BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENERIMA LISENSI PATEN DI INDONESIA
A.
Syarat-syarat Perjanjian Lisensi Paten di Indonesia Dalam pasal 1320 KUH Perdata dijelaskan bahwa “untuk sahnya persetujuan-
persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat: 54 1) 2) 3) 4)
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; cakap untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang. Syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena kedua
syarat tersebut berkenaan dengan subjek perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan ke empat disebut sebagai syarat objektif dari perjanjian.55 Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang ataudiperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap 54
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakart: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 93. 55 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. 56 Demikian juga halnya dalam perjanjian lisensi Paten, syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata di atas berlaku juga dalam perjanjian lisensi Paten. Selain keempat syarat-syarat umum syahnya suatu perjanian yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata di atas, dalam Pasal 71 ayat (1) Undangundang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten juga mensyaratkan bahwa perjanjian lisensi Paten tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. Selanjutnya, dalam pasal 71 ayat (2) dinyatakan bahwa permohonan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditolak oleh Direktorat Jenderal. Kalau diperhatikan ketentuan Pasal 71 ayat (2) di atas, batasan serta yang dimaksud dengan merugikan perekonomian Indonesia ataupun pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dalam perjanjian lisensi paten tidak jelas. Dalam Undang 56
Ibid., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
undang ini tidak dijelaskan pembatasan-pembatasan dalam perjanjian lisensi Paten yang bagaimana yang dilarang serta perjanjian lisensi Paten yang bagaimana dibolehkan. Barang kali yang dimaksud dengan ketentuan yang merugikan perekonomian dan kemamuan bangsa Indonesia dalam menguasai teknologi dalam perjanjian lisensi Paten adalah grand back dan restrictive. Larangan untuk membuat klausula ini adalah penting untuk menghindari adanya hambatan penguasaan teknologi bagi bangsa Indonesia.57 Dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan Dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual dijelaskan bahwa perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian lisensi sekurang-kurangnya memuat informasi tentang: 58 1) tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi; 2) nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan perjanjian lisensi; 3) obyek perjanjian lisensi; 4) jangka waktu perjanjian lisensi; 5) dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang; 6) pelaksanaan lisensi untuk seluruh atau sebagian dari hak eksklusif; 7) jumlah royalti dan pembayarannya; 57
Dewi Astutty Muchtar, Op. Cit., hal. 61. Lihat Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan Dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual, hal. 14. 58
Universitas Sumatera Utara
8) dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga; 9) batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan; dan 10) dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri karya yang telah dilisensikan. Menurut ketentuan Pasal Pasal 72 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, maka perjanjian lisensi Paten wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, kemudian dimuat dalam daftar umum dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Selanjutnya dalam PAsal 72 ayat (2) dijelaskan pula bahwa apabila perjanjian lisensi tidak dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. Dalam ketentuan Pasal 71 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dijelaskan pula, bahwa perjanjian lisensi tidak boleh memuat ketentuan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan-pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan invensi yang diberi Paten tersebut pada khususnya. Sedangkan Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang lainnya menetapkan persyaratan bahwa perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan-ketentuan yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan yang berlaku. 59 Pendaftaran dan permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan atau memuat hal yang demikian harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 71 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (1) di atas terdapat tiga unsur 60 perjanjian lisensi tidak boleh memuat: 1) ketentuan baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan perekonomian Indonesia; 2) pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya; dan 3) hal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kalau diperhatikan ketiga persyaratan tersebut masih bersifat umum, oleh karena itu masih perlu diuraikan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah ataupun dalam bentuk Peraturan Presiden. Perjanjian lisensi dapat dibuat secara eksklusif dan secara non eksklusif. Apabila perjanjian lisensi Paten dimaksudkan secara eksklusif, maka hal tersebut harus dibuat secara tegas dalam perjanjian lisensi. Jika tidak, maka perjanjian lisensi dianggap tidak memakai syarat eksklusif. Oleh karena itu pemberi lisensi masih berhak melaksanakan sendiri apa yang dilisensikannya dan bahkan berhak untuk member lisensi kepada pihak lainnya 61 59
Gunawan Suryomurcito, dkk, Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Lisensi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia), 2006, Tanpa Nomor Halaman. 60 Ibid. 61 Ibid., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
B.
