PENGEMBANGAN KURIKULUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF ISMAIL RA’JI AL-FARUQI
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
M. Chalilul Rahman NIM: 109011000257 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2014
ABSTRAK M. Chalilul Rahman, NIM 109011000257. ”Pengembangan Kurikulum Islam Dalam Perspektif Ismail Ra’ji Al-Faruqi”. Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kajian terhadap pemikiran pendidikan Ismail Ra’ji Al-Faruqi sampai saat ini masih terus dilakukan oleh para akademisi dan para peneliti. Hal tersebut membuktikan bahwa pemikiran-pemikiran Ismail Ra’ji Al-Faruqi baik yang terkait dengan tauhid maupun pendidikan merupakan sebuah formulasi pendidikan yang menarik dikaji dan diteliti. Tujuan penelitian ini adalah dalam rangka memberikan sumbangan kongkrit untuk dunia pendidikan Islam agar dapat menciptakan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan apa yang diharapkan Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Dalam penelitian ini menggunakan buku primer yang berjudul: Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Islamisasi Pengetahuan yang telah diterjemahkan oleh Anah Mahyuddin) yang merupakan salah satu karya monumental Ismail Ra’ji Al-Faruqi yang mengulas tuntas tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan dekskriptif analisis. Diawali dengan pengumpulan data sebagai bahan primer dalam penelitian ini. Langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah menganalisis data. Proses penulisan dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Kemudian data tersebut dianalisis dan dipelajari secara cermat dan didekskripsikan secara komprehensif. Dari hasil analisa ini kemudian penulis dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bentuk pemikiran Ismail Ra’ji Al-Faruqi tentang pengembangan kurikulum pendidikan Islam. Hasil penelitian ini adalah kurikulum pendidikan Islam harus sesuai dengan visi Islam dan tidak mengabaikan pendidikan modern. Dalam pengintegrasian ilmu pendidikan Modern dengan pendidikan Islam diperlukan sikap selektif dan kesesuaian dengan visi Islam. Dengan pengintegrasian kedua sistem pendidikan Islam dan Modern diharapkan dapat mengembalikan kejayaan Islam yang sebagaimana dilakukan oleh cendikiawan Muslim masa lalu.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur tiada terhingga penulis sampaikan kehadirat Ilahi Rabbi Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang telah mengenalkan Islam kepada seluruh umat manusia. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak sedikit mengalami kesulitan, hambatan, dan gangguan baik yang berasal dari penulis sendiri maupun dari luar. Namun berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. DR. Abdul Majid Khon, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Marhamah Saleh, M.A, Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 4. H. Ghufron Ihsan, MA. Dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran dalam keakademikan dan kemahasiswaan. 5. Drs. Ahmad Basuni, MA. Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada peneliti selama menyelesaikan skripsi ini.
ii
6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah dengan sabar dan tekun, rela mentransfer ilmunya kepada penulis selama penulis menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. 7. Semua Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 8. Kedua Orangtuaku tersayang dan tercinta Ayahanda Mursalih dan Ibunda Rosmani yang selalu memberikan limpahan kasih sayang, perhatian, doa, dan dukungan moril, spiritual maupun material yang tiada henti. Terima kasih semua atas jasamu, semoga apa yang Ayahanda dan Ibunda berikan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin. 9. Teman-teman PAI angkatan 2009, terutama PAI G yang sama-sama telah memberikan doa’a, saran dan krtik dalam penulisan skripsi ini. Bagi mereka semua, tiada untaian kata dan ungkapan hati selain ucapan terima kasih dari penulis, semoga Allah SWT membalas semua amal baik mereka, dan akhirnya peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya kepada pembaca.
Jakarta, 10 April 2014
Penulis
iii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ................................................................................................................ i KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii DAFTAR ISI............................................................................................................. v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1 B. Identifikasi masalah ................................................................................. 6 C. Pembatasan Masalah ................................................................................ 6 D. Perumusan Masalah ..................................................................................6 E. Tujuan Penelitian .................................................................................... 6 F. Manfaat Penelitian ................................................................................... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kurikulum Pendidikan Islam ................................................................... 7 B. Tujuan Dalam Kurikulum Pendidikan Islam .......................................... 14 C. Materi-materi Dalam Kurikulum Pendidikan Islam................................ 18 D. Metode Dalam Kurikulum Pendidikan Islam.......................................... 20 E. Evaluasi Dalam Kurikulum Pendidikan Islam ........................................ 25 F. Pendidikan Perspektif Muhammad Naquib Al-Attas 1. Pengertian Pendidikan........................................................................ 28 2. Kurikulum Pendidikan ....................................................................... 34 3. Tujuan Pendidikan ............................................................................. 35 4. Metode Pendidikan............................................................................. 38 5. Materi Pendidikan .............................................................................. 40 E. Kajian Yang Relevan ............................................................................... 44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 45 B. Metode Penelitian .................................................................................... 45
iv
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................... 46 D. Pemeriksaan Keabsahan Data .................................................................. 47 E. Teknik Analisis Data................................................................................ 48 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi Ismail Ra’ji Al-Faruqi .............................................................. 49 B. Karya-karya Ismail Ra’ji Al-Faruqi ....................................................... 51 C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Ra’ji Al-Faruqi ............................. 52 D. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Dalam Perspektif Ismail Ra’ji Al-Faruqi ....................................................................................... 56 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI dan SARAN 1. Kesimpulan................................................................................................ 65 2. Implikasi .................................................................................................... 66 3. Saran…………………………………………………………………… .. 67 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur tiada terhingga penulis sampaikan kehadirat Ilahi Rabbi Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang telah mengenalkan Islam kepada seluruh umat manusia. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak sedikit mengalami kesulitan, hambatan, dan gangguan baik yang berasal dari penulis sendiri maupun dari luar. Namun berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. DR. Abdul Majid Khon, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Marhamah Saleh, M.Ag, Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 4. DR. Ahmad Basuni, MA. Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada peneliti selama menyelesaikan skripsi ini.
ii
5. H. Ghufron Ihsan, MA. Dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia dengan
tulus
memberikan
bimbingan,
petunjuk
dan
saran
dalam
keakademikan dan kemahasiswaan. 6. Semua Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah dengan sabar dan tekun, rela mentransfer ilmunya kepada penulis selama penulis menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. 8. Kedua Orangtuaku tersayang dan tercinta Ayahanda Mursalih dan Ibunda Rosmani yang selalu memberikan limpahan kasih sayang, perhatian, doa, dan dukungan moril, spiritual maupun material yang tiada henti. Terima kasih semua atas jasamu, semoga apa yang Ayahanda dan Ibunda berikan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin. 9. Teman-teman PAI angkatan 2009, terutama PAI G yang sama-sama telah memberikan doa’a, saran dan krtik dalam penulisan skripsi ini. Bagi mereka semua, tiada untaian kata dan ungkapan hati selain ucapan terima kasih dari penulis, semoga Allah SWT membalas semua amal baik mereka, dan akhirnya peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya kepada pembaca.
