PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA
SKRIPSI
BIMO PRAKORSO E1A006439
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
BIMO PRAKORSO E1A006439
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
ii
LEMBAR PENGESAHAN PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA
Oleh : BIMO PRAKORSO E1A006439 Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Isi dan Format telah Diterima dan disetujui Pada Tanggal, 28 Agustus 2012 Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
Rochati, S.H., M.Hum NIP. 19541009 198403 2 001
Sri Hartini SH., M.H. 19540426 1980031004
Haedah Faradz S.H.,M.H NIP. 19590725 1986012001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S NIP. 19520603 198003 2 001
iii
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: BIMO PRAKORSO
NIM
: E1A006439
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain dan semua sumber data maupun informasi telah dinyatakan secara jelas serta dapat diperiksa kebenarannya. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang telah saya peroleh.
Purwokerto, 28 Agustus 2012
BIMO PRAKORSO E1A006439
iv
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan atas cinta, berkat, dan bimbinganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA
dengan melalui proses
yang panjang, serta suka dan duka telah penulis lewati. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Adapun penulisan skripsi ini tidak terlepas dari keterlibatan dan interaksi dengan banyak pihak yang dengan ketulusan hati mau membantu, membimbing, memberi motivasi, cinta, dan bersama-sama dalam suatu pembelajaran. Dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1.
Hj.Rochani Urip Salami, S.H, M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
2.
Rochati, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Skripsi I, dan juga pembimbing akademik yang telah sudi meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk dengan penuh perhatian yang sangat berguna bagi penulis sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit, berfikir lebih baik, dan penulisan skripsi dan perkuliahan dapat terselesaikan dengan baik.
3.
Sri Hartini SH., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
v
4.
Haedah Faradz S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji atas segala masukan yang diberikan kepada penulis.
5.
Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika FH UNSOED yang telah mendidik dan membantu selama penulis menuntut ilmu di kampus ini.
6.
Kedua orang tuaku tercinta, yang selalu memberikan dukungan yang luar biasa dalam membuat skripsi.
7.
Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Oleh karena itu segala saran,kritik, masukan yang membangun sangat berarti dalam penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan.
Purwokerto, 28 Agustus 2012
BIMO PRAKORSO E1A006439
vi
PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA BIMO PRAKORSO E1A006439 ABSTRAK
Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa liar yang dilindungi selama ini banyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagai ulah sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab. Seekor orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) ditemukan terluka dengan dua peluru bersarang di kepala. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum Konservasi hewan primata di Indonesia. Guna mencapai tujuan tersebut maka peneletian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder yang terkumpul kemudian diolah, disajikan, dan dianalisa secara kualitatif dengan penyajian data teks naratif. Hasil penelitian menyatakan bahwa, perlindungan hukum Konservasi hewan primata di Indonesia dilakukan dengan metode preventif dan juga represif. Melalui metode preventif perlindungan hukum terhadap primata diarahkan melalui pelestarian satwa primata, pengkategorisasian primata yang dilindungi, pelaksanaan konservasi satwa primata. Metode represif dilakukan melalui penegakan hukum terhadap pelaku yang melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perlindungan hukum primata dilakukan pula dengan meratifikasi Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) dengan di keluarkannya Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang : Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora, dikeluarkan pula Surat keputusan (SK) dan Peraturan Pemerintah mengenai pelestarian satwa liar, di programkannya strategi konservasi primata dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018. Primata di Indonesia perlindungannya masih lemah belum maksimal, begitupula dengan sistem pengawasannya dan penegakan hukum dalam perlindungan primata di Indonesia masih sangat lemah.
Kata kunci: Perlindungan, konservasi dan primata
vii
LEGAL PROTECTION CONSERVATION OF PRIMATES IN INDONESIA BIMO PRAKORSO E1A006439 ABSTRACT Habitats and the extinction of some wildlife species are protected during the many that have been damaged or accidentally damaged by various group of people who do not act responsibly. Borneo orangutan (Pongo pygmaeus morio) is found wounded with two bullets lodged in his head. This study aims to determine the legal protection Conservation of primates in Indonesia. To achieve this goal then peneletian performed using normative juridical approach. Secondary data are collected and processed, presented, and analyzed qualitatively with the presentation of narrative text data. The results suggest that, legal protection Conservation of primates in Indonesia conducted by the method of preventive and repressive. Through preventive method directed the legal protection through conservation of primates nonhuman primates, primates categorization of protected conservation implementation of nonhuman primates. Repressive methods performed by law enforcement against perpetrators who violate the Law. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems. Legal protection of primates also done by ratifying the Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) in keluarkannya by Presidential Decree. 43 Year 1978 About: Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora, also issued decree (SK) and the Regulation on the Peles ¬ dance of wildlife, in programkannya primate conservation strategies in the Minister of Forestry Number: P. 57/Menhut-II/2008 About National Species Conservation Strategic Directions 2008 to 2018. Primates in Indonesia is still weak protection is not maximized, nor a system of monitoring and enforcement of the protection of primates in Indonesia is still very weak.
Keywords: Protection, conservation and primates
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
I
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN...............................................................................
iii
KATA PENGANTAR......................................................................….............. iv ABSTRAK.........................................................................................................
vi
ABSTRACT……………………………………………………………….........
vii
DAFTAR ISI......................................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B.
Perumusan Masalah ....................................................................
4
C.
Tujuan Penelitian ........................................................................
4
D.
Manfaat Penelitiaan... .................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Perlindungan Hukum…………………………………………... 6
B.
Hukum Lingkungan……………………………………………. 7
C.
Asas-Asas Hukum Lingkungan………………………………..
11
D.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup…………….
14
E.
1.
Perencanaan……………………………………………..
14
2.
Pemanfaatan Lingkungan Hidup………………………...
15
3.
Pengendalian dan Pengawasan…………………………..
19
4.
Penegakan Hukum Lingkungan…………………………. 25
Pelestarian Sumber Daya Hayati………………………………. 38
ix
F.
Primata Indonesia………………………………………………
42
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan……………………………………………… 46 B. Spesifikasi Penelitian……………………………………………. 46 C. Sumber Bahan Hukum…………………………………………..
46
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum…………………………… 47 E. Metode Penyajian Bahan Hukum..................................................
47
F. Metode Analisis Bahan Hukum…………………………………. 48 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian………………………………………………….. 49 B. Pembahasan………………………………………………….......
65
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................
102
B. Saran ...........................................................................................
103
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 104
x
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Sumber daya alam hayati yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan
anugerah
Tuhan
Yang
Maha
Esa,
sehingga
patut
disyukuri
dengan
memanfaatkannya melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.1 Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia karena hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama. Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa liar yang dilindungi selama ini banyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagai ulah sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab. Upaya ataupun langkah-langkah yang nyata untuk melindungi satwa liar tersebut perlu segera dilakukan, sebab tidak tertutup kemungkinan spesies-spesies yang telah punah atau hampir punah tersebut memiliki peran yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem. Berbagai faktor menjadikan terancam punahnya satwa liar seperti perdagangan hewan liar, pembantaian hewan, perburuan, perusakan ekosistem hutan, dan lainnya.
1
Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan, Jakarta. 2007, hal. 2.
1
Seekor orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) ditemukan terluka dengan dua peluru bersarang di kepala di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Manajer Area Centre for Orangutan Protection (COP) Kalimantan, Arfiana Khairunnisa, mengatakan orangutan dalam kondisi terluka itu ditemukan sekelompok pramuka pada awal Februari 2012 kemudian diserahkan ke Balai TNK (Taman Nasional Kutai).2 Hal yang lebih mengejutkan bahwa lebih dari setengah responden yang di wawancarai menyatakan pernah membunuh dan memakan orangutan, seperti dikutip dari Washington Post, Orangutan ini dibunuh karena dianggap mengganggu tanaman warga.3 Seperti diberitakan okezone sebelumnya, 750 orangutan dibantai setiap tahunnya di Indonesia, survei ini dilakukan oleh The Nature Conservancy bersama dengan WWF dan Asosiasi Ahli Primata Indonesia serta beberapa pengamat dan 19 organisasi lainnya. Seperti hasil survei yang dilakukan mulai dari April 2008 hingga September 2008. Survei melibatkan 6.983 orang responden dari 687 desa di tiga provinsi di Pulau Kalimantan. Setidaknya 750 orangutan tewas dalam periode tersebut, dan penyebab tewasnya adalah karena diburu oleh manusia.4 Ada primata yang jelas dilindungi karena merupakan hewan langka, adapula primata yang justru dibantai terang-terangan. Di Kecamatan Taman Sidoarjo, 2
NN, Minggu, 19 Februari 2012 06:57 WIB, Pembantaian Orangutan di Kalimantan Masih Terjadi , http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/19/82359/Pembantaian-Orangutan-diKalimantan-Masih-Terjadi/1, diakses pada tanggal 12 Maret 2012. 3 Mutya Hanifah, Senin, 14 November 2011 - 15:47 wib, Mengerikan, Pembantaian Orangutan "Hal Biasa", http://travel.okezone.com/read/2011/11/14/407/529219/mengerikan-pembantaianorangutan-hal-biasa, diakses pada tanggal 12 Maret 2012. 4 Loc cit
2
Jawa Timur bupati menginstruksikan kepada petugas untuk menembak mati monyet liar. Sementara polisi kini mulai menyelidiki asal monyet liar yang meresahkan warga ini. Monyet liar yang menyerang warga diduga mencapai lebih dari 20 ekor. Penegasan tembak mati disampaikan langsung Bupati Sidoarjo Saifulillah saat mendatangi posko penanganan monyet liar di kantor Kecamatan Taman.5 Perlu dipahami, sebenarnya manusia haruslah dapat membaca situasi alam mengapa monyet monyet menyerang, mengapa ulat bulu menjadi wabah, gajah liar yang mengamuk, mengapa hewan-hewan seakan marah kepada manusia. Hal ini karena terganggunya ekosistem, seperti hutan yang dibakar manusia, hutan yang telah alih fungsi menjadi ladang dan lainnya. Hukum itu sendiri merupakan salah satu sarana untuk memberikan perlindungan kepada semua pihak, tidak terkecuali satwa dan lingkungan hidup karena fungsi hukum itu sendiri sejatinya untuk melindungi masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. Perlindungan hukum yang nyata terhadap kelestarian lingkungan khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar didalamnya diharapkan dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan satwa agar tidak punah dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.6 Hukum juga merasa perlu melindungi satwa liar yang hampir punah berikut ekosistemnya tentu bukan tanpa alasan. Satwa-satwa liar tersebut seperti halnya manusia merupakan bagian dari alam dan juga bagian dari lingkungan ataupun
5
Pramono Putra, Kamis, 16 Februari 2012 10:37 wib, Bupati Perintahkan Tembak Mati Monyet Liar, http://www.sindonews.com/read/2012/02/16/447/576713/bupatiperintahkan-tembak-mati-monyet-liar, diakses pada tanggal 1 April 2012. 6 Tony Suhartono dkk, Pelaksanaan konvensi CITES, WALHI, Jakarta, 2003, hal. 6.
3
ekosistem. Kepunahan berbagai hewan-hewan yang dianggap langka tersebut apabila terjadi, bukan mustahil akan mengakibatkan terganggunya ekosistem dan keseimbangan alam seperti misalnya rantai makanan maupun habitat dan keberadaan hewan langka tersebut. Kajian perlindungan hukum konservasi hewan primata di Indonesia dimaksudkan untuk mengetahui
dan menginventarisasi
peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan kepada hewan baik preventif maupun represif atau penegakan hukum. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA”.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat diambil suatu
perumusan masalah yaitu bagaimanakah perlindungan hukum Konservasi hewan primata di Indonesia ?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum Konservasi
hewan primata di Indonesia.
D.
Manfaat Penelitian 1.
Keguanaan teoritis
4
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Hukum lingkungan pada umumnya dan khususnya perlindungan hukum Konservasi hewan primata di Indonesia. 2.
Kegunaan Praktis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
mahasiswa dan instansi yang terkait dengan perlindungan hukum Konservasi hewan primata di Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Perlindungan Hukum
5
Hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyelesaian sengketa, namun juga mengatur kehidupan manusia secara luas. Baik dalam lapangan yang sifatnya individual (privaat) maupun yang sifatnya komunal/ umum (public). Seluruh aspek kehidupan manusia saat ini tidak akan lepas dari hukum. Barangsiapa yang mencoba untuk menyelesaikan masalahanya melalui jalur lain di luar hukum maka akan melekat padanya suatu pernyataan buruk yang kita kenal dalam bahasa Belanda sebagai eigenrichting yang sehari-hari diterjemahkan sebagai main hakim sendiri. Tujuan hukum yang paling utama adalah hukum itu bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.7 Sehingga dapat dikatakan bahwa, hukum memiliki tujuan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengertian Perlindungan hukum adalah tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam bidang hukum.8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud Perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Pengertian Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat
kepada
warganegara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.9
7
Kansil, CST, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta. Hal. 40-41. 8 WJS. Purwodarminto, 1959.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 224 9 NN, 21 April 2009, Definisi Perlindungan Hukum, http://antilog.in/definisi-perlindunganhukum-menurut-ahli-hukum, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
6
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.10
B.
Hukum Lingkungan Koesnadi
Hardjasoemantri
berpendapat
bahwa
hukum
lingkungan
mencakup aspek-aspek berikut ini: Hukum Kesehatan Lingkungan, Hukum Perlindungan Lingkungan, Hukum Tata Lingkungan, Hukum Pencemaran Lingkungan, Hukum Lingkungan
Transnasional/Internasional,
Hukum
Perselisihan
Lingkungan.11 Menurut pandangan Takdir Rahmadi, hukum lingkungan nasional dilihat dari permasalahan lingkungan yang menjadi cakupannya dapat dibedakan atas empat bidang, yakni hukum perencanaan lingkungan, hukum pengendalian pencemaran lingkungan, hukum penyelesaian sengketa lingkungan, dan hukum konservasi sumber daya alam. Hukum perencanaan lingkungan, antara lain, mencakup pokok bahasan analisis mengenai dampak lingkungan dan peruntukan dan pemanfaatan ruang suatu wilayah, tata guna tanah, tata guna air dan pembangunan kawasan pesisir (coastal areas). Akan tetapi, bidang penataan
10
Prasko Abdullah, 17 February 2011, Definisi Perlindungan Hukum, http://prasxo.wordpress.com/, Diakses Pada Tanggal 29 Mei 2011. 11 Koesnadi Hardjasoemantri, Masalah Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 1986, hal. 13
7
ruang telah berkembang sebagai bidang hukum tersendiri, yaitu hukum tata ruang.12 Pembaharuan hukum lingkungan pada pemikiran kepada tiap-tiap elemen
dasarnya dapat menerapkan
masyarakat dalam menentukan suatu
kebijakan (policy) dalam menentukan arah pembangunan lingkungan hidup dan pemahaman wawasan lingkungan. Dalam mengkaji suatu konsep sosial, kebijakan bahkan hukum, tidak bisa dilepaskan dari tatanan sosial (order) yang melatar belakanginya. Suatu konsep, kebijakan, bahkan hukum bisa saja menjadi tidak relevan karena berada pada suatu tatanan sosial yang sudah berubah. Pergeseran sistem penyelenggaraan kepemerintahan dari model sentralistik menuju desentralisasi sekarang ini merupakan bagian dari perubahan tatanan sosial yang juga turut mempengaruhi implementasi konsep pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia.13 Berdasarkan pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Jadi, manusia hanyalah salah satu unsur dalam lingkungan hidup tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Makhluk hidup yang lain termasuk binatang
12
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 26 13 Arief Hidayat dan FX. Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, BP. Undip, Semarang, 2007, hal.ix
8
tidak merusak, mencemari atau menguras lingkungan. hal ini juga dijelaskan di dalam penjelasan Undang-Undang Lingkungan Hidup antara lain sebagai berikut: “Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam
segala aspek dan mantranya sesuai dengan wawasan
nusantara.”
Paradigma baru mengenai lingkungan
hidup inilah menjadi inspirasi
munculnya suatu paradigma baru mengenai hukum lingkungan. penggunaan hukum lingkungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagian hukum yang bersangkutan dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk mengatasi pencemaran,
pengurasan
dan
perusakan
(verontreiniging,
uitputting
en
aantasting) lingkungan (fisik).14 Pengertian hukum lingkungan di sini hanya meliputi lingkungan fisik saja dan tidak menyangkut lingkungan sosial. Misalnya tidak meliputi pencemaran kebudayaan akan tetapi masalah lingkungan berkaitan pula dengan gejala sosial, seperti pertumbuhan
penduduk, migrasi dan tingkah laku sosial
dalam
memproduksi, mengkonsumsi, dan rekreasi. Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan khususnya yang disebabkan oleh umat manusia. Kerusakan lingkungan atau menurunnya mutu lingkungan disebabkan juga oleh bencana alam yang kadang-kadang sangat dahsyat dan tentunya dapat mengganggu stabilitas masyarakat dalam suatu lingkungan.
14
Ibid.
9
Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari menurunnya kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan menyangkut nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan dan ketenteraman manusia. Nilai lingkungan untuk berbagai bentuk pemanfaatan. Hilang dan berkurangnya nilai lingkungan karena pemanfaatan tertentu oleh umat manusia. Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya, langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan menyebabkan apa yang dilarang apa yang diperbolehkan. Secara tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat.15
C.
