PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT TINDAKAN ULTRA VIRES Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Imam Machdi NIM: 109048000073 KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM
STUDI
ILMU
HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435H/2014M
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT TINDAKAN ULTRA VIRES Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Imam Machdi NIM: 109048000073
KONSENTRASI
HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435H/2014M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi
berjudul
Perlindungan
Hukum
Terhadap
Pihak
Investor
Dalam
Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Terkait Tindakan Ultra Vires telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum. Jakarta, 23 Januari 2014 Mengesahkan
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan semua dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplak orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
ABSTRAK Imam Machdi. NIM 109048000073. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT TINDAKAN ULTRA VIRES. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. x + 84 halaman + halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar atau landasan perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires. Penulis ingin mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan terhadap pemulihan hak Pihak Ketiga atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas. Penulis dalam menyusun skripsi ini menggunakan metode dalam kategori jenis Penelitian Hukum Normatif, dimana pemilihan pada jenis Penelitian Hukum Normatif didasarkan pada alasan karena perlindungan hukum terhadap Pihak Ketiga dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan wanprestasi (ultra vires) merupakan permasalahan kesenjangan hukum. Hasil ini menunjukan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur perlindungan hak-hak para pemegang saham secara lebih terperinci akan tetapi perlindungan hukum terhadap pihak investor yang sebenarnya sangat berperan penting demi kelangsungan hidup perseroan terbatas tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya kurang jelas atau tidak adanya pengaturan yang rinci yang mengatur perlindungan pihak investor atau pemegang saham. : Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor dan Ultra Vires Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H,M.H H.M.Yasir,S.H,M.H Daftar Pustaka : Tahun 1956 s.d Tahun 2009
Kata kunci
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, berkah dan nikmat-Nya. Shalawat serta salam dipanjatkan kepada Nabi Muhammad SAW serta pengikutnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS TERKAIT TINDAKAN ULTRA VIRES“ ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H,M.H,M.M. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H,M.H dan Drs. Abu Tamrin, S.H,M.Hum. Selaku ketua dan sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H,M.H. Selaku dosen Pembimbing 1 dan Bapak H. M. Yasir, S.H,M.H. Selaku dosen Pembimbing 2 yang dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan serta bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini. 4. Orang tua ayahanda Sumardi dan ibunda Dahlia yang penulis sayangi dan hormati, terima kasih tak terhingga atas kasih sayang, do’a, bimbingan, materi maupun moril dan segala yang telah diberikan untuk penulis.
v
5. Adik-adik penulis Apis Mawardi, Ahmad Permadi, Amelia Yuniardi dan Siti Saufia yang penulis sayangi serta banggakan atas dukungan dan do’a yang diberikan kepada penulis. 6. Ayu Sulistiya Ningsih, Adit Madewa dan Kinanti yang selalu memberikan perhatiannya kepada penulis, memberikan dorongan, dukungan dan do’a dalam proses penyusunan skripsi ini. 7. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum (Gagat Rahino, Ariawan Zaki, Maulana Ichsan Setiadi, Sadam As’ad, Zakaria Zakim, Samsul, Farhan Bestiardi, Roma Rizky, Arif Prasetiyo, Nauval, dkk) dan kawan-kawan karib (Agung Jago, Wildan Nurasalim, Syarifudin dkk) khususnya prodi Ilmu Hukum angkatan 2009 terima kasih yang tak terhingga yang sudah membantu, motivasi, dan yang selalu menghibur penulis dikala penulis sedang ada masalah. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu,semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amin). Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karna itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr,Wb. Jakarta, 23 Januari 2014 Penulis,
Imam Machdi
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii ABSTRAK ............................................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................v DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................... A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1 B. Identifikasi Masalah…………………………………… ………..... .8 C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ....................................................8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................9 E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................10 F. Kerangka Teoridan Konseptual ........................................................11 G. Metode Penelitian…………………………………………………..17 H. Sistematika Penulisan………………………………………………21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN BERTINDAK PERSEROAN TERBATAS DAN ULTRA VIRES ............................... A. Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya……………….23 B. Eksistensi Organ-organ Perseroan Terbatas……………………… 34 C. Kompetensi Perseroan Terbatas…………………………………… 37 vii
BAB III HAK PIHAK INVESTOR ATAS PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT TINDAKAN DIREKSI ULTRA VIRES ................................ A. Pengertian dan Perkembangan serta Pengaturan Ultra Vires……… 44 B. Prinsip Dasar Perlindungan Hukum……………………………..... .52 C. Urgensi Perlindungan Hukum……………………………….……….….58 BAB IV UPAYA REMEDIAL TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERSPETIF SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PERSEROANTERBATAS ..................................................................... A. Sistem Pertanggungjawaban Dalam Perseroan ……………… …... 65 B. Pelaksanaan Upaya Remedial Terhadap Pihak Investor ..………... .76 BAB V
PENUTUP ................................................................................................ A. Kesimpulan………………………………………………………… 85 B. Saran……………………………………………………………… 88
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Perekonomian yang diselenggarakan bedasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasioanal dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pegatahuan dan teknologi pada era globalisasi sekarang dan akan terus berlanjut pada masa mendatang, juga perlu dukungan lembaga perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif yang tentunya digerakan dalam kerangka yang kokoh dari undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas.1 Perseroan terbatas (selanjutnya disebut dengan perseroan) sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum yang kuat untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama bedasarkan asas kekeluargaan, dengan tetap memunculkan prinsip-prinsip keadilan
1
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.1.
1
2
dalam berusaha. Perseroan terbatas merupakan badan hukum yang didirikan bedasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Kegiatan usaha dari perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya perseroan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,ketertiban umum , dan atau kesusilaan. Perseroan terbatas merupakan subjek hukum yang berhak menjadi pemegang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau kekayaan tertentu. Hanya subjek hukum yang merupakan individu orang perorangan yang dinilai memiliki
kecakapan melakukan perbuatan hukum serta mempertahankan
haknya di dalam hukum, juga badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi perkembangan kebutuhan kehidupan masyarakat. Ketentuan yang diatur dalam pasal 519 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHAPdt) yang berbunyi “Ada barang yang bukan milik siapa pun, barang lainnya adalah milik Negara, milik perekutuan atau milik perorangan”.2 Hukum positif di Indonesia pada pokoknya mengenal bentuk-bentuk perusahaan seperti Firma (Fa), Commanditair Vennootschap (CV), Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Akan tetapi bentuk-bentuk seperti itu, selain koperasi yang memang didorong perkembangannya, maka yang banyak didirikan adalah Perseroan Terbatas (PT). Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini frekuensi
2
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.2.
3
pendirian perseroan terbatas mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini`dapat disimak dari pandangan bahwa dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, persekutuan komanditer, koperasi dan lain sebagainya, maka bentuk perusahaan perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling lazim, bahkan sering dikatakan bahwa perseroan terbatas merupakan bentuk perusahaan yang dominan.3 Ditinjau dari aspek hukum perjanjian perbuatan mendirikan, memiliki dan mengelola Perseroan Terbatas (PT) tidaklah merupakan perbuatan tunggal, melainkan sejak bentuk badan hukum perusahaan dikenal sudah menjadi perbuatan yang melibatkan lebih dari satu orang bahkan banyak orang. Di dalam PT terdapat berbagai hubungan hukum yaitu antara pemegang saham yang satu dengan yang lain, antara perseroan dengan direksi, komisaris, pegawai, dan antara perseroan dengan pihak investor. Keberadaan berbagai hubungan tersebut merupakan suatu indikator atau suatu pertanda yang menunjukan bahwa PT sejak mulai dari perancangan pendiriannya, tahap operasional sampai dengan berakhirnya jangka waktu untuk PT itu didirikan sebenarnya penuh dengan berbagai perjanjian. Oleh karena itu dikemukakan bahwa PT merupakan perwujudan dari perjanjian-perjanjian. Bertumpu pada uraian singkat tersebut semakin jelaslah di dalam suatu PT terdapat suatu proses yang didukung oleh berbagai perjanjian. Keberadaan perjanjian-perjanjian itu bersifat menghidupkan, 3
http://mhugm.wikidot.com, Irna Nurhayati, Ulasan Tentang Status Badan Hukum PerseroanTerbatas Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. H.1.Magister Hukum UGM, diakses tanggal 16/07/2013 jam 19:43.
4
memelihara kelangsungan hidup PT yang bersangkutan, bahkan dapat juga mengantarkan menuju pada proses yang mengakhiri eksistensi PT itu sendiri. Perjanjian diantara para pemegang saham pada pokoknya bersifat menghidupkan dan sebaliknya mengakhiri, sedangkan perjanjian dengan direksi, stake holder terutama karyawan serta pihak investor mengandung sifat yang bertujuan memelihara kelangsungan hidup PT. Berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan dalam rangka kelangsungan hidup atau operasional PT, maka pertama terlihat pentingnya kedudukan pemegang saham termasuk Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan direksi, komisaris termasuk pula para staf serta pegawai yang dipekerjakan pada PT dan tidak ketinggalan pihak investor, misalnya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Direksi sebagai wakil PT dengan pihak lain seperti perjanjian dagang. Seluruh komponen yang telah disebutkan itu pada pokoknya memberikan kontribusi yang tidak kecil berupa kewajiban-kewajiban dan peranan sesuai porsinya masing-masing dalam rangka memajukan dan meningkatkan perkembangan PT. Oleh karena itu agar tercipta suatu keseimbangan, maka dipandang perlu untuk memberikan perhatian mengenai aspek perlindungan hukumnya. Sehubungan dengan pandangan bahwa PT merupakan suatu bentuk yang paling dikenal, banyak digunakan sebagai bentuk dominan dari perusahaan, maka perkembangan pemanfaatan PT yang pesat ini memperoleh perhatian secara yuridis. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pengaturan PT yang cukup berkembang.
5
Pengaturan yang pada awalnya dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (pasal 26 s/d pasal 56 KUHD) diganti dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang kemudian diganti dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106) atau yang disingkat dengan UUPT. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Pasal 75 ayat (1) UUPT yang menentukan : “RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan Anggaran Dasar”. Disamping itu juga hak-hak lain seperti hak untuk memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan Komisaris. Sedangkan yang berkaitan dengan pengurusan perseroan, Pasal 92 ayat (1) UUPT.4 Mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 92 ayat 1 UUPT tersebut sebenarnya Direksi sudah dibatasi wewenangnya dimana Direksi dalam menjalan pengurusan Perseroan harus tetap berpedoman dan tidak bertentangan dengan maksud sertatujuan Perseroan sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar. Jika dirinci, maka Direksi dalam menjalankan pengurusan Perseroan tunduk pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Direksi dalam pengurusan harus memegang prinsip kehati-hatian dalam bertindak,
UUPT Pasal 92 ayat 1“ Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa ketentuan tadi menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang antara lain meliputi pengurusan kegiatan dari perseroan”. 4
6
2. Direksi harus mengutamakan kepentingan-kepentingan Perseroan dari pada kepentingan pribadinya, 3. Tindakan-tindakan Direksi haruslah tetap sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang tertuang dalam Anggaran Dasar. Apabila Direksi menyimpang dari prinsip ini terutama terhadap yang ketiga, maka Direksi secara tidak langsung telah menempatkan Perseroan dalam posisi melakukan tindakan yang melampaui kewenangan yang telah diberikan. Dalam berbagai kepustakaan hukum, tindakan ini disebut dengan ultra vires. Tindakan ultra vires itu dapat menimbulkan kerugian pada Perseroan yang berarti kerugian pula bagi para pemegang saham. Di samping itu ultra vires juga dapat merugikan pihak investor. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini misalnya Direksi sebuah Perseroan Terbatas Perbankan yang justru lebih banyak mengalirkan dana kepada pemegang saham sehingga mengakibatkan PT Perbankan itu bangkrut atau dilikuidasi serta merugikan nasabah penyimpan. Dalam hal ini timbul tidak sesuaianya antara norma hukum (dassollen) pada satu sisi dengan kenyataannya dalam praktek (dassein) pada sisi lain. Dalam hal ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan pemegang saham, maka UUPT telah menyediakan norma-norma hukum yang dapat dimanfaatkan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada pemegang saham baik yang mayoritas maupun minoritas. Norma hukum yang dimaksud adalah ketentuan yang mengatur hak pemegang saham melalui RUPS meminta pertanggungjawaban Direksi, dan ketentuan mengenai
7
hak pemegang saham minoritas untuk meminta dilakukannya pemeriksaan atas jalannya Perseroan. Akan tetapi apabila ultra vires yang dilakukan Direksi merugikan pihak ketiga, maka pertanggungjawaban Direksi tidaklah jelas dan UUPT tidak mengaturnya secara tegas atau tidak jelas mengaturnya. Bab VII Bagian Kesatu UUPT mulai dari Pasal 92 sampai dengan Pasal 107 tidak dijumpai ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai pertangungjawaban tersebut. Akan tetapi apabila mengacu pada ketentuan di dalam Pasal 97 ayat (1) yang menentukan Direksi bertanggungjawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, maka pada satu sisi dapat dikemukakan terdapat pengaturan tanggungjawab direksi tetapi pada sisi lain pengaturan itu tidak jelas dan lebih menekankan tanggungjawab terhadap Perseroan. Tidak jelasanya pengaturan tersebut merupakan suatu permasalahan hukum yang harus dicarikan kejelasannya. Di samping dalam rangka keperluan memperjelas hukum perseroan juga berkaitan dengan upaya menciptakan kepastian hukum dan rasa aman kepada pihak investor yang sangat berperan dalam kemajuan Perseroan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis berkeinginan untuk meneliti dan hasilnya dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pihak investor Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas Terkait Tindakan Ultra Vires.
8
B.
Identifikasi Masalah 1) Bagaimana pendirian suatu Perseroan Terbatas. 2) Apakah tujuan dari Perseroan Terbatas. 3) Bagaimanakah kewenangan direksi Perseroan Terbatas. 4) Apa peran RUPS terkait tindakan wanprestasi (ultra vires). 5) Bagaimanakah tanggungjawab direksi apabila melakukan tindakan ultra vires terhadap pihak investor.
C.
Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Batasan masalah ini penulis membatasi permasalahan yang ada di dalam pendahuluan yang berkaitan dengan latar belakang permasalahan dan Sehubungan dengan maksud memperoleh hasil analisis yang fokus, maka terhadap permasalahan di atas perlu diberikan batas-batas atau ruang lingkupnya. Permasalahan yang pertama yang akan dibahas berkisar pada pertanyaan bagimana hak-hak pihak pemegang saham, apakah terhadap tindakan ultra vires Direksi PT terdapat dasar hukum untuk memberikan perlindungan bagi Pihak investor. Di samping itu relevan pula dibahas adalah mengenai kondisi dasar hukum tersebut apakah memadai dan dapat diterapkan, serta bagaimana pula bentuk-bentuk perlindungan hukumnya. Sehubungan dengan permasalahan yang kedua yakni berkisar mengenai bentuk dan proses pelaksanaan perlindungan hukumnya bagi Pihak investor, apakah diberikan secara langsung atau melalui perseroan dan atau pemegang saham
9
mengingat direksi itu diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemagang Saham. 2. Rumusan Masalah Mengingat dari uraian mengenai latar belakang masalah dan batasan masalah diatas dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut: a. Apa dasar perlindungan hukum terhadap Pihak investor dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires? b. Bagaimanakah upaya pemulihan hak-hak Pihak investor atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas? D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar-dasar atau landasan perlindungan hukum terhadap Pihak investor dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dapat dilakukan terhadap pemulihan hak Pihak investor atas tindakan ultra vires Direksi Perseroan Terbatas. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai Perseroan Terbatas dalam berbagai hubungan hukumnya dengan berbagai pihak.
10
Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pedoman yang komprehensif bagi semua pihak yang terkait pendirian, pemilikan, pengelolaan dan pihak-pihak yang berhubungan atau mengadakan transaksi dengan Perseroan Terbatas dalam pemecahan masalah tanggungjawab terhadap pihak investor berkaitan dengan tindakan ultra vires. E.