Jakarta, 10 April 2014
Penulis
iii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ................................................................................................................ i KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii DAFTAR ISI............................................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1 B. Identifikasi masalah ................................................................................. 5 C. Pembatasan .............................................................................................. 5 D. Perumusan Masalah ..................................................................................6 E. Tujuan Penelitian.......................................................................................6 F. Manfaat Penelitian ................................................................................... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kurikulum Pendidikan Islam ............................................................... 7 B. Tujuan Pendidikan Islam ..................................................................... 14 C. Materi-materi Pendidikan Islam ......................................................... 18 D. Metode Pendidikan Islam......................................................................20 E. Evaluasi Pendidikan Islam.....................................................................25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 31 B. Metode Penelitian .................................................................................... 31 C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................... 32 1. Teknik Pengumpulan Data............................................................32 2. Pemeriksaan Keabsahan Data ...................................................... 33
iv
D. Teknik Analisis Data................................................................................ 34 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi Ismail Ra’ji Al-Faruqi .......................................................... 35 B. Karya-karya Ismail Ra’ji Al-Faruqi .................................................. 37 C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Ra’ji Al-Faruqi..........................38 D. Pengembangan Kurikulum Islam dalam Perspektif Ismail Ra’ji AlFaruqi .....................................................................................................42 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ....................................................................................................... 49 2. Implikasi ........................................................................................................... 50 3. Saran………………………………………………………………………… . 51 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menyongsong abad ke-21 terdapat fenomena yang menarik, kemajuan dan peradaban Barat menjadi suatu magnet bagi peradaban bangsa-bangsa lain. Kemajuan teknologi yang dihasilkan tak terbatas ruang dan waktu. Barat menjadi sebuah icon kemajuan peradaban abad 21, Barat dapat menciptakan temuan-temuan baru dengan berbagai varian kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, Barat mengalami kemajuan yang signifikan tidak terlepas dari andil kemajuan perkembangan intelektual sebelumnya, yakni kejayaan dunia Islam. Ketika Islam mengalami puncak kejayaan dalam ilmu pengetahuan sedangkan Barat sedang mengalami masa kegelapan akibat doktrin-doktrin gereja. Kemajuan yang diperoleh Islam juga dirasakan bagi non-muslim (Barat) yang ketika itu daerahnya dikuasai oleh Islam. Banyak para orangorang Eropa (Barat) menuntut ilmu-ilmu dan menerjemahkan kitab-kitab yang dihasilkan para intelektual Islam seperti Ibnu Rusyd, Ar-Razi, Ibnu Sina, dan lain-lain dalam bahasa latin. Awal kemunduran Islam ketika pada masa Dinasti Abbasiyah disebabkan disintegrasinya
daerah-daerah
kekuasaan
Dinasti
Abbasiyah
mulai
memisahkan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah sehingga kekuatan Dinasti Abbasiyah mulai melemah. Kedudukan Dinasti Abbasiyah makin melemah ketika terjadi peperangan dengan pasukan Salib dalam kurun waktu 2 abad. Dampak peperangan yang lama tersebut pada kekuatan dan kestabilan Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1258 terjadi penyerang pasukan Hulago Khan terhadap Baghdad sehingga dapat dikuasainya kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Dengan dikuasainya Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam dalam segala bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, pendidikan Islam tidak lagi mampu menjadi alternative bagi para pelajar dan mahasiswa dalam skala internasional yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan. Pembahasan-pembahasan serius dalam 1
2
bidang kebudayaan (sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para intelektual Muslim yang hidup pada masa kejayaan Islam, hilang sama sekali sehingga terjadi stagnasi keilmuan Islam. Namun, ketika Islam mengalami
stagnasi,
Barat
sedang
sibuk
mentransformasikan
ilmu
pengetahuan Islam ke dunia Barat karya-karya Averoues dan mereka mulai menggugat tradisi dan ajaran-ajaran gereja yang membelenggu daya berfikir. Mereka mulai mendayagunakan akal dan mengembangkan semangat keilmuan yang ditandai dengan adanya (Renaissance).1 Ummat Islam mulai bangkit dengan muncul tiga kerajaan besar Islam : Utsmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India yang dapat mengembalikan kejayaan Islam dari keterpurukan dan dapat memulihkan reputasi di mata dunia, namun hanya bertahan sampai abad ke-17. Sesudah itu jatuh kembali ke dalam suasana kemunduran dalam berbagai aspeknya, diantaranya : di bidang politik, militer, ekonomi dan terutama ilmu pengetahuan. Pada saat itu yang berpengaruh di structural masyarakat Islam adalah ulama tarekat dan ulama fiqih. Keduannya menanamkan paham taklid dan membatasi hanya kajian agama islam, seperti Tafsir, Hadits, Fiqih dan Tauhid. Ulama tarekat hanya mengajarkan wirid dan zikir dalam upaya mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhi kehidupan duniawi. Ketauhidan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw telah tercampur khurafat dan paham kesufian. Mereka menghias diri dengan azimat-azimat, penangkal penyakit dan tasbih, menziarahi kuburan orang-orang keramat dan memujanya.2 Kemajuan peradaban Barat tidak diikuti dengan nilai-nilai pada aspek pendidikan. Pendidikan Barat yang dikembangkan berlandaskan pemaksaan hak akan Negara-negara yang mereka jajahi. Pemaksaan ideologi baik sosialis, komunis, kapitalis maupun liberalis kepada Negara-negara yang mereka jajah. Dengan penanam ideology yang mereka bawa berdampak kepada system pendidikan Negara-negara yang mereka jajah.
1 2
Busman Edyar, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Pustaka Asatrus, 2009), h.176. ibid., h.168.
3
Ciri utama system pendidikan Islam pada masa ini, menekankan pada “proses mengingat” sumber-sumber pemikiran keagamaan. Padahal untuk kepentingan memecahkan atau mencari solusi atas persoalan-persoalan pendidikan yang dihadapi umat tidak bisa dilalui dengan “proses mengingat” tetapi seharusnya dengan “proses berfikir”. Kondisi demikian ini berlangsung terus, sehingga pendidikan Islam berada dalam keterbelakangan. Pendidikan Islam tidak lagi memberikan perspektif masa depan yang cerah. Keadaan demikian berlaku di seluruh Negara Islam. Beriringan dengan masa ini, Negara-negara Islam sedang menjadi objek jajahan bagi bangsa Eropa. Sementara itu, Napoleon mendarat di Mesir pada 1798. Namun, ekspedisi ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan ilmiah. Sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Baru pada saat inilah umat Islam dan orang-orang Mesir untuk pertama kalinya mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru dan asing bagi mereka. 3 Dalam bidang pendidikan, para pembaharu Islam tersebut yang memiliki perhatian besar, antara lain adalah Muhammad Ali Pasya, Sultan Mahmud II, Muhammad Abduh dan Sir Sayyid Ahmad Khan. Mereka mengikuti pola pendidikan yang dikembangkan Barat, karena Barat dianggap berhasil dalam mengembangkan pendidikan. Sedangkan islam kendatipun secara bertahap, juga mengikuti langkah-langkah para pembaharu itu, sehingga mereka mencoba meniru gaya pendidikan Barat dalam berbagai dimensinya, termasuk pemikiran-pemikiran yang mendasari keberadaan pendidikan yang biasa disebut dengan filsafat pendidikan.4 Filsafat pendidikan yang diberikan pada departemen kependidikan Islam adalah sepenuhnya filsafat pendidikan Barat yang mulai digugat sebagian besar pakar kita. Sedangkan kajian filsafat sudah hampir putus dari nilai dan wawasan Islam, sehingga perlu segera diperbaiki dan ditekankan kembali pada kajian filsafat pengetahuan Islam. Anehnya umat Islam tidak segera menyadari dengan memusatkan kajian ilmiah mereka pada filsafat
3 4
Mujamil Qomar,Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Erlangga, 2005), h. 208. Ibid., h. 209.
