i
PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH
I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
ii
PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA NIM. 1292462003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 17 JUNI 2015
KOMISI PEMBIMBING
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Prof.Dr.I Wayan Windia, S.H.M.Si NIP 19551127 198610 1 001
Dr. I Ketut Sudantra, S.H.,M.H NIP 19601003 198503 1 003
MENGETAHUI :
Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H.,M.Hum NIP. 19640402 198911 2 001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 5 Juni 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1703/UN14.4/HK/2015 Tanggal 4 Juni 2015
Ketua
:
Prof. Dr. I Wayan Windia, SH.,M.Si
Anggota : 1. Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH 2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum 3. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M.Hum 4. Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH., MH
iv
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA
NIM.
: 1292462003
Program Studi
: Magister Kenotariatan
Judul Tesis
: Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tabanan, 14 Juni 2015 Yang membuat pernyataan,
(I Gusti Agung Eka Adhika Pranata)
v
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH ”. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing pertama penulis, yaitu Prof. Dr. I Wayan Windia, SH.,M.Si dan pembimbing kedua Bapak Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH yang telah sabar memberikan dukungan, bimbingan dan juga saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD, Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan kepada Dr. Desak Putu
vi
vii Dewi Kasih, S.H., M.Hum., Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan tambahan ilmu kepada penulis, kepada Bapak/Ibu staff administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang turut membantu saya dalam proses administrasi tesis ini. Terima kasih dan puja puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Ida Bhatara Bhetari Leluhur ring Pemerajan Ageng Jero Alit Kukuh, Ida Bhatara Shri Sirarya Sentong, Ida Bhatara Pura Dalem Khayangan Kedaton, Sesuwunan Ida Bhatara sejebagan jagat Kukuh, Sesuwunan Ratu Niang Sakti, Ratu Nyoman Pengadangan sareng rencangrencang Ida Bhatara, yang selalu memberikan tuntunan dan bimbingan secara Niskala sehingga dapat terselesaikan tesis ini dengan baik. Keluarga besar Jero Alit Kukuh tercinta, Ayah Ir I Gusti Alit Purnata, Ibu Ir Ni Made Ayu Wikarmini, adik tersayang I Gusti Ayu Dwityani Adhi Pratiwi, S.S, kepada Paman Drs. I Gusti Made Purnayasa, S.H.,M.Si, Dr. Drs. I Gusti Ketut Purnaya.S.H.,M.Si, Bibi tersayang Dra Ni Made Wahyuni, I Gusti Ayu Sarini, S.H, kakak sepupu I Gusti Ngurah Agung Kusumayasa Diputra S.H, I Gusti Bagus Dwi Putra Aryantho, ST.ME, I Gusti Ngurah Agung Ramabayu Permana.S.E, I Gusti Ngurah Agung Aditya Permana.S.H, I Gusti Ngurah Agung Try Parameswara Prawira.S.H, Ni
vii
viii Wayan Legi Sugiati Saputri.S.H, Putu Bagianingsih. S.Pd, Keponakanku kembar tiga I Gusti Ngurah Agung Aswangga Devananda Kusuma, I Gusti Agung Ayu Devira Dwarahita Kusuma, I Gusti Agung Ayu Devina Dvarahita Kusuma, I Gusti Ngurah Agung Satya Ananta Paramesta, dan tidak lupa yang tercinta Anak Agung Diah Prabandari atas segala doa, ketulusan, keikhlasan dan kasih sayang dan semangat untuk menyelesaikan kewajiban tugas akhir tesis ini dengan lancar. Kepada seluruh keluarga besar Agung Studio terimakasih atas dukungan serta semua nasehat yang diberikan akan selalu menjadi motivasi. Terimakasih kepada teman-teman tercinta Agung Putra Wiryawan, Sisilia Prabandari, Ida Ayu Widyari, Adi Sumiarta, Oka Yoga Bharata, Wahyu Resta, Prapta Jaya, Alim Prabowo, Icha, Novita Indah Pandansari, Indah Desi Pratiwi, Willy Pramana, Pratama Wijaya, Agung Andika Darmawan, Ayusta Indra, Vello, Bayu Bumi, Yus Sudibya, serta teman-teman seperjuangan Angkatan V Mandiri Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu memberikan semangat dan dorongan dalam penulisan tesis ini. Serta semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dalam proses pembuatan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini tidak hanya dapat memberikan sumbangan pikiran bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya, tetapi juga bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Tabanan, 14 Juni 2015
Penulis
viii
ix ABSTRAK PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH
Penelitian tentang Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh, bertujuan untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas yakni apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian? Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum?. Sesudah melakukan penelitian dengan fokus penelitian normatif, menjadikan bahan hukum sebagai kajian kemudian di analisis berdasarkan teori perjanian dan teori tujuan hukum, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan atas permasalahan di atas sebagai berikut. Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini merupakan penelitian normatif yang berangkat dari ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian. Sumber bahan hukum penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan ditunjang oleh data empiris yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran atau memaparkan keadaan yang sebenarnya di dalam masyarakat, dalam hal ini di Desa Pakraman Kukuh Marga, Kabupaten Tabanan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan UndangUndang Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakrman Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi asas keadilan dan asas manfaat demi tercapainya keseimbangan dan menguntungkan kedua belah pihak. Kata kunci : Desa Pakraman, Perjanjian, Pengelolaan, Objek Wisata.
ix
x ABSTRACT MANAGEMENT AGREEMENT OF ALAS KEDATON TOURISM OBJECT ATTRACTION BETWEEN TABANAN REGENCY’S GOVERNMENT WITH PAKRAMAN KUKUH VILLAGE
Research regarding Management Agreement of Alas Kedaton Tourism Object Attraction Between Tabanan Regency’s Government With Pakraman Kukuh Village has its aim to find out the answers toward problem which is being discussed whether the agreement between Government of Tabanan Regency with Pakramna Kukuh Village has fulfilled the agreement’s condition? Does the agreement between Government of Tabanan Regency with Pakraman Kukuh Village fulfill the principle of fairness, benefit, and law’s certainty? After doing the research focusing on normative research, using law’s material as the discussion, then analyzing based on theory of agreement and theory of law’s aim, there are several conclusions on the problems that can be uttered such as follows Type of research in writing this thesis is normative research that comes from imbalance between rights and obligations of each parties in agreement. Source of this research law is obtained from primary and secondary law’s material as well as supported by empirical data obtained in the field. This research’s characteristic is descriptive which means to give picture or elaborate the actual situation within the society, in this case at Desa Pakraman Kukuh, Marga, Tabanan Regency. The research’s outcome shows that the agreement between Tabanan Regency Government with Pakraman Kukuh Village have qualified the agreement’s condition which is appropriate with the provision Article 1320 of the Civil Code and the Law Number 50 of 2007 on How The Implementation of Regional Cooperation. However, that particular agreement has qualified the principle of law’s certainty, but has not fulfilled the principle of fairness and benefits in order to achieve balance and benefit both parties Keywords : Desa Pakraman, Agremeent, Management, Tourism Object
x
xi RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai Perjanjian Penyelenggaraan Dan Pengelolaan Kepariwisataan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh. Pada Bab I, menguraikan mengenai latar belakang masalah dilakukannya perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, dimana dijelaskan adanya “Pakrimik Krama” (perbincangan di masyarakat), bahwa terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang terdapat di dalam isi perjanjian yang belum memenuhi asas keadilan. Perjanjian yang di buat pada Tahun 2012 hingga saat ini belum pernah membantu bahkan ikut memelihara fasilitas Objek Wisata Alas Kedaton terlebih bagi Pura Dalem Khayangan Kedaton sebagai timbal balik atas pembagian hasil yang telah diterima Pemerintah Kabupaten Tabanan yang bersumber dari tiket masuk dan karcis parkir. Pada Bab II, membahas mengenai gambaran umum tentang Objek Wisata Alas Kedaton yaitu mengenai letak geografis, sejarah, potensi, dan pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilihat dari management pengelolaan dan hasil pengelolaan. Pada Bab III, merupakan pembahasan permasalahan yang pertama, yaitu membahas mengenai perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh dilihat dari perspektif syarat perjanjian, bentuk perjanjian, dan keabsahan perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilihat dari aturan yang berlaku. Pada bab IV, merupakan hasil penelitian di lapangan dan pembahasan untuk permasalahan kedua. Dalam pembahasan ini menjelaskan mengenai perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dalam perspektif tujuan hukum yang terdiri dari perspektif kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan dan di tambah mengenai perspektif Hukum Adat Bali. Pada bab V, sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Dalam kesimpulan pertama menerangkan bahwa perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian yang mengacu pada dasar hukum Pasal 1320 KUHPerdata dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Kesimpulan kedua menerangkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi asas keadilan dan kemanfaatan. Sebagai saran dari penulis hendaknya perlu dikaji kembali mengenai poin-poin dari perjanjian agar dapat memberikan manfaat dan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.
xi
xii DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM....................................................................................
i
PERSYARATAN GELAR ........................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..........................................
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .........................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
vi
ABSTRAK ................................................................................................
ix
ABSTRACT ..............................................................................................
xi
RINGKASAN ............................................................................................
xii
DAFTAR ISI .............................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................
8
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................
9
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................
9
1.3.2 Tujuan Khusus............................................................
9
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................
10
1.4.1 Manfaat Teoritis .........................................................
10
1.4.2 Manfaat Praktis...........................................................
10
1.5 Landasan Teoritis .................................................................
10
1.5.1 Teori Perjanjian ...........................................................
11
1.5.2 Teori Tujuan Hukum ...................................................
15
1.5.3 Konsep Perjanjian ........................................................
20
xii
xiii 1.5.4 Konsep Pengelolaan ....................................................
21
1.5.5 Konsep Objek Wisata ..................................................
22
1.5.6 Konsep Desa Pakraman ...............................................
23
1.6 Metode Penelitian.................................................................
24
1.6.1 Jenis Penelitian ............................................................
24
1.6.2 Jenis Pendekatan..........................................................
25
1.6.3. Sumber Bahan Hukum ................................................
26
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum............................
27
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ....................................
28
BAB II Gambaran Umum Tentang Objek Wisata Alas Kedaton 2.1 Tinjauan tentang Objek Wisata Alas Kedaton ........................
30
2.1.1 Letak dan Geografis ....................................................
30
2.1.2 Sejarah ........................................................................
33
2.1.3 Potensi.........................................................................
39
2.2 Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton ...............................
43
2.2.1 Pengelola Objek Wisata Alas Kedaton.........................
43
2.2.2 Management Pengelolaan ............................................
50
2.2.3 Hasil Pengelolaan ........................................................
52
BAB III Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 3.1 Pengertian, Syarat-syarat dan Bentuk Perjanjian ...................
56
3.2 Bentuk Perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton ......................
84
3.3 Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 90
xiii
xiv BAB IV Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dalam Perspektif Tujuan Hukum 4.1 Tujuan Hukum ..................................................................... 104 4.1.1 Hukum Barat .............................................................. 104 4.1.2 Hukum Adat Bali ....................................................... 107 4.2 Tinjauan Terhadap Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 111 4.2.1 Perspektif Kepastian Hukum ...................................... 111 4.2.2 Perspektif Kemanfaatan ............................................. 119 4.2.3Perspektif Keadilan ..................................................... 125 4.2.4 Perspektif Hukum Adat Bali....................................... 132 BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan ........................................................................... 141 5.2 Saran ..................................................................................... 142 DAFTAR BACAAN
xiv
xv DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Daftar Informan
Lampiran 2
: Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakrama Kukuh Kecamatan Marga
Lampiran 3
: Awig-awig Desa Pakraman Kukuh, Marga, Tabanan
Lampiran 4
: Data kunjungan dan pendapatan DTW Alas Kedaton
Lampiran 5
: Koran Bisnis Bali, Tanggal 6 Januari 2015, dengan judul ”Alas Kedaton Minim Sentuhan”
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan ketentuan Peraturan Derah Propinsi Bali (Perda) Nomor 3 Tahun 2001, Desa Pakraman memiliki pengertian kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu, secara turun temurun dalam kaitan khayangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 ayat (4) Perda Nomor 3 Tahun 2001). Ketentuan mengenai pengertian desa pakraman tersebut tentang wilayah dan harta kekayaan yang berhak di urus sendiri oleh desa pakraman, maka sesungguhnya tidak ada yang dapat menginterfensi dan mengatur apa yang menjadi hak dari desa pakraman yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan tesis ini maka Desa Pakraman Kukuh menjadi tempat penelitian, terutama Objek Wisata Alas Kedaton dimana objek wisata ini merupakan harta kekayaan yang dimiliki oleh Desa Pakraman Kukuh, ini sesuai dengan pengertian Desa Pakraman yang terdapat di dalam ketentuan Perda Nomor 3 Tahun 2001. Latar belakang di lakukannya penelitian ini bermula dari dilakukannya perjanjian berupa kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga, Nomor 15 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengelolaan kepariwisataan daya tarik wisata alas kedaton. Penelitian ini diambil mengingat penulis telah melakukan penelitian pendahuluan
1
2 di lokasi yang menemukan adanya perbincangan dari masyarakat (pakrimik krama) mengenai manfaat dari dibuatnya perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Dari isi perjanjian yang dilakukan tersebut terdapat kesenjangan antara hak dan kewajiban terutama hak dan kewajiban Pemerintah Kabupaten Tabanan selaku pihak pertama, yang tidak menyertakan di dalam isi perjanjian tersebut untuk ikut berkewajiban memelihara, membangun dan menjaga Objek Wisata Alas Kedaton, ini sebagai timbal balik hak dan kewajiban karena Pemerintah Kabupaten Tabanan ikut mendapatkan pembagian hasil dari pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Bila dilihat mengenai perjanjian yang dilakukan Pemda dengan Desa Pakraman Kukuh mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, belum pernah sebelumnya terjadi perjanjian kerjasama seperti ini, kerjasama ini baru dilangsungkan pada masa pemerintahan Bupati Tabanan Eka Wiryastuti. Mengenai perjanjian yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh sesungguhnya kita harus mengetahui terlebih dahulu status dari Masyarakat Hukum Adat atau Desa Pakraman apakah termasuk subyek hukum. Masyarakat hukum adat di Propinsi Bali dikenal dengan sebutan desa pakraman atau desa adat, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adatyang terdapat di Negara Indonesia.
3 Pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dapat kita lihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Ketentuan Pasal 18 B angka 2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 menjelaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan derah-daerah istimewa dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak dan asal-usul daerah tersebut. Ditambahkan kemudian dalam ketentuan Pasal 28 huruf I ayat (3) UUD 1945 yaitu : ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Pengakuan dan penghormatan tersebut tidak hanya terhadap identitas budaya, tetapi juga terhadap eksistensinya sebagai subyek hukum. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmran rakyat”. Ketentuan ini bersifat imperatif, yaitu mengandung perintah kepada Negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang diletakan dalam
4 penguasaan Negara itu dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan dari penguasaan oleh Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat Indonesia.1 Walaupun Negara mengakui keberadaan masyarakat hukum adat tersebut namun belum ada peraturan yang menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat adalah subyek hukum. Belum ada undang-undang dan aturan lainnya yang secara tegas menyebutkan masyarakat hukum adat atau desa pakraman sebagai subyek hukum yang dapat melakukansegala perbuatan hukum sampai saat ini, terutama dalam kaitannya dengan perjanjian yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Apabila dilihat dalam kaitannya dengan studi yang membahas tentang perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa Pakraman Kukuh, ada kecenderungan cara pandang penguasa dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai aktor dominan dalam mengatur ketentuan pengelolaan objek wisata, khususnya mengenai pembagian hasil pengelolaan objek wisata.Dikatakan aktor dominan karena peran masyarakat pedesaan (desa pakraman) dalam hal ini Desa Pakraman Kukuh belum terlihat mengakomodasi pendapat masyarakat secara mendalam dalam mengambil keputusan kerjasama tersebut. Perjanjian yang berlaku antara pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh selaku pemilik aset objek wisata masih diperlukan kajian lebih mendalam guna memberi dampak positif dalam pengelolaan objek wisata selanjutnya yang dilakukan oleh masyarakat. 1
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta, hal.36.
5 Dilihat dari persoalan itu dan dikaitkan dengan judul penelitian yang membahas mengenai perjanjian pengelolaan objek wisata antara desa pakraman dengan pemerintah kabupaten, maka penelitian ini sangatlah penting dan relevan dilakukan. Mengingat yang menjadi inti dari penelitian ini yaitu tentang seluk beluk perjanjiannya, maka sangat diperlukan sekali mengetahui apakah perjanjian yang dilakukan telah memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan manfaat, terlebih mengenai hal pengelolaan suatu objek wisata. Perjanjian pengelolaan yang dilakukan Desa Pakraman Kukuh dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan di Objek Wisata Alas Kedaton, sama sekali tidak ada terlibat peran pihak ketiga dalam hal ini notaris selaku pejabat umum untuk mengesahkan suatu perjanjian terutama dari segi kepastian hukum yang bersifat benar-benar mengikat para pihak. Semestinya dengan dilakukannya suatu kerjasama berupa perjanjin, apalagi melibatkan pemerintah daerah dengan desa pakraman yang didalamnya melibatkan masyarakat, sudah seharusnya menggunakan jasa notaris. Langkah melibatkan notaris dalam sebuah perjanjian, agar ada kepastian hukum yang dipahami masyarakat dan pihak lainnya serta mengetahui antara hak dan kewajiban yang mesti dilakukan para pihak, sehingga apa yang menjadi isi perjanjian baik itu hak dan kewajibannya dapat dijalankan dengan baik dan memiliki kedudukan yang sama tanpa menguntungkan satu pihak saja. Sesuai dengan perjanjian yang dilakukan Desa Pakraman Kukuh Marga dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan, dilihat secara sosiologis masih ditemukan adanya perbedaan kenyataan yang relatif masih perlu diselaraskan menuju unsur keadilan. Operasional mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas
6 Kedaton keseluruhannya dilakukan oleh pihak desa adat, baik pembangunan sarana dan prasarana objek maupun dalam penanganan kegiatan sehari-hari, namun hasil dari pengelolaan objek tersebut akhirnya dibagi dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan sesuai dengan yang ada dalam perjanjian, ini yang menyebabkan terjadinya rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia khususnya pada lingkungan Universitas Udayana ditemukan beberapa judul tesis maupun laporan penelitian yang menyangkut tentang pengelolaan objek wisata. Adapun juduljudulnya adalah sebagai berikut : a. Tesis yang berjudul “Peningkatan Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan”, oleh Luh Putu Haryani, Universitas Udayana, Tahun 2000. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kelemahan dan kekuatan pengelolaan objek wisata Alas Kedaton? 2. Bagaimanakah peluang dan ancaman pengelolaan objek wisata Alas Kedaton? b. Laporan Penelitian yang berjudul “Pola Hubungan Antara Pemerintah Kabupaten Gianyar Dengan Desa Pakraman Padangtegal Dalam Mengelola Objek Wisata Wenara Wana (Monkey Forest)”, oleh tim peneliti yaitu Prof.Dr. Wayan P. Windia, SH.M.Si, A.A.Gede Oka Parwata, SH.,M.Si, I Ketut Wirta Grihadi, SH.MH, I Ketut Sudantra, SH.,MH, dan Wayan Koti Cantika, SH, Universitas Udayana, Tahun 2011. Penelitian ini
7 adalah proyek yang didanai oleh Nuffic IDN 223, Tahun anggaran 2011, Surat perjanjian pelaksanaan penelitian nomor : 08/Research/NPT-Nuffic-FLUnud/II/2011, tanggal 4 Februari 2011. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk dan sifat hubungan antara Pemerintah Kabupaten dengan Desa Pakraman Padangtegal dalam pengelolaan objek wisata Wanara Wana? 2. Bagaimanakah perimbangan partisipasi dan kontribusi antara Desa Pakraman Padangtegal dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam mengelola objek wisata Wanara Wana? c.
Tesis
yang
berjudul“Pemenuhan
Hak-Hak
Tradisional
Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat (Studi Kasus Pengelolaan Objek Wisata Tanah Lot)”, oleh I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra, Universitas Udayana, Tahun 2012. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah Desa Pakraman Beraban mempunyai wewenang dalam mengelola objek wisata Tanah Lot? 2. Apakah perjanjian kerjasama pengelolaan objek wisata Tanah Lot mencerminkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945? 3. Bagaimanakah implementasi pemenuhan dan penghormatan hak-hak tradisional Desa Pakraman Beraban dalam pengelolaan objek wisata Tanah Lot?
8 d.
Desertasi yang berjudul “Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan Obyek Wisata Di Bali”, oleh I Wayan Arka, Universitas Brawijaya Malang, Tahun 2014. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Normatif, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) di Bali diterima sebagai subyek hukum perjanjian oleh Pemerintah Daerah? 2. Apakah perjanjian dan izin yang digunakan sebagai dasar mengatur pengelolaan obyek wisata sudah sesuai dengan norma pengaturan pengelolaan obyek wisata? Tesis, Desertasi dan laporan penelitian yang diuraikan di atas berbeda
dengan penulisan tesis ini, khusus yang menyangkut mengenai pengelolaan objek wisata yang telahdilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya, cakupan dan pembahasannya berbeda sehingga karya ilmiah ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan masih sangat relevan untuk penelitian lebih lanjut. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti, membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis/tesis yang berjudul “Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh”
1.2.Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini dirumuskan sebagai berikut :
9 1. Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian? 2. Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum? 1.3.Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis mengenai perjanjian penyelenggaraan pengelolaan daya tarik wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh.
1.3.2Tujuan Khusus Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara khusus diharapkan mampu : 1.
Untuk mempelajari, memahami dan menganalisis apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian.
10 2.
Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1Manfaat Teoritis Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran untuk menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan asas-asas yang berkaitan dengan hubungan hukum terhadap tata cara perjanjian atau kontrak yang dilakukan desa adat dengan pemerintah. Dengan demikian pembahasan ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan hukum kepariwisataan. 1.4.2Manfaat Praktis Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi atau sumbangan pemikiran untuk membantu dan memberi masukan sertatambahan pengetahuan dalam hal perjanjian atau kontrak bagi penulis, notaris dan masyarakatkhususnya. Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan bagi desa Pakraman untuk mengetahui bentuk perjanjian dalam mengelola objek wisata.
1.5. Landasan Teoritis Guna memperjelas di dalam memberikan suatu gambaran mengenai pembahasan tesis ini, maka dalam penulisan akan menggunakan teori dan konsep hukum sebagai berikut :
11 1.5.1 Teori Perjanjian Teori yang dikemukakan oleh Van Dunne mendefinisikan bahwa perjanjian adalah “Suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.2Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio menjadi KUHPerdata bahwa mengenai hukum perjanjian di Indonesia diatur dalam Buku III tentang perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orangorang atau pihak tertentu.3Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian sebagai berikut, “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Abdulkadir Muhammad mendifinisikan bahwa Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang, atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.4 Sebelum para pihak mengikatkan diri untuk membuat suatu perjanjian, maka terlebih dahulu para pihak menyetujui syarat-syarat yang akan dituangkan di dalam suatu perjanjian. Sucitthra Vasu, mengemukakan “The purpose of detting down the terms of contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties.
2
Salim HS, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakrata, hal.25. 3 R. Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 323. 4 Abdulkadir Muhamad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, Bandung, hal.6.
