PERKEMBANGAN PSIKOLOGI MASA KIN1 Kajian Berbaaai Bidana
errnoR Supra Wimbarti Lu'luatul Chizanah
PERKEMBANGAN PSIKOLOGI MASA KIN1 Kajian Berbagai Bidang Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
EDITOR
Supra Wirnbarti Lu'luatul Chizanah
PERKEMBANGAN PSIKOLOGI MASA KINI: Kajian Berbagai Bidang Penulis - Prof, T. Dicky Hastjarjo, Ph.D. - Dr. ~ a g d Bhinnety a Etsem. M.Si. - Dr. Rahmat Hidayat, M.Sc. - Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D. - Dr. Bagus Riyono, M.A. - Drs. Haryanto F. Rosyid, M.A. - Dr. Avin Fadilla Helmi, M.Si. Reviewer: - Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D. - Prof. A. Supratiknya, Ph.D. - Dr. Rahmat Hidayat, M.Sc.
-
Prof. T. Dicky Hastjarjo, Ph.D. Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S..
-
-
Dr. Noor Siti Rahmani, M.Sc. Drs. Sumaryono, M.Si. Ridwan Saptoto, S.Psi., M.A. Drs. Subandi, M.A., Ph.D. Dra. Siti Waringah, M.Si. Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si. Wahyu Widhiarso, S.Psi., M.A.
-
Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D.
-
Prof. Dr. Saifuddin Azwar, M.A.
-
-
-
- Drs. Fathul Himam, M.Psi., M.A., Ph.D. - IJK Sito Meiyanto, Ph.D.
Editor: Supra Wimbarti Lu'luatul Chizanah DesignILay-Out: Bagus Riyono Cet. 1.Yogyakarta: Beta Offset, 2014 vi + 232 hal; 15.5 x 23 cm. ISBN 978 - 979 - 8541 - 68 - 1
Diterbitkan oleh: Penerbit Beta Yogyakarta Cetakan pertama, Januari 2014 Hak Cipta O 2014 ada pada Fak. Psikologi UGM Hak penerbitan ada pada Beta Offset Yogyakarta
SEKAPUR SIRIH
Syukur Alhamdulillah akhirnya buku berjudul Perkembangan Psikologi Masa Kini: Kajian Berbagai Bidang telah selesai diterbitkan. Editor mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam penerbitan ini, antara lain Fakultas Psikologi yang telah mengupayakan penerbitan buku dalam rangka Dies ke 49 Fakultas Psikologi UGM. Selain daripada itu juga kepada para kontributor tulisan antara lain Prof. T. Dicky Hastjarjo, Ph.D; Dr. Magda Bhinnety Etsem, M.Si.; Dr. Rahmat Hidayat,M.Sc.; Supra Wimbarti, M.Sc., Ph.D; Dr. Avin Fadilla Helrni, M.Si.; Dr. Noor Siti Rahmani, M.Sc.; Dr. Bagus Riyono, M.A.; Drs. Sumaryono, MSi.; Drs. Haryanto FR, M.A.; Ridwan Saptoto, S.Psi, M.A.; Prof. Dr. Tina Afiatin, M.Si.; Dra. Siti Waringah, M.Si.; Drs. Subandi, M.A., Ph.D; dan Wahyu Widhiarso, S.Psi., M.A. Inisiasi penerbitan buku ini terinspirasi oleh perubahan (revisi) kurikulurn di Fakultas Psikologi yang disesuaikan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan yang ternyata juga membutuhkan pemikiran baru dari keilmuan yang diampu psikologi. Dimulai dengan undangan untuk rnenulis bagi seluruh dosen Fakultas Psikologi UGM. Beberapa tulisan rnerupakan upaya re-vitalisasi dari keilmuan psikologi yang pernah ada tapi surut atau belurn berkembang seperti yang diharapkan, antara lain tulisan-tulisan dari T. Dicky Hastjarjo, Magda Bhinnety Etsem, Supra Wirnbarti dan Wahyu Widiarso. Tulisan kelompok psikologi industri dan kebangsaan dirnaksudkan untuk mengingatkan ilrnuwan psikologi bahwa kerja bangsa belum tuntas. Tulisan dari Rahmat Hidayat adalah upaya ajakan untuk ilrnuwan dari calon ilmuwan psikologi berpikir tentang kernajuan psikologi ke depan. Tulisan terakhir yaitu dari Siti Waringah adalah upaya psikologi untuk rnenggali psikologi Indonesia (Jawa) yang isinya bukan metodologi penggalian psikologi indijinus akan tetapi intinya dari psikologi jawa. Buku ini selain layak dibaca untuk dijadikan referensi para peneliti psikologi di Indonesia, juga amat layak untuk menjadi inspirasi bagi mahasiswa dan psikolog.
iii
Naskah-naskah yang diterbitkan dalarn buku ini telah direview oleh tim reviewer antara lain: Prof. A. Supratiknya, Ph.D.; Prof, Dr. Saifuddin Azwar, M.A.; Prof. T Dicky Hastjarjo, Ph.D; Prof. Drs. Koentjoro, MBSc., Ph.D.; Prof. Dr. Sofia Retnowati, M.S.; Drs. Fathul Hirnam, M.Psi., MA, Ph.D; Supra Wirnbarti, M.Sc, Ph.D.; Dr. Rahrnat Hidayat, M.Sc.; dan IJK Sito Meiyanto, Ph.D.
Ketua Tim Editor, Supra Wimbarti
DAFTAR IS1
TA PENGANTAR .................................................................................................. iii AFTAR IS1 ................................................................................................................... v Beberapa Cara Pandang Baru mengenai Psikologi Kognitif T. Dicky Hastjarjo ......................................................................................
