GRADUASI Vol. 25 Edisi Maret 2011
ISSN 1410 - 9913
PERMASALAHAN PENDIDIKAN PADA NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG Christiawan Hendratmoko Abstract Education is fundamental for improving human life quality and assure social and economic development. It has a key role in absorbs modern technology and enhance the capacity of national production in order to reach sustainable development. Young age structure, poverty, child labour, and discriminative threatment toward women to get education are the general problem faced by development countries. Generally, the education level determined by interaction of supply and demand. In the developing countries, determinant factors from demand side are more important than from supply side. In these countries, most education service and facility are provided by government. Keywords: education, human life, economic development Pendahuluan Pendidikan adalah hal yang mendasar untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi (United Nations, 1997). Melalui pendidikan manusia dapat memperoleh kehidupan yang memuaskan dan berharga. Pendidikan merupakan hal yang fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Pada negara-negara sedang berkembang, pendidikan memainkan peran kunci dalam penyerapan teknologi modern dan pengembangan kapasitas produksi nasional agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dengan demikian, pendidikan dapat dipandang sebagai komponen pertumbuhan dan pembangunan yang vital - sebagai input fungsi produksi agregat. Peran gandanya sebagai input maupun output menyebabkan pendidikan sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Sejak beberapa dekade terakhir ini, kemampuan baca tulis (literacy) dan pendidikan dasar telah dinikmati secara meluas oleh sebagian besar orang di negara-negara berkembang. PBB melaporkan bahwa meskipun masih terdapat lebih dari 875 juta orang berusia diatas 15 tahun yang buta huruf di dunia pada tahun 2000, namun saat ini 80 persen penduduk dunia telah mampu membaca dan menulis, dibandingkan dengan 63 persen pada tahun 1970. Meskipun telah mencapai kemajuankemajuan yang mengagumkan, namun negara-negara Dunia Ketiga masih terus menghadapi berbagai tantangan sejalan
dengan upayanya meningkatkan taraf pendidikan masyarakat. Distribusi pendidikan di suatu negara sama pentingnya dengan distribusi pendapatan. Di negara-negara sedang berkembang, masyarakat kota menikmati fasilitas pendidikan yang lengkap dan modern, sementara orang-orang yang tinggal di pedesaan yang terpencil harus puas dengan fasilitas yang serba terbatas dan tertinggal. Anak-anak orang kaya dapat bersekolah dengan sarana dan prasarana yang mendukung sampai tingkat yang setinggitingginya, sedangkan anak-anak orang miskin harus bersekolah sambil bekerja dan seringkali tidak mampu melanjutkan pendidikan karena biaya sekolah yang tidak terjangkau oleh mereka. Di banyak negara sedang berkembang, pendidikan formal adalah "industri" dan konsumen terbesar dalam penggunaan anggaran pemerintah. Mereka telah mengalokasikan dana yang sangat besar dalam bidang pendidikan. Alasan utama adalah karena mereka yakin bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup rakyat tidak ada jalan lain kecuali melalui pendidikan. Pendidikan adalah pintu menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Di samping adanya tekanantekanan politis yang hebat dari masyarakat bagi penyediaan/perluasan sekolah di negaranegara berkembang. Para orang tua semakin menyadari bahwa dalam masa dimana kompetisi hidup kian meningkat, semakin berpendidikan dan semakin banyak sertifikat yang dimiliki anak-anak mereka, semakin baik pula kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan tinggi dan
Permasalahan Pendidikan Pada Negara-negara Sedang Berkembang
37
GRADUASI Vol. 25 Edisi Maret 2011
ISSN 1410 - 9913