12 Secondly,in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide which is the defaulting party so that dispute can be resolved”.5 Para pihak dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian juga harus mentaati isi kontrak atau perjanjian yang telah disepakatinya, terutama bagi debitur sebagai pihak yang berutang ke pihak lain, selain itu batas waktu pemenuhan kewajiban juga harus diperhatikan sebagaimana pendapat R.Subekti menyatakan bahwa :“The debtor has done something what is in contravention of the contract, it is obvious that he is in default. Also when in the contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed this time limit, it is clear that the debtor is in default.”6(Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam konrak ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit waktu itu, itu jelas debitur dinyatakan bersalah). Keberadaan suatu perjanjian tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian. perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Mengenai syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Kesepakatan tersebut meliputi kedua belah pihak yang membuat perjanjian dan setuju mengenai hal-
5
Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore, hal.1. 6 R. Soebekti, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies, Third edition, Jakarta, hal.55. (Selanjutnya disebut R.Soebekti I).
13 hal pokok dalam kontrak. Kesepakatan tersebut dapat berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum adalah setiap orang yang sudah dewasa dan tidak mengalami gangguan fikiran. Menurut KUHPerdata yang dimaksud dengan dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki, dan 19 tahun bagi wanita. 3. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjan tersebut. Objek perjanjian ini diatur dalam Pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata, Pasal 1332 KUH Perdata merumuskan : hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanian. Pasal 1333 KUHPerdata merumuskan : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung”.Substansi pasal tersebut di atas memberikan pedoman bahwa dalam membuat perjanjian harus dipenuhi hal atau objek tertentu.Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak.Pada hal-hal tertentu tidak harus dalam arti gramatikal dan sempit untuk hal dan objek tertentu tersebut sekadar ditentukan jenis, sedangkan mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian
14 hari.7Dalam
suatu
perjanjian
harus
ada
obyek
yang
jelas
yang
diperjanjikan.Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas : 1) Memberikan sesuatu, 2) Berbuat sesuatu,dan 3) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata) 4. Suatu sebab yang halal Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal).Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan clausa yang terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepadaorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.8
7
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal.192. 8 R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, cetakan 18, Intermasa, Jakarta, hal.1. (Selanjutnya disebut R. Soebekti II).
15 1.5.2 Teori Tujuan Hukum Teori Tujuan Hukum yang digunakan oleh penulis adalah teori tujuan hukum yang merupakan ajaran Gustav Radbruch9. Dimana teori tujuan hukum mempunyai 3 hal yang ingin dicapai : 1. Kepastian Hukum Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap; tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu.10 Kepastian hukum memiliki arti ”perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara”.11 Kepastian Hukum adalah dasar dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara. Menururt pendapat Soehino dalam bukunya yang berjudul Ilmu Negara. Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Dalam bukunya tersebut Soehino juga mengutip pendapat Krabe yang mengatakan, ”bahwa hukumlah memiliki kedaulatan tertinggi. Kekuasaan bukan kedudukan atau pangkat dan jabatan seorang pemimpin melainkan kekuasaan itu dari hukum, karena hukumlah yang memberikan pengakuan hak maupun wewenang.”12
9
https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukumtujuan-hukum-menurut-gustav-radburch/,diakses pada tanggal 15 November 2014. 10 W.J.S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, hal.847. 11 Anton M. Moelino, dkk., 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1028. 12 Soehino, 1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hal.156.
16 Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum dapat ditemukan dalam buku M.Yahya Harahap yng berjudul Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHP, yang menyatakan bahwa kepastian hukum dibutuhkan didalam masyarakat demi tercapainya ketertiban dan keadilan. ”Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri.”13 sudikno Mertokusumo mengartikan ”kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa sesorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.”14 Menurut Peter Mahmud Marzuki berkaitan dengan pengertian kepastian hukum dikemukakaan sebagai berikut: Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undangundang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.15
Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip Theo Huijbers, yang menyatakan bahwa pengertian hukum dibedakan menjadi tiga aspek yang
13
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, hal.76. 14 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal.145. 15 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.158.
17 diperlukan untuk mendapatkan pengertian hukum yang memadai. Aspek-aspek tersebut antara lain: Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.16 Jika mengkaitkan teori ini dengan apa yang dikaji oleh penulis maka penulis berpendapat, bahwa teori kepastian hukum membantu penulis untuk lebih menekankan akan kepastian hukum. Kepastian hukum ini berguna untuk melihat apakah dari dibuatnya perjanjian yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton sudah memenuhi syarat untuk dibuatnya suatu perjanjian.
2. Kemanfaatan Hukum Kemanfaatan hukum juga merupakan salah satu dari tujuan hukum yang dikatakan oleh Gustav Radburch. Teori kemanfaatan hukum sendiri, memiliki beberapa pendapat dari para ahli yang menguatkan pendapat Gustav Radbruch tersebut. Salah satu pakar yang mengutarakan mengenai teori kemanfaatan hukum adalah Jeremi Bentham, dalam buku Soni Keraf dijelaskan bahwa ”dasar yang paling objektif dalam menilai baik buruknya kebijakan itu berlaku adalah dengan
16
Theo Hujibers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah , Kanisus, Cetakan Keempat belas, Yogyakarta, hal. 163.
18 melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait”.17 Kemanfaatan hukum dirasakan perlu dalam kehidupan bermasyarakat, hal itu disebabkan dalam berlakunya hukum yang mengatur suatu masyarakat harus memberikan manfaat kepada masyarakat itu sendiri. Kemanfaatan hukum dalam hal ini dikaitkan dengan apakah manfaat yang dapat dirasakan masyarakat Desa Pakraman Kukuh dalam hal dilakukannya perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh.
3. Keadilan Hukum Berbicara mengenai teori keadilan maka tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan apa yang telah di kemukakan oleh John Rawls. Rawls mengemukakan teori keadilan dalam bukunya yang berjudul ”A Theory of Justice”. Teori Rawls itu sendiri mempunyai dasar atas dua prinsip yaitu Equal Right dan juga Economic Equality. Equal Right dikatakan harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.
17
Soni Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, hal.93-94.
19 Hans Kelsen juga mengemukakan pendapatnya dalam Buku Teori Umum tentang Hukum dan Negara, pendapat tersebut menjelaskan bahwa keadilan, ”dalam arti legalitas, adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya.”18 Menurut Andre Ata Ujan, dalam membangun teori keadilan ini diharapkan mampu menjamin distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat yang teratur. ”Kondisi ini dapat dicapai atau dirumuskan apabila ada kondisi awal yang menjamin berlangsungnya suatu proses yang fair yang disebut ”posisi asli”, yaitu yang ditandai oleh prinsip kebebasan, rasionalitas dan kesamaan.19 Keadilan dapat terwujud apabila menegakkan enam prinsip menurut Beauchamp dan Bowie, yaitu diberikan : a) Kepada setiap orang bagian yang sama; b) Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya; c) Kepada setiap orang sesuai dengan haknya; d) Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya; e) Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya; dan f) Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit)20 Aristoteles juga berpendapat mengenai keadilan. Bagi Aristoteles sendiri, keadilan adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Aristoteles menyatakan : ”Justice consists in treating equals equally dan unequals
18
Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, hal.17. 19 Andre Ata Ujan, 2005, Keadilan dan Demokrasi, telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius Cetakan Ke 5, Yogyakarta, hal.25-26. 20 L.J Van Kan dan J.H Beekhuis, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.95.
20 unequally, in proporation to their inequality”.21 Ketiga tujuan hukum yang telah dijelaskan tersebut di atas tidaklah dapat dilaksanakan secara bersamaan, hal itu karena seringnya terjadi benturan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga tujuan hukum dilaksanakan dengan menggunakan ”asas prioritas”, mana yang dianggap dan dirasakan lebih dominan untuk dilakukan maka itulah yang diprioritaskan, karena ”dalam kenyataannya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan”.Namun dari ketiga tujuan hukum tersebut di atas, keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan.
1.5.3Konsep Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujian itu.22Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi ”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian
21
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal.36. 22 Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal.458.
21 bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa, perjanjian akan dapat dilaksanakan apabila ada dua pihak atau lebih saling sepakat untuk mengikatkan dirinya. Perjanjian dapat dibagi menjadi dua, baik itu dalam bentuk lisan maupun tulisan yang isi dari perjanjian tersebut masing-masing diatur berdasarkan kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.
1.5.4 Konsep Pengelolaan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pengelolaan berarti penyelenggaraan. Pengelolaan merupakan terjemahan dari kata ”management”, terbawa oleh derasnya arus penambahan kata pungut kedalam Bahasa Indonesia, istilah Inggris tersebut lalu di Indonesiakan menjadi ”manajemen” atau ”menejemen”. Selanjutnya ada beberapa pengertian manajemen (pengelolaan) sebagai berikut : 1.
Manajemen adalah unsur yang bertugas mengadakan pengendalian agar semua sumber dana dan daya yang dimiliki organisasi dapat dimanfaatkan sebagai daya guna dan berhasil guna diarahkan untuk mencapai tujuan.
2.
Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan mengkontrol manusia dan sumber daya alam untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
22 3.
Manajemen dapat dirumuskan sebagai penyelesaian suatu pekerjaan dengan usaha orang lain.
4.
Manajemen adalah
suatu proses
yang
meliputi perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan yang setiap bidang mempergunakan ilmu pengetahuan dan seni secara teratur untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.23Jadipengelolaan pada dasarnya adalah pengendalian dan pemanfaatan semua sumber daya yang menurut suatu perencanaan diperlukan untuk atau penyelesaian suatu tujuan kerja tertentu. Pengelolaan sama dengan manajemen yaitu penggerakan, pengorganisasian dan pengarahan usaha manusia untuk memanfaatkan secara efektif material dan fasilitas untuk mencapai suatu tujuan.
1.5.5 Konsep Objek Wisata Berbeda dengan objek wisata pada umumnya khusus untuk objek wisata yang berada di Bali, sangat berbeda dengan objek wisata lainnya di Indonesia, karena objek wisata di Bali lebih menekankan pada pariwisata budaya. Pariwisata budaya yang dimaksud merupakan peninggalan yang bersifat arkeologis atau pusaka budaya, dikatakan demkian karena pusaka budaya tersebut masih difungsikan sampai saat ini di Bali terutama sebagai media pemujaan atau benda
23
Sugionomuslimin, 2010 “Konsep Pengelolaan (Manajemen)”, (Cited 2014 mei. 3), available from : URL http :// sugionomuslimin.wordpress.com/2010/1/05/konsep-pengelolaan-manajemen.
23 yang dianggap keramat, sehingga sering ditempatkan dalam area bangunan suci (Pura).24 Berdasarkan SK.MENPARPOSTEL N0: KM.98/PW.102/MPPT-87, objek wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan. Umumnya di beberapa daerah atau negara, untuk memasuki suatu objek wisata para wisatawan diwajibkan untuk membayar biaya masuk atau karcis masuk yang merupakan biaya retribusi untuk pengembangan dan peningkatan kualitas objek wisata tersebut. Beberapa objek wisata ada yang dikelola oleh pemerintah dan adapula yang dikelola oleh pihak swasta. objek wisata yang dikelola oleh pihak swasta dapat berupa objek wisata alami maupun buatan.Jadi objek wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orangorang mau datang berkunjung ke tempat tersebut.
1.5.6 Konsep Desa Pakraman Istilah pakraman berasal dari kata karaman di masa Bali kuno, pengertian daripada desa pakraman dapat dilihat pada Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah 24
I Wayan Ardika, 2007, Pusaka Budaya dan Pariwisata, Pustaka Larasan, Denpasar, hal.51.
24 tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri, (Pasal 1 ayat (4) Perda No.3 Tahun 2001)25. Syarat-syarat adanya desa pakraman adalah yang pertama memiliki Tiga Parahyangan (Pura) yaitu: Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung. Syarat kedua adalah memiliki setra (kuburan yang dilengkapi dengan Pura Prajapati). Syarat yang ketiga adalah beranggotakan lebih dari tiga banjar, jadi Desa Pakraman dapat disimpulkan adalah suatu wilayah yang dihuni sejumlah penduduk yang sudah diikat atau disatukan jiwa dan raga dalam suatu tradisi, tingkah laku yang diyakini bersama di Pulau Bali.
1.6. Metode Penelitian Dalam penulisan tesis ini penulis mempergunakan cara atau metode sebagai berikut : 1.6.1Jenis penelitian Penelitian hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Pada penelitian hukum normatif yang dieteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum sosioligis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat.26
25
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia & Universitas Udayana, 2006, Bali Bangkit Kembali, hal.41.
25 Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal and horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.27Penelitian di dalam penyusunan tesis ini menggunakan jenis penelitian normatif, yaitu menggunakan teknik interpretasi, yang artinya menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.Sesuai dengan penelitian normatif di atas yang menjadi permasalahan sesungguhnya adalah terjadi kesenjangan dan tidak sejajarnya
posisi para pihak dalam hal ini perjanjian penyelenggaraan dan
pengelolaan kepariwisatan daya tarik wisata Alas Kedaton, antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh terutama mengenai isi dari perjanjian tersebut yang didalamnya terdapat klausul eksonerasi, yaitu klausulklausul yang menguntungkan salah satu pihak saja.
1.6.2Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni:
a) Pendekatan kasus (the case approach) b) Pendekatan perundang-undangan (the statue approach) c)Pendekatan fakta (the fact approach) d) Pendekatan analisis konsep hukum (analytical &conceptual approach) 26
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hal.52. 27 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.14.
26 e) Pendekata frasa (words & phrase approach) f) Pendekatan sejarah (historical approach) g) Pendekatan perbandingan (comparative approach)28
Dalam penelitian ini digunakan jenis pendekatan fakta (the fact approach) dan pendekatan perundang-undangan (the statue approach). 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Bahan Hukum Primer, dapat berupa kaedah dasar (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Peraturan Perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat. 29 Dalam penelitian ini mengguanakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a) Bahan hukum primer terdiri dari atas asas dan kaidah hukum, yang terdiri dari : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 3. Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah 6. Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman 7. Awig-Awig Desa Pakraman Kukuh
28
Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Denpasar, hal.54. 29 Ronny Hanitijo, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet I, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.24.
27
Menurut Stephen Elias, Primary Sources adalah: ”The law found in primary sources can take many different forms. They includes cases, statutes, administrative regulation, local ordinances, state and federal constitutions, and more”.30 b) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, makalah, dan jurnal yang ditulis para ahli dan dokumen, (seperti tercantum dalam daftar pustaka). Menurut Robert Watt : ”All of the other materials in the library are use basically to assist the researcher in understanding the law, and this group we call secondary materials”.
31
Artinya kurang lebih, semua bahan dalam
perpustakaan yang digunakan pada dasarnya untuk membantu peneliti memahami hukum dan kelompok, bahan ini disebut bahan sekunder.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data, yaitu : 1. Teknik Studi Dokumen atau bahan pustaka Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian hukum, dalam studi bahan pustaka ini terlebih dahulu ditentukan
30
Stephen Elias, 2009, Legal Research How to find & Understand the law, Free Legal Update at Nolo.com, USA, hal.23. 31 Robet Watt, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press, Leichhardt, NSW, hal.1.
28 jenis penelitian apakah normatif atau empiris kemudian ditentukan data-data hukum yang akan digunakan apakah data primer, sekunder atau tersier ataukah semuanya. 2. Teknik Wawancara (interview) Wawancara adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Menurut James E Mauch dan Jack W Brich mengatakan “interview are inefficient way to collect large scale suvey information although they may be used to supplement
or
to
ascertain
validity
and
reliability
of
such
data”32.Diterjemahkan kurang lebih, wawancara adalah cara yang tidak efisien untuk mengumpulkan data dalam sekala besar walaupun mungkin berguna untuk melengkapi atau memastikan validitas dan reliabilitas data tersebut.Adapun pihak-pihak yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah pengelola dari Objek Wisata Alas Kedaton yaitu Bendesa Adat Kukuh Marga, dan Manager dari Objek Wisata Alas Kedaton.
1.6.5Teknik Analisis Bahan Hukum Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analsisis seperti deskripsi, interpretasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, atau sistematisasi. Untuk menganalisis bahan hukum
32
James E. Mauch dan Jack W.Brich, 1983, Guide To The Successful Thesis And Dessertation Conception To Publication : A Hand Book For Student And Faculty, Marcel Dekker Inc, New York, hal 76.
29 tersebut digunakan teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG OBJEK WISATA ALAS KEDATON 2.1 Tinjauan tentang Objek Wisata Alas Kedaton 2.1.1 Letak dan Geografis Melihat gambaran secara umum, maka Propinsi Bali merupakan propinsi yang sangat kuat unsur agama dan budayanya, ini terbukti dari tingginya kunjungan wisatawan ke Bali, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik yang ingin melihat lebih dekat budaya Bali dan kearifan lokalnya. Devisa yang merupakan sumbangan Bali yang masuk ke kas negara, menjadikan Bali tetap berada pada posisi teratas sebagai sumber pendapatan dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Beberapa laporan mengemukakan, hingga pada semester pertama tahun 2012 lalu, tercatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali mencapai 1,42 juta orang lebih. Australia masih merupakan kontributor utama kunjungan wisman ke Bali atau 34,33 persen, disusul wisatawan Cina di tempat kedua (11,44 %), kemudian Malaysia dan Jepang ditempat ketiga dan empat dengan sumbangan masing-masing 7,55 persen dan 6,78 persen.33 Membahas mengenai objek pariwisata yang ada di Kabupaten Tabanan, maka kita harus mengetahui secara umum tentang letak secara geografis dari Kabupaten ini. Tabanan merupakan salah satu dari sembilan kabupaten/kota di wilayah Provinsi Bali yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor. 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Derah-derah Tingkat I Bali, NTB dan NTT. 33
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2012, Potret Tabanan Serasi Tahun 2012, hal.67. 30
31 Secara geografis posisi Kabupaten Tabanan berada di tengah Pulau Bali terletak diantara 080-14’30”- 080 30’07” LS dan 1140 54’52”- 1150 12’57”BT. Luas wilayah Kabupaten Tabanan adalah 839,33 km2 atau 83.933 hektar atau sekitar 14,89% dari luas daratan Provinsi Bali atau merupakan kabupaten terluas ke-4 setelah Kabupaten Buleleng, Jembrana dan Karangasem.34 Topografi Kabupaten Tabanan dapat digambarkan dengan adanya dataran tinggi di bagian utara dan dataran rendah di bagian selatannya. Kabupaten Tabanan bagian utara merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian tertinggi berada pada puncak Gunung Batukaru yaitu setinggi 2.276 meter dari permukaan laut.35 Pada bagian selatan Kabupaten Tabanan merupakan daerah pantai yang berupa dataran rendah. Diantara objek wisata di Bali, 12 objek berada di Kabupaten Tabanan yaitu : objek wisata Ulun Danu Beratan, Bedugul, Kebun Raya Eka Karya Bedugul, Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana, Alas Kedaton, Tanah Lot, Museum Subak, Yeh Panes Penatahan, Puri Anyar Kerambitan, Puri Agung Kerambitan, Objek Wisata Jatiluwih dan PT Taman Kupu-Kupu Lestari. Salah satu objek wisata yang ada di Kabupaten Tabanan yang merupakan objek wisata alam dan budaya yang cukup unik adalah Objek Wisata Alas Kedaton. Gambaran umum mengenai Objek Wisata Alas Kedaton bila dilihat mengenai letaknya terdapat di Kabupaten Tabanan, tepatnya di Desa Kukuh Kecamatan Marga. Objek Wisata Alas Kedaton memiliki pura yang disebut 34
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2013, Profil Tabanan Serasi Tahun 2013, hal. 1. 35 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan, 2013, Tabanan Dalam Angka 2013, hal. 4.
32 dengan Pura Dalem Khayangan Kedaton, dimana lokasi pura menjadi satu dengan kawasan objek wisata. Pura Dalem Khayangan Kedaton adalah salah satu pura penting dan menarik perhatian di antara ribuan pura yang tersebar di seluruh Bali. Pura ini terletak di sebelah selatan Banjar Menalun Desa Kukuh, pada posisi astonomis 80 20’ 49” Bujur Timur dan 80 31’ 73” Lintang Selatan dan pada ketinggian sekitar 170 m diatas permukaan air laut.36 Lokasi Objek Wisata Alas Kedaton termasuk wilayah Banjar Dinas Lodalang Desa Kukuh dan berada tepat diperbatasan dengan wilayah kelurahan Banjar Anyar Kecamatan Kediri. Jarak Objek Wisata Alas Kedaton dari ibukota Provinsi Bali adalah 20 Km, sedangkan bila ditempuh dari kota Tabanan hanya berjarak 5 Km. Luas Objek Wisata Alas Kedaton kurang lebih 12 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Persawahan termasuk Banjar Menalun Desa Kukuh
Sebelah Timur
: Tukad Yeh Sungi
Sebelah Selatan
: Lingkungan Pemenang, Kelurahan Banjar Anyar
Sebelah Barat
: Jalan raya menghubungkan Kecamatan Kediri dan Marga
Disamping itu letak Objek Wisata Alas Kedaton berdekatan dengan Objek Wisata Tanah Lot yang sudah terkenal ke mancanegara terutama dengan adanya keunikan berupa pura di tengah laut. Letak yang berdekatan ini memberikan keuntungan bagi travel biro untuk menjadikan paket wisata yang dapat dijual kepada wisatawan, hal tersebut memeberikan keuntungan tersendiri bagi
36
I Made Sutaba, 2004, Pura Dalem Kayangan Kedaton, Denpasar, Hal.11.
33 penduduk setempat akibat dari kedatangan wisatawan ke Objek Wisata Alas Kedaton.
2.1.2 Sejarah Pembahasan mengenai sejarah, penulis dalam hal ini akan menguraikan mengenai jejak dan bukti-bukti mengenai kapan Pura Dalem Khayangan Kedaton mulai ada. Berdasarkan buku yang berjudul Pura Dalem Khayangan Kedaton, yang tulis oleh I Made Sutaba, ternyata Pura Dalem Khayangan Kedaton adalah sebuah pura kuno, terbukti dari sejumlah peninggalan arkeologis yang terdapat di dalamnya, yang sampai sekarang masih berfungsi sakral bagi masyarakat setempat. Antara peninggalan arkeologi itu, ada yang berasal dari jaman pra Hindu atau jaman prasejarah, yaitu dari masa berkembangnya tradisi megalitik di Indonesia termasuk di Bali pada masa perundagian, atau pada akhir jaman pra Hindu, kira-kira pada permulaan atau setelah tarih Masehi, sekitar 2000 tahun yang silam.37 Pada saat itu masyarakat megalitik di Indonesia telah mendirikan bangunan-bangunan megalitik yang dibuat dari batu-batu besar dan kecil yang berfungsi sebagai media pemujaan, terutama pemujaan kepada arwah nenek moyang yang dianggap mempunyai kekuatan magis, pemujaan pada kekuatan alam adikodrati dan kepada kekuatan pemberi kesuburan agar masyarakat selalu diberi keselamatan dan kesejahteraan. Adapun bentuk-bentuk megalitik yang terdapat di Pura Dalem Khayangan Kedaton, adalah beberapa buah menhir berukuran kecil, dibuat dari batu andesit
37
Ibid, hal 19
34 yang tidak diubah bentuknya atau yang tidak dikerjakan sama sekali. Menhir itu didirikan diatas bangunan-bangunan terbuka, baik yang terdapat dijeroan maupun di jaba tengah, berdasarkan nama-nama bangunan tempat menhir itu, ternyata ada yang berciri khas Bali, seperti Pelinggih Ancangan, Pelinggih Pengawal dan lainlainnya yang sekaligus menyatakan fungsinya sebagai penjaga yang mempunyai kekuatan magis yang dapat menolak segala kekuatan jahat yang mungkin dapat menggangu kesucian pura dan sekaligus memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat setempat. Selain menhir yang disebutkan tadi, ada juga menhir yang didirikan di atas bangunan-bangunan terbuka, seperti menhir yang diletakan di lantai meru bertumpang tiga yang memiliki fungsi yang sama dengan menhir lainnya seperti yang telah disebutkan diatas. Bentuk megalitik lainnya adalah, susunan batu andesit yang di tata dengan baik di atas bangunan yang disebut dengan Pelinggih Pemuput. Selain menhir dan susunan batu andesit, di Pura Dalem Khayangan Kedaton ditemukan juga tiga buah arca megalitik atau arca nenek moyang yang sangat penting. Dari ketiga buah arca tersebut yang sangat menarik perhatian adalah semua arca memiliki ciri yang sama, yaitu dalam sikap berjongkok di atas sebuah lapik, kedua tangannya menyilang dan ditumpangkan di atas kedua lututnya. Dua diantara ketiga arca itu ditempatkan di dalam sebuah ceruk di tembok meru yang disebut Dalem Khayangan, masing-masing di dalam ceruk kanan dan kiri. Arca megalitik yang pertama (yang disebelah kanan) agak rusak, tetapi masih dapat diketahui ciri-cirinya, antara lain matanya bulat dengan genitalia (phalus) dalam keadaan berdiri secara mencolok di antar kedua kakinya.
