PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB
NASKAH PUBLIKASI
Oleh AMELYA ZUHARNI 067011016/MKn
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB
NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh AMELYA ZUHARNI 067011016/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Judul Tesis Nama NIM Program Studi
: PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB : Amelya Zuharni : 067011016 : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum) Ketua
(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn) Anggota
(Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum) Anggota
Mengetahui: Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) Tanggal Lulus: 13 September 2008
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Telah Diuji Pada Tanggal: 13 September 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.
Anggota
:
1. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. 2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N., M.Hum. 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. 4. Syafruddin Sulung Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK Dalam Pasal 1 angka 13 UU Paten dirumuskan lisensi sebagai izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi darisuatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. Selain melalui perjanjian lisensi, pengalihan paten dapat dilakukan melalui lisensi wajib yang sesuai Pasal 74 sebagai lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan untuk melaksanakan paten yang telah dilindungi. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib, syarat-syarat dan tata cara peralihan hak paten melalui lisensi wajib, dan perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib. Sifat penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu melakukan studi kepustakaan atau kajian terhadap UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dalam hal perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib. Berdasarkan hasil penelitian diketahui hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib terbatas pada jangka waktu yang ditetapkan Direktorat Jenderal HKI. Hak eksklusif paten bagi lisensi wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan yang tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal HKI untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Lisensi-wajib dilaksanakan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HKI atas dasar permohonan dari setiap pihak kepada Direktorat Jenderal untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten dengan membayar biaya, dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten. Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh pemegang Paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. Namun, sampai saat ini belum pernah dilaksanakan lisensi wajib di Indonesia. Selain peraturan pemerintah yang belum ada, juga masih terbatasnya kemampuan atau fasilitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan lisensi wajib atas produk yang dibutuhkan tersebut. Perlindungan hukum hak eksklusif pemegang Paten terhadap lisensi wajib di dalam ketentuan UU Paten ditegaskan lisensi wajib dapat berakhir sesuai Pasal 84 karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan, atau penerima lisensi-wajib menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Dengan berakhirnya lisensi-wajib, maka menurut Pasal 85 berakibat pulihnya hak pemegang atas Paten terhitung sejak tanggal pencatatannya. Selain itu, dalam hal lisensi wajib pemegang paten tidak setuju terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka sesuai ketentuan Pasal 102 pemegang paten dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga. Dalam rangka melindungi pemegang paten, maka tindakan tegas dari pemerintah dalam mencegah terjadinya pelanggaran hak paten itu berupa ganti kerugian bagi pemegang paten yang telah digunakan oleh pihak lain tanpa seizin pemegang paten, dan memerintahkan si pelanggar menghentikan kegiatannya memproduksi barang yang telah dipatenkan, dan juga pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan lisensi paten. Kemudian, kepada para pihak yang melakukan pengalihan atas paten, walaupun dalam Pasal 66 UU Paten tidak secara tegas ditentukan perjanjian pengalihan paten harus dituangkan dalam akta notaris, maka demi kesempurnaan dari perjanjian itu sebaiknya dilakukan di hadapan notaris sebagai pejabat umum pembuat akta otentik. Kata kunci: Paten; Lisensi Wajib;
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah terlebih dahulu dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT, berkat rahmat-Nya penulis dapat menyusun tesis dengan judul ”PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang hatis dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dimana penulisan ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan dan bantuan semua pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya. Pada kesemparan ini penulis sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Komisi Pembimbingan yang terhormat Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum, Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum yang berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan kepada penulis sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Dosen Penguji diluar Komisi Pembimbing Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, yang telah banyak memberikan masukan, petunjuk dan arahan yang konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap seminar proposal, seminar hasil dan hingga selesainya penulisan tesis ini. Selanjutnya penulis mengucapan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1.
Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., (Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2.
Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktur beserta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan.
3.
Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan penulisan tesis ini
4.
Bapak dan Ibu Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Program Magister Kenotariaatan, yang telah membimbing dan
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
memberikan ilmu pengetuahuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik, atas jasa dan budi Bapak dan Ibu dosen, saya ucapkan terima kasih banyak. 5.
Para Staf/Pegawai Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan, yang selalu membantuk penulis dalam kelancaran manajemen administrasi yang dibutuhkan.
6.
Rekan-rekan mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2006, khususnya kelas B yang selalu setia memberikan bantuan semangat, dorongan, motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan. Secara khusus penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada yang
sangat penulis muliakan kedua orang tua, Ayahanda H. Marfa Zuharmy, BBA dan Ibunda Alm. Adliani semua ini penulis sembahkan untuk mereka serta kakak dan adik, yang dengan ikhlas dan penuh perhatian telah banyak memberikan dukungan dan doa sejak penulis kecil sampai sekarang. Akhir kata tesis ini dapat diselesaikan hanyalah karena izin ALLAT SWT semata, karena itu dengan memohon izin-Nya juga penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat untuk penulis kemasa depan maupun masyarakat.
Medan, September 2008 Penulis
AMELYA ZUHARNI
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK.............................................................................................................
i
ABSTRACT...........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ..............................................................................................
v
DAFTAR ISI..........................................................................................................
vi
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................
1
A. Latar Belakang ...............................................................................
1
B. Permasalahan ................................................................................
9
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................
10
D. Manfaat Penelitian ........................................................................
10
E. Keaslian Penelitian ........................................................................
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .......................................................
11
1. Kerangka teori .........................................................................
11
2. Konsepsi ..................................................................................
20
G. Metode Penelitian .........................................................................
22
HAK EKSKLUSIF ATAS PATEN BAGI PEMEGANG LISENSI WAJIB ................................................................................................
24
A. Persyaratan Paten ..........................................................................
24
B. Perolehan Hak dan Jangka Waktu Perlindungan Paten ................
41
C. Hak Substantif Paten .....................................................................
49
D. Hak Eksklusif Paten Bagi Pemegang Lisensi Wajib ....................
51
SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PERALIHAN HAK PATEN MELALUI LISENSI WAJIB.................................................
57
BAB II.
BAB III
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB IV
BAB V
A. Pengalihan Paten............................................................................
57
B. Permohonan Paten ........................................................................
59
C. Pengumuman Permohonan dan Pemeriksaan Substantif Paten ....
73
D. Syarat-syarat dan Tata Cara Peralihan Hak Paten Melalui Lisensi Wajib ................................................................................
87
PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB ................................................................................
110
A. Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI)....................
110
1. Jurisdiksi Peradilan (Adjudicative jurisdiction).......................
110
2. Prosedur Penegakan Hukum ...................................................
113
B. Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib ..........
121
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................
133
A. Kesimpulan ...................................................................................
133
B. Saran .............................................................................................
134
DAFTAR PUSTAKA
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI Nama
: Amelya Zuharni
Tempat / Tanggal Lahir
: Medan / 26 Juli 1983
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Garuda No. 82 Sei Sikambing B Medan – 20122
PENDIDIKAN 1989 – 1995
: SD Negeri 081234 Sibolga – Tapanuli Tengah
1995 – 1998
: SMP Swasta Harapan 2 Medan
1998 – 2001
: SMU Swasta Harapan Medan
2001 – 2005
: S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2006 – 2008
: S-2 Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Hormat Saya,
Amelya Zuharni
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan berbagai temuan di antaranya dapat dijadikan komoditi perindustrian dan perdagangan yang tentu saja terkait dengan perkembangan pola perdagangan dunia yang cenderung mengarah pada terbukanya sekat-sekat pembatasan dalam jaringan perdagangan yang selama ini telah berlangsung. 1 Sebagai upaya untuk melindungi berbagai temuan tersebut, Indonesia telah menetapkan berbagai regulasi di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Konsekuensi Indonesia menjadi anggota WTO antara lain, adalah melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan WTO, termasuk yang berkaitan dengan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (selanjutnya disebut TRIP’s-WTO). Persetujuan TRIPs-WTO memuat berbagai norma dan standar perlindungan bagi karya-karya intelektual. Di samping itu, TRIPsWTO juga mengandung pelaksanaan penegakan hukum di bidang hak kekayaan intelektual (selanjutnya disebut HKI). 2 Tujuan utama persetujuan TRIPs-WTO adalah untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap HKI dan untuk menjamin bahwa prosedur serta langkah-langkah penegakan hukum HKI itu sendiri tidak menjadi hambatan-hambatan terhadap perdagangan. Perlunya perlindungan hukum kepada individu terhadap hasil karyanya bermula dari teori hukum alam yang menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal. 3 Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Right merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap kekayaan intelektual dan menjamin seseorang 1
Adami Chazawi, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), BAyumedia Publishing, Malang, 2007, hal. v. 2 Ahmad Zen Umar Purba, “Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HKI Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.13, April 2001, hal. 8. 3 Afrilyanna Purba, Gazalba Saleh, dan Andriana Krisnawati, TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia), Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 2.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
dari melanggar meniru atau ditiru karya intelektual dari pihak-orang lain. HKI bermanfaat untuk didapatkan karena nilai komersial yang dimiliki oleh karya intelektual yang dilindungi. Oleh sebab itu HKI menjadi penting ketika ada produk intelektual yang akan dikomersialkan dan oleh sebab itu pencipta karya intelekual membutuhkan perlindungan dalam periode tertentu guna memperoleh manfaat dari komersialisasi karya intelektual. Presiden Nyrere pernah mengungkapkan, alih teknologi merupakan kewajiban hukum dari negara maju ke negara berkembang, jadi bukan atas dasar belas kasihan. 4 Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights sendiri menekankan sistem HKI dimaksudkan untuk: Contribute to the promotion of technology to he mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conductive to social and economic welfare, and to a balance of right and obligation (Art. 7). (Terjemahan Penulis: Berperan untuk mempromosikan teknologi, pada keuntungan produsen dan pengguna ilmu pengetahuan teknologi dan hal-hal yang konduktif pada kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan pada keseimbangan hak dan kewajiban). Jadi di samping amanat alih teknologi terdapat pula pesan, pembangunan itu juga berdimensi sosial. Salah satu cara alih teknologi adalah dengan cara peralihan hak atau lisensi. Perjanjian lisensi sangat erat kaitannya dengan bidang hak kekayaan intelektual, khususnya dalam hal paten. Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, disebutkan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang unuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. 5 Hak paten merupakan insentif yang menjadi hak seorang penemu/pencipta suatu teknologi baru. 6 Pemberian hak paten bersifat teritorial, yaitu mengikat hanya dalam lokasi tertentu. Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan hukum di beberapa negara atau wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi paten di masing-masing negara atau wilayah tersebut. Dalam paktik di Indonesia secara kuantitatif permohonan paten hanya sedikit yang berasal dari dalam negeri, selainnya jumlah terbesar berasal dari luar negeri. Hal 4
A. Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual dan Perjanjian Lisensi, http://www.dgp.go.id/eb.htm, dipublikasikan November 2001, diakses tanggal 29 Februari 2008. 5 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 6 ”Hak Paten Masih Soal Reog”, Http://www.annasagung.blog.com/2424617, dipublikasikan tanggal 17 Desember 2007, diakses tanggal 1 April 2008.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia untuk menghasilkan invensi baru yang dapat diperoleh hak paten belum memperlihatkan angka yang menggembirakan. 7 Dalam keadaan seperti ini, untuk menunjang dan mempercepat lahirnya berbagai perjanjian lisensi merupakan konsekuesi logis dari diundangkannya undang-undang paten. Dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dirumuskan pengertian lisensi sebagai izin yang diberikan oleh pemegang paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi darisuatu paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertntu. Hal ini berartai ”dengan adanya lisensi paten tersebut, seseorang atau badan hukum berdasarkan suatu perjanjian mempunyai hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu paten yang telah diberikan perlindungan hukum dalam jangka waktu dan dengan syarat-syarat tertentu pula”. 8 Selain melalui perjanjian lisensi, pengalihan paten dapat pula dilakukan dengan melalui lisensi wajib atau lisensi paksa (compulsory licenses atau other use without the authorization of the right holder). Istilah compulsory licenses dipergunakan oleh Paris Convention, sebagaimana diatur dalam Pasal 5A Paris Convention yang menentukan bahwa pemberian pemberian lisensi wajib untuk paten dimungkinan, dengan ketentuan bahwa: 9 1. Pemberian lisensi wajib tersebut bukan merupakan suatu keharusan, melainkan suatu hal yang diperbolehkan; 2. Lisensi wajib hanya diberikan untuk menghindari atau mencegah terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran yang diakibatkan dari pelaksanaan hak-hak eksklusif yang telah diberikan oleh negara, misalnya tidak dilaksanakannya paten yang telah diberikan perlindungan tersebut; 3. Dalam hal ketiadalaksanakan paten, maka pembatalan paten hanya dapat dilakukan sebelum berakhir masa dua tahun dari pemberian lisensi wajib yang pertama; 4. Pemberian lisensi wajib itu sendiri baru dapat diberikan dalam jangka waktu empat tahun terhitung sejak tanggal pengajuan permohonan paten atau tiga tahun terhitung sejak tanggal pemberian paten yang bersangkutan; 5. Lisensi wajib bersifat non-eksklusif dan tidak dapat dialihkan, bahkan ke dalam bentuk pemberian sublisensi sekalipun. 7
Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan Dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 264. 8 Ibid., hal. 264. 9 Ibid., hal. 270. Lihat, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Lisensi, PT. Rajagrafindo Jakarta, 2001, hal. 39.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Sedangkan istilah other use without the authorization of the right holder dipergunakan oleh Persetujuan TRIPs/GATT, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 31 yang secara khusus menyebutkan empat pertimbangan yang menjadi dasar pemberian lisensi wajib untuk paten adalah: 10 1. Karena keperluan yang sangat mendesak (emergency and extreme urgency); 2. Demi kepentingan praktik persaingan usaha yang tidak sehat (anticompetitive practices); 3. Daiam rangka penggunaan yang bersifat non-komersial untuk kepentingan umum (public non-commercial); 4. Adanya saling kebergantungan paten yang ada dengan yang sesudahnya (dependent patents). Mungkin justifkasi yang paling mendasar untuk HKI adalah bahwa seseorang yang telah mengeluarkan usaha ke dalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah mereka ciptakan. Pendekatan ini menekankan pada kejujuran dan keadilan. Dilihat sebagai perbuatan yang tidak jujur dan tidak adil jika mencuri usaha seseorng tanpa mendapatkan terlebih dahulu persetujuannya. Hal ini sama dengan seseorang menanam padai, dan selanjutnya orang lain ikut serta dan memanennya serta mengambil semua keuntungan dari penjualan pada tersebut tanpa izin. 11 Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia se Dunia. ”Setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusastraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta”. Argumen moral ini direfleksikan oleh tersedianya hak moral yang tidak dapat dicabut bagi para pencipta di banyak negara, misalnya Perancis dan Jerman. 12 Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak semua ciptaan dilindungi oleh hukum. HaKI, hanya ciptaan yang memenuhi persyaratan sepeti diatur dalam undangundang yang mendapat perlindungan. Adakalanya ciptaan dan invensi yang telah menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk mencipta, tidak dilindungi, tetapi ciptaan dan invensi tersebut tetap diproduksi (sebagai contoh penemuan ilmiah). Oleh karena itu, landasan pemikiran yang menyatakan bahwa HaKI didasarkan pada insentif tidak selalu benar. 13 10
Rachmadi Usman, op. cit., hal. 273. Tim Lindsey, dkk., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alian Law Group Pty Ltd. Bekerjasama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2002, hal. 12. 12 Ibid., hal. 14. 13 Ibid., hal. 16. 11
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Hampir tidak ada satupun yang dapat menghentikan seorang pencipta menetapkan harga yang sangat tinggi untuk produk atau sesuatu yang dia ciptakan, karena dia memiliki hak eksklusif untuk melakukan segala sesuatu dengan karyanya. Ini berarti bahwa produk atau ciptaan dapat diserahkan kepada publik dengan harga yang ditetapkan. Seorang produsen dapat menetapkan harga yang berarti bahwa kebanyakan orang tidak akan memperoleh keuntungan dari invensi atau ciptaan yang baru. Orang sering menemukan ssuatu (termasuk obat) untuk memperoleh keuntungan. Para inventor atau pencipta ingin mendapatkan pengembalian uang atau apa yang telah mereka keluarkan untuk peneliian dan pengembangan, dan juga untuk keuntungan. Karena mereka memiliki hak monopoli atas invensi tersebut, mereka dapat menetapkan harga yang akan menjadi keuntungan mereka. 14 Jika seseorang atau perusahaan memunculkan sebuah ide, orang atau perusahaan tersebut dapat memiliki hak untuk meunda pengembangan lebih lanjut ide tersebut. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut ingin dilakukan. Sebagai contoh, pemilik ide tersebut mungkin melihat beberapa keuntungan dengan menyimpan rapatrapat hal tersebut, dan tidak ingin memberikan keuntungan kepada para pesaingnya yang memiliki posisi lebih baik untuk memanfaatkan ide tersebut. Pada pencipta juga mungkn ingin mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari produk yang telah ada sebeum memperkenalkan invensi yang baru yang aka membuat produk-produk lama tidak bernilai lagi. 15 Kemudian juga, jika hukum HaKI ditegakkan para pencipta akan memperoleh imbalan atas ciptaan yang mereka buat. Ini berarti bahwa harga barang yang mengandung HaKI (seperti VCD dan keset) akan meningkat, dan akan menjadi lebih mahal daripada jika HaKI itu tidak ada. Setiap buku baru, film dan produk-produk lainnya akan menjadi lebih langka dan lebih mahal. Hal ini tidak akan terjadi jika insentif yang lebih efisien diberlakukan. Artinya, informasi dan tekonologi mungkin tidak dapat menjankau sebagian besar masysarakat. Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk dicatat bahwa banyak sekali buku-buku yang diperbanyak dengan cara difotocopy di Indonesia adalah buku-buku bacaan wajib di tingkat sekolah dasar. 16 Dengan demikian dari pendapat di atas, dapat dipahami suatu hak paten memberikan hak monopoli atas invensi tersebut yang dapat mengakibatkan harga tinggi. Kemudian juga perusahaan-perusahaan mungkin tidak sepenuhnya 14
Ibid., hal. 17. Ibid., hal. 17-18. 16 Ibid., hal. 18. 15
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
memanfaatkan ciptaan-ciptaan penting mereka untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari produk yang telah ada sebelum memperkenalkan invensi yang baru yang akan membuat produk-produk lama tidak bernilai lagi. Demikian juga royalti akan mengakibatkan harga yang lebih tinggi dan akan mencegah aliran ilmu pengetahuan. Sehingga permasalahan atau kerugian-kerugian lainnya dari sistem HaKI dapat dikurangi atau dihilangkan melalui lisensi wajib atas paten tersebut. Di Indonesia, ketentuan mengenai lisensi wajib untuk paten diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasat 87 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pasal 74 memberikan rumusan pengertian lisensi wajib sebagai lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan. Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ini, lisensi wajib hanya akan diberikan bila sebelumnya terdapat permohonan suatu pihak kepada Direktorat Jenderal HKI untuk melaksanakan paten yang telah dilindungi. Pengajuan permohonan lisensi wajib tersebut dapat dilakukan oleh setiap pihak setiap saat atau setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten dengan membayar biaya dan diajukan kepada Direktorat Jenderal HKI. Keputusan pemberian lisensi wajib harus dilakukan atau diberikan oleh Direktorat Jenderal. Dari uraian latar belakang mengenai hak eksklusif pemilik paten dalam lisensi wajib diatas, maka dilakukan penelitian tentang perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib. B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib? 2. Bagaimana syarat-syarat dan tata cara peralihan hak paten melalui lisensi wajib? 3. Bagaimana perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib? C. Tujuan Penelitian Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib? 2. Untuk mengetahui syarat-syarat dan tata cara peralihan hak paten melalui lisensi wajib 3. Untuk mengetahui perlindungan hukum pemilik paten dalam lisensi wajib.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang hak kekayaan intelekual serta menambah khasanah perpustakaan. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang peralihan hak paten, khususnya bagi para notaris, demikian juga bagi para akademisi, pengacara, mahasiswa dan masyarakat umum. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian dengan judul ”Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib” Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori Kerangka teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori perlindungan yang dikemukakan Rachmadi Usman: 17 Paten merupakan hak istimewa (eksklusif) yang diberikan kepada seseorang penemu (inventor) atas hasil penemuannya (invention) yang dilakukannya di bidang teknologi, baik yang berbentuk produk atau proses saja. Atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk mendayagunakan hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya atau penemu sendiri melaksanakan hasil penemuannya. Hak istimewa ini diberikan untuk jangka waktu tertentu, setelah itu hasil penemuannya menjadi milik umum. Dengan demikian setiap hasil penemuan yang telah dipatenkan, penemunya akan mendapatkan hak monopoli untuk melaksanakan atau mendayagunakan hasil temuannya tersebut. Dengan hak monopoli tersebut, penemu paten diwajibkan melaksanakan paten tersebut, yang berarti jika yang bersangkutan tidak melaksanakannya, patennya dicabut. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati hasil penemuan itu. Bagi penemu hak monopoli ini dapat dianggap sebagai suatu penghargaan bagi ide intelektualnya. 18 17 18
Rachmadi Usman, op. cit., hal. 205. Ibid., hal. 206.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Hak Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 dirumuskan pengertian paten sebagai berikut: 1. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. 2. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui ada dua istilah yaitu istilah ”invensi” dan istilah ”inventor”, yang perlu dijelaskan pengertan secara yuridis, istilah invensi adalah ide iventor yang dituangkan ke dalam suatu produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. Sedangka inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Penjelasan undang-undang tentang paten menegaskan bahwa istilah invensi digunakan untuk penemuan dan istilah inventor digunakan untuk penemu. Istilah penemuan diubah menjadi invensi, dengan alasan istilah invensi berasal dari invention yang secara khusus dipergunakan dalam kaitannya dengan Paten. Dengan ungkapan lain, istilah invensi jauh lebih tepat dibandingkan dengan istilah penemuan sebab kata penemuan memilik aneka pengertian. Ciri khas yang dapat dipatenkan adalah kandungan pengetahuan yang sistematis, yang dapat dikomunikasikan, dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah atau kebutuhan manusia yang timbul dalam industri, pertanian atau perdagangan. M. Mochtar mengemukakan: 19 Pengertian teknologi di sini adalah pengetahuan yang sistematis, artinya teorganisasi dan dapat memberikan penyelesaian masalah. Pengetahuan itu harus ada di suatu tempat, dalam bentuk tulisan atau dalam pikiran orang dan harus diungkapkan sehingga dapat dikomunikasikan dari orang yang satu ke yang lainnya. Serta pengetahuan itu harus terarah pada suatu hasil yaitu memberikan manfaa pada industri, pertanian atau perdagangan. Penemuan yang dimaksud merupakan pengetahuan yang sistematis, yang memberikan 19
M. Mochtar, Peranan Paten Untuk Pembangunan Industri, Makalah disajikan pada Seminar Sehari Peran Paten dan Merek dalam Meningkatkan Motivasi Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi, Perhimpunan Ahli Teknik Indonesia Sub Wilayah Tangerang, Serpong, 1993, hal. 5.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
jawaban atas suatu masalah dalam suatu bentuk tulisan. Tulisan ini merupakan hasil publikasi yang dimaksudkan sebagai cara mengkomunikasikan pengetahuan itu kepada orang lain. Harus dipahami bahwa publikasi dalam suatu prestasi ilmiah atau publikasi ilmiah. Publikasi tersebut dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk suatu penemuan yang mengandung aspek perlindungan hukum di dalamnya. Dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten diatur siapa saja yang merupakan subjek paten. Pada dasarnya yang menjadi subjek paten adalah penemu atau yang di dalam undang-undang itu disebut inventor. Dalam undang-undang paten ditentukan bahwa yang berhak memperoleh paten adalah inventor yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan. 20 Apabila suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas invensi tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan. 21 Ketentuan Pasal 10 ini menegaskan bahwa hanya inventor atau yng menerima lebih lanjut hak inventor yang berhak memperoleh paten atas invensi yang bersangkutan. Penerimaan lebih hak inventor tersebut dapat melalui pewarisan, hibah, wasiat, perjanjia tertulis atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan. 22 Invensi dapat saja dihasilkan oleh mereka yang berada dalam hubungan kerja atau karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya dan pada umumnya mereka dianggap pula sebagai subjek paten. Mengenai siapa yang dianggap sebagai pemilik paten diatur dalam Pasal 12 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, sebagai berikut: (1) Pihak yang berhak memperoleh Paten atas suatu Invensi yang dihasilkan dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan tersebut, kecuali diperjanjikan lain. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap Invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya sekalipun perjanjian tersebut tidak mengharuskannya untuk menghasilkan Invensi. (3) Inventor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari Invensi tersebut. 20
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 22 Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 21
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
