Edisi 3 No. 4 | Juli - September 2006
kalyanamedia titian menuju Pemberdayaan Perempuan
ISSN 1829-541X | Rp. 4.000,-
Cover: Dokumentasi Kalyanamitra “Diskusi Ciliwung”
SAPAAN
REDAKSIONAL Penanggung Jawab Rena Herdiyani Pemimpin Redaksi Hegel Terome Redaktur Pelaksana Tezhart Elvandiar Redaksi J.Fransisca Ditta Wisnu Iha Sholihah Listyowati Nani Ekawaty Rakhmayuni Sri Mukartini Sinta Nuzuliana
Tata Letak Sulistiyono Distribusi J. Fransisca Ditta Wisnu
Ke Mana Larinya? Coba tanyakan ini: Apabila kita bekerja, pada slip gaji kita akan terlihat Pajak Penghasilan (PPh)—ke mana perginya? Kalau kita makan di restoran, pada struk pembayaran akan terlihat Pajak Penjualan (PPn)—ke mana perginya? Pada pembayaran Rumah Sakit Umum Daerah, meski tak kasat mata, akan muncul Retribusi Kesehatan—ke mana perginya? Parkir, harus bayar—ke mana perginya? Dividen kena Pajak Akumulasi Modal—ke mana perginya? Sebagian besar akan lari ke “pelayan-pelayan” publik (baca: Pegawai Negeri Sipil). Contoh berikut didapat dari RAPBD Kota Semarang: Sisanya sebesar Rp.68.826.000,- dapat saja lari ke “Pembangunan kamar ajudan rumah dinas.” Atau Rp.200.000.000,-nya langsung ke “Pembangunan papan nama walikota,” atau Rp.500.000.000,-nya berubah menjadi “Belanja modal alat komunikasi.” Sebagian kecilnya—sangat, sangat kecil sekali—sebesar Rp.10.000.000,- akan menjadi “Perlindungan terhadap pekerja anak.” Lebih kecil lagi, Rp.6.593.000,akan lari ke “Peningkatan kesehatan reproduksi dan usia lanjut.” Dan, sejumlah juta itu semua untuk seluruh warga kota, perempuan dan lelaki, yang belas juta banyaknya! Miris? Perhatikan lagi: Kereta Rel Listrik yang membuncah-ruah oleh jejalan manusia yang ber-‘jihad’ pulang-pergi ke rumah-kantor dan sarat kemungkinan pelecehan seksual. Ibu yang mesti mondar-mandir, cap sini-stempel sana, mengurus administrasi kependudukan berupa Kartu Keluarga Miskin (Gakin) di kelurahan untuk membebaskan anaknya yang disandera rumah sakit karena tak mampu bayar biaya pengobatan Demam Berdarah. Sekolah ambruk-tua. Air hitam berbau yang digunakan untuk Mandi Cuci Kakus. Pasien Diare, Leptospirosis, Demam Berdarah, dan... yang memenuhi lorong-lorong rumah sakit. Ah! Pelayanan publik memang masih menjadi barang mewah di negeri ini!
Kalyanamedia merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif.
Kalyanamedia kali ini akan menyoroti permasalahan Perempuan dan Pelayanan Publik. Rubrik Fokus Utama pada usaha-usaha untuk privatisasi sektor pelayanan publik. Sekolah, rumah sakit umum daerah, perusahaan air minum, sudah beralih pemegang saham. Bukan lagi warga negara, tapi korporatokrasi. Kita juga mengintip laku nyata kondisi pelayanan publik dan panggilan untuk mengabdi mansyarakat pada Sosok Muf. Kisah seorang perempuan penglaju dengan moda transportasi massal Kereta Rel Listriknya. Tidak lupa juga disajikan rubrik-rubrik lain seperti Warta Perempuan, Wacana, Kesehatan Perempuan, Kronik, banyak lagi! Semoga informasi yang kami sajikan dapat memperkaya khasanah wacana Kawan Kalyana sekalian! Termasuk menyebar benih pelayanan publik yang layak dan sensitif gender, ya! 8 Maret 2007
Kalyanamedia diterbitkan oleh:
kalyanamitra
Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan
Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata Jakarta Selatan 12750 Telp : 021-7902109 Fax : 021-7902112 Email :
[email protected] Situsweb : www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Kalyanamedia secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak dan pengiriman di rekening Bank Bukopin Cabang Kalibata No. Rekening 0103-034652
2
Tezhart Elvandiar Redaktur Pelaksana
Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Times New Roman 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Untuk pemasangan iklan di buletin, hubungi Redaksi Kalyanamedia. Telp : 021-7902109 Fax : 021-7902112 Email :
[email protected] Situsweb : media.kalyanamitra.or.id
Kalyanamedia
| Edisi II No. 2 | April - Juni 2005
DAFTAR ISI
SURAT PEMBACA FOKUS UTAMA
Pelayanan publik yang Berpihak pada Perempuan? 5
OPINI
Membangun Agenda Gender dalam Kebijakan Kesehatan Publik 7
KRONIK
Melayani Pelayan Publik: Bagaimana Seharusnya? 28
PUSTAKARIA
Mencatat dengan Peta Pikiran
30
WACANA
BEDAH BUKU
Pemberdayaan Perempuan 10
Perempuan Merdeka: Kisah Aktivisme Kaum Perempuan di Timor Leste 31
SOSOK
BEDAH FILM
ADVOKASI
CATATAN LEPAS
Ikan Ter-Cu-Dang-Pa-Trik 13
Sebuah Kisah dari Para Istri
- CEDAW Working Group Initiative:Upaya Memantau Konsistensi Pemerintah 14 - Kesehatan Reproduksi dan Kebijakan di Indonesia*) 16
32
Masyarakat Memojokkan, Pemerintah Menindas 35
KESEHATAN PEREMPUAN Perempuan dan Busung Lapar*)
PUISI KITA
- Dara Dalam Goa *) - RENOVASI 20
18
20
KISAH
Keretamu, Keretaku Juga! 21
WARTA PEREMPUAN
- Menyikapi Tantangan Pembangunan dalam Menyejahterahkan Perempuan 23 - Layanan Publik di Daerah Masih Berpotensi Korupsi 26 - Massa Kembali Tuntut Perda Kenaikan Tarif RUSD Dicabut 27
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
3
SURAT PEMBACA Kalyamedia memperkaya wawasan
Ka l y a n a m e d i a t e r s e b a r t i d a k merata?
Hai kalyanamitra! Lama tak sua. Aku terinspirasi sejak lama oleh kalyanamitra melalui terbitannya yang menggugah. Boleh tanya? Kenapa Kalyanamedia tak tersebar merata? Di Palu, susah dapatnya. Irma—0815 8729 4XXX Jawab Terima kasih sudah mau mengirimkan pesan singkat. Sebenarnya ini adalah permasalahan klasik: distribusi yang tak merata. Dengan eksemplar terbatas dan permintaan yang menggunung, tentu kami tak dapat memuaskan semua pihak. Untuk menyiasatinya, sebentar lagi kami akan menerbitkan Kalyanamedia versi elektronik yang dapat diakses kapan saja, dari mana saja, dan oleh siapa saja— cuma, tetap mesti dengan alat bantu. Tunggu, ya?
Kami mengucapkan terima kasih atas kiriman terbitannya (Panduan Fasilitator untuk Kepekaan terhadap KDRT, Komik Sosialisasi CEDAW 4 judul, dan Kalyanamedia edisi 3 no.1-3). Kami harap terbitan tersebut di atas dapat memperkaya wawasan kita dan kami harap jalinan kerjasama ini bisa berjalan terus. Demikian, sekali lagi terima kasih atas perhatiannya pada Yayasan Tifa. Sri Sulastri (Librarian/Communication Officer Yayasan Tifa) Jawab Kami berharap semua terbitan Kalyanamitra akan bermanfaat bagi Yayasan Tifa
FOKUS UTAMA
Pelayanan publik yang Berpihak pada Perempuan?
“…Birokrasi kita itu masih warisan kolonial. Mereka lebih melayani raja atau Belanda ketimbang rakyat. Ini belum berubah sampai sekarang.” (Harian Kompas)
Istilah pelayanan publik biasanya dikaitkan dengan layanan yang dilakukan oleh suatu pemerintah bagi warga negaranya, entah secara langsung melalui sektor publik atau dengan pembeayaan layanan swasta. Istilah ini kerap dipahami sebagai konsensus sosial bahwa semua orang harus memperoleh layanan bertaut dengan pendapatannya. Bahkan di mana pelayanan publik secara finansial tidak didanai oleh publik, karena alasan sosial atau politik, hal itu menjadi sasaran peraturan yang terhubungan dengan persoalan ekonomis. Pelayanan publik adalah hal mendasar dalam kehidupan modern karena alasan moral, yakni sifat universal yang harus memperoleh jaminan negara atau pemerintah, dan ditautkan dengan hak asasi manusia yang fundamental, seperti hak untuk memperoleh air bersih. Di beberapa negara, istilah pelayanan publik mencakup antara lain: * * * * * * * * *
dan Inggris, yang sektor swastanya berkembang maju. Di negara-negara yang berkembang, pelayanan publiknya juga belum berkembang. Layanan air bersih misalnya, hanya dinikmati oleh kalangan klas menengah yang kaya. Dengan alasan politis, pelayanan publik biasanya disubsidi oleh pemerintah, yang justru mengurangi penerimaan dana bagi kaum atau komunitas yang miskin. Privatisasi pelayanan publik kerap dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai alasan, antara lain minimnya anggaran pemerintah untuk sektor terkait, misalnya kesehatan, pendidikan, perumahan, dll. Terdapat beberapa alasan mengapa privatisasi atas pelayanan publik dilakukan, yakni:
....pelayanan publik biasanya disubsidi oleh pemerintah, yang justru mengurangi penerimaan dana bagi kaum atau komunitas yang miskin....
Pendidikan Transportasi publik Komunikasi dan penyiaran Gas dan listrik Kesehatan Keamanan Air bersih Sampah Pemadam kebakaran
Terkadang, pelayanan publik memiliki karakteristik sebagai kebutuhan publik, umumnya berbentuk layanan yang disediakan oleh pasar. Umumnya layanan publik berbeda dengan layanan yang dilakukan oleh pabrikpabrik atau perusahaan-perusahaan. Pelayanan ini tidak ditujukan untuk kepentingan individual dan sulit diukur jangkauan kualitasnya. Tak jarang layanan ini menarik awam terlibat karena etos moralnya untuk memberikan sesuatu kepada orang lain melalui kerja sukarela dengan bayaran yang murah atau “kerja rodi”. Sejarah pelayanan publik di negara-negara berkembang dimulai pada abad ke-19, misalnya layanan air bersih dan gas. Kemudian layanan kesehatan dan listrik yang disediakan oleh pemerintah. Di beberapa negera yang sudah maju, berbagai layanan tersebut masih dijamin oleh negara atau pemerintah daerahnya, kecuali di Amerika
* Terbentuk korporasi pasar bebas yang menjual sahamnya kepada investor swasta, yang melemahkan kendali pemerintah terhadapnya. Tujuan akhir pelayanan publik adalah pelayanan kepentingan korporasi. *Di beberapa negara maju di Utara, mereka melakukan pilihan pembagian kepemilikan terhadap saham. Negara masih memegang porsi saham terbesar, sehingga masih mengendalikan pasar. * Negara mengatur korporasi yang ada, sehingga memerlukan izin pemerintah untuk melakukan operasi dan harus melaksanakan sejumlah kewajiban yang ditetapkan. Ketika korporasi mulai memonopoli pasar, maka regulasi akan mencegahnya melakukan praktik tersebut. * Pemerintah dapat membeli saham melalui pasar bebas. Di beberapa negara misalnya, layanan medis dibeayai oleh pemerintah. Namun layanan listrik, transportasi, sampah, dan kesehatan diserahkan kepada pihak swasta. * Kemitraan korporasi publik adalah metode yang paling baik untuk mendanai layanan publik. Pelayanan publik berkaitan dengan sektor publik. Sektor publik bagian dari ekonomi dan kehidupan administrasi yang terpaut dengan layanan dan kebutuhan yang disediakan oleh atau untuk pemerintah. Sektor layanan jaminan sosial, tata administrasi kota dan sistem keamanan nasional, misalnya. Organisasi sektor publik (kepemilikannya) berbentuk administrasi langsung, seperti perpajakan (tak ada ukuran kesuksesannya dan pemerintah yang melahirkan keputusan terkait). Bentuk
FOKUS UTAMA lain ialah perusahaan-perusahaan negara. Mereka lebih memiliki kebebasan untuk meraih keuntungan komersial dan pemerintah tidak selalu menentukan keputusan, meskipun tujuan-tujuan perusahaan bisa jadi ditentukan pemerintah. Bagaimana dengan pelayanan publik di negeri kita? Apakah pemerintah sudah melaksanakan kewajibannya secara konsisten untuk melayani warga negaranya? Bagaimana pun negara atau pemerintah bertanggung jawab mewujudkan cita-cita yang tertera dalam sila kelima Pancasila, yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bila kita mengamati lebih dalam praktik negara atau pemerintah kita terkait dengan pelayanan publik, maka tampak jelas bahwa arah dan kebijakan layanannya tidak pasti. Masyarakat atau rakyat, sebagai warga negara, pada dasarnya memiliki hak-hak dasar, yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya atau paling tidak terjamin pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam realitasnya, banyak arah dan kebijakan layanan publik Indonesia tidak ditujukan guna peningkatan kesejahteraan publik. Namun sebaliknya, layanan publik mendorong masyarakat atau rakyat untuk “melayani” elit penguasa. Ini yang kita alami di Indonesia. Pemerintah melahirkan berbagai kebijakan dalam bentuk hukum, perundang-undangan, peraturan-peraturan dan lainnya bertalian dengan layanan publik. Berbagai kebijakan itu katanya bermaksud hendak melindungi hak-hak warga negara, meskipun dalam praktiknya banyak yang melanggar kepentingan warga negara, misalnya penggusuran lahan rakyat untuk bangunan super market. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri adalah kebijakan layanan publik yang melanggar hak-hak warga, khususnya kaum tani. Akan lebih kompleks lagi persoalannya jika kita mengaitkan layanan publik dengan kebutuhan dan kepentingan kaum perempuan. Tentu fakta sejarah memperlihatkan realitas kekuasaan yang tiada berpihak pada perempuan. Hampir 62 tahun Indonesia, namun layanan publik terhadap perempuan masih carut-marut. Tingginya angka kematian ibu melahirkan dan fenomena gizi buruk yang merebak di beberapa daerah di Indonesia adalah indikasi kuat betapa tidak pedulinya pemerintah pada perempuan. Dan, rendahnya angka melek huruf di kalangan perempuan juga contoh abainya pemerintah memberikan peluang
6
dan kesempatan terhadap perempuan. P e m e r i n t a h tidak melakukan “affirmative action” untuk menguatkan keberdayaan perempuan dalam memainkan peran dan posisinya di masyarakat, khususnya terkait dengan layanan publik. Belum lagi kuatnya budaya patriarkhi di masyarakat kita yang enggan memberikan “kuasa” kepada perempuan untuk ambil bagian dalam perencanaan, keputusan dan pelaksanaan suatu layanan publik. Contoh kecil, keterlibatan ibu-ibu di Posyandu. Mereka malah hanya menjadi “pekerja sosial” yang tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan, apalagi keputusan yang menyangkut kegiatannya tersebut. Konsepnya saja berasal dari pemerintah Orde Baru yang memandang bahwa perempuan hanya “makhluk domestik”, sehingga kesadaran baru sebagai makhluk merdeka yang memiliki identitas, dihapuskan begitu saja. Kondisi ini kemudian dilembagakan oleh pemerintah hingga kini. Lemahnya pelayanan publik yang peka terhadap kepentingan perempuan mengakibatkan lahirnya kasuskasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Seorang ibu miskin misalnya, harus menangis dulu meminta belas kasihan pihak rumah sakit Budi Asih Jakarta, agar anaknya yang terserang kejang-kejang bisa ditolong. Namun pihak rumah sakit tetap meminta uang jaminan rawat inap sebesar Rp 200 ribu (Kompas, 15 Desember 2006). Hampir setiap hari kita bisa melihat di media massa betapa kacaunya pelayanan publik di Indonesia. Apalagi mengharapkan adanya kepekaan gender di dalamnya, tentu “jauh panggang dari api”. Pemerintah memang tidak memiliki paradigma yang jelas dalam soal layanan publik dan mempertahankan birokrasi yang feudal. Transformasi paradigmatik, disain ulang sistem dan organisasi layanan publik harus dilakukan agar pemerintah menjadi handal melakukan kewajiban publiknya. Dalam kaitan itu, dukungan positif amat perlu bagi kalangan perempuan sehingga mereka memiliki posisi yang pasti dalam layanan publik di Indonesia. Jangan sampai mereka hanya menjadi penopang kepentingan pemerintah sehingga hak asasinya dilanggar. Dengan kata lain, pemerintah harus lebih serius melayani masyarakat secara umum, khususnya perempuan. Semoga! (HG)
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
OPINI
Membangun Agenda Gender dalam Kebijakan Kesehatan Publik Oleh: Debora Tajer *)
T
ujuan utama membangun suatu agenda gender dalam kebijakan kesehatan publik adalah:
- Mengidentifikasi cara bagaimana perbedaan gender dapat menimbulkan ketidakadilan dalam kesehatan, dan - Mempromosikan desain, implementasi dan monitoring kebijakan kesehatan publik dengan tujuan melahirkan kesetaraan dan otonomi yang memuat persepktif gender sebagai alat.