35 Dengan demikian maka dapat dipastikan, bahwa arca ini adalah arca seorang tokoh laki-laki. Adapun arca yang kedua (sebelah kiri) telah mengalami kerusakan pada bagian muka dan mata, tetapi hidungnya masih dalam keadaan baik. Genitalianya juga tidak jelas, tetapi dapat diduga sebagai arca seorang tokoh wanita, yang menjadi pasangan dari arca yang pertama tadi. Menurut keterangan dari masyarakat, kedua arca ini disebut sebagai arca Panji, yang selalu dimintai keselamatan bagi binatang peliharaan, seperti babi, jika ada yang terkena penyakit. Kedua arca megalitik tersebut di atas dapat dianggap sebagai lambang nenek moyang yang mempunyai kekuatan magis yang dapat menolak marabahaya dan dapat memberikan perlindungan, kesejahteraan dan kemakmuran kepada masyarakat. Penampilan arca ini sangatlah menakutkan, ini terbukti dari matanya yang bulat dan memperlihatkan genitalia secara mencolok, hal tersebut berarti pertanda betapa besarnya kekuatan magis yang dimilikinya di balik kesederhanaan bentuk lahiriahnya. Sebagai karya seni yang berkembang pada masa tradisi megalitik yang meluas di Indonesia, memang tidak mementingkan keindahan, melainkan dalam bentuknya yang sederhana lebih banyak memperlihatkan kekuatan magisnya. Dengan demikian maka penempatannya di dalam ceruk di tembok sebuah meru yang sakral, adalah sangat tepat dalam fungsinya sebagai penolak kekuatan jahat yang dapat merusak kesucian pura, terutama meru. Bukti-bukti sejarah lain yang terdapat di Pura Dalem Khayangan Kedaton, berasal dari jaman sejarah setelah Agama Hindu menyebar keseluruh Bali. Secara singkat sumber mengenai munculnya nama Alas Kedaton menurut warga sekitar
36 berasal dari Puri Carang Sari, yang menyebutkan bahwa pada waktu Sire Dalem turun dari majapahit diiringi oleh Arya Sentong menuju ke Nusa Penida untuk membuat tempat semedi Puncak Mundi. Saat itu Nusa Penida diperintah oleh I Bendesa, atas kerelaan I Bendesa maka Sire Dalem diberi kesempatan untuk mendirikan Puri di Munduk Bias dengan gelar Ida Ratu Ngurah Sakti. Pada saat Sire Dalem memerintah disana beliau ingin melanjutkan perjalanan metirta yatra dengan mendirikan tapa yoga semadi di Bali, yang diiringi oleh Arya Sentong dan I Bendesa. Salah satu tempat yang disinggahinya adalah Pura Dalem Khayangan Kedaton, ditempat ini beliau meninggalkan arca berupa Lingga, Arca Siwa dan Arca Ganesa, ketiga peninggalan arkeologi ini sampai sekarang masih tersimpan dan berada di lokasi Pura Dalem Khayangan Kedaton. Nama Alas Kedaton yang dikenal sekarang sebagai objek wisata mempunyai arti sebagai berikut yaitu alas yang berarti hutan, dan kedaton berasal dari kata kedatuan yang artinya tempat datu atau raja. Dengan demikian, Alas Kedaton dapat diartikan sebagai hutan, tempat bersemayamnya atau bersemadinya para raja. Salah satu raja yang menjadikan Pura Dalem Khayangan Kedaton sebagai tempat bersemedi adalah Sire Dalem yang lebih dikenal dengan nama Ida Ratu Ngurah Sakti. Adapun peninggalan arkeologi yang terdapat di Pura Dalem Khayangan Kedaton adalah sebuah lingga-semu yang terbuat dari batu, disimpan di dalam meru Dalem Khayangan, yang mempunyai bagian bawah berbentuk segi empat, dan bagian atas berbentuk silindris. Lingga-semu ini kadang-kadang dianggap sebagai batu patok, yang dipasang pada tempat-tempat tertentu di sebuah bangunan suci atau pura sebagai tanda batas kesucian bangunan tersebut.
37 Keyakinan sesuai dengan Agama Hindu, lingga-semu atau lingga yang lengkap, adalah perlambang dari Dewa Siwa sebagai dewa pencipta dan perusak segala isi dunia. Di dalam meru yang disebut dengan Dalem Khyangan Kedaton terdapat sebuah arca Ganesa, bertangan empat duduk di atas bantalan teratai dan dua ekor ular naga. Tangan kanan memegang tasbih dan taring yang patah, sehingga Ganesa disebut juga Ekadanta, artinya mempunyai sebuah taring, sedangkan tangan kiri memegang kapak dan ujung belalainnya. Menurut Agama Hindu, Ganesa adalah putra Dewa Siwa yang dianggap sebagai lambang ilmu pengetahuan dan dapat menolak segala marabahaya. Sebagai dewa penolak bahaya, Ganesa seringkali diletakan di tempat-tempat yang dianggap berbahaya antara lain yaitu di tepi jurang yang terjal atau di tepi sungai yang besar, di perempatan jalan raya dan di hutan belantara, seperti di Pura Dalem Khayangan Kedaton. Selain arca Ganesa, di dalam meru Dalem Kedaton juga terdapat arca Durga Mahisasuramardhini, berdiri di atas seekor lembu, buah dadanya gepeng dan memakai penutup dada. Di samping itu, memakai kancut yang panjang dan bertangan delapan. Tangan kanan dari atas ke bawah, memegang camara (penghalau lalat), cara (panah), pisau besar dan memegang ekor lembu. Tangan kiri dari atas kebawah, membawa kadga (pedang), dhanu (busur), tricula dan gada. Pada arca Ganesa tersebut di atas, posisi arca Ganesa duduk di atas dua ekor naga, ini adalah salahsatu bukti arkeologis yang sangat penting, karena merupakan bukti otentik mengenai waktu pembangunan Pura Dalem Khayangan Kedaton yang berbentuk lambang-lambang candrasengkala Gana (6) Naga (8)
38 Dwi (2) Tunggal (1), yang berarti tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.38 Bukti ini menjadi kuat, karena di dukung oleh langgam arca Ganesa dan Durga Mahisasuramardhini yang berasal dari abad 14 Masehi. Dengan bukti-bukti ini maka dapat dikatakan, bahwa Pura Dalem Khayangan Kedaton didirikan sekitar tahun 1364 Masehi hingga sekarang (2014), pura ini telah mencapai usia sekitar 640 tahun. Perkiraan ini hampiir tidak berbeda dengan sumber-sumber tradisional yang dapat diperoleh di lapangan, walaupun perkiraan ini cukup kuat tetapi masih ada bukti-bukti arkeologis yaitu bentuk-bentuk megalitik seperti telah dipaparkan di atas, yang berkembang kira-kira 2000 tahun silam, kiranya patut sebagai bahan pertimbangkan dalam menetapkan masa pembangunan pura ini. Bukti-bukti ini memang tidak berupa tulisan, tetapi memberikan petunjuk, bahwa Pura Dalem Khayangan Kedaton mungkin telah dibangun kira-kira 2000 tahun yang lalu, yang semula hanya hanya berbentuk media pemujaan megalitik yang sangat sederhana seperti menhir, arca nenek moyang, tetapi mengandung makna religius-magis atau simbolis-magis sebagai kesatuan dari kekuatan-kekuatan magis, kesucian dan kesakralan menurut sistem religi yang dianut oleh masyarakat pada waktu itu. Sistem kepercayaan masyarakat megalitik ternyata sangat mendominasi kehidupan masyarakat daerah Bali, seperti masyarakat di sekitar pura ini, maka sistem kepercayaan itu dilambangkan dalam bentuk megalitik, seperti menhir, susunan batu andesit dan arca megalitik, yang dapat bertahan hingga datangnya pengaruh Agama Hindu, bahkan sampai saat ini. Proses persentuhan sosial budaya ini, tentu melalui suatu perjalanan sejarah yang panjang, sehingga akhirnya unsur-
38
Ibid., hal.32.
39 unsur budaya lokal Bali menjadi satu dengan unsur budaya baru yang datang dari luar. Dengan memanfaatkan unsur budaya lokal, seperti yang tampak dalam sistem religi, kemudian Agama Hindu mengembangkan bentuk pemujaan megalitik itu menjadi sebuah pura, yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan Pura Alas Kedaton atau Pura Dalem Khayangan Kedaton.
2.1.3 Potensi Sebagai living monument dan living culture, Pura Dalem Khayangan Kedaton berfungsi sebagai media pemujaan yang sakral bagi masyarakat Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, yang terdiri atas 12 (dua belas) banjar. Masyarakat Desa Kukuh secara turun-temurun berkewajiban dan bertanggungjawab atas kelestarian pura ini, yaitu melaksanakan pemeliharaan semua bangunan-bangunan pura dan lingkungan di sekitarnya, agar tetap terpelihara dengan lingkungan yang nyaman dan ramah. Pelestarian hutan disekitar pura sebagai kesatuan ekosistem, sejak dahulu telah menjadi urusan desa dan telah diatur dalam awig-awig desa adat, seperti ketentuan penebangan pepohonan, agar hutan ini dapat menjadi penyangga pura agar tetap lestari sepanjang masa. Di sisi lain pelestarian nilai-nilai religius, juga dilakukan oleh masyarakat desa dengan melaksanakan upacara keagamaan secara teratur dan berkala pada hari-hari tertentu menurut pedoman Agama Hindu yang berlaku setempat, agar masyarakat selalu dalam keadaan selamat dan sejahtera. Adapun upacara-upacara tersebut dilaksanakan sesuai dengan hitungan hari menurut Agama Hindu yaitu
40 pada hari kajeng kliwon, purnama dan tilem, yang tidak melibatkan masyarakat, melainkan cukup dikerjakan oleh pemangku pura saja, karena upacara ini sangat sederhana tetapi harus dilaksanakan, untuk memelihara kesakralan pura dan keselamatan masyarakat. Upacara yang lebih besar dan melibatkan semua anggota masyarakat Desa Kukuh, disebut upacara piodalan yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) menurut perhitungan kalender Bali, yaitu pada hari anggara kasih wuku medangsia (Lihat lampiran 3 hal 27). Piodalan ini sangat menarik perhatian, karena selain merupakan upacara yang penting, ternyata juga memperlihatkan keunikan-keunikan yang tidak pernah ditemukan di pura-pura lainnya di Bali. Adapun keunikan yang perlu disaksikan antaralain, upacara piodalan dilaksanakan sekitar tengah hari atau siang hari dan harus selesai sebelum matahari terbenam atau sebelum malam tiba, karena tidak diperkenankan menggunakan api, lampu atau membakar dupa. Selain itu dalam upacara piodalan tidak boleh memakai segehan, kwangen, penjor dan tabuh rah (sabung ayam), tetapi untuk kelengkapan upacara hanya boleh digunakan ceniga dari daun pisang mas, padahal di tempat lainnya di Bali dibuat dari janur. Hal unik lainnya adalah upacara piodalan ini tidak dilakukan oleh seorang pendeta, seperti lazimnya pada piodalan di pura-pura lainnya di Bali, tetapi cukup dilakukan oleh pemangku pura. Keunikan-keunikan diatas adalah kenyataan yang penting dan sangat menarik untuk disaksikan, karena dalam kesakralan dan kesucian upacara piodalan itu terpendam pola tingkah laku keagamaan masyarakat Desa Kukuh khususnya, seakan-akan menjadi sebuah misteri kehidupan masa silam leluhurnya.
41 Keunikan-keunikan di atas barangkali mempunyai landasan fikiran yang sangat mendalam, terlebih lagi tidak diperkenankan menggunakan api dalam upacara piodalan, barangkali merupakan suatu pernyataan padamnya segala hawa nafsu duniawi manusia dan telah sampai pada tingkatan kesempurnan hidup. Dengan demikian, masyarakat yang datang untuk bersembahyang memohon keselamatan dan kesejahteraan kepada dewa-dewa di Pura Dalem Khayangan Kedaton, sudah bersih dari godaan dan ikatan hawa nafsunya sendiri, sehingga konsentrasi fikirannya tidak terganggu lagi. Tidak diperlukannya pendeta dalam upacara piodalan hendaknya jangan ditafsirkan negatif, melainkan harus dicari latar belakangnya yang mungkin berasal dari masa tradisi megalitik yang ternyata masih bertahan dan berlanjut di Desa Kukuh. Dalam organisasi sosial masyarakat megalitik di Indonesia pada umumnya dan di daerah Bali khususnya, telah terbentuk kelompok-kelompok sosial fungsional berdasarkan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Di antara kelompok sosial tersebut, kelompok rohaniawan yang berkewajiban dan bertanggungjawab atas upacara-upacara keagamaan yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Agama Hindu, agar masyarakat terhindar dari berbagai bencana yang setiap saat dapat terjadi. Pemangku Pura Dalem Khayangan Kedaton dalam hal ini, dapat dikelompokan sebagai kelompok sosial fungsional berdasarkan fungsinya seharihari, yaitu sebagai kelompok rohaniawan. Hal ini berarti, bahwa masyarakat Desa Kukuh masih melanjutkan tradisi yang sudah tua, hal semacam ini sampai sekarang masih berlaku di desa-desa Bali kuno yang terletak di bagian pegunungan Bali.
42 Setelah pengembangan yang dilakukan Desa Adat Kukuh yang dipimpin langsung oleh bendesa adatnya, Objek Wisata Alas Kedaton mengalami banyak perubahan, dari sisi infrastruktur dan fasilitas semua disediakan demi membuat tata ruang objek wisata menjadi lebih baik dan menarik. Luas kawasan Alas Kedaton yang mencapai 12 Ha dipergunakan untuk parkir yaitu seluas 1,1 Ha, komplek perdagangan kurang lebih 3 Ha dan sisanya merupakan kawasan hutan. Adapun fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Objek Wisata Alas Kedaton adalah sebagai berikut : 1. Tempat parkir yang beraspal dan mampu menampung bus-bus wisata dengan ukuran besar 2. Kios cendramata berjumlah 202 buah 3. Toilet umum berjumlah 3 unit 4. Rumah makan 2 buah 5. Balai peristirahatan 8 buah 6. Wantilan dan pertamanan 1 unit Kawasan hutan yang rindang dan lebat yang terdapat pada Objek Wisata Alas Kedaton, merupakan tempat hidup beberapa satwa liar yang dari jaman dahulu telah ada di hutan ini. Kera dan Kalong merupakan satwa liar sekaligus primadona daya tarik wisata Alas Kedaton, selain keberadaan satwa liar sebagai habitat hidup alami mereka, pihak penegelola juga melengkapi dan menyediakan jalan-jalan setapak dari beton sehingga memeberikan rasa nyamanbagi pengunjung untuk menelusuri lebih dalam suasana hutan Alas Kedaton.
43 2.2 Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 2.2.1 Pengelola Objek Wisata Alas Kedaton Indik Desa Pakraman Kukuh Marga puniki kebagi antuk pitu dusun lan roras banjar adat, antuk jumlah krama Desa Pakraman Kukuh kirang langkung wenten limang tali diri sane paling akeh mekarye ring carik lan sane tiyosan wenten ring tukang, pegawai, lan buruh. Bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa Desa Pakraman Kukuh merupakan desa yang terbagi atas 7 (Tujuh) dusun dan 12 (Dua belas) banjar adat, penduduk dari Desa Pakraman Kukuh berjumlah sekitar 5000 (Lima ribu) orang yang sebagian besar warganya menggeluti pertanian dan sisanya menggeluti sektor lain seperti pertukangan, pegawai atau buruh. Keterangan tersebut didapat dari hasil wawancara dengan Bendesa Adat Kukuh I Gede Subawa pada tanggal 26 januari 2015. Desa yang berjarak tidak terlalu jauh dari pusat kota Tabanan ini memiliki potensi alam yang selalu dijaga kelestariannya, salah satunya yang dikenal luas adalah Objek Wisata Alas Kedaton, yang hingga kini masih tetap terjaga kelestariannya. Desa Kukuh merupakan desa di Tabanan yang dikenal dengan situasi kemasyarakatannya yang kondusif, bebas dari berbagai konflik adat yang belakangan marak terjadi di beberapa desa di lumbung beras ini. Hal tersebut tidak terlepas dari komitmen bersama dari seluruh warga untuk menegakan ajaran Hindu Tri Hita Karana dan kepiawaian mengelola konflik oleh tokoh-tokoh masyarakat. Mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton sesungguhnya merupakan wewenang dari desa adat yang bersangkutan, dalam hal ini Desa
44 Pakraman Kukuh Marga. Pengelola dapat dikatakan sama dengan pemilik, yang artinya desa adat memiliki hak dan wewenang untuk mengatur objek wisata tersebut agar mampu memberi manfaat dan dampak positif bagi masyarakat sekitar.Peranan desa pakraman dalam pengelolaan objek wisata merupakan hak tradisional dan kewajiban dari desa pakraman. Desa Pakraman Kukuh memiliki kewenangan yakni kekuasaan yang didasarkan atas hukum yang menjadi indikator bagi keabsahan perbuatan hukum dari Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Selain berpegang teguh menggunakan konsep Tri Hita Karana, dalam pembahasan ini akan dijelaskan pula apa yang menjadi dasar aturan atau undang-undang yang secara yuridis mengatur mengenai pengelolaan sebuah objek wisata di Bali. Dalam
melakukan
aktivitasnya,
Desa
Pakraman
Kukuh
selalu
berlandaskan pada filosofi Tri Hita Karana yakni tiga penyebab kebahagiaan yang terdiri dari parahyangan, pawongan, dan palemahan. Tri Hita Karana mengajarkan bahwa adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), antara manusia dengan wilayah tempat pemukiman dan alam sekitarnya, serta manusia dengan sesamanya, akan memungkinkan mereka untuk menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan yang dimaksud moksha dan jagatdhita.39 Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton merupakan implementasi dari filosofi Tri Hita Karana. Dilihat dari sudut pandang parahyangan, keikutsertaan desa
39
I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar, hal.17.
45 pakraman dalam pengelolaan objek wisata merupakan upaya dalam menjaga kesucian pura yaitu, Pura Dalem Khayangan Kedaton. Dalam konteks pawongan, pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton memeberikan gambaran mengenai interaksi antara krama desa dengan pemerintah daerah (Pemerintah Kabupaten Tabanan) dan wisatawan dalam suatu hubungan yang harmonis. Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton memerlukan kerjasama secara internal dari desa pakraman dan kerjasama secara eksternal antara desa pakraman dengan pihak lainnya. Sedangkan bila dilihat dari filosofi palemahan, menginginkan adanya sinergi antara hubungan manusia dengan lingkungan. I Made Suasthawa Dharmayuda berpendapat “pemberdayaan terhadap desa pakraman dalam pelestarian lingkungan hidup perlu terus diupayakan melalui pengeluaran perangkat hukum seperti Perda dan Undang-undang yang berfungsi sebagai pengakuan, penguatan dan sekaligus pembinaan terhadap desa pakraman”.40 Keterlibatan desa pakraman dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton memberikan peluang bagi krama desa untuk melestarikan tata ruang di lingkungan objek wisata tersebut. Landasan filosofi Tri Hira Karana ini menjadi asas dan tujuan dalam penyelenggaraan pariwisata budaya. Dilihat dari ketentuan Pasal 2 Peraturan Daerah Popinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya disebutkan “Penyelenggara Pariwisata Budaya dilaksanakan berdasarkan asas manfaat usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, percaya pada diri 40
I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra. Denpasar, hal.39.
46 sendiri dan perikehidupan keseimbangan, keserasian serta keselarasan yang berpedoman pada falsafah Tri Hita Karana”. Clifford Geertz says that “Thre force of a religion in supporting social values rests, then, on the ability of its sysmbols to formulate a world in which those values, as well as the force opposing their realization, are fundamental ingredients.”41 Kekuatan agama ini menjadi sandaran dalam pelaksanaan nilai-nilai sosial yang dilakukan oleh desa Pakraman. Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalm pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton didasarkan pada landasan yuridis yang kuat. Berdasarkan teori kewenangan yang dikemukakan oleh sosiolog Max Weber, maka kewenangan yang dimiliki Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Alas Kedaton berbentuk kewenangan tradisional yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berdasarkan ketentuan-ketentuan tradisional yakni awig-awig Desa Pakraman Kukuh dan kewenangan rasional atau legal yaitu kewenangan yang didasarkan pada sistem hukum yang berlaku di masyarakat yakni peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Kewenangan Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton lahir dari kewenangan atribusi yang bersumber dan diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan yang bersumber dari konstitusi ini menjadi landasan yuridis yang kuat bagi Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan UUD 1945 sebagai konstitusi atau hukum dasar suatu negara dan ada tiga kedudukan dari konstitusi suatu negara, yakni: 41
Clifford Geertz, 1973, The Interpretation of Cultures, Basic Books, London, hal.131.
