Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
Kalyanamedia
titian menuju Pemberdayaan Perempuan
Perlawanan Perempuan ISSN 1829-541X | Rp. 4.000,-
Cover: Dokumentasi Kalyanamitra “Aksi Perempuan”
REDAKSIONAL Penanggung Jawab Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi Hegel Terome Redaktur Pelaksana Sinta Nuzuliana Redaksi Fransisca Ditta Iha Sholihah Listyowati Nani Ekawaty Rakhmayuni Sri Mukartini Tezhart Elvandiar Tata Letak Adrian M.Zen Distribusi Fransisca Ditta Kalyanamedia merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Kalyanamedia diterbitkan oleh:
kalyanamitra
Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan
Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp : 021-7902109 Fax : 021-7902112 Email :
[email protected] Situsweb : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Kalyanamedia secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak dan pengiriman di rekening Bank Bukopin Cabang Kalibata No. Rekening 0103-034652 a/n. Rena Herdiyani.
SAPAAN Perlawanan Perempuan, Sudah Optimal? Diskriminasi terhadap perempuan terus berlangsung. Perlawanan yang dilakukan kaum perempuan pun terus bergulir. Namun, itu belum optimal untuk mengurangi diskriminasi terhadap perempuan, bahkan untuk mengurangi saja belum signifikan. Demikian yang tejadi di Indonesia. Mengapa begitu? Itu menjadi pertanyaan berikutnya. Dalam konteks gerakan perempuan di Indonesia, rubrik-rubrik Kalyanamedia Edisi.3 No.3 ini mencoba mengupas persoalan tersebut. Fokus Utama berusaha memaparkan gerakan perempuan Indonesia dalam konteks sejarah hingga visi, strategi dan metode alternatif yang ditawarkan. Salah satu upaya untuk membangun simpul gerakan perempuan, Kalyanamitra melakukan program Pemetaan Kader Perempuan di Desa Pasrujambe, Lumajang, Jawa Timur sebagai langkah awal. Peta kekuatan perempuan yang berpotensi sebagai agen perlawanan di daerah tersebut diulas dalam rubrik Advokasi. Program sosialisasi pasal-pasal CEDAW juga menyajikan informasi tentang tindakan khusus di dalam konvensi CEDAW, yaitu aturanaturan khusus untuk mempercepat penyetaraan perempuan yang mengikat tiap pejabat publik, insan, organisasi atau perusahaan. Komentar Komite CEDAW atas laporan berkala kedua dan ketiga Indonesia yang disampaikan dalam sidang Komite CEDAW ke-377 tanggal 2 Februari 1998 disajikan dalam rubri Kronik CEDAW. Sedangkan perkembangan diskusi publik dan diskusi komunitas, bisa anda nikmati dalam rubrik Warta CEDAW. Rubrik-rubrik lain tetap hadir dengan informasi-informasi yang semakin kritis dan menggelitik kaum perempuan untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Perjuangan tak boleh berhenti. Kewajiban menuntut hak-hak, memperjuangkan keadilan gender, kesetaraan, partisipasi yang sejati harus terus dilakukan! Semoga! Jakarta, 5Juni 2006 Sinta Nuzuliana Redaktur Pelaksana Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Times New Roman 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Untuk pemasangan iklan di buletin, hubungi Redaksi Kalyanamedia. Telp : 021-7902109 Fax : 021-7902112 Email :
[email protected] Situsweb : media.kalyanamitra.or.id Edisi ini diterbitkan sebagai hasil kerjasama:
kalyanamitra
WOMEN’S COMMUNICATION AND INFORMATION CENTER
K
I
o
S
THE FINNISH NGO FOUNDATION FOR HUMAN RIGHTS
Kalyanamedia | Edisi II No. 2 | April - Juni 2005
DAFTAR ISI SURAT PEMBACA FOKUS UTAMA 5
Gerakan Prempuan Indonesia, Tanya Kenapa?
OPINI 9
Perkosaan Atas Nama Cinta: Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
WACANA 12
Persoalan Teori dan Peraktik Feminis
SOSOK 14
Jahnavi dan Stigma AIDS
ADVOKASI
Tindakan Khusus Sementara Dalam Konvensi CEDAW 18 Pemetaan Kader Perempuan di Desa Pasrujabe, Lumajang, Jawa Timur
5
16
KESEHATAN PEREMPUAN 20 Inkontenensia Air Seni 21 Gangguan Siklus Haid 23 Kehilangan Gizi Akibat
PUISI KITA
24 Perempuan 24 Satu Nafas
KISAH
25 Playboy
23
Stres
Perkasa
Cap Kuasa
WARTA PEREMPUAN
Partisipasi Publik dan Politik Bagi Perempuan Tanpa Diskriminasi 28 Partisipasi Perempuan di Internasional dalam Kaitan Antara CEDAW dan Kehidupan Sehari-hari 30 Perempuan Sebagai Kepala Keluarga (Single Parent)dan Pengaruh Terhadap Anak 27
KRONIK 32
Komentar Komite CEDAW Atas Laporan Berkala Kedua dan Ketiga Indonesia
PUSTAKARIA 35 Cara
Asik Merisensi Buku
BEDAH BUKU
37 Jilbab: Tradisi atau Kewajiban Ibadah? 39 Jerat Globalisasi dan Neoliberalisme
BEDAH FILM 41 Kekuasaan
Merampas Kebebasannya
CATATAN LEPAS 43 Transformasi
Bangsa
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
32
43
SURAT PEMBACA
Bisa
mengambil
S
aya dari redaksi Pilar, sebuah majalah tentang buruh yang terbit di Surabaya. Saya ingin bertanya, apakah kami bisa mengambil tulisan saudara Hegel Terome yang dimuat dalam rubrik Fokus Utama Kalyanamedia Ed. 1 No. 4 mengenai buruh perempuan? Kami ingin memasukkannya dalam rubrik Opini majalah Pilar. Terima kasih atas perhatiannya.
[email protected] Jawab : Kawan Pilar yang baik. Terima kasih atas ketertarikannya terhadap artikel-artikel Kalyanamedia. Pada dasarnya kami tidak berkeberatan artikel-artikel kami dimuat dalam majalah Pilar sepanjang untuk kepentingan advokasi masyarakat sipil dengan mencantumkan sumber dengan jelas dan benar. Kami juga sangat mengharapkan rekan-rekan Pilar untuk berperan mengisi rubrik-rubrik kami. Dengan demikian kita bisa saling bergandeng tangan dan terus bergerak menghapuskan kekerasan structural. Hilangkan pemiskinan dan lawan penindasan! Selamat berjuang!
Mendapatkan analisa
R
edaksi Kalyanamedia yang terhormat,Saya seorang mahasiswa jurusan Administrasi Negara, Universitas Jember. Saya pernah membaca analisa topical tentang perdagangan perempuan yang menjadi sisipan dari bulletin Kalyanamedia (tapi maaf saya lupa edisi berapa). Saya dapat bulletin itu sewaktu saya main ke rumah salah satu teman saya. Tapi sayang majalah itu sekarang entah dimana. Saya memang ceroboh. Padahal saya sangat tertarik dengan isinya. Saya ingin belajar menulis juga untuk majalah kampus saya. Apakah saya bisa mendapatkan analisa tersebut? Bagaimana caranya? Demikian dari saya, besar harapan saya redaksi Kalyanamedia dapat membantu saya. Terima kasih. Anis Fadilla Jember
Jawab : Saudara Anis yang penuh semangat, kami sangat senang mendengar saudara tertarik untuk ikut mensosialisasikan isu-isu perempuan termasuk masalah perdagangan perempuan melalui tulisan anda di majalah kampus. Gerakan perempuan memang membutuhkan para generasi muda seperti saudara. Kami akan sangat senang apabila informasiinformasi yang kami sajikan dapat memberikan inspirasi bagi anda. Mengenai bulletin Kalyanamedia Ed.II No.3 yang memuat sisipan berupa analisa top[ikal mengenai perdagangan perempuan untu tujuan eksploitasi seksual telah habis terdistribusi. Namun demikian, saudara Anis dapat men-downloadnya di situs kami www.kalyanamitra.or.id. Tentu di Jember tidak ada kesulitan untuk akses internet, kan? Apabila tertarik untuk meluaskan sosialisasi pemikiran, saudara Anis juga dapat berpartisipasi dalam penulisan rubrikasi bulletin Kalyanamedia. Tulisan dapat dialamatkan ke media@kalyanamitra. or.id. atau
[email protected]. Atau saudara juga dapat bergabung dalam forum diskusi online di situs kami. Selamat bergabung!
Disebar ke daerah juga
S
enang rasanya bisa memegang (dan mencerna informasinya, tentu) Kalyanamedia kembali. Buletin ini sangat menarik dan penuh dengan pengetahuan baru—setidaknya bagi saya. Tetapi, sayangnya Kalyanamedia tidak tersebar hingga ke wilayah Jawa Timur, ya? Pada kesempatan ini saya mau bertanya, bagaimana saya bisa mendapatkan Kalyanamedia secara teratur? Apakah mungkin disebar ke daerah juga, jangan hanya di Jabotabek saja, dong? Cahyo, Surabaya. Jawab: Dear Cahyo, waduh kami jadi merasa bersalah. Banyak teman yang bilang serupa. Memang, saat ini kami masih mencetak dalam jumlah yang terbatas. Maklum-lah! Saudara pasti mengerti! Baiklah, Saudara akan menjadi pemicu semangat kami. Namun, kalau Saudara dapat membantu dengan mengganti ongkos kirim dan cetak pun, tentu tak rugi, kan?
FOKUS UTAMA
Gerakan Perempuan Indonesia, Tanya Kenapa? kemerdekaan jika ia matahari, memang kemerdekaan adalah matahari, bukan bulan indah sekalipun di waktu malam jika ia butir nasi, memang kemerdekaan butir nasi di piring jendral atau peminta minta yang menghidupi hasrat untuk hidup jika ia atap rumah memang kemerdekaan atap vila atau gubuk kardus yang keduanya meneduhi kebangkitan satu hitam satu putih satu seribu warna kehilangan nama jika ia buah memang kemerdekaan buah yang harus direbut penanamnya sekalipun jika ia rantai memang kemerdekaan adalah rantai yang mengikat kesetiaan (Putu Oka Sukanta dalam buku “Selat Bali: Sajaksajak buat Burung Camar”, Inkultra Foundation, 1982)
Konteks sejarah
P
erempuan Indonesia memulai eksistensi gerakannya dalam proses kebangkitan nasional Indonesia. Pada akhir abad ke-19 masyarakat Indonesia mulai berubah secara drastis, sebagai kaum terpelajar baru untuk pegawai pribumi, membangun berbagai organisasi nasionalis yang pertama. Sementara itu, sejumlah organisasi perempuan pertama juga didirikan, yang mengidentifikasi dengan kepentingan gender tertentu sebagai perhatian utama mereka. Dalam tahun 1928 Kongres Wanita Pertama menyebarluaskan berbagai kepentingan itu, dan untuk pertama kalinya berkumpul bersama berbagai organisasi perempuan. Menjelang abad ke-20, sistem tanam paksa telah menimbulkan bencana hebat, hingga kelaparan melanda daerah pedalaman Jawa. Petani diwajibkan menghasilkan hasil tanaman yang langsung untuk pasar kolonial. Ini membawa berbagai akibat politik yang luas. Petani menjadi renggang dari tuan tanah
mereka, yang telah dibikin menjadi sandaran sistem tanam paksa untuk mengeksploitasi mereka. Elit pedesaan memperkokoh posisinya, sementara itu jumlah petani tak bertanah semakin membengkak. Sekolah dan masuk birokrasi kolonial menjadi lebih penting ketimbang penguasaan hak milik perseorangan dalam bentuk tanah. Kesempatan pendidikan tersebut diambil anak-anak priyayi rendah dan elit desa yang mapan tetap menjauhi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Elit terpelajar tersebut kemudian menjadi tulang punggung gerakan nasional, yang menggunakan nilai-nilai kemerdekaan, pernyataan diri dan keadilan sosial yang baru untuk mengeritik situasi kolonial. Berlakunya politik etis berarti meningkatnya campur tangan negara kolonial dalam urusan ekonomi dan mengakhiri liberalisme sebelumnya. Rencana ini dibarengi dengan program yang ambisius dalam pendidikan, prasarana irigasi, hukum dan kesejahteraan rakyat jajahan. Pulau-pulau luar Jawa menjadi sumber penghasil utama tanaman ekspor (tembakau, karet) dan bahan-bahan mentah (minyak, batu bara, timah). Politik kesejahteraan tanah jajahan ini tidak bertahan lama dan tak bermanfaat bagi rakyat di Jawa. Gerakan emansipasi pra-1928 jauh lebih beragam dari arti kata “nasionalisme”. Alasan-alasan ekonomi dan agama lebih terasa. Masyarakat secara menyeluruh sedang bergerak menuju pembaruan;
FOKUS UTAMA
nasionalisme hanya sebagai penyebut untuk semua itu. Hapusnya pemerintahan kolonial menjadi panji-panji yang dikibarkan berbagai kelompok yang aneka macam, seperti kaum bangsawan, kelas menengah yang sedang tumbuh, saudagar Muslim, petani, dan perempuan dari berbagai kelompok sosio-ekonomi. Gerakan luas untuk pembaruan sosial ini terdiri atas 4 aliran penting yang saling berkait: • Nasionalisme gaya Eropa terutama dari lapisan atas dan menengah terpelajar • Pembaru Islam • Sosialisme • Emansipasi perempuan Perkembangan sosio-historis menjelang abad ke-20, seperti meluasnya Islam di Indonesia, dalam banyak hal berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Dampak moralitas burjuis ‘Victorian’ atas hubungan seksual di Indonesia tampak dari ketidaksenangan Belanda terhadap kebebasan seksual yang berakar di Hindu, yang terbukti di kuil-kuil Hindu tertentu. Usaha mempengaruhi seksualitas bangsa Indonesia terutama dipusatkan pada bupati, yang kedudukannya sangat mereka perkuat. Kebebasan seksual laki-laki berarti perceraian sepihak, poligini,
pergundikan, dan perkawinan dengan anak-anak perempuan. Perempuan Indonesia menanggung penderitaan dari hubungan-hubungan seksual yang sederajat, yang mendapat pembenarannya baik oleh hukum adat maupun hukum Islam. Berbagai organisasi perempuan awal abad ke-20 memprotes praktik-praktik demikian (perkawinan anak-anak dan perkawinan paksa). Kartini bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang berbicara melawan ketidakadilan dalam awal abad ke-20. Masalah yang mereka identifikasi sebagai paling berat bagi perempuan ialah: • Pendidikan untuk perempuan • Perbaikan perkawinan (penghapusan perkawinan anak dan permaduan) • Menentang pelacuran • Memberi kesempatan lebih luas untuk perempuan tampil di depan umum • Pendidikan seks • Upah sama untuk pekerjaan yang sama • Perbaikan keadaan penghidupan petani • Pendidikan untuk perempuan tani Pada 1920-an untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, perempuan bergerak di sekitar kepentingan gender mereka. Mereka mengambil bentuk masalah sosio-kultural perempuan, dan mengorganisir diri di atas dasar keagamaan dan daerah serta gerakan politik yang penting saat itu. Berbagai sekolah perempuan didirikan dan sejumlah majalah diterbitkan, serangkaian aksi atas nama perempuan buruh dan pelacur dilancarkan. Organisasi formal perempuan pertama yang berdiri yakni Putri Mardika, didirikan di Jakarta tahun 1912. Organisasi ini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan lebih tampil di depan umum, mengangkat perempuan ke kedudukan yang sama seperti laki-laki. Antara tahun 1913-1915 berdiri berbagai organisasi perempuan di Jawa dan Minangkabau. Mereka mendobrak kungkungan rumah tangga. Perempuan mulai bergerak dalam gerakan-
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
FOKUS UTAMA
Foto:Peringatan Hari Kartini, Jogyakarta1947 Sumber: Museum Gajah
gerakan sosial dan agama yang penting saat itu. Pada tahun 1918 bagian kewanitaan Sarekat Islam dirintis oleh Siti Fatimah di Garut. Pada 1920 berdiri sebuah perkumpulan di Yogyakarta bernama Wanita Utama. Kemudian berdiri organisasi perempuan sosialis sekitar 1920-an. Tahun 1924 Wanita Katolik didirikan di Yogyakarta. Organisasi ini membuka kursus baca-tulis untuk para buruh perempuan. Tahun 1928, dilaksanakan Kongres Wanita seIndonesia mengawali suatu tradisi kerjasama antara berbagai organisasi perempuan, yang tetap hidup hingga sekarang. Namun demikian, kongres yang penting ini juga menandai sejumlah pergeseran penting, dalam cara-cara kaum perempuan Indonesia merumuskan kepentingan gender mereka. Semua organisasi sepakat bahwa pembaruan dalam perkawinan diperlukan, namun dalam soal monogamy, golongan Islam berbeda dengan golongan sekular dan Kristen. Pada 1933 berdiri Mardi Wanita, sebuah organisasi perempuan politik yang lebih radikal. Sebelumnya, tahun 1929 berlangsung kongres perempuan ke-2 di Jakarta yang dihadiri sekitar 50 puluh organisasi perempuan. Pada 1932 berdiri Isteri Sedar yang menyerukan agar kaum perempuan Indonesia terjun dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional. Tahun 1942 Jepang mendirikan organisasi perempuan bentukannya yang bernama “Barisan Putri Asia Raya”. Jepang membubarkan semua organisasi sebelum perang. Walau selama perjuangan nasional gerakan
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
perempuan telah mencapai momen kesatuan yang tinggi, namun kesatuan ini tidak dicapai atas dasar perjuangan bersama demi kepentingan perempuan. Ketegangan hubungan antara organisasi perempuan Muslim dan non-Muslim semasa perang tak dapat diredam. Kaum perempuan terjun dalam perjuangan nasional atas dasar tanggungjawab yang sama, tapi di bawah persyaratan yang tidak sama. Dalam rangka kepentingan persatuan nasional, perjuangan melawan seksisme laki-laki telah diabaikan. Kemerdekaan nasional memberi hak-hak politik dan hukum tertentu pada perempuan Indonesia, namun tidak menghapus struktur patriarkhi. Sesudah kemerdekaan organisasi-organisasi itu menyatakan kepentingan-kepentingan mereka sebagai perluasan soal-soal kerumahtanggaan: pembrantasan buta huruf, penyembuhan penyakit sosial, kesusilaan masyarakat dan semacamnya. Perempuan sudah merasa puas apabila kesamaan hak-hak politik telah tercapai. Penghancuran gerakan perempuan radikal masa 1965 menjadi titik penting kemunduran perjuangan perempuan dalam banyak bidang. Kuatnya dominasi negara di masa Orde Baru semakin meminggirkan gerakan perempuan di tepi jurang kehancurannya. Sekitar tahun 1980-an menguat kembali gagasan feminisme di kalangan muda perempuan kota dan terdidik untuk melawan dominasi negara atas perempuan. Namun kaum muda ini tak pernah berhimpun dalam suatu organisasi sosial politik manapun. Mereka tersebar dalam wadah-wadah semacam organisasi
FOKUS UTAMA
non-pemerintah (ornop), yang punya prinsip nonpartisan. Akibatnya, tak ada lagi gerakan massa perempuan.
