.
Leadership Kriteria leadership ini memeriksa bagaimana pemimpin senior di dalam organisasi membimbing dan mempertahankan kesinambungan organisasi. Bagian ini sekaligus menjalankan bagaimana penataan organisasi dan bagaimana organisasi tersebut memenuhi segala aspek legal dan tanggung jawab etis dari komunitas.
2.
Strategic Planning Kriteria ini menjelaskan bagaimana organisasi mengembangkan sasaran strategis dan rencana tindakan mereka serta memaparkan begaimana kedua hal tersebut dibagikan dan disesuaikan dengan keadaan. Langkah selanjutnya adalah bagaimana kesemuanya itu diukur. Bagian ini terdiri dari dua item, yaitu strategy development (bagaimana organisasi mengembangkan strategi dan sasarannya) dan strategy deployment (bagaimana organisasi mengubah sasaran strateginya ke dalam rencana tindakan, termasuk di dalamnya bagaimana memproyeksikan kinerja organisasi ke depan).
3.
Customer and Market Focus Kriteria ini menjelaskan bagaimana suatu organisasi mengerti suara konsumen dan pangsa pasarnya, serta bagaimana menggambarkan suatu hubungan dengan konsumen dan faktor-faktor yang mengarah pada kepuasan, loyalitas serta perluasan bisnis. Bagian ini terdiri dari dua item, yaitu customer and market knowledge (bagaimana suatu organisasi menetukan apa yang dibutuhkan, diinginkan, dan diharapkan cutomer) dan customer relationships and satisfaction (cara suatu organisasi dalam menciptakan hubungan untuk mengetahui kepuasan cutomer dan cara organisasi dalam mempertahankan customer yang telah ada).
4.
Measurenment, Analysis, and Knowledge Management Kriteria ini menjelaskan bagaimana organisasi memilih, menganalisa, dan mengatur serta meningkatkan kapasitas data, informasi serta asset Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
17
pengetahuan mereka, dan menjelaskan bagaimana organisasi membahas kinerja mereka. Bagian ini terdiri dari dua item, yaitu measurenment analysis and review of organizational performance (bagaimana organisasi mengukur, menganalisa, membahas, dan meningkatkan informasi serta data yang dimiliki, sistem pengumpulan informasi dan data, dan keefektifan penggunaannya) dan information and knowledge management (bagaimana organisasi memastikan kualitas dan ketersediaan informasi dan data bagi seluruh stakeholder, supplier, partner serta rekanan). 5.
Workforce Focus Kriteria ini menjelaskan bagaimana sistem kerja, serta pengembangan pendidikan dan training pekerja demi meningkatkan potensi mereka hingga maksimal lewat pemerataan seluruh sasaran, strategi, dan rencana tindakan organisasi. Bagian ini sekaligus memeriksa upaya organisasi dalam membangun dan mempertahankan lingkungan kerja serta dukungan terhadap seluruh elemen perusahaan guna menciptakan suasana kondusif terhadap pertumbuhan organisasi dan individu di dalamnya. Bagian ini terdiri dari tiga item, yaitu work systems (cara kerja sesuai struktur organisai dan desain kerja), human resources learning and training (pendidikan dan training untuk meningkatkan keahlian dan pengetahuan pekerja), dan human resources well being and satisfaction (perusahaan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan memberikan fasilitas kesehatan dan keselamatan kerja bagi seluruh pekerja).
6.
Process Management Kriteria ini memeriksa aspek utama dari manajemen proses dalam organisasi, termasuk di dalamnya proses-proses produk dan jasa, proses-proses bisnis, dan proses-proses pendukung.
7.
Results Dalam kriteria ini seluruh kunci sukses dari kemauan perusahaan untuk memperbaiki kinerjanya. Bagian ini terdiri dari empat item, yaitu costumer outcomes (factor-faktor yang menyebabkan konsumen merasa puas akan produk atau jasa yang diterima), market financial outcomes (kinerja financial perusahaan termasuk pengukuran nilai
18
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
ekonomi dan tingkat kenaikan financial serta kinerja dari pangsa pasar), human resources outcomes (perbandingan terhadap perusahaan lain meliputi hasil-hasil pengukuran aktivitas dan perbaikan yang dilakukan mengenai sumber daya manusia), dan special outcomes (ringkasan hasil-hasil khusus perusahaan yang dibagi dalam kinerja produk dan jasa berkualitas, kinerja kunci proses, produktivitas, cycle time dan lainnya). Dari uraian tersebut di atas, nampak bahwa perkembangan manajemen modern telah sampai pada pendekatan MBQA untuk mengembangkan beberapa perusahaan-perusahaan khususnya di Amerika. Melihat bahwa unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah ibadat dari enam agama, yaitu: masjid (Islam), gereja Katolik, gereja HKBP (Protestan), pura (Hindu), vihara (Buddha), dan klenteng (Khonghucu), yang bukan sepenuhnya memiliki unsur-unsur dalam sebuah perusahaan, maka dalam kajian ini digunakan pendekatan TQM yang lebih sederhana dibanding MBQA. Dalam TQM ditekankan adanya empat kaidah jaminan mutu, yaitu (1) Jaminan mutu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan harapan konsumen, (2) Jaminan mutu mendorong pendekatan tim, (3) Jaminan mutu menggunakan data, dan (4) Jaminan mutu berfokus pada sistem dan proses. Untuk memudahkan pemahaman terkait kerangka berpikir dalam penelitian ini maka berikut ini flow chart yang menggambarkan alur kerangka berpikir dari penelitian ini sebagai berikut.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
19
Penelitian Terdahulu Yang Relevan Penelitian terkait peran rumah ibadat dalam pemberdayaan umat telah beberapa kali dilakukan, antara lain Pertama, penelitian “Pemberdayaan Umat melalui Pengembangan Manajemen Masjid”, Tahun 2008 oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Penelitian dilakukan di beberapa masjid, antara lain Masjid Raya Makassar Sulsel, Masjid Ar-Rahman Kampung Melayu Banjarmasin Tengah Kalsel, Masjid Al-Muhajirin Kec. Jelutung Kota Jambi, Masjid Agung dan Masjid Al-Mahmudiyah di Palembang, Masjid ArRahmah Sweta Cakranegara Mataram, Masjid At-Taqwa Kec. Palmerah Jakbar, Masjid Al Bashor Kec. Kramat Jati Jaktim, Masjid Raya Pondok Indah Jaksel, dan Masjid Raya Islamic Center Jakut. Penelitian ini berusaha memotret perkembangan pengelolaan masjid, terutama berkenaan dengan berbagai upaya pemberdayaan umat. Kedua, penelitian “Bantuan Sosial Kementerian Agama RI bagi rumah Ibadat dan Ormas Keagamaan di Indonesia”, Tahun 2010 oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Penelitian dilakukan dibeberapa daerah, yaitu Aceh, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah, dan NTT. Penelitian ini difokuskan pada bantuan sosial oleh Kementerian Agama terhadap rumah-rumah ibadat dan ormas keagamaan, dalam penelitian diketahui bahwa secara umum dampak sosial dari bantuan sosial keagamaan tersebut masih kurang nampak, dana bantuan umumnya dimanfaatkan untuk rehabilitasi rumah ibadat. Ketiga, penelitian “Peran Lembaga Pengelola dan Asset Sosial Keagamaan dalam Pemberdayaan Umat Beraga di Berbagai Daerah”, Tahun 2011 oleh Puslitbang Kehiudupan Keagamaan Badan Litbnag dan Diklat Kementerian Agama. Penelitian ini mengkaji efektivitas pengelolaan dana dan asset umat yang diberikan kepada sejumlah lembaga sosial termasuk rumah ibadat. Berbeda dengan tiga penelitian di atas, penelitian ini akan berusaha mengidentifikasi dan mendeskripsikan secara lebih jelas pola manajemen atau pengelolaan rumah-rumah ibadat dalam melakukan pelayanan keagamaan dan pemberdayaan umat. Sekilas ada persamaan dengan kajian yang pertama, namun perbedaannya adalah penelitian pertama hanya mengkaji rumah ibadat milik umat Islam saja, yaitu masjid,
20
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
sedangkan dalam penelitian ini juga akan mengkaji seluruh rumah ibadat umat agama. Jika dibandingkan dengan penelitian yang kedua dan ketiga, terdapat beberapa perbedaan yang cukup kuat, yaitu pertama, kedua penelitian tersebut hanya mengkaji aspek aspek bantuan dana terhadap rumah ibadat oleh pemerintah, sedangkan aspek manajemen rumah ibadat tidak menjadi fokus kajian. Dalam penelitian kali ini aspek bantuan dana terhadap rumah ibadat oleh pemerintah hanya salah satu bagian dari aspek yang dikaji. Kedua, aspek yang dikaji tidak hanya out come, yaitu pemberdayaan umat, melainkan juga input atau sumber daya yang dimiliki rumah ibadat, juga proses yaitu aspek pengelolaan rumah ibadat oleh masing-masing pengurusnya.
***
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
21
Daftar Pustaka Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal of Sociology, 94 Supplement: S95-120. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama. 2007. Pedoman Pemberdayaan Majid (Melalui Aspek Idarah, Imarah, dan Ri’ayah). Fukuyama F., 1995. The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Newyork: Free Press. Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity. Putnam, R.D., 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy. Princeton NJ: Princeton University Press. Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
22
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN MASJID DI KOTA SURABAYA: Memaksimalkan Trust, Norms dan Networking Oleh: Habibi Zaman Riawan Ahmad dan H. Fatchan Kamal
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya, Jawa Timur. Kota dengan jumlah penduduk pada 2011 sebesar 3.024.321 jiwa dengan perincian 1.517.341 jiwa berjenis kelamin laki-laki, dan 1.506.960 jiwa berjenis kelamin perempuan. Pada 2012 jumlah penduduk kota surabaya sebesar 3.125.576 jiwa dengan perincian 1.566.072 jiwa berjenis kelamin laki-laki, dan 1.559.504 jiwa berjenis kelamin perempuan. Surabaya terletak di tepi pantai Utara Provinsi Jawa Timur. Wilayahnya berbatasan dengan selat Madura di Utara dan Timur, Kabupaten Sidoarjo di Selatan, serta Kabupaten Gresik di Barat. Surabaya berada pada dataran rendah, ketinggian antara 3-6 m di atas permukaan laut kecuali di bagian Selatan terdapat 2 bukit landai yaitu di daerah Lidah dan Gayungan, dengan ketinggian antara 25-50 m di atas permukaan laut dan di bagian barat sedikit bergelombang. Surabaya memiliki muara Kali Mas, satu dari dua pecahan Sungai Brantas. Adapun komposisi suku di Kota Surabaya, didominasi oleh Suku Jawa. Suku Jawa di Surabaya memiliki karakteristik yang unik dibanding Suku Jawa di kawasan Mataraman, Suku Jawa di Surabaya berkarakter sedikit lebih keras dan berbicara blak-blakan. Karakteristik daerah pantai, dan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan lainnya memberikan karakteristik Suku Jawa di Surabaya. Meskipun Jawa adalah suku mayoritas, tetapi Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk Madura (7,5%), Tionghoa (7,25%), Arab (2,04%), dan sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Batak, Bali, Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
23
Minangkabau, Manado, Dayak, Toraja, Ambon, Aceh, warga negara asing, dan lainnya. Surabaya juga menjadi rumah dan pusat pendidikan, Surabaya menjadi tempat tinggal mahasiswa dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia, bahkan di antara mereka juga membentuk wadah komunitas tersendiri. Sebagai pusat komersial regional, banyak warga asing yang tinggal di daerah Surabaya, terutama di daerah Surabaya Barat. Menurut komposisi jumlah penduduk menurut agama yang dipeluk, pada 2012, sesuai dengan data yang dimiliki Kementerian Agama Kota Surabaya, pemeluk Islam berjumlah 2.578.576 jiwa, Katolik (122.787 jiwa), Kristen (1.722.000), Hindu (92.520), Buddha (54.083). Adapun Konghucu data yang terverifikasi penulis dapat di tahun 2011 sebanyak 396, dan 955 menyatakan memiliki kepercayaan lain di luar enam agama tersebut.10 Wilayah penelitian ini difokuskan pada daerah masjid dan sekitarnya, di daerah Surabaya. Menurut penelitian awal yang penulis lakukan, terdapat empat masjid yang potensial untuk dilakukan penelitian mengenai model-model pemberdayaan masjid. Pemberdayaan masjid ini dipahami sebagai sebuah kemampuan dari insitusi masjid baik internal maupun eksternal. Kemampuan dalam melakukan pemberdayaan di dalam dan keluar ini pada akhirnya dapat dijadikan model bagi masjid lainnya. Keempat masjid tersebut di antaranya (1) Masjid Al Falah yang berada di Jl. Raya Darmo 137 A Surabaya, (2) Masjid Al-Akbar di Jl. Masjid Al-Akbar Timur No. 1 Pagesangan Surabaya, (3) Masjid Sunan Ampel di Jl. KH Mas Mansyur Kelurahan Ampel, Semampir, Surabaya, dan (4) Masjid Rahmat Kembang Kuning, yang berada di Jl. Kembang Kuning No 79-81 Surabaya. Secara administrasi, letak Al Falah di Jl. Raya Darmo di bawah kecamatan Wonokromo. Demikian halnya dengan Masjid Rahmat Kembang Kuning, juga di kelurahan, dan kecamatan yang sama, yaitu Kelurahan Darmo, Kecamatan Wonokromo Surabaya Selatan. Masjid Nasional Al-Akbar, yang berada di Pagesangan secara adminitratif berada
10
Lihat rilis BPS di http://surabayakota.bps.go.id/index.php?hal=publikasi_
detil&id=1
24
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
di Kecamatan Jambangan yang masih masuk kawasan Surabaya Selatan. Adapun Masjid Agung Sunan Ampel berada di daerah Semampir, Surabaya Utara. Namun, mengingat keterbatasan ruang penelitian, penulis mencoba mentelaah masjid yang secara potensi memiliki peranan sosial keagamaan yang kuat, terutama sekali dalam sisi kekuatan modal sosial, dan manajemen. Kemampuan modal sosial dan manajerial yang dilakukan oleh masjid tersebut melahirkan pemberdayaan dalam beberapa aspek, baik dalam aspek keagamaan, pendidikan, maupun sosial. Peneliti mengambil dua dari empat masjid tersebut untuk diperdalam, yaitu Masjid Al Falah Surabaya, dan Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya.
A. Masjid Al Falah Surabaya 1.
Profil, dan Program Masjid Al Falah Masjid ini berdiri pada 27 September 1976 atau bertepatan pada awal bulan Ramadhan 1393 H. Masjid ini berada di kawasan Darmo, Jl. Raya Darmo 137 A Surabaya. Berdirinya masjid ini tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur karena keduanya memiliki akar sejarah yang sama dalam peningkatan mutu iman dan ketakwaan umat Islam di Surabaya pasca pemberontakan G30 S PKI. Atas peranan pengurus PTDI Jawa Timur, dilakukan usaha meminta izin Bapak Walikota dan pada akhirnya terbit surat ijin penggunaan tanah tertanggal 9 mei 1969 Nomor 78/04/88 yang berada di Jl. Raya Darmo sebelah selatan, yaitu Taman Mayangkara, yang saat ini lebih dikenal dengan Jl. Raya Darmo 137 A Surabaya. Persiapan pembangunan yang dilakukan oleh PTDI ialah dengan membentuk Yayasan Al-Chairat sebagai wahana pengumpulan dana persiapan pembangunan masjid, Yayasan AlChairat di pimpin oleh Awis Tamin. Dari pengumpulan dana tersebut terhimpun dana sebesar Rp. 13.000.000 sebagai kelanjutan pembangunan dibentuklah Panitia Pembangunan Masjid Al Falah pada 1 Juli 1970, di pimpin oleh H. A. Rusydi Rachbini. Pada Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
25
tanggal 25 September terdapat perubahan formasi kepanitiaan dikarenakan ketua panitia, H. A. Rusydi Rachbini mengundurkan diri karena sakit. Posisi ketua pembangunan Masjid Al Falah kemudian beralih ke H. Abdul Karim. Untuk memperoleh pendanaan, panitia melakukan berbagai usaha, di antaranya mencetak kupon infaq yang terdiri dari berbagai nilai nominal, dan usaha ini mendapatkan izin dari Walikota Surabaya tertanggal 6 Oktober 1977 No. 3266. Dana yang sangat signifikan diperoleh Panitia Pembangunan Masjid Al Falah atas inisiasi Ketua PTDI, Laksamana Madya Syamsul Bachri yang melakukan pendekatan personal kepada Bapak Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina saat itu. Dari Bapak Sutowo diperoleh dana Rp. 50.000.000. Selain dari Dirut Pertamina, Panitia Pembangunan Masjid Al Falah juga memperoleh bantuan dari Gubernur Jawa Timur sebanyak tiga kali masing-masing Rp. 500.000 atau sebanyak Rp. 1.500.000 dan dari walikota madya sebesar Rp. 2.000.000. Setelah lebih dari tujuh tahun, sejak didapatkan ijin dari walikota tahun 1969, pembangunan masjid pada akhirnya dapat diselesaikan dengan dana tidak lebih dari Rp. 100.000.000. Setelah masjid berfungsi, dibentuklah Yayasan Masjid Al Falah yang didirikan berdasarkan akta tertanggal 17 Maret 1976 Nomor 47, yang dibuat oleh notaris Anwar Mahayudin. Berdasarkan Surat Keputusan Yayasan Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Perwakilan Jawa Timur tertanggal 26 rabi’ul akhir 1396 H atau 27 April 1976 M Nomor 04/KPTS/YPTDI/PW/1976, maka tugas kepengurusan Masjid Al Falah beralih kepada Pengurus Yayasan Masjid Al Falah. Saat ini Ketua Pengurus Yayasan Masjid Al Falah dipimpin oleh Bapak Sigit. Adapun program yang dijalankan Masjid Al Falah, dibagi menjadi dua aspek, yaitu aspek hissiyah (bangunan), dan aspek ijtima’iyah (segala kegiatan). Untuk aspek hissiyah bertanggungjawab terhadap perencanaan pembangunan masjid. Saat ini Masjid Al Falah belum mengalami renovasi besar sejak diresmikan.
26
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Adapun kegiatan dalam aspek hissiyah ini masih seputar perawatan dan pemeliharaan. Kegiatan ini tidak kalah penting dari fungsi pembangunan yang besar, mengingat semua fasilitas yang ada harus diptimalkan fungsinya dalam melayani jamaah. Beberapa hal yang dilakukan aspek hissiyah di antaranya: a.
memelihara kebersihan dan kenyamanan masjid
b.
memasang tandon air yang dilengkapi fengan filter, dan ketersediaan air cukup
c.
menambah jumlah kran air di tempat wudhu
d.
mengganti karpet di ruang utama, dan ruang shalat muslimah
e.
renovasi total instalasi listrik
f.
memelihara suasana agar ibadah dapat dilaksanakan dengan khusu’
g.
mengatur dan menertibkan pedagang kaki lima
h.
memperbaiki dan meninggikan pagar keliling masjid, serta menambah tenaga keamanan untuk mencuiptakan rasa aman
i.
mengupayakan fasilitas yang mendesak bagi para jamaah
j.
selalu memberikan pengarahan dan menekankan kepada staff dan kepala-kepala bagian agar dapat terus meninggatkan pelayanan kepada para jamaah, sesuai dengan fungsi dan tanggungjawab masing-masing.
dipandang
penting
dan
Adapun dalam bidang ijtimaiyyah, dibagi atas lembaga, dan bagian-bagian. Kesemua lembaga, dan bagian-bagian tersebut bernaung di bawah Yayasan Masjid Al Falah, yaitu: a. b. c. d. e. f.
Bagian Pendidikan Al Falah Lembaga Kursus Al-Qur’an Al Falah Biro Konsultasi, dan Konseling Keluarga Sakinah Al Falah Bagian Zakat, Infaq, dan Shodaqoh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah Bagian Muhtadin Masjid Al Falah Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
27
g. h. i. j. k. l. m. n. o.
Bagian Muslimah Al Falah Bagian pelayanan Kesehatan Al Falah Bagian Dakwah Masjid Al Falah Bagian Penerangan dan Dokumentasi Bagian remaja Masjid Al Falah Bagian Keamanan, dan Ketertiban Bagian Perpustakaan Bagian Pemeliharaan Gedung, dan Taman Bagian Kebersihan11
2. Pengelolaan Aset Masjid Al Falah Berbicara mengenai aset yang dimiliki oleh Yayasan Masjid Al Falah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu aset fisik, dan finansial (dana), aset manusia (human capital), dan aset non fisik (immaterial). Aset fisik Yayasan Masjid Al Falah, dalam pandangan peneliti dipahami pada setiap aset non-manusia yang dibuat oleh manusia dan kemudian digunakan dalam pembangunan dan pengembangan masjid. Dalam hal ini dapat dijelaskan beberapa hal: a.
bangunan Masjid Al Falah yang terletak di zona strategis, berada di jantung Kota Surabaya
b.
aset fisik yang berkaitan dengan bangunan, dan sarana prasarana
c.
aset bangunan fisik penunjang eksistensi masjid di masyarakat, seperti gedung lembaga pendidikan formal yang di bawah naungan Yayasan Masjid Al Falah Surabaya. Adapun aset finansial dipahami sebagai kekayaan yang dimiliki Yayasan Masjid Al falah dalam sektor kuangan.
d.
aset manusia, atau yang umum dipahami sebagai modal manusia (human capital) dipahami sebagai potensi sumberdaya manusia yang dimilikinya.
Dari sekian lembaga tersebut, terdapat lembaga yang otonom, yaitu Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh (KBIH) Al Falah, dan Markaz Dakwah 11
28
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Adapun aset non fisik dipahami sebagai aset potensial yang dimiliki oleh Masjid Al Falah yang memberi arti penting eksistensi masjid, dan pengembangannya. Aset non fisik tersebut dapat berupa modal sosial yang terdiri dari empat unsur, yaitu trust (kepercayaan), penguatan norma (norms) networking (jejaring), dan resiprositas. 3.
Aset Fisik dan Finansial Masjid Al Falah Letak Masjid Al Falah yang berada di kawasan Darmo Surabaya, dan berada di pusat sirkulasi atau arus kegiatan masyarakat Kota Surabaya, menjadikan masjid selalu menjadi pilihan persinggahan, baik itu untuk sekadar menjalankan ibadah sholat, maupun untuk bertemu dengan teman dan kerabat. Hal ini seperti disampaikan Mulyono (60 tahun), dari kawasan Rungkut Surabaya, dan mengaku berprofesi sebagai Pensiunan Dinas Pasar di Kota Surabaya menjelaskan bahwa Masjid Al Falah memiliki keunggulan letak yang strategis. Mulyono mengaku sering mengikuti sholat Jum’at selain karena isi khutbah Jum’atnya menarik, Mulyono mengaku juga kerap menjumpai teman lamanya di masjid tersebut.12 Demikian halnya dengan Sugiono (54 tahun), asal Candi Kota Sidoarjo juga menjelaskan hal yang sama mana kala peneliti bertanya mengenai alasan mengikuti sholat Jum’at di masjid tersebut. Sugiono berkata bahwa dirinya merupakan jamaah tidak tetap Al Falah yang mana tidak aktif mengikuti kegiatan keagamaan di Al Falah. Namun Sugiono menjelaskan bahwa dirinya sholat Jum’at di Al Falah karena tempatnya yang strategis.13 Dalam sisi potensi aset fisik berupa bangunan, dan sarana prasarana. Masjid Al Falah Surabaya, dalam desain bangunan
12 Wawancara dengan Mulyono (60 tahun), jamaah tidak tetap Masjid Al Falah, asal Rungkut Kota Surabaya, pada tanggal 30 Mei 2014 Pukul 10.30 WIB. 13 Wawancara dengan Sugiono (54 tahun), jamaah tidak tetap Masjid Al Falah, berasal dari candi Sidoarjo, pukul 11.00 WIB.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
29
yang tergolong sudah lama, karena diresmikan pada 1976 tersebut, dan sampai saat ini belum melakukan perombakan (renovasi) besar pada struktur bangunan masjid. Meskipun termasuk bangunan lama, perawatan dan perbaikan oleh pengurus masjid dalam menjaga aset masjid selalu mereka perhatikan. Bangunan Masjid Al Falah terdiri dari ruanganruangan, dan di belakang masjid masih terdapat sisa tanah yang dimanfaatkan untuk taman. Adapun rincian masing-masing ruangan, yaitu ruang utama termasuk serambi samping Utara, dan Selatan seluas 1.264 m2, aula atau ruangan pengajian seluas 56 m2, sekretariat, termasuk di dalamnya tempat rapat, dan tempat pengurus masjid memiliki luas area 40 m2, ruang perpustakaan seluas 56 m2, musholla wanita memiliki luas area 80 m2, balkon anjung memiliki luas area 28 m2, serambi depan memiliki luas 21 m2, halaman samping Utara, Selatan, dan Timur yang telah diberi atap seluas 365 m2, ruang wudhu, termasuk di dalamnya tiga kamar mandi, 3 buah WC, dan terdapat 75 Kran wudhu, dan luas taman di sebelah barat (belakang) bangunan masjid seluas 965 m2. Masjid Al Falah memiliki fasilitas parkir sepeda motor yang sederhana, tetapi fungsional, dan dengan pengamanan keamanan yang baik. Adapun parkir mobil dilakukan di badan jalan di sekitar Masjid Al Falah. Suasana parkir hampir setiap hari selalu ramai, dan memiliki beban yang sebenarnya dirasakan kurang mampu menampung kendaraan. Untuk mobil ambulance, Masjid Al Falah pernah mengoperasionalkan, namun dengan masa penyusutan mobil Ambulan tersebut, dan rumitnya pengelolaannya, saat ini Masjid Al Falah tidak lagi mengembangkan pelayanan tersebut. Masjid Al Falah juga memiliki fasilitas klinik yang melayani masyarakat dalam bidang kesehatan untuk dokter umum, spesialis dan pelayanan dokter gigi. Pelayanan ini sangat terjangkau bagi masyarakat luas karena hanya membayar uang
30
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
sebesar Rp. 10.000 kegiatan pelayanan kesehatan ini didukung dan dibiayai langsung oleh Masjid Al Falah. Dokter yang menangani pengobatan di klinik Masjid Al Falah ini mewakafkan dirinya sepenuh hati, secara sukarela untuk memberikan tenaganya dalam rangka membantu masyarakat luas dalam bidang kesehatan. Mereka tidak mengambil keuntungan, dan tidak dibayar. Masjid Al Falah juga memiliki fasilitas koperasi yang fungsinya menyediakan peralatan yang terkait dengan kajiankajian yang dilakukan oleh Yayasan Masjid Al Falah, seperti AlQur’an, buku-buku, dan perlengkapan penunjang lainnya. Koperasi masjid Al Falah ini hanya bergerak dalam bidang jual beli, semacam mini market yang menyatu dengan gedung masjid. Koperasi masjid ini sebenarnya juga dapat dikembangkan secara lebih luas apabila dikelola dan menjadi prioritas Al Falah mengingat berbagai sarana penunjang baik dalam bentuk sumberdaya manusia dan pendanaan dirasa dapat dipenuhi oleh Yayasan Masjid Al Falah. Adapun fasilitas fisik sebagai penunjang keberadaan Masjid Al Falah di masyarakat adalah hadirnya gedung sekolah untuk sekolah dasar dari mulai Taman Kanak-Kanak Al Falah, Sekolah Dasar AL Falah, dan SLTP Al Falah. Kesemuanya tersebut adalah aset Yayasan Masjid Al Falah.14
14 Taman Kanak-kanak Al Falah berdiri pada 3 Desember 1979 dengan kepala sekolah pertama, Ustadzah Kusminah (1979-1993); Sekolah Dasar Al Falah berdiri pada tahun 1985 dengan murid pertamanya sebanyak 12 siswa, dengan tenaga pengajar dua guru; SLTP Al Falah berdiri pada 1991.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
31
Gambar 1: Aset Fisik Masjid Al Falah Berupa Gedung Sekolah Dasar Al Falah Sumber: foto peneliti, 2014
Adapun aset finansial Masjid Al Falah Surabaya, menurut rilis laporan tahunan Yayasan Masjid Al Falah, posisi keuangan Yayasan Masjid Al Falah per 31 Desember 2013 dan 2012 ditutup dengan jumlah aset serta kewajiban dan aset bersih masingmasing sebesar Rp 31.903.186.844,86 dan Rp 26.802.519.825,33. Laporan aktivitas yang berakhir pada 31 Desember 2012 dan 2011 ditutup dengan jumlah aset bersih masing-masing sebesar Rp 25.662.439.853,06 dan Rp 21.161.115.382,20 serta penambahan aset bersih akhir tahun masing-masing sebesar Rp 4.501.324.470,86 dan Rp 3.636.113.384,56. Laporan arus kas per 31 Desember 2013 dan 2012 ditutup dengan kenaikan bersih kas dan setara kas masingmasing sebesar Rp 5.423.265.155,12 dan Rp 287.599.195,80, serta kas dan setara kas akhir periode masing-masing sebesar Rp 16.950.182.131,07 dan Rp 11.526.916.975,95. Adapun Penerimaan atau pemasukan Yayasan Masjid Al Falah sepanjang tahun 2013 di antaranya diperoleh dari:
32
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Tabel 1. Pemasukan Yayasan Masjid Al Falah No 1
Penerimaan
Besaran
Penerimaan kas dari infaq
2.256.056.700,00
2
Penerimaan kas dari zakat
3
Penerimaan kas dari lembaga kursus
788.167.000,00
4
Penerimaan kas dari poliklinik
5
Penerimaan kas dari pernikahan
2.565.095.140,00 130.665.950,00 21.800.000,00
6
Penerimaan kas dari muslimah
7
Penerimaan kas dari YDSF
694.220.545,46
14.706.500,00
8
Penerimaan kas dari Wakaf Tunai
731.000.000,00
9
Penerimaan kas dari siswa
16.163.289.300,00
10 Penerimaan kas dari bantuan pemerintah
844.040.000,00
11 Penerimaan kas dari pendaftaran siswa baru
120.500.000,00
12 Penerimaan kas dari bagi hasil dan jasa giro
433.506.292,87
13 Penerimaan kewajiban jangka pendek lainnya
47.570.000,00
14 Pelunasan Pinjaman Karyawan dan Pihak Ketiga
228.177.454,00
15 Penerimaan kas dari pendapatan lain-lain
16.275.723,28
Jumlah
25.055.070.605,61
Aset fisik dan finansial yang dimiliki Yayasan Masjid Al Falah Surabaya tersebut di atas memungkinkan sebuah kemampuan pemberdayaan kepada masyarakat sekitar, mengingat keberadaan masjid dan sarana penunjang dalam melayani masyarakat dalam banyak bidang dapat dipenuhi oleh masjid tersebut.
4.
Kondisi Sumberdaya Manusia dan Jama’ah Masjid Al Falah Sesuai dengan tujuan Yayasan Masjid Al Falah, yaitu memakmurkan masjid dengan mengamalkan fungsi, dan risalah Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
33
(misi) masjid serta dakwah islamiyah pada umumnya dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan As Sunnah, Yayasan Masjid Al Falah memerlukan jajaran yang memahami benar tujuan daripada pendirian Masjid Al Falah. Untuk itu, sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Pembina Yayasan Masjid Al Falah Surabaya Nomor 003/03-1/2014 tanggal 29 Januari 2014 tentang Susunan Personalia Pengawas dan Pengurus Yayasan Masjid Al Falah Surabaya, susunan Pengawas dan Pengurus Yayasan periode 2014-2019 terdiri dari dua jajaran, yaitu jajaran pengawas, dan jajaran pengurus. Susunan jajaran pengawas dipimpin oleh Drs. H. Muhammad Taufiq AB, dengan empat anggota, yaitu Prof. DR. H. Tjiptohadi Sawarjuwono, M.Ec, Ak; Ahmad Wachid, S.Sos, MBA, MM; Drs. H. Sugeng Praptoyo, MM, MH, Ak, dan Dra. Hj. Nur Syamsi Hisyam, MM. Adapun susunan pengurus terdiri atas: a.
H. Sigit Prasetyo sebagai Ketua Umum
b.
Ir. H. Abdul Kadir Baradja sebagai Ketua Bidang Pendidikan
c.
Drs. H. Sri Siswanto, sebagai Sekretaris Umum
d.
H. Aun bin Abdullah Baroh sebagai Bendahara Umum.
Jumlah pegawai Yayasan Masjid Al Falah Surabaya (karyawan tetap dan tidak tetap) sampai dengan 31 Desember 2013 sebanyak 256 pegawai yang terdiri dari lembaga kursus AlQur’an (LK) sebanyak 46 pegawai, masjid sebanyak 35 pegawai, dan Lembaga Pendidikan (LPF) sebanyak 175 pegawai. Dari sejumlah 256 pegawai tetap Yayasan Masjid Al Falah berjumlah 169 pegawai. Dalam pengamatan peneliti, kegiatan kepengurusan Yayasan Masjid Al Falah tergantung kepada unit-unit bidang yang dijalankan, untuk kegiatan kependidikan, praktis kegiatan kepengurusan berada di sekolah masing-masing, namun untuk kegiatan yang berada di Masjid Al Falah, kegiatan berpusat di masjid tersebut, dengan kantor dan sekretariat yang menyatu di dalamnya. Kantor tersebut buka setiap hari, selain hari ahad, dengan jam kantor dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB.
34
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Kegiatan kursus Al-Qur’an, dan kajian yang dilakukan oleh masjid tersebut memiliki jadwal tersendiri yang dapat berlangsung dari pukul 05.30 dini hari sampai pukul 22.00 WIB. Terkait jamaah yang mengikuti kegiatan di Masjid Al Falah, dapat dikategorikan kepada beberapa kelompok, di antaranya adalah jamaah sholat lima waktu, jamaah sholat Jum’at, dan jamaah yang mengikuti kegiatan kajian di Masjid Al Falah. Jamaah sholat lima waktu terdiri atas jamaah tetap dan tidak tetap, demikian halnya dengan jamaah sholat Jum’at. Dalam pengamatan peneliti, jumlah jamaah lima waktu pada sholat shubuh kira-kira mencapai jumlah antara 150-250 jamaah, sholat dhuhur mencapai 350-500 jamaah, sholat maghrib mencapai 350400 jamaah, dan untuk sholat isya mencapai kisaran 350-400 jamaah. Jumlah tersebut tidak selalu demikian, mengingat kebanyakan dari jamaah adalah pengguna jalan raya yang singgah, dan mengikuti sholat di Masjid Al Falah.15 Untuk sholat Jum’at, jumlah jamaah yang mengikuti kegiatan tersebut dapat mencapai angka 4000 jamaah, dengan daya tampung maksimal dikisaran 6000 jamaah. Profesi jamaah Masjid Al Falah sangat beragam. Namun kebanyakan jamaah berada di usia 18 tahun ke atas. Hal ini dipahami mengingat posisi yang dekat dengan jalan raya, banyak jamaah merupakan pekerja atau karyawan di sekitar Surabaya.
5.
Aset Modal Sosial Masjid Al Falah Modal sosial dipahami oleh Field dan ilmuwan modal sosial lainnya, seperti Hasbullah sebagai sebuah kekuatan atau asset yang bermuara pada terjaganya hubungan baik antar sesama, yang melahirkan mereka perasaan saling percaya dan
15 Pengamatan peneliti lakukan pada tanggal 07-12 Mei 2014, dan 22-31 Mei 2014. Untuk jamaah yang mengikuti pengajian setelah Maghrib, rata-rata peserta yang mengikuti antara 80-100 peserta kajian.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
35
melakukan kerjasama. Dorongan kerjasama atau partisipasi aktif yang lahir atas dasar saling percaya tersebut juga biasanya muncul karena persamaan pemahaman, dalam artian kesamaan nilai yang mereka anut dengan kelompok atau anggota dalam jejaring yang ada.16 Pendapat Field dan Hasbullah tersebut menjelaskan bahwa setidaknya modal sosial memiliki beberapa unsur di antaranya trust, norma, resiprositas, dan networking. Untuk melihat sejauh mana Yayasan Masjid Al Falah memiliki modal sosial, dapat dilihat dari sejauh mana kepercayaan masyarakat terhadap program-program yang dijalankan, sejauhmana masyarakat berperan aktif dalam mengikuti program, dan menciptakan kemakmuran masjid. Selain itu sisi kekuatan modal sosial dapat dilihat dari kemampuan Yayasan Masjid Al Falah menginternalisasi niai-nilai, dalam hal ini nilai keagamaan yang dianut yaitu Islam. Selain itu dapat pula dilihat kemampuan Yayasan Masjid Al Falah menciptakan jejaring.
Trust di Masjid Al Falah Menurut pemantauan peneliti terdapat potensi yang dimiliki oleh Al Falah, potensi terbesarnya adalah trust (kepercayaan). Kepercayaan yang melekat pada Masjid Al Falah tersebut bukan karena hadir dengan sendirinya, melainkan karena kontribusi sosial keagamaan Masjid Al Falah yang memiliki rekam perjalanan panjang dan istiqomah menjalankan misi dan visi daripada pelayanan sosial keagamaan sesuai dengan petunjuk AlQur’an dan Sunnah.
16 Lihat John Field, Social Capital (London: Roudlege, 2003); Jousairi Hasbullah, Social Capital, Menuju keunggulan Budaya Manusia Indonesia (Jakarta: MR United Press Jakarta).
36
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Potensi trust ini sedikit banyak berpengaruh pada jamaah yang mengikuti kegiatan di Masjid Al Falah. Pada kegiatan kursus, satu angkatan Al Falah, yang dibina selama tiga bulan oleh tim pengajar Al Falah dapat mencapai 3000 jamaah. Besarnya angkatan yang mengikuti kegiatan kursus ini karena jamaah juga sangat bangga apabila dapat bergabung dan menjadi bagian dari Masjid Al Falah. Kebanggaan menjadi jamaah, dan labelisasi bahwa Masjid Al Falah memiliki karakteristik yang unggul menjadikan masyarakat sekitar antusias atas program yang dijalankan Masjid Al falah, dan ada internalisasi nilai bangga akan keberadaan Masjid Al Falah. Posisi yang strategis, di kawasan elit di perumahan Darmo menjadi nilai lebih Masjid Al Falah ini. Pada 1399 H atau bertepatan dengan 1978 M berdirilah Remaja Masjid Al Falah. Berawal dari kegiatan Remaja Masjid Al Falah, Seksi Dakwah berinisiatif menghimpun jama'ah untuk mengaji Al-Qur’an (kursus), santri yang mengikuti program tersebut awalnya berkisar antara 75-125 orang, dengan tidak dipungut biaya sedikitpun, prinsipnya asal mau belajar membaca Al-Qur’an. Namun, para santri justru merasa kurang bersemangat, dan banyak yang putus di tengah jalan, karena mereka tidak ada ikatan dengan biaya yang dikeluarkan, di samping juga karena kurang seriusnya pengelolaan. Pada 1402 H/1981 M timbulah gagasan kursus Al-Qur’an dengan infaq dengan pengelolaan serius, fokus, dan dikelola secara profesional. Dari pengelolaan ini pada akhirnya berkembang pesat dari yang tadinya 125 santri menjadi 500 bahkan berkembang sampai 1500 santri. Opini dan asumsi yang umum berkembang di masyarakat Surabaya, "jika kursus bayar, maka pengelolaannya tentu serius bahkan profesional", inilah yang mengilhami banyaknya peminat untuk belajar membaca Al-Qur’an (lihat Tabel 2)
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
37
Tabel 2. Perkembangan Peserta Kursus Al-Qur’an Periode Desember 2001-April 2012 NO
PERIODE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
38
JUMLAH SANTRI 2275 2530 2670 2550 2700 2771 2702 2782 2850 2723 2970 3013 2850 2945 2789 2706 2761 2520 2594 2788 2670 2673 2753 2726 2844 2950 2865 3017 3089 3013 3040
KETERANGAN Laki-laki 656, Perempuan 1619 Laki-laki 732, Perempuan 1798 Laki-laki 758, Perempuan 1912 Laki-laki 706, Perempuan 1844 Laki-laki 747, Perempuan 1953 Laki-laki 770, Perempuan 2001 Laki-laki 746, Perempuan 1956 Laki-laki 749, Perempuan 2033 Laki-laki 767, Perempuan 2083 Laki-laki 719, Perempuan 2004 Laki-laki 768, Perempuan 2202 Laki-laki 791, Perempuan 2222 Laki-laki 741, Perempuan 2109 Laki-laki 784, Perempuan 2109 Laki-laki 758, Perempuan 2031 Laki-laki 735, Perempuan 1971 Laki-laki 783, Perempuan 1978 Laki-laki 747, Perempuan 1773 Laki-laki 755 , Perempuan 1839 Laki-laki 790, Perempuan 1989 Laki-laki 732, Perempuan 1918 Laki-laki 754, Perempuan 1919 Laki-laki 734, Perempuan 2019 Laki-laki 791, Perempuan 1935 Laki-laki 727, Perempuan 2117 Laki-laki 760, Perempuan 2190 Laki-laki 686, Perempuan 2179 Laki-laki 722, Perempuan 2295 Laki-laki 765, Perempuan 2324 Laki-laki 761, Perempuan 2252 Laki-laki 784, Perempuan 2252
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Trust yang dimiliki Al Falah juga dapat dilihat dari pemasukan kotak amal pada setiap Jum’at berkisar antara 35-36 Juta. Angka yang cukup fantastis untuk masjid yang secara usia bangunan sudah cukup tua. Para jamaah yang menginfakkan sebagian harta mereka di Masjid Al Falah, selain karena kesadaran keagamaan juga karena telah sedemikian dekat dengan Masjid Al Falah. Selain melihat trust dari sisi terbentuknya, perlu juga melihat radius terbentuknya trust. Radius terbentuknya trust di Masjid Al Falah ini dapat dilihat dari sejauhmana cakupan, dan skala penerimaan Masjid Al Falah di masyarakat. Apabila radius dan skala terbentuknya trust tersebut sempit, dapat berimplikasi pada penerimaan masyarakat terhadap Masjid Al Falah yang hanya pada tingkat dan komunitas masyarakat tertentu. Sebaliknya, apabila radius trust tersebut luas, dan lebar dapat dijelaskan bahwa banyak tipologi dan karakteristik masyarakat yang menerimanya. Untuk melihat sejauh mana penerimaan masyarakat muslim atas Masjid Al Falah, peneliti menggali keterangan kepada bebrapa jama’ah mengenai Masjid AL Falah. Bapak Pori (74 tahun) menjelaskan bahwa Masjid Al Falah adalah masjid dari empat masjid berpengaruh di Surabaya, yaitu Masjid Agung Sunan Ampel, Masjid Al Falah, Masjid Nasional Al-Akbar, dan Masjid Muhajirin. Menurut Pori, Masjid Al Falah telah berkontribusi luas dalam mensikapi isu-isu global mengenai umat Islam, terutama sekali mengenai isu-isu perdamaian. Setiap terdapat gejolak umat Islam di belahan dunia, pihak Masjid Al Falah kerap menggalang dana.17 Peneliti kemudian bertanya mengenai keberpihakan Masjid Al Falah terhadap salah satu ormas keagamaan di Indonesia, seperti halnya Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama. Sepanjang pengunjung yang peneliti gali informasi, menjelaskan
Wawancara dengan jamaah Masjid Al Falah, Bapak Pori (74 tahun), pada 30 Mei 2014 pukul 11.02 WIB. 17
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
39
bahwa Masjid Al Falah berada dalam posisi netral, dan tidak memihak organisasi keagamaan yang berkembang di Indonesia. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa radius trust Masjid Al Falah memiliki ciri trust tinggi dengan skala lebar. Suatu lembaga dapat dikatakan memiliki trust tinggi apabila memiliki radius trust lebar, sementara lembaga yang tergolong memiliki trust rendah adalah apabila lembaga tersebut memiliki radius trust sempit. Lembaga yang memiliki radius trust lebar cenderung bersikap akomodatif dan terbuka, tidak fanatik terhadap bendera, dan golongan organisasi di masyarakat, lembaga tersebut memiliki solidaritas tinggi, terkait Masjid Al Falah, yaitu memiliki kepekaan yang tinggi terkait nasib dan isuisu yang mengemuka atas umat Islam, para anggotanya bekerja sesuai garis aturan yang disepakati, dengan kebersamaan yang tinggi.18 Sementara lembaga yang memiliki rentang radius trust sempit adalah lembaga yang tertutup dalam perilaku kolektifnya, tidak akomodatif dan memiliki kepercayaan rendah terhadap kualitas dan hubungan yang sedang berjalan. Lembaga yang memiliki radius trust lebar mampu mengoperasikan organisasinya dengan fleksibilitas dan orientasi kemajuan lembaga berbasis pendelegasian pada tingkat-tingkat organisasi yang lebih rendah. Sebaliknya lembaga yang memiliki tingkat radius trust sempit cenderung memiliki kehati-hatian tinggi dalam pendelegasian, memilih tidak melangkah, mengisolasi dengan aturan-aturan yang birokratis.
Jaringan (Networking) Yayasan Masjid Al Falah Dalam pembahasan ini, peneliti akan mengungkap kemampuan Yayasan Masjid Al Falah membangun jaringan baik 18 Lihat Michael Woolcock, “Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis and Policy Framework” Theory and Society, No. 27. Vol 2 (1998): 151208; Kurt Annen, “Social Capital, Inclusive Networks, and Economic Performance,” Journal of Economic Behavior and Organization Vol. 50 (2003): 449–463.
40
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
di internal dalam kegiatan yang dilakukan oleh masjid, maupun pembangunan jaringan yang bersifat eksternal. Kemampuan membangun jaringan oleh pengurus Yayasan Masjid Al Falah tersebut menjadikan masjid dapat melakukan banyak kegiatan sosial keagamaan, baik yang berskala kecil, besar maupun nasional. Kemampuan internal pengurus Yayasan Masjid Al Falah dalam mengelola kelompok-kelompok, seperti halnya kelompok yang terhimpun dalam lembaga kursus Al-Qur’an al Falah, muhtadin Masjid Al Falah, yang bergerak dalam membimbing para muallaf, kelompok muslimah Al Falah, dan remaja masjid Al Falah menjadikan proses memakmurkan masjid dan hubungan timbal balik dari peserta kelompok kepada masjid juga sangat kental, dijelaskan dalam penelitian ini bahwa salah satu donatur terbesar Masjid Al Falah adalah peserta bimbingan muallaf yang dulu sebenarnya ikrar di Masjid Al-Akbar Surabaya.19 Peranan kelompok-kelompok tersebut sangat signifikan dalam eksistensi Masjid Al Falah di masyarakat, bahkan kelompok-kelompok tersebut memiliki laporan keuangan yang berjalan baik. Tercatat dalam laporan keuangan tahunan pada akhir tahun 2013, penerimaan keuangan lembaga kursus ini mencapai Rp. 2.104.212.001,67. Kelompok dan komunitas-komunitas yang terbentuk di Masjid Al Falah seperti halnya lembaga kursus tersebut dapat pula berpotensi membentuk dan melebarkan jaringan Al Falah di beberapa tempat, hal ini dapat dicapai mengingat terdapat program kerja untuk melaksanakan bakti sosial setahun sekali di beberapa wilayah dengan pendekatan-pendekatan pemberdayaan masyarakat. Selain memelihara simpul-simpul jaringan internal, Yayasan Masjid Al Falah juga menjalin kerjasama dengan pihak eksternal, seperti YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Falah), dan Yatim 19 Penjelasan ini disampaikan perwakilan Masjid Al Falah, Bapak Ali Muktamar pada FGD antara Tim peneliti dengan Pengurus Masjid Al Falah dan AlAkbar di Masjid Al-Akbar pada 28 Mei 2014.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
41
Mandiri. Embrio lahirnya kedua organisasi amal dan sosial yang telah berskala nasional ini tidak terlepas dari peran dan kaderiasasi Al Falah. Walaupun secara struktur organisasi, tidak ditemukan simpul keterikatan, namun secara historis dan kedekatan emosional kedua organisasi tersebut sangat kental. Baik YSDF ataupun Yatim Mandiri, keduanya sama-sama memiliki nilai kapitalisasi aset yang cukup besar. Apabila potensi jaringan keduanya dapat terus bersinergi dengan Al Falah, maka sangat mudah bagi Al Falah meluaskan pengaruhnya ke cakupan skala yang lebih besar.20 Untuk melihat manfaat jaringan bagi Masjid Al Falah juga dapat dilihat dari sejarah berdirinya masjid tersebut, di mana banyak pihak yang memberikan sokongan dan bantuan, baik dari kalangan pengusaha maupun pemerintah. Kemampuan menjalin hubungan dengan banyak stakeholder tersebut membuat langkahlangkah pembangunan Masjid Al Falah lebih mudah dijalankan. Kemampuan mengelola jaringan juga bermanfaat pada kegiatankegiatan yang dilaksanakan Masjid Al Falah, seperti halnya pelaksanaan tabligh akbar yang menghadirkan penceramahpenceramah berskala nasional dan tentunya memiliki kesepahaman dengan visi misi yang dijalankan Al Falah. Potensi jaringan yang memiliki cakupan luas, bahkan dapat dinilai mengarah kepada tipologi bridging social capital, dan linking social capital. Masjid Al Falah secara hierarki sosial juga memiliki kedekatan dengan masyarakat dengan perasaan yang sangat mengikat antara jamaah dan masjid (embededness). Pola ini selain memiliki fungsi sebagai penguatan memakmurkan masjid, juga berimplikasi pada pola hubungan timbal balik (resiprocity norms).
20 Hasil wawancara peneliti dengan Prof. Dr. Roem Rowi, selaku dewan pembina masjid Al Falah menyatakan bahwa YDSF, dan Yatim Mandiri memiliki kedekatan historis dan emosional yang kuat, karena keduanya dilahirkan oleh aktifisaktifis dari Masjid Al Falah. Kedua badan amal tersebut memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat, karena aktif melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Nilai kapitalisasi Yatim Mandiri telah mencapai angak 90 Milyar.
42
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Penguatan Norma Norma dalam pandangan Koentjaraningrat ialah nilainilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Norma juga berarti sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial atau kelompok tertentu. Norma dapat berupa pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh kelompok atau masyarakat. terdapat sedikit perbedaan mengenai norma, dan nilai. Nilai merupakan pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, sedangkan norma merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah tindakan tersebut menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar masyarakat. Norma dibangun di atas nilai, dan norma diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai. Pelanggaran terhadap norma akan mendapatkan sanksi dari masyarakat.21 Norma dapat bersumber dari ajaran agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler, seperti halnya kode etik. Norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama di masa mendatang. Norma-norma sosial berperan mengontrol bentuk-bentuk perilaku dalam masyarakat. Dalam komunitas Masjid Al Falah, yayasan beserta jajaran pengurus memahami benar bahwa mereka harus tunduk dan patuh terhadap nilai-nilai agama, terutama sekali Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana tujuan didirikannya masjid adalah untuk menghidupkan syi’ar dakwah sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, untuk
Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974:21) 21
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
43
mengetahui secara lebih dekat, pendekatan operasional yang mereka jalankan atas penguatan norma keagamaan di lingkungan Masjid Al Falah dapat dilihat dari beberapa metode yang dilakukan. Komunitas Al Falah melihat bahwa nilai-nilai Islam harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, dan istiqomah. Hal ini seperti halnya menertibkan shaff dalam sholat. Konsepsi menertibkan shaff sholat lima waktu yang senantiasa dijaga oleh pengurus Masjid Al Falah menjadi poin penting kesungguhan Masjid Al Falah dalam memperbaiki dan menjaga kekhusu’an sholat. Bagi komunitas ini sholat merupakan tonggak utama keberhasilan menciptakan suatu peradaban ynag lebih besar. Peneliti melihat dengan jelas, security (bagian keamanan) Masjid Al Falah setiap sholat lima waktu selalu mengawasi barisan jamaah dari belakang, dan mengarahkan jamaah yang datang terlambat mengisi shaff atau barisan yang semestinya harus diisi. Kegiatan ini selalu mereka jalankan dengan istiqomah sehingga membekas di hati masyarakat yang pernah mengikuti sholat jamaah di Masjid Al Falah, bahwa Al Falah benar-benar menertibkan shaff.22 Nilai keagamaan lainnya yang peneliti rasakan adalah mereka menjaga amanah, dan memegang kejujuran serta tepat janji. Poin dari pada penjelasan ini adalah sejauh konsistensi nilainilai keagamaan dipegang dan dijalankan, dengan sendirinya modal sosial memiliki ruang yang besar dan kuat dalam sebuah komunitas masyarakat. kuatnya modal sosial dalam pelaksanaan nilai-nilai keagamaan melahirkan prinsip-prinsip ta’awun (tolong menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
22 Penjelasan mengenai menertibkan shaff ini peneliti peroleh dari keterangan Bapak H. Muammak Hamidy, Lc salah satu ustadz senior yang dimiliki oleh Masjid Al Falah.
44
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Resiprositas Komunitas Masjid Al Falah Resiprositas atau saling tukar menukar kebaikan yang didasarkan atas perasaan rasa saling percaya akan melahirkan kerekatan dan keikutsertaan sosial. Hal ini akan mengurangi resiko konflik antar individu dalam sebuah kelompok atau komunitas. Dengan adanya kerekatan dan keikutsertaan sosial maka akan membuka akses distribusi yang adil dan merata terhadap hasil-hasil pembangunan, menghilangkan hambatanhambatan formal yang kerap kali menjadi penghalang seseorang atau kelompok mengakses sebuah informasi, dan hasil pembangunan.23
Diagram 1: Manfaat Resiprositas (5) Menghilangkan Hambatan Formal dalam Berpartisipasi (4) Membuka Akses Distribusi yang Adil & Merata
(6) Kesediaan Bekerjasama
Resiprositas dilandasi Trust
(1) Kerekatan
(3) Mengurangi Resiko Konflik
(2)
Keikutsertaan Sosial
Sumber: Habibi Zaman Riawan Ahmad (2012): Tantawi (t.t.):3937.
