1
Bab I
PERJALANAN KEHIDUPAN SOSOK SANG DA’I AKADEMISI
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
2
Dai dan Akademisi
3 1. MASA KECIL DI KAMPUNG
Pintu Padang Berawal dari desa yang terpencil yang bernama Pintu Padang lahir hamba Allah yang kemudian diberi nama Ali Ya’kub Matondang tepatnya pada tanggal 11 Desember 1947. Bayi mungil nan cerdas ini merupakan buah dari pernikahan alm. Nurotib Matondang bergelar Japoso dengan almh. Sitiria Lubis. Keduanya dikenal oleh penduduk kampung sebagai keluarga sakinah yang taat beragama serta berprofesi sebagai petani. Sebenarnya Matondang lahir di desa Pintu Padang. Namun, disebabkan Air Bangis ibukota kecamatan, maka ia menulis Air Bangis sebagai tempat kelahirannya ketika mendaftar di sekolah.
Sekolah SR Pada usia 6 tahun Ali Ya’kub masuk Sekolah Rakyat (SR) di desa Kampung Baru yang berjarak 2 km dari rumahnya. Kehidupan di pedesaan sederhana pada masa itu tidak menghalangi Matondang kecil untuk menempuh perjalanan menuju sekolahnya. Sekalipun jalan yang dilalui berada di tengah-tengah hutan yang masih banyak binatang buas serta berbisa. Demikian pula dengan perkuburan yang menyeramkan ternyata sedikit pun tidak menyurutkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Bahkan suasana itu menjadi kenangan indah saat ini. Apalagi ketika turun hujan, Matondang kecil dan temantemannya menjadikan daun keladi sebagai payung melindungi dari derasnya air hujan. Gemercik air seakan-akan bertasbih kepada Allah seraya mendoakan setiap langkahnya menuju taman ilmu.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
4 Mengaji di Maktab Ketika Ali Ya’kub Matondang duduk di kelas III SR beliau belajar mengaji di Maktab atau yang disebut Ibtidaiyah saat ini. Para guru yang mengajar di Maktab itu memancarkan aura keikhlasan dan penuh kesabaran, sehingga ilmu yang mereka ajarkan sangat berkesan di dalam diri saya, ujar Pak Matondang. Saya masih ingat salah seorang mu’allim saya pada waktu itu yang bergelar “Guru Batuah” mengajarkan kami sejarah Islam dan tata bahasa Arab (al-Ajurmiyah). Sekalipun jenjang pendidikannya lokal namun keberkahan pengajarannya masih berkesan bagi saya hingga saat ini. Demikian kenang Pak Matondang. Dari jenjang inilah dasar keilmuan Prof. Matondang sudah terbangun dengan baik. Kemampuan Bahasa Arab dan disiplin keilmuan Islam dia peroleh dari guru-guru yang ikhlas dalam mengajar. Selain itu, suasana belajar yang kondusif dan kecerdasan yang dimiliki sangat memudahkannya untuk “melahap” setiap ilmu yang diajarkan oleh para guru. Saat ini, jenjang pendidikan ibtidaiyah atau maktab ini tidak lagi mendapatkan prioritas di hati umat islam. Banyak faktor mungkin yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Di antaranya; ijazah yang tidak diakui sehingga tidak dapat melanjutkan ke Tsanawiyah atau SMP, banyaknya PR yang dibebankan kepada anak-anak SD saat ini, sehingga mereka terlalu disibukkan dengan pelajaran sekolah. Selain itu, banyaknya private less dan bimbingan belajar setelah waktu sekolah menambah beban bagi anak-anak SD, sehingga mereka sudah keletihan atau tidak ada waktu lagi untuk mengaji di maktab.***
Dai dan Akademisi
5 2. DUKUNGAN KELUARGA
Lima Bersaudara Kami berjumlah lima orang bersaudara. Yang paling besar abang saya bernama Abdul Muluk. Ia hanya menyelesaikan pendidikannya sampai sekolah menengah, disebabkan ibu kami meninggal dunia sehingga abang terpaksa membantu ayah bekerja di sawah demi adikadiknya. Yang kedua bernama Nurjannah berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai PGA. Adapun saya adalah anak ketiga, dan keempat adik saya yang bernama Nurmalia sekarang menetap di kampung halaman. Sedangkan yang terakhir bernama Nur Aminah bertempat tinggal di Medan. Alhamdulillah, kami semua masih diberikan Allah SWT kenikmatan hidup bersama-sama. Sungguh indah hidup bersaudara dengan prinsip saling membesarkan dan saling mendukung satu dengan yang lain. Kakak beradik akan terlihat sangat baik, jika mau saling mendahulukan, saling melindungi, dan saling mengasihi, itulah ikhlas dalam bersaudara yang ditumbuhkembangkan oleh Da’i Matondang dalam dakwah di tengah-tengah keluarga. Lebih jauh dia berkata: “Betapa indahnya jika di antara saudara sekandung atau saudara sesama muslim dapat saling menghormati, saling mendahulukan, saling melindungi dan saling mengasihi.”
Keluarga itu Saling Membantu Dukungan keluarga ketika saya sekolah sangatlah besar. Hal ini dapat saya rasakan dengan pengorbanan abang dan kakak di samping tentunya pengorbanan orang tua saya sendiri. Mereka sangat
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
6 mendukung kemauan kuat saya untuk melanjutkan sekolah di pesantren Adlaniyah. Mereka menanam padi di sawah dan setiap bulan mengirimkan ke pesantren sebanyak 4 sukat beras atau sama dengan 20 kg dan uang secukupnya. Selain itu, dari kampung juga dikirimi cabe giling yang diletakkan di dalam bambu (tumba) sebagai bumbu masak yang disiapkan oleh kak Nurjannah.
Ibuku Wafat Ketika saya berusia 13 tahun dan duduk di bangku kelas I di Adlaniyah, ibu saya meninggal dunia disebabkan sakit tumor yang lama dideritanya. Beliau tutup usia antara 45-50 tahun. Saya masih ingat, ketika itu abang saya menjemput dengan kereta angin (sepeda) dan saya dibonceng di belakang. Setelah kepergian ibu, ayah menduda hingga akhir hayatnya dan seluruh urusan dapur dikerjakan oleh kakak saya. Demikian besar pengorbanan dan dukungan keluarga, khususnya abang dan kakak saya sehingga saya tidak pernah melupakannya.
Ayah Menyusul Pada tahun 2001, ketika itu saya berusia 54 tahun dan masih menjabat sebagai Rektor IAIN SU, bapak saya meninggal dunia. Allah SWT memberkahi umur yang panjang bagi beliau sehingga ketika tutup usia diperkirakan usianya lebih dari seratus tahun. Sedih terasa menghujam menyesakkan dada, akan tetapi kami semua ikhlas dan sabar menerima ketentuan-Nya. Seraya berdoa kepada Allah swt kiranya amal ibadah beliau diterima-Nya dan menempatkan beliau di dalam surga Firdaus. Banyak kenangan yang masih melekat indah dalam benak saya, kenang Pak Matondang. Ayah adalah sosok orang tua yang sangat dekat dengan anak-anaknya, sehingga sering kali sebelum kami menyampaikan sesuatu kepadanya, beliau telah mengetahuinya. Beliau senantiasa menasihati kami agar menjadi orang yang tekun dan jujur dalam menempuh kehidupan. Pesan ini sangat berkesan dan bermanfaat bagi saya, dengan modal itu pula saya menapaki
Dai dan Akademisi
7 kehidupan hingga mencapai keberhasilan saat ini. Pesan yang sama juga saya sampaikan kepada anak-anak saya dan seluruh pemudapemudi Islam untuk senantiasa menjadi anak bangsa yang jujur, inovatif dan religius. Ada pesan menarik untuk mencintai orang tua dari seorang yang bijak: “Inilah masanya, jika kita menyayangi orang tua, cintailah dia sekarang supaya dia tahu keindahan dan kelembutan kasih yang mengukir kudus dai dalam sanubarimu. Cintailah orang tua sekarang, semasa keduanya masih hidup, usah tunggu hingga keduanya telah pergi, kemudian barulah diukir di batu nisan dengan kata-kata indah pada sekujur yang sepi.” Orang bijak itu menambahkan: “Jika mau memiliki kenangan yang manis buat kedua orang tua, tunjukkanlah sekarang, jika kamu menunggu hingga keduanya wafat, sudah pasti keduanya tidak dapat mendengar, karena kita dibatasi kelemahan. Jika kamu mencintai orang tua, walaupun itu sedikit, lafazkanlah dan buktikan sekarang, mumpung keduanya masih hidup, agar keduanya dapat menikmati dan mengenangnya dengan indah.”
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
8 3. KENANGAN INDAH DI PESANTREN ADLANIYAH
Penjara Suci yang Berkah Bermodalkan ilmu dari Ibtidaiyah dan Sekolah Rakyat, maka beliau melanjutkan ke Pesantren Adlaniyah di desa Tampus yang berjarak kira-kira 40 km dari rumah beliau. Pesantren ini didirikan oleh Tuan guru Adlan, ayah dari bapak Nazri Adlani (mantan Rektor IAIN SU). Di pesantren ini beliau mendapatkan kajian keislaman yang lebih luas dan komprehensif. Suasana kehidupan dan metode pendidikan yang diterapkan di pesantren tersebut sama dengan pesantren Purba Baru, yaitu 70% mata pelajaran agama dan 30% pelajaran umum. Di antara pelajaran umum yang diajarkan adalah al-Jabar, Ilmu Ukur, Sejarah Dunia, dan Ilmu Pendidikan. Perjalanan awal menuju “penjara suci” (baca pesantren) ditempuh dengan berjalan kaki. Ketika musim liburan tiba pada bulan Ramadhan, para santri berjalan kaki pulang ke rumah orang tua masing-masing secara bersama-sama. Perjalanan yang ditempuh sejauh 40 km tersebut memakan waktu satu hari. Semua itu beliau jalani dengan gembira karena keinginan masuk ke pesantren muncul dari kemauannya sendiri.
Hidup Mandiri Selama belajar di lingkungan Pesantren, beliau mendapatkan ilmu di kelas dan di luar kelas. Jika di kelas beliau mendapatkan teori, maka di luar kelas beliau mempraktekkannya. Demikianlah pesantren membentuk santrinya hidup mandiri. Apalagi fasilitas pada masa itu sangat terbatas. Hidup di rumah yang dibangun sendiri kira-kira 2x2
Dai dan Akademisi
9 m, dengan 4 tiang kayu bulat sebagai tiang dan batang pinang yang dibelah sebagai lantainya, berdinding kulit kayu dan beratap daun ilalang. Gubuk-gubuk itulah sebagai tempat tinggal para santri yang dibangun atas swadaya para orangtua yang memasukkan anaknya ke pesantren. Menariknya, gubuk tersebut dapat diangkat untuk dipindah-pindahkan oleh 4-5 santri dengan mengangkat tiang penyangganya. Baju yang dibawa hanya dua pasang, jika yang satu kotor dan dicuci maka masih ada cadangan satu lagi. Tidak ada setrikaan untuk merapikan baju, bahkan belajar pada malam hari pun masih menggunakan lampu teplok. Untuk merapikan pakaian yang telah dicuci, maka pakaian itu dilipat dan diletakkan di bawah kepala sebagai pengganti gosokan. Pendidikan kemandirian tersebut sangat berpengaruh dalam jiwa Matondang muda, sehingga pada usia 12 tahun beliau sudah mandiri dalam urusan pribadi, sekolah bahkan segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Menghapal Mahfuzat Di antara pelajaran favoritnya di pesantren adalah Mahfuzhat. Yaitu pelajaran menghafal kata-kata mutiara dalam bahasa Arab sebagai pedoman dalam kehidupan. Selain itu, menghafal matan alAjrumiyah berikut syarhnya, dan matan al-binâ’ wa al-asâs yang ketika itu diujikan langsung secara tatap muka (ujian syafahi/lisan) di depan tuan guru Burhanuddin Lubis. Beliau mewajibkan setiap santri untuk menghafal 25 bab dari matan Ajrumiyah tersebut dalam waktu satu tahun. Uniknya, kenaikan kelas ditentukan dengan ujian lisan di hadapan Tuan Guru Adlan yang langsung menguji hafalan dan pemahaman para santrinya. Namun, Matondang muda selalu melewati ujian-ujian tersebut dengan baik dan kerap mendapat pujian dari gurunya.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
10 4. SEPEDA BERTUAH
Sepeda Modal Sekolah Setelah tamat dari pesantren Adlaniyah, semua santri kembali ke kampung masing-masing menyampaikan dakwah di surau. Sebagian mereka ada yang melanjutkan sekolah ke Padang dan Medan. Sering Matondang muda duduk melamun di depan rumahnya dan terkadang meneteskan air mata melihat sebagian kawannya melanjutkan sekolah ke Medan. Namun, ia menyadari betul keadaan ekonomi keluarga tidak memungkinkan lagi untuk menyekolahkannya ke Medan. Sebab, hasil kebun dari palawija dan padi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun demikian, semangat untuk melanjutkan sekolah ke Medan tetap membara di dalam jiwanya. Sambil berdoa dan bermunajat dalam shalatnya, ia memohon kepada Allah SWT agar memberikan jalan keluar baginya. Pada satu pagi, sang ayah menghampiri anaknya yang duduk termenung. Sikap tanggap sang ayah terhadap kondisi batin anaknya. Ayah bertanya: “Mengapa kamu termenung nak?” Matondang menjawab: “Saya sedih melihat kawan-kawan ada yang melanjutkan sekolah ke Padang dan Medan”. Menyahuti keinginan si anak, sang ayah mengizinkan Matondang muda untuk membawa sepeda Hercules milik ayahnya untuk modal awal sekolah ke Medan. Sepeda bertuah tersebut merupakan alat transportasi sekaligus berfungsi untuk kendaraan mengangkut barang ke pekan. Dengan hati sangat gembira, ia memeluk sang ayah sambil menangis bahagia. Selang beberapa hari setelah mempersiapkan segala bekal yang
Dai dan Akademisi
11 diperlukan, Matondang pergi meninggalkan kampungnya menuju ke Medan dengan mengendarai sepeda bertuah tersebut. Perjalanan yang ditempuh tidak mudah melintasi lembah dan persawahan. Terkadang pula sepeda tersebut terpaksa dipikul hingga menemukan jalan perkampungan.
Sepeda Dijual Setelah menempuh jarak 40 km selama satu hari, ia sampai di desa Bonca Bayuwon Kabupaten Mandailing Natal. Merasa sepeda tersebut satu-satunya harta yang dimiliki, ia menjualnya kepada seorang pedagang dengan harga Rp. 900.00., Keesokan harinya, dengan uang tersebut Matondang melanjutkan perjalannya ke Medan dengan menaiki bus Sri Bunga dengan ongkos Rp. 450.00., Ia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah saudara sepupunya di Siantar. Dari situ ia mendapatkan informasi bahwa di Medan ada saudara mereka yang bernama Ustadz Abdul Hadi Yûsuf Matondang yang bertempat tinggal di Gg. Perguruan. Informasi ini semakin menambah semangatnya untuk menuntut ilmu di Medan karena ada saudara tempat bernaung walau hanya untuk beberapa waktu saja.
Tempat Menginap di Medan Ketika di kampung, Abdul Muluk (abang tertua) pernah juga menceritakan bahwa mereka memiliki saudara yang bernama Bapak Bahrum Matondang. Istri beliau adalah mantan istri ayah mereka. Dahulu pada masa kolonial Belanda ayah mereka merantau ke Medan dan menikah dengan seorang wanita. Beberapa waktu kemudian ayah mereka terpaksa pulang kampung, namun istrinya tidak setuju dan akhirnya mereka berpisah dengan cara baik-baik. Dari pernikahan tersebut lahir seorang anak, namun usianya tidak panjang dan meninggal dunia. Maktuo Hj. Sofiah, begitulah mereka memanggil mantan istri ayah mereka ini, saat ini berdomisili di Tanjung Morawa. Beliau sudah sangat uzur dan saya sering menjenguk beliau hingga saat ini, papar Pak Matondang. Jadi, ada dua tempat yang dapat
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
12 dipilih oleh Matodang muda di Medan sebagai persinggahan pertamanya. Keesokan harinya, setelah bermalam di Siantar, ia melanjutkan perjalanan ke Medan dengan mengendarai bus Siantar Express sampai di Stadion Teladan. Sesampainya di Medan, Matondang memutuskan menuju ke rumah Maktuonya yang ketika itu masih bertempat tinggal di Jl. Serdang gg. Istirahat dekat masjid ar-Rahman dengan mengendarai becak. Suami Maktuo berprofesi sebagai pegawai di Pemkab Deli Serdang. Matondang disambut keluarga besar maktuo yang telah memiliki lima orang anak dengan suka cita. Ia menceritakan hasratnya untuk kuliah di perguruan tinggi di Medan.
Diterima di PTM Medan Pak Bahrum suami maktuo menyarankan agar Matondang mengajar di sekolah al-Hidayah yang diasuh oleh Ust. Abdul Hadi Yûsuf Matondang. Setelah sampai di sana dan berbincang-bincang dengan Ust. Abdul Hadi, Matondang menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Dengan mengendarai sepeda motor Honda Atrex warna hijauputih, ia dibonceng menuju ke PTM. Dengan bermodalkan surat pengantar dari pengurus Muhammadiyah cabang Ujung Gading yang saya bawa dari kampung saya akhirnya diterima di PTM. Pada pagi hari Matondang mengajar di al-Hidayah dan beberapa privat las serta pengajian ibu-ibu di Jl. Emas. Pada jam 15.00 WIB ia kuliah di Fakultas Ilmu Agama jurusan Dakwah (FIAD) di PTM dan sekarang dikenal dengan nama UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara). Beliau tercatat sebagai mahasiswa pertama yang lulus sarjana muda (BA) dari fakultas ini dengan no. ijazah 001 sekalipun no stambuknya 022. Perkuliahan ia tempuh di PTM kurang lebih selama tiga tahun yaitu dari tahun ajar 1967 hingga 1970. Saat itu Perguruan ini sedang mengalami tahap pembinaan di mana perguruan tinggi hanya memiliki tiga fakultas yaitu FAFHIM (Fakultas Falsafah dan Hukum Islam, FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan) dan FIAD (Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah) yaitu jurusan yang saya pilih, jelas Matondang.
Dai dan Akademisi
13 Tahun pertama kuliah di PTM, Matondang tinggal di rumah maktuo sambil membantunya menjaga kedai di pinggir jalan dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Ia juga sering tidur di kedai hingga larut malam bahkan hingga subuh menjelang. Di kedai tersebut ia manfaatkan waktunya untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Hubungan saya dan maktuo serta segenap anggota keluarga sangat baik, bahkan sampai sekarang saya senantiasa berkunjung menjenguknya. Saya tidak dapat melupakan jasanya yang begitu besar dalam perjalanan kehidupan saya, kenang Matondang. Selama masa pendidikan terutama tahun pertama beliau belum memberanikan berdakwah langsung dan hanya mengiringi ust. Abdul Hadi Yusuf Matondang. Hal tersebut disebabkan karena ia belum siap secara mental dan bahan ceramah untuk disampaikan belum memadai. Akhirnya ia bersikap melihat dan mempelajari metode ceramah ust. Abdul Hadi. Setelah ia mengetahui kiat dalam berdakwah dan didukung penguasaan terhadap ayat al-Qur'an dan Hadis, barulah pada tahun kedua ia memberanikan diri untuk berdakwah. Hal itu pun baru ia lakukan sebatas di tingkat ranting Muhammadiyah. Alhamdulillah, sambutan yang diberikan cukup positif sehingga akhirnya tugas dakwah saya semakin hari semakin banyak. Sehingga rute ceramah saat itu sampai ke daerah Perdagangan, Siantar dan Asahan, demikian kenang Matondang. Selama menjalani perkuliahan di PTM, Matondang tidak mengalami kendala sedikit pun dalam hal menguasai bahan-bahan perkuliahan. Sebab, basic ilmu klasik khususnya berbahasa Arab telah ia kuasai selama mondok di Pesantren Adlaniyah. Namun, disebabkan materi perkuliahan banyak memuat pemahaman Muhammadiyah yang belum beliau dapatkan selama di pesantren, sehingga ia perlu menyesuaian diri. Dalam proses itu pula Matondang belajar berdiskusi dan bertukar pikiran dengan sesama teman di bangku perkuliahan. Hal ini menjadi penting dalam membentuk karakter keilmuan beliau ke depan yang toleran dan kritis terhadap setiap kajian keislaman.***
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
14 5. KARIER AKADEMISI; BERAWAL DARI GURU SD
Guru SD status PNS Sebelum menyelesaikan pendidikan di PTM, Matondang telah menjadi guru dengan status PNS (Pegawai Negeri Sipil). Ia diangkat menjadi guru SD tahun 1967 dan ditempatkan di Tembung. Pada tahun itu ia lulus mengikuti UGA (Ujian Guru Agama). Penerimaan PNS pada saat itu tidaklah begitu ketat, hanya dengan mengikuti ujian kemungkinan besar akan diterima. Tidak berapa lama mengajar di SD Tembung kemudian ia dipindahkan ke SD Negeri di Jl. Japaris. Di sini ia dituntut untuk menjadi guru segala alias guru yang harus mampu mengajarkan seluruh mata pelajaran seperti pelajaran agama, kesenian, berhitung hingga olah raga.
Melanjutkan Kuliah di SPG Muhammadiyah Pada tahun 1970 setelah tamat sarjana muda bergelarkan BA dari PTM, ia dipindahkan ke sekolah teknik negeri setingkat SMP di Jl. Sungai Kera untuk menjadi guru agama juga. Pada tahun 1973 ia minta agar ditempatkan pada sekolah dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu ke SPG Muhammadiyah di Jl. Gedung Arca (sekarang sudah pindah ke Jl. Utama). Adapun alasan yang ia ajukan karena ingin lebih berkualitas untuk mengajar ke tingkat yang lebih tinggi.
Dai dan Akademisi
15 6. SEMANGAT DAKWAH SANG DA’I
Kilang Padi Modal Dakwah Setelah menyelesaikan pendidikan di PTM, kegiatan dakwah Matondang semakin padat dan jadwal kegiatan semakin beragam. Dari mengajar di SD hingga memberikan masukan dakwah di kampungnya. Ketika bertemu dengan beberapa ustadz dari kampung di antaranya ust. Nur Yufa dan ust. Abdul Jabbar mereka merencanakan untuk melakukan kegiatan dakwah dengan bentuk dakwah bil hâl (dakwah dengan perbuatan). Yaitu dengan membangun kilang padi yang akan menjadi sumber finansial bagi kegiatan dakwah yang akan kami lakukan. Mereka sepakat untuk mencari sokongan dana dari Malaysia. Akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat ke Malaysia untuk mewujudkan impian pada tahun 1971.
Ke Malaysia tapi Sangkut di Aceh Modal awal dari keberangkatan itu adalah dengan menjual sepeda dan jam tangan pak Matondang. Kemudian menuju ke Aceh untuk berangkat melalui pelabuhan Sabang, sebab melalui pelabuhan Belawan sering menghadapi kendala. Sesampainya di Aceh, mereka menginap di Jl. Merdu di tempat sekretariat organisasi Muhammadiyah. Selanjutnya kami menuju Sabang (Pulau Weh). Beberapa hari berada di Aceh, namun keberangkatan ke Malaysia belum juga dapat terlaksana. Hingga persediaan uang mulai menipis. Akhirnya mereka sepakat untuk menggunakan uang sehemat mungkin, sehingga setiap sarapan mereka sepakat agar masingmasing hanya memesan segelas teh/kopi dan sepotong roti dan tidak
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
16 mengambil yang lain. Namun, pak Matondang terkejut ketika melihat ust. Abdul Jabbar hanya memesan segelas kopi tanpa mengambil roti. Kemudian ia bertanya dan ustad itu menjawab: “Kalau boleh roti jatah saya diganti saja dengan sebatang rokok”. Demikianlah para pecandu rokok, mereka kuat menahan lapar asalkan tetap bisa menikmati sebatang rokok. Penantian berangkat ke Malaysia tidak jelas, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Medan dan bertekad berangkat melalui pelabuhan Belawan saja. Karena kondisi keuangan sudah tidak mencukupi akhirnya yang berangkat ke Penang hanya dua orang saja yaitu Pak Matondang dan Ust. Nur Yufa. Sedangkan ust. Abdul Jabbar dengan bijaksana memilih untuk tidak berangkat dan menyerahkan urusan pencarian biaya untuk pembangunan kilang padi kepada mereka berdua. Setibanya di Penang, semua penumpang sudah diperkenankan keluar kecuali mereka berdua. Petugas imigrasi Malaysia menyodorkan surat pemberitahuan bahwa mereka dilarang untuk memasuki wilayah Malaysia bagian barat, sehingga terpaksa kembali pulang ke Medan. Alasan larang tersebut tidak jelas, akan tetapi mereka menduga bahwa pada masa itu kondisi Malaysia yang tidak kondusif disebabkan pertikaian antara suku Cina dan Melayu, sehingga para wisatawan sementara dilarang masuk ke wilayah tersebut. Akhirnya mereka berdua pulang dengan tangan hampa dan rencana membangun kilang padi gagal. Namun demikian, kegiatan dakwah tidak gagal sebab kegiatan itu terus dilanjutkan sekalipun dengan dana yang sangat terbatas. Sebab dakwah tidak boleh berhenti hanya karena alasan keterbatasan dana.
Pantang Menyerah Banyak pelajaran yang sebenarnya dapat diperoleh dari kisah ini, di antaranya bahwa dakwah membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Hal ini dapat dilihat dari dakwah baginda nabi Muhammad saw yang menghadapi banyak tantangan dan halangan dari kalangan kaum kafir Quraisy. Demikian pula dengan perjuangan para sahabat dan generasi berikutnya. Semua berkorban demi
Dai dan Akademisi
17 kejayaan islam dan kemuliaan umatnya. Satu pertanyaan yang mungkin dapat kita pertanyakan kepada diri kita masing-masing, apa yang sudah kita korbankan demi dakwah agama tercinta ini? Sebagaimana hal tersebut pernah ditegaskan oleh KH. Ahmad Dahlah: “jangan pernah kamu bertanya apa yang telah diberikan Muhammadiyah kepada mu, akan tetapi tanykanlah apa yang telah kamu berikan kepada Muhammadiyah”. Pengorbanan dalam perjuangan ibaratnya dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Tidak ada perjuangan yang kosong dari pengorbanan baik materi sampai jiwa raga. Kehidupan seorang muslim berawal dari iman, ilmu dan amal. Kesalehan muslim tidak terletak hanya pada kesalehan individunya saja, akan tetapi juga harus memperhatikan kesalehan sosial. Dalam pada itu Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik di atara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. Jadi, seorang muslim sejati yang diinginkan agama ini adalah sosok da’i yang menebarkan manfaat bagi orang banyak, bukan memanfaatkan mereka.
Berdakwah Sepanjang Masa Dakwah merupakan bagian penting dari ajaran agama ini, bahkan pekerjaan pertama yang dilakukan Nabi Muhammad saw dalam menyampaikan agama ini adalah dakwah. Dakwah bersumber dari Alquran dan sunnah Nabi Saw. Sehingga sosok seorang da’i berawal dari kedekatannya dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut. Bagaimana mungkin dia menjadi seorang da’i padahal ia jarang membaca Alquran? Seharusnyalah da’i adalah orang yang paling dekat dengan Alquran dan sunnah. Matondang muda yang da’i mengetahui benar kedudukan ini sehingga dia begitu tekun memperdalam Alquran dan tafsirnya, sebagai modal dakwah. Pepatah Arab mengatakan: yang tidak memiliki tidak dapat memberi.”***
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
18 7. MENIMBA ILMU DI UNIVERSITAS AL-AZHAR MESIR
Belajar Ilmu Dakwah di al-Azhar Pada tahun 1974, Mesir menawarkan kepada para pelajar Indonesia untuk melanjutkan pendidikan ke universitas al-Azhar. Melalui PP Muhammadiyah pak Matondang dan beberapa orang teman diberikan kesempatan untuk mengikuti ujian masuk. Ada empat orang yang lulus dalam ujian tersebut yaitu pak Matondang yang merupakan perwakilan dari Muhammadiyah Sumatera Utara, Amin Bakri dari Padang, Muhammad Shun’an Miskan dari Jawa Timur dan Isa Ansari dari Banjarmasin. Pada masa itu untuk berangkat ke Mesir membutuhkan modal yang cukup besar. Maka pak Matondang kembali berangkat ke Malaysia untuk meminta bantuan keuangan dari mamaknya (adik lelaki ibu) yang bernama H. Mohammad Nur Lubis. Pemilik pabrik kopi bulan Bintang” di Ipoh. Beliau memberikan bantuan bahkan sangat antusias karena dulu ia juga pernah bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri seperti Mesir namun tidak kesampaian. Dengan bantuan yang diberikannya itulah pak Matondang berangkat melanjutkan pendidikan di Mesir.
Madinah Buust Ketika tiba di Kairo ia disambut oleh kakak kelas yang tergabung dalam wadah PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Mesir dan selama beberapa hari ia dan teman-temannya menginap di kantor PPI. Selama kuliah di al-Azhar ia tinggal di Madinah al-Bu‘uts (asrama mahasiswa asing) dan memperoleh beasiswa dari Majelis A‘la Mesir. Ketika
Dai dan Akademisi
19 mendaftar ulang untuk mengikuti perkuliahan ternyata ijazahnya belum mu‘âdalah (tidak termasuk dalam daftar yang diakui oleh alAzhar). Hal ini disebabkan selama ini belum ada mahasiswa yang diterima berasal dari PTM Sumatera Utara. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil mengurus persamaan ijazahnya dan diterima di al-Azhar.
Dari Mesir ke Belanda dan Haji Di universitas al-Azhar, ia dapat melanjutkan di tingkat IV Fakultas Ushuluddin jurusan Dakwah wa Tsaqâfah Islâmiyah (Dakwah dan Kebudayaan Islam). Setahun kemudian ia berhasil menyelesaikan jenjang sarjana dengan nilai jayyid (baik). Setelah itu melanjutkan ke program Magister (Dirâsat ulyâ) masih dalam bidang Dakwah. Namun, sangat disayangkan program magister tersebut hanya setahun saja dilalui karena ia diperintahkan untuk segera kembali ke Medan, sebab izin belajarnya 4 tahun sudah berakhir. Ketika akan pulang, ia terpaksa ke Belanda untuk bekerja di pabrik plastik “Phaff BV” mengumpulkan uang guna membeli tiket pulang ke tanah air. Selain bekerja, sebenarnya di Belanda saya aktif memberi ceramah, seminar dan pengajian di PPME (Persatuan Pemuda Pelajar Muslim Eropa) bahkan menyampaikan Khutbah Idul Fitri. Selama di Mesir ia juga berkesempatan untuk melaksanakan haji setiap tahun dari tahun 1975 hingga 1978 sebagai pekerja musiman atau dikenal dengan istilah Temus (Tenaga Musim). Wawasan dakwah Matondang bertambah luas ketika dia pergi ke Belanda dan Arab Saudi. Berdakwah dilakukan di mana saja dan kapan saja. Di Eropa dan di Arab Saudi. Berdakwah tidak saja terbatas dengan ceramah dan lisan –walaupun ini penting dan utama-, keberadaan muslim yang berakhlak mulia di negara mayoritas bukan muslim adalah dakwah bil hal yang dapat mencerminkan Islam sebenarnya.***
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
20 8. BERTEMU PUJAAN HATI
Transit di Ipoh Malaysia Setelah menyelesaikan sarjana dengan gelar Lc, Matondang kembali ke tanah air pada tahun 1978. Namun sebelum ke Indonesia ia menyempatkan diri untuk menemui mamaknya yang dahulu sangat membantu keberangkatannya ke Mesir. Ia tinggal di Ipoh-Malaysia selama tiga hari di rumah H. Mohd Nur Lubis. Ketika akan berangkat ke Medan, sang mamak berpesan agar menjumpai abangnya yang bernama Sutan Barayn, sebab salah seorang anaknya sedang melanjutkan pendidikan di UMSU.
Boru Tulang Setibanya di Medan, Matondang pulang kampung bersilaturahmi menemui keluarganya dan mamaknya Sutan Barayn Lubis. Ternyata ia memiliki seorang gadis cantik bernama Nurhayati Lubis yang sedang duduk di bangku kuliah di UMSU. Pertemuan itu menjadi sangat bersejarah, karena gadis cantik tersebut yang tidak lain adalah “Boru Tulang” (anak paman) kemudian dipersuntingnya untuk membina rumah tangga pada tanggal 10 Juni 1979. Dari ikatan suci tersebut lahirlah para pangeran tampan dan cerdas sebagai berikut: Anak pertama: Muhammad Albahi; lahir di Medan pada tanggal 26 Februari 1980. Anak kedua: Muhammad Alwafi; lahir di Medan pada tanggal 19 Juli 1981. Anak ketiga: Muhammad Alfikri; lahir di Medan 23 Maret 1983. Anak keempat: Muhammad Alfahmi; lahir di Jakarta pada tanggal 4 Maret 1985. Semangat berumah tangga bagi alumni al-Azhar Mesir begitu
Dai dan Akademisi
21 terasa, karena mereka mendapat pelajaran “Tata Keluarga” yang di dalamnya dipelajari hak dan kewajiban suami dan istri, serta anjuran untuk berumah tangga. Di antara pesan Nabi yang paling mendominasi adalah: “Berumah tanggalah dengan wanita, karena dia akan mendatangkan harta.” Pesan ini dapat dimaknai dengan berumah tangga dengan wanita yang kaya dan mapan serta beragama. Pesan ini diperkuat dengan sabda Nabi: “Wanita dinikahi karena empat perkara. (1) karena hartanya, (1) karena kehormatannya, (3) karena keturunannya, (4) karena agamanya. Landaskan semua itu dengan agama, maka kamu akan selamat.” Artinya, pilihlah wanita yang cantik, kaya dan keturunannya baik dan solehah. Wanita dengan empat kriteria ini sangat banyak. Matondang muda telah mendapatkan semua pesan nabi di atas. Matondang muda yakin benar bahwa kecantikan, kekayaan dan keturunan itu relatif. Namun kesolehan itu absolut. Cantik menurut orang, boleh jadi tidak menurut yang lain; kaya menurut orang, boleh jadi miskin bagi yang lain; terhormat bagi seseorang, tapi terhina bagi yang lain. Namun semua sepakat, ini adalah saleh dan salehah, karena amal dan akhlaknya yang mulia. Kesalehan suami dan istri adalah gerbang pertama kebahagiaan hidup berumah tangga dan kesuksesan utama dalam mendidik anak. Inilah pesan penting dari sabda Nabi. Wallahu alam.***
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
22 9. PENDIDIKAN ANAK-ANAK
Kiat Mendidik Anak Pak Matondang sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya sedini mungkin. Beliau tidak hanya menggantungkan pendidikan tersebut hanya pada pendidikan formal di sekolah, namun juga dengan menanamkan kehidupan beragama sopan santun di rumah tangga. Ibadah dan moralitas menjadi perhatian pertama beliau dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Beberapa kiat yang dimiliki Pak Matondang adalah: Jiwa keagamaan yaitu menanamkan akhlak al-karimah, sopan santun dan disiplin sesuai dengan ajaran Islam. Menanam ajaran Islam dibutuhkan tauladan dari kedua orang tua dalam kehidupan seharihari. Perhatian penuh dan fokus dalam membangun karakter anak dengan memberikan nasehat dan menyediakan seluruh kebutuhan yang diperlukan dalam proses pendidikan. Doa orang tua untuk keberhasilan anak tidak dilupakan sebagai bentuk kepasrahan diri dalam membina pendidikan anak. Doa orang tua kepada anaknya sangat membantu keberhasilan dan kemajuan anak dalam menggapai cita-citanya. Dalam proses perkembangan pendidikan pada anak-anaknya, Prof. Matondang memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih arah karir pendidikan sesuai dengan cita-cita mereka. Hal ini dapat dilihat dari keragaman pendidikan yang ditempuh masing-masing setelah menamatkan TK dan SD. Berikut paparan lebih detail dari pendidikan anak-anak beliau:
Dai dan Akademisi
23 Empat Kesatria Muhammad Albahi, SE, M.Si, Ak; setelah menyelesaikan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) melanjutkan ke Madrasah Aliah Negeri (MAN) II Medan. Selanjutnya meneruskan tingkat sarjana di Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi pada Universitas Sumatera Utara. Ia sempat bekerja di Bank Mandiri sekaligus melanjutkan Magister di jurusan dan kampus yang sama. Sekarang ia merupakan dosen Ekonomi di Fakultas Syari’ah - Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekan Baru. Muhammad Alwafi, M. Soc, Sc; setelah menyelesaikan sekolah di SMPN melanjutkan ke SMU Negeri I Medan. Kemudian melanjutkan kuliah di Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara (IAIN SU) pada Fakultas Dakwah jurusan KPI (Komunikasi Penyiaran Islam). Setelah selesai, ia melanjutkan Magister di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Fakultas Sains Sastra jurusan Strategi dan Hubungan Internasional. Tidak puas hanya tamatan Magister Alwafi melanjutkan ke tingkat Doktoral (Ph.D program) di Universiti Malaya dalam bidang keilmuan yang sama. Pada saat bersamaan ia juga diterima sebagai taruna Akademi Kepolisian (AKPOL) jalur S2 pada tahun 2007. Pada tahun 2009, ia dilantik oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai perwira polisi. Sekarang, Alwafi bertugas di NCBInterpol Mabes Polri Jakarta. Muhammad Alfikri, S.Sos, M.Si; setelah menyelesaikan sekolah di MTsN melanjutkan ke MAN II Medan. Kemudian melanjutkan perkuliahan di Universitas Sumatera Utara - Fakultas Ilmu dan Sosial Politik jurusan Komunikasi. Al-Fikri memiliki kecenderungan politik yang cukup kuat dengan latar belakang pengetahuan yang ia miliki. Magister Komunikasi ia peroleh dari program Pascasarjana Universitas Darma Agung. Pada tahun 2010 ia lulus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pemda Tk.I Sumatera Utara pada Dinas Komunikasi dan Informasi. Keberhasilannya lulus sebagai PNS tidak menghalanginya untuk mengejar cita-citanya menggapai gelar doktor, ia mengikuti program S3 di IAIN SU pada kosentrasi Komunikasi Islam. Di tengah-tengah kesibukan yang sangat padat, Alfikri masih menyempatkan diri untuk mengajar di Universitas Medan Area.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
24 Muhammad Alfahmi,SE,M.Si; setelah menyelesaikan SMP Negeri melanjutkan ke SMA Negeri. Kemudian kuliah di Universitas Negeri Medan (UNIMED) pada Fakultas Ekonomi jurusan Manajemen. Selanjutnya mengikuti program Magister Manajemen pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan tamat pada tahun 2010. Selain bercita-cita menjadi tenaga pengajar/dosen yang profesional, ia sibuk melakukan wiraswasta. Peran orang tua dalam mendidik anak sehingga menjadi mukmin yang saleh dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa adalah wujud lain dari dakwah bil hal. Dakwah bil hal atau dalam istilah lain keteladanan adalah misi utama Nabi Muhammad dalam hidup ini. Menjadi teladan dalam diri para da’i bukan hidup tidak pernah melakukan kesalahan sebagaimana para nabi yang maksum. Tapi, artinya, ambillah yang terbaik dari jalan kesuksesan yang pernah dilakukannya, dan belajar darinya bagaimana melalui onak dan duri rumah tangga, sehingga yang pahit menjadi manis, dan yang hambar menjadi terasa. Orang bijak berkata: “Didiklah anak sedari dini untuk beriman kepada Allah dan beramal saleh dengan cara menjadi teladan yang baik. Teladan makin langka dalam hidup bermasyarakat karena tidak mengetahui visi dan misi kehidupan. Visi tersenyum saat bertemu dengan Allah di surga” membuat iman, amal dan keteladanan menjadi satu kesatuan yang mudah dan indah. Bertambah indah, saat hal itu dilaksanakan bersdasarkan ilmu yang didapat dari kalam-Nya, Alquran yang mulia.”***
Dai dan Akademisi
25 10. KUNJUNGAN LUAR NEGERI:
Malaysia: Negeri Jiran Negara yang pertama kali dikunjungi adalah Malaysia. Pada tahun 1973 Matondang muda menuju Penang, walaupun hanya sampai di dermaga Penang, minimal ini adalah pengalaman pertama ke Luar Negeri. Kunjungan ke Malaysia berlanjut setelah tamat dari Mesir. Pada waktu itu Matondang muda transit di Malaysia. Sebelum akhirnya menetap di Malaysia pada tahun 2001 sampai dengan 2005, Matondang ada beberapa kali pergi ke Malaysia. Sebagaimana yang akan disebutkan setelah ini bahwa di tahun 2001-2005 Matondang berada di Malaysia sebagai dosen tamu. Banyak pengalaman dakwah dan akademik yang menempa Matondang menjadi pemimpin yang sabar dan santun.
Mesir: Negeri 1000 Menara Mesir adalah kota kedua yang dikunjungi dan menetap lama di sana. Di sinilah Matondang menuntut ilmu dakwah dan keislaman lebih mendalam dari para tokoh agama, baik di dalam universitas alAzhar ataupun di luar. Matondang menginjakkan kaki di Mesir pada tahun 1974 dan berlanjut hingga 1978. Di samping menuntut ilmu, Matondang aktif di Kepengurusan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) sebagai Bendahara. “Allah akan membantu hamba-Nya selama hamba membantu sesama.” Mungkin hadis ini mengena pada diri Matondang. Ringan tangan dalam membantu tertib administrasi di PPI menyebabkannya dipercayakan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
26 untuk mengatur keuangan Daker Mekah sejak tahun 1974-1977. Selain aktif di PPI, Matondang juga aktif di diskusi kelompok Bulan Bintang dan Muhammadiyah. Barang siapa yang pernah meminum air sungai Nil maka dia akan kembali lagi. Itulah pepatah Mesir yang mengena dangan sosok matondang. Pada tahun 1997, dia bersama dengan keluarga kembali mengunjungi Mesir. Kunjungan kali ini bertujuan untuk bernostalgia dan mengisahkan perjalanan kuliah kepada istri tercinta yang ikut dalam perjalanan itu.
Arab Saudi: Haji dan Umrah Arab Saudi negara ketiga yang dikunjungi. Sangat tidak sempurna mahasiswa di Mesir secara khusus atau Timur Tengah secara umum, bila tidak menunaikan ibadah haji sambil mencari rezeki tambahan. Pepatah Indonesia berbunyi: “Sambil menyelam, nangkap ikan.” Mahasiswa yang dipekerjakan untuk membantu jemaah haji Indonesia di Arab Saudi adalah satu ide cemerlang yang perlu diketok tular di tanah air. Terlihat lebih manusiawi bila, jemaah haji di embarkasi dilayani oleh Mahasiswa daripada disambut oleh pihak keamanan. Mahasiswa itu diseleksi dari Perguruan Tinggi di daerah tersebut. Selain mendapatkan pengalaman, mereka juga mendapatkan uang masuk. Persis seperti mahasiswa yang belajar di luar negeri. Satu pengalaman menarik dari Matondang ketika bekerja tiga musim di Daker (Daerah Kerja) Mekah guna membantu bendaharawan. Bahwa dia membawa uang berkarung banyaknya, tanpa perlu pengawalan. Hal yang sukar ditemukan di Indonesia. Bekerja dengan baik dan sepenuh hati, membuat Matondang dipercaya untuk terus membantu bendahawaran Daker Mekah. Berbuat baiklah, karena Allah, Rasul dan mukmin pasti melihatnya. Pada tahun 1997, Matondang membawa keluarga ke Arab Saudi guna melaksanakan umrah. Pelajaran berharga bagi anak-anak adalah mendaki gunung atau Jabal Nur, masuk gua Hira dan gua Tsur. Ini adalah pengalaman yang tidak terlupakan.
Dai dan Akademisi
27 Pada tahun 2000, sebagai rektor IAIN, Matondang menjadi tamu negara bersama dengan para pemimpin perguruan tinggi di dunia.
Transit di Bairut Sebenarnya, sebelum sampai ke Kairo, Matondang muda melintasi beberapa negara, di antaranya Barut. Bagi rombongan mahasiswa yang semuanya baru pertama kali ke Luar Negeri dengan pesawat, keberangkatan ini sungguh berkesan. Bertambah berkesan, karena rombongan ini bisa kelaparan di atas pesawat, dalam arti tidak diberi makan. Hingga akhirnya dalam perjalanan Barut-Mesir mereka harus meminta kepada pramugari makanan. Indahnya, masa muda.
Yordania dan Palestina Dalam perjalanan umrah, Matondang memilih wisata tambahan dengan mengunjungi Yordania dan Palestina. Di Yordania, Matondang dan rombongan mengunjungi Gua Kafi, Laut Mati. Dari Yordania, rombongan masuk ke Palestina untuk mengunjungi Masjidil Aksa, yang merupakan salah satu dari tiga masjid yang dianjurkan Nabi untuk dikunjungi. Di Masjidil Aksa, rombongan diperiksa secara ketat oleh polisi Israel. Kita doakan semoga Palestina dapat kembali kepangkuan umat Islam. Selain itu, rombongan juga mengunjungi masjid Khalik Ibrahim.
Belanda dan Belgia Sebelum kembali ke tanah air dari Mesir, Matondang muda menyempatkan diri mengunjungi Eropa. Di samping untuk berdakwah, dia juga bekerja di Pabrik plastik sebagai operator mesin. Di sana dia mengikuti Seminar Internasional Persatuan Pemuda Muslim se Eropa (PPME) Den Hag. Dia juga ikut salat idul Fitri di KBRI Belanda. Ketika film ar-Risalah ditayangkan di Belgia, dia bersama dengan rombongan menuju Belgia untuk menyaksikan film itu dalam bahasa aslinya (Inggris). Di samping menonton bagaimana bukan Islam
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
28 membuat film tentang Islam, yang walaupun ada kekurangan, secara umum film itu dapat dijadikan pelajaran bagi dunia dakwah. Bahwa dakwah dapat dilakukan lewat media film. Ini sekaligus membantah pernyataan bahwa foto itu haram dan dilarang dalam Islam.
Singapura, Brunai dan Thailand Di antara negara jiran yang juga dikunjungi adalah Singapura. Pada waktu menetap di Kuala Lumpur tahun 2000, rasanya tidak afdol kalau tidak mengunjungi Singapura dengan anak-anak. Selain menambah wawasan bagi diri dan anak-anak, di SIngapura, Matondang dapat melihat bagaimana dakwah Muhammadiyah yang begitu aktif di sana, terutama di bidang pendidikannya. Muslim Singapore, selain berasal dari suku asli melayu, juga ditemukan dari warga India, China, bahkan Eropa dan Amerika. Aklak baik yang dilakukan muslim di daerah minoritas muslim, sering menarik simpati mata dunia hingga tumbuh keinginan mengenal lebih jauh tentang Islam dan berakhir dengan syahadat. Ini juga terjadi di Eropa dan Amerika. Thailand Selatan atau Fatani adalah daerah mayoritas penduduknya muslim. Di sini terdapat universitas Islam Yala. Pada saat berkunjung di tahun 2000, Thailand dalam keadaan aman. Brunai adalah negara yang lebih makmur dari Malaysia dan Indonesia. Matondang ke Brunai guna mengunjungi teman akrab yang sempat satu kuliah di al-Azhar Mesir dahulu. Di samping silaturahmi keluarga, Matondang dan keluarga juga mendatangi Universitas Berunai. Terlihat bagaimana negara sangat memperhatikan dunia pendidikan, terutama Perguruan Tinggi. Bila negara ingin bertahan, maka pertahankanlah akhlaknya. Bila akhlak satu negara itu sirna, maka negara pun akan lenyap. Inilah yang dapat disimpulkan dari kunjungan ke Brunai, Singapura dan Thailand. Singapura dan Brunai sangat memperhatikan dunia Perguruan Tinggi, bahkan di Singapura ia menjadi sarana untuk pendapatan devisa negara.
Dai dan Akademisi
29 Belajar dari Negeri China Kunjungan Matondang ke China kali ini dilakukan di bawah bendera MUI Sumut bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan agama Budha yang bergabung di Walubi dan Inti. Pelajaran penting dari kunjungan ini adalah bahwa tokoh agama Islam telah sampai pada prinsip “bersahabat dengan sesama muslim dan berteman dengan siapa saja.” Inilah pemahaman al-wala’ dan al-bara’ yang diterapkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat, pemahaman ini pula telah mendarah daging di dalam tubuh ulama Indonesia sepanjang masa. Ulama Indonesia dapat berbaur dengan umat Budha dan Hindu serta Kristen. Mereka bersama-sama memakmurkan Indonesia sejak pra kemerdekaan hingga saat ini. Kunjungan ke China ini berlangsung dari 12-15 Februari 2009 diikuti oleh 23 peserta dengan kota yang dikunjungi Cheng DU, Urumqi, Qasghar, Urumuchi, Lanzhou, Xian dan Kunming.
Libiya dan Kadari Tahun 2009 pertama kali Matondang mengunjungi Libia untuk menghadiri Muktamar I Pendukung Kitab Ahdhar. Kunjungan itu berlanjut dengan Sosialisasi Buku Putih Kadari di UMA dan buku hijau Kadari oleh IAIN SU. Pada tahun 2010 untuk kedua kalinya Matondang mengunjungi Libia untuk menghadiri Seminar Internasional Pemikiran al-Jamahiri utusan dari UMA. Menjadi da’i adalah menjadi manusia untuk dapat bersahabat dengan mukmin dan berteman dengan siapa saja. Tidak terbatas pada sekat dan kotak negara, tapi menembusnya hingga ke Luar Negeri. Inilah yang tergambar dari perjalanan Matondang ke beberapa negara di Luar Negeri. Tujuan dari kunjungan itu adalah menambah wawasan dan menyehatkan tubuh serta pikiran. “Jauh berjalan, banyak di lihat.”
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
30 11. AKTIF DALAM PERSERIKATAN MUHAMMADIYAH
Menjadi Anggota Sejak 1971 Sejak menjadi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara pada penghujung tahun 1960-an, pak Matondang telah berketetapan hati untuk menjadi anggota Muhammadiyah. Diawali dengan mengikuti pengajian-pengajian tingkat rangting dan cabang, akhirnya setelah memenuhi persyaratan sebagai anggota Muhammadiyah ia mendapatkan kartu tanda anggota Muhammadiyah dengan Nomor Baku: 459.959. Tanda anggota Muhammadiyah ini dikeluarkan oleh pimpinan Pusat Muhammadiyah tanggal 26 Zulqaidah 1390 H/ 24 Januari 1971 yang ditanda tangani oleh A.R. Fachruddin (ketua) dan M. Djindar Tamimy (sekretaris). Belakangan kartu ini diperbaharui dengan Nomor: 020147-71-459959.
Aktif di IMM Sumut Pada awal tahun 1970-an, pak Matondang aktif sebagai salah seorang ketua DPD IMM Sumatera Utara, dan selanjutnya aktif dalam berbagai pimpinan majelis/lembaga tingkat wilayah seperti Majelis Pendidikan dan Pengajaran, Lembaga Hikmah dan Studi Kemasyarakatan. Keikut-sertaan pak Matondang dalam jajaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara dimulai sebagai anggota pimpinan, koordinator bidang, wakil ketua dan pada puncaknya ia diangkat sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara masa jabatan 2000-2005 (SK Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor: A-2/SKW/25/2000 tanggal
Dai dan Akademisi
31 04 Ramadhan 1421 H/ 30 November 2000 M). Selain aktif di tingkat pimpinan Prof. Dr. H. A. Ya'kub Matondang juga dikenal sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah. Beliau aktif dalam korps mubaligh Muhammadiyah dan melakukan berbagai kegiatan dakwah baik melalui lisan dan tulisan maupun melalui dakwah bil hal. Mengisi pengajian di tingkat wilayah, daerah bahkan tingkat cabang dan ranting, demikian juga khutbah jum’at dan khutbah hari raya serta peringatan hari-hari besar Islam merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan ust. Matondang. Pak Matondang aktif mengikuti berbagai kegiatan Muhammadiyah tingkat Nasional seperti pengajian dan dialog Ramadhan, pertemuan Nasional pimpinan Muhammadiyah, dialog Ideologi, Politik dan Organisasi (IDEOPOLITOR), musyawarah nasional Majelis Tarjih, sidang Tanwir dan Muktamar Muhammadiyah. Demikian juga pak Matondang berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan persyarikatan Muhammadiyah baik pada tingkat wilayah dan daerah maupun pada tingkat cabang dan ranting.
Ketua PW Muhammadiyah Pada periode kepemimpinan pak Matondang sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, terdapat 16 bidang yang diprogramkan untuk direalisasikan: (1) Pembinaan keagamaan dan pengembangan pemikiran. (2) Tabligh dan penyiaran Islam. (3) Pengkaderan dan pengembangan SDM. (4) Pengkajian, penelitian dan pengembangan. (5) Perpustakaan, informasi dan publikasi. (6) Pendidikan. (7) Sosial-budaya dan peradaban Islam. (8) Kesehatan dan kualitas hidup. (9) Pengembangan masyarakat. (10) Ekonomi dan kewiraswastaan. (11) Peran politik. (12) Peningkatan peran perempuan dan keluarga. (13) Kualitas generasi muda. (14) Supremasi hukum dan HAM. (15) Lingkungan hidup dan kelautan. (16) Pengelolaan wakaf dan kehartabendaan. Amal usaha serta potensi Muhammadiyah cukup besar di Sumatera Utara, di antaranya institusi pendidikan mulai dasar sampai perguruan tinggi, rumah ibadah, sarana kesehatan, panti sosial dan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
32 lain-lain. Bagi Muhammadiyah amal usaha adalah merupakan media dakwah untuk mencapai maksud dan tujuan persyarikatan yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Matondang sang da’i mendapat tempat yang subur di lahan Muhammadiyah untuk menanam benih-benih dakwah Islam. Dari lahan Muhammadiyah ini da’i Matondang menjadi sampel bagi dakwah di Indonesia dengan cara santun dan terhormat. Jauh dari saling menyalahkan kelompok atau aliran lain. Semuanya berdiri di atas pijakan Alquran dan Hadis. Bila kemudian Muhammadiyah melihat satu masalah dengan pendapat dan selain Muhammadiyah melihat yang sama dengan pendapat yang lain, selama bukan terkait dengan hal usul atau pokok, maka semuanya dimasukkan dalam perbedaan ranting yang penuh rahmat. Perbedaan ranting yang rahmat ini tidak saja terdapat di bidang ibadah, tapi juga ditemukan di bidang akidah. Ada hal-hal asas di akidah dan ibadah, sebagaimana ada hal-hal ranting di akidah dan ibadah. Memilih Muhammadiyah sebagai lahan dakwah adalah memilih sarana untuk saling membesarkan muslimin (siapa dan dari mana pun dia) dan berteman dengan siapa saja (muslim atau pun bukan Islam). Untuk saling mengenal, membangun dan bekerja sama. Untuk saling tolong menolong. Inilah pesan Nabi Muhammad yang darinya diambil kata “Muhammadiyah”.
Dai dan Akademisi
33 12. KARYA ILMIAH DAN PENGHARGAAN
Sebagai seorang akademisi sejati Prof. Matondang aktif menyampaikan ide dan pemikirannya di seminar bertaraf nasional maupun internasional. Selain itu, ia juga menuangkan ide-ide besarnya dalam bentuk tulisan baik buku maupun artikel. Karya tulis yang sangat bermanfaat tersebut telah dinikmati berbagai lapisan masyarakat. Berikut buku yang telah dihasilkan: Tahun 1984; Ma’a al-Mufassirîn fî al-‘Alaqah Bain al-Adyân. Diktat Kuliah Fakulas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara. Tahun 1986; Muzakkirat fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Diktat Kuliah Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara. Tahun 1989; Tafsir Ayat-ayat Kalam Menurut al-Qadi Abdul Jabbar. Jakarta: Bulan Bintang. Tahun 1996; Pemikiran Kalam Muktazilah. Medan: Jabal Rahmat. Buku Petunjuk Manasik Haji dan Umrah. Medan: Lembaga Urusan Haji Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara. Doa-doa Praktis Manasik Haji dan Umrah. Medan: Lembaga Urusan Haji Muhammadiyah Wilayah Sumatera Utara. Tahun 1999; Rasionalitas Pemahaman Agama dan Kepribadian Bangsa. Medan: Jabal Rahmat. Empat Puluh Pemalsuan Shalat dan Keutamaan Ayat-ayat al-Quran. Medan: Jabal Rahmat. Tahun 2008; Mencari Jalan Kebenaran: Dialog Religius Antar Dua Keyakinan. Bandung: Citapustaka Media. Beliau juga aktif menulis di jurnal, di antara makalah ilmiah yang telah diterbitkan dalam jurnal sebagai berikut: Tahun 1993; “Barzakh, Jenazah, Jihad, Khitbah, Taraweh dan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
34 Azhar” (entri) dalam Ensiklopedi Islam. Jakarta: Departemen Agama RI. Tahun 1998; “Perguruan Tinggi Islam Sebagai Subyek dan Obyek Moral Akademik di Era Globalisasi” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta: Tiara Wacana. “Amanah Keselamatan Kerja” dalam Rahmat K5. Lhoksewmawe: PT. Arun NGL Co. Tahun 2003; “Penyelewengan Akidah dan Syari’ah Dalam Aliran Kebatinan di Indonesia” dalam Kebatilan Dalam Ajaran Kebatinan. Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia. “Dakwah Fungsional: Penampilan Islam Secara Kontekstual” dalam Jaringan Dakwah. Bangi (Malaysia): Jabatan Pengajian Dakwah dan Kepimpinan UKM dan Universitas Muhammadiyah Sumut. “Ummatan Wahidah Dalam Perspektif Dakwah” dalam Dakwah Dalam Perspektif Sosio-Budaya. Bangi (Malaysia): Jabatan Pengajian Dakwah dan Kepimpinan UKM dan Univ.Muhammadiyah Sumut. Tahun 1982/1983; “Pengaruh Muktazilah Terhadap Filsafat dan Kebudayaan Islam”. Majalah Miqat No.15 dan 16. IAIN Sumatera Utara. “Haji Akbar dan Wukuf Jum’at”. Majalah Panji Masyarakat. No. 404 (Jakarta). Tahun 1985; “Akidah Islam Antara Jabariah dan Qadariah”. Majalah Miqat No.31. IAIN Sumatera Utara. Tahun 1986; “Alam Barzakh Corak Kehidupan Alam Akhirat”. Majalah Suara Muhammadiyah No.23 (Yogyakarta). Tahun 1987; “Akidah Islam dan Pembinaan Kesejahteraan Bangsa”. Majalah Mimbar Ulama No.114 (Jakarta). Tahun 1989; “Kritik Ibn Rusyd Terhadap Konsep al-Ittishal Para Sufi”. Majalah Miqat No.51. IAIN Sumatera Utara. “Peran Ganda Ibu Dalam Membina Kerohanian dan Mencari Nafkah”. Majalah Tri Partit Nasional No.20 (Jakarta). “Sebab-sebab Pokok Kekeliruan Penafsiran alQuran”. Penerbitan khusus Program Pengembangan Tenaga Edukatif IAIN Sumut. “Pendekatan Terhadap Mukhtalaf al-Hadis”. Penerbitan khusus Program Pengembangan Tenaga Edukatif IAIN Sumut. Tahun 1991; “Tafsir Ashab al-A’raf”. Majalah Miqat No.65. IAIN Sumatera Utara.