1- 7
Psikologi Eksperimen Terapan
T. Dicky Hastjarjo ...................................................................................... 8 - 17 Mengenal Lebih Jauh tentang Psikologi Teknologi [Engineering Psychology)
Magda Bhinnety Etsem ........................................................................... 18 - 28 ; 1
Neuroekonomika: Sebuah Disiplin Baru di Bidang Psikologi Ekonomi
Rahmat Hidayat ......................................................................................... 29 - 42 Neuropsikologi: Masih Menjadi Anak Tiri Psikologi
Supra Wimbarti .......................................................................................... 43 - 61 Human Motivation Model Sebuah Koreksi terhadap Teori "Need Hierarchy" Maslow
Bagus Riyono ...............................................................................................62- 77 Derailed Manager: Apanya yang Kurang?
Haryanto F, Rosyid .................................................................................... 78 - 94 Beberapa Konsep Kepemimpinan di Timur
Avin Fadilla Helmi ..................................................................................... 95 - 120 Pengembangan SDM di Era Globalisasi : Sebuah Tinjauan Budaya?
Noor Siti Rahmani ..................................................................................... 121- 136 Karir Mandiri: Alternatif Pilihan Karir Menuju "Indonesia Bebas Pengangguran"
Sumaryono .................................................................................................... 137 - 149
Peran Psikologi dalam Dunia Industri dan Organisasi: Past, Present, and Future Ridwan Saptoto ..........................................................................................150 - 1 5 8 Pemberdayaan Pasien dan Keluarga Gangguan Jiwa di Indonesia Subandi ......................................................................................................... 149 - 170
Kramadangsa Suatu Teori Kepribadian Berorientasi Kearifan lokal Siti Waringah ................................................................................................... 171 - 194 Menanamkan dan menumbuhkan Nilai-nilai Bela Negara: Perspektif Psikologi Keluarga Tina Afiatin ....................................................................................................... 195 - 207 Mengulas Penggunaan Koefisien Alpha dalarn Mengevaluasi Pengukuran Psikologi Wahyu Widhiarso....................................................................................208 - 225 BIODATA PENULIS............................................................................................ 227 - 232
HUMAN MOTIVATION MODEL SEBUAH KOREKSI TERHADAP TEORI "NEED HIERARCHY" MASLOW Bagus Riyono Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Maslow (1943)merumuskan teori tentang motivasi dan kepribadian sebagai respon terhadap teori Freudian dan Behavioral yang menurut Maslow tidak lengkap dan kurang tepat. Dia mengatakan bahwa teori Freud adalah teori tentang "separo manusia". Manusia secara utuh, menurut Maslow (1970), belum terwakili oleh teori Freud tersebut, sehingga dibutuhkan sebuah teori yang lebih komprehensif, yang disebutnya sebagai "holistic-dynamics, organismic theory". Dalarn teorinya, Maslow (1970) berargumentasi bahwa sumber kekuatan dari perilaku manusia adalah kebutuhan, yaitu sesuatu dalam diri manusia yang mendesak untuk dipenuhi. Kebutuhan tersebut memiliki tingkatan-tingkatan yang membentuk sebuah hierarki berjenjang, yang pemenuhannya terjadi secara bertahap. Kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki manusia menurut Maslow (1943)terdiri dari lima kategori yang tersusun secara hierarkis, yaitu: (1) kebutuhan fisiologis; (2) kebutuhan akan rasa aman; (3)kebutuhan sosial; (4)kebutuhan akan harga diri; dan (53 kebutuhan untuk aktualisasi diri. Maslow (1970) berargumentasi bahwa manusia tidak pernah berhenti dari membutuhkan sesuatu. Seseorang tidak akan pernah puas dalam arti sempurna, kecuali hanya dalam waktu yang singkat. Setelah itu manusia akan membutuhkan sesuatu yang lain yang lebih tinggi nilainya. Ketika seseorang membutuhkan mobil, mungkin pada awalnya karena butuh kendaraan, tetapi setelah itu dia juga butuh status sosial yang setara dengan para tetangga atau teman sekitarnya yang juga memiliki mobil. Demikian seterusnya, sehingga manusia selalu termotivasi untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, melalui pemenuhan kebutuhannya pada tingkat yang lebih tinggi. Oleh kare itu dapat disimpulkan bahwa sumber kekuatan motivasional seorang individu adalah deprivasi kebutuhan, yaitu adanya kebutuhan yang belum terpenuhi. Maslow (1970) mengisyaratkan bahwa energi motivasional akan aktif pada diri individu ketika seseorang mengalami deprivasi kebutuhan. 62 1 Bagus Riyono
wrsonist
Self-attu~stftzlngnetJa
growth I
Gambar 1. "Need Hierarchy Theory" dari Maslow Deprivasi kebutuhan ini akan bergerak naik menuju kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi. Mekanisme ini akan terus menerus berlangsung menuju puncak hierarki kebutuhan yaitu aktualisasi diri. Aktualisasi diri akan dicapai manusia ketika semua kebutuhan yang di bawahnya sudah terpuaskan. Manusia yang hidupnya sudah "puas" ini masih akan selalu memiliki dorongan untuk melakukan sesuatu yang memang menjadi keahliannya dan panggilan jiwanya (Maslow, 1943). lnilah yang disebut sebagai manusia yang sudah sampai pada tataran aktualisasi diri, yang kurang lebih berarti bahwa kebutuhan yang ingin dipenuhinya adalah kebutuhan untuk menjadi dirinya sendiri yang paling optimal. Bentuk dari kebutuhan yang tertinggi ini sangat bervariasi, misalnya seorang musisi akan terus merasa kurang jika tidak menciptakan musik, atau seorang ibu rumah tangga akan terdorong untuk menjalankan perannya se ideal mungkin (Maslow, 1943). Pada level inilah manusia akan mencapai tingkat kebahagiaan tertinggi, dan sekaligus mencapai puncak dari kreativitasnya, seperti yang diungkapkan oleh Maslow (1943), sebagai berikut: Perkembangan Psikologi Masa Kini 1 63