Asas-Asas Hukum Lingkungan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penerapan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup didasarkan atas asas asas sebagai berikut : 1.
Asas tanggung jawab negara adalah: a.
Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.
b.
Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
15
Ibid, hal. 3
10
c.
Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
2.
Asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
3.
Asas keserasian dan keseimbangan adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.
4.
Asas keterpaduan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait.
5.
Asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.
6.
Asas kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
11
7.
Asas
keadilan
adalah
bahwa
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. 8.
Asas ekoregion adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.
9.
Asas keanekaragaman hayati adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
10.
Asas pencemar membayar adalah bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
11.
Asas partisipatif adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.
12.
Asas kearifan lokal adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. 12
13.
Asas tata kelola pemerintahan yang baik adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
14.
Asas otonomi daerah adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 5.
Perencanaan Sejak pertemuan di Rio de Janiero (Brasil), masalah lingkungan hidup
semakin penting dan bersifat global. Masalah pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan lingkungan hidup. Memahami ekosistem sangat penting dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup karena pertimbangan sosial sangat erat kaitannya dengan proses politik dan pengambilan keputusan dalam pengembangan pengetahuan lingkungan hidup. Perubahan lingkungan hidup juga dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat desa, baik perubahan terhadap pola hidup, kepercayaan, emosi maupun pengetahuan masyarakat. Lebih lanjut lagi berdasarkan fakta yang didapat dari kehidupan masyarakat ternyata dominasi materialisme yaitu pandangan terhadap kehidupan yang lebih baik ternyata mampu mengubah peradaban manusia yang pada akhirnya mengarah kepada terciptanya krisis lingkungan hidup. 13
Komposisi berbagai etnik dan keunikan sejarah politik, ekonomi dan sosial budaya di Indonesia telah menyebabkan pola pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup mempunyai arti khusus. Latar belakang sejarah ini kemungkinan menyulitkan usaha memajukan pembangunan nasional sektor industri. Perluasan penggunaan Undang-Undang Lingkungan Hidup yang kaku akan menjadikan usaha membangun teknologi baru semakin sulit dan memakan belanja yang mahal. Dengan demikian, penggunaan strategi pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup diharapkan akan dapat meneruskan kemajuan ekonomi yang seimbang dengan perkembangan lingkungan hidup. Pada hakikatnya, liberalisasi ekonomi merupakan satu proses yang tidak dapat dielakkan. Di samping itu, perlu diingat bahwa proses pembangunan ekonomi melalui industrialisasi akan bersaing dengan perubahan lingkungan hidup. Kemerosotan lingkungan hidup disebabkan dominasi aktivitas yang tidak seimbang dengan kehendak politik, ekonomi dan sosial budaya. Walau bagaimanapun, kebebasan membuka kawasan baru bukan saja akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup tetapi juga akan mengurangi nilai-nilai akhlak yang terwujud dalam masyarakat.
6.
Pemanfaatan Lingkungan Hidup Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri dari
berbagai daerah, masing-masing sebagai subsistem yang meliputi aspek sosial budaya, ekonomi dan fisik, dengan corak ragam yang berbeda antara subsistem yang satu dengan yang lain, dan dengan daya dukung lingkungan yang berlainan. Pembinaan dan pengembangan yang didasarkan pada 14
keadaan daya dukung lingkungan akan meningkatkan keselarasan dan keseimbangan subsistem yang juga berarti meningkatkan ketahanan subsistem.16 Menurut Emil Salim, secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan, dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Soedjono mengartikan lingkungan hidup sebagai lingkungan hidup fisik atau jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmaniah yang terdapat dalam alam.17 Pengertian pembangunan berwawasan lingkungan menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Mengacu pada The World Commission on Environmental and Development menyatakan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa sekarang tanpa mengesampingkan atau mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya Holdren dan Erlich dalam Zul Endria(2003) menyebutkan tentang pembangunan berkelanjutan dengan terpeliharanya Total Natural Capital Stock pada tingkat yang sama atau kalau bisa lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan sekarang. 16
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta,1992, hal 48 17 Ibid, hal 7.
15
Pembangunan berkelanjutan yang dikonsep oleh Stren, While, dan Whitney sebagai suatu interaksi antara tiga sistem: sistem biologis dan sumberdaya, sistem ekonomi, dan sistem sosial, yang dikenal dengan konsep trilogi keberlanjutan: ekologi-ekonomi-sosial. Konsep keberlanjutan tersebut menjadi semakin sulit dilaksanakan terutama di Negara berkembang. Menurut Hariyadi sebagaimana dikutip oleh Zul Endria 2003, pembangunan berwawasan lingkungan memerlukan tatanan agar sumber daya alam dapat secara berlanjut menunjang pembangunan, pada masa kini dan mendatang, generasi demi generasi dan khususnya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Prinsip pembangunan berkelanjutan mencakup pemikiran aspek lingkungan hidup sedini mungkin dan pada setiap tahapan pembangunan yang memperhitungkan daya dukung lingkungan dan pembangunan di bawah nilai ambang batas. Sejak dilaksanakannya Konferensi Stockholm 1972, masalah-masalah lingkungan hidup mendapat perhatian secara luas dari berbagai bangsa. Sebelumnya, sekitar tahun 1950-an masalah-masalah lingkungan hidup hanya mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan. Sejak saat itu berbagai himbauan dilontarkan oleh pakar dari berbagai disiplin ilmu tentang adanya bahaya yang mengancam kehidupan, yang disebabkan oleh pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.18 Masalah lingkungan pada dasarnya timbul karena: 1.
18
Dinamika penduduk
Ibid, hal 1.
16
2.
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang kurang bijaksana.
3.
Kurang terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju.
4.
Dampak negatif yang sering timbul dari kemajuan ekonomi yang seharusnya positif.
5.
Benturan tata ruang.
Dengan adanya Stockholm Declaration, perkembangan hukum lingkungan memperoleh dorongan yang kuat. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama. Perkembangan baru dalam pengembangan kebijaksanaan lingkungan hidup didorong oleh hasil kerja World Commission on the Environment and Development (WCED).19 WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dari enam sudut pandang, yaitu: 1.
2.
3.
4. 19
Keterkaitan (interdependency) Sifat perusakan yang kait mengkait (interdependent) diperlukan pendekatan lintas sektoral antar negara. Berkelanjutan (sustainability) Berbagai pengembangan sektoral memerlukan sumber daya alam yang harus dilestarikan kemampuannya untuk menunjang proses pembangunan secara berkelanjutan. Untuk itu perlu dikembangkan pula kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan wawasan lingkungan. Pemerataan (equity) Desakan kemiskinan bisa mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, untuk perlu diusahakan kesempatan merata untuk memperoleh sumber daya alam bagi pemenuhan kebutuhan pokok. Sekuriti dan risiko lingkungan (security and environmental risk)
Ibid., hal. 2
17
5.
6. Pola
Cara-cara pembangunan tanpa memperhitungkan dampak negatif kepada lingkungan turut memperbesar risiko lingkungan. Hal ini perlu ditanggapi dalam pembangunan berwawasan lingkungan. Pendidikan dan komunikasi (education and communication) Penduduk dan komunikasi berwawasan lingkungan dibutuhkan untuk ditingkatkan di berbagai tingkatan penduduk dan lapisan masyarakat. Kerjasama internasional (international cooperation) 20 kerjasama
internasional
dipengaruhi
oleh
pendekatan
pengembangan sektoral, sedangkan pertimbangan lingkungan kurang diperhitungkan. Karena itu perlu dikembangkan pula kerjasama yang lebih mampu menanggapi pembangunan yang berwawasan lingkungan. 7.
Pengendalian dan Pengawasan Dalam upaya mendukung tujuan pembangunan yang berkelanjutan
telah dilakukan upaya-upaya memasukkan unsur lingkungan dalam memperhitungkan kelayakan suatu pembangunan. Unsur-unsur lingkungan yang menjadi satu paket dengan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan akan lebih menjamin kelestarian lingkungan hidup dan mempertahankan dan/atau memperbaiki daya dukung lingkungannya.21 Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan bagian dari setiap kegiatan yang berkaitan, baik secara sektoral maupun regional. Kegiatan itu akan dilaksanakan melalui pembentukan suatu sistem tata laksana dan tata cara yang dapat memantapkan kerjasama antar berbagai lembaga. Penyelamatan dan pengelolaan lingkungan hidup serta proses pembangunan berkelanjutan pada umumnya merupakan suatu proses 20
Ibid, hal.2 Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO14001, Grasindo, Jakarta, 2001, hal. 24 21
18
pembaruan yang memerlukan wawasan, sikap dan prilaku yang baru yang didukung oleh nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Wawasan ini dapat diperkaya lagi dengan kearifan tradisional mengenai lingkungan hidup dan keserasian lingkungan hidup dengan kependudukan.22 Peran
serta
masyarakat
dalam
pembangunan
amat
penting
pengaruhnya dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Sumber daya alam menjadi milik bersama akan lebih terpelihara kelestariannya apabila seluruh masyarakat memahami dan memeliharanya. 23 Pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup ini tentunya tidak lepas dari campur tangan dari beberapa dimensi yaitu: a.
Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi Politik; Politik merupakan dimensi yang mendapat perhatian utama dalam bidang undang-undang, falsafah, teologi, dan sosial, terutama konsep tentang keadilan. Konsep keadilan menginginkan supaya setiap individu menerima apa yang wajar bagi dirinya. Perlu diingat bahwa keterlibatan individu dalam berbagai kedudukan dalam dimensi politik, merupakan syarat penting untuk dapat mencapai suatu tujuan. Kesulitan
yang
timbul
dalam
mencapai
tujuan
politik
pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah penggunaan teknologi
untuk
pembangunan.
Misalnya
teknologi
yang
menggunakan bahan kimia akan mengurangi kualitas unsur alam dan
22 23
Ibid., hal. 25 Ibid., hal. 26
19
sekaligus mengeluarkan limbah yang mencemari lingkungan hidup. Memang secara politik negara atau pemerintah dapat mengenakan syarat yang tidak adil terhadap pembangunan industri dengan menggunakan alasan untuk melindungi lingkungan hidup dan ketentraman umum. Untuk pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup secara periodik sangat memerlukan kekuasan formal. Dengan demikian kekuasaan dapat dianggap sebagai penjaga pintu keadilan dan kebebasan. Keadilan inilah yang membedakan baik setiap negara itu demokratik, otoriter maupun feodal. Pembangunan berkelanjutan harus berorientasi pada perhatian dan kemampuan politik teknologi.24 Dalam konteks pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia tidak memikirkan persoalan pencemaran lingkungan hidup. Ini disebabkan bahan pembangunan meliputi seluruh wilayah terutama sektor ekonomi.
Secara teknikal, tidak dapat dikatakan
bahwa kemampuan politik dalam sistem ekonomi tidak boleh menyederhanakan sistem politik sebagai faktor ekonomi. Karena itu sistem politik juga melaksanakan fungsi yang lain misalnya memberikan perlindungan kepada pihak yang tidak tergantung pada ekonomi, apalagi jika dikaitkan dengan hubungan internasional. Indonesia hingga kini masih dikritik dengan adanya praktik penebangan hutan, dan tindakan lain yang bertentangan dengan pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peranan politik dalam sejarah dan pembentukan satu peraturan senantiasa tercatat sebagai
24
Djanius Djamin, Pengawasan dan pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup : suatu analisis sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007,, hal. 74
20
keperluan dan pengukur untuk menentukan terlaksananya sistem undang-undang untuk mencapai kesejahteraan. b.
Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi Ekonomi; Disadari atau tidak bahwa pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ditinjau dari segi ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari upaya negara-negara didunia telah mengalami proses industrialisasi yang sangat pesat, tidak terkecuali di Indonesia. Proses ini akan terus meluas dalam berbagai bentuk perusahaan, yang bertujuan membasmi kemiskinan untuk meningkatkan taraf pendapatan yang seimbang. Konsep ini sangat penting untuk mencapai tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan tujuan tersebut, keutamaan pembangunan nasional lebih berpijak kepada usaha mempercepat proses nasional lebih berpijak kepada usaha mempercepat proses industrialisasi dan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tingkat pembangunan ekonomi yang pesat ini membawa implikasi terhadap kemampuan lingkungan hidup menampung lingkungan hidup menampung berbagai jenis limbah dan sampah industri. Persoalan tentang lingkungan hidup menjadi perhatian utama masyarakat dan pemerintah. Hal ini didorong oleh dampak negatif pembangunan ekonomi, kepesatan urbanisasi, dan proses modernisasi yang tidak dapat dihindari. Dilihat dari dimensi ekonomi, maka usaha untuk pembukaan kawasan baru sumber alam milik bersama secara berlebihan terjadi 21
karena tidak hadirnya mekanisme pasar yang berorientasikan lingkungan hidup. Kerusakan yang timbul akibat aktivitas ekonomi ini akan membawa dampak keluar, misalnya banjir kilat, asap, tanah longsor dan lain sebagainya. Usaha utama dalam pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah menjalankan konsep seimbang di antara pembangunan ekonomi dengan daya dukung sumber alam bagi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Faktor kesejahteraan dan kemakmuan merupakan faktor penting dalam mewujudkan sistem Undang-Undang Lingkungan Hidup yang kokoh dan berwibawa. Untuk mengetahui sejauhmana dimensi ekonomi turut berperan dalam mendukung pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup, perlu dilakukan koordinasi di antara dimensi politik dengan ekonomi. c.
Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi Sosial Budaya. Sosial budaya ialah suatu konsep kehidupan sekelompok orang maupun beberapa kelompok yang membuat keputusan hidup bersama melalui usaha untuk memanfaatkan lingkungan hidup dalam rangka keperluan hidup bersama-sama. Secara dialektik dari masyarakat supaya dapat berhadapan dengan setiap tahapan perkembangan dan memberikan ruang gerak yang luas untuk mengkaji semula tahap perkembangan tersebut. Berbagai sektor pembangunan di Indonesia yang sangat rumit untuk
mewujudkan
masyarakat
adil,
makmur
dan
sejahtera
menyebabkan pihak pemerintah perlu merancang suatu kebudayaan 22
yang lebih komprehensif. Strategi ini meliputi seluruh pola kehidupan masyarakat yang berhubungan langusung dengan faktor, anthropos, oikhos, tekne dan ethos.25 Meskipun demikian perlu diingat bahwa seluruh alat pendukung kependudukan berfungsi sebagai instrumen. Ini akan berarti jika digunakan untuk kepentingan manusia, sedangkan penertian manusia akan terwujud, apabila ia berhasil mentransformasikan instrumen tersebut ke dalam dirinya melalui pemahaman yang benar. Dengan demikian, berlaku suatu perubahan dalam kehidupan menusia untuk mewujudkan fenomena interaksi yang harmoni di antara lingkungan hidup dengan manusia.26
Ditinjau dari dimensi sosial budaya tersebut, masyarakat Indonesia merupakan bangsa yang mencintai lingkungan hidupnya, sehingga tidak terwujud keinginan untuk merusak lingkungan hidup. Sosial budaya merupakan wadah estetik yang baik untuk pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam beretika menurut keputusan masyawarah untuk mufakat. Teori
pendekatan
dalam
pengelolaan
dan
pengawasan
lingkungan hidup ternyata harus didukung oleh pembuat undangundang yang bijaksana, teratur dan berwibawa, serta berperilaku sebagai
“abdi
negara”
dan
“abdi
masyarakat”.
Mekanisme
pelaksanaan pengelolaan dan pengawasan lingkungan hidup, proses 25
S. Poespawardjojo, Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia, Jakarta, 1993, hal. 33 26 Ibid., hal. 34
23
pemberlakuan harus dijadikan sebagai rangkaian akhir dari putaran pengaturan, perencanaan dan penerapan suatu sistem hukum. Dengan demikian kesulitan dalam menerapkan pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah tingkat kesadaran masyarakat terhadap undang-undang masih rendah, peraturan belum lengkap, tingkat kemampuan pelaksanaan undang-undang yang rendah, serta kecilnya biaya perbelanjaan. Faktor-faktor ini harus diperhatikan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang lingkungan hidup. Selain itu untuk efektivitas pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup maka undang-undang harus ditetapkan secara adil. Bagi yang melanggar undang-undang harus membayar ganti rugi, mebayar pemulihan dan lain sebagainya.
8.
Penegakan Hukum Lingkungan Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement.
Istilah penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan paksaan (force), sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.27 Penegakan hukum memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan represif, cocok dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.28 Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
27 28
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 48. Ibid, hal 49.
24
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.29 Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Pengertian penegakan hukum lingkungan dikemukakan oleh Biezeveld sebagai berikut:30
Environmental law enforcement can be defined as the application of legal govermental powers to ensure compliance with environmental regulations by means of: a. Administrative supervision of the compliance with environmental regulations b. Administrative measures or sanctions in case of non compliance c. Criminal investigation in case of presumed offences d. Criminal measures or sanctions in case of offences e. Civil action (law suit) in case of (threatening) non compliance Penegakan hukum lingkungan merupakan penegakan hukum yang cukup rumit karena hukum lingkungan menempati titik silang antara berbagai bidang hukum klasik.31 Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang lingkungan yang urutannya sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Perundang-undangan Penentuan standar Pemberian izin Penerapan Penegakan hukum. 32
29
Soeryono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta,1983, hal. 3 30 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional , Airlangga Press, Surabaya, 1996, hal 214 31 Ibid 32 Ibid, hal 52.