4
pengetahuan Islam yang menjadi kunci penyelesaian problem pengetahuan dan pendidikan Islam. Mengingat bahwa filsafat pendidikan yang diajarkan kepada mahasiswa jurusan pendidikan Islam adalah filsafat Barat, maka pendidikan yang dikembangkan umat Islam adalah pendidikan yang berpola Barat. M. Rusli Karim menegaskan, “Pendidikan Islam di beberapa Negara Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak lebih dari duplikasi dari pendidikan di Negara-negara Barat sekuler yang banyak mereka cela. Dengan demikian, produk system pendidikan mereka tidak mungkin menjadi atau berupa alternatif.5 Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan sebagai sebuah model untuk memajukan peradaban Islam yang damai, anggun dan ramah terhadap kehidupan manusia. Sebagaimana dikutip Amrullah Achmad, Muhammad Mubarak menuturkan, “Karakteristik system pendidikan Barat adalah sebagai refleksi pemikiran dan kebudayaan abad XVIII-XIX yang ditandai dengan isolasi terhadap agama, sekulerisme Negara, materialism, penyangkalan terhadap wahyu dan penghapusan nilai-nilai etika yang kemudian digantikan dengan pragmatism”.6 Maka corak pendidikan Barat tersebut terlepas dari pandangan Barat terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat ilmu pengetahuan hanya berdasar pada akal dan indera, sehingga ilmu pengetahuan itu hanya mencakup hal-hal yang diindera dan dinalar semata. Ada lagi kenyataan yang lebih parah lagi. Banyak dari penerapan pendidikan di dunia Islam telah terlanjur mengikuti pola dan model pendidikan yang dikembangkan Barat dengan alasan untuk mencapai kemajuan, seperti yang terjadi di Barat, tetapi kenyataannya sangat berlawanan dengan harapan itu. Kaum muslim yang merasa dirugikan; di satu sisi mereka telah mengorbankan petunjuk-petunjuk wahyu hanya sekedar mengikuti model, namun disisi lain ternyata tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan dalam mengembangkan peradaban Islam. Hasil pendidikan yang dicapai tetap tidak mampu memobilisasi perkembangan peradaban Islam. 5 6
Ibid., h. 210. Ibid., h. 211.
5
Kenyataan yang menimbulkan problem dilematis ini pernah diungkap oleh Ismail Raji al-Faruqi. Dia melaporkan, bahwa materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam adalah jiplakan dari materi dan metodologi Barat, namun tak mengandung wawasan yang selama ini menghidupkannya di negeri Barat. Tanpa disadari, materi dan metodologi yang hampa itu terus memberi pengaruh jelek yang mendeislamisasikan siswa, dengan berperan sebagai alternatif bagi materi dan metodologi Islam dan sebagai bantuan untuk mencapai kemajuan dan modernisasi.7 Dengan menjiplakan dan mengadopsi pendidikan Barat yang memiliki kelemahan dan berbahaya bagi umat Islam, maka muncul Gerakan Islamisasi Pengetahuan yang dipelopori Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Al-Attas mengeluarkan gagasan Islamisasi pengetahuan ketika diadakannya Konferensi Internasional tentang pendidikan di Mekkah di gelar pada tahun 1977. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawa pengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak yang negative, karena sains modern (Barat) kering dengan nilai bahkan terpisah dari nilai agama.8 Selanjutnya, system pendidikan yang dikotomik menyebabkan lahirnya system pendidikan umat Islam yang sekuleristik, rasionalistik-empirik, intuitif dan materialistik. 9 Maka itu diharapkan para pakar pendidikan untuk segera merevolusi sistem pendidikan yang selama ini bernafaskan sistem pendidikan Barat yang telah meninggalkan agama dan wahyu sebagai sumber pengetahuan dan jika mereka mengikuti pola pendidikan Barat, maka harus selektif dan sesuai dengan ajaran Islam dalam mengadopsi pendidikan. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut yang kemudian penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul
7
Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Terj. dari Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan oleh Anah Mahyuddin, (Bandung : Mizan, 1984). h. 17. 8 M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN Malang Press, 2008), H.68. 9 Qomar, op. cit.,. hal. 214.
6
berikut “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam dalam Perspektif Ismail Raji Al-Faruqi”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang diidentifikasikan sebagai berikut: 1.
Faktor yang melatarbelakangi pengembangan kurikulum pendidikan Islam dalam perspektif Ismail Raji Al-Faruqi
2.
Gagasan dan pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi dalam upaya mengembangkan kurikulum pendidikan Islam
C. Pembatasan Masalah Pembahasan pokok yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Dalam Perspektif Ismail Raji AlFaruqi. D. Perumusan Masalah Sebagai pijakan dalam penelitian ini akan dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pandangan Ismail Raji Al-Faruqi tentang kurikulum pendidikan Islam ? E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan utama dari penelitian penulisan skripsi ini adalah penulis ingin untuk mengetahui kurikulum pendidikan Islam dalam perspektif Ismail Raji Al-Faruqi. F. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian: 1.
Memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran pendidikan Islam di Indonesia.
2.
Memberikan sumbangan dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan Islam.
3.
Memperoleh bahan-bahan serta cara melakukan reorientasi pendidikan, sehingga dapat dijadikan bahan-bahan perbandingan dengan reorientasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia.
BAB II KAJIAN PUSTAKA A.
Kurikulum Pendidikan Islam Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa Latin Curriculum semula
berarti a running cource, or race course, especially a chariot race cource dan terdapat pula dalam bahasa Perancis courier artinya to run, berlari. Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah cources atau mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini masih banyak dianut sampai sekarang, termasuk di Indonesia. 1 Dalam perkembangan kurikulum sebagai suatu kegiatan pendidikan, timbul berbagai definisi lain. Definisi ini menentukan hal-hal yang termasuk ke dalam ruang lingkupnya. Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai the total effort of the school situations. Definisi ini jelas lebih luas daripada sekadar meliputi mata pelajaran, yaitu segala usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, kurikulum tidak hanya mengenai situasi di dalam sekolah, tetapi juga diluar sekolah. 2 Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang atau jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidikan atau guru latih dengan orang-orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka. 3 Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk 1
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), cet 3. h. 131. 2 Ibid., h.131 3 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam¸ (Ciputat : Ciputat Press, 2005), h. 56.
