Permasalahan Naratif Berteknik Penceritaan Free Indirect Discourse dalam Karya Jane Austen, James Joyce, dan Maxine Hong Kingston
Lestari Manggong
Dipresentasikan pada Seminar Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran pada tanggal 16 Mei 2012
Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran 2012
Permasalahan Naratif Berteknik Penceritaan Free Indirect Discourse dalam Karya Jane Austen, James Joyce, dan Maxine Hong Kingston* Lestari Manggong
Abstrak Esai ini membicarakan tentang permasalahan yang tampak dalam proses interpretasi naratif berteknik penceritaan free indirect discourse dalam karya-karya Austen (Emma dan Pride and Prejudice), Joyce (A Portrait of an Artist as a Young Man dan The Dead), dan Kingston (Tripmaster Monkey). Naratif yang berteknik penceritaan free indirect discourse (pernyataan tidak langsung bebas) membuka kemungkinan kelirunya penilaian dari sudut pandang siapa pengisahan dilakukan. Naratif yang memberdayakan teknik penceritaan bernarator mahatahu (omniscient) ini membuat suara fokalisator eksternal dan fokalisator internal menjadi ambigu karena penggunaan teknik penceritaan semacam ini membaurkan keduanya. Melalui fokalisator eksternal, pandangan yang dihadirkan menjadi objektif. Melalui fokalisator internal, pandangan yang dihadirkan menjadi cenderung subjektif karena terinfiltrasi pandangan karakter. Dalam esai ini diulas temuan sejumlah naratolog dalam karya-karya yang dibahas, dan juga disertakan argumentasi dari penulis tentang temuan-temuan tersebut. Di ujung pembahasan esai ini akan diperlihatkan faktor apa saja yang menyingkap aspek ironi sebagai akibat dari teknik penceritaan free indirect discourse dalam novel-novel tersebut.
Kata kunci: Free indirect discourse, naratologi, fokalisator internal, fokalisator eksternal, ekstrapolasi narator, ironi.
*
Untuk dipresentasikan pada Seminar Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran pada tanggal 16 Mei 2012.
1. Free Indirect Discourse dan Permasalahannya Naratif yang berteknik penceritaan free indirect discourse1 (pernyataan tidak langsung bebas) membuka kemungkinan kelirunya penilaian dari sudut pandang siapa pengisahan dilakukan. Naratif yang memberdayakan teknik penceritaan bernarator mahatahu (omniscient) ini membuat suara fokalisator eksternal dan fokalisator internal menjadi ambigu karena penggunaan teknik penceritaan semacam ini membaurkan keduanya. Melalui fokalisator eksternal, pandangan yang dihadirkan menjadi objektif. Melalui fokalisator internal, pandangan yang dihadirkan menjadi cenderung subjektif karena terinfiltrasi pandangan karakter. Esai ini membicarakan tentang permasalahan yang tampak dalam proses interpretasi naratif berteknik penceritaan free indirect discourse dalam karya-karya Austen (Emma dan Pride and Prejudice), Joyce (A Portrait of an Artist as a Young Man dan The Dead), dan Kingston (Tripmaster Monkey). Di ujung pambahasan akan diperlihatkan faktor apa saja yang menyingkap aspek ironi sebagai akibat dari teknik penceritaan free indirect discourse dalam novel-novel tersebut.