terjamin. Bagi golongan miskin, pendidikan dianggap sebagai jalan satu-satunya untuk men ga ng kat an ak-a na k me reka dar i kemiskinan. Dalam dasawarsa terakhir ini, telah terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah negara berkembang untuk bidang pendidikan yang sangat besar baik secara proporsional terhadap pendapatan nasional maupun terhadap anggaran belanja. Alokasi anggaran pendidikan di sejumlah negara sedang berkembang meningkat dengan pesat. Negara Indonesia, sejak beberapa tahun yang lalu, secara konstitusional telah diamanatkan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menunjukkan tekad yang serius dari negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Permasalahan-permasalahan Yang Dihadapi Secara demografis, negara-negara berkembang memiliki struktur umur muda, yaitu proporsi penduduk berusia muda (anak-anak) cukup besar. Rata-rata berkisar sekitar 25 persen dari total penduduk. Besarnya jumlah anak-anak di negara-negara berkembang dengan angka kemiskinan yang tinggi merupakan problema tersendiri, khususnya terkait dengan banyaknya anak-anak yang terpaksa harus bekerja dan meninggalkan sekolah serta diskriminasi perlakuan terhadap anak perempuan dan wanita pada umumnya untuk mengenyam pendidikan. Pekerja anak-anak adalah msalah yang meluas di negara berkembang. Jika anak-anak berusia kurang dari 14 tahun terpaksa bekerja, maka konsekuensi minimalnya adalah terganggunya waktu mereka untuk bersekolah dan dalam sebagian besar kasus, mereka tidak dapat bersekolah sama sekali. Masalah ini diperberat dengan kenyataan bahwa tingkat kesehatan pekerja anak-anak sangat buruk dibandingkan dengan anak-anak yang tidak bekerja, meski sam-sama berasal dari keluarga miskin. Di samping itu, sebagian besar pekerja anak-anak bekerja dalam kondisi yang sangat keras dan eksploitatif. International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa sekitar 120 juta anakanak di negara-negara berkembang berumur antara 5 - 14 tahun bekerja penuh waktu, dan 130 juta lainnya bekerja paruh waktu. Sekitar 61 persen dari 250 juta pekerja anak-anak tinggal di Asia, 32 persen di Afrika, dan 7 persen berada di Amerika Latin. Meskipun 38
sebagian besar pekerja anak-anak tinggal di Asia, secara relatif Afrika memiliki tingkat pekerja anak-anak yang paling tinggi, yaitu diperkirakan sebesar 41 persen dari semua anak-anak berusia 5 - 14 tahun. Sedangkan tingkat pekerja anak-anak di Asia dan Amerika Latin masing-masing adalah 21 persen dan 17 persen. Angka ini belum memasukkan anakanak yang bekerja penuh waktu di rumah untuk orang tua mereka. Di samping itu anak anak tersebut juga bekerja dalam waktu yang panjang dan dalam kondisi kerja yang sangat buruk. Meskipun demikian, tidak jelas apakah larangan untuk mempekerjakan anak-anak merupakan yang terbaik bagi anak-anak tersebut. Tanpa pekerjaan, seorang anak mungkin akan sangat kekurangan gizi. Sementara dengan bekerja, biaya sekolah dan juga gizi dasar serta pelayanan kesehatan dapat diperolehnya. Terdapat empat pendekatan utama terhadap kebijakan mengenai pekerja anakanak yang berlaku dalam kebi jakan pembangunan. Pendekatan pertama memandang pekerja anak-anak sebagai cerminan dari kemiskinan dan me re kom en da si ka n p en e kan a n pa d a penanggulangan kemiskinan dan bukan penanganan masalah pekerja anak-anak secara langsung. Pendekatan kedua menekankan strategi yang mengupayakan agar lebih banyak anak-anak yang bisa bersekolah, termasuk pembangunan sekolahsekolah, seperti sekolah-sekolah baru di kawasan pedesaan dan terutama insentif untuk mendorong para orang tua agar menyekolahkan anaknya. Strategi ini mendapat dukungan luas dari berbagai l emb ag a i nt e rna si on al da n l emb ag a pembangunan. P e n d e k a t a n ke t i g a menganggap bahwa pekerja anak-anak tidak bisa dicegah, paling tidak dalam jangka pendek, dan lebih menekankan pada ukuranukuran yang meringankan seperti peraturan yang dapat mencegah penganiayaan terhadap anak dan memberikan berbagai pelayanan pendukung untuk anak-anak yang bekerja. Pendekatan keempat mendukung pelarangan pekerja anak-anak terutama apabila terjadi pelanggaran/kejahatan terhadap pekerja anakanak, seperti perbudakan, prostitusi, dan pekerjaan-pekerjaan yang karena sifatnya atau karena lingkungannya cenderung merusak kesehatan, keamanan, atau moral anak-anak. Perbedaan perlakuan terhadap anak perempuan terjadi di banyak negara
Permasalahan Pendidikan Pada Negara-negara Sedang Berkembang
GRADUASI Vol. 25 Edisi Maret 2011
