PERKEMBANGAN HAMA PENGISAP POLONG Riptortus linearis L. (Hemiptera:Alydidae) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) JURNAL HASIL PENELITIAN
Disusun oleh : Ulvia Ramadhanti 0611 12 038
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PAKUAN BOGOR 2016
Riptortus linearis L. (Hemiptera:Alydidae) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) Ulvia Ramadhanti1, Dodin Koswanudin2, Rouland Ibnudarda3 1
Mahasiswa Jurusan Biologi, Universitas Pakuan Program Studi Biologi FMIPA Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat 3 Ketua Kelompok Peneliti Balai Besar Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor, Jawa Barat 2
Abstract Soybean is one of food plant as vegetable protein, industrial resource, and animal food. The main soybean pest are suction pods and pods borer. The pest control is done by using resistant varieties. Information about resistant varieties of suction pods Riptortus linearis L. is lack. This research is done in Laboratory of Pest Detection and green house of Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Genetik Pertanian, on January to April 2016 and using Complete Random Design consist of 6 treatments and 5 repetitions, as treatments are varieties of Tambora, Lokon, Agromulyo, Wilis, Sinabung, and Tanggamus. Based on result of the research on 8 parameters, there are 3 endured varieties, Wilis, Sinabung, and Tanggamus, meanwhile varieties of Tambora, Lokon, and Agromulyo showed the highest male and female mortality on Tanggamus (10 tails), Agromulyo variety showed the highest level of R. linearis L. development based on amount of produced eggs (68,8 eggs), eggs to be nymphs (1,70 tails), nymphs to be imago (1, 00 tail), the highest sex ratio (0,73 tail for male and 0,81 for female), amount of produced eggs on 4 th generation (0,99 egg), pod and seed damage intensity (each of them is 90,00 tails), but the highest weight of normal seed is in Tanggamus (12, 04%). Key word : Soybean, development, R. linearis
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan sebagai sumber protein nabati, bahan baku industri, dan pakan ternak (Baliadi dkk., 2008). Kandungan protein kedelai lebih tinggi dibandingkan tanaman pangan lainnya, yaitu berkisar antara 35 – 40 % (Siburian dkk., 2013). Berdasarkan kegunaan kedelai dan permintaan pasar yang tinggi maka diperlukan peningkatan produksi kedelai yang tinggi dan berkualitas, sehingga diperlukan usaha untuk mencegah hambatan-hambatan yang dapat menurunkan produksi kedelai. Serangan berbagai jenis hama merupakan hambatan utama dalam upaya peningkatan produktivitas kedelai di Indonesia (Baliadi dkk., 2008). Hama utama pada tanaman kedelai salah satu nya adalah hama pengisap dan penggerek polong. Hama polong kedelai merupakan hama yang menyebabkan kehilangan hasil panen paling tinggi yaitu mencapai 80%. Ada tiga spesies hama pengisap polong di Indonesia yang sering menyerang pertanaman kedelai yaitu R. linearis L., Nezara viridula L. dan Piezodorus hybneri (Sari dan Suharsono, 2011). Di antara ketiga jenis hama pengisap polong, R. linearis mempunyai daerah penyebaran dan serangan yang paling luas (Asadi, 2009). Hama 1
R. linearis menyerang pertanaman kedelai mulai saat pengisian polong sampai biji mulai masak (Naito 2008, Tengkano et al. 2003 dalam Yusmani dan Suharsono, 2005). Potensi R. linearis sebagai hama perlu diwaspadai karena merupakan hama polong paling dominan. Daya rusak R. linearis lebih tinggi dibandingkan hama pengisap polong yang lain sehingga mengindikasikan tingkat ambang ekonominya lebih rendah (Sari dan Suharsono, 2011). Tingkat serangan masing-masing stadia dapat diamati berdasarkan tanda serangan. Stadia pengisap polong yang paling signifikan menyerang kedelai adalah imago. Imago pengisap polong menyerang polong kedelai dengan cara menusukkan stilet pada polong dan mengisap cairan nutrisi yang terkandung pada biji. Tanda kerusakan akibat serangan pengisap polong adalah adanya bintik hitam pada biji atau kulit polong bagian dalam (Bayu dan Tengkano, 2014). Pengendalian hama dapat dilakukan dengan cara mengusahakan pertumbuhan tanaman sehat, pengendalian hayati, varietas tahan, pengendalian secara mekanik, fisik, dan pestisida (Oka, 2005). Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu pengendalian yang ramah lingkungan, diperoleh dengan cara mengevaluasi dan mengidentifikasi
sejumlah varietas kedelai yang tersedia (Asadi, 2012). Sampai saat ini belum banyak informasi tentang varietas kedelai yang tahan terhadap hama pengisap polong R. linearis, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ketahanan varietas kedelai terhadap hama pengisap polong R. linearis. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh data perkembangan hama R. linearis pada beberapa varietas kedelai dan memperoleh varietas kedelai tahan terhadap hama R. linearis. Manfaat dari penelitian ini adalah varietas kedelai yang tahan/menghambat perkembangan biologi hama pengisap polong sehingga dapat digunakan sebagai sumberdaya genetik dalam perakitan varietas kedelai tahan terhadap hama R. linearis dan dapat digunakan petani atau pengguna dalam budidaya tanaman kedelai. Oleh karena itu dilakukan penelitian varietas kedelai berpengaruh terhadap daya serang hama R. linearis pada polong dan biji kedelai yang dilakukan di laboratorium deteksi hama dan rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian pada bulan Januari sampai dengan bulan April 2016. METODE PENELITIAN
