BAB I PENGANTAR 1.1
Latar Belakang
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karateristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan hidup. Dalam perjalanan kehidupan umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Selama masih ada perbedaan, konflik tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi (Wirawan, 2009:2). Namun, meskipun konflik tidak dapat dihindari perlu adanya upaya penyelesaian konflik dengan segera sehingga mengantisipasi dampak konflik yang dapat berkembang. Konflik
berdampak terhadap aspek-aspek kehidupan
masyarakat, ketika situasi konflik secara terus menerus berlangsung akan berpengaruh terhadap ketentraman dan ketertiban masyarakat yang bahkan dapat mempengaruhi aspek-aspek lain. Wirawan (2009:27-28) menyebutkan bahwa penyelesaian konflik dapat ditempuh melalui pihak-pihak yang berkonflik dengan mengadakan pendekatan dan perundingan untuk menyelesaikan konflik. Pihak yang terlibat konflik melakukan musyawarah, negosiasi, bertukar informasi, saling mendengar penjelasan, serta malakukan sikap memberi dan mengambil (give and take), untuk menciptakan win & win solution yang memuaskan. Ketika pihak-pihak yang terlibat konflik merasa sama kuat dan benar atau sama-sama mempunyai hak setelah musyawarah perlu pihak ketiga/ulil amri dalam menyelesaikan konflik. 1
2
Di Indonesia, orang yang termasuk pihak ketiga/ulil amri dan berhubungan dengan konflik adalah pemimpin formal, ulama, mediator, arbiter, ombudsman, dan ilmuwan. Mencermati pernyataan tersebut, penyelesaian konflik dapat dilakukan menggunakan pendekatan musyawarah atau negosiasi antara kedua belah pihak yang terlibat konflik, tetapi ketika proses ini tidak menemukan jalan keluar maka diperlukan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Pihak ketiga dapat melibatkan lembaga pemerintah, lembaga agama maupun adat yang ada di suatu wilayah. Korten (1985:14) mengungkapkan bahwa cara penyelesaian konflik lebih tepat jika menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Bagi masyarakat Aceh, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh menjadikan Aceh memiliki hak keistimewaan di bidang adat, agama dan pendidikan. Penyelenggaraan keistimewaan dijelaskan pada pasal 3 ayat 2 meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Melalui peraturan ini pemerintah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah Aceh untuk menggali dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang telah ada di masyarakat Aceh. Keistimewaan Aceh dapat dilihat seperti salah satunya dalam penyelenggaraan kehidupan adat dengan diakuinya keberadaan lembaga-lembaga adat. Lembaga adat dalam masyarakat Aceh berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan,
3
kemasyarakatan. Sebagai bagian masyarakat yang telah terbentuk oleh sejarah yang panjang, peran lembaga adat dalam masyarakat memiliki pola dan pendekatan tersendiri. Begitu juga halnya dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat, lembaga adat telah memiliki pola dan pendekatan tersendiri yang telah diakui oIeh pemerintah Republik Indonesia (Rl) sebagai salah satu altematif penyelesaian sengketa/konflik di tengah-tengah masyarakat. (Kamaruddin, 2013) Salah satu lembaga adat di Aceh adalah mukim. Mukim merupakan lembaga yang sudah ada sejak jaman pra kemerdekaan dan masih diakui bahkan direvitalisasi menjadi acuan masyarakat Aceh dalam menyelesaikan berbagai permasalahan masyarakat. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa mukim mempunyai andil yang sangat besar dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, mukim menjadi bagian yang sangat penting dalam masyarakat. Seorang mukim merupakan orang yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakatnya. Fakta tersebut diperkuat oleh Busroh dan Busro (1983:125) yang menyatakan bahwa masih adanya pengaruh dan pengaturan kepada imeum mukim disebabkan karena mereka memiliki kharisma. Secara historis, lembaga mukim termasuk dalam lima tingkatan struktur pemerintahan di Aceh, namun pada masa orde baru keberadaan mukim mengalami pasang surut sebagai bagian dari pemerintahan ini ditandai dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada saat dilaksanakannya peraturan ini, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh harus
4
menentukan pilihan terhadap dua strata pemerintahan lokal yang berada di bawah kecamatan untuk dijadikan desa, yang merupakan akibat dari undang-undang tersebut. Gampong diputuskan untuk menjadi desa yang langsung berada di bawah camat, sehingga mukim tidak lagi diakui sebagai salah satu strata pemerintahan yang ada di daerah. Tetapi di dalam lingkungan masyarakat peran dan fungsinya imeum mukim tetap diakui sebagai pemimpin informal, mereka tetap disegani dan diminta pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan adat pada tingkat gampong (Abdullah, 1982:5). Keberadaan mukim yang secara kedudukan berada di bawah kecamatan dan di atas pemerintahan gampong menjadikan struktur pemerintahan yang unik bagi Aceh. Keberadaan lembaga-lembaga adat di masa lampau yang dapat mengelola dan mengatur sosial masyarakat mulai diperhatikan kembali dan diterapkan pada saat ini. Namun di sisi lain, kondisi tatanan kehidupan masyarakat khususnya Aceh pada saat ini telah sangat berbeda. Hal ini yang menjadikan mukim sebagai bagian dari struktur pemerintahan di Aceh penuh dinamika dan persoalan sehingga mukim dalam menjalankan tugas dan fungsinya belum dapat maksimal. Mukim dalam qanun/peraturan daerah memiliki pengertian kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri dari gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. Mukim dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya berlandaskan sejarah dan adat yang telah berakar dalam sistem sosial budaya masyarakat Aceh secara turun temurun.
5
Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi mukim sesuai yang telah diatur menurut qanun/peraturan daerah serta tidak terlepas adanya hubungan yang saling berkaitan antara pemerintah kecamatan yang dalam hal ini adalah camat dan keuchik yang berada di tingkat gampong (desa). Urusan lain yang dilaksanakan mukim sangat tergantung kepada kebijakan camat yang bersangkutan dalam memberikan tugas-tugas pemerintahan kepada mukim. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, mukim memiliki tanggung jawab penuh terhadap persoalan-persoalan di gampong, dalam salah satu ayat pada pasal 4 menyebutkan bahwa tanggung jawab mukim adalah penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat. Mukim yang didasari posisinya sebagai lembaga adat memiliki tugas dan tanggung jawab menyelesaikan sengketa/konflik dalam masyarakat. Mekanisme penyelesaian konflik melalui lembaga adat diatur dalam Undang-undang nomor 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial, pasal 41 pada peraturan ini menyebutkan bahwa penyelesaian konflik dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengedepankan pranata adat dan/atau pranata sosial yang ada dan diakui keberadaannya. Bagi provinsi Aceh, pengaturan mengenai penyelesaian konflik melalui lembaga adat telah diterbitkan dalam aturan-aturan yang mengatur pelaksanaan adat di Aceh sebagai dasar hukum. Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XIII mengenai Lembaga Adat Pasal 98 ayat 2 mengatakan bahwa “Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat”.