Untuk melihat sejauhmana resiprositas komunitas Masjid Al Falah baik antarindividu dalam wadah kepengurusan di yayasan masjid, ataupun antarkelompok bidang dan komunitas masjid dengan masyarakat. Pembahasan ini memiliki 23 Untuk melihat peranan resiprositas baik juga meihat tulisan M. Mawardi J., “Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat Komunitas,” Jurnal Pengembangan masyarakat Islam, Volume 3, No. 2 (2007): 7.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
45
kompleksitas tersendiri mengingat untuk menelaah satu persatu dalam setiap kelompok dan individu yang berbeda memerlukan pengamatan yang lebih mendalam. Namun secara garis besar indikasi dari adanya resiprositas di komunitas Masjid Al Falah dapat dilihat dari peran aktifnya masyarakat mengikuti kegiatan di Masjid Al Falah dengan juga kontribusi yang mereka himpun dalam bentuk infaq dan dana sosial. Imbal balik selanjutnya adalah peran aktifnya pengurus dalam setiap kegiatan yang mereka buat untuk dilaksanakan secara bersama-sama, dan kemampuan pengurus masjid melayani para jamaah adalah tanda dari adanya resiprositas yang cukup kental. Sikap-sikap yang melahirkan resiprositas dapat karena peran aktif kedua belah pihak menjalankan fungsi, dan kewajiban mereka masing-masing. Selain itu dapat pula karena persamaan tujuan yang ingin mereka capai, dan yang lebih penting adalah kesadaran bahwa di antara mereka adalah bersaudara. Persaudaraan (ukhuwwah) antara sesama melahirkan sikap saling berbagi, menolong dalam kebaikan, dan saling mencegah dari perbuatan tercela.24 Sikap, dan nilai-nilai sosial yang humanis tersebut dapat memudahkan sebuah kemajuan ekonomi, dan kehidupan sosial lainnya. Dari ulasan mengenai aset modal sosial Masjid Al Falah dari unsur trust, jaringan, norma, dan resiprositas tersebut dipahami bahwa stok modal sosial yang dimiliki masjid tersebut dalam kondisi yang baik, dan senantiasa harus dipelihara serta dijaga dengan tetap mengedapankan misi dan visi tujuan pendirian masjid, serta mengevaluasi setiap hal yang dapat mengancam stok modal sosial baik dari internal maupun eksternal. Kemampuan Masjid Al Falah dalam mengembangkan modal sosial dipahami memberi manfaat seluas-luasnya bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat luas.
24
Muhammad Sayyid Tantawi, “Al-Tafsir al- Wasith,”Mauqi‘ al-Tafasir, t.t,
3937.
46
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
6.
Model Pemberdayaan Masjid Al Falah Sesuai penjelasan mengenai aset yang dimiliki oleh Yayasan Masjid Al Falah dapat diketahui bahwa pemberdayaan yang dilakukan oleh masjid tersebut baik upayanya mengembangkan masjid dalam sisi cakupan pelayanan, maupun pemberdayaan dalam bentuk pelayanan sosial keagamaan kepada masyarakat luas sangat kental kaitannya dengan unsur potensi yang mereka miliki, yaitu adanya aset fisik, finansial, sumberdaya manusia yang didalamnya terdapat manajemen, dan modal sosial. Pembahasan ini, penulis menjelaskan mengenai mekanisme pemberdayaan yang dilakukan oleh Masjid Al Falah baik dalam bidang pelayanan keagamaan, maupun sosial sebagai bagian dari adanya pemberdayaan kepada masyarakat luas. Tulisan ini mengelaborasi tiga hal, yaitu jenis pelayanan atau pemberdayaan, mekanisme bekerjanya manajemen dan modal sosial. Menurut peneliti, pelayanan yang dilakukan Yayasan Masjid Al Falah dapat dikelompokkan kepada empat bidang, yaitu pendidikan, keagamaan, kesehatan, dan sosial. Pelayanan bidang pendidikan formal tentunya mengacu kepada lembaga pendidikan formal yang berada di bawah naungan Yayasan Masjid Al Falah secara langsung. Semenntara pelayanan keagamaan dapat berupa pelaksanaan sholat lima waktu, pelaksanaan kajian agama dalam bentuk tausiah yang bersifat harian maupun dalam momen tertentu, pembelajaran ilmu agama dalam bentuk Lembaga Kursus Al-Qur’an, pelayanan atas zakat, infak, dan shodaqoh, bimbingan haji, dan umrah, baiat masuk Islam, pembinaan atas muallaf, dan konseling untuk mewujudkan keluarga sakinah. Di bidang kesehatan dapat dilihat dari disediakannya klinik, dan program-program kesehatan yang dicanangkan Yayasan Al Falah kepada masyarakat setiap melakukan wisata bakti. Adapun dibidang sosial dapat berupa santunan kepada fakir miskin masyarakat sekitar dan masyarakat lainnya, dan korban bencana ataupun konflik. Empat bidang pelayanan tersebut terkadang dilakukan oleh bidang-bidang dalam Yayasan Masjid Al Falah yang tidak secara langsung tertuang dalam kewajiban pokoknya, seperti Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
47
halnya Wisata Bakti yang dilakukan oleh Lembaga Kursus AlQur’an. Fenomena ini menarik mengingat Lembaga Kursus AlQur’an dapat berbicara banyak tidak hanya berkutat pada pembelajaran mengenai ajaran dan pengetahuaan keislaman, melainkan menuangkan dan mempraktekkan secara langsung nilai-nilai keislaman dalam bentuk yang aplikatif, berupa kepedulian sosial. Lembaga Kursus Al-Qur’an Al Falah yang berdiri pada 1978 adalah Lembaga Kursus Al-Qur’an tertua menurut versi Al Falah, dan sampai saat ini eksis melayani santri yang jumlahnya menurut data periode 98 (April-Agustus 2014) mencapai 836 santri putra, dan 2411 santri putri. Jenis kursus Al-Qur’an di Al Falah ini meliputi:
48
a.
baca tulis Al-Qur’an dengan target santri mampu membaca Al-Qur’an dengan tajwid dan menulis Arab
b.
kemampuan tartil al-Qur’an dengan target kemampuan membaca Al-Qur’an dengan tartil (indah serasi) dan menguasai tajwid serta penerapannya
c.
keterampilan seni baca al-Qur’an, yaitu dengan target santri mampu menguasai irama dan lagu qiro’ah
d.
kursus dalam bidang tafsir al-Qur’an, jenis ini santri diharapkan dapat memahami arti kandungan Al-Qur’an
e.
kursus tarjamah lafdhiyah al-Qur’an, jenis kursus iini diharapkan santri bisa mengartikan kosa kata dan kalimat dalam Al-Qur’an
f.
kursus dengan tekanan kemampuan sholat dan pemahaman hukum Islam (SHI), jenis ini santri diharap memahami aturan dan tehnik ibadah keseharian
g.
kursus dengan tekanan al-Hadist, jenis ini santri diharapkan mampu memahami kandungan Hadist
h.
kursus lebih spesifik mengenai bahasa Arab, jenis ini santri diharapkan mampu berbicara dengan bahasa Arab dengan baik
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
i.
kursus dengan titik tekan dalam kajian da’wah, target jenis ini, santri diharapkan mampu dan berani berpidato atau khutbah
j.
jenis hafalan al-Qur’an, target kursus ini ialah santri mampu menghafal Juz 30 dengan benar
k.
kursus dengan titik tekan mengenai aqidah akhlak, target kursus jenis ini diharapkan agar santri memiliki akidah yang kuat dan akhlak yang mulia.
Sebagai tanggung jawab akan pelayanan bidang Kursus Al-Qur’an tersebut Yayasan Masjid Al Falah melakukan seleksi yang ketat kepad para pengurus yang akan mengelolanya. Seleksi untuk memilih Ketua Kursus Al Qur’an Masjid Al Falah dilakukan dengan melibatkan instansi TNI Angkatan Laut, yaitu tes psikologi di Dinas Psikologi Angkatan laut di Darmokali Surabaya. Ketatnya seleksi tersebut dipahami karena Yayasan Masjid Al Falah sedang mencari sosok sumberdaya manusia yang memiliki keahlian manajerial, bukan sekadar karyawan.25 Dalam pencapaian dan prestasi yang dilakukan, Lembaga Kursus Al-Qur’an juga menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan ternama di Jawa Timur, pada 2009 TVRI Surabaya tertarik untuk menggandeng lembaga kursus dalam sebuah program tayangannya, yaitu BBQ (Belajar Baca Al-Qur’an). Program ini tayang setiap hari Rabu pukul 15.30-16.00 WIB. VCD rekaman BBQ juga mendapat animo yang luas di masyarakat dengan banyaknya pemirsa yang memesan VCD tersebut. Selain itu POGI, yaitu perkumpulan dokter kandungan dan penyakit dalam se Surabaya, dan Sidoarjo juga pernah menjalin kerjasama kursus. Para insan bank yang tergabung dalam wadah Badan Musyawarah Perbankan Daerah (BMPD), organisasi Persatuan Wanita Patra, yang menampung karyawati, dan istri karyawan pertamina, dan organisasi BKKBN Jawa Timur dan Dinas Kesehatan Jawa Timur juga menjalin kerjasama dengan Lembaga Kursus Al-Qur’an Al Falah.
25
Lihat Jendela Santri Vol 3. No 10. Desember 2011, hal. 28
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
49
Lembaga Kursus Al-Qur’an juga menorehkan jangkauan yang luas baik dalam jaringannya maupun aktivitas sosial kemasyarakatan, setelah terbentuk wadah Forum Komunikasi Santri. Forum yang dimotori santri dakwah ini kerap melakukan banyak kegiatan sosial seperti bantuan bencana alam, khitanan massal, dan santunan bagi masyarakat miskin.26 Kegiatan yang diikuti oleh banyak santri tersebut sampai saat ini selalu mendapat tempat di hati masyarakat Kota Surabaya, mengingat kredibilitas pengelolaan yang baik. Dari beberapa dokumen yang peneliti baca, terdapat santri Kursus Al-Qur’an yang mengikuti kursus mengaji dari tahun 1990 dengan biaya Rp. 7500 hingga saat ini. Hj. Zubaidah, nenek dengan 10 cucu sampai saat ini di sela-sela mengikuti kursus selepas shubuh dan pulang selepas sholat isya, mengisinya dengan menjual sari kedelai kepada peserta kursus lainnya.27 Dari uraian tersebut di atas, pelayanan yang dilakukan Yayasan Masjid Al Falah kepada masyarakat sekitar baik dalam bentuk pendidikan, keagamaan, kesehatan, dan sosial memang di bawah kewajiban dan tugas-tugas oleh lembaga-lembaga yang ditentukan. Namun kegiatan yang bersifat sosial, dan kesehatan dapat pula dilakukan oleh lembaga yang secara tugas adalah melakukan kegiatan pembelajaran, seperti halnya Lembaga Kursus Al-Qur’an, namun tetap pelaksanaannya di bawah naungan Yayasan Masjid Al Falah.
7.
Faktor Pendukung dan Penghambat Penjelasan mengenai aset dan tipologi pemberdayaan Masjid Al Falah tersebut di atas dapat dijelaskan kembali menurut analisis faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung dari Masjid Al Falah adalah:
26 Pada 2011 Lembaga Kursus Al-Qur’an melakukan Wisata Bakti, dengan melakukan Khitanan Masal 113 anak yatim, dan miskin, nikah massal 41 pasang, pemberian santunan 300 dhuafa, dan bantuan renovasi rumah ibadah di kab. Kediri. Lihat Jendela Santri Vol 3 No 8. April 2011, hal, 11, 33. 27 Jendela Santri Vol 3. No 8 April 2011, hal 20-21.
50
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
a.
tempat yang strategis, berada di pusat Kota Surabaya, dengan akses kendaraan yang mudah
b.
rekam jejak yang baik di masyarakat menjadikan Masjid Al Falah mendapat tempat tersendiri, dan dipercaya dalam banyak kegiatan
c.
pelayanan yang dilakukan oleh Masjid Al Falah yang mana sejauh ini dianggap berhasil
d.
Masjid Al Falah dikenal tidak memihak salah satu ormas keagamaan di Indonesia, dipercaya dapat merangkul semua kalangan menjadi kekuatan dan modal tersendiri kemajuan masjid.
Adapun faktor penghambat dari Masjid Al Falah, di antaranya: a.
kapasitas ruangan yang semakin terbatas dalam memenuhi animo masyarakat yang mengikuti kegiatan. Keterbatasan kapasitas tersebut berimplikasi kepada efektifitas pelayanan apabila terjadi renovasi besar masjid
b.
fasilitas penunjang berupa parkir yang semakin lama semakin tidak memadahi dalam memenuhi permintaan jamaah, perlu dilakukan sebuah rekayasa dan analisa mengenai kenyamanan dalam parkir
c.
tiadanya penambahan buku-buku baru, dan perpustakaan yang tidak dikelola secara profesional
d.
koperasi masjid belum dikembangkan menjadi sebuah badan yang dapat menyerap sumber-sumber ekonomi untuk kemudian menjadi kebijakan masjid dalam pemberdayaan masyarakat.
fasilitas
B. Masjid Nasional Al-Akbar 1.
Profil Masjid Nasional Al-Akbar Peletakan batu pertama pembangunan Masjid Nasional Al-Akbar dilakukan pada 4 Agustus 1995 oleh Wakil Presiden Indonesia H. Tri Sutrisno, atas gagasan Walikota Surabaya H. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
51
Soenarto Sumoprawiro. Peresmian pada 10 November 2000 oleh Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid. Luas total tanah Masjid Nasional Al-Akbar mencapai 11,2 ha. Secara fisik luas bangunan, dan fasilitas penunjang seluas 22.300 m2, panjang 147 m2 dan lebar 128 m2, dengan kapasitas jama’ah sebanyak 59.000 orang. Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dipasok kekuatan listrik sebesar 1 megawatt. Masjid Al-Akbar memiliki kelengkapan sarana prasarana yang memadai, seperti parkir yang luas, perpustakaan, ruang belajar untuk Ma’had ‘Aly (Perguruan Tinggi), radio SAS FM, Poliklinik, Klinik Islami (Bekam), Sekolah untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), play group, dan Taman Kanak-Kanak (TK). Visi Masjid Nasional Al-Akbar adalah ingin menjadikan masjid tersebut bertaraf nasional, terdepan dalam dakwah dan syiar Islam, pengembangan pendidikan, dan sosial budaya, ditopang dengan manajemen andal untuk menuju masyarakat yang berakhlak mulia. Dengan melihat misi tersebut, Masjid Nasional Al-Akbar membuat misi meliputi: a.
pelayanan kegiatan peribadatan/dakwah
b.
mewujudkan syiar Islam
c.
menyelenggarakan pendidikan Islam
d.
mewujudkan kesejahteraan umat
e.
mengembangkan budaya Islam
f.
mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia
g.
mewujudkan manajemen yang andal
Adapun tujuan Masjid Nasional Al-Akbar adalah sebagai tempat sholat, dzikir, dan aktivitas ibadah lainnya, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan akad nikah, resepsi pernikahan, seminar, pameran, wisata religi, manasik haji, kajian atau diklat, sosial ekonomi, budaya Islam, dan PAUD dan Ma’had Aly.
52
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Status kelembagaan atau badan hukum dari Masjid Nasional Surabaya ini adalah Badan Pengelola dengan Surat Keputusan (SK). Pemerintah Provinsi, dan status kepemilikan asset adalah asset pemerintah Kota Surabaya. Status asset tanah seluas 11, 2 ha tersebut sesuai kesepakatan, selama fungsi dan tujuannya diperuntukkan untuk masjid, maka akan tetap demikian. Secara struktur organisasi, Masjid Nasional Al-Akbar dipimpin oleh direktur utama. Direktur utama membawahi empat direktur, yaitu Direktur Idarah, Direktur Imarah-Ijtimaiyah, Direktur Shiyanah, dan Direktur Ma’had Ali. Direktur Idarah membawahi lima bagian, yaitu Bagian Administrasi dan Umum, Bagian Keuangan, Bagian Usaha, Bagian Pengamanan dan Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol. Adapun Direktur Imarah-Ijtimaiyah membawahi empat bagian, yaitu Bagian Ibadah dan Dakwah, Bagian Sosial dan Remaja Masjid, Bagian Pembinaan Keluarga dan Kewanitaan dan Bagian Kajian, Pendidikan dan Pelatihan. Direktur Shiyanah membawahi tiga bagian, yaitu Bagian Perencanaan dan Pengembangan, Bagian Pembangunan dan Perawatan dan Bagian Perlengkapan dan Peralatan. Sedangkan Direktur Ma’had Ali sendiri membawahi tiga bagian, yaitu Bagian Sekretariat Ma’had Ali, Bagian Pendidikan dan Pengajaran Ma’had Ali dan Bagian Monitoring dan Evaluasi Ma’had Ali. Saat ini direktur utama dipimpin oleh Drs. H. Endro Siswantoro, Msi dengan wakilnya bernama Ir. H. Moch Djaelani, MM. Adapun Direktur Idaroh diketuai oleh Drs. H. Kasno Sudaryanto, M.Ag., Direktur Imarah-Ijtimaiyah diketuai Drs. H. M. Roziqi, MM, MBA., Direktur Shiyanah dipimpin Ir. H. Moerhanniono, MT, dan Direktur Ma’had Ali dibina dan dipimpin Prof. Dr. H. M. Roem Rowi, MA.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
53
Bagan 1. Struktur Organisasi Masjid Nasional Al-Akbar
Akses jalan dan transportasi dari dan menuju MAS berdekatan dengan jalan utama, yaitu Jl. Ahmad Yani yang menuju Kota Surabaya dan ke arah luar Kota Surabaya. Di samping itu juga terdapat akses jalan alternatif yang dapat ditempuh menuju Masjid Nasional Al-Akbar, yaitu jalan tol Surabaya-Malang dan sebaliknya serta jalan tol ke arah Bandara Internasional Juanda. Kendaraan umum berupa angkutan kota, dan bus dapat diakses dengan mudah mengingat letak Masjid Nasional Al-Akbar yang secara letak geografis berada di dekat perbatasan antara Surabaya dan Sidoarjo, di mana letak tersebut terdapat terminal bus Purabaya Surabaya.
54
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
2.
Aset Masjid Nasional Al-Akbar Pengelolaan Aset Fisik, dan Finansial Masjid Nasional Al-Akbar Sejalan dengan makin berkembangnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang mendukung aktivitas Masjid Nasional Al-Akbar, maka manejemen Masjid Al-Akbar melakukan pengembangan dan inovasi baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah maupun swasta untuk memberikan pelayanan yang baik kepada jama’ah dan pengunjung Masjid Nasional Al-Akbar. Masjid Nasional Al-Akbar dengan bangunan fisik dan luas bangunan 22.300 m2 dan lebar 128 m2 berdiri di atas tanah seluas 15.800.000 m2, memiliki berbagai fasilitas yang mampu menopang kegiatan Masjid Nasional Al-Akbar. Masjid Nasional Al-Akbar memiliki menara dengan tinggi 99 didukung dengan penyedia’an kantin dan lift. Fasilitas ini dapat dinikmati dengan membayar infak tiket 5.000, dan pelayanannya dimulai pukul 08.00-17.00 WIB. Dalam struktur bangunan terdapat tingkatan lantai dan ruangan-ruangan. Pada lantai dasar terdapat beberapa ruangan, di antaranya: a.
ruang Unit Layanan Terpadu (UPT)
b.
ruang Pendidikan dan Pelatihan yaitu Ma’had ‘Ali, Paud, Kelompok Bermain, Raudhatul Athfal, dan Kajian Agama
c.
ruang Perpustakaan
d.
poliklinik, yang melayani poli umum, poli gigi, dan bekam
e.
ruang Siaran Radio Suara Al-Akbar Surabaya (SAS FM), pada frekuensi 107,5 MHz
f.
koperasi karyawan Masjid Al-Akbar yang di dalamnya terdapat kantin dan minimart
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
55
g.
ruang AFADA, menyediakan berbagai macam souvenir dan wedding aksesoris lainnya
h.
ruang multi fungsi muzdalifah, di dalamnya bisa di manfaatkan untuk acara resepsi pernikahan, seminar/pelatihan dan acara lainnya
i.
ruang computer untuk pelatihan internet
j.
gudang Masjid Nasional Al-Akbar yang menyimpan logistik keperluan Masjid Nasional Al-Akbar.
Di lantai I adalah ruang utama untuk kegiatan ibadah, akad nikah, ceramah agama, dan kajian lainnya, sementara lantai II adalah gedung Al-Marwah dan ash-Shofwa yang dapat dimanfaatkan untuk resepsi pernikahan, seminar dan kegiatan kajian atau lainnya. Untuk kenyamanan dalam bersuci, Masjid Nasional Al-Akbar menyediakan air dengan kapasitaas besar yang dapat dimanfaatkan untuk berwudu, dan fasilitas kamar mandi, toilet, dan perawatan tanaman di taman-taman milik Masjid Nasional Al-Akbar. Fasilitas ini dipenuhi dengan keran wudhu berjumlah 577 buah, kamar mandi berjumlah 39 buah, kamar kecil (toilet) berjumlah 28 buah, tempat buang air kecil pria berjumlah 37 buah, dan wastafel berjumlah 31 buah. Untuk memfasilitasi pelayanan komunikasi baik internal maupun eksternal telah tersedia line pesawat telepon ± 40 ekstension. Dalam pengelolaan lingkungan sebagai bentuk pengamanan dan mengantisipasi bahaya kebakaran, MAS telah menyediakan tabung kebakaran (APAR) sejumlah 24 buah tabung kecil dan satu buah tabung besar. Untuk pengelolaan sampah MAS telah memiliki tempat pengelolaan kompos sendiri yang berada di halaman sisi Selatan. Untuk pengelolaan air limbah Masjid Nasional Al-Akbar telah mempunyai 2 lokasi IPAL (Instalasi Pengelolaan Air limbah), yaitu di halaman sisi selatan dan sisi utara. Limbah dari poli klinik pengelolaannya dilakukan dengan mengadakan perjanjian kerjasama dengan CV. Rojokoyo yang menangani jasa pembakaran sampah medis.
56
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Untuk menjaga kenyamanan jama’ah, dan kebersihan, sebagai bahan evaluasi kinerja, pihak Masjin Nasional Al-Akbar juga menjalankan survei untuk mengetahui pandangan masyarakat atas kinerja fasilitas yang dilakukan pihak Masjid Nasional Al-Akbar.28 Untuk fasilitas pengamanan Masjid Nasional Al-Akbar melakukan pengamanan selama 24 jam, fasiitas parkir yang dimiliki dapat menampung parkir bus sebanyak 100 unit, parkir mobil 1.110 unit, dan parkir sepeda motor 1500 unit. Dengan struktur bangunan yang indah, luas aset masjid yang mencapai 11,2 ha, dan fasilitas ruangan serta kegiatan baik dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial, kesehatan, perawatan serta pembangunan, maka tentunya biaya operasional yang dibutuhkan Masjid Nasional Al-Akbar juga tinggi. Dalam pengakuan yang dijelaskan oleh Direktur Utama, bahwa biaya yang dibutuhkan dalam setahun dapat menghabiskan anggaran sebesar 9-10 milyar rupiah.29 Untuk memenuhi anggaran yang besar tersebut, karena biaya operasional Masjid Nasional AlAkbar dalam sebulan mencapai angka 250 juta rupiah. Untuk biaya pembayaran listrik selama bulan ramadhan dapat menghabiskan biaya sebesar 60 juta rupiah. Dalam rangka menunjang pembiayaan operasional Masjid Nasional Al-Akbar, di samping adanya dukungan 28 Sebagai misal Survey Indek Kepuasan Masyarakat (IKM) yang dilakukan oleh Masjid Nasional Al-Akbar tahun 2013 periode survey 1-30 juni 2013, menjelaskan hasil yang menurut pengunjung bahwa fasilitas kebersihan, keamanan, dan fasilitas lainnya dirasakan dengan pelayanan baik. Fasilitas wudhu dengan Indek Kepuasan Masyarakat sebesar 70.44975 dengan predikat baik, fasilitas kebersihan, Indek kepuasan masyarakat 78.53775 dengan predikat baik, fasilitas parkir Indek kepuasan masyarakat sebesar 74.8695 dengan predikat baik, fasilitas dan pelayanan dakwah Indek kepuasan masyarakat sebesar 72.846 dengan predikat baik, keamanan memiliki Indek Kepuasan Masyarakat sebesar IKM 69.49125 dengan predikat baik, akad nikah dengan Indek kepuasan masyarakat sebesar 81.80975 dengan predikat sangat baik, dan unit resepsi dengan Indek kepuasan masyarakat sebesar 75.41975 dengan predikat baik. 29 Biaya yang dibutuhkan 9-10 Milyar tersebut, peneliti belum mendapatkan perincian pastinya, namun dalam keterangan terpisah pada waktu FGD, biaya operasional Masjid Nasional Al-Akbar menghabiskan sedikitnya 6 milyar rupiah. FGD antara Masjid Nasional Al-Akbar, Masjid AL Falah, dan tim peneliti pada tanggal 27 Mei 2014.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
57
pemerintah Provinsi dan pemerintah daerah, meskipun dalam realisasi bantuan yang diberikan tidak terlalu besar, yaitu sejumlah 30 juta per bulan dari dana APBD, maka pihak pengurus dalam hal ini menggali sumber-sumber pendapatan mandiri yang berasal dari infaq, yaitu di antaranya infaq tiket menara, infaq penyelenggaraan resepsi dan akad nikah, infaq parkir, dan penitipan sandal, dan infaq pemakaian sarana dan ruangan yang ada di Masjid Nasional Al-Akbar. Terkait pengeolaan keuangan, baik penerimaan, dan pengeluaran, Masjid Nasional Al-Akbar menggunakan manajemen satu pintu. Keuangan ini ditangan oleh dua bendahara, bendahara pertama khusus menangani uang masuk, dan bendahara kedua, khusus menangani uang keluar. Setiap instansi dan pimpinan atau ketua di Masjid Nasional Al-Akbar tidak dibenarkan mengelola keuangan atau memegang keuangan sendiri-sendir, uang keluar harus memiliki mekanisme yang benar sebagai wujud manajemen yang transparan dan mencegah adanya penyalahgunaan atau moral hazard.
Kondisi Sumberdaya Manusia, dan Jama’ah Masjid Al-Akbar Sumberdaya manusia Masjid nasional Al-Akbar dikelola dengan menggunakan manjemen modern yang dikenal dengan sistem menejemen mutu ISO 9001:2008. Sesuai dengan struktur organisasi yang diulas di atas, bahwa Masjid Nasional Al-Akbar dipimpin oleh direktur utama dengan membawahi empat direktur, yaitu Direktur Idarah, Direktur Imarah-Ijtimaiyah, Direktur Shiyanah dan Direktur Ma’had Ali. Secara keseluruhan SDM yang dimiliki Masjid Nasional Al-Akbar berjumlah 130 pengurus. Para pengurus yang ada di Masjid Nasional Al-Akbar dikenalkan dengan organisasi modern, dengan sama-sama menginternalisasi visi, misi, dan job dascription masing-masing bidang. Untuk menunjang terpenuhinya SDM yang profesional Masjid Nasional Al-Akbar bekerjasama dengan perusahaan Petrokimia Gresik untuk memberikan bantuan berupa pelatihan
58
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
SDM. Dalam menjalankan misinya, sebagai contoh bagian kebersihan, dan semua stakeholder yang ada di Masjid Nasional AlAkbar penting untuk diketahui bahwa lingkungan Masjid Nasional Al-Akbar harus dijaga dengan memperhatikan kriteria rawat, rajin, dan resik. Untuk karyawan tetap mendapat honor tetap, dan dibayarkan setiap bulan. Adapun karyawan kontrak digaji seminggu sekali. Karyawan kontrak ini berjumlah sekitar 100 karyawan, biasanya adalah mereka yang menangani kebersihan, dan mekanik. Adapun jumlah jamaah Masjid Nasional Al-Akbar menyesuaikan menurut kegiatan yang dilaksanakan, pada kegiatan sholat lima waktu, jumlah jamaah berkisar ±1000 jama’ah, sholat Jum’at mencapai ± 10.000 jamaah, sholat Idul Fitri mencapai ± 60.000 jamaah, sholat Idul Adha mencapai ± 60.000 jamaah, dzikir akbar atau istighosah yang dilaksanakan mencapai ± 20.000 jamaah, kunjungan terkait wisata religi mencapai angka ± 1000 orang perhari, pengunjung festival, atau bazar menyerap pengunjung sedikitnya ± 3000 orang. Pada kajian agama yang diadakan oleh menyentuh pengunjung ±1000 jamaah, perkuliahan mahasantri Ma’had Aly perhari diikuti oleh ± 100 Mahasiswa dan resepsi pernikahan yang diadakan dapat menyerap pengunjung ± 5000 orang perbulan. Jalan sehat dakwah yang dilaksanakan diikuti oleh peserta sebanyak ± 10.000-15000 orang peserta. Pasar untuk PKL yang difasilitasi oleh Masjid Nasional Al-Akbar, untuk 600 pedagang dapat menyerap pengunjung sebanyak ± 5000 orang. Event ini biasanya dilakukan perminggu. Adapun PKL harian dengan stand yang didirikan mencapai 70 stand, dapat mendatangkan pengunjung sebanyak ± 1000 orang. Data-data tersebut adalah estimasi atau perkiraan, terkadang mencapai target pengunjung atau jamaah menurut yang diperkirakan, terkadang juga jauh dari target. Namun, pada bulan ramadhan, PKL dan keramaian masjid Nasional Al-Akbar,
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
59
sesuai rekam yang dilakukan dapat dikatakan hampir setiap hari selalu dipenuhi pengunjung.
Aset Modal Sosial Masjid Nasional Al-Akbar Untuk menggali aset modal sosial Masjid Nasional AlAkbar, penulis menggunakan empat indikator adanya modal sosial, yaitu trust, jaringan, penguatan norma, dan resiprositas. Keempat hal tersebut dijadikan tolok ukur untuk menilai kekuatan modal siosial dari Masjid Nasional Al-Akbar. a.
Trust di Masjid Nasional Al-Akbar Trust dalam pemahaman sosiologis diartikan sebagai sebuah hubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu pihak atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial. Fungsi trust di sini adalah kemauan melakukan sebuah hubungan baik.30 Adapun dalam pembagiannya, trust dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu pertama, tingkatan individual (self trust). Kedua, relasi sosial (relationship trust), dan ketiga pada tingkatan sistem sosial. Untuk melihat trust di Masjid Nasional Al-Akbar, peneliti akan mengkaji dalam beberapa sisi, yaitu internal, dan ekstenal. Dari sisi internal, wujud daripada adanya trust adalah efektifnya jajaran organisasi yang dikelola. Model dan alur sistem yang dijalankan oleh organisasi ini sangat berjenjang, dan masing-masing memiliki kewenangan serta batasan dalam menentukan sebuah keputusan. Pada level direksi, semua kegiatan yang menjadi program masjid memiliki penanggung jawab masing-masing. Kegiatan evaluasi juga kerap dilakukan sebagai bentuk perbaikan, dan tolok ukur keberhasilan suatu agenda. Dalam pengamatan peneliti karyawan yang ada di unit-unit kerja di Masjid
R.M.Z. Lawang, Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar (Depok: FISIP UI Press), 36. 30
60
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Nasional Al-Akbar memang melakukan kegiatan mereka sesuai dengan yuridiksi kewenangannya. Dalam upaya menjaga kedekatan, antara pimpinan dan karyawan, direktur utama, Endro Siswantoro mengaku bahwa dirinya menekankan agar tidak ada jarak antara atasan dan bawahan, istilah anak buah tidak dikenal dalam kepemimpinannya. Lebih lanjut Bapak Endro menjelaskan, meskipun membaur, tetapi harus efektif peran dan fungsinya.31 Kemampuan mengelola sisi internal supaya memiliki tingkat soliditas tinggi adalah kunci terbentuknya trust di antara mereka. Kepedulian direksi dalam memperhatikan karyawan, baik yang sakit maupun memberikan penghargaan bagi karyawan yang memiliki kinerja baik juga mempengaruhi loyalitas, dan kepercayaan karyawan. Bapak Drs. HM. Ghufron Ihsan, M.Pd.I, selaku Kepala Bagian Sosial, dan remas menjelaskan bahwa bagi karyawan yang sakit mendapat bantuan pengobatan dari masjid.32 Penanaman nilai-nilai seperti keikhlasan, dan tauhid serta melakukan sebuah pelatihan sumberdaya manusia dipahami oleh Direktur Utama Masjid Nasional Al-Akbar sebagai sebuah langkah yang tepat untuk meningkatkan trust di sisi internal dan eksetrnal. Kemampuan sisi internal dalam mengelola tanggungjawabnya menjadi dasar lahirnya trust dalam skala yang lebih luas khususnya ditingkat masyarakat. Pada tingkatan masyarakat, animo kunjungan menuju Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya menunjukkan tren yang tetap stabil, meskipun ada momen di mana kunjungan menuju Masjid Al-Akbar naik dengan jumlah pengunjung yang banyak. Kesadaran masyarakat untuk menyisihkan sebagian 31 Wawancara dengan Direktur Utama Masjid Nasional Al-Akbar, Drs. H. Endro Siswantoro, M.Si, tanggal 11 mei 2014 M pukul 14.00 WIB. 32 Wawancara dengan Kepala bagian Sosial, dan Remas, Bapak Drs. HM. Ghufron Ihsan, M.Pd.I, tanggal 28 Mei 2014 pukul 13.00 WIB
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
61
dari kekayaannya juga termasuk tinggi, hal ini dapat dilihat dari perolehan dana infaq kotak Jum’at yang mencapai angka 50 juta setiap selesai sholat Jum’at. Ditingkat pemerintahan kota juga melihat dan memberikan apresiasi atas usaha keras yang dilakukan oleh jajaran pengurus Masjid Nasional Al-Akbar dengan berbagai penghargaan seperti penghargaan masjid dari Wali Kota Surabaya dengan Nomor 003.3/334/436.2.1/2004 sebagai Juara Satu Lomba Toilet Public 2004 kategori objek wisata dalam rangka hari jadi Kota Surabaya ke-711 tahun 2004; Piagam Penghargaan Wali Kota Surabaya sebagai Juara Ketiga objek wisata terbaik tahun 2012 untuk katergori informasi komunikatif dalam rangka Surabaya Tourism Destination Award, dan Piagam Penghargaan sebagai objek wisata favorit tahun 2012 dalam rangka Surabaya Tourism Destination Award. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa trust yang terbentuk di Masjid Nasional Al-Akbar dalam kondisi yang baik, namun peneliti memberikan sebuah catatan bahwa sistem masjid yang memiliki manajerial bagus dalam sisi hierarki birokrasinya, tidak serta merta memiliki kemampuan efektif dalam melayani masyarakat, apabila sikap-sikap yang menjadi dasar daripada emotional qoution, kecerdasan emosional tidak diasah dan dikembangkan. Kemampuan manajerial harus seiring dengan pemahaman yang utuh dan sikap responsif terhadap hal apapun yang sekiranya patut diperbaiki, baik oleh tingkatan individu, tingkatan komunitas maupun tingkatan sistem sosial siuatu lembaga. Tidak efektifnya pelayanan dengan tidak memperhatikan sikap responsibilitas, dan pelayanan yang seutuhnya terhadap masyarakat hanya akan memunculkan sikap ketidak percayaan dan pola seperti ini menjadi rangakain bola salju, yang pada akhirnya meluas dan memunculkan proses ketidakpuasan.
62
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
b.
Jaringan Masjid Nasional Al-Akbar Sebagai masjid milik pemerintah, Masjid Nasional AlAkbar memiliki jaringan yang luas baik di tingkat kota, nasional, maupun internasional. Namun dari sekian jaringan tersebut, tentunya berpotensi jaringan tersebut aktif dimanfaatkan, dan sebagiannya menjadi jaringan pasif. Namun dalam pengamatan peneliti, sejauh ini pola jaringan yang dikelola Masjid Nasional Al-Akbar efektif membuat masjid tersebut survive dan tetap bertahan di tengah tantangan besarnya dana operasional dan biaya perawatan masjid yang memiliki bangunan dan ornamen indah tersebut. Kemampuan direksi mengelola jaringan tersebut dapat diilihat dari berjalannya komunitas-komunitas di dalam internal masjid di setiap bidang. Walaupun peneliti belum begitu mendalami sejauh mana interaksi antar komunitas di Masjid Nasional Al-Akbar berperan terhadap penguatan institusi masjid secara lebih jauh, namun peneliti dapat melihat jaringan-jaringan yang ada tersebut bekerja sesuai porsi kewenangannya masing-masing. Di tingkat pemerintahan kota, Masjid Nasional Al-Akbar tentu mendapat tempat, dengan prestasi yang diukir oleh masjid tersebut dalam berbagai event dan acara yang dihelat oleh piihak pemerintah kota. Potensi kedekatan tersebut memiliki sejumlah manfaat, tentunya hal ini menjadi sebuah aset yang baik bagi Masjid Nasional Al-Akbar. Beberapa pendekatan tentu harus dijalankan agar arus transportasi dapat melewati wilayah masjid yang membuat masyarakat memiliki kesempatan besar untuk singgah dan berkunjung. Ditingkat masyarakat, Masjid Nasional Al-Akbar tidak hanya menjadi ikon kota, namun di antara mereka juga memanfaatkan jasa yang ditawarkan oleh masjid baik itu bidang keagamaan, pendidikan, sosial maupun kesehatan. Hubungan yang terjalin antara masjid dengan masyarakat luas tersebut menjadi potensi dan kekuatan masjid. Jaringan internasional juga menjadi sebuah pilihan yang dilakukan oleh direksi Masjid Nasional Al-Akbar, sebagai upaya Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
63
melakukan komunikasi dan kerjasama yang saling menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari adanya bantuan pemerintah Turki yang memberikan karpet untuk di dalam ruang utama masjid. Dari ulasam tersebut dapat dijelaskan bahwa jaringan yang dimiliki oleh Masjid nasional Al-Akbar telah malampaui bridging social capital (modal sosial yang menjembatani) menuju linking social capital. Potensi jaringan yang luas tersebut perlu diimbangi dengan sikap-sikap yang profesional untuk menyambut dan memelihara jaringan yang ada.
c.
Penguatan Norma Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lahirnya trust, dan jaringan, norma memegang peranan yang penting, norma tersebut memiliki kekhasan antara satu institusi dengan institusi lainnya. Terkait penanaman norma yang dilakukan oleh Masjid Nasional Al-Akbar berkorelasi dengan kode etik modern sebagai nilai yang mereka tekuni saat ini. Hal ini mereka lakukan dalam upaya menjadikan pelayanan masjid nasional profesional dan memiliki manajemen modern. Meskipun demikian terdapat kesamaan nilai antara Masjid Nasional Al-Akbar dengan masjid lainnya, yaitu sistem nilai ajaran agama tetap menjadi panduan utama. Dalam menanamkan nilai sebuah lembaga perlu memahami bahwa nilai dapat digali dan dapat pula dihancurkan. Untuk itu perlu adanya value culture yang penting bagi sebuah lembaga, dalam upaya mencari dan menanamkan kesamaaan pandangan bahwa misi utama lembaga masjid adalah menciptakan kata’atan kepada ajaran dan nilai-nilai agama. Keberhasilan sebuah institusi masjid menanamkan nilai-niali keagamaan diinternal dan masyarakat dapat memberikan kekuatan tersendiri bagi keberadaan masjid tersebut.
64
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Terkait Masjid Nasional Al-Akbar, kesamaan visi bahwa masjid adalah tempat beribadah, dan ingin menjadi garda terdepan dakwah dan syiar Islam, maka proses internalisasi nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari kegiatankegiatan ibadah, kajian keagamaan, sosial, kesehatan, dan lain sebagainya. Kegiatan yang mereka laksanakan secara tidak langsung menginternalisiasi nilai-nilai yang dibawa Masjid Nasional Al-Akbar. Internalisasi norma dapat pula dilakukan dengan proses kerjasama antarindividu dalam sebuah kelompok. Belajar bersama dalam kelompok (learning group) dapat meningkatkan hasil kerja kelompok dan perasaan menyatu dalam sebuah institusi. Terdapatnya komunitas, dan bagian-bagian dalam masjid, dan adanya kerjaama masingmasing individu di lingkungan Masjid Nasional Al-Akbar memberi sebuah proses pembelajaran dan pembentukan kepercayaan di antara mereka.
d.
Resiprositas di Masjid Nasional Al-Akbar Terkait analisis peneliti melihat resiprositas (hubungan timbal balik), saling tukar menukar kebaikan di lingkungan Masjid Nasional Al-Akbar dapat dilihat dari Pertama, usaha Masjid Al-Akbar dalam memberikan pelayanan. Kedua, perhatian pengurus kepada para karyawan yang tertimpa sakit atau musibah. Ketiga, peran aktif jamaah dalam memberikan dana infaq kepada Masjid Nasional AlAkbar. Dalam penjelasan yang lebih rinci, resiprositas yang dimaknai sebagai sebuah hubungan timbal balik yang dilakukan baik antarindividu di internal pengurus masjid, maupun hubungan timbal balik masjid dengan masyarakat atau lebih khusus lagi kepada jamaah tidak selalu disikapi dengan proses tawar menawar fasilitas yang dimiliki masjid untuk dimanfaatkan oleh jama’ah, tetapi lebih dari sekedar itu, yaitu upaya pengurus Masjid Nasional Al-Akbar yang
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
65
melakukan pelayanan baik dalam bidang ibadah, keagamaan, pendidikan, sosial maupun kesehatan. Proses yang dilakukan pihak Masjid Nasional AlAkbar sejauh ini peneliti pandang cukup baik, dan Masjid Nasional Al-Akbar sebagai ikon Kota Surabaya manfaatnya cukup pula dirasakan oleh masyarakat. kehadiran masjid di tengah-tengah keramaian Kota Surabaya kemudian disambut oleh masyarakat dengan melakukan hubungan timbal balik yang menguntungkan kedua belah pihak seperti halnya mengikuti kajian-kajian yang dilakukan, mengunjungi dan berkontribusi secara aktif meramaikan kunjungan di Masjid Nasional Al-Akbar. Dari semua ulasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aset modal sosial di masjid nasional relatif terjaga dan dalam kondisi yang baik. Peran aktif pengurus menjaga stok modal sosial di masyarakat atas Masjid Nasional Al-Akbar perlu dipelihara dengan terus memberikan pelayanan dengan baik supaya modal sosial yang dimiliki berkontribusi bagi pengembangan Masjid Nasional Al-Akbar.
3.
Model Pemberdayaan Masjid Nasional Al-Akbar Melalui desain organisasi yang baik, dalam artian sebagai kelembagaan modern, pengelolaan Masjid Nasional Al-Akbar dalam melayani jamaah dari sisi bidang kebersihan, ketertiban, keamanan, dan kegiatan keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan sosial lainnya dinilai baik dan tertib. Dalam beberapa kegiatan yang dibawahi oleh direktorat juga dapat dilihat fungsinya berjalan. Peran aktif fungsi dan bagian pada strukur organisasi di Masjid Nasional Al-Akbar dalam memberikan pelayanan peneliti pandang sebagai upaya masjid melakukan sebuah pemberdayaan kepada masyarakat. Pelayanan di bidang keagamaan, selain proses pelayanan ritual keagamaan. Masjid Nasional Al-Akbar secara aktif memberikan pemahaman dan kesadaran keagamaan
66
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
kepada mastyarakat dalam berbagai level usia. Seperti halnya adanya dialog pendalaman setelah khutbah Jum’at dilakukan; pengajian dengan pendalaman pada bidang kajian rumpun ilmu agama, baik fiqh, tafsir, hadis, perbandingan agama, peradaban islam, ekonomi, dan kesehatan setiap hari baik itu dilakukan setelah sholat shubuh, setelah sholat maghrib, setelah sholat isya, dan kajian pada waktu dhuha. Kegiatan ini dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Di bidang pendidikan, Masjid Nasional Al-Akbar saat ini memiliki beberapa saluran, yaitu KB (Kelompok Bermain) TK, dan Ma’had Ali selevel dengan perguruan tinggi. animo masyarakat atas fasilitas ini dirasakan cukup baik megingat siswa baru yang mengikuti kegiatan di tingkat KB dan TK meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu dengan jumlah siswa baru untuk KB sebanyak 75 siswa, dan siswa baru pada tingkatan RA sebanyak 135 siswa. Di bidang kesehatan Masjid Nasional Al-Akbar rutin menyelenggarakan senam dakwah, jalan sehat dakwah, memberikan pelayanan kesehatan dengan adanya klinik yang dipungkut biaya sebesar Rp. 10.000,00. Masjid Nasional Al-Akbar juga memberikan pelayanan mobil jenazah gratis. Pemberdayaan dalam bidang sosial dilakukan oleh Masjid Nasional Al-Akbar dengan menghimpun dan menyalurkan zakat, bahkan target program Masjid Nasional AlAkbar adalah menjadikan para mustahik (penerima zakat) menjadi muzakki (pemberi zakat). Kegiatan tersebut dilakukan dengan memberikan bantuan baik berbentuk modal usaha ataupun barang kepada masyarakat yang tidak mampu. Pola membentuk seorang mustahik menjadi muzakki dilakuakan dengan cara bantuan usaha yang diberikan kepada mereka dengan harapan usaha mereka berkembang dan dapat melakukan infak kepada masjid menurut kadar kemampuannya. Masjid tidak mematok besaran infak, besaran infak dilakukan atas kesadaran dan kemampuan penerima bantuan usaha. Kegiatan ini menurut bapak Gufron selaku bagian sosial dirasakan berhasil mengangkat himpitan ekonomi di Kota Surabaya bagi masyarakat lemah. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
67
Gambar 2: Program Zakat Maal Produktif Masjid Nasional AlAkbar
Sumber: foto peneliti, 2014 Kegiatan pemberdayaan dalam zakat ini juga dapat berupa beasiswa pendidikan, pemeberian santunan bagi yatim piatu, bantuan korban bencana alam, pengobatan gratis, perbaikan masjid dan musholla, penyebaran wakaf Al-Qur’an, dan pemberian sembako kepada delapan asnaf. 33 Selain itu, masjid juga memberikan bantuan zakat kepada ibnu sabil, mereka yang kehabisan biaya dalam perjalanan, ataupun mereka yang tertimpa musibah di perjalanan di kota Surabaya. Masjid memberikan bekal bagi ibnu sabil untuk biaya transportasi menuju rumah asal. Bagi para donatur, Masjid Nasional Al-Akbar juga memberikan pelayanan gratis berupa belajar membaca dan menulis Al-Qur’an, konsultasi zakat, dan syariah, bimbingan keluarga sakinah, bimbingan keluarga pra nikah, bimbingan manasik haji, kajian rutin, dan mendapatkan majalah Al-Akbar. Masjid Nasional Al-Akbar juga memberikan nilai lebih kepada masyarakat sekitar masjid dengan naiknya harga tanah sebelum berdirinya masjid. Menurut Direktur Shiyanah, Bapak Mardiono, harga tanah apabila sesuai NJOP sebesar 1,3 juta untuk satu meter persegi, namun realita saat ini masyarakat dapat 33
68
Mereka yang berhak menerima zakat dalam Islam.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
melepas aset tanah mencapai 10 juta untuk setiap meter persegi. Aset tanah di sekitar masjid yang merupakan masih milik masjid juga dapat dimanfaatkan secara gratis oleh masyarakat dalam berdagang. Kebaikan masjid kepada masyarakat tersebut adalah sebuah bentuk pemberdayaan kepada masyarakat, dan kepedelian masjid dalam bidang pembangunan ekonomi.
4.
Faktor Pendukung dan Penghambat Menurut uraian di atas dapat dijelaskan kembali beberapa faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan Masjid Nasional Al-Akbar. Faktor pendukung dapat dilihat dari sistem manjeman yang dimiliki oleh Masjid Nasional Al-Akbar memiliki keunggulan, karena dijalankan dengan profesional. Hal ini dapat dilihat dari sertifikat ISO yang dimiliki masjid tersebut. Stok modal sosial yang baik juga berperan bagi pengembangan pelayanan masjid. Hubungan yang terjalin baik antar stakeholder dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masjid. Adapun faktor penghambat yang peneliti lihat sejauh ini dapat dilihat dari beberapa segi. Di antaranya, pertama, letak Masjid Nasional Al-Akbar yang kurang strategis menjadi sebuah hambatan bagi masyarakat untuk secara aktif mengakses masjid. Letak masjid yang jauh dari pusat kota, serta arus transportasi yang belum dilakukan sebuah rekayasa supaya dapat melewati halaman atau samping masjid menjadi persoalan tersendiri, terutama tantangan bagi pengurus untuk berusaha lebih keras bahwa kehadiran jamaah menuju masjid bukan sekadar didasari akan kemudahan sarana transportasi dan jauh dekatnya tempat tinggal. Kedua adalah labelisasi Masjid Nasional Al-Akbar sebagai masjid nasional oleh pemerintah pusat. Labelisasi ini dapat menjadi persoalan tersendiri bagi Masjid Nasional Al-Akbar apabila kontribusi negara dalam hal ini pemerintah pusat atas pengembangan masjid tidak signifikan. Dalam pengakuan pengurus Masjid Nasional Al-Akbar secara umum, pengembangan masjid tersebut saat ini lebih banyak dilakukan Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
69
oleh masyarakat dan perusahaan-perusahaan. Perlu adanya dialog untuk mencapai kata sepakat atas labelisasi masjid nasional, apakah hanya sekedar sebuah tingkatan masjid dengan klasifikasi tertentu ataukah juga mendapat perlakuan khusus dari pemerintah pusat dalam bentuk pembinaan dan pendanaan. Ketiga, perlu adanya sebuah langkah yang tepat untuk medekonstruksi atas kemampuan personalia, terutama di front office dalam melakukan sebuah pelayanan kepada masyarakat, supaya tidak terkesan memiliki jarak, elitis dan birokratis. Keempat, pengembangan fasilitas, dan instalasi penunjang seperti perguruan tinggi yang memiliki gedung tersendiri memerlukan persetujuan pemilik aset, dalam hal ini adal pemerintah kota Surabaya. Hal-hal yang kiranya menjadi penghambat dalam melakukan terobosan-terobosan pengembangan harus dideteksi secara dini supaya dapat sinergi dan berjalan sesuai program yang ditetapkan.
Penutup Dari pemaparan di atas dapat dilakukan sebuah kesimpulan bahwa masjid memiliki peran dalam upayanya melakukan pemberdayaan di masyarakat. Masjid tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ritual semata, namun dapat banyak berbuat dalam berbagai bidang. Kemampuan masjid dalam mengelola sumberdaya manusia di internal mereka, dan kemampuan mengembangkan modal sosial menjadikan sebuah masjid dapat menjalankan fungsinya. Untuk itu sebagai upaya menjaga fungsi masjid, perlu adanya penajaman mengenai kondisi sumberdaya manusia di dalamnya dengan melihat realitas manajemen yang dilakukan, dan analisis terhadap aset yang dimiliki. Bagi pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama Republik Indonesia perlu melakukan sebuah proses bimbingan dan dorongan agar hambatan-hambatan dalam proses pemberdayaan masyarakat dan pengembangan masjid dapat diatasi dengan baik. ***
70
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Annen, Kurt. “Social Capital, Inclusive Networks, and Economic Performance,” Journal of Economic Behavior and Organization Vol. 50 (2003): 449–463. Craig, Gary, dan Mayo, Magorie, “Editorial Introduction: Managing Conflict through Community Development.” Community Development Journal, Vol 2 No 33 (1995): 77-79. Field, John. 2003. Social Capital. London: Roudlege. Fukuyama, Francis, “Social Capital and The Global Economy,” Foreign Affairs, Vol. 74, No. 5, (1995): 89-103. J, M. Mawardi., “Peranan Social Capital Dalam Pemberdayaan Masyarakat Komunitas,” Jurnal Pengembangan masyarakat Islam, Volume 3, No. 2 (2007): 7. Jousairi Hasbullah, Social Capital, Menuju keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR United Press Jakarta. Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Lawang, R.M.Z. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Depok: FISIP UI Press. Tantawi, Muhammad Sayyid. “Al-Tafsir al- Wasith,”Mauqi‘ al-Tafasir, t.t, 3937. Woolcock, Michael. “Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis and Policy Framework” Theory and Society, No. 27. Vol 2 (1998): 151-208. Majalah Jendela Santri Vol 3. No 10. Desember 2011 Jendela Santri Vol 3 No 8. April 2011
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
71
Online BPS di http://surabayakota.bps.go.id/index.php?hal= publikasi_detil&id=1 Putnam, R. D. “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life,” American Prospect, 13, Spring, 35- 42. 1993, http://www.philia.ca/ files/pdf/ProsperousCommunity.pdf
72
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN MASJID DI BANJARMASIN: Membangun Jejaring untuk Memuliakan Masjid Bersejarah dan Masjid Sektoral Oleh: A. Fachruddin dan M. Ishom
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kota Banjarmasin terletak di antara 3o 15’-3o 22’ Lintang Selatan dan 114o32’-114o 38’ Bujur Timur. Kota ini sering disebut sebagai ”Kota Seribu Sungai” karena memiliki sedikitnya 117 alur sungai. Sekitar 40 sungai melintasi Banjarmasin, seperti Sungai Barito, Martapura, Kuin, Mulawarman, Alalak, Pangeran, dan Pelambuan. Kota seribu sungai ini terletak di bagian Selatan Provinsi Kalimantan Selatan pada ketinggian tempat rata-rata 0,16 meter dibawah permukaan laut dan kondisi wilayah relatif datar. Luas wilayahnya ± 98 Km2 atau 0,23% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dan memiliki batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut : Sebelah Utara
:
berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala.
Sebelah Timur
:
berbatasan dengan Kabupaten Banjar.
Sebelah Selatan
:
berbatasan dengan Kabupaten Banjar.
Sebelah Barat
:
berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala.
Luas wilayah Kota Banjarmasin terbagi dalam 5 kecamatan dan 52 kelurahan, yaitu Kecamatan Banjarmasin Utara dengan luas wilayah ± 22,25 Km2/22,7 % yang terbagi dalam 11 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Surgi Mufti, Kecamatan Banjarmasin Selatan dengan luas wilayah ± 21,18 Km2/21,6% yang terbagi dalam 11 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Kelayan Barat, Kecamatan
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
73
Banjarmasin Barat dengan luas wilayah ± 19,37 km2/19,7 % yang terbagi dalam 9 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Pelambuan, Kecamatan Banjarmasin Tengah dengan luas wilayah ± 16,66 km2/17,1 % yang terbagi dalam 12 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Teluk Dalam, dan Kecamatan Banjarmasin Timur dengan luas wilayah ± 18,54 Km2/118,9 % yang terbagi dalam 9 kelurahan dengan pusat kecamatan di Kelurahan Kuripan. Sebagai kota yang dilintasi banyak sungai, dengan kelerengan 0,13%, kehidupan masyarakat Banjarmasin seperti Kampung Apung. Keberadaan Sungai Martapura yang bermuara ke Sungai Barito, pada khususnya telah dimanfaatkan masyarakat Banjarmasin sebagai prasarana transportasi air, pariwisata, perikanan dan perdagangan. Kondisi ini mencirikan kekhasan Banjarmasin sebagai kota air, kota pelabuhan, kota perdagangan, kota pariwisata dan sekaligus Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat Kota Banjarmasin secara garis besar terdiri dari dua kelompok, yaitu masyarakat pribumi dan pendatang. Kaum pribumi adalah Suku Banjar yang merupakan mayoritas dari total penduduk Provinsi Kalimantan Selatan. Suku Banjar terdiri dari Suku Banjar Pahuluan dan Suku Banjar Batang Banyu. Kaum pendatang terdiri dari Suku Jawa, Madura, Bajau, Bugis, Cina dan Arab. Budaya dan tradisi orang Banjar adalah hasil asimilasi selama berabad-abad. Budaya tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan Islam yang dibawa oleh pedagang Arab dan Persia. Banjarmasin yang berpenduduk sekitar 625.481 jiwa dikenal taat pada ajaran agama. Sebagaimana agama yang diakui di Indonesia, semua agama ada di Banjarmasin, seperti Islam, Buddha, Hindu, Katolik, Protestan, dan Khonghucu. Agama yang pemeluknya terbesar di sini adalah agama Islam. Kondisi penduduk Kota Banjarmasin berdasarkan agama adalah sebagai berikut:
74
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Tabel 1: Jumlah Pemeluk Agama No 1 2 3 4 5 6
Agama Islam Katholik Kristen Hindu Buddha Khonghucu
Jumlah 597,556 6,484 15,095 437 4,262 122 Total 625,481 Sumber: Data Sensus Penduduk, 2010 (BPS)
Sedangkan sebaran tempat peribadatan masing-masing agama adalah Masjid/Mushalla 2.383 bangunan, Gereja Katholik 9 bangunan, Gereja Kristen 105 bangunan, Pura 91 bangunan, Vihara 20 bangunan, dan Klenteng 3 bangunan.