Metode Kerja Persiapan Tanaman Kedelai a. Benih kedelai yang digunakan Tambora, Lokon, Argomulyo, Wilis, Sinabung dan Tanggamus ditanam pada pot-pot plastik dan diberi pupuk kandang, pupuk urea, SP-36 dan KCl masing-masing 1 gram/pot. b. Tanaman kedelai yang dipakai sebanyak 30 pot plastik. c. Tanaman dipelihara dilakukan penyiraman, penyiangan, disemrotkan insektisida agar tanaman tidak diserang hama perusak daun. d. Tanaman yang digunakan adalah tanaman pada fase polong muda 40 – 50 hst (hari setelah tanam). Persiapan Serangga R. linearis a. Serangga R. linearis dikoleksi dari areal tanaman kedelai dan dilakukan pemeliharaan dan perbanyakan di laboratorium dan rumah kaca. 2
b. Perbanyakan serangga dilakukan pada tanaman kedelai yang telah berpolong dalam kurungan plastik milar. Setiap kurungan terdiri atas 10 pasang imago jantan dan betina. Telur-telur yang diletakkan pada polong dipisahkan dan disimpan pada toples plastik sampai menetas. Nimfa yang menetas dipindahkan ke tanaman yang sudah berpolong dalam kurungan plastik milar sampai menjadi imago. Serangga uji yang digunakan stadia imago jantan dan betina sebanyak 10 pasang per tanaman. Pengujian tanaman kedelai dengan R. linearis a. Tanaman kedelai pada fase polong muda disungkup dengan kurungan plastik milar, bagian atas kurungan plastik milar ditutup dengan kasa nilon dan disimpan dalam rumah kaca. b. Dilakukan inokulasi dengan hama R. linearis jantan dan betina sebanyak 10 pasang imago kemudian dilakukan pengamatan mortalitas. c. Kemudian melakukan perhitungan jumlah telur yang dihasilkan atau keperidian. Menghitung persentase telur menjadi nimfa yaitu 𝑇𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑛𝑖𝑚𝑓𝑎 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟
𝑥 100% pada tanaman uji.
d. Selanjutnya melakukan perhitungan persentase nimfa menjadi imago yaitu 𝑁𝑖𝑚𝑓𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑖𝑚𝑎𝑔𝑜 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑛𝑖𝑚𝑓𝑎
𝑥 100%. Kemudian melakukan
perbandingan kelamin.
e. Imago selanjutnya dibiarkan pada tanaman uji untuk melakukan perkembanganbiakan untuk dilakukan pengamatan jumlah telur yang dihasilkan atau
keperidian generasi ke-4. f. Kemudian melakukan persentase kerusakan polong dan biji. Polong dipanen, diamati ciri-ciri polong yang terserang seperti terdapat bekas tusukan stilet berwarna hitam dan dilakukan perhitungan jumlah polong yang terserang. Setelah itu dilakukan pengamatan ciri-ciri biji yang terserang seperti adanya bintik hitam dan melakukan perhitungan jumlah biji yang terserang. Dan melakukan perhitungan bobot biji sehat. Data tingkat kerusakan polong dan biji dianalisis dengan menggunakan rumus (Chiang dan Talekar (1980) dalam Marida (2015)) : I= Keterangan :
a x 100% a+b
I = Intensitas Serangan (%) a = Polong atau biji rusak b = Polong atau biji sehat Kriteria ketahanan polong dan biji terhadap hama pengisap polong ditentukan berdasarkan persamaan menurut Talekar (1981), sebagai berikut:
< X-2 SD = ST (Sangat Tahan) X-2 SD sampai X-SD = T (Tahan) X-SD sampai X = AT (Agak Tahan) X sampai X + SD = R (Rentan) >X + SD = SR (Sangat Rentan) Keterangan : X = Rerata serangan; Sd = Standar deviasi
Data tingkat mortalitas R. linearis dibedakan menjadi kelompok data total mortalitas jantan dan betina. Hal tersebut untuk mengetahui hubungan antara jumlah telur yang dihasilkan dengan mortalitas betina. Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA) menunjukan bahwa perlakuan semua varietas berbeda nyata terhadap mortalitas imago R. linearis (Tabel 1). Tabel 1. Mortalitas Imago R. linearis (ekor).
8). Bobot Biji Sehat Rancangan Penelitian Rancangan percobaan mengunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 6 perlakuan : Tambora, Lokon, Argomulyo, Wilis, Sinabung, Tanggamus dan 5 ulangan. Data diolah dengan analisis parametrik dan non parametrik. Data parameterik diolah dengan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5% HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas imago R. linearis (ekor) Tanaman kedelai berumur 40 – 50 hst diinvestasi dengan R. linearis jantan dan betina sebanyak 10 pasang imago per ulangan per varietas. Berdasarkan pengamatan mortalitas imago jantan dan betina R. linearis menunjukan bahwa mortalitas imago jantan dan betina tertinggi pada varietas Tanggamus masing-masing sebesar jantan dan betina 10 ekor dan mortalitas terendah pada varietas Argomulyo jantan sebesar 7,0 ekor dan betina sebesar 6,8 ekor (Gambar 1).
Gambar 1. Histogram Mortalitas Imago R. Linearis Pada Varietas Kedelai
3
Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSR pada taraf 5%.