Visi, Strategi, dan Metode alternatif
Pengalaman bekerja di organisasi akar rumput dan kelompok-kelompok perempuan membawa kita pada kenyataan mendasar. Pertama, kesadaran dan etika kita kini perlu dikristalisasi menjadi suatu visi yang jelas mengenai apa yang kita kehendaki terjadi pada masyarakat, dan apa yang kita inginkan dari perempuan. Perempuan juga memerlukan strategi yang membawanya dari sini ke sana, membawa mereka melampaui dekade saat mana perempuan mulai menyadari tugas-tugas yang ditetapkan sebelumnya, juga kedalaman kekuatan dan potensi. Akhirnya, kita memerlukan metode untuk mengaktualisasikan visi dan strategi kita. Ini menjadi tema kuat gerakan perempuan modern di mana sasaran, metode, hasil akhir dan sarana saling terkait erat. Refleksi atas sarana dan metode menjadi vital. Ki t a m e n g i n g i n k a n s u a t u d u n i a d i m a n a ketidakadilan berdasarkan klas, gender, dan ras lenyap dari tiap negeri, dan dari hubungan antar negeri. Kita menginginkan suatu dunia di mana kebutuhan dasar menjadi hak-hak dasar dan di mana kemiskinan serta segala bentuk kekerasan dihapuskan. Dengan kata singkat, tiap orang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya secara penuh, dan nilai solidaritas dan kebersamaan perempuan menjadi hubungan nilai kemanusiaan. Peran reproduktif perempuan hendaknya dirumuskan ulang: peran perawatan anak-anak juga dikerjakan oleh lakilaki, perempuan dan masyarakat keseluruhan. Kita menghendaki dunia di mana sumberdaya massif yang dipergunakan untuk tujuan penghancuran dipakai untuk keperluan pemulihan lingkungan. Revolusi teknologi ini harusnya menghapuskan penyakit dan kelaparan serta memberikan perempuan sarana aman untuk mengendalikan kesuburan mereka. Kita menghendaki dunia di mana semua lembaga terbuka bagi partisipasi demokratis, di mana perempuan berbagi dalam menentukan prioritas dan pembuatan keputusan.
Peningkatan kesempatan perempuan memerlukan strategi jangka panjang yang sistematis, dengan tujuan mengubah struktur dan membangun akuntabilitas pemerintahan, sehingga rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam strategi jangka panjang, kita akan mematahkan struktur ketimpangan gender, klas dan bangsa dengan tindakan yang melampaui batas-batas hambatan agar proses tanggungjawab atas kebutuhan rakyat berjalan baik. Persyaratan untuk perubahan bangsa secara fundamental ialah pembebasan bangsa dari dominasi kolonial, memandirikan bangsa paling tidak dalam hal energi, pangan, pendidikan, kesehatan, air bersih. Hal lainnya mencakup bentuk strategi ekspor dalam bidang pertanian dan industri dan kendali lebih besar atas kegiatan perusahaanperusahaan multi-nasional, kemungkinan strategi pembaruan sumberdaya untuk kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. (HG) Sumber bacaan: 1. Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan, Kalyanamitra dan Garba Budaya, Jakarta, Agustus 1999. 2. ISIS Women’s Journal No.6, Women, Struggles and Strategies, Rome, 1986.
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
OPINI
Perkosaan Atas Nama Cinta:
Ti n d a k k e k e ra s a n t e r h a d a p Diyah Wara Restiyati*)
Cinta merupakan pembicaraan yang tidak akan pernah habis dibahas, sesuatu yang abstrak, menyangkut jiwa dan perasaan manusia. Berbicara mengenai cinta, berarti bicara mengenai perasaan tiap individu dengan pemahaman yang berbeda atas makna cinta. Ada yang mengatakan cinta seperti sepotong coklat atau seperti mawar. Bahkan, beberapa penyair cinta mengklaim bahwa cinta telah menimbulkan inspirasi yang tidak pernah habis karena cinta ada pada saat manusia ada. Cinta yang pertama muncul yaitu cinta antara Adam dan Hawa atau Eve terhadap Tuhannya. Jadi, konsep cinta sendiri adalah luas, tidak terbatas dalam cinta antara perempuan dan laki-laki saja. Tapi juga, dalam konteks orangtua, teman, lingkungan, alam, pekerjaan dan sebagainya.
K
etika kita bicara tentang cinta, cinta kerap digambarkan sebagai perasaan yang suci, indah, damai dan tidak mungkin ada kekerasan. Tapi, apa benar dalam cinta tidak ada kekerasan? Terutama, dalam cinta antara perempuan dan laki-laki? Akhir-akhir ini sering kita mendengar yang namanya perkosaan atas nama cinta. Apa maksudnya? Ketika berbicara tentang perkosaan, pikiran kita mungkin akan terbawa pada berita-berita kriminal yang sering ditayangkan di televisi. Namun, yang namanya perkosaan atas nama cinta, tentu tidak akan kita lihat di berita kriminal televisi. Katanya cinta, tapi kenapa terdapat perkosaan? Kalau kita melihat definisi perkosaan sendiri di pasal 285 KUHP tentang perkosaan, yaitu “Barangsiapa
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Dalam perkosaan atas nama cinta, sebenarnya tidak jauh dari definisi di atas, hanya persetubuhan yang terjadi atas paksaan dengan dalih cinta. Selama ini, dalam hubungan cinta antara perempuan dan laki-laki, sering kerelaan untuk berkorban dan menyerahkan apa pun menjadi ‘halal’. Bahwa semua dapat dilakukan dengan alasan cinta, dan ketika kita menyintai seseorang, kita harus siap melakukan apa pun untuknya, termasuk melakukan hubungan seksual. Dengan alasan cinta, dilakukan atas dasar emosi. Ketika menyintai seseorang memang kita jadi tidak bersikap logis. Namun, ketika pasangan kita ‘memaksa’ kita untuk melakukan yang dia inginkan padahal kita tidak mau, apakah kita salah? Tidak! Karena, ketika pasangan sudah melakukan pemaksaan baik secara fisik atau pun berbentuk rayuan dan ancaman, kita harus memahami bahwa itu sudah merupakan tindakan kekerasan. Dan sebaiknya, kita tidak menolerir sama sekali perbuatan pasangan kita itu. Mengacu pada deklarasi anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1 yang menyebutkan bahwa “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau kehidupan
OPINI
pribadi”, maka bukan sekedar tindakan fisik, melainkan psikis dan seksual. Intinya, sama sekali tidak dikehendaki oleh perempuan atau merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dapat dimasukkan ke dalam kategori kekerasan. Perkosaan yang diatasnamakan cinta merupakan bentuk kekerasan. Lalu, kenapa perempuan sering tidak memahami pemaksaan dalam hubungan cinta tersebut sebagai bentuk kekerasan? Kita sering mendengar apa yang disebut budaya patriarkhis. Dalam budaya patriarkhis, laki-laki yang memiliki kekuasaan dan menempatkan perempuan dalam posisi dan peran yang tidak setara, sehingga tidak memiliki posisi tawar, atau disebut ketidaksetaraan gender. Konsep gender yang membedakan perempuan dan laki-laki berdasarkan rekonstruksi sosial, membuat perempuan terkonsep s e b a g a i perempuan yang lemah, tidak berdaya, tidak tegas, membuat laki-laki menjadi pihak yang dominan. Laki-laki dikondisikan selalu benar, logis, tegas, tidak boleh lemah atau cengeng dan harus siap melindungi perempuan. Yang terjadi adalah pembudayaan kekuatan laki-laki atau laki-lakilah yang memiliki kekuasan. Ini membuat perempuan tidak memiliki konsep diri yang utuh, tergantung pada laki-laki, dan mudah terpengaruh atas kekuatan di luar dirinya. Ketika dalam hubungan laki-laki dan perempuan terjadi ketertarikan seksual, sehingga memicu
munculnya hasrat, maka laki-laki menggunakan ‘kekuasaannya’ untuk mengajak si perempuan melakukan hubungan seksual. Padahal, mungkin saat itu si perempuan belum siap atau tidak mau melakukannya. Ketidaksiapan ini dipengaruhi berbagai alasan psikologis, salah satunya, adanya pandangan masyarakat yang mengatakan hubungan seksual dianggap sebagai hal yang sakral. Sebaiknya dilakukan sesudah menikah. Dan, anggapan bahwa perempuan harus perawan sebelum menikah. Kalau tidak perawan, maka akan mendapat cap negatif dari masyarakat, dianggap perempuan ‘gampangan’ atau ‘murahan’. Stigma macam ini membawa beban tersendiri dalam diri perempuan, sehingga ketika perempuan ingin melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, dalam konteks tidak terjadi pemaksaan oleh pasangannya, mereka memutuskan tidak, karena merasa tidak sanggup mendapat sanksi social. Masyarakat kemudian banyak
menggunakan norma agama, sosial dan b u d a y a untuk terus membungkus perempuan dalam ruang yang tidak tersentuh oleh siapapun, dan mengabaikan seksualitas perempuan. Ketika terjadi sesuatu pada si perempuan, justru perempuan yang menjadi pihak yang dipojokkan atau yang bersalah. Biasanya perempuan malu bahkan takut melaporkan kejadian yang dialaminya. Malu karena dianggap telah membawa aib bagi keluarga, berkait dengan konsep perempuan harus tetap perawan sampai dia menikah. Tidak penting bahwa keputusan untuk tidak perawan tidak dari dirinya sendiri. Malu, berkait dengan kepercayaan dan konsep diri yang rendah, bahwa dengan tidak perawan
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
OPINI berarti dikategorikan sebagai perempuan ‘nakal’, kotor dan berdosa. Kategori perempuan nakal oleh masyarakat harus dipertanyakan karena merupakan diskriminasi terhadap perempuan. Dengan mengatakan perempuan yang kehilangan keperawanan sebagai perempuan yang nakal, sedang laki-laki yang tidak perjaka, masyarakat tak pernah men’cap’ sebagai laki-laki nakal. Untuk pelabelan kotor dan berdosa, ini berkait dengan norma agama yang sering digunakan sebagai hukuman atas perbuatan yang melanggar norma agama. Padahal, agama adalah norma yang bersifat personal, relasi antara Tuhan dan makhluk ciptaannya, yang sebaiknya tidak diatur oleh negara atau masyarakat. Kemudian, alasan takut karena ada anggapan pihak aparat hukum yang melihat perkosaan yang dilakukan oleh pacar sebagai urusan pribadi, tak layak untuk diatur oleh negara, walaupun menjadi tindak kekerasan pelanggaran hak asasi manusia. Biasanya hal ini disertai ancaman atau teror pihak pelaku kekerasan (pacar) yang mengakibatkan tak ada rasa aman untuk melaporkan tindakan kekerasan.
Bagaimana caranya agar kita bisa menghindar atau meminimalisir kejadian di atas? Pertama, tentu harus disadari bahwa sebagai perempuan, anda memiliki hak, peran dan posisi yang sama dengan laki-laki. Karena itu, kita berhak untuk menolak melakukan hubungan seksual, apabila memang kita tidak yakin atau belum siap melakukannya. Jangan lakukan karena kita terpaksa atau takut akan kehilangan pacar kita. Kedua, lakukan penolakan dengan tegas apabila pacar kita sudah mulai memaksa. Apapun alasannya dia tidak berhak untuk melakukan pemaksaan. Saat ia mulai mengancam dengan memutuskan kita, jangan takut, karena bila dia memang benar-benar sayang kita, dia tidak akan memaksakan kehendaknya. Ketiga, jangan takut untuk mengatakan tidak terhadap tindakan kekerasan apa pun, baik tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Keempat, minta bantuan segera pada lembaga penyedia layanan kekerasan terhadap perempuan, apabila mengalami tindakan kekerasan. Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan baik fisik, psikis, seksual dan ekonomi dapat diminimalisir, apabila kaum perempuan sendiri memahami, menyadari dan menolaknya! —————— *)Pemerhati perempuan
Zen
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
WACANA
Pe r s o a l a n Te o r i d a n P ra k t i k Tujuan pemberdayaan perempuan memperlihatkan kepada kalangan feminis mengenai kebutuhan untuk menjawab berbagai bentuk penindasan, namun tidak dijelaskan bagaimana caranya semua itu harus diselesaikan. Terdapat berbagai persoalan untuk menghubungkan antara teori dan praktik feminis. Pertama, pembagian material di antara kita, bahwa perempuan membangun pandangan kebebasannya dari titik-pijakan yang beragam. Kita tak hanya memiliki titik-pijakan sebagai perempuan, namun juga sebagai anggota klas masyarakat yang berbedabeda. Perempuan petani, perempuan kulit hitam, perempuan klas pekerja kulit hitam, perempuan lesbi klas menengah, memiliki identitas kepentingan tertentu dalam pembebasannya. Sepanjang perempuan memiliki titik-pijakan klas yang saling berbeda dalam isu-isu yang menentukan itu, dan tetap terkotak dalam masalah ras, budaya, seksualitas, maka tidak akan ada kesepakatan di atas mana kebebasan tersebut hendak didirikan. Kedua, konsep kebebasan juga sangat bergantung pada apa pandangan kita mengenai hubungan di antara berbagai sumber kekuasaan yang ada, seperti antara modal produksi dan sistem seks atau gender yang patriarkhis. Perkembangan feminisme menunjukkan bahwa perempuan tidak bisa dijadikan satu kategori tersendiri, dengan demikian saling keterkaitan sumber pembagian di kalangan perempuan harus diidentifikasi. Akan tetapi, feminisme juga memperlihatkan kesulitan menyatukan kaitan antara berbagai sumber kekuasaan yang ada. Kita perlu mengidentifikasi dan memperjelas ideologi yang mengesahkan berbagai bentuk kekuasaan itu. Cara bagaimana moda produksi bertaut dengan sistem patriarkhi dan dominasi rasial adalah sangat rumit dan begitu dimistifikasi. Sepanjang keterkaitan tersebut mengacaukan, maka sulit bagi perempuan untuk mengorganisir prioritas politik mereka. Ketiga, terjadi perpecahan di kalangan gerakan feminis mengenai apakah perempuan dan laki-laki dalam suatu masyarakat yang ter-transformasi masih secara mendasar berbeda satu sama lain. Perpecahan itu berakar pada ketidaksetujuan atas makna sosial dan politis hakikat biologis kita
sebagai perempuan dan laki-laki. Hal ini bukan suatu persoalan teoritis sederhana di mana kita sepakat untuk berbeda. Pertanyaan apakah perempuan dan laki-laki secara mendasar saling berbeda hakikatnya menimbulkan masalah praktis bagaimana hubungan antara perempuan dan laki-laki dapat diubah. Meskipun kalangan reduksionis biologis secara mendalam mengeritik kalangan feminisme, namun persoalan perbedaan biologis terus ditolak. Persoalan titik-pijakan Kalangan feminis politis akan mengalami hambatan oleh keterbatasan pengalaman perempuan dan ideologi patriarkhis, dan oleh sikap perempuan yang penuh perhatian dan perasaan bersalah di mana mereka hidup di dalamnya. Perempuan dengan berbagai perbedaan pengalamannya tidak akan memberikan keseluruhan aspek transformasi prioritas kesetaraan, sehingga mustahil mengatasi secara sempurna keterbatasan titik-pijakan klas dan rasnya. Manakala titik-pijakan kita sungguh membatasi visi kebebasan kita, maka hal itu tidak berarti bahwa kita tidak memiliki visi yang berguna. Konsekuensi membangun aliansi antar perempuan, bagaimanapun, adalah menghadapi penindasan di berbagai front, artinya perjuangan menentang perempuan, misalnya melawan sayap-kanan perempuan barat yang bersekutu dengan laki-laki, yang mencoba mendorong perempuan kembali ke keluarga dan terpinggirkan dari kehidupan publik, kecuali sebagai tenaga kerja murah. Juga menentang fundamentalisme Islam dan lainnya yang telah merumuskan versi kebebasan dalam rangka melayani laki-laki dan tuhan. Kalangan feminis yang telah merumuskan tujuan politiknya bagi perempuan telah menempatkan dirinya dengan mengatakan kepada mereka apa yang tak ingin mereka dengar, dan melontarkan penghakiman atas rumusan pengalaman dan kebutuhan perempuan. Sebagai alternatif, membiarkan perempuan merumuskan tujuan politiknya terlepas dari titik-pijakan mereka, sudah tentu, meremehkan
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