7
8
mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.4 Selain itu adapula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa kurikulum pada hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah.5 Perluasaan jangkauan kurikulum dizaman modern terlihat dari definisi-definisi berikut : 1.
Kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, social, olahraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi muridmuridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya berkembang secara menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.
2.
Kurikulum adalah sejumlah kekuatan, factor-faktor pada lingkungan pengajaran dan pendidikan yang disediakan oleh sekolah bagi muridmuridnya di dalam dan di luar sekolah dan sejumlah pengalaman yang lahir daripada interaksi dengan kekuatan-kekuatan dan factor-faktor itu.
Kedua definisi diatas merupakan cerminan dari pengertian kurikulum dalam pendidikan modern, yang ruang lingkupnya mencakup berbagai aspek di luar sekolah. Dalam pendidikan modern memang tampaknya kurikulum berisi materi yang cenderung ditujukan ke arah pengembangan potensi murid (child centred) guna kepentingan hidupnya di masyarakat (community centred).6
4
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 123. ibid., h. 123. 6 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), cet 2. h. 44. 5
9
On the basis of what has been said so far, two principles can be set out according to which an Islamic curriculum must be constructed.7 a. Education must not be separated into two kinds-religious and secular. On the contrary, religion, which affects every aspects of life for the Muslim, must be at the very heart of all education as well as acting as the glue which holds together the entire curriculum into integrated whole; b. Muslims are free to study exactly what they please, so long as they do it in the spirit of Islam. Equally, although in the past learning in Islam was associated with a balance and breadth of knowledge. Muslims must now be considered free to specialize in any branch of knowledge, subject only to the same proviso of remaining fully committed to the fundamental beliefs and values of Islam. “Dua prinsip dasar menurut kurikulum Islam yang harus diperbaiki, yaitu pendidikan seharusnya tidak terpisahkan antara agama (religius) dan sekular. Agama merupakan aspek terpenting dalam kehidupan Muslim dan agama harus menjadi jantung seluruh pendidikan dalam Islam. Konsep kurikulum pendidikan Islam menggabungkan agama dengan sekular. Setiap Muslim bebas menuntut berbagai macam ilmu selama sesuai dengan spirit Islam”. Berdasarkan tuntutan perkembangan yang demikian itu, maka para perancang kurikulum dewasa ini menetapkan cakupan kurikulum meliputi empat bagian. Pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar-mengajar. Kedua, bagian yang berisi pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas dan pengalamanpengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan ke dalam silabus. Ketiga, bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran tersebut. Keempat, bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu.8 Menurut Marimba sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, “Pendidikan adalah bimbingan atau usaha sadar yang dilakukan pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya 7
Halstead, J, Mark, Towards a Unified View of Islamic Education, Islam and ChristianMuslim Relations, Vol. 6, No. 1, 1995, pp. 33. 8 Nata, op.cit., h. 125.
10
kepribadian yang utama”.9 Sebagaiman kutipan Ahmad Susanto yang di kutip dari Hasan Langgulung menjelaskan bahwa “pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai dan prinsip serta teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat”.10 Pendidikan Islam harus dapat mengembangkan seluruh potensi peserta didik dan menciptakan Hamba Allah yang shaleh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran dan perasaannya. Pendidikan Islam, menurut Omar Muhammad Al-Touny al-Syaebani, diartikan sebagai “usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan”.11 Menurut Hamka sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Susanto, “pendidikan
bukan
hanya
untuk
membantu
manusia
memperoleh
penghidupan yang layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia mampu mengenal Tuhan-Nya, memperluas akhlaknya dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian, manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya”.12 Menurut Al-Syaibani, “kurikulum Islam harus mempunyai ciri-ciri” sebagai berikut 1. Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Muatan mata pelajaran agama dan akhlak harus diambil dari alQur’an dan hadits serta contoh-contoh tokoh teladan yang shaleh terdahulu. 2. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, rohani dan akal. 3. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat; jasmani, akal dan rohani manusia. 4. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus, yaitu seni ukir, pahat, tulis-indah, gambar, dan sejenisnya. Selain itu kurikulum Islam juga harus memperhatikan pendidikan jasmani, latihan militer (perang), 9
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), cet 7. h. 24. 10 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Amzah, 2009), h. 128. 11 Omar Muhammad Al-Touny Al-Syaebani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. dari .... oleh Hasan Langgulung, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, ..), h. 399. 12 Susanto, op.cit., h.105.
11
teknik, keterampilan dan bahasa asing kesemuanya itu diberikan berdasarkan minat, bakat dan kebutuhan siswa. 5. Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan-perbedaan kebudayaan yang ada di masyarakat. 13: Dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah rancangan kegiatan pendidikan yang berupa isi, materi pelajaran, metode pengajaran dan sarana prasarana dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang dicitacitakan. Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya mengandung beberapa unsure utama seperti tujuan, isi, mata pelajaran, metode mengajar dan metode penelitian. Kesemuanya harus tersusun dan mengacu pada suatu sumber kekuataan yang menjadi landasan dalam pembentukannya. Sumber kekuataan tersebut dikatakan sebagai asas-asas pembentuk kurikulum pendidikan. Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa “asas-asas umum yang menjadi landasan pembentuk kurikulum dalam pendidikan Islam itu adalah”: 1.
Asas agama Seluruh system yang ada dalam masyarakat islam, termasuk system pendidikannya harus meletakkan dasar falsafah, tujuan dan kurikulumnya pada ajaran islam yang meliputi aqidah, ibadah, muamalat dan hubunganhubungan yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini bermakna bahwa semua itu pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
2.
Asas falsafah Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan islam, dengan dasar filosois, sehingga susunan kurikulum pendidikan islam mengandung suatu kebenaran terutama dari sisi nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini kebenarannya.
13
Tafsir, op.cit., h. 65.
12
3.
Asas psikologis Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan islam hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak didik.
4.
Asas social Pembentukkan kurikulum pendidikan islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat manusia sebagai makhluk social. 14
Keempat asas tersebut diatas harus dijadikan landasan dalam pembentukkan kurikulum pendidikan islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan asas yang lainnya memiliki keterkaiatan satu sama lain dan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat membentuk kurikulum pendidikan islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsure ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai
khalifah,
pengembangan pribadinya sebagai individu dan pengembangannya dalam kehidupan sosial. Secara
umum
karakteristik
kurikulum
pendidikan
Islam
adalah
pencerminan nilai-nilai islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan dan termanifestasi dalam seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam prakteknya. Dalam konteks ini harus dipahami bahwa karakteristik kurikulum pendidikan Islam senantiasa memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan Allah SWT dan Rasul-Nya, Muhammad Saw. Konsep inilah yang membedakan kurikulum pendidikan Islam dengan kurikulum pendidikan umumnya.
