PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PELAYANAN AIR BERSIH: STUDI PADA MASYARAKAT KOTA MEDAN PELANGGAN PDAM TIRTANADI CABANG MEDAN
TESIS
Oleh JAN ROHTUAHSON SINAGA 067011043/MKn
S
C
N
PA
A
S
K O LA
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PELAYANAN AIR BERSIH: STUDI PADA MASYARAKAT KOTA MEDAN PELANGGAN PDAM TIRTANADI CABANG MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh JAN ROHTUAHSON SINAGA 067011043/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PELAYANAN AIR BERSIH: STUDI PADA MASYARAKAT KOTA MEDAN PELANGGAN PDAM TIRTANADI CABANG MEDAN : Jan Rohtuahson Sinaga : 067011043 : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H) Ketua
(Syafruddin S Hasibuan, S.H., M.H, DFM) (Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S.,C.N) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Tanggal lulus : 24 Maret 2009 Telah diuji pada Tanggal : 24 Maret 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H
Anggota
: 1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum 2. Syafruddin S Hasibuan, S.H., M.H, DFM 3. Syahril Sofyan, S.H., M.Kn 4. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
ABSTRAK
Air bersih merupakan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pemerintah memberikan pelayanan berupa perusahaan air minum (PAM/PDAM). Masyarakat sebagai konsumen air minum mengeluhkan pelayanan PDAM karena kualitas air yang keruh dan berbau yang tidak memenuhi standar kesehatan untuk dikonsumsi. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dinyatakan, hak konsumen atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi serta mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dalam hal ini air bersih dari PDAM Tirtanadi. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih oleh PDAM sesuai UUPK. Faktorfaktor penyebab tidak dipenuhinya hak-hak konsumen serta upaya penyelesaian tuntutan konsumen terhadap kelalaian yang dilakukan oleh PDAM Tirtanadi Medan. Metode penelitian dilakukan secara pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap peraturan perundang-undangan khususnya UUPK serta dokumen yang terkait dengan perlindungan konsumen air bersih, serta didukung dengan wawancara kepada konsumen air bersih di Kota Medan dan Pejabat PDAM Tirtanadi Cabang Medan. Hasil penelitian menunjukkan UUPK telah mengatur hak konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha, sesuai Pasal 19 UUPK pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen tidak hanya sebatas uang atau barang bahkan perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan akibat mengkonsumsi air minum yang tercemar. Di samping itu, dalam UUPK diatur Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga konsumen dapat melakukan gugatan tidak hanya melalui pengadilan tetapi juga dapat dilakukan gugatan di luar pengadilan. Faktor-faktor penyebab hak konsumen air minum tidak dipenuhi sangat dipengaruhi anggaran publik untuk air bersih yang masih terbatas untuk pengelolaan PDAM, juga sumber air baku yang sudah tercemar karena hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab PDAM tetapi juga peran pemerintah dalam kebijakan pengelolaan lingkungan. Kemudian terjadi kebocoran pipa pendistribusian karena kurangnya perawatan berkelanjutan dari PDAM. Penyelesaian sengketa akibat air minum yang tercemar dilakukan dengan cara pengaduan langsung dan gugatan melalui lembaga swadaya masyarakat sebagai gugatan kelompok. Pada umumnya penyelesaian sengketa ini diupayakan secara musyawarah sebelum melakukan tuntutan ke peradilan umum. Disarankan agar ditinjau kembali ketentuan BPSK dalam UUPK, karena keputusan majelis menurut Pasal 56 ayat (2) masih dimungkinkan untuk diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri oleh pihak yang tidak puas. Padahal sesuai Pasal 54 ayat (3) putusan BPSK bersifat final dan mengikat, karena BPSK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang nilai tuntutannya kecil. Juga kepada Pemerintah, agar pendekatan anggaran pembangunan prasarana air minum yang berbasis proyek dan negosiasi sudah waktunya diubah menjadi anggaran prioritas Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Kepada PDAM Tirtanadi untuk mengadakan perawatan peralatan distribusi air minum agar tercemarnya air dapat diminimalisir, bila dimungkinkan diadakan penggantian peralatan yang sudah tidak layak demi pelayanan yang baik baik konsumen.
Kata kunci: Perlindungan Konsumen, Air Bersih.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
ABSTRACT
Pure water is society need in the daily living that requires government to supply the pure water served by the municipal waterworks (PDAM). Society as pure water customer complaint the service of PDAM for the turbid and odor water quality that did not fulfill the health standard. In Act No. 8 of 1999 concerning to Customer Protection (UUPK) said that the right of customer on freshness and safety in consumption and a right on a true, clear and honest information about the condition and the guarantee on good/service in particular in water supplied by PDAM Tirtanadi. Therefore, there is a problem on the law protection to the customer and pure water service by PDAM in accordance with UUPK. Factors that cause the rights of customer did not fulfilled and the settlement of the complaint of customer on pure water service by PDAM Tirtanadi Medan. The research method is a normative juridical study, i.e. a study on regulations in particular UUPK and related document to pure water customer protection and supported by the interview to the pure water customer in Medan and the officers of PDAM Tirtanadi branch of Medan. The results of study indicates that UUPK regulate the right of customer who have lost caused by the business actor in which in accordance with article 19 UUPK the business actor must take responsibility to customer by providing them with compensation which is not only in the form of money or goods but also the health care caused by the polluted water consumption. In addition, UUPK regulate the Consumer Conflict Settlement (BPSK) to enable customer submit a case in court and also in out of court institution. The factors that cause the right of water consumer had not fulfilled was mostly influenced by the limited public budget for pure water supply, in addition to the polluted water material which was not only a responsibility of PDAM but also involves the government in environment management policy. Then there is a leakage of distribution pipe caused by the poor maintenance by PDAM. The settlement of dispute on the polluted water is handled by the accusation of consumer to PDAM of according to Article 46 UUPK the consumer can submit accusation to the non government organization as collective accusation. Generally, the dispute is settled by deliberation before submitted to the court. It is suggested to review the BPSK term in UUPK because the decisions of judges according to Article 56 paragraph (2) enable the consumer submit an objection to the court. While according to Article 54 paragraph (3), the decision BPSK is final and binds, because BPSK was established to settle any consumer dispute for the small value scale. As for the government, they must revisethe water supply development project budget to be a priority budget in order to fulfill the consumer need. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
And to PDAM Tirtanadi, it is suggested to do the maintenance on water pipe distribution to eliminate the population and even to replace the damaged facilities for the consumer service.
Key words: Consumer Protection, Pure Water.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang atas berkat dan pimpinanNYA sehingga saya mampu merampungkan tesis ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah dengan sukarela membantu saya untuk mengumpulkan bahan-bahan, data-data dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tesis ini hingga tesis ini mencukupi untuk disajikan sebagai tugas akhir dari Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH, DFM, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Dosen Pembimbing. 2. Yang terhormat Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, Sp.N dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Dosen Penguji yang telah dengan sabar memberikan support dan bimbingan demi terwujudnya penulisan tesis ini. 3. Yang terhormat para narasumber yang telah dengan sukarela memberikan masukan yang sangat berarti bagi penyempurnaan penulisan tesis ini. 4. Yang terkasih teman-teman mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan perhatian dan waktu untuk menyempurnakan tesis saya ini, dan kepada teman-teman atas dukungannya serta pihak-pihak yang telah terkait secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih sekali lagi dan saya berharap karya tulis ini dapat berguna di masa yang akan datang.
Medan, Maret 2009 Penulis,
Jan Rohtuahson Sinaga 067011043
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
RIWAYAT HIDUP
I.
II.
Identitas Pribadi Nama Lengkap
:
Jan Rohtuahson Sinaga
Tempat/Tgl. Lahir
:
Sondi Raya/22 Mei 1970
Jenis Kelamin
:
Laki-Laki
Agama
:
Kristen Protestan
Alamat
:
Jl. Budi Luhur No.25 Medan
Nama Ayah
:
Jan Sudinson Sinaga
Nama Ibu
:
Lusia Saragih
Orang Tua
III. Pendidikan 1. Sekolah Dasar Negeri 2 Pematang Raya, Simalungun Lulus tahun: 1983 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pematang Raya, Simalungun Lulus tahun: 1986 3. Sekolah Menengah Atas RK Budi Mulia Pematang Siantar Lulus tahun: 1989 4. Strata 1, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Lulus tahun: 1997 5. Strata 2, Program Studi Magister
Kenotariatan (M.Kn)
Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan Lulus tahun: 2009
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ................................................................................................
i
ABSTRACT ................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI ............................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xi
DAFTAR SKEMA ....................................................................................
xii
BAB I
BAB II.
PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang....................................................................
1
B. Permasalahan ......................................................................
9
C. Tujuan Penelitian ...............................................................
9
D. Manfaat Penelitian .............................................................
9
E. Keaslian Penelitian ............................................................
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................
11
1. Kerangka Teori ............................................................
11
2. Konsepsi ......................................................................
21
G. Metode Penelitian ..............................................................
22
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PELAYANAN AIR BERSIH OLEH PDAM SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ...........................................................................
26
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
A. Tinjauan Umum tentang Konsumen ....................................
26
1. Pengertian Konsumen ...................................................
26
2. Hak-hak Konsumen.......................................................
29
B. Hukum Perlindungan Konsumen.........................................
31
1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen…………...
31
2. Latar Belakang Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.................
35
3. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen............
41
C. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Pelayanan Air Bersih oleh PAM/PDAM Sesuai dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ..........................................................................
56
BAB III. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIDAK DIPENUHINYA HAK-HAK KONSUMEN UNTUK MEMPEROLEH PELAYANAN AIR BERSIH ...................................................
65
A. Sekilas tentang Perusahaan PDAM Tirtanadi ......................
65
1. Pendirian PDAM Tirtanadi............................................
65
2. Visi dan Misi ...............................................................
66
3. Kegiatan Perusahaan ....................................................
66
4. Pelayanan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara untuk Medan Sekitarnya ................................................
68
B. Pengertian Air Bersih dan Air Minum .................................
75
C. Anggaran Publik untuk Penyediaan Air Bersih ...................
81
D. Faktor-faktor Penyebab Tidak Dipenuhinya Hak-hak Konsumen untuk Memperoleh Pelayanan Air Bersih dari PDAM Tirtanadi .................................................................
89
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
BAB IV. UPAYA DAN PENYELESAIAN TUNTUTAN KONSUMEN TERHADAP KELALAIAN YANG DILAKUKAN OLEH PDAM TIRTANADI MEDAN ...............................................................
103
A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebelum Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen ..........................
103
B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UndangUndang Perlindungan Konsumen ........................................
110
1. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan .
110
2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Proses Litigasi .........................................................................
133
C. Upaya dan Penyelesaian Tuntutan Konsumen terhadap Kelalaian yang Dilakukan oleh PDAM Tirtanadi Medan.....
138
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
149
A. Kesimpulan ........................................................................
149
B. Saran .................................................................................
150
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
152
BAB V.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
3.1. Data Sumber Air PDAM Tirtanadi Kota Medan – Sumatera Utara..
69
3.2. Data Sumber Air dan Daerah Pelayanan Kota Medan Tahun 2008 ..
70
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
DAFTAR SKEMA
Nomor
Judul
Halaman
1.
Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi .....................
122
2.
Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Mediasi..........................
122
3.
Penyelesaian Sengketa Secara Arbitrase .........................................
127
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gerakan konsumen internasional sejak tahun 1960 memiliki wadah yang cukup berwibawa, yaitu International Organization of Consumers Unions (IOCU) yang kemudian sejak tahun 1995 berubah menjadi Consumers Internasional (CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen yang berasal dari sekitar 90 negara di dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri ada dua organisasi yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Jakarta dan LP2K Semarang. Yang mana setiap tanggal 15 Maret, CI memperingati hari konsumen sedunia, dan memberi tema yang berbeda untuk tiap-tiap tahunnya. 1 Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga gerakan konsumen di dunia internasional mau tidak mau menembus batas-batas negara, dan mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang sama. Persaingan antar produsen saat ini semakin ketat, dan hal ini berarti konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap produk barang dan jasa yang dikonsumsinya. Gejala-gejala itu memberi pengaruh pada gerakan konsumen di dunia dan di Indonesia, yakni mulai beralih dari isu-isu konsumen dari sekedar mempersoalkan mutu menuju ke arah yang lebih berskala makro dan universal. Perhatian konsumen
1
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 43.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
dalam negeri sama dengan perhatian konsumen di berbagai negara, dan konsumen di Indonesia pun menjadi konsumen global. Dalam hal ini konsumen juga termasuk masyarakat yang tidak terlepas dari hukum di mana kehidupan yang semakin berkembang ini, keterbatasan pengetahuan konsumen mengenai kewajaran mutu dan harga barang atau jasa selama ini telah menempatkan posisi konsumen sebagai mangsa produsen/pelaku usaha. Keadaan ini diperparah lagi dengan sikap tak mau tahu pelaku usaha/produsen dalam menanggapi keluhan konsumen terhadap jasa monopoli seperti air minum. Dalam keadaan yang demikian konsumen tidak memiliki kekuatan yang berarti. Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu ditingkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Dengan keadaan seperti inilah pemerintah berusaha mengatasi permasalahan perlindungan konsumen ini yaitu dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dengan berlakunya UUPK tersebut, penegakan aturan hukum dan upaya perlindungan terhadap konsumen dapat diberlakukan sama bagi setiap konsumen maupun pelaku usaha. Yang mana undang-undang ini merupakan payung hukum masyarakat untuk melindungi haknya atau setidak-tidaknya konsumen telah memiliki senjata dalam mempertahankan haknya. Dengan demikian diharapkan pelaku usaha
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
dapat meningkatkan citranya meningkatkan kualitas produk jasanya, demikian juga halnya dengan pelaku usaha pengadaan air bersih. Pelayanan umum (public service) memang sarat dengan berbagai masalah, apalagi wilayah jangkauannya sendiri sangat luas meliputi sektor profit maupun non profit, pembedaan pelayanan umum menjadi sektor profit dan non profit semata-mata didasarkan pada misi yang diemban instansi/institusi pelayanan umum tersebut.2 Salah satu pelayanan umum yang bersifat profit adalah Perusahaan Air Minum (PDAM/PAM). Meskipun profit, perusahaan negara seperti PDAM ini amat menguntungkan rakyat banyak. Tujuannya lebih banyak dirahkan pada usaha memakmurkan rakyat, hal ini dilakukan karena mengingat pentingnya air minum bagi kehidupan manusia. Hal ini termaktub di dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengadaan air bersih ini menjadi perhatian di seluruh dunia. Lebih dari satu miliar manusia di seluruh dunia kehilangan akses terhadap sumber air bersih. Sekitar 1,6 juta anak di seluruh dunia meninggal akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar air bersih dan sanitasi yang sehat. Air bersih dan sanitasi yang baik merupakan elemen penting yang menunjang kesehatan manusia. Namun sayangnya pemenuhan kebutuhan tersebut belum sepenuhnya berjalan dengan baik di berbagai belahan dunia. Menurut temuan terbaru Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 1,1 milyar penduduk di wilayah pedesaan dan perkotaan kekurangan akses terhadap air minum 2
Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 160. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
dari sumber yang ada. Di luar itu, 2,6 milyar warga tidak memiliki akses terhadap kesehatan dan kebersihan (sanitasi) dasar. 3 Menurut
peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
907/MENKES/SKIVII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum disebutkan bahwa: air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa melalui proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Sedangkan air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Pada dasarnya pengadaan air minum adalah tanggung jawab manusia sendiri dan memang sejak semula secara tradisional masyarakat telah mengadakan usahausaha pengadaan air minum secara sendiri ataupun kolektif dengan memanfaatkan alam dan sumber daya yang ada, walaupun demikian mengingat keterbatasanketerbatasan yang ada seperti makin sulitnya air bersih, keringnya sumur, jauh dari mata air maka diperlukan usaha untuk pengadaan air minum tersebut dari pihak pemerintah, di antaranya dengan memberikan pelayanan berupa pengadaan perusahaan air minum (PAM/PDAM) yang dapat dinikmati semua lapisan masyarakat yang membutuhkan air bersih. Pemerintah dengan inisiatifnya sendiri memang sudah menyediakan pelayanan umum kepada masyarakat atau konsumen, jauh sebelum upaya perlindungan konsumen ada, semua ini dilakukan untuk memberikan pelayanan 3
Laporan situs resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Desember 2006.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
kepada konsumen dan memastikan konsumen dapat menggunakan fasilitas umum tersebut dengan biaya yang murah, hanya saja, kenyataannya masih banyak konsumen yang belum memperoleh kepuasaan dalam menggunakan pelayanan publik meskipun pemerintah telah berubah status menjadi penyedia jasa monopoli. 4 Kebutuhan akan air minum terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat. Hal ini mendorong masyarakat yang belum memiliki sumber air minum sendiri akan menghubungi perusahaan air minum (PAM/PDAM). Dalam hal ini antara PDAM selaku pemberi jasa pengadaan air minum dengan konsumen selaku penerima jasa air minum terdapat suatu hubungan hukum, yaitu adanya kewajiban dari penerima jasa untuk memberi imbalan atas jasa yang diterimanya sesuai dengan jumlah air yang dikonsumsi yang tertera dalam water meter serta sesuai dengan besaran tarif yang telah ditentukan, di samping itu juga terdapat hak-hak dari pelanggan sebagai penerima jasa yaitu: hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi air bersih yang diterimanya, hak mendapat informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi airnya, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas air yang diterima dari PDAM. Dalam kenyataannya masih banyak pelanggan yang mengeluhkan pelayanan PDAM Tirtanadi yang mengecewakan karena kualitas air sangat buruk. Kenyataan ini mengundang perhatian anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) R.I yang menyatakan: 4
Indah Sukmaningsih, Dimensi Pelayanan Publik dalam Masalah Perlindungan Konsumen, Lokakarya Hukum Perlindungan Konsumen bagi Dosen dan Praktisi Hukum, Jakarta, 1997, hal. 1. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Kita akan panggil pihak PDAM guna membicarakan banyaknya keluhan yang disampaikan masyarakat tentang pelayanan tersebut, mengingat air merupakan kebutuhan penting dalam aktivitas sehari-hari. Selain distribusi air ke rumah penduduk yang macet, juga akan dibahas mengenai buruknya kualitas air yang disalurkan. Air tidak hanya digunakan saat kegiatan mencuci, tetapi juga untuk konsumsi. Sebab itu, sangat penting menjaga mutu air karena menyangkut kesehatan dan kebersihan masyarakat. 5 Demikian juga hasil pengkajian atas pengaduan masyarakat pada Komisi C DPRD Medan tentang kualitas air PDAM Tirtanadi, menyatakan: 6 90% pelanggan Titanadi itu masyarakat Kota Medan. DPRD Medan punya kewajiban untuk membela hak-hak konsumen yang telah dikebiri oleh perusahaan BUMN ini. Sebab mereka menyampaikan pengaduan bahwa air yang mereka konsumsi sering berwarna hitam, kadang berlumpur dan kurang sehat. Komisi C sudah melakukan penelitian terhadap air produk Tirtanadi ini. Hasil pengkajian yang dilakukan melalui Total Dis of Solide atau Eletrolizer ini membuktikan bahwa kwalitas air Tirtanadi tidak sehat karena mengandung logam, lumpur dan berbagai zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan lainnya sebesar 0,60%. Itu artinya kwalitas kesehatan air sudah melampaui ambang batas standarisasi yang sudah ditentukan yakni, 0.12%. Sebagai konsumen sudah tentu merasa hak yang seharusnya diperoleh sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK tidak terpenuhi, sehingga merupakan hak konsumen
untuk
menuntut
dipenuhinya
hak-hak
tersebut
atau
adanya
pertanggungjawaban dari PDAM sehubungan dengan kerugian yang dialami oleh konsumen dalam memperoleh air bersih. 7
5
Parlindungan Purba, ”Pelayanan PDAM Tirtanadi Buruk”, Harian Global, tanggal 24 Mei
2008. 6
Zainuddin, ”PDAM Tirtanadi Sepelekan DPRD Medan”, http://www.hariansuarasumut.com/ beritautama.html. 7 Dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, ditentukan penggolongan air yang dapat digunakan untuk air minum menjadi dua golongan yaitu: Golongan A merupakan air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu, sedangkan Golongan B merupakan air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum. Selanjutnya dalam Lampiran Peraturan Pemerintah tersebut ditentukan Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Sesuai dengan kedudukannya masyarakat sebagai pelanggan PDAM yang telah mengadakan perjanjian dengan pihak penyelenggara jasa air minum yaitu pihak PDAM, salah satu hak konsumen adalah hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi air bersih yang diterima. Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 8 Perjanjian antara konsumen dan pihak PDAM memakai bentuk perjanjian baku atau standar, bersifat baku karena isi perjanjian tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Dalam perjanjian antara konsumen dengan pihak PDAM juga terlihat sifat perjanjian yang konfeksi dan massal yaitu bentuk perjanjian untuk semua konsumen sama tanpa ada perbedaan antara konsumen yang satu dengan yang lainnya. Lazimnya dalam perjanjian baku terdapat klausula eksonarasi yang merupakan pembatasan pertanggungjawaban dari kreditur. Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan, karena itu pengadilan dapat mengesampingkan eksonerasi itu. Houwing mengatakan bahwa eksonerasi karena sengaja tidak memenuhi perjanjian
parameter jenis air bersih atau dapat diminum tersebut diantaranya adalah tidak berbau dan tidak berasa. 8 Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
adalah sama dengan pembatasan perjanjian tersebut. Eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. 9 Jika seseorang konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cidera janji). Jika sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum. Dalam konsepsi perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seseorang diberi kesempatan untuk menggugat sepanjang terpenuhi tiga unsur, yaitu ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau tergugat), ada kerugian (yang diderita penggugat), dan ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu. 10 Perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan dari undang-undang. Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian ini merupakan faktor yang sangat penting walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada, perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Demikian juga halnya antara masyarakat pelanggan air minum dari PDAM, terjadinya hubungan hukum karena adanya permohonan yang diikat dengan suatu perjanjian antara konsumen dengan PDAM. Dalam UUPK, hak konsumen atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi air itu diakomodir dalam Pasal 4 huruf a, hak atas kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Kemudian juga dalam huruf 9
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 20. 10 Ibid, hal. 48. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
c, konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, dari ketentuan tersebut maka sudah menjadi hak konsumen untuk mendapatkan aliran air yang bersih yang aman bagi kesehatannya dan adanya kenyamanan dalam mengkonsumsi air minum dari PDAM yang senantiasa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Pelayanan Air Bersih: Penelitian pada PDAM Tirtanadi Medan”.
B. Permasalahan Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih oleh PDAM sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen? 2. Apakah faktor-faktor penyebab tidak dipenuhinya hak-hak konsumen untuk memperoleh pelayanan air bersih? 3. Bagaimana upaya dan penyelesaian tuntutan konsumen terhadap kelalaian yang dilakukan oleh PDAM Tirtanadi Medan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih oleh PDAM sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tidak dipenuhinya hak-hak konsumen untuk memperoleh pelayanan air bersih. 3. Untuk mengetahui upaya dan penyelesaian tuntutan konsumen terhadap kelalaian yang dilakukan oleh PDAM Tirtanadi Medan.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya di bidang pelaksanaan perlindungan konsumen dalam hubungannya dengan jasa yang dikuasai oleh pemerintah. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih khususnya bagi para akademisi, mahasiswa dan masyarakat umum.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitar Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Pelayanan Air Bersih: Penelitian Pada PDAM Tirtanadi Medan” belum pernah dilakukan. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 11 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. 12 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis13 Perlindungan hukum terhadap konsumen adalah sebuah penegakan hukum yang membutuhkan pengaturan-pengaturan berupa ancaman si pelanggar. Hal ini tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang merupakan suatu perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian perlindungan kepada konsumen. Dalam hal perlindungan hukum kepada konsumen ini dikatakan oleh Munir Fuady bahwa “apabila sesuatu hukum telah ditegakkan terhadap seseorang, berarti suatu langkah untuk merealisasi kebahagian masyarakat luas telah diambil, sekaligus
11
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27. menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 12 Ibid, hal. 16. 13 M. Solly Lubis, op.cit, hal. 80. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
pula terwujudnya suatu langkah kesengsaraan (penggerogotan kebahagiaan) terhadap pihak melanggar ketentuan hukum”. 14 Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 1 UUPK dinyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 15 Definisi konsumen dapat pula ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam undang-undang ini yang dimaksud konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan ini secara garis besar maknanya diambil dari pengertian dalam UUPK. Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, oleh karena itu perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.