Objek Perjanjian Lisensi Paten Jika Undang-undang telah menetapkan bahwa subjek perjanjian adalah para
pihak yang wajib melaksanakan prestasi, maka intisari dari objek dari perjanjian ialah prestasi itu sendiri. 62 Maka dalam perjanjian lisensi paten, yang menjadi obyek perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten adalah: 63 a) Dalam hal Paten produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten; b) Dalam hal Paten proses; menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. . Dengan demikian, paten yang dijadikan sebagai obyek dalam perjanjian lisensi harus memenuhi persyaratan substansial dan kriteria penemuan yang dapat dipatenkan (patentabilitas). Berkaitan dengan patentabilitas dari suatu penemuan, pada dasarnya, semua penemuan yang lahir dari kemampuan intelektual manusia dapat dipatenkan, kecuali beberapa hal yang disebutkan dalam Pasal 7 Undangundang Nomor 14 Tahun 2001, yaitu tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan moral. Dengan perjanjian lisensi tersebut, maka pihak ketiga dapat melaksanakan suatu paten yang dijadikan obyek dalam perjanjian lisensi tersebut dan menikmati manfaat 62
10.
63
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hal. Gunawan Suryomurcito, dkk, Op. Cit.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi dari paten tersebut tanpa merasa khawatir adanya gugatan oleh pemegang Paten atas penggunaan Paten tersebut dan sebaliknya, pemegang Paten akan memperoleh imbalan dalam bentuk royalti dari pihak penerima lisensi. Undangundng Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten memberikan batasan-batasan yang harus diperhatikan para pihak yang melakukan perjanjian. Batasan perjanjian tersebut diatur utamanya dalam rangka melindungi hak penerima lisensi yang dalam praktek perjanjian lisensi umumnya cenderung dalam posisi yang lemah, oleh karena itu, dengan adanya pencatatan perjanjian lisensi diharapkan hal yang merugikan penerima lisensi dapat dihindarkan. 64
C. Subjek Perjanjian Lisensi Paten Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan kontrak. Pihak-pihak dalam kontrak ini disebut subjek dalam perjanjian tersebut. Subjek dalam suatu perjanjian dapat berupa orang perorangan atau badan usaha yang bukan badan hukum atau badan hukum. 65 Dalam hal Subjek dalam perjanjian lisensi Paten adalah para pihak yang terlibat dalam perjanjian lisensi Paten. Perjanjian tersebut dibuat oleh lisensor dan lisensee atau pengguna dari teknologi yang dilisensikan.
64 65
Ibid. Ahmadi Miru, Op. Cit.,hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
D.
Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Lisensi Paten Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten tidak mengatur secara
rinci mengenai hal-hal apa saja yang harus dimuat dalam perjanjian lisensi Paten sehingga para pihak bebas menentukan hal-hal apa saja yang akan dimuat dalam perjanjian lisensi yang mereka buat, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat syahnya perjanjian dan Pasal 1338 tentang kebebasan berkontrak. 66 Dengan demikian, hak dan kewajiban para pihak perlu diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hak dan kewajiban yang membuat perjanjian lisensi, karena dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten hanya diatur hak dan kewajiban Pemegang Paten saja, dimana hak dan kewajiban tersebut apabila tidak dilaksanakan akan menimbulkan akibat hukum terhadap status Paten tersebut, misalnya kewajiban Pemegang Paten untuk membayar biaya tahunan dan kewajiban pemegang Paten untuk melaksanakan Patennya di Indonesia. Apabila pemegang Paten terlambat membayar biaya tahunan, maka akan dikenakan denda dan bahkan dapat juga Paten tersebut dibatalkan apabila tidak dibayar selama tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, apabila pemegang Paten tidak melaksanakan Patennya di Indonesia, maka pihak lain yang ingin
menggunakan Paten tersebut dapat
meminta lisensi wajib dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk melaksanakan Paten tersebut. Dengan demikian, kewajiban untuk membayar biaya 66
Gunawan Suryomurcito, Laporah Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Lisensi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2006), tanpa Halaman.