14
Syaibany, op.cit., h. 523-532.
13
Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany yang dikutip Abuddin Nata menyebutkan “lima ciri kurikulum pendidikan Islam”. Kelima ciri tersebut secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya dan kandungan-kandungan, metode-metode, alat-alat dan tekniknya bercorak agama. 2. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. Yaitu kurikulum yang betul-betul mencerminkan semangat, pemikiran, dan ajaran yang menyeluruh. Disamping itu ia juga luas dalam perhatiannya. Ia memperhatikan pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, social dan spiritual. 3. Bersikap seimbang diantara berbagai ilmu yang dikandung dalam kurikulum yang akan digunakan. Selain itu juga seimbang antara pengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual dan pengembangan sosial. 4. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yang diperlukan oleh anak didik. 5. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anak didik. 15 Selain memiliki cirri-ciri sebagaimana disebutkan diatas, kurikulum pendidikan islam memiliki beberapa prinsip yang harus ditegakkan. AlSyaibany sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “menyebutkan tujuh prinsip kurikulum pendidikan Islam”, yaitu : Pertama, prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajarannya dan nilai-nilainya. Setiap bagian yang terdapat dalam kurikulum, mulai dari tujuan, kandungan, metode mengajar, cara-cara perlakuan, dan sebagainya harus berdasar pada agama dan akhlak islam. Yakni harus terisi dengaan jiwa agama islam, keutamaan, cita-cita dan kemauannya yang baik sesuai dengan ajaran islam. Kedua, prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungankandungan kurikulum, yakni mencakup tujuan membina akidah, akal, dan jasmaninya dan hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat dalam perkembangan spiritual, kebudayaan, social, ekonomi, politik termasuk ilmuilmu agama, bahasa, kemanusiaan, fisik, praktis, professional, seni rupa dan sebagainya. Ketiga, prinsip keseimbangan yang relative antara tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum. Keempat, prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan-kemampuan dan kebutuhan pelajar. Begitu juga dengan alam sekitar baik yang bersifat fisik maupun social dimana pelajar itu hidup dan berinteraksi.
15
Nata, op. cit., h. 127.
14
Kelima, prinsip pemiliharaan perbedaan-perbedaan individual diantara para pelajar, baik dari segi minat maupun bakatnya. Keenam, prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ketujuh, prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran dengan pengalaman-pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.16 Dapat disimpulkan bahwa, “kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum yang memiliki landasan dasar agama, dasar filsafat, dasar psikologis dan dasar social sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan visi pendidikan Islam dan menciptakan peserta didik yang memiliki kelebihan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan berakhlak mulia sesuai ajaran Islam. B. Tujuan Pendidikan Islam Istilah “ tujuan” secara etimologi, mengandung arti arah, maksud atau haluan. Dalam bahasa Arab “tujuan” diistilahkan dengan “Ghay, Ahd atau Maqashid. Sementara dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan “goal, purpose, objectives atau aim”. Secara terminologi, tujuan berarti “sesuatu yang diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai”17 Tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang amat penting, Ahmad D. Marimba sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, “Menyebutkan empat fungsi tujuan pendidikan”. Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Sesuatu usaha yang tidak memiliki tujuan tidaklah memiliki arti apaapa dan pada umumnya, suatu usaha itu berakhir apabila telah tercapai tujuan yang dicita-citakan. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpa adanya antisipasi (pandangan kedepan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efisien. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuantujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan dari tujuan pertama. Keempat, tujuan sebagai pemberi nilai terhadap sesuatu kegiatan.18 Dari fungsi-fungsi tujuan tersebut, tujuan merupakan hasil penentuan dari suatu atau proses pendidikan terhadap nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam prilaku 16
Nata, op.cit., h. 125. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 107. 18 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 98. 17
15
lahiriah (tampak). Dengan kata lain, prilaku lahiriah adalah cermin yang memproyeksikan nilai-nilai ideal yang telah mengacu di dalam jiwa manusia sebagai produk dari proses pendidikan. Jika kita mengacau kepada tujuan pendidikan islam, berarti kita mengacu kepada kepribadian-kepribadian yang bernilaikan ideal-ideal islam. Hal ini mengandung makna tujuan pendidikan islam tidak lain adalah tujuan yang merealisasikan idealitas Islam. Dalam merumuskan tujuan-tujuan pendidikan islam harus berorientasi pada pendidikan yang meliputi beberapa aspek, misalnya tentang tujuan dan tugas
hidup manusia (QS. Ali Imran:191),
memerhatikan sifat-sifat dasar manusia yaitu konsep tentang manusia bahwa ia diciptakan sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30), serta beribadah kepadaNya (QS. Al-Dzariyat: 56), penciptaan itu dibekali fitrah berupa akal dan agama (QS. Al-Rum: 28 dan 30), sebatas kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada dan memenuhi tuntutan masyarakatnya. 19 Pendidikan Islam, sering dikatakan memiliki sasaran dan dimensi hidup, yaitu penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama manusia. Dalam bahasa al-Qur’an, dimensi hidup ketuhanan ini juga disebut jiwa rabbaniyah (QS. Ali Imran: 79) atau biasa disebut tauhid rububiyah, suatu bentuk kenyakinan bahwa semua yang ada di alam semesta dikendalikan oleh Allah Yang Maha Esa tanpa campur tangan sekutu lain. Sedangkan dimensi kemanusiaan yang harus ditanamkan adalah silatuhrahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, dermawan dan lain sebagainya. Dua dimensi yang memiliki nilainilai tersebut akan membentuk ketaqwaan dan akhlak yang mulia. Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai ideal islami dapat dikategorikan ke dalam tiga macam sebagai berikut. 1. Dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia. Dimensi nilai kehidupan ini mendorong kegiatan manusia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia agar menjadi bekal bagi kehidupan di akhirat. 2. Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan. Dimensi 19
Yasin, op. cit., h. 108.
16
3.
ini menuntut manusia untuk tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yang dimiliki. Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan (mengintegrasikan) antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia. 20
Dimensi-dimensi nilai diatas merupakan sasaran idealitas islami yang seharusnya dijadikan dasar fundamental dari proses kependidikan islam. Dimensi nilai-nilai islami yang menekankan keseimbangan dan keselarasan hidup duniawi-ukhrawi menjadi landasan ideal yang hendak dikembangkan atau dibudidayakan dalam pribadi manusia melalui pendidikan sebagai alat pembudayaan. Menurut al-Qabisy sebagaimana yang dikutip oleh Fattah Yasin, tujuan pendidikan Islam itu adalah upaya menyiapkan peserta didik agar menjadi muslim yang dapat menyesuaikan hidupnya sesuai dengan ajaran-ajaran islam. Dengan tujuan ini diharapkan peserta didik juga mampu memiliki pengetahuan dan mampu mengamalkan ajaran islam, karena hidup ini tidak lain adalah jembatan menuju hidup di akhirat.21 Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan. 2. Mengarahkan manusia seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. 3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya. 4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa, dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapay digunakan guna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya. 5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 22 20
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), Cet 5. h. 109. Yasin, op. cit., h. 110 22 Abuddin Nata, op. cit., h. 106.