2. Analisis Naratif Berteknik Penceritaan Free Indirect Discourse Pengamatan cermat tentang teknik penceritaan free indirect discourse yang pernah dilakukan Johnson (2000) dalam pengantar A Portrait of the Artist as a Young Man (selanjutnya disebut A Portrait) karya James Joyce membuka perspektif baru akan pentingnya mewaspadai kekeliruan penafsiran atas prosa fiksi yang menggunakan teknik penceritaan tersebut. Dalam analisisnya, Johnson (2000) membandingkan penggunaan free indirect discourse dalam A Portrait dengan salah satu novel Jane Austen, Emma. Dalam pemaparan berikut, akan ditunjukkan bagaimana penggunaan free indirect discourse dapat mengecoh persepsi tentang dari sudut pandang siapa pengisahan dilakukan, yang berpotensi menyesatkan penilaian interpretatif pembaca. Contoh yang dihadirkan oleh Johnson adalah adegan yang diambil dari Volume II Bab 12, ketika Mr. Knightley dan Emma berada dalam satu ruangan:2
He stopped again, rose again, and seemed quite embarrassed. He was more in love with her than Emma had supposed; and who can say how it might have ended if his father had not made his appearance? (Austen, 1964: 206-7) Johnson memandang bahwa kutipan tersebut selintas tampak seperti pengamatan objektif narator mahatahu. Namun bila diamati lebih cermat, baru akan disadari bahwa narrator di sini
menyajikan asumsi Emma. Menanggapi pandangan tersebut, rasionalisasi yang dapat saya rangkai untuk memahami mengapa demikian adalah: jika tidak dibaca secara cermat, selintas tampak bahwa sudut pandang dalam adegan ini adalah fokalisasi eksternal karena yang dideskripsikan adalah gestur subjek kalimat he (Mr. Knightley). Kalimat pertama memang demikian; lensa kamera mendeskripsikan gerak Mr. Knightley (stopped dan rose) dan ekspresi Mr. Knightley (seemed quite embarrassed). Kalimat kedua bukan berjenis kalimat deskriptif karena bermuatan pendapat (piece of mind) pihak tertentu, yang dalam hal ini adalah narator. Klausa pertama kalimat kedua tersebut disisipi pendapat subjektif narrator. Karena kalimat ini dirangkaikan dengan kalimat sebelumnya yang menggunakan fokalisasi eksternal yang bermuatan objektifitas narator, maka ketika dibaca secara berangkai, pengaruh muatan objektifitas tersebut masih terantar ke kalimat setelahnya. Ini menyebabkan pemahaman atas kalimat kedua yang menjadi cenderung objektif. Tuturan narator yang menyebutkan „He was more in love with her than Emma had supposed‟ berpotensi membangun asumsi pembaca bahwa Mr. Knightley memiliki ketertarikan lebih terhadap Emma. Yang luput di sini adalah pemahaman bahwa yang tertutur pada klausa tersebut adalah—sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—pendapat subjektif narator, setelah menyimpulkan makna gestur Mr. Knightley yang dideskripsikan tampak canggung karena keberadaan Emma di ruangan tersebut. Pertanyaan retorik dalam klausa berikutnya („and who can say how it might have ended if his father had not made his appearance?‟) membuka ruang ekspektasi dalam benak pembaca. Jika sikap canggung Mr. Knightley yang merupakan cerminan dari ketertarikan yang berlebih terhadap Emma tidak terhenti oleh kedatangan ayah Emma, maka ada potensi besar cerminan ketertarikan Mr. Knightley tersebut akan bergulir menjadi sebuah aksi yang merupakan realisasi dari ketertarikan tersebut. Saya menilai teknik penceritaan semacam ini secara strategis mampu memanipulasi pikiran pembaca. Manipulasinya terlihat ketika ekspektasi yang sangat mungkin muncul dalam benak pembaca tersebut mampu menyebabkan pembaca terikat dengan harapan bahwa aksi nyata ketertarikan Mr. Knightley tersebut dapat saja terjadi di rangkaian plot selanjutnya. Chatman (2003) mengulas penggunaan free indirect discourse (yang disinonimkannya dengan monolog interior) dalam karya Jane Austen yang lain, Pride and Prejudice. Pengamatannya jatuh pada naratif yang dihadirkan di awal Bab 57, tak lama setelah Lady Catherine (bibi Mr. Darcy, pria yang disukai Elizabeth Bennet, karakter utama dalam novel ini)