Dai dan Akademisi
35 Tahun 1992; “Istilah-istilah al-Quran Tentang Manusia”. Majalah an-Nadwah No.1. Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara. “Hijrah Rasul: Suatu Analisis Historis”. Majalah an-Nadwah No. 2. Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara. Tahun 1993; “Beberapa Aspek Pemikiran Syah Waliyullah ad-Dahlawi”. Majalah an-Nadwah No.5. Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara. Tahun 1994; “Strategi Dakwah di Tengah Budaya Global”. Penerbitan khusus Pidato Ilmiah di depan sidang senat terbuka dalam rangka Dies Natalis XXI IAIN Sumatera Utara. Tahun 1996; “Ruang Lingkup dan Obyek Penelitian Dakwah”. Penerbitan khusus Penataran Dosen IAIN Sumatera Utara. Sebagai seorang pakar dalam bidang Tafsir, Ilmu Tafsir dan Dakwah, beliau sering diundang untuk menyampaikan makalah dalam seminar Nasional maupun Internasional. Dalam makalah tersebut beliau sering kali melontarkan buah pikirannya yang menjadi inspirasi bagi banyak kalangan khususnya dalam dunia pendidikan dan dakwah. Berikut ini adalah sebagian dari senarai makalah yang pernah beliau sampaikan: Tahun 1991; Konsepsi Islam Tentang Kualitas Wanita Ideal. Disajikan dalam Seminar Nasional “Peranan Wanita Dalam Meningkatkan Kualitas Manusia Menuju Era Tinggal Landas”, diselenggarakan oleh Pusat Kajian Wanita IAIN Sumatera Utara. Tahun 1992; Da’i Wanita Dalam Kegiatan Seni Budaya Menurut Syariat Islam. Disajikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Nasyiatul ‘Aisyiyah Wilayah Sumatera Utara. Perkembangan Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Perasuransian. Disajikan dalam seminar nasional “Peningkatan Pemasyarakatan Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera” yang diselenggarakan oleh IAIN Sumatera Utara bekerja sama dengan Asuransi Bumi Putera. Tahun 1993; Peranan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta Dalam Pengentasan Kemiskinan. Disajikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Darul ‘Ulum (Kisaran). Tahun 1994; Problematika Dakwah Pada Era Globalisasi. Disajikan dalam seminar “Islam dan Tantangannya 25 Tahun Mendatang”.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
36 Diselenggarakan atas kerja sama USU dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Pemikiran Rasional Dalam Dinamika Umat Islam: Studi Kritis Atas Kalam Abdul Jabbar. Disajikan dalam seminar nasional “Peradaban Islam Klasik dan Modern Dalam Visi Intelektual Muslim Indonesia”. Diselenggarakan oleh IAIN Sumatera Utara. Kewajiban Zakat, Fungsi dan Pengelolaannya Menurut Hukum Islam. Disajikan dalam Muzakarah Islamiyah Medan. Tahun 1997; Muhammadiyah Gerakan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar. Disajikan dalam seminar yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Tahun 1998; Dakwah yang Efektif Bagi Pembentukan Akhlak Bangsa. Disajikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan IAIN Imam Bonjol. Tahun 1999; Strategi Peningkatan Kualitas Dosen Dalam Menyongsong Indonesia Baru. Disajikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan Asosiasi Dosen Indonesia (Medan). Tahun 2000; Penyelewengan Akidah dan Syari’ah Dalam Aliran Kebatinan di Indonesia. Disajikan dalam seminar Kebatinan Serantau yang diselenggarakan Kolej Universiti Islam Malaysia (Kuala Lumpur). Membangun Masyarakat Utama yang Mandiri, Berkeadilan dan Demokratis. Disajikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Tahun 2001; Pendidikan Budi Pekerti dan Urgensinya Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Disajikan dalam seminar yang diselenggarakan IAIN Sumut bekerja sama dengan Kanwil Depag dan Depdiknas Sumut. Manajemen Keluarga Dalam Islam. Disajikan dalam seminar yang diselenggarakan Pusat Studi Wanita Univ.Muhammadiyah Sumut. Tahun 2002; Dakwah Fungsional: Penampilan Islam Secara Kontekstual. Disajikan dalam Bicara Bistari Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia. Ummatan Wahidah Dalam Perspektif Dakwah. Disajikan dalam Seminar Antarbangsa, kerja sama Universitas Kebangsaan Malaysia dengan Universitas Muhammadiyah Sum. Utara. Memahami Dakwah Kultural Di Lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. Disajikan dalam pengajian pimpinan Muhammadiyah tingkat wilayah. Etika Politik Dalam al-Quran. Disajikan dalam
Dai dan Akademisi
37 pertemuan tokoh-tokoh politik bersama pimpinan Muhammadiyah tingkat wilayah.. Pengendalian dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menurut Perspektif Islam. Disajikan dalam Silaturrahim Ulama se-Sumatera di Padang. Tahun 2003; Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Disajikan dalam Rapat Kerja Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Medan. Prosedur dan Tatacara Penetapan Fatwa di Indonesia. Disajikan dalam Wacana Fatwa yang diadakan oleh Institut Penyelidikan dan Pengurusan Fatwa se Dunia (INFAD) Kolej Universiti Islam Malaysia. Tahun 2004; Etika Politik dan Politik Dakwah. Disajikan dalam Muzakarah Fakulti Kepimpinan dan Pengurusan, Kolej Universiti Islam Malaysia. Tahun 2007; Muhammadiyah di Tengah Gelombang Pemikiran Islam. Disajikan dalam Pengajian Ramadhan, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumut Tahun 2008; Muhammadiyah dan Ideologi Transnasional. Disajikan dalam Pengajian Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Medan.
Penelitian:
1. Tafsir Ayat-ayat Kalam Menurut al-Qadi Abdul Jabbar. Tesis Magister IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1987.
2. Konsep Taklif Menurut al-Qadi Abdul Jabbar dan Implikasinya Terhadap Tanggung Jawab Manusia. Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1991. 3. Suatu Kajian Analitis Terhadap Sistem Pengkaderan di Kalangan Ormas Islam di Sumatera Utara. Fakultas Dakwah IAIN Sumut, 1992/1993.
4. Pembinaan dan Pengembangan Agama Islam di Kabupaten Tapanuli Utara. Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, 1993. 5. Mesjid-mesjid di Sumatera Utara: Studi Tentang Mesjid-mesjid Melayu. Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, 1993.
6. Peningkatan Sumber Daya Manusia: Tela’ah Program Dakwah dan Re-
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
38 alisasinya di Kalangan Ormas Islam Tingkat Wilayah Sumatera Utara. Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara, 1994/1995.
7. Pelaksanaan Bimbingan Penyuluhan Agama Bagi Korban Narkotika di Panti Insyaf Departemen Sosial Sumatera Utara. Fakultas Dakwah IAIN Sumut, 1995/1996.
8. Meningkatkan Rasionalitas Pemahaman Agama Dalam Rangka Membentuk Kepribadian Bangsa yang Agamis. Lemhannas, 1998.
9. Pembentukan Pengukuran Personaliti Pendakwah. Fakulti Kepimpinan dan Pengurusan, Kolej Universiti Islam Malaysia, 2003/2004.
10. Pengurusan Fatwa di Negara-negara Nusantara: Pengurusan Fatwa di Indonesia. Kolej Univeresiti Islam Malaysia, 2006.
Penghargaan 1988: Memperoleh Piagam Penghargaan Magister Terbaik dari Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1992: Memperoleh Piagam Penghargaan Doktor Terbaik dari Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1996: Memperoleh Piagam Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya 20 Tahun dari Presiden Republik Indonesia. 1999: Memperoleh Piagam Penghargaan dari Rektor Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa’ud di Riyadh atas partisipasi aktif dalam Seminar Internasional “Kerajaan Saudi Arabia 100 Tahun”. 2001: Memperoleh Piagam Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya 30 Tahun dari Presiden Republik Indonesia.
Dai dan Akademisi
39 13. VISI KEHIDUPAN: IKHLAS BERAMAL
Berikut ini disampaikan hasil diskusi dan wawancara dengan Prof. Matondang yang diadakan di sela-sela kegiatannya sebagai rektor di Universitas Medan Area. Hari itu adalah Sabtu, 3 Desember 2010. Beliau datang dengan pakaian yang rapi, sepatu hitam mengkilat, kemeja lengan panjang warna biru, dilengkapi dengan celana panjang yang tersetrika licin. Tidak lupa memakai kopiah hitam, sebagai wujud keislaman dan keindonesiaan. Tulisan ini berdasarkan pada pengalaman hidup beliau yang dikaitkan dengan tema buku ini “Da'i dan Akademisi” sehingga ia dimulai dari dunia Pesantren, belajar di Mesir, mengajar di Malaysia dan ditutup dengan menjadi rektor di IAIN dan UMA. Pandangan Prof. Matondang yang diangkat kali ini seputar empat hal ini: Pesantren, Mesir, Malaysia dan Rektor IAIN dan UMA.
Pesantren Perlu Berbenah Ketika ditanya tentang pandangan beliau tentang pesantren, beliau menjelaskan: “Bahwa pesantren harus berubah, karena dunia telah berubah. Benar ada prinsip yang tetap dilestarikan dan dipertahankan, tapi ada hal yang sifatnya mendukung prinsip seperti sarana dan prasarana yang dapat disesuaikan dengan zaman.” Benar, hal ini dapat diberi contoh sebagai berikut, bagi umat Islam dan pesantren salat adalah wajib dan prinsip. Ini tidak boleh ditukar dan diganti, tapi salat di rumah, mushalla, langgar atau masjid adalah sarana yang mendukung terlaksanakannya salat. Salat itu wajib dan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
40 prinsip, tempat dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Bila dulu beralaskan daun kurma, maka sekarang salat dapat dilakukan di ruang berAC, beralaskan permadani, dilengkapi pengeras suara, dan cahaya lampu yang sangat terang. Begitu juga dengan pendidikan di pesantren. Belajar agama adalah wajib dan perlu, tapi tidak semua anak harus belajar semua hal tentang agama. Pengenalan bakat anak sejak dini perlu untuk diterapkan di pesantren, sehingga tamatan pesantren tidak saja harus memahami berdakwah dalam bidang agama adalah harus menjadi guru dan ustad atau dai dan muballig. Setiap gerak lillahi taala adalah ibadah. Ibadah tidak terbatas pada rukun Islam yang lima, walaupun itu penting dan tidak dapat ditawar-tawar. Tapi, bekerja, berbakti untuk nusa dan bangsa adalah ibadah. Alumni pesantren perlu menguasai bahasa Inggris agar dapat berdakwah di Amerika dan Eropa. Dia perlu belajar pakai dasi dan jas agar dapat memimpin dunia. Ini tentunya di samping dia sudah menguasai bahasa Arab dan piawai pakai sarung dan sorban. Alumni pesantren tidak merasa cukup hanya dengan tamat di pesantren. Sebenarnya, ilmu pesantren yang dia dapat, membuat dia lebih mudah hidup di Perguruan Tinggi mana pun, di dalam dan luar negeri. Karena dia telah diajarkan untuk hidup mandiri. Sudah ditanamkan takutlah kepada Allah di mana dan kapan pun kamu berada. Matondang menambahkan, bahwa tidak salah alumni pesantren melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Pernyataan pak Matondang ini sangat berakar dari da'i dan akademisi yang telah dia rajut sejak usia dini di pesantren, hingga pengalamannya membuatnya dapat menjawab dengan singkat tapi padat. Ditambahkan bahwa pada zaman Nabi Muhammad saja, kita menemukan sosok Abu Jahal, Abu Lahab dan Musailamah bin Kazzab. Para sahabat yang jujur dan banyak itu tidak harus dikaburkan dengan adanya sosok kafir dan munafik pada saat itu. Hingga Nabi bersabda: “Sebaik-baik masa adalah masaku dan masa setelahku dan setelahku.” Umat Islam harus melihat jernih segala lini kehidupan. Begitulah ajaran para nabi yang saling membesarkan. Nabi Muhammad membesarkan Nabi Isa, Nabi Musa dan nabi-nabi lainnya. Sebaliknya Nabi Isa, Nabi Musa dan nabi-nabi lainnya juga
Dai dan Akademisi
41 membesarkan Nabi Muhammad. Mereka gemar menyebutkan kebaikan antar sesama dan menutup aib saudaranya sesama nabi. Inilah ajaran Islam yang perlu ditanamkan dan telah tertanam di hati Prof. Matondang yang bisa membesarkan orang lain, sehingga menjadi orang besar.
Al-Azhar: Lebih Mengenal Allah Uraian berikut tentang gagasan dan ide Prof. Matondang yang dapat diambil pelajaran selama menuntut ilmu di Timur Tengah, tepatnya di al-Azhar, Mesir. Beliau menjawab bertanyaan sambil bernostalgia di masa remaja yang begitu energik. Masa kuat, masa kreatif dan masa menggali potensi diri. Berikut penjelasan beliau: Pesan saya bagi masyarakat Indonesia yang ingin belajar ke Timur Tengah, khususnya al-Azhar Mesir adalah perlunya kematangan kepribadian, karena pada masa saya di sana Mesir dan al-Azhar benarbenar mengajarkan kebebasan. Tidak ada absen di ruang kuliah. Bagi mahasiswa yang tidak hadir selama perkuliahan tidak dipertanyakan oleh pihak kampus. Yang penting mengikuti ujian dan lulus. Menariknya bagi mahasiswa yang tinggal di asrama, absen makan dilakukan dua kali, sarapan pagi, dan makan siang. Bila dalam tiga hari berturut-turut tidak datang untuk makan, maka pihak asrama akan memanggil mahasiswa tersebut. Selain kematangan kepribadian, saya sarankan mengetahui tujuan ke Luar Negeri, bahwa ke sana bertujuan untuk belajar. Meraih ilmu untuk diterapkan dan disampaikan. Ketika saya berangkat dahulu, kami utusan dari Muhammadiyah mendapat wejangan dari Ayahanda Kasman Singodimejo dan Saaduddin Jambek yang telah mengetahui banyak tentang pendidikan di Timur Tengah. Di antara pesannya adalah firman Allah:
ﺎ ﻓِﻲ ِﺫ ﹾﻛﺮِﻱﺗِﻨﻴ ﻻﺎﺗِﻲ ﻭﻙ ﺑِﺂﻳ ﻮﻭﹶﺃﺧ ﺖ ﺃﹶﻧﻫﺐ ﺍ ﹾﺫ Pergilah engkau beserta saudaramu dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan)-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai mengingat-Ku. (QS
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
42 Thâhâ [20]: 42) Walaupun maksud ayat ini adalah Nabi Musa dan Harun, tapi cocok juga untuk kami, sehingga ia berbunyi pergilah kamu bersama kawanmu dan tetap ingat Allah. Ini adalah prinsip yang benar. Dapat ditambahkan bahwa ayat di sini dapat juga diartikan dengan tetap berpegang kepada kitab suci Alquran. Di samping sedapat mungkin dekat dengan Alquran, lebih penting dari itu lagi adalah jangan lupa mengingat Allah. Baik di kala suka ataupun di kala duka. Baik senang ataupun susah. Ketika merantau di Luar Negeri, pak Matondang merasa betul suka duka jauh dari orang tua. Tapi hidup menjadi indah berkat Alquran dan Allah sebagai teman setia dan terbaik. Ketika di al-Azhar, pak Matondang sering mendapat pesan yang begitu berharga. Nampaknya pesan ini sering diulang-ulang di alAzhar dan sudah menjadi pesan universal bagi seluruh mahasiswa yang datang ke sana. Pesan itu berbunyi: “Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkanmu.” (QS al-Baqarah [2]: 282) Inilah tiga pesan bagi adik-adik yang ingin ke Mesir atau Timur Tengah atau belajar di rantau orang. Kematangan pribadi, tahu tujuan dan dekat pada Allah melalui Alquran. Dengan hafalan Alquran yang diwajibkan bagi seluruh mahasiswa di al-Azhar maka kebebasan sedikit terkekang, karena waktu banyak digunakan untuk menghapal Alquran. Selanjutnya, sewaktu ditanya lagi tentang ide dan gagasan beliau tentang alumni Timur Tengah yang telah kembali ke tanah air. Matondang menjawab: “Bagi alumni al-Azhar yang telah kembali ke tanah air berjuanglah sesuai dengan skill yang dimiliki. Saya rasa berjuang atau berbakti itu tidak harus menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan tidak harus menjadi dosen. Walau pun kalau ada kesempatan, perlu juga untuk diraih dan diperjuangkan.” Ini ide yang cerdas. Tidak menjadi PNS bukan berarti kiamat dan mati. Banyak orang yang lebih berhasil dalam hidup ini dibandingkan PNS. Bahkan keberhasilan itu menurut penulis adalah ketika kita
Dai dan Akademisi
43 tersenyum masuk surga dan bertemu Allah Tuhan kita. Itulah keberhasilan hakiki yang diketahui berdasarkan firman Allah dalam Alquran yang berbunyi: “barang siapa dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, maka dia telah berhasil.” Diyakini bahwa Pak Matondang sebagai profesor di bidang Tafsir pun sepakat dengan hakikat keberhasilan ini. Matondang melanjutkan lagi: “Menjadi penceramah, buka biro trevel, KBIH, majelis taklim, bahkan menjadi anggota dewan juga berbakti dan beribadah. Berbakti juga tidak harus di tanah air. Kita menjadikan seluruh dunia ini adalah lahan dakwah yang harus ditanam dengan nilai-nilai Islam.” Kita perlu memahami firman Allah "iza raja’tum ilaihi/bila kamu kembali ke kampung halaman” dengan pemahaman bahwa semua belahan bumi ini adalah kampung halaman kita. Di mana kita menetap itulah kampung halaman kita. Walau di Amerika dan Eropa sekalipun. Masyarakat Eropa dan Amerika sudah saatnya dijadikan sebagai umat Dakwah yang memerlukan penanganan secara profosional. Matondang menegaskan: “Menjadi anggota dewan atau parpol adalah mulia bila dapat menanamkan kultur Islam di sana.” Gagasan ini perlu ditonjolkan dan dikedepankan, terlebih di saat manusia menilai kemuliaan dengan apa yang dimiliki, Matondang tampil dengan pola pikir bahwa kemuliaan terletak pada apa yang dapat diberikan. Menjadi muslim adalah menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Matondang melanjutkan: “Pada saat saya pulang dari al-Azhar saya harus mengikuti tiga materi yang harus diujikan agar dapat disamakan ijazah Lisance dengan sarjana lengkap. Saya lulus dan mendapat ijazah yang disamakan. Sekarang, para mahasiswa yang tamat dari Timur Tengah perlu untuk bersyukur karena ijazah Lc telah disetarakan dengan S1 tanpa ujian. Syukuri apa adanya dan tetap berupaya dan berusaha meraih takdir. Itu adalah pesan penting dalam memahami hakikat hidup. Bila bersyukur Allah pasti akan menambah. Bila kita berbuat baik, kebaikan itu kembali manfaatnya untuk kita. Allah Zat yang menerima syukur dan Maha Mengetahui, akan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
44 memberi balasan yang lebih baik bagi orang-orang yang ikhlas.
Malaysia: UM Universitas 100 Terbaik Dunia Pak Matondang termasuk orang yang beruntung yang mendapatkan kesempatan mengajar di Malaysia dengan niat dakwah dan mengembangkan bidang akademisi yang ditekuni, dia juga mendapat imbalan yang lumayan baik dibandingkan di Indonesia. Lebih jauh lagi, pengalaman beliau yang pernah hidup lama di Luar Negeri (Mesir dan Malaysia) membuat pola pikir beliau terbuka dan luas. Karena, jauh berjalan, banyak dilihat. Ketika diminta gagasan beliau terkait dengan pengalaman menjadi dosen, atau “pensyarah”, beliau berkata: "Sekedar perbandingan, bahwa Indonesia saya melihat tiga terapan yang baik dan perlu dicontoh dari Perguruan Tinggi di Malaysia." Perbandingan ini menjadi penting, karena Universiti Malaya di tahun 2005 pernah menjadi 98 universitas terbaik di dunia. Sementara UI, UGM dan ITB berada di peringkat ratusan. Matondang lebih jauh menjelaskan: "Pertama, perkuliahan dengan sistem mimbar akademik, tutorial dan kelas. Dalam mimbar akademik atau perkuliahan umum dosen diwajibkan menyampaikan ilmu yang ditekuni dan menjadi bidang studi yang diajarkannya kepada mahasiswa selama 120 menit atau dua jam tanpa pertanyaan. Setelah itu dilanjutkan dengan tutorial selama 60 menit atau satu jam. Tutorial bertujuan untuk mempertajam materi yang ada. Di mana mahasiswa dapat bertanya kepada dosen atau berdiskusi dengan sesama. Mungkin karena kematangan ilmu di S1 dan S2; sehingga S3 di Malaysia, Timur Tengah tidak ada lagi kelas perkuliahan, tapi cukup dengan riset. Kedua, pelayanan mahasiswa. Di Indonesia tugas dosen hanya terbatas pada tri darma perguruan tinggi. Tepatnya pelayanan bagi mahasiswa masih lemah dan kurang. Di Malaysia, setiap dosen memiliki ruangan tersendiri. Di ruangan itu tersedia kelengkapan yang menunjang kegiatan sebagai dosen, seperti meja, kursi, rak buku, leptop, dan printer. Konsekuensinya, setiap dosen harus menulis di
Dai dan Akademisi
45 depan pintu jadwal mengajar dan masa pertemuan dengan mahasiswa. Di samping itu setiap dosen juga memiliki kotak pos untuk menerima lembaran kerja dari mahasiswa. Bila tidak hadir pada jam yang telah ditentukan, dan mahasiswa meresa dirugikan, dia dapat melapor ke pihak akademik. Ketiga, kesejahteraan. Dosen di Malaysia dapat dikatakan menekuni profesinya dan tidak ada kerja tambahan. Karena kesejahteraan mereka secara rata-rata telah terpenuhi. Di samping gaji yang cukup, pihak universitas juga memberikan tunjangan rumah dan tunjangan keraian (menjamu tamu) perbulan. Bahkan setiap tahun, seluruh dosen dan pegawai kerajaan mendapatkan bonus dari pemerintah. Sebagai dosen yang pernah mengajar di Malaysia, dan sampai sekarang masih menjadi asesor dan penguji luar, saya melihat bahwa alumni dari Malaysia memiliki hak yang sama dengan alumni dalam negeri. Selama ijazah yang mereka miliki telah diakui dan dipersamakan, maka alumni S3 dari Malaysia yang menganut sistem by riset, harus diperlakukan sama dengan alumni S3 di tanah air. Pernyataan Pak Matondang ini sangat cerdas dan berwawasan jauh ke depan. Dengan prinsip saling membesarkan, seharusnya potensi SDM baik dari dalam ataupun luar menjadi kekuatan untuk membangun dan mencerdaskan bangsa.
IAIN: Memiliki Visi dan Upaya Pengembangan Gagasan dan ide Matondang saat memimpin IAIN perlu rasanya dicari tahu untuk disampaikan kepada para pembaca melalui buku ini. Ketika ditanya kiat dan jurus apa yang beliau gunakan untuk memimpin IAIN, beliau menjawab: Ketika saya menjadi rektor IAIN SU saya memiliki visi yang jelas dengan motto "Tri Bina" yaitu: Bina Kualitas, Bina Fasilitas, Bina Produktivitas. Dengan grand strategi ini saya melaksanakan program kerja yang dibuat secara realistis. Pesan saya kepada pemimpin IAIN saat ini dan akan datang, atau bagi siapa saja adalah tetapkan visi dan tetapkan program kerja yang mendukung pada pelaksanaan visi
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
46 tersebut. Sedangkan ketika menjadi rektor UMA visi yang ditetapkan adalah menghasilkan SDM yang inovatif dan berakhlak. Inovatif berdasarkan visi Diknas yang mencerdaskan bangsa, sedangkan berakhlak berdasarkan pada keagamaan yang saya sebutkan di atas tadi. Setiap manusia beragama menginginkan masuk surga, di antara bukti iman adalah akhlak mulia. Pernyataan Pak Matondang ini adalah pernyataan yang sangat mendasar, karena setiap pemimpin, di mana dan kapan serta siapa pun dia, harus memiliki visi dan misi. Bahkan setiap individu harus memiliki visi dan misi. Dalam kehidupan berumah tangga visi dan misi juga tidak dapat dilepaskan. Dengan visi dan misi, arah tujuan menjadi terfokus. Contohnya, setiap muslim memiliki visi masuk surga dan mencapai rida-Nya, misinya dia harus menjadi mukmin yang taat beribadah. Segala kegiatan hidupnya baik yang terkait dengan dunia atau ibadah dilakukan dalam mencapai surga dan diniatkan sebagai sarana ibadah. Sehingga ketika dia berumah tangga, dia akan menjadikan Allah sebagai Tuhan dan Pendidik Tertinggi. Alquran sebagai panduan, serta salat menjadi kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar. Selain visi, Pak Matondang menambahkan bahwa moto Kementrian Agama harus dijunjung, yaitu ikhlas beramal. Maksud motto ini adalah bahwa bekerja bukan bertujuan materi, tapi karena Allah. Pemimpin yang ikhlas adalah pemimpin yang memakmurkan anggota dan bawahannya atau pegawainya. Anggota, bawahan atau pegawai yang ikhlas adalah pegawai yang melaksanakan tugas dari atasan dengan hati yang lapang. Ikhlas adalah satu rahasia yang dititipkan Allah di dalam hati hamba-Nya. Manusia tidak dapat menilai bahwa orang yang tidak dibayar itu ikhlas, dan yang dibayar itu tidak ikhlas. Keikhlasan terletak di dalam hati. Boleh jadi, orang yang dibayar lebih ikhlas dari orang yang tidak dibayar. Nabi sendiri menegaskan, bayarlah upah pekerja sebelum kering keringatnya. Ini mengisyaratkan makna keikhlasan yang dalam dari seorang pemimpin, majikan, pejabat yang
Dai dan Akademisi
47 berusaha memakmurkan dan menyejahterakan rakyat, pekerja, pegawainya. Ikhlas itu di hati, saling membesarkan dimulai dari hati. Ikhlas itu saling membesarkan. Kembali kepada pernyataan Matondang. Selain menetapkan visi dan keikhlasan, juga membangun kepercayaan. Kepercayaan adalah modal penting dalam hidup ini, saya melihat keberhasilan memimpin di Fakultas Dakwah yang selanjutnya mengantar saya ke IAIN dan UMA adalah membangun dan menjaga kepercayaan. Saya berkeyakinan kalau sudah dipercaya, kegiatan apa pun akan dapat dilakukan dengan dukungan berbagai pihak. Pak Matondang berhasil berkat tentunya bantuan Allah dan kepercayaan masyarakat. Lebih jauh lagi, ketiga hal yang disebutkan di atas saling terkait. Visi yang jelas lillahi taala, membuat orang menjadi ikhlas bekerja, yang berdampak pada tumbuhnya kepercayaan. Hamba yang takarrub kepada Allah, akan dicintai oleh Allah. Kalau Allah sudah mencitai hamba-Nya, maka Dia akan menjadi mata yang dengannya dia melihat, Dia akan menjadi tangan yang dengannya dia menyentuh. Inilah kekuatan iman.
Penutup Inilah gagasan dan pemikiran yang disampaikan dan dilakukan oleh Matondang. Dengan mendengar dan belajar dari orang lain, terutama seorang dai dan akademisi, semoga pembaca juga demikian adanya, dapat mengambil pelajaran berharga. Tulisan ini disampaikan bukan bertujuan untuk menyanjung seseorang, tapi sebagaimana disebutkan di atas, bahwa perlunya saling membesarkan. Manusia adalah makhluk yang memiliki kesalahan dan kesilapan, kecuali nabi yang maksum, termasuk dalam hal ini Matondang. Tapi, hidup yang sekali ini bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk menutupinya dan membuka lembaran kebaikannya selebar-lebarnya. Dirasakan bahwa visi Ikhlas Beramal yang ditegaskan Matondang dan telah dicanangkan Kementrian Agama menjadi titik sentral yang perlu direnungi bersama.***
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
48
Dai dan Akademisi
49
Bab II
PENGABDIAN DI PERGURAN TINGGI SOSOK SANG DA’I AKADEMISI
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
50
Dai dan Akademisi
51 IAIN SUMATERA UTARA
1. Awal Karier di IAIN Sumatera Utara Setelah menyelesaikan sarjana di Universitas al-Azhar, pak Matondang pulang ke Indonesia dan melaporkan diri ke Departemen Agama Republik Indonesia di Jakarta. Ketika itu ia bertemu dengan ibu Zakiyah Derajat sebagai direktur pendidikan tinggi Islam dan kemudian mengarahkannya untuk mengabdi ke IAIN Sumatera Utara di Medan. Sejak itu pula ia mengabdi di IAIN pada fakultas Ushuluddin sejak tahun 1979. Pada tahun 1984 dibuka testing program magister dan pak Matondang mendaftarkan diri serta berhasil lulus di pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Beliau adalah angkatan ketiga yang mengikuti program tersebut dari IAIN Sumatera Utara. Adapun angkatan pertama adalah pak Prof. Dr. H. Ridwan Lubis dan angkatan kedua adalah pak Prof. Dr. H. M. Yasir Nasution mantan rektor IAIN SU. Pendidikan di pascasarjana tersebut ia tuntaskan dalam masa tiga tahun dan menjadi lulusan terbaik pada tahun 1987, dengan judul tesis: “Tafsir Ayat-ayat Kalam Menurut al-Qadi Abdul Jabbar”. Tanpa menunda waktu lebih lama, beliau melanjutkan studinya ke tingkat doktoral pada tahun yang sama di pascasarjana yang sama. Alhamdulillah, kembali beliau menyelesaikannya dengan prestasi sebagai lulusan terbaik dan diwisuda pada tahun 1991, dengan judul disertasi: “Konsep Taklif Menurut al-Qadi Abdul Jabbar dan Implikasinya terhadap Tanggung Jawab Manusia”. Selama berada di Jakarta beliau aktif mengajar dan melanjutkan perjuangan dakwahnya di berbagai instansi pemerintah, swasta sampai pengajian ibu-ibu. Namun demikian, kegiatan yang padat itu
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
52 tidak mengganggu aktivitas perkuliahannya. Sebab, pak Matondang senantiasa mendahulukan urusan kuliah dan pandai memenej waktunya. Kegiatan pengajian atau mengajar hanya beliau terima manakala tidak berbenturan dengan waktu kuliah. Bahkan menurutnya, ia tidak pernah satu kalipun absen dalam mengikuti perkuliahan. Pahit dan manis usaha dakwah tersebut beliau terima dengan senang hati dan penuh kebahagiaan. Tidak semua pengajian atau masjid yang beliau isi memberikan ‘amplop’, bahkan ada pengajian yang beliau isi bertahun-tahun hanya memberi ucapan terima kasih saja. Keikhlasan dan kesabaran tersebut membawa berkah bagi kehidupan beliau, sehingga ketika tamat dari program doktoral ia dapat membawa mobil baru Suzuki Carry ke rumah. Semua itu rahmat dari Allah SWT yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan syukur. Selain menyelesaikan pendidikan formal, beliau juga mengikuti sejumlah pendidikan lain sebagai berikut: • The International Centre for Idiom, di Cairo pada tahun 1975. • Latihan Tenaga Peneliti, IAIN Sumatera Utara, di Medan pada tahun 1979. • Penataran Tenaga Akademis Perguruan Tinggi, Depdikbud pada tahun 1979. • Latihan Pendidikan Kependudukan, BKKBN, di Jakarta pada tahun 1980. • Manggala Angkatan XX, BP7 Pusat, di Istana Bogor pada tahun 1996. • LEMHANNAS, KSA VII, Dep. Hankam, di Jakarta pada tahun 1998.
2. Dekan Fakultas Dakwah hingga Rektor IAIN SU Setelah menyelesaikan doktoral, karier akademisi pak Matondang semakin melejit. Pada tahun 1992 beliau diangkat menjadi dekan di fakultas Dakwah. Kepemimpinan beliau termasuk yang paling sukses dalam mengaktualisasikan teori-teori dakwah di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara. Kegiatan dakwah langsung beliau pimpin ke berbagai daerah seperti di Kabupaten Tapanuli Utara pada kecamatan Pangaribuan, Sipahutar dan Silaen. Di kecamatan
Dai dan Akademisi
53 Sipahutar dan Silaen beliau berhasil membangun masjid dan menempatkan da’iuntuk menjadi imam dan guru agama di daerah tersebut. Dana yang dikumpulkan berasal dari berbagai kalangan di antaranya; Bapak Faisal Tanjung (mantan Pangab), keluarga Bapak Joharuddin dan dari PT. Arun. Hingga saat ini masjid yang diberi nama “ad-Dakwah” tersebut masih berfungsi. Demikian juga beliau aktif menyampaikan dakwah bil hal di daerah Dairi di desa Perdamaian. Dalam menyampaikan dakwah, pak Matondang tidak hanya mengajak masyarakat beribadah di masjid dan berkhutbah di atas mimbar. Akan tetapi ia juga memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitannya dengan peningkatan ekonomi masyarakat bawah misalnya, ia tidak hanya menawarkan konsep atau wacana, akan tetapi memberikan contoh dengan menanam jahe yang ketika itu mahal harganya. Hasil dari tanaman tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan para da’idan kemaslahatan umat di sekitar wilayah Sipahutar. Selain itu, ia juga membagi-bagikan pupuk kepada masyarakat yang cocok untuk tanaman mereka. Kegiatan dakwah beliau ini mendapat sambutan hangat dari seluruh lapisan masyarakat. Bukan hanya yang muslim akan tetapi juga dari kalangan non-muslim. Lain lagi di desa Pagar Gunung dekat Rantau Perapat. Beliau mendirikan madrasah dengan membuka kebun Nilam. Dari hasilnya beliau mengajak masyarakat untuk bekerja dan mencari penghasilan yang halal dan berkah. Kehidupan ekonomi masyarakat meningkat dan semangat mereka ke masjid semakin tinggi. Semua ini beliau lakukan dalam rangka mengaktualisasikan konsep-konsep dakwah seperti dakwah fungsional, dakwah bil hal dan dakwah kultural. Kepemimpinan beliau di fakultas dakwah berlanjut hingga tahun 1996. Ternyata jabatan tersebut membawa beliau ke jenjang yang lebih tinggi yaitu jabatan Rektor IAIN Sumatera Utara sejak tahun 1996 hingga 2001. Sebagai orang no. 1 di IAIN SU pak Matondang dengan program Tri Binanya (Bina Kualitas, Bina Fasilitas dan Bina Produktivitas)berhasil menjadikan institut ini sebagai pusat kajian keislaman dan kemajuan Islam.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
54 2. REKTOR IAIN SU
Realisasi Program Program kerja yang diputuskan dalam rapat pejabat/koordinasi IAIN Sumatera Utara direalisasikan secara berkelanjutan dan terpadu oleh seluruh unit di lingkungan IAIN Sumatera Utara sesuai bidang masing-masing. Pada setiap tahun anggaran, kebijakan untuk realisasi program, memiliki penekanan-penekanan pada aspek tertentu sebagai berikut: 1997/1998 : Perumusan dan sosialisasi program Tri Bina, yaitu bina kualitas, bina produktifitas dan bina fasilitas. 1998/1999 : Upaya back to campuss melalui pencerahan dan pemberdayaan kampus, termasuk menggiatkan aktifitas student needs dan student interest. 1999/2000 : Penjabaran visi kelembagaan yang populis, islami dan berkualitas. 2000-2001 : Peningkatan pelayanan sebagai khâdim al-ummah. Alhamdulillah, seluruh program dapat direalisasikan dengan baik, kecuali program-program yang memerlukan kesinambungan waktu dan dana. Program seperti ini memerlukan tindak lanjut untuk periode berikutnya. Secara objektif realisasi program 1996-2001 telah menghasilkan perubahan-perubahan yang menggembirakan dalam rangka pengembangan IAIN Sumatera Utara. Keberhasilan ini dapat dilihat pada sepuluh aspek yaitu: akademik, kelembagaan, ketenagaan, kurikulum, perpustakaan, penelitian, pengabdian pada masyarakat,
Dai dan Akademisi
55 kemahasiswaan, sarana dan prasarana serta hubungan kerjasama.
1. Akademik a. Seluruh program studi yang ada dilingkungan IAIN Sumatera Utara termasuk Program Pascasarjana telah mengikuti kegiatan akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional. b. Pada program S1 setiap fakultas telah membuka seluruh program studi sesuai Keputusan Mentri Agama No 27 tahun 1995. Ditambah dengan program D II guru agama dan Akta IV bagi non kependidikan pada Fakultas Tarbiyah dan D III Manajemen Bank Syariah pada Fakultas Syariah. c. Program Pascasarjana (S2) membuka lima program studi yaitu: Pemikiran Islam, Hukum Islam, Pendidikan Islam, Ekonomi Islam dan Dakwah & Pengembangan Masyarakat. Selain itu program Dirasaat Islamiyah tetap terus dilanjutkan. d. Dibukanya program combine degree antara IAIN Sumatera Utara dengan Universitas Negeri Medan, Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara dan Universitas Medan Area.
2. Kelembagaan a. Keberadaan lembaga-lembaga struktural secara lengkap dan berfungsi secara maksimal dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada seluruh civitas akademik. b. Dibentuknya beberapa lembaga non struktural dan pusat kajian seperti: •
Pusat Pengembangan Manajemen Perguruan Tinggi
•
Pusat Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup
•
Pusat Informasi HIV/AIDS “Lathiva”
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
56 3. Ketenagaan a. Bertambahnya jumlah tenaga edukatif secara kualitatif dan kuantitatif termasuk meningkatnya minat untuk melanjutkan studi baik pada program S2 dan S3. Kondisi saat ini dosen yang memiliki jabatan fungsional guru besar sabanyak 8 orang, S3 sebanyak 20 orang dan yang sedang mengikuti program S3 sebanyak 24 orang. Dosen yang berijazah S2 sebanyak 46 orang dan yang sedang mengikuti program S2 sebanyak 59 orang. Disamping itu terdapat 187 orang dosen yang berpendidikan S1. b. Meningkatnya kualitas tenaga administrasi setelah mengikuti diklat penjejangan, kursus dan pelatihan baik yang dilakukan oleh Departemen Agama maupun yang dilaksanakan oleh instansi dan lembaga lain. Tenaga administrasi saat itu berjumlah 130 orang.
4. Kurikulum a. Tuntasnya penyusunan kurikulum lokal pada setiap jurusan. b. Disempurnakannya topik-topik inti pada setiap mata kuliah. c. Terlaksananya menyeluruh.
kurikulum
nasional
dan
lokal
secara
5. Perpustakaan a. Bertambahnya koleksi buku dalam jumlah besar pada periode 1996-2000 sebanyak 20.344 judul buku sebanyak 104.866 ekslemplar, sehingga perpustakaan induk saat ini memiliki 49.418 judul buku sebanyak 213.983 ekslemplar. b. Dibukanya secara khusus Perpustakaan Program Pascasarjana yang memiliki koleksi 1.759 judul buku yang terdiri atas ensiklopedia dan buku-buku referensi. c. Meningkatnya pelayanan perpustakaan baik untuk mahasiswa maupun tenaga edukatif.
Dai dan Akademisi
57 6. Penelitian a. Meningkatnya minat dosen untuk melakukan penelitian baik secara individual maupun kelompok. b. Suksesnya pusat penelitian mengadakan latihan penelitian beberapa angkatan bagi tenaga dosen. c. Berhasilnya para peneliti melaksanakan 46 judul penelitian yang terdapat dalam DIP 1996-2000. d. Pro aktif melakukan penelitian yang berkaitan dengan pembangunan daerah seperti yang sedang dilakukan saat ini adalah penelitian yang berjudul “Peranan IAIN Sumatera Utara Dalam Menghadapi Otonomi Daerah Bidang Pendidikan”.
7. Pengabdian Kepada Masyarakat a. Meningkatnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat terutama di lokasi desa binaan. b. Aktifnya pusat-pusat studi dalam merespon perkembangan yang terjadi ditengah masyarakat. c. Ikut berperan dalam menangani krisi ekonomi seperti pembagian sembako kepada masyarakat kurang mampu.
8. Kemahasiswaan a. Terlaksananya penjabaran karakteristik mahasiswa dan moral akademik di kalangan mahasiswa. b. Meningkatnya perhatian mahasiswa dalam pengembangan minat dan bakat. c. Meningkatnya kreativitas perkembangan keilmuan.
mahasiswa
dalam
menyikapi
d. Tersedianya beasiswa dalam jumlah besar baik di dalam DIP maupun dari lembaga dan instansi lainnya.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
58 9. Sarana dan Prasarana a. Selesainya pengisian data Information System (EMIS).
Educational
Management
b. Diresmikannya penggunaan gedung Pascasarjana tingkat) yang diperuntukkan bagi perkuliahan perkantoran.
(tiga dan
c. Selesainya bangunan gedung fakultas syariah (tiga tingkat). d. Selesainya urusan administrasi sertifikasi tanah IAIN di jalan Sutomo dan di daerah Tuntungan. e. Tersedianya perangkat internet yang sangat bermanfaat dalam mengakses informasi lokal dan global. f.
Terlaksananya pembangunan gedung perpustakaan induk untuk tahap pertama dan kedua.
10. Hubungan Kerjasama a. Ditandatanganinya MoU dengan Universitas Negeri Medan, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara dan Universitas Medan Area. b. Adanya tindak lanjut operasional dari MoU yang telah ditandatangani dengan Universitas Islam Antar Bangsa (UIA) Kuala Lumpur – Malaysia, terutama dalam pengembangan kajian-kajian ekonomi Islam. c. Dilaksanakannya kunjungan ke Prince of Songkla University dan Kolej Islam Yala di Thailand; Akademi Dakwah Institut, Institut Ibnu Sina dan Kolej Islam Perak di Malaysia dalam rangka penjajakan kerjasama. d. Ditandatanganinya piagam kerja sama dengan Kanwil Departemen Agama dalam usaha-usaha peningkatan dan pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan peningkatan pelayanan kehidupan umat beragama.
Dai dan Akademisi
59 e.
Ditandatanganinya kesepakatan kerjasama dengan Departemen Koperasi, pengusaha kecil dan menengah, dalam hal pendayagunaan asset perekonomian masyarakat.
f.
Ditandatanganinya kesepakatan kerjasama dengan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara tentang pembinaan dan pelayanaan hukum.
g. Ditandatanganinya kesepakatan kerjasama dengan Bank Muamalat dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
60 3. PENGABDIAN DI UMA
PENCAPAIAN AKADEMIK Pencapaian akademik meliputi pelaksanaan kegiatan di bidang pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Pencapaian akademik sejak tahun 2005-2009 adalah mengatur sistem administrasi akademik, PBM (Perbaikan Belajar Mengajar), perbaikan kurikulum, evaluasi program studi, akreditasi program studi, evaluasi kinerja dosen, seminar dan penelitian, jurnal ilmiah, optimalisasi Lembaga Pengembangan Pendidikan & Penjaminan Mutu (LP3M). a. Sistem Administrasi Akademik (1) Pembuatan Peraturan Akademik yang Baku Peraturan akademik sudah ada sejak UMA berdiri, tetapi belum dibakukan. Sejak tahun 2006 telah diterbitkan Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Akademik di Universitas Medan Area yang telah baku, di SK kan dan ditandatangani oleh Rektor. Juklak ini setiap tahunnya diperiksa untuk memperbaharui jika ada peraturan yang sudah tidak up to date lagi di dunia pendidikan.
(2) Pembagian Kelas Perkuliahan Kelas perkuliahan di Universitas Medan Area dibagi dalam 3 (tiga) kelas yaitu kelas reguler, malam dan kelas khusus (sejak TA
Dai dan Akademisi
61 2008/2009 sudah tidak dibenarkan lagi untuk dibuka) dan kelas kemitraan (mandiri) a. Kelas Reguler Kelas reguler merupakan kelas perkuliahan di pagi hingga siang hari (08.00 – 15.00 WIB) dengan lokasi perkuliahan di kampus I (Fakultas Psikologi, Pertanian, Teknik, Hukum, Sospol dan Biologi) dan di kampus II (Fakultas Ekonomi) Universitas Medan Area. Mahasiswa yang duduk pada kelas ini merupakan mahasiswa murni (mahasiswa yang berasal dari tamatan SLTA pada tahun sebelum yang bersangkutan masuk kuliah dan belum bekerja). Pada kelas ini kegiatan proses belajar mengajar berjalan sesuai dengan sistem sks dan peraturan yang ada di UMA dengan staf pengajar yang merupakan dosen yayasan, Kopertis dan dosen lainnya yang diangkat berdasarkan SK Yayasan / Rektor. Kelas reguler juga mencakup kelas malam yaitu kegiatan perkuliahan yang dilakukan pada sore hingga malam hari (17.00 – 21.00 WIB) dengan lokasi perkuliahan di kampus II untuk fakultas Psikologi, Teknik, Hukum, Sospol dan Ekonomi. Sama halnya seperti kelas reguler proses belajar mengajarnya sesuai dengan sistem sks dan peraturan yang ada di UMA dengan dosen yang sama dan fasilitas yang sama pula. Mahasiswa dikelas malam ini sebagian besar merupakan mahasiswa yang telah bekerja, sehingga perkuliahan diadakan pada sore hingga malam hari setelah pulang kerja. Kegiatan seminar dan ujian sarjana dilakukan sama seperti pada mahasiswa kelas reguler. Kelas malam ini dibuka oleh Universitas Medan Area sejak tahun ajaran 1998/1999 dengan tujuan untuk mempermudah peserta didik yang telah bekerja dalam meningkatkan kualitas dirinya dengan mengikuti pendidikan strata I dan menambah jumlah mahasiswa di Universitas Medan Area. b. Kelas Mandiri Istilah kelas mandiri biasa disebut juga dengan kelas
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
62 kemitraan yaitu kelas yang kegiatan perkuliahannya di lakukan di kampus Universitas Medan Area, pada hari Sabtu dan Minggu mulai pagi hingga sore hari., dengan staf pengajar berupa dosen UMA dan merupakan hasil dari kesepakatan antara UMA dengan instansi terkait baik instansi pemerintah maupun swasta. Kelas ini mulai dibuka ada tahun 2007 untuk Fakultas Ekonomi. Pada kelas ini sama seperti halnya kelas reguler proses belajar mengajarnya sesuai dengan sistem sks dan peraturan yang ada di UMA. Pelaksanaan ujian tengah, akhir semester, kegiatan seminar kerangka/hasil penelitian dan ujian sarjana tetap dilaksanakan di kampus UMA.
(3) Manajemen Pengelolaan Laboratorium Pada tahun ajaran 2008/2009 dimulai pembaharuan untuk manajemen laboratorium yang dimulai dari laboratorium Fakultas Teknik. Manajemen laboratorium yang baru ini mulai diterapkan pada sem. Genap TA. 2008/2009, dimana praktikum dilakukan langsung oleh dosen penanggung jawab dengan sepengetahuan kordinator laboratorium.
(4). Pengembangan manajemen kelembagaan, sdm serta sarana dan prasarana Dalam bidang Pengembangan Manajemen Kelembagaan telah melakukan: penetapan Statuta, Renstra dan RIP; Pengembangan Program Studi; Pembentukan LP3M, PIK serta Perubahan nama BAK dan BAA; Pembuatan SOP dan SPM; Peningkatan Kerjasama; menata dan mencari Bantuan dan Hibah untuk kemakmuran Universitas Medan Area; Pembangunan Rusunawa; Kegiatan UPT dan mengoptimalkan kerja Pusat Informasi dan Kerjasama. Adapun yang dilakukan dalam Pengembangan Manajemen SDM adalah peningkatan mutu dosen dan pegawai. Matondang menjelaskan bahwa dosen di UMA minimal harus S2. Ini telah ditetapkan sejak tahun 2005 untuk penerimaan dosen di UMA. Bagi dosen yang belum menyelesaikan S2 dia diberi kesempatan untuk
Dai dan Akademisi
63 kuliah hingga 2010 semua harus S2. Demikian juga mutu pegawai ditingkatkan melalui berbagai pelatihan dan Work shop. Pada tahun 2009 UMA telah melakukan rekruitmen pegawai untuk bidang keahlian Teknologi Informasi (TI), bahasa Inggris, laboran dan administrasi. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan pegawai penunjang sesuai dengan keahlian yang diperlukan dalam upaya peningkatan tatakelola dan manajemen kelembagaan di Universitas Medan Area. Pengembangan Manajemen Sarana Dan Prasarana. Kegiatan ini difokuskan pada Perbaikan Sistem Tataguna Perpustakaan, Perbaikan Sistem Tataguna dan Manajemen Laboratorium, Perbaikan Sistem Tataguna Ruang Kuliah dan Sarana PBM.
(5). Pengembangan promosi Kegiatan promosi dilakukan dalam bentuk antara lain: Distribusi Brosur, Distribusi spanduk pada tempat / daerah strategis, Iklan Beduk Puasa Ramadhan di TVRI, Radio (Iklan dan Talkshow), Pemasangan iklan di Media cetak, Mengekpos kegiatan Universitas di Media Cetak dan radio, Road show Anti Narkoba ke berbagai daerah serta perlombaan seni dan sains antar SLTA dan Mahasiswa di kampus. Kegiatan Bersama dengan Stakeholder: Sepeda Santai, Gerak jalan bersama, Motor Antik, dan Penanaman Bibit tanaman/Pohon pelindung. Di samping itu, UMA juga Melakukan pertandingan persahabatan di luar kampus (seperti Pertandingan Bola Basket Ke sekolah-sekolah), kunjungan SLTA di Sumatera Utara, memfasilitasi Kegiatan Pramuka Cab. Medan berkemah di UMA, kunjungan ke kantor dan instansi dan Pelaksanaan diskusi dan seminar.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
64 4. BERKHITMAT DI UNIVERSITAS ASING
1. Profesor Tamu di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) Universitas ini milik pemerintah Malaysia. Prof. Dr. H.A. Ya’kub Matondang bertugas di Universitas ini atas permintaan pihak UKM dan diberi izin oleh Sekretaris Jenderal Departemen Agama. Berkhidmat di UKM pada tahun 2001-2002 sebagai Profesor Tamu (Visiting Professor) di Jurusan Dakwah dan Kepemimpinan Fakulti Pengajian Islam UKM. Tawaran untuk menjadi Professor Pelawat pada Jabatan Pengajian Dakwah dan Kepemimpinan Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, mula pertama diterima Prof Dr. H.A. Ya'kub Matondang, MA pada tahun 1997. Pada waktu itu beliau masih menjabat sebagai Rektor IAIN Sumatera Utara, sehingga tidak memungkinkan memenuhi tawaran tersebut. Pada tahun 2001 tawaran tersebut kembali diterima beliau, dan Alahmdulillah dapat dipenuhi Prof Matondang dengan senang hati. Tugas-tugas sebagai Professor Pelawat dilaksanakan Prof Matondang pada 27 Desember 2001, yang pada prinsipnya memiliki tugas yang terdiri dari empat bidang, yaitu (a) memberi kuliah Metodologi Dakwah, (b) mengendalikan seminar, (c) mengkaji program akademik yang ditawarkan oleh jabatan dan (d) menilai program siswazah fakulti. Disamping empat bidang tersebut Prof Dr. H.A. Ya'kub Matondang, MA juga diikutsertakan dalam berbagai kegiatan baik pada tingkat jabatan, fakulti maupun universiti. Beliau juga diminta untuk menyajikan kertas kerja pada Bicara Bestari, menghadiri musyawarah, menyelia Latihan Amali Dakwah, memberi bimbingan konsultasi, menyeleksi pengadaan buku perpustakaan serta berbagai
Dai dan Akademisi
65 aktivitas lainnya. Alhamdulillah, dalam pelaksanaan tugasnya Prof Matondang diberikan fasilitas secukupnya serta layanan dan kerjasama yang sangat akrab.
Pelaksanaan Tugas Pokok a. Memberi kuliah Metodologi Dakwah kepada Masyarakat Muslim Kursus ini merupakan kursus wajib jabatan dengan kod PQ 6143 yang bernilai 3 (tiga) unit. Didalam buku Panduan Siswazah Fakulti Pengajian Islam disebutkan bahwa kursus ini bertujuan untuk membincang metode-metode yang akan digunakan bagi menghadapi masyarakat muslim di Malaysia kini. Metode-metode yang dibincangkan merangkumi strategi, perancangan, teknik, pendekatan dalam dakwah, disamping itu cabaran-cabaran dakwah masa kini dan cara-cara mengatasinya juga diberi tumpuan. Perkuliahan disampaikan Prof Dr. H.A. Ya'kub Matondang, MA bersama-sama dengan Prof. Madya Bechek @ Andek Masnah bte Andek Kelewa (Datin) pada program sarjana sesi 2001-2002 dan 20022003.
b. Mengendalikan Seminar Atas keputusan musyawarah jabatan, seminar yang dikendalikan oleh Prof Matondang adalah Seminar Antarbangsa Pengajian Dakwah Malaysia-Indonesia dengan tema “Memperkukuh Visi Ummatan Wahidah”. Seminar tersebut dilaksanakan atas kerjasama Jabatan Pengajian Dakwah dan Kepemimpinan Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia dengan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Seminar ini dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2002 di Hotel Garuda Plaza Medan, yang dibuka secara resmi oleh Gubernur Sumatera Utara dan dihadiri oleh 250 orang peserta yang berasal dari Indonesia, Malaysia serta Brunai Darussalam. Tampil sebagai pemakalah utama sebanyak 8 orang pakar, yaitu Prof. Madya Dr. Mohammed Yusoff Hussain, Prof.Madya Dr.Zulkiple Abd Ghani, Dr. Badlihisham Moh. Nasir, Dr. Rahimin Affandi Abd.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
66 Rahim, Dr. dr. H.A. Watik Pratiknya, Ir.H. Solahuddin Wahid, Prof Dr. H.A. Ya'kub Matondang, MA dan Dr.H. Asmuni. Disamping itu juga dipresentasikan sejumlah kertas sisipan oleh para akademisi dari berbagai Perguruan Tinggi. Terdapat enam kesimpulan dan empat rekomendasi yang dihasilkan oleh seminar, diantaranya perlu adanya wadah permanen dan incidental yang menyediakan perbincangan dakwah MalaysiaIndonesia dalam usaha meluaskembangkan visi ummatan wahidah dan didasarkan ikatan silaturahmi antara individu dan lembaga dua buah negara.
c. Mengkaji Program Akademik Jabatan Kajian terhadap program akademik yang ditawarkan oleh jabatan, dilakukan berdasar buku Panduan Prasiswazah Fakulti Pengajian Islam sesi akademik 2002-2003. Dalam hal ini, aspek kurikulum, bentuk kursus dan buku-buku teks menjadi tumpuan perhatian. Pada dasarnya, objektif program bertujuan untuk memberi pengajaran dalam bidang falsafah dakwah dan kepemimpinan, gerakan pemikiran dakwah, kajian sosial dan kemasyarakatan, pengorganisasian dakwah, penyiaran, penerbitan dan psikologi. Di samping membekali alumni yang berkebolehan dalam ilmu dakwah dan kepemimpinan serta menghayati nilai-nilai Islam, jabatan ini juga bertujuan untuk memelihara dan memperkembangkan penyelidikan ilmu dalam bidang dakwah dan kepemimpinan serta memberi khidmat kepada masyarakat dan negara. Berangkat dari objektif program ini, maka kurikulum yang disusun perlu mendapat alokasi yang lebih besar pada Kursus Teras Jabatan. Menurut buku panduan terdapat empat komponen kursus yang disajikan pada program Sarjana muda, dengan komposisi (a) kursus university 12 unit (b) kursus teras fakulti 40 unit (c) kursus teras jabatan 24 unit dan (d) kursus elektif modul 24 unit. Menurut Prof Matondang, jumlah unit kursus teras jabatan perlu dipertimbangkan untuk mendapat tambahan dengan konsekuensi mengurangi jumlah unit pada komponen kursus lainnya. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan untuk memasukkan mata pelajaran Falsafat
Dai dan Akademisi
67 Dakwah, Sejarah Dakwah dan Manajemen Dakwah.
d. Menilai Program Pengajian Siswazah Fakulti Penilaian ini dilakukan pada aspek kurikulum dan pengajaran yang dilaksanakan pada program sarjana dan doktor filsafah dengan berpedoman pada buku panduan siswazah Fakulti Pengajian Islam sesi 2002-2003. Bagi calon ijazah sarjana dan doktor filsafah dikehendaki mendaftar dan lulus dengan baik 8 kursus yang terdiri dari 3 kursus wajib dan 5 kursus elektif yang seluruhnya bernilai 24 unit ditambah dengan penulisan tesis sarjana 12 unit dan disertasi doktor 36 unit. Lima kursus elektif yang dimaksud terdiri dari 3 kursus elektif jabatan calon dan 2 kursus elektif jabatan FPI (Fakulti Pengajian Islam).
