PERJUANGAN SUKU KURDI MEMPEROLEH OTONOMI DI KURDISTAN IRAK TAHUN 1919-1991
SKRIPSI Oleh: Gagus Prasetyawan NIM : K.4405022
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
PERJUANGAN SUKU KURDI MEMPEROLEH OTONOMI DI KURDISTAN IRAK TAHUN 1919-1991
Oleh : Gagus Prasetyawan NIM : K 4405022
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Saiful Bachri, M.Pd NIP. 131 458 313
Isawati, S.Pd NIP. 132 318 387
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari
:
Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Drs. Djono, M.Pd
………………
Sekretaris
: Dra.Sri Wahyuni, M.Pd
………………
Anggota I
: Drs. Saiful Bachri, M.Pd
………………
Anggota II
: Musa Pelu, S.Pd, M.Pd
………………
Disahkan oleh Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP. 19600727 198702 1 001
iv
ABSTRACT Gagus Prasetyawan. K4405022. THE STRUGGLE OF KURDISH TRIBE TO HAVE AUTONOMY IN KURDISHTAN IRAQ IN 1919-1991. Skripsi, Surakarta: Faculty Of Education and Teacher Traning, Sebelas Maret University, June 2009. The aim of the research is describing: (1) History of the emergence of the struggle of Kurdish tribe movement in Iraq, (2) The struggle of Kurdish tribe to have autonomy in Kurdistan Iraq, (3) The impact of autonomy grant on the unity of internal Kurdish tribes Iraq. The research uses historical method. Data resource used in the research is primary data resource and the secondary written resource likes books, newspaper, magazine that is relevant with the research problem. The technique of collecting data uses literature study technique by using card/catalog system or computer, and using internet. The technique of data analysis uses historical analysis technique that is analysis majoring incisive style in interpreting historical data by using theoretic framework approach, which comes from the history and social science that is Sociology and Anthropology. Research procedure is done through four steps activities: heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Based on the research result, it can be concluded that: (1) Kurdish tribe is an ethnic group of Indo-Europe descended from the Medes. The majority of Medes people followed Islam Sunni and lived in Kurdistan region, which is currently divided in several countries, such as Turkey, Iran, Iraq, and Syria, so that the struggle of establishing Kurdistan State is difficult to realized and then change their mind to be autonomous region in their each country in order to be able to organize and defend their identity and their culture system, include in Iraq where they have the most aggressive struggle gathered in the Kurdish Democratic Party (KDP) headed by Massoud Barzani and Patriotic Union of Kurdistan (PUK) headed by Jalal Talabani. Both parties, KDP and PUK, become the struggle institution of Kurdish Iraq tribe until now. (2) The struggle of Kurdish tribe In Iraq to obtain their autonomy is against by Iraq government which wants to keep the unity of the nation and protect their oil resource in Kirkuk area, so that the battle is often happened between both parties, with the consequence there are many sacrifice dead. The autonomy given by Iraq government covered Dahuk area, Arbil and Sulaymaniyah in March 11th 1974 is rejected by Kurdish tribe because Kirkuk area is not included in the autonomy area, so that the battle is happened again. Autonomy problem of Kurdishtan Iraq covered Kirkuk area becomes the main difference between Iraq government and Kurdish tribe leader and continue until 1991 in agreement to make peace between the parties, Iraq government and Kurdish tribe. There is not any change. The decision of autonomy area still covers Dahuk area, Arbil and Sulaymiah. (3) Autonomy given in Kurdishatan Iraq area gives impact in the unity between KDP and PUK, although on the way of both paties fight for each other to get authority in north Iraq. Then, the battle is happened again in 1994 until 1997. However, finally, learn from the first experience, KDP and PUK agree to be coalesced and then held general election to perform development program to make prosperity of Kurdish tribe.
v
ABSTRAK Gagus Prasetyawan. K4405022. PERJUANGAN SUKU KURDI MEMPEROLEH OTONOMI DI KURDISTAN IRAK TAHUN 1919-1991. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juni 2009. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) Sejarah munculnya gerakan perjuangan suku Kurdi di Irak, (2) Proses perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak, (3) Dampak atas pemberian otonomi terhadap persatuan intern suku Kurdi Irak. Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder yang berupa bukubuku, surat kabar dan majalah yang relevan dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi pustaka, dengan menggunakan sistem kartu/katalog atau komputer dan memanfaatkan internet. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dan kepekaan dalam menginterpretasi data sejarah dengan pendekatan kerangka teoritik yang berasal dari ilmu sejarah dan ilmu sosial, yaitu dengan pendekatan ilmu Sosiologi dan Antropologi. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Suku Kurdi merupakan suatu kelompok etnis Indo-Eropa keturunan dari Kaum Medes yang mayoritas menganut Islam Sunni dan tinggal di wilayah Kurdistan yang saat ini terbagi dalam beberapa negara seperti Turki, Iran, Iran dan Suriah sehingga menyebabkan perjuangan untuk mendirikan Negara Kurdistan sulit terwujud dan berubah menghendaki wilayah yang otonom di negara masing-masing agar suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya suku Kurdi, termasuk di Irak di mana perjuangannya paling agresif yang dihimpun dalam Partai Demokratik Kurdi / Kurdish Democratic Party (KDP) yang dipimpin Massoud Barzani dan partai Persatuan Patriotik Kurdistan / Patriotic Union of Kurdistan (PUK) yang dipimpin Jalal Talabani. Kedua partai tersebut, yaitu KDP dan PUK sampai saat ini menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak. (2) Perjuangan suku Kurdi di Irak untuk mendapatkan otonomi mendapatkan perlawanan dari pemerintah Irak yang ingin menjaga keutuhan bangsa dan mengamankan sumber minyaknya di wilayah Kirkuk sehingga sering terjadi peperangan antara kedua belah pihak yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa. Pemberian otonomi oleh pemerintah Irak yang mencakup wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah pada tanggal 11 Maret 1974 tidak disetujui suku Kurdi karena wilayah Kirkuk tidak dimasukkan dalam wilayah otonomi sehingga terjadi pertempuran kembali. Permasalahan otonomi Kurdistan Irak yang mencakup wilayah Kirkuk menjadi perbedaan utama antara pemerintah Irak dengan pemimpin suku Kurdi dan terus berlangsung sampai tahun 1991 pada perundingan dalam upaya perdamaian antara pemerintah Irak dengan suku Kurdi yang tetap berujung pada keputusan otonomi atas wilayah Dahuk, Arbil dan
vi
Sulaymaniah. (3) Pemberian otonomi di wilayah Kurdistan Irak berdampak pada persatuan antara KDP dan PUK, meskipun dalam perjalanannya kedua partai tersebut saling berebut pengaruh dan kekuasaan di Irak utara serta terlibat peperangan pada periode tahun 1994 sampai 1997, tetapi belajar dari pengalaman akhinya KDP dan PUK sepakat untuk bersatu dan menyelenggarakan pemilihan umum dengan tujuan melaksanakan program pembangunan untuk kesejahteraan suku Kurdi.
vii
MOTTO
Ø Jika seseorang belum menemukan sesuatu untuk diperjuangkan hingga akhir hayatnya, maka kehidupannya tidak akan berharga (Martin Luther King Jr.) Ø Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekuatan. Hal itu hanya dapat diraih dengan pengertian (Einstein) Ø Nilai seseorang itu ditentukan dari keberaniannya memikul tanggung jawab, mencintai hidup dan pekerjaannya (Kahlil Gibran)
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada: 1. Ayah dan ibu tercinta 2. Adikku Mega tersayang 3. Seluruh keluarga besarku 4. Almamater
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini. 4. Drs. Syaiful Bachri, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Isawati, S.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati. 7. Muchamad Andriyanto dan ”Captain Jack” atas saran dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Yudi (Udin Penyok) dan Agung (Basir) atas bantuan dan dukungannya dalam mencari sumber untuk penelitian ini. 9. Kawan-kawan Pendidikan Sejarah Angkatan 2005 atas dukungannya. 10. Negaraku INDONESIA tercinta sebagai tempat berpijak dan banggalah pada Negerimu serta lakukan yang terbaik untuk INDONESIA. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
x
Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu di dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang setimpal. Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Juli 2009
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN........................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................
iv
ABSTRAK .. …...........................................................................................
v
HALAMAN MOTTO ................................................................................
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
ix
KATA PENGANTAR ................................................................................
x
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. .
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
9
C. Tujuan Penelitian ................................................................
10
D. Manfaat Penelitian ..............................................................
10
BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori ........................................................................
11
1. Perjuangan ......................................................................
11
2. Suku Kurdi … .................................................................
14
3. Otonomi ..........................................................................
17
4. Konflik ............................................................................
22
5. Primordial........................................................................
31
B. Kerangka Berfikir ................................................................
34
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................
36
B. Metode Penelitian ................................................................
36
C. Sumber Sejarah ................................................................ .....
38
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................
39
E. Teknik Analisi Data .............................................................
40
xii
F. Prosedur Penelitian ..............................................................
41
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Profil Negara Irak .................................................................
45
1. Geografi ..........................................................................
45
2. Penduduk ........................................................................
47
3. Ekonomi .........................................................................
48
4. Pemerintahan ..................................................................
50
B. Sejarah Munculnya Gerakan Perjuangan Suku Kurdi di Irak ...................................................................................
55
C. Proses Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi di Kurdistan Irak ...................................................................
61
D. Dampak Pemberian Otonomi Terhadap Persatuan Intern Suku Kurdi di Irak.................................................................
85
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...........................................................................
89
B. Implikasi................................................................................
90
1. Teoritis ..............................................................................
90
2. Praktis ...............................................................................
91
3. Metodologis ......................................................................
91
C. Saran......................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
94
LAMPIRAN....... .........................................................................................
99
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Irak...................................................................................
99
Lampiran 2. Peta Kelompok Etnoreligi Irak................................................
100
Lampiran 3. Peta Wilayah Kurdistan Yang Berada di Beberapa Negara Seperti Turki, Iran, Irak dan Suriah. ........................................
101
Lampiran 4. Peta Wilayah Kurdistan Irak Setelah Pemberian Otonomi Tahun 1974............ .................................................................
102
Lampiran 5. Daftar Tabel Pembagian Daerah di Irak..................................
103
Lampiran 6. Gambar Pemimpin Suku Kurdi dari Partai Demokratik Kurdi (KDP)............................................................................
104
Lampiran 7. Gambar Jalal Talabani Pemimpin Partai Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK). ....................................................................
105
Lampiran 8. Gambar Para Pejuang Kurdi ....................................................
106
Lampiran 9. Gambar Para Pengungsi Kurdi Setelah Serangan Pasukan Irak ke Wilayah Kurdstan Irak ......................................................
107
Lampiran 10. Para Pengungsi Yang Tinggal di Kamp Pengungsian di Silopi, Turki ........................................................................
108
Lampiran 11. Perjanjian Perdamaian antara Jalal Talabani dengan Saddam Hussein Mengenai Masalah Kurdi.........................................
109
Lampiran 12. Perjanjian Perdamaian antara Massoud Barzani dengan Saddam Hussein Mengenai Masalah Kurdi.........................................
110
Lampiran 13. Wilayah Otonomi Kurdistan Irak Tahun 1991 Yang Memperoleh Perlindungan Internasional. ..............................
111
Lampiran 14. Surat permohonan ijin menyusun skripsi. ..............................
112
Lampiran 15. Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan skripsi .....................................................................................
xiv
113
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Republik Irak adalah sebuah negara di Timur Tengah atau Asia Barat Daya, yang meliputi sebagian terbesar daerah Mesopotamia serta ujung barat laut dari Pegunungan Zagros dan bagian timur dari Gurun Suriah yang mempunyai luas sekitar 438.317 km2. Irak berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi di selatan, Arab Saudi, Yordania dan Suriah di barat, Turki di utara, dan Iran di timur. Irak mempunyai bagian yang sangat sempit dari garis pantai di Umm Qasr di Teluk Persia (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 88). Stabilitas negara Irak juga tidak kondusif karena sering terjadi konflik, baik konflik intern maupun konflik ekstern. Konflik intern seperti konflik antar golongan (Syiah-Sunni) maupun konflik antara pemerintah dengan suku Kurdi yang pada awalnya ingin mendirikan negara Kurdistan, tetapi berubah cukup menghendaki daerah Kurdistan yang otonom. Sedang konflik ekstern melibatkan Irak dalam beberapa peperangan seperti Perang Parsi tahun 1980-1988 melawan Iran dan Perang Teluk tahun 1991 melawan pasukan Kuwait dan Pasukan Multinasional di bawah pimpinan Amerika Serikat. Menurut data Kementrian Perencanaan Irak, tahun 2008 total penduduk Irak berjumlah 27 juta orang (mitrafm.com/blog/2008/02/01/). Komposisi penduduk Irak yakni etnis Arab 75-80 persen dari seluruh penduduk Irak, Kurdi 15-20 persen dan sisanya etnis-etnis kecil semisal Turkoman, Assiria dan lainlain sekitar 5 persen. Apabila dilihat dari mazhab yang dianut, Etnis Arab terbagi dua : sebanyak 60-65 persen Syiah, Sunni 32-37 persen dan sisanya Kristen atau lainnya berjumlah 3 persen (Trias Kuncahyono, 2005 : 132). Penyebaran penduduk Irak kurang menguntungkan karena penduduk terkosentrasi secara geografis di wilayah tertentu. Mayoritas Syia’h menetap di bagian selatan Irak, Sunni di Irak bagian tengah dan Kurdi mengelompok di Irak utara sehingga Irak selalu menghadapi masalah integrasi nasional.
xv
Orang-orang Kurdi adalah suatu kelompok etnis Indo-Eropa (Indo European tribes) yang mayoritas menganut agama Islam Sunni dan tinggal di wilayah Kurdistan (tanah orang-orang Kurdi). Wilayah Kurdistan terdapat di beberapa negara seperti Turki bagian tenggara, Iran Utara, Irak Utara, dan Suriah Utara. Jumlah Suku Kurdi secara keseluruhan diperkirakan sekitar lebih dari 20 juta orang Kurdi dan terpaksa tinggal di beberapa negara berbeda. Di Turki terdapat sekitar 10 juta orang Kurdi; di Iran sekitar 6 juta orang Kurdi; di Irak terdapat lebih dari 5 juta orang Kurdi; dan di Suriah 1 juta lebih. Komunitaskomunitas yang lebih kecil ada yang tinggal di negara-negara bekas Uni Soviet dan Lebanon serta ada juga yang telah hijrah dan menetap di Eropa, Amerika dan Australia (http://swaramuslim.com/islam/more). Para ilmuwan berpendapat, suku Kurdi berasal dari suku bangsa Medes yang masuk ke Parsi (Iran) dari kawasan Asia Tengah. Suku Kurdi menguasai daerah pegunungan Parsi dari Tahun 614 sampai 550 sebelum Masehi. Empat belas abad kemudian mereka memeluk agama Islam, setelah kedatangan pasukan Arab Islam dari daratan ke daerah pegunungan Parsi. (M. Riza Sihbudi,1991: 136) Kurdi merupakan etnis yang relatif tua usia, namun kesadaran terhadap wilayah baru muncul belakangan, bahkan sangat terlambat. Entitas Kurdi setidaknya telah dimulai sejak dua ribu tahun sebelum masehi. Suku Kurdi memang mempunyai kesadaran etnis, tetapi tidak mempunyai kesadaran kewilayahan, sebagai konsekuensi kultur tradisional nomaden, yang hidup berpindah-pindah dari Turki dan Iran ke lembah Mesopotamia sambil menggembala ternak dan bertani. Pasca Perang Dunia I, ketika negara-negara mulai menetapkan garis perbatasan, barulah kesadaran wilayah kaum Kurdi muncul terutama karena terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup tradisionalnya serta mulai menetap di berbagai pemukiman. Suku Kurdi mencita-citakan negara Kurdistan merdeka yang sekuler dan demokratis. Suku Kurdi yang tersebar di Turki, Iran, Irak, dan Suriah sebagai minoritas etnis sering diabaikan kepentingannya oleh pemerintah masing-masing negara tersebut, sehingga suku Kurdi ingin memisahkan diri dari negara induk masing-masing dan bercita-cita mendirikan Negara Kurdistan.
xvi
Perjanjian Sevres (Treaty of Sevres) tahun 1920 di Perancis oleh pihak Sekutu sebagai pihak yang menang dalam Perang Dunia I dengan Dinasti Ustmaniah Turki memberikan keuntungan bagi perjuangan suku kurdi. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan pembentukan wilayah Kurdistan merdeka yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Dinasti Ustmaniah Turki, akan tetapi Turki tidak mau menjalankan ketentuan mengenai suku Kurdi, bahkan Mustafa Kemal memaksa sekutu untuk membatalkan perjanjian Sevres yang merugikan Turki. Perjanjian Sevres dibatalkan dan digantikan perjanjian Lausane pada 24 Juli 1923, Dalam perjanjian Lausane tersebut, masalah Kurdi tidak disinggung lagi. Dengan dibebaskannya daerah-daerah Arab dari kekuasaan Dinasti Ustmaniah Turki dan dibagi-bagi menjadi daerah sekutu, sehingga suku Kurdi menjadi terpecah belah dan tersebar dalam beberapa negara yaitu Turki, Iran, Irak, dan Suriah. Fakta bahwa wilayah Kurdistan berada di beberapa negara menjadi kendala utama terwujudnya sebuah negara Kurdistan merdeka. Jika dipaksakan sangatlah sulit karena suku Kurdi harus menghadapi empat negara sekaligus yakni Turki, Iran, Irak dan Suriah. Berdasarkan kenyataan tersebut, suku Kurdi tidak lagi mencita-citakan berdirinya sebuah negara Kurdistan, tetapi mendapatkan wilayah yang otonom sehingga suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka (M.Riza Sihbudi, 1991:138). Dibandingkan dengan di Iran dan Turki, jumlah suku Kurdi Irak tergolong lebih sedikit (sekitar 5 juta), tetapi perjuangan suku Kurdi Irak dalam memperoleh otonomi dinilai yang paling agresif daripada di Iran dan Turki. Perjuangan suku Kurdi Iran terakhir terjadi tahun 1979, di mana suku Kurdi Iran terlibat pertempuran dengan Pasdaran (Pasukan Pengawal Revolusi Iran) dan menelean korban jiwa sekitar 100 jiwa. Perjuangan suku Kurdi Iran tergabung dalam KDPI dan Komala (Partai Komunis Iran). KDPI dipimpin oleh Abdullahman Ghassemlo, tetapi tahun 1985 Ghassemlo terpaksa melakukan negoisasi dengan Pemerintah Iran yang membuat perjuangan suku Kurdi Iran berhenti. Perjuangan
xvii
suku Kurdi di Turki juga terbilang agresif dan masih berlangsung hingga saat ini. Perjuangan suku Kurdi Turki dihimpun melalui Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang menuntut lepas dari Turki dan merdeka dengan pemerintahan sendiri. Pemerintah Turki menolak memberikan kedaulatan bagi suku Kurdi. Kombinasi kebijakan represi dan intergrasi secara konsisten yang diterapkan Pemerintah Turki terhadap suku Kurdi sangat efektif untuk menghancurkan pemberontakan yang dilakukan suku Kurdi. Sedangkan perjuangan suku Kurdi di Suriah dihimpun melalui Partai Demokrasi Kurdistan Syiria (Kurdistan Democratic Party of Syria / KDPS) yang didirikan oleh Osman Sabri bersama beberapa politisi Kurdi tahun 1957. Tujuan dari pendirian KDPS adalah memperjuangkan hak budaya Kurdi, kemajuan ekonomi dan perubahan demokratis. Selama ini pemerintah Suriah melarang suku Kurdi berbicara dengan bahasa Kurdi di depan umum, melarang pendirian partai politik Kurdi, penolakan untuk mendaftarkan anak-anak dengan nama Kurdi, larangan bisnis atau mendirikan usaha yang tidak memiliki nama Arab dan larangan penerbitan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Kurdi. KDPS tidak diakui secara legal oleh negara Suriah dan bergerak sebagai organisasi bawah tanah (http://en.wikipedia.org/wiki/Kurdish_people&prev=/translate). Perjuangan suku Kurdi Irak paling agresif terlihat dengan seringnya terjadi bentrokan secara fisik dengan pemerintah Irak yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa. Pemerintah Irak sangat menentang adanya pemberontakan yang mengganggu stabilitas negara dan untuk menghadapinya sering mengerahkan kekuatan militer untuk memadamkan pemberontakan suku Kurdi. Pemerintah Irak juga ingin mengamankan penghasilan minyaknya karena di daerah Kurdistan kaya akan minyak seperti wilayah Kirkuk. Jika suku Kurdi diberi otonomi luas otomatis pemasukan negara berkurang dan ditakutkan dengan modal minyak suku Kurdi dapat membeli persenjataan dan membangun kekuatan militer dengan tujuan melakukan pemberontakan yang lebih besar pada pemerintah serta ditakutkan berujung pada pembentukan Negara Kurdistan merdeka. Hal ini dapat membangkitkan nasionalisme suku Kurdi yang tinggal di Iran, Turki dan Suriah sehingga akan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut.
xviii
Perjuangan suku Kurdi untuk memperjuangkan nasib suku bangsanya dimulai pada abad 19, tepatnya tahun 1880, ketika pecah pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh Kurdi, Syaikh Ubaydullah, di propinsi Hakari yang berada di bawah kekusaan Dinasti Utsmaniah Turki. Perjuangan suku Kurdi di Irak dimulai tahun 1919 yang dipimpin oleh Syaikh Mahmud yang memproklamirkan Sulaymaniah sebagai wilayah yang merdeka dari kekuasaan Inggris, meskipun akhirnya Inggris berhasil menundukkan Syaikh Mahmud (Daliman, 2000 : 132). Tahun 1923, Syaikh Ahmad Barzani dan adiknya Mullah Mustafa Barzani (Kurdistan Irak) mulai melancarkan kampanye guna mendapatkan otonomi bagi wilayah Kurdistan Irak. Tahun 1946, Mullah Mustafa Barzani mendirikan Partai Demokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) di Uni Soviet pada masa pengasingannya. Partai tersebut beranggotakan sekelompok intelektual Kurdi dan memperoleh dukungan dari suku Kurdi yang tinggal di pegunungan. Partai Demokratik Kurdi-Irak baru diakui oleh pemerintah Irak tahun 1958 ketika terjadi kudeta di Irak. Selain KDP, orang-orang Kurdi Irak juga mempunyai partai politik yang dibentuk Jalal Talabani, yaitu partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK). Jalal Talabani semula adalah anggota terkemuka KDP, tetapi keluar karena sering bentrok dengan Mustafa Barzani yang kemudian tahun 1975 ia mendirikan PUK sebagai partai modern. Hingga sampai saat ini KDP dan PUK menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak (Trias Kuncahyono, 2005 : 173). Pada bulan Maret 1961 suku Kurdi yang berdiam di Irak Utara mengadakan perlawanan terhadap Baghdad yang menolak tuntutan Kurdi untuk memperoleh otonomi. Pada saat itu Barzani memproklamirkam kemerdekaan negara Kurdi. Dalam pemberontakan tersebut, orang-orang Kurdi berhasil mendesak pasukan pemerintah Baghdad, sehingga diadakan perundingan dan gencatan senjata di kota dekat Sulaymaniah pada bulan Januari dan Februari. Bulan Desember 1965 terjadi pertempuran lagi dan meluas sampai ke perbatasan Irak-Iran hingga mengakibatkan tarjadinya ketegangan dikedua pihak pada awal tahun 1966. Pemerintah Bagdad mendengungkan bahwa Kurdi mendapat bantuan
xix
dari Iran. Kurdi terus berjuang dan menuntut otonomi sambil menyerukan campur tangan PBB. Tahun 1970 ditetapkan perjanjian perdamaian yang terdiri 15 pasal yang diumumkan oleh Dewan Pimpinan Revolusioner dan pemimpin Kurdi yang di dalamnya termaktub aspirasi Kurdi, yaitu orang-orang Kurdi harus turut serta sepenuhnya di dalam pemerintahan, pemimpin Kurdi ditunjuk di daerah yang di diami mayoritas Kurdi, bahasa Kurdi menjadi bahasa sejajar dengan bahasa Arab di daerah Kurdi, pembangunan di daerah Kurdi akan diwujudkan, konstitusi akan ditinjau kembali untuk mencantumkan hak-hak Kurdi. Meskipun persetujuan dengan Kurdi itu tidak seluruhnya memuaskan, tetapi sekurang-kurangnya sudah membawa stabilitas di Irak dan memungkinkan dimulainya pembaharuan (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 203). Agustus 1974, perang Kurdi mengalami babak baru. Pemerintah Irak mengerahkan kekutan militer yang besar untuk melawan pasukan Barzani (peshmarga) dengan menggunakan tank, meriam dan pesawat pembom. Sekitar 130.000 orang Kurdi terutama terdiri dari wanita, anak-anak dan orang tua mengungsi ke Iran. Pasukan Barzani bisa bertahan berkat bantuan Iran berupa senjata dan perlengkapan lainnya. Pada saat pertemuan OPEC (6 Maret 1975) di Aljazair,
ditandatangani
persetujuan
antara
Irak-Iran
untuk
mengakhiri
perselisihan tentang perbatasan. Irak dan Iran juga setuju untuk mengakhiri subversif sehingga pemberontakan suku Kurdi pun berhenti.. Gencatan senjata ditetapkan Maret 1975. Bulan Februari 1976, Partai Demokrasi Kurdi menyusun kekuatan lagi dan bulan Maret terjadi bentrokan antara Kurdi dengan pasukan keamanan Irak di Ruwanduz. Tahun 1977 dilaksanakan program pembangunan kembali dan bulan April sekitar 40.000 orang Kurdi diizinkan kembali ke daerah Irak Utara. Dewan Eksekutif daerah otonomi Kurdi memutuskan bahwa bahasa Kurdi dipakai sebagai bahasa resmi dalam komunikasi oleh semua departemen pemerintahan di daerah otonomi Kurdi yang tidak punya hubungan dengan pemerintah pusat (Daliman, 2000 : 139).
