TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai (Glycine max L.)
Botani Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan anggota dari famili Leguminosae, subfamili Papilionideae, dan termasuk ke dalam genus Glycine L. (Johnson dan Bernard, 1963). Bibit kedelai berkecambah dengan tipe perkecambahan epigeal dengan kotiledon tebal dan berdaging, berwarna kuning atau hijau. Tanaman ini biasanya tegak dan merupakan herba tahunan yang lebat dengan tinggi mencapai dua meter dan kadang-kadang agak merambat. Sistem perakaran tunggang bercabang dengan panjang akar mencapai dua meter. Akar lateral menyebar secara horizontal hingga 2.5 meter (Giller dan Dashiell, 2010). Bunga kedelai termasuk bunga sempurna, artinya dalam satu bunga terdapat alat kelamin jantan dan betina. Bunga dapat melakukan penyerbukan sendiri, yaitu kepala putik diserbuki oleh tepung sari dari bunga yang sama. Penyerbukan terjadi sebelum bunga mekar sehingga disebut penyerbukan kleistogami (penyerbukan tertutup). Karena cara penyerbukannya tertutup, kemungkinan terjadinya persilangan alami kurang dari 0,5%. Akibatnya suatu varietas
dapat
dipertahankan
kemurniannya
hingga
bertahun-tahun
(Sumarno 1983). Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Panjang polong muda sekitar 1 cm. Jumlah polong yang terbentuk pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Pada setiap tanaman, jumlah polong dapat mencapai lebih dari 50,
bahkan ratusan. Kecepatan pembentukan polong dan pembesaran biji akan semakin cepat setelah proses pembentukan bunga berhenti. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini kemudian diikuti oleh perubahan warna polong, dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak (Sumarno 1983).
Syarat Tumbuh Iklim Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 300 C. Bila suhu lingkungan sekitar 400 C pada masa tanaman berbunga, bunga tersebut akan rontok sehingga jumlah polong dan biji kedelai menjadi berkurang. Suhu yang terlalu rendah (100 C), seperti pada daerah subtropik, dapat menghambat proses pembungaan dan pembentukan polong kedelai. Suhu optimal untuk pembentukan bunga yaitu 24 – 250 C (Tindall, 1983). Kebutuhan cahaya bagi kedelai untuk mencapai fotosintesis maksimal adalah berkisar antara 0.3 – 0.8 kal/cm2/menit atau setara dengan 432 – 1152 kal/cm2/hari (Salisbury dan Ross, 1992). Kondisi iklim yang cocok umumnya adalah daerah dengan kelembaban udara (RH) rata-rata 65% dan curah hujan paling optimum antara 100-200 mm/bulan. Kedelai membutuhkan setidaknya 500 mm air selama musim pertumbuhan untuk perkembangan yang baik dengan konsumsi air dalam kondisi optimal adalah 850 mm (Giller dan Dashiell, 2010).
Tanah Pada umumnya kedelai menghendaki tanah yang berstruktur remah dengan keasaman sedang (pH 5-7). Nilai pH ideal bagi pertumbuhan kedelai 6.0-6.8. Apabila pH diatas 7.0 kedelai mengalami klorosis sehingga tanaman menjadi kerdil dan daunnya menguning. Sementara pada pH di bawah 5.0 kedelai mengalami keracunan Al, Fe, dan Mn, sehingga pertumbuhannya terganggu (Baharsjah, 1992).