(4) Imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibayarkan: 1. dalam jumlah tertentu dan sekaligus; 2. persentase; 3. gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus; 4. gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus; atau 5. bentuk lain yang disepakati para pihak; 6. yang besarnya ditetapkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. (5) Dalam hal tidak terdapat kesesuaian mengenai cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu diberikan oleh Pengadilan Niaga. (6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sama sekali tidak menghapuskan hak Inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam Sertifikat Paten. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 itu, hak ekonomis atas suatu paten dapat dialihkan atau beralih kepada orang lain, karena inventor terikat dalam hubungan kerja atau inventor menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya. Terkecuali diperjanjikan lain, pihak yang berhak memperoleh patennya adalah pihak yang memberikan pekerjaan atau atasannya. Sebagai gantinya, inventornya berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan memperhatikan manfaat ekonomis yang diperoleh dari invensi tersebut. Selain inventor atau mereka yang menerima lebih lanjut hak dari inventor yang bersangkutan, dikenal pula ”pemakai terdahulu” yang juga mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum terhadap pemakai terdahulu atas invensi yang sama ini, hanya akan diakui bila sebelumnya mengajukan permohonan untuk itu kepada Direktur Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual dan selanjutna akan diberikan surat keterangan pemakai terdahulu. Dari pengertian paten yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, dapat diketahui bahw objek paten adalah hasil penemuan yang diistilahkan dengan invensi. Undang-undang ini menggunakan terminologi invensi untuk penemuan, dengan alasan istilah invensi berasal dari invention yang secara khusus dipergunakan dalam kaitannya dengan paten. 23 Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah: 24 Termasuk dalam pengertian penemuan misalnya menemukan benda yang tercecer, sedangkan istilah invensi dalam kaitannya dengan Paten adalah hasil serangkaian kegiatan sehingga tercipta sesuatu yang baru atau tadinya belum 23
Rachmadi Usman, op. cit., hl. 206. Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004, hal. 128. 24
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
ada (tentu dalam kaitan hubungan antara manusia, dengan kesadaran bahwa semuanya tercipta karena Tuhan). Dalam bahasa Inggris juga dikenal antara lain kata-kata to discover, to find, to get, kata-kata itu secara tajam berbeda artinya dari to invent dalam kaitannya dengan Paten. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, mengenai invensi yang dapat diberi Paten, mengadung 3 (tiga) unsur, yaitu: 1) Invensi yang baru, 2) Mengandun langkah inventif, dan 3) Bidang industri. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) menyatakan suatu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal yang tidak dapa diduga sebelumnya. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) ditentukan penilaian suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperlihatkan keahlian yang ada pada saat permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal permohonan itu diajukan dengan hak prioritas. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten: (1) Suatu Invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, Invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. (2) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a. Tanggal Penerimaan; atau b. tanggal prioritas. (3) Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan. Selanjutnya ditegaskan lagi dalam Pasal 7, bahwa Paten tidak diberikan untuk Invensi tentang: a. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau d. i. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; ii. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Jangka waktu paten sesuai Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Tanggal mulai dan berakhirnya jangka waktu Paten dicatatkan dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Hak paten sebagai hak milik dapat dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian melalui pewarisan, hibah, wasiat, maupun dengan cara perjanjian atau dengan cara lain yang dibenarkan oleh undang-undang. Pengalihan hak paten dapat dilakukan kepada perorangan maupun kepada badan hukum. Pengalihan hak dari pemegang paten kepada pihak lain adalah melalui lisensi, yaitu pemberi lisensi (licensor) memberikan hak kepada pihak penerima lisensi (licensee) untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh pemilik paten atau licensor melalui perjanjian lisensi.25 Dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten ditentukan bahwa pengalihan hak paten tidak menghapus hak penemu (hak inventor) untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya dalam paten yang bersangkutan. Hak tersebut merupakan hak moral (moral right). 26 Ada kemungkinan licensee memiliki semua kewenangan yang dimiliki licensor melalui modifikasi pembuatan, penjualan dan penggunaan barang-barang yang diberi paten dengan perjanjian secara eksklusif atau perjanjian lisensi noneksklusif. Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, pemegang paten wajib melaksanakan patennya di wilayah Republik Indonesia. Akan tetapi pemegang paten berhak mengalihkan kepemilikan patennya melalui lisensi. 27 Ada 3 (tiga) macam lisensi yang sering ditemui dalam praktek, yaitu: 28 a. Lisensi eksklusif Dalam perjanjian ini hanya pemegang lisensi yang boleh menjalankan atau menggunakan invensi yang dipatenkan. Setelah menyetujui perjanjian ini, pemegang paten pun tidak lagi berhak menjalankan invensinya. Inilah yang dimaksud dengan ”kecuali diperjanjikan lain”
25
Andirana Krisnawati dan Gazalba Saleh, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 21. 26 Muhammad Djumhana dan R. Djubedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2003, hl. 127. 27 Pasal 69 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 28 Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2002, hal. 200.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
b. Lisensi Tunggal Dalam perjanjian ini pemegang paten mengalihkan patennya kepada pihak lain, tetapi pemegang paten tetap boleh menjalankan haknya sebagai pemegang paten. c. Lisensi non eksklusif. Melalui perjanjian ini pemegang paten mengalihkan kepemilikannya kepada sejumlah pihak dan juga tetap berhak menjalankan atau menggunakan patennya. Di samping lisensi umum yang terbentuk karena kesepakatan antara licensor dengan lisensee, maka dalam dikenal pula lisensi wajib yang terjadi karena keputusan pemerintah atas dasar permohonan pihak lain. Dalam ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten disebutkan, lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal atas dasar permohonan. Ketentuan lisensi ajib dikenal Konvensi Paris Pasal 5 ayat (2) Art of London yang menyatakan bahwa tiap negara anggota berhak untuk menentukan dalam perundangundangan nasionalnya bahwa penyalahgunaan hak pemegang paten ini, misalnya karena tidak melakukan pelaksanaan hak patennya, dapat dihindarkan, antara lain dengan memberikan lisensi wajib kepada pihak lain. Akan tetapi ditentukan bahwa pemberian lisensi wajib itu tidak boleh diadakan lebih cepat dari 3 (tiga) tahun setelah hak paten ini diberikan dan pihak pemegang hak paten tidak dapat memberikan alasan yang sah mengapa tidak dapat menggunakannya. Dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, ditentukan setiap pihak dapat mengajukan permohonan lisensi-wajib kepada Direktorat Jenderal untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten dengan membayar biaya. Permohonan lisensi-wajib hanya dapat dilakukan dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten. Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat setelah Paten diberikan atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. 2. Konsepsi Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
a. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. 29 b. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. 30 c. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. 31 d. Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten. 32 e. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Paten kepada pihak lain berdasarkan perjanjian pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberi perlindungan dalam jangka waktu dan syarat tertentu. 33 f. Lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal atas dasar permohonan. 34 g. Perlindungan hukum atas paten adalah perlindungan atas hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. 35 G. Metode Penelitian 1. Sifat dan jenis penelitian Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia, maka penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Penelitian ini dilakukan secara pendekatan yuridis normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau
29
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 31 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 32 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 33 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 34 Pasal 74 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 35 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 30
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
bahan hukum yang lain, 36 mengenai perlindungan hukum pemegang hak eksklusif pemilik paten dalam lisensi wajib. 2. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian. 37 Oleh karena itu, sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 38 1) Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang mengikat, yang terkait dengan objek penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan perlindungan hukum hak eksklusif pemilik paten dalam lisensi wajib di Indonesia. 3) Bahan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang berkaitan perlindungan hukum hak eksklusif pemilik paten dalam lisensi wajib di Indonesia. 3. Alat pengumpulan data Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran akan hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dengan menggunakan alat pengumpulan data studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian. 4. Analisa data Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif. 39 36
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13 Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 24. 38 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hal.39. 39 Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang yang bersifat aksiomatik (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. 37
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
II. HAK EKSKLUSIF ATAS PATEN BAGI PEMEGANG LISENSI WAJIB Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai rezim kepemilikan dengan pemberian Hak eksklusif (exclusive right) bukan bersifat tanpa batas. Article 30 TRIP menetapkan adanya perkecualian dari hak eksklusif Paten yakni: Member may provide limited exception to the exclusive rights conferred by a patent,provided that such exceptions do not unreasonably conflict with a normal exploitation of the patent and do not unreasonably prejudice the legitimate interests of the patent owner taking into account of the legitimate interests of third party. Negara boleh mengatur perkecualian secara terbatas hak eksklusif yang lercakup dalam Paten, asalkan perkecualian tersebut tidak secara tanpa alasan yang sah bertentangan dengan eksploitasi normal Paten dan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang paten, serta dengan tetap memperhitungkan kepentingan pihak ketiga. Salah satu wujud pembatasan hak eksklusif paten adalah aturan mengenai lisensi wajib (compulsory license). Lisensi wajib dalam hal ini dapat diberikan pada dua kategori pengguna yakni Pemerintah (atau badan Pemerintah atau pihak ketiga yang diberi kewenangan oleh Negara) dan pihak ketiga pribadi lainnya. Perbedaannya didasarkan pada sifat alamiah lisensi dan bukan dari tujuan penggunaan. Sesungguhnya secara alamiah sangat tidak relevan menetapkan persyaratan untuk lisensi, seperti jangka waktu dan royalti, Pemerintah dapat membebankan adanya lisensi wajib pada situasi dan kondisi yang khusus dengan perkecualian dan apabila ada alasan yang serius untuk membenarkan adanya lisensi wajib. Dalam kaitannya dengan ketentuan Article 7 TRIPs dan dengan memperhitungkan Paragraph 4 Preamble TRIPs, maka keseimbangan antara hak dan kewajiban tidak dapat diperoleh melalui pengurangan hak pemegang hak Paten tanpa penambahan kepentingan kolektif masyarakat luas. Artinya hak individual dari pemegang paten tidak boleh dikurangi untuk kemanfaatan individu yang lain, hanya kepentingan sosial dan kolektiflah yang dapat membenarkan pembebanan lisensi wajib. Menurut Rahmi Jened: 40 Persyaratan lisensi wajib, pertama, Article 27 TRIPs secara implisit mengisyaratkan bahwa Pemerintah tidak boleh membebankan lisensi wajib
40
Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Airlangga Universty Press, Surabaya, 2007, hal. 142
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
berdasarkan alasan kurangnya pekerjaan di wilayah setempat atau lokal. Oleh karena itu, pemegang Paten dapat mengimpor produk yang dipatenkan, termasuk mengimpor produk yang dibuat dengan proses yang telah dipatenkan. Kedua, lisensi wajib tidak boleh diberikan hanya karena alasan bahwa pemegang Paten telah menolak memberikan lisensi pada pihak ketiga, karena esensi dari hak eksklusif Paten adalah memang untuk mengecualikan pihak ketiga yang tanpa seizinnya melaksanakan haknya dan menggunakan invensinya. Mengingkari hak ini berarti merusak hak eksklusif Paten tersebut dan hal ini bertentangan dengan tujuan dari standar yang ditetapkan dalam TRIPs. Jadi jika pemegang Paten tidak diberikan hak untuk menolak atau memberi izin pihak lain melalui perjanjian lisensi, maka kewajiban lisensi wajib tidak ada artinya. Justru aturan lisensi wajib ada karena penerima lisensi prospektif sebelumnya telah mencoba memperoleh lisensi secara sukarela (voluntary license), namun ditolak karena tidak sesuai dengan kehendak pemegang Paten. Untuk itu pihak ketiga ini dapat meminta intervensi pemerintah untuk dapat diberikan lisensi wajib. Namun pihak ketiga ini harus berupaya untuk memperoleh lisensi sukarela dahulu, sebelum mengajukan lisensi wajib. Pihak ini juga harus pernah menawarkan persyaratan perjanjian yang layak dalam jangka waktu yang layak dan dengan manfaat komersial yang layak. Waktu yang layak yang ditetapkan Negara anggota lazimnya 90 hari atau 6 (enam) bulan bagi pemegang Paten untuk menanggapi upaya pengajuan lisensi ini. Alasan khusus lisensi wajib adalah: 41 a. Untuk memulihkan hak setelah proses hukum atau administratif yang menetapkan adanya praktik yang bersifat antipersaingan (Article 31 (k)); b. Untuk mengizinkan pengeksploitasian Paten yang tidak dapat dieksploitasi tanpa melanggar paten pihak lain (Article 31(1)); c. Untuk mencegah penyalahgunaan hak pemegang Paten yang diakibatkan dari pelaksanaan hak eksklusifnya (Article 5A (2) dan (3) Paris Convention); d. Untuk mengurangi ketiadaan atau tidak tercukupinya pelaksanaan invensi yang dipatenkan (Article 5A(2) dan (3) Paris Convention); e. Untuk kepentingan masyarakat antara lain, sesuai dengan kebutuhan mendesak suatu Negara atau situasi dan kondisi ekstrem lainnya atau kepentingan masyarakat yang tidak untuk penggunaan komersial (Article 31 (b) TRIPs). Negara anggota WTO tidak diizinkan untuk menetapkan blanket license dalam ketentuan hukum nasional mereka. Oleh karena itu, lisensi wajib tidak dapat diberikan secara otomatis dan ex officio untuk bidang teknologi tertentu.
