Peristiwa KONFLIK 1965 –1966 di Boyolali Oleh : Ismail Al Habib, Soekamso dan Istamar I. PENDAHULUAN Boyolali merupakan daerah kabupaten dengan geografis yang strategis untuk perencanaan secara politik, sosial, budaya, ekonomi dan pertahanan. Dengan letaknya yang strategis tersebut sejak lepasnya penjajahan Belanda dan di kumandangkannya Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi perebutan yang manarik bagi kekuatan – kekuatan politik yang ada pada saat itu. Selain itu berbagai Trah keturunan kerajaan Surakarta yang tinggal di berbagai daerah Boyolali juga ikut mewarnai kehidupan masyarakatnya. Yang tidak luput dari penglihatan kita bersama yaitu dua gunung yang menyimpan berbagai peristiwa nasional dan misteri yang menjadi simbol dan keyakinan masyarakat Jawa pada umumnya khususnya di wilayah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Dari peristiwa Misteri Gunung Merapi, penjajahan Belanda, Rasionalisasi di tubuh tentara, MMC (Merapi Merbabu Complek), Grayak dan PKI. Tidak kalah pentingnya yaitu tentang peristiwa Kedung Ombo yang masih meninggalkan berbagai kenangan pahit dan belum terselesaikan sampai sekarang. Peristiwa yang pernah terjadi tersebut selalu dihubung – hubungkan antara satu dengan yang lainnya. Misteri Gunung Merapi yang menjadi kepercayaan orang Jawa selalu dikaitkan dengan mistis/atheisme, yang berimbas pada kenapa PKI di Boyolali menjadi partai yang terbesar dan pemenang pemilu 1955 dan mendapat 21 kursi dari 35 kursi yang ada pada saat itu. Misteri Gunung Merapi menjadi kepercayaan yang kuat bagi masyarakat Jawa khususnya Surakarta dan sekitarnya berkaitan dengan peristiwa - peristiwa alam yang sudah ada sejak zaman Pangeran Diponegoro Kerajaan Mataram Islam. Dengan adanya Rasionalisasi di tubuh tentara yang berimplikasi pada MMC menjadikan Boyolali sebagai kota yang berbasis kaum Merah. MMC (Merapi Merbabu Complek) adalah orang – oarang yang sakit hati karena adanya rasionalisasi di tubuh tentara. Dalam rasionalisasi di tubuh tentara adalah tentara yang bisa masuk untuk menjadi Tentara negara adalah tentara yang sudah dilatih oleh KNIL dan PETA. Sedangkan Tentara Rakyat yang lahir karena menjadi relawan tidak bisa menjadi tentara negara yang digaji oleh negara. Lewat kolonel Soejono menolak diadakannya rasionalisasi tersebut. Batalyon yang mengadakan penolakan yaitu Batalyon Panembahan Pasopati. Dalam penolakannya mereka mengasingkan diri ke Lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Setelah Soekarno menghimbau kepada pasukan yang mengasingkan diri tersebut supaya kembali, ada beberapa orang yang rela untuk menyerahkan diri dan mengembalikan senjatanya kepada negara. Ada juga yang bertahan dalam pengasingannya sehingga mereka bergabung dengan kelompok Garong dan dimanfaatkan kelompok garong tersebut untuk melakukan perampokan yang terkenal dengan sebutan Grayak --Gerakan Rakyat Kelaparan-- (Mbah Narno dan Suhardi). Grayak yang menjadi momok masyarakata Boyolali dan sekitarnya meninggalkan kenangan tersendiri bagi sejarah kota susu tersebut. Gerombolan yang terkenal dengan kesadisannya, penjarahan dianggap biang kerok mulobukane kekuatan PKI di Boyolali. Sehingga pasca terjadinya isu pemberontakan PKI gerakan yang selama ini hanya dianggap sebagai gerakan kelompok garong yang suka merampas ternak, harta warga ini dicap sebagai gerakan orang – orang PKI. Padahal kalau dicermati secara jeli tidak hanya milik orang NU atau PNI yang menjadi korban, harta orang BTIpun juga banyak yang menjadi incaran gerombolan tersebut. Kedung Ombo yang menyisakan peristiwa Internasional yang belum terselesaikan dalam setiap gerakan pembebasan untuk menuntut Haknya selalu dicap sebagai
1