25
Menurut Sudikno Mertokusumo, kalau dalam penegakan hukum, yang diperhatikan hanya kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan.
Demikian
pula
kalau
yang
diperhatikan
hanyalah
kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan. Dalam penegakan hukum lingkungan ketiga unsur tersebut yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang dalam penanganannya, meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.33 Berbeda halnya dengan M. Daud Silalahi yang menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan mencakup penaatan dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi hukum administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana. 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 menyediakan tiga macam penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum administrasi, perdata dan pidana. Di antara ke tiga bentuk penegakan hukum yang tersedia, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum yang paling penting. Hal ini karena penegakan hukum administrasi lebih ditujukan kepada upaya mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Di samping itu, penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan.35 a.
33
Penegakan Hukum Administrasi
R.M Gatot Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal
66 34
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni Bandung, 2001, hal. 215 35 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan, dikta kuliah Hukum Lingkungan Unand, hal 1.
26
Penegakan hukum lingkungan administrasi pada dasarnya berkaitan dengan pengertian dari penegakan hukum lingkungan itu sendiri
serta
hukum
administrasi
karena
penegakan
hukum
lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan demikian penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atur dan awasi) atau control and common sarana administratif, keperdataan dan kepidanaan.36 Penggunaan hukum administrasi dalam penegakan hukum lingkungan mempunyai dua fungsi yaitu bersifat preventif dan represif. Bersifat preventif yaitu berkaitan dengan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku kegiatan, dan dapat juga berupa pemberian penerangan dan nasihat, sedangkan sifat represif berupa sanksi yang diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku atau penanggung jawab kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran.37 Penegakan hukum administrasi memberikan sarana bagi warganegara untuk menyalurkan haknya dalam mengajukan gugatan terhadap badan pemerintahan. Gugatan hukum administrasi dapat terjadi karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses penerbitan 36
Ninik Suparni, Pelestarian, Pengelolaan Dan Peneghakan Hukum Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.161 37 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 48
27
sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang berdampak penting terhadap lingkungan.38 Penegakan hukum administrasi yang bersifat preventif berawal dari proses pemberian izin terhadap pelaku kegiatan sampai kewenangan dalam melakukan pengawasan yang diatur dalam Pasal 76 UUPPLH, sedangkan yang bersifat represif berhubungan dengan sanksi administrasi yang harus diberikan terhadap pencemar yang diatur dalam Pasal 76 sampai Pasal 27 UUPPLH. Pelanggaran tertentu terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan atau kegiatan. Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda, mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang
menimbulkan
korban.
Pelanggaran
tertentu
merupakan
pelanggaran oleh usaha dan atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk kepentingan efektifitas hukum lingkungan itu agar dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat. Sanksi itu pula sebagai sarana atau instrumen untuk melakukan penegakan hukum agar tujuan hukum itu sesuai dengan kenyataan.39 Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan hukum secara preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap 38
Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hal 25. 39 Siswanto Sunarso, Hukum Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 96.
28
kepatuhan,
kepada
peraturan
tanpa
kejadian
langsung
yang
menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Dengan demikian izin penegak hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.40 Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 82 ayat (1) dan (2) UUPPLH memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan. Di samping paksaan pemerintah, upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui audit lingkungan. Audit lingkungan merupakan suatu instrumen penting bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan perundangundangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan
40
Siti Sundari Rangkuti, Op.cit, hal. 209
29
standar yang diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Penegakan
hukum
administrasi
yang
bersifat
represif
merupakan tindakan pemerintah dalam pemberian sanksi administrasi terhadap
pencemar
atau
perusak
lingkungan
hidup.
Sanksi
administrasi berupa: (1) (2) (3) (4)
Pemberian teguran keras. Pembayaran uang paksa. Penangguhan berlakunya izin. Pencabutan izin.41
Mas Achmad Santosa menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan di bidang administrasi memiliki beberapa manfaat strategis dibandingkan dengan peranngkat penegakan hukum lainnya oleh karena: 1. 2.
3.
Penegakan hukum lingkungan dapat dioptimal sebagai perangkat pencegahan. Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih efisien dari sudut pembiayaan bila dibandingkan dengan penegakan hukum perdata dan pidana. Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi hanya meliputi pembiayaan pengawasan lapangan dan pengujian laboratorium. Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat dimulai dari proses perizinan, pemantauan, penaatan/ pengawasan dan partisipasi masyarakat dal;am mengajukan keberatan untuk meminta pejabat tata usaha negara dalam memberlakukan sangsi administrasi.42
Perangkat penegakan hukum administrasi sebagai sebuah sistem hukum dan pemerintahan paling tidak harus meliputi, yang
41 42
R.M Gatot P. Soemartono, Op.cit, hal . 68. Ibid., hal. 67
30
merupakan prasyarat awal dari efektifitas penegakan hukum lingkungan administrasi yaitu : 1. 2.
3. 4. 5. b.
Izin, yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan pengendalian. Persyaratan dalam izin dengan merujuk pada AMDAL, standar baku mutu lingkungan, peraturan perundang undangan. Mekanisme pengawasan penaatan. Keberadaan pejabat pengawas yang memadai secara kualitas dan kuantitas Sanksi administrasi.43
Penegakan Hukum Perdata Penggunaan
hukum
perdata
dalam
penegakan
hukum
lingkungan hidup berkaitan dengan penyelesaian lingkungan hidup akibat dari adanya perusakan lingkungan oleh pelaku usaha atau kegiatan. Di sini penegakan hukum perdata berperan dalam bentuk permintaan ganti rugi oleh korban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup kepada pihak pencemar yang dianggap telah menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan. Penggunanaan instrumen hukum perdata dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup pada hakekatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan.44 Ada dua macam cara yang dapat ditempuh untuk meyelesaikan sengketa lingkungan hidup: 1.
Penyelesaian melalui mekanisme penyelesaian sengketa di luar
43 44
pengadilan.
Ibid., hal. 68 Niniek Suparni, Op. Cit, hal 160
31
2.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Tujuan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk mencari kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi atau menentukan tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pencemar untuk menjamin bahwa perbuatan itu tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang (Pasal 85 ayat (1) UUPPLH). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jasa pihak ketiga baik yang memiliki ataupun yang tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, serta membolehkan masyarakat atau pemerintah membuat lembaga penyedia jasa lingkungan untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan. Diketahui bahwa dalam kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi ekonomi lemah bahkan sudah berada dalam keadaan sekarat. Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti kerugian justru dibebani membuktikan kebenaran gugatannya. Menyadari kesulitan itu maka tersedia alternatif konseptual dalam hukum lingkungan keperdataan yang merupakan asas tanggung jawab mutlak. Pasal 88 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 mengandung sistem “Liability without fault” atau “strict liability”. Batasan dari sistem ini adalah kalau pencemaran atau perusakan lingkungan tersebut menimbulkan dampak yang besar dan penting, misalnya akibat dari pencemaran tersebut menimbulkan korban yang 32
banyak dan kematian, sehingga korban tidak perlu lagi membuktikan kesalahan dari pelaku. Strict liability meringankan beban pembuktian. Kegiatankegiatan yang dapat diterapkan prinsip strict liability diatur dalam Pasal 35 UUPLH sebagai berikut: usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, serta kegiatan yang mengahsilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. c.
Penegakan Hukum Pidana Instrumen pidana ini sangat penting dalam penegakan hukum
lingkungan
untuk
mengantisipasi
perusakan
dan
pencemaran
lingkungan. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 pasal 97 dikenal dua macam tindak pidana yaitu: 1.
Delik materi (generic crimes) Merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan. Perbuatan melawan hukum seperti itu tidak harus dihubungkan dengan pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi sehingga delik materiil ini disebut juga sebagai Administrative Independent Crimes.
2.
Delik formil (spesific crimes) Delik ini diartikan sebagai perbuatan yang melanggar aturan-aturan hukum administrasi. Delik formil dikenal juga sebagai Administrative Dependent Crimes. 45
Dalam UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009 pasal 97 dirumuskan beberapa perbuatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan: a.
Kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup.
45
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakata, 2009. hal. 13.
33
b. c. d. e. f.
g.
Kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan terhadap lingkungan hidup Kealpaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup Kealpaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkungan hidup Kesengajaan melepas atau membuang zat, energi dan atau komponen lain yang berbahaya Kesengajaan memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan butir (e) Kealpaan melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan dalam butir (e) dan (f) di atas.
Sanksi
pidana
dalam
perlindungan
lingkungan
hidup
dipergunakan sebagai ultimum remedium, dimana tuntutan pidana merupakan akhir mata rantai yang panjang. Bertujuan untuk menghapus atau mengurangi akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup. Mata rantai tersebut yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penentuan kebijaksanaan, desain, dan perencanaan, pernyataan dampak lingkungan; Peraturan tentang standar atau pedoman minimum prosedur perizinan; Keputusan administratif terhadap pelanggaran, penentuan tenggang waktu dan hari terakhir agar peraturan ditaati; Gugatan perdata untuk mencegah atau menghambat pelanggaran, penelitian denda atau ganti rugi; Gugatan masyarakat untuk memaksa atau mendesak pemerintah mengambil tindakan, gugatan ganti rugi; Tuntutan pidana. 46
Fungsionalisasi hukum pidana untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan diwujudkan melalui perumusan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya ada dua alasan tentang mengapa sanksi pidana diperlukan. Pertama, sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan 46
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah, Pemelolaan Dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal 171.
34
manusia seperti harta benda dan kesehatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan seperti harta benda dan kesehatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik apabila persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak dipenuhi. Kedua, pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan untuk memberikan rasa takut kepada pencemar potensial. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, denda, perintah memulihkan lingkungan yang tercemar, penutupan tempat usaha dan pengumuman melalui media massa yang dapat menurunkan nama baik pencemar yang bersangkutan.47 Apabila perbuatan pencemaran lingkungan hidup ini dikaitkan dengan peranan atau fungsi dari hukum pidana tadi maka peranan atau fungsi dari UUPPLH adalah sebagai social control, yaitu memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku, dalam hal ini adalah kaidah-kaidah yang berkenaan dengan lingkungan
hidup.
Kemudian
apabila
dihubungkan
dengan
masyarakat yang sedang membangun, maka dapat dikatakan bahwa peranan atau fungsi hukum pidana adalah sebagai sarana penunjang bagi pembangunan berkelanjutan.48
E.
Pelestarian Sumber Daya Hayati Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa
sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara 47 48
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hal 26. Niniek Suparni, Op. Cit, hal 191.
35
yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing- masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam
ataupun
tindakan
yang
melanggar
ketentuan
tentang
perlindungan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak
36
dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peran serta rakyat akan diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar konservasi. Pasal 3 Undang-Undang 5 Tahun 1990 tentang Undang-Undang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menyatakan bahwa, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik,
polusi, dan penurunan
potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari). Mengingat negara Indonesia adalah negara berdasar atas hukum, maka pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya perlu diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi usaha pengelolaan tersebut. Dewasa ini kenyataan menunjukkan
37
bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional belum ada. Peraturan
perundang-undangan
warisan
pemerintah
kolonial
yang
beranekaragam coraknya, sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan hukum dan kebutuhan bangsa Indonesia. Perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek pemerintahan, perkembangan kependudukan, ilmu pengetahuan, dan tuntutan keberhasilan pembangunan pada saat ini menghendaki peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia. Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, belum sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan kebutuhan; demikian pula pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari. Pengertian perlindungan satwa liar tersebut sebelum diuraikan lebih lanjut, maka pertama sekali yang perlu diketahui ialah pengertian dari satwa liar karena tidak semua hewan dapat dikategorikan sebagai satwa liar yang dilindungi. Pemakaian bahasa sehari-hari menunjukkan bahwa satwa dapat diistilahkan dengan berbagai kata yaitu hewan, binatang maupun fauna ataupun mahluk hidup lainnya selain manusia yang dapat bergerak dan berkembang biak serta memiliki peranan dan manfaat dalam kehidupan. Pengertian satwa itu sendiri menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya seperti yang tercantum 38
dalam Pasal 1 butir 5 yaitu: “Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani, baik yang hidup di darat maupun di air ” Pengertian satwa liar lainnya antara lain dirangkum dalam Pasal 1 butir 7 undang-undang tersebut yaitu ”Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia” Pembatasan dalam penggolongan atau pengkategorian lainnya terhadap satwa liar tersebut juga termuat dalam penjelasan Pasal 1 butir 7 yaitu sebagai berikut: “Ikan dan ternak tidak termasuk dalam pengertian satwa liar tetapi termasuk dalam pengertian satwa” Penjabaran mengenai berbagai pengertian tentang satwa liar yang dilindungi seperti yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan kriteria satwa dan perlindungan seperti apa yang akan diberikan, dari berbagai uraian tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perlindungan satwa liar yang dilindungi ialah suatu bentuk perlindungan yang tidak hanya mencakup terhadap satwa yang masih hidup saja tetapi juga mencakup kepada keseluruhan bagian-bagian tubuh yang tidak terpisahkan dari satwa liar tersebut seperti gading dengan gajahnya, cula dengan badaknya, harimau dengan kulitnya dan sebagainya. Perdagangan satwa yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun yang sudah mati ataupun bagian-bagian tubuhnya adalah merupakan suatu tindak pidana. Pasal 21 ayat (2) huruf d UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi. Perlindungan terhadap satwa tersebut umumnya ditujukan pada beberapa karakteristik tertentu dimana satwa-satwa tersebut terancam kepunahan yaitu: a. b.
Nyaris punah, dimana tingkat kritis dan habitatnya telah menjadi sempit sehingga jumlahnya dalam keadaan kritis. Mengarah kepunahan, yakni populasinya merosot akibat eksploitasi yang berlebihan dan kerusakan habitatnya.
39
c. F.
Jarang, populasinya berkurang.49
Primata Indonesia Primata adalah mamalia yang menjadi anggota ordo biologi Primates. Di
dalam ordo ini termasuk lemur, tarsius, monyet, kera, dan juga manusia. Kata primata ini berasal dari kata bahasa Latin primates yang berarti “yang pertama, terbaik, mulia”.50 Seluruh primata memiliki lima jari (pentadactyly), bentuk gigi yang sama dan rancangan tubuh primitif (tidak terspesialisasi). Kekhasan lain dari primata adalah kuku jari. Ibu jari dengan arah yang berbeda juga menjadi salah satu ciri khas primata, tetapi tidak terbatas dalam primata saja; opossum juga memiliki jempol berlawanan. Dalam primata, kombinasi dari ibu jari berlawanan, jari kuku pendek (bukan cakar) dan jari yang panjang dan menutup ke dalam adalah sebuah relik dari posisi jari (brachiation) moyangnya di masa lalu yang barangkali menghuni pohon. Semua primata, bahkan yang tidak memiliki sifat yang biasa dari primata lainnya (seperti loris), memiliki karakteristik arah mata yang bersifat stereoskopik (memandang ke depan, bukan ke samping) dan postur tubuh tegak.51 Dari 195 spesies primata di dunia, Indonesia mempunyai 40 spesies yang 24 di antaranya merupakan endemik. Artinya, primata-primata itu hanya
dapat
ditemukan secara alami di Indonesia. Semua primata itu tersebar mulai di Kepulauan Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau kecil lainnya. Selain itu primata mempunyai peran 49
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Erlangga, Jakarta, 1995, hal. 49. 50
Riskiansya, Kampanye Pelestarian Primata Sejak Dini, http://dir.unikom.ac.id/jbptunikompp-gdl-s1-2007- -6894/bab-2.doc/pdf/bab-2.pdf, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. 51
Putri, Pengertian Primata, Aves dan Mamalia, http://putrijusstef. blogspot.com/2012/02/ pengertian-primata-avesmamalia.html, diakses pada tanggal 2 April 2012.
40
cukup vital dalam menjaga kelestarian hutan. Mereka membantu penyebaran biji tumbuhan di hutan tak lain karena sebagian besar primata di alam mengkonsumsi buah dan daun. Selain itu primata dapat dijadikan sebagai obyek wisata alam bernilai tinggi. Ada banyak wisatawan asing yang datang ke Indonesia hanya untuk melihat orangutan atau owa di alam. Jika dijadikan obyek ekoturisme tentu primata-primata itu mendatangkan keuntungan lebih besar dibanding jika diburu dan dijual sebagai satwa peliharaan.52 Indonesia termasuk negara yang kaya akan keanekaragaman hayati satwa liar primata. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 537 jenis diantaranya hidup di Indonesia. Sekitar 20 jenis diantaranya, di seluruh dunia secara alami hanya dapat ditemukan di wilayah Indonesia atau disebut primata endemik Indonesia. Primata tersebut banyak diantaranya termasuk jenis yang terancam punah adalah Orangutan. Keberadaan Orangutan tersebut di Indonesia yang hanya ada di Sumatra dan Kalimantan akhir-akhir ini sangat memprihatinkan akibat berkurangnya habitat mereka dan penangkapan liar untuk diperdagangkan. Jenis primata besar ini di dunia hanya ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Orangutan Kalimantan dibedakan menjadi 2 anak jenis yaitu Pongo pygmaeus dengan penyebaran dari Kalimantan Barat sampai Sarawak dan Pongo pygmaeus wurumbii dengan penyebaran dari Barat laut Kalimantan antara sungai Kapuas dan Barito. Orangutan termasuk hewan yang terancam kehidupannya di alam, dengan perkiraan total populasi sekitar 20.000 ekor. Degradasi dan hilangnya habitat
52
Sony. Primata Di Indonesia, http://aksessdunia.com/tag/primata-indonesia/, diakses pada tanggal 2 April 2012.
