Mahillah, Tauhid dan Implementasi Sains: Telaah Pemikiran Ismail Raji al Faruqi...
TAUHID DAN IMPLEMENTASI SAINS: TELAAH PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL FARUQI Oleh: Mahillah Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember Email:
[email protected] Abstract Ismail Raji al Faruqi is one of intelectual moslem who has been popular and intensive in integrating Islam (the essential of tauhid dogmatic) with general science. Alfaruqi stated that the essential of islamic science is in the own religion. Then the essential of Islam is tauhid. It means tauhid as the first determining principle in Islam incuding the science. The tauhid contributed to contruct islamic culture that related with all elements of it then taking the elements in integrated and arganic relationship. In relating different element of it, tauhid contructed the science in its own box. Keeping the tauhid principle is a must Then it becomes foundation of all kindness, religion. Holding to the tauhid means understanding god‟s command as obligation then actualyze the implied values of the command. This Tauhid dogmatic integrated classic clarification of monotheism with modern interpretation and the implementation of Islam in this modern era. Keywords: Tauhid, Science, Implementation, Al Faruqi PENDAHULUAN Pada abad modern ini, IPTEK senantiasa menjadi faktor dominan dalam kehidupan manusia modern. Ilmu memiliki kekuatan yang darinya bisa berpotensi destruktif juga konstruktif, bergantung bagaimana manusia yang mengelolanya. Ilmu perlu diarahkan agar aplikasinya bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu, menjadi tanggung jawab moral bersama untuk mewujudkan ilmu yang tidak bebas nilai.
1
Jurnal PESAT Vol. 2 No. 4 September 2016
Sebagai antisipasi problem ilmu pengetahuan (Sains) yang bebas nilai, maka beberapa cendekiawan muslim – diantaranya Ismail Raji Al Faruqi – menjajaki upaya Islamisasi Sains. Meskipun di kalangan intelektual muslim sendiribanyak yang menafikan. Menurut mereka – kelompok yang menolak – ilmu pengetahuan bersifat obyektif, sehingga membedakan antara ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah semu. Bagi mereka, ilmu itu bersifat universal, sehingga bisa diterapkan di mana saja. Adapun bagi penggagas islamisasi sains, ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari subjektivitas ilmuwan, dan karena itu ilmu tidak bisa dikatakan objektif, bebas nilai dan universal. Maka, islamisasi ilmu baru mungkin akan terwujud jika ada perbedaan yang fundamental antara teori ilmu (epistimologi) modern dan Islam. Ilmu pengetahuan Barat yang epistimologinya bercorak positivisme juga mendapat kritikan dari Michael Polanyi. Menurutnya positivisme melihat objektivitas dalam bidang pengetahuan manusia pada umunya dan pengetahuan ilmiah pada khususnya sebagai tujuan, dan tujuan itu dapat dicapai dengan syarat bahwa fakta yang diteliti, metode yang dipakai untuk memahami realitas, serta pembuktian yang dipakai untuk menguji kebenaran harus lepas dari personalitas manusia.1 Kerap diterangkan bahwa tujuan ilmu pengetahuan modern adalah memperlihatkan pengetahuan yang benar-benar objektif. Penyimpangan apapun dari cita-cita ini hanya diakui sebagai ketidaksempurnaan sementara, yang harus kita singkirkan. Bisa kita bayangakan bahwa pemikiran tak terungkap membentuk suatu bagian yang sangat penting dari pengetahuan, maka cita-cita untuk menyingkirkan semua unsur personal pada akhirnya menimbulkan hancurnya semua pengetahuan. Cita-cita dari ilmu pengetahuan eksakta ternyata secara fundamental menyesatkan dan besar kemungkinan menjadi sumber dari kesalahankesalahan yang menghancurkan.
1
Michael Polanyi, Segi tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. Ter. Michael Dua (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 20-21
2
Mahillah, Tauhid dan Implementasi Sains: Telaah Pemikiran Ismail Raji al Faruqi...