A. Model Pemberdayaan Masjid Sultan Suriansyah 1.
Profil Masjid Sultan Suriansyah Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin merupakan masjid pertama di antara masjid tertua yang ada di Kota Banjarmasin, semisal Masjid Besar (cikal bakal Masjid Jami Banjarmasin) dan masjid Basirih. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan ditepian kiri Sungai Kuin, yang bermuara ke Sungai Bintaro, di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara. Kawasan ini dulunya merupakan ibukota Kesultanan Banjar pertama yang dibentuk oleh Pangeran Samudera alias Sultan Suriansyah (1526-1550). Pangeran Samudera masih keturunan Raja Daha. Ayahnya bernama Raja Mantri Jaya dan ibunya Putri Galuh, putri dari Maharaja Sukarama yang memerintah di kawasan Amuntai pada 1462-1517. Maharaja Sukarama ini pernah berwasiat kelak yang menggantikannya ialah Pengeran Samudera yang waktu itu berusia sepuluh tahun. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
75
Wasiat Maharaja Sukarama ini tidak disenangi putranya Pangeran Tumenggung yang berambisi mewarisi tahta ayahnya. Hal ini mendorong Mangkubumi Daha, Arya Taranggana untuk menyelamatkan Pangeran Samudera dengan cara menyelinapkankannya dari kerajaan dan menghanyutkannya ke Sungai Martapura dengan perahu kecil. Pangeran Samudera diberi perbekalan berupa pakaian dan makanan secukupnya dan jala untuk mencari ikan, menyisiri hilir sungai di daerah Muara Bahan, Balandian, Sapatan, Tamban, dan berakhir di Kuin. Pangeran Samudera tinggal ditepi sungai Kuin, menyamar sebagai nelayan miskin yang dikenal suka membantu, sopan dan santun. Kebaikan budinya menjadi pembicaraan masyarakat sampai terdengar oleh Patih Masih. Pada akhirnya Patih Masih mengetahui bahwa pemuda nelayan itu adalah cucu Maharaja Sukarama yang mengasingkan diri. Patih Masih kemudian mengajak Patih Balit dari Balandian, Patih Muhur dari Sarapat, Patih Balitung dan Patih Kuin untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja tandingan Raja Daha yang saat itu dijabat Pangeran Tumenggung. Pengaruh Pangeran Samudera berkembang luas di seluruh wilayah muara Barito sampai Banjar Kuala. Pengaruh besar Pangeran Samudera ini terdengar oleh Pangeran Tumenggung. Raja Daha ini memutuskan untuk menghancurkan Kerajaan Banjar sehingga tak terelakkan beberapa kali terjadi pertempuran yang dimenangkan kedua belah pihak secara bergantian. Kondisi ini mendorong Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada Sultan Demak. Permohonan Pangeran Samudera ini dituruti Sultan Demak dengan syarat dirinya memeluk agama Islam. Pengislaman Pangeran Samudera dipimpin langsung oleh Khatib Dayan, ulama asal Cirebon yang diutus oleh Sultan Demak. Dalam pertempuran antara pasukan Pangeran Samudera yang dibantu pasukan Demak melawan Pangeran Tumenggung tidak ada yang menang dan yang kalah. Keduanya bersepakat damai dan
76
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
memberikan kewenangan penuh kepada masing-masing untuk memerintah kerajaannya. Semenjak itulah Pangeran Samudera dikukuhkan sebagai Raja Banjar Islam pertama dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia lalu mendirikan masjid sebagai simbol keislaman Keraton Banjar di tepi Sungai Kuin. Ketika pertama kali didirikan, masjid ini berupa panggung dengan atap tumpang tiga. Tiang masjid dibuat dari kayu halayong, sejenis palem, dan atapnya dari rumbai yang diberi hiasan sungkul dan jamang. Masjid Kuin tercatat pernah mengalami pemugaran dan perluasan pada masa Sultan Tamjidillah I (Sultan Sepuh) gelar Panembahan Badarul Alam (1734-1759). Ia selain mengganti tiang kayu halayon menjadi kayu ulin juga memperluas bangunan pada sisi mihrab, teras kanan-kiri dan teras depan masjid yang masingmasing memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk. Sehingga masjid Kuin memiliki lima atap kemuncak yang melambangkan lima rukun Islam. Peran Sultan Tamjidillah dalam pemugaran Masjid Kuin dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: “Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia” Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: “Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)” Kedua inskripsi itu menunjukkan pada hari Senin tanggal 10 Sya’ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
77
Setelah pemugaran yang dilakukan Sultan Sepuh, Masjid Kuin tercatat pernah dilakukan pergantian mimbar yang terbuat dari kayu ulin. Pada pelengkung mimbar terdapat kaligrafi berbunyi “Allah Muhammadarasulullah”. Pada bagian kanan atas terdapat tulisan “Krono Legi: Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17”, sedang pada bagian kiri terdapat tulisan: “Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri”. Ini berarti pembuatan mimbar pada hari Selasa Legi tanggal 17 Rajab 1296, atas nama Haji Muhammad Ali al-Najri. Masjid Kuin baru direnovasi kembali pada masa kemerdekaan pada 1976 yang dipelopori Kodam X Lambung Mangkurat karena komponen masjid banyak yang rusak, seperti tiang “soko guru” dari kayu ulin yang lapuk dibagian bawah tanah. Seperti dijelaskan H. Ahmad Mahfudz, seorang pengurus Masjid Suriansyah, pada saat renovasi tiang kayu ulin ujung bawahnya sudah habis dimakan rayap. Renovasi yang dilakukan Kodam X Lambung Mangkurat hanya melapisi bagian bawah tiang utama yang lapuk. Selain itu juga dilakukan penambahan ruang shalat untuk jemaah perempuan di dua sisi serambi masjid bagian depan. Pada 1978 Masjid Kuin ditetapkan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Direktur Sejarah Purbakala Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan No. 047/L.3/DSP/78, tanggal 1 September 1978. Masjid Kuin ditetapkan penamaannya dengan sebutan masjid Sultan Suriansyah. Kemudian, pada 1999 Masjid Sultan Suriansyah direnovasi kembali atas prakarsa Gubernur Kalimantan Selatan, H. Gusti Hasan Aman. Renovasi meliputi perawatan bangunan masjid dan penataan halaman sekitar masjid yang menghabiskan biaya Rp. 1.039.027.200. Renovasi masjid tidak menghilangkan bentuk maupun bagian-bagian masjid yang bernilai sejarah, seperti empat buah tiang utama dari kayu ulin, satu daun pintu kaca yang tengahnya terdapat ukiran kayu berisi inskripsi ArabMelayu, beduk, dan mimbar berukir dari kayu ulin. Sebagai gambaran arsitektur masjid, pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur
78
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur Masjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut meliputi atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi. Ciri atap meru tampak pada masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang di bawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab. Sebagai masjid bersejarah di dalam Masjid Sultan Suriansyah terdapat bangunan asli yang bernilai budaya tinggi. Masing-masing antara lain ialah tiang utama/tiang guru 4 buah, daun pintu 2 buah (sepasang), beduk 1 buah, dan mimbar khatib 1 buah. Sekarang ini, luas lahan masjid Sultan Suriansyah adalah 623 m2 yang dibatasi parit disebelah Barat dan Utara masjid serta jalan perkampungan di sebelah Selatan. Sedangkan bangunan masjidnya memiliki luas 225 m2. Masjid ini mampu menampung jemaah 750 orang, khusus di dalam masjid, sedangkan di hari-hari tertentu seperti pada saat shalat Id bisa mencapai 2.000 orang jemaah. Adapun pada pelaksanaan shalat lima waktu di hari-hari biasa jemaah yang hadir sekitar 100 orang.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
79
Di samping bangunan masjid, di atas lahan masjid juga telah berdiri bangunan perpustakaan dan sekretariat yang tersambung langsung dengan bangunan masjid, Pemancar Radio FM Kerjasama dengan Radio Madinatus Salam, bangunan TK/TPA, bangunan tempat wudhu dan MCK, garasi mobil ambulance dan mobil pemadam kebakaran, serta bangunan pos jaga. Pengelolaan masjid ini dilaksanakan oleh Badan Pengelola Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah dengan Surat Keputusan (SK) dari Walikota Banjarmasin, yaitu SK Nomor: 005/A/BPMMSS/VI/2012, tertanggal 6 Juni 2012. Pengelola terdiri dari Penasehat, Pengurus Harian, dan bidang-bidang teknis, antara lain:
2.
a.
Bidang Pembangunan dan Pemeliharaan Sarana-Prasarana
b.
Bidang Peribadatan, Keagamaan dan Dakwah
c.
Bidang Pendidikan
d.
Bidang Sosial Masjid/BPK.
Kemasyarakatan
dan
Pemuda
Remaja
Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial Untuk mendukung operasional masjid selama ini Pengurus Masjid Sultan Suriansyah mengandalkan dari sumber dana ZIS dan tromol masjid serta bantuan dari pemerintah. Perolehan teromol masjid perjumatnya di masjid tertua ini ialah dua juta rupiah. Sedangkan bantuan yang pernah diberikan pemerintah terdiri:
80
a.
tahun 1976 renovasi masjid ditangani langsung Kodam X Lambung Mangkurat
b.
tahun 1999 renovasi dipelopori Pemprov Kalimantan Selatan (Gubernur H. Gusti Hasan Aman) dengan biaya mencapai Rp. 1.039.027.200
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
c.
tahun 2013 Pengurus Masjid Sultan Suriansyah mendapat sumbangan Rp. 30.000.000 dari Pemerintah Kota Banjarmasin untuk pembangunan MCK di sebelah Utara bangunan masjid.
Sebagai bangunan cagar budaya Masjid Sultan Suriansyah tidak memiliki kendala berarti dari sisi pembangunan dan pemeliharaan. Praktis perolehan dana ZIS dan teromol masjid hanya digunakan untuk kegiatan rutin masjid, seperti untuk petugas kegiatan peribadatan seperti imam, khatib, ustadz, muadzin, dan pembantu umum serta pembayaran listrik, air dan kebersihan. Masjid ini sebetulnya dapat dikembangkan potensinya, terutama dari aspek wisata ziarah. Masjid Sultan Suriansyah selain dikunjungi masyarakat untuk kegiatan shalat berjamaah dan kegiatan dakwah, juga sampai sekarang masih dikunjungi masyarakat dari luar wilayah, kurang lebih 100 orang perharinya untuk tujuan ziarah, wisata, dan tujuan lainnya. Di samping itu Masjid Sultan Suriansyah di setiap tanggal 12 Rabiul Awwal yang bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi SAW selalu diadakan ritual baayun. Ritual dengan cara mengayun anak, remaja sampai orang tua di atas ayunan dari kain selindang yang dihias dengan beraneka macam bunga dan buah-buahan ini bertujuan mendapat keberkahan di bulan Maulid dan mengharap cita-cita serta keinginannya supaya terkabul. Hal lain yang menjadi keunikan masjid ini ialah jemaah shalat Shubuh khususnya di hari libur membeludak. Masyarakat lokal maupun pendatang mengambil start di masjid ini untuk memulai kegiatan pasar apung di pagi hari. Hanya saja potensi ini tidak digarap secara apik. Ada semacam pandangan bahwa sebagai pranata (institution) agama Masjid Sultan Suriansyah cukup bergerak pada kegiatan yang mempunyai nilai-nilai khusus yang sakral. Hanya ruang utama dalam masjid yang paling dimakmurkan sebagai tempat peribadatan. Kesakralan ruangan dalam masjid juga dikaitkan dengan simbol-simbol filosofis yang selalu dipertahankan, walaupun bangunan fisiknya sudah dilakukan pemugaran. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
81
Misalnya Masjid Sultan Suriansah pada bagian ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella hanya digunakan untuk kegiatan peribadatan, seperti shalat, I’tikaf, tadarus Al-Qur’an, dan pengajian serta ritual khusus sesuai keyakinan pengunjung. Jemaah pun menghormati kesakralan ini, termasuk para pengunjung, mereka selalu menutupi aurat dan menjaga diri untuk tidak berbincang-bincang atau tiduran di ruang ini. Selesai melakukan kegiatan peribadatan di dalam masjid mereka sukarela ada yang menaruh infaq ke dalam tromol dan banyak yang tidak. Hal ini dikarenakan tamu yang datang tidak ditentukan harus melapor dan diberikan pemandu, sehingga terkesan kunjungan pribadi walaupun ia dari daerah lain. Berbeda halnya jika pengurus masjid membuat aturan ziarah masjid dan memberikan pelayanan secukupnya maka otomatis pengunjung akan memberikan sikap pengertian terhadap upaya pengelolaan masjid. Begitu pula dari sisi pengelolaan ruang yang dinilai profan, yakni di luar ruang utama masjid, seperti ruang serambi atau plaza masjid, halaman dan pelataran masjid. Sekalipun di Masjid Sultan Suriansyah terdapat fasilitas pendidikan TK/TPA, fasilitas perpustakaan, fasilitas siaran radio transmisi, fasilitas ambulance dan mobil pemadam kebakaran akan tetapi pengelolaannya kurang maksimal. Hal ini tampak dari sisi perawatan bangunan TK/TPA, dan fisik mobil ambulance serta mobil pemadam kebakaran yang sudah mulai usang.
3.
Kegiatan Masjid Sultan Suriansyah Masjid Sultan Suriansyah memiliki sejumlah kegiatan, antara lain:
82
a.
melaksanaan shalat wajib berjamaah dilanjutkan kuliah umum dan ceramah agama Islam
b.
melaksanaan Shalat jum’at, Shalat Id, Shalat Gerhana, shalat Tarawih, dan shalat sunnah lainnya
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
c.
melaksanakan buka bersama dan “mengintip” Lailatul Qadr pada malam 10 hari akhir Ramadan
d.
mengumpulkan dan meyalurkan ZIS dan hewan qurban
e.
memperingati Hari-Hari Besar Islam (PHBI)
f.
menyelenggarakan sunatan massal
g.
menyelenggarakan Festival Baayun Maulid
h.
melaksanakan bakti sosial gotong-royong “gawi sabumi” lingkungan di sekitar masjid dan pemakaman Sultan Suriansyah
i.
mengikuti Festival Keraton dan Masjid Bersejarah seIndonesia
j.
menyiarkan peribadatan dan dakwah melalui Radio FM
k.
menyelenggarakan pendidikan al-Qur’an (TPA/TKA) yang kini siswanya berjumlah 260 anak.
Khusus kegiatan ceramah agama, di Masjid Sultan Suriansyah dilaksanakan pada: a.
malam Sabtu, materi fiqh diasuh Ust. Abdus Satar
b.
malam Minggu, materi Hadist oleh Ust. Fahrowi
c.
malam Senin, materi umum keislaman oleh ustad-ustad dari kawasan Kuin
d.
malam Selasa, materi fiqh dan tasawwuf diisi Ust Hasan Baihaqi
e.
Kamis Siang diadakan Majelis Taklim Ibu-ibu
Di samping program rutin tersebut, pengurus Masjid Sultan Suriansyah juga telah merancang program jangka panjang,34 yaitu:
34 Hanya saja sejak pembentukan pengurus masjid dari tahun 2009 hanya ada beberapa program yang sudah direalisasikan seperti fesitival makanan kuliner Banjar yang digelar pada saat momen Maulid Nabi SAW.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
83
4.
a.
mendirikan pendidikan MI, MTs, dan MA
b.
membangun Panti Asuhan
c.
membangun Ruang Serba Guna
d.
membebaskan tanah/rumah penduduk untuk memperluas sarana-prasarana masjid
e.
membuat armada air berupa perahu wisata mengantarkan wisatawan menuju Pasar Apung
f.
menyelenggarakan Festival Masakan Kuliner Banjar
g.
menerbitkan Bulletin Masjid Sultan Suriansyah, dan lain-lain.
untuk
Faktor pendukung dan penghambat Secara umum masyarakat Banjarmasin masih menaruh perhatian dan harapan besar terhadap Masjid Sultan Suriansyah. Hal ini dibuktikan dari anggapan dan praktik sebagian masyarakat Banjar bahwa masjid ini bernilai keramat seperti untuk praktik I’tikaf, bermunajat di dekat mimbar, dan ritual yang dibungkus dalam festival Baayun. Selain faktor pendukung itu, pemberdayaan Masjid Sultan Suriansyah juga mendapat dukungan berupa bantuan pemerintah dalam statusnya sebagai bangunan cagar budaya yang harus dilestarikan. Hanya saja terdapat hambatan dalam pemberdayaan masjid bersejarah ini, yaitu:
84
a.
dukungan pemerintah tidak optimal karena menganggap pengelolaan masjid menjadi urusan warga setempat. Dalam hal ini ada semacam “kecemburuan kepentingan”, pemerintah kurang diberikan peran untuk perawatan masjid sedangkan pengurus masjid menganggap bisa mengelola masjid tetapi dengan sumberdaya kurang professional.
b.
pengurus masjid masih menerapkan pengelolaan masjid tradisional dan tidak mengembangkan aspek entertraining
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
kesejarahan masjid yang dapat memikat daya tarik wisatawan dan masyarakat luas. c.
lingkungan masjid berada di tengah-tengah pemukiman penduduk dan tepian sungai yang kurang tertata mengesankan masjid ini tak ubah seperti masjid biasa yang tidak tampak kesejarahannya.
d.
belum tergali manfaat ekonomi secara optimal yang bisa dirasakan masyarakat dari keberadaan masjid bersejarah ini. Misalnya, rintisan rute wisata air dari masjid Sultan Suriansyah sampai sekarang belum digarap secara optimal.
B. Model Pengelolaan Masjid Jami Sungai Jengah 1.
Profil Masjid Jami Sungai Jengah Salah satu saksi sejarah perkembangan Islam di Banjarmasin adalah Masjid Jami Banjarmasin yang terkenal dengan Masjid Jami Sungai Jingah Banjarmasin. Sekarang, masjid ini berdiri di Jl. Masjid RW. 2 RT. 5 No. 1 Kelurahan Antasan Kecil Timur, Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin. Dinamakan Masjid Sungai Jingah karena lokasi awal masjid berada di kawasan perkampungan tua di tepi Sungai Martapura di Banjarmasin, yakni Kampung Sungai Jingah. Toponim Kampung Sungai Jingah sebenarnya berasal dari sebuah sungai kecil bernama Sungai Jingah. Sungai ini sesungguhnya merupakan sebuah handil atau semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir/Antasan. Sungai ini bermuara di Sungai Pangeran dan mengalir menuju Sungai Andai. Penamaan Sungai Jingah kemungkinannya adalah dahulunya disepanjang sungai kecil ini terdapat banyak pohon Jingah, yakni vegetasi khas tanaman rawa di Banjarmasin dan sekitarnya. Kini Sungai Jingah menjadi pembatas kampung Sungai Jingah menjadi dua kelurahan, yakni Kampung Sungai Jingah yang menjadi bagian dari Kelurahan Surgi Mufti sehingga kini disebut Kampung Surgi Mufti, dan Kampung Sungai Jingah yang
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
85
menjadi bagian Kelurahan Sungai Jingah dan disebut sebagai Kampung Sungai Jingah. Pendirian masjid yang awalnya berarsitektur joglo di tepi Sungai Martapura tidak dapat dipisahkan karena faktor geografi Banjarmasin, yaitu terletak dipertemuan antara Sungai Barito dan Sungai Martapura. Sungai Barito yang luas dan dalam, Sungai Martapura yang dapat dilayari kapal-kapal besar, membuat kapalkapal Samudera dapat merapat hingga Kota Banjarmasin (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosu, tt:236). Kawasan ini menjadi strategis sekali untuk perdagangan, termasuk bagi pedagang muslim, sehingga timbul keinginan mendirikan masjid Sungai Jingah. Menurut data sejarah Masjid Jami Sungai Jingah dilokasi awal didirikan oleh Sultan Sepuh atau Sultan Tamjidillah I pada 1195 H (1777 M). Masjid ini lalu dipindahkan ke lokasi sekarang pada 1352 H (1934 M). Hal ini berdasarkan tulisan dalam sebuah Prasasti berbentuk plakat kuningan berlapis kaca yang melekat di mimbar masjid. Tulisan prasasti Arab-Melayu itu berbunyi: “Tarikh didirikan Masjid asal adalah hari Sabtu, 17 Syawal tahun 1195 H Sultan Tamdjidillah dan dicabut 11 Rajab tahun 1353 umurnya 157 Tahun 8 bulan 245 hari. Tarikh didirikan masjid baru hari Ahad 16 Zulhijjah 1352. Mufti H. Ahmad Kusasi”. Saksi sejarah perpindahan Masjid Sungai Jingah kelokasi sekarang ialah keberadaan sebuah beduk tua yang memiliki panjang sekitar 1,25 meter dengan diameter sekitar 1,25 meter pula yang ditempatkan di plaza sebelah Selatan Masjid Jami. Di badan beduk tertera tulisan Arab-Melayu: “Hari Sabtu 17 Syawal Tahun 1195”. Perpindahan Masjid Jami sangat dipengaruhi oleh aspek geografi. Menurut H. Husin Naparin, imam masjid, dan H. Radiansyah, Sekretaris Umum Badan Pengurus Masjid, perpindahan lokasi masjid karena adanya pelongsoran tanah disekitar masjid akibat pengikisan air sungai atau erosi air sungai Martapura. Lahan tanah Masjid Jami Sungai Jingah awalnya
86
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
merupakan tanah rawa yang becek dan digenangi air sehingga membuat bangunan yang didirikan mudah longsor. Selain itu lahan atau lokasi Masjid Jami pertama kali dinilai terlalu sempit padahal masyarakat Banjarmasin pada saat itu memerlukan tempat beribadah yang lumayan besar. Pemerintah Kolonial Belanda pun, menurut H. Husin Napirin dan H. Radiansyah, pernah berusaha menggunakan kesempatan itu untuk mengambil hati orang Banjar. Mereka berniat menyumbangkan uang hasil pajak untuk membantu pembangunan masjid baru yang diinginkan masyarakat Banjar. Kebetulan saat itu pendapatan pajak pemerintah Belanda dari hasil memeras rakyat Kalimantan sedang berlimpah, terutama dari hasil hutan seperti karet dan damar. Namun masyarakat Banjar menolak mentah-mentah tawaran itu. Bagi orang Banjar yang beragama Islam adalah haram hukumnya menerima pemberian dari penjajah Belanda, apalagi untuk pembangunan masjid. Untuk mengatasi permasalahan tersebut mereka secara swadaya dan bergotong-royong membangun tempat ibadah tersebut. Tua-muda, laki-laki dan perempuan secara bahumembahu mengumpulkan dana. Ada yang menyumbangkan tanah, perhiasan emas atau hasil pertanian, sehingga tidak lama kemudian di atas tanah seluas 2 ha berdirilah sebuah masjid yang indah dan megah sebagai tempat beribadah pada 1934. Masjid berarsitektur Banjar dan kolonial (indish) yang dibuat dengan bahan dasar kayu ulin ini diarsitektori oleh Ir. Pangeran Muhammad Nur dan diawasi Mufti H. Ahmad Kusasi. Mereka tergabung dalam “Tim Sembilan” Panitia Pembangunan Masjid baru digambarkan sebagai orang-orang terdidik yang memakai jas berwarna putih, layaknya orang-orang berpengaruh dijaman Hindia Belanda. Kemungkinan gaya hidup dan pemikiran anggota panitia pembangunan masjid mewarnai model bangunan Masjid Jami Banjarmasin berarsitektur Banjar dan Eropa.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
87
Luas masjid bagian dalam adalah 40 x 40 m2, ditambah dengan plaza diseputar masjid dan 3 pendopo sebagai pintu utama dan 38 pintu masuk. Masjid Jami ini bisa memuat 7.000 jemaah. Secara fisik, Masjid Jami masih kokoh dengan tiang utama penyangga (tiang soko guru) dari bahan kayu ulin sebanyak 17 buah, melambangkan jumlah rakaat shalat lima waktu. Tiangtiang itu menjulang menyangga atap masjid yang terbuat dari sirap berbahan kayu ulin yang berlapis tiga bermahkotakan kubah besar. Jumlah kubah Masjid Jami Banjarmasin adalah lima buah melambangkan shalat lima waktu atau rukun Islam yang lima. Bahan kayu ulin yang mendominasi infrastruktur masjid masih banyak yang asli termasuk plafon masjid bagian dalam. Bagian masjid yang sudah dirubah ialah lantai masjid, dimana dulunya dari ubin porselin tapi sejak 2010 diganti dengan lantai marmer dan keramik. Pada 2010-2011 Pemerintah Daerah (Pemda) Banjarmasin menggelontorkan dana sebanyak 14 milyar untuk renovasi Masjid Jami Banjarmasin dan penataan serta pembangunan tata ruang di sekitar masjid, yang terdiri dari: a.
bangunan menara, taman air mancur dan gerbang utama serta pos jaga di sebelah Selatan masjid
b.
bangunan MCK dan ruang kelas di sebelah Utara masjid
c.
bangunan perpustakaan, kantor secretariat, TPA/TPQ, dan klinik di sebelah Timur masjid
d.
gedung STAI Al-Jami di sebelah Timur-Tenggara masjid.
Lahan lainnya diperuntukkan untuk parkir tapi sayangnya masjid tidak memiliki lahan hijau. Sekarang ini, pengelolaan masjid dilaksanakan oleh Badan Pengurus Masjid Jami Banjarmasin Periode 2014-2016 yang terdiri dari Badan Pembina, Pengurus Harian dan bidang-bidang teknis, yakni Bidang Takmir dan Peribadatan, Bidang Pemeliharaan, Bidang Keamanan, Bidang Sosial Ekonomi dan Bidang Pemberdayaan Perempuan.
88
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
2.
Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial Untuk mendukung program kegiatan masjid, selama ini pengurus Masjid Jami Banjarmasin mengandalkan dari sumber dana ZIS dan tromol masjid, di samping donasi dari instansi pemerintah dan swasta. Di antaranya masjid ini pernah mendapat bantuan Pemda Kalimantan Selatan sebesar 14 milyar untuk renovasi masjid pada 2010-2011. Perolehan teromol masjid per-Jumat-nya di masjid Jami ini ialah delapan juta rupiah, serta perolehan putaran kotak amal pada pelaksanaan Pengajian Tuan Guru Zuhdi per-Minggu-nya sebanyak sembilan juta rupiah. Total perbulannya dana yang terkumpul dari masyarakat sekitar Rp. 55.000.000 yang diperuntukkan untuk kegiatan rutin peribadatan dan pengeluaran rutin untuk listrik dan air, serta kebersihan. Perolehan donasi yang cukup besar pada masjid ini tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan masjid ini. Masyarakat disetiap waktu shalat lima waktu datang berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan kewajibannya. Biasanya 3-5 shaf terisi jemaah dengan kapasitas masing-masing shaf 120 orang, sehingga diperkirakan jemaah shalat maktubah di Masjid Jami Sungai Jengah mencapai 350 orang. Sedangkan diwaktu shalat Jum’at bisa menampung 7.000 orang. Kondisi inilah yang menyebabkan donasi masyarakat setiap Jumatnya cukup besar, yaitu delapan juta rupiah atau Rp. 24.000.000/bulan. Selain itu masyarakat juga masih mengikuti kegiatan taklim yang diadakan di masjid ini, yang dari sejak dahulu para tuan gurunya dikenal sangat mumpuni dan berkualitas dalam hal materi yang disampaikannya. Jemaah pun secara sukarela menyisihkan dana infak yang dimasukkan ke dalam kas masjid. Dana yang terkumpul dari jemaah pengajian per-bulannya mencapai Rp. 30.000.000. Menurut salah seorang pengurus masjid, kas Masjid Jami Sungai Jengah sekarang sudah mencapai 1 milyar yang disimpan di Bank Kal-Sel Syari’ah. Ujrah (bunga)-nya dimanfaatkan salah Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
89
satunya untuk mengumrahkan petugas/pembantu umum masjid sebanyak 2 orang. Rencananya pengurus akan memanfaatkan kas masjid ini untuk membeli lahan atau areal pemakaman umum (alkah) tetapi hingga kini masih terkendala ijin sebab dalam rencana tata kota Banjarmasin sudah tidak ada peruntukan lahan untuk pemakaman baru. Pengurus berencana mengalihkan pengadaan lahan pemakaman ke Kabupaten Banjar Baru atau Martapura. Pengurus Masjid Jami Sungai Jengah tergolong sangat berhati-hati dalam pengelolaan dana maupun lahan masjid pada umumnya. Mereka tidak berani melanggar nilai-nilai kesakralan masjid yang dianut mayoritas jemaah masjid, seperti tidak boleh melakukan kegiatan bisnis yang bernilai ekonomis di kawasan masjid. Oleh karenanya fasilitas masjid hanya diperuntukkan untuk kegiatan peribadatan dan pendidikan. Masjid ini sekalipun mempunyai lahan luas tetapi tidak memiliki ruang serbaguna yang biasa disewakan untuk kegiatan seperti resepsi pernikahan. Begitu pula tidak terdapat business centre, seperti toko dan warung di dalam areal masjid ini sehingga pengunjung kalau hendak membeli air minum misalnya harus melangkah ke luar pagar masjid. Para penjajak kaki lima hanya diperbolehkan berdagang di luar pagar masjid. Sekalipun demikian, pernah pula diadakan di dalam areal masjid ini klinik kesehatan hasil kerjasama dengan Dompet Duafa. Klinik ini sempat melayani rawat inap bagi ibu hamil yang melahirkan. Akan tetapi klinik ini hanya berjalan dua tahun sebab mendapat teguran dari Sudin Kesehatan Kota Banjarmasin karena klinik tidak memiliki pengolahan limbah. Penutupan klinik ini tidak memperoleh solusi tindak lanjut sehingga program pelayanan kesehatan masyarakat yang dibuka Masjid Jami Sungai Jengah berhenti total. Sebagai penggantinya pengurus masjid berencana mengadakan mobil ambulance yang samapi sekarang belum dimilikinya.
90
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
3.
Kegiatan Masjid Jami Sungai Jengah Masjid Jami Banjarmasin memiliki sejumlah kegiatan, antara lain: a.
melaksanakan shalat wajib berjamaah
b.
melaksanakan shalat Jum’at, shalat Id, shalat gerhana, shalat tarawih, dan shalat sunnah nishfu sya’ban dan lainnya
c.
melaksanakan buka bersama dan “mengintip” Lailatul Qadr pada malam 10 hari akhir Ramadan
d.
mengumpulkan dan menyalurkan ZIS dan hewan qurban
e.
peringatan hari-hari besar Islam
f.
melakukan kerjasama dengan menyelenggarakan TPA dan TPSQ
g.
menyelenggarakan pendidikan pada perguruan tinggi atas nama STAI Al-Jami dengan konsentrasi PAI dan Dakwah
h.
bekerjasama dengan Dompet Duafa membuka Klinik Pengobatan dan Klinik Bersalin, tetapi sejak 2014 ditutup karena belum mengantongi ijin.
BKRMI
untuk
Di samping menyelenggarakan shalat fardhu berjamaah, menurut H. Radiansyah, masjid ini juga memiliki kegiatan harian yang cukup padat, meliputi:
a. malam Jum’at kegiatannya setelah shalat maghrib sampai
setelah isya’ diadakan shalat taubat dan shalat hajat, yasinanan, wirid asmaul husna dan ditutup dengan shalat hajat. Jemaah masjid tersebut di tengah malam juga dibiasakan shalat tahajjud
b. Jum’at pagi setelah shalat shubuh diadakan kajian tafsir dan pada Jam 9 diadakan taklim ibu-ibu
c. malam Sabtu setelah shalat maghrib diadakan kajian hadist dan fiqh yang diisi secara bergantian oleh Ust. H. Jumaidi dan Ust. H. Tabrani Basri
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
91
d. malam Minggu sesudah shalat maghrib diadakan kajian akhlaq/tashawwuf yang diasuh oleh Tuan Guru Zuhdi Nur dengan jemaah sekitar 10.000 orang dari berbagai penjuru Kota Banjar yang 60 persen di antaranya terdiri pemuda dan remaja
e. malam Selasa sesudah shalat maghrib diadakan ceramah
umum agama yang diisi oleh Ust H. Mubarok dan Ust. H. Nurdin Azhari dan setelah shalat Isya diadakan kursus Tilawatil Qur’an oleh Ust. Masrum Zuhri serta qari’-qari’ah Banjarmasin lainnya.
f.
4.
Rabu pagi, jam 9, diadakan pengajian Al-Qur’an untuk ibuibu sekitar masjid.
Faktor Pendukung dan Penghambat Berdasarkan uraian di atas tampaknya ada faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan masjid Jami Sungai Jengah. Faktor pendukungnya ialah:
92
a.
masjid ini masih dipercaya memiliki keutamaan tertentu oleh masyarakat sehingga setiap shalat lima waktu maupun kegiatan keagamaan lainnya di masjid ini selalu ramai dihadiri banyak orang. Termasuk masyarakat memilih menshalatkan anggota keluarga mereka yang meninggal dunia di masjid ini.
b.
pengurus mempertahankan ciri khas masjid ini sebagai pusat pengembangan pendidikan dan dakwah serta ilmu-ilmu keislaman dengan menghadirkan ulama yang alim dan ternama. Masjid ini menjadi kiblat pengajian dan taklim bagi jemaah masjid lainnya di Banjarmasin.
c.
Pemda menyokong pendanaan masjid Jami ini terutama dari sisi pembangunan fisiknya.
d.
aset berupa dana simpanan dan areal lahan masjid Jami tergolong cukup banyak dan cukup luas untuk pengembangan masjid ke depannya.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Adapun penghambat pemberdayaan Masjid Jami Sungai Jengah, adalah: a.
pemerintah kurang memperhatikan analisis kebutuhan tata kelola Masjid Jami. Orientasi bantuan pengembangan fisik masjid yang pernah diberikan Pemerintah telah mengubur benda-benda bernilai sejarah di masjid ini.
b.
pengurus masjid kurang aktif sehingga program-program kegiatan yang berjalanan lebih banyak bersifat peribadatan dan pendidikan. Sedangkan program-program pemberdayaan social-ekonomi belum bisa dijalankan hingga sekarang.
Penutup 1.
Simpulan a.
Model pengelolaan masjid di Kota Banjarmasin dalam memberikan pelayanan kepada jemaahnya lebih berorintasi pada aspek spiritual dan kesalehan pribadi dibandingkan aspek kesalehan sosial dan manfaat ekonomi.
b.
Pengurus masjid di Banjarmasin cukup aktif mengoptimalisasikan modal sosial yang dimiliki walaupun tidak sangat baik, yaitu dengan cara membagi ruang masjid menjadi ruang sakral dan ruang profan. Masjid Sultan Suriasyah dan masjid Jami Sungai Jengah sebagai masjid bersejarah dan dianggap “keramat” oleh sebagian masyarakat masih dipertahankan fungsinya oleh para pengurus masjid. Masyarakat luas masih dibolehkan bermunajat atau berdiam diri dalam tempat-tempat tertentu di dalam ruang utama masjid yang dianggap sakral. Sedangkan di ruang profan, Pengurus Masjid Sultan Suriansyah hingga kini masih melestarikan tradisi Baayun. Pengurus Masjid Jami Sungai Jengah juga masih mengadakan pendidikan dan kajian-kajian keislaman seperti yang diadakan para mufti di jaman dulu. Hanya saja pengurus kedua masjid ini kurang dapat memanaj modal sosial itu secara profesional.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
93
2.
c.
Mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian (pemanfaatan), dan pengawasan terhadap dana bantuan yang diterima masjid di Banjarmasin bervariasi sesuai tipologinya. Pada masjid raya dan masjid sektoral mekanismenya lebih menekankan manajemen top-down, yang berpangkal kepada Penyandang dana utama atau pengurus yayasan. Pendanaan pada masjid ini tidak mengalami banyak kendala dan relatif tercukupi untuk melakukan biaya pemberdayaan masjid. Justru yang unik ialah masjid tipe bersejarah, seperti Masjid Sultan Suriansyah dan Masjid Jami Sungai Jengah. Kedua masjid ini hanya mendapat bantuan dari pemerintah secara tentatif, dan selebihnya dari bantuan swadaya masyarakat. Pada kedua masjid ini diterapkan mekanisme buttom-up dimana antara pengurus dengan jemaah sama-sama merasakan kepuasan karena masjid yang mereka banggakan masih tetap eksis, sekalipun hanya melayani bidang peribadatan, pendidikan, dan dakwah.
d.
Secara umum faktor yang menjadi pendorong pengelolaan masjid dalam pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat di Banjarmasin ialah (1) kehidupan masyarakat Banjarmasin masih cukup religius dan cukup dermawan untuk kepentingan memakmurkan masjid, (2) tokoh masyarakat Islam Banjarmasin memiliki kepedulian tinggi terhadap keberagamaan umat Islam dan kelangsungan kegiatan peribadatan, pendidikan, dan dakwah di masjid, (3) dukungan dan peran serta pemerintah serta institusi swasta untuk mengembangkan masjid masih sangat tinggi. Adapun faktor penghambat pengelolaan masjid secara umum di Banjarmasin ialah persepsi bahwa fungsi masjid hanya sebagai sarana peribadatan, pengembangan pendidikan dan dakwah. Sedangkan upaya untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi dari masjid dan jemaah masjid di Banjarmasin belum dapat dilakukan secara maksimal karena pandangan tradisional itu.
Rekomendasi a.
94
Pemerintah supaya mengintensifkan sosialisasi wakaf masjid produktif kepada pengurus masjid dan tokoh masyarakat agar Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
terbangun persamaan persepsi bahwa asset wakaf maupun asset ZIS yang dimiliki masjid dapat diperuntukkan untuk kepentingan yang lebih luas daripada manfaat peribadatan an sich. Dengan demikian diharapkan pemberdayaan ekonomi-sosial dapat dipelopori lewat masjid b.
Pemerintah supaya melakukan analisis kebutuhan masjid sebelum memberikan program bantuan masjid. Jika perlu maka pemerintah dapat memasukkan persyaratan agar setiap masjid yang mengajukan permohonan dana terlebih dahulu melakukan self assessment.
c.
Pengurus masjid supaya lebih aktif membangun jaringan (network) dengan sesama pengurus masjid dengan maksud agar tidak terjadi kesenjangan antarmasjid di satu daerah. ***
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
95
Daftar Pustaka Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal of Sociology, 94 Supplement: S95-120. Daud, Alfani, 1979. “Ulama dalam Masyarakat Banjar” dalam Agama, Budaya dan Masyarakat: Ikhtisar Hasil-Hasil Penelitian, (Moeslim Abdurrahman (ed)), Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Penelitian Agama __________, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta; PT. RajaGrafindo Perada Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama. 2007. Pedoman Pemberdayaan Majid (Melalui Aspek Idarah, Imarah, dan Ri’ayah). Fukuyama F., 1995. The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Newyork: Free Press. Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity. Kutoyo, Sutrisno dan Sri Sutjianingsing (ed.), 1977/1978, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Pendidikan dan Kebudayaan Putnam, R.D., 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy. Princeton NJ: Princeton University Press. Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Ras, J.J. 1968. Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiograpy, Martinus Nijhoff: The Hague
96
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN GEREJA HKBP DI MEDAN: Membangun Strong Leadership dan Kemandirian Oleh: Abdul Jamil, Zaenal Abidin Eko Putro, dan Mardjuki
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kota Medan sering diidentikkan dengan Suku Batak. Pendapat tersebut tidaklah sepenuhnya benar, sebab penduduk Kota Medan bukan hanya terdiri dari etnis Batak, namun banyak etnis Melayu dan Cina. Dalam sejarah berdirinya Kota Medan, peranan orang-orang Melayu dalam membangun kota ini cukup signifikan, yaitu terutama peran Sultan Makmoen Al-Rasyid dari Kerajaan Deli. Kota Medan dulunya masih berupa hutan belantara, oleh sebuah perusahaan swasta dan pemerintah kolonial Belanda bekerjasama dengan pemerintah lokal (Kerajaan Deli) didirikanlah sebuah penjara untuk memenjarakan buruh atau kuli kontrak yang melakukan penyelewengan kontrak kerja. Beberapa tahun kemudian kantor pos pertama didirikan di wialayah ini, serta perkumpulan orang-orang Belanda “White Societeit” tahun 1879. Akibat keuntungan perkebunan kerjasama antara Belanda dan Kerajaan Deli, maka pembangunan Kota Medan kemudian semakin meningkat. Beberapa sarana infra struktur kota dibangun seperti jalanjalan, jembatan, got-got, dan air minum. Dalam perkembangan berikutnya Kota Medan akhirnya dipilih oleh Kerajaan Deli sebagai pusat pemerintahan. Dipilihnya Kota Medan sebagai ibukota Kerajaan Deli, karena kawasan ini memiliki dataran yang tinggi, datar, luas, dan tidak berbukti, sehingga sangat strategis untuk pusat pemerintahan. Tanah Kota Medan juga lebih tinggi dibanding kawasan perkebunan sehingga bisa dijadikan tempat pengawasan areal perkebunan tersebut, termasuk pengawasan distribusi hasil-hasil perkebunan ke berbagai daerah. Dimulai pada 1888,
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
97
Sultan Makmoen Al-Rasyid kemudian mendirikan sebuah istana yang megah. Pembangunan istana ini berlangsung selama tiga tahun. Setelah pembangunan selesai maka sejak saat itu ibukota Deli secara resmi pindah ke Medan (Teruna, 2006:83-86). Kota Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara yang merupakan kota terbesar di Sumatera dan ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan memiliki 21 kecamatan dan 150 kelurahan dengan luas wilayah adalah 265,20 km2. Perkembangan Kota Medan cukup pesat, jumlah penduduknya terus bertambah. Berdasarkan data BPS Provinsi Sumatera Utara pada 2012 jumlahnya mencapai 2.122.804 jiwa. Jumlah penduduk itu akan terus meningkat sebab Medan memiliki daya tarik bagi para pencari kerja dari berbagai daerah, sehingga masyarakat Medan sangat multietnis, berbagai etnis yang ada di Indonesia juga terdapat (menetap) di Medan, terutama Suku Batak, Melayu, Jawa, Minang, dan Thionghoa. Jenis lapangan kerja yang paling banyak menyedot tenaga kerja adalah sektor perburuhan dan sektor jasa. Sektor buruh dan jasa hampir 63% dari jumlah mata pencaharian penduduk kota Medan, baik buruh toko, pabrik garmen, jasa angkutan jalan raya, seperti angkutan becak motor, angkutan kota, jasa hiburan dan lainnya. Selanjutnya, yang juga merupakan lapangan kerja kedua adalah sektor informal yaitu pedagang, karyawan pegawai swasta, BUMN, kemudian PNS dan TNI . Kota Medan mempunyai jaringan perhubungan darat, laut, dan udara, sehingga memudahkan transportasi bagi aktivitas bisnis atau perekonomian. Melalui jalur darat, laut, dan udara maka komoditas produk dan kebutuhan hidup dapat dengan mudah dipenuhi. Medan juga merupakan pintu gerbang bagi wisata mancanegara maupun domestik dengan tujuan pedalaman Sumatera Utara yang kaya akan aneka ragam budaya, adat istiadat, peninggalan sejarah, dan keindahan alamnya. Objek wisata Sumatera Utara yang terkenal salah satunya adalah danau Toba yang sudah terkenal dimancanegara. Masyarakat Medan tidak hanya plural dalam etnis dan budaya namun juga dalam beragama. Agama yang banyak dianut masyarakat adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Khonghucu. Dalam hal
98
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
keagamaan masyarakat kota Medan sangat heterogen. Kota Medan memiliki rumah ibadat dari berbagai agama. Berdasarkan data BPS Provinsi Sumatera Utara, jumlah masjid (Islam) adalah 805 buah, gereja Protestan 691 buah, gereja Katolik 40 buah, pura (Hindu) 23 buah, vihara (Buddha) 200 buah, kelenteng (Khonghucu) 38 buah.35 Tingkat heterogenitas yang sangat tinggi itu menjadikan masyarakat Medan sudah terbiasa dengan perbedaan agama dan keyakinan.
A. Gereja Huriah Kristen Batak Protestan (HKBP) 1.
Selintas Sejarah HKBP
Pengelolaan Gereja Huriah Kristen Batak Protestan (HKBP) bermula tumbuh dari Misi RMG (Rheneische Missions Gesselschaft) dari Jerman yang kemudian secara resmi berdiri pada 7 Oktober 1861. Berdirinya Gereja HKBP tidak lepas dari peran empat orang missionaris yakni: Pdt. Heine, Pdt. J.C. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt (mereka berasal dari Zending Emerlolo Belanda dan Zending Rheinische Mission Jerman). Keempat tenaga Zending ini mengadakan rapat di Sipirok untuk membicarakan pembagian wilayah pelayanan di Tapanuli.36 Keempat penginjil tersebut telah berkomitmen untuk lebih berkonsentrasi dalam penginjilan di bagian utara bukan lagi bagian selatan tanah Batak. Visi dan misi mereka adalah bahwa Injil harus diberitakan secepat mungkin kepada kaum Batak yang masih hidup dalam dunia agama purba yang animismagis. Pada 1862 I Ludwigh Nomensen datang ke tanah Batak. Sejak kehadirannya di tanah Batak, perkembangan kekristenan semakin pesat. Metode yang kontekstual dan corak berpikir adaptif dan transformatif (pemberitaan injil yang meliputi perkataan, perbuatan diaconal, dan pendidikan) membuat Injil mudah diterima orang Batak (Hutauruk, 2011:35-37). Sejarah kemudian mencatat HKBP terus
BPS Provinsi Sumatra Utara, diakses dari www. sumut.bps.co.id Hasil wawancara dengan ketua Pusat Kajian Budaya Batak Univ. Nommensen bpk Nababan, Senin, 25 Mei 2014, pukul 12.15 wib di perpustakaan Universitas Nommensen Medan. 35 36
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
99
berkembang, bukan hanya di tanah Batak atau Sumatera Utara tapi juga ke luar Sumatera Utara. Saat ini HKBP memiliki jamaat sekitar 4.5 juta anggota di seluruh Indonesia. Berdasarkan data tahun 2012, HKBP memiliki 3.168 gedung gereja dan 638 resort dengan 27 distrik. Bahkan HKBP juga mempunyai beberapa gereja di luar negeri, seperti di Singapura, Kuala Lumpur, Los Angeles, New York, Seattle dan di negara bagian Colorado. Meski memakai nama Batak, HKBP juga terbuka bagi suku bangsa lainnya. Menurut informasi yang disampaikan Kabid Bimas Kristen Kanwil Kemenag Sumatera Utara, Hasudungan Simatupang, diperkirakan HKBP merupakan sinode Kristen terbesar di wilayah Asia Tenggara. Sejak pertama kali berdiri, HKBP merupakan organisasi keagamaan yang terus berkembang. Hal ini dibuktikan melalui usianya yang sudah 153 tahun pada 2013. Pusat HKBP berkantor di Pearaja, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara yang berjarak sekitar 1 km dari pusat kota Tarutung, Ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Pearaja merupakan sebuah desa yang terletak di sepanjang jalan menuju kota Sibolga (Ibukota Kabupaten Tapanauli Tengah). Di desa itu berdiri kompleks perkantoran HKBP dan pusat administrasi organisasi HKBP yang berada dalam area lebih kurang 20 ha. Di kompleks ini juga tempat berkantornya Ephorus sebagai pimpinan tertinggi HKBP (seperti Uskup dalam Katholik). Dulunya Ephorus dijabat oleh penginjil dari RMG, namun sejak 1940 sampai sekarang Ephorus selalu orang Batak. Di dalam gereja HKBP telah terbangun pola yang telah mengakar. Di setiap gereja HKBP sesuai aturan yang telah ditetakan berlaku perangkat organisasi dan perangkat kerja yang sama, antara lain terdapat aturan dan peraturan HKBP yang di dalamnya tersusun hal-hal seperti nyanyian, liturgi, konvensi, dan aturan dan peraturan yang khas HKBP. Karena menggunakan nama Batak di dalamnya maka tidak mengherankan jika Bahasa Batak mendominasi dalam nama maupun penyebutan istilah dalam pranata dan perangkat yang terdapat di dalam organisasi sinode tersebut.37
Wawancara dengan pdt. Games Purba, pendeta di gereja HKBP Cinta Damai, Medan, 13 Mei 2014 37
100
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
2.
Tata Organisasi Gereja
Struktur kelembagaan gereja HKBP mengenal hirarki dari tingkat pusat sebagai yang tertinggi, kemudian distrik, resort, dan terakhir sektor sebagai tingkat yang terendah. Seluruh gereja HKBP berada dalam kepemimpinan HKBP pusat. Bersama Sekretaris Jenderal dan Kepala Departemen (Koinonia, Marturia, dan Dikaonia) Ephorus memimpin segenap HKBP. Setiap lima tahun sekali mereka (Ephorus, Sekretaris Jenderal, dan Kepala Departemen) dalam Sinode Godang memilih Praeses (pemimpin distrik). Mereka juga bersama kepala Biro Personalia HKBP menetapkan pimpinan jamaat cabang, pendeta resort, dan kepala bidang di distrik melalui Surat Keputusan (SK). Dalam aturan dan peraturan HKBP (2002) ada enam jenis jabatan tahbisan tohanan di HKBP yaitu: pendeta, guru jamaat, bibelvrouw, diakonia, evangelis dan penatua (sintua). Enam pelayan tahbisan tersebut semuanya melayani penuh waktu (full time), kecuali penatua (sintua) hanya paruh waktu saja, karena penatua menerima jabatan dari HKBP melalui pendeta resort sesuai dengan agenda HKBP. Adapun yang lainnya (pendeta, guru jamaat, bibelvrouw, diakonia, dan evangelis) menerima jabatannya dari HKBP melalui Ephorus. Di dalam kepengurusan gereja HKBP berlaku standar kepengurusan. Untuk gereja yang masih belum ditempati pendeta, maka kepengurusanya terdiri dari gembala, bendahara, dan majelis jamaat Sintua (terdiri dari perwakilan kumpulan jamaat, jumlahnya berbeda-beda tiap gereja tergantung besarnya jamaat), dan jamaat. Untuk gereja yang sudah memiliki pendeta maka jabatan pimpinan gereja dipegang oleh pendeta yang ditugaskan dari pusat. Di samping pendeta terdapat sekretaris, bendahara, bibelvrouw, Ketua Parartaon, anggota Parartaon, Ketua Dewan Koinonia, Ketua Dewan Marturia, dan Ketua Dewan Diakonia. Biasanya gereja dengan klasifikasi gereja resort tersebut jamaatnya sudah relatif banyak. Menyangkut honorarium kepada pendeta, didapatkan informasi bahwa pendeta di lingkungan Gereja HKBP mendapatkan gaji sebesar Rp. 2.000.000 setiap bulan untuk tingkat paling bawah Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
101
(pagaran), yang biasanya gereja tersebut berada di pedesaan. Besaran gaji ini akan meningkat seiring dengan besaran dana persembahan yang diberikan jamaat. Namun demikian, untuk gereja HKBP di wilayah perkotaan, dapat dipastikan bahwa dana persembahan jamaat jumlahnya semakin besar, sehingga gaji pendetanya dua atau tiga kali lipat ketimbang gereja HKBP di wilayah pedesaan. Untuk gaji pendeta di wilayah perkotaan bisa mencapai tiga kali lipat dibanding gaji pendeta di pedesaan karena mengikuti tingginya biaya hidup di wilayah perkotaan. Jika gaji minimal pendeta di Gereja HKBP yang terletak di pedesaan sebesar Rp. 2.000.000, di tingkat distrik dapat mencapai dua kali lipat dan di tingkat pusat bisa mencapai tiga kali lipat. Di luar gaji tetap ini, terkadang pendeta menerima persembahan pribadi dari jamaat yang jumlahnya tidak ditentukan berdasarkan kemampuan dan selera jamaat. Dalam pemberian gaji, perlu dicatat terdapat dua model penyaluran gaji untuk Pendeta HKBP ini. Pendeta yang bertugas di tingkat bawah (pagaran) hingga resort (selevel kecamatan), maka gajinya ditanggung oleh jamaat lokal melalui distrik (setingkat wilayah). Adapun untuk pendeta di level atas, dari tingkat distrik sampai pusat, gajinya ditanggung oleh pusat. 38 Untuk mendinamisasi pelayanan, terdapat aturan di mana pendeta di lingkungan HKBP tidak boleh melebihi masa empat tahun dalam melakukan pelayanan pada satu gereja. Sesudah empat tahun dalam melakukan pelayanan. Ia harus berpindah tempat. Di samping itu di suatu distrik seorang pendeta hanya bisa bertugas maksimal selama delapan tahun, artinya seorang pendeta tidak boleh bertugas melayani di suatu distrik selama dua priode berturut-turut, pada periode berikutnya ia harus pindah ke lain distrik. Meskipun manajemen pengelolaan gereja telah ditata sedemikian rupa, bukan berarti konflik internal tidak pernah terjadi. Konflik kadang terjadi di dalam gereja HKBP, pangkal permasalahannya biasanya pada hal pelayan dalam hal ini, yaitu sikap
Wawancara dengan Lindon Tambunan, jamaat dan parartaon (urusan harta gereja) di gereja HKBP Cinta Damai, Medan, 14 Mei 2014. 38
102
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
pendeta yang kadang tidak diterima, baik oleh pengurus atau jamaat. Ketika terjadi konflik internal seperti itu, menurut Pendeta Games Purba, solusi penyelesaian konflinya bisa melalui rohani, atau melalui Dalian Natolu. Kadang konflik bisa juga diselesaikan melalui pendekatan personal kepada masing-masing pihak. Lalu ada juga pendekatan struktur, dalam bentuk laporan ke distrik, yaitu ke Distrik Medan-Aceh, dan kemudian diintervensi oleh distrik. Dalam wilayah Distrik Medan-Aceh terdapat 78 gereja ressort. Kabid Bimas Kristen Kanwil Kemenag Sumut, Hasudungan Simatupang, menyatakan bahwa misi utamanya dalam menjabat posisi di Bimas Kristen Kanwil Kemenag Sumut selama empat tahun terakhir ini adalah untuk menangkal potensi konflik dalam HKBP. Kebetulan ia juga jamaat HKBP. Ia rajin memantau dan memediasi jika terdapat gereja yang dirundung konflik internal dan turut aktif mencari solusi dan memediasi berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Menurut Hasudungan: “Hilang pamor Kemenag kalau sampai terjadi konflik di internal HKBP.”39
3.