orang PKI. Karena berbagai peristiwa tersebut, sehingga Boyolali menjadi kota yang penuh dengan koota misteri kemanusiaan berskala Nasional. II. KONDISI UMUM PRA PERISTIWA 1 OKTOBER 1965 Kondisi masyarakat Boyolali relatif tenang, hubungan antar partai yang ada juga baik. Bahkan dalam menjalankan roda pemerintahan yang notabene di dominasi oleh orang – orang merah tidak pernah terjadi konflik. Pada kesempatan tertentu antar partai disatukan dalam berbagai forum. Forum yang berfungsi untuk menentukan pembangunan arah ke depan Boyolali. Selain itu program yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno dengan Nasakom-nya harus dapat mewarnai kehidupan masyarakat. Bahkan dapat disosialisasikan sampai masyarakat tingkat basis. Selain itu ada juga relasi antar partai besar pemenang pemilu 1955 antara lain PKI, PNI, NU dan Masyumi disatukan dalam Front Nasional. Forum atau front yang berfungsi sebagai media duduk sejajar bersama untuk menentukan kebijakan pembangunan Boyolali dapat diterapkan sampai ke tingkat desa meskipun namanya tidak sama. Dalam setiap pembicaraan yang diadakan sangat demokratis meskipun ada perbedaan tetapi argumentasi logis yang di kedepankan bukan adu otot yang dipakai. Di Desapun tradisi demokrasi sudah berjalan dengan baik karena dalam setiap penentuan pembangunan desa tidak langsung ditangani dan diputuskan kepala desa sendiri tetapi harus mendapat kesepakan dari Front Nasional tersebut. Selain dari front juga harus mendapat kesepakatan dari orang – orang yang terlibat dalam pemerintahan desa tersebut seperti Bamusdes, RT, RK dan DPDes (Dewan Pertmbangan Desa). Dalam penentuan kebijakan desa kebanyakan lurah juga selalu melibatkan forum yang beranggotakan dari berbagai partai yang ada dan keputusan tersebut menjadi acuan dalam melakukan pemerintahan desa (Mbah Harto &Suhardi) Dalam menjalan roda pemerintahan bagaimana dapat mensosialisasikan program yang di canangkan oleh Bung Karno. Program yang dicanangkan Bung Karno misalnya Manipol USDEK (Manivestasi Politik UUD1945 Sosialis Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Resopim (Revolusi sosialis terpimpin), Nasakaomisasi untuk di jadikan penyangga negara. Selain program itu sebagai acuan juga harus di sosialisasikan kepada masyarakat luas. Tidak jarang orang-orang yang terlibat dalam partai tokoh pemuda di desa-desa saling tukar pikiran dan sambang meskipun yang dibicarakan hanya persoalan sepele. Gotong royong yang menjadi tradisi di desa juga masih marak dengan melibatkan berbagai elemen kepemudaan. Dalam memperingati selametan bayipun orang-orang dari unsur NU, BTI maupun Muhammadiyah juga tetap di undang untuk ikut mendoakannya. Konflik kecil yang terjadi juga relatif tidak begitu ideologis, wajar karena dalam masing – masing partai juga memiliki program yang harus disosialisasikan terhadap anggota. Selain untuk disosialisasikan program yang ditawarkan untuk penggalangan masa agar dalam pemilu ke depan mendapat suara banyak. Pertarungan partai yang besar di Boyolali terjadi antara PNI dan PKI karena di berbagai daerah yang ikut dalam kompetisi perebutan jabatan pamong desa adalah orang – orang PKI dan PNI. Sedangkan NU selalu mendapatkan jatah jabatan pamong pada posisi Modin /penghulu. Perebutan posisi pamong inilah yang harus disadari ada yang kalah dan menang sebenarnya. Ternyata yang kalah tidak menerima kekalahannya dan berimbas pada persoalan partai yang sebenarnya adalah persolan individu. Konflik individu yang berkepanjangan ini berimplikasi pada kebencian yang berlarut- larut yang akhirnya peristiwa G30. S dijadikan momentum untuk balas dendam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut yang tadinya antar anggota masyarakat desa rukun, damai menjadi saling curiga
2
dengan ditambah isu yang meresahkan masyarakat tidak tahu siapa yang menghembuskan isu tersebut. Pemberlakuan UU PA dan UU.BH 1963/1964 yang terjadi di beberapa daerah sebagai uji coba Pilot Project, juga memicu konflik antara PKI dan PNI. Karena di beberapa desa di Boyolali yang menjadi 7 setan desa adalah orang PNI. Pada bulan Februari 1964 di daerah Ketaon menjadi peristiwa nasional yang menewaskan seorang Pemuda rakyat (Jumeri). Peristiwa tersebut merupakan aksi sepihak yang dilakukan oleh pemuda rakyat dalam memperjuangkan UUPA dan UUBH terhadap orang – orang PNI. Orang PNI memakai kekuatan Polisi untuk menghalau orang – orang buruh yang kebanyakan PR, berimbas tertembaknya Jumeri. Selain itu juga isu tentang Land Refform dan pemberantasan Nekolim yang di lontarkan oleh orang PKI.