41
merupakan ancaman paling besar terhadap spesies ini, walaupun perburuan untuk dimakan dan perdagangan liar juga menjadi masalah yang sangat besar. Akibat musim kemarau yang panjang dan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia menjadikan ratusan ribu hutan hancur. Kawasan yang dilindungipun tidak lepas dari kerusakan ini, bahkan kurang lebih 95 % hutan dataran rendah di Taman Nasional Kutai telah terbakar pada tahun 1998. Hilangnya populasi orangutan dan habitatnya baik secara langsung atau tidak langsung menjadi bertambah parah. Berbagai upaya telah dilakukan dalam upaya mempertahankan keberadaan orangutan di alam yang sejak tahun 1931 telah dilindungi melalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 233. Kemudian setelah itu diperkuat dengan SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/KptsII/1991 dan Undang-undang No. 5 tahun 1990. Oleh IUCN status konservasi Orangutan dimasukkan sebagai terancam punah atau endangered.53 Ancaman kelestarian orangutan yang demikian banyak tersebut di atas masih diperparah dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang masih memprihatinkan sehingga memaksa masyarakat melakukan perburuan satwa dan penebangan hutan. Untuk itu senantiasa diperlukan peran serta dari masyarakat itu sendiri dalam upaya perlindungan dan penyelamatan orangutan. Primata khususnya Orangutan dikenal sebagai satwa penyebar biji di alam. Kalau orangutan punah, secara langsung ataupun tidak akan berpengaruh terhadap ekosistem, karena orangutan juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam ekosistem tersebut. Misalnya fungsi penyebaran biji, dengan punahnya orangutan 53
Ella Syahputri, Senin, 6 Juni 2011 16:42 WIB, 70 Persen Primata Indonesia Terancam Punah, http://www.infogue.com/viewstory/2011/06/06/70persen primata_indonesia_terancam _punah/ ?url=http://www.antaranews.com/berita/261752/70-persen-primata-indonesiaterancam-punah, diakses pada tanggal 2 April 2012.
42
maka akan ada jenis-jenis tumbuhan yang selama ini terbantu tumbuhnya oleh keberadaan orangutan, lambat laun juga punah. Berikutnya, beberapa jenis satwa dan makhluk hidup lain yang tergantung pada tumbuhan tadi juga akan punah. Rantai ekosistem akan terganggu, atau bahkan terputus, berikutnya adalah manusia yang akan merasakan akibatnya.54
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Metode Pedekatan Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.55 B.
Spesifikasi Penelitian
54
Nita Murjani dan Leony Aurora, Upaya pelestarian kera besar harus terpadu dengan REDD+, kata ahli primata, http://www.redd-indonesia.org/ index.php?Option=com_content & view=article&id=372:upaya-pelestarian-kera-besarharus-terpadu-dengan-redd-kata-ahli-primata &catid=1:fokus-redd&Itemid=50, diakses pada tanggal 2 April 2012. 55
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal.37.
43
Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti.56 C.
Jenis Data Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder di bidang hukum dipandang dari sudut mengikat dapat dibedakan : 1)
Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.57 2)
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas.
D.
Metode Pengambilan Data
56
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 35. 57 Ibid, hal. 113.
44
Data sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan literatur yang kemudian dicatat berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji sebagai suatu kajian yang utuh.
E.
Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang di susun secara
sistematis. Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan data primer yang diperoleh akan dihubungkan data sekunder yang didapat serta dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. F.
Analisis Data Data
dianalisis
secara
kualitatif,
yaitu
dengan
menjabarkan
dan
menginterpretasikan data yang berlandaskan pada teori-teori ilmu hukum (Theoritical Interpretation) yang ada.58 Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
58
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal.93.
45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian 1.
Perlindungan dan Konservasi Primata Berdasarkan Instrumen Internasional CITES (Convention On International Trade In Endangered Species Of
Wild Flora And Fauna) adalah sebuah rezim perjanjian internasional yang mengatur perdagangan spesies tertentu dari flora dan fauna liar, yakni spesies yang termasuk kategori terancam punah, begitu juga bagian-bagian dari spesiesnya. Konvensi ini didasari adanya kenyataan banyak terjadi perburuan terhadap spesies terancam, yang kemudian ditindaklanjuti dengan maraknya perdagangan illegal yang sifatnya mengeksploitasi flora maupun fauna. Hilang atau terancam punahnya satwa berarti merupakan ancaman terhadap hilangnya keanekaragaman hayati (Biodiversity) di muka bumi. Menurut laporan UNEP pada tahun 1992, ada beberapa hal yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati di muka bumi ini. UNEP membaginya pada 2 kategori penyebab yaitu : penyebab langsung atau
46
direct causes dan penyebab pokok atau underlying causes. Ada 4 poin dari penyebab langsung yaitu punahnya sebuah habitat, pengguna sumber daya biologi tidak berkelanjutan, polus lingkungan hidup, dan permasalahan dalam hal kebijakan. Penyebab pokok ada 4 poin utama yaitu perdagangan internasional, laju pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan munculnya species baru. Ada beberapa penjelasan yang melatarbelakangi pemikiran kenapa kita perlu melakukan upaya perlindungan terhadap satwa, yaitu, adanya nilai hakiki yang dimiliki oleh hewan sebagai mahkluk hidup karena adanya nilai yang terkandung pada species tertentu terhadap peranannya yang diberikan untuk menyeimbangkan ekosistem dan adanya nilai ekonomis yanng terkandung dalam konteks sebagai obyek pariwisata dan sumber dari keuntungan ekonomi seperti digunakan untuk kepentingan kesehatan. Salah satu fenomena di atas menjadi penyebab terjadinya pengurangan species (species depletion) adalah kegiatan perdagangan internasional satwa liar yang sifatnya mengeksploitasi satwa untuk kepentingan komersil. Kegiatan ini bukan suatu hal yang baru, perdagangan internasional satwa liar telah dilakukan dalam beberapa abad. Perdagangan satwa mengakibatkan menurunnya populasi satwa di bumi ini, frekuensi fenomena ini terjadi begitu cepat memasuki abad ke – 20. Pertambahan penduduk dunia dan perkembangan
pesat
sistem
transportasi
dan
komunikasi
memacu
meningkatnya jumlah wilayah kegiatan eksploitasi satwa secara komersil untuk kepentingan perdagangan serta diiringi dengan permintaan atas satwa yang kemudian mengakibatkan apa yang disebut sebagai pengurangan species. 47
Perdaganngan menjadi lebih menarik bagi dunia internasional karenna diperdagangkannya satwa dan bagian tubuhnya seperti : kulit, gading, dan organ tubuh lainnya, khususnya selama 30 tahun terakhir. Konsumsi sumber daya alam dari keanekaragaman hayati telah meningkat banyak, contohnya 10 dari 25 perusahaan obat di dunia pada tahun 1997 memperoleh bahan – bahannya dari sumber keanekaragaman hayati termasuk dari satwa – satwa dan juga 75 % populasi dunia tergantung pada obat – obat tradisional yang diperoleh dari satwa. Hal ini membuat perdagangan satwa liar merupakan suatu bisnis yang nilai nominalnya cukup besar, estimasinya konsrvatif secara global menilai dari US $ 10 milyar dalam setahun secara berkala dan paling sedikit US $ 2 – 3 milyar bersifat illegal. Negara – negara berkembang khususnya negara – negara yang dijuluki megabibiodiversity merupakan yang paling banyak bergantung pada satwa menjadikannya sebagai komoditas perdagangan untuk mendapatkan keuntungan devisa. Namun apabila tingkat dan volume perdagangan melebihi dari jumlah satwa yang tersedia tanpa diiringi dengan upaya konservasi maka pendapat dan keuntungan tersebut akan hilang seiring bersama dengan hilangnya satwa – satwa tersebut. Seiring dengan tingginya tingkat konsumsi terhadap sumber daya alam untuk kepentingan perdangan internasional ini membuat tingkat eksploitasi terhadap beberapa jenis satwa menjadi tinggi juga. Hal ini membawa pada penurunan populasi atau bahkan membawa kepada kepunahan satwa tersebut. Pada tahun 2000 menurut International Union Conservation of Nature (IUCN), kita akan kehilangan antara 20– 50 % species di bumi, apabila tidak ada langkah pencegahan yang cepat 48
dilakukan. IUCN membagi kategori kepunahan ini ke dalam beberapa tingkatan : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Punah (extinct) Extinct in the wild Terancam punah (critically endangered) Langkah (Endangered) Rawan (Vulnerable) Resiko rendah (Lower Risk)
Untuk melindungi agar species ini tidak punah, perjanjian yamg bersifat multilateral mutlak diperlukan untuk mengatur atau paling tidak adanya sebuah mekanisme kontrol untuk melindungi satwa dari kepunahan. Beberapa perjanjian internasional
yang berkaitan dengan masalah
keanekaragaman hayati telah dirintis beberapa saat sebelum Konferensi Stockholm di mulai Konvensi Ramsar untuk melindungi habitat burung atau unggas pada tahun 1971, Konvensi untuk melindungi kebudayaan dunia dan pusaka alam pada 1972 dan Konvensi yang mengatur perdagangan satwa pada tahun 1973. Konvensi pengaturan perdagangan satwa atau yang dikenal dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) adalah perjanjian multilateral untuk menjawab akan salah satu faktor ancaman dari kepunahan species karena kegiatan perdagangan satwa liar ini melintasi batas negara atau paling tidak melibatkan dua negara, usaha untuk membuat perjanjian internasional species tertentu dari eksploitasi yang berlebihan. Ide pembentukan CITES sendiri mulai dibahas pada tahun 1960-an. Pada pertemuan anggota IUCN tahun 1963 yang kemudian mendorong terbentuknya suatu regulasi yang mengatur ekspor dan impor dari satwa serta bagian dari tubuhnya yang terancam punah. Upaya pembentukan
49
CITES sendiri akhirnya disetujui satu tahun setelah Konferensi Stockholm pada pertemuan delegasi yang jumlahnya lebih dari 80 negara di Washington D.C Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, pada tanggal 1 juli 1975 CITES mulai berlaku. tujuan dari sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan memastikan bahwa pedagangan internasional satwa tidak akan mengancam satwa dari kepunahan. Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat internasional tetapi implementasinya pada tingkat nasional. Mekanisme pengendalian perdagangan satwa yang digunakan CITES adalah mekanisme regulasi appendiks, species – species termasuk tumbuhan yang dianggap harus dilindungi dan diatur dimasukkan kedalam 3 macam appendiks. Appendiks I merupakan appendiks tertinggi artinya species tersebut terancam punah dan perdagangan species ini hanya diijinkan dalam kondisi tertentu. Appendiks II mengatakan bahwa yang termasuk di dalamnya bukan merupakan yang terancam punah tetapi akan mungkin mengalami kepunahan apabila tidak terkontrol ketat dan di monitor untuk meghindari eksploitasi. Appendiks III adalah kategori species yang dimasukkan dalam species tertentu yang harus dilindungi di bawah hukum dalam negerinya dan perlu adanya kerjasama lebih lanjut dengan sesama negara anggota CITES untuk mengontrol perdagangan internasional terhadap species tersebut. Konvensi CITES dikelola oleh suatu sekretariat yang ditetapkan oleh UNEP18 yang berada di Jenewa, Swiss. Setiap minimal 2 tahun sekali negara anggota bertemu untuk membicarakan alokasi setiap species untuk dimasukkan ke dalam tingkat yang berbeda. Di dalam setiap Conference of 50
Parties (CoP) di bicarakan hal – hal yang menyangkut pengadopsian resolusi baru, mengklarifikasi regulasi sebelumnya, meninjau implementasi yang dilakukan oleh negara anggota membuat rekomendasi untuk meningkatkan keefektifan dati konvensi dan membicarakan masalah financial dan administrasi. CITES yang terbentuk pada 3 Maret 1973 dan mulai diberlakukan pada 1 Juli 1975, memiliki aturan –aturan yang jelas dalam penerapan konvensi CITES tersebut. CITES bekerja dengan memberikan aturan dan control yang ketat dalam mengatur perdagangan spesies-spesies satwa liar dan tumbuhan yang terancam punah. CITES merupakan komitmen dari 145 negara anggota mengenai prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh CITES secara khusus, bahwa perdagangan dalam bentuk apapun dari spesies tumbuhan
dan
satwa
liar
yang
dilindungi
telah
terjamin
kelestariannya.CITES merupakan suatu proses dimana Negara-negara anggotanya bekerja sama untuk menjamin bahwa perdagangan tumbuhan dan satwa liar dan dilaksanakan sejalan dengan perjanjian CITES. CITES merupakan suatu badan Administrasi yang berkantor di Gereva, Swiss. Dan menyediakan dokumen-dokumen asli dalam 3 bahasa: Inggris, Perancis, dan Spanyol. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar dimuka bumi ini yang dapat/mungkin dapat disebabkan oleh adanya kegiatan perdagangan internasional. Ada 4 hal yang menjadi dasar diadakannya konvensi karena : 1.
Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar 51
2.
Meningkatnya nilai tumbuhan dan satwa liar bagi manusia
3.
Peran dari masyarakat dan Negara dalam usaha perlindungan tumbuhan satwa liar
4.
Makin mendesaknya kebutuhan kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut di eksploitasi yang berkelebihan melalui perdagangan internasional.
Diterapkannya sistem 2 pintu pengendalian lalu lintas peredaran/ perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang langka, yang pertama di Negara pengekspor dan yang kedua di Negara pengimpor. Tiap Negara peserta wajib mengadakan pemeriksaan terhadap spesies yang terdaftar dalam kategori ApendiksI, II, III yang masuk/keluar dari wilayah Negara tersebut. Prinsip umum dalam CITES dalam melakukan fungsinya sebagai rezim yang mengatur perdagangan satwa-satwa tumbuhan liar yang terancam punah adalah dengan menggunakan metode appendiks : Appendiks I, yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan inernasional secara komersial Appendiks II, yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Appendiks III, yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi disuatu raga tertentu dalam batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendiks II, bahkan mungkin ke Appendiks I 52
7.
Ratifikasi Indonesia atas Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora Ratifikasi Indonesia atas Convention On International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) dilakukan dengan dikeluakannya Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang : Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora pada tanggal 15 Desember 1978 di Jakarta. Pengundangan peraturan tersebut di dilakukan oleh Presiden Soeharto dibantu Menteri Sekretaris Negara Sudarmono dan dicatat dalam Lembaran Negara 1978/51.
8.
Upaya Perlindungan Primata di Indonesia Tekanan terhadap keberadaan primata di Indonesia sangat besar.
Perkembangan perekonomian yang seeing membabat hutan yang menjadi habitat satwa, khususnya primata, menjadi panyebab utama penurunan populasi berbagai jenis primata. Sejumlah 32 jenis primata dari 40 jenis yang ada di Indonesia telah tercatat dalam Red Data Book/IUCN. Hal ini menunjukan tingginya tingkat ancaman terhadap satwa primata. Dari sejumlah
itu,
2
jenis
dikategorikan
sangai.
kritis,
4
jenis
genting/endangered, 7 jenis rentan, 10 jenis hampir terancam, 1 jenis bergantung upaya konservasi, dan 8 jenis tidak memiliki data yang cukup. Undang-undang yang melindungi satwa liar di Indonesia sudah cukup hanyak. Bahkan dimulai sebelum Indonesia merdeka, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931. Setelah itu bermunculan peraturan pemerintah yang berupa Surat Keputusan 53
Menteri untuk mengatur perlindungan satwa liar di Indonesia. Perundangan yang sudah dikeluarkan mencakup hampir semua jenis primata, kecuali Macaca nernestrina (beruk) dan fascicularis (Monyet ekor panjang). Terdapat beberapa Surat keputusan (SK) yang mengatur pelestarian satwa liar dan pernah berlaku di Indonesia, yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 266. SK Menteri Pertanian , 26 Agustus 1970 No. 421/Kpts/lim/3/1970. SK Menteri Pertanian, 5 Februari 1972, No. 54/Kpts/UmJ2/1972. SK Menteii Pertanian, 19 Juli 1972, No. 327/Kpts/Um/7/1972. SK Menteri Pertanian, 14 Februari 1973, No. 66/Kpts/Um/2/1973. SK Menton Pertanian, 29 Januari 1975, No. 35/Kpts/Um/1/1973. SK Menteri Pertanian, 21 Februari 1977, No. 90/Kpts/Um/2/1977. SK Menteri Pertanian, 7 Desember 1977, No. 537/Kpts/Um/12/1977. SK Menteri Pertanian, 29 Mei 1978, No. 327/Kpts/Um/5/1978. SK Menteri Pertanian, 2 Desember 1978, No. 742/Kpts/Urn/12/1978. SK Menteri Pertanian, 5 April 1979, No. 247//Kpts/Urn/4/1979. SK Menteri Pertanian, 5 Desember 1979, No. 757/ Kpts/Um/12/1979. SK Menteri Pertanian, 6 Agustus 1980, No. 576/ Kpts/Um/8/1980. SK Menteri Pertanian, 4 Oktober 1980, No. 716/ Kpts/Um/10/1980. SK Menteri Kehutanan, 12 Januari 1987, No. 12/ Kpts/11/1980. SK Menteri Kehutanan, 10 Juni 1991 No. 301/ "{lots-II/199 1. SK Meterei Kehutanan dan Perkebunan, No. 733/Kpts-111.999. Red Data Book (IUCN, 1978).