Varietas Untuk mempertahankan kemurnian agar seragam dan keunggulannya tetap di miliki, perlu mempelajari sifat-sifat morfologis tanaman seperti tipe tumbuh,warna hipokotil, warna bunga, warna bulu, umur berbunga, dan sifat-sifat kuantitatif seperti tinggi tanaman, ukuran biji, dan ukuran daun. Pengenalan atau identifikasi varietas unggul adalah suatu teknik untuk menentukan apakah yang dihadapi
tersebut
adalah
benar
varietas
unggul
yang
dimaksudkan.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mempergunakan alat pegangan berupa deskripsi varietas (Gani, 2000). Varitas unggul kedelai mempunyai keunggulan tertentu dibanding dengan varietas lokal, keunggulan dapat berupa hasil yang lebih tinggi, batang lebih pendek (genjah) lebih tahan terhadap hama/penyakit dan lain-lain. Kedelai yang unggul untuk suatu daerah belum tentu unggul didaerah lain tergantung kepada topografi, iklim dan cara tanam (Departemen Pertanian, 1990). Tingkat hasil suatu tanaman ditentukan oleh interaksi faktor genetis varietas unggul dengan lingkungan tumbuhnya seperti kesuburan tanah,
ketersediaan air, dan pengelolaan tanaman. Tingkat hasil varietas unggul yang tercantum dalam deskripsi umumnya berupa angka rata-rata dari hasil yang terendah dan tertinggi pada beberapa lokasi dan musim. Potensi hasil varietas unggul dapat saja lebih tinggi atau lebih rendah pada lokasi tertentu dengan penggunaan masukan dan pengelolaan tertentu pula (Gani, 2000). Varietas atau klon introduksi perlu diuji adaptabilitasnya pada suatu lingkungan untuk mendapatkan genotip unggul pada lingkungan tersebut. Pada umumnya suatu daerah memiliki kondisi lingkungan yang berbeda terhadap genotip. Respon genotip terhadap faktor lingkungan ini biasanya terlihat dalam penampilan fenotipe dari tanaman bersangkutan (Darliah et. al, 2001).
Mutasi Kolkisin Mutasi adalah perubahan yang terjadi secara struktural pada material genetik yang merupakan bagian dari fenomena dasar kehidupan. Bila mutasi tidak pernah terjadi, maka material kehidupan tidak akan mengalami perkembangan dan beradaptasi terhadap berbagai kondisi ekologis yang ada. Berdasarkan sejarah, mutasi telah terjadi secara spontan, yang disebabkan oleh sejumlah fenomena alamiah seperti radiasi kosmik atau sinar ultraviolet (Nasir, 2002). Pemuliaan mutasi adalah mutasi buatan untuk mendapatkan varietas tanaman yang unggul. Istilah pemuliaan mutasi kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan pemakaian mutagen oleh pemulia tanaman dalam usahanya untuk menciptakan keragaman dari mutasi buatan. Ini berlawanan dengan pemuliaan konvensional dimana pemulia tanaman bergantung pada keragaman alami dan keuntungannya diperoleh dari rekombinasi gen, kadang-kadang dibantu dengan hibridisasi (Crowder, 1997).
Kepekaan terhadap perlakuan kolkisin amat berbeda diantara species tanaman. Oleh karena itu baik konsentrasi maupun waktu perlakuan akan berbeda pula, bahkan untuk bagian tanaman yang berbeda akan lain pula dosis dan waktunya. Untuk biji kedelai yang cepat berkecambah, biji direndam dalam larutan selama 1 – 5 hari sebelum tanam (Poespodarsono, 1988). Larutan kolkisin efektif pada konsentrasi 0,001-1,00 ppm dengan lama perlakuan 3-24 jam, tetapi pada benih yang berkulit keras seperti benih kacangkacangan konsentrasi 0,2 ppm lebih dianjurkan. Konsentrasi 0,2 ppm yang lebih umum dipakai untuk semua tanaman dengan lama perlakuan antara 24-96 jam (Haryanti et. al,2009). Apabila kolkisin digunakan pada konsentrasi yang tepat maka jumlah kromosom akan meningkat, sehingga tanaman bersifat poliploid. Tanaman yang bersifat poliploid menghasilkan ukuran morfologi lebih besar dibandingkan tanaman diploid. Kolkisin akan bekerja efektif pada konsentrasi 0,01-1 ppm untuk jangka waktu 6-72 jam, namun setiap jenis tanaman memiliki respon yang berbeda-beda (Suryo, 1995). Kolkisin berfungsi sebagai mutagen untuk individu poliploid. Adapun cara kerja kolkisin yaitu kolkisin akan masuk kedalam biji (2n) dan menyebabkan terhambatnya kerja mikrotubulus. Kerja mikrotubulus terhambat, berarti menghambat terbentuknya benang spindel dan kromosom yang siap membelah akan mengalami gagal berpisah sehingga sel tidak akan mengalami pembelahan. Hal ini menyebabkan biji mempunyai genom 4n (Sadida et. al, 2010). Sifat umum tanaman poliploid adalah memiliki ukuran bagian-bagian tanaman yang lebih besar, meliputi akar, batang, daun, bunga, atau buah.