Pengelolaan Dana
Dalam sistem keuangan HKBP, untuk persembahan di setiap Gereja HKBP dalam setiap minggunya telah ditentukan atau dialokasikan pada tiga kebutuhan, yaitu untuk Huria yaitu dana untuk pengelolaan oprasional sehari-hari gereja setempat, kemudian untuk Pembangunan yaitu dana untuk biaya pembangunan gereja setempat dan untuk Pusat yaitu dana untuk di setorkan ke HKBP pusat. Pola penggunaan dana di setiap Gereja HKBP sama sedemikian ini. Jadi, dapat dibayangkan berapa besar dana yang terkumpul untuk organisasi jika jumlah Gereja HKBP yang saat ini mencapai 20 ribu di seluruh dunia. Sedangkan HKBP merupakan sinode terbesar di Asia Tenggara. Sekalipun semua gereja menyetor ke pusat, namun dana yang dikumpulkan di pusat itu juga digunakan untuk kepentingan Wawancara dengan Hasudungan Simatupang, Kabid Bimas Kristen Kanwil Kemenag Sumatera Utara, 13 Mei 2014 39
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
103
organisasi seperti membantu orang sakit, orang jompo, dan yatim piatu yang tergabung dalam yayasan dan pusat-pusat pendidikan HKBP. Termasuk juga untuk membiayai kegiatan-kegiatan pusat HKBP yang melibatkan struktur dari tingkat bawah (pagaran) hingga tingkat pusat yang bermarkas di Desa Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara. Saat ini HKBP juga mempunyai perguruan tinggi di Medan, yaitu Sekolah Tinggi Teologia (STT) HKBP dan Universitas HKBP Nommensen. Jamaat gereja setiap minggu datang ke gereja untuk melakukan kebaktian, mereka biasanya memberikan uang persembahan kepada gereja yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan. Besarnya jumlah dana persembahan yang diberikan setiap individu jamaat berbeda-beda, semakin banyak jamaat gereja maka biasanya semakin besar dana persembahan yang diperolehnya. Besarnya dana persembahan sukarela setiap minggunya dalam HKBP juga seiring dengan tingkat taraf ekonomi jamaat. Perlu diketahui bahwa tidak ada ketentuan berapa besaran dana persembahan itu. Hal inilah yang membedakan dengan gereja-gereja kharismatik yang mematok persembahan sampai 10 persen. Dengan kondisi ini, maka beralasan jika gereja-gereja kharismatik kebanyakan berada di masyarakat perkotaan, berbeda dengan gereja, seperti HKBP yang kadang jauh masuk ke desa-desa.40 Di samping jumlah jamaat dan taraf ekonominya, besarnya dana persembahan yang diperoleh juga terkait dengan tingkat kepercayaan jamaat terhadap pihak gereja, untuk itu dibutuhkan rasa saling kepercayaan yang kuat di antara organ-organ di dalam gereja. Untuk menjaga kepercayaan jamaat, di Gereja HKBP juga dilakukan audit oleh audit internal. Ini dilakukan secara terbuka, yang biasanya diselenggarakan dalam kegiatan rapat kerja tahunan yang membahas program kerja dan juga laporan keuangan. Tim audit internal itu jumlahnya harus ganjil. Di samping itu diterjunkan pula tim audit dari tingkat distrik dan tim audit dari HKBP pusat.
Wawancara dengan Lindon Tambunan, jamaat dan parartaon (urusan harta gereja) di gereja HKBP Cinta Damai, Medan, 14 Mei 2014. 40
104
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Pengelolaan keuangan di Gereja HKBP ini di luar campur tangan pendeta, sebab tugas pendeta hanya mengurusi soal rohani atau spritual. Untuk urusan pengelolaan dana adalah menjadi urusan majelis gereja yang terdiri dari perwakilan tokoh-tokoh gereja setempat, di sini pendeta hanya sekedar mengetahui, namun tidak terlibat dalam pengelolaanya. Terkait dengan tugas pelayanan, semua biaya hidup pendeta dan keluarganya ditanggung oleh jamaat yang dibiayai dari dana persembahan, mulai dari rumah dinas, gaji bulanan, biaya listrik dan lain-lain. Semua prokosa (biaya) itu difasilitasi gereja. Pemanfaatan dana jamaat oleh gereja-gereja HKBP, disamping untuk kebutuhan rutin pengeluaran gereja dan biaya hidup pendeta, juga digunakan untuk biaya pembangunan atau rehabilitasi gereja, serta untuk disumbangkan ke HKBP pusat. Selain itu juga digunakan untuk kegiatan diakonia (sosial) dan pemberdayaan, misalnya dengan memberikan beasiswa (stimulant biaya) pendidikan kepada jamaat. melalui dana diakonia HKBP disamping memberikan bantuanbantuan sosial, juga mampu melayani pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan jamaat, bahkan mampu menghidupkan kembali sekolahsekolah HKBP yang sempat tutup. Dalam hal ini, untuk memaksimalkan pendapatan dana, HKBP juga sudah membuka Badan Usaha Milik Jamaat (BUMJ).
B. Model Pengelolaan Gereja HKBP Cinta Damai 1.
Profil Gereja
Gereja HKBP Cinta Damai sudah sejak lama berdiri, yaitu kira-kira sejak tahun 1957.41 Dinamakan Gereja Cinta Damai karena mengikuti nama kelurahan setempat. Gereja Cinta Damai letaknya berada di Jl. Pantai No. 4, Kelurahan Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kotamadya Medan. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kecamatan Medan Sunggal di sebelah Selatan, Kabupaten Deli Serdang di sebelah Utara, Kabupaten Deli Serdang di sebelah Barat, dan Kecamatan Medan Barat Petisah di sebelah Timur. Pernyataan Pdt. Games Purba saat wawancara di gereja HKBP Cinta Damai, Jum’at 23 Mei 2014, 41
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
105
Kecamatan Medan Helvetia mempunyai luas sekitar 11,55 km dan jarak kantor kecamatan ke kantor Walikota Medan sekitar 8 km. Kecamatan Medan Heltevia dihuni oleh 144.077 orang penduduk di mana laki-laki berjumlah 71.047 orang serta perempuan berjumlah 73.030 orang. Di samping warga pribumi, terdapat warga negara Indonesia turunan Thionghoa yang berdomisili di kecamatan ini, yaitu jumlahnya sebanyak 3811 orang, yakni 1.904 laki-laki dan 1.907 perempuan. Kelurahan Cinta Damai merupakan kawasan yang banyak dihuni oleh warga Indonesia keturunan, yakni sebanyak 1.876 orang.42 Gereja ini sebelumnya merupakan perkampungan kuda. Saat itu belum banyak penduduk yang menempati kawasan itu, dulunya di wilayah sekitar terdapat banyak kebun kangkung dan perkampungan sayur dan kandang peternakan babi.43 Saat ini Gereja HKBP Cinta Damai memiliki gedung yang cukup besar dan halaman parkir yang luas. Gereja juga memiliki gedung serbaguna yang berada di sebelah gereja, tepatnya berada di belakang rumah dinas pendeta dan sekretariat gereja. Di lingkungan sekitar gereja banyak terdapat pohon mangga yang rindang, Di sekeliling halaman parkir, tumbuh pohon-pohon yang sudah relatif tinggi sehingga terasa teduh. Sementara di samping rumah dinas pendeta banyak tanaman yang juga menjadikan suasana lingkungan yang terasa hijau dan sejuk. Suasana gereja ini pada Minggu pagi sangat ramai, banyak jamaat gereja yang datang untuk ibadat kebaktian, jamaat umumnya datang berkendaraan, saat itu halaman gereja hampir penuh dengan kendaraan roda dua dan roda empat yang parkir. Gereja HKBP Cinta Damai mempunyai anggota jamaat relatif besar, berdasarkan KK jumlahnya mencapai 498 KK, sulit untuk menghitung secara pasti berdasarkan per individu/jiwa sebab banyak jamaatnya yang pergi untuk belajar atau bekerja di tempat lain. Sebaliknya ada pula jamaat dari HKBP dari resort atau distrik yang berbeda mengikuti ibadah di situ. Untuk meningkatkan efektivitas pelayanan, maka jamaat HKBP 42 Dikutip dari ZM Isa, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 31410/4/chapter% 2011. pdfv, diakses tanggal 24 mei 2014 43 Wawancara dengan Pdt. Games Purba di gereja HKBP Cinta Damai, Jum’at 23 Mei 2014.
106
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Resort Cinta Damai dibagi ke dalam 12 sektor khusus, antara lain: Sektor 1 (pasar 1), Sektor 2 (pasar 2), Sektor 3 (pasar 2 Rel), Sektor 4 (perumahan guru SMS-Gaperta ujung), Sektor 5 (pasar 3), Sektor 7 (Pasar 5-Kampung Lalang), Sektor 8 (BLKI-Gg. Sekata-Pinang Baris), Sektor 9 (Jatioso), Sektor 10 (Sukawati), Sektor 12 (Pargodungan). Saat ini ada dua pendeta yang memimpin Gereja HKBP Cinta Damai yang Pdt. Games Purba yang bertugas sebagai pemimpin Cinta Damai Resort, dan Pdt. Agustina Boru Simare-Mare yang bertugas di Gereja HKBP Rogate. Selain itu ada juga pendeta yang bertugas sebagai pelayanan bagi perempuan (Biblevrow, Lambok Manulu) dan yang melayani sekolah mingguan yaitu Pdt. Doglas Simanungkalit. Pdt. Games Purba saat ini di samping memimpin jamaat di HKBP Cinta Damai juga memberikan pelayanan di Gereja HKBP Rogate di jalan Gaperta Ujung Gg. Beringin dengan jumlah jamaat 152 KK dan Gereja HKBP Maranatha di Mulyorejo dengan jumlah jamaat sekitar 48 KK. Di samping tiga gereja tersebut beliau juga melayani 12 distrik dan 48 majelis jamaat.
2.
Program dan Kegiatan Gereja
Program yang dijalankan oleh Gereja HKBP Cinta Damai adalah mengikuti aturan yang telah ditetapkan HKBP pusat, yaitu berupa Garis-Garis Besar Pengembangan Pelayanan, program tersebut berupa Rencana Induk Pelayanan (RIP) dan Rencana Strategi (RS). Pada setiap tahunnya pelayanan tersebut berbeda fokus, menurut Pdt. Games Purba: “Pada tahun kemarin (2013) pelayanan HKBP adalah khusus untuk anak-anak, sedangkan sekarang tahun 2014 adalah pelayanan untuk remaja dan pemuda.” Masih menurut beliau, dalam HKBP tidak berarti semua kegiatan harus ditetapkan dari pusat (top-down), pada tahun ini juga mulai diterapkan di seluruh Gereja HKBP adanya partisipasi warga, terutama dalam setiap pengambilan keputusan. Biasanya konsep awal datangnya dari pendeta/gembala lalu ditawarkan ke majelis, kemudian ditetapkan dalam rapat umum jamaat yang biasanya diadakan pada bulan Januari setiap tahunnya. Forum seperti ini
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
107
menjadi rapat evaluasi sekaligus juga saran menampung aspirasi dari bawah dan ketika menjadi program, lalu dilaksanakan bersama-sama. Adapun program-program yang diusulkan jamaat tersebut yang kemudian ditetapkan menjadi program kegiatan gereja adalah kegiatan rutin kebaktian, program konseling keluarga, yaitu apabila ada keluarga yang bermasalah maka pendeta (Pdt. Games Purba) akan mendatangi rumah jamaat yang bermasalah tersebut. Program konseling tersebut untuk saat ini lebih mengutamakan nasihat perkawinan bagi calon pengantin, pelayanan orang sakit, pelayanan orang yang mendapat kemalangan, dan juga untuk lanjut usia (lansia). Di samping itu ada juga program sekolah mingguan berupa pelayanan khusus untuk anak-anak dari tingkat usia TK sampai SD kelas 6. Untuk remaja didirikan kelompok musik dan pada waktu yang ditentukan ada diskusi semacam seminar dengan topik yang berbeda-beda, antara lain: menghormati orang tua, menyiapkan generasi muda sukses dalam studi, dan bagaimana generasi muda di dunia kerja. Program pemuda HKBP lainnya adalah terkait tugas pemuda yaitu bahwa pemuda harus mendalami dan menjiwai budaya batak. Pada tahun ini ada juga kegiatan “retreat”, semacam pembinaan khusus buat remaja yang dilaksanakan setiap tahun berupa wisata rohani yang diperkirakan 100 orang yang mengikutinya. Untuk tahun ini kegiatan akan dilaksanakan di Tapanuli. Bagi calon pemuda di gereja ini juga diajarkan program “cidi” (priode transisi dari anak-anak ke dewasa) yakni menyangkut ajaran pokok-pokok iman Kristen.
3.
Pengelolaan Dana Sosial Umat
Semua program dan kegiatan tidak pernah akan berjalan tanpa adanya dukungan dana, demikian halnya dengan program yang dijalankan oleh Gereja HKBP Cinta Damai. Dana bagi pelaksanaan program-program tersebut telah disiapkan, yaitu berasal dari uang persembahan jamaah yang diberikan dengan suka rela. Tiap individu jamaat memberikan uang persembahan kepada gereja rata-rata sebesar Rp. 15.000,00 setiap Minggunya. Dana tersebut digunakan untuk tiga pos kepentingan, yaitu pertama untuk pengelolaan gereja seperti pembayaran listrik, telephon, PAM, kebersihan, dan biaya hidup
108
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
pendeta. Kedua, untuk pembangunan gereja seperti rehabilitasi gedung. Ketiga, untuk disetor ke HKBP pusat. Di samping tiga hal tersebut, juga terdapat pos keempat, yaitu dana untuk diakonia (dana untuk kegiatan sosial). Dana diakonia yang diambil dari persembahan jamaat tiap bulannya, saat ini untuk memaksimalkan pengelolaannya maka dana diakonia terpisah dari dana gereja, dan memiliki kepengurusan serta pengadministrasian khusus. Gereja HKBP Cinta Damai sengaja memisahkannya dengan pengelolaan keuangan jamaat, seksi diakonia diberi kepercayaan untuk mengelolanya sendiri. Dana tersebut digunakan untuk membantu jamaat yang sudah tua dan sakit-sakitan, untuk jamaat yang penyakitnya ringan diberi bantuan sebesar Rp 100 ribu, akan tetapi jika sudah menahun dan parah diberi santunan sebesar Rp 500 ribu. Untuk bantuan bagi jamaat yang meninggal dunia, maka jumlah dana yang diberikan bervariasi, biasanya biaya itu untuk mengganti karangan bunga; untuk usia anak-anak 400 ribu, remaja 500 ribu, dan untuk orang dewasa 600 ribu. Dari dana diakonia ini juga bisa diberikan bantuan dalam bentuk beras sebanyak 10 kg bagi satu keluarga yang tidak mampu dan belum mempunyai pekerjaan setiap bulan. Untuk memperkuat kepercayaan jamaat kepada pengurus gereja, maka pihak pengelola membuat laporan keuangan serinci mungkin. Lindon Johnson Tambunan, pengelola harta gereja (pararton) di HKBP Cinta Damai menyampaikan, bahwa dirinya mencatat semua pemasukan yang diterima untuk gereja dan pengeluaran uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan jamaat gereja. Hasil catatannya itu kemudian dipublikasikan kepada jamaat setiap minggunya melalui selebaran semacam tabloid. Dalam mempertanggung jawabkan laporannya ke pusat, pengurus Gereja HKBP Cinta Damai memisahkannya menjadi dua laporan, satu laporan keuangan persembahan mingguan dan kedua laporan keuangan diakonia. Laporan ini buat semacam buletin dengan judul “Tahun Remaja Dan Pemuda HKBP 2014”. Pada bulan ini pengeluaran per 10 – 17 Mei 2014 jumlahnya sebanyak Rp. 13.872.000,00 dan saldo per 17 Mei 2014 sebesar Rp. 27.770.250,00. Untuk setoran dana ke pusat yaitu setoran Pelean II jumlahnya sebesar Rp. 16.057.000,00. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
109
Pengelolaan keuangan ini dilakukan secara transparan. Hal ini disadari oleh pihak gereja bahwa keuangan bisa menjadi sumber fitnah. Pendeta tidak pernah ikut campur dalam hal keuangan, pendeta hanya mengontrol saja. Dalam setiap keputusan tidak diambil dari satu atau dua orang, melainkan dengan jalan musyawarah. Sebagai bukti, pihak gereja kini berhasil menyelesaikan pembangunan gedung serba guna yang biayanya sudah menghabiskan dana sebesar Rp. 1,8 miliar. Dana pembangunan gedung tersebut bisa dikatakan sepenuhnya dari jamaat. Kini pembangunan gedung sedang dalam proses penyelesaian akhir (finishing). Bangunan gedung serbaguna ini rencananya akan diresmikan oleh Ephorus HKBP bulan Oktober 2014 nanti. Sebelum tahun 2013, Gereja HKBP Cinta Damai belum pernah menerima bantuan dari lembaga lain baik dari swasta maupun pemerintah. Barulah tahun 2013 lalu, dan ini merupakan satu-satunya bantuan dari pemerintah yang diterima oleh gereja yaitu sebesar Rp. 50.000.000 melalui Bimas Keristen Kanwil Kemenag Sumut. Bantuan dari lembaga swasta belum pernah, kecuali hanya individu para jamaat yang kebetulan bekerja di sektor swasta. Rekor bantuan dari jamaat paling tinggi dalam rangka pembangunan gedung serba guna tercatat sebanyak 2.500 batu-bata atau setara dengan uang Rp. 50.000.000. Gedung serba guna milik HKBP merupakan aset yang berharga bagi Gereja HKBP karena sudah disewakan untuk umum, sekali sewa dikenakan biaya 2,4 juta, dan ada potongan (diskon) 40% apabila yang menyewa adalah jamaat HKBP Cinta Damai sendiri. Sejak gedung serbaguna ini disewakan untuk umum maka dalam jadwal hampir setiap sabtu dan minggu, gedung itu sudah habis dipesan. Saat ini semua biaya yang diperoleh dari hasil sewa digunakan untuk dana pembangunan gedung tersebut.
4.
Faktor Pendukung dan Penghambat
Sebagai faktor pendukung perkembangan gereja, antara lain pertama, sistem organisasi di lingkungan HKBP yang sudah tertata baik dan adanya panduan yang baku dari HKBP pusat yang diikuti
110
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
semua level tingkatan gereja. Kedua, ketulusan dan kemandirian jamaat dalam membangun dan mengembangkan gereja sangat kuat, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dana persembahan yang diberikan secara rutin dan sukarela, serta kehadiran mereka setiap minggu di gereja untuk ibadat kebaktian. Ketiga, pengadministrasian pengelolaan dana jamaat yang dilakukan secara rapih dan transparan, setiap minggu pengurus menyampaikan laporan penerimaan dan pemanfaatan dana yang diperoleh, hal ini telah menumbuhkan kepercayaan jamaat terhadap pengurus gereja. Adapun yang merupakan faktor penghambat, antara lain pertama, derasnya arus modernisasi, globalisasi dan informasi menjadi tantangan sendiri bagi pihak gereja dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan, sebab modernisasi dan globalisasi pada satu sisi menghasilkan kemajuan, namun pada sisi lain telah masyarakat semakin materialis dan hedonis. Kedua, masih terbatasnya dana persembahan yang diperoleh dari jamaat, padahal seluruh program dan kegiatan gereja adalah mengandalkan dana yang berasal dari dana persembahan jamaat.
C. Model Pengelolaan Gereja HKBP Maranatha 1.
Profil Gereja
Gereja HKBP Maranatha mulai berdiri pada 1991, Gereja HKBP Maranatha Mulyorejo Deli Serdang, termasuk dalam resort Gereja HKBP Cinta Damai Distrik X Medan-Aceh. Gereja ini terletak di jalan Pardede Gang Sakinah. Jumlah jamaat di gereja ini masih sedikit yaitu sebanyak 60 KK, dengan jumlah jiwa sekitar 231 jiwa. pada dasarnya pengelolaan gereja ini sama dengan gereja-gereja HKBP lainnya, aturan-aturan yang dipakai mengikuti ketetapan Gereja HKBP pusat di Tarutung yang tahun ini mencantumkan visinya sebagai tahun pelayanan bagi pemuda dan remaja. Visi tersebut mengandung makna bagaimana pemuda dan remaja dapat menjadi pemuda bangsa, bukan hanya pemuda gereja.44 Wawancara dengan Johnson Hasibuan, gembala gereja HKBP Maranatha, Mulyorejo, Deli Serdang, 26 Mei 2014. 44
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
111
Gereja Maranatha dipimpin oleh Gembala Johnson Hasibuan, status beliau saat ini belum pendeta. Dalam HKBP terdapat ketentuan khusus untuk kualifikasi seorang pendeta antara lain harus lulus Sekolah Tinggi Teologia (STT) HKBP atau STT lain, sementara beliau masih menempuh pendidikan tersebut. Gereja Maranatha dulunya pernah mengalami konflik yang berkepanjangan dan konflik tersebut membuat jamaat terpecah, karena terjadinya dualisme kepemimpinan antara pendeta yang lama dengan majelis Gereja. Ketika gembala Johnson Hasibuan ditugaskan di Gereja Maranatha dengan ditetapkan berdasarkan SK, maka menurut beliau, sebagai langkah pertama adalah mendamaikan para pimpinan gereja, beliau memulai dengan mencoba menyadarkan betapa pentingnya persatuan dan mengingatkan untuk kembali ke gereja, yaitu membangun dan membesarkan Gereja Maranatha. Usaha Gembala Johnson Hasibuan tidak sia-sia, karena ternyata mampu meredakan suasana, pimpinan Gereja Maranatha yang tadinya sering berselisih akhirnya bisa berdamai. Dalam menjalankan tugas pelayanan, jam kerja Gembala Johnson Hasibuan bisa dikatakan 24 jam, sebab dirinya harus selalu stand by (siap di tempat), kapan dipanggil jamaat beliau haruslah siap datang setiap saat, misalnya jika ada jamaat yang meninggal, maka ia harus melayat jam berapa pun, begitu juga untuk melayani orang yang membutuhkan bimbingan pastoral. Beban kerja ini sebenarnya tidak sebanding dengan jumlah honorarium yang diterima Gembala Johnson Hasibuan yang besarnya saat ini hanya 600 ribu perbulan. Jumlah tersebut mungkin hanya habis untuk biaya transportasi dalam melayani kepentingan di luar dan kepentingan di dalam gereja. Jumlah honorarium tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan honorarium pendeta di tingkat resort. Tugas pendeta ditingkat resort yang juga sebagai pimpinan majelis gajinya bisa mencapai 6 juta perbulan. Standar honorarium itu ditentukan dalam rapat, sesuai dengan kemampuan jamaat gereja masing-masing. Biasanya jika gerejanya sudah besar dan persembahannya juga besar maka gereja bisa memberikan honorarium yang lebih besar. Untuk kasus Gereja Maranatha, jamaatnya secara kuantitas dan kualitas masih sangat terbatas. Umumnya tingkat ekonomi jamaat
112
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
berpenghasilan rendah. Untuk itu jamaat belum mampu mendatangkan pendeta, sebab jika harus mendatangkan pendeta maka honorarium pendeta akan menjadi tanggung jawab mereka. 45 Saat ini jamaat menyadari bahwa untuk saat ini mereka hanya bisa memiliki gembala yaitu Johnson Hasibuan yang belum jadi pendeta. Pada dasarnya tugas gembala sama dengan pendeta, namun memang ada beberapa bentuk pelayanan yang tidak bisa dilakukan oleh gembala, dan hanya bisa dilakukan oleh pendeta, yaitu sakramen perjamuan kudus dan penahbisan kudus. Di samping seorang gembala, pelayanan keagamaan di Gereja Maranatha juga dibantu oleh dua orang guru. Tugas guru berbeda dengan gembala, tugas guru hanya berkhutbah atau mengajar agama saja di dalam lingkup gereja. Sedangkan gembala di samping bertugas di dalam juga di luar gereja.46 Seorang gembala harus pandai melakukan pendekatan kepada masyarakat sesuai dengan kelompok umurnya. Dalam pendekatannya dengan jamaat yang masih berusia anak-anak, maka Gembala Johnson Hasibuan kadang harus bisa menjadi seperti anakanak, yaitu ikut bermain dengan mereka dengan memberi game-game tertentu, sehingga anak-anak tertarik dan semangat untuk datang ke gereja. Begitu halnya ketika harus mendekati kelompok pemuda, ia pun berusaha untuk bisa menjadi seperti pemuda walaupun mengingat usianya saat ini ia tidak pantas dikatakan pemuda. Ia mengatakan bahwa selama menjalankan tugas pelayanan dirinya tidak mengalami hambatan yang berarti, karena ia banyak mengenal masyarakat dan banyak berkomunikasi dengan mereka. Gembala Johnson Hasibuan mengetahui nama-nama dan rumah masing-masing jamaatnya. Ia berusaha melayani jamaat semaksimal mungkin, kadang ia harus datang untuk menjengut jamaat yang sakit atau bermasalah, meski honor yang diterimanya 45 Wawancara dengan Nurita Sianipar seorang jamaat aktif gereja Maranatha di rumahnya, tanggal 26 Mei 2014 46 Wawancara dengan J. Simanjuntak seorang pengurus gereja HKBP Maranatha, tanggal 26 Mei 2014.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
113
tergolong kecil. Gembala Johnson Hasibuan juga berusaha memperhatikan jamaatnya dengan memberikan reward kepada jamaah yang aktif datang ke gereja, yakni memberikan Al Kitab yang baru. Adapun jamaat yang tidak rajin ke gereja ia tidak memaksanya, tapi beliau berusahan mendekatinya, menyadarinya sehingga jamaat tersebut merasa malu dan akhirnya mau datang kembali ke gereja.
2.
Program dan Kegiatan Gereja
Arus globalisasi membuat banyak pendeta HKBP merasa kawatir akan generasi pemuda dan remaja yang lambat laun banyak yang meninggalkan agama dan juga budaya batak. Pergeseran ini dirasakan oleh Gembala Johnson Hasibuan, maka beliau mengadakan kegiatan rohani kepada pemuda yang diadakan pada malam rabu untuk membahas Alkitab dan berdiskusi tentang masa depan pemuda dan remaja sehingga tidak meninggalkan keimanannya. Beliau juga berusaha mengajari pemuda dan remaja gereja bahasa Batak sebulan sekali, beliau menginginkan agar kelak generasi gereja Maranatha tidak hanya menjadi pemuda gereja tapi juga pemuda bangsa yang siap dan mampu menjaga budayanya. Implementasi program ini menurut Gembala Johnson Hasibuan dimulai dengan penguatan rohani, dengan menekankan pentingnya pemuda dan remaja memiliki tanggung jawab. Sebagai langkah jangka pendek, diadakan seminar-seminar tentang peran pemuda dan remaja. Tema tentang remaja dan pemuda menjadi visi tahun ini. Mereka juga dilatih bersikap bagaimana menjalin kebersamaan dengan lingkungan yang plural. Di lingkungan Gereja HKBP Maranatha sendiri kebetulan masyarakatnya beragam agama, ada Muslim dan juga Buddhis. Dengan membawa ajaran Kristen yaitu garam dan terang, maka remaja dan pemuda kristen semestinya mampu menempatkan diri bagaimana berintraksi secara baik dengan muslim, buddhis dan lainnya. Mereka tidak boleh lagi berfikir ekslusif dan merasa tidak ada hubungan dengan pemeluk agama lain.
114
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
3.
Pengeolaan Dana Sosial Umat
Saat berdiri pada 1991 bangunan Gereja Maranatha masih sangat sederhana. Bangunan gereja saat itu dindingnya dari kayu triplek dan atapnya dari seng. Melihat kondisi demikian, maka pengurus dan jamaat kemudian merasa sudah saatnya Gereja Maranatha dibangun secara layak. Untuk itu dimulailah perencanan pembangunan Gereja Maranatha dengan mengadakan pesta penghimpunan dana beberapa kali. Dalam pesta penghimpunan dana tersebut dilakukan lelang amal. Dari dana yang berhasil dihimpun maka kemudian pembangunan gereja mulai dilaksanakan. Bangunan gereja yang luasnya sekitar 202 m2 dengan rincian panjang 18 m2 lebar 12 m2 ini mendapatkan banyak bantuan yang datangnya dari jamaat gereja Maranatha sendiri dan jamaat Kristen dari gereja lain. Bantuan juga diperoleh dari Kanwil Kemenag sebesar 50 juta yang digunakan untuk membangun menara khas Gereja HKBP yang letaknya di bagian depan. Bantuan Kemenag juga digunakan untuk pemasangan atap bagian depan gereja dengan bahan dari baja ringan. Selain bantuan dari pemerintah, bantuan juga datang dari kalangan swasta. Salah satunya dari PT Latexindo, sebuah perusahaan sarung tangan yang berlokasi tidak jauh dari tempat berdirinya Gereja Maranatha. Bentuk bantuan tersebut berupa barang-barang material dan tenaga tukang. Bantuan tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab PT Latexindo karena dengan pembuangan limbahnya telah banyak mencemari lingkungan di sekitar gereja, untuk itu bantuan tersebut sebenarnya merupakan timbal-balik. Pembangunan Gereja Maranatha sekarang ini telah mencapai 60% dengan perkiraan dana mencapai 1,3 milliar. Bangunan gereja yang baru dibangun itu kini sudah mulai digunakan oleh jamaat untuk acara kebaktian dan kegiatan keagamaan lainnya. Gereja Maranatha bisa dibangun atas dasar kebersamaan jamaatnya. Mereka mempunyai rasa memiliki gereja yang kuat. Para jamaat berusaha membangun gereja dengan berbagai cara, utamanya adalah dengan memberikan uang persembahan dengan sukarela secara rutin setiap minggunya. Persembahan itu diperuntukkan untuk tiga hal, yaitu (1) biaya kebutuhan rutin gereja, (2) biaya untuk Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
115
pembangunan gereja, dan (3) uang untuk disetor ke resort. Uang persembahan tersebut ada pembukuaanya dan disampaikan laporannya kepada jamaat tiap minggunya. Pihak gereja berusaha untuk transparan dalam pelayanan keuangan, dalam laporan keuangan gereja ini, dipisahkan antara uang persembahan untuk biaya gereja dan uang yang untuk disetorkan ke resort. Jamaat gereja umumnya menyadari bahwa mempersembahkan uang ke gereja adalah sepenuhnya menjadi kewajiban mereka sebagai jamaat. Mereka harus memberikan dukungan bagi Gereja Maranatha sendiri, juga kepada pengurus di tingkat resort, dan demikian seterusnya hingga ke tingkat pusat. Jamaat HKBP haruslah memberikan dan menyukseskan HKBP hingga level yang di atasnya, tanpa pernah menginginkan adanya bantuan ke gereja mereka yang datangnya dari resort, distrik atau pusat. Berbeda dengan organisasi yang lain misalnya yang memungkinkan adanya kucuran dana dari level organisasi “atas” ke bawah. Mereka meyakini bahwa kebesaran HKBP adalah kebesaran mereka juga. Seperti umpamanya perayaan Paska di kantor pusat HKBP Pearaja Tarutung, pada 5-7 Mei 2014 lalu, perayaan itu dananya juga ditanggung persembahan gereja-gereja ditingkat pagaran, seperti Gereja Maranatha.
4.
Faktor Pendukung dan Penghambat
Ada beberpa faktor yang dapat dikatakan sebagai pendukung keberhasilan pelayanan gereja, yaitu pertama, Gembala Johnson Hasibuan sebagai pimpinan jamaat adalah merupakan sosok yang aktif dalam memberikan pelayanan, bukan hanya di lingkungan gereja tapi juga dalam kegiatan di masyarakat, ia juga terlibat dalam Satuan Tolong Menolong (STM) di masyarakat. Hal ini berkontribusi bagi kelancaran tugasnya dalam memberikan pelayanan. Kedua, kebersamaan jamaat, mereka mempunyai rasa memiliki yang besar terhadap gereja sehingga siap berkorban untuk membesarkan gereja, dengan kegigihan dan sikap mau berkorban maka gereja pun bisa berdiri dengan perkiraan dana mencapai 1,3 milliar.
116
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Sedangkan beberapa faktor penghambat adalah pertama, ekonomi masyarakat masih kategori miskin, hal ini berpengaruh pada minimnya jumlah dana persembahan dana yang berhasil dihimpun, padahal aktifitas gereja dibiayai oleh dana tersebut. Kedua, masih maraknya perilaku yang terkategorikan penyakit masyarakat (pekat) terutama dikalangan laki-laki dewasa. Mereka ini jarang datang ke gereja untuk ikut kebaktian setiap hari minggu, kaum bapaknya yang datang hanya sekitar lima persen saja. Namun demikian biasanya kaum laki-laki dewasa hadir pada momen-momen tertentu saja, seperti pada acara pesta penghimpunan dana pembangunan perayaan paskah dan natal. D. Analisis Melihat dari kiprah Gereja HKBP di dua tempat, yakni HKBP Cinta Damai dan HKBP Maranatha di Mulyorejo tersebut di atas membabarkan pengetahuan bahwa lembaga agama ternyata mampu menunjukkan kemandiriannya dalam memberikan pelayanan kepada jemaatnya. Tuntunan hidup yang bernafaskan rohani maupun spiritual dapat dipadukan dengan pengorganisasian umat dan sumber daya materi maupun immateri melalui sistem dan struktur yang telah dibakukan sejak berdirinya sinode ini lebih dari satu abad lampau. Mengikuti analisis Coleman maupun Robert R. Putnam, dua tokoh yang paling sering disebut sebagai pakar di bidang social capital, perkembangan Gereja HKBP di dua lokasi tersebut tidak terbantahkan memberikan bukti betapa social capital itu telah berjalan walaupun mungkin belum seideal yang dibayangkan kalangan pemikir teori ini. Hal ini dapat dilihat dari loyalitas yang dimiliki jemaat, dibuktikan misalnya dengan pemberian dana persembahan kepada gereja di setiap kebaktian, maupun persembahan khusus kepada pendeta dalam rangka ucapan sukur atas tercapainya suatu kesuksesan. Ditopang dengan system hirarkhi yang sedemikian ketat, maka pengorganisasian jemaat dan sekaligus dana persembahan yang terkumpul tersebut terbukti dapat mendinamisasi gereja, sehingga dapat berkembang baik dari segi fisik maupun pelayanan yang diberikan kepada jemaat. Untuk melihat ini, analisis Berger tentang mediating structure juga memberi pembuktian bahwa lembaga agama seperti gereja ternyata mampu menjadi struktur perantara (mediating structure) yang membantu Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
117
meningkatkan kualitas hidup dan peningkatan kesejahteraan warga Negara. Dalam hal ini, sekalipun peran Negara terbukti amat kecil dalam lingkup gereja, namun gereja mampu memainkan fungsinya sebagai lembaga yang memberi solusi di tengah himpitan hidup yang mendera jemaatnya. Aksi-aksi sosial (diakonia) yang berjalan di Gereja HKBP seperti diuraikan di bagian terdahulu dapat dilihat sebagai upaya lembaga agama dalam memainkan peranan sebagai struktur perantara, di luar struktur Negara dan bisnis yang keduanya menyiratkan adanya kewajiban pemenuhan hak-hak hidup warga Negara di satu sisi dan di sisi lain kompetisi memperebutkan profit dan capital yang menciptakan konsekuensi kelompok yang kalah dalam pertarungan mengejar profit tersebut. Di sini, lembaga agama, seperti HKBP bisa menjadi jalan tengah dari himpitan dua “kekuatan” besar tersebut, terutama bagi yang belum terpenuhi hak-haknya oleh negara dan belum mampu bersaing secara bebas dalam pertarungan kapital. Penutup 1.
Simpulan a.
Gereja HKBP, baik Gereja Cinta Damai dan Maranatha selama ini rutin melayani jamaat dalam ibadat keagamaan seperti kebaktian minggu (remaja dan orang tua) dan sekolah minggu (bagi anakanak). Gereja juga aktif dalam melaksanakan kegiatan sosial seperti memberikan santunan untuk jamaat yang sakit, meninggal, dan kurang mampu.
b.
Gereja HKBP merupakan gereja yang memiliki kemandirian. Kegiatan gereja dibiayai sepenuhnya oleh jamaat melalui dana persembahan yang dihimpun secara sukarela. Besarnya dana yang diperoleh oleh Gereja HKBP berkorelasi dengan besarnya jamaat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Semakin besar jumlah jamaah dan semakin baik kualitas (ekonomi) jamaat, maka dana yang dihimpun akan semakin besar.
c.
Dana persembahan dari jamaat, dimanfaatkan untuk empat hal, yaitu pertama untuk pengelolaan Gereja seperti pembayaran listrik, telephon, PAM, kebersihan, dan biaya hidup pendeta. Kedua, untuk pembangunan gereja seperti rehabilitasi gedung. Ketiga, untuk disetor ke pusat HKBP. Keempat, yaitu dana diakonia untuk
118
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
kegiatan sosial. Pengelolaan dana tersebut diadministrasikan oleh pengurus secara baik, dan dilaporkan secara berkala kepada jamaat. Di samping itu dilakukan audit oleh auditor internal, auditor KHBP distrik dan HKBP pusat. d.
2.
Usaha pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak gereja terhadap jamaat dan masyarakat nampak belum signifikan, hal ini masih menjadi harapan (keinginan) para pengurus gereja karena secara finansial gereja masih terbatas, saat ini gereja masih fokus pada pembangunan gedung, yaitu gedung “Serba Guna” untuk Gereja HKBP Cinta Damai dan gedung gereja untuk HKBP Maranatha.
Rekomendasi a.
Para pengurus Gereja HKBP perlu mempertahankan dan meningkatan kualitas pengelolaan Gereja HKBP, baik dalam menjalani fungsinya dalam memberikan pelayanan ibadat, bantuan sosial, maupun pemberdayaan jamaatnya. Sebab kehadiran Gereja HKBP sesuai nilai kekristenan harus mampu memberikan manfaat nyata untuk jamaat gereja khususnya dan juga masyarakat di sekiling gereja pada umumnya.
b.
Gereja-gereja HKBP mempunyai modal sosial yang potensial, modal sosial itu muncul dari adanya interaksi antara jamaat dan pengurus gereja (pendeta, gembala, guru). Modal sosial yang dimiliki HKBP ini perlu dikelola secara optimal, sehingga mampu menjadi kekuatan yang bisa dikembangkan secara maksimal dan secara timbal balik.
c.
Kepemimpinan pendeta/gembala di masing-masing gereja sangat berpengaruh terhadap perkembangan Gereja HKBP. Eksistensi dan perkembangan Gereja HKBP tidak bisa dilepaskan dari kinerja para pendeta/gembala dalam melayani jamaat dan memajukan gereja. Selama ini Gereja HKBP tumbuh dan berkembang secara mandiri, yaitu dengan mengandalkan dukungan jamaatnya, untuk itu suatu kepemimpinan yang inovatif, kreatif, dan transformatif sangat dibutuhkan. ***
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
119
Daftar Pustaka Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal of Sociology, 94 Supplement: S95-120. Fukuyama F. The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Newyork: Free Press. Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity. Hutauruk. Jubil Raplan. 2011. Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, Peraja-Tarutung. Kantor Pusat HKBP. Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory, Second Edition. London: MacMillan Press.Ltd. Putnam, R.D. 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy. Princeton NJ: Princeton University Press. Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Saraswati. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Kecil dalam Tata Ruang Perkotaan. Makalah disampaikan dalam Saresehan Pemberdayaan Rakyat Kecil dalam Konteks Hankam Menyambut HUT ke-51 Kodam III/Siliwangi, di Bandung, 24 April 1997. Simanjuntak, Nurmaya RA. 2012. Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja HKBP. Universitas Kristen Satya Wacana. Sitompul, Harion Parlindungan. 2013. 100 Tahun Gereja HKBP Medan. Universitas Negeri Medan. Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial: Spketrum Pemikiran. Bandung. Lembaga Studi Pembangunan – Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. ___________. 2005. Membangun Bandung: Refika Aditama.
Masyarakat
Memberdayakan
Rakyat.
Teuruna, A, Tengku Azwansyah. 2006. Sultan Makmoen Al-Rasyid dan Berdirinya kota Medan serta Istana Maimoon. Bandung: Melajoe Marie Meladjoe.
120
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN GKI DI KOTA SORONG: Merefleksikan Teologi dengan Diakonia Transformatif Oleh: Muchtar dan Achmad Ubaidillah
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Nama Sorong berasal dari kata “Soren” dalam bahasa Biak Numfor yang berarti laut yang terdalam dan bergelombang, kata Soren digunakan pertama kali oleh Suku Biak Numfor yang berlayar pada zaman dahulu dengan perahu-perahu layar dari satu pulau ke pulau yang lain hingga tiba dan menetap di kepulauan Raja Ampat. Suku Biak Numfor inilah yang memberi nama “Daratan Maladum” dengan sebutan “Soren” yang kemudian dilafalkan oleh para pedagang Tionghoa, misionaris dari Eropa, Maluku dan Sangihe Talaud dengan sebutan Sorong. Awal mulanya Kota Sorong merupakan salah satu kecamatan yang dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Sorong. Namun berdasarkan UndangUndang Nomor 45 Tahun 1999, Kota Administratif ditingkatkan menjadi Kota Otonom, yaitu Kota Sorong pada tanggal 21 Oktober 1999. Secara Geografis Kota Sorong terletak pada Posisi, antara 131º 15’ Bujur Timur dan 0º 54’ Lintang Selatan. Dengan ketinggian 3 meter dari permukaan laut. Kota Sorong dengan luas wilayah 1.105 Km² adalah pintu gerbang Papua, di samping sebagai kota persinggahan juga merupakan kota industri, perdagangan dan jasa.47 Masyarakat Kota Sorong terdiri dari penduduk asli Papua dan berbagai suku pendatang yang menyebar dan mendiami enam distrik dan 31 kelurahan. Berdasarkan pemutakhiran data pada Desember 2009, penduduk Kota Sorong berjumlah penduduk 286.822 jiwa yang terdiri dari jumlah laki-laki sebanyak 151.186 jiwa dan perempuan sebanyak 135.636 47
http://www.sorongkota.go.id, diakses pada tanggal 1 Juni 2014
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
121
jiwa.48 Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan data Kota Sorong Dalam Angka Tahun 2013, jumlah penduduk Kota Sorong mengalami perubahan menjadi 208.292 jiwa yang terdiri dari jumlah laki-laki sebanyak 109.297 jiwa dan perempuan sebanyak 98.995 jiwa. Adapun jumlah penduduk Kota Sorong berdasarkan agama pada 2012 adalah umat Kristen 134.009 jiwa atau 55.31 %, umat Islam 85.974 jiwa (35.48%), umat Katolik 19.925 jiwa (8.22%), umat Hindu 890 (0.28%), umat Buddha 1.688 (0.87%) dan umat Konghucu (0%) (Dokumen Jumlah Penduduk dan Pemeluk Agama Menurut Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua Barat Tahun 2012). Sedangkan jumlah tempat ibadah masing-masing agama di Kota Sorong adalah 219 Gereja Jemaat Kristen dan 42 Pos Pekabaran Injil, 15 Gereja Katolik, 88 Masjid, 1 Pura dan 3 Wihara.49 Kehidupan masyarakat di Kota Sorong memang sangat dinamis. Letaknya yang strategis membuat kota ini menjadi salah satu pintu masuk ke daerah Papua. Orang dari berbagai daerah di Indonesia dan juga luar negeri hilir-mudik melakukan berbagai kegiatan. Dengan segala kedinamisan yang dimiliki, tidak heran jika akhirnya Kota Sorong menuai banyak julukan sebagai kota minyak, jasa, perdagangan, dan juga kota industri. Kehidupan di Sorong baru dimulai ketika Belanda datang untuk menjajah melalui perdagangan dan eksploitasi minyak. Sorong kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan tempat berkembangnya perkantoran perusahaan minyak. Alhasil, sejak 1947 Kota Sorong mulai melekat dengan julukan kota minyak. Selain perusahaan minyak, Sorong juga menjadi pusat perikanan. Banyak perusahaan yang bergerak di sektor perikanan bermarkas di kota ini. Tidak heran jika sarana pelabuhan lautnya tergolong lengkap. Selain fasilitas pangkalan, ada juga gudang, tempat pelelangan ikan, cold storage, dan tentu saja pabrik es. Kekayaan laut memang menjadi salah satu kekuatan ekonomi di kota ini. Sekitar 3.726 orang menggantungkan hidup sebagai nelayan, dan pada 2001 produksi perikanan rakyat tercatat sebesar 1.193,83 ton dengan nilai Rp 3,7 miliar.
48 49
122
Ibid Lihat, Kota Sorong Dalam Angka 2013
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Dengan potensi seperti itu, Kota Sorong kian dipadati oleh berbagai perusahaan yang bergerak di bidang perikanan. Mulai dari penangkapan udang, pengolahan ikan kaleng, ikan kayu, pengumpulan hasil perikanan, hingga penangkapan ikan tuna/cakalang sehingga sektor industri pun melaju pesat. Pesatnya perkembangan sektor industri menyebabkan Kota Sorong menjadi salah satu pusat perdagangan di Papua.50 Meskipun demikian, Kota Sorong yang memiliki visi “Terwujudnya Masyarakat Kota yang Setara, Bersahabat dan Dinamis ini didiami oleh masyarakat yang bermata pencaharian utama sebagai petani. Pola mata pencaharian demikian mencerminkan bahwa masyarakat di wilayah ini adalah masyarakat peladang dan peramu murni. Karena itu, untuk pengembangan dan pembinaan ekonomi masyarakat di wilayah ini Pemerintah Kota Sorong telah mengarahkan pada usaha-usaha pertanian terutama tanaman pangan dan perkebunan (usaha tani lahan kering). Sementara usaha-usaha nelayan dikembangkan melalui usaha penangkapan maupun budidaya sesuai potensi wilayah terutama komoditas laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Usman Habieb, 2011). Dengan dinamika perkembangan Kota Sorong tersebut, satu hal yang menjadi kenyataan di sana adalah terjadinya kesenjangan ekonomi di Kota Sorong, yaitu antara warga asli Papua dan pendatang (non Papua). Warga asli yang mayoritas merupakan Suku Moi juga terdesak dan tersisih dari percaturan ekonomi daerah. Indikasi ini antara lain terlihat di pusatpusat ekonomi di Kota Sorong. Di Pasar Sentral Remu misalnya, nyaris tidak ada pedagang dari Suku Moi ataupun Maybrat serta Inawatan yang merupakan pribumi di Sorong. Pasar ini justru dikuasai para perantau dan pemodal yang nota bene pendatang. Padahal, dahulu tanah di Kota Sorong dimiliki masyarakat Suku Moi. Tanah itu perlahan dijual kepada pendatang, dan mereka pun tinggal di pinggiran kota. Mayoritas warga Suku Moi masih tinggal di pinggiran hutan, tetap dengan tradisi berburu, meramu, dan mengumpulkan hasil hutan. Persoalan seperti itu juga dialami orang asli Papua hampir di seluruh pulau tersebut. Dari Manokwari, Sorong, Jayapura, Wamena, Nabire, Timika, hingga Merauke, pendatang terus 50
http://anastat.web.ugm.ac.id/index.php), Diakses pada tanggal 1 Juni 2014
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
123
berdatangan. Ini terjadi sejak migrasi besar-besaran mengalir melalui program transmigrasi. Pembukaan akses ekonomi melalui pembangunan infrastruktur semakin membuat pendatang berbondong-bondong datang yang menyebabkan masyarakat asli Papua semakin tersingkir. Pembangunan di bidang ekonomi, terutama pasar yang tidak diikuti dengan pemberdayaan perekonomian masyarakat asli telah mengakibatkan masyarakat asli kalah bersaing dalam di sektor perdagangan.51 Selanjutnya mengenai kehidupan keagamaan khususnya mengenai relasi antar umat beragama, toleransi antar umat beragama yang sudah berlangsung lama khususnya antara umat Kristen dan Muslim di sana sempat terusik oleh adanya peristiwa pemukulan Imam Masjid AlJihad oleh seorang pemuda Kristen yang sedang dalam kondisi mabuk. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 21 April 2014. Namun berkat kesigapan dan kesiapan aparat keamanan serta upaya para tokoh kedua agama untuk meredam kemungkinan terjadinya konflik terbuka dapat terhindarkan.52
A. Pengelolaan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua 1.
Sejarah dan Program Diakonia
Pembahasan mengenai gereja Kristen Injili Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen dan model model pemberdayaannya tentu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan denominasi gereja Kristen Injili di Tanah Papua (disingkat GKI-TP). Oleh karena itu perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai sejarah dan program diakonia GKI-TP sebelum menjelaskan profil dan model pemberdayaan yang dilakukan di gereja Kristen Injili Maranatha Remu dan gereja Kristen Injili Immanuel Bozwesen di kota Sorong sebagai dua gereja besar
51http://regional.kompas.com/read/2013/10/28/2013236/Warga.Asli.Papua.Barat. Makin.Terdesak, Diakses tanggal 1 Juni 2014). 52 Wawancara dengan H. Muhammad Saban Bugis, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Sorong dan Agung Sibela, Kasi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kota Sorong, Tanggal 26 Mei 2014).
124
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
yang relatif merepresentasikan program program yang disusun dan dilaksanakan oleh Sinode Gereja Kristen Injili di tanah Papua. Gereja Kristen Injili di tanah Papua (disingkat GKI-TP) merupakan kelompok gereja Kristen Protestan beraliran calvinis di Indonesia, khususnya di tanah Papua, yang mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. GKI di tanah Papua yang berkantor pusat di Jayapura terdiri 45 klasis dan 1.237 jemaat yang bertebaran di seluruh wilayah Papua.53 GKI di tanah Papua berdiri pada 26 Oktober 1956 sebagai hasil pekabaran injil yang dimulai oleh Ottow dan Geissler pada 5 Februari 1855. Sejak awal berdirinya, GKI di Tanah Papua merupakan suatu gereja yang bersifat oikumenis, dan bukan gereja suku. Oleh karena itu, anggota-anggota jemaat GKI di tanah Papua berasal dari orang Papua dan non Papua dari berbagai suku dan bangsa serta dari berbagai latar belakang keanggotaan gereja. Kehadiran dan keberadaan GKI di tanah Papua merupakan kehendak Tuhan untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang nyata di tengah keterbelakangan, keterasingan, kebodohan dan kemiskinan. Oleh pemberitaan Injil, peradaban baru Papua dimulai dan terus berlangsung sampai sekarang. GKI di tanah Papua berdiri yang dalam strutur keorganisasiannya menganut model presbyterial sinodal dalam menunjang kerja kerja sinode GKI di tanah Papua, terdapat beberapa departemen yang mempunyai tugas masing-masing sesuai dengan urusannya yaitu Departemen Pekabaran Injil, Departemen Pembinaan Jemaat, Departemen Pendidikan, Departemen Litbang, Departemen Ekubang dan Departemen Diakonia. Di samping itu, GKI di tanah Papua juga mempunyai beberapa yayasan, yaitu sebagai berikut Yayasan Diakonia, Yayasan Ottow Geissler, Nasional Republik Indonesia di Jakarta, yayasan Pendidik Kristen, Yayasan Percetakan dan Balai Buku, Yayasan Izak Samuel Kijne
53
http://gkiditanahpapua.org/profil/, Diakses pada tanggal 1 Juni 2014
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
125
Di samping kelima yayasan tersebut, dalam hal pengembangan sumber daya manusia, GKI di Tanah Papua mempunyai enam institusi yang bergerak di bidang pembangunan sumber daya manusia, yaitu (1) Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Injili Izaak Samuel Kijne, (2). Universitas Ottow Geissler Papua, (3). Sekolah Pendidikan Guru Jemaat Manokwari, (4). Pusat Pelatihan dan Pembinaan Wanita (P3W) Gereja, (5). Pusat Pendidikan Kader (Puspenka) dan (6). PPG Petrus Kaviar. Selanjutnya terkait dengan program program pelayanan dan pemberdayaan umat, secara khusus GKI di tanah Papua melalui Departemen Diakonia banyak melakukan program-program pelayanan dan pemberdayaan umat Kristen dan umat lainnya di tanah Papua. Departemen Diakonia dalam GKI di tanah Papua terpanggil untuk terus memberitakan Injil dan membina warganya sesuai amanat agung Yesus Kristus kepada gereja (Matius 28:19-20) yang merupakan tugas hakiki gereja dalam hidup bersaksi, bersekutu dan melayani di dunia ini, sebagaimana terdapat dalam tata gereja GKI di Tanah Papua, Bab II, Pasal 5 dan Pasal 6.54 Panggilan untuk memberitakan injil dan pembinaan warga harus berlangsung terus menerus sebagai suatu gereja yang misioner di mana seluruh anggotanya dapat terlibat dalam peran-serta yang sejati untuk melaksanakan tugas panggilan, kesaksian dan pelayanan gereja yang berfungsi sebagai “garam dan terang dunia” dalam setiap situasi dan kondisi, baik di dalam gereja maupun di tengah-tengah masyarakat di berbagai bidang kehidupan terutama kesehatan dan pelayanan kasih. Pelayanan kasih adalah suatu proses yang sudah dan terus akan mengaktualisasikan diakonia Yesus Kristus di dalam persekutuan jemaat GKI di Tanah Papua yang selalu tampil bersaksi ke dalam maupun ke luar. Keberhasilan berbagai program Diakonia tersebut di GKI di Tanah Papua tidak dapat dilepaskan dari adanya potensi Departemen Diakonia dalam menopang pelaksanaan program: 54
126
Ibid
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
a.
komitmen pimpinan dan struktur gereja
b.
adanya lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, yayasan dan aset-aset lainnya milik gereja
c.
adanya pokja di lingkungan GKI di Tanah Papua yang mendukung Departemen Diakonia: P3W, Siloam, Maphia, Eklesia berserta jaringannya.
d.
adanya sumberdaya manusian, yaitu jemaat dengan berbagai profesi, pelayan jemaat dan pekerja gereja, pekerja sosial dan generasi muda gereja
Dalam melaksanakan program-programnya, kordinasi Departemen Diakonia GKI di Tanah Papua di aras sinodal terdiri dari 10 wilayah pelayanan dan GKI di tanah Papua terbagi menjadi 45 Klasis dan 12 Bakal Klasis serta 10 jemaat kategorial. Sesuai dengan misi GKI di tanah Papua untuk mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah atau tanda-tanda syaloom yang mencakup bidang kesehatan dan pelayanan kasih, maka aktivitas Departemen Diakonia diatur dan dilaksanakan sesuai dengan pokok-pokok program pelayanan Gereja Kristen Injili di tanah Papua (P-4 GKI) tahun 2011-2016, tentang pokok-pokok program Departemen Diakonia GKI di Tanah Papua. Oleh karena itu penjabarannya di aras sinode, klasis dan jemaat harus selalu menyentuh dan mewarnakan diakonia yang jelas nampak dari jemaat-jemaat GKI di seluruh wilayah pelayanan GKI di Tanah Papua. Adapun pokok-pokok program Diakonia GKI, yaitu pelayanan kesehatan, pelayanan bantuan kepada asrama-asrama, pelayanan bantuan bencana alam dan emergency, pelayanan anak terlantar, panti asuhan dan lansia, dan Pembentukan komite penanggulangan aids dan pengembangan jaringan penanggulangan HIV/AIDS. Di samping itu, beberapa pos pelayanan kesehatan milik GKI di Tanah Papua, yaitu rumah sakit ”efata” di Anggruk, Klasis GKI Yalimo, toko obat berijin “Bethesda” Klasis GKI Numfor, klinik “Agape” Klasis GKI Waropen, toko obat “Manna” di Klasis GKI Nabire, dan klinik kesehatan di Klasis GKI Biak Selatan.55
55
Ibid
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
127
2.