47 1. Pertama, dilihat dari posisi “konstitusi” sebagai :hukum dasar” (basic law), mengandung norma-norma dasar yang mengarahkan bagaimana pemerintah mendapatkan kewenangan mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam kedudukan sebagai basic law, “konstitusi” dapat dijadikan instrument yang efektif mencegah timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Konsekuensi yuridisnya dari pengakuan “konstitusi” sebagai “hukum dasar” dapat mengarahkan dan menjiwai produk hukum yang berorientasi tidak saja pada kepastian hukum (legal certainty), tetapi juga produk hukum yang memenuhi keadilan bagai semua orang (justice for all). 2. Kedua, segi hirarki peraturan perundang-undangan, “konstitusi” sebagai “hukum tertinggi” kedudukannya “kuat”, artinya produk hukum lainnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, dan kalau bertentangan harus dibatalkan. 3. Ketiga, konstitusi sebagai dokumen hukum dan politik (politico-legal document) menempati kedudukan “istimewa”, selain substansi atau materi muatannya memuat norma hukum dasar, juga berisi piagam kelahiran suatu negara baru (a brith certificate), inspirasi merealisasi cita-cita negara (staatside) dan cita-cita hukum (rechtside), karena itu norma konstitusi juga mengandalkan norma-norma lainnya.42 Dalam tingkatan undang-undang, dasar yuridis pengelolaan objek wisata oleh desa pakraman diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dimana setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas menjadi pekerja/buruh; konsinyasi; dan/atau pengelolaan. Penjelasan Pasal 5 huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “masyarakat setempat” adalah masyarakat yang bertempat tinggal di dalam wilayah destinasi pariwisata dan di prioritaskan untuk mendapatkan manfaat dari penyelenggaraan kegiatan pariwisata di tempat tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, krama Desa Pakraman Kukuhsebagai
42
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945 Edisi Revisi, Setara Press, Malang, hal.38-40.
48 masyarakat setempat memiliki hak prioritas untuk mengelola Objek Wisata Alas Kedaton. Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam mengelola Objek Wisata Alas Kedaton juga didasarkan pada tugas dan wewenang desa pakraman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5c Peraturan Daerah Popinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang menyebutkan bahwa “Desa Pakraman mempunyai tugas dalam mengatur pengelolaan harta kekayaan desa” dan Pasal 5d yakni “bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan”. Dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menentukan bahwa, desa pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut: a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat; b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Ditambahkan lagi mengenai ketentuan yang mengatur bahwa desa pakraman mempunyai wewenang untuk mengelola objek wisata terdapat di dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya menyebutkan “Pengusahaan objek dan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh lembaga adat, badan usaha atau perorangan”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan “Lembaga Adat, badan usaha atau perorangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dalam melakukan kegiatan
49 usahanya berdasarkan izin yang berwenang”. Pasal ini menjadi dasar yuridis bagi keterlibatan Desa Pakraman Kukuh sebagai pihak dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton merupakan pemerdayaan terhadap desa pakraman itu sendiri. Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman disebutkan bahwa: (1) Pemberdayaan dan pelestarian desa pakraman diarahkan kepada halhal berikut: a. pembangunan krama sesuai dengan budaya Bali; b. terwujudnya pelestarian kebudayaan di desa pakraman; c. tercapainya kebudayaan daerah Bali di desa yang mampu menyaring secara selektif nilai-nilai budaya asing; d. terciptanya suasana yang dapat mendorong peningkatan peran dan fungsi desa pakraman dalam upaya: 1) meningkatkan harkat dan martabat serta jati diri; 2)berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan di segala bidang; (2) Dalam melakukan pemberdayaan dan pelestarian desa pakraman sebagaimana dimaksud ayat (1), harus mendorong terciptanya: a. sikap demokratis, adil dan obyektif di kalangan prajuru dan krama desa pakraman masing-masing. b. pelestarian adat dan budaya Bali dengan tidak menutup pengaruh nilai budaya lain yang positif.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka nampak bahwa desa pakraman mempunyai kewenangan dalam menentukan setiap keputusan pembangunan yang ada di wilayahnya, khususnya dalam pembangunan pariwisata. Dengan adanya ketentuan tersebut, ini menjadi bukti bahwa desa pakraman mempunyai kekuatan secara yuridis untuk ikut dan dapat mengelola objek wisata setempat demi dapat mengembangkan potensi wisata yang ada, agar dapat dipergunakan demi mensejahterakan masyarakat sekitar sebagai warga lokal
50 dan penduduk asli desa pakraman tersebut, dalam hal ini demi kesejahteraan penduduk Desa Pakraman Kukuh Marga Kabupaten Tabanan.
2.2.2 Management Pengelolaan Management pengelolaan yang terdapat pada Objek Wisata Alas Kedaton telah mengalami perubahandari kepemimpinan bendesa adat kukuh pada masa kepemimpinan I Gusti Ngurah Putra, berlanjut ke masa kepemimpinan I Gusti Made Purnayasa, dan kini 2014 dilanjutkan oleh I Gede Subawa. Menurut wawancara yang dilakukan kepada I Gusti Made Purnayasa selaku mantan Bendesa Adat Kukuh pada tanggal 20 januari 2015, pada masa kepemimpinannya, secara umum sesungguhnya pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilakukan dengan cara tradisional yaitu Desa Pakraman Kukuh yang secara langsung mengatur dan mengelola Objek Wisata Alas Kedaton tanpa ada perjanjian kepada pihak manapun dalam hal pengelolaan. Pada perkembangannya, baru pada saat kepemimpinan Bendesa Adat Kukuh I Gede Subawa dan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti selaku Pimpinan Daerah terjadi perubahan terhadap pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Perubahan tersebut ditandai dengan di buatnya perjanjian kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012, Nomor: 01/XII/DAK/2012 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Kepariwisataan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton.
51 Mengenai pengelolaan yang dilakukan di Objek Wisata Alas Kedaton, ditunjuk seorang manajer yang dimana tugas dan fungsi manajer sebagaipemantau perkembangan sekaligus sebagai pengambil keputusan yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan jumlah kunjungan bahkan pemasukan yang lebih baik bagi perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton. Wawancara yang dilakukan pada tanggal 28 desember tahun 2014, menurut manajer Objek Wisata Alas Kedaton yaitu I Gusti Bagus Suryawan, kunjungan wisatawan ke Alas Kedaton mulai mengalami peningkatan, terutama ketika musim libur panjang. Selama musim liburan, kunjungan bisa mencapai 1000 (seribu) orang per hari, sedangkan dalam kondisi normal jumlah wisatawan yang berkunjung sekitar 300 (tiga ratus) orang per hari. Mengenai jumlah kunjungan wisatawan baik asing maupun domestiksesuai data terakhir yang didapat pada tahun 2014, total jumlah kunjungan mencapai angka 114.269 orang. (Lihat lampiran 4) Keterangan lain yang diberikan oleh manajer Alas Kedaton, selain Objek Wisata Alas Kedaton merupakan aset Desa Adat Kukuh yang sistem pengelolaannya langsung dibawah desa adat, masyarakat Desa Kukuh juga di ajak ikut berpartisispasi atau terlibat langsung kedalam pengelolaan objek wisata ini, adapun pengelolaan yang dilakukan antara lain: a.
Pengelolaan Terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Pengelolaan terhadap SDA dilakukan langsung oleh masyarakat setempat, mulai dari merawat kera, lingkungan, dan pura. Proses pengelolaan SDA pada struktur organisasi telah dibagi sesuai dengan keahliannya masing-masing, bagi petugas yang merawat kera, cakupan tugasnya meliputi memberi makan
52 kera dan menjaga kera agar tidak mengganggu pengunjung, sedangkan pada area pura dikelola oleh seorang pemangku (orang suci). b.
Pengelolaan Terhadap Sumber Daya Manusia (SDM). Pihak manajemen Objek Wisata Alas Kedaton membagi sistem pengelolaan SDM menjadi dua bagian yaitu, pengelolaan terhadap karyawan yang bekerja di Objek Wisata Alas Kedaton dan para pedagang yang berjualan di wilayah Objek Wisata Alas Kedaton. Dalam pengelolaan terhadap karyawan yang bekerja di Objek Wisata Alas Kedaton, setiap tiga tahun sekali dilakukan pergantian karyawan diantara 12 banjar yang ada di Desa Kukuh, hal ini dilakukan agar masing-masing banjar mendapat pemerataan tugas dan juga ikut merasakan dampak positif dari keberadaan objek wisata. Sedangkan pengelolaan terhadap para pedagang yang terdiri dari 202 art shop diberlakukan sistem pembagian jadwal setiap tiga kali sehari untuk mengatur wisatawan, para pedagang ini harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen Objek Wisata Alas Kedaton.
2.2.3 Hasil Pengelolaan Mengenai hasil pengelolaan yang dilakukan oleh pihak manajemen Objek Wisata Alas Kedaton, dalam hal ini akan dijelaskan kemana saja hasil pengelolaan tersebut di serahkan, baik itu kepada pemerintah maupun ke desa adat. Sesuai dengan perjanjian kerjasama yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012, Nomor:
01/XII/DAK/2012
tentang
Penyelenggaraan
dan
Pengelolaan
53 Kepariwisataan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, hasil pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton di bagi dua, yaitu kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dan kepada Desa Pakraman Kukuh yang dalam hal ini sebagai pemilik dari Objek Wsata Alas Kedaton. Penerimaan pendapatan dari penyelenggaraan dan pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton bersumber dari penjualan tiket masuk dan penjualan karcis parkir (terdapat di dalam ketentuan Pasal 12 tentang pendapatan). Menurut perjanjian yang telah di buat pada tahun 2012 tersebut pembagian hasil ini melibatkan dua pihak, Ni Putu Eka Wiryastuti Bupati Tabanan dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten Tabanan selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. Selanjutnya I Gede Subawa Bendesa Pakraman Kukuh dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama masyarakat Desa Pakraman Kukuh selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. Sesuai dengan apa yang tercantum di dalam perjanjian tersebut, mengenai pembagian hasil terdapat di dalam Pasal 14, dimana kedua belah pihak telah sepakat untuk membagi hasil pengelolaan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Ketentuan mengenai perhitungan yang bersumber dari hasil penerimaan pendapatan tiket sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 sebesar 20% (dua puluh persen) kepada PIHAK PERTAMA dan 80% kepada PIHAK KEDUA. Sedangkan hasil penerimaan pendapatan dari karcis sebesar 65% (enam puluh lima persen) kepada PIHAK PERTAMA dan sebesar 35% (tiga puluh lima persen) kepada PIHAK KEDUA. Terlepas dari hasil pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton yang dilakukan oleh pihak manajemen dan Desa Pakraman Kukuh yang bersumber dari
54 penjualan tiket masuk dan penjualan karcis parkir, maka ada pula hasil berupa prestasi yang patut kita banggakan. Pihak pengelola Objek Wistaa Alas Kedaton yaitu Desa Pakraman Kukuh yang di dukung manajemen, merupakan pihak yang secara konsisten untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan hutan Alas Kedaton, ini terbukti dari beberapa prestasi berupa penghargaan yang telah di raih dari tahun ke tahun yang membuktikan bahwa Alas Kedaton merupakan objek wisata yang termasuk dalam kategori penyelamat lingkungan. Wawancara yang dilakukan kembali pada tanggal 2 Februari 2015 kepada Manajer Objek Wisata Alas Kedaton I Gusti Bagus Suryawan tentang prestasi ataupun penghargaan yang sempat diraih Objek Wisata Alas Kedaton mengaku bahwa, hanya beberapa penghargaan saja yang berhasil di simpan maupun di data. Adapun beberapa prestasi dan penghargaan yang diberikan kepada Objek Wisata Alas Kedaton dapat dijelaskan menggunakan tabel sebagai berikut: No
Tahun
Prestasi
Pihak yang Memberikan Penghargaan
1
1992
Juara I Lomba Penataan Objek Wisata Alam Se-Bali
Dewan Pimpinan Daerah Perhimpunan Objek Wisata Indonesia Tingkat I Bali
2
1997
Pemenang III (3) Lomba Pokdarwis
Kantor Wilayah Departemen Wisata dan Telekomunikasi Provinsi Bali
3
2005
Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
4
2006
5
2006
6 7
Juara Harapan I Lomba Pokdarwis Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
2007
Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
2008
Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
Gubernur Provinsi Bali
55
8
2011
9
2014
10
2014
Mendapat Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award Gold Medal Juara Harapan I Lomba Kelompok/ Perorangan/ Swasta dalam rangka Lomba Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Bali Mendapatkan penghargaan sebagai nominator penerima Penghargaan Kalpataru Kategori Penyelamat Lingkungan
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
Pemerintah Provinsi Bali
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
BAB III KEABSAHAN PERJANJIAN PENGELOLAAN OBJEK WISATA ALAS KEDATON
3.1 Pengertian, Syarat-syarat dan Bentuk Perjanjian Pengertian perjanjian pada dasarnya dapat kita ketahui dari pendapat para ahli hukum atau aturan yang berlaku. Mengenai peraturan perundang-undangan yang memberikan pengertian mengenai perjanjian terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan mengenai perjanjian tersebut di atur didalam buku III BW yang berjudul ”Perihal Perikatan”, Perikatan (verbintenis) memiliki pengertian yaitu suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku III mengatur mengenai hubungan hukum antara orang dengan orang (hak perorangan), yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal, dimulai dari Pasal 1233 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata. Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian yang dibuat secara tertulis disebut dengan istilah kontrak, Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul hukum kontrak dan perancangan kontrak menyebutkan bahwa, hukum kontrak merupakan bagian dari hukum perikatan, perikatan bersumber dari perjanian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang56
57 undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.43 Dapat dijelaskan sesungguhnya perjanjian merupakan bagian dari hukum kontrak dan hukum perikatan. Bahkan sebagian ahli hukum menempatkan hukum kontrak sebagai bagian dari perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis, namun para ahli hukum tidak ingin membedakan kedua hukum tersebut antara hukum kontrak dan hukum perjanjian sehingga kedua istilah tersebut digunakan dengan makna yang sama. Pembagian antara hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam BW karena dalam BW hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang. Menurut Salim H.S. definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 sesuai dengan yang dijelaskan di atas adalah: 1. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian 2. Tidak tampak asas konsensualisme, dan 3. Bersifat dualisme.44 Dikatakan pengertian tentang perjanjian tersebut tidak jelas karena hanya disebutkan mengenai perbuatan saja, sedangkan mengenai perbuatan cakupannya terlalu luas, jadi hendaknya disebutkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
43
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.1. 44 Salim, H.S., 2010, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.73.
58 Hal senada mengenai rumusan Pasal 1313 BW dikatakan tidak jelas juga di setujui oleh Setiawan, menurut Setiawan rumusan Pasal 1313 BW selain tidak jelas menurutnya juga tidak lengkap dan sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan ”perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, ialah: a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b. Menambahkan perkataan ”atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313BW; c. Sehingga perumusannya menjadi,”perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.45 Demikian halnya menurut Suryodiningrat, bahwa definisi Pasal 1313 BW ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut: a. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, stiap janji adalah persetujuan.; b. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);
45
hal.49.
Setiawan, 1987, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta,
59 c. Definisi Pasal 1313BW hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi; d. Pasal 1313 BW hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (perjanjian liberatoir/membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian).46 Terhadap definisi Pasal 1313 BW ini Purwahid Patrik menyatakan beberapa kelemahan, yaitu: a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata ”mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedangkan maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan ”saling mengikatkan diri”; b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukan makna ”perbuatan” itu luas dan menimbulkan akibat hukum;
46
R.M. Suryodiningrat, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, hal.72.
60 c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 BW mempunyai ruang lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).47 Menurut Niewenhuis, perjanjian obligatoir (yang menciptakan perikatan) merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka.48 Menurut Polak, suatu persetujuan tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban.49 Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M Tillema berpendapat bahwa kontrak merupakan spesies dari genus perbuatan hukum. Secara umum kontrak didefinisikan sebagai berikut: ”A contract is a juridical act, established-in compliance with possible formalities, required by the law – by the corresponding and mutually interdependent expressions of intent of two or more parties, directed at the creation of juridical effectfor the benefit of one of the parties and to the account of the other party, or of benefit and to the account of both parties” Menurut E Allan Farnsworth memberikan pengertian kontrak yaitu: The word contract is used in different senses in American Law. Sometimesit is used, as it is used in common speech, simply to refer to a writing containing terms on which the parties have agreed. But often the term contract is used in a more technical sense to mean a promise, or a set of promise, that the law will enforce or at least recognize in some way.50 Menurut Aseer C. Hartkamps memberikian definisi perjanjian: Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, di mana tercapainya sepakat tersebut 47
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, hal.45-46. 48 J.H. Niewenhuis, 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya, hal.1. 49 Mashudi & Mohammad Chidir Ali, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, hal. 56. 50 E. Allan Farnsworth, 1999, United States Contract Law, Jurish Publishing, United States Of America, hal.1.
61 tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.51 Menurut Subekti perjanjian didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.52 Subekti juga menambahkan bahwa dia memiliki pendapat mengenai istilah kontrak, menurutnya istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.53Sedangkan menurut sarjana lain, Pothier tidak memberikan pembedaan antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian di mana dua orang atau lebih menciptakan, menghapuskan, (opheffen), atau mengubah (wijzegen) perikatan.
Sedangkan
contract
adalah
perjanjian
yang
mengharapkan
terlaksananya perikatan.54 Peter Mahmud Marzuki memberikan argumentasi kritis mengenai penggunan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistemAnglo-American. Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht (Hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris contract. Di dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada 51
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.3. 52 Ricardo Simanjuntak, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta, hal.23. 53 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, hal.1. 54 Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, hal.84.
62 Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah harta kekayaan (Vermogen). Perjanjian pengertian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American, perjanjian yang bahasa Belandanya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak berkaitan dengan bisnis hanya disebut agreement.55 Pengertian kontrak atau perjanjian yang dikemukakkan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 BW. Dari definisi tersebut maka dapat didefinisikan secara lengkap pengertian tentang kontrak atau perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih dan di dalamnya akan menimbulkan akibat hukum kepentingan bagi pihak yang satu dan beban kewajiban bagi pihak lainnya. Syarat-syarat suatu perjanjian diatur di dalam KUHPerdata yaitu dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mencakup empat syarat fundamental yang harus dipenuhi agar perjanjian/kontrak dapat dinyatakan sah, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian ; 3. Suatu hal tertentu;
55
Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No. 3, hal.195-196.
63 4. Suatu sebab yang halal; Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam unsur subyektif dan unsur obyektif. Untuk unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjiakan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan haruslah tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Apabila didalam membuat perjanjian tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut maka dapat menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan maupun batal demi hukum. 1). Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu: a. Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan; c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataanya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
64 e. Diam atau bisu, tetapi asal dapat diterima oleh pihak lawan.56 Dalam perjanjian biasanya para pihak memilih menggunakan bahasa yang sempurna secara tertulis dan lisan, dengan tujuan adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak dan sebagai alat pembuktian yang sempurna apabila dikemudian hari timbul sengketa. Jika syarat kesepakatan kehendak ini tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian akan mengakibatkan perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sepakat ditandai dengan adanya penawaran dan penerimaan dari para pihak, kesepakatan ditandai dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan dengan simbol-simbol tertentu. Kesepakatan merupakan inti dari perjanjian yang tidak mengandung unsur cacat kehendak, yaitu kekhilafan (dwaling),
paksaan (dwang),
penipuan (bedrog),
dan
penyalahgunaan keadaan (unde influence). 2). Kecakapan Untuk Membuat Perjanjian Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan dikatakan perbuatan hukum adalah apabila perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum. Para pihak yang mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang memenuhi syarat dan cakap melakukan perbuatan hukum sebagaimana telah ditentukan dalam undang-undang. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
56
Salim H.S., op.cit., hal.33.
65 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Dalam Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Dalam ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dalam Pasal 7 ditentukan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas tahun) dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun). Sedangkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dalam Pasal 39 ayat (1) menentukan bahwa penghadap harus memenuhi unsur syarat paling sedikit berumur 18 (delapan belas tahun) atau telah menikah, dan cakap melakukan perbuatan hukum. Orang yang termasuk tidak cakap menurut UUJN yaitu: a) Anak di bawah umur b) Anak di bawah pengampuan (curatele) c) Wanita kawin dengan perkecualian wanita yang menjalankan usaha sendiri, tetapi hanya untuk usahanya d) Semua orang yang dilarang undang-undang melakukan perjanjian tertentu. Dalam ketentuan perundang-undangan tersebut di atas memnerikan batasan dewasa seseorang adalah berbeda-beda, namun dapat dirangkum bahwa seseorang dapat dikatakan dewasa secara hukum adalah minimal berumur 18 (delapan belas tahun) atau telah menikah dan menurut undang-undang dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
66 3). Suatu Hal Tertentu Suatu hal tertentu dapat diartikan adalah suatu maksud yang dituju oleh para pihak. Hal tertentu menyangkut objek dari perjanjian tersebut, baik berupa barang ataupun jasa yang dapat dinilai dengan uang. Sesuai dengan ketentual Pasal 1332 KUHPerdata yaitu: ”Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi pokok perjanjian” Objek dari perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas: a) Memberikan sesuatu b) Berbuat sesuatu c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). 4). Suatu Sebab Yang Halal Suatu sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan. Suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat karena sebab palsu, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata adalah termasuk kedalam sebab yang halal.Pengertian sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata, dalam Pasal 1335 KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Ketentuan KUHPerdata tidak memberkan pengertian atau definisi dari sebab yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu, dan bukan sebab
67 yang terlarang. Suatu sebab (tujuan) yang halal dalam perjanjian adalah menyangkut isi atau substansi dari suatu perjanjian tersebut yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan lebih lanjut bahwa: ”Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian adalah sah”. Dari rumusan Pasal 1336 KUHPerdata tersebut tidak mempersoalkan apa yang menjadi dasar dibuatnya suatu perjanjian, dalam undang-undang hanya memperhatikan mengenai prestasi yang disebutkan dalam perjanjian tersebut. Prestasi yang diperjanjikan antara kedua belah pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau hukum, sehingga pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata menentukan suatu sebab yang terlarang yaitu suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut tidak memberikan batasan mengenai makna dari sebab yang terlarang dan yang tidak terlarang. Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak. Tanpa adanya prestasi yang ditentukan dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak. Syarat sahnya suatu perjanjian, syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut para pihak yang mengadakan perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut
68 mengenai objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan terhadap perjanjian yang disepakati kepada pengadilan. Apabila syarat ketiga dan syarat keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, perjanjian yang telah dibuat dan disepakati tersebut dianggap tidak ada. Selain dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian di luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari: 1) Syarat itikad baik; 2) Syarat sesuai dengan kebiasaan; 3) Syarat sesuai dengan kepatutan; 4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum. Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut: 1) Batal demi hukum (nietig,null and voil), misalnya dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat objektif tersebut adalah: a) Perihal tertentu, dan b) Kausa yang legal. 2) Dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable), misalnya dalam hal tidak terpenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat subjektif tersebut adalah: a) Kesepakatan kehenadak, dan b) Kecakapan berbuat. 3) Kontrak tidak dapat dilaksanakan (unenforceable), kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum tertentu. Bedanya dengan kontrak yang batal (demi hukum) adalah bahwa kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dokonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yan dapat dibatalkan (voidable) adalah bahwa dalam kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak tersebut sudah sah, mengikat dan dapat dilaksankan sampai dengan dibatalkan kontrak tersebut, sementara kontrak yang tidak dapat
69 dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah. 4) Sanksi Administratif, ada juga kontrak yang apabila tidak terpenuhi hanya mengakibatkan dikenakan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam kontrak tersebut.57 Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan diperlukan asas hukum, karena asas hukum ini memberikan pengarahan terhadap prilaku manusia di dalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan Van Apeldoorn bahwa asas hukum adalah asas yang melandasi peraturan hukum positif yang khusus atau yang melandasi pranata-pranata hukum tertentu, atau melandasi suatu bidang hukum tertentu.58 Sebagian besar dari peraturan hukum mengenai perjanjian bersumber dan mempunyai dasar pada asas-asas hukum, menurut Herlien Budiono, bahwa asasasas hukum sebagai norma-norma penguji yang fundamental adalah pokok-pokok pikiran yang melandasi sistem hukum yang nyata berfungsi sebagai hukum positif.59Asas-asas hukum menghubungkan antara nilai-nilai, pokok pikiran, moral dan susila pada satu pihak dengan hukum positif pada pihak lain. Asas hukum secara umum menunjuk pada dasar pemikiran, ideology, dari ketentuan hukum. Asas-asas hukum mempunyai fungsi menjaga dan mewujudnyatakan standar nilai atau tolak ukur yang melandasi norma-norma baik yang tercakup dalam hukum positif maupun praktek hukum. Fungsi asas perjanjian adalah: 1. Memberikan keterjalinan dari peraturan-peraturan hukum; 57
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.34-35 58 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal.82. 59 Herlien Budiono, op.cit., hal.28.