WACANA hal umum politik feminis. Apabila berbagai kelompok perempuan yang berbeda merumuskan versi kebebasan mereka tanpa mengacu satu sama lain, maka tidak ada evaluasi feminis terhadap ketidaklengkapan visi kebebasan yang bisa dilakukan. Kalangan feminis menekankan pentingnya budaya bisu perempuan untuk mengungkapkan pengalamannya di mana budaya patriarkhi mengabaikan atau merendahkan mereka. Akan tetapi, perempuan hendaknya menilai pengalaman mereka tanpa menyadari dari mana gagasan-gagasan yang mereka yakini dan nilai itu berasal. Menyerap istilah Gramsci, laki-laki mendominasi perempuan karena memimpin dan mendominasi. Kehendak perempuan untuk menikahi laki-laki, tentu saja wajar dilakukan, dan pada titik tertentu mencapai kesepakatan di dalam perkawinan. Mereka dapat meraih kepuasan sebagai ibu, yang menentukan kendali atas anak-anaknya dan ekonomi rumah tangga serta posisi pasti di tengah masyarakat sebagai perempuan menikah. Patriarkhi, dengan demikian, tidak selalu menjadi keseluruhan pengalaman yang buruk bagi perempuan. Hal ini dipandang menjadi buruk bagi perempuan ketika hubungan kuasa antara lakilaki dan perempuan nyata mendominasi, yaitu ketika perempuan berhadapan secara kritis dengan patriarkhi dengan berdiri di belakang laki-laki dan hanya melihat keseluruhan sistem bekerja dan untuk kepentingan siapa. Itu terlihat ketika perempuan berpikir secara menyeluruh dan kritis mengenai organisasi masyarakat, yang memperlihatkan mereka bagaimana patriarkhi menghambat kehidupannya dan memecahbelah satu sama lain, dan mereka bisa memilih untuk melawannya. Hampir sebagian besar perempuan tidak menyadari atau mau melawan ideologi patriarkhi, meskipun mereka mengorganisir isu-isu tertentu untuk kepentingan mereka. Perlawanan demistifikasi ideologi patriarkhi bagi feminis adalah, dengan demikian, mirip dalam beberapa situasi. Pertama, perlawanan dapat diatasi di mana keuntungan yang jelas bahwa perempuan menarik diri dari dominasi laki-laki, yang dianggap keluar dari cara pandang mereka yang tak menguntungkan. Dalam kasus ini, di mana ibu-ibu rumah tangga memiliki pendapatan sendiri, mobil, waktu, dan sumberdaya yang mendukung kegiatan-kegiatan dalam waktu luang dan kenikmatan serta mengendalikan waktu, atau meningkatkan karir mereka. Di sisi
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
lain skala tujuan masyarakat, perempuan tidak bersedia mengeritik gagasan-gagasan patriarkhi dan mengatur di mana laki-laki secara sosial dan ekonomis diuntungkan, yang membuat perempuan sedikit merasakan lebih buruk daripada lakilaki. Perlawanan terhadap demistifikasi ideologi patriarkhis oleh kalangan feminis juga berkait di mana feminisme tampaknya sebagai budaya dominan menghalangi tradisi dan adat-istiadat kelompok-kelompok yang disubordinasi. Hal ini menjadi dasar begitu banyak perlawanan di dunia ketiga terhadap feminisme barat sebagai bentuk budaya kolonial yang menindas. Titik-pijak dari mana kalangan feminis menatap masa depan, kemudian, tidak mudah untuk diangkat bersama. Ini sangat bergantung pada seberapa jauh mereka membangun kesadaran kritis kepentingankepentingan politisnya. Beberapa isu yang mereka lontarkan mungkin urgen, mungkin yang lainnya menjadi prioritas berikutnya, beberapa lainnya menentang hambatan klas atau kepentingan rasial, hambatan agama, atau budaya. Hambatan mengenai transformasi penting untuk dipahami dalam rangka pembebasan perempuan yang hendak dirumuskan. Hambatan ini terbentuk, pertama-tama, oleh tujuan umum pembebasan yang tersirat di dalam feminisme, yakni dengan pengertian bahwa perempuan potensial hidup secara seksual, produktif, dan mereproduksi makhluk hidup tanpa mesti ditindas oleh kaum lelaki. Kedua, memberikan pengertian umum tentang pembebasan ini, bahwa hambatan dibentuk oleh keterkaitan di dalam masyarakat yang nyata antara sistem seks dan gender, produksi, dan reproduksi, melalui mana masyarakat mengembangkan hubungan-hubungan seksual, sosial, ekonomis dan politiknya. (HG)
SOSOK
Jahnavi dan Stigma Coba dengar ungkapan berikut: Orang kerap kali tak bernalar, tak logis, dan egosentris. Biar begitu, maafkanlah mereka. Bila engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif yang egois. Biar begitu tetaplah bersikap baik. Bila engkau mendapat sukses, engkau bakal pula mendapat teman-teman palsu dan musuh-musuh sejati. Biar begitu, tetaplah meraih sukses. Bila engkau jujur dan berterus terang, orang mungkin akan menipumu. Biar begitu, tetaplah jujur dan berterus terang. Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin akan dihancurkan seseorang dalam semalam. Biar begitu tetaplah membangun. Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri. Biar begitu, tetaplah berbahagia. Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, sering bakal dilupakan orang keesokan harinya. Biar begitu, tetaplah lakukan kebaikan. Berikan pada dunia milikmu yang terbaik, dan mungkin itu tak akan pernah cukup. Biar begitu, tetaplah berikan pada dunia, milikmu yang terbaik. Ketahuilah, pada akhirnya, sesungguhnya semua ini adalah masalah antara engkau dan Tuhan: tak pernah antara engkau dan mereka. (Bunda Teresa)
J
ahnavi—begitu aku memanggilnya.Ia menikah pada usia delapan belas tahun. Dua tahun kemudian, suaminya meninggal dunia. Sepuluh tahun sudah, Jahnavi Goswami hidup dengan AIDS yang ditularkan suaminya. Hal itu tak membuatnya kehilangan semangat hidup. Ketika pemilihan perwakilan kongres distrik Assam di timur laut India tiba, ia membulatkan tekad untuk mengikutinya. Seorang perempuan yang positif terinfeksi HIV, mulai bersuara. “Kebanyakan perempuan yang terinfeksi HIV masih sangat muda,” ujarnya berani. “Bahkan untuk yang sudah menikah, seringkali tak mendapat dukungan dari keluarga suami—terlebih, seringkali orangtua mereka sendiri membuangnya. Mereka menghadapi banyak diskriminasi di masyarakat. Orang awam sangat mempercayai bahwa perempuan yang positif HIV adalah perempuan bertabiat buruk.” Hal ini juga dirasakannya. Ketika suaminya meninggal, keluarga suaminya mencampakkannya. Ia dipaksa kembali pada orang tuanya. Bahkan mereka tak memperbolehkan dirinya membawa serta Kastorika, anak perempuannya. Hanya
pengadilan-lah yang memutus dirinya boleh membawa Kastorika, pada akhirnya. Namun anak perempuannya itu meninggal, tak lama kemudian: dia juga terinfeksi. Jahnavi adalah perempuan pertama di India yang berani menyatakan diri positif HIV. “Aku mengumumkan status HIV-ku hanya dengan tujuan membantu ratusan ribu lainnya untuk maju dan memerangi stigma tersebut,” lanjutnya. “Sekaligus membuat masyarakat awam menjadi lebih sadar. Periksalah darah kita dan pasangan sebelum menikah—itu lebih penting daripada menentukan kundalis (horoskop) kedua calon mempelai.” Stigma tersebut tak berhenti di situ. Jahnavi diingatkan, dengan kondisinya, ia tak akan mampu berbuat apa-apa dengan rencananya demi ribuan orang India yang positif terinfeksi. Ah, itu hanya penghalusan makna dari, ‘Sudahlah, sebentar lagi kau akan mati dengan semua rencanamu!’ Pukulan datang lagi. Kali ini ia dicap tak memenuhi syarat sebagai anggota kongres. Alasannya? Apalagi kalau bukan status fisiknya yang positif HIV. Dengan kejelasan statusnya yang positif HIV,
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
SOSOK Jahnavi memutuskan untuk mengkampanyekan penyadaran HIV/AIDS. Itu sudah menjadi tujuan hidupnya. Dia bergabung dengan sebuah badan pemerintah yang mengurusi AIDS di Assam (Assam State AIDS Control Society/ASACS). Di sana, ia bertindak sebagai penasehat. Namun, lagi-lagi karena stigma tersebut, Jahnavi sangat kesulitan untuk menemukan pemilik rumah yang mau menyewakan rumah padanya. Akhirnya, pada 2003, Gogoi, Perdana Menteri negara bagian tersebut, mau meminjamkan rumah dinas milik pemerintah untuk mendukung aktivitasnya. Bersamaan dengan hal itu, pada 2002, Jahnavi juga mendirikan sebuah organisasi—Assam Network of Positive People (ANPP). Tujuannya mulia, memberdayakan dan melatih mereka yang potitif HIV. Selain itu, organisasi itu juga memberikan lingkungan yang mendukung, sehingga mereka dapat hidup di tengah masyarakat. “Kami mendirikan ANPP dengan bantuan Manipur Network of Positive People. Tujuan utama kami adalah memberikan dukungan pada semua orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Assam. Kami
juga memulai sebuah pusat rumah singgah. Pusat tersebut menyediakan konsultasi sekaligus obatobatan gratis bagi pasien. ANPP juga menyediakan jasa rujukan dan jasa pemeriksaan gratis,” jelasnya tersenyum. Rencananya bergabung dengan kongres merupakan salah satu cara untuk menyadarkan masyarakat. “Untuk melakukan itu semua,” ungkap Jahnavi, “seseorang harus memiliki kekuasaan dan pengaruh dari sistem politik saat ini.” Akan tetapi, seandainya hal itu tak terjadi, Jahnavi tak hilang arah.“... dan, sampai tarikan napas terakhirku,” ujarnya menetapkan hati, “aku akan meneruskan kampanye penyadaran ini.” (TE) (seperti dituturkan Jahnavi pada Nava Thakuria)
Gambar: Virus AIDS
Proteins on viral envelope through which the virus attaches to the most tissue cells
Nuclear and generic material - RNA Core Proteins
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
Sumber: www.petech.ac.za
Fatty membrane or envelope covering the viral contents Matrix proteins
ADVOKASI
Tindakan Khusus Sementara dalam Konvensi CEDAW Tindakan khusus sementara merupakan aturan-aturan khusus untuk mempercepat penyetaraan perempuan yang mengikat setiap pejabat publik, insan, organisasi atau perusahaan. Langkahlangkah ini dapat berbentuk kondisi-kondisi pemungkin atau aturan-aturan khusus yang menguntungkan perempuan. Apabila mungkin diskriminasi itu sudah dilarang atau sudah ada jaminan bagi kesetaraan secara hukum, sehingga dapat memfasilitasi akses mereka kepada kesempatan yang ada dan mempercepat kesetaraan secara de facto.
T
indakan khusus sementara adalah sebuah langkah penting untuk dapat mengatasi diskriminasi yang sistemik. Pasal 4.1 konvensi CEDAW mensyaratkan implementasi tindakan khusus sementara seperti quota atau perlakuan khusus untuk mewujudkan kesetaraan de facto. Pada kenyataannya terdapat berbagai keberatan atas tindakan-tindakan khusus sementara. Ada dua keberatan umum yang muncul atas tindakan-tindakan khusus sementara tersebut. Yang pertama, bahwa penerapan tindakan seperti quota yang memihak perempuan akan mengakibatkan ditunjuknya perempuan-perempuan yang sebenarnya tidak kompeten dan bahwa perempuan tersebut tidak akan bisa menghadapi tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tanggapan terhadap keberatan ini adalah bahwa pertama-tama perlu ada suatu komitmen untuk mempercepat kesetaraan de facto bagi perempuan. Hal ini tidak berarti tidak hanya menetapkan quota tapi juga membangun kemampuan perempuan untuk dapat berfungsi secara efektif di jabatanjabatan yang ditunjuk bagi mereka. Perempuan yang berpotensi perlu diidentifikasi, direkrut dan dilatih. Kendala-kendala yang mereka hadapi untuk dapat berfungsi secara efektif harus juga diidentifikasi dan dukungan yang berkelanjutan harus diberikan kepada mereka. Perlu diimplementasi programprogram untuk tersebut beserta kebijakan mengenai quota. Ini adalah kewajiban negara menurut pasal 4.1 CEDAW. Keberatan kedua adalah bahwa laki-laki tertentu akan terdiskriminasi ketika ada posisi yang sudah disisihkan untuk perempuan. Implementasi tindakan-tindakan khusus sementara perlu dilihat sebagai suatu yang esensial untuk memfasilitasi kesetaraan yang berbasis kelompok. Kelompokkelompok tertentu seperti perempuan pada saat ini
ada di posisi yang tidak setara dibanding kelompok yang lain sebagai akibat pola-pola diskriminasi historis terhadap mereka. Oleh karena itu beberapa individu akan harus menyerahkan posisi mereka demi keadilan ketika kelompok mereka sudah berkembang baik apabila dibandingkan dengan ketimpangan yang dialami oleh kelompok-kelompok lain. Beberapa contoh pelaksanaan tindakan khusus dapat dilihat dari kasus berikut : a. Bangladesh Walaupun sekolah-sekolah sudah dibangun dan guru-guru disediakan di daerah-daerah pedesaan, ternyata anak-anak perempuan tetap tidak bersekolah. Setelah diselidiki lebih jauh, ditemukan bahwa ternyata sebagian besar gurunya adalah laki-laki dan para keluarga tidak bersedia anakanak perempuannya diajari laki-laki. Kedua, para keluarga mengandalkan tenaga anak-anak perempuannya untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Hal ini merupakan hambatan budaya dan ekonomi bagi anak-anak perempuan di daerah pedesaan. Pemerintah lalu menerapkan kebijakan untuk merekrut 60% guru perempuan di daerah pedesaan dan untuk memberi keluarga bantuan tunai untuk mengkompensasi hilangnya tenaga kerja anak perempuan di rumah tangga. b. India Di Tamil Nadu, perempuan yang bekerja di sektor informal tidak bisa berhenti bekerja setelah melahirkan, karena kehilangan hari kerja berarti akan ada kehilangan pendapatan. Karenanya pemerintah negara bagian memberikan tunjangan kepada perempuan yang baru melahirkan sebagai bentuk kompensasi kehilangan pendapatan. Ini membuat mereka bisa mengambil cuti melahirkan selama sebulan setelah melahirkan.
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
ADVOKASI c. Bangladesh Walaupun sudah ada quota yang menjamin perempuan ditunjuk untuk jabatan pegawai negeri sipil, namun tidak ada perempuan yang cukup untuk mengisi jabatan-jabatan tersebut. Ini merupakan akibat diskriminasi historis terhadap perempuan. 10 tahun yang lalu, peraturan kepegawaian negeri sipil tidak mengizinkan perempuan menjadi pejabat pemerintah. Belakangan peraturan ini ditarik. Namun ketika quota ini diterapkan, karena aturan diskriminatif masa lalu, tidak ada pejabat perempuan yang cukup dengan jumlah tahun pengalaman yang disyaratkan untuk dapat ditunjuk ke jabatan senior. Pemerintah Bangladesh kemudian membuat aturan khusus bahwa perempuan yang sudah memiliki pengalaman yang cukup di bidang manajerial baik di sektor swasta atau di perguruan tinggi dapat ditunjuk menjadi pejabat senior pemerintahan, sementara laki-laki tetap harus melalui tahapan karir dalam sistem pemerintahan. d. Amerika Serikat Seperti yang dicatat dalam laporan Human Rights Watch dan Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan, di Amerika Serikat sebagian besar perempuan yang dipenjara cenderung berasal dari kelompok “minoritas” etnik dan ras dan oleh karenanya mengalami penindasan majemuk. Banyak dari mereka mengalami kekerasan dan bentuk penganiayaan lain yang turut berperan menciptakan keadaan yang menyeret mereka masuk penjara. Sebagian dari mereka berpendapatan rendah, dan persentase yang cukup besar pernah dipenjara sebelumnya karena pelanggaran-pelanggaran non kekerasan, seperti misalnya penyelewengan tunjangan sosial yang mereka terima. Semua perempuan, dan khususnya perempuan minoritas etnik dan ras lebih rentan mengalami pemerkosaan ketika dalam tahanan, oleh polisi dan petugas keadilan pidana lainnya. Mereka juga cenderung mengalami diskriminasi gender selama proses peradilan dan hanya sedikit yang memiliki akses kepada keadilan. Lebih lanjut lagi, karena sebagian besar narapidana perempuan adalah ibu, meningkatnya pemenjaraan perempuan akan memilki dampak negatif jangka panjang kepada keluarga dan komunitas mereka. Dalam hal ini diperlukan adanya kebijakan dan program affirmative action yang ditujukan untuk membangun kapasitas perempuan di komunitas yang mengalami tingkat kriminalitas yang tinggi.
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
Pada saat yang sama, program bantuan bagi perempuan untuk meminjam uang, mengatur tunjangan sosial dan lain-lain harus dibentuk. Selanjutnya untuk memudahkan akses kepada keadilan, harus ada proses yang tidak hanya peka gender tapi juga proses-proses yang mengikutsertakan perspektif etno rasial. Program-program alternatif harus diimplementasikan untuk menghindari pemenjaraan, khususnya bagi ibu-ibu tunggal yang didakwa dengan pelanggaran-pelanggaran non kekerasan. (SN) Sumber : Membangun Kapasitas untuk Perubahan : Panduan Pelatihan Konvensi mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. IWRAW Pasifik, 2001
ADVOKASI
Pemetaan Kader Perempuan di Desa Pasrujambe, Lumajang, Jawa Latar Belakang Penduduk Lumajang berjumlah 12.000 jiwa, sedangkan di Kecamatan Pasrujambe sendiri memiliki 35.000 jiwa. Desa ini terdiri atas 11 dusun: Dusun Krajan I, Krajan II, Munggir, Suco, Pasretan, Ngampe, Jabon, Talungrejo, Tawunsongo, Sumberingin, Plambang. Dari 11 dusun ini, ada 1 dusun yang dijadikan uji coba Program Pemerintah yang disebut Gerbang Mas (Gerakan Membangun Masyarakat Sehat) tahun 2005-2006 ini. Pelaksanaannya serempak di semua dusun pada tahun 2007-2012.