41
Ibid., hal. 143.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Beberapa Negara anggota menetapkan bahwa masalah kesehatan dan nutrisi merupakan area yang sejalan dengan kepentingan publik, sebenarnya tidak salah, namun menjadi masalah ketika dikaitkan dengan produk farmasi. Dalam Doha Declaration sebagai tindak lanjut TRIPs yang terkait dengan Akses Kesehatan pada tahun 2002, ditetapkan bahwa setiap Negara anggota memiliki hak untuk menetapkan apa yang dianggap sebagai "keadaan darurat (emergency)" atau "situasi dan kondisi lain yang bersifat amat mendesak (extreme urgency)". Hal yang dapat dianggap sebagai "darurat nasional” mencakup krisis kesehatan masyarakat, termasuk di dalamnya HIV/AIDS, TBCy malaria dan penyakit menular (epidemic) lainnya. Dengan demikian, jika semua masalah krisis kesehatan masyarakat membenarkan adanya lisensi wajib karena hal itu menyangkut kepentingan publik. namun sebaliknya tidak semua krisis kesehatan publik membenarkan pengecualian persyaratan Article 31 (b) dari negosiasi lisensi sebelumnya. Dalam kasus penggunaan masyarakat untuk kepentingan yang bersifat non-komersial. pemegang Paten memiliki hak untuk diinformasikan penggunaan oleh pemerintah atau pihak lain hanya jika keberadaan Paten diketahui tanpa adanya kebutuhan penelusuran Paten. 42 Hukum nasional suatu Negara dapat mensyaratkan agar invensi yang telah diberikan Paten wajib dilaksanakan di Negara yang bersangkutan. Namun demikian pemegang Paten harus diizinkan untuk dibebaskan dirinya dari kewajiban tersebut melalui importasi barang yang dipatenkan (termasuk barang yang dihasilkan dengan proses yang dipatenkan). Sebagaimana halnya dengan undang-undang paten lainnya di dunia, UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten mengatur mengenai peralihan kepemilikan paten sebagai suatu kewajiban (lisensi wajib). Permohonan lisensi wajib paten dapat diajukan ke Dirjen HKI jika paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan di Indonesia oleh pemegang paten padahal kesempatan untuk melaksanakannya secara komersial sepatutnya ditempuh, atau telah dilaksanakan oleh pemegang paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. 43 Pasal 80 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten ditentukan bahwa pemberian lisensi wajib tersebut harus dicatat dalam Daftar Umum Paten dan kemudian diumumkan dalam Berita Resmi Paten, setelah dibayarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk itu. Pelaksanaan lisensi wajib dianggap sebagai pelaksanaan paten. 42 43
Ibid., hal. 143-144. Tim Lindsey, dkk., op. cit., hal. 201.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Selanjutnya pembatalan lisensi wajib untuk paten hanya dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI bila ada permohonan dari pemegang paten yang bersangkutan berdasarkan alasan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 83, yaitu: (1) Atas permohonan Pemegang Paten, Direktorat Jenderal dapat membatalkan keputusan pemberian lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Bab V Bagian Ketiga Undang-undang ini apabila: a. alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi-wajib tidak ada lagi; b. penerima lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi-wajib tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya; c. penerima lisensi-wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian lisensi-wajib. (2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan diumumkan. Menurut Pasal 84, lisensi wajib berakhir dengan selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan. Dengan berakhirnya lisensi wajib, penerima lisensi wajib berkewajiban untuk menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Selanjutnya, Direktorat Jenderal HKI akan mencatat dan mengumumkan lisensi wajib yang telah berakhir itu. Dengan demikian, berakhirnya suatu lisensi wajib karena selesainya jangka waktu pemberian lisensi wajib atau pemberian lisensi wajib dibatalkan oleh Direktorat Jenderal HKI. Pasal 85 menegaskan, bahwa berakhir atau batalnya lisensi wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 atau Pasal 84, maka berakibat pulihnya hak pemegang atas paten yang bersangkutan terhitung sejak tanggal pencatatannya. Kemudian dalam Pasal 86 dinyatakan lisensi wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. Lisensi wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal HKI untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. III. SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PERALIHAN HAK PATEN MELALUI LISENSI WAJIB Dalam Pasal 69 UU Paten, dinyatakan pemegang Paten berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Kecuali jika diperjanjikan lain, lingkup lisensi meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Repubiik Indonesia. Berdasarkan Pasal 69 tersebut, lisensi paten memberikan hak kepada pihak lain selaku pemegang lisensi paten untuk: a. dalam hal paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produkyang diberi paten; b. dalam hal paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud di atas; c. melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan paten proses yang dimilikinya. Pada dasarnya, perjanjian lisensi ini dimaksudkan sebagai salah satu sarana proses alih teknologi. Dengan adanya perjanjian lisensi, diharapkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia juga dapat menikmati kemajuan. Bahkan, dapat menguasai teknologi yang sama yang berkembang di negara maju. Karena itu, sudah seyogyanya dalam perjanjian lisensi dicantumkan pula klausula yang mewajibkan pemberi lisensi untuk melakukan alih teknologi kepada penerima lisensi. 44 Paten diberikan untuk Invensi-invensi dalam bidang teknologi. Negara kita saat ini baru pada tahap pemanfaatan teknologi, belum pada tahap Invensi teknologi. Karena itu, salah satu cara untuk dapat menguasai teknologi adalah dengan melakukan proses alih teknologi. Ada tiga fase alih teknologi ini, yaitu: 45 1. Transfer material. Dalam fase ini, alih teknologi seperti ilmu pengetahuan tidak dilakukan tetapi hanya hasil-hasil alih teknologi, misalnya mesinmesin, bahan-bahan, alat-alat yang terkait dengan mesin-mesin dan bahanbahan itu; 2. Transfer rancang bangun. Dalam fase ini, alih teknologi dilakukan dengan unsur-unsur rancang bangun, misalnya cetak biru (blue prints), desain, formula, dan Iain-Iain. Bahkan, jika penerima transfer dapat membuat barang-barang sesuai dengan rancang bangun ia masih harus mengimpor mesin-mesin, bahan-bahan, dan Iain-lain dari pemberi transfer dan kebergantungan kepada pemberi transfer masih kuat; 3. Alih kemampuan. Dalam fase ini, alih teknologi dilakukan melalui pengalihan ilmu pengetahuan, keahlian keterampilan, dan juga para pakar. Dengan fase ini, penerima transfer dapat membuat tidak hanya berdasar rancang bangun, formula, dan Iain-Iain, tetapi juga perbaikan dan diversifikasi produk. 44 45
Rachmadi Usman, op. cit., hal. 265. Insan Budi Maulana, Lisensi Paten, PT. Citra Aditya Bakti, BAndung, 1996, hal. 81.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Terdapat beberapa mekanisme yang banyak dilakukan dalam rangka alih teknologi tersebut, yaitu: 46 1. sistem joint venture dengan minoritas asing, partner nasional mengadakan persetujuan know-how dengan partner asing pemegang lisensi asing; 2. pabrik dibangun dengan kontrak turn key antara pengusaha nasional dan kontraktor asing, tetapi dilengkapi dengan persetujuan lisensi antara pengusaha nasional itu dengan pemegang lisensi melalui kontraktor asing tersebut; 3. pabrik dibangun oleh pengusaha nasional dengan bantuan dari lembaga peneliti riset nasional yang memberikan lisensi know-how atau paten asing yang biasanya masih dalam taraf laboratorium (pilot scale); 4. pabrik dibangun dengan desain dari biro teknik nasional sebagai licensing agency dari pemegang lisensi teknologi; 5. pabrik dibangun oleh pengusaha nasional berdasarkan lisensi teknologi yang dibeli langsung dari pihak luar negeri yang memegang lisensinya. Di samping lisensi paten, dikenal pula pranata know-how transfer. Duaduanya merupakan hal yang mirip-mirip, tetapi differensiasinya terletak pada tujuan dari masing-masing pranata tersebut. Dalam lisensi paten terdapat pemberian izin dari pemilik paten kepada pemegang lisensi, dengan suatu imbalan untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya tidak boleh digunakannya. Sedangkan dengan know-how transfer, juga terdapat semacam pemberian izin (jadi sebenarnya bukan transfer dalam arti menjual), juga dengan suatu imbalan untuk menggunakan sesuatu, yang sebelumnya pihak yang menerima transfer tidak mengetahui bagaimana cara menggunakannya, dan yang dengan alasan-alasan praktis tidak bermaksud mengembangkannya sendiri. Pengertian transfer di sini sebenarnya sejenis lisensi juga. 47 Dengan pemberian lisensi tersebut, tidak menyebabkan pemegang paten kehilangan haknya untuk melaksanakan sendiri paten yang dipunyainya atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan paten yang dipunyainya tersebut. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 70 UU Paten, kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Umumnya, pemilik dan pemegang lisensi akan bernegosiasi dan mengadakan mufakat tentang pemberian pemanfaatan ekonomi HaKI dalam cakupan lisensi. Cakupan lisensi yaitu, batasan mengenai apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan 46
Amir Pamuntjak, Sistem Paten Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, 1994, hal. 13. Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 115. 47
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
pemegang lisensi terhadap HaKI yang dialihkan dan biasanya diuraikan dalam perjanjian lisensi. Perjanjian lisensi atau konrak biasanya tertulis, yang mencakup paling tidak: 48 1. Memerinci HaKI yang dilakukan haknya; 2. Mengidentifikasi pemilik HaKI dan hak-hak mereka; 3. Menjelaskan pemegang HaKI dan hak-hak mereka dalam menggunakan HaKI. 4. Menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk mendaftarkan dan melindungi HaKI (biasanya pemilik); 5. Menentukan jangka waktu lisensi (misalnya, satu tahun, tida gahun dan sebagainya); 6. Menentukan apakah lisensi tersebut dapat diperpanjang dan dengan persyaratan yang bagaimana; 7. Menguraikan tindakan atau kerjadian yang melanggar kesepakatan; 8. Menguraikan tindak atau kejadian yang secara otonomatis mengakhiri kontrak; 9. Memutuskn prosedur penyelesaian sengketa; 10. Menentukan hukum yang mengatur masalah kontrak ini. Perjanjian lisensi bisa merupakan kontrak-kontrak yang sederhana, pendek, atau panjang sangat detil bagaikan sebuah buku. Seringkali perjanjian lisensi merupakan perjanjian standar, dimana licensor (pemilik HaKI) menguasai isi dari kontrak dan tidak ada kemungkinan tawar menawar bagi Penerima Lisensi. Di beberapa Negara, pemerintah akan meneliti apakah kontrak lisensi sesuai dengan: hokum perjanjian, undang-undang, undang-undang hak monopoli, undang-undang penanaman modal, dan kebijakan publik dan kepentingan umum. Persyaratan dalam perjanjian lisensi merupakan hal yang cukup penting. Jika syarat-syarat dari lisensi tidak dinegosiasikan dan disetujui oleh pihak-pihak, hukum akan menyikapi (atau menganggap) bahwa pihak-pihak tadi tidak membuat persyaratan apapun dalam perjanjian mereka. Sebagai contoh: 49 1. Kecuali suatu perjanjian lisensi secara eksplisit menyatakan lisensi tersebut eksklusif, hukum seringkali menganggap bahwa lisensi-lisensi tersebut adalah non-eksklusif. 2. Seorang pemegang lisensi HaKI dianggap mendapatkan semua hak-hak kepemilikan atas HaKI selama jangka waktu yang diperjanjian. 3. Kecuali perjanjian lisensi menentukan suatu jangka waktu (misalnya, satu tahun), hukum akan menyimpulkan jangka waktu yang pantas, yang tentunya untuk kasus-kasus tertentu. 48 49
Tim Lindsey, op. cit., hal. 333. Ibid., hal. 334-335.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