"The clear emergence of these needs rest upon prior satisfaction of the p'hysiological, safety, love, and esteem needs. We shall call people, who are satisfied in these needs, basically satisfed people, and i t is from these that we may expect the fillest (and healthiest) creativeness. (Maslow, 1943, ha1 383)" Di sisi lain, sejak awal Maslow (1943) menyadari bahwa konsepnya tentang aktualisasi diri ini belum cukup jelas karena definisinya dapat bermakna sedemikan luas. Konsep tentang aktualisasi diri ini lebih merupakan konsep ideal yang diharapkan Maslow untuk memicu pemikiran dan penelitian yang lebih lanjut. Ia mengatakan bahwa "ha1 ini masih menjadi permasalahan yang menantang bagi riset di kemudian hari" ("it remains a challenging problem for research", Maslow, 1943). Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa teori Maslow belum selesai, sehingga masih memiliki kelemahan yang dapat ditutupi dan disempurnakan melalui riset lanjutan. Kelemahan lain dari teori Maslow terletak pada kegagalannya untuk konsisten dalam proposisi teoritisnya. Di satu sisi, menurut Maslow 11943) yang menjadi motivator seorang individu adalah kebutuhannya yang belum terpenuhi dan ha1 itu terjadi secara bertahap sesuai tingkat kebutuhan dalam suatu hierarki. Hal ini ditegaskannya sebagai berikut, "If we are interested in what actually motivates us, and not in what has, will, or might motivate us, then a satisfied need is not a motivator (Jika kita ingin tahu tentang apa yang sebenarnya memotivasi kita, dun bukan tentang apa yang telah, akan atau mungkin memotivasi kita, maka kebutuhan yang sudah terpenuhi bukanlah motivator." (Maslow, 1943, ha1 393). Dari sisi yang lain, ketika menjelaskan mengenai seorang individu yang sudah mencapai tahapan aktualisasi diri, Maslow (1943) menjadi tidak fokus lagi. Penjelasan Maslow menyebutkan bahwa pada tahapan tersebut seseorang sudah tidak memiliki kebutuhan yang belum terpenuhi kecuali untuk melakukan apa yang ia ingin lakukan sesuai dengan bakat dan minatnya. Pernyataan Maslow tersebut bermakna bahwa motivator pada level ini bukan lagi deprivasi kebutuhan, tetapi sesuatu yang lain. Maslow (1970) tidak menyebutkan apa itu penjelasan lain yang terkait dengan motivator seorang individu yang sudah mengalami aktualisasi diri. Teori Maslow sulit untuk mendapat dukungan empiris yang memadai sampai saat ini. Di satu sisi ia mengatakan bahwa seorang yang berada pada level aktualisasi diri adalah orang yang "puas", di sisi lain ia mengatakan bahwa manusia tidak pernah puas untuk mengaktualisasikan 64 1 Bagus Riyono
dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa teori Maslow memiliki kontradiksi logika dalam dirinya sendiri, atau inkoherensi dalam proposisi teoritisnya.
HUMAN MOTIVATION MODEL Riyono (2012) merumuskan "Human Motivation Model" sebagai teori motivasi yang terintegrasi melalui studi meta-ethnografi. "Human Motivation Model" menyatakan bahwa terdapat lima sumber motivasi yang saling berinteraksi dalam dinamika motivasi yang holistik dan integratif. Kelima sumber motivasi tersebut adalah: (1) "Freedom to choose"; (2) "Urge"; (3) "Meaning"; (4) "Challenge"; dan (5) "Incentive". Kelima sumber motivasi tersebut berinteraksi secara dinamis untuk mengarahkan perilaku seseorang. Proposisi teoritis ini berbeda dengan Teori Maslow (1943) yang memandang bahwa motivasi terjadi secara bertahap sesuai tingkat kebutuhan yang sedang aktif. Teori "Human Motivation Model" memberikan argumentasi alternatifyang sejalan dengan hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Wahba dan Bridwell (1973). Menurut penelitian Wahba dan Bridwell (1973), tingkat-tingkat kebutuhan yang dirumuskan Maslow (1943; 1970) tidak bekerja berturutan, mereka dapat muncul bersama-sama atau bahkan terbalik urutannya. Proposisi teori "Human Motivation Model" yang selengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. "Freedomto choose" sebagai karakteristik dasar manusia Manusia terlahir dengan bekal berupa kebebasan untuk memilih yang pada awalnya masih berupa potensi, dan akan semakin berkembang sejalan dengan bertambahnya pengalaman hidupnya. Kebebasan memilih ini merupakan sifat dasar atau hakekat dari diri seorang individu. Dengan kata lain, kebebasan memilih ini adalah titik sentral dalam kehidupan psikologis seorang individu yang akan selalu berperan dalam perilakunya. Hal ini sesuai dengan pandangan lqbal (1930) yang mengatakan bahwa sifat dasar dari "ego" adalah kebebasan dan keabadian. Yang dimaksud sebagai "ego" oleh lqbal (1930) adalah sama dengan "self', yang oleh Ibn al-Nafis (dalam Fancy, 2006) disebut sebagai "soul" (ruh). Menurut Ibnu Sina, ruh ini adalah yang ditiupkan oleh Tuhan menjadi manusia yang diberi kebebasan untuk memilih. "Ditiupkan" dapat memiliki makna "dilepaskan" sehingga terlepas dari "ikatan", yang dengan demikian menjadi bebas atau memiliki kebebasan.