J
umlah Posyandu di Lumajang ada 1357 unit dengan 18 indikator, kemudian dipecah lagi menjadi 23 indikator. Pembagian dananya: 85% untuk ruas jalan dengan prolink dan 6% jawaban sehat/penggunaan. Dana untuk Gerbang Mas ini yakni Rp 10 juta per tahun untuk tiap dusun; dengan perincian Rp 4 Juta untuk pendataan masalah, dan Rp 6 juta untuk insentif. Tujuan Program Gerbang Mas ini adalah membangun kesadaran masyarakat untuk hidup sehat, sehingga Pemerintah bisa memfasilitasi kebutuhan masyarakat melalui Kepala Desa. Kegiatan perempuan di Desa Pasrujambe adalah PKK yang langsung dipimpin oleh Ibu Kepala Desa, dengan posyandu sebagai unit di dalamnya. Sayangnya, PKK ini tidak berjalan dan posyandu berjalan tanpa dukungan dana dari PKK. Sebenarnya, posyandu memberikan pelayanan kesehatan yang cukup penting, seperti: menimbang balita, kesehatan ibu dan anak, memberi PMT, penyuluhan bagi bumil dan balita kurang gizi, pencatatan KMS, imunisasi oleh perawat/bidan, rujukan ke Puskesmas. Tak menutup kemungkinan, jika posyandu melakukan bina Ibu Balita yang dilakukan sebulan sekali, sebagai upaya penyuluhan untuk penyadaran kesehatan bagi masyarakat. Selama bulan Desember 2005 hingga Februari 2006, Gema Palu (LSM lokal di Lumajang) melakukan pemetaan masalah, analisa sosial, rekomendasi program yang hasilnya : • Peta masalah kesehatan perempuan dan anak di desa Pasrujambe • Organisai kader perempuan tingkat desa yang diberi nama FKKP (Forum Komunikasi Kader Perempuan) • P r o g r a m F K K P d a l a m m e n a n g a n i masalah kesehatan ibu dan anak di desa
Pasrujambe. Fungsi kader atau FKKP ini yaitu memberi informasi, tindakan dan administrasi pada masyarakat untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak di desa Pasrujambe melalui masing-masing dusun. Program FKKP adalah berikut: • Kader posyandu memiliki kemampuan dalam menangani masalah kesehatan ibu dan anak; berfungsinya posyandu sebagai pusat pelayanan kesehatan perempuan dan anak
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
ADVOKASI • Terbangun basis ekonomi kolektif keluarga sehingga mampu meningkatkan daya beli dan kemampuan konsumsi gizi keluarga dengan mengedepankan pengelolaan sumber daya alam yang ada • Ada aturan/kebijakan di tingkat desa yang mengatur sistem pelayanan kesehatan untuk perempuan dan anak Selama 2 hari pertemuan di Balai Desa Pasrujambe, yang dihadiri kader dari 8 dusun, yakni: Krajan I, Krajan II, Jabon, Tawong, Suco, Bringin, Plambang, Kunal/Ngampo dengan fasilitator Hanum dari Hotline Surabaya. Dari kegiatan ini teridentifikasi
masih menggunakan rumah kader Tidak ada data jumlah KK, sehingga tidak mengetahui jumlah Bumil, Balita, Lansia, KK Miskin Tidak ada peralatan yang memadai, seperti timbangan bayi, timbangan, alat ukur ”LILA”, alat ukur Tinggi Badan Tidak ada buku register/ATK yang memadai untuk Bumil dan Balita, kartu rujukan untuk Puskesmas atau Rumah Sakit Biaya untuk pengadaan PMT Kader belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang gizi, Bumil resiko tinggi, kesehatan reproduksi, dan sebagainya berkaitan dengan kesehatan Ku r a n g d u k u n g a n B i d a n / D o k t e r s e r t a Puskesmas Kesimpulan Selama berada di Desa Pasrujambe dan melihat langsung situasi dan kondisi di lapangan bisa dikatakan, bahwa warga masyarakat di desa tersebut kurang memahami arti kesehatan umum maupun kesehatan reproduksi, termasuk kader-kader posyandu. Dari 11 dusun yang ada di desa tersebut, terlihat perbedaan yang signifikan karena ada dusun yang sudah memadai sarana kesehatannya, namun ada yang sama sekali tak punya sarana kesehatan. Perlu peningkatan kapasitas kader posyandu dan partisipasi bidan, dokter, puskesmas dalam melakukan pelayanan di masing-masing dusun, sehingga kasus gizi buruk dan bumil atau balita yang meninggal bisa dikurangi.
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan kader FKKP dalam menjalankan tugasnya. Perlu diketahui dari masing-masing dusun ada 5 kader. Tidak semuanya aktif ataupun bisa bekerjasama dengan baik. Dari pertemuan ini, fasilitator lebih mengarahkan kader untuk bisa menuntut hak-haknya, dalam hal ini ialah hak financial untuk berjalannya posyandu di masing-masing dusun. Pokok Persoalan Tidak ada tempat pelayanan posyandu sehingga
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
Diharapkan dari pertemuan ini bisa menjadi titik awal upaya perbaikan di desa Pasrujambe. Dan, kerjasama Kalyanamitra dengan Gema Palu bisa memberikan perubahan yang berarti bagi kalangan perempuan. Semoga! (DT)
KESEHATAN PEREMPUAN
Inkontinensia Air Seni Inkontinensi adalah gangguan yang tidak menyenangkan. Inkontinensia menyerang 10% perempuan premenopause dan 25% semua perempuan pascamenopause. Oleh karena itu, inkontinensia menjadi masalah yang penting.
Akan tetapi, kemungkinan penyebab terpenting inkontinensia air seni pada perempuan adalah inkontinensia stress. Biasanya air seni dipertahankan tetap dalam kandung kemih oleh katup atau sfingter. Bila kandung kemih penuh, dipancarkan pesan ke otak, dan pada saat yang tepat stingfer terbuka dan air seni keluar. Akan tetapi, kadang-kadang stingfer uretra (lubang yang menghubungkan kandung kemih dengan dunia luar) terlalu lemah untuk menahan air seni dalam kandung kemih. Peningkatan tekanan dalam perut, yang mengakibatkan peningkatan tekanan dalam kandung kemih akan mengakibatkan air seni terdorong melewati stingfer dan keluar melalui lubang uretra. Karena peningkatan tekanan dapat ditimbulkan oleh aktivitas normal seperti tertawa, menangis, batuk dan berlari, maka mudah dipahami bagaimana mengganggunya masalah ini. Stingfer dapat melemah akibat beberapa hal. Melahirkan misalnya, sangat meregangkan otot-otot pada daerah tersebut dan akhirnya melemahkannya. Inkontinensia stress sering disertai penurunan rahim karena keduanya berhubungan dengan kelemahan otot pada banyak perempuan. Biasanya rahim terletak dalam perut dan hanya
leher rahim yang menjorok ke bagian atas vagina. Rahim dipertahankan pada posisinya oleh jalinan otot dan jaringan ikat. Akan tetapi, kadang-kadang penyokong ini melemah dan rahim turun ke bawah dan masuk ke vagina.
www.stayinginshape.com
K
emungkinan penyebabnya ada beberapa. Kadang-kadang, suatu fistula atau cacat bawaan dapat mengakibatkan kebocoran air seni. Bila kandung kemih tidak dikosongkan dengan baik, maka akan terisi berlebihan dan mengakibatkan air seni menetes terus-menerus. Kadang-kadang terdapat ketidakstabilan otot yang menyebabkan inkontinensia dan keinginan membuang air seni waktu malam. Tetapi sering juga tidak ditemukan adanya gangguan fisik yang nyata. Obat-obatan mungkin dapat digunakan untuk membantu pasien yan menderita berbagai bentuk gangguan ini dan salah satu produk, empronium bromida, banyak digunakan untuk membantu orang yang menderita gangguan kandung kemih yang misterius.
Secara teknis terdapat tiga tahapan penurunan rahim: 1. Pada tingkat pertama penurunan, rahim turun tetapi teteap berada di dalam vagina 2. Pada tingkat kedua penurunan, rahim tetap berada dalam vagina tetapi bila penderita batuk adatu bersin, rahim akan keluar dan mengagetkan karena leher rahim akan jelas terlihat 3. Pada tingkat ketiga penurunan, otot-otot yang menyokong rahim demikian lemah sehingga rahim dan leher rahim tetap tergantung pada vestibulum sepanjang waktu. Bila hal ini terjadi, rahim yang mengalami penurunan dikenal sebagai prosidensia dan resiko utama adalah timbulnya luka yang menyebabkan
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
KESEHATAN PEREMPUAN pendarahan dan banyaknya tukak. Dinding rahim jelas terbalik juga sehingga tergantung di luar vulva (bibir vagina). Kadang-kadang inkontinensia maupun penurunan rahim dapat diatasi dengan memperkuat otot-otot sekitar stingfer dengan latihan khusus yang disebut latihan dasar panggul. Perempuan yang ingin memperkuat otot-otot vaginanya sebaiknya duduk pada kloset dengan tungkai saling menjauh dan lengan pada paha. Ia kemudian mula-mula mengeluarkan sedikit air seni dan segera menggunakan otot-otot antara bagian atas pahanya untuk menghentikan aliran. Selama beberapa menit selanjutnya, ia sebaiknya terus mengeluarkan air seni sebanyak satu sendok teh dengan jalan menyemburkannya, mengerutkan otot-ototnya untuk mengatur aliran.
dengan baik, ia dapat mencoba meletakkan jarinya ke dalam vaginanya dan menjepitnya. Ia akan merasakan kekuatan ototnya yang baru. Akan tetapi, sering ahli bedah perlu melakukan operasi dan memperbaiki kelemahan.
Setelah latihan seperti ini dalam beberapa saat, ia akan mampu mengerutkan dan melemaskan otototot sesuai kehendaknya tanpa perlu mengeluarkan air seni. Dan kemudian ia dapat melakukan latihan baik waktu sedang bekerja atau sedang di rumah, atau di manapun. Bila sudah dapat melakukannnya
Sumber: Vernon Colema, “Persoalan Kewanitaan”: dari A sampai Z. Jakarta: Arcan, 1985
Latihan dasar panggul seperti di atas memang dapat mengurangi gangguan inkontinensia stress. Akan tetapi, sering ahli bedah perlu melakukan operasi dan memperbaiki kelemahan. Dari sudut kemungkinan timbulnya trauma sosial dan mental yang disebabkan oleh inkontinensia stress, operasi ini perlu dilakukan. (SN)
Gangguan Siklus Haid
G
angguan siklus haid dibagi dalam empat bagian besar yakni tidak mempunyai siklus haid, siklus haid berat, siklus haid tak teratur, dan nyeri siklus haid. 1 . Ti d a k m e m p u n y a i s i k l u s h a i d (amenorhea) Siklus haid normal mulai timbul bila hormon hipofisis dan ovarium merangsang ovulasi dan haid. Kegagalan siklus haid yang mulai secara spontan menjelang usia enam belas tahun dikenal sebagi amenorhea primer, sedangkan kegagalan siklus haid yang timbul setelah perempuan mengalami siklus haid dikenal sebagai amenorhea sekuder. Tidak adanya siklus haid tentu saja tidak selalu berarti terjadi suatu gangguan. Perempuan muda yang belum mencapai pubertas tidak mempunyai siklus haid dan perempuan yang telah mengalami menopause juga tidak mempunyai siklus haid. Selama kehamilan, waktu telur yang telah dibuahi melekat pada endometriium, tidak terjadi siklus haid. Setelah kehamilan dua dari tiga perempuan yang menyusui tetap tidak mempunyai siklus haid sampai bayinya berusia tiga bulan.
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
Bila tidak ada alasan langsung tentang tidak adanya siklus haid, ada beberapa alasan mengapa perempuan tidak mempunyai siklus haid. Minum pil kontrasepsi dapat menyebabkan hilangnya siklus haid baik selama atau sesudahnya, seperti yang dapat ditimbulkan oleh obat lain dan berbagai gangguan hormonal. Stress, rasa khawatir, makan berlebihan dan anaroksia nervosa dapat menyebabkan perempuan tidak mendapat siklus haid seperti yang ia harapkan. 2. Siklus haid berat (menorhagia) Kebanyakan perempuan kehilangan kurang dari 80 mili darah tiap bulan yakni sekitar tiga ons. Ini berarti bahwa rata-rata perempuan akan menggunakan sekitar dua belas pembalut perempuan selama satu siklus haid, sekitar empat pembalut perempuan digunakan waktu haid terberat. Tentu saja kadang-kadang jumlah darah yang hilang jauh lebih banyak. Perempuan dikatakan menderita menorhagia bila ia membutuhkan lebih dari dua puluh pembalut perempuan dalam satu siklus haid
KESEHATAN PEREMPUAN
atau lebih dari delapan pembalut perempuan dalam satu hari siklus haid. Jumlah darah yang tepat hilang selama siklus haid berat dapat diukur dengan mengumpulkan semua pembalut perempuan dalam kantong plastik dan kemudian dilarutkan dalam larutan khusus. Perdarahan berat kadang-kadang juga diikuti oleh bekuan. Bekuan ini biasanya agak menakutkan, tetapi bekuan bukan tanda apa pun kecuali kehilangan darah yang berat. Siklus haid berat dapat disebabkan oleh banyak hal. Kadang-kadang darah yang berlebihan dihasilkan oleh mekanisme normal sederhana yang disertai perubahan hormonal. Akan tetapi, kadang-kadang darah yang berlebihan dapat disebabkan oleh penyakit peradangan, fibroid, abortus tidak lengkap, IUD atau gangguan pembekuan. Bila perdarahannya sangat berat, dan berlangsung selama berbulanbulan, efek sampingnya tersering adalah anemia. Gejala-gejala utama anemia adalah pucat, cepat lelah dan sesak napas. Sebelum menorhagia dapat diobati, tentu saja perlu dicari penyebabnya. Stu-satunya cara diagnostik yang paling sering digunakan adalah dilatasi dan kuret.bila diagnosis telah ditegakkan, pengobatan dapat dimulai. Bila ada gangguan khusus seperti fibroid atau penyakit peradangan maka pengobatan diarahkan langsung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah gangguan pembekuan, mungkin perlu obat-obatan. Bila perdarahan disebabkan oleh gangguan prostaglandin, maka disebut inhibitor (hambatan) sintetase prostagaldin. Biasanya diperlukan suatu obat anti peradangan non-steroid seperti indometasin atau asam mefanamat. Kadangkdang obat yang dinamakan danazol digunakan untuk menghambat hormon hipfosis. Pil hormon juga kerapkali dapat membantu. Atau mungkin satu-satunya cara penanganan adalah dengan histerektomi. Yang perlu diingat adalah siklus haid berat perlu dicari penyebabnya dan biasanya dapat diobati. 3. Siklus haid tak teratur Siklus haid tak teratur selalu perlu dicari penyebabnya. Gangguan ini dapat disebabkan oleh kehamilan ektopik, abortus bentuk apapun, luka pada leher rahim, gangguan hormonal, polip, IUD dan lain sebagainya. Infertilitas kadang-kadang berkaitan dengan gangguan ini karena perempuan yang mempunyai siklus haid tak teratur mungkin tidak mengalami ovulasi. Siklus anopvulatoir
sering terjadi pada masa remaja, setelah abortus, setelah melahirkan anak dan selama menopause. Pemecahannya tergantung pada penyebabnya tetapi pil kontrasepsi sering dapat mengatasinya. 4. Nyeri siklus haid (disminorhea) Nyeri siklus haid biasanya dibagi dalam dua golongan yakni nyeri yang mulai timbul satu atau dua tahun setelah pubertas (dinamakan disminorhea primer) dan nyeri yang mulai timbul setelah bertahuntahun mengalami haid tanpa rasa nyeri (dinamakan dismenorhea sekunder). Awitan rasa nyeri pada dismenorhea primer biasanya terjadi sekitar waktu m,ulai ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi rahim yan diakibatkan oleh sekresi prostaglandin yang berlebihan. Rasa nyeri ini bersifat kolik, timbul beberapa jam sebelum haid, berlangsung sekitar satu dua hari dan kadang-kadang diikuti oleh mual, berkeringat, pusing dan konsyipasi. Rasa nyeri biasnya dirasakan pada bagian bawah perut dan menjalar ke paha dan bagian bawah pantat. Dua pertiga perempuan yang menderita dismenorhea primer mempunyai riwayat nyeri pada keluarganya dan seringkali banyak perempuan belum menikah menderita nyeri seperti ini karena mereka telah diperingatkan oleh ibunya kemungkinan besar akan menderita nyeri seperti ini. Daya tahan tubuh dapat demikian besar dan nyeri yang diharapkan biasanya dapat terjadi. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa dismenorhea primer merupakan hal yang sepela dan nyeri ini jelas memerlukan perhatian dan pengobatan. Obatobatan anti nyeri biasanya tidak berguna dan tidak efektif, tetapi nyeri biasanya dapat diatasi dengan pemberian pil kontrasepsi selama beberapa bulan untuk menekan ovulasi atau dengan pemberian anti prostaglandin seperti indometasin atau asam mefanamat untuk mengatasi pembentukan prostaglandin. Penghilang rasa nyeri yang sederhana dan terbaik untuk digunakan waktu nyeri bertambah hebat adalah aspirin dan parasetamol. Dismenorhea sekunder dapat ditimbulkan oleh beberpa keadaan. Dismenorhea sekunder selalu timbul setelah bertahun-tahun mengalami haid tanpa rasa sakkit dan dapat disebsabkan oleh infeksi, endometrosis, penyakit peradangan panggul, fibroid, polip, kanker, IUD, ganguan usus, gangguan rangka, gangguan saluran kemih, dan segala sesuatu yang anda pikirkan. Menemukan pengobatan yang tepat bagi dismenorhea pada hakikatnya tergantung pada ditemukannya penyebab nyeri.(SN) Sumber : Vernon Coleman. “Persoalan Kewanitaan” : dari A sampai Z. Jakarta : Arcan, 1985
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
KESEHATAN PEREMPUAN
Kehilangan Gizi Akibat Kebiasaan merokok yang konon dapat menenangkan suasana hati yang sedang gundah, justru akan memperparah keadaan. Menghisap 1,5 bungkus rokok akan mengurangi vitamin C dalam tubuh sebanyak 30%. Vitamin C dalam tubuh berfungsi meningkatkan kekebalan tubuh. Oleh karena itu, apabila stress hindari rokok karena akan semakin menurunkan kekebalan tubuh.
http://medicalcenter.osu.edu
kekurangan vitamin B, C, kalsium, zinc dan magnesium. Alkohol juga akan menurunkan nafsu makan sehingga tubuh terhalang untuk memperoleh asupan konsumsi gizi seimbang. Stres akan mengganggu efektivitas kerja melatonin, yaitu substansi kimiawi yang dihasilkan oleh kelenjar otak yang mengatur jam tidur seseorang. Melatonin juga bermanfaat sebagai antioksidan yang akan menangkal serangan radikal bebas yang menyebabkan penyakit seperti kanker dan beberapa gangguan hormonal. Orang-orang yang hidupnya selalu dilanda stress menyebabkan antioksidan melatonin tidak dapat bekerja dengan baik. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau proses penuaan dini lebih cepat mendera orang stres.