Cukup banyak surat keputusan untuk melindungi satwa liar umumnya dan primata khususnya, belum menjamin lestarinya satwa tersebut di dalam, bila tidak dibarengi dengan penyebaran infoimasi, penerbitan buku untuk semua kalangan masyarakat.
54
9.
Daftar rimata yang dilindungi di Indonesia
No
Nama Spesies
1
Orang utan sumatera Pongo abelii
2
3
Keterangan
Saat ini penyebarannya hanya di beberapa lokasi di Sumatera, khususnya di Sumatera bagian utara dan Aceh. Penurunan populasi terutama akibat perburuan ilegal untuk diperdagangkan dan hilangnya habitat. Upaya konservasi yang telah dilakukan adalah mengembalikan satwa tangkapan ke alam melalui proses rehabilitasi. Bokoi Macaca di tiga pulau di Sipora, Pagai pagensis Selatan dan Utara. Sementara sub-spesies siberu dijumpai di Pulau Siberut. Dikategorikan sebagai jenis genting (CR) oleh IUCN. Perburuan dan hilangnya habitat akibat pembalakan merupakan faktor utama penurunan populasi Bilou Sejenis owa yang endemik Hylobates Kepulauan Mentawai. klosii Menghuni kanopi bagian atas pada hutan hujan tropis yang masih lebat. Dikategorikan sebagai jenis yang rentan (VU). Populasi menurun pesat karena perburuan dan kerusakan habitat.
55
Gambar
4
Joja Presbytis potenziani
5
Simakobu Simias concolor
Sejenis lutung yang mendiami hutan primer, hutan sekunder dan rawarawa. Endemik Kepulauan Mentawai, terdiri dari dua sub-species, potenziani yang terdapat di Pulau Mentawai, Sipora dan Pagai, serta siberu yang terdapat di Pulau Siberut. Dikategorikan sebagai jenis yang rentan (VU). Populasinya cenderung menurun karena aktivitas perburuan dan hilangnya habitat. Monyet arboreal, endemik Mentawai. Monotypic. Sangat sensitif terhadap pembalakan dibandingkan ketiga jenis primata endemik Mentawai lain. Populasinya kecil dan terpencar. Ancaman utama terhadap populasi adalah kerusakan habitat dan perburuan.
Prioritas Tinggi Lutung banggat Terdapat di Borneo 6 Presbytis hosei (Kalimantan, Malaysia, Brunei Darussalam), pada ketinggian 1.000–1.300m. Populasi belum diketahui dengan pasti. Terdapat empat sub-spesies, yaitu hosei, everetti, sabana dan canicrus. Populasi berkurang karena penyusutan habitat dan pemburuan. Jenis ini banyak diburu untuk diambil batu ginjalnya karena dianggap berkhasiat bagi kesehatan manusia. Lutung natuna Endemik Pulau Bunguran di 7 Presbytis Kepulauan Natuna. Hidup di natunae hutan primer yang semakin berkurang luasannya. Populasi diperkirakan kurang dari 10.000 ekor yang tersebar pada dua 56
8
Owa jawa Hylobates moloch
9
Orang utan kalimantan Pongo pygmaeus
10
Bekantan Nasalis larvatus
11
Surili Presbytis comata
populasi. Endemik Indonesia dan hanya ditemukan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Terdaftar sebagai spesies yang genting (CR) menurut kategori IUCN. Ancaman utama terhadap populasi berasal dari kehilangan habitat dan penangkapan untuk hewan peliharaan. Populasi Owa jawa di alam terus berkurang, saat ini diperkirakan hanya tersisa antara 2.000-4.000 ekor. Tersebar di Kalimantan. Populasi alami menurun akibat perburuan untuk hewan peliharaan, hilangnya habitat akibat kebakaran hutan dan pembalakan. Dikategorikan sebagai EN. Terdapat tiga sub-spesies, yaitu morio, pygmaeus dan wumbii. Endemik Indonesia, tersebar hanya di Kalimantan. Habitat sangat terbatas di daerah hutan bakau. Jumlahnya semakin berkurang karena berkurangnya habitat untuk peruntukan lain (tambak, pelabuhan) dan penangkapan untuk hewan peliharaan. Jenis ini sangat populer untuk kebun binatang karena penampakannya yang unik. Primata endemik Jawa Barat dan Banten. Penyusutan habitat merupakan ancaman terbesar bagi populasi Surili. Saat ini jenis primata ini hanya dapat dijumpai di kawasan lindung dan kawasan konservasi, dengan jumlah yang tersisa berkisar antara 4.000-6.000 ekor. 57
Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018 Selain daftar primata tersebut adalagi suatu pedoman yang daat dijadikan status konservasi primata yaitu dalam Apendix CITES yang dilampirkan penulis. 10.
Penegakan Hukum Perlindungan Satwa Primata Penegakan hukum terhadap perlindungan dan konservasi primata
dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Terdapat dua kasus pembunuhan orangutan di area perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diproses melalui sistem peradilan pidana, yakni di Kecamatan Telen dan Kecamatan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, dan telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sangatta.59 Keempat terdakwa juga telah menerima vonis, setelah sebelumnya sempat menyatakan pikir-pikir pasca sidang putusan 21 Mei 2012 lalu. Keempat terdakwa kini telah menjalani masa hukuman di rutan Polres Kutim. Untuk terdakwa Tajar dan Tulil (kasus di Muara Ancalong), majelis hakim memutuskan menghukum terdakwa dengan pidana penjara 10 bulan dan denda Rp 50 juta subsider pidana kurungan 2 bulan. Sedangkan untuk kasus di Telen, majelis hakim, memutuskan kedua terdakwa, Leswin dan Tadeus, terbukti bersalah dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara 8 bulan dan denda Rp 25 juta subsider pidana kurungan 2 bulan.60 Di Samarinda juga terjadi pelanggaran hukum terhadap pelestarian primata. Empat terdakwa pembunuh orangutan Kalimantan (pongo 59
Kholish Chered, Selasa, 29 Mei 2012 20:38 WITA , Sudah Vonis, Kasus Pembunuhan Orangutan Tak Berarti Finish, http://kaltim.tribunnews.com/tribunnews, diakses pada tanggal 20 Juni 2012. 60 Ibid.
58
pygmaeus morio) divonis delapan bulan penjara. Vonis tersebut dijatuhkan majelis hakim kepada keempat terdakwa pada sidang pembacaan putusan kasus pembantaian orangutan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu 18 April 2012.Vonis hakim itu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut satu tahun penjara kepada keempat terdakwa.61 Kasus lainnya juga terjadi di Sumatera Utara, kasus perdagangan orangutan secara ilegal tersebut sudah diputus di PN Kabanjahe, dengan Putusan Pidana nomor 453/Pid.B/2011/PN.Kbj. Kasus tersebut bermula saat SPORC yang berpatroli menggagalkan sekaligus menangkap Samsul, berikut menyita "Julius" diperkirakan berusia 3-4 tahun dan satu unit mobil yang digunakan pelaku. Setelah pemeriksaan para saksi, saksi ahli, dan olah TKP, Penyidik Pegawai negeri Sipil (PPNS) Kementrian Kehutanan, Samsul ancam melanggar Pasal 50 ayat 3 huruf f jo Pasal 78 ayat 5 UU no. 41/1999 tentang Kehutanan jo Pasal 21 ayat 2 huruf a jo Pasal 40 ayat 2 UU no. 5/1990 jo PP no. 7/1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa jo Pasal 55 ayat( 1 ) kesatu KUHP.62 Subtansinya, sejumlah pasal yang diancamkan dalam UU dan PP tersebut, menyangkut setiap orang dilarang menerima membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
61
Ajeng Ritzki Pitakasari, Rabu, 18 April 2012, 20:32 WIB, Hakim Cuma Ganjar Pembantai Orangutan 8 Bulan Penjara, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/04/18/m2og9w-hakim-cuma-ganjarpembantai-orangutan-8-bulan-penjara, diakses pada tanggal 22 Juni 2012. 62 NN, Sabtu, 17 Des 2011 09:00 WIB, Setiap Tahun Disita 20-35 Orangutan dari Tempat Ilegal Pertama di Sumut, Kasus Orangutan Sampai ke Pengadilan, http://www.analisadaily.com/news/, diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
59
yang diambil atau dipungut secara tidak sah dan atau menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan,
memiliki,
memelihara,
mengangkut,
dan
memperniagakan satwa yang dilindungi.63 Secara pasti, orangutan Sumatera (Ponggo Abelii) merupakan satwa liar yang dilindungi. Di habitat alaminya, orangutan Sumatera diperkirakan hanya tinggal 6.600 ekor. The World Conservation Union-IUCN (badan internasional untuk konservasi alam) menegaskan orangutan Sumatera masuk dalam daftar hampir punah. Dalam dekade terakhir, terjadi ratusan bahkan ribuan kasus pelanggaran UU no. 5/1990. Mengherankan, di Sumatera kasus yang sampai ke meja hijau baru kali pertama ini. Padahal, menurut Panut, dalam sepuluh tahun terakhir antara 20-35 ekor orangutan Sumatera (yang tidak ada di tempat lain di dunia) disita setiap tahun dari pemilik yang memeliharanya (tempat ilgal). Menyikapi hal tersebut, tidak hanya OIC yang menyambut baik upaya penegakkan hukum dalam melindungi satwa liar itu. Para pemerhati lingkungan lainnya, layaknya Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Wildlife Conservation Society Indonesia juga memiliki harapan sama: penyelesaian kasus ini akan menjadi langkah penting. Hanya dengan penegakan hukum yang tegas, orangutan Sumatera dapat terselamatkan untuk jangka panjang. Selama lebih 40 tahun (sejak tahun 1970-an), meskipun telah lebih dari 2.500 penyitaan orangutan ilegal yang dilakukan di Tanah Air, penuntutan yang pertama terhadap pemilik orangutan ilegal baru terjadi di 63
Ibid.
60
Kalimantan pada 2010. Khusus di Sumatera, baru kasus "Julius" yang sampai pada penuntutan di tahun 2011.64
B.
Pembahasan Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang dilengkapi dengan keunikan tersendiri yang menjadikan Indonesia memiliki peran yang penting dalam perdagangan flora dan fauna di dunia. Hal ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan kekayaan tumbuhan dan satwanya untuk meningkatkan pendapatan ekonomi, termasuk bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat satwa. Namun, pemanfaatan ini harus betul-betul memperhatikan kondisi populasi berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan agar dapat diperoleh pemanfaatan secara berkelanjutan. Untuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa secara berkelanjutan, Indonesia meratifikasi CITES melalui Keppres No. 43 tahun 1978. Walaupun sudah diratifikasi dalam waktu cukup lama, tetapi peraturan CITES belum dapat diimplementasi secara optimal untuk mendukung perdagangan dan satwa yang berkesinambungan. Dikarenakan Pemerintah Indonesia itu sendiri kurang memperhatikan masalah lingkungan terutama masalah tumbuhan dan satwa liar yang hampir punah. Dikarenakan semakin banyaknya pemenfaatan populasi yang disalahgunakan maka pemerintah
64
NN, Pembantaian Orang Utan Jadi Sorotan, http://nasional.vivanews.com/news/read/263890-pembantaian-750-orangutan-jadi-sorotan-dunia, diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
61
Indonesia membuat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.65 Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta ha dan 30 kawasan konservasi laut dengan luas sekitar 4,75 ha. Dari kawasan konservasi tersebut terdapat 34 tanaman nasional darat (luas ±11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut (luas± 3,7 juta ha). Konservasi dilakukan untuk pelestarian spesies di luar habitat alaminya. Saat ini ada 23 unit kebun binatang, 17 kebun botani, 1114 taman hutan raya, 36 penangkaran satwa dan 2 taman safari, 3 taman burung, rehabilitasi lokasi orang utan. Dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia salah satunya dengan memiliki kawasan konservasi yang cukup banyak menjadikan Indonesia Negara kaya akan keanekaragaman hayati ke 2 setelah Brazil. Namun dalam pemanfaatan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati tersebut, Indonesia kurang memikirkan pelestarian alam yang telah ada.66 Penyelundupan hewan dari Indonesia melewati lintas batas wilayah Negara sering terjadi. Namun tidak sedikit juga dari kasus tersebut bisa digagalkan karena pengawasan sudah ketat. Apalagi untuk menyelundupkan anak orang utan cukup sulit karena harus membunuh induknya orangutan dulu. Pengawasan memang diperlukan karena jumlah orang utan Kalimantan tinggal 70.000 ekor, sedangkan orangutan Sumatra tersisa 30.000 ekor harus dilestarikan. Perdagangan satwa liar di Indonesia menjadi ancaman serius bagi kelestarian satwa liar, setelah ancaman kerusakan habitat. Perdagangan satwa liar menjadi ancaman karena lebih dari 95% satwa diperdagangkan adalah hasil 65
NN, Peluang dan Hambatan, http//internasional.fws.gov/cites/cites.html, diakses pada tangga 25 Juni 2012. 66 NN, “Konservasi yang dimiliki Indonesia, http://www.menlh.go.id/i/art/bab7%20 keanekaragaman%20hayati.pdf, diakses pada tangga 25 Juni 2012.
62
tangkapan dari alam. Bahkan untuk primata dapat dipastikan 100% primata yang diperdagangkan di Indonesia adalah bukan hasil penangkaran, melainkan tangkapan dari alam. Setiap tahunnya ada sekitar 1000 ekor orang utan Kalimantan yang diselundupkan ke Jawa dan juga luar negeri. Untuk menangkap bayi orang utan, pemburu harus membunuh induknya. Sedikitnya seekor orang utan mati untuk mendapatkan bayi orangutan. Seditknya 2500 lutung jawa setiap tahunnya diburu untuk diperdagangkan dan diambil dagingnya. Sekitar 3000 owa dan siamang setiap tahunnya diburu untuk diperdagangkan di dalam negeri dan diselundupkan ke luar negeri. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. Perdagangan satwa liar itu marak selain akibat lemahnya penegakan hukum dibidang pelestarian satwa liar, juga adanya hobby sebagian masyarakat dalam memelihara satwa liar di rumahnya untuk kesenangan. Survey ProFauna menunjukan bahwa hampir 100% orang utan yang dipelihara oleh masyarakat itu dipelihara dalam sangkar dan makanan yang tidak memadai. Adapun penyebab terjadinya penyelundupan satwa liar maupun tumbuhan yang dilindungi, salah satu contoh adalah penyelundupan orang utan Indonesia Akibat adanya konspirasi penyelundupan LSM yang giat dalam upaya perlindungan satwa hutan, Profauna Indonesia, menuding adanya konspirasi penyelundupan ratusan orangutan ke Thailand ratusan orangutan asal Indonesia telah diselundupkan ke Thailand dan diduga terjadi konspirasi menyembunyikan hasil selundupan itu. Salah satu tempat yang diduga menjadi tempat penampungan selundupan orangutan dari Indonesia adalah Safari World di Bangkok, Thailand. Selain itu, terdapat 115 orangutan berada di Safari World, dan
63
sebagian besar masih berusia sangat muda, dilatih secara keras, kejam, dan tanpa ampun untuk pertunjukan tinju orangutan.67 Pihak Safari World menyebutkan bahwa 41 orangutan telah mati. Hal itu bertolak belakang dengan pernyataan mereka selama ini yang menyatakan bahwa mereka sangat berhasil dalam penangkaran orang utan. Pemerintah Indonesia telah mengupayakan pemulangan orang utan malang tersebut. Tim Indonesia yang terdiri dari Departemen Kehutanan, LIPI, Borneo Orangutan Survival Foundation, Jaringan Pusat Penyelamat Satwa, dan Profauna Indonesia yang datang ke Thailand terpaksa pulang dengan tangan kosong. Pejabat berwenang di negara itu tidak kooperatif dalam memulangkan orangutan ke Indonesia. Oleh karena itu, Profauna Indonesia melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedubes Thailand di Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat untuk mendesak pemerintah Thailand bekerjasama dalam upaya pemulangan orang utan yang diselundupkan itu.68 Adanya penyelundupan atas orang utan dan satwa langka Indonesia lainnya karena telah menjadi korban kebakaran hutan Kalimantan, untuk diselundupkan ke luar Indonesia. Apalagi staf lapangan Yayasan BOS (Borneo Orang utan Survival) yang bertugas memadamkan api dan menyelamatkan satwa di kawasan hutan gambut Mawas, Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah menemukan sejumlah orangutan dan satwa liar lainnya berusaha menyelamatkan diri dan keluar dari hutan. Beberapa di antara orang utan dan para primata terkulai lemas karena asap. Beberapa di antaranya langsung ditranslokasikan ke hutan terdekat yang masih 67
Bambang, “Profauna: Ada Konspirasi penyelundupan http://www.gatra.com/2004-08-18/artikel.php?id=43575, tanggal 21 Juni 2012. 68 Ibid.