21
17
Manusia yang dapat memiliki ciri-ciri tersebut diatas secara umum adalah manusia yang baik. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa para ahli pendidikan islam pada hakikatnya sependapat bahwa tujuan umum pendidikan islam ialah terbentuknya manusia yang baik, yaitu manusia yang beribadah kepada Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Abuddin Nata mengutip kutipan Mohammad al-Toumy alSyaibany, dalam menjabarkan tujuan khusus pendidikan Islam menjadi: 1. Tujuan yang berkaitan dengann individu yang mencakup perubahan berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani, rohani, dan kemampuankemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat. 2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat yang mencakup tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, serta memperkaya pengalaman masyarakat. 3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi dan kegiatan masyarakat. 23 Adanya tujuan umum dan tujuan khusus dalam pendidikan Islam tersebut lebih lanjut dikemukakan oleh Ali Khalil Abu al-Aynain, menurutnya tujuan umum pendidikan islam adalah membentuk pribadi yang beribadah kepada Allah. Sifat tujuan umum ini tetap, berlaku di sepanjang tempat, waktu dan keadaan. Sedangkan tujuan khusus pendidikan islam ditetapkan berdasarkan keadaan tempat dengan mempertimbangkan keadaan geografi, ekonomi dan lain-lainnya yang ada di tempat itu.24 Tujuan khusus pendidikan islam sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Quraish Shihab sebagaimana yang dikutip oleh Fattah Yasin yaitu bahwa tujuan pendidikan dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. Ia harus timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakaiannya dalam masyarakat atau negara tersebut. Dengan kata lain pernyataan ini lebih tepat diarahkan kepada sifat dari tujuan khusus pendidikan islam yang sifatnya fleksibel dan bukan diarahkan kepada
23 24
Ibid., h. 107. Tafsir, op. cit., h. 50.
18
tujuan umum pendidikan islam yang sifatnya konstan dan berlaku sama bagi semua bangsa dan negara di dunia ini.25 Dari beberapa pendapat para pakar pendidikan Islam, dapat disimpulkan tujaan pendidikan Islam adalah menciptakan peserta didik yang dapat menerima tantangan zaman dalam IPTEK dan memiliki akhlak mulia sesuai ajaran Islam dalam upaya menyiapkan kebahagian di dunia dan akhirat. [[
C. Materi-Materi Pendidikan Islam Kurikulum Islam adalah serangkaian rencana program pendidikan Islam yang digunakan untuk berlangsungnya program pendidikan baik yang termasuk dalam kurikulum nyata (the riil curricullum) maupun kurikulum yang bersifat tersembunyi (the hidden curricullum). Rangkain muatan kurikulum berisikan program pendidikan yang didalamnya terdapat tujuan, isi/materi, metode, sarana, pendidik, dan lain sebagainya. Untuk bisa mencapai tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang ingin diharapkan, maka tentu saja materi yang ingin disampaikan haruslah sesuai dengan cita-cita kurikulum pendidikan Islam. Isi materi dalam kurikulum pendidikan sebagai mata pelajaran yang akan diajarkan dalam proses belajar mengajar. Materi pendidikan Islam pada masa awal permulaan Islam datang yang diajarkan Rasulullah kepada ummatnya adalah materi yang menyangkut keperluan kehidupan pribadi maupun sosial. Ketika Rasulullah di Mekkah materi pendidikan yang diajarkan menyangkut masalah aspek keimanan (tauhid) dengan bahan ajarnya adalah al-Qur’an dan perangai atau tingkah laku Rasulullah SAW. Sedangkan materi yang diajarkan Rasulullah ketika Beliau di Madinah lebih menekan materi peribadatan dan akhlak dengan bahan ajarnya adalah al-Qur’an dan perangai atau tingkah laku Rasulullah SAW. Menurut Ahmad Tafsir,26 materi pendidikan Islam pada masa Rasulullah adalah membaca al-Qur’an. Keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik, olahraga dan kesehatan, membaca dan menulis. Pada masa 25 26
Abuddin Nata,. op. cit., h. 109. Tafsir, op. cit., h. 61.
19
khulafaurrasyidin materi pendidikan Islam sudah mulai berkembang menjadi membaca dan menulis, membaca dan menghafal al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak, syair-syair, bahkan materi tentang memanah, berkuda dan berenang. Pada masa dinasti khalifah Umayah materi pendidikan
makin
berkembang pesat seiring dengan masuknya pengaruh budaya Yunani, Persia, India, Cina dan lainnya, sehingga pelajaranya bertambah seperti berhitung, mengenal para tokoh, nahwu dan sharaf. Pada masa dinasti Abbasiyah materi pendidikan Islam semakin bertambah banyak, seperti bahasa Arab, fiqh, tafsir, hadits, nahwu, sharaf, ilmu pasti, ilmu mantiq, ilmu falak, tarikh dan ilmu alam. Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Said, materi pendidikan Islam terbagi menjadi dua bidang, yaitu: 1. Ilmu syari’at terdiri atas: a. Ilmu Ushul (ilmu pokok): ilmu al-Qur’an, Sunnah Nabi, pendapatpendapat Sahabat dan Ijma. b. Ilmu Furu’ (cabang): Fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak. c. Ilmu pengantar (mukaddimah): ilmu bahasa dan gramatika. d. Ilmu pelengkap (mutammimah): ilmu Qira’at, Makharij al-Huru wa al-Alfadz, ilmu Tafsir, Nasikh dan Mansukh, lafaz umum dan khusus, lafas nash dan zahir serta biografi dan sejarah perjuangan sahabat. 2. Ilmu bukan syari’at terdiri atas: a. Ilmu yang terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu perusahaan. b. Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan): kebudayaan, sastra, sejarah dan puisi. c. Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir, dan bagian-bagian tertentu dari filsafat. 27 Menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, membagi materi pendidikan Islam menjadi tiga macam, yaitu: a. Ilmu Lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang bahasa (gramatika), sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (syair). b. Ilmu Naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi (al-Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu ushul fiqh).
27
Said, op. cit., h. 142.