Jemaat GKI Maranatha Remu Sorong
Jemaat Maranatha Remu Sorong terbentuk sebagai persekuan Jemaat pada 1935. Gedung gereja pertama dibangun oleh pemborong “Holand Beton Maskapay” (HBM) dengan dana atau modal awal sebesar 25 golden, mata uang Belanda saat itu. Pendeta dan Ketua Majelis Jemaat pertama adalah Y. W. Klay, yaitu jemaat yang berbahasa Belanda dan jemaat yang berbahasa melayu. Untuk memudahkan pelayanan saat itu, ibadah dilaksanakan dua kali. Jemaat yang berbahasa Melayu terdiri dari jemaat yang berasal dari Papua dan daerah lainnya di Indonesia yang saat itu bekerja sebagai karyawan pada perusahaan besar saat itu. Perusahaan tersebut bernama Nederland Nieuw Guinea Petrolium Mascapy (NNGPM), sebuah perusahaan minyak dan perusahaan Holand Beton Mascapay (HBM), sebuah perusahaan kayu dan bangunan di Papua. Pada 1962, tepatnya pada waktu Tri Komando Rakyat (Trikora), warga negara Belanda kembali ke negaranya dan kemudian turut mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan juga bagi kehidupan dalam ibadah di bergereja. Kekosongan tersebut mengakibatkan guru-guru yang ada ditarik ke kota Sorong untuk mengisi kekosongan yang di tinggalkan oleh warga atau orang-orang Belanda, baik dalam bidang pendidikan maupun bidang pelayanan ibadah gereja. Guru yang pertama di tempatkan di Gereja Maranatha adalah Guru Jemaat P. Layunusa (alm). Selanjutnya Gereja Maranatha di pimpin oleh Pendeta dengan masa bakti yang berbeda-beda hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Dalam pergumulan jemaat yang sangat panjang, dengan memperhatikan tingkat pertumbuhan jemaat, maka di bangunlah gedung gereja yang baru yang diresmikan pada tanggal 4 Juni 2000. Hingga saat ini Gereja GKI Maranatha Remu Sorong masih tetap ada sebagai wadah untuk melaksanakan tugas pelayanannya berdasarkan Tri Panggilan Gereja, yakni Koinonia, Marturia, dan Diakonia. Adapun wilayah pelayanan Jemaat Maranatha Remu meliputi tiga wilayah pelayanan dan satu POS PI di antaranya: Rayon Remu
128
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Selatan, terbagi atas enam sub rayon, Rayon Kilo Meter 7, terbagi atas tiga sub rayon, Rayon Remu Utara, terbagi atas empat sub Rayon dan Satu Pos Pekabaran Injil, yaitu Pos I Siloam Bikar yang terletak di distrik Sausapor Kabupaten Tambrauw.
3.
Rumah Jemaat Maranatha Remu Sorong
Rumah Jemaat Maranatha Remu terletak di tengah-tengah kota Sorong tepatnya di Jalan Basuki Rahmat. Bangunan gedung Gereja Maranatha Remu Sorong terdiri dari tiga lantai yang 2 keseluruhan luasnya adalah11.837,55 m dan berdiri di atas tanah seluas 20.392.55 m2. Sedangkan luas halaman gereja, yaitu 5.960 m2 dan aula serba guna seluas 2.595 m2. Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain aula Maranatha dengan luas 2.595 m2, sebuah gedung Pastori Maranatha, sebuah gedung/rumah kostor, gedung TK Maranatha dua lantai, kios usaha sebanyak empat buah (satu buah dikelola oleh jamaat Maranatha dan tiga kios di kontrakan), dan mobil APV tahun 2010 & toyota kijang tahun 1995 serta satu buah sepeda motor Honda Mega pro tahun 2009. Sebagai penunjang kegiatan Jemaat Gereja, Gereja GKI Marantha Remu memiliki berbagai kelengkapan, sebagai berikut: a.
kelengkapan kegiatan ibadat, seperti mimbar, kotak derma, bangku dan kursi serta meja kerja, loud speaker aktif, organ dan piano, komputer, dll
b.
sekretariat dilengkapi dengan prasarana, seperti mesin resograf CZ 180, mesin fotocopy, TV, printer canon, lemari juga ada mesin ketik, ruang tamu, dll
c.
ruang kerja Ketua PHMJ, ruang kantor jemaat, ruang ganti pendeta, ada rumah menara lonceng, ruang konsistori, ruang bendahara serta gudang dan rumah pastori
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
129
4.
Struktur Organisasi Rumah Ibadah Maranatha Remu Sorong
Dalam rangka mengkoordinir serta menata pelayanan terhadap jamaat sesuai dengan program-program yang telah digariskan dalam setiap persidangan, maka pelaksanaannya diamanatkan kepada Pelaksanaan Harian Majelis Jemaat (PHMJ) bersama dengan perangkat penunjang di setiap urusan. Adapun susunan perangkat Pelaksana Harian Majelis Jemaat Periode 20112015, sesuai dengan Surat Keputusan Badan Pekerja Klasik GKI Sorong tertanggal 1 Januari 2012, dengan Nomor SK Nomor: 045/SK/A-23.C/1/2012, sebagai berikut: a.
Ketua
:
Pdt. Demianus Sipata, S.Th
b.
Wakil Ketua
:
Pnt. Thomas Nussy
c.
Sekretaris
:
Pnt. Sadrak Wariori
d. Wakil Sekretaris
:
Pnt. Joost Richard Nelwan
e.
:
Sym. Ursula Ana Rikumahu Matulessy
Bendahara
Untuk menunjang pelaksanaan tugas Pelaksana Harian Majelis Jemaat (PHMJ) maka dibentuk beberapa Sekertaris Urusan (sektur), yaitu: a.
Sekretaris Urusan (sektur) Injil yang diketuai oleh Penatua (Pnt) Marthen Lapikmassa.
b.
Sekretaris Urusan (sektur) Pembinaan Jemaat diketuai Pnt. Habil Djitmau
c.
Sekretaris Urusan Diakonia & Kpke diketuai Pnt. Y. Yurukai, S. Sos
d.
Sekretaris Urusan Pendidikan diketuai Sym Betuel Erari S.Pd, M.MPd.
e.
Sekretaris Urusan Ekubang diketuai Pnt. Ruty Ruimasa
Di samping itu, pada periode 2011-2015, Badan Pekerja Harian Majelis Jemaat juga dibantu oleh tiga rayon, antara lain Rayon Remu Selatan dengan anggota sebanyak 58 orang, Rayon KM 7 beranggotakan sebanyak 20 orang, dan Rayon Remu Utrara sebanyak
130
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
41 orang. Sejumlah majelis dan rayon Badan Pekerja Harian Majlis Jemaat juga dibantu oleh pelayanan firman/hamba-hamba Tuhan, antara lain: pendeta sebanyak 4 orang, guru Jemaat sebanyak 6 orang dan guru Injil 1 orang Sedangkan dalam upaya mendukung kelancaran tugas rutin di jemaat Gereja GKI Maranatha Remu, terdapat beberapa fasilitas, antara lain Tata Usaha sebanyak 4 orang, Kostor 5 orang, tenaga keagaman 1 orang, tenaga sound system 1 orang dan di bidang Pendidikan (TK) ada seorang kepala sekolah, 2 orang guru organik, 2 orang guru non-organik/honorer dan 1 orang penjaga TK.
5.
Aktivitas Rumah Ibadat Jemaat Maranatha Remu Sorong
Sesuai dengan fungsi dan peran gereja, berikut ini beberapa kegiatan GKI Maranatha Remu antara lain: a.
Ibadah Rutin 1)
paduan suara remaja dilakukan hari Sabtu, pukul 18.00-20.00
2)
ibadah Usbu dilakukan satu minggu sekali pada hari Senin, pukul 09.00-10.00
3)
ibadah umum/keluarga waktunya hari Jumat, pukul 17.0019.00
4)
paduan suara ibu ibu Kristen setiap hari Senin dan Rabu, pukul 14.00-16.00
5)
paduan suara pemudah pada hari (Senin, Rabu dan Jumat), pukul 17.00-19.00 yang disebut pemuda mencari jodoh
6)
ibadah buat anak-anak hari Sabtu pagi dan Minggu siang
7)
ibadah Persekutuan Wanita Kristen hari Kamis, pukul 17.0019.00
8)
Persekutuan Kaum Bapak setiap hari Rabu pukul 19.00-21.00
9)
sekolah minggu anak-anak pada hari Minggu sore, pukul 15.30-17.00
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
131
10) ibadah bagi pemuda, hari Selasa, pukul 18.00-20.00 11) peringatan hari besar keagamaan, seperti peringatan masuknya Injili ke tanah Papua setiap 5 Februari, peringatan berdirinya gereja GKI di tanah Papua setiap 26 Oktober, peringatan Natal dan Tahun Baru, dan Kenaikan Yesus & Kebangkitan Yesus biasanya waktunya ditentukan oleh Klasis Sorong b.
Kegiatan Sosial 1)
kegiatan Diakoni, yaitu kegiatan pelayanan kasih antara lain mendatangi orang yang sedang kesusahan (sakit) yang membutuhkan bantuan atau memberikan bantuan seperti, orang yang sakit di rumah mendapaat santunan sebesar Rp. 300.000 dan yang terbaring di rumah sakit diberikan santunan sebesar Rp. 500.000
2)
kerja bakti lingkungan biasanya bekerja sama dengan pemerintah daerah
3)
demo kebersihan yang dilakukan satu tahun sekali biasanya dilakukan bersamaan peringatan hari besar keagamaan
4)
bantuan bagi lanjut usia dengan memberikan pelayanan kesehatan gratis, sembako dan sembako
5)
melakukan donor darah setahun sekali
6)
pemberian modal atau pemberdayaan umat/jemaat diberikan bantuan modal usaha sebesar Rp. 5.000.000. Bila ada keuntungan 10% diberikan ke gereja sebagai persembahan dengan jangka waktu satu tahun (12 bulan).56
56 Penjelasan mengenai profil GKI Maranatha Remu Kota Sorong, Lihat, Dokumen Laporan Ketua Panitia Pelaksana Sidang Jemaat XXII GKI Maranatha Remu Kota Sorong Tahun 2013 dan wawancara dengan PHMJ GKI Maranatha Remu Sorong.
132
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
B. Gereja Kristen Injili Immanuel Boswezen Kota Sorong 1.
Gambaran Umum Rumah Ibadat
Keberadaan Gereja Immanuel Bozwesen yang terletak di Jl. Yos Sudarso No. 1 Sorong tidak terlepas dari kedatangan dua orang penginjil dari Jerman ke tanah Papua, yaitu Ottow dan Geissler pada 5 Februari 1855 M, di Manokwari (Sekretaris Klasis Sorong Pdt. Nimbrot Sesa). Sedangkan menurut Ketua Gereja Immanuel Bozwesen dan Sekretarisnya, kedatangan penginjil dari Jerman ke tanah Papua dan menyebarkan ajarannya ke seluruh tanah Papua. Khusus di kota Sorong penyebaran dibawa oleh penginjil B. W. Wogun, yaitu guru jemaat pada 27 Oktober 1927 hingga 1946. Sejak berdiri pada 1935 hingga saat ini Gereja Immanuel Bozwesen sudah mengalami beberapa kali renovasi/perubahan, yaitu pertama terjadi pada 1960an, 1991, 1998, terakhir pada 2005, dan selanjutnya diresmikan pada 28 Oktober 2006. Gereja Immanuel Boswezen yang terletak di Jl. Yos Sudarso Nomor 1 berdiri di atas areal tanah seluas 19.361 m2, luas bangunan gereja berukuran kurang lebih 59 x 25 m2 yang terdiri dari lantai dasar dan lantai dua yang digunakan sebagai pusat kegiatan ibadat. Ada beberapa tempat yang digunakan sebagai kegiatan Gereja Immanuel Bozwesen, antara lain gedung TK dua lantai yang berada di belakang sebelah kanan gedung gereja, gedung Poliklinik dan rumah pendeta berada di belakang sebelah kiri gedung gereja, di sebelah kiri terdapat gedung Klasis yang berdiri dengan megah sebanyak tiga lantai (lantai dasar terdiri dari ruang praktik dokter, apotek, ruang periksa, mini market, gudang, toko buku agama, tour & travel Pt. Satria Wisata, kantin, ruang laboratorium, kantor percetakan. Lantai dua terdiri Kantor Klasis, Kafe Sara, ruang Yesika Grafika, ruang administrasi atau perkantoran. Sedangkan lantai tiga ruang serba guna/ruangan pertemuan. Barang bergerak gereja yaitu sebuah mobil ambulan. Adapun halaman depan dan sebelah kanan halaman digunakan untuk tempat parkir kendaraan jemaat dan tamu gereja. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
133
2.
Struktur Organisasi
Struktur organisasi Jemaat GKI Gereja Imanuel Bozwesen Sorong terdiri dari Majelis Jemaat: Ketua
:
Pdt. Ny. Nussy S.Th M. Si.s
Wakil Ketua
:
Pdt. Dr. M.E. Hukum, S.Ked
Sekretaris
:
Pnt. C. A. Manuputty
Wakil Sekretaris
:
Pnt. M. Hetharia
Bendahara
:
Pnt. D. Maatita
Majelis jemaat dalam melaksanakan kegiatan harian dibantu oleh beberapa urusan yang tergabung dalam bidang urusan kesekretariatan, antara lain: a.
Urusan Pekabaran Injil (P.I) yang ketuai oleh Pnt. R. Imbir, SE
b.
Urusan Pelayanan Jemaat (P.J) kegiatannya meliputi Persekutuan Anak Remaja (PAR), Persekutuan Anak Muda (PAM) dan Persekutuan Kaum Bapak (PMK)yang diketuai oleh Pnt. M. Sianaya, S.Pd.I
c.
Urusan Diakona kegiatannya meliputi kegiatan sosial dan keesaan yang diketuai oleh Pnt. A.V Tumuju. Urusan Diakona membawahi empat bidang, yaitu Bidang Pelayanan PAR sebagai coordinator adalah Yopy Monihapon, Bidang PAM coordinator bapak Thosan Sauyai, Bidang Pelayanan Persekutuan Wanita, sebagai coordinator Ibu Ny. Popy GO, dan Bidang Pelayanan PKB coordinator adalah Dr. Titus Taba, Sp. THT-KL
d.
Urusan Ekubang tugasnya adalah menangani urusan ekonomi, keuangan dan pembangunan yang diketuai oleh Pnt. J. Tiblola, SE, MM;
3.
Aktivitas Gereja
Aktivitas Gereja Immanuel Bozwesen Kota Sorong tidak ada bedanya dengan kegiatan di gereja-gereja GKI yang ada di tanah Papua, karena jemaat khususnya di tanah Papua yang tergabung
134
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
dalam Gereja Kristen Indonesia di tanah Papua tidak mempunyai hak milik gereja. Gereja merupakan milik Sinode yang berpusat di Ibukota Provinsi. Sedangkan hak jemaat hanyalah sebatas hak pakai dan bertanggung jawab memelihara rumah ibadat (gereja) tersebut. Adapun dana-dana yang terkumpul dari jemaat gereja diserahkan kepada Sinode dan Klasis dengan perincian 60% untuk Sinode dan Klasis. Sedangkan 40% untuk dikelola oleh jemaat untuk biaya operasional gereja dan pembangunan gereja. Kegiatan Gereja Immanuel Bozwesen Kota Sorong meliputi pembinaan agama kepada jemaat, yang dilakukan melaui: a.
pembinaan agama (sekolah minggu) bagi anak dilakukan di setiap rayon (di Sorong ada 5 rayon yang terbagi dalam beberapa sub rayon)
b.
pembinaan Remaja dilakukan pada hari Sabtu pukul 07.00-09.00 dilakukan di setiap rayon (di Sorong ada 5 rayon yang terbagi dalam beberapa sub rayon)
c.
ibadah bulanan gabungan setiap hari Sabtu di Minggu keempat
d.
pembinaan Remaja dilakukan di setiap rayon dan sub rayon pada hari Rabu pukul 19.00
e.
Perkesekutuan Kaum Wanita pukul 17.00-selesai
f.
Persekutuan Kaum Bapak, dilakukan pada hari Selasa pukul 19.30-selesai
dilaksanakan pada hari Kamis
Kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya adalah: a.
ibadah Kunci Uspu yang dilaksanakan pada hari Sabtu pukul 19.00-20.00
b.
ibadah Buka Uspu dilakukan pada setiap hari Senin pukul 08.3009.30
c.
ibadah Kunci Bulanan, dilaksanakan setiap akhir bulan pada pukul 18.00-19.30
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
135
Kegiatan ibadah pada hari hari besar atau hari hari tertentu dilakukan melalui: a.
ibadah Jumat Agung waktunya disesuaikan dengan kalender (Kematian Isa Al-Masih)
b.
kegiatan Paskah, yaitu Kebangkitan Isa Al-Masih
c.
kegiatan hari Kenaikan Isa Al-Masih/di sesuaikan dengan kalender
d.
hari Penta Kusta, upacara keagamaan yang dilakukan pada hari ke-2 setelah Kenaikan Isa Al-Masih atau 10 hari setelah Kenaikan Isa Al-Masih
e.
hari ulang tahun Gereja Immanuel Boswezen setiap tanggal 5 Juli
f.
hari ulang tahun GKI di tanah Papua pada tanggal 26 Oktober
g.
peringatan Natal dan Tahun Baru
h.
peringatan Hari Minggu Adven dilaksanakan empat minggu sebelum Perayaan Natal Kegiatan sosial (pelayanan sosial) dilakukan melalui:
a.
kegiatan pelayanan sosial yaitu pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan oleh jemaat gereja pada hari Jumat pukul 12.00 sampai selesai
b.
pelayanan lanjut usia (lansia) seperti member santunan, mengunjungi panti jumpo, berkunjung ke rumah sakit untuk memberikan pelayanan doa
c.
kegiatan jalan pagi pukul 06.30-08.00
d. senam kesehatan setiap pagi pukul 06.30-08.00 e.
pemeriksa kesehatan setiap tanggal 10 pada pukul 08.00-selesai.
f.
pendidikan Taman Kanak-Kanak
g.
pemberdayaan ekonomi bagi jamaat dan masyarakat sekitarnya antara lain membuka usaha kecil/super market, toko buku agama Kristen
136
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
h.
bantuan model usaha setiap rayon diberikan modal sebesar Rp. 17.000.000 yang dikembalikan dengan cara cicilan sebanyak 10 kali selama bulan.57
C. Analisis 1.
Pemberdayaan Umat sebagai Refleksi Teologi Diakonia
Berteologi merupakan kesanggupan dan keterampilan mengungkapkan secara teratur dan jelas teologinya. Sedangkan dasar berteologi adalah kesediaan untuk mendengar apa yang dikatakan firman Tuhan dan menyakininya, serta mengaktualisasikan. Dengan kata lain, berteologi merupakan suatu tindakan atau aktifitas membangun relasi antara konteks Firman Tuhan dan konteks kehidupan bergereja di masa kini. Berteologi menunjuk pula pada bagaimana firman Allah menggarami, membarui kehidupan manusia, dan menerangi permasalahan-permasalahan hidup manusia sehingga dapat dengan leluasa merespon panggilan Allah. 58 Adapun yang dimaksud dengan diakonia berhubungan dengan tindakan memberi pertolongan, pelayanan atau melayani. Pertolongan, pelayanan atau melayani yang dimaksud tidak terbatas pada segi-segi tertentu yang merupakan kebutuhan hidup sesama manusia, melainkan bersifat totalistis-humanistis atau holistik. Jadi pemahaman diakonia sesungguhnya mengandung nilai-nilai etis maupun teologis yang integral dengan eksistensi manusia sebagai ciptaan Allah. Dengan demikian, diakonia baru dapat dipahami sebagai teologi hanya jika direlasikan dengan seluruh karya dan hidup Yesus. Diakonia yang hidup adalah tanda dari gereja yang hidup dan misioner. Ia akan sungguh-sungguh hidup dan misioner, apabila dilakukan sebagai sebuah “gerakan” (movement) pada aras jemaat, 57 Penjelasan mengenai profil GKI Immanuel Boswezen Kota Sorong, Lihat, Dokumen Hasil-Hasil Keputusan Sidang Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong Tahun 2013 dan Wawancara dengan PHMJ Immanuel Boswezen Sorong 58 http://gkiditanahpapua.org/2014/02/03/ber-teologi-dalam-konteks-diakoniagki/, Diakses pada tanggal 1 Juni 2014.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
137
klasis dan sinode. Tetapi juga diperlukan kepekaan dan komitmen kita semua sebagai “pelaku” diakonia. Dari perspektif fakta Kristus ini, maka diakonia gereja tidak saja difahami sebagai pelayanan yang bersifat rutinitas dalam jemaat. Diakonia yang sesungguhnya adalah diakonia yang berpihak dan mencerminkan “pikiran Kristus”, apa yang dilakukan haruslah menjadi model tindakan gereja. Tindakan Yesus harus menjadi ukuran dari tindakan gereja atau umat Allah dan gereja harus mampu mengikuti jalan ini jika mau menjadi gereja yang melayani. 59 Dalam konteks tersebut, baik GKI Maranatha Remu maupun GKI Immanuel Bozwesen Kota Sorong menekankan bahwa membangun kehidupan bergereja tidak hanya melihat kepada kepentingan individual semata tetapi kepada masyarakat di luar gereja serta harus pula memikirkan umat gereja di GKI Maranatha Remu maupun GKI Immanuel Bozwesen kota Sorong dan semua GKI di tanah Papua. Kesamaan dalam hal ini mendorong Pelaksana Harian Majelis Jemaat untuk memperhatikan kesejahteraan umat dan berusaha keras menerjemahkan hal tersebut dalam program-program pelayanan dan pemberdayaan yang disusun dan dirancang dalam sidang jemaat untuk dilaksanakan.60 Selanjutnya, dijelaskan oleh Pendeta Iriani Nussy, Ketua Pelaksana Harian Majelis Jemaat GKI Immanuel Bozwesen bahwa dalam hal program pemberdayaan, mereka menganut program berbasis jemaat. Hal ini bercermin pada potret nyata di kalangan jemaat bahwa masih ada kondisi jemaat yang masuk dalam kategori lemah secara ekonomi sehingga GKI Immanuel Bozwesen memandang penting adanya keberlangsungan program-program Diakonia Transformatif, seperti bantuan beasiswa bagi anak yang kurang mampu tetapi berprestasi sehingga dapat mendorong anak lain untuk memiliki prestasi; pemberdayaan ekonomi bagi jamaat dan masyarakat sekitarnya antara lain membuka usaha kecil/super market, toko buku agama Kristen dan bantuan model usaha setiap rayon Ibid Wawancara dengan Pendeta Iriani Nussy, Ketua Pelaksana Harian Majelis Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong, 28 Mei 2014. 59 60
138
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
diberikan modal sebesar Rp. 17.000.000 dikembalikan dengan cara cicilan sebanyak 10 kali selama bulan.61 Selain itu, terdapat pula program diakonia karitatif berupa pelayanan kesehatan, pengobatan massal dan pemeriksaan kesehatan rutin setiap hari jumat secara gratis dalam rangka membangun kerohanian dan kebersamaan yang kokoh tidak hanya melalui kegiatan peribadatan ritual. Program program semacam ini mendorong jemaat agar memiliki kesadaran untuk berbuat sesuatu dan merangkul yang lemah dan adanya persembahan yang diberikan oleh jemaat untuk membiayai program-program tersebut mendorong jemaat untuk peduli terhadap kelancaran dan keberhasilan program program di gereja.62 Selanjutnya pemberdayaan umat yang dilakukan di GKI Maranatha Remu, Pendeta Sipata, Ketua Pelaksana Harian Majelis Jemaat GKI Maranatha Remu menjelaskan bahwa sejalan dengan tema besar GKI di tanah Papua yaitu “Hidup untuk menghidupkan” maka sangatlah relevan tema tersebut jika diaplikasi dalam kehidupan bergereja. Menurutnya, kita yang sudah memiliki hidup maka bertanggung jawab menghidupkan yang lain baik secara rohani maupun jasmani yang kemudian diterjemahakan ke dalam berbagai program gereja. Program yang selama ini dirancang dan dilaksanakan di GKI Maranatha Remu semangatnya mengacu pada visi dan misi Gereja Kristen Injili di tanah Papua Klasis Sorong yaitu terwujudnya tanda tanda kerajaan ALLAH di dalam sumber daya gereja yang berkualitas, mandiri dan sejahtera. Untuk mewujudkan visi tersebut telah dirumuskan langkah-langkah strategis yang menjadi visi bersama, yaitu: meningkatkan kualitas kehidupan rohani warga jemaat dan pelayan; meningkatkan kemandirian pelayanan dan warga jemaat dan meningkatkan kesejahteraan pelayanan dan warga jemaat. Adapun program program yang bersifat Diakonia Transformatif yang dilaksanakan di GKI Maranatha Remu adalah pemberian modal atau pemberdayaan umat/jermaat diberikan bantuan modal usaha sebesar 61 Penjelasan mengenai profil GKI Immanuel Boswezen Kota Sorong, Lihat, Dokumen Hasil-Hasil Keputusan Sidang Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong Tahun 2013 dan Wawancara dengan PHMJ Immanuel Boswezen Sorong 62 Ibid
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
139
Rp. 5.000.000. Apabila ada keuntungan, 10% diberikan ke gereja sebagai persembahan.63 Dari model pemberdayaan yang dilakukan oleh kedua gereja tersebut, meskipun belum ada data rinci mengenai berapa jumlah penerima bantuan dan jumlah penerima bantuan modal yang sukses dalam membangun kemandiriannya di bidang ekonomi sehingga meningkatkan kesejahteraan mereka, setidaknya dapat tergambar nyata bahwa kedua gereja sudah berfikir jauh mengenai perubahan paradigma diakonia dari sekadar karitatif menjadi transformatif. Adanya potret nyata mengenai masih adanya jemaat yang masih dalam kondisi lemah secara ekonomi serta upaya penyelesaian konkrit yang dilakukan oleh kedua gereja tersebut memperlihatkan bahwa gereja sebagai lembaga spiritual jemaat mulai mengadakan pemberdayaan ekonomi yang bertujuan untuk membantu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup warga jemaat. Sebab kecendrungan gereja memahami ibadah secara ritual saja, akan menyebabkan ketimpangan terhadap hakekat ibadah itu sendiri. Sehingga apa yang dilakukan oleh kedua gereja tersebut menunjukan pula bahwa gereja telah menjatuhkan pilihan itu pada pemberdayaan umat yang transformatif demi memanusiakan manusia sebagai subjek yang mandiri dalam memperjuangkan kehidupan bersama yang lebih manusiawi. Diakonia yang hidup yang bersifat transformatif memang menantang jemaat dan gereja sendiri untuk melakukan perubahan paradigma (pemikiran). Dengan demikian mental, sikap dan kemauan jemaat dan gereja menjadi modal utama bagi lahirnya gerakan diakonia transformatif dengan pendekatan wira usaha sosial ini. Program-program yang telah dan sedang berjalan di kedua gereja tersebut selain didorong oleh panggilan dan kesadaran iman, tampaknya tidak dapat dilepaskan dari adanya pertemuan penting yang tidak dapat diabaikan oleh jemaat GKI Marantah Remu dan Immanuel Bozwesen Sorong, yaitu Konferensi Misi Pekabaran Injil ke-
63 Penjelasan mengenai profil GKI Maranatha Remu Kota Sorong, Lihat, Dokumen Laporan Ketua Panitia Pelaksana Sidang Jemaat XXII GKI Maranatha Remu Kota Sorong Tahun 2013 dan wawancara dengan PHMJ GKI Maranatha Remu Sorong.
140
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
II GKI Di Tanah Papua yang telah berlangsung di Sorong, 1-4 Februari 2013. Pertemuan-pertemuan dan konferensi Sorong penting karena telah meletakkan landasan berpikir bagi upaya pengembangan teologi misi yang punya hubungan dengan tiga fungsi pelayanan gereja (koinonia, diakonia dan marturia), yakni (1) konsep teoritis tentang misi pekabaran Injil serta korelasinya dengan Tri-panggilan Gereja atau rancang bangun teologi yang tanggap terhadap kebutuhan konteks. Kemudian, (2) membangun kesadaran dan tanggung jawab bagi upaya mengimplementasikan fungsi-fungsi pelayanan gereja tersebut dalam berbagai aspek kehidupan bergereja secara nyata. Dengan demikian, berteologi dalam konteks diakonia mengandung dua makna, yaitu pertama, makna lugas. Makna ini berarti, tindakan manusia di dalam dunia, tindakan horizontal yang berhubungan dengan respons gereja dalam menyikapi dinamika sosial, budaya, ekonomi, politik, yang berdampak terhadap iman serta misi gereja. Kedua, makna teologis. Makna ini berhubungan dengan penyesuaian dan partisipasi gereja dalam tindakan Allah.64 Oleh karena itu–sebagaimana halnya dilakukan oleh GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong–untuk menjalankan diakonia transformatif semacam ini, kepemimpinan transformatif yang visioner, partisipatif, dan mampu mendorong inisiatif masyarakat dipraktikan dalam kepemimpinan gereja. Gereja sebagai lembaga yang mempelopori dituntut untuk selalu mengembangkan sikap terbuka dan mampu beradaptasi dengan perkembangan situasi yang berubah. Integritas gereja melalui kepemimpinan kolektif kolegial di dalam majelis gereja pun terus diupayakan secara optimal terutama menyangkut pengelolaan semua sumber daya dan modal sosial gereja dengan manajemen terbuka dan terkontrol guna mencegah terjadinya ketidakpuasan di kalangan jemaat atau warga gereja.
64
http://gkiditanahpapua.org/2014/02/03/ber-teologi-dalam-konteks-diakonia-
gki/
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
141
2.
Manajemen Organisasi
Gereja dalam arti institusi tidak terlepas dari sebuah organisasi karena di dalam gereja diperlukan suatu tatanan, pengaturan, penyusunan maupun tentang pengelolaan dalam segala sesuatu proses yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya pengorganisasian yang baik sehingga gereja dapat mencapai tujuannya, sebagai mandataris Allah di dunia. Dalam Perjanjian Baru, gereja dalam bahasa Yunani yaitu “ekklesia” yang memiliki kata dasar “kaleo” yang berarti mereka dipanggil keluar. Pengertian gereja juga berasal dari kata “igreya” yang berarti menjadi milik Tuhan, jadi yang dimaksud dengan gereja adalah persekutuan orang percaya yang telah menjadi milik Tuhan. Namun gereja dapat juga dilihat sebagai organisasi yang ditinjau dari sosiologis karena gereja tidak akan pernah lepas dari sudut pandang sosial kemasyarakatan. Alasan yang mendasarinya, bahwa gereja merupakan bagian sosial kemasyarakatan. Sehingga gereja terdiri dari beberapa anggota masyarakat yang juga bagian dari negara dari dunia.65 Oleh karena itu, terkait dengan manajemen organisasi yang diterapkan di Gereja Kristen Injili Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong dapat digambarkan, sebagai berikut: a.
kedua gereja yang merupakan denominasi Gereja Kristen Injili di tanah Papua memiliki dan menerapkan model manajemen yang sama yakni setiap keputusan terkait dengan perencanaan kegiatan dirumuskan dan diputuskan dalam sidang jemaat sebagai forum tertinggi di aras jemaat yang pelaksanaan sidangnya berdasarkan pada tata gereja, peraturan pokok, peraturan khusus serta peraturan pelaksanaan Gereja Kristen Injili di tanah Papua. Hasilhasil keputusan Sidang Jemaat tersebut kemudian disampaikan kepada Badan Pekerja Klasis GKI Sorong dan Sinoda GKI di Tanah Papua di Jayapura.
http://johannes-manurung.blogspot.com/2012/06/manajemenkepemimpinan-gereja.html, Diakses pada Tanggal 1 Juni 2014 65
142
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
b.
dalam hal pengorganisasian dan pelaksanaan kegiatan, hasil-hasil Keputusan Sidang Jemaat terutama berkaitan dengan programprogram yang telah dirumuskan untuk jangka waktu satu tahun tersebut kemudian diorganisasikan di bawah kepemimpinan Ketua Pelaksana Harian Jemaat baik di GKI Maranatha Remu maupun Immanuel Boswezen dan dilaksanakan oleh masingmasing urusan yang membidangi sebagaimana telah dijelaskan pada uraian di atas mengenai struktur organisasi di kedua gereja baik di Gereja Kristen Injili Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong.
c.
dalam hal evaluasi, seluruh kegiatan yang telah dilaksanakan berdasarkan hasil-hasil keputusan Sidang Jemaat kemudian dievaluasi pada forum yang sama yaitu pada Sidang Jemaat tahun berikutnya.66
d.
dalam hal pembagian peran dan pendelegasian peran, manajemen yang diterapkan adalah mengacu pada manajemen yang disebut oleh Pendeta Simon, pendeta di GKI Immanuel Bozwesen Sorong sebagai pola Manajemen Kristus dimana Yesus Kristus telah membagi peran kepada 12 Rasul untuk melaksanakan misi Kristen di dunia.
e.
partisipasi aktif jemaat berjalan dengan baik. Oleh karena partisipasi aktif jemaat sangat menentukan keberhasilan programprogram yang diselenggarakan oleh gereja maka Pelaksana Harian Majelis Jemaat di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong sangat menekankan pentingnya partisipasi aktif dan kebersamaan jemaat dalam menyukseskan program-program gereja. Dari aspek tersebut, jelas bahwa peran kepemimpinan dan manajerial gereja sangat diperlukan untuk membangun solidaritas dan soliditas jemaat. Hal inilah yang terus dilakukan dan diupayakan oleh Pelaksana Harian Majelis Jemaat yang bersifat kolektif kolegial. 67
66 Focus Group Discussion dengan Pelaksana Harian Majelis Jemaat dan Anggota Jemaat GKI Maranatha Remu dan Immanuel Boswezen Sorong, 28 Mei 2014. 67 Wawancara dengan Pendeta Simon (Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kementerian Agama Kota Sorong dan Pendeta di GKI Immanuel Bozwesen Sorong, Tanggal 26 Mei 2014.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
143
Dari keempat hal di atas, terlihat jelas bahwa keberhasilan setiap program yang dilaksanakan gereja tidak terlepas dari dua hal yaitu manajemen organisasi gereja dan kedudukan jemaat atau warga gereja sebagai sumber utama atau sumber daya (human resources) merupakan bagian penting dalam manejemen/pengelolaan sumber daya baik mereka yang merupakan warga jemaat yang telah terdaftar secara administratif maupun jemaat simpatisan. SDM gereja dapat diberdayakan dan dilibatkan secara aktif dengan melakukan banyak program positif.68 Oleh sebab itu, manajemen organisasi gereja yang baik, penguatan kapasitas SDM gereja, partisipasi aktif jemaat menjadi prioritas penting dalam setiap pembahasan perkembangan dan kemajuan gereja di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong.69
3.
Sumber Keuangan a.
GKI Maranatha Remu
Penerimaan keuangan gereja di GKI Maranatha Remu terdiri dari penerimaan/pemdapatan konvesional dan penerimaan/pendapatan inkonvensional. Penerimaan/Pendapatan konvensional bersumber dari dana kolekte, derma ibadah, derma khusus, derma persepuluhan, derma pengucapan syukur, dana bulanan per jiwa, pegawai rp. 100.000,- dan jemaah non pegawai rp. 25.000, dan penerimaan lain lain. Sedangkan penerimaan/pendapatan inkonven-sional bersumber dari amplop pengucapan syukur akhir tahun/bulanan, penerimaan surat surat gerejawi, penerimaan usaha aset gereja, spontanitas iman untuk diakonia, spontanitas iman untuk pembangunan, spontanitas iman untuk pendidikan, aksi 5 menit, peti pembangunan Kantor Klasis, dan pendapatan lain-lain.
68 Pdt. Andreas U, Wiyono, S.Th, D.Min, Drs. Sukardi, M.Si, “Manejemen Gereja: dasar teologis dan implementasi praktisnya” dalam Bahan bacaan Mata Kuliah Teologi Kepemimpinan & Manejemen, (Fakultas Teologi UKSW, 2011),55-57. 69 Focus Group Discussion dengan Pelaksana Harian Majelis Jemaat dan Anggota Jemaat GKI Maranatha Remu dan Immanuel Boswezen Sorong, 28 Mei 2014.
144
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Adapun dana bantuan Pemerintah daerah/Provinsi, antara lain Gereja Maranatha Ramu menerima bantuan dari pemerintah Provinsi 3 tahun berturut-turun, yaitu (1) tahun 2011 menerima bantuan sebesar Rp. 200.000.000, (2) tahun 2012 menerima bantuan Rp. 200.000.000, dan (3) tahun 2013 Gereja Maranatha menerima bantuan sebesar Rp. 100.000.000. Penggunaan dana yang diperoleh sebagaimana disebutkan pada poin penerimaan/pendapatan dipergunakan untuk pengeluaran rutin gereja meliputi belanja pegawai, belanja inventaris, belanja program, belanja pemeliharaan, belanja perjamuan kudus, belanja perjalanan, setoran wajib, belanja ATK, belanja rumah tangga, dan belanja lainnya. Sedangkan penggunaan dana bantuan pemerintah sejumlah Rp. 500.000.000. Bantuan yang pertama untuk membangun menera gereja sedangkan bantuan yang kedua untuk menyelesaikan bangunan menara dan sisanya untuk merenovasi gedung gereja dan bantuan yang ketiga yang sampai saat sekarang ini belum digunakan dan rencananya akan digunakan untuk honor pendeta sebanyak 5 orang, honor guru jemaah 6 orang, membiayai program kerja operasional gereja, membantu membiayai kegiatan sosial (santunan kepada jompo dan lansia, beasiswa bagi anak kurang mampu dan membantu usaha kecil yang membutuhkan dana dan operasional kendaraan b.
GKI Immanuel Bozwesen
Penerimaan keuangan gereja di GKI Immanuel Bozwesen Kota Sorong terdiri dari (1) sumber dana gereja berasal dari dana umat/jemaat, seperti dana persepuluhan, kolekte, derma, dana kartu ataupun dana spontanitas, dan iuran bulanan setiap Kepala Keluarga Rp. 2.500, dan (2) dana yang bersumber dari bantuan baik dari pemerintah (Pemerintah Pusat dan Daerah) maupun swasta dengan rincian dana dari Pemda Provinsi sebesar Rp. 250.000.000 dan dana dari kota Sorong sebesar Rp. 10.000.000 setiap tahun. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
145
Adapun pemanfaatan dana tersebut dipergunakan untuk:
4.
1)
pemanfaatan dana persepuluhan, kolekte, derma dan dana kartu ataupun dana spontanitas digunakan antara 60% disetor ke Sinode dan Klasis sedangkan 40% digunakan untuk operasional gereja;
2)
dana bantuan Rp. 250.000.000 untuk pembangunan sarana dan prasarana Taman Kanak-Kanak;
3)
dana bantuan Kota Sorong dimanfaatkan untuk pembinaan ummat dan Hari-hari besar keagamaan.
Manajemen Keuangan Gereja di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong
Dalam hal manajemen keuangan gereja, manajemen yang selama ini diterapkan oleh GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong adalah manajemen keuangan yang transparan serta memenuhi standard akuntan publik. Seluruh laporan pertanggungjawaban keuangan baik penerimaan/pendapatan yang bersumber dari jemaat dan pihak lain serta pengeluaran/belanja diaudit oleh Badan Pemeriksa Perbendaharaan Gereja atau BPPG dan dipertanggungjawabkan penggunaannya pada forum Sidang Jemaat dan selanjutnya diketahui oleh warga gereja mengenai realisasi penerimaan dan pengeluaran tahunan. Laporan pertanggungjawaban keuangan gereja menjadi penjelasan bagi seluruh peserta Sidang Jemaat, warga jemaat serta pihak pihak yang berkepentingan mengetahui realisasi penerimaan dan pengeluaran satu tahun. Di samping itu, laporan tersebut menjadi tolok ukur untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja pelayanan pada kurun waktu satu tahun sekaligus menjadi acuan penting bagi penetapan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Jemaat (RAPBJ) tahun berikutnya. Penerapan manajemen keuangan semacam ini tidak terlepas dari komitmen Pelaksana Harian Majelis Jemaat di kedua gereja baik GKI Maranatha Remu maupun Immanuel Bozwesen Kota Sorong
146
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
untuk menerapkan prinsip-prinsip kejujuran, transparansi dan akuntabilitas dalam hal manajemen keuangan gereja. 70 Oleh karena itu, terkait dengan manajemen keuangan dan manajemen organisasi secara umum yang berlangsung di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong, jika melihat pada tabel di bawah ini dapat dikemukakan bahwa potret nyata yang tergambar dari penelitian memperlihatkan bahwa pada level input, proses dan output berjalan relatif baik terutama dalam hal SDM pengurus, maksimalisasi modal sosial, perkembangan dan pemeliharaan aset aset gereja, kepemimpinan, kontinuitas sistem dan proses, penggunaan data, kepuasan jemaat serta kuantitas (progres/perkembangan rumah ibadah) yang terus mengalami pertumbuhan seiring dengan berdirinya pos pos pelayanan yang kemudian bermetamorfosa menjadi jemaat baru. Sedangkan dalam hal kesejahteraan jemaah, penelitian ini belum dapat seutuhnya memotret tingkat perkembangan kesejahteraan jemaah sebagai dampak dari program program yang selama ini dilakukan oleh gereja terutama menyangkut program pemberdayaan atau program diakonia transformatif yang dilakukan di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong.
70 Focus Group Discussion dengan Pelaksana Harian Majelis Jemaat dan Anggota Jemaat GKI Maranatha Remu dan Immanuel Boswezen Sorong, 28 Mei 2014. Lihat, Dokumen Hasil-Hasil Keputusan Sidang Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong dan GKI Maranatha Remu Tahun 2013
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
147
5.
Faktor Pendukung dan Penghambat a.
Pendukung dan Penghambat Pemberdayaan Rumah Ibadah di GKI Maranatha Remu 1)
Faktor Pendukung a)
jemaat gereja yang cukup banyak sehingga dana gereja bisa diatasi baik itu dari dana persepuluhan, kolekte, derma dan dana kartu ataupun dana spontanitas
b)
karena anggota jemaat gereja kebanyakan pegawai akan lebih mudah untuk dikodinasikan
c)
bekerja di gereja merupakan panggilan iman sehingga pengurus dan jemaat gereja sudah saling memahami tugas dan fungsinya
d) pengurus gereja tidak menerima gaji/honor, yang digaji adalah pendeta, sekretaris dan bendahara 2)
Faktor Penghambat a)
kondisi geografis tanah papua yang berbukit dan jarak antara jemaat yang satu dengan yang lain saling berjauhan mempengaruhi aktifitas pelayanan jemaat yaitu tidak semua jemaat terlayani dengan tepat waktu
b)
fanatisme kedaerahan yang berlebihan berpengaruh terhadap persekutuan jemaat
c)
masalah moral penduduk pribumi yang masih suka mabuk-mabukan terbilang cukup tinggi
d) rendahnya peran doa dalam membina rumah tangga e)
148
lapangan kerja bagi jemaat yang minim turut mempengaruhi kehadiran jemaat dana terhadap gereja
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
b.
f)
pemahaman tentang diakonan yang masih rendah, sehingga sangat mempengaruhi pelayanannya
g)
minimnya tenaga pengajar mengakibatkan pelayanan yang kurang maksimal
Faktor Pendukung dan Penghambat Pemberdayaan Rumah Ibadah di GKI Immanuel Bozwesen Kota Sorong 1)
Faktor Pendukung a)
semua pengurus bekerja dengan jemaat
b)
pengurus bekerja (pengabdian)
c)
dana operasional selama ini bisa diatasi oleh umat yaitu dari umat dan untuk umat
adalah
panggilan
tuhan
d) kesadaran umat untuk berderma cukup tinggi karena sebagian besar umat adalah pegawai dan pekerja 2)
Faktor Penghambat a)
tidak semua permasalahan dapat diselesaikan secepatnya atau kadang tidak sesuai dengan harapan
b)
lokasi yang sulit dan jarak yang kurang mendukung karena lokasi gereja dan tempat tinggal umat saling berjauhan
c)
masih banyak umat yang senang minuman keras yang berlebihan
meminum
d) dana dari umat sering terlambat, atau tidak sesuai dengan harapan karena umat sering tidak melaksanakan ibadah sesuai harapan e)
pendidikan umat yang tidak seimbang sehingga menghambat pelaksanaan ibadah gereja
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
149
Penutup 1.
Simpulan a.
GKI Marantha Remu dan Immanuel Bozwesen merupakan kelompok Kristen Protestan yang beraliran Calvinis yang struktur keorganisasiannya menganut model Presbyterial Sinodal.
b.
Jemaat GKI di tanah Papua termasuk GKI Marantha Remu dan Immanuel Bozwesen tidak memiliki hak atas gereja sebab hak tersebut sepenuhnya merupakan hak milik sinode. Sedangkan hak jemaat hanyalah sebatas hak pakai dan bertanggung jawab memelihara rumah ibadat (gereja) tersebut
c.
Kedua gereja memiliki sarana dan pra sarana yang memadai dalam mendukung program yang dilakukan oleh kedua gereja tersebut.
d.
Kedua gereja yang merupakan denominasi Gereja Kristen Injili di tanah Papua memiliki dan menerapkan model manajemen yang sama baik dalam hal manajemen organisasi maupun manajemen keuangan. Setiap keputusan terkait dengan perencanaan kegiatan dirumuskan dan diputuskan dalam sidang jemaat sebagai forum tertinggi di aras jemaat yang pelaksanaan sidangnya berdasarkan pada tata gereja, peraturan pokok, peraturan khusus serta peraturan pelaksanaan Gereja Kristen Injili di tanah Papua. Hasilhasil keputusan Sidang Jemaat tersebut kemudian disampaikan kepada Badan Pekerja Klasis GKI Sorong dan Sinoda GKI di tanah Papua di Jayapura dan harus dilaksanakan oleh Pelaksana Harian Majelis Jemaat yang bersifat kolektif kolegial
e.
Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan di GKI Marantha Remu dan Immanuel Bozwesen, Pelaksana Harian Majelis Jemaat di bantu oleh Rayon dan Sub Rayon yang merupakan kepanjangan tangan GKI Maranatha Remu dan GKI Immanuel Bozwesen.
f.
Dalam hal pendanaan, kegiatan di kedua GKI bersumber dari dana jemaat dan bantuan pemerintah. Khusus mengenai dana yang bersumber dari jemaat, dana-dana yang terkumpul diserahkan kepada Sinode dan Klasis dengan perincian 60% untuk Sinode dan Klasis. Sedangkan 40% untuk dikelola oleh jemaat
150
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
untuk biaya operasional gereja dan pembangunan gereja. Kecuali dana persepuluhan, 100 % disetorkan kepada Sinode.
2.
g.
Di kedua Gereja, model pemberdayaan yang dilakukan adalah mengacu pada model teologi diakonia transformatif selain model diakonia yang bersifat karitatif. Sedangkan model manajemen dan kepemimpinan yang diterapkan adalah model manajemen Kristus dan Model Kepemimpinan Transformasional.
h.
Partisipasi aktif jemaat berjalan dengan baik. Oleh karena partisipasi aktif jemaat sangat menentukan keberhasilan programprogram yang diselenggarakan oleh gereja maka Pelaksana Harian Majelis Jemaat di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen Kota Sorong sangat menekankan pentingnya partisipasi aktif dan kebersamaan jemaat dalam menyukseskan programprogram gereja.
Rekomendasi a.
Persembahan warga gereja menjadi daya gerak dan daya hidup gereja. Karena itu, diperlukan penguatan dan implementasi Diakonia Transformatif di lingkungan GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen. Langkah yang harus dilakukan adalah pemetaan potensi yang dipunyai jemaat atau warga gereja secara komprehensif.
b.
Potensi warga gereja tersebut akan menjadi berdaya guna apabila pendekatan wira usaha sosial diterapkan. Prinsip-prinsip wira usaha bisa mendukung program diakonia sosial gereja, sebab menekankan analisis potensi, analisia risiko, analisis biayamanfaat, analisis stakeholders (pemangku kepentingan), analisis daya serap (pasar), dan juga analisis keuntungan (sosial dan keuangan), akan berpengaruh besar terhadap keberlangsungan program-program diakonia gereja
c.
Program pemberdayaan melaui program wirausaha bagi warga gereja tentu mereka akan mengharapkan sebuah program akan terus berlanjut. Oleh karena itu, program program pemberdayaan
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
151
umat harus berorientasi pada keberlanjutan dan bukan program sekali jalan. d.
Konteks pergumulan sosial yang dilihat, dialami oleh gereja yang memosisikan kemiskinan sebagai problem bersama yang harus diupayakan penyelesaiannya, maka diakonia transformatif gereja di GKI Maranatha Remu dan Immanuel Bozwesen kiranya berdampak luas manfaat kebaikannya apabila program program pemberdayaan gereja yang berbasis jemaat tidak hanya untuk kepentingan jemaat atau warga gereja saja melainkan masyarakat umum di luar komunitas Kristen. Meskipun dalam hal diakonia karitatif, kedua gereja sudah memiliki program pelayanan kesehatan yang menjangkau masyarakat luas tidak hanya warga gereja/umat Kristen.
e.
Intervensi gereja dalam bidang sosial-ekonomi sebagai suatu panggilan berpihak pada orang lemah harus memikirkan dampak kertergantungan yang tinggi terhadap sebuah upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh gereja. Kepercayaan jemaat bahwa gereja merupakan institusi yang baik dalam mengurus keuangan dan memberikan pelayanan yang baik tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan perilaku ketergantungan. Oleh karena itu, gereja harus sungguh-sungguh merancang dan mengimplementasikan format pemberdayaan atau diakonia transformatif agar tidak terjadi ketergantungan pada modal usaha. ***
152
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Daftar Pustaka Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal of Sociology, 94 Supplement: S95-120. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama. 2007. Pedoman Pemberdayaan Majid (Melalui Aspek Idarah, Imarah, dan Ri’ayah). Dokumen Laporan Ketua Panitia Pelaksana Sidang Jemaat XXII GKI Maranatha Remu Kota Sorong Tahun 2013 Dokumen Hasil-Hasil Keputusan Sidang Jemaat GKI Immanuel Boswezen Sorong Tahun 2013 Fukuyama F., 1995. The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Newyork: Free Press. Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity. Kota Sorong Dalam Angka 2013. Kota Sorong: Badan Pusat Statistik Kota Sorong Putnam, R.D., 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy. Princeton NJ: Princeton University Press. Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Wiyono, Pdt. Andreas U. 2011. “Manejemen Gereja: dasar teologis dan implementasi praktisnya” dalam Bahan Bacaan Mata Kuliah Teologi Kepemimpinan & Manejemen. Salatiga: Fakultas Teologi UKSW http://www.sorongkota.go.id, Diakses Tanggal 1 Juni 2014 http://anastat.web.ugm.ac.id/index.php, Diakses Tanggal 1 Juni 2014 http://regional.kompas.com/read/2013/10/28/2013236/Warga.Asli.Papua.Ba rat.Makin.Terdesak, Diakses Tanggal 1 Juni 2014). http://gkiditanahpapua.org/2014/02/03/ber-teologi-dalam-konteksdiakonia-gki/, Diakses Tanggal 1 Juni 2014 http://johannes-manurung.blogspot.com/2012/06/manajemenkepemimpinan-gereja.html, Diakses Tanggal 1 Juni 2014
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
153
154
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN GEREJA DI KOTA YOGYAKARTA: Menegakkan Hirarkhi dan Meneruskan Keteladanan Para Romo Oleh: Agus Mulyono dan Pormadi Simbolon
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti adalah Negara Mataram dibagi dua, yaitu setengah masih menjadi hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara, yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan. Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah hutan yang disebut beringin, di mana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang di sana terdapat suatu pesanggrahan Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
155
dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan kraton. Sebelum kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Ia menempati pesanggrahan tersebut resminya pada 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki istana baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian, berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di kraton yang baru. Peresmiannya terjadi 7 Oktober 1756 Kota Yogyakarta dibangun pada 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional. Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan
156
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah D.I Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi kota praja atau kota otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I yang menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta. Untuk melaksanakan otonomi tersebut walikota pertama yang dijabat oleh Ir. Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari D.I Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana D.I Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya wali kota kedua dijabat oleh Mr. Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan UndangUndang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta. Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Provinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
157
ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II di mana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya. Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan Bandung-Semarang-Surabaya-Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl. Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta. Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan disekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini, dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan kawasan aglomerasi Yogyakarta dan daerah-daerah penyangga (Depok, Mlati, Gamping, Kasihan, Sewon, dan Banguntapan).
158
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Tabel 1: Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta No
Kecamatan
Sampai Tahun 2012
1
Mantrijeron
31. 695
2
Kraton
17. 561
3
Mergangsan
29. 448
4
Umbulharjo
78. 831
5
Kotagede
32. 052
6
Gondokusuman
45. 526
7
Danurejan
18. 433
8
Pakualaman
9. 366
9
Gondomanan
13. 097
10
Ngampilan
16. 402
11
Wirobrajan
24. 969
12
Gedongtengen
17. 273
13
Jetis
23. 570
14
Tegalrejo
35. 789 Jumlah
394. 012 Sumber: Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012 Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam, kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat. Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta. Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
159
berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah UGM, UNY, ISI Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga. Dari 3.629.726 penduduk di DIY, 92,28% di antaranya memeluk agama Islam. Disusul oleh pemeluk agama Katholik sebanyak 4,73%, Pemeluk agama Kristen 2,60%, Hindu 0,24%, dan Buddha 0,14%. Sejalan dengan komposisi di atas, jumlah tempat peribadatan yang tersebar di DIY juga didominasi oleh tempat ibadah umat Islam berupa masjid, mushola dan langgar yang tercatat sebanyak 96,40%. Kemudian rumah ibadah Kristen dan Katholik masing-masing 1,58% dan 1,71% serta tempat ibadat umat Hindu dan Buddha masing-masing 0,18% dan 0,12%. Jamaah haji dari D.I. Yogyakarta yang berangkat pada awal tahun 2012 M/1432H sebanyak 3.093 orang atau menurun sebesar 5,41% dibandingkan dengan awal tahun 2011M/1431H yang tercatat sebesar 3.270 orang. Berdasarkan asal jamaah, sebagian besar dari Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta masing-masing sebesar 37,96%, 26,32% dan 19,98% dari keseluruhan jamaah, sedangkan sisanya 8,31% dan 7,44% berasal dari Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul.
A. Gereja St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta (Gereja Jetis) 1.
Profil Gereja Sekitar tahun 1952 Rm. E. Hardjawardaya, Pr dan Rm. Sumaatmadja, Pr yang bertugas sebagai Pastor Pembantu di Paroki St. Antonius Kotabaru menawarkan gagasan agar kringkring di sebelah Barat Kali Code, yakni Kring Bangirejo, Jetis dan Gondolayu disatukan dalam satu koordinasi wilayah kerja demi efektifitas reksa pastoral. Gagasan tersebut disambut dengan baik. Pada 1954 ketiga kring itu menyatu dan menjadi Stasi Jetis. Pada awalnya, Stasi Jetis belum memiliki gedung gereja sendiri, sehingga perayaan Ekaristi pada hari Minggu ataupun hari raya diselenggarakan di rumah umat, di tempat umum ataupun di kantor instansi pemerintah yang memungkinkan, seperti SMPN VI, SPG/SMA XI, STM Jetis dan Kantor Balai Penyamakan kulit di Jl. Diponegoro (kini: Rumah Makan “Sari Raja”).
160
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Pertengahan 1959, Stasi Jetis berada dalam reksa pastoral Rm. Carlo Carri, SJ. Dengan telaten, Rm. Carri mengadakan pendekatan dengan tokoh-tokoh awam di Stasi Jetis untuk menjajaki kemungkinan mendirikan gereja di wilayah Jetis. Pada tanggal 15 Oktober 1960, di Jetis berdiri Susteran Amal Kasih Darah Mulia dan diresmikan oleh Sr. Patricia, ADM sebagai provinsial. Atas kebaikan Suster-suster ADM, umat Stasi Jetis diperbolehkan mengadakan Perayaan Ekaristi di Kapel Susteran. Karena perkembangan umat semakin pesat, maka untuk efektifitas pendampingan dan reksa pastoral umat, Kring Bangirejo dimekarkan menjadi dua kring, yakni Kring Blunyah dan Kring Bangirejo. Kring Jetis dimekarkan menjadi dua, yakni Kring Cokrokusuman dan Kring Cokrodiningratan. Mengingat alasan kedekatan teritorial, Kring Kricak yang sebelumnya menjadi wilayah Paroki Kumetiran digabung menjadi bagian Stasi Jetis. Atas prakarsa Rm. Carri dan tokoh-tokoh awam di wilayah Stasi Jetis maka pada 8 Oktober 1963, dibentuklah “Pengurus Gereja dan Papa-Miskin Room Katolik Di Wilayah Gereja Albertus Agung Soegijopranoto di Yogyakarta” (PGPM) oleh pejabat Uskup Semarang, Mgr. Justinus Darmojuwono. Akta Notaris PGPM disahkan di hadapan Notaris RM. Soeprapto pada tanggal 4 November 1963. Persoalan besar yang dihadapi oleh PGPM ialah dimanakah akan didirikan gedung gereja? Pengurus mulai melirik beberapa tempat yang memungkinkan untuk mendirikan gereja. Beberapa pilihan mulai bermunculan namun belum ada yang sesuai. Di tengah kesibukan mencari tanah itu, umat Stasi Jetis harus rela melepas kepergian Rm. Carri yang diangkat sebagai Sekretaris Keuskupan Agung Semarang. Sebagai penggantinya adalah Rm. H. Natasusila, Pr, mulai bulan Agustus 1964. Sementara itu, perkembangan umat semakin pesat. Hal itu karena lahirnya kring-kring baru, yakni Kring Karangwaru dan Poncowinatan. Sedangkan Kring Gowongan dan Penumping yang sebelumnya menjadi bagian dari Paroki Kumetiran Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
161
digabungkan ke Jetis sehingga Stasi Jetis saat itu mempunyai 12 kring. Bertambahnya jumlah kring ini semakin memperkuat keinginan umat untuk memiliki gedung gereja sendiri. Untuk memperlancar reksa pastoral dan usaha pencarian tanah maka dibentuklah Dewan Paroki yang pertama. Berkat usaha dan doa yang tidak mengenal lelah, pada Agustus 1964 Stasi Jetis berhasil membeli tanah milik ibu Mohamad Adeline seluas 3945 m² dengan harga Rp. 850.000. Tanah tersebut sudah disertifikatkan dengan status hak pakai atas nama PGPM Albertus Soegiyopranoto Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 1968 dengan No SK 116/HP/68. Sebagai ungkapan syukur karena telah mendapatkan tanah bagi gereja, maka pada bulan November 1965 diadakan misa syukur. Misa syukur inilah yang kemudian dianggap sebagai LAHIRNYA PAROKI JETIS. Dan sebagai ungkapan hormat dan cinta kepada Mgr. Albertus Soegijapranoto, SJ sebagai Pahlawan Nasional dan khususnya tekad untuk meneladani semangat dan pengabdian beliau kepada bangsa, negara dan gereja maka nama pelindung yang dipilih untuk Paroki Jetis adalah nama baptis Mgr. Soegijapranoto, SJ yakni St. Albertus Agung. Setelah memiliki gedung gereja sendiri, umat Jetis semakin bersemangat dalam hidup menggereja. Hal ini terbukti dengan banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh umat dan tumbuhnya kelompok-kelompok, antara lain: a.
162
Kelompok Legio Maria yang terbentuk pada September 1968. Karena pesatnya perkembangannya, paroki Jetis bahkan dijadikan sebagai pusat legio maria di wilayah DIY, Magelang dan Jateng Selatan dengan nama Komisium Pohon SUKA CITA. Banyak dari anggota legio tersebut sekarang menjadi aktivis paroki, tetapi sayang sekarang legio tersebut sudah tidak ada. Namun mulai bulan Juli tahun 2007 tumbuh “kelompok” doa kerahiman/koronka dan senakel, yakni doa bersama Romo Paroki setiap hari Jumat Pk. 15.00.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
b.
Mudika Paroki (PALMA: Putra Albertus Magnus) yang sudah mengadakan berbagai kegiatan, seperti pentas solidaritas, menggelar lomba koor antar SD se-DIY, menghidupkan perpustakaan paroki, pendakian ke sumbing, latihan kepemimpinan, dll. Memasuki tahun 2000 kelompok ini agak mlempem namun toh ada kegiatan yang menyolok yakni mendirikan Radio Komunitas pada bulan Juli 2003. Radio Komunitas ini bernama Lima Cemara, sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian No. 10 tanggal 11 Juli 2006.
c.
Antiokhia: wadah pembinaan iman remaja. Hingga saat ini Jetis dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan Antiokhia di paroki-paroki kevikepan Yogyakarta.
Perkembangan umat Paroki Jetis dapat dikatakan meningkat dengan pesat. Hal ini mendorong adanya pemekaran lingkungan sehingga lahirlah lingkungan-lingkungan yang baru. Pada 1983, lingkungan Kricak dimekarkan menjadi dua, yakni Kricak dan St. Paulus Jatimulyo. Empat tahun kemudian, pada 1987, lingkungan St. Paulus Jatimulyo dipilah menjadi tiga, yakni St. Paulus Jatimulyo, St. Thomas Jatimulyo dan St. Alfonsus Jatimulyo. Seakan tidak mau kalah, pada tahun itu juga lingkungan Kricak kembali membidani lahirnya lingkungan Bangunrejo, sedangkan lingkungan Jogoyudan dipilah menjadi dua, yaitu Jogoyudan Lor dan Jogoyudan Kidul. Di samping itu mulai tahun 1980, stasi Nandan, yang sebelumnya termasuk wilayah Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati digabungkan dengan paroki Jetis. Hal ini mengingat letak geografisnya dan demi optimalnya pelayanan pastoral. Bahkan sejak 1 Agustus 1996 Stasi Nandan sudah mempunyai gedung gereja yang diberkati oleh Rm. Yoh. Harjaya, Pr selaku Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang. Perkembangan umat Nandan sangat dipengaruhi oleh ketekunan bruder-bruder Karitas, yang dirintis oleh Br. Alfons Wiryataruna dan juga para romo dan frater dari Konggregasi Redemtoris. Karenanya pelindung yang dipakai adalah St. Alfonsus Maria de Ligouri. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
163
Pada 2000 status Stasi Nandan berubah menjadi paroki administratif. Bahkan pada ulang tahun ke-8, sudah mempunyai gedung pastoran yang diberkati Uskup Agung Semarang, Mgr. Ign. Suharyo pada 21 Agustus 2004. Dan sejak 15 Juli 2005 pastoran sudah ditempati Rm. Ig. Jayasewaya, Pr. Karenanya seluruh reksa pastoral sudah tidak tergantung dengan paroki Jetis, sekaligus sebagai persiapan untuk menjadi paroki penuh. Sejak 1 Agustus 2012 Uskup Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta menetapkan Paroki St. Alfonsus Nandan menjadi Paroki Penuh yang tertuang dalam Surat Keputusan Pendirian Paroki Nomor 0549/b/i/b-79/12. Dengan demikian maka Paroki St. Alfonsus Nandan sudah tidak menjadi bagian reksa pastora Paroki St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta (Paroki Jetis).
2.
Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial Untuk mengatur kegiatan di Paroki Jetis, perencanaan seluruh kegiatan dan program dilaksanakan berdasarkan arah dasar yang ditetapkan Keuskupan Agung Semarang. Keuskupan Agung Semarang menurunkan Arah Dasar Pastoral kepada Kevikepan untuk diteruskan kepada Paroki. Kemudian Paroki membuat rencana anggaran pengeluaran belanja dengan meminta setiap bidang dan tim kerja menyusun program dan kegiatan yang realistis dan disertakan rincian anggaran biaya. Selama ini sumber dana Paroki berasal dari persembahan sukarela umat berupa iuran per KK, di mana jumlahnya tidak ditentukan. Kemudian dari Kolekte umat dua kali setiap kali perayaan Ekaristi berasal dari sumbangan bebas dari umat, sumbangan terima kasih dari umat atas pelayanan administrasi, dan bantuan lainnya dari Kemenag Kota Yogyakarta berupa hibah wireless/sound system. Mengenai kolekte, dikumpulkan ketika perayaan Ekaristi dibagi menjadi dua, yaitu kolekte 1 disebut kolekte umum dengan jumlah sekitar 6 juta lebih per minggu untuk keperluan paroki dan keuskupan. Berdasarkan kebijakan paroki, misalnya amplop dibagi kepada jemaat untuk perayaan Natal dan seterusnya.
164
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Kolekte 2 disebut kolekte pembangunan yang berjumlah sekitar 3 juta lebih dengan maksud khusus, pendidikan calon imam, pendirian gereja, pengadaan kursi dan seterusnya. Untuk pengelolaan dana paroki dibagi berdasarkan bidang-bidang yang ada dalam paroki. Membiayai bidang masing-masing (6 bidang-tim kerja dst.). Untuk rumah tangga pastoran (khusus pastor dan yang tinggal di situ serta untuk keperluan sehari-hari) biaya hidup pastor, transportasi dan rumah, ada tukang masak/diberi oleh umat, uang saku. Dan sebagian dana lagi untuk melanjutkan SD Kanisius Gowongan yang sudah dinyatakan ditutup oleh Yayasan Kanisius. Dalam hal pengontrolan program dan kegiatan dilaksanakan secara bersama-sama melalui rapat berkala 1 (satu bulan sekali) untuk saling mengingatkan pelaksanaan kegiatan dan program. Kemudian pada akhir tahun dilaksanakan rapat pleno untuk mendengarkan laporan keuangan dan melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan dan program. 3.
Kegiatan Gereja Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta dipimpin oleh Pastor Paroki, yaitu Romo Rafael Tri Wijayanto, dibantu oleh romo pembantu paroki, yaitu Romo Riawinarta, Pr. Setiap hari Paroki Jetis didatangi oleh para jemaatnya. Hari Senin dan Sabtu Paroki Jetis didatangi jemaat yang akan melaksanakan ibadat misa harian, kegiatan ibadat tersebut dimulai pukul 05.30 wib dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian hari Sabtu dilaksanakan perayaan Ekaristi pada pukul 17.30 dengan menggunakan bahasa Indonesia. Selanjutnya pada hari minggu dilakukan peribadatan selama tiga kali, dimulai pada pukul 05.30 dengan menggunakan bahasa Jawa, ibadat pada pukul 07.30 dan 17.30 menggunakan bahasan Indonesia. Jumlah jemaat yang beribadat di Paroki Jetis sekitar 2.500 orang. Untuk ibadat keagamaan di luar perayaan Ekaristi, yang dilaksanakan oleh umat adalah doa Rosario (bulan Mei dan Oktober), ibadah Jalan Salib, yaitu mengenang perjalanan peristiwa-peristiwa Yesus sampai disalibkan (selama masa pra Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
165
paskah), doa Meditasi Kristiani untuk merenungkan Allah Tritunggal dilaksanakan setiap Rabu jam 18.00 WIB, doa devosi untuk pertobatan Indonesia dilaksanakan setiap Senin, doa Paus Yohanes Paulus II untuk keluarga-keluarga dilaksanakan setiap Selasa, doa untuk biarawan-biarawati dan selibater awam dilaksanakan setiap Rabu, doa untuk pembangunan umat Allah Gereja Santo Albertus Agung Jetis dilaksanakan setiap Jumat dan Doa untuk para Imam/romo/pastor dilaksanakansetiap Sabtu. Untuk pelayanan dan pembinaan iman umat, dilakukan pembinaan iman melalui renungan Sabda Allah/Khotbah (homili) dalam perayaan Ekaristi, baik di paroki secara rutin setiap hari Minggu dan setiap dua bulan sekali di tiap lingkungan, pelayanan pemberkatan pernikahan, pelayanan sakramen pembaptisan, pelayanan pengurapan orang sakit, sarasehan pastor dengan umat ketika kunjungan ke lingkungan-lingkungan. Contoh tema: soal santet, perdukunan, masalah aktual umat local, kunjungan keluarga oleh romo/pemimpin paroki, pelayanan ibadah arwah dan pemakaman, dan pembinaan berupa Retret/Rekoleksi (pembinaan iman secara khusus dalam jangka waktu 1-3 hari terdiri dari masukan rohani/narasumber tentang kehidupan sehari-hari, pendalaman kitab suci, ibadat tobat (mohon ampun atas dosa, diakhiri dengan perayaan ekaristi). Dalam memberdayakan umat di Paroki Jetis dilakukan beberapa kelompok Kategorial. Ada kelompok orang muda Katolik atau sering disebut muda-mudi (Mudika) Paroki (PALMA: Putra Albertus Magnus) yang sudah mengadakan berbagai kegiatan seperti pentas solidaritas, menggelar lomba koor antar SD se-DIY, menghidupkan perpustakaan paroki yang jarang digunakan lagi kerena umat lebih memilih yang lebih praktis seperti internet, pendakian ke sumbing, latihan kepemimpinan, dll. Memasuki tahun 2000 kelompok ini agak mlempem namun ada kegiatan yang menyolok, yakni mendirikan Radio Komunitas pada Juli 2003. Radio Komunitas ini bernama Lima Cemara, sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian No. 10 tanggal 11 Juli 2006. Ada “Kelompok” doa kerahiman/koronka dan senakel, yakni doa bersama Romo Paroki setiap hari Jumat Pk. 15.00 dan
166
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
ada Antiokhia, yaitu wadah pembinaan iman remaja. Hingga saat ini Jetis dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan Antiokhia di paroki-paroki kevikepan Yogyakarta. Selanjutnya mengenai pemberdayaan ekonomi umat dilakukan melalui Tim Kerja Pengembangan Sosial Ekonomi. Pemberdayaan ekonomi umat terutama untuk membantu ekonomi umat yang kurang mampu, seperti sebagai modal usaha. Untuk memperoleh pembiayaan, umat mengajukan melalui pengurus PSE lingkungan, ketua lingkungan, lalu PSE Paroki melakukan survei atas keadaan pemohon, yang akhirnya diputuskan Pastor Paroki. Dana pinjaman tidak dikenakan bunga. Pembayaran baru dilakukan pada bulan ke-4, dan pembiayaan tersebut dapat dicicil 10 kali. Ada beberapa aksi sosial yang telah dilakukan oleh paroki Jetis di antaranya pada saat ulang tahun Paroki, dengan pemeriksaan kesehatan gratis. Pada saat HUT Kemerdekaan RI memberi sumbangan kepada masyarakat, turut ikut tugas ronda, bantuan santunan kepada orang sakit, bantuan santunan dana bagi orang berduka dan bantuan biaya sekolah kepada anak-anak yang tidak mampu. Keberadaan Paroki Jetis tidak lepas dari keberadaan almarhum Romo YB Mangunwijaya (Romo Mangun). Di mana pada 1969 Romo Mangun ditugaskan di sini. Romo Mangun adalah imam Katolik yang pernah ditugaskan oleh Bapak Uskup di Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta (1969-1976) dan sebelumnya bertugas di Paroki Salaman Magelang (1967). Keberadaan Romo Mangun di Paroki Jetis ini atas ijin Uskup Agung Semarang. Romo Mangun melaksanakan pastoral kategorial (kegiatan pelayanan di bidang sosial sebagai imam Katolik) di daerah kali Code, dengan tinggal dan hidup di Paroki Santo Albertus Jetis sampai akhir hidupnya. (wawancara dengan A. Ferry T. Indratno, pegawai Dinamika Edukasi Dasar, Gejayan, Yogyakarta, 28 Mei 2014). Sejak 1969 Romo Mangun memulai kativitas sosial yang berfokus pada kemanusiaan dan religiusitas, tak pernah Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
167
membawa keagamaan kekatolikannya. Seperti dapat dicontohkan, ketika Romo Mangun mendengar adanya berita tentang rencana pemerintah melakukan penggusuran penduduk di Kali Code dengan tujuan membangun waduk dan taman kota, Romo Mangun merasa terpanggil menolong dan memberi perhatian orang-orang miskin di pinggiran Kali Code, terutama anak-anak dan wanita. Melalui bakatnya dibidang arsitektur, dan bakatbakat lainnya, Romo Mangun bersama warga Kali Code, menata dan membangun rumah penduduk dengan arsitektur khasnya. Dibidang pendidikan, Romo Mangun melihat bahwa pendidikan formal yang sedang berlaku tidak relevan bagi masa depan anak-anak miskin. Romo Mangun berinisiatif menggagas sebuah pendidikan dasar yang membebaskan. Pendidikan dasar yang digagas Romo Mangun tersebut dikelola untuk menghasilkan peserta didik yang kreatif, integral, dan komunikatif. Dibidang hubungan antar agama, Romo Mangun menggagas komunitas Lintas Agama (Interfidei) bersama Gus Dur (Islam) dan Ibu Gedong Oka (Hindu). Gerakan ini masih aktif dan berjalan. Dibidang sastra, Romo Mangun memasukkan ide-ide perbaikan sosial melalui novel, antara lain, Burung-Burung Manyar, Burung-Burung Rantau, dll. Di bidang politik, ide Romo Mangun tampak dalam tulisan artikelnya di berbagai Media Nasional, seperti Politik Hati Nurani.
4.
Faktor pendukung dan Penghambat a.
168
Faktor pendukung 1)
Arahan dan pedoman yang diturunkan dari keuskupan agung Semarang telah menjadi pedoman yang cukup ideal bagi Paroki Jetis, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam beberapa pelaksanaanya.
2)
Dalam ajaran agama Katolik terkandung pemahaman bahwa apa yang telah diberikan adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri, dan digunakan untuk kesejahteraan
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
diri dan sesama, khususnya membutuhkan pertolongan. 3)
b.
orang
miskin
yang
Ketentuan yang telah ditetapkan keuskupan sangat jelas tentang presentase pembagian dana kolekte untuk kegiatan sosial, yaitu 25% sehingga memudahkan gereja dalam mendistribusikan/memanfaatkan dana kolekte melalui PSE.
Faktor penghambat 1)
Sebagian jemaat kurang disiplin dalam pelaksanaan perayaan Ekaristi: datang terlambat, pulang lebih cepat, main HP saat ibadat, pakaian tidak pantas, dan berisik saat ibadat
2)
Masih rendahnya kesediaan sebagian jemaat gereja dalam memberikan dana kolekte, tidak seimbang jika dibanding dengan gaya hidup mereka, misalnya ketika melangsungkan perkawinan mampu menyelenggarakannya dengan biaya yang relatif besar.
B. Model Pemberdayaan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran (Gereja Kumetiran) 1.
Profil Gereja Paroki HSP Maria Tak Bercela Kumetiran memiliki sejarah yang cukup panjang dan terkait erat dengan usaha misi dan situasi politik pada waktu itu. Pada 1922, Rm Frans Strater SJ, seorang pimpinan Jesuit di Yogyakarta mencoba mengembangkan kerasulan pewartaan dan menanamkan ajaran Gereja Katolik di wilayah Yogyakarta. Tujuannya agar Kerajaan Allah dapat dikenal, diketahui dan dirasakan oleh masyarakat. Ia setiap hari mengadakan kunjungan ke pedesaan-pedesaan di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia membangun kapel untuk pelayanan rohani. Ia juga mendirikan beberapa sekolahan termasuk di antaranya Sekolah Guru Agama.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
169
Untuk mendukung pendidikan tersebut, Rm. Frans Strater SJ juga mendirikan Asrama khusus bagi siswa-siswi SGA. Atas bantuan KRT Harjokusuma, seorang bupati yang kemudian menjadi Patih KPH Danurejo VIII, Rm. Frans Strater mendapat sebidang tanah seluas 5.400 m2 lengkap dengan sebuah bangunan rumah yang berbentuk tiga joglo milik Bpk. Raden Penewu Karto Kaskoyo (seorang perangkat kraton) yang terletak di tengahtengah kampung Pringgokusuman. Karena seorang asing, Rm Strater tidak boleh memiliki tanah, maka sertipikat tanah tersebut kemudian diatas namakan Rama Djoyoseputro SJ. Pada 1939, tempat dan bangunan tersebut menjadi asrama calon guru agama. Namun fungsi itu tidak berlangsung lama sebab pada 1942 di Yogyakarta kedatangan tentara Dai Nippon. Mereka menangkap dan menginternir orang-orang Eropa dan merampas semua bangunan yang dikuasai oleh orang-orang Eropa tersebut. Seminari dan Gereja Kotabaru pun tak lepas dari pendudukan Jepang. Tempat-tempat itu dijadikan gedung pemerintahan dan gudang perbekalan sehingga peribadatan tidak mungkin diadakan di Gereja Kotabaru apalagi para gembala juga ditangkap dan dilarang mengajar agama. Akibat dari penangkapan dan pelarangan pengajaran agama tersebut, asrama SGA tidak berfungsi lagi karena tidak ada siswa yang belajar. Pada 1943, asrama SGA tutup. Bagaikan ada benih tumbuh di atas tanah yang tandus, demikianlah yang terjadi dengan keadaan gereja. Setelah para gembala ditangkap oleh tentara Jepang, muncul tokoh-tokoh awam katolik yang mengambil alih kegiatan gerejani. Mereka memberikan pelajaran agama di rumah-rumah, mempersiapkan orang untuk menerima baptisan dan menyelenggarakan ibadat sabda. Usaha ini terus berkembang, sampai akhirnya Bruder Endrodarsono SJ yang waktu itu mengurus asrama Calon Guru Agama menawarkan agar asramanya itu digunakan untuk melaksanakan kegiatan Gerejani, sebagai pengganti Gereja Kotabaru yang dikuasai oleh Jepang. Pada 13 Agustus 1944, untuk pertama kalinya di asrama Calon Guru Agama itu diadakan perayaan Ekaristi oleh Rm B. Su-
170
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
marno SJ dari Paroki Bintaran. Sejak saat itulah secara rutin asrama SGA itu menjadi tempat beribadat. Atas peran serta kaum awam katolik dan ketekunan Bruder Endro dalam mengajar agama, membimbing anak-anak muda, perkembangan umat semakin meningkat. Kemudian ada peristiwa yang menggembirakan untuk masyarakat Indonesia, khususnya juga umat katolik Yogyakarta. Tentara Jepang ditarik kembali ke negaranya karena kota Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Mereka mengembalikan kepada para pemiliknya semua gedung yang dikuasainya, termasuk diantaranya Gereja Kotabaru. Maka dengan diserahkannya Gereja Kotabaru, Gereja ini dapat difungsikan kembali untuk peribadatan, umat Kotabaru yang selama mengungsi ke Kumetiran untuk mengikuti peribadatan. Sebagian besar umat memang kembali ke Kotabaru, tetapi umat di sekitar Kumetiran atau umat di bagian barat Jalan Malioboro tetap menginginkan beribadat di Gereja Kampung bekas asrama SGA itu. Karena banyaknya umat yang tetap bertahan dan kemandirian umat di Gereja Kampung Kumetiran, maka sejak 31 Desember 1945, secara administratif Gereja Kampung Kumetiran tidak lagi dilayani oleh Gereja Kotabaru dan kemudian ditetapkan sebagai Paroki mandiri dengan nama Pelindung Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela. Sejak tahun berdirinya, yakni tahun 1944 sampai 2005 ini, telah puluhan imam berkarya di Paroki Kumetiran secara silih berganti. Masing-masing imam itu memberi warna dan perannya sendiri untuk kehidupan umat paroki Kumetiran. Rm. Aleksander Sandiwan Broto Pr (1950-1959) mulai menata kehidupan paroki. Pada 8 Desember 1950 Rm A. Sandiwan membentuk Yayasan Gereja dan Kemiskinan (sekarang Pengurus Gereja dan Papa Miskin) untuk mengurus harta benda paroki baik yang bergerak maupun tak bergerak. Pada 11 Maret 1951, ia membentuk Pengurus Paroki untuk pertama kalinya. Semula Pengurus Paroki itu hanya terdiri dari Pengurus Harian saja, baru dalam perjalanan waktu ada pembenahan dan penyempurnaan. Tahun 1952, Rm Sandiwan mulai membenahi wilayah teritorial Kumetiran. Ia Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
171
membagi Gereja Kumetiran dalam 8 kring dan satu stasi Gamping (sekarang telah berdiri menjadi paroki sendiri). Mengingat perkembangan umat semakin meningkat dan gereja tidak bisa menampung umat, maka Rm Sandiwan mengajukan ijin untuk membangun gedung gereja baru kepada Rm Kanjeng A. Soegijopranoto SJ saat ada Krisma di Kumetiran 25 Mei 1952. Rm Kanjeng mengijinkan bahkan hendak membantunya. Pembangunan gereja itu terealisasi pada 30 Desember 1955 dan diberkati/diresmikan pada 16 Februari 1958 oleh Rm Kanjeng sendiri. Setelah selesai pembangunan gedung gereja, Rm Sandiwan merenovasi gereja tiga joglo menjadi panti paroki untuk kepentingan pelayanan non sakramental. Sungguh besar jasa Rm Sandiwan bagi umat Kumetiran, terutama untuk mengusahakan kemandirian paroki. Lain dengan Rm Sandiwan, Rm E Hardjowardoyo (1959) yang waktu itu menjadi pastor pembantunya memberi perhatian pada paduan suara paroki. Ia membentuk paduan suara paroki, semula ada dua kelompok yakni kelompok koor putra yang diberi nama Paduan Suara Gregorius dan koor putri dengan nama Paduan Suara Caecilia. Dalam perjalanan waktu kedua kelompok koor tersebut disatukan menjadi Paduan Suara Gregorius Caesilia (atau lebih dikenal GC). Dari waktu ke waktu, Paroki Kumetiran semakin tertata. Rm. B. Liem Bian Bing SJ (1961-1970) menata kembali Dewan Paroki Kumetiran. Ia bersama Dewan Paroki membuat Garis-Garis Besar Haluan Paroki dengan prioritas perhatian pada keterlibatan umat di bidang liturgi, pewartaan, persekutuan dan sosial. Dalam bidang sosial, ia mendirikan Poliklinik Darma Bhakti untuk pelayanan kepada masyarakat umum. Dan dalam bidang pewartaan, ia mengadakan kunjungan ke kring-kring. Kunjungan ini tidak hanya meneguhkan kehidupan kring tetapi juga mempengaruhi perkembangan umat secara kwantitatif. Kegiatan kunjungan ke kring dan keluarga ini dilanjutkan oleh Rm Joannes Reijnders (1973-1979). Dengan sepeda simpleknya, ia rajin pergi ke kring-kring. Tidak hanya
172
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
mengunjungi keluarga, tetapi Rm Reijnders juga melatih koor di tingkat kring. Maka wajar kalau pada masa Rama Rejnders, koor dari tingkat kring sampai paroki menjadi sangat hidup dan bersaing antar kring. Di tingkat kring, Rm Reijnders juga mengadakan misa kring. Saat misa di Kring Kentheng, yang waktu itu meliputi Kentheng, Nusupan dan Bedog, muncul suatu ide untuk mendirikan kapel. Akhirnya didapat sebidang tanah dibulak Ngeban, seluas 455 m2 milik Kas Desa Nusupan. Di tempat itulah didirikan kapel dengan nama Kapel Santa Lidwina. Pada 1980, pembangunan kapel telah selesai dan diberkati oleh Rm R. Mardisuwignya Pr (1978-1980) yang meneruskan karya Rm Reijnders yang telah pindah ke Solo. Perhatian Rm Mardisuwignya adalah kaum muda, khususnya pendampingan mereka untuk persiapan perkawinan. Rm. Mardisuwignya kemudian diganti oleh Rm. Evaristus Rusgiarto Pr (1980-1984). Perhatian Rm Rusgiarto pada bidang pewartaan dan liturgi. Ia membenahi pendampingan para katekumenat. Para katekumenat diajar secara intensif, kemudian mereka diuji untuk kelayakan menerima baptisan. Dalam baptisan bayi, ia menuntut para orang tua untuk mengikuti rekoleksi sebagai persiapan membaptiskan putra-putrinya. Tujuan rekoleksi itu adalah agar para orang tua tahu makna baptisan anak-anaknya dan menyadari tanggungjawabnya untuk mendampingi perkembangan iman anak-anak mereka. Dalam bidang liturgi, Rama Rusgiarto mencoba membuat dramatisasi untuk menggantikan homili, menampilkan sendratari dalam perayaan ekaristi dan menggunakan gamelan sebagai iringan alternatif perayaan ekaristi. Usaha Rama Rusgiarto ini sungguh mewarnai kehidupan paroki Kumetiran, terutama menjadikan perayaan ekaristi semakin hidup dan sakramen semakin dihayati. Melalui pendampingan para gembala dengan segala bentuknya itu, umat Kumetiran semakin bertambah banyak. Namun keadaan ini belum memuaskan Rm Johanes Hadiwikarto Pr (1986-1989) yang berkarya sesudahnya. Rama Hadiwikarto justru menghendaki agar perkembangan umat secara kuantitatif harus dibarengi dengan peningkatan mutu dan kualitas hidup Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
173
iman. Salah satu kualitas hidup iman adalah kalau mereka mempunyai perhatian juga pada mereka yang kekurangan dan bisa menjadi garam bagi masyarakat. Ia kemudian mendirikan dana sehat untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Ia juga mengajak para awam yang bekerja dalam kepengurusan tingkat RT/RW untuk melaksanakan tugas itu sebagai panggilan pelayanan masyarakat mewujudkan tugas Kristus menjadi garam dan terang dunia. Devosinya yang kuat kepada Maria menjadi inspirasi umat untuk menempatkan Maria di tengah kehidupannya. Maria tidak hanya dijadikan sebagai pelindung paroki, tetapi juga menjadi pelindung hidup beriman. Untuk itulah kemudian didirikan Gua Maria untuk mewujudkan kedekatannya dengan Maria dalam bentuk doa dan keteladanan. Setelah Rama Hadiwikarto, silih berganti imam yang berkarya di Kumetiran. Tetapi yang patut dicatat adalah kehadiran Rm Gabriel Alimo Notobudyo Pr (1995-2010). Banyak karya baik fisik maupun non fisik yang diwujudkannya. Secara fisik, bersama Panitia Pembangunan ia membebaskan tanah di Jalan Kumetiran 13, 15, 17 dan memulai pembangunan fisik, mulai dari pembangunan Gedung Pastoran, Gedung Gereja dan akhirnya Kapel Bedog dan Panti Paroki. Gedung Gereja diberkati oleh Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo Pr dan diresmikan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 8 Desember 2001. Secara non fisik, Rm. Notobudyo memberi perhatian terhadap pewartaan kitab suci. Ia mengatakan bahwa sebagai orang Katolik harus mengenal kitab suci. Orang tidak mungkin kenal Kristus kalau tidak membaca kitab suci. Untuk itulah ia mengadakan kursus kitab suci dan sekolah penginjilan kepada semua umat yang berminat. Tujuan dari kursus itu adalah agar umat selain memiliki semangat penginjilan, juga memiliki pengetahuan yang cukup akan kitab suci sehingga bisa mewartakan secara benar dan memadai. Dengan demikian semakin sempurnalah kehidupan umat paroki Kumetiran.
174
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Secara fisik, tempat untuk beribadat dan pelayanan pastoral sudah memadahi dan secara non fisik, macam-macam pendampingan iman umat telah tertata rapi. Tugasnya sekarang adalah menjaga, merawat dan mengusahakan agar umat semakin terdampingi imannya sehingga semakin gembira dalam mengikuti Yesus Kristus mewartakan kabar gembira dan semakin erat bersatu dalam membangun paguyuban-paguyuban yang berpengharapan. Tahun 2010 sampai sekarang, Rm. Fl. Hartosubono, Pr. menjadi Pastor Kepala. Dalam gerak Paroki beliau menata kembali visi-misi Paroki yang dibagi dalam jangka menengah dan jangka panjang. Beliau juga membuat terobosan-terobosan demi semakin terlayaninya umat di Paroki Kumetiran dan semakin tertatanya Paroki dalam hal per-administrasi-an. Demi efektifitas dan efisien pelayanan, beliau membagi wilayah-wilayah dan lingkunganlingkungan ke dalam sistem rayon. Dengan berdiri kokoh di tengah pemukiman kota Yogyakarta, kiranya Gereja Kumetiran dapat menjadi tempat bernaung yang meneguhkan kehidupan religi umatnya sekaligus memancarkan kasih Tuhan melalui ajaran sosial gereja dalam masyarakat multikultural kota Yogyakarta dengan mengedepankan toleransi dan solidaritas dengan seluruh masyarakat untuk memberdayakan diri menghadapi berbagai persoalan.
2.
Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial Kegiatan di Gereja Kumetiran pada setiap tahunnya diawali dengan perencanaan seluruh kegiatan dan program yang juga dilaksanakan berdasarkan arah dasar yang ditetapkan Keuskupan Agung Semarang. Keuskupan Agung Semarang menurunkan Arah Dasar Pastoral kepada Kevikepan. Kevikepan meneruskan kepada Paroki dan Paroki membuat rencana anggaran pengeluaran belanja dengan meminta setiap bidang dan tim kerja menyusun program dan kegiatan yang realistis dan disertakan rincian anggaran biaya. Pengontrolan program dan Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
175
kegiatan dilaksanakan secara bersama-sama melalui rapat berkala, setiap satu bulan sekali untuk saling mengingatkan pelaksanaan kegiatan dan program, dan pada akhir tahun dilaksanakan rapat pleno, untuk mendengarkan laporan keuangan dan melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan dan program. Seperti halnya di Gereja Jetis, selama ini sumber dana paroki berasal dari persembahan sukarela umat berupa iuran tiap kepala keluarga, di mana jumlahnya tidak tidak ditentukan. Kemudian dari Kolekte umat dua kali setiap kali perayaan Ekaristi, berasal dari sumbangan bebas dari umat, sumbangan terima kasih dari umat atas pelayanan administrasi. Dan bantuan lainnya dari Kemenag Kota Yogyakarta berupa hibah wireless, kegiatan peningkatan SDM dalam bentuk kegiatan-kegiatan pro diakon. Sedangkan dari Pemkot Yogyakarta mendapat bantuan setiap tahun sebesar 4 juta. Pemberian dana ke gereja juga dilakukan pada saat Paskah, umat Katolik diharuskan berpuasa selama 40 hari, puasa yang dimaksud adalah mengurangi kecenderungan nafsu duniawi. Umat Katolik biasanya mengurangi pengeluaran yang bersifat komsumtif dan menyisihkannya untuk kemudian diberikan kepada sesama yang membutuhkan melalui gereja. Untuk itu gereja Kumetiran banyak menerima dana selama ibadat Paskah. Dana tersebut disebut Dana Puasa Pembangunan, dana ini relatif lebih besar dibanding dengan dana yang diperoleh gereja lewat ibadat rutin mingguan. Pengumpulan kolekte dilakukan ketika ada perayaan Ekaristi. Kolekte tersebut dibagi dua, yaitu kolekte 1 disebut kolekte umum: untuk keperluan Paroki dan keuskupan. Berdasarkan kebijakan Paroki, misalnya amplop dibagi kepada jemaat untuk perayaan Natal dan seterusnya, dan kolekte 2 disebut kolekte pembangunan. Maksud khusus, pendidikan calon imam, pendirian gereja, pengadaan kursi dst. Tiap bulan Gereja Kumetiran menyetorkan dana ke Keuskupan Agung semarang sekitar 18 juta.
176
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
3.
Kegiatan Gereja Gereja Kumetiran dipimpin oleh 1 orang Romo Kepala Rm. Fl. Hartosubono, Pr. dan dibantu oleh Romo Pembantu. Paroki Kumetiran terdiri dari 13 wilayah dan 59 lingkungan. Total umat di Paroki menurut sensus 2010 sebanyak 8.284 orang. Perayaan Ekaristi yang hadir tiap Minggu diperkirakan 3.200 orang dengan umat yang berasal dari berbagai etnis, namun yang paling banyak adalah etnis Jawa dan China. Untuk menjangkau semua umat, maka dibuat kebijakan perayaan Misa/Ekaristi secara rutin, dua kali sebulan ditiap lingkungan. Wilayah dan lingkungan ini dibagi menjadi tiga rayon, dan tiap rayon dilayani secara tetap oleh satu orang romo. Sarana dan prasarana yang dimiliki paroki sebagai tempat pembinaan umat, ada 1 kantor sekretariat, gedung gereja, 2 aula paroki, 2 gudang, 1 tempat parkir, 4 ruang belajar keagamaan dan TK Indriasari yang dikelola oleh ibu-ibu paroki. Untuk mengelola paroki ada 97 pengurus dan 87 pembimbing agama. Dalam pelayanan ibadat rutin, Gereja Kumetiran menyelenggarakan kegiatan ibadat dari hari Senin s.d. Sabtu mulai jam 05.30-06.00 wib. Pada hari Sabtu jam 18.00-19.30 wib dan pada hari Minggu jam 06.00-07.30 wib, 08.00-09.30 wib, dan 17.00-18.30 wib. Untuk peringatan hari besar keagamaan dapat diketahui seperti data di bawah ini: a. Tanggal 1 Januari
:
Hari Raya Santa Maria Bunda Allah
b. Tanggal 5 Januari
:
Hari Raya Penampakan Tuhan
c. Tanggal 5 Maret
:
Hari Rabu Abu (permulaan masa Puasa Katolik)
d. Tanggal25 Maret
:
Hari Raya Kabar Sukacita
e. Tanggal 13 April
:
HariMinggu Palma (peringatan kisah Yesus memasuki Kota Yerusalem sebelum penyaliban)
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
177
178
f. Tanggal 17 April
:
Kamis Putih (peringatan perjamuan malam terakhir Yesus sebelum wafatNya)
g. Tanggal 18 April
:
Jumat Agung (wafatnya Yesus/Isa Almasih)
h. Tanggal 19 April
:
Sabtu Suci (sehari kebangkitan Yesus)
i. Tanggal 20 April
:
Hari Raya Kristus
j. Tanggal29 Mei
:
Hari Raya Kenaikan Tuhan
k. Tanggal 8 Juni
:
Hari Raya Pentakosta turunnya Roh Kudus)
l. Tanggal 15 Juni
:
Hari Raya Tritunggal Mahakudus
m. Tanggal 22 Juni
:
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus
n. Tanggal 24 Juni
:
Hari Raya Pembaptis
Kelahiran
o. Tanggal 27 Juni
:
Hari Raya Mahakudus
Hati
p. Tanggal 29 Juni
:
Hari Raya Santo Petrus dan Santo Paulus Rasul
q. Tanggal 10 Agustus
:
Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat keSurga
r. Tanggal 17 Agustus
:
Hari Raya Kemerdekaan RI
s. Tgl 1 November
:
Hari Raya Semua Orang Kudus
t. Tgl 2 November
:
Peringatan Mulia Arwah Semua orang Beriman
u. Tgl 23 November
:
HariRaya Yesus Semesta Alam
v. Tgl 8 Desember
:
Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung tanpa noda
w. Tgl 25 Desember
:
Hari Raya Natal
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
sebelum
Kebangkitan Yesus
(Hari
Yohanes
Yesus
Kristus
Yang
Raja
Selain ibadat rutin, ada juga pembinaan keagamaan bagi anak-anak, Pembinaan Iman Anak (PIA), Pembinaan Keagamaan Remaja (PIR), dan pembinaan untuk orang tua dengan berbagai aktivitas, di antaranya: Wara Semedi, Legio Maria, Komunitas Tritunggal Maha Kudus, Kelompok Doa Kerahiman Ilahi, Kelompok Doa Kharismatik, Sekolah Evangelisasi, Sekolah Ketua Lingkungan, Pendalaman Kitab Suci, dan Mitagorgi. Untuk kegiatan sosial diadakan Klinik Kesehatan, Pangrukti Laya, Dana Kesehatan dan Pralenan. Klinik kesehatan digunakan oleh jemaat dan warga sekitar yang membutuhkan. Selain kegiatan sosial, Gereja Kumetiran juga mempunyai kegiatan pemberdayaan yang namanya pemberdayaan ekonomi dengan Dana Papa Miskin. Pada dasarnya, untuk pelayanan ke jemaat para pembimbing keagamaan siap melayani, dengan pelayanan yang murah namun tidak murahan. Dan pada kenyataannya umat memang senang dilayani. Selama ini Gereja Kumetiran memiliki gerak dinamika yang baik, kesatuan umat terjaga, kedalaman iman terpelihara, komunitas antar umat, pengurus, Dewan Paroki, dan pastor paroki berjalan baik. Hal yang seperti ini jelas memberi gambaran paroki yang gembira dan hidup. Kehidupan vital paroki ini memberi agambaran yang jelas. Pewartaan berjalan dengan baik dengan dampak positif tambahnya baptisan baru, Komuni Pertama dan Krisma. Liturgi di Paroki Kumetiran ini juga berkembang dengan baik. Kehidupan devosi di paroki ini subur, terlebih dengan dibangunnya kapel Adorasi Sakramen Maha Kudus, sehingga umat mendapat kesempatan untuk berdoa, berdevosi. Kelompok-kelompok doa, paguyuban-paguyuban umat (a.l. Paguyuban Tiranus) berjalan baik. Kelompok koor, pemazmur, Lektor, Misdinar cukup baik. (B. Saryanto, Pr.)
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
179
4.
Faktor Pendukung dan Penghambat a.
b.
Faktor pendukung 1)
Gereja Kumetiran mempunyai dana yang cukup yang disebut juga dengan Paroki yang mandiri yang tidak memperoleh subsidi, sehingga justru dapat menyetorkan sebagian dananya ke keuskupan Agung Semarang sampai 18 juta.
2)
Para pembimbing keagamaan selalu siap memberikan pelayanan kepada umat ketika dibutuhkan.
Faktor penghambat 1)
Sarana parkir baik untuk mobil maupun motor, yang kapasitasnya terbatas sehingga seringkali ketika ada acara keagamaan, kendaraan para jemaat sampai ke bibir jalan raya dan dikhawatirkan mengganggu jalan umum.
2)
Masih ada sedikit “benturan budaya” antara etnis Jawa dan Cina, hal tersebut terjadi baik ketika dalam kepengurusan dan pelaksanaan perayaan hari-hari besar kegamaan.
Penutup 1.
Simpulan a.
180
Pengelolaan rumah ibadat Gereja Jetis dan Gereja Kumeriran dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama digariskan secara hirarkis mulai dari Uskup (Keuskupan), diturunkan lagi kepada Kevikepan (perwakilan uskup dengan wilayah tertentu), kemudian dilaksanakan dalam paroki oleh pastor paroki beserta jajarannya. Pola ini merupakan kekhasan Katolik, dan pola organisasinya sama untuk Paroki-Paroki. Perbedaannya, berjalan tidaknya organisasi Paroki tergantung kepemimpinan dan kreativitas Pastor Paroki.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
b.
Pemberdayaan ekonomi umat untuk kedua gereja di atas tidak begitu kelihatan. Adapun upaya yang difasilitasi adalah berupa pelatihan-pelatihan umat untuk menambah penghasilan misalnya berdagang. Ada juga pemberian pinjaman dana dengan keringanan pembayaran cicilan di bulan keempat seperti yang dilakukan di paroki Santo Albertus Jetis Yogyakarta. Pemberdayaan ekonomi umat pada umumnya bersifat karitatif, bantuan bagi umat yang kurang mampu. Umat yang kurang mampu dibantu berupa dana membiayan uang sekolah atau uang sosial bagi yang sakit atau berduka.
c.
Kesadaran umat cukup tinggi dalam memberikan persembahan sukarela (iuran bulanan) yang dikelola untuk memberi penghidupan yang layak bagi para uskup/imam, pelaksanaan karya-karya pembinaan iman umat dan pelaksanaan karya amal kasih terutama bagi mereka yang berkekurangan. Adapun bantuan yang diterima oleh Santo Albertus Jetis Yogyakarta dan paroki Santa Perawan Maria Tak Bercela adalah berupa hibah barang/peralatan seperti sarana wireless/sound system, dan bantuan sejumlah dana untuk kegiatan pembinaan orang muda Katolik. Pada awal tahun Dewan Paroki Pleno merencanakan program pelayanan pastoral paroki, masukan umat, kondisi paroki dan pelayanan berdasarkan data terkini. Dan pada akhir tahun Dewan Paroki Pleno melakukan evaluasi dan refleksi pelayanan pastoral atas semua program dan kegiatan dalam setahun
d.
Faktor pendukung di antaranya adanya kesadaran untuk terlibat dalam melayani umat dan menyumbangkan tenaga, dana dan waktu untuk terlibat dalam pembangunan iman umat paroki tanpa gaji atau honor. Sedangkan faktor penghambatnya adalah kurangnya disiplin umat pada pelaksanaan perayaan Ekaristi: datang terlambat, pulang lebih cepat, main HP saat ibadat, ada yang berpakaian tidak pantas dan berisik saat ibadat.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
181
2.
Rekomendasi a.
Segenap komponen yang berpengaruh pada umat Katolik agar lebih mengintensifkan internalisasi ajaran berderma kepada seluruh lapisan umat Katolik, sehingga mereka dapat meningkatkan pengamalan apa yang ditetapkan dalam ajaran agama dan dapat meningkatkan pemberian bantuan kepada masyarakat yang tidak mampu baik yang karitatif maupun pemberdayaan.
b.
Perlu pembinaan umat secara rutin dan berkelanjutan melalui kunjungan ke lingkungan-lingkungan secara rutin ketika Perayaan Ekaristi, maupun pada saat-saat dibutuhkan jemaat. ***
182
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Daftar Pustaka Pemda Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012. Badan Pusat Statistik Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II Bdk. Hukum Gereja Katolik, KHK. http://romojost.blogspot.com/2013/02/ybmangunwijaya.html http://www.jogjajavacarnival.com/sejarah-kota-jogja-2/
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
183
184
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN PURA DI KOTA DENPASAR: “Membagi Dunia” melalui Rwa Bhineda, Tri Mandala dan Tri Hita Karana Oleh: I Nyoman Yoga Segara dan Selamet
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kota Denpasar adalah ibukota Provinsi Bali setingkat kabupaten dan menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian dan pendidikan. Berdasarkan letak geografisnya, Kota Denpasar berada antara 08 35’ 31’’ - 8 44’ 49’’ lintang Selatan dan 115 10’ 23’’ - 115 16’ 27’’ bujur Timur.71 Sedangkan berdasarkan letaknya, Kota Denpasar berbatasan langsung dengan kabupaten Badung, kabupaten Gianyar dan Selat Lombok. Luas wilayah Kota Denpasar adalah 12,78 km2 atau 2,18% dari luas Provinsi Bali dengan jumlah penduduk berdasarkan data 2011 sebanyak 804.905 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 413.335 (48,65% dari jumlah penduduk) dan perempuan sebanyak 391.570 jiwa (48,65% dari jumlah penduduk).72 Kota Denpasar berada pada lokasi dan aksesibulitas yang baik sebagai faktor penetapan Kota Denpasar sebagai ibukota Provinsi Bali. Dengan posisinya seperti di atas, Denpasar mengemban peran ganda dan multi fungsi, sekaligus memiliki dinamika terhadap keterbukaan, pluralistik dan kompleks sebagai barometer Bali dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kondisi ini telah berdampak langsung terhadap pertumbuhan kota dengan jumlah dan
71 72
BPS 2012 dalam Profil Kementerian Agama Kota Denpasar, 2013:2 Ibid
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
185
kepadatan penduduk yang signifikan. Secara administratif, pemerintahan kota Denpasar terdiri dari 4 kecamatan dan 43 desa/kelurahan. Hindu adalah agama mayoritas yang dianut penduduk Denpasar. Hampir tiap hari ditemukan perayaan hari suci keagamaan. Hal ini karena dalam agama Hindu dikenal hari-hari suci yang dilaksanakan berdasarkan wewaran, pawukon dan sasih.73 Perayaan hari suci juga dilaksanakan karena piodalan74 sebuah tempat suci. Pemandangan ini menjadi daya tarik wisata budaya yang dinikmati oleh para wisatawan, baik domestik maupun asing, sehingga sering agama Hindu dan budaya dianggap menyatu dan susah untuk dibedakan.75 Semaraknya perayaan hari suci Hindu tidak luput dari amatan para ahli, terutama antropolog, 76 juga oleh kalangan intelektual dan akademisi. Denpasar sebagai penggerak denyut nadi ibukota provinsi juga menghadapi sejumlah tantangan, terutama dengan merasuknya modernisasi yang membawa serta perubahan yang berdampak pada dimensi kehidupan alamiah maupun sosial-buadaya. Denpasar tampak menjadi kota yang terbuka. Namun satu hal yang menggembirakan, dampak perubahan tidak menggoyahkan kerukunan antaragama yang telah lama terbangun,77 dan ini menjadi modal sosial berharga bagi Perayaan hari suci agama dalam Hindu didasarkan atas perhitungan wewaran, seperti kajeng kliwon, pawukon, seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, Tumpek, dll., dan sasih, seperti Nyepi dan Siwaratri 74 Piodalan sering juga disebut rerahinan atau pujawali adalah peringatan tegak ngenteg linggih sebuah pura. Untuk memahami secara sederhana, dalam bahasa Indonesia, piodalan sering dipadankan seperti hari ulang tahun, meski masih tidak sepenuhnya tepat seperti itu. 75 Michel Picard menggambarkan suasana keagamaan di Bali seperti ini dalam Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006) sebagai atraksi dan karnaval buadaya yang tidak pernah mati dalam kehidupan masyarakat Bali. Hal ini sudah sangat lama berlangsung, bahkan sejak kedatangan wisawatan pertama, George Kreus ke Bali dan mempublikasikannya ke dalam Majalah BALI. 76 Penelitian tentang Bali dan agama Hindu telah sejak lama dilakukan para orientalis, sebut saja Gregory Bateson; Jean Belo; James A. Boon; M. Covarrubias, dll. 77 Selepas publikasi massif tersebut, Bali menjadi sangat terbuka terhadap dunia luar. Kajian ini dijelaskan dengan baik oleh Henk Schulte Nordholt (2010) dalam Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Menurutnya, keterbukaan seperti ini memiliki ragam dampak hingga hari ini, sekarang sangat tergantung dari bagaimana orang Bali kini menghadapinya. 73
186
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Denpasar untuk menawarkan rasa aman kepada siapapun yang datang. Untuk mengenal lebih detail tentang Denpasar, dapat dibaca melalui datadata berikut ini. Tabel 1: Data Kepadatan Penduduk Kota Denpasar Berdasarkan Kecamatan No
Kecamatan
Luas Wilayah (km2)
Jumlah Penduduk (jiwa)
Kepadatan Penduduk (orang/km2)
1
2
3
4
5
1
Denpasar Selatan
49,99
222.315
4.447
2
Denpasar Timur
22,31
152.054
6.815
3
Denpasar Barat
24,06
242.622
10.084
4
Denpasar Utara
31,42
187.914
5.981
127,78
804.905
27.327
Jumlah
Sumber: BPS Kota Denpasar (dalam Profil Kementerian Agama Kota Denpasar, 2013:2)
Tabel 2: Data Kepadatan Penduduk Kota Denpasar Berdasarkan Kecamatan No 1 1 2 3 4
Kecamatan
Desa
2 3 Denpasar Kelurahan Sesetan Selatan Denpasar Timur Kelurahan Kesiman Denpasar Barat Kelurahan Padangsambian Denpasar Utara Desa Dauh Puri Kaja Jumlah
Desa Dinas/Kelurahan 4 5 10 11
Banjar Dinas Adat 6 7 105 90
11
12
87
97
11
2
112
106
11
10
102
99
43
35
406
392
Sumber: BPS Kota Denpasar (dalam Profil Kementerian Agama Kota Denpasar, 2013:4)
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
187
Tabel 3: Data Penduduk Kota Denpasar Berdasarkan Agama
No 1
Kecamata Hindu n 2
1 Denpasar Selatan
3
Islam Kristen 4
5
170.725 54.013 10.094
Katoli Buddh Kong- Junlah k a hucu Total 6
7
8
9
5.692
4.263
64 244.581
2 Denpasar Timur
96.637 31.107
3.371
5.427
1.845
16 138.403
3 Denpasar Barat
143.548 70.455
7.367
3.870
4.165
30 229.435
4 Denpasar Utara
127.256 39.470
4.440
2.260
2.431
43 175.900
Jumlah 538.166 195.045 12.704 25.272 17.249
153 788.589
Sumber: BPS Kota Denpasar (dalam Profil Kementerian Agama Kota Denpasar, 2013:17)
188
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
189
Kong hucu
21
24
10
20
75
18
1
16
70
105
1
-
1
-
-
287
120
32
61
74
30
4
14
4
8
-
-
-
-
-
111
21
41
23
26
141
25
55
27
34
1
-
1
-
-
Sumber: Profil Kementerian Agama Kota Denpasar (2013:18)
1 Denpasar 33 Selatan Denpasar 36 Timur Denpa6 sar Barat Denpa30 sar Utara Jml 105
Kec
Islam Buddha
-
-
-
-
-
10
3
5
-
2
-
-
-
-
-
10
3
5
-
2
1
-
-
-
1
3
-
1
-
2
1
-
1
-
-
18
Ka pel
Katolik
Kah Kah Kah yanga Vihar Cetya/ Mas Lang- MoSwagi yanga KlenKate- Gere Jml Jml Ya n Jml Jml a TITD jid gar shala na teng dral ja n ngan lainny Jagat a 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Hindu
Tabel 4: Data Tempat Peribadatan Umat Beragama di Kota Denpasar
5
-
2
-
3
19
Jml
69
15
20
13
21
20
69
15
20
13
21
21
Gere Jml ja
Kristen
190
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
375
360
28
29
1590
318
30
141
537
54
-
7
173 1
5
-
2
389
403
348
591
18
-
18
-
-
30
-
20
-
10
Su Pe Bhik Pand Upa lingg mang Jml su ita sak ih ku 2 3 4 5 6 7
Buddha
-
-
-
-
-
Su Ma ner 8
55
-
43
-
12
9
Jml
Konghucu
Islam
Katolik
68
9
26
18
15
9
4
2
2
1
4
1
1
1
1
-
-
-
-
-
16
8
3
3
2
11
2
4
3
2
99
23
42
18
16
43
10
18
6
9
153
35
64
27
27
9
-
1
7
1
1
-
-
1
-
15
-
-
3
12
25
-
1
11
13
Jiao Pend Wen Xue Ula Khot Mub Past Brud Sust Jml Jml Shen Jml eta ma ib a-lig ur er er Shi Shi g 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Kristen
Sumber: Profil Kementerian Agama Kota Denpasar (2013:18)
Jml
1 Denpas ar Selatan Denpas ar Timur Denpas ar Barat Denpas ar Utara
Kec
Hindu
Tabel 5: Data Pemuka dan Tokoh Agama di Kota Denpasar
A. Model Pemberdayaan Pura Desa dan Puseh Desa Pakraman Ubung 1.
Profil Pura (Parahyangan) Seperti pada umumnya desa pakraman di Kota Denpasar, Desa Pakraman Ubung juga memiliki Kahyangan Tiga dan masuk wilayah administrasi Kecamatan Denpasar Barat. Pura Desa biasanya terletak di tengah-tengah atau pusat desa, yaitu pura untuk memuja Dewa Brahma dengan manifestasi sebagai pencipta; Pura Puseh letaknya di hulu atau arah Timur pekarangan desa, tempat suci untuk memuja Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan Pura Dalem terletak di area kuburan (bhs Bali: sema, setra). Pura Dalem adalah sthana Dewa Siwa dengan fungsi sebagai pemralina atau pengembali semua yang ada di alam semesta. Pura Dalem biasanya juga berdekatan dengan Pura Prajapati, tempat bersthananya Dewi Durga, sakti dari Dewa Siwa. Dengan demikian, setiap krama atau umat di desa pakraman memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai Tri Murti, yakni tiga manifestasi Tuhan sebagai pencipta-pemelihara-pemralina atau lahir-hidup-mati. Ketiganya menjadi siklus kehidupan umat Hindu. Untuk itulah Kahyangan Tiga menjadi tempat suci yang sangat dihormati. Masalah letak Kahyangan Tiga tidak bersifat mutlak seperti di atas, karena tetap harus disesuaikan dengan tipologi desa pakraman, juga konsensus bersama yang diselesaikan secara adat, sepanjang disepakati dengan nilai-nilai kebersamaan. Misalnya, jika di desa pakraman tersebut tidak memiliki pekarangan yang luas, maka ada kesepakatan tertentu yang dibuat bersama. Falsafah inilah yang membuat krama desa pakraman menempatkan Pura Desa dan Pura Puseh menjadi satu panyengker (Bhs Ind: tembok pembatas), hanya dibatasi tembok pembatas, dan bahkan memiliki hari suci piodalan78 yang sama. Piodalan Pura Desa dan Pura Puseh adalah Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Kahyangan Tiga Desa Pakraman Ubung terletak di Banjar Sedana Mertha.