64
Orangutan”,
aman. Tapi jika orang yang tidak bertanggung jawab menemukan orang utan dan memang berniat memburu satwa-satwa liar ini, maka dengan sangat mudah satwasatwa itu ditangkap. Musim kebakaran hutan juga membuat banyak orang utan liar keluar dari hutan dalam kondisi yang lemah. Biasanya hal ini dimanfaatkan oleh orang–orang yang memang sengaja menunggu moment ini, untuk mendapatkan orang utan. Jika ada orang utan yang ditangkap oleh para pemburu ini berarti ada orang utan yang telah dibunuh. Orang utan sangat digemari oleh orang – orang yang tidak mengerti bahwa orang utan kini di ambang kepunahan dan sangat penting perannya dalam kelestarian hutan itu sendiri. Karena itu, aparat terkait diharapkan bisa memperketat pengawasan terutama di area-area pelabuhan-pelabuhan kecil yang selama ini jauh dari pantauan. Pelabuhanpelabuhan kecil atau alur-alur sungai kecil memang sulit dari pengawasan aparat terkait. Masalah kebakaran hutan dan penyelundupan merupakan ancaman besar lainnya yang kini dihadapi orangutan dan satwa langka lainnya adalah masalah sawitisasi yang kini makin marak di bumi Kalimantan. Banyak perkebunan kelapa sawit ditanam pada lahan yang tidak sesuai. Bukan hanya tidak sesuai untuk produksi kelapa sawit yang tinggi, bahkan mendekati atau ditanam di hutan primer yang statusnya berubah hutan konversi. Di Kalimantan, itu bisa dipastikan mendekati habitat hidup dan kehidupan orangutan dan satwa langka lainnya. Keberadaan habitat yang dihuni orangutan itu juga berarti menyangkut kehidupan paling sedikit lima jenis burung rangkong (hornbills), 50 jenis pohon buah-buahan yang berbeda. Hal ini menggambarkan suasana hutan tropis yang sangat baik. Dan ini juga menyangkut kehidupan manusia itu sendiri. Tapi kini sawitisasi juga mengancam mereka. 65
Berdasarkan data Lembaga Riset Perkebunan Indonesia disebutkan bahwa Indonesia pada periode 2005-2020 harus melakukan perluasan perkebunan sawit sekitar 120.000- 140.000 ha/tahun. Artinya dalam 15 tahun sudah harus ada perkebunan kelapa sawit baru seluas 1,8 s/d 2,1 juta ha. Apalagi Indonesia memang mentargetkan diri menjadi pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia. Sebenarnya kelapa sawit yang ditanam di lahan kritis yang kosong banyak membawa manfaat namun sebagian kelapa sawit direncanakan dan dilaksanakan di lahan dengan hutan yang kondisinya masih bagus, termasuk hutan gambut yang dalam yang berdasarkan Keppres harus digunakan untuk tujuan konservasi.69 Data penelitian dan analisa yang dibiayai oleh WWF Indonesia, menyebutkan untuk di Kalimantan saja perkebunan kelapa sawit memang banyak ditanam di areal yang tidak sesuai misalnya seperti di dataran tinggi, perbukitan kapur, dan dataran rendah hutan gambut atau di areal hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi. Padahal kebun sawit hanya bisa tumbuh optimal di dataran yang cukup, tersedia untuk pelaksaan rencana pembangunan kelapa sawit yang direncanakan pemerintah. Dalam beberapa kasus terjadi peruntukan lahan sawit yang disalahgunakan, misalnya di Kalimanta Timur saja telah ditemukan adanya 2,5 juta ha perkebunan kelapa sawit fiktif yang hanya dimanfaatkan untuk diambil kayunya saja dari hutan tersebut dengan melakukan land clearing. Lalu ditinggalkan menjadi lahan terlatar. Sementara ekosistem dan segala isi makhluk hidup di dalam hutan tersebut sudah terlanjur rusak dan nyaris musnah. Lokasinya kadang sangat berdekatan dengan habitat orang utan liar. Bahkan beberapa di antaranya sudah merusak hutan tempat hidup dan kehidupan orang utan dan satwa lainnya. Kadang kondisi orang utan yang ditemukan terjebak di perkebunan 69
Ibid.
66
kelapa sawit sudah sangat mengenaskan. Mereka kekurangan makanan, diburu, dan beberapa di antaranya terbunuh karena dianggap hama, karena merusak kebun sawit. Permasalahan orang utan dan kelapa sawit ini sendiri juga telah diupayakan jalan keluarnya dalam forum RSPO (Roundtable on Suistnable Palm Oil). BOS (Borneo Orang utan Survival) sendiri mengupayakan adanya sebuah dialog antara pihak terkait, sekaligus menyampaikan berbagai alternatif solusi bersama sehingga tercapai harmoni antara orang utan dan perkebunan kelapa sawit.6 Tumbuhan dan satwa liar di Indonesia merupakan sumber daya alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai perdagangan baik di dalam negeri, baik import maupun eksport. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dapat bersumber pada penangkaran dari habitat alam dan hasil penangkaran berupa hasil pengembangbiakan satwa liar (captive breeding), pembesaran satwa liar (ranching) perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial propagation). Indonesia merupakan negara yang memilki kekayaan flora dan fauna yang cukup besar, Indonesia disebut juga sebagai negara Megabiodiversity, Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati ke-2 di dunia setelah Brazil.70 Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang dilengkapi dengan keunikan tersendiri yang menjadikan Indonesia memiliki peran yang penting dalam perdagangan flora dan fauna di dunia. Hal ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan kekayaan tumbuhan dan satwanya untuk meningkatkan pendapatan ekonomi, termasuk bagi masyarakat yang tinggal di sekitar habitat satwa. Namun, pemanfaatan ini harus betul-betul memperhatikan 70
Ibid.
67
kondisi populasi berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan agar dapat diperoleh pemanfaatan secara berkelanjutan. Penyelundupan orang utan ke Thailand itu merupakan kasus terbesar di seluruh dunia dalam 50 tahun terakhir. Padahal, menyelundupkan orang utan bukan pekerjaan mudah. Yang paling mungkin adalah mengirim bayi-bayi orangutan, sementara untuk bisa memperoleh bayi-bayi itu, mau tidak mau harus dilakukan dengan jalan kekerasan dan sangat tidak bermoral, misalnya membunuh induk si bayi, sebab orang utan dewasa sangat kuat dan sangat melindungi bagi-bayinya, sehingga tak ada manusia yang sanggup memenangkan perkelahian dengannya tanpa senjata modern dan mematikan.71 Untuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa secara berkelanjutan, Indonesia meratifikasi CITES melalui Keppres No.43 tahun 1978. Walaupun sudah diratifikasi dalam waktu cukup lama, tetapi peraturan CITES belum dapat diimplementasi secara optimal untuk mendukung perdagangan dan satwa yang berkesinambungan. Dikarenakan Pemerintah Indonesia itu sendiri kurang memperhatikan masalah lingkungan terutama masalah tumbuhan dan satwa liar yang hampir punah. Dikarenakan semakin banyaknya pemanfaatan populasi yang disalahgunakan maka pemerintah Indonesia membuat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Adapun peluang untuk dapat mengimplementasikan CITES di Indonesia secara optimal, misalnya semakin banyak pihak yang perduli dan turut serta dalam pelaksanaan CITES, tetapi beberapa masalah masih harus segera dapat diselesaikan. Sehingga pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan 71
Ibid.
68
secara berkelanjutan melalui mekanisme CITES. Namun, dalam pelaksanaan pengimplementasian CITES memiliki kendala sehingga terjadi penyelundupan diantaranya penyelundupan orangutan yang dilakukan Thailand terhadap Indonesia. Adapun banyaknya kendala dalam pelaksanaan CITES, sehingga terjadi penyelundupan diantaranya : 1.
Kurangnya
pemahaman
CITES
sehingga
dalam
mendukung
pemanfaatan tumbuhan dan satwa secara berkelanjutan masih belum utuh pada seluruh pihak-pihak yang terkait. Kurangnya pemahaman tersebut seringkali menimbulkan salah pengertian dan cenderung untuk menyalahkan satu sama lain dalam menjalankan tugas. 2.
Kurangnya pengetahuan data ilmiah yang mendukung, dikarenakan terlalu banyak jenis tumbuhan serta satwa liar yang ingin diperdagangkan, sementara otoritas memiliki banyak keterbatasan untuk menyediakan data bagi jenis tumbuhan dan satwa liar yang diperdagangkan.
3.
Penegakkan
hukum
belum
optimal,
sehingga
masih
terjadi
pelanggaran perdagangan tumbuhan dan satwa liar dengan modus yang terus berkembang. 4.
Belum adanya peraturan nasional yang dapat dipergunakan untuk mengatasi perdagangan illegal untuk jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang belum dilindungi.
5.
Komitmen yang lemah, komitmen pengusaha tumbuhan dan satwa liar untuk mendukung program konservasi jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang diperdagangkan masih rendah. Para pengusaha hanya mengutamakan kepentingan ekonomi, belum terlalu perduli terhadap 69
aspek kelestarian untuk menjamin pemanfaatan yang berkelanjutan. Padahal jenis tumbuhan dan satwa liar terus berada dalam ancaman, tidak hanya dieksploitasi untuk diperdagangkan tetapi penyusutan habitat. Pemerintah
Indonesia
itu
sendiri
kurang
memperhatikan
masalah
lingkungan terutama masalah tumbuhan dan satwa liar yang hampir punah serta penegakan hukum yang dibuat Indonesia untuk pelaku kejahatan kurang berjalan sebagaimana telah ditetapkan dalam ratifikasi CITES itu sendiri maupun dalam Peraturan Pemerintah Rapublik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Padahal, dalam CITES sudah ada peraturan yang telah ditetapkan sesuai dengan Konvensi yang dibuat guna memikirkan perdagangan spesies secara illegal internasional baik flora maupun fauna, walaupun telah dilindungi di tingkat nasional dan internasional, namun perdagangan orangutan masih saja terjadi. Setiap bulannya rata-rata ada 10 ekor orangutan yang ditangkap di hutan Kalimantan untuk dikirim ke Pulau Jawa. Di kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta dan Surabaya, orang utan itu dijual secara ilegal di pasar burung dan juga diselundupkan ke luar negeri. Penyelundupan orang utan asal Indonesia ini melibatkan mafia perdagangan satwa internasional yang sangat rapi. Pada tanggal Juni 2010 Polisi Daerah Jakarta dan petugas PHKA Departemen Kehutanan dengan dibantu oleh ProFauna Indonesia berhasil menggagalkan rencana penyelundupan dua ekor orang utan ke Thailand. Semula kedua oangutan itu akan diselundupkan dengan menggunakan pesawat China airlines lewat bandara Internasional Sukarno Hatta Jakarta. Sebelum kedua orang
70
utan tersebut diterbangkan, puluhan polisi menyergap dan menangkap para penyelundup orang utan itu.72 Penangkapan penyelundup orangutan itu merupakan hasil kerja keras ProFauna untuk membongkar sindikat perdagangan primata di Indonesia. Selama hampir setahun investigator ProFauna menyelidiki sindikat ini. Investigator ProFauna berkomunikasi dengan para pedagang satwa langka ini. Investigasi ini benar-benar berbahaya, karena jika mereka tahu maka nyawa adalah taruhannya. Nama ProFauna sangat dibenci oleh pedagang satwa di Indonesia. Ini dapat dilihat dari kasus pengeroyokan aktivis ProFauna oleh ratusan pedagang satwa di Pasar Burung Pramuka Jakarta pada tanggal Juli 2010. Pasar burung Pramuka adalah pasar satwa terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia.73 Investigasi
ProFauna
membuahkan
hasil
dengan
digagalkannya
penyelundupan orang utan ke Thailand. Polisi menangkap penyelundup satwa itu dan memasukannya dalam penjara. Kasus penyelundupan orang utan Juni itu kemudian diproses di pengadilan dengan terdakwa utama adalah orang Thailand yang berdomisili di Indonesia. Telah menyelundupan orang utan ke luar negeri. Tapi ini tidak bisa dibuktikan di pengadilan, dikarenakan kurangnya keseriusan pemerimtah Indonesia dalam menangani kasus ini. Meski penyelundupan orang utan itu berhasil digagalkan, salah satu orangutan itu mati akibat over dosis. Orang utan itu diselundupan dengan cara dibius, kemudian dimasukan dalam kotak kardus kecil. Anggota ProFauna yang ikut dalam operasi penangkapan itu begitu terpukul dengan kematian orang utan itu. Menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 1990, 72
NN, Rencana Penyelundupan Orang Utan ke Thailand http://nasional.vivanews.com/news/read/263890- Rencana Penyelundupan Orang Utan ke Thailand , diakses pada tanggal 23 Juni 2012. 73 NN, Rencana Penyelundupan Orang Utan ke Thailand., loc cit
71
perdagangan orang utan adalah perbuatan kriminal dan pelakunya dapat dihukum penjara maksimum 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Seharusnya pelaku dihukum seberat-beratnya, mengingat menurut hukum di Indonesia pelaku dapat dihukum penjara 5 tahun, tapi vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dengan hukum yang telah ada. Vonis ringan yang dijatuhkan ke penyelundup satwa semakin menunjukan betapa lemahnya penegakan hukum perlindungan satwa di Indonesia. Jika pedagang atau penyelundup satwa hanya dihukum ringan, maka penangkapan satwa liar di alam akan terus berlangsung untuk diperdagangkan. Pemerintah masih harus bekerja keras untuk mendorong proses penegakan hukum ini, dan perang melawan perdagangan primata masih berlangsung.74 Penyelundupan orang utan ke Thailand itu merupakan kasus terbesar di seluruh dunia. Padahal, menyelundupkan orang utan bukan pekerjaan mudah. Yang paling mungkin adalah mengirim bayi-bayi orang utan, sementara untuk bisa memperoleh bayi-bayi itu, mau tidak mau harus dilakukan dengan jalan kekerasan dan sangat tidak bermoral, misalnya membunuh induk si bayi, sebab orang utan dewasa sangat kuat dan sangat melindungi bagi-bayinya, sehingga tak ada manusia yang sanggup memenangkan perkelahian dengannya tanpa senjata modern dan mematikan. Jumlah spesies primata di Indonesia hingga kini masih belum dapat dipastikan, antara 35 hingga 41 spesies. Hal ini disebabkan oleh banyaknya temuan-temuan sub-spesies yang dinyatakan layak untuk diangkat sebagai suatu spesies. Salah satu contoh yang telah terjadi belakangan ini adalah orang utan.
74
NN, Hukuman Bagi Pelaku Penyelundupan Satwa Liar Yang Dilindungi, http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=85956, diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
72
Awalnya Indonesia dinyatakan hanya memiliki satu spesies, Pongo pygmaeus, dengan dua sub-spesies yaitu P.p. abelii yang terdapat di Sumatera dan P.p. pygmaeus yang terdapat di Kalimantan. Kini, kedua sub-spesies tersebut sudah dinyatakan sebagai spesies terpisah, yakni menjadi P. pygmaeus dan P. abelii.75 Contoh spesies yang hingga kini masih diperdebatkan secara taksonomis adalah genus Tarsius. Banyak sub-spesies dari pulau-pulau sekitar Sulawesi yang kini dipertimbangkan sebagai suatu spesies, karena ciri morfologis yang berbeda akibat isolasi geografis/pulau yang cukup lama. Primata secara umum merupakan satwa yang sangat populer sebagai hewan peliharaan karena penampakannya yang lucu dan relatif mudah dipelihara. Untuk mendapatkan anakan primata, biasanya sang induk dibunuh terlebih dahulu, sehingga menyebabkan mortalitas yang tinggi pada induk. Jenis-jenis primata yang berpindah dengan cara brakiasi dari dahan ke dahan, misalnya kelompok orang utan dan owa, memerlukan hutan dengan kanopi yang bersambungan. Dengan demikian, jenis ini sangat rentan terhadap pembalakan atau sumber kerusakan hutan lainnya, yang cenderung memutus kanopi hutan. Uji kriteria yang dilakukan diawali dengan modifikasi dari kriteria umum disesuaikan dengan kondisi primata pada umumnya. Kriteria yang dipergunakan dengan nilai untuk menentukan prioritas konservasi. Kajian kriteria yang digunakan seringkali terhambat karena kurangnya informasi tentang populasi dan kecenderungannya, khususnya spesies-spesies endemik yang penyebarannya sempit. Para pakar primata berpendapat bahwa spesies-spesies primata Indonesia yang perlu mendapat prioritas konservasi umumnya adalah primata endemik
7575
NN, Hukuman Bagi Pelaku Penyelundupan Satwa Liar, loc cit.
73
pulau dan spesies-spesies primata yang habitatnya sudah sangat sempit akibat berbagai gangguan. Uji kriteria untuk menentukan spesies prioritas menghasilkan 11 spesies primata. Dari hasil uji kriteria tersebut, keempat spesies primata Kepulauan Mentawai tergolong dalam prioritas sangat tinggi, demikian pula beberapa spesies primata yang sangat endemik. Kedua spesies orang utan Indonesia juga termasuk dalam kategori spesies prioritas, mengingat jumlahnya yang semakin merosot karena berbagai faktor. Beberapa spesies Tarsius juga diperdebatkan untuk dimasukkan dalam daftar spesies prioritas, khususnya Tarsius pelengensis, T. tumpara, T. sangirensis, dan P. siamensis. Namun uji kriteria dan indikator menunjukkan bahwa spesies-spesies Tarsius ini masih belum memperoleh prioritas konservasi. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018 ditetapkan bahwa, Arahan kebijakan untuk masing-masing spesies prioritas disajikan pada Tabel primata yang dilindungi. Permasalahan umum bagi para primata prioritas adalah kerusakan habitat. Di perlukan upaya pelestarian dan perlindungan yang didukung oleh penelitian terhadap populasi dan habitat. Kegiatan pemanfaatan, satu-satunya kegiatan yang memungkinkan adalah pemanfaatan secara non-eksploitatif melalui ekoturisme. DI beberapa negara lain, ekoturisme dengan menggunakan primata sebagai daya tarik utama telah terbukti berhasil melestarikan spesies primata tersebut, sekaligus meningkatkan taraf kehidupan masyarakat lokal. Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara 74
bijaksana (wise use). Konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam untuk
sekarang
dan
masa
yang
akan
datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut : 1.
Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).
2.
Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial.
3.
Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia, sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan.
4.
Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang.
5.
Kegiatan Konservasi didasari oleh Pasal 5 UU No 5 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a.
Perlindungan sistem penyangga kehidupan. 75
b.
Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
c.
Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa sumber alam hayati dan ekosistemnya yang tinggi keanekaragamannya dengan keunikan, keaslian, dan keindahan yang merupakan kekayaan alam yang sangat potensial. Karena itu perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat melalui perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yang merupakan perwakilan ekosistem keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, sumber plasma nutfah, di daratan dan/atau perairan. Pengelolaan KSA dan KPA belum sepenuhya efektif hingga saat ini, antara lain dengan adanya berbagai konflik sosial yang berhubungan dengan belum memadainya peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan KSA dan KPA karena peraturan pemerintah yang telah ada belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perubahan lingkungan strategis.76 Lingkungan strategis dimaksud antara lain perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, pemekaran wilayah, pesatnya perkembangan teknologi transportasi yang berhubungan dengan mobilitas manusia, pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang berhubungan dengan meningkatnya tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya alam, perubahan paradigma pengurusan hutan dari berbasis kayu ke berbasis jasa
ekosistem, serta perubahan paradigma
76
NN, Pengelolaan KSA dan KPA belum efektif, http//Perhutani.go.id, diakses pada tanggal 20 Agustus 2012.
76
pengelolaan konservasi dari
seluruhnya dikelola oleh pemerintah menjadi
pengelolaan bersama para pihak, serta pergeseran yang mengedepankan aspek ekologi ke aspek ekonomi, dan sosial budaya. Memperhatikan perkembangan di atas, maka dipandang perlu mengatur kembali pengelolaan KSA dan KPA, dengan memperhatikan prinsip tata pemerintahan yang baik, serta harmonisasi berbagai aspek konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi kesejahteraan masyarakat
yang
berkelanjutan. Secara khusus penyelenggaraan konservasi primata diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Berdasarkan ketentuan konservasi tersebut, dibentuklah suatu kawasan suaka alam. Kawasan Suaka Alam ialah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka Alam terbagi menjadi beberapa jenis yaitu Cagar alam, Suaka Margasatwa. Cagar Alam yaitu Kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Suaka Margasatwa: Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Konservasi alam juga menginstruksikan adanya Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan Peestarian alam ialah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga 77
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan tersebut dibagi menjadi Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya dan Taman Nasional. Taman Wisata Alam ialah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Taman Hutan Raya ialah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Sedangkan Taman Nasional ialah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan cagar alam meliputi: a. b. c. d. e.
f.
Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem; Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu; Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaannya terancam punah; Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya; Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; Dan/atau Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan
sebagai kawasan
suaka margasatwa meliputi: a. b.
Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa langka dan/atau hampir punah; Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
78
c. d.
Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud meliputi: a. b. c. d.
Memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan Merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman hutan raya meliputi: a. b. c.
Memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam; Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau satwa; dan Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, pada wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah yang ekosistemnya sudah berubah.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan
sebagai kawasan
taman wisata alam meliputi: a. b.
c.
Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala alam serta formasi geologi yang unik; Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
79
Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam Kawasan konservasi primata tersebar di Indonesia adalah sebagai berikut :
Sumber: http://ani_mardiastuti.staff.ipb.ac.id/file s/2011/11/Cons_Primates10.pdf Penunjukan dan penetapan suatu wilayah yang memenuhi kriteria sebagai KSA dan KPA dilakukan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keudian pada Penyelenggaraan KSA dan KPA kecuali taman hutan raya dilakukan oleh Pemerintah. Untuk taman hutan raya, penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Penyelenggaraan KSA dan KPA oleh Pemerintah dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri. Penyelenggaraan taman hutan raya oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota. Penyelenggaraan KSA dan KPA tersebut meliputi kegiatan: 80
a. b. c. d. e.
Perencanaan; Perlindungan; Pengawetan; Pemanfaatan; dan Evaluasi kesesuaian fungsi.
Perencanaan KSA dan KPA meliputi inventarisasi potensi kawasan, penataan kawasan, penyusunan rencana pengelolaan. Inventarisasi potensi kawasan dilakukan oleh unit pengelola untuk memperoleh data dan informasi potensi kawasan. Data dan informasi yang diinventarisir meliputi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Selain inventarisir potensi kawasan, kegiatan yang masuk dalam kategori perencanaan yaitu Penataan Kawasan. Penataan kawasan meliputi penyusunan zonasi atau blok pengelolaan, penataan wilayah kerja. Zonasi pengelolaan dilakukan pada kawasan taman nasional. Contohnya adalah sebagai berikut :
Sumber: http://www.dephut.go.id
Penyusunan zonasi atau blok pengelolaan dilakukan oleh unit pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan masyarakat di sekitar KSA atau KPA serta pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Penetapan zonasi atau blok dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Zonasi pengelolaan pada kawasan taman nasional meliputi zona inti, zona rimba,
81
zona pemanfaatan; dan/atau zona lain sesuai dengan keperluan. Zonasi ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan kriteria. Blok pengelolaan pada KSA dan KPA selain taman nasional meliputi blok perlindungan, blok pemanfaatan; dan blok lainnya. Blok-blok tersebut ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan kriteria. Perlindungan pada KSA dan KPA termasuk perlindungan terhadap kawasan ekosistem esensial. Perlindungan dilakukan melalui beberapa cara yaitu pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies invasif, hama, dan penyakit,
melakukan penjagaan kawasan secara efektif.
Pelaksanaan perlindungan kawasan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terdapat kondisi kerusakan yang berpotensi
mengancam
kelestarian KSA dan KPA dan/atau kondisi yang dapat mengancam keselamatan pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa, unit pengelola KSA atau KPA dapat
melakukan penghentian kegiatan tertentu dan/atau menutup kawasan
sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu. Pendanaan pengelolaan KSA dan KPA bersumber pada APBN atau APBD dan sumber dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hutan yang merupakan habitat alami primata didesak sampai ke puncak gunung. Semakin menyempit luasan hutan maka semakin terdesak pula keberadaan primata di alam. Selain habitatnya yang semakin terdesak, penangkapan berbagai jenis primata dari alam semakin hari semakin bertambah. Penurunan populasi primata di alam semakin tajam. Setiap tahunnya sekitar 2.500 ekor lutung jawa (Trachypitecus auratus) ditangkap dan diperdagangkan, sekitar 1000 orangutan (Pongo pygmaeus) keluar 82
dari Pulau Kalimantan dan diperdagangkan sampai ke luar negeri seperti Taiwan dan Eropa. Sekitar 6.000 sampai 7.000 kukang (Nycticebus coucang) hasil tangkapan dari alam dijual bebas di pasar primata Pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Yaki (Macaca nigra) jenis primata endemik sulawesi yang dilindungi masih bisa dijumpai dipelihara oleh masyarakat di Pulau Jawa.77 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistemnya di bentuk bertujuan untuk memastikan terjaganya kelestarian primata dan juga jenis satwa lainnya secara umum. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistemnya, satwa dikelompokan menjadi 2 yaitu satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi. Satwa yang dilindungi dilarang untuk diperdagangkan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 Tentang. Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa dari sekitar 40 jenis primata Indonesia hanya 2 jenis yang belum dilindungi yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina), padahal kedua jenis primata tersebut sudah disebutkan dalam Apendix II CITES. Menurut ketentuan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) daftar primata yang masuk appendix II hanya dapat diperdagangkan secara internasional jika primata tersebut adalah hasil penangkaran. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah salah satu satwa primata yang diketahui dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk pangan, obat-obatan, kepuasan/peliharaan, rekreasi dan pendidikan/penelitian. Salah satu bentuk etnozoologi pemanfaatan monyet ekor panjang untuk pangan dan obat-obatan
77
Andrianto, Primata Semakin Menurun, http. http://www.walhi.or.id/, diakses pada tanggal 21 Juni 2012.
83
cukup tinggi terutama di negeri Cina, sehingga permintaan perdagangan akan satwa tersebut juga tinggi. Monyet ekor panjang juga sering digunakan sebagai satwa percobaan penelitian di bidang medis, dan permintaan penangkapan terhadap satwa tersebut juga tinggi. Oleh karena itu, perhatian beberapa pihak terhadap pelestarian satwa ini perlu ditingkatkan agar permintaan terhadap satwa ini juga dapat terus terpenuhi. Perdagangan monyet ekor panjang diatur dalam kuota yang dibuat oleh pemerintah dan LIPI didasarkan pada status perlindungan satwa ini menurut peraturan perundangan dan CITES. Lalu seperti apakah bentuk pemanfaatan dan prospek perdagangan monyet ekor panjang dan kondisi kelestarinnya di alam. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai bentuk pemanfatan monyet ekor panjang, kuota perdagangan atau penangkapannya, serta kondisi kelestariannya di alam. Monyet ekor panjang adalah jenis satwa yang belum dilindungi, namun demikian pemanfaatannya harus berdasarkan ijin dan tidak melebihi kuota tangkap yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan hutan dan konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. Namun demikian penangkapan monyet
ekor
panjang
untuk
diperdagangkan
tidaklah
terkontrol
.Penangkapan monyet ekor panjang di alam harus segera dihentikan. Jika untuk kepentingan penelitian seharusnya monyet tersebut adalah hasil penangkaran, bukan hasil tangkapan dari alam. Peningkatan kuota tangkap monyet ekor panjang dari tahun ke tahun menunjukan kegagalan penangkaran monyet di Indonesia. Departemen Kehutanan perlu mengevaluasi usaha penangkaran monyet ini. Dalam beberapa kasus satwa liar yang habitatnya terdesak sehingga banyak yang ke luar dari hutan masuk kawasan garapan masyarakat dan merusak 84
tanaman, pernyataan yang gampang dan mudah adalah disebut "hama". Padahal jika dirunut ke belakang tidak menutup kemungkinan lahan garapan masyarakat tersebut dulunya adalah hutan sebagai habitat satwa liar, diantaranya menjadi habitat monyet ekor panjang. Secara alami beberapa satwa liar sangatlah sulit untuk berpindah ke lokasi yang baru, dengan demikian haruslah dikaji lebih dalam jika terjadi kasus gangguan terhadap lahan pertanian masyarakat oleh satwa liar termasuk monyet ekor panjang. Janganlah terlalu mudah menyatakan "over populasi" atau memberikan "vonis" sebagai hama. Pemerintah hendaknya berpandangan jauh ke depan demi kelestarian satwa liar, nilai satwa liar tidak hanya dinilai dari uang akan tetapi nilai konservasi jenis tersebut sangatlah tinggi nilainya demi keseimbangan dan kelestarian alam itu sendiri. Pemanfaatan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk ekspor sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 26/Kpts-II/ 1994 tanggal 20 Januari 1994. Dalam keputusan Menteri Kehutanan tersebut ditetapkan bahwa ekspor monyet ekor panjang harus berasal dari penangkaran dan tidak diperkenankan hasil penangkapan dari alam yang terus mengalami penurunan populasi. Berbicara tentang penangkaran monyet ekor panjang yang ada di Indonesia selama ini telah gagal, hal ini terbukti dengan fakta selama 3 tahun terakhir yang selalu mendapat pengganti induk tangkar berasal dari alam sebanyak 2.000 ekor melalui penetapan kuota tangkap yang resmi dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan hendaknya melakukan kontrol dan evaluasi yang mendalam terhadap penangkar monyet ekor panjang yang ada di Indonesia untuk menghindari pemusnahan 85
sistematis terhadap jenis primata ini. Kalau penangkaran hanya berhasil menerima tangkapan dari alam, label penangkaran sangatlah tidak tepat, mungkin nama yang lebih tepat adalah "pengepul".78 Informasi yang transparan kepada pihak yang berkepentingan seperti para ahli primata, kelompok pelestari primata, NGO dan publik tentang kondisi penangkaran monyet ekor panjang perlu dilakukan oleh pemerintah, sehingga pemerintah tidak terkesan ketok palu saja dalam menentukan kuota tangkap satwa liar dari alam. Peran Departemen Kehutanan sebagai pemegang otoritas kebijakan sangatlah penting dalam upaya konservasi satwa liar yang ada di Indonesia. ProFauna berharap ada komitmen dan implementasi yang riil dari pemerintah dalam upaya menyelamatkan satwa liar dan ekosistemnya di Indonesia. Perlindungan
hukum
terhadap
primata
juga
dilaksanakan
melalui
perlindungan hukum represif, yaitu dilakukannya penindakan-penindakan kepada para pelanggar hukum melalui sanksi pidana. Rumusan daripada perbuatan pidana yang dilarang dalam tindak pidana perdagangan ilegal primata yang dilindungi pada dasarnya tentunya juga harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai usaha-usaha untuk melestarikan dan melindungi primata tersebut yaitu Pasal 19 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya yaitu dalam ketentuan: (1)
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam
78
NN, Penangkaran atau http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2008/01/penangkaran_atau_pengepul.html, tanggal 24 Juni 2012.
86
Pengepul, diaksespada
Pasal 21 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya menyatakan bahwa, setiap orang dilarang untuk : a.
b. c. d.
e.
Mengambil, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa liar yang dilindungi dalam keadaan hidup Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ketempat lain baik didalam maupun diluar Indonesia. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagianbagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang terbuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain didalam maupun diluar Indonesia Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan, atau memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindung
Pasal 33 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, menyatakan bahwa: 1) 2)
3)
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Menurut Pasal 40 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya mengenai ketentuan pidananya maka kepada si pelaku dapat dikenai hukuman dengan rumusan kualifikasi yaitu: a.
b.
Dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh tahun ) dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah ) bagi siapa saja yang melanggar dengan sengaja ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) Dengan Pidana Penjara paling lama 5 (lima tahun) dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ) bagi barang siapa dengan sengaja sengaja melanggar ketentuan pada Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) 87
c.
Dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ) bagi barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) d. Dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) bagi barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3)
Kualifikasi perbuatan pidana yang dirumuskan dalam undang - undang ini adalah memuat rumusan perbuatan pidana/tindak pidana aktif60 yaitu setiap orang yang melakukan tindak/perbuatan pidana berupa melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan pada kawasan suaka alam, maupun perbuatanperbuatan lainnya seperti menangkap, memburu maupun melukai satwa-satwa liar yang dilindungi tersebut. Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya yang juga mengatur perlindungan satwa liar tersebut bila dilihat dari sudut kesalahannya membagi perbuatan pidana terhadap satwa liar atas dua jenis berdasarkan unsur kesalahannya yaitu Sengaja dan Kelalaian. a.
Bentuk Kesengajaan 1)
Sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan-perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam meliputi : mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam serta menambah jenis satwa lain yang tidak asli ( Pasal 40 ayat ( 1 ) Jo 19 ayat ( 1 ) dan ( 3 ) UU Nomor 5 tahun 1990)
2)
Sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional, meliputi : mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti
88
taman nasional, serta menambah jenis satwa lain yang tidak asli ( Pasal 40 ayat ( 1 ) Jo 33 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) UU Nomor 5 Tahun 1990 ) 3)
Sengaja
menangkap,
menyimpan,memiliki,
melukai,
memelihara,
membunuh,
mengangkut,
dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang di lindungi dalam keadaan mati 4)
Sengaja mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia
5)
Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh
atau
bagian-bagian
lain
satwa
tersebut
atau
mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia ( Pasal 40 ayat ( 2 ) Jo 21 ayat ( 2) a,b,c dan d UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya) 6)
Sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Pasal 40 ayat ( 2 ) Jo 33 ayat ( 3 ) UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
b.