Tinjauan (review) Kajian Terdahulu Penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan peneltian yang kita kerjakan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang lebih dahulu membahas terkait dengan tindakan Ultra Vires, diantaranya adalah: 1. Skripsi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 2012, yang disusun oleh David Yacob Maruli, dengan judul “Penerapan Doktrin Ultra Vires Terhadap Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas Ditinjau Dari UUD No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan UUD No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Penulis membahas terkait bagaimana direksi bertanggungjawab sepenuhnya dalam kepailitan Perseroan Terbatas akibat tindakan ultra vires. Penelitian ini ditinjau dalam berbagai aspek hukum Perdata terkait dengan sistem dalam perjanjian dan pertanggungjawaban sebuah perseroan terbatas dengan subtansi eksistensinya hukum yang mengkaji tentang adanya kejahatan dalam suatu perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Dengan ini saya mengkaji bagaimana eksistensinya hukum di Indonesia mengenai
11
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak investor Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroa Terbatas Terkait tindakan ultra vires. F.
Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori Peningkatan pendirian perseroan dapat ditandai terjadinya hampir bersamaan dengan mulai meningkatnya aktivitas perkenomian Indonesia setelah pertengahan dasawarsa 1960an. Disusul dengan mengalirnya investasi asing yang masuk Indonesia dan juga bangkitnya gairah para pemilik modal
nasional untuk
menanamkan modalnya baik secara mandiri maupun berpatungan dengan investor asing. Peningkatan ini berdampak positif terhadap perkembangan pendirian PT. Di samping itu turut pula memicu peningkatan pendirian PT di Indonesia adalah semakin berkembangnya aspek yuridis berupa penyempurnaan pengaturan terhadap bentuk perusahaan ini yang dimulai dengan dibuatnya Undang-undang No. 4 Tahun 1971 tentang Perubahan dan Penambahan atas Ketentuan pasal 54 KUHD. Dilanjutkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan pasal 21 sampai dengan Pasal 56 KUHD. Terakhir undangundang ini diganti dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perkembangan pengaturan tersebut secara tidak langsung menunjukan perkembangan pemahaman mengenai PT sehingga mengakibatkan banyak yang memilih bentuk perusahaan ini. Elemen-elemen di atas maka yang sangat perlu dicermati khususnya karena menyangkut topik penelitian yang sedang digarap ini adalah elemen yang pertama,
12
yaitu perjanjian yang menurut Prof. Subekti merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.5 Apabila dicermati dalam kegiatan-kegiatan mendirikan, memiliki dan mengurus Perseroan Terbatas ternyata terdapat perjanjian-perjanjian. Pada saat para pendiri mengadakan kesepakatan mendirikan PT terdapat perjanjian yang kemudian dituangkan dalam akte pendirian dan anggaran dasar. Sehubungan pemilikan saham yang sebenarnya berarti pemilikan PT juga dijumpai adanya perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli saham. Berdasarkan asas Pacta Sun Servanda yang berarti perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian seperti terkandung dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus ditaati.6 Disamping asas itikad baik, asas kepastian hukum yang menunjuk kepada berlakunya hukum yang jelas tetap konsisten dan konsekuen mengajarkan agar
5
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7
6
Kusumohamidjojo, 1986, Pacta Sun Servanda,http:// www.kamushukum.com, 18/07/2013, 14:25 WIB,h. 1
13
memberikan perlindungan terhadap hak-hak pihak investor yang sangat berperan dalam menunjang perkembangan perseroan.7 2. Kerangka Konseptual Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian merupakan hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.8 Penulisan skripsi ini menggunakan definisi-definisi sebagai berikut: a. Perlindungan Hukum Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.9
7
Raimond Flora Lamandesa, 2008, Penegakan Hukum, WWW.Scribb.com ,20/07/2013,22:25 WIB, h.1 8
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.132.
CST Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.h.35.
14
b. Pihak Investor Berkaitan dengan pengertian perjanjian menurut Prof. Wirjono Projodjodikoro perjanjian itu adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal dan untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak atas pelaksanaan janji itu.10 Dapat disimpulkan dari pengertian tersebut dengan adanya pihak lain yaitu pihak investor (pihak ketiga) yang berhak atas pelaksanaan perjanjian. c. Pertanggungjawaban Terkait dengan pertanggungjawaban dalam judul skripsi ini yakni perlakuan tindakan atas kesalahan yang dilakukan oleh direksi perseroan terbatas dalam tindakan ultra vires. d. Perseroan Terbatas K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas pinjamanpinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.11 Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang 10
Syarif Basir, 2009, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, h. 1
11
K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Pembangunan,Jakarta, h. 132.
15
bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah “perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan pada saat itu.12 e. Ultra Vires Stephen H. Gifis mengemukakan seperti dikutip Munir Fuady pada pokoknya menyatakan hukum disetiap negara tanpa melihat ke dalam sistem Perseroan tunduk umumnya menghadapi masalah yuridis yang disebut dengan “pelampauan kewenangan” (ultra vires) dari suatu perseroan.13 Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh Anggaran Dasarnya atau oleh peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut. Pandangan tradisional mengenai utra vires pada pokoknya memandang bahwa tindakan itu dapat menimbulkan konsekuensi yuridis dimana tindakan tersebut batal demi hukum (null and void) dan karena itu maka tindakan yang diklasifikan ultra vires itu tidak dapat diratifikasi atau tidak dapat disahkan oleh perseroan melalui RUPS. Pandangan secara tradisional juga menyediakan upaya-upaya hukum yang merupakan konsekuensi yuridis antara lain sebagai berikut:14
12
H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, h. 89. 13
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya DalamHukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 110. 14
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya DalamHukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 130.
16
a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya, b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires tersebut, c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan. Pandangan mengenai konsekuensi yuridis dari tindakan perseroan yang ultra vires itu ternyata juga mengalami perkembangan dan dalam perkembangan tersebut pada pokoknya dikemukakan, sebagai akibat dari berbagai modifikasi terhadap konsepsi ultra vires, telah berkembang beberapa akibat hukum yang mungkin timbul dari adanya ultra vires antara lain tanggungjawab pribadi. Tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires tersebut. Terlepas dari persoalan mekanisme tersebut menurut Teori Keadilan Distributif yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya, dengan ini dapat dikemukakan bahwa pihak ketiga merupakan pihak yang berjasa dalam hal ini sebesar nilai transaksi. Sehingga berdasarkan teori ini harus diberikan keadilan, dalam pengertian hak-haknya dapat dipulihkan.15 Dari uraian-uraian yang telah disajikan mengenai konsep yang berkaitan dengan judul skripsi ini pada intinya menjelaskan pada satu hal yang sangat penting bahwa pihak Perseroan Terbatas tetap bertanggungjawab terhadap kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak investor, dan kendati pun masih mengandung beberapa kekaburan 15
L.J. van Apeldoorn, 1978, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 23
17
pada berbagai aspeknya, akan tetapi uraian-uraian tersebut dapat digali lebih dalam lagi untuk menemukan penjelasan atas permasalahan yang diangkat melalui skripsi ini. G.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi Program Studi Ilmu Hukum dijelaskan Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian yakni Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Usulan Skripsi ini termasuk dalam kategori jenis Penelitian Hukum Normatif.16 Pemilihan pada jenis penelitian di atas didasarkan pada alasan karena Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor Terhadap Diresksi Perseroan Terbatas Melakukan Tindakan ultra vires merupakan permasalahan kesenjangan hukum. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur perlindungan hak-hak para pemegang saham secara lebih terperinci. Sedangkan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang sebenarnya sangat berperan demi kelangsungan hidup PT tidak ada pengaturannya atau walaupun ada maka sifatnya kurang jelas. Jadi disinilah terjadi kesenjangan dalam norma hukum.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.129.
18
2. Pendekatan Masalah Pembuatan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif pada umumnya mengenal 7 jenis pendekatan,dalam hal ini penulis menggunakan penelitian pendekatan-pendekatan masalah sebagai berikut:17 a. Pendekatan Kasus (The Case Approach) b. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) c. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) d. Pendekatan Analisis dan Konsep Hukum (Analitical &Conseptual Approach) e. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach), f. Pendekatan Sejarah (Historical Approach), g. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Sejalan dengan tujuan dan rumusan masalahnya, Usulan penelitian ini menggunakan 3 jenis pendekatan yang terdiri dari: 1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) 2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (The Analitical & Conceptual Approach) 3. Pendekatan
Perbandingan
Hukum
(comparatif
Approach)
Pendekatan
Perundang-undangan bertujuan mengalisis peraturan perundangan dalam hal ini Undang-undang Perseroan Terbatas terutama yang berkaitan dengan kekosongan atau kekaburan norma hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pihak investor. 17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986), h.135.
19
Sedangkan Pendekatan Analisis Konsep Hukum pada pokoknya mengedepankan analisis-analisis terhadap konsep-konsep hukum. Direksi PT, pihak investor dan ultra vires merupakan konsep-konsep hukum. Analisis terhadap konsep-konsep ini ditekankan pengertian, hak dan kewajiban (Direksi, PT, dan Pihak investor), serta tidak ketinggalan adalah mengenai ruang lingkup dan perkembangan ultra vires. Akan tetapi karena bahan-bahan yang dianalisis juga berkaitan dengan bahan-bahan yang diperoleh dari sistem hukum yang berlaku di negara lain, maka tidak tertutup kemungkinannya, usulan penelitian ini juga menggunakan Pendekatan Perbandingan (The Comparative Approach). 3. Bahan Hukum Penelitian hukum normatif menggunakan Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Bahan Hukum Primer dalam hal ini terdiri dari Asas Itikad Baik, Asas Pacta Sun Servanda dan norma-norma hukum yang tersusun terutama dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya,antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1998 tentang Nama Perseroan Terbatas. Sedangkan Bahan Hukum Sekunder meliputi buku teks hukum (legal text book), Jurnal hukum,karya tulis hukum yang memuat pandangan ahli hukum baik dalam bentuk buku maupun yang termuat dalam media masa,kamus hukum, ensiklopedi hukum. Dalam penelitian ini digunakan juga bahan-bahan hukum yang diperoleh dari media internet yang berkembang dengan pesat dewasa ini seperti definisi-definisi hukum.
20
4. Bahan Hukum Penunjang Data Di samping bahan-bahan hukum baik primer maupun sekunder maka dalam penelitian ini digunakan pula bahan-bahan yang diperoleh dari praktisi hukum dalam ini Notaris yang berpengalaman atau pihak lain yang memahami permasalahan mengenai tatacara menyelesaikan tanggungjawab Perseroan Terbatas terhadap pihak ketiga. Bahan Hukum Penunjang dapat diperoleh melalui penelusuran jaringan internet yang menyediakan fasilitas informasi yang relevan dengan topik skripsi ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum atau Data Penelitian ini tidak tertutup kemungkinan diperoleh bahan yang sudah tersusun dengan rapi baik berupa buku, laporan maupun bentuk-bentuk lain yang bersifat tertulis dan terhadap bahan-bahan seperti ini tetap diterapkan cardsystem yang ditekankan pada pencatan mengenai informasi yang relevan dengan topik permasalahan. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum atau Data Untuk menganalisis data-data yang telah diterapkan teknik-teknik sebagai berikut: a. Teknik Interpretasi diterapkan terhadap norma-norma hukum yang tidak jelas rumusannya sehingga harus ditafsirkan untuk memperoleh pemahaman yang jelas dan dapat diaplikasikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. b. Teknik evaluasi yang berupa penilaian mengenai tepat atau tidak tepatnya suatu informasi baik diperoleh dari Bahan Hukum Primer maupun Sekunder juga
21
diterapkan dalam penelitian ini untuk memperoleh hasil yang benar-benar sesuai dengan topik yang dibahas. c. Teknik argumentasi atau alasan-alasan yang merupakan hasil penalaran setelah dilakukannya teknik evaluasi. Dalam pembahasan masalah penelitian ini sedapat mungkin akan dilakukan teknik argumentasi menurut kemampuan yang serba terbatas. d. Teknik Sistematisasi yang merupakan upaya mencari hubungan suatu norma hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat. e. Teknik Deskripsi merupakan teknik yang paling mendasar dan bersifat mutlak. Hal ini mengandung pengertian, teknik ini harus dilaksanakan dalam pembahasan hukum agar pembahasan dapat dipahami oleh orang lain. Dalam penelitian ini berdasarkan Teknik Deskripsi, isu-isu hukum digambarkan atau diuraikan secara lengkap dan jelas sehingga dapat diketahui duduk persoalannya dan dapat ditentukan arahnya untuk mencapai suatu solusi. H.
Sistematika Penulisan Penyajian skripsi ini akan disusun kedalam 5 (lima) bab. Dimana masing-masing bab akan terdiri dari beberapa sub-bab agar pembahasan yang dibahas dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang diteliti secara jelas dan komprehensif. Adapun urutan dan tata letak setiap bab dan pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:
22
1. Bab pertama dari penelitian ini adalah Bab Pendahuluan. Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penelitian. 2. Bab kedua dari penelitian ini berkenaan dengan tinjauan umum tentang perseroan terbatas serta kewenangan bertindak perseroan terbatas yang mengenai isi dari eksistensi organ-organ perseroan terbatas dan kompetensinya. 3. Bab investor dari penelitian ini berisikan peran hukum untuk melindungi hak pihak investor dari tindakan ultra vires yang dilakukan oleh direksi perseroan terbatas. 4. Bab keempat dari penelitian ini berisikan tentang upaya perseroan terbatas melekukan remedial terhadap pihak investor dalam sistem pertanggungjawaban perseroan terbatas terkait tindakan ultra vires. 5. Bab kelima berisikan kesimpulan dan saran terkait dengan penelitian yang dibahas dalam skripsi.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN BERTINDAK PERSEROAN TERBATAS DAN ULTRA VIRES
A.
Pengertian Perseroan Terbatas dan Unsur-unsurnya Menurut Achmad Ichsan dalam pengertian perseroan “naamloos” merupakan suatu sebutan pada zaman Hindia Belanda untuk perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 36 s/d 56. Sebutan “naamloos” dalam arti tanpa nama ini disebabkan karena N.V itu tidak mempunyai nama seperti firma dan pada umumnya juga tidak menggunakan salah satu nama dari anggota perseroannya identifikasinya terletak dalam obyek perusahaan yang menjadi tujuan usahanya seperti Perusahaan Dagang Beras.1 Hal ini dapat ditelusuri dari banyaknya definisi yang diberikan oleh para sarjana yakni M.H. Tirta Amidjaja mengemukakan bahwa perseroan terbatas itu ialah perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal yang tertentu, yang terbagi atas saham-saham dan tiap-tiap persero pemegang saham turut serta didalamnya sebanyak satu saham atau lebih dengan tidak bertanggungjawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu.2 K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas pinjaman-
1
Achmad Ichsan, 1983, Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Pradnya Paramitha, Jakarta, h. 134. 2
M.H. Tirta Amidjaja, 1956, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta, h. 108.
23
24
pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.3 Pandangan-pandangan di atas secara tidak langsung menunjukkan perjalanan sejarah dari istilah atau nama yang dipergunakan secara khusus dan resmi untuk menggambarkan perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pada intinya istilah Perseroan Terbatas tidaklah merupakan terjemahan dari istilah Naamloze Vennootschap, namun demikian istilah Perseroan Terbatas disamping merupakan istilah yang dimaknai dari perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut lebih relevan dan dapat secara lebih tepat mendeskripsikan bentuk dan sifat perseroan yang diatur dalam pasal-pasal KUHD itu. Selain itu Prof. Soekardono mengemukakan bahwa pada dasarnya istilah tersebut lebih sesuai dengan sifat-sifat bentuk perusahaan yang dijalankan.4 Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah “perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan pada saat itu.5
3
K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Pembangunan,Jakarta, h. 132. 4
R. Soekardono, 1983, Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), CV. Rajawali, Jakarta,h. 127. 5
H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, h. 89.