4. Kecuali perjanjian lisensi menentukan tanggal akhir perjanjian (atau jelas mengenai, berapa kali perjanjian dapat diperpanjang dan untuk berapa lama), hukum akan menganggap bahwa perjanjian lisensi tersebut secara otomatis bisa diperpanjang. Bahkan, jika ada sengketa tentang pemutusan perjanjian hukum akan menyikapi masa pemberitahuan yang panjang (misalnya, 3 bulan sampai 2 tahun) sebelum perjanjian tersebut dapat diakhiri secara hukum. Di negara-negara tempat perjanjian lisensi harus didaftarkan sebelum diberlakukan, pendaftaran merupakan suatu hal yang penting. 50 Pasal 72 UU Paten mewajibkan perjanjian lisensi dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI dengan dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensinya tidak dicatat di Direktorat Jenderal HaKI, perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Ketentuan ini sama dengan Undang-undang Paten yang lama, yang juga mewajibkan perjanjian lisensi untuk didaftarkan pada Kantor Paten dan dicatat dalam Daftar Umum Paten dengan membayar biaya tertentu. Namun, dalam Undang-undang Paten yang lama, masih belum diatur akibat hukum seandainya perjanjian lisensi itu tidak dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI. Akan tetapi, kini dalam Undang-undang Paten yang baru, mengenai akibat hukum dart perjanjian lisensi yang tidak dicatat dan diumumkan di Direktorat Jenderal HaKI diancam tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, bahwa perjanjian lisensi tersebut tidak mengikat terhadap pihak ketiga, karena belum dicatat dan diumumkan. Kewajiban pencatatan dan pengumuman perjanjian paten ini dapat menangkal restrictive business practice. Hal tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh Mexico, yang mewajibkan setiap perjanjian lisensi harus didaftarkan. Dengan didaftarkannya perjanjian lisensi tersebut dapat ditangkal perjanjian yang mengandung persyaratan yang tidak adil dan tidak wajar. 51 Dalam UU Paten tidak diatur lebih lanjut mengenai ruang lingkup isi dari peerjanjian lisensi paten, hanya Pasal 73 UU Paten mengamanatkan kalau ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi tersebut diatur dengan peraturan pemerintah. Sampai saat ini peraturan pemerintah yang dimaksud masih belum ada. Karena itu, pembuatan perjanjian lisensi tetap tunduk pada ketentuan umum hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Namun, secara khusus Pasal 71 UU Paten melarang dicantumkannya ketentuan dalam perjanjian lisensi paten yang berisikan ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan 50 51
Ibid., hal. 335. Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, op. cit., hal. 121.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan Invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. Dalam hal ini Direktorat Jenderal HaKI mempunyai hak menolak permohonan pencatatan perjanjian lisensi paten yang memuat ketentuan tersebut. 52 Ketentuan Pasal 71 ini justru sebenarnya kembali kepada kesiapan bangsa Indonesia untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang timbul dari perjanjian lisensi itu. Kadang-kadang mungkin dalam kajian ekonomi mikro ada hal-hal yang terlihat merugikan, tetapi dalam kajian ekonomi makro, justru untuk jangka waktu yang panjang akan memberikan keuntungan sendiri. Oleh karena itu, dalam hal perjanjian lisensi ini pemerintah seyogyanya melibatkan para pakar ekonomi dan politik, khususnya pakar politik ekonomi internasional. Agar pilihan untuk perjanjian lisensi itu tidak semata-mata atas pertimbangan kepentingan ekonomi nasional yang bersifat sesaat, tetapi untuk jangka waktu yang panjang, sekaligus menjadikan negara ini berwibawa di masa dunia. Dengan demikian, untuk jangka panjang menarik minat para investor asing, untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Oleh karena itu pula, ketentuan tersebut perlu menghendaki pertimbangan yang benar-benar matang secara ekonomi, matang secara politik dan akhirnya dapat memberikan solusi juridis yang tepat. 53 Pengalihan paten, selain melalui perjanjian lisensi (sukarela), dapat pula dilakukan dengan melalui lisensi wajib atau lisensi paksa (compulsory licenses atau other use without the authorization of the right holder). Istilah compulsory licenses dipergunakan oleh Paris Convention, dalam Pasal 5A Paris Convention disimpulkan bahwa pemberian lisensi wajib untuk paten dimungkinan, dengan ketentuan bahwa: 54 1. pemberian lisensi wajib tersebut bukan merupakan suatu keharusan, melainkan suatu hal yang diperbolehkan; 2. lisensi wajib hanya diberikan untuk menghindari atau mencegah terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran yang diakibatkan dari pelaksanaan hak-hak eksklusif yang telah diberikan oleh negara, misalnya tidak dilaksanakannya paten yang telah diberikan perlindungan tersebut; 3. dalam hal ketiadalaksanakan paten, maka pembatalan paten hanya dapat dilakukan sebelum berakhir masa dua tahun dari pemberian lisensi wajib yang pertama;
52
Rahmadi Usman, op. cit., hal. 268. Saidin, op. cit., hal. 195. 54 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Rahasia Dagang, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 39. 53
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
4. pemberian lisensi wajib itu sendiri baru dapat diberikan dalam jangka waktu empat tahun terhitung sejak tanggal pengajuan permohonan paten atau tiga tahun terhitung sejak tanggal pemberian paten yang bersangkutan; 5. lisensi wajib bersifat non-eksklusif dan tidak dapat dialihkan, bahkan ke dalam bentuk pemberian sublisensi sekalipun. Kemudian mengenai lisensi wajib untuk paten juga disebutkan dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 44 dan mengenai lisensi hak disebutkan dalam Pasal 45 Paris Convention, Model Law for Developing Countries on Inventions. Dari pasalpasal tersebut dapat diketahui bahwa lisensi wajibnya juga akan bersifat non eksklusif dan pemberiannya didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:55 a. invensi yang telah mendapat perlindungan paten tersebut telah dilaksanakan di dalam negeri, tetapi pelaksanaan belum memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan; b. pelaksanaan Invensi di dalam negeri tidak memenuhi syarat-syarat yang layak bagi permintaan akan produk; c. pelaksanaan Invensi di dalam negeri terhambat atau dirintangi oleh kepentingan produk barang yang telah mendapat perlindungan paten; d. dengan alasan penolakan dari pemegang paten untuk memberikan lisensilisensi atas dasar syarat-syarat yang layak, pengadaan atau pengembangan kegiatan-kegiatan perindustrian atau komersial di dalam negeri dipraduga secara tidak wajar dan dapat merugikan sekali; e. paten produk dan paten proses tersebut dinyatakan penting sekali untuk pertahanan atau perekonomian negara atau untuk kesehatan masyarakat umum (publik); f. jika invensinya digunakan untuk melayani tujuan-tujuan perindustrian yang berbeda dari tujuan-tujuan Invensi yang sebelumnya atau merupakan kemajuan teknik yang penting sehubungan dengan Invensi yang telah diberikan paten Sedangkan istilah other use without the authorization of the right holder dipergunakan oleh Persetujuan TRIPs/GATT. Berdasarkan Pasal 31 Persetujuan TRIPs/GATT diketahui bahwa Persetujuan TRIPs/GATT secara khusus menyebutkan empat pertimbangan yang menjadi dasar pemberian lisensi wajib untuk paten, yaitu: 56 1. Karena keperluan yang sangat mendesak (emergency and extreme urgency); 2. demi kepentingan praktik persaingan usaha yang tidak sehat (anticompetitive practices); 3. Dalam rangka penggunaan yang bersifat non-komersial untuk kepentingan umum (public non-commercial); 4. Adanya saling kebergantungan paten yang ada dengan yang sesudahnya (dependent patents). 55 56
Rahmadi Usman, op. cit., hal. 270-271. Gunawan Widjaya, op. cit., hal. 37.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Perlu dicatat bahwa Persetujuan TRIPs tidak menyebutkan pengaturan mengenai perlindungan lingkungan maupun kepentingan public (public interest) sebagai alasan diperkenankannya pemberian lisensi wajib oleh lembaga yang berwenang. 57 Di Indonesia, ketentuan mengenai lisensi wajib untuk paten diatur dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 87 UU Paten. Pasal 74 memberikan rumusan pengertian lisensi wajib sebagai lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan. Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ini, lisensi wajib hanya akan diberikan bila sebeiumnya terdapat permohonan suatu pihak kepada Direktorat Jenderal HaKI untuk melaksanakan paten yang telah dilindungi. Pengajuan permohonan lisensi wajib tersebut dapat dilakukan oleh setiap pihak setiap saat atau setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian paten dengan membayar biaya dan diajukan kepada Direktorat Jenderal HaKI. Keputusan pemberian lisensi wajib hams dilakukan atau diberikan oleh Direktorat Jenderal HaKI dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) bulan sejak diajukannya permohonan lisensi wajib yang bersangkutan. Menurut UU Paten terdapat beberapa alasan yang dapat digunakan sebagai dasar pengajuan permohonan lisensi wajib untuk paten tersebut, yaitu: 1. paten yang bersangkutan yang sudah dilindungi tidak dilaksanakan di Indonesia oleh pemegang patennya (Pasal 75 ayat (2)); 2. paten yang bersangkutan yang sudah dilindungi dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang patennya (Pasai 75 ayat (2); 3. paten yang sudah dilindungi telah dilaksanakan oleh pemegang paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat (Pasal 75 ayat (3)). Kemudian menurut Pasal 82, lisensi wajib dapat pula sewaktu-waktu (tanpa memperhatikan jangka waktu pengajuan permohonan lisensi wajib) dimintakan oleh pemegang paten atas alasan bahwa pelaksanaan patennya tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melanggar paten lain yang telah ada. Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan Invensi yang lebih dahulu telah dilindungi paten. Oleh karena itu, pelaksanaan paten yang baru tersebut berarti melaksanakan sebagian atau seluruh Invensi yang telah dilindungi paten yang dimiliki oleh pihak lain. Apabila pemegang paten terdahulu 57
Ibid., hal. 37.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
memberi lisensi kepada pemegang paten berikutnya, yang memungkinkan terlaksananya paten berikutnya, dalam hal ini tidak ada masalah pelanggaran paten. Akan tetapi, kalau lisensi untuk itu tidak diberikan semestinya, undang-undang menyediakan jalan keluarnya. Agar paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan, sudah sewajarnya bila yang terakhir ini juga dimungkinkan untuk melaksanakannya tanpa melanggar paten yang terdahulu. Hal ini hanya dapat terlaksana apabila lisensi wajib diberikan oleh Direktorat Jenderal HaKI. Permohonan lisensi wajib karena atas dasar alasan ini hanya dapat dipertimbangkan apabila paten yang akan dilaksanakan benar-benar mengandung unsur pembaharuan yang nyata-nyata lebih maju dari paten yang telah ada tersebut. 58 Dalam hal yang demikian, maka pemegang paten berhak untuk saling memberikan lisensi untuk menggunakan paten pihak lainnya berdasarkan persyaratan yang wajar, dan penggunaan paten oleh penerima lisensi tidak dapat dialihkan, kecuali bila dialihkan bersama-sama dengan paten lain. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasai 82 UU Paten tersebut, pengajuan permohonan lisensi wajib tidak hanya terbatas pada alasan bahwa invensi yang telah dilindungi paten tidak atau belum dilaksanakan di Indonesia oleh pemegang patennya, tetapi juga dapat diajukan terhadap invensi yang telah dilindungi paten dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh pemegang patennya atau terhadap invensi yang telah dilindungi paten yang berikutnya tetapi ada kaitannya dengan invensi yang telah dilindungi paten terdahulu atau sebelumnya. 59 Lebih lanjut Pasal 76 ayat (1) menyatakan bahwa selain kebenaran alasanalasan di atas, lisensi wajib untuk paten hanya akan diberikan apabila pemohon dapat menunjukkan bukti kemampuan untuk melaksanakan sendiri paten yang bersangkutan secara penuh, mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan paten yang bersangkutan dengan secepatnya, dan telah berusaha mengambil langkahlangkah dalam jangka waktu yang cukup untuk mendapatkan lisensi dari pemegang paten atas dasar persyaratan dan kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan Direktorat Jenderal HaKI berpendapat bahwa paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat kepada sebagian besar masyarakat.