pergi dari kediaman keluarga Bennet untuk mengklarifikasi isu yang didengarnya tentang pertunangan keponakannya dengan Elizabeth:
The discomposure of spirits which this extraordinary visit threw Elizabeth into could not be easily overcome, nor could she for many hours learn to think of it less than incessantly. Lady Catherine, it appeared, had actually taken the trouble of this journey from Rossings for the sole purpose of breaking off her supposed engagement with Mr. Darcy. It was a rational scheme, to be sure! But from what the report of their engagement could originate, Elizabeth was at a loss to imagine; till she recollected that his being the intimate friend of Bingley, and her being the sister of Jane, was enough, at a time when the expectation of one wedding made everybody eager for another, to supply the idea. She had not herself forgotten to feel that the marriage of her sister must bring them more frequently together. And her neighbours at Lucas Lodge, therefore (for through their communication with the Collinses the report, she concluded, had reached Lady Catherine), had only set that down as almost certain and immediate, which she had looked forward to as possible, at some future time (Austen, 1994: 277). Naratif ini penting karena menurut Chatman pada saat inilah sikap bingung, sedikit berharap, dan kemarahan Elizabeth tercermin. Pada naratif tersebut tampak (1.) bahwa Elizabeth terganggu atas kedatangan Lady Catherine, (2.) ia terus memikirkan maksud kedatangan Lady Catherine dan urgensi yang menyertainya, (3.) ia menduga-duga penyebab isu tentang pertunangannya, (4.) secara spekulatif ia berpikir bahwa penyebabnya adalah karena Darcy adalah kawan Bingley dan ia adalah kakak Jane, suami Bingley, dan (4.) menurut Elizabeth, keluarga Lucas (tetangganya) melalui keluarga Collins, juga berperan membuat isu tersebut terbentuk hingga Lady Catherine akhirnya mendengar isu itu. Yang penting dilihat di sini adalah dugaan dan spekulasi tersebut tidak secara eksplisit disebut sebagai yang dipikirkan oleh Elizabeth karena tidak ada pernyataan „Elizabeth thought.‟ Ini memunculkan penilaian bahwa narator lah yang sepenuhnya berbicara. Oleh karena itu , absennya penggunaan „Elizabeth thought‟ mengaburkan objektifitas dan juga subjektifitas dugaan dan spekulasi tadi. Dengan kata lain, pada saat yang sama, pandangan-pandangan tersebut menjadi objektif dan subjektif. Sekali lagi, faktor ini lah yang berpotensi memanipulasi pemikiran pembaca. Muatan objektifitas pada naratif tersebut membuat dugaan dan spekulasi yang dirangkaikan berwujud serupa fakta. Penggunaan verba „recollected‟ memungkinkan itu, sementara verba „had not forgotten to feel‟ menunjukkan bahwa Elizabeth hanya „merasa‟ demikian.
Johnson (2000) dalam pengamatannya tentang penggunaan free indirect discourse dalam A Portrait menujukkan bahwa Joyce mengeksploitasi teknik penceritaan ini, memungkinkannya berpindah-pindah dari pandangan Stephen ke narator. Dalam naratif Emma, Johnson menilai bahwa gaya penuturan pandangan karakter mana pun yang sedang diungkap konsisten. Dari sini dapat disimpulkan bahwa gaya dalam Emma adalah gaya Austen. Dalam bagian awal A Portrait, gaya penuturan dimulai dengan gaya penuturan yang khas Stephen. Pemberdayaan beragam idiolek pada karakter-karakternya membuat Joyce terlepas dari pengidentifikasian bahwa suara karakter adalah suara Joyce. Dengan kata lain, berbeda dengan Austen, Joyce tidak membubuhkan pengaruhnya sebagai penulis dalam novelnya. Johnson juga menilai bahwa ragam idiolek butuh muncul karena ini merepresentasi perkembangan dalam fase pendewasaan sang „artist.‟ Gaya penuturannya berubah sejalan dengan semakin dewasanya sang „artist.