Universitas Sumatera Utara
tahunan dan biaya lain yang timbul yang diwajibkan oleh Undang-undang terhadap pemegang Paten harus jelas dalam perjanjian lisensi kewajiban tersebut kepada siapa dibebankan. 67 Menurut Gunawan Suryomucito, dalam perjanjian lisensi Paten, selain karena kewajiban berdasarkan Undang-undang juga ada kewajiban pemegang Paten atau pemberi lisensi yang timbul berdasarkan perjanjian lisensi, seperti: 68 1) Menjamin pelaksanaan Paten yang telah diperjanjikan dari cacat hukum atau gugatan dari pihak ketiga; 2) Melakukan pengawasan mutu produk terhadap pelaksanaan Paten; dan 3) Member tahu penerima lisensi apabila jangka waktu perjanjian lisensi sudah habis masa berlakunya. Sementara itu, hak pemegang Paten atau pemberi lisensi adalah : 69 1) Menerima pembayaran royalty sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui kedua belah pihak; 2) Melaksanakan sendiri patennya kecuali diperjanjikan lain; dan 3) Menuntut pembatalan perjanjian lisensi apabila penerima lisensi tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya. Sedangkan hak penerima lisensi Paten berdasarkan Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2006 adalah: 70 1) Melaksanakan Paten sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian; 2) Memberikan lisensi lebih lanjut kepada pihak ketiga apabila diperjanjika; dan 3) Menuntut pembatalan lisensi apabila pemberi lisensi tidak melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya. 67
Ibid. Ibid. 69 Ibid. 70 Ibid. 68
Universitas Sumatera Utara
Kewajiban penerima lisensi Paten berdasarkan Laporan Akhir Tentang Kompilasi Bidang Hukum Perjanjian Yang Dikeluarkan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2006 adalah : 71 1) Membayar royalty sesuai dengan perjanjian; 2) Melaksanakan perjanjian lisensi sesuai dengan perjanjian.
E.
Jenis Lisensi Paten 1. Lisensi Secara Sukarela dan Lisensi Wajib Pada dasarnya, terdapat dua tipe lisensi, yaitu lisensi secara sukarela dan
lisensi wajib. Lisensi sukarela didasarkan atas perjanjian para pihak berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam hukum kontrak, sedangkan lisensi wajib melibatkan intervensi pemerintah dalam melaksanakannya. Dalam hal ini, lisensi diberikan tanpa memerlukan perjanjian dari pemegang hak paten. Di Indonesia, lisensi wajib diatur berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, Pasal 74 sampai Pasal 87. Lisensi wajib harus bersifat non eksklusif, artinya bahwa disamping orang yang memegang lisensi wajib masih dapat di pihak lain mengerjakan dan melaksanakan Paten yang bersangkutan, dan penggunaannya juga hanya untuk keentingan pasar dalam negeri. 72 Objek dari ketentuan lisensi wajib ini adalah paten yang tidak digunakan. Tujuannya, untuk menjamin agar inventor, baik asing maupun domestik, dan 71
Ibid. Sudargo Gautama, Pembaruan Undang-undang Paten, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 70. 72
Universitas Sumatera Utara
pemegang paten national dapat melaksanakannya dalam wilayah Negara Indonesia, sehingga tidak menghambat pembangunan ekonomi–industri dan perdagangannasional. Selain itu, ketentuan ini juga ditujukan untuk mencegah impor barang yang sama ke dalam wilayah Indonesia. Ketentuan yang berkaitan dengan lisensi wajib ini merefleksikan perhatian pemerintah terhadap upaya perlindungan kepentingan nasional, kepentingan publik, dan agar teknologi yang dipatenkan tersebut tidak disalahgunakan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, berdasarkan kepentingan nasional, pertahanan keamanan, dan kepentingan publikseperti kesehatan, makanan, dan untuk mengawasi pelaksanaan suatu paten, Undang-Undang Paten memberlakukan ketentuan tentang lisensi wajib dan pembatalan atau penarikan (revocation) atas suatu Paten. Lisensi wajib diberikan oleh pengadilan niaga setelah mempertimbangkan: 73 1) kemampuan dan fasilitas yang memadai dari pemohon yang mengajukan permohonan lisensi wajib untuk melaksanakan paten yang bersangkutan secara penuh; 2) usaha wajar yang dilakukan oleh pemohon untuk mendapatkan lisensi atas dasar persyaratan yang normal; 3) apakah paten yang bersangkutan memberikan kemanfaatan pada sebagian besar masyarakat. Tampaknya, beberapa negara berkembang berharap memperoleh teknologi asing melalui lisnsi wajib, yaitu . Namun demikian, sekalipun lisensi wajib diyakini sebagai instrument utama untuk mengaktifkan paten yang tidak dilaksanakan, secara praktis, hal ini tidak dapat bekerja secara maksimal. Bahkan lebih ekstrim, Yanke menyarankan, agar dinyatakan bahwa secara tekhnis, lisensi wajib merupakan suatu 73