20
c. Ilmu Aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir atau kecenderungannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan (mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku dan ilmu nujum). 28 Materi pendidikan menurut At-Thahthawi sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Said, materi pendidikan terbagi berdasarkan jenjang pendidikan. Materi pendidikan dasar adalah membaca, menulis al-Qur’an, nahwu dan dasar-dasar berhitung. Materi pendidikan tingkat menengah adalah jasmani, ilmu bumi, sejarah, mantiq, biologi, fisika, kimia, manajemen, ilmu pertanian, ilmu peradaban dan ilmu bahasa asing. Sedangkan materi pendidikan tingkah menengah atas terdiri dari materi-materi penjuruan yang bersifat lebih mendalam dan meliputi pelajaran ilmu kedokteran, ilmu fiqih, ilmu bumi dan sejarah.29 Dari beberapa pendapat tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa materimateri pendidikan Islam haruslah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang merupakan sumber rujukan dalam agama Islam. Dari kedua sumber tersebut dapat melahirkan materi yang berkaitan dengan keyakinan terhadap Allah sebagai sumber utama segala pengetahuan. Namun, untuk dapat menjawab tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat diperlukan sebuah kurikulum yang di dalamnya terdapat materi pendidikan Islam dan materi pendidikan modern ( IPTEK). D. Metode Pendidikan Islam Dalam upaya tercapainya kurikulum pendidikan Islam diperlukan cara bagaimana tercapainya kurikulum tersebut. Kurikulum yang bagus belum tentu baik, apabila cara yang digunakan dalam proses menjalankan kurikulum yang ingin dicapai tidak sesuai dengan metode yang tepat. Hal ini berarti bahwa metode merupakan komponen kurikulum yang sangat essensial dalam mencapai tujuan pendidikan Islam.
28 29
Abuddin Nata, op. cit., h. 225. Said, op. cit., h. 151.
21
Secara literal bahasa kata “metode” berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari meta yang berarti “melalui” dan hodos yang berarti “jalan”. Jadi, metode berarti “jalan yang dilalui”30 Runes, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nizar menerangkan teknis bahwa metode adalah 1.
Sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
2.
Sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu pengetahuan dari suatu materi tertentu.
3.
Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.31
Berdasarkan pendapat Runes tersebut, bila dikaitkan dengan proses pendidikan Islam, maka metode berarti suatu prosedur yang digunakan pendidik dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan yang diingin dicapai. Selain itu metode juga suatu cara yang dilakukan peserta didik dalam upaya mencari ilmu pengetahuan. Dan metode dapat pula diartikan sebagai suatu rumusan yang berisikan aturan-aturan prosedur dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Dari sudut pandang filosofis, metode adalah merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi ganda, yaitu bersifat polipragmatis dan monopragmatis. Polipragmatis, bilamana
metode
itu
mengandung
kegunaan
yang
serba
ganda
(multipurpose). Suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak dan pada kondisi lain dapat dipergunakan untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaanya bergantung pada si pemakai metode tersebut, seperti halnya Video Cassette Recorder (VCR) yang dapat digunakan untuk merekam semua jenis film yang bersifat pornografis atau yang bersifat moralis dan dapat juga digunakan untuk alat pendidikan atau pengajaran. Sebaliknya dengan metode yang bersifat monopragmatis adalah alat yang hanya dipergunakan untuk mencapai satu macam tujuan saja. Misalnya, Laboratorium ilmu alam hanya dapat
30 31
Arifin, op. cit., h. 89. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam¸ (Ciputat : Ciputat Press, 2002), h. 66.
22
dipergunakan untuk kegiatan eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan untuk bidang yang lainnya.32 Dapat dipahami bahwa penggunaan metode dalam pendidikan tergantung kepada siapa pemakai dan keuntungan dari pemakai metode tersebut. Sedangkan metode dalam pendidikan Islam adalah bagaimana menghasilkan manusia yang berakhlak mulia yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai “khalifah Allah di Muka Bumi”. Maka itu dalam penentuan penggunaan metode itu harus berdasarkan pada pengembangan manusia yang secara menyeluruh dari segi aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Dalam konteks dengan pengembangan metode pendidikan Islam, Abdul Munir Mulkhan sebagaimana dikutip Samsul Nizar, telah mendeskripsikan beberapa petunjuk Al-Qur’an sebagai rujukan pengembangan metode pendidikan Islam, antara lain: a. Allah SWT menyuruh hamba-Nya untuk mencontoh Rasulullah Saw, sebab sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab/33:21). b. Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk menyeru manusia ke jalan Tuhan dengan hikmah, pengajaran yang baik dan argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan (Q.S. An-Nahl/16:125). c. Allah SWT memerintahkan ummat Islam untuk mengembangkan sikap arif dan bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu aktivitas (berdiskusi dan bermusyawarah) serta bertawakal kepada-Nya (Q.S. Ali Imran/3:159), (Q.S. Asy Syuura/42:38). d. Manusia diperintahkan untuk melakukan eksplorasi di muka bumi dan memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan Allah (Q.S. Al-An’aam/6:11). Sesungguhnya telah berlaku sunnah-sunnah Allah sebelum kamu, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan agama (Q.S. Ali Imran/3:137).
32
Arifin, op. cit., h. 90.
23
e. Jadi, dapat disimpulkan dalam pengembangan metode pendidikan Islam yang sebagaimana yang dipaparkan Abdul Munir Mulkan bertujuan bagaimana menciptakan manusia yang memiliki kepribadian yang berakhlak mulia sebagai al-insan al-kamil. 33 Metode pendidikan Islam secara formal adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Syaibany, yaitu 1. Metode pengambilan kesimpulan (Induktif) Metode ini bertujuan untuk membimbing pelajar untuk mengetahui fakta-fakta dan hukum-hukum umum melalui jalan pengambilan kesimpulan atau induksi. 2. Metode perbandingan (Qiyasiah) Metode ini dimulai dari penjelasan yang bersifat umum kepada yang khusus,
dari
keseluruhan
kepada
bagian-bagian
kecil.
Metode
perbandingan saling berkaitan dan melengkapi bagi metode induktif, oleh sebab itu guru-guru dianjurkan untuk menggabungkan antara keduannya untuk dapat membuktikan kebenaran. 3. Metode kuliah Metode kuliah adalah metode yang menyatakan bahwa mengajarkan pelajaran dan kuliahnya dengan cara mencatat perkara-perkara yang penting yang ingin dibincangkan. 4. Metode dialog dan perbincangan Metode dialog adalah metode yang berdasarkan pada dialog, percakapan melalui tanya jawab untuk mengetahui suatu kebenaran dalam fakta-fakta. 5. Metode halaqah Metode halaqah merupakan metode pertama kali dalam Islam dalam menyampaikan dakwah atau pendidikan. Metode yang dilaksanakan dengan cara para murid mengelilingi guru dalam setengah bulatan untuk mendengarkan ilmu yang disampaikan guru. 6. Metode riwayat 33
Nizar, op. cit., h. 72.