Bentuk Kelalaian 1)
Karena kelalaiannya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut pada angka 2.1 dan 2.2 di atas : (Pasal 40 ayat 3 Jo 19 89
ayat 1 UU No.5 tahun 1990 dan Pasal 40 ayat 3 Jo 33 ayat 1 dan 2 UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya) 2)
Karena kelalaiannya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut pada angka 2.3 a s/d d dan 2.4 di atas : ( Pasal 40 ayat 3 Jo 33 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) UU No.5 tahun 1990 dan Pasal 40 ayat 4 Jo 33 ayat 3 UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara, dan sanksi adalah alat ataupun instrument untuk menegakkan tata tertib tersebut, dengan demikian untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat, maka pidana dan sanksi pidana mempunyai 3 macam sifat yaitu : a.
Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)
b.
Bersifat memperbaiki (verbetering)
c.
Bersifat membinasakan ( onschadelijk maken ) 79
Pemberian sanksi pidana pada dasarnya ditujukan kepada 2 hal yaitu (pelaku) yang bersangkutan dan yang kedua adalah (sanksi) pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan kepada perbuatan si pelaku. Sanksi pidana dalam rumusan tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi tercantum dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tersebut yaitu : 1)
79
Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah ).
Adami Chazawi,. Pelajaran Hukum Pidana I, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal. 162
90
2)
3)
4)
5)
Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelangggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran.
Berdasarkan pada ketentuan pidana dalam Pasal 40 tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa formulasi sanksi pidana/kebijakan penal.80 Sanksi pidana dalam ketentuan undang-undang tersebut adalah single track sistem dimana hanya mengandung sanksi pidana saja, tanpa adanya sanksi atau tindakan perbaikan lainnya. Penggunaan sanksi pidana juga menyebut pidana pokok (penjara, kurungan dan denda) yang dikenakan dan adanya pidana tambahan berupa perampasan tumbuhan maupun satwa langka tersebut untuk diserahkan kepada negara agar dikembalikan kehabitatnya semula (Pasal 24 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya) Dalam hal penggunaan pidana pokoknya bersifat gabungan (penjara dan denda) yang dijatuhkan sekaligus terhadap masing-masing tindak pidananya. Penjatuhan sanksi pidana hanya dilakukan terhadap orang perorang dan tidak mencantumkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana tersebut. Penjatuhan 80
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 2003, hal.
18
91
sanksi pidana juga tidak menyebutkan pidana minimum khusus, dan hanya pidana maksimum yang diancamkan. Penjatuhan sanksi pidana didalam undang-undang ini dirumuskan dengan penyebutan kualifikasi deliknya yaitu kejahatan dan pelanggaran. (Pasal 40 ayat (5) ). Ancaman dan penjatuhan sanksi pidana atas suatu tindak pidana dalam Peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada prinsipnya bertujuan untuk tegaknya kepastian hukum dalam hal perlindungan terhadap satwa liar berikut ekosistemnya tersebut agar tetap lestari dan terhindar dari kepunahan yang disebabkan oleh berbagai hal ( salah satunya akibat perdagangan ilegal ). Sanksi pidana yang diancamkan selain itu juga berfungsi sebagai tekanan psikologis (psycologie dwang) agar setiap orang takut untuk berbuat jahat dan membuatanya jera agar tidak lagi mengulangi perbuatannya seperti halnya teoriteori tujuan pemidanaan atau pemberian sanksi pada umumnya.81 Ditinjau dari beberapa kasus kejahatan baik pembunuhan maupun perdagangan liar primata dapat dilihat bahwa, penegakan hukum yang dilakukan masih belum mengedepankan perbaikan untuk primata di masa yang akan datang. Pada dua kasus pembunuhan orangutan di area perusahaan perkebunan kelapa sawit yang di putuskan Pengadilan Negeri Sangatta, majelis hakim memutuskan menghukum terdakwa dengan pidana penjara 10 bulan dan denda Rp 50 juta subsider pidana kurungan 2 bulan.82 Di Samarinda, empat terdakwa pembunuh orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) divonis delapan bulan penjara. Pada Kasus lainnya juga terjadi 81
Adami Chazawi,.Op cit., hal. 165. Kholish Chered, Selasa, 29 Mei 2012 20:38 WITA , Sudah Vonis, Kasus Pembunuhan Orangutan Tak Berarti Finish, http://kaltim.tribunnews.com/tribunnews, diakses pada tanggal 20 Juni 2012. 82
92
di Sumatera Utara, kasus perdagangan orangutan secara ilegal tersebut sudah diputus di Pengadilan Kabanjahe 10 bulan penjara, dengan Putusan Pidana nomor 453/Pid.B/2011/PN.Kbj. Selama lebih 40 tahun (sejak tahun 1970-an), meskipun telah lebih dari 2.500 penyitaan orangutan ilegal yang dilakukan di Tanah Air, penuntutan yang pertama terhadap pemilik orangutan ilegal baru terjadi di Kalimantan pada 2010. Khusus di Sumatera, baru kasus "Julius" yang sampai pada penuntutan di tahun 2011.83 Kasus Samarinda dan Tenggarong misalnya, 'Orangutan adalah primata dilindungi dan masuk dalam Appendix I. Selain itu didalam UU Keanekaragaman Hayati, setiap pelanggaran yang dilakukan terhadap orangutan akan diganjar hukuman lima tahun. Bentuk lain dari perliundungan terhadap primata asli Indonesia itu adalah melarang dikeluarkannya izin pengelolaan hutan primer dan hutan gambut di kawasan yang selama ini menjadi endemik yaitu Kalimantan dan Sumatera. ''Hutan primer dan hutan gambut merupakan bagian dari ekosistem maka sudah seharusnya orangutan diproteksi, tetapi penegakan hukum terhdap satwa dilindungi seakan melihat sebelah mata, bahwa hewan bukanlah manusia sehingga tidak patut untuk dilindung, dan kalaupun hal tersebut diatur dalam undang-undang penegakan hukum terhadap primata hanya merupakan formalitas undang-undang hal ini dapat dilihat dari sedikitnya tersangka yang ditangkap dan singkatnya pemidanaan yang dijatuhkan. Hukum itu sendiri merupakan salah satu sarana untuk memberikan perlindungan kepada semua pihak, tidak terkecuali satwa dan lingkungan hidup 83
NN, Pembantaian Orang Utan di Kalimantan, http://nasional.vivanews.com/news/read/264918-video--pembantaian-orangutan-di-kalimantan, diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
93
karena fungsi hukum itu sendiri sejatinya untuk melindungi masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. Perlindungan hukum yang nyata terhadap kelestarian lingkungan khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar didalamnya diharapkan dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan satwa agar tidak punah dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang.84 Hukum juga merasa perlu melindungi satwa liar yang hampir punah berikut ekosistemnya tentu bukan tanpa alasan. Satwa-satwa liar tersebut seperti halnya manusia merupakan bagian dari alam dan juga bagian dari lingkungan ataupun ekosistem. Kepunahan berbagai hewan-hewan yang dianggap langka tersebut apabila terjadi, bukan mustahil akan mengakibatkan terganggunya ekosistem dan keseimbangan alam seperti misalnya rantai makanan maupun habitat dan keberadaan hewan langka tersebut. Perdagangan satwa-satwa liar jika tidak juga segera dihentikan, bukan mustahil pada masa yang akan datang, kita tidak akan bisa lagi melihat secara langsung Owa, orang utan maupun lutung jawa dan sebagainya lagi.85 Penegakan hukum terhadap perlindungan satwa liar dan langka itu sendiri pada hakikatnya merupakan upaya penyadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan khususnya satwa liar secara berkelanjutan. Bentuk-bentuk kegiatan tersebut antara lain berupa pemberian informasi, penyuluhan, kampanye, pendirian berbagai suaka margasatwa dan hutan lindung, operasi penertiban sampai penindakan secara hukum termasuk pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya ataupun akibat yang terjadi jika 84
Tony Suhartono, Pelaksanaan konvensi CITES, Rajawali, Jakarta, 2003, hal. 6. Rosek Nursahid, Perdagangan Satwa Liar Itu Kejam dan Kriminal, Profauna Indonesia, 2005, Jakarta , hal. 13 85
94
satwa-satwa tersebut terus diperdagangkan secara bebas harus lebih ditingkatkan. Penegakan hukum dalam berbagai bentuk bertujuan agar peraturan perundangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat dan kepada pelanggarnya diberikan sanksi yang tegas agar memberikan efek jera sehingga dapat meminimalkan bahkan sampai meniadakan lagi kejadian pelanggaran hukum dan pada akhirnya dapat mendukung upaya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990.
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan Perlindungan hukum Konservasi hewan primata di Indonesia dilakukan
dengan metode preventif dan juga represif. Melalui metode preventif perlindungan hukum terhadap primata diarahkan melalui pelestarian satwa primata, pengkategorisasian primata yang dilindungi, pelaksanaan konservasi 95
satwa primata. Metode represif dilakukan melalui penegakan hukum terhadap pelaku yang melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perlindungan hukum primata dilakukan pula dengan meratifikasi Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) dengan di keluarkannya Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang : Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora, dikeluarkan pula Surat keputusan (SK) dan Peraturan Pemerintah mengenai pelestarian satwa liar, di programkannya strategi konservasi primata dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 57/Menhut-II/2008 Tentang
Arahan Strategis Konservasi Spesies
Nasional 2008 – 2018. Primata di Indonesia perlindungannya masih lemah belum maksimal, begitupula dengan sistem pengawasannya dan penegakan hukum dalam perlindungan primata di Indonesia masih sangat lemah.
B.
Saran Perlunya penegakan hukum terhadap para pelaku perdagangan dan
pembunuhan primata dengan turut serta melibatkan kesadaran hukum pada masyarakat.
96
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Arif, Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Citra Aditya. Bandung. Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana I. Rajawali Press. Jakarta. Djamin, Djanius. 2007. Pengawasan dan pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup : suatu analisis sosial. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hamzah, Andi. Jakarta.
2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1986. Masalah University Press. Yogyakarta.
Lingkungan.
Gadjahmada
Hidayat, Arief dan FX. Adji Samekto. 2007. Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah. BP. Undip. Semarang. Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia. Sinar Grafika. Jakata. Husein, Harun M. 1992. Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya. Bumi Aksara. Jakarta. -----------------------. 1995. Lingkungan Hidup Masalah. Pemelolaan Dan Penegakan Hukumnya. Bumi Aksara. Jakarta. Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 97
Marpaung, Leden. 1995. Tindak Pidana Terhadap Hutan. Hasil Hutan dan Satwa. Erlangga. Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2003. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Nursahid, Rosek. 2005. Perdagangan Satwa Liar Itu Kejam dan Kriminal. Profauna Indonesia. Jakarta. Poespawardjojo, S. 1993. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis. Gramedia. Jakarta. Purwodarminto, WJS. 1959. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Rahmadi, Takdir. 2003. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun. Airlangga University Press. Surabaya. --------------------. 2011. Hukum Lingkungan Di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Rangkuti, Siti Sundari. 1996. Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga Press. Surabaya. Silalahi, M. Daud. 2001. Hukum Lingkungan Dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung. Soekanto, Soeryono. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta. Soemartono, R.M Gatot. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Soemitro, Ronny H. 1983. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Gia Indonesia. Jakarta. Suhartono, Tony dkk. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES. WALHI. Jakarta. Sunarso, Siswanto.2005. Hukum Lingkungan Hidup Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta. Jakarta.
dan
Strategi
Sunggono, Bambang. 2006. Metode Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO14001. Grasindo. Jakarta.
98
Suparni, Ninik. 1994. Pelestarian. Pengelolaan Dan Peneghakan Hukum Lingkungan Hidup. Sinar Grafika. Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang 5 Tahun 1990 tentang Undang-Undang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP Rapublik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sumber Lainnya Ajeng Ritzki Pitakasari. Rabu. 18 April 2012. 20:32 WIB. Hakim Cuma Ganjar Pembantai Orangutan 8 Bulan Penjara. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/04/18/m2og9whakim-cuma-ganjar-pembantai-orangutan-8-bulan-penjara. diakses pada tanggal 22 Juni 2012. Andrianto. Primata Semakin Menurun. http. http://www.walhi.or.id/. diakses pada tanggal 21 Juni 2012. Bambang. “Profauna: Ada Konspirasi penyelundupan Orangutan”. http://www.gatra.com/2004-08-18/artikel.php?id=43575. tanggal 21 Juni 2012. Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Kalimantan. Jakarta. Ella Syahputri. Senin. 6 Juni 2011 16:42 WIB. 70 Persen Primata Indonesia Terancam Punah. http://www.infogue.com/viewstory/2011/06/06/70persen primata_indonesia_terancam _punah/ ?url=http://www.antaranews.com/berita/261752/70-persen-primataindonesia-terancam-punah. diakses pada tanggal 2 April 2012. Kholish Chered. Selasa. 29 Mei 2012 20:38 WITA . Sudah Vonis. Kasus Pembunuhan Orangutan Tak Berarti Finish. http://kaltim.tribunnews.com/tribunnews. diakses pada tanggal 20 Juni 2012. Mutya Hanifah. Senin. 14 November 2011 - 15:47 wib. Mengerikan. Pembantaian Orangutan " Biasa". 99
http://travel.okezone.com/read/2011/11/14/407/529219/mengerikanpembantaian-orangutan--biasa. diakses pada tanggal 12 Maret 2012. Nita Murjani dan Leony Aurora. Upaya pelestarian kera besar harus terpadu dengan REDD+. kata ahli primata. http://www.reddindonesia.org/ index.php?Option=com_content & view=article&id=372:upaya-pelestarian-kera-besar-harus-terpadudengan-redd-kata-ahli-primata &catid=1:fokus-redd&Itemid=50. diakses pada tanggal 2 April 2012. NN. Minggu. 19 Februari 2012 06:57 WIB. Pembantaian Orangutan di Kalimantan Masih Terjadi . http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/19/82359/PembantaianOrangutan-di-Kalimantan-Masih-Terjadi/1. diakses pada tanggal 12 Maret 2012. NN. 21 April 2009. Definisi Perlindungan Hukum. http://antilog.in/definisiperlindungan-hukum-menurut-ahli-hukum. diakses pada tanggal 16 Oktober 2011. NN. Sabtu. 17 Des 2011 09:00 WIB. Setiap Tahun Disita 20-35 Orangutan dari Tempat Ilegal Pertama di Sumut. Kasus Orangutan Sampai ke Pengadilan. http://www.analisadaily.com/news/. diakses pada tanggal 23 Juni 2012. NN.
Pembantaian Orang Utan Jadi Sorotan. http://nasional.vivanews.com/news/read/263890-pembantaian-750orangutan-jadi-sorotan-dunia. diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
NN. Peluang dan Hambatan. http//internasional.fws.gov/cites/cites.html. diakses pada tangga 25 Juni 2012. NN.
“Konservasi yang dimiliki Indonesia. http://www.menlh.go.id/i/art/bab7%20.keanekaragaman%20hayati.pd f. diakses pada tangga 25 Juni 2012.
NN.
Rencana Penyelundupan Orang Utan ke Thailand http://nasional.vivanews.com/news/read/263890Rencana Penyelundupan Orang Utan ke Thailand . diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
NN. Hukuman Bagi Pelaku Penyelundupan Satwa Liar Yang Dilindungi. http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=85956. diakses pada tanggal 23 Juni 2012. NN. Pengelolaan KSA dan KPA belum efektif. http//Perhutani.go.id. diakses pada tanggal 20 Agustus 2012.
100
NN.
Penangkaran atau Pengepul. http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2008/01/penangkaran_atau_pe ngepul.html. diaksespada tanggal 24 Juni 2012.
NN.
Pembantaian Orang Utan di Kalimantan. http://nasional.vivanews.com/news/read/264918-video--pembantaianorangutan-di-kalimantan. diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
Pramono Putra. Kamis. 16 Februari 2012 10:37 wib. Bupati Perintahkan Tembak Mati Monyet Liar. http://www.sindonews.com/read/2012/02/16/447/576713/bupatiperintahkan-tembak-mati-monyet-liar. diakses pada tanggal 1 April 2012. Prasko Abdullah. 17 February 2011. Definisi Perlindungan Hukum. http://prasxo.wordpress.com/. Diakses Pada Tanggal 29 Mei 2012. Putri.
Pengertian Primata. Aves dan Mamalia. http://putrijusstef. blogspot.com/2012/02/ pengertian-primata-avesmamalia.html. diakses pada tanggal 2 April 2012.
Riskiansya. Kampanye Pelestarian Primata Sejak Dini. http://dir.unikom.ac.id/jbptunikompp-gdl-s1-2007-6894/bab2.doc/pdf/bab-2.pdf. diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. Sony. Primata Di Indonesia. http://aksessdunia.com/tag/primata-indonesia/. diakses pada tanggal 2 April 2012.
101