Berdasarkan uji Duncan (Tabel 1) mortalitas imago jantan R. linearis pada varietas Argomulyo berbeda nyata terhadap 5 varietas uji lain. Berdasarkan uji Duncan pada taraf 5% (Tabel 1) mortalitas imago betina R. linearis pada varietas Argomulyo berbeda nyata terhadap 5 varietas uji lain. Mortalitas imago jantan dan betina R. linearis tertinggi pada varietas Tanggamus yang disebabkan oleh varietas Tanggamus memiliki mekanisme ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lain, hal tersebut sesuai pendapat Rahmawati (2012) bahwa mekanisme ketahanan kedelai terhadap serangan hama dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu toleransi, antibiosis, dan non prefens. Mortalitas imago jantan dan betina R. linearis terendah pada varietas Argomulyo menandakan bahwa varietas tersebut disukai oleh imago R. linearis dan disebabkan oleh morfologi dan sifat fisik serta kandungan nutrisi pada varietas Argomulyo mendukung perkembangan R. linearis. Suharsono dan Sulistyowati (2012) menyatakan bahwa ketahanan tanaman terhadap serangan hama termasuk ketahanan fisik dan kimia. Mortalitas imago R. linearis dipengaruhi oleh siklus hidup, kadar nutrisi dan morfologi (trikoma pada polong, warna, ketebalan dinding sel, jaringan
tanaman, dan lapisan lilin) pada setiap varietas kedelai berbeda-beda dan mekanisme ketahanan dari setiap varietas kedelai. Siklus hidup imago R. linearis berkisar 4 – 47 hari. Investasi imago dilakukan pada saat imago berumur 11 hari. Mortalitas imago juga disebabkan oleh kandungan nutrisi pada kedelai berbeda-beda. Varietas Argomulyo memiliki kandungan protein (39,4%) dan kandungan minyak (20,8%) dan Varietas Tanggamus memiliki kandungan protein (44,5%) dan kandungan minyak (12,9%) (Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbiumbian, 2012). Kualitas pakan berhubungan dengan morfologi kedelai yang berpengaruh antara lain trikoma pada polong, warna, ketebalan dinding sel, jaringan tanaman, dan lapisan lilin yang dapat mengganggu pergerakan, perkembangbiakan serangga. R. linearis menyerang kedelai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang dimanfaatkan dalam proses perkembangan salah satunya yaitu trikoma (Suharsono, 2009). Trikoma (Gambar 2) merupakan organ tambahan yang tumbuh di seluruh permukaan tanaman, dan dijumpai pada sebagian besar jenis tanaman, salah satunya adalah kedelai.
Gambar 2. Trikoma Kedelai Sumber : Dokumen pribadi
Trikoma dapat bersel tunggal atau multiseluler tetapi sebagian besar diklasifikasikan berdasarkan glandular atau non glandular. Banyak hasil metabolis yang terspesialisasi pada trikoma glandula dimanfaatkan sebagai pestisida alami, bahkan sebagai zat tambahan dan obat (Glas dkk., 2012). Trikoma non glandular secara fisik dapat menghalangi pergerakan serangga herbivora pada permukaan tanaman atau mencengah serangga menggapai permukaan tanaman, serta serangga herbivora dapat terperangkap pada getah yang tebal atau getah yang mengandung racun, seperti gula asam atau polifenol yang diproduksi trikoma glandula. 4
Zat kimia yang terkandung dalam trikoma dapat membantu tanaman kedelai dari seranggan R. linearis yang menyebabkan imago R. linearis menjadi mati. Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa trikoma memiliki kandungan kimia meliputi terpenoids, phenylpropenes, flavonoids, methyl ketones, acyl sugar (Glas dkk., 2012). Semakin rapat trikoma pada polong kedelai akan menyulitkan hama untuk menyerang tanaman (Susanto dan Muchlish, 2008) dan menjadi penghalang bagi imago R. linearis untuk makan, pendapat Glas dkk., (2012) bahwa permukaan epidermis (trikoma) pada tanaman berperan sebagai penghalang pertama terhadap pathogen dan arthropoda herbivora sebagai penolakan tanaman terhadap kedatangan serangga. Kepadatan trikoma berhubungan dengan ketahanan tanaman terhadap herbivora. Jumlah mortalitas R. linearis (Gambar 3) disebabkan oleh pola makan R. linearis terganggu, sehingga R. linearis kekurangan nutrisi. Hal ini sesuai dengan pendapat Suharsono (2009), bahwa karakter-karakter tersebut menjadikan tanaman secara visual kurang menarik bagi serangga atau membentuk barier fisik terhadap serangga, sehingga secara morfologis mampu menghambat proses makan dan peneluran serangga.
Gambar 3. Imago R. linearis yang Mati Sumber : Dokumen pribadi
Jumlah telur yang dihasilkan atau keperidian (butir) Proses kawin R. linearis antara pukul 12:0020:00 dan memuncak diantara pukul 14:00-16:00. Beberapa perkawinan terjadi antara pukul 02:0004:00. Proses perkawinan berlangsung dengan durasi rata-rata setiap proses perkawinan sekitar 30 menit. Telur berwarna hijau-coklat atau biru tapi kemudian berubah menjadi coklat gelap dan berukuran sekitar 1 mm (Talekar dkk., 1995). Hasil pengamatan menunjukan bahwa jumlah telur yang dihasilkan (keperidian) tertinggi pada varietas Argomulyo sebanyak 68,8 butir dan jumlah telur yang dihasilkan (keperidian) terendah pada
varietas Tanggamus sebanyak 10,4 butir (Gambar 4).
Gambar 4. Histogram Jumlah Telur yang Dihasilkan Atau Keperidian.
Hasil analisis varian (ANOVA) menunjukan bahwa perlakuan semua varietas berbeda nyata terhadap telur yang dihasilkan atau keperidian, kecuali Wilis, Sinabung dan Tanggamus (Tabel 2). Tabel 2. Telur yang Dihasilkan/ Keperedian R.linearis.
Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSR pada taraf 5%.