25
Sehubungan dengan penjelasan di atas maka makna dari istilah Perseroan Terbatas menjadi semakin jelas dan pada akhirnya istilah tersebut dipergunakan sebagai istilah resmi dalam berbagai keperluan baik yang menyangkut dokumen notaris maupun dokumen-dokumen negara seperti Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI). Kendati pun pengaturan mengenai Perseroan Terbatas yang dituangkan dalam KUHD mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 56 secara berturut-turut sudah digantikan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 dan Undangundang No. 47 Tahun 2007, penggunaan istilah Perseroan Terbatas masih tetap dipertahankan. Disamping menggunakan Perseroan Terbatas sebagai nama atau titel, kedua undang-undang tersebut secara khusus juga mencantumkan pengertian atau definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan Perseroan Terbatas. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 47 Tahun 2007 yang menentukan Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dari pengertian yang ditentukan secara yuridis di atas dapatlah diuraikan adanya 5 (lima) unsur yang pada pokoknya saling berkaitan sebagai berikut: 1. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, 2. Didirikan berdasarkan perjanjian,
26
3. Melakukan kegiatan usaha, 4. Modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, 5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal Pernyataan yang dituangkan dalam Undang-undang No. 47 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal mengandung dua hal yakni; pertama, memberikan ketegasan dan kedua, UUPT tidak menentukan secara rinci penegasan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum persekutuan modal. Mengenai hal yang pertama, hendaknya patut diberikan apresiasi yang tinggi karena dengan ditegaskannya bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, berarti UUPT telah memberikan suatu kepastian hukum mengenai status hukum Perseroan Terbatas. Di samping itu penegasan di atas merupakan langkah maju apabila dibandingkan terutama dengan KUHD yang tidak menentukan secara tegas tentang status Perseroan Terbatas sebagai badan hukum. Berkaitan dengan hal yang kedua, perihal badan hukum dan persekutuan modal merupakan pilar-pilar penting bagi Perseroan Terbatas yang menimbulkan keingintahuan untuk mendalaminya lebih jauh lagi, akan tetapi UUPT justru UUPT tidak mengatur secara terperinci mengenai pengertian istilah tersebut. Oleh karena itu pemahamannya dilakukan melalui penelusuran terhadap sumber bahan hukum sekunder.
27
Menurut R. Subekti badan hukum adalah suatu perkumpulan/organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.6 Selanjutnya ditambahkan perseroan terbatas atau NV sebagai badan hukum atau rechtspersoon berarti bahwa perseroan terbatas mempunyai suatu kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan para pesero atau pengurusnya.7 Perseroan Terbatas didirikan bedasarkan sebuah perjanjian sebagaimana telah dikutip pada halaman terdahulu pada pokoknya merupakan suatu akumulasi atau kumpulan dari berbagai perjanjian yang dibuat diantara berbagai pihak terutama dengan para pemegang saham, direksi, tenaga kerja, para suplier dan pelanggan. Jadi sebenarnya PT itu penuh dengan berbagai perjanjian. Diantara tahap-tahap pendirian (konstruksi), beroperasi (operasional) dan berakhirnya jangka waktu keberadaan Perseroan Terbatas (terminasi), maka keberadaan berbagai perjanjian itu memang sangat dominan ketika PT berada pada tahap operasional. Akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa perjanjian tidak terdapat pada tahap-tahap yang lainnya. Keberadaan perjanjian dalam Perseroan Terbatas sebenarnya sudah dimulai dan berperan ketika PT itu dirancang pendiriannya oleh dua atau lebih calon pendiri. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan melalui perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam anggaran dasar PT yang bersangkutan.
6
R. Subekti, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 14.
7
R. Subekti, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, h. 171.
28
Pasal 7 ayat (1) UUPT menentukan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan penafsiran secara gramatikal, ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa sebelum datang menghadap dihadapan notaris, para pendiri sebenarnya sudah mempersiapkan kesepakatan-kesepakan yang dihasilkan dari perjanjian pendahuluan diantara mereka sebelumnya. Adanya perjanjian pendahuluan yang sifatnya konsensual atau suatu perjanjian yang didasarkan pada kata sepakat itu dan juga akta notaris yang juga berisi anggran dasar sebagai tonggak awal berdirinya suatu Perseroan Terbatas tersebut keduanya semakin memperlihatkan dengan pasti bahwa Peseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Oleh karena itu dapat dikemukakan pendirian dan eksistensinya PT sebenarnya merupakan implementasi atau perwujudan dari perjanjian terutama yang terjadi diantara sesama pendiri. Berkaitan dengan unsur di atas Pasal 2 UUPT menentukan Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pertama yang patut dikemukakan pasal ini pada pokoknya merupakan suatu konsekuensi logis dari pemikiran teoritis bahwa pendirian Perseroan Terbatas didasarkan pada perjanjian dan sebagai hasil implementasi dari perjanjian. Oleh karena itu segala sesuatunya dan dalam hal ini menyangkut maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan tidak boleh bertentangan dengan ketiga batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu.
29
Perlu pula dikemukakan bahwa untuk melakukan kegiatan usaha merupakan kewajiban bagi Perseroan Terbatas. Kewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang dibebankan oleh Pasal 2 UUPT disamping karena dirumuskan dengan kata “harus” sebagai pernyataan perintah yang terdapat dalam pasal itu sendiri, keharusan melaksanakannya juga dikaitkan kewajiban mengisi format isian untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan (Pasal 9 ayat (1) Apabila tidak melaksanakan pasal ini maka berlakulah Pasal 10 ayat (4) dimana sebagai sanksinya Menteri langsung memberitahukan penolakan pengesahan. Secara ringkas dapatlah diuraikan mengingat Perseroan Terbatas juga merupakan wahana bisnis, maka melaksanakan kegiatan usaha merupakan aktivitas yang pokok dan mutlak sifatnya. Berkaitan uraian mengenai dengan modal perseroan di atas perlu dijelaskan pengertian tersebut murni merupakan pengertian yuridis tidak ada hubungannya dengan pengertian ekonomi dan perihal modal perseroan itu praktis selalu dicantumkan dalam anggaran dasar.8 Pendapat ini semakin relevan karena dalam UUPT memang telah ditentukan kewajiban untuk mencantum jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor (Pasal 9 ayat 1 huruf d). Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, maka Menteri dapat melakukan penolakan (Pasal 10 ayat 4). Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) dapat diketahui modal perseroan terdiri atas seluruh nilai
8
Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 180.
30
nominal saham. Ketentuan ini sejalan dengan pendapat bahwa modal Perseroan Terbatas itu selalu dibagi ke dalam saham-saham.9 Modal perseroan yang kemudian dibagi ke dalam saham-saham tersebut adalah modal dasar sesuai dengan klasifikasi saham menurut UUPT. Sehubungan hal diatas dengan klasifikasi saham, Pasal 48 ayat (1) UUPT menentukan, saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) UUPT menentukan, anggaran dasar menetapkan 1(satu) klasifikasi saham atau lebih. Pengertian yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan UUPT tersebut menunjukkan seluruh saham yang dikeluarkan Perseroan merupakan saham atas nama, tidak ada jenis saham lainya yang boleh dikeluarkan. Jadi setiap saham yang dikeluarkan Perseroan itu menurut UUPT sebenarnya sama jenisnya dan hanya berbeda klasifikasinya seperti yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain: a. Selanjutnya berdasarkan Pasal 48 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (4), Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama saham dengan hak suara atau tanpa hak suara b. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris c. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain d. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif
9
Nindyo Pramono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 133.
31
e. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi. Dengan satu klasifikasi atau lebih, dimana menurut Penjelasan Pasal 53 ayat (4), klasifikasi saham tidak berdiri sendiri tetapi dapat merupakan gabungan dua atau lebih klasifikasi. Uraian tersebut di atas memperlihatkan kedudukan modal dalam perseroan dan sehubungan dengan pentingnya peranan modal disetor dalam menunjang operasional Perseroan, maka permasalahan mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan perlu pula diuraikan secara garis besarnya. Mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan, Pasal 34 UUPT menentukan: a. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainnya, b. Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan, c. Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut. Pasal 34 tersebut sebenarnya mengandung makna yang sangat luas dan memberikan kesempatan yang luas pula kepada semua pihak yang berkeinginan menanamkan modal melalui pemilikan saham Perseroan. Dalam hal ini Pasal 34 itu memperbolehkan penyetoran atas modal saham perseroan tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk lainnya yang penilaiannya berdasarkan harga wajar sesuai harga pasar atau penilaian ahli yang independen.
32
Uraian di atas mengenai unsur modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham tersebut pada satu sisi memberikan makna bahwa dibaginya modal dasar kedalam saham sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada khalayak khususnya investor yang berminat menanamkan modal dengan jalan memiliki saham baik melalui partisipasi langsung ketika Perseroan Terbatas didirikan maupun bursa efek. Pada sisi lainnya, pembagian kedalam saham juga dimaksudkan seperti diungkapkan oleh Mas Soebagio pada pokoknya adalah untuk mengetahui dan dapat mengukur besarnya tanggungjawab dalam arti hak dan kewajiban setiap pemegang saham dalam hubungannya dengan Perseroan Terbatas. Berdasarkan uraian tersebut diatas jelaslah bahwa Perseroan Terbatas merupakan perjanjian-perjanjian dan berarti tunduk pada Asas Kebebasan berkontrak.10 Di dalam asas tersebut yang dijelaskan di atas terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa yang mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Asas kebebasan berkontrak perlu didampingi oleh asas yang lainnya yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan kepantasan menurut hukum. Asas-asas ini dapat dijumpai di dalam undang-undang, kepatutan dan ketertiban umum atau public policy dalam konsep Anglo-Amerikan.11 Pendapat di atas pada pokoknya mengemukakan setiap perjanjian haruslah mengandung kepantasan dan kepantasan itu sendiri dapat dijumpai dalam undang-
10
Mas Soebagio, 1976, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang, Alumni, Bandung, h. 135. 11
Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak dalam : Yuridika Vol 18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 219.
33
undang baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu ditentukanlah bahwa Perseroan Terbatas harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undangundang. Disamping itu pendapatan tersebut juga menyiratkan tentang pentingnya kedudukan Undang-undang dalam hubungannya dengan perjanjian. Sehubungan dengan sub bahasan ini sebenarnya terdapat dua istilah yaitu kewenangan dan kompetensi. Secara garis besar kedua istilah di atas memiliki pengertian yang hampir sama, akan tetapi istilah kewenangan itu sendiri pada pokoknya merupakan suatu istilah yang biasanya dipergunakan dalam Hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat disimak antara lain dari sebuah artikel yang disusun oleh Yosran yakni Pengertian kewenangan adalah Sumber-sumber kewenangan terdiri atas :12 a. ATRIBUSI, yaitu Pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk Undang-Undang. Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang. b. DELEGASI, yaitu Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan dari badan /lembaga pejabat tata usaha negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan calon wakil kepala daerah. c. MANDAT, yaitu Pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : tanggungjawab membuat keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya. Istilah kewenangan dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari dalam hukum administrasi negara, tampak pula istilah itu tidak ada relevansinya dengan topik
12
Yosran,2008,Teknik Pembuatan Keputusan Tata Usaha, http://ptunpdg.blogspot.com, h,1,15/09/2013,08:45 WIB.
34
bahasan tesis ini. Sementara itu istilah kompetensi dapat dijumpai penerapannya dalam Hukum Acara Perdata meliputi absolute kompetentie dan relatief kompetentie.13 Absolute kompetentie atau kekuasaan mutlak menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili sedangkan relatief kompetentie atau kekuasaan relatif menyangkut batas wilayah dari satu macam pengadilan.14 Di samping itu istilah kompetensi atau competency dipergunakan baik dalam hukum pembuktian yang menunjukkan kesempurnaan alat bukti dan dalam hukum kontrak. Dalam bidang hukum ini, kompetensi pada pokoknya mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian dibuat oleh para pihak yang tidak memiliki cacat mental atau tidak memiliki kapasitas. B.
Eksistensi Organ-Organ Perseroan Terbatas. Mengingat Perseroan Terbatas itu merupakan suatu badan yang diwajibkan melaksanakan kegiatan usaha, dimana sejak mulai tahap perancangan, pendirian, operasional, bahkan sampai dengan tahap Perseroan Terbatas itu berakhir jangka waktu pendiriannya atau mengalami kepailitan atau likuidasi, maka sudah tentu banyak sekali orang atau pun pihak yang turut berpartisipasi baik langsung maupun tidak langsung dalam mewujudkan tahap-tahap tersebut. Untuk mengetahui orang atau pihak mana yang merupakan organ Perseroan Terbatas sangat perlu dilakukan 13
R. Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung,Bandung, h. 39. 14
h. 19.
Moh. Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta,
35
identifikasi terlebih dahulu. Identifikasi pertama-tama dilakukan terhadap istilah corporate constituent dilanjutkan dengan stakeholder dengan menggunakan kriteria organ sebagai tolok ukur. Organ menduduki peranan yang sangat penting dan berkaitan dengan kedudukan organ dalam perseroan tersebut. Pentingnya kedudukan itu dapat diuarikan pertama dari pendapat mengenai kedudukan mandiri Perseroan Terbatas dan yang dimaksudkan itu adalah Bahwa Perseroan Terbatas dalam hukum dipandang berdiri sendiri otonom terlepas dari orang perorangan yang berada dalam Perseroan Terbatas tersebut. Disatu pihak Perseroan Terbatas merupakan wadah yang menghimpun orangorang yang mengadakan kerjasama dalam Perseroan Terbatas, namun di lain pihak segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerja sama dalam Perseroan Terbatas itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Karena itu konsekuensinya, keuntungan yang diperoleh, dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya bila terjadi suatu utang atau kerugian dianggap sebagai beban Perseroan Terbatas sendiri yang dibayarkan dari harta kekayaan Perseroan Terbatas. semata-mata. Sementara perorangan yang ada dianggap lepas eksistensinya dari Perseroan Terbatas itu.15 Eksistensi organ-organ dalam suatu badan hukum merupakan sesuatu yang sangat signifikan. Tanpa adanya organ-organ, suatu badan hukum itu tidak akan
15
Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung,h.9.
36
fungsional dan operasional. Organ-organ itulah yang membuat badan hukum yang bersangkutan menjadi dinamis sehingga dengan demikian dapat dikatakan organ tersebut terutama Direksi dalam struktur korporasi merupakan wakil yang melaksanakan kehendak yang ada dalam badan hukum. Struktur korporasi pada pokoknya menekankan pada aspek struktur yang merupakan satuan kerja yang secara artifisial termuat atau tersusun dalam bagianbagian yang dirancang untuk bekerjasama dalam korporasi itu sendiri. Satuan kerja atau bagian-bagian yang bekerjasama dalam perseroan adalah organ-organ. Dengan demikian struktur korporasi sebenarnya terdiri dari organ-organ, akan tetapi dalam kaitan ini persoalannya, organ-organ apa saja yang dapat dimasukan ke dalam struktur korporasi. Sistem common law dan civil law ternyata tidak secara seragam mengatur mengenai struktur tersebut. Cornelius dan Natalie Mulia yang mengutip Piarlie Koh dan Victor Yeo pada intinya mengemukakan hukum korporasi menurut sistem common law seperti yang dianut oleh Singapura menganut single-tier management structure dimana manajemen perseroan di bawah kontrol penuh dari Direksi. Dalam hal ini ditegaskan pula, Sistem common law tersebut tidak mengenal lembaga Dewan Komisaris.16 C.
Kompetensi Perseroan Terbatas 1. Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS) Pasal 1 angka 4 UUPT menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan
16
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, 2009, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika,Jakarta, h. 1.
37
dalam Undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. Pasal tersebut menentukan pengertian RUPS itu sendiri dan apabila dibandingkan ternyata rumusan pengertiannya berbeda dengan yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 3 UU. No. 1 Tahun 1995 atau UUPT lama yang menentukan bahwa Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Dari rumusan pada UUPT lama tampak dengan jelas undang-undang menempatkan RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan. Sedangkan dalam rumusan UUPT yang baru hal tersebut tidak kelihatan. UUPT tampak lebih menekankan perbedaan wewenang yang dimiliki RUPS dengan wewenang organ-organ lainnya. Penekanan di atas tidaklah mengurangi kedudukan RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Kedudukan ini menjadi nyata karena UUPT juga menentukan pada pokoknya kekuasaan RUPS hanya dapat dibatasi oleh undang-undang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Penelusuran terhadap UUPT pun menunjukkan kompetensi RUPS memiliki ruang lingkup yang luas. Dari hasil identifikasi terdapat sebanyak 34 pasal UUPT yang menentukan mengenai kompetensi RUPS.