http//www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, terakhir diakses tanggal 27 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
proses yang sangat sulit karena lisensing semata-mata tanpa mentransfer know how dari pemegang paten tidak dapat diharapkan menjadi efektif dan efesien. 74
2. Lisensi Secara Eksklusif dan Non Eksklusif Selain itu, perjanjian lisensi Paten dapat diberikan secara exclusive dan nonexclusive. 75 Perjanjian lisensi Paten yang dibuat secara eksklusif (khusus) maksudnya bahwa lisensi Paten itu hanya diberikan kepada penerima lisensi untuk jangka waktu tertentu dan wilayah tertentu. Lisensi hanya diberikan kepada pemegang lisensi eksklusif tersebut dalam wilayah tertentu selama jangka waktu berlakunya lisensi. 76 Jika yang dimaksud secara khusus, maka syarat itu harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian lisensi Paten, karena apabila tidak dicantumkan, maka perjanjian lisensi tersebut dianggap tidak memakai syarat khusus, sehingga pemegang Paten masih bisa melaksanakan Paten yang dilisensikannya atau memberi lisensi yang sama keada pihak ketiga lainnya. Sedangkan perjanjian lisensi yang dibuat secara non eksklusif berarti suatu bentuk yang memberikan kesempatan kepada pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberi lisensi kepada pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan Paten produksi dan/atau Paten proses. 77 Undang-undang Paten Indonesia mengklasifikasikannya ke dalam lisensi eksklusif dan non eksklusif.
74
Ibid. Gunawan Suryomurcito, dkk, Op. Cit. 76 Ibid. 77 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 193. 75
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik dari Paten yang dilisensikan itu berpengaruh dalam memutuskan apakah paten itu dilisensikan secara eksklusif atau non-eksklusif. 78
F. Tahapan-Tahapan dalam Perjanjian Lisensi Paten Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam penguasaan teknologi adalah pengalihan teknologi melalui linsensi. Hal ini dapat diwujudkan melalui pembuatan kontrak pengkomersialisasian teknologi atau alih teknologi. Kontrak inilah yang menjadi dasar bagi para pihak dalam bertindak guna memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Isi dari kontrak ini juga dapat berfungsi sebagai indikator dalam melakukan pelaksanaan, pengawasan, yang diperjanjikan. Hal yang terlebih penting lainnya adalah seluruh isi kontrak yang disepakati tersebut menjadi instrumen hukum yang paling kuat dalam melindungi kepentingan para pihak. 79 Pembuatan kontrak guna mencapai kesepakatan dalam perjanjian lisensi Paten dapat menjadi permasalahan yang sangat kompleks. Permasalahan pertama, terkait dengan kurangnya sumber informasi yang dapat diacu secara formal dan mengikat secara hukum tentang Paten. Tidak ada standar perjanjian lisensi Paten yang dapat diterima secara internasional. Faktor-faktor tersebut telah mengakibatkan perjanjian lisensi Paten sangat tergantung pada pada pengalaman dan keahlian negosiasi yang baik dari masing-masing individu. Namun demikian, terdapat masalah-masalah
78 79
ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
hukum yang perlu dicatat dalam membuat kontrak lisensi Paten. Masalah tersebut dapat diidentifikasi pada tiga tahapan, yaitu prakontrak, kontrak dan pasca kontrak. 80 Dalam tahap pra kontrak ini, para pihak dapat melakukan persiapan untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan perjanjian lisensi tersebut. Dalam konteks ini, para pihak dapat melakukan evaluasi atas teknologi dan aspek pengelolaannya (manajemen dan pemasaran), menilai dan memilih mitra yang potensial, mengidentifikasi pasar, mencermati masalah hukum dalam pengusahaan teknologi, dan lain sebagainya. 81 Dari sudut kepentingan licensee, penilaian teknologi sangat penting artinya untuk memastikan atau menjamin keberhasilan dalam proses alih teknologi. Oleh karena itu, sebelum memasuki tahap negosiasi yang konkrit, licensee harus dapat menilai teknologi yang dilisensikan. Sayang sekali teknologi tersebut seringkali dilisensikan pada saat potensi pasarnya tidak dapat direalisasikan. Terkadang para pihak telah menyepakati terminologi lisensi, bahkan sebelum teknologi tersebut dikembangkan. Kasus ini kerap muncul sebagai bagian dari perjanjian kerjasama penelitian.82 Selain masalah tekhnis, diatas, masalah yang tidak kalah krusialnya adalah masalah hukum dalam tahap pra kotrak lisensi. Masalah ini berkaitan dengan permasalahan tekhnis ketika menegosiasikan dan menyepakati terminologyterminologi yang digunakan dalam kontrak lisensi. Penegosiasian dan perancangan 80
Ibid. http//www.dgip.go.id/ebhtml/hki/filecontent, terakhir diakses tanggal 27 Maret 2011 82 Ibid. 81
Universitas Sumatera Utara
proses tersebut harus diarahkan pada pengharmonisasian tujuan komersial dari lisensor dan tujuan pengembangan teknologi penerima lisensi. Dalam tahap ini, perbedaan para pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut harus saling mengenal dan mengetahui satu sama lainnya. Mereka harus dapat mengeksplorasi kemungkinankemungkinan yang ditawarkan melalui kerjasama dan mereka harus dapat mencapai kesepakatan mengenai hak yang seimbang antara keinginan masing-masing pihak. 83 Hasil negosiasi tesebut biasanya dibadankan ke dalam sebuah dokumen memorandum of understanding (MoU). Sekalipun para pihak belum terikat oleh kewajiban formal, dokumen tersebut dapat memberikan informasi yang signifikan dalam membuat kontrak. Biasanya, klausula dalam memorandum of understanding tidak jauh berbeda dengan dengan klausula-klausula yang disepakatai dalam hasil akhir perjanjian yang ditandatangani. Selain itu, nilai dari dokumen MoU sudah tentu lebih memiliki muatan moral dan komersial daripada muatan hukum.84 Tahapan berikutnya, yaitu Penandatanganan kontrak yang merupakan momentum lahirnya hubungan hukum diantara para pihak. Pada prinsipnya, hukum yang berkaitan dengan transaksi Hak Kekayaan Intelektual, termasuk diantaranya lisensi Paten sama dengan transaksi personal property lainnya yang didasarkan atas prinsip-prinsip hukum kontrak. Namun demikian, kontrak yang dibuat tersebut harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku. Sebagai contoh, berdasarkan Uundang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, kontrak 83 84
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak boleh merugikan perekonomian Indonesia atau menghambat pengembangan teknologi. Oleh karena itu, untuk memudahkan pengawasan, maka kontrak tersebut harus daftarkan pada Kantor Paten dan dicatat di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan membayar biaya pemeliharaan. 85 Kontrak merupakan dasar hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Oleh karena itu, ia merupakan kehendak yang dibadankan dalam kontrak tertulis atas dasar praktik bisnis yang wajar dan prinsip keseimbangan dalam upaya menjamin kerjasama yang saling menguntungkan. Namun demikian, beberapa lisensor dapat berupaya mengembangkan hak paten mereka dengan jalan memasukkan klausula-klausula tertentu dlam perjanjian tersebut. Di Indonesia, upaya tersebut dilarang berdasarkan pasal 71 ayat (1) Undangundang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, yang secara tegas mengecualikan setiap tindakan yang dapat merusak atau menghambat perekonomian Indonesia. Sayang sekali ketentuan ini tidak digambarkan secara rinci, seperti di Negara-negara lain, misalnya Australia, Jepang, Amerika dan negara maju lainnya. 86 Dalam perjanjian lisensi, para pihak harus mengindahkan prinsip-prinsip hukum umum agar dapat menjamin kompetisi yang jujur, fair. Petunjuk umum mengenai hal ini dapat diperoleh dari rumusan United Nation Conference on Trade
85 86
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