‟ Dalam karya Joyce yang lain, dalam cerita pendek The Dead, Dettmar (1996) memfokuskan pengamatan pada bagian akhir cerpen tersebut. Dalam penjelasannya, Dettmar menunjukkan bahwa penuturan naratif di akhir cerita tidak masuk dalam kategori free indirect speech/discourse versi Chatman. Argumentasinya adalah karena Gabriel Conroy (karakter utama dalam cerpen ini) tidak sedang membuat pernyataan (baik verbal maupun non-verbal) ketika memandang keluar jendela, maka tidak dapat disebut bahwa pernyataannya secara tidak langsung sedang diungkap oleh narator. Karena bukan pernyataan yang secara tidak langsung diungkap, maka Dettmar mengusulkan penggunaan istilah prosa bebas tidak langsung (free indirect prose). Gabriel memang sedang berpikir ketika itu, namun naratif panjang di paragraf akhir ceritanya tidak juga dapat dikatakan sebagai ujaran yang ada dalam pikiran Gabriel. Kejanggalannya adalah karena naratif tersebut muncul rapi dan ber-estetika puisi, seperti dapat dilihat berikut ini:
A few light taps upon the pane made him turn to the window. It had begun to snow again. He watched sleepily the flakes, silver and dark, falling obliquely against the lamplight. The time had come for him to set out on his journey westward. Yes, the newspapers were right: snow was general all over Ireland. It was falling on every part of the dark central plain, on the treeless hills, falling softly upon the Bog of Allen and, farther westward, softly falling into the dark lonely churchyard on the hill where Michael Furey lay buried. It lay thickly drifted on the crooked crosses and headstones, on the spears of the little gate, on the barren thorns. His soul swooned slowly as he heard the snow falling faintly through the universe and faintly falling, like the descent of their last end, upon all the living and the dead. (Joyce, 2000: 176)
Tidak mungkin itu adalah naratif yang bersumber dari pikiran Gabriel, karena gaya penuturannya berbeda dengan gaya ujaran dalam pidatonya menjelang makan malam. Berdasarkan argumentasi ini, Dettmar menyebut bahwa naratif tersebut adalah prosa milik Gabriel, yang diplagiat narator. Permasalahan penggunaan teknik penceritaan free indirect discourse juga tampak pada Tripmaster Monkey karya Kingston. Wittman Ah Sing, karakter utama dalam novel ini, memiliki sejumlah prasangka buruk terhadap etnis Cina dan karena itu ia enggan dipandang sebagai orang Cina. Di sepanjang alur cerita, Wittman menegaskan bahwa identitas budayanya adalah Amerika; lulusan Berkeley, bergaya pakaian Beatnik, berpengetahuan luas akan kesusastraan Barat, berpacar perempuan kulit putih. Free indirect discourse yang digunakan dalam naratifnya memungkinkan sudut pandang dapat dengan leluasa berpindah-pindah dari fokalisator eksternal ke internal. Manuver ini, sekali lagi, membuka potensi baurnya pernyataan objektif dan subjektif. Dalam novel ini, menurut penilaian saya, potensi tersebut mengarah pada unsur ironi yang terlihat ketika cara pandang Wittman dan narator terbandingkan akibat pembauran tadi. Berkaitan dengan masalah sudut pandang yang dihadirkan oleh narrator mahatahu, dalam sebuah wawancaranya, Kingston secara jelas menyatakan bahwa „the omniscient narrator in the Tripmaster Monkey is a Chinese American woman; she‟s Kwan Yin (the Goddes of Mercy) and she‟s me‟ (Schueller, 2003: 18). Di sebuah wawancara yang lain, Kingston juga menyatakan bahwa „Wittman is working against a narrator who is trying to create him from outside‟ (Jannette, 1996: 146). Seandainya memang narator adalah Kingston alias Kwan Yin yang perannya adalah membantu Kera Sakti dalam perjalanannya ke Barat,3 maka narator dalam perjalanan Wittman di Barat yang hadir melalui dan di luar suara Wittman berperan menunjukkan ironi naratifnya sebagai akibat dari prasangka Wittman yang mempengaruhi persepsinya tentang etnis Cina. Contohnya dapat terlihat dalam pengamatan terhadap kutipan berikut:
Heading toward him from the other end came a Chinese dude from China, hands clasped behind, bow-legged, loose-seated, out on a stroll—that walk they do in kung fu movies when they are full of contentment on a sunny day. As luck would have it, although there was plenty of room, this dude and Wittman tried to pass each other both on the same side, then both on the other, sidestepping like a couple of basketball stars. Wittman stopped dead in his tracks, and shot the dude a direct stink-eye. The F.O.B. stepped aside.