(Bantu,marno &Tamam). Selain itu di Desa Butuh orang – orang PKI juga melakukan aksi sepihak dengan melakukan pematokan terhadap tanah – tanah orang PNI setelah diberlakukannya UUPA. Selain mengadakan pematokan juga mengejek orang – orang PNI (saling ejek antar kader partai). (Suyitno 02-02) III. KONDISI MASYARAKAT PASCA PERISTIWA 1 OKTOBER 1965 Terjadinya Pembunuhan terhadap 6 Jenderal dan 1 Sersan di Jakarta masyarakat Boyolali pada umumnya tidak begitu mengetahui. Hanya beberapa orang yang tahu informasi dan merekapun tahu dari radio yang baru beberapa orang yang memilikinya. Dari informasi tersebut masyarakat juga tenang – tenang tidak ada indikasi gerakan apapun, begitu juga antara masyarakat yang berbasis PKI dengan PNI atau NU dan sebaliknya. Baru setelah satu minggu ada himbauan dari pihak Muspida (Bupati Boyolali, Dandim dan Kapolres) supaya masyarakat tetap tenang. Pada bulan Oktober di daerah Ampel yang sebenarnya sudah menjadi rutinitas pertemuan antar Kepala Desa seKecamatan ditunda karena diganti pertemuan di kecamatan Cepogo yang dikuti oleh tiga kecamatan yaitu Ampel, Cepogo dan Selo. Pada hari Sabtunya Carik dan Lurah berkumpul di Kecamatan Cepogo karena ada pertemuan dengan Muspida. Dalam pertemuan dengan Muspida tersebut diterangkan bahwa di Jakarta ada pemberontakan yang dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa dan mengharapkan masyarakat tenang.(Hardi) Setelah ada himbauan dari Muspida di beberapa daerah supaya masyarakat tenang, baru di masyarakat terjadi isu yang simpang-siur membuat kondisi masyarakat resah. Keresahan yang terjadi di masyarakat ini mengakibatkan beberapa provokasi masuk dan dimanfaatkan orang – orang yang sebelumnya memiliki konflik individu. Suka dan tidak suka yang mendominasi terjadinya konflik di masyarakat. Selain konflik individu ada konflik yang berangkat dari partai masing – masing. Informasi yang diterima oleh masyarakat yang satu dengan yang lain beragam seperti di beberapa daerah yang berbasis PKI misalnya isu yang muncul adalah orang – orang partai lain akan membunuh kelompok PKI, sehingga masyarakat harus bersembunyi, demkian juga sebaliknya di daerah yang berbasis NU atau PNI isu yang dihembuskan adalah orang PKI akan membunuh masyarakat NU dan PNI. Perkembangan isu yang beragam tersebut dari pihak Muspida juga tidak melakukan pengamanan apapun. Semakin lama kondisi tersebut semakin memprihatinkan yang mengancam stabilitas masyarakat. Selain itu ada juga konspirasi beberapa kelompok yang memanfaatkan situasi tersebut. Konspirasi ini terbukti dengan informasi yang dilakukan oleh Muspida ada kelompok yang meragukan informasi dan tidak percaya lalu mengadakan pertemuan tertutup merencanakan gerakan tertentu. Dalam hal ini misalnya PNI melakukan pertemuan tertutup dengan pihak tentara Kodim Boyolali. Dalam pertemuan tersebut menginginkan untuk melakukan gerakan secepatnya karena informasi yang disampaikan Bupati adalah tidak benar. Satu minggu setelah tragedi di Jakarta
3
dalam tubuh Kodim sendiri diadakan pembekuan yang mengidentifikasi antara tentara yang terlibat PKI dan tidak dengan melibatkan Pemuda Marhein.(Bantu 202) Yang melakukan pembersihan tidak lagi dari Kodim sendiri tetapi sudah melibatkan RPKAD dari Solo. Pertemuan antara PNI dan kelompok tentara ini atas informasi yang diberikan oleh pengurus pusat PNI. Ketidak percayaan PNI atas informasi tersebut karena dari pihak PNI sendiri mendapat informasi kalau orang PKI akan merencanakan pemberontakan. Isu pemberontakan itu didapat dari orang –orang yang mengatas namakan diri sebagai kader Pemuda rakyat (identitas tidak jelas) tidak sepaham dengan gerakan PKI. Mereka datang ke tokoh PNI dan menyampaikan bahwa PR sedang mengadakan penggalangan masa besar –besaran untuk melakukan pemberontakan.