O
rang-orang yang sedang stres juga disarankan untuk menjauhi kopi serta makanan yang manis. Karena kafein dalam kopi bersifat diuretik sehingga vitamin B dan C ikut mengalir keluar bersama urine. Sementara itu, konsumsi makanan manis akan menghabiskan vitamin B dalam tubuh karena konversi gula menjadi energi membutuhkan kehadiran vitamin B. Orang-orang yang kekurangan vitamin B1 akan mengalami gangguan sistem saraf dan memunculkan gejala kelelahan dan mudah terusik. Minum alkohol sebagai pelampiasan stres akan semakin memperparah kondisi tubuh. Alkohol bersifat diuretik sehingga akan menimbulkan
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
Dalam kondisi stress, gangguan lambung sering terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa saluran pencernaan memang perlu lebih diperhatikan ketika kita sedang mengalami gangguan emosional. Oleh karena itu makanan yang berpotensi akan mendatangkan iritasi lambung sebaiknya dikurangi, seperti kopi kental, alkohol, makanan berlemak tinggi, makanan pedas, makanan asam, serta daging setengah matang. Dengan demikian, eski stres merupakan gangguan psikologis, namun sangat berpengaruh pada kondisi tubuh kita. Oleh karena itu, ketika berada dalam kondisi stress, hendaknya kita lebih memperhatikan pola konsumsi makan kita agar keseimbangan tubuh tetap terjaga. Dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Sumber: Ali Khomsan, Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta, Grasindo, 2004
PUISI KITA PEREMPUAN PERKASA
[email protected] (Kepada Dewi lestari, Nurul Qoiriah dan Wahyu .Yang saat ini berada di Jenewa Atas Nama TKI) kau kenal benar rumah ini rumah diri kita siapapun mengenalnya warna pintu dan jendela kau hapal kita hapal hingga mimpi kau kenal rumah ini rumah diri kita kadang berantakan kita hanya sempat sejenak menyeka keringat di dahi tangis duka dan sunyi hanya menggenang di hati tak usah lagi kita saling tutur rincian catatan halaman waktu kian menebal kian kusam tertimpa airmata tetesan demi tetesan darah siksa mengental kaupun kenal sejak itu dan sejak lama tanpa debat kita lama sepakat kita cuma bisa mengepalkan tekad mengepalkannya sekeras baja demi martabat gelombang sepi di bawah dermaga dan jembatan sebentar lagi kau kan tembusi awan teluk mengarungi padang kelabu menjangkau ujung-ujung mataangin di zaman kita penjuru tak ubah sehelai kertas gampang ditekuk kubayangkan di sana tangan dan jarimu yang rajin terlatih duka dan sepi perempuan mengetok pintu demi pintu menempelkan di tembok-tembok kota dan kantor selebaran kisah getir tki — kisah kita sejak lama tanpa debat kita sepakat dan tahu kita cuma bisa memilih mengepalkan tekad seperti saat demo saling bahu-membahu dan berteriak lantang menuntut keadilan hak asasi buruh migran kita perjuangkan diskriminasi kita sobek! dari kejauhan kau sudah di tangga pesawat jempol kuacung di antara deru baling-baling mengucapkan harapan sebelum berangkat tangan kirimu menggengam tinju : kita jangan menyerah! kita memang pantang menyerah!! (Hongkong,Mei 2004)
SATU NAFAS Jala Paser
Lingkaran kecil – lingkaran besar menyatulah! Kau bentuk lingkaran besar! Hai para petani juga nelayan Hai para buruh gudang, pabrik serta miskin kota Dobrak-dobraklah!!! Senja kian merapat Kabut kian mendekat Beraksi lakukan penyerangan Usir-usir saja mereka Jangan beri peluang Masuk lingkaran besar kita Duhai Srikandi bagi panahmu Lalu bisikkan pada Arjuna Tuk segera bersenggama satukan diri Busurkan panah-panah itu Pada sum-sum tulangnya Obsesi-obsesi yang masih tergantung Bedil…bedil…bedillah!!! Agar barokahnya langit turun ke bumi Seperti ikan dan udang Senantiasa menyapa senyum nelayan Pembibitan-pembibitan terus galakkan Tuk tmukan aroma-aroma baru Prural dan tidak monokultural Menuju pelangi-pelanginya Butuh beribu-ribu, berjuta-juta bahkan bermilyaran warna Kekuatan-kekuatan itu tidaklah bermakna Bila berangkat sendiri-sendiri Sadarilah akan para dedengkot global Rapi, sistematis dan terstruktur Untuk itu hanya ada satu nafas Menggugat dan hancurkannya Pengawalan-pengawalan tidaklah kenal kemandekan Akar rumput sektoral perketatlah Tutuplah lubang-lubang incarannya Hingga cela-cela tuk perdaya Terhalang lalu lintas kesadaran pola piker Para petani, nelayan, buruh gudang, buruh pabrik serta miskin kota Menghitung saat yang tepat tuk penjarakan sang penindas
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
KISAH
Playboy Cap Kuasa
M
andy, majalah berisi gambar-gambar wanita tanpa busana itu, aku apit di ketiak. Mataku jelalatan. Ke kanan, ke kiri. Sudut mata: tak ada siapa pun: Aman! Dengan bergerilya, sampai juga aku ke toilet kantorku. Pintu berjajar-jajar, terbuka. Ada satu yang tertutup. Dengan birahi menggelegak, aku mendatangi pintu yang tertutup. Bayanganku di kaca wastafel pun terlihat bernafsu. Aku mendorong pintu itu. Hah! Di dalamnya, ada seorang wanita yang sedang duduk di toilet. Tangannya menutupi. Itu, ‘kan Mendy, teman kantorku! “Eit, eit, sorry—sorry!” kataku malu. “Heh, Budianto, tutup pintunya, dong! ‘Kan malu,” ucap Mendy sengit. Aku mau beranjak, lantas... “Heh, siapa yang nyuruh kamu keluar? Maksudku, tutup pintunya—kamunya ke sini! Ngerti?” perintah Mendy dengan jari telunjuknya yang genit memanggil. Aku tak kuasa menolak. Kami menggelinyar. Uh-ah! Larut dalam ruangan toilet. Tiba-tiba... Duk-duk-duk, “Ada orang di dalam, ya?” teriak manajerku dari luar. “Bud, Budianto, kamu tidur apa sedang baca mantra? Cepat kerja lagi, sana!” Sontak khayalanku jempalitan. Aku terkesiap kaget. Posisi tanganku sedang asyik mencekik si ‘Adik Kecil,’ sementara tangan yang lain memegang majalah Mandy yang terbuka. Bos-ku di luar, menggedor-gedor pintu: membuyarkan fantasi liarku. Lho? Lah, ke mana perginya si Mendy? Entah, ia menguap bersama khayalanku, meninggalkan gumpalangumpalan tisu lengket ini. Napasku masih tersengal. Hosh-hosh. Aku berfantasi: aku merancap. “Hua-ha-ha-ha-ha,” tawa atasanku membahana. “Dasar Budianto! Goblok!” Tawanya masih terdengar dari ruangannya. Aku dapat menebak, apa yang sedang dilakukannya. Sedari tadi, ia pasti membaca sambil mendengarkan radio. Kerjanya, ya itu saja. Baca majalah khusus laki-laki. Bahasa kerennya, kaum metroseksual. Itu, laki-laki dandy yang suka dandan. Paling-paling, kalau sudah membaca, kakinya selalu melanglang buana ke atas meja yang di atasnya terdapat papan nama “Direktur”. Radio yang didengarnya? Dia suka dengar berita (mungkin itu satu-satunya hal positif yang ada pada dirinya). Kali ini ia sedang malas diganggu. Ia hanya cukup memerintahkan aku agar berbohong. Bilang saja aku sedang rapat, tidak ada di tempat, atau apa-lah, katanya menyuruhku berbohong, pagi ini. Kalau sudah begini, terpaksa aku harus menjadwal ulang semua agendanya. Maklum, aku adalah sekretarisnya, itu sudah tugasku. Meski berbohong tidak termasuk di dalamnya. Nama “Direktur”-ku, Paryanto. Pria beristeri berusia 40-an yang menapaki tangga karir berbekal keturunan: pewaris pemegang saham terbesar. Ia selalu pura-pura tuli kalau dipanggil Pak Paryanto olehku. Ia selalu memintaku memanggilnya “Mas
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
Yans”—lebih elit, katanya. Dan, lebih mesra. Huh! Namaku? Hmm, panggil saja Ayu. Tentu itu bukan namaku yang sebenarnya. Aku orangtua tunggal dari dua anak. Mereka berumur lima dan tiga tahun. Anak-anak yang luculucu. Bapak mereka menceraikanku. Aku tak perlu menyebutkan alasan kami bercerai. Yang jelas, pengadilan mengabulkan gugatanku, sekaligus memberikan hak asuh anak-anak padaku. Aku beruntung. Selama proses perceraianku berlangsung, aku didampingi oleh teman-teman dari sebuah LSM. Hakim pun berpihak padaku. Putusannya tak hanya memberikan hak asuh anak-anak padaku, beliau juga menetapkan kalau suamiku (sekarang mantan) harus memberikan nafkah bagi anak-anak hingga mereka dewasa. Begitu kata Undang-undang yang berlaku—katanya. Namun, putusan tinggal putusan. Mantan suamiku meninggalkan kewajibannya. Ia tak mau menafkahi anak-anak. Ia bilang, lantaran aku yang mengasuh mereka, aku pula yang harus menafkahi. Tidak adil. Undang-undang—kalau aku tak keliru UU No. 1 tahun 1974—menyatakan bahwa peran suami sebagai kepala keluarga, dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Lantas, bagaimana dengan kewajiban memberi nafkah bagi anak-anak—aku tak perlu meminta-minta, anak-anak-lah yang paling penting.
KISAH
Kekurangan putusan tersebut: tak ada ikatan sanksi. Mantan suamiku bebas melenggang. Meninggalkan kewajibannya. Lagi pula, undang-undang tersebut sudah seharusnya diubah: tak lagi mengatur urusan siapa yang bertindak sebagai kepala keluarga. Pontang-panting. Aku mesti menafkahi anakanak. Beruntung, aku lulusan sebuah akademi sekretaris. Jadilah aku melamar. Baru dua bulan aku bekerja. Kata Fandi, seorang manajer muda yang akrab denganku, aku menggantikan sekretaris lama yang dipecat: agaknya, aku tahu alasannya. Begitulah sejarahku hingga terdampar di tempat ini. Dengan kondisi kerja yang tak kondusif, aku tetap bertahan. Anak-anak perlu makan. Perlu pendidikan. Aku pun gundah akan teman hidup. “Yu, cepat ke mari!” Bos-ku memanggil dari telepon di mejanya. Lamunanku pecah. Aku beranjak menghampiri. ‘Ku buka pintu: Betul saja, posisinya persis seperti bayanganku tadi. Membaca sambil dengar berita di radio. “Coba baca ini, Yu!” katanya setengah memerintah. Dalam hatiku berpikir, siapa peduli. Tapi aku baca juga. “Lucu, ‘kan?” katanya mencari dukungan. Aku hanya mengangguk perlahan: tak senyum, apalagi tertawa. “... RUU APP. Pawai ini juga turut mengundang artis-artis ibukota. Bahkan, beberapa dari daerah. Mereka mementaskan kesenian dari daerah masingmasing....” teriak radio di dekat kakinya. “He-he-he,” ia cengengesan. (Oh tidak, aku tahu nada tawa itu!) “Ngapain si Budianto itu pake ngumpet-ngumpet. Coba kalau dia jadi direktur— seperti aku—‘kan, bebas.” Sejurus kemudian, tangannya sudah melingkar di pinggangku. Merengkuhku. Kurang ajar! Benar saja, dia melakukannya lagi. Aku menampik tangannya. “Deuu, gitu aja sewot,” rayuan gombalnya mulai meluncur. “Sini, sini, biar Mas Yans pijitin, ya?” Ia mulai berdiri di belakangku. Lantas, kembali tangannya menggerayangi, kali ini di pundakku. Kontan aku berbalik. “Pak, maksud Bapak apa, sih, memanggil saya ke sini?” suaraku bergetar—begitu juga tubuhku. “Cuma untuk...”
