PERKARA PIDANA DI PENGADILAN AGAMA Oleh: Ahsan Dawi Mansur Bagi sebagian orang judul di atas terasa aneh, atau bahkan mengada-ada.
Pengadilan
agama
yang
selama
ini
sering
diidentikkan dengan kasus-kasus peceraian, hak pengasuhan anak atau harta bersama/gono gini yang dalam sistem hukum kita masuk dalam ranah privat (perdata). Kondisi ini didukung tayangan infotainment
yang
mempertontonkan
kasus-kasus
perceraian
selebriti dan publik figur di pengadilan agama, seakan-akan pengadilan agama hanya mengurusi masalah perceraian belaka. Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama telah membawa pengadilan agama ke paradigma baru. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU Nomor 3 Tahun 2006 pengadilan agama merupakan salah satu pelaku kekuasan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang
beragama
Islam
mengenai
perkara
tertentu.
Beragama Islam bisa diartikan orang yang memeluk agama Islam maupun orang atau badan hukum yang menundukkan diri pada hukum Islam. Istilah perkara tertentu dalam pengertian di atas mencakup perkara
perdata
dan
pidana.
Berbeda
dengan
kewenangan
sebelumnya yang diatur UU Nomor 7 Tahun 1989 , pengadilan agama
hanya
berwenang
mengadili
perkara-perkara
perdata
tertentu seperti bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, dan lainlain. Sehingga tidak mengherankan selama ini masyarakat lebih
mengenal pengadilan agama sebagai pengadilan keluarga. Selain itu UU Nomor 3 Tahun 2006 juga dijadikan landasan hukum terbentuknya Mahkamah Syari’ah (pengadilan agama) di NAD yang mempunyai wewenang diberbagai bidang, diantaranya bidang jinayah (pidana). Mahkamah Syari’ah di NAD merupakan konsekuensi dari penerapan syari’at Islam di serambi Makkah. Mahkamah
Syari’ah
pengadilan
agama
kewenangan
di
NAD
daerah
khusus
pada
lain
di
sebagaimana
dasarnya Indonesia, di
atur
sama namun oleh
dengan diberi
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Salah
satu
pertimbangan
yang
mendasari
pemberian
kewenangan pengadilan agama dalam perkara pidana adalah selama ini banyak ketentuan perundang-undangan di bidang perkawinan yang mengatur sanksi pidana namun tidak berjalan efektif. Sanksi pidana tesebut sebagaimana diatur Pasal 3 ayat (1), (2), (3), (4) dan 5 UU Nomor 22 Tahun 1946 jo. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah dan Rujuk jo. Pasal 61 ayat (2) dan (3) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemeintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) sampai (3) UU Nomor 22 Tahun 1946 menyebutkan bahwa orang yang melakukan perkawinan dengan seorang perempuan tidak berada di bawah pengawasan pegawai yang yang berwenang diancam dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp 50,- (lima puluh rupiah). Sedangkan
orang yang menikahkan diancam hukuman kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100,(seratus rupiah). Ancaman hukuman juga berlaku untuk seseorang laki-laki yang menjatuhkan talak atau melakukan rujuk tanpa memberitahu kepada pejabat yang berwenang. Dalam UU Perkawinan juga disebutkan ketentuan pidana dalam hal perkawinan campuran. Perkawinan campuan yang dimaksud bukan perkawinan antar agama, tetapi perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan yang salah satunya adalah warga negara asing. Pasal 61 ayat (2) dan (3) menyebutkan barangsiapa yang melakukan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan terlebih dahulu kepada pegawai pencatat perkawinan surat keterangan atau keputusan pengganti diancam hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. Sedang Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan padahal ia
mengetahui
bahwa
keterangan
atau
keputusan
pengganti
keterangan tidak ada diancam dengan hukuman kurungan selamalamanya 3 (tiga) bulan. Pasal
45
Peraturan
Pemerintah
Nomor
9
Tahun
1975
mengenai pelaksanaan UU Perkawinan menjelaskan bahwa setiap orang yang melangsungkan perkawinan tanpa memberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah, melangsungkan perkawinan tidak dihadapan pegawai pencatat nikah, atau seorang suami yang menikah lebih dari seorang (poligami) tanpa meminta ijin kepada pengadilan agama diancam dengan hukuman denda setinggi-
tingginya Rp 7500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Ketentuan tersebut di atas nampaknya terlalu rendah karena dibuat pada tahun 1946 dan 1975. Namun semangat untuk menegakkan hukum dan melindungi kaum perempuan dan anakanak yang sering menjadi korban dari pelaaksanaan perundangundangan yang mengatur perkawinan yang tidak efektif, saat ini diakomodir dalam Rancangan UndangUndang Hukum Terapan Pengadilan Agama yang sedang dibahas oleh badan legislatif. Fenomena nikah sirri yang cenderung merugikan kaum perempuan dan anak-anak merupakan contoh betapa lemahnya penegakan hukum dibidang perkawinan. Hukum seakan-akan tidak berdaya menghadapi praktek nikah sirri yang sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat. Kondisi ini yang perlu disikapi dengan tegas. Meskipun rumusan pasal-pasal di atas sebagian mampu digunakan untuk menjerat pelaku dan orang yang telibat di dalamnya, namun diperlukan regulasi yang tegas dan sistem kerja yang jelas mengenai penegakan ketentuan-ketentuan yang ada. Untuk masyarakat perlu mendorong segera disahkannya RUU Hukum Terapan Peradilan Agama yang salah satu rumusannya mengatur sanksi pidana bagi orang yang menikah tidak di hadapan pegawai pencatat nikah dan siapa saja yang bertindak seolah-olah sebagai pegawai pencatat nikah. Selama
ini
kasus
pelanggaran
terhadap
peraturan
perkawinan jarang sekali diproses. Jika ada pelanggaran yang diproses biasanya menggunakan ketentuan Pasal 279 KUHP. Dalam
Pasal 279 KUHP disebutkan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun antara lain bagi siapa saja yang mengadakan perkawinan padahal
mengetahui
bahwa
perkawinan
atau
perkawinan-
perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. Kasus pelanggaran terhadap perundang-undangan semakin meningkat,
namun
sedikit
sekali
yang
diproses
hingga
ke
pengadilan negeri. Oleh karena itu diperlukan payung hukum untuk menangani pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan agar berjalan efektif. Kelahiran UU Nomor 3 Tahun 2006 yang memberi
kewenangan
kepada
pengadilan
agama
jawaban atas problem riil yang dihadapi masyarakat.
Sumber: Koran Merapi, 4 Juli 2007
merupakan