(Bantu) Selain itu dari pihak yang mengatas namakan diri Slamet tokoh PKI Ampel lewat surat yang disampaikan kepada Kapolres R.Suyoto lewat istrinya yang isinya bahwa PKI akan melakukan pemberontakan dan sudah direncanakan. Dari informasi itu maka Kapolres mengadakan pertemuan tertutup yang di ikuti oleh Ansor, Kokam dan Pemuda Marhen.(Shaleh. M) Isu yang berkembang dan membuat kecurigaan besar antar tokoh partai yaitu ketika ada isu akan dibunuhya tokoh NU dan PNI oleh orang PKI. Bahkan dalam rencana pembunuhan itu sudah disiapkan rencana yang matang oleh orang – orang PKI. Rencana tersebut akan diundangnya tokoh partai – partai selain PKI, dalam acara Wayangan yang di adakan di Pendopo Kabupaten. Isu yang berkembang yaitu ketika tokoh partai yang datang akan di bunuh dan di masukkan dalam lubang sumur – sumur yang sudah disiapkan. Ditambah dengan di adakannya patroli yang merekrut dari pemuda – pemuda partai keculai dari Pemuda Rakyat. Patroli yang berfungsi untuk mengamankan stabilitas masyarakat beralih fungsi menjadi patroli penangkapan terhadap orang –orang terlibat PKI. Patroli ini sebenarnya bertujuan untuk mengamankan kota dari serangan orang – orang PKI yang dianggap telah memberontak. Kalau hanya menjaga kota dan mengamankan ternyata tidak membuahkan hasil, karena yang ditungu –tunggu tidak datang maka ada inisiatif untuk melakukan gerakan penangkapan dan operasi pembersihan. Penangkapan terhadap orang yang terlibat PKI ini berjalan lama karena harus mengidentifikasi sampai ke desa – desa.(Shaleh.M) Saat operasi berjalan sampai ke daerah kantong – kantong PKI tidak ada perlawanan sama sekali dari pihak PKI. Mereka yang ditangkap langsung diserahkan kepada tentara dalam hal ini adalah RPKAD sebagai koordinator operasi. Ada beberapa daerah yang mengadakan perlawanan dengan melakukan penebangan pohon – pohon. Penebangan pohon itu terjadi didaerah Mojosongo arah ke Solo sampai di Banyudono/ Ngangkruk (Shaleh & Maskkyuri). Terjadinya penebangan pohon dan pembakaran yang dilakukan oleh orang – orang PKI tersebut untuk menghalang gerakan RPKAD dalam melakukan operasi terhadap orang PKI. Dalam operasinya Patroli ini tidak pernah menemukan orang yang melakukan aksi penebangan tersebut dan ketika bertanya kepada masyarakat sekitar jawabnya tidak tahu. Aksi pembakaran dan penebangan pohon tersebut pada hari Jumat pahing.(Pomo) Didesa Randusari kecamatan Teras basis BTI terjadi Pembakaran rumah – rumah penduduk yang dilakukan oleh Operasi yang terdiri dari Marhen gadungan dan aparat tantara. Selain pembakaran juga melakukan sweeping terhadap tokoh masyarakat baik itu kepala desa maupun yang lainnya. Pembakaran tersebut terjadi pertengahan Oktober 1965 setelah Tragedi di Jakarta.(Harto) Pembakaran juga terjadi di desa Galsari tepatnya di selatan Desa Randusari. Kalau pembakaran
4
di Randusari dilakukan oleh Operasi dan Marhen Gadungan, tetapi di Galsari isunya dilakukan oleh orang – orang PKI. Selain isu pembakaran juga terdengar isu akan adanya penangkapan dan pembantaian terhadap orang PNI.(Suyit) Selain terjadinya perlawanan PR terhadap operasi di daerah Mojosongo dan sekitarnya, juga terjadi perlawanan dari arah utara. Penyerangan dari arah utara tersebut tepatnya di daerah Sunggingan. Penyerangan itu terjadi pada hari Jumat Pahing yang dilakukan oleh Pemuda Rakyat dan Pemerintah yang setia.(Bantu) Namun menurut pendapat Pak Diono, peristiwa yang terjadi pada hari Jumat Pahing merupakan operasi yang dilakukan oleh barisan KAMMI/KAPPI dan tentara. Operasi tersebut di lakukan di daerah Karanggeneng karena di daerah tersebut sebagai basis PKI. Dalam operasi tersebut melakukan pembakaran terhadap rumah tokoh dan penangkapan terhadap tokoh PKI tersebut. Karena sebelum adanya peristiwa tersebut sudah ada beberapa Panser yang diparkirkan di beberapa pojok kota Boyolali. (Diono & Makno) Jumat Pahing Oktober 1965 operasi juga dilakukan oleh pihak tentara di daerah Selo. Dalam operasi tersebut pihak tentara menangkap tokoh BTI pak Priyo pada saat itu masih dalam perayaan jagong bayen. Ketika itu Pak Priyo yang menyatakan diri