Hasil uji Duncan pada taraf 5% menunjukan bahwa varietas Wilis, Tanggamus, Sinabung tidak berbeda nyata akan tetapi jika dibandingkan dengan varietas Tambora dan Lokon berbeda nyata. Pada varietas Argomulyo menunjukan hasil yang berbeda nyata dengan 5 varietas uji yang lain, hal tersebut dikarenakan kandungan nutrisi pada kedelai berbeda-beda dan tanaman kedelai memiliki mekanisme ketahanan terhadap serangga (Rahmawati, 2012). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa imago R. linearis lebih banyak menghasilkan telur pada tanaman kedelai varietas Argomulyo yang didukung dengan mortalitas imago betina R. linearis yang rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku bertelur pada serangga adalah terjadi interaksi antara serangga dengan tanaman (Chua, 1994 dan Rauf dkk., 2013). 5
Jumlah telur tertinggi yang dihasilkan oleh imago betina R. linearis pada varietas Argomulyo. Sebelum bertelur imago betina R. linearis lebih banyak berada di permukaan daun dan dibagian atas kurungan plastik milar, telur lebih banyak diletakan pada permukaan daun. Hal tersebut sesuai oleh pendapat Talekar (1995) bahwa kebanyakan telur (83%) diletakkan pada daun dan ⅔-nya ditempatkan pada daun yang terletak dari nodus ke-4 hingga nodus ke-6 (dari puncak) pada batang. Hasil penelitian menunjukan bahwa mortalitas imago betina berkorelasi positif terhadap jumlah telur yang dihasilkan. Semakin sedikit jumlah mortalitas betina, maka akan semakin banyak telur yang dihasilkan dan jumlah telur yang diletakkan beragam dan berbeda nyata pada setiap varietas. Kalshoven (1981) mengemukkan bahwa seekor betina R. linearis dapat bertelur sebanyak 70 butir. Telur diletakkan pada permukaan daun dan polong (Gambar 5), umumnya diletakan satu per satu, tetapi ada juga yang berdekatan 2 – 3 butir. Bagian tengah telur agak cekung, garis tengah 1,2 mm dan berwarna coklat suram, dan dengan umur
telur 6 – 7 hari (Soejitno dkk., 1990). Gambar 5. Telur R. linearis. Sumber : Dokumen pribadi
Jumlah telur yang dihasilkan dipengaruhi oleh imago betina yang mengisap polong untuk memenuhi nutrisi dalam menghasilkan telur (Soedarto, 1995 dalam Mashoedi, 2007). Imago betina R. linearis meletakkan telur di antara trikoma dan menempel pada trikoma. Trikoma pada kedelai memiliki kelenjar yang menghasilkan eksudat di dalam dan di ujung juga untuk menghindari parasitoid telur atau musuh alami (Susanto dan Muchlish, 2008). Schoohoven dkk. (2005) menyatakan bahwa serangga pada umumnya akan hinggap dan meletakkan telur pada tanaman karena pengaruh warna pada tanaman, setelah itu serangga akan menggunakan indera peraba dan penciuman untuk menentukan kesesuain tanaman tersebut sebagai tempat preferensi, sumberdaya pakan, dan
berkembang biak. Sifat fisik dan kandungan senyawa pada tanaman inang berpengaruh terhadap preferensi, perkembangan, dan biologi serangga (Kostal, 1993 dan Laskar, 2013). Prefrensi berkembangnya serangga pada tanaman inang yang dipilih akan mendukung terhadap kelangsungan hidup dan regenerasi serangga tersebut (Singer, 1986; Renwick, 1989; Drew dkk., 2008) dan dapat menentukan perilakunya (Dhillon dkk,. 2005; Prokoppy dan Papaj, 1988). Telur menjadi nimfa (ekor) Hasil penelitian jumlah telur yang menetas menjadi nimfa menunjukan bahwa yang tertinggi Argomulyo sebanyak 1,70 ekor sedangkan varietas terendah yaitu Wilis sebanyak 0,49 ekor (Gambar 6).
Gambar 6. Histogram Jumlah Telur Menetas Menjadi Nimfa (ekor)
Hasil penelitian terhadap jumlah telur yang menetas menjadi nimfa menunjukan bahwa data tidak menyebar normal sehingga harus ditransformasi dengan logaritma (X+1). Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA) jumlah telur yang menetas menjadi nimfa terdapat perbedaan yang nyata antar varietas.
Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSR pada taraf 5%. Data hasil transformasi logaritma (X+1).
Uji Duncan pada taraf 5% (Tabel 3) menunjukan bahwa varietas Argomulyo berbeda nyata dibandingkan 5 varietas uji lain (Tabel 3). Jumlah telur yang mentas menjadi nimfa dipengaruhi oleh kadar nurtisi, faktor lingkungan (suhu dan kelembapan). Jumlah telur yang menetas menjadi nimfa tertinggi pada varietas Argomulyo yang dipengaruhi oleh nutrisi pada saat imago betina mengisap polong. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap telur yang menetas menjadi nimfa, hal tersebut didukung oleh pendapat Schowalter (2006) bahwa salah satu faktor yang mendukung terhadap perkembangan telur menjadi nimfa adalah faktor lingkungan (suhu dan kelembapan). Menurut Talekar (1995) suhu optimum penetasan telur menjadi nimfa R. linearis berkisar antara 20 - 35˚C. Pola penyebaran peletakkan telur diduga ada hubungannya dengan sifat nimfa instar pertama yang baru keluar dari telur. Menurut Tengkano dan Dunuyaali (1976), nimfa instar pertama yang baru keluar dari telur sudah aktif bergerak dan aktif mencari makan. Nimfa menjadi imago (ekor) Hasil penelitian pada nimfa menjadi imago menunjukan bahwa varietas tertinggi pada Argomulyo sebanyak 1,00 ekor yaitu sedangkan terendah pada Tanggamus sebanyak 0 ekor (Gambar 7).