Perkembangan Psikologi Masa Kini 1 65
Meaning
Freedom / / to Choose
Cambar 2. Dinamika sumber-sumber motivasi ("The Human Motivation Model") Kebebasan untuk memilih adalah sumber pertama bagi perilaku termotivasi seorang manusia yang sebenarnya sudah melekat pada setiap diri manusia sejak dilahirkan. Sementara itu, Maslow (1970) berargumentasi bahwa kebebasan adalah prasyarat awal bagi keniscayaan untuk munculnya perilaku termotivasi. Hal ini berarti, Maslow (1970) beranggapan bahwa kebebasan manusia adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, sebagai syarat untuk dilakukannya usaha pemenuhan kebutuhan. "Human Motivation Model" berargumentasi bahwa dalam kebebasannya, seorang manusia memiliki empat sumberdaya psikologis ("human faculties") yang membantu memberi pertimbangan dalam memilih perilakunya, yaitu aka1 ("cognitive"), perasaan ("affective"), kehendak ("will" atau "conative"), dan hati nurani ("conscience") yang bersifat intuitif dan spiritual. Sumberdaya psikologis tersebut bekerja secara dinamis dan integratif dalam menentukan perilaku yang akan dipilih (Iqbal, 1930; Erez dan Isen, 2002; Festinger dan Carlsmith, 1959). 2. "Urge"sebagai faktor pendorong perilaku Disamping memiliki karakteristik dasar berupa kebebasan, manusia sejak lahir juga memiliki kebutuhan-kebutuhan dasar ("urge") untuk hidup 66 1 Bagus Riyono
dan mempertahankan hidup ("survival"). Pada awalnya dorongan-dorongan kebutuhan tersebut bersifat instinktif atau otomatis("nature"), kemudian berkembang dan muncul kebutuhan-kebutuhan lain yang merupakan hasil interaksi dengan pengalaman hidupnya, yang lebih bersifat kultural ("nurtured"). Kebutuhan yang bersifat alamiah mencakup kebutuhan-kebutuhan untuk mempertahankan hidup ("survival needs"), sedangkan kebutuhankebutuhan yang bersifat kultural adalah kebutuhan untuk menyatu atau beradaptasi dengan lingkungannya ["adjustment needs"). Kebutuhankebutuhan untukbertahan hidup meliputi kebutuhan untuk minum, makan, dan pakaian atau tempat berlindung untuk melindungi diri dari cuaca yang mengancam kesehatan. Pada saat seorang individu mencapai kedewasaan secara biologis ["baligh") muncul kebutuhan seksual sebagai akibat dari perubahan biologis dari tubuhnya. Kebutuhan-kebutuhan untuk menyesuaikan diri, yang bersifat kultural adalah misalnya "need for achievement", "need for afiliation", "need for power", dan "need for self-esteemVyangdipengaruhilatar belakang budaya individu yang bersangkutan. Kebutuhan-kebutuhan ini juga sering disebut sebagai kebutuhan yang terkait dengan nilai-nilai budaya tertentu. Manifestasi atau cara pemenuhan dari "survival needs" dalam kehidupan seseorang juga bersifat kultural, yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tertentu. Misalnya kebutuhan seksual, walaupun berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan yang alamiah, namun dalam budaya berbeda akan disikapi secara berbeda pula, ada yang mewajibkan pernikahan, namun ada juga yang tidak. Contoh lain adalah bervariasinya adab dan etiket dalam menghidangkan makanan pada berbagai budaya yang berbeda-beda. Kebutuhan-kebutuhan yang memiliki sifat sebagai impuls yang mendesak-desak ["urge") ini akan memberikan dorongan kuat ["drive") terhadap "self' yang harus mengambil keputusan untuk memilih perilaku apa yang menurutnya tepat untuk mengontrol atau mengendalikan "urge" tersebut. Untuk menentukan tindakan yang "tepat" ini, "self' yang memiliki kebebasan untuk memilih, akan menggunakan akal, perasaan, kehendak, serta hati nuraninya secara dinamis. Kekuatan dari masing-masing sumberdaya psikologis tersebut bervariasi pada tiap individu, sehingga perilaku yang muncul juga akan bervariasi pada individu yang berbeda. Dinamika "drive" dan "control" ini merupakan sumber motivasi yang akan mendorong timbulnya perilaku termotivasi yang merupakan dinamika internal dalam diri manusia. Dinamika internal ini merupakan "pertempuran abadi" yang berlangsung dalam diri setiap individu yaitu Perkernbangan Psikologi Masa Kini 1 67
tarik-menarik atau dorong-mendorong antara "freedom to choose" dengan "urge". Kesehatan psikologis seorang individu ditentukan oleh sifat hubungan dari "freedom to choose" dengan "urge" tersebut. Dalam diri seorang individu yang sehat secara psikologis, "freedom to choose" memiliki posisi sebagai "tuan", sedangkan "urge" dalam posisi sebagai "budak (Al-Ghazzali, 1873). Sebaliknya, ketika "urge" memiliki posisi sebagai "tuan" dalam diri individu, maka "freedom to choose" kehilangan maknanya, yaitu kehilangan kebebasannya. Ketika ha1 tersebut terjadi maka individu tersebut mengalami sakit secara psikologis. Seorang individu yang sakit secara psikologis akan berada pada situasi yang sulit untuk memunculkan motivasi yang sehat pula. Dalam suatu organisasi atau masyarakat, individu yang dikuasai oleh "urge" akan sulit ditumbuhkan motivasinya dengan strategi seperti apapun juga. Hanya individu-individu yang menyadaridan menerima kekuatan "freedom to choosev-nya yang dapat diharapkan untuk memiliki motivasi pada tataran yarig lebih tinggi. Mereka adalah individu-individu yang "sudah selesai" dengan dirinya sendiri, yang oleh Maslow (1943) disebut sebagai "the satisfied person" yang siap untuk mengaktualisasikan dirinya. 3. Transformasi diri menuju kebermaknaan hidup ("Meaning")
Bagi individu yang sehat, sumber motivasi terbuka lebih lebar dan luas. Kekuatan dari "freedom to choose" yang dimilikinya memberikan banyak inspirasi untuk mentransformasikan dirinya menjadi manusia yang lebih bermakna, yang disebut oleh Hall (2008) sebagai "the bright side of human nature". Makna rmeaning") menjadi penting bagi mereka, dan merupakan sumber motivasi yang luar biasa, sebagai bentuk dari proses aktualisasi dirinya. Banyak cara untuk mendapatkan makna dalam kehidupan, misalnya dengan meningkatkan "sense of competence", memberikan kontribusi pada orang lain atau masyarakat, meningkatkan pencapaian ("accomplishment") dalam kehidupan, memperjuangkan nilai-nilai ("values" atau "valence") yang diyakini, atau sekedar menikmati hidup dengan menikmati segala aktivitas yang dapat dilakukannya ("enjoyment") secara sehat. Mencintai dalam arti spiritual seperti yang dilukiskan oleh Frank1 (1984) juga termasuk sebagai sumber motivasi yang memiliki tema "meaning" ini. Cinta yang melampaui batasan-batasan biologis dan sosial ("beyond biological and social exchange process") akan mampu mentransformasikan diri seseorang dalam menapaki kehidupan sehingga lebih bermakna. Cinta yang seperti ini bahkan memiliki sifat menyembuhkan
68 1 Bagus Riyono
secara psikologis ("psychologically healing") bagi pribadi seorang individu (Peck, 1974).