70 2. Memecahkan masalah baru dan membuka bidang hukum baru; 3. Menyustifikasi prinsip-prinsip etikal yang merupakan substansi aturan hukum; dan 4. Mengkaji ulang ajaran hukum yang ada sehingga dapat memunculkan solusi baru.60
Asas-asas hukum merupakan dasar/pokok karena bersifat fundamental, dan yang dikenal di dalam hukum kontrak klasik ada 4 (empat) asas-asas yaitu : Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Kekuatan Mengikat (Asas Pacta Sunt Servanda) dan Asas Itikad Baik. 1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani kuno, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaissance
(dan semakin
ditumbuhkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah periode Revolusi Perancis. Sebagai asas yang bersifat universal yang bersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas. Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi
60
Herlien Budiono, op.cit., hal.29.
71 semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis ”liberte, egalite et fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Menurut paham individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu didalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak. Menurut asas kebebasan berkontrak seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian. Bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian diantaranya : a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak. b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian. c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian. d. Bebas menentukan bentuk perjanjian dan, e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.61 Kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338 (1) KUH Perdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya, namun berada dalam satu sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa ini, asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat
61
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.4.
72 sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya
para
pihak
tidak
selalu
memiliki
posisi
tawar
yang
seimbang.62Menurut Suhardi, kebebasan dan kesamaan yang terdapat dalam tertib hukum abad XIX yang jiwanya individualis tidak memberi garansi untuk realisasi hakikat zat maupun eksistensi manusia sebagai bagian dari rakyat terbanyak.63 2. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pasal ini menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian ini adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksankan secara nyata (kontan dalam hukum Adat). Sedangkan yang disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan). Hukum Romawi mengenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat, yang artinya bahwa terjadi perjanjian apabila memenuhi
62
A.G. Guest. Konrad Zweight dan Hein Kotz, 2003, Itikad baik Kebebasan Berkontrak, FH UI : Pascasarjana, hal. 1-2. 63 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 43-44
73 bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. 3. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda) Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja, di dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan, namun dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Asas pacta sunt servanda atau yang disebut juga dengan asas kepastian hukum adalah asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : ”perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” 4. Asas Itikad Baik Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara itu, Arrest H.R di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan dibawah asas itikad
74 baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.64 Untuk melengkapi pembahasan mengenai syarat-syarat perjanjian disini juga dijelaskan mengenai unsusr-unsur dan sumber perjanjian. Adapun unsurunsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat dikemukakan sebagai berikut.65 1. Adanya kaidah hukum Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis.Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurispudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti : jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat. 64
J.M van Dunne dan Van der Burght, 1988, Perbuatan Melawan Hukum,Dewan Kerja sama Ilmu hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek hukum Perdata, Ujung Pandang hal.15. 65 Salim H.S, 2003, Hukum Perjanjian dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta, hal.4.
75 2. Subjek hukum Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur dan debitur.Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang. 3. Adanya prestasi Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu. 4. Kata sepakat Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti tersebut diatas, salah satunya adalah kata sepakat. 5. Akibat hukum Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.Perjanjian dapat dilakukan baik secara tertulis maupun dengan secara lisan.Bahkan tidak jarang terdapat perjanjian yang dilakukan secara diam-diam. Menurut R.Subekti memberikan definisi tentang perjanjian, yakni “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melaksanakan hal tertentu. “Para ahli dibidang perjanjian tidak ada kesatuan pandangan tentang pembagian perjanjian. Berikut pembagian perjanjian berdasarkan sumber hukumnya dan namanya.
76 1. Perjanjian menurut sumber hukumnya66 Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian dari sumber hukumnya. Ia membagi jenis perjanjian menjadi lima macam yakni : a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan; b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik; c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban; d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsovereenkomst; e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publieckrechtelijke overseenkomst. 2. Perjanjian menurut namanya Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata hanya disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya yakni nominaat (bernama) dan innominaat (tidak bernama). Perjanjian nominaat adalah kontrak perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata, misalnya : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian dan lain-lain. Sedangkan perjanjian innominaat adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH
66
Sudikno, Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 11.
77 Perdata, jadi yang termasuk dalam perjanjian ini adalah leasing,franchise, joint venture, production sharing, kontrak rahim, kontrak karya, keagenan dan lainlain.67 Mengenai bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, antara lain yaitu perjanjian yang tertulis dan perjanjian yang tidak tertulis (lisan). Menurut Salim H.S. ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu: 1)
Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian ini hanya mengikat pihak yang membuat perjanjian saja.
2)
Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak.
3)
Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu, seperti notaris, camat, PPAT, dan lain-lain.68
Sementara itu menurut I Ketut Artadi, mengenai bentuk-bentuk perjanjian dapat di bagi menjadi empat yaitu: (1) Bentuk perjanjian biasa. (2) Bentuk perjanjian baku. (3) Bentuk perjanjian tersamar (kuasi perjanjian).
67 68
Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.28. SalimH.S, 2010, op.cit., hal.43.
78 (4) Bentuk perjanjian simulasi.69 Perjanjian biasa, adalah perjanjian yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undangbagi mereka yang membuatnya”. Para pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kedudukan yang sama dan atas kehendak bebas membuat perjanjian, dan apa yang dikehendaki secara sama dan secara terang diketahui oleh kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual-beli, perjanjian sewa menyewa dll. Perjanjian baku, adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Perjanjian baku lebih tepat disebut kontrak baku, sebab dibuat secara tertulis, disiapkan seragam untuk banyak orang, lazimnya untuk satu objek perjanjian dan satu prestasi.70 Pihak yang menyiapkan kontrak baku, berada di pihak yang kuat, menyiapkan format dan isi kontrak terlebih dahulu, dan pihak lain tinggal menyetujui atas prestasi yang ditawarkan tersebut. Karena yang merancang format dan isi kontrak adalah pihak yang lebih kuat kedudukannya, dapat dipastikan pihak tersebut akan mencantumkan klausul eksonerasi dalam perjanjian tersebut, yaitu klausul-klausul yang menguntungkan baginya, meringankan bahkan menghapus beban-beban kewajibannya yang seharusnya menjadi bebannya.71
69
I Ketut Artadi & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-KetentuanHukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal.36. 70 I Ketut Artadi, op.cit.,hal.37. 71 I Ketut Artadi, loc.cit.
79 Klausul eksonerasi adalah sebagai klausul tambahan atas unsur esenselia, di mana pihak yang kuat dapat menghindar untuk memenuhi kewajiban atau menghindar dari kemungkinan kerugian yang harus dipikulnya, menghindar membayar ganti rugi yang terjadi akibat ingkar janji perbuatan melanggar hukum. Penerapan klausul-klausul eksonerasi tertentu yang dilakukan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah mengakibatkan pihak yang lemah sangat dirugikan; biasa dikenal dengan istilah Penyalahgunaan Keadaan (Undue Influence). Klausul eksonerasi tidaklah sepenuhnya dilarang, karena klausul eksonerasi juga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata), yang dilarang klausul eksonerasi yang tergolong perbuatan penyalahgunan keadaan. Hal ini dapat diketahui dari peristiwa dibuatnya perjanjian. Klausul eksonerasi tidak saja dapat dijumpai dalam perjanjian baku atau perjanjian yang memuat klausul baku, dimana salah satu pihak yang kedudukan ekonomi atau psychologinya lebih kuat dibanding dengan pihak lain, dan mempergunakan kekuatannya untuk menekan dan merugikan pihak lain. Dalam praktik kedudukan tidak seimbanng ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi, di mana pihak yang ekonominya lebih kuat mempergunakan kekuatanya itu untuk menekan pihak yang ekonominya lemah. Sehingga perjanjian yang dibuat menjadi lebih menguntungkan yang ekonominya lebih kuat, hal ini banyak terjadi pada perjanjian-perjanjian baku. Sedangkan ketidakseimbangan psychologis antara para pihak dimungkinkan untuk menekan pihak lain, ini baiasanya terjadi dalam perjanjian biasa, misalnya antara dokter
80 engan pasiennya, antara pengacara dengan kliennya dan antara atasan dengan bawahannya. Pembuatan perjanjian dengan mencantumkan klausul baku yang dilarang oleh Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berbunyi: (1)
(2)
(3)
(4)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian apabila: a.Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b.Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c.Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayar atas barang dan / atau jasa yang dibeli oleh konsumen; a.Menyatakan pembebanan kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupuntidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara anggsuran. b. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. c. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; d. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; e. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara anggsuran. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya yang sulit dimengerti. Setiap klausul yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan-ketentuan dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
81 Klausul eksonerasi yang dilarang dalam perjanjian sekali lagi hanyalah klausul eksonerasi yang tergolong kepada perbuatan penyalahgunan keadaan (undue influence). Artinya sepanjang para pihak yang membuat perjanjian itu mempunyai kedudukan ekonomi dan psychologi yang seimbang, tidak terdapat indikasi bahwa pihak yang satu dapat menekan pihak yang lain, maka sejauh perjanjian itu memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian tersebut tetap sah. Klausul baku sebagimana didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 berbunyi: ”Klausul baku adalah aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen”.
Dalam praktik, klausul baku seperti di atas banyak dituangkan dalam perjanjian kredit bank. Dengan disahkannya undang-undang ini, berarti bahwa bank tidak lagi dapat secara sepihak menuangkan klausul baku yang dilarang oleh undang-undang, dalam perjanjian kredit yang formal dan isinya sudah ditetapkan dan dipersiapkan sebelumnya. Namun, masih dimungkinkan mencantumkan klausul tersebut dalam perjanjian kredit bank yang dibuat di notaris. Alasan bahwa klausul itu masih dapat dituangkan dalam perjanjian kredit bank yang dibuat oleh notaris. Oleh karena perjanjian kredit itu tidak dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak bank, akan tetapi dibuat
82 memenuhi ketentuan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian tersamar (perjanjian kuasi), atau kuasi kontrak (omplied contract, quasi contract) adalah suatu perjanjian di mana karena sifat peristiwanya para pihak dianggap patut mengetahui oleh hukum bahwa mereka sudah terikat kepada suatu perjanjian. Bentuk perjanjian tersamar ini secara tidak langsung di atur di dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi: ”Suatu perjanjian tidak saja mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, akan tetapi untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan atau undang-undang”. Perjanjian tersamar ini banyak terjadi pada pelayanan umum, misalnya rumah sakit, taman hiburan, rumah makan dll. Bila diberi contoh, misalnya ada pasien kecelakaan berat, diantar masuk ke ruang gawat darurat, dan dokter langsung memberikan pertolongan untuk menyelamatkan nyawa pasien, (karena sifat peristiwa, sesuai kebiasaan dan kepatutan) para pihak itu (dokter dan keluarga pasien) dianggap mengetahui oleh hukum bahwa mereka sudah terikat kepada suatu perjanjian (yaitu dokter harus sungguh-sungguh memberikan pertolongan tanpa menunggu kesepakatan pasien, dan pasien yang ditolong juga wajib membayar jasa dokter walaupun tidak terdapat kesepakatan yang jelas). Seseorang masuk ke rumah makan, dihidangkan makanan, dan membayar sesuai tarif, tanpa ada kesepakatan sebelumnya atau tanpa tawar menawar sesudahnya (para pihak sesuai kebiasaan dan kepatutan) dan oleh hukum dianggap mengetahui bahwa mereka terikat hak dan kewajiban.
83 Sedangkan mengenai bentuk perjanjian yang terakhir adalah perjanjian simulasi. Perjanjian simulasi dikenal ada dua, yaitu perjanjian simulasi absulut dan perjanjian simulasi relative.72Perjanjian simulasi absulut memiliki pengertian apabila para pihak membuat perjanjian yang terhadap pihak luar menimbulkan kesan yang berbeda dengan perjanjian yang oleh para pihak yang secara diamdiam mengingkarinya. Contoh si A membeli tanah dari si B, namun si A kemudian membuat perjanjian yang isinya pengakuan bahwa tanah itu sebetulnya milik si C (orang asing). Jadi si B dalam perjanjian sebelumnya memberi kesan kepada pihak ketiga seakan-akan tanah itu miliknya, kemudian secara diam-diam ia mengingkarinya dengan membuat perjanjian yang berisi pernyataan dengan si C (orang asing) bahwa sebetulnya tanah itu milik si C. Sedangkan perjanjian simulasi relative, yaitu apabila para pihak mengkehendaki akibat hukumnya, tetapi memakai bentuk hukum lain. Contoh, para pihak bermaksud untuk menghibahkan, tetapi memakai bentuk perjanjian jual beli. Perjanjian simulasi terutama perjanjian simulasi absolute tergolong kepada perjanjian yang causanya tidak halal, yaitu perjanjian dibuat karena sebab yang palsu (Pasal 1335 KUHPerdata), dimana para pihak membuat perjanjian dengan maksud menyembunyikan tujuan sebenarnya, sehingga perjanjian yang demikian batal demi hukum. Perjanjian simulasi sepanjang tidak dibatalkan oleh pengadilan mempunyai kekuatan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1873 KUHPerdata yang berbunyi: ”Perstujuan-persetujuan lebih lanjut yang dibuat dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli, hanya memberikan bukti antara para pihak yang turut serta ahli warisnya atau orang 72
I Ketut Artadi, op.cit., hal.42.
84 yang mendapat hak dari padanya, tetapi tidak berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga”.
3.2 Bentuk Perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton Perjanjian kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012/Nomor: 01/XII/DAK/2012 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Kepariwisataan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, dibuat pada hari senin tanggal 3 Desember Tahun 2012 bertempat di Kantor Bupati Tabanan dan ditandatangani oleh Ni Putu Eka Wiryastuti Bupati Tabanan, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten Tabanan selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA dan I Gede Subawa Bendesa Pakraman Kukuh, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama masyarakat Desa Pakraman Kukuh, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. Mengenai perjanjian yang di buat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, sesungguhnya mengacu pada ketentuan peraturan pemerintah, dalam hal ini mengacu kepada Pasal 1320 KUHPerdata dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Dalam ketentuan umum perlu dijelaskan yang dimaksud dengan kerja sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/ wali kota dengan pihak ke tiga, yang di buat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Sedangkan menegenai pihak ke tiga adalah Departemen/Lembaga Pemerintah Non
85 Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi Yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum.Desa pakraman sesuai dengan penjelasan tersebut masuk ke dalam kategori pihak ke tiga. Tentang kerja sama daerah, pemerintah harus mengacu pada prinsip kerja sama yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2, yaitu terdiri dari: a. b. c. d. e. f. g.
efisiensi; efektivitas; sinergi; saling menguntungkan kesepakatan bersama itikad baik mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; h. persamaan kedudukan; i. transparansi; j. keadilan; dan k. kepastian hukum. Mengenai subjek kerjasama, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, maka yang menjadi subjek perjanjian adalah, gubernur, bupati, wali kota dan pihak ketiga, mengenai subjek kerjasama pihak ketiga ini, desa pakraman masuk ke dalam bagian tersebut. Sedangkan untuk bentuk dari kerja sama tersebut dalam Pasal 5 dijelaskan, mengenai bentuk kerja sama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama. Mengenai bentuk perjanjian dari Objek Wisata Alas Kedaton, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan mengenai mekanisme perjanjian yang disebutkan di atas, pihak Pemerintah Kabupaten Tabanan pada dasarnya telah memenuhi seluruh ketentuan yang telah di sebutkan oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007, ini terbukti dari bentuk perjanjian kerja sama yang telah di
86 buat sudah memenuhi ketentuan seperti yang di haruskan oleh undang-undang. Dari perjanjian kerja sama tersebut sudah memenuhi ketentuan sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 yang menyebutkan, mengenai perjanjian kerja sama paling sedikit memuat subjek kerja sama, objek kerja sama, ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran kerja sama, keadaan memaksa, dan penyelesaian perselisihan. Pembahasan tentang bentuk perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton, di sini akan di gunakan bentuk-bentuk perjanjian yang di kemukakan oleh I Ketut Artadi. Sesuai dengan judul buku yang berjudul Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak yang menyebutkan bahwa bentuk-bentuk perjanjian dapat dibagi menjadi empat yaitu, bentuk perjanjian biasa, bentuk perjanjian baku, bentuk perjanjian tersamar (kuasi perjanjian) dan bentuk perjanjian simulasi. Dapat dijelaskan bahwa bentuk perjanjian yang di buat oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012/ Nomor: 01/XII/DAK/2012 tentang Penyelenggaraan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, sesuai dengan bentuk-bentuk perjanjian menurut I Ketut Artadi tersebut termasuk kedalam bentuk perjanjian baku. Dikatakan perjanjian baku karena didalam perjanjian tersebut telah dibuat dengan bentuk berupa perjanjian kerja sama, yang mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Meskipun perjanjian tersebut merupakan perjanjian baku yang segala aturan mengenai tata cara pembuatannya telah mengacu pada peraturan perundang-undangan tetap
87 harus di junjung mengenai asas keadilan, persamaan kedudukan dan saling menguntungkan. Sesuai dengan pengertian perjanjian baku yang disampaikan oleh I Ketut Artadi, dimana perjanjian baku adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Melihat isi dari perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuhdan sesuai dengan pengertian perjanjian baku, maka ada kemungkinan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan merancang format dan isi perjanjian kerja sama tersebut untuk menambahkan klausul eksonerasi. Klausul eksonerasi memiliki pengertian menambahkan klausul-klausul yang menguntungkan, meringankan bahkan menghapus beban-beban kewajiban yang seharusnya menjadi beban pihak yang membuat perjanjian (Pemda Tabanan). Dari pengertian mengenai klausul eksonerasi tersebut dan melihat kewajiban antara dua belah pihak yaitu PIHAK PERTAMA (Pemerintah Kabupaten Tabanan) dan PIHAK KEDUA (Desa
Pakraman
Kukuh),
ditemukan
adanya
ketidakseimbangan
dalam
pemenuhan kewajiban antara kedua belah pihak. Bila dianalisa sesuai dengan pengertian klausul eksonerasi tersebut, ditemukan klausul yang mengarah pada keuntungan satu pihak saja, ini dapat dilihat pada Pasal 8 mengenai kewajiban PIHAK PERTAMA yang hanya terdiri dari dua point saja. Di dalam penjelasan Pasal 8 mengenai PIHAK PERTAMA tersebut kewajiban PIHAK PERTAMA hanya sebatas mengkoordinasikan pembinaan penyelenggaraan dan pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton dan melakukan pengawasan dan pengendalian dalam rangka pengembangan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton untuk mencegah berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
88 Beda halnya jika dilihat mengenai kewajiban PIHAK KEDUA yang terdapat dalam Pasal 9 perjanjian kerja sama tersebut. PIHAK KEDUA yaitu Desa Pakraman Kukuh dalam penjelasan pasal tersebut terdapat lima point penting yang harus wajib dilakukan antara lain yaitu melakukan tugas oprasional penyelenggaraan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab tentang Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, memberikan pelayanan kepada setiap pengunjung secara profesional dan menjaga sikap/prilaku sesuai aturan dan norma yang berlaku, melaporkan oprasional pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton kepada PIHAK PERTAMA setiap bulan, dan yang terakhir menyetor hasil pemungutan retribusi sesuai hasil perhitungan pembagian yang disepakati setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada PIHAK PERTAMA melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait. Di dalam kewajiban masing-masing pihak antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA terlihat ketidakseimbangan kewajiban, dimana PIHAK PERTAMA hanya berkewajiban melakukan pembinaan semata dan
hanya
bersifat
formalitas,
sedangkan
kewajiban PIHAK
KEDUA
berkewajiban untuk menyetorkan hasil pemungutan retribusi yang telah disepakati sesuai perjanjian kerja sama tanpa adanya timbal balik berupa bantuan apapun untuk membantu pemeliharaan Objek Wisata Alas Kedaton. Berdasarkan uraian diatas bahwa dilihat dari bentuknya, perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi persyaratan perjanjian.
89 Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian. Mengenai syarat-syarat perjanjian yang telah dijelaskan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan didukung Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Pasal 1320 KUHPerdata mencakup empat syarat fundamental yang harus dipenuhi agar perjanjian dapat dinyatakan sah. Maka sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh bahwa, antara para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri, ini telah sesuai dengan syarat perjanjian pada bagian pertama. Mengenai kecakapan untuk membuat perjanjian, para pihak telah memenuhi syarat yang terdapat pada bagian kedua. Ini terbukti dari kedua belah pihak yang saling bersepakat membuat perjanjian masing-masing antara Pemerintah Kabupaten Tabanan (Ni Putu Eka Wiryastuti/Bupati Tabanan) dengan Desa Pakraman Kukuh (I Gede Subawa/Bendesa Adat Kukuh) telah memenuhi syarat sebagai badan hukum/subyek hukum. Untuk syarat ke tiga, yaitu mengenai suatu hal tertentu dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan isi perjanjian telah jelas yang menjadi objek/prestasi adalah mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdat). Sedangkan yang terakhir tentang suatu sebab yang halal, dapat dijelaskan adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan. Jadi jika dilihat dari hal tersebut di atas maka sesungguhnya perjanjian yang dibuat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh belum memenuhi kepatutan, ini dapat dilihat dari
90 isi perjanjian mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang sesuai analisa tidak seimbang.
3.3 Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton Untuk mengetahui keabsahan sebuah perjanjian yang melibatkan desa pakraman, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah desa pakraman termasuk sebagai subyek hukum. Dilihat dari pengertiannya istilah subyek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau subject of law (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Abdul R. Saliman mengemukakan bahwa subyek hukum adalah suatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban yang memiliki kewenangan untuk bertindak.73Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa subyek hukum adalah ”pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban itu disebut orang. Orang dalam arti hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subyek hukum dalam arti biologis, sebagai gejala alam, sebagai mahluk budaya yang mempunyai akal, perasaan dan berkehendak. Badan hukum adalah subyek hukum dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia pribadi”.74 Ciri utama setiap subyek hukum adalah mempunyai hak dan kewajiban dan adanya kecakapan hukum dan kewenangan hukum. Adapun jenis dari subyek
73
Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, hal.11. 74 Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.27.