14
Munir Fuady dalam Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 22. 15 Sudaryanto, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 17, menyatakan konsumen ialah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dalam Pasal 1 UUPK, diartikan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan konsumen. Secara umum dikenal adanya empat hak dasar konsumen, hal ini mengacu pada Presiden Kennedy’s 1992 Consumer’s Bill of rights, yang dikemukakan Shidarta, yaitu: 16 1. Hak untuk mendapatkan keamanan (The right to safety). 2. Hak untuk mendapatkan informasi (The right to be informed). 3. Hak untuk memilih (The right to choose). 4. Hak untuk didengar (The right to be heard). Empat hak dasar ini diakui secara internasional, dalam perkembangannya organisasi-organisasi
konsumen
yang
tergabung
dalam
The
International
Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan bagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. 17 Dalam UUPK empat hak dasar yang tersebut di atas, juga akomodasikan, hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dimasukkan dalam UUPK karena UUPK secara khusus mengecualikan hak-hak yang diatur dalam undang-undang di bidang hak dan kekayaan intelektual (HaKI) dan di bidang pengelolaan lingkungan, tidak jelas mengapa hanya kedua bidang hukum ini saja yang dikecualikan secara khusus, mengingat sebagai undang-undang payung
16 17
Sidharta, op.cit, hal. 16. Ibid.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
hukum, UUPK seharusnya dapat mengatur hak-hak konsumen itu secara lebih komprehensif. 18 Hukum di dalamnya mengatur peranan dari para subjek hukum yang berupa hak dan kewajiban. Hak adalah suatu peran yang bersifat fakultatif artinya boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, berbeda dengan kewajiban adalah peran yang bersifat imperatif, artinya harus dilaksanakan. Hubungan keduanya adalah saling berhadapan dan berdampingan karena di dalam hak terdapat kewajiban untuk tidak melanggar hak orang lain dan tidak menyalahgunakan haknya. 19 Hukum
dapat
melindungi
kepentingan
seseorang
dengan
cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasaan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut sebagai hak. 20 Perlindungan di bidang keperdataan diadakan bertitik tolak dari tarik menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat. Jika seseorang sebagai anggota masyarakat merasa dirugikan oleh warga masyarakat lain, tentu ini akan membuat pihak yang dirugikan menggugat pihak lain itu agar bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah terdapat
18 19
Ibid, hal. 17. Sasonggko Wahyu, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Ajar, Universitas Lampung Press, 1999,
hal. 56. 20
Ibid, hal. 56.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
hubungan hukum berupa perjanjian di lapangan hukum keperdataan, tetapi dapat pula sebaliknya, sama sekali tidak ada hubungan hukum demikian. 21 Jika seseorang konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cidera janji). Jika sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum. Dalam konsepsi perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), seseorang diberi kesempatan untuk menggugat sepanjang terpenuhi tiga unsur, yaitu ada kesalahan (yang dilakukan pihak lain atau tergugat), ada kerugian (yang diderita penggugat), dan ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu. 22 Dalam hukum perlindungan konsumen, aspek perjanjian ini merupakan faktor yang sangat penting walaupun bukan faktor mutlak yang harus ada, perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan dari undang-undang. Dalam hukum positif Indonesia, masalah perikatan secara umum diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perikatan dalam kodifikasi hukum itu adalah perikatan dalam lapangan hukum kekayaan. Artinya, perikatan tersebut dikaitkan dengan hak-hak tertentu yang mempunyai nilai ekonomi. Jika hak itu tidak dipenuhi, ada konsekuensi yuridis untuk menggantinya dengan sejumlah uang tertentu. 23
21
Sidharta, op.cit, hal. 48. Ibid, hal. 48. 23 Ibid, hal. 82. 22
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Perikatan dapat terjadi karena dua sebab, yaitu karena adanya perjanjian dan karena undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). 24 Dua pengertian ini sangat mempengaruhi perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen di dalamnya. Agar perjanjian itu memenuhi harapan kedua belah pihak, masing-masing perlu memiliki itikad baik untuk memenuhi prestasinya secara bertanggung jawab. Hukum di sini berperan untuk memastikan bahwa kewajiban itu dijalankan dengan penuh tanggung jawab seperti kesepakatan semula. Jika terjadi pelanggaran dari kesepakatan itu maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian tersebut. Selain perjanjian, sumber perikatan lainnya adalah undang-undang. Perikatan yang timbul karena undang-undang ini dalam Pasal 1352 KUH Perdata dibedakan menjadi perikatan yang memang ditentukan oleh undang-undang dan perikatan yang timbul karena perbuatan orang. 25 Di dalam perkembangannya saat ini, kebanyakan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis bahkan pada saat ini terdapat kecenderungan untuk membuat perjanjian dalam bentuk baku atau standar. Hal ini sesuai dengan kecenderungan masyarakat untuk bertindak secara praktis dan efisien dalam hal waktu dan tenaga. Dikatakan bersifat baku karena klausula perjanjian tersebut tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar oleh pihak lain. Tidak adanya pilihan bagi salah
24
Pasal 1233, berbunyi: Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang Pasal 1352, berbunyi: Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undangundang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. 25
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
satu pihak dalam perjanjian tersebut cenderung akan merugikan pihak yang kurang dominan. 26 Sutan Remy Sjahdeini mengatakan, perjanjian baku yaitu perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 27 Menurut Pitlo dalam Badrulzaman, bahwa: 28 Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah karena keadaan sosial dan ekonomi. Dalam perkembangan ekonomi semakin banyak perusahaan besar, perusahaan semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah yang mengadakan kerjasama dengan suatu perusahaan lain. Untuk kepentingan itu diciptakan syarat-syarat tertentu secara sepihak untuk diajukan kepada mitra kontraknya. Pihak lawan dalam perjanjian baku ini biasanya kedudukan ekonomi yang lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya yang kemudian hanya menerima saja apa yang disodorkan dalam formulir perjanjian tersebut. Dengan penggunaan perjanjian baku ini maka pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu. Perjanjian antara konsumen dan pihak PDAM memakai bentuk perjanjian baku atau standar, bersifat baku karena isi perjanjian tersebut telah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Dalam perjanjian antara konsumen dengan pihak PDAM juga terlihat sifat perjanjian yang konfeksi dan massal yaitu bentuk perjanjian untuk semua konsumen sama tanpa ada perbedaan antara konsumen yang satu dengan yang lainnya.
26
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 53. 27 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 66. 28 Pitlo dalam Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar), Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, 1980, hal. 8. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Lazimnya dalam perjanjian baku terdapat klausula eksonarasi yang merupakan pembatasan pertanggungjawaban dari kreditur. Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan, karena itu pengadilan dapat mengesampingkan eksonerasi itu. Houwing mengatakan bahwa eksonerasi karena sengaja tidak memenuhi perjanjian adalah sama dengan pembatasan perjanjian tersebut. Eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. 29 Tujuan utama klausula eksonerasi adalah mencegah pihak konsumen merugikan kepentingan pengusaha. Dalam perjanjian, konsumen adalah pihak yang diservis oleh pengusaha, sehingga konsumen berposisi dilayani dan pengusaha berposisi sebagai pelayan. 30 Dalam UUPK hak-hak konsumen diatur dalam Pasal 4, dalam pasal ini terdapat delapan hak yang dituangkan secara eksplisit dan satu hak yang dirumuskan secara terbuka, hak-hak tersebut adalah: 31 a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/jasa. b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
29
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 20. 30 Ibid, hal. 20. 31 Pasal 4 UUPK. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/jasa penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. h. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Selain dari rumusan Pasal 4 UUPK tersebut juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah: 32 a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
32
Pasal 7 UUPK.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Selain mengatur tentang hak-hak konsumen UUPK juga mengatur hak-hak dari pelaku usaha yang harus dihormati dan/atau dilaksanakan oleh konsumen. Dalam UUPK hak pelaku usaha ini diatur dalam Pasal 6, yaitu: 33 a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak pelaku usaha juga diatur dalam Pasal 5 UUPK karena pasal ini merupakan pengaturan kewajiban konsumen yang secara antinomi juga merupakan hak pelaku usaha, dalam Pasal 5 UUPK disebutkan bahwa kewajiban konsumen adalah: 34 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Zoemrotin K Susila mengemukakan, dengan kepastian hukum yang jelas dan tegas, pelaku usaha akan semakin berhati-hati dalam memproduksi barang dan/atau
33 34
Pasal 6 UUPK. Pasal 5 UUPK.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
jasa, sehingga secara langsung memberikan perlindungan prefentif terhadap konsumen. 35 Dalam UUPK telah diatur hak dan kewajiban konsumen itu sendiri. Bahwa apabila ada hak pasti harus ada kewajiban, dengan kata lain antara hak dan kewajiban itu sudah merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian agar keduanya dapat berjalan seimbang sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan tidak sehat dapat dilakukan sebagai upaya yang harus dilakukan, khususnya oleh pemerintah, guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itu sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini. Maka dengan undang-undang perlindungan konsumen diharapkan dapat memberikan kenyamanan serta kepastian hukum dalam hal perlindungan terhadap konsumen itu sendiri, khususnya dalam pelayanan air bersih dari PDAM/PAM.
2. Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.36 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu 35 36
Zoemrotin K. Susila, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, Jakarta, 1999, hal. 10. Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hal. 10.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
istilah yang dipakai. 37 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut: a. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 38 b. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 39 c. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. 40 d. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. 41
37
Tan Kamelo, “Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara”, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal. 35. 38 Pasal 1 angka 2 UUPK. 39 Pasal 1 angka 3 UUPK. 40 Pasal 1 angka 4 UUPK. 41 Pasal 1 angka 1 UUPK. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
e. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. 42
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan, 43 dalam hal ini pelaksanaan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. 44 Kalaupun ada digunakan pendekatan yuridis empiris hanyalah sebagai pendukung penelitian ini.
2. Sumber Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut:
42
Pasal 1 angka 9 UUPK. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63. 44 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 13. 43
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan
penelaahan
bahan
kepustakaan
atau
data
sekunder
yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 45 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945. b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih. 3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelayanan air bersih. b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan masalah pelayanan air bersih terhadap konsumen atau masyarakat, dengan melakukan wawancara kepada: 1) Pimpinan/Pejabat PDAM Tirtanadi Medan; 2) Konsumen atau masyarakat pengguna air bersih dari PDAM Tirtanadi Medan, sebanyak 10 (sepuluh) orang.
45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 39. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
3. Alat Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data, yaitu:
1. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan pelayanan air bersih bagi konsumen PDAM Tirtanadi Medan yang selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
2. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada informan yang telah ditetapkan tentang pelayanan air bersih bagi konsumen PDAM Tirtanadi Medan.
4. Analisis Data Analisis data penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis kualitatif, sehingga hasil analisis ditentukan berdasarkan uraian-uraian fakta di lapangan untuk memperkuat argumentasi yang dapat dijadikan sebagai dasar penarikan kesimpulan. Sebagaimana layaknya pelaksanaan jenis deskriptif, penelitian ini pada dasarnya tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data yang dikumpulkan.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM PELAYANAN AIR BERSIH OLEH PDAM SESUAI DENGAN UNDANGUNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Tinjauan Umum tentang Konsumen 1. Pengertian Konsumen
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian istilah ini dalam ketetapan tersebut. Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000, satu tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar makanya diambil alih oleh UUPK. Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (koper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan menyatakan, “Consumers by definition include us all”. 46 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Az. Nasution 46
Mariam Darus Badrulzaman, “Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar)”, dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 57. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
adalah “setiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu”.47 Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Di Spanyol, pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas, yaitu: “Any individual or company who is the ultimate buyer or user of personal or real property, products, service or activities, regardless of whether the seller, supplier or producer is a public a private entity, acting alone or collectively”. 48 Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. 49 Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula
47
A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum., Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 69. R.A. Anderson dan W.A. Krumpt, Business Law, South-Western, Publishing Co., Cincinnati, 1972, hal. 553. 49 A.S. Hornby, Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English. Oxford University Press, Oxford, 1989, hal. 183. “(opp to producer) person who uses goods”. 48
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Kamus Bahasa Inggris-Indonesia 50 memberi arti kata consumer sebagai “pemakai atau konsumen”. Selanjutnya konsumen (sebagai alih bahasa dari consumer), secara harfiah pula berarti “seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa”, atau “seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”, juga “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. 51 Adapula yang memberikan arti lain, yaitu konsumen adalah “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. 52 Dari berbagai studi yang dilakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen diperoleh batasan tentang konsumen (akhir) antara lain: 53 a. Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjualbelikan. b. Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali. c. Setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
2. Hak-hak Konsumen Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu: 1) hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); 2) hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); 50
John M. Echlos & Hasan Sadly, Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia, Jakarta, 1986, hal.
124. 51
John Sinclair, Collins Cobuild English Language Dictionary. William Collins Sons & Co, Glasgow, 1988, hal. 303. 52 As. Hornby, op.cit, hal. 185. 53 A.Z. Nasution, hal. 71. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
3) hak untuk memilih (the right to choose); 4) hak untuk didengar (the right to be heard). Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi
konsumen
yang
tergabung
dalam
The
International
Organization of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. 54 Ada delapan hak yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UUPK, sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka. Hak-hak konsumen itu adalah: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Di samping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 UUPK yang
54
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 16.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition). 55 Dalam hukum positif Indonesia, masalah persaingan curang (dalam bisnis) ini diatur secara khusus pada Pasal 382 bis KUHPidana. 56 Selanjutnya, sejak 5 Maret 2000 diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan diperuntukkan bagi sesama pelaku usaha, tidak bagi konsumen langsung, tetapi pada dasarnya ketentuan ini juga dalam rangka memenuhi hak-hak konsumen.
B. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Hukum konsumen terdiri dari rangkaian peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perilaku orang dalam pergaulan hidup untuk memenuhi kebutuhan
55
Ibid, hal. 17. Pasal 382 KUHPidana, berbunyi: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum serta merugikan penanggung asuransi atau pemegang surat bodemerij yang sah, menimbulkan kebakaran atau ledakan pada suatu barang yang dipertanggungkan terhadap bahaya kebakaran, atau mengaramkan, mendamparkan, menghancurkan, merusakan, atau membuat tak dapat dipakai, kapal yang dipertanggungkan, atau yang muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya dipertanggungkan, ataupun yang atasnya telah diterima uang bodemerij, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 56
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
hidup mereka. Orang-orang tersebut terutama terdiri dari (pengusaha) penyedia barang atau penyelenggara jasa yang merupakan kebutuhan hidup manusia serta konsumen pengguna barang atau jasa tersebut. Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu terdapat di dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis: antara lain hukum perdata, hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Oleh karena itu, menjadi penting penggunaan instrumen-instrumen hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi, hukum internasional, dan hukum-hukum acara yang berkaitan dengan instrumen hukum itu, dalam pembahasan hubungan dengan masalah atau perlindungan konsumen. Secara universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pelaku usaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya bersaing/daya tawar. Kedudukan konsumen ini, baik yang bergabung dalam suatu organisasi apalagi secara individu, tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu, untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut dibutuhkan perlindungan kepada konsumen. Adapun pokok-
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
pokok dan pedomannya telah termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR. 57 Sejalan dengan batasan hukum konsumen, maka hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. 58 Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. 59 Ketentuan dalam KUH Perdata yang paling banyak digunakan atau berkaitan dengan asas-asas dan kaidah hukum mengenai hubungan dan masalah konsumen, adalah Buku Ketiga KUH Perdata tentang Perikatan dan Buku Keempat KUH Perdata tentang Pembuktian dan Daluarsa. Buku Ketiga KUH Perdata memuat berbagai 57
UUD 1945, Pembukuan Alinea 4 yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk memebentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia....”. 58 Az. Nasutioan, op.cit, hal. 66. 59 Ibid, hal. 64. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
hubungan dalam perikatan, terjadi baik berdasarkan suatu perjanjian maupun yang lahir karena undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Hubungan hukum konsumen itu adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata). 60 Hal ini berkaitan dengan perjanjian jual beli di mana
akan
melahirkan
hak
dan
kewajiban
bagi
para
pihak.
Di dalam Buku Keempat KUHPerdata tentang pembuktian dan daluarsa terdapat ketentuan-ketentuan tentang beban pembukt ian dan alat-alat bukti. Hal ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban para pihak apabila terjadinya sengketa dalam perjanjian jual beli. Dalam kepustakaan ilmu ekonomi, digunakan berbagai istilah untuk kedua jenis konsumen tersebut. Di antaranya untuk konsumen dengan tujuan komersial digunakan istilah intermediate consumer, intermediate buyer, derived buyer atau consumer of the industrial market. Sedang bagi konsumen pengguna barang atau jasa untuk keperluan sendiri, keluarga atau rumah tangga (konsumen non-komersial), digunakan istilah ultimate consumer, ultimate buyer, end user, final consumer atau consumer of the consumer market. 61 Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum
60 61
Ibid, hal. 101. Lazo H., Marketing, Alexander Hamilton Institute, 1971, New York, hal. 61.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Ada juga yang berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu. A.Z. Nasution berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asasasas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. 62 A.Z. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. 63 Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu, tidak seimbang. Merupakan kenyataan bahwa kedudukan konsumen yang berjumlah besar itu, mempunyai kedudukan sangat lemah dibandingkan dengan para penyedia
62 63
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 9. Ibid, hal. 10.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
kebutuhan konsumen, baik penyedia swasta maupun pemerintah (publik) seperti pengadaan air bersih yang dilaksanakan oleh PAM/PDAM. Selanjutnya perlindungan konsumen diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang disahkan pada tanggal 20 April 1999. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU Perlindungan itu disebutkan bahwa “perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Pengertian perlindungan adalah memberikan jaminan adanya kepastian hukum kepada masyarakat dari setiap hal yang merugikan mereka. Karena itu, perlindungan konsumen adalah perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam kegiatannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
2. Latar Belakang Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Kemajuan
ekonomi
terutama
dalam
sektor
perdagangan
sangat
mempengaruhi kegiatan bisnis di dunia, tidak terkecuali Indonesia sebagai negara yang ingin mencapai tujuannya mensejahterahkan rakyatnya. Perkembangan berbagai produk konsumen, bentuk usaha, dan praktek bisnis lainnya dipengaruhi oleh perkembangan pesat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Tidak dapat disangkal bahwa IPTEK sangat berperan dalam setiap kegiatan bisnis di dunia. Berkaitan dengan itu AZ. Nasution menyatakan, Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Berbagai produk konsumen, bentuk usaha dan praktek bisnis yang ada pada masa diterbitkannya KIJH Perdata dan KUH Dagang belum ada, kini sudah dikenal dalam praktek. Beberapa hal pokok tentang subyek hukum suatu perikatan, seperti: bentuk perjanjian baku, perikatan sewa beli, kedudukan hukum berbagai cara pemasaran produk konsumen seperti penjualan dan rumah ke rumah, promosi-promosi dagang, iklan, serta praktek niaga lainnya yang tumbuh karena kebutuhan atau kegiatan ekonomi, tidak terakomodasi atau kalaupun ada terakomodasi secara sangat sumir dalam perundangundangan itu. 64 Perkembangan pola kehidupan ekonomi modren yang lebih berdasarkan pada persaingan bebas dalam pemasaran barang maupun jasa dalam masyarakat yang semakin berkembang menimbulkan banyak permasalahan. Dengan sistem pemasaran yang bersaing ini, pada akhirnya pihak konsumenlah yang paling dirugikan. Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak berperan terhadap perlindungan konsumen. Latar belakang dan perlindungan konsumen ini ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan konsumen di akhir abad ke-19. “Liga konsumen pertama kali dibentuk di New York pada tahun 1891, dan pada tahun 1898 terbentuklah perkumpulan konsumen untuk tingkat nasional di Amerika Serikat yaitu Liga Konsumen Nasional (The National Consumer’s League). Hingga pada masa sekarang dapat dilihat bahwa perlindungan Konsumen di Amerika Serikat telah berkembang dengan pesat. Sejalan dengan keadaan di atas, maka pada tahun 1985, PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen di negaranya masing-masing. James F. Engel, dkk, mengatakan: 64
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999, hal. 48-49. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Gerakan sosial yang muncul untuk memastikan bahwa suara konsumen didengar dan diberi respon dikenal dengan konsumerisme. Konsumerisme ini didefinisikan sebagai kebijakan dan aktifitas yang dirancang untuk melindungi kepentingan dan hak konsumen ketika mereka terlibat dalam suatu hubungan dengan organisasi jenis apapun. 65 Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan 66 yaitu: 1. Tahapan 1 (1881 - 1914) Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal, akibat novel karya Upton Sinclair yang berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan. 2. Tahapan II (1920 - 1940) Pada kurun waktu ini muncul buku yang berjuduk your money’s worth karya Chase dan Schink, Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli. 3. Tahapan III (1950 - 1960) Pada dekade tahun 1950-an ini muncut keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen dan Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, Belgia pada tanggal 1 April 1960. Berdirilah internasional organization of consumers yang berpusat di Den Haag. Belanda. 4. Tahapan IV (pasca-1965) Pasca-1965 sebagai masa pemantapan gerakan perundungan konsumen, baik tingkat regional maupun internasional yang berpusat di London, Inggris. Sementara itu, Indonesia seperti juga kebanyakan negara dunia lainnya memiliki konsep yang tersendiri. Di Indonesia sungguhpun konsep ekonomi pancasila masih kabur, tetapi landasannya telah mulai disusun, arah dan sasarannya 65
James F. Engel, Roger D. Blackwell dan Paul W. Miniard, Perilaku Konsumen, edisi keenam, Jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995, hal. 457. 66 H C. Tantri & Sularsi, Gerakan Organisasi Konsumen, Jakarta, YLKI, 1995, hal. 3-4 dalam Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 30. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
telah mulai ditentukan. Konsekuensi logisnya bahwa konsep perlindungan konsumen versi pancasila tentu akan berbeda dengan konsep perlindungan konsumen negara lain. Sejalan dengan itu Munir Fuady mengatakan:
67
Perbedaan itu bisa juga sebagai konsekuensi dan perbedaan sistem, penekanan tahap-tahap dari pembangunan suatu negara. Adanya trend pembangunan untuk meningkatkan produksi dalam negeri, misalnya proteksi terhadap produsen atau pengusaha kecil, akan memberi warna tersendiri pula terhadap masalah perlindungan konsumen ini. Di Indonesia, gema dan perlindungan konsumen mulai didengungkan dalam tahun 1970-an, dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) bulan Mei 1973. Lahirnya YLK ditandai oleh rasa mawas diri terhadap gemuruhnya promosi yakni promosi untuk memperlancar perdagangan dalam negeri. Tahun 1972, Ny. Lasmidjah Hardi mengetahui suatu kegiatan berupa aksi promosi terhadap berbagai barang dalam negeri, yaitu Pekan Swa Karya. Sejak itu mulai muncul suarasuara dari masyarakat khususnya dan pers untuk mengimbangi usaha promosi terhadap barang-barang dalam negeri dengan langkah-langkah pengawasan, agar kualitasnya tetap terjamin dan masyarakat konsumen tidak dirugikan. Selanjutnya, Ibu Kartika Sujono Prawirabisma mengusulkan dasar gerak dari YLK ini tersimpul dari motto: “melindungi konsumen, menjaga martabat produsen, membantu pemerintah”. 68 Lebih lanjut dikatakan oleh Tini Hadad: 69 67
Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, buku ke-2. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 150-151. 68 A.Z. Nasution, op.cit, hal. 22. 69 Tini Hadad dalam A,Z. Nasution, Ibid, hal. Vii. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Selama 25 tahun bekerja, dari pengalaman YLKI masih terdapat banyak permasalahan yang harus dihadapi konsumen Indonesia, di mana pengusaha dan pemerintah sering mengabaikan hak-hak konsumen, baik dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, maupun dalam penjualan produk. Persoalan kualitas produk yang rendah, penggunaan zat tambahan yang dilarang dalam makanan atau tidak mengikuti dosis yang telah ditentukan, persoalan asuransi, dan persoalan tarif dan lain-lain merupakan keadaan yang selalu dihadapi konsumen. YLKI melihat bahwa meningkatnya sengketa antara konsumen dengan produsen, dan hal ini harus disadari kembali. Maka berdasarkan pertimbangan di atas dbentuklah suatu Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dasar pertimbangan diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana dalam penjelasan umumnya, bahwa pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. 70 Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
70
Penjelasan Umum UUPK, paragraf ke-1.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. 71 Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. 72 Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. 73 Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. 74
71
Penjelasan Umum UUPK, paragraf ke-2. Penjelasan Umum UUPK, paragraf ke-3. 73 Penjelasan Umum UUPK, paragraf ke-4. 74 Penjelasan Umum UUPK, paragraf ke-5. 72
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di samping itu, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada pembangunan
nasional
termasuk
filosofi pembangunan nasional bahwa
pembangunan
hukum
yang
memberikan
perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. 76
75
Penjelasan Umum UUPK, paragraf ke-5, ke-7, dan ke-8. Lihat, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, paragraf ke-9, dan selanjutnya dalam paragraf ke-10 disebutkan, di samping itu, UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya juga untuk melindungi kepentingan konsumen. 76
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
3. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Sejumlah peraturan yang tidak pernah disebut-sebut sebagai prioritas, dalam kenyataannya justru banyak yang didahulukan pengesahannya daripada UndangUndang Perlindungan Konsumen. Hal ini memperkuat dugaan yang beredar selama ini, pemerintah biasanya mendahulukan peraturan-peraturan yang menguntungkan pihaknya contoh peraturan di bidang perpajakan daripada peraturan-peraturan yang membebaninya dengan kewajiban yang besar seperti di bidang perlindungan konsumen. Oleh karena itu menurut Hans W. Micklitz dalam perlindungan konsumen dapat ditempuh dengan dua kebijakan, yaitu: Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keselamatan). Dengan demikian dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip tentang tanggung jawab mutlak yang merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen, di mana dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. 77
77
Hans W. Micklitz dalam Shidarta, op.cit, hal. 49.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dibedakan scbagai berikut: a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan hukum perdata sebagaimana uraian berikut ini:
1) Aspek hukum pidana Bentuk-bentuk tindak pidana yang menjadi dasar pembebanan tanggung jawab produsen terhadap konsumen adalah: a) Negligence Negligence ialah suatu perilaku yang tidak sesuai dengan kelakuan (standard of conduct) yang ditetapkan oleh undang-undang demi perlindungan anggota masyarakat terhadap risiko yang tidak rasional. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah adanya perbuatan kurang cermat yang merugikan orang lain, yang semestinya seorang penjual atau produsen mempunyai duty of care. Untuk dapat menggunakan negligence sebagai dasar gugatan harus memenuhi syarat-syarat: 78 a. Adanya suatu tingkah laku yang menimbulkan kerugian yang tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal. b. Yang dibuktikan adalah bahwa tergugat (produsen) lalai dalam duty of care terhadap penggugat (konsumen). c. Kelakuan itu seharusnya penyebab nyata (proximate cause) dari kerugian yang timbul. 78
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Indonesia dengan Belanda, Yogyakarta, 1988, hal. 7. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Pembuktian adanya negligence mencakup pembuktian atas: 79 (1) Kerugian yang diderita ditimbulkan oleh cacat yang ada pada produk. (2) Bahwa cacat tersebut telah ada pada penyerahan. (3) Bahwa cacat pada produksi disebabkan oleh kurang cermatnya produsen.
b) Warranty (breach of warranty) Gugatan dari konsumen terhadap produsen berdasarkan breach of warranty (pelanggaran janji, jaminan) ini didasarkan pada suatu hubungan kontrak. Produsen secara tegas atau diam-diam memberi jaminan bahwa produknya dapat memenuhi keinginan/kebutuhan. Pada
umumnya
warranty
(janji,
jaminan)
itu
dapat
dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu: 80 a. Express warranty, janji, jaminan yang dinyatakan secara tegas (eksplisit). b. Implied warranties, janji, jaminan yang dinyatakan secara diam-diam (implisit). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak disebut-sebut kata “konsumen”. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar kesalahan yang dilakukan produsen, antara lain: 1.