and Development (UNCTAD) 87 . Prinsip umum tersebut dibadankan dalam beberapa ketentuan yang membatasi praktik bisnis tertentu. Pembatasan praktek bisnis ini dapat bervariasi, beberapa tipe utamanya, antara lain: (i) klausula mengikat (tying clause), termasuk exclusive grand back provisions (yang mensyaratkan penerima teknologi untuk memberikan hasil inovasi yang dilakukan atas teknologi tersebut keada pemilik teknologi tersebut secara cuma-cuma; (ii) price fixing (ketentuan harga diatur oleh pemilik teknologi); (iii) restriction on research (pembatasan terhadap riset untuk mengadakan modifikasi terhadap teknologi yang dilisensikan); (iv) exclusive sales or representation agreement (perjanjian penjualan atau agen tunggal dengan pemilik teknologi); (v) export restriction (larangan pada penerima teknologi untuk mengekspor produksi yang dihasilkan); (vi) limitations on transfere with respect to research and development, klausula pengontrolan kualitas, penjualan eksklusif atau perjanjian representation, pembatasan volume produksi, pembatasan ekspor, dan pembatasan lainnya. 88 Yang terakhir adalah tahap pasca kontrak. Pada taha ini dapat dilakukan melalui pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan. Dalam tahap ini, perldingunan hukum memerlukan peran struktur hukum dalam mengelola paten, seperti pemerintah, dan aparat patent, aparat hukum, polisi, jaksa dan hakim, bahkan para pihak yang terlibat dalam kontrak. Aparat hukum memainkan peranan yang
87
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI-Press, 2001),
hal. vi. 88
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
signifikan dalam memelihara dan mengembangkan kontrak lisensi. Dengan demikian, adalah penting untuk memahami kebijakan pemerintah dalam pasca kontrak. 89 Undang-undang paten memiliki instrument untuk mengontrol terminologiterminologi atau aspirasi para pihak yang dirumuskan dalam kontrak lisensi dengan alasan perlindungan kepentingan publik. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten mengintrodusir sejumlah indikator untuk mengontrol lisensi paten, seperti revokasi, atau pembatalan patent, dan lisensi wajib. Di Indonesia, indicator tersebut didasarkan atas kepentingan publik, pertahanan, keamanan, kesehatan dan makanan. 90 Lebih jauh, dalam upaya memberikan perlindungan terhadap dan pengawasan yang efektif, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten mengharuskan agar setiap perjanjian lisensi dicatat pada kantor Paten. Di Indonesia, perjanjian lisensi ini tidak berpengaruh pada pihak ketiga, kecuali ia didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan dicatat dalam buku Patent dengan membayar sejumlah biaya. Sayang sekali, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki aturan yang lengkap dan detail tentang prosedur pendaftaran perjanjian lisensi. 91
89
Ibid. Ibid. 91 Ibid. 90
Universitas Sumatera Utara
G. Penggunaan Hak Paten Berdasarkan Perjanjian Lisensi Jika dikaitkan dengan kerja sama antara perusahaan asing dengan perusahaan nasional dalam batas ketentuan pemberian lisensi yang hanya berlaku untuk 3 (tiga) tahun, kerja sama antar perusahaan ini jelas lebih menguntungkan dunia usaha bangsa Indonesia, daripada membiarkan perusahaan nasional mengusahakan sendiri lisensi tersebut. 92 Uraian di atas menyangkut penjelasan yang telah dikemukakan di dalamnya, bahwa setiap pemilik Paten dapat menarik keuntungan dari Patennya dengan cara pemberian lisensi kepada pihak lain atas dasar persetujuan/perjanjian dan pihak lain itu diharuskan member imbalan yang berupa sejumlah uang pengganti yang dapat dibayar secara sekaligus atau secara periodik, sedangkan batas waktu pemberian lisensi kepada pihak lain tersebut adalah 3 (tiga) tahun, yang dapat diperpanjang dengan mengadakan perjanjian-perjanjian perpanjangan. Setiap kali perjanjian perpanjangan penggunaan lisensi perusahaan nasional yang bersangkutan wajib membayar uang pengganti atas pemakaian lisensinya, tanpa mengingat berhasi atau tidaknya atau berkembang dan mundurnya usaha produksinya. 93
92 93
Ibid., hal. 86. Ibid.
Universitas Sumatera Utara