Apa yang dimaksud dengan agenda gender dalam kebijakan kesehatan publik? Saya akan memandu anda dengan empat pertanyaan dasar yang kerap disampaikan oleh petugas kesehatan dan pihak lainnya. Pertanyaan tersebut adalah: 1.Apa itu gender perspektif di dalam kesehatan? 2.Mengapa perspektif ini akhir-akhir ini begitu popular dan tampak jelas? 3.Apakah perspektif gender hanya terterapkan pada kesehatan perempuan? 4.Dapatkah perspektif ini dipergunakan menangani persoalan-persoalan kesehatan laki-laki? Apa itu perspektif gender dalam bidang kesehatan? Mengadopsi perspektif gender dalam bidang kesehatan berarti memadukan pemahaman bagaimana ketidak-seimbangan sosial antara laki-laki dan perempuan menentukan proses perhatian terhadap kesehatan, sakit dan perawatan kesehatan. Ketidak-seimbangan hirarkhis antar gender terkait dengan perbedaan antar orang, yang menjadi sumber ketidak-adilan di dalam masyarakat—termasuk usia, etnis, dan status sosioekonomi—untuk membuat profil angka kematian dan model yang berbeda dalam mengelola sakit. Ketidak-seimbangan sosial antara perempuan dan
Kalyanamedia
laki-laki menjadi faktor dalam proses kesehatan, sakit dan perawatan kesehatan bagi tiap kelompok gender. Hal itu mencerminkan kerawanan kesehatan yang berbeda-beda dalam kaitan peran sosial yang dimainkan oleh perempuan dan laki-laki dalam sistem masyarakat patriarkhal, yang mempengaruhi berbagai cara hidup, menyebabkan sakit, upaya pengobatan segera, dan kematian. Dalam pembagian kerja seksual yang mencerminkan periode patriarkhi, kita menemukan derajat kesetaraan gender secara menyeluruh di berbagai wilayah geografis. Meskipun perempuan Amerika Latin membuat banyak kemajuan dalam lingkungan publiknya, namun mereka masih diharapkan merawat kehidupan keluarganya dan menjadi tenaga kesehatan di rumahnya sendiri, berdasarkan kemampuan empati dan pemahaman. Perempuan secara massif terjun kedunia kerja menjadi buruh tentu tak dapat dielakkan, meskipun tanpa pemahaman yang tepat dalam membagi ulang pekerjaan domestik. Hal ini berarti pekerja perempuan melakukan dua atau tiga bentuk pekerjaan sekaligus. Ketika seorang anggota keluarga sakit atau memerlukan kebutuhan khusus, perempuan di dalam keluarga melihat kebutuhannya secara relatif. Di beberapa negara, rangkap tiga beban kerja ini dipromosikan oleh sistem kesehatan itu sendiri melalui program yang memberikan uang kepada kalangan ibu sebagai insentif untuk membeli rencana dasar kesehatan bagi keluarga mereka daripada mengkhusus dana tersebut untuk ibu-ibu itu sendiri. Rencana tersebut, yang begitu dikenal di beberapa negara berkembang atau wilayah, dipromosikan dengan dua alasan utama: bahwa perempuan jauh lebih jujur dan dan efektif daripada laki-laki dalam mengelola sumber daya yang langka dan tingkat kematian bayi dikaitkan dengan tingkat pendidikan perempuan. Tambahan bahwa remaja perempuan harus dididik untuk
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
7
OPINI memenuhi peran jangka panjangnya guna mempersiapkan generasi penerus manusia, dan menjaga kelangsungan daya tahan terhadap impak kemiskinan yang sangat parah. Namun demikian, mari kita lihat argumentasi yang menentang kesesatan berpikir tersebut. Perempuan belum tentu lebih jujur daripada laki-laki, namun mereka memiliki kesadaran bersama yang memampukan mereka mengelola sumber daya yang langka dan mudah dikooptasi oleh rencana-rencana yang buruk. Perempuan memiliki sedikit kuasa di dalam rumahnya, tiap receh uang yang mereka miliki terlihat sebagai sumber kekuasaan tambahan kecil pula. Lebih jauh, ada benarnya bahwa tingkat pendidikan ibuibu akan berhubungan dengan tingkat kematian bayi, namun pendidikan jangan dijumbuhkan dengan bentuk pelatihan tertentu. Kemudian, gagasan bahwa remaja perempuan harus dididik untuk mempersiapkan g e n e r a s i mendatang adalah penggantian posisi permanen keterbelakangan perempuan dalam hubungan mereka yang berasal dari strata sosial tertentu, baik lakilaki maupun perempuannya. Akhirnya, kalangan perempuan diperlengkapi dengan sistem tersebut didasarkan atas kelebihan beban kerja mereka. Hal itu memicu tingkat keluhan beban kesehatan yang besar, dan bagaimana mengembangkan indikator kesehatan keluarganya. Perempuan umumnya menjadi pengguna sistem kesehatan yang ada, yang berkait dengan aduan kondisi kesehatan mereka dan dalam mencari pengobatan. Dengan demikian, perempuan mencari perawatan kesehatan lebih dini daripada laki-laki.
8
Bagi perempuan, laki-laki diharapkan mampu memenuhi peran layanan ekonomis dan sosialnya, dan diberikan sanksi bila tidak memenuhi peran tersebut. Hal ini akan menghasilkan profil epidemologis khas masalah beban kerja dan kesulitan mencari kerja. Dalam memenuhi harapan peran sosial tersebut, laki-laki tidak diizinkan mengeluhkan persoalan kesehatan mereka, yang berakibat negatif bagi pelacakan dini kesehatannya. Laki-laki mencari pengobatan apabila sakit tidak dapat ditolerir lagi sehingga mereka lebih rentan sakit dan saat mencari pengobatan yang merumitkan prognosisnya. Apabila kita menjawab persoalan kesehatan perempuan dan laki-laki dari perspektif kesetaraan g e n d e r, m a k a k i t a temukan bahwa masalah perempuan sesungguhnya terkait dengan aspek pemberdayaan dan kelangkaan sumber daya, sedangkan masalah laki-laki lebih tertaut dengan beaya pemeliharaan “status quo” dan sering menyangkut beban kerja dan keringkihan resiko kesehatannya. Mengapa perspektif ini akhir-akhir ini begitu popular dan tampak jelas? Popularitas dan kesahan perspektif gender adalah bagian perubahan peran sosial perempuan. Sebagaimana perempuan makin menjadi otonom, perbedaan hirarkhis yang ada antar gender memperoleh perhatian yang besar dan mengalami peminggiran yang kian meningkat. Suatu perspektif gender tidak berarti mencakup isu yang baru, tetapi kebanyakan memperkenalkan suatu sudut pandang baru mengenai perbedaan dan karakteristik khas kesehatan perempuan dan laki-laki, dari sudut pandang kewarganegaraan dan hak asasi manusia. Hal itu memperlihatkan suatu keberhasilan
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
OPINI gerakan perempuan sebagai pelaku politik secara internasional dalam memperkenalkan aspek-aspek agendanya kepada publik. Gerakan tersebut mampu melakukan kerja advokasi yang sangat bagus, yang memposisikan kesetaraan gender sebagai modal utama secara global. Capaian itu memiliki dua konsekuensi yakni: - Pemerintahan di berbagai negara berkewajiban memadukan kesetaraan gender sebagai kebutuhan dasar manusia. - Negara-negara yang memiliki persoalan ketidak-adilan gender secara serius dan dengan kemampuan lokal yang terbatas untuk mengubah situasi tersebut harus menanggapi secara publik ketidak-adilan tersebut di hadapan tekanan internasional. Perspektif gender tercakup dalam program kerjasama badan-badan internasional, yang mendorong pencarian dana untuk mendisain proyek-proyek tersebut yang memperhitungkan kesetaraan gender. Terdapat dua alasan tambahan yang dapat diungkap dalam kasus Amerika Latin: pertama, sejarah gerakan untuk kesehatan sebagai hak yang muncul akibat tekanan politik di dalam skema sosialisasi kesehatan di Amerika Latin. Skema ini adalah contoh yang baik. Kemudian akibat gerakan di berbagai wilayah yang makin meluas untuk mempertahankan hak-hak perempuan. Apakah perspektif gender hanya terterapkan pada kesehatan perempuan? Tidak! Hal itu dapat dipergunakan untuk memahami, mencegah dan memecahkan persoalan kesehatan laki-laki. Tidak sampai di situ, suatu kepercayaan bahwa ketika kita berbicara gender, maka ini dianggap cara baru untuk mengatakan tentang “perempuan”. Keyakinan ini berdasarkan fakta bahwa konsep perspektif gender di lapangan kesehatan dipergunakan untuk mengidentifikasi dan memecahkan persoalan kesehatan perempuan yang tak hanya ditujukan pada perbedaan antar jenis kelamin, tetapi juga posisi sosial yang subordinatif. Sebagai hasilnya, konsep perspektif gender berkembang maju dalam kaitan kesehatan perempuan daripada kesehatan laki-laki. Dan
Kalyanamedia
itu membantu memperlihatkan kekeliruan ide, bahwa gender di dalam kesehatan perempuan itu setara. Dapatkah perspektif ini dipergunakan menangani persoalan-persoalan kesehatan laki-laki? Tentu saja! Dan, harus demikian. Mempromosikan agenda kepekaan gender di dalam kesehatan adalah hak, dan penting melibatkan laki-laki sebagai kelompok untuk menjawab persoalan relasi gender tersebut dalam proses kesehatan, sakit dan perawatan. Dan juga untuk mengamati, bagaimana perilaku atau tindakan mereka dapat merusak kesehatan perempuan. Untuk menyimpulkan tujuan tersebut, kita harus meningkatkan kesadaran di kalangan tim perawat dan kalangan laki-laki itu sendiri, bahwa perilaku berkaitan dengan hegemoni kelaki-lakian yang membuat mereka sakit sekaligus menghancurkan kesehatan perempuan. Contoh perilaku tersebut misalnya, praktik kekuasaan yang menyingkapkan situasi berbahaya bagi lainnya, penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan pertengkaran dan kecenderungan melupakan gejala-gejala berbahaya lainnya yang tersembunyi. Untuk mendekati potensi perspektif gender secara maksimal berkaitan dengan persoalan ketidakadilan dalam kesehatan laki-laki dan perempuan, maka kita harus mulai dengan penggunaan istilah tersebut secara luwes dan dinamis. Pendekatan baru ini memecahkan masalah dari perspektif keadilan, yang tidak hanya bertalian dengan soal kemiskinan, tetapi juga beban kerja dan ketidaklayakan. Contohnya, kita dapat mengamati apa yang berkenaan dengan kejadian penyakit jantung. Laki-laki beresiko tinggi mengalami sakit jantung, namun perempuan memperoleh perawatan yang kurang dalam hal ini, dan mengidap angka kematian yang tinggi, juga karena alasan gender. Dengan demikian, kita dapat mengkombinasikan hal itu kedalam resiko ketidak-adilan patologis bagi laki-laki di satu sisi, dan ketidak-adilan perawatan bagi perempuan, di sisi lainnya. (HG)
*) Psikolog klinis, profesor dan peneliti di Universitas Buenos
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
9
WACANA
Pemberdayaan Perempuan Mahkota Perjuangan Berabad-abad Transformasi peradaban besar telah terjadi sepanjang abad ke-20: menyangkut pemberdayaan perempuan sekaligus penghormatan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Tranformasi diam-diam ini dilakukan dengan kerja keras. Konsekuensinya terkait dengan perubahan relasi gender dan kondisi khusus dalam tiap masyarakat. Hal itu berimpak pula pada politik, ekonomi, dan kehidupan sosial secara mendasar baik nasional maupun internasional. Titik sorotnya ialah perempuan yang kerap dianggap lugu dan terutama korban konflik antar bangsa, begitupun menjadi korban kekerasan di dalam rumah tangga dan masyarakatnya. Kurang begitu terlihat perempuan sebagai penghapus ketidak-adilan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat di berbagai negara. Wujud nyata revolusi perempuan ialah tampaknya perempuan sebagai aktor; pelaku langsung dan pemimpin dalam berbagai jalan hidupnya di arena internasional. Hal tersebut memahkotai perempuan dengan masa peralihan yang membuat frustasi dirinya, yaitu dari status subordinat ke arah harga diri; dari sekadar unsur statistik masyarakat yang tidak terlihat kemudian diakui keberadaannya—itu menjadi tonggak pembangunan. Sekalipun berabad-abad perempuan harus meraih kemenangan haknya untuk dipilih, sekarang mereka memiliki hak untuk dipilih di lima benua. Berbagai negara bangsa telah memuat pernyataan keadilan sosial dan ekonomi di dalam konstitusi mereka. Perubahan itu memperlihatkan proses perempuan menjadi semakin tampak dalam posisi terdidiknya, dalam bidang layanan, dan sebagai tenaga kerja industri, sekalipun status sosial kebanyakan perempuan belum tersentuh. Dengan kekecualian, gelombang gerakan feminisme pertama secara mendasar dilakukan oleh klas menengah yang berfokus pada pendidikan. Gelombang gerakan feminisme kedua yang dimulai tahun 1960-an dihasilkan dari banyaknya perempuan yang mengeyam pendidikan menengah, dan betul-betul revolusi seksual, perlawanan terhadap standar ganda moral masyarakat, serta penentangan terhadap subordinasi perempuan di rumah dan masyarakat.
10
Ada dua faktor tambahan yang memperkuat jalannya proses tersebut. Perempuan begitu mempersoalkan organisasi masyarakat secara konvensional, khususnya dalam penerapan ekonomi dan politik, yang merasakan keterasingan dalam hal ini. Yang lain mempersoalkan perubahan jika dikooptasi oleh laki-laki. Gerakan perempuan di Utara, faktanya, menjadi terpecah-pecah karena perjuangannya didasarkan atas pemenuhan hakhak, sedang lainnya mengusung perubahan sosial secara langsung dalam beberapa wilayah kegiatan pokok. Pengalaman di Selatan memperkuat sejumlah dimensi upaya tersebut. Hal itu sebagai impak industrialisasi atas perempuan, urbanisasi, dan pertumbuhan penduduk yang sama dialami oleh berbagai negara industri pada abad 19. Tingkat kesadaran, kebangkitan generasi muda perempuan dalam penguasaan pengetahuan, pertumbuhan jumlah perempuan dengan tingkat pendidikan yang cukup untuk menginvestigasi kondisi, aspirasi, dan perspektif di antara kalangan miskin—sebagai reaksi terhadap kebutuhan perubahan dalam pola-pola masyarakat. Semua itu berpengaruh terhadap agenda gerakan perempuan secara global. Adopsi konvensi CEDAW yang disahkan oleh Majelis Umum PBB tahun 1980 memulai pengumpulan data status perempuan di berbagai negara, Utara dan Selatan. Kebangkitan perspektif baru terhadap perempuan untuk organisasi perempuan tingkat nasional dan lokal mendorong kesadaran dan solidaritas perjuangan, yang melampaui pembagian klas, ras, agama, dan kebangsaan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap proses tersebut ialah pertumbuhan pusat studi perempuan di banyak universitas di seluruh dunia, didukung oleh borjuisasi jaringan kerja yang memandulkan ide-ide, pendekatan, taktik dan strategi. Tambahan lagi peran aktif perempuan dalam perjuangan demokratis menentang rejim penindasan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Konferensi PBB mengenai perempuan dan isuisu pembangunan sosial ekonomi lainnya sejak tahun 1975 membantu meningkatkan kelayakan peran, dan potensi perempuan di skenario internasional.
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
WACANA Pertemuan tersebut mengungkapkan dimensi pembangunan yang tersembunyi, yakni diskriminasi sistemik dan marjinalisasi perempuan (penindasan mereka di seluruh dunia) yang menciptakan momentum perubahan. Ketika hak dipilih perempuan menembus tembok tabu, menuju terbentuknya sistem yang demokratis, akses politik perempuan sebelumnya sangat terbatas, dan di beberapa negara, hanya hak memilih. Dalam kehidupan budaya, juga memperoleh tempatnya tersendiri sekarang. Peran perempuan, sebagai isu yang terpisah yang kurang bermakna, kemudian menjadi perdebatan internasional di Konferensi Pertama PBB mengenai Kependudukan dan Pembangunan di Romania tahun 1974. Sejak itu, dimensi persoalannya makin kompleks. Beberapa konferensi dilangsungkan, yang berkontribusi terhadap perempuan pedesaan terkait ekonomi agraria, yaitu Konferensi Dunia Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan tahun 1979. Bencana kelaparan yang terjadi di Afrika waktu itu menimbulkan pertanyaan, apakah perempuan juga tidak berperan sebagai penghasil pangan keluarga. Peristiwa penting terjadi di Planet Femina saat pertemuan tingkat dunia Pembangunan dan Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro tahun 1982, turut mempengaruhi hasil konferensi tersebut. Konferensi Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993 disetujui bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia. Pada Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994, ribuan perempuan memberikan dukungan nyata dan tambahan kekuatan yang kini secara luas menerima konsep hak-hak reproduksi perempuan. Posisi tersebut diterima pada Pertemuan Sosial di Kopenhagen tahun 1995 yang membuat pemberdayaan perempuan sebagai bagian dari komitmen dasar sekitar 126 kepala negara atau pemerintahan di dunia. Tentu hasil pertemuan tersebut menggabungkan hal berikut: -
Hak-hak perempuan kedalam konvenan hak asasi manusia, dan Peran utama perempuan kedalam pembangunan sosial dan pemberdayaannya.