Kegiatan Lain Disamping tugas-tugas pokok sebagaimana disebutkan di atas, Prof Dr. H.A. Ya'kub Matondang, MA juga ikut aktif mengikuti berbagai macam kegiatan, antara lain: 1. Menghadiri mesyurat yang diadakan oleh jabatan fakulti. 2. Membentang kertas kerja diselenggarakan oleh Jabatan.
pada
Bicara
Bestari
yang
3. Menjadi ahli lembaga Penasihat/Penilai Antarbangsa jurnal Islamiyyat yang diterbitkan oleh Fakulti Pengajian Islam. 4. Menjadi khatib dan imam shalat ‘Idil Adha 1422 H di Kuala Lumpur yang dihadiri oleh Duta Besar RI untuk Malaysia. 5. Menyelia latihan amali dakwah bagi mahasiswa yang mengikuti kursus wajib Metodologi Dakwah kepada non muslim. Kegiatan ini dilaksanakan dengan kerjasama Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Lokasi kegiatan ini di perkampungan orang asli Ruai Pahang. 6. Menyampaikan ceramah dalam Siri Wacana Dakwah di Kolej Universiti Islam Malaysia. 7. Mengadakan dialog tentang pengembangan dan pemantapan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
68 disiplin pengajian dakwah, bersama Dekan dan Timbalan Dekan Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, ketua-ketua jabatan di lingkungan Fakulti Pengajian Islam, Dekan Fakulti Dakwah Kolej Universiti Islam Malaysia, Ketua Jabatan Pengajian Dakwah Universiti Malaya dan para staf akademik Jabatan Dakwah dan Kepemimpinan Fakulti Pengajian Islam UKM. 8. Menyeleksi pengadaan buku-buku perpustakaan pada pameran buku internasional di Kuala Lumpur. 9. Memberi bimbingan kepada mahasiswa program pra siswazah dan program siswazah yang berkonsultasi. 10. Menghadiri undangan pada acara-acara yang diadakan oleh jabatan, fakulti dan universiti.
2. Dosen Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) Universitas ini adalah milik pemerintah, dulunya disebut Kolej Universiti Islam Malaysia (KUIM). Prof. Dr. H.A. Ya’kub Matondang bertugas di universitas ini, atas permintaan Rektor Islamic University College of Malaysia dengan ijin yang diberikan oleh Rektor IAIN Sumatera Utara. Berkhidmat di USIM mulai tahun 2003-2005 di samping menjadi tenaga akademik juga dilantik dalam berbagai jabatan seperti Timbalan Dekan Fakulti Kepemimpinan dan Pengurusan (Leadership and Management), Ketua Tim Peneliti Kualitas Internal, Koordinator bidang Kepakaran Institut Fatwa se Dunia (INFAD), Tim Konveksi Pendakwah Muda tingkat Nasional, Consulting Editor jurnal ‘Ulum Islamiyah, Tim Penulis Profil Tokoh Ma’al Hijrah, Penilai Luar (external assessor) dan Penguji Luar (external examiner).
3. Penguji dan Penilai Universiti Malaya (UM) Universitas ini milik pemerintah Malaysia dan merupakan universitas tertua di sana. Prof. Dr. H.A. Ya’kub Matondang berkhidmat di Universiti Malaya sejak tahun 1999 sebagai Penilai Luar (external assessor) terhadap calon-calon yanng akan diangkat menjadi
Dai dan Akademisi
69 Profesor. Beliau juga berkhidmat sebagai Penguji Luar (external examiner) terhadap calon-calon Doktor yang akan menyelesaikan studi. Perkhidmatan ini diminta oleh Institute of Graduate Studies University of Malaya sampai tahun 2015 dalam bidang Da’wah Curriculum and Assessment. Selain itu beliau juga dilantik sebagai anggota Lembaga Penasihat jurnal Ushuluddin yang diterbitkan oleh Akademi Pengajian Islam University Malaya.
4. Nama-Nama yang Diuji di UM dan UKM Selama berada di Malaysia, Prof Dr. H.A. Ya'kub Matondang, MA telah melakukan penilaian dan pemeriksa luar sebagai berikut. Nama-nama yang telah dinilai layak menjadi Profesor oleh Prof Dr. H.A. Ya'kub Matondang, MA (external accessor) 1. Abdullah Mhd (29/2/2000)
Zein,
Universiti
Kebangsaan
Malaysia
2. Zakaria Stapa, Universiti Kebangsaan Malaysia (12/6/2000) 3. Muhd. Asin (22/3/2001)
Dollah,
Kolej
Universiti
Islam
Malaysia
4. Ab. Aziz Mohd. Zin, Universiti Malaya (19/5/2001) 5. Ibrahim Abu Bakr, Universiti Kebangsaan Malaysia (9/8/2001) 6. Abdul Samat Musa, Universiti Malaya (15/2/2002) 7. Siti Rugayah Hj. Tibek, Universiti Kebangsaan Malaysia (30/8/2002) 8. Zainab binti (29/3/2003)
Ismail,
9. Syed Abdurahman, (27/12/2003)
Universiti Universiti
Kebangsaan
Malaysia
Kebangsaan
Malaysia
10. Badlihisham Mohd. Nasir, Universiti Kebangsaan Malaysia (27/10/2005) 11. Idris bin Zakaria, Universiti Kebangsaan Malaysia (24/8/2006)
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
70 12. Abdul Ghafar Don, Universiti Kebangsaan Malaysia (1/2/2007) 13. Ahmad Redzuwan Mohd. Yunus, Universiti Kebangsaan Malaysia (22/7/2008) 14. Zaharah Hasan, Universiti Kebangsaan Malaysia (15/1/2009) 15. Zulkiple Abd Ghani, Universiti Sains Islam Malaysia (7/3/2009) 16. Khalim Zainal, Universiti Kebangsaan Malaysia (11/3/2010)
Nama-nama yang telah diuji layak mendapat gelar Doktor (Ph.D) oleh Prof Dr. H.A. Ya'kub Matondang, MA (external examiner). 1. Siti Rugayah bt Hj. Tibek “Peranan Drama Dalam: Kajian Drama Dakwah TV1 dan TV3”, Universiti Malaya (22/1/2000) 2. Razali Muhammad Ali, “Sumbangan Organisasi Islam Masa Kini Dalam Pengembangan Dakwah Islamiyah di Aceh”, Universiti Malaya (24/8/2000) 3. Abd Rahman bin Hj.Yusuf, “Program Bina Sahsiah Belia Jabatan Belia dan Sukan Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur”, Universiti Malaya (25/10/2001) 4. Abdul Ghafar bin Don, “Peranan Institusi Dakwah di Britain: Kajian di The Islamic Foundation”, Universiti Malaya (8/4/2003) 5. Ghazali bin Darusalam, “Keberkesanan Kursus Diploma Perguruan Malaysia (Pengkhususan Pengajian Islam) di Maktab-Maktab Perguruan Malaysia”, Universiti Malaya (10/4/2003) 6. Muhammad Roihan Nasution, “Pendidikan Islam di Pesantren: Kajian di Pesantren Mustafawiyah Mandailing Sumut Indonesia”, Universiti Kebangsaan Malaysia, (14/10/2004) 7. Mohd. Sabri bin Ismail, “Metodologi Dakwah Kepada Saudara Baru di PERKIM Klantan”, Universiti Malaya, (17/12/2007) 8. Yunus Abdullah Ma Zheng bin, “Manahij ad-Da’wah al Islamiyah li as-Shiniyyin gair al-Muslimin fi Kuala Lumpur”,
Dai dan Akademisi
71 Universiti Malaya (23/1/2008) 9. Hassan Salim Hassan al-Breiki, “Daur al-Mursyid ad-Diniy fi Tahqiq at Tawafuq al-Usariy bi Markaz al-Istisyarat al-‘Ailiyah fi Daulah Qatr”, Universiti Malaya (5/3/2009) 10. Syabuddin Gade, “Kajian Konseptual dan Pengalaman Dakwah A. Hasymi di Aceh”, Universiti Kebangsaan Malaysia, (25/8/2009) 11. Hajjah Rasinah bt Haji Ahim, “Penerimaan dan Kepahaman Tentang Islam Dalam Kalangan Masyarakat Dusun dan Murut di Brunei Darussalam”, Universiti Malaya, (28/9/2009) 12. Norrodzoh binti Haji Siren, “Penulisan Dakwah: Kajian Retorik Terhadap Teks Ucapan Dasar ABIM dan PAS”, Universiti Malaya, (29/3/2010) 13. Mohamad Nazir Mohamad Sawar, “Al-Iza’ wa an-Nushrah fi Hayat an-Nabiy: Bahs fi Hadisah ar-Rusum ad-Dinmarkiyah wa al-Juhud al-Islamiyah fi an-Nushrah”, Universiti Malaya, (27/8/2010) 14. Hazman bin Hassan, “Pengaruh Satanisme Dalam Fenomena Metal di Malaysia: Analisis dari Perspektif Aqidah Islam”, Universiti Malaya, (27/9/2010)
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
72
Dai dan Akademisi
73
Bab III
GAGASAN DAN PEMIKIRAN PROF. DR. H. A. YA’KUB MATONDANG, MA
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
74
Dai dan Akademisi
75 1. DAKWAH BIL HAL; SUATU PENDEKATAN DAN STRATEGI
Pendahuluan Dalam kajian dakwah, dikenal adanya pelbagai medium dakwah baik yang bersifat maknawi (al-wasail al-ma'nawiyah) mahupun yang bersifat madiah (al-wasail al-maddiyah). Medium yang bersifat maknawi adalah seluruh aspek kejiwaan dan pemikiran dengan segala bentuknya seperti sifat-sifat terpuji, konsep-konsep dan sebagainya.. Sedangkan medium yang bersifat madiah adalah seluruh aspek yang dapat dijangkau oleh indria manusia (mahsusah atau malmusah) seperti ucapan, gerakan, teknikal dan perbuatan nyata dengan seluruh rinciannya. Apabila dakwah dirangkaikan dengan penggunaan mediumnya, maka didapati beberapa istilah seperti dakwah bil qawl (ucapan), bil kitabah (tulisan), bil 'amal (perbuatan) dan bil qudwah (keteladanan). Dakwah bil qaul ialah dakwah yang dilakukan dengan ucapan dalam pelbagai bentuknya seperti khutbah, ceramah, pengajian, discus, dialog dan sebagainya. Dakwah bil kitabah dilakukan melalui tulisan seperti penulisan artikel, makalah, risalah, buku dan lain-lain. Dakwah bil 'amal dilakukan dengan pelbagai aktiviti sosial kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, keterampilan dan aktivitiaktiviti lainnya. Dakwah bil qudwah dilakukan melalui keteladanan dengan mengamalkan sifat-sifat dan akhlak mulia di dalam kehidapan pribadi, rumah tangga dan dalam pergaulan sosial. Penggunaan istilah dakwah bil hal yang popular di nusantara, merujuk kepada ungkapan lisan al-hal afsah min lisan al-maqal (bicara realiti keadaan, lebih berkesan daripada bicara yang diucapkan). Pada hakikatnya dakwah bil hal adalah pelaksanaan dakwah bil qudwah (keteladanan) dan dakwah bil 'amal (perbuatan). Dengan kata lain, dakwah bil hal adalah dakwah yang dilakukan melalui penampilan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
76 kualiti peribadi dan aktiviti-aktiviti yang langsung menyentuh keperluan masyarakat. Dakwah bil hal dapat dilakukan oleh setiap orang ataupun kelompok, organisasi atau institusi yang memiliki komitmen untuk mempertingkatkan kualiti kehidupan melalui perbuatan dan amal yang dikendaki Islam.
b. Kepentingan Dakwah bil Hal Aktiviti dakwah yang disampaikan melalui lisan, telah dilakukan oleh banyak orang baik secara tradisional mahupun dengan memanfaatkan teknologi komunikasi moden (ICT). Kebaikan dan efektifiti dakwah melalui lisan ini, bukanlah merupakan hal yang dipertikaikan. Namun akan timbul persoalan, jika ramai orang yang becakap, tetapi situasi dan kondisi masyarakat semakin menjauh dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan. Kemungkinan hal ini disebabkan bicaranya kurang berkualiti, atau kerana apa yang dibicarakan tidak ada tindakan lanjut secara realiti. Allah SWT memperingatkan di dalam al-Quran, yang bermakna: "Hai orangorang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahawa kamu mengatakan sesuatu yang tiada kamu kerjakan" (as-Saf 61:2-3). Umat Islam diperintahkan untuk terus berbuat dan bekerja, sebagaimana firman Allah: "Dan katakanlah, bekerjalah kamu maka Allah dan RasulNya serta orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu itu" (at-Tawbah 9:105). Rasulullah SAW sentiasa memberikan keteladanan dalam setiap gerak dakwah yang dilakukannya. Setiap kebaikan yang diperintahkannya, pasti ia yang mula mengerjakannya, sebaliknya setiap kejahatan yang dilarangnya, pasti ia pula yang mula pertama menjauhinya. Pelbagai riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW selalu mengingatkan umat agar memiliki akhlak mulia, jujur, adil, bertoleran, bermusyawarah, tolong-menolong dan sebagainya. Pada waktu yang sama, Rasul sendiri mempraktekkan sifat-sifat terpuji dalam seluruh aktiviti kehidupannya. Di dalam al-Quran disebutkan: "Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang mulia" (al-Qalam 68:4).
Dai dan Akademisi
77 Demikian pentingnya dakwah bil hal, yang menekankan pembinaan sahsiah dan peningkatan kualiti kehidupan melalui perbuatan-perbuatan nyata. Tentunya hal ini memerlukan upaya yang sungguh-sungguh bagi setiap pendakwah (da'i) atau organisasi dakwah untuk memikirkan pendekatan dan strategi dakwah bil hal serta menyusun program dan mengaplikasikannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat. Bagaimanapun juga, peranan dari organisasi dan institusi keagamaan, usahawan, ilmuwan dan partisipasi semua pihak sangat menentukan keberhasilan dakwah bil hal.
c. Pendekatan Dakwah bil Hal Dalam konteks dakwah bil hal, dakwah tidak hanya merupakan upaya yang tebatas pada khitabah (pidato atau bicara), tetapi dakwah boleh dilakukan melalui pelbagai aktiviti yang mencakupi semua aspek kehidupan manusia. Ruang lingkup dakwah yang bersifat multidimensi, telah membuka akses dan peluang yang besar untuk mempelbagaikan aktiviti dakwah dalam rangka membangun dan memberdayakan masyarakat melalui kerja-kerja nyata. Sejalan dengan hal ini, maka dakwah bil hal memerlukan pendekatan yang lebih efektif dan perlu ditangani secara profesional. Dakwah bil hal sebagai suatu metode dakwah sosial (manhaj al'amal ma'a al-jama'ah), perlu memedomani kaidah-kaidah yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Terdapat adanya delapan kaedah dakwah sosial yang dilakukan oleh Rasulullah SAW iaitu: (1) komitmen dan jati diri pendakwah (siqqah al-da'iyyah), (2) matlamat dan objektif yang jelas (tahdid al-hadf), (3) memahami situasi dan kondisi masyarakat (at-ta'arruf 'ala tabi'at al-mujtama'), (4) mempersiapkan kepimpinan (tarbiyah qiyadah), (5) penyajian dan penyampaian dakwah secara jelas (al-'ardh al- wadih), (6) menciptakan keunggulan dan daya tarik dakwah (ijad istiqtab hawl al-da'wah), (7) moral dan akhlak mulia (al-suluk al-mutabiq li al-mabadi'), (8) Sabar dan tangguh menghadapi cabaran (al-sabr wa al-tahammul). Kedelapan kaedah tersebut di atas merupakan tonggak yang kokoh dalam memberhasilkan dakwah terutama dalam menjalankan aktiviti
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
78 dakwah bil hal. Selain itu, dalam tatanan operasinal, dakwah bil hal memerlukan pendekatan yang lebih 'arif sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Di antaranya adalah pendekatan dalam bentuk tau'iyah (penyadaran), irsyad (bimbingan), himayah (advokasi), dan tanmiyah (pembangunan). Tau'iyah adalah mengarahkan kesadaran umat agar orientasi dan kontribusi dakwahnya semakin jelas. Dengan demikian, kerja-kerja dakwah menjadi sinergis, efisien dan produktif, kerana masyarakat yang sudah menyadari potensi dirinya dan memiliki orientasi yang jelas, akan lebih mudah diarahkan untuk melakukan kebaikankebaikan. Irsyad dimaksudkan adalah memberi bimbingan sehingga masyarakat tidak terjebak dalam ranjau-ranjau kesesatan serta sentiasa berada dalam jalan yang benar. Mampu menghadapi tantangan kehidupan secara bermaruah, tidak pesimis dan tidak frustrasi menghadapi situasi yang serumit apapun. Himayah iaitu memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai murni sehingga tidak dicemari oleh tingkah laku menyimpang, dan juga memberi perlindungan kepada masyarakat dari segala bentuk kezaliman. Tanmiyah merupakan pembangunan dan pengembangan kehidupan masyarakat ke arah kemajuan yang membawa kepada kecemerlangan dan kebahagiaan mental dan fisikal, dunia dan akhirat.
d. Strategi Dakwah bil Hal Keadaan global umat Islam secara umum berada dalam kaedah "taqlid al-maglub li al-galib" (yang kalah mengikuti yang menang). Akibatnya, dalam pergaulan antarabangsa, umat Islam banyak menerima dan bukannya memberi, bahkan mendapat tuhmahantuhmahan yang tidak selari dengan hakikat dinul Islam. Di dalam kehidupan masyarakat pula, terdapat gejala sosial yang membimbangkan, di antaranya problem jenayah yang terjadi di kalangan remaja. Sesuai kenyataan Ketua Polis Negara, Tan Sri Mohd. Bakri Omar bahawa pembabitan pelajar dalam jenayah semakin
Dai dan Akademisi
79 membimbangkan berikutan peningkatan kasus membabitkan pelajar sejak tiga tahun lalu dengan purata 200 kasus dan 120 tangkapan setiap bulan. Statistik PDRM menunjukkan bagi tempoh lima bulan pertama tahun ini, purata 121 pelajar ditangkap setiap bulan kerana terbabit dalam 1048 kasus jenayah. Memandangkan kondisi global umat Islam dan gejala sosial yang membimbangkan, maka dakwah bil hal yang pada hakikatnya focus pada keteladanan dan kerja-kerja sosial, memerlukan pelbagai langkah-langkah strategik, di antaranya ialah:
1. Pembinaan sahsiah Dapat diilakukan dengan cara (a) penghayatan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, (b) pemahaman yang jelas terhadap perbuatan dan tingkah laku, (c) secara kontineu melakukan amal saleh, (d) pengorbanan waktu, kesungguhan dan harta di jalan Allah, (e) mengakui kekurangan dan kelemahan, (f) berakhlak mulia, (g) menyadari adanya pengawasan Allah terhadap segala ucapan dan perbuatan, (h) menjadikan ihsan sebagai prinsip hidup dan beramal, (i) pro-aktif dalam melakukan apa saja yang membawa kemaslahatan ummah, (j) berusaha maksima untuk menghilangkan hal-hal yang membahayakan dan memudaratkan masyarakat.
2. Peningkatan Keilmuan dan Keterampilan Dapat dilakukan dengan pengembangan ijtihad dan inovasi melalui pelbagai program pengembangan bakat, minat, kepribadian, pemikiran, kepakaran dan kreativiti. Juga dengan mengembangkan program balai latihan kerja, keusahawanan dan pengembangan masyarakat serta usaha-usaha pembinaan dan resosialisasi bagi masyarakat yang menghadapi masalah-masalah mental dan sosial baik preventif (pencegahan), mahupun kuratif (tindakan pemulihan).
3. Keterlibatan langsung dalam aktiviti kemasyarakatan Terutama sekali dalam rangka pembinaan sosial budaya,
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
80 peningkatan taraf hidup, pengembangan ekonomi dan kesehatan serta pemeliharaan persekitaran, Keterlibatan dalam aktiviti kemasyarakatan ini dapat dilakukan secara sendiri mahupun melalui kerjasama dengan pihak lain seperti agensi-agensi kerajaan mahupun swasta.
e. Dakwah bil Hal dalam Islam Hadari Pendekatan Islam Hadari yang menjadi dasar Kerajaan Malaysia, memberi peluang yang amat luas untuk mempelbagaikan aktiviti dakwah termasuk dakwah bil hal. Sebagaimana dimaklumi bahwa untuk menjayakan pendekatan Islam Hadari, kerajaan Malaysia telah menggariskan sepuluh prinsip asas iaitu: 1. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah 2. Kerajaan adil dan beramanah 3. Rakyat berjiwa merdeka 4. Penguasaan ilmu pengetahuan 5. Pembangunan ekonomi seimbang dan komprehensif 6. Kehidupan berkualiti 7. Pembelaan hak kumpulan minority dan wanita 8. Keutuhan budaya dan moral 9. Pemeliharaan alam semulajadi 10. Kekuatan pertahanan. Prinsip-prinsip di atas, secara jelas menujukkan adanya komitmen kerajaan untuk membuktikan keupayaan Malaysia sebagai sebuah negara Islam contoh dalam semua bidang dalam pergaulan antarabangsa. Ini berarti memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi setiap komponen masyarakat untuk partisipasi membina tamaddun yang gemilang melalui medium apa sahaja, termasuk melalui dakwah bil hal. Oleh itu, corak dakwah bil hal yang dikehendaki dalam pendekatan Islam Hadari adalah:
Dai dan Akademisi
81 Dakwah dengan pola yang bernuansa taisir (kemudahan) bukannya ta'sir (mempersulit), memberikan pencerahan dan kegembiraan (tabsyir) bukannya yang membuat orang berbalik arah ataupun lari (tanfir). Pola taisir dan tabsyir dalam berdakwah ditandai dengan dakwah yang penuh hikmah serta memiliki daya tarik yang memikat masyarakat. Dakwah dengan sikap-sikap majemuk. Dakwah di tengah masyarakat majemuk, memerlukan sikap toleran, akomodatif, tenggang rasa dan saling menghargai. Ini bukan berarti mengorbankan prinsip-prinsip akidah ataupun syariah untuk mencapai keselesaan semua pihak, tetapi ianya sebagai suatu cara untuk mencari titik temu dan mengembangkan sikap kebersamaan dalam hidup bermasyarakat dan bermuamalah. Dakwah dengan memperhitungkan human need dan human interest. Terdapat pelbagai keperluan objek dakwah, di antaranya ada yang berupa bimbingan, motivasi, pengetahuan, ketrampilan, keperluan asas untuk hidup dan sebagainya. Dalam hal ini pendakwah harus memahami peta dakwah secara jelas dan mengetahui apa yang menjadi keperluan objek dakwah, dan selanjutnya menyajikan dakwah sesuai kaedah tartib al-awlawiyat atau berdasar skala prioriti yang diperlukan.
f. KESIMPULAN Dakwah bil hal adalah dakwah melalui penampilan pribadi yang berkualiti dan aktiviti-aktiviti yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh itu, pendakwah muda dituntut untuk mempertingkatkan kualiti pribadi serta aktif melakukan pelbagai aktiviti yang secara langsung menyentuh keperluan masyarakat, bangsa dan negara. Pendekatan dan strategi dakwah bil hal perlu mengambil kira keperluan dan minat serta kecenderungan masyarakat yang menjadi objek dakwah, terutama sekali dalam menyikapi trend global dan perkembangan semasa. Apalagi dengan dasar kerajaan yang menggunakan pendekatan Islam Hadari, tentunya membuka peluang yang amat luas bagi partisipasi dakwah dengan pelbagai program dan aktiviti yang mungkin dilakukan secara terancang dan terprogram.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
82 Permasalahan keummatan semakin hari semakin kompleks, ia tidak dapat ditangani secara sendiri-sendiri. Oleh itu, pendakwah muda perlu membentuk suatu wadah yang secara spesifik dapat memikirkan, merancang serta menentukan program, pendekatan dan strategi dakwah yang lebih berkesan serta mampu memberikan solusi bagi problema remaja khususnya serta problema umat secara amnya.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Quran al-Karim Amhazun, Muhammad. 2003. Manhaj al-Nabiy fi al-Da'wah Min Khilal al-Sirah al-Sahihah. Kaherah: Dar al-Salam Al-Bayanuni, Muhammad Abu al-Fath. T.T. Al-Madkhal Ila 'Ilm alDa'wah. Medinah: Muassasah al-Risalah Ilyas, Yunahar (Ed.). 1993. Muhammadiyah dan NU, Reorientasi Wawasan Keislaman. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Universitas Muhammadiyah & Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama dan Pondok Pesantren alMuhsin Kanakir, Mustafa Ahmad. 2003. Al-Da'wah al-Islamiyah fi al-Qanawat alFadlaiyah: al-Waqi' wa al-Murtaja. Suriah: Dar Fannan Mahmud, 'Ali Abdul Halim. 1993. Fiqh al-Da'wah Ila Allah. AlMansurah (Egypt): Dar al-Wafa' li al-Tiba'ah wa al-Nasyr wa alTawzi' Syalabi, Rauf. 1974. Al-Da'wah al-Islamiyah fi 'Ahdiha al-Makki: Manahijuha wa Gayatuha. Kaherah: Majma' al-Buhus al-Islamiyah 2005. Utusan. 15 Julai.
Dai dan Akademisi
83 2. ETIKA POLITIK DAN POLITIK DAKWAH
Pendahuluan Etika adalah sejumlah nilai yang berkaitan dengan aspek praksis manusia yang menggambarkan tanggung jawab antara sesama manusia. Secara umum, etika dibagi dalam dua kategori, etika umum dan etika khusus. Etika umum berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi setiap manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip dasar itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan seperti sosial, profesi, politik dan dakwah. Politik dalam arti luas bukan hanya aspek yang berhubungan dengan kekuasaan dan pemerintahan, tetapi mencakup kebijakan menangani permasalahan sosial kemanusiaan. Zallum (2001:11) menjelaskan bahwa politik atau siyasah memiliki makna mengatur urusan umat. Berangkat dari pengertian tersebut, maka Islam tidak memisahkan antara politik dan agama, al-Islam la yufarriqu bain assiyasah wa ad-din, demikian dikemukakan oleh al-Fanjari (1973:59). Etika politik berkaitan dengan dimensi politis kehidupan umat manusia. Dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan (Suseno, 2001:19). Ciri khas suatu pendekatan yang disebut “politis” adalah bahwa pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat. Dengan demikian, baik politisi maupun yang bukan politisi dapat mengambil sikap politis apabila dalam mengambil sikap itu mengacu pada kepentingnan masyarakat. Dalam hal ini etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban mansusia sebagai manusia, dan tidak terbatas pada manusia sebagai warga negara. Oleh karenanya, politik dalam bahasan ini bukan hanya terbatas pada urusan pemerintahan dan kenegaraan, tetapi mencakup cara bertindak dan kebijakan dalam
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
84 menangani permasalahan yang dihadapi. Politik dakwah (siyasah ad-da’wah) bermakna kebijakan menangani aktivitas dakwah, termasuk menentukan metode, pendekatan, media serta cara menangani permasalahan dakwah baik internal maupun eksternal. Bagaimanapun juga politik dakwah memerlukan kecerdasan dalam mencermati lingkungan dakwah serta memberikan solusi yang tepat, sehingga politik dakwah merupakan politik yang bijak (as-siyasah al-hakimah).
Pemikiran Politk dalam al-Qur'an Di tengah masyarakat masih terdapat anggapan bahawa “politik” diartikan sebagai manuver-manuver partai politik yang penuh rekayasa, kebohongan, ketamakan, ambisius dan janji-janji palsu. Politik dalam pengertian seperti inilah yang ditolak secara tegas oleh Syekh Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam wa an-Nashraniyah ma’a al-‘Ilmi wa al-Madaniyah. Sebagai ungkapan penolakan terhadap seluruh yang berbau politik, Abduh mengatakan:
ﻦ ﻛﹸـﻞﱠ ﻭ ِﻣ ﺳ ِﺔ ﺎﻴﻰ ﺍﻟﺴﻌﻨ ﻣ ﻦ ﻭ ِﻣ ﺳ ِﺔ ﺎﻴﻆ ﺍﻟﺴ ِ ﻦ ﹶﻟ ﹾﻔ ﻭ ِﻣ ﺳ ِﺔ ﺎﻴﻦ ﺍﻟﺴ ﷲ ِﻣ ِ ﻮ ﹸﺫ ﺑِﺎ ﻋ ﹶﺍ ﺳ ِﺔ ﺎﻴﻤ ِﺔ ﺍﻟﺴ ﻦ ﹶﻛ ِﻠ ﻆ ِﻣ ﻳ ﹾﻠ ﹶﻔ ﹶ ﻑ ِ ﺮ ﺣ “Saya berlindung dengan Allah dari politik dan dari lafaz politik juga dari makna politik dan bahkan dari setiap huruf yang dilafazkan dari kata politik”. Pernyataan Abduh ini bukan berarti ia mengabaikan aspek politik dalam kehidupan umat manusia, karena sesungguhnya yang beliau tolak adalah “politik busuk” yaitu politik yang mengabaikan nilai-nilai moral dan akhlak mulia. Sebagaimana diketahui bahwa Abduh sendiri berkecimpung dalam urusan-urusan politik, ia memegang berbagai jawatan pemerintahan dan ia melakukan gerakan pembaharuan keagamaan, keilmuan dan kebudayaan. Bahkan Abduh bersama-sama Jamaluddin al-Afghani sewaktu bermukim di Paris, mereka menerbitkan majalah “al-‘Urwat al- Wusqa” yang secara politis berpengaruh luas di dunia Islam. Di antara tajuk yang terdapat di dalamnya adalah Akhbar Siyasiyah (Berita Politik) yang mengungkap
Dai dan Akademisi
85 secara jelas perkembangan politik yang terjadi saat itu (Al-Afgani, 1970:315, 329). Kajian tentang pemikiran politik dalam al-Quran pada kesempatan ini difokuskan pada pengkajian aspek politik yang terdapat di dalam surat al-Isra’ yang juga disebut surat Bani Israel. Surat ini terdiri dari satu ratus sebelas ayat dan termasuk surat Makkiyah yaitu diturunkan sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Ia mengandungi kisah peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang merupakan mukjizat yang susah dipahami kecuali menggunakan pendekatan imani dan qurani. Abdullah Mahmud Syahatah (1975:42) yang secara khusus menyusun Tafsir Surat al-Isra’, menjelaskan bahwa petunjuk dan bimbingan Allah SWT yang terdapat di dalam berita Isra’ dan Mi’raj adalah memperkokoh ikatan agama dan akhlak sebagai yang tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Ayat pertama surat al-Isra’ yang berarti: “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al-Masjid alHaram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebahagian ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”. Kalimat linuriyahu (agar Kami perlihatkan kepadanya) yang terdapat di dalam ayat ini adalah merupakan bayan al-ghayah (atThabathabai,TT: XIII:7). Maksudnya, menjelaskan tujuan diperjalankannya Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha adalah untuk memperlihatkan kepadanya sebahagian ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah SWT. Sesungguhnya tanda-tanda kekuasaan Allah yang berkaitan dengan Masjidil Aqsha adalah yang bersifat historis-sosiologis yang tercermin dengan adanya keberkatan di satu sisi dan terjadinya konflik antara Persia, Romawi dan Israel di sisi lain. Dengan peristiwa Isra’, merupakan kesempatan kepada Rasulullah SAW untuk menyaksikan masa lalu, sekarang dan proyeksi ke depan masa yang akan datang. Pada ayat dua sampai ayat delapan, dijelaskan posisi Musa dan situasi yang dialami oleh Bani Israel, yang seolah-olah tidak memiliki hubung kait dengan peristiwa Isra’nya Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan pertimbangan inilah sebahagian mufassirin mengategorikan ayat ini sebagai contoh iltifat bayani yaitu peralihan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
86 dari satu topik ke topik lainnya. Namun, jika diperhatikan secara cermat, sesungguhnya antara ayat pertama dan berikutnya masih terdapat munasabah (bentuk hubung kait, wajh al-irtibath) dengan tajuk Isra’ yaitu uraian rinci tentang kondisi masyarakat yang berada di sekitar lokasi Masjidil Aqsha. Ayat sembilan dan sepuluh menegaskan tentang keutamaan alQuran serta ancaman siksa buat orang-orang yang tidak beriman. Kemudian, ayat sebelas dan selanjutnya sampai akhir surat, menjelaskan berbagai aspek kemanusiaan dan keummatan termasuk kewajiban ibadah kepada Tuhan, akhlak terhadap orang tua, kaum kerabat serta tata krama dalam pergaulan sosial. Juga dijelaskan tentang kehidupan eskatologis di kemudian hari serta berbagai tantangan dan cabaran yang dihadapi Rasulullah SAW dalam menyampaikan risalah Islamiyah. Kembali kepada pemikiran politik yang dapat dipahami dari peristiwa Isra’, bahwa Rasulullah SAW yang sebelumnya mengalami realitas konflik lokal suku Quraisy di kota Makkah, kemudian ia menyaksikan wilayah al-Quds sebagai ajang konflik internasional dari tiga kekuatan dunia waktu itu (Persia, Romawi dan Yahudi). Dengan demikian, Rasulullah SAW mendapatkan hakikat yang amat fundamental dalam menghadapi berbagai konflik serta membangun kekuasaan sesuai dengan prinsip-prinsip wahyu. Menurut Tijani Abdul Qadir Hamid (2001:175) bahwa setelah Isra’ dan Mi’raj, strategi Rasul benar-benar berorientasi pada pendirian suatu negara. Di mana orientasi ini berpengaruh pada perimbangan kekuatan politik lokal, nasional maupun internasional.
Prinsip-prinsip Etika Politik Etika politik dalam tulisan ini dibatasi pada sopan santun antara sesama manusia dalam dimensi politik yaitu dimensi masyarakat secara keseluruhan. Di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang berkaitan dengan prinsip-prinsip etika politik, di antaranya adalah firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 128 yang berbunyi:
ﲔ ﺆ ِﻣِﻨ ﻤ ﻴﻜﹸﻢ ﺑِﺎﹾﻟ ﻋ ﹶﻠ ﺺ ﺣﺮِﻳ ﻢ ﻋﻨِﺘ ﺎﻴ ِﻪ ﻣ ﻋ ﹶﻠ ﺰ ﻋﺰِﻳ ﻢ ﺴ ﹸﻜ ِ ﻦ ﺃﹶﻧ ﹸﻔ ﻮ ﹲﻝ ﻣﺭﺳ ﺎﺀ ﹸﻛﻢﺪ ﺟ ﹶﻟ ﹶﻘ Dai dan Akademisi
87 ﻢ ﺣِﻴﻑ ﺭ ﻭﺭﺅ “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari dirimu sendiri, berat terasanya penderitaanmu, ia sangat menaruh perhatian kepadamu, belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman (at-Taubah:128)”. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa dalam menghadapi realitas sosial, Rasulullah SAW memiliki kepribadian yang amat terpuji, di antaranya: Merasa susah melihat penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh umat. Karenanya ia memiliki sifat amanah, adil, cerdas, tidak tamak dan selalu tanggap terhadap persoalan keummatan. Sangat menginginkan agar umat tetap berada di jalan yang benar. Karenanya ia bersifat jujur, selari antara kata dan perbuatan, berani dan istiqamah dalam menyampaikan risalah. Menunjukkan kasih sayang terhadap orang-orang yang beriman. Karenanya ia memiliki sifat mahabbah (kasih sayang), husn az-zann (sangka baik), penyantun, pemaaf, tidak khianat dan tidak ambisi. Selain itu terdapat beberapa prinsip moral yang dapat dikaitkan dengan etika politik seperti berlaku adil, berbuat kebaikan, menyantuni kaum kerabat, menjauhi perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan (an-Nahl:90), menepati janji dan tidak membatalkan sumpah yang telah diikrarkan (an-Nahl:91), tidak menghina atau memperolok-olok (al-Hujurat:11), menjauhi prasangka buruk, jangan mencari-cari kesalahan dan jangan menggunjing (al-Hujurat:12). Berkata baik (al-Baqarah:83) dan berkata benar (al-Ahzab:70), mampu menahan emosi serta pemaaf (Ali Imran:134), tidak menganiaya dan tidak dianiaya (al-Baqarah: 279). Masih terdapat sejumlah ayat lainnya yang mengungkap prinsip-prinsip etika yang terkait dengan hubungan antara sesama manusia. Di dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2001: 36-39), terdapat rumusan yang berkaitan dengan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat disebut sebagai etika politik yang patut dihayati secara sungguh-sungguh. Rumusan tersebut terdiri dari enam
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
88 butir yaitu: Perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika/akhlak Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat utama yang diridai Allah SWT. Beberapa prinsip dalam bidang politik harus ditegakkan dengan sejujur-jujurnya dan sesungguh-sungguhnya yaitu menunaikan amanat dan tidak boleh mengkhianati amanat, menegakkan keadilan, hukum dan kebenaran, ketaatan kepada pemimpin sejauh sejalan dengan perintah Allah dan Rasul, mengemban risalah Islam, menunaikan amar ma’ruf nahi munkar dan mengajak orang untuk beriman kepada Allah. Memedomani al-Quran dan as-Sunnah, mementingkan kesatuan dan persaudaraan umat manusia, menghormati kebebasan orang lain, menjauhi fitnah dan kerusakan. Menghormati hak hidup orang lain, tidak berkhianat dan tidak melakukan kezaliman serta tidak mengambil hak orang lain. Berlomba dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak bekerja sama (konspirasi) dalam melakukan dosa dan permusuhan. Memelihara hubungan baik antara pemimpin dan warga, memelihara keselamatan umum, hidup berdampingan dengan baik dan damai. Tidak melakukan fasad dan kemungkaran, mementingkan ukhwah Islamiyah dan prinsip-prinsip lainnya yang maslahat, ihsan dan ishlah. Berpolitik dalam dan demi kepentingan umat dan bangsa sebagai wujud ibadah kepada Allah dan ishlah serta ihsan kepada sesama, dan jangan mengorbankan kepentingan yang lebih luas dan utama itu demi kepentingan diri sendiri dan kelompok yang sempit. Para politisi berkewajiban menunjukkan keteladan diri (uswah hasanah) yang jujur, benar dan adil serta menjauhkan diri dari prilaku politik yang kotor, membawa fitnah, fasad (kerusakan) dan hanya mementingkan diri sendiri. Berpolitik dengan kesalehan, sikap positif dan memiliki cita-cita bagi terwujudnya masyarakat utama dengan fungsi amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersistem dalam satu kesatuan umamah yang
Dai dan Akademisi
89 kokoh. Menggalang silaturrahim dan ukhwah antara politisi dan kekuatan politik yang digerakkan secara cerdas dan dewasa. Prinsip-prinsip etika politik sebagaimana dipaparkan di atas, hendaknya dapat diimplementasikan dalam tataran praksis sebagai etika setiap individu, baik ia sebagai penguasa, politisi, akademisi ataupun sebagai warga masyarakat. Dengan demikian, sikap apapun yang diambil oleh seseorang dalam pergaulan sosial tidak terlepas dari tanggung jawab pribadi, sekalipun sikap yang diambil itu merupakan sikap kolektif.
Politik Dakwah (Siyasat ad-Da’wah) Dakwah merupakan gerakan keislaman baik yang bersifat teoritis maupun praktis dalam upaya menyebar luaskan ajaran Islam serta mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan. Di dalam kajian dakwah, Syekh Ali Mahfuz (TT:26-42) mengemukakan empat prinsip dasar yang perlu dipedomani di dalam melakukan aktivitas dakwah yaitu argumen yang kukuh (al-hujaj al-balighah), metodologi atau cara yang tepat (al-asalib al-hakimah), moralitas yang tinggi (al-adab assamiyah) dan politik yang bijak (as-siyasat al-hakimah). Seluruh asktivitas dakwah baik yang dilakukan secara lisan, tulisan, perbuatan ataupun secara qudwah (dakwah bil hal), hendaklah mengacu kepada keempat prinsip dasar ini, agar dakwah yang dilakukan dapat berhasil secara maksimal. Khusus berkaitan dengan politik yang bijak, menuntut da’i memiliki kecerdasan dan kecermatan dalam mengikuti perkembangan yang terjadi baik pada skala lokal, nasional maupun global. Di sinilah perlunya para da’i memiliki kemampuan untuk mengalisis realitas yang terjadi di tengah masyarakat secara terinci dan komprehensif, serta mengambil kebijakan yang tepat sesuai dengan tuntutan lapangan. Oleh karena itu, menurut Ali Abdul Halim Mahmud (1993:368-393) pada fase pembentukan dakwah (marhalah at-takwin) kompetensi para da’i diukur dengan empat kategori yaitu sikap moral (al-khuluqiyah), sikap ilmiah (al-‘ilmiyah), sikap praktikal (al-‘amaliyah) dan sikap kepimpinan (al-qiyadiyah). Di antara sikap moral adalah
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
90 ikhlas, wara’, sabar, ihsan dan tawadlu’, dan yang termasuk sikap ilmiah di antaranya memiliki pengetahuan keislaman dan mampu memahaminya secara mendalam serta menaruh perhatian besar terhadap pendidikan Islam. Sikap praksis di antaranya memiliki kemampuan dan ketekunan kerja, memiliki pengalaman kegiatan secara teratur, serta mampu menganalisis, merangkai dan mengambil kesimpulan. Di antara sikap kepimpinan adalah kemampuan memimpin pihak lain, mampu menghimpun potensi yang ada, mampu memenej konflik, mampu mengikuti perubahan, serta mampu memilih calon-calon pimpinan dan melakukan pengaderan. Di dalam sirah an-nabawiyah, terdapat banyak peristiwa yang menggambarkan politik dakwah yang amat bijaksana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Selain apa yang telah dipaparkan sebelumnya pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj, juga pada peristiwa-peristiwa besar seperti hijrah ke Madinah, perjanjian Hudaibiyah dan pelaksanaan haji wada’ memiliki nuansa politik dakwah yang amat cerdas. Berkaitan dengan peristiwa hijrah, nampaknya Rasulullah SAW ingin memotong jalur perdagangan Quraisy dari Makkah ke Syam dengan menguasai kota Madinah sebagai kota transit, sehingga dapat melumpuhkan perekonomian masyarakat Makkah. Demikian juga perjanjian Hudaibiyah yang seolah-olah memberi konsesi besar kepada pihak lawan, sehingga awalnya mendapat reaksi dari Umar ibn Khattab, namun setelah mendalami makna politis yang terdapat di dalam perjanjian itu, akhirnya seluruh sahabat memberi dukungan penuh yang disebut dengan bai’ah ar-ridwan. Pelaksanaan haji wada’ sebagai ibadah haji yang pertama dan yang terakhir dilakukan oleh Rasulullah SAW, mengandung beberapa aspek yang berkaitan dengan sikap politik global yang menjadi dasar-dasar pengembangan hak-hak asasi dan kewajiban manusia. Selain itu, politik yang bijak (as-siyasah al-hakimah) juga dapat dicermati pada sistem dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW secara bertahap (bi at-tadarruj), dimulai dengan kontak personal secara diam-diam, kemudian dakwah kepada keluarga terdekat, kemudian dakwah secara terus terang, dan berlanjut dengan dakwah kepada penduduk Makkah dan sekitarnya serta dakwah yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Demikian juga pemilihan waktu yang
Dai dan Akademisi
91 tepat untuk memberikan bimbingan, mau’idhah dan nasihat sehingga para sahabat menaruh perhatian secara sungguh-sungguh. Melakukan berbagai pendekatan yang relevan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, sehingga masyarakat luas baik kawan maupun lawan menaruh simpati terhadap dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Politik dakwah merupakan implementasi al-hikmah dalam berbagai aspek dakwah, baik pada aspek metodologi dan pendekatan maupun pada aspek materi dan media yang dipergunakan. Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni (TT:247) menguraikan implementasi al-hikmah pada aspek metodologi dan pendekatan dakwah yang ditandai dengan (a) penentuan skala prioritas (tartib alawlawiyat) dengan pengertian mendahulukan yang amat penting dari sekian banyak yang dipandang penting (taqdim al-aham ‘ala al-muhim), (b) pelaksanaan yang bertahap dan terencana, (c) relevan dengan keadaan, usia dan strata mad’u. Sedangkan pada aspek uslub ad-dakwah, ditandai dengan (a) memilih bentuk dan cara yang bersesuaian dengan kondisi dan situasi yang dihadapi, (b) berpegang pada urutan al-ihtisab (memberi peringatan) yaitu dimulai dari yang sederhana sampai pada yang lebih tegas, (c) menyelidiki latar belakang dan sebab-sebab kejadian. Akhirnya, pada aspek media, al-hikmah ditandai dengan (a) memanfaatkan seluruh media yang memungkinkan untuk digunapakai (b) meningkatkan kualitas media yang dapat mengungguli media yang digunakan oleh pihak lawan. Dengan demikian, politik dakwah memerlukan kemahiran dan profesionalisme dalam menentukan kebijakan dakwah, sehingga dakwah dapat terselenggara dengan baik serta mencapai tujuan sesuai yang diharapkan. Untuk ini para da’i, baik perseorangan maupun atas nama institusi atau organisasi, dituntut untuk memiliki kompetensi substantif dan metodologis serta meningkatkan ketajaman analisis dalam memahami persoalan-persoalan dakwah. Selain aspek kompetensi, penentuan kebijakan dakwah, juga erat kaitannya dengan tersedianya data lapangan yang disusun secara lengkap dan sistematis. Para da’i harus memahami secara komprehensif (al-wa’y alkamil) tentang realitas dakwah, keadaan da’i dan kondisi mad’u pada setiap kawasan atau medan dakwah. Dalam konteks ini, kehadiran
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
92 Map atau Peta Dakwah (kharithah ad-da’wah) menjadi suatu keharusan.
Kesimpulan Etika politik merupakan landasan moral dalam setiap pengambilan kebijakan dan tingkah laku sosial secara keseluruhan, sedangkan politik dakwah menentukan kebijakan yang tepat dalam proses interaksi antara da’i, mad’u dan maudu’ dakwah. Dengan demikian, politik dakwah bukanlah berarti memolitikkan dakwah, tetapi menangani permasalahan dakwah secara al-hikmah. Para da’i yang melaksanakan aktivitas dakwah, memerlukan integritas kepribadian serta kecermatan dalam menentukan kebijakan dan prioritas, sehingga tujuan dakwah dapat berhasil secara maksimal. Di sinilah bertemunya etika politik dan politik dakwah. Politik dakwah yang dilandasi dengan etika politik, akan menghasilkan dakwah yang efektif, karena ia mengedepankan spesifikasi, keutamaan dan kebaikan-kebaikan dinul Islam.
Dai dan Akademisi
93 RUJUKAN Al-Quran al-Karim Abduh, Syaikh Muhammad. T.T. Al-Islam wa an-Nashraniyah ma’a al‘Ilm wa al-Madaniyah. Kaherah: Al-Afgani, Sayid Jamaluddin. 1970. Al-‘Urwat al-Wutsqa. Beirut: Dar alKitab al-‘Araby. Al-Bayanuni, Muhammad Abu al-Fath. T.T. Al-Madkhal Ila ‘Ilm adDa’wah. Madinah (Saudi Arabia): Muassasah ar-Risalah. Al-Fanjari, Ahmad Syauqi. 1973. Al-Hurriyah as-Siyasiyah fi al-Islam. Kuwait: Dar al-Qalam. Hamid, Tijani Abdul Qadir. 2001. Ushul al-Fikri as-Siyasi fi al-Quran / Pemikiran Politik Dalam al-Quran. Terjemahan Abdul Hayyie alKattani. Jakarta: Gema Insani. Mahfuz, Syaikh Ali. T.T. Hidayat al-Mursyidin. Kaherah: Al-Matba’ah al-Mahmudiayah at-Tijariyah Mahmud, Ali Abdul Halim. 1993. Fiqh ad-Da’wah Ila Allah. AlManshurah (Egypt): Dar al-Wafa’. Muhammadiyah, PP. 2001. Pedoman Hidup Islami Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Warga
Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Syahatah, Abdullah Muhammad. 1975. Tafsir Surat al-Isra’. Kaherah: Al-Hayyiah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab. At-Thabathabai, Muhammad Husain. T.T. Al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Qum: Jama’ah Mudarrisin fi al-Hawzah ‘Ilmiyah. Zallum, Abdul Qadim. 2001. Political Tought (Afkar Siyasiyah) / Pemikiran Politik Islam. Terjemahan Abu Faiz. Bangil: Al-‘Izzah.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
94 3. DAKWAH FUNGSIONAL; PENAMPILAN ISLAM SECARA KONTEKSTUAL
Pendahuluan Perkembangan global saat ini ditandai dengan mengemukanya lima international values yaitu kebebasan, keterbukaan atau transparansi, hak-hak azasi manusia, demokratisasi dan tuntutan terhadap the rule of law. Dampak perkembangan global ini dirasakan hampir di semua sektor kehidupan umat manusia. Mencermati perkembangan global tersebut, diperlukan upaya dakwah untuk meningkatkan pemahaman dan pengalaman nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Tentunya kebijakan dakwah yang benar-benar dapat berperan untuk menyahuti tuntutan yang berkembang sangat didambakan kehadirannya. Dinul Islam yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah perlu diterjemahkan secara kontekstual, sehingga umat manusia merasa akrab dan tidak asing dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Kontektualisasi nilai-nilai Islam bukan berarti menyesuaikan Islam dengan keadaan yang dihadapi, tetapi menampilkan Islam secara cerdas (‘ala bashirah). Al-Qahthani (1994:46) menjelaskan bahwa setiap da’i harus cerdas dalam tiga hal yaitu menentukan materi dakwah, mencermati kondisi mad’u dan metodologi atau kayfiyat dakwah, sehingga Islam dapat berfungsi di tengah masyarakat yang terus mengalami kemajuan. Upaya dakwah ke arah inilah yang dimaksud dengan dakwah fungsional, di mana Islam dapat berperan secara fungsional dalam kehidupan pribadi, rumah tangga dan masyarakat. Berfungsinya Islam dalam kehidupan sosial merupakan perwujudan dari “baldatun tayyibah wa rabbun gafur”, negeri yang baik di bawah lindungan Tuhan yang Maha Pengampun.
Dai dan Akademisi
95 Ciri Utama Dinul Islam Dinul Islam mempunyai tiga ciri utama yaitu: Pertama, agama yang bersifat universal yang misinya adalah rahmat bagi semua makhluk yang ada di alam semesta ini. Kedua, Islam diyakini sebagai agama terakhir yang diturunkan Allah bagi umat manusia. Ketiga, ajaran mudah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ciri pertama di dasarkan pada ayat al-Quran yang menyatakan:
ﻤ ﹰﺔ ﺣ ﺭ ﻙ ِﺇﻟﱠﺎ ﺎﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ ﹶﺃﻭﻣ
“ﲔ ﺎﹶﻟ ِﻤ ِﻟ ﹾﻠﻌKami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam” (al-Anbiya’:107), sedangkan ciri kedua berdasar firman Allah:
ﲔ ِﺒﻴﻢ ﺍﻟﻨ ﺗﺎﻭﺧ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪﺭﺳ ﻦ ﻭﹶﻟ ِﻜ ﻢ ﺎِﻟ ﹸﻜﻦ ِﺭﺟ ﺣ ٍﺪ ِﻣ ﺎ ﹶﺃﺪ ﹶﺃﺑ ﺤﻤ ﻣ ﺎ ﻛﹶﺎ ﹶﻥﻣ “Bukanlah Muhammad itu ayah dari salah seorang kamu, tetapi ia adalah Rasul Allah dan akhir para Nabi” (al-Ahzab:40), dan ciri ketiga berdasar ayat al-Quran:
ﺮ ﺴ ﻌ ﻢ ﺍﹾﻟ ﺪ ِﺑ ﹸﻜ ﻳﺮِﻳ ﻭ ﹶﻻ ﺮ ﺴ ﻴﻢ ﺍﹾﻟ ﻪ ِﺑ ﹸﻜ ﺪ ﺍﻟﻠﱠ ﻳﺮِﻳ”Allah menghendaki
kemudahan kepadamu, dan Ia tidak menghendaki kesulitan” (al-Baqarah : 185). Universalitas Islam sebagai ciri yang pertama, dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan yang meliputi hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan antara sesama manusia dengan lingkungan sekitar. Dengan demikian, Islam terbuka untuk semua kelompok manusia tanpa membedakan etnis dan batasan geografis. Secara lebih khusus, ajaran Islam menekankan adanya keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi, antara rohani dan jasmani,antara ibadah dan muamalah. Penekanan pada keseimbangan tersebut secara eksplisit terdapat pada firman Allah:
ﻪ ﻦ ﺍﻟﻠﱠـ ﺴ ﺣ ﺎ ﹶﺃﻦ ﹶﻛﻤ ﺴ ِ ﺣ ﻭﹶﺃ ﺎﻧﻴﻦ ﺍﻟﺪ ِﻚ ﻣ ﺒﻧﺼِﻴ ﺲ ﻨ ﺗ ﻭ ﹶﻻ ﺮ ﹶﺓ ﺭ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ ﺍﻪ ﺍﻟﺪ ﺍﻟﻠﱠﺎﻙﺎ ﺀَﺍﺗﺘ ِﻎ ﻓِﻴﻤﺑﺍﻭ ﻦ ﺴﺪِﻳ ِ ﻤ ﹾﻔ ﺍﹾﻟﺤﺐ ِ ﻳ ﻪ ﹶﻻ ﺽ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ِ ﺭ ﺩ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺎﺒ ِﻎ ﺍﹾﻟ ﹶﻔﺴ ﺗ ﻭ ﹶﻻ ﻚ ﻴ ِﺇﹶﻟ “capailah kehidupan akhirat dengan apa yang diberikan Allah kepadamu, dan jangan lupakan bagianmu di dunia ini. Berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu dan jangan berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (al-Qashash : 77).
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
96 Diyakini bahwa Islam adalah petunjuk bagi semua ummat manusia di atas permukaan bumi ini untuk mendapatkan kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat. Upaya untuk meraihnya, selain melalui usaha dan kerja keras dalam merealisasikan pesan-pesan Islam dalam bentuk perbuatan nyata, juga terlihat melalui ucapan do’a yang selalu dimohonkan kepada Allah :
ﺎ ِﺭﺏ ﺍﻟﻨ ﻋﺬﹶﺍ ﺎﻭ ِﻗﻨ ﻨ ﹰﺔﺴ ﺣ ﺮ ِﺓ ﻭﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ ﻨﺔﹰﺴ ﺣ ﺎﻧﻴﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪﺎ ﺀَﺍِﺗﻨﻨﺭﺑ “ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta jauhkanlah kami dari azab neraka” (al-Baqarah:201). Islam agama terakhir sebagai ciri kedua, diyakini bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah yang terakhir dari serangkaian rasul yang diutus oleh allah SWT yang membawa ajaran agama. Kehadiran beliau merupakan penyempurna dari struktur bangunan agama yang secara berangsur telah dilakukan oleh para pendahulunya dalam misi kerasulan. Meskipun ajaran agama memiliki sifat eternal dan final, ternyata apabila diamati secara cermat, ia dapat dikategorikan pada aspek ta’abbudi yang sifatnya tawqifi dan aspek mu’amalat yang sifatnya ta’aquli. Aspek ta’abbudi yang juga disebut ibadah khassah atau ibadah mahdah, dijumpai rincian dan tata cara pelaksanaannya secara jelas dalam al-Quran dan as-Sunnah. Ia dilaksanakan sesuai tuntunan rasul, tidak boleh ditambah atau dikurangi apalagi diada-adakan. Sedangkan aspek mu’amalat yang juga disebut ibadah ‘ammah berkaitan dengan sosial, politik, budaya, dan sebagainya, dijumpai tuntunan wahyu dalam bentuk prinsip-prinsip dasar yang memerlukan formulasi baru secara rasional dan kontekstual. Pada aspek yang disebut belakangan ini, diperlukan interpretasi nash-nash ajaran agama yang relevan sehingga dapat diimplementasikan secara kaffah dalam kehidupan masyarakat. Kemudahan pelaksanaan ajaran Islam sebagai ciri ketiga, dimaksudkan bahwa seluruh ajaran Islam memiliki keseimbangan dengan kemampuan daya manusia (attawazun bain at-takalif wa atthaqah). Manusia tetap dapat melakukan ajaran Islam walau dalam kondisi yang bagaimanapun. Dalam keadaan normal atau kondisi
Dai dan Akademisi
97 darurat, waktu sehat atau sakit, mukim atau musafir, ajaran Islam dapat dilakukan sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Rasulullah SAW menegaskan: “sesungguhnya agama Islam adalah mudah, siapa yang memberat-beratkan agama maka ia tidak akan mampu melaksanakannya.” (H.R. Muslim). dalam riwayat lain, Rasulullah SAW memerintahkan untuk mempermudah jangan mempersulit dan menggembirakan jangan membuat orang lari ( H.R. Bukhari dan Muslim).