BIOGRAFI ISMAIL RAJI AL FARUQI Ismail Raji Al Faruqi lahir pada tahun 1921 di Jaffa, Palestina. Saat itu Palestina belum dikuasai oleh Israel. Al Faruqi sangat mencintai negaranya sehingga dia menentang gerakan zionisme. Hingga kematiannya, dia tetap berpendapat bahwa negara Israel harus diruntuhkan, dan rakyat Palestina berhak melakukan perlawanan terhadap mereka.2 Al Faruqi menguasai tiga bahasa yaitu: Arab, Inggris dan Perancis. Dari tiga bahasa itulah Al Faruqi menguasai sumber-sumber intelektual multibudaya dan memberi informasi bagi pemikirannya. Al Faruqi belajar di sekolah masjid, sekolah Katolik Prancis, College des Freres (St. Joseph) di Palestina. Memperoleh gelar sarjana muda dari American university of Beirut pada tahun 1941, dan empat tahun kemudian ia diangkat menjadi gubernur Galilee dan terpaksa meninggalkan Palestina setelah pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Ia kembali melanjutkan studi di Indiana University di Bloomington dan meraih gelar Doktor dalam bidang filsafat Barat dari universitas yang sama pada tahun 1952.3 Al Faruqi merupakan salah satu ilmuwan muslim yang sangat produktif. Ratusan artikel telah ditulisnya. Hampir semua bidang ilmu telah dijelajahinya. Mulai etika, seni, ekonomi, metafisika, politik, sosiologi dan yang lainnya. Semua ilmu itu ia kuasai dan kemudian disajikan dalam bentuk komprehensif. Diantara karyanya yaitu: On Arabism,Urabah and Religious, An Analysis of the Dominant Ideas of Arabismand of Islams its Higest Moment of Conciousness (1967), Cristian Ethics, Historical Atlas of the Word, the Graet Asian Religions, dan The Cultural Atlas of Islam. Menjelang akhir hayatnya, Al Faruqi telah berhasil menuangkan konsep-konsep pemikiran yang dia miliki dalam magnum opusnya yang berjudul Tauhid: Its Implication for Thought and Life. 2
Ismail Raji Al Faruqi, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 2002), 6 3 John L. Esposito, Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), 40
3
Jurnal PESAT Vol. 2 No. 4 September 2016
Pada tahun 1968 sampai 1986, Al Faruqi diangkat menjadi Guru Besar di Department of Religion Temple University. Dia juga termasuk salah satu pendiri Institutof Islamic Thought (Lembaga Pemikiran Islam Internasional), Association of Muslim Social Scientiest (Perkumpulan Ilmuwan Muslim), dan kelompok studi-studi keislaman pada American Academy of Religion. Tahun 1960, Al Faruqi menikah dengan Lois Ibsen, wanita asli Amerika dan menjadi muallaf dengan berganti nama Lamya al-Faruqi. Dari pernikahannya tersebut keduanya dikaruniai lima orang anak. Al Faruqi dan Lamya keduanya merupakan Guru Besar Islamic Studies pada Temple University. Pada bulan Ramadhan tepatnya tanggal 17 Ramadhan 1406 saat sahur menjelang shubuh, Al Faruqi dan Lamya dibunuh oleh tiga orang tak dikenal yang menyelinap masuk ke dalam rumah mereka di daerah Cheltenham, Philadelphia.4 IMPLEMENTASI TAUHID MELALUI ISLAMISASI SAINS Salah satu masalah pokok, yang hingga sekarang masih menduduki tempat dalam wacana pemikiran Islam pada umumnya adalah hubungan antara Islam dan modernisme, modernitas, dan modernisasi itu sendiri. Memang pada tingkat doktrin hampir seluruh pemikir Islam modern sepakat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan modernitas. Persoalannya kemudian adalah jika Islam compatible dengan modernitas, sejauh manakah modernitas dan modernisasi bisa ditoleransi? Semua ini sebenarnya persoalan “klasik” yang belum terselesaikan dalam agenda pemikiran Islam sejak awal abad ini hingga masa-masa kontemporer. Persoalan ini berganda ketika dalam beberapa dasawarsa terakhir ini mulai berkembang pandangan tentang kegagalan modernitas dan modernisme Barat – yang sebagiannya juga terlanjur diadopsi kaum muslimin, termasuk dalam lapangan pendidikan – dalam memenuhi janjijanjinya untuk mensejahterakan kehidupan manusia baik lahir maupun batin melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4
4
Al Faruqi, Atlas, 5
Mahillah, Tauhid dan Implementasi Sains: Telaah Pemikiran Ismail Raji al Faruqi...