Bersamaan dengan kegiatan yang dilakukan kalangan LSM pada pertemuan global tersebut, aliansi baru pun terbentuk. Pada 1980-an suatu kesadaran ‘politik dan ideologis’ perempuan yang
Kalyanamedia
cair menyebar di kalangan massa perempuan di seluruh dunia— melebihi dari apa yang pernah dicapai oleh gelombang gerakan feminisme pertama. Perempuan sebagai kelompok sosial, yang tidak pernah seperti itu sebelumnya, kini menjadi kekuatan politik utama di berbagai negara. Tahun Internasional Perempuan (1975), Dekade Perempuan (1975-1985), dan strategi yang diserap pada tiga konferensi perempuan sedunia merangsang tumbuhnya mesin nasional penguatan dan pemberdayaan perempuan. Hal itu membawa suatu tingkat kesadaran yang lebih tinggi mengenai bias-bias tersembunyi yang menentang perempuan dalam berbagai bidang kegiatannya. Keberadaan perempuan dalam istilah sosial-politik bergantung pada “keterlihatan” mereka, karena hampir semua budaya cenderung meninggalkan perempuan menjadi “tidak terlihat”. Masyarakat yang didominasi laki-laki cenderung menyingkirkan perempuan; perempuan sejajar dengan ‘berita kecil’ di dalam suatu surat kabar, dalam analisis sosial-ekonomi ataupun politik, bahkan dalam proyeksi masa depan manusia. Yang harus dimenangkan ialah menyebarluaskan keterlihatan perempuan tersebut jangan sampai gagal kembali. Persoalan global, efek ‘menetes’ hak-hak perempuan, keterlihatan mereka, dan keterlibatannya harus dipercepat dan diperkuat di berbagai tingkatan—memastikan keberhasilan perjuangan mereka untuk menggapai hidup yang lebih baik bagi diri mereka maupun orang lain. Keterlihatan perempuan membawanya ke situasi yang melampaui peluang kesetaraan. Sebagaimana kesetaraan lainnya diperluas, maka kesetaraan gender juga menjadi penting. Beberapa perempuan berhasil mencapai puncak tangga kesuksesannya, namun sebagian besar perempuan masih tertinggal. Pemahaman subordinasi pasif tidak bisa dibenarkan, dalam arti, baik sebagai hak maupun kesetaraan hidup. Penghormatan harga diri terhadap makhluk hidup menuju pada penghormatan terhadap kesetaraan. Universalitas kesetaraan menjadi kebutuhan dasar hak asasi manusia. Ketidakadilan merupakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia. Dalam kaitan masalah perempuan, ketidak-adilan kerap diperhalus maknanya menjadi diskriminasi, yakni penolakan terhadap hak-hak perempuan. Sejak awal, penerimaan dan
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
11
WACANA peneguhan terhadap konvensi CEDAW menjadi amat penting. Peningkatan keterlihatan perempuan sangat diperlukan. Hal itu upaya untuk mengurangi jurang antara prinsip-prinsip yang diterima dan hak-hak perempuan di satu sisi, dengan realitas dan praktiknya di sisi lain. Prinsip yang disepakati secara internasional yang diwujudkan kedalam kodifikasi hukum-hukum nasional hanya menjadi tulisan, atau tidak bermakna ketika berbagai ‘perkecualian’ dilakukan terhadap ratifikasi konvensi tersebut. Mengambil kesempatan memanfaatkan keterlihatan perempuan ini, dorongan pemberdayaan harus lebih bertenaga, untuk merumuskan kenyataan yang baik seperti ‘upah yang sama untuk pekerjaan yang sama’ (konvensi 100 ILO). Perundang-undangan upah harus dibentuk dan diperluas ke seluruh dunia untuk menanamkan nilai-nilai prinsip tersebut. Hal ini memerlukan evaluasi kembali makna profesionalitas perempuan dan pekerja klas ‘ungu’ dalam meningkatkan status dan upah. Aksi afirmatif harus diadopsi sebagai kebijakan hingga status ketidak-adilan pengupahan terhadap perempuan dihapuskan. Tujuan dan kerangka waktu harus dikembangkan terhadap efek, pelaksanaan dan pengawasannya. Ukuran aksi afirmatif mencakup adanya pusat perawatan bayi untuk ibu-ibu buruh, keluwesan jam kerja, kuota perempuan dalam perekrutan kerja, promosi, pelatihan reguler, penghukuman terhadap tindakan pelecehan seksual di tempat kerja. Gerakan perjuangan perempuan akhirnya memperoleh penghargaan PBB bahwa nilai yang tak terbayarkan oleh perempuan karena ketidak-terlihatan kerja mereka berkontribusi bagi kualitas kehidupan globa, yakni sebesar 11 milyar dollar per tahun, atau sekitar 70 persen dari hitungan resmi sekitar 23 milyar dollar per tahunnya. Jadi, sumbangan mereka diperkirakan mencapai ¾ dari total capaian. Persebaran kerja yang dibayar dan tidak dibayar menunjukkan berbagai keragaman karena di negara industri laki-lakinya menghabiskan 2/3 waktu kerja. Namun bagi perempuan, sebaliknya yang terjadi. Di negara-negara berkembang hampir ¾ laki-lakinya bekerja di pasar, menerima pendapatan yang lebih baik dan penghargaan dari masyarakatnya.
12
Mayoritas perempuan adalah warga negara miskin dari negaranegara yang berkembang. Mereka miskin dan terkebelakang. Hampir sebagian besar perempuan di negara-negara berkembang berusia sekitar 15 tahun. Kemiskinan dan kebodohan terus menghantui kehidupan perempuan. Dengan berbagai perbedaan dalam upah, juga terjadi dalam keterlibatan pasar kerja formal. Strategi konkrit, aksi afirmasi, dan investasi dalam kualitas hidup sangat dibutuhkan. Akan tetapi, menembus dunia politik diperlukan perjuangan oleh kaum perempuan sendiri. Pemberdayaan perempuan sebagai sarana penguatan perempuan dalam berbagai bentuk kehidupan sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan pada keterkaitan antara kebebasan pribadi dan aturan masyarakat yang berlaku. Tahap awal pemberdayaan perempuan dapat dibandingkan dengan tahapan hak. Perempuan miskin, di berbagai budaya tidak akrab dengan bahasa “hak”. Karena itu, menjadi tanggung jawab untuk menjelaskan hal itu kepada mereka. Menjelaskan konsep hak dan dasar legitimasinya sesuai konteks yang ada, secara progresif akan mendorong artikulasi perempuan menyuarakan ketidak-adilan dan ketimpangan dalam tatanan sosial yang menghambat mereka meraih hak-haknya. Bahayanya ialah bila pemberdayaan hanya menjadi slogan, tanpa kenyataan. Bahkan harus diwaspadai arti kata pemberdayaan itu sendiri, agar tidak disimpangkan maknanya. (HG)
Sumber: Caring for the Future: Making the Next Decades Provide a Life worth Living, Oxford University Press, 1996.
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
SOSOK
Ikan Ter-Cu-Dang-Pa-Trik “Bu Guru, Bu Guru,” anak kecil berseragam lusuh itu mengacungkan tangan mungilnya di antara kerumunan anakanak lain sebayanya—menggenggam kecrekan yang menjadi alat penopang hidup. “Saya majunya, kapan, Bu?” “Ya, ya: nanti, Wanti. Tadi, ‘kan udah diundi. Sekarang yang maju kelompok Apel dulu, ya? Ayo lanjutkan Ipin,” ucap seorang perempuan di depan kelas. Tapi tunggu! Kelas? Apakah kita bersepakat menyebutnya kelas? Biar aku gambarkan! Tidak ada tembok, apalagi jendela. Cuma tikar yang digelar di atas peti-peti yang dijejer mirip panggung, gerobak-gerobak, lalat-lalat, dan papan tulis kapur yang disandarkan pada sebuah bekas peti buah. Dan, anak-anak berseragam debu di muka, berdasi ingus hijau kental membentuk formasi angka sebelas di antara bibir dan lubang hidung—sebentar-sebentar terdengar deru batuk rejan. Suara-suara kendaraan menjadi awan kelas itu: mereka duduk-duduk di kolong jembatan layang. Baunya: rupa-rupa.
Setelah selesai, Muf mempersilahkan anak kecrekan yang tadi mengacungkan tangan ingin maju ke depan bersama kelompoknya untuk presentasi. Nama kelompoknya, kelompok Duren. Kelompok Duren ini memang didominasi oleh Wanti, seorang anak perempuan berusia enam tahunan yang berprofesi sebagai pengamen. Kelompok Duren ini sangat menjaga rahasia. Dari mulai saat diskusi dalam kelompok, mereka memilih untuk bisik-bisik menyendiri, mereka tidak mau makhluk lautnya diketahui oleh kelompok lain. Rahasia dijaga rapat-rapat.
Wanti pun mulai menjelaskan panjang-lebar. Makhluk lautnya adalah berupa ikan. Ya, sederhana, cuma ikan. Namun aku kembali tergelak ketika mendengar jawaban dari Wanti (yang rupa-rupanya dijiwai semangat persaingan yang tinggi). Ada sebuah pertanyaan dari Ipin, si pemilik ikan Ter-Cu-Dang-Pa-Trik...; pertanyaannya, ikan kelompok Duren ini makan apa? Dengan Gurunya? Ada sebuah pertanyaan dari Ipin, si pemilik enteng, bangga, dan tetap tak mau Seorang perempuan muda ikan Ter-Cu-Dang-Pa-Trik...; pertanyaannya, kalah, Wanti menjawab bahwa, enerjik (dia meminta aku ikan kelompok Duren ini makan apa? Dengan ikannya memangsa ikan Ter-Cuuntuk memanggilnya Muf, hihi enteng, bangga, dan tetap tak mau kalah, Dang-Pa-Trik.... Jadi, ikan Wanti nama yang unik, tapi nama itu lebih hebat daripada ikan Ter-Cumewakili banyak hal positif: aku Wanti menjawab bahwa, ikannya memangsa Dang-Pa-Trik... milik Ipin, karena ikan Ter-Cu-Dang-Pa-Trik.... suka). Berkerudung, seorang ia menempati urutan teratas rantai mahasiswi tingkat akhir jurusan makanan. Srimulat pun kalah lucu! psikologi pendidikan sebuah perguruan tinggi negeri sedang Mari kita tengok tetangga ruang kelas sebelah sana! membaktikan diri berbuat sesuatu: pelayanan publik berupa Kata Muf, sekolah formal itu adalah sebuah pelayanan pendidikan gratis berkualitas untuk semua! publik yang sedang berada di ujung tanduk karena anakKurikulum hari ini: presentasi makhluk yang ada di anaknya dijejali teori-teori, dicekoki kata-kata “jangan,” laut. Boleh makhluk yang pernah anak-anak itu lihat, atau dijadikan kelinci percobaan berbagai sistem pendidikan, pun makhluk laut hasil reka imaji mereka. Maksudnya untuk diperah SPP, pungutan ini-itu; padahal Undang-Undang menanamkan keberanian berbicara di depan khalayak sekaligus Dasar mengamanatkan untuk mengalokasikan minimal 20% berimajinasi dan mengorganisir diri dalam berkelompok. APBN untuk pendidikan, bukan untuk bayar IMF. Muf bilang, Kelompok Apel sedang mempresentasikan makhluk laut Presiden dapat saja diturunkan apabila tak memenuhi hasil reka imaji mereka. Pentolan kelompoknya bernama amanat itu. Ipin. Mereka bilang, ada seekor makhluk ikan di laut yang Muf menambahkan bahwa, terdapat perbedaan besar mereka beri nama ikan Ter-Cu-Dang-Pa-Trik... (sebenarnya antara “Pendidikan” dan “pengajaran.” Kita sering salah namanya lebih panjang lagi, tapi aku lupa mencatat karena kaprah dalam memaknai keduanya. Pendidikan itu tak bisa asyik tertawa cekikikan terperangah oleh imajinasi mereka). dikurikulumkan, lain halnya dengan pengajaran. Pendidikan Ikan ini super hebat, sebab merupakan ikan gabungan dengan datang dari diri sendiri, bukan dicekoki. Yang perlu dilakukan segala kemampuan. Dan, itu semua tercermin dari namanya, hanya membantu terbentuknya kondisi-kondisi di mana ikan Ter-Cu-Dang-Pa-Trik... yang merupakan singkatan. “Ter” pendidikan itu dapat tumbuh subur. Malah dia mengusulkan merupakan kependekan dari “Terbang,” jadi ikan super ini agar Depdiknas berubah nama saja menjadi Depjarnas alias memiliki kemampuan terbang seperti ikan terbang. “Cu” Departemen Pengajaran Nasional. merupakan kependekan dari “Cumi-Cumi,” nah ikan super Sekolah pun usai. Anak-anak itu mesti kembali ke ini, selain bisa terbang, juga memiliki tentakel seperti jalanan: mencari makan. Sebelum bubar, Muf berpesan cumi-cumi. Sedangkan “Dang” merupakan kependekan dari kepada anak-anak itu untuk tetap membuang sampah “Udang,” karena ikan super ini sisiknya seperti jubah udang. pada tempatnya. Mereka antri menciumi tangan Muf. Lari Kalau “Pa” merupakan kependekan dari “Paus,” jadi ikan ini berhamburan penuh keceriaan. Wanti dapat menengadahkan juga super-besar. Lantas “Trik”? Wah, ini yang bikin aku makin kepala: ikannya jadi yang paling hebat. Ipin pergi bersama terpingkal: “Trik” itu kependekan dari “Listrik,” jadi ikan rekan satu ‘band’-nya yang vokalis itu. Berbekal kecrekan, ini juga memiliki kemampuanz mengeluarkan listrik—seperti amplop, dan pita suara, mereka mencari makan. belut listrik! Hebat, ‘kan! Hehehe! Andai, di negara kita penduduknya dikenakan wajib Muf pun tersenyum dan mengajukan pertanyaansosial—asal jangan wajib militer! Tentu, negara dapat pertanyaan— yang sebenarnya tak kalah konyol imajinasinya. memfasilitasi keberadaan Muf-Muf yang lain. Muf yang Anak-anak itu pun bertanya: ada yang menanyakan bagaimana masih percaya bahwa pendidikan gratis yang berkualitas cara berenangnya; ada yang menanyakan makanannya apa. untuk semua itu masih ada—dan ia membuktikannya dengan laku nyata. (TE)
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
13
ADVOKASI
CEDAW Working Group Initiative: Upaya Memantau Konsistensi Pemerintah Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) adalah salah satu perjanjian internasional tentang hak-hak manusia yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 18 Desember 1979. Konvensi ini mengatur tentang kewajiban negara untuk melakukan upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan (politik, ekonomi, sosial budaya). Negara Indonesia meratifikasi konvensi tersebut melalui legislasi Dewan Perwakilan Rakyat pada 24 Juli 1984 menjadi UU No. 7/1984, dengan mereservasi Pasal 29 Ayat (1) CEDAW. Sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW, Indonesia terikat dengan Konvensi CEDAW dan berkewajiban melaksanakan pasal-pasal CEDAW melalui upaya-upaya pro-aktif untuk mewujudkan kesetaraan gender. Negara juga wajib membuat laporan awal (initial report) dan laporan berkala ke Komite CEDAW PBB (Committee on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women--selanjutnya Komite CEDAW) tentang pelaksanaan Konvensi CEDAW setiap empat tahun. Pemerintah Indonesia telah mengirimkan laporan CEDAW kepada Komite CEDAW untuk periode tahun 1995-2003 (2 periode). Dan saat ini, pemerintah Indonesia menunggu jadwal pembahasan laporannya di Komite CEDAW pada Juli-Agustus 2007. Berdasarkan mekanisme CEDAW, NGO dimungkinkan memiliki akses pada Komite CEDAW, dengan mengajukan laporan alternatif (alternative report) atau laporan bayangan (shadowreport). Namun, akses ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh kalangan NGO. Atas alasan itu berbagai NGO yang bergerak dalam isu-isu perempuan dan tergabung dalam CEDAW Working Group Initiative (CWGI) berinisiatif menyusun laporan bayangan CEDAW independen versi NGO. Laporan bayangan CEDAW ini berfungsi sebagai bahan masukan alternatif bagi Komite CEDAW tentang diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia yang krusial dan perlu mendapat perhatian besar oleh pemerintah RI. Selain itu, laporan bayangan CEDAW menjadi masukan bagi Komite CEDAW dalam menilai laporan CEDAW pemerintah Indonesia dan mendesaknya agar lebih serius melaksanakan kewajibannya dengan mengambil langkah-langkah pro-aktif bagi perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan serta penghapusan diskriminasi. Sejak diratifikasi CEDAW oleh Indonesia, 22 tahun lalu, persoalan diskriminasi terhadap perempuan di
14
berbagai bidang kehidupan terus berlangsung. Bahkan, banyak bermunculan kebijakan yang berpotensi menimbulkan tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Situasi ini diperparah dengan menguatnya fundamentalisme agama. Fundamentalisme agama tak hanya terjadi pada tingkatan budaya masyarakat, tetapi memasuki ruang-ruang kebijakan publik di tingkat nasional maupun daerah. Situasi tersebut sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian besar CWGI, yang terdiri atas 10 organisasi perempuan, yakni: Solidaritas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Jurnal Perempuan, Mitra Perempuan, LBH APIK, Rahima, Rumpun Gema Perempuan, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, dan Aliansi Pelangi Antar Bangsa. Pembentukan CWGI mulai dirintis sejak September 2006 melalui serangkaian pertemuan dan dengan komitmen bersama 10 organisasi anggotanya, maka dikukuh hal itu dalam kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh pimpinan organisasi masingmasing pada 10 November 2006. Nota Kesepahaman itu mengatur hak dan kewajiban anggota CWGI serta memberikan mandat kesekretariatan CWGI kepada Kalyanamitra. Dalam rangka penyusunan laporan bayangan CEDAW versi NGO dan mendorong implementasi CEDAW di Indonesia yang konsisten, maka CWGI mendapat dukungan dana dari UNIFEM Indonesia. Serangkaian kegiatan yang dilaksanakan CWGI yakni: 1. Pertemuan Reguler Pertemuan reguler dilakukan untuk melakukan konsolidasi internal CWGI dalam rangka menyusun rencana kegiatan dan monitoring kemajuan pelaksanaan kegiatan CWGI. CWGI telah melaksanakan pertemuanpertemuan sejak bulan September 2006. 2. Pelatihan tentang Laporan Bayangan CEDAW Kegiatan pelatihan tentang laporan bayangan CEDAW dilakukan pada 20-22 November 2006 di Hotel Ibis Slipi, Jakarta. Pelatihnya dari International Women’s Rights Action Watch Asia Pacific (IWRAWAP). Kegiatan ini merupakan upaya peningkatan kapasitas anggota CWGI dalam pengetahuan substansi CEDAW dan ketrampilan bagaimana menyusun laporan bayangan. Pelatihan tersebut sangat bermanfaat bagi kebanyakan peserta karena mereka belum memahami secara komprehensif tentang CEDAW. Dalam pelatihan tersebut, peserta diberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip dalam pasal-pasal CEDAW, mekanisme dan prosedur, dan penulisan laporan bayangan. Peserta tidak hanya
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
ADVOKASI dibekali tentang teori, tetapi juga ketrampilan/ praktek menulis laporan bayangan CEDAW. 3. Penyusunan Summary of Critical Issues Summary of Critical Issues adalah daftar isu krusial yang berkaitan dengan pasal-pasal CEDAW. Critical Issues ini menjadi bahan masukan bagi Komite CEDAW untuk membuat daftar pertanyaan atas laporan resmi pemerintah Indonesia. Komite CEDAW akan mengirimkan sejumlah pertanyaan kepada pemerintah Indonesia dan jawabannya akan dibahas dalam Sidang Komite CEDAW pada Juli-Agustus 2007. CWGI telah mengirimkan Summary of Critical Issues kepada Komite CEDAW pada 30 Januari 2007 yang lalu. Critical issues yang menjadi perhatian CWGI antara lain: pelaksanaan kewajiban pemerintah (state obligation) berkaitan dengan langkah-langkah penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, perdagangan perempuan, pemenuhan kesehatan reproduksi, hak politik dan kehidupan publik perempuan, hak untuk bekerja, hak kewarganegaraan, perkawinan dan hukum keluarga. 4. Diskusi Tematik Kegiatan diskusi tematik dilakukan dalam rangka menggali informasi tentang masalah diskriminasi di Indonesia terkait dengan 7 isu kritis tersebut. Informasi dan data dari hasil diskusi tematik menjadi bahan bagi penyusunan laporan bayangan CEDAW. CWGI melaksanakan tiga kali diskusi tematik dengan mengundang beberapa lembaga yakni: • Diskusi tematik I, dengan tema “Perdagangan Perempuan dan Hak untuk Bekerja” dilaksanakan pada 8 Februari 2007 di Yayasan Jurnal Perempuan. • Diskusi tematik II, dengan tema “Langkah-langkah Pemerintah dalam Penghapusan Diskriminasi, Partisipasi Politik dan Kehidupan Publik Perempuan” dilaksanakan pada 22 Februari 2007 di Seknas KPI. • Diskusi tematik III, dengan tema ”Perkawinan, Kesehatan reproduksi, dan Kewarganegaraan” dilaksanakan pada 26 Februari 2007 di Yayasan Kesehatan Perempuan.
ke Komite CEDAW. Dan CWGI akan melakukan pemantauan pembahasan laporan resmi pemerintah oleh Komite CEDAW. Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran publik terutama pihak-pihak pengambil keputusan, maka sosialisasi laporan bayangan akan dilakukan melalui kegiatan seminar nasional, talk-show, konferensi pers, dan diskusi publik di empat kota (Medan, Pontianak, Kupang, Bali). CWGI berharap jaringan tidak hanya fokus dan berhenti pada penyusunan laporan bayangan versi NGO, tetapi menjadi wadah bagi organisasi non-pemerintah yang memiliki komitmen terhadap isu-isu perempuan, untuk mendorong pelaksanaan CEDAW di Indonesia secara konsisten melalui perubahan kebijakan dan perbaikan situasi pemenuhan hak-hak perempuan Indonesia. Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akses dan kesempatan menikmati hasil-hasil pembangunan, serta menikmati hak asasi manusianya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban secara de facto untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi perempuan di berbagai bidang. Prinsip non-diskriminasi harus benar-benar menjadi landasan aksi pemerintah dalam merancang kebijakan, program, dan pelayanan publik. Pemerintah Indonesia saat ini telah membiarkan berbagai kebijakan dan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan diterapkan serta tidak melakukan upaya proaktif menghapuskan pola perilaku sosial dan budaya yang menghambat pemajuan hak-hak perempuan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Konvensi CEDAW. (RH)
Dalam penyusunan laporan bayangan CEDAW, CWGI terbuka terhadapan keterlibatan berbagai pihak dan lembaga di tingkat Jakarta maupun daerah. Oleh karena itu, rencana kegiatan yang dilaksanakan CWGI adalah pengumpulan data dan informasi dari berbagai daerah melalui penyebaran kuesioner. Hasil kuesioner ini akan diolah CWGI dan menjadi bahan dalam penulisan laporan bayangan. Serangkaian kegiatan seperti lokakarya nasional dan konsinyering finalisasi laporan bayangan CEDAW akan dilakukan dengan mengundang beberapa perwakilan organisasi daerah. Laporan bayangan CEDAW yang final akan dikirimkan
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
15
ADVOKASI
Kesehatan Reproduksi dan Kebijakan di Indonesia*) Kesehatan perempuan mempengaruhi semua aspek kehidupannya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sampai saat ini, pelayanan kesehatan bagi perempuan selalu diartikan sebagai layanan kesehatan selama kehamilan dan melahirkan. Sebagian besar perempuan mengalami tiga masalah gangguan kesehatan, yaitu: kurang gizi, terlalu sering hamil dan kelelahan. Tiap masalah ini mempengaruhi kesehatan umum perempuan dan melelahkan tubuhnya, sehingga rentan terhadap penyakit. Kehamilan pun membuat gangguan kesehatan lainnya bertambah parah, seperti malaria, hepatitis, diabetes dan anemia. Penyakit tersebut juga mengakibatkan kehamilan menjadi sulit. Hal tersebut membuat perempuan sering kurang sehat daripada laki-laki.
kependudukan memfokuskan kesehatan reproduksi dan hakhak perempuan sebagai tema sentral. Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan kehamilan. Tujuan dari program-program yang terkait serta konfigurasi dari pelayanan tersebut harus menyeluruh dan mengacu kepada program Keluarga Berencana (KB) yang konvensional serta pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Ada 8 komponen yang termasuk dalam kesehatan reproduksi, yaitu: konseling tentang seksualitas, kehamilan, alat kontrasepsi, aborsi, infertilitas, infeksi dan penyakit; pendidikan seksualitas dan jender; pencegahan, skrining dan pengobatan saluran reproduksi, PMS, termasuk HIV/AIDS dan masalah Pasal 63 pemerintah wajib kebidanan lainnya; pemberian melindungi perempuan informasi yang benar sehingga secara sukarela memilih alat dari praktik penghentian kontrasepsi yang ada; pencegahan k e h a m i l a n y a n g t i d a k dan pengobatan infe rt i li t a s; b e r t a n g g u n g j a w a b . pelayanan aborsi aman; pelayanan Persoalannya kesehatan kehamilan, persalinan oleh tenaga reproduktif itu banyak k e s e h a t a n , p e l a y a n a n p a s c a kelahiran; pelayanan kesehatan sekali seginya untuk bayi dan anak-anak.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984, namun pelaksanaannya jauh dari harapan. Sedangkan pasal 12 CEDAW menyatakan, bahwa negara wajib menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan. Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, sebelum dan sesudah persalinan, serta pelayanan cuma-cuma serta pemberian makanan yang bergizi. Namun banyak diskriminasi terjadi pada perempuan Indonesia. Yang mempersulit perempuan Indonesia untuk berdiri diatas haknya, tak jarang mengakibatkan kematian karena lambatnya pelayanan.
Mereka juga tidak diberi kebebasan untuk memilih ataupun memutuskan pelayanan kesehatan untuk dirinya. Peraturan pokok yang mengatur tentang kesehatan, UU Nomor 23 Tahun 1992 mengatur tentang kebijakan, perencanaan dan program, tidak secara eksplisit mengacu pada gender serta tidak memberikan akses kepada perempuan muda dan anak-anak. Paradigma baru yang diusulkan dalam amandemen UU Kesehatan berangkat dari Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kesehatan merupakan hak rakyat dan negara bertanggungjawab menyediakan sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi yang layak. Dalam proses amandemen Pemerintah dan Legistalif belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan perempuan termasuk kesehatan reproduksi dimana persoalan isu kesehatan reproduksi bersifat kultural dan struktural sehingga rumit untuk diakomodir. Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk merencanakan suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber daya yang ada. Untuk pertama kalinya perjanjian internasional mengenai
16
Hak reproduksi adalah hak untuk semua pasangan dan individual untuk mendapatkan informasi dan pelayanan, menentukan/memutuskan dan bertanggung jawab berkenaan dengan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksinya tanpa diskriminasi. Seperti halnya aborsi sah di mata hukum yang kini menjadi permasalahan besar di masyarakat, ketika proses amandemen UU Kesehatan berlangsung. Sesungguhnya negara-negara di dunia termasuk Indonesia mempunyai persyaratan khusus, seperti: bila kehamilan tersebut merupakan akibat perkosaan ataupun hubungan keluarga dekat (incest) atau bila menurut dokter kehamilan akan membahayakan jiwa dan kesehatan ibu. Tetapi pada kenyataan aborsi tetap sukar dilakukan meskipun dengan alasan-alasan tersebut diatas. Dokter dan petugas kesehatan biasanya juga kurang faham tentang aturan hukum aborsi. Mereka mungkin akan berkeberatan untuk melakukan tindakan aborsi secara nyata atau mereka meminta bayaran tinggi. Dr. Maniani Akib Baramuli, MM (anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Golkar) menjelaskan bahwa Rancangan amandemen UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 sekarang berada di Komisi IX, setelah menjalani proses administrasi. Komisi IX DPR mengajukan usul inisiatif terhadap perubahan UU No. 23 Tahun 1992. RUU tersebut telah disepakati melalui pemandangan umum fraksi dan diputuskan dalam sidang paripurna dan disepakati sebagai UU usul inisiatif DPR. Setelah masuk di BAMUS disepakati bahwa pansus pembahasnya adalah Komisi IX. Sesuai
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
ADVOKASI dengan tata tertib, draft UU tersebut sebelum sampai di tangan pemerintah, boleh diubah. Oleh Komisi IX DPR, inisiatif perubahan UU No 23 Tahun 1992 sebagi rancangan UU Kesehatan Reproduksi, ada di Pasal 60-63. Pada kesehatan reproduksi ada hal yang sangat krusial di Pasal 61 yang tertulis: ”Berkenaan dalam kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, sesuai dengan sistem reproduksi pada lakilaki dan perempuan, kemudian kesehatan reproduksi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 tidak terbatas pada saat hamil dan melahirkan, melainkan pada masa pasca melahirkan dan masalah kesehatan reproduksi sistem meliputi masa pertumbuhan, kesehatan reroduksi sampai melewati masa usia subur”. Pada pasal 61, sebagai uraiannya tiap orang dapat menikmati kesehatan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman dan bebas dari paksaan atau kekerasan. Yang dimaksud adalah kebebasan seorang wanita yang tidak mau hamil. Pada Pasal 62, setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat preventif, misalnya pembuatan bayi tabung harus secara baik dan aman. Pada Pasal 63 pemerintah wajib melindungi perempuan dari praktik penghentian kehamilan yang tidak bertanggung jawab. Persoalannya kesehatan reproduktif itu banyak sekali seginya. Masalah ini banyak menjerat perempuan menjadi objek pemeliharaan kesehatan reproduksi yang berefek negatif, salah satunya generasi yang tidak sehat atau sempurna (cacat), IQ-nya rendah, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan bahan baku yang tidak bagus. Pada dasarnya pengguguran kandungan dilarang, kecuali ada indikasi kedaruratan. Ini yang akan dimasukkan ke dalam UU, kemudian kehamilan yang terjadi karena perkosaan, janin menderita penyakit genetik yang berat dan dapat mengancam kesehatan jiwa ibu. Menurut Atas Hendartini Habsjah dari Yayasan Kesehatan Perempuan bahwa kesehatan reproduksi adalah kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi dan seksualitas bagi remaja, pelayanan aborsi yang aman, dan lainnya. Banyak dilupakan komponen-komponen keikut-sertaan laki-laki dalam upaya peningkatan kespro sebagai kewajiban bagi pria. Kemudian kesehatan reproduksi manula. Itu yang diamanatkan oleh ICPD. Keluarga berencana yang tidak berubah atau yang itu-itu saja. Dengan kata lain, masih ceroboh contohnya saja tidak mengganti sarung tangan bekas dari pasien satu ke pasien yang lain, dan benda-benda lainnya. Otomatis jika yang satu mengidap HIV/AIDS, tentu yang lain bisa tertular. Herannya, target penggunaan implan gratis ini yakni perempuan dan ternyata banyak yang menolak, khususnya dari keluarga miskin. Yang sangat memprihatinkan para pengguna implan kebanyakan anak-anak SMU dan mahasiswi. Kita seharusnya memberi bekal kepada ibu-ibu untuk bisa mengkritik para petugas kesehatan,
Kalyanamedia
khususnya kesehatan reproduksi. Prinsip ICPD adalah cafetaria. Hal itu betul-betul harus disubsidi bukan hanya implan dan IUD. Kita harus mencontoh negara Malaysia. Mengapa mereka bisa menurunkan angka kematian sedemikian drastis, karena Presiden, legislatif dan yudikatif berkomitmen. Menteri Kesehatan harus memegang leading sector atau advokasi ke departemendepartemen yang lain serta seluruh departemen agar memberikan dukungannya seperti digariskan oleh Menteri Kesehatan. Di Indonesia hal itu seperti proyek yang dijual. Di BKKBN sendiri sudah jelas objeknya, tetapi kalau di Departemen Kesehatan, kegiatan-kegiatannya tidak seperti yang diharapkan ICPD. Pada kenyataannya, aparat Pemerintah yang saya temui sendiri tidak berkompeten. Kali ini kita bekerjasama dengan WHO, yang mengeluarkan tools berdasarkan human right atau apa yang dituntut oleh perempuan. Rencana pengaturan kespro perempuan dalam amandemen UU Kesehatan tentang masalah kesehatan reproduksi pada masa hamil, melahirkan, pertumbuhan, dewasa, kesuburan, sehat, aman, tidak ada paksaan, menentukan saat hamil, informasi, edukasi, konseling, aborsi sesuai indikasi medis dan akibat perkosaan dapat benar-benar diakomodir oleh negara melalui Amandemen Undang-Undang Kesehatan ini. Draft RUU Kesehatan sudah mengalami perubahan baik dari DPR maupun Pemerintah. Akan tetapi Komisi IX DPR RI berharap adanya masukan oleh kelompok masyarakat seperti LSM, ilmuwan atau pakar. Saat ini pihak dokter ataupun rumah sakit/puskesmas sedang menggalakan alat kontrasepsi/KB yang bernama implan kepada perempuan kelas bawah secara gratis. Namun peralatan kedokteran seperti sarung tangan, jarum suntik, pisau operasi, dan lainnya yang digunakan untuk memasang implan di lengan perempuan digunakan oleh lebih dari satu pasien atau boleh dibilang tidak steril, yang tanpa disadari menjadi salah satu penyebab tertularnya virus HIV/AIDS. (HG/TE)
*) Diolah dari hasil “Diskusi Publik” sosialisasi CEDAW Kalyanamitra tahun 2006
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
17
KESEHATAN PEREMPUAN
Perempuan dan Busung Lapar*)
K
etika seorang anak menderita gizi buruk, sering ibu (perempuan) merasa paling bertanggung jawab karena ibu adalah orang yang paling dekat dalam pengasuhan anak balita, terutama dalam hal makannya. Ekonomi Keluarga Padahal, timbulnya masalah gizi pada Keterlibatan perempuan dalam pekerjaan anak balita jelas bukan melulu tanggung d o m e s t i k d a n p e k e r j a a n b e r o r i e n t a s i jawab perempuan. Demokrasi dalam keluarga peningkatan ekonomi keluarga, ternyata tidak mensyaratkan gagalnya tumbuh kembang dibarengi asupan gizi yang memadai. Padahal seorang anak adalah tanggung jawab seluruh perempuan juga mendapat tambahan tugas keluarga, terutama ibu dan bapak. Bapak reproduksi yang mengandung dan melahirkan sebagai pencari nafkah utama tidak bisa anak-anak. melepas tanggung jawab, menyerahkan Beberapa studi di Asia dan Afri k a sepenuhnya pengasuhan anak kepada ibu (istri). menunjukkan asupan kalori perempuan hanya Apalagi, sebagian istri ternyata juga berkarier sekitar 50-70 persen. Bila perempuan kurang sebagai pekerja. gizi mengandung, maka mereka berpotensi melahirkan bayi dengan berat kelahiran yang Pada keluarga miskin trade-off yang rendah, kurang dari 2,5 kg. terjadi apabila ibu bekerja adalah hilangnya kesempatan dia mengasuh dan membesarkan Studi pada berat bayi lahir rendah (BBLR) anaknya secara optimal. Ini bagaikan buah menunjukkan, ketika dewasa mereka sangat simalakama, sebab seandainya ibu tidak bekerja berpotensi degeneratif seperti jantung koroner, dan penghasilan suami tidak mencukupi, maka sebab tidak sempurnanya struktur pembuluh seluruh anggota keluarga (termasuk anak balita) darah sehingga mudah tergores dan akhirnya akan mengalami defisit konsumsi gizi. Penelitian menyebabkan timbunan kolesterol. Bisa juga di India membuktikan, tumbuh kembang anak bayi BBLR ini terhambat perkembangan organ balita yang tidak diasuh ibunya akibat ibu hatinya sehingga mengganggu metabolisme bekerja, ternyata lebih baik dibandingkan kolesterol yang berdampak pada munculnya ibu tidak bekerja dan hanya mengandalkan penyakit jantung. penghasilan suami yang kurang. Kita menyadari perempuan di seluruh dunia memainkan peran ganda, yakni sebagai ibu, pengatur rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, produsen dan kontributor penghasilan keluarga, dan pengatur organisasi kemasyarakatan yang berdampak pada kesejahteraan sosial. Inilah yang dikenal sebagai empat peran perempuan.
18
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
KESEHATAN PEREMPUAN Beaya sosial Kebijakan pemerintah yang kurang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat akan melahirkan beaya sosial yang harus dipikul perempuan. Kebijakan itu, misalnya pengurangan atau penghilangan subsidi pangan, kebijakan yang berdampak pada kenaikan harga bahan pokok, pemangkasan beaya pembangunan kesehatan dan pendidikan. Perempuan dipaksa menyesuaikan diri dengan mengalokasikan waktu lebih banyak untuk mendapatkan tambahan penghasilan agar kebutuhan seluruh anggota keluarganya terpenuhi. Persoalan busung lapar atau gizi buruk sesungguhnya juga tidak terlepas dari pemahaman dan keterampilan perempuan dalam merawat anak. Di atas sudah saya uraikan masalah ini harus dipikul proporsional antara pria dan perempuan. Hanya saja peran perempuan (ibu) seyogianya tetap lebih besar dibandingkan peran pria (bapak), terutama ketika anak dalam proses pertumbuhan yang cepat (anak balita).
sehingga anak-anak akhirnya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Seorang ibu yang kecapaian sehabis bekerja sebagai buruh pabrik. Bekerja lembur, atau terkena giliran kerja malam, tidak punya kesempatan cukup memberi pola asuh yang baik kepada anaknya yang masih dalam usia dini. Akibatnya anak tersebut tidak dapat memperoleh cukup ASI. Sementara itu, untuk membeli susu formula dirasakan terlalu mahal dan tidak sebanding dengan pekerjaan sebagai buruh pabrik. Akhirnya dapat ditebak, anaknya pasti akan segera jatuh dalam derajat gizi buruk. Kasus seperti ini agak bertolak belakang dengan studi di India di atas Karena pada hakikatnya ibu akan berkorban apa saja agar anak balitanya sehat dan cukup gizi.
Sumber daya keluarga berkualitas pada akhirnya akan sangat ditentukan perempuan. Upaya meningkatkan pendidikan perempuan, memberi kesempatan dalam berbagai sektor pekerjaan, serta memudahkan akses memperoleh pelayanan kesehatan dan gizi akan Pola asih-asah ibu merupakan factor sangat berdampak besar pada kualitas bangsa secara menentukan tumbuh kembang anak yang keseluruhan. (HG/TE) merupakan ciri kualitas sumber daya keluarga. Di dalam mewujudkan pola asih-asah ini ada factor eksternal yang turut berperan, yakni *) Oleh: Prof Ali Khomsan, Dosen Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB, Bogor. status sosial ekonomi keluarga yang mencakup pendapatan, pendidikan, interaksi sosial, dan nilai-nilai dalam keluarga. Prasyarat penting untuk bisa mengembangkan pola asih-asah yang sehat, prasyarat penting adalah pendidikan, beban kerja, serta ada tidaknya pengasuh alternatif. Ibu berpendidikan tinggi akan lebih giat mencari dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan memelihara anak. Mereka juga akan menaruh perhatian lebih besar pada konsep sehat untuk seluruh anggota keluarga
Kalyanamedia
Sumber: http://situs.kesrepro.info/gendervaw/agu/2006/ gendervawo1.htm
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
19
PUISI KITA Dara Dalam Goa *) Malam mereka tertidur. Pagi aku tertidur. Siang mereka bekerja Malam aku bekerja. Detik masuk dalam rongga menit Menit dimakan hari. Hanya satu… Kehidupan! Hanya itu aku bisa hidup. Dengan cara itu aku (keularga,tentu)-itupun Kalau aku berkeluarga!-makan. Hidup yang bagaimana yang tak disukai mereka?! Mereka suka hidup yang indah. Mewah, melimpah dan berkecukupan. Tak puas hanya satu. Ingin lebih. Dan tak pernah tersusut. Tak minta didefisitkan. Sedangkan aku… Hanya darI dalam goa. Terjerat dalam goa yang gelap gulita. Terjerembab dalam jurang berduri. Telah ada luka dalam keluarga. Telah menjadi bekas di masyarakat. Bahkan telah membuat garis hitam dalam keyakinan. Betapa.
Renovasi kedua kita lakukan Ketika kau beranggapan bahwa pintu rumah ini terlalu kuat Padahal selama ini, kita tak pernah kesulitan untuk membukanya Bukankah dulu kau pernah bilang, “jika kita ingin rumah ini aman, Maka pintunya harus kuat, sehingga tak ada pencuri yang bisa masuk” Lagi-lagi aku mengalah, lalu kau gantilah pintu itu dengan yang lebih ringan
25 Februari 2007; 20.30 WITA Tomohon, Sulawesi Utara
Tubuhku terlalu rapuh untuk terus menerus menghirup debu-debu yang berterbangan Setiap kali para pekerja bangunan itu mulai merenovasi rumah kita Bulu-bulu hidungku tak kuat lagi menyaring aroma cat yang meleleh pada dinding-dinding bangunan baru rumah kita Dan telingaku tak sanggup lagi mendengar suara-suara lebah yang kau simpan Di setiap ruangan di bagian rumah kita yang kau bangun untuknya. Mereka mendengung manakala jari-jemarimu meremasremas tubuh mereka Satu persatu organ-organ yang ada di dalam tubuhku tanggal Teracuni oleh madu yang kau ambil dari lebah-lebahmu Aku merasa terpuruk dalam keputusasaan dan ketidakberdayaan Semakin dalam kau tenggelam dalam kubangan madu yang kau simpan Semakin jauh jarak di antara kita yang kau rentang
*) oleh Bachtiar Effendi (putra seorang survivor Kalyanamitra yang telah almarhumah)
RENOVASI Masih adakah ruang untuk kita Padahal rumah ini kitalah yang mendesain Pondasinya kita susun begitu kuat Bahkan badai tsunamipun Tak akan sanggup merobohkannya Renovasi pertama kita lakukan Ketika kita sadar bahwa rumah ini terlalu rapat Tak ada ventilasi udara di dinding-dindingnya Sehingga udara menjadi lembab dan pengap Meski tungku selalu kita nyalakan Tetapi suasana dingin tetap menyelimuti kita Penyakit-penyakit ringanpun mulai menyerang Lalu kita buatlah celah-celah dan lubang angin Yang memungkinkan udara dan sinar matahari Bisa masuk ke dalamnya Sejak itu, wajahmu mulai sumringah, Semangatmu kembali merajah
20
Renovasi ketiga kita lakukan Setelah sebelumnya kau dengan sangat hati-hati mengatakan kepadaku Bahwa kau ingin memberiku madu. Lalu kau bangun sebuah kamar Di samping kamar kita dan kau isi dengan perabotan yang sama Itulah makna adil yang coba kau bunyikan lewat bahasa tubuhmu Dengan perasaan getir kutelan madu itu Begitulah, beberapa kali kita renovasi rumah yang berpondasi kokoh itu Dan pada renovasi yang terakhir, Sebagian pondasi rumah yang kokoh itu tiba-tiba runtuh, Memporak-porandakan ruangan milik kita hingga tak bersisa. Bahkan kenangan-kenangan yang pernah kita buatpun ikut terkubur di dalamnya
(Jakarta, 2005) Diah Rofika, bekerja pada Yayasan Puan Amal Hayati Jakarta
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
KISAH
Keretamu, Keretaku Juga!
Pukul lima, teng! Aku beres-beres, bergegas pulang. Wuss, angin pun kalah cepat berlomba dengan langkahku meninggalkan kantor. “War, gue pamit duluan, ya?” “Weleh-weleh, udah kangen sama si Kecil ya, Mbak Yu?” Kantor tempatku bekerja sudah satu blok di belakang. Aku duduk di halte bus, menunggu Metro Mini ke stasiun kereta. Biasanya, pada waktu-waktu ini, semua angkutan umum penuh sesak. Benar saja: kernet bus sudah menggelantung di pintu. Bus pun terlihat miring—seperti miringnya logika para pejabat pengelola transportasi. Satu tujuan, rumah: Penumpang berjejal. Tak apalah, biar kami yang rakyat jelata ini tumpuk-tumplek mandi uap keringat (anggap saja mandi uap di spa) plus asap hitam knalpot dan nikotin di jalanan macet, sementara para pejabat lenggang kangkung duduk tak berkeringat bersandarkan busa empuk di sedan ber-AC yang dibeli dari uang pajak kami. Metro Mini melaju tersendat, kernet berteriakteriak, “Melayu-Melayu, Tebet!” Tiba-tiba bus berhenti, dibarengi dengan suara sirene mengeras. Wiuu-wiuuu. Gemas rasanya. Tuh, coba lihat, pejabat lewat, kami yang disuruh menghentikan kendaraan. Huh! Toh, mereka tidak kegerahan, dikawal pula. Memang jarak dari kantorku ke stasiun Tebet relatif dekat. Itu kalau diukur dengan satuan jarak. Kalau kita
Kalyanamedia
mengukurnya dengan satuan waktu, wah jarak 500 meter saja bisa memakan waktu 20 menit—aku tua di jalan. Tiba di stasiun kereta pukul enam kurang sepuluh menit, penumpang yang menunggu sudah banjir, menggenang. Setelah menggenggam tiket dari loket, aku naik ke peron. Teng-teng-teng-teng... suara pintu perlintasan kereta yang mulai ditutup, tanda kereta mau lewat. “Mohon perhatian para pengguna jalan raya, perlu kami beritahukan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1999 tentang Perkereta apian...,” semenjak sering terjadi kecelakaan di perlintasan, suara rekaman otomatis itu diulang-ulang untuk memberitahukan para pelintas yang berkendara agar tidak nekat menerobos palang pintu perlintasan kereta. Aku berpikir, coba kalimat tersebut tidak bernada memerintah, tapi mengajak; tentu akan lebih mengena. Ah, sudahlah, mungkin pemerintah punya pertimbangan lain. “Awas, jalur satu mohon diperhatikan: kereta langsung Pa k u a n E k s p r e s s . Aw a s , j a l u r s a t u dari utara...,” suara petugas terdengar dari pengeras suara.