6
Berdasarkan Hasil penelitian UNDP dari 3.054 perkara yang diselesaikan di tingkat gampong dan mukim, terungkap bahwa para pihak mengaku cukup puas dengan proses penyelesaian peradilan adat seperti ini sedangkan persentase masyarakat yang tidak puas terhadap proses peradilan ini terbilang kecil, hanya puluhan kasus dari 3.000 lebih kasus. Hal Ini bermakna, pengadilan alternatif ini sangat menjanjikan di tengah turunnya kredibilitas berbagai institusi penegak hukum lainnya.http://www.acehmail.com/2014/06/peradilan-adat-masih-terhambat/ Beberapa penjelasan mengungkapkan peran mukim dalam kehidupan sosial masih sangat penting di Aceh. Dalam masyarakat, mukim dianggap sebagai pemimpin yang memiliki kharisma tinggi dan dapat menjadi panutan bagi setiap kalangan di lingkungan masyarakat. Apabila dikaitkan dari sisi agama, pemilihan mukim juga lebih menggunakan pendekatan pengetahuan agama atau dengan kata lain mukim adalah dipilih dari orang atau tokoh yang menguasai agama yang mayoritas dianut masyarakat Aceh yaitu Islam. Akan tetapi, penyelesaian permasalahan di tengah masyarakat terkait dengan konflik sosial, persengkataan atau perkara adat belum sepenuhnya dapat diselesaikan oleh mukim, bahkan beberapa mukim belum terlihat menjalankan perannya ketika konflik terjadi di wilayah, meskipun lembaga adat mukim memiliki peran yang sangat signifikan dan dijadikan sebagai lembaga alternatif khususnya dalam penyelesaian konflik. Bahkan pada kasus-kasus tertentu sebagian masyarakat Aceh meletakkan posisi lembaga adat lebih tinggi tingkatannya dibandingkan lembaga pengadilan formal.
7
Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi mukim. Di satu sisi, peran dan identitas mukim yang mulai tidak terlihat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh, meskipun telah dilakukannya upaya penataan struktur Pemerintahan di Aceh berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” dalam peraturan ini masih perlu penjelasan lebih lanjut, karena berbeda dengan daerah lain yang menggunakan istilah “Pemerintahan Daerah Provinsi”. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mempertegas hadirnya mukim dalam pemerintahan. Pada bab II Pasal 2 menyatakan bahwa Aceh terdiri dari lima strata pemerintahan yaitu provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, mukim dan gampong. Berbagai aturan yang telah diterbitkan bertujuan untuk mengembalikan kewibawaan mukim, namun fakta di lapangan keberadaan mukim masih belum terlihat maksimal serta belum adanya penegasan fungsi dan wewenang dalam aspek penyelenggaraan pemerintahan. Disisi lain, tantangan bagi mukim sebagai bagian lembaga adat yang berada di masyarakat adalah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya khususnya terkait penyelesaian konflik sosial. Harapan terhadap penyelesaian konflik melalui lembaga informal seperti mukim menjadi pilihan alternatif dalam upaya penyelesaian konflik menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan dengan mempertimbangkan kepentingan keamanan dan ketertiban suatu wilayah. Hal ini juga dibuktikan dengan telah diterbitkannya beberapa aturan yang menyebutkan bahwa dalam upaya penyelesaian konflik mengedepankan pranata sosial/adat atau mendahulukan peran lembaga-lembaga informal yang ada di setiap wilayah.
8
Kenyataannya penyelesaian konflik melalui lembaga adat mukim khususnya di Kabupaten Bener Meriah belum dapat berjalan baik, beberapa permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat baik terkait konflik sosial maupun sengketa adat dalam penanganannya dan penyelesaiannya masih belum tuntas pada tingkat mukim. Penyelesaian konflik masih melibatkan pemerintah daerah (kecamatan) maupun lembaga formal lain di daerah. Padahal sebagai lembaga adat, mukim memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang telah diatur menurut peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah juga memberi kewenangan terhadap penyelesaian konflik mulai di tingkat bawah dengan tujuan agar ketika konflik terjadi upaya penyelesaian dapat dilaksanakan secepat mungkin untuk menghindari dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti peran mukim dalam penyelesaian konflik dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah (studi di Mukim Kute Teras Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh). 1.2
Perumusan Masalah
Berangkat dari uraian yang dikemukakan pada latar belakang masalah, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peran Mukim Kute Teras Kecamatan Bandar dalam penyelesaian konflik sosial? 2. Bagaimana Implikasi Peran Mukim Kute Teras dalam penyelesaian konflik sosial terhadap ketahanan wilayah?