Kegagalan modernisme dan modernisasi Barat dengan segala romifikasinya di kalangan kaum muslimin sering dikaitkan orang dengan kekeliruan epistimologi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pasca Aufklarung dan Revolusi Industri di Eropa. Berbeda dengan epistimologi ilmu pada Abad Pertengahan yang bersifat “teosentris”, sebaliknya episimologi ilmu modern dan kontemporer lebih bersifat “antroposentris”. Dari sinilah muncul refleksi dari kalangan ilmuwan muslim untuk keluar dari epistimologis yaitu melalui gagasan “islamisasi sains” yang hingga kini belum selesai.5 Proyek islamisasi sains yang dipelopori Ismail Raji Al Faruqi adalah salah satu bentuk respon atas pengaruh peradaban Barat yang dibangun berdasarkan sekularisme, khususnya dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Dengan proyek tersebut, mereka berupaya membersihkan pengaruh peradaban Barat dalam ajaran-ajaran Islam yang fundamental. Menurut Al Faruqi, esensi ilmu pengetahuan dalam Islam ada pada agama itu sendiri. Karena esensi Islam adalah tauhid, maka tauhid juga sebagai penentu pertama sainsnya. Tauhid harus menjadi identitas pada peradaban Islam, yang mengikat semua unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai suatu kesatuan integral dan organis. Dalam mengikat unsur yang berbeda tersebut, tauhid membentuk sains dan budaya dalam bingkainya tersendiri. Hal ini disebabkan karena tauhid merupakan perintah Tuhan yang tertinggi. Ini dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Tuhan untuk mengampuni semua dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid.6 Semua kajian, baik yang berkaitan dengan individu atau kelompok, manusia atau alam, agama atau sains, harus menata kembali dirinya berdasarkan prinsip tauhid, yaitu bahwa Allah itu ada dan Maha Esa, dan bahwa Dia adalah Pencipta. Semua pengetahuan obyektif tentang yang ada adalah pengetahuan tentang kehendakNya, tatanan yang ditentukan 5
Azyumardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), 40 6 Ismail Raji Al Faruqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), 16-17
5
Jurnal PESAT Vol. 2 No. 4 September 2016
sunnahNya, dan tentang kebijakanNya. Ilmu-ilmu itu harus memenuhi perintahNya, yaitu pola Ilahi yang telah disampaikanNya melalui wahyu, bila ilmu-ilmu itu diharapkan dapat membawa kebahagiaan dan manfaat bagi pemiliknya masing-masing.7 Islamisasi sains juga mendapat perhatian dari pemikir muslim Nasim Butt, menurutnya, di dalam sebuah masyarakat Islam, nilai yang membentuk upaya sains dan teknologinya haruslah nilai islami atau dalam arti yang lain konsep sains Islam.8 Adapun usaha mengislamkan sains yang sifatnya universal, netral dan bebas nilai adalah dengan mencocokkan sains modern dengan isi kandungan al-Qur‟an. Mereka melakukan ini dengan menunjukkan bahwa al-Qur‟an memberi penekanan yang besar pada pencarian ilmu pengetahuan tentang alam, bahkan al-qur‟an juga menghasilkan bukti-bukti statistik yang meyakinkan.9 Kaum muslimin membutuhkan sains yang disusun dari kandungan Islam yang memiliki proses dan metodologi yang mampu bekerjasama dengan semangat nilai-nilai islami dan yang dilaksanakan semata-mata untuk mendapat keridhaan Allah. Sains semacam ini akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat muslim dan bekerjasama dalam konteks etika Islam. Sifat dasar dan jenis Sains ini harus yang berbeda dari sains Barat. Karena ia merupakan produk peradaban Islam, usaha atau lembaga semacam ini selayaknya melambangkan sains Islam. Ilmu pengetahuan adalah sebuah entitas keseluruhan di bawah sains Islam, yang digali dengan menggunakan sebuah pendekatan terpadu. Pandangan holistik itu berasal dari konsep yang mencakup secara keseluruhan dan meresap, yaitu tauhid yang diterjemahkan dan diinternalisasikan dalam bentuk menuntut ilmu pengetahuan oleh kalangan sarjana muslim terdahulu. Sains digunakan untuk mengetahui lebih banyak tentang ciptaan Allah dan memperoleh keridhaanNya, bukan untuk alasan kekuasaan, monopoli, uang dan eksploitasi.