Following, straggling, came the poor guy‟s wife. She was coaxing their kid with sunflower seeds, which she cracked with her gold tooth and held out to him. “Ho sick, la. Ho sick,” she said. “Good eating. Good eats.” Her voice sang, rang, banged in the echochamber tunnel. Mom and shamble-legged kid were each stuffed inside of about ten homemade sweaters. Their arms stuck out fatly. The mom had on a nylon or rayon pantsuit. (“Ny-lon ge. Mm lon doc.” “Nylon-made. Lasts forever.”)”No!” said the kid. Echoes of “No!” Next there came scrabbling an old lady with a cane. She also wore one of those do-it-yourself pantsuit outfits. On Granny‟s head was a cap with a pompon that matched everybody‟s sweaters. The whole family taking a cheap outing on their day offu. Immigrants. Fresh Off the Boats out in public. Didn‟t know how to walk together. Spitting seeds. So uncool. You wouldn‟t mislike them on sight if their pants weren‟t so highwater, gym socks white and noticeable. F.O.B. fashions—highwaters or puddlecuffs. Can‟t get it right. Uncool. Uncool. The tunnel smelled of mothballs—F.O.B perfume.‟ (Kingston, 1990: 4-5) Seperti dapat dilihat dari kutipan di atas, pada kalimat awal, ujaran yang muncul di klausa pertama („Heading toward him from the other end came a Chinese dude from China, hands clasped behind, bow-legged, loose-seated, out on a stroll‟) adalah suara narator yang sifatnya eksternal (tidak menginfiltrasi suara karakter, dan lazimnya dihadirkan sebagaimana kamera yang secara deskriptif menghadirkan pemandangan atau peristiwa di hadapannya). Ujaran di klausa kedua („that walk they do in kung fu movies when they are full of contentment on a sunny day‟) menyediakan analogi untuk mendeskripsikan cara pria Cina tersebut berjalan, yang juga tampaknya merupakan suara narator yang sifatnya eksternal namun pada saat yang sama juga berpotensi sebagai suara karakter utama novel ini (Wittman) karena nada sinis yang tercermin dari penghadiran stereotip „that walk … in kung fu movies.‟ Jika diamati lebih seksama, tanpa penghadiran klausa kedua ini, sesungguhnya pendeskripsian cara berjalan pria Cina yang berpapasan dengan Wittman tersebut sudah cukup jelas di klausa pertama. Bagaimanapun, klausa kedua tetap dihadirkan, dan modus operandinya adalah kebutuhan untuk menekankan cara pandang pengujar4 terhadap pria Cina tersebut (yang tampaknya dalam hal ini mewakili etnis Cina pada umumnya). Di kalimat kedua, atas kuasa sang narator, Wittman dan pria Cina tadi dibuat hampir saling bertabrakan dan berusaha saling menghindari. Di kalimat ketiga, Wittman berhenti dan menatap pria tersebut. Di kalimat keempat, pria yang dijuluki F.O.B. (Fresh Off the Boat)5 tersebut minggir. Perlu dicermati bahwa penggunaan istilah F.O.B. dalam konteks ini adalah celaan, mengingat pembandingnya adalah Wittman yang telah lebih lama berada di Amerika dan olehkarenanya tidak “kampungan.” Sebagai catatan, fokalisasi naratif yang dihadirkan dalam
kalimat kedua hingga keempat ini juga sifatnya eksternal. Jika dibandingkan dengan klausa kedua kalimat pertama yang dihadirkan bermuatan sinisme, kalimat kelima dihadirkan bermuatan sentimen negatif (tampak dari penyebutan „the poor guy‟s wife‟). Selanjutnya, lensa kamera beralih pada sang istri, menghadirkannya sedang menjejali anaknya kwaci. Seiring dengan ini, pengamatan kamera berfokus pada pakaian yang dikenakan ibu dan anak. Pendeskripsian 10 lapis sweter yang membalut tubuh masing-masing mereka serta celana panjang nilon atau rayon ibu yang dipilih karena tahan lama mengantarkan pada pemaknaan konotatif “kampungan.” Selepas ini, pengamatan beralih ke pilihan pakaian seorang nenek yang juga berkonotasi sama. Berikutnya, 11 kalimat terakhir secara beruntun melontarkan sejumlah sinisme tentang hasil pengamatan sekelompok etnis Cina tersebut. Pelontar ujaran tampaknya bukan lagi narator yang cenderung objektif, melainkan Wittman, yang jelas subjektif. „Cheap outing,‟ plesir murah meriah dengan berjalan sambil makan kwaci, „So uncool,‟ berselera fesyen kampungan, dengan aroma kamper bercelana cingkrang menyingkap kaos kaki putih. Simpulan yang dapat ditarik dari pengamatan ini adalah bahwa tiap kali nada naratifnya beralih sinis atau mencemooh, pada saat itulah Wittman seolah merebut mikrofon dari genggaman narator. Dalam semesta teks, suara Wittman tidak bertransisi menjadi ujaran langsung, namun terrealisasi menjadi ujaran tidak langsung karena berada di ranah narator. Permasalahan yang lebih kompleks tentang pembauran dua fokalisator terlihat pada bagian lain di novel ini ketika naratifnya sangat eksplisit menunjukkan bahwa fokalisatornya adalah narator dan Wittman:
Out on the streets, Wittman fitted onto his Mongolian cheeks his spectacles that blurred everything, thus finding metaphors everywhere, like how a cable car looks like an animal-cracker box. Some things he couldn‟t tell what the fuck they were, so he‟d go up to a bedevilment and have a look-see, not to miss out. Like Rimbaud, I practice having hallucinations‟ (Kingston: 44). Dari kutipan tersebut terlihat, dalam satu semesta teks, Wittman hadir dalam wujud orang ketiga tunggal (he) dan juga orang pertama tunggal (I).6 Secara logis, kalimat kedua kutipan tersebut dapat dimaknai sebagai akibat dari kalimat pertama. Kalimat kedua yang menunjukkan fokalisasi internal narator atas Wittman dengan sendirinya mengkonstruksi pendapat Wittman, atau deklarasi bahwa karena ia menggunakan kacamata khusus, maka hal-hal yang dilihatnya tampak seperti halusinasi.
Pergeseran dari subjek „he‟ ke „I‟ mengilustrasikan bahwa pernyataan Wittman adalah konstruk dari narator. Ini mengindikasikan bahwa identitas Wittman adalah konstruk dari kekuatan eksterior, yakni suara narator. Namun, yang menjadi problematis di sini adalah karena suara Wittman secara tekstual tidak dihadirkan dalam pernyataan langsung dan karena itu tidak menciptakan demarkasi antara suara naratif orang ketiga dan pertama tunggal, maka yang terlihat adalah dalam semesta teks, kedua suara tersebut seolah bercampur. Jika dipersepsi demikian, maka dapat dinilai bahwa suara orang ketiga pada saat yang sama mengkonstruksi suara orang pertama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada saat Wittman mengujarkan „Like Rimbaud, I practice having hallucinations,‟ Wittman berada dalam proses mencoba memahami apa yang sedang dialaminya, sebagaimana diantar oleh narator.