Tabel 3. Telur Menetas Menjadi Nimfa R. linearis
Gambar 7. Histogram Jumlah Nimfa Menjadi Imago (ekor).
Hasil penelitian terhadap jumlah nimfa menjadi imago menunjukan bahwa data tidak menyebar normal sehingga ditransformasi dengan logaritma (X+1). Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA) jumlah nimfa menjadi imago tidak berbeda nyata antar varietas. 6
Tabel 4. Nimfa Menjadi Imago R. linearis (ekor).
Keterangan : Data hasil transformasi logaritma (X+1).
Hasil penelitian nimfa menjadi imago R. linearis pada tanaman uji menunjukan bahwa jumlah nimfa menjadi imago tertinggi pada varietas Argomulyo dan yang terendah pada varietas Tanggamus (Tabel 4). Masa inkubasi telur selama 6 – 7 hari, selanjutnya menetas menjadi nimfa R. linearis berganti kulit (molting) sebanyak lima kali (Gambar 14), setiap berganti kulit terjadi perbedaan bentuk, warna, ukuran, dan umur. Jumlah nimfa menjadi imago tertinggi pada varietas Argomulyo, hal tersebut disebakan oleh keberhasilan molting nimfa sebelum menjadi imago, sedangkan terendah pada varietas Tanggamus, hal ini disebabkan oleh mortalitas terbesar terjadi sebelum pergantian kulit menjadi imago hal tersebut sesuai oleh pendapat Talekar (1995) yang menyatakan bahwa sebagian besar kematian terjadi sebelum molting (Gambar 8) menjadi imago. Nimfa maupun imago mampu menyebabkan kerusakan pada polong kedelai dengan cara menusukkan stilet dan mengisap cairan biji di dalam polong (Bayu, 2015).
menjadi imago. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bayu (2015) yang menyatakan bahwa pengisap polong tidak tertarik pada polong kedelai yang memiliki struktur kulit polong yang keras karena stiletnya sulit menjangkau biji Keberhasilan nimfa menjadi imago dipengaruhi juga oleh kandungan nutrisi dan faktor lingkungan (biotik dan abiotik). Faktor lingkungan abiotik (suhu) dirumah kaca yang berkisar antara 35 - 40˚C dan suhu pada kurungan plastik milar 41˚C. Perbandingan kelamin Hasil penelitian perbandingan kelamin jantan dan betina R. linearis menunjukan bahwa perbandingan kelamin jantan dan betina tertinggi pada varietas Argomulyo masing-masing jantan sebanyak 0,73 ekor dan betina sebanyak 0,81 ekor dan perbandingan kelamin jantan dan betina terendah pada varietas Tanggamus masing-masing sebanyak jantan dan betina 0 ekor (Gambar 9).
Gambar 9. Histogram Perbandingan Kelamin R. linearis
Hasil penelitian terhadap perbandingan kelamin jantan dan betina menunjukan bahwa data tidak menyebar normal sehingga harus ditransformasi dengan logaritma (X+1). Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA) perbandingan kelamin jantan dan betina terdapat perbedaan yang nyata antar varietas. Tabel 5. Perbandingan Kelamin Imago R.linearis.
Gambar 8. Molting Nimfa Instar Menjadi Imago Sumber : Dokumen Pribadi
Tingkat kerusakan akibat R. linearis bervariasi, bergantung pada tahap perkembangan polong dan biji serta dan jumlah tusukan pada biji serta morfologi kedelai. Morfologi kedelai (ketebalan kulit polong) mempengaruhi perkembangan nimfa 7
Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSR pada taraf 5%. Data hasil transformasi logaritma (X+1).
Uji Duncan pada taraf 5% (Tabel 5) perbandingan kelamin imago jantan R. linearis pada varietas Argomulyo berbeda nyata terhadap 5 varietas uji lain. Perbandingan kelamin imago betina R. linearis pada varietas Tangamus, Sinabung, Wilis, Tambora tidak berbeda nyata tetapi jika dibandingkan dengan varietas Lokon dan Argomulyo berbeda nyata. Perbedaan antar varietas dikarenakan kadar nutrisi dan mekanisme ketahanan pada setiap varietas kedelai berbeda-beda. Morfologi imago jantan dan betina berwarna coklat dengan garis putih kekuningan di sepanjang sisi badannya (Gambar 10). Imago jantan dan betina R. linearis dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan bentuk abdomen. Panjang badan imago betina 13 – 14 mm dengan lebih besar, sedangkan panjang badan imago jantan 11 – 13 mm dengan abdomen ramping. Umur imago berkisar 4 – 47 hari (Soejitno dkk., 1990).
Gambar 11. Histogram Keperidian Generasi Ke-4 (butir).
Hasil pengamatan terhadap keperidian generasi ke–4 menunjukan bahwa data tidak menyebar normal sehingga harus ditransformasi dengan logaritma (X+1). Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA) keperidian generasi ke-4 tidak berbeda nyata antar varietas. Tabel 6. Jumlah Telur yang Dihasilkan/Keperedian Generasi Ke–4 R. linearis (Ekor).
Jantan Betina Gambar 10. Imago Jantan Dan Betina R. linearis Sumber : Dokumen Pribadi
Hasil penelitian menunjukan bahwa populasi imago betina R. linearis lebih tinggi dibandingkan imago jantan, yang mengindikasikan imago betina berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan populasi dan mempertahankan populasi di alam. Jumlah telur yang dihasilkan ataau keperedian generasi ke – 4 Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah telur yang dihasilkan (keperidian) generasi ke-4 tertinggi pada varietas Argomulyo sebanyak 0,99 butir dan jumlah telur yang dihasilkan (keperidian) terendah pada varietas Tanggamus sebanyak 0 butir (Gambar 11 dan Tabel 6).
8
Keterangan : Data hasil transformasi logaritma (X+1).
Hasil penelitian menunjukan bahwa imago R. linearis lebih banyak menghasilkan telur pada tanaman kedelai varietas Argomulyo, hal tersebut didukung oleh jumlah nimfa yang menjadi imago lebih tinggi dibandingkan dengan varietas yang lain. Jumlah telur yang dihasilkan oleh dipengaruhi oleh perilaku bertelur pada serangga adalah terjadi interaksi antara serangga dengan tanaman (Chua, 1994 dan Rauf dkk., 2013). Jumlah telur yang dihasilkan pada generasi ke–4 dipengaruhi oleh kandungan nutrisi dan mekanisme ketahanan pada kedelai berbeda (Rahmawati, 2012). Pertimbangan lain bagi serangga untuk lebih tertarik meletakkan telur pada genotipe bertrikoma padat adalah untuk menghindari parasitoid telur atau musuh alami (Susanto dan Muchlish, 2008).
Schoohoven dkk. (2005) menyatakan bahwa serangga pada umumnya akan hinggap dan meletakkan telur pada tanaman karena pengaruh warna yang ditimbulkan oleh tanaman, setelah itu serangga akan menggunakan indera peraba dan penciuman untuk menentukan kesesuain tanaman tersebut sebagai tempat preferensi, sumberdaya pakan, dan berkembang biak. Varietas Tanggamus merupakan varietas dengan jumlah telur yang dihasilkan (keperidian) terendah, hal tersebut disebabkan oleh karateristik polong kedelai. Hal ditegaskan oleh pendapat Talekar (1995) bahwa betina tidak meletakkan telur pada polong kedelai yang tidak memiliki suplai pakan yang cukup dan R. linearis kemungkinan meletakkan telur pada tempat yang dapat memberikan jaminan suplai makanan pada telur yaitu perkembangan tanaman kedelai. Persentase kerusakan polong dan biji Serangan R. linearis mengakibatkan kerusakan polong, sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas produksi kedelai. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa persentase kerusakan polong tertinggi pada varietas Argomulyo sebesar 90% dan persentase kerusakan polong terendah pada varietas Sinabung sebesar 33,76%, sedangkan persentase kerusakan biji tertinggi pada varietas Argomulyo sebesar 90% dan terendah pada varietas Tanggamus sebesar 25,45% (Gambar 12).
Gambar 12. Histogram Kerusakan Polong Dan Biji(%)
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kerusakan polong dan biji menunjukan bahwa data tidak menyebar normal sehingga harus ditransformasi dengan arcsin. Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA) kerusakan polong dan biji berbeda nyata antar varietas yang lain.
9
Tabel 7. Kerusakan Polong Dan Biji (%)
Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSR pada taraf 5%. Data hasil transformasi arcsin.
Uji Duncan pada taraf 5% menunjukan bahwa persentase kerusakan polong pada varietas Argomulyo berbeda nyata terhadap varietas Tambora, Lokon, Wilis, Sinabung, Tanggamus, sedangkan persentase kerusakan biji pada varietas Argomulyo berbeda nyata terhadap varietas Tambora, Lokon, Wilis, Sinabung, Tanggamus (Tabel 7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase kerusakan polong tertinggi pada varietas Argomulyo dan terendah pada varietas Sinabung (Tabel 7). Sedangkan intensitas kerusakan biji tertinggi pada varietas Argomulyo dan terendah pada varietas Tanggamus. Berdasarkan persamaan Talekar (1981) kriteria ketahanan polong dan biji kedelai dapat dikategorikan sebagai ST (Sangat Tahan) 0 – 20%, T (Tahan) 21 – 40% yaitu varietas Wilis, Sinabung, Tanggamus, AT (Agak Tahan) 41 – 60%, R (Rentan) 61 – 80% yaitu varietas Tambora dan Lokon dan SR (Sangat Rentan) 81 – 100% yaitu varietas Agromulyo, hal ini dikarenakan oleh banyak polong kedelai yang terserang oleh hama R. linearis, gejala serangan R. linearis pada polong yaitu terdapat bekas tusukan berwarna hitam (Gambar 19). Hama pengisap polong R. linearis merusak polong (Gambar 13) dengan menusukan stilet ke kulit polong dan menghisap cairan biji, sehingga menurunkan kuantitas dan kualitas biji kedelai. Menurut Talekar (1995) pengisapan R. linearis memperkecil ukuran polong, mempengaruhi perkembangan polong dan mengindikasikan penurunan keuntungan dan kualitas benih.
Sumber : Dokumen Pribadi
a.
b.
Gambar 13. a. Bekas Tusukan R. linearis Pada Polong Tua. , b. Bekas Tusukan R. linearis Pada Polong Muda. Sumber : Dokumen Pribadi
Dari 6 varietas kedelai yang digunakan dapat dilihat kriteria ketahanan biji terhadap serangan R. linearis yaitu varietas Argomulyo memiliki kriteria kerusakan biji yaitu Sangat Rentan (SR) sedangkan varietas Tambora dan Lokon, yaitu Rentan (R), Wilis yaitu Tahan (T), Sinabung yaitu Agak Tahan (AT), dan Tanggamus memiliki kriteria kerusakan biji yaitu Sangat Tahan (ST). Selain imago, nimfa instar III, IV, dan V pengisap polong memiliki kemampuan mengisap cairan biji kedelai sehingga berpotensi merusak biji kedelai (Bayu, 2015). Akibat dari serangan R. linearis menyebabkan ukuran biji menjadi kecil dan rusak. Hal ini didukung oleh pernyataan Talekar (1995) yang menyatakan bahwa efek dari serangan R. linearis berpengaruh pada ukuran biji berkurang dan perkecambahan biji. Stadia pengisap polong yang paling signifikan menyerang kedelai adalah imago. Imago pengisap polong menyerang polong kedelai dengan cara menusukkan stilet pada polong dan mengisap cairan nutrisi yang terkandung pada biji. Pengisap polong yang menyerang pada fase pemasakan polong menimbulkan bercak hitam kecokelatan pada biji (Gambar 14a) dan menyebabkan biji menjadi keriput dan jika menyerang pada saat polong tua atau menjelang panen dapat menyebabkan biji berlubang (Gambar 14b). Tanda kerusakan akibat serangan pengisap polong adalah adanya bintik hitam pada biji atau kulit polong bagian dalam (Bayu dan Tengkano, 2014).
a.
Bobot biji sehat Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa bobot biji sehat tertinggi pada varietas Wilis sebanyak 35,1 gram dan terendah pada varietas Argomulyo sebesar 0 gram (Gambar 15).
Gambar 15. Histogram Bobot Biji Sehat dan Terserang (gram).
Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA) pada bobot biji sehat terdapat perbedaan yang nyata antar varietas dan pada bobot biji terserang tidak berbeda nyata antar varietas. Tabel 8. Bobot Biji Sehat Dan Terserang (%).
b.
Gambar 14. a. Biji Terserang Pada Polong Muda. b. Biji Terserang Pada Polong Tua
10
Hasil penelitian intensitas kerusakan polong dan biji menunjukan bahwa kerusakan polong dan biji tertinggi berkorelasi positif terhadap mortalitas imago R. linearis terendah yaitu pada varietas Argomulyo, sedangkan intensitas kerusakan polong terendah pada varietas Wilis berkorelasi negatif terhadap mortalitas imago R. linearis tertinggi yaitu pada varietas Tanggamus, sedangkan jika dibandingkan dengan intensitas kerusakan biji terendah berkorelasi positif terhadap mortalitas imago R. linearis tertinggi pada varietas Tanggamus. Koswanudin (2009) berpendapat bahwa ketahanan dan kepekaan suatu tanaman terhadap serangan hama adalah sebagai akibat dari interaksi antara respon serangga terhadap tanaman.
Keterangan : Angka-angka dalam satu kolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSR pada taraf 5%.
Uji Duncan pada taraf 5% menunjukan bahwa bobot biji sehat pada varietas Tambora dengan Lokon tidak berbeda nyata, sedangkan jika dibandingkan dengan varietas Argomulyo, Wilis, Sinabung, Tanggamus berbeda nyata (Tabel 11). Bobot biji sehat terendah pada varietas Argomulyo dan bobot biji sehat (Gambar 16) tertinggi pada varietas Wilis, dikarenakan tidak terlalu banyak polong kedelai yang terserang oleh hama R. linearis dan disebabkan oleh struktur kulit polong yang tebal. Hal tersebut sesuai oleh pendapat Bayu (2015) bahwa pengisap polong tidak tertarik pada polong kedelai yang memiliki struktur kulit polong yang keras karena stiletnya akan sulit menjangkau biji. Bobot biji terserang tertinggi pada varietas Argomulyo, disebabkan oleh imago dan nimfa instar III, IV, dan V pengisap polong memiliki kemampuan mengisap cairan biji kedelai sehingga berpotensi merusak biji kedelai (Bayu, 2015).
Gambar 16. Bobot Biji Sehat.
SIMPULAN Hasil penelitian didapatkan 3 (tiga) varietas tahan yaitu Wilis, Sinabung dan Tanggamus yang dapat menghambat perkembangan R. linearis didasarkan 8 (delapan) parameter: tingkat mortalitas yang lebih tinggi, jumlah telur yang dihasilkan/keperidian, jumlah telur menjadi nimfa, jumlah nimfa menjadi imago, tingkat perbandingan kelamin, jumlah keperidian generasi ke-4, intensitas kerusakan polong dan biji yang lebih rendah, serta bobot biji sehat lebih tinggi .Varietas Wilis, Sinabung, dan Tanggamus memiliki ketahanan terhadap hama pengisap polong R. linearis sehingga dapat digunakan sebagai benih yang dapat dibudidayakan pada daerah endemik terhadap hama pengisap polong R. linearis dan meningkatkan hasil panen kedelai di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Asadi. 2009. Identifikasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Kedelai terhadap Hama Pengisap Polong. Buletin Plasma Nutfah. Balai Besar 11
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. Vol.15: 1: 27-28. Asadi. 2012. Sidik Lintas Karakter Agronomi Dan Ketahanan Hama Pengisap Polong Terhadap Hasil Plasma Nutfah Kedelai. Buletin Plasma Nutfah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. Vol 18 (1): 1-8. Baliadi, Y. W, Tengkano, dan Marwoto. 2008. Penggerek polong kedelai, Etiella zinckenella, Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae) di Indonesia dan strategi pengendaliaannya. Jurnal litbang pertanian. Vol.27 (4): 113–123. Balitkabi. 2013. Hubungan Morfologi Daun Dua Varietas Kedelai dan Dengan Ketahanan Terhadap Kutu Kebul. Bayu, MSYI. W, Tengkano. 2014. Endemik kepik hijau pucat, Piezodorus hybneri Gmelin (Hemiptera: Pentatomidae) dan pengendaliannya. Buletin Palawija. Vol. 73: 28. Bayu, MSYI. 2015. Tingkat serangan berbagai hama polong pada plasma nutfah kedelai. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Malang. Jawa Timur. Vol 1 (4): 880. Chua, T.H. 1994. Egg batch size of the Carambolae fruit fly Bactrocera sp. (Malaysian A) (Diptera: Tephritidae). Pertanika J. Trop. Agric. Sci 17 (2): 107-109. Dhillon, M.K., R. Singh, J.S., Naresh, H.C,. Sharma. 2005. The melon fruit fly, Bactrocera cucurbitae. A review of its biology and management. Journal of insect Science. 5:40-45. Drew, R.A.I, D.J. Roggers, S. Vijaysegaran dan C.J. Moore. 2008. Mating activity of Bractocerra cacuminata (Hering) (Diptera: Tephritidae) on its larval host plant Solanum mauritianum Scopoli in southeast Queensland. Bulletin of Entomological Research. 98: 77-81. Fletcher, B.S. 1987. The Biology Of Decine Fruit Flies. Annu. Rev. Entomol. 32: 44 – 115. Glas, J. C, Bernardus. J, Schimmel. J, Alba. R, Escobar. C, Robert. Schuurink. Merijn R Kant. 2012. Plant Glandular Trichomes as
Targets for Breeding or Engineering of Resistance to Herbivores. International Journal of Molecular Sciences. Hlm 17078 17088. Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pests Of Corps In Indonesia.. Ichtiar Baru-Van hoeve. Jakarta. Hlm 89 - 109. Kosta, V. 1993. Physical and chemical factors influencing landing and oviposition by the cabbage root fly on host-plant models. Entomology Exp. Appl. Dordrecht. 66: 109 118. Koswanudin, D. 2009. Ketahanan Plasma Nutfah kedelai terhadap Hama Penggerek Polong, Etiella zinckenella Treitschke (Lepidoptera; Pyralidae). Prosiding Seminar Nasional Peran Entomologi dalam Mendukung Pengembangan Pertanian Ramah Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor. Indonesia. Hlm 381 – 391. Mawan, A dan A. Herma. 2011. Statistika demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera : Alydidae) pada kacang panjang (Vigna sinensis L). Jurnal Entomol. Indonesia. Vol.1: 8 – 16. Talekar, Narayan S., Li-Yi Huang, Hsing-Hua Chou and Jyan-Jong Ku. 1995. Oviposition, Feeding and Developmental Characteristics of Riptortus Iinearis (Hemiptera: Alydidae) a Pest of Soybean. Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua. Taiwan. Hlm 114 - 116. Oka, I. N. 2005. Pengendalian Hama Terpadu Dan Implementasinya Di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Prayogo, Yusmani dan Suharsono. 2005. Optimalisasi Pengendalian Hama Pengisap Polong Kedelai (Riptortus linearis) dengan Cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Besar Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Hlm 123 – 130. Prokopy, RJ. D.R. Papaj. 1988. Learneing of apple fruit biotypes by apple maggot flies. Journal Insect Behav. New York. 1(1): 67 - 74. Rahmawati, R. 2012. Cepat dan Tepat Berantas Hama dan Penyakit Tanaman. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. 12
Rauf, I. N. Ahmad, S.M. Masoom, Shah Rashdi, M. Ismail dan M, Hamayoon Khan. 2013. Afr. J. Agric. Res. 8(15): 1300. Renwick, JAA. 1989. Chemical ecology of oviposition in phytophagous insect. Experientia. Barel. 45: 223 - 228. Sari , K. P dan Suharsono. 2011. Status Hama Pengisap Polong pada Kedelai, Daerah Penyebarannya dan Cara Pengendalian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Buletin Palawija Umbi-umbian. Malang. Vol.22: 79 - 80. Schomalter, T.D. 2006. Insect Ecology An Ecosytem Approach. Second Edition. Elsevier Inc. London. Siburian, D. Pangestiningsih. L, Lubis. 2013. Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Hama Polong Riptortus Linearis F. (Hemiptera: Alydidae) Dan Etiella Zinckenella Treit. (Lepidoptera: Pyralidae) Pada Tanaman Kedelai (Glycine Max L.). Jurnal Online Agroekoteknologi . ISSN. Medan.Vol.2: 22. Singer, M.C. 1986. The definition and measurement of oviposition preference in plant-feeding insect. In Miller JR, Miller TA, ed. Insectplant interactions. New York. SpringerVerlag. Hlm 66 - 94. Soejitno, J. Harnoto. W, Tengkano. T, Djuwarso. Budihardjo. I, Made Samudra. A, Iqbal. A, Naito. 1990. Petunjuk Bergambar Untuk Identifikasi Hama Dan Penyakit Kedelai di Indonesia, Edisi 2. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Hlm 70 - 71. Suharsono. 2009. Hubungan Kerapatan Trikoma dengan Intensitas Serangan Penggerek Polong Kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Pangan. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan. Malang. Vol.28(3). Suharsono dan L, Sulistyowati. 2012. Expression Of Resistance Of Soybean To The Pod Sucking Bug Riptortus Linearis F. (Hemiptera: Coreidae). Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute (ILETRI). Malang. Hlm 55 - 58. Susanto, G.A,S dan M. Muchlish. 2008. Penciri Ketahanan Morfologi Genotipe Kedelai Terhadap Hama Penggerek Polong. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol.27 (2).