Pasal 202 KUHP: (1) Barangsiapa memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan orang lain, padahal diketahuinya bahwa karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, 79 80
Ibid, hal. 14. Ibid, hal. 7.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
2.
3.
4.
5.
6.
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 81 Pasal 204: Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagibagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan mengakibatkan orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Pasal 205: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barangbarang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling lama satu tahun. Barang-barang itu dapat disita. 82 Pasal 382: Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu, jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu bahan lain. Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat. Pasal 390: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat berharga menjadi turun atau naik, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan tahun. 83
2) Aspek hukum perdata
81
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan..., op.cit, hal. 142. Sidharta, op.cit, hal. 91. 83 Ibid,hal. 92.
82
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, dalam bidang perdata khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata, prinsip ini dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi: tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 KUH Perdata berbunyi: setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga alas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya. Pasal 1367 KUH Perdata, berbunyi: seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan ini dalam hukum perdata, menyatakan seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Sebagaimana Pasal 1365 KUH Perdata di atas mengharuskan terpenuhinya 4 (empat) unsur pokok tentang melawan hukum, yaitu: 1) adanya perbuatan; 2) adanya unsur kesalahan; 3) adanya kerugian yang diderita; Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
4) adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (Presumption of Liability Principle), sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dengan 4 (empat) variasi: 84 1. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya. 2. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian. 3. Pengangkutan dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya. 4. Pengangkutan tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas mutu barang yang diangkat tidak baik. c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip-prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi. Konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian tidak dapat dibenarkan. Contoh dari prinsip ini adalah kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si
84
E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain di Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, 1976, hal. 18. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Hal ini pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. 85 d. Prinsip tanggung jawab mutlak Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolut liability). Prinsip tanggung jawab ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, sebaliknya absolut liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian. Sebagaimana pernyataan R.C Hoeber, et al, prinsip tanggung jawab mutlak ini karena:
86
1. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks. 2. Diasumsikan produsen lebih mengantipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya. 3. Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab ini diberi nama product liability.
85 86
Ibid, hal. 19. R.C Hoeber, et al, dalam Shidarta, op.cit, hal. 64.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) ditetapkan dalam hukum tentang product liability adalah: 87 1. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (risiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduk/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran. 2. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab. 3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini. Menurut asas ini produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan. Gugatan product liability ini dilakukan berdasarkan 3 (tiga) hal yaitu: 1. melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk, 2. ada unsur kelalaian yaitu produsen lalai memenuhi standar prbuatan obat yang baik, dan 3. menerapkan tanggung jawab mutlak. 88 e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung
87
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 54. 88 Sidharta, op.cit, hal. 65. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. Misalnya dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang dicuci/cetak hilang atau rusak (akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar 10 x harga satu rol film. 89 Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Dalam pengangkutan udara, yakni Pasal 17 ayat (1) Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab dengan pembatasan, dikaitkan dengan dengan prinsip tanggung jawab mutlak. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dari uraian di atas terlihat adanya prinsip-prinsip pertanggungjawaban umum dari pihak pengusaha maupun dari konsumen sendiri untuk dapat menyatakan telah dirugikan oleh pihak pengusaha. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dapat ditarik aspek perdata tetapi juga dapat ditarik aspek pidana. 89
Ibid, hal. 66.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), perlakuan terhadap konsumen korban tindak pidana di bidang perlindungan konsumen, telah berubah, baik dari segi peraturan hukumnya sendiri, maupun praktik peradilan. Penempatan dalam sistem UUPK menjamin kepentingan dan hak-hak serta kewajiban kedua belah pihak, yaitu hak dan kewajiban para pihak yang bersifat timbal balik. Hak konsumen merupakan kewajiban pelaku usaha untuk memenuhinya, sebaliknya hak pelaku usaha merupakan kewajiban konsumen untuk memenuhinya, seperti yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Bab Ill Bagian Pertama UUPK (hak dan kewajiban konsumen) serta Pasal 6 dan Pasal 7 Bab III Bagian Kedua UUPK (hak dan kewajiban pelaku usaha). Meskipun peraturan-peraturan hukumnya sendiri, tidak memihak dan sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), namun, menurut Satjipto Rahardjo, terjadinya pelapisan sosial dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan, maka hukum pun susah untuk mempertahankan netralitas atau kedudukan yang tidak memihak. Hukum itu diskriminatif, kuncinya terletak pada adanya pelapisan sosial tersebut. Akibatnya, ditinjau dari pandangan sosiologis, bahwa hukum tidak memihak, hanya sebagai mitos belaka, yang dalam pelaksanaan sehariharinya sering dibuktikan ketidakbenarannya. 90
90
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 164-165.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. 91 Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. 92 UUPK telah mengubah paradigma lama yang kurang berorientasi pada kepentingan hak konsumen. Pasal 63 butir c UUPK telah menempatkan hukuman tambahan berupa pembayaran ganti kerugian atas pelanggaran-pelanggaran normanorma UUPK, di samping dijatuhkan sanksi pidana pokok berupa: 1) pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda maksimal Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah); dan
91 92
Ibid, hal. 165. Pasal 19 UUPK.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
2) pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau pidana denda maksimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Seperti halnya dalam acara perkara perdata perlindungan konsumen mengenai pembuktian terbalik, instrumen hukum acara pidana dalam UUPK juga menganut suatu sistem beban pembuktian terbalik, seperti yang diatur Pasal 22 UUPK bahwa: Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Pasal 19 ayat (4) menegaskan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Demikian pula penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UUPK. Ada 2 hal yang perlu dicermati pada Pasal 22 UUPK tersebut: 93 Pertama, dikatakan sebagai kasus pidana, apabila unsur-unsur suatu tindak pidana sesuai dengan sistem pidana telah dijalankan, seperti penyidikan, penuntutan suatu tindak pidana di bidang perlindungan konsumen. Kedua, kasus pidana yang dimaksudkan dalam Pasal 22 UUPK tersebut terkait dengan ketentuan-ketentuan Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 UUPK. Pasal 19 ayat (4) UUPK menegaskan bahwa pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa tidaklah menghapuskan 93
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kecana, Jakarta, 2008, hal. 179-180. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
kemungkinan tuntutan pidana berdasarkan pembuktian terbalik tentang ada tidaknya unsur kesalahan. Sedangkan Pasal 20 dan Pasal 21 UUPK masingmasing memberikan penekanan pada: 1) Tanggung jawab tersangka/terdakwa, yaitu: importir bertanggung jawab atas barang yang diimpor, jika pelaksanaan impor produk barang tidak dilakukan agen atau perwakilan produsen barang tersebut di luar negeri; 2) Tanggung jawab subjek tersangka/terdakwa, yaitu: importir bertanggung jawab atas jasa yang diimpor, jika penyediaan jasa tidak dilakukan agen atau perwakilan penyedia jasa asing. Selanjutnya salah satu bagian penting dalam penyelesaian sengketa perdata konvensional, adalah beban pembuktian (bewijstlast/burden (proof). Kepada pihak mana ditetapkan beban pembuktian apabila timbul suatu perkara. Keliru menetapkan beban pembuktian dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak yang dibebani, dan memberi keuntungan kepada pihak yang lain. 94 Secara teknis, Pasal 163 HIR/283 RBg dan Pasal 1865 KUH Perdata merupakan ketentuan umum (general rule) dalam penerapan pembagian beban pembuktian. Dapat disimpulkan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu hak, padanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan hak yang didalilkannya, dan siapa yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil bantahan dimaksud. 95 94
Ibid, hal. 180. Ibid, hal. 181. Selanjutnya lihat, Pasal 163 HIR/283 RBg yang berbunyi: Barangsiapa yang mengatakan mempunyai sesuatu hak, atau ia menyebutkan sesuatu kejadian untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Kemudian, Pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi: Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. 95
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dalam hal hubungan kontraktual antara konsumen dan pelaku usaha/ produsen, maka kualifikasi gugatannya adalah wanprestasi. Hubungan kontraktual tidak disyaratkan jika konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum. Dalam kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur: 96 a. Adanya perbuatan melawan hukum. b. Adanya kesalahan/kelalaian pelaku usaha/produsen. c. Adanya kerugian yang dialami konsumen. d. Adanya hubungan klausul antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen. Konsumen dihadapkan pada beban pembuktian yang berat, karena harus membuktikan keempat unsur tersebut. Penerapan pembagian beban pembuktian tersebut, diperlukan apabila para pihak yang berperkara saling mempersengketakan dalil gugatan yang diajukan penggugat. Akan tetapi jika para pihak mengakui apa yang disengketakan, pedoman pembagian beban pembuktian yang digariskan Pasal 1865 KUHPerdata, atau Pasal 163HIR/283RBg tidak relevan lagi, karena tidak ada lagi hak atau kepentingan yang harus dibuktikan. Prinsip tersebut merupakan pedoman dalam hukum perdata konvensional. 97
96 97
Ibid, hal. 182-183. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Kesatu, 2005, hal.
183. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Apabila dalam ketentuan undang-undang hukum materiil menentukan sendiri kepada pihak mana diwajibkan memberikan beban pembuktian, maka pedoman pembagian beban pembuktian tidak lagi merujuk kepada Pasal 1865 KUH Perdata maupun Pasal 163 HIR, tetapi sepenuhnya mengacu kepada pasal undang-undang yang menentukan sendiri wajib bukti yang harus diterapkan dalam kasus tertentu. 98 UUPK
mengatur
tentang
kebijakan
perlindungan
konsumen,
baik
menyangkut hukum materiil yang menerapkan beban pembuktian terbalik maupun didukung oleh aspek hukum formil dengan membentuk lembaga penyelesaian sengketa konsumen, di samping pengakuan gugatan dengan cara gugatan perwakilan kelompok/class action dan legal standing seperti yang diatur dalam Pasal 46 UUPK. Sistem pembuktian yang digunakan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 UUPK, yaitu sistem pembuktian terbalik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 UUPK, bahwa Pembuktian ada atau tidak adanya kesalahan, dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dan Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha (pihak yang digugat). Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28 UUPK ini, maka jika pelaku usaha gagal membuktikan tidak adanya unsur kesalahan, dan cukup memiliki alasan yang sah menurut hukum, maka gugatan ganti kerugian yang dituntut penggugat/konsumen akan dikabulkan. 99
98 99
Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hal. 24. Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 184.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
C. Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Pelayanan Air Bersih oleh PAM/PDAM Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar bealakang bahwa dalam pergaulan ke masyarakat sering sekali terjadi perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh para subjek hukum. Manusia sebagai subjek hukum sering mengabaikan hubungan hukum dengan subjek hukum yang lain, guna memenuhi kebutuhannya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah mengenai air minum, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut tentu pada pihak tersebut haruslah mengadakan hubungan hukum dengan pihak PDAM sebagai produsen air minum/air bersih. Masyarakat sebagai konsumen air bersih tersebut masih dalam prakteknya sering menemui air bersih dari PDAM yang tidak memenuhi standar air minun/air bersih, yaitu air yang bau dan kotor dalam penyaluran kepada masyarakat, sehingga tidak terlindunginya hak konsumen. Perlindungan terhadap konsumen air bersih dari PDAM merupakan hal yang sangat penting, mengingat kedudukan konsumen yang masih sangat lemah. Sehingga terkadang konsumen sering merasa dirugikan oleh pelaku usaha itu sendiri. Keengganan masyarakat sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999, lebih berdasarkan pada: 1. Ketidakjelasan norma-norma perlindungan konsumen. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
2. Praktek peradilan yang tidak lagi sederhana atau cepat dan biaya ringan. 3. Sikap menghindar konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar pengusaha. PDAM sehagai produsen air minum dan manusia dan atau badan hukum sebagai konsumen air minum dalam hal melahirkan persetujuan yang menyangkut pemakaian air minum tunduk pada kesatuan hukum publik, karena persetujuan yang dibuat oleh PDAM dengan seseorang atau badan hukum lain mengenai aliran air minum adalah merupakan persetujuan publik. Yang dimaksud dengan persetujuan publik adalah “Suatu yang sebahagian atau seluruh dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai pengusaha (pemerintah). 100 Sejalan dengan pengertian dan persetujuan publik tersebut, maka apabila di dalam suatu persetujuan yang dilakukan oleh pihak PDAM dengan seseorang atau dengan badan hukum sebagai konsumen mengenai pemakaian air minum haruslah tunduk
kepada
ketentuan-ketentuan
publik,
yaitu
peraturan-peraturan
yang
dikeluarkan oleh pemerintah atau Direksi PDAM. Dengan demikian kerjasama yang baik terpadu dan dinamik demi kelangsungan pembangunan, khususnya aliran air minum menganut sistem yang mantap dan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Diperlukan pengawasan penegak hukum untuk pelaksanaan pemenuhan hak dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing pihak baik 100
Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hal. 39. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
konsumen, instalator, dan PDAM untuk menjamin kepastian hukum dan untuk keadilan, sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 4 UUPK dinyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Dalam rangka melindungi kepentingan konsumen, maka dalam Pasal 8 UUPK memberikan larangan kepada pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan produksi dan perdagangan barang atau jasa yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan, demikian juga hal dalam pengadaan air bersih yang dilakukan oleh PDAM Tirtanadi, maka masyarakat sebagai konsumen berhak memperoleh pelayanan air bersih sesuai standar air bersih. Selain dari larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi syarat, juga Pasal 8 UUPK ini memberikan larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen. Undang-undang perlindungan konsumen tidak hanya mencantumkan hak-hak konsumen dan larangan pelaku usaha, tetapi juga dalam Pasal 5 UUPK diatur mengenai kewajiban-kewajiban dari konsumen, yaitu: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, maka sesuai Pasal 6 UUPK pelaku usaha memiliki hak: a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Selanjutnya mengenai ganti rugi, diketahui bahwa sebagai konsekwensi hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh UUPK, dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi hukum, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberi hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dan pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen tersebut. Pasal 19 UUPK menyebutkan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Dalam hal terjadinya tuntutan ganti rugi dari konsumen kepada PDAM, maka menurut Pasal 28 UUPK disebutkan, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23 UUPK merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Pasal 22 UUPK menyatakan, pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Kemudian, dalam Pasal 23 disebutkan, pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dari ketentuan Pasal 23 tersebut secara tegas diatur dalam hal konsumen dirugikan maka selain melakukan gugatan melalui badan peradilan, juga dapat dilakukan gugatan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen. UUPK membentuk suatu lembaga dalam hukum perlindungan konsumen, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Pasal 1 butir 11 UUPK menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berkala kecil dan bersifat sederhana. Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, teurtama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha/produsen, karena sengketa di antara konsumen dan pelaku usaha/produsen, bisanya nominalnya kecil sehingga
tidak
mungkin
mengajukan
gugatan
sengketanya
di
pengadilan
karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut. 101 Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha. 102
101
Indah Sukmaningsih, ”Harapan Segar dari Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, Kompas, 20 April 2000. 102 Sularsi, “Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen”, dalam Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disunting oleh Arimbi, Penerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2001, hal. 86-87. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Terbentuknya lembaga BPSK, maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena penyelesaian sengketa melalui BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari kerja, dan tidak dimungkinkan banding yang dapat memperlama proses penyelesaian perkara. 103 Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa diperlukan kuasa hukum. Murah karena biaya persidangan yang dibebankan sangat ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen. 104 Jika putusan BPSK dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak perlu diajukan ke pengadilan. Dasar hukum pembentukan BPSK adalah Pasal 49 ayat (1) UUPK jo Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK. Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya Keputusan Presiden Nomor
103
Pasal 54ayat (3) dan Pasal 55 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan konsep dasar putusan BPSK bersifat final dan mengikat. 104 Yusul Shofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar Bidang Penyelesaien Sengketa Konsumen (BPSK), Piramedia, Jakarta 2004, hal. 17. Dijelaskan Iebih lanjut oIeh Aman Sinaga, proses pcnyelesaian sengketa di BPSK adalah sangat sederhana karena di BPSK hanya dikenal surat Pengaduan Konsumen dan jawaban Pelaku Usaha, kecuali untuk sengketa yang diselesaikan dengan cara arbitrase pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk mengajukan pembuktian. Kesederhanaan proses tersebut paling menonjol dapat dilihat jika sengketa konsumen diselesaikan dengan cara konsiliasi atau mediasi. Aman Sinaga, ”BPSK Tempat Menyelesaikan Sengketa Konsumen dengan Cepat dan Sederhana”, Media Indonesia, 27 Agustus 2004. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada beberapa kota/kabupaten termasuk Pemerintah Kota Medan. 105 Setiap penyelesaian sengketa konsumen dilakukan oleh majelis yang dibentuk oleh Ketua BPSK dan dibantu oleh panitera. Susunan majelis BPSK harus ganjil, dengan ketentuan minimal 3 orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) UUPK, yaitu unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. 106 Salah satu anggota majelis tersebut wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum. 107 Dengan
demikian
Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1999
tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur tentang hak konsumen yang dirugikan
105
Kehadiran BPSK diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar. Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di Kota Kupang, Kota Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Mataram, Kota Palangkaraya dan pada Kabupaten Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Jeneponto. Terakhir pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tangerang. Terakhir pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 yang membentuk BPSK di Kota Padang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tangerang. Pembentukan BPSK di Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat belum dilakukan karena terkait dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Argumentasi yang dikemukakan adalah bahwa otonomi untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, terletak pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, bukan pada kota. OIeh karena itu, Kota Jakarta Barat dan Jakarta Pusat tidak dapat dibentuk BPSK sebagaimana dimaksud oleh Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 106 Pasal 54 ayat (2) UUPK jo Pasal 18 ayat (2) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 107 Pasal 18 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
oleh pelaku usaha, dan lebih lanjut lagi UUPK menentukan pelaku usaha dalam hal ini PDAM bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat mengkonsumsi air minum yang dihasilkan atau diperdagangkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPK, dan ganti rugi itu dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Di samping itu UUPK mengatur tentang adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga konsumen dapat melakukan gugatan tidak hanya melalui pengadilan tetapi juga dapat dilakukan gugatan di luar pengadilan melalui lembaga tersebut.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIDAK DIPENUHINYA HAK-HAK KONSUMEN UNTUK MEMPEROLEH PELAYANAN AIR BERSIH
A. Sekilas tentang Perusahaan PDAM Tirtanadi 1. Pendirian PDAM Tirtanadi Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi didirikan pada tanggal 23 September 1905 dengan nama NV. Water Leiding Maatschappij Ajer Bersih yang berkantor pusat di Amsterdam negeri Belanda. Dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Sumatera Utara No. 11 Tahun 1979 perusahaan ini resmi menggunakan nama yang sekarang (PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM TIRTANADI) disingkat PDAM TIRTANADI yang terletak di Jl. Sisingamangaraja No. 1 Medan. 108 Pada tahun 1985 Peraturan Daerah ini disempurnakan dengan Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Utara No. 25 Tahun 1985 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Selanjutnya pada tahun 1991 diadakan perubahan pertama Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 1985 dengan Nomor 6 Tahun 1991. Dalam Peraturan ini PDAM Tirtanadi di samping menangani Air Bersih juga ditugasi mengelola Air Limbah. Selanjutnya pada tanggal 29 April 1999,
108
“PDAM Tirtanadi”, Buku Profil PDAM Tirtanadi, 1986, hal. 10.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1991 diperbaharui lagi dengan Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Utara No. 3 Tahun 1999.
2. Visi dan Misi Air yang merupakan sumber kehidupan adalah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Oleh karenanya kesejahteraan masyarakat dan keberhasilan pembangunan juga sangat tergantung dari kemampuannya untuk mengelola dan menyediakan air bersih kepada masyarakat secara berkesinambungan. Peningkatan taraf kehidupan masyarakat, sebagai salah satu tujuan utama pembangunan, dengan sendirinya akan menuntut terpenuhinya kebutuhan air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif. PDAM Tirtanadi, sesagai salah satu perusahaan daerah di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, memperoleh kehormatan mengemban misi untuk senantiasa mampu menyediakan kebutuhan air bersih kepada masyarakat secara lebih baik. Menyadari hal tersebut, arah dan sistem manajemen PDAM Tirtanadi selalu ditujukan untuk dapat melaksanakan misi tersebut dengan sebaik-baiknya. 3. Kegiatan Perusahaan PDAM Tirtanadi mempunyai tugas/fungsi untuk memenuhi kebutuhan air bersih
bagi masyarakat
Kota Medan dan sekitarnya secara merata dan
berkesinambungan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip perusahaan dalam pengelolaannya serta tidak mengabaikan aspek sosial, budaya dan kondisi
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
masyarakat. Selain pengelolaan air bersih, PDAM Tirtanadi juga mengelola fasilitas pengolahan air limbah. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Kerjasama Operasional (KSO) dengan tujuh PDAM/Pemerintah Kabupaten pada tahun 1998 dan 1999, wilayah pelayanan PDAM Tirtanadi bertambah dari 12 cabang menjadi 19 cabang. Ketujuh cabang yang dibentuk berdasarkan perjanjian KSO tersebut adalah: 109 i.
Cabang Deli Serdang dengan wilayah pelayanan meliputi Kecamatan Lubuk Pakam, Perbaungan, Tanjung Morawa, Tembung, Batang Kuis dan Pantai Cermin.
ii.
Cabang Tapanuli Tengah dengan wilayah pelayanan meliputi Kecamatan Pandan.
iii.
Cabang Tapanuli Selatan dengan wilayah pelayanan meliputi seluruh wilayah pelayanan PDAM Tambusai (tidak termasuk wilayah yang diserahkan ke Kabupaten Mandailing Natal sebagai pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan).
iv.
Cabang Nias dengan wilayah pelayanan meliputi Kota Gunung Sitoli.
v.
Cabang Toba Samosir dengan wilayah pelayanan meliputi kecamatan yang semula masuk sebagai wilayah pelayanan PDAM Mual Natio Kabupaten Tapanuli Utara.
109
http:/www.pdamtirtanadi.co.id/Sejarah PDAM.html. hal. 1.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
vi.
Cabang Mandailing Natal dengan wilayah pelayanan seluruh kecamatan yang semula merupakan wilayah pelayanan PDAM Tambusai Kabupaten Tapanuli Selatan yang diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal.
vii.
Cabang Parapat dengan wilayah pelayanan meliputi Kota Parapat. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Direksi PDAM Tirtanadi No.
10/KPTS/03 Tanggal 16 Januari 2003 telah dibentuk Cabang H.M. Yamin dengan wilayah pelayanan meliputi sebagian wilayah pelayanan Cabang Tuasan, Cabang Medan Denai dan Cabang Utama serta Cabang Diski dengan wilayah pelayanan meliputi sebagian wilayah pelayanan Cabang Sei Agul dan Cabang Sunggal, sehingga pada tahun 2003 wilayah pelayanan perusahaan bertambah dari 19 cabang menjadi 21 cabang. 110 4. Pelayanan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara untuk Medan Sekitarnya PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara adalah Perusahaan Daerah Milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang mengemban fungsi memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat Sumatera Utara pada umumnya dan Kota Medan pada khususnya. Saat ini PDAM Tirtanadi telah melayani pelanggan Kota Medan sekitarnya sebanyak 332.903 sambungan dengan konsumsi air bersih rata-rata pada tahun 2008 sebesar 9.188.122.800 M3.111
110
Ibid, hal. 1. ”Pelayanan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara untuk Medan Sekitarnya”, Butir Air Minum, Majalah PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, edisi II, 2008, hal. 17. 111
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat Kota Medan PDAM Tirtanadi memiliki beberapa Unit sumber air bersih berupa Instalasi Pengolahan Air (IPA), Sumur Dalam (deep weel) dan Spring Water (mata air) dengan kapasitas pada tabel berikut ini:
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Tabel 3.1. Data Sumber Air PDAM Tirtanadi Kota Medan – Sumatera Utara Fasilitas Produksi IPA Sunggal IPA Deli Tua
Lokasi
Jl. Sunggal Pekan Jl. Pamah Deli Tua Sibolangit Jl. Medan Brastagi TLM Jl. Limau Manis Hamparan Perak Jl. Hamparan Perak Limau Manis Jl. Limau Manis Sumur-sumur Bor Medan sekitarnya Jumlah
Kapasitas Terpasang L/D 1,800 1,400
Kapasitas Terpakai L/D 1,800 1,400
Jenis Pengolahan IPA IPA
600
630
Mata Air
500 200
500 100
IPA IPA
500 100 5,100
470 100 5,000
IPA Sumur Bor Liter/detik
Sumber: Data Sekunder dari PDAM Tirtanadi Cabang Medan, Tahun 2008
Air bersih dan unit produksi ada yang langsung disuplay ke konsumen terutama di daerah pelayanan sekitar unit produksi ada juga yang ditransitkan melalui stasiun pompa (booster pump) baru kemudian dipompakan lagi ke konsumen karena daerah layanannya jauh dari unit produksi. Sedangkan untuk menunjang sistem pendistribusian air bersih Kota Medan PDAM Tirtanadi memiliki stasiun pompa (booster pump) yang menyebar di kawasan Kota Medan. Seiring dengan pertambahan penduduk dan wilayah pelayanan PDAM Tirtanadi sampai dengan tahun 2008 jumlah kantor cabang telah mencapai 14 (empat belas) cabang yang berlokasi di daerah Medan sekitarnya. Jumlah pelanggan PDAM Tirtanadi Medan sekitarnya sampai dengan Juli tahun 2008 adalah sebanyak 332.903 sambungan pelanggan. Untuk itu pelayanan PDAM Tirtanadi telah mencapai 79% di wilayah Kota Medan, sedangkan sisanya 21% tersebar di berbagai wilayah kecamatan, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Tabel 3.2. Data Sumber Air dan Daerah Pelayanan Kota Medan Tahun 2008 Sumber IPA Sunggal
IPA Deli Tua
Sibolangit TLM Hamparan Perak Limau Manis
Sumur-sumur Bor
Daerah Pelayanan Wilayah J. Binjai, Gatot Subroto Reservoar Bp. Sei Agul Reservoar Bp. Gaverta & Reservoar Bp. Sejarah Reservoar Bp. Pasar IV + Reservoar Bp. Simalingkar Wilayah Setia Budi, Sudirman Reservoar Bp. Laubengklewang Reservoar Bp. Menara Reservoar Bp. Tuasan + Reservoar KIM Reservoar Bp. Rumah Susun Karya Jasa, Pancur Batu, Selayang, Sibolangit Reservoar Bp. Garu I Hamparan Perak, Marelan Reservoar Bp. Cemara Reservoar Bp. Martubung Tembung Medan Sekitarnya Jumlah
Cabang Sunggal Sei Agul Diski
Pelanggan 24,014 36,199 26,389
Padang Bulan
37,957
Medan Kota Medan Kota HM. Yamin Tuasan
13,820 27,146 24,644 28,013
Denai Deli Tua & Sibolangit Medan Amplas Medan Labuhan Cemara Belawan Kota Deli Serdang
37,719 15,632 13,294 15,329 12,783 10,513 3,257 1,394 332,903
Sumber: Data Sekunder dari PDAM Tirtanadi Cabang Medan, Tahun 2008
PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu PDAM terbaik di Indonesia yang merupakan tolok ukur dari seluruh PDAM yang ada di Indonesia yang menerapkan slogan 3 tas kualitas, kuantitas, dan kontinuitas dalam hal pelayanan kepada konsumennya. Seperti disampaikan oleh Bapak Mendagri yang berkunjung ke PDAM Tirtanadi tanggal 16 Juni 2008 yang lalu. Beliau mengatakan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara adalah PDAM terbaik di Indonesia dapat dilihat dari penanggulangan tingkat kebocoran air terkecil 24% dibanding kota-kota besar di Indonesia, harga rata-rata air Rp.2.150,- kedua terendah setelah PDAM
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Bandung, untuk kinerja bagus, dan bidang teknologi sangat baik dan kalau bisa ditingkatkan. 112 Dalam hal manajemen perusahaan menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 untuk Instalasi Pengolahan Air Deli Tua, Instalasi Pengolahan Air Sunggal dan Cabang Pemasaran Sunggal, Cabang Pemasaran Padang Bulan, Kantor Pusat, IPA Hamparan Perak, IPA Limau Manis, dan dalam tahun 2008 diharapkan seluruh Cabang Pemasaran Zona I akan mendapatkan sertifikat Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 dan khusus untuk IPA Deli Tua dan IPA Sunggal juga telah menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2004, menyusul PA Limau Manis dan IPA Hamparan Perak yang masih dalam persiapan dalam penerapan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2004 dan dalam tahun 2008 ini juga akan mendapatkan sertifikat Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2004 dan untuk Laboratorium Kantor Pusat penerapan ISO 17025:2005 dalam hal Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Kalibrasi. 113 Kemajuan yang telah dicapai tersebut tidak terlepas dari ketanggapan perusahaan dalam hal ini menghadapi setiap keluhan-keluhan pelanggan, dengan menggunakan Sistem Informasi Manajemen yaitu merupakan sistem informasi yang menghasilkan hasil keluaran (output) dengan menggunakan masukan (input) dan berbagai proses yang diperlukan untuk memenuhi tujuan tertentu dalam suatu 112
“Sistem Informasi Manajemen terhadap Peningkatan Pelayanan”, Butir Air Minum, Majalah PDAM Tirtanadi, edisi II, 2008, hal. 27. 113 Ibid, 27. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
kegiatan manajemen, yang mana sangat berguna bagi perusahaan dalam pengambilan keputusan. Adapun tujuan Sistem Informasi Manajemen secara umum agar dapat menyediakan informasi sesuai yang dinginkan oleh pihak manajemen dalam mengevaluasi, perbaikan dan pengambilan keputusan, sedangkan secara khusus Sistem Informasi Manajemen akan meningkatkan pelayanan dengan baik dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan cepat. Sistem Informasi Manajemen yang digunakan antara lain penggunaan SMS Gateway yaitu Pelayanan Informasi Pelanggan melalui SMS ke 0812-6021905 yang berisikan informasi antara lain: 114 1. Tagihan Rekening Air Untuk mengetahui tagihan bulan ini dengan mengetik Rek#NPA contoh: Rek#0101020014 2. Pengaduan Yaitu berisikan informasi kebocoran, air mati dsb, dengan mengetik Lapor#alamat pengaduan#pesan pengaduan contoh: Lapor#Jl.Utama No.50#pipa distribusi pecah 3. Tunggakan Rekening Air Untuk mengetahui berapa banyak tunggakan rekening air dan sudah berapa bulan menunggak. Dengan mengetik TRA#NPA contoh TRA#0101020014 4. Biaya Pasang Baru
114
Ibid, hal. 27. Khusus untuk Pengaduan misalnya ada pipa distribusi bocor di Jl. Asia wilayah/kawasan Cabang Medan Denai, maka pihak Divisi Zona-l memberitahukan ke Cabang yang bersangkutan untuk segera memperbaikinya, dan setelah selesai dikerjakan Cabang harus mengirim SMS ke 0812-6021-9O5*Selesai dikerjakan#. Di samping pelayanan berbentuk SMS pihak manajemen juga menyediakan telepon bebas pulsa/Dialogic kepada konsumen ke nomor 0800-1-700600 dengan memilih kode layanan untuk Tagihan Rekening Air Tekan 1, untuk Tunggakan Rekening Air tekan 2, untuk Tarit Pemakaian Air tekan 3, untuk Informasi Pasang Baru tekan 4, dan untuk Pengaduan tekan 5 diawali dengan tanda * dan diakhiri dengan tanda #. Informasi yang diminta pelanggan berupa tagihan, pasang baru dan pengaduan/keluhan akan diproses oleh pihak manajemen yaitu dengan identifikasi masalah, dan menyampaikan intormasi ter upto date yang dibutuhkan pelanggan. Khusus untuk pengaduan/keluhan pelanggan misalnya: air mati, pipa bocor diselesaikan paling lama l x 24 jam yang sifatnya emergency. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Untuk mengetahui biaya pasang baru, yaitu setelah mendaftar ketik PSB#No Registrasi Contoh PSB#12345 5. Status Pengaduan Untuk mengetahui status pengaduan yaitu dengan mengetik status#No.Pengaduan Contoh status# 102. Dalam setiap pengaduan masyarakat, maka peran serta aktif cabang untuk mengetahui, setiap ada gangguan, pendistribusian air di wilayah cakupan pelayanannya dengan berkoordinasi dengan pihak Operasional Zona khususnya bagian jaringan. Sehingga dengan adanya Sistem Informasi Manajemen konsumen dapat dengan mudah dan cepat mengetahui informasi mengenai tagihan, tunggakan, pasang baru dan dapat melaporkan setiap keluhan yang berhubungan dengan air misalnya air mati, air keruh, pipa bocor dan lain sebagainya dan bagi pihak manajemen dapat membantu
mengidentifikasi
suatu
masalah,
menyelesaikan
masalah
dan
mengevaluasi kinerja (informasi dibutuhkan dan dipergunakan dalam semua tahap manajemen, termasuk dalam mengevaluasi serta pengambilan keputusan). Secanggih apapun Sistem Informasi Manajemen yang dibuat/dibangun perusahaan tanpa didukung oleh SDM dan data yang up to date akan sia-sia, untuk itu perlu dikontrol pihak manajemen agar cabang dapat mengirimkan data yang diperlukan bagi pihak manajemen yang dapat mendukung dan Sistem Informasi Manajemen yang ada. Dan kepedulian semua pihak baik pusat maupun cabang untuk mengetahui dan tanggap dalam mengatasi gangguan pendistribusian air di wilayah cakupan pelayanannya dan selalu berkoordinasi satu dengan lainnya, agar Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
mendapatkan hasil yang maksimal dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan perusahaan dalam hal peningkatan mutu pelayanan kepada konsumen yang menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 dapat benar-benar tercapai, yang dapat dilihat dan kepuasan pelanggan terhadap perusahaan dan semakin sedikitnya komplain yang mengarah kepada perusahaan. Sehingga PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara kedepan dapat lebih baik dan maju di segala aspek dan tidak hanya terbaik di Indonesia tetapi terunggul di Asia Tenggara, yang merupakan Visi Perusahaan. 115 Di samping itu, untuk meningkatkan pelayanan air bersih bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maka upaya yang dilakukan PDAM Tirtanadi bekerjasama dengan Pemerintahan Kota Medan mengikuti program ECO-ASIA City to City Twinning Program di Filipina. Tujuan utama dari program Twinning Program ini adalah untuk membantu dan mendukung PDAM Tirtanadi serta Pemerintahan Kota Medan dalam penyusunan master plan pelayanan air minum bagi masyarakat penghasilan rendah (MBR). 116 Sebanyak 3.300 warga kurang mampu di Belawan, Medan, Sumatera Utara (Sumut) akan menikmati air bersih, setelah adanya kerjasama PDAM Tirtanadi, Pemkot Medan, dan ESP Sumut. Melalui kerja sama ini warga akan memperoleh sambungan pipa ke daerah mereka. Sementara itu, sejumlah daerah pinggiran Kota 115
Ibid, hal. 28. Zainal Abidin Siregar, “Eco-Asia City to City Twinning Program”, Butir Air Minum, PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, Edisi II, 2008, hal. 4-5. 116
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Medan yaitu Sunggal, Kampung Baru, Sei Mati, dan Yong Panah Hijau sudah mendapatkan penambahan sambungan langsung pipa air bersih dan sistem sanitasi. Sasarannya, untuk meningkatkan akses air bersih ke masyarakat kurang mampu di daerah itu. Kepala Public Relation PDAM Tirtanadi, Zainal Abidin Siregar mengatakan, untuk meningkatkan akses air minum untuk masyarakat tidak mampu, Mr Niels Van Dijk, ECO-ASIA Deputy Chief of Party/Water Supply and Sanitation Team Leader, telah melaksanakan pertemuan dengan PDAM Tirtanadi. Pertemuan itu, untuk mendiskusikan mengenai Program Twinning yang diharapkan dapat memberikan nilai tambah untuk pelaksanaan program-program tersebut. 117
B. Pengertian Air Bersih dan Air Minum Air meliputi 70% permukaan bumi dengan jumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik, namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang dapat benarbenar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003%. Sebagian besar air, kira-kira 97%, ada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi untuk kebanyakan keperluan. Dari 3% sisanya yang ada, hampir semuanya, kira-kira 87 persennya, tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah. 118 Keributan masalah air bersih bisa terjadi dalam suatu negara, kawasan, ataupun berdampak ke benua luas karena penggunaan air secara bersama-sama. 117
“Medan, Sumatera Utara: Warga Miskin Dapat Air Bersih”, http://www.mediaindonesia news & views.html. 118 “Air Bersih”, http://id.wikipedia,org/wiki/Air_bersih#Sumber_Air_bersih.html, hal. 1. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Di Afrika, misalnya, lebih dari 57 sungai besar atau lembah danau digunakan bersama oleh dua negara atau lebih; Sungai Nil oleh 9 negara, dan Sungai Niger oleh 10 negara. Sedangkan di seluruh dunia, lebih dari 200 sungai, yang meliputi lebih dari separo permukaan bumi, digunakan bersama oleh dua negara atau lebih. Selain itu, banyak lapisan sumber air bawah tanah membentang melintasi batas-batas negara, dan penyedotan oleh suatu negara dapat menyebabkan ketegangan politik dengan negara tetangganya. 119 Di seluruh dunia, kira-kira 20 negara, hampir semuanya di kawasan negara berkembang, memiliki sumber air yang dapat diperbarui hanya di bawah 1.000 meter kubik untuk setiap orang, suatu tingkat yang biasanya dianggap kendala yang sangat mengkhawatirkan bagi pembangunan, dan 18 negara lainnya memiliki di bawah 2.000 meter kubik untuk tiap orang. Sehingga penduduk dunia yang pada 2006 berjumlah 5,3 miliar diperkirakan akan meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2025 akan didera oleh ketersediaan air bersih. Laju angka kelahiran yang tertinggi justru terjadi tepat di daerah yang sumber-sumber airnya mengalami tekanan paling berat, yaitu di negara-negara berkembang, 120 demikian halnya di Indonesia.
119 120
Ibid, hal. 1. Ibid.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Air bersih adalah salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktifitas mereka sehari-hari termasuk diantaranya adalah sanitasi. 121 Jadi, air bersih sangat dibutuhkan oleh manusia, bahkan ketiadaan air bersih itu akan mengakibatkan: 122 1. Penyakit diare. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian kedua terbesar bagi anak-anak di bawah umur lima tahun. Sebanyak 13 juta anak-anak balita mengalami diare setiap tahun. Air yang terkontaminasi dan pengetahuan yang kurang tentang budaya hidup bersih ditenggarai menjadi akar permasalahan ini. Sementara itu 100 juta rakyat Indonesia tidak memiliki akses air bersih. 2. Penyakit cacingan. 3. Pemiskinan. Rumah tangga yang membeli air dari para penjaja membayar dua kali hingga enam kali dari rata-rata yang dibayar bulanan oleh mereka yang mempunyai sambungan saluran pribadi untuk volume air yang hanya sepersepuluhnya. Menurut
peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
907/MENKES/SKIVII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum disebutkan bahwa: 123 Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa melalui proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Sedangkan air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak”.
121
Richard Middleton, (terjemahan), “Air Bersih: Sumber Daya yang Rawan”, Seri Makalah Hijau, Tim Penerjemah IKIP Malang, tt, hal. 2. 122 “Air Bersih”, op.cit, hal. 2. 123 Arifin Rahmadsyah Nasution, Penyesuaian Tarif PDAM Tirtanadi untuk Peningkatan Kualitas Layanan, Majalah Buletin Tirtanadi, No. 4, Oktober 2005, hal. 24. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Untuk konsumsi air minum menurut departemen kesehatan, syarat-syarat air minum adalah tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak mengandung logam berat. Walaupun air dari sumber alam dapat diminum oleh manusia, terdapat resiko bahwa air ini telah tercemar oleh bakteri (misalnya Escherichia coli) atau zatzat berbahaya. Walaupun bakteri dapat dibunuh dengan memasak air hingga 100 °C, banyak zat berbahaya, terutama logam, tidak dapat dihilangkan dengan cara ini. 124 Syamsul Arifin mengemukakan: 125 Air bersih adalah air yang di dalamnya belum masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat yang menyebabkan air tersebut menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Selanjutnya, berberapa jenis kualitas air yang perlu diketahui untuk kegunaan praktis sehari-hari adalah antara lain: 126 1. Standar kualitas air minum (nasional maupun internasional). 2. Standar kualitas air untuk rekreasi dan tempat-tempat pemandian atau (nasional atau internasional). 3. Standar kualitas air yang dihubung-hubungkan dengan bahan buangan dan industri (disebut water effluent). 4. Standar kualitas air sungai (stream standard). Tersebut ini masih membedakan macam-macam standar berdasarkan pertimbangan kegunaannya. Air sungai digunakan sebagai media atau sumber hayati (perikanan) adalah berbeda bila digunakan sebaliknya sebagai sumber baku Perusahaan Air Minum (PAM). Demikan pula. berbeda bila sungai tersebut peranannya sengaja dikorbankan hanya sebagai tempat penampungan dan pembuangan segala bahan buangan hingga tidak lagi dituntut persyaratan standar yang begitu tinggi seperti standar-standar lainnya. 124
“Air Bersih”, op.cit, hal. 1. Syamsul Arifin dan Hamdan, Sanksi Pidana terhadap Badan Hukum Pencemaran Lingkungan, USU Press, Medan, 1996, hal. 97. 126 Ibid, hal. 98. 125
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Di samping pertimbangan kegunaan dari air bagi manusia, maka persyaratan bagi masing-masing standar kualitas air masih perlu ditentukan oleh 4 (empat) aspek, yaitu: 127 1. Persyaratan Bakteriologi. 2. Persyaratan Kimia. 3. Persyaratan Fisik. 4. Persyaratan Radioaktifitas. Persyaratan kualitatif ini adalah atas pertimbangan bahwa karena jaringan aliran air itu adalah demikian luas, maka tidak mustahil di dalam peredarannya pasti sampai di tempat-tempat yang dapat membahayakan kegunaannya oleh manusia. Keempat syarat yang dikemukakan di atas harus mendasari penentuan standar kualitas air minum. Untuk air minum maupun air baku bagi perusahaan Air Minum (PAM), masing-masing persyaratan kualitatif tersebut justru memiliki arti secara khusus, seperti: a. Persyaratan bakteriologis untuk air Ditentukan baik oleh kehadiran mikro organisme yang pathogen, maupun juga yang non pathogen. Sekalipun sebaliknya mikro organisme non pathogen secara relatif tidak berbahaya kepentingan kesehatan, namun karena golongan ini sering dalam jumlah berkelebihan dapat mempengaruhi rasa, bau esthetis dan lain-lain,
127
Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, Lampiran I. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
sehingga adanya mikro organisme non pathogen ini dapat berakibat menyulitkan pengelolaan air (water treatment). Di samping itu hadirnya mikro organisme non pathogen masih dapat mempengaruhi jenis proses pengelolaan oleh PAM. Seperti hadirnya ganggang yang berkelebihan akan mempercepat tersumbatnya sistem saringan pasir (sand filter) pada instalasi Perusahaan Air Minum. Atau hambatan pada saringan-saringan pomp dapat pula diakibatkan bakteri-bakteri besi (iron bacteria). Sebaliknya pertumbuhan yang merajalela oleh ganggang di dalam sistem air lebih dirangsang secara cepat bila disertai oleh adanya kelebihan unsur tembaga (Cu). Karenanya pembuangan bahan kimia Cu kedalam sungai yang digunakan sebagai sumber baku air bagi Perusahaan Air Minum perlu memperoleh perhatian. Demikian pula banyaknya mikro organisme non pathogen masih akan menimbulkan kekeruhan air (water tyrbidity).
b. Persyaratan kimia untuk air Karena bahan-bahan kimia pada umumnya mudah larut dalam air, maka tercemarnya air oleh bahan-bahan kimia yang terlarut khususnya timbal balik perlu dinilai kadarnya untuk mengetahui sejauhmana bahan-bahan terlarut itu mulai dapat dikatakan membahayakan eksistensi organisme maupun mengganggu bila digunakan untuk suatu keperluan (misalnya untuk air industri).
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Bagi air minum khususnya, persyaratan chemis yang memiliki hubungan dengan pengaruh toksisitas (kadar racun) harus lebih memperoleh perhatian, karena dampaknya dapat menimbulkan keracunan. c. Persyaratan radioaktifitas Pengaruh radioaktif dapat bersifat akut atau kronis. Pada kadar yang tinggi, pengaruh radioaktif terhadap makhluk hidup bersifat akut, yakni mengganggu proses pembelahan sel dan mengakibatkan rusaknya kromosom. Pengaruh radioaktif juga dapat menggagalkan produksi sel darah putih dan sel darah merah, dan dapat mengakibatkan muntah dan diare, serta dapat merusak sistem saraf. d. Persyaratan fisik untuk air Ditentukan oleh faktor-faktor kekeruhan (tyrbidity), warna, bau (odor) maupun rasa. Dari keempat indikator tersebut hanya bau saja penilaiannya ditentukan secara subjektif, dengan jalan air diencerkan secara berturut-turut sampai pengenceran berapakah air itu masih tetap berbau pada larutan yang paling encer. Jumlah pengenceran ini akan merupakan angka bau (odor number) dari air yang diperiksa. Umumnya penilaian bau maupun rasa sering dilakukan bersamaan sebagai suatu indikator antara keduanya sulit dipisahkan secara kualitatif. Bagi air minum persyaratan fisik ditetapkan antara lain oleh faktor-faktor kekeruhan warna maupun baunya.