berkembang. Anak-anak perempuan menerima pendidikan yang jauh lebih sedikit daripada anak laki-laki, sehingga kemampuan baca tulis dan lama bersekolah kaum wanita lebih rendah dibandingkan dengan kaum pria. Terdapat cukup banyak bukti empiris yang menyatakan bahwa diskriminasi pendidikan t e rh ad a p k au m w an i t a me n gh a mb at pembangunan ekonomi di samping memperburuk ketimpangan sosial. Perluasan kesempatan pendidikan bagi kaum wanita sangat menguntungkan secara ekonomis karena empat alasan : 1. Tingkat pengembalian (rate of return) dari pendidikan kaum wanita lebih tinggi daripada tingkat pengembalian pendidikan pria di kebanyakan negara berkembang. 2. Peningkatan pendidikan kaum wanita tidak hanya menaikkan produktivitasnya di lahan pertanian dan di pabrik, tetapi juga meningkatkan partisipasi tenaga kerja, pernikahan yang lebih lambat, fertilitas yang lebih rendah, dan perbaikan kesehatan serta gizi anak-anak. 3. Kesehatan dan gizi anak-anak yang lebih baik serta ibu yang lebih terdidik akan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap kualitas anak bangsa selama beberapa generasi yang akan datang. 4. Karena kaum wanita memikul beban terbesar dari kemiskinan dan kelangkaan lahan garapan yang melingkupi masyarakat di negara berkembang, maka perbaikan yang signifikan dalam peran dan status wan ita melalui pe ndidikan dapat mempunyai dampak penting dalam memutuskan lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) serta pendidikan yang tidak memadai. Berbagai penelitian di negara-negara berkembang secara konsisten memperlihatkan bahwa ekspansi dalam pendidikan dasar anak-anak perempuan memberikan tingkat pengembalian paling tinggi di antara semua jenis investasi. Ini adalah salah satu alasan mengapa diskriminasi terhadap anak-anak perempuan dalam pendidikan dan juga kesehatan, tidak hanya tidak adil, tetapi juga sangat mahal ditinjau dari sudut pandang pencapaian sasaran-sasaran pembangunan. Pendidikan ibu yang lebih baik secara umum akan meningkatkan kemungkinan tersedianya pendidikan dan kesehatan yang lebih baik bagi putra-putrinya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu memainkan peranan yang menentukan dalam
ISSN 1410 - 9913
meningkatkan tingkat kecukupan gizi di daerah-daerah pedesaan. Prevalensi anakanak yang terhambat pertumbuhannya (kerdil), yang merupakan indikator jelas dari anak kurang gizi, jauh sangat rendah dengan adanya pendidikan tinggi dari sang ibu, pada tingkat pendapatan berapa pun. Permintaan dan Penawaran Pendidikan Tingkat pendidikan yang dinikmati oleh seseorang, meskipun banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat non-ekonomis, secara umum dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran, seperti halnya dengan produk ekonomi lainnya. Di banyak negara berkembang, faktor-faktor penentu dari sisi permintaan terhadap pendidikan menjadi jauh lebih penting daripada faktor-faktor penentu di sisi penawaran, karena hampir keseluruhan jasa dan fasilitas pendidikan disediakan oleh pemerintah. Pada sisi permintaan, ada dua hal yang paling berpengaruh terhadap jumlah atau tingkat pendidikan yang diinginkan, yaitu : (1) Harapan untuk memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik pada sektor modern di masa yang akan datang. Ini merupakan manfaat pendidikan individual (private benefits of educat ion) bagi siswa dan/ at au keluarganya. (2) Biaya-biaya pendidikan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung, yang harus dikeluarkan atau ditanggung oleh siswa dan/atau keluarganya. Berdasarkan dua hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa permintaan terhadap pendidikan merupakan permintaan turunan (derived demand), yakni permintaan terhadap kesempatan memperoleh pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor modern. Hal ini karena untuk memperoleh pekerjaan di sektor modern, sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang. Bagi sebagian besar masyarakat di negara-negara berkembang (te ru tama golo ngan miski n), mereka menginginkan pendidikan bukan karena alasan-alasan atau manfaatnya yang bersifat nonekonomis (reputasi, gengsi, pengaruh, atau kepuasan batin), melainkan hanya sebagai suatu wahana dalam rangka "mengamankan" kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor moderen. Manfaat-manfaat pendidikan tidak langsung inilah yang pada akhirnya akan dipertimbangkan berikut biaya-biayanya.