78 Piodalan sering juga disebut rerahinan, yaitu peringatan tegak ngenteg linggih sebuah pura. Untuk memahami secara sederhana, dalam bahasa Indonesia, piodalan sering dipadankan seperti hari ulang tahun, meski masih tidak sepenuhnya tepat seperti itu.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
191
Selain Kahyangan Tiga, di Desa Pakraman Ubung juga terdapat pura di masing-masing banjar, pura panti, sanggah/pemrajan, pura subak, pura bedugul dan pura melanting. Berdasarkan data dalam Ika Ilikita, di Desa Pakraman Ubung terdapat 37 pura. Pada saat piodalan, di Kahyangan Tiga selalu dilaksanakan persembahyangan bersama dimulai dengan Tri Sandhya dan kramaning sembah. Persembahyangan yang sama juga dilakukan pada saat hari-hari suci lainnya, seperti purnama, tilem, saraswati, siwaratri, galungan, kuningan, dll. Sampai saat ini, khusus untuk Pura Desa dan Pura Puseh belum dapat diuraikan secara jelas asal usul dan sejarahnya, bahkan belum dapat diuraikan dalam Eka Ilikita.
2.
Umat Pangempon (Pawongan) Pura Desa dan Pura Puseh sebagai bagian dari Kahyangan Tiga diempon oleh krama Desa Pakraman Ubung yang menurut data dalam Eka Ilikita berjumlah 424 kepala keluarga, yang tersebar di masing-masing banjar, yaitu Banjar Sedana Mertha (118); Banjar Tengah (101); Banjar Sari (101); Banjar Batur (50) dan Banjar Merta Gangga (54). Krama desa pakraman ini adalah mereka yang sudah memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan dalam awig-awig desa pakraman yang telah dituliskan sejak 29 Januari 1983. Selain krama yang tersebar di banjar, di Desa Pakraman Ubung juga memiliki Sekeha Teruna yang juga terdapat di masingmasing banjar. Sekeha79 yang lain adalah Sekeha Pesantian, Sekeha Gong, Sekeha Barong dan Sekeha Rurung. Semua sekeha ini sangat aktif dalam membuat denyut agama, adat dan budaya Bali. Krama Desa Pakraman Ubung memiliki pekerjaan yang beragam, seperti buruh, dagang, tukang bangunan (biasanya bangunan khas Bali), tukang jahit, PNS dan TNI.
79 Sekeha atau juga disebut sekaa adalah perkumpulan atau organisasi yang terdapat di banjar atau institusi lain, misalnya, perkumpulan pemuda di banjar dikenal dengan Sekeha Teruna. Sekeha juga merupakan perkumpulan orang-orang memiliki kesamaan minat terutama kesenian, sehingga di Bali banyak ditemukan Sekeha Gambelan, Sekeha Santi, dll. Sekeha juga terbentuk karena kesamaan profesi, misalnya Sekeha Subak, Sekeha Semal, Sekeha Manyi, dll
192
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Kehidupan adat krama Desa Pakraman Ubung ditata sedemikian rupa melalui prajuru-prajuru yang terdapat mulai dari organisasi terkecil, seperti kelian maksan, kelihan banjar hingga kelihan desa yang biasa disebut Jero Desa yang dibantu empat baga atau wakil ketua sesuai bidang-bidang yang ditentukan, antara lain Wakil Ketua I (Petajuh Baga Parahyangan) yang bertugas dalam urusan persembahyangan dan pura; Wakil Ketua II (Petajuh Baga Palemahan) yang bertugas mengurusi soal lingkungan dan tata ruang desa; Wakil Ketua III (Petajuh Baga Pawongan) yang bertugas mengurusi siklus hidup seperti perkawinan, cerai, ngaben, dan upacara lainnya dan Wakil Ketua IV (Petajuh Baga Badan Usaha Milik Desa/BUMDES) yang bertugas memutar roda ekonomi dan usaha desa. Selain empat baga, Jero Bendesa juga dibantu oleh Sekretaris I (Penyarikan I), Sekretaris II (Penyarikan II) dan Bendahara (Petengen). Kelihan Desa dengan perangkatnya adalah adalah semacam lembaga eksekutif yang dalam menjalankan program dan kegiatannya diawasi oleh semacam lembaga yudikatif, yakni Kertha Desa. Sedangkan lembaga yang bertugas menjadi mediator untuk melakukan musyawarah adalah Sabha Desa atau semacam legislatif. Seluruh permasalahan yang ada di desa pakraman diselenggarakan secara sinergis antarlembaga tersebut. Untuk menunjang dan mendukung kelancaran pelaksanaan seluruh tugas yang dijalankan, Kelihan Desa dibantu oleh selain krama, juga prajuru-prajuru dimasing-masing banjar serta alat-alat desa untuk memberikan rasa aman krama, seperti pecalang yang saat ini memiliki aset satu mobil dan empat motor patroli.
3.
Kondisi Geografis (Palemahan) Pura Desa dan Pura Puseh yang berada di tengah Desa Pakraman Ubung berbatasan langsung dengan Desa Pakraman Pohgading di sebelah Utara, Tukad Badung di sebelah Timur, Desa Pakraman Denpasar di sebelah Selatan dan Tukad Mati di sebelah Barat. Adapun perumahan krama dibatasi oleh tembok panyengker, dianjurkan menghadap ke jalan sehingga terlihat asri Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
193
serta membuat taman-taman di depan rumah, dan paling penting di sekitar sanggah ditanam pohon berbunga. Adapun total luas Desa Pakraman Ubung adalah 184.878 ha yang terbagi ke dalam pekarangan umah seluas 78.87 ha, tanah tegalan 104.878 ha dan tempat suci seluas 1.13 ha. Untuk membuat kenyamanan krama dilakukan ragam kegiatan seperti membersihkan sampah setiap hari yang di mana masing-masing banjar memberikan dua tenaga tukang sampah, setiap minggu oleh krama banjar, PKK dan sekeha. Sedangkan kelestarian taman desa dilaksanakan oleh Sekeha Teruna dari masing-masing banjar.
4.
Sumber Dana Pemberdayaan Pura dan Pengelolaannya Sebagaimana diceritakan oleh Jero Bendesa Desa Pakraman Ubung, I Dewa Putu Mayun (wawancara tanggal 22 Mei 2014), Pemerintah Daerah Bali sangat memperhatikan keberadaan dan ketahanan seluruh Desa Pakraman. Menurut Mayun, hal ini menjadi strategi kebudayaan untuk menjadikan desa pakraman sebagai benteng kokoh untuk menyaring arus kencang globalisasi yang masuk melalui investasi ekonomi seperti pembangunan dan tourisme. Informasi dari Mayun, yang juga diiyakan oleh Sekretaris I, I Made Jesna, setiap tahun selalu ada dana pembinaan yang diberikan oleh Pemda Bali, karena Pemda sangat berkepentingan untuk memperkuat desa pakraman. Jesna mengatakan Bali bisa seperti ini karena keberadaan desa pakraman masih mempertahankan tradisi luhur dan mampu berkolaborasi dengan desa dinas sebagai wakil pemerintah. Menurut dua pengurus inti Desa Pakraman ini, bantuan yang diterima setiap tahunnya selalu meningkat. Tahun lalu mendapatkan bantuan 100 juta dari Pemda Tk I Bali, dan 25 juta dari Pemkot Denpasar. Namun bantuan-bantuan tersebut oleh para pengurus masih dianggap belum mencukupi kebutuhan riil tiap tahun desa pakraman yang bahkan menghabiskan anggaran lebih dari 1 milyar untuk berbagai kegiatan, baik kegiatan fisik maupun non fisik
194
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
(lihat lampiran penggunaan anggaran desa pakraman). Sementara menurut I Wayan Miarsa, seorang umat yang sangat aktif di pura Desa mengatakan bantuan-bantuan tersebut hanya menjadi stimulus bagi krama untuk termotivasi menjalankan seluruh kegiatan Desa Pakraman. Bahkan menurutnya, bantuan yang diterima belum cukup untuk mendanai upacara keagamaan. Miarsa dan beberapa krama yang hadir dalam focus group discussion (FGD) pada 24 Mei 2014, mengharapkan bantuan yang besar datang dari Kementerian Agama untuk aktivitas keagamaan, namun ternyata masih sangat minim, yakni hanya 50 juta dan tahun ini masih belum direalisasikan.80 Kondisi ini dibenarkan oleh Ni Ketut Oka Sutriani, Penyuluh Agama Hindu Kementerian Agama Kota Denpasar. Ia bahkan mengatakan baru kali ini bisa memberikan bantuan kepada Desa Pakraman Ubung. Secara kompak, peserta FGD tetap memberikan apresiasi seraya optimis bantuan tersebut bisa direalisasikan karena seluruh prosedur telah dilalui dengan baik. Senada dengan peserta FGD, I Dewa Putu Mayun dan I Made Jesna mengatakan bahwa meskipun bantuan dari Pemda dan Kementerian Agama yang diterima masih kecil, Desa Pakraman Ubung telah sejak lama memiliki mekanisme untuk mengatasi masalah ini, namun tetap tidak memberatkan krama desa pakraman. Mayun menjelaskan bahwa meski desa pakraman tidak memiliki pelaba (bhs Ind: aset atau barang berharga, bisanya dalam bentuk tanah) berupa tanah seperti desa pakraman lainnya, namun Desa Pakraman Ubung memiliki cukup aset berupa Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yaitu lembaga simpan pinjam krama desa dan pasar desa yang keduanya dikelola oleh BUMDES. Setiap tahun, LPD dan pasar mampu memberikan subsidi sebesar 20% dari laba yang diperoleh atau sekitar 600 juta.
80 Berdasarkan informasi awal yang diperoleh dari Penyuluh Agama Hindu dan Prajuru Desa Pakraman, dana 50 juta dari Kementerian Agama Kota Denpasar akan digunakan untuk membangun bataran (pondasi dasar Pura Desa), namun sampai saat ini belum bisa direalisasikan karena menunggu hari baik untuk membangun, yang di Bali dikenal dewasa hayu.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
195
Sumber dana lain yang digunakan untuk memberdayakan pura dan umat diperoleh dari iuran krama banjar yang besarnya tidak dibuat seragam tergantung kemampuan setiap banjar serta bersifat insidental, seperti piodalan dan kegiatan lainnya. Secara tegas dapat dikatakan sumber pembiayaan untuk pemberdayaan pura lebih banyak dilakukan secara swadaya. Bahkan para pemuda juga secara kreatif mencari dana untuk kebutuhan mereka dengan mengadakan bazzar pada setiap hari raya, terutama Galungan dan Kuningan. Biasanya dilakukan dibanjarbanjar. Berdasarkan Rekapitulasi Laporan Keuangan Desa Pakraman Ubung per 31 Maret 2014, dana masuk ke kas Desa Pakraman mencapai 5.679.286.900, dengan pengeluaran mencapai pada periode tersebut 751.221.300. Saldo yang tersisa dari rekapitulasi ini masih sekitar 4.928.065.600. Jika dibandingkan dengan bantuan yang diterima dari pemerintah, tentu tidak cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan desa pakraman yang terbagi ke dalam biaya untuk parahyangan, pawongan dan palemahan. Dapat dikatakan, seluruh dana tersebut lebih banyak habis untuk kegiatan non-fisik, seperti upakara dan upacara agama.
5.
Model Pemberdayaan Pura a.
Pengelolaan Modal-Modal Sosial Pengelolaan modal sosial yang dimiliki pura sejalan secara koheren dengan program dari desa pakraman yang dituangkan sepenuhnya ke dalam Ika Ilikita, dan secara linear berkorelasi dengan tujuan agama Hindu melalui Tri Hita Karana. Bagaimana Desa Pakraman Ubung mengelola dan memberdayakan modal sosial yang mereka miliki, dapat dilihat dari program yang mereka lakukan selama ini. Seluruh program ini berimplikasi terhadap pengelolaan keuangan dan pemberdayaan umat, antara lain: Bidang Parhyangan:
196
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
1)
memberikan bantuan secara rutin tiap pujawali kepada Pura Kahyangan Desa
2)
membangun Bale Pedaunan Pura Desa dan Puseh
3)
mengadakan persembahyangan bersama Purnama/Tilem, Siwaratri, Saraswati dan Pujawali
4)
pelaksanaan upacara/upakara sebagai prosesi pergantian Tahun Baru Caka dari melasti, mecaru dan Nyepi
5)
dharmayatra ke situs-situs atau peninggalan kerajaan Hindu di Jawa Timur
saat
Bidang Pawongan: 1)
melaksanakan Pasraman anak-anak dan remaja
2)
meningkatkan peran lembaga aturan/kewenangan desa/banjar
3)
meningkatkan keahlian kaum perempuan membuat upakara/bebantenan dan upacara melalui kursus-kursus
4)
meningkatkan peran serta krama desa dalam menghadapi gangguan keamanan (bankamdes)
5)
sosialisasi tentang rencana nyekah missal tahun 2015
6)
membantu anggota yang meninggal Rp. 1.000.000.
7)
mensubsidi biaya sekolah pada anak-anak yang akan masuk di TK/PAUD Widyasanti
8)
melakukan pendataan krama desa sesuai dengan tingkat umur sebagai upaya mengoptimalkan peran desa pakraman terhadap perkembangan anggota dalam hal tertib administrasi kependudukan
9)
mengadakan koordinasi dengan desa dinas (kelurahan) sebagai upaya membangun sinergitas antarlembaga ditingkat desa
adat
sesuai
dengan dalam agama
10) pembinaan bidang seni dan budaya terhadap generasi muda/remaja dengan mengadakan pelatihan bersama antarbanjar se-desa pakraman
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
197
11) merivisi awig-awig desa, menyesuaikan dengan keadaan saat ini dan mensosialisasikan pada krama desa Bidang Palemahan:
b.
1)
menetapkan batas wilayah desa pakraman
2)
menetapkan batas-batas tanah milik desa
3)
membersihkan/menata palemahan/halaman Pura Desa dan Puseh melalui tamanisasi lingkungan pura
4)
mengajukan permohonan kepada pemerintah agar dapat membuat jalur irigasi utama dari hulu sampai ke hilir/pembuangan di sungai Badung untuk mengatasi banjir
5)
melestarikan sumber-sumber dilingkungan desa pakraman
6)
melaksanakan kerja bakti gotong royong kebersihan tiap minggu pertama bagi krama laki-laki dan minggu ketiga bagi krama perempuan
7)
mengelola sampah secara swadaya
8)
membuat resapan air (biopori) disetiap keluarga sebagai upaya mengurangi banjir dan menjaga air tanah
mata
air
yang
ada
Manajemen Tri Partit Plus Seperti telah dijelaskan bahwa pelaksanaan program dan kegiatan yang dibuat oleh desa pakraman berjalan secara terbuka, transparan dan akuntabel, karena terdapat sinergi tiga kekuatan desa pakraman, yakni Bendesa Adat (eksekutif), Kertha Desa (yudikatif) dan Sabha Desa (legislatif). Kepemimpinan yang kuat (strong leadership) masing-masing lembaga ini berada di wilayah adat dan agama sehingga dipersatukan oleh nilai-nilai agama sebagai pengikat moral. Telah sejak lama, awig-awig dan perarem menjadi garisgaris haluan desa pakraman sekaligus legitimasi agama karena melibatkan hal-hal yang bersifat religius, rohaniah dan niskala, salah satunya berlakunya hukum karma. Kekuatan lain
198
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
yang menyertai lembaga tersebut adalah kebutuhan untuk menjadikan pengabdian yang lebih banyak didasari oleh kebutuhan rohani. Bagi mereka, menjadi prajuru desa pakraman adalah sebuah panggilan yajna. Selain melalui hubungan yang harmoni antartiga lembaga di atas, di Desa Pakraman Ubung, seperti Desa Pakraman lainnya, berlaku pula pelaksanaan Catur Guru,81 di mana pemerintah, dalam hal ini desa dinas dianggap sebagai Guru Wisesa yang wajib diajak bekerja sama dan dimintakan sarannya. Selama ini, Jero Bendesa dan para prajuru lainnya selalu melakukan kerjasama yang baik terutama meminta saran dan pertimbangan dalam mengelola dana bantuan. Hal ini mereka lakukan karena selama ini ada hambatan administrasi dan prosedur. Seperti diketahui, di Bali, terdapat desa dinas dan desa adat. Keduanya bukanlah bentuk dualisme tetapi justru dualitas yang saling melengkapi sesuai tugas dan fungsinya. Dalam desa dinas, peraturan yang berlaku bersifat nasional, sebagai perbantuan dari pemerintahan di atasnya, yaitu Kecamatan, Kabupaten/Kota, atau Provinsi. Desa dinas dapat menampung penduduk yang bersifat plural karena bersifat nasional. Desa adat mengelola urusan agama, adat dan budaya. Sehingga bagi desa pakraman, bantuan dana yang mereka terima, terlebih untuk kepentingan pura harus jauh dari tindakan menyimpang. Bentuk riil dari kerjasama itu adalah LPJ di mana mereka merasa perlu mendapat pendampingan dan bimbingan teknis agar direalisasikan dan dilaporkan benar dan tepat. Sehingga pemberi dan penerima bantuan tidak terkena hukuman niskala, karena ini sangat berat.
81 Catur Guru adalah empat guru yang harus dihormati oleh umat Hindu. Keempatnya adalah guru rupaka (orang tua), guru pengajian (guru, dosen atau mereka yang memberikan ilmu pengetahuan), guru wisesa (pemerintah dan perangkat negara lainnya), guru swadyaya (Tuhan)
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
199
c.
Bentuk-Bentuk Pemberdayaan Sumber dana yang diperoleh Desa Pakraman Ubung, baik dari pemerintah selama ini dan terutama swadaya dari krama, sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan krama dari berbagai aspek. Sesuai dengan LPJ Desa Pakraman Ubung yang selalu dilaporkan tiap tahun baru caka (bulan April), sumber pembiayaan tersebut digunakan untuk aspekaspek berikut ini. 1)
Aspek Sosial-Budaya a)
memberikan santunan kepada krama yang meninggal sebesar 1 juta. Selain dari desa pakraman, krama yang terkena duka meninggal juga diberikan patis oleh krama dilingkungan banjarnya senilai harga 1 kg beras dan 5000.
b) melakukan pembinaan terhadap sekeha yang ada di desa pakraman, melalui penguatan sekeha-sekeha yang ada di masing-masing banjar, baik yang dilakukan oleh para pemuda melalui Sekeha Teruna maupun para ibu-ibu melalui organisasi Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) c)
melibatkan sekeha dalam setiap kompetisi seni, budaya dan olah raga yang diadakan setiap tahun oleh Pemkot Denpasar, seperti lomba ogoh-ogoh, gong kebyar dan utsawa dharma gita.
d) membentuk Gabungan Anak-Anak Gemar Seni Bali (GANGSA) dengan struktur langsung berada di bawah binaan desa pakraman
2)
200
e)
melaksanakan Pasraman Kilat pada hari libur sekolah setiap tahun sekali dan membiayai penyelenggaraan PAUD/TK
f)
memberikan pelatihan sarati banten kepada ibu-ibu
Aspek Agama
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
a)
melakukan memukur massal yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali
b) melaksanakan keagamaan c)
persembahyangan
hari-hari
suci
melaksanakan dharmayatra setiap tahun ke pura maupun tempat-tempat bersejarah
d) mengembangkan prasarana pura bantuan tempat ibadah yang diterima
berdasarkan
e)
memberdayakan para pemuda untuk ngayah di pura jika ada kegiatan keagamaan melalui tabuh
f)
memberikan peran kepada ibu-ibu untuk ngayah sebagai sarati banten
g)
membuat dan atau membeli bahan upakara untuk kepentingan upacara agama
h) menjadikan pura, terutama madya mandala sebagai tempat untuk melakukan aktivitas agama saat upacara keagamaan 3)
d.
Aspek Ekonomi a)
memberikan gaji kepada para pegawai LPD
b)
mengelola pasar desa
c)
memberikan insentif kepada pekerja sampah
Faktor Pendukung dan Penghambat 1)
Faktor Pendukung a)
Terdapat sinergi tiga kekuatan desa pakraman, yakni Bendesa Adat (eksekutif), Kertha Desa (yudikatif) dan Sabha Desa (legislatif) sehingga pelaksanaan program dan kegiatan yang dibuat oleh desa pakraman berjalan secara terbuka, transparan dan akuntabel. Pola ini memperlihatkan adanya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) masing-masing lembaga dan dipersatukan oleh nilai-nilai agama sebagai pengikat moral.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
201
b)
Telah sejak lama, awig-awig dan perarem menjadi garis-garis haluan desa pakraman sekaligus legitimasi agama karena melibatkan hal-hal yang bersifat religius, rohaniah dan niskala, salah satunya dengan meyakini berlakunya hukum karma. Keyakinan ini menyertai pemimpin dan pengurus lembaga-lembaga adat dan agama untuk menjadikan pengabdian mereka lebih banyak didasari oleh kebutuhan rohani. Bagi mereka, menjadi prajuru desa pakraman adalah sebuah panggilan yajna.
c)
Selain melalui hubungan yang harmoni antartiga lembaga di atas, di Desa Pakraman Ubung, seperti desa pakraman lainnya, berlaku pula pelaksanaan Catur Guru,82 di mana pemerintah, dalam hal ini desa dinas dianggap sebagai Guru Wisesa yang wajib diajak bekerja sama dan dimintakan sarannya. Selama ini, Jero Bendesa dan para prajuru lainnya selalu melakukan kerjasama yang baik terutama meminta saran dan pertimbangan dalam mengelola dana bantuan. Hal ini mereka lakukan karena selama ini ada hambatan administrasi dan prosedur. Seperti diketahui, di Bali, terdapat desa dinas dan desa adat. Keduanya bukanlah bentuk dualisme tetapi justru dualitas yang saling melengkapi sesuai tugas dan fungsinya. Dalam desa dinas, peraturan yang berlaku bersifat nasional, sebagai perbantuan dari pemerintahan di atasnya, yaitu kecamatan, kabupaten/kota, atau provinsi. Desa adat mengelola urusan agama, adat dan budaya. Sehingga bagi desa pakraman, bantuan dana yang mereka terima, terlebih untuk kepentingan pura harus jauh dari tindakan menyimpang.
82 Catur Guru adalah empat guru yang harus dihormati oleh umat Hindu. Keempatnya adalah guru rupaka (orang tua), guru pengajian (guru, dosen atau mereka yang memberikan ilmu pengetahuan), guru wisesa (pemerintah dan perangkat negara lainnya), guru swadyaya (Tuhan)
202
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
2)
Faktor Penghambat a)
Bantuan-bantuan yang diterima selama ini masih dianggap belum mencukupi kebutuhan riil tiap tahun desa pakraman karena mereka menghabiskan anggaran lebih dari 1 milyar untuk berbagai kegiatan, baik kegiatan fisik maupun non fisik. 83 Artinya bantuan tidak utuh untuk satu kegiatan atau bangunan yang diajukan. Namun bagi mereka, bantuan-bantuan yang diterima selama ini dianggap sebagai stimulus semata agar krama termotivasi menjalankan seluruh kegiatan desa pakraman. Bahkan menurutnya, bantuan yang diterima belum cukup untuk mendanai upacara keagamaan.
b)
Meski bukan sebuah hambatan, adanya ketentuan bahwa pura itu suci, para prajuru tidak bisa leluasa untuk memberdayakannya dengan aktivitas di luar keagamaan. Atas dasar ini, pemberdayaan pendidikan yang bersifat sekuler seperti PAUD/TK tidak bisa diselenggarakan di area pura. Berbeda dengan pendidikan ini, pasraman kilat dan malam sastra yang dilaksanakan setiap tahun atau bertepatan dengan hari suci dapat dilaksanakan diarea pura karena selain bersifat temporer juga karena bernuansa agama.
83 Berdasarkan Rekapitulasi Laporan Keuangan Desa Pakraman Ubung per 31 Maret 2014, dana masuk ke kas Desa Pakraman mencapai 5.679.286.900, dengan pengeluaran mencapai pada periode tersebut 751.221.300. Saldo yang tersisa dari rekapitulasi ini masih sekitar 4.928.065.600. Jika dibandingkan dengan bantuan yang diterima dari pemerintah, tentu tidak cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan desa pakraman yang terbagi ke dalam biaya untuk parahyangan, pawongan dan palemahan. Dapat dikatakan, seluruh dana tersebut lebih banyak habis untuk kegiatan non-fisik, seperti upakara dan upacara agama.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
203
B. Model Pemberdayaan Pura Subak Pakel II Desa Pakraman Ubung Kaja 1.
Profil Pura (Parahyangan) Pura Subak Pakel II adalah salah satu pura swagina yang pengemponnya berprofesi sebagai petani, terutama petani penggarap di sawah. Pura ini tidak terlalu besar, dan dahulu berada di tengah sawah. Kini karena banyak sawah beralih fungsi menjadi perumahan dan industri, pura ini tampak kecil dan sempit karena berdampingan dengan rumah dan pertokoan. Di depan pura ada sebidang sawah namun terhimpit bangunan di sebalah kanan, kiri dan belakangnya. Bangunan pura tampak baru dipugar, terutama pada penyengkernya. Terlihat batu bata yang menjadi bahan dominan dari penyengker cukup kokoh dengan warna merah kehitamannya. Di dalamnya terdapat bale, biasanya digunakan untuk pertemuan maupun persembahyangan yang dilaksanakan setiap Purnama Sasih Kapat. Di pojok kanan dari candi bentar terdapat bale kulkul (bhs Ind: kentongan) yang kulkulnya terlihat ringkih karena cukup tua dan termakan jaman. Di bagian hulu terdapat pelinggih tempat memuja Dewi atau Bhatara Sri sebagai perwujudan Tuhan yang berfungsi memberikan kemakmuran kepada para petani. Meski terbilang kecil untuk ukuran sebuah pura subak, aktivitas pengempon dan umat Hindu disekitarnya cukup dinamis, ditambah letaknya yang tepat dipinggir jalan, serta jalanan sempit yang membelah pura dengan bangunan diseberangnya. Dari jauh pura ini terlihat selalu ramai karena kendaraan melambatkan lajunya. Dengan letaknya yang kini berdekatan dengan rumahrumah penduduk, mungkin di masa lalu tidak terbayangkan pura ini seperti terjepit. Bahkan pernah suatu ketika pura ini hendak di pralina karena jumlah sawah yang makin berkurang dan masyarakat beralih ke sektor lain, terutama industri pariwisata. Bahkan para pemilik tanah atau sawah di desa ini sudah mulai
204
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
memberikan peluang bagi pendatang untuk memiliki tanah, dan hal ini menambah semakin terbatasnya jumlah luas sawah yang berarti pula mengurangi pekerja atau penggarap. Padahal kelangsungan pura ini sangat tergantung dari dua hal ini.
2.
Umat Pangempon (Palemahan)
(Pawongan)
dan
Kondisi
Geografis
Secara kelembagaan, Pura Subak Pakel II ini diempon oleh krama petani Desa Pakraman Ubung Kaja. Krama tersebut berasal dari jumlah pemilik sawah sebanyak 175 orang, petani pemilik (75), petani penyakap (50) dan petani pemakai air (125).84 Terdapat ketentuan bahwa pemilik sawah belum tentu menjadi krama subak, namun penyakap atau penggarap wajib ikut menjadi krama subak. Menurut I Nyoman Narta (wawancara tanggal 23 Mei 2014), pengempon pura memang adalah para petani, namun jumlah krama yang ikut berkontribusi terhadap keberadaan pura ini datang dari krama yang bukan bekerja sebagai petani. Bahkan ada di antara mereka yang bukan krama Desa Pakraman Ubung Kaja. Hal ini bisa terjadi masyarakat yang membeli dan menjadikan tanah atau sawah sebagai tempat tinggal atau warung dan toko memiliki keyakinan bahwa mereka juga ingin mendapatkan kerahayuan dari Bhatara Sri sebagai “pemilik” tanah dan sawah. Atas keyakinan ini mereka juga ikut berkewajiban secara moral bersama-sama dengan petani lainnya menjadikan Pura Subak Pakel II ini sebagai pusat pemujaan dewi kemakmuran. Petani dan yang bukan petani tetapi membeli dan berusaha di atas tanah samasama memiliki ketergantungan terhadap pura subak ini. Atas alasan tersebut, pura ini masih tetap bisa berdiri tegak dan menjadi milik bersama secara kolektif. Sehingga ketika ada piodalan dan hari-hari suci keagamaan lainnya, pura ini sangat Monograf Subak Pakel II, tahun 1999/2000. Namun kini seperti penuturan I Nyoman Narta selaku Kelihan Subak, pemilik sawah tinggal 114 orang 84
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
205
ramai dipuja umat Hindu. Melalui pura ini pula, mereka ingin menjadikannya sebagai media untuk meneruskan ilmu dan mengajarkan kepada anak-anak muda di Desa Pakraman Ubung Kaja untuk juga mencintai profesi petani yang di Kota Denpasar mulai ditinggalkan. Narta menegaskan, mungkin di daerah luar Denpasar, krama subak belum terlalu risau karena masih terdapat sawah-sawah yang luas dan penggarap yang juga sangat banyak. Dengan segala keterbatasannya, para pengurus subak masih bersemangat untuk melakukan aktivitas pertanian. Mereka memperkuat diri melalui kepengurusan organisasi subak yang dipimpin oleh seorang Pekaseh (bhs Ind: pemimpin) dan lima orang Pangliman yang bertugas dimasing-masing wilayah dengan dibantu Kelihan Munduk serta melalui pengurus subak dengan seorang Ketua dibantu Sekretaris, Bendahara dan prajuru atau kesinoman. Secara geografis, Pura Subak Pakel II terletak di Desa Pakraman Ubung Kaja yang berbatasan dengan Desa Adat Sading disebelah Utara, Tukad Badung Pakel II di sebelah Timur, Banjar Benoh disebelah Selatan dan Tukad Yeh Keling disebelah Barat. Desa Pakraman Ubung Kaja tempat di mana pura ini berada secara topografi bentuk datarannya bergelombang dengan ketinggian lebih kurang 46 m dari permukaan air laut, sedangkan tingkat kesuburan tanahnya sedang. Adapun status kepemilikan tanah terdiri dari sawah hak milik 82.50 ha, sawah pelaba pura 2.87 ha dan tidak ada sawah negara yang digarap. Total sawah yang dimiliki atau digarap adalah 85.37 ha.
3.
Sumber Dana Pemberdayaan Pura dan Pengelolaannya Seperti selintas disebutkan di atas, pura subak ini sempat hendak di pralina karena dirasakan sudah terdesak oleh keterbatasan lahan dan sumber daya manusia. Namun atas keinginan mempertahankan salah satu heritage atau warisan
206
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
dunia ini, mereka tetap menjadikan pura subak ini sebagai pengikat moral untuk memuja Bhatara Sri. Usaha ini tentu terasa berat karena pura ini juga harus terus menerus dipelihara serta mempertahankannya melalui berbagai aktivitas keagamaan, sosial dan budaya. I Nyoman Narta beserta para anggotanya merasakan beratnya tanggung jawab ini. Apa yang mereka lakukan lebih karena pengabdian kepada leluhur dan Tuhan, dalam hal ini termanifestasi ke dalam sosok Bhatara Sri. Sebagai petani, hanya pengabdian ini yang mereka bisa persembahkan, sama halnya persembahan para pedagang kepada Dewa Rambut Sedana di Pura Melanting atau para nelayan kepada Dewa Baruna di Pura Segara. Tentu pengabdian tinggi ini tidak sebanding dengan insentif yang mereka terima setiap bulan sebesar 500 ribu dari Pemda Tk I Bali. Mengingat subak telah menjadi heritage, para pengurus tiap tahun mendapat subsidi dari Pemda Bali yang tiap tahun meningkat jumlahnya, mulai dari 30 juta hingga 55 juta. Bantuan dana ini lebih banyak mereka gunakan untuk upacara keagamaan dan biasanya tidak cukup, karena dalam setahun mereka bisa menghabiskan biaya di atas 100 juta. Sumber dana untuk membiayai kelangsungan aktivitas subak selain dari pemerintah juga dari iuran tidak wajib. Mereka sadar bahwa hasil pertanian tidak cukup membuat mereka hidup berkecukupan. Sehingga biasanya pula nilai iuran ini bersifat tidak wajib dan sukarela sesuai kemampuan. Mereka menjalankan kewajiban sebagai anggota yang terikat secara niskala sehingga bagi para penggarap tidak bisa menolak untuk tidak menjadi krama subak.85
85 Secara terinci, sumber-sumber dana untuk mempertahankan pura Subak dan kelangsungan hidup para pengemponnya berasal dari bantuan insentif dari pemerintah; hasil pungutan dari utpeti itik Rp. 50,-/ekor setiap panen di sawah; sari tahun (penguot) Rp. 50,- per are setiap panen di sawah, urunan dari krama subak dan segala yang bersifat dana (Monograf Subak Pakel II, tahun 1999/2000: 11
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
207
Pada 2013 lalu, mereka baru pertama kali mendapat bantuan biaya dari Kementerian Agama Kota Denpasar sebesar 25 juta. Dana ini telah habis mereka gunakan untuk membuat panyengker pura yang menelan biaya lebih dari 100 juta, dan bantuan 25 juta sebetulnya hanya bisa mereka gunakan membeli batu bata saja. Selebihnya dari iuran tidak wajib, dana punia dan bantuan Pemda lainnya, terutama Dinas Pertanian dan Dinas Kebudayaan. Menurut Narta, meskipun dana 25 juta terbilang sangat minim, tetapi sudah cukup membantu meringankan beban krama subak. Dalam LPJ yang mereka sampaikan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar, terbaca jelas bagaimana mereka menggunakan dana tersebut dengan baik. Oleh I Ketut Warta selaku Kasi Urusan Agama antara proposal yang diajukan, realisasi dan prosedur administrasi telah dilalui dengan cukup baik oleh Panitia Pembangunan, sebagaimana dalam laporan berikut ini. Tabel 6: Uraian Penggunaan Bantuan Pura Subak Pakel II Harga Satuan (Rp) Bidang Parhyangan Tembok Penyengker Pura Subak I Pembelian Bahan Batu Bata 7000 bh 1.500 Besi ulat 40 mtr 14.000 Semen Gresik 40 kg 20 sak 51.000 Pasir urug 5 colt 200.000 Ember 2 bh 10.000 Jumlah II Ongkos Tukang Nama Tukang Jumlah Hari Harga Satuan I Wayan Mudita 35 hari 100.000 I Made Kuryata 35 hari 100.000 Wayan Juliarta 35 hari 70.000 Wayan Bagiana 35 hari 70.000 Jumlah Jumlah Total No
Uraian
Volume
Jumlah (Rp)
10.500.000,560.000 1.020.000 1.000.000 20.000 13.100.000 Jumlah (Rp) 3.500.000 3.500.000 2.450.000 2.450.000 11.900.000 25.000.000
Sumber: Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Kementerian Agama Kota Denpasar Tahun 2013
208
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Kantor
Secara administrasi, sebagaimana tertuang dalam LPJ, bantuan tersebut berhasil direalisasikan, dan ketika diperiksa juga tidak ditemukan masalah, namun menurut salah seorang prajuru, terdapat beberapa kesulitan yang cukup berat yang mereka rasakan. Misalnya, kelengkapan SIUP bagi penjual bahan bangunan dan SIUP bagi para tukang. Di Bali syarat ini bagi mereka tidak begitu lazim dimiliki oleh penjual dan tukang bangunan. Hambatan lainnya adalah pencairan dana bantuan sangat berhubungan dengan hari baik atau dewasa hayu saat akan memulai pekerjaan. Jika dewasa hayu belum ditentukan maka akan berdampak pada pencairan dana, pelaksanaan kegiatan dan pelaporan hasil pekerjaan.
4.
Model Pemberdayaan Pura a.
Pengelolaan Modal-Modal Sosial Mengingat Pura Subak Pakel II adalah pura swagina maka pemberdayaannya lebih diarahkan hanya untuk hal-hal yang berkenaan dengan profesi para pengemponnya. Dengan demikian, pura menjadi titik pusat atau sumber kehidupan di mana vibrasi religiusitas sebagai penuntun dalam menjalankan pekerjaan. Nilai-nilai tersebut mengaliri berbagai kegiatan yang dilakukan para pengemponnya dan menjadi modal untuk mereka mengukuhkan diri sebagai komunitas yang memiliki identitas berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Ada beberapa bidang yang menjadi panduan para pengempon pura subak, antara lain bidang agama, pengairan, pertanian, perikanan, peternakan, agrarian, administrasi dan keuangan.86 Berdasarkan bidang-bidang tersebut, dituangkan sepenuhnya ke dalam program kerja subak, yaitu:
86
Ibid, hlm 11-12
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
209
1)
Program Jangka Pendek a)
melaksanakan dan memelihara sistim kerta masa dan pola tanam
b)
mentaati awig-awig dan pasuara subak
c)
melaksanakan aci (upacara di Pasubakan)
d) melaksanakan dan memelihara stabilitas dan kelestarian yang meliputi Parhyangan (Pura Penghulu Subak), saluran-saluran air, dan mengatur sistim pengairan semaksimal mungkin
2)
e)
melaksanakan Panca Usaha Pertanian agar tercapai program peningkatan hasil pangan dan usaha pertanian yang terpadu
f)
meningkatkan sumber dana/sumber modal subak
Program Jangka Panjang a)
merehabilitasi sarana-sarana pengairan yang rusak
b)
meningkatkan hasil petani dengan sistem Paket D
c)
mentaati iuran termasuk pelunasan Ipeda/PBB
d) merehabilitasi Parhyangan Pura Penghulu Subak
b.
e)
membuat bale kulkul
f)
membuat bale timbang
Bentuk-Bentuk Pemberdayaan Berdasarkan wawancara dengan para prajuru subak, mereka mengatakan bahwa pemberdayaan krama subak dengan menjadikan pura sebagai sumber inspirasi telah membawa mereka pada satu ikatan keluarga yang kuat. Mereka meyakini, dengan profesi petani, Bhatara Sri akan selalu hadir untuk memberikan kemakmuran. Bhatara Sri dan pura subak telah menjadi legitimasi moral dan agama untuk memohon kerahayuan, dan dengan itu semua, terdapat kesadaran kolektif di antara mereka untuk terus
210
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
mempertahankan pura dan sawah-sawah karena hampir 90% subak berurusan dengan tanah atau palemahan. Setidaknya ada beberapa bentuk pemberdayaan yang dilakukan, antara lain: Pertama, melalui pura, mereka para prajuru itu berusaha terus membina krama subak melalui berbagai kegiatan, namun yang paling utama adalah pembinaan pada tingkat kelihan munduk karena permasalahan utama dalam pertanian dimulai dari pengaturan air atau irigasi. Dikalangan petani di Bali pada umumnya, tidak jarang masalah air bisa menjadi masalah besar, bahkan konflik antarsubak. Kelihan munduk bertanggung jawab terhadap keteraturan pembagian air. Menurut I Nyoman Narta, pembinaan dan penyuluhan yang mereka dapatkan baik dari Dinas Pertanian maupun Dinas Kebudayaan memprioritaskan kelihan munduk untuk mendapatkan bimbingan teknis. Bahkan dalam setahun para kelihan munduk mendapat bimbingan teknis 3 kali setahun. Kedua, melibatkan peran serta krama subak untuk mengikuti berbagai lomba seni yang terutama sering dilaksanakan Dinas Pertanian dan Dinas Kebudayaan, misalnya Lomba Lelakut, Lomba Sunari, Lomba Pindekan, serta lomba-lomba lain yang berkenaan dengan pertanian yang diadakan dalam rangka ulang tahun Pemda Kota Denpasar. Ketiga, memberdayakan peran aktif krama subak melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapotan) Bina Bhakti Lestari sebagai wadah simpan pinjam dan kebutuhan dasar para petani. Mereka berharap ide ini menjadi embrio koperasi dengan alasan bahwa kesulitan para petani yang semakin besar, juga atas pikiran supaya kelangsungan hidup petani dan anak-anaknya dapat dijamin. Gagasan untuk menjadikan Gapotan sebagai koperasi juga untuk berinvestasi sosial dengan memanfaatkan subsidi dari berbagai instansi, baik dari pemerintah maupun iuran krama subak. Keempat, menyadari tantangan yang tidak ringan di masa-masa yang akan datang, krama subak menjadikan pura Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
211
bukan lagi hanya sebagai pengikat sraddha dan bhakti melalui aktivitas agama, tetapi juga menjadi media untuk menemukan solusi-solusi pertanian melalui pertemuan di bale. Dengan demikian pura bagi mereka berfungsi kompleks baik untuk urusan sekala (sakral) maupun niskala (profan), sehingga kesadaran kolektif di antara mereka terbangun semakin kuat.
c.
Faktor Pendukung dan Penghambat 1)
2)
Faktor Pendukung a)
Adanya kesamaan profesi dapat melahirkan apa yang dalam ilmu antropologi sebut sebagai kesadaran kolektif. Solidaritas ini tumbuh atas berbagai hambatan berupa keengganan anak-anak petani melanjutkan profesi orang tua dan keterbatasan lahan sawah
b)
Subak adalah salah satu heritage dan warisan dunia, sehingga para pengempon Pura Subak Pakel II merasa dilindungi dan ini terbukti dengan perhatian besar dari Pemda Bali melalui Dinas Pertanian dan Dinas Kebudayaan. Khusus untuk Dinas Kebudayaan dalam kegiatan yang bersifat teknis sering melakukan kolaborasi dengan Kementerian Agama.
c)
Terdapat kesadaran moral, terutama bagi pemilik tanah, rumah dan usaha swasta yang berdiri di atas tanah atau bekas sawah. Menariknya mereka ikut terlibat aktif untuk mempertahankan Pura Subak Pakel II dan bahkan ikut berkontribusi. Kesadaran ini diikat dengan sebuah legitimasi agama di mana mereka harus tetap menghormati Bhatara Sri sebagai pemilik atau penguasa tanah.
Faktor Penghambat a)
212
Secara administrasi, menurut para prajuru, terdapat beberapa kesulitan yang cukup berat yang mereka
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
rasakan. Misalnya, kelengkapan SIUP bagi penjual bahan bangunan dan SIUP bagi para tukang. Di Bali syarat ini tidak begitu lazim dimiliki oleh penjual dan tukang bangunan. b)
Keengganan anak-anak muda untuk meneruskan profesi petani serta keterbatasan lahan sawah menjadi hambatan yang cukup signifikan yang akan menjadi masalah sekaligus tantangan di masa depan.
Penutup 1.
Simpulan a.
Pemberdayaan tempat ibadat umat Hindu di Bali, khususnya di Denpasar sangat berkaitan erat dengan klasifikasi pura berdasarkan ikatan keluarga dari keluarga batih (inti) hingga kumpulan keluarga besar, berdasarkan kesamaan profesi, berdasarkan wilayah teritorial dan berdasarkan kesamaan manusia secara universal. Masing-masing klasifikasi pura tersebut memiliki pengempon atau komunitas di pura bersangkutan, sehingga pemberdayaan tempat ibadat sangat tergantung pula dari program dan kegiatan yang mereka (baca: pengempon), baik yang rutin maupun kegiatan-kegiatan insidental untuk komunitas internalnya. Misalnya, Pura Kawitan diberdayakan untuk para keluarga yang memiliki hubungan sedarah; pura swagina diberdayakan untuk pengempon yang memiliki kesamaan profesi dan fungsi; Pura Kahyangan Tiga untuk pengempon yang berada diwilayah yang sama secara teritorial, dan Pura Kahyangan Jagat untuk semua umat Hindu tanpa memandang perbedaan.
b.
Berdasarkan pemetaan seperti tersebut, modal sosial yang dimiliki sebuah pura untuk memberdayakan pengemponnya akan secara konkrit, dirasakan, dinikmati dan tepat sasaran untuk para pengemponnya, baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi melalui koperasi, LPD, pasar, dll; kebutuhan seni-budaya melalui sekaa atau kelompok-kelompok sosial yang memberikan kesempatan Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
213
kepada umat untuk mengekspresikan seni dan budayanya; kebutuhan rohani melalui aktivitas keagamaan. Artinya pemberdayaan pura semata untuk memenuhi kebutuhan manusia akan nilai-nilai ketuhanan yang bersifat rohaniah yang diimplementasikan ke dalam konsep parahyangan, kebutuhan manusia secara jasmaniah (pawongan) dan kebutuhan untuk hidup dialam semesta atau lingkungan hidup (palemahan). Tujuan ini adalah inti dari ajaran Tri Hita Karana yang implementasinya secara konkrit juga dilakukan di pura berdasarkan Tri Mandala, yaitu nista mandala untuk kegiatan manusia secara profan, madya mandala masih untuk kegiatan manusia tetapi lebih berorientasi kepada Tuhan dan utama mandala total untuk Tuhan. c.
214
Berdasarkan dua poin di atas, apa yang dimaksud dengan total management quality telah secara nyata dan langsung dilakukan oleh para pengempon secara mandiri dan otonom meskipun berada dalam atap yang sama, yakni manajemen pemerintahan baik melalui desa pakraman maupun desa dinas. Artinya Pengempon Pura Kawitan, Pura Swagina, Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan Jagat tetap berada dalam satu wilayah. Sinergi ini menghasilkan kemampuan untuk membagi kekuatan kepada para leader dari masing-masing komunitas (pengempon). Sebagai contoh, pemberdayaan Pura Kawitan akan diserahkan kepada kelihan maksan atau pemaksan; pura swagina, seperti subak diserahkan kelihan subak; Pura Kahyangan Tiga diserahkan kepada Jero Bendesa dan Pura Kahyangan Jagat oleh Pemda, Kementerian Agama dan majelis umat Hindu. Selain itu, dengan berdasarkan awig-awig yang dibuat di masing-masing pura, akuntabilitas dari pemberdayaan umat dan pengelolaan bantuan misalnya, dapat dilakukan secara transparan karena legitimasi agama berupa awigawig menjadi pengikat moral kepercayaan umat. Melalui awig-awig pula, para pengempon dan pengurus pengempon serta para leadernya (kelihan dan bendesa) akan diikat secara spiritual dan niskala melalui konsep karmaphala yang tidak bisa dilanggar.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
2.
Rekomendasi a.
Dalam memberikan bantuan, sebaiknya mengakomodir spesifikasi yang berlaku di daerah tertentu dengan kearifan lokal yang digunakan sebagai falsafah bagi penganutnya. Hal ini karena seringkali terjadi perbedaan yang sangat krusial ketika spesifikasi yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat tidak sesuai dengan spesifikasi di daerah. Di Bali, misalnya, barang atau benda yang dipersembahkan ke pura tidak dapat dinilai dengan ukuran uang karena selain mengandung dimensi estetis juga berdimensi religious, yakni sebagai yajna atau persembahan suci
b.
Perencanaan bantuan perlu mempertimbangkan kebutuhan riil dari pengguna bantuan, termasuk standar kuantitas nominal sebuah bantuan. Misalnya, perlu dipikirkan bantuan utuh terhadap sebuah bangunan pura, bukan sepotong-sepotong karena akan berdampak pula dalam menyusun Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ). Misalnya, bantuan pembangunan bale kulkul, bale agung, padmasana, dll, bukan bantuan kulkulnya saja, atau balenya saja.
c.
Perlu standarisasi dari peruntukan dan pertanggung jawaban atas bantuan yang diterima karena masing-masing instansi memiliki ukuran yang berbeda-beda, sehingga berdampak pada orientasi para penggunanya. Misalnya, LPJ kepada Pemda Bali relatif lebih mudah dan sederhana dengan LPJ kepada Kementerian Agama. Kendalanya memang karena Kementerian Agama adalah instansi vertical sehingga belum bisa mengodopsi sistem tersebut.
d.
Atas berbagai kendala yang ditemukan, perlu secara terus menerus dilaksanakan sosialisasi, bimbingan teknis hingga pendampingan kepada pengguna bantuan, sehingga tertib administrasi sampai ke tingkat bawah yang menjadi keinginan pemberi bantuan, khususnya Kementerian Agama dapat melakukan perencanaan yang matang, pengawasan yang maksimal dan evaluasi yang komprehensif, sekaligus membelajarkan umat untuk menjadi masyarakat yang berintegritas sejalan dengan agama yang dianut dan akuntabel dengan menganut prinsip transparansi ***
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
215
Daftar Pustaka
Nordholt, Henk Schulte. 2010. Bali Benteng terbuka 1995-2005. Terjm. Arif B. Prasetyo dari Bali, an open fortress, 1995-2005. Regional autonomy, electoral democracy and entrenched identities. Denpasar: Pustaka Larasan. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. 1993/1994. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu I- XV. Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Terjm. Jean Couteau dan Warih Wisatsana dari Bali: Tourism Culturel et culture tourisque, 1992. Jakarta: Forum Jakarta-Paris. Siwananda, Sri Swami. 2003. Inti Sari Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Tim Penyusun. 2013. Profil Kementerian Agama Kota Denpasar. Denpasar: Kementerian Agama Kota Denpasar. Tim Penyusun. tt. Ika Likita (Monografi Desa Pakraman Ubung) Denpasar: Desa Pakraman Ubung. Tim Penyusun. 1999/2000. Monografi Pura Subak Pakel. Denpasar: Pura Subak Pakel Tim Penyusun. 2013. Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar Tahun 2013. Tim Penyusun. 2014. Rekapitulasi Laporan Keuangan Desa Pakraman Ubung Tahun 2013 dan 2014. Wiana, I Ketut & Raka Santeri. 1993. Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-Abad. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Wiana, I Ketut. 1995. Yajña dan Bhakti dari Sudut Pandang Agama Hindu. Denpasar: Pustaka Manikgeni. Wiana, I Ketut. 2006. Menyayangi Alam Wujud Bhakti Pada Tuhan, Surabaya: Paramita. Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita.
216
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
MODEL PEMBERDAYAAN VIHARA DI KOTA SEMARANG: Memandirikan Vihara melalui Pendidikan Oleh: Achmad Rosidi
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Pegawai Negeri Sipil (PNS) beragama Buddha yang bertugas di Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah terdiri dari satu orang pembimas dan tiga orang staf. Sebanyak satu orang adalah tenaga honorer, sedangkan tenaga penyuluh agama Buddha berstatus PNS sebanyak 5 orang dan tenaga penyuluh honorer sebanyak 250 orang. Sementara itu, rumah ibadat umat Buddha (vihara) di wilayah Jawa Tengah berjumlah 553, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1: Rumah Ibadat Umat Buddha No
Daerah
Jumlah
1.
Kabupaten Banjar Negara
7
2.
Kabupaten Banyumas
3.
Kabupaten Batang
1
4.
Kabupaten Blora
5
5.
Kabupaten Boyolali
6.
Kabupaten Brebes
2
7.
Kabupaten Cilacap
21
8.
Kabupaten Demak
4
9.
Kabupaten Grobogan
20
10.
Kabupaten Jepara
45
16
20
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
217
11.
Kabupaten Karanganyar
8
12.
Kabupaten Kebumen
13.
Kabupaten Kendal
8
14.
Kabupaten Klaten
17
15.
Kabupaten Kudus
13
16.
Kabupaten Magelang
17.
Kabupaten Pati
18.
Kabupaten Pekalongan
2
19.
Kabupaten Pemalang
3
20.
Kabupaten Purwokerto
9
21.
Kabupaten Rembang
14
22.
Kabupaten Semarang
63
23.