Kebijakan dan strategi dakwah fungsional Telah disebut sebelumnya bahwa dakwah fungsional merupakan upaya dakwah untuk memfungsikan nilai-nilai ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini diperlukan kebijakan dakwah yang berorientasi semangat intelektual dan masyarakat untuk memahami ajaran agama secara benar dan rasional serta mengamalkannya secara aktual dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,esensi dakwah fungsional adalah menampilkan Islam secara konstektual. Kebijakan dakwah seperti ini dapat diwujudkan melalui strategi pengembangan ijtihad, kontekstualisasi pemahaman agama serta fungsionalisasi ajaran dan nilai-nilai Islam.
1. Pengembangan Ijtihad Ijtihad merupakan proses kegiatan intelektual dalam memahami ajaran Islam dalam rangka merespons perkembangan sosial. Upaya memahami nash dengan pemikiran yang jernih dan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad masa lampau serta berusaha untuk menerjemahkannya secara kontekstual, di dalam literatur Islam disebut dengan tajdid atau gerakan pembaharuan Islam. Gerakan ini sering diberi bermacam label seperti reformisme, modernisme, revivalisme, dan sebagainya. Ijtihad berperan sebagai motor penggerak dalam gerakan pemikiran Islam, yang disebut oleh Muhammad Iqbal (1971:148) dengan istilah “the principle of movement in the structure of Islam”. Demikian penting kedudukan ijtihad dalam memahami dan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
98 mengembangkan ajaran Islam agar tetap relevan bagi kepentingan hidup umat manusia. Rasulullah SAW bukan hanya melegitimasi pelaksanaan ijtihad, tetapi juga memberikan dorongan serta menjanjikan imbalan pahala bagi para pelakunya, sekalipun hasil ijtihadnya ternyata keliru di kemudian hari. Ditinjau dari sudut perubahan sosial, maka ijtihad adalah merupakan suatu kemestian. Oleh karena setiap perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat, memerlukan pertimbangan yang berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam. Sesuatu yang belum ada kepastian hukumnya dalam al-Quran atau as-Sunnah, dimungkinkan melakukan reinterpretasi secara terus-menerus, sehingga tetap relevan dengan perkembangan yang terjadi. Antisipasi ijtihad terhadap perkembangan sosial tidak berarti bahwa ijtihad senantiasa mentolelir hal-hal baru, tetapi ijtihad justru memberikan arah apakah perkembangan itu sesuai atau bertentangan dengan maqasid as-syari’ah. Dengan demikian, perkembangan sosial umat Islam bersifat dinamis bukan statis.
2. Kontekstualisasi Pemahaman Agama Pemahaman ajaran agama secara kontekstual sangat diperlukan agar tujuan dan substansi agama Islam dapat terwujud yaitu kemaslahatan manusia dalam ranga pengamalan teks-teks al-Quran dan as-Sunnah, tetapi juga untuk menjawab serta memecahkan persoalan-persoalan yang muncul di dalam kehidupan. Berbagai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang demikian pesat, sehingga kadang-kadang hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, dapat terjadi secara menakjubkan. Berkaitan dengan pemahaman agama secara kontektual, diperlukan pemikiran-pemikiran kedepan dengan melibatkan kajian-kajian antar berbagi disiplin ilmu, agar ajaran agama dapat diimplementasikan secara tepat dalam dinamika perubahan yang terjadi. Di sini dapat dikemukakan beberapa contoh, umpamanya tentang makna dakwah yang masih banyak dipahami dengan pengertian sempit seperti khutbah dan berbicara di atas mimbar. Pada hal makna dakwah itu amat luas, meliputi segala upaya untuk mengajak manusia menuju
Dai dan Akademisi
99 rihda Allah SWT dengan melaksanakan amar makruf dan nahi munkar. Dakwah dibangun di atas empat dasar sebagaimana disebut oleh Syaikh ‘Ali Mahfuz (T.T.:26-33) yaitu (a) argumentai yang handal (al-hujaj al-baligah),(b) metodologi yang tepat (al-asalib al-hakimah),(c) moralitas yang tinggi (al-adab as-samiyah),dan (d) politik yang bijak (assiyasah al_hakimah). Di dalam ssurat an-Nahl ayat 125, perintah mengajak kejalan Allah dapat dilakukan dengan bijaksana (al-hikmah), pengajaran yang baik (al-maw’izah al-hasanah)dan dialog (al-mujadalah) secara terpuji. Mengajak kejalan Allah dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan dan gerakan yang mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia. Dalam istilah Amin Rais, dakwah adalah merupakan sosial recontruction yang bersifat multidimensional (Ilyas,1993:3). Melakukan rekonstruksi sosial dalam multi dimensi merupakan kerja besar yang harus ditangani secara profesional. Di sinilah perlunya kajian-kajian dakwah secara teoritis-akademis dan praktis-aplikatif, sehingga dakwah dapat dilaksanakan secara cerdas. Demikian juga makna jihad yang selalu dipahami dalam pengertian perang secara fisik (harb/qital), pada hal ayat-ayat al-Quran tentang jihad telah diturunkan mulai periode Makkah, sedang perang fisik belum diperintahkan pada waktu itu. Di dalam surat al-Furqan, Allah SWT berfirman: “Janganlah engkau taati orang-orang kafir,dan berjihadlah menghadapi mereka dengan al-Quran sebagai jihad yang besar”. Ayat ini turun pada periode Makkah, dan sepanjang sejarah periode tersebut tidak ada perang (harb/qital) antara umat Islam dan orang-orang kafir. Perintah berjihad dengan al-Quran disebut dengan jihad besar (jihadan kabira) yang terdapat di dalam ayat ini berkaitan dengan upaya meyakinkan masyarakat terhadap kebenaran petunjuk al-Quran. Berbagai aktivitas dalam rangka penanaman dan implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya adalah merupakan jihad akbar. Selain apa yang disebut sebelumnya, juga masalah zakat,termasuk di dalamnya jenis-jenis harta yang wajib dizakati serta distribusi dan pendayagunaannya, dirasa penting untuk dipahami secara konstektual, sehingga relevan dengan aktivitas produksi dan ekonomi umat dewasa ini. Secara substansial, zakat dapat memberi kontribusi
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
100 yang sangat besar untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat, namun hasil yang dicapai belum optimal. Oleh karena itu, upaya kontekstualisasi zakat dalam kehidupan masyarakat perlu mendapat perhatian dan dorongan. Umpamanya dari segi produksi pertanian, zakat tidak hanya terbatas pada makanan pokok saja, tetapi juga meliputi hasil tanaman produktif yang bernilai ekonomis seperti sawit, cengkeh, teh, tembakau dan sebagainya. Demikian juga sektor peternakan dan perikanan, industri dan jasa serta sektor-sektor produktif lainnya perlu mendapat perhatian.
3. Fungsionalisasi Nilai-nilai Islam Secara asumtif, keberagaman seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku kesehariannya. Orang yang rajin beribadah dan berzikir, idealnya ia akan tampil sebagai manusia yang memiliki akhlak mulia serta menjadi teladan dalam kehidupan sosial. Namun dalam kenyataannya, berbagai penyimpangan yang terjadi di tengah masyarakat, tidak jarang pelakunya justru orang yang rajin beribadah. Kondisi seperti ini diungkap dalam bahasa al-Quran, “neraka wail bagi orang yang sholat dimana mereka lalai, riya dan enggan membayar zakat” (al-Ma’un:4-7). Ini disebabkan shalat yang dilakukannya tidak memberi pengaruh terhadap kepribadiannya, ia shalat hanya sekedar memenuhi kewajiban formal dan tidak menjiwai makna shalat yang sesungguhnya. Keluhuran ajaran agama tidak dihayati secara sungguh-sungguh, seperti dijelaskan oleh Ahmad Azhar Bassyir (1993:267) bahwa di kalangan umat Islam mempelajari al-Quran dan tafsirnya lebih banyak bersifat tabarruk dan ta’abbud. Akibatnya yang menonjol adalah kesalehan ritual bukan kesalehan esensial. Di dalam surat al-Ma’un terlihat bagaimana kecaman Allah terhadap orang-orang yang hanya melakukan ibadah ritual secara lahiriah tetapi tidak mengejawantah dalam perilaku sosial. Latar belakang terjadinya kesenjangan antara idealita dengan realita ini berpangkal pada model keberagaman seseorang. Pertama model ekstrinsik dan yang kedua model intrinsik. Dalam istilah Arkoun (1990:293), model pertama menggunakan pendekatan taqlidiyyah-
Dai dan Akademisi
101 thaifiyyah sedangkan model kedua menggunakan pendekatan tarikhiyyah-‘ilmiyyah. Pelaksanaan ajaran agama pada model pertama hanya sebatas teks-teks formal, tanpa menjelajahi lebih jauh tentang makna hakiki dibalik teks yang tertulis itu. Umpamanya dalam memahami makna kalimat tauhid, asma’ al-husna dan al-baqiyat asshalihat. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, nabi Muhammad SAW bersabda: “man qala la ilaha illa allah dakhala aljannah”. Masih banyak yang memahami hadis ini secara tekstual bahwa dengan ucapan la ilaha illa allah merupakan jaminan masuk surga, sekalipun perbuatannya menunjukkan keingkaran dan keangkuhan. Pada hal di mana al-Quran dijelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang membohongi ayat-ayat Tuhan serta berlaku angkuh, kepada mereka tidak akan dibukakan pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga hingga unta lolos di lobang jarum (al-A’raf:40). Ini mengisyaratkan bahwa kalimat tawhid bukan hanya sekedar ucapan lisan, tetapi ia mempunyai funsgsi ganda, satu sisi merupakan keyakinan dan di sisi lain ia membentuk watak, sikap, dan tingkah laku manusia. Sayyid Abul A’la al-Maududi (1990:74-78) dalam bukunya “Towards Understanding Islam” menyimpulkan sembilan butir pengaruh akidah tawhid terhadap kehidupan manusia yaitu (a) Menghilangkan pandangan yang sempit dan picik (b) Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri (c) Menumbuhkan sifat baik hati dan penuh khidmat (d) Membentuk manusia yang berbudi luhur dan adil (e) Menghilangkan sifat murung dan putus asa (f) Membentuk pribadi yang teguh, sabar serta optimis (g) Menanamkan semangat satria dan berani (h) Memupuk sikap damai dan ridha (i) Membentuk manusia menjadi taat dan tunduk sepenuhnya kepada aturan Ilahi. Demikian juga dalam memahami hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu,siapa yang memeliharanya masuk surga”. Memelihara (al-ihsha’) sering dipahami sebagai menghafal, sehingga muncul pemahaman bahwa siapa yang menghafal asma’ alhusna masuk surga. Pada hal sesungguhnya yang dimaksud bukan hanya sekedar hafal, tetapi lebih jauh dari itu, yakni menampilkan sikap-sikap terpuji dalam perilaku keseharian sebagai aplikasi
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
102 tuntutan yang terkandung di dalam asma’ al-husna. Selanjutnya kebaikan-kebaikan abadi (al-baqiyat as-shalihat) yang terdapat sdi dalam firman Allah:
ﻼ ﻣ ﹶ ﺮ ﹶﺃ ﻴ ﺧ ﻭ ﺎﺍﺑﻚ ﹶﺛﻮ ﺭﺑ ﺪ ﻨ ﺮ ِﻋ ﻴ ﺧ ﺕ ﺎﺎِﻟﺤﺕ ﺍﻟﺼ ﺎﺎ ِﻗﻴﺍﹾﻟﺒﺎ ﻭﻧﻴﺎ ِﺓ ﺍﻟﺪﺤﻴ ﻨ ﹸﺔ ﺍﹾﻟﻮ ﹶﻥ ﺯِﻳﺒﻨﺍﹾﻟﺎ ﹸﻝ ﻭﺍﹾﻟﻤ “Harta dan anak keturunan adalah perhiasan hidup didunia,sedangkan kebaikan-kebaikan abadi merupakan pahala dan cita-cita yang lebih baik di sisi Tuhanmu” (al-Kahfi:46) Banyak yang memahaminya sebatas zikir terhadap kalimat tasbih,tahmid,tahlil,takbir,dan hawqalah. Rasulullah SAW pernah memerintahkan untuk memperbanyak “al-baqiyat as-shalihat” serta memberi jawaban atas pertanyaan sahabat bahwa al-biqiyat as-shalihat ialah subhanallah, walhamdu lillah wala ilaha ilallah wallahu akbar wala hawla wala quwwata illa billah (HR. Muslim). Tetapi jika dipahami secara intrinsik, maka kebaikan-kebaikan abadi bukan hanya sebatas zikir pada kalimat-kalimat tertentu, tetapi lebih jauh dari itu, termasuk upaya memfungsikan al-mal dan al-banun sehingga menjadi “al-baqiyat as-shalihat”. Hal ini akan terwujud jika al-mal dan al-banun dikelola dan didayagunakan berdasar jiwa yang terdapat di dalam tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan hawqalah sesuai sabda Rasulullah SAW yang disebut di atas.
Dakwah Jamaah Suatu Tawaran Alternatif Berkaitan dengan upaya memfungsikan nilai-nilai Islam, persyarikatan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi tertua di Indonesia, telah membuat program khusus berupa “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah” yang diputuskan di dalam Muktamar Muhammadiyah ke 44 tahun 2000. Program khusus ini merupakan seperangkat nilai norma Islami yang bersumber pada al-Quran dan asSunnah untuk menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ia merupakan pedoman dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengembangkan seni dan budaya
Dai dan Akademisi
103 yang menunjukkan perilaku uswah hasanah. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2001:6) bertujuan untuk terbentuknya perilaku individu dan kolektif seluruh anggota Muhammadiyah yang menunjukkan keteladanan yang baik menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai upaya dakwah fungsional, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah dapat disebar luaskan melalui dakwah jamaah. Dakwah Jamaah dimaksudkan adalah suatu model dakwah yang dilakukan secara bersama oleh sekelompok kecil umat Islam yang membentuk suatu kesatuan sosial di bawah seorang pemandu jamaah dengan tujuan untuk meningkatkan mutu keIslaman serta mengembangkan tata kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam ( Majelis Tablig,1991:56). Pembentukan dakwah jamaah di awali dengan pengelompokan warga masyarakat di suatu pemukiman atau karyawan di lingkungan tempat bekerja. Setiap kelompok terdiri atas sepuluh sampai lima belas orang anggota. Salah seorang di antara anggota jamaah diangkat sebagai pemandu jamaah, tentunya yang memiliki kemampuan dan keterampilan untuk membina jamaah. Pemandu beserta anggota jamaah se cara bersama-sama melakukan aktivitas dakwah dengan pendekatan problem solving untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi baik masalah keagamaan maupun masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Program yang dilaksanakan memerlukan evaluasi formatif secara berkala pada waktu berjalannya program dengan tujuan untuk menilai sejauh mana program telah berjalan serta mempelajari kendala atau cabaran yang dihadapi. Demikian juga setelah berakhirnya program, perlu dilaksanakan evaluasi sumatif guna menilai efektivitas dan keberhasilan program yang telah dilaksanakan serta menentukan skala prioritas untuk program berikutnya. Hasil dari kedua bentuk evaluasi ini dibicarakan bersama di dalam jamaah guna mendapatkan input dalam rangka penyempurnaan serta menentukan kebijakan dakwah yang lebih efektif.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
104 Kesimpulan Paling tidak ada tiga faktor yang memungkinkan Islam ditampilkan secara kontekstual, yaitu watak keuniversalan, kerahmatan dan kemudahan Islam. Menampilkan Islam secara konstektual merupakan aktivitas dakwah secara cerdas (‘ala bashirah) untuk mencari titik temu antara hakikat Islam dengan dakwah fungsional yang bertujuan agar ajaran dan nilai-nilai Islam dapat diimplementasikan secara aktual dan fungsional dalam kehidupan sosial. Dakwah fungsional melibatkan kajian berbagai disiplin ilmu dalam rangka meningkatkan serta memberdayakan masyarakat. Untuk itu diperlukan semangat ijtihad, konstektualisasi pemahaman serta fungsionalisasi ajaran dan nilai-nilai Islam. Aktivitas dakwah fungsional meliputi seluruh aspek kehidupan, baik yang menyangkut sosial budaya mapun aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan, alam sekitar dan aspek-aspek lainnya. Keberhasilan dakwah fungsional, ditandai dengan aktual dan fungsionalnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadi, rumah tangga dan masyarakat.
Dai dan Akademisi
105 DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, M, 1990, Al-fikr al-Islamy; Naqd wa ijtihad, terj. Hasyim Saleh, London, Dar asy-Syarq. Basyir , Ahmad Azhar, 1993. Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung ; Mizan Ilyas, Yunahar (Ed.) 1993, Muhammadiyah dan NU Reorientasi Wawasan Keislaman, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam Universitas Muhammadiyah, Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama dan Pondok Pesantren alMuhsin Iqbal, Mohammad. 1971. The Reconstruction of the Religius Thougts in Islam, Lahore: Dr. Javid Iqbal Mahfuz Syaikh Ali TT. Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-wa’z wa alKhitabah, Kairo Almaktabah al-Mahmudiyah at-Tijariah Majelis Tablig P.P Muhammadiyah, 1991, Petunjuk Praktis Pelaksanaan Program Tablig, Yogyakarta : Majlis Tablig Maududi, Sayyid Abul A’la, 1960, Towards Understanding Islam, Lahore: Idara Tarjuman Alquran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2001, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah Al-Qahthani, Sa’id Ibn Ali ibn Wahf, 1994 , Muqawwimat ad-Da’iyah anNajih , Saudi Arabia: Maktabah al-Malik Fahad al-Wathaniyah.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
106
Dai dan Akademisi
107
Bab Iv
ANALISIS PEMIKIRAN PROF. DR. H. A. YA’KUB MATONDANG, MA
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
108
Dai dan Akademisi
109 PENGANTAR
Dalam tulisan tentang analisis pemikiran Matondang ini, penulis membagi pemikiran itu kepada enam bagian besar. (1) terkait dengan kehidupan beragama. Sebagai seorang Muslim yang masih kuliah di al-Azhar Mesir, Matondang muda melakukan dialog agama dengan seorang Kristen di Jakarta. (2) Terkait dengan dakwah sebagai seorang da’iyang profesional. Dalam hal ini penulis mengambil tema “Ummatan Wahidah dan Sterategi Dakwah.” (3) Terkait dengan akidah Islam. Penulis mengangkat judul “Pemikiran Kalam Muktazilah: Satu Kajian Tentang Perbedaan Khilafiyah Furu’iyah Di Bidang Akidah.” Tulisan ini merupakan analisis dari disertasi doktor yang dipertahankan di UIN Jakarta. (4) Terkait dengan Tafsir. Matondang sebagai akademisi memangku mata kuliah Tafsir. Dalam kajian tafsir yang paling menonjol ditemukan Matondang menganut paham Islam Kontekstual. (5) Pembaharu Rasionalitas dalam Beragama dan Berbangsa. Tulisan ini diangkat berdasarkan tulisan Matondang pada bukunya yang berjudul “Rasionalitas Pemahaman Agama dan Kepribadian Bangsa.” (6) Dakwah dan Tantangan Global: Upaya merumuskan konsep baru.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
110 1. DIALOG RELIGIUS ANTAR DUA KEYAKINAN Oleh: Dr. H. Zainal Arifin, MA
Buku ini berisi surat-menyurat dan terjadi ketika A. Ya’kub Matondang masih belajar di al-Azhar Mesir pada tahun 1977. Surat menyurat ini pernah diterbitkan oleh PBK Sinar Kasih dengan judul “Surat dari Mesir” karena di dalamnya banyak kalimat yang dipotong, diubah bahkan diputar balikkan dari fakta yang sebenarnya, maka pemutar balikkan itu diluruskan dalam buku ini. Walau korespondensi ini telah ditulis lebih dari 30 tahun silam, namun bukan berarti kehilangan makna. Perdebatan yang terjadi melalui surat-menyurat ini sesungguhnya tidak usang dimakan waktu. Isinya menyangkut dialog atau perdebatan teologi, sesuatu yang sangat penting dalam suatu agama. Di antara isinya: apakah salat menghadap kiblat dapat disebut menyembah berhala? Dialog yang terjadi di dalam al-Fatihah menyebabkan Alquran secara umum dan al-Fatihah secara khusus tidak layak dikatakan sebagai firman atau kalam Allah? Pengertian Tiga dalam Satu dan tidak diketahuinya pasti penulis Alkitab. Dialog ini menjadi semakin menarik karena Hamran Ambrie adalah seorang yang semula beragama Islam kemudian pindah agama, atau dalam istilah Islam ia seorang murtad. Karena itu, pengetahuannya tentang Islam telah ada sebelumnya. Justru di sini anehnya, Hamran Ambrie yang memiliki pengetahuan tentang Islam mempertanyakan, mendebat, dan merangkai argumentasi yang menegaskan doktrin Islam sekaligus pengetahuan dan keyakinan yang sebelumnya ia percayai. Jika menyadari konteks terjadinya surat menyurat ini, maka dapat
Dai dan Akademisi
111 dimaklumi mengapa kemudian isi surat-menyurat ini sering keluar kata-kata yang emosional dari kedua belah pihak. Ini dapat dimengerti karena perdebatan ini menyangkut hal-hal mendasar dalam agama. Kemudian, dari segi usia, terutama Matondang masih muda ketika itu. Namun perasaan emosi dari kedua belah pihak terjaga dalam dialog yang disertai dengan argumentasi. Buku ini menjadi bahan yang sangat menarik untuk menambah pengetahuan tentang Islam dan Kristen. Walau pada akhirnya perlu dikunci bahwa mengadili kebenaran dua agama bukanlah wewenang manusia. Buku ini tidak berpretensi untuk menjadi timbangan bahwa agama ini benar dan itu salah. Namun begi pemeluk suatu agama, harus ada keyakinan ke dalam dirinya bahwa agamanya adalah agama yang paling benar. Karena yakin ke dalam diri bahwa semua agama benar membuat agama menjadi tidak penting atau bahkan kehilangan makna.***
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
112 2. UMMATAN WAHIDAH DAN STRATEGI DAKWAH Oleh: Dr. H. Zainal Arifin, MA
Pendahuluan Ummatan wahidah (umat yang satu) selalu berkaitan dengan persatuan dan perpaduan, baik dalam konteks kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara ataupun dalam konteks kehidupan manusia secara sosial. Menurut Matondang, beragamnya pendekatan dan sudut pandang yang digunakan, maka pemahaman terhadap ummatan wahidah juga mengalami keragaman. Dari sudut pandang agama, pada hakikatnya seluruh agama yang dibawa oleh pada nabi dan rasul memiliki esensi yang sama, yaitu iman dan amal saleh. Walaupun agama Allah itu satu, namun tidak dipungkiri adanya keragaman agama yang dianut oleh umat manusia. Ini ditandai dengan keragaman syariat dari masing-masing agama yang bersangkutan. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, ummatan wahidah ditekankan pada keutuhan suatu bangsa yang berdaulat, sekalipun masyarakatnya terdiri atas beragam suku bangsa yang memiliki tradisi dan budaya masing-masing. Demikian juga dalam kehidupan global, sekalipun umat manusia yang mendiami bumi ini memiliki keragaman bangsa, bahasa dan keturunan, namun mereka tetap dipandang sebagai umat yang satu. “Manusia adalah umat yang satu.” (QS al-Baqarah: 213) Sampai di sini penulis melihat bahwa keyakinan Matondang terhadap keragaman keagamaan menyatu padu dengan konsep Islam kontekstual dan perbedaan furui’yah di bidang akidah adalah rahmat.
Dai dan Akademisi
113 Kesatuan dalam Prinsip Dakwah Secara spesifik dalam kajian kali ini Matondang hanya memfokuskan kajian umatan wahidah dalam bingkai dakwah. Maksudnya, berbagai-bagai aktivitas dakwah yang dilakukan oleh berbagai-bagai organisasi dan institusi dakwah, masing-masing perlu memiliki kesadaran yang sama dalam memaknai serta menyahuti tuntutan ummatan wahidah. Dengan kata lain, sekalipun terdapat sejumlah organisasi dakwah dengan atribut dan program yang bervariasi, hendaknya masingmasing tetap memiliki landasan gerakan dan orientasi dakwah yang sama untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam hal ini diperlukan kerja sama, silaturahmi, saling menghargai serta sikap toleran dan persaudaraan di kalangan para da’i dan institusi yang bergerak di bidang dakwah. Kesatuan titik dakwah itu di dalam Fiqh ad-Da’wah Ila Allah, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud (1990:8) ada empat yang disebut dengan ma’alim ad-dakwah, iaitu: (1) nuqthah irtikaz (titik pusat) adalah iman, (2) nuqthah inthilaq (titik tolak) adalah Islam, (3) nuqthah tawjih (titik arah) adalah keadilan dan kebaikan, (4) nuqthah tawfiq (titik pandu) adalah tawakal kepada Allah setelah mengikuti proses sebab dan akibat. Kesadaran akan titik temu ini diharapkan dapat menghilangkan kebencian, menyingkirkan kedengkian, serta meredam konflik yang mungkin terjadi. Syaikh Ali Mahfudz berdasarkan pengalaman Nabi Muhammad menjelaskan bahwa ushul ad-da’wah (prinsip dakwah) itu empat: (1) hujjah balighah (argumentasi yang handal), (2) asalib hakimah (metodologi yang tepat), (3) adab samiyah (akhlak mulia), (4) siyasah hakimah (politik yang bijak). Menurut Matondang selain empat titik di atas, empat prinsip dakwah ini juga perlu dipedomani oleh setiap gerakan dakwah, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas dan keberhasilan dakwah. Menurut penulis empat titik temu yang pertama merupakan dasar berpijak sedangkan prinsip dakwah yang empat kedua ini merupakan cara untuk meningkatkan. Yang pertama berpungsi sebagai fondasi yang memperkuat bangunan secara horizontal, sedangkan yang kedua
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
114 memperkuat kualitas bangunan terutama secara vertikal. Sehingga sempurnalah bangunan dakwah. Persamaan dalam empat titik dan prinsip dakwah, menurut Matondang tidak berarti menutup pintu ijtihad. Katanya: “Kajiankajian dakwah yang sifatnya ijtihadiyah tentunya akan mengalami perubahan, keragaman dan perbedaan sesuai perkembangan yang terjadi.” Ditambahkannya lagi: “Perbedaan yang terjadi yang perlu disyukuri dalam rangka lebih menyemarakkan aktivitas dakwah, selama dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Alquran dan Hadis. Keragaman organisasi jangan diartikan dengan memecah belah jemaah, karena masing-masing merupakan mitra bagi yang lain, dan keseluruhannya tetap berada di dalam satu jemaah besar yang disebut dengan “jemaah muslimin”. Penulis melihat ide ijtihad yang disampaikan Matondang suatu yang perlu untuk lebih diperjelas, karena titik ijtihad itu selalu menjadi sarana perbedaan yang terkadang sampai pada taraf pengafiran. Contohnya, ijtihad bunga bank tidak haram selama mendekati nol persen, ijtihad memilih pemimpin yang kafir tidak harus dicap sebagai kafir, ijtihad menikah dengan kitabiyah (wanita kristen sekarang) dibolehkan, ijtihad doa qunut pada salat subuh, ijtihad tepung tawar dan ijtihad-ijtihad lainnya selalu digunakan oleh satu kelompok untuk mengafirkan kelompok yang lain atau membidahkannya. Penulis sepakat dengan Matondang bahwa perbedaan itu adalah kekayaan, perbedaan itu bukan berarti berpisah, dan lebih penting lagi bahwa perbedaan itu tidak menyebabkan satu golongan mengkafirkan golongan yang lain.
Upaya Memperkukuh Ummatan Wahidah Umat Islam adalah umat yang satu yang berada di bawah naungan Alquran dan Hadis. Menurut Matondang, munculnya keragaman organisasi dan institusi dakwah merupakan satu rahmat yang memberi peluang untuk lebih efektif penangan dan pengolaan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Ini secara konseptual, namun pada tataran operasional, tidak jarang dijumpai adanya aktivitas dakwah yang berdampak pada retaknya umat wahidah, bahkan
Dai dan Akademisi
115 menimbulkan konflik, kedengkian, perpecahan dan pertentangan. Padahal Nabi Muhammad telah melarang untuk saling benci, dengki, iri hati. Dia meminta para da’i menjadi hamba Allah yang saling bersaudara. Untuk itu Matondang berdasarkan Alquran Yusuf 108 mengajak para da’i dan institusi atau organisasi dakwah untuk melakukan dakwah secara cermat (ala bashirah) dan bijaksana (hikmah). Cermat itu –menurut Matondang- dimulai dari penelitian dan perencanaan sampai aksi dakwah, termasuk washilah, uslub dan manhaj yang digunakan. Ditambahkan lagi “kurangnya kecermatan dan kebijakan dalam menjalankan kegiatan dakwah, merupakan salah satu penyebab timbulnya gesekan-gesekan yang berdampak negatif terhadap proses dakwah.” Selain cermat dan bijaksana, Matondang menawarkan kerja sama yang baik, silaturahmi, saling menghargai dan bersikap toleran serta membangun persaudaraan di kalangan para pelaku. Suasana keakraban tidak hanya pada level elit pimpinan, tetapi juga pada seluruh anggota dan warga masyarakat. Satu titik penting sekali lagi ditegaskan Matondang “bahwa perbedaan interpretasi ataupun hasil ijtihad dalam mengambil kebijakan dakwah, harus ditanggapi secara positif dan tidak emosional. Setiap pelaku dakwah dapat bergerak sesuai ijtihad dan kebijakan masing-masing dalam suasana kekeluargaan dan kedamaian.” Tawaran ketiga yang ditawarkan oleh Matondang untuk memperkukuh umat adalah program yang ditawarkan untuk khidmah umat bukan hanya kepentingan dan kemajuan organisasi tertentu. Apalagi masing-masing kelompok membatasi kegiatan hanya untuk kemaslahatan kelompoknya.
Muhammadiyah dan Persatuan Umat Sebelum masuk kepada strategi dakwah, Matondang menggambarkan ummatan wahidah itu dengan satu contoh organisasi yang mengarah pola pikirnya kepada ummatan wahidah yaitu Muhammadiyah. Lebih jelas Matondang berkata di dalam makalahnya yang berjudul Muhammadiyah dan Ideologi Transnasional:
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
116 “Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 dengan maksud dan tujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah memiliki tiga gerakan: (1) gerakan Islam, (2) gerakan dakwah Islam, (3) gerakan tajdid. Muhammadiyah bergerak dan berjuang untuk menegakkan kalimat Allah, agar Islam dapat dilaksanakan secara menyeluruh, baik akidah, akhlak, maupun ibadah.” Ditambahkan lagi bahwa ideologi ummatan wahidah yang dibangun, tidak saja terbatas pada sekat lokal yang sempit tapi sebaiknya bersifat transnasional yang luas. Luas karena suatu ideologi itu telah menembus batas-batas negara. Ideologi itu sendiri dapat digunakan dalam konteks agama, negara maupun organisasi. Menurut Matondang dalam menyikapi ideologi transnasional diperlukan fikih ikhtilaf yang memiliki pokok-pokok pikiran sebagai berikut: (1) Perbedaan suatu keniscayaan, (2) perbedaan sebagai kekayaan dalam ijtihad, (3) kemungkinan kebenaran berada di pihak yang berbeda, (4) tidak ada istilah penolakan dalam masalah ijtihad, (5) melakukan upaya penyadaran serta kritik dengan benar dan adil, (6) kerja sama dalam hal-hal yang disepakati, dan toleran dalam masalah perdebatan, (7) menghindari klaim kufur dan fasik serta perdebatan yang tidak bermoral.
Strategi Dakwah Dari pandangan Matondang tentang umatan wahidah: prinsip dan upaya yang harus dilakukan di atas dapat penulis kaitkan dengan makalahnya yang berjudul “Strategi Dakwah di Tengah Budaya Global”. Penulis berpendapat bahwa umat Islam yang satu adalah umat manusia yang hidup dan bergerak di tengah budaya global. Muslim dan da’i adalah bagian dari dunia ini. Kesatuan umat Islam tidak membuat dia menjadi umat yang tertutup eksklusif dan menutup diri, tapi ia adalah ikan yang hidup di air asin tapi tidak pernah terasa asin. Ikan tetap tawar dan umat Islam tetap bisa berbaur karena ia memiliki jati diri dan lebih dari itu ia juga ikut memberi rasa asin air laut, atau ia memberi kontribusi positif di dunia global, itulah
Dai dan Akademisi
117 dakwah, itulah amar makruf nahi munkar. Matondang melihat strategi dakwah di tengah budaya global ini bersifat preventif dan antisipatif. Artinya, bersifat pencegahan dan mengantisipasi apa yang akan terjadi. Menurut penulis, dakwah itu tidak saja bersifat bertahan tapi juga menyerang dan memberi solusi. Dakwah adalah proses penggaraman dunia dan mewarnainya. Walaupun pada sub judul itu tertulis preventif dan antisipatif, namun isi dari sub judul itu juga mencakup kajian bagaimana dakwah menjadi solusi dengan kiat “dakwah bil hal”. Lebih jauh Matondang berkata: “Para da’i sebagai agen sosialisasi nilai-nilai Islam perlu memiliki kesadaran informasi, keakraban dengan teknologi, serta memiliki kemampuan menerima, menyimpan informasi secara benar dan tepat. Mampu mengemas materi dakwah dengan bahasa lisan maupun tulisan sesuai dengan suplay dan demand. Karenanya, perencanaan dakwah lebih ditekankan agar berorientasi sentripetal jangan hanya bersifat sentifugal.” Ditambahkannya lagi: “Strategi dakwah disusun atas dasar hasilhasil penelitian, serta dapat menyahuti kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Dakwah diarahkan pada perluasan wawasan keislaman, sehingga perlu dikembangkan kegiatan interpretasi nas secara kreatif, aktual dan proporsional. Dalam hal ini kajian akhlak perlu mendapat prioritas, di samping peningkatan penghayatan akidah Islam.” Penulis berpendapat bahwa gagasan dan pemikiran Matondang yang masih membuka pintu ijtihad dan penafsiran terhadap teks tidak lepas dari gagasan yang dia anut tentang Islam kontekstual dan perbedaan itu rahmat, di antaranya bagi jalan dakwah. Matondang berpendapat bahwa setiap muslim berkewajiban melaksanakan dakwah sesuai dengan kemampuan profesi dan bidang tugas masing-masing. Tegasnya: “Tugas amar makruf nahi mungkar sama-sama dibebankan kepada pria mukmin dan wanita mukminah. (QS at-Tawbah 71)”
Dakwah: Wajib Ain dan Kifayah Menurut penulis, Matondang menganut paham bahwa melakukan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
118 dakwah adalah wajib. Kewajiban ini ada yang bersifat personal dan ada yang bersifat kolektif, tergantung pada bentuk dakwah yang dilakukan. Sedangkan menurut penulis, dakwah adalah wajib ain dan wajib kifayah. Kata minkum pada minkum ummatun yad‘ûna adalah min lil bayan/keterangan dan dapat juga diartikan dengan min tab’idh/ sebagian. Wajib ain dalam hal yang mengajak yang wajib dan mencegah yang haram, dan wajib kifayah dalam perkara menerangkan hal yang mendetail hukum agama. Ia memerlukan ilmu yang mendalam dan profesional, bila dilakukan sebagian, maka yang lain tidak dikenakan dosa. Dakwah pada saat ini adalah profesi, sehingga ada ilmu yang khusus untuk itu dan kajian yang mendalam tentangnya, sehingga dakwah tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang. Dakwah seperti profesi spesialisasi lainnya, ia memiliki ilmu dan tata cara serta aturan. Sebaik apa pun niat seseorang tidak cukup baginya hanya sekedar niat baik untuk membedah seorang yang menderita penyakit dalam, jika belum pernah mempelajari ilmu yang terkait dengan itu. Begitu juga dengan dakwah, tidak cukup hanya berdasarkan niat baik untuk melakukan dakwah, tapi perlu pendidikan yang memadai hingga menjadi profesional di bidang dakwah. Matondang dan penulis sepakat pengembangan dakwah sebagai ilmu harus terus diasah dan dikaji secara mendalam, dan kajian ke arah itu pernah dilakukan Matondang saat menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah dengan rumusan “Kesepakatan Perapat” tentang bangunan epistemologi keilmuan Dakwah.
Dakwah di Era Global Menurut Jalaludin Rahmat (1991: 67) masyarakat yang akan datang ditandai dengan dominasi teknologi komunikasi. Masyarakat yang hidup pada era globalisasi ditandai dengan: (1) meningkatnya heterogenitas nilai, (2) berkembangnya sikap-sikap pribadi yang berorientasi kepada masa depan, (3) menurunnya sikap fatalistik, (4) meningkatnya gaya hidup yang matrealistik, (5) meningkatnya individualisme dalam kehidupan. Menurut Matondang kelima hal yang tersebut di atas merupakan
Dai dan Akademisi
119 tantangan sekaligus peluang bagi pelaksanaan di masa depan. Dari satu sisi, kecenderungan-kecenderungan di atas membawa dampak positif berupa kemajuan dan peningkatan kesejahteraan. Tapi, di sisi lain sangat terbuka kemungkinan munculnya dampak negatif, baik pada tatanan budaya manusia maupun pada lingkungan global. Pada era globalisasi, terjadi kontak antar budaya bangsa-bangsa di dunia dalam skala yang luar biasa. Di satu sisi terjadi kontak budaya antar sesama bangsa yang menganut agama Islam, dan di sisi lain akan terjadi kontak budaya Islam dengan bangsa-bangsa lain yang bukan Islam. Jelas, hal ini mempengaruhi nilai-nilai budaya, baik yang menyangkut nilai agama, solidaritas, ekonomi, ilmu politik dan seni. Sering kali terjadi norma-norma sosial dan keagamaan merasa tersudutkan oleh kecenderungan budaya industri. Secara sosiologis, hal ini mengarah kepada culture adaptive, di mana aspek immaterial dari suatu kebudayaan akan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kebudayaan material. Atau sebaliknya. Di sinilah terjadinya dinamika perubahan. Era globalisasi dapat menjadi sumber stres yang kronik penyebab penyakit adaptasi. (Rahmat, 1991: 68) Menurut Ziauddin Sardar (1988: 71) loncatan temuan dalam bidang teknik komputer dapat mengundang kemungkinan manusia menjadikan komputer seperti Tuhan. Dengan muatan informasi yang semakin tinggi menyebabkan saingan dakwah semakin berat. Untuk itu semua, Matondang menegaskan perlunya penanganan secara profesional. Upaya ke arah ini menuntut adanya gerakan keilmuan, strategi yang tepat, pelatihan dan dukungan dana yang cukup besar. Dari pernyataan ini, terlihat jelas bahwa dakwah masa depan adalah satu kerja profesi yang harus dilakukan secara profesional. Menjadi da’i tidak hanya perlu semangat dan bermental ikhlas, tapi lebih dari itu perlu ilmu, strategi, pelatihan dan dana. Ini bukti walaupun dakwah dapat dilakukan oleh setiap muslim, tapi tetap saja hanya yang menekuni dakwah yang layak untuk menjadi dai. Seperti penulis sebutkan di atas, semua orang boleh mengobati orang sakit, tapi hanya dokter yang ahli di bidang penyakit dalam yang layak
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
120 untuk membedah badan pasien. Di Indonesia, ditemukan bahwa hanya alumni Fakultas Tarbiyah atau yang lulus akta empat yang berhak mengajar di kelas. Bila hal itu diakui dalam ilmu duniawi, maka dalam ilmu agama juga perlu dilakukan. Inilah yang terjadi di Malaysia, Mesir, Sudan dan Timur Tengah. Di Mesir, Sudan dan Timur Tengah untuk menjadi khatib Jumat di masjid hanya dibolehkan bagi mahasiswa yang telah tamat S1 dari fakultas Dakwah atau sejenisnya. Atau di Malaysia diberikan bagi siapa saja yang telah mendapatkan surat izin ceramah dan khotbah dari kerajaan. Bila hal ini diterapkan di Indonesia, maka Fakultas Dakwah menemukan jati dirinya dan diminati oleh calon mahasiswa.
Kesimpulan Ummatan wahidah ditinjau dari perspektif dakwah memberikan kesadaran adanya titik temu yang mempersatukan seluruh pelaku dakwah, baik personel maupun institusional. Keragaman organisasi dakwah dengan berbagai-bagai atribut serta program yang ditawarkan, bukan berarti mengingkari eksistensi ummatan wahidah, sepanjang masing-masing tetap konsisten memedomani Alquran dan Hadis. Semuanya mitra bagi yang lain dibangun atas dasar akhlak mulia: bersatu, bersaudara, penuh toleransi dan memudahkan, tanpa ada rasa iri, dengki dan hasad. Semuanya satu keluarga besar yang memiliki satu visi yang sama dalam menegakkan kalimat Allah. Matondang adalah da’i Muhammadiyah yang rasional. Dai yang melihat perbedaan itu adalah rahmat dan tidak perlu dibesarbesarkan. Penulis berbeda pendapat dengan Matondang apakah dakwah itu wajib ain atau fardu kifayah. Penulis melihatnya fardu ain dan kifayah, tapi Matondang melihatnya wajib ain. Perbedaan ini merupakan ijtihad yang akhirnya disepakati bahwa seorang yang terjun ke dunia dakwah, maka dia harus menjadi seorang yang profesional. Hanya yang profesional yang dapat melakukan tugas dengan baik dan bijaksana, terutama di era globalisasi. Sesuai pesan Nabi Muhammad: “Bila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya.”***
Dai dan Akademisi
121 3. PEMIKIRAN KALAM MUKTAZILAH CONTOH PERBEDAAN KHILAFIYAH FURUIYAH DI BIDANG AKIDAH Oleh: Dr. H. Zainal Arifin, MA
A. PENDAHULUAN Tulisan ini merupakan komentar atas tulisan yang berjudul asli “Konsep Taklif Menurut al-Qadi Abdul Jabbar dan Implikasinya Terhadap Tanggung Jawab Manusia” Prof. Dr. H. A. Yakub Matondang, MA satu disertasi yang ditulis Matondang saat menyelesaikan doktor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (sekarang disebut dengan UIN). Latar belakang yang memaknai tema di atas adalah masih munculnya pendapat yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu hanya terjadi di bidang syariat atau fikih semata. Sehingga timbul permasalahan, apakah telah terjadi perbedaan pendapat furu’iyah di bidang akidah? Bila sudah terjadi, bagaimana contoh dan bentukbentuk perbedaan di bidang akidah itu? Apakah perbedaan pendapat furui’yah ini menyebabkan kekafiran?
B. PERBEDAAN ITU RAHMAT Dari buku Matondang penulis menemukan bahwa telah terjadi perbedaan khilafiah furui’yah yang terjadi antara tiga kelompok pemikiran Islam (Muktazilah, Asyariah dan Salafi) adalah rahmat atau kasih sayang yang perlu dilestarikan sebagai wujud kekayaan khazanah Islam. Memaksakan satu kehendak atau pendapat dengan menafikan kehendak atau pendapat orang lain adalah wujud kezaliman dan pemaksaan. Berikut ini beberapa cuplikan mengenai perbedaan khilafiah furui’yah di bidang akidah yang penuh rahmat dan kasih sayang.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
122 1. Definisi Taklif Bab Pertama, perbedaan ulama kalam seputar pemahaman taklif dan hal-hal yang terkait dengannya. Taklif menurut al-Asy’ariyah adalah perintah dan larangan yang ditujukan kepada seseorang. (h. 14) Sementara Muktazilah yang diwakili oleh al-Qadi Abdul Jabbar mendefinisikannya dengan informasi yang disampaikan kepada orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat atau menghindarkan sesuatu yang berbahaya serta adanya kesukaran yang dihadapi dengan ketentuan tidak sampai keadaannya dalam bentuk paksaan. (h. 15) Definisi taklif walaupun berbeda pendapat tapi penulis tetap melihatnya sebagai bagian dari perbedaan khilafiah, perbedaan ranting. Artinya, semua sepakat berdasarkan pesan-pesan Alquran bahwa Allah memberikan taklif atau beban. Tapi kemudian keduanya berbeda pendapat tentang definisi beban itu, apakah mengandung manfaat atau Allah membebani hamba-Nya sesuka zat-Nya. Dua pertanyaan ini menimbulkan dua aliran besar dalam pemikiran Islam, sebagaimana kita sebutkan di atas. Penulis melihat bahwa kedua definisi ini sesuai dengan pemikiran kedua aliran ini dan sesuai dengan dua pemahaman besar atas kitab suci Alquran. Asy’ari berpendapat demikian karena Allah itu Pemilik mutlak sehingga Dia berhak memberi perintah dan larangan tanpa harus melihat maslahat, sementara Muktazilah yang menganut paham shalah dan ashlah, menetapkan bahwa perintah itu mengandung unsur manfaat dan larangan itu mengandung unsur bahaya. Biarlah kedua pendapat itu demikian adanya, dan terus demikian adanya sebagai wujud kekayaan pemikiran Islam yang harus dihormati. Toh, kedua pemikiran itu merupakan hasil ijtihad yang mendalam dari pemahaman kitab suci Alquran. Kalau pun hendak dikompromikan maka akan ditemukan taklif itu mengandung unsur manfaat dan menghindar dari maslahat, walau pun terkadang tidak terpantau manfaat dan maslahat itu pada diri manusia. Tanpa harus memaksa dan mewajibkan Tuhan untuk memerintahkan yang bermanfaat dan melarang yang berbahaya. Terakhir, penulis dapat menegaskan bahwa taklif Allah itu tidak
Dai dan Akademisi
123 saja beban, tapi lebih dari itu ia adalah rahmat. Taklif Allah itu adalah penuh unsur kasih sayang dan taklif Allah itu membahagiakan. Bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
2. Melihat Tuhan di Surga Al-Qadhi menolak setiap kemungkinan manusia melihat Tuhan baik di dunia dan di akhirat. Sekalipun terdapat nas-nas syara’ yang mengacu pada kemungkinan melihat Tuhan di akhirat, namun menurutnya harus dipahami secara takwil. Alasannya, zat Tuhan mustahil dilihat, lihat QS al-An’am: 103. Penafian melihat Tuhan tidak terkait pada waktu dan tempat tertentu. (h. 24) Sementara Asyari dan Salafi menyatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan di akhirat. Masalah melihat atau tidak melihat Allah di surga akan terbukti keabsahannya saat setiap mukmin masuk surga. Memperdebatkan hal ini menjadi muncul dan keluar karena Allah menjelaskan hakikat diriNya yang tidak menyerupai dengan apa pun. Di satu sisi, merupakan nikmat tertinggi saat bertamu dan dijamu adalah bertemu dengan tuan rumah pemilih jamuan itu, maka wajar bila Dia dapat dilihat di akhirat. Bagi penulis, melihat atau tidak, yang penting Allah merestui keberadaan mukmin di surga. Restu dan kerelaan itu adalah yang terpenting dan utama. Untuk apa dapat dilihat tapi dalam keadaan murka. Terkadang, lebih baik tidak melihat tapi Dia tetap meridai kita. Namun bila melihat dan rida itu lebih membahagiakan.
3. Taklif antara Syariat dan Akal Perbedaan lain yang juga diangkat adalah taklif itu berdasarkan syariat atau akal. Asyari berpendapat bahwa taklif itu berdasarkan syariat, sementara al-Qadhi berpendapat bahwa taklif ada yang diperoleh secara langsung tanpa diusahakan yang disebut dengan ‘ilm dharuri. Ia anugerah Tuhan kepada manusia. Di samping itu, ada informasi yang diketahui manusia melalui proses argumentasi, baik bersifat akal ataupun berdasarkan wahyu. Pengetahuan yang diperoleh melalui proses argumentasi disebut ilm istidlali. Informasi
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
124 yang diperoleh melalui ilm dharuri dan istidlali yang berdasarkan akal, melahirkan taklif aqli; sedang informasi yang diperoleh melalui ilm istidlali yang berdasarkan wahyu melahirkan taklif sam’i. Manusia mengetahui kedua bentuk taklif ini dengan cara menggunakan akal atau nalar. Jadi kewajiban manusia yang pertama adalah melakukan penalaran atau nazar. (h. 27) Fungsi wahyu adalah merinci apa yang telah diketahui oleh akal secara global; dan pada bidang lain akal akan merinci apa yang diungkap oleh wahyu secara global. Jadi, tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu, sebagaimana tidak ada pertentangan antara yang ijmal/global dan tafsil/rinci. Keduanya kompleter bagi yang lain.
4. Mengenal Allah: Fitrah atau Akal Bab Kedua, Allah sebagai mukallif. Ditemukan dua pendapat besar mengenai bagaimana manusia dapat mengenal Allah. Pertama, pendapat yang dianut oleh Ibn Taymiyah bahwa pengetahuan tentang adanya Allah merupakan naluri fitrah manusia dan tidak memerlukan argumentasi. Sementara tokoh-tokoh Muktazilah lebih mengutamakan penggunaan argumentasi rasional. (h. 41)
5. Apakah Allah Berbuat Buruk? Berdasarkan keadilan dalam perbuatan Tuhan, maka Muktazilah berpendapat bahwa Allah maha suci dari segala bentuk kejahatan atau hal-hal yang buruk. Sementara pemikiran yang telah berkembang di antara mukmin, bahwa mukmin yakin kepada rukun Islam yang keenam iaitu beriman kepada takdir Allah yang baik dan buruk. Artinya, Allah melakukan kebaikan dan keburukan. Berbeda dengan Muktazilah bahwa Allah hanya melakukan kebaikan, dan tidak melakukan keburukan. Asyariyah tepatnya Imam Ghazali tidak mengaitkan kezaliman pada perbuatan Tuhan. Apa pun yang diperbuat-Nya, sekalipun berkonotasi negatif dan buruk menurut akal, namun tidak disebut zalim, karena Dia memperbuat segala sesuatu di bawah kewenanganNya. (h. 63)
Dai dan Akademisi
125 Inilah beberapa contoh dari perbedaan pendapat yang ranting dan penuh rahmat. Ranting karena pesan penting dan utama darinya adalah satu hal yang telah disepakati. Penuh rahmat karena perbedaan itu memberi alternatif pemikiran yang menambah wawasan serta minimal dapat menghargai perbedaan pendapat dengan orang atau aliran lain.
D. IDE SEGAR Pada bagian kedua ini, penulis melihat bahwa disertasi Matondang sudah cukup bagus, namun akan menjadi lebih indah bila ditemukan pemikiran-pemikiran segar yang dapat diangkat sebagai wujud kritisi atau menambah gagasan baru dalam pemikiran Islam kontemporer. Walau pun penulis yakin melakukan ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah, apalagi dalam hal ini, Matondang harus menghadapi saran dari pembimbing dan ujian dari para penguji. Namun kali ini, saat penulis diminta untuk mengomentari buku ini, maka ada beberapa ide segar yang dapat diangkat untuk menambah kekayaan pemikiran Islam sebagai wujud sumbangsih kekinian. Contohnya:
1. Mukmin Masuk Surga berkat Rahmat Pertama, pada bab 2, apakah orang fasik atau pelaku dosa besar jika tidak bertaubat, maka ia akan kekal di neraka selama-lamanya? Walau pun Matondang telah menjelaskan bagaimana jalan pikiran yang seharusnya, dengan menyatakan (1) dimaafkan atau tidak dosa seseorang itu tergantung Allah, (2) dosa besar bisa gugur bila melakukan kebaikan dan ketaatan yang lebih besar, (3) fasik kekal di neraka adalah bobot kemaksiatannya lebih besar, mungkin karena kafir atau syirik (h. 131); tapi menurut penulis berdasarkan pembagian fasik menurut Sya’rawi: (1) mukmin fasik dan (2) kafir serta musyrik fasik: bahwa mukmin yang fasik walau pun bobot kemaksiatannya lebih besar tetap saja tidak akan kekal di neraka. Karena dia masih dalam kategori mukmin, walau pun fasik. Sementara kafir dan syirik tetap saja masuk neraka, karena dia
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
126 berstatus fasik. Fasik itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya lekang. Kurma yang sudah masak di pohon disebut dengan fasik. Manusia disebut dengan fasik bila dia telah keluar dari taklif Allah. Mukmin yang keluar dari taklif Allah disebut fasik, namun dia terkadang masih memiliki sedikit rasa iman. Bagi kafir dan musyrik disebut fasik total, karena dia berbuat dan beramal tidak terpikirnya berbuat untuk dan atas nama Allah. Dia telah ke luar dan lekang secara sempurna, sehingga tidak memiliki ikatan sama sekali. Lebih jauh lagi, mukmin masuk surga lebih karena unsur berkat rahmat Allah. Kasih sayang Allah yang maha luas itulah yang memaafkan dosa dan melipatgandakan pahala, serta mendekatkan diri-Nya kepada mukmin. Walau pun demikian kritisi dan komentar Matondang dalam buku itu suatu yang perlu dianjungkan jempol.
2. Tujuan Taklif Saat membahas tentang tujuan taklif, Matondang hanya mengutip pernyataan al-Qadi yaitu mengantar manusia ke tingkat manfaat yang paling tinggi yang disebut manzilah sawab ad-daim, tempat memperoleh pahala yang abadi (surga). (h. 21) Penulis berpendapat walau pun tujuan taklif adalah akhirat, tapi tujuan taklif itu sendiri dapat dirasakan di dunia. Penulis berpendapat bahwa taklif itu tidak saja berorientasi akhirat, tapi ia juga mengatur dan menata kehidupan di dunia agar menjadi baik dan lebih baik. Untuk itu tujuan taklif, selain di akhirat juga di dunia. Sebagaimana doa mukmin: “Kabaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.” Atau “kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.” Lebih jauh penulis berpendapat bahwa kebahagiaan di dunia itu terletak pada sudut pandang dan pola pikir manusia. Artinya, Alquran sebagai kitab suci umat Islam mengajak mukmin untuk menjadi bahagia berkat pola pikir yang dibangunnya walaupun dalam keadaan yang sangat buruk. Contohnya, kisah keburukan yang dialami oleh Nabi Ayub, keburukan yang dialami oleh Nabi Yusuf dan Nabi Yahya di samping lima nabi yang terkenal dengan kesabarannya (ulul azmi).
Dai dan Akademisi
127 Pernyataan ini diperkuat dengan kebahagiaan tertinggi di akhirat adalah melihat dan mengenal Tuhan di akhirat (menurut paham Asyari) (h. 24) atau melihat pahala menurut paham Muktazilah (h. 27). Artinya, kebahagiaan itu bukan terletak pada kenikmatan jasmani semata, tapi lebih pada kematangan pola pikir.
3. Tauhid itu Rahmat Kedua, pada bab 3, Allah sebagai Mukallif. Keesaan Allah dan sifatsifat-Nya. Pada pembahasan ini Matondang sebagaimana mengutip pemikiran Muktazilah (memang begitu adanya) menegaskan bahwa berdasarkan konsep Tauhid maka al-Qadhi menolak konsep adanya dua Tuhan. Penulis menggagas bahwa Tauhid itu identik dengan Rahman. Hal ini karena sering kali Alquran menggantikan kata Allah atau al-Wahid dengan kata ar-Rahman. Contohnya, QS Thaha 5. Dalam pemikiran Islam kontemporer yang perlu dikembangkan adalah bahwa Tuhan yang Maha Esa itu selain Tuhan yang layak disembah, satu bukan dua, tapi Dia juga adalah Tuhan yang Rahman/ Maha Pengasih. Ini mengajarkan kepada kita dalam menjalin silaturahmi pemikiran antar sesama ulama mengedepankan unsur kasih sayang. Sebagaimana keesaan Allah yang identik dengan Rahman.
D. BERBEDA ITU RAHMAT Sampailah kita pada jawaban dari pertanyaan ketiga, apakah berbeda pendapat dalam bidang akidah itu menyebabkan kekafiran? Di samping buku Pak Matondang, kita juga menemukan sampai saat ini Perguruan Tinggi Islam di dunia, seperti di al-Azhar Mesir, Ummu Darman Sudan, Universiti Malaya Malaysia bahkan UIN dan IAIN di Indonesia masih menetapkan bahwa Asyariah, Muktazilah, sebagian Syiah, Salafi, Maturidiyah adalah aliran-aliran Pemikiran dalam Islam yang memiliki sudut pandang yang berbeda. Dari tulisan Matondang ini dan dari diktat mata kuliah Aliran Pemikiran dalam Islam yang diajarkan pada Perguruan Tinggi Islam di negara-negara yang disebut penulis di atas ditemukan bahwa
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
128 perbedaan itu tidak menyebabkan satu aliran mengafirkan aliran yang lain. Itu karena Allah yang menjadi dasar ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam atau ilmu Aliran Pemikiran dalam Islam adalah Tuhan yang Rahmat, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia menyatakan: “Kalau Allah berkehendak akan Dia jadikan kamu sekalian umat yang satu (tanpa ada perbedaan), tapi (Allah tidak berkehendak kalian menjadi satu) hingga kalian saling berbeda.” Inilah makna perbedaan ulama umat Islam adalah rahmat, semoga demikian adanya. Memang pernah terjadi pengafiran sebagaimana yang ditulis oleh Imam Ghazali dalam bukunya al-Iqtishad fi al-Itiqad, tapi itu karena sebelumnya Muktazilah telah mengkafirkan Asy’ariyah. Lebih jauh alGhazali menyatakan pengafiran itu lebih karena unsur politis dari pada unsur pandangan Islam yang sebenarnya. Imam Ghazali berkata setelah membahas tentang Muktazilah dan Musyabbihah serta aliran pemikiran Islam lainnya: “Bahwa semua pemikiran ini tidak lepas dari ruang lingkup “ijtihad” yang harus tetap dihormati, dengan tetap menjaga untuk tidak mengafirkan aliranaliran ini selama masih ada jalan untuk tidak mengafirkannya. Selama mereka masih salat menghadap kiblat dan masih mengucapkan kalimat tauhid. Karena kesalahan meninggalkan seribu orang kafir hidup lebih mudah daripada kesalahan karena telah membunuh atau menumpahkan darah muslim yang dicap kafir.” Lebih jauh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya “Berlebih-lebihan dalam Mengafirkan Muslim” berpendapat: “Bahwa muslim yang dapat dikafirkan adalah: (1) muslim munafik, menampakkan Islam di hatinya penuh kekufuran terhadap Islam, (2) kaum komunis yang fanatik dengan komunis, (3) penguasa yang sekuler yang menolak syariat Islam, (4) aliran sesat, seperti Nashiriyah Ismailiyah, Bahaiyah Qadiyaniyah. Ditambahkan lagi bahwa pengafiran satu kelompok tidak berarti penganut yang tidak tahu menahu tentang hakikat ajaran tersebut dicap sebagai kafir. Seseorang dicap menjadi kafir saat dia telah yakin dengan ajaran kafir tersebut. Ibnu Taymiyah berkata: “Seseorang yang mengikut satu aliran tidak dapat dicap sebagai kafir kecuali telah
Dai dan Akademisi
129 terbukti bahwa dia telah menyatakan pengikut aliran itu dan setia pada ajaran sesat aliran itu.” Kalau dia sadar akan kesalahannya, maka dia telah dianggap bertaubat dan diterima kembali ke pangkuan Islam. Dari sini terlihat jelas bahwa telah terjadi perbedaan pendapat furui’yah atau cabang dalam akidah dan perbedaan itu tidak menyebabkan kekafiran.