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
21
KISAH Para penumpang yang hendak beranjak dari duduknya, urung berdiri. Memang, biasanya kereta ekspress lebih diutamakan untuk lewat—penumpangnya bayar lebih mahal. Weeeng, suara sirine kereta mengeras lalu kembali tersamar; bersamaan dengan itu, angin dari kereta yang melaju cepat pun terhembus, wuusss. Kita dapat melihat ke dalam kilatan cahaya terang dari tiap gerbong. Penumpangnya, meskipun ada yang berdiri, tidak berdesak-desakan. Tidak ada yang berkeringat: tak ada yang kipas-kipas. Banyak yang tersenyum sambil ngobrol dengan penumpang lain di sebelahnya atau tertidur pulas. Tidak ada yang naik di atap kereta berteman kabel ribuan volt, bergelantungan di pintu atau sambungan gerbong, ber-‘jihad’ mempertaruhkan nyawa untuk sampai ke rumah. Lima menit kemudian, teng-teng-teng-teng, “Awas jalur satu dari utara, kereta ekonomi tujuan Bogor: berhenti di tiap stasiun,” suara itu memecah lamunan dan mimpi indahku yang baru lewat tadi. Apa nyana? Dari jauh terlihat kereta itu menyeretnyeret muatannya yang kepenuhan. Muatan itu menutupi kereta. Seperti kembang-kembang yang tumbuh di atap kereta, di pintu-pintu kereta, di jendela-jendela, bahkan di sambungan gerbong: mereka nyangkut begitu saja. Maaf saja, muatan itu bukan kembang, tapi manusia yang berjejalan. Kereta mendekat, melambat, berhenti. Sungguh kontras! Gerbong yang ini dilengkapi pintu dan jendela— yang tak tertutup. Neon—yang tak menyala. Juga kipas angin—yang tak berputar. Aku langsung memeluk tasku. Bayangkan saja, kalau kau ingin masuk ke dalam gerbong, percayalah, yang perlu kau lakukan tinggal memejamkan mata. Beberapa detik kemudian, saat kau membuka mata, pasti kau sudah di dalam gerbong. Bukan sulap, bukan sihir! Rahasianya? Karena penumpang lain yang ada di belakangmu pasti mendesakmu masuk. Melesakkan tubuhmu, tanpa peduli kau ini manusia atau apa. Gelap. Pengap. Panas. Keringat. Aroma. Itu semua adalah menu transport massal kita. Lagi-lagi: terima saja! Kereta meraung sebentar, lalu mulai menderu menyeret langkah ke stasiun berikutnya. Lho-lho-lho: Tangan siapa ini?! “Heh, jangan kurang ajar, ya?!” hardikku berpadu dengan deru kereta. Sontak, orang-orang di sekitarku menoleh, termasuk ibu di depanku yang memunggungi. “Kenapa, Mbak?” tanya ibu di depanku sambil menolehkan kepalanya. “Bu, ada yang megang-megang pantat saya,” aku menjelaskan, tetap sambil bersuara lantang. “Hei, jangan mentang-mentang gelap, ya?!” Lalu, cepat-cepat aku mengeluarkan “senjata rahasiaku”: sebuah peniti. Benar-benar gila, orang itu melakukannya, lagi! Kali ini ia meremas pantatku. Dengan sigap kucekal tangannya, lalu aku tusuk tangannya dengan peniti. Pelaku kurang ajar itu, menarik tangannya—tanpa suara
22
mengaduh, takut ketahuan. Aku tetap tak dapat melihat siapa pelakunya. Huh, kalau saja lampu gerbong ini menyala, tentu sudah kelihatan batang hidungnya, yang kemudian pasti patah karena aku tinju! Begitulah, selain menu-menu tadi, perempuan seperti kami mendapat jatah tambahan berupa risiko pelecehan. Anggaplah perlakuan tadi belum seberapa, temanku—juga seorang perempuan—pernah didempeti seorang pria eksebisionis. Begitu turun dari kereta, daerah di sekitar belakang roknya berlumur cairan semen bercampur mani. Iiiihh! Aku jadi teringat, sebenarnya dulu pernah dilaksanakan kebijakan gerbong khusus perempuan. Aku jelas tak setuju. Memang, hal itu terdengar seperti menjamin perempuan terbebas dari kemungkinan pelecehan seksual. Tetapi, itu lebih mengarah pada pelayanan publik yang “terpisah”: untuk pria dan untuk perempuan. Pasti ada saja cibiran yang bilang kalau perempuan minta perlakuan istimewa-lah! Menurutku, bukannya menjamin perempuan, tapi pelayanan publik dapat memberikan pelayanan yang sama nyamannya, baik bagi perempuan maupun pria. Berdesakan tak apa, asal terhindar dari pelecehan seksual. Dan, jangan diberlakukan pada pelayanan transportasi saja: tapi semua pelayanan publik, mulai dari air bersih sampai kesehatan! Setiap hari, aku dan ribuan perempuan lain mesti menjalaninya. Aku percaya, kita dapat mewujudkan pelayanan publik yang baik sekaligus sensitif gender. Kapan? Sekarang, jika kita mau! (Dan, tentunya kemauan pemerintah.) (TE)
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
WARTA PEREMPUAN
M e n y i ka p i Ta n t a n g a n Pe m b a n g u n a n d a l a m Menyejahterahkan Perempuan Konvenan Internasional yang telah ditandatangani pada tahun 1996 tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya melarang diskriminasi yang berbasis gender. Kenyataannya, perempuan masih mengalami diskriminasi. Padahal, instrumeninstrumen internasional yang diadopsi oleh CEDAW itu dengan jelas merefleksikan pengakuan atas berbagai aspek kehidupan perempuan. Hak-hak perempuan dalam CEDAW didasarkan atas tiga prinsip yakni: kesetaraan, nondiskriminasi dan kewajiban negara. Negara belum menjamin terpenuhinya hak-hak perempuan dalam berbagai bidang, antara lain hak sosial ekonomi. Kebijakan pemerintah untuk memotong subsidi dan menaikkan harga BBM sebanyak dua kali dalam setahun sangat meresahkan kaum perempuan yang selama ini sudah terpuruk dengan kondisi ekonomi yang makin sulit. Sementara itu, pemerintah tidak mampu mengendalikan dampak hal itu dalam kehidupan masyarakat, meskipun pemerintah memberikan dana kompensasi BBM sebesar Rp 100 ribu per kepala keluarga. Hal ini sungguh tidak manusiawi! Hak-hak rakyat dirampas tidak hanya secara ekonomis, namun juga secara sosial dan budaya. Secara ekonomis, kita melihat banyak usaha kecil yang gulung tikar karena tidak mampu membayar upah buruh dan ini meningkatkan jumlah pengangguran; para petani yang tidak bertani karena kenaikan harga pupuk; para nelayan tidak bisa melaut karena naiknya harga minyak solar. Hal itu sangat dirasakan terutama oleh kaum perempuannya yang selama ini telah dibatasi kebebasan hak sipilnya, sehingga hanya berada dalam ruang domestik. Pelanggaran hak sosial, ekonomi dan budaya telah merampas hak kolektif perempuan. Implementasi CEDAW pasal 5 soal “kesetaraan sosial” mewajibkan negara merubah stereotip sosial, budaya, norma dan kebiasaan yang
Kalyanamedia
diskriminatif, termasuk di dalamnya tanggungjawab merubah “keluarga” tempat paling utama ketidaksetaraan dan ruang privat yang membatasi peran dan kapasitas perempuan. Pasal 5(b) memperluas hal ini secara lebih khusus dengan mempertimbangkan redistribusi tanggungjawab pengasuhan anak antara laki-laki dan perempuan melalui pendidikan keluarga yang didasarkan atas pengakuan tugas pengasuhan anak sebagai fungsi sosial, sehingga pemahaman ini membebaskan perempuan dari peran pengasuhan anak yang selama ini dibebankan kepada perempuan. Hal itu memberi pengaruh terhadap pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan akan memunculkan pengakuan dan penciptaan ruang bagi pilihanpilihan lain untuk perempuan. Sri Palupi dari ECOSOC menjelas bahwa persoalan riil yang dihadapi kaum perempuan ialah kemiskinan dan kekuasaan negara yang menindas. Penyelewengan kekuasaan oleh negara terlihat dengan tindakan liberalisasi ekonomi. Kekuasaan tidak lagi dimonopoli oleh negara dan bersifat tunggal. Disamping negara, ada kekuasaan pasar, dalam hal ini kekuasaan bisnis. Selain itu, perempuan dihadapkan pula pada konflik-konflik sosial, baik konflik antar agama maupun konflik antar etnis atau komunitas. Jika kita ingin hidup bersama secara sehat, maka kekuasaan yang ada harus seimbang. Keseimbangan antara negara, pasar, dan komunitas harus ada. Negara harus melindungi komunitas. Ekonomi global menjajah baik kekuasaan komunitas maupun kekuasaan negara. Dicabutnya beragam subsidi yang seharusnya diterima kelompokkelompok rentan atau miskin, seperti subsidi BBM, pupuk, pendidikan, dan lainnya telah melahirkan banyak kelompok rentan di dasar struktur piramida ketertindasan. Posisi perempuan dan anak-anak terletak di dasar piramida ketertindasan tersebut. Posisi ini masih jauh berada di bawah posisi penduduk miskin. Proses kemiskinan akhirnya mengorbankan perempuan dan anak-anak, mulai dari akses
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
23
WARTA PEREMPUAN pendidikan, kesehatan dan lainnya. Di daerah NTT, misalnya, yang menjadi korban busung lapar sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak karena minim aksesnya terhadap pendidikan, pangan, dan kesehatan. Dalam kondisi krisis pun, pemerintah dengan desakan kekuatan bisnis internasional, tega melakukan perampasan lahan petani. Padahal, sebagian besar petani merupakan petani kecil dan buruh tani. Mengapa busung lapar terjadi di daerahdaerah di Indonesia yang menjadi lumbung beras? Orde Baru mencanangkan sejak tahun 1970-an sistem pertanian yang monokultur, sehingga masyarakat di daerah tertentu tidak lagi makan jagung. Ketika mereka makan jagung dan ditambah dengan kacang membuat nilai gizinya, khususnya protein dalam makanan tersebut terpenuhi. Pola pangan yang bertumpu pada beras sangat tergantung pada pasar, sementara harganya terus melonjak. Kaum miskin kota tidak pernah diperhitungkan dalam sistem ekonomi formal, karena ruangruang hidup mereka berada di luar sistem yang formal. Negara mencabut hak-hak yang seharusnya menjadi milik kaum miskin kota, seperti hak atas ruang yang sebelumnya diatur, yaitu 20 persen dari ruang usaha dan perkantoran adalah untuk kelompok ekonomi lemah. Dalam hal ini, adalah pedagang kaki lima. Pemerintah mencabut Inpres pasarpasar tradisional sehingga akses kelompokkelompok tersebut menjadi lemah. Kemudian bermunculan pasar-pasar komersial, seperti mall. Pemerintah melakukan pembatasan agar kelompok miskin tidak masuk ke kota dengan membuat program PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Pedagang kaki lima disamakan dengan pedagang narkoba; mereka disatukan dengan kelompok bernama PMKS. Solusi yang terjadi di lapangan ialah penertiban dan penggusuran pemukiman penduduk. Buruh pun mengalami hal demikian. Undang-undang perburuhan memberi ruang gerak yang besar yang bernama Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja. Dalam praktiknya, hal ini merupakan kemudahan melakukan PHK dan diperluasnya sistem kontrak.
24
Buruh migran juga mengalami ancaman system perdagangan manusia (trafficking), kekerasan, bahkan pembunuhan/kematian. Setiap hari kita mendengar problem buruh di media massa, seperti Koran ataupun televisi, dalam perbudakan dan kerja paksa. Perempuan menghadapi ancaman dari berbagai persoalan tersebut. Mengapa? Karena, pertama, perempuan itu bukan kelas sosial, maka kondisi perempuan tidak bersifat homogen. Akses terhadap modal, ekonomi, pengalaman ketertindasan di kalangan perempuan tak sama, sehingga kesadaran mereka pun tidak merata. Dalam hal ini, tantangan bagi gerakan perempuan ialah bagaimana menumbuhkan kesadaran perempuan dalam segala bidang, sebagai korban. Tantangan berikutnya ialah perempuan tidak lepas dari persoalan kemiskinan, sehingga tidak mungkin tiba-tiba muncul dengan agenda-agenda penyelesaian atas perempuan. Menurut Sri Palupi, gerakan perempuan harus menjawab persoalan besar yang dihadapi kaum perempuan Indonesia, yakni kemiskinan. Artinya, ada dua cara yang dapat dilakukan dalam kaitan itu, yakni pertama, sebelum kita membebaskan perempuan, kita harus berbicara tentang membebaskan diri kita dari kemiskinan. Tiap individu dan keluarga terlebih dahulu harus terbebas dari kemiskinan. Kemiskinan menjadi persoalan ganda bagi perempuan. Persoalan perempuan kelas menengah lebih pada masalah menentukan pilihan. Sementara itu, perempuan kelas bawah tidak punya pilihan. Bagaimana seorang ibu hamil dengan kondisi kekurangan darah masih kerja keras di kebun, karena posisinya sebagai perempuan kelas bawah. Perempuan kelas menengah bisa memilih, apakah akan bekerja di kantor atau di rumah. Di kelompok buruh, mayoritas lapangan pekerjaan sekarang dikerjakan oleh perempuan. Ketika pekerjaan itu tertutup untuk laki-laki, maka peran-peran lakilaki kebanyakan diambil-alih oleh perempuan. Di pedesaan, mayoritas lebih memilih menjadi buruh migran. Artinya, peran ekonomi rumah tangga diambil-alih oleh perempuan. Gerakan perempuan yang titik-pijaknya eksklusif hanya mengangkat isu-isu perempuan yang tujuannya menyamakan kesadaran, membangkitkan kesadaran perempuan yang pro-perempuan, yang punya akses lebih besar untuk mendukung perempuan yang tidak punya
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
WARTA PEREMPUAN akses. Gerakan perempuan yang inklusif akan melekatkan problem kelompok-kelompok yang terpinggirkan dengan perspektif keadilan gender. Ketika kita berbicara tentang anggaran negara misalnya, maka persoalannya bagaimana anggaran itu bisa dikelola dengan perspektif gender yang jelas, termasuk pula soal kesehatan, pendidikan, dan pangan. Leluasanya pergerakan arus modal dan barang tanpa adanya campur tangan negara. Neoliberalisme sedang mengubah dunia menjadi pusat perbelanjaan raksasa, di mana para penguasa modal membeli segalanya, mulai dari masyarakat adat, anak-anak, perempuan, tenaga buruh, tanah, sumberdaya alam dan juga kedaulatan negara. Tubagus Haryo Karbiyanto dari FAKTA menjelaskan bahwa di dalam CEDAW pasal 5 ada kewajiban mengurangi pola-pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan wanita, dengan tujuan menghapuskan semua prasangka dan kebiasaan dan semua praktik lain yang didasarkan pada pemikiran rendahnya atau unggulnya baik jenis kelamin atau pada peranperan stereotip bagi pria dan wanita. Selain itu, hak-hak perempuan juga termuat di dalam Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (tahun 1966). Ada lima hak utama yang termuat di dalam konvenan tersebut yakni:
aturan pembagian terhadap seluruh sumberdaya masyarakat dan alam. Jika pembagian hasilnya seimbang, maka masyarakat akan menjadi adil dan makmur. Nilai-nilai kesamarataan dan keadilan akan muncul. Jika nilai-nilai yang dijunjung tadi semakin baik, maka kebijakan pemerintah pun dalam bidang kesehatan, pendidikan, jaminan sosial, dan lainnya akan mensejahterakan keluarga. Fungsi birokrasi pemerintah ialah membuat peraturanperaturan, kebijakan, penentuan pajak dan sebagainya. Semua itu harus didistribusikan secara merata baik di pemerintah nasional maupun pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang gender itu sendiri sudah tertuang dalam pasal 27 UUD 1945 dan Bab 29 lampiran Perpres RI No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahu 2004-2009. Ada UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW, Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Kebijakan Pemerintah diwujudkan dalam doktrin yang namanya Pembangunan. Titik-balik pembangunan mengakibatkan penilaian kalangan masyarakat mengatakan bahwa anggaran terserap dengan baik. Jarang melihat apakah anggaran sudah sesuai atau tidak dengan kebutuhan kelompok marjinal dan pro-gender.
1. Hak untuk bekerja termasuk untuk memilih pekerjaan 2. Hak atas jaminan sosial 3. Hak untuk memperoleh taraf hidup yang memadai termasuk sandang, pangan dan perumahan 4. Hak atas kesehatan 5. Hak untuk memperoleh pendidikan
Gejala yang terjadi adalah proyek-proyek pembangunan menggunakan sumber daya alam yang begitu boros. Hal ini mengakibatkan kerugian besar berkenaan dengan akusisi tanah dan sumberdaya alam lainnya. Penggunaan hak pemerintah atau peraturan-peraturan lainnya untuk mendapatkan tanah dan asset atau kekayaan lainnya mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencaharian dan hancurnya jaringan masyarakat serta layanan sosial.
Yang menjadi persoalan selama ini ialah masalah keadilan sosial. Dalam Pancasila di sila kelima tertulis “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ketika revolusi memberikan dampak buruk terhadap lingkungan hidup, maka muncul keadilan lingkungan. Pada tahun 1980-an muncul kesadaran keadilan struktural yaitu kewajiban negara untuk mengatasi semua persoalan warga atau rakyatnya. Kekuasaan negara untuk membuat
Sumberdaya dan pendapatan yang sulit menekan kehidupan sosial. Pertanyaan yang muncul apakah campur tangan pemerintah itu sampai ke rakyat dan posisi perempuan di mana. Banyak program pembangunan mengakibatkan dislokasi ekonomi dan sosial yaitu menciptakan kesenjangan dan tidak kesetaraan gender. Dalam kebanyakan masyarakat, kaum perempuan tidak memiliki tanah, bangunan dan memiliki tingkat
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
25
WARTA PEREMPUAN pendidikan yang rendah daripada laki-laki. Perempuan yang bekerja di sektor informal memiliki mobilitas yang terbatas dan memikul tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti air, bahan bakar dan pakan ternak. Oleh sebab itu, gangguan ekonomi dan sosial mengakibatkan kesulitan lebih besar bagi kaum perempuan daripada laki-laki. Hak-hak yang disebut tadi termasuk: 1. Hak untuk menggunakan dan mengelola sumber daya setempat 2. Hak terhadap bangunan 3. Hak untuk melakukan proses pembuatan keputusan 4. Hak untuk mendapatkan informasi 5. Hak untuk menuntut persamaan 6. Hak untuk bernegosiasi 7. Hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan bijak 8. Hak untuk menikmati sumber daya yang dimiliki bersama 9. Hak untuk mendapatkan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama 10. Hak untuk mendapatkan pekerjaan Dalam seluruh situasi perubahan, baik secara individu maupun sebagai masyarakat menerima dampak yang berbeda-beda. Gender merupakan faktor yang sangat penting dalam melihat dampak, karena perhatian terhadap perencanaan kebijakan difokuskan di tingkat rumah tangga, yang berdampak pada kaum perempuan daripada kaum laki-laki. Kebijakan dan kelembagaan dalam masyarakat menghalangi perempuan mengambil kesempatan dan peluang-peluang yang diberikan dalam program pembangunan itu sendiri. Hal itu diambil dari penelitian ADB tahun 2003. Perbedaan gender dalam keluarga dan masyarakat cenderung memperburuk tekanan sosial dan ekonomi. Banyak program pembangunan mengakibatkan runtuhnya jaringan masyarakat dan sosial yang lebih mempengaruhi kaum perempuan. Jaringan sosial merupakan sumber bangunan pada saat krisis dan memberikan keamanan bagi rumah tangga. Perempuan adalah mahluk sosial, tetapi ketika seorang perempuan ada di masyarakat dia akan membuat jaringan labalaba, dan itu disebut jaringan masyarakat. Ketika ada kesulitan, jaringan itu yang pertama kali
26
membantu. Kasus-kasus pembangunan, seperti penggusuran akan meruntuhkan seluruh jaringan itu. Mereka merasa sendiri dan tercerabut dari jaringan yang mereka bina selama ini. Disparitas gender melekat pada kebiasaan dan tradisi sosial yang mengakibatkan perempuan rentan terhadap kekerasan dan tekanan. Kesulitan ekonomi mengakibatkan kemunduran pada kesehatan, seperti gizi pada perempuan. Kenaikan BBM juga menjadi masalah di dalam rumah tangga dan merugikan perempuan dalam mengelola keuangan rumah tangga. Penggusuran paksa dicanangkan sebagai program pemerintah. Miskinnya hak-hak atas kepemilikan tanah dan bangunan tidak memungkinkan perempuan untuk mendapatkan kompensasi. Banyak kasus penggusuran, perempuan tidak mendapat kompensasi. Restorasi mata pencaharian dan pendapatan menjadi sangat penting bagi perempuan dan laki-laki. Menurut Tubagus Haryo Karbiyanto, semua warga masyarakat wajib dipenuhi hak-hak dasarnya, akan tetapi kelompok masyarakat yang pendapatannya kecil dan tidak stabil perlu diutamakan. Kesimpulannya, dampak kebijakan pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya perempuan masih jauh dari harapan. (HG/TE)
Layanan Publik di Daerah Masih Berpotensi Korupsi Sumber: diolah dari hasil “Diskusi Publik” sosialisasi CEDAW Kalyanamitra 2006
Instruksi Presiden No.5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi ternyata masih belum efektif. Salah satu contohnya, di beberapa daerah masih banyak layanan publik dari pegawai sipil yang menyimpang dari aturan dan berpotensi korupsi. Ketidak-efektifan Inpres No.5/2004 itu dilihat dari hasil survei yang dilakukan Multi Utama Indojasa Consulting Group untuk Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, yang dipresentasikan di Jakarta, Jumat (15/12). Survei dilakukan di 12 instansi daerah yang terdapat di 10 kabupaten/kota. Salah satu hasil survei menunjukkan sebanyak 27 persen dari 1.200 responden pernah ditawari pelayanan jalur khusus tak resmi. Kemudian, 61 persen dari seluruh responden mengikuti tawaran
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
WARTA PEREMPUAN itu.
Tawaran layanan khusus tidak resmi itu muncul ketika ada ketidakpastian penyelesaian layanan. Publik ditawari petugas layanan untuk penyelesaian lebih cepat dengan kompensasi beaya. Team Leader Survei MUC Group, Taridi mengungkapkan, meski persentasi responden yang ditawari layanan itu kecil, tetapi ketika tawaran datang, pengguna layanan cenderung memanfaatkannya. ”Masyarakat ingin mendapatkan layanan yang cepat sehingga tidak peduli dengan beaya yang dikeluarkan,” katanya. Surei itu pun menyebutkan penyimpangan lain dalam pelayanan instransi daerah, seperti warga diminta menunggu tanpa kepastian penyelesaian layanan yang dibutuhkan. Sekitar 27 persen responden merasakan itu. Menurut Taridi, survei menemukan tiga bentuk penyimpangan prosedur pelayanan yang berpotensi korupsi.
wajah mereka. Mana janjimu, mana kepedulianmu dan mana cintamu terhadap masyarakat miskin dan tertindas. Apakah anda tidak tahu bahwa sejak perda itu diberlakukan 1 Januari 2007 banyak warga miskin lari pulang dari rumah sakit karena kesulitan beaya,” kata Dianto. Kenaikan tarif RSUD antara 400 persen hingga 650 persen diberlakukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah NTT. Namun, kebijakan tersebut sangat membebani masyarakat miskin dan dinilai tidak masuk akal karena pendapatan asli daerah dipungut dari orang sakit, miskin dan tidak berdaya. Wakit Ketua DPRD NTT, markus Hendrik yang menerima pengungjuk rasa minta agar mereka bersabar karena pencabutan perda tidak mudah. (Kompas, 9 Januari 2007, hal.23)
(Kompas, 16 Desember 2006, hal.4)
Massa Kembali Tuntut Perda Kenaikan Tarif RUSD Dicabut Ratusan anggota lembaga swadaya masyarakat, pertai politik, mahasiswa, pemuda dan masyarakat umum yang tergabung dalam Front Pembebasan Rakyat, Senin (8/1) kembali berunjuk rasa di halaman Kantor DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka menuntut DPRD mencabut Peraturan Daerah No.4 Tahun 2006 mengenai kenaikan retribusi rumah sakit umum daerah WZ Yohannes Kupang sebesar 650 persen yang diberlakukan sejak 1 Januari 2007. Kata mereka, sebagian warga miskin terpaksa pulang dari rumah sakit karena tidak mampu membayar beaya pengobatan sejak perda itu diberlakukan. Ketua DPC PPP Kota Kupang, H Dianto yang ikut berunjuk rasa mengatakan, DPRD NTT sudah tidak tahu diri. Janji-janji saat kampanye yang selalu mengklaim sebagai pejuang dan pembela rakyat miskin dan tertindas ternyata tidak terbukti. ”Mana anggota DPRD itu, saya mau lihat
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
27
KRONIK
Melayani Pelayan Publik: Bagaimana Seharusnya?
M
ari kita cermati angka-angka berikut (International Country Risk Guide, 2004):
1) Apabila kita mengelompokkan pelayan publik (baca: Pegawai Negeri Sipil) menurut gender, kita akan menemukan bahwa 40% saja pelayan publik perempuan; 2) Kalau kita kelompokkan pelayan publik menurut umur, 42% pelayan publik berusia antara 40 – 50 tahun, 34%-nya berusia 30 – 40 tahun, dan hanya 8% yang berusia antara 18 – 30 tahun; 3) Lantas, akibat UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, 68% pelayan publik ada di tingkat kabupaten kota, 23% di tingkat pusat, dan 9% pada tingkat provinsi; 4) Nah, kalau kita menghubungkan tingkat pendidikan dan gender pelayan publik, pada semua tingkat pendidikan (SMA, Diploma I – IV, S1, dan S2/S3), jumlah perempuan dengan tingkat pendidikan tersebut lebih rendah 40,5%.
melalui skema pensiun dini. Jangan lupa, untuk melakukan perubahan proses penerimaan yang lebih transparan, deskripsi kerja dan pertanggung jawaban yang disesuaikan, perbaikan kondisi pegawai baru, termasuk perimbangan gender pada posisi-posisi yang memungkinkan untuk pengambilan inisiatif kebijakan. Meluruskan Mitos
Kebijakan kepegawaian pelayan publik secara tertulis memang sudah transparan. Namun pada kenyataannya, masih terdapat banyak celah dalam proses sistem penerimaan pegawai—sehingga sogok menjadi biasa dalam penerimaan atau promosi jabatan. Juga, tidak adanya sistem hukuman bagi pelayan publik yang korupsi atau berkinerja rendah. Jadi, meski dianggap bergaji minim, pilihan menjadi pelayan publik tetap menjadi sandaran yang menarik. Hal ini juga seringkali dijadikan kambing hitam penyebab maraknya korupsi di kalangan pelayan publik. Padahal, sejarah menunjukkan pelayan publik telah menerima kenaikan gaji yang Lalu, angka-angka ini berbicara apa pada kita? cukup tinggi, tidak kalah dengan sektor swasta. Keterlibatan perempuan dalam pelayanan publik Dan itu semua dibiayai oleh publik—mestinya masih rendah. Apalagi menjadi patron bagi pelayan Masalah pelayanan publik sebenarnya kalau dihubungkan publik—melalui pembayaran d e n g a n t i n g k a t telah diatur melalui UU No. 8 tahun 1974 pajak, bea, dll. Namun, pendidikan, perempuan dengan revisi UU No. 43 tahun 1999. Dengan mitos peningkatan gaji akan hanya menempati posisi- Undang-Undang tentang otonomi daerah, mengurangi korupsi, nyataposisi yang kurang dapat UU No.22 tahun 1999, pemerintah daerah nyata keliru. m e n g a m b i l i n i s i a t i f diberikan mandat untuk menjalankan kebijakan. Apa sebabnya? Perempuan dengan pelayanan publiknya Menurut PATTIRO, hal ini kemampuan rendah juga terjadi karena rutinitas keluarga, termasuk beban lebih merupakan mitos yang mesti diluruskan. ganda yang dialami perempuan untuk mengurus Apabila kita menggunakan alasan pendidikan rumah tangga dan mencari nafkah dengan menjadi sebagai parameter, akan muncul pertanyaan: pelayan publik. Dan, anggapan kemampuan yang Pendidikan macam apa? Karena sistem ‘pendidikan’ rendah, dibuktikan dengan tingkat pendidikan (lebih tepatnya “pengajaran”) kita hanya mengakui formal yang lebih rendah. kemampuan-kemampuan skolastik seperti membaca, berhitung, dan menghapal; kita melupakan Namun, apabila kita memperhatikan struktur kemampuan-kemampuan lain seperti mendengarkan usia pelayan publik yang sebagian besar berada dengan empati, resolusi konflik, afektif, asertifitas, pada usia kurang produktif, kita dapat melakukan dll. Kemampuan-kemampuan tersebut dimiliki restrukturisasi pelayan publik. Hal ini membuka perempuan—dan menjadi penting dalam proses peluang untuk melakukan pengurangan pegawai pelayanan publik karena berhubungan dengan
28
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
KRONIK manusia. Melirik Perundang-undangan Masalah pelayanan publik sebenarnya telah diatur melalui UU No. 8 tahun 1974 dengan revisi UU No. 43 tahun 1999. Dengan Undang-Undang tentang otonomi daerah, UU No.22 tahun 1999, pemerintah daerah diberikan mandat untuk menjalankan pelayanan publiknya, disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing. Ternyata hal ini membuat tarik-menarik konsep nasional pelayanan publik antara pusat dan daerah, yang diatur juga dalam PP No.25 tahun 2000, menjadi sumir. Hal ini diperparah dengan tidak dimasukkannya konsep perimbangan gender dalam tata kelola pelayanan publik. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara yang bertanggung jawab atas regulasi yang mengatur administrasi negara mestinya jeli melihat hal ini, terutama konsep perimbangan gender dalam tata kelola pelayanan publik. Badan kepegawaian Nasional (BKN) turut bertanggung jawab terhadap penerapan perundangan pelayanan publik dengan mengeluarkan ‘aturan main’ proses penerimaan, pemecatan atau pemberhentian, promosi, dan jumlah pelayan publik. Termasuk Departemen Dalam Negeri yang memegang peranan penting terhadap desentralisasi administrasi dalam tata kelola pelayanan publik, baik pusat maupun daerah. Jangan lupakan Departemen Keuangan dengan alokasi anggaran bagi pelayan publik. Sensus yang dilakukan BKN, melibatkan kurang lebih 4 juta pelayan publik, menunjukkan hanya 3,6 juta pelayan publik yang “bekerja untuk negara,” sisanya sebanyak 400 ribu hanya “bekerja sampingan”—tetapi tetap digaji oleh negara.
perlu ditekankan, termasuk standar pelayanan, penanggung jawab pelayanan, dan penanggung jawab pengaduan—sehingga tak ada lagi istilah ‘dioper-oper seperti bola.’ Kesempatan Kita Seperti sudah disinggung, dengan kondisi demikian, terdapat beberapa kesempatan yang perlu ditindaklanjuti, yakni: 1) Proses perimbangan gender dalam tata kelola pelayanan publik menjadi mutlak diperhatikan. Mulai dari pembuatan kebijakan proses penerimaan, pemecatan atau pemberhentian, promosi, dan rasio jumlah pelayan publik, hingga kebijakan dan pelaksanaan layanan publik yang sensitif gender. Hal ini dapat dimulai dengan pembentukan Komisi Layanan Publik Nasional yang mengawal perubahan serta penerapan kebijakan. 2) Undang-Undang yang berlaku sekarang perlu didukung dengan penerapan kebijakan, pengawasan, serta sanksi. Rancangan UndangUndang Pelayanan Publik perlu memasukkan konsep-konsep pertanggungjawaban negara untuk menyediakan layanan publik yang baik dan hak-hak publik warga negara untuk mendapatkan pelayanan publik yang layak dan sensitif gender. 3) Menjadikan reformasi pelayanan publik yang integral dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti administrasi kependudukan, layanan kesehatan, penyediaan air bersih, moda transportasi, dll. (TE)
Lantas bagaimana dengan nasib Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik di Komisi II DPR? Hendaknya UU ini menggunakan pendekatan yang integral. Maksudnya, perhatikan lebih cermat konflik kepentingan antara aparatur negara (sering dijadikan basis politis) dengan kepentingan penerima layanan: dalam penggunaan peralatan dan perlengkapan kantor, misalnya. Tanamkan juga bahwa pelayan publik, seperti namanya, bertugas untuk melayani publik agar menjadi lebih sejahtera karena mereka digaji dari uang publik, rakyat. Juga perlu diatur mengenai kewajiban negara untuk memberikan pelayanan publik dan hak-hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan publik juga
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
29
PUSTAKARIA
Mencatat dengan Peta Pikiran
A
pakah Anda sering menghadiri seminar, lokakarya, atau sekedar diskusi dalam rapat? Tentu dengan kemampuan ingatan jangka pendek kita yang terbatas, kita perlu mengulangi hal-hal penting untuk mengingat topik-topik yang didiskusikan. Namun, sekarang terdapat cara mudah untuk melacak kembali hal-hal yang sudah diutarakan oleh seseorang, baik dalam seminar atau perkuliahan sekalipun. Bagaimana mungkin? Dengan informasi yang membanjiri indra kita yang terbatas, belum lagi kemampuan kita untuk mengingat, kita memerlukan alat bantu. Alat bantu yang seperti apa? Coba perhatikan apa yang dilakukan wartawan ketika ia mengolah berita hasil wawancara. Tentu tak mungkin wartawan itu meminta narasumber untuk mengulangi pokok-pokok pembicaraannya. Apa yang mereka lakukan adalah mencatatnya. Sebelum ada teknologi alat perekam, mereka menggunakan konvensi tulisan cepat yang disebut steno. Eit, nanti dulu! Ini bukan pelatihan jurnalistik. Lantas? Memang, cara ini terinspirasi dari steno. Tetapi ini lebih mendasar lagi. Cara ini adalah dengan peta pikiran. Kalau steno hanya mencatat dengan konvensi tulisan dengan kecepatan sebagai salah satu faktor utama. Sedangkan, peta pikiran mencatat istilah-istilah yang mewakili konsep-konsep yang dianggap penting oleh kita. Tapi tidak itu saja. Hubungan antar istilah itu juga turut diperhatikan. Untuk mudahnya, mari kita lakukan simulasi. Coba perhatikan tuturan wawancara berikut: Ini suatu perjuangan besar, karena dia dari latar belakang patriarkal yang sangat kuat. Ada tradisi kuat upacara dan adat istiadat yang mengukuhkan diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai isteri, aku diharapkan bekerja—memasak dan mencuci—dan baru kemudian makan. Namun sekarang, aku merenungkan adat istiadat mana yang patut dihormati: adat yang mendiskriminasikan perempuan atau adat yang menolong perempuan? ... Masih banyak perempuan yang tidak percaya bahwa dirinya mempunyai hak. Mereka masih berpikir bahwa kami seharusnya menghormati keputusan laki-laki dan patuh saja. Mereka masih berpikir jika laki-laki memukul isterinya, itu untuk memberi pelajaran bagi perempuan. Ini masih suatu perjuangan besar bagi aktivis perempuan karena kebanyakan perempuan masih menerima perlakuan laki-laki.
30
Bagaimana kita melakukan pemetaan pikiran? Caranya: 1) Mulailah untuk menyarikan atau mencatat istilahistilah yang penting menurut Anda. Istilah-istilah tersebut tentu mewakili konsep arti dengan lingkup tertentu. Dari tuturan di atas kita dapat mengambil beberapa istilah berikut: “patriarkal,” “diskriminasi terhadap perempuan,” “adat” (mendiskriminasi atau menolong), “isteri,” “masak-cuci,” “kepercayaan perempuan,” dan “perjuangan.” Pastikan Anda memahami konteks dan konsep arti yang diwakili oleh istilah-istilah tersebut. 2) Buatlah kata-kata kunci yang menarik—dapat dalam bentuk akronim yang lucu atau dengan mewarnai kata-kata kunci tersebut. Ini penting, sebab kita hanya memperhatikan hal-hal yang menarik menurut kita, termasuk dalam hal visual. Selain itu, juga untuk motivasi diri ketika kita membukabuka atau mengingat kembali topik tersebut di lain waktu. Contohnya, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” dapat diwakili oleh kata kunci akronim yang lucu seperti “di-te-pu,” misalnya. 3) Lalu, mulailah memikirkan hubungan makna antar konsep tersebut. Petakan kata-kata kunci tersebut. Apabila kata-kata kunci tersebut memiliki konsep yang lebih umum atau perlu konsep perantara, catat istilahnya. Tulis dan jabarkan di atas kertas, lalu buatlah garis-garis penghubung. Misalnya, “patriarkal”—“di-te-pu” dan “patriarkal”—“adat”— “diskriminatif.”
Bagaimana? Semudah: tu-wa-ga, ‘kan? Sering yang dilatih di sekolah-sekolah formal (yang katanya ujung tombak pelayanan publik itu), hanyalah kemampuan verbal dalam berbicara atau membaca. Sebenarnya kita perlu kemampuan lain yang lebih penting yakni kemampuan menyimak dan mendengarkan dengan empati. Namun, yang terakhir itu sulit untuk dikuantifikasi—jadi tidak dimasukkan sebagai salah satu kategori penilaian. Bukankah kita diciptakan dengan dua telinga dan hanya satu mulut? Ah, sudahlah, kita kembali ke peta pikiran! Hasil peta pikiran kita kira-kira seperti di bawah ini.