58 59
Rahmadi Usman, op. cit., hal. 276. Ibid., hal. 277.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Menurut Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3), pemeriksaan permohonan lisensi wajib dilakukan sendiri oleh Direktorat Jenderal HaKI. Dalam kaitan ini, untuk lebih meyakinkan Direktorat Jenderal HaKI dalam memberikan keputusan, dengan mendengar pula pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait, serta pemegang paten yang bersangkutan. Lamanya jangka waktu pemberian lisensi wajib tersebut tidak lebih lama daripada jangka waktu perlindungan patennya. Artinya, jangka waktu lisensi wajib tidak boleh melebihi jangka waktu perlindungan paten yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu, Direktorat Jenderal HaKI dapat menunda keputusan pemberian lisensi wajib tersebut untuk sementara waktu atau bahkan menolaknya sama sekali. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 77 yang menyatakan, bahwa apabila berdasarkan bukti serta pendapat dari instansi dan pihak-pihak terkait serta pemegang paten, Direktorat jenderal memperoleh keyakinan bahwa jangka waktu 36 (tiga puiuh enam) bulan yang dipersyaratkan belum cukup bagi pemegang paten untuk melaksanakan secara komersiai di Indonesia atau lingkup wilayah yang lebih luas secara geografis, Direktorat Jenderal HaKI dapat menunda keputusan pemberian lisensi wajib tersebut untuk sementara waktu atau menolaknya. Pemberian lisensi wajib dilakukan dengan Keputusan Direktorat Jenderal HaKI. Adapun hal-hal yang mesti dicantumkan dalam pemberian lisensi wajib sebagaimana disebutkan dalam Pasal 79 UU Paten meliputi: a. lisensi wajib bersifat non-eksklusif; b. alasan pemberian lisensi wajib; c. bukti, termasuk keterangan atau penjelasan yang diyakini untuk dijadikan dasar pemberian lisensi wajib; d. jangka waktu lisensi wajib; e. besarnya royalti yang harus dibayarkan penerima lisensi wajib kepada pemegang paten dan cara pembayarannya. f. syarat berakhirnya lisensi wajib dan hal yang dapat membatalkannya; g. lisensi wajib terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri; dan h. Lain-lain yang diperlukan untuk menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil. Berhubung penerima atau pemegang lisensi wajib mendapatkan keuntungan yang bersifat ekonomis, kepadanya diwajibkan untuk memberikan royalti sebagai imbalan yang diberikan oleh penerima atau pemegang lisensi kepada pemegang paten atas pelaksanaan invensinya. Imbalan dapat berupa uang atau bentuk lainnya yang disepakati oleh para pihak. Pasal 78 UU Paten, menyatakan bahwa pelaksanaan lisensi wajib disertai pembayaran royalti oleh penerima lisensi wajib kepada pemegang paten, yang besarnya dan cara pembayarannya ditetapkan oleh Direktorat
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Jenderal HaKI. Periu diingat, penetapan besarnya royalti dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian lisensi atau perjanjian lain yang sejenis. Perjanjian lain yang sejenis adalah perjanjian yang lazim dibuat dalam rangka pengalihan kemampuan atau pengalihan pengetahuan tentang teknologi yang tidak dipatenkan (know how and technology transfer). Terdapat beberapa cara atau metode pembayaran royalti ini, yaitu: 60 1. pembayaran suatu jumlah sekaligus; 2. persentase harga jual; 3. pembayaran jumlah tertentu dihitung tiap masing-masing komponen yang dibuat; 4. persentrase dari profit; 5. partisipasi pihak pemberi lisensi dalam perusahaan penerima lisensi melalui pemilikan saham; 6. membayarnya dengan barang (imbal jual) atau dengan jasa, seperti jasa melakukan riset, dan sebagainya. Pembayaran dengan jumlah tertentu dan dilaksanakan sekaligus sering disebut dengan sebutan lump-sum atau paid-up license, sedangkan apabila jumlah tertentu juga dibayar sebagian lebih dahulu disebut dengan down payment. Pembayaran sekaligus mengandung beberapa nilai plus, bagi penerima lisensi maupun pemberi lisensi. Keuntungan penerima lisensi, dia sejak semula mengetahui berapa persisnya yang harus dibayar, sehingga dapat dikalkulasikan untuk investasi dan harga dan omzetnya tidak perlu diper-tanggungjawabkan. Sedangkan keuntungan pemberi lisensi, tahu dengan pasti berapa pemasukannya dan kepastian pembayaran, walaupun misalnya nanti timbul sengketa antara mereka. 61 . Apabila pembayarannya dilakukan dengan persentase tertentu, ini sering disebut dengan royalti, walaupun dalam praktik terhadap kata royalti digunakan untuk segala jenis pembayaran. Ada beberapa keuntungan pembayaran secara persentase ini, kepada pemberi lisensi, akan diterima keuntungan apabila lisensi tersebut sukses, sehingga mendapat pembayaran tinggi dan penerima lisensi bersedia melakukan kontrak lisensi dalam jangka waktu yang lebih lama. Di samping itu, pemberi lisensi juga mendapat keuntungan, karena dalam rangka persaingan, dia akan mengetahui dengan baik omzet penerima lisensi. Sedangkan bagi penerima lisensi, pembayaran dengan persentase ini juga menguntungkan, karena dia tidak perlu membayar sebelum bisa mendapatkan hasil dari objek lisensi. Dan jika usaha tidak berjalan dengan baik, dia malahan tidak perlu bayar. Namun, inilah yang sering jadi 60 61
Munir Fuady, op. cit., hal. 118. Ibid., hal. 118-119.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
masalah dalam praktik, karena pemberi lisensi sering menuduh kesalahan atau kekuranguletannya pihak penerima lisensi dalam berusaha yang menyebabkan usahanya tidak jalan. Dalam praktik ada pula variasi, persentase tersebut dilakukan secara progresif, atau secara menaik atau memundur dihitung dengan lamanya waktu berjalan, atau besarnya unit produksi. 62 Dalam kontrak lisensi sering juga terdapat apa yang dinamakan dengan klausula hardship. Dalam hal ini ditentukan bahwa terhadap pembayaran baik secara persentase ataupun secara tetap, akan ditinjau lagi dengan perundingan suatu masa ketika kontrak sedang berjalan. Terhadap pembayaran dan/atau penyerahan dokumen sehubungan dengan pembayaran tersebut, sering pula dilakukan melalui garansi bank. Bentuk performance quarantee dari bank dalam hal ini sering dilakukan. Tentu tidak tertutup pula kemungkinan adanya personal guarantee atau corporate guarantee dari pihak penerima lisensi 63 . Pasal 80 UU Paten menegaskan bahwa pemberian lisensi wajib tersebut harus dicatat dalam Daftar Umum Paten dan kemudian diumumkan dalam Berita Resmi Paten, setelah dibayarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk itu. Pelaksanaan lisensi wajib dianggap sebagai pelaksanaan paten. Selanjutnya, pembatalan lisensi wajib untuk paten hanya dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal HaKI bila ada permohonan dari pemegang paten yang bersangkutan berdasarkan alasan tertentu yang disebutkan dalam Pasal 83, yaitu atas permohonan pemegang Paten, Direktorat Jenderal dapat membatalkan keputusan pemberian lisensi-wajib apabila alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi wajib tidak ada lagi, penerima lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi wajib tersebut atau tidak meiakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya, penerima lisensi-wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian lisensi wajib. Pembatalan sebagaimana dimaksud dicatat dan diumumkan. Menurut Pasal 84 UU Paten, lisensi wajib berakhir dengan selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan. Dengan berakhirnya lisensi wajib, penerima lisensi wajib berkewajiban untuk menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Selanjutnya, Direktorat Jenderal HaKI akan mencatat dan mengumumkan lisensi wajib yang telah berakhir itu. Dengan demikian, berakhirnya suatu lisensi wajib karena selesainya jangka waktu pemberian lisensi wajib atau pemberian lisensi wajib dibata/kan oleh Direktorat Jenderal HaKI. 62 63
Ibid., hal 119-120. Ibid., hal. 120.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Pasal 85 UU Paten, menegaskan, bahwa berakhir atau batalnya lisensi wajib sebagaimana dimaksud daiam Pasal 83 atau Pasal 84, maka berakibat pulihnya hak pemegang atas paten yang bersangkutan terhitung sejak tanggal pencatatannya. Dalam Pasal 86 dinyatakan bahwa lisensi wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. Lisensi wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal HaKI untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Bentuk lain yang dapat digolongkan sebagai lisensi wajib adalah pelaksanaan paten oleh pemerintah Pengaturan seperti ini dimungkinkan menurut ketentuan Pasal 31 Persetujuan TRIPs/GATT, yang kemudian ditindak-lanjuti dalam Pasal 99 sampai dengan Pasal 103 UU Paten. Menurut Pasal 99, pemerintah dalam melaksanakan sendiri paten yang telah dilindungi apabila pemerintah berpendapat bahwa suatu paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat. Karena masalah pertahanan dan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional merupakan hal yang mendasar, wajar apabila pemerintah atau pihak ketiga diberi izin oleh pemerintah untuk melaksanakan paten yang terkait. Contoh invensi yang terkait dengan pertahanan dan keamanan Negara, antara lain bahan peledak, senjata api, dan amunisi. 64 Pengertian kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan nasional dalam pasal ini, mencakup pula antara lain bidang-bidang kesehatan seperti obat-obat yang masih dilindungi paten di Indonesia yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang berjangkit secara luas (endemi), bidang pertanian misalnya pestisida yang sangat dibutuhkan untuk menangguiangi gagalnya hasil panen secara nasional yang disebabkan oleh hama. Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi suatu paten untuk menjamin kelangsungan hidup sangat dibutuhkan untuk menanggulangi gagalnya hasil panen secara nasional yang disebabkan oleh hama. Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi suatu paten untuk menjamin kelangsungan hidup perekonomian negara serta mengupayakan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat di negara yang bersangkutan. Adapun keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu paten ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendengarkan pertimbangan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait 65 64 65
Rahmadi Usman, op. cit., hal. 282-283. Ibid., hal. 240.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Selanjutnya Pasal 100 UU Paten, menyatakan bahwa ketentuan Pasal 99 berlaku secara mutatis mutandis bagi invensi yang dimohon paten, tetapi tidak diumumkan. Dalam hal pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri paten yang tidak diumumkan, pelaksanaan paten serupa itu hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemerintah dan pemegang patennya dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan paten tersebut dapat dilaksanakan. Pemerintah tidak dapat serta merta melaksanakan suatu paten yang penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan bagi kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal demikian, berdasarkan Pasal 101 UU Paten, pemerintah berkewajiban memberitahukan secara tertulis mengenai hal tersebut kepada pemegang paten dengan mencantumkan hal-hal sebagai berikut: a. paten yang dimaksudkan disertai nama pemegang paten dan nomornya; b. alasan; c. jangka waktu pelaksanaan; d. haf-hal fain yang dipandang penting. Pelaksanaan paten oleh pemerintah dilakukan dengan pemberian imbalan yang wajar kepada pemegang paten, sebagai akibat dari pemanfaatan hak ekonomis yang dipunyai invensi yang telah dilindungi paten. Pemerintahlah yang akan menentukan besarnya imbalan yang akan diberikan kepada pemegang paten. Dalam kaitan ini, jika pemegang paten tidak menyetujui terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut, pemegang paten dapat mengajukan gugatan kepada Pengadiian Niaga terhadap penetapan imbalan oleh pemerintah tersebut. Namun, harus diingat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 102 UU Paten, bahwa proses pemeriksaan gugatan dimaksud tidak menghentikan pelaksanaan paten oleh pemerintah. Keputusan pemerintah bahwa suatu paten akan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah bersifat final. Dengan demikian, keputusan pelaksanaan paten sendiri oleh pemerintah tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, termasuk oleh pengadilan, mengingat sangat pentingnya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal ini yang digugat bukan penetapan pelaksanaan paten oleh pemerintah tersebut, tetapi mengenai besarnya imbalan yang ditetapkan oleh pemerintah atas pelaksanaan Invensi yang telah dilindungi paten oleh pemerintah yang dinilai tidak wajar atau sebanding dengan paten yang dilaksanakan oleh pemerintah tersebut. 66 66