Kabupaten Sragen
4
24.
Kabupaten Sukoharjo
9
25.
Kabupaten Tegal
3
26.
Kabupaten Temanggung
98
27.
Kabupaten Wonogiri
36
28.
Kabupaten Wonosobo
8
29.
Kota Magelang
1
30.
Kota Pekalongan
3
31.
Kota Salatiga
7
32.
Kota Semarang
39
33.
Kota Surakarta
11
34.
Kota Tegal
19
6 29
2 Jumlah
553
Sedangkan nama-nama dan alamat vihara di Kota Semarang dapat dibaca dalam tabel berikut:
218
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Tabel 2: Vihara di Kota Semarang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
Nama Vihara Adi Dharma Buddha Gaya Buddha Dipa C. Setya Budhi Candra Kumara Cetiya Surya Sukamma Ramsi Gong Suan Tong Gungung pati Maha Bodhi Maha Bodhi Maitreya Maha Welas Asih Mahavira Graha Maitri Sasana Santi Satya Buddha Dharma Satya Maitreya Setya Dharma Tanah Putih TI Sansosial Rasa Dharma TITD Buddhi Luhur Sakti TITD Dharma Abadi TITD Granjen TITD Hok San tong TITD Hok Sing Bio TITD Hoo Hok Bio TITD Kam Hok Bio TITD Ling Hok Bio TITD Lithang Kong How Coe TITD Sam Poo Kong TITD San Kin Tong TITD Seeho Kiong TITD Sinar Samudera TITD Sinar Tao TITD Sioe Hok Bio TITD Tang Pik Bio TITD Tay Kak Sie TITD Wie Hwie Kiong Vimalakirti Vihara Watugong
Alamat Jl. Widoharjo No 22 Jl. Watu Gong Ds. Pakintenan Kec. Gunung Pati Jl. Jagalan No 48 Jl. Candirejo 01/II Mukti Harjo Kidul Jl. Veteran 59A Semarang Jl. Kenanga No 15 Semarang Ds. Sadeng Kec. Gunung Pati Jl. Seroja Timur No 11 Jl. Ligu Utara No 476-477 Jl. Taman Hasanuddin No A 19 Jl Marina Semarang Jl. Kapas Tengah V/F 770 Genuk Indah Jl. Peterongan Kobong No 24 Jl. Citarum Raya No 108B Semarang Jl. Beton Mas Selatan No 18B Jl. Kentangan 93 Semarang Jl. Dr. Wahidin 12 Semarang Jl. Gang Pinggir No 31 Semarang Jl. Tanjung Mas Lingkar No 2 Semarang Jl. Dr. Suratmo Kav No 193 Semarang Jl. Granjen Karanglo 103 Semarang Jl. Sebandaran Timur 368 A Jl. Bugangan No 42 Semarang Jl. Gang Cilik No 7 Semarang Jl. Layur No 12 Semarang Jl. Gang Pinggir No 110 Semarang Jl. Gang Lombok No 62 Semarang Jl. Simongan 129 Semarang Jl. Taman Pakunden Timur No 14 Komplek Jl. Sebandaran I/32 Semarang Jl. Gang Pinggir 105-107. Jl. Madukara Semarang Blok A BB Jl. Wot Gandul 38 Semarang Jl. Gang Pinggir No 70 Semarang Jl. Gang Lombok No 62 semarang Jl. Sabandaran I / 26 Semarang Jl. Rejomulyo III/24 Semarang Jl. Raya Pudak Payung Watugong
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
219
A. Model Pemberdayaan Vihara Tanah Putih 1.
Sejarah dan Profil Vihara
Vihara Tanah Putih berdiri pada 1960-an dari keinginan yang kuat para pemeluk umat Buddha kota Semarang terhadap tempat ibadat yang memadai. Rintisan awal lokasi vihara berada di Jl. Dr. Wahidin No. 6 sebagai tempat pembinaan umat Buddha. Sejak 1 Januari 1965 wihara tersebut resmi digunakan sekaligus deklarasi pendirian organisasinya, yaitu Buddhist Indonesia. Sebagai tempat Puja Bhakti, tempat ibadahnya dinamakan dengan Vihara Maha Dhammaloka. Pada perkembangannya, vihara tersebut dirasa sudah kurang memadai dan tidak menampung umat yang melakukan puja bhakti dan perayaan keagamaan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 1970-an dipilih tempatnya di Jl. Dr. Wahidin Nomor 12. Pada 23 Oktober 1976, Sangha Theravada Indonesia (STI) atas prakarsa Bhikkhu Ym. Bhante Anggabalo, Ym. Bhante Khemasarano, Ym. Bhante Sudhammo, Ym. Bhante Khemiyo, Ym. Bhante Nanavuttho, dibentuklah Dhammasala Vihara Tanah Putih yang kini menjadi ruang serba guna. Selain itu juga diselenggarakan Pabbajja Samanera (latihan menjadi samanera) yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan non-formal.87 Perkembangan Vihara Tanah Putih dimulai pada tanggal 1 Januari 1965, dengan diresmikannya Vihara Maha Dhammaloka beralamat di Jl. Dr. Wahidin No. 6 itu. Vihara Maha Dhammaloka ini berada di bawah pengelolaan Yayasan Buddha Canti yang diprakarsai oleh Poa Bing Swan dan kawan-kawan. Di dalam Vihara tersebut terdapat Rupang Buddha di atas altar Dhammasala yang merupakan persembahan dari raja dan masyarakat Thailand. Hal tersebut tidak lepas dari jasa mendiang Jenderal Gatot Subroto dapat sampai di Indonesia. Pada akhir 1977, Dhammasala yang baru walaupun belum berpintu telah digunakan sebagai tempat perayaan Kathina, yaitu hari berdana bagi para Bhikkhu yang meliputi empat kebutuhan pokok
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan 87
220
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
bagi para Bikkhu, seperti jubah, makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal. Vihara Tanah Putih merupakan pusat kegiatan agama Buddha dan sebagai tempat yang banyak menerima tamu kehormatan (Bikkhu dari mancanegara) yang berkunjung serta membabarkan Dhamma. Demikian juga upacara-upacara perayaan Waisak di Vihara Tanah Putih sejak 1970an hingga awal 1980an selalu dihadari oleh para Bikkhu mancanegara. Dhammasala Vihara Tanah Putih pernah digunakan sebagai tempat Upasampada Ym. Bhante Kuladhiro pada bulan Oktober 1979. Pada 1980an, sejak Ym. Bhante Khemasarano menetap di Vihara Tanah Putih, tercatat banyak para Bikkhu dan samanera yang berdiam sementara untuk memperdalam Dhamma. Ym. Bhante Khemasarano Thera menjabat sebagai kepala Vihara Tanah Putih era 1980 hingga 1990. Beliau telah banyak memberikan sumbangsih untuk perkembangan Vihara. Tokoh lainnya yang sangat berperan ialah mendiang Bapak KB. Soetrisno yang merupakan romo pandita yang aktif dalam membabarkan Dhamma dan menjabat sebagai Ketua Yayasan Buddha Canti hingga akhir hayatnya. Vihara Tanah Putih sudah seringkali menyelenggarakan Pabbaja Samanera yang diselenggarakan oleh Sangha Theravada Indonesia dan telah banyak melahirkan Bhikku. Pada perayaan upacara keagamaan, Vihara Tanah Putih selalu menyelenggarakan empat hari besar agama Buddha, yaitu Maghapuja, Visakhapuja, Asalhapuja, Khatinapuja. Karena memiliki peran dalam sejarah perkembangan Theravada di Indonesia, Vihara Tanah Putih ini beberapa kali digunakan untuk rapat pimpinan Sangha Theravada Indonesia. Untuk kepengurusan organisasi, Vihara Tanah Putih menjadi kantor kedudukan Pimpinan Darah Theravada Jawa Tengah. Vihara Tanah Putih memiliki berbagai ruangan beserta kegunaannya masing-masing. Ruangan yang dibangun dengan tujuan yang beranekaragam sehingga dapat membantu kenyamanan umat dalam bermeditasi. Vihara ini semula direncanakan akan dilakukan perbaikan (renovasi) melalui empat tahap, yaitu tahap pertama telah Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
221
selesai dan hingga kini belum dilakukan tahap kedua. Renovasi tahap pertama dilakukan kurang lebih dalam dua tahun. Setelah selesai renovasi, kemudian diresmikan pada 12 Februari 2011 oleh Walikota Semarang. Wadah kegiatan berupa organisasi yang ada di Vihara Tanah Putih itu memiliki empat macam yang masing-masing memiliki tugas dan fungsi tersendiri. Keempat wadah tersebut adalah: a.
Sangha Theravada Indonesia (STI) membawahi para Bhikku.
b.
Majelis Theravada Indonesia (Magabudhi) yang membawahi para romo.
c.
Wanita Theravada Indonesia (Wandani) yang membawahi wanita umat Buddha Theravada.
d.
Pemuda Theravada Indonesia (Patria) mewadahi anak-anak muda pengikut Theravada.
Semua wadah tersebut memiliki aktivitas di vihara yang selalu terjalin dengan sangat baik sehingga terdapat koordinasi yang baik dalam membentuk satu organisasi atau keluarga besar. Organisasi tersebut dinamakan KBTI (Keluarga Besar Theravada Indonesia).88
2.
Model Pemberdayaan oleh Yayasan Buddha Canti Vihara Tanah Putih adalah salah satu aset yang dimiliki oleh Yayasan Buddha Canti yang beralamat di Jl. Dr. Wahidin No 6 & 12 Semarang Desa Jomblang Kecamatan Candi Sari Provinsi Jawa Tengah. Sebagai organisasi, Yayasan Buddha Canti dipimpin oleh Sutikno berdiri pada tahun terdiri 1965. Lokasi vihara dan yayasan memiliki luas bangunan 2500 m2 dan menempati lahan tanah seluas 5000 m2. Legalitas rumah ibadat telah mendapatkan pengesahan atas perizinan dengan status terdaftar di Kemenkumham no 381/2007.
88
222
Wawancara dengan Romo Arief Wijaya, 30 Mei 2014.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Status Tanah adalah Hak Guna Bangunan di Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah. Daya tampung maksimal Vihara Tanah Putih sebanyak 400 orang, dilayani oleh 45 orang pengurus dan 8 orang pembimbing agama. Jumlah umat tetap yang dilayani terdiri atas anak usia sekolah sebanyak 75 anak, usia remaja dan pemuda sebanyak 125 serta orang tua sebanyak 90 orang. Umat yang dilayani di Vihara Tanah Putih memiliki profesi yang bermacam-macam, diantaranya karyawan sebanyak 85, pedagang sebanyak 65, PNS sebanyak 5 orang dan lainLain sebanyak 9 orang.
3.
Bangunan Fisik a.
Ruang Dhammasala Ruang ini merupakan ruang utama di Vihara Tanah Putih yang memiliki luas 750 m2, dan digunakan untuk melakukan kebaktian (Pujabakti) dengan membaca Paritta. Juga terdapat ruang meditasi, Dhamma Dissana (khotbah dhamma) di dalamnya terdapat rupang Buddha raksasa di atas Dhammasala. Di sisi kanan kiri dinding ruangan terdapat relief yang menggambarkan kisah perjalanan Sang Buddha Gautama dari kelahirannya hingga mencapai pencerahan (Nibbana).
b.
Ruang Kuti Bangunan ini berbentuk seperti rumah yang merupakan tempat tinggal para Bikkhu dan samanera. Terdapat tiga orang Bhikku yaitu Bikkhu Cattamana, Bikhhu Dammamito dan Bikkhu Attakusalo. Juga ada dua orang samanera (calon Bikkhu) yang menempati Kuti tersebut.
c.
Ruang Sekolah Minggu Di dekat ruang samanera terdapat ruang sekolah Minggu bagi para umat yang masih sekolah, yang duduk di tingkat SD, SMP dan SMA menempati gedung seluas 300 m2
d.
Ruang Abu Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
223
Ruangan ini digunakan untuk menyimpan abu jenazah bagi para umat Buddha yang salah satu keluarganya telah meninggal dunia. Untuk proses pembakaran, Yayasan Buddha Canti tidak menyediakan Krematorium. Lokasi kremetorium terdekat berada di Kedung Mundu Kota Semarang. e.
Ruang Serba Guna Ruangan ini sering digunakan sebagai tempat Dhamma Class, pengajaran-pengajaran tentang Dhamma, serta dapat digunakan pula sebagai tempat pertemuan saat ada acara bersama dengan pihak luar Vihara, seperti diskusi bersama antarpemeluk agama, acara pernikahan umat Buddha, dan lain sebagainya.
f.
Ruang tamu Bhante Ruangan ini berbentuk segi empat dengan luas 300 m 2, yang didigunakan untuk menjamu tamu-tamu khusus Bhante.
g.
Kantor Sekretariat Kantor sekretariat seluas 35 m2 menempati lokasi di dekat tempat parkir kendaraan umat. Lahan parkir seluas 700 m2 dapat menampung kendaraan umat baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Kantor sekretariat memiliki tugas mengatur segala aktivitas yang ada serta dana sumbangsih bagi perkembangan Vihara Tanah Putih. Fasilitas penunjang berupa sambungan telephone, 2 unit komputer yang tersambung ke internet, sebuah meja kantor dan lemari filling cabinet. Kendaraan operasional berupa satu buah sepeda motor Honda Supra dan satu unit mobil Suzuki APV yang digunakan salah satunya untuk memenuhi kebutuhan para Bikkhu. Kantor ini pula yang mengkoordinir tugas melayani kebutuhan para Bikkhu seperti kebutuhan makan, baju ganti dan aktivitas ke luar. Para karyawan harian yang bekerja di Wihara tanah putih ada 6 orang yang terdiri dari satu orang di sekretariat, 3 orang bagian keamanan (sekuriti), 2 orang sopir, dan 2 orang bertugas mengurusi Dhammasala dan kebutuhan para Bikkhu.
224
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
h.
Ruang Metta Karuna Ruangan Kebaktian atau “Siamsie” bagi umat Konghucu atau Tionghoa terletak di lokasi bangunan awal Vihara Tanah Putih.
i.
Perpustakaan Ruang selus 50m2 ini menyediakan berbagai macam buku pengetahuan yang terkait dengan ajaran-ajaran Buddha yang sangat dibutuhkan oleh umat.
j.
Pohon Boddhi Merupakan pohon yang mana sang Buddha memperoleh pencerahan saat meditasi di bawah pohon Boddhi. Pohon tersebut ditanam semenjak berdirinya Vihara.
k.
Gudang Ruang seluas 40 m2 ini digunakan untuk gudang masih difungsikan dengan baik untuk menyimpan berbagai macam alatalat.
l.
Taman Untuk mempercantik lingkungan Vihara, taman dengan luas 1000 m2 sangat bermanfaat bagi keindahan lokasi vihara.
m. Buddhist Shop Buddhist Shop yang menjual berbagai macam kebutuhan umat Buddha, seperti buku-buku bacaan, hiasan atau ornamenornamen Buddha, cinderamata (souvenir) bertuliskan Vihara Tanah Putih, kaset/rekaman ceramah-ceramah para Bikkhu perlengkapan untuk beribadah seperti dupa, lilin, dan lain-lain. Ruangan yang berbagai raga mini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh mereka para umat Buddhis Theravada Vihara Tanah Putih Semarang. 4.
Pelayanan dan Sumber Dana a.
Pelayanan 1)
Ibadah Rutin (Puja Bakti) Puja Bakti diselenggarakan oleh Vihara Tanah Putih pada hari Minggu sebanyak 2 gelombang (kelompok), yaitu pukul
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
225
07.00-09 WIB dan kedua dilaksanakan pukul 09.00-11.00 WIB. Secara rinci dapat dilihat dalam tabel. 2)
Sekolah Minggu Sekolah minggu diselenggarakn oleh yayasan Buddha Canti diikuti oleh anak-anak yang orang tuanya mengikuti Puja Bakti di Dhammasala sejak usia SD sampai SMA. Pengajar dari sekolah minggu adalah guru agama Buddha yang direkrut oleh Yayasan untuk memberikan wawasan keilmuan agama Buddha yang sesuai dengan usia anak-anak tersebut. Sekolah ini tidak dipungut biaya, hanya saja orang tua/wali dianjurkan untuk menyalurkan dana pemberdayaan Vihara semampunya. Materi yang diajarkan adalah berkaitan dengan ajaran agama Buddha.
Tabel 3: Jadual Puja Bhakti No
3)
Hari
1
Minggu
2 3
Rabu Sabtu (minggu pertama)
Waktu
Kegiatan
07.00 – 09.00 WIB Puja Bhakti umum 09.00 – 11.00 WIB I Puja Bhakti 09.00 – 10.00 WIB umum II Sekolah Minggu 19.00 – 21.00 WIB Latihan meditasi 17.00 – 19.00 WIB Kegiatan Muda Mudi
Konsultasi umat Konsultasi umat dilayani langsung oleh para Bikkhu di vihara Tanah Putih dan dibantu oleh para romo yang sudah lama memberikan pelayanan pada saat ibadah rutin.
4)
Wisuda Pelayanan untuk umat yang hendak diwisuda adalah pada saat yang telah diniatkan dengan bulat untuk mengikuti
226
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Buddha. Biasanya ditandai dengan pemberian nama Buddhist kepada orang-orang tersebut dengan tetap menyematkan nama aslinya. Pemberian nama Buddhist (wisuda) dilakukan pada saat seseorang telah bertekad untuk melaksanakan sila yang telah diajarkan Buddha.89 b.
Sumber Dana Dana yang dihimpun Yayasan Buddha Canti untuk kegiatan Vihara Tanah Putih berasal dari penyimpanan abu jenazah, Budhist Shop dan dana sukarela dari umat. 1)
Penyimpanan Abu Jenazah Tempat ini merupakan salah satu unit usaha yang sangat besar andilnya dalam penggalian dana untuk pengembangan vihara. Rumah ini berfungsi untuk menyimpan abu jenazah keluarga umat Buddha yang telah dikremasi. Jumlah yang menitipkan abu jenazah setiap tahun mengalami perubahan, bergantung pada keinginan keluarga yang menitipkan abu tersebut. Saat penelitian ini dilakukan, umat yang menitipkan abu jenazah di rumah abu sekitar 500-an. Biaya penitipan abu antara Rp 15.000 s.d Rp 20.000 setiap bulan. Selain itu, di rumah abu juga disediakan kotak yang diperuntukkan bagi yang hendak menyerahkan dananya secara sukarela. Jika keluarga yang menitipkan abu di rumah tersebut menganggap waktu penyimpanannya sudah cukup, mereka mengambil abu tersebut dan kemudian dibuang ke laut. Waktu berkunjung ke rumah abu mulai pukul 08.00 s.d 16.00 WIB. Ruang penyimpanan abu ini dijaga oleh satu orang karyawan.
2)
Buddhist Shop Tempat usaha ini beralamat di Jl. Wahidin No 2, yang lokasinya berdampingan dengan vihara yang lama. Meski dijaga hanya satu orang, properti yang terdapat di toko ini
89 Pria asal Salatiga ini berusia 24 tahun dengan nama asli Ngatino. Setelah dewasa dan diwisuda memiliki nama Buddhist pada usia 21 tahun dengan nama Acaro yang artinya memiliki kesopanan. Tino telah bekerja di Vihara Tanah Putih selama 2 tahun.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
227
cukup banyak yaitu berbagai macam kebutuhan umat Buddha, seperti buku-buku bacaan, hiasan atau ornamenornamen Buddha, cinderamata (souvenir) bertuliskan Vihara Tanah Putih, kaset/rekaman ceramah-ceramah para Bikkhu perlengkapan untuk beribadah seperti dupa, lilin, dan lainlain. Ruangan yang terbilang sederhana ini memiliki berbagai ragam barang-barang yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh umat Buddha. 3)
Kantin Kantin menyediakan makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh umat pada saat mengunjungi vihara, baik pada saat ibadah minggu maupun pada saat mereka konsultasi dengan Bikkhu. Kantin ini melayani pengunjung pukul 07.00-13.00 WIB.
4)
Sumbangan Sukarela Dana sukarela ini diperoleh dari umat pada saat Puja Bakti mingguan dan perayaan-perayaan hari besar Buddha. Perayaan hari besar, seperti yang dilakukan oleh umat Tri Dharma (TITD) dikenal dengan upacara Ulambama, di Theravada dikenal dengan istilah Patti Dana yaitu pelimpahan jasa dari yang menyerakan dana (uang) kepada Vihara, jasa dilimpahkan kepada para leluhur yang telah meninggal dunia. Para leluhur akan menerima perbuatan baik (jasa) yang dilakukan oleh yang masih hidup untuk dilimpahkan kepada mereka. Patti Dana dilakukan dengan cara melakukan kebajikan. Nominal yang disediakan pada acara Patti Dana bervariasi antara Rp 200.000-Rp 500.000. Kegiatan Patti Dana dilaksanakan setahun satu kali.
5.
228
Kegiatan Pendukung Lainnya a.
Dhamma class setiap Minggu akhir bulan
b.
Dhamma artinya ajaran Sang Buddha yang mengandung kebenaran tertinggi yang membimbing manusia untuk mencapai Kebebasan.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
c.
Bincang-bincang antar agama setiap 3 bulan
d.
Anjangsana dan ulang tahun umat lansia
e.
Donor darah rutin per 3 bulan ( pada waktu merayakan hari raya Buddhis )
f.
Sebulan Pendalaman Dhamma, 1 bulan penuh menjelang hari raya Tri Suci Waisak
g.
Dhamma tour remaja, setiap liburan sekolah ( 2x per tahun )
h.
Bakti sosial (pengobatan, bantuan bencana alam )
i.
Mendokumentasikan lagu-lagu Buddhist dan kotbah para bhikkhu dalam bentuk kepingan CD.
j.
Mimbar agama Budhha di Radio Gajah Mada FM dan TVRI Jawa Tengah tiap bulan
k.
Puja Pralaya
l.
Visudhi upasakha upasikha dan Perkawinan Buddhis
m. Vihara Tanah Putih menyelenggarakan pelayanan ini untuk umat yang telah resmi menjadi umat dan mengikuti Buddha serta bertekad untuk mengamalkan ajaran sang Buddha dalam kehidupan sehari hari maupun dalam acara ritual religiusnya. n.
6.
Ulang tahun bersama tiap akhir bulan
Aksi Sosial Modal sosial yang dimiliki oleh Vihara Tanah Putih merupakan aset yang berharga sehingga dapat menjadikannya makin hari makin nampak geliatnya. Beberapa kegiatan yang dilakukannya seperti penanaman pohon-pohon di pinggir jalan, pembagian bahan kebutuhan pokok kepada masyarakat tidak mampu dan para janda. Rutin pula dilakukan aksi donor darah sebagai wujud solidaritas dan kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
229
Beberapa aksi insidentil digalang oleh Vihara Tanah Putih bekerja sama dengan berbagai instansi baik pemerintah maupun lembaga swasta. Aksi tersebut dilakukan pada saat kejadian atau musibah bencana alam berupa banjir seperti banjir di daerah Pati, Juwana dan Kudus pada awal tahun 2014. Juga tanggap bencana terhadap korban letusan Merapi dan Kelud. Dengan dibantu oleh berbagai pihak dan donatur, Vihara Tanah Putih dapat menyalurkan bantuan-bantuan yang dibutuhkan oleh para korban bencana alam tersebut.
7.
Bantuan Pemerintah Menurut informasi yang diperoleh dari narasumber yang tidak mau disebutkan, Yayasan Budhi Canti ini sama sekali belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah untuk pembangunan rumah ibadat. Masalahnya adalah jumlah bantuan untuk rumah ibadat sekalipun untuk operasional dirasa sedikit namun persyaratan yang ditentukan dan harus dipenuhi oleh yayasan atau vihara menurut mereka terlalu rumit. Sehingga sampai saat ini, semua dana yang ada dan digunakan untuk menunjang kegiatan vihara diperoleh murni dari upaya para donatur perorangan baik umat sendiri maupun dari pihak lain.
B. Model Pemberdayaan Vihara Mahabodhi Vihara Maha Bodhi beralamat di Jl. Seroja Timur 11 Semarang adalah salah satu vihara aliran Budhayana. Di samping memberikan pelayanan umat berupa spiritual, juga menyelenggarakan fungsi sosialnya. Vihara ini dipimpin oleh Bhante Nyanasuryanadi. Pada perkembangannya, kiprah vihara ini cukup besar dan namun sarana yang dimiliki sangat terbatas. Vihara ini lebih banyak melakukan kegiatan sosial yang dilakukan oleh Vihara Maha Bodhi seperti memberikan bantuan untuk korban Merapi, gempa di Jogja, banjir di wilayah Cilacap. Juga menyalurkan bantuan untuk kaum fakir miskin dan lansia berupa bahan pokok. Kegiatan sosial ini diselenggarakan pada saat saat
230
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
perayaan Tri Suci Waisak. Namun, dapat dipastikan vihara ini lebih banyak mengelola pendidikan dan berikut penjelasannya.
1.
STIAB SMARATUNGGA
Berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) ini berawal dari permasalahan yang dihadapi oleh Dharmaduta Vihara Mahabodhi Semarang yang pada saat itu mengalami kesulitan dalam pembinaan umat Buddha di Wilayah Jawa Tengah. Untuk mengantisipasi keterbatasan yang ada pengurus Vihara mengadakan pelatihan Dharmaduta, namun usaha tersebut mengalami hambatan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan dharmaduta, beberapa tokoh umat Buddha Vihara Maha Bodhi bersama dengan Majelis Buddhayana Provinsi Jawa Tengah mengambil inisiatif untuk mendirikan perguruan tinggi agama Buddha yang diberi nama Pendidikan Guru Agama Buddha (PGAB) SMARATUNGGA di Ampel Boyolali. Kemudian dibentuklah Yayasan Sariputra Sadono sebagai badan pengelola PGAB. Nama yayasan diambil dari nama tokoh agama Buddha di Jawa Tengah, yaitu Romo Sariputra Sadono almarhum. Pada mulanya, kegitan pembelajaran diselenggarakan di rumah penduduk Dukuh Ngelo Desa Kaligentong, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali selama tiga tahun. Rupanya merupakan angin segar bagi yayasan yang pada waktu itu mendapat kunjungan Y.M. Bhante Ashin Jinarakkhitta selaku Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia. Bhante Ashin Jinarakkhitta merasa gembira dan langsung memberi dukungan yang amat besar dengan memberikan sumbangan dana sebesar satu juta rupiah untuk pembelian tanah seluas 600 m2. Atas dukungan tersebut maka dimulailah pembangungan gedung Sekolah PGAB SMARATUNGGA. Y.M. Maha Sthavira Ashin Jinarakkhitta secara bertahap memberikan dukungan secara moril maupun material hingga selesainya bangunan gedung hingga tahun 1985. Pada tanggal 2 Januari 1986 didirikan Crash PGAB Diploma Dua (D2) yang diikuti 18 mahasiswa sebagai cikal bakal STIAB Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
231
SMARATUNGGA. Kemudian diubah menjadi Akademi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Buddha (AKIB) SMARATUNGGA. Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah No 30. 1989 tentang pendirian perguruan tinggi, maka dari AKIB diubah menjadi Institut Ilmu Agama Buddha (IIAB) SMARATUNGGA dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha No. H/15/SK/1989 tanggal 27 Juli 1989, yang didahului dengan Surat Ijin Penerimaan Mahasiswa Baru Program D II, D III, dan S1 Guru Agama Buddha oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha No. H/TL-00/637/1988. Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999, IIAB SMARATUNGGA berubah lagi menjadi STIAB SMARATUNGGA dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha No. H/02/SK/2002 tanggal 2 Januari 2002. Dalam mewujudkan maksud dan tujuan yang mulia ini, Y.M. Maha Sthavira Ashin Jinarakkhitta bersedia menjadi Badan Pendiri Yayasan Buddhayana. Yayasan tersebut kini diketuai oleh Nyanasuryanadi Mahathera. Beliau juga sebagai Ketua Umum Sangha Agung Indonesia. Sedangkan pimpinan Perguruan tinggi ini sekarang adalah Bhikkhu Ditthisampanno. Sesuai dengan tuntutan perkembangan globalisasi, dan laju perkembangan masyarakat, serta perkembangan teknologi yang semakin maju, maka para alumi STIAB SMARATUNGGA tentunya membutuhkan pendidikan akademik dan profesional yang mantap serta lebih profesional dibidangnya. Untuk maksud dan tujuan tersebut maka dibutuhkan sarana dan prasarana pendukung berupa penambahan gedung tempat perkuliahan dan gedung Sekolah Laboratorium (Sekolah Tempat Praktek Mahasiswa). Sementara ini Sekolah Laboratorium masih mempergunakan gedung STIAB SMARATUNGGA. Pembangunan Sekolah Laboratorium ini akan dilengkapi dengan pembanguan asrama bagi para siswa dan mahasiswa serta kini telah memiliki laboratorium yang juga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi pembelajaran jenjang pendidikan menengah, untuk program pelatihan Dharmaduta dan program Latih Diri Pabbaja Samanera dan Upasika Athangasila sementara setiap tahunnya juga untuk Latihan Vipassana.
232
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Kampus STIAB SMARATUNGGA terletak di Jl. SemarangSolo Km 60 Ampel, Boyolali, Jawa Tengah. Lembaga pendidikan berpedoman pada esensi dasar ajaran Buddha dan bertanggungjawab untuk berperan serta mencerdaskan kehidupan bangsa. STIAB SMARATUNGGA menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk menghasilkan tenaga pendidikan buddhis yang cerdas, pluralis, universal, dan konstektual sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi. Dalam mewujudkan akuntabilitas publik, STIAB SMARATUNGGA membangun sistem penjaminan mutu secara internal dan eksternal dengan ditandai jurusan Dharma Achariya sebagai satu-satunya jurusan di perguruan tinggi buddhis yang Terakreditasi B oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT). Untuk meningkatkan mutu pedidikan di STIAB SMARATUNGGA telah melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Kompetensi lulusan untuk dapat bersaing dalam dunia global mahasiswa dibekali paket kompetensi profesional dalam komputer dan bahasa Inggris.
a.
Visi dan Misi STIAB SMARATUNGGA Visi Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha SMARATUNGGA sebagai pusat keunggulan Pendidikan Agama Buddha di Indonesia (Center Of Excellent Buddhist Education). Visi ini dicapai melalui Misi, yaitu: 1)
Mengembangkan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam bidang kependidikan dan nonkependidikan Buddhis yang diarahkan untuk menghasilkan manusia berkesadaran tinggi yang memiliki kecerdasan dan keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, pembangunan bangsa, dan negara;
2)
Mengembangkan kegiatan penelitian, pendidikan, pengabdian masyarakat untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
233
Buddhism yang menyejahterakan individu, masyarakat, dan mendukung pembangunan. 3)
Mengembangkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang mendorong pengembangan segala potensi alam dan manusia, baik secara individu maupun bersama, untuk mewujudkan masyarakat belajar.
4)
Menghasilkan lulusan dengan integritas yang tinggi, terbuka, peka serta mandiri, berkualitas, berperilaku baik, akademis, terpadu, dan inklusif di dunia global.
Visi Program Studi, yaitu “Menghasilkan sumber daya manusia dalam bidang tenaga kependidikan yang profesional dan memiliki integritas yang tinggi, terbuka, peka serta mandiri dengan dilandasi dan dijiwai oleh nilai-nilai Buddhayana”. Sedangkan misinya adalah:
234
1)
Mengembangkan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam bidang kependidikan dan nonkependidikan Buddhis yang diarahkan untuk menghasilkan manusia berkesadaran tinggi yang memiliki kecerdasan dan keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, pembangunan bangsa, dan negara;
2)
Mengembangkan kegiatan penelitian, pendidikan, pengabdian masyarakat untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan Buddhism yang menyejahterakan individu, masyarakat, dan mendukung pembangunan.
3)
Mengembangkan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang mendorong pengembangan segala potensi alam dan manusia, baik secara individu maupun bersama, untuk mewujudkan masyarakat belajar.
4)
Menghasilkan lulusan dengan integritas yang tinggi, terbuka, peka serta mandiri, berkualitas, berperilaku baik, akademis, terpadu, dan inklusif di dunia global.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
b.
Faktor yang Mempengaruhi Minat Mahasiswa Kuliah di STIAB SMARATUNGGA 1)
Faktor internal Faktor yang tumbuh dalam diri mahasiswa memilih kuliah di STIAB SMARATUNGGA, di antaranya kemauan mahasiswa, kepercayaan (trust), minat, karier (masa depan).
2)
Faktor eksternal Faktor eksternal di antarannya keluarga, figur guru, ekonomi keluarga, sarana atau prasarana pendidikan yang mendukung, program beasiswa, kegiatan ekstrakurikuler dan akreditasi perguruan tinggi. Untuk bidang ekstrakurikuler STIAB SMARATUNGGA cukup memberikan pengaruh kepada mahasiswa. Pada sekitar bulan Mei 2010 STIAB SMARATUNGGA telah mengirimkan duta besar ke Thailand lewat seni tari dan juga mengirim duta besar ke Singapura juga lewat seni teater, sehingga hal ini membawa nama harum STIAB SMARATUNGGA dan sekaligus mengundang minat individu untuk melanjutkan ke STIAB SMARATUNGGA.
2.
SMK PEMBANGUNAN Ampel
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PEMBANGUNAN Ampel merupakan lembaga pendidikan menengah yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). SMK PEMBANGUNAN Ampel merupakan peralihan nama dari Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat Atas (SMEA) PEMBANGUNAN sebagai antisipasi pembubaran PGA Buddha SMARATUNGGA yang sudah ditutup berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1991 yang menyatakan bahwa semua bentuk sekolah keguruan (SPG/PGA) yang terdapat di wilayah Indonesia ditutup. PGA Buddha SMARATUNGGA pada waktu itu berjalan hingga meluluskan kelas terakhirnya pada tahun ajaran 1993/1994. Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
235
Setelah kurang lebih satu tahun gedung PGA Buddha SMARATUNGGA tidak difungsikan, untuk memanfaatkannya kemudian direncanakan untuk membentuk suatu sekolah pengganti yang berbentuk sekolah pendidikan. Pembentukan SMEA PEMBANGUNAN itu sendiri mengalami banyak sekali hambatan baik secara material maupun administrasi. Berkat adanya bantuan yang mengalir dari berbagai pihak, maka pembentukan gedung serta fasilitas pendukungnya dapat terlaksana. Pada kondisi demikian, akhirnya berdasarkan Surat Keputusan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Boyolali No. 1474/103.09/A.E/94 tertanggal 06 Februari 1995 yang berisi izin pendirian untuk mendirikan SMEA PEMBANGUNAN Ampel-Boyolali. SMEA PEMBANGUNAN pada Tahun Pelajaran 1996/1997 sesuai dengan keputusan pemerintah yang berkenaan dengan penggantian nama sekolah kejuruan (STM/SMEA/sekolah kejuruan lainnya yang diubah menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), berganti nama menjadi SMK PEMBANGUNAN Ampel-Boyolali dan pada 2007/2008 SMK PEMBANGUNANA telah terakreditasi dan terbagi menjadi dua jurusan, yaitu Akuntansi dan RPL (Rekayasa Perangkat Lunak) sampai sekarang. Dalam dokumen resmi, tercatat SMK PEMBANGUNAN AMPEL memiliki NPSN 00340090 dan NSS 342030902009. Sekolah ini beralamat di Jl. Baru Kaligentong, Ampel, Boyolali Desa Kaligentong Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali.
a.
Kepengurusan SMK PEMBANGUNAN berada di bawah naungan Yayasan Sariputra Sadono yang sebelumnya juga menaungi PGA Buddha SMARATUNGGA. Susunan pengurus yayasan tersebut saat ini adalah:
236
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Ketua
: Bhikkhu Nyanasuryanadi
Wakil Ketua
: Bhikkhu Nyanakaruno
Sekretaris
: Bhikkhu Nyanaputra
Wakil Sekretaris
: Bhikkhu Nyanasubalo
Bendahara
: Bhikkhu Nyanachandra
Sedangkan sebagai kepala sekolah adalah Bapak Kartomo, S.Ag. Guru pendidiknya berjumlah 22 orang dari berbagai bidang ilmu dan dibantu oleh 3 orang tenaga administrasi, 1 tenaga teknisi, dan 1 penjaga sekolah.
b.
Keadaan Siswa dan Lingkungan Fisik SMK PEMBANGUNAN Sekolah ini terletak di Dukuh Tangkisan, Desa Kaligentong, Kec. Ampel yang berdampingan dengan SMU Tunas Harapan dan SLTP Kanisius Ampel. Disebabkan lingkungan yang kurang mendukung, di samping gedung sempit dan kurang memadai untuk proses belajar mengajar, SMK PEMBANGUNAN Ampel-Boyolali terhitung mulai tahun Ajaran 2002/2003 pindah dan menempati gedung baru yang terletak di Dukuh Ngelo, dan masih di wilayah Desa Kaligentong, Kec. Ampel, Kab. Boyolali. Prosentase keadaan siswa SMK PEMBANGUNAN mengalami proses yang meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh animo masyarakat dan kepercayaan pada lembaga pendidikan kejuruan. Pada tahun pertama berdirinya, yaitu tahun ajaran 1995/1996, SMK PEMBANGUNAN menerima siswa baru sejumlah 37 siswa. Jumlah tersebut tidak memungkinkan untuk membuka 2 jurusan, sehingga pada waktu itu baru satu jurusan, yaitu Jurusan Akuntansi. Pada tahun berikutnya, yaitu tahun ajaran 1996/1997 mengalami peningkatan yang bagus dengan menerima 65 siswa baru yang kemudian dibagi menjadi 2 kelas dalam dua program jurusan, yaitu Akuntansi dan Manajemen Bisnis. Pada Tahun Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
237
Ajaran 1997/1998 hanya menerima 35 siswa untuk satu jurusan, yaitu Manajemen Bisnis. Pada Tahun Ajaran 1998/1999 menerima 45 siswa untuk satu jurusan yang sama. Pada tahun ajaran 1999/2000 mengalami penurunan karena hanya menerima 32 siswa untuk jurusan Manajemen Bisnis. Penerimaan siswa baru pada tahun ajaran 2000/2001 menerima 32 siswa untuk jurusan Manajemen Bisnis, sedang pada tahun ajaran 2001/2002 menerima siswa baru sebanyak 35 Siswa. Pada Tahun Ajaran 2002/2003 setelah pindah ke gedung Baru menerima 58 Siswa yang terbagi dalam dua kelas. Pada tahun ajaran 2003/2004 menerima siswa berjumlah 74 siswa baru. Para siswa SMK Pembangunan merupakan siswa yang beragam dan pluralis baik secara etnik, daerah maupun agama, secara global terdiri dari beberapa daerah di luar kota selain Ampel sendiri, antara lain dari Lampung, Jepara, Pati, maupun Jawa Timur dan daerah lainnya. c.
Bantuan Pemerintah Bantuan pemerintah untuk STIAB SMARATUNGGA dirasakan sangat bermanfaat dan membantu kegiatan belajar mengajar. Bantuan tersebut sebagaimana disampaikan oleh Bhante Suryanadi adalah beasiswa untuk para mahasiswa yang diterima setiap tahunnya, namun dalam jumlahnya dapat bertambah atau berkurang. Beasiswa tersebut sangat menarik minat calon mahasiswa untuk mengenyam pemdidikan di STIAB SMARATUNGGA. Adapun bantuan pemerintah untuk SMK PEMBANGUNAN Ampel berupa bantuan operasional. Sedangkan sumber dana yang rutin diperoleh dari SPP para siswa. Bantuan juga berasal dari donatur meskipun diterima dalam waktu yang tidak dapat dipastikan. Bantuan pemerintah meskipun dalam jumlah kecil menurut manajemen sekolah juga sangat dirasakan manfaatnya.
238
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Penutup 1.
Simpulan a.
Pengelolaan manajemen di Vihara Tanah Putih dilakukan oleh Yayasan Buddha Canti. Pelayanan yang dilakukan dibidang keagamaan berupa peribadatan mingguan dan perayaan hari-hari besar. Demikian pula pelayanan keagamaan yang diselenggarakan oleh Vihara Buddhayana. Untuk pelayanan konsulting, umat dapat menemui para Bikkhu setiap saat di vihara masing-masing.
b.
Manajemen kelembagaan dibidang sosial diselenggarakan oleh Yayasan, sementara urusan pelayanan keagamaan peran diambil oleh vihara yang dipimpin oleh para Bikkhu. Modal sosial didasarkan pada kepercayaan manajemen yayasan di figur para Bikkhu.
c.
Sumber dana di Vihara Tanah Putih yang terbesar diperoleh dari para donatur baik perorangan maupun swasta, juga dari umat yang dilayani di Vihara ini. Sedangkan dari Pemerintah belum pernah memperoleh bantuan. Bantuan yang diterima dikelola oleh yayasan untuk kebutuhan yang diperlukan oleh vihara. Pengembangan bantuan belum nampak secara signifikan untuk menunjang kemandirian vihara. Sedangkan dana yang diperoleh oleh Vihara Maha Boddhi diperoleh juga dari para donatur dan umatnya. Untuk bantuan dari pemerintah, bantuan berupa bantuan operasional vihara, juga bantuan beasiswa untuk para mahasiswa yang mengikuti perkuliahan di STIAB SMARATUNGGA. Di bidang sosial, Vihara Maha Bodhi menyelenggarakan pendidikan tinggi dan pendidikan kejuruan.
d.
Faktor-faktor pendorong pengelolaan dana di kedua vihara tersebut tidak lepas dari animo umat yang makin menyadari peran yang diambil oleh vihara, juga kharisma para Bikkhu yang memimpin di vihara juga makin besar. Meski dengan jumlah umat yang sedikit di tengah mayoritas penduduk muslim, keberadaan umat Buddha diakui kebebasannya dalam menjalankan keyakinannya. Selama ini tidak pernah terjadi benturan dengan umat lainnya.
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
239
2.
Rekomendasi a.
Dinamika kedua Vihara tersebut memiliki karakteristik sendirisendiri dan memiliki ciri khas masing-masing. Tokoh spiritual (Bhikku) pada masing-masing vihara memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi perkembangannya.
b.
Pemerintah (Dirjen Bimas Buddha Kemenag) sangat penting melakukan pembinaan dengan cara pendekatan kerjasama dalam melayani umat. Umat Buddha yang nota bene jumlah umatnya terbatas ternyata memiliki persoalan yang sangat rumit.
c.
Sosialisasi alokasi bantuan kepada rumah ibadat Buddha secara luas sehingga dapat dipahami oleh tokoh-tokoh yang ada di vihara tersebut. ***
240
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Daftar Bacaan
Coleman, J.S., Social Capital In Creation of Human Capital, Amarican Journal of Sociology, 94 Supplement: S95-120. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama. 2007. Pedoman Pemberdayaan Majid (Melalui Aspek Idarah, Imarah, dan Ri’ayah). Fukuyama F., 1995. The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Newyork: Free Press. Halpen, David. 2005. Social Capital. Cambridge: Polity. Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia Tahun 2012, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama. PP Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Putnam, R.D., 1993. Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy. Princeton NJ: Princeton University Press. Rais, Rahmat. 2009. Modal Sosial Sebagai Strategi Pengembangan Madrasah. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Internet: http://sosiohistoryedi.blogspot.com/2012/03/asal-usul-wangsasailendra.html
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
241
242
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
EPILOG Oleh Imam Addaruqutni Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kebanggaan kita sebagai bangsa di antaranya adalah klaim kita sebagai bangsa sekaligus umat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Namun, kekecewaan kita serta merta muncul manakala menimbang kondisi yang kontras antara menjamurnya rumah-rumah ibadah yang nota benesebagai pusat-pusat spiritualitas religious serta menguatnya peran subkultur yang boleh dikata sebagai sangat otonom, ternyata belum maksimal dalam peran transformasi sosial termasuk transformasi politik yang─dibanding dengan Negara-negara industrial maju semisal Jepang, Korea, dan sebagainya─masih menyedihkan. Mengapa kondisi ini terjadi? Mengapa kita menjadi seperti bangsa yang mengalami keterbelahan kepribadian (split personality) dan sebagai bangsa yang ambigu dalam arti bangsa dan umat beragama dengan perbuatan nyata yang secara kualitatif dan kuantitatif dapat dikatakan sebagai melecehkan kebanggaan kebangsaan (national pride) dan kesucian agama (religious sanctity) anutan? Jika praktik/tradisi kehidupan dalam rumah ibadah sanggup mewujudkan kepercayaan publik (public trust) melalui pola yang akuntabel dan transparan misalnya sebagai tampak dalam laporan rutin/berkala berkenaan dengan penerimaan-pengeluaran keuangan/dana amal, maka mengapakah hal itu tiba-tiba gagal ketika memasuki arena publik (public sphere) dalam usaha mewujudkan pemerintahan yang bersih dan tatakelola pemerintahan yang baik (clean government and good governance). Mengapa praktik korupsi begitu menggejala di sementara kalangan yang justru pemegang otoritas kebijakan dan tidak jarang dipuji sebagai di anatara putra terbaik bangsa. Mentalitas yang mana dari manusia yang sama maka tiba-tiba menjadi pribadi yang asing dan lain dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan kenegara-bangsaan? Karena itu, sesuai dengan tradisi akuntabel dan transparan yang lazim berlangsung di berbagai rumah ibadah, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya itu semua merupakan sumbangan social capital yang mestinya sangat berarti tehadap kehidupan dalam spektrum masyarakat luas dan Negara (Ronald Inglehart and Pippa Norris, Rising Tide: Gender Equality and Cultural Change around the World, 2003). Lebih-lebih dalam era ini di mana agenda transformasional kebangsaan kita mau tidak mau metinya mampu menapaki proses peralihan pola kehidupan bangsa kita dari strata Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
243
(kehidupan) agrarian ke strata (budaya) kehidupan (Negara) industrial dan bahkan strata post-industrial sebagaimana sejumlah Negara sekawasan telah berhasil menapakinya (Inglehart, Modernization and Postmodernization: Cultural, Economic and Political Change in 43 Societies, 1997). Akan halnya dengan peran pemberdayaan rumah ibadah juga sekaligu pemberdayaan sosial (social empowerment)yang diharapkan datang dari rumah ibadah itu sendiri, dengan mengingat peran strategisnya sebagai pusat masyarakat (community center) kiranya dengan tetap mengapresiasi eksistensinya sebagai “lembaga” non-profited oriented yang mengutamakan kesalehan sosial. Dengan demikian mengukur dengan pendekatan-pendekatan analisis profesional murni (fully professional) semisal Total Quality Management (TQM) sebagaimana hal itu lazim berlaku di dunia bisnis professional yang diterapkan oleh penelitian dari buku yang sedang di tangan pembaca ini. Kehati-hatian dan kecermatan dalam mengaplikasikan pendekatan analisis ini juga dimaksudkan untuk menghindari anachronisme ilmiah (scientific anachronism) dan terjadinya deviasi dalam kesimpulannya. Akan tetapi, sejauh hal itu dimaksudkan sebagai perlunya penggagasan pengelolaan rumah-rumah ibadah beserta program pemberdayaannya dalam bidang tertentu, khususnya program yang mengait agenda besar yaitu penyediaan semakin banyak jumlah tenaga terampil (skilled-manpowers) yang diangankan dapat diakomodasi oleh sistem selektif dalam masyarakat dan Negara, maka hal demikian perlu diapreiasi. Karena itu, hemat saya, buku ini, dengan data kualitatif lapangan yang banyak serta pendekatan analisis TQM yang tidak lazim, dapat dikatakan cukup kreatif ditawarkan oleh para penelitinya dan karena itu sangat penting untuk dibaca dan lebih-lebih dapat menjadi inspirasi bagi rintisan langkah penelitian lebih lanjut di masa depan bagi para peneliti di satu pihak dan para perancang program pemberdayaan rumah ibadah pada umumnya di lain pihak. Saya yakin bahwa sumbangan ilmiah dari penelitian ini cukup signifikan dan semoga, karena itu, para khalayak pemangku kepentingan rumah-rumah ibadah secara keseluruhan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti telaahnya.
Ciputat, 20 Oktober 2015
244
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Indeks A Agama, 1, 3, 4, 5, 10, 20, 22, 24, 55, 70, 74, 75, 96, 98, 120, 122, 124, 143, 153, 168, 169, 170, 185, 187, 188, 189, 190, 195, 200, 208, 212, 214, 215, 216, 217, 220, 223, 231, 232, 233, 241 Allah SWT, 2 Al-Qur’an, 27, 31, 34, 35, 36, 37, 38, 41, 43, 47, 48, 49, 50, 68, 82, 92 Aset, 28, 29, 33, 35, 55, 60, 69
B Bali, 20, 23, 79, 185, 186, 191, 192, 194, 195, 199, 200, 202, 207, 209, 211, 212, 213, 215, 216 Banjar, 73, 74, 75, 76, 77, 83, 84, 87, 90, 92, 96, 187, 191, 192, 206, 217 Banjarmasin, 20, 73, 74, 75, 80, 81, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94 Batak, 11, 23, 97, 98, 99, 100, 114 Bhakti, 172, 211, 216, 220, 226 Bhiksu, 190 Buddha, 3, 4, 12, 19, 24, 74, 75, 98, 122, 160, 188, 189, 190, 217, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 231, 232, 233, 235, 236, 239, 240 Buddha Gautama, 223
D Dakwah, 25, 26, 28, 37, 53, 80, 91 Dana, 26, 41, 80, 89, 103, 108, 109, 110, 115, 118, 164, 167, 175, 176, 179, 194, 206, 208, 225, 227, 228 Dharma, 200, 216, 219, 228, 233 Diakona, 134
G Gereja, 75, 99, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 122, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 131, 133, 134, 135, 136, 139, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 150, 151, 153, 160, 161, 165, 166, 169, 170, 171, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 183 Gereja Jetis, 160, 176, 180 Gereja Kumetiran, 169, 172, 175, 176, 177, 179, 180 GKI Immanuel Boswezen, 137, 138, 139, 147, 153 GKI Maranatha Remu, 128, 131, 132, 138, 139, 140, 141, 143, 144, 146, 147, 148, 150, 151, 152, 153
H Haji, 27, 28, 78 Hindu, 3, 4, 12, 19, 24, 74, 75, 79, 98, 122, 160, 168, 186, 188, 189,
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
245
190, 191, 195, 196, 197, 199, 200, 202, 204, 206, 213, 214, 216, 232 HKBP, 11, 19, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120 HKBP Cinta Damai, 100, 102, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 117, 119 HKBP Maranatha, 107, 111, 113, 114, 117, 119
I Injil, 99, 122, 125, 126, 129, 130, 131, 134, 140, 141 Islam, 1, 2, 3, 4, 10, 11, 19, 20, 22, 24, 25, 26, 36, 39, 40, 44, 45, 47, 48, 52, 65, 68, 71, 74, 75, 76, 77, 79, 82, 83, 85, 87, 88, 91, 94, 96, 98, 122, 124, 153, 159, 160, 168, 188, 189, 190, 241
J Jaringan, 40, 63 Jawa, 20, 23, 25, 26, 49, 74, 79, 98, 155, 159, 165, 177, 180, 197, 217, 221, 222, 229, 231, 233, 238 Jemaah, 82, 89, 91 Jemaat, 122, 125, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 134, 137, 138, 139, 140, 142, 143, 144, 146, 147, 150, 151, 153
246
K Katolik, 3, 4, 11, 19, 24, 74, 98, 122, 159, 161, 166, 167, 168, 169, 174, 176, 177, 180, 181, 182, 183, 188, 189, 190 Kebaktian, 225 Klenteng, 75 Kristen, 3, 4, 11, 24, 75, 98, 99, 100, 103, 108, 114, 115, 120, 122, 124, 125, 126, 127, 131, 133, 135, 136, 138, 139, 142, 143, 150, 152, 159, 160, 188, 189
M Masjid, 2, 20, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 73, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91,92, 93, 94, 122, 124, 243 Masjid Al Falah, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 50, 51 Masjid Jami Sungai Jengah, 85, 89, 90, 91, 93, 94 Masjid Sultan Suriansyah, 75, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 93, 94 Medan, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 104, 105, 106, 111, 120 Modal sosial, 8, 9, 35, 119, 229, 239
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
Model, 4, 47, 60, 66, 75, 85, 93, 105, 111, 151, 169, 191, 196, 204, 209, 220, 222, 230
N Networking, 23, 40 Norma, 43, 64 Norms, 23
Pura Desa, 191, 192, 193, 195, 197, 198 Pura Puseh, 191, 192, 193 Pura Subak Pakel II, 204, 205, 206, 209, 212 Purnama, 197, 204
R
P Papua, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 132, 133, 134, 136, 138, 139, 141, 142, 150, 153 Paroki, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 172, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181 Pastor, 160, 165, 167, 175, 180 Pastoral, 164, 175 Pelayanan, 30, 47, 66, 107, 126, 134, 225, 226, 239 Pemberdayaan, 4, 7, 10, 20, 22, 24, 45, 47, 66, 67, 71, 75, 88, 96, 120, 137, 148, 149, 153, 167, 169, 181, 191, 194, 196, 200, 204, 206, 209, 210, 213, 220, 222, 230, 241 Pendeta, 102, 103, 110, 120, 128, 138, 139, 143, 190 Pengelolaan, 28, 55, 56, 80, 85, 89, 99, 103, 105, 108, 110, 111, 119, 124, 164, 175, 180, 196, 209, 239 Puasa, 176, 177 Pura, 75, 122, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 212, 213, 214, 216
Resiprositas, 45, 65 Romo, 155, 162, 165, 166, 167, 168, 177, 222, 231 Rumah ibadat, 1, 10
S Semarang, 158, 161, 163, 164, 167, 168, 174, 175, 180, 218, 219, 220, 222, 224, 225, 230, 231, 233 Strong Leadership, 97 Subak, 12, 192, 205, 207, 208, 210, 212, 216 Surabaya, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 32, 33, 34, 35, 37, 39, 41, 49, 50, 51, 53, 54, 55, 61, 62, 66, 67, 68, 70, 98, 158, 216
T Tilem, 197 Total Quality Management, 13, 14, 16, 244 TQM, 13, 14, 15, 16, 19, 244 Tri Hita Karana, 185, 196, 214, 216 Tri Mandala, 185, 214 Tri Sandhya, 192 Trust, 23, 36, 39, 60
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat
247
U Ulama, 39, 96, 190 Umat, 10, 20, 108, 115, 137, 176, 181, 189, 192, 205, 217, 223, 240 Umroh, 28
V Vihara, 75, 189, 217, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 231, 239, 240 Vihara Maha Bodhi, 230, 231, 239 Vihara Tanah Putih, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 227, 228, 229, 230, 239
248
W Wakaf, 33
Y Yayasan, 25, 26, 27, 28, 31, 32, 33, 34, 36, 40, 41, 47, 49, 50, 125, 165, 171, 216, 220, 221, 222, 224, 226, 227, 230, 231, 232, 236, 239 Yesus Kristus, 126, 143, 175, 178
Z Zakat, 27, 68
Memberdayakan Rumah Ibadat, Memakmurkan Umat