E. KESIMPULAN Setelah membaca tulisan yang berjudul asli “Konsep Taklif Menurut al-Qadi Abdul Jabbar dan Implikasinya Terhadap Tanggung Jawab Manusia” penulis mengambil kesimpulan yang sangat prinsipiil bahwa perbedaan khilafiah tidak saja terjadi pada bidang fikih dan syariat, tapi juga di bidang akidah. Tulisan Matondang ini membuktikan kesimpulan yang penulis tetapkan. Ini menepis dugaan segelintir orang bahwa perbedaan khilafiah hanya terjadi pada bidang fikih semata. Tulisan ini juga membangun pola pikir bahwa Islam mengajarkan perbedaan furui’yah di dalam akidah dan syariat. Perbedaan furui’yah di bidang akidah dalam Islam itu tidak menyebabkan seseorang dicap kafir, dan lebih dari itu perbedaan furui’yah di bidang akidah itu adalah bukti rahmat-Nya.***
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
130 4. ISLAM KONTEKSTUAL DAN FUNGSIONALISASI NILAI-NILAI ISLAM Oleh: Dr. H. Zainal Arifin, MA
Pendahuluan Di antara pemikiran dan gagasan yang disampaikan oleh Matondang adalah gagasan Islam Kontekstual yang dikaitkan dengan dakwah fungsional. Gagasan ini terlihat jelas Dalam makalah Matondang yang berjudul “Dakwah Fungsional: Penampilan Islam Secara Kontekstual”. Makalah ini dimuat pada Jurnal Jaringan Dakwah Malaysia Indonesia pada tahun 2003.
Kontekstualisasi Nilai-Nilai Islam Menurut Matondang perkembangan global yang ditandai dengan lima intrnational velues (1) kebebasan, (2) keterbukaan atau transparansi, (3) HAM, (4) demokratisasi, (5) supremasi hukum, memerlukan upaya dakwah untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Perlunya kebijakan dakwah yang benar-benar dapat berperan untuk menyahuti tuntutan yang berkembang pada saat ini. Kontekstualisasi nilai-nilai Islam bukan berarti menyesuaikan Islam dengan keadaan yang dihadapi, tetapi menampilkan Islam secara cerdas (‘ala bashirah). Kontekstualisasi dipahami bahwa setiap da’i harus cerdas dalam tiga hal: (1) materi dakwah, (2) kondisi mad’u, (3) metodologi dakwah.
Dakwah Fungsional Dengan menampilkan Islam secara cerdas diharapkan Islam dapat tetap berfungsi di tengah-tengah masyarakat yang terus mengalami
Dai dan Akademisi
131 perubahan dan kemajuan. Upaya dakwah ke arah inilah yang menurut Matondang sebagai dakwah fungsional. Maksudnya Islam berfungsi dan berperan secara fungsional dalam kehidupan pribadi, rumah tangga dan masyarakat. Menurut Matondang, berfungsinya Islam dalam kehidupan sosial merupakan perwujudan dari “baldatun thayyibah wa rabb ghafur.” Negeri yang makmur di bawah lindungan Tuhan yang Maha Pengampun.
Tiga Ciri Utama Islam Untuk menopang gagasan dan pemikiran di atas, Matondang memperkuatnya dengan tiga ciri utama Islam: (1) universal, berdasarkan pada QS al-Anbiyâ’ 107, (2) telah sempurna berdasarkan pada QS al-Ahzab 40, (3) mudah, berdasarkan pada al-Baqarah 185. Pertama, Islam universal menurut Matondang adalah ajaran Islam mencakup semua aspek kehidupan. Hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan antar sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan sekitar. Dengan demikian, Islam terbuka untuk semua kelompok manusia tanpa membedakan etnis dan batasan geografis. Secara lebih khusus, ajaran Islam menekankan adanya keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi, antara ruhani dan jasmani, antara ibadah dan mu’amalah. Hal ini dapat dilihat pada QS al-Qashash 77. Islam universal adalah Islam yang mengatur kehidupan manusia untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Lihat QS al-Baqarah 201. Kedua, Islam agama sempurna dan Nabi Muhammad adalah nabi yang terakhir. Matondang memahami makna sempurna dan final dalam aspek ta’abbudi yang bersifat tawqifi. Pada aspek ibadah khasSah atau ibadah mahdah ini telah dijumpai rincian dan tarta cara pelaksanaannya yang jelas di dalam Alquran dan Sunah. Ia dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Rasul, tidak boleh ditambah dan dikurangi apa lagi diada-adakan. Sedangkan aspek muamalat yang juga disebut dengan ibadah ammah berkaitan dengan sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, dijumpai tuntunan wahyu dalam bentuk prinsip-prinsip
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
132 dasar yang memerlukan formulasi baru secara rasional dan kontekstual. Pada aspek yang disebut belakangan ini, diperlukan interpretasi nas-nas ajaran agama sehingga dapat diimplementasikan secara kaffah dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut penulis, kesempurnaan Islam terletak pada prinsipprinsip dasar yang tertuang di dalam akidah, syariah yang bersifat ta’abbudi atau syariah yang bersifat muamalah. Adapun dalam ranting permasalahan akan ditemukan interpretasi yang berbeda dan beragam yang boleh dilakukan ulama sehingga Islam dapat diamalkan secara baik dan benar di tengah-tengah masyarakat. Artinya, penulis berbeda pendapat dengan Matondang dalam memahami yang final atau sempurna dan temporal atau sementara. Matondang melihat bahwa ibadah mahdhah telah final dan muamalat belum final, sementara penulis melihat bahwa di akidah, ibadah mahdhah dan muamalat ada yang sudah final dan ada masih temporal. Yang ushul adalah final, sementara yang furuk belum final, sehingga timbul perbedaan sebagai kekayaan khazanah Islam yang dapat memberi pilihan dan alternatif bagi manusia. Contoh apakah di akidah Islam terdapat hal-hal yang belum final, dapat dilihat tulisan dalam buku ini yang berjudul “Pemikiran Kalam Muktazilah: Contoh Perbedaan Khilafiyah Furuiyah di Bidang Akidah.” Yang belum final menurut penulis adalah khilafiyah furui’yah. Contohnya, dalam ibadah mahdah yang belum final, dan bersifat furuk atau cabang adalah apakah qunut subuh itu wajib dibaca atau malah dilarang dibaca. Menurut penulis ini belum final dan bersifat interpretasi yang memberi solusi bagi siapa saja. Artinya, yang ingin membaca qunut silakan baca, dan yang tidak ingin tidak perlu membaca. Karena ini letak ijtihad maka tidak perlu saling menyalahkan. Di dalam muamalat juga sudah ada yang final, seperti pelarangan riba adalah final, tapi apakah bunga bank konvensional itu riba dan nisbah pada bank Islam itu halal, menjadi bersifat temporal. Inilah yang menjadi ijtihad yang berbeda antara Yusuf Qardawi dengan Syeikh Azhar Mesir yang sebelumnya Mufti Mesir yaitu Said Thantawi. Kedua-duanya mujtahid yang dihormati usaha ijtihad
Dai dan Akademisi
133 masing-masing. Ketiga, Islam mudah menurut Matondang adalah bahwa seluruh ajaran Islam memiliki keseimbangan daya manusia . Manusia dapat melaksanakan ajaran Islam walau dalam kondisi bagaimana pun. Dalam keadaan normal dan darurat, sehat dan sakit, mukim dan musafir. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa Islam itu mudah, ... maka permudahlah dan jangan mempersulit.” Menurut penulis Islam final itu akan menjadi mudah bila dipahami bahwa perbedaan pendapat dan ijtihad itu adalah wajib dan diperlukan sebagai wujud rahmat dan keuniversalan Islam. Mudah bukan saja dipahami sebagaimana pemahaman di atas, tapi juga dapat dipahami timbulnya berbagai-bagai aliran pemikiran Islam dan berbagai mazhab fikih merupakan satu bukti timbulnya berbagai alternatif aplikasi Islam yang kontekstual di masyarakat.
Kebijakan Islam Islam agama yang bijaksana, sehingga membuat kebijakankebijakan yang sangat bijak untuk menopang gagasan Matondang di atas. Di antara kebijakan-kebijakan itu adalah (1) Ijtihad tetap terbuka, (2) Kontekstualisasi pemahaman agama, (3) fungsionalisasi nilai-nilai Islam. Pertama, ijtihad tetap terbuka. Menurut Matondang ijtihad merupakan proses kegiatan intelektual dalam memahami ajaran Islam dalam rangka merespons perkembangan sosial. Upaya memahami nas dengan pemikiran yang jernih dan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad masa lampau serta berusaha untuk menerjemahkannya secara kontekstual. Di dalam literatur Islam disebut dengan tajdid atau gerakan pembaharuan. Labelnya bisa reformasi, modernisasi, revivalisme dan sebagainya. Tujuan ijtihad agar Islam tetap relevan bagi kepentingan hidup umat manusia. Ditambahkannya lagi bahwa ijtihad dari sudut pandang perubahan sosial merupakan satu kemestian. Suatu yang belum ada hukumnya dalam perkembangan hidup perlu hasil ijtihad yang baru. Bukan berarti ijtihad menolerir semua hal-hal baru, tapi ijtihad memberikan arahan apakah ijtihad justru memberikan arah apakah perkembangan itu sesuai atau
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
134 bertentangan dengan maqasid syariah/tujuan syariat. Dengan demikian, perkembangan sosial umat Islam bersifat dinamik bukan statis. Menurut penulis, umat Islam menyikapi ijtihad dengan berbagaibagai ragam, ada yang mengatakan ijtihad telah tertutup, ada juga yang mengatakan bahwa perbedaan pendapat yang terjadi di Indonesia dan di dunia akhir-akhir adalah wujud dari sekularisasi atau bahkan libelaralisme. Untuk itu penulis menawarkan sikap moderat dalam melihat ijtihad. Tidak mengklaim setiap orang yang berbeda pendapat dengan kita sebagai sekuler atau liberal, atau konservatif dan kolot. Tidak juga terlalu berani berijtihad tanpa ada dasar hukum, tidak pula menutup pintu ijtihad sama sekali. Contoh ijtihad yang menghebohkan di dunia saat ini adalah perluasan batu atau tugu pelemparan jumrah. Itulah ijtihad, pasti ada yang setuju dan menolak. Bagi muslim yang moderat adalah menghargai setiap hasil ijtihad walaupun tetap berbeda dengan kita. Kedua, kontekstualisasi. Menurut Matondang kontekstual yang dipahami di awal tulisan ini adalah perlu agar tujuan dan substansi agama Islam dapat terwujud, yaitu kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kontekstualisasi pemahaman agama bukan hanya dalam rangka pengamalan teks-teks Alquran dan Hadis, tetapi juga untuk menjawab serta memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan. Di antara contoh kontekstual yang diberikan oleh Matondang adalah definisi dakwah tidak terbatas pada khotbah dan berbicara di atas mimbar, tapi segala gerak gerik mengajak kebaikan adalah dakwah, dengan sarana dan prasarana saat ini. Jihad yang dipahami secara fisik dengan pengertian perang dapat dipahami dengan berbagai-bagai aktivitas dalam rangka penanaman dan implementasi nilai-nilai Islam. Contoh lain, menurut Matondang, zakat tidak terbatas pada makanan pokok saja, tapi juga pada hasil tanaman produktif yang bernilai ekonomis, seperti: sawit, teh, tembakau dan sebagainya. Menurut penulis, Matondang telah memasukkan unsur ibadah mahdhah dalam hal ini zakat dalam bagian yang belum final. Ini mengisyaratkan bahwa Matondang sependapat dengan penulis bahwa di ibadah mahdhah itu sendiri masih terdapat perkara yang belum
Dai dan Akademisi
135 final, sehingga masih terbuka ruang ijtihad. Menurut penulis, aliran kontekstual selalu berhadapan dengan aliran tekstual. Aliran tekstual adalah aliran yang memahami Islam secara tekstual semata, tanpa melihat munasabah, asbab nuzul dan kondisi saat ayat itu turun. Sementara kontekstual berupaya melihat lebih jernih satu teks berdasarkan dengan konteksnya. Contohnya, aliran tekstual akan berkata: “Berdasarkan pada QS al-Baqarah 120, maka dia berkeyakinan bahwa umat Yahudi dan Kristen tidak akan senang dengan Islam dan muslim selamanya.” Kesimpulan yang diambil dari ayat yang dipahami secara tekstual ini adalah jangan berteman dan jangan berniaga dengan Yahudi dan Kristen. Adapun kontekstual melihat ayat tersebut dengan mengaitkan ayat itu dengan ayat peralihan kiblat yang dilakukan muslim dari mengarah ke Masjidil Aqsa menuju ke masjidil Haram. Kecemburuan dan pembusukan inilah sehingga ayat ini muncul. Artinya, dalam kehidupan bermasyarakat, ayat ini tidak dijadikan patokan. Nabi Muhammad sendiri meminjam uang dari Yahudi, membantu fakir miskin Yahudi, bahkan menjenguk Yahudi yang sakit dan mendoakan kesembuhan baginya. Ini lah pemahaman yang kontekstual yang berbeda dengan pemahaman tekstual. Perbedaan ini sekali lagi, tidak harus disikapi dengan memojokkan satu dengan yang lain, tapi inilah Islam yang memberi solusi bagi setiap permasalahan. Artinya, yang mau berteman dan berniaga dengan Yahudi dan Kristen atau umat dari agama lain silakan, dan yang tidak mau silakan. Yang dilarang adalah memaksakan kehendak atas orang lain, dan mencap bahwa pendapatnya paling benar dan selainnya adalah salah. Ketiga, fungsional nilai-nilai Islam. Menurut Matondang secara asumtif keberagamaan seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku kesehariannya. Orang yang rajin beribadah dan berzikir, idealnya ia akan tampil sebagai manusia yang memiliki akhlak mulia. Kenyataannya, berbagai-bagai penyimpangan yang terjadi di tengahtengah masyarakat justru dilakukan oleh orang yang rajin beribadah. Latar belakang terjadinya kesenjangan antara idealita dan realita – menurut Matondang- berangkat pada model keberagamaan seseorang. Pertama model ekstrinsik dan kedua model intrinsik. Matondang
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
136 dalam hal ini mengutip Arkoun mengatakan model pertama menggunakan taklid, sedangkan model kedua menggunakan tarikh ilmiah. Pelaksanaan model pertama hanya sebatas teks-teks formal, tanpa memahami makna hakiki di balik teks yang tertulis. Contohnya, umat Islam masih rajin mengucapkan kalimat tauhid selepas salat, tapi masih menyimpan dendam dengan jemaah masjid yang duduk bersebelahan dengannya. Menurut penulis, yang perlu dikembangkan ke depan adalah nilainilai Islam atau Islami, bukan sekedar orang Islam (muslim) itulah cerminan dari Islam. Artinya, tidak identik dan tidak harus muslim itu Islami, dan tidak harus yang kafir itu tidak Islami. Nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai universal yang dapat dilakukan oleh siapa pun walaupun dia kafir. Kejujuran adalah nilai-nilai Islam atau islami, walaupun dilakukan oleh Kafir, seperti Kristen dan Yahudi. Umat Islam harus menghormati nilai kejujuran ini dan membelanya walaupun dilakukan oleh orang kafir, dan mengecam keras setiap kezaliman walaupun dilakukan oleh muslim. Inilah menurut penulis fungsional nilai-nilai Islam yang tidak melihat pada person tapi pada unsur nilai itu sendiri.
Perlu Penggalakan Kajian Kontekstual Matondang memberi alternatif dari makalah yang dituliskannya dengan dakwah jemaah. Artinya, sekelompok kecil umat Islam membentuk kesatuan sosial di bawah pandu seorang pemandu jemaah dengan tujuan untuk meningkatkan mutu keislaman serta mengembangkan tata kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kelompok kecil yang beranggotakan sepuluh sampai lima belas ini melakukan aktivitas dengan pendekatan problem solving untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, baik masalah keagamaan maupun masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Menurut penulis pendekatan yang disampaikan Matondang dapat diterima dan logis. Terlebih dia pernah menjabat sebagai Ketua PW Muhammadiyah Sumut. Namun bagi penulis selain pendekatan di atas dapat ditambahkan dengan pendekatan penelitian secara
Dai dan Akademisi
137 akademis dan bertanggung jawab. Penelitian terhadap pemahaman Islam secara kontekstual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga tercermin dari fungsional dakwah Islam. Menurut penulis, bila sudut pandang tentang Islam salah, maka dakwah Islam pun menjadi rancu. Contoh dari menampilkan Islam secara kontekstual adalah pemahaman bahwa kajian yang mendalam dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sebagaimana yang disebut Matondang dalam ruang lingkup muamalat. Contohnya dalam sosial apakah kafir bila memilih teman orang kafir; dalam politik, apakah muslim harus memilih pemimpin muslim, walau bagaimana keadaannya, walau dia munafik dan zalim; dalam ekonomi, apakah harus menyimpan uang walau nisbahnya rendah dan meminjam uang walau marginnya tinggi di bank Islam atau syariat; atau menyimpan uang dan meminjam uang dengan bunga rendah atau bahkan nol persen di bank konvensional? Apakah kita memilih bank Islam walau tidak islami, atau di bank konvensional tapi Islami? Kalau menurut kajian kontekstual dalam sosial, maka muslim boleh berteman dengan siapa saja, bahkan membolehkan umat lain membangun rumah peribadatannya di daerah muslim asal sesuai dengan aturan dan kesepakatan. Mereka boleh menjadi pegawai di institusi pemerintah karena setiap warga mendapat hak yang sama dan itu sesuai dengan nilai-nilai Islam yang universal, mudah dan rahmat. Menurut kajian kontekstual dalam dunia politik Islam dinyatakan bahwa seseorang tidak harus memilih muslim, bila berlaku zalim, dan tidak boleh melupakan kafir bila berlaku adil. Politik Islam secara kontekstual akan pro keadilan walaupun dia kafir, dan benci kezaliman walaupun dia muslim. Semua ayat suci Alquran seperti QS Âli Imrân [3]: 28, QS an-Nisâ' [4]: 139 dan 144 serta QS al-Mâidah [5]: 51, perlu dikaji secara kontekstual ke arah ini, bila ada yang berseberangan maka harus dilihat munasabah dan asbab nuzul. Sedangkan contoh dalam kehidupan berekonomi adalah bahwa muslim dapat berjual beli dengan siapa saja asal jujur dalam muamalat walaupun dia non muslim. Beli barang kepada penjual yang jujur,
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
138 murah dan ramah walau kafir, dan jangan bertransaksi dengan orang yang curang, mahal dan sukar senyum, walau pun muslim. Sebagaimana, simpan atau pinjam uang pada bank atau orang yang memberi bunga atau margin 0% atau yang mendekatinya walaupun dari bank konvensional atau orang kafir. Karena ini lebih islami daripada bank Islam yang mensyaratkan nisbah atau margin pinjaman dengan persenan yang tinggi.
Kesimpulan Gagasan dan pemikiran Matondang tentang Islam kontekstual sebenarnya bukan ide dasar yang keluar dari dirinya. Karena ide ini telah ada jauh hari sebelumnya. Namun yang menarik dan perlu diacungkan jempol serta perlu diperjelas bahwa Matondang termasuk sosok pemikir yang menganut paham Islam kontekstual, walaupun masih terlihat unsur Muhammadiyah yang tetap dijaga dan dipelihara. Malah menurut penulis di sinilah letak keunikan pemikiran Matondang itu. Dia adalah seorang pendobrak tradisi Muhammadiyah untuk dapat berbeda pendapat dengan yang lain. Dia berusaha melihat bahwa perbedaan pendapat itu bukan bid’ah, tapi satu keharusan dalam membahagiakan umat manusia. Bukankah menjadi muslim siap-siap dan harus siap menjadi orang yang paling berbahagia, di dunia dan di akhirat!?***
Dai dan Akademisi
139 5. PEMBAHARU RASIONALITAS BERAGAMA DAN BERBANGSA Oleh: Dr. H. Muhammad Sofyan Syah. MA
Pendahuluan Percikan pemikiran Matondang dalam pembaharuan rasionalitas beragama dan berbangsa sangat jelas terlihat dalam buku Matondang yang berjudul: Rasionalitas Pemahaman Agama dan Kepribadian Bangsa (Jabal Rahmat:1999) disebutkan bahwa semakin tinggi pemahaman agama seseorang, maka ia akan semakin mencintai bangsa dan tanah airnya (h. 40-48). Sehingga tak mungkin bagi seorang mukmin dan muhsin menodai kodrat tanah air dengan perbuatan tercela dan meruntuhkan bangsanya. Dalam buku yang sama, Matondang menyebutkan bahwa konsepsi ijtihad dalam pemahaman agama menunjukkan sebuah rasionalitas beragama dalam menyikapi perubahan sosial masyarakat. Seperti kewajiban menunaikan zakat, infak, hibah dan berbagai konsep giving dalam agama, dapat menjadi solusi dari pengentasan kemiskinan yang semakin mengkhawatirkan di dalam dan di luar negeri (hal.53 sd 74).
Rasional di Bidang Agama Menurut Matondang seluruh aspek agama selain dipahami secara imani, sekaligus harus dipahami secara rasional, objektif dan kritis. (1) aspek akidah (keyakinan). Keyakinan agama jika dipahami secara rasional, akan melahirkan pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang positif, kreatif dan dinamik. Karena, menurut Matondang, di dalam teologi rasional, peran akal sangat dominan, kemampuan dan kebebasan manusia yang otonom serta keyakinan yang teguh terhadap keesaan dan keadilan Tuhan. Corak keyakinan seperti ini dapat mendukung lahirnya gagasan, sikap dan tingkah laku rasional dan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
140 bertanggung jawab. (2) Aspek Ibadah (ritual). Hubungan manusia secara vertikal dengan Tuhan, memiliki dampak yang erat dengan tata kehidupan sosial. Hal ini dirasakan apabila pelaksanaan ritual dan ibadah itu bukan hanya sekedar kegiatan formalnya, tetapi harus dijiwai ruh atau semangat yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian tuntutan ibadah itu dapat terwujud dalam sikap dan perilaku keseharian. Makin tekun seseorang melakukan ibadah, maka makin tinggi kesalehan dan amal baiknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (3) Aspek muamalah (pranata sosial). Agama memberikan ajaran tentang prinsip-prinsip antar sesama umat manusia. Prinsip-prinsip ini dapat dikembangkan sesuai perkembangan peradaban dan budaya manusia. Idealnya apabila seseorang melakukan pendekatan rasional terhadap aspek muamalah, ia akan bersikap toleran, jujur, tolongmenolong, adil, dan selalu pro aktif untuk melaksanakan amar makruf nahi munkar. (4) Aspek akhlak, moral dan tata nilai. Ajaran agama sarat dengan nilai-nilai mulia, baik berhubungan dengan Tuhan maupun antar sesama umat manusia atau pun dengan alam sekitar. Pengembangan tata nilai ini akan lebih dirasakan manfaatnya, jika di dalam maknanya secara rasional. Kesadaran moral yang tinggi akan memberi warna bagi ketenangan dan ketenteraman hidup umat manusia. Dalam makalah Matondang yang berjudul: Dakwah bil Hal: Pendekatan dan strategi, sang Prof. Ini memberikan rasionalitas yang sangat memikat bagi para Da’i Muda. Menurut Matondang, sosok Da’i yang berkualitas itu adalah Da’i yang mampu memberikan dakwah kepada dirinya sendiri (bil Haal), sebelum menularkan dakwahnya kepada orang lain. Di sini, Matondang mengutamakan pembenahan kepribadian da’i hingga ia memiliki kekuatan magnetik. Baik secara tampilan fisik, tampilan batin, cara berpikir dan cara bertindak. Dalam sebuah Jurnal Ushuluddin yang diterbitkan oleh Akademi Pengajian Islam, University malaya (Desember 2004), secara tegas Matondang menguraikan rasionalitas taklif yang digagas oleh al-Qadi Abdul Jabbar dalam teori kalam. Kalangan rasionalitas dalam Islam
Dai dan Akademisi
141 (Muktazilah) tak sama dengan pemahaman kebebasan berpikir atau berpikir bebas yang dikembangkan oleh W. Montgomeri Watt (1979) dalam bukunya Islamic Philosofhy and Theology. Rasionalitas yang dibangun oleh al-Qadi dalam karya tulisnya yang lebih dari empat ratus ribu halaman, merupakan rasionalitas orisinal dalam taklif. Bukan adanya unsur untuk menjadikan agama semakin sempit dan tak menyentuh kehidupan modern. Corak pemikiran al-Qadi dalam rasionalitasnya mengukuhkan kreativitas intelektual serta pembentukan pribadi yang bertanggung jawab. Dan inilah hakikat dari sebuah taklif (beban yang harus dipikirkan), mukallaf (manusia) dan Mukallif (Allah Yang Memberi Beban).
Rasional di Bidang Negara Rasionalitas pemikiran keagamaan dan kebangsaan Matondang, terlihat saat mendefinisikan kepribadian bangsa yang agamis dengan istilah kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang diilhami oleh nilai-nilai religius. Atau kepribadian yang dimiliki manusia Indonesia yang akan mewujudkan integritas bangsa Indonesia yang mencerminkan identitas bangsa yang religius. Lebih jauh lagi Indonesia memiliki Departemen Agama sejak tanggal 3 Januari 1946. Ini berarti bahwa negara dan Pemerintah Republik Indonesia ikut menjamin, membantu, mengurus dan mendukung kehidupan keagamaan umat dan rakyat, agar dapat menjalankan hak asasi yang paling mendasar. Di samping itu, juga agar secara melembaga dapat memberikan sumbangan spiritual, moral dan etik bagi pembangunan nasional. Semangat rasional dalam bernegara juga terlihat dengan jelas dalam sebuah makalah Matondang yang berjudul: Etika Politik dan Politik Dakwah. Menurut Matondang, sangat rasional, jika agama ini menyentuh wilayah politik, dan politik tak berseberangan dengan doktrin agama. Seperti, seorang pendakwah yang baik adalah mereka yang mampu membaca kondisi dan strategi lapangan dan kondisi masyarakat. Adanya skala prioritas dalam dakwah, menunjukkan bahwa dakwah islamiah mengutamakan siyasah (politik) dalam bahasa dakwah di sebut dengan peta dakwah (kharitha ad dakwah).
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
142 Matondang merupakan seorang Mufakkir (Pemikir Rasionalitas) yang menempatkan posisi akal dan logika untuk memperkokoh pemahaman agama dan bangsa. Bukan menjadikan akal untuk meleburkan pemahaman agama semakin sempit dan tak menyahuti kondisi kekinian. Beberapa materi khotbah Jumat dan orasi Matondang di berbagai tempat menunjukkan bahwa cara berpikir Matondang menunjukkan sebuah keunikan yang memikat. Menjadi unik karena sangat langka jebolan master dan doktor dari UIN Syarif Hidayatullah mampu memadukan antara rasionalitas pemahaman agama dengan integritas berbangsa dan bernegara. Pada saat cendekiawan lain bertahan pada pemahaman wacana tekstual dan konseptual, Matondang memelopori pemahaman bahwa agamawan adalah negarawan sejati. Karena konsep Islam, Iman dan Ihsan adalah konsep kenegaraan yang tercantum dalam GBHN. Di sisi lain, kemampuan Matondang dalam memimpin organisasi Muhammadiyah di Sumatera Utara, Menjadi Rektor IAIN Sumut dan Rektor Universitas Medan Area, merupakan cerminan dari kekokohan pribadi yang mampu memadukan antara dakwah bil hal dengan konsep kepemimpinan. Lebih menarik lagi, keseharian Matondang mengenakan peci hitam, sebagai simbol negarawan nasionalis yang bermakna.
Kesimpulan Dari buku dan makalah yang ditulis oleh Matondang, penulis akhirnya dapat melihat secara jelas bahwa rasionalitas tidak saja terdapat pada bidang muamalah, sebagaimana yang ditulis Matondang pada makalah sebelumnya, tapi juga masuk menuju bidang akidah, ibadah, muamalah, akhlak dan dakwah. Artinya, di seluruh bidang agama ada ruang di mana akal pikiran dapat difungsikan dan harus difungsikan. Memfungsikan akal dalam bidang agama adalah melakukan ijtihad. Bila di bidang akidah, Muktazilah, Asa’ari, Syi’ah dan Salafi telah melakukan ijtihad dan perbedaan khilafiah yang terjadi adalah rahmat, patut dihargai, maka di bidang syariah pun ijtihad lebih kental lagi dilakukan. Umat Islam menemukan aliran fikih yang beragam di
Dai dan Akademisi
143 antaranya yang sangat terkenal: Mazhab Syafii, Hambali, Hanafi dan Maliki. Bila di bidang akidah dan syariah terjadi ijtihad, maka di bidang mu’amalah pintu ijtihad tidak dapat ditutup, tapi telah terbuka dengan lebar. Untuk itu, perbedaan dalam ijtihad di bidang politik, ekonomi, hubungan antar umat beragama akan terus terjadi dan terbuka lebar. Ijtihad akan menjadi rahmat, bila ijtihad dilakukan secara bertanggung jawab dan menggunakan dengan baik nas ataupun akal pikiran. Lebih dari itu, ijtihad itu sendiri adalah pintu yang dibuka demi tercapainya kemaslahatan umat manusia, dan solusi dalam menghadapi kehidupan di sepanjang masa, terutama di era globalisasi ini. Menurut Matondang cara ijtihad pada masa kini adalah dengan interpretasi kontekstual dan fungsional nilai-nilai Islam. Akhirnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa Matondang adalah pembaharu rasionalitas dalam beragama dan berbangsa, dengan paham Islam kontekstual dan fungsional.***
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
144 6. DAKWAH DAN TANTANGAN GLOBAL : UPAYA MERUMUSKAN KONSEP BARU Oleh H. Abdullah Djamil
Saya mendapat kehormatan dari panitia penulisan buku: Da’i dan Akademisi dalam rangka tasyakkur 63 tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA. Pada mulanya saya agak keberatan menyumbang tulisan atau pikiran, karena beliau adalah guru besar atau Prof dan saya masih guru kecil. Jadi kurang tepat guru kecil menilai guru besar. Namun didorong oleh semangat ingin berpartisipasi, maka saya memberanikan diri. Saya mencoba mengkhususkan diri menggali pemikiran Pak Matondang dengan tema: “Dakwah dan Tantangan Global:Upaya Merumuskan Konsep Baru.” Dakwah merupakan salah satu pilar penting dalam Islam. Kedudukannya sebagai agen perubahan sosial melalui kegiatan sosialisasi ajaran Islam sebagai rahmatan lil’âlamin. Nilai kerahmatan dari Islam tidak akan teraplikasi dalam perilaku sosial, bila kegiatan dakwah tidak berjalan dengan baik. Konsep-konsep Islam yang meliputi berbagai aspek kehidupan, hanya akan tinggal di atas kertas, tidak membumi, tidak tersentuh, dan tidak menjadi pembahagia buat kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, tanpa kegiatan dakwah. Hakikat dakwah adalah sebagai mata rantai yang menghubungkan antara Islam (wahyu) dengan manusia, yang telah memiliki fitrah beragama. Tetapi manusia yang menjadi objek dakwah adalah makhluk yang dinamis dan selalu dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang mengitarinya. Disebabkan hal itu, dakwah dalam aplikasinya harus selalu mengkaji dan mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan perubahan-perubahan lingkungan. Apakah perubahan itu bersifat
Dai dan Akademisi
145 lokal, nasional maupun internasional atau global. Pengkajian terhadap perubahan yang ada, dimungkinkan dakwah berjalan lebih fungsional dengan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan kultural. Era globalisasi, adalah suatu kenyataan yang sudah mempengaruhi perilaku dan kehidupan individu dan komunitas masyarakat kita. Secara literal globalisasi bermakna “proses mendunia”. Disebabkan hal itu manusia masa depan akan lebih merasa sebagai warga dunia, bukan hanya warga negara tertentu saja. Proses ini dipacu oleh kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi. Pada saat yang sama manusia pun menghadapi tantangan berat agar tidak menghambakan diri terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya. Perubahan mendasar dari kemajuan iptek, antara lain terjadinya globalisasi, profesionalisasi, individualisasi, materialisasi dan bahkan sekularisasi. Hal di atas menunjukkan bahwa kemajuan iptek dan era globalisasi ibarat pisau bermata dua. Pada satu sisi dapat dipandang sebagai kemajuan peradaban umat manusia, namun pada sisi lain berekses pada dehumanisasi. Tegasnya kemajuan tersebut menawarkan dua hal, yaitu “rahmat” dan “laknat”. Dakwah sebagai agen perubahan sosial (agent of change) sesuai dengan isyarat Al-Qur’an dituntut untuk memanfaatkan nilai rahmat dari era global dan meminimalisasi laknat yang mungkin ditimbulkannya. Dalam konteks inilah, dianggap penting pemunculan gagasan dan pemikiran yang produktif guna pengayaan khazanah dakwah dari Prof. Dr. H. Ali Ya’kub Matondang, MA. Pemikiran-pemikirannya diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan dan aplikasi dakwah di masa depan. Ali Ya’kub Matondang – yang sehari-hari lebih sering dipanggil marganya, yaitu pak Matondang- adalah guru besar dalam bidang dakwah dan Pemikiran Islam di beberapa Universitas di Malaysia (UKM, USIM dan UM), namun di Indonesia jabatan fungsionalnya adalah guru besar dalam bidang tafsir. Gagasan pemikirannya patut dipertimbangkan, paling tidak karena dua alasan, yaitu alasan akademik dan institusional. Pertama, beliau pernah menekuni
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
146 dakwah ketika kuliah pada Fakultas Ilmu Agama jurusan dakwah, Institut Agama Islam Muhammadiyah di Medan untuk tingkat Sarjana Muda. Kemudian beliau mendalami dakwah pada Fakultas Ushuluddin, jurusan dakwah dan Kebudayaan Islam, Universitas AlAzhar, Kairo. Kedua, sebagai Dekan Fakultas Dakwah IAIN-SU 19921996. Di lembaga ini, beliau banyak bersentuhan dengan teori dan aplikasi dakwah. Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (2000-2005), juga banyak bersentuhan dengan hal yang disebutkan di atas. Untuk pertama kali, penulis mengenal Pak Matondang tahun 1991,– sejak beliau bertugas sebagai dosen Fakultas Dakwah IAIN-SU. Kemudian tahun 1992 kepadanya dipercayakan pula sebagai Dekan Fakultas dakwah. Hubungan menjadi lebih akrab, ketika beliau menjadi Ketua Program Pengembangan Tenaga Edukatif (PPTE) IAINSU tahun 1992-1996, sedangkan penulis waktu itu mendampingi beliau sebagai sekretaris. Hal yang dirasakan dalam interaksi tersebut bahwa Pak Matondang adalah sosok yang familiar dan mudah memberikan kepercayaan kepada pihak lain. Ketika memimpin Fakultas Dakwah, ia sering menyetir hadis Nabi : “ Yassiru walâ tuassiru”, yaitu permudah jangan persulit. Komitmen dan penerapan dari hadis tersebut juga terlihat ketika ia dipercayakan sebagai Rektor IAIN Sumatera Utara 1996-2001. Salah satu kesan yang dirasakan adalah mempermudah para dosen dalam melanjutkan pendidikan S2 dan S3. Pikiran-pikiran Matondang dalam tulisan ini, didasarkan pada wawancara tanggal 20 Nopember 2002 dan 3 Mei 2003 serta disarikan dari makalah berikut ini: • • • • •
Strategi Dakwah di Tengah Budaya Global Ummatan Wahidah Dalam Perspektif Dakwah Dakwah Fungsional Penampilan Islam Secara Konstektual Pemahaman Dakwah Kultural di Lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. Pengendalian dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menurut Perspektif Islam.
Dai dan Akademisi
147 C. Horizon Pemikiran Dakwah Menurut Matondang dakwah tidak identik dengan pidato atau khitabah, melainkan semua usaha untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik berdasarkan tuntutan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dilihat dari sisi hukum berdakwah merupakan kewajiban atas setiap pribadi Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Kewajiban tersebut sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing. Ia melihat dakwah sebagai gerakan yang menganut asas amar makruf dan nahi munkar. Dalam menjelaskan dakwah ia mengutip pendapat Syeikh Ali Mahfuz, bahwa dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat baik dan mengikuti petunjuk serta melaksanakan amar makruf dan nahi munkar guna kemaslahatan manusia dunia dan akhirat. Menurutnya dakwah mengandung makna yang amat luas, meliputi segala upaya untuk mengajak manusia menuju ridha Allah. Karenanya dakwah terkait dengan aspek informasi, komunikasi, pendidikan, ekonomi sosial budaya dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Ia sependapat dengan Amien Rais, bahwa dakwah merupakan rekontruksi sosial (social reconstruction) yang bersifat multidemensional yang meliputi seluruh lini kehidupan; ekonomi, politik, pendidikan dan hukum. Melakukan rekonstruksi sosial dalam multi demensi merupakan kerja besar yang harus di tangani secara profesional. Dalam hal ini, diperlukan kajian dakwah secara teoritis akademis dan praktis-aplikatif, sehingga dakwah benar-benar berfungsi di tengah masyarakat. Sebagaimana disebutkan di atas, dakwah memiliki dua asas utama, yaitu amar makruf nahi munkar. Ia menegaskan bahwa asas amar makruf merupakan landasan untuk selalu memikirkan dan melakukan yang baik dan terbaik, sehingga Islam dapat berfungsi secara sepurna dalam kehidupan manusia. Asas nahi munkar merupakan usaha-usaha preventif yang dilakukan sebelum terjadinya kemungkaran. Berbeda dengan tagyir al-munkar, yaitu upaya yang dilakukan untuk merubah kemungkaran yang telah terjadi. Dengan mengutip pendapat Mahmud Syaltut, ia menjelaskan bahwa tanggung jawab amar makruf adalah tanggung jawab yang paling besar menurut pandangan Islam.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
148 Berbagai Tantangan Global Proses globalisasi sedang berjalan, semakin lama semakin intens, dan menurutnya ada dua pandangan ahli tentang eksistensi globalisasi. Pertama, memandang abad ini sebagai abad kenyamanan hidup, dimana peradaban manusia semakin efisien dan efektif. Kedua, meramalkan sebagai abad yang penuh tirani yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Perilaku masyarakat di era globalisasi ditandai dengan : 1. 2. 3. 4. 5.
Meningkatnya heterogenitas nilai. Bekembangnya sikap-sikap pribadi yang berorientasi kepada masa depan. Menurunnya sikap fatalistik. Meningkatnya gaya hidup yang materialistik. Meningkatkan individualisme dalam kehidupan.
Kelima kecenderungan di atas, menurutnya merupakan tantangan dan sekaligus dapat dijadikan sebagai peluang bagi pelaksanaan dakwah. Pada era globalisasi, terjadinya kontak antar budaya bangsa-bangsa di dunia dalam sekala yang luar biasa. Di satu sisi terjadi kontak budaya antar sesama bangsa yang menganut agama Islam, dan di sisi lain akan terjadi kontak budaya Islam dengan budaya bangsa-bangsa lain non Muslim. Hal ini, akan mempengaruhi nilai-nilai budaya, baik yang menyangkut nilai agama, solidaritas, ekonomi, ilmu, politik dan seni. Menurut Matondang, globalisasi adalah masalah masa depan. Tentang hal ini, ia mengatakan bahwa XIV abad yang lalu Nabi Muhammad telah memprediksi tentang kondisi umat Islam. Nabi menggambarkan umat Islam seperti makanan di atas meja makan dan menjadi santapan dari pihak lain. Ketika itu sahabat bertanya, apakah umat Islam minoritas? Nabi menjawab, Umat Islam manyoritas, tapi tidak berdaya, keberadaannya seperti buih di lautan. Agar tidak menjadi makanan “empuk” bagi yang lain, menurut Matondang umat Islam harus mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi. Mempersiapkan diri dengan cara meningkatkan kualitas
Dai dan Akademisi
149 atau sumber daya manusia. Ia melihat umat Islam saat ini dalam kondisi yang lemah, SDM masih rendah dan kurang siap menghadapi era global. Untuk mengatasi hal itu, perlu pemberdayaan, peningkatan taraf hidup dan pengembangan masyarakat Islam dalam bidang ekonomi. Selain itu, ia menyebutkan perkembangan global, ditandai dengan mengemukanya lima international values, keterbukaan atau transparansi, hak-hak asasi manusia, demokratisasi dan tuntutan terhadap the role of law. Dampak perkembangan global ini dirasakan hampir di semua sektor kehidupan umat manusia. Mencermati perkembangan global tersebut, diperlukan upaya dakwah untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Tentunya kebijakan dakwah yang benar-benar dapat berperan untuk menyahuti tuntutan yang berkembang. Ia melihat di era globalisasi terjadi perubahan-perubahan yang menyangkut struktur maupun budaya masyarakat. Dalam hal ini pelaksanaan dakwah menjadi lebih berat. Karenanya diperlukan upaya pengembangan program yang betul-betul dapat menyentuh realitas kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut pembinaan sumber daya manusia maupun yang berkaitan dengan pembinaan sumber daya alam. Dakwah harus dikelola secara profesional. Upaya ke arah ini menuntut adanya gerakan keilmuan, strategi yang tepat, pelatihan dan dukungan dana yang cukup besar. Selain itu harus pula mepersiapkan berbagai perangkat atau elemen dakwah. Menurutnya, da’i harus memiliki tiga kompetensi, yaitu kompetensi substantif, metodologis dan penguasaan teknologi komunikasi modern. Kompetensi substantif adalah penguasaan ilmu pengetahuan. Kompetensi metodologis, merupakan kemampuan membuat peta dakwah. Sedangkan kompetensi dalam bidang penguasaan teknologi komunikasi modern, menyangkut kemampuan dalam penggunaan teknologi tersebut sebagai media dakwah. Dalam konpetensi substantif, ia berpendapat tidak ada beda da’i tempo dulu dengan da’i di era globalisasi. Menyangkut kompetensi metodologis dan penguasaan teknologi komunikasi modern, da’i saat ini dituntut untuk menguasai kecenderungan arah globalisasi,
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
150 mengusai budaya-budaya asing, namun harus istiqamah dengan budaya Islam. Matondang juga berharap da’i secara terus menerus perlu meningkatkan kualitasnya. Saat ini dipandang belum sepadan antara kemampuan da’i dengan perkembangan arus informasi. Ia membagi da’i kepada dua kategori, da’i profesional (khas), yaitu mereka yang menekuni dan menguasai disiplin ilmu dakwah dan da’i dalam pengertian umum (‘am), yaitu setiap pribadi muslim adalah da’i. Termasuk dalam kategori pertama (khas) adalah dokter, cendekiawan, ekonom dan budayawan. Baik da’i dalam katagori pertama (khas) maupun kategori terakhir (am) harus menjiwai prinsip-prinsip ajaran Islam dan mengamalkannya dalam realita kehidupan.
Materi Dakwah Ia menilai, materi dakwah yang disampai oleh para da’i saat ini, secara orang perorang masih bersifat parsial. Namun antara satu da’i dengan da’i lainnya, saling melengkapi, sehingga materi dakwah yang diterima oleh masyarakat sudah komprehenship. Secara umum penyampaian dakwah masih bersifat teoritis, dan ke depan harus bersifat praktis. Sebab dakwah harus ditekankan dalam pengembangan masyarakat Islam. Pak Matondang juga menilai bahwa umat Islam di Indonesia, sejak orde lama, orde baru dan era reformasi kondisinya dalam posisi “dirundung malang”. Kualitas umat Islam masih sangat menyedihkan, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi dan budaya. Umat Islam saat ini dalam posisi kalah dalam bersaing, sehingga menjadi “makanan empuk” bagi pihak lain.
Media dakwah Penggunaan media massa untuk kegiatan dakwah sangat vital. Sungguh pun demikian, media dakwah bukan hanya terbatas melalui lisan, tulisan dan audio visual, tetapi lebih ditekankan pada pola dakwah bil hal. Urgensi dakwah ini, terutama dalam menghadapi kaum dhu’afa. Ia sependapat dengan Ace Partadireja, bahwa medium
Dai dan Akademisi
151 yang lebih efektif dalam berdakwah (bil hal), melalui pemenuhan enam kebutuhan pokok, yaitu makanan, pakaian, pemukiman, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Untuk dapat melakukannya diperlukan kerja sama antar lembaga atau organisasi dakwah untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Dalam bidang penguasaan media informasi sebagai media dakwah, Matondang menilai pers Islam belum mampu membentuk opini dalam rangka membangun martabat komunitas Muslim. Organisasi Islam internasional seperti Organisasi Komperensi Islam (OKI), Rabithah Alam Islami dan organisasi lainnya masih lemah. Arus informasi dari pers Barat masih sangat dominan dan belum mampu dibendung. Informasi tersebut sering sekali merugikan Islam. Ia mencontohkan bahwa tragedi WTC 11 September 2001 hanya menelan korban sekitar 3000 orang. Sedangkan itervensi Amerika Serikat ke Afghanistan menelan korban lebih kurang 6000 orang. Lebih lanjut, ia juga menyebutkan selama tahun 1945-2002, akibat dari intervensi Amerika Serikat ke berbagai negara telah memakan korban 12 juta orang, tentu belum termasuk korban akibat invasi AS ke Irak bulan Maret 2003. Persoalan ini jarang diungkapkan ke permukaan. Hal ini akibat dari lemahnya peran pers Islam dalam menganalisa persoalan internasional. Ke depan diperlukan jaringan pers Islam yang kuat serta mampu memproleh data dan informasi yang akurat dan komprehensif dari berbagai belahan dunia. Jika tidak maka dunia Islam dan kaum Muslimin akan menjadi korban pemberitaan dari pers Barat. Dalam rangka menghadapi arogansi Barat, ia mengharapkan terbentuknya “Ummatan Wahidah”, yaitu persatuan umat Islam sejagat. Untuk diperlukan jaringan umat Islam internasional dalam berbagai bidang kehidupan. Umat Islam harus mengedepankan titik-titik persamaan, yaitu persamaan dalam iman (aqidah) dan peningkatan ukhwah Islamiyah atau persaudaraan muslim sejagat. Untuk tujuan tersebut harus diberantas hambatan-hambatan yang ada dikalangan umat Islam, seperti wawasan sempit, belum dapat menerima pihak yang berbeda dan berkembangnya ashabiyah. Para da’i di era global sangat dituntut untuk meningkatkan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
152 penguasaan terhadap teknologi dan mampu menggunakan internet sebagai media dakwah. Tidak hanya para da’i, generasi muda Islam pun harus di arahkan kepada tiga kompetensi yang disebutkan di atas. Selain itu, umat Islam harus pula mengembangkan teknologi, seperti teknologi untuk menentukan awal bulan.
Metode dakwah Menurut Matondang, metode dakwah harus bertitik tolak dari teori supplay and demand. Teori ini pada awalnya adalah teori ekonomi, namun prinsipnya dapat diterapkan dalam kegiatan dakwah. Dakwah harus bertitik tolak dari kebutuhan masyarakat atau audience, sehingga dakwah menjadi lebih fungsional. Untuk dapat menerapkan teori atau konsep tersebut, maka diperlukan terlebih dahulu menyusun peta dakwah. Peta dakwah adalah upaya menggambarkan secara naratif tentang potensi suatu masyarakat, baik sumber daya masyarakat (SDM), sumber daya Alam (SDA), maupun sumber daya buatan (SDB). Ia menekankan bahwa dalam kegiatan dakwah diperlukan pelibatan berbagai pihak, dalam lintas disiplin dan lintas sektoral. Metode dan prinsip dakwah dalam surah Ali Imran 125, perlu diperluas. Konsep hikmah misalnya, harus diartikan dalam tataran pengembangan masyarakat Islam, dan dakwah kultural.
Organisasi dakwah Dakwah secara perorangan, menurut Matondang tetap diperlukan. Kelemahan dakwah semacam ini, biasanya arah dakwah tidak satu. Hal ini sesuai dengan keragaman kemampuan, kompetensi dan keahlian da’i. Oleh sebab itu, di era globalisasi sangat diperlukan organisasi dakwah yang kuat, dalam upaya efektifitas dakwah. Perbedaan organisasi tidak menjadi masalah, karena lebih banyak pihak yang ikut dalam pembangunan masyarakat Islam, menjadi lebih cepat proses rekonstruksi sosial. Ia mengharapkan, berbagai institusi, lembaga, baik pemerintah maupun swasta harus mengambil peran dakwah. Lembaga eksekutif,
Dai dan Akademisi
153 legislatif dan yudikatif harus dimanfaatkan. Selain itu, dalam sosialisasi nilai-nilai kebenaran diperlukan kerja sama antara ulama dan umara. Ia berharap peluang di era global dapat dimanfaatkan umat Islam. Peluang dalam bidang pendidikan, media, teknologi, semuanya harus di arahkan untuk kepentingan dakwah. Selain itu, menghadapi berbagai tantangan yang terjadi, diperlukan langkah-langkah preventif dan antisipatif guna terlaksananya dakwah secara lebih efektif dan efisien. Para da’i sebagai agen sosialisasi nilainilai Islam perlu memiliki kesadaran informasi, keakraban dengan teknologi serta memiliki kemamnpuan menerima, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi secara benar dan tepat. Mampu mengemas materi dakwah dengan bahasa lisan maupun tulisan sesuai tatanan supplay dan demand. Karenanya, perencanaan dakwah lebih ditekankan agar berorientasi sentripetal jangan hanya bersifat sentrifugal. Kemudian strategi dakwah harus disusun atas dasar hasil-hasil penelitian, serta dapat menyahuti kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Dakwah harus diarahkan pada perluasan wawasan keislaman, sehingga perlu dikembangkan kegiatan interpretasi nas secara kreatif, aktual dan proporsional. Sementara itu, ia juga menekankan gerakan dakwah yang bersifat menyembuhkan (terapeutis) serta dapat mengatasi konflik perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam hal ini pendalaman kajian akhlak perlu mendapat perioritas, di samping meningkatkan penghayatan akidah Islam.
D. Kesimpulan Pemikiran Ali Ya’kub Matondang tentang dakwah adalah sangat komprehensip. Semua unsur, komponen atau yang lazim disebut dengan sistem dakwah: da’i, mad’uw, materi, media, metode, tujuan dan organisasi dakwah, kita temukan dalam tulisannya (makalah). Dalam wawancara pun ia dengan lancar mengemukakan pemikirannya tentang unsur dakwah yang dikaitkannya dengan tantangan global. Namun harus diakui bahwa uraian-uraiannya dalam
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
154 beberapa hal tidak terlalu mendalam. Dalam mengemukakan defenisi dakwah, ia merujuk kepada defenisi Syeikh Ali Mahfudh dan M. Amien Rais. Ia tampaknya sepakat dengan kedua pakar tersebut bahwa dakwah tidak identik dengan pidato atau ceramah. Dakwah dalam perspektif Matondang merupakan dakwah tiga serangkai, yaitu dakwah bil al-lisan, bi alkitabah dan dakwah bi al-hal. Wujud dari kegiatan dakwah harus terlihat dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Aspek politik, pertahanan keamanan, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya harus tegaknya asas amar makruf nahi munkar. Jika hal tersebut dapat dimunculkan, maka cita-cita sosial akan dapat tercapai. Globalisasi yang bersumber dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dipacu oleh kecanggihan teknologi komunikasi dan transportasi, telah berpengaruh pada semua aspek kehidupan manusia. Pengaruh yang ditimbulkannya itu bersifat positif dan negatif, maka gagasan Matondang, sebagai mana gagasan Quraish Shihab, dan Amien Rais bahwa dakwah harus meliputi semua aspek kehidupan adalah suatu keniscayaan.***
Dai dan Akademisi
155 7. RUMUSAN AKHIR
Dari tulisan di atas tentang gagasan dan pemikiran Matondang, dapat penulis simpulkan gagasan dan pemikirannya kepada enam bagian besar. (1)
Terkait dengan kehidupan beragama. Matondang muda adalah seorang yang kreatif dan cinta agama Islam. Kecintaan yang dilakukannya dengan cara menggali ilmu sampai ke Negeri Nabi Yusuf (Mesir) adalah benar dan tepat. Mencintai itu adalah bertindak secara rasional dan cerdas, bukan fanatik buta dan membabi buta.
(2)
Terkait dengan dakwah, Matondang adalah seorang da’i yang profesional. Dia berpendapat di dalam dakwah perlu empat titik temu dan usul dakwah yang harus disepakati. Sementara perbedaan ijtihadiyah suatu yang harus dihormati bahkan rahmat.
(3)
Terkait dengan akidah Islam. Matondang mengakui perbedaan khilafiah furui’yah di bidang Akidah. Perbedaan itu tidak dijadikan lahan untuk saling mengafirkan, tapi untuk saling menghormati.
(4)
Terkait dengan Tafsir. Matondang menganut paham Islam Kontekstual. Kontekstual yang tidak harus berseberangan dengan Tekstual, sebagaimana hakikat tidak harus berseberangan dengan simbol. Namun bila harus memilih, Matondang lebih memilih hakikat daripada simbol, memilih nilai-nilai keislaman dari pada muslim. Inilah kontekstual.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
156 (5)
Matondang adalah Pembaharu Rasionalitas dalam Beragama dan Berbangsa. Matondang tidak melihat bahwa agama berseberagan dengan bangsa dan negara. Bahkan dia melihat berbangsa adalah beragama, orang yang taat beragama adalah orang yang melakukan amar makruf nahi munkar demi kemakmuran bangsanya.
(6)
Sebagai pemimpin pak Matondang memiliki visi dan misi yang realistis dan jelas. Di antara visi yang paling tinggi adalah berbuat ilhlas lillahi ta’ala, mengharapkan rida Ilahi
Dai dan Akademisi
157
Bab V
MAKALAH SEJAWAT PROF. DR. H. A. YA’KUB MATONDANG, MA
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
158
Dai dan Akademisi
159 1. WAWASAN AL-QURAN TENTANG EPISTEMOLOGI Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab Ketua Umum Alumni al-Azhar Mesir di Indonesia
I. PENDAHULUAN Uraian sederhana berikut akan mengetengahkan wawasan AlQur'an - tentu saja dalam pandangan penulis dan para pakar yang penulis timba dan setujui pandangannya - menyangkut beberapa persoalan epistemologi. Terlebih dahulu perlu penulis ketengahkan bahwa kendati bahasan menyangkut Epistemologi merupakan bahasan filsafat, dan walaupun sementara orang hendak menjauhkan Al-Qur'an dari filsafat, namun itu bukan berarti kita tidak dapat berkata bahwa dalam Al-Qur'an dapat ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan filsafat, walau bukan dengan istilah-istilah yang digunakan para Philosof. Kalaulah kita menerima penjelasan yang menyatakan bahwa filsafat adalah dasar semua pengetahuan yang mempersoalkan caracara meraih pengetahuan, pengembangan pemikiran, batas pengetahuan dan bagaimana memanfaatkan pengetahuan, maka tidak pelak lagi bahwa dengan mudah dapat ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hal-hal tersebut bahkan sebagian dari persoalan di atas dapat ditemukan jawabannya pada wahyu pertama yang diterima oleh nabi Muhammad Saw. Sebelum melangkah untuk membahas pandangan Al-Qur'an tentang epistemologi - sebagaimana yang penulis pahami - terlebih dahulu kita perlu merujuk kepada bahasa dan disiplin ilmu filsafat tentang apa yang dimaksud dengan istilah tersebut.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
160 II. EPISTEMOLOGY DAN POKOK-POKOK BAHASANNYA Para pakar menyatakan bahwa epistemologi terambil dari kata Yunani kuno epistime yakni berarti pengetahuan dan logos yang berarti ilmu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tersebut diartikan sebagai satu bagian dari bahasan filsafat yang membahas dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. Pakar-pakar agama Islam berbahasa Arab menerjemahkannya dengan Nazhariyat al-Ma'rifah. Mereka tidak menamainya Nazhariyat Al-'Ilm karena 'Ilm (ilmu) berbeda dengan Ma'rifah. Ilmu dalam penggunaan bahasa itu adalah sesuatu yang jelas, tidak mengalami kekaburan, sedang kata ma'rifat boleh jadi disertai kekaburan karena itu pula Allah tidak menyandang sifat ma'rifat. Dia tidak dinamai 'Arif tetapi ‘Alim (Maha Mengetahui,) yang pengetahuan-Nya tidak didahului oleh ketidaktahuan, tidak juga disentuh oleh kekaburan, berbeda dengan manusia ketika menyandang sifat ‘Arif. Penggunaan istilah Nazariayat al-Ma'rifah di samping mengisyaratkan bahwa bahasan ini dalam pandangan agamawan berkaitan dengan pengetahuan manusia bukan pengetahuan Allah, juga untuk membedakan secara dini pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia. Beragam uraian para pakar tentang persoalan yang dibahas oleh epistemologi namun agaknya kita dapat menyebutkan beberapa hal yang menjadi bahasan antara lain: 1. 2. 3. 4.
Apakah sumber pengetahuan? Bagaimana manusia mengetahui? Apa watak pengetahuan? Apakah yang diketahui itu ada wujudnya di luar benak siapa yang mengetahuinya. Kalau ada, apakah manusia dapat menjangkaunya? 5. Apakah pengetahuan kita - yang ada dalam benak itu - benar adanya? 6. Bagaimana membedakan antara yang benar dan yang salah? Pertanyaan-pertanyaan di atas dan semacamnya serta usaha menjawabnya telah dilakukan generasi masa silam, sesaat setelah mereka mempertanyakan tentang nilai pengetahuan (apa yang
Dai dan Akademisi
161 diketahui). Jawaban mereka beragam, akibat perbedaan pandangan mereka tentang keabsahan informasi panca indra. Apa yang kita lihat adalah maya, " Tidak ada yang berwujud. Kalaupun ada maka ia tidak bisa diketahui dan kalaupun bisa diketahui ia tidak bisa dikomunikasikan" begitu pandangan sementara kelompok. Dahulu Georgias salah seorang tokoh aliran sophisme (sekitar Abad IV-V SM) pernah menggunakan logikanya untuk membuktikan bahwa tidak ada yang maujud di alam nyata dengan berkata: "Kalau di sana ada sesuatu yang maujud, tentu saja dia wujud dari ketiadaan atau wujud dari wujud sebelumnya. Bila dari ketiadaan maka hal tersebut mustahil karena tidak mungkin sesuatu mewujudkan dirinya, kalau dari wujud sebelumnya, maka ini akan mengakibatkan tasalsul yakni perurutan yang tidak berakhir dan juga berarti ia tidak mempunyai awal " Keyakinan bahwa tidak ada yang maujud di alam nyata dan bahwa apa yang diketahui hanyalah konsep mujarrad/ immatrial yang ada dalam benak yakni yang juga immatrial mempengaruhi pula sementara kaum sufi sampai-sampai ada di antara mereka yang menyatakan bahwa: "Siapa yang berkata bahwa dalam maujud ini ada selain Allah, maka dia telah berbohong." Ucapan itu disanggah dengan lugu tapi membungkam dengan pertanyaan: "Jika demikian, siapakah yang berbohong itu?" Keraguan menyangkut panca indra memang wajar tetapi ia tidak harus selalu diragukan. Dia memang tidak jarang keliru apalagi tidak semua objek dapat menjadi sasarannya.
III WUJUD DALAM PANDANGAN AL-QURAN Sekian banyak ayat yang menganjurkan untuk menggunakan mata, dan telinga. Ini bukti bahwa yang diperintahkan untuk dilihat dan didengar itu adalah sesuatu yang wujud. Al-Qur'an juga menganjurkan untuk melakukan perjalanan dan menjadikan pengalaman sebagai pelajaran yang harus dimanfaatkan. Karena itu kita dapat berkata bahwa dalam pandangan Al-Qur'an wujud yang diinformasikan oleh panca indra - selama dalam wilayah kerjanya dapat diandalkan dan bahwa apa yang dijangkaunya adalah satu kenyataan. Ini selama indra itu tidak mengalami gangguan dari dalam dan luar dirinya.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
162 Selanjutnya Al-Qur'an memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hal ini dan dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran,- juga selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya. Bahkan Al-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa: Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu-ibu kamu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, aneka penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. ( Q.S. An-Nahl [16]: 78). Pada ayat di atas, disebutkan di samping mata dan telinga juga hati. Karena itu – dalam pandangan Al-Qur'an - mengandalkan indra dan akal saja untuk meraih pengetahuan atau mengandalkan keduanya saja untuk menetapkan yang maujud tidaklah cukup, akibat keterbatasan-keterbatasan kedua alat pengetahuan itu. Al-Qur'an menginformasikan bahwa ada wujud yang tidak terjangkau oleh indra dan nalar. Allah berfirman sambil bersumpah Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat (dengan mata kepala atau dan mata hati) serta apa yang kamu tidak lihat (Q.S. AI-Haqah [69]:38-39). Sebenarnya sementara philisof sudah menggaris bawahi mengenai keterbatasan akal dan ketidak mampuannya untuk menjangkau metafisika. Emanuel Kant ( 1724-1804 M) misalnya yang dinilai sebagai salah seorang tokoh utama rasionalisme menyatakan bahwa soal-soal metafisika bukanlah wilayah garapan akal. Wujud Tuhan, kehadiran ruh, - menurutnya – tidak bisa dituntaskan dengan bukti -bukti rasional. Wujud ada yang hidup ada juga yang tidak hidup. Begitu secara umum logika kita berkata, karena hidup dalam pengertian umum ditandai oleh gerak, tabu atau rasa. Tetapi dari AlQur'an dapat dipahami bahwa ada wujud yang selama ini dikategorikan sebagai tidak hidup, tetapi sebenarnya ia hidup. Bahkan seluruh wujud dalam pandangan kitab suci itu hidup, kendati panca indra dan nalar kita tidak menjangkau makna hidupnya. Bumi sering kali dilukiskan sebagai dihidupkan Allah setelah kematiannya, (Q.S. Al-Baqarah [2]: 164), guntur memuji Tuhan ( Q.S. Ar-Ra'ad [13]:13 ), gunung-gunung pun bertasbih, memenuhi perintah
Dai dan Akademisi
163 Allah agar mengulang-ulangi tasbih nabi Daud ( Q.S. Saba' [34]:10) bahkan segala sesuatu bertasbih memuji Allah tetapi hakikat semua itu tidak dapat dijangkau oleh nalar. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (Q.S. Al-Isra' [17]:44). Memang kita dapat memahami kata hidup, dalam ayat-ayat di atas dalam pengertian metafora atau bahwa ia berarti berfungsinya sesuatu sesuai dengan tujuan penciptaannya, bertasbih dan memuji pun dapat diartikan dengan pola tersebut, tetapi penekanan ayat di atas bahwa "tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka" bukan saja mengisyaratkan keterbatasan akal tetapi juga bahwa ada substansi wujud yang tidak terjangkau oleh indra dan nalar manusia. Sikap nabi Muhammad Saw. berkaitan dengan benda-benda yang kita namai: "benda mati" juga menunjukkan bahwa benda tersebut hidup dan merasa. Beliau misalnya bersabda: "Bukit Uhud mencintai kita dan kita pun mencintainya." Benda-benda yang "tak bernyawa " beliau beri nama seperti pedang beliau dinamai Dzul Fiqar, gelas minum beliau As-Shadir, cermin beliau Al-Midallah dan masih banyak lainnya. lni mengandung arti bahwa benda-benda itu memiliki "personality" yang merasa atau paling tidak membutuhkan persahabatan dan kasih sayang. Sementara pakar Al-Qur'an menggaris bawahi Q.S. an-Nisa' [4] 10 Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, mereka itu tidak lain kecuali memakan (menelan) api dalam perut mereka, dan nanti mereka akan masuk ke api yang menyala-nyala (neraka). Dalam ayat ini disebut dua hal yang berkaitan dengan tindakan memakan harta anak yatim secara aniaya. Yang pertama ya’kulu buthunihim nara yakni menggunakan fi'il mudhari' (kata kerja masa kini /present tense) sedang yang kedua wa sayaslauna sa’ira juga menggunakan kata kerja yang sama hanya saja dibarengi dengan huruf sa yang digunakan menunjuk masa datang. Perbedaan redaksi tersebut oleh sementara pakar dijadikan sebagai isyarat bahwa mereka yang memakan harta anak yatim secara aniaya sejak sekarang telah memakan api, - kendati kita tidak melihatnya - dan nanti di hari kemudian mereka akan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
164 masuk ke neraka.
IV. HAKIKAT PENGETAHUAN Gambaran yang dikemukakan oleh para philosof tentang makna pengetahuan sungguh beragam. Filosof Islam Ibnu Maskawaih menulis bahwa "pengetahuan" adalah “Diserapnya oleh jiwa forma sesuatu yang wujud sesuai dengan hakikatnya." Yang dimaksud dengan forma adalah lawan dari bentuk matrial sesuatu. Bentuk matrial kursi adalah sesuatu yang terbuat dari bahan-bahan tertentu seperti kayu atau besi dan yang berfungsi sebagai tempat duduk, sedang formanya adalah gambaran dari kursi yang masuk dalam benak. Tentu saja yang masuk ke dalam benak bukan kayu atau besi itu. Ada juga yang menggambarkan pengetahuan sebagai "Hadir atau terserapnya maujud non material dalam maujud non material lainnya" atau "Hadirnya sesuatu, atau bentuk partikulamya atau konsep umurnya pada maujud mujarrad." Filosof lain mengartikannya sebagai "Keyakinan tentang sesuatu yang sesuai dengan kenyataan. "Pengetahuan/Ilmu menurut mereka adalah lawan dari kebodohan sederhana (ketidaktahuan subjek terhadap objek) dan juga lawan dari kebodohan berganda yakni kebodohan sederhana plus dugaan subjek bahwa ia mengetahui objek padahal ia tidak mengetahuinya. Apapun gambaran yang diberikan para pakar tentang makna pengetahuan, namun salah satu hal penting -dalam pandangan Islamtentang makna pengetahuan, yang perlu digaris bawahi yaitu bahwa ia tidak selalu harus dihadapkan dengan kebodohan. Jika ada masalah yang demikian sulit, lalu Anda sadari bahwa Anda tidak dapat menjangkaunya dan berkata "Saya tidak tahu" maka ucapan Anda itu menunjukkan pengetahuan Anda tentang masalah tersebut yakni bahwa ia demikian sulit dan tidak terjangkau. Ketika itu, yakni ketika Anda berkata "Saya tidak tahu" maka Anda memiliki pengetahuan melebihi pengetahuan siapa yang berusaha menjawabnya padahal pada akhirya dia tidak mampu menjawab. Karena itu Al-Qur'an pun mengajar kepada Nabi Muhammad Saw. untuk berkata "Saya tidak tahu" menyangkut hal-hal yang berada di luar kemampuan beliau -
Dai dan Akademisi
165 seperti ketika ada yang mengajukan pertanyaan tentang ruh, (Q.S. AlIsra' [17]:85) dan Allah pun memerintahkan beliau untuk berdoa" Wahai Tuhan tambahlah untukku pengetahuan"( Q.S.Thaha[ 20]:1 14. Ketika Sayyidina Abubakar r.a. ditanyai " Bagaimana Engkau mengenal Tuhan?" Beliau menjawab: Aku mengenal Tuhan melalui Tuhan, seandainya tanpa Tuhan Aku tentu tidak mengenal Tuhan" Si Penanya lebih lanjut bertanya : "Bagaimana Engkau mengenal-Nya?" Beliau menjawab: (Kesadaran akan ketidakmampuan menjangkau' sesuatu merupakan pengetahuan" Dari sini kita dapat berkata bahwa ada jenis pengetahuan yang justru adalah ketidaktahuan." Itu salah satu sebab sehingga dalam literatur agama ditemukan ungkapan yang menyatakan : "Ucapan saya tak tahu adalah setengah pengetahuan" dan itu pula sebabnya bibir dan karya tulis para ulama Islam selalu dihiasi oleh kalimat Allah A'lam.
V. KEBENARAN PENGETAHUAN Sementara pakar berpendapat bahwa pengetahuan yang diraih seseorang terdiri dari dua jenis. Pertama yang secara langsung menukil tanpa perantara. Ini seperti pengetahuan seseorang tentang dirinya. Sedang yang kedua adalah pengetahuan yang diraih melalui perantara, katakanlah bentuk badan dan warna kulit seseorang. Dua hal ini diketahuinya melalui perantara matanya. Yang pertama dinilai sebagai pengetahuan yang tidak disentuh oleh kesalahan. Sedang yang kedua yang bersifat perolehan itu mengandung kemungkinan salah. Para rasionalis berpendapat bahwa tolok ukur mengenali kebenaran adalah watak dasar atau Fithrah akal (Fithrat 'Aqel). Akan tetapi para empiris berpendapat bahwa tolok ukur kebenaran pengetahuan adalah kemampuannya untuk dibuktikan melalui pengalaman bahkan sebagian berkata pengalaman praktis. Kedua hal di atas tidak sepenuhnya diterima oleh ilmuan muslim. Tolok ukur pengalaman tidak dapat digunakan kecuali dalam kaitan dengan benda-benda kasat mata, bukan dalam soal-soal matematika dan akal murni. Di sisi lain karena hasil pengalaman itu tentulah harus diketahui melalui pengetahuan yang bersifat perolehan, sedang sarana
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
166 perolehan itu tidak dapat dijamin kebenarannya, maka hasil yang diduga sepenuhnya benar itu tidaklah dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. Ia hanya bersifat individual sehingga subjektivitasnya amat tinggi bahkan bisa jadi lahir kesimpulan yang diambil dari pandangan-pandangan keliru yang diduga benar, apalagi ia dihidangkan oleh si pemikir tanpa argumentasi atau pengkoordinasiaan. Al-Qur'an menginformasikan bahwa: Setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Q.S. Al-An'am [6]:112). Di banyak tempat dalam Al-Qur'an ditegaskan bahwa Allah dan juga malaikat mengukuhkan hati orang beriman (Baca a.l. Q.S. Al-Anfal [8]:12 dan Q.S. Ibrahim 14 : 27) karena itu menurut bahasa Nabi Muhammad saw, apa yang muncul dari dalam diri manusia bisa jadi Lammat malakiyah yakni bisikan malaikat, bisa juga Lammat Syaithaniyah / bisikan setan. Seseorang memang dapat diliputi oleh subjektivitas yang menjadikan kesimpulannya tidak berdasar yang shahih. Dari sini juga kita dapat berkata bahwa kebenaran yang diperoleh manusia melalui dirinya sendiri - baik perolehan yang menukik tanpa perantara maupun dengan perantara adalah kebenaran nisbi. Kalau perolehan itu disepakati oleh para pakar dalam bidangnya, maka ia menjadi kebenaran ilmiah yang sifatnya tetap nisbi dan bias jadi temporer. Al-Qur'an pun mengisyaratkan adanya pengetahuan yang diperoleh tanpa perantara. Tetapi yang ditekankannya adalah yang bersumber dari luar diri manusia. Dalam wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw Allah mengisyaratkan hal tersebut dengan firman-Nya: Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang belum diketahui(nya) (Q.S. Al-Qalam [96]: 4-5). Dalam Tafsir Al-Misbah penulis antara lain menguraikan bahwa: "Pada kedua ayat di atas terdapat apa yang dinamai Ihtibâk yang maksudnya adalah tidak disebutkan sesuatu keterangan yang sewajarnya ada pada dua susunan kalimat yang bergandengan karena keterangan yang dimaksud telah disebut pada kalimat yang lain. Pada ayat empat kata manusia tidak disebut karena telah disebut
Dai dan Akademisi
167 pada ayat lima, dan pada ayat kelima kalimat tanpa pena tidak disebut karena pada ayat empat telah diisyaratkan makna itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian kedua ayat diatas dapat berarti "Dia (Allah) mengajarkan dengan pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya) dan Dia mengajarkan manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya. "Kalimat" yang telah diketahui sebelumnya" disisipkan karena isyarat pada susunan kedua yaitu "yang belum/tidak diketahui sebelurnnya". Sedang kalimat "tanpa pena" ditambahkan karena adanya kata "dengan pena" dalam susunan pertama. Yang dimaksud dengan ungkapan "telah diketahui sebelumnya" adalah khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan. Dari uraian di atas kita dapat menyatakan bahwa kedua ayat diatas menjelaskan dua cara yang ditempuh Allah swt dalam mengajar manusia. Pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm Ladunny. Kebenaran Ilm Ladunny melebihi kebenaran hasil penalaran. lni diuraikan oleh Al-Qur'an melalui kisah Nabi Musa as bersama seorang yang dianugerahi Allah llm Ladunny. Nabi Musa as yang demikian cerdas, dan kritis yang tentunya menimbang segala sesuatu dengan sangat cermat, telah dinilai keliru, padahal siapa yang menggunakan nalarnya pasti akan berkata bahwa membocorkan perahu milik orang miskin dan sarana pencarian rezekinya adalah sesuatu yang buruk,... membunuh anak kecil adalah tindakan kriminal,.. membangun bangunan yang hampir rubuh dengan meminta upah adalah sangat wajar dan rasional. Tetapi satu persatu dipersalahkan oleh dia yang mendapat llm Aldunny itu guna membuktikan bahwa dibalik fenomena yang dilihat dan dan menjadi bahan pertimbangan Nabi Musa as, masih ada sekian banyak hal yang tersembunyi yang tidak diketahuinya dan yang menuntutnya untuk percaya dan - Ittiba'. (Q.S. al-Kahfi [18]: 60-82). Untuk memperolehnya diperlukan kebersihan hati dan ketaqwaan. Sementara para pakar menjadikan firman-Nya “dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
168 sesuatu” (Q.S. Al- Baqarah [2] :282) sebagai bukti keterkaitan antara taqwa dengan perolehan pengetahuan. Dalam Q.S. Al-Hadid [57]:28. Allah menegaskan keterkaitan iman dan taqwa dan perolehan cahaya penerang jalan hidup yakni ilmu. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasul-Nya, niscaya Allah memberikan dua bagian dari rahmat-Nya kepada kamu dan menjadikan buat kamu cahaya (yang menerangi kamu) dalam berjalan. Cahaya yang dimaksud adalah ilmu, karena ilmu adalah cahaya sedang kebodohan adalah kegelapan. Wahyu-wahyu Ilahi yang diterima oleh manusia-manusia agung yang siap dan suci jiwanya adalah tingkat tertinggi dari bentuk pengajarannya tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Dibawah peringkat wahyu adalah ilham, intuisi dan firasat, dan juga mimpi yang kesemuanya dalam beberapa rinciannya adalah anugerah Tuhan semata, dan tidak dapat diperoleh melalui usaha manusia.
VI. PEMANFATAN ILMU Sejak dini bahkan dalam wahyu pertama Al-Qur' an telah menggaris bawahi bahwa perlunya memanfaatkan ilmu. Ilmu dituntut bukan untuk tujuan mengetahui tetapi untuk diamalkan dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan seluruh makhluk. Firman-Nya Iqra' Bismi rabbika perintah untuk melakukan upaya pencarian pengetahuan demi atas nama dan demi karena Allah. Karena itulah Al-Qur'an tidak mengenal semboyan “Ilmu untuk Ilmu". Setiap langkah pencarian ilmu, tidak boleh lepas dari tujuan kemaslahatan sebanyak mungkin makhluk. Dari sini juga kita menemukan Nabi Muhammad saw mengajarkan doa yang antara lain menyatakan: Allahumma Inny A'udzu Bika Min 'ilmen La Yanfa' (Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat). Sayyidina Ali k.w. yang digelar sebagai Pintu gerbang Ilmu (Bab Madinatil AI-'Ilm) berkata: “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah yang bermanfaat. Ketahuilah bahwa tidak ada baiknya pengetahuan yang tidak bermanfaat dan tidaklah dapat dimanfaatkan pengetahuan yang tidak wajar dipelajari" Manfaat dimaksud adalah buat diri dan juga buat masyarakat.
Dai dan Akademisi
169 Dalam literatur agama ditemukan juga nasihat berikut : - Sebaik-baik pengetahuan untukmu adalah pengetahuan yang tidak menjadi baik aktivitas mu kecuali dengannya. - Aktivitas yang paling perlu engkau laksanakan adalah yang engkau dituntut tanggungjawab dalam pelaksanaannya. - Pengetahuan yang paling perlu engkau ketahui adalah yang menuntunmu menuju kebajikan kalbumu, lagi menampakkan keburukannya. - Jangan sekali-kali engkau menuntut pengetahuan yang tidak merugikan ketidaktahuanmu tentang pengetahuan itu dan - Jangan mengabaikan pengetahuan pengabaiannya menambah kebodohanmu.
yang
menjadikan
VII PENUTUP. Demikian beberapa persoalan epistemologi yang dapat penulis paparkan dalam kesempatan ini. Wa Allah A'lam.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
170 2. CABARAN ERA GLOBALISASI DAN PROSES PENYEDIAAN DIRI SERTA KETERAMPILAN PARA PENDAKWAH Oleh: Prof. Dr. Zakaria Stapa Universiti Kebangsaan Malaysia
1. MUKADIMAH Mungkin hal pertama yang perlu ditanya dalam konteks tulisan ini ialah apa atau bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan “era globalisasi” sehingga ia dilihat sebagai suatu cabaran kepada kalangan pendakwah. Ia semestinya dikenali dengan jelas tabii dan karakternya untuk membolehkan strategi khusus dirancang dan diatur bagi menghadapi dan menanganinya sebaik mungkin. Di samping itu, sebagaimana yang sedia dimaklumi bahawa satu komponen utama dalam kerja pendakwahan tentunya para pendakwah. Kejayaan sesuatu kerja dakwah banyak bergantung kepada keupayaan dan keterampilan yang ada pada dalam kalangan pendakwah yang terlibat secara langsung dengan kerja-kerja dakwah. Maka itu kalangan pendakwah perlu disedia dan disiapkan dengan keterampilan tertentu agar mereka dapat melaksanakan tugas pendakwahan secara profesional dan berkesan, lebih-lebih lagi dalam era globalisasi masa kini yang tersedia dengan pelbagai cabaran berskala dunia. Bersama dengan kepelbagaian permasalahan semasa, kalangan pendakwah masa kini sudah perlu bertaraf profesional serta bergerak melaksanakan kerja dakwah secara profesional. Untuk memperolehi kesan maksimum, kerja dakwah dalam tempoh masa kini kelihatannya tidak mungkin lagi dilaksanakan secara sambil lewa dan bertaraf separuh masa sahaja. Maka itu, diri kalangan pendakwah perlu disiapkan dengan kekuatan akidah dan kemuliaan akhlak, di samping tentunya penguasaan pelbagai ilmu, khususnya ilmu tentang
Dai dan Akademisi
171 selok belok agama yang menjadi isi kandungan kepada kerja pendakwahan itu sendiri. Mereka juga semestinya perlu memiliki kemahiran-kemahiran tertentu dalam penyediaan dan penggunaan alat-alat bantu dalam usaha untuk melicin dan menaikkan status serta martabat kerja-kerja dakwah. Apakah wujud, khususnya di rantau kita ini, institusi-intitusi khusus untuk melatih dan mempersiapkan golongan pendakwah sebagaimana yang diperlukan tersebut? Oleh itu, tulisan ini akan cuba menyorot dua perkara utama iaitu wajah sebenar era globalisasi serta proses penyediaan diri dan ketrampilan kalangan pendakwah yang boleh diketengahkan untuk menghadapi cabarang yang dibawa oleh era globalisasi berkenaan. Kita amat mengharapkan sorotan dan analisis dalam tulisan ini akan dapat dimanfaatkan sepenuhnya dalam usaha kita yang berterusan bagi berkhidmat kepada tamadun dan kesejahteraan hidup manusia sejagat.
2. GLOBALISASI: KONSEP DAN FENOMENA Pendahuluan Di Malaysia beberapa tahun kebelakangan ini, orang yang paling kerap bercakap tentang globalisasi, sama ada di peringkat kebangsaan mahu pun antarabangsa, nampaknya ialah YABhg. Mantan Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir Mohamad sendiri. Dalam nada yang agak bimbang --sekalipun gobalisasi itu sendiri diakui sememangnya banyak juga manfaat yang dibawanya—Tun Dr. Mahathir mengungkapkan pandangan beliau tentang globalisasi di pelbagai forum yang dihadirinya. Dalam seminar antarabangsa mengenai Kesan Globalisasi Terhadap Dunia Islam: Isu dan Cabaran Pada Abad ke-21, anjuran Kementerian Luar serta Institut Diplomasi dan Hubungan Luar, Jabatan Perdana Menteri yang berlangsung di Kuala Lumpur pada 11 Jun, 2001, beliau mengungkapkan pandangan bahawa kuasa besar Barat cuba memaksa mengguna pakai satu set budaya yang mereka inginkan dan dibawa secara halus melalui proses globalisasi. Beliau menambah kata “sekarang ini bukan saja globalisasi dari segi perdagangan malah kebudayaan. Ada cubaan untuk memaksa seluruh dunia menerima pakai kebudayaan berasaskan amalan dunia Barat,
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
172 termasuk homoseksual” (Berita Harian, 12 Jun 2001: 2). Gambaran yang terungkap dalam pandangan YABhg. Mantan Perdana Menteri Malaysia di atas menjurus kepada hakikat bahawa isi kandungan globalisasi itu amat merbahaya kepada dunia bukan Barat, termasuk dunia Islam, kerana dunia Barat cuba memaksakan nilai mereka, yang tentunya belum tentu sesuai untuk diguna pakai oleh orang lain. Dan kalau orang lain tidak mahu menerima atau menggunakannya, sebagaimana diungkapkan juga oleh YABhg. Tun Dr. Mahathir, kuasa Barat berkenaan boleh mengenakan pelbagai tekanan atau sekatan ekonomi yang boleh menyeksakan negara atau pihak yang tidak mahu menerima tersebut (Berita Harian, 12 Jun 2001:2). Dengan gambaran yang agak menggerunkan seperti di atas, apakah kita sudah boleh memahami keseluruhan konsep yang dikandungi oleh istilah globalisasi tersebut? Jawapannya, tentu sekali tidak, dan kerana itu kita seterusnya akan cuba menganalisis konsep tersebut secara yang lebih detil.
Konsep dan Fenomena Globalisasi Secara yang agak mudah dan simplistik, istilah globalisasi boleh dirujukkan kepada dunia tanpa sempadan atau maya menjadi kampung sejagat yang memberikan kesaksamaan kepada kalangan penghuni dunia (Imlan 2001: 6). Penguncupan dunia ini dikatakan berlaku sebagai hasil “Revolusi Gelombang Ketiga”, iaitu revolusi maklumat yang dijanakan oleh teknologi maklumat, yang memungkinkan seluruh dunia terangkum di dalam jaringan teknologi tersebut. Dari segi ini, globalisasi kelihatannya diterima tanpa sebarang kritikan, seolah-olah ia semestinya sesuatu yang positif untuk menghasilkan situasi “sama-sama menang” dalam dunia yang dikatkaan penuh dengan peluang dan juga cabaran (Abdul Rahman 2000:23). Sesungguhnya faham secara simplistik seperti di ataslah yang kerap mendasari kefahaman popular golongan awam tentang konsep globalisasi. Mereka mengaitkan globalisasi dengan kecepatan transformasi maklumat yang dimungkinkan oleh kecanggihan
Dai dan Akademisi
173 teknologi telekomunikasi dan satelit. Namun, secara yang lebih ilmiah istilah globalisasi boleh dirujukkan kepada satu proses dan fenomena yang multi-dimensi sifatnya, meliputi aspek-aspek ekonomi, politik, masyarakat, budaya dan ideologi. Ia tidak boleh dilihat sebagai hanya merangkumi dimensi ekonomi, perdagangan dan teknologi semata-mata seperti yang kerap difahami secara popular. Dan oleh kerana globalisasi ini merupakan satu proses, maka ia berfungsi melahirkan suatu fenomena sedunia yang muncul hasil daripada cantuman pelbagai proses transnasional dan struktur domestik yang membolehkan ekonomi, politik, budaya dan ideologi sesuatu negara mencerobohi atau menembusi sempadan negara lain. Ia juga melibatkan pemampatan masa dan ruang dalam hubungan sosial serta kemunculan kesedaran secara global tentang pemampatan masa dan ruang tersebut (Abdul Rahman 2000: 29, 124). Kemudian, apabila didetilkan aspek multi-dimensi yang dikandungi oleh istilah globalisasi tersebut, maka dapatlah dijelaskan bahawa dimensi ekonomi dalam proses globalisasi tersebut akan merangkumi pengaturan bagi pengeluaran, pertukaran, agihan, dan konsumsi barangan dan perkhidmatan yang beroperasi melalui sistem pasaran. Dalam dimensi ini terdapat isu pemilikan kekayaan dan ketidaksamaan, di dalam negeri dan di peringkat antarabangsa. Politik pula melibatkan soal kuasa. Ia bukan semata-mata politik secara formal dalam erti kata pemerintah dan parti-parti politik, tetapi bermaksud seluruh pengaturan sosial bagi pemusatan dan penggunaan kuasa sama ada oleh mereka yang mempunyai kuasa negara, ataupun oleh mereka yang merundingi atau mempersoalkan kuasa tersebut (seperti yang dilakukan oleh proses politik akar umbi, termasuk badan-badan masyarakat sipil). Dalam melaksanakan kuasa, terdapat penggunaan pemaksaan dan pemantauan secara sistematik melalui badan-badan berkuasa seperti tentera, polis, dan sebagainya. Salah satu isu terpenting dalam dimensi politik globalisasi ialah fenomena deterritorialization, atau penyahwilayahan; iaitu satu proses dan tindakan politik yang melintasi perbatasan wilayah negara. Dimensi budaya pula bermaksud pengaturan sosial bagi pengeluaran, pertukaran dan pernyataan simbol yang mencerminkan kehidupan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
174 manusia (gaya hidup, kepercayaan, citarasa dan sebagainya). Ia dilahirkan secara material dan bukan-material dalam kehidupan individu dan kelompok, iaitu suatu fenomena yang juga sudah melintasi perbatasan negara. Dimensi ideologi sebagai sebahagian daripada komponen budaya merangkumi persoalan nilai yang dipegang dan dipertahankan sebagai kebenaran oleh seseorang atau sesuatu kumpulan (Abdul Rahman 2000:30). Adalah cukup jelas, berdasarkan catatan di atas, betapa luas dan beragamnya konotasi makna yang dikandungi oleh istilah globalisasi yang sedang kita bicarakan sekarang. Di samping itu, suatu fenomena khusus yang cukup penting, yang terjelma daripada proses globalisasi ini ialah apa yang boleh kita simpulkan dalam satu perkataan yang boleh dianggap keramat dalam pembicaraan globalisasi: instantness atau kesertamertaan; iaitu kesertamertaan dalam pergerakan modal, pergerakan nilai tukaran wang asing, pengaliran maklumat, pengaliran nilai-nilai Hollywoodization dengan imej-imej visual dan lambang-lambangnya, dan lain-lain yang melintasi perbatasan negara 24 jam dalam sehari. Apa yang berlaku di satu tempat di muka bumi, tanpa kira jaraknya, boleh diketahui dan menimbulkan kesan di tempat lain dengan serta merta. Maka itu, secara metafora boleh diungkapkan bahawa dunia sudah menjadi semakin “mengecil” dan bertukar menjadi semacam “desa sejagat”. Semua pergerakan ini, bukan sahaja sangat sukar dikawal oleh mana-mana negara, tetapi lebih daripada itu, ia boleh menjejaskan kedaulatan sebuah negara, khususnya negara-negara membangun yang lebih lemah berbanding dengan negara maju (Abdul Rahman 2000: 71). Demikianlah keseluruhan kandungan umum yang dikandungi oleh istilah atau konsep globalisasi. Satu kandungan beragam yang menyentuh hampir segenap segi kehidupan manusia dan persekitarannya. Kelihatan semacam tidak ada ruang vakum dalam aspek-aspek utama kehidupan manusia yang tidak dijelajahi oleh proses globalisasi ini. Maka itu, tidak mungkin sama sekali kesemua aspek globalisasi tersebut didetilkan pembicaraannya dalam tulisan ringkas ini. Dan oleh kerana tulisan ini dikaitkan secara langsung dengan “dakwah islamaiah” maka fokus pendetilan pembicaraan akan
Dai dan Akademisi
175 tertumpu kepada aspek globalisasi budaya yang melibatkan gaya hidup dan citarasa yang kesan rebakannya amat dibimbangi oleh YABhg. Mantan Perdana Menteri Malaysia sebagaimana yang kita catatkan sebelum ini. Dan malahan YABhg Tun Mahathir dalam konteks ini menjelaskan lagi secara lebih lanjut: “…berlaku permusnahan moral dalam dunia kebendaan, malah homoseksual digalakkan dan kadangkala hubungan keji antara adik beradik, ibu bapa dan kanak-kanak dibenarkan. Nampaknya dengan nama hak asasi manusia semuanya dibenarkan. Institusi perkahwinan dan kekeluargaan tidak lagi dihormati. Ia dianggap tidak lagi perlu. Keluarga didefinisikan sebagai dua atau lebih seorang hidup bersama tanpa upacara perkahwinan atau pendaftaran, memperolehi dan membesarkan anak-anak, yang mana ibu bapa sebenar tidak dapat dipastikan”. (Berita Harian, 12 Jun 2001: 2). Selanjutnya, amat penting sekali dicatatkan di sini, khususnya lagi dalam konteks pembicaraan globalisasi budaya yang menjadi fokus tulisan ini, bahawa globalisasi itu sebenarnya suatu produk pascamodenisme (Abdul Rahman 2000:38), yang mewakili fasa terakhir dan terkini daripada ekspresi sekularisme Barat. Pascamoderisme ini bercirikan penentangan hebat terhadap semua unsur fundamentalisme dan semua bentuk keyakinan yang mengatakan bahawa terdapat suatu kebenaran mutlak yang diasaskan kepada, sama ada, wahyu Ilahi atau akal rasional manusia (Gerholm 1994: 209-210). Ini bermakna bahawa faham pascamodenisme yang mendukung dan melahirkan globalisasi tersebut merupakan satu fahaman dan pemikiran yang bersifat anti agama dan anti-Tuhan, kerana ia merupakan lanjutan dan edisi baru kepada faham sekularisme Barat moden. Oleh kerana itu ia cukup bahaya kepada pegangan akidah umat Islam secara khusus. Sejarah telah mencatatkan bahawa faham sekularisme tajaan Barat moden sudah berjaya mensekularisasikan seluruh dunia--tentunya termasuk dunia Islam-dengan bantuan kolonialisme. Dan proses sekularisasi itu sebenarnya, tidak lain daripada satu proses pembebasan manusia daripada kongkongan agama dan kawalan metafizik sebagaimana terungkap dalam catatan yang dibuat oleh Prof. Al-Attas di bawah: “Secularization is defined as the deliverance of man “first from religious and then from metaphysical control over his reason and his language.” It is
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
176 “the loosing of the world from religious and quasi-religious understandings of itself, the dispelling of all closed world views, the breaking of all supernatural myths and sacred symbols… the `defatalization of history’, the discovery by man that he has been left with the world on his hands, that he can no longer blame fortune or the furies for what he does with it…, [it is’ man turning his attention away from worlds beyond and toward this world and this time”. Secularization encompasses not only the political and social aspects of life, but also inevitably the cultural, for it denotes “the disappearance of religious determination of the symbols of cultural integration”. (al-Attas 1978, 15). Edisi baru sekularisme, iaitu faham pascamodenisme, tentulah tidak kurang daripada edisi lamanya, dan malah tentu sekali ada tambahan-tambahan tertentu yang jauh lebih hebat lagi. Maka itu, aspek anti agama dan pembebasan manusia daripada kawalan agama dan metafizik tentunya sudah merupakan tunjangan utama edisi baru sekularisme tersebut yang diwarisi daripada edisi lama, malah lebih daripada itu edisi baru ini juga, seperti telah dicatatkan sebelum ini, menafikan semua bentuk kebenaran mutlak, apa yang ada semuanya nisbi atau relatif belaka. Lalu, dengan itu manusia menjadi pengukur kebenaran, dan selalunya, seperti yang banyak berlaku hari ini, kekuatan adalah menjadi kebenaran. Kalaulah kolonialisme merupakan pembantu utama penyebaran sekularisme edisi lama, maka kecanggihan dan kebebatan teknologi maklumat dan komputer serta teknologi telekomunikasi dan satelit yang berjaya merubah dunia menjadi bagaikan sebuah kampung global itu merupakan sayap kanan yang bertindak sebagai pembantu utama dalam proses penyebaran faham sekularisme edisi terkini ini. Dalam kata lain, faham pascamodenisme direbak dan disebarluaskan oleh proses globalisasi, khususnya globalisasi budaya. Lalu, dalam keadaan ini, kita segera teringat kepada peti televisyen dan monitor komputer yang sekarang rata-rata dimiliki oleh umat Islam serta dunia, malahan dalam keadaan sekarang kedua-dua alat ini, khususnya televisyen, sudah merupakan ahli keluarga utama dalam setiap keluarga. Kita juga, di samping itu, menjadi teringat kepada istilah-istilah seumpama internet, lebuh raya maklumat, cakera parabola dan `langit terbuka’. Semua ini merupakan peralatan atau perkakasan canggih yang menjadi penyalur dan penyebar faham
Dai dan Akademisi
177 pascamodenisme masa kini ,untuk melahirkan pula satu bentuk kolonialisme edisi baru. Dan sekali lagi, yang menjadi malang di sini ialah umat Islam yang terus muncul sebagai golongan yang terjajah. Dalam kehidupan masa kini, peralatan-peralatan seumpama televisyen misalnya, sudah bertindak sebagai sebuah institusi sosial yang cukup berpengaruh. Ia berupaya mencorakkan budaya masyarakat dan menyubur serta mengukuhkan sikap dan perlakuan yang telah sedia terbentuk. Ia juga berupaya mengubah gaya hidup seseorang, mengubah corak perhubungan keluarga, jiran tetangga, rakan sekerja dan malahan masyarakat sejagat (Rahman Hashim 1995: 6). Upaya luar biasa media elektronik seperti di atas tidaklah seluruhnya negatif, kerana ia juga boleh berfungsi sebagai `jendela dunia’ yang berupaya membuka luas dunia masyarakat tempatan dengan membawa pelbagai peristiwa ceruk rantau dunia bagi menghasilkan warga dunia yang celik maklumat. Namun, apa yang amat membimbangkan kita ialah seperti apa yang diungkapkan oleh Rahmah Hashim (1995: 4-5): “di samping menentukan agenda berita, lensa kamera televisyen turut menarik bersama para penontonnya menjadi voyeur hingga tidak segan silu menyaksikan babak-babak ranjang pasangan lain dalam filem dan video, sama-sama bersubahat menyaksikan gaya hidup pasangan dalam rumahtangga tanpa ikatan perkahwinan; kebebasan hidup remaja yang bergaul tanpa batas; gaya hidup songsang pasangan gay dan lesbian, dan unsur kepondanan. Televisyen juga berjaya membazirkan waktu penonton yang dibuai keseronokan bila menonton rancangan-rancangan hiburan yang melali dan melalaikan. Bahan-bahan hedonistik ini turut menjadi ikutan khalayak, termasuk kanak-kanak dan remaja, yang menganggapnya sesuatu yang lumrah `kerana tersir di TV”. Hasil daripada unsur negatif yang tertayang di kaca televisyen inilah menyebabkan para ibu bapa masa kini menjadi sukar untuk membentuk personaliti anak-anak mengikut piawai yang mereka kehendaki, kerana anak-anak lebih terpengaruh kepada apa yang diragakan di kaca televisyen. Hal seumpama inilah yang dijelaskan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
178 oleh seorang pengkaji, Meyrowitz: “Suatu masa dahulu ibu bapa dan orang dewasa boleh membentuk perlakuan anak-anak dengan membaca dan bercakap hanya mengenai perkara-perkara yang boleh didedahkan kepada mereka. Tetapi ibu bapa hari ini perlu bergelut dengan pelbagai jenis imej dan idea yang bersaing, yang tidak dapat dikawal secara langsung… keluarga bukan lagi pengaruh formatif yang kuat… Televisyen kini memimpin kanakkanak mengelilingi dunia sebelum mereka dibenarkan melintas jalan” (Rahman Hashim 1995, 5). Hal yang lebih kurang sama dengan peranan yang dimainkan oleh televisyen ini, ialah apa yang disediakan oleh tamadun pascamoden masa kini dengan apa yang dikenali sebagai The Internet yang boleh dicapai menerusi rangkaian information superhighway (lebuhraya maklumat). Di samping perkakasan ini mempunyai banyak faedah kepada berbagai-bagai pihak dengan membawa berbagai maklumat berguna, namun ia juga boleh menjadi saluran laluan kepada bahanbahan pornografi lucah yang boleh didapati dalam bentuk digital imgery, teks, audio dan juga movie. Sekali lagi dapat kita perhatian di sini bahawa bahayanya semua peralatan canggih ini kepada pegangan akidah dan penghayatan akhlak umat Islam ialah kerana ia diisi dengan agenda dan menjadi alat penyebaran faham yang tidak selaras dengan nilai dan pegangan murni tamadun Islam. Malahan, dalam hubungan ini, sesungguhnya produk kemanusiaan daripada kecanggihan teknologi pascamoden yang terhubung secara langsung dengan ancaman dan gugatan terhadap akidah umat Islam itu sudah pun boleh diperhatikan dengan baik dalam persekitaran kehidupan masa kini. Aspek misalnya ketumpulan, malahan ketiadaan kesan bermakna `kawalan metafizik’ terhadap kelakuan sebahagian Muslim masa kini, tentunya merupakan satu manifestasi kejayaan gemilang faham sekularisme pascamoden yang disalur menerusi proses globalisasi. Gejala keruntuhan moral yang melanda hebat masyarakat Muslim kebelakangan ini adalah sebenarnya terhubung langsung dengan perihal yang kita bicarakan di sini. Ini ialah kerana cukup sukar untuk digambarkan seseorang Muslim yang dikawal oleh kawalan metafizik
Dai dan Akademisi
179 akan sanggup melakukan kerja yang dikutuk oleh agama. Maka itu sikap sebahagian Muslim yang terlibat dalam jenayah berat keagamaan seolah-olah mereka tidak takut kepada ancaman neraka dan tidak tertarik kepada tawaran syurga di akhirat; begitu juga sikap yang seolah-olah tidak yakin dengan kewujudan malaikat yang mencatat amalan jahat dan amalan baik, tentulah semuanya ini menggambarkan`kawalan metafizik’ yang disediakan oleh Rukun Iman sudah berjaya dibebaskan daripada menguasai, atau paling kurangnya mempengaruhi, diri manusia Muslim--iaitu satu kejayaan proses sekularisasi yang dibantu oleh proses globalisasi. Kecairan kawalan metafizik seumpama ini sesungguhnya amat bahaya kepada pegangan akidah; di mana akidah menjadi berada dalam suasana bagaikan telur di hujung tanduk. Demikian pula produk jenis manusia yang sudah sanggup menganggap bahan-bahan hedonistik serta kebebasan bergaul tanpa batas merupakan sesuatu yang lumarah `kerana tersiar di TV’ adalah juga gejala yang boleh diperhatikan dengan baik perkembangannya dalam masyarakat Muslim masa kini. Golongan yang terlibat dengan gejala ini sangup mengetepikan larangan agama, atau dalam kata lain- untuk meminjam ungkapan yang selaras dengan proses sekularisasi-membebaskan diri daripada kongkongan agama. Dalam hubungan ini dapatlah dicatatkan mengenai penemuan daripada kajian-kajian yang dibuat di Malaysia yang menunjukkan bahawa pergaulan bebas sememangnya merupakan penyebab utama kepada pelbagai bentuk keruntuhan akhlak dan kegelisahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini jelas misalnya berdasarkan penemukan “Kajian Permasalahan Sosial Pekerja Kilang di Selangor” yang dibuat dalam tahun 1995. Hasil kajian ini mendapati 58 peratus daripada pekerja kilang terlibat dengan pelbagai jenis perbuatan maksiat, seumpama melakukan perbuatan sumbang serta sering melakukan hubungan seks bebas. Dan penyebab yang mendorong ke arah perlakuan maksiat itu ditunjukkan oleh kajian berkenaan sebagai: 39 peratus pengaruh pergaulan bebas, 31 peratus kurang didikan agama dan 30 peratus kerana pengabaian ibu bapa (Mingguan Malaysia, 27 Ogos, 1995). Perbuatan maksiat berbentuk hubungan seks bebas seperti yang disebutkan di atas ditandai pula oleh kemunculan--beberapa tahun
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
180 kebelakangan ini--beberapa istilah persundalan seumpama bohsia, balak bohsia atau bohjan yang rata-rata menggambarkan keterlibatan sebahagian tertentu daripada ahli masyarakat Malaysia dalam kegiatan seks bebas ataupun persundalan. Dan yang lebih menakutkan lagi, dalam hubungan ini, bila terdapat paparan dan catatan dalam majalah dan akhbar tempatan di Malaysia menggambarkan di sektor tertentu dalam masyarakat, sama ada di bandar-bandar besar dan malahan di kawasan luar bandar juga, sudah pun menganggap bahawa seks bebas merupakan gaya hidup masa kini; perbuatan tersebut dianggap sebagai bukan perbuatan jahat, bukan perbuatan jenayah yang perlu dikutuk. Catatan perbualan Asiah Mion, wartawan majalah Wanita seperti di bawah boleh menjadi bukti tentang hal ini: Menjangkau 19, kali pertama Hasi (nama yang dipendekkan daripada tujuh abjad) melakukan seks ketika berumur 17 tahun. Walaupun mudah diajak tidur dia tetap memilih. “Cita rasa saya clear cut. Walaupun saya bersetubuh dengan siapa saya suka tetapi saya bukan bohsia. Mereka itu pakai tangkap muat, tidak ada taste, dengan siapa saja jadi. Apa pun saya tidak salahkan mereka. Tidak semua orang bijak dan tidak semuka orang berduit. Tetapi supply mesti dapat”. Ditanya mengenai ibubapanya, “Emak tahu saya pernah terlanjur tetapi dia tidak tahu saya `dapat’ lagi. Memang mereka bengang dan marah tetapi saya katakan kepada mereka saya tidak jahat, saya bukan pelacur, bukan pencuri, tidak ponteng sekolah, tidak bebas, bilik saya kemas dan tidak pernah lupa tanggungjawab saya sebagai pelajar. Pelajaran saya bagus. Saya dapat pangkat satu dalam SPM. Antara belajar dan seks saya tidak campur. Untuk STPM nampak-nampaknya peluang saya cerah”. “Tidak takut mengandung?”. “Belum pernah dan saya tidak pernah ambil walaupun ada supply. Saya pastikan mereka pakai kondom. Tetapi ada member kata kalau tidak pakai lagi best. Tetapi saya takut nanti dapat penyakit pula”. Ditanya, “Tidak takut dosa?”. Alah kakak ni macam emak saya. Dosa tanggung sendiri. Jangan kakak hendak cap akhlak saya. Usah hipokrit. Masyarakat kita hipokrit. Sebenarnya orang dewasa pun ramai amalkan seks bebas. Kalau mahu tangkap orang berkesedudukan di Kuala Lumpur
Dai dan Akademisi
181 walaupun dikosongkan Penjara Pudu, tidak muat. Itu tidak termasuk yang bukan Islam. Saya kenal ramai wanita dan lelaki dewasa bersekedudukan. Cikgu saya pun bersekedudukan. Walaupun mereka bukan Islam tetapi dalam Kristian pun berdosa. Buang masa saja pejabat agama Islam buat operasi. Orang tidak takut. Malu mungkin, sebab muka masuk akhbar. Tetapi lama-lama tiada apa. Kita bukan penjenayah. Sebab ia suatu cara hidup sekarang, jadi kenapa malu. Bayar saja denda.”. Ditanya “Tidak menyesal?” “Tidak, saya tidak takut kahwin hanya kerana tiada dara. Dara tidak menjanjikan kebahagiaan. Lelaki sekarang pun tidak titik beratkan hal ini, lagipun apakah dirinya teruna?” (Wanita, Disember 1994, 121-122). Di kawasan yang boleh dianggap sebagai luar bandar pula, kita dikejutkan oleh berita “pesta seks remaja Melayu luar bandar” yang berlaku di negeri Kedah Darul Aman pada bulan April, 1998. Menurut berita berkenaan, perlakuan sundal tidak bermaruah tersebut dilakukan dalam kumpulan ramai yang tidak hanya melakukan seks, tetapi juga mengambil dadah dan pil khayal. Tiga remaja perempuan yang terlibat dalam pesta tersebut membuat pengakuan bahawa perbuatan mengadakan hubungan seks, menggunakan dadah dan pil khayal adalah perkara biasa. Mereka mengamalkan cara hidupi bebas, tanpa batas, tanpa sempadan, berkucup setiap kali keluar rumah dan semua itu sudah dianggap sebagai perkara biasa (Berita Minggu 10 Mei, 1998, 11). Gambaran yang tergambar dalam dialog serta berita di atas cukup menggerunkan kita. Kelihatan bahasa seks bebas merupakan gaya hidup yang diterima oleh sesetengah ahli masyarakat masa kini, khususnya di kalangan para remaja, tidak kira di bandar atau di kawasan luar bandar. Sesungguhnya kalangan umat Islam yang sudah berjaya disekularisasikan pemikiran dan gaya hidup mereka hingga ke tahap seperti yang digambarkan di atas adalah berada dalam keadaan yang cukup fragile pegangan akidah mereka. Kalau ada apa pun juga bentuk `hentakan’, walaupun cukup perlahan, maka ia akan terus hancur berkecai. Keadaannya adalah tidak ubah bagaikan retak menunggu belah. Dan `hentakan’ itu boleh datang dalam pelbagai rupa, lebihlebih lagi dalam tempoh masa kini yang kemungkinan-
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
182 kemungkinannya cukup rencam dan canggih sekali. Demikianlah wajah atau citra sebenar era globalisasi yang sedang dihayati oleh seluruh masyarakat dunia masa kini. Ia merupakan suatu era pasca moden yang segala sesuatunya didominasi oleh versi terkini sekularisme, di mana penyebarannya berskala global kerana ia dibantu oleh kecanggihan peralatan ciptaan teknologi terkini, khususnya dalam bidang telekomunikasi dan satelit. Dan oleh kerana ia dikuasai oleh satu tamadun yang secara asasinya bertentangan dengan tamadun Islam, maka ia menjadi demikian bahaya sekali kepada kalangan umat Islam di serata dunia. Umat Islam tidak boleh sekali-kali dibiarkan terdedah secara langsung kepada bahaya ini tanpa mereka diberi kefahaman yang jelas serta dilengkapkan dengan peralatan-peralatan tertentu untuk membolehkan mereka menangkis dan mempertahankan diri daripada serangan bahaya yang dibawa oleh era globalisasi ini.
3. PENYEDIAAN DIRI DAN KETERAMPILAN PENDAKWAH 3.1 Pendahuluan Setelah memahami dengan tepat hakikat sebenar era globalisasi yang membawa pelbagai cabaran yang boleh menggugat kesetabilan akidah dan gaya hidup Islam sebagaimana yang dihuraikan sebelum ini, maka tentu sekali, dalam konteks umat Islam, langkah-langkah bijaksana perlu diambil untuk menangani persoalan besar ini. Dan tentu sekali, dalam konteks ini, salah satu langkah paling utama ialah menyemarakkan kerja-kerja pendakwahan di tengah masyarakat bagi menagkis dan membendung kemerebakan virus sekularisme yang dibawa oleh arus era globalisasi tersebut. Untuk melaksanakan kerjakerja tersebut, tentulah kalangan para pendakwah yang berketerampilan perlu disediakan. Dan dalam konteks untuk menganalisis perihal yang berkaitan dengan pendakwah dalam tulisan ini, adalah perlu dicatatkan bahawa kita memilih untuk mengguna pakai sudut pandangan seorang tokoh dakwah tersohor masa kini, iaitu Profesor Dr Yusuf al-Qaradawi. Pemilihan pandangan beliau sebagai asas penganalisisan adalah atas dasar bahawa pandangan dan pemikiran beliau dalam konteks dakwah adalah didapati cukup dinamik, logik, praktis serta berpijak di alam nyata.
Dai dan Akademisi
183 Berpandukan pandangan al-Qaradawi misalnya, maka istilah dakwah adalah merujuk secara khusus kepada dakwah atau ajakan menuju ke jalan Allah. Dalam pemikiran beliau dakwah merupakan suatu yang maha penting kerana ia pada asasnya berasal daripada tugas dan misi kerasulan dan kenabian zaman berzaman yang diperturunkan untuk disambung tugas tersebut oleh kalangan pewaris kerasulan yang terdiri daripada kalangan para ulama. Kerja-kerja dakwah dilihat oleh al-Qardawi lagi sebagai satu kerja terbaik yang kedudukannya hanya selangkah selepas keimanan kepada Allah. Menurut beliau lagi, aspek kebaikan dan kepentingan dakwah ini tertumpu kepada penghasilan yang diperolehi daripada aktiviti atau kegiatan tersebut. Ia memberi hidayah kepada manusia ke arah kebenaran, membawa manusia cintakan kebaikan dalam kehidupan, menjauhkan mereka daripada unsur-unsur kejahatan dan kebatilan, mengeluarkan manusia daripada kegelapan kepada cahaya (alQardawi 1979: 5). Dan malahan al-Qardawi dalam hubungan ini memetik ayat al-Quran berikut sebagai dalil: [Maksudnya]: “Dan tidak ada yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada (mengesakan dan mematuhi perintah) Allah, serta dia sendiri mengerjakan amal yang baik sambil berkata :”Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang Islam (yang berserah bulat-bulat kepada Allah)” (Fussilat, 41:33). Al-Qardawi menjelaskan ruang lingkup dakwah adalah tertumpu kepada kerja ajakan dan pendakwahan ke arah agama Allah, mengikuti hidayah-Nya, melaksanakan manhaj dan hukum-hukumNya di muka bumi, mengesakan ibadah, permohonan pertolongan serta ketaatan hanya kepada-Nya, membersihkan diri daripada segala unsur taghut, menyuruh melakukan perkara makruf dan mencegah melakukan perkara munkar serta berjihad fi sabil Allah (al-Qardawi 1979: 5). Ekoran daripada ruang lingkup dakwah yang sedemikian, di mana segala perkara tersebut mesti dilaksanakan oleh kalangan yang terlibat dalam aktiviti pendakwahan, al-Qardawi menyimpulkan bahawa kegiatan dan kerja dakwah bukanlah sesuatu yang gampang yang hanya boleh didepani secara tidak cakna dan sambil lewa sahaja. Ia juga bukan boleh diharapkan untuk dilaksana oleh kalangan orang
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
184 yang memiliki akal yang jumud, hati yang sakit, atau diserahkan kepada kumpulan orang yang dirinya disesatkan oleh hawa nafsu serta ditenggelami oleh rasa cinta terhadap dunia. Orang-orang sebegini tidak mungkin sama sekali diserahkan kerja berat seumpama kerja dakwah ini. Hal yang demikian, al-Qardawi mengatakan bahawa kerja dakwah semestinya dipikul oleh kalangan para pendakwah yang perkasa lagi berupaya menyebarkan cahaya keislaman ke dalam diri, akal serta damir kalangan manusia, setelah sebenarnya cahaya tersebut sudah sedia memancarkan sepenuhnya sinaran gemerlapan di dalam segenap ruang kehidupan mereka—iaitu para pendakwah itu--sendiri. Hanya kalangan orang yang sebegini sahaja yang boleh dipertaruhkan harapan untuk melaksanakan kerja seberat kerja dakwah ini. Pendakwahan seumpama ini sahaja, seperti yang dijelaskan oleh alQardawi, yang boleh muncul menjadi penggerak dan pemangkin kerja-kerja dakwah yang dinamik dan berjaya (al-Qardawi 1979:6). Atas asas inilah al-Qardawi menjelaskan bahawa, dalam konteks pendakwahan, pembentukan diri pendakwah merupakan program yang perlu diberikan perhatian serius dan merupakan satu projek yang maha penting. Mereka sebenarnya perlu disediakan dengan sempurna, sekiranya kerja-kerja dan perancangan dakwah tidak mahu bertemu dengan kegagalan, lebih-lebih lagi dalam era globalisasi masa kini yang penuh dengan pelbagai bentuk cabaran dan rintangan. Oleh itu, al-Qardawi mengatakan kalangan pendakwah mestilah dilengkapi dengan peralatan dan persenjataan yang cukup, sekiranya kita mahu melihat mereka akan beroleh kemenangan dalam perjuangan mereka menentang pelbagai bentuk kejahilan, hawa nafsu serta pelbagai kerosakan yang wujud di tengah masyarakat. Mereka perlu dilengkapkan dengan persediaan dan persenjataan yang boleh diguna pakai, sama ada untuk menyerang pada ketika-ketika tertentu, ataupun mempertahankan diri pada ketika-ketika yang lain. AlQardawi menjelaskan bahawa tiga jenis senjata atau perisai berikut mesti dimiliki oleh setiap seseorang daripada kalangan para pendakwah (al-Qardawi 1979: 7): Senjata atau kelengkapan iman
Dai dan Akademisi
185 Sejata atau kelengkapan akhlak Senjata atau kelengkapan ilmu atau pengetahuan.
Kelengkapan Iman Dalam pandangan al-Qardawi iman adalah yang paling penting dalam ketiga-tiga kelengkapan yang disebutkan oleh beliau di sini. Malahan beliau mengatakan bahawa kelengkapan-kelengkapan lain akan menjadi terbatal dan tidak bermakna dengan sendirinya sekiranya kelengkapan iman tidak berfungsi (al-Qardawi 1979: 7). Kriteria dan tahap iman yang bagaimana yang perlu dimiliki dan dihayati oleh kalangan para pendakwah untuk boleh dikatakan mereka melengkapi syarat kelengkapan iman ini? Menurut pandangan al-Qardawi (al-Qardawi 1977: 15-18) iman--atau kadang-kadang diistilahkan juga sebagai akidah--dalam konteksnya yang teknikal tidak cukup untuk ia menjadi benar-benar boleh diterima sekiranya ia sekadar terungkap dalam perisytiharan verval semata-mata. Ini kerana dalam kehidupan biasa cukup ramai sekali kalangan orang munafik yang hipokrit mengisytiharkan secara lip service bahawa mereka beriman, sedangkan di hati mereka tidakpun wujud walau sekelumit iman. Hal seumpama ini terungkap secara jelas dalam kenyataan alQur’an (maksudnya): “Di antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orangorang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri mereka sendiri, sedang mereka tidak sedar” (al-Baqarah, 2:8-9). Istilah iman yang tulen itu, dalam pandangan al-Qardawi tidak juga hanya merujuk kepada aspek penunaian serta pelaksanaan tugastugas atau syiar tertentu seperti yang selayaknya dilaksanakan oleh kalangan orang yang memiliki iman. Ini kerana terdapat ramai kalangan dajal yang hanya bermuka-muka dan menunjuk-nunjuk seolah-olah mereka melakukan perkara kebaikan, sedang hati penuh dengan segala macam kedurjanaan dan tidak ikhlas kepada Allah. Perkara seumpama inilah yang dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya (maksudnya): “Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
186 sembahyang, mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya’ [dengan sembahyang tersebut] di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut [mengingati] Allah kecuali sedikit sekali” (al-Nisa’, 4:142). Demikian pula halnya, istilah iman sejati itu, seperti yang antara lain diulas oleh al-Qardawi, tidak hanya bermaksud kefahaman mental yang jelas dimiliki oleh seseorang tentang hakikat sebenar iman, seumpama yang dimiliki oleh sebahagian kalangan orientalis di zaman kita ini, namun mereka tetap juga tidak mempercayai atau meyakini hakikat yang dikandungi oleh iman itu sendiri. Kalangan seumpama inilah yang diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya (maksudnya): “Dan mereka mengingkarinya kerana kezaliman dan kesombongan [mereka], sedang hati mereka meyakini kebenarannya. Oleh itu, lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerosakan” (alNaml, 27:14). Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahawa iman yang tulen dan dikehendaki agar tentunya dimiliki oleh kalangan pendakwah tersebut, bukanlah sesuatu yang tertumpu semata-mata kepada kerja-kerja yang berlangsung pada peringkat lidah, anggota badan serta mental seseorang sahaja. Ia malahan, secara tepat sesungguhnya merujuk kepada suatu kerja atau pelaksanaan yang berlangsung pada peringkat diri dalaman seseorang manusia yang amat mendalam, sehingga ia dapat menguasai sepenuhnya kesedaran, kemahuan dan perasaan orang berkenaan. Dalam kata lain, essence iman yang tulen itu mestilah mengandungi ciri-ciri berikut (alQardawi 1977:15-18): Iman itu mestilah berasaskan kefahaman minda dan ilmu yang mantap. Dan kemantapan ilmu itu pula mestilah diperolehi daripada sumber yang sah, iaitu dari wahyu Ilahi. Iman itu mestilah berada dalam keadaan yang cukup teguh sehingga ia tidak boleh menerima sebarang bentuk syak dan tidak mungkin digugat oleh sebarang hujah lain, iaitu bentuk iman sebagaimana terungkap dalam firman Allah (maksudnya): “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak raguragu . . . . (al-Hujarat, 49:15).