91 hukum ada dua yaitu manusia atau orang (natuurlijke person) dan badan hukum (rechtperson). Khusus mengenai badan hukum maka dapat disebutkan beberapa ciri-ciri badan hukum yaitu: (1) Suatu perkumpulan atau persekutuan manusia; (2) Mempunyai tujuan tertentu; (3) Mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut; (4) Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajibankewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut; (5) Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat
pada
orang-orang
tertentu,
karena
hak-hak
dan
kewajiban-
kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti. (6) Mempunyai hak menggugat dan digugat. Selanjutnya bila dilihat dari ketentuan perumusan Perda No.06 Tahun 1986 tentang Desa Adat yang kini telah diganti menjadi Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, maka dapat dirumuskan beberapa unsur yang merupakan ciri-ciri pokok dari desa pakraman, yakni: 1. Merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali; 2. Mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup sebagai suatu masyarakat; 3. Masyarakat merupakan pemeluk Agama Hindu dan bersifat turun-temurun; 4. Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) sebagai salah satu pengikat/penanda; 5. Mempunyai wilayah tertentu; 6. Mempunyai harta kekayaan sendiri; dan
92 7. Berhak mengurus harta kekayaan sendiri. Mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Perda No. 3 Tahun 2001 yaitu pada Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) menyebutkan bahwa, pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada maupun yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material dan immaterial, serta benda-benda yang bersifat religius magisyang menjadi milik desa pakraman. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) dijelaskan bahwa harta kekayaan desa pakraman berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak, ada yang berwujud (material) dan immaterial, serta ada yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi serta benda-benda yang bersifat magis religius pengelolaannya dilakukan oleh Prajuru Desa sesuai dengan awig-awig desa pakraman masing-masing. Dari ketentuan tersebut di atas, tidak ada yang menyebutkan secara tegas bahwa desa pakraman sebagai subyek hukum. Namun dari ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Perda No.3 Tahun 2001 dapat ditafsirkan bahwadesa pakraman adalah sebagai badan hukum, sesuai dengan unsur-unsur yang merupakan ciri-ciri pokok desa pakraman sebagai karakteristik kesubyekkan desa pakraman dalam menunjukan identitasnya bahwa desa pakraman dalam melaksanakan hak pengurusan harta kekayaan desa pakraman, baik benda bergerak dan benda tidak bergerak.75 Mengenai wewenang dari desa pakraman secara tegas dinyatakan dalam Pasal 6 Perda No.3 Tahun 2001 yang menyebutkan:
75
I Wayan Arka, 2014, “Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan Obyek Wisata Di Bali” Disertasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal.210.
93 a. Desa pakraman memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat; b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada diwilayahnya yang berkaitan dengan Tri Hita Karana; c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Sesuai dengan dasar hukum yang telah dijelaskan di atas mengenai desa pakraman sebagai subyek hukum di dalam perjanjian dan di kaitkan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, maka ada empat syarat sahnya suatu perjanjian, yakni adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, harus ada suatu hal tertentu, dan harus ada suatu sebab (causa) yang halal. Dikaitkan dengan ketentuan tersebut maka secara yuridis desa pakraman telah memenuhi syarat untuk dapat bertindak sebagai subyek hukum dalam melakukan perjanjian kerjasama, dalam hal ini kerjasama perjanjian peengelolaan objek wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Selanjutnya, untuk menentukan atau menilai keabsahan sebuah kontrak atau perjanjian, harus dikaji bagaimana hukum kontrak mengatur syarat-syarat keabsahan kontrak. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya empat syarat sahnya suatu perjanjian, yakni adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, harus ada suatu hal tertentu, dan harus ada suatu sebab (causa) yang halal. Persyaratan tersebut berkenaan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan
94 pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian, persyaratan yang ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg, null and void, void ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar, voidable) suatu perjanjian. Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Perjanjian yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku. Pakar hukum Indonesia pada umumnya berpendapat bahwa apabila persyaratan subjektif perjanjian (kata sepakat dan kecakapan untuk melakukan perikatan) tidak dipenuhi tidak mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi hanya dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Apabila persyaratan yang menyangkut objek perjanjian (suatu hal tertentu dan adanya causa hukum yang halal) tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.76Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan pengertian sepakat
sebagai persyaratan kehendak
yang
disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan akseptasi (acceptatie).77 Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa
76
J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Timbul dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.164. 77 Mariam Darus Barulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, hal.24.
95 ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian kehendak antara dua saja belum melahurkan perjanjian, karena kehendak tersebut harus dinyatakan, harus nyata bagi pihak yang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain. Apabila pihak yang lain tersebut telah menyatakan menerima atau menyetujuinya, maka timbulah kata sepakat. Orang dapat mengatakan bahwa suatu pernyataan adalah suatu penawaran apabila hal itu sampai pada orang yang diberikan penawaran, sedang pernyataan itu sendiri haruslah diartikan sebagai suatu tanda yang dapat diketahui dan dimengerti oleh lawan janjinya. Konsekwensinya, jika terjadi karena penawaran itu diterima secara keliru, ada akseptasi yang menyimpang dari penawarannya maka pada dasarnya tidak lahir perjanjian.78 J.Satrio menyebutkan ada beberapa cara untuk mengemukakan kehendak tersebut, yakni secara tegas, tertulis, dengan tanda, dan diam-diam.79 Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang di sebut di bawah ini, yaitu adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan adanya penipuan (bedrog). Mengenai hal-hal yang menyebabkan cacat kehendak di atas maka perlu dijelaskan mengenai ketiga hal tersebut, yang pertama yaitu paksaan (dwang). Menurut Pasal 1324 KUHPerdata paksaan terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
78 79
J.Satrio, op.cit., hal.176. J.Satrio, op.cit, hal.183.
96 Paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman dngan suatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan sehingga ia membuat perjanjian. Disini paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan.80 Cacat kehendak yang kedua yaitu kekeliruan atau kesesatan. Kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari para yang diperjanjikan atau tentang syarat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa perjanjian itu dilakukan. Kekhilafan itu harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuan.81 Sedangkan yang ketiga mengenai hal yang dapat menyebabkan cacat kehendak yaitu penipuan. Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keteranganketerangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihatuntuk membujuk pihak lawannya memberikan persetujuannya, pihak yang menipu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.82 Penipuan adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah untuk memasuki hubungan kontrak. Oleh karena itu, pihak yang tidak bersalah harus bersandar pada gambaran yang salah tadi dan secara finansial pihak yang merugikan pihak lain itu wajib membayar ganti rugi.83
80
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.65. 81 R.Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal.24. 82 Ibid. 83 Salim H.S., 2003, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.27.
97 Menurut doktrin dan yurisprudensi, ternyata perjanjian-perjanjian yang mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja pihak yang merasakan telah meberikan pernyataan yang mengandung cacat tersebut dapat memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan dengan ini, Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka di dalam perjanjian itu terdapat cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan. Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan). Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan dan orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Seseorang dikatakan belum dewasa menurut Pasal 330 KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar atas Pasal 47 dan 50 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan No. 447/Sip/1976 Tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di
98 bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Seseorang yang telah dewasa dapat tidak cakap melakukan perjanjian jika, yang bersangkutan diletakan di bawah pengampuan (curatele atau conservatorship). Seseorang dapat diletakan
dibawah
pengampuan
jika
yang
bersangkutan
gila,
dungu
(onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau juga pemboros. Orang yang seperti itu tidak menggunakan akal sehatnya, dan oleh karenanya dapat merugikan dirinya sendiri. Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit apat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu, dan harus mengenai suatu hal tertentu berarti bahwa apa yang dioerjanjikan yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.84 KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Syarat sahnya perjanjian yang keempata adalah adanya kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan 84
J.Satrio, op.cit, hal.41.
99 bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. J.Satrio mempermasalahkan, apakah kausa hanya tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan yang bersifat umum ataukah hanya dalam lingkup yang terbatas. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat, pendapat yang satu hanya mau menerima ”kesusilaan” dalam lapangan, yakni kalau ia merupakan penerapan moral umum dalam kalangan terbatas atau dalam hubungan hukum tertentu. Pendapat lain yang lain yakni pendapat yang lebih luas, yang mau menerima ”kesusilaan” dalam kalangan yang terbatas, asal tidak bertentangan dengan kesusilaan umum. Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila bertentangan dengan ketertiban umum. J.Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dapat dikatakan berkaitan masalah ketatanegaraan. Pengaturan tentang klausul baku yang berkaitan dengan hubungan antara produsen dan konsumen terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999. Pasal 18 ayat (1) menentukan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku di setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
100 a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumenkepada peraturan berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/ atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelakuusaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam Pasal 18 ayat (2) kemudian ditentukan pula bahwa pelaku usaha dilarang mencantum klausul bakuyang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti. Larangan tersebut di atas oleh Pasal 18 ayat (3) dikaitkan dengan kausa hukum yang halal dalam kontrak. Jika kontrak memuat klausul yang dilarang tersebut, maka konsekuensinya, kontrak yang bersangkutan batal demi hukum. Hoge Raad sesungguhnya telah memberikan ketentuan yang sangat baik mengenai syaratsyarat itikad baik pada kontrak yang memperhitungkan keadaan yang ada hubungannya dengan pelaksanaan kontrak. Dengan demikian, hakim dalam suatu sengketa konkrit antara dua pihak yang mengadakan kontrak memiliki ukuran
101 pengujian yang tajam, yang memenuhi hukum alam semua keadaan dari sengketa itu.85 Pada dasarnya sepanjang tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, maka kontrak dengan klausul baku tetap sah, hal ini menjawab jika perjanjian kerja sama yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh adalah perjanjian yang sah secara ketentuan hukum. Namun sekarang dalam pembahasan mengenai keabsahan sebuah perjanjian atau kontrak tidak dipermasalahkan sah atau tidaknya perjanjian dengan klausul baku, tetapi apakah isi perjanjian itu ada yang memuat klausul yang dilarang oleh undang-undang, secara umum mengerucut pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Demikian juga apakah isi kontrak memuat klausul yang mengandung ketidakrasionalan dan ketidakpatutan, dalam hal ini dilihat dari pemenuhan hak dan kewajiban yang di rasa tidak memenuhi dari sisi keadilan dalam perjanjian kerja sama yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, tentang pengelolaan Objek Wisata Alas kedaton. Semestinya dengan di buatnya perjanjian baku seperti ini Pihak Pemerintah
Kabupaten Tabanan
seharusnya
memberikan kejelasan atas
pemenuhan hak dan kewajiban di dalam isi perjanjian. Isi perjanjian tersebut seharusnya menyertakan PIHAK PERTAMA untuk ikut membantu kelangsungan perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton sebagai timbal balik dari pembagian hasil yang telah didapat. Dengan dibuatnya perjanjian tersebut diharapkan kedua belah pihak sama-sama merasakan dampak positif dari di buatnya perjanjian,
85
Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.249.
102 bukannya malah menguntungkan satu pihak saja. Namun pada kenyataanya dari isi perjanjian, PIHAK PERTAMA justru tidak mencantumkan bahkkan menghilangkan atau menghapuskan apa yang seharusnya menjadi kewajiban PIHAK PERTAMA, yang dalam hal ini PIHAK PERTAMA seharusnya berkewajiban untuk ikut berperan aktif dalam menjaga maupun membantu secara finansial atau bantuan untuk memperbaiki infrastruktr seperti jalan bahkan pelestarian hutan dan Pura di dalamnya (Pura Dalem Khayangan Kedaton) Jadi dapat ditarik kesimpulan mengenai syarat-syarat perjanjian yang telah dijelaskan dalam pembahasan diatas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mencakup empat syarat fundamental yang harus dipenuhi agar perjanjian dapat dinyatakan sah maka sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh bahwa, antara para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri, ini telah sesuai dengan syarat perjanjian pada bagian pertama. Mengenai kecakapan untuk membuat perjanjian, para pihak telah memenuhi syarat yang terdapat pada bagian kedua. Ini terbukti dari kedua belah pihak yang saling bersepakat membuat perjanjian masing-masing antara Pemerintah Kabupaten Tabanan (Ni Putu Eka Wiryastuti/Bupati Tabanan) dengan Desa Pakraman Kukuh (I Gede Subawa/Bendesa Adat Kukuh) telah memenuhi syarat sebagai badan hukum/subyek hukum. Untuk syarat ke tiga, yaitu mengenai suatu hal tertentu dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan isi perjanjian telah jelas yang menjadi objek/prestasi adalah mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Sedangkan yang terakhir
103 tentang suatu sebab yang halal, dapat dijelaskan adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan.
BAB IV PERJANJIAN PENGELOLAAN OBJEK WISATA ALAS KEDATON DALAM PERSPEKTIF TUJUAN HUKUM
4.1 Tujuan Hukum 4.1.1 Hukum Barat Mengenai tujuan hukum pada dasarnya sangat mustahil untuk dapat kita bahas secara memadai satu-persatu. Namun demikian di antara begitu banyak teori tentang tujuan hukum, maka paling tidak ada beberapa teori yang dapat di golongkan sebagai grand theory tentang apa yang menjadi tujuan hukum. Achmad Ali di dalam bukunya yang berjudul Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), membagi grand theory tentang tujuan hukum ke dalam tiga teori besar yaitu, teori barat yang di bagi menjadi teori klasik dan modern, teori timur dan teori hukum islam. Dari ketiga teori besar yang di kemukakan oleh Achmad Ali tersebut dalam hal ini dibatasi hanya membahas mengenai teori tujuan hukum barat. Grand Western Theory dibagi menjadi dua bagian yaitu: A. Teori Klasik, di bagi menjadi 3 (tiga) a.Teori Etis b.Teori Utilistis c.Teori Legalistik B. Teori Modern, di bagi menjadi 2 (dua) a.Teori Prioritas Baku b.Teori Prioritas Kasuistik86
86
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kharisma Putra Utama, Jakarta, hal.213. 104
105 Berbicara tentang tujuan hukum, Achmad Ali mengklasifikasikan ke dalam dua kelompok teori yaitu sebagai berikut: 1.
Ajaran Konvensional (Teori Klasik), adalah dinilai sebagai ajaran yang ekstrem, karena menganggap tujuan hukum hanya semata-mata satu tujuan saja. Misalnya ajaran etis menyatakan bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan keadilan. Ajaran utilistis menyatakan bahwa pada asanya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfatan atau kebahagiaan masyarakat. Ajaran normatifdogmatif (Teori Legalistik), menyatakan bahwa pada asanya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
2.
Ajaran Modern, dibagi menjadi dua tujuan hukum yaitu ajaran prioritas baku dan ajaran prioritas kasuistis. Dapat dijelaskan kedua ajaran tersebut sebagai berikut:
a.
Ajaran Prioritas Baku, menurut Gustav Radbruch tujuan hukum itu adalah,
keadilan kemanfaatan, dan kepastian hukum.Dari tujuan hukum yang diajarkan oleh Gustav Radbruch tersebut disadari secara khusus, masing-masing bidang hukum mempunyai tujuan yang spesifik. Sebagai contoh, Hukum Pidana tentunya mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan Hukum Privat; demikian juga Hukum Formal (Hukum Prosedur) mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan dengan Hukum Materiil, demikian pula bidang-bidang hukum lain. Bagi Radbruch ketiga ide dasar hukum itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun selanjutnya timbul pertanyaan apakah hal itu tidak menimbulkan masalah di
106 dalam praktik? seperti kita ketahui, di dalam kenyataannya sering kali antara kepastian hukum dengan keadilan, terjadi benturan atau ketegangan; atau benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, atau ketegangan antara keadilan dan kemanfaatan. Radbruch menyadari hal tersebut. Sebagai misal, dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menghendaki keputusannya adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim tersebut tentunya), bagi si penggugat atau tergugat, bagi terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Sebaliknya, jika kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankan. Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, di mana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Kemanfaatan dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan, demikian juga kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan kemanfaatan. b.
Ajaran Prioritas Kasuistis, menurut Achmad Ali, ada kalanya dalam suatu
kasus keadilan yang lebih di prioritaskan ketimbang kemanfaatan dan kepastian hukum, tetapi adakalanya tidak mesti demikian. Mungkin untuk kasus-kasus lain justru kemanfaatan yang diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian, mungkin juga dalam kasus lain justru kepastian yang lebih diprioritaskan ketimbang keadilan dan kemanfaatan.Jadi kesimpulannya di dalam ajaran Prioritas Kasuistik untuk memecahkan suatu masalah perlu di pandang secara proposional sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.
107 Dilihat dari sejarah ajaran prioritas kasuistik, pada mulanya ajaran prioritas baku dari Gustav Radbruch dirasakan jauh lebih maju dan arif, dibandingkan ajaran ekstrem, yaitu ajaran etis, utilistis, dan dogmatik-legalistik. Namun dalam perkembangannya karena semakin kompleksnya kehidupan manusia di era modern ini, maka pilihan prioritas yang sudah dibakukan, terkadang memunculkan pertentangan antara kebutuhan hukum dalam kasuskasus tertentu. Adakalanya dalam suatu kasus, keadilan yang lebih tepat diprioritaskan daripada kemanfaatan dan kepastian hukum, tetapi dalam kasus lain justru terasa lebih tepat jika kemanfaatan lebih diprioritaskan daripada keadilan dan kepastian hukum, dan mungkin lagi dalam kasus lainnya justru kepastian hukum yang lebih tepat diprioritaskan ketimbang keadilan dan kemanfaatan. Konsep inilah yang oleh dunia praktik hukum dianggap paling relevan untuk menjawab masalah-masalah hukum dewasa ini. Secara umum, Teori Tujuan Hukum Barat lebih berorientasi pada tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Sedangkan Teori Tujuan Hukum Timur lebih berorientasi pada tujuan hukum, bahwa kepastian hukum bukan kemanfaatan, dan bukan keadilan yang menjadi tujuan hukum, melainkan kedamaian (peace). Tujuan Hukum Islam selain kedamaian juga keseimbangan, kesejahteraan dan kemanfaatan serta ketertiban.
4.1.2 Hukum Adat Bali Berbicara mengenai hukum adat Bali maka tidak akan pernah bisa terlepas dari Agaman Hindu, bisa dikatakan yang menjadi jiwa dari hukum adat Bali
108 adalah Agama Hindu. Dari penjelasan mengenai teori tujuan hukum diatas, hukum adat Bali juga memiliki tujuan bila dilihat dari perspektif Agama Hindu. Membahas hukum adat Bali, maka paling tidak ada tiga hal pokok yang harus dipakai sebagai tumpuan untuk memahami eksistensi hukum adat Bali secara lebih mendasar. Ketiga pokok hal tersebut adalah, upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu sendiri. Upaya menegakan keseimbangan hubungan warga masyarakat dengan kelompok
masyarakat,
dan
keseimbangan
hubungan
masyarakat
secara
keseluruhan dengan alam ke-Tuhanan. Pokok pangkal titik tolak kehidupan kelompok masyarakat adat di Bali yang berdasar kepada ketiga hal di atas, adalah merupakan penuangan dari falsafah Agama Hindu yang disebut Tri Hita Karana. Falsafah ini sudah begitu mendalam mewarnai kehidupan atau pola hidup masyarakat Bali. Falsafah Agama Hindu inilah yang dapat dipakai sebagai tujuan dari hukum adat Bali, sekaligus sebagai acuan dalam pembahasan mengenai perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dalam perspektif tujuan hukum. Dalam hal ini melihat tujuan hukum adat Bali dari sisi Agama Hindu. I Ketut Artadi, dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya mengatakan bahwa, dari falsafah Agama Hindu yang disebut Tri Hita Karana tersebut terdapat tiga point penting yaitu, hubungan antarwarga, hubungan warga dengan kelompok masyarakat dan hubungan dengan alam ke-Tuhanan.87
87
I Ketut Artadi, 2003, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar, hal.3.
109 Tri Hita Karana berasal dari kata ”Tri” yang artinya tiga, ”Hita” yang artinya kebahagiaan, dan ”Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana adalah tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Konsep Tri Hita Karana tercermin dalam tata kehidupan masyarakat Hindu yang meliputi Parahyangan, yaitu berupa unit tempat suci (Pura) tertentu yang mencerminkan tentang Ketuhanan. Pawaongan, berupa unit dalam organisasi masyarakat adat sebagai perwujudan unsur antara sesama manusia. Palemahan, yaitu berupa unit atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur alam semesta atau lingkungan. Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah tangguh yang memiliki konsep yang sangat unik dilihat dari keragaman budaya dan lingkungan, ditengah hantaman globalisasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan kehidupan dengan manusia di dunia ini. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekitarnya. Ketiga hal tersebut meliputi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Hakekat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu, bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam sekitarnya, dan manusia dengan sesamanya. Dengan menerapkan falsafah itu tersebut, diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme. Membudayakan Tri Hita Karana dalam kehidupan keseharian kita akan dapat menghapus pandangan yang mendorong terjadinya pertikaian dan gejolak.
110 Dilihat dari permasalahan tentang perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, maka harus dilihat melalui sudut pandang Sekala dan Niskala. Secara Sekala atau dunia nyata dapat kita lihat telah terjadi suatu kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh untuk membuat perjanjian, sedangkan pada kenyataannya secara Niskala belum ada perhatian Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk membantu baik berupa dana maupun perbaikan infrastruktur terutama pada bangunan pura yang terdapat di dalam hutan Alas Kedaton, Pura Dalem Khayangan Kedaton. Dengan membahas mengenai Tri Hita Karana sebagai tujuan atau dasar dari hukum adat Bali, maka sesungguhnya jika dikaitkan dengan perjanjian yang di buat oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, maka nilai-nilai Agama Hindu tersebut harus digunakan sebagai acuan dalam membuat perjanjian. Apalagi yang menjadi obyek perjanjian adalah Objek Wisata Alas Kedaton dimana dalam objek tersebut terdapat pura yang sangat sakral yaitu Pura Dalem Khayangan Kedaton maka konsep-konsep Tri Hita Karana ini harus dan mutlak di implementasikan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban antara masing-masing pihak. Mengkritisi mengenai hak dan kewajiban yang terdapat dalam isi perjanjian, maka PIHAK PERTAMA yaitu Pemerintah Kabupaten Tabanan hendaknya ikut menjaga dan memelihara lingkungan berupa hutan di Objek Wisata Alas Kedaton. Ini sejalan dan berkaitan dengan apa yang menjaditujuan dari Tri Hita Karana itu sendiri, dari ketiga point penting tentang Tri Hita Karana tersebut yang paling tepat menggambarkan akan kondisi atau keadaan dalam permasalahan tentang hak dan kewajiban PIHAK PERTAMA
111 dalam perjanjian adalah Palemahan, dimana manusia diharapkan dapat ikut memelihara dan menjaga alam agar dapat berjalan seiring dan harmonis. Seharusnya Pemda Tabanan dapat memberi kontribusi lebih, mengingat didalam Objek Wisata Alas Kedaton terdapat bangunan suci yang seharusnya pihak pemda ikut menjaga bahkan membantu kelangsungan pemeliharaan Pura Dalem Khayangan Kedaton.