xx
Tampilnya Saddam Hussein sebagai Presiden Irak pada 16 Juli 1979 membuat perjuangan suku Kurdi semakin sulit karena Saddam sendiri sering meggunakan kekuatan militer untuk menghancurkan pemberontak Kurdi. Pada tahun 1988 pemerintah Irak telah dua kali melancarkan serangan besar-besaran dengan senjata kimia terhadap penduduk suku Kurdi. Yang pertama, 16 Maret 1988 Angkatan Udara Irak menghujani bom-bom kimia di kota Halabjah, Irak Utara dan menewaskan 5.000 warga Kurdi. Yang kedua, serangan yang sama dilancarkan di Irak di desa Butiam Esi, Amadiyah, dan sejumlah desa lain di Kurdistan, dari tanggal 25 Agustus sampai 5 September dan menewaskan sekitar 2.500 warga Kurdi. Serangan pasukan Saddam Hussien tahun 1988 ini menyebabkan sekitar 60.000 orang Kurdi Irak terpaksa mengungsi ke Iran dan Turki (M. Riza Sihbudi, 1991 : 135). Pemerintah Irak menganggap serangan yang dilancarkan terhadap suku Kurdi sebagai sesuatu yang “wajar”, karena suku Kurdi Irak dianggap sebagai “kaum pengkhianat yang patut dibasmi”, sebab selama hampir delapan tahun (22 September 1980-20 Agustus 1988) berlangsung perang Parsi (Irak-Iran), suku Kurdi Irak justru berpihak pada pasukan Ayatullah Khomeini dan memerangi pasukan pemerintah Irak. Keberhasilan Iran merebut Halabjah dan Sulaymaniah (dua kota yang terletak di Kurdistan Irak) tidak terlepas dari bantuan yang diberikan suku Kurdi Irak (M. Riza Sihbudi, 1991 : 135). Pasca Perang Teluk tahun 1991 suku Kurdi melakukan pemberontakan kembali dan dalam waktu tiga pekan semua wilayah Kurdi di Irak Utara bergolak. Kota-kota seperti Ranya, Sulaymaniah, Erbil, Duhok, Aqra dan Kirkuk mereka kuasai. Pasukan Irak (Garda Republik) bergerak dengan cepat dan dalam tempo seminggu wilayah-wilayah itu sudah direbut kembali. Serangan tersebut menyebabkan tak kurang dari 2,25 juta orang Kurdi di Irak Utara terpaksa mengungsi ke Iran dan Turki (Trias Kuncahyono, 2005 : 165) Serangan pemerintah Irak terhadap suku Kurdi mendapat kecaman keras dari Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Tanggal 5 April 1991 Dewan Keamanan PBB bereaksi dengan mengeluarkan Resolusi PBB Nomer 688 yang memberlakukan kawasan larangan terbang di atas wilayah 36 derajat garis lintang
xxi
sejajar pada Irak bagian utara untuk melindungi suku Kurdi dari pengeboman pesawat-pesawat tempur Irak (David McDowall, 2000 : 373). Manfaat larangan terbang dirasakan oleh suku Kurdi karena tidak mudah bagi tentara Irak untuk menyerang suku Kurdi di bukit-bukit Kurdistan tanpa bantuan pesawat tempur. Tahun 1991 dicapai persetujuan antara Baghdad dan pemimpin Kurdi untuk memberi otonomi kepada suku Kurdi di Irak Utara yang meliputi wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah. Wilayah otonomi tersebut berada dalam perlindungan PBB dan pasukan koalisi untuk melindungi suku Kurdi atas tindakan militer Saddam Hussein. Walaupun begitu suku Kurdi tetap belum merasa puas karena Kirkuk tidak dimasukkan dalam wilayah Kurdistan otonom. Dalam perkembangannya setelah pemberian otonomi di Kurdistan Irak, Saddam kembali mengerahkan sekitar 30.000 pasukannya untuk menyerang wilayah Kurdistan dan menduduki ibu kotanya Arbil, awal September 1996. Pemerintah Irak beralasan, serangan ini dilakukan karena memenuhi permintaan pimpinan Partai Demokrasi Kurdistan, Masoud Barzani untuk mengusir lawannya pemimpin partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK) Jalal Talabani dan pasukannya dari kota Arbil (Mustofa Abd. Rahman, 2003 : 3) Jika dibandingkan di Iran dan Turki, jumlah suku Kurdi Irak tergolong yang paling sedikit (sekitar 5 juta), tetapi rezim Partai Sosialis Ba’ath di bawah pimpinan Saddam Hussein yang berkuasa di Irak belum berhasil menumpas perjuangan suku Kurdi. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; 1) Suku Kurdi merupakan kelompok etnis minoritas terbesar di Irak yang menguasai hamper seperlima wilayah negeri ini. Akibatnya, walaupun berkali-kali Saddam Hussein mendeportasi Peshmarga, dengan mudah mereka kembali ke Irak. 2) Sejak 1982, untuk pertama kalinya dalam sejarah suku Kurdi, dua partai utama Kurdi Irak, KDP yang dipimpin Masoud Barzani dan PUK yang dipimpin Jalal Talabani, sepakat bersatu melawan rezim Saddam Hussein.
xxii
Dua kekuatan yang menyatu tentu lebih memperkukuh posisi suku Kurdi dalam menghadapi pasukan Saddam Hussein. 3) Berkaitan dengan posisi rezim Bagdad sendiri, walaupun di luar tampak “kukuh”, posisi rezim Baath dalam kenyataannya agak rapuh. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa mayoritas penduduk Irak menganut Mazhad Syiah, sedang rezim yang berkuasa menganut mazhab Sunni (M. Riza Sihbudi, 1991: 140) Perjuangan suku Kurdi di Irak dalam memperoleh otonomi di wilayah Kurdistan terasa sulit. Hal ini disebabkan beberapa kendala, antara lain; 1) perjuangan suku Kurdi mendapatkan perlawanan yang sengit dari pasukan Irak dan bahkan beberapa kali wilayah Kurdistan dihujani bom-bom milik militer Saddam Hussein. 2) Suku Kurdi kurang mendapat perhatian dan dukungan dari dunia internasional. 3) Dalam tubuh suku Kurdi sendiri ada keterpecahan dimana terjadi perseturuan di antara orang-orang atau antar faksi Kurdi sendiri. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mendiskripsikan penelitian mengenai “Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi di Kurdistan Irak Tahun 1919-1991”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dijadikan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sejarah munculnya gerakan perjuangan suku Kurdi di Irak ? 2. Bagaimana proses perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak ? 3. Bagaimana dampak atas pemberian otonomi terhadap persatuan intern suku Kurdi Irak ?
xxiii
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun dengan tujuan : 1. Mengetahui sejarah munculnya gerakan perjuangan suku Kurdi di Irak. 2. Mengetahui proses perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak. 3. Mengetahui dampak atas pemberian otonomi terhadap persatuan intern suku Kurdi Irak.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis 1. Diharapkan agar dapat mengetahui gambaran yang benar tentang kondisi di negara Irak khususnya perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak. 2. Sebagai acuan dan referensi dalam usaha untuk mengetahui lebih lanjut tentang perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak. b. Manfaat Praktis 1. Untuk memenuhi satu syarat guna meraih gelar Sarjana Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS. 2. Dapat melengkapi koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan khususnya mengenai perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak.
xxiv
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Pustaka 1. Perjuangan
a. Pengertian Perjuangan Menurut Wojowarsito (1972 : 25), perjuangan berasal dari kata “juang” yang berarti mempertahankan hidupnya atau menyampaikan maksudnya. Perjuangan juga diartikan sebagai usaha untuk mencapai suatu maksud. Perjuangan mengandung unsur usaha dan tujuan. Usaha ini dimaksudkan sebagai cara dan ikhtiar yang digunakan dalam proses untuk mencari yang diinginkannya. Sedangkan tujuan merupakan sasaran akhir setiap usaha yang dilakukan, baik oleh individu maupun kelompok. Maurice Duverger (1988: 171-178) menyebutkan berbagai definisi perjuangan dari berbagai sudut pandang yaitu : 1) Kaum konservatif tradisional menganggap perjuangan adalah usaha untuk merebut kekuasaan dan menempatkan elite (mereka yang mampu melaksanakan kekuasaan) melawan massa (mereka yang menolak untuk mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk memerintah). 2) Kaum Liberal melihat perjuangan dalam bidang politik sama seperti perjuangan ekonomi yaitu suatu bentuk struggle for life yang secara mendasar menempatkan satu spesies melawan yang lain dan individu di dalam spesies tertentu melawan yang lain. 3) Kaum Marxis melihat perjuangan disebabkan oleh perjuangan kelas yaitu pertentangan antara kelompok sosial yang terjadi dalam masyarakat karena adanya perbedaan kepentingan. Sukarno (1984 : 9) mengartikan perjuangan dalam arti luas yaitu membangun materiil dan moril agar mencapai kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya dikemukakan tentang perjuangan individu yaitu perjuangan mempergunakan atau mengalahkan keadaan agar eksistensinya (luar dalam)
xxv
tumbuh dan berkembang. Dari pengertian ini, perjuangan oleh Sukarno diartikan sebagai membangun. Sarana perjuangan adalah mempergunakan keadaan dan menundukkan keadaan, agar eksistensinya tetap subur dan berkembang. Dari beberapa pengertian tentang perjuangan di atas, dapat disimpulkan bahwa perjuangan adalah suatu usaha atau ikhtiar yang dilakukan individu maupun kelompok untuk mencapai suatu maksud dan tujuan yang diharapkan. Perjuangan yang dilakukan oleh suku Kurdi bertujuan untuk memperoleh otonomi di Kurdistan Irak sebagai tempat untuk suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya suku Kurdi.
b. Macam-Macam Perjuangan Maurice Duverger (1988 : 315) mengkategorikan perjuangan ke dalam dua bentuk yaitu perjuangan terbuka dan perjuangan diam-diam, berkaitan dengan dua tipe rezim politik yang besar. Dalam demokrasi, perjuangan politik terjadi secara terbuka, disaksikan secara penuh oleh publik. Sedangkan dalam rezim Aristokrasi, perjuangan diam-diam harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan ditutuptutupi Max Weber (1985 : 67) mengkategorikan perjuangan dalam dua wujud atau bentuk, yaitu perjuangan fisik dan non fisik. Perjuangan fisik adalah suatu bentuk usaha perlawanan untuk mencapai sesuatu tujuan dengan menggunakan benda, baik berupa senjata maupun benda-benda lain yang digunakan. Sedangkan perjuangan non fisik adalah suatu usaha ikhtiar dan perlawanan dalam mencapai tujuan yang diinginkan tanpa menggunakan benda sebgaia sarananya. Perjuangan non fisik lepas dari kekerasan aktual dan lebih mengarah pada usaha yang bersifat damai. Perjuangan non fisik merupakan perjuangan yang lebih mengarah pada politik diplomasi. Diplomasi berarti tidak melakukan tindakan politik agresif terhadap musuh (Selo Sumarjan, 1978 : 78). Perjuangan non fisik atau damai dapat dilakukan dengan perundingan-perundingan sebagai alternatif penyesuaian suatu masalah. Perjuangan ini merupakan usaha-usaha politik yang dapat menempatkan diripada posisi yang menguntungkan dalam arti mencegah
xxvi
kerugian-kerugian yang diderita jika dibanding dengan perjuangan yang menggunakan kekerasan. Perjuangan fisik lebih mengarah konfrontasi fisik dalam mencapai tujuan. Pertempuran, peperangan, penggulingan kekuasaan dengan kudeta, bentrokan bersenjata merupakan contoh perjuangan fisik, banyak condong ke arah negatif seperti kematian, cacat seumur hidup, kerusakan harta benda, kehilangan keluarga bahkan habisnya populasi penduduk di suatu wilayah. Sarana perjuangan fisik dapat berupa senjata-senjata tajam, benda-benda tumpul, senjata-senjata api bahkan senjata mematikan lainnya yang sangat dahsyat yaitu nuklir. Perjuangan Suku Kurdi untuk memperoleh otonomi di Kurdistan Irak lebih condong ke perjuangan fisik dengan seringnya terjadi pertempuran dan peperangan melawan pemerintah Irak yang juga mengerahkan kekuatan militernya untuk melumpuhkan pemberontakan suku Kurdi. Akibat yang ditimbulkan dari seringnya pertempuran antara kedua belah pihak banyak jatuh korban jiwa, serta orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi.
c. Faktor-Faktor Penunjang Keberhasilan Perjuangan. Sukarno (1984 : 6) berpendapat bahwa besar kecilnya keberhasilan dan kemauan untuk berjuang dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Menarik tidaknya tujuan atau cita-cita yang memanggil. 2) Adanya rasa mampu, rasa bisa, rasa sanggup di kalangan massa itu. 3) Adanya tenaga atau kekuatan yang ada di dalam individu maupun kelompok massa. Dari pendapat Sukarno di atas dapat dijabarkan bahwa suatu perjuangan dipengaruhi olek faktor intern dan faktor ekstern, baik secara individu maupun kelompok. Faktor intern tersebut merupakan faktor yang berasal dari dalam individu sehingga motivasi diri untuk melakukan perjuangan. Faktor dari dalam diri antara lain motivasi pribadi, adanya kemauan, adanya rasa optimis akan tercapainya tujuan dan rasa mampu untuk melakukannya. Sedangkan faktor
xxvii
ekstern adalah faktor yang berasal dari luar individu maupun kelompok yang mendukung perjuangan. Faktor-faktor tersebut dapat berwujud materi dan non materi. Materi sebagai contohnya adalah keuangan, sarana dan prasarana dalam perjuangan, sedangkan non materi dapat berwujud dukungan. Cita-cita untuk mempunyai negara Kurdistan di tanah Kurdistan mendorong suku Kurdi untuk mewujudkannya agar suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka. Fakta bahwa wilayah Kurdistan terbagi dalam beberapa negara yaitu Turki, Iran. Irak dan Suriah membuat cita-cita untuk mendirikan negara Kurdistan sulit terwujud. Suku Kurdi cukup menghendaki otonomi di wilayah Kurdistan sehingga suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka. Perjuangan suku Kurdi Irak untuk memperoleh otonomi di tentang oleh Pemerintah Irak sehingga perjuangan suku Kurdi lebih mengarah kepada perjuangan fisik dengan seringnya terjadi pertempuran dan peperangan melawan pemerintah Irak yang juga mengerahkan kekuatan militernya untuk melumpuhkan pemberontakan suku Kurdi. Perjuangan suku Kurdi juga tidak mendapatkan dukungan dari dunia internasional khususnya negara-negara Arab. Suku Kurdi justru dimanfaatkan oleh negara-negara asing seperti Iran dan Amerika yang mempunyai kepentingan di Irak. Jika tujuan negara-negara tersebut sudah tercapai, suku Kurdi ditinggalkan dan harus berjuang sendiri untuk memperoleh otonomi di Kurdistan Irak.
2. Suku Kurdi
a. Pengertian Etnis Menurut Alo Liliweri (2001 : 334-335), etnisitas berhubungan dengan konsep tentang etnis, antara lain : 1) Etnis berasal dan bahasa Yunani “etnichos”, secara harafiah digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah berhala atau kafir. Dalam perkembangannya, istilah etnis mengacu pada kelompok yang diasumsikan sebagai kelompok yang fanatik dengan ideologinya.
xxviii
2) Etnisitas yang merujuk pada penggolongan etnis berdasarkan afiliasi. 3) Etnosentrisme merupakan sikap emosional semua kelompok etnis, suku bangsa, agama, atau golongan yang merasa etnisnya superior daripada etnis lain 4) Etnografi adalah salah satu bidang antropologi yang mempelajari secara deskriptif suatu kelompok etnis tertentu. 5) Etnologi mempelajari perbandingan kebudayaan kontemporer dan masa lalu dan suatu etnis. Menurut Kamus Indonesia Kontemporer (1991 : 409) etnis berkenaan dengan perbedaan kelompok dalam suatu masyarakat yang didasarkan atas adatistiadat, bahasa, kebudayaan atau sejarahnya. Menurut Barth dan Zastrow yang dikutip Alo Liliweri (2001 : 335), etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya. Menurut Narroll yang dikutip Fredrik Barth (1988 : 11) kelompok etnis dikenal sebagai populasi yang: 1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan. 2) Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya. 3) Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. 4) Menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dan kelompok populasi lain. Donald L. Horowitz yang dikutip Larry Diamond dan Marc F. Plattner (1998 : 20a) mendefinisikan kelompok etnis sebagai suatu kelompok yang sangat eksklusif dan relatif berskala besar yang didasarkan pada ide tentang kesamaan asal-usul, keanggotaan yang terutama berdasarkan kekerabatan, dan secara khusus menunjukkan kadar kekhasan budaya, yang mencakup kelompok-kelompok yang dibedakan oleh warna kulit, bahasa, dan agama. Etnis meliputi suku bangsa, ras, kebangsaan dan kasta. Menurut Koentjaraningrat (1990 : 264 ), suku bangsa atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnis) adalah suatu golongan manusia yang terikat
xxix
kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Menurut Francis yang dikutip Indiato (2004 : 44), kelompok etnis adalah suatu komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat istiadat, kebiasaan, wilayah dan sejarah yang ditandai oleh persamaan ikatan batin (wefeeling) diantara anggotanya. Fredrik Barth (1988 : 10) mendefinisikan kelompok etnis adalah suatu kelompok yang terbentuk karena adanya ciri yang ditentukan oleh kelompok itu sendiri, yang kemudian membentuk pola tersendiri dalam hubungan interaksi antara sesamanya. Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa etnis atau kelompok etnis adalah suatu kelompok yang didasarkan kesamaan asal-usul, adatistiadat, bahasa, kebudayaan dan wilayah yang ditandai oleh persamaan ikatan batin diantara anggotanya. Dari beberapa pengertian etnis, dapat disimpulkan bahwa suku Kurdi sebagai suatu kelompok etnis di Irak selain etnis Arab dan etnis minoritas Turkoman serta Assirya. Suku Kurdi sebagai kelompok etnis mempunyai kesamaan
asal-usul,
adat-istiadat,
bahasa
(Kurmanji
dan
sorani/kurdi),
kebudayaan, dan wilayah (Kurdistan), namun saat ini mereka terpecah dalam beberapa negara seperti Turki, Iran, Suriah dan di Irak.
b. Suku Kurdi Dalam Kamus Bahasa Indonesia (1998 : 777), istilah ”suku” mempunyai arti golongan, etnis ; sedangkan “suku bangsa” adalah kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari keatuan sosial lain berdasarkan perbedaan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1990 : 264 ), suku bangsa atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnis) adalah suatu golongan manusia yang terikat kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Menurut Donald L. Horowitz, etnis meliputi suku bangsa, ras, kebangsaan dan kasta (Larry Diamond dan Marc F. Plattner, 1998 : 20a).
xxx
Suku Kurdi merupakan suatu kelompok etnis di Irak selain etnis Arab dan etnis minoritas Turkoman serta Assirya. Suku Kurdi adalah suatu kelompok etnis Indo-Eropa (Indo European tribes) yang mayoritas menganut agama Islam Sunni dan tinggal di wilayah Kurdistan (tanah orang-orang Kurdi). Wilayah Kurdistan saat ini terdapat di beberapa negara seperti Turki, Iran, Irak, dan Suriah. Suku Kurdi berasal dari suku bangsa Medes yang masuk ke Parsi (Iran) dari kawasan Asia Tengah yang menguasai daerah pegunungan Parsi dari Tahun 614 sampai 550 sebelum Masehi. Suku Kurdi sebagai kelompok etnis memiliki bahasa sendiri yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yakni Kurmanji dan Sorani/kurdi. Suku Kurdi merupakan etnis yang relatif tua, tetapi kesadaran terhadap wilayah sebagai tempat mereka tinggal baru muncul belakangan dan terlambat sebagai konsekuensi atas kultur tradisional nomaden, yang hidup berpindah-pindah sambil ternak dan bertani. Pasca Perang Dunia I, ketika negara-negara mulai menetapkan garis perbatasan, barulah kesadaran wilayah suku Kurdi muncul, terutama karena terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup tradisionalnya, serta mulai hidup menetap.
3. Otonomi
a. Pengertian Otonomi Menurut Mustopadidjaja A.R, otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos dan nomos. Autos artinya sendiri, sedangkan nomos berarti hukum atau aturan. Sebagai istilah, pengertian otonomi autos nomos atau autonomous dalam bahasa Inggris adalah kata sifat yang berarti: (1) keberadaan atau keberfungsian secara bebas atau independen; dan (2) memiliki pemerintahan sendiri, sebagai negara atau kelompok dan sebagainya. Sedangkan pengertian otonomi (autonomy) sebagai kata benda adalah (1) keadaan atau kualitas yang bersifat independen, khususnya kekuasaan atau hak memiliki pemerintahan sendiri; dan (2) negara, masyarakat, atau kelompok yang memiliki pemerintahan sendiri yang independen (www.bappenas.go.id/Mustopadidjaja AR).
xxxi
Menurut Syahda Guruh L.S (2000 : 74) otonomi mengandung beberapa pengertian sebagai berikut : 1) Otonomi adalah suatu kondisi atau ciri untuk ”tidak dikontrol” oleh pihak lain maupun kekuatan luar. 2) Otonomi adalah ”bentuk pemerintahan sendiri” (self-government), yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasib sendiri (the right of selfgovernment; self-determination). 3) Pemerintahan sendiri yang dihormati, diakui, dan dijamin tidak adanya kontrol oleh pihak lain terhadap fungsi daerah (local or internal affairs) atau terhadap minoritas suatu bangsa. 4) Pemerintahan otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan nasib sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun dalam mencapai tujuan hidup secara adil (self-determination, selfsufficiency, self-reliance). 5) Pemerintahan otonomi memiliki supremasi/ dominasi kekuasaan (supremacy of authority) atau hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemegang kekuasaan di daerah. Otonomi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah untuk mengatur dan mengelola demi kepentingan wilayah atau daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adatistiadat daerah lingkungannya. Suatu daerah diberi otonomi karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut (id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah). Menurut Bagir Manan yang dikutip H. Andi Mustari Pile (1999 : 40), otonomi sebagai kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintah yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32. Tahun 2004 sebagai amandemen UU No. 22. Tahun 1999 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pheni Chalid, 2005 : 21).
xxxii
H.A.W. Widjaja (2004 : x) mendefinisikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Pheni Chalid (2005 : 15), otonomi daerah adalah manifestasi dari keinginan untuk mengatur dan mengaktualisasikan seluruh potensi daerah secara maksimal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian otonomi adalah wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah untuk mengatur, mengurus dan mengelola sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat-istiadat daerah lingkungannya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Menurut Winarno Surya .A (1999 : 1-2), ada 3 jenis otonomi, yakni : 1) Otonomi formal, yaitu suatu sistem otonomi di mana yang diatur adalah kewenangan-kewenangan pemerintah yang dipegang oleh pemerintah pusat
dalam
bidang
pertahanan,
politik
luar
negeri,
peradilan,
moneter/fiskal dan kewenangan lainnya. Sedangkan kewenangan daerah adalah kewenangan di luar kewenangan pemerintah pusat tersebut. 2) Otonomi materiil, yaitu suatu jenis otonomi daerah di mana kewenangankewenangan daerah otonom telah dirinci secara tegas dan daerah otonom hanya boleh mengatur urusan pemerintahan yang secara tegas di masukkan sebagai urusan rumah tangga daerah. 3) Otonomi riil, yaitu suatu sistem otonomi di mana kewenangankewenangan daerah otonom yang dilimpahkan pemerintah pusat disesuaikan dengan kemampuan nyata dari daerah otonom yang bersangkutan. Tujuan pemberian otonomi seperti yang dikemukakan oleh Sujamto (1991:4) adalah untuk meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan
xxxiii
terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
b. Otonomi dan Kekuasaan Pusat Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dianggap penting karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pada
prinsipnya,
kebijakan
otonomi
dilakukan
dengan
mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang sebelumnya tersentralisasi di tangan Pemerintah Pusat. Desentralisasi dan otonomi merupakan suatu bentuk sistem penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang di bidang tertentu dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Pheni Chalid, 2005:15). Dalam proses desentralisasi tersebut, kekuasaan Pemerintah Pusat dialihkan dari tingkat pusat ke Pemerintahan Daerah, sehingga terjadi pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah dalam bentuk pemberian, pelimpahan dan penyerahan sebagian tugas-tugas Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Otonomi daerah secara politis merupakan satu bentuk desentralisasi kebijakan pemerintahan yang pada hakikatnya ditujukan untuk mendekatkan pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan. Secara sosial akan mendorong masyarakat ke arah swakelola dengan memfungsikan pranata sosial dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Secara ekonomi, sistem ini dapat mencegah ekploitasi pusat terhadap
xxxiv
daerah, menumbuhkan inovasi masyarakat dan mendorong masyarakat untuk lebih produktif. Secara administratif akan mampu meningkatkan kemampuan daerah
dalam
melakukan
perencanaan,
pengorganisasian,
meningkatkan
akuntabilitas atau pertanggungjawabnan publik (Pheni Chalid, 2005 : 5). Otonomi daerah dilaksanakan dengan asumsi dasar memberikan hak kepada daerah untuk mengatur daerah dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Menurut Pheni Chalid (2005 : 32) wujud otonomi daerah dari Pemerintah Pusat, berupa : 1) Otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama (kewenangan Pemerintah Pusat), yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi
mencakup
kewenangan
yang
utuh
dan
bulat
dalam
penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. 2) Otonomi yang nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan di bidang tertentu yaitu yang dapat hidup, tumbuh dan berkembang di daerah itu yang keberadaannya dapat dibuktikan secara nyata. 3) Otonomi yang bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban atas konsekuensi pemberian hak dan wewenang kepada daerah berupa peningkatan di bidang pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin berkembang, keadilan dan pemerataan, serta hubungan pusat-daerah yang serasi. Dalam Negara Kesatuan kekuasaan negara terletak pada Pemerintah Pusat bukan pada Pemerintah Daerah, tetapi Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah dalam wujud otonomi. Hal ini terkait dengan luasnya daerah, makin banyak tugas yang diurus Pemerintah Pusat, sejalan dengan kemajuan masyarakat dan negara, perbedaan daerah satu dengan yang lain yang sukar diatur secara memusat. Jika keadaan daerah sudah
xxxv
memungkinkan, Pusat menyerahkan kepada daerah-daerah untuk mengurus dan menyelenggarakan sendiri kebutuhan-kebutuhan khusus bagi daerah-daerah tersebut. Pemerintah Daerah turut mengatur dan mengurus hal-hal sentral dalam daerahnya menurut instruksi-instruksi dari Pemerintah Pusat serta Pemerintah Pusat tetap mengendalikan kekuasaan pengawasan terhadap daerah-daerah otonom (H. Andi Mustari Pile, 1999 : 29). Otonomi yang dituntut oleh suku Kurdi adalah otonomi luas yaitu daerah otonom yang tetap bagian dari teritori Irak dan rakyat Kurdi tetap bagian dari rakyat Irak. Dengan otonomi luas, suku Kurdi dapat menyelenggarakan administrasi pemerintahan sendiri, mempertahankan identitas dan sistem budaya mereka serta mengatur sendiri masalah keuangan serta anggarannya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan Suku Kurdi.