7
A. H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), 13 Nasim Butt, Science and Muslim Society (London: Grey Seal Book, 1991), 59 9 Ibid, 60-61 8
6
Mahillah, Tauhid dan Implementasi Sains: Telaah Pemikiran Ismail Raji al Faruqi...
Al Qur‟an menekankan bahwa manusia merupakan bagian integral dari alam semesta dan telah dikaruniai dengan kemampuan untuk menguasai kekuatan alam dalam batas-batas tertentu. Alam, bagaimanapun juga tidak boleh dieksploitasi demi keuntungan pribadi, akan tetapi untuk memanfaatkan sumbernya dalam rangka kepentingan yang lebih mulia, yakni melayani kebutuhan manusia. Gambar 1. Diagramatik Konsep Islam yang Mencakup Sifat Dasar Penelitian Ilmiah.
Tauhid Khilafah Ibadah Ilmu Pengetahuan
Halal
Haram
Adl
Dhulm
Istishlah
Dhiya
Iman kepada sang Pencipta membuat ilmuwan muslim lebih sadar akan segala aktivitasnya. Mereka bertanggungjawab atas perilakunya dengan menempatkan akal di bawah otoritas Tuhan. Karena itu, dalam Islam, tidak ada pemisahan antara sarana dan tujuan sains, keduanya tunduk pada tolok ukur etika dan nilai keimanan. Ia harus mengikuti
7
Jurnal PESAT Vol. 2 No. 4 September 2016
prinsip bahwa sebagai ilmuwan yang harus mempertanggungjawabkan seluruh aktivitasnya pada Tuhan.10 Setiap manusia memiliki pengalaman keagamaan yang esensinya kembali kepada tauhid. Menurut Al Faruqi, Tuhan adalah suatu tujuan dan suatu akhir. Dia adalah obyek akhir dari semua harapan (terminus finalistik). Adapun syirik, sebenarnya adalah mensekutukan nilai-nilai moral yang bersifat elementar dan utilitarian yang kesemua itu hanyalah sebagai instrumental dan tidak pernah berakhir.11 Kita semua tau bahwa kesadaran beragama kaum muslimin pada dasarnya adalah kesadaran akan Keesaan Tuhan. Demikian juga aktivitas ilmiah, harus selaras dengan kesadaran religius, karena ia merupakan bagian yang terpadu dengan Keesaan Tuhan itu. Memiliki kesadaran akan Keesaan Tuhan berarti meneguhkan kebenaran bahwa Tuhan adalah satu dalam EsensiNya, dalam nama-namaNya dan sifat-sifatNya, dan dalam PerbuatanNnya Satu konsekuensi penting dari pengukuhan kebenaran sentral ini adalah bahwa orang harus menerima realitas obyektif kesatuan alam semesta. Sebagai sebuah sumber pengetahuan, agama bersifat empatik ketika menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini saling berkaitan dalam jaringan kesatuan alam melalui hukum-hukum kosmik yang mengatur mereka.12 Inti terpenting dari elaborasi Al Faruqi adalah bahwa pengalaman agama dalam Islam ada pada Tuhan yang unik dan yang kehendakNya menjadi kewajiban serta membimbing kehidupan manusia. Manusia adalah delegasi (khalifah) Tuhan di bumi. Dalam menjalankan tugas kosmiknya, manusia seharusnya dibimbing dengan etika tauhid dalam setiap perbuatan atau tindakannya. Etika tauhid disini adalah nilai manusia sebagai pelaku (khalifah) dilihat dari tingkat keberhasilannya dalam mengisi aliran ruang dan waktu dalam dirinya dan juga lingkungannya. Melalui tauhid, Islam mencegah etika manusia menjadi
10
Ibid, 71-72 Al-Faruqi, Pengalaman Keagamaan dalam Islam (Yogyakarta: PLP2M, 1985), 17 12 Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam (Bandung: Pustaka Hidayah,1994), 11-12 11
8
Mahillah, Tauhid dan Implementasi Sains: Telaah Pemikiran Ismail Raji al Faruqi...