38
2. Direksi Seperti halnya RUPS, maka pengertian mengenai Direksi juga dituangkan dalam UUPT. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang menentukan Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dari pengertian di atas tercermin beberapa hal penting antara lain penegasan yang mendasar seperti halnya terhadap RUPS maka Direksi pun juga dinyatakan merupakan organ perseroan, Direksi memiliki tanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan, dan memiliki kewenangan mewakili perseroan. Ketentuan bahwa direksi sebagai agen dari perseroan ini sejalan dengan yang berlaku dalam sistem hukum common law. Selain direksi, karyawan (officer) atau orang lain juga dapat mewakili perseroan. Sehubungan dengan itu, undang-undang membatasi dengan ketentuan bahwa karyawan dapat mewakili perseroan dengan dibuatkannya kuasa tertulis dari direksi kepada salah satu karyawan perseroan atau lebih atau orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hal ini, direksi bertindak selaku pimpinan dari karyawan atau orang lain yang diberika kuasa.17 Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur direksi sebagai agen dari perseroan, undang-undang No. 40 Tahun 2007 tidak mengatur lebih lanjut. Secara umum, kewenangan direksi untuk memberikan kuasa atau mewakilkan
17
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.121.
39
tugasnya tersebut tersebut diatur dalam anggaran dasar perseroan, seperti pemberian kuasa untuk tugas-tugas mengenai pengangkatan dan pemberhentian pegawai, pemberian penghargaan, atau pengenaan sanksi. Direksi tidak diperbolehkan melakukan hal-hal dengan atas nama perseroan atau menggunakan perseroan yang bertujuan bukan untuk kepentingan perseroan atau bertentangan dengan tujuan perseroan. Direksi tidak boleh mengedepankan kepentingan pribadi atau pihak luar perseroan. Direksi tidak dapat melakukan tindakan yang sekalipun untuk kepentingan perseroan sebagaimana tentukan dalam anggaran dasarnya. Misalnya, suatu perseroan yang di dalam anggaran dasarnya ditentukan bertujuan untuk melakukan kegiatan jasa pengerah tenaga kerja, tetapi direksi melakukan kegiatan import. Sekalipun kegiatan tersebut yang dilakukan direksi sangat menguntungkan perseroan, tetapi direksi dianggap melanggar ketentuan perundang-undangan.18 Direksi yang pada dasarnya merupakan badan eksekutif atau manajer perusahaan atau pelaksana kegiatan usaha agar perseroan dapat mewujudkan maksud dan tujuannya memiliki kewajiban dan tanggungjawab dengan ruang lingkup yang luas, dan dalam melaksanakan kewajibannya itu Direksi menjunjung prinsip fiduciaries duties dimana pada pokoknya Direksi memegang sesuatu kepercayaan kepengurusan untuk kepentingan perseroan.19
18
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.128. 19
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 33.
40
Sebagai manajer perusahaan, Direksi memiliki dua kewajiban pokok terhadap perseroan yaitu Duty of Care dan Duty of Loyalty. Kewajiban yang pertama menekankan standar minimal perhatian dan kebijaksanaan. Duty of care menentukan standar-standar penilaian terhadap kememadaian dari keputusan-keputusan korporasi. Kewajiban yang kedua menekankan keberpihakan terhadap perseroan bilamana Direksi sebagai pemegang kepercayaan perseroan melakukan suatu transaksi yang bertentangan dengan kepentingan perseroan. Intinya, Direksi dalam melaksanakan fungsi kepengurusannya haruslah selalu mengutamakan kepentingan perseroan dari pada kepentingan-kepentingan yang lainnya.20 Direksi perseroan merupakan pihak atau organ yang dapat dipercaya dan layak untuk diberikan kewenangan mewakili. Dari uraian tersebut timbul persoalan berkaitan dengan ruang lingkup kewenangan yang dapat diberikan kepada Direksi perseroan, dan untuk ini Pasal 98 ayat (3) UUPT menentukan bahwa Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang tersebut, anggaran dasar, atau keputusan RUPS. Penjelasan di atas mengingat mewakili pada intinya juga merupakan representasi, maka salah satu dari ruang lingkup kewenangan mewakili yang dinyatakan tidak terbatas itu adalah kewenangan membuat atau mengikatkan
20
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 34.
41
perseroan dalam kontrak (to enter into a contract), dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan dan segala akibat hukum yang ditimbulkannya. 3. Dewan Komisaris Pengertian Dewan Komisaris dapat diketahui dari Pasal 1 angka 6 UUPT yang menentukan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada Direksi. Berbeda halnya dengan negara-negara dengan sistem common law yang Hukum Perseroannya menganut single-tier management structure dimana eksistensi Dewan Komisaris sebagai organ bersifat relatif bahkan tidak ada, maka Hukum Perseroan Indonesia seperti tertuang dalam UUPT, eksistensi Dewan Komisaris dalam Perseroan baik dari aspek organisasional maupun fungsional merupakan suatu kewajiban.21 Adanya Dewan Komisaris sebagai salah satu organ dalam struktur organisasi Perseroan tersebut, maka dapatlah dikemukakan bahwa UUPT pada dasarnya menuruti pola organisasi yang terdapat dalam suatu tatanan yang disebut dengan the two-tier management system yang diterapkan dalam Hukum Perseroan pada negaranegara yang menganut sistem civil law pada umumnya. Bila dikaji dari aspek fungsionalnya dapat dikemukakan kedua sistem tersebut sebenarnya sama-sama memandang penting dewan tersebut, akan tetapi hanya the two-tier management system yang menempatkan sebagai salah satu organ perseroan
21
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 78.
42
dan sehubungan dengan adanya Dewan Komisaris perlu dikaji lebih jauh lagi mengenai apa maksud dan tujuan dari keberadaan organ tersebut dalam Perseroan. Dalam hal ini baik The single-tier management structure maupun the two-tier management system tidak menjelaskan persoalan itu. A.Partomuan Pohan pada pokoknya mengemukakan persoalan tersebut dapat dijelaskan menurut paham “het Contractuele Standpunt” yang dianut antara lain oleh Molengraaf, Starbusmaan, Van Der Hayden yang berpendapat bahwa Perseroan Terbatas adalah persetujuan diantara para pendiri yang termasuk dalam ruang lingkup Buku III. BW dan Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk khusus dari Maatschap. Sedangkan RUPS adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan Terbatas, wewenang organ-organ lainnya dari perseroan dianggap bersumber dari RUPS. Pengurus dianggap sebagai yang mendapat mandat dari RUPS, sedang Dewan Komisaris dianggap melakukan pengawasan atas Direksi selaku mewakili atau atas nama pemegang saham.22 Pandangan di atas sebenarnya hanya mengandung relevansi ketika pengaturan mengenai Perseroan Terbatas masih bertumpu pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang memberi kedudukan yang sangat istimewa kepada pemegang saham. Sedangkan apabila bertumpu pada UUPT, maka pandanga tersebut sudah tidak relevan lagi, karena Penjelasan atas Pasal 108 ayat (2) sudah menegaskan, pengawasan oleh Dewan Komisaris dilakukan untuk kepentingan Perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Eksistensi Organ Dewan Komisaris dalam struktur organisasi Perseroan di Indonesia sebagai kewajiban dapat disimak dari Pasal 15 ayat (1) huruf “f” yang pada pokoknya menentukan, Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya nama jabatan
22
A.Partomuan Pohan, 1990, Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Komisaris, Direksi Dan Pemegang Saham, dalam : Beberapa Permasalahan Hukum Di Sekitar Penanaman Modal, Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, h. 30.
43
dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris, dan Pasal 108 sampai dengan Pasal 121 UUPT mengenai tugas-tugas Dewan Komisaris pada umumnya. Dengan adanya kewajiban berdasarkan undang-undang tersebut maka keberadaan organ itu semakin kuat sehingga harus dilaksanakan dalam setiap pendirian Perseroan. Fungsi Dewan Komisaris dapat disimak dari Pasal 1 angka 6 UUPT dimana ditentukan organ tersebut menjalan fungsi pengawasan baik umum maupun khusus dan fungsi memberi nasehat. Mengenai rincian terhadap fungsi pengawasan dan pemberian nasehat tersebut, UUPT tidak mengaturnya. Berbeda halnya dengan kompetensi Dewan Komisaris, dimana dalam hal ini UUPT mencantumkan pengaturan yang tegas seperti Pasal 117 ayat (1) yang menentukan, Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu, dan Pasal 118 ayat (1), bahwa berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
BAB III HAK PIHAK INVESTOR ATAS PERLINDUNGAN HUKUM AKIBAT TINDAKAN DIREKSI ULTRA VIRES
A.
Pengertian dan Perkembangan serta Pengaturan Ultra vires 1. Pengetian Ultra Vires Istilah ultra vires sebenarnya secara etimologis berasal dari Bahasa Latin. Secara harfiah Ultra berarti sesuatu yang sangat besar dan melampaui ukuran yang semestinya, dan vires berarti tindakan. Dengan demikian ultra vires dapat diartikan sebagai tindakan yang melampaui ukuran yang telah ditetapkan. Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa yang telah diuraikan tadi merupakan pengertian ultra vires pada umumnya. Ultra vires ternyata dikenal baik dalam Hukum Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara.1 Hukum Tata Negara kewenangan itu pada pokoknya menyangkut hubungan antara negara dengan pemerintahnya yang diatur konstitusi. Apabila melampaui konstitusi maka pemerintah federal, provinsi atau negara bagian dapat dinyatakan telah melakukan ultra vires. Sementara itu Hukum Administrasi Negara memiliki pandangan yang lebih beragam. Bidang hukum ini mengenal ultra vires dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, ultra vires terjadi bilaman
1
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.110.
44
45
pejabat tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan atau membuat keputusan dengan prosedur yang cacat.2 Pengertian ultra vires yang luas berlaku apabila terdapat penyalahgunaan wewenang. Dalam Hukum Perseroan baik yang berorientasi pada sistem common law maupun yang menganut sistem civil law, wewenang atau kompetensi juga dikenal dan diterapkan. Namun demikian menemukan uraian pengertian ultra vires dalam perangkat sistem civil law termasuk dalam UUPT sangatlah sulit bahkan tidak ditentukan sama sekali. Oleh karena itu uraian mengenai pengertian ultra vires lebih banyak bertumpu pada sumber-sumber yang mengacu pada sistem common law.3 Dari perspektif Hukum Perseroan pada pokoknya terdapat berbagai pengertian dan penjelasan yang diberikan bahwa ultra vires adalah sebagai berikut: Ultra vires menggambarkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu korporasi dimana tindakan-tindakan tersebut bersifat melampaui ruang lingkup kewenangan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasarnya atau dalam suatu ketentuan anggaran rumah tangganya.4 Munir Fuady yang mengutip Stephen H. Gifis mengemukakan terminologi “ultra vires” dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh anggaran dasarnya atau oleh peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut.5 Pandangan-pandangan di atas pada dasarnya mengandung makna, bahwa perseroan sebagai badan hukum memiliki kompetensi untuk bertindak. Berhubung 2
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/09/2013 8:45 WIB.
3
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia.h.127.. 4
5
Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/09/2013 9:00 WIB.
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.110.
46
karena perseroan tidak dapat melakukan tindakan sendiri maka dibutuhkan Direksi sebagai wakil perseroan yang mewujudkan tindakan-tindakan itu. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksinya haruslah memperoleh persetujuan atau termasuk dalam ruang lingkup tindakan-tindakan yang diatur dalam ketentuanketentuan mengenai tujuan perseroan. Apabila tidak sesuai atau tidak tercantum dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka terjadilah ultra vires atau tindakan yang melampaui kompetensi. Berdasarkan penelusuran di atas, maka dapatlah dikemukakan, ultra vires pada intinya merupakan ajaran tentang penyelesaian akibat tindakan-tindakan yang melampaui kewenangan yang telah diberikan baik yang dilakukan oleh perseroan. Dasar pertimbangannya, perseroan dapat diberikan dan memiliki kewenangan atau kompetensi mengandung pengertian bahwa perseroan itu dapat pula melakukan tindakan yang melampaui kewenangan. Oleh karena itu subyek hukum tersebut dapat ditundukkan pada doktrin ultra vires, dan sesuai dengan topik bahasan, maka dalam tulisan ini uraian mengenai ultra vires secara khusus ditujukan pada tindakantindakan Direksi yang melampaui kewenangan perseroan. bertumpu pada pengertiannya, Doktrin ultra vires,6
pada pokoknya dapat
diterapkan secara luas dan dari keluasan ruang lingkup tersebut dapatlah diidentifikasi adanya tiga sifat tindakan ultra vires sebagai berikut:7
6
“ Doktrin ultra vires” adalah sebuah pemahaman dalam lingkup hukum perusahaan yang mulanya berkembang di negara ”common Law”. Ultra vires adalah tindakan di luar batas kewenangan yang tercantum dalam anggaran dasar perseroan bekenaan dengan maksud dan tujuan perseroan.
47
a. Tindakan ultra vires yang bersifat melampaui atau eksesif Tindakan ultra vires yang bersifat eksesif mengandung pengertian bahwa tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksi merupakan aktivitas yang melampaui kewenangan atau kompetensi yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan. Dalam hal ini tindakan Direksi melebihi batas-batas kompetensi yang diberikan. b. Tindakan ultra vires yang bersifat tidak beraturan atau iregularitas Tindakan ultra vires yang bersifat iregularitas lebih menunjukkan pelaksanaan kegiatan perseroan yang tidak teratur. Dalam hal ini perseroan pada dasarnya memiliki kompetensi untuk melaksanakan berbagai macam kegiatan, akan tetapi perseroan melaksanakannya secara tidak beraturan atau tidak konsisten dan cendrung spekulatif. c. Tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik Kedua sifat tindakan ultra vires seperti yang telah diuraikan di atas menggunakan anggaran dasar sebagai acuan, apakah melampaui atau tidak konsisten dengan anggaran dasar tersebut. Sedangkan untuk tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik, di samping anggaran dasar juga menggunakan peraturan hukum dan ketertiban umum sebagai acuan. 2. Perkembangan Doktrin Ultra Vires Perkembangan doktrin mengenai ultra vires berdasarkan perspektif hukum pada umumnya terdapat tiga aspek pokok yang perlu mendapatkan perhatian yakni pertama, sejak kapan ultra vires dikenal dalam perseroan, kedua, bagaimana perkembangannya, dan ketiga bagaimana pengaruhnya. Aspek pertama yang disebutkan di atas sebenarnya sangat sulit diuraikan karena tidak dijumpai adanya sumber bahan hukum yang menyebutkan secara pasti sejak kapan Hukum Perseroan mengenal Doktrin ultra vires. Namun demikian tidaklah berarti aspek tersebut tidak dapat ditelusuri sama sekali.
7
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.114-115.
48
Sejarah doktrin ultra vires terdapat pandangan pada pokoknya yaitu pada awal diakuinya suatu badan hukum sebagai badan dengan hak , kewajiban dan tanggungjawab yang terpisah serta memiliki kekayaan yang terpisah pula dengan pribadi dilandasi oleh berbagai dasar dan filosofi hukum. Akan tetapi, eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas diakui dengan sangat was-was oleh hukum salah satu cara menjaga agar perseroan tidak menyimpang dari misinya semula, sehingga selalu dapat diawasi adalah dengan membatasi dan mengawasi secara ketat kewenangan-kewenangannya dalam melaksanakan kegiatan suatu perseroan tidak diperkenankan ke luar dari kewenangan yang sudah ditetapkan dari latar belakang filosofi seperti inilah kemudian muncul dan berkembang doktrin hukum yang disebut dengan ultra vires itu.8 Pandangan di atas mengandung makna bahwa pemberian kewenangan atau kompetensi terhadap perseroan sebagai badan hukum tidaklah bersifat tunggal dalam pengertian yang diberikan itu tidak hanya kewenangan semata-mata, melainkan pula diikuti dengan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan itu sendiri. Sistem hukum dalam hal ini common law dalam upayanya mengatur akibatakibat hukum ultra vires tersebut ternyata menunjukkan sifat yang dinamis. Kedinamisan ini pada akhirnya memperlihatkan perkembangan yang signifikan mengenai cara pandang hukum dalam menyelesaikan akibat-akibat tindakan ultra vires. 8
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 114-115.
49
Doktrin ultra vires yang mengalami perkembangan atau yang disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires pada pokoknya menganggap batal demi hukum terhadap tindakan perseroan yang ultra vires.9 Ada pun alasannya adalah karena perseroan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tidakan tersebut baik menurut anggaran dasar maupun menurut hukum yang berlaku. Mengingat konsekuensinya adalah batal demi hukum, maka tindakan ultra vires itu sama sekali tidak dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Dalam kondisi seperti itu, maka Direksilah yang tetap dibebani tanggungjawab atas kerugian-kerugian yang timbul. Sejalan dengan perubahan zaman, perkembangan pemahaman dan kebutuhan akan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait serta berkepentingan dengan tindakan ultra vires, maka apa yang disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires itu telah banyak mengalami modifikasi. Apabila dikaji kembali Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires itu memang tampak sangat kaku dimana dengan dinyatakannya suatu tindakan melampaui, tidak beraturan dan bertentangan dengan anggaran dasar serta hukum yang berlaku, maka dengan segera pula tindakan itu dapat dinyatakan sebagai ultra vires, dan sama sekali tidak memberikan kesempatan baik kepada pemegang saham maupun terhadap Direksi untuk merevisi dan membela diri. Dalam hal ini dirasakan tidak ada keadilan bagi Direksi yang merupakan wakil perseroan itu. Adapun modifikasi atau
9
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.125.
50
perkembangan Doktrin Ultra Vires yang dimaksud di atas dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut : 10 a. Hak untuk Meratifikasi terdapatnya kasus yang memungkinkan diberikannya hak untuk meratifikasi oleh pemegang saham terhadap tindakan yang tergolong ultra vires tersebut. Meskipun secara tradisional, hak untuk meratifikasi tersebut tidak dibenarkan. b. Transaksi yang telah dieksekusi terhadap transaksi yang telah dieksekusi dengan sempurna oleh kedua belah pihak tidak dapat lagi dibatalkan dengan alasan ultra vires. c. Peranan Jaksa di Negara-negara tertentu, Jaksa dapat memerintahkan perseroan untuk menghentikan tindakan yang bersifat ultra vires atau bahkan meminta agar perseroan dibubarkan. d. Perbuatan melawan Hukum Perdata atau Pidana terhadap perbuatan melawan hukum perdata atau pidana tidak dapat diajukan keberatan dengan jalan ultra vires. e. Tanggungjawabp ribadi tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari Direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires tersebut. Dari uraian yang merupakan pengembangan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires menuju Doktrin Ultra Vires yang Modern itu terdapat suatu poin inti yang perlu diberikan penjelasan tambahan. Poin yang dimaksudkan adalah Hak untuk Meratifikasi. Meratifikasi sebenarnya mengandung pengertian memberikan konfirmasi terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya dalam hal ini oleh pihak pemberi konfirmasi sendiri. Dengan demikian sehubungan dengan Doktrin ultra vires, maka meratifikasi berarti memberikan pengakuan terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya oleh Direksi.
10
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.126.
51
Meratifikasi pada pokoknya bertujuan menyatakan bahwa tindakan Direksi tersebut sah, dan dengan adanya ratifikasi ini tanggungjawab atas tindakan itu dipikul oleh perseroan. Ratifikasi tersebut diberikan oleh para pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam RUPS seperti itu Direksi dapat dihadirkan dan Direksi dapat memanfaatkan untuk memberikan penjelasanpenjelasan yang perlu mengenai tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Pada proses tersebut tampak perkembangan pemahaman mengenai Doktrin ultra vires tersebut telah memberikan suatu keadilan kepada Direksi untuk hadir dan memberi penjelasan. Dibandingkan dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires yang dengan segera dapat menyatakan bahwa tindakan Direksi adalah ultra vires apabila melampaui kewenangan yang diberikan, maka adanya hak meratifikasi menurut Doktrin Ultra Vires Modern. Sebenarnya pada satu sisi merupakan suatu langkah maju yang progresif dan menguntungkan Direksi, akan tetapi pada sisi lain menimbulkan persoalan yang sulit dijelaskan. Adapun persoalan yang dimaksud pada pokoknya menyangkut tidak ditentukannya kriteria mengenai tindakan Direksi yang bagaimana saja yang dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Apakah tindakan Direksi yang dalam kenyataannya bertentangan dengan anggaran dasar perseroan juga dapat diratifikasi. Solusi atas persoalan tersebut belum dijumpai dalam Doktrin Ultra Vires Modern. Di samping memperkenalkan hak meratifikasi, Doktrin Ultra Vires Modern juga
52
membawa perkembangan yang cukup monumental yaitu perlindungan pihak ketiga (pihak luar perseroan) yang bertransaksi dengan perseroan.11 B.
Prinsip Dasar Perlindungan Hukum 1. Pengaturan Ultra Vires Dalam Hukum Perseroan Dan Dasar Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Investor. Sebelum menguraikan mengenai dasar perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang dirugikan akibat perjanjian yang dibuat karena tindakan ultra vires, maka terlebih dahulu diuraikan dasar penerimaan doktrin tersebut dalam sistem hukum Indonesia. Penerimaan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek pengaturannya dalam hukum perseroan. Sebagaimana telah dikemukakan, Doktrin Ultra Vires itu berasal dari sistem Common Law yang pada awalnya berkembang di Inggris. Namun demikian secara bertahap doktrin tersebut pada akhirnya diterima dan diterapkan di berbagai negara seperti Prancis dan negara-negara Eropa lainnya, Amerika Serikat, Australia, dan lain-lain. Bagaimana halnya dengan Indonesia yang sampai saat ini sudah memperbarui sistem hukum perseroannya secara berturut-turut dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Untuk mengetahui apakah di Indonesia juga berlaku atau diterapkan Doktrin Ultra Vires yang berasal dari sistem common law itu, maka terlebih dahulu haruslah
11
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.127.
53
diketahui apakah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur dalam pengertian menerima doktrin tersebut. Berdasarkan
penelusuran
terhadap
Undang-undang
Nomor
40
Tahun
2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur secara tegas mengenai ultra vires terutama dari segi konsep atau peristilahannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak menerima Doktrin Ultra Vires, semata-mata karena tidak dijumpai adanya aturan atau norma dalam sistem hukumnya yang menentukannya secara tegas. Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam kaitan tersebut dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang tertuang dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan. Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Doktrin- Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, yang masih mendasarkan pendapatnya pada Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 mengemukakan bahwa secara prinsip, Doktrin Ultra Vires berlaku di Indonesia dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Bahwa prinsip ultra vires ini sudah merupakan doktrin yang berlaku universal. Bahkan di negeri Belanda sendiri, yang merupakan negara dari mana hukum Indonesia berasal, juga memberlakukan Doktrin Ultra Vires ini. b. Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 mengisyaratkan berlakunya Doktrin Ultra Vires, yang antara lain menempatkan maksud dan tujuan perseroan pada posisi yang penting. Konsekuensi logisnya adalah bahwa pelanggaran terhadap maksud dan tujuan tersebut dapat menjadi masalah yang serius.12 12
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.147.
54
Kendati pun masih mendasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 yang sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, pendapat tersebut pada pokoknya merupakan pendapat yang relevan dan dapat diterima. Hal ini disebabkan karena kedua undang-undang itu sama-sama memandang bahwa mengenai maksud dan tujuan perseroan merupakan aspek yang sangat penting sebagai penentu arah bagi jenis dan jumlah kegiatan perseroan yang harus ditentukan secara tegas dalam undang-undang dan dituangkan dalam anggaran dasar secara tegas pula. Secara implisit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Ultra Vires. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Sehubungan dengan ini dalam UUPT terdapat sekitar 3 (tiga) kelompok ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagai berikut: 1. Pasal 2 tentang keharusan memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, 2. Pasal 15 ayat (1) yang mewajibkan untuk menyatakan secara tegas maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasarnya, 3. Pasal 9, 10, 11, 19 sampai dengan Pasal 28 yang mencerminkan ketatnya prosedur yang harus ditempuh apabila melakukan perubahan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Dari pengertian dan pandangan di atas dapat diketahui bahwa fungsi-fungsi anggaran dasar, disamping merupakan suatu wadah yang mengakomodasikan berbagai ketentuan mendasar mengenai perseroan seperti nama, tempat kedudukan, jangka waktu berdiri dan maksud serta tujuan pendiri, dalam hubungan ini anggaran dasar berfungsi pula sebagai pedoman umum untuk mengukur terjadi atau tidaknya
55
tindakan ultra vires. Oleh karena itu adanya ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sudah cukup membuktikan bahwa UUPT menerima Doktrin Ultra Vires, dan dengan demikian terdapat pula dasar hukum untuk menerapkan doktrin tersebut dalam kasus-kasus yang relevan. Dicantumkannya tujuan perseroan di dalam anggaran dasar terutama adalah untuk melindungi investor atau para pemegang saham13. Sehubungan dengan adanya tindakan ultra vires yang berdampak merugikan pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan, maka sudah semestinya terdapat pula perlindungan hukum terhadap pihak ketiga. Kendati pun perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang bersifat ultra vires itu batal dan tidak dapat diratifikasi, hal ini tidaklah merupakan dasar untuk mengabaikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga yang pada hakekatnya juga telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi kelangsungan usaha perseroan. Dalam hubungan ini terdapat beberapa dasar yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga. Dasar-dasar tersebut adalah sebagai berikut: a. Asas Itikad Baik Asas Itikad baik pada dasarnya juga mengandung unsur keadilan yaitu keadilan perbaikan. Konsepsi keadilan ini dimaksudkan untuk mengembalikan persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan. Keadilan ini merupakan pula suatu titik tengah di antara keuntungan dan
13
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perseroan, Citra Aditya Bakri, Bandung, h.40.
56
kerugian. Konsepsi inilah yang kemudian menjadi pengertian keadilan sebagai perbaikan terhadap kesalahan dengan memberikan ganti rugi kepada korban kesalahan atau hukuman kepada pelakunya.14 Bertumpu pada uraian di atas dapat dikemukakan Asas Itikad Baik relevan sekali dengan perlindungan terhadap pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires. Dalam hubungan ini, pihak ketiga dapat dipandang sebagai korban yang harus diberikan perlindungan hukum. Keberadaan asas tersebut menjadi semakin relevan dengan adanya ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kalimat terakhir yang menentukan, persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik, dan Pasal 1341 paragraf kedua, bahwa hak-hak yang diperolehnya dengan itikad baik oleh orang-orang pihak ketiga atas barang-barang yang menjadi pokok perbuatan yang batal itu, diperlindungi. Jadi asas ini memang dapat melindungi pihak ketiga. b. Asas Pacta Sun Servanda Sebagaimana pula telah diuraikan, asas Pacta Sun Servanda mengandung pengertian, perjanjian harus ditaati para pihak yang melakukan perjanjian. Keharusan tersebut diperkuat oleh Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum tercermin, maka perjanjian itu berlaku seperti undang-undang atau mengikat para pihak sehingga karena itu harus 14
The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Penerbit Super, Yogyakarta, 1979, h. 23.
57
ditaati. Asas dan ketentuan tersebut harus dikaitkan dengan pandangan bahwa Pasal 1338 dan peraturan-peraturan dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah pada umumnya hanya merupakan “hukum pelengkap, bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.15 Sehubungan uraian dia atas ditambahkan dengan kewajiban melaksanakan berdasarkan itikad baik, kendati pun suatu perjanjian dinyatakan tidak sesuai dengan undang-undang dan ultra vires, maka tidaklah dengan serta merta dapat mengabaikan asas Pacta Sun Servanda. Pelaksanaan asas ini harus tetap dikaitkan dengan asas Itikad Baik, sehingga pihak ketiga tetap memperoleh perlindungan hukum minimal sebatas menyangkut hak-hak pokoknya, seperti pemberian kompensasi atas modal dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. c. Doktrin Ultra Vires Modern. Salah satu perkembangan dari doktrin ultra vires yang cukup monumental adalah perlindungan pihak ketiga (pihak luar perseroan) yang bertransaksi dengan pihak perseroan, bahkan tindakan yang tergolong ultra vires tetap dianggap sah untuk kepentingan pihak lawan transaksi (pihak ketiga) asalkan memenuhi syarat-syarat seperti pihak ketiga tersebut beritikad baik dan Pihak ketiga tidak menyadari adanya unsur ultra vires tersebut.16
15
16
R. Subekti, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, h.106.
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.127.
58
Perkembangan di atas pada dasarnya bertolak belakang dengan substansi doktrin ultra vires yang bersifat tradisional, dimana suatu tindakan ultra vires berakibat batas demi hukum. Berdasarkan perkembangan yang bersifat sangat progresif itu, perlindungan hukum terhadap pihak ketiga menjadi semakin kokoh. C.
Urgensi Perlindungan Hukum. 1. Pihak-Pihak Yang Dapat Dirugikan Akibat Tindakan Ultra Vires Seperti telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, Perseroan Terbatas merupakan a nexus of contracts yang pada pokoknya mengandung pengertian bahwa Perseroan Terbatas dalam kaitannya dengan pendirian, pelaksanaan kegiatan-kegiatan usaha dan sampai dengan berakhirnya jangka waktu berdirinya itu terdapat berbagai perjanjian. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang dapat diterima berdasarkan logika apabila banyak orang atau pihak yang terlibat dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Keterlibatan dari banyak pihak tersebut sebenarnya mencerminkan banyaknya pula pihak-pihak yang berkompeten terhadap Perseroan Terbatas dan hal ini secara tidak langsung menyiratkan pihak-pihak yang sangat berkepentingan agar supaya tindakan yang merupakan ultra vires dilarang dengan tegas. Munir Fuady mengemukakan, pihak yang berkepentingan tersebut yang disebut juga dengan constituensies pada pokoknya adalah sebagai berikut17:
17
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.112.
59
a. Pihak Pemegang Saham Pemegang saham sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat sentral dalam Perseroan Terbatas, sehingga perlu diketahui deskripsinya kendati pun secara umum, akan tetapi dalam hal ini UUPT tidak mengatur mengenai pengertian pemegang saham tersebut. UUPT hanya menentukan pengertian Rapat Umum Pemegang Saham sebagai Organ Perseroan. Oleh karena itu pengertiannya ditelusuri pada sumber bahan hukum yang lainnya. Keuntungan-keuntungan menjadi pemegang saham meliputi penerimaan dividen yang ditentukan oleh Direksi, hak bersuara dalam RUPS bagi pemegang saham yang memenuhi persyaratan anggaran dasar, dapat melakukan tindakan derivatif berupa gugatan apabila perseroan tidak dijalankan dengan baik oleh Direksi, dan turut memperoleh bagian dari sisa hasil likuidasi(apabila ada). Apabila dikaji dengan menggunakan Theory of the Corporation yang menekankan pemisahan secara ketat antara fungsi pendanaan dengan fungsi pengelolaan.18 maka dapat dikemukakan bahwa kedudukan hukum para pemegang saham adalah sebagai pengembang fungsi pendanaan kegiatan usaha perseroan. Dengan demikian sudah tersedia cukup pertimbangan untuk mengemukakan bahwa para pemegang saham itu merupakan investor atau pemilik modal perseroan yang dibuktikan dengan pemilikan saham, dan sebagai pemilik modal berarti para pemegang saham itu merupakan pemilik perseroan yang bertanggungjawab terhadap kewajiban-kewajiban terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Semakin 18
Shareholder, http://legal-dictionary.com 22/09/2013 : 10.31 WIB
60
besar jumlah saham yang dimilikinya maka semakin besar pula tanggungjawab yang diembannya. Uraian di atas sebenarnya menunjukkan tanggungjawab para pemegang saham yang besar dan berat berkaitan dengan masalah keuangan perseroan.Kendati pun demikian penelusuran selanjutnya menemukan bahwa besar dan beratnya tanggungjawab para pemegang saham ternyata tidak seimbang dengan hak diperoleh misalnya dalam hal pembagian aset perseroan, walaupun yang bersangkutan merupakan pemegang saham dengan klasifikasi didahulukan. Sehubungan dengan pembagian aset yang tersisa misalnya setelah dilakukan likuidasi, sistem common law menempatkan para pemegang saham pada urutan bawah atau yang disebut dengan tunduk pada hirarkhi yang dibangun oleh perseroan yang mewajibkan pemegang saham menunggu setelah claim-claim yang lainnya terpenuhi. Sistem hukum perseroan Indonesia juga dijumpai konstruksi hukum yang serupa yaitu yang tertuang dalam Pasal 149 ayat(1) huruf c dan d. Ketentuan tersebut pada pokoknya menempatkan para pemegang saham pada urutan setelah kreditur perseroan. Ketidakseimbangan tersebut masih harus ditambahkan lagi dengan persoalan yang dapat timbul dari kewenangan Direksi yang dikhawatirkan dipergunakan secara tidak benar atau tidak layak atau setidak-tidaknya tidak menguntungkan bagi para stakeholder dari suatu perseroan termasuk didalamnya para pemegang saham.19
19
h. 71.
Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Jakarta,
61
Bertumpu pada uraian di atas dapat dikemukakan bahwa para pemegang saham memiliki motivasi modal yang telah diinvestasi dalam saham dapat mendatangkan hasil berupa dividen dan maksud tujuan serta kegiatan usaha perseroan dapat dilaksanakan dengan baik oleh Direksi. Sehubungan dengan motivasi inilah maka para pemegang saham sangat berkepentingan agar terdapat pembatasan atau pedoman terhadap kewenangan Direksi supaya tidak menjadi ultra vires. b. Pihak Kreditur Setiap perseroan kecuali yang tidak aktif dapat dipastikan keterlibatannya dalam menjalankan suatu kegiatan bisnis. Keterlibatan ini membutuhkan sejumlah uang yang seringkali tidak dapat dipenuhi melalui pemupukan dana dengan jalan mengeluarkan saham. Adanya kendala tersebut akhirnya menyebabkan perseroan berpaling pada sumber lain berupa uang pinjaman. Dalam hal ini membiayai kegiatan-kegiatannya dengan jalan membuat utang. Uraian ringkas di atas pada pokoknya memperlihatkan latar belakang adanya kreditur perseroan yang merupakan penanam modal atau investor yang meminjamkan uangnya kepada perseroan dengan perjanjian memperoleh pembayaran bunga dan utang pokok. Pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada perseroan juga sangat berkepentingan agar perseroan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang ultra vires.20
20
Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,h.112.
62
Kepentingan tersebut sangatlah beralasan karena perbuatan-perbuatan yang bersifat ultra vires akan dapat menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi kreditur. Disamping perjanjian kreditnya dapat dinyatakan batal demi hukum, untuk pelunasan utang seperti itu kreditur secara tidak langsung dipaksa mengalokasikan tenaga, perhatian, waktu yang panjang dan biaya yang tidak murah. 2. Dampak Tindakan Ultra Vires Terhadap Perjanjian Antara Perseroan Dan Pihak Investor. Mengenai dampak atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh Doktrin Ultra Vires terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh perseroan pada dasarnya sudah disinggung dalam uraian mengenai pengertian ultra vires itu sendiri, dimana dikemukakan bahwa perjanjian yang demikian adalah tidak sah (ilegal). Uraian di atas sebenarnya sudah tampak dengan jelas, dimana Doktrin Ultra Vires memang memiliki pengaruh terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat perseroan
dengan
pihak
ketiga.
Beberapa
kepustakaan
pada
pokoknya
mengemukakan, perjanjian ultra vires yang dinyatakan tidak sah itu adalah batal demi hukum dan dapat dimohonkan pembatalan. Namun yang menjadi persoalan, bagaimana uraiannya sehingga perjanjian tersebut dapat dinyatakan demikian atau sebaliknya. Dalam Kasus PT Dhaeseng/PT Interland Kontra PT Usaha Sandang terdapat fakta dimana pada pokoknya Presiden Direktur membuat Surat Pernyataan Hutang kepada PT Usaha Sandang untuk dan
63
atas nama PT Dhaeseng/PT Interland (badan hukum) tanpa persetujuan Komisaris, sesuai dengan ketentuan di dalam anggaran dasar.21 Selaku penjelasan di atas tindakan yang dilakukan oleh Presiden Direktur atau Direksi sebenarnya sudah memenuhi unsur-unsur adanya tindakan melampaui kompetensi atau ultra vires, karena dalam praktek sudah merupakan suatu kelaziman menuangkan kedalam anggaran dasar ketentuan mengenai kewajiban Direksi untuk memperoleh persetujuan Komisaris apabila hendak mengikatkan perseroan dalam perjanjian hutang-piutang. Ternyata Direksi tidak menempuh prosedur tersebut sehingga tindakannya itu dapat dikualifikasi sebagai ultra vires. Pengadilan Negeri yang menangani kasus tersebut pada intinya memutuskan memang benar bahwa hutang tersebut merupakan tanggungjawab pribadi Presiden Direktur PT Dhasaeng, dengan hanya menyebutkan, oleh karena tindakan membuat Surat Pernyataan Hutang itu tanpa persetujuan komisaris, maka hutang tersebut menjadi tanggungjawab pribadi Presiden Direktur tersebut. Putusan itu sama sekali tidak menyebut doktrin ultra vires.22 Terlepas dari penerimaan secara substansial, hal ini dapat disebabkan karena istilah ultra vires belum begitu populer di Indonesia. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi bahkan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri.
21
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perseroan, Citra Aditya Bakri, Bandung, h. 41 22
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perseroan, Citra Aditya Bakri, Bandung, h. 47
64
Contoh kasus di atas pada dasarnya sudah memperlihatkan dampak atau pengaruh tindakan yang ultra vires terhadap perjanjian antara perseroan dengan pihak ketiga. Ada pun dampak yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 1. Karena tindakan ultra vires merupakan tindakan melampaui kompetensi dan bersifat tidak sah sehingga batal demi hukum, maka perjanjian-perjanjian yang merupakan hasil perwujudan nyata dari tindakan ultra vires juga bersifat tidak sah. 2. Karena perjanjian-perjanjian yang pada awalnya dimaksudkan sebagai ikatan antara perseroan dan pihak ketiga dinyatakan tidak sah, dimana hal ini menimbulkan dampak berupa beralihnya tanggung jawab Direksi secara pribadi. Dari setiap dampak tindakan ultra vires tersebut pada dasarnya dapat menimbulkan kerugian pada pihak ketiga, baik yang menyangkut pelaksanaan perjanjiannya sendiri maupun kelangsungan eksistensi. Oleh karena itu sangat berdasar apabila pihak ketiga membutuhkan perlindungan hukum.
BAB IV UPAYA REMEDIAL TERHADAP PIHAK INVESTOR DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PERSEROAN
A.
Sistem Pertanggungjawaban Dalam Perseroan 1. Kerugian Pihak Investor Akibat Tindakan Ultra Vires Uraian ini berkisar pada kerugian yang dialami oleh pihak ketiga. Oleh karena itu untuk memperjelas maknanya maka perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian kerugian itu sendiri. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian bahwa kerugian atau damage pada pokoknya sebagai berikut: a. Kerusakan atau cidera pada harta kekayaan atau orang yang mengakibatkan pelemahan terhadap kemanfaatan atas kekayaan atau orang tersebut.1 b. Kehilangan atau kerusakan yang terjadi karena cidera atau kecacatan pada orang, harta kekayaan atau nama baik.2 c. Cidera atau kerusakan pada orang, harta kekayaan atau nama baik, suatu kehilangan yang mengurangi nilai kurang sempurna dan luka-luka.3 d. Kerugian atau damage pada dasarnya merupakan suatu kehilangan atau pengurangan dari apa yang dimiliki orang yang terjadi karena kesalahan orang lain. e. Suatu kehilangan atau kekurangan yang disebabkan oleh seseorang terhadap orang lain atau terhadap harta kekayaannya, baik dengan maksud mencederai, karena kelalaian, dan kekuranghati-hatian, maupun karena kejadian yang tidak dapat dielakkan.4
1
Damage, http://www.thefreedictionary.com. 30/09/2013 8:29 WIB.
2
Definition of Damage, http://www.merriam-webster.com. 30/09/2013 8:35 WIB.
3
Definition of Damage, http://www.brainyquote.com 30/09/2013 8:38 WIB.
4
Damage, http://www.lectlaw.com. 30/09/2013 8:45 WIB.
65
66
Pengertian-pengertian di atas dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu pengertian yang bersifat umum yang diuraikan pada huruf a, b, c, dan pengertian menurut hukum seperti diuraikan pada huruf d serta e. Kedua pengertian tersebut pada dasarnya mengandung suatu persamaan dan perbedaan atau penekananpenekanan tersendiri. Dikaji dari aspek persamaannya, baik pengertian umum maupun yang secara hukum, keduanya sama-sama memandang bahwa kerugian merupakan suatu kehilangan atau pengurangan yang dapat menimpa sesuatu dari diri pribadi atau harta kekayaan baik sudah ada maupun yang diharapkan akan ada dikemudian hari. Inilah yang merupakan inti persamaan dari seluruh pengertian kerugian. Pengertian-pengertian di atas rata-rata menguraikan bahwa sasaran kerugian atau obyek yang dapat dirugikan itu berkisar pada harta kekayaan berupa benda, dan bentuk-bentuk seperti luka, cidera atau cacat pada orang. Namun demikian pengertian yang diuraikan pada huruf b dan c, secara khusus mengemukakan dimana nama baik juga dapat dirugikan. Kehilangan atau pengurangan yang menyangkut harta kekayaan atau hak-hak kebendaan dan cidera atau cacat fisik itu pada pokoknya memperkenalkan istilah kerugian materil atau fisik. Sementara itu kerugian yang berkaitan dengan nama baik atau reputasi seseorang akhirnya menimbulkan istilah kerugian immateril. Dalam hal ini beracara di pengadilan mengenai kasus-kasus tindakan wanprestasi misalnya selalu disyaratkan agar identitas baik penggugat maupun tergugat haruslah jelas dan dapat dibuktikan
67
adanya. Pihak yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak disebut penggugat, yakni orang atau badan hukum yang memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum dan oleh karenanya ia mengajukan gugatan. Syarat mutlak untuk dapat mengajukan gugatan adalah adanya kepentingan langsung atau melekat dari si penggugat.5 . Sehubungan dengan persoalan apakah dari setiap kerugian tersebut melahirkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk bertindak atau menuntut ganti kerugian haruslah terlebih dahulu dikaji pertama, dari perspektif hak dan kedua, dari bentuk-bentuk kerugian yang timbul baik dari peristiwa hukum maupun hubungan hukum. Kajian yang pertama pada pokoknya memperlihatkan terdapatnya dua macam hak, yaitu hak absolut dan hak relatif sebagai berikut: a. Hak absolut memberi wewenang bagi pemegangnya untuk berbuat atau tidak berbuat, yang pada dasarnya dapat melaksanakannya terhadap siapa saja dan melibatkan setiap orang. Isi hak absolut ini ditentukan oleh kewenangan pemegang hak. Kalau ada hak absolut pada seseorang maka ada kewajiban bagi setiap orang lain untuk menghormati dan tidak menggangunya. Pada hak absolut pihak ketiga berkepentingan untuk mengetahui eksistensinya sehingga memerlukan publisitas. b. Hak relatif adalah hak yang berisi wewenang untuk menuntut hak yang hanya dimiliki seseorang terhadap orang-orang tertentu. Jadi hanya berlaku bagi orangorang tertentu seperti kreditur tertentu dan debitur tertentu. Hak relatif ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak terlibat dalam perikatan tertentu. Jadi hanya berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian. Hak relatif ini berhadapan dengan kewajiban seseorang tertentu antara kedua pihak terjadi hubungan hukum yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan yang lain wajib memenuhi prestasi.6 5
Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya
Bakti,h. 2. 6
h.45.
Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta,
68
Bertumpu pada pandangan pertama di atas dapatlah dikemukakan bahwa kerugian yang timbul pada pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires pada pokoknya dapat melahirkan hak relatif. Penyebutan dengan istilah “pihak ketiga” tidaklah dimaksudkan pihak tersebut tidak terlibat dalam perjanjian. Penyebutan pihak ketiga dalam hubungannya dengan ultra vires mengacu pada kreditur dan konstituen-konsituen korporasi lainnya seperti pemasok dan pelanggan. Oleh karena itu pihak ketiga tersebut merupakan para pihak dalam perjanjian. Dengan demikian apabila terjadi kerugian, pihak ketiga memiliki hak relatif, yaitu menuntut ganti kerugian pada perseroan. Uraian di atas juga diperjelas mengenai kerugian yang dialami oleh pihak ketiga di dalam perjajian atas tindakan ultra vires juga didukung oleh satu ayat dalam kitab suci Al-Qur‟an yakni surat At-taubah ayat 4 tentang perjanjian yaitu :
Artinya: “kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa”. Maksud yang diberi tangguh empat bulan itu ialah: mereka yang memungkiri janji mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Adapun mereka yang tidak memungkiri janjinya Maka Perjanjian itu diteruskan sampai berakhir masa yang ditentukan dalam
69
Perjanjian itu. sesudah berakhir masa itu, Maka tiada lagi perdamaian dengan orangorang musyrikin. Surat at-Taubah ayat ke-4 ini Allah menyatakan, "Orang-orang Musyrik yang telah menjalin perjanjian dengan kalian, meski mereka tidak konsekuen dengan perjanjian tersebut, namun selama mereka tidak membantu musuh-musuh kalian, mereka ini mendapat perkecualian. Mereka diberi kesempatan untuk tetap tinggal di Mekah sampai berakhirnya waktu perjanjian yang telah mereka jalin dengan kaum Muslimin. Setelah itu, barulah hukum pengusiran dari kota Mekah, itu akan diperlakukan kepada mereka." Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik: a. Komitmen dan setia terhadap janji sangat ditekankan Islam, termasuk janji terhadap orang-orang Musyrik dan musuh-musuh sekalipun, selama pihak lain juga komitmen dan setia terhadap janji tersebut. b.Setia dan komitmen pada janji menunjukkan ciri-ciri ketakwaan, sehingga ukuran orang bertakwa bukan saja rajin melaksanakan shalat dan puasa, namun juga sikap menjunjung tinggi berbagai perjanjian yang dijalinnya dengan orang lain. 2. Jenis-Jenis Pertanggungjawaban Pembahasan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam perseroan menjadi semakin menarik, karena pertanggungjawaban tersebut dijadikan sebagai salah satu pertimbangan mengapa kalangan pengusaha lebih memilih mendirikan Perseroan Terbatas untuk menjadi badan hukum bagi perusahaannya. Pengutamaan perseroan dalam pilihan tersebut tercermin pula dari pandangan, bahwa ada beberapa
70
faktor atau alasan mengapa seorang pengusaha memilih Perseroan Terbatas untuk menjalankan usaha dibandingkan dengan bentuk perusahaan lain seperti Persekutuan Perdata, Koperasi, Firma, CV, yaitu semata-mata untuk mengambil manfaat karakteristik pertanggungjawaban terbatas.7 Namun
demikian
perlu
ditegaskan
dari
penjelasan
di
atas
bahwa
pertanggungjawaban perseroan terbatas yang pada dasarnya merupakan suatu instrumen yang khas perseroan terbatas itu tidak semata-mata dimanfaatkan kemudahannya apalagi disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang tercela dalam dunia bisnis. Untuk menuju kinerja perseroan yang efektif dan efisien, Pemegang Saham, Direksi, Komisaris dan konstituen-konstituen perseroan lainnya harus memahami tidak hanya pertanggungjawaban terbatas, tetapi juga komponen-komponen lain dari sistem pertanggungjawaban perseroan pada umumnya. Secara garis besarnya sistem pertanggungjawaban dalam perseroan terdiri dari : a. Tanggungjawab Pemegang Saham Sehubungan dengan uraian mengenai tanggung jawab pemegang saham terlebih dahulu hendaknya dipisahkan antara Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang merupakan salah satu organ perseroan. Sementara itu Pemegang saham pada dasarnya merupakan pribadi atau orang dan atau badan hukum yang memiliki saham-saham suatu perseroan. Dengan demikian Pemegang Saham
7
Binoto Nadapdap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Jala Permata Aksara, Jakarta, h. 2.
71
bukanlah organ perseroan. Berbeda halnya dengan RUPS, Pemegang Saham tidak memiliki kewenangan, melainkan kewajiban pokok yaitu melakukan penyetoran atas modal saham yang diambilnya, dan suatu tanggungjawab. Adapun tanggungjawab yang dimaksud adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 3 UUPT yakni tanggungjawab tersebut meliputi tanggungjawab terbatas dan tanggungjawab pribadi. Tanggungjawab terbatas mengandung pengertian, dimana pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimilikinya (Pasal 3 ayat 1).8 Tanggungjawab pribadi mengandung pengertian, pemegang saham perseroan tidak dibatasi lagi tanggungjawabnya dalam hal persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi,yang bersangkutan dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi, yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan dan yang bersangkuatan secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan (Pasal 3 ayat 2).9
8
(Pasal 3 ayat 2) “Pasal Pemegang saham Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”. 9
berlaku”.
(Pasal 3 ayat 2)”ketentuan-ketentuan yang sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat 1 tidak
72
Tanggungjawab pribadi terhadap pemegang saham yang antara lain seperti tertuang dalam ketentuan tersebut pada intinya merupakan suatu asas atau prinsip dalam pengertian mengecualikan berlakunya asas tanggungjawab terbatas Pemegang Saham. Asas tanggungjawab pribadi bersifat adanya tanggungjawab yang keberadaan prinsipnya yang selama ini membentengi dan menjadi kebanggaan bagi pemegang saham. Oleh karena sifatnya yang menguak suatu hambatan, maka kinerja asas tanggungjawab pribadi tersebut disebut pula dengan Piercing The Corporate Veil Principle. Berdasarkan Piercing The Corporate Veil Principle, tanggungjawab terbatas pemegang saham dapat menjadi hapus apabila terbukti telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehinga perseroan yang didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.10 b. Tanggungjawab Komisaris UUPT pada dasarnya menentukan tanggung jawab Komisaris secara limitatif dan ketentuan-ketentuannya dapat dijumpai dalam Pasal 114 dan Pasal 115. Dari kedua pasal tersebut dapat diketahui, bahwa ruang lingkup tanggung jawab Komisaris itu meliputi dua hal yaitu: 1. Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan menyangkut kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasehat kepada Direksi (Pasal 114 ayat 1 yang merujuk Pasal 108 ayat 1), 2. Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi (Pasal 115).
10
Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas(UU. No. 40 Tahun 2007), Citra Aditya Bakti,Bandung, h. 19
73
Jika Komisaris melaksanakan tanggungjawab yang kedua, berarti Komisaris tunduk pada Sistem Majelis. Sistem Majelis ini dimaksudkan bahwa seseorang tidak dapat bertindak sendiri terlepas satu sama lain dalam hal mewakili satu kelompok. Melainkan haruslah selalu bertindak secara bersama-sama.11 Sistem Majelis adalah sesuai dengan Pasal 108 ayat (3) dan (4) yang pada pokoknya menentukan Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota atau lebih. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris. UUPT menetapkan organ Komisaris tersebut sebagai dewan atau board, dan apabila anggotanya lebih dari satu, maka dewan itu sudah merupakan suatu majelis (assembly). Oleh karena karakteristik kinerja suatu assembly bertumpu pada kebersamaan dari setiap anggota, maka Dewan Komisaris sebagai majelis harus bertindak dan bertanggungjawab secara bersama-sama. Tanggungjawab inilah yang dalam UUPT dikukuhkan dengan konsep Tanggungjawab Renteng. c. Tanggungjawab Direksi Seperti halnya Dewan Komisaris, tanggungjawab Direksi pun juga diatur secara limitatif. Pengatuan mengenai tanggungjawab Direksi dapat dijumpai dalam Pasal 97 ayat (1) ayat (3), dan ayat (4). Ketentuan-ketentuan tersebut pada pokoknya menentukan,
11
Direksi
bertanggungjawab
atas
pengurusan
Perseroan
untuk
Munir Fuady, 2002, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 74.
74
kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan (Pasal 97 ayat (1) yang merujuk Pasal 92 ayat 1). Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya (Pasal 97 ayat 3). Dalam hal Direksi terdiri atas 2(dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku tanggung jawab renteng bagi setiap anggota Direksi (Pasal 97 ayat 4). Tidak seperti Dewan Komisaris yang dapat merupakan majelis, keberadaan Direksi menurut UUPT tidak dirancang sebagai majelis, akan tetapi personalia atau anggotanya dapat terdiri lebih dari 1(satu) orang. Oleh karena itu dari aspek pertanggungjawaban, pada satu sisi Direksi menganut Sistem Individual Representatif, dan pada sisi lainnya tunduk pada Sistem Kolegial. Sistem Individual Representatif memperkenalkan semacam otoritas yang mana seseorang dapat bertindak sendiri untuk mewakili satu kelompok.12 Implementasi sistem di atas dapat dijumpai dalam Pasal 98 ayat (2) yang pada pokoknya menentukan, dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Dewan Komisaris melaksanakan tugas sesuai karakteristik majelis, sedangkan Direksi menunaikan tugas-tugas yang dibebankan berdasarkan model yang bersifat kolegial.13 Sistem kolegial di atas pada intinya juga dapat diterapkan terhadap Direksi yang melakukan perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggungjawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.14
12
Munir Fuady,Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga,h.74
13
Munir Fuady,Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga,h.76.
14
Pasal 14 ayat 1 UUPT No. 40 Tahun 2007.
75
d. Pertanggungjawaban Dalam Hubungannya Dengan Pihak Investor Uraian mengenai sistem pertanggungjawaban perseroan yang telah ditentukan secara limitatif dan telah pula disesuaikan dengan organ 156 organ perseroan tersebut pada akhirnya menimbulkan persoalan siapakah yang bertanggung jawab dalam hal pihak ketiga mengalami kerugian akibat perjanjiannya dengan perseroan yang ultra vires. Pemegang saham yang tanggungjawabnya juga dapat meliputi antara lain perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama Perseroan oleh anggota Direksi sebelum pengangkatannya batal (Pasal 95 ayat 3), pada dasarnya dapat diminta memberikan pertanggungjawaban secara pribadi sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakan ultra vires itu dilakukan untuk memenuhi tujuan pribadi pemegang saham. Demikian pula halnya dengan Dewan Komisaris dan Direksi. Diantara stakeholder perseroan yang telah disebutkan itu, Direksilah yang menjadi sasaran yang paling relevan untuk diminta pertanggungjawaban dalam hal pihak ketiga mengalami kerugian akibat perjanjiannya dengan perseroan yang ultra vires. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa oleh undang-undang Direksi sudah ditetapkan sebagai wakil perseroan baik didalam maupun di luar pengadilan. Dengan demikian Direksilah yang berhadapan langsung dengan pihak ketiga. Prinsipnya, mengingat pihak ketiga yang beritikad baik dan tidak menyadari adanya unsur ultra vires itu harus memperoleh perlindungan hukum, maka secara logika haruslah ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawabanya, dalam
76
pengertian harus terdapat solusi atau upaya-upaya baik yang bertujuan mencegah maupun yang bersifat remedial atau memulihkan. B.
Pelaksanaan Upaya Remedial Terhadap Pihak Investor. 1. Bentuk-Bentuk Upaya Remedial Fasilitas yang diberikan itu dapat dilaksanakan terhadap kesalahan pihak lawan dalam perjanjian. Istilah Remedy pada dasarnya merupakan kata benda yang sudah umum dipergunakan dalam uraian-uraian mengenai ultra vires sebagai konsep atau istilah untuk upaya-upaya yang bertujuan memperbaiki dan atau memulihkan kerugian-kerugian yang dialami oleh pihak ketiga akibat perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan ultra vires. Dari uraian mengenai pengertian remedy tercermin dua tindakan, pertama, tindakan yang mengandung aspek memperbaiki dan mencegah, serta yang kedua, tindakan atau upaya yang mengandung aspek yang bertujuan memulihkan. Oleh karena itu uraian selanjutnya mengenai bentuk-bentuk upaya remedial sudah tentu akan disesuaikan dengan aspek-aspek tersebut yaitu : a. Ratifikasi Berdasarkan pengertian yang umum, ratifikasi merupakan suatu langkah memberi konfirmasi terhadap tindakan yang telah dilakukan sebelumnya baik oleh pihak pihak pemberi konfirmasi maupun yang lainnya sehingga dengan demikian dapat pula dikemukakan, adanya ratifikasi tersebut sebenarnya menunjukkan adanya suatu penerimaan atau pengakuan terhadap perjanjian-perjanjian yang sebelumnya
77
telah dibuat tanpa mengindahkan atau tidak sesuai dengan ruang lingkup wewenang yang ada. Perseroan pada umumnya Ratifikasi diberikan melalui RUPS atau merupakan hasil atau keputusan RUPS. Dengan melaksanakan prosedur ratifikasi seperti itu, maka segala tindakan dan kontrak yang diratifikasi menjadi sah bahwa itu menjadi tanggung jawab perseroan. Ratifikasi tidak dapat diberikan semata-mata karena tindakan atau kontrak yang telah dilakukan menguntungkan perseroan, melainkan harus sesuai dengan kriteria tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan perkataan lain, penilaian dalam rangka ratifikasi tindakan Direksi masih didasarkan kembali pada ukuran-ukuran apakah dalam melaksanakan tindakan tersebut sudah dilandasi prinsip fiduciaries duties dimana Direksi memegang kepercayaan dalam bertindak untuk kepentingan perseroan. Apabila tindakan yang akhirnya dinyatakan ultra vires itu hendak diakui atau diterima sebagai tindakan yang intra vires melalui ratifikasi, maka tindakan sebelumnya yang tidak tercantum itu haruslah dimasukan dan menjadi bagian ketentuan maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan dalam anggaran dasar perubahan. Di Indonesia mengubah anggaran dasar baik secara umum maupun khusus yang meliputi maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan telah diatur dalam peraturan undang-undang yaitu Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 UUPT. Dalam proses perubahan ini anggaran dasar perseroan diperiksa dan dinilai kembali oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia untuk memperoleh pengesahan.
78
Dilakukannya ratifikasi terhadap tindakan Direksi yang ultra vires justru memberikan keuntungan tersendiri bagi Direksi. Apabila sebelumnya Direksi karena tindakan ultra vires yang dilakukannya diwajibkan untuk bertanggungjawab secara pribadi dengan dilakukannya ratifikasi yang berarti pula merupakan pengesahan terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga menjadi tanggungjawab perseroan, maka dengan demikian Direksi terbebaskan dari tanggungjawab tersebut. Disamping Direksi, pihak ketiga pun memperoleh manfaat yang tidak kecil. Sehubungan oleh itu, maka pihak ketiga dapat mengharapkan keuntungan dan yang terpenting kerugian yang kemungkinan timbul karena perjanjian dihentikan akhirnya dapat dicegah. Dari uraian di atas dapatlah dipetik makna bahwa langkah perseroan dalam hal ini RUPS melakukan ratifikasi terhadap tindakan Direksi yang ultra vires pada dasarnya merupakan upaya yang bersifat remedial dalam pengertian ratifikasi tersebut bertujuan memperbaiki kondisi perjanjian dan mencegah kerugian. b. Ganti rugi Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang. Oleh karena itu pemberian ganti rugi juga merupakan salah satu bentuk upaya remedial untuk menanggulangi kerugian yang timbul sebagai akibat dihentikanya perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang ultra vires. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa kajian hukum memang mengenal lebih dari sekitar 25 (dua puluh lima) jenis ganti rugi. Akan tetapi untuk menanggulangi kerugian yang timbul dari perjanjian yang ultra vires, tidak semua jenis ganti rugi tersebut mengandung relevansi untuk dapat diterapkan.
79
Penerapan jenis-jenis ganti rugi yang efektif dan efisien dalam hubungannya dengan akibat tindakan ultra vires harus disesuaikan dengan bentuk-bentuk kerugian yang terjadi, dan sebagaimana telah diuraikan pada pokoknya terdapat dua bentuk kerugian, pertama, kerugian berupa sumber-sumber yang telah dialokasikan untuk menunjang sampai tahap pelaksanaan, akan tetapi perjanjianya sendiri dihentikan sebelum berakhir jangka waktunya, dan kedua, kerugian karena tidak berhasil memperoleh keuntungan yang terjadi dengan dilaksanakan perjanjian secara penuh. 2. Mekanisme Pelaksanaan Akibat hukum yang timbul dari perjanjian pihak ketiga dengan perseroan yang ultra vires sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian-uraian sebelumnya meliputi konsekuensi-konsekuensi seperti perjanjian dinyatakan tidak sah, perjanjian batal demi hukum, dan perseroan tidak bertanggungjawab. Dalam kondisi demikian, Direksilah yang dibebani dan melaksanakan tanggungjawab secara pribadi terhadap pihak ketiga sebagai yang dirugikan. Pembebanan tanggungjawab tersebut kepada Direksi pada akhirnya menimbulkan persoalan apakah Direksi selalu harus bertanggungjawab secara pribadi terhadap setiap tindakan ultra vires. Terhadap persoalan tersebut terdapat pandangan, bahwa tidak selamanya ultra vires mengakibatkan pembebanan tanggungjawab pribadi dari direksi yang melakukan ultra vires. Memang umumnya tindakan ultra vires menyebabkan timbulnya tanggungjawab pribadi direksi. Pandangan tersebut berdasarkan pemahaman umum mengenai keadilan terutama berhubungan dengan pernyataan bahwa Direksi tidak selamanya bertanggungjawab
80
secara pribadi terhadap tindakan ultra vires dapat diterima,yang intinya menekankan tanggungjawab pribadi berdasarkan hukum positif dalam hal ini Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sebenarnya menunjukkan kewajiban untuk bertanggungjawab secara pribadi itu hanya dibebankan kepada pemegang saham. Dari pengertian di atas yang menjadi dasar untuk meletakkan tanggungjawab pribadi pada Direksi terhadap tindakan ultra vires. Membebankan tanggungjawab secara pribadi kepada Direksi tersebut sebenarnya merupakan upaya pamungkas, suatu langkah yang tidak dapat diterapkan dengan begitu saja. Penelusuran terhadap kepustakaan hukum menunjukkan adanya beberapa langkah yang dapat dilakukan sebelum menerapkan tanggungjawab pribadi. Adapun langkah-langkah yang dimaksud pada pokoknya adalah yang disebut dengan injunction dan tracing. Secara garis besarnya, dengan melakukan injunction, pihak ketiga dapat mengupayakan suatu penetapan untuk mencegah perseroan membelanjakan pinjaman dari pihak ketiga. Sementara itu melalui tracing, pemberi pinjaman dapat menarik kembali pinjaman sepanjang dapat ditemukan dalam kondisi utuh. Disamping tampak kurang memperhatikan faktor-faktor yang bersifat yuridis yang justru sangat diperlukan dalam rangka menanggulangi akibat-akibat tindakan ultra vires, baik injunction maupun tracing sebenarnya hanya relevan diterapkan untuk tindakan ultra vires yang berkaitan dengan pihak ketiga yang berkedudukan sebagai kreditur atau pemberi pinjaman kepada perseroan.
81
Injunction dan Tracing juga tidak dapat menghindarkan Direksi dari kewajiban melakukan
tanggungjawab
secara
pribadi.