4. Konflik
a. Pengertian Konflik Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terdapat adanya suatu konflik baik konflik sosial maupun konflik politik atas dasar kepentingan atau perbedaan. Menurut D. Hendropuspito OC (1989 : 247) pengertian konflik adalah : Kata konflik berasal dari kata Latin confligere yang berarti “saling memukul”. Dalam pengertian sosiologis konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok berusaha untuk menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Menurut Soerjono Soekanto ( 1990 : 98-99) pertentangan atau pertikaian (konflik) adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannnya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan Dalam Kamus Bahasa Indonesia W. J. S. Poerwodarminto (1990 : 45), konflik diartikan dengan percecokan, perselisihan, pertentangan yang terjadi pada
xxxvi
satu tokoh atau lebih. Konflik dapat terjadi karena ketidaksesuaian ide atau ketidakcocokan suatu paham atau kepentingan. Menurut Ariyono Suyono ( 1985 : 211) konflik adalah keadaan dimana dua atau lebih dari dua pihak berusaha menggagalkan tujuan masing-masing pihak karena adanya perbedaan pendapat nilai-nilai atau tuntutan dari masing-masing pihak. K.J Veerger (1988 : 210) yang mengutip pendapat Lewis A. Coser menyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan berkenaan
dengan
status,
kuasa,
dan
sumber-sumber
kekayaan
yang
persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang diinginkan melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan. Kartini Kartono (1990 : 173) memberikan rumusan mengenai konflik yaitu semua
benturan,
tabrakan,
ketidaksesuain,
ketidakserasian,
pertentangan,
perkelahian, oposisi dan interaksi yang antagonistis bertentangan. Clinton F. Fink dalam Kartini Kartono (1988 : 173) mendefinisikan konflik sebagai berikut : 1) Konflik ialah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda. 2) Konflik ialah interaksi yang antagonistis, mencakup: tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus terkontrol, tidak langsung; sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan latent, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya perang dan lain-lain. Dari berbagai pendapat tentang pengertian konflik diatas, maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang antagonistis terjadi sebagai akibat perbedaan paham atau perselisihan tentang tuntutan terhadap suatu nilai tertentu antara pihak-pihak yang sedang berselisih, sehingga menimbulkan usaha untuk menjatuhkan pihak lawan guna mencapai perubahan yang dikehendaki kelompoknya. Konflik yang terjadi antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak disebabkan karena adanya perselisihan tentang tuntutan sesuatu yakni keinginan
xxxvii
suku Kurdi Irak untuk memperoleh otonomi di Kurdistan Irak sebagai tempat untuk suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka. Tuntutan untuk memberikan otonomi penuh ditolak oleh Pemerintah Irak. Pemerintah Irak ingin mengamankan sumber minyaknya yang merupakan penghasilan utama Irak yang terdapat di Irak Utara yaitu Mosul dan Kirkuk. Selain itu Pemerintah Irak ingin menjaga integritas bangsanya. Merasa tuntutannya tidak terpenuhi, maka suku Kurdi melancarkan perlawanan hingga terjadi beberapa kali peperangan antara kedua belah pihak.
b. Sebab-Sebab Timbulnya Konflik Menurut Abu Ahmadi (1975 : 93), konflik biasanya ditimbulkan oleh adanya kepentingan yang bertentangan terutama kepentingan ekonomi dan sering juga karena perebutan kekuasaan dan kedudukan. Menurut Soerjono Soekanto (1990 : 99) yang menjadi sebab atau akar dari timbulnya konflik adalah : 1) Perbedaan antara individu-individu Perbedaan pendirian dan perasaaan mungkin akan melahirkan bentrokan antara mereka. 2) Perbedaan kebudayaan Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari polapola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang sadar maupun tidak sadar, sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian kelompoknya. Selanjutnya keadaan tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya pertentangan antara kelompok manusia. 3) Perbedaan kepentingan Perbedaan kepentingan antar individu maupun kelompok merupakan sumber lain dari konflik. Wujud kepentingan dapat bermacam-macam ada kepentingan ekonomi, politik, dan sebagainya.
xxxviii
4) Perubahan sosial Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sehingga menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendiriannya mengenai reorganisasi sistem nilai. Konflik yang terjadi antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak yang menyangkut masalah politik dan ekonomi. Secara politis, suku Kurdi menuntut pemberian status otonomi di wilayah Kurdistan Irak kepada Pemerintah Irak, tetapi tuntutan tersebut tidak dipenuhi oleh Pemerintah Irak dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Penolakan Pemerintah Irak atas tuntutan suku Kurdi juga berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Pemerintah Irak ingin mengamankan sumber minyaknya yang merupakan penghasilan utama Irak yang terdapat di Irak Utara yaitu Mosul dan Kirkuk yang masuk wilayah Kurdistan Irak.
c. Bentuk Konflik Menurut Pheni Chalid (2005 : 104-108) konflik dikelompokkan dalam kategori sifat, motif dan bentuk, yaitu : 1) Berdasarkan sifatnya, terdiri atas : a) Konflik bersifat laten, yaitu ketika pertentangan dan ketegangan diantara pelaku konflik samar dan tidak jelas, namun telah ada dalam diri pelaku konflik, seperti penilaian negatif terhadap lawan yang dikontruksi melalui proses budaya sehingga menciptakan penilaian stereotip satu etnis terhadap etnis lain. Selain itu, ketika pihak yang merasa tertindas tidak dapat mengungkapkan protes dan perlawanan, karena berada pada posisi tawar yang rendah, baik secara kultural maupun struktural, maka konflik berlangsung secara laten. b) Konflik bersifat manifes, yaitu konflik yang dapat terjadi secara spontan dan juga adanya ketidakseimbangan dalam masyarakat, seperti perilaku tidak adil, ketimpangan sosial, politik dan ekonomi.
xxxix
2) Berdasarkan motifnya, terdiri atas : a) Konflik irasional, yaitu konflik berdasarkan perspektif utilitirianisme, individu selalu mempertimbangankan aspek kepentingan pribadinya (keuntungan) dalam berhubungan dengan sesamanya. b) Konflik emosional, yaitu konflik yang dilandasi emosi karena adanya perasaan
untuk
membela
dan
mempertahankan
kepentingan
kelompoknya. 3) Berdasarkan bentuknya, terdiri atas : a) Konflik vertikal, yaitu konflik terjadi karena suatu kelompok menghadapi ketidakseimbangan distribusi sumber daya akibat dominasi politik satu kelompok yang kuat menutup jalan bagi kelompok lain untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya yang menjadi kepentingan bersama. b) Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi karena masing-masing kelompok ingin menunjukkan identitas budaya yang dimiliki yang melibatkan masalah sosial, politik dan ekonomi. Soerjono Soekanto (1990: 102) menyebutkan bahwa konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, antara lain : 1) Konflik pribadi Konflik ini berupa pertentangan antar individu yang terjadi dalam suatu hubungan sosial. 2) Konflik rasial Konflik ini terjadi karena perbedaan pada ciri-ciri fisik, perbedaan kepentingan dan kebudayaan diantarakelompok atau golongan. 3) Konflik antara kelas-kelas sosial Konflik ini disebabkan oleh perbedaan kepentingan, misalnya perbedaan kepentingan antara majikan dengan buruh. 4) Konflik politik Konflik ini menyangkut baik antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat maupun antara negara-negara yang berdaulat.
xl
5) Konflik yang bersifat internasional Konflik ini disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara. Mengalah berarti mengurangi kedaulatan negara dan itu berarti kehilangan muka dalam forum internasional. Menurut Ramlan Surbakti (1992 : 243) konflik dapat dibedakan menjadi dua yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan konflik non kekerasan. Konflik yang mengandung kekerasan biasanya terjadi dalam masyarakat negara yang belum memiliki konsesus bersama tentang dasar, tujuan negara dan lembaga pengatur atau pengendali konflik yang jelas. Pemberontakan, sabotase merupakan contoh konflik yang mengandung tindak kekerasan. Konflik yang berwujud non kekerasan biasanya terjadi pada masyarakat yang telah memiliki dasar tujuan yang jelas sehingga penyelesaian konflik sudah bias ditangani melalui lembaga yang ada. Adapun konflik non kekerasan biasanya berwujud perbedaan kelompok antar kelompok (individu) dalam rapat, pengajuan petisi kepada pemerintah, polemik melalui surat kabar atau sebagainya. Konflik antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak merupakan bentuk konflik politik di Irak yang berujung pada tindak kekerasaan dalam wujud pemberontakan yang dilakukan suku Kurdi terhadap Pemerintah Irak untuk memperjuangkan tuntutannya yakni memperoleh otonomi di Kurdistan Irak. Pemberontakan yang dilakukan suku Kurdi dihadapi oleh Pemerintah Irak dengan mengerahkan kekuatan militernya sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan antara kedua belah pihak.
d. Cara Penyelesaian Konflik Menurut Mawasdi Rauf (2001 : 8-12) penyelesaian konflik adalah usahausaha yang dilakukan untuk menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan cara mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Penyelesaian konflik diperlukan untuk mencegah : (1) semakin mendalamnya konflik, yang berarti semakin tajamnya perbedaan antara pihak-pihak yang berkonflik ; (2) semakin meluasnya konflik, yang berarti semakin banyaknya jumlah peserta masing-masing pihak yang berkonflik yang berakibat konflik
xli
semakin mendalam dan meluas, bahkan menimbulkan disintergrasi masyarakat yang dapat menghasilkan dua kelompok masyarakat yang terpisah dan bermusuhan. Ada dua cara penyelesaian konflik yaitu : 1) Secara persuasif, yaitu menggunakan perundingan dan musyawarah untuk mecari titik temu antara pihak-pihak yang berkonflik. Pihak-pihak yang berkonflik melakukan perundingan, baik antara mereka saja maupun manggunakan pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator atau juru damai. 2) Secara koersif, yaitu menggunakan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik untuk menghilangkan perbedaan pendapat antara pihakpihak yang terlibat konflik. Menurut Soerjono Soekanto (1990 : 77-78) cara penyelesaian konflik mempunyai beberapa bentuk, yaitu : 1) Coercion adalah suatu cara penyelesaian konflik yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan, di mana salah-satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara !angsung), maupun secara psikologis (secara tidak langsung). 2) Compromise adalah suatu cara penyelesaian konflik di mana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat sanakan compromise ada!ah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya. 3) Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipi!ih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihakpihak yang bertentangan. 4) Mediation adalah suatu cara penyelesaian konflik dengan mengundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihák ketiga
xlii
tersebut tugas utamanya adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanya sebagai penasihat dan tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan-keputusan penyelesaian perselisihan tersebut. 5) Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. 6) Toleration (tolerant-participation) adalah suatu cara penyelesaian konflik tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan. 7) Stalemate adalah suatu cara penyelesaian konflik di mana pihak-pihak yang bententangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kernungkinaa lagi baik untuk maju maupun untuk mundur. 8) Adjudication adalah suatu cara penyelesaian konflik atau sengketa di pengadilan. Cara penyelesaian konflik antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak lebih sering diupayakan secara koersif yakni dengan menggunakan kekerasan fisik. Kedua belah pihak yang berkonflik terlibat peperangan guna mempertahankan kepentingan masing-masing. Penyelesaian konflik secara persuasif atau perundingan antara kedua belah pihak juga sudah diupayakan, seperti di tahun 1970 diadakan perjanjian damai antara suku Kurdi dengan Pemerintah Irak yang termaktub aspirasi suku Kurdi untuk memperoleh otonomi tetapi pada akhirnya berujung dengan peperangan lagi karena Pemerintah Irak tidak menjalankan keputusan tersebut secara konsisten dan membuat suku Kurdi tidak percaya lagi untuk melakukan perundingan dengan Pemerintah Irak. Satu-satunya jalan yang ditempuh suku Kurdi untuk memperoleh otonomi di Kurdistan Irak dengan jalan melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Irak.
xliii
e. Akibat Konflik Menurut D. Hendropuspito OC (1989 : 249), konflik fisik berupa bentrokan antara individu dengan individu, kerabat dengan kerabat, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa, golongan agama yang satu dengan yang lain, umumnya mendatangkan penderitaan bagi kedua pihak yang terlibat, seperti korban jiwa, material dan spiritual serta berkobarnya kebencian dan balas dendam. Apabila konflik terjadi di suatu negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan bersifat separatif, konflik juga menghambat persatuan bangsa serta integrasi sosial dan nasional. Menurut Soerjono Soekanto (1990 : 103) akibat yang ditimbulkan oleh terjadinya pertentangan atau konflik adalah : 1) Tambahnya solidaritas in-group. Apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain, maka solidaritas antara warga-warga kelompok biasanya akan bertambah erat dan bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompoknya. 2) Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam satu kelompok tertentu, akibatnya adalah sebaliknya, yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut. 3) Perubahan kepribadian para individu. Pertentangan yang berlangsung di dalam kelompok atau antar kelompok selalu ada orang yang menaruh simpati kepada kedua belah pihak. Ada pribadi-pribadi yang tahan menghadapi situasi demikian, akan tetapi banyak pula yang merasa tertekan, sehingga merupakan penyiksaan terhadap mentalnya. 4) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Salah satu bentuk konflik yakni peperangan telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, baik dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa raga manusia. 5) Akomodasi, dominasi dan takluknya salah-satu pihak. Akibat dari konflik suku Kurdi dengan pemerintah Irak yang sering berujung pada peperangan antara kedua belah pihak adalah jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak terutama suku Kurdi. Serangan Pemerintah Irak ke wilayah
xliv
Kurdistan Irak dengan senjata kimia tahun 1988 menewaskan lebih dari 6.500 orang Kurdi. Serangan Pemerintah Irak ke wilayah Kurdistan Irak tahun 1988 dan 1991 juga membawa penderitaan bagi suku Kurdi yang harus mengungsi ke Iran dan Turki, meninggalkan rumah dan harta benda untuk hidup dalam tenda-tenda pengungsian. Konflik suku Kurdi dengan Pemerintah Irak yang sudah berlangsung lama menghambat persatuan dan integrasi nasional Negara Irak.
5. Primordial
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Sri Sukesi Adiwimarta, 1983: 71), primordial diartikan sebagai perasaan kesukuan yang berlebihan. Menurut Maswadi Rauf (2001 : 62), kelompok primordial adalah kelompok yang lebih besar dari keluarga yang lebih kecil dari bangsa yang didasarkan atas ikatan primordial, sedangkan ikatan primordial adalah keterikatan seseorang terhadap kelompoknya yang didasarkan atas nilai-nilai yang given (yang telah terbentuk dan diterima sebagaimana adanya campur tangan orang bersangkutan) yang di sebabkan hubungan darah dan persamaan dalam hal agama, suku, bahasa, asal daerah dan adat istiadat. Menurut Clifford Geertz (1992 : 79), ikatan primordial dimaksudkan sebagai ikatan yang berasal dari “unsur-unsur bawaan” atau lebih persis lagi, karena kebudayaan tak bisa tidak mencakup soal-soal semacam itu, “unsur-unsur bawaan” yang diandaikan dari kehidupan sosial: hubungan langsung terutama hubungan kekerabatan, namun melampui itu keadaan bawaan yang berasal dari keadaan terlahir ke dalam sebuah komunitas religius tertentu, bertutur dengan sebuah kata tertentu atau bahkan suatu dialek bahasa tertentu dan mengikuti praktek-praktek sosial tertentu. Kesesuaian-kesesuaian darah, tuturan, dan adatkebiasaan memiliki sesuatu kekuatan yang memaksa. Clifford Geertz (1992 : 82) mengelompokkan ikatan primordial menjadi enam, yaitu : 1) Ikatan-ikatan darah yang diterima. Unsur yang mengidentifikasi adalah kuasi-keluarga. “Kuasi” karena unitunit kekeluargaan yang terbentuk di sekitar hubungan biologis yang
xlv
dikenali (keluarga-keluarga yang diperluas, silsilah-silsilah) terlalu kecil bahkan bagi ikatan tradisi yang paling erat untuk memandang unit-unit itu sebagai suatu yang memiliki lebih daripada makna terbatas, dan akibatnya pada sebuah pandangan tentang kekeluargaan yang tak dapat ditelusuri namun masih nyata secara sosiologis, seperti dalam sebuah suku. 2) Ras Ras serupa dengan kekeluargaan yan diterima, sehingga ras mencakup sebuah teori etnobiologis dengan acuan pada ciri-ciri fisis yang bersifat fenotipis, khusus warna kulit, bentuk muka, sosok, jenis rambut dan seterusnya lebih daripada sembarang rasa yang sangat khusus akan nenek moyang yang sama. 3) Bahasa Bahasa dalam setiap bangsa itu berbeda antara yang satu dengan yang lain. Bahasa dapat dipegang sebagai poros yang sama sekali hakiki bagi konflik-konflik kebangsaan sehingga erbedaan bahasa pada sendirinya pasti bersifat memecah belah. Namun, perbedaan bahasa di sebagian negara tidak bersifat memecah-belah dan bahkan konflik-konflik primordial dapat terjadi di mana tidak terdapat perbedaan bahasa yang mencolok. 4) Daerah Merupakan sebuah faktor yang hampir ada dimana-mana, daerah-isme (regionalisme) sebenarnya cenderung sangat mengganggu di dalam daerah-daerah yang secara geografis heterogen. 5) Agama Agama sebagai pegangan hidup yang selalu dapat dijadikan benteng suatu konflik atau pun sebaliknya dapat juga menjadikan timbulnya konflik. Konflik agama dalam negara dapat menghancurkan atau menghambat jalannya pemerintahan. 6) Adat-istiadat Perbedaan-perbedaan dalam adat-istiadat membentuk suatu basis untuk sejumlah keterpecahan nasional tertentu dan secara khusus mencolok
xlvi
dalam kasus-kasus di mana sebuah kelompok yang secara intelektual atau secara artistik agak rumit melihat dirinya sebagai pengemban sebuah “peradaban” di tengah-tengah suatu penduduk yang sebagian besar bersifat biadab yang akan menjadikan dirinya sebagai model. Primordial
mengandung
nilai
solidaritas
terhadap
kelompoknya.
Kelompok yang didasarkan atas persamaan ras atau suku dan agama sudah dapat dikategorikan sebagai ikatan primordial. Persamaan bahasa, adat istiadat dan kedaerahan sebagai sifat dari kelompok primordial. Nilai agama sebenarnya sedikit berbeda dari ras atau suku, karena seseorang dapat memilih agama sesuai keyakinannya tidak harus seagama dengan keluarga dimana seseorang dilahirkan. Nilai agama berbeda berbeda dengan nilai budaya meskipun nilai agama terdapat unsur budaya, tetapi agama mempunyai nilai yang berasal dari Tuhan yang tidak dihasilkan dari interaksi sosial. Menurut Geertz dalam Maswadi Rauf (2001: 62) sifat-sifat alamiah dari ikatan suku atau ras dari sifat-sifat alamiah dari ikatan agama, sebenarnya ada perbedaan antara keduanya dalam hal sumber loyalitas atau kesetiaan. Pada kedua ikatan primordial tersebut membentuk sentimen dan loyalitas primordial yang atas dasar ras atau suku ditimbulkan karena adanya persamaan nilai-nilai budaya. Semua persamaan akan menghasilkan solidaritas yang amat kuat diantara anggota-anggota yang membuat mereka bersedia membela kelompok mereka dengan pengorbanan apapun. Dalam kelompok primordial atas agama , solidaritas ditimbulkan oleh persamaan keimanan kepada Tuhan dan kepercayaan kepada ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh agama. Keyakinan akan kebenaran ajaran agama menghasilkan solidaritas diantara penganut agama bersangkutan yang menimbulkan kerelaan untuk membela agama tersebut dari ancaman kelompok lain dengan pengorbanan apa pun. Solidaritas dalam kelompok primordial menghasilkan fanatisme kesetiaan yang amat kuat kepada kelompok dan anggota-anggota kelompok serta penghormatan yang tinggi terhadap nilai budaya kelompok. Fanatisme ini memperkuat integrasi kelompok, namun sebaliknya, mempermudah terjadinya konflik dengan orang lain diluar kelompok dengan sepenuh hati, bahkan tanpa
xlvii
menghiraukan keselamatan diri sendiri. Oleh karena itu pengorbanan baik harta atau maupun nyawa, dapat saja terjadi. Itu terjadi dengan kesadaran dan tanpa paksaan. Irak merupakan negara kesatuan yang berdaulat, tetapi sering menghadapi masalah disintegrasi bangsa akibat adanya perbedaan paham kepercayaan dan keaneragaman etnis. Konflik paham kepercayaan melibatkan Syiah dengan Sunni, di mana Syiah sebagai mayoritas di Irak selalu di perintah oleh Sunni dan rasa ketidakadilan yang diterima sehingga Syiah ingin memisahkan diri dari Irak. Konflik keaneragaman etnis melibatkan Kurdi dengan pemerintah Irak. Dalam hal ini konflik yang terjadi bukan berdasar atas paham kepercayaan karena mayoritas Kurdi menganut Sunni yang sama dengan mayoritas orang-orang yan berkuasa di Irak (Arab Sunni), tetapi lebih didasarkan perbedaan etnis dan
xlviii
xlix
kebudayaan serta dipengaruhi kepentingan politik dan ekonomi. Suku Kurdi memiliki ikatan primordial yang kuat dan menuntut daerah otonom di Kurdistan Irak sebagai tempat untuk suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya suku Kurdi.
B. Kerangka Berfikir Kurdistan
Primordial Suku Kurdi
Perjuangan Suku
Pemerintah
Kurdi di Irak
Irak
Kebijakan Otonomi di Kurdistan Irak
Otonomi Kurdistan di Irak Utara Keterangan : Suku Kurdi tinggal wilayah Kurdistan (tanah orang-orang Kurdi) dan secara etnis berbeda dengan Arab karena suku Kurdi memiliki kebudayaan yang berbeda dengan Arab. Wilayah Kurdistan pada masa sebelum Perang Dunia I berada dibawah kekuasaan Kerajaan Turki Utsmaniah dan pasca Perang Dunia I sesuai dalam perjanjian Lausane pada 24 Juli 1923, daerah-daerah Arab dari kekuasaan Kerajaan Turki Utsmaniah dibagi-bagi menjadi daerah sekutu, sehingga wilayah Kurdistan menjadi terpecah belah dalam beberapa daerah yaitu Turki, Iran, Irak, dan Suriah sampai saat ini. Fakta bahwa wilayah Kurdistan berada di beberapa negara menjadi kendala utama terwujudnya sebuah Negara Kurdistan Merdeka. Berdasarkan kenyataan tersebut, suku Kurdi tidak lagi mencita-citakan berdirinya sebuah negara Kurdistan, tetapi mendapatkan wilayah yang otonom termasuk di
l
Irak sehingga suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka. Perjuangan suku kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak mendapatkan perlawanan dari pemerintah Irak yang ingin menjaga keutuhan bangsa dan mengamankan sumber minyaknya di wilayah Kirkuk sehingga sering terjadi peperangan antara kedua belah pihak yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa. Perundingan antara Kurdi dengan pemerintah Irak dilaksanakan tahun 1991 dan pemerintah Irak memberikan status otonomi terhadap wilayah di Kurdistan Irak yang mencakup Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah. Kebijakaan pemberian otonomi di Irak Utara dalam perkembangannya berpengaruh terhadap bersatunya KDP dan PUK sebagai wadah perjuangan suku Kurdi Irak.
li
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul “Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi di Kurdistan Irak Tahun 1919-1991”, dilakukan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai berikut: a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. e. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta. f. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
Jangka waktu yang digunakan untuk penelitian ini dimulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu bulan Desember 2008 sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Juni 2009.
B. Metode penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah selalu diperlukan suatu metode tertentu yang berkaitan dengan obyek atau pemasalahan yang akan diteliti. Menurut Koentjaraningrat (1986 : 7) kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos
lii
yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut Dudung Abdurahman (1999 : 43) metode adalah suatu cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin (2007 : 13) metode ada hubungannya dengan prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek yang diteliti. Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan, mendiskripsikan dan memaparkan perjuangan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan Irak tahun 1919-1991. Peristiwa yang menjadi pokok penelitian tersebut adalah peristiwa masa lampau, sehingga metode yang digunakan adalah metode historis atau sejarah. Dengan metode sejarah penulis mencoba merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Louis Gottschalk (1975 : 32) mengemukakan bahwa metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Sedangkan Nugroho Notosusanto (1971 : 17) menyatakan bahwa metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya, metode ini merupakan proses merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian sejarah adalah kegiatan mengumpulkan, menguji dan menganalisis secara kritis data peninggalan masa lampau dan menyajikannya sebagai hasil karya melalui historiografi. Oleh karena metode penelitian yang digunakan adalah metode historis, maka dilakukan langkah-langkah metode historis yang meliputi pengumpulan sumber-sumber sejarah, menguji validitas dan reliabilitas data sejarah tersebut kemudian menganalisis secara kritis untuk menghasilkan tulisan atau cerita sejarah yang menarik dan dapat dipercaya.
liii
C. Sumber Sejarah
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo kata “data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa Latin) yang berarti pemberitaan (Dudung Abdurahman, 1999 : 30). Menurut Nugroho Notosusanto (1971 : 19) sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang keterangannnya diperoleh secara langsung dari seseorang yang menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri, sedangkan sumber sekunder adalah sumber yang keterangannya diperoleh oleh pengarangnya dari orang lain atau sumber lain. Klasifikasi sumber sejarah dapat dibedakan menurut bahannya, asalusulnya atau urutan penyampaiannya dan tujuan sumber itu dibuat. Sumber menurut bahannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Menurut urutan penyampaiannya sumber-sumber dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder sedangkan menurut tujuannya sumber-sumber dapat dibagi atas sumber formal dan informal (Dudung Abdurahman, 1999 : 31). Dalam penelitian ini hanya menggunakan sumber data tertulis sekunder. Penulis kesulitan untuk mendapatkan sumber primer karena peristiwa yang diteliti dan saksi sejarah dari peristiwa yang berkaitan dengan penelitian ini berada di luar negeri yaitu di Irak. Maka dari itu, penulis menggunakan sumber data tertulis sekunder berupa surat kabar seperti Jawa Pos terbitan tahun 1991, Kompas terbitan tahun 1991, majalah seperti Tempo terbitan tahun 1991, artikel-artikel dan buku-buku yang relevan dengan penelitian antara lain karya Nasir Tamara dan Agnes Samsuri yang berjudul “Perang Iran-Perang Irak” terbitan tahun 1981, karya Trias Kuncahyono yang berjudul “Bulan Sabit di Atas Baghdad” terbitan tahun 2005, dan karya M. Riza Sihbudi yang berjudul “Islam, Dunia Arab, Iran : Barat Timur Tengah” terbitan tahun 1991. Sumber data yang telah diperoleh kemudian dikaji, diklasifikasikan dan selanjutnya dibandingkan antara sumber yang satu dengan yang lainnya serta dianalisis data tersebut sehingga diperoleh
liv
data sejarah yang akurat yang dapat digunakan untuk menyusun cerita sejarah yang menarik dan dapat dipertanggungjawabkan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal penting dalam penelitian. Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan cara teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan yang berhubungan dengan masalah penyelidikan. Dalam melakukan studi pustaka diperlukan pengetahuan tentang perpustakaan sebagai sumber literatur yang diperlukan dalam mencari materi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dari literatur yang tersedia (Hadari Nawawi, 1993 : 133). Studi pustaka merupakan sebuah penelitian di perpustakaan yang bertujuan mengumpulkan data dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, misalnya : buku, surat kabar, majalah dan dokumen. Data tersebut berfungsi sebagai wahana informasi terhadap materi yang akan dibahas dalam penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi maka peneliti juga bisa memenfaatkan internet dalam rangka studi pustaka untuk mengumpulkan datadata yang berkaitan dengan tema penelitian. Studi pustaka ini dilakukan sistem kartu/katalog atau menggunakan komputer dengan cara mencatat beberapa sumber tertentu yang berkaitan dengan penelitian dengan mencantumkan keterangan mengenai nama pengarang, judul buku maupun subyek yang dicari. Oleh karena itu perlu mengingat kata kunci yang terdapat dalam subyek yang dibahasnya, sehingga menemukan buku dan artikel yang dimaksudkan dalam katalog atau komputer. Buku-buku dan artikel yang telah ditemukan di perpustakaan dibaca dan dipahami, kemudian mencatat hal-hal yang dianggap penting dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Dengan demikian diperoleh data yang akan digunakan dalam penulisan skipsi ini.
lv
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman, 1999 : 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Nugroho Notosusanto (1978 : 38) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah. Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 : 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Analisis data dilakukan setelah pengumpulan data yang kemudian dilanjutkan dengan proses perbandingan antara data yang satu dengan yang lain. Langkah ini dilakukan secara berulang-ulang hingga didapatkan fakta sejarah yang akurat. Fakta-fakta tersebut kemudian diseleksi, diklasifikasikan, ditafsirkan dan dijadikan bahan dalam penulisan penelitian. Fakta merupakan bahan yang dijadikan sejarawan sebagai bahan untuk menyusun historiografi. Pengkajian fakta-fakta sejarah oleh sejarawan tidak terlepas dari unsur subyektifitas, sehingga diperlukan konsep-konsep dan teoriteori sebagai kriteria penyeleksi dengan pengklasifikasian. Sidi Gazalba (1981 : 38) mendefinisikan fakta sebagai usaha pikiran manusia untuk merumuskan kenyataan itu sendiri dari bahan-bahan yang diwarisi. Menganalisis suatu karya sejarah diperlukan adanya kritik ektern dan kritik intern karena setiap peneliti cenderung memiliki unsur subyektifitas terutama dalam abstraksi fakta. Untuk mengurangi kecenderungan tersebut, seorang peneliti harus mempunyai kerangka teoritis dan metodologi yang kuat, sehingga fakta-fakta sejarah yang telah dianalisis, dikritik dan diinterpretasikan akan menjadi suatu penelitian sejarah yang dapat diakui kebenarannya.
lvi
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian dari awal yaitu persiapan memmbuat proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Heuristik
Jejak / Peristiwa Sejarah
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Keterangan : 1. Heuristik
Heuristik berasal dari kata Yunani heurishein yang artinya memperoleh. Dalam pengertian yang lain, heuristik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak dan sumber lain yang relevan dengan penelitian. Pada tahap ini diusahakan mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan penelitian. Dalam penelitian ini digunakan sumber data tertulis sekunder berupa surat kabar seperti Jawa Pos terbitan tahun 1991, Kompas terbitan tahun 1991, majalah seperti Tempo terbitan tahun 1991, buku-buku antara lain karya Nasir Tamara dan Agnes Samsuri yang berjudul “Perang Iran-Perang Irak” terbitan tahun 1981, karya Trias Kuncahyono yang berjudul “Bulan Sabit di Atas Baghdad” terbitan tahun 2005, dan karya M. Riza Sihbudi yang berjudul “Islam, Dunia Arab, Iran : Barat Timur Tengah” terbitan tahun 1991 serta artikel-artikel
lvii
yang diperoleh dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumber-sumber tersebut diatas diperoleh dari beberapa perpustakaan di antaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Jurusan FKIP, Perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS, dan Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.