9
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan peran Mukim Kute Teras Kecamatan Bandar dalam penyelesaian konflik sosial. 2. Mengetahui implikasi peran Mukim Kute Teras dalam penyelesaian konflik sosial terhadap ketahanan wilayah. 1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Secara Praktis, penelitian ini sebagai bahan masukan bagi pemerintah pusat dan pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota dalam rangka merumuskan
dan
mengevaluasi
kebijakan
yang
berlandaskan
pada
sistem/pranata sosial wilayah, terutama dalam hal penyelenggaraan urusanurusan pemerintahan dan peran kelembagaan di level paling rendah seperti mukim dan kampung. 2. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya ragam penelitian yang telah dilaksanakan oleh para mahasiswa Program Studi Ketahanan Nasional Universitas Gadjah Mada serta menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
10
1.5
Keaslian Penelitian
Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian mengenai peran mukim dalam penyelesaian konflik sosial dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah, namun ada beberapa penelitian yang sejenis dan berhubungan dengan judul yang diteliti, baik berkaitan dengan tema mukim maupun konflik berdasarkan penelusuran pustaka sebagai berikut: Tabel 1.1 Penelitian Terkait Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Peneliti/ Tahun Mukhsin 2003
Penataan Kembali Lembaga Mukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2001
1. Mendeskripsikan potensi-potensi sumber daya Mukim melalu sejarah pemerintahan Mukim, dari masa prakemerdekaan sampai masa pasca kemerdekaan 2. Mencari format baru dalam menata kembali lembaga Mukim sesuai nilai-nilai sosial, norma-norma historis dan nilai luhur masyarakat Aceh serta sesuai dengan prinsipprinsip yang terkandung dalam UU No.18/2001
Peranan Imeum Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Gampong (Studi Kasus di Mukim Meuraxa Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh)
Untuk mengetahui sejauh mana peranan Imeum Mukim sebagai Lembaga Adat dan peranan sebagai koordinator pemerintahan gampong (Desa)
Fadli Rahmad 2004
Peranan Lembaga Adat Malamoi dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Adat pada Masyarakat Adat Suku MOI di Kabupaten Sorong
Untuk mengetahui peran dan ruang lingkup lembaga adat Malamoi di Kabupaten Sorong
Fitriana 2008
11
Lanjutan Tabel 1.1 Pengelolaan Konflik Berbasis Hukum Adat (Studi Tentang Metode Penyelesaian Konflik dan Pencegahan Konflik Melalui Lembaga Adat Keujreun Blang di Kecamatan Kuala Kabupaten Naga Raya, NAD)
1. Untuk mengetahui dan menginventarisir apa saja sengketa dan perselisihan blang (sawah) yang pernah terjadi. 2. Untuk mengetahui peran, proses, koordinasi dan metode lembaga adat keujreun blang dalam menyelesaikan sengketa dan perselisihan blang di dalam masyarakat.
Khudri 2009
Peran Lembaga Adat Dalam Mengelola Konflik (Studi Kasus Peran Panglima Laot Lhok Pusong Lhokseumawe dalam Mengelola Konflik Nelayan) Peran Lembaga Adat Mosalaki Dalam Penyelesaian Konflik Hak Tanah Ulayat di Kelurahan Wolojita Kecamatan Wolijata Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur
Untuk mengetahui tentang kontribusi peran lembaga adat panglima laot dalam mengelola konflik nelayan.
Rudi Hidayat 2009
Untuk mengetahui bagaimana peran Mosalaki dalam Penyelesaian Konflik Tanah Ulayat di Kelurahan Wolojita
Maria Enggelina Iku Sakasare 2010
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, penelitian ini memenuhi unsur kebaruan, karena peneliti tidak menemukan penelitian yang sama. Beberapa penelitian tentang mukim sebelumnya tidak secara khusus membahas tentang peran mukim dalam penyelesaian konflik serta berada di wilayah berbeda dengan peneliti lakukan. Begitu juga penelitian tentang peran lembaga adat dalam penyelesaian konflik yang telah dilakukan di daerah lain juga hanya sebatas dalam satu kasus/bidang. Atas dasar ini, peneliti tertarik meneliti “Peran Mukim dalam Penyelesaian Konflik Sosial dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah” (Studi di Mukim Kute Teras Kecamatan Bandar Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh).