PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PRAKTEK PENUNTUTAN PERKARA DI PENGADILAN IMPLEMENTATION OF CORPORATION LIABILITY AT LAWSUIT IN COURT PRACTICE Erni Mustikasari Jaksa Fungsional pada Jam Pidum Kejaksaan Agung Jl. Sultan Hasanuddin No. 1 Jakarta Selatan Email :
[email protected] (Diterima tanggal 3 Februari 2015, direvisi tanggal 12 Februari 2015, disetujui tanggal 23 Februari 2015)
Abstrak Salah satu hal terkait dengan perkembangan politik hukum pidana, dimana konsep Pertanggungjawaban Pidana Individual (PPI) (individual criminal responsibility) bergeser kearah konsep Pertanggungjawaban Pidana Korporasi/ Kolektif (PPK).Perkembangan ini membuat para Jaksa di seluruh Indonesia, perlu memahami konsepnya serta berani menerapkannya dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan terkait dengan penanganan jenis tindak pidana yang terorganisir. Penerapan konsep PPK dalam pelaksanaan tugas Jaksa akan sangat berpengaruh pada hukum pembuktian, pembuatan dakwaan dan tuntutan. Oleh karenanya diperlukan pemahaman konsepnya agar mindset PPI yang sudah mewaris dari generasi ke generasi dapat sedikit demi sedikit terkikis, dan pengadilan dapat menerima konsep ini sehingga tidak menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum bagi kejahatan terorganisir. Kata Kunci: pergeseran konsep, pertanggungjawaban pidana korporasi / kolektif, kejahatan terorganisir. Abstract One of the things associated with the political development of criminal law, where the concept of Individual Criminal Responsibility shift towards to the concept of Corporate Criminal Liability / Collective. Prosecutors in Indonesia need to understand the concept and apply it in the execution of their duties in the field related to the handling of the offenses organized crime. Attorney in carrying out their duties related to the application of the concept of the Corporate Criminal Liability should have the ability and understanding of the rules of evidence, the charges and the indictment of Corporate Criminal Liability. Therefore a need to understand the concept of corporate responsibility that Individual Criminal Responsibility mindset that is heir from generation to generation can be gradually eroded, and the court may accept this concept. Looking ahead expected, changes in the mindset of law enforcement officers can help overcome the obstacles in the process of organized crime law enforcement. Keywords: shifting concept, corporate criminal liability, organized crime
I.
PENDAHULUAN Perkembangan hukum pidana di masa sekarang, bergulir semakin cepat saja, dengan berbagai hal baru yang membuat penegak hukum mau tidak mau diharuskan tidak pernah berhenti belajar untuk dapat megikuti perkembangannya, dengan cara mengupdate peraturan perundang-undangan, trend kejahatan, ratifikasi konvensi internasional serta paradigma baru dalam hukum pidana modern. Salah satu hal terkait dengan perkembangan politik hukum pidana, dimana konsep pertanggungjawaban pidana individual (PPI) (individual criminal responsibility) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang masih berlaku, tampaknya sudah tidak merespon lagi perkembangan jaman. Faktanya, perkembangan yang nyata di bidang hukum pidana, bukan lagi terkait hanya dengan para pelaku kejahatan “biasa” semacam “bandit” yang bekerja secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan kejahatannya. Pola kejahatan berkembang menjadi tidak hanya dilakukan oleh orang per orang, tetapi dilakukan secara terorganisir dimana dampaknya menjadi jauh lebih sistimatis, jahat dan mengakibatkan kerusakan tatanan sistem kehidupan masyarakat yang sangat luar biasa. Beberapa kejahatan terkait dengan kelompok terorganisir, berkembang menjadi kejahatankejahatan trans nasional bahkan mengusung
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
153
titel sebagai kejahatan “extra ordinary” seperti kejahatan terorisme, narkotika, korupsi dan pencucian uang, tindak pidana perdagangan orang serta tindak pidana terkait sumber daya alam. Romli Atmasasmita, Guru besar hukum pidana internasional UNPAD menanggapi Laporan Panel Tingkat Tinggi (HIGH-Level Panel) tentang “Threats, Challenge and Change”; di bawah Supervisi Sekjen PBB Tahun 2004 mengatakan: “Di era globalisasi abad 21, politik hukum pidana justru tidak lagi relevan hanya terfokus kepada kejahatan individual, akan tetapi seharusnya arah politik hukum pidana nasional ditujukan untuk mencegah dan memberantas kejahatan kolektif baik yang berlatar belakang etnis, agama, sistem sosial, dan politik”. Di dalam menghadapi bentuk baru kejahatan kolektif inilah, terletak kelemahan mendasar konsep PPI sehingga di dalam praktik disiasati oleh Jaksa penuntut umum dengan melakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) pidana yang melibatkan lebih dari satu orang atau bersifat kolektif. Strategi JPU yang telah merupakan kebiasaan dalam praktik peradilan dipandang dan diakui “benar” oleh praktisi hukum, termasuk para Hakim; mencerminkan kelemahan yang berarti. Kelemahan pertama, pola penuntutan di atas landasan pemikiran individualistik tersebut justru merupakan pelanggaran hak asasi tersangka dan melanggar prinsip “Due Process of Law”dan prinsip “non-self incriminating evidence” sebagai contoh penerapan konsep saksi mahkota baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan. Kelemahan kedua, pola penuntutan tersebut sudah tidak relevan ketika menghadapi ancaman dan tantangan bangsa-bangsa pada abad 21 a.l. terorisme dan kejahatan transnasional terorganisasi”.1 Sehubungan dengan sifatnya yang baru, diperlukan pengenalan konsep dari 1 United Nation, Laporan Panel Tingkat Tinggi (HIGH-Level Panel) : Threats, Challenge and Change ( New York: Supervisi Sekjen PBB, 2004) dalam Romli Atmasasmita, “Politik Hukum Pidana Dalam Pembangunan Nasional”, disampaikan dalamMakalah dalam Seminar Nasional, Membangun Indonesia Melalui Pembangunan Hukum Nasional; diselenggarakan Kerjasama Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dan Ikatan kekeluragaan Advokat Indonesia (IKA-UI); Dharmawangsa Hotel, Tanggal 8 Desember 2011, dalam interspinas.wordpress.com/2012/02/18/politik-hukum-pidanadalam-pembangunan nasional,diakses tanggal 14 Mei 2014.
154
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
pertanggungjawaban pidana kolektif, atau dalam bahasa yang lebih umum disebut sebagai pertanggungjawaban pidana korporasi sama-sama disingkat PPK.Dimana meskipun pengaturannya sudah ada di beberapa undang-undang yang tersebar di luar KUHP, penerapannya ternyata hampir tidak pernah digunakan. Pertanyaannya adalah, mengapa para penegak hukum, khususnya Jaksa enggan menerapkan PPK? Jawabannya sebenarnya sederhana, oleh karena mereka tidak paham, dan menghindari pembuktian yang cukup rumit untuk meyakinkan hakim, namun sebenarnya cukup mengherankan untuk seorang jurist yang berperan di dalam penegakan hukum. Padahal oleh karena kalau bukan mereka yang menerapkannya, kemudian siapa lagi, sedangkan jaman menuntut hal baru itu diterapkan, sejalan dengan perkembangan modus dan tipologi kejahatan di abad 21. Apabila modus dan tipologi kejahatan telah jauh berkembang sementara penegakan hukum hanya sebatas menggapai para pelaku fisik atau lapangan, tentu tujuan dalam politik hukum pembangunan di mana hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakattidak akan pernah tercapai. Untuk itu diperlukan upaya bertahap dan besar untuk membantu para Jaksa di Indonesia memahami konsep dan paradigma baru dalam hukum pidana berupa pertanggungjawaban pidana korporasi (PPK). Kejaksaan Agung bekerja bersama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan cq. Satgas Reduction Emission from Deforestation and forest Degradation (REDD), mengawali konsep ini dengan merumuskan suatu kebijakan teknis baru yang dengan peraturan intern tersebut. Kelak perumusan dengan mengundang para pakar hukum hingga dari negeri Belanda tersebut diharapkan dapat memberikan pedoman kepada para Jaksa di daerah untuk tidak ragu dan percaya diri menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kejahatan-kejahatan yang aturan regulasinya memberlakukan penerapannya. Permasalahan pada makalah ini adalah: a) Bagaimanakah penerapan PPK dalam proses penuntutan tindak pidana korporasi?
b) Bagaimanakah perubahan paradigma peradilan sebagai respon dalam menanggapi penerapan PPK? A. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan a. Merumuskan penerapan PPK dalam proses penuntutan tindak pidana korporasi b. Merumuskan perubahan paradigm pengadilan yang diperlukan sebagai respon dalam menanggapi penerapan PPK dalam proses peradilan 2. Manfaat c. Penerapan PPK dalam praktek penuntutan tindak pidana koporasi d. Mengubah paradigma pengadilan sebagai respon diterapkannya PPK dalam proses peradilan B. Ruang Lingkup Pembahasan Penulisan makalah ini dibatasi pada persoalaan penerapan konsep PPK dalam peradilan di Indonesia khususnya bagaimana menerapkan konsep tersebut ke dalam penuntutan tindakpidana korporasi. C. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian tersebut mencakup penelitian terhadap asas-asas, peraturan perundang-undangan dan perbandingan hukum, Metode ini memungkinkan penulis memahami masalah dalam kerangka berpikir yuridis, baik dari interpretasi peraturan perundangan terkait maupun dengan menggunakan teori hukum yang ada. Analisis data penelitian dilakukan dalam kaca mata yuridis, melihat dinamika yang terjadi dalam relasi antara das sollen (apa yang seharusnya, yaitu yang terdapat dalam ketentuan dan asas hukum) dengan das Sein (apa yang terjadi, terkait dengan deskripsi data atas masalah penelitian) Pada penelitian normatif alat pengumpul datanya adalah studi dokumen.
1. Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data ini terdiri dari : a. Bahan hukum primer, yaitu meliputi norma dasar, peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan, baik dari Indonesia maupun Singapura b. Bahan hukum sekunder, yaitu meliputi kepustakaan hukum, artikel, makalah, internet dan lain-lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini 2. Teknik Pengumpulan Data 3. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen/ pustaka. Studi ini dilakukan untuk memperoleh data dari sumber sekunder yang berasal dari dokumen-dokumen hukum berupa buku, perundang-undangan, pemberitaan media massa dan internet yang terkait dengan masalah penelitian 4. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya menjadi informasi sebagai dasar analisis konseptual/teoritis.Data penelitian juga digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan mengacu pada kerangka konseptual yang digunakan, teori dan konsep lainnya yang relevan. D. Sistematika Penulisan Judul Bertemakan pertanggungjawaban pidana korporasi tetapi dibuat dalam tataran praktis penuntutan 1. BAB I Pendahuluan i.
Latar Belakang Menjelaskan mengapa pertanggungjawaban pidana korporasi sudah saatnya diterapkan dalam penuntutan
ii. Pokok Permasalahan Dirumuskan dalam point-point masalah yang hendak dibahas, terkait dengan latara belakang, tetapi focus pada permasalahan dari penerapan
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
155
penuntutan pertanggungjawaban pidana korporasi disertai hipotesis yang menjawab pertanyaan apakah penuntutan pertanggungjawaban pidana korporasi dapat mendekatkan pada tujuan penegakan hukum dan keadilan yang sesuai dengan teori pembangunan hukum iii. Tujuan Penelitian Merumuskan apa yang hendak dicapai dari penelitian, yang memiliki benang merah dengan latar belakang, dimana tujuan dalam penulisan ilmiah ini adalah agar paradigma baru penuntutan tindak pidana dengan menerapkan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dilakukan di jajaran teknis kejaksaan. iv. Manfaat Penelitian Memberikan kontirbusi dalam perkembangan teknis penuntutan di Kejaksaan v. Metode Penelitian Menguraikan metode yang digunakan dalam penelitian yang sesuai dengan karakter apa yang hendak diuraikan dalam penulisan 2. BAB II Gambaran Keadaan vi. Data dan Fakta Menampilkan data dan fakta yang timbul dari beberapa putusan pengadilan terkait pertanggungjawaban pidana korporasi vii. Permasalahan Menguraikan masalah apa yang menjadi kendala dalam penerapan PPK pada proses peradilan 3. BAB III Analisis dan Pemecahan Masalah viii. Analisis 1) Menganalisis perkembangan konsep PPK di dunia 2) Menganalisis konsep PPK pada system hukum Eropa Kontinental 3) Penerapannya dalam penuntutan tindak pidana korpotasi
156
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
ix. Pemecahan Masalah Memecahkan masalah bagaimana menerapkan konsep PPK dalam system hukum Eropa Kontinental dalam praktek penuntutan 4. BAB IV Penutup x. Kesimpulan Membuat point-point yang disimpulkan dari permasalahan dalam makalah xi. Saran Membuat saran-saran yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan konsep PPK dalam dunia peradilan Indonesia. 5. DAFTAR PUSTAKA Terdiri dari pustaka, kajian ilmiah, laporan yang memberikan referensi terkait dengan penulisan ilmiah.
II. PEMBAHASAN A. Data dan Fakta Lembaga peradilan sebenarnya telah beberapa kali berupaya menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi pada sejumlah kasus. Apakah kasus itu dibawa sejak penuntutan oleh Jaksa, atau diputuskan sendiri oleh Pengadilan pada kasus-kasus yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka oleh, untuk dan/atau atas nama korporasi. Berdasarkan data kasus-kasus yang terkait dengan tindak pidana korporasi, ada upaya Jaksa untuk mengajukan perkara dalam rangka pertanggungjawaban pidana korporasi yang namun belum mencapai putusan yang memuaskan dan menimbulkan multi tafsir, bahkan kebingungan untuk mengeksekusinya. Putusan sering kali tidak sinkron dengan dakwaan baik karena permasalahan undangundangnya juga tidak tegas menyebutkan mengatur PPK, sehingga Jaksa juga kesulitan menerapkan PPK dalam dakwaan, tetapi kemudian Hakim dalam putusannya berani menerapkan penjatuhan pidana bagi badan usaha. Ada pula putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana bagi badan usaha tetapi menerapkan kurungan sebagai pengganti denda pada sebuah badan usaha yang tidak mungkin bisa dikurung.
Kenyataan ini kemudian dianalisis timbul dari permasalahan, bahwa baik Jaksa maupun Hakim sama sekali tidak paham atas konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Kesalahan atas ketidakpahaman ini patut dimaklumi, oleh karena politik hukum pidana yang dianut sejak KUHP diberlakukan pada tahun 1958 dan berlaku hingga saat ini, hanya mengenal pertanggungjawaban pidana individu. Ketentuan ini terlihat dalam pasal 59 KUHP, dimana meskipun tindak pidana terkait suatu korporasi maka yang dijatuhi pidana tetap orang-orang yang menjadi pengurus korporasi. Pandangan ini, terus melekat pada pemikiran Jaksa dan Hakim di Indonesia, sementara undang-undang di luar KUHP sudah mulai mengakui bahwa badan usaha juga bisa menjadi subyek tindak pidana dan kelak akan diatur dalam RUU KUHP. Hasilnya sudah pasti sulit melepaskan pemikiran pertanggungjawaban individu untuk diterapkan dalam menuntut korporasi yang meletakkan badan usaha sebagai subyek tindak pidananya. Peradilan pun akhirnya menghasilkan putusan yang multi tafsir yang diawali dari pemahaman konsep yang salah, padahal Indonesia, sebenarnya pertama kali mengakui korporasi sebagai subyek tindak pidana sudah sejak tahun 1951 pada undang-undang di luar KUHP yakni Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan BarangBarang. Dan dilanjutkan dengan UndangUndang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (TPE).
(b) konstruksi arah pembuktian sebagaimana yang dimaksud dalam arah pembuktian PPK belum tepat;
Putusan-putusan yang memuat persoalan terkait PPK, tergambar dalam beberapa data putusan yang penting terkait dengan korporasi antara lain adalah:
(e) UU Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memang tidak mengatur soal PPK walaupun definisi Wajib Pajak dalam UU KUP, adalah orang pribadi atau badan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(1) Putusan Mahkamah Agung Nomor:862 K/Pid.Sus/2010 atas kasus tindak pidana lingkungan hidup terkait korporasi PT DONGWOO ENVIROMENTAL INDONESIA (DEI)2 mengandung beberapa permasalahan, seperti: (a) Identitas dakwaan tidak jelas meletakkan korporasi atau pengurus sebagai terdakwa; 2 Putusan Mahkamah Agung Nomor 862 K/PID.SUS/2010 (Jakarta: Mahkamah Agung R.I., 2010) atas nama KIM YOUNG WOO dalam http://www.putusan .mahkamahagung.go.id, diakses tanggal 20 Mei 2014.
(c) pertimbangan hakim dalam putusan juga belum tepat sesuai dengan konstruksi cara pandang dalam PPK; serta (d) penjatuhan pidana dalam putusan Mahkamah Agung, adalah menjatuhkan pidana kurungan pengganti denda bagi PT DEI yang tidak mungkin dapat terlaksana oleh karena PT DEI adalah badan usaha bukan orang. (2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239K/ PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012, atas kasus tindak pidana perpajakan, terkait kasus Asian Agri Grup (AAG)3 mengandung beberapa permasalahan seperti: (a) Identitas dakwaan Jaksa adalah terhadap terdakwa pengurus korporasi (b) konstruksi arah pembuktian sebagaimana yang dimaksud dalam arah pembuktian PPK belum tepat; (c) pertimbangan hakim dalam putusan juga belum tepat sesuai dengan konstruksi cara pandang dalam PPK; serta (d) putusan Mahkamah Agung menjatuhkan hukum pidana percobaan pada pengurus korporasi Tax Manager AAG, Suwir Laut dan hukuman denda pajak Rp 2,5 triliun pada badan usaha yakni AAG yang tidak didakwakan sebagai subyek tindak pidana oleh Penuntut Umum.
(3) Putusan Nomor: 284/Pid.B/2005/PN.Mdo atas perkara tindak pidana lingkungan hidup terkait korporasi PT NEWMONT MINAHASA RAYA (NMR)4. Setelah 3 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/PID.SUS/2012 (Jakarta: Mahkamah Agung R.I., 2012) atas nama SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK dalam http://www.putusan .mahkamahagung. go.id, diakses tanggal 20 Mei 2014. 4 Lu Sudirman dan Feronica, “Pembuktian Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan dan Korupsi Korporasi di Indonesia dan Singapura”, Hasil Penelitian tidak diterbitkan, Universitas Internasional Batam, hal. 1., dalam http://www.mimbar.hukum.ugm.ac.id diakses tanggal 18 Mei 2014.
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
157
sejak tahun 1951 Indonesia telah mengakui korporasi sebagai subyek tindak pidana, namun baru pada tahun 2004, Jaksa melakukan penuntutan terhadap suatu korporasi dalam kasus PT NMR. Meskipun perdana, tuntutan yang akhirnya dinyatakan Pengadilan, dakwaan PU tidak terbukti, tetap merupakan ikon sejarah yang fenomenal terhadap penuntutan PPK di Indonesia. Hal yang paling menarik untuk dicermati yakni PU menerapkan Dakwaan korporasi dengan 2 (dua) subyek tindak pidana yakni: 1. kepada badan usahanya dan yang ke-2 kepada pengurus korporasi. Meskipun yang didudukkan sebagai wakil korporasi dan sebagai pengurus korporasi yang dituntut orangnya sama dan hal ini menjadi suatu isu dalam konsep PPK. Bahwa meskipun pengadilan kemudian menyatakan dakwaan Jaksa tidak terbukti dan korporasi dibebaskan dari segala dakwaan Penuntut Umum, kasus ini meletakkan dasar yang fenomenal terhadap penerapan penututan dengan pendekatan pembuktian pertanggungjawaban pidana korporasi.
Lu Sudirman dan Feronica menyebut permasalahan ini dengan pendapatnya: “Masih terpakunya para praktisi hukum pada asas tiada pidana tanpa kesalahan yang dianut oleh hukum pidana umum Indonesia diduga menjadi salah satu penyebab yang menyulitkan penyidik dan jaksa dalam menyertakan korporasi sebagai tersangka, terdakwa apalagi terpidana. Diduga penyebab lainnya ialah ketidakcermatan penyidik ataupun jaksa dalam membuat surat tuntutan atau dakwaan yang tidak menyertakan korporasi sebagai pihak yang dimintai pertanggungjawaban pidana; ketidakmampuan jaksa dalam membuktikan kesalahan korporasi; hingga belum dapat diterimanya konsep pertanggungjawaban pidana korporasi itu sendiri oleh penyidik, jaksa maupun hakim”.5 Indonesia belum pernah menghukum korporasi atas tindak pidana yang dilakukan directing mind and will korporasi. Beberapa pakar seperti Sutan Remy berupaya memberi bantuan interpretasi, terhadap tindak pidana koorupsi belum ada reaksi nyata dari para penegak hukum terhadap interpretasi tersebut. Meskipun, baik Jaksa melalui kasus PT NMR dan Hakim melalui Kasus PT DWI, sudah berupaya menerapkan PPK dengan segala ketidaksempurnaannya, namun patut merupakan usaha yang harus diacungi jempol karena penerapannya dalam hukum Indonesia sudah dimulai, hanya saja, penerapannya “belum terlalu popular” oleh karena masalah utama, tidak banyak yang memahani konsepnya sementara konsep itu harus mengubah paradigma terhadap azas hukum pidana, yang semula bersifat universitas delinquere, nonpotest , hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana menjadi badan usaha juga dapat melakukan tindak pidana, dimana para penegak hukum masih sulit membayangkan suatu korporasi yang tidak memiliki niat kalbu dapat melakukan perbuatan jahat. Apalagi tujuan pemidanaan yang klasik namun masih tetap dipertahankan para penegak hukum sendiri adalah masih berupa “penghukuman atau pembalasan” untuk membersihkan “jiwa yang berdosa”, sedangkan dengan pemikiran seperti itu maka dianggap, Korporasi tidak punya dosa atau “kesalahan” sehingga sangat tidak mungkin membersihkan kesalahan korporasi dengan pemidanaan.
Apabila faktanya dalam penerapan PPK masih multi tafsir, hal ini patut dimaklumi oleh karena memang permasalahan kebingungan atas konsep PPK di antara para penegak hukum sendiri.Dampak yang ditimbulkan cukup signifikan oleh karena kalau para ahli hukum saja berdebat mengenai masalah putusan, lalu bagaimana dengan masyarakat yang awam hukum, sudah pasti lebih bingung lagi dengan ketidakpastian ini. B. Permasalahan Berdasarkan kasus-kasus di atas, tampak bahwa ada masalah dengan penerapan PPK di kalangan para penegak hukum. Kelemahan utama akan konsep pertanggungjawaban pidana individual yang melekat pada pemikiran Jaksa maupun Hakim sebenarnya juga diakumulasikan dengan tidak adanya satu pun konsep yang seragam yang disajikan oleh para ahli hukum baik yang mengupas konsepnya melalui literatur yang ada maupun yang memahami konsepnya secara benar. 5
158
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Ibid., hal. 293
Kasus PT DWI merupakan kasus pertama dari tindak pidana PPK yang menjatuhkan pidana terhadap korporasi dalam hal ini kepada PT DWI sendiri dengan hukuman denda, namun Hakim masih salah menjatuhkan subsidiair kurungan pengganti denda. Perkembangan baru yang menarik dan berhasil diterapkan oleh Hakim adalah penjatuhan pidana tambahan selain pidana pokok dengan perampasan keuntungan atas tindak pidana serta penutupan PT DWI untuk seluruhnya. PPK sudah masuk dalam RUU KUHP pasal 44 s/d 49 yang mengatur tentang “pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability)”, namun sampai dengan saat ini, Hakim dan Jaksa memiliki keengganan untuk menerapkan PPK oleh karena beberapa permasalahan seperti: 1) Ketidakpahaman konsep PPK 2) Kalaupun Jaksa hendak mencoba, Jaksa malas menghadapi tantangan internal dari jajaran Kejaksaan sendiri yang tidak paham konsep PPK sedangkan sistem semi militer di Kejaksaan masih sering disalahartikan oleh para pimpinan yang tidak visisoner dengan sistem “komando” seperti tentara, yang bila tidak dilaksanakan bawahan, maka dianggap melawan pimpinan 3) Masalah berikutnya adalah Hakim yang juga tidak paham konsep PPK, padahal Jaksa sebagai Penuntut Umum harus dapat membuktikan sekaligus meyakinkan Hakim yang tidak paham mengenai konsep PPK, sangatlah berat, sedangkan Hakim yang berkuasa memutuskan perkara 4) Kemudian permasalahan yang lain adalah karena berbagai literatur yang ada mengenai PPK tidak memberikan kejelasan konstruksi pemikiran PPK secara “membumi” oleh karena konsep-konsep PPK yang dimuat dalam berbagai literatur semuanya bersifat hukum perbandingan (studi comparative) tanpa satu pun bisa memberi ketegasan, konsep PPK mana yang bisa diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dianalisis bagaimana cara menerapkan PPK dalam proses penuntutan di Indonesia, sesuai dengan sistem hukum yang berlaku, serta sebagai muara proses penuntutan adalah Pengadilan yang perlu
bekerja keras untuk memahami konsep dan konstruksi hukumnya, serta bagaimana cara mengubah paradigma Pengadilan sehingga proses penuntutan PPK dapat berjalan dengan lancer, akan dibahas dalam bab selanjutnya. C. Analisis Dan Pemecahan Masalah 1. Penerapan PPK Dalam Proses Penuntutan Tindak Pidana Korporasi. PPK diakui pada akhir abad ke-19, meskipun pada awalnya subyek yang dapat dipidana tetap harus ‘orang’ yakni pengurusnya.Hukum pidana klasik tetap bertahan pada adagium bahwa hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana (universitas delinquere nonpotest). Korporasi tidak dapat dihukum karena mereka tidak memiliki tubuh yang nyata dan dapat dibebani penderitaan serta tidak memiliki jiwa yang harus dipersalahkan atau dikutuk. Selama abad ke-20, peran korporasi dalam kehidupan masyarakat semakin besar, sehingga pemikiran tentang PPK telah lebih maju. Perkembangan jaman membuktikan bahwa banyak korporasi melakukan tindak pidana yang jauh lebih serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kejahatan konvensional.Akibat yang ditimbulkannya bahkan bisa jauh lebih memakan korban, merusak, dan merugikan banyak orang termasuk lingkungan. Oleh karena itu beberapa konvensi internasional kemudian memutuskan bahwa korporasi harus dianggap dapat melakukan tindak pidana, seperti Konvensi Dewan Eropa tentang Perlindungan Lingkungan melalui Hukum Pidana (Strasbourg, 1998) pada Pasal 9; Konvensi PBB tentang Anti Kejahatan Transnasional (Palermo, 2000) pada Pasal 10 atau Konvensi PBB tentang Anti Korupsi (New York, 2003) pada Pasal 26. Salah satu kasus yang memicu diakuinya PPK adalah kasus Thalidomide pada awal tahun 1960-an. Kasus tersebut terkait produser obat terbesar di Jerman yang memproduksi obat anti mual Thalidomide. Pada satu era, obat yang dikonsumsi oleh wanita hamil tersebut menyebabkan ribuan bayi lahir cacat tanpa tangan, kaki atau anggota tubuh yang lain. Kasus ini
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
159
memicu diakuinya PPK, ketika korporasi maupun pengurus korporasinya tetap harus bertanggung jawab meskipun kesalahan itu dilakukan terhadap orang yang ada di bawah kendali korporasi atau pengurus korporasi dalam kesalahan peracikan obat yang mengakibatkan cacat lahir. Di Belanda PPK pertama kali diakui pada tahun 1951 dalam UU Tindak Pidana Ekonomi, kemudian pada tahun 1976 PPK diberlakukan secara umum dan diatur dalam KUHP Belanda. Pasal 51 KUHP Belanda disusun sedemikian rupa sehingga jika sebuah korporasi dianggap melakukan tindak pidana, ada 3 kemungkinan penuntutan dan penjatuhan pidana.Pertama, korporasi itu sendiri dapat dituntut dan dijatuhi pidana.Kedua, terhadap orang yang memegang kendali dari tindak pidana tersebut dan ketiga, penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi maupun orang yang memegang kendali terjadinya tindak pidana.Oleh karena itu, Penuntut umum dapat menuntut korporasi, atau orang yang mengendalikan terjadinya tindak pidana, atau keduanya. Indonesia sendiri oleh bekas karena jajahan Belanda, banyak mengadposi hukum pidana Belanda, sehingga azas-azas hukum pidananya banyak berkiblat ke hukum pidana Belanda, selain hukum Indonesia dan Belanda sama-sama lahir dari sistem hukum civil law atau Eropa Kontinental. Ketika Belanda menerapkan konsep PPK, Indonesia juga mengikuti dengan UndangUndang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang. dan dilanjutkan dengan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (TPE). Di dalam teori pertanggungjawaban pidana, elemen kesalahan akan selalu dipermasalahkan selama asas kesalahan masih merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana. Pertanyaannya kemudian bagaimanakah pengaruh asas kesalahan apabila suatu korporasi dituntut untuk suatu tindak pidana?Sebab bagaimanapun juga, badan hukum tidak 160
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
memiliki jiwa manusia (menselijke psyche) dan unsur-unsur psychis (de psychische bestanddelen) sehinggadapat dikatakan memiliki kesalahan. Konsep PPK pertama kali diakui di Amerika dimana “elemen kesalahan” sama sekali tidak diperhatikan untuk membuktikan PPK, sehingga muncul teori identifikasi (Identification Theory) yang pada dasarnya mengidentifikasi kesalahan korporasi dari kesalahan pengurus yang mempunyai kualifikasi tertentu, seperti dinyatakan dalam akta pendirian atau surat sah yang menyatakan orang itu sebagai sebagai pengurus yang dianggap memiliki penentu pengarah kebijakan korporasi. Di dalam konsep PPK, pengurus korporasi dengan kualifikasi tertentu tersebut dianggap sebagai “pengarah kebijakan korporasi” dan lebih dikenal dengan istilah ”directing mind”. Teori lain yang berkembang dan dikenal di dalam konsep PPK adalah strict liability, yang bahkan sama sekali tidak perlu membuktikan elemen kesalahan sehingga dikenal juga dengan istilah pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Inggris mengkritisi teori Identifikasi dengan menerapkan teori Agregasi. Teori yang menggabungkan / mengagrerasi unsur-unsur actus reus dari para bawahan dengan mens rea dari pengurus korporasi. Di dalam teori ini diajarkan, bahwa tidak perlu kesalahan korporasi dibuktikan dari pengurus yang memiliki kualifikasi tertentu, sebagaimana teori Identifikasi, tetapi kesalahan korporasi bisa dibuktikan dari beberapa orang yang ada di dalam kendali korporasi atau di dalam kendali pengurus korporasi yang melakukan tindakan ataupun pembiaran yang melahirkan tindak pidana. Sistem hukum yang dianut oleh Eropa Kontinental, tidak seperti kedua teori tersebut, oleh karena sistem hukum civil law sangat berhati-hati, sebagaimana azas yang masih kuat dipegangnya “tiada pidana tanpa kesalahan”. “An act does not make a person legally guilty unless the mind is legally blameworthy” Suatu perbuatan tidak akan membuat badan hukum
bersalah, kecuali kebijakan badan hukum itu salah”.6Elemen kesalahan bagi civil law dalam menerapkan PPK kemudian dinilai dari perilaku atau apa yang dilakukan oleh korporasi maupun pengurus korporasinya. Sistem inilah yang kemudian juga diadopsi oleh Indonesia serta dikembangkan dalam yurisprudensi Belanda dimana diakui perusahaan juga dapat bertindak sengaja atau lalai dan kesalahan pada korporasi tidak mengacu pada keadaan psikologis pikiran manusia tetapi mengacu pada penilaian terhadap perilaku atau apa yang dilakukan oleh korporasi maupun pengurus korporasinya.
menentukan pilihan untuk menerima atau tidak menerima tindakan bawahannya. Bahwa “menerima tindakan bawahan” dijelaskan dalam penjelasan UUPPLH termasuk perbuatan menyetujui, membiarkan atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana. Perbuatan itu bisa berupa perbuatan aktif atau komisi dan bisa pula merupakan perbuatan pasif atau omisi yang membiarkan atau tidak menjamin terlaksananya operasional perusahaan untuk tidak melakukan tindak pidana. Lebih lanjut Sukma Violetta ahli PPK menjelaskan7,
Bahwa korporasi dapat mengandung elemen kesalahan di Indonesia sendiri, diakui hampir 4 (empat) dekade yang lalu dimana pada awalnya hanya digunakan dalam Tindak Pidana Ekonomi atau TPE, kemudian berkembang dalam konsep yang lebih sempurna pada undang-undang di luar KUHP lainnya yakni pada Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) pada tahun 1997 hingga saat ini ada lebih dari 30 (tiga puluh) undang-undang di luar KUHP menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi. Salah satu hal penting yang bisa dipelajari dari diberlakukannya konsep PPK pada undang-undang Lingkungan Hidup dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah salah satu teori yang digunakan untuk membuktikan kesalahan korporasi atau pengurus korporasi yakni teori “power and acceptance”. Power and acceptance digambarkan sebagai suatu sifat yang melekat pada pertanggungjawaban orang yang mengendalikan korporasi atau yang memiliki kualitas tertentu di dalam korporasi bertindak untuk dan/atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, dimana oleh karena kedudukan atau fungsinya itu Ia memiliki kewenangan untuk mengendalikan, mengurus atau menentukan arah kebijakan korporasi serta Jan Remmelink , Hukum Pidana, Komentar asas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama, 2003), hal. 118. 6
“kesalahan tersebut dapat dibuktikan dengan menilai perilaku atau tindakan korporasi dalam 4 (empat) level penilaian yang harus dilakukan oleh pengurus korporasi antara lain: a. apakah dalam kebijakan korporasi pengurus korporasi telah melakuukan tindakan pencegahan b. apakah di dalam kebijakan tersebut, pengurus korporasi telah memberikan arahan c. apakah pengurus telah melakukan pengawasan rutin d. apabila dari level satu sampai dengan 4 itu sudah dilakukan maka yang terakhir Ia harus menjamin agar pelanggaran hukum itu tidak terjadi dan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan dari korporasi tersebut”. Ajaran penting yang membedakan konsep PPK dalam sistem hukum Belanda dengan konsep di negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon adalah sebagaimana dijelaskan Prof. Mr. Nico Keijzer, “Untuk menuntut korporasi, tidak perlu didahului dengan melakukan identifikasi tentang orang yang memegang kendali terjadinya tindak pidana. Sebaliknya, untuk menuntut orang yang mengendalikan terjadinya tindak pidana: Sukma Violetta dalam perkara PPK “atas nama terdakwa I Wayan Putu Sujana melanggar tindak pidana Perlindungan Anak atau Trafficiking” disajikan dalam notulensi persidangan sesuai keterangan ahli di persidangan (PN Mataram, tanggal 10 Maret 2014)dalam Tuntutan Nomor Register: PDM-166/MATAR.10/2013 tanggal 21 Mei 2014 7
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
161
Pertama, terlebih dahulu harus ditetapkan bahwa korporasi telah melakukan tindak pidana tersebut; Kedua, terdakwa adalah orang yang memegang kendali atas tindakan tersebut”.8Hal ini perlu dianalisis lebih lanjut dengan meletakkan teori-teori serta konsep PPK yang sesuai dengan hukum Negara kita, dalam praktek peradilan. 2. Perubahan Paradigma Peradilan sebagai Respon dalam Menanggapi Penerapan PPK Bagaimana peradilan merespon PPK sebagai suatu perubahan paradigma merupakan suatu pekerjaan rumah yang sangat besar yang harus dilakukan, terutama untuk membekali para Hakim di Pengadilan dengan azas-azas PPK. Pengadilan dikenal sebagai muara semua perkara yang masuk ke tingkat penuntutan. Ketidaknyamanan atas konsep PPK bagi para Hakim yang cenderung mengikuti paradigma lama, akan membuat lembaga peradilan kehilangan fungsinya sebagai lemabga pemutus keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengubah paradigma atas azas hukum yang sudah berpuluh-puluh tahun melekat, tidaklah mudah. Apalagi Hakim atau Jaksa yang merupakan produk KUHP sejak tahun 1955, sudah begitu fanatiknya di dalam menerapkan konsep pertanggungjawaban individu (PPI) dan sama sekali tidak memiliki gambaran bagaimana suatu korporasi bisa dipidana. Berapa banyak Hakim atau Jaksa di Indonesia yang siap menerima perubahan, tampaknya agak sulit diperkirakan oleh karena paradigma seperti konsep pertanggungjawaban individu dimana hanya manusia yang bisa dipidana, sudah seperti keyakinan yang melekat. Thomas Kuhn berkata “pergeseran paradigma adalah perubahan asumsi dasar atau paradigma dalam sains”. Menurutnya, “paradigma adalah apa yang diyakini oleh anggota komunitas ilmiah. Paradigma tidak terbatas kepada teori yang ada, tetapi juga semua cara pandang 8 Nico Keijzer, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, disampaikan dalam Makalah dalam Seminar Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, diselenggarakan oleh UKP4-Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Mei 2013
162
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
dunia dan implikasinya”.9Oleh karenanya dimaklumi bahwa mengubah paradigma bukan sesuatu yang muda dilakukan. Namun ketika jaman berubah, sudah pasti para penegak hukum, legislasi maupun masyarakat perlu sadar akan adanya perubahan paradigama dalam pertanggungjawaban pidana. Perubahan paradigma ini perlu segera dimulai, oleh karena RUU KUHP baru dalam rancangannya juga sudah memasukkan PPK dalam aturannya. Meskipun ada hal-hal yang mungkin harus lebih disempurnakan untuk memperoleh penerapan konsep yang lebih baik dan lebih sesuai dengan sistem hukum di Indonesia. Proses perubahan pertama yang harus dilakukan adalah melakukan peningkatan kapasitas. Oleh karena Taverne bilang, “Geef me goede rehcter, goede rechter commissarissen, goede officiren van justitie en goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van starfproserecht het goede beruken” bukan rumusan undangundangnya yang menjamin kebaikan pelaksanaan hukum acara pidana, tetapi hukum acara pidana yang jelekpun bisa menjadi baik jika pelaksanaannya ditangani oleh aparat penegak hukum yang baik10. Di dalam hal yang sama berlaku kalau undangundang hukum pidananya sudah baik tapi sumber daya manusianya belum siap, tetap saja konsep PPK tidak akan bisa terwujud. Peningkatan kapasitas yang diharapkan pada Hakim dan Jaksa termasuk Penyidik bukan hanya mengenai intelektualitasnya tetapi juga pada perubahan mental, mindset serta dedikasi terhadap perubahan paradigma tersebut.Perkara-perkara PPK bukan perkara mudah pembuktiannya, selain itu juga selalu bersentuhan dengan perusahaan yang memiliki kemampuan finansial cukup tinggi.Para aparat penegak hukum bisa saja dengan mudah tergoda serta mengorbankan dedikasinya terhadap penegakan hukum. Di dalam banyak 9 Thomas Khun, “The Structure of Scientific Revolutions”(1962) dan The Essential Tension, (1977)dalam http://www.org.wikipedia.id, diakses tanggal 21 Mei 2014 10 Taverne dalam M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: PT Sarana Bakti Semesta, 1985) hal.6.
kasus besar, terkait korporasi, terlepas dari kelemahan-kelemahan pembuktian Penuntut Umum, ada banyak putusan yang mengecewakan serta tidak berupaya membuat suatu terobosan yang lebih dapat memberi keadilan sedangkan Hakim sebenarnya mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu penemuan hukum yang kelak dapat menjadi hukum. Kasus Mandalawangi adalah suatu contoh kasus tindak pidana lingkungan hidup yang diajukan oleh masyarakat dalam perkara class action, dimana hakim begitu berperan, berupaya untuk menciptakan keadilan, bahkan menerapkan suatu prinsip yang sebenarnya belum tegas diatur dalam hukum di Indonesia meskipun sudah melandasi secara filosofis dari beberapa ketentuan yang ada, tetapi dengan keberanian sang Hakim membuat suatu perubahan yang mengenyampingkan hukum yang biasa berlaku serta lebih mendahulukan kepentingan hukum dan keadilan, sehingga penerapan hukum tersebut lebih mempunyai nilai yang sesungguhnya menjadi esensi tujuan penegakan hukum. Kasus Mandalawangi adalah kasus tindak pidana lingkungan hidup atas gugatan perwakilan kelompok (class action) masyarakat korban longsor yang diakibatkan perbuatan melanggar hukum Perum Perhutani mengelola hutan produksi terbatas di kawasan Mandalawangi yang sebenarnya semula merupakan kawasan hutan lindung. Alm.Hakim Dedi Sobandi, SH., MH.yang pernah mengikuti training project di Australia dalam putusannya No. Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN BDG, tanggal 28 Agustus 2003, menerapkan prinsip “precautionary principle” yang dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung nomor 1794K/Pdt/2004 tanggal 22 Januari 2007, dimana meskipun precautionary principle, belum diterima sebagai hukum positif namun Mahkamah Agung mendukung pertimbangan prinsip kehati-hatian atau precautionary principle yang menjadi dasar penerapan tanggung jawab mutlak (strict liability) yang harus dipikul para tergugat. Prinsip kehatihatian dapat diterima sebagai ius cogen yang artinya suatu norma yang diterima
dan diakui oleh masyarakat Internasional diakui sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum Internasional umum baru yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karenanya penegakkan hukum lingkungan hidup dapat dilakukan dengan standar hukum internasional yang mana ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional untuk mengisi kekosongan hukum apabila telah dipandang sebagai ius cogen11 Putusan ini dinggap berani karena menerapkan prinsip internasional yang masih bersifat soft law dan tidak mengikat tetapi demi keadilan, Hakim memberikan pendekatan sebuah prinsip asing yang dapat lebih memberi keadilan, apalagi prinsip ini sudah diakui sebagai prinsip internasional.Strict liability juga dikenal dalam konsep PPK walaupun dalam konsep PPK diterpakan pada pertanggungjawaban pidana dan bukan perdata sebagaimana undang-undang lingkungan hidup, tetapi intinya sama-sama merupakan pertannggungjawaban tanpa kesalahan. Kemudian perubahan kedua yang diharapkan adalah perubahan dalam legislasi yakni harapan tersusunnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasiona.dan memberikan keadilan serta kemanfaatan yang besar bagi penegakan hukum. RUU KUHP sendiri sudah mengatur Konsep PPK dalam beberapa pasal antara lain : “Paragraf 6 Korporasi Pasal 47 Korporasi pidana
merupakan
subyek
tindak
Pasal 48 Tindak pidana dilakukan oleh kroporasi 11 Erni Mustikasari, Modul Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Jakarta:Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan R.I, 2014): 13 et seq
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
163
jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersamasama. Pasal 49 Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pasal 50 Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan Pasal 51 Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Pasal 52 (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim. Pasal 53 Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi”.12 12
164
RUU KUHP 2013, dalam http://www antikorupsi.org/sites/anti-
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Dimasukkannya konsep PPK dalam Buku II Paragraf 6 RUU KUHP pada tahun 2013, berarti bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi berlaku umum untuk semua delik.Konsep PPK ini belum terlalu lengkap, artinya konsep sebagaimana PPK yang sesuai dengan sistem hukum Eropa Kontinental pada bagian bagaimana cara membuktikan kesalahan korporasi belum terlalu jelas, demikian pula kriteria apa suatu perbuatan bisa dikategorikan PPK. Apa yang diatur dalam Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999) mungkin dapat membantu dijadikan pedoman. Pada Article 18 dinyatakan bahwa: “... that legal persons can be held liable for the criminal offences... Committed for their benefit by any natural person, acting either individually or as part of an organ of the legal person, who has a leading position within the legal person, based on : (diterjemahkan bebas suatu korporasi dapat dipertanggungjawabpidanakan, maka penuntutan ditujukan kepada setiap orang yang bertindak baik secara sendiri maupun sebagai organg korporasi yang menjalankan fungsi sebagai pengendali korporasi, berdasarkan pada:) a power of representation of the legal person; or an authority to decisions on behalf of the legal person; or an authority to exercise control within the legal person; as well as for involvement of such a natural person as accessory or instigator in the abovementioned offences”. (diterjemahkan bebas: kekuasaan untuk mewakili korporasi; atau kewenangan untuk memutuskan untuk dan/atau atas nama korporasi; atau kewenangan untuk menjalankan pengawasan dalam korporasi: seperti seorang individu yang memberi perintah atau memimpin tindak pidana. korupsi.orgdiakses tanggal 22 Mei 2013
Pada pasal 52 RUU KUHP diaturbahwa PPK diterapkan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dengan pertimbangan kemanfaatan mengingat dampak dipidanakannya korporasi terhadap buruh, pemegang saham, konsumen, negara sebagai pemungut pajak dan sebagainya. Pasal 53, mengenai alasan pemaaf dan pembenar perlu diperhatikan sesuai konsep “kesalahan” yang diatur dalam pasal-pasal sebelum pengaturan tentang Korporasi pada RUU KUHP. Bahwa yang menarik dengan diterapkannya konsep PPK dalam RURU KUHP, otomastis terjadi pergeseran paradigma pula terhadap konsep “kesalahan” yang diatur dalam pasal-pasal sebelumnya, sebagai berikut: “Kesalahan Pasal 37 (1) Tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan. (2) Kesalahan terdiri dari kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan dan tidak adanya lasan pemaaf Pasal 38 (1) Bagi tindak pidana tertentu, undangundang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana sematamata karena telah dipenuhinya unsurunsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan (2) Dalam hal ditentukan oleh undangundang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan orang lain”.13 Konsep kesalahan ini pada akhirnya menjelaskan, bahwa meskipun pada prinsipnya kita menganut teori tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), tetapi dengan diakuinya korporasi sebagai suyek tindak pidana, maka pada ayat 2 pasal 38 dijelaskan di dalam hal ditentukan undang-undang, berlakulah azas “vicarious liability” yang menjelaskan 13
Ibid, hal. 22
hubungan pertanggungjawaban pengurus dengan tindakan bawahan yang berada dalam hubungan kerja atau hubungan lain, sebagaimana dijelaskan dalam bab Pemecahan Masalah. Namun hal tersebut tidak berlaku, apabila undang-undang yang terkait tindak pidana tidak mengaturnya. Undang-undang yang mengatur azas vicarious liability dalam konsep PPKnya, adalah undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hiudp. Kemudian diakuinya azas strict liability pada ayat (1) pasal 38, dimana menurut penulis, ketentuan dalam ayat (1) seharusnya tidak perlu dilakukan oleh karena kalau kita sudah memiliki teori dasat tiada pidana tanpa kesalahan, tampaknya kita tidak perlu mengadopsi strict liability sebagaimana konsep PPK pada sistem hukum Anglo Saxon, karena sistem hukum Eropa Kontinental sebenarnya punya konsep sendiri mengenai PPKnya, dimana konsep kesalahan tetap dipertahankan hanya begeser pada konsep pelaku fungsional dan hal itu sudah dijelaskan dalam pasal 51 RUU KUHP. . Oleh karena korporasi tetap dapat dianggap memiliki kesalahan ketika fungsi-fungsi dalam korporasi tidak dijalankan untuk mecegah tindak pidana terjadi, sebagaimana duty of care seorang pemegang fiduciary of duty.Akibatnya prinsip tiada pidana tanpa kesalahan, menjadi tidak konsisten. Namun demikian Penulis tetap membuka diri terhadap azas hukum asing, asal saja kemanfaatannya dan kepastian hukumnya dapat tetap diseimbangkan, seperti misalnya tindak pidana itu memberikan efek yang luar biasa merusak dan jahat bagi sendisendi kehidupan masyarakat, sedangkan pembuktiannya akan banyak menemui hambatan dengan cara-cara yang biasa 2. Pemecahan Masalah a. Penerapan PPK Dalam Proses Penuntutan Tindak Pidana Korporasi Konsep dasar sebagaimana dijelaskan Profesor Nico dalam konsep PPK yang dianut di negeri Belanda tidak terlalu mudah dimengerti, apalagi bagi orang yang baru pertama kali mengenal
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
165
konsep PPK. Oleh karenanya, Penulis menjelaskan sebagai berikut: Bahwa apa yang dimaksud oleh Profesor Nico, PPK di negeri Belanda memang tidak seperti apa yang dirumuskan di dalam teori Identifikasi, ketika kesalahan pengurus atau pengendali korporasi kemudian dianggap sebagai kesalahan korporasi, tetapi pertama kali yang penting dibuktikan oleh Penuntut Umum dalam konsep tersebut, bahwa Penutut Umum harus dapat meyakinkan Hakim bahwa tindak pidana yang terjadi memang dilakukan dalam rangka oleh, untuk dan/atau atas nama korporasi. Di dalam praktek hal ini bisa dibuktikan Penuntut Umum dengan menguraikan fakta yuridis terkait dengan: (a) tindak pidana yang terjadi dilakukan dalam ruang lingkup usaha korporasi; (b) tindak pidana yang terjadi dilakukan oleh orang-orang yang berada di dalam kendali korporasi; (c) tindak pidana yang terjadi dilakukan dengan menggunakan fasilitas korporasi dan tidak mungkin terjadi tanpa adanya usaha ataupun fasilitas dari korporasi; serta (d) tindak pidana yang terjadi dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi korporasi, sehingga di dalam konsep PPK, ketika korporasi terus menerus menerima keuntungan dari tindak pidana, dianggap korporasi telah menerima keuntungan yang “tidak halal” atau “melanggar hukum” Kedua, Penuntut Umum harus dapat membuktikan bahwa terdakwa adalah orang yang memiliki kualitas tertentu di dalam korporasi.Kualitas tertentu tersebut adalah pemberian hak dari korporasi atau pengurus korporasi untuk mengurus korporasi tersebut tetapi kemudian dengan hak tersebut, otomatis melekat pula kewajiban untuk menjaga setiap aktivitas perusahaan jangan sampai terjadi tindak pidana atau pelanggaran hukum.Bahwa di dalam 166
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
kewajiban seorang pengurus korporasi yang diberi amanah untuk mengurus perusahaan dalam PPK dikenal dengan istilah pengemban fiduciary of duty dimana konsekuensi dari fiduciary of duty adalah duty of care atau tugas atau kewajiban memedulikan yang timbul dari amanah yang diberikan perusahaan untuk mengurus perusahaan. Tugas memedulikan dari seorang pengurus korporasi dapat berupa keterlibatan atau partisipasi aktif dalam perencanaan rencana bisnis korporasi, di bidang manajemen, pengawasan, mengambil tindakan dalam hal karyawan atau bawahan atau orang-orang yang ada di bawah kendalinya ketika berbuat salah, serta meminta laporan secara berkala mengenai bisnisnya. Di dalam praktek, pembuktian kualitas apakah orang tersebut benar sebagai pengendali korporasi, dapat dibuktikan dengan suatu akta yang menyebutkan dialah pengurus korporasi, atau apabila pengurus korporasi tidak mengurus sendiri perusahaannya, Ia harus menguasakan kepengurusan itu kepada orang yang diberi kekuasaan yang sah sebagai pengurus atau pengendali korporasi dibuktikan dengan surat kuasa yang sah maupun kontrak kerja yang menyerahkan kewenangan kepengurusan perusahaan kepada orang tersebut. Setelah itu, Penuntut Umum hanya tinggal menarik benang merah atau menghubungkan antara tindak pidana yang terjadi dengan jenis usaha yang masuk dalam kepengurusan si pengendali korporasi. Praktek membuktikan penentuan siapa yang dapat didudukkan sebagai “pengendali korporasi” kadangkadang cukup rumit, oleh karenanya Penuntut Umum harus melakukan penelitian terhadap dokumen-dokumen pendukung sekaligus sebagai barang bukti atau alat bukti surat berdasarkan pasal 187 huruf d KUHAP14 untuk 14 Pasal 187 huruf d KUHAP: “surat lain yang hanya dapat berlakuapabila isi surat itu ada hubungannya dengan alat pembuktian yang lain”, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta:Diperbanyak oleh
diajukan sebagai pembuktian yang dianalisis yuridis dengan persesuaian saksi-saksi. Apabila kedua hal tersebut terpenuhi, Penuntut Umum harus menyusun pembuktian berdasarkan keterangan saksi, ahli serta dokumen pendukung yang membuktikan tindak pidana apa yang dilakukan oleh korporasi dimana keseluruhan alat bukti diarahkan dalam kerangka: i.
apakah dalam kebijakan korporasi pengurus korporasi telah melakukan tindakan pencegahan
ii. apakah di dalam kebijakan tersebut, pengurus korporasi telah memberikan arahan iii. apakah pengurus telah melakukan pengawasan rutin iv. apabila dari level satu sampai dengan 4 itu sudah dilakukan maka yang terakhir Ia harus menjamin agar pelanggaran hukum itu tidak terjadi dan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan dari korporasi tersebut.15 Pembuktian ini dalam praktek tidaklah mudah, tetapi apabila Penuntut Umum banyak membaca literatur terkait konsep PPK, maka akan lebih mudah mengerti. Pada intinya, Penuntut Umum dalam rangka membuktikan PPK adalah pengurus korporasi selaku kedudukan fungsionalnya di dalam perusahaan telah mengambil kebijakan yang salah di dalam korporasi yang memungkinkan tindak pidana terjadi. Disinilah Doktrin universitas delinquere non potest (badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana) sudah mengalami perubahan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional menurut Rolling16, dimana korporasi dapat dipidana karena fungsi-fungsi dalam korporasi telah Departemen Kehakiman Dirjend Hukum dan Perundang-Undangan Direktorat Penyuluhan Hukum, 1995), hal. 79. 15 Sukma Violetta, Loc.Cit. 16 Rolling dalam Mardjono Reksodiputro, “Tindak Pidana KorporasiDanPertanggungjawabannya, Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”, penyempurnaan makalah yang pernah disampaikan di Auditorium PTIKpada Upacara Dies Natalis PT1K Ke47 dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolistan Angkatan XXVIIIISoekamo Djojonegoro, 17 Juni 1993, dalam http://www.mahupiki.com, diakses pada tanggal 24 Mei 2014.
dijalankan secara salah oleh pengurus korporasi. Bahwa selain itu hal-hal yang perlu dicatat dalam PPK yang berbeda dengan pertanggungjawaban pidana individu (PPI) adalah: (i) Siapa yang dapat dijatuhi pidana dalam pertanggungjawaban pidana korporasi adalah: 1. Korporasi baik rechtpersoon maupun onrechtpersoon, sehingga bisa berbentuk PT,CV atau Firma tergantung bentuk badan usahanya; yang ke-2 adalah Pengurus Korporasi dan yang ke-3 adalah Korporasi dan Pengurus Korporasi secara bersamasama diri sebagai (ii) Mendasarkan pertanggungjawaban pidana kolektif, maka pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan korporasi baik bersama-sama atau sendiri-sendiri, sehingga dakwaan PPK tidak lagi mengenal konsep penyertaan sebagaimana pada pertanggungjawaban individu. (iii) Bahwa dalam permasalahan ini tidak ada penerapan pasal 55, 56 KUHP. Apabila ada pelaku fisik yang bekerja demi kepentingan korporasi, selama dia bekerja dengan menyangka bahwa setiap perintah atau tindakan yang dijalankannya demi kepentingan korporasi dengan itikad baik dan dia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu melanggar hukum yang tentunya dibuktikan berdasarkan alat bukti di persidangan, maka perbuatan dari pelaku fisik tersebut berlaku azas vicarious liability. Azas vicarious liabitliy mengajarkan apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, dan dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha atau dikenal dengan istilah “pelaku fisik”, maka sanksi pidana dijatuhkan kepada pengendali korporasi, tanpa memperhatikan
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
167
tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama dengan para pelaku fisik. Oleh karenanya azas ini sering disebut sebagai azas “pertanggungjawaban pidana mengganti”, yang artinya pengendali korporasi menggantikan pertanggungjawaban dari pelaku fisik atau bawahannya oleh karena diasumsikan secara hukum, pihak bawahan telah melaksanakan tugasnya secara jujur, kecuali ada kecurigaan sebaliknya. (iv) Sedangkan apabila pelaku fisik atau bawahan ternyata terbukti mengetahui perbuatan yang dilakukan ternyata melanggar hukum, meskipun perbuatannya dilakukan dalam rangka kepentingan korporasi, maka pelaku fisik tersebut dapat dituntut pidana secara tersendiri. Profesor Nico Keijzer mengatakan:“Selain dapat menuntut korporasi dan orang yang memegang kendali, Jaksa tetap dapat menggunakan cara-cara yang klasik untuk dapat menuntut orang perseorangan yang telah melakukan pelanggaran tersebut, jika pada diri orang tersebut memenuhi semua unsur delik”. 17
17
168
terdakwa oleh karena korporasi melakukan kesalahan. Artinya sebenarnya yang dibidik satu, yakni korporasi. 2. Pemisahan terdakwa yang tidak sesuai dengan pasal 142 KUHAP akan bertentangan dengan hak-hak azasi tersangka/terdakwa korporasi diperluas (vi) Pengurus pengertiannya, bukan hanya pengurus korporasi sesuai undang-undang yang berlaku, tetapi juga termasuk personil pengendali korporasi, pemberi perintah, pemimpin baik yang masuk dalam struktur organisasi/korporasi maupun yang tidak masuk tetapi dapat mengendalikan secara efektif. (vii) Penjatuhan pidana kepada korporasi adalah berupa pidana denda dan dalam tindak pidana tertentu dapat ditambah dengan pidana tambahan seperti penghapusan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana, pencabutan izin usaha, perampasan barang bukti atau harta kekayaan korporasi dan tindakan lain sesuai dengan ketentuan undangundang yang berlaku
(v) Bahwa akibat konsekuensi tersebut pula meskipun akan sedikit rumit dalam pembuktian, tetapi diharapkan Penuntut Umum dapat menyusun dakwaan dan tuntutan yang diarahkan pada 2 (dua) subyek tindak pidana PPK baik pada badan usahanya maupun pada pengurusnya, apabila Penuntut Umum merasa perlu menuntut keduanya sekaligus, disatukan dalam 1 (satu) dakwaan dan tidak dilakukan splitzing. Apa yang mendasari penyatuan dakwaan adalah:
(viii) Sedangkan penjatuhan pidana kepada Pengurus Korporasi adalah pidana penjara dan denda
1. Konsep dasar PPK semuanya dalam rangka pertanggungjawaban pidana korporasi dimana baik subyek badan usaha maupun subyek orang yang mempunyai kualitas tertentu dalam korporasi, keduanya diajukan sebagai
1. Kriteria Penuntutan pada Badan Usaha:
Nico Keijzer. Loc. Cit.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
(ix) Berdasarkan Rancangan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Pedoman Penanganan Perkara Mengenai PPK, ditentukan kriteria perbuatan mana yang dapat diajukan untuk subyek badan usaha dan kriteria perbuatan mana yang dapat diajukan untuk subyek pengurus korporasisebagai berikut:
a. segala bentuk perbuatan yang didasarkan pada keputusan pengurus korporasi untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama; b. segala bentuk perbuatan dan/atau pembiaran yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan korporasi baik karena pekerjaannya atau hubungan lain; c. segala bentuk perbuatan yang menggunakan sumber daya manusia, dana dan/atau segala bentuk dukungan atau fasilitas lainnya dari korporasi; d. segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga atas permintaan atau perintah korporasi dan /atau pengurus korporasi; e. segala bentuk perbuatan dalam rangka melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari korporasi; f. segala bentuk perbuatan yang menguntungkan korporasi; g. segala bentuk tindakan yang diterima / biasanya diterima (accepted) oleh korporasi tersebut; dan/atau h. segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi menurut undangundang. 2. Kriteria Penuntutan pada Pengurus Korporasi: a. Melakukan, turut serta melakukan, menyuruh melakukan, menganjurkan melakukan, atau membantu melakukan tindak pidana; b. Seseorang dianggap memiliki kendali atas suatu tindak pidana apabila dalam keadaan dimana meskipun ia berwenang dan perlu mengambil langkahlangkah untuk pencegahan tindak pidana tersebut namun orang tersebut tidak mengambil langkah-langkah yang seharusnya, dan menyadari
akan menerima resiko yang cukup besar apabila tindak pidana tersebut terjadi; c. Orang tersebut dianggap mempunyai pengetahuan (knowledge) akan adanya risiko yang cukup besar cukuplah apabila ia tahu bahwa tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi.18 b) Perubahan Paradigma Peradilan sebagai Respon dalam Menanggapi Penerapan PPK Peningkatan kapasitas para penegak hukum tentu bisa direspon oleh setiap satuan kerja yang mengurusi peningkatan sumber daya manusia dengan melakukan berbagai program peningkatan kapasitas dengan berbagai pelatihan yang tidak lagi dalam skala tradisional tetapi juga meningkatkan level kepemimpinan serta manajemen kepribadian di antara penegak hukum serta berbagai tes seperti profile assessment dan psikologi. Peningkatan ini bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dari segi intelektual, tetapi juga yang lebih penting adalah kemampuan untuk mencerna penegakan hukum dari segi hati nurani.Artinya tidak hanya dibutuhkan “keahlian hukum” tetapi juga “kemampuan bijaksana” dalam mengatasi setiap persoalaan. Baik Penyidik, Jaksa maupun Hakim, oleh karena fungsinya sebagai orang-orang yang menegakkan hukum, tentu harus terlepas dari sikap-sikap negatif koruptif, arrogant, serta tidak berpikir ada sisi lain dalam penegakan hukum yang juga harus dipertimbangkan yakni kemanfaatan. Oleh karena mereka menegakkan hukum maka masing-masing harus tepat dalam membuat suatu petimbangan 18 Rancangan Peratutan Jaksa Agung Republik Indonesia, “Pedoman Penanganan Perkara Pertanggungjawaban Pidana Korporasi” belum diberlakukan (Jakarta: dibuat atas kerjasama Tim Penyusun Perja PPK Kejaksaan Agung R.I dengan Deputi Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Unit Kerja Presiden, periode 2012 s/d 2014) hal. 3, et. Seq.
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
169
hukum dan keadilan. Di dalam RUU legislasi nasional KUHP, memang dinyatakan kalau penerapan PPK mengarah pada ultimum remediun, meskipun, kata-kata yang digunakan bukan harus sebagai upaya terakhir tetapi dengan kata-kata, “Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.”19.Pertimbangannya dari segi kemanfaatn karena dampak ekonomi dan sosialnya. RUU tersebut harus dapat memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud sebagai bagian hukum lain. Apakah yang dimaksud adalah uoaya hukum di jalur administrasi dan perdata, ataukan hukum yang hidup dalam masyarakat berdasarkan peatutan dan kesuilaan serta ketertiban umum turut menjadi bagian hukum lain. Pada bagian ini, maka Penuntut Umum dituntut untuk memiliki kemampuan untuk berpikir “seimbang”, apakah dengan menerapkan PPK, kemanfaatan keadilan lebih dicapai, meskipun mengorbankan sisi perekonomian dan sosial, seperti dalam tindak pidana lingkungan hidup, ketika Penuntut Umum menerapkan PPK dalam tindak pidana lingkungan hidup, pertimbangannya adalah, bahwa kalau usaha itu diteruskan, Negara akan mengalami kerugian yang lebih besar ketika dampaknya menimbulkan banyak korban, baik di masa kini maupun masa yang akan dating, sehubungan dengan dampak limbah perusahaan yang mutagenik dan baru akan muncul di kemudian hari, sehingga mengamcam kelangsungan hidup umat manusia. Bentuk pelatihan untuk peningkatan kapasitas saat ini sudah berkembang dengan bentuk-bentuk yang unik dan menarik sehingga orang tidak lagi bosan mendengarkan ceramah, tetapi juga bermain, melihat film yang menggugah 19
170
RUU KUHP 2013, Loc. Cit.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
emosional dan semangat untuk berubah serta diajak unut berpikir ke depan termasuk menerima perubahan paradigma. Hal tersebut penting secara frekuentif dilakukan secara terus menerus yang tujuannya agar sumber daya manusia penegak hukum diingat dan dibentuk kepribadian serta mindsetnya menjadi lebih baik.Model pelatihan yang menyatukan pendapat di kalangan penegak hukum juga lebih efektif digunakan, oleh karena di dalam suatu system peradilan pidana memang diperlukan suatu harmonisasi sehingga tidak lagi terjadi putusanputusan pengadilan terkait PPK yang tidak sejalan dengan tuntutan Penuntut Umum maupun Penyidik di lapangan. Semuanya harus membangun suatu konsistensi yang pada akhirnya benarbenar dapat mewujudkan keadilan. Selain itu penyusunan RUU KUHP yang menerapkan konsep PPK perlu segera diselesaikan, dimana instansi penegak hukum terkait juga perlu menindaklanjuti dengaan membuat peraturan-peraturan intern yang dapat membantu para penegak hukum untuk melaksanakan konsep PPK di dalam perkara yang ditangani dengan mudah. Konsep PPK memang tidak mudah dimengerti oleh karenanya memang harus segera dimulai penerapannya agar para penegak hukum juga belajar dari setiap pengalaman yang ditangani sehingga semakin memahami konsepnya dan memulai perbaik demi perbaikan penangananya sampai kemudian konsep itu menjadi “membumi” dan lebih muda diterima, baik oleh para penegak hukum sendiri maupun masyarakat. Pembelajaran yang juga penting adalah bahwa pada akhirnya kelak diharapkan setiap perusahaan mempunyai kewajiban yang timbul sehubungan kedudukan atau fungsinya di dalam perusahaan, dimana kewajiban-kewajiban itu dipahami bahwa kewajiban itu bukan hanya terkait kepada para pemegang saham atau keuntungan dari perusahaan
tetapi juga menjadi kewajiban hukum untuk tidak melaggar ketentuan pidana serta kepentingan masyarakat yang dilindungi oleh hukum.
III. PENUTUP A, Kesimpulan a. Perkembangan konsep pertanggungjawaban pidana meletakkan korporasi sebagai subyek tindak pidana b. Perubahan itu perlu diikuti dengan perubahan paradigma, terutama berupa pemahaman konsep dan mindset penegak hukum c. Perubahan itu sangat dibutuhkan bagi perkembangan hukum yang merespon perubahan masyarakat sebagaimana disebutkan Jan Remmelink,” Jika ihwal menghukum atau menjatuhkan sanksi (pidana) kita pandang semata-mata sebagai sistim pengaturan masyarakat, baru semuanya bisa berubah”20 B. Saran a. Pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum harus dirumuskan dengan teknik pelatihan membuka wawasan dengan menggunakan metode yang dapat mengubah mindset dan menggugah semangat untuk menjadi penegak hukum yang baik b. Pendidikan dan pelatihan itu lebih efektif dilakukan secara terpadu untuk mendapatkan kesamaan persepsi c. Pembaruan undang-undang hukum pidana nasional yang memasukkan konsep PPK sehingga adapt berlaku bagi semua delik mendesak untuk segera diundangkan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Erni Mustikasari. Modul Tindak Pidana Lingkungan Hidup. 2014. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan R.I Jan Remmelink. Hukum Pidana, Komentar asas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. 2003. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 1995. Jakarta:Diperbanyak oleh Departemen Kehakiman Dirjend Hukum dan PerundangUndangan Direktorat Penyuluhan Hukum Lu
Sudirman dan Feronica, Pembuktian Pertanggungjawaban Pidana Lingkungan dan Korupsi Korporasi di Indonesia dan Singapura.diakses tanggal 18 Mei 2014. dalam http://www. mimbar.hukum.ugm.ac.id.
Nico Keijzer, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, disampaikan dalam Makalah dalam Seminar Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Mei 2013. Jakarta: diselenggarakan oleh UKP4-Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Putusan Mahkamah Agung Nomor 862 K/PID. SUS/2010 Tahun 2010 KIM YOUNG WOO. diakses tanggal 20 Mei 2014. Jakarta: Mahkamah Agung R.I. dalam http://www. putusan .mahkamahagung.go.id Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/PID. SUS/2012 Tahun 2012 SUWIR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK diakses tanggal 20 Mei 2014. Jakarta: Mahkamah Agung R.I. dalam http://www.putusan .mahkamahagung. go.id, Rancangan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia, Pedoman Penanganan Perkara Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. periode 2012 s/d 2014. Jakarta: dibuat atas kerjasama Tim Penyusun Perja PPK Kejaksaan Agung R.I dengan Deputi Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Unit Kerja Presiden
Jan Remmelink ,Loc. Cit.
Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Praktek Penuntutan Perkara di Pengadilan - Erni Mustikasari
171
Rolling dalam Mardjono Reksodiputro,“Tindak Pidana Korporasi Dan Pertanggungjawabannya, Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia”, penyempurnaan makalah yang pernah disampaikan di Auditorium PTIK pada Upacara Dies Natalis PT1K Ke-47 dan Wisuda Sarjana Ilmu Kepolistan Angkatan XXVIIII Soekamo Djojonegoro. 17 Juni 1993. dalamhttp://www.mahupiki.com, diakses pada tanggal 24 Mei 2014 RUU KUHP 2013, dalam http://www antikorupsi. org/sites/antikorupsi.org diakses tanggal 22 Mei 2013 Sukma Violetta dalam perkara PPK Perkara PDM166/MATAR/10/2013 atas nama terdakwa I Wayan Putu Sujana melanggar tindak pidana Perlindungan Anak atau Trafficiking disajikan dalam notulensi persidangan sesuai keterangan ahli di persidangan tanggal 10 Maret 2014, dalam Tuntutan Nomor Register: PDM-166/ MATAR.10/2013 tanggal 21 Mei 2014
172
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 2 - Maret 2015
Taverne dalam M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, PT Sarana Bakti Semesta, 1985:6. Thomas Khun, “The Structure of Scientific Revolutions” (1962) dan The Essential Tension, (1977) dalam http://www.org.wikipedia.id, diakses tanggal 21 Mei 2014. United Nation, Laporan Panel Tingkat Tinggi (HIGH-Level Panel) : Threats, Challenge and Change di bawah Supervisi Sekjen PBB Tahun 2004 dalam Romli Atmasasmita, “Politik Hukum Pidana Dalam Pembangunan Nasional”, disampaikan dalamMakalah dalam Seminar Nasional, Membangun Indonesia Melalui Pembangunan Hukum Nasional; diselenggarakan Kerjasama Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) dan Ikatan kekeluragaan Advokat Indonesia (IKA-UI); Dharmawangsa Hotel, Tanggal 8 Desember 2011, dalam interspinas. wordpress.com/2012/02/18/politik-hukumpidana-dalam-pembangunan nasional,diakses tanggal 12 Mei 2014