Permasalahan Pendidikan Pada Negara-negara Sedang Berkembang
39
GRADUASI Vol. 25 Edisi Maret 2011
ISSN 1410 - 9913
Pada sisi penawaran, jumlah sekolah di tingkat sekolah dasar, menengah, dan universitas lebih banyak ditentukan oleh proses politik, yang sering tidak berkaitan dengan kriteria ekonomi. Semakin besar dan kuat tekanan politik yang tujukan pada pemerintah untuk menyediakan sekolah-sekolah yang lebih banyak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingtkat penawaran atau penyediaan tempat-tempat sekolah oleh negara dibatasi oleh pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan. Pada akhirnya, hal tersebut akan dipengaruhi oleh tingkat permintaan agregat dari masyarakat terhadap pendidikan. Mengingat jumlah pendidikan yang diminta secara umum menentukan jumlah penawarannya (yang sesuai dengan batasbatas kemampuan keuangan pemerintah), maka perlu diperhatikan determinandeterminan ekonomis (berorientasi pada kesempatan kerja) dari permintaan pendidikan yang sifatnya tidak langsung ini. Permintaan terhadap tingkat pendidikan yan g di ang gap h arus d icap ai u nt uk mendapatkan pekerjaan berpenghasilan tinggi di sektor moderen bagi seseorang sangat ditentukan oleh kombinasi pengaruh dari empat variabel (variabel ekonomi) berikut ini : (1) Perbedaan pendapatan antara sektor moderen dengan sektor tradisional. (2) Pro babil ita s keberha si lan unt uk mendapatkan pekerjaan di sektor moderen. (3) Biaya pendidikan langsung yang harus ditanggung siswa/keluarganya. (4) Biaya tidak langsung atau biaya oportunitas dari pendidikan. Sebenarnya masih terdapat beberapa variabel penting lainnya yang merupakan varia bel non ekonomi yan g sa ngat me m pe n g a ru h i p er mi n t a a n t e rh a d a p pendidikan, seperti tradisi budaya, gender, status sosial, pendidikan orang tua, dan besarnya anggota keluarga. Namun, dengan memusatkan perhatian pada keempat variabel ekonomi tersebut di atas, dapat diketahui gambaran penting dan menyeluruh mengenai hubungan antara tingkat permintaan terhadap pendidikan dengan tingkat penawaran kesempatan kerja. Arthur Lewis mengemukakan bahwa di negara-negara berkembang terdapat selisih tingkat upah yang besar antara pekerjaan di sektor modern dengan pekerjaan di sektor tradisional (atau antara kota dengan desa). Keadaan inilah yang mendorong terjadinya 40
arus urbanisasi dari desa ke kota. Apabila kepindahan penduduk tadi tidak dibekali dengan tingkat pendidikan yang memadai, maka hanya akan menimbulkan masalah baru di perkotaan, yaitu pengangguran karena mereka tidak bisa ditampung di sektor modern yang menuntut keahlian dan ketrampilan dari tenaga kerja yang ada. Sementara keahlian dan ketrampilan hanya dapat diperoleh melalui pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya tingkat permintaan terhadap pendidikan untuk mengimbangi penawaran kesempatan kerja di sektor modern. Beberapa keadaan di negara berkembang juga mendorong tingginya permintaan terhadap pendidikan. Keyakinan pada sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan yang baik akan menjamin masa depan yang juga baik melalui pekerjaan di sektor modern dengan penghasilan yang lebih tinggi. Akhirnya, daya tarik pendidikan tinggi yang sangat besar sebenarnya menimbulkan biaya sosial yang tidak sedikit. Biaya sosial (social costs of education) adalah biaya oportunitas yang harus ditanggung oleh masyarakat sebagai akibat dari adanya kebutuhan masyarakat tersebut untuk membiayai perluasan pendidikan yang lebih tinggi dan mahal dengan dana yang mungkin akan menjadi lebih produktif apabila digunakan pada sektor-sektor ekonomi yang lain. Di negara-negara berkembang pada umumnya, segenap biaya sosial dari pendidikan meningkat secara cepat seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh masyarakat. Sementara itu, biayabiaya pendidikan individual (private costs of education), yakni biaya yang harus ditanggung oleh anak didik dan keluarganya sendiri justru akan meningkat secara lebih lambat atau bahkan bisa jadi akan mengalami penurunan. Kesenjangan yang semakin melebar antara biaya individual dengan biaya sosial akan lebih memacu tingkat permintaan atas pendidikan tinggi. Akibatnya, tingkat permintaan masyarakat atas pendidikan tingkat universitas menjadi semakin meningkat. Adanya lonjakan permintaan yang begitu besar, maka biayabiaya sosial yang harus ditanggung meningkat jauh lebih cepat daripada sekedar biaya pembangunan gedung universitas dan segala fasilitasnya. Masyarakat juga harus menanggung biaya sosial berupa semakin memburuknya alokasi sumberdaya yang pada akhirnya akan menyusutkan persediaan dana da n kese mp at an u nt uk menci pt aka n
Permasalahan Pendidikan Pada Negara-negara Sedang Berkembang
GRADUASI Vol. 25 Edisi Maret 2011
kesempatan kerja secara langsung atau untuk menjalankan program pembangunan lainnya. Penutup Pendidikan memainkan peranan penting dalam penyerapan teknologi modern dan pengembangan kapasitas produksi nasional agar tercipta pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan guna meningkatkan taraf hidup penduduk. Pendidikan adalah pintu menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Pendidikan mempunyai peranan ganda, baik sebagai input maupun output dalam pembangunan ekonomi. N e g a ra - n e g ar a be r k em b a ng p a d a umumnya memiliki struktur umur muda. Besarnya proporsi penduduk anak-anak dan
ISSN 1410 - 9913
angka kemiskinan yang tinggi merupakan masalah tersendiri, khususnya terkait dengan banyaknya anak-anak yang terpaksa harus bekerja dan meninggalkan sekolah serta diskriminasi perlakuan terhadap anak perempuan dan wanita pada umumnya untuk memperoleh pendidikan. Secara umum, tingkat pendidikan yang dinikmati seseorang ditentukan oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran. Pada negara-negara berkembang, faktorfaktor penentu dari sisi permintaan terhadap pendidikan menjadi jauh lebih penting daripada faktor-faktor penentu dari sisi penawaran, karena hampir keseluruhan jasa dan fasilitas pendidikan disediakan oleh pemerintah.
Referensi Kuncoro, Mudrajad, 2003. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah, dan Kebijakan, UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Todaro, P. Michael and Smith C. Stephen, 2003. Economic Development, Eighth Edition, Pearson Education Limited, United Kingdom. Widi, Naufal, 2007. SDM Jadi Kendala Utama, Jawa Pos, 17 April 2007.
Permasalahan Pendidikan Pada Negara-negara Sedang Berkembang
41