C. Anggaran Publik untuk Penyediaan Air Bersih
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Banyak negara berkembang tidak memiliki sumber keuangan dan personil untuk memasang dan mengoperasikan sistem pengolahan air yang rumit. Bahkan, negara-negara maju pun membutuhkan teknologi yang sederhana dan tahan lama untuk daerah-daerah yang belum begitu maju. Sekarang ada kecenderungan ke arah penggunaan teknologi yang jauh lebih sederhana dan bukannya penggunaan sistem penyaringan rumit
yang menggunakan berbagai bahan filter dan kontrol
otomatis. 128 Tata cara di banyak negara berkembang diwarisi dari administrasi pemerintah kolonial sebelumnya. Walaupun secara teknis bagus, aturan ini cenderung terasa berlebihan karena awalnya dirancang untuk diterapkan pada kondisi yang berbeda. Peninjauan kritis tentang standar yang ada sekarang akan menunjukkan bahwa lebih banyak lagi orang yang bisa dilayani dengan anggaran yang secara keseluruhan sama. Sekarang tersedia program-program komputer yang mempermudah perancang untuk mengkaji efek penetapan parameter yang lebih tepat terhadap masyarakat yang dilayani daripada mengadopsi kriteria yang diimpor. Program-program semacam itu sekarang diterapkan sebagai sesuatu yang rutin di sejumlah negara (India, Filipina, Indonesia,
Cina, Burma, Srilanka, Thailand, dan Pakistan). Program ini
memungkinkan perencana untuk merancang jaringan distribusi hemat biaya yang bisa dijalankan hanya dengan biaya separuh biaya jaringan konvensional. 129
128 129
Richard Middleton, op.cit, hal. 6. Ibid,hal. 6.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Sebuah studi kasus di Filipina, mungkin merupakan sesuatu yang khas dari 40 sistem yang diperbaiki oleh Administrasi Perusahaan Air Minum Lokal dengan dukungan Bank Dunia. Dilaporkan bahwa modifikasi barang-barang rancangan lama menghasilkan turunnya biaya per kapita dari $45 ke $25. Ini adalah penghematan sekitar 45%. Penghematan ini berasal dari penggunaan pipa berpenampang lebih kecil untuk aliran yang kecil, penurunan ketentuan tekanan minimum untuk gedung satu tingkat, dan dirancangnya kemungkin pelayanan campuran daripada mengasumsikan bahwa setiap orang akan mampu membiayai saluran mereka sendiri. Di Filipina, penyediaan air yang bisa dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah sebenarnya dirancang akan diberikan melalui kran umum, meskipun sebenarnya air yang terbuang akan lebih sedikit seandainya orang-orang tersebut memiliki saluran sendiri. Namun, ternyata mereka justru lebih suka membayar semua biaya sambungan untuk saluran pribadi dan tidak bersedia untuk kran umum. Serupa dengan hal tersebut, di Cochabamba, Bolivia, para insinyur menemukan bahwa orang bersedia membayar lebih mahal untuk sambungan di halaman mereka daripada membayar untuk kran umum. Namun, dengan pelayanan yang sudah diperbaiki ini pun, mereka masih membayar 86% lebih rendah daripada seandainya mereka membayar ke pedagang keliling. 130 Selanjutnya, di Indonesia, terkait dengan akses terhadap air minum, sebagaimana diungkap oleh Suyono Dikun (Bappenas), menampilkan fakta; kapasitas 130
Ibid, hal. 7.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
terpasang tahun 2000 mencapai 95.078 liter/detik, dengan kapasitas operasi hanya 72.303 liter/detik. Dengan asumsi hingga 2015 tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan di bidang air minum, pada tahun 2015 kapasitas terpasang hanya mencapai 215.000 liter/detik. Sedangkan kebutuhan pada 2015 minimum sebesar 377.372 liter atau 11,9 miliar meter kubik per tahun. 131 Bila dilihat perkembangannya, pada 1996 kapasitas terpasang mencapai 9 ribu liter sehingga untuk mencapai target MDGs 2002 harus ada penambahan minimal 110 ribu liter/detik setiap tahunnya. Dengan menggunakan standar kebutuhan dana yang diperlukan untuk membangun prasarana dan sarana air minum (safe drinking water) maka untuk mencapai sasaran tersebut dibutuhkan dana sebesar 56,42 triliun rupiah, atau setiap tahunnya (sejak 2003) harus disediakan dana minimal 471 triliun rupiah. 132 Dana tersebut akan digunakan untuk memperbaiki, merevitalisasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan teknis yang ada, serta pembangunan baru prasarana dan sarana air minum yang dimulai sejak pengadaan air baku, membangun bangunan sadap air baku, transmisi, instalasi pengolahan air, bak penampung, jaringan distribusi, dan sambungan rumah. Pertanyaannya, apakah Indonesia mampu menyediakan dana sebesar itu hanya untuk satu bidang saja, mengingat hingga
131
Ketua Komisi V DPR-RI H. Ahmad Muqowam, “Peluang dan Kendala dalam Peningkatan Anggaran Publik untuk Pembangunan Prasarana Air Bersih”, dalam ”Anggaran Publik untuk Penyediaan Air Bersih”, http://www.suara publik.org/jaringan informasi kebijakan publikAnggaran Publik untuk Penyediaan Air Bersih.html., hal. 1. 132 Ibid. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
sekarang sektor perumahan dan permukiman sebagai induk bidang air minum belum menjadi prioritas pembangunan. 133 Dasar program penyediaan air minum pada era pemerintahan masa lalu ditetapkan mengikuti target pencapaian sasaran, sesuai pentahapan dalam GBHN dan pemerintah berkewajiban mendistribusikan hasil pembangunan ke seluruh daerah, termasuk air minum. Sejak 1980-an pembangunan fasilitas penyediaan air bersih dilaksanakan dari skala metropolitan sampai ke desa-desa. Perubahan peran pemerintah dan provider menjadi enabler sebagai pemicu bergeraknya pembangunan di daerah sesuai UU Otonomi Daerah, bidang keciptakaryaan telah merealisasikan sejak pertengahan 90-an. Daerah diberikan peran lebih untuk mengatur daerahnya sendiri, dan bertanggung jawab atas sebagian pembiayaan pembangunan. 134 Dari 296 PDAM di seluruh Indonesia, baru 20%-30% penduduk kota yang terlayani atau sekitar 70 juta jiwa. Dengan kapasitas produksi nasional air PDAM yang 72.000 liter/detik, sebagian besar PDAM masih menghadapi masalah kebocoran air (40% - 50%). Dana pemerintah pusat yang macet mencapai Rp. 4,6 triliun pinjaman dari SLA (Sub Loan Agreement) dan RDA (Regional Development Account). 135
133
Ibid, hal. 1-2. Pelaksanaan otonomi daerah sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dua kali dilakukan perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan sekarang dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. 135 Ahmad Muqowam, op.cit, hal. 2. 134
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Masalah utama yang menonjol pada pengelolan air minum saat ini adalah masalah keuangan yakni utang terhadap SLA dan RDA yang besar dan tidak mampu dicicil, biaya bahan baku makin mahal dan tarif air minum yang relatif masih rendah. Masalah lain yang cukup dominan ialah pelayanan dan kinerja PDAM. Masih banyak idle capacity, kebocoran, kapasitas, kualitas, kontinuitas pelayanan dan otorisasi pengelolaan yang belum diserahkan sepenuhnya. Selain itu, masalah kebijakan nasional yang masih mengijinkan subsidi bagi PDAM, diskriminasi bunga pinjaman dan tiadanya sanksi bagi PDAM yang gagal menjalankan fungsinya dengan baik. 136 Sedangkan secara umum persoalan besar dalam pengelolaan air di Indonesia, diantaranya: 137 a. Distribusi pelayanan air tidak merata. Distribusi lebih banyak difokuskan untuk melayani kegiatan komersial yang mendukung pembangunan ekonomi. Hanya konsumen yang mampu membayar yang dapat memiliki akses terhadap air bersih. b. Polusi air. Menteri Kesehatan mengatakan bahwa kualitas air di Jakarta dan kota besar lainnya tidak layak dijadikan sebagai air minum karena sumber airnya sudah tercemar. c. Ketidakmampuan Pemerintah Indonesia untuk memperluas jaringan irigasi bagi keperluan pertanian, sehingga salah satunya terjadi penurunan produksi padi. d. Berkurangnya sediaan (supply) air bersih maupun air minum yang disebabkan berkurangnya daerah tangkapan air akibat alih fungsi lahan. Selanjutnya anggaran publik atau anggaran pemerintah 138 memainkan sederet peranan dalam pembangunan suatu negara. Secara teoritis anggaran pemerintah
136
Ibid. Ibid. 138 M. Suparmoko, Keuangan Negara, dalam Teori dan Praktek, Edisi 5, BPFE, Yogyakarta, 2000, hal. 47-48. Yang dimaksud dengan anggaran (budget) ialah suatu daftar atau pernyataan yang 137
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
memainkan 3 fungsi utama, yaitu: fungsi alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi, anggaran pemerintah memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya juga dalam rangka pelayanan publik. Dalam fungsi yang lain termasuk pula pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (fungsi distribusi) serta penciptaan lingkungan makro ekonomi yang kondusif (fungsi stabilisasi). Fungsifungsi dasar tersebut kemudian melandasi perumusan kebijakan fiskal baik dari sisi pendapatan, pembiayaan, maupun belanja negara. Di sisi yang lain, pemerintah mengarahkan pembangunan nasional untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, tujuan-tujuan pembangunan nasional ini dijabarkan dalam agenda pembangunan nasional yang meliputi: (1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai; (2) mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis; (3) meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu: yang biasanya adalah satu tahun. Ada budget yang disusun berdasarkan atas tahun kalender yaitu mulai tanggal 1 Januari dan ditutup pada tanggal 31 Desember dan tahun yang bersangkutan, tetapi ada pula yang tidak dimulai pada tanggal 1 Januari dan diakhiri pada tanggal 31 Desember, sejak tahun 1969 Anggaran Pendapatan. dan Belanja Negara Indonesia dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir pada tanggal 31 Maret tahun berikutnya. Biasanya lembaga eksekutif yang mempersiapkan rencana penerimaan dan pengeluaran/belanja termasuk pos-posnya kemudian diajukan kepada lembaga legislatif untuk dipertimbangkan dan kemudian diputuskan serta ditetapkan sebagal undang-undang. Dalam UUD 1945 Presiden menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 23 ayat (1) UUD 1945). Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dalam rangka mengoptimalkan pencapaian agenda-agenda ini, diperlukan prioritas pembangunan sesuai ketersediaan pendanaan dan kebutuhan pembangunan. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa alokasi anggaran pemerintah seyogyanya berorientasi pada urutan prioritas pembangunan nasional dimaksud. Sebagai gambaran tahun 2006 sebagaimana dikemukakan Deni Adi Purwanto, peneliti INDEF bahwa: 139 Alokasi anggaran terbesar oleh pemerintah adalah pada fungsi pelayanan umum, secara relatif jauh lebih besar dibandingkan pos-pos fungsi lain dengan porsi sebesar 61,60%, dan pendidikan sebesar 10,12%. Sementara sisanya memperoleh porsi rata-rata 3,14%. Tak salah kemudian jika dikatakan bahwa alokasi anggaran untuk fungsi-fungsi yang krusial bagi publik maupun pembangunan nasional adalah “anggaran sisa”. Fungsi pelayanan umum secara normatif menjadi tanggung jawab pemerintah seperti administrasi pelayanan publik, belanja pegawai pemerintah dan sebagainya. Namun perkembangan alokasi anggaran pada fungsi pelayanan umum pada 2005, sebesar 22,05% dialokasikan untuk pinjaman pemerintah. Kemudian juga disorientasi anggaran pemerintah dapat terjadi karena beberapa hal berikut ini: 140 Pertama, kurang jelasnya prioritas di dalam RPJMN dan RKP. Di dalam RPJMN 2005-2009 disebutkan 33 prioritas pembangunan nasional mulai dan peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antar kelompok masyarakat hingga rencana rehabilitasi NAD dan Sumut. Namun terkait alokasi anggaran dan mobilisasi sumber daya pembangunan nasional, RPJMN 2005-2009 tidak menunjukkan prioritas masing-masing poin. Dengan kata lain, ke-33 prioritas yang ada tidak terurut sebagaimana layaknya prioritas. Kedua, pengajuan proyek kepada pemerintah seringkali belum sesuai dengan prioritas pembangunan nasional. Dalam RKP 2006 disebutkan bahwa prioritas pembangunan pada tahuri 2006 adalah prioritas yang terfokus pada upaya penyelesaian masalah mendesak dan berdampak luas bagi peningkatan 139 140
Deni Adi Purwanto dalam Ahmad Muqowam, Ibid, hal. 3. Ibid, hal. 3-4.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
kesejahteraan rakyat serta didukung oleh upaya-upaya untuk menciptakan keadaan Indonesia yang lebih aman, adil dan demokratis. Namun demikian anggaran yang diusulkan oleh departemen-departemen dan disetujui DPR belum sepenuhnya sesuai pada fokus sebagaimana disebutkan dalam RKP 2006. Ketiga, anggaran berdasarkan negoisasi dan kepentingan. Kemungkinan disorientasi anggaran disebabkan oleh pengajuan dan persetujuan yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan sejumlah pihak dari pada kepentingan publik. Proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah belum semuanya digunakan untuk membiayai pembangunan dan masih terasakan kebocoran dalam proses pencairan anggaran dan ke daerah dan pusat kepada departemen-departemen; legitimasi urgensi atau kepentingan satu proyek. Adalah fakta bahwa kondisi keuangan negara 141 yang terbatas, dalam arti terlalu besar kebutuhan namun belum optimalnya penerimaan negara. Ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pertama, meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, surplus BUMN, dan keringanan 141
Arifin P. Soetria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 85-86. Rumusan definisi dan penjelasan keuangan negara yang bergulir sejak 1945 berdasarkan Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 (naskah asli) sampai dengan amandemen ketiga UUD 1945, khususnya setelah penjabarannya dituangkan dalam Bab VIII, Pasal 23, Pasal 23C, Bab VIllA Pasal 23E, tetap tidak jelas dan masih menyisakan masalah yang cukup serius, baik dari segi hukum maupun dari segi akuntansi. Apalagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, definisi keuangan negara bukan bertambah jelas. Akan tetapi, justru menjadi lebih tidak jelas lagi batasnya. Hal demikian disebabkan merumuskan norma hukum yang hanya menggunakan pendekatan ilmu akuntansi akan membawa rumusan yang keliru. Hal demikian disebabkan secara dlametral ada perbedaan antara disiplin ilmu hukum dan ilmu akuntansi. Oleh karena itu, merumuskan norma hukum pendekatannya hendaknya selalu menggunakan pendekatan yuridis, meskipun disiplin ilmu lain dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran yang logis berdasarkan logika hukum. Rumusan keuangan negara menurut UU No. 17 Tahun 2003 maupun undang-undang lainnya yang berkaitan dengannya, tidak dilakukan berdasarkan logika hukum. Teoni mengenai lingkungan kuasa hukum (gebiedsleer) yang tidak terlepas dari subyek hukum (persoonsleer) dalam hal ini negara dan daerah sebagai badan hukum publik maupun perseroan terbatas sebagai badan hukum privat yang meliputi hubungan hukum (recisberrekkingen) masingmasing mempunyai perbedaan (J.H.a. Logemann). Dengan demikian, harus dibedakan secara tajam (waerdichr) antara arti keuangan negara, keuangan daerah dan keuangan badan hukum yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, maupun badan hukum lain yang mendapat fasilitas negara. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
pembayaran utang. Kedua, mengusahakan berbagai program dan proyek yang dilaksanakan oleh semua instansi pemerintah dapat memasukkan program penanggulangan kemiskinan sebagai bagian penting dan sasarannya. Dan ketiga, mengembangkan pola kemitraan antara pemerintah dengan anggota masyarakat untuk bersama-sama memecahkan masalah kekurangan air dan kemiskinan. Pendekatan penganggaran pembangunan prasarana air minum yang berbasis proyek dan negosiasi sudah waktunya diubah menjadi penganggaran prioritas yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat.
D. Faktor-faktor Penyebab Tidak Dipenuhinya Hak-hak Konsumen untuk Memperoleh Pelayanan Air Bersih dari PDAM Tirtanadi Sebagaimana
telah
dikemukakan
di
atas,
secara
umum
dalam
penyelenggaraan air bersih sangat dipengaruhi oleh anggaran publik untuk air bersih itu sendiri. Di mana keterbatasan anggaran publik air bersih itu telah mempengaruhi atau menyebabkan tidak dipenuhi hak-hak konsumen untuk memperoleh pelayanan air bersih dari PDAM. Selain dari anggaran publik air minum yang terbatas itu, maka faktor-faktor penyebab tidak dipenuhinya hak-hak konsumen untuk memperoleh pelayanan air bersih tentunya juga disebabkan oleh pihak penyelenggara air bersih tersebut, dalam hal ini adalah PDAM Tirtanadi.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Masyarakat calon konsumen yang akan memanfaatkan fasialitas air minum dari PDAM Tirtanadi terlebih dahulu harus memenuhi formalitas yang telah ditentukan oleh PDAM Tirtanadi, yaitu: 1. Mengisi formulir pendaftaran dengan melampirkan fotocopy KTP/SIM 1 lembar, dan membuat gambar lokasi rumah/instansi. 2. Membawa surat kuasa dari pemilik rumah/instansi tentang izin pemasangan (jika diperlukan). 3. Membayar biaya formulir pendaftaran. 4. Menandatangani Surat Perjanjian pelanggan dengan pihak PDAM Tirtanadi. 5. Membayar biaya sambungan baru secara tunai atau cicilan dan menyediakan materai. 6. Bagi calon pelanggan yang lokasinya sudah ada jaringan air limbah diharuskan menjadi pelanggan air limbah. Jadi untuk menjadi pelanggan pada PDAM Tirtanadi, maka diawali dengan pengisian formulir permohonan menjadi pelanggan air minum. Formulir tersebut tiga rangkap yaitu kuning, hijau dan putih. Selanjutnya dengan diterimanya permohonan pelanggan air minum tersebut, maka antara pelanggan dengan PDAM Tirtanadi melakukan pengikatan dengan suatu bentuk surat perjanjian. Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perikatan overeenkomst
dalam
bahasa
Belanda.
Kata
overeenkomst
tersebut
lazim
diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 142 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 143 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum di mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih. 144 Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak. Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha selain diatur dengan perjanjian antara kedua belah pihak, juga secara otomatis terikat dengan ketentuan undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). 142 143
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36. R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987,
hal. 49. 144
Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia...op.cit, hal. 1.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dalam UUPK, hak konsumen atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi air minum yang diperoleh konsumen dari PDAM Tirtanadi ini diakomodir dalam Pasal 4 huruf a yaitu hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Demikian juga dalam surat perjanjian antara konsumen dengan PDAM Tirtanadi No. Dokumen 07-FM-PEM-01-15 No. Revisi 00 Tanggal Efektif 1 Maret 2006, dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan pihak PDAM Tirtanadi harus memberlakukan konsumen secara benar dan jujur untuk penyediaan air minum. Oleh karena itu dari kata benar dan jujur, maka masyarakat pelanggan air minum mempunyai hak untuk memperoleh air bersih yang memenuhi standar dari PDAM Tirtanadi. Standar untuk air minum, air untuk keperluan rumah tangga yang lain, keperluan irigasi, untuk peternakan dan untuk industri memiliki ukuran sendirisendiri. Untuk Indonesia peryaratan sebagai air minum ditetapkan dengan keputusan Menteri Kesehatan No. 1/Bir Hukum Mas/1/1975 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Air Minum. Persyaratan itu meliputi empat sifat yaitu sifat fisik, sifat kimia, sifat biologis dan sifat radio aktif. 145 Demikian juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, ditentukan standar kualitas air meliputi empat aspek tersebut.
145
Sjahril Effendy Pasaribu, Wajah PDAM dan Lingkungannya, Media Persada, Medan,
2005, hal. 8. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Menurut ketentuan UUPK maupun perjanjian menjadi pelanggan air minum antara masyarakat dengan PDAM Tirtanadi berkewajiban untuk memenuhi air minum sesuai dengan standar yang telah ditentukan itu. Namun dalam pelaksanaannya hak konsumen untuk memperoleh air minum sesuai syarat yang ditentukan itu ternyata belum dapat dipenuhi. Sehingga hal ini menyebabkan terjadi pengaduan masyarakat baik itu kepada lembaga perlindungan konsumen maupun kepada DPRD Medan. Pada dasarnya ada 2 hal yang menyebabkan air PDAM itu tercemar, yaitu mengenai sumber air bahan baku untuk pengolahan air minum itu maupun disebabkan gangguan pada saat pendistribusian air minum itu yang telah diolah tersebut kepada konsumen, sebagaimana dijelaskan berikut ini: 1. Sumber air baku Air baku untuk air minum adalah prasarana untuk penyediaan air untuk diolah menjadi air minum. Air baku ini dapat berasal dari air permukaan, air bawah tanah, sumber air dan air laut. Kini air baku menyusut di sebagian wilayah Indonesia karena belum mendapatkan hujan yang cukup. Hutan yang susut drastis di daerahdaerah itu mengakibatkan datangnya banjir di musim hujan dan datangnya kekeringan di musim kemarau. Di wilayah yang disebutkan tersebut di atas sesekali turun juga hujan dalam waktu yang tidak lama. Minimnya curah hujan itu menyebabkan air hujan cepat menguap dan tidak terserap ke dalam tanah. Berakibat tanah permukaan kering dan kandungan air resapan dalam tanah (base flow/debit) sangat kecil dan dengan demikian tidak mampu memasok air baku. Tambahan pula banyak pihak tidak merasa berkepentingan memelihara sumber daya air dan sumber Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
mata air yang semakin menyusut. Itu terlihat dari kemampuan supply air baku yang menurun terus, sedangkan kebutuhan air antar sektor terus meningkat yang meliputi kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya. Sehingga PDAM-PDAM tidak dapat berproduksi secara normal para pelanggan mengeluh karena jumlah pasokan air bersih anjlok. Turunnya pasokan air baku di luar kemampuan PDAM, karena PDAM mempunyai tanggung jawab sebatas membayar pajak air baku, yang menjadi pertanyaan apakah pajak-pajak air baku itu sepenuhnya digunakan untuk memelihara sumber air baku. PDAM akhirnya tidak dapat manfaat air baku yang layak, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pelayanan pemakai air minum dengan kualitas air minum yang memenuhi syarat, kuantitas dan tekanan air yang cukup secara berkesinambungan. 146 Di sisi lain peran pemerintah yang harus menjamin ketersediaan air baku untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Masyarakat berhak mendapat air baku untuk memenuhi kebutuhan pokoknya secara berkesinambungan. Pemerintah harus menjamin kesinambungan jumlah dan kualitas air baku, sesuai dengan ketentuan pada saat ditetapkannya jumlah dan kualitas air baku sebagaimana tercantum pada surat pemberian air baku kepada PDAM. PDAM mempunyai hak untuk memperoleh air baku untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat secara berkesinambungan. Namun, kenyataannya Indonesia menghadapi krisis air bersih, swastanisasi dan perubahan cara pandang masyarakat terhadap air, dianggap sebuah upaya untuk 146
Sjahril Effendy Pasaribu, op.cit, hal. 12.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
melestarikan air dan memperpanjang daya gunanya. Sejumlah kota besar di Indonesia menghadapi krisis air baku atau air bersih dalam beberapa tahun mendatang. Kotakota besar itu diantaranya Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Makassar, dan Balikpapan. Peringatan itu disampaikan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto saat menutup pameran air memperingati Hari Air Sedunia di Jakarta, awal Mei 2006. "Sumber daya air kita tidak bertambah, namun penggunaannya bertambah banyak. Jika tidak dilestarikan mulai sekarang maka di masa depan kita akan mengalami kekurangan air," Menteri Pekerjaan Umum mengajak masyarakat agar memiliki kesadaran baru tentang air. Yakni air sebagai sumber kehidupan dan menjalankan budaya hemat air. 147 Krisis air bersih di perkotaan umumnya berbentuk tercemarnya sungai-sungai oleh limbah rumah tangga dan industri. Padahal air sungai itu dijadikan bahan baku pengolahan air kotor oleh perusahaan air minum PAM/PDAM menjadi air bersih. Semakin tercemar air baku yang ada, semakin mahal biaya pengolahannya. Situasi ini memaksa masyarakat membayar lebih mahal air bersih yang mereka gunakan. Untuk mengatasi krisis air yang makin terasa, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang mengamanatkan upaya konservasi (perlindungan), pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak yang seimbang. 148
147
Djoko Kirmanto, ”Awas Krisis Air Bersih”, http://www.suarapublik.org/jaringan informasi kebijakan publik-Awas Krisis Air Bersih.html. Disampaikan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto saat menutup pameran air memperingati Hari Air Sedunia di Jakarta, awal Mei 2006, hal. 1. 148 Ibid. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Kendati sudah dikuatkan Mahkamah Konstitusi (MK), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) masih dicurigai membahayakan kepentingan publik dan membawa semangat privatisasi ke dalam pengelolaan air bersih. Salah satu sumber kontroversi yang tak ada habisnya ialah masalah air. Tepatnya undang-undang yang mengatur pengelolaan sumber daya air, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004. Sejak diundangkan pemerintah, undangundang ini cukup sering diprotes masyarakat karena dinilai terlalu pro-swasta dan kurang berpihak pada rakyat kecil. Upaya paling keras pernah dilancarkan sekelompok organisasi non-pemerintah (ornop) seperti Walhi dan Komparta dengan menggugat UU Sumber Daya Alam Nomor 7 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam pesan gugatannya, para pemohon mencurigai UU Sumber Daya Alam membuka peluang adanya privatisasi pengelolaan air bersih yang mengabaikan kepentingan masyarakat atas air. 149 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya bulan Juli 2005 menyatakan menolak gugatan penggugat dan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Keputusan MK itu didukung oleh tujuh dari sembilan hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) pada prinsipnya setuju tentang pentingnya peran air dalam kehidupan. Namun pengaturan-pengaturan kepemilikan, pengusahaan dan pemanfaatan air dalam UU Sumber Daya Alam dinilai tidak
149
”Swasta Kuasai Air Minum”, http://www.suarapublik.org/jaringan informasi kebijakan publik-swasta kuasai air minum.html, hal. 1. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
bertentangan dengan Konstitusi. Peran negara, sebagaimana perintah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dinilai MK masih tetap ada, dan tidak dialihkan kepada dunia usaha atau swasta. Sehingga, MK tidak sependapat dengan dalil pemohon yang menyebut sejumlah pasal UU Sumber Daya Alam mendorong privatisasi dan swastanisasi. MK berpendapat, meskipun UU Sumber Daya Alam membuka peluang peran swasta untuk mendapat Hak Guna Usaha Air dan izin pengusahaan sumber daya air, namun hal tersebut tidak akan mengakibatkan penguasaan air jatuh ke tangan swasta. 150 Sedangkan untuk menjawab keterlibatan swasta dalam pengelolaan air bersih, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Di dalamnya diatur peran, tanggung jawab, dan prosedur pengelolaan air minum dan air limbah oleh pemerintah daerah. Termasuk
pelibatan
sektor
swasta
dan
pembentukan
Badan
Pendukung
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP SPAM). Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Rachmat Karnadi mengatakan untuk memecahkan krisis air bersih diperlukan upaya memobilisasi dana investasi potensial. Juga melalui kerja sama antara pemerintah dengan swasta (KPS). 151
150
Ibid, hal. 3. Rachmat Karnadi, Awas Krisis Air Bersih”, http://www.suarapublik.org/jaringan informasi kebijakan publik-Awas Krisis Air Bersih.html. hal. 1-2. Proyek KPS ini dimulai pada 1992 dan kota pertama yang melaksanakan ialah Denpasar (1993). Disusul Batam (1995) kemudian Medan. Penyediaan air minum di Batam misalnya, menurut Rachmat, dianggap sukses karena mampu menghasilkan air bersih berkualitas baik, tekanan cukup dan cakupan pelayanan membaik dari 20 persen (1995) menjadi 80 persen (2004). Tingkat kebocoran juga mengalami penurunan. 151
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Diperlukan perangkat hukum dan aturan lebih detil untuk memanfaatkan dana swasta. Karena untuk pengadaan dan pengelolaan air minum dibutuhkan kontrak kelola, kontrak pelayanan, kontrak sewa, kontrak konsesi, kontrak bangun kelola alih milik, dan lain-lain. Dalam hal pelayanan publik, KPS mensyaratkan adanya pemasangan meteran, sistem penagihan dan pelayanan, serta menjalankan pemeliharaan jaringan air minum. Namun salah satu penghambat upaya pemanfaatan air bersih justru pemerintah sendiri. Antara lain, munculnya sengketa antara perusahaan air minum (pemda) dengan mitra swasta, yang merugikan konsumen. Belum lagi masalah manajemen perusahaan air minum yang payah, lemahnya pengawasan dan pemeliharaan jaringan air minum, teknologi produksi dan pengawasan mutu yang asal-asalan, dan besarnya beban utang pemerintah kepada pihak swasta dan luar negeri. 152 Pelibatan sektor swasta dalam bisnis air bersih, harus diakui sebagai kekurangmampuan pemerintah membangun jaringan pipa baru. Departemen Pekerjaan Umum mengakui, akses pipanisasi air minum bagi masyarakat masih rendah, yaitu hanya 39 persen bagi penduduk perkotaan, dan hanya 6 persen untuk penduduk pedesaan. Mengenai banyaknya perusahaan air minum daerah (PDAM) yang tidak sehat, pemerintah mengatakan masalah itu terjadi karena tarif air yang berlaku terlampau murah (di bawah biaya produksi), sehingga tidak bisa untuk menutup biaya 152
Ibid, hal. 2.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
operasi dan pemeliharaan. Namun, walaupun di daerah sudah harga air cukup mahal dan terus naik, tetap saja PDAM belum mampu menciptakan pelayanan publik. 153 Dengan demikian pengadaan air baku yang sudah tercemar atau karena kesulitan dalam pengelolaannya sangat mempengaruhi PDAM untuk memberikan pelayanan air bersih kepada konsumen, yang mana sering terjadi air yang disalurkan PDAM tercemar yang terlihat dari warnanya yang hitam dan rasanya berbau yang mengakibatkan tidak terpenuhi hak-hak konsumen untuk memperoleh air bersih sesuai dengan yang sudah diperjanjikan dalam perjanjian pelanggan PDAM. 2. Pendistribusian air minum Kebocoran pipa pendistribusian air minum juga menjadi penyebab jeleknya kualitas air PDAM, sebagus apapun pengolahannya. Kebocoran tersebut bisa disebabkan oleh umur pipa yang sudah tua karena memang sudah ada sejak jaman Belanda, pemasangan pipa-pipa yang menyalahi prosedur, penggunaan pompa hisap secara langsung dari pipa, kurangnya tekanan air, dan bahkan sengaja dibocorkan oleh masyarakat sekitar karena kebutuhan. Untuk mengatasi kedua hal ini, PDAM masih saja mengambil solusi teknis, seperti misalnya menaikkan harga air untuk memperbagus sistem pengolahannya, memperbanyak pos-pos khlorinasi pada pipa distribusinya, mengganti pipa-pipa yang bocor, dan yang terakhir mencari alternatif sumber lain seperti air tumbulan.