“Heh, aku, ‘kan di sini, Bos-mu!” ia memotong, nadanya meninggi. “Kamu itu bawahan! Sudah seharusnya...” Tok-tok-tok, “Permisi, Pak.” Fandi masuk sambil tersenyum padaku. Senyumnya mengurangi kegundahanku. Kebetulan ini menyelamatkan aku. Lagi. “... Sementara itu, staf kepresidenan Iran mengatakan bahwa Presiden Ahmadinedjad mengirimkan surat kepada Presiden Bush. Namun, ia tak merinci isi surat tersebut...” “Kamu itu biasa: lain kali, kalau mau masuk, tunggu dipersilahkan, baru masuk! Mengganggu saja!” “Hmm, iya Pak, maaf. Ini laporan yang Bapak minta, kemarin.” “... berhasil menjuarai Piala UEFA. Sevilla menang telak atas Middlesbrough: 4 – 0. Ini merupakan...” Kesempatan muncul. Secepat kilat, aku pergi meninggalkan ruangan itu. Begitulah. Ia selalu menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendak. Mengingatkan bahwa aku hanyalah bawahannya. Tujuannya? Apalagi kalau bukan untuk memuaskan nafsu ‘makhluk-bodohtak-bertulang-belakang’ di antara kedua kakinya itu. Rayuannya pun bukan hanya kata-kata mesra saja, ia bahkan menjanjikan imbalan jabatan—dan jaminan keamanan dalam jenjang karir, tentunya. Rayu-rayuan tak mempan. Sekali waktu ia pernah memberikan pilihan: melayani nafsu buasnya atau mendapat sanksi. Dipecat, seperti sekretaris sebelum aku? Bahkan, kalau sudah tak tahan, ia suka sruduk-sruduk main peluk, main cium segala! Jahanam! Aku tak bisa mengandalkan kebetulankebetulan lagi. Aku harus melawan. Tapi... aku butuh uang untuk anak-anak. Aku butuh teman hidup untuk membesarkan mereka, bersama-sama. Bagaimana ini? Fandi keluar dari ruangan atasanku. Kembali ia tersenyum padaku. Matanya mengucap beribu bahasa. Senyumnya menyejukkan. Sambil berlalu ia meninggalkan secarik kertas di mejaku. Isinya: “Aku tahu tempat makan yang enak: makan siang bareng, yuk?” Aku tersipu-sipu. (TE)
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
WARTA PEREMPUAN kalyanamitra
WOMEN’S COMMUNICATION AND INFORMATION CENTER
Kabar dari Kegiatan Sosialisasi CEDAW
K
I o S
SERIAL DISKUSI KOMUNITAS:
Partisipasi Publik dan Politik Bagi Perempuan Tanpa Diskriminasi Indonesia telah bersepakat dengan n e g a ra - n e g a ra d i d u n i a m e l a l u i PBB dengan meratifikasi Konvensi CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984. Secara formal, pemerintah Indonesia memberikan Laporan Pemerintah ke PBB dengan menyatakan bahwa tidak ada satu peraturan pun yang mendiskriminasikan kaum perempuan untuk berpartisipasi di bidang politik maupun dalam kehidupan publik lainnya. Sedangkan Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan melalui UU Nomor 68 tahun 1956 dimana kebijakan negara tentang perempuan justru mengukuhkan ideologi gender yang berdampak dengan partisipasi politik perempuan menjadi sangat terbatas. Negara pun tidak melakukan tindakan-tindakan khusus untuk mempengaruhi partisipasi perempuan dalam politik sebagai suatu aspek yang penting bagi terciptanya kesetaraan gender sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 4 Konvensi Hak Politik Perempuan. Misalnya Dalam aspek-aspek kehidupan, seperti sosial, ekonomi, dan budaya, tindakan-tindakan khusus yang dilakukan adalah melegitimasi peran perempuan di sektor ekonomi. Namun justru legitimasi ini lebih untuk kepentingan ekonomi dan politik negara dan bukan demi kepentingan kaum perempuan sendiri. Ideologi gender negara yang menjustifikasi organisasi-organisasi fungsionalis, seperti Dharma Wanita, KOWANI, PKK, serta UU Politik yang memberlakukan masa mengambang adalah sebagian dari sebab-sebab yang menghambat partisipasi politik kaum perempuan dan tidak memberi otonomi politik bagi mereka. Kehadiran perempuan lebih banyak digunakan untuk mengoperasionalisasikan ideologi pembangunan negara yang menekankan pada stabilitas politik dan ekonomi. Perempuan juga dijadikan alat mobilisasi politik untuk melestarikan kekuasaan partai yang berkuasa saat ini, dengan mengharuskan mereka menjadi anggota partai tersebut. Dan hal ini ditunjukkan dengan diberlakukannya sistem quota 30% bagi perempuan di Parlemen, Partai Politik, atau badan-badan pengambil keputusan lainnya Pada umumnya kaum perempuan hanya memegang jabatan-jabatan yang rendah dan pada departemen-departemen yang secara tradisional dianggap sebagai pekerjaan perempuan, seperti departemen pendidikan dan kesehatan. Dan tidak jarang pula ketika perempuan terpilih sebagai pejabat-pejabat di lembaga tinggi negara, di situasi dan kondisi tertentu partainya secara halus menyingkirkannya dari jabatannya dengan berbagai alasan dan digantikan oleh kaum laki-laki. Berdasarkan pengalaman PPSW mendampingi beberapa kelompok di Jakarta, yang memberikan bekal kepada mereka untuk mengembangkan diri dalam pemberdayaan perempuan. Pada kelompok ini ada beberapa kelompok usia antara lain 61% berusia 30 – 40 tahun, 21% berusia diatas 50 tahun dan 8% berusia dibawah 30 tahun. Di antara ibu-ibu yang didampingi ini ada yang sebagai pedagang makanan, pedagang
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
WARTA PEREMPUAN kalyanamitra
WOMEN’S COMMUNICATION AND INFORMATION CENTER
Kabar dari Kegiatan Sosialisasi CEDAW
K
I o S
pakaian, pedagang kelontong dan lain-lain. Pendidikan mereka bermacam-macam antara lain 10% tidak sekolah, 51% SD, 21% SLTP, 14% SLTA dan hanya 1% di Perguruan Tinggi. Kendala-kendala yang dihadapi selama ini adalah yang datangnya dari anak didiknya yang kurang percaya diri serta kendala ekonomi. Masih banyak perempuan yang memegang prinsip bahwa mereka hanya bertugas di sumur, di dapur dan di kasur. Hal ini yang menyebabkan mereka sulit untuk mengembangkan potensi kemampuannya perempuan berpartisipasi di publik dan politik. Melalui pelatihan yang dilakukan PPSW telah berhasil mendidik dengan baik sehingga ada yang sudah menduduki di tingkat RT,RW dan ada pula yang mencalonkan sebagai Kepala Desa namun belum kesampaian, ini terjadi di daerah Sukabumi. Kebijakan publik akan sangat berpengaruh atas peningkatan kesejahteraan perempuan karena kebijakan publik akan berangsur-angsur memperhatikan aspirasi dan kepentingan perempuan, hal ini sangat diharapkan bagi perempuan tetapi tidak hanya di wilayah-wilayah tertentu saja namun menyeluruh di wilayah-wilayah lainnya. Pembahasan diskusi tersebut difasilitasi oleh Kalyanamitra dengan mendatangkan narasumber Nia Kurniawati (PPSW) dengan topik bahasan Partisipasi Publik dan Politik Bagi Perempuan Tanpa Diskriminasi dan Rena Herdiyani (Kalyanamitra) dengan topik bahasan Partisipasi Publik dan Politik Bagi Perempuan Tanpa Diskriminasi Menurut CEDAW. Diskusi tersebut dilaksanakan di Kantor Kelurahan Kali Baru, Bekasi bersama Komunitas Gerakan Perempuan Perduli Bekasi pada hari Sabtu, 22 April 2006. (SN) SERIAL DISKUSI KOMUNITAS:
Partisipasi Perempuan Di Internasional Dalam Kaitan Antara CEDAW dan Kehidupan Sehari-hari Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW berkewajiban untuk menerapkan di dalam negeri, tanggung jawab untuk benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak, khususnya eksekutif, legislatif, yudikatif, media, NGO dan setiap individu. Oleh karena itu CEDAW harus terus dikawal agar dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia, dengan ikut memantau dalam Komite CEDAW. Meskipun sudah ada beberapa kemajuan perempuan di Indonesia, namun CEDAW secara substansi belum dapat dikatakan berjalan dengan baik. CEDAW sendiri belum banyak diketahui oleh masyarakat luas, khususnya aparat penegak hukum dan pemerintah yang membuat kebijakan. Padahal CEDAW sudah berumur 22 tahun sejak diratifikasi pertama kali pada tahun 1984 melalui UU No. 7 Tahun 1984. Banyak tanggung jawab negara yang masih belum dilaksanakan. Harmonisasi hukum masih banyak yang belum dilakukan, peradilan yang kompeten juga belum diciptakan, tidak hanya peradilan yang standar yang ada tetapi juga peradilan yang berperspektif gender. Hal yang paling penting di CEDAW adalah prinsip yang non diskriminatif. Jika terjadi pembedaan dan berakibat pada kerugian perempuan itu, maka sudah termasuk diskriminasi. Dalam konvensi CEDAW sudah diatur secara detail, bahkan sudah sangat jelas mana yang temporary action dan permanent action. Belum berjalannya CEDAW secara baik di Indonesia bukan berarti Indonesia tidak melaksanakannya sama sekali. Memang perlu dimaklumi bahwa dalam pelaksanaan CEDAW ini masih berbenturan dengan persoalan kultur budaya yang berbaur dengan agama di Indonesia karena ini adalah kendala paling berat karena perempuan masih diposisikan pada kelas dua di masyarakat. Tapi soal kultur budaya yang berbaur dengan agama di Indonesia memang menjadi masalah berat namun perempuan Indonesia harus yakin bahwa di masa depan pemerintah membuat
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
WARTA PEREMPUAN kalyanamitra
WOMEN’S COMMUNICATION AND INFORMATION CENTER
Kabar dari Kegiatan Sosialisasi CEDAW
K
I o S
sistem kelembagaan yang akan menangani masalah HAM dalam arti pelaksanaan, sehingga kita bisa menjamin dua hal, pertama memberi keadilan kepada orang yang dilanggar HAM-nya dan memberi keadilan pula kepada pelaku yang harus dibawa ke pengadilan. Dalam pasal 8 CEDAW disebutkan adanya persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk berpartisipasi di tingkat internasional termasuk di organisasi-organisasi internasional termasuk badan PBB, kedutaan besar dan sebagainya. Biasanya muncul komentar bahwa hanya perempuan yang berkualitas yang bisa berpartisipasi di tingkat internasional sehingga perempuan harus meningkatkan kapasitasnya untuk bisa bersaing dengan laki-laki untuk berpartisipasi di tingkat internsional. Dalam kenyataannya, perempuan dikondisikan untuk tidak dapat mengembangkan kapasitasnya secara maksimal. Oleh karena itu harus dilakukan usaha pendukung agar perempuan memiliki akses mengembangkan kapasitas yang sama dengan laki-laki. Perempuan dapat dituntut untuk memiliki kapasitas dan kualitas yang sama dengan laki-laki apabila akses yang disediakan juga sama. Selain berkawajiban membuat kebijakan yang anti diskriminasi terhadap perempuan, pemerintah juga berkewajiban untuk membuat laporan tahunan yang akan dipresentasikan setiap empat tahun sekali di depan komite CEDAW. Siklus pelaporan di PBB untuk seluruh pelanggaran HAM adalah 4-5 tahun. Tiap-tiap konvensi mempunyai komite pengawas yang beranggotakan 10-23 orang terdiri dari ahli-ahli internasional mengenai hak asasi manusia yang dipilih oleh negara-negara pihak dalam suatu kesepakatan, dengan masa tugas selama 4 tahun. Mereka bekerja secara personal berdasarkan kapasitas masing-masing dan bukan merupakan wakil pemerintah. Adapun mekanisme monitoring CEDAW dilakukan dengan cara menerima pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh individu berdasarkan kesepakatan yang ada. Komite akan mencermati setiap laporan rutin yang disampaikan pemerintah mengenai implementasi CEDAW meliputi tindakan dan upaya yang telah diambil dalam pelaksanaan CEDAW, kemajuan yang diperoleh serta rintangan dan permasalahan yang ditemukan oleh negara dalam pelaksanaannya. Hasil pengamatan dituangkan dalam sebuah dokumen publik yang berisi tanggapan-tanggapan atas kinerja pemerintah, penghargaan atas kemajuan yang positif, hal-hal penting yang harus diperhatikan dan menyediakan usulan dan rekomendasi untuk maslah-masalah khusus. Masih terdapat beberapa kelemahan dari sistem pelaporan oleh negara peserta CEDAW antara lain, 1) banyak negara yang terlambat menyerahkan laporan mereka, bahkan beberapa negara terlambat hingga bertahun-tahun dari jangka waktu yang ditentukan, 2) komite umumnya tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk memeriksa semua laporan dalam jangka waktu yang ditentukan, 3) pemerintah tidak selalu mempertimbangkan tanggapan, usulan dan rekomendasi yang dihasilkan oleh komite pengawas, serta 4) proses tidak mendapat publikasi yang memadai. Sebuah perkembangan baik bahwa Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengesahkan dokumen No.E/C.12/2000/6 pada bulan Juli 2000 yang menegaskan bahwa LSM-LSM dapat meberikan kontribusi secara efektif kepada pekerjaan Komite, mengingat Komite sudah memiliki pengalaman yang luas dalam bekerja sama dengan LSM. Disebutkan juga bahwa LSM-LSM tersebut dapat menghubungi sekretariat Komite yang bersangkutan untuk mendapatkan informasi. Pembahasan di atas merupakan materi diskusi yang dilaksanakan Kalyanamitra bersama dengan komunitas Koalisi Perempuan Indonesia. Diskusi tersebut mengmbil tempat di kantor Kalyanamitra, Jl. Kaca Jendela II No.9 Kalibata, Jakarta Selatan pada hari Sabtu, 29 April 2006 pukul 10.00 – 13.00. Terlibat dalam diskusi komunitas ini, Rena Herdiyani (Direktur Eksekutif Kalyanamitra) dan Wiharti (Direktur Eksekutif Pendapa). (SN)
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
WARTA PEREMPUAN kalyanamitra
WOMEN’S COMMUNICATION AND INFORMATION CENTER
Kabar dari Kegiatan Sosialisasi CEDAW
K
I o S
SERIAL DISKUSI PUBLIK:
Perempuan sebagai Kepala Keluarga (single parent) dan Pengaruh terhadap anak Pada dasarnya UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan perempuan dan laki-laki hak yang sama dalam perkawinan dan perceraian serta pencatatannya, pengasuhan anak, harta bersama dan dalam melakukan tindakan hukum. Namun demikian, UU ini mengandung kelemahan mendasar karena telah mengukuhkan pembagian kerja secara seksual dan stereotyping. Sehingga banyak kebijakan, peraturan dan program yang ditujukan untuk perempuan terutama dalam bidang publik, khususnya yang berkaitan dengan hak-haknya sebagai pekerja, didasarkan pada pembagian peran dalam rumah tangga ini. Ketentuan tersebut sangat ambivalen karena di satu pihak, pasal 31 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (ayat 1) dan masingmasing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2), kewajiban yang sama dalam memelihara dan mendidik anak-anak mereka. Posisi perempuan dalam keluarga dan perkawinan tidak diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di satu sisi, UU ini memberikan hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Atau dengan kata lain perempuan sebenarnya mempunyai legal capacity, namun UU ini di sisi yang lain masih mengandung kelemahan yang mendasar, yaitu adanya pengukuhan pembakuan peran perempuan. Peran ini akhirnya mempengaruhi perempuan dalam mencapai kedudukan yang sama dan mewujudkan relasi yang setara dengan kaum laki-laki. UU ini juga memberi dampak yang berbeda pada perempuan dimana banyak hal yang tidak diakomodasi kepentingannya. Pernyataan dalam UU tersebut, bahwa suami adalah kepala rumah tangga yang wajib melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup keluarganya, sedangkan istri adalah ibu rumah tangga yang wajib mengatur rumah tangga kemudian hal ini memberikan pengukuhan atau pengaruh yang kuat di dalam kehidupan perkawinan di Indonesia. Kepala keluarga di Indonesia sangat identik dengan laki-laki, padahal dalam realitanya tidak sedikit perempuan yang harus menjadi kepala keluarga. Namun di mata masyarakat dan hukum di Indonesia ketika perempuan menjadi kepala keluarga masih banyak menemukan kendala dalam pengakuannya. Terdapat beberapa hal yang tersirat dalam pembakuan peran suami istri dalam UU Perkawinan tersebut, yakni : 1. Suami diartikan sebagai laki-laki, maka kepala keluarga yang dimaksud adalah laki-laki. Apabila dalam keluarga tersebut perempuan sebagai orang tua tunggal, maka timbul permasalahan tidak adanya kepala keluarga 2. Definisi kepala keluarga tidak dijelaskan maksudnya. Dalam beberapa buku disebutkan bahwa kepala keluarga bukanlah kepala rumah tangga. Namun banyak juga yang menyebutkan bahwa kepala keluarga adalah kepala rumah tangga yang melindungi rumah tangga dan kemudian inilah yang dijadikan definisi umum di masyarakat. Oleh karena itu akhirnya kepala rumah tangga diidentikkan dengan suami dalam hal ini laki-laki. Permasalahan muncul ketika perempuan menjadi orang tua tunggal. Bahkan ketika yang memiliki penghasilan adalah istri tetap tidak bisa dinyatakan sebagai kepala keluarga. Negara seringkali mengatur dan membakukan peran suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Padahal perkawinan merupakan ruang lingkup privat dimana peran harusnya didiskusikan oleh suami dan istri. Dengan pembakuan peran ini mengakibatkan perempuan menjadi tersubordinasi dan terdiskriminasi. 3. “Ada kewajiban suami untuk menafkahi segala keperluan rumah tangga”. Kewajiban yang dibebankan kepada perempuan adalah “urusan rumah tangga”. Namun sayangnya urusan rumah tangga ini tidak dijelaskan. Apabila pengasuhan dan perlindungan anak dimasukkan
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
WARTA PEREMPUAN kalyanamitra
WOMEN’S COMMUNICATION AND INFORMATION CENTER
Kabar dari Kegiatan Sosialisasi CEDAW
K
I o S
dalam urusan rumah tangga, maka sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Karena dalam undang-undang perlindungan anak disebutkan bahwa orang tua berkewajiban melindungi dan memenuhi hak anak. Oleh karena itu kewajiban tersebut ada di [pundak kedua orang tua, ayah dan ibu. 4. Dari beban yang dijelaskan dalam pasal tersebut, sebenarnya merupakan peluang bagi istri untuk mengugat misalnya kerika suami tidak memberikan nafkah. Suami dilihat sebagai kepala keluarga karena beban yang diberikan untuk menafkahi keluarga. Tidak bagi perempuan yang dibebani dengan urusan rumah tangga. Namun apabila perempuan melakukan peran sebagai pencari nafkah tetap tidak bisa diakui sebagai kepala keluarga karena disebutkan kepala keluarga adalah suami yakni lak-laki. Dilihat dari sisi psikologis, kehidupan perempuan sebagai orang tua tunggal tidaklah mudah baik bagi si perempuan maupun bagi si anak. Negara memang sangat kurang mengakomodir kepentingan dan hak-hak perempuan sebagai orang tua tunggal. Beban perempuan sebagai orang tua tunggal juga muncul dari pandangan masyarakat. Ditambah status perempuan sebagai janda yang masih sering diangap miring oleh masyarakat. Lain dengan status lak-laki menjadi orang tua tunggal. Lak-laki duda yang ingin menikah lagi akan diwajarkan oleh masyarakat karena sudah tidak ada yang merawat lagi. Namun jika perempuan yang ingin menikah lagi setelah bercerai atau suami meninggal, masyarakat akan menganngap tidak wajar. Perempuan yang bekerja sering dianggap mengabaikan anak, sedangkan laki-laki akan diwajarkan. Hal ini merupakan tekanan psikologis yang diterima oleh perempuan sebagai orang tua tunggal. Kemudian perempuan akan berusaha menjadi orang tua ideal dan perempuan idel berdasarkan definisi yang telah dikonstruksi masyarakart. Seringkali perempuan akhirnya melepas hak perwalian anaknya kepada suami dengan alasan suami mempunyai finansial yang cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya meski dia tahu suaminya tidak cukup bagus untuk mendidik anaknya. Ini merupakan tekanan psikologis tersendiri sebagai perempuan yang harus pisah dengan anak-anaknya. Anak seringkali merasa bersalah karena perceraian orang tuanya. Kebingungan juga terjadi ketika mereka harus memilih untuk ikut ayah atau ibunya. Anak juga merasa mempunyai beban dan kewajiban untuk membantu ibunya atau ayahnya yang kini menjadi orang tua tungal. Hal ini seringkali menimbulkan perasaan tidak berdaya dan ini dibawa ke lingkungan sekolah maupun bergaulnya. Pada anak juga bisa timbul kemarahan karena harus menghadapi kondisi yang tidak pernah mereka inginkan dan mereka tidak dilibatkan dalam penciptaan kondisi perceraian tersebut. Anak merasa dijadikan korban atas keegoan orang tuanya. Dengan demikian, diskusi publik Kalyanamitra yang membahas permasalaha tersebut, menghasilkan sebuah rekomendasi bahwa UU Perkawinan perlu direvisi dengan menghapus pembagian peran antara suami dan istri karena merupakan masalah pivat yang lebih baik diatur berdasarkan kesepakatan suami istri yang bersangkutan. Diskusi publik ini dilaksanakan di kantor Kalyanamitra, Jl. Kaca Jendela II No.9 Kalibata, Jakarta Selatan pada Kamis, 27 April 2006 pukul 10.00-12.00. Diskusi ini menghadirkan narasumber Rita Serena Kalibonso (Mitra Perempuan) yang membahas topik “amandemen UU Perkawinan berkaitan dengan perempuan sebagai kepala keluarga dan pasal 16 CEDAW” dan Tanti
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
KRONIK
Komentar Komite CEDAW atas Laporan Berkala Kedua dan Ketiga Indonesia mempresentasikan laporan kedua dan ketiga tentang implementasi konvensi CEDAW di Indonesia pada sidang Komite CEDAW (selanjutnya disebut Komite) ke 377 tanggal 2 Februari 1998. Komite memberikan beberapa komentarnya antara lain menyatakan puas dengan laporan berkala kedua dan ketiga dari Indonesia yang disampaikan dengan jujur, terinci dan menunjukkan keinginan untuk meningkatkan peran perempuan di masa depan. Namun demikian, Komite ingin menyampaikan rasa kurang puas karena perubahan belum juga terjadi dengan cepat seperti diharapkan di Indonesia dan bahwa banyak permasalahan yang ditemui seperti dalam laporan pendahuluan yang belum juga teratasi.