Dai dan Akademisi
187 Iman itu mesti pula diikuti bersama dengan ketaatan atau kepatuhan hati dan penyerahan iradah atau kemahuan untuk mempraktikkan segala hukum atau suruhan dengan penuh rasa rela tanpa sebarang bantahan. Iman itu mestilah berupaya menjadi pencetus segala aktiviti dan perlakuan pemiliknya, iaitu pada taraf wujudnya rasa kemahuan yang amat berkobar-kobar untuk melaksanakan kerja dan suruhan yang terkandung dalam apa yang diimani tersebut. Sebagaimana yang dilihat oleh al-Qardawi, hanya setelah semua ciri di atas terpenuh secara sempurna dalam keimanan dan keyakinan seseorang, barulah iman yang dimiliki tersebut tertabal menjadi iman dalam pengertiannya yang sejati dan tulen. Tanpa sampai ke tahap, dan tidak terbentuk dalam acuan serta ciri-ciri seperti yang tercatat di atas, dalam pandangan al-Qardawi, ia hanya mungkin dianggap sebagai, barangkali suatu “idea” atau “teori” atau juga “pandangan”, bukannya iman dalam sifatnya sebagai satu istilah yang teknikal (alQardawi 1977: 17). Dengan itu, dapatlah dirumuskan bahawa iman dalam konteks pembicaraan yang diperlukan di sini merujuk kepada keimanan atau keyakinan terhadap Islam yang berada pada satu kedudukan atau taraf di mana setiap sudutnya dinaungi oleh semua ciri iman seperti yang dicatatkan di atas. Maka itu, muncullah satu bentuk iman yang benar kerana ia bersumberkan kemantapan ilmu yang disedut secara sah daripada wahyu Ilahi; di samping ia juga cukup kental dan, malahan cukup dinamik yang akan membawa para pemiliknya melaksanakan segala bentuk tugasan keagamaan—sama ada suruhan atau larangan—dengan penuh ikhlas dan tekun, tanpa sebarang dalih. Kemudian, dengan berpandukan kepada ciri-ciri serta selok belok iman dalam bentuknya yang teknikal sebagaimana yang dihurai oleh al-Qardawi dan dirumuskan di atas, maka dapatlah disimpulkan di sini bahawa tentu sekali ciri dan bentuk penghayatan iman seumpama tersebutlah yang diperlukan oleh al-Qardawi supaya dimiliki dan dihayati oleh kalangan para pendakwah bilamana beliau memutuskan bahawa mereka mesti dilengkapi dengan kelengkapan iman. Ini ialah kerana bentuk dan ciri iman yang sebegini sahajalah yang benar-benar boleh diharap untuk boleh menjadi benteng pertahanan yang kukuh
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
188 bilamana diserang dari penjuru mana sekalipun sewaktu kalangan para pendakwah melaksanakan tugas atau kerja-kerja dakwah mereka. Tanpa kelengkapan iman pada tahap yang dihuraikan di sini tentu sekali kalangan para pendakwah akan terdedah seluas-luasnya kepada bahaya kegagalan dalam kerja dakwah mereka, khususnya lagi dalam persekitaran masa kini yang terlalu rencam, canggih dan berbagaibagai sekali dugaan dan cabaran yang terpaksa didepani oleh mereka. Kita cukup yakin bahawa Prof. Al-Qardawi tentu sekali telah memahami dan mengenal pasti kepelbagaian masalah yang mesti dihadapi oleh kalangan para pendakwah masa kini, justeru itu beliau meletakkan syarat kelengkapan diri dengan perisai keimanan dalam skop dan pengertiannya yang tulen tersebut bagi kalangan pendakwah untuk mempastikan kerja-kerja dakwah boleh berjalan lancar dan boleh digantung harapan untuk mencapai kejayaan.
3.3 Kelengkapan Akhlak Pada dasarnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qardawi, akhlak sebenarnya merupakan turutan lazim atau hasil dapatan daripada kemantapan iman yang dimiliki oleh seseorang. Untuk memperkukuhkan pandangan beliau ini, al-Qardawi memetik sebuah Hadis Rasulullah s.a.w. yang menjelaskan (maksudnya): “Kalangan mukmin yang paling sempurna iman adalah kalangan mereka yang paling baik akhlak” (al-Qardawi 1979: 7). Dalam kata lain, iman yang mantap dan sempurna yang terdapat dalam diri seseorang, pasti sekali akan melahirkan perlakuan akhlak yang mulia daripada orang berkenaan. Hal ini sudah menjadi bagaikan satu kaedah atau formula yang pasti dan tidak perlu diragukan lagi. Ini kerana sememangnya boleh dipastikan bahawa kalangan orang yang teguh keimanannya merupakan orang yang mulia dan baik akhlak atau budi pekertinya. Dalam perspektif Islam, bilamana kita bercakap tentang akhlak, maka secara sekaligus ia merujuk secara tegas dan pasti kepada akhlak yang mulia. Hal ini dapat difahami dengan jelas bila kita merujuk kepada sebuah Hadis Rasulullah s.a.w. yang ada menjelaskan bahawa (maksudnya) “Islam itu ialah akhlak yang mulia/baik”. Dan atas asas ini juga kita mendapati Ibn ‘Abbas dan Mujahid mentafsirkan ayat al-
Dai dan Akademisi
189 Qur’an yang memerihalkan tentang ketinggian nilai akhlak Rasulullah s.a.w. seperti yang terdapat dalam Surah al-Qalam, ayat 4 (maksudnya): “Dan bahawa sesungguhnya engkau [wahai Muhammad] mempunyai akhlak yang sangat mulia”, dengan mengatakan bahawa pengertian perkataan “akhlak—khuluq” yang terdapat dalam ayat tersebut boleh difahami sebagai “agama—din”. Dalam kata lain ayat berkenaan boleh juga bermaksud: “Dan bahawa sesungguhnya engkau [wahai Muhammad] mempunyai agama yang sangat mulia”, iaitu agama Islam (Zakaria 1999 (i): 64). Ini bermakna bahawa agama Islam itu adalah sinonim dengan akhlak yang mulia, di mana hal ini juga selaras dengan penjelasan Rasulullah s.a.w. dalam sebuah Hadis Baginda (maksudnya): “Sesungguhnya aku dibangkitkan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia/baik” (Ibn Hanbal t. th.: ii: 381). Bagimanapun, untuk memahami secara lebih tepat perihal kelengkapan akhlak yang menjadi syarat penting kepada kalangan pendakwah ini, perlulah terlebih dahulu difahami apa yang dimaksudkan dengan akhlak itu sendiri. Dalam hubungan ini ada baiknya kalau ditinjau pandangan seorang tokoh pemikir Islam tersohor, al-Imam al-Gahzali yang ada membincangkan perihal ini dalam magnum opus beliau, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Menurut al-Ghazali, akhlak dari aspek penggunaan teknikal adalah merujuk kepada gambaran atau perihal mengenai suasana dalam jiwa manusia yang sudah berada pada tahap kukuh sebati; dan berdasarkan keadaan yang sudah sebati tersebut muncul perbuatan atau perlakuan secara mudah dan senang, tanpa pelaku berkenaan perlu berfikir dan membuat apa-apa pertimbangan lagi. Kalau perbuatan atau perlakuan yang muncul tersebut elok dan terpuji dari segi akal dan syarak, maka keadaan atau suasana itu distilahkan sebagai akhlak yang baik. Namun, kalau sebaliknya yang terjadi, maka ia dinamakan akhlak yang buruk (Zakaria 1999 (ii): 51). Adalah jelas bahawa dalam pandangan al-Ghazali, akhlak itu merujuk kepada keadaan atau suasana yang terdapat dalam jiwa seseorang, bukan berkaitan sangat dengan perbuatan atau perlakuan yang dapat ditonton sebagaimana terpamer di permukaan diri seseorang pelaku. “Suasana kejiwaan” itu pula, menurut al-Ghazali lagi, mestilah mempunyai beberapa ciri khusus untuk melayakkannya
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
190 dikategorikan sebagai akhlak. Ciri-ciri berkenaan ialah: kukuh sebatai serta berupaya memunculkan perbuatan secara spontan dan mudah. Dalam kata lain, tanpa kedua-dua ciri ini, sesuatu “suasana kejiwaan” itu tidak layak dan tidak cukup syarat untuk diistilahkan sebagai akhlak. Jadi, akhlak itu merupakan sesuatu yang terdapat dalam jiwa seseorang, sedangkan perlakuan yang terpamir di permukaan diri itu adalah terjemahan kepada suasana yang terdapat dalam jiwa orang berkenaan. Dalam kata lain, perlakuan itu merupakan terjemahan kepada akhlak, bukannya akhlak itu sendiri. Maka itu, sekiranya mahu membentuk akhlak seseorang, apa yang mesti dilakukan ialah mendidik jiwa supaya berada dalam keadaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki. Dan dalam proses pendidikan jiwa inilah iman atau akidah pegangan seseorang memainkan peranannya. Ini kerana isi kandungan iman itu adalah tidak lain daripada keyakinan terhadap kandungan rukun-rukun Iman. Maka itu, dalam konteks ini, jiwa seseorang yang mantap keyakinan atau keimanannya terhadap keluasan ilmu dan kemutlakan kuasa Allah, yakin terhadap tugastugas para malaikat, penuh percaya terhadap kewujudan hari akhirat bersama dengan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya—iaitu kesemua itu, antara lain-lain, merupakan sebahagian daripada kandungan Rukun Iman--tentu sekali orang berkenaan akan dapat mengawal dan sekali gus membentuk perlakuan dirinya dalam keadaan yang selaras dengan peraturan serta kehendak Allah. Dan dengan itu akan muncullah orang-orang yang berakhlak mulia hasil daripada keteguhan iman yang dimiliki oleh orang-orang berkenaan. Selanjutnya, kalau diteliti kewajaran al-Qardawi mensyaratkan pemilikan akhlak yang mulia sebagai kelengkapan atau peralatan penting kepada kalangan para pendakwah, maka hal ini tentunya tertumpu kepada kerja atau subject-matter pendakwahan itu sendiri. Ini kerana, sebagaimana terhurai sebelum ini, Islam yang hendak didakwahkan itu adalah sinonim dengan akhlak yang mulia. Maka itu, bagaimana mungkin seorang yang berakhlak buruk misalnya, mahu mengajak orang lain supaya berakhlak mulia; tentulah pendakwah berkenaan akan bersikap bagaikan ketam yang menyuruh anaknya berjalan betul. Dalam konteks ini, bagi memperkukuhkan kewajaran
Dai dan Akademisi
191 saranan beliau ini, al-Qardawi ( 1979: 7) membawa dua potong ayat alQur’an berikut, yang memerihalkan tentang pendakwah utama agama ini, iaitu Rasulullah s.a.w. itu sendiri yang jelas diiktiraf oleh Allah sebagai memiliki akhlak yang mulia, dan kerana itu Baginda telah berjaya dengan amat cemerlang sekali dalam kerja-kerja dakwah yang dilaksanakan oleh Baginda s.a.w. di zaman awal Islam dahulu: - (Maksudnya): “Dan bahawa sesungguhnya engkau [wahai Muhammad] mempunyai akhlak yang sangat-sangat mulia” (alQalam, 68:4). - (Maksudnya): “Maka dengan sebab rahmat [yang melimpahlimpah] dari Allah [kepadamu wahai Muhammad], engkau telah bersikap lemah lembut kepada mereka [sahabat-sahabat dan pengikutmu], dan kalaulah engkau bersikap kasar lagi keras hati, tentulah mereka lari dari kelilingmu . . . .” (Ali ‘Imran, 3:159).
Kelengkapan Ilmu Atau Pengetahuan Dalam konteks ini al-Qardawi (1979: 7) mengatakan bahawa kelengkapan ilmu atau pengetahuan ini bagi para pendakwah merupakan aspek kesediaan pemikiran, iaitu salah satu kesediaan penting, di samping kesediaan kerohanian dan akhlak sebagaimana terungkap dalam dua kelengkapan yang terhurai sebelum ini. Menurut al-Qardawi, pada dasarnya kerja dakwah merupakan kerja memberi dan menghulurkan sesuatu kepada pihak lain. Oleh itu kalangan para pendakwah mestilah memiliki ilmu dan pengetahuan sebagai bahan atau komoditi utama yang akan dihulurkan kepada orang lain dalam proses kerja dakwah mereka. Dalam skema yang digambarkan oleh al-Qardawi ini, kalangan pendakwah mesti memiliki ilmu pengetahuan untuk membolehkan proses dakwah berjalan lancar tanpa sebarang bantut dan halangan. Dalam kata lain, pendakwah yang tidak berilmu boleh membantut—malahan kadangkadang menyeleweng—kerja-kerja dakwah, sebagaimana sedikit sebanyak dapat kita perhatikan terjadi dalam proses pendakwahan di negara kita hasil daripada kerja dakwah dilakukan oleh kalangan pendakwah yang tidak berilmu. Dalam
melengkapkan
para
pendakwah
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
dengan
kesediaan
192 pemikiran bagi menjamin kejayaan dalam kerja-kerja dakwah yang dilaksanakan, al-Qardawi menjelaskan keperluan mereka dilengkapkan dengan ilmu atau pengetahuan—dalam kata lain mereka perlu celik--dalam aspek-aspek berikut (1979: 8): Pengatahuan atau ilmu tentang Islam itu sendiri Pengatahuan atau ilmu tentang sejarah Pengatahuan atau ilmu tentang sastera dan bahasa Pengetahuan atau ilmu tentang sains kemanusiaan Pengatahuan atau ilmu tentang sains tabii atau sains tulen Pengatahuan atau ilmu tentang suasana persekitaran semasa. Dalam aspek-aspek yang disenaraikan di atas, al-Qardawi menjelaskan bahawa yang paling penting adalah penguasaan ilmu dalam hal yang berkaitan dengan selok belok keagamaan Islam itu sendiri, sedangkan aspek-aspek yang lain tersebut hanya perlu diketahui secara umum sahaja, tidak semestinya dikuasai dengan mendalam dan terperinci. al-Qardawi melihat, oleh kerana kalangan para pendakwah bertanggung jawab melaksanakan kerja pendakwahan dalam erti kata mengajak manusia ke arah menghayati setepatnya ajaran-ajaran Islam, maka secara logiknya mereka mestilah memiliki pengetahuan secara yang cukup mendalam, terperinci dan penuh yakin tentang selok belok Islam sebagai satu agama dan cara hidup yang syumul. Pengetahuan itu pula, menurut beliau lagi, mestilah diambil atau diceduk dari sumber-sumber pengetahuan keislaman yang asli, tulen dan bersih; jauh daripada sebarang unsur sentuhan penyelewengan, takwilan serta asumsi-asumsi tidak berasas yang dilakukan misalnya, oleh golongan pelampau dan golongan jahil yang tidak bertanggung jawab (al-Qardawi 1977: 9). Berbekalkan ilmu pengetahuan yang mantap tentang Islam akan membolehkan golongan pendakwah menyampaikan mesej dakwah dengan licin dan berkesan, terhindar daripada kesan-kesan sampingan yang negatif yang boleh mencacatkan imej atau citra Islam itu sendiri. Adapun aspek-aspek lain yang disenaraikan oleh al-Qardawi sebagaimana di atas kesemuanya berfungsi sama ada sebagai alat bantu atau perencah tambahan yang boleh menyumbangkan kesempurnaan kepada kerja-kerja pendakwahan seseorang
Dai dan Akademisi
193 pendakwah. Ambil sahaja misalnya penguasaan sastera dan bahasa, maka aspek berkenaan sebenarnya perlu untuk memberikan kesan yang baik kepada para audien yang terlibat, di samping untuk memberikan kefahaman yang sahih terhadap bahan yang disampaikan (al-Qardawi 1979: 114). Dalam kata lain, penguasan bahasa diperlukan supaya terhindar daripada kesalahfahaman terhadap mesej yang hendak disampaikan disebabkan oleh penggunaan bahasa yang tidak tepat. Malahan, dalam konteks alat bantu kepada kerja-kerja dakwah ini, pada masa kini, kalangan para pendakwah juga amat perlu celik aplikasi komputer bagi membolehkan mereka menggunakan alat komunikasi canggih ini bagi tujuan menyebarkan mesej dakwah mereka. Sekalipun al-Qardawi tidak menyenaraikan keperluan penguasaan aplikasi komputer sebagai salah satu aspek yang perlu bagi seseorang pendakwah, kita cukup yakin beliau amat bersetuju tentang perihal keperluan ini, khususnya lagi apabila kita dapati beliau sendiri pada masa kini, sebagaimana kita catatkan sebelum ini, telah mewujudkan laman sesawangnya sendiri untuk tujuan pendakwahan. Cuma, barangkali, oleh kerana tulisan beliau yang kita rujuk berhubung dengan perihal penyediaan diri pendakwah ini ditulis dalam tahun tujuhpuluhan, maka perihal penguasaan aplikasi komputer ini tidak tersenarai sebagai sebahagian daripada perkara yang termasuk dalam senarai keperluan, kerana dalam tahun-tahun tujuhpuluhan tersebut komputer masih belum menjadi sesuatu yang meluas penggunaannya dalam masyarakat dunia. Demikianlah tiga aspek penting—kemantapan akidah, kemuliaan akhlak dan penguasaan ilmu--yang perlu menjadi komponen yang mesti wujud dalam diri setiap pendakwah.
PENUTUP Sesungguhnya, tidak ada siapa pun yang akan menolak perihal peri pentingnya kemantapan akidah dan kemuliaan akhlak kepada setiap pendakwah. Para pendakwah mesti disediakan dengan kedua-dua senjata penting ini untuk membolehkan mereka berfungsi dengan baik dalam melaksanakan tugas pendakwahan. Dua komponen persiapan diri ini cukup penting bagi menjamin kejayaan sesuatu misi dakwah, lebih-lebih lagi dalam era globalisasi yang penuh dengan pelbagai
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
194 ragam cabaran ini. Di samping dua komponen persiapan diri di atas, kalangan pendakwah juga mestilah dilengkapkan dengan sejumlah keterampilan. Dan dalam konteks ini sebenarnya ia diwakili oleh aspek penguasaan ilmu sebagaimana yang dihuraikan di atas. Cuma dalam konteks masyarakat Muslim di rantau kita ini atau di seluruh dunia masa kini, adalah perlu ditanya apakah wujud satu institusi khusus yang menawarkan program atau kursus yang dapat memenuhi kehendak ketiga-tiga komponen penting di atas, sehingga kalangan bakal pendakwah boleh dilatih di institusi berkenaan? Kalau jawapannya sudah ada, maka ia perlu diperbanyakkan, dan kalau ia masih belum wujud, maka masyarakat Muslim perlu mewujudkannya demi kepentingan kehidupan kemanusiaan sejagat yang sememangnya sentiasa mengharapkan obor rahmah yang dibawa oleh risalah Islam.
Dai dan Akademisi
195 Bibliografi
Abdul Rahman Embong. 2000. “Wacana Globalisasi”. Dlm. Norani Othman dan Sumit K. Mandal (Pyt.). Malaysia Menangani Globalisasi: Peserta atau Mangsa? Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. ________. 2000. “Negara-bangsa dalam Arus Globalisasi”. Dlm. Norani Othman dan Sunit K. Mandal (Pyt.). Malaysia Menangani Globalisasi: Peserta atau Mangsa? Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. ________. 2000. “Globalisasi, Negara dan Pembentukan Kelas”. Dlm. Norani Othman dan Sumit K. Mandal (Pyt.). Malaysia Menangani Globalisasi: Peserta atau Mangsa? Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1977. Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak. Kuala Lumpur: Angkatan Belia Islam Malaysia. ________. 1978. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: Muslim Youthovement of Malaysia. Berita Harian. 12 Jun, 2001. Berita Minggu. 10 Mei, 1998. Gerholm, Tomas. 1994. “Two Muslim Intellectual in the Post Modern West: Akbar Ahmad and Ziauddin Sarder. Dlm. Akbar S. Ahmad and Hastings Donnan (Pyt.) Islam, Globalization and Postmodernity. London & New York: Routledge. Imlan Adabi. 2001. “Globalisasi Ancam Karya Islam”. Berita Harian. 28 Mei, 2001
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
196 Mingguan Malaysia. 27 Ogos, 1995. Rahmah Hashim. 1995. “Kelangsungan Generasi di bawah Langit Terbuka”. Kertas Kerja Simposium Penyelidikan Komunikasi ke-4, Universiti Kebangsaan Malaysia. Pada 5-6 September, 1995. al-Qardawi, Yusuf. 1979. Thaqafat al-Da’iyyah. Beirut: Mu’assasat alRisalah. ________. 1984. al-Iman wa al-Hayah. Beirut: Mu’assasat al-Risalah. Utusan Malaysia. 28 Januari, 1997. Wanita. Disember, 1994. Zakaria Stapa. 1999 (i). “Memahami Pengertian Akhlak”. Dewan Masyarakat. Januari, 1999. ________. 1999 (ii). “Akhlak Islam: Konsep dan Sistem”. Dewan Masyarakat. Mac, 1999.
Dai dan Akademisi
197 3. SUMBER PENAFSIRAN ALQUR'AN (AL-MA'TSÛR, AL-RA'Y, AL-ISYÂRÎ) Oleh: Prof. Dr. H. Nashruddin Baidan STAIN Surakarta
Pendahuluan liberal; maka muncullah JIL (Jaringan Islam Liberal), Pluralisme agama, dan sebagainya. Derasnya arus pemikiran Islam liberal ini sungguh amat mengkhawatirKetiga term: al-ma'tsûr, al-ra'y, al-isyârî, sudah sangat populer di dunia Islam; terutama di kalangan para ulama dan pemerhati kajian ketafsiran. Ketiga term itu di samping sebagai bentuk atau jenis penafsiran, juga dikenal sebagai sumber atau dasar dalam menafsirkan Alqur’an. Karenanya ketiga istilah tersebut tidak asing bagi mereka yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu keislaman, terutama ilmu tafsir. Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada berbagai permasalahan ketafsiran yang amat pelik dan complicated; khususnya sejak diluncurkan oleh kelompok liberal sebuah ide atau pemikiran liberal tanpa batas. Ide ini bagaikan bola liar yang tidak terkendali lalu menabrak apa saja yang berdiri di hadapannya seakan-akan selama ini bola itu terkerangkeng di dalam keranda besi yang amat kuat. Sejak dimulainya era reformasi, sepuluh tahun yang lalu keranda itu terbuka lebar lalu bola tersebut menggelinding keluar dalam bentuk pemikiran-pemikiran kan apalagi ia mulai memasuki basis pertahanan umat yang selama ini tak tergoyahkan yaitu pondok-pondok pesantren dan madrasah-madrasah. Apabila lembaga-lembaga semacam ini telah dikuasai oleh liberalisme pemikiran dan pluralisme agama, maka kehancuran Islam di Indonesia tinggal menunggu waktu, na’ûdzu bi Allah min dzâlik. Di sinilah terletak urgensi kajian ketafsiran. Tapi dikarenakan kajian ini amat banyak dan luas sekali maka pembahasan makalah ini
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
198 difokuskan pada tiga term yang telah disebutkan di atas yang merupakan sumber inspirasi dalam proses penafsiran ayat-ayat Alqur’an.
B. Klasifikasi Metodologi Tafsir A. AL-MA'TSÛR Kosakata “al-ma'tsûr” berasal dari akar kata
ﺃﺛﺮjamaknya ﺁﺛﺎﺭ ﻭ ﺃﺛﻮﺭ
yakni suatu peninggalan atau jejak. ‘Ilmu al-Atsâr ialah ilmu yang mempelajari peninggalan generasi yang terdahulu berupa arsitektur bangunan, patung, mata uang dan sebagainya. Dalam kaitan inilah “museum” disebut “Dâr al-Atsâr”(gedung tempat penyimpanan barang-barang peninggalan sejarah). Jadi al-ma'tsûr secara lughawi ialah peninggalan atau warisan generasi terdahulu kepada generasi penerus; baik dalam bentuk material seperti benda-benda bersejarah dan dokumen-dokumen penting. Beragam manuskrip dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, serta mushhaf Alqur’an dalam berbagai varian bacaannya, hadis-hadis Nabi dan amalan-amalan sahabat dan tabi’in masuk kelompok ini. Adapun al-ma’tsûr dalam terminologi ilmu tafsir, para ulama tidak sepakat. Al-Zarqânî misalnya membatasinya pada “tafsir yang diberikan oleh ayat Alqur’an, sunnah Nabi dan pendapat sahabat.(Al-Zarqânî, h.11) Dalam batasan ini jelas terlihat tafsir yang diberikan tâbi’în tidak masuk dalam kelompok al-ma'tsûr. Sementara ulama yang lain, seperti al-Dzahabî memasukkannya ke dalam al-ma'tsûr karena menurutnya, meskipun tâbi’în tidak menerima tafsir langsung dari Nabi namun kitab tafsir al-ma'tsûr itu memuat tafsiran mereka seperti kitab tafsir alThabarî tidak hanya berisi tafsiran Nabi dan sahabat, tapi memuat pula tafsiran tâbi’în. (Al-Dzahabî, h. 152). Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap kedua pendapat itu yang menjadi persoalan dalam kajian al-ma'tsûr ialah menyangkut konotasi kosakata al-ma'tsûr tersebut. Dalam hal ini, para ulama terbagi dalam dua kelompok. Pertama memahaminya dalam pengertian sempit; yakni penafsiran yang telah diberikan oleh Nabi, para sahabat atau tâbi’în. Kelompok kedua memahaminya dalam pengertian yang lebih longgar; yakni
Dai dan Akademisi
199 menafsirkan Alqur’an berdasarkan bahan-bahan yang diwarisi dari Nabi berupa Alqur’an dan sunnah serta para sahabat yang menurut alHâkim sama nilainya dengan hadis marfû’, yakni hadis yang langsung diriwayatkan dari Nabi saw tanpa perantara .(‘Ajâj al-Khathîb, 1975M/1395H, h.355). dan para tâbi’în. Dalam hal yang pertama, al-ma'tsûr menjadi sifat bagi tafsir; dan dalam hal yang kedua al-ma'tsûr menjadi sifat bagi sumber yang digunakan dalam proses penasiran Alqur’an. Jika yang pertama diterima maka tafsir al-ma'tsûr ialah sesuatu yang telah baku dan tidak dapat dikembangkan lagi. Dalam hal ini tugas mufasir hanya meneliti sanadnya: apakah shahih atau tidak ? Jika ternyata shahih maka penafsiran itu diterima dan jika ternyata tidak shahih maka penafsiran tersebut ditolak seperti kosakata zhulm (al-An’am(6):82) ditafsirkan oleh Nabi saw dengan syirk (menyekutukan Allah) yang terdapat dalam ayat 13 dari Luqman. Dengan demikian ayat 82 dari al-An’am itu memberikan ketegasan bahwa mereka yang akan mendapatkan keimanan dan petunjuk adalah yang tidak mencampur-adukkan keimanan mereka dengan kemusyrikan(zhulm). Jadi kata zhulm di dalam ayat itu bukan dalam pengertian ‘aniaya’ sebagaimana dipahami secara umum, melainkan mengandung konotasi spesifik yaitu ‘kemusyrikan’. Demikian pula masuk al-ma'tsûr
tafsiran yang diberikan secara
langsung oleh suatu ayat terhadap ayat lain seperti )
ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﳌﺴﺘﻘﻴﻢjalan
yang lurus)di dalam ayat 6 dari al-Fatihah. Tidak ada yang tahu secara pasti apa yang di maksudkan Allah dengan ‘jalan yang lurus’ itu. Setelah membaca ayat berikutnya barulah kita tahu bahwa yang dimaksud ialah “jalan mereka yang telah diberi nikmat, bukan jalan orang yang dimarahi, dan bukan pula jalan orang yang sesat” Jadi tafsir al-ma'tsûr yang berasal dari Alqur’an harus langsung berhubungan dengan ayat yang ditafsirkan tidak boleh dibatasi oleh ayat-ayat lain yang tidak semakna dengannya apalagi surat-surat yang lain; kecuali jika hal itu ditunjukkan oleh Nabi, sahabat atau tâbi’în seperti terlihat dalam tafsiran zhulm yang telah dikemukakan di atas. Dengan ungkapan lain, apabila yang menafsirkan ayat dengan ayat itu bukan oleh tiga generasi tersebut, maka tafsirannya tetap
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
200 dikategorikan al-ra'y sekalipun ayat dengan ayat seperti menafsirkan "
ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ ﺍﳌﺴﺘﻘﻴﻢ
(jalan yang lurus) (al-Fatihah(1):6) dengan “beribadah
kepada Allah” sesuai penegasan Allah dalam ayat 61dari Yasin(36): “dan sembahlah Aku inilah jalan yang lurus”. Hal itu dikarenakan yang menjadi tolok ukur ke-ma’ tsuran sebuah penafsiran adalah adanya riwayat yang berasal dari tiga generasi itu; jika tidak, maka tafsiran tersebut tidak dapat digolongkan al-ma'tsûr melainkan tetap masuk ketegori al-ra'y. Jika pengertian yang kedua diterima maka tafsir al-ma'tsûr dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman karena pada pengertian yang kedua itu masih terbuka pintu untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran rasional dalam memahami ayat-ayat Alqur’an seperti kosakata quwwah di dalam ayat 60 dari alAnfal(8) ditafsirkan Nabi saw dengan al-ram-y(panah/mema nah).(AlZarqânî, hh.12-13). Penafsiran Nabi itu menggambarkan suatu senjata yang paling ampuh untuk menghadapi, mengalahkan dan memukul musuh di kala itu. Penafsiran tersebut di abad modern seperti sekarang dapat diartikan dengan senjata strategis seperti rudal, peluru kendali, roket, pesawat tempur dan sebagainya. Itulah salah satu model penafsiran al-ma'tsûr dalam pengertian luas. Walaupun pengertian yang kedua itu memberikan peluang berijtihad lebih luas dalam penafasiran Alqur’an, namun tidak sampai pada wilayah al-ra'y karena mufasirnya masih berpegang teguh pada tafsiran yang berasal dari Nabi tersebut. Jadi tafsiran serupa itu belum murni berangkat dari pemikiran rasional (ijtihadi). Namun tidak berarti tafsir al-ma’tsûr mengabaikan akal atau rasio sama sekali; yang terjadi ialah tafsir al-ma'tsûr lebih banyak menggunakan riwayat ketimbang pemikiran rasional (al-ra’y) seperti dijumpai di dalam tafsir al-Thabari, Ibn Katsir, al-Durr al-Mantsûr dan lain-lain. Di dalam kitabkitab ini tampak dan terasa sekali dominasi riwayat sangat menonjol. Atau dengan kata lain, penafsiran akan terus berproses selama riwayat masih ada; begitu riwayat habis, maka tafsiran pun berhenti. Perlu dicatat di sini bahwa tafsir al-ma'tsûr yang disampaikan oleh Nabi saw dalam dua kategori. Pertama sudah rinci. Ini biasanya menyangkut ibadah murni seperti shalat, puasa, zakat, haji dll. Selama
Dai dan Akademisi
201 periwayatannya telah memenuhi kriteria dan kaedah-kaedah yang diakui oleh para ulama, maka penafsiran tersebut dapat diterima; tapi jika tidak, penafsiran tersebut harus ditolak. Kategori kedua, dalam garis besarnya atau boleh disebut pedoman dasar yang dapat dikembangkan oleh generasi selanjutnya. Ini biasanya berhubungan dengan ibadah sosial pada umumnya seperti mu’amalah, urusan kenegaraan, kekeluargaan dan sebagainya. Dalam bidang inilah diperlukan ijtihad supaya pedoman-pedoman yang telah digariskan oleh Nabi dapat diimplementasikan di tengah masyarakat sesuai tuntutan zaman; sehingga terasa Alqur’an itu selalu moderen dan mampu membimbing kehidupan umat ke jalan yang benar; kapan pun di mana pun mereka berada; sebaliknya jika tidak dilakukan penafsiran sesuai perkembangan zaman, maka akan terkesan Alqur’an itu ketinggalan zaman (outdated). Adapun sumber yang berasal dari para sahabat dan tâbi’în digunakan ketika tidak dijumpai penafsiran yang diberikan oleh Nabi. Khusus tafsiran yang berasal dari tâbi’în perlu sangat selektif dalam penggunaannya karena banyak di antara tâbi’în itu yang terpengaruh sekali oleh riwayat israiliyat. Kecuali itu pada umumnya penafsiran sahabat menjabarkan tafsiran yang diberikan Nabi dan tafsiran tâbi’în mengulas tafsiran dari sahabat.
Al-Ra'y Al-Ra’y sebagai sumber atau dasar dalam menafsirkan Alqur’an merupa kan kebalikan dari al-ma'tsûr. Artinya bila al-ma'tsûr bertumpu pada riwayat, maka al-ra'y bertumpu pada pemikiran rasional (ijtihad). Kedua pola pikir ini berimplikasi besar dalam proses penafsiran. Tafsir al-ma'tsûr, sangat bergantung pada riwayat. Artinya proses penafsiran akan berjalan terus selama riwa yat masih ada; begitu riwayat habis, maka tafsiran pun berhenti. Sebaliknya proses penafsiran al-ra'y akan berjalan terus, ada atau tidak ada riwayat, sama saja baginya; karena tafsir model ini tidak bergantung pada riwayat. Itulah salah satu pendorong yang menyebabkan mengapa tafsir bi alra'y berkem bang lebih pesat dibanding tafsir yang bersumber pada riwayat (al-ma'tsûr)
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
202 Perlu diingat bahwa meskipun tafsir bi al-ra'y didasarkan pada pemikir an rasional, namun tidak boleh lepas kendali. Artinya tafsir bi al-ra’y harus selalu tunduk di bawah teks ayat; dalam pengertian si mufasir tidak boleh merevisi teks: menambah, mengurangi, memberikan makna lain yang tidak ada rujukannya pada bahasa Arab yang menjadi bahasa Alqur’an, atau mengubah letak kosakata yang terdapat di dalamnya. Apabila hal itu dilakukannya, maka penafsirannya akan keluar dari teks Alqur’an, dan dapat melahirkan penafsiran yang tercela sebagaimana ditemukan pada hampir semua lini pemikiran seperti teologi, tasawuf, filsafat, dan bahkan sosial, politik, budaya, ekonomi dsb. Dalam bidang teologi, misalnya penafsiran Râfidhah, terhadap
ﻳﺪﺍ ﺃﰉ ﳍﺐ
(al-Lahab:1) dengan “Abu
Bakar dan Umar” sehingga konotasinya berubah total menjadi “Celakalah Abu Bakar dan Umar sebenar-benar celaka”. Demikian pula kosakata
ﺑﻘﺮﺓ
di dalam ayat 67 dari al-Baqarah,
mereka artikan “’Aisyah” (istri Rasulullah); sehingga terjemahan ayat itu menjadi “sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyembelih ‘Aisyah” (Ibn Taimiyah, 1971M/1391H, hh.87-88; al-Dzahabî, al-Tafsîr, II, 1961, hh.241-252). Contoh lain tafsiran al-Zamakhsyarî, terhadap kosakata "
"ﺇﱃdengan
“nikmat” karena menganggapnya jamak dari
" ﺁﻻﺀyang berarti “nikmat"; dan "
ﻧﺎﻇﺮﺓ
dengan “penuh harapan”.(Al-
Zamakhsyarî, t.th., h.192; al-Dzahabî, al-Tafsîr, I, hh.372-376; dan alIttijâhât, 1978, hh.52-53). Dengan demikian konotasi ayat 23 dari alQiyâmah itu berubah total menjadi “dia menunggu nikmat Tuhannya”. Padahal makna yang umum dipahami ialah “dia melihat wajah Tuhannya”. Tafsiran semacam ini sengaja mereka ajukan berdasarkan keyakinan teologis mereka bahwa Allah mustahil dapat dilihat manusia. Oleh karenanya setiap ayat yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka, selalu mereka carikan takwilnya; tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan pemahaman bahasa atau tidak, dan sebagainya, tidak perlu mereka pertimbangkan. Penafsiran yang aneh dalam tasawuf juga ditemukan, seperti tafsiran Ibn ‘Arabî terhadap ayat 8 dari al-Muzammil ﻚﻭﺍﺫﻛﺮ ﺍ ﺳﻢ ﺭﺑ
Dai dan Akademisi
203 dengan “dan ingatlah Tuhanmu yaitu dirimu sendiri”.(al-Dzahabî, alTafsîr, III, hh.5-11; al-Ittijâhât, h.80). Jelas sekali penafsiran itu berangkat dari paham wahdat al-wujûd yang dianutnya. Aliran Kebatinan di Jawa juga tidak kalah nyeleneh nya, bahkan terkesan sangat jorok dan porno seperti dalam Darmogandul, tembang 57(h.58) ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﹶ sebagai dikutip Prof.Rasjidi, tafsiran ayat 2 dari al-Baqarah ( ﻻ
ﻘﲔ ﺭﻳﺐ ﻓﻴﻪ ﻫﺪﻯ ﻟﻠﻤﺘsbb.: “Dzalikal: jika tidur kemaluannya nyengkal (bangkit); kitabula: kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa; raiba fihi: perempuan pakai kain; hudan: telanjang (bahasa Jawa:wuda); lil muttaqin: sesudah telanjang kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita” (Rasjidi, 1987, hh.16,17). Penafsiran yang menyimpang serupa itu tidak hanya dilakukan satu, dua kelompok, bahkan cukup variatif, dan berlanjut sampai sekarang. Kelompok JIL, misalnya, tidak kalah gencarnya mengajukan tafsiran yang menurut mereka paling cocok dengan kondisi dan kebutuhan umat, khususnya untuk merespon tuntutan undangundang HAM (Hak Asasi Manusia). Berdasar kan prinsip itu mereka mengajukan ide pluralisme agama (wahdat al-adyân). Tidak ada yang berhak menyatakan bahwa hanya agamanya yang benar, termasuk seorang muslim. Dalam konteks inilah Ulil Abshar Abdalla, “loko motif” JIL, menyatakan dengan tegas: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan,…semua agama, dengan demikian adalah benar”. (Ulil, 2003, h. 8). Pernyataan Ulil ini sejalan dengan konsep yang dikembang kan oleh Ibn ‘Arabî, tokoh aliran wahdat wujûd dan wahdat al-adyân (plura lisme agama) di abad klasik tempo dulu sebagaimana dikatakannya: ”Jauhi terikat dengan akidah tertentu dan mengkafirkan yang lain…karena Allah maha luas dan maha agung, tidak dapat dibatasi oleh satu akidah tertentu, tidak pula yang lain. Setiap akidah benar; setiap yang benar mendapat pahala; setiap yang mendapat pahala berbahagia; dan setiap yang berbahagia mendapat kepuasan”. (Ibn ‘Arabi, Fushûsh al-Hikam, I, hh.113-114; Abd Wahhâb Fayd, 1401H/1980M, hh 177-178). Berdasarkan semangat pluralisme agama ini pula, Ulil menafsirkan ayat 19 dari Ali Imran ( )ﺇﻥ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﺍﻹﺳﻼﻡdengan “Sesungguhnya jalan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
204 religiusitas yang benar adalah proses yang tak pernah selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar). Demikian pula ayat 148 dari alBaqarah (fastbiqû al-Khayrât) ditafsirkannya dengan “berlomba-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas itu”. (Ulil, 2003, hh6,7,8). Sejalan dengan pemahaman itu, maka ayat 62 dari al-Baqarah, mereka tafsirkan, pemeluk agama, baik Islam atau non Islam, semuanya akan masuk surga tanpa kecuali. Penafsiran yang menyimpang sebagaimana dikutip di atas sengaja mereka lakukan dalam upaya melegitimasi serta menunjukkan kepada khalayak bahwa paham mereka benar karena dilegitimasi oleh Alqur’an sebagaimana klaim yang mereka ajukan. Penyimpangan penafsiran yang dinukilkan di atas; baik di abad klasik dulu, maupun di abad moderen ini boleh dikatakan sangat naif karena tidak ada rujukannya dalam bahasa Arab; bahkan terkesan keluar dari koridor Alqur’an dan sunnah Rasul saw. Itulah salah satu model tafsiran bi al-ra'y yang tercela dan mufasirnya diancam Rasulullah dengan masuk neraka sebagaimana ditegaskannya:
ﻣﻦ ﻗـﺎﻝ، ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﰱ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺮﺃﻳـﻪ ﻓﺄﺻﺎﺏ ﻓﻘﺪ ﺃﺧﻄﺄ:ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ ﻡ (ﰱ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺮﺃﻳـﻪ ﻓﻠﻴﺘﺒﻮﺃ ﻣﻘﻌﺪﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ)ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ ﻭ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻰ (Rasulullah saw telah bersabda: “Siapa pun yang mengatakan sesuatu tentang Alqur’an semata-mata berdasarkan pemikirannya saja; sekalipun penafsirannya benar, namun [prosedurnya] tetap salah…maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka”(H.R.Abû Dâwûd, alTirmidzî, al-Nasâî)(al-Suyûthî, 1979, h.179). Timbulnya penafsiran semacam itu, salah satu penyebabnya ialah karena mufasirnya tidak netral. Artinya sebelum melakukan penafsiran, pikirannya telah dipengaruhi oleh suatu aliran atau paham sebagai telah dijelaskan. Lalu dia berusaha menundukkan ayat-ayat Alqur’an di bawah pemahamannya itu.(al-Suyûthî, II, h.178). AlMawdûdî, juga setuju dengan pendapat ini. (Al-Mawdûdî, 1969, hh.14,48). Bagaimana mungkin seseorang akan mendapatkan petunjuk Alqur’an kalau Alqur’an dibelakanginya; sementara dia berada di depannya. Kondisi seperti ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah,
Dai dan Akademisi
205 saking beratnya persoalan ini sampai-sampai Rasul saw mengadukannya kepada Allah sebagai dikatakan nya: “Oh Tuhanku! Kaumku sungguh telah meninggalkan Alqur’an di belakang mereka”(Q.S.25:30). Artinya mereka lebih mengutamakan pemikiran subjektifnya daripada petunjuk Alqur’an; sehingga kesannya Alqur’an tinggal di belakang dan mereka yang di depan. Itulah ciri orang yang terpengaruh oleh subjektifitas mazhab atau aliran yang dianutnya; sehingga dia terbelenggu oleh sikap subjektifitas dan tidak mampu membebaskan diri dan pemikirannya dari belenggu itu. Selama mufasir tidak mau membebaskan dirinya dari berbagai aliran atau paham, selama itu pula penafsirannya akan selalu subjektif dan tidak berpihak pada kebenaran objektif. Untuk menghasilkan suatu penafsiran al-ra'y yang baik, benar dan dapat diterima, maka para ulama memberikan kriteria yang cukup ketat sebagai berikut: sesuai dengan kaedah-kaedah penafsiran dan bahasa Arab yang berlaku; tidak ekstrim; tidak menyeleweng/ bertentangan dengan ayat-ayat lain; tidak mengklaim bahwa hanya tafsirannya yang benar; tidak membawa akidah yang salah; tidak menimbulkan fitnah/kekacauan; objektif dan rasional; memahami kosakata Alqur’an secara baik dan mendalam; menguasai gaya bahasa Alqur’an secara baik; menguasai ilmu-ilmu antropologi, budaya, fisika, dan lain-lain; mengetahui kondisi masyarakat Arab yang hidup pada masa Nabi saw, baik kondisi psikologis, budaya, maupun kondisi sosial ekonomi dan lain sebagainya; mengetahui biografi kehidupan Nabi saw dan para sahabat beliau, baik dalam urusan keduniaan maupun keakhiratan; mendahulukan makna hakiki dari makna metaforis; memperhatikan hubungan (korelasi) antara ayat sebelum dan sesudahnya; memperhatikan pola susunan kalimat dalam satu ayat dengan maksud yang dikandungnya; menyesuaikan antara penafsiran dengan ayat yang ditafsirkan tanpa melebihi atau mereduksi makna yang dikandungnya; menutup suatu penafsiran dengan istinbath hukum sesuai aturan dan kaedah-kaedah bahasa, syari’ah atau hukum-hukum alam; dan terakhir memperhatikan tata cara yang berlaku dalam menyelesaikan ayat-ayat yang bermakna ganda (ihtimal).( Al-Zarqânî, hh. 52-54, 60). Apabila penafsiran tidak
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
206 memenuhi kriteria tersebut, maka tafsirannya tercela. Persyaratan di atas mengacu pada tiga prinsip dasar yaitu rasional, argumentatif dan objektif. Setiap penafsiran bi al-ra'y harus didukung oleh ketiga prinsip ini sekaligus; apabila kurang salah satu, maka tafsirannya tidak dapat diterima. Penafsiran yang dikemukakan kaum Rafidhah, al-Zamakhsya rî, Ibn ‘Arabi dan Ulil di atas, memang rasional dan argumentatif, namun tidak objektif; malah sikap subjektifnya amat dominan. Dari itu tafsirannya tercela dan tertolak.Lebih jauh perbedaan al-ma'tsûr dan al-ra'y dapat diamati sebagai berikut: Bagan 1 Figur Tafsir al-ma'tsûr dan al-ra'y al-ma’tsûr
al-ra’y
Tampak di dalam bagan itu porsi teks dalam figur al-ma'tsûr sangat dominan sebaliknya di dalam al-ra'y teksnya sangat sedikit. Jika diamati lebih mendalam maka terlihat kedua model penafsiran itu tampak sama-sama menggunakan rasio, namun bedanya al-ma'tsûr terlalu bertumpu pada teks maka tafsiran yang dihasilkannya tidak melebar tapi selalu terkendali, sementara al-ra'y dikarenakan bertumpu pada pemikiran rasional maka tafsirannya cenderung melebar dan kurang terkendali khususnya yang menganut paham liberal (seperti isyarat panah). Hal itulah yang melahirkan berbagai penafsiran yang sering keluar dari koridor kebenaran seperti yang dilakukan oleh kelompok al-Rafidhah, kaum liberal, dan lain-lain.
Dai dan Akademisi
207 AL-ISYÂRÎ Secara etimologis term isyârî berasal dari bahasa Arab
ﺇﺷﺎﺭﺓyang
, ﻳﺸﲑ ﺃﺷﺎﺭ,
berarti “isyarat” atau petunjuk. Dalam konteks ini ialah
ilham atau intuisi. Jadi sumber penafsiran yang dimaksud ialah sesuatu yang berasal dari isyarat atau petunjuk secara ghaib. Karena itulah penafsiran semacam ini disebut isyârî. Pada umumnya tafsir ini dikembangkan oleh kaum sufi atau penganut tasawuf. Mereka menafsirkan Alqur’an melalui isyarat yang mereka terima. Itulah sebabnya tafsir model ini disebut pula tafsir sufi. Dari itu kajian tafsir ini tidak dapat dilepaskan dari ajaran tasawuf dan pemikiran sufi. Ajaran tasawuf secara garis besar terbagi dua kategori yaitu: 1) tasawuf nazharî yakni ajaran tasawuf yang mengembangkan pemikiran dan analisis rasional berdasarkan intuisi 2) tasawuf ‘amalî yakni mengembangkan sikap hidup sederhana, zuhud, dan memusatkan perhatian semata-mata beribadah kepada Allah.( Al-Dzahabî, h. 5) Tafsir isyârî biasanya lahir dari kalangan penganut tasawuf nazhari. Merekalah yang memberikan penafsiran yang aneh-aneh dan tak jarang keluar dari jalur yang biasa ditempuh oleh para ulama pada umumnya. Kurang menonjolnya penafsiran ini di kalangan penganut tasawuf amali adalah suatu yang lumrah karena yang mereka pentingkan adalah pengamalan ajaran. Artinya mereka lebih senang mengamalkan ajaran-ajaran yang praktis seperti memperbanyak ibadah, zikir, membaca Alqur’an, puasa dan lain-lain. Di samping itu mereka selalu menjauhi sifat-sifat yang tercela demi membersihkan diri dan rohani mereka dari kotoran-kotoran batin lalu mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya. Kelompok inilah yang sering disebut kaum thariqat dalam berbagai bentuk dan alirannya. Sebaliknya kelompok pertama (tasawuf nazharî) tidak hanya mementingkan pengamalan ajaran tapi juga pemikiran. Pemikiran dan intuisi mereka selalu dibersihkan dari kekotoran-kekotoran batin sehingga jiwa dan ruhani serta pemikiran mereka menjadi bersih dan cemerlang. Kelompok sufi semacam inilah pada umumnya melahirkan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
208 tafsir isyârî. Al-Dzahabî mengelompokkan tafsir isyârî ini ke dalam dua kategori yaitu nazharî (pemikiran)dan Faydhî (limpahan). Kategori pertama mendasarkan penafsirannya pada pemikiran dan analisis filsafat, mereka memandang ayat-ayat Alqur’an menurut pandangan tasawuf yang sesuai dengan filosofi ajaran mereka. Kondisi inilah yang membuat penafsiran mereka terasa aneh dan keluar dari norma dan tatanan penafsiran yang umum. Tokoh utama kelompok ini ialah Ibn ‘Arabî (Al-Dzahabî, h. 5) seperti terlihat dalam tafsirannya terhadap ayat 8 dari al-Muzammil(73) sebagaimana dikutip alDzahabî:"
"...ﻚﻭﺍﺫﻛﺮ ﺍﺳﻢ ﺭﺑAyat
ini ditafsirkannya: “Dan ingatlah
Tuhanmu yaitu dirimu sendiri. Artinya kenalilah dirimu, ingatlah dia selalu, dan jangan lupakan dia, agar kamu tidak dilupakan Allah” (al-Dzahabî, alTafsîr, hh.5-11); al-Ittijâhât, h.80). Tampak dengan jelas ayat itu ditafsirkannya bukan berdasarkan lahiriyah teks, dan bukan dari pemikiran rasional, melainkan dari perasaan batin atau intuisi yang bergejolak di dalam diri si mufasir. Karena itulah pola tafsiran semacam ini disebut ‘tafsir isyari’. Kelompok kedua Faydhî (limpahan) tidak jauh berbeda dengan yang pertama yakni sama-sama berusaha menakwilkan ayat Alqur’an keluar dari lahiriah teks sesuai dengan isyarat-isyarat atau bisikanbisikan ghaib yang mereka terima, namun mereka tidak menutup kemungkinan adanya kesesuaian antara bisikan-bisikan yang mereka terima dengan makna lahiriah yang dimaksud ayat. Jadi dapat disimpulkan bahwa tafsir sufi nazharî berangkat dari pemikiran rasional filosofis dan tidak melihat makna lain dibalik penafsiran itu. Sementara tafsir sufi faydhî berangkat dari kesucian batin dan kebeningan jiwa namun tetap mengakui makna lahiriah dari ayat tersebut.(al-Dzahabî,h.18) seperti ditemukan di dalam kitab Tâj alTafâsîr karya al-Mirghanî. Tapi kedua kategori penafsiran itu tetap mengacu pada satu sumber yaitu intuisi. Keabsahan isyârî sebagai sumber penafsiran didukung oleh suatu prinsip bahwa ayat-ayat Alqur’an mempunyai dua dimensi yaitu dimensi lahiriah dan dimensi batiniah. Sebagai contoh ketika turun ayat ke-3 dari surah al-Maidah: ..... (ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺃﻛﻤﻠﺖ ﻟﻜﻢ ﺩﻳﻨﻜﻢpada hari ini Aku sempurnakan agamamu). Para sahabat umumnya gembira dan senang
Dai dan Akademisi
209 sekali setelah mendengar ayat itu karena Islam dinyatakan sebagai agama yang telah sempurna, tapi Umar dan Abu Bakar sedih dan menangis; seraya Umar berucap “tiada lain setelah sempurna kecuali akan datang kekurangan” sambil dia mengingatkan akan kematian Nabi saw. Benar, tidak lama berselang + 81 hari setelah ayat itu turun Nabi pun wafat.( al-Syâtibî, h. 228; Ibn al-’Arabî, h.181) Kondisi kejiwaan yang dialami oleh Umar dan Abu Bakar memberikan bukti bahwa ayat Alqur’an memang mempunyai dua dimensi: lahir dan batin. Dimensi lahir dipahami oleh sebagian besar sahabat sementara dimensi batin hanya Umar dan Abu Bakar yang merasakan. Dalam hal ini Nabi pernah bersabda: “Allah tidak menurunkan suatu ayat kecuali mempunyai dimensi lahir dan batin”. (AlDzahabî , h. 227) Sumber tafsir yang berasal dari isyarat atau petunjuk ghaib ini jelas tidak dapat serta-merta diterima sebab sangat sulit untuk mendeteksi kebenaran intuisi yang mereka terima apakah benar-benar dari Allah atau bukan. Jadi sangat sulit menentukan kriteria bisikan tersebut karena hal itu sangat subjektif dan individualistik. Namun kita juga tidak bisa menolak secara apriori. Dalam hal ini al-Dzahabî merumuskan beberapa kriteria tafsir isyârî yang dapat diterima (maqbûl) yaitu: 1) tidak menyimpang atau bertentangan dengan makna lahiriah ayat/teks; 2) didukung oleh argumen rasional atau bukti yang kuat dari syariat;3) tidak bertentangan dengan syariat atau akal sehat; dan 4) tidak mengklaim bahwa tafsir isyâri satu-satunya yang dimaksud Allah dalam ayat itu. Apabila keempat kriteri itu diterapkan dalam proses penafsiran isyârî, maka penafsiran akan menjadi mahmûd (terpuji) dan sekaligus dapat dijadikan tuntunan bagi umat. Sebaliknya jika tidak, maka tafsirannya bercacat (madzmûm) dan harus ditolak karena sesat dan menyesatkan seperti tafsiran aliran kebatinan, dll. sebagai telah dikutip Aalur berpikir tafsir isyârî dapat diamati pada bagan berikut:
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
210 Bagan 2 Figur Tafsir isyârî
Tampak dalam bagan itu porsi intuisi sangat dominan, sementara porsi teks ayat sangat kecil. Lalu hasil penafsirannya semakin luas dan cenderung liar. Hal itu dikarenakan mereka tidak merasa terikat pada teks, tapi lebih mengutamakan intuisi, mereka tidak peduli apakah tafsirannya cocok dengan ayat atau tidak. Itulah ciri utama tafsir isyârî yang madzmûm seperti tergambar pada pergerakan arah panah itu yang tampak semakin melebar dan tidak terkendali tidak jauh berbeda dari tafsir bi al-ra'y seperti telah dijelaskan.
c. Kesimpulan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa : Sumber penafsiran memegang peranan yang sangat penting dalam keabsahan suatu penafsiran. Apabila sumbernya tidak didasarkan pada argumen yang kuat dan shahih, maka hasil penafsirannya sulit untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah Sumber yang berasal dari Nabi, sahabat, dan lain-lain harus diketahui secara jelas dan diakui keabsahannya oleh para ulama. Sumber yang berasal dari pemikiran rasional (al-ra'y) harus selalu sesuai dengan sumber-sumber yang valid dari wahyu dan sunnah Rasul yang terpercaya serta pemikiran yang benar.