etika konsekuensi atau etika utilitarian.13 Tauhid juga menjadi prinsip tata sosial, yakni tauhid tidak hanya menekankan kesalehan individu melainkan juga kesalehan sosial. Islam mengajarkan bahwa shalat yang tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar adalah siasia, dan bahwa ibadah haji yang tidak mendatangkan manfaat sosial bagi para pelakunya adalah tidak sempurna. Berpegang pada tauhid berarti menghayati perintah Tuhan sebagai kewajiban, dan mengaktualisasikan nilai yang tersirat dalam perintahNya itu. Tuhan tidak hanya memerintah, akan tetapi juga mengarahkan metode dan menetapkan materi-materi untuk merealisasikan hal itu. Adapun kemunduran yang dialami oleh kaum muslimin saat ini adalah disebabkan oleh dualisme sistem pendidikan di dunia Islam, ditambah hilangnya identitas dan pudarnya visi Islam. Menurut Al Faruqi, solusi atas berbagai problem ini adalah mengkaji peradaban Islam dan islamisasi pengetahuan modern (sains).14 Lebih lanjut Al Faruqi berpandangan bahwa pengetahuan modern telah mengakibatkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi nyata serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena itu diperlukan islamisasi sains yang berpijak dari ajaran tauhid. Lepasnya sains dari nilai religiusitas jelas memberi implikasi negatif. Maka dari itu untuk memuluskan gagasannya tentang islamisasi sains, Al Faruqi meletakkan pondasi epistimologi pada prinsip tauhid yang terdiri dari 12 tahapan yaitu: 1. Penguasaan disiplin ilmu pengetahuan modern 2. Survey disiplin ilmu 3. Penguasaan khazanah Islam, yaitu khazanah Islam haruslah dikuasai dengan cara yang sama 4. Penguasaan khazanah Islam untuk tahap analisis 5. Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Apa yang disumbangkan oleh Islam? Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yangtelah diperoleh oleh disiplin 13 14
Al Faruqi, Tauhid, 35 Esposito, Dunia Islam, 41
9
Jurnal PESAT Vol. 2 No. 4 September 2016
6. 7.
8. 9. 10.
11. 12.
modern tersebut. Selanjutnya apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam ke arah mana umat Islam harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasi masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika relevansi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisis dari titik pijak Islam. Penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisis dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan. Survey mengenai permasalahan yang dihadapi yang dihadapi umat Islam Survey permasalahan yang dihadapi umat manusia Analisis kreatif dan sintesis. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah Islam dan disiplin modern, serta menjembatani jurang kemandegan. Penuangan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam Penyebarluasan ilmu yang diislamisasi tersebut
Sekilas keduabelas gagasan Al Faruqi tersebut tidak hanya bersifat teoritis, namun jutru cenderung kepada perencanaan praktis.15 Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam memiliki relevansi dengan tiga sumbu tauhid. Pertama, yaitu kesatuan pengetahuan (the unity of Knowledge). Berdasarkan kesatuan pengetahuan ini segala disiplin ilmu harus mencari yang obyektif dan rasional, pengetahuan kritis mengenai kebenaran. Kedua adalah kesatuan hidup (the unity of life). Berdasarkan kesatuan ini segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Ketiga, kesatuan sejarah (the unity of history). Berdasarkan kesatuan sejarah ini, segala disiplin akan menerima sifat kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi kepada tujuan-tujuan umat di dalam sejarah. Dengan demikian tidak ada lagi pembagian pengetahuan ke dalam sains
15
10
Ibid., 41
Mahillah, Tauhid dan Implementasi Sains: Telaah Pemikiran Ismail Raji al Faruqi...