Tanaman poliploid juga memiliki ukuran sel, diameter buluh-buluh pengangkutan, dan ukuran stomata yang lebih besar. Bertambahnya diameter buluh-buluh pengangkutan akibat pemberian kolkisin, menyebabkan diameter batang tanaman yang lebih besar (Suryo, 1995). Secara umum pengaruh poliploid bagi tanaman adalah sebagai berikut : 1. Inti dan isi sel lebih besar (stomata dan tepung sari) 2. Daun dan bunga bertambah besar. Pertambahan ukuran ini ada batasnya, sehingga bila terjadi penambahan terus pada jumlah kromosom tidak menyebabkan penambahan secara berlanjut. 3. Dapat terjadi perubahan senyawa kimia, termasuk peningkatan atau perubahan pada macam atau proporsi karbohidrat, protein, vitamin, atau alkaloid. 4. Laju pertumbuhan menjadi lebih lambat dibanding dengan tanaman diploid dan berbunganya juga terlambat. 5. Meiosis sering tidak teratur, sehingga terjadi kromosom yang tidak berpasangan. 6. Menurunnya fertilitas pada poliploid merupakan hal penting untuk diperhatikan pada pemuliaannya. Penurunan ini dapat terjadi pada daya hidup butir tepung sari
dan
jumlah
biji.
Derajat
penurunan
tergantung
dari
spesies
(Poespodarsono, 1988). Peranan poliploidi dalam pemuliaan tanaman sangat banyak, antara lain untuk mendapatkan buah tanpa biji (seedless) seperti semangka tanpa biji dan anggur tanpa biji yang menggunakan metode triploid (3x), memasukkan gen ketahanan terhadap penyakit maupun stress lingkungan dengan metode alopoliploidi, sedangkan aneuploidi berguna untuk mempelajari karakter genetik
tertentu seperti dengan menggunakan metode trisomik yang dapat menentukan kromosom mana yang membawa lokus karena suatu fenotip akan dipengaruhi oleh kromosom yang terlibat dalam aneuploidi (Suryo, 1995). Daun merupakan organ fotosintesis utama, sehingga menentukan jumlah asimilat yang dihasilkan yang diperlukan selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kloroplast pada tanaman berkembang dari struktur mikro yang terdeferensiasi yang disebut proplastid. Menurut Adams et. al (1970) proplastid ikut membelah selama mitosis. Pada saat benih diperlakukan dengan kolkisin, mitosis pada sel-sel embrio diikuti dengan pembelahan proplastid, meskipun kromosom yang telah mengganda mungkin gagal berpisah pada anaphase akibat rusaknya formasi mikrotubula penyusun benang-benang spindel oleh kolkisin, sehingga menghasilkan tanaman yang mempunyai kadar klorofil yang lebih tinggi. Penelitian Abmelah (2013) pada pengamatan paremeter panjang tanaman, bobot polong per tanaman dan diameter biji yang diperoleh pada perlakuan kolkisin memberikan pengaruh yang nyata. Rataan tertinggi panjang tanaman terdapat pada perlakuan tanpa kolkisin 0 ppm yakni sebesar 259.63 cm, sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan 200 ppm yakni sebesar 166.32 cm, pada parameter bobot polong per tanaman rataan tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa kolkisin 0 ppm yakni sebesar 103.24 g, sedangkan rataan terendah terdapat pada perlakuan kolkisin 200 ppm yakni sebesar 41.82. Penggunaan kolkisin untuk tujuan yang mempunyai arti penting, karena harganya cukup mahal. Disamping untuk tujuan pemuliaan biasanya digunakan pula pada penelitian-penelitian. Perlakuan kolkisin termasuk perlakuan mutasi
karena
merubah
kromosom
yang
berakibat
berubahnya
sifat
tanaman
(Poespodarsono, 1988).
Intensitas Cahaya Cahaya matahari merupakan sumber utama energi bagi kehidupan, tanpa adanya cahaya matahari kehidupan tidak akan ada. Bagi pertumbuhan tanaman ternyata pengaruh cahaya selain ditentukan oleh kualitasnya ternyata ditentukan intensitasnya. Intensitas cahaya adalah banyaknya energi yang diterima oleh suatu tanaman per satuan luas dan per satuan waktu (kal/cm2/hari). Dengan demikian pengertian intensitas yang dimaksud sudah termasuk lama penyinaran, yaitu lama matahari bersinar dalam satu hari. Pada dasarnya intensitas cahaya matahari akan berpengaruh nyata terhadap sifat morfologi tanaman. Hal ini dikarenakan intensitas cahaya matahari dibutuhkan untuk berlangsungnya penyatuan CO2 dan air untuk membentuk karbohidrat (Asadi et. al, 1997). Tanaman yang mendapatkan cahaya matahari dengan intensitas yang tinggi menyebabkan lilit batang tumbuh lebih cepat, susunan pembuluh kayu lebih sempurna, internodia menjadi lebih pendek, daun lebih tebal tetapi ukurannya lebih kecil dibanding dengan tanaman yang terlindung. Beberapa efek dari cahaya matahari penuh yang melebihi kebutuhan optimum akan dapat menyebabkan layu, fotosistesi lambat, laju respirasi meningkat tetapi kondisi tersebut cenderung mempertinggi daya tahan tanaman (Lukitasari, 2005). Tanaman hijau memanfaatkan cahaya matahari melalui proses fotosintesis. Chozin (1998) melaporkan bahwa intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur dua dan tiga tahun setara dengan intensitas cahaya di bawah paranet 25% dan
50%, sedangkan pada tegakan karet berumur empat tahun sudah melebihi intensitas cahaya dalam paranet 75%. Pendapat di atas diperkuat oleh Baharsyah et. al, (1985) bahwa cahaya matahari sangat besar peranannya dalam proses fisiologis yaitu fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, pembukaan dan penutupan stomata, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan. Penyinaran matahari mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan hasil tanaman melalui proses fotosintesis. Hubungan antara penyinaran matahari dengan hasil adalah kompleks terutama untuk kedelai yang memang pada dasarnya merupakan tanaman yang menyukai cahaya matahari penuh. Wrigley (1982) menyatakan bahwa ada keuntungan dan kerugian pada kondisi ternaungi, yaitu: 1.
Keuntungan
-
Tanaman yang menaungi berperan sebagai pemecah angin, dimana angin dengan hembusan udara panas dapat meningkatkan transpirasi dan berbahaya bagi tanaman.
-
Kisaran suhu daun dan tanah rendah dibawah naungan.
-
Kelembaban relatif tinggi.
-
Kelembaban permukaan tanah rendah dan sangat pentig bagi tanaman pada saat musim kering.
-
Penaung mengurangi dampak buruk dari air hujan.
2.
Kerugian
-
Naungan akan mengurangi intensitas sinar matahari, sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman yang memerlukan intensitas penuh.