Dai dan Akademisi
211 Sumber yang berasal dari intuisi harus senantiasa berjalan di atas isyarat yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai kriteria kebenaran yang diajarkan Alqur’an dan Sunnah Rasul Demikianlah, semoga Allah selalu membimbing kita ke jalan yang benar demi memahami kitab suci Alqur’an sehingga kita mendapatkan al-shirâth al-Mustaqîm dalam arti yang sesungguhnya, amin!!! Wa Allah a’lam bi al-shawâb
DAFTAR BACAAN
al-Qur'ân al-Karîm. Abd. Wahhâb Fayd dalam bukunya al-Dakhîl fiTafsîr al-Qur’ân alKarîm, al-Fajâlah, Mathba’at al-Hadhârat al-‘Arabiyyah, II, 1401H/1980M. Al-Dzahabî, Muhammad Husayn, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo, Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, III, cet. ke-1, 1961. -------al-Ittijâhât al-Munharifah fi Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm, Kairo, Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, cet. ke-2, 1978. al-Ghurâbî, Târîkh al-Firaq al-Islâmiyyah, (Kairo, Maktabah ‘Alî Shâbih, 1959. Ibn al-’Arabî, al-Hâtimî al-Thâ'î, al-Futûhât al-Makkiyyah, t.tp., Dâr alFikr, t.th. --------- Fushûsh al-Hikam, I, t.th. Ibn Katsîr, Abû al-Fidâ' Ismâ’îl, Tasîr al-Qur'ân al-‘Azhîm, Singapura, Sulaiman Mar’i, t.th.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
212 Ibn Taimiyah, M uqaddimah fi Ushûl al-Tafsîr, ed. ‘Adnân Zurzur, (Kuwait, Dâr al-Qur’ân al-Karîm,cet. ke-1, 1971M/1391H. Al-Mawdûdî, Abû al-A’lâ, Mabâdî’ Asâsiyyah li Fahm al-Qur'ân, terj. Khalîl Ahmad al-Hamidî, Jakarta, al-Majlis al-A’lâ al-Indunisî li al Da’wat al-Islâmiyyah, cet. ke-2, 1969. Muhammad ‘Ajâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, t.tp., Dâr al-Fikr, cet. ke3, 1975M/1395H. Al-Mirghanî, Muhammad ‘Utsmân, Tâj al-Tafâsîr, t.tp., Dâr al-Fikr, cet. ke-2, t.th Rasjidi, H.M., Islam dan Kebatinan, Jakarta, Bulan Bintang, cet. kr-6, 1987. al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, t.tp., Dâr al-Fikr, t.th. al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur'ân, Bairut, Dâr al-Fikr, II, 1979. -------al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr bi al-Ma'tsûr, Bairut, Dâr al-Fikr, 1983. Al-Thabari, Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta'wîl al-Qur'ân, Mesir, Mushthafa al-Bâb al-Halabî, cet. ke-2, 1954. Ulil Abshar Abdalla, dkk., Islam Liberal & Fundamental, Jogjakarta, eLSAQ press, cet. ke-2, 2003. Al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Bairut, Dâr al-Ma’rifah, IV, t.th. Al-Zarqânî, Muhammad bin ‘Abd al-‘Azhîm, Manâhil ‘Irfân fi ‘Ulûm alQur'ân, Mesir ‘Isa al-Bâb al-Halabî, t.th.
Dai dan Akademisi
213 4. RELASI AGAMA, SAINS DAN TEKNOLOGI Oleh: Prof. Dr. H. Ilhamuddin, MA Dekan Fakultas Dakwah IAIN SU
A.Pendahuluan Para teolog tradisionalis ortodoks umumnya cenderung kurang menyukai metode dan penemuan sains. Namun dalam sejarah, para teolog ortodoks Eropa abad pertengahanlah yang pernah melaksanakan perang terpanjang dan tersengit menentang sains dan teknologi. Selama 1000 tahun sebelum Renaisance, mereka memerintah Eropa dengan tangan besi. Ketidaktoleranan prasangka buruk, kecurigaan dan takhayul telah membuat terhambatnya dinamika sains dan teknologi. Karena curiga pada setiap usaha pemikiran bebas, mereka dengan kejamnya menekan semua ajran yang tidak memiliki kesesuaian langsung dengan teologi. Pengadilan agama menghukum mati sekitar 10.000 orang ahi sihir dan pendosa yang dicurigai, mereka dianiaya lalu digantung atau dibakar di tiang pancang, bahkan yang telah matipun tidak dapat dimaafkan. (Meutia, 1996; 56-59. Berdasarkan argumen teolog, agamawan menyimpulkan bahwa dunia lahir pada jam 9 pagi hari Minggu 23 Oktober 4004 SM. Pendapat ini berbeda dengan fakta ilmiah yang pernah dikemukakan oleh seorang ilmuan, Wycliffe, yang membuktikan berdasarkan fosil geologi bahwa bumi paling sedikit telah berusia beberapa ratus ribu tahun. Para teolog memandang ini suatu penghinaan terhadap agama. Karena tidak dapat menerima penghinaan in mereka menggali kembali tulang belulang Wycillfe untuk dipatah-patahkan dan dibuang ke laut. Dengan tindakan tersebut mereka memandang penolakan terhadap agama menjadi hilang. (ibid). Resistensi para teolog yang demikian tinggi dan sengit menentang para ilmuan seperti Bacon, Wycliffee, Bruno, Galileo, dan 10.000 an
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
214 pemikir lainnya tampak berkaitan dengan berbagai sebab. Diantaranya adalah: (1) dominasi pemahaman tekstual dalam agama; (2) adanya kepentingan kuat untuk memaksakan dogma- dogma teologi; (3) kesangsian bahwa jika terjadi penolakan atas satu aturan saja, apakah melalui sains atau yang lainnya dapat menyebabkan keruntuhan dan ketidak utuhan seluruh tatanan sosial; (4) oleh karena suatu sains dan pemikiran bebas adalah ancaman dan harus diharamkan. Dalam kaitan itulah teolog menghukum Galileo. Hukuman terhadap Galileo meskipun sama sekali bukan merupakan contoh yang paling ekstrim dalam catatan sejarah, tetapi memiliki arti khusus karena inilah larangan pertama dari agamawan yang efektif terhadap pendapat ilmiah. Bernard Shaw mengemukakan pengamatannya, bahwa dihukumnya Galileo bukanlah karena fakta kontradiksi antara teori “bumi bergerak mengelingi matahari”. (Helio Centrisme) dan “ bumi pusat stasioner yang dikelingi matahari” (geocentrime). Persoalannya bukan itu. Sesungguhnya teori ini adalah fakta fisik tanpa dimensi moral yang berarti karena itu tidak memiliki efek terhadap teologi. Namun dalam keyakinan teolog, karena agama menjadi tempat bergantung peradaban dunia, maka pergeseran –pemaham (geosentrime ke heliocentrime) yang diakibatkan oleh sains dapat berakibat buruk terhadap agama.) Tampaknya agamawan tidak dapat membendung hasil penemuan sains yang mengungkapkan bahwa banyak cerita-cerita dalam agama, dari taktik Joshua dalam perang Gideon sampai masalah kenaikan (Isa), ditulis oleh orang yang tidak mengetahui seperti apa sebenarnya alam semesta ini, (Bernard Shaw, 1965: 369) Namun tekanan atas pemikiran ilmiah oleh agamawan di abad pertengahan telah terjadi. Banyak ahli yang secara serius mempelajari periode ini. Satu di antaranya adalah lahirnya karya mengagumkan dari Anderw Dickson White yang terdiri dari dua volume dengan judul A History of The Warfare of Science With Theology. Tulisan ini diterbitkan pada tahun 1896. White kemudian menjad presiden pertama Universitas Cornell. (Andrew Dickson White, 1896). Diantara isi karyanya tersebut adalah mengenai penolakan teologi atas doktrin
Dai dan Akademisi
215 mengenai bulatnya bumi. Teori ini tentu berisi bahwa bumi mempunya dua kutub yang berlawanan. Hal ini diserang dengan sengit oleh para teolog. Dalam pandangan mereka, konsekuensi dari teori ini adalah sesuatu yang tidak bisa dipercaya bahwa pepohonan tumbuh ke bawah, hujan dan salju tercurah ke atas. St. Agustine yang berwenang mempertahankan teologi dengan teguh menentang gagasan mengenai adanya dua kutub yang berlawanan itu. Kaum agamawan Eropa selama 1000 tahun mempertahankan keyakinan bahwa tidak ada kehidupan manusia di sisi bumi yang lain, sekalipun secara ilmiah dibuktikan bahwa bumi memiliki sisi yang berlawanan. Pada abad ke 6, Procopius dari Gaza membawa senjata teologis untuk mendukung keyakinan itu. Dia mengatakan tidak mungkin ada sisi yang berlawanan, karena dengan demikian Kristus harus pergi ke sana dan menderita untuk yang kedua kalinya. Disamping itu, harus ada duplikat surga, Adam, iblis dan banjir besar. Oleh karena itu pendapat tentang bulatnya bumi menurut agamawan Eropa adalah sesuatu yang salah, ini merupakan sebagian dari fakta adanya disharmoni relasi agama, sains dan teknologi di luar Islam. Bukti lain terjadinya disharmoni relasi itu dapat dilihat dari berbagai pendapat agamawan lainnya terhadap berbagai fenomena alam dan kehidupan sosial. Seperti Santa Paul dan Origen, menurut Santa Paul, penyakit adalah akibat pekerjaan setan yang sangat jahat, menurut Origen setanlah yang menyebabkan kelaparan, ketidak berdayaan, pencemaran udara dan wabah. Setan melayang-layang bersembunyi dibalik awan. Kemudian turun ke bumi karena mencium darah dan dupa yang ditawarkan oleh penyembah berhala. Agustine, juga mengemukakan pendapatnya bahwa semua penyakit berasal dari setan. Setan menyiksa orang-orang yang baru dibaptis, bahkan bayibayi tak berdosa yang baru lahir sekalipun. Ruh setan dan kejahatanlah yang menyebakan penyakit, penyembuhannya dilakukan dengan mengusir setan itu melalui alat-alat seperti benda-benda sakral, banyak sumbangan mengalir ke berbagai rumah ibadah yang terkenal memiliki benda-benda sakral yang dipandang dapat menyembuhkan penyakit. Dalam konteks ini rumah ibadah bukan hanya pelindung jiwa tetapi juga pelindung fisik. Dalam konteksi inilah terjadi resistensi yang sangat kuat terhadap ilmu kedokteran.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
216 Pemahaman agama seperti tersebut selanjutnya melahirkan takhayul. Sedangkan fakta ilmiah kemudian melahirkan teknologi kesehatan. Hal tersebut di atas dapat juga dilihat dari pemahaman tentang wabah penyakit. Wabah, seperti cacar dan kolera dianggap agamawan sebagai hukuman tuhan. Teknologi suntikan untuk penderitanya ditentang dengan keras oleh kaum ortodoks. Argumen yang dipakai adalah bahwa cacar merupakan hukuman tuhan atas dosa- dosa manusia. Menghindarinya hanya akan membuat-Nya lebih marah lagi. Rumah seorang pria yang memberikan perlindungan kepada peneliti awal vaksin cacar, Dr. Boylston dilempari dengan granat. Melalui khotbahnya, para pemuka agama melontarkan penghinaan kepada para ilmuwan penganjur vaksinasi. Namun berdasarkan faktanya suntikan itu membuat manusia dapat terus hidup. Tanpa suntikan mereka akan mati. Akhirnya dengan terpaksa teknologi suntikan diterima oleh agamawan. Penentangan serius dalam perkembangan kedokteran ilmiah adalah penolakan terhadap teknologi pembedahan mayat. St. Agustine menyebut ahli anatomi sebagai tukang jagal dan mencela praktik ini dengan tegas. Dalam pandangan umum para agamawan bahwa pemotongan mayat akan menimbulkan kengerian yang tak terbayangkan pada hari kiamat, di samping itu menurut mereka “teologi membenci pertumpahan darah” Argumen di atas kontradiktif dengan fakta bahwa agamawan pernah membakar ribuan pendosa dan ahli sihir yang dicurigai. Fakta tersebut menunjukkan bahwa para teolog tidak terlalu membenci penumpahan darah bila itu menyangkut kepentingan mereka sendiri. Pada tahun 1770, terjadi fenomena menakjubkan dibeberapa wilayah Eropa. Kemudian dilaporkan ke Royal Academy of Science (akademi sains kerajaan), bahwa air telah berubah menjadi darah. Para rohaniawan lalu menyebut indikasi ini sebagai kemarahan tuhan. Ketika masalah serupa terlihat di Swedia, seorang naturalis terkenal, Linnaeus menyelidiki fenomena ini dengan penuh perhatian dan menemukan bahwa pemerahan air disebabkan oleh sekumpulan besar serangga-serangga kecil. Ketika Uskup mendengar kabar tentang penemuan ini, dia mencela penemuan ilmiah tersebut sebagai “ jurang
Dai dan Akademisi
217 setan” dan mengumumkan bahwa “pemerahan air tidaklah alamiah” oleh karena Linnaeus bukanlah seorang pemberani dan ia sangat tahu apa yang telah terjadi pada Galileo. Akhirnya dalam menghadapi persoalan ini dia mengalah dan mengumumkan bahwa kebenaran tentang masalah itu di luar pemahamannya. Para rohaniawan dan teolog Eropa abad pertengahan dengan bersemangat menyatakan bahwa komet adalah bola api yang dilemparkan oleh tuhan yang sedang marah kepada dunia yang jahat. Para pendukung keyakinan ini membandingkan tuhan yang melempar komet dengan hakim yang meletakkan pedang eksekusi di atas meja di antara dirinya dan penjahat di gedung pengadilan. Berkaitan dengan hal itu para agamawan mencela orang-orang yang tidak peduli terhadap peringatan tuhan tersebut dan menyamakan mereka dengan sapi-sapi yang melenguh di pintu gudang. Bahkan sampai akhir abad ke 17, para profesor astronomi terhalang oleh penentangan agamawan untuk mengajarkan bahwa komet adalah benda-benda langit yang memenuhi hukum-hukum fisika. Tetapi pada dasarnya sains tidak dapat dibendung, Halley, dengan menggunakan teori Newton dan Keppler, mengamati lintasan sebuah komet dan meramalkan bahwa komet ini akan tampak tepat 76 tahun kemudian. Dia menghitung persis sampai menit-menit kapan komet tersebut akan terlihat lagi dititik tertentu di langit. Ketika itu pendapatnya di tentang. Tetapi 76 tahun kemudian, ketika Halley dan Newton telah lama wafat, komet Helley kembali, persis seperti yang diramalkan. Teolog juga menganggap geologi sebagai alat yang sangat subversif dalam pelayanan setan, bukan saja bukti geologis menolak penegasan uskup agung Ussher mengenai usia bumi, tetapi juga menunjukkan kemustahilan penciptaan semesta dalam enam hari. Kaum ortodoks menyatakan bahwa geologi “ bukanlah ilmu yang sah menurut hukum”. Geologi adalah ”seni yang hitam”, “artileri neraka” dan menyatakan pelakunya sebagai kafir yang menyebabkan keraguan terhadap naskah suci. Atas dasar simpatinya terhadap pernyataan ini, Paus Pius IX melarang kongres ilmiah Itali untuk berkumpul di Bologna pada tahun 1650.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
218 Selama abad pertengahan, doktrin tentang asal usul badai telah diterima secara umum. Doktrin tersebut mendapat dukungan dari para penguasa dan teolog seperti St. Agustine, badai menurut mereka adalah perbuatan setan. Untuk melawan kekuatan udara yang luar biasa ini dilakukan segala macam ibadah pengusiran setan. Yang paling sering dipakai adalah ibadah dari Paus Gregory XIII. Pada mulanya setan diusir dengan berbagai nyanyian dan membunyikan lonceng selama badai. Kemudian pada abad ke 15 berkembang keyakinan tragis bahwa wanita-wanita tertentu dapat mendatangkan bantuan dari neraka untuk menyebabkan angin puyuh, hujan es, banjir dan sejenisnya. Pada 7 Desember 1484, Paus Innocent VIII mengeluarkan keputusan resmi yang diilhami oleh perintah wahyu, “ kamu tidak boleh menderita dengan membiarkan tukang sihir hidup”. Dia segera mendesak para teolog untuk melacak para tukang sihir dan ahli sulap yang menyebabkan cuaca buruk sehingga kebun anggur, taman, lapangan rumput dan gandum yang sedang tumbuh. Maka ribuan wanita mengalami siksaan yang kejam di hadapan orang-orang terdekat dan tersayang mereka, mereka berharap untuk mati secepatnya agar terbebas dari penderitaan. Halilintar menurut dogma agama adalah konsekwensi dari lima dosa, yaitu (a) tidak bermalu, (b) tidak percaya, (c) menolak untuk merawat rumah ibadah, (d) curang dalam pembayaran pajak kepada rumah ibadah, dan (e) menekan yang lemah. Paus menyebut hukuman tuhan ini dengan “jari jari tuhan”. Kemudian pada tahun 1752, ketika sedang terjadi badai elektrik, Benyamin Franklin menerbangkan layang layangnya. Dalam eksperimennya itu ia menemukan bahwa petir hanyalah gejala elektrisitas biasa, penemuan tersebut segara diikuti dengan penemuan penangkal petir pelindung yang aman bahkan dari badai paling mengerikan sekalipun. Pada awalnya para teolog menolak untuk mengakui keberadaan teknologi penangkal petir ini. Tetapi begitu keampuhan dari konduktor petir ini diakui secara luas dan makin banyak dipasang kaum ortodoks menentangnya dengan keras. Sejalan dengan itu gempa bumi di Massachusset pada tahun 1755 dituduhkan kaum Ortodoks sebagai akibat luasnya pemakaian alat penangkal petir Franklin di Boston. Pertentangan ini terjadinya akan lama, namun ternyata rumah-rumah ibadah yang
Dai dan Akademisi
219 tidak ada penangkal petir sering kali hancur disambar petir. Di Jerman antara tahun 1750 dan 1783 saja, terdapat sekitar 400 menara rumah ibadah yang hancur dan 120 penggerak lonceng rusa gara-gara petir di sisi lain rumah bordil dengan penangkal petirnya yang menjulang tinggi tetap berdiri gagah dan aman. Bahkan dalam badai yang terburuk sekalipun. Beberapa rumah ibadah yang telah menggunakan penangkal petir juga tidak tersentuh badai. Begitulah, meskipun masih ada rasa enggan, akhirnya penangkal petir diterima oleh agawaman dan dipergunakan untuk melindungi sebagian besar rumah ibadah di akhir abad itu. Ketika Immanuel Kant memperkenlan teori tentang Nebula dan bintang bintangnya, para teolog menentangnya karena mereka tidak melihat adanya rujukan mengenail hal itu dalam kitab suci. Oleh karena itu menurut mereka Nebula tidak ada. Para pendukung teori Nebula ini baru bisa lega ketika teleskop dapat dibuat lebih baik sehingga menunjukkan bahwa beberapa pola materi Nebula ternyata dapat dipisahkan menjadi bintang-bintang. Tetapi dengan berlalunya waktu masuklah era penemuan spektroskop dan analisis spektrum. Cahaya dari Nebula ternyata berasal dari materi gas antar bintang. Dengan demikian kaum Ortodoks akhirnya mengalah. Daftar kekejaman para teolog dan penguasa Erop abad pertengahan dalam menentang sains dan teknologi jauh lebih panjang dari uraian di atas. Konflik antara sains dan ortodoks masih terjadi sampai masa kepresidenan Ronald Reagan. Sekitar tahun 1980 an dalam gerakan Kreasionis di Amerika Serikat. Gerakan ini mendapat banyak sambutan dam mendapat sambutan dan pendukung dibanyak negara bagian. Ajaran Kreasionis memiliki keyakinan utama bahwa semua kehidupan di alam semesta diciptakan sekitar 6000 tahun lalu, selama 7 hari, persis seperti yang digambarkan dalam bab-bab pertama genesis. Jadi banjir besar dianggap sebagai fakta sejarah. Tidak hanya sebagai kiasan. Ajaran Kreasionis menyerang semua bidang astronomi dan geologi yang meyatakan usia bumi lebih dari 10.000 tahun. Dalam kaitan ini pendataan karbon radioaktif ditolak. Demikan pula dengan teori Darwin mengenai evolusi. Teori ini menimbulkan kemarahan besar Hakim Braswell Deen, seorang Kreasionis dan hakim dari Georgia State Court of Appeal menulis bahwa “ mitologi monyet dari
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
220 Darwin menyebabkan kebebasan, perzinaan dan perkembangan kejahatan (Pollete, 1983). Walaupun terjadi kebangkitan ortodoksi di barat, perang terhadap kebangkitan sains tidak banyak berarti. Mereka tidak berhasil memaksa sekolah-sekolah agama menetapkan waktu penciptaan yang sama menurut sains dan menurut Bibel. Dengan berakhirnya kepresidenan Reagan, ajaran Kreasionispun mengalami kemunduran. Di samping itu, dunia modern tidak mau membiarkan agamawan melupakan kekejaman masa lalunya. Simbol dari semua ini adalah penyiksaan Galileo dan penolakan keras atas pandangan ilmiahnya. Pada 9 Mei 1983 dunia meyaksikan suatu peristiwa penting, dalam suatu upacara istimewa di Vatikan, Paus John Paul II mengeluarkan suatu pernyataan yang harus dianggap sebagai permintaan maaf pertama secara resmi: ”Pengalaman generasi Galileo dan seterusnya telah menumbuhkan sikap yang lebih dewasa... hanya melalui sikap rendah hati dan telaah seksamalah agamawan dapat belajar untuk memisahkan esensi keimanan dari sistem sains dari setiap zaman. Permintaan maaf ini tentu terlambat 3,5 abad .
B. Harmoni relasi agama, sains dan teknologi Sebagaimana dapat diketahui bahwa suasana dikotomis di atas terjadi di luar Islam. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Profesor Abdus Salam, “ tidak diragukan lagi bahwa dari seluruh peradaban di planet ini, sains menempati posisi paling lemah di dunia Islam. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kelemahan ini berbahaya karena kelangsungan hidup suatu masyarakat pad abad ini secara langsung bergantung pada penguasaannya atas sains dan teknologi. Belakangan ini negeri-negeri muslim benar-benar tergantung pada teknologi barat. Mulai dari gedung-gedung pencakar langit, bandarabandara modern dengan pesawat pesawat terbang canggih. Mobilmobil dan media elektronika yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok negeri muslim adalah hasil sains dan teknologi yang di impor dari negara barat. Teknologi yang digunakan masyarakat muslim untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka juga diimpor dari negara Barat.
Dai dan Akademisi
221 Eksplorasi minyak, ekstraksi, penyulingan dan transportasi merupakan contoh-contoh penting. Masyarakat Barat mengizinkan bangsa-bangsa seperti Arab Saudi, Iran dan Indonesia untuk menukar kekayaan alamnya dengan barang-barang produk mereka mulai dari persenjataan sampai alat pembuka kaleng sekalipun. Akibatnya masyarakat muslim tergiring untuk tidak produktif karena terlalu bergantung pada sumber daya alam dan teknologi barat. Belakangan ini rasa menyesal menyelimuti masyarakat muslim karena faktanya bahwa ketergantungan terhadap sains dan teknologi barat itu menyebabkan umat Islam terbelakang dan termajinalkan. Akhir-akhir ini ada keinginan di kalangan umat Islam untuk mengembalikan kejayaan masa lalunya ketika para teolog Islam berperang memberi dorongan bagi kemajuan sains dan teknologi dengan cara mengembangkan semangat rasionalisme terutama pada masa daulah Abbasiyah. Ketika itu kaum teolog karena juga merupakan pimpinan politik dan banyak antara mereka yang memegang jabatan penting, memberi kesempatan kepada para ilmuan untuk mengembangkan sains dan teknologi. Dalam konteks itulah kaum muslimin pernah memberi warna indah bagi sejarah peradaban umat manusia, pada saat itu berdiri berbagai universitas dan pusat kajian Islam. Sementara di negeri Barat sendiri belum mengalami perkembangan yang berarti. Khalifah alMakmun pada tahun 830 mendirikan Bait al-Hikmah, yaitu sebuah akademi yang dilengkapi dengan perpustakaan. Pada masa kekhalifahan al Aziz (975-996 M) dari dinasti Fatimiah berdiri pula universitas Al-azhar di Kairo, Mesir. (Ilhamuddin, 1973; 3 (Nasution, 1985; 78, K. Hitti; 1974: 410, Nasr, 1970: 67-69). Bangga dengan sejarah silam itu tidak dapat dikatakan tidak membawa dampak yang berarti bagi kondisi kekinian umat Islam. Lingkungan sains di negara-negara Islam kini dipenuhi dengan berbagai paradoks. Di satu sisi, semua negara Islam berada dalam genggaman erat teknologi dan pasar konsumerisme barat yang merupakan hasil dari revolusi ilmiah. Di sisi lain ada keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut, tetapi tidak didukung oleh upaya maksimal di dalam menguasai sains dan teknlogi. Memang ada di antara negara Islam yang bersemangat
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
222 mengembangkan teknologi nuklirnya seperi Iran. Namun di samping mendapatkan tekanan internasional, terutama Amerika, secara keseluruhan dari dunia Islam itu. Hal itu terlahir atas kesadaran bahwa sains telah menjadi pengetahuan penting. Kemudian penguasaan atas sains itu diperlukan bagi kepentingan ekonomi dan pertahanan keamanan. Dalam konteks ini tidak ada kelompok umat Islam yang berani menolak sains secara total, namun metode ilmiah yang selalu mempertanyakan ide-ide termasuk yang sudah mapan sekalipun, dirasakan oleh sebagian kalangan dapat mengancam pemikiran tradisional. Ada upaya dari kaum modernis dan pragmatis Islam untuk menggabungkan ide baru dan lama, namun sikap mereka terhadap sains seringkali skizofrenik, terutama di negara-negara Islam yang kekuasaan negaranya dipegang kaum ortdoks. Sikap tersebut tergambar dari pandangan delegasi Saudi pada suatu konfrensi yang diadakan di Kuwait pada tahun 1983. Tujuan konferensi ini adalah untuk mengenali dan menyingkirkan kemacetan perkembangan sains dan teknologi dunia Arab. Tetapi ada satu topik yang mendominasi pertemuan itu yaitu: Islamkah sains? Delegasi Saudi berkomentar bahwa sains murni berpotensi menghasilkan kecendrungan Mu’tazilah yang membawa bid’ah. Sains adalah sesuatu yang profan karena bersifat sekuler. Menurut pandangan mereka, sains kontradiktif dengan keyakinan Islam meskipun teknologi harus dimajukan karena manfaatnya yang nyata, sains murni menurut mereka seharusnya dihambat. Sikap ini memang tidak dapat dijadikan ukuran umum dikalangan umat Islam. Namun merupakan fakta adanya gejala resistensi terhadap sains dan teknologi demikian harmonisnya. Hal tersebut di atas merupakan sebagaian gambaran dari sikap umat Islam pada masa belakangan ini terhadap sains dan teknologi. Fakta ini mengindikasikan terjadinya penurunan apresasi terhadap ilmu pengetahuan, boleh jadi juga menunjukkan kehati-hatian atau ketidaktahuan karena tidak ada satupun ajaran Islam yang kontradiktif dengan sains dan teknologi, sebagaimana terjadi di luar Islam di atas. Umat Islam dari dulu sampai sekarang memiliki kesadaran yang memadai tentang pentingnya sains dan teknologi apalagi dalam persaingan global belakangan ini sehubugan dengan
Dai dan Akademisi
223 itu, maka dominasi teologis yang mewarnai sikap umat Islam selama ini harus diimbangi dengan apresiasi dan penguasaan terhadap sains dan teknologi.
C. Penutup Pengalaman teologis yang terjadi di luar Islam abad pertengahan sebagaimana diuraikan di atas telah menciptakan disharmoni antara agama, sains dan teknologi. Faktor paling dominan dalam konteks itu adalah pemahaman tekstual pemuka agama terhadap doktrin. Sehubungan dengan itu, para ilmuan muslim harus turut membantu para pemuka agama di dalam menjauhkan umat dari takhayul. Para ilmuan maupun agamawan harus mampu menciptakan kesadaran bahwa di dalam Islam terdapat hubungan yang serasi antara agama, sains dan teknologi.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
224 DAFTAR BACAAN Andrew Dickson White, A history of Warger of Science with Theology, 1896, (dicetak ulang oleh Peter Smith, Gloucester, Mass, 1978) C. la Polette, Cretionisme, Science, and The law, The Arkansas Case, (Cambridge, Mass, MIT Press, 1983) Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I, UI Press, Jakarta, 1985 Ilhamdudin, Ukhuwah Islamiah Dalam Perspektif Teologi Islam, Dalam : Berigam Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam, Juli – September 2004 -----------Kontribusi Teologi Dalam Kehidupan Sosial Umat Islam, dalam : Madani, Jurnal Ilmu Ilmu Sosial, terakreditasi, Vol. IV , no 3, Oktober 2003, UMSU Medan, 2003 --------- Reorientasi Relasi Tteologi IIslam dengan Amar Makruf Nahi Mungkar, dalam : Miqat, Jurnal ilmu ilmu KeIslaman, Vl. XXVIII, no 2 Juli 2004 ------- Pemikiran Kalam al-Baqilani, Studi Tentang Persamaan dan Perbedaannya Dengan al-Asy’ari, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997 -------- Persepsi Calon Mahasiswa Baru Tehadap IAIN Sumatera Utara, dalam Intizar Jurnal Kajian Agama IIslam dan Masyarakat, terakreditasi, Pusat Penelitian IAIN Raden Fatah Palembang, Palembang, 2006 -------- Anthropocentrisme dan Theocentrime dalam Jurnal Ushuluddin, Fakultas Ushuludin IAIN SU Medan, Januari-Febuari –Maret, 1994 Pervez Hoodbhoy, Islam and Science, Religion Orthodoxy and the Battle for Rationality, terj. Sari Meutia, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas antara Sains dan Ortodoksi Islam, Mizan , Jakarta, 1996 Philif K.Hitti, History of the Arabs, The MacMillan Press LTD, London, 1974 Sayyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, the New American Library, New York, 1970.
Dai dan Akademisi
225
Bab Vi
UNTAIAN KATA TENTANG PROF. DR. H. A. YA’KUB MATONDANG, MA
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
226
Dai dan Akademisi
227 1. KETELADANAN YANG BAIK Hj Siti Mariani Harahap KETUA YAYASASN PENDIDIKAN HAJI AGUS SALIM
Dengan penuh rasa syukur, ke hadirat Allah SWT, saya menyambut baik diterbitkannya buku yang berjudul: Da’i dan Akademisi (63 tahun Prof. Dr. H. A. Ya'kub Matondang, MA), yaitu sebuah buku yang memberikan gambaran mengenai perjalanan hidup, keteladanan, perjuangan dan perjalanan karier saudara Prof. Dr. H. A. Ya'kub Matondang, MA hingga ke puncak pengabdiannya sebagai seorang da’i dan akademisi. Buku ini juga tentu menjadi sumber pelajaran yang sangat bermanfaat karena mencakup sebagai pengalaman tentang gerakan moral dalam menegakkan amal ma’ruf nahi munkar demi tegaknya kehidupan madani yang di dalamnya terisi oleh perbuatan yang haq serta sebagai sumber inspirasi dalam upaya perbaikan diri untuk menyingkirkan setiap perilaku yang batil. Saya mengenal sosok pak Matondang sebagai da’I dan akademisi yang teguh dalam pendirian, tegas serta senantiasa bersikap berdasarkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Beliau juga adalah pribadi yang cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru, hangat dalam pergaulan, pekerja keras, menghargai persahabatan dan santun berprilaku, sebagaimana tampak dalam kehidupan kedinasan dan kepribadiannya yang berakar pada tradisi Mandailing dan lingkungan Muhammadiyah. Pak Matondang memilih sebagai da’i dan akademisi sebagai garis hidup, perjuangan dan jalan pengabdiannya kepada bangsa dan negara serta dapat bekerja sama dengan beliau, yang memiliki integritas, mampu memahami secara cepat dan tanggap terhadap
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
228 bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya, meski terkadang berat dan berisiko. Kiprah Prof. Dr. H. A. Ya'kub Matondang, MA bukan hanya di bidang akademis, tetapi juga menjadi da’i yang sangat dikenal masyarakat khususnya masyarakat Sumatera Utara dan beliau tidak hanya berdakwah di wilayah perkotaan saja tetapi juga membina keislaman dan keimanan masyarakat melalui dakwah di daerah pedesaan bahkan di daerah terpencil. Kepakaran beliau dalam bidang akademis sudah tak diragukan lagi sebab beliau pernah dipercaya menjadi Rektor IAIN Sumatera Utara yaitu dari tahun 1996-2001. Setelah itu beliau menjabat sebagai Rektor Universitas Medan area mulai tahun 2005 sampai saat ini. Lebih dari itu kepakaran beliau dalam bidang keilmuan juga bergaung di negeri jiran Malaysia, sehingga beliau pernah dipercaya oleh pihak Kerajaan Malaysia menjadi salah satu staf pengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dan Universitas Sains Islam Malaysia. Tentu masih banyak lagi peran, kiprah dan perjuangan pak Matondang dalam pentas nasional maupun internasional. Saya berharap melalui penerbitan buku ini akan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, intelektualitas, dan menjadi teladan bagi generasi penerus bangsa. Kita patut meneladani perjalanan hidup beliau yang berjuang, mengabdi dan berbakti tanpa pamrih dalam membangun kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat. Akhirnya semoga Allah SWT memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diemban sehingga dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Amin
Dai dan Akademisi
229
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
230
Dai dan Akademisi
231 3. PEMIKIR YANG TENANG Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) Rektor Universitas Sumatera Utara
Dikalangan akademisi di Sumatera Utara beliau dikenal sebagai sosok pemikir yang begitu kuat meletakkan dasar-dasar ke-Islaman baik dalam derap langkah, karya maupun dalam aktifitas sehari-hari. Sikap dan perilaku beliau mencerminkan kearifan, tenang namun penuh dengan pertimbangan dan kehati-hatian. Tentu karakter ini sangat relevan dengan latar belakang studi keagamaan yang dijalaninya serta eksistensi beliau yang dikenal sebagai da’i/ulama. Memang jalinan silaturahmi diantara kami tidaklah begitu kuat namun saya mengenal beliau sebagai seorang yang pernah memimpin dibeberapa perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Diantara perguruan tinggi yang pernah dipimpin oleh beliau adalah Institut Agama Islam Sumatera Utara (IAIN SU) selama dua priode dan sekarang beliau masih menjabat sebagai Rektor Universitas Medan Area (UMA), yang merupakan salah satu perguruan tinggi swasta terbesar di kota Medan.
Akademisi dan da’I yang aktif. Wujud dari keteguhan sikap dan prilaku beliau terproyeksi dalam prinsip hidup dan kapasitas beliau sebagai Guru Besar IAIN SU. Dengan sikap tawaduk, tekun dan terbuka menjadikan beliau sebagai figure yang selalu menjaga profesionalitas akademiknya dengan tetap selalu berkarya dan memiliki aktifitas yang cukup tinggi dibidangnya. Ruang aktifitas beliau juga tidak hanya terbatas pada forum pertemuan akademik, hingga forum kajian keagamaan/ke-Islaman yang berskala nasional saja, tapi meluas hingga ketingkat
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
232 internasional. Keaktifan inilah yang menjadikan beliau sebagai pendidik yang kaya dengan ilmu duniawi dan ukhrawi yang telah menghasilkan banyak karya tulis. Menurut hemat saya, keteguhan sikap beliau terutama dalam melakukan kajian ilmu dan syiar agama merupakan wujud dari tanggung jawab serta dorongan moril yang begitu kuat dimilikinya. Kajian dan syiar yang dilakukan beliau adalah semata demi mengembangkan khasanah keilmuwan serta pengembangan kajian keIslaman yang bila diamati pada era sekarang ini cenderung bahwa umat manusia mulai melupakan tanggung jawabnya sebagai makhluk Tuhan. Bila mencermati curriculum vitae beliau, aktifitas yang dilakukan oleh sosok Prof. Dr. H. Ya'kub Matondang, MA tidak hanya berlangsung pada perguruan tinggi tempat beliau mengabdi saja, tapi menjangkau hingga ke perguruan tinggi asing dilingkup negara ASEAN. Menurut catatan sampai sekarang beliau masih aktif menjadi “External Assesor” dibeberapa perguruan tinggi di Malaysia seperti Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Sains Islam Malaysia dan beliau pernah pula menjabat sebagai pimpinan fakultas di universitas negara tetangga tersebut.
Pemimpin Yang Arif Kiprah seorang guru besar yang penuh dengan pengalaman ini menjadikannya sebagai sosok yang memiliki sikap arif dalam memimpin. Mungkin kearifan inilah yang menjadi faktor mengapa beliau sering menerima amanah untuk menjadi pimpinan, seperti menjabat sebagai rektor IAIN SU, UMA, serta beberapa jabatan penting lainnya yang pernah diemban beliau baik di perguruan tinggi di dalam maupun di luar negeri. Dengan beberapa penghargaan yang diperoleh serta dengan segenap karya dan penelitian yang dilakukan, tampaknya beliau merupakan sosok yang tak pernah lupa pada hakikat menjadi seorang akademisi yang sekaligus sebagai seorang ulama. Beliau termasuk seorang pendidik yang terus menerus aktif dalam kegiatan transformasi ilmu dan memberikan tausyiah dalam rangka
Dai dan Akademisi
233 memberikan pencerahan bagi umat yang haus akan siraman pengetahuan dan pancaran sinar keagamaan. Menurut saya sikap arif yang begitu kukuh dipegang oleh beliau tampak tercermin dalam pembinaan hubungan antar sesama kolega di lingkungan akademisi, dan terlihat juga dalam hubungan antara atasan dan bawahan khususnya berkaitan dengan jabatan yang pernah diamanahkan pada beliau. Mengutip pendapat dari beberapa literature bahwa sikap “Arif dan Bijaksana” itu mempunyai sifat yang beriringan dengan sifat lainnya yaitu: Qonaah (menjaga kehormatan) Istiqamah (teguh) Fathonah (cerdas) Amanah (menepati janji) dimana semua sifat-sifat tersebut dimiliki oleh Rasulullah, Muhammad SAW. Akhirnya, demikian untaian kata ini saya sampaikan sebagai ungkapan rasa hati saya terhadap sosok Prof. Dr. H. Ya'kub Matondang, MA, sehubungan dengan penulisan buku beliau yang berjudul “Da’I dan Akademisi”, seraya mendo’akan semoga beliau selalu mendapat limpahan rahmat dan karunia dari Allah SWT sehingga beliau dapat terus berkarya dan berbakti pada nusa, bangsa dan agama sehingga dapat memberikan manfaat bagi umat dan kita semua dan seraya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan untaian kata ini. Terima kasih.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
234 4. KAYA PENGALAMAN Oleh: Prof. Dr. Nur A. Fadhil Lubis, MA Rektor IAIN SU Medan
Dengan kekayaan pengalaman yang dimilikinya, profil Prof. Dr. H. Ya'kub Matondang, MA tidak mudah untuk disarikan ke dalam beberapa baris atau paragraph. Begitupun bagi saya, yang paling mengagumkan dari sosok Prof. Dr. H. Ya'kub Matondang, MA adalah kemampuannya yang prima memadukan dua aktifitas sekaligus, yakni aktifitas akademisi dikampus dan aktifitas keummatan di tengah masyarakat. Sebagai ilmuwan beliau tidak memilih mengurung diri di Menara Gading, tetapi turut merasakan pahit getir denyut kehidupan umat yang dibinanya. Tidak ada mungkin yang membantah bahwa beliau telah berhasil membangun kesuksesan besar di dua lini sekaligus. Track record beliau menunjukkan itu sedemikian jelas. Antusiasme dan daya gerak adalah hal lain yang menurut hemat saya patut ditonjolkan tentang pribadi Prof. Dr. H. Ya'kub Matondang, MA. Di usianya yang ternyata telah menapaki enam dekade, sama sekali tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa antusiasme tersebut akan menurun. Hal ini jelas merupakan sesuatu yang patut ditiru dan diteruskan oleh generasi yang lebih junior. Akhirnya, sebagai salah seorang junior, saya ingin turut berembug doa dan dukungan, semoga Prof. Dr. H. Ya'kub Matondang, MA dianugerahi Allah SWT usia yang panjang, kesehatan yang prima dan daya juang yang tak kunjung padam. Amin.
Dai dan Akademisi
235 5. BERWIBAWA DAN RENDAH HATI Profesor Dato’ Dr. Muhammad Muda Rektor (Naib Canselor) Universiti Sains Islam Malaysia Malaysia
Assalamu’alaikum Sejahtera
warahmatullahi
wabarakatuh
dan
Salam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala Tuhan yang menurunkan al-Qur'an sebagai penyelamat dan pedoman umat manusia; Salawat dan salam kepada junjungan besar nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam kekasih Allah dan pembawa rahmat kepada makhluk keseluruhannya, ahli bait, para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan setiap insan yang mencontohi mereka dari semasa ke semasa. Terlebih dahulu saya ingin merekamkan setinggi-tinggi penghargaan kepada sahabat saya, Y.Bhg. Prof. Dr. H. A. Ya’akub Matondang atas ketokohan, keilmuan dan keikhlasan beliau sepanjang memberi sumbangan yang amat bermakna kepada masyarakat dalam pendidikan dan khususnya kepada watan Universiti Sains Islam Malaysia suatu masa dahulu, yang sememangnya dilihat amat besar ertinya dalam arena pengajian tinggi. Sesungguhnya, Y.Bhg. Prof. Dr. H. A. Ya’akub Matondang merupakan seorang insan yang istimewa, berwibawa, dan amat merendahkan diri dalam semua perkara. Berperawakan amat peramah, suka membantu dan bijak berkomunikasi membuatkan beliau disenangi oleh masyarakat sekeliling. Sumbangan beliau dalam bidang pendidikan tidak dapat disangsi dan disangkal lagi. Pengalaman lebih daripada 30 tahun dalam sistem pendidikan dan pengajian tinggi merupakan asset yang amat berharga dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
236 Penglibatan dan pengalaman Y.Bhg. Prof. Dr. H. A. Ya’akub Matondang di peringkat antarabangsa melayakkannya dianugerahkan pingat yang sungguh berprestij, iaitu Piagam Tanda Kehormat Satyalencana Karya Satya 30 tahun dari Presiden Republik Indonesia pada tahun 2001. Ketokohan profil beliau amat dikagumi dalam mengetahui sesuatu kegiatan organisasi sosial, pendidikan dan kemasyarakatan di Republik Indonesia. Saya yakin, masyarakat mampu mengenali Y.Bhg. Prof. Dr. H. A. Ya’akub Matondang secara lebih dekat apabila membaca terbitan buku yang sangat istimewa ini. Justeru, penerbitan buku ini tepat pada masanya dan sewajarnya dimanfaatkan oleh tenaga akademik kontemporari. Saya mewakili Universiti Sains Islam Malaysia merakamkan setinggi-tinggi penghargaan kepada Y.Bhg. Prof. Dr. H. A. Ya’akub Matondang, Rektor Universitas Medan Area, dan tahniah atas kejayaan-kejayaan yang dikecapi, serta ucapan terima kasih atas segala kerjasama dan jasa budi yang telah dicurahkan oleh ‘bapak’ selaku orang yang berpengalaman luas dalam arena pengajian tinggi berteraskan pengajian Islam arus perdana ini. Saya juga berharap agar pihak Universitas Medan Area dan USIM akan dapat bekerjasama dengan lebih erat lagi, dan akan dapat bersama-sama meneruskan agenda pembangunan pengajian tinggi ke arah kecemerlangan modal insa, negara, bangsa dan agama. Di kesempatan ini juga saya mengucapkan selamat maju jaya dalam usaha seterusnya dan juga ingin mendoakan agar ‘bapak’ terus dikaruniakan kesihatan yang baik dan sentiasa dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sekian terima kasih.
BERILMU · BERDISIPLIN · BERTAKWA Salam hormat, PROFESOR DATO’ DR. MUHAMAD MUDA Naib Canselor Universiti Sains Islam Malaysia - Malaysia
Dai dan Akademisi
237 6. PAKAR DI BIDANGNYA Prof. Dr. Syamsul Bahri Andi Galigo Fakulti Kepimpinan dan Pengurusan UNIVERSITI SAINS ISLAM MALAYSIA
Awal perkenalan kami dengan Prof. Ali Yakub Matondang ketika beliau menjadi Profesor Pelawat di Universiti Kebangsaan Malaysia (thn 2001). Kemudian diteruskan persahabatan ini setelah beliau menjadi pensyarah kanan di Universiti Sains Islam Malaysia. Beliau adalah seorang yang memiliki personaliti mulia dengan komunikasi yang berbasis husnu zann kepada semua orang. Beliau pakar di bidang ilmu-ilmu Islam terutama dalam tahassus ilmu Dakwah dan Pemikiran Islam. Beliau pernah mengedit buku saya dalam bidang pemikiran Islam (Bahasa Arab) yang telah dijadikan sebagai nota kuliah di Universiti Sains Islam Malaysia. Beliau dengan senanghati memberi pengantar buku “ Paradigma Dakwah dan Pelampau Agama” yang banyak diminati oleh pendakwah di Malaysia. Beliau memiliki sifat tawadhu dalam pergaulan sehingga disukai oleh orang bawah dan atas. Roti canai dan nasi bariani yang menjadi makanan populer di Malaysia telah menjadi kesukaan beliau yang banyak memberi kekuatan fisik sehingga beliau memiliki daya tahan tubuh yang memuaskan. Nostalgia bersama beliau ke Kota Johor menghadiri satu pesta perkawinan salah seorang dosen di USIM, setibanya di Kota Johor hidangan laksa johor dan air sirap bandung telah tersedia …. namun kami agak heran karena Pak Matondang tetap melirik nasi bariani ala India yang juga ikut dihidangkan. Kehidupan beliau dengan berdakwah adalah sebati. Walaupun beliau sibuk dalam bidang pengajaran ketika bersama kami di USIM tetapi beliau tetap mendapat undangan ceramah agama dari masyarakat terutama masyarakat Medan yang berdomisili di Kuala
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
238 Lumpur dan sekitarnya. Buya Matondang begitu dikenali oleh masyarakat Medan yang berhijrah di Malaysia. Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur beberpa kali mengundang beliau memberi ceramah agama dan khutbah hari raya ketika beliau bertugas di USIM. Nabi Muhammad (saw) pernah bersabda, maksudnya “ Sebaik-baik manusia yang panjang umurnya dan baik amalnya”. Semoga Pak Matondang yang kini sudah berumur 63 tahun termasuk dalam kategori hadis ini…..Dan insya Allah akan terus berbakti untuk dakwah dan pengembangan akademik dalam pengkajian ilmu-ilmu Islam.
Dai dan Akademisi
239 7.AKADEMISI DAN DA’I YANG SUKSES Prof. Dr. Zainuddin Koordinator Kopertis Wil I Aceh dan Sumut.
Sejak lama saya sudah mengenal sosok Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA. Ia seorang akademisi dan da’i yang sukses. Sebagai akademisi dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ia telah menapaki karir mulai dari bawah sampai ke puncak, mulai dari Guru Agama sampai Guru Besar, dari golongan I/a (Juru Muda) sampai IV/e (Pembina Utama), dan ia telah memiliki masa kerja maksimal sehingga tidak lagi memperoleh kenaikan gaji berkala. Sebagai da’i dan muballigh, ia telah menekuninya sejak muda sampai usia lanjut, dari desa sampai kota, dari dalam sampai ke luar negeri. Dalam melakukan aktivitas dakwah, ia menggunakan media dakwah kontemporer baik lisan, tulisan maupun audio-visual. Berbagai media cetak, Radio, TV, ia isi dengan materi dakwah yang amat berkesan. Bahkan ia telah menggagas dakwah fungsional, untuk menjadikan dinul Islam berfungsi dalam realitas kehidupan. Kiprah Prof. Matondang di dunia Pendidikan Tinggi untuk melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi (pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat), ia lakukan di berbagai Perguruan Tinggi baik swasta, Negeri maupur Perguruan Tinggi Asing. Di lingkungan PTS ia memiliki pengalaman mengajar di Universitas Muhammadiyah, Universitas Darma Agung, Universitas Medan Area, Universitas Islam Sumatera Utara dan Akademi metalurgi Jakarta. Saat ini ia dipercaya sebagai Rektor Universitas Medan Area untuk periode kedua, setelah sukses mengembangkan universitas ini pada periode sebelumnya. Di PTN, Prof. Matondang pernah dipercaya menjadi Dekan Fakultas Dakwah dan menjadi Rektor IAIN Sumatera Utara. Dedikasi Prof. Matondang
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
240 di Perguruan Tinggi Asing, dimulai sebagai Profesor Tamu (Visiting Professor) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), selanjutnya di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) dan Universiti Malaya (UM). Sampai saat ini, ia masih dipercaya sebagai external assessor dan external examiner di ketiga universitas tersebut. Kesuksesan dan keberhasilan Prof. Matondang bukan hanya sebagai akademisi dan da’i, akan tetapi juga sebagai Kepala Keluarga. Ia telah berhasil membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Keempat putranya telah berhasil menyelesaikan studi pada program magister (S2) dan telah berkiprah di berbagai bidang pendidikan, keamanan, komunikasi dan manajemen. Kami ucapkan selamat kepada Pak Matondang dan keluarga, semoga usia yang ke-63 ini membawa berkah dalam membangun agama, nusa dan bangsa.
Dai dan Akademisi
241 8. BERILMU DAN SABAR A.HUSNA HARAHAP, SE, MBA Ketua DEWAN DAKWAH ISLAMIYAH INDONESIA SU
Permohonan Bapak Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA untuk memberikan sumbangan untaian kata, kami sambut dengan gembira dan dengan segala senang hati. Untuk itu yang pertama sekali kami sampaikan adalah penghargaan tas penulisan buku yang berjudul “Da’i dan Akademisi: 63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA; ini. Karena kami memahami betapa berat dan sulitnya menulis dan atau mengarang suatu buku, apalagi buku yang merupakan karya ilmiah, sebagaimana yang disajikan oleh Bapak Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA. Memerlukan kesabaran, ketekunan dan kesungguhan, serta waktu dan sebagainya. Menulis dan menampilkan buku seperti ini, yang bernuansa ilmiah dan agama, sangat berbeda dengan menulis buku yang lain yang sifatnya umum atau cerita biasa. Buku seperti ini membutuhkan literatur yang sangat banyak yang harus dibaca dan dicerna terlebih dahulu dengan tekun dan sungguh-sungguh sebelum mulai menulis. Dalam kesibukan sehari-hari dengan berbagai jabatan, tugas dan pekerjaan yang cukup padat, namun masih sempat dan berhasil menampilkan karya tulis, juga merupakan penghargaan tersendiri yang layak untuk disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA. Banyak orang yang ilmunya tinggi, punya berbagai gelar, memiliki waktu, kesempatan, fasilitas dan sebagainya, namun belum pernah menulis satu buku pun. Karena hal ini ditentukan oleh kemauan, kesabaran, kesungguhan dan dedikasi. Tanpa kemauan, kesabaran, kesungguhan dan dedikasi, tidak akan pernah seseorang dapat menampilkan suatu tulisan atau buku sekecil dan setipis apapun. Di
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
242 sinilah Bapak Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA kembali tampil beda dari akademisi yang lain. Penulisan buku ini menurut pandangan kami merupakan kontribusi yang sangat berharga dalam rangka pencerdasan umat dan seluruh lapisan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kami harapkan agar kiranya Bapak Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA dapat menulis dan menampilkan karya-karya tulis dan buku-buku yang lain, tidak berhenti hingga di sini. Kepada para pembaca dan masyarakat secara keseluruhan kami himbau, mari kita membiasakan diri menghargai para penulis dan pengarang yang berbakat, tekun dan mempunyai dedikasi, seperti Bapak Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA, sebagai pendorong dan memberi semangat untuk lebih produktif dan terus menampilkan karya tulis. Penulis, pengarang yang berbakat memiliki dedikasi dan talenta, seperti Bapak Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA adalah aset bangsa dan masyarakat yang sangat berharga dan langka (scarcity). Akhirnya kami mendoakan, kiranya Allah SWT memberikan kekuatan, kesehatan dan kelapangan waktu kepada Bapak Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA supaya terus dapat melanjutkan dan meningkatkan aktivitasnya dalam bidang yang ditekuninya. Amin ya Rabbal Alamiin…
Dai dan Akademisi
243 9. SOSOK PEMIMPIN YANG DEMOKRATIS Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, MA
Pak Matondang, demikian panggilan akrab Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA, beliau adalah seorang sosok pemimpin yang demokratis. Sebetulnya banyak sisi pandangan yang perlu diungkapkan dalam melihat sepak terjang perjuangan Pak Matondang, saya hanya mengambil satu sisi saja yaitu bagaimana Pak Matondang mengimplementasikan kepemimpinan sewaktu beliau diamanahi untuk memimpin IAIN Sumatera Utara, sebagai Rektor priode 1996-2001. Saya mengenal Pak Matondang sejak tahun 1974, ketika IAIN Sumatera Utara membuka program sarjana, beliau berkuliah di Fakultas Ushuluddin dan saya di Fakultas Tarbiyah. Tidak berapa lama setelah beliau kuliah di IAIN, beliau mendapat kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar di Mesir. Untuk sekian lama komunikasi terputus sampai beliau kembali ke Medan setelah menyelesaikan studi jenjang S1 di Universitas al-Azhar, Mesir. Sekembalinya beliau ke Medan pada tahun 1978 beliau bertugas sebagai dosen di Fakultas Ushuluddin di IAIN Sumatera Utara, dan saya pada tahun yang sama juga bertugas sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah. Pada tahun 1980, program Pascasarjana pada dua IAIN di Indonesia dibuka, yaitu IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta dan IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta. Pak Matondang melanjutkan studi program S2 nya di IAIN Syarif Hidayatullah sedangkan saya di IAIN Sunan Kalijaga. Hubungan saya dengan beliau tetap terjalin baik. Saya selalu singgah di rumah beliau di Kampung Utan Ciputat, kalau saya datang ke Jakarta. Pada tahun 1991, kami hampir bersamaan selesai studi S3, dan
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA
244 setelah selesai kami juga hampir bersamaan pulang ke Medan. IAIN Medan pada waktu itu dipimpin oleh Bapak Drs. HA. Nazri Adlani, pada waktu itu sedang dalam proses persiapan penggantian dekandekan di semua fakultas. Saya terpilih sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidempuan, sedangkan Pak Matondang sebagai Dekan Fakultas Dakwah. Ketika kepemimpinan pak Nazri berakhir di tahun 1997, maka mulailah dilaksanakan penjaringan para bakal calon Rektor, di antara nama-nama yang muncul termasuklah Pak Matondang, dan untuk itu dilaksanakan penilaian pertimbangan oleh senat dan akhirnya terpilih Pak Matondang sebagai Rektor IAIN Sumatera Utara priode 1996-2001. Pada waktu kepemimpinan beliau ini sebagai Rektor, saya diamanahi oleh Senat IAIN atas persetujuan beliau untuk menjadi pembantu Rektor bidang Administrasi dan Keuangan. Tidak berapa lama setelah beliau dilantik menjadi Rektor terjadilah era reformasi. Suasana dan keadaan pada masa itu dalam keadaan sulit, dari segi politik karena pengaruh suasana alam reformasi, mahasiswa tidak pernah berhenti turun ke jalan, dalam bidang ekonomi lonjakan Dollar Amerika Serikat sampai mencapai Rp. 13.000/ Dollar. Anggaran IAIN kecil, banyak pembangunan-pembangunan yang tidak bisa dilaksanakan karena sedikitnya dana. Pada saat beliau menjadi Rektor dan saya pembantu rektor II, di sinilah saya merasakan tentang pola kepemimpinan beliau yang demokratis. Berbagai persoalan-persoalan dari masalah kecil sampai masalah besar dan sulit kami selesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Beliau selalu mengajak kami berunding tentang berbagai hal, sehingga kami merasakan suasana demokratis itu begitu hidup. Saya merasakan pola kepemimpinan yang sedemikian itu perlu dicontoh oleh para pemimpin yang ingin melaksanakan pola kepemimpinan demokratis. Sekarang beliau telah memasuki usia ke-63, pada usia yang ke-63 ini masih diberikan amanah lagi untuk memimpin Universitas Medan Area, kita doakan semoga diumurnya yang ke-63 ini diberikan Allah kesehatan dan umur panjang serta melahirkan karya-karya yang bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Amin.
Dai dan Akademisi
245 9. HUBUNGAN TERBINA DENGAN BAIK Prof. Dr. Ab Aziz bin Mohd Zin
Bagi jabatan Dakwah dan pembangunan Insan, Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya khususnya dan fakulti-fakulti pengajian Islam di amnya, Prof. Dr. H. A. Ya'kub Matondang sangat tidak asing. Walaupun dari sudut tubuh badannya agak baru bagi kami di Malaysia, namun dari sudut nama dan sumbangannya dalam pengajian Islam dan khususnya dalam dakwah sudah lama dikenali. Dalam bidang pengajian dakwah, sama ada di Universiti Malaya, Universiti Sain Islam Malaysia atau Universiti Kebangsaan Malaysia, Prof. Dr. H. A. Ya'kub Matondang sangat rapat hubungan dengan kami dan pihak-pihak tersebut. Beliau terlibat dengan pengajaran, seminar, dan terutamanya dalam penilaian tesis doktor falsafah dan penilaian kenaikan pangkat kejawatan professor dan professor madya yang dilantik oleh pihak universiti. Kami sangat menilai tinggi kebolehan akademik pak Matondang dan pengalaman luas beliau dalam bidangnya. Maka, atas asas itulah hubungan kami disini terbina dengan baiknya. Diharap, sumbangan beliau akan berterusan dengan mendapat keredaan Allah SWT selayaknya. Amin.
63 Tahun Prof. Dr. H. A. Ya’kub Matondang, MA