yang bersifat individual dan sains yang bersifat sosial, sehingga disiplin tersebut bersifat humanistik dan kemasyarakatan.16 Adapun sasaran atau target yang dikehendaki dari islamisasi sains ini adalah: (1) menguasai disiplin-disiplin ilmu modern; (2) menguasai khazanah Islam; (3) menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern; (4) mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah ilmu pengetahuan modern; (5) mengarahkan pemikiran Islam ke lintasanlintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.17 Senada dengan Al Faruqi, cendekiawan muslim Indonesia Mulyadhi Kertanegara juga berpandangan perlunya islamisasi sains. Meskipun ada perbedaan titik tekannya pada sisi aksiologisnya. Menurut Mulyadhi Kertanegara, islamisasi sains merupakan naturalisasi sains untuk meminimalkan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem kepercayaan agama dan dengan begitu agama menjadi terlindungi. Harus dibedakan antara sains dengan fakta, fakta boleh netral, tapi sains tidak sekedar fakta, tapi fakta plus penjelasan sang ilmuwan. Ketika sains melibatkan penjelasan, sains tidak lagi netral atau obyektif. Sains dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, ideologis, dan agama yang dianut oleh pemikir dan saintisnya.18 Namun yang perlu diingat, apa yang dimaksud islamisasi tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam al-Qur‟an dan hadits, tetapi dilihat dari segi spiritnya yang tidak bertentangan dengan ajaran fundamentalnya, seperti kepercayaan kepada Allah, makhluk ghaib, hari akhir dan kenabian. Islamisasi juga bukan berarti pelabelan sains dengan ayat alQur‟an atau hadits yang dipandang cocok, tetapi pada level epistimologi.
16
Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Muhyiddin (Bandung: Pustaka, 1995), 52 17 Ibid, 118 18 Mulyadhi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistimologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), 14
11
Jurnal PESAT Vol. 2 No. 4 September 2016
Caranya dengan mendekonstruksi epistimologi Barat dan kemudian merekonstruksinya dengan meramu secara kritis bahan-bahan yang ada dalam tradisi intelektual Islam. PENUTUP Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa dalam Islam sumber kebenaran realitas itu meliputi tiga macam yaitu panca indra, akal, dan wahyu. Sementara, menurut ilmuwan Barat modern pada dasarnya hanya mengakui indra sebagai sumber kebenaran. Maka dari itu diharapkan agar ilmuwan muslim menyadari bahwa cara pandang ilmu modern bukan satu-satunya cara pandang yang universal, tetapi ada juga cara pandang yang yang telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim, salah satunya yaitu Al-Faruqi. Ide Islamisasi Sains Al Faruqi bisa dijadikan pandangan keilmuan alternatif yangbisa jadi lebih cocok dengan budaya bangsa Indonesia yang religius. Kita membutuhkan sains yang disusun dari kandungan Islam yang memiliki proses dan metodologi yang mampu bekerja sama dengan semangat nilai-nilai islami dan yang semata-mata dilaksanakan untuk mendapat keridhaan Allah. Sains semacam ini akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat muslim dan bekerjasama dalam konteks etika Islam. Sifat dasar dan jenis sains ini harus jauh berbeda dari sains Barat. Karena ia merupakan produk peradaban Islam, usaha atau lembaga semacam ini selayaknya melambangkan sains Islam. Dari sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa islamisasi ilmu itu memang kita perlukan untuk menghindari dampak negatif dari ilmu tersebut. Pada akhirnya, ilmu itu akan bisa dikendalikan oleh ilmuwan, tidak sebaliknya, ilmu yang mengendalikan ilmuwan.
12
Mahillah, Tauhid dan Implementasi Sains: Telaah Pemikiran Ismail Raji al Faruqi...
DAFTAR PUSTAKA
Al Faruqi, Ismail Raji, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 2002) Al Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan, (terj.) Anas Muhyiddin (Bandung: Pustaka, 1995) Al Faruqi, Ismail Raji, Pengalaman Keagamaan dalam Islam (Yogyakarta: PLP2M, 1985) Al Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988) Azra, Azyumardi, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998) Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah,1994) Butt, Nasim, Science and Muslim Society, (London: Grey Seal Book, 1991) Esposito, John L., Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001) Kertanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Epistimologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003)
Pengantar
Polanyi, Michael, Segi Tak Terungkap Ilmu Pengetahuan. (terj.) Michael Dua (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) Ridwan, A. H., Reformasi Intelektual Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998)
13