Dengan
demikian
dalam
hal
pertanggungjawaban terhadap kerugian-kerugian pihak ketiga akibat tindakan ultra vires, pembebanan tanggung jawab pribadi pada Direksi tidak dapat dihindarkan. Persoalannya, apakah Direksi yang merupakan pengurus perseroan memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab sementara tindakannya yang akhirnya dinyatakan ultra vires itu dilakukan untuk kepentingan perseroan. Dalam kondisi demikian langkah apa yang harus ditempuh agar kerugian pihak ketiga memperoleh pemulihan. Pihak ketiga sebagai pihak yang dirugikan pada dasarnya tidak memiliki kepentingan mengenai siapa yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang dialaminya apakah perseroan atau Direksi. Pihak ketiga hanya memaklumi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah hubungan hukum antara dirinya dengan perseroan dan Direksi merupakan wakil perseroan. Tidak ada relevansinya menarik pihak ketiga kedalam persoalan mengenai siapa yang bertanggungjawab. Pihak ketiga hanya membutuhkan agar kerugian yang dialaminya segera dapat dipulihkan. Pemulihan kerugian pihak ketiga akibat perjanjianya dengan perseroan dinyatakan ultra vires, sementara Direksi yang dibebani tanggungjawab pribadi tidak mampu bertanggungjawab misalnya karena alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup. Uraian di atas terdapat pandangan bahwa pemulihan tersebut dapat dilakukan dengan menempuh mekanisme atau tatacara antara lain seperti yang terdapat dalam lembaga subrogasi Khusus berkaitan dengan uang yang dipinjam perseroan,
82
pandangan yang lainnya pada pokoknya mengemukakan, apabila uang yang dipinjam itu sudah dipergunakan untuk membayar utang yang sah dari perusahaan, pemberi pinjaman dapat menuntut hak subrogasi dan sebagai akibatnya, pemberi pinjaman dapat menuntut informasi penggunaan uang selanjutnya, akan tetapi subrogasi ini tidak memberikan prioritas yang sama dengan kreditur yang asli. Jika berkaitan dengan hukum terutama yang menyangkut utang-piutang yang tunduk pada sistem hukum perdata yang berlaku di Indonesia pada umumnya juga terdapat lembaga subrogatie sebagaimana tercantum dalam Pasal 1400 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan bahwa, subrogarsi atau penggantian hak-hak pihak berpiutang oleh pihak ketiga, yang membayar kepada pihak berpiutang itu, terjadi baik dengan persetujuan maupun demi undang-undang. Rumusan Pasal 1400 Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu penggantian hak-hak kreditur oleh pihak ketiga, dan pembayaran oleh pihak ketiga. Berkaitan dengan unsur yang pertama perlu diuraikan yang dimaksud dengan „hak-hak kreditur‟ disini adalah hak-hak yang dipunyai oleh kreditur terhadap debiturnya, sedangkan „pihak ketiga‟ adalah pihak yang bukan kreditur maupun debitur (utama). Sementara itu berkaitan dengan unsur yang kedua, diuraikan, pihak ketiga baru memperoleh hak-hak berdasarkan subrogasi apabila dan hanya dalam hal utang-utang yang dilunasi.15 Sehubungan dengan subrogasi secara umum timbul persoalan apakah mekanisme yang tersedia dalam lembaga subrogasi itu relevan untuk diterapkan dalam proses pemulihan hak pihak ketiga yang mengadakan perjanjian dengan perseroan yang ultra vires. Persoalan tersebut menjadi semakin membingunkan sehubungan dengan penyebutan istilah pihak ketiga. Terkait dengan subrogasi istilah itu sudah tepat untuk 15
J. Satrio, 1999, Cessie, Subrogattie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang, Alumni,Bandung, h. 50-58.
83
menyebut yang menggantikan kreditur, akan tetapi apabila diterapkan dalam ultra vires, maka istilah itu akan menghasilkan kebingunan karena dalam hubungannya dengan perjanjian-perjanjian yang ultra vires, subyek-subyek seperti kreditur perseroan, pemberi pinjaman terhadap perseroan, pemasok dan pelanggan sebenarnya sudah menjadi pihak ketiga dan kreditur terlebih dahulu. Sehingga apabila kepada mereka diberikan lagi kedudukan sebagai pihak ketiga, maka persoalannya hakhaknya siapa yang mereka gantikan. Pandangan tersebut dapat dipahami karena memang terdapat faktor-faktor yang mewajibkan untuk melakukan atau menempuh subrogasi. Faktor-faktor tersebut adalah sesuai dengan Pasal 1401 dan 1402 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang pada pokoknya menentukan, subrogasi terjadi dengan persetujuan dan demi undang-undang. Sepanjang pembayaran oleh pihak ketiga dilakukan tidak dalam konteksnya dengan Pasal 1401 dan 1402 tersebut, dapatlah dikemukakan bahwa pembayaran yang dilakukan itu tidak menimbulkan apa yang disebut dengan subrogasi. Secara umum dapat dikemukakan, gagasan dan mekanisme yang tercemin dari subrogasi secara dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya dapat diterapkan dalam rangka pemulihan kerugian pihak ketiga karena perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan ultra vires. Namun demikian sehubungan dengan maksud itu pula masih tersedia satu mekanisme lagi yang perlu dicermati dan diperbandingkan karakteristik dan relevansinya.
84
Adapun mekanisme yang dimaksud adalah upaya yang disebut dengan substitution, yang secara umum mengandung pengertian, melayani orang lain sebagai pengganti. Dalam mekanisme substitution terdapat hubungan segitiga di antara pengganti, yang digantikan dan pihak ketiga. Substitution atau penggantian pada pokoknya merupakan prinsip yang telah diterima secara luas bahwa dengan prinsip tersebut seseorang atau pengutang baru dapat menerima utang dari orang lain (debitur atau debitur asli), dan dengan cara demikian pengutang baru itu kemudian menggantikan kedudukan debitur. Upaya penggantian tersebut tidaklah muncul dengan sendiri,melainkan harus pula didasarkan pada adanya persetujuan penggantian dari krediturnya. Dalam upaya pemulihan kerugian pihak ketiga akibat perjanjiannya dengan perseroan dinyatakan ultra vires, persetujuan penggantian yang dimaksud harus diberikan oleh pihak ketiga. Berdasarkan upaya penggantian atau substitution terjadilah peralihan kewajiban dari debitur asli kepada debitur baru. Analog dengan pemulihan kerugian sebagai diuraikan di atas, maka peralihan kewajiban terjadi dari Direksi yang sebelumnya dibebani tanggungjawab pribadi itu kepada perseroan. Apabila dibandingkan dari uraian di atas tampaklah suatu perbedaan yang cukup signifikan, dan secara garis besarnya perbedaan tersebut dapat diuraikan dengan kalimat proses dalam subrogasi pada pokoknya menghasilkan kreditur baru yang disebut dengan pihak ketiga, sedangkan mekanisme dalam penggantian atau substitution menciptakan adanya debitur baru yang berkewajiban sebagai pengganti melaksanakan kewajiban debitur asli.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berkaitan
dengan
permasalahan
dalam
rumusan
masalah,
penulis
menyimpulkan mengenai permasalahan yang dijadikan pertanyaan dalam rumusan masalah yakni : 1. Adapun dasar-dasar perlindungan hukum terhadap pihak investor dalam hal Direksi Perseroan Terbatas melakukan tindakan ultra vires pada pokoknya dapat diuraikan dari pandangan bahwa prinsip ultra vires ini sudah merupakan doktrin yang berlaku secara universal. Di Indonesia dapat dikemukakan secara implisit UUPT mengakui dan menerima Doktrin Ultra Vires. Pengakuan dan penerimaan ini tercermin dari adanya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. Berdasarkan penelusuran terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007(UUPT) yang merupakan hukum perseroan positif di Indonesia, ternyata dalam undang-undang tersebut tidak dijumpai satu ketentuan pun yang mengatur secara tegas mengenai ultra vires terutama dari segi konsep atau peristilahannya. Namun demikian hal tersebut tidaklah mengandung pengertian bahwa Indonesia tidak menerima Doktrin Ultra Vires, semata-mata karena tidak dijumpai adanya aturan atau norma dalam sistem hukumnya yang menentukannya secara tegas.
85
86
Suatu sistem hukum pada dasarnya tidaklah hanya terdiri dari komponen aturan atau norma hukum berupa pasal-pasal yang bersifat eksplisit saja. Dalam kaitan tersebut dimana sistem hukum perseroan juga terdiri dari perjanjian yang tertuang dalam anggaran dasar dan pendapat-pendapat hukum yang relevan. Disamping itu terdapat pula beberapa dasar yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga. Dasardasar tersebut meliputi Asas Itikad Baik, Asas Pacta Sun Servanda dan Doktrin Ultra Vires Modern. Dengan bertumpu pada dasar-dasar tersebut, maka dapatlah diberikan perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. 2. Bertumpu pada pemahaman mengenai perspektif hak dan bentuk-bentuk kerugian yang timbul baik dari peristiwa hukum maupun hubungan hukum, maka kerugian akibat tindakan Direksi perseroan yang ultra vires dapat melahirkan hak bagi pihak yang dirugikan untuk bertindak atau menuntut ganti kerugian. Proses penggantian kerugian tersebut meliputi upaya-upaya pemulihan atau upayaupaya remedial yang bertujuan untuk mengembalikan atau menggantikan hakhak dari pihak yang dirugikan baik yang secara nyata sudah terjadi maupun yang diharapkan akan terwujud. Pemahaman mengenai upaya pemulihan atau remedy mencerminkan dua tindakan, pertama, tindakan yang mengandung aspek memperbaiki dan mencegah, serta yang kedua, tindakan atau upaya yang mengandung aspek yang bertujuan memulihkan. Dengan demikian dapat dikemukakan bentuk-bentuk
87
upaya remedial terhadap kerugian akibat tindakan ultra vires tersebut meliputi tindakan ratifikasi dan pemberian ganti rugi. (Pasal 3 ayat 2) “Pasal Pemegang saham Perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki”. Ratifikasi berarti pengesahan terhadap perjanjian yang ultra vires sehingga menjadi tanggungjawab perseroan, maka dengan demikian Direksi terbebaskan dari tanggungjawab yang bertujuan memperbaiki kondisi perjanjian dan mencegah kerugian. Ganti rugi atau damages pada dasarnya merupakan suatu kompensasi dalam bentuk pemberian sejumlah uang. Disamping itu pemberian ganti rugi juga merupakan salah satu bentuk upaya remedial yang bersifat menanggulangi kerugian yang timbul. Dalam hal pihak ketiga yang dirugikan merupakan kreditur, maka mereka dapat melakukan injunction atau mencegah perseroan membelanjakan pinjaman dari pihak ketiga, dan tracing atau menarik kembali pinjaman sepanjang dapat ditemukan dalam kondisi utuh. Direksi
yang
dibebani
tanggungjawab
pribadi
tidak
mampu
bertanggungjawab misalnya karena alasan tidak memiliki kekayaan yang cukup, maka langkah yang dapat dipandang sebagai solusinya adalah melakukan proses substitution. Dengan langkah ini, perseroan terlebih dahulu melakukan penalangan terhadap kerugian pihak investor dan selanjutnya Direksi
88
berkewajiban mempertanggungjawabkannya kepada perseroan. Dalam hubungan ini yang diutamakan adalah memulihkan hak-hak pihak investor. B.
Saran 1. Prioritas utama dalam penerapan Doktrin Ultra Vires pada dasarnya adalah pencegahan terhadap tindakan Direksi yang melampaui kewenangan perseroan. Berkaitan dengan upaya mendukung pencegahan tersebut maka baik direksi maupun pihak investor yang akan menjalin hubungan kontraktual dengan perseroan hendaknya memahami terlebih dahulu ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang bersangkutan. Pemahaman di atas antara lain dapat diperoleh melalui konsultasi hukum. Dengan pemahaman tersebut akan dapat diketahui kesesuaian antara transaksi yang hendak dilakukan dengan ketentuan-ketentuan mengenai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan. 2. Upaya pemulihan hak-hak pihak investor atas tindakan ultra vires direksi perseroan perlu diatur secara tegas dan terperinci dalam Undang-undang tentang Perseroan Terbatas dan perlu adanya pengawasan yang lebih di dalam organ perseroan agar terhindar dari tindakan ultra vires yang dapat merugian pihak investor (pihak ketiga).
DAFTAR PUSTAKA Kitab suci: Al-Qur’an dan Terjemahan. Buku-buku: Ais, Chatamarrasjid. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual HukumPerseroan, Bandung:Citra Aditya Bakri,2004. Apeldoorn, L. J.Van. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978. Fuady, Munir. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya DalamHukum Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, Buku Ketiga, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Gie, The Liang. Teori-Teori Keadilan, Yogyakarta: Penerbit Super, 1979. Ginting, Jamin. Hukum Perseroan Terbatas (UU. No. 40 Tahun 2007), Bandung: Citra AdityaBakti,2007. Ichsan, Achmad. Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983. Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989. Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum(Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1986. Nadapdap, Binoto. Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Jala Permata Aksara,2009. Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (BentukBentuk Perusahaan), Jakarta: Djambatan,1984.
89
90
Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas,Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Pramono, Nindyo. Bunga Rampai Hukum Bisnis, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006. Prodjodikoro, R.Wirjono. Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1980.
Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Prinst, Darwan. Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI Press,1986). Subekti, R. Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995. Soekardono, R. Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), Jakarta: CV. Rajawali, 1983. Subekti, R. Kamus Hukum, Jakarta:Pradnya Paramita, 1973. Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:PT. Intermasa,1977. Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. Organ Perseroan Terbatas,Jakarta:Sinar Grafika,2009. Tirta Amidjaja, M.H. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan,Jakarta:Djambatan, 1956. Tirtodiningrat, K.R.M.T. Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,Jakarta: Pembangunan,1963. Wicaksono, Frans Satrio. Tanggungjawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas Jakarta: Visimedia, 2009. Makalah/Artikel: A. Partomuan Pohan,Alokasi Wewenang & Kewajiban Antara Dewan Komisaris, DireksiDan Pemegang Saham, dalam : Beberapa Permasalahan Hukum DiSekitar Penanaman Modal,Pusat Pengkajian Hukum bekerjasama dengan BadanKoordinasi Penanaman Modal, Jakarta, 1990.
91
J. Satrio, Cessie, Subrogattie, Novatie, Kompensatie, & Percampuran Hutang, Alumni, Bandung, 1999. Mas Soebagio, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang, Alumni, Bandung, 1976. Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak :Yuridika Vol 18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2003. Majalah/Koran: Syarif Basir, Aspek Hukum Suatu Perjanjian, dalam: Newsletter, Edisi XI, 2009. Perundang-undangan: Kitab Undang-undang Perdata. Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 26 s/d 56 KUHD. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 Tentang Nama Perseroan Terbatas. Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang No.4 Tahun 1971 Tentang Perubahan dan Penambahan Ketentuan Pasal 54 KUHD. INTERNET: Irma Nurhayati,Ulasan Tentang Stasus Badan Hukum Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang Nomor 1Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas H.1.Magister Hukum UGM, http://mhugm.wikidot.com diakses pada tanggal16/07/2013 19:43WIB. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan di akses pada tanggal 11/1/2014 pada jam 20:20 WIB Samuel Label, Perseroan Terbatas dan 15 Elemen Yuridisnya, Kusumohamidjojo, Pacta Sun Servanda,1986,http:// www.kamushukum.com, diakses pada tanggal 18/07/2013 14:25 WIB.
92
Flora Raimond Lamandesa, Penegakan Hukum,2008, WWW.Scribb.com diakses pada tanggal 20/07/2013, 22:25 WIB. Wikipedia, the free encyclopedia, http://en.wikipedia.org. hal. 2, 3, 20/09/2013 9:00WIB. Shareholder, http://legal-dictionary.com 22/09/2013 : 10.31 WIB Damage, http://www.thefreedictionary.com. 30/09/2013 8:29 WIB. Definition of Damage, http://www.merriam-webster.com. 30/09/2013 8:35 WIB. Definition of Damage, http://www.brainyquote.com 30/09/2013 8:38 WIB. Damage, http://www.lectlaw.com. 30/09/2013 8:45 WIB.