24
Metode ini dianggap salah satu metode dasar yang digunakan oleh pendidikan Islam. Metode ini digunakan untuk mengajarkan pelajaran Hadits, bahasa dan sastra Arab serta ilmu-ilmu Islam dan segi-segi pemikiran Islam yang paling banyak menggunakan riwayat. 7. Metode mendengar Periwayatan ilmu pada abad pertama dakwah Islamiyah bergantung penuh pada pendengaran sahaja. Sebab tulisan dan bacaan belum tersebar luas dalam masyarakat Islam pada waktu itu dan tulisan Arab pada masa itu masih banyak kekurangan yang menyebabkan membaca dan menulis itu sukar. Penyebaran ilmu pada masa itu lebih bersifat pendengaran. 8. Metode membaca Metode ini merupakan alat yang digunakan dalam mengajarkan dan meriwayatkan karya ilmiah yang bukan karya guru sendiri. Menurut metode ini murid membacakan apa yang dihafalnya kepada gurunya atau orang lain membacanya sedang dia mendengarkan. 9. Metode imla Metode imla adalah metode menulis materi yang dibacakan oleh guru dengan cara mengatur setiap kata-kata yang diucapkannya sedangkan murid-murid mencatat setiap kata yang didengarnya. 10. Metode hafalan Metode hafalan merupakan metode yang digunakan pada masa awal Islam dalam menyebarkan dakwah. Pada masa awal Islam orang-orang sangat menghargai daya ingatan seseorang untuk menghafal. Metode hafalan ini merupakan faktor yang membantu tersebarnya bacaan-bacaan Al-Qur’an dikarenakan pada masa itu tulisan masih sangat kurang. metode ini digunakan untuk menghafal bacaan-bacaan Al-Qur’an, Hadits dan Ilmu Bahasa yang sangat membutuhkan daya ingatan yang kuat. 11. Metode pemahaman Metode pemahaman adalah metode dengan cara menjelaskan, menganalisa, dan memahami suatu bacaan. Sesungguhnya metode pengajaran dalam Islam menaruh perhatian kepada pemahaman mata
25
pelajaran sebagaimana ia menaruh perhatian pada hafalan dan tidak melalaikan kepahaman. 12. Metode lawatan untuk menuntut (pariwisata) Pendidik-pendidik Islam menaruh perhatian besar terhadap lawatan dan perkunjungan ilmiah dan dianggapnya metode yang paling bermanfaat dalam menuntut ilmu, memperoleh pengetahuan, meriwayatkan hadits dan sejarah. Metode ini juga sebagai jalan pembuktian kebenaran pada suatu ilmu pengetahuan dalam upaya menguji keorisinalan suatu ilmu.. 34 Dari beberapa pendapat para pakar pendidikan dapat disimpulkan bahwa “metode pembelajaran adalah sebuah cara menyampaikan materi pelajaran yang dilakukan seorang guru kepada peserta didik”. Metode pembelajaran Islam adalah metode yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam menyampaikan materi pelajaran. Dalam penggunaan
metode
diperlukan
kesesuaian
dengan
materi
dan
perkembangan peserta didik. E. Evaluasi Pendidikan Islam Rangkaian akhir dalam komponen kerja sistem pendidikan yang terpenting adalah pengevaluasian. Pengevaluasian merupakan pengujian atas tingkat keberhasilan pada suatu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal pendidikan Islam evaluasi berarti merupakan langkah terakhir dalam suatu rangkaian kerja yang berkaitan dengan berhasil atau gagalkah suatu pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan Islam. Dalam hal ini dapat dilihat dengan output yang dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan Islam. Jika output tersebut sesuai dengan tujuan program dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut berhasil ataupun sebaliknya. Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakaiannya, sebelum disampaikan uraiannya lebih jauh tentang evaluasi program, yaitu
34
Syaibany, op.cit., h. 561-582.
26
“evaluasi” (evaluation), “pengukuran” (measurement) dan “penilaian” (assessment).35 Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu atau dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang yang ada hubungannya dengan pendidikan.36 Evaluation is a process which determines the extent to which objectives have been achieved. Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi, dimana suatu tujuan telah dapat tercapai. Defenisi ini menerangkan secara langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur derajat, dimana suatu tujuan dapat dicapai. Sebenarnya evaluasi juga merupakan
proses
memahami,
memberi
arti,
mendapatkan,
mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan. 37 Sebagaimana pendapat Suchman yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto, memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Dan definisi lain yang dikemukakan oleh Worthen dan Sanders yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto, mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan.38 Dalam arti sempit, evaluasi dapat dikatakan suatu usaha untuk menguji keberhasilan pendidik dalam rangka mengetahui sejauh mana perkembangan peserta didik dalam memahami materi pelajaran yang diajarkan. Dalam arti luas, evaluasi dapat dikatakan suatu usaha menguji tingkat keberhasilan suatu sistem pendidikan yang berisikan komponen-komponen pendukung dalam pendidikan dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai.
35
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009), cet.2. h. 1. 36 Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 1. 37 Sukardi, Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2011), cet.5. h. 1. 38 Jabar, op. cit., h. 2.
27
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam. Pertama, dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menjalankan tugas, Kedua, dari segi peserta didik, evaluasi berguna untuk mengetahui perubahan tingkah lakunya dari hasil pendidikan. Ketiga, dari segi ahli pemikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan teori-teori pendidikan yang ada dalam upaya meningkatkan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Keempat, dari segi pemerintah, evaluasi berguna untuk menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat.39 Kesemua kegunaan evaluasi pendidikan Islam dimaksudkan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari sebuah sistem pendidikan dari berbagai aspek (kurikulum, pendidik, materi dan metode) dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan pendidikan Islam di masa yang akan datang. Adapun tujuan evaluasi menurut ajaran Islam, berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:40 1.
Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dialaminya.
2.
Untuk mengetahui sampai dimana atau sejauh mana hasil pendidikan wahyu yang telah diterapkan Rasulullah SAW terhadap umatnya.
3.
Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup hidup keislaman atau keimanan manusia, sehingga diketahui manusia yang paling mulia di sisi Allah.
Untuk mengetahui sejauh mana kuatnya iman seseorang, Allah SWT terkadang mengevaluasinya melalui berbagai cobaan yang besar. Allah berfirman:
“Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji (dievaluasi) lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum 39
Nizar, op. cit., h. 78. Abuddin Nata, op. cit., h. 189.
40
28
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Q.S. al-Ankabut, 29:2-3). Pada ayat tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa Allah SWT akan menguji kualitas keimanan seseorang dengan berbagai evaluasi atau cobaan. Dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang benar-benar mantab imannya dan siapa saja yang imannya palsu. Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai pencipta, hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Paradigma pendidikan islam mengintegralkan semua ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, sehingga terciptalah manusia yang paripurna yang dapat mengaktualisasikan
keimanan,
keilmuan
dan
amal
shalihnya.41
Dari beberapa pendapat para pakar dapat disimpulkan, evaluasi adalah pengoreksian, pengawasan dan perefleksian terhadap komponen-komponen kurikulum dalam upaya mengetahui keberhasilan kurikulum. Evaluasi dalam pendidikan Islam adalah mengevaluasi tingkat keberhasilan peserta didik dalam ketaatan dan kepatuhan terhadap ajaran Islam. F. Pendidikan Perspektif Muhammad Al-Naquib Al-Attas. 1. Pengertian Pendidikan Definisi Pendidikan, menurut Al-Attas berasal dari kata ta’dib yang berartikan penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang. AlQur