4.2 Tinjauan Terhadap Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 4.2.1 Perspektif Kepastian Hukum Dilihat dari perspektif kepastian hukum tentang perjanjian kerja sama yang dibuat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, sebaiknya terlebih dahulu kita membahas mengenai badan hukum sebagai subyek hukum. Perlu diketahui bahwa di dalam perjanjian harus jelas mengenai setatus dari pihak yang membuat perjanjian, apakah pihak tersebut bersetatus badan hukum atau tidak. Karena yang menjadi pembahasan adalah dilihat dari perspektif kepastian hukum dan kepastian hukum merupakan bagian dari tujuan hukum, maka hendaknya kita harus mengetahui pengertian dari badan hukum itu sendiri. Badan hukum sebagai subyek hukum di dalam hukum berarti badan hukum adalah orang (badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan) yang ditetapkan oleh hukum sebagai subyek di dalam hukum, artinya badan hukum dapat melalukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana halnya dengan manusia (memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim). Dengan
112 demikian badan hukum tersebut singkatnya diperlakukan sepenuhnya sebagai layaknya seorang manusia. Dengan demikian, menurut teori badan hukum, ciri-ciri yang harus dipenuhi oleh suatu badan hukum untuk dapat disebut subyek hukum, yaitu: (a) perkumpulan orang; (b) dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubunganhubungan hukum; (c) mempunyai harta kekayaan sendiri; (d) mempunyai pengurus; (e) mempunyai hak dan kewajiban; (f) mempunyai hak untuk menggugat dan digugat. Berdasarkan batasan-batasan dan unsur-unsur badan hukum, maka setiap perkumpulan sebagai satu kesatuan yang memenuhi ciri demikian adalah badan hukum. Hukum memeberi kemungkinan, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang, yang merupakan pembawa hak sebagai subyek hukum oleh karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang, begitu pula dapat dipertanggung-gugatkan. Badan hukum ini akan bertindak dengan perantara orang, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya melainkan untuk dan atas pertanggung-gugat badan hukum. Sehingga asumsi dari definisi dan batasan-batasan diatas secara substansi tidak jauh berbeda dengan batasan-batasan yang terdapat dalam Perda No. 3 Tahun 2001. Penguatan pengakuan desa pekraman untuk melakukan perbuatanperbuatan hukum secara konstitusional juga disebutkan di dalam Pasal 18B ayat (2) jo Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 (setelah perubahan).
113 Pasal 18B ayat (2): ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” Pasal 28I ayat (3): ”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Disamping itu juga bentuk penghormatan desa pakraman oleh Negara adalah pemanfaatan tanah adat sebagai pemukiman yang dikenal dengan tanah karang desa adalah terkait dengan ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana tanah karang desa dijadikan pula sebagai obyek PBB. Dalam perda No. 3 Tahun 2001 ada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (6) yang menyatakan bahwa ”tanah desa pakraman dan tanah milik desa pakraman bebas dari pajak bumi dan bangunan”. Namun ketentuan ini dicabut dengan Perda No. 3 Tahun 2003, sehingga dengan demikian tanah adat dalam bentuk tanah desa dapat dikenakan PBB. Keadaan ini tampaknya berlebihan karena dengan ketentuan itu berarti tanah adat memikul dua beban yaitu beban dari desa pakraman sendiri dalam bentuk kewajiban ayahan desa dan beban dari pemerintah berupa pajak. Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 merupakan perubahan atas UU No. 12 Tahun 1985 tentan Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 3 (1) menentukan: Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang : a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
114 sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. E. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan undang-undang tersebut kiranya dapat ditafsirkan bahwa tanahtanah adat dalam segala bentuknya adalah tanah yang tidak disediakan untuk kepentingan umum sehingga dapat dikenakan pajak, sehingga tanah-tanah seperti itu juga dalam penguasaan desa pakraman, merupakan harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, baik harta bergerak dan harta tidak bergerak, harta yang berwujud maupun harta yang tidak berwujud, di samping masyarakat hukum adat (Desa Adat) memiliki hak-hak untuk mengatur masyarakatnya maupun melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Dalam melihat kepastian hukum lebih luas lagi maka perlu dijelaskan menganai pengertian hukum. Banyak sarjana mengungkapkan mengenai pengertian hukum. Beberapa pengertian hukum menurut para sarjana adalah88 : E.Utrecht, dalam bukunya yang ”berjudul Pengantar dalam Hukum Indonesia” mengemukakakan hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat 88
Yulies Tiena Masriani, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal.6-7.
115 yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu. Immanuel Kant, dalam bukunya ”Inleiding tot de Rechtswetsnschap” mengartikan hukum sebagai keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. Sedangkan J.Van Apeldorn, dalam bukunya ”Inleiding tot de studie van het Nedelandse recht”, mengemukakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi kepada hukum karena begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan hukum mengatur pergaulan hidup secara damai. Dari uraian para sarjana mengenai pengertian hukum, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adalah suatu aturan atau norma yang mengatur tingkah laku masyarakat dalam pergaulan hidup. Mengenai tujuan hukum, menurut Apeldorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.89 Mengenai tujuan hukum, terdapat beberapa teori90, yaitu: 1.
Teori Etis, yang berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan ditibutif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Sedangkan keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada
89
L.J Van Apeldorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.10. 90 Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, hal.24-28.
116 setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. 2.
Teori Utilitas, menurut Bentham bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah The greatest happines for the greatest number artinya, kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.
3.
Teori Pengayoman, mengemukakan tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: a. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; b. Mewujudkan kedamaian sejati; c. Mewujudkan keadilan; d. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Mengenai daya ikat hukum dalam masyarakat, berdasarkan pendapat Gustav
Radbruch
yang
mengembangkan
pemikiran
Geldingstheorie
117 mengemukakakn bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi tiga nilai dasar, meliputi91 : 1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya di dasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi. 2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena di akui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan). 3. Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi.
Sesungguhnya kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.92Secara sosiohistoris, masalah kepasian hukum muncul bersamaan dengan sistem produksi ekonomikapitalis. Dikaitkan dengan hukum modern orang mungkin tidak akan melihat kepastian hukum sebagai bagian dari permasalahan, tetapi apabila orang membandingkan antara hukum modern sebagai bagian dari orde sosial baru dengan orde sosial yang lama, maka akan jelas sekali dimensi kepastian hukum disitu.
91
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.19. 92
http://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/,dikses pada tanggal 17 Januari 2015
118 Dari penjelasan mengenai kepastian hukum di atas, bila di kaji kedalam permasalahan tentang kepastian hukum dari perjanjian kerja sama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh, maka secara keseluruhan yang disebut dengan kepastian hukum di dalam perjanjian kerja sama tersebut adalah mengenai tata cara pembuatan perjanjian, dalam hal ini bentuk perjanjian yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Bentuk dari perjanjian kerja sama tersebut merupakan bentuk perjanjian yang bersifat baku. Dikatakan baku karena perjanjian ini klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Pihak yang merancang perjanjian tersebut adalah PIHAK PERTAMA dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan yang telah membuat dan merancang klausul-klausul dalam perjanjian. Lebih jelasnya yang digunakan Pemertintah Kabupaten Tabanan dalam membuat perjanjian, berpedoman pada tata cara pembuatan kerjasama yang di atur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Di dalam ketentuan tersebut telah di atur mengenai apa saja yang harus di sertakan dalam perjanjian kerja sama, paling sedikit di dalam perjanjian kerja sama memuat subjek kerja sama, objek kerja sama, ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran kerja sama, keadaan memaksa, dan penyelesaian perselisihan. Jadi dapat disimpulkan bila dilihat dari perspektif kepastian hukum terhadap pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, maka dapat dikatakan perjanjian yang di prakarsai oleh Pemerintah Kabupeten Tabanan ini telah memenuhi ketentuan mengenai tata cara pembuatan
119 kerja sama dalam bentuk perjanjian yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor. 50 Tahun 2007. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh sudah memberikan jaminan kepastian hukum. Dikatakan sudah memberikan jaminan kepastian hukum karena para pihak yang membuat perjanjian kerjasama telah sesuai dengan ketentuan ataupun tata cara dalam pembuatan perjanjian kerjasama yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
4.2.2 Perspektif Kemanfaatan Sesuai dengan Teori Hukum Barat mengenai tujuan hukum yang dijelaskan sebelumnya, mengenai kemanfaatan kiranya perlu diketahui mengenai siapa tokoh atau pakar di balik aliran utilistis yaitu tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan. Pada umumnya para penganut aliran utilistis menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya.93 Dari sekian banyak pakar-pakar penganut aliran utilistis ada beberapa nama pakar yang dikenal, yaitu Jeremy Bentham yang terkenal dengan the father of legal utilitarianism. Selain Bentham juga dikenal James Mill dan John Suart Mill, tetapi
93
Achmad Ali, op.cit, hal.272.
120 Jeremy Bentham-lah yang merupakan pakar yang paling radikal di antara pakar utilistis. Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang filsuf, ekonom, dan reformer hukum, yang memiliki kemampuan untuk menenun dari benang ’prinsip kegunaan’ (utilitas) menjadi permadani doktrin etika dan ilmu hukum yang luas, dan yang dikenal sebagai ’utilitarianism’ atau mazhab utilistis, yang mengupayakan jawaban terhadap pertanyaan: ”Apa yang harus dilakukan seseorang?” jawaban Bentham adalah bahwa, ia harus bertindak untuk menghasilkan ’konsekuensi-konsekuensi terbaik yang memungkinkan’.Prinsip utility dikemukakan oleh Bentham dalam karya monumentalnya yang berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Di dalam karyanya itu, Bentham mendifinisikan itu sebagai sifat dalam sembarang benda yang dengannya, benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan atau kejahatan
serta
ketidakbahagiaan
pada
pihak
yang
kepentingannya
dipertimbangkan. Menurut Bentham alam telah menempatkan manusia di bawah pengaturan dua penguasa yang berdaulat, yaitu penderitaan dan kegembiraan. Keduanya menunjukan apa yang harus kita lakukan dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Fakta bahwa kita menginginkan kesenangan dan berharap untuk menghindari penderitaan, digunakan oleh Bentham untuk membuat keputusan, bahwa kita harus mengejar kesenangan. Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happines of the greatest
121 number(kebahagiaan yang terbesar, untuk terbanyak orang). Menurut Bentham adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Doktrin utilistis dari Bentham, pada asanya dapat disimpulkan ke dalam tiga hal, sebagaimana dikemukakan Curzon berikut ini94: a. The principle of utility subjects everything to these two forces: i) Utility is the property or tendency of an object to produce benefit, good, or happines or to prevens mischief, pain, or evil; ii) The utility principle allows us to approve of anaction according to its tendency to promote oppes happines. b. Pleasure maybe equated with good, pain, with evil. c. A thing is said to promote the interest, or to be for the interest, of an individual when it tends to add to the sum total of his pleasure: or, what comes to the something, to diminish the sum total of his pains.
Pada dasarnya teori yang dikemukakan Bentham ini menganjurkan the greatest happines principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegas nya menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagaiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan, atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya. Kebahagiaan berarti kesenangan atau ketiadaan kesengsaraan, ketidakbahagiaan berarti kesengsaraan dan ketiadaan kesenangan. Setiap orang dianggap sama sederajatnya oleh utilistis teori. Menurut Jeremy Bentham ”Setiap orang dihitung sebagai satu dan tidak ada seorang pun yang dihitung sebagai lebih dari satu”.95
94 95
Achmad Ali, op.cit., hal.274. Achmad Ali, op.cit., hal.275.
122 Dikaji dari perspektif kemanfatan, dalam hal ini mengenai perjanjian yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, tentu saja harus memberikan manfaat. Di dalam membuat perjanjian kedua belah pihak memiliki posisi yang sama dan sejajar. Diharapkan di dalam menyepakati sebuah perjanjian tentunya dapat memberikan manfaat yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Dilihat dari isi perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh yang sampai saat ini sudah hampir tiga tahun berjalan, belum dirasakan manfaat dari dilakukannya perjanjian kerjasama tersebut. Wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal 3 Maret 2015 kepada Bapak I Nyoman Sudarma selaku Kepala Dinas Pendapatan Daerah dan Pasedahan Agung Kabupaten Tabanan, beliau mengatakan ”Memang tiang mengakui bahwa kami belum makasimal dalam membantu perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton karena keterbatasan APBD”. Dijelaskan
juga agar perkembangan dan pembangunan
Objek Wisata Alas Kedaton dapat berjalan dengan baik maka disarankan untuk mengajukan proposal kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan. Seperti yang sudah di jelaskan di dalam pembahasan sebelumnya bahwa yang menjadi permasalahan sesungguhnya di masyarakat kukuh adalah tidak adanya manfaat dan timbal balik yang nyata dari di buatnya perjanjian. Hal ini mengacu kepada perbincangan hangat yang terjadi di masyarakat kukuh (pakrimik krama) tentang apa manfaat yang bisa dirasakan secara langsung dari di buatnya perjanjian kerja sama tersebut. Wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal 18 Januari 2015 kepada Manajer Operasional Objek Wisata Alas Kedaton, I Gusti
123 Bagus Suryawan mengakui bahwa sampai saat ini pihak pengelola Objek Wisata Alas Kedaton belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai kontribusi dari menerima hasil penyelenggaraan dan pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton. Sebagai bukti dari pengakuan pihak pengelola tersebut mengenai kurangnya perhatian yang diberikan Pemerintah Kabupaten Tabanan kepada pihak pengelola dalam hal ini untuk pelestarian dan pemeliharaan objek wisata, ini terbukti dari berita yang dimuat di koran harian Bisnis Bali pada hari selasa tanggal 6 januari 2015 halaman 8 yang berjudul ”Alas Kedaton Minim Sentuhan”. Berita tersebut menjelaskan mengenai minimnya perhatian dan bantuan Pemerintah Kabupaten Tabanan terhadap fasilitas yang ada di Objek Wisata Alas Kedaton, sehingga menyebabkan banyak fasilitas yang rusak. Beberapa fasilitas yang mengalami kerusakan cukup serius sehingga diharapkan pihak Pemerintah Kabupaten Tabanan dapat memberikanberupa dana bantuan perbaikan, yaitu beberapa bagian yang terdapat pada Nista Mandala Pura Dalem Khayangan Kedaton dan jalan setapak menuju hutan. Pihak pengelola sudah berusaha untuk memperjuangkan agar mendapat bantuan dana, namun sampai saat ini pada kenyataannya belum ada tanggapan serius dari Pemerintah Kabupaten Tabanan. Melalui pihak pengelola dan atas nama Desa Pakraman Kukuh sudah berulang kali membicarakan masalah tersebut kepada Kepala Desa Kukuh agar dapat difasilitasi untuk mendapatkan bantuan. Menyikapi banyaknya sarana yang mengalami kerusakan, akhirnya pihak pengelola mengambil jalan untuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak tersebut
124 dengan bantuan dana swadaya masyarakat. Dari penjelasan isi berita tersebut juga dijelaskan tiap bulan Objek Wisata Alas Kedaton menyetor kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan sebesar 20 persen yang di ambil dari retribusi penjualan tiket masuk. Mengenai besarnya jumlah setoran tersebut, telah dijelaskan dalam isi perjanjian yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanandengan Desa Pakraman Kukuh. Mengacu dari perbincanagan masyarakat Kukuh (pakrimik krama) dan melalui berita koran tersebut, maka dapat diberikan sebuah gambaran bahwa kemanfaatan perjanjian yang dibuat belum memenuhi apa yang menjadi tujuan hukum. Seperti yang telah dijelaskan bahwa tujuan hukum mencakup tiga hal yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Mengenai pembahasan tentang kemanfaatan sebagai bagian dari tujuan hukum, perjanjian yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang kerja sama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, belum menunjukan manfaat yang nyata bagi pengembangan bahkan perbaikan sarana dan prasarana Objek Wisata Alas Kedaton. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh belum memberi kemanfaatan bagi masyarakat Kukuh. Dikatakan belum memberi manfaat karena semenjak dilangsungkannya perjanjian tersebut pada Tahun 2012 sampai saat ini belum pernah sekalipun Pemerintah Kabupaten Tabanan memberikan bantuan baik berupa dana maupun berupa partisipasi dalam membantu perbaikan infrastruktur Objek Wisata Alas Kedaton, terlebih perbaikan untuk Pura Dalem Khayangan Kedaton yang terdapat di dalam hutan Alas Kedaton.
125 4.2.3 Perspektif Keadilan Mengenai perspektif keadilan bila dilihat dari tujuan hukum yang di jelaskan oleh Gustav Radbruch, sesungguhnya dari ketiga tujuan hukum yang dikemukakan tersebut, keadilan harus menjadi hal yang utama. Wawancara yang dilakukan penulis kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan yang di wakili oleh Kepala Bidang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan Bapak I Wayan Loter pada tanggal 9 Maret 2015 mengatakan bahwa, ”Porsi pembagian hasil dalam perjanjian yang bersumber dari tiket masuk 20 % untuk pihak pertama, 80 % untuk pihak ke dua dan dari karcis parkir sebesar 65 % untuk pihak pertama, 35 % untuk pihak ke dua, menurut saya tidak jelas kenapa masing-masing pihak tersebut mendapatkan bagian atau porsi seperti itu dan cenderung menjadi tidak transparan sehingga adil tidaknya belum tergambar, sedangkan untuk dasar hukum sudah cukup”. Dalam kaitannya dengan pembahasan mengenai perjanjian kerja sama yang di buat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakramana Kukuh, tentang pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa makna dari keadilan tersebut. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), keadilan adalah suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak serta tidak sewenang-wenang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata adil berasal dari kata adil, adil mempunyai arti yaitu kejujuran, kelurusan, dan keikhlasan yang tidak berat
126 sebelah.96 Dari pengertian mengenai makna adil tersebut, maka akan digunakan sebagai acuan di dalam pembahasan tentang perjanjian kerja sama yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Mengenai adil atau tidaknya perjanjian maka kita harus memperhatikan dan mencermati mengenai beberapa klausul penting yang terdapat dalam isi perjanjian. Bila diperhatikan di dalam isi perjanjian tersebut dan dilihat tentang reaksi atau pendapat dari masyarakat Desa Pakraman Kukuh, khususnya dalam hal ini dari pihak pengelola Objek Wisata Alas Kedaton, maka sesungguhnya perlu adanya perubahan yang harus dilakukan demi tercapainya suatu keadilan. Menurut isi dari perjanjian yang memuat beberapa hak dan kewajiban tersebut, kembali dijelaskan bahwa ada ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang tercantum di dalam perjanjian kerja sama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Bila dicermati dalam ketentuan hak dan kewajiban masingmasing pihak, dalam hal ini mengenai kewajiban para pihak, terdapat klausulklausul yang cenderung menguntungkan bahkan secara sewenang-wenang menghapuskan apa yang seharusnya menjadi kewajiban pihak tersebut. Bupati Tabanan dalam hal ini bertindak atas nama Pemerintah Kabupaten Tabanan selanjutnya sebagai PIHAK PERTAMA di dalam ketentuan mengenai hak dan kewajiban sesuai dengan isi perjanjian, ditemukan klausul yang sama sekali tidak menyertakan
untuk
berkewajiban
membantu
bahkan
ikut
memelihara
kelangsungan Objek Wisata Alas Kedaton, terutama memelihara bangunan suci berupa pura, yang disebut Pura Dalem Khayangan Kedaton, ini merupakan timbal 96
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.7.
127 balik atas apa yang diterima PIHAK PERTAMA sebagai kewajiban yang seharusnya di cantumkan dalam klausul tentang kewajiban para pihak terutama kewajiban PIHAK PERTAMA. Mengenai isi dalam perjanjian tersebut hanya di cantumkan yang menjadi kewajiban PIHAK PERTAMA hanya sebatas mengkoordinasikan pembinaan penyelenggaraan dan pengelolaan daya tarik wisata Alas Kedaton serta melakukan pengawasan dan pengendalian dalam rangka pengembangan daya tarik wisata Alas Kedaton untuk mencegah berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas. Mengenai isi dari kewajiban PIHAK PERTAMA dalam perjanjian tersebut hanya terdiri dari dua bagian saja. Sesuai dengan kewajiban PIHAK PERTAMA yang telah disebutkan tadi sangat bertolak belakang dengan apa yang menjadi kewajiban dari PIHAK KEDUA yaitu Bendesa Adat Kukuh, yang bertindak untuk dan atas nama masyarakat Desa Pakraman Kukuh. Kewajiban PIHAK KEDUA terdiri dari lima point penting yang intinya adalah PIHAK KEDUA harus menyetorkan hasil pemungutan retribusi sesuai hasil perhitungan pembagian yang disepakati setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada PIHAK PERTAMA melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait. Dilihat dari ketentuan mengenai kewajiban yang dijelaskan di atas, sudah dapat dipastikan adanya ketidakseimbangan antara kewajiban masing-masing pihak, hal tersebut terkesan menguntungkan salah satu pihak yaitu PIHAK PERTAMA. Kembali melihat pengertian mengenai keadilan yang dijelaskan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang menyebutkan bahwa keadilan adalah suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak serta tidak sewenang-wenang,
128 maka dapat disimpulkan bahwa, mengenai perjanjian kerja sama yang di buat oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, belum menunjukan keadilan dan memberi manfaat atas di buatnya perjanjian tersebut. Justru sebaliknya tujuan yang hendak dicapai dengan membuat suatu perjanjian kerja sama seharusnya dapat memberikan manfaat bahkan menguntungkan kedua belah pihak dengan menjunjung tinggi asas keadilan. Sesungguhnya secara umum keadilan merupakan bagian dari nilai sosial yang memiliki makna sangat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakuakan adalah suatu kesalahan, namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidakadilan. Ukuran mengenai keadilan sebenarnya menjangkau wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah cita, dikarenakan berbicara masalah keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna yang masuk dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam sampai hakikat yang paling dalam, bahkan Kelsen menekankan pada pengetahuan perihal sesuatu yang baik.97 Sangat sulit memang bila menentukan makna adil dan tidak adil, karena keadilan itu sendiri sesuatu yang abstrak, subjektif dan bagaimanapun juga keadilan menyangkut nilai etis yang dianut masing-masing individu. Mengenai keadilan jelas bahwa keadilan masuk ke dalam kajian ilmu filsafat, banyak filsafat 97
W. Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, PT. Rajawali Press, Jakarta, hal.118.
129 yang mengharapkan inspirasi bagi pengetahuan keadilan dan kesemua itu termasuk filsafat-filsafat yang sangat berbeda dalam ruang dan waktu. Keadilan merupakan salah satu contoh materi yang menjadi objek filsafat. Dalam kajian filsafat, keadilan telah menjadi pokok pembicaran serius sejak awal munculnya filsafat yunani. Pembicaraan filsafat memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosopis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berfikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia. Keadilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu sendiri, disamping kepastian hukum dan kemanfaatan. Dari banyaknya permasalahan yang hendak di hadapi Negara, makna mengenai keadilan dapat dijadikan sebuah perenungan bahwa terminologi keadilan yang sejatinya ada dalam kajian filsafat, apakah dapat di jadikan sebagai bagian utama dalam pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep keadilan yang bersifat abstrak sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat ilmu hukum yang akan menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis sehingga dapat membangun hukum yang sebenarnya. Mengutip beberapa definisi mengenai keadilan (justice) yang terdapat dalam buku yang ditulis oleh Achmad Ali yang berjudul Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, maka ada beberapa definisi tentang keadilan. Dari sekian
130 banyak definisi keadilan yang dikemukakan oleh para pakar salah satunya dikemukakan oleh Curzon, yaitu sebagai berikut98: a. Justice is a politcal virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right (Aristoteles) b. The virtue which results in each person receiving his due. (Justinianus) c. The idea of justice supposes two things; a rule of conduct and sentiment which sanctions the rule. The first must be supposed common to all mankind and intended for their good; the sentiment is a desire that punishment maybe suffered by those who infringe the rule. (Mill) d. Justice has always weighted the scales solely in favour of the weak and persecuted. A justice decision is a decision based on grounds which appeal to a desinterested person. (Eugen Ehrlich) e. Who or whatever renderts to every man his due, that person or thing is just an attitude, an institution, a law, a relationship, in which every man is given his due is just. (Brunner) f. Justice requires that freedom, equality, and security be accorded to human beings to the greaterst extent consistent with the common good. (Bodenheimer) g. Justice is the correct application of a law as apposed to arbitratines. (Rose) h. Justice among men involves an impartial and fearles act of choosing solution for a dispute within a legal order, having regard to the human rights which that order protects. (Wortley)
Dapat dijelaskan mengenai masing-masing definisi tersebut diatas adalah sebagai berikut: a. Keadilan adalah sebuah kebaikan politik, dengan peraturan-peraturannya, Negara diatur dan peraturan-peraturan ini adalah tolak ukur/norma yang benar. (Aristoteles) b. Kebaikan yang dihasilkan dalam tiap orang menerima haknya. (Justinianus) c. Gagasan keadilan mengharuskan dua hal yaitu; sebuah peraturan tingkah laku dan perasaan yang menyetujui peraturan. Hal yang pertama seharusnya lumrah/umum bagi umat manusia dan dimaksudkan untuk kebaikan mereka. Perasaan adalah keinginan dimana hukuman mungkin dialami oleh mereka yang melanggar peraturan. (Mill) d. Keadilan selalu membebani sekala semata-mata dalam kebaikan hati orang-orang yang lemah dan teraniaya. Keputusan keadilan adalah sebuah
98
Achmad Ali, op.cit, hal.217.