153
Ibid. Hal ini terlihat dari harga air bersih di Jakarta yang cukup mahal dan terus naik, tetap belum mampu menciptakan pelayanan terbaik. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Secara teknis, PDAM memang sulit disalahkan, karena permasalahannya begitu kompleks dan banyak pihak yang ikut bermain. Namun PDAM justru menjadi salah ketika mengabaikan hak-hak konsumen, dan hanya menganggap partisipasi masyarakat cukup dengan membuka layanan pengaduan saja. Tidak pernah disadari bahwa masyarakat punya andil yang cukup besar dalam menjaga kualitas air minum mereka. jika separo masyarakat yang membuang limbah rumah tangganya ke kali dapat dikurangi, PDAM pun dapat menghemat biaya pengolahan airnya. Sehingga harga airpun dapat ditekan dan kualitas air dapat dipertahankan. Masyarakat dapat menikmati air dengan tenang tanpa cemas akan mutu airnya dan lonjakan rekening PDAM mereka. Memang limbah rumah tangga harus dibuang kemana, itu masih menjadi rentetan yang panjang untuk dibahas. Namun prinsip-prinsip pelayanan masyarakat haruslah dimiliki oleh instansi seperti PDAM, jasa tirta, dll. 154 Kalau saja masyarakat dari awal mengetahui kebocoran dampaknya seperti sekarang ini, tentunya partisipasipun dapat digalang, karena itu menyangkut kepentingan masyarakat sendiri. Seperti kebocoran akibat ulah beberapa tuna wisma yang sengaja merusak pipa untuk mendapatkan air gratis. Masyarakat di sekitar lokasi tersebutlah yang paling bisa mengorganisir diri mereka, untuk ikut bertanggung jawab terhadap pipa distribusi yang ada di lokasi mereka. Bisa jadi masyarakat di lokasi tersebut yang menghalau para perusak pipa, dan kalau itu dirasakan sebagai
154
Magyartoto Tersiawan, “Opini http::/www.oedoramail..com/mail3.html., hal. 3.
Secreen
tentang
PDAM
Surabaya”,
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
suatu kebutuhan, bisa jadi dibuatkan saluran umum sehingga air bisa didapatkan tanpa harus merusak pipa. Kepanikan masyarakat ketika airnya tercemar tidak perlu terjadi kalau saja masyarakat tahu apa saja yang ada di air minum mereka. Namun sampai sekarangpun informasi ini tidak pernah sampai ke masyarakat sebagai konsumennya. Cara mengantisipasi jika airnya keruh akibat perbaikan, cara mengantisipasi kebocoran, dan masih banyak lagi informasi yang menjadi hak masyarakat juga tidak pernah didapatkan. Demikian juga yang terjadi pencemaran air bersih dari PDAM Tirtanadi Medan kepada masyarakat Medan yang menyebabkan dipanggilnya pihak PDAM Tirtanadi untuk datang dalam dengar pendapat dengan DPRD, namun pihak PDAM Tirtanadi tidak memenuhi panggilan tersebut dengan alasan yang mengada-ada. 155 Kalau
ditilik
lebih
jauh,
sebenarnya
ego-ego
inilah
yang
selalu
menghancurkan dan memarginalisasi hak-hak masyarakat. Ruang publik sebagai tempat peran aktif masyarakat selalu dihambat oleh akses informasi pada masyarakat yang tidak pernah sampai, sehingga masyarakat tidak mengetahui apa yang menjadi haknya, dan yang lebih parah lagi jika masyarakat tidak sadar mereka mempunyai hak atas informasi tentang air yang mereka gunakan.
155
“PDAM Tirtanadi Sepelekan DPRD Medan”, http://www.hariansuarasumut.com/ beritautama/PDAM Tirtanadi Sepelakn DPRD Medan.html. DPRD Medan merasa sangat kecewa atas kinerja dan sikap manajemen PDAM Tirtanadi yang dinilai tiak transparan. Hal ini terbukti ketika DPRD Medan memanggil PDAM Tirtanadi Senin (7/5) untuk Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi C DPRD Medan instansi yang sedang dperiksa oleh BPK dan BPKP ini tak mau datang dengan alasan yang sangat terkesan mengada-ada. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 4 UUPK huruf c dan d, bahwa konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, dan juga mempunyai hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Oleh karena itu setiap adanya keluhan masyarakat sebagai konsumen air minum dari PDAM, maka pihak PDAM harus memberikan informasi tentang adanya kendala yang dialami atau perbaikan
atas
pipa/instalasi
itu,
sehingga
masyarakat
sebagai
konsumen mengetahui hal yang sedang terjadi atau adanya gangguan penyebab pencemaran itu. Kemudian juga pihak PDAM berkewajiban untuk mendengar
pendapat
dan
keluhan
konsumen
dengan
menindaklanjuti
keluhan tersebut sesuai dengan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.
BAB IV UPAYA DAN PENYELESAIAN TUNTUTAN KONSUMEN TERHADAP KELALAIAN YANG DILAKUKAN OLEH PDAM TIRTANADI MEDAN
A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebelum Berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen Sekalipun berbagai instrumen hukum umum atau peraturan perundangundangan yang berlaku umum, baik hukum perdata manpun hukum publik, dapat digunakan untuk menyelesaikan lingkungan hubungan dan atau masalah konsumen dengan penyedia barang jadi atau penyelenggara jasa, tetapi hukum umum ini ternyata mengandung berbagai kelemahan, dan menjadi kendala bagi konsumen Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
dalam memperoleh perlindungan, baik yang berkaitan dengan materi hukumnya, hukum acaranya, maupun yang berkenaan dengan asas-asas hukum yang termuat di dalamnya. KUHPerdata dan KUHDagang tidak mengenal istilah konsumen. Hal ini dikarenakan pada saat undang-undang ini diterbitkan dan diperkenalkan di Indonesia, tidak dikenal istilah konsumen. Semua subjek hukum dalam peraturan di atas adalah konsumen subjek hukum pembeli, penyewa, tertanggung atau penumpang terdapat dalam KUHPerdata dan KUHDagang tidak membedakan apakah mereka itu sebagai konsumen akhir atau konsumen antara. Hukum perjanjian (buku ketiga KUHPerdata) menganut asas hukum kebebasan berkontrak, sistemnya terbuka, dan merupakan hukum pelengkap. Asas kebebasan berkontrak, memberikan pada setiap orang hak untuk dapat mengadakan berbagai kesepakatan sesuai kehendak dan persyaratan yang disepakati kedua pihak, dengan syarat-syarat subjektif dan objektif asalkan sahnya suatu pertujuan tetap dipenuhi. 156 Sistem terbuka ini memungkinkan setiap orang dapat mengadakan perjanjian apa saja, sebagaimana dikemukakan Susanti Adi Nugroho:157
156
Pasal 1320 KUHPerdata, Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) suatu pokok persoalan tertentu; 4) suatu sebab yang tidak terlarang. 157 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kehendak Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 93-94. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Sistem terbuka ini memungkinkan, setiap orang dapat mengadakan perjanjian apa saja, dan hukum perjanjian itu merupakan hukum pelengkap, jadi setiap orang dapat saja mengadakan persetujuan dalam bentuk-bentuk lain dan yang disediakan oleh KUHPerdata. Dengan asas kebebasan berkontrak, dan sistem terbuka maka setiap orang dapat mengadakan perjanjian, termasuk perjanjian yang dipaksakan kepadanya. Kalau yang mengadakan perjanjian adalah mereka yang seimbang kedudukan ekonomi, tingkat pendidikan dan atau kemampuan daya saingnya, mungkin masalahnya menjadi lain. Tetapi dalam keadaan sebaliknya, yaitu para pihak tidak seimbang, pihak yang lebih kuat akan dapat memaksakan kehendaknya atas pihak yang lebih lemah. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi kegiatan bisnis di mana pun di dunia. Berbagai produk konsumen, bentuk usaha dan praktik bisnis yang pada masa diterbitkannya KUHPerdata dan KUHDagang belum dikenal, kini sudah menjadi biasa. Beberapa hal pokok seperti subjek hukum dan suatu perikatan, bentuk perjanjian baku, perikatan beli sewa, kedudukan hukum, berbagai cara pemasaran produk konsumen, seperti penjualan dari rumah ke rumah, promosi-promosi dagang, iklan dan yang sejenis dengan itu, serta berbagai praktik niaga lainnya yang tumbuh karena kebutuhan atau kegiatan ekonomi, tidak terakomodasi atau terakomodasi secara sangat sumir dalam perundang-undangan itu. 158 Demikian pula, bentuk-bentuk perikatan yang tampaknya berasal dari negaranegara yang menggunakan sistem hukum Anglo Saxon, meskipun berbeda tetapi karena
kebutuhan
telah
pula
diadopsi
dan
diterapkan
dalam
praktik.
Percampuradukan sistem hukum yang melanda masyarakat karena kebutuhan itu, menyebabkan KUHPerdata dan KUHD makin tertinggal di belakang.
158
Ibid, hal. 94.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Demikian pula dengan hukum acara yang dipergunakan tidak membantu konsumen di dalam mencari keadilan. Seperti mengenai proses pembuktian berlaku ketentuan yang diatur dalam Pasal 165 KUHPerdata, dan Pasal 163 HIR yang menentukan bahwa pembuktian hak seseorang atau kesalahan orang lain dibebankan pada pihak yang mengajukan gugatan tersebut. 159 Beban ini lebih hanyak tidak dapat dipenuhi dalam hubungan antara konsumen dan penyedia barang atau penyelenggara jasa pada masa kini. Dasar filsafat dalam penyusunan KUHPerdata dan KUHDagang adalah liberalisme dengan pemikirannya Laisser Faire, sedangkan doktrin falsafah Indonesia adalah Pancasila, yang pemikiran politik ekonominya adalah kesejahteraan rakyat. 160 Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen, yang ruang lingkupnya mencakup semua hukum, baik keperdataan, pidana, maupun dalam lingkup administrasi negara. A.Z. Nasution berpendapat sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha baik dalam hukum publik atau hukum privat) tentang produk harang tertentu yang dikonsumsi konsumen, dan atau jasa yang ditawarkan produsen/pelaku usaha. 161 Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen dapat diajukan oleh konsumen 159
Pasal 1365 KUHPerdata, dan Pasal 163 HIR ini merupakan ketentuan umum bahwa, setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa diwajbkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. 160 AZ Nasution, op.cit, Hukum Perlindungan Konsumen, hal. 46-47. 161 Ibid, hal. 48. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
atau ahli warisnya kepada pengadilan negeri berdasarkan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Gugatan ini didasarkan pada beberapa ketentuan dalam KUH Perdata, seperti Pasal 1243 KUHPerdata tentang ganti kerugian akibat ingkar janji atau wanprestasi sebagai dasar gugatan konsumen kepada produsen karena produsen dinilai telah melakukan ingkar janji yang berkaitan dengan produk yang dijualnya atau produsen dinilai telah mengingkari janji yang secara tegas dinyatakan oleh produsen 162 baik berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum 163 maupun berdasarkan kelalaian Pasal 1366 KUHPerdata. 164 Ketentuan materiil mengenai tuntutan ganti kerugian tersebut di atas dipadukan dengan prosedur formal hukum acara perdata, yang membebankan kepada pihak penggugat untuk membuktikan kesalahan dan kelalaian pihak tergugat, yaitu Pasal 1865 KUHPerdata dan Pasal 163 HIR (Herziene Indonesische Reglement). Kedua pasal tersebut mengatur hal yang sama: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun
162
Pasal 1243 KUHPerdata, Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikannya, atau jika sesuatu harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. 163 Pasal 1365 KUHPerdata, Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. 164 Pasal 1366 KUHPerdata, Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hatihatinya. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Sistem yang memberikan beban kepada konsumen untuk membuktikan haknya, tidak mudah bagi konsumen, karena menurut Susanti Adi Nugroho, bahwa: 165 Konsumen pada umumnya memiliki keterbatasan kemampuan dalam membuktikan kesalahan produsen. Hukum acara yang dipergunakan dalam proses perkara perdata tersebut tidak membantu konsumen dalam mencari keadilan, karena Pasal 1865 KUHPerdata menentukan pembuktian hak seseorang atau kesalahan orang lain dibebankan pada pihak yang mengajukan gugatan. Beban ini lebih banyak tidak dapat dipenuhi dalam hubungan antara konsumen dan penyedia barang atau penyelenggara jasa pada masa kini. Hal ini terutama karena tidak pahamnya konsumen atas mekanisme tuntutan ganti kerugian dan rangkaian pembuktian yang rumit. Kondisi di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dan pelaku usaha melalui kiat iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan dan kurangnya kesadaran akan hakhak dan kewajiban konsumen. Konsumen yang kritis terhadap pengabaian hak-haknya, tidak jarang harus berhadapan dengan gugatan/tuntutan balik pencemaran nama baik dari pelaku usaha, baik dengan menggunakan instrumen hukum perdata maupun instrumen hukum pidana, padahal mereka menegakkan hak-haknya sebagai konsumen yang diabaikan 165
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 96.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
oleh pelaku usaha. Keinginan untuk memperoleh hukum dan keadilan, tidak jarang harus dibayar mahal oleh konsumen dengan berbagai pengorbanan yang dialami. 166 Dalam situasi dan kondisi yang demikian diperlukan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan dan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya perlindungan dan pemberdayaan ini penting untuk mengimbangi kegiatan pelaku usaha yang menjalankan prinsip ekonomi untuk mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin, yang dapat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, diperlukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan piranti hukum atau undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Dalam kondisi banyaknya ketidakadilan yang dialami konsumen, maka dengan berpedoman pada Guidelines for Consumer Protection ada 3 hal yang harus dimuat dalam piranti hukum, yaitu: 167 a. Perangkat hukum yang memungkinkan konsumen atau organisasi terkait untuk memperoleh penyelesaian melalui prosedur yang informal, cepat dan murah/terjangkau, terutama untuk menampung kebutuhan konsumen yang berpenghasilan rendah.
166
Ibid, hal. 97. Dalam beberapa kasus perdata terjadi bahwa gugatan konvensi perbutan melawan hukum yang diajukan oleh pihak penggugat konsumen ditolak, sedangkan dalam gugatan rekovensinya yang diajukan oleh pelaku usaha mengenai pencemaran nama baik atau tuntutan ganti rugi lainnya justru dikabulkan. 167 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori & Praktik Penegakan Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 7. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
b. Penyelesaian sengketa secara adil, informal dengan menerapkan mekanisme sukarela. c. Tersedianya informasi penyelesaian ganti kerugian dan prosedur penyelesaian sengketa lainnya bagi konsumen. Di samping ketiga hal tersebut, perlindungan konsumen sebagai suatu kebutuhan haruslah senantiasa disosialisasikan untuk menciptakan hubungan konsumen dan pelaku usaha dengan prinsip kesetaraan yang berkeadilan. Piranti hukum ini tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat dan lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui pelayanan dan penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas.
B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Per1indungan Konsumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, membagi penyelesaian sengketa konsumen menjadi 2 bagian, yaitu: 1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan a. Penyelesaian sengketa secara damai para pihak sendiri. b. Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, meditasi atau arbitrase.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
2. Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi. 168 Adapun penjelasan dari kedua bentuk penyelesaian konsumen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan a. Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersengketa Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pelaku usaha dan konsumen, tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen, dan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari penjelasan Pasal 45 ayat (2) UUPK dapat diketahui bahwa UUPK menghendaki agar penyelesaian damai, merupakan upaya hukum yang justru harus terlebih dahulu diusahakan oleh para pihak yang bersengketa, sebelum para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau badan peradilan. b. Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/BPSK
168
Pasal 45 UUPK, menyatakan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan adanya BPSK maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan murah. Cepat karena undang-undang menentukan dalam tenggang waktu 21 hari kerja, BPSK wajib memberikan putusannya. 169 Mudah karena prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana. 170 Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau. Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan masalahnya kepada BPSK, baik secara langsung, diwakili kuasanya maupun oleh ahli warisnya. Pengaduan yang disampaikan oleh kuasanya atau ahli warisnya hanya dapat dilakukan apabila konsumen yang bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa atau warga negara asing. 171 Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan atau tulisan kepada sekretariat BPSK di kota/kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota/ kabupaten terdekat dengan domisili konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau 169
Pasal 56 UUPK. Yusuf Shofie dan Somi Awan, op.cit, hal. 17. Dijelaskan lebih lanjut oleh Aman Sinaga, proses penyelesaian sengketa di BPSK adalah sangat sederhana karena di BPSK hanya dikenal surat pengaduan konsumen dan jawaban pelaku usaha, kecuali untuk sengketa yang diselesaikan dengan cara arbitrase pelaju usaha mempunyai kewajiban untuk mengajukan pembuktian. Kesederhanaan proses tersebut paling menonjol dapat dilihat jika sengketa konsumen dengan cepat dan sederhana, Media Indonesia, 27 Agustus 2004, sumber kumpulan kliping Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. 171 Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 100. 170
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. 172 Ukuran kerugian materi yang dialami konsumen ini didasarkan pada besarnya dampak dan penggunaan produk barang/jasa tersebut terhadap konsumen. Bentuk jaminan yang dimaksud adalah berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut. Pada prinsipnya penyelesaian sengketa konsumen diusahakan dapat dilakukan secara damai, sehingga dapat memuaskan para pihak yang bersengketa (win-win solution). Menurut Leo Kanowitz, penyelesaian sengketa di luar pengadilan mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dan yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks. 173 Faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan sengketa di luar pengadilan juga mempunyai kadar yang berbeda-beda, yaitu: 174 a) apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan wajib dilakukan oleh para pihak atau hanya bersifat sukarela; b) apakah putusan dibuat oleh para pihak sendiri atau pihak ketiga; c) apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal; d) apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil; e) apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain; f) apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak.