K
omite mengeluarkan beberapa komentar positif atas laporan yang disampaikan oleh delegasi Indonesia. Komite menyatakan senang setelah mengetahui bahwa pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan Beijing Platform untuk Rencana Kerja Nasional Indonesia. Komite merasa senang mengetahui peran LSM perempuan di Indonesia yang telah mencatat berbagai kegiatan yang berani dan efektif. Program Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh Indonesia dianggap cukup berhasil. Menurut Komite hal ini merupakan contoh kemampuan pemerintah dalam mengambil langkahlangkah yang sangat efektif dalam meningkatkan kedudukan perempuan. Namun demikian beberapa pendapat menyatakan bahwa fokus dari program tersebut sangat dibebankan kepada perempuan. Oleh karena itu para anggota Sidang ingin menekankan agar juga mempertimbangkan tanggung jawab laki-laki dalam program Keluarga Berencana di Indonesia.
3. Kesehatan, termasuk keharusan agar istri mendapatkan ijin suami untuk melakukan sterilisasi atau aborsi, sekalipun ketika nyawanya terancam. Komite menyatakan keprihatinan bahwa perkawinan dua orang kekasih yang berbeda agama secara de facto dilarang di Indonesia. Pernyataan keprihatinan yang sangat mendalam juga disampaikan berkaitan dengan adanya norma-norma sosial, agama dan budaya yang menetapkan bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga serta pencari nafkah, sedang perempuan ditetapkan untuk berperan sebagai
Namun demikian, lebih banyak hal-hal prinsip yang perlu diperhatikan oleh Indonesia. Komite sangat prihatin dengan adanya undang-undang yang tidak sesuai dengan keputusan Sidang. Komite melihat adanya diskriminasi terhadap perempuan di dalam undang-undang mengenai : 1. Keluarga serta perkawinan, termasuk poligami, usia nikah, perceraian dan keharusan bahwa seorang istri harus mendapatkan ijin suami untuk membuat paspor. 2. Hak-hak ekonomi, termasuk pemilikan dan hak waris atas tanah, memperoleh pinjaman uang berupa kredit, hak-hak mendapat jaminan sosial, kesehatan, dan keharusan seorang istri mendapatkan ijin suami untuk bekerja di malam hari.
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
KRONIK ibu dan istri, yang diterapkan di berbagai undangundang, kebijakan dan ketentuan pemerintah. Tidak jelas langkah apa saja yang sedang dilakukan pemerintah guna merombak sikap demikian, yang menunjukkan adanya hambatan serius bagi kemajuan perempuan Indonesia. Konstruksi sosial ini juga dibakukan dan dilestarikan di bidang pendidikan resmi melalui buku-buku ajar di sekolah. Komite merasa prihatin akan rendahnya tingkat keikutsertaan perempuan di bidang pendidikan, demikian pula tingginya jumlah perempuan buta huruf, khususnya di pedesaan. Komite melihat bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia dan bahwa meskipun negara sedang giat berusaha untuk memfasilitasi pendidikan bagi anak-anak miskin, Komite tetap prihatin akan akses terhadap pendidikan tersebut bagi semua anak termasuk mereka yang berasal dari kalangan minoritas. Dalam bidang ketenagakerjaan, Komite memberikan catatan berkaitan dengan gaji rendah dan jenis pekerjaan dengan keahlian rendah. Komite melihat dengan keprihatinan karena banyak terjadi perempuan berkeluarga harus mencari tambahan nafkah untuk keluarganya, sementara itu hanya sedikit penegasan terhadap hak perempuan untuk mengembangkan karir pribadinya. Berkaitan dengan kondisi perempuan di wilayah konflik bersenjata, K o m i t e
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
membaca bahwa pemerintah Indonesia tidak memahami masalah. Titik berat pemerintah adalah pada keikutsertaan perempuan di dalam angkatan bersenjata, dan tidak memperhatikan kerawanan perempuan terhadap eksploitasi seks di dalam situasi konflik bersenjata. Selain itu Komite melihat juga adanya berbagai penyalahgunaan hak-hak asasi lain karena melibatkan perempuan dalam konteks tersebut. Komite juga memberikan catatan atas tidak disampaikannya pembahasan terhadap adanya kasus kematian sebagai akibat kekerasan terhadap tenaga kerja perempuan Indonesia di lur negeri, begitu juga dengan kasus perdagangan perempuan untuk tujuan pelacuran. Komite prihatin karena pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk merespon tindak kekerasan terhadap tenaga kerja perempuan Indonesia di luar negeri. Tidak banyak yang telah dilakukan untuk menangani masalah pelacuran dan perdagangan perempuan. Tidak banyak yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka membantu perempuan melalui programprogram sosial-ekonomi dan kesehatan. Tindakantindakan pencegahan serta upaya-upaya resosialisasi hanya diarahkan kepada perempuan pelacur dan bukan mengarah kepada laki-laki pengguna jasa pelacuran. Dari segala komentar berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Indonesia, Komite memberikan beberapa rekomendasi antara lain : 1. Pemerintah Indonesia memprioritaskan pengumpulan data tentang penyebab dan akibat dari masalah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Komite menekankan adanya kepekaan dari pihak berwenang terhadap gender, termasuk para hakim, pejabat penegak hukum, pengacara, pekerja sosial, petugas medis, atau pihak lain yang langsung terlibat dalam menanggulangi tindak kekerasan terhadap perempuan. 2. Dalam laporan berkala Indonesia ke-4, hendaknya juga dijawab secara tertulis tentang bagian lain dari penyajian, demi menghindari tumpang tindih fan memungkinkan Komite menyisihkan waktu lebih untuk berdialog dengan pihak negara
KRONIK peduli terhadap langkah-langkah yang telah diambil untuk memastikan terciptanya kesetaraan bagi perempuan secara de facto serta peduli terhadap langkah-langkah berikutnya yang diperlukan. Selain komentar penutup ini, pemerintah hendaknya juga menyebarluaskan dokumen-dokumen hasil keputusan sidang, rekomendasi umum Komite CEDAW serta Beijing Platform kepada organisasi-organisasi perempuan maupun yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Dengan mengetahui komentar beserta rekomendasi yang diberikan oleh Komite atas laporan pelaksanaan konvensi CEDAW di Indonesia yang disampaikan oleh pemerintah, kita dapat mengawasi pelaksanaan dari rekomendasi-rekomendasi tersebut. Kita juga bersama-sama harus mengawasi pemerintah agar laporan berikutnya dapat benar-benar menggambarkan kondisi perempuan di Indonesia. Apabila memungkinkan kita sebagai masyarakat sipil hendaknya membuat laporan bayangan sebagai informasi alternatif yang dapat mengawal laporan yang dibuat pemerintah. (SN) Sumber : www.bayefsky.com
3.
4.
5.
6. 7.
Indonesia. Hendaknya laporan tersebut memperhatikan skala prioritas sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan dari Komite. Pemerintah Indonesia memberikan informasi tentang program-program serta pusat-pusat studi tentang perempuan yang didukung oleh pemerintah. Komite memerlukan informasi tentang upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk merubah buku pegangan murid di sekolah agar mencerminkan nilainilai kesetaraan gender. Pemerintah mengambil langkah-langkah segera ntuk membasmi praktek poligami di Indonesia dan merubah undang-undang lain yang diskriminatif. Pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa perempuan di Indonesia memiliki hak memilih dengan bebas calon pasangan hidupnya. Pemerintah Indonesia memperhatikan masalah perdagangan perempuan dan masalah pelacuran. Ko m e n t a r p e n u t u p d a r i Ko m i t e i n i disebarluaskan di Indonesia agar segenap warga negara Indonesia dan khususnya pejabat pemerintah serta pada politisi,
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
PUSTAKARIA
Cara Asyik Meresensi Buku Sebelum ke sana, kita baca lelucon ini, yuk? Biar ada senyum: Bergabung dengan angkatan udara adalah mimpi si Ical yang menjadi kenyataan. Sewaktu ia duduk di kursi co-pilot selama masa perkenalan, si Ical pun sok cari muka pada instrukturnya. Ia terkagum-kagum dengan panelpanel indikator yang banyak sekali jumlahnya. Belum lagi angka-angka dan simbol-simbolnya. Karena si Ical lagi cari muka, jadilah mulutnya terus cuap-cuap menjelaskan maksud angka dan simbol pada panel-panel tersebut ke intrukturnya. Instrukturnya diam saja—mungkin tahu apa maksud tingkah-polah si Ical.
“Ini panel indikator tekanan udara,” dengan sok si Ical berkata sambil menunjuk-nunjuk. “Ini untuk tekanan kabin. Lampu menyala kuning tanda... bla-bla-bla.” Tibalah matanya tertuju pada sebuah panel yang berisi angka-angka. Karena tidak mengetahuinya, si Ical pun—pastinya dengan malumalu kucing—bertanya pada instrukturnya. “Hmm, yang ini apa, ya?” katanya malu-malu. “Sebenarnya saya tahu, cuma kok, saya lupa, ya,” ujarnya beralasan sambil cengengesan. Dengan gemas, instrukturnya pun menjawab singkat, “—itu jam.” (Faisal Masoodi; Reader’s Digest) Setelah tersenyum, mari kita lanjutkan! Pernah coba meringkas buku ratusan halaman menjadi hanya dua atau tiga halaman? Paparan ringkas tersebut biasanya berisi tentang manfaat atau isi dari suatu buku. Dengan paparan tersebut,
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
kita dapat membuat perwakilan isi suatu buku. Itulah yang sering kita sebut “resensi buku.” Membuat resensi buku melatih efektifitas kita dalam membaca. Selain itu, hal itu dapat membantu kita berlatih merumuskan hal-hal yang kita pahami secara lebih terstruktur. Resensi buku juga dapat digunakan sebagai alat pengikat makna. Juga berguna sebagai pengingat. Sehingga, pengetahuan yang terdapat dari sebuah buku dapat ditemu-balik-kan di kemudian hari dengan lebih mudah—atau malah dapat juga kemudian kita banding-bandingkan dengan buku-buku lain? Nah, ada tiga teknik mudah merensi buku. Kita coba cara asyik berikut, ya? Cara pertama, kita menyebutnya teknik “cutting & glueing.” Sst, tak usah diributkan istilah itu. Yang penting, kita memahami konsep yang dikandungnya. Begini, teknik tersebut disebut demikian, lantaran yang kita lakukan memang hanya semudah “memotong” (cutting) dan “merekatkan” (glueing) materi kalimat-kalimat dari buku tersebut. Ingat jangan asal potong lalu gabungkan, potonganpotongan kalimat tersebut hendaknya merupakan bagian-bagian yang menarik perhatian kita. Ingat juga agar potongan-potongan kalimat tersebut, menurut kita, dapat mewakili gagasan-gagasan yang disampaikan penulis. Lantas bagian mana yang harus dipotong? Kita bebas melakukannya: entah bagian awal, tengah, atau belakang. Yang penting menarik dan dapat mewakili gagasan inti penulis. Jelas, ‘kan?
PUSTAKARIA juga dapat apa saja. Gagasan-kah? Alasan penulisankah? Bisa apa saja.
Setelah “memotong-motong,” tentu ada banyak potongan. Pilihlah! Lalu, kaitkan-lah! “Rekatkan”lah! Awas, jangan asal saja. Perhatikanlah gagasan-gagasan yang terwakili dari potonganpotongan tersebut. Biarkan si penulis berbicara. Yang kita lakukan kemudian hanya menyambungkan, mengaitkan, dan mengalirkan antara gagasan satu dengan yang lain. Bayangkan! Mudah, ‘kan? Kalau pun, kita ingin menambahkan komentar atas gagasan-gagasan tersebut: silahkan! Te k n i k i n i p a l i n g s e d e r h a n a . Ki t a d a p a t menggunakannya untuk berlatih—baik dalam membuat resensi, sekaligus berlatih menulis. Ibarat berlatih, peresensi dapat berada dalam posisi “berguru” pada penulis top untuk menuangkan kata-kata dan gagasan dari dirinya. Bagaimana? Cara kedua dinamai teknik “focusing.” Yang satu ini berkaitan dengan kegiatan “memusatkan perhatian” pada satu elemen yang disajikan oleh sebuah buku. Elemen tersebut dapat apa saja. Yang jelas, elemen tersebut harus menarik perhatian kita. Kita dapat mendapatkan elemen yang menonjol tersebut dari tema buku, mungkin? Metode pembahasannya, mungkin? Dapat saja sampulnya? Sosok pengarangnya, bisa jadi? Mungkin, penyajiannya? Apalagi, dari latar belakang alasan penerbitan buku tersebut? Apa saja. Setelah memusatkan perhatian pada satu elemen yang menonjol tersebut: komentarilah! Cara ketiga disebut teknik “comparing” atau “pembandingan.” Seperti namanya, teknik ini mengajak peresensi untuk membandingkan. Seperti pada teknik focusing, yang dibanding-bandingkan itu
Lantas, bagaimana membandingkannya? Tentu, yang namanya membandingkan, kita memerlukan pembanding. Pembandingnya adalah buku lain. Jadi, kita sebagai peresensi hendaknya, apabila ingin menggunakan teknik ini, tidak hanya membaca satu buku saja. Buku pembanding dapat memiliki tema serupa. Dapat juga buku-buku dari pengarang yang sama. Bermodal hal tersebut, kita dapat memiliki cakrawala pemahaman yang lebih luas. Sehingga, kita dapat menemukan kelebihan atau kekurangan buku tersebut. Tentu saja teknik ini akan memperkaya khasanah pengetahuan pembaca resensi kita. Eit, memang betul, membuat resensi buku bukan pekerjaan enteng—namun dapat pula menjadi enteng (kalau kita melakukannya dengan menyenangkan)! Kita sebagai peresensi perlu membaca buku tersebut secara tuntas, fokus, dan total. Menyadari proses yang terjadi pada saat membaca dan menguasai teknik-teknik membaca tentu menjadi modal awal kita. Jangan lupa, kalau kita sanggup membaca dalam kondisi emosional yang menyenangkan, sudah tentu kita akan meresensi buku dalam keadaan menyenangkan pula. Tentu hasilnya akan lebih maksimal, bukan? (TE) Sumber: Hernowo. Quantum Reading. Mizan Learning Center; Bandung, 2003.
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
BEDAH BUKU Judul Pengarang Penerjemah Editor Penerbit Halaman
: : : : : :
Kritik atas Jilbab Muhammad Sa’id Al asymawi Noviantoni Kahar dan Oppie Tj Nong Darol Mahmada Jaringan Islam Liberal, 2003 172+XIX halaman
Jilbab: Tradisi atau Kewajiban Ibadah?