3. Ironi dalam Karya Berteknik Penceritaan Free Indirect Discourse Dari hasil pengamatan terhadap dua karya Austen, saya menilai bahwa dalam temuan Johnson (2000) dan Chatman (1978) pada Emma dan Pride and Prejudice, penggunaan teknik penceritaan free indirect discourse menyebabkan terciptanya ekstrapolasi narator. Ekstrapolasi dalam konteks ini diartikan sebagai penggunaan fakta-fakta yang diketahui sebagai titik awal untuk menarik simpulan tentang hal yang tidak jelas. Kata ini juga dapat dimaknai sebagai konstruksi tentang penilaian atau pendapat yang tidak dilandasi informasi yang konklusif. Dalam Emma, ekstrapolasi narator membangun ekspektasi pembaca, membuat pembaca diimingi harapan bahwa Mr. Knightley memang tertarik dengan Emma. Sementara fakta-fakta yang terlihat dalam naratifnya hanya mengindikasikan bahwa gestur awkward Mr. Knightley ditafsir narator sebagai gestur yang menunjukkan ketertarikannya terhadap Emma. Dalam temuan Chatman (1978), ekstrapolasi narator membangun spekulasi tentang rangkaian penyebab isu pertunangan Mr. Darcy dengan Elizabeth. Spekulasi yang dibangun atas dasar fakta-fakta yang hanya merupakan dugaan Elizabeth tersebut lah yang berpotensi membentuk pandangan bahwa begitu lah rangkaian rasionalisasi isu pertunangan muncul. Dua efek ektrapolasi narator dalam dua novel Austen tersebut menyingkap aspek ironi yang terlihat ketika bukti yang dihadirkan sebagai fakta hanyalah asumsi; yang mendasari penilaian Emma dan Elizabeth tentang Mr. Knitghtley dan pemicu isu pertunangan hanyalah asumsi. Dalam ulasan Dettmar (1996) tentang The Dead, aspek ironi juga terlihat karena penggunaan teknik penceritaan free indirect discourse. Ironi tampak pada kesenjangan yang
tercipta karena perbedaan gaya ujaran Gabriel dan narator. Terakhir, dalam temuan saya pada Tripmaster Monkey, fokalisator internal yang digunakan memediasi celaan dan sinisme Wittman terhadap etnis Cina, dan menyediakan ruang bagi Wittman untuk mengelak memosisikan dirinya sebagai etnis Cina. Secara keseluruhan, dalam rangkaian plotnya, saya menilai bahwa rentetan stereotip etnis Cina yang dilontarkan adalah peluru kemarahan yang dimuntahkan—yang bersifat kritis, bukan komplimenter—kepada dunia. Ironi dalam novel ini terlihat tiap kali Wittman mengelak dipandang dari etnis Cina, karena pada saat itu lah kontras antara dua identitas budaya (Cina dan Amerika) disandingkan dan dibandingkan.
References: Austen, Jane. 1964. Emma. The New American Library: New York. Chatman, Seymour. 1978. Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film. Cornell University Press: USA. Dettmar, Kevin J. H. 1996. The Illicit Joyce of Postmodernism: Reading against the Grain. The University of Wisconsin Press: Wisconsin. Janette, Michele. 1996. „The Angle We're Joined at‟ in Transition, No. 71, Indiana University Press on behalf of the W.E.B. Du Bois Institute, pp. 142-157. Joyce, James. 2000. A Portrait of the Artist as a Young Man (Edited and Introduced by Jeri Johnson). Oxford University Press: Oxford. -------- 2000. Dubliners (Edited and Introduced by Jeri Johnson). Oxford University Press: Oxford. Kingston, Maxine Hong. 1990. Tripmaster Monkey: His Fake Book. Vintage International: New York. Prince, Gerald. 2003. Dictionary of Narratology (Revised Edition). University of Nebraska Press: Lincoln and London. Schueller, Malini Johar. 2003. „Theorizing Ethnicity and Subjectivity: Maxine Hong Kingston‟s Tripmaster Monkey and Amy Tan‟s The Joy Luck Club,‟ in Modern Critical Interpretations: Amy Tan‟s The Joy Luck Club. Harold Bloom (Ed.). Chelsea House Publisher: Philadelphia. 1
Istilah yang disebut oleh Chatman (1978) sebagai monolog interior, didefinisikan oleh Prince (2003) sebagai pernyataan yang merepresentasi ujaran atau pikiran karakter. 2 Bagian ini dipilih karena pada saat inilah kali pertama sikap ketertarikan Mr. Knightley, pria yang diam-diam disukai Emma, seolah disiratkan. 3 Novel Tripmaster Monkey merupakan adaptasi elaboratif Kingston dari legenda kisah perjalanan Kera Sakti menemani pendeta Buddha Hsüan-tsang dari Cina ke India. 4 Entah narator maupun Wittman. 5 Istilah bagi pendatang atau imigran yang belum lama berada di tempat baru mereka. 6 Jika dalam contoh sebelumnya dikatakan Wittman seolah merebut mikrofon narator, Maka pada contoh ini saya dapat mengatakan bahwa Wittman jelas-jelas merebut mikrofon narator.