4. "Challenge"sebagai "externalpressure" (tekanan lingkungan) Interaksi seorang individu dengan lingkungannya, baik yang bersifat fisik, psikologis, maupun sosial, menimbulkan gesekan-gesekan yang menjadi sumber lain bagi bangkitnya motivasi untuk berperilaku. Ibarat energi panas yang memercik karena gesekan, secara psikologis gesekangesekan dengan lingkungan merupakan sumber motivasi yang disebut "challenge". "Challenge" mengusik kebebasan seorang individu dalam bentuk tuntutan atau tekanan ("pressure") yang memaksa individu tersebut untuk merespon. Tuntutan atau tekanan tersebut dapat berupa kompetisi (Atkinson dan Reitman, 1956), ketidakadilan ("inequity") (Adams, 1963; Lawler dan O'Gara, 1967; Valenzy, dan Andrews, 1971), atau target yang sulit ("difficult goal") (Locke, et al. 1981; Locke, Latham, dan Erez, 1988; Locke, 2000; Locke dan Latham, 2002), yang bersifat "overt" (eksplisit). Di samping itu ada juga "clallenge" yang bersifat "covert" (implisit), seperti misalnya "trust" (Livingston, 1969) dan "responsibility" (tanggungjawab). "Challenge" dalam berbagai bentuknya tersebut merupakan sumber motivasi yang juga memiliki kekuatan untuk mendorong timbulnya perilaku. Di sisi lain, kebebasan seorang individu kadang dengan sengaja memilih untuk mencari tantangan ("challenge seeking"). Mereka yang gemar mencari tantangan ini merasa atau memiliki keyakinan bahwa di balik tantangan tersebut terdapat sesuatu yang lebih bermakna bagi dirinya. Dengan kata lain, mereka yakin bahwa jika mereka berhasil melewati tantangan maka pengalaman tersebut akan mengalir ("flow") menuju kebermaknaan yang lebih tinggi (Csikszentmihalyi, 1996; Lee, 2005). Keyakinan tersebut tercermin dalam kata-kata bijak yang sangat akrab di berbagai budaya, yaitu, antara lain: "sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan" (A1 Qur'an, Surah 94:6), "no pain, no gain" (pepatah Inggris), "bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian" (pepatah Melayu). Secara empiris ditemukan bahwa, orientasi pada "challenge" (atau "challenge seeking") dan "sense of personal control" ("freedom to choose") memiliki pengaruh signifikan terhadap kesuksesan dalam dunia kerja (Dunifon dan Duncan, 1998). Dalam literatur psikologi terdapat salah kaprah yang menyebut fenomena "challenge seeking behavior" ini sebagai "risk taking behavior" atau perilaku mengambil risiko (Atkinson, 1957). Istilah tersebut bertentangan dengan istilah lain yang juga dikenal dalam literatur psikologi, yaitu Perkembangan Psikologi ~ a s Kini 6 1 69
"risk aversion" atau penghindaran dari risiko. Yang lebih logis adalah "risk aversion" karena risiko adalah memang sesuatu yang harus dihindari, bukan untuk diambil. Dengan demikian, istilah "challenge seeking behavior" adalah lebih tepat untuk menggambarkan perilaku yang barkaitan dengan menembus tantangan demi mendapatkan makna yang lebih tinggi.
5. Incentive sebagai "pull factor" dari perilaku p i samping memberikan "challenge", lingkungan dapat pula menawarkan "incentive" pada individu. Berbeda dengan "challenge", "incentive" adalah sesuatu yang menjadi "akibat" dari perilaku seorang individu. Jika "challenge" adalah sesuatu yang mendahului perilaku, "incentive" adalah sesuatu yang mengikuti perilaku. Walaupun demikian, "incentive" memiliki peran dalam menarik ["pull factor") untuk diulanginya perilaku yang sama, yang telah dilakukan sebelumnya dan menyebabkan munculnya "incentive" tersebut. Proses ini oleh Skinner (1953) disebut sebagai proses "reinforcement", sedangkan Thorndike (1911) menyebutnya sebagai "the law of effect". "Incentive" dapat berbentuk materi maupun non-materi, sedangkan materi dapat berbentuk uang maupun in-natura. Dukungan terhadap usaha yang dilakukan seorang individu, pujian sebagai salah satu bentuk "constructive feedback merupakan contoh-contoh dari "incentive" yang bersifat non-materi. Di samping itu "incentive" dapat pula bersifat intrinsik, seperti misalnya prestasi atau kepuasan terhadap hasil kerja yang telah dilakukan. Semua ha1 tersebut merupakan motivator yang akan menarik seorang individu untuk mengulangi perilaku yang telah berdampak pada diperolehnya "incentive" dalam segala bentuknya. Pada sisi lain, potensi individu yang memiliki kebebasan untuk memilih ("freedom to choose") dapat memilih "incentive" yang mana atau yang seperti apa yang akan dia kejar, sebagai jalan atau instrumen untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermakna. Seorang individu dapat melihat peluang untuk mendapatkan "incentive" tertentu, atau dapat dikatakan sebagai memiliki "expectancy" yang kuat untuk mendapatkan "incentive" tertentu. Kekuatan "expectancy" ini juga dapat menjadi sumber motivasi untuk meraih "incentive" yang diidam-idamkan [Vroom, 1964; Eden, 1984). Lebih jauh lagi, "incentive" tertentu dapat dipersepsi sebagai jalan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bermakna, berarti "incentive" dapat bersifat instrumental terhadap nilai yang lebih tinggi. "Incentive" dapat berfungsi sebagai sarana bagi tercapainya kebermaknaan hidup
["meaning"), yang juga disebut sebagai "valence" oleh Vroom (1964). Sebagai contoh, misalnya "achievement" yang memuaskan dan berulangulang akan menyebabkan meningkatnya "sense of conpetence" seseorang. Ucapan terima kasih atas hasil kerja akan menumbuhkan "sense of contribution". HUMAN MOTIVATION MODEL BERSIFAT "HOLISTIC-DYNAMICINTEGRATED" Dalam dinamika motivasi yang terjadi pada kenyataan hidup seharihari, semua komponen dalam "Human Motivation Model" tersebut akan berperan secara holistik dan dinamis, serta integratif. Berikut ini akan diilustrasikan dua contoh dari interaksi antar komponen-komponen dari "Human Motivation Model" secara holistik, dinamis, dan integratif. Sebut saja si A, adalah seorang sarjana yang baru lulus dari perguruan tinggi ternama. Sebagai seorang sarjana yang baru lulus dia memiliki dua kebutuhan pokok yang harus segera dipenuhi, yaitu mencari kerja dan menikah. Walaupun dorongannya untuk segera menikah lebih kuat, namun keluarga besarnya mengharapkan dia untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan terlebih dahulu. Si A ini mengalami dilema karena ada dua kekuatan yang bekerja terhadapnya, yaitu "urge" untuk menikah dan "challenge" ["pressure") untuk berusaha mapan terlebih dahulu. Karena si A ini adalah seorang yang berilmu dan sehat secara psikologis maka dia memiliki keyakinan bahwa "challenge" yang harus dihadapinya akan membawanya pada kebermaknaan hidup yang lebih tinggi, yaitu keluarga yang tenteram dan mapan. Keyakinan tersebut memberinya kekuatan untuk mengendalikan ["control") dorongannya untuk segera menikah ("urge"). Kepatuhannya terhadap nasehat keluarga besarnya tersebut membuat orang tuanya senang sehingga mereka memberi "support" ("incentive") bagi A dalam usahanya untuk mencari pekerjaan. Adanya "support" dari orangtua menambah motivasi A untuk berusaha sekuat tenaga dalam mencari pekerjaan. Ketika peluang berupa kesempatan kerja datang, motivasi A semakin tinggi lagi karena sekarang sudah semakin jelas bahwa kesempatan kerja tersebut [yang merupakan "incentive") memiliki nilai instrumental terhadap tercapainya apa yang diidam-idamkannya, yaitu membangun keluarga yang tenteram dan mapan. "Urge" untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dengan menikah menjadi suatu keniscayaan yang tidak menjadi beban pikirannya lagi. "Urge" dalam contoh ini tidak diingkari, tetapi ditahan atau ditunda Perkernbangan Psikologi Masa Kini 1 71
["pushed to the background"), atau dikendalikan secara sehat ["effectively controlled"). Untuk contoh ke dua sebut saja si X, seorang karyawan yang sedang berada di tengah perjalanan karirnya. X bekerja di sebuah perusahaan minyak, di kantor pusatnya di jalan Gatot Subroto Jakarta. Motivasinya untuk bekerja di perusahaan minyak adalah karena gajinya yang cukup besar jika dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya. Ketika melamar untuk sebuah posisi di perusahaan minyak tersebut, dia baru saja menikah. Sebenarnya dia menyukai pekerjaannya yang lama, namun karena gajinya pas-pasan, maka ia mencari kesempatan untuk pindah kerja ["urge" dalam bentuk "need deprivation"). Lowongan yang ada pada salah satu perusahaan minyak menarik minatnya untuk melamar. Ada ekspektansi akan diperolehnya gaji ("incentive") yang besar, yang akan memiliki peran instrumental dalam menghidupi keluarga barunya. Akhirnya X diterima dan saat ini sudah berkarir selama kurang lebih tiga tahun di perusahaan minyak tersebut. .4da sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, yang membuat ada kekuatan kehendak dalam dirinya yang bergejolak.Sejak lulus sebagai sarjana, X memiliki suatu cita-cita untuk meng-aktualisasikan dirinya sebagai pendidik atau cendekiawan. Dengan menjadi pembelajar dan pengajar, X percaya akan dapat lebih banyak memberikan manfaat bagi generasi mendatang ("contribution"). Di sisi lain, X juga menyadari bahwa banyak tantangan ["challenge") yang harus ditembus untuk dapat mewujudkan cita-citanya tersebut. Pada pekerjaannya yang sekarang, X tidak begitu menikmati tugas pokoknya yang sebagian besar bersifat melulu administratif. Setiap ada kesempatan untuk memberikan presentasi, X selalu bersemangat karena ia menemukan keasyikan ["enjoyment") dalam melakukan ha1 itu. Setiap kali X melakukan presentasi atau memberikan training pada rekan-rekannya sesama karyawan, ia selalu menuai pujian ("support"). Hal ini semakin memantabkan niat X untuk berganti karir menjadi pendidik. "Feedback" positif yang selalu dia dapatkan setiap kali memberikan presentasi maupun training telah memperkuat "motivational forceu-nya untuk menembus segala tantangan dan kesulitan ("challenge seeking") demi meraih cita-citanya untuk menjadi pendidik ["self-actualization"). Akhirnya keputusan berat tersebut diambil oleh X, dengan mengundurkan diri dari posisinya sebagai karyawan perusahaan minyak, dan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi. Kedua contoh yang merupakan ilustrasi dalam kehidupan seharihari tersebut menunjukkan bagaimana "Human Motivation Model" dapat 72 1 Bagus Riyono
menjadi kerangka teoritis yang holistik-dinamik-integratif untuk menjelaskan dinamika motivasi dan perilaku manusia secara komprehensif. Teori yang bersifat holistik-dinamik-integratif ini menjawab permasalahan teoritis yang masih belum tuntas dalam usaha mengintegrasikan dinamika motivasi, seperti yang diungkapkan oleh Maslow C1970) serta Bandura dan Locke C2003). Bahkan gerakan "positive psychology" (Becker dan Marecek, 2008) yang fokus pada "individual flourishing" masih melihat manusia secara parsial. Maslow C1970) menyampaikan pandangan serupa yang disebutnya sebagai "holistic-dynamics, organismic theory", namun kesimpulan akhirnya hanya sebatas bahwa semuanya adalah "needs", yaitu "basic needs", "actualization needs", "aesthetic needs", "need to know", "need to understand", dan lain sebagainya. Sementara itu Bandura dan Locke (2003) serta Locke, Frederick, dan Bobko C1984) menjelaskan bahwa dalam dinamika "motivated behavior", "self-efficacy" bekerja bersamasama dengan "goal system" dalam sebuah sistem "self-regulation" yang terintegrasi. Bandura dan Locke (2003) membatasi teori integrasi mereka dalam kerangka teori sosiokognitif, dan menentang "control theory" yang berakar pada behaviorisme. "Human Motivation Model" memberikan penjelasan yang integratif mencakup tidak hanya "needs" atau "instink, tetapi semua dimensi dari dinamika motivasi termasuk "meaning", "challenge", "intrinsic" maupun "extrinsic", "cognitive" dan juga "behavioral".
KOREKSI TERHADAP TEORl MASLOW Berdasarkan uraian mengenai Teori "Human Motivation Model" tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan yang merupakan koreksi. terhadap Teori "Need Hierarchy" Maslow. Di samping itu "Human Motivation Model" juga melengkapi Teori Maslow serta menjawab pertanyaan tentang konsep "Aktualisasi Diri" yang belum selesai dijelaskan oleh Maslow (1970). Pertama, aktualisasi diri bukanlah kebutuhan, melainkan pilihan individu yang tidak harus menunggu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di bawahnya. Semua kebutuhan dasar di bawah aktualisasi diri sebengrnya memiliki sifat yang serupa, yaitu cenderung mendesak-desak dan meminta-minta, atau disebut sebagai "Urge". Aktualisasi diri merupakan kebermaknaan diri individu yang merupakan idealisme untuk berkontribusi pada orang lain. Aktualisasi diri merupakan sesuatu yang bersifat "memberi" dan "berkontribusi", sedangkan kebutuhan di bawahnya adalah sesuatu yang bersifat "meminta" atau "menuntut". Perkembangan Psikologi Masa Kini 1
73
Dengan demikian ilustrasi Maslow yang menggambarkan ciri-ciri orang yang teraktualisasi diri mendapat penjelasan yang lebih masuk akal. Seorang ibu rumah tangga yang teraktualisasi tidak melakukan apa yang dilakukannya karena kebutuhannya, tetapi karena pilihannya untuk memberi makna pada kehidupan keluarganya, pilihannya untuk berkontribusi. Seorang musisi yang selalu menciptakan musik adalah orang yang memilih untuk berkontribusi melalui bakat musiknya, bukan orang yang butuh untuk diakui bakatnya. Sekali lagi, yang dilakukan pemusik tersebut bukan untuk memenuhi kebutuhannya tetapi dia memilih untuk memberikan makna pada kehidupannya dan kehidupan orang lain melalui musiknya. Ke dua, karena semua perilaku manusia merupakan pilihan yang bebas, maka tidak ada hierarki dalam pemenuhan kebutuhan dasar maupun aktualisasi diri. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut juga dapat terjadi secara simultan, misalnya makan di restoran yang mewah bersama kekasihnya, adalah sebuah perilaku yang sekaligus memenuhi kebutuhan fisiologis, sosial dan "self esteem". Penjelasan lain mengenai hubungan antara kebutuhan dasar dan kebebasan adalah sebagai berikut. Setiap orang memiliki kebebasan untuk bersikap. Ada yang memilih untuk selalu terobsesi dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya yang tak akan pernah terpuaskan. Ada juga orang yang memilih untuk merasa cukup dengan kebutuhannya dan memilih untuk berkontribusi pada masyarakat walaupun dia sendiri belum memenuhi semua kebutuhannya. Pilihan untuk berkontribusi tidak menunggu terpenuhinya semua kebutuhannya sendiri. Hal ini lebih masuk akal daripada konsep hirarki kebutuhan Maslow, dan lebih didukung data empiris. Ke tiga, pernyataan Maslow mengenai pemenuhan kebutuhan dan kebebasan mengindikasikan bahwa manusia itu rakus tapi terkekang. Maslow mengatakan bahwa hakekat perilaku manusia adalah untuk memenuhi kebutuhannya dan itu semua akan selalu terjadi dan tingkat kebutuhannya selalu meningkat. Pernyataan ini bermakna bahwa manusia itu rakus. Kemudian Maslow juga mengatakan bahwa untuk dapat memenuhi kebutuhannya itu manusia harus bebas dulu. Pernyataan ini berasumsi bahwa manusia itu tidak semuanya bebas. Teori "Human Motivation Model" menyatakan bahwa kebebasan manusia adalah sifat dasar yang alamiah ("nature") sehingga tidak perlu diperjuangkan. Yang perlu diusahakan adalah bagaimana menyadari dan memaknai kebebasan tersebut sehingga individu dapat terhindar dari kesalahan dalam memilih perilaku. Kebebasan adalah modal dasar psikologis semua manusia untuk memilih apakah mau aktualisasi diri atau 74 1 Bagus Riyono
hanya sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang lebih rendah. Dengan dimilikinya kebebasan untuk memilih, seorang individu dapat memilih untuk bersyukur atau berkeluh kesah terhadap kehidupannya, seperti apapun kondisinya. Ke empat, Maslow mengatakan bahwa manusia akan selalu berperilaku dalam rangka memuaskan kebutuhannya yang berurutan secara hirarkis. Proposisi Maslow tersebut mendapat banyak kritikan dan tidak didukung oleh data empiris. Wahba dan Bridwell (1973) tidak menemukan dukungan empiris terhadap proposisi Maslow tentang sifat hierarkis dari kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakannya. Menurut penelitian Wahba dan Bridwell (1973), tingkat-tingkat kebutuhan yang dirumuskan Maslow (1943; 1970) tidak bekerja berturutan, mereka dapat muncul bersamasama atau bahkan terbalik urutannya. Di sisi lain Maslow juga mengatakan bahwa orang yang sudah mencapai tingkatan aktualisasi diri adalah orang yang sudah puas. Berdasarkan teori "Human Motivation Model" yang benar adalah bahwa manusia bisa memilih apakah mau terus-menerus berperilaku untuk memuaskan kebutuhannya atau memilih untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi individu yang tidak lagi melulu dikendalikan oleh pemuasan kebutuhan. Kualitas manusia ditentukan oleh pilihan hidupnya, tidak harus menunggu terpenuhinya kebutuhan dasarnya. DAFTAR PUSTAKA
Adams, J.S. (1963). Toward an understanding of inequity. Journal of Abnormal and Social Psychology, 67(5), 422-436. Al-Ghazzali. (1873). "The Alchemy of Happiness". Homes, H. A. (trans). Albany, N.Y.: Munsell. A1 Qur'an dan Terjemahnya. (2006). Kerajaan Arab Saudi: Percetakan A1 Qur'an Raja Fahd. Atkinson, J.W. (1957). Motivational determinants of risk-taking behavior. Psychological Review, 64 (6), 359-372. Atkinson, J.W., dan Reitman, W.R. (1956). Performance a s a function of motive strength and expectancy of goal-attainment. Journal of Abnormal andsocial Psychology, 53,361-366. Bandura, A., dan Locke, E.A. (2003). Negative self-efficacy and goal effects revisited. Journal of Applied Psychology, 88 (I), 87-99. Becker, D., dan Marecek, J. (2008). Positive psychology: history in the remaking? Theory & Psychology, 18(5), 591-604. Perkernbangan Psikologi ~ h s Kini a 1 75
Csikszentmihalyi, M. (1996). Creativity: Flow and the psychology of discovery and invention. New York: Harper Collins Publishers. Dunifon, R., dan Duncan, G.J. (1998). Long-run effects of motivation on labor-market success. Social Psychology Quarterly, 61(1), 33-48. Fancy, N.A.G. (2006). Pulmonary Transit and Bodily Resurrection: The Interaction of Medicine, Philosophy and Religion in the Works of Ibn al-Nafis (d. 1288). Disertasi: tidak diterbitkan. Frankl, V. (1984). Man's Search for Meaning. Washington: Washington square Press. Hall, M. (2008). SelfActualization Psychology: The psychology the bright side of human nature. New York: Crown House Pub, Ltd. Iqbal, M. (1930). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Diakses dari: http://wikilivres.info/wiki/The~Reconstruction~of~Religious~ Thought-in-Islam Lawler, E.E. dan O'Gara, P.W. (1967). Effects of inequity produced by underpayment on work output, work quality, and attitudes toward the work. Journal ofApplied Psychology, 51(5), 403-410. Livingston, J.S. (1969). Pygmalion in management. Harvard Business Review, 47(4), 81-89. Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50,370-396. Maslow, A. H. (1970). Motivation and Personality (Second Edition). New York: Harper and Row. Riyono, B. (2012). Motivasi dengan Perspektif Psikologi Islam. Yogyakarta: Quality Publishing. Locke, E.A., Frederick, E., dan Bobko, P. (1984). Effect of self-efficacy, goals, and task strategies on task-performance. Journal of Applied Psychology, 69(2), 241-251. Locke, E. A., Shaw, K. N., Saari, L.M., dan Latham, G.P. (1981). Goal setting and task performance: 1969-1980. Psychological Bulletin, 90(1), 125152. Locke, E. A., Latham, G. P., dan Erez, M. (1988). The determinants of goal commitment. Academy of Management Review. 13(1), 23-39. Locke, E. A., (2000). Motivation, cognition, and action: an analysis of studies of task goal and knowledge. Applied Psychology: an International Review, 49(3), 408-429. 76 1 Bagus Riyono
Locke, E. A. dan Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation: a 35-year odyssey. American Psychologist, 57(9), 705-717. Peck, M.S. (1978). The Road Less Traveled: A new psychology of love, traditional values, and spiritualgrowth. New York: Simon & Schuster. Skinner, B.F. (1953). Science and Human Behavior. London: The Free Press. Thorndike, E.L. (1911). Animal Intelligence: Experimental studies. New York: The Macmillan Company. Valenzy, E.R. dan Andrews, J.R. (1971). Effect of hourly overpay and underpay inequity when tested with a new induction procedure. Journal ofApplied Psychology, 55(1), 22-27. Vroom, V. H. (1964). Work and Motivation. New York: John Wiley and Sons, Inc. Wahba, M. A. dan Bridwell, L.G. (1976). Maslow reconsidered: a review of research on the need hierarchy theory. Organizational Behavior and Human Performance, 15,212-240.
Perkembangan Psikologi Misa Kini 1
77