172
Penjelasan Pasal 47 UUPK. Leo Kanowitz, Alternative Dispute Resolution, St Paul, Minnessota USA West Publishing Co. 1985, hal. 6, dalam Adi Susanti, Nugroho, op.cit, hal. 100 . 174 Leo Kanowftz, dalam Ibid, hal. 100-101. 173
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Selanjutnya, dikemukakan bahwa tidak semua model penyelesaian sengketa di luar pengadilan/alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: a) haruslah efisien dan segi waktu; b) haruslah hemat biaya; c) haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya jangan terlalu jauh; d) haruslah melindungi hak-hak dan para pihak yang bersengketa; e) haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur; f) badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di masyarakat dan para pihak yang bersengketa; g) putusannya harus final dan mengikat; h) putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi; i) putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dan komunitas di mana penyelesaian sengketa dilaksanakan. 175 Selanjutnya tata cara penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 jo. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Proses penyelesaiannya pun diatur sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang normal. UUPK menentukan apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. 176 175 176
Ibid, 101. Pasal 45 ayat (4) UUPK.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Untuk mempermudah pemahaman, maka penjelasan ini akan dibagi dalam beberapa tahap yang dimulai dan tahap pengajuan gugatan sampai pada tahap keputusan dan atau eksekusi putusan. a) Tahap pengajuan gugatan Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK yang terdekat dengan tempat tinggal konsumen. 177 Permohonan dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan sendiri atau kuasanya atau ahli waris yang bersangkutan jika konsumen telah meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, atau konsumen belum dewasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap orang asing/warga negara asing. 178 Permohonan diajukan secara tertulis, kepada sekretariat BPSK, maka sekretariat BPSK akan memberikan tanda terima kepada pemohon, dan jika permohonan diajukan secara lisan, maka sekretariat BPSK akan mencatat permohonan tersebut dalam sebuah formulir yang disediakan secara khusus, dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Apabila permohonan ternyata tidak lengkap (tidak sesuai dengan Pasal 16 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) atau permohonan bukan merupakan kewenangan BPSK, maka Ketua BPSK menolak 177
Ketentuan mengenai tempat di mana diajukan gugatan melalui BPSK berbeda dengan proses litigasi melalui pengadilan negeri, di mana gugatan ganti kerugian diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat tinggal tergugat, atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat di mana sebelumnya bertempat tinggal, vide Pasal 118 ayat (1) dan (2) HIR. 178 Pasal 15 ayat (2) dan (3) Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
permohonan tersebut. Jika permohonan memenuhi persyaratan dan diterima, maka Ketua BPSK harus memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan kopi permohonan dan konsumen, selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak diterimanya permohonan. Untuk keperluan pemanggilan pelaku usaha, dibuat surat panggilan yang memuat, hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen untuk diajukan pada persidangan pertama. Jika pada han yang ditentukan pelaku usaha tidak hadir memenuhi panggilan, maka sebelum melampaui 3 hari kerja sejak pengaduan, pelaku usaha dapat dipanggil sekali lagi. Jika pelaku usaha tetap tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 52 huruf i UUPK jo. Pasal 3 huruf i Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, BPSK dapat meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha tersebut.179 Jika pelaku usaha hadir, maka konsumen memilih cara penye1esaian sengketanya yang harus disetujui oleh pelaku usaha. Cara yang bisa dipilih dan disepakati para pihak adalah: konsiliasi, mediasi atau arbitrase. Jika cara yang dipilih para pihak adalah konsiliasi atau mediasi, maka Ketua BPSK segera menunjuk
179
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 106. Permohonan bantuan oleh lembaga BPSK kepada penyidik untuk memanggil pelaku usaha dengan paksa ini, pada umumnya tidak dipatuhi oleh penyidik, karena di samping kepada penyidik belum disosialisasikan “tugas baru” ini, juga karena tidak diatur secara jelas mengenai proses pemanggilannya dan sanksinya, sedangkan UUPK tidak memberikan penjelasan bagaimana mekanisme penyidik dalam melaksanakan ketentuan tersebut. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
majelis sesuai dengan ketentuan untuk ditetapkan sebagai konsiliator atau mediator. Jika cara yang dipilih para pihak adalah arbitrase, maka prosedurnya adalah para pihak memilih arbiter dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Arbiter yang terpilih memilih arbiter ketiga dan anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua majelis. 180 Persidangan pertama dilaksanakan selambat-lambatnya hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya permohonan. b) Tahap Persidangan (1) Persidangan dengan cara konsiliasi Konsiliasi suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. P. C. Rao mendefinisikan konsiliasi sama dengan mediasi, yaitu: “A non binding procedure in which discussions between the parties are initiated without the intervention of any third party with the object of arriving at a negotiated settlement of the dispute”.181 Dalam praktik istilah mediasi dan konsiliasi memang sering saling dipertukarkan. Seperti juga mediator, tugas dari konsiliator hanyalah sebagai pihak
180
Setiap penyelesaian sengketa oleh BPSK dilakukan oleh majelis yang dibentuk berdasarkan Penetapan Ketua BPSK dan dibantu oleh panitera. Majelis tersebut harus berjumlah ganjil dan paling sedikit terdiri dan 3 anggota BPSK yang mewakili unsur pemerintah (sebagai ketua) dan unsur konsumen dan pelaku usaha masing-masing sebagai anggota. Sedangkan panitera ditunjuk dari anggota Sekretariat BPSK. 181 P. C Rao & William Shetfeld, Alternatives to Litigation in India, Universal Law Publishing Co Pvt Ld, 2001, hal. 26 dalam Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 106. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
fasilitator untuk melakukan komunikasi di antara pihak sehingga dapat diketemukan solusi oleh para pihak sendiri. Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dan satu pihak kepada pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak. Bagaimanapun juga penyelesaian sengketa model konsiliasi mengacu pada pola proses penyelesaian sengketa secara konsensus antar pihak, di mana pihak netral dapat berperan secara aktif (neutral act) maupun tidak aktif. 182 Sungguhpun konsiliator dapat mengusulkan solusi penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwewenang memutus perkaranya. Pihak-pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dilakukan diri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi majelis BPSK yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Jadi, dalam hal majelis BPSK menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya. Pada penyelesaian sengketa melalui konsiliasi ini, majelis BPSK sebagai konsiliator memanggil konsumen dan pelaku usaha yang sengketa, dan memanggil 182
Peter Lovenheim & Lisa Guerin, Mediation, Don’t Litigate, Strategies for Successful Mediatio, Penerbit NOLO Tahun 2004, hal. 6/25-6/27. Juga pada “ConsumerDispute Resolution in Missouri: Missouri’s need for a true”, Consumer Ombudsman. Journal of Dispute Resolution Vol 1992 No. 1, hal. 254-256. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
saksi-saksi serta saksi ahli, dan bila diperlukan, menyediakan forum konsiliasi bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dan menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antar-konsumen dari pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut.183 (2) Persidangan dengan cara mediasi Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Black, Henry Campbell, mendefinisikan mediasi sebagai: “Mediation: Private informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decition on the parties.”184
183
Menurut Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Memperindag) No. 350/MPP/Kep/2001, Perjanjian tertulis sebagai hasil penyelesaian sengketa, dikuatkan dengan Keputusan (bukan putusan) Majelis BPSK, padahal UUPK secara konsisten menggunakan istilah atau sebutan “putusan”. 184 Black, Henry Campbell, dalam Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 109. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya. Dalam sengketa mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi, jika pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkrit dari mediator. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. 185 Dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui konsiliasi, dalam proses mediasi ini, mediator bertindak lebih aktif dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. 186
185
Ibid, hal. 109. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang lebih mempertegas keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 1 angka 10 dinyatakan, Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atnu penilaian ahli”. Akan tetapi, undang-undang ini tidak mengatur dan memberikan definisi lebih rinci dan lembaga-lembaga alternatif tersebut, sebagaimana pengaturannya tentang Arbitrase, Walaupun demikian, dengan adanya PERMA No. 2 Tahun 2003, kini telah jelas dan diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya. Ketentuan yang digariskan oleh Mahkamah Agung, PERMA tersebut diikuti oleh seluruh pengadilan di Indonesia. 186
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. 187 Pengalaman dan kemampuan mediator diharapkan dapat mengefektifkan proses mediasi di antara para pihak yang bersengketa. Seperti halnya dalam konsiliasi dalam proses mediasi ini, atas permintaan para pihak, mediator dapat minta diperlihatkan alat bukti baik surat dan atau dokumen lain, yang mendukung dan kedua belah pihak. Atas persetujuan para pihak atau kuasanya, mediator dapat mengundang seorang atau lebih saksi atau saksi ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terkait dengan sengketanya. Jika proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. 188 Peran majelis BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi secara deskripsi, meliputi tugas sebagai berikut:189 (a) (b) (c) (d) (e)
Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. Memanggil saksi dan saksi ahli apabila diperlukan. Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa. Secara aktif mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
187
Kaukus adalah “proses penyelesaian sengketa melalui mediasi di mana dalam hal-hal tertentu para pihak baik konsumen atau pelaku usaha masing-masing dimediasikan secara terpisah”. Hal ini diperlukan jika para pihak sulit untuk didamaikan. 188 Lim Lan Yuan, The Theory & Practies of Mediation, Penerbit FT Law & Tax Asia Pasific, 1997, hal. 39-44 189 Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 111. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen ini dan pelaku usaha yang bersengketa, selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan diserahkan kepada majelis BPSK untuk dikukuhkan dalam keputusan majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. Putusan tersebut mengikat kedua belah pihak. Keputusan majelis dalam konsoliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif. 190 Apabila diilustrasikan, maka proses penyelesaian sengketa konsumen secara konsiliasi dan mediasi menurut UUPK sebagaimana Skema 1 dan Skema 2 berikut ini:
Skema 1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Konsiliasi
190
Ibid, hal. 111.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Sumber: B. Mulyono, Sekilas BPSK dan Flow Chart Procedurnya, hal. 5-6 dalam Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 111-112. Skema 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Mediasi (3) Persidangan dengan cara arbitrase Arbitrase adalah salah satu bentuk adjudikasi privat. Di dalam UndangUndang No. 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa, adalah bentuk alternatif paling formal untuk menyelesaikan sengketa sebelum berlitigasi. 191 Dalam proses ini pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberinya wewenang untuk memberi keputusan. 191
Aribrase sebagai bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih formal jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa mediasi atau konsolidasi. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Berdasarkan pengertian ini, hanya perkara perdata saja yang dapat diselesaikan dan diputuskan oleh lembaga arbitrase. Perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di atas adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. 192 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga cenderung lebih informal dan lebih sederhana, dibandingkan proses litigasi, prosedurnya tidak kaku dan lebih dapat menyesuaikan, serta tidak sering mengalami penundaan. 193 Bila dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan, maka lembaga arbitrase mempunyai beberapa kelebihan antara lain: 194 (a) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak. (b) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif. (c) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenal masalah yang disengketakan, jujur dan adil. (d) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. (e) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis atau dagang yang bersifat internasional. Sifat rahasia
192
Pasal 1 butir 4 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. 193 194
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 115. Ibid, hal. 115.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
arbitrase dapat melindungi para pihak dan hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum. Selain itu, arbitrase juga dapat melindungi mereka dan publisitas yang merugikan dan akibat-akibatnya, seperti kehilangan reputasi bisnis, pemicu bagi tuntutan-tuntutan lainnya, seperti masalah-masalah kredit, karena dalam proses litigasi di pengadilan pemeriksaan sengketa dilakukan secara terbuka dan umum. 195 Penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase, para pihak memilih arbitor dan anggota BPSK yang berasal dan unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis. Arbitor yang telah dipilih oleh para pihak kemudian memilih arbitor ketiga dan anggota BPSK yang berasal dari unsur pemerintah sebagai ketua. 196 Pada persidangan pertama ketua majelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Jika terjadi perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa maka majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian. 197 Sebaliknya jika tidak tercapai perdamaian maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen, dan surat jawaban dari pelaku usaha.
195
Gary Goodpaster & Felix Oentoeng Soebagjo dan Fatimah, “Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik”, dalam Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal.19. 196 Pasal 32 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. 197 Pasal 35 ayat (3), Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian, antara kedua belah pihak yang bersengketa maka majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Ketua majelis BPSK harus memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan. 198 Pada persidangan pertama sebelum pembacaan surat jawaban dari pelaku usaha, konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan pencabutan perkara. Dalam hal demikian, maka majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut.199 Apabila pelaku usaha dan atau konsumen tidak hadir dalam persidangan pertama, maka mejelis memberikan kesempatan terakhir pada persidangan kedua dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Persidangan kedua diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 hari kerja terhitung sejak persidangan pertama dan diberitahukan kepada konsumen dan pelaku usaha, dengan surat panggilan oleh sekretariat BPSK. Bilamana pada persidangan kedua konsumen tidak hadir maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum. Sebaliknya, jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh majelis tanpa kehadiran pelaku usaha. 200 Selama proses penyelesaian sengketa, alat-alat bukti barang atau jasa, surat dan dokumen keterangan para pihak, keterangan saksi dan atau saksi ahli, dan buktibukti lain yang mendukung dapat diajukan kepada oleh majelis. Dalam proses 198
Pasal 34 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Pasal 35 ayat (1) dan (2) Keputusan Menten Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. 200 Pasal 36 ayat (3) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/200. Bandingkan dengan proses acara perdata melalui pengadilan negeri, jika tergugat tidak hadir setelah dipanggil dengan patut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka, dapat dijatuhkan putusan verstek, tanpa hadirnya tergugat. Dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 ini tidak diatur kemungkinan bagi pelaku usaha untuk mengajukan bantahan verset setelah diberitahukan putusan BPSK yang tidak dihadiri. 199
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK beban pembuktian ada pada pelaku usaha, namun pihak konsumen juga harus mengajukan bukti-bukti untuk mendukung gugatannya. Setelah mempertimbangkan pernyataan dari kedua belah pihak mengenai hal yang dipersengketakan dan mempertimbangkan hasil pembuktian serta permohonan yang diinginkan para pihak, maka majelis BPSK memberikan putusan. Penyelesaian sengketa konsumen secara arbitrase tersebut sebagaimana berikut ini.
Sumber: B. Mulyono, Sekilas BPSK dan Flow Chart Procedurnya, hal. 6 dalam Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kecana, Jakarta, 2008, hal. 118. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Skema 3. Penyelesaian Sengketa Secara Arbitrase c) Tahap Putusan Putusan Majelis BPSK dapat dibedakan atas 2 jenis putusan, yaitu: 201 (1) Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi Putusan dengan cara konsiliasi atau mediasi pada dasarnya hanya mengukuhkan isi perjanjian perdamaian, yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa. (2) Putusan BISK dengan cara arbitrase. Putusan BPSK dengan cara arbitrase seperti halnya putusan perkara perdata, memuat duduknya perkara dan pertimbangan hukumnya. Putusan majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika telah diusahakan sungguh-sungguh ternyata tidak berhasil kata mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak (voting). 202 Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan majelis. Keputusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif, sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif. 203 Selanjutnya putusan BPSK dapat berupa: 1) perdamaian, 2) gugatan ditolak; atau 3) gugatan dikabulkan. 201
Aman Sinaga, ”Peran dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Makalah, 2004, hal. 6. 202 Pasal 39 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. 203 Pasal 37 ayat (5) Keputusan Menteri Perindustnan dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran akibat mengonsumsi barang yang diperdagangkan, dan/atau kerugian konsumen atas jasa yang dihasilkan. 204 Manakala gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa pemenuhan: (1) Ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam putusan bentuk ganti kerugian tersebut dapat berupa: 205 (a) Pengembalian uang atau pengantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan. (b) Pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. (c) Ganti kerugian tersebut dapat pula ditujukan sebagai penggantian kerugian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila tidak terjadi kecelakaan, atau kehilangan pekerjaan atau penghasilan untuk sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita, dan sebagainya. (2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). 206 Sanksi administratif dapat dibebankan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap: 207 (1) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen; (2) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha perikianan; 204
Pasal 19 ayat (1) UUPK. Pasal 19 ayat (2) UUPK. 206 Pasal 40 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Jika dilihat dari ganti kerugian yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha tersebut, tampak bahwa sebenarnya lembaga BPSK tersebut dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen dengan jumlah nilai yang kecil, seperti halnya pengadilan konsumen dan negara-negara lain. 207 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 84. 205
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
(3) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketentuan ini berlaku baik terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa. Gugatan ganti kerugian secara perdata, tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan dari pelaku usaha. 208 Ganti kerugian yang dapat digugat oleh konsumen maupun yang dapat dikabulkan oleh majelis BPSK adalah ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami oleh konsumen. UUPK tidak mengenal gugatan immateriil, yaitu gugatan ganti kerugian atas hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, kenikmatan, nama baik dan sebagainya. Oleh sebab itu, majelis BPSK dilarang mengabulkan gugatan immateriil yang diajukan konsumen. 209 Sebaliknya dalam upaya melindungi konsumen, UUPK memberi wewenang kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administratif yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk dibayarkan kepada konsumen. Ganti kerugian berupa sanksi administratif adalah berbeda dengan ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami konsumen yang digugat melalui BPSK. Majelis BPSK selain mengabulkan gugatan ganti kerugian yang nyata, yang dialami konsumen juga berwenang menambahkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administrasi tersebut. Besarnya ganti kerugian tersebut tergantung pada nilai kerugian
208
Pasal 19 ayat (4) UUPK “Konsumen dapat menggugat pelaku Usaha pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”, Majalah Tempo, 16 Juli 2004. 209
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
konsumen akibat memakai, menggunakan, atau memanfaatkan barang dan/atau jasa produsen atau pelaku usaha. Perlu diperhatikan bahwa sesuai dengan ketentuan Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/200l, BPSK berwenang menjatuhkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif ini, hanya dapat dibebankan kepada pelaku usaha jika penyelesaian sengketanya dilakukan dengan cara arbitrase saja. Hal ini dapat dimengerti karena putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi semata-mata dijatuhkan berdasarkan surat perjanjian perdamaian yang dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif tidak diperlukan. 210 Majelis wajib memutuskan sengketa konsumen tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima BPSK. 211 Setelah putusan BPSK diberitahukan, selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari kerja sejak putusan dibacakan, konsumen dan atau pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK. Apabila konsumen dan atau pelaku usaha menolak putusan BPSK, maka mereka dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan.
210
Pasal 37 ayat (1) dan (2) Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. Lihat juga Aman Sinaga, “Peran dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Upaya Perlindungan Konsumen, suatu makalah yang disampaikan dalam rangka sosialisasi UUPK yang diselenggarakan oleh PIRAC Medan, 5 Januari 2004, hal. 6. 211 Pasal 38 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Sebaliknya apabila konsumen dan pelaku usaha menerima putusan BPSK, maka pelaku usaha wajib menjalankan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari kerja sejak menyatakan menerima putusan tersebut. Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha, dimintakan penetapan fiat eksekusinya kepada pengadilan negeri di tempat tinggal konsumen yang dirugikan. Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan telah melampaui batas waktu untuk menjalankan putusan, maka dianggap menerima putusan. Apabila selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui, pelaku usaha tidak menjalankan kewajiban sebagaimana tertuang dalam putusan BPSK, maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 212 Pasal 54 ayat (3) UUPK maupun Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK merupakan putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum yang
212
Pasal 41 ayat (1) sampai ayat (6) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Pasal tersebut tidak memberi penjelasan siapa yang dimaksud dengan “penyidik” apakah penyidik Polri untuk melakukan penyidikan atas tidak patuhnya pelaku usaha atas putusan atau Penyidik Pegawal Negeni Sipil (PPNS) yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perlindungan Konsumen untuk melakukan penyidikan dan proses penuntutan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun dengan mengacu pada Pasal 59 ayat (1) UUPK selain Pejabat Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintahan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
tetap. Terhadap putusan BPSK ini, dapat dimintakan eksekusi oleh BPSK pada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Mengacu pada ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK maupun Pasal 42 ayat (1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tersebut, putusan BPSK adalah final dan mengikat, dan tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan banding atau keberatan. Sebaliknya, dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK, masih dibuka peluang untuk mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan BPSK diberitahukan. Memerhatikan praktik peradilan saat ini, implementasi instrumen hukum keberatan ini sangat membingungkan dan menimbulkan berbagai persepsi, terutama para hakim, manakala tidak ada panduan yang jelas dan konsisten terhadap penafsiran maksud suatu undang-undang, apalagi jika pedoman untuk melaksanakan undangundang tersebut tidak tersedia di pengadilan. Oleh karena itu, timbul disparitas putusan terhadap suatu sengketa konsumen yang pada dasarnya merupakan suatu upaya keberatan terhadap putusan BPSK, yang mengakibatkan pada dewasa ini dalam implementasinya tidak ada konsistensi dan kesatuan pendapat dan berbagai putusan pengadilan. 213 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Proses Litigasi
213
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 124.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Manakala upaya perdamaian telah gagal mencapai kata sepakat, atau para pihak tidak mau lagi menempuh alternatif perdamaian, maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan dengan cara: 1) Pengajuan gugatan secara perdata diselesaikan menurut instrumen hukum perdata dan dapat digunakan prosedur: 214 a) gugatan perdata konvensional; b) gugatan perwakilan/gugatan kelompok (class action); c) gugatan/hak gugat LSM/Or-Nop (legal standing); d) gugatan oleh pemerintah dan atau instansi terkait. 2) Penyelesaian sengketa konsumen secara pidana. 3) Penyelesaian sengketa konsumen melalui instrumen hukum tata usaha negara, dan melalui mekanisme hukum hak menguji materiel. Dengan demikian dalam hal terjadinya sengketa konsumen maka para pihak dapat menempuh penyelesaian sengketanya melalui pengadilan yang penyelesaiannya secara perdata, pidana ataupun melalui hukum hak menguji materiel. Selanjutnya dari ketiga bentuk penyelesaian di atas, berikut ini akan dikemukakan salah satu bentuk penyelesaian tersebut, yaitu pengajuan gugatan secara perdata diselesaikan menurut instrumen hukum perdata/litigasi di Peradilan Umum.
214
Pasal 46 ayat (2) UUPK: Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengkera antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 215 Dengan memerhatikan Pasal 48 UUPK, penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku. Jadi dengan demikian, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri, dilakukan seperti halnya mengajukan gugatan sengketa perdata biasa, dengan mengajukan tuntutan ganti kerugian hak
berdasarkan perbuatan melawan hukum, gugatan ingkar
janji/wanprestasi atau kelalaian dari pelaku usaha/produsen yang menimbulkan cedera, kematian atau kerugian bagi konsumen. Gugatan perdata ini diajukan melalui pengadilan negeri di tempat kedudukan konsumen. Dengan berlakunya UUPK, 216 maka konsumen yang akan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, tidak mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri di tempat kedudukan pelaku usaha yang menjadi tergugat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 HIR, tetapi diajukan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan konsumen sebagai penggugat. Dengan berlakunya UUPK, ketentuan Pasal 23 jo. Pasal 45 UUPK ini merupakan lex specialis terhadap HIR/RBg. Sesuai dengan adagium “lex specialis derogat lex generalis“, yang berarti ketentuan khusus menyimpangkan ketentuan
215 216
Pasal 45 ayat (1) UUPK. Pasal 23 UUPK.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
umum, maka ketentuan Pasal 23 jo Pasal 45 UUPK adalah ketentuan acara yang harus diterapkan dalam rangka pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, dapat diajukan banding dan kemudian kasasi, sebagaimana perkara perdata biasa. Pada umumnya proses penyelesaian sengketa melalui litigasi kurang disukai oleh konsumen karena: 217 a) Penyelesaian sengketa melalui litigasi pada umumnya lambat (waste of time). Proses pemeriksaan bersifat sangat formal (formalistic) dan teknis (technically). Sifat formal dan teknis pada lembaga peradilan sering mengakibatkan penyelesaian sengketa yang berlarut-larut, sehingga membutuhkan waktu yang lama. Apalagi dalam sengketa bisnis, dituntut suatu penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya murah serta bersifat informal prosedur. b) Para pihak menganggap bahwa biaya perkara sangat mahal, apalagi dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa. Semakin lama penyelesaian suatu perkara akan semakin besar biaya yang akan dikeluarkan. Orang berperkara di pengadilan harus mengerahkan segala sumber daya, waktu dan pikiran (litigation paralize people). c) Pengadilan sering dianggap kurang tanggap dan kurang responsif (unresponsive) dalam menyelesaikan perkara. Hal itu disebabkan, karena pengadilan dianggap kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan serta kebutuhan para pihak yang berperkara dan masyarakat menganggap pengadilan sering tidak berlaku secara adil (unfair). d) Sering putusan pengadilan tidak dapat menyelesaikan masalah dan memuaskan para pihak. Hal itu disebabkan karena dalam suatu putusan ada pihak yang merasa menang dan kalah (win-lose), di mana dengan adanya perasaan menang dan kalah tersebut tidak akan memberikan kedamaian pada salah satu pihak, melainkan akan menumbuhkan bibit dendam, permusuhan dan kebencian. Di samping itu, ada putusan pengadilan yang membingungkan dan tidak memberi kepastian hukum (uncertainly) serta sulit untuk diprediksikan (unpredicable).
217
Albert Fiadjoe, Alternative Dispute Resolution a Developing World Perspective, Cavendish Publishing Limited, 2004, haI 66-68, dalam Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 127. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
e) Kemampuan hakim yang bersifat generalis. Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas, hanya pengetahuan di bidang hukum saja, sehingga sangat mustahil akan bisa menyelesaikan sengketa atau perkara yang mengandung kompleksitas diberbagai bidang. Gugatan pelanggaran pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen melalui peradilan
negeri,
dengan
menggunakan
instrumen
hukum
acara
perdata
(konvensional), dilakukan oleh seorang konsumen atau lebih atau ahli warisnya. Pasal 46 ayat (1) butir a UUPK ini, tidak menegaskan instrumen hukum tersebut, betapa pun lemahnya instrumen hukum itu ditinjau dari segi perlindungan hukum terhadap konsumen. Dalam hukum acara perdata konvensional dikenal siapa yang mendalilkan, ia yang harus membuktikan. Masuknya sengketa konsumen ke pengadilan negeri berdasarkan keaktifan salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa, dalam hal ini pelaku usaha atau konsumen. Konsumen dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) terhadap pelaku usaha atas pelanggaran norma-norma UUPK. Sebaliknya, pelaku usaha tidak diperkenankan menggugat konsumen atau mengajukan gugatan balik (rekonvensi) dengan merujuk pada pelanggaran konsumen atas norma-norma UUPK, kecuali menyangkut pelanggaran hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPK. 218
218
a. b. c.
Hak pelaku usaha adalah: menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Karena banyaknya kasus ketidakadilan yang dialami oleh konsumen yang pada umumnya pada posisi yang lemah, dan hukum acara perdata HIR/RBg tidak lagi sepenuhnya mampu menampung perkembangan-perkembangan tuntutan keadilan dari masyarakat pencari keadilan, maka UUPK telah mencoba prinsip-prinsip hukum perdata konvensional, yang sangat dipegang teguh para ahli hukum dan praktisi hukum di Indonesia. 219 UUPK membawa perbaikan, berupa pembaruan yang selama ini menghambat penyelesaian sengketa konsumen alternatif penyelesaian sengketa yang sama sekali baru bagi penegakan hukum di Indonesia, yaitu dimungkinkannya gugatan perwakilan kelompok/class action, 220 hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi Non-Pemerintah lain (legal standing), dan gugatan yang diajukan oleh pemerintah atau instansi yang terkait terhadap pelaku usaha. 221 Meskipun ketiga jenis gugatan tersebut secara prinsip berbeda, tetapi dalam praktik pelaksanaannya sering kali rancu, karena kurangnya pemahaman bagi pelaksana-pelaksananya, di samping itu adanya peraturan pemerintah yang mengaturnya. 222
d.