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
BEDAH BUKU Judul asli buku: Independent Women: The story of women’s activism in East Timor Judul terjemahan: Perempuan Merdeka: Kisah Aktivisme Kaum Perempuan di Timor Leste Penulis: Irena Cristalis dan Catherine Scott Penerjemah: Esrom Aritonang Cetakan: I Januari 2007 Tebal buku: xiii+225 halaman
Perempuan Merdeka: Kisah Aktivisme Kaum Perempuan di Timor Leste Buku Perempuan Merdeka: Kisah Aktivisme Kaum Perempuan di Timor Leste ini menarik untuk dibaca dan direnungkan. Buku ini kaya akan datadata sejarah dan antropologis yang tak hanya menggambarkan kondisi Timor Leste secara umum, namun juga tergali endapan memori dan pengalaman ketertindasan perempuan masa pra penjajahan, penjajahan dan pasca penjajahan. Pe r e m p u a n Timor Leste begitu penting kedudukan dan perannya sejak dulu hingga kini. Dalam buku ini, hal itu secara lugas dilukiskan. Mereka pernah mengisi ruang sejarah lisan tradisi masyarakatnya melalui mitologi-mitologi. Bahkan, mereka pun ada yang menjadi legenda heroik menentang kolonisasi Portugal dan Indonesia. Kisah perjuangan perlawanan kaum perempuan di tempat-tempat lain di muka bumi ini sepanjang sejarah umat manusia, memang kerap luput dari perhatian kita, khususnya oleh sejarawan, sehingga yang dilukiskan hanya sejarah laki-laki (“his story”), dan nyaris bukan sejarah perempuan (“her story”). Ketidakadilan sejarah ini lambat laun meninggalkan dan melupakan kaum perempuan dalam berbagai kontribusi vital mereka dalam mengubah dunia. Kaum perempuan bukan hanya “menafsirkan dunia” ini, melainkan “mengubahnya”.
mereka berkontribusi vital bagi perkembangan masyarakatnya, namun mereka masih dipandang sebagai “orang di tepian sejarah”, bukan “pelaku di tengah sejarah”. Akibatnya, aktivisme perempuan disadari menjadi tidak penting, dan sekadar pelengkap penderita aktivisme kaum laki-laki. Itu yang terjadi dan dipotret oleh buku ini, dengan jujur dan sederhana. Kerendahan hati perempuan dalam perjuangan perlawanan mereka mudah disalahartikan menjadi kebimbangan, lamban, dan terlalu hati-hati. Padahal, kekuatan mereka justru terletak di sana. Perempuan di Timor Leste, dengan berbagai dimensi ketertindasan yang membelenggunya, bahu-membahu dengan berbagai kekuatan dan kalangan, meretas kuasa penindasan atas negeri dan bangsanya. Mereka sadar bahwa kaum lakilaki, yang mereka sokong perjuangannya itu, nyaris masih hidup dalam bayang-bayang nilainilai masyarakat yang patriakhal. Ini sungguh memojokkan perempuan Timor Leste. Mereka tak ingin melemahkan perjuangan rakyatnya melawan penindasan kolonial di satu sisi, namun di sisi lain, mereka turut tertindas oleh nilai-nilai dan sistem masyarakat yang ada. Ironi buah simala kama: bila dimakan bapak yang mati, namun jika tak dimakan, ibu yang mati! Perempuan bersatu menentukan perubahan! (HG)
Hal itu dialami pula oleh kaum perempuan Timor Leste. Meskipun perjuangan perlawanan
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
31
BEDAH FILM Judul: Berbagi Suami Sutradara: Nia Dinata Aktor/Aktirs: El Manik, Lukman Sardi, Tio Pakusadewo, Jajang C. Noer, Nungki Kusumastuti, Winky Wiryawan, Shanty, Rieke Dyah Pitaloka, Ria Irawan, Dominique A. Diyose. Produser: Kalyana Shira Film
Sebuah Kisah dari Para Istri
B
eristri lebih dari satu, atau istilah kerennya disebut poligami, ternyata bukan hanya milik orang kaya semacam Haji Ali Imron (El Manik). Pak Lik (Lukman Sardi), seorang supir sebuah rumah produksi atau Koh Abun (Tio Pakusadewo), koki yang sekaligus pemilik restoran bebek goreng pun bisa melakukannya. Banyak hal yang mendorong mereka berpoligami, tentunya. Haji Imron, punya alasan lain. Putusannya untuk menikah lagi, demi menghindari perbuatan zinah, yang dilarang agama. Apalagi Islam, tak melarang seorang suami beristri lebih dari satu asalkan mampu berlaku adil. Inilah yang barangkali membuat Abah--begitu ia kerap disapa--makin mantap dengan pilihannya itu. Ya, ketika hubungan suami-istri mulai berada pada titik jenuh, sementara hasrat birahi membubung tinggi, maka bukan tak mungkin berpoligami menjadi pelarian. Terlebih, ketika hasrat itu ditunjang dengan uang yang berlebih. Klop lah! Salma (Jajang C. Noer), dokter kandungan berdarah Betawi, istri Haji Imron, awalnya memang tak sudi dimadu. Tapi lama kelamaan ia akhirnya bisa
32
berdamai dengannya. Pilihan yang sulit, tapi harus diterimanya. “Ini sudah takdir,” pikir Salma. Ya, Salma pada akhirnya merelakan membagi suaminya dengan perempuan lainnya, Indri (Nungki Kusumastuti). Hidup terasa tak nikmat jika dimadu. Namun, Nadin (Winky Wiryawan), anak semata wayangnya, justru bisa memberinya kekuatan untuk bertahan. Poligami. Awalnya memang indah, tapi orang sehebat Haji Imron pun dibuat tak berdaya. Menjadi adil, ternyata pilihan yang sulit. Seadil-adilnya, Haji Imron tetaplah tak adil bagi istri-istrinya. Selalu ada perasaan diduakan dan rasa iri yang berkecamuk di hati para istrinya. Ah Pak Haji, dua istri rupanya tak cukup. Satu istri mudanya lagi-lagi muncul, justru ketika Pak Haji harus dirawat di Rumah Sakit lantaran terserang stroke. Kini, tiga perempuan dinikainya. Pada akhirnya, persaingan pun tak terhindarkan. Masing-masing merasa paling memiliki. Satu babak telah disodorkan Nia. Di ujung cerita, pesan penting pun disampaikan Nia lewat Haji Imron. Ya, beberapa saat sebelum
Kalyanamedia
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
BEDAH FILM mengembuskan napas terakhirnya, kepada Nadin, Haji Imron berwasiat bahwa satu istri jauh lebih baik ketimbang banyak istri. Inilah satu dari tiga kisah yang dihadirkan Nia dalam film ketiga, yang disutradarainya. Babak kedua lalu beralih kepada Siti (Shanty), gadis Jawa yang mencoba peruntungan ke Jakarta. Adalah Pak Lik (Lukman Sardi), yang mengajaknya ke Jakarta. Di rumahnya lah ia bakal menetap bersama dua istri-Dwi (Rieke Dyah Pitaloka) dan Sri (Ria Irawan). Sial, niat bekerja di Jakarta, eh Siti malah dinikahi Pak Lik. Lain Salma, lain pula Siti. Ia justru diterima dengan tangan terbuka oleh istriistri terdahulu Pak Lik. Tak ada cek-cok di antara mereka. Malah saling dukung di antara ketiganya. Mereka hidup akur meski harus tinggal berdesak-desakan di satu rumah. Pak Lik, yang playboy itu, bertingkah bak raja minyak. Meski ia tak sekaya Pak Haji Imron. Tapi ya itu, satu istri rasanya tak membuatnya puas. Dan rasa-rasanya, hidup berpoligami memang bukanlah barang baru. Ia tak mengenal kasta, agama dan latar belakang pendidikan. Siapa pun bisa melakukannya. Berbagi Suami berhasil memotretnya dengan cukup jelas. Betapa poligami pada akhirnya selalu menelan korban. Ada pihak yang merasa dirugikan. Bukan materi tapi perasaan. Itu pula lah yang dirasakan Ming (Dominique A. Diyose), gadis Tionghoa yang jadi simpanan Koh Abun, bos tempat ia bekerja sebagai pelayan restoran. Lewat Berbagi Suami, Nia seperti hendak menumpahkan ketidaksepahamannya dengan poligami. Hebatnya, ia tak menghadirkannya dengan membabi-buta. Tapi justru, ada pencerahan di dalamnya. Penonton lah yang diberikan ruang untuk kontemplasi atas kisah yang disajikannya itu. Nia berhasil memotret fenomena yang ada di sekeliling kita. Hal yang sama juga ia lakukan lewat film sebelumnya, Arisan!
Kalyanamedia
Dalam film Berbagi Suami, kemampuan Nia mulai terasah. Tak hanya cerita yang menarik, plot cerita pun terjaga. Meski tiga kisah disodorkan, toh pertalian antara ketiganya terasa begitu mulus. Hal lainnya, tentu saja karena para bintang-bintangnya tampil gemilang. Tak terkecuali Ira Maya Sopha yang tampil memerankan karakter Cik Linda, istri Koh Abun, yang jutek dan dominan pada suaminya. Tiga perempuan yang berasal dari tiga kelas sosial, ekonomi dan suku yang berbeda membuka tabir tentang kehidupan poligami mereka. Perempuanperempuan ini mengalami kondisi yang mirip satu sama lain, tetapi dengan latar belakang pribadi dan karakter yang berbeda. Salma (Jajang C Noer) adalah seorang dokter ahli kandungan yang. Di tengah kehidupannya yang mapan, ia harus berjuang mempertahankan keutuhan rumah tangganya, walaupun Pak Haji (El Manik), suaminya telah menikahi perempuan yang lebih muda (Nungky Kusumastuti). Nadim (Wingky Wiryawan) anak semata wayang Salma menjadi alasan Salma untuk menjalani kehidupan poligaminya. Walaupun akhirnya Nadim justru tumbuh menjadi anak yang menentang poligami. Siti (Shanty) adalah seorang gadis Jawa, yang bercita-cita untuk memperbaiki kehidupannya di Jakarta. Tinggal di rumah sempit Pak Lik-nya (Lukman Sardi), bersama dua istrinya (Ria Irawan dan Rieke Dyah Pitaloka), membuat Siti terbiasa dengan kehidupan poligami di rumah tangga pamannya ini. Namun Siti tidak pernah menyangka bahwa pamannya menaruh hati terhadap dirinya dan berniat menikahi Siti sebagai istri ketiga. Hubungan Siti dengan kedua istri pamannya justru
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
33
BEDAH FILM semakin akrab setelah ia menjadi istri ketiga dan ini membuat situasi rumah tangga mereka unik. Ming (Dominique) seorang perempuan muda keturunan Tionghoa yang terkenal sebagai “kembang” di restoran bebek panggang tempatnya bekerja. Koh Abun (Tio Pakusadewo), koki yang juga pemilik restoran, tak dapat menyembunyikan keinginannya untuk mengawini Ming. Bahkan istrinya yang galak, Cik Linda (Ira Maya Sopha) pun tak mampu manghalanginya. Ming menerima pinangan Koh Abun, yang sebenarnya lebih pantas menjadi bapaknya, karena merasa ‘aman’. Ketika Firman (Reuben Elishama), bekas pacar Ming yang telah menjadi sutradara film menawarkan peran utama di filmnya, Ming mulai membutuhkan kebebasan dan menyadari potensinya. Ruang kehidupan Salma, Siti dan Ming berbeda dan mereka tak saling mengenal satu sama lain. Namun, mereka terkadang bertemu diruang publik Jakarta yang padat, tanpa menyadari bahwa mereka mengalami masalah kehidupan yang hampir sama. Poligami telah menjadi bagian dari gaya hidup dari segelintir masyarakat Indonesia. Baik dipraktekkan dengan terbuka, maupun diam-diam, fenomena ini telah mencuri perhatian saya. Secara umum, Islam seolah-olah dianggap agama yang pro-poligami. Kenyataannya, poligami tidak hanya dijalani oleh kaum Muslim saja, tetapi juga dipraktekkan oleh berbagai kalangan dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Setelah melewati proses observasi dan riset, saya memutuskan untuk menulis skenario film Berbagi Suami, dan sudut pandang tiga wanita: dari kalangan usia, sosial dan etnis yang berbeda-beda. Salma mewakili kalangan elit Betawi di usia 50-an; Siti dari pelosok Jawa, yang usianya mendekati usia 30; dan Ming, gadis keturunan Tionghoa yang masih berusia 19 tahun. Saya ingin menyuguhkan cerita yang sederhana saja, dekat dengan kenyataan hidup sehari-hari, dengan konflik-konflik yang riil dan mudahmudahan bisa lebih membuka mata dan hati kita dalam menyikapi poligami, juga dalam mengambil keputusan di kehidupan pernikahan kita, saat ini bagi yang sudah menikah, maupun di masa datang, bagi para lajang. Saya bersyukur, syuting selesai tepat pada waktunya, dengan tim yang sangat berdedikasi. Ipung, penata kamera yang sudah sering bekerjasama
34
dengan saya berhasil menuangkan ide-ide saya secara efektif dalam komposisi gambar. Saya sengaja ingin menonjolkan karakter-karakter pemain yang kuat di film ini. Movement dan angle kamera kita hindari yang terlalu over-lapping, sehingga ruang gerak aktor terbatasi. Secara artistik, Iwen, art director, juga sangat serius dalam menyelami karakter Salma, Siti, dan Ming, sehingga karakter tiga perempuan ini juga tervisualisasikan dengan efektif di ruang tempat mereka menjalani kehidupan dipoligami. Sampaisampai Iwen menerima input akan jaket saya yang bermotif psychedelic untuk dijadikan contoh motif tembok apartemen Ming yang ternyata bisa menjadikan tampilan yang beda. Saya juga berterimakasih karena saya sudah dipertemukan kembali dengan teman lama saya Hanin Sidharta dari Aksara Records, yang ketika kita masih kuliah dulu sama-sama hobi nonton. Sejak membuat original soundtrack Janji Joni, Hanin dan team Aksara-nya benar-benar secara bebas, tapi pas, telah menyumbangkan musik yang mendukung visual film. Maka saya tak bisa pindah ke lain hati untuk film Berbagi Suami ini. Walaupun genre-nya berbeda dengan Janji Joni, saya yakin Hanin, David, Aghi, Mondo & Bemby, bisa mendapatkan jiwa musik yang sesuai, karena wawasan musik mereka yang luas. Tim kostum, make-up, dan seluruh kru produksi juga tak kalah serius menggarap semua detail di film ini. Benar-benar serius, walaupun pas shooting kita selalu fun dan nggak berhenti bercanda. Terakhir, apalah arti detail dan semua diatas, tanpa penghayatan peran yang prima dari para aktor dan aktris. Saya merasakan transformasi jiwa mereka mulai dari proses reading, rehearsel, sampai shooting dan ketika melihat mereka muncul dihadapan saya pada proses editing. Jajang, Shanty, Dominique, Nungki, El Manik, Winky, Lukman, Rieke, Ria, Tio, Ira dan Reuben benar-benar memainkannya dengan takaran yang tepat diluar ekspektasi saya. Kalaupun banyak nama-nama besar di film ini, semata-mata mereka saya pilih karena merekalah yang lolos casting, hati sayalah yang menyarankan saya untuk memilih mereka. Mudah-mudahan penonton film ini bisa menikmati kehadiran mereka
Kalyanamedia
Sumber: Jakarta, KCM
| Edisi 3 No. 4 |Oktober i- Desemberi 2006
CATATAN LEPAS
Masyarakat Memojokkan, Pemerintah Menindas ! 21 November 2006, kita tersentak kaget oleh berita media massa, bahwa seorang perempuan membunuh bayinya dan memakannya, setelah membakarnya. Media teve dan koran-koran melansir berita tersebut bahkan menjadi bahan diskusi yang hangat oleh beberapa pihak. Tentu dengan berbagai perspektif—yang hampir kebanyakan menyoroti moral si perempuan atau si ibu. Diberitakan, perempuan tanpa nama dan berusia sekitar 30 tahun serta tinggi badan 165 cm tersebut, dianggap orang yang kurang waras alias gila. dan “dibisukan” secara sosial. Mereka menjadi korban tidak berhati nuraninya sang penguasa kita, dengan sistem layanan masyarakatnya yang sangat buruk. Bahkan ada yang berpandangan, bahwa di Indonesia pemerintah tidak punya makna apa-apa, kehadirannya sayup-sayup terdengar. Pemerintah hanya muncul saat kita mengurus KTP, administrasi birokrasi, dan kewajiban sosial lain yang terkait dengan kekuasaan. Di luar itu, tiap orang harus berjuang hidup sendiri-sendiri untuk bertahan hidup, karena negara atau pemerintah tidak mau bertanggung jawab sama sekali!
A
kan tetapi, pernahkan kita bercermin pada diri kita sendiri bahwa menguatnya fenomena sosial semacam itu adalah akibat gagalnya sistem sosial kita dalam memulihkan trauma sosial yang dialami orang-orang yang hidup di dalamnya. Peminggiran, penghisapan, penindasan, pelanggaran hak asasi manusia dan banyak lagi tindakan sosial yang mensahkan kesewenang-wenangan kelompok masyarakat tertentu, makin memperkuat ketimpangan dan kemiskinan orang. Sebagai wakil masyarakat, ataupun rakyat, pemerintah seharusnya secara sadar dan konsisten mendorong pemulihan sosial tersebut, sehingga banyak orang disehatkan kembali hidup sosialnya. Ibu tanpa nama itu, yang diduga membunuh dan memakan bayinya, bukanlah perempuan pertama yang melakukan hal serupa. Dengan modus operandi yang hampir sama, banyak kasus belakangan ini memperlihatkan bahwa latar belakang sosial si perempuan adalah miskin, tidak berpendidikan,
Kalyanamedia
Ironis memang, apa yang dialami si ibu itu. Di tengah kemiskinannya, dengan identitas sebagai gelandangan dan pengemis, ketika suatu pilihan hidup ia putuskan bahkan untuk hal yang ekstrim seperti membunuh bayinya misalnya, si perempuan malang itu mesti menerima hukuman sosial dan sanksi hukum pemerintah. Perempuan hamil hidup sendirian, mengemis, dan menggelandang, bukan kejadian tanpa “sebab”. Pada dasarnya ia hanyalah korban kejahatan sosial yang sistematis, yang merampas hak-hak dasarnya untuk hidup, sebagai warga negara dan sebagai perempuan. Bercermin pada kasus kemanusiaan tersebut, sepatutnya kita bermenung diri. Apa yang diderita si perempuan malang itu tak semata-mata masalah moral, melainkan persoalan struktural. Negara, dengan aparatnya, tidak melakukan apapun guna mencegah jatuhnya korban sosial, apalagi terhadap perempuan. Jelas kelihatan Negara atau pemerintah begitu “macho” sehingga lalai memfasilitasi hakhak dasar para perempuan, yang itu menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Masyarakat memojokkan, pemerintah menindas! (HG)
| Edisi 3 No. 3 | Oktober-Desember 2006
35