2. Kritik
Kritik adalah kegiatan untuk menyelidiki apakah data yang diperoleh autentik dan dapat dipercaya atau tidak. Setelah data yang terkumpul, diklasifikasikan data yang tidak autentik dan tidak mendukung penelitian dengan data yang autentik serta mendukung penelitian. Kritik dapat dilakukan dengan dua cara, yakni kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern adalah kritik terhadap keaslian sumber, apakah sumber yang dikehendaki asli atau tidak, utuh atau turunan (salinan). Kritik ekstern dilakukan terhadap sumber yang diperoleh berdasarkan bentuk fisik atau luarnya berupa bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain. Uji keaslian sumber dilakukan dengan pertanyaan : kapan sumber dibuat?, di mana sumber dibuat?, siapa yang membuat?, dan dari bahan apa sumber dibuat?. Kritik ekstern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat kapan sumber itu dibuat, di mana sumber itu dibuat, siapa pengarangnya dan bagaimana latar belakang pendidikan pengarang. Sebagai contoh kritik ekstern terhadap buku“Bulan Sabit di Atas Baghdad” karya Trias Kuncahyono, di mana buku tersebut di buat tahun 2005 dari sebuah perjalanan jurnalistik di Irak tahun 2003 yang kemudian dipadukan dengan bahan-bahan lain sebelum penyusunan buku oleh Trias Kuncahyono (wartawan Kompas) yang merupakan seorang lulusan dari jurusan Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kritik intern adalah kritik yang berhubungan dengan kredibilitas dari sumber sejarah apakah isi, fakta dan ceritanya dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Kritik intern dapat ditempuh dengan cara membandingkan berbagai isi dan fakta yang terdapat dalam sumber, misalnya
lviii
kritik intern terhadap buku “Perang Iran-Perang Irak” karya Nasir Tamara dan Agnes Samsuri yang mengupas perang Iran-Irak tahun 1980 yang di dalamnya juga mengisahkan sejarah dan perjuangan suku Kurdi di Irak dalam memperoleh otonomi di Kurdistan Irak. Sumber tersebut dibandingkan dengan buku “Islam, Dunia Arab, Iran : Barat Timur Tengah” karya M. Riza Sihbudi yang mengupas masalah di kawasan Timur-Tengah termasuk sejarah dan perjuangan suku Kurdi di Irak dalam memperoleh otonomi di Kurdistan Irak.
3. Interpretasi
Menurut Nugroho Notosusanto (1978 : 40), interpretasi adalah suatu usaha menafsirkan dan menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan perbandingan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga terbentuk rangkaian yang selaras dan logis. Sedangkan interpretasi atau analisis historis menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999 : 64) bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh, sehingga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk analisa. Setelah sumber-sumber yang diperoleh dikritik, maka langkah selanjutnya adalah menghubungkan sumber-sumber tersebut dengan masalah yang sedang diteliti. Dalam melakukan interpretasi, peneliti harus menghilangkan unsur subyektif yang disebabkan oleh keanekaragaman data yang diperoleh dari berbagai buku atau sumber lain melalui analisis terhadap sumber yang satu dengan sumber yang lain. Dalam penelitian tentang Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi di Kurdistan Irak Tahun 1919-1991, interpretasi dilakukan dengan penafsiran terhadap sumber yang digunakan, misalnya dalam kajian teori digunakan teori otonomi yang dikemukakan Syahda Guruh L.S bahwa otonomi adalah kondisi tidak dikontrol pihak lain, mempunyai pemerintahan sendiri (pemerintahan otonomi) yang berhak untuk memerintah dan menentukan nasib sendiri yang dihormati dan diakui pihak lain dengan tujuan meningkatkan
lix
kesejahteraan hidup masyarakat di daerah yang bersangkutan. Teori Syahda Guruh L.S didukung oleh teori Bagir Manan, H.A.W. Widjaja dan Pheni Chalid. Teori otonomi ini digunakan untuk mengetahui otonomi seperti apa yang di perjuangkan suku Kurdi Irak.
4. Historiografi
Historigrafi merupakan langkah terakhir dalam penulisan sejarah. Dalam kegiatan ini sumber-sumber sejarah dikumpulkan, dianalisis, ditafsir dan dirangkaikan dengan menggunakan bahasa ilmiah, komunikatif dan efektif yang berwujud skripsi berjudul “Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi di Kurdistan Irak Tahun 1919-1991”.
lx
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Profil Negara Irak
1. Geografi
Irak (al-Jumruhiah al-Iraqiyah atau Republik Irak) adalah sebuah negara republik di bagian Barat Daya Asia, yang terletak antara 29º - 37º Lintang Utara dan 39º - 48º Bujur Timur, dan mempunyai luas wilayah sekitar 438.317 km2 dengan ibukotanya di Baghdad. Irak berbatasan dengan Kuwait dan Arab Saudi di sebelah Selatan, di sebelah Barat berbatasan dengan Arab Saudi, Yordania dan Suriah, di sebelah Utara berbatasan dengan Turki, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Iran (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 88). Irak terbagi menjadi empat daerah, yaitu : (1) Daerah dataran tinggi yang kering dengan padang rumput yang berbukit-bukit diantara sungai Eufrat dan sungai Tigris, di Utara kota Samara. Bukit tertinggi yang ada di wilayah ini tingginya sekitar 300 meter di atas permukaan laut; (2) Dataran rendah dekat Samara, memanjang sampai ke Teluk Persia. Daerah ini meliputi sebuah delta subur antara sungai Eufrat dan sungai Tigris, tempat sebagian besar penduduk Irak menetap. Di bagian Selatan wilayah ini terdapat paya-paya dan dua danau rawa, yaitu Hawr al-Hammar dan Hawr as-Saniyah; (3) Daerah pegunungan yang terdapat di Timur Laut Irak, membentuk barisan pegunungan Zagros di Iran dan Taurus di Turki. Di kaki-kaki bukit dan lembah-lembah pegunungan ini menetap suku Kurdi, sehingga daerah ini disebut Kurdistan; dan (4) Gurun pasir di Selatan dan barat Irak yang membentang sampai ke Yordania, Kuwait, Arab Saudi dan Suriah. Sebagian besar wilayah ini berbukit-bukit batu gamping dan berpasir (Ensiklopedi Islam, 1993 : 237). Irak bagian utara beriklim sedang, sedangkan di bagian Timur dan Tenggara beriklim tropis, dan iklim gurun tedapat di bagian selatan dan barat. Suhu rata-rata pada musim panas adalah 31º - 37º C dan pada musim dingin suhu
lxi
rata-ratanya adalah 11º C. Curah hujan berkisar 130 mm/tahun di bagian barat gurun sampai 380 mm/tahun di bagian utara Irak (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989 : 220). Dari sudut pandang geografis, Irak mempunyai tiga kelemahan yang menyebabkan negeri ini sering bergejolak yaitu sebagai berikut : a. Irak termasuk negara “Land Locked Country”, yaitu negara yang sangat terbatas akses air lautnya. Sebagian besar negeri ini berupa daratan yang terisolir dengan akses laut yang hanya di ujung Teluk sepanjang 53 km2 dengan pantai sepanjang 19 km. Oleh karena itu, Irak menghadapi kesulitan ketika harus mengekspor minyaknya melalui laut. Kelemahan keadaan geografis tersebut menjadi alasan pembenar bagi Irak untuk menganeksasi Kuwait pada tanggal 8 Agustus 1990 (Perang Teluk II) dengan tujuan agar Irak mempunyai pantai lebih panjang dan akses laut yang lebih lebar. b. Meskipun Irak banyak memiliki cadangan minyak tetapi Irak harus menghadapi banyak hambatan dalam mengembangkan industri minyaknya. Hambatan-hambatan itu disebabkan oleh : 1) Hubungan yang tidak baik dengan Iran membuat ladang-ladang minyak Irak yang benyak ditemukan di dekat perbatasan dengan Iran terancam penghancuran oleh Iran. Ancaman itu terbukti saat Perang Teluk I antara Irak dengan Iran tahun 1980-1988 di mana Iran menghancurkan ladang-ladang minyak Irak. 2) Ladang-ladang minyak Irak juga banyak ditemukan di Kirkuk dan Mosul yang merupakan wilayah yang di tinggali suku Kurdi. Kilang minyak Irak di Kirkuk ini menjadi andalan utama ekspor minyak pada tahun 1982 ketika berperang melawan Iran dalam Perang Teluk I. Ketergantungan Irak pada Kirkuk ini dimanfaatkan oleh Amerika Serikat
untuk mendukung dan
menghasut
suku
Kurdi
agar
memisahkan diri dari Irak. c. Adanya dua sungai yaitu sungai Eufrat dan Tigris yang mengalir keluar perbatasan Irak dan bermuara di Turki. Sungai Eufrat mengalir ke Suriah dan Turki, sedangkan sungai Tigris mengalir ke Iran dan Turki sehingga debit air
lxii
kedua sungai tersebut berkurang di Irak. Sementara Irak mempunyai hubungan tidak harmonis dengan negara tetangganya tempat kedua sungai tadi mengalir. Turki dan Suriah justru memanfaatkan aliran sungai untuk membangun bendungan-bendungan yang merugikan Irak, seperti bendungan Attaturk di Turki dan bendungan al-Thawra di Suriah yang airnya kemudian ditampung di danau al-Assad (Siti Muti’ah Setiawati. 2004 : 118-126).
2. Penduduk
Mayoritas penduduk Irak adalah kelompok etnis Arab, sedang Kurdi, Turkoman, Persia, Sebaean, Yazidis, Lur, Armenia dan Yahudi merupakan kelompok minoritas. Menurut data Kementrian Perencanaan Irak, tahun 2008 total penduduk Irak berjumlah 27 juta orang (mitrafm.com/blog/2008/02/01/). Komposisi penduduk Irak yakni etnis Arab 75 - 80 persen dari seluruh penduduk Irak, Kurdi 15 - 20 persen dan sisanya etnis-etnis kecil semisal Turkoman, Persia, Sebaean, Yazidis, Lur, Armenia dan Yahudi sekitar 5 persen. Apabila dilihat dari mazhab yang dianut, Etnis Arab terbagi dua : sebanyak 60 - 65 persen Syiah, Sunni 32 - 37 persen dan sisanya Kristen atau lainnya berjumlah 3 persen (Trias Kuncahyono, 2005 : 132). Penyebaran penduduk Irak kurang menguntungkan karena penduduk terkosentrasi secara geografis di wilayah tertentu. Penduduk yang mayoritas ArabSyiah terkosentrasi di Irak selatan, Arab-Sunni di Irak bagian tengah dan suku Kurdi terkosentrasi di Irak utara sehingga Irak selalu menghadapi masalah integrasi nasional (Siti Muti’ah Setiawati, 2004 : 117). Orang Arab yang merupakan penduduk mayoritas di Irak dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah negeri tersebut, tetapi sebagian besar hidup di Irak Tengah dan Irak Selatan. Orang Kurdi sebagian besar tinggal di Irak Utara seperti di daerah Ninawa, Arbil, Sulaymaiyah, dan al-Ta’min. Orang Kurdi mayoritas menganut agama Islam Sunni dan mereka merupakan kelompok masyarakat nonArab di Irak yang mempunyai bahasa sendiri yang digunakan dalam kehidupan
lxiii
sehari-hari yakni bahasa Kurdi (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990:90). Orang Turkoman, hidup di kota-kota kecil di sepanjang jalan raya Baghdad – Mosul dan mereka berbicara dalam bahasa Turki dialek Ottoman. Daerah-daerah
kantong
orang
Turkoman
memperlihatkan
unsur-unsur
peninggalan orang Turki yang melintasi daerah tersebut berabad-abad sebelumnya. Orang Persia, hidup di kota-kota suci Islam Syiah (an-Najaf, Karbala, Kadhimain, Samarra). Orang Sabaean kebanyakan hidup sebagai pengrajin perak di daerah sungai Tigris Hilir. Orang Yazidis umumya hidup di Jabal Sinjar. Orang Lur tinggal di Irak Tengah bagian timur dan merupakan kelompok masyarakat Iran dari seberang perbatasan. Orang Armenia tersebar di kota-kota utama Irak sebagai pedagang, usahawan, dan lain-lain. Orang Armenia sudah lama hidp mapan di Irak tetapi masih dianggap asing dan tidak disukai orang banyak, tetapi jarang sampai ditindas. Orang Yahudi merupakan kelompok mayoritas di Baghdad sebelum tahun 1914. Orang Yahudi patuh pada hukum, tetapi memisahkan diri dari kelompok masyarakat lain dan hidup sebagai pedagang, pegawai kecil, dan lain-lain (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 90).
3. Ekonomi
Irak merupakan salah satu negara di kawasan Timur-Tengah yang memiliki cadangan minyak yang melimpah. Ekonomi utama Irak ditopang dari sumber minyak dengan nilai ekspor mencapai 90%. Ekonomi di Irak juga mengalami perkembangan terutama dalam bidang pertanian, pertambangan dan perindustrian (khusunya industri minyak). Sektor pertanian di Irak menyerap sekitar 30% tenaga kerja dan menyumbangkan 16% dari pendapatan nasional, sedangkan sektor pertambangan dan perindustrian menyerap 11% tenaga kerja dan menyumbang sekitar 34% pendapatan nasional (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 93).
lxiv
Di sektor pertanian sekitar 43% dari daratan Irak potensial untuk dibudidayakan, tetapi baru sekitar 13% yang digunakan, sedangkan sekitar 50% tanah yang potensial tersebut dibiarkan kosong, sementara 15% adalah padang rumput dan padang penggembalaan. Hasil utama pertanian di Irak adalah kurma, barley, gandum, kentang, semangka, tomat, anggur, dan buah-buahan lain. Daerah hujan di timur laut menghasilkan biji-bijian, tembakau, dan buah-buahan, sementara daerah pertanian yang beririgasi di dataran-dataran menghasilkan barley, gandum, millet, jagung, sayur-sayuran, dan wijen. Wilayah di ujung tenggara penghasil barley, padi, dan kurma. Usaha di sektor pertanian juga ditunjang usaha peternakan. Penduduk pedesaan banyak memelihara ternak seperti biri-biri, kambing, keledai, bagal, sapi, kerbau, kuda, dan unta yang dianggap penting untuk menunjukkan kekayaan dan menunjang kehidupan mereka. Selain itu terdapat pula pusat perikanan di sungai-sungai besar dan danau-danau menghasilkan ikan carp (sejenis gurami), barbel, dace dan ikan lainnya (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 93-94). Di sektor pertambangan, Irak termasuk salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia. Minyak terutama dihasilkan dari tiga daerah; ladang Kirkuk, Bay Hasan dan Jabur; ladang Ayn Zalah dan Butmah di barat laut Mosul; ladang Az Zubair dan Rumailah di selatan Basrah. Sumber-sumber mineral lain yang dihasilkan di Irak adalah gipsum, bijih besi, krom ,tembaga, timah dan seng (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 94). Perindustrian di Irak umumnya dkendalikan oleh pemerintah. Pusat utama perindustrian berada di Baghdad, Basrah dan Mosul. Hasil industri bergeser dari batu bara dan semen ke perabot, tekstil (katun, wol, sutera), sabun dan barangbarang metal. Industri kecil atau kerajinan tangan masih memainkan peranan yang penting dalam ekonomi Irak meskipun industrialisasi telah berjalan. Tikar, perabot rumah tangga, kerajinan perak, sepatu kulit, pakaian wol merupakan hasil industri kecil atau kerajinan tangan penduduk Irak (Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia, 1990 : 94-95).
lxv
4. Pemerintahan
Negara dan pemerintahan di Irak dipimpin oleh seorang presiden yang sekaligus menjabat sebagai komandan angkatan bersenjata dan kepala Dewan Komando Revolusi yang membuat dan menetapkan kebijaksanaan pemerintahan. Dewan Komando Revolusi tersebut terdiri atas pimpinan Partai Ba’ath dari pejabat-pejabat militer. Lembaga legislatif beranggotakan 250 orang yang dipilih rakyat. Dewan menteri diangkat oleh presiden. Irak terbagi menjadi 18 provinsi dan tiga darinya adalah daerah otonomi Kurdi yaitu Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah yang terbentuk sesuai perjanjian tahun 1970 yang dilanjutkan dengan kesepakatan pada 11 Maret 1974, di mana pemerintah Irak memberikan otonomi di Kurdistan Irak yang mencakup tiga wilayah tersebut tanpa memasukkan Kirkuk dalam daerah otonomi Kurdi. Daerah otonomi Kurdi tersebut berada dalam perlindungan PBB dan pasukan koalisi setelah Perang Teluk untuk melindungi suku Kurdi atas tindakan militer Saddam Hussein (Alauddin Al-Mudarris, 2004 15). Masing-masing provinsi dipimpin oleh gubernur yang diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Sejarah pemerintahan di Irak sudah berlangsung lama. Ribuan tahun sebelum Masehi (sekitar 3000 SM) di wilayah Irak telah berdiri beberapa kerajaan besar yang membangun peradaban dunia paling awal, seperti Sumeria, Akkad, Assyria dan Babilonia. Peradaban dunia paling awal berkembang di daerah Irak sekarang, khususnya di lembah sungai Tigris. Tahun 539 SM wilayah tersebut dikuasai Kerajaan Persia. Tahun 331 SM, Iskandar Agung berhasil mengusir bangsa Persia dan pemerintahan Yunani berkuasa di wilayah ini dengan menyebutnya dengan nama Mesopotamia. Tahun 115 SM wilayah Irak menjadi bagian dari Kekaisaran Roma selama 500 tahun. Kemudian sebagian daerahnya dikuasai Persia dan sebagian lagi masih dikuasai Roma hingga datangnya Islam (Ensiklopedi Islam, 1993 : 239). Wilayah Irak kemudian ditaklukan tentara Arab Islam tahun 633-637 M dengan membawa bahasa Arab dan ajaran Islam. Penaklukan tersebut berlangsung dalam tiga tahap sebagai berikut :
lxvi
a. Tahap pertama berlangsung pada masa Khalifah Abu Bakar as-Sidiq. Tentara Islam di bawah pimpinan Musanna bin Hasirah menaklukan bagian barat sungai Eufrat. Kesuksesan tersebut mendorong Abu Bakar mengirim tentara yang lebih besar di bawah pimpinan Khalid bin Walid yang menyerang dari utara dan berhasil menguasai kota Hirah dan pelabuhan al-Ubullah di Teluk Arab setelah sebelumnya bertemu dengan tentara Persia. b. Tahap kedua berlangsung pada masa Khalifah Umar bin Khattab.Serangan di arahkan ke utara Baghdad yang disebut Ard as-Sawad. Di sini Kerajaan Persia membangun pusat pemerintahan di kota Madain. Pertempuran antara tentara Islam dengan bangsa Persia berlangsung beberapa tahun yang dimenangkan tentara Islam dengan ditaklukkannya daerah Ard as-Sawad di bawah pimpinan Panglima Sa’d bin Abi Waqas. Penaklukan dilanjutkan atas suku-suku Arab yang bekerjasama dengan bangsa Persia di utara Irak. c. Tahap ketiga juga terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Tentara Islam yang dipimpin Iyad bin Ganam menyerang daerah-daerah yang dikuasai oleh bangsa Romawi yang disebut Ard al-Jazirah. Tentara Islam dapat menguasai kota-kota penting seperti ar-Raqqah, Harran dan ar-Ruha. Penyebaran agama Islam dipusatkan di kota kembar Basra dan Kufah yang dibangun pada masa Khalifah Umar bin Khattab (Ensiklopedi Islam, 1993:240). Pada masa Khalifah Usman bin Affan, di kota Basra dan Kufah timbul gerakan oposisi yang menyerang Madinah dan membunuh Khalifah Usman bin Affan. Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib pusat pemerintahan di pindahkan ke Kufah. Pada masa Dinasti Umayyah, Basra dan Kufah menjadi pusat gerakan oposisi Bani Hasyimiah, Abbasiyah, Syiah dan Khawarij. Setelah Dinasti Umayyah jatuh dan digantikan Dinasti Abbasiyah (133-656 H atau 750-1258 M). Pada masa Dinasti Abbasiyah pusat pemerintahan dipindahkan ke Baghdad dan Baghdad juga menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, perdagangan, peradaban dan ilmu pengetahuan di dunia Islam timur. Kejayaan Dinasti Abbasiyah di Irak berakhir setelah Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 1258. Tahun 1260 M Irak dibebaskan dari kekuasaan Mongol oleh Kekhalifahan
lxvii
Mamalik di Mesir. Tahun 1401, Irak kembali dikuasai oleh Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk. Tahun 1508, Irak dikuasai Persia di bawah pimpinan Ismail Safawi dan tahun 1683-1918 dikuasai oleh Turki Usmani (Ensiklopedi Islam, 1993 : 241). Pasca Perang Dunia I Irak berada di bawah kekuasaan Inggris yang mendapat mandat atas Irak dari Liga Bangsa-Bangsa tahun 1920. Tahun 1921 Inggris membentuk pemerintahan dengan mengangkat Faisal I (Faisal bin Husein bin Ali) dari Mekah menjadi Raja pertama. Tahun 1931 Raja Faisal I meninggal dunia dan digantikan puteranya, Raja Ghazi bin Faisal. Tanggal 3 Oktober 1932, Liga Bangsa-Bangsa mengakhiri mandat Inggris atas Irak dan mengakui Irak sebagai negara merdeka. Tahun 1939 Raja Ghazi meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dan digantikan puteranya yang masih berusia tiga tahun bernama Faisal II bin Ghazi. Kekuasaan untuk sementara waktu dijalankan oleh Perdana Menteri Nuri as-Sa’id sampai tahun 1953 kekuasaan diambil penuh Raja Faisal II (Alauddin Al-Mudarris, 2004 : 21). Pada tanggal 14 Juli 1958, Jendral Abdul Karim Kasim naik ke puncak pemerintahan melalui kudeta militer terhadap Raja Faisal II yang tewas dalam kudeta tersebut. Jendral Abdul Karim Kasim sebagai pemimpin revolusi memberi pernyataan umum, yaitu : (1) memproklamasikan kemerdekaan negeri tercinta dari komplotan yang korup yang diangkat oleh imperialisme Inggris; (2) mengumumkan bentuk negara republik rakyat yang berpegang teguh pada citacita kesatuan Irak; dan (3) menghimbau ikatan persaudaraan dengan negaranegara Arab dan negara-negara Islam serta menyesuaikan kebijakan luar negerinya dengan prinsip-prinsip Konferensi Bandung, yakni kebijakan netralisme dan nonblok (George Lenczowski, 1993 : 191). Pemerintahan revolusioner yang baru disusun yang terdiri atas Dewan Kedaulatan dengan tiga anggota dari kabinet yang diketuai Jendral Abdul Karim Kasim yang sekaligus sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Kolonel Abdul Salam Arif menjadi deputi perdana menteri dan wakil panglima angkatan bersenjata. Pemimpin-pemimpin terkemuka partai oposisi diminta untuk menggabungkan diri dengan pemerintah seperti Mohammad Hadid dari Partai
lxviii
Demokrat Nasional sebagai menteri keuangan, Siddiq Sanshal dari Partai Itiqlal sebagai menteri bimbingan, Fuad Rikabi dari Partai Baath sebagai menteri pembangunan, dan beberapa orang sipil dan militer melengkapi kabinet tersebut (George Lenczowski, 1993 : 190). Tanggal 8 Februari 1963 sekelompok militer dari Partai Ba’ath mengkudeta Jendral Jendral Abdul Karim Kasim dan mengangkat Abdul Salam Arif sebagai Presiden Irak. Tahun 1966 Abdul Salam Arif meninggal dan digantikan saudaranya, Jendral Abdul Rahman Arif. Pada tahun 1968, tokohtokoh Partai Ba’ath menurunkan pemerintahan Jendral Abdul Rahman Arif dan mengangkat Jendral Ahmed Hassan al-Bakr sebagai Presiden dan Pimpinan Tertinggi RCC (Revolutionary Command Council) yaitu sebuah badan eksekutif, legislatif dan yudikatif tertinggi negara (Alauddin Al-Mudarris, 2004 : 22-23). Lembaga Komando Revolusi (Revolutionary Command Council / RCC) didirikan Parta Ba’ath sebagai badan eksekutif, legislatif dan yudikatif tertinggi negara. Kekuasaan eksekutif dipusatkan pada Ketua Dewan Komando Revolusi, yang juga menjabat sebagai Kepala Negara / Presiden. Kekuasaan legislatif secara formal berada di tangan Dewan Nasional yang terdiri dari 100 orang, tetapi badan ini belum pernah bersidang, sehingga fungsi legislatif dilaksanakan Dewan Komando Revolusi. Setelah pemilu 1980 kekuasaan legislatif di serahkan kepada Majelis Nasional (Parlemen).Semua Undang-Undang yang dihasilkan oleh badan ini memerlukan persetujuan Kekuasaan yudikatif Dewan Komando Revolusi. Pada kekuasaan yudikatif, sistem pengadilan terdiri dari pengadilan tingkat pertama, di atasnya terdapat lima pengadilan banding. Pada puncak sistem pengadilan terdapat pengadilam Kasasi. RCC (Revolutionary Command Council) sebenarnya merupakan otoritas tertinggi dalam negara, tetapi pada dasarnya yang paling berkuasa dalam RCC bukan keputusan lembaga secra demokrasi, melainkan pimpinan tertinggi (Ketua RCC). RCC terdiri dari 8 sampai 10 anggota, yang dipimpin oleh seorang ketua umum merangkap sebagai Presiden, Perdana Menteri, Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan Sekjen Partai Ba’ath. Anggota RCC adalah para petinggi partai pada pelbagai pimpinan lokal negara (Regional Leadership / RL) (Alauddin Al-Mudarris, 2004 : 28-34).