Ibid., hal. 284.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Sampai saat ini pelaksanaan lisensi wajib belum pernah ada di Indonesia, karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa dalam pelaksanaan lisensi paten di Indonesia pada umumnya berasal dari negara luar negeri karena undangundang paten di Indonesia sendiri belum dilengkapi dengan peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan lisensi paten itu. Kemudian juga untuk lisensi wajib, pada umumnya sulit atau belum dapat terlaksana di negara yang sedang berkembang karena terbatasnya fasilitas untuk melaksanakan lisensi wajib atas produk yang dibutuhkan oleh pemerintah tersebut. Misalnya dalam bidang kesehatan untuk obatobat yang sangat diperlukan oleh masyarakat banyak dapat dilakukan lisensi wajib oleh negara yang membutuhkan, namun negara yang sedangkan berkembang tersebut belum memiliki atau tersedianya pabrik yang sesuai untuk memproduksi obat yang dilisensiwajibkan itu. Demikian juga halnya di Indonesia, sampai saat ini belum pernah dilaksanakan lisensi wajib. IV. PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK PATEN DALAM LISENSI WAJIB Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten) menentukan kompensasi atas lisensi-wajib adalah dalam bentuk royalti. Penentuan besarnya royalti dan cara pembayarannya ditetapkan oleh Ditjen HKI. Dasar penetapan royalti ini dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang lazim digunakan dalam perjanjian lisensi paten atau perjanjian lain yang sejenis. Terhadap permohonan lisensi-wajib, Ditjen HKI harus memberi keputusan, apakah mengabulkan atau menolak, paling lama 90 hari dari sejak pengajuan permohonan lisensi-wajib. Pasal 82 UU Paten, ditentukan dalam hal alasan permohonan lisensi-wajib adalah keterpaksaan melanggar paten lain, Ditjen HKI akan menetapkan untuk saling memberi lisensi (cross license) dimana pemohon lisensi-wajib akan memberi lisensi kepada pemegang paten yang haknya terpaksa dilanggar dan pemegang paten yang haknya terpaksa dilanggar tersebut juga memberi lisensi kepada pemohon lisensiwajib. Kemudian, dalam Pasal 83 UU Paten ditentukan atas permohonan Pemegang Paten, Direktorat Jenderal dapat membatalkan keputusan pemberian lisensi-wajib apabila: a. Alasan yang dijadikan dasar bagi pemberian lisensi-wajib tidak ada lagi; b. Penerima lisensi-wajib ternyata tidak melaksanakan lisensi-wajib tersebut atau tidak melakukan usaha persiapan yang sepantasnya untuk segera melaksanakannya; c. Penerima lisensi-wajib tidak lagi mentaati syarat dan ketentuan lainnya termasuk pembayaran royalti yang ditetapkan dalam pemberian lisensi-wajib.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
UU Paten menegaskan bahwa lisensi wajib tersebut dapat berakhir, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal Pasal 84 karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan, penerima lisensi-wajib menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Dengan berakhirnya lisensi-wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 atau Pasal 84, maka menurut Pasal 85 UU Paten, berakibat pulihnya hak Pemegang atas Paten yang bersangkutan terhitung sejak tanggal pencatatannya. Kemudian dalam Pasal 86 dinyatakan lisensi-wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan. Lisensi-wajib yang beralih karena pewarisan tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal untuk dicatat dan diumumkan. Suatu hak milik dapat berakhir atau hapus dengan cara-cara di bawah ini: 67 1. orang lain memperoleh hak milik itu dengan salah satu cara untuk memperoleh hak milik; 2. binasanya benda; 3. eigenaar melepaskan benda tersebut, dengan ketentuan bahwa pemilik melepaskan benda tersebut dengan maksud untuk melepaskan hak milik. Jadi, bukan karena kehilang-an atau terpaksa melemparkan benda tersebut ke laut karena keadaan darurat dan lain-lain. Dalam hal-hal demikian hak miliknya tetap ada pada pemilik semula. Demikian pula dengan invensi yang telah dilindungi paten, dapat berakhir atau hapus, antara lain, karena pelaksanaan paten oleh pemerintah sendiri. Dalam ketentuan Pasal 99 UU Paten, ditentukan apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan. Keputusan untuk melaksanakan sendiri suatu Paten ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah Presiden mendengarkan pertimbangan Menteri dan menteri atau pimpinan instansi yang bertanggung jawab di bidang terkait. Kemudian dalam Pasal 100 UU Paten, ditentukan ketentuan di atas berlaku secara mutatis mutandis bagi Invensi yang dimohonkan Paten, tetapi tidak diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46. Dalam hal Pemerintah tidak atau belum bermaksud untuk melaksanakan sendiri Paten, pelaksanaan Paten serupa itu 67
Sri Soedewi Mascjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 82.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Pemerintah. Pemegang Paten dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya tahunan sampai dengan Paten tersebut dapat dilaksanakan. Dalam Pasal 101 UU Paten ditentukan, dalam hal Pemerintah bermaksud melaksanakan suatu Paten yang penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan bagi kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah memberitahukan secara tertulis hal tersebut kepada Pemegang Paten dengan mencantumkan: Paten yang dimaksudkan disertai nama Pemegang Paten dan nomornya, alasan, jangka waktu pelaksanaan, dan hal-hal lain yang dipandang penting. Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah dilakukan dengan pemberian imbalan yang wajar kepada Pemegang Paten. Sesuai dengan Pasal 102 UU Paten, keputusan pemerintah terhadap suatu Paten yang akan dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah adalah bersifat final. Dalam hal Pemegang Paten tidak setuju terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan oleh Pemerintah, ketidaksetujuan tersebut dapat diajukan dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga. Proses pemeriksaan gugatan tidak menghentikan pelaksanaan Paten oleh Pemerintah. Pembatalan paten dapat terjadi karena adanya permohonan pemegang paten atau gugatan pihak ketiga, juga karena batal demi hukum, baik untuk seluruh atau sebagian. Ketentuan mengenai pembatalan paten dan akibat hukumnya diatur dalam Pasal 88 sampai dengan Pasal 98 UU Paten. Pembatalan paten demi hukum diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 89, yang menentukan paten dinyatakan batal demi hukum apabila pemegang paten tidak memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang. Direktorat Jenderal HaKI akan memberitahukan hal itu secara tertulis kepada pemegang paten serta penerima lisensi, yang mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan tersebut. Paten yang dinyatakan batal dengan alasan demikian wajib dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Kemudian pembatalan paten juga dapat diiakukan oleh pemegang patennya sendiri. Pasal 90 menentukan bahwa paten dapat dibatalkan atas permohonan pemegang paten yang diajukan secara tertulis oleh Direktorat Jenderal HaKI, baik untuk seluruh atau sebagian. Pembatalan paten atas permohonan pemegang paten tidak dapat diiakukan jika penerima lisensi tidak memberikan persetujuan secara tertulis yang dilampirkan pada permohonan pembatalan yang bersangkutan.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Dengan demikian, pemegang paten juga tidak dapat serta merta memohon pembatalan patennya jika paten tersebut telah dilisensikan, kecuali penerima lisensi memberikan persetujuan secara tertulis yang pula menyetujui pembatalan paten tersebut. Keputusan pembatalan paten atas permohonan pemegang paten diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Jenderal HaKI kepada penerima lisensi dan juga dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi. Pembatalan paten tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan keputusan mengenai pembatalan tersebut. Pembatalan paten juga dapat terjadi karena adanya gugatan pihak lain, sebagaimana ditentukan Pasal 91 UU Paten, gugatan pembatan paten dapat dilakukan apabila: a. Paten tersebut menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 6, atau Pasal 7 seharusnya tidak diberikan. b. Paten tersebut sama dengan Paten lain yang telah diberikan kepada pihak lain untuk Invensi yang sama berdasarkan UU Paten. c. Pemberian lisensi-wajib ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya pelaksanaan Paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal pemberian lisensiwajib yang bersangkutan atau sejak tanggal pemberian lisensi-wajib pertama dalam hal diberikan beberapa lisensi-wajib. d. Gugatan pembatalan diajukan oleh pihak ketiga kepada Pemegang Paten melalui Pengadilan Niaga. Gugatan pembatalan dapat diajukan oleh Pemegang Paten atau penerima Lisensi kepada Pengadilan Niaga agar Paten lain yang sama dengan Patennya dibatalkan. Gugatan pembatalan dapat diajukan oleh jaksa terhadap Pemegang Paten atau penerima lisensi-wajib kepada Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 92 UU Paten, jika gugatan pembatalan paten didasarkan atas gugatan pihak ketiga, hanya mengenai satu atau beberapa klaim atau bagian dari klaim, pembatalannya dilakukan hanya terhadap klaim yang pembatalannya digugat. Artinya, tidak serta merta seluruh Invensi yang dilindungi paten dibatalkan oleh Pengadilan Niaga, hanya terbatas pada klaim yang pembatalannya digugat oleh pihak ketiga. Selanjutnya, Direktorat Jenderal HaKI berkewajiban untuk menyampaikan isi putusan Pengadilan Niaga tentang pembatalan paten yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan dan mencatatnya dalam Daftar Umum Paten dan mengumumkan dalam Berita Resmi Paten.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Pasal 95 sampai dengan Pasal 98 UU Paten mengatur segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hal-hal lain yang berasal dari paten yang bersangkutan. Khusus untuk pembatalan paten yang dimintakan kepada Pengadilan Niaga, putusan pembatalannya baik untuk seluruh atau sebagian baru berlaku sejak tanggal putusan pembatalan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali ditentukan lain dalam putusan Pengadilan Niaga yang bersangkutan. Kemudian dalam Pasal 97 dan Pasal 98 UU Paten, diatur mengenai hak dan kewajiban penerima lisensi dari paten yang dibatalkan, sebagai berikut: 68 1. Penerima lisensi dari paten yang dibatalkan karena alasan patennya sama dengan paten yang lain yang telah diberikan kepada pihak lain untuk Invensi yang sama berdasarkan Undang-undang Paten, tetap berhak melaksa-nakan lisensi yang dimilikinya sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian lisensi dan penerima lisensi tidak wajib meneruskan pembayaran royalti yang seharusnya masih wajib dilakukan kepada pemegang paten yang patennya dibatalkan, tetapi mengalihkan pembayaran royalti untuk sisa jangka waktu lisensi yang dimilikinya kepada pemegang paten yang berhak. Dalam hal pemegang paten sudah menerima sekaligus royalti dari penerima lisensi, pemegang paten tersebut wajib mengembalikan jumlah royalti yang sesuai dengan sisa jangka waktu penggunaan lisensi kepada pemegang paten yang berhak; 2. Lisensi dari paten yang dinyatakan batal oleh sebab-sebab patennya sama dengan paten yang lain yang telah diberikan kepada pihak lain untuk Invensi yang sama berdasarkan Undang-undang Paten yang diperoleh dengan iktikad baik, sebelum diajukan gugatan pembatalan atas paten yang bersangkutan, tetap berlaku terhadap paten lain dan lisensinya tetap berlaku dengan Ketentuan bahwa penerima lisensi tersebut untuk selanjutnya tetap wajib membayar royalti kepada pemegang paten yang tidak dibatalkan, yang besarnya sama dengan jumlah yang dijanjikan sebelumnya kepada pemegang paten yang patennya dibatalkan. Mengenai tata cara gugatan pembatalan paten diatur dalam Pasal 94 yang menentukan bahwa tata cara gugatan pembatalan paten mengikuti secara mutatis mutandis tata cara gugatan yang diatur dalam pasal 117 sampai dengan Pasal 124 UUP 2001. Jika suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga. Hak menggugat berlaku surut sejak Tanggal Penerimaan. Pemberitahuan isi putusan atas gugatan disampaikan kepada 68