P
enulis adalah seorang juris, pakar perbandingan Hukum Islam, Hukum Konvensional dan penentang idiologisasi agama (Islam) yang utama di Mesir, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Mesir. Tulisan-tulisannya menimbulkan ancaman dari kaum ekstrimis sehingga dia mendapat pengawalan 24 jam dari pemerintah. Menurut pengarang, pakaian adalah masalah tradisi dan kebiasaan, bukan masalah kewajiban dan ibadah. Yang diinginkan secara syarat dan agama hanyalah bagaimana supaya perempuan dan laki-laki berlaku sopan dan menjaga kehormatan. Menurut pengarang, hijab dalam pengertian mengenakan penutup kepala yang di Indonesia dikenal dengan jilbab bukanlah kewajiban agama, tetapi merupakan tradisi masyarakat yang bisa diikuti ataupun ditentang, oleh karena itu masalah hijab ini tidak memiliki konsekuensi iman-kafir, selama dasarnya tetap kesopanan dan kehormatan. Ada tiga hal yang dibahas dalam buku ini yaitu aspek historis tradisi menutup kepala, kritik atas argumen tekstual historis pewajiban hijab dan metodologi penyimpulan hukum Islam dan kritik atas nalar (imaji) Islam Politik yang menjadi konflik utama penulis buku ini selama bertahun-tahun. Istilah jilbab sendiri hanya dikenal di Indonesia, sedangkan di negara-negara Islam lainnya ada beberapa istilah misalnya chadar di Iran, pandeh di India dan Pakistan, milayat di Lybia, abaya di Irak, charsyaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab Afrika seperti di Mesir, Sudan dan Yaman. Sebenarnya konsep hijab bukan hanya dalam Islam, tapi dalam kitab Taurat sudah dikenal istilah tiferet, kemudian dalam kitab Injil dapat ditemukan istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat. Yang jelas kewajiban berjilbab adalah merupakan kewajiban
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
budaya, tapi bukan merupakan kewajiban agama. Esensi hijab adalah mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan dosa tanpa terkait dengan pakaian atau gaun tertentu. Prinsipnya adalah perilaku sederhana dan tidak pamer dalam berpakaian dan berpenampilan yang dituntut oleh nalar yang benar, yang harus dipegang teguh oleh perempuan terhormat. Dalam buku ini, disertakan polemik antara penulis dengan Dr Muhammad Sayyid Al Thanthawi dalam surat kabar yang diterbitkan di Mesir sejak 13 Juni 1994 yang ditanggapi oleh penulis pada 22 Juni 1994. Dalam tanggapan penulis, jelas sekali diuraikan sejarah penghapusan perbudakan yang dikeluarkan melalui dekrit oleh pemerintah Mesir pada 4 Agustus 1887 dan dipertegas melalui keputusan tertinggi pada 21 Januari 1896, yang dikeluarkan atas pertimbangan bahwa perbudakan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Keputusan ini kemudian diikuti oleh negara-negara Arab dan negara muslim lainnya sampai tahun 1960. Hal ini dikaitkan dengan pengertian bahwa jilbab dipakai untuk membedakan kaum perempuan merdeka dengan perempuan budak. Mitos tentang rambut dalam peradaban kuno masa sejarah purba, bangsa Mesir Kuno menganut kepercayaan yang bersumber dari ide-ide mistik bahwa rambut manusia adalah kekuatan dan simbol kebanggaan. Oleh karena itu, hanya pendeta yang boleh memasuki ruang suci peribadatan dan salah satu kegiatan mereka adalah memotong rambut secara total sebagai ekspresi kelemahan dan kerendahan diri dihadapan Tuhan. Atas pengertian itu, memotong rambut lalu dijadikan tradisi bangsa Mesir Kuno baik bagi laki-laki maupun kepatuhan. Pada saat yang sama, bangsa Ibrani juga dipengaruhi tradisi bangsa Asia yang memanjangkan rambut dan tidak memotong seperti bangsa Mesir Kuno. Jadi,
BEDAH BUKU
mereka menengahi dua tradisi dari dua peradaban yang berbeda. Di satu sisi, mereka tidak memotong rambut, tapi di sisi lain, mereka menutup rambut waktu sembahyang atau saat mereka memasuki rumah ibadah. Kaum laki-laki meletakkan topi di atas kepala, sedangkan perempuan menggunakan kerudung (khimar) Kaum radikal Yahudi yang selalu menggunakan topi beranggapan bahwa cara ini merupakan ekspresi religius yang murni, bukan simbol politis di mana mereka lalu bisa disebut sebagai Yahudi taat atau radikal. Perdebatan serupa mencuat juga dalam fenomena pemakaian kerudung oleh perempuan-perempuan muslimah. Mitos tentang rambut dalam ajaran Islam tergambar dengan perilaku Nabi M u h a m m a d S AW. Yang mana, beliau senang menghindar dari tradisi-tradisi yang menyerupai komunitas Mekkah (kaum musyrik) dan lebih cenderung memilih kebiasaan-kebiasaan Ahli Kitab. Contohnya, saat di Mekkah beliau selalu mencukur rambut seperti kebiasaan masyarakat di Mekkah, tapi sejak hijrah ke Madinah, beliau mengamati kaum Ahli Kitab yang memanjangkan rambut, maka beliau pun turut memanjangkan rambut. Perintah menutup rambut pernah disabdakan Nabi Muhammad dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai berikut: “Tidak diterima shalat seorang perempuan yang sudah haid (sudah baliq), kecuali bila dilakukan dengan mengenakan kerudung”. Hadis ini menguatkan pengertian bahwa pemakaian kerudung hanya diwajibkan pada saat shalat, jadi tidak memerintahkan penutupan seluruh organ tubuh secara umum dan setiap saat.
Dengan demikian, rambut lak-laki maupun perempuan sesuai dengan konsep agama yang benar maupun menurut perspektif syariat yang abash, bukanlah aurat. Selain itu, mitos bahwa rambut adalah simbol kekuatan dan kebanggaan yang berkembang dalam pandangan masyarakat Mesir Kuno menyebabkan kaum laki-laki di berbagai pelosok dunia dan berbagai peradaban terbiasa memakai penutup kepala atau songkok atau peci, terutama ketika berhadapan dengan pemimpin, pemuka agama, hakim dan juga ketika bersembahyang. Demikian pula perempuan. Rambut perempuan bukanlah aurat yang harus ditutupi. Tradisi menutup kepala lebih kuat bermuatan politik ketimbang agamis. Kita bisa melihat anak perempuan yang masih kecil pun sudah diindoktrinasikan pewajiban pemakaian jilbab, padahal dalam hadis jelas disebutkan bahwa perempuan yang sudah haid/aqil baliq saja yang diwajibkan menutup kepala pada saat shalat. Kelebihan buku ini ialah perdebatan antara dua ahli tafsir yang berbeda pandangan, di mana polemik antar keduanya ditampilkan apa adanya, sehingga pembaca dapat menafsirkan dengan gamblang apa yang diutarakan oleh penulis meski sampai kapan pun polemik ini akan berlanjut, selama manusia masih memegang teguh agamanya. (SM)
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
BEDAH BUKU Judul Pengarang Penerbit Halaman
: Percakapan tentang Feminisme vs Neoliberalisme : Arimbi Heroepoetri dan R. Valentina : Debt Watch Jakarta dan Institut Perempuan Bandung, 2004 : 182+xii halaman
Jeratan Globalisasi dan Neoliberalisme
F
eminisme meyakini bahwa perempuan sama seperti laki-laki, yakni merdeka atas tubuh, diri dan hidupnya. Perempuan adalah subjek yang utuh; memiliki daya dan kedaulatan. Tujuan akhir feminisme bukan kemenangan suatu kelompok atas kelompok lainnya atau pemusatan kekuasaan di satu pihak, melainkan penataan kembali segenap segi masyarakat tanpa penindasan terhadap perempuan. Oleh karenanya, berbagai pendapat tersebut harus dibedah dan dilawan oleh kaum perempuan bersama kaum laki-laki. Kaum perempuan memiliki kepentingan atas isu perlawanan terhadap penindasan.
sering ditemukan orang menyatakan ia bersedia berdiskusi tentang kesetaraan gender, namun tidak untuk feminisme. Dalam bagian pertama buku ini dijelaskan pula beberapa aliran feminisme dengan masing-masing pendekatan.
Materi yang tersaji dalam buku ini m e r u p a k a n hasil lokakarya “Feminisme dan Globalisasi” yang diselenggarakan oleh Debt Watch dan Institut Perempuan Bandung, yang dipertajam analisanya dengan beberapa studi literatur. Pembahasan buku ini terbagi menjadi 3 bagian yakni feminisme, globalisasi dan neoliberalilsme serta kerangka gerakan feminisme vs globalisasi.
Melalui studi literatur, penulis menyampaikan beberapa nilai feminis yakni pengetahuan dan pengalaman personal; rumusan tentang diri sendiri; kekuasaan personal; otentitas; kreativitas; sistesis; personal is political; kesetaraan; hubungan social timbal balik; kemandirian ekonomi; kebebasan seksual; kebebasan reproduksi; identifikasi diri pada perempuan; perubahan social serta berkekuatan politik dalam masyarakat. Disebutkan beberapa perspektif feminis, seperti pendekatan holistik; berorientasi pada proses; menghargai keanekaragaman; pendekatan win-win solution terhadap konflik; menolak pemisahan antara pikiran, perasaan, dan ketubuhan; pengambilan keputusan tidak hierarkis; menolak naturalisme; pembagian kekuasaan yang adil dan menghargai pengorganisasian secara kolektif untuk melakukan perubahan.
Dalam buku ini diurai apa itu feminisme dan bagaimana kaitannya dengan istilah kesetaraan gender yang dianggap lebih diterima di kalangan masyarakat Indonesia. Masih banyak aktivis perempuan yang enggan disebut sebagai feminis. Begitu pula masih
Di bahasan globalisasi, dipaparkan apa globalisasi dan neoliberalisme, bagaimana mereka bekerja dan seberapa kuat pengaruhnya terhadap tata kehidupan masyarakat Indonesia. Disampaikan 5 ciri utama yang menandai keberadaan neoliberalisme:
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
BEDAH BUKU memperkenalkan perempuan pada perbudakan terselubung, mengembangkan perdagangan perempuan dan anak, berkembangnya MNCs-TNCs dengan orientasi akumulasi modal dan terbukanya pasar mematikan hak-hak buruh perempuan untuk mendapatkan upah yang manusiawi, menjauhkan perempuan dari kekayaan pengetahuan melalui kebijakan perdagangannya, masifikasi industri wisata dengan seks sebagai produk utamanya, meminggirkan perempuan sebagai objek seksual serta menyebabkan emigrasi besar-besaran perempuan dari negara miskin-berkembang sebagai tenaga kerja domestik, dan mengukuhkan peran domestik perempuan dalam pembagian kerja internasional baru. (SN)
pertama, perdagangan bebas dan kompetisi bebas memegang peranan yang progresif; kedua, globalisasi yang berarti akhir dari system nasional sebagai prinsip dasar aktivitas dan strategi manusia; ketiga, pasar keuangan mendominasi perdagangan global yang mencerminkan dominasi mutlak logika pasar; keempat, penghapusan peran negara dengan keberadaan perusahaan multinasional, dan kelima, privatisasi dan pengurangan peran negara.
Gambar:Skema Konspirasi Global Penghisapan Oleh Negara-Negara Maju
Negara dunia ketiga termasuk Indonesia menjadi mesin pengaman untuk melayani investasi asing. Negara tak lagi berkepentingan untuk tujuan sosial tetapi lebih menjadi sarana untuk mengontrol kehidupan masyarakat. Di bagian akhir buku dibahas kerangka gerakan feminisme vs globalisasi dan gerakan feminisme yang anti penindasan sistem globalisasi dan neoliberalisme. Diuraikan 10 alasan menolak neoliberalisme dalam perspektif feminisme, yakni neoliberalisme menciptakan kemiskinan struktural pada kaum perempuan, penghapusan subsidi rakyat mengakibatkan pergeseran tanggungjawab negara pada perempuan, kenaikan harga menambah beban perempuan, eksploitasi terhadap lingkungan menjauhkan perempuan dari akses dan kedekatannya dengan alam, kawasan perdagangan bebas
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
BEDAH FILM Judul Sutradara Pemeran Utama Rumah Produksi Tahun Produksi Durasi
: : : : : :
Killing the Yard Euzhan Palcy Morris Chestnut, Rose McGowan Paramount Pictures 15 Juni 2003 106 menit
Kuasa pun Merampas Kebebasannya
K
erusuhan yang terjadi di penjara Attica pada tahun 1971 membuat 10 penjaga dan 39 penghuni tahanan meningal dan membekas dalam sejarah Amerika. Ini adalah kisah nyata dari Sango, seorang penghuni tahanan berdarah Afrika-Amerika yang digunakan sebagai korban untuk menutupi sebuah konspirasi yang berhubungan dengan gubernur New York, Nelson Rockefeller. Para narapidana di penjara Attica melakukan pemberontakan d e n g a n menyandra 10 orang petugas
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
penjara, karena tidak tahan lagi dengan sistem kekerasan yang diberlakukan gubernur New York, Nelson Rockefeller terhadap para narapidana di penjara Attica yang sebagian besar dipenjara atas kasus pembunuhan dan narkoba. Kondisi dan fasilitas sel yang tidak manusiawi disertai penyiksaan-penyiksaan memicu para narapidana untuk melakukan pembe- rontakan. Bahkan salah satu nara-pidana, Mr. Sam, narapidana tertua yang dikenakan hukuman 20 tahun penjara karena menjual ganja pada polisi, ikut memberontak meski sebelumnya ia dikenal sebagai narapidana yang sangat penurut terhadap petugas tahanan. Empat tahun kemudian, berlangsung persidangan terhadap Sango, satu-satunya narapidana yang dituduh bertanggung jawab atas kerusuhan itu, yang masih hidup. Seorang pengacara, Ernie Goodman, berniat untuk mendampingi Sango menghadapi tuduhan atas 3 tuduhan tindak kejahatan yakni pembunuhan sadis terhadap 10 petugas penjara Attica yang disandera dalam kerusahan tahun 1971, pembunuhan terhadap dua narapidana saksi kerusuhan dan persekongkolan melawan negara. Awalnya Sango menolak karena Ernie seorang kulit putih. Sango merasa masih terjadi diskriminasi ras, dan salah satu alasan besar dia dijadikan korban untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang tidak pernah dia perbuat, adalah karena dia seorang kulit hitam. Ernie ingin menangani kasusnya hanya untuk kepentingan penulisan biografinya, tidak benar-benar melakukan pembelaan. Namun kegigihan Erniie yang telah berusia 65 tahun dengan penyakit Amnesia Global Sementaranya, akhirnya membuat Sango mau diajak bekerjasama u n t u k mengungkap
BEDAH FILM sukup untuk menebus kesalahannya tersebut.
kebenaran dan menunjukkan ke publik kesewenangwenangan pemerintahan negara bagian New York kepada warga negaranya. Dalam penyelidikan, Ernie dibantu oleh seorang mahasiswa Ilmu Politik, Linda Boston. Linda sempat diremehkan oleh Sango dapat membantu menangani kasusnya kerena keperempuanan-nya. Sango menganggap sebagai perempuan, apalagi berkulit putih, pasti akan sangat mudah dipengaruhi oleh pihak lawan hanya dengan sentuhan seks. Namun, anggapan Sango runtuh dari waktu ke waktu, melihat kegigihan Linda menguak kasusnya. Dan sango pun mulai jatuh hati pada Linda.
Akhirnya sango bebas dan menikah dengan Linda. Mereka berdua aktif dalam kelompok rehabilitasi korban narkoba. Sedangkan Ernie terus melakukan aktivitasnya sebagai pengacara yang mendampingi kasus-kasus sosial tanpa memungut biaya hingga menutup mata pada usia 90 tahun. Sango terbunuh 11 tahun kemudian di depan rumah ibunya. Pelakunya tidak diketahui hingga sekarang. Sebuah keadilan yang harus terus diperjuangkan! (SN)
Persidangan Sango berlangsung dengan penuh ketegangan. Sangat sulit bagi ernie dan Linda mencari saksi karena kebanyakan saksi mata telah trauma dengan teror dan ancaman yang dilakukan oleh pihak Rockefeller. Aksi turun ke jalan terus dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat yang menamakan dirinya Attica’s Brother untuk memberikan dukungan terhadap Sango. Akhirnya pembelaan Ernie yang diakhiri dengan pesan bahwa kasus Sango bukanlah kasus kriminal semata namun kesewenangan negara terhadap warganya meski dia seorang yang berkulit hitam, menghasilkan keputusan juri yang membebaskan Sango dari segala tuduhan. Sango dinyatakan hanya sebagai korban dari sebuah konspirasi. Terbebas dari hukuman [penjara Attica, Sango ditahan di penjara jackson atas kejahatannya melakukan pembunuhan terhadap polisi sewaktu dirinya menjadi pengacara. Namun akhirnya Ernie dapat membebaskan Sango dari hukuman penjara Jackson karena seharusnya hukuman yang telah dia jalani di penjara Attica telah
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
CATATAN LEPAS
Transformasi Bangsa Bung Karno pernah mengatakan bahwa jangan kita sekali-kali melupakan sejarah. Memang menarik memikirkan apa yang diutarakan salah satu pendiri bangsa ini. Apa yang membuat pernyataannya itu penting untuk kita refleksikan? kita. Nyatanya, meskipun secara sosio-politik, sosio-kultural, dan sosio-geografis kita diakui sebagai bangsa, namun secara ekonomis, kita masih terbelenggu oleh kekuatan ekonomi asing. Imperialisme dunia tak bisa kita tolak. Investasi asing senantiasa bercokol. Program nasionalisasi ekonomi kita gagal. Kita menjadi pangsa pasar dunia, sumber tenaga kerja, dan sumberdaya alam yang potensial dieksploitasi. Belakangan ini kita semakin prihatin menyaksikan proses politik nasional yang gagal memfasilitasi transisi demokrasi, yaitu dari politik rezim otoritarianisme ke rezim yang demokratis. Orde Baru, orde yang dibentuk Soeharto, dalam praktiknya tidak mudah dihapuskan. Gurita kekuasaannya sulit untuk dibasmi, karena hampir sebagian besar elite politik yang berkuasa sekarang pun, merupakan kroni-kroni Soeharto. Soeharto sebagai figur memang sudah lengser dari kursi kekuasaan, namun sebagai nilai-nilai dan tatanan kekuasaan ia berkembang subur.
B
ANGSA KITA, bangsa Indonesia, bukan datang dari langit. Ada proses pembelajaran bersama orang-orang yang merasakan penderitaan, penindasan, dan eksploitasi oleh kekuatan asing atau kolonial. Hasil pembelajaran ini menyatukan kita dalam nasib yang sama, sebagai pribadi, komunitas, masyarakat nusantara yang dipinggirkan hak-hak dasarnya sebagai manusia. Kolonisasi yang kita alami begitu panjang, sehingga derita silih berganti menerpa kita. Pengalaman panjang sejarah kolonisasi inilah pada gilirannya mengerucutkan kita pada suatu komitmen: menjadi bangsa Indonesia! Perjuangan memerdekakan diri dan menentukan kebebasan masa depan sebagai bangsa, bukanlah proses politik yang mudah, karena tantangannnya datang dari dalam diri kita dan dari musuh-musuh
Kalyanamedia | Edisi 3 No. 3 | Mei - Juni 2006
Lihatlah apa yang berkembang di masyarakat. Premanisme dan militerisasi masyarakat menguat, padahal inilah ciri pokok politik otoritarianisme. Praktik-praktik kekerasan merambah ke segenap lapisan masyarakat dan merasuki tatanan nilai kemanusiaan kita. Atas nama agama, sekelompok orang bisa membungkam kelompok lainnya. Atas nama etnis, dikobarkan perang berdarah-darah. Dan seterusnya… Orang bilang, Indonesia tengah menuju ke tepi jurang kehancurannya, dengan berbagai bentuk pertentangan sosial yang muncul. Itu terjadi, karena kita tak pernah mentransformasi diri kita. Transformasi artinya perubahan dalam berbagai hal: sosial, ekonomi, politik, kultural, klas, gender, dan sebagainya. Untuk bisa berubah, kita memerlukan keterbukaan dan kejujuran diri, mau mendengarkan orang lain, bersedia menerima kritikan, rela berkorban, berempati, dan banyak lagi nilai-nilai kebaikan nan luhur. (HG)