131
e.
f.
g. h.
keputusan berdasarkan pada pekerjaan berat yang menarik bagi seseorang yang tidak memihak/netral. (Eugen Ehrlich) Siapapun atau apapun yang menyumbangkan haknya pada setiap manusia, orang itu atau benda itu adalah sebuah prilaku, institusi, hukum, hubungan, dimana setiap manusia diberikan haknya disebut adil. (Brunner) Keadilan memerlukan kebebasan, persamaan dan keamanan yang disetujui bagi umat manusia terhadap tingkat yang hebat sesuai dengan barang yang lumrah. (Bodenheimer) Keadilan adalah penerapan hukum yang tepat yang pantas terhadap arbitrasi. (Rose) Keadilan diantara orang-orang yang terlibat dalam tindakan tidak memihak dan tidak takut memilih solusi untuk sebuah perselisihan di dalam urutan yang legal, memiliki sikap hormat terhadap hak-hak manusia yang dimana pesan itu dilindungi. (Wortley)
Dari berbagai macam definisi dan ungkapan tentang kata ’keadilan’, yang dikemukakan oleh berbagai kalangan di atas, bukan hanya dari kalangan pakar hukum dan penegak hukum saja, melainkan juga dari kalangan sastrawan, penyair, penulis dan lainnya. Dapat dijelaskan definisi dan ungkapan di atas menggambarkan bahwa, sangat tampak beraneka ragamnya pemahaman tentang makna keadilan, ada yang mengkaitkan keadilan dengan peraturan politik negara, sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada juga yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus-menerus, untuk memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang, ada juga yang melihat keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksanan hukum, yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, sesuai dengan analisis hukum yaitu menggunakan teori tujuan hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, belum memenuhi rasa keadilan. Ini
132 terbukti dari perbedaan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tercantum di dalam perjanjian yang menunjukan adanya ketimpangan yang cenderung menguntungkan salah satu pihak. Sesuai dengan analisis yang dilakukan, perjanjian tersebut lebih menguntungkan pihak pertama yaitu Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai pihak yang merancang dan membuat isi dari perjanjian tersebut.Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, bila dikaitkan dengan tujuan hukum telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi asas keadilan dan kemanfaatan.
4.2.4 Perspektif Hukum Adat Bali Melihat perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dari perspektif Hukum Adat Bali, maka tidak akan bisa dilepaskan dari desa adatnya. Terlebih dahulu perlu untuk diketahui bersama bahwa di Bali ada dua desa, yaitu ”desa dinas” (kelurahan) dan ”desa adat” yang sampai saat ini tetap berjalan sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Secara umum bila mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka menurut undang-undang ini Pasal 1, ”Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan
133 pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 ayat 2) Mengenai desa pakraman yang khusus hanya ada di Bali, maka sangat diperlukan memiliki landasan hukum yang kuat. Pemerintah Daerah Provinsi Bali telah menetapkan pengertian mengenai ”desa pakraman” yang tercantum di dalam ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, yang menyebutkan bahwa ”desa pakraman” adalah ”kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun-temurun dalam ikatan Kayangan Tiga, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”(Pasal 1 huruf e). Pengertian mengenai desa dinas, desa adat dan desa pakraman yang telah dijelaskan diatas, menimbulkan permasalahan pemahaman tentang pengertian ”desa”. Ditemukan adanya pemahaman yang membuat kita bertanya-tanya, apakah yang dimaksud ”desa” dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah ”desa adat/desa pakraman” ataukah ”desa dinas”, sampai sekarang belum jelas. Apakah dengan adanya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, berarti menghilangkan fungsi yang dijalankan oleh ”desa dinas”, juga belum jelas. Tetapi yang jelas, kedua desa tersebut (”desa dinas” dan ”desa adat/pakraman”), sampai sekarang tetap berjalan sesuai swadharma masing-masing, di tengah-tengah silang pendapat, yang terlontar lewat berbagai seminar dan diskusi tentang format desa di Bali. setelah
134 berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.99 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut kini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagai penyempurnaan atas dasar hukum untuk pembahasan mengenai desa. Membahas mengenai Hukum Adat Bali, maka membahas tentang masyarakat atau penduduknya. Masyarakat hukum adat Bali secara umum merupakan penganut Agama Hindu, dan dalam kehidupan kesehariannya diatur berdasarkan hukum adat Bali. Hukum adat Bali adalah hukum yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat hukum adat Bali yang berlandaskan pada ajaran Agama Hindu dan tumbuh berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat hukum adat Bali itu sendiri. Oleh karenanya dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkannya antara adat dan agama di dalam masyarakat hukum adat Bali, disebabkan karena adat itu sendiri bersumber dari ajaran agama. Dalam ajaran Agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali, pelaksanaan agama dapat dijalankan melalui tiga kerangka dasar Agama Hindu yang terdiri dari Tatwa atau Filsafat, Susila, dan Upacara. Perlu dijelaskan mengenai pengertian dari tiga kerangka dasar ajaran Agama Hindu tersebut adalah: 1.
Tatwa (Filsafat), sebenarnya Agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akan dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan di dalam 99
Wayan. P Windia, 2008, Bali Mawacara Kesatuan Awig-awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar, hal.3.
135 ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam Agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh fikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana. Ada tiga cara penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana. Tri Pramana ini menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam Tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan Sradha. Dalam Hindu, Sradha disarikan menjadi lima esensi yang disebut Panca Sradha. Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti yaitu ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa. 2.
Susila (Etika), susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari-hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. Seseorang akan mendapatkan simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi-sendi kesusilaan. Kata susila terdiri dari dua suku kata ”su” dan ”sila”. ”Su” berarti baik, indah, harmonis dan ”Sila” berarti prilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku yang baik terpancar sebagai cermin obyektif dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu
136 adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala mahluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. 3.
Upacara (Yadnya), adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya juga dapat diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebijakan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di dalam Yadnya terkandung nilai-nilai rasa tulus ikhlas, kesucian serta rasa bakti memuja dan menghormati Ida Sang Hyang Widhi, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara, Bangsa dan kemanusiaan. Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra) sebagai sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
137 Ketiga hal inilah yang digunakan sebagai pedoman masyarakat Hindu Bali sebagai norma yang mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Etika, susila dan upacara yang dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan rasa kepatutan dan keseimbangan (harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu asas hukum yang melingkupi atau yang mendasari hukum adat Bali
adalah
kepatutan
dan
keseimbangan.Adanya
asas
kepatutan
dan
keseimbangan ini, sebagai pedoman untuk dapat mengukur apakah tindakan dan perbuatan itu sesuai dengan norma yang berlaku ataukah telah terjadi pelanggaran. Dalam hal ini maka harus dapat dibedakan antara mana yang disebut ’patut’ dan apa yang disebut dengan ’boleh’. Segala sesuatu yang boleh dilakukan belum tentu merupakan perbuatan yang patut dilakukan. Sedangkan pada asas keseimbangan (harmoni), pada dasarnya seluruh perbuatan manusia diharapkan tidak menggangu keseimbangan didalam kehidupan masyarakat. Pada perbuatan ataupun keadaan yang menggangu keseimbangan, maka perlu dilakukan pemulihan keseimbangan yang berupa tindakan-tindakan yang mencerminkan mengembalikan keseimbangan yang terjadi oleh perbuatan atau keadaan tersebut. Pada gangguan keseimbangan yang tidak diketahui atau tidak dapat ditimpakan pertanggungjawabanatas kejadian tersebut, maka adalah menjadi tanggungjawab persekutuan (kesatuan masyarakat hukum adat) untuk bertanggungjawab atas pengembalian keseimbangan yang harus dilakukan. Walaupun di dalam kenyataanya dikatakan antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan, namun antara adat dan agama masih dapat dibedakan. Agama (dalam hal ini Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali)
138 adalah berasal dari ketentuang-ketentuan ajaran dari para maharesi dan kitab suci Weda sebagai wahyu dari Ida Sang Hyang Wihi Wasa. Sedangkan adat adalah berasal dari kebiasaan dalam masyarakat yang dapat mengikuti situasi, kondisi, dan tempat pada saat itu. Dilihat dari perspektif Hukum Adat Bali, untuk membahas perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, maka seperti yang telah di bahas sebelumnya dalam ajaran Agama Hindu dikenal dengan tiga kerangka dasar Agama Hindu.Dari ketiga kerangka dasar tersebut, terutama dalam hukum adat Bali meliputi asas kepatutan dan keseimbangan. Dalam pembahasan mengenai permasalahan kerja sama perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, dari perspektif hukum adat Bali dan dilihat sesuai dengan asas kepatutan dan keseimbangan,
maka
pembahasan
ini
mengarah
pada
keseimbangan.
Keseimbangan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah, mengenai kurangnya perhatian dari PIHAK PERTAMA dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban yang tercantum dalam isi perjanjian. Ketidakseimbangan ini bisa dikatakan sebagai sebuah pelanggaran atas apa yang diyakini oleh masyarakat hukum adat yaitu masyarakat Desa Pakraman Kukuh dalam mengelola Objek Wisata Alas Kedaton yang merupakan milik dari Desa Adat Kukuh. Sudah sebagai suatu keharusan bahkan kewajiban PIHAK PERTAMA, sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk dapat melakukan
139 kerja sama yang di dasari atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.Mengenai kewajiban yang disertakan dalam isi perjanjian seharusnya tidak melukai hati masyarakat kukuh yang pada kenyataanya PIHAK PERTAMA ikut mendapatkan hasil dari pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, namun tidak ada tanggungjawab
untuk
ikut
memelihara
dan
membantu
kelangsungan
pembangunan infrastruktur dan pemeliharaan pura sebagai timbal balik dari mendapat bagian berupa pembagian hasil pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Untuk memenuhi agar terciptanya suatu keseimbangan dari dibuatnya perjanjian tersebut, maka apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak harus berada dalam posisi sejajar dan saling menguntungkan, bukan malah sebaliknya. Jadi dapat di ambil sebuah kesimpulan secara umum bahwa perjanjian kerja sama yang di buat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa Pakraman Kukuh dalam perspektif hukum adat Bali harus dilihat melalui sudut pandang Sekala dan Niskala. Secara Sekala atau dunia nyata dapat kita lihat telah terjadi suatu kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh untuk membuat perjanjian, sedangkan pada kenyataannya secara Niskala belum ada perhatian Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk membantu baik berupa dana maupun perbaikan infrastruktur terutama pada bangunan pura yang terdapat di dalam hutan Alas Kedaton, Pura Dalem Khayangan Kedaton. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai tujuan hukum yang dikemukakkan Gustav radbruch bahwa, keadilan harus berada dalam posisi utama
140 atau pertama di dalam menentukan suatu tujuan dari hukum. Keadilan tersebut di dalamnya juga mencakup mengenai keseimbangan, dalam hal ini terutama mengenai pembuatan suatu perjanjian dan dikaitkan mengenai perjanjian kerjasama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, maka harus di dasarkan pada keadilan dan keseimbangan untuk secara bersama-sama kedua pihak yang membuat perjanjian tersebut mendapatkan manfaat dari apa yang telah di buat dan yang terpenting bermanfaat bagi masyarakat secara umum.
141
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan uraian mengenai perjanjian penyelenggaraan dan pengelolaan
daya tarik wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut 1.
Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian sebagaimana di atur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Pasal 1320 KUHPerdata mencakup empat syarat fundamental yang harus dipenuhi agar perjanjian dapat dinyatakan sah yaitu sepakat untuk mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
2.
Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi asas keadilan dan kemanfaatan. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Perjanjian dikatakan sudah memberikan jaminan kepastian hukum karena para pihak yang membuat perjanjian kerjasama telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan tata cara dalam pembuatan perjanjian kerjasama yang mengacu pada Peraturan
142 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. b. Perjanjian dikatakan belum memenuhi rasa keadilan karena dari pembagian hasil pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton terutama dari hasil penerimaan pendapatan karcis, pihak kedua yaitu Desa Pakraman Kukuh selaku pemilik dari Objek Wisata Alas Kedaton hanya mendapat pembagian hasil pengelolaan sebesar 35 %. Sedangkan sisanya sebesar 65 % diterima Pemerintah Kabupaten Tabanan selaku pihak pertama. c. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tidak memberi kemanfaatan bagi masyarakat Kukuh secara Sekala maupun Niskala. Dikatakan tidak memberi manfaat karena semenjak dilaksanakannya perjanjian tersebut pada Tahun 2012 sampai saat ini belum pernah sekalipun Pemerintah Kabupaten Tabanan memberikan bantuan baik berupa dana maupun berupa partisipasi dalam membantu perbaikan infrastruktur Objek Wisata Alas Kedaton. Terlebih perbaikan untuk Pura Dalem Khayangan Kedaton sebagai timbal balik atas pembagian hasil yang diterima dari pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. 5.2
Saran Adapun saran yang dapat direkomendasikan sehubungan dengan
pembahasan ini maka dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu kepada:
143 1. Pemerintah Kabupaten Tabanan Hendaknya perjanjian kerjasama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh diperlukan adanya evaluasi atau peninjauan ulang atas poin-poin perjanjian untuk kesempurnaan isi dari perjanjian tersebut. Selanjutnya kewajiban yang ditanggung Pemerintah Kabupaten Tabanan tidak sebatas apa yang tertuang dalam perjanjian yang ada, tetapi lebih sebagai penguasa yang mengayomi wilayah Tabanan dengan mengalokasikan anggaran untuk Objek Wisata Alas Kedaton lewat APBD. 2. Desa Pakraman Kukuh Saran kepada Desa Pakraman Kukuh, hendaknya diperlukan adanya pembicaraan yang lebih matang atas isi perjanjian dari dua belah pihak antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh agar tumbuh rasa saling percaya, adil dan memberi manfaat atas pelaksanaan dari perjanjian tersebut. Untuk kedepan agar pihak pengelola Objek Wisata Alas Kedaton lebih berhati-hati dalam menyetujui sebuah perjanjian sehingga diharapkan apa yang menjadi kesepakatan memiliki manfaat dan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak, Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa Pakraman Kukuh.
144 DAFTAR BACAAN 1.
BUKU
Muhammad, Abdulkadir, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, Bandung. Muhammad, Abdulkadir, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor. -----------------, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Jurisprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kharisma Putra Utama, Jakarta. Anonim, Bali Bangkit Kembali, 2006, Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia & Universitas Udayana. Apeldorn, L.J Van, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Ardika, I Wayan, 2007, Pusaka Budaya Dan Pariwisata, Pustaka Larasan, Denpasar. Artadi, I Ketut, 2003, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar. Artadi, I Ketut, dan Nyoman Rai Asmara Putra, I Dewa, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2012, Potret Tabanan Serasi Tahun 2012. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2013, Profil Tabanan Serasi Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan, 2013, Tabanan Dalam Angka 2013. Badrulzaman, Mariam Darius, 2001, Kompolasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. ---------------------------------------, 1991, Perjanjian Kredit, Citra Aditya Bakti, Bandung -------------------------------------, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung Budiono, Herlin, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
145 Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia & Universitas Udayana, 2006, Bali Bangkit Kembali, Denpasar. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Ikthisar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. E Mauch, James & W Brich, Jack, 1983, Guide To The Successful Thesis And Desertation Conception To Publication, Marcel Dekker Inc, New York. Elias, Stephen, 2009, Legal Research How to find & Understand the law, Free Legal Update at Nolo.com, USA Farnsworth, E. Allan, 1999, United States Contract Law, Jurish Publishing, United States Of America. Friedman, W, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, PT. Rajawali Press, Jakarta. Fuady, Munir, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung. Gede Atmadja, I Dewa, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945 Edisi Revisi, Setara Press, Malang. Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, Basic Books, London. H.S, Salim, 2003,Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta. --------------, 2003, Hukum Perjanjian dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta. --------------, 2010, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta. Hanitijo, Ronny, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet I, Ghalia Indonesia, Jakarta Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta Huijbers, Theo, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Cetakan Keempat belas, Yogyakarta.
146 Isnaeni, Moch, 2007 , Kontrak sebagai Bingkai Kegiatan Bisnis, Workshop Teknik Perancangan & Review Kontrak-Kontrak Bisnis, Law Firm Prihandono &Partners, Surabaya-Bina Uf Coference, Surabaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta. Kamus Besar Ikthisar Indonesia Edisi Ketiga, 2005, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta. Kan, L.J Van dan Beekhuis, J.H, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta Kelsen, Hans, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung Keraf, Soni, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Kusumohamidjojo, Budiono, 1998, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, M. Moelino, dkk, Anton, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Machmudin, Dudu Duswara, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Jakarta ---------------------------------, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Mashudi & Chidir Ali, Muhammad, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung. Masriani, Yulies Tiena, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. -------------------------------, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta
147 Miru,Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Niewenhius, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya. Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung. Poerwadarminta, W.J.S., 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. Prawirohamidjojo, Soetojo & Pohan, Marthalena, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya. Rahardjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ----------, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. ---------------, 2001, Hukum Perjanjian, Cetakan 18, Intermasa, Jakarta. Saliman, Abdul R., Hermansyah, Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Santoso, Urip, 2010, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta. Satrio.J, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Ynag Timbul dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta. Simanjuntak, Ricardo, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta. Soebekti, R, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta. Soebekti, R. dan Tjitrosudibio, R. 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Soehino, 1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
148 Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta Suasthawa Dharmayuda, I Made, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. Surpha, I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Bali Post, Denpasar. Suryodiningrat, R.M, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung. Sutaba, I Made, 2004, Pura Dalem Kayangan Kedaton. Termorshuizen, Marianne, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta. Tim Redaksi Bali Post, 2006, Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat, Pustaka Bali Post, Denpasar. Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Ujan, Andre Ata, 2005, Keadilan dan Demokrasi, telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius Cetakan Ke 5, Yogyakarta Utrecht, E, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. Van Dunne, J.M dan Der Burght, Van, 1988, Perbuatan Melawan Hukum,Dewan Kerja sama Ilmu hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek hukum Perdata, Ujung Pandang Van Kan L.J dan Beekhius J.H, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Vasu, Sucitthra, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, SingaporeWatt, Robet, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press, Leichhardt, NSW. Watt, Robert, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press, Leichhardt. Windia, Wayan P, 2008, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar. Yudha Hernoko, Agus, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Predana Media Group, Jakarta.
149 Zweight, A.G. Guest. Konrad &Kotz, Hein, 2003, Itikad baik kebebasan berkontrak, FH UI :Pascasarjana.
2.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Awig-Awig Desa Pakraman Kukuh.
3.
TESIS
Kartika Jaya Seputra, I Gusti Agung Ketut, 2012,”Pemenuhan Hak-Hak Tradisional Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Studi Kasus Pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot)”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. Haryani, Luh Putu, 2000, ”Peningkatan Pengelolaan Obyek Wisata Alas Kedaton, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan”, Tesis Program Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar. 4.
DESERTASI
Arka, I Wayan, 2014, ”Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan Obyek Wisata Di Bali”, Desertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
150 5.
LAPORAN PENELITIAN
Windia, Wayan P, A.A.Gede Oka Parwata, I Ketut Wirta Griadhi, I Ketut Sudantra, Wayan Koti Cantika, 2011 ”Pola Hubungan Antara Pemerintah Kabupaten Gianyar Dengan Desa Pakraman Padang Tegal Dalam Mengelola Obyek Wisata Wenara Wana (Monkey Forest)”, Laporan Penelitian dar Proyek Nuffic, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
3.
INTERNET
Omer Law, 2011, “Artikel Politik Hukum : Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch”, (Cited 2014 Nov 15), available from : https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukumtujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch/
Sugionomuslimin, 2010, “Konsep Pengelolaan (Manajemen)”, (Cited 2014 Mei.3), available from: URL http :// sugionomuslimin.wordpress.com/2010/1/05/konsep-pengelolaanmanajemen.
Yancearizona, 2008, “Apa Itu Kepastian Hukum”, (Cited 2015 Januari 17), available from: http//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastianhukum/.
151
LAMPIRAN
152 LAMPIRAN 1
DAFTAR INFORMAN
1) Nama
: I Gede Subawa
Tempat/tanggal lahir
: Kukuh, 1959
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: Sekolah Menengah Atas
Jabatan
: Bendesa Desa Pakraman Kukuh
Agama
: Hindu
Alamat/domisili
: Br. Munggal, Desa Kukuh Marga Tabanan
2) Nama
:Drs. I Gusti Made Purnayasa.,SH.,M.Si
Tempat/tanggal lahir
: Kukuh, 30 April 1945
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: Strata 2
Jabatan
: Mantan Bendesa Desa Pakraman Kukuh
Agama
: Hindu
Alamat/domisili
: Jero Alit Kukuh Marga Tabanan
3) Nama
: I Gusti Bagus Suryawan
Tempat/tanggal lahir
: Kukuh, 6 November 1964
Jenis Kelamin
: Laki-laki
153 Pendidikan
: Sekolah Menengah Atas
Jabatan
: Manager Objek Wisata Alas Kedaton
Agama
: Hindu
Alamat/domisili
: Br. Tengah Desa Kukuh Marga Tabanan
4) Nama
: Drs. I Nyoman Sudarma., M.Si
Tempat/tanggal lahir
: Belayu/31 Desember 1956
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: Strata 2 Ilmu Administrasi
Jabatan
: Kepala Dinas Pendapatan Derah dan Pasedahan Agung Kabupaten Tabanan
Agama
: Hindu
Alamat/domisili
: Br. Peken Desa Peken Belayu, Marga, Tabanan.
5) Nama
: Drs. I Wayan Loter., M.Si
Tempat/tanggal lahir
: Tabanan, 2 Juli 1960
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pendidikan
: Strata 2 Ekonomi
Jabatan
: Kepala Bidang Ekonomi BAPPEDA Tabanan
Agama
: Hindu
Alamat/domisili
:Desa Selanbawak, Marga, Tabanan