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 219 Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 130. 220 Peraturan Mahkamah Agung R.I. No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, di mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. 221 Pasal 46 ayat (1) butir b, c dan d serta Pasal 46 ayat (2) UUPK. 222 Susanti Adi Nutroho, op.cit, hal. 131.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
C. Upaya dan Penyelesaian Tuntutan Konsumen terhadap Kelalaian yang Dilakukan oleh PDAM Tirtanadi Medan 1. Melalui PDAM Tirtanadi Buruknya pelayanan dari PDAM sering dikeluhkan para pelanggan, masalah yang paling sering dikeluhkan adalah air yang sering tidak mengalir/macet dan juga airnya keruh atau kotor. Keadaan seperti ini tentu saja membuat para konsumen merasa kecewa dengan pelayanan yang diberikan PDAM padahal konsumen telah melaksanakan kewajiban dengan baik yaitu dengan membayar rekening tagihan pada waktu yang telah ditentukan karena konsekuensi dari tidak membayar rekening juga akan ditanggung konsumen sendiri, yaitu konsumen akan terbebani dengan sanksi keterlambatan pembayaran rekening. Terhadap masalah distribusi air dari PDAM ini, reaksi yang timbul pada konsumen bermacam-macam, salah satunya dengan mengadukan langsung ke pihak PDAM baik secara langsung maupun melalui telepon. Terhadap pengaduan yang dilakukan pelanggan, pihak PDAM akan melakukan penyelesaian pengaduan pelanggan dengan dasar hukum yang dipakai adalah: a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. b. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Tarif Air Minum pada PDAM dan Permendagri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Petunjuk Penetapan Tarif Air Minum pada PDAM. c. Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Utara No. 3 Tahun 1999 tentang Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Proses dan prosedur dalam penyelesaian pengaduan pada PDAM Tirtanadi dilakukan dengan cara: 1. Konsumen/pelanggan datang ke kantor/via telepon melaporkan kerusakan atau kesalahan rekening. 2. Bagian pelayanan langganan menerima laporan dan mencatat dalam buku pengaduan sekaligus memberikan nomor, memeriksa jenis pengaduan untuk diteruskan ke bagian yang bekaitan. Dari langkah penyelesaian pengaduan yang diambil oleh pihak PDAM Tirtanadi ini terlihat bahwa proses yang diambil adalah jalur non litigasi berupa negosiasi yaitu merupakan penyelesaian sengketa yang paling sederhana dan termurah tanpa keterlibatan pihak ketiga. Walaupun demikian sering juga pihak-pihak yang bersengketa mengalami kegagalan dalam bernegosiasi karena kurang menguasai teknik bernegosiasi yang kompetitif dan kooperatif. 223 Prosedur penyelesaian pengaduan konsumen yang ditempuh pihak PDAM tersebut sesuai dengan ketentuan penyelesaian sengketa yang diatur Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terutama Pasal 45 ayat (2) yang berbunyi: penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
223
Larry I Teply, Legal Negotiation in a Nut Shell, West Publising Co, St PauI, Minnessota, 1991, hal. 88. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Dari penelitian yang dilakukan, sebagian konsumen merasa prosedur penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh pihak PDAM, yang tersebut di atas, tidak berjalan sebagaimana mestinya karena dalam praktiknya jika konsumen melakukan pengaduan ke PDAM terkesan bahwa petugas yang satu melemparkan tanggung jawabnya ke petugas yang lain, sehingga menyebabkan konsumen merasa tidak terlayani dengan baik dan memakan waktu untuk segera mendapatkan kembali hak yang seharusnya mereka terima walaupun pada akhirnya ada penyelesaian juga dari pihak PDAM atas adanya pengaduan dari konsumen berkaitan dengan masalah distribusi air minum ke rumah para konsumen. 2. Melalui Peranan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Usaha lain yang ditempuh oleh pelanggan untuk memperoleh hak-hak yang seharusnya didapat adalah dengan jalan mengadukan masalahnya tersebut ke lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat ini keberadaannya diatur dalam Pasal 44 UUPK, dalam ketentuan umum dinyatakan yang dimaksud dengan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK, yaitu: berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. 224 Kemudian, dalam Pasal 46 ayat (2) UUPK ditegaskan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. 225 Selanjutnya, mencermati peran lembaga konsumen dalam UUPK, lembaga ini telah diakui dan diberi kewenangan yang besar dalam upaya perlindungan konsumen, hal itu tercantum dalam pasal-pasal berikut:
224
Lihat, Perkara Gugatan Class Action No. 126/Pdt. G/2003/PN. JKT. PST antara KOMPARTA (Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta) lawan Gubernur Daerah Khusus Jakarta (TERGUGAT I) dan DPRD (TERGUGAT II), yang mana dalam eksepsi PARA TERGUGAT halaman 2, point 2, titik 2 menyatakan "Bahwa kuasa hukum penggugat selaku orang yang menerima kuasa dari PENGGUGAT agar dapat beracara di depan pengadilan, ia harus memiliki izin praktek …dst. Namun, PARA PENGGUGAT menolak eksepsi PARA TERGUGAT sebagaimana tercantum pada point 4. a. Bahwa Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta (KOMPARTA) berdiri pada tanggal 21 Maret 2003 telah didaftarkan pada notaris di Jakarta, selain memiliki struktur kepengurusan dan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga mempunyai juga TIM BANTUAN HUKUM bernama TIM BANTUAN HUKUM KOMPARTA terdiri para sarjana hukum yang bertindak untuk diri sendiri dan atau atas nama anggota Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta. 225 Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, menyatakan gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara Gugatan Perwakilan Kelompok apabila: a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya; c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya; d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
a. Pasal 30 ayat (1): kewenangan mengawasi penerapan UU dalam rangka perlindungan konsumen. b. Pasal 30 ayat (3): pengawasan terhadap peredaran barang dan/atau jasa. c. Pasal 36: menjadi anggota BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional). d. Pasal 44 ayat (3): menyebarkan informasi dan pemberian nasihat kepada konsumen, membantu memperjuangkan hak konsumen, menerima keluhan atau pengaduan konsumen. e. Pasal 45 ayat (1) dan (2): menyelesaikan sengketa konsumen melalui jalur non peradilan/non litigasi. f.
Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 46 ayat (1) butir c: menggugat pelaku usaha melalui peradilan umum.
g. Pasal 49 ayat (3): menjadi anggota BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen). Dalam kedudukannya sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berorientasi pada perlindungan konsumen maka lembaga perlindungan konsumen memiliki beberapa bidang kegiatan untuk mendukung aktivitasnya di mana tiap-tiap bidang tersebut saling berkaitan dan saling mendukung. Dua diantara bidang-bidang kegiatan yang dilakukan lembaga perlindungan konsumen, misalnya di sini dikedepankan adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai berikut: a. Bidang Penelitian
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Bidang ini melakukan aneka studi/kajian ilmiah tentang berbagai isu perlindungan konsumen, dan bidang ini telah dihasilkan berbagai penelitian dan survey yang hasilnya dapat digunakan oleh berbagai pihak, termasuk untuk ditindaklanjuti oleh bidang-bidang lain. Di samping itu secara periodik dilakukan diskusi/kajian terhadap berbagai isu dengan melibatkan berbagai pihak. b. Bidang Pengaduan Bidang ini berperan dalam penanganan kasus sengketa konsumen yang terjadi di masyarakat, kegiatannya adalah menerima dan menindaklanjuti keluhan atau pengaduan dari konsumen yang mengalami masalah karena tidak puas dengan barang atau jasa yang diperolehnya dari pelaku usaha, dalam hal ini YLKI bertindak secara aktif maupun pasif. Aktif yaitu pihak YLKI melakukan pemantauan dan menindaklanjuti surat pembaca di media massa yang berorientasi konsumen dalam hal ini dilakukan secara selektif, hanya yang mempunyai identitas jelas yang akan dibantu oleh YLKI. Pasif, yaitu apabila inisiatif datang dari konsumen, konsumen secara langsung menghubungi YLKI dan mengadukan masalahnya. Ketika konsumen datang untuk mengadukan masalahnya, maka YLKI akan memberikan saran dan masukan hal-hal apa saja yang bisa dilakukan konsumen untuk mempertahankan haknya. Jika konsumen merasa mampu dan berani untuk menyelesaikan sendiri masalahnya dengan pelaku usaha maka konsumen dibiarkan untuk menyelesaikan sendiri, hal itu dilakukan untuk Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
menumbuhkan semangat dan kesadaran konsumen akan hak-haknya serta keberanian untuk mempertahankannya, selain itu juga untuk melakukan pemberdayaan konsumen, namun jika konsumen memutuskan untuk melakukan pengaduan resmi melalui YLKI maka konsumen tersebut harus menandatangani surat kuasa kepada YLKI kemudian YLKI akan menangani pengaduan tersebut, langkah atau cara yang diambil pertama kali oleh YLKI untuk menyelesaikan sengketa konsumen tersebut adalah melalui jalur non litigasi, jika tidak berhasil baru dilakukan melalui jalur litigasi dengan persetujuan dari konsumen sebagai pengadu. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam hal penyelesaian sengketa yang dilaksanakan diluar pengadilan (non litigasi) adalah secara negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, apabila terdapat
pengaduan
konsumen PDAM ke YLKI maka pihak YLKI terlebih dahulu menyarankan agar konsumen langsung menyelesaikan permasalahan tersebut dengan pihak PDAM secara negosiasi yaitu komunikasi dua arah antara konsumen dengan pihak PDAM untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, hal ini dilakukan agar permasalahan dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak yang berkepentingan dengan jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak yaitu secara damai dan dengan jalan kekeluargaan (musyawarah). YLKI berperan memberikan saran-saran mengenai cara-cara yang harus diambil oleh konsumen/pelanggan untuk mendapatkan hak-hak mereka. Apabila cara Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
tersebut tidak mampu menghasilkan penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak maka YLKI baru akan mengambil jalan mediasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Jadi, upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan masyarakat konsumen air minum yang dirugikan haknya oleh PDAM Tirtanadi terutama menyangkut air minum yang sering kotor dan berbau, adalah mengadukan langsung ke PDAM Tirtanadi maupun melakukan gugatan melalui lembaga perlindungan konsumen. Hal ini tentunya sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) UUPK, bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Kemudian dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK dinyatakan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan, kelompok konsumen ataupun lembaga perlindungan konsumen. Selanjutnya diketahui bahwa sebagai konsekwensi hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh UUPK, dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberi hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikan serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 19 UUPK yang menyebutkan pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Ganti rugi, merupakan tahapan terakhir dari keseluruhan proses prosedur gugatan perwakilan kelompok setelah tahapan-tahapan yang sebelumnya selesai. Meskipun tahapan penyelesaian ganti kerugian ini hanya bersifat administratif saja, tetapi pelaksanaannya sangat sulit dan rumit. Penyelesaian ganti kerugian ditetapkan setelah aspek pertanggungjawaban ditetapkan dalam pertimbangan putusan hakim. Pada dasarnya pelaksanaan ganti kerugian merupakan eksekusi putusan gugatan kelompok yang dikabulkan. Dalam acara biasa eksekusi putusan dilaksanakan oleh ketua pengadilan atas permohonan pihak yang menang. Pelaksanaan ganti kerugian ini akan menimbulkan kesulitan, jika dalam amar putusan hakim tidak menunjuk tim/panel. 226 Untuk membantu kelancaran pendistribusian ganti kerugian. Tim panel tersebut dengan koordinasi panitera pengadilan yang secara administratif akan mengelola pendistribusian ganti kerugian. Oleh karena itu, dalam putusan hakim harus secara jelas menetapkan cara pembayaran dan pendistribusian ganti kerugian. 226
Susanti Adi Nugroho, op.cit, hal. 287.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Ganti kerugian baru dapat dibagikan kepada anggota kelas, atau subkelas setelah dilakukan pemberitahuan atau notifikasi. Penentuan ganti kerugian dapat ditetapkan secara spesifik kepada setiap anggota kelas atau subkelas atau individu tertentu, atau dapat ditetapkan suatu jumlah keseluruhan secara bersama-sama (aggregate amount).227 Taraf penyelesaian ganti kerugian ini, akan menimbulkan kesulitan, karena dengan biaya perkara yang rendah, para pihak pada umumnya enggan untuk berdamai, dan perkara berlanjut sampai putusan kasasi. Dari penelitian yang dilakukan pada PDAM Tirtanadi ganti rugi yang pernah dilakukan hanya sebatas adanya gugatan terhadap kerusakan instalasi atau gangguan pada jaringan instalasi air, dengan syarat bahwa kerusakan atau gangguan tersebut: a. Tidak disebabkan oleh kesalahan pelanggan. b. Telah dilaporkan secara tertulis kepada PDAM Tirtanadi (unit pelayanan). c. Mengakibatkan sambungan instalasi air sama sekali tidak mempunyai atau tidak digunakan melampaui waktu yang ditentukan dalam jaminan tingkat layanan terhitung sejak tanggal diterimanya laporan oleh unit pelayanan. d. Tidak termasuk kerusakan atau gangguan disebabkan oleh keadaan force majeur. Mengenai besarnya ganti rugi adalah maksimal besarnya biaya berlangganan bulanan persatu-satuan sambungan air bersih dan hanya diberikan satu kali dalam satu bulan tagihan. Pembayaran ganti rugi tersebut dilakukan oleh PDAM Tirtanadi
227
Ibid, hal. 287.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
dengan cara membebaskan pembayaran biaya berlangganan bulanan pada bulan berikutnya atau sesuai dengan permintaan pelanggan. Selain ganti rugi tersebut di atas PDAM Tirtanadi dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian dalam bentuk apapun yang mungkin atau telah diderita oleh pelanggan, kerugian langsung ataupun tidak langsung sebagai akibat dari berfungsi atau tidak berfungsinya sambungan instalasi air, termasuk kerugian karena: 1. Perubahan jaringan instalasi air. 2. Kesalahan tagihan akibat pemakai jasa pemakai air bersih yang disediakan oleh PDAM Tirtanadi. 3. Kerusakan akibat peristiwa atau kejadian di luar batas kendali normal PDAM Tirtanadi Jadi, sejauh ini pelaksanaan ganti rugi yang dilaksanakan PDAM Tirtanadi atas gugatan konsumen lebih karena terjadinya kerusakan instalasi air yang telah dilaporkan konsumen kepada pihak PDAM, namun mengenai ganti rugi karena terjadinya pencemaran air, memang belum pernah terjadi adanya gugatan ganti rugi oleh konsumen akibat mengkonsumsi air minum yang tercemar, apalagi dalam bentuk perawatan dan atau dalam bentuk santunan.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur tentang hak konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha, dan lebih lanjut lagi Pasal 19 UUPK menentukan pelaku usaha dalam hal ini PDAM bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas konsumen tidak hanya sebatas uang atau barang bahkan perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan akibat mengkonsumsi air minum yang tercemar. Di samping itu UUPK mengatur tentang adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga konsumen dapat melakukan gugatan tidak hanya melalui pengadilan tetapi juga dapat dilakukan gugatan di luar pengadilan. 2. Faktor-faktor penyebab hak-hak konsumen air minum PDAM tidak dipenuhi sangat dipengaruhi oleh anggaran publik untuk air bersih itu, sumber air baku dan pada saat pendistribusian air minum itu. Anggaran publik untuk air bersih yang masih terbatas untuk pengelolaan PDAM, demikian juga sumber air baku yang Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
sudah tercemar karena hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab PDAM tetapi juga peran pemerintah dalam kebijakan pengelolaan lingkungan. Kemudian terjadi kebocoran pipa pada saat pendistrusian ke masyarakat karena kurangnya perawatan berkelanjutan dari PDAM yang mengakibatkan tercemarnya air minum yang disalurkan tersebut. 3. Penyelesaian sengketa akibat terjadinya air minum yang tercemar yang dikonsumsi konsumen, dilakukan dengan cara pengaduan langsung oleh konsumen kepada PDAM ataupun dilakukan sesuai dengan Pasal 46 UUPK dengan pengaduan dan gugatan melalui lembaga swadaya masyarakat sebagai gugatan kelompok. Pada umumnya penyelesaian sengketa ini diupayakan secara musyawarah sebelum melakukan tuntutan ke peradilan umum.
B. Saran 1. Perlu ditinjau kembali ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyangkut lembaga BPSK, karena keputusan majelis menurut Pasal 56 ayat (2) masih dimungkinkan untuk diajukan keberatan ke pengadilan negeri oleh pihak yang tidak puas. Padahal sesuai Pasal 54 ayat (3) putusan BPSK bersifat final dan mengikat, karena BPSK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang nilainya tuntutannya kecil. 2. Disarankan kepada pemerintah, agar pendekatan penganggaran pembangunan prasarana air minum yang berbasis proyek dan negosiasi sudah waktunya diubah Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
menjadi penganggaran prioritas yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Kemudian, disarankan kepada PDAM Tirtanadi, sebagai suatu perusahaan yang menjadi tumpuan masyarakat dalam mengkonsumsi air minum sehari-hari, maka harus selalu mengadakan perawatan terhadap peralatan distribusi air minum agar gangguan distribusi air minum yang selama ini yang mengakibatkan tercemar air minum dapat diminimalisir serta bila dimungkinkan diadakan penggantian peralatan yang sudah tidak layak lagi dalam pendistrusian air minum tersebut demi pelayanan yang baik bagi konsumen. 3. Sebagai
konsumen,
pelanggan
seharusnya
menyadari
hak-haknya
dan
mengembangkan kemampuan untuk memperjuangkan hak-hak tersebut sehingga apabila merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan hak-hak tersebut, tetapi juga harus memperhatikan kewajibankewajibannya sebagai konsumen.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Anderson, R.A. dan W.A. Krumpt, Business Law, South-Western, Publishing Co., Cincinnati, 1972. Atmadja, Arifin P. Soetria, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Praktik, dan Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983. ______, Perjanjian Baku (Standar), Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, 1980. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, Penerbit St Paul Minn West Publishing Co tahun 1990. Echlos, John M., & Hasan Sadly, Kamus Inggris-Indonesia. Gramedia, Jakarta, 1986. Engel, James F., Roger D. Blackwell dan Paul W. Miniard, Perilaku Konsumen, edisi keenam, Jilid 2, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995. Fiadjoe, Albert, Alternative Dispute Resolution a Developing World Perspective, Penerbit Cavendish Publishing Limited, 2004. Fuadi, Munir, Hukum Bisnis dalam teori dan Praktek, buku ke-2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. Hisyam, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996. Hornby, A.S., Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English. Oxford University Press, Oxford, 1989. Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Lazo H., Marketing, Alexander Hamilton Institute, 1971, New York. Lovenheim, Peter & Lisa Guerin, Mediation, Don’t Litigate, Strategies for Successful Mediatio, Penerbit NOLO, 2004. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994. Muhammad, Abdulkadir, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. ______, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992. Nasution, A.Z., Hukum Perlindungan Konsumen suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta, 1999. ______, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995. Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kehendak Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2008. Pasaribu, Sjahril Effendy, Wajah PDAM dan Lingkungannya, Media Persada, Medan, 2005. Setiawan, R, Hukum Perikatan-Perikatan pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000. Shofie, Yusuf dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Penerbit Piramedia, Jakarta, 2004. Shofie, Yusuf, Penyelesaian Sengeketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Teori & Praktik Penegakan Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. ______, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. ______, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2000.
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Sinclair, John, Collins Cobuild English Language Dictionary. William Collins Sons & Co, Glasgow, 1988. Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001. Sudaryanto, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Suherman, E. Masalah Tanggung Jawab pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah lain di Bidang Penerbangan, Alumni, Bandung, 1976. Suparmoko, M, Keuangan Negara, dalam Teori dan Praktek, Edisi 5, BPFE, Yogyakarta, 2000. Susila, Zoemrotin K., Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, Jakarta, 1999. Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju, Bandung, 2002. Teply, Larry I, Legal Negotiation in a Nut Shell, West Publising Co, St PauI, Minnessota, 1991. Wahyu, Sasonggko, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Ajar, Universitas Lampung Press, 1999. Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Yuan, Lim Lan, The Theory & Practies of Mediation, Penerbit FT Law & Tax Asia Pasific Tahun 1997.
B. Makalah, Jurnal, Artikel dan Karya Ilmiah Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Arifin, Syamsul dan Hamdan, Sanksi Pidana terhadap Badan Hukum Pencemaran Lingkungan, USU Press, Medan, 1996 Badrulzaman, Mariam Darus, “Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar)”, dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Bina Cipta, Bandung, 1986. Goodpaster, Gary & Felix Oentoeng Soebagjo dan Fatimah, “Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik”, Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi 2, Arbitrase di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995. Kamelo, Tan, “Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara”, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002. “Konsumen Dapat Menggugat Pelaku Usaha pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”, Majalah Tempo, 16 Juli 2004. Middleton, Richard, (terjemahan), “Air Bersih: Sumber Daya yang Rawan”, Seri Makalah Hijau, Tim Penerjemah IKIP Malang, tt. Nasution, Arifin Rahmadsyah, Penyesuaian Tarif PDAM Tirtanadi untuk Peningkatan Kualitas Layanana, Majalah Buletin Tirtanadi, No.4, Oktober 2005. “PDAM Tirtanadi”, Buku Profile PDAM Tirtanadi, 1986. “Pelayanan PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara untuk Medan Sekitarnya”, Butir Air Minum, Majalah PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, edisi II, 2008. Purba, Parlindungan, ”Pelayanan PDAM Tirtanadi Buruk”, Harian Global, tanggal 24 Mei 2008. Sinaga, Aman, ”BPSK Tempat Menyelesaikan Sengketa Konsumen dengan Cepat dan Sederhana”, Media Indonesia, 27Agustus 2004. _____,” Peran dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Makalah, 2004. Siregar, Zainal Abidin, “Eco-Asia City to City Twinning Program”, Butir Air Minum, PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, Edisi II, 2008. “Sistem Informasi Manajemen terhadap Peningkatan Pelayanan”, Butir Air Minum, Majalah PDAM Tirtanadi, edisi II, 2008 . Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Sukmaningsih, Indah, ”Harapan Segar dari Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Konsumen”, Kompas, 20 April 2000. _____, Dimensi Pelayanan Publik dalam Masalah Perlindungan Konsumen, Lokakarya Hukum Perlindungan Konsumen bagi Dosen dan Praktisi Hukum, Jakarta, 1997. Sularsi, “Peyelesaian Sengketa Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen”, dalam Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, disunting oleh Arimbi, Penerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2001.
C. Internet “Anggaran Publik Untuk Penyediaan Air Bersih”, http://www.suarapublik.org/ jaringan informasi kebijakan publik-Anggaran Publik Untuk Penyediaan Air Bersih.html. Air Bersih”, http://id.wikipedia,org/wiki/Air_bersih#Sumber_Air_bersih.html. http:/www.pdamtirtanadi.co.id/Sejarah PDAM.html. Karnadi, Rachmat, Awas Krisis Air Bersih”, http://www.suarapublik.org/jaringan informasi kebijakan publik-Awas Krisis Air Bersih.html. Kirmanto, Djoko, ”Awas Krisis Air Bersih”, http://www.suarapublik.org/jaringan informasi kebijakan publik-Awas Krisis Air Bersih.html. “Medan, Sumatra Utara: Warga Miskin Dapat Air Bersih”, http://www.mediaindonesia news & views.html. “PDAM Tirtanadi Sepelekan DPRD Medan”, http://www.hariansuarasumut.com/ beritautama/PDAM Tirtanadi Sepelakn DPRD Medan.html. “Swasta Kuasai Air Minum”, http://www.suarapublik.org/jaringan kebijakan publik-swasta kuasai air minum.html. Tersiawan, Magyartoto, “Opini Secreen http::/www.oedoramail..com/mail3.html.
tentang
PDAM
informasi Surabaya”,
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.
Zainuddin, ”PDAM Tirtanadi Sepelekan http://www.hariansuarasumut.com/beritautama.html.
DPRD
Medan”,
D. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Keputusan Presiden No 90. Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Perkara Gugatan Class Action No. 126/Pdt. G/2003/PN. JKT. PST antara KOMPARTA (Komunitas Pelanggan Air Minum Jakarta) lawan Gubernur Daerah Khusus Jakarta (TERGUGAT I) dan DPRD (TERGUGAT II).
Jan Rohtuahson Sinaga : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Pelayanan Air Bersih: Studi Pada Masyarakat Kota Medan Pelanggan Pdam Tirtanadi Cabang Medan, 2010.