langsung dibawa oleh tentara dan diajak keluar, namun tidak lama kemudian terdengan suara tembakan. Setelah terjadi penembakan tersebut selang beberapa menit ada surat panggilan dari kecamatan kepada pemuda– pemuda muslim. Ternyata dalam panggilan itu tidak hanya pemuda Muslim saja tetapi juga dari Pemuda Marhen untuk dijadikan relawan dalam operasi. Di kecamatan ternyata sudah kumpul dari pasukan YON E dan Polisi dan memberikan pengarahan bahwa PKI telah melakukan pemberontakan. Meskipun didaerah Boyolali kota sudah terjadi operasi yang besar – besaran terhadap PKI, namun di daerah Selo baru mengetahui setelah adanya panggilan terhadap pemuda muslim yang mau dijadiklan relawan dan dilatih perang – perangan oleh pihak kecamatan. Relawan tersebut dilatih selama 21 hari dan jumlahnya 42 oarang. Suasana masyarakat menjadi panik dan mereka banyak yang bersembunyi di lereng – lereng jurang. Dalam persembunyian ini yang menjadikan keunikan, karena ternyata orang – orang yang berasal dari desa Surodadi yang berbasis PKI sebelah utaranya --desa Tompak berbasis Muslim-juga sedang sembunyi di lereng Jurang. Dari situ baru terdengar ternyata isu yang berkembang di desa Surodadi tersebut akan diadakannya penyerangan yang akan dilakukan oleh orang – orang agama/ Muslim.(Nasafi) Orang – orang yang menjadi relawan dalam Operasi pada dasarnya tidak mengetahui sebenarnya dan hanya berpedoman pada daftar yang diberikan oleh tentara. Dalam daftar tersebut nama – nama yang tercantum diberi tanda lingkaran merah, hijau dan kuning. Lingkaran merah target di bunuh, hijau di tahan dan kuning harus diawasi aktifitas sehari – harinya.(Nasafi) Tanda itupun berlaku di daerah lain meskipun model tanda tidak sama, namun targetnya sama yaitu bunuh, penjara dan diwaspadai. Hal itu dialami juga oleh Suhardi, pada saat isu pembunuhan yang simpang siur di masyarakat semakin santer, maka Suhardi yang saat itu menjadi kepala desa dipanggil oleh Camat untuk menghadap Kapolsek. Setelah sesampainya di Polsek dia disodori kertas yang berisi daftar nama – nama dengan tanda tiga macam denang warna merah, silang panah, silang dan dilingkari. Silang panah merupakan target bunuh karena tidak tahu maka dia menanyakan kenapa itu terjadi pada dirinya. Dalam penjelasan polisi karena dia dianggap memutuskan hubungan dengan negara karena tidak hadir dalam pertemuan yang diadakan di Kecamatan pasca pertemuan di Kecamatan Cepogo.(Suhardi)
5
Operasi dan Penangkapan Proses penangkapan terhadap orang – orang yang dianggap PKI tidak melalui proses yang jelas. Target penangkapan ini juga tidak jelas klasifikasinya mana yang disebut tokoh PKI dan siapa sebagai simpatisan yang harus diwaspadai. Karena dalam proses tersebut juga ada unsur suka tidak suka, unsur dendam pribadi. Prose penangkapan seperti itu terjadi di beberapa daerah dan modus operandingnya hampir sama. Seperti yang dialami oleh Pak Suhardi setelah dia mengikuti pertemuan yang diadakan oleh pihak Muspida di kecamatan Cepogo ada pertemuan yang diadakan pihak Kecamatan Ampel. Pertemuan yang diadakn di kecamatan Ampel pada hari Sabtu Kliwon Oktober 1965. Pada kesempatan itu ternyata informasi tidak sampi ketempat Pak Suhardi, karena undangan ada di tempat Bayan I. Bayan I adalah rival pak Suhardi dalam Pilkades sebelumnya dan ternyata kalah dan pernah membuat gerakan boikot kerja terhadap pamong yang lain. Dengan alasan apapun yang akan di utarakan Pak Suhardi terhadap pihak Pemerintah Kecamatan tetap tidak bisa di terima. Ketidak hadirannya dalam pertemuan kepala desa yang diadakan pihak kecamatan maka dianggap telah memutuskan hubungan dengan negara. Pada hari Jumat Pahing 22 Oktober 1965 di daerah Selo penangkapan terhadap anggota BTI juga terjadi. Kondisi keamanan di Selo tersebut masih baik belum ada isu PKI memberontak. Kondisi ini di tunjuuk dengan adanya jagong bayen yang diadakan oleh salah satu warga desa. Pada saat itu masyarakat melakukan hajatan pada malam hari dan di hadir siapapun. Di pertengahan acara hajatan tersebut tiba – tiba datang tentara yang mencari salah seorang warga. Nama saah seorang warga tersebut adalah Pak Priyo dia adalah anggota BTI. Pada waktu itu Pak Priyo dipanggil kerena ada sesuatu yang penting harus di selasaikan. Karena dianggap dimintai bantuan oleh pihak tentara dan tidak merasa curiga apapun maka Pak Priyo keluar dan mengikuti. Masyarakat yang menyaksikan juga tidak curiga atas kejadian tersebut. Namun setelah beberapa menit kemudian terdengar tembakan. Baru beberapa hari kemudian di ketahui bahwa Pak Priyo telah mati tertembak di dadanya. Pada tanggal 5 Oktober 1965 kecamatan Teras masih belum ada isu pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Baru tanggal pertengahan Oktober 1965 terjadi pembakaran dan penangkapan terhadap orang– orang PKI. Pembakaran tersebut terjadi di desa Randusari yang merupakan basis BTI. Pengalaman yang dialami oleh Mbah Suharto (lurah Randusari), pada tanggal 5 Oktober istrinya melahirkan anaknya yang terakhir. Karena itu dia selama sepasar tidak berangkat ke kantor sampai upacara sepasaran selesai. Setelah upacara sepasaran selesai maka dia berangkat ke kantor. Pada siang harinya ternyata di daerah Randusari bagian utara telah terjadi pembakaran rumah penduduk. Pembakaran itu berjalan ke selatan, selain melakukan pembakaran mereka juga berteriak yang menyangkut nama seseorang akan dibunuh dan kelompok. Salah satu nama yang disebut adalah saya, maka pada saat itu Mbah Suharto dengan melepaskan seragamnya melarikan diri tanpa pulang dulu untuk mengajak anak istrinya. Seharian dalam persembunyiannya dia teringat anak dan istrinya. Setelah waktu malam datang dia kembali kerumahnya dan ternyata rumahnya telah menjadi bara api. Sebagai PNS di Jawatan Pertanian yang bertugas di Semarang pulang pergi Boyolali Semarang sudah biasa dilakukan oleh Pak Ponco. Karena kondisi tidak tenang maka dia memutuskan pulang kedesa Boyolali. Kondisi masyarakat juga masih tenang – tenang, hubungan antar masyarakat relatif baik. Pada tanggal 26 November 1965 Pak Ponco mendapat panggilan dari pihak Kepolisian Sektor Sawit. Ketika dia datang ke Polsek, ternyata dia dinyatakan terlibat PKI sehingga dia di tahan dan keluarganya tidak di beri tahu. Setelah ditahan beberapa hari di Polsek Sawit kemudian di pindahkan ke YON E. Boyolali.
6
Hari Jumat Pahing 22 Oktober 1965 di daerah Sunggingan, Boyolali terjadi pembakaran rumah dan penangkapan yang dilakukan oleh pemuda KAMMI /KAPPI dan Tentara. Yang menjadi korban adalah tokoh – tokoh BTI desa Karanggeneng. Selain pembakaran Sabtu Ponnya tanggal 23 Oktober 1965 juga dilakukan pengejaran terhadap orang – orang PKI. Kemudian hari Seninnya masih melakukan pembakaran lagi terhadap rumah warga yang dianggap BTI. Salah satu rumah yang terbakar adalah rumah Pak Diono (anggota PGRI Non fakcentral). Pada tanggal 11 Februari 1966 Pak Diono ditangkap oleh operasi dan dipenjarakan sementara di Candra Boyolali. Dalam introgasi yang dilakukan oleh tentara dia dituduh akan membunuh orang lain/ tetangganya. Karena tidak merasa melakukan tuduhan itu maka dia menjawab tidak namun itu semua tidak mempengaruhi penangkapannya. Dalam penangkapan itu keluarganya tidak diberi tahu sama sekali sampai akan dipindahkan ke Nusakambangan. Penyiksaan, Pembantaian dan Pengasingan Penangkapan yang dilakukan oleh pihak Operasi selama berjalan masih meninggalkan luka yang amat dalam. Karena tidak hanya penangkapan semata namun juga penyiksaan psikis dan fisik. Penderitaan itu tidak hanya dialami oleh satu dua orang yang dianggap tokoh saja. Namun penderitaan itu jga dialami oleh ribuan orang Boyolali yang menjadi korban atas tuduhan PKI. Perlakuan tidak manusiawi merupakan pnyiksaan yang dialami oleh sebagian besar Tapol (tahanan politik). Pak Suhardi misalnya, selama di penjara YON E. Dia diperlakukan secara sadis pihak tentara. Selain pisik secara psikis mereka juga diperlakukan seperti binatang. Bukan hanya di YON E di Penjara Nusakambangan juga dialami sama, malah disana perlakuan antar Tapol dan Napi malah lebih baik Napi. Bahkan Napi malah dijadikan sebagai penyiksaa orang – orang Tapol. Selain itu kesejahteraan yang deberikan juga lebih baik Napi. Setelah beberapa bulan di Nusakambangan maka dipindahkan ke Pulau Buru, dengan pemindahan ini semoga mendapat perubahan itu yang menjadi harapan setiap Tapol. Namun apa yang terjadi ternyata di Pulau Buru malah semakin menyakitkan dan penuh dengan perjuangan untuk menpertahankan hidup. Dalam penyiksaan terhadap orang yang dianggap PKI itu, antara satu dengan yang lainnya juga tidak sama. Mbah Suharto misalnya, karena rumahnya sudah hangus terbakar maka dia menyelamatkan diri. Dalam penyelamatannya dia sadar kalau salah kenapa harus sembunyi, maka dia menyerahkan diri kepada pihak operasi. Oleh operasi diserahkan kepada RPKAD dan dihajar oleh tentara sampai tidak sadarkan diri. Sehingga mendapatkan perawat khusus dari pihak kesehatan di dalam tahanan. Penderitaan secara mental, karena keluarga tidak di beritahu maka dia dianggap sudah mati dan sudah diselameti ini yang membuat dia sakit secara psikis. Setelah beberapa hari di YON E Boyolali, kemudian dipindahkan ke Nusakambangan dipulau terpencil tersebut ternyata perlakuan juga tidak manusiawi sama seperti yang dialami oleh Pak Suhardi. Setelah dua tahun di Nusakambangan dia dipindahkan ke Pekalongan, perlakuan juga tetap sama tidak manusiawi. Beberapa bulan di Pekalongan kemudian dipindah ke Nusakambangan lagi selama 6 bulan baru kemudian di asingkan ke Pulau Buru. Dipulau tersebut nasib juga tidak berubah. IV. KONDISI MASYARAKAT PASCA OPERASI Operasi penangkapan terhadap PKI menyisakan luka yang dalam bagi masyarakat luas Boyolali yang tidak tahu apa – apa tentang PKI. Ketakutan, trauma, kehilangan sanak saudara, kehilangan harta dan pengucilan dari masyarakat sesuatu kondisi yang mengenaskan yang dialami oleh orang – orang eks. Tidak hanya itu bagi mereka yang akan melakukan aktifitaspun harus mendapat surat izin, pengawasan dan wajib lapor kepada pihak berwajib. Tidak saja mereka yang
7
terlibat menyandang predikat orang OT/eks, namun anak–anak mereka juga harus mengalami nasib yang sama seperti orang tuanya. Anak mereka juga tidak sebebas anak orang lain yang tidak terjaring operasi. Bukan hanya harta yang hilang, namun istripun harus meninggalkannya itu yang dialami oleh Pak Suhardi. Karena dibuang terlalu lama dalam pengungsingan dan kabar yang tidak menentu membuat istrinya memutuskan tali keluarga yang selama ini mereka bina dalam mengarungi suka dan duka. Selain istri yang meninggalnya orang tuanyapun dipaksa oleh pihak pemerintah desa setempat untuk menanda tangani sertifikat tanah yang akan dijual pemerintah desa kepada orang lain. Sampai sekarang tanah yang sebenarnya menjadi hak miliknya menjadi milik orang lain, tidak tahu kenapa statusnya berganti, padahal tidak merasa menjual. Penahanan yang tidak melalui proses yang jelas berimplikasi pada spekulasi keluarga yang ditinggalkan. Mbah Suharto misalnya, karena penyerahan dirinya kepada pihak Operasi dan mendapat perlakuan tidak manusiawai keluarga yang mendapat kabar menganggap sudah meninggal. Karena keluarga yang di tinggal juga berada dalam pengungsian. Setelah keluarga yang ditinggal pulang ketempat orang tua maka dengan kesedihan mereka melakukan upacara peringatan tujuh hari kematian Mbah Suharto. Tidak hanya itu ketika sudah keluar dari pengasingan dari Pulau Buru dan dinyatakan tidak terlibat PKI, anaknya yang sudah lama menjadi ABRI dan Bidan dipecat dengan tidak jelas alasannya. Sampai anaknya yang lahir tanggal 5 Oktober1965 harus selalu mengalami litsus yang diadakan sekolahnya. Semua itu tidak hanya dialami oleh dua orang tersebut namun mereka yang pernah terdaftar oleh pihak operasi atau desanya yang berbasis BTI akan diperlakukan sama. Makno adalah seorang pemuda Marhaen karena desa sebagai basis BTI dan kakaknya merupakan ketua PR maka pada tahun 1986 dicap sebagai PKI dan harus dicurigai. Itulah kondisi masyarakat Boyolali pasca terjadi G 30.September yang mereupakan misteri yang belum terkuak siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang melakukan pembantaian terhadap 6 Jenderal 1 sersan. Rakyat kecil yang tidak tahu apa – apa juga ikut menjadi korban, padahal mereka hanya ikut – ikutan atau malah balas jasa kepada kelompok yang selama ini memperjuangkan hak, dan nasib mereka. Rentang Waktu, Tempat dan Peristiwa di Boyolali Tanggal 1 Oktober 1965 Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap 7 Jenderal, dengan adanya peristiwa tersebut masyarakat tetap tenang dan tidak ada gerakan apapun. Meskipun ada beberapa masyarakat yang tahu informasi dari siaran RRI tersebut, namun tetap tenang tidak ada kejadian apapun. Tanggal 5 Oktober 1965 Dalam rangka peringatan hari TNI maka diadakan upacara bersama yang diikuti oleh semua partai bersama satuan pemudanya, ormas, OKP. Dalam Satu minggu ini, setelah kejadian di Jakarta Muspida Kabupaten Boyolai mengadakan pertemuan dan koordinasi dengan beberapa ormas, Partai dan OKP Partai di pendopo Kabupaten. Dalam koordinasi tersebut Bupati menghimbau agar masyarakat tenang dengan adanya kejadian di Jakarta. Keran dianggap peristiwa tersebut merupakan intern TNI. Selain mengadakan pertemuan di Pendopo, Muspida juga mengadakan pertemuan di Kepcamatan Cepogo, yang diikuti oleh Kepala desa dan Carik sekecamatan Selo, Ampel dan Cepogo. Dalam pertemuan itu bupati juga menghimbau kepada masyarakat agar tenang dengan adanya
8
peristiwa di Jakarta karena yang melakukan pemberontakan di Jakarta adalah Pasukan Cakrabirawa. Sekitar tanggal 8 Oktober 1965 Ada koordinasi sepihak yang dilakukan oleh PNI dan tentara karena dalam informasikan yang disampaikan oleh Bupati dirasa tidak benar. Selain itu dari pihak PNI lewat ketua Cabangnya mengintruksikan supaya berkoordinasi dengan pihak tentara karena mendapat intruksi dari pusat. Di dalam tubuh tentara kususnya Kodim Boyolali diadakan penyeleksian terhadap tentara yang terlibat PKI melibatkan pemuda Marhaen. Dari pihak Ansor mengadakan koordinasi tertutup dengan pihak Kapolres, dirumah dinas Kapolres. Dengan adanya informasi dari orang yang mengatas namakan diri sebagi orang PKI datang dari Ampel. Surat yang di sampaikan oleh seorang perempuan mengaku sebagai istri tokoh PKI Ampel tersebut berisi tentang rencana pemberontakan PKI. Tanggal pertengahan Oktober 1965 Terjadi pembakan rumah warga yang dianggap sebagai orang – orang PKI di daerah Kecamatan Teras khususnya di desa Randusari. Hari Jumat Pahing, 22 Oktober 1965 Di daerah Mojosongo, Teras sampai ke Bangak terjadi aksi penebangan pohon yang dilakukan oleh pihak PKI dalam rangka untuk menghadang gerakan RPKAD. Selain itu juga ada pembakaran rumah warga dan penangkapan yang dilakukan oleh pemuda KAMMI/ KAPPI dan tentara di daerah Karanggeneng Di Kecamatan Selo belum ada isu operasi terhadap orang – orang PKI. Informasi adanya pemberontakan PKI itu datang dari YONE yang mengadakan operasi sampi di Selo. Operasi ini telah melakukan penembakan terhadap salah satu warga yang dianggap BTI. Setelah terjadi penembakan itu baru kondisi di masyarakat mulai panik dan kacau. Selain isu PKI mengadakan pemberontakan juga diadakannya perekrutan masa yang di koordinir oleh pihak kecamatan dan dilatih oleh YON E dari Boyolali. Sabtu, 23 Oktober 1965 Terjadi pengejaran terhadap orang – orang PKI di daerah Karanggeneng oleh pihak KAMMI/ KAPPI dan tentara. Senin 25 Oktober 1965 Terjadi pembakaran rumah warga di daerah Karanggeneng. Rumah yang menjadi korban pada saat itu 9 rumah. Hari Sabtu Kliwon akhir Oktober 1965 Di daerah Kecamatan Ampel diadakan operasi, mdengan mendaftar kepla desa yang tidak ikut dalam pertemuan. Selain itu juga penangkapan bagi tokoh masyarakat dan BTI. Operasi – operasi yang dilakukan oleh RPKAD itu selama tiga bulan di Boyolali, setelah itu diserahkan kepada YON E untuk menangani keamanan di Boyolali. Pengamanan yang dilakukan YON E tidak hanya menstabilkan situasi tetapi juga melakukan operasi yang sama seperti dilakukan oleh RPKAD. 2002 © LKTS I Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial
9