lxix
16 Juli 1979 Saddam Hussein tampil sebagai Presiden Irak dan pimpinan RCC (Revolutionary Command Council) menggantikan Ahmed Hassan al-Bakr. Saddam Hussein menjalankan pemerintahan yang totaliter, di mana semua institusi sosial dikontrol oleh negara. Kontrol tersebut mencakup ekonomi, pendidikan, agama dan bahkan keluarga. Negara dijalankan oleh satu partai tunggal yakni Partai Ba’ath sebagai kekuatan Saddam Hussein dalam mempertahankan kekuasaannya yang meletakkan Saddam Hussein sebagai pusat kekuasaan. Saddam Hussein juga dianggap sebagai pemimpin yang diktaktor dan kejam yang membantai suku Kurdi di Irak Utara tahun 1988 dan 1991 serta mengeksekusi para petinggi sipil dan militer yang dianggap menentang dan melawan perintah Saddam Hussein (Alauddin Al-Mudarris, 2004 : 29). Kekuasaan Saddam Hussein di Irak berakhir tanggal 9 April 2003, ketika Amerika Serikat menginvasi Irak tahun 2003 yang berujung pada dieksekusinya mati Saddam Hussein pada 30 Desember 2006. Pemerintahan Saddam Hussein digantikan oleh Pemerintahan Koalisi Sementara Irak sebagai pemerintahan sementara setelah invasi Irak oleh Amerika Serikat sesuai dengan Resolusi 1483 Dewan Keamanan PBB dan undang-undang perang. Pemerintahan Koalisi Sementara Irak mengambil alih kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif atas pemerintahan Irak mulai dari pembentukan pada 21 April 2003 hingga pembubarannya pada 28 Juni 2004. Jay Garner ditunjuk sebagai kepala eksekutif Pemerintahan Koalisi Sementara Irak, tetapi pada tanggal 11 Mei 2003 Jay Garner diganti oleh L. Paul Bremer (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Koalisi_Sementara_Irak). Pada tanggal 13 Juli 2003 L. Paul Bremer membentuk Dewan Pemerintahan Irak dengan anggota 25 tokoh dari berbagai latar belakang etnis, agama, dan mazhab agama. Anggota Dewan Pemerintahan Irak dipilih dengan pertimbangan utama persentase kelompok agama dan etnis di Irak yang terdiri atas tigabelas Muslim Syiah, lima Muslim Sunni, lima Kurdi, satu Kristen dan satu Turkmenistan. Dewan Pemerintahan Irak tersebut memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan pemerintahan dan percaturan politik. Selain itu, Dewan Pemerintahan Irak juga memiliki wewenang untuk mengangkat menteri dan
lxx
menyetujui anggaran
tahun 2004 serta berwenang di bidang hukum,
menandatangani kontrak kerjasama dan menunjuk anggota komite untuk menyusun kerangka konstitusi baru untuk persiapan pemilu 2004. Meskipun demikian, kedudukan Dewan Pemerintahan Irak ini masih di bawah Pemerintahan Koalisi Sementara Irak. L. Paul Bremer memiliki kewenangan penuh untuk membatalkan, menunda atau menghapus keputusan Dewan Pemerintahan Irak (Mustofa Abd. Rahman, 2003 : 259). Pada 28 Juni 2004 Pemerintahan Koalisi Sementara Irak mengalihkan kekuasaannya kepada Pemerintah Interim Irak sebagai pemerintah sementara untuk memerintah Irak hingga Pemerintahan Transisi Irak terbentuk setelah pemilihan Majelis Nasional Irak tanggal 30 Januari 2005. Ghazi Mashal Ajil alYawer menjabat sebagai Presiden. Sementara itu, Wakil Presiden dijabat oleh Barham Salih dan Perdana Menteri dijabat oleh Iyad Allawi. Tanggal 3 Mei 2005 Pemerintah Interim Irak diganti Pemerintahan Transisi Irak dengan Presiden Jalal Talabani yang diangkat oleh Parlemen tanggal 6 April 2005. Pemerintahan Transisi Irak tersebut berakhir tanggal 20 Mei 2006. Sejak saat itu dibentuklah Pemerintahan Irak yang permanen dan Jalal Talabani terpilih kembali sebagai Presiden Irak sampai sekarang. Wakil Presiden dijabat oleh Adil Abdul-Mahdi dan Tariq Al-Hasimi, sedangkan sebagai Perdana Menteri adalah Nouri al-Maliki (http://en.wikipedia.org/wiki/Iraqi_Interim_Government&prev).
B. Sejarah Munculnya Gerakan Perjuangan Suku Kurdi di Irak
Suku Kurdi berasal dari rumpun bangsa Indo-Eropa yang dikenal sebagai suku yang mendiami daerah pegunungan di perbatasan Irak, Iran, Turki dan Suriah sejak 8000 tahun yang lalu. Menurut Profesor Mehrdad R Izady, seorang pakar Kurdi dari Universitas Harvard, sejarah suku Kurdi dibagi menjadi empat periode. Periode pertama (6000 SM sampai 5400 SM) disebut periode Halaf. Ini berdasarkan bukti-bukti arkeologis, seperti bentuk dan lukisan pada pot-pot kuno yang ditemukan di gunung Tell Halaf yang terletak di sebelah barat Qamishli (Suriah).
lxxi
Periode kedua (5300 - 4300 SM) disebut periode al-Ubaid, nama sebuah gunung di utara Irak tempat ditemukannya banyak peninggalan kuno. Penduduk Ubaid inilah yang memberikan nama “Tigris” dan “Euphrates” untuk dua sungai utama di Irak yang mengalir dari Kurdistan ke Mesopotamia dan menurunkan suku Chaldean atau Khaldi. Periode ketiga disebut zaman Hurri, dimana pusat kehidupan pindah ke kawasan pegunungan Zagros-Taurus-Pontus dengan beberapa kerajaan kecil, antara lain Arrap’ha, Melidi, Washukani dan Aratta. Sekitar 2000 SM suku Hitti dan Mittani (Sindi) datang dan menetap di Kurdistan. Tahun 1200 SM bangsa Arya (Indo-Eropa) melakukan invasi besar-besaran termasuk ke Kurdistan, sehingga pada tahun 727 SM kerajaan Hurri berakhir. Selanjutnya muncul kerajaan Medes dengan ibukota di Ecbatana (sekarang Hamadan, Iran) yang bertahan hingga tahun 549 SM. Kaum Medes inilah yang diakui oleh orang-orang Kurdi sekarang sebagai nenek moyang mereka. Periode keempat disebut periode Semitik dan Turkik, menyusul interaksi orang-orang Medes dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam (Arab) serta asimilasi mereka dengan bangsa Turki (terbukti dengan adanya nama-nama kabilah seperti Karachul, Oghaz, Devalu, Karaqich, Iva, dan sebagainya) (http://swaramuslim.com/islam/more). Catatan paling awal mengenai istilah Kurdi ditemukan dalam dokumen Raja Tiglath-Pileser I yang memerintah Assyria dari tahun 1114 SM hingga 1076 SM yang menyebutkan bahwa daerah “Qurti” di gunung Azu termasuk salah satu wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh sang raja. Bagi orang Akkadian, sebutan “Kurti” digunakan untuk menunjuk mereka yang tinggal di kawasan pegunungan Zagros dan Taurus timur, sedangkan orang Babylonia menyebut mereka “Guti” dan “Kardu”. Sumber Yahudi (Talmud) beberapa kali menyebut tentang bangsa “Qarduim”. Sementara itu, dalam catatan ekspedisinya pada tahun 401 SM, Xenophon menceritakan pertemuannya dengan orang-orang “Kardykhoi”. Ini diikuti oleh Polybius (130 SM) yang menyebut mereka “Kyrtioi” dan “Strabo” (40 M) yang melatinkannya menjadi “Cyrtii”. Menurut Profesor Izady, setidaknya sejak kurun pertama Masehi, istilah “Kurd” mulai umum dipakai untuk menyebut
lxxii
siapa saja yang mendiami wilayah pegunungan dari Hormuz hingga ke Anatolia (http://swaramuslim.com/islam/more). Orang-orang Kurdi adalah suatu kelompok etnis Indo-Eropa yang mayoritas menganut agama Islam Sunni dan tinggal di wilayah Kurdistan (tanah orang-orang Kurdi) dengan luas wilayah sekitar 640.000 km2. Wilayah Kurdistan saat ini terdapat di beberapa negara seperti Turki bagian tenggara, Iran Utara, Irak Utara, dan Suriah Utara (M. Riza Sihbudi, 1991 : 136). Jumlah Suku Kurdi secara keseluruhan diperkirakan sekitar lebih dari 20 juta orang Kurdi dan terpaksa tinggal di beberapa negara berbeda. Di Turki terdapat sekitar 10 juta orang Kurdi; di Iran sekitar 6 juta orang Kurdi; di Irak terdapat lebih dari 5 juta orang Kurdi; dan di Suriah 1 juta lebih. Komunitaskomunitas yang lebih kecil ada yang tinggal di republik-republik bekas Uni Soviet dan Lebanon serta ada juga yang telah hijrah dan menetap di Eropa, Amerika dan Australia (http://swaramuslim.com/islam/more). Orang-orang Kurdi merupakan suatu kelompok etnis Indo-Eropa yang secara etnis berbeda dengan Arab, Turki dan Iran. Ciri-ciri orang Kurdi adalah kulit agak gelap, perawakan tubuh sedang, rambut coklat dan hitam serta mata coklat dan abu-abu (http://apakabar.ws/forums//viewtopic.php?f=1&t=5689). Suku Kurdi berbicara dalam bahasa mereka sendiri yakni Kurdi dengan beberapa dialek serta memilki budaya yang berbeda dengan budaya yang hidup disekitarnya (Trias Kuncahyono, 2005:168). Pada zaman pra-Islam, orang Kurdi menggunakan bahasa Pahlavi yang merupakan bahasa Parsi kuno yang masih serumpun dengan bahasa Sanksekerta dan bahasa-bahasa Eropa. Setelah kedatangan Islam dan invasi Dinasti Ustmaniah Turki, orang-orang Kurdi mulai menggunakan dialek suku Kurmanj. Begitu kuatnya pengaruh suku Kurmanj hingga mayoritas orang Kurdi masih banyak yang menyebut diri mereka “Kurmanj” dan bahasa mereka “Kurmanji”. Sekarang ini, terdapat dua dialek utama dalam bahasa Kurdi yaitu Kurmanji dan Sorani (atau sering juga disebut “Kurdi”). Sub-dialeknya antara lain Kirmanshah, Leki, Gurani dan Zaza. Mengenai sub-suku, sejarawan Kurdi Syarafuddin Bitlisi menyatakan dalam kitabnya Sharafnamah (Mukadimah 7-9) bahwa bangsa Kurdi terbagi empat, masing-masing mempunyai dialek dan adat-
lxxiii
istiadat
sendiri
yaitu
Kurmanj,
Lur,
Kalhur,
dan
Guran
(http://swaramuslim.com/islam/more). Sebelum masuknya Islam, suku Kurdi menganut agama-agama Parsi kuno seperti Zoroaster, Mithraisme, Manichaeisme dan Mazdak. Beberapa kuil penyembahan api peninggalan zaman tersebut masih terdapat sampai sekarang, antara lain di Ganzak (Takab) dan Bijar. Mereka juga sempat dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan Nasrani, tetapi semua pengaruh agama-agama tersebut hampir semuanya terkikis habis dengan datangnya Islam di abad ke-7 Masehi. Mayoritas orang Kurdi adalah pemeluk Islam Sunni yang bermazhab Syafi‘I dan sebagian kecil menganut Islam Syiah, khususnya yang tinggal di Kirmanshah, Kangawar, Hamadan, Qurva dan Bijar di selatan dan timur Kurdistan (bagian Iran), serta mereka yang tinggal di Malatya, Adiyaman dan Maras di barat Kurdistan (bagian Turki). Bangsa Kurdi terkenal berani, kuat dan gigih serta banyak berperan dalam menyebarkan dan membela Islam serta tidak sedikit tokoh-tokoh agama (ulama), pemimpin dan pejuang Islam berasal dari suku Kurdi seperti Shalahuddin alAyyubi, panglima perang dan pahlawan Islam dalam Perang Salib yang berhasil merebut
kembali
Baitul
Maqdis
dari
tangan
orang-orang
Kristen
(http://swaramuslim.com/islam/more). Kurdi merupakan etnis yang relatif tua usia, namun kesadaran terhadap wilayah baru muncul belakangan, bahkan sangat terlambat. Entitas Kurdi setidaknya telah dimulai sejak dua ribu tahun sebelum masehi. Suku Kurdi mempunyai kesadaran etnis, tetapi tidak mempunyai kesadaran kewilayahan, sebagai konsekuensi kultur tradisional nomaden, yang hidup berpindah-pindah dari Turki dan Iran ke lembah Mesopotamia sambil menggembala ternak dan bertani. Pasca Perang Dunia I, ketika negara-negara mulai menetapkan garis perbatasan, barulah kesadaran wilayah kaum Kurdi muncul terutama karena terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup tradisionalnya serta mulai menetap di berbagai pemukiman. Suku Kurdi mencita-citakan negara Kurdistan merdeka yang sekuler dan demokratis. Suku Kurdi yang tersebar di Turki, Iran, Irak, dan Suriah sebagai minoritas etnis sering diabaikan kepentingannya oleh pemerintah masing-masing
lxxiv
negara tersebut, sehingga suku Kurdi ingin memisahkan diri dari negara induk masing-masing dan bercita-cita mendirikan Negara Kurdistan. Perjanjian Sevres (Treaty of Sevres) tahun 1920 di Perancis oleh pihak Sekutu sebagai pihak yang menang dalam Perang Dunia I dengan Dinasti Ustmaniah Turki memberikan keuntungan bagi perjuangan suku Kurdi. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan pembentukan wilayah Kurdistan merdeka yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Dinasti Ustmaniah Turki, tetapi kenyataanya keputusan tersebut tidak terealisasi. Turki tidak mau menjalankan ketentuan mengenai suku Kurdi, bahkan Mustafa Kemal Ataturk memaksa sekutu untuk membatalkan perjanjian Sevres yang merugikan Turki. Menurut Mustafa Kemal Ataturk, Perjanjian Sevres sangat merugikan dan melemahkan Turki karena perbatasan timur negara Turki memanjang hingga Sulaymaniah, Arbil, Kirkuk dan Mosul berada di utara wilayah Irak sekarang. Selain itu, Mustafa Kemal Ataturk juga berpandangan bahwa rakyat Turki dan Kurdi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena memiliki latar belakang sejarah dan agama yang sama (Mustofa Abd. Rahman, 2003 :196). Perjanjian Sevres dibatalkan dan digantikan perjanjian Lausane pada 24 Juli 1923, Dalam perjanjian Lausane tersebut, masalah Kurdi tidak disinggung lagi. Dengan dibebaskannya daerah-daerah Arab dari kekuasaan Dinasti Ustmaniah Turki dan dibagi-bagi menjadi daerah sekutu, sehingga suku Kurdi menjadi terpecah belah dan tersebar dalam beberapa negara yaitu Turki, Iran, Irak, dan Suriah (Daliman, 2000 : 133). Fakta bahwa wilayah Kurdistan berada di beberapa negara menjadi kendala utama terwujudnya sebuah negara Kurdistan merdeka. Jika dipaksakan sangatlah sulit karena suku Kurdi harus menghadapi empat negara sekaligus yakni Turki, Iran, Irak dan Suriah. Berdasarkan kenyataan tersebut, suku Kurdi tidak lagi mencita-citakan berdirinya sebuah negara Kurdistan, tetapi mendapatkan wilayah yang otonom sehingga suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka (M. Riza Sihbudi, 1991:138).
lxxv
Perjuangan suku Kurdi untuk memperjuangkan nasib suku bangsanya dimulai pada abad 19, tepatnya tahun 1880, ketika pecah pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh Kurdi, Syaikh Ubaydullah, di propinsi Hakari yang berada di bawah kekusaan Dinasti Utsmaniah Turki. Tahun 1897, untuk pertama kalinya orang-orang Kurdi menerbitkan sebuah surat kabar yang diberi nama Kurdistan yang bertujuan untuk menyebarluaskan informasi tentang budaya dan perjuangan bangsa Kurdi. Seluruh biaya penerbitan koran tersebut dibiayai oleh salah satu keluarga Kurdi ternama yakni Badr Khan. Tahun 1919, Syaikh Mahmud (seorang pemimpin Kurdi) memproklamirkan wilayah Sulaymaniah di Irak sebagai wilayah yang merdeka dari kekuasaan Inggris. Meskipun akhirnya Inggris berhasil menundukkan Syaikh Mahmud, tetapi “Peristiwa Sulaymaniah” tercatat sebagai pemberontakan suku Kurdi secara besar-besaran yang pertama kali pada abad ke20 dan berpengaruh terhadap orang-orang Kurdi di wilayah Kurdistan Iran dan Turki (M. Riza Sihbudi, 1991 : 137). Tahun 1923, Syaikh Ahmad Barzani dan adiknya Mullah Mustafa Barzani (Kurdistan Irak) mulai melancarkan kampanye guna mendapatkan otonomi bagi wilayah Kurdistan Irak. Tahun 1946, Mullah Mustafa Barzani mendirikan Partai Demokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) di Uni Soviet pada masa pengasingannya. Partai tersebut beranggotakan sekelompok intelektual Kurdi dan memperoleh dukungan dari suku Kurdi yang tinggal di pegunungan. Partai Demokratik Kurdi-Irak baru diakui oleh pemerintah Irak tahun 1958 ketika terjadi kudeta di Irak. Selain KDP, orang-orang Kurdi Irak juga mempunyai partai politik yang dibentuk Jalal Talabani, yaitu partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK). Jalal Talabani semula adalah anggota terkemuka KDP, tetapi keluar karena sering bentrok dengan Mustafa Barzani yang kemudian tahun 1975 ia mendirikan PUK sebagai partai modern. Hingga sampai saat ini KDP dan PUK menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak (Trias Kuncahyono, 2005 : 173).
lxxvi
C. Proses Perjuangan Suku Kurdi Memperoleh Otonomi di Kurdistan Irak
Masalah suku Kurdi merupakan salah satu masalah yang terjadi di kawasan Timur-Tengah selain masalah bangsa Palestina dengan Israel yang sulit dicari jalan pemecahannya, terutama masalah suku Kurdi di Irak. Jika dibandingkan di Iran dan Turki, jumlah suku Kurdi Irak tergolong lebih sedikit (sekitar 5 juta), tetapi perjuangan suku Kurdi Irak dalam memperoleh otonomi dinilai yang paling agresif dengan intensitas perlawanan yang lebih sering daripada di Iran dan Turki. Terbukti dengan seringnya terjadi bentrokan secara fisik dengan pemerintah Irak yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa. Di wilayah Iran, suku Kurdi mengangkat senjata melawan pemerintah Iran untuk memperoleh otonomi. Tahun 1946, suku Kurdi Iran memisahkan diri dari Iran dan mendirikan Republik Mahabad dengan bantuan Uni Soviet, tetapi republik tersebut hanya berusia setahun setelah pemerintah Iran berhasil merebutnya kembali dan Iran berhasil membunuh pemimpin Republik Mahabad Kurdistan, Qazi Muhammad dan Ismail Agha Simitzo. Setelah revolusi Islam di Iran tahun 1979, suku Kurdi di Iran melancarkan pemberontakan kembali terhadap pemerintah Iran yang menolak memberikan otonomi. Ada dua alasan yang menyebabkan pemerintah Iran menolak memberikan otonomi, yaitu : 1) Selain suku Kurdi, di Iran terdapat golongan minoritas etnis lain seperti minoritas Arab dan Baluchistan. Pemerintah Iran khawatir jika tuntutan suku Kurdi dipenuhi, suku-suku lainnya juga akan menuntut otonomi. 2) Kurdistan merupakan daerah yang kaya akan minyak. Jika Kurdistan diberi otonomi, pemerintah Iran khawatir pendapatan negara dari sektor minyak akan berkurang (Daliman, 2000 : 114). Dalam pemberontakan tahun 1979 suku Kurdi Iran terlibat pertempuran dengan Pasdaran (Pasukan Pengawal Revolusi Iran) dan menelan korban jiwa sekitar 100 jiwa. Perjuangan suku Kurdi Iran tergabung dalam KDPI dan Komala (Partai Komunis Iran). KDPI dipimpin oleh Abdullahman Ghassemlo, tetapi tahun
lxxvii
1985 Ghassemlo terpaksa melakukan negosiasi dengan Pemerintah Iran yang membuat perjuangan suku Kurdi Iran berhenti (Daliman, 2000 : 114). Perjuangan suku Kurdi di Turki juga terbilang agresif dan masih berlangsung hingga saat ini. Perjuangan suku Kurdi Turki dihimpun melalui Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang menuntut lepas dari Turki dan merdeka dengan pemerintahan sendiri. Pemerintah Turki menolak memberikan kedaulatan bagi suku Kurdi. Kombinasi kebijakan represi dan integrasi secara konsisten yang diterapkan Pemerintah Turki terhadap suku Kurdi sangat efektif untuk menghancurkan pemberontakan suku Kurdi (http://www.waspada.co.id). Operasi militer besar-besaran terus dilakukan untuk menumpas gerakan Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang mengakibatkan ribuan jiwa kehilangan nyawa. Pada tahun 1991, ketua PKK Abdullah Ocalan ditangkap oleh pemerintah Turki dan dijatuhi hukuman mati. Tekanan pemerintah Turki yang represif mampu melemahkan tuntutan kemerdekaan yang dituntut suku Kurdi sehingga memaksa PKK mengubah orientasinya pada perjuangan otonomi daerah khusus Kurdistan (http://g1s.org/opini/kurdi-bangsa-besar-yang-termarginalkan-681) Dalam sejarahnya, suku Kurdi berhasil mendirikan Negara Kurdistan di wilayah Turki pada tahun 1922–1924, tetapi dapat dibubarkan pemerintah Turki. Setelah itu, suku Kurdi melancarkan pemberontakan besar-besaran pada tahun 1925, 1930 dan 1937, tetapi semuanya mengalami kegagalan sehingga banyak orang-orang Kurdi yang dibantai pemerintah Turki. Pada waktu itu, pemerintah Turki di bawah Mustafa Kemal Attatuk berhasil menyatukan orang-orang Turki dan Kurdi melalui kombinasi kebijakan represif dan intergrasi terhadap suku Kurdi sehingga secara resmi tidak ada orang-orang Kurdi di Turki (Daliman, 2000: 136). Pemerintah Turki menyebut suku Kurdi dengan “orang Turki pegunungan” dan memaksa suku Kurdi mengganti kebudayaannya dengan budaya Turki, termasuk bahasa dan adat-istiadatnya melalui Konstitusi Turki 1982 yang melarang penggunaan bahasa selain Turki (Tempo, 27 April 1991: 79). Perjuangan suku Kurdi di Suriah dihimpun melalui Partai Demokrasi Kurdistan Syiria (Kurdistan Democratic Party of Syria / KDPS) yang didirikan oleh Osman Sabri bersama beberapa politisi Kurdi tahun 1957. Tujuan dari KDPS
lxxviii
adalah memperjuangkan hak budaya Kurdi, kemajuan ekonomi dan perubahan demokratis. Selama ini pemerintah Suriah melarang suku Kurdi berbicara dengan bahasa Kurdi di depan umum, melarang pendirian partai politik Kurdi, penolakan untuk mendaftarkan anak-anak dengan nama Kurdi, larangan bisnis yang tidak memiliki nama Arab dan larangan penerbitan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Kurdi (http://en.wikipedia.org/wiki/Kurdish_people&prev=/translate) KDPS tidak diakui secara legal oleh negara Suriah dan tetap sebagai organisasi bawah tanah, khususnya setelah tindakan kekerasan pada tahun 1960 yang mengakibatkan beberapa pemimpin Kurdi yang ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan gerakan separatis. Pada tanggal 23 Agustus 1962, pemerintah melakukan sensus penduduk di Provinsi Jazira yang dikuasai Kurdi sehingga mengakibatkan sekitar 20 persen dari populasi Kurdi di Suriah dicabut status kewarganegaraannya. Pemerintah Suriah beralasan bahwa suku Kurdi yang berada di Suriah berasal negara-negara tetangga terutama dari suku Kurdi di Turki yang secara ilegal masuk ke Suriah yang secara bertahap menetap di kota-kota seperti Amuda dan Al Qamishli sehingga suku Kurdi menjadi mayoritas di kota tersebut (http://en.wikipedia.org/wiki/Kurdish_people&prev=/translate) Jika dibandingkan dengan pejuangan suku Kurdi di Iran, Turki dan Suriah, perjuangan suku Kurdi di Irak dinilai paling agresif terlihat dengan seringnya terjadi bentrokan secara fisik dengan pemerintah Irak yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa. Pemerintah Irak sangat menentang adanya pemberontakan yang mengganggu stabilitas negara dan untuk menghadapinya sering mengerahkan kekuatan militer untuk memadamkan pemberontakan suku Kurdi. Selain itu, pemerintah Irak juga ingin mengamankan penghasilan minyaknya karena di daerah Kurdistan kaya akan minyak seperti wilayah Kirkuk dan Mosul. Jika suku Kurdi diberi otonomi luas yang mencakup wilayah tersebut terutama di Kirkuk yang menghasilkan sepertiga jumlah produksi minyak di Irak akan membuat pemasukan negara berkurang dan ditakutkan dengan modal minyak suku Kurdi dapat membeli persenjataan dan membangun kekuatan militer dengan tujuan melakukan pemberontakan yang lebih besar pada pemerintah serta ditakutkan berujung pada pembentukan Negara Kurdistan merdeka. Hal ini dapat
lxxix
membangkitkan nasionalisme suku Kurdi yang tinggal di Iran, Turki dan Suriah sehingga akan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut. Perjuangan suku Kurdi di Irak juga lebih menarik diamati mengingat stabilitas negara Irak sendiri yang kurang kondusif daripada Iran dan Turki. Situasi politik di Irak kurang stabil yang diakibatkan sering terjadi kudeta dalam pemerintahan untuk menggantikan pemerintahan yang lama dengan yang baru. Selain itu, situasi politik Irak yang kurang kondusif dikarenakan Irak sering terlibat peperangan dengan negara-negara lain, seperti dengan Iran dalam Perang Parsi tahun 1980-1988 dan dalam Perang Teluk tahun 1991 melawan Kuwait dan Pasukan Multinasional di bawah pimpinan Amerika Serikat. Situasi tersebut dimanfaatkan suku Kurdi Irak untuk memberontak pada pemerintah guna mencapai tujuannya. Pemberontakan suku Kurdi terhadap pemerintah Irak sering dimanfaatkan oleh negara-negara asing seperti Iran dan Amerika yang mempunyai kepentingan di Irak. Suku Kurdi di tempatkan sebagai agen provocateur, bertindak sebagai kepanjangan
tangan
Iran dan
Amerika Serikat
yang menentang
atau
menginginkan tersingkirnya Saddam Hussein. Iran mendorong suku Kurdi Irak untuk membantu pasukan Iran melawan pasukan Irak dalam Perang Parsi sehingga berhasil merebut Halabjah dan Sulaymaniah (dua kota yang terletak di Kurdistan Irak). Demikian halnya dengan Amerka Serikat yang mendorong suku Kurdi untuk melakukan pemberontakan tahun 1991 dengan tujuan untuk mempermudah Amerika Serikat menggulingkan Saddam Hussein. Alasan Amerika Serikat ingin menggulingkan Saddam Hussein karena dinilai sebagai pemimpin yang diktaktor dan represif sehingga perlu diganti dengan pemerintahan baru yang lebih demokratis yang dalam hal ini pemerintahan baru tersebut berada di bawah kontrol Amerika Serikat yang dapat membantu tujuan strategis Amerika Serikat di Irak dan di kawasan Timur-Tengah, yang salah satunya adalah dapat menguasai sumber-sumber minyak Irak yang merupakan terbesar kedua setelah Arab Saudi guna kepentingan ekonomi dan industri Amerika Serikat. Usaha penggulingan Saddam Hussein dari kekuasaan baru berhasil pada saat Amerika Serikat menginvasi Irak tahun 2003.
lxxx
Alasan suku Kurdi mau membantu negara asing seperti Iran dan Amerika Serikat yang memiliki kepentingan di Irak adalah adanya harapan bahwa kedua negara tersebut dapat membantu perjuangan suku Kurdi melawan pemerintahan Saddam Hussein karena jika suku Kurdi berjuang sendirian tidak akan menang melawan pasukan Irak yang terlatih dan disiplin serta dilengkapi dengan persenjataan yang modern. Oleh karena itu, suku Kurdi bersedia membantu Iran dan Amerika Serikat melawan Irak dengan tujuan menumbangkan Saddam Hussein dari kekuasaannya yang terkenal sebagai pemimpin yang otoriter dan menggantinya dengan pemerintahan baru yang lebih demokratis yang diharapkan pemerintahan baru tersebut nantinya lebih lunak dan dapat memperlancar tujuan suku Kurdi memperoleh otonomi di Kurdistan tetapi harapan suku Kurdi tersebut tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Suku Kurdi Irak yang membantu Iran dalam melawan Irak pada saat perang Parsi (1980-1988), sehingga Iran berhasil merebut Halabjah dan Sulaymaniah (dua kota yang terletak di Kurdistan Irak). Pada akhirnya Perang Parsi tidak memunculkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi kedua pihak yang berselisih yaitu Irak dan Iran sepakat untuk mengakhiri perang dengan gencatan senjata dan pasukan Iran meninggalkan wilayah Irak yang sebelumnya di duduki pasukan Iran dengan bantuan suku Kurdi. Bantuan suku kurdi terhadap pasukan Iran selama perang Parsi menyebabkan Saddam Hussein melancarkan serangan ke wilayah Irak Utara dengan menggunakan senjata kimia karena suku Kurdi dianggap sebagai “pengkhianat”. Pasca Perang Teluk tahun 1991 suku Kurdi kembali melakukan pemberontakan yang didukung secara tidak langsung oleh Amerika Serikat yang menginginkan tumbangnya kekuasaan Saddam Hussein, tetapi pasukan Irak kembali dapat menumpas pemberontakan Kurdi. Pasukan Amerika Serikat yang setelah berakhirnya Perang Teluk masih berada di wilayah Irak tidak berbuat apaapa seperti membiarkan para pejuang Kurdi dihujani peluru dan bom oleh pasukan Irak. Hal tersebut disebabkan karena secara politis, jika Amerika Serikat mendukung pergerakan suku Kurdi berarti juga mengganggu kedaulatan di Turki, Iran dan Suriah karena dapat membangkitkan nasionalisme di negara-negara
lxxxi
tersebut yang dapat mengganggu stabilitas di kawasan tersebut (Tempo, 6 April 1991 : 25). Perjuangan Suku Kurdi yang dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan asing justru membawa dampak yang buruk bagi orang-orang Kurdi yang wilayahnya dua kali diserang pemerintah Irak setelah membantu Iran dan Amerika Serikat yang mengakibatkan ribuan orang Kurdi tewas dan jutaan lainnya mengungsi ke Iran dan Turki. Suku Kurdi hanya dimanfaatkan Iran dan Amerika Serikat yang memiliki kepentingan di Irak sebagai ”kawan sementara”bagi orang Kurdi tetapi setelah tujuan kekuatan-kekuatan asing tercapai, mereka kemudian meninggalkan suku Kurdi sehingga suku Kurdi harus memperjuangkan nasib dan tujuannya sendiri (Trias Kuncahyono, 2005 : 178). Perjuangan suku Kurdi di Irak dimulai tahun 1919 yang dipimpin oleh Syaikh Mahmud yang memproklamirkan Sulaymaniah sebagai wilayah yang merdeka
dari
kekuasaan
Inggris,
meskipun
akhirnya
Inggris
berhasil
menundukkan Syaikh Mahmud (Daliman, 2000 : 132). Tahun 1923, Syaikh Ahmad Barzani dan adiknya Mullah Mustafa Barzani (Kurdistan Irak), mulai melancarkan kampanye guna mendapatkan otonomi bagi wilayah Kurdistan Irak. Tahun 1943, Mustafa Barzani membentuk suatu wilayah otonom di sekitar kota kelahirannya di Barzan yang mampu dikuasai selama dua tahun sebelum akhirnya mampu dikuasai kembali oleh pemerintah Irak tahun 1945. Hal tersebut membuat Mustafa Barzani pindah ke Mahabad (Iran) tahun 1946, di mana pada waktu itu suku Kurdi di Iran berhasil mendirikan Republik Mahabad Kurdistan yang mendapat perlindungan dari Uni Soviet, tetapi Republik Mahabad Kurdistan hanya berumur setahun setelah pemerintah Iran berhasil merebutnya kembali sehingga memaksa Mustafa Barzani kabur ke Uni Soviet sampai revolusi Irak tahun 1958 (Trias Kuncahyono, 2005 : 170). Tahun 1946, Mullah Mustafa Barzani mendirikan Partai Demokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) di Uni Soviet pada masa pengasingannya. Partai tersebut beranggotakan sekelompok intelektual Kurdi dan memperoleh dukungan dari suku Kurdi yang tinggal di pegunungan. Partai Demokratik Kurdi-Irak baru diakui oleh pemerintah Irak tahun 1958 ketika terjadi
lxxxii
kudeta di Irak. Setelah Mustafa Barzani meninggal tahun 1979, jabatan sebagai ketua partai dipegang putranya yaitu Massoud Barzani. Selain KDP, orang-orang Kurdi Irak juga mempunyai partai politik yang dibentuk Jalal Talabani, yaitu partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK). Jalal Talabani semula adalah anggota terkemuka KDP, tetapi keluar karena sering bentrok dengan Mustafa Barzani yang kemudian tahun 1975 ia mendirikan PUK sebagai partai modern. Jalal Talabani juga membuat surat kabar dan jaringan radio yang menjangkau kalangan terpelajar. Hingga sampai saat ini KDP dan PUK menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak (Trias Kuncahyono, 2005 : 173). Pada bulan Maret 1961 suku Kurdi yang berdiam di Irak Utara mengadakan perlawanan terhadap Baghdad yang menolak tuntutan Kurdi untuk memperoleh otonomi. Pada saat itu Barzani memproklamirkam kemerdekaan negara Kurdi. Dalam pemberontakan tersebut, orang-orang Kurdi berhasil mendesak mundur pasukan pemerintah Irak di beberapa bagian, sehingga memaksa diadakannya perundingan perdamaian di dekat kota Sulaymaniah pada bulan Januari 1964 dan gencatan senjata pada bulan Februari. Tuntutan suku Kurdi dipenuhi dengan mengakuinya dalam konstitusi sementara Irak yang baru. Di samping itu, pemerintah Irak juga memberikan amnesti umum, tetapi suku Kurdi tetap menolak meletakkan senjata sampai keinginan politik mereka menjadi kenyataan. Persetujuan dan perjanjian yang telah dicapai tersebut ternyata belum memberikan jalan keluar yang mantap atas permasalahan suku Kurdi (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 200). Bulan Desember 1965 terjadi pertempuran lagi dan meluas sampai ke perbatasan Irak-Iran sehingga mengakibatkan tarjadinya ketegangan antara kedua negara pada awal tahun 1966. Pada bulan Juni 1966 Perdana Menteri Doktor Abdul Rahman al-Bazzaz membuat sebuah gagasan baru untuk menyelesaikan konflik dengan suku Kurdi. Tuntutan otonomi suku Kurdi dan bahasa Kurdi diterima secara resmi oleh pemerintah Irak, sedangkan sistem administrasi dilaksanakan secara desentralisasi. Di samping itu, pemerintah Irak memberikan hak kepada orang-orang Kurdi untuk menyelenggarakan pendidikan, kesehatan dan kegiatan kemasyarakatan di wilayah mereka (Kurdistan Irak). Orang Kurdi
lxxxiii
juga mempunyai wakil di Parlemen dan Kabinet serta mendapatkan berbagai pelayanan sosial, tetapi pemerintah Irak menuntut agar tentara Kurdi sebanyak 15.000 orang dibubarkan. Pemimpin Kurdi, Mustafa Barzani menyambut baik gagasan tersebut. Dalam Kabinet yang terbentuk bulan Mei 1967, terdapat orangorang Kurdi di dalamnya. Presiden Arif yang mengadakan kunjungan ke wilayah Kurdistan pada tahun 1967 kembali meyakinkan keinginanya untuk membuat kemungkinan-kemungkinan bagi orang Kurdi untuk dapat memangku jabatan pada tingkat Menteri untuk membantu rehabilitasi wilayah Kurdistan yang rusak akibat perang dan kerjasama secara efektif dalam pemerintahan Irak (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 201). Pada tanggal 17 Juli 1968 terjadi kudeta tak berdarah di Irak karena rezim yang berkuasa pada waktu itu di bawah pemerintahan Presiden Arif kurang mendapat dukungan rakyat dan dianggap korup dan tidak cakap. Rezim lama diganti dengan rezim baru dengan Jendral Ahmed Hassan al-Bakr sebagai Presiden Irak. Kabinet yang baru dibentuk pada masa Presiden Arif dibubarkan oleh Jendral Ahmed Hassan al-Bakr karena para anggota kabinet dituduh “bersikap revolusioner”. Jendral Ahmed Hassan al-Bakr kemudian menyusun kembali kabinetnya yang baru. Menjelang akhir 1968 politik dalam negeri Irak merosot karena banyak pemimpin-pemimpin rezim lama ditahan bahkan dibunuh karena tuduhan melakukan gerakan kontra-revolusioner. Kondisi lebih buruk terjadi pada bulan Oktober 1968 yaitu permusuhan terang-terangan Pemerintah Irak dengan orangorang Kurdi untuk pertama kalinya terjadi lagi sejak gencatan senjata tahun 1966. Pemberontak suku Kurdi membom instansi minyak Irak di Kirkuk pada bulan Maret 1969 yang menyebabkan kerugian besar bagi pemerintah Irak. Pemerintah Irak mendengungkan bahwa suku Kurdi mendapat bantuan dari Iran. Kurdi terus berjuang dan menuntut otonomi sambil menyerukan campur tangan PBB (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 203). Pemerintah Irak mencoba menyelesaikan persoalan Kurdi melalui perundingan pada 11 Maret 1970 dan ditetapkan perjanjian perdamaian yang
lxxxiv
terdiri 15 pasal yang diumumkan oleh Dewan Pimpinan Revolusioner dan pemimpin Kurdi yaitu : 1. Bahasa Kurdi menjadi bahasa resmi sejajar dengan bahasa Arab di daerahdaerah dengan mayoritas suku Kurdi. 2. Orang-orang Kurdi akan berpartisipasi secara penuh dalam pemerintahan dan mendapatkan posisi strategis dalam kabinet dan angkatan perang. 3. Pendidikan dan kebudayaan warga Kurdi akan ditingkatkan. 4. Semua kantor di wilayah mayoritas Kurdi adalah orang-orang Kurdi atau setidaknya dapat berbicara bahasa Kurdi. 5. Orang Kurdi harus bebas untuk membentuk organisasi pelajar, pemudapemudi, dan guru dengan cara mereka sendiri. 6. Dana akan ditetapkan untuk perkembangan Kurdistan. 7. Dana pensiun dan bantuan akan diberikan pada keluarga pejuang dan pihak lain yang menderita kemiskinan, pengangguran, dan tuna wisma. 8. Orang Kurdi dan Arab akan dikembalikan ke tempat tinggal awal mereka. 9. Reformasi Agraris akan dilaksanakan. 10. Undang-Undang akan diamandemen untuk melihat warga Irak terdiri atas dua kewarganegaraan yaitu kewarganegaraan Arab dan kewarganegaraan Kurdi. 11. Stasiun penyiaran dan senjata berat akan dikembalikan ke Pemerintah. 12. Salah satu wakil presiden harus orang Kurdi. 13. Hukum Gubernur (Provinsi) harus diamendemen menyesuaikan dengan isi pokok deklarasi ini. 14. Penggabungan dari area-area dengan mayoritas Kurdi (Sulaymaniah, Arbil, Dahuk, Kirkuk dan Mosul) sebagai unit yang diperintah oleh suku Kurdi sendiri. 15. Orang-orang
Kurdish
harus
berbagi
kekuasaan
legislatif
secara
proporsional dengan populasinya di Irak. Persetujuan tersebut diterima orang-orang Kurdi dan pertempuran pun berhenti. Sebulan setelah penandatanganan perjanjian tersebut, Saddam Hussein membentuk komisi yang terdiri dari empat orang Kurdi dan empat orang Arab untuk melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut.
lxxxv
Presiden al Bakr merubah susunan kabinet dengan mengangkat lima orang Kurdi terkemuka. Pasal 4 dan 5 dilaksanakan dengan pengangkatan anggota KDP sebagai gubernur dari propinsi Sulaymaniah, Arbil, dan Dahuk. Pada akhir April 1970, bahasa Kurdi mulai digunakan dalam kehidupan sehari-hari, serikat penulis dan masyarakat sosial terbentuk sesuai dengan Pasal 1 serta organisasi pelajar, pemuda-pemudi, dan guru juga mulai terbentuk sesuai dengan Pasal 5. Uang dan energi juga diinvestasikan dalam pembangunan kembali desa, proyek infrastruktur dan ekonomi utama dimulai dan pelaksanaan Hukum Reformasi Agraria 1919 akhirnya dimulai di area-area yang ditetapkan untuk para tuna wisma dan pengungsi (Pasal 6, 8, dan 9). Bulan Juli 1970, undang-undang diamandemen sesuai dengan Pasal 10 dan pada akhir tahun, pemerintah Irak setuju untuk membayar 6.000 peshmergas untuk melaksanakan penjagaan perbatasan. Sebanyak 2.700 tempat tinggal dibangun kembali dan lebih dari 100 desa yang dihancurkan telah dibangun kembali (David McDowall, 2000 : 328-329). Pemimpin Kurdi, Mustafa Barzani sudah mengerahkan pasukannya sebanyak 15.000 untuk menjaga perbatasan Irak yang resmi, tetapi status hukum daerah Kurdi masih tetap akan diatur. Mustafa Barzani menilai seharusnya masih harus dilakukan sensus untuk menyelidiki daerah mana saja di Irak utara yang paling banyak berpenduduk Kurdi, sehingga pantas mendapat status otonom seperti wilayah Kirkuk, tetapi hal tersebut masih ditangguhkan oleh pemerintah Irak yang menyebabkan kekhawatiran orang Kurdi. Jika hal tersebut dibiarkan terus akan mengundang orang-orang Arab bermigrasi ke wilayah Kirkuk yang kaya akan minyak. Penangguhan yang dilakukan pemerintah Irak karena harus mencurahkan perhatian terhadap orang-orang Kurdi yang kembali dari Iran ketika permusuhan mereda. Meskipun persetujuan dengan Kurdi itu tidak seluruhnya memuaskan, tetapi sekurang-kurangnya sudah membawa stabilitas di Irak dan memungkinkan dimulainya pembaharuan. Pada bulan Februari 1971 Partai Revolusi Kurdi bergabung dengan Partai Demokrasi Kurdi pimpinan Mustafa Barzani membentuk kesatuan Kurdi. Bulan Juli 1971, konstitusi baru diumumkan yang memuat pokok-pokok persetujuan tahun 1970 serta ditetapkan bahwa orangorang Kurdi dipimpin oleh Komite Tertinggi dan diminta untuk menyerahkan senjata pada bulan Agustus 1971. Hal tersebut membawa situasi di bagian utara Irak menjadi kondusif (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 204). Bulan Juli 1971 suatu percobaan kudeta dilakukan oleh perwira-perwira Angkatan Darat dan Udara Irak, tetapi dapat digagalkan oleh pemerintah Irak. lxxxvi
Suku Kurdi mulai
menunjukkan ketidakpuasaannya karena tertundanya
perwujudan persetujuan 11 Maret 1970 dan mengeluhkan belum terlaksananya sensus yang telah disetujui dalam perjanjian 11 Maret 1970 serta tuntutan untuk turut dalam Dewan Pimpinan Revolusioner juga ditolak pemerintah Irak. Pemimpin suku Kurdi dan pemerintah Irak bertemu untuk mendiskusikan kembali masalah yang menyebabkan ketidakpuasan suku Kurdi dan terjadi perbedaan pendapat antara kedua belah pihak. Di satu pihak suku Kurdi menganggap belum terselenggaranya persetujuan 11 Maret 1970, sedangkan di pihak pemerintah Irak mengemukakan macam-macam proyek pembangunan yang sudah dilaksanakan di daerah-daerah orang Kurdi. Perwujudan perjanjian 11 Maret 1970 baru terlaksana secara efektif pada 11 Maret 1974, di mana Saddam Husein yang pada waktu itu sebagai Wakil Presiden dan Dewan Pimpinan Revolusi mengumumkan pemberian otonomi kepada suku Kurdi yang mencakup wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah. Keputusan tersebut menegaskan, daerah otonomi tetap bagian dari teritori Irak, orang-orang Kurdi tetap bagian dari rakyat Irak, orang-orang Kurdi dapat menyelenggarakan administrasi sendiri dan mengatur sendiri masalah keuangan serta anggarannya, tetapi masih berada dalam koridor Keuangan Negara (http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php). Sekelompok kecil orang-orang Kurdi dari Partai Demokratik Kurdi di bawah pimpinan Abdel Sharif menerima pemberian otonomi tersebut, tetapi Mustafa Barzani merasa tawaran tersebut kurang dari tuntutan mereka akan perwakilan penuh di pemerintahan termasuk keanggotaan dalam Dewan Pimpinan Revolusi serta wilayah Kirkuk (penghasil 30% minyak Irak) tidak masuk dalam wilayah otonomi Kurdistan. Mustafa Barzani dengan pasukannya (Peshmarga) memulai kembali perlawanan bersenjata di Irak Utara (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 205). Pada bulan April 1974 Pemerintah Irak mengganti 5 Menteri Kurdi yang terkenal sebagai pendukung Barzani dengan 5 orang Kurdi lain pendukung pemerintah Irak. Agustus 1974, perang Kurdi mengalami babak baru. Pemerintah Irak mengerahkan kekutan militer yang besar untuk melawan pasukan Mustafa
lxxxvii
Barzani (peshmarga) dengan menggunakan tank, meriam dan pesawat pembom. Sekitar 130.000 orang Kurdi terutama terdiri dari wanita, anak-anak dan orang tua mengungsi ke Iran. Peshmarga bisa bertahan berkat bantuan Iran berupa senjata dan perlengkapan lainnya (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 205). Pada saat pertemuan OPEC (6 Maret 1975) di Aljazair, ditandatangani persetujuan antara Irak-Iran untuk mengakhiri perselisihan tentang perbatasan. Irak dan Iran juga setuju untuk mengakhiri penyusupan yang bersifat subversif sehingga pemberontakan suku Kurdi pun berhenti. Sadar tanpa bantuan Iran Mustafa Barzani tidak bisa bertahan, akhirnya ia pergi ke Teheran. Gencatan senjata ditetapkan 13 Maret 1975, pihak yang menyerah sampai tanggal 1 April akan diberi amnesti. Sebanyak 200.000 orang Kurdi lari ke Iran pada waktu pemberontakan tersebut berakhir (Nasir Tamara dan Agnes Samsuri, 1981 : 206). Bulan Februari 1976, Partai Demokrasi Kurdi menyusun kekuatan untuk mengulangi perjuangannya dan di bulan Maret terjadi bentrokan antara Kurdi dengan pasukan keamanan Irak di Ruwanduz. Tahun 1977 dilaksanakan program pembangunan kembali dan bulan April sekitar 40.000 orang Kurdi diizinkan kembali ke daerah Irak Utara. Dewan Eksekutif daerah otonomi Kurdi memutuskan bahwa bahasa Kurdi dipakai sebagai bahasa resmi dalam komunikasi oleh semua departemen pemerintahan di daerah otonomi Kurdi yang tidak mempunyai hubungan dengan pemerintah pusat (Daliman, 2000 : 139). Tampilnya Saddam Hussein sebagai Presiden Irak pada 16 Juli 1979 membuat perjuangan suku Kurdi semakin sulit karena Saddam Hussein sering menggunakan kekuatan militer untuk menghancurkan pemberontak Kurdi. Tahun 1984, pemerintah Irak kembali menawarkan otonomi kepada suku Kurdi yang dipimpin Jalal Talabani dari PUK, penentang Massoud Barzani, dengan syarat tetap beroposisi kepada Massoud Barzani dan Partainya (Kurdish Democratic Party / KDP), tetapi atas jasa Iran, justru Jalal Talabani dan Massoud Barzani dipersatukan untuk melawan Irak pada masa Perang Parsi antara Irak-Iran sehingga otonomisasi tidak berhasil (Kompas, 6 Oktober 1991 : 76). Pada tahun 1988 pemerintah Irak dua kali melancarkan serangan besarbesaran dengan senjata kimia terhadap penduduk suku Kurdi. Serangan yang
lxxxviii
pertama pada tanggal 16 Maret 1988 Angkatan Udara Irak menghujani bom-bom kimia di kota Halabjah (sebuah kota yang ada di Provinsi Sulaymaniah), Irak Utara dan menewaskan 5.000 warga Kurdi. Dalam serangan tersebut, delapan pesawat tempur Irak membombardir dengan menjatuhkan bom kimia di atas kota Halabjah yang berpenduduk sekitar 120.000 orang. Serangan tersebut berlanjut siang-malam sampai tanggal 19 Maret (Trias Kuncahyono, 2005 : 165). Serangan yang kedua dilancarkan pasukan Irak di desa Butiam Esi, Amadiyah, dan sejumlah desa lain di Kurdistan, dari tanggal 25 Agustus sampai 5 September dan menewaskan sekitar 2.500 warga Kurdi. Serangan pasukan Saddam Hussien tahun 1988 ini menyebabkan sekitar 60.000 orang Kurdi Irak terpaksa mengungsi ke Iran dan Turki (M. Riza Sihbudi, 1991 : 135). Pemerintah Irak menganggap serangan yang dilancarkan terhadap suku Kurdi sebagai sesuatu yang “wajar”, karena suku Kurdi Irak dianggap sebagai “kaum pengkhianat yang patut dibasmi”, sebab selama hampir delapan tahun (22 September 1980-20 Agustus 1988) berlangsung perang Teluk Parsi (Irak-Iran), suku Kurdi Irak justru berpihak pada pasukan Ayatullah Khomeini dan memerangi pasukan pemerintah Irak. Keberhasilan Iran merebut Halabjah dan Sulaymaniah (dua kota yang terletak di Kurdistan Irak) tidak terlepas dari bantuan yang diberikan suku Kurdi Irak (M.Riza Sihbudi, 1991 : 135). Senjata kimia yang digunakan pasukan Irak untuk membunuh suku Kurdi adalah senjata biologi dan kimia yang mematikan seperti antrhax, Gas saraf VX, aflaktoksin, batolinum, toksin, sarin dan gasa mustard. Anthrax merupakan senjata kimia yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan, menyerang kulit sehingga melepuh dan penuh luka; batolinum yaitu kuman yang meracuni makanan dan mengakibatkan korban mual, diare dan kelumpuhan pernapasan dan jantung; aflaktoksin yaitu racun dari jamur yang bisa menyebabkan kanker hati; Gas saraf VX adalah senjata kimia yang mematikan karena satu tetes kecil saja sudah dapat membunuh orang. Gas saraf ini seperti oli mobil yang bekerja cepat, terserap melalui paru-paru, mata, kulit dan mengakibatkan kelumpuhan paru-paru. Senjata-senjata kimia mematikantersebut dimasukkan ke dalam hulu ledak peluru kendali (Trias Kuncahyono, 2005 : 166).
lxxxix
Pembantaian dengan senjata kimia yang dilakukan pemerintah Irak terhadap suku Kurdi tersebut menimbulkan kecaman keras dari dunia internasional. Senat Amerika Serikat mendesak Presiden Ronald Reagan untuk segera menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Irak. Pada bulan Oktober 1988, Parlemen Eropa yang sedang bersidang di Strasbourg, Perancis mengeluarkan kutukan pedas dan menghimbau para anggotanya agar mengenakan sanksi kepada rezim Saddam Husein. Sikap tegas ditunjukkan Jepang yang memutuskan untuk tidak akan mengirimkan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat senjata kimia kapada Irak (M. Riza Sihbudi, 1991 : 135). Pasca Perang Teluk, pada bulan Maret-April 1991 suku Kurdi melakukan pemberontakan kembali terhadap pemerintah Irak dengan memanfaatkan situasi yang berkembang pada waktu itu karena dalam waktu yang hampir bersamaan kaum Syiah di Irak selatan juga mengangkat senjata melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Irak. Selain itu, pemberontakan Kurdi tahun 1991 didasarkan atas asumsi bahwa tentara Irak dalam keadaan lemah setelah kalah perang melawan pasukan Kuwait dan Pasukan Multinasional di bawah pimpinan Amerika Serikat dalam perang Teluk tahun 1991, tetapi kenyataannya tentara Irak masih cukup kuat untuk menumpas pemberontakan suku Kurdi di Irak utara. Dalam waktu tiga pekan semua wilayah Kurdi di Irak Utara bergolak. Kota-kota seperti Ranya, Sulaymaniah, Arbil, Dahuk, Aqra dan Kirkuk dapat mereka kuasai, akan tetapi Pasukan Irak (Garda Republik) bergerak dengan cepat dan dalam tempo seminggu wilayah-wilayah tersebut sudah dapat direbut kembali. Serangan pasukan Irak terhadap pemberontakan suku Kurdi melibatkan tank, helikopter tempur dan senjata arteleri. Serangan Pasukan Irak tersebut menyebabkan sekitar 2,25 juta orang Kurdi di Irak Utara terpaksa mengungsi ke berbagai negara yang berdekatan dengan Irak. Sekitar 1 juta pengungsi tinggal di 70 tenda yang dibangun di Iran. Sekitar 700.000 orang lainnya sedang dalam perjalanan mencari tempat aman dan lebih dari 600.000 orang berlindung di Turki (Trias Kuncahyono, 2005 : 165). Serangan pemerintah Irak terhadap suku Kurdi mendapat kecaman keras dari Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Tanggal 5 April 1991 Dewan
xc
Keamanan PBB bereaksi dengan mengeluarkan Resolusi PBB No. 688 yang memberlakukan kawasan larangan terbang di atas wilayah 36 derajat garis lintang sejajar pada Irak bagian utara untuk melindungi suku Kurdi dari pengeboman pesawat-pesawat tempur Irak (David McDowall, 2000 : 373). Atas dasar Resolusi PBB No. 688 tersebut, Amerika Serikat membangun enam tempat penampungan untuk membantu para pengungsi Kurdi yang masih terlunta-lunta di daerah-daerah pegunungan maupun yang tinggal di tenda-tenda pengungsian di Iran dan Turki agar kembali ke Irak dan tinggal di tempat penampungan yang didirikan Amerika Serikat. Tempat-tempat penampungan pengungsi Kurdi tersebut akan dijaga sepuluh ribu marinir Amerika Serikat dari serangan tentara Irak. Marinir Amerika Serikat juga akan dibantu oleh lima ribu tentara Inggris, seribu tentara Perancis, seribu tentara Belanda dan lima ratus tentara Italia untuk menjaga tempat pengungsian. Sebenarnya PBB tidak merestui pembangunan tempat penampungan tersebut. Menurut Sekjen PBB Javier Perez de Cueller pembangunan tempat penampungan dan kehadiran pasukan Amerika Serikat dan Sekutunya di Irak akan melanggar kedaulatan negara Irak, tetapi PBB juga tidak berbuat banyak. Pemerintah Irak juga memprotes keras pembangunan tempat penampungan dan kehadiran pasukan Amerika Serikat dan Sekutunya di wilayah Irak Utara karena dianggap melanggar kedaulatan negara Irak. Pemerintah Irak juga beralasan bahwa Irak telah mencapai kesepakatan dengan dua pejabat PBB yakni Sadrussin Aga Khan dan Eric Suy yang mendapat mandat Sekjen PBB untuk membangun tempat pengungsi yang dapat dibuat di seluruh wilayah Irak yang akan diawasi oleh PBB. Amerika Serikat tidak mau tahu dan mengingatkan
jika
Irak
mengganggu
operasi
Sekutu
membuat
tempat
penampungan di daerah Kurdi, Amerika Serikat akan menganggapnya sebagai tantangan untuk kembali membuka perang. Pemerintah Irak akhirnya tidak dapat berbuat banyak untuk menghalangi pembangunan tempat penampungan dan kehadiran pasukan Amerika Serikat serta Sekutunya di wilayah Irak Utara dan mengalihkan perhatiannnya untuk fokus agar sanksi ekonomi terhadap Irak segera dicabut (Tempo, 27 April 1991 : 76).
xci
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan konflik dengan suku Kurdi, pihak pemerintah Irak dengan para pemimpin Kurdi sepakat untuk melakukan perundingan perdamaian dan Presiden Saddam Hussein bersedia menjanjikan otonomi yang lebih luas di Kurdistan Irak. Sebagian orang Kurdi masih curiga akan tipu daya janji Saddam Hussein memberikan otonomi di Kurdistan Irak karena janji Saddam Hussein memberikan otonomi tahun 1970 yang dilanjutkan dengan perjanjian 11 Maret 1974 tidak sepenuhnya dijalankan dan dalam prakteknya, semua keputusan birokrasi ataupun politik di wilayah Kurdistan tetap memerlukan restu Saddam.Hussein yang membuat suku Kurdi tidak puas sehingga melakukan pemberontakan. Ada anggapan bahwa tawaran wilayah otonomi dari Saddam Hussein hanya siasat untuk menggalang simpati dari negara-negara Barat agar sanksi ekonomi terhadap Irak segera dicabut sehingga diharapkan keadaan dalam negeri Irak dapat membaik dan Saddam Hussein bisa tetap bertahan sebagai Presiden Irak. Suku Kurdi harus berhati-hati dalam mengambil keputusan dan persetujuan apapun yang dicapai dengan pemerintah Irak harus diikuti dengan jaminan internasional (Tempo, 27 April 1991 : 77). Perundingan tahap pertama antara pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi yang terdiri atas Jalal Talabani sebagai pemimpin delegasi, Nechirvan Barazani (keponakan Massoud Barzani), Abdul Rahman dan Rasoul Mamand, berlangsung 24 April 1991 yang membahas tentang masalah otonomi di Kurdistan Irak dan jaminan internasional atas keputusan akhir antara Kurdi dengan pemerintah Irak tentang otonomi Kurdi. Pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi mencapai kesepakatan untuk menerapkan pakta otonomi 11 Maret 1970 yang menetapkan tiga provinsi di Irak utara sebagai wilayah otonomi Kurdi yaitu Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah (Kompas, 3 Mei 1991 : 8). Menurut Jalal Talabani, dalam perundingan tahap pertama antara pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi, inti pembicaraan telah melampaui masalah otonomi Kurdi, yakni tentang penegakkan demokrasi di Irak yang mencakup soal konstitusi baru, pemilu bebas dan kemungkinan pemerintahan koalisi. Masalah konstitusi, pemerintah Irak menginginkan rancangan konstitusi yang sudah ada supaya diajukan sebagai referendum, sedangkan pihak Kurdi
xcii
menginginkan untuk terlebih dahulu diadakan pemilu bebas untuk membentuk parlemen yang kemudian akan merancang konstitusi untuk di bawa ke referendum. Kedua pihak mengusulkan pemerintahan koalisi, tetapi belum ada kepastian apakah akan mengikutsertakan kelompok oposisi lain di Irak seperti kaum Syiah. Mengenai masalah otonomi Kurdi yang merupakan inti yang dibahas dalam perundingan tersebut, kedua belah pihak belum ada kesepakatan karena perbedaan pendapat. Pihak Kurdi menuntut wilayah Kirkuk yang merupakan penghasil sepertiga dari produksi minyak Irak dimasukkan dalam wilayah otonomi Kurdistan. Dalam perundingan tersebut, Jalal Talabani mengusulkan, pemerintah pusat boleh menguasai produksi minyak Kirkuk, sedangkan Kurdi yang mengontrol pemerintahan di Kirkuk dan sekitarnya serta Kurdi tidak meminta presentase langsung dari pendapatan minyak Irak, tetapi menginginkan pembagian dari anggaran negara Irak bagi wilayah otonomi Kurdistan, yang besarnya sebanding dengan persentase populasi Kurdi di Irak. Tuntutan pemimpin Kurdi tersebut ditolak pemerintah Irak karena Kirkuk bukanlah kota Kurdi. Alasan penolakan pemerintah Irak dipandang delegasi Kurdi tidak realistis untuk diterima karena Kirkuk dianggap bukan kota Kurdi disebabkan mayoritas orangorang Kurdi di Kirkuk telah dihapus melalui kebijaksanaan Arabisasi yang dilakukan partai Ba’ath sejak 1960-an (Kompas, 16 Mei 1991 : 8). Orang-Orang Kurdi yang semula menjadi mayoritas di Kirkuk di pindahkan ke Irak Selatan dan tempat mereka digantikan oleh orang Arab untuk mendongkrak komposisi agar orang Kurdi tidak menjadi mayoritas di wilayah Kirkuk (Tempo, 18 Mei 1991 : 39). Meskipun belum ada kesepakatan tentang masalah otonomi Kurdi, kedua belah pihak masih ada kemauan untuk melakukan perundingan kembali untuk menyelesaikan pemecahan soal Kurdi. Persoalan lain yang tak kalah penting mengenai pengungsi Kurdi yang tinggal pada tenda-tenda di perbatasan Turki, Iran dan yang tinggal di pegunungan. Sebanyak 9.000 pengungsi Kurdi telah meninggalkan kemah-kemah di pegunungan dekat perbatasan Turki untuk pulang ke rumah mereka masingmasing atau tinggal di kamp-kamp pengungsian yang dilindungi pasukan Amerika dan sekutunya di Irak utara (Kompas, 3 Mei 1991 : 8). Jumlah pengungsi Kurdi
xciii
yang kembali ke Irak masuk ke zone keamanan yang dilindungi pasukan Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Belanda semakin meningkat. Sejak tanggal 5 Mei 1991 sudah ada 21.000 pengungsi yang kembali ke kota perbatasan Zakho. Menurut Gary Goff, seorang perwira yang menjaga kamp pengungsian, jumlah pengungsi yang ada di Turki sudah berkurang sekitar 129.000 orang. Rencananya sebanyak 125.000 pengungsi Kurdi akan di bawa ke Zakho, sekitar 65.000 ke Sirsenk dan sekitar 6.500 ke Suriah (Kompas, 8 Mei 1991 : 1). Sampai tanggal 22 Mei 1991, Kementrian Luar Negeri Turki menyatakan sebanyak 33.586 pengungsi Kurdi masih berada di wilayahnya dan 92.000 lainnya berada di kamp perbukitan perbatasan dengan Turki (Kompas, 24 Mei 1991 : 9). Perundingan tahap kedua antara pemerintah Irak dengan pemimpin Kurdi tentang rincian otonomi yang dijanjikan bagi suku Kurdi di Irak Utara dimulai tanggal 6 Mei 1991. Dalam perundingan tersebut, pemerintah Irak diharapkan dapat mencapai kesepakatan untuk mengakhiri secara permanen perlawanan Kurdi. Delegasi Kurdi dalam perundingan tersebut dipimpin Massoud Barzani, pemimpin Partai Demokrasi Kurdi yang sekaligus sebagai pimpinan Front Kurdistan yang merupakan gabungan dari faksi-faksi Kurdi. Massoud Barzani memperoleh
kekuasaan
dari
seluruh
kelompok
Kurdi
tersebut
untuk
menandatangani setiap persetujuan dengan pemerintah Irak (Kompas, 6 Mei 1991:1). Dalam perundingan tahap kedua, delegasi Kurdi dan pemerintah Irak membentuk Komite Gabungan yang bertugas untuk membahas persatuan nasional, demokrasi di Irak, normalisasi situasi di Kurdistan Irak dan pemulangan para pengungsi. Saddam Hussein bertemu dengan delegasi Kurdi untuk berunding tentang otonomi Kurdi pada tanggal 8 Mei 1991. Isi pembicaraan perundingan tersebut adalah delegasi Kurdi meminta adanya jaminan internasional atas setiap perjanjian otonomi antara Kurdi dengan pemerintah Irak dan Kirkuk dimasukkan dalam wilayah otonomi Kurdistan sehingga dapat mengontrol Kirkuk (Kompas, 10 Mei 1991 : 9). Massoud Barzani dan tiga pemimpin Kudi lain kembali bertemu dengan Presiden Saddam Hussein pada tanggal 11 Mei 1991 dan merasa adanya
xciv
kemajuan untuk tercapainya persetujuan dengan pemerintah Irak tentang otonomi Kurdi, tetapi Massoud Barzani tidak membuat pernyataan rinci tentang apa yang diyakini sebagai tuntutan kunci bagi Kurdi yaitu adanya jaminan internasional atas setiap persetujuan dengan Baghdad dan penguasaan atas Kirkuk (Kompas, 14 Mei 1991:9). Perundingan tahap kedua masih berlangsung sampai tanggal 18 Mei 1991, di mana delegasi Kurdi telah mencapai persetujuan prinsipil dengan pemerintah Irak tentang rencana menghidupkan demokrasi penuh di Irak, tetapi masih ada perbedaan soal pandangan tentang otonomi regional yaitu perbedaan apakah kota minyak Kirkuk harus di masukkan dalam wilayah otonomi Kurdi dan perlunya jaminan internasional atas setiap persetujuan dengan Baghdad, sehingga menunda penandatanganan perjanjian perdamaian di antara kedua pihak. Menurut Massoud Barzani kesepakatan yang telah dicapai adalah soal penanganan krisis di Irak Utara akibat pemberontakan dan penderitaan pengungsi Kurdi, pemisahan Partai Ba’ath yang berkuasa dari negara, pemisahan badan legislatif-eksekutif-yudikatif, pemberian amnesti di seluruh Kurdistan, usaha pengembangan ekonomi Kurdistan, dibukanya kembali Universitas Sulaymaniah, diakhirinya keadaan darurat di wilayah tersebut, kebebasan pers, pemilu bebas dan sistem multipartai. Selain itu, kedua pihak juga membahas tentang pemerintahan koalisi dan antara delegasi Kurdi dengan pemerintah Irak setuju dengan pembentukan pemerintahan koalisi yang baru, termasuk Kurdi dengan Partai Ba’ath. Gerilyawan Kurdi juga akan di masukkan dalam jajaran tentara Irak (Kompas, 19 Mei 1991 : 1). Belum adanya kesepakatan masalah otonomi Kurdi membuat Massoud Barzani dan delegasinya meninggalkan Baghdad kembali ke Irak Utara pada tanggal 26 Mei 1991 dengan tujuan akan berkonsultasi dengan pihak Kurdi lain. Kembalinya delegasi Kurdi bukan berarti mengisyaratkan jalan buntu dalam perundingan, tetapi justru sebaliknya, dialog antara para pemimpin politik Irak dengan delegasi Kurdi sehari sebelumnya telah memasuki tahap baru menuju kesepakatan final yang akan memperkuat persatuan nasional dan konsolidasi otonomi Kurdistan. Massoud Barzani memperkirakan kemungkinan kesepakatan akan dicapai dalam tempo satu atau dua pekan ke depan. Kurdi dengan
xcv
pemerintah Irak masih berbeda pendapat tentang perbatasan wilayah otonomi Kurdistan, adanya jaminan internasional atas setiap persetujuan dengan Baghdad dan kehadiran militer Irak di wilayah tersebut. Suku Kurdi ingin wilayah otonomi memasukkan kota minyak Kirkuk, adanya jaminan internasional atas setiap persetujuan dengan Baghdad dan menuntut agar tentara Irak serta pasukan keamanan lainnya ditarik mundur dari Irak Utara, tetapi pemerintah Irak enggan memasukkan Kirkuk dalam wilayah otonomi Kurdistan, kota tradisional Kurdi yang sekarang berpenduduk campuran dan perlunya jaminan internasional atas perjanjian otonomi Irak-Kurdi karena pemerintah menganggap bahwa setiap persetujuan merupakan urusan dalam negeri Irak sehingga tidak diperlukan jaminan internasional (Kompas, 27 Mei 1991 : 9). Perundingan pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi dilanjutkan tanggal 17 Juni 1991, tetapi kedua pihak masih belum mencapai kesepakatan. Massoud Barzani memberi gambaran bahwa kemungkinan besar wilayah Kirkuk akan dibagi menjadi dua provinsi yaitu satu di dalam wilayah otonomi dan satunya lagi berada di bawah pemerintahan gabungan Irak dengan Kurdi. Kesepakatan kemungkinan besar akan ditandatangani dengan menempatkan Kirkuk di bawah pemerintahan gabungan, tetapi semua itu akan dibicarakan dalam perundingan selanjutnya (Kompas, 18 Juni 1991 : 9). Perundingan pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi dilanjutkan kembali tanggal 24 Juni 1991. Dalam perundingan tersebut pemerintah Irak mengajukan tiga tuntutan kepada Kurdi sebagai syarat kesepakatan tentang Kirkuk. Pertama, Kurdi harus memberi dukungan kepada Revolusi tahun 1968 yang membuat Partai Baath berkuasa. Kedua, Kurdi harus meminta ijin Partai Baath jika ingin berhubungan dengan pemerintah atau organisasi asing, termasuk negara-negara Barat yang aktif mengawasi wilayah Kurdi. Ketiga, Kurdi harus bekerjasama dengan Partai Baath melawan musuh (Partai Syiah yang pro-Iran dan kelompokkelompok yang pro-Suriah) dan menentang Iran yang merupakan musuh Irak dalam Perang Parsi. Apabila ada pemberontakan, demonstrasi dan kekacauan melawan Partai Baath, Kurdi diharuskan bekerjasama dengan Irak untuk
xcvi
mengangkat senjata untuk menekan setiap pemberontakan, demonstrasi dan kekacauan (Kompas, 26 Juni 1991 : 9). Tanggal 30 Juni 1991, Front Kurdistan menyatakan penolakan atas syaratsyarat pemerintah Irak dalam perundingan otonomi Kurdi. Pemerintah Irak mengajukan syarat-syarat yang tidak dapat diterima Front Kurdistan karena pemerintah Irak menyerukan Kurdi meletakkan senjata, bertempur melawan musuh domestik dan eksternal serta menghentikan hubungan dengan Barat. Persyaratan yang diajukan pemerntah Irak dan penolakan Front Kurdistan atas syarat-syarat yang diajukan pemerntah Irak mempersulit kesepakatan perjanjian perdamaian Irak dengan Kurdi (Kompas, 1 Juli 1991 : 9). Pada tanggal 17 Juli 1991 terjadi pertempuran antara Kurdi dengan pasukan Irak di Arbil ketika Kurdi melakukan demonstrasi dan 18 Juli 1991 di Sulaymaniah dengan korban jiwa antara 140-150 orang. Pertempuran tersebut terjadi sebagai akibat belum adanya kesepakatan perjanjian perdamaian Irak dengan Kurdi soal dimasukkannya atau tidak wilayah Kirkuk dalam wilayah otonomi Kurdistan dan adanya jaminan internasional. Front Kurdistan segera bereaksi dengan mengeluarkan keputusan bahwa orang-orang Kurdi harus memberitahu Front Kurdistan sebelum melakukan demonstrasi karena bisa menyulut aksi kekerasan. Keputusan tersebut dikeluarkan dengan tujuan untuk mencegah pasukan Irak dan Kurdi saling membunuh (Kompas, 22 Juli 1991 : 9). Pertempuran antara Kurdi dengan pasukan Irak pecah kembali tanggal 5 Oktober 1991 di kota Kalar, 225 km sebelah timur laut Baghdad. Pasukan Irak membombardir wilayah tersebut sepanjang malam dengan arteleri yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka mencapai 30 orang. Tanggal 7 Oktober 1991, gerilyawan Kurdi menembak mati 60 pasukan Irak selama pertempuran terjadi Sulaymaniah, sedangkan dari pihak gerilyawan Kurdi korban tewas sebanyak 15 orang. Pertempuran yang terjadi mengakibatkan orang-orang Kurdi menuju ke kamp pengungsian untuk menghindar dari wilayah konflik (Kompas, 8 Oktober 1991 : 9). Walaupun kesepakatan perjanjian perdamaian Irak dengan Kurdi menemui jalan buntu terutama soal dimasukkannya atau tidak wilayah Kirkuk dalam
xcvii
wilayah otonomi Kurdistan, tetapi sesuai kesepakatan antara pemerintah Irak dan delegasi Kurdi tanggal 24 April 1991 untuk menerapkan pakta otonomi 11 Maret 1974 yang menetapkan tiga provinsi di Irak utara sebagai wilayah otonomi Kurdi yaitu Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah. Ketiga wilayah di Irak Utara tersebut sejak tahun 1974 sudah ditetapkan oleh pemerintah Irak sebagai wilayah otonomi Kurdistan, tetapi tidak dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah Irak yang menyebabkan ketidapuasan suku Kurdi karena dalam prakteknya, semua keputusan birokrasi maupun politik di wilayah otonomi Kurdistan tetap memerlukan restu Saddam.Hussein, tidak diadakannya sensus penduduk terhadap wilayah suku Kurdi waktu itu dan wilayah Kirkuk tidak dimasukkannya dalam wilayah otonomi. Wilayah otonomi Kurdistan yang meliputi Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah sejak tahun 1991 berada dalam perlindungan PBB dan pasukan koalisi untuk melindungi suku Kurdi atas tindakan militer Saddam Hussein. Pasukan Irak dan pemerintah sipil Irak ditarik dari wilayah otonomi Kurdistan dan digantikan oleh pasukan koalisi yang menjaga zona keamanan wilayah otonomi Kurdi, sedangkan pemerintahan sipil Irak diganti dengan pemerintahan yang di duduki orang-orang Kurdi (Trias Kuncahyono, 2005 : 174). Dalam perundingan-perundingan antara pemerintah Irak dengan delegasi Kurdi, meskipun tidak ada kesepakatan final soal otonomi Kurdi yang menyangkut kontrol wilayah Kirkuk, tetapi langkah maju telah dilakukan Kurdi yang mencapai kesepakatan dengan pemerintah Irak untuk menegakkan demokrasi di Irak dan mengadakan pemilu yang bebas dengan sistem multipartai. Walaupun begitu suku Kurdi tetap belum merasa puas karena wilayah Kirkuk tidak dimasukkan dalam wilayah otonomi Kurdistan sehingga persoalan suku Kurdi tetap menjadi masalah bagi pemerintah Irak jika sewaktu-waktu pecah pemberontakan kembali dari suku Kurdi. Dalam perkembangannya setelah pemberian otonomi di Kurdistan Irak, Saddam Hussein kembali mengerahkan sekitar 30.000 pasukannya untuk menyerang wilayah Kurdistan yang sejak tahun 1991 mendapat perlindungan internasional dan menduduki ibu kotanya Arbil, awal September 1996. Pemerintah Irak beralasan, serangan ini dilakukan karena memenuhi permintaan
xcviii
pimpinan Partai Demokrasi Kurdistan, Masoud Barzani untuk mengusir lawannya pemimpin partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK), Jalal Talabani dan pasukannya dari kota Arbil (Mustofa Abd. Rahman, 2003 : 3). Serangan pasukan Irak terhadap wilayah Kurdistan mendapat kecaman dari Amerika Serikat dan akhirnya Amerika Serikat melakukan serangan balasan dengan menggempur wilayah Irak selatan. Namun serangan Amerika Serikat kali ini tidak mendapat dukungan dari negara-negara Arab antara lain Arab Saudi dan Jordania yang tidak mengizinkan pangkalan militernya digunakan pesawat tempur Amerika Serikat untuk menyerang Irak dengan alasan menghormati kesatuan dan kedaulatan Irak serta menjaga keselamatan rakyat Irak (Mustofa Abd. Rahman, 2003 : 10). Jika dibandingkan di Iran dan Turki, jumlah suku Kurdi Irak tergolong yang paling sedikit (sekitar 5 juta), tetapi rezim Partai Sosialis Ba’ath di bawah pimpinan Saddam Hussein yang berkuasa di Irak belum berhasil menumpas perjuangan suku Kurdi. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; 4) Suku Kurdi merupakan kelompok etnis minoritas terbesar di Irak yang menguasai hampir seperlima wilayah negeri ini. Akibatnya, walaupun berkali-kali Saddam Hussein mendeportasi Peshmarga, dengan mudah mereka kembali ke Irak. 5) Sejak tahun 1982, untuk pertama kalinya dalam sejarah suku Kurdi, dua partai utama Kurdi Irak, KDP yang dipimpin Masoud Barzani dan PUK yang dipimpin Jalal Talabani, sepakat bersatu melawan rezim Saddam Hussein. Dua kekuatan yang menyatu tentu lebih memperkuat posisi suku Kurdi dalam menghadapi pasukan Saddam Hussein. 6) Berkaitan dengan posisi rezim Bagdad sendiri, walaupun di luar tampak “kukuh”, posisi rezim Ba’athis dalam kenyataannya agak rapuh. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa mayoritas penduduk Irak menganut Mazhad Syiah, sedang rezim yang berkuasa menganut mazhab Sunni (M. Riza Sihbudi,1991: 140)
xcix
Perjuangan suku Kurdi di Irak dalam memperoleh otonomi di wilayah Kurdistan mengalami banyak kendala. Pertama, perjuangan suku Kurdi mendapatkan perlawanan yang sengit dari pasukan Irak dan bahkan beberapa kali wilayah Kurdistan dihujani bom-bom milik militer Saddam Hussein. Kedua, suku Kurdi kurang mendapat perhatian dan dukungan dari dunia internasional khususnya negara-negara Arab dan Amerika Serikat dengan alasan tidak mau mencampuri urusan dalam negeri Irak guna menjaga kesatuan dan kedaulatan negara Irak. Namun alasan yang lebih penting adalah untuk menjaga stabilitas keamanan di wilayah Timut-Tengah karena suku Kurdi tinggal di beberapa negara seperti Irak, Iran Turki dan Suriah. Jika perjuangan suku Kurdi di Irak mendapatkan dukungan internasional dan berhasil mencapai tujuannya, maka ditakutkan akan membangkitkan nasionalisme suku Kurdi di Turki, Iran dan Suriah sehingga akan mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut. Ketiga, dalam tubuh suku Kurdi sendiri ada pepecahan dimana terjadi perseturuan di antara orang-orang atau antar faksi Kurdi sendiri. Sejarah mencatat bahwa perang antar-Kurdi untuk memperebutkan wilayah kekuasaan dan pengaruh di Irak Utara menjadi salah satu penyebab mudahnya Saddam menguasai daerah tersebut karena selalu ada kelompok atau partai politik yang dapat dipengaruhi Bahgdad. Ada dua wilayah kurdi yang saling bersaing, yakni “Barzanistan” di Irak Utara bagian barat laut yang dikuasai Partai Demokratik Kurdi (KDP) dan “Talibanistan” di timur laut Irak yang dikuasai Uni Patriotik Kurdistan (PUK). Kedua partai tersebut sering berselisih. Walaupun begitu ada usaha dari kedua partai tersebut untuk bersatu seperti tahun 1991 KDP dan PUK bersatu membentuk Front Kurdistan meskipun akhirnya pecah kembali (Trias Kuncahyono, 2005 : 174).