Rahmadi Usman, op. cit., hal. 289.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
para pihak oleh Pengadilan Niaga paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Isi putusan dicatat dan diumumkan oleh Direktorat Jenderal. 69 Pemegang Paten atau penerima lisensi berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Gugatan ganti rugi yang diajukan hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu terbukti dibuat dengan menggunakan Invensi yang telah diberi Paten. Isi putusan Pengadilan Niaga tentang gugatan disampaikan kepada Direktorat Jenderal paling lama 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan diucapkan untuk dicatat dan diumumkan. 70 Dalam hal pemeriksaan gugatan terhadap Paten-proses, kewajiban pembuktian bahwa suatu produk tidak dihasilkan dengan menggunakan Paten-proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b dibebankan kepada pihak tergugat apabila: produk yang dihasilkan melalui Paten-proses tersebut merupakan produk baru, produk tersebut diduga merupakan hasil dari Paten-proses dan sekalipun telah dilakukan upaya pembuktian yang cukup untuk itu, Pemegang Paten tetap tidak dapat menentukan proses apa yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Untuk kepentingan pemeriksaan gugatan pengadilan berwenang: 71 a. Memerintahkan kepada Pemegang Paten untuk terlebih dahulu menyampaikan salinan Sertifikat Paten bagi proses yang bersangkutan dan bukti awal yang menjadi dasar gugatannya; dan b. Memerintahkan kepada pihak tergugat untuk membuktikan bahwa produk yang dihasilkannya tidak menggunakan Paten-proses tersebut. Dalam pemeriksaan gugatan pengadilan wajib mempertimbangkan kepentingan tergugat untuk memperoleh perlindungan terhadap rahasia proses yang telah diuraikannya dalam rangka pembuktian di persidangan. Gugatan didaftarkan kepada Pengadilan Niaga dengan membayar biaya gugatan. Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah pendaftaran gugatan, Pengadilan Niaga menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas gugatan dimulai dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak pendaftaran gugatan. 72
69
Pasal 117 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pasal 118 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 71 Pasal 119 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 72 Pasal 120 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 70
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 14 (empat belas) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan. Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal gugatan didaftarkan. Putusan atas gugatan yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pengadilan Niaga wajib menyampaikan isi putusan kepada para pihak yang tidak hadir paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. 73 Terhadap putusan Pengadilan Niaga ini hanya dapat diajukan kasasi. 74 Permohonan kasasi diajukan paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal diucapkan atau diterimanya putusan yang dimohonkan kasasi dengan mendaftarkan kepada pengadilan yang telah memutus gugatan tersebut. Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon kasasi diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh panitera pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran. Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi kepada panitera dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Panitera wajib memberitahukan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah memori kasasi diterima oleh panitera. 75 Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterimanya. Panitera wajib mengirimkan berkas perkara kasasi yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari setelah lewat jangka waktu di atas. Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara kasasi dan menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan atas berkas perkara kasasi dimulai dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal berkas perkara kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. 76 Putusan kasasi harus diucapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal berkas perkara kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan kasasi yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Panitera Mahkamah Agung 73
Pasal 121 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Pasal 122 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 75 Pasal 123 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 76 Pasal 123 ayat (5), (6), (7) dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 74
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
wajib menyampaikan isi putusan kasasi kepada panitera Pengadilan Niaga paling lama 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan kasasi itu diucapkan. Juru sita wajib menyampaikan isi putusan kasasi kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima. Isi putusan kasasi disampaikan pula kepada Direktorat Jenderal paling lama 2 (dua) hari sejak isi putusan kasasi diterima oleh Pengadilan Niaga untuk dicatat dan diumumkan. 77 Selanjutnya dalam Pasal 124 UU Paten disebutkan, selain penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Hak eksklusif paten bagi pemegang lisensi wajib terbatas pada jangka waktu yang ditetapkan Direktorat Jenderal HKI. Hak eksklusif paten bagi lisensi wajib tidak dapat dialihkan, kecuali karena pewarisan yang tetap terikat oleh syarat pemberiannya dan ketentuan lain terutama mengenai jangka waktu, dan harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal HKI untuk dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. 2. Lisensi-wajib dilaksanakan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal HKI atas dasar permohonan dari setiap pihak kepada Direktorat Jenderal untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian Paten dengan membayar biaya, dengan alasan bahwa Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten. Permohonan lisensi-wajib dapat pula diajukan setiap saat atas alasan bahwa Paten telah dilaksanakan oleh pemegang Paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. Namun, sampai saat ini belum pernah dilaksanakan lisensi wajib di Indonesia. Selain peraturan pemerintah yang belum ada, juga masih terbatasnya kemampuan atau fasilitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan lisensi wajib atas produk yang dibutuhkan tersebut. 3. Perlindungan hukum hak eksklusif pemegang Paten terhadap lisensi wajib di dalam ketentuan UU Paten ditegaskan lisensi wajib dapat berakhir sesuai Pasal 84 77
Pasal 123 ayat (9), (10), (11) dan ayat (13) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
karena selesainya jangka waktu yang ditetapkan atau karena pembatalan, atau penerima lisensi-wajib menyerahkan kembali lisensi yang diperolehnya. Dengan berakhirnya lisensi-wajib, maka menurut Pasal 85 berakibat pulihnya hak pemegang atas Paten terhitung sejak tanggal pencatatannya. Selain itu, dalam hal lisensi wajib pemegang paten tidak setuju terhadap besarnya imbalan yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka sesuai ketentuan Pasal 102 pemegang paten dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga. B. Saran 1. Disarankan kepada pemerintah untuk terus meningkatkan sosialisasi tentang paten atau lisensi paten untuk menunjang dan mempercepat laju industrialisasi. Masuknya paten dan lahirnya berbagai perjanjian lisensi merupakan konsekuensi logis dari diundangkannya undang-undang paten, karena ini merupakan bagian dari globalisasi perekonomian dunia dan Negara Indonesia yang telah mencanangkan dirinya untuk menjadi negara industri sudah seharusnya melakukan perjanjian lisensi ini semaksimal mungkin. 2. Dalam rangka melindungi pemegang paten, maka tindakan tegas dari pemerintah dalam mencegah terjadinya pelanggaran hak paten itu berupa ganti kerugian bagi pemegang paten yang telah digunakan oleh pihak lain tanpa seizin pemegang paten, dan memerintahkan si pelanggar menghentikan kegiatannya memproduksi barang yang telah dipatenkan. Kemudian juga pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan lisensi paten tersebut. 3. Disarankan kepada para pihak yang melakukan pengalihan atas paten, walaupun dalam Pasal 66 UU Paten tidak secara tegas ditentukan perjanjian pengalihan paten harus dituangkan dalam akta notaris, maka demi kesempurnaan dari perjanjian itu sebaiknya dilakukan di hadapan notaris sebagai pejabat umum pembuat akta otentik.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Chazawi, Adami, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), BAyumedia Publishing, Malang, 2007. Djumhana, Muhamad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Djumhana, Muhammad dan R. Djubedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2003. Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktik Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994. Gambiro, Ita Hukum Paten., Sebelas Printing, Jakarta, 1995. Jened, Rahmi, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Airlangga Universty Press, Surabaya, 2007. Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertai, PPs-USU, Medan, 2002. Krisnawati, Andirana dan Gazalba Saleh, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman Dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Lindsey, Tim, dkk., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law Group Pty Ltd Bekerjasama dengan Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2002. Maulana, Insan Budi, Lisensi Paten, PT. Citra Aditya Bakti, BAndung, 1996. Pamuntjak, Amir, Sistem Paten Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, 1994. Purba, Afrilyanna, Gazalba Saleh, dan Andriana Krisnawati, TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia), Rineka Cipta, Jakarta, 2005. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intelectual Property Right), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1995.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995 Soemitro, Ronny Hantijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Sofwan, Sri Soedewi Mascjchoen, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981. Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004. Usman, Rachmadi, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan Dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2003. Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Lisensi, PT. Rajagrafindo Jakarta, 2001. Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Rahasia Dagang, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.
B. Makalah/Jurnal Jened, Rahmi, Diktat Hukum Paten, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2000. Mahmud Mz, Peter, “Luasnya Perlindungan Paten”, FH Universitas Erlangga bekerjasama dengan IPClinis dan FIPSI, Surabaya, 10 Oktober 1998, hal. II-2 Mochtar, M., Peranan Paten Untuk Pembangunan Industri, Makalah disajikan pada Seminar Sehari Peran Paten dan Merek dalam Meningkatkan Motivasi Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi, Perhimpunan Ahli Teknik Indonesia Sub Wilayah Tangerang, Serpong, 1993. Purba, Ahmad Zen Umar, “Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HKI Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.13, April 2001. Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008
C. Internet ”Hak
Paten Masih Soal Reog”, Http://www.annasagung.blog.com/2424617, dipublikasikan tanggal 17 Desember 2007, diakses tanggal 1 April 2008.
Purba, A. Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual dan Perjanjian Lisensi, http://www.dgp.go.id/eb.htm, dipublikasikan November 2001, diakses tanggal 29 Februari 2008. D. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001 tentang Merek Undang-Undang Nomor19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Amelya Zuharni: Perlindungan Hukum Pemilik Paten Dalam Lisensi Wajib, 2008. USU e-Repository © 2008