-
Penaung menyebabkan intensitas cahaya yang diterima kanopi daun menjadi lebih kecil. Akibatnya berpengaruh terhadap proses metabolisme tanaman seperti fotosintesis Perlakuan dengan pemberian naungan pada kedelai akan mempengaruhi
sifat morfologi tanaman. Morfologi kedelai yang bisa dipengaruhi oleh naungan adalah batang tidak kokoh, karena garis tengah batang lebih kecil sehingga tanaman menjadi mudah rebah seperti diungkapkan Adisarwanto (1999). Hal ini tidak berlaku bagi tanaman yang toleran naungan karena cenderung lebih efisien dalam pemanfaatan cahaya. Pada batas naungan tertentu proses fisiologis didalam tanaman toleran tersebut tidak terlalu dipengaruhi naungan sehingga tanaman tumbuh normal, tidak terjadi etiolasi dan kerebahan yang tentunya tidak mempengaruhi hasil (Asadi dan Arsyad ,1991). Asadi et. al (1997) menjelaskan bahwa adaptasi tanaman terhadap naungan dicirikan oleh: a) peningkatan luas daun dan penurunan penggunaan metabolit, b) penurunan jumlah transmisi dan refleksi cahaya. Penurunan intensitas cahaya akibat naungan juga akan menurunkan rasio klorofil a/b, tetapi akan meningkatkan jumlah relatif klorofil. Pemberian naungan pada tanaman akan berdampak terhadap proses metabolism dalam tubuh tanaman dan akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, terutama karena kurangnya intensitas cahaya yang diterima tanaman tersebut (Baharsyah,1980). Widiastuti et. al (2004) juga menyatakan bahwa pemberian perlakuan naungan pada berbagai stadi pertumbuhan berpengaruh nyata terhadap jumlah bunga per tanaman, jumlah polong per tanaman, berat biji, dan produksi biji kering pada berbagai macam variaetas kedelai. Pemberian naungan 20% akan
memberikan hasil yang lebih baik apabila diaplikasikan pada awal pengisian polong dibandingkan dengan awal tanam atau awal berbunga. Tanaman yang mendapat cekaman naungan cenderung mempunyai jumlah cabang sedikit dan batang yang lebih tinggi dibanding tanaman yang ditanam dalam kondisi tanpa naungan. Perubahan tinggi batang tanaman pada beberapa tanaman akibat naungan sudah tampak mengalami etiolasi pada naungan lebih dari 25%. Etiolasi yang terjadi pada sebagian besar tanaman akibat naungan disebabkan karena adanya produksi dan distribusi auksin yang tinggi,sehingga merangsang pemanjangan sel yang mendorong meningkatnya tinggi tanaman (Gatut, 2001). Sel penutup memiliki klorofil di dalam selnya sehingga cahaya matahari akan sangat berpengaruh buruk pada klorofil. Larutan klorofil yang dihadapkan pada sinar kuat akan tampak berkurang hijaunya. Daun-daun yang terkena langsung umumnya akan tampak kekuning-kuningan, salah satu cara untuk dapat menentukan
kadar
klorofil
adalah
dengan
metoda
spektofotometri
(Dwijiseputro, 1981). Menurut Praba et. al, dengan penurunan intensitas cahaya kandungan klorofil memperlihatkan peningkatan yang sama dengan peningkatan klorofil dibawah naungan 10% sampai 50%, dilaporkan oleh Singh et. al (1988), Liu et. al (1984) bahwa peningkatan klorofil merupakan cara tanaman padi untuk memperkaya sistem asimilasi dalam mempoduksi hasil fotosintesis dan menyarankan bahwa total klorofil dan rasio klorofil a/b dapat digunakan menjadi suatu parameter untuk menyeleksi varietas yang efisien fotosintesis pada cahaya rendah.
Kandungan klorofil pada tanaman sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Tanaman yang ternaungi mempunyai klorofil lebih banyak dibandingkan tanaman yang tidak ternaungi. Hasil penelitian pada kedelai menunjukkan bahwa tanaman yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah memiliki jumlah klorofil lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang peka (Wirnas, 2005). Genotipe yang toleran naungan mempunyai daun yang lebih lebar dan tipis,kandungan klorofil b yang lebih tinggi dan rasio klorofil a/b yang lebih rendah dari pada genotip peka. Perubahan karakter morfologi dan fisiologi daun tersebut merupakan bentuk mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman naungan. Dengan demikian karakter morfologi daun dapat memberikan faktor besar
dalam
perbaikan
adaptasi
kedelai
terhadap
cekaman
naungan
(Kisman, 2008).
Marka RAPD RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) merupakan metode perbanyakan genom yang paling sering digunakan karena sangat mudah dan membutuhkan jumlah DNA genom yang tidak terlalu banyak. RAPD banyak digunakan untuk menganalisis keanekaragaman karakter genetik dalam berbagai penelitian dengan pertimbangan antara lain tidak membutuhkan latar belakang pengetahuan tentang genom yang akan dianalisis, primer yang digunakan bersifat universal (dapat digunakan untuk prokariot maupun eukariot), mampu menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas jumlahnya, bahan-bahan yang digunakan relatif lebih murah, preparasi lebih mudah, dan memberikan hasil lebih cepat dibandingkan dengan analisis molekuler lainnya. Metode RAPD mampu mendeteksi sekuen nukleotida dengan hanya menggunakan satu primer. Primer
tersebut akan berikatan utas tunggal genom yang satu dan pada utas DNA pasangannya dengan arah berlawanan. Selama situs penempelan primer masih berada pada jarak yang dapat diamplifikasi pada umumnya tidak lebih dari 5000 pasangan
basa
(pb),
maka
akan
diperoleh
produk
DNA
amplifikasi
(Weising et. al, 1995). Salah satu keuntungan pemakaian analisis keragaman genetik tanaman dengan menggunakan teknik molekuler yang memanfaatkan teknologi amplifikasi PCR adalah kuantitas DNA yang diperlukan hanya sedikit. Disamping itu, dalam pelaksanaan teknik RAPD tingkat kemurnian DNA yang dibutuhkan tidak perlu terlalu tinggi atau dengan kata lain teknik amplifikasi PCR relatif toleran terhadap tingkat kemurnian DNA. Walaupun demikian, dalam suatu teknik isolasi DNA masih diperlukan suatu tahapan untuk meminimalkan senyawa-senyawa kontaminan yang dapat mengganggu reaksi PCR seperti polisakarida dan metabolit sekunder. Hal ini disebabkan keberadaan polisakarida dan metabolit sekunder dalam sel tanaman sering menyulitkan dalam isolasi asam nukleat. Adanya polisakarida dan senyawa metabolit sekunder dalam sel tanaman sering menyulitkan dalam proses isolasi adam nukleat. Struktur polisakarida yang mirip dengan asam nukleat akan menyebabkan polisakarida tersebut akan mengendap bersama dengan asam nukleat (Wilkins dan Smart, 1996). Dalam program pemuliaan tanaman, diperlukan identifikasi baik karakter morfologi maupun molekuler untuk menguji keragaman genotip klon-klon yang akan dipilih untuk tetua persilangan. Pemakaian teknik RAPD memiliki resolusi yang sebanding dengan RFLP dalam hal analisis kekerabatan antar genotip dan mampu menghasilkan jumlah karakter yang tidak terbatas sehingga sangat
membantu dalam analisis keragaman genteik tanaman yang tidak diketahui latar belakang genomnya. Analisis RAPD hanya memerlukan sejumlah kecil DNA sehingga sangat sesuai untuk spesies tanaman berkayu. RAPD memerlukan biaya lebih rendah dibandingkan biaya untuk uji kekerabatan berdasarkan analisis DNA yang lain. Metode RAPD menggunakan primer dengan ukuran sepuluh basa sering digunakan untuk studi kekerabatan, identifikasi varietas, pemetaan genetik, analisis struktur DNA organisme dan finger printing suatu individu organisme. Teknik RAPD menggunakan primer acak maupun spesifik telah terbukti dapat digunakan sebagai penanda molekuler untuk berbagai karakter agronomis penting. Pemakaian marka molekuler RAPD banyak digunakan untuk menyusun kekerabatan beberapa individu dalam spesies maupun kekerabatan antar spesies. Penggunaan kekerabatan ini dapat dijadikan rujukan dalam pemuliaan persilangan untuk mendapatkan keragaman yang tinggi dari hasil suatu persilangan penanda RAPD yang efektif dalam mengevaluasi silsilah bahan, sementara SSR sangat penting
untuk
mengenali
perbedaan
antara
karakteristik
kuantitatif
(Maftuchah, 2001).
Keragaman Genotip dan Fenotip Keragaman genetik alami merupakan sumber bagi setiap program pemuliaan tanaman. Variasi ini dapat dimanfaatkan, seperti semula dilakukan manusia, dengan cara melakukan introduksi sederhana dan teknik seleksi atau dapat dimanfaatkan dalam program persilangan yang canggih untuk mendapatkan kombinasi genetik yang baru. Jika perbedaan antara dua individu yang mempunyai faktor lingkungan yang sama dapat diukur, maka perbedaan ini berasal dari variasi genotip kedua tanaman tersebut. Keragaman genetik menjadi
perhatian utama para pemulia tanaman, karena melalui pengelolaan yang tepat dapat dihasilkan varietas baru yang lebih baik (Welsh, 1991). Fenotip suatu karakter adalah hasil interaksi antara genotip dan lingkungan. Dengan demikian, varians fenotip adalah penjumlahan varians genotip dan varians lingkungan dalam suatu populasi adalah nol, maka varians fenotip sama dengan varians genotip. Nilai yang diobservasi atau nilai suatu karakter yang diukur pada suatu individu disebut nilai fenotip dari individu tersebut. Fenotip adalah penampilan (dalam bentuk karakter fisik, biokimia, fisiologi, dll) dari suatu individu tanaman yang merupakan hasil dari pengaruh genotip dan lingkungan. Genotip adalah konstitusi genetik yang dimiliki oleh suatu individu (Malau, 1995). Gen-gen tidak dapat menyebabkan berkembangnya karakter terkecuali jika mereka berada pada lingkungan yang sesuai, dan sebaliknya tidak ada pengaruh terhadap berkembangnya karakteristik dengan mengubah tingkat keadaan lingkungan terkecuali jika gen yang diperlukan ada. Namun, harus disadari bahwa keragaman yang diamati terhadap sifat-sifat yang terutama disebabkan oleh perbedaan gen yang dibawa oleh individu yang berlainan dan terhadap variabilitas didalam sifat yang lain, pertama-tama disebabkan oleh perbedaan lingkungan dimana individu berada (Allard, 2005). Keragaman merupakan hal penting dalam pemuliaan karena dapat ditemukan berbagai sumber gen untuk perbaikan suatu sifat tanaman. Gen-gen tersebut dapat ditransfer ke tanaman dengan cara konvensional maupun rekayasa genetik. Salah satu teknik pemuliaan untuk perbaikan sifat adalah perakitan
poliploidi. Poliploidi adalah keadaan sel dengan penambahan satu atau lebih genom dari genom normal 2n=2x (Hetharie, 2003).
Heritabilitas Fehr (1987) menyebutkan bahwa heritabilitas adalah salah satu alat ukur dalam sistem seleksi yang efisien yang dapat menggambarkan efektivitas seleksi genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya. Hanson (1963) menyatakan nilai heritabilitas dalam arti luas menunjukkan genetik total dalam kaitannya keragaman genotip, sedangkan menurut Poespodarsono (1988), bahwa makin tinggi nilai heritabilitas satu sifat makin besar pengaruh genetiknya dibanding lingkungan. Variasi genetik akan membantu dalam mengefisienkan kegiatan seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi besar, ini menunjukkan individu dalam populasi beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang diharapkan akan besar. Sedangkan pendugaan nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor pengaruh genetik lebih besar terhadap penampilan fenotip bila dibandingkan dengan lingkungan. Untuk itu informasi sifat tersebut lebih diperankan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya (Mardjono dan Sudarmo, 2007). Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya pengukuran heritabilitas antara lain karakteristik populasi, sampel genotip yang diteliti, metode perhitungan, seberapa luasnya evaluasi genotip, adanya ketidakseimbangan pautan yang terjadi, dan tingkat ketelitian selama penelitian. Nilai duga heritabilitas dibutuhkan untuk mengetahui proporsi penampilan yang diakibatkan oleh
pengaruh genetik yang diwariskan kepada keturunannya. Nilai duga heritabilitas berkisar antara 0,0 – 1,0, nilai duga heritabilitas sebesar 1,0 menunjukkan bahwa semua variasi penampilan tanaman yang ditimbulkan disebabkan oleh faktor genetik sedangkan nilai duga heritabilitas 0,0 menunjukkan bahwa tidak satupun dari variasi tanaman yang muncul dalam populasi tersebut disebabkan oleh faktor genetik (Babas, 2010).