D. Dampak Pemberian Otonomi Terhadap Persatuan Intern Suku Kurdi Irak
Salah satu kendala yang dihadapi suku Kurdi dalam memperjuangkan otonomi di wilayah Kurdistan adalah kurangnya persatuan diantara orang-orang
c
atau kelompok-kelompok Kurdi. Di Kurdistan Irak terdapat dua partai utama yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar sebagai wadah perjuangan suku Kurdi sampai sekarang, tetapi antara kedua partai saling beroposisi dan sering terlibat bentrok. Kedua partai tersebut yaitu pertama Partai Demokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) yang didirikan oleh Mullah Mustafa Barzani tahun 1946. Mullah Mustafa Barzani merupakan tokoh historis suku Kurdi yang berasal dari daerah Barzan, sebuah desa yang terletak di lembah Zab, Irak utara. Setelah Mustafa Barzani meninggal tahun 1979, jabatan sebagai ketua partai dipegang putranya yaitu Massoud Barzani sampai saat ini. Partai Demokratik Kurdi (KDP) beranggotakan sekelompok intelektual Kurdi dan memperoleh dukungan dari suku Kurdi yang tinggal di pegunungan. Kedua, partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK) yang dibentuk Jalal Talabani tahun 1975. Jalal Talabani semula adalah anggota terkemuka KDP, tetapi keluar dari partai tersebut karena sering bentrok dengan Mustafa Barzani, seperti di tahun 1964, Talabani bersama beberapa anggota politbiro KDP lainnya menentang kesepakatan gencatan senjata antara Mustafa Barzani dengan pemerintah Irak tahun 1964 (Jawa Pos, 4 Mei 1991 : 11). Sejarah mencatat bahwa perang antar-Kurdi untuk memperebutkan wilayah kekuasaan dan pengaruh di Irak Utara menjadi salah satu penyebab mudahnya Saddam menguasai daerah tersebut karena selalu ada kelompok atau partai politik yang dapat dipengaruhi Bahgdad. Ada dua wilayah kurdi yang saling bersaing, yakni “Barzanistan” di Irak Utara bagian barat laut yang dikuasai KDP, berpusat di Arbil dan “Talibanistan” di timur laut Irak yang dikuasai PUK, berpusat di Sulaymaniah. Kedua partai tersebut sering berselisih untuk berebut pengaruh dan kekuasaan di wilayah Kurdistan Irak. Setelah pemberian otonomi di wilayah Kurdistan tahun 1991, hubungan antara KDP dan PUK mengalami pasang surut (Trias Kuncahyono, 2005 : 174). Kegagalan pemberontakan melawan pemerintah pusat tahun 1991 mendorong KDP dan PUK untuk bersatu dengan membentuk Front Kurdistan, tetapi Front Kurdistan yang terbentuk tidak berdasarkan atas saling percaya sehingga front tersebut begitu rapuh. Pada dasarnya antara KDP dan PUK
ci
memiliki ambisi untuk saling menghancurkan dan ketika mereka mulai berselisih pembagian pendapatan dari penyelundupan dan perdagangan minyak, perpecahan pun tidak dapat dihindarkan lagi (Trias Kuncahyono, 2005 : 176). Tahun 1992, dua partai politik utama suku Kurdi yakni Partai Demokratik Kurdi (Kurdish Democratic Party / KDP) dan Partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK) telah sepakat untuk menempatkan satuansatuan tempur dari kedua partai sebagai langkah awal untuk membentuk Angkatan Bersenjata Kurdi di bawah kendali Kementrian Pertahanan Kurdi. Satuan-satuan tempur tersebut akan bertugas untuk menjaga perbatasan wilayah otonomi Kurdistan. Menurut Kemal Mufti, Jendral yang bertanggungjawab di Kementrian Pertahanan Kurdi, sebanyak 50 ribu satuan tempur Peshmarga dibutuhkan untuk mengendalikan jalur antara wilayah teritorial Kurdi di Irak utara dengan daerah yang dikuasai pemerintah Baghdad. Jumlah tersebut akan ditambah dengan 50 ribu tentara Kurdi lagi yang akan dibentuk di wilayah yang dikendalikan suku Kurdi. Satuan-satuan tempur yang lain dalam Angkatan Bersenjata Kurdi akan dibentuk melalui rekruitmen baru. Setelah kegagalan pemberontakan Kurdi tahun 1991, dua partai utama Kurdi yaitu KDP dan PUK memerintahkan agar kelompok militer Peshmarga membentuk satuan polisi Kurdi yang bertugas melaksanakan patroli militer dengan kekuatan sebanyak 2.360 personel (Daliman, 2000 : 121). Pada bulan Mei 1992, orang-orang Kurdi yang tinggal di wilayah otonomi Kurdistan Irak menyelenggarakan pemilu yang pertama untuk memilih pemerintahan di parlemen. Dalam pemilu tersebut KDP memperoleh 45 % dari total suara dan PUK memperoleh 43,6 %, Islamic Movement memperoleh 5 %, KSP dan ICP masing-masing memperoleh 2,6 % dan 2,2 % suara, sedangkan KPDP memperoleh 1 %. Pada tanggal 4 Juni Pemerintahan Regional Kurdistan dibentuk yang mayoritas orang-orang yang duduk dalam pemerintahan tersebut berasal dari dua partai besar Kurdi yakni KDP dan PUK (David McDowall, 2000:381). Pemerintahan Regional Kurdistan tidak berjalan sesuai yang diharapkan untuk mewujudkan demokrasi karena antara KDP dengan PUK saling bersaing untuk berebut kekuasaan. Antara KDP dengan PUK memiliki beberapa
cii
perbedaaan yaitu perbedaan pemimpin dari masing-masing partai yaitu Massoud Barzani (KDP) dan Jalal Talabani (PUK), perbedaan geografis kekuasaan yaitu Barzan (KDP) dan Suran (PUK), perbedaan bahasa yaitu Kurmanji (KDP) dan Sorani (PUK), dan perbedaan ideologi kebudayaan yaitu tradisional (KDP) dan modern (PUK). (David McDowall, 2000 : 385). Pada periode 1994 hingga 1997, PUK dan KDP terlibat pertarungan dan pertempuran sengit untuk memperebutkan wilayah otonomi Kurdistan Irak. Pada bulan Mei 1994, pertempuran antara KDP dengan PUK pecah, di mana pimpinan PUK, Jalal Talabani meminta bantuan Iran untuk memerangi Partai Demokratik Kurdi (KDP) pimpinan Massoud Barzani. PUK berhasil menduduki Arbil dan menyatakan bahwa PUK telah menguasai sebagian wilayah Kurdistan serta 70% penduduknya di bawah kekuasaan (Kompas, 3 September 1996 : 7). Tahun 1996 Massoud Barzani membalas kekalahannya dengan meminta bantuan AS, tetapi bantuan yang diharapkan tidak datang, sehingga Massoud Barzani meminta bantuan Saddam Hussein. Hal ini merupakan kesempatan bagi Massoud Barzani untuk menjalin hubungan militer dengan Saddam Hussein. Dengan bermodalkan minyak yang dihasilkan wilayahnya, Massoud Barzani membeli senjata dan amunisi dari Baghdad. Saddam Hussein membantu Massoud Barzani pemimpin Partai Demokratik Kurdi (KDP) dengan mengerahkan sekitar 30.000 pasukannya untuk mengusir lawan politik Massoud Barzani yaitu pemimpin partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK), Jalal Talabani dan pasukannya dari kota Arbil. Massoud Barzani meminta bantuan Saddam Hussein karena PUK telah memperlakukan penduduk Arbil dengan sewenang-wenang (Mustofa Abdul Rahman, 2003 : 3). Pada bulan September 1998, akhirnya JalaI Talabani dan Massoud Barzani sepakat untuk bersatu dan bersama-sama menyelenggarakan pemilihan umum pada bulan Juli 1999. Sejak saat itu disepakati gencatan senjata, tetapi langkahIangkah reunifikasi untuk mempertegas dan memperteguh penyatuan kedua partai tidak dilakukan (Trias Kuncahyono, 2005 : 176). Walaupun demikian, langkah kedua pemimpin partai politik terbesar di Kurdistan tersebut memberikan harapan baru bagi terciptanya persatuan dan kesatuan Kurdi. Hal tersebut dianggap sebagai sebuah langkah bersejarah dan menuju arah yang benar. Upaya untuk menegaskan reunifikasi itu terus dilakukan. Pada tanggal 7-8 September 2002 dilakukan pertemuan antara Massoud Barzani dari Partai Demokratik Kurdistan (KDP) dengan Jalal Talabani dari partai Persatuan Patriotik Kurdistan (Patriotic Union of Kurdistan / PUK) di Salahadin, Kurdistan selatan. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk mengadakan pertemuan tingkat tinggi guna membahas
ciii
sejumlah isu Kurdistan, regional dan internasional. Mereka juga sepakat untuk bersama-sama memerangi terorisme, fanatiisme, dan diktator. Kedua belah pihak menegaskan bahwa kesempatan baru harus direbut dan dimanfaatkan sehingga bermanfaat bagi rakyat Irak dan Kurdistan (Trias Kuncahyono, 2005 : 177). Kesepakatan antara KDP dan PUK oleh banyak pihak dinilai sebagai sebuah langkah demokratis untuk menyelesaikan persoalan Kurdistan yang setelah akhir Perang Teluk 1991 praktis menikmati otonomi. Untuk melaksanakan konsep-konsep demokratis tersebut, kedua pihak membentuk empat komite. Keempat komite tersebut bertugas menyiapkan proyek bersama mengenai konsep federalisme, normalisasi internal wilayah Kurdistan, menyelesaikan isu-isu keamanan, dan merencanakan kebijakan bersama mengenai masalahmasalah internasional dan regional. Mereka juga sepakat, Majelis Nasional Kurdistan akan mengadakan sidang pada tanggal 4 Oktober 2002 di Arbil. Sidang itu akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan jalan demokratis yang pernah dirintis orang-orang Kurdi pasca pemberian otonomi oleh pemerintah Irak tahun 1991 (Trias Kuncahyono, 2005 : 177).
civ
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Suku Kurdi merupakan suatu kelompok etnis Indo-Eropa keturunan dari Kaum Medes yang mayoritas menganut Islam Sunni dan tinggal di wilayah Kurdistan yang saat ini terbagi dalam beberapa negara seperti Turki, Iran, Iran dan Suriah sehingga menyebabkan perjuangan untuk mendirikan Negara Kurdistan sulit terwujud dan berubah menghendaki wilayah yang otonom di negara masing-masing agar suku Kurdi dapat mengatur diri dan mempertahankan identitas serta sistem budaya mereka, termasuk di Irak dimana perjuangannya paling agresif yang dihimpun dalam Partai Demokratik Kurdi (KDP) yang dipimpin Massoud Barzani dan partai Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK) yang dipimpin Jalal Talabani. Kedua partai tersebut, yaitu KDP dan PUK sampai saat ini menjadi wadah perjuangan suku Kurdi Irak. 2. Perjuangan suku Kurdi di Irak untuk mendapatkan otonomi mendapatkan perlawanan dari pemerintah Irak yang ingin menjaga keutuhan bangsa dan mengamankan sumber minyaknya di wilayah Kirkuk sehingga sering terjadi peperangan antara kedua belah pihak yang mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa dan puncaknya terjadi pada tahun 1988 dimana pemerintah Irak menyerang wilayah Irak utara dengan senjata kimia. Pemberian otonomi oleh pemerintah Irak yang mencakup wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah pada tanggal 11 Maret 1974 tidak disetujui suku Kurdi karena wilayah Kirkuk tidak dimasukkan dalam wilayah otonomi sehingga terjadi pertempuran kembali. Permasalahan otonomi Kurdistan Irak yang mencakup wilayah Kirkuk menjadi perbedaan utama antara pemerintah Irak dengan pemimpin suku Kurdi dan terus berlangsung
cv
sampai tahun 1991 pada perundingan dalam upaya perdamaian antara pemerintah Irak dengan suku Kurdi yang tetap berujung pada keputusan otonomi atas wilayah Dahuk, Arbil dan Sulaymaniah. 3. Pemberian otonomi di wilayah Kurdistan Irak berdampak pada persatuan antara KDP dan PUK, meskipun dalam perjalanannya kedua partai tersebut saling berebut pengaruh dan kekuasaan di Irak utara serta terlibat peperangan pada periode tahun 1994 sampai 1997, tetapi belajar dari pengalaman akhinya KDP dan PUK sepakat untuk bersatu dan menyelenggarakan pemilihan umum dengan tujuan melaksanakan program pembangunan untuk kesejahteraan suku Kurdi.
B. Implikasi
1. Teoritis Konflik antara suku Kurdi dengan pemerintah Irak disebabkan beberapa faktor dari sudut pandang politik, ekonomi dan sosial budaya. Secara politik, konflik suku Kurdi dengan pemerintah Irak terjadi karena adanya perbedaan kepentingan, di mana suku Kurdi menuntut pemberian status otonomi di wilayah Kurdistan Irak kepada Pemerintah Irak, tetapi tuntutan tersebut tidak dipenuhi oleh Pemerintah Irak dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Permasalahan suku Kurdi semakin kompleks dan sulit dicari pemecahannya karena mereka tersebar dalam beberapa negara seperti Iran, Irak Turki dan Suriah. Pemerintah Turki tidak menghendaki pemerintah Irak memberikan otonomi luas yang mencakup wilayah Kirkuk dan Mosul yang kaya akan minyak karena dapat membangkitkan nasionalisme suku Kurdi yang tinggal di Turki, Iran, dan Suriah sehingga dapat mengganggu stabilitas keamanan di kawasan tersebut. Secara ekonomi, konflik suku Kurdi dengan pemerintah Irak terjadi karena suku Kurdi menuntut otonomi yang mencakup seluruh wilayah yang ditinggali orang-orang Kurdi termasuk wilayah Kirkuk yang kaya akan minyak, tetapi pemerintah Irak menolak tuntutan tersebut karena ingin mengamankan sumber minyaknya di wilayah Kirkuk yang menghasilkan 30% produksi minyak di Irak. Secara sosial budaya, Kurdi dengan
cvi
Arab merupakan etnis yang memiliki budaya yang berbeda, suku Kurdi berbicara dalam bahasa mereka sendiri yakni Kurdi bukan Arab. Suku Kurdi merupakan etnis non-Arab yang tinggal di lingkungan yang mayoritasnya Arab, sehingga kepentingannya sering diabaikan.
2. Praktis Otonomi merupakan wewenang atau kekuasaan pada suatu wilayah atau daerah untuk mengatur, mengurus dan mengelola sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial dan budaya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Dalam pelaksanaan otonomi yang dinikmati suku Kurdi di Kurdistan Irak sejak tahun 1991 tidak sesuai dengan yang diharapkan dan pemerintahan daerah (Pemerintahan Regional Kurdistan) yang terbentuk setelah pemilu tahun 1992 tidak berjalan efektif untuk melaksanakan otonomi di Kurdistan Irak. Hal tersebut terjadi karena kurangnya persatuan diantara orang-orang atau kelompokkelompok Kurdi. Pemerintahan Regional Kurdistan yang diakomodasi oleh dua partai utama suku Kurdi Irak yaitu KDP dan PUK yang saling beroposisi dan sering terlibat peperangan untuk memperebutkan wilayah kekuasaan dan pengaruh di Irak Utara. Pemberian otonomi tahun 1991 menjadi kesempatan bagi suku Kurdi untuk melaksanakan pembangunan di wilayahnya, tetapi perpecahan dalam Pemerintahan Regional Kurdistan mengakibatkan Pemerintahan Regional Kurdistan tersebut tidak dapat menjalankan program-program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang-orang Kurdi. Namun, pengalaman membawa orang-orang Kurdi untuk bersatu yang diwujudkan dengan kesepakatan bersatunya KDP dengan PUK.
3. Metodologis Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode historis yang bertujuan untuk merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan
cvii
secara ilmiah melalui prosedur sejarah yang sistematis dengan menggunakan tahap-tahap tertentu. Dalam teknik pengumpulan data, peneliti kesulitan dalam mencari sumber-sumber primer terutama surat kabar dan majalah di tahun 1970an dan 1980-an karena tidak di dapatkannya data yang diperlukan. Peneliti hanya menemukan sedikit sumber primer berupa surat kabar dan majalah di tahun 1991 yang berhubungan dengan tema penelitian di Monumen Pers Surakarta. Selain peneliti kesulitan dalam mengumpulkan sumber primer, peneliti juga kesulitan dalam mengumpulkan sumber sekunder yaitu buku-buku yang secara khusus membahas tentang perjuangan suku Kurdi dan jika diperoleh dalam bentuk bahasa Inggris seperti buku karangan David McDowall yang berjudul “A Modern History Of The Kurds”.
C. Saran
1. Bagi Penerbit/ Penerjemah Peneliti berharap kepada peneliti sejarah dan penerbit agar penelitian yang membahas tentang masalah suku Kurdi dan perjuangannya hendaknya lebih banyak dikaji secara lebih mendalam serta dituangkan dalam bentuk artikel-artikel dan karangan buku yang secara khusus membahas tentang suku Kurdi dan perjuangannya karena sebagian besar buku yang ada isinya hanya menyisipkan perjuangan suku Kurdi tanpa membahasnya secara lebih mendalam. Jika ada buku yang secara khusus membahas perjuangan suku Kurdi dalam bentuk bahasa Inggris seperti buku karangan David McDowall yang berjudul “A Modern History Of The Kurds” sehingga bagi peneliti yang kurang menguasai bahasa Inggris akan mengalami kesulitan dalam memahaminya. Peneliti berharap buku tersebut dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sehingga akan mempermudah pembaca dalam memahami isi buku tersebut.
2. Bagi Mahasiswa Sejarah Peneliti mengharapkan bagi mahasiswa sejarah hendaknya dapat melakukan penelitian secara lebih mendalam mengenai suku Kurdi dan
cviii
perjuangannya yang masih sedikit kajiaannya seperti perjuangan suku Kurdi di Iran dan perjuangan suku Kurdi di Turki yang sampai saat ini masih berlangsung. Bagi mahasiswa yang tertarik untuk melakukan penelitian tentang perjuangan suku Kurdi di Iran dan Turki dapat mengumpulkan sumber-sumber primer di Monumen Pers Surakarta dan Perpustakaan Daerah Yogyakarta yang berupa surat kabar dan majalah.
cix
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abu Ahmadi. 1975. Pengantar Sosiologi. Semarang : Ramadhani Alauddin Al-Mudarris. 2004. Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman. Yogyakarta: Cahaya Hikmah Alo Liliweri. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Andi Mustari Pile, H. 1999. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI. Jakarta : Gaya Media Pratama Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta : UI Press Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah : Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Jakarta : Kemitraan Daliman. 2000. Kapita Selekta Sejarah Asia Barat Daya. Surakarta : FKIP Diamond, Larry dan Marc F. Plattner. 1998. Nasionalisme, Konflik Etnik dan Demokrasi. Bandung : ITB Dudung Abdurahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana. Duverger, Maurice. 1988. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Em Zul Fajri dan Ratu Aprilia Senja. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher Geertz, Clifford. 1992. Politik Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah. Jakarta : UI Press Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press Helius Sjamsuddin. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Ombak Hendropuspito, D.O.C. 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta : Kanisius Kartini Kartono. 1988. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : Rajawali
cx
Koentjaraningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia . 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta Lenczowski, George. 1993. Timur-Tengah di Tengah Kancah Dunia. Bandung : Sinar Baru Algensindo Maswadi Rauf. 2001. Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teotitis. Dirjen Dikti : Depdiknas. Mc.Dowall, David. 2000. A Modern History Of The Kurds. London : I.B. Tauris & Cc Ltd Mohammad Shoelhi. 2003. Demi Harga Diri Mereka Melawan Amerika. Jakarta : Pustaka Cidesindo Mustofa Abdul Rahman. 2003. Geliat Irak Menuju Era Pasca-Saddam. Jakarta : Kompas Media Nusantara Nasir Tamara dan Agnes Samsuri. 1981. Perang Iran-Perang Irak. Jakarta : Sinar Harapan Nugroho Notosusanto.1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta : Sinar Harapan Peter Salim dan Yenny Salim. 1991. Kamus Indonesia Kontemporer Edisi I. Jakarta : Balai Pustaka Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia Redaktur Ensiklopedi Indonesia. 1990. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi Asia. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve Redaktur Ensiklopedi Islam. 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve Riza Sihbudi, M. 1991. Islam, Dunia Arab, Iran : Barat Timur Tengah. Bandung : Mizan Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia Selo Sumarjan. 1978. Penggunaan Kekerasan secara Massal. Jakarta : Tarsim Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bhratara Karya Aksara
cxi
Siti Muti’ah Setiawati. 2004. Irak Di Bawah Kekuasaan Amerika. Yogyakarta : Pusat Pengkajian Masalah Timur-Tengah UGM Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada Sujamto. 1991. Cakrawala Otonomi Daerah. Jakarta : Sinar Grafika Sukarno. 1984. Ilmu dan Perjuangan. Jakarta : Inti Idayu Press Syahda Guruh Langkah Samudra. 2000. Menimbang Otonomi vs Federal: Mengembangkan Wacana Federalisme dan Otonomi Luas Menuju Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : Remaja Rosdakarya Trias Kuncahyono. 2005. Bulan Sabit di Atas Baghdad. Jakarta : Kompas Media Nusantara . 2004. Dari Damaskus Ke Baghdad. Jakarta : Kompas Media Nusantara Weber, Max. 1985. Konsep-Konsep Dasar dalam Sosiologis. Jakarta : Rajawali Pers Widjaja, H.A.W. 2004. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta : Raja Grafindo Persada Winarno Surya. A. 1999. Otonomi Daerah di Era Reformasi. Yogyakarta : Badan Penerbit YKPN Wojowarsito. 1972. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bandung : Sinta Darma Poerwodarminto, W.J.S. 1990. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Veerger, K.J. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
cxii
B. Surat Kabar dan Majalah “Talabani, Tokoh Kurdi yang Disegani Saddam”.1991.Mei 1991.APA Monitor. 4 “Irak Setuju Pemilu Bebas”. 1991. Mei. APA Monitor. 3 “Perundingan Babak Kedua Kurdi-Baghdad Senin Ini”. 1991. Mei. APA Monitor. 6 “Sekutu Luaskan Lagi Zona Keamanan di Irak Utara”.1991.Mei. APA Monitor.8 “Saddam Hussein-Kurdi Lanjutkan Perundingan”. 1991. Mei APA Monitor. 10 “Kurdi dan Pemerintah Irak Bentuk Komite Gabungan”. 1991. Mei. APA Monitor. 14 “Soal Demokrasi Jadi Hambatan Perundingan Kurdi-Baghdad”. 1991. Mei. APA Monitor. 16 “Baghdad dan Kurdi Sepakati Demokrasi Penuh di Irak”. 1991. Mei. APA Monitor. 19 “Irak Mau Mundur dari Dahuk”. 1991. Mei. APA Monitor. 24 “Kesepakatan Kurdi-Irak Dicapai Pekan Ini”.1991. Mei. APA Monitor. 27 “Perundingan Baghdad-Kurdi Sudah Mencapai Titik Terang”. 1991. Juni. APA Monitor. 18 “Perjanjian Kurdi-Baghdad Jadi Sulit Disepakati”. 1991. Juni. APA Monitor. 26 “Kurdi Tolak Syarat Irak”. 1991. Juli. APA Monitor. 1 “Kurdi dan Baghdad Selidiki Bentrokan”. 1991. Juli. APA Monitor. 22 “Gerilyawan Kurdi Bunuh 60 Serdadu Irak tak Bersenjata”. 1991. Oktober. APA Monitor. 8 Trias Kuncahyono. 1996. September 3. “Lima Faksi Utama Kurdi di Irak Utara”. Kompas. 7. Yopie Hidayat. 1991. 27 April. “Daerah Otonomi dari Saddam?”. Tempo. 76-79. . 1991. 4 Mei. “Dilema Terowongan Gelap Kurdi”. Tempo. 28. . 1991. 11 Mei. “Bayangan Perdamaian”. Tempo. 34. Yopie Hidayat. 1991. 18 Mei. “Apa yang Dicari Kurdi”. Tempo. 39.
cxiii
C. Internet
http://apakabar.ws/forums//viewtopic.php?f=1&t=5689 www.bappenas.go.id/ Mustopadidjaja AR. http://g1s.org/opini/kurdi-bangsa-besar-yang-termarginalkan-681 http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/14/sorotan/310110.htm mitrafm.com/blog/2008/02/01/ http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/2004 http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php http://swaramuslim.com/islam/more http://www.waspada.co.id http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Koalisi_Sementara_Irak http://en.wikipedia.org/wiki/Iraqi_Interim_Government&prev http://id.wikipedia.org/wiki/Jalal_Talabani http://en.wikipedia.org/wiki/Kurdish_people&prev=/translate
cxiv
Lampiran 1. Peta Irak
U
Sumber : Gifford, Clive. 2007. Ensiklopedia Geografi. Jakarta: Lentera Abadi
cxv
Lampiran 2. Peta Kelompok Etnoreligi Irak
Sumber : Trias Kuncahyono. 2005. Bulan Sabit di Atas Baghdad. Jakarta : Kompas
cxvi
Lampiran 3. Peta Wilayah Kurdistan Yang Berada di Beberapa Negara Seperti Turki, Iran, Irak dan Suriah
U
Sumber : www.kokhavivpublications.com/help/maps/images
cxvii
Lampiran 4. Peta Wilayah Kurdistan Irak Setelah Pemberian Otonomi Tahun 1974
U
Sumber : David McDowall. 2000. A Modern History Of The Kurds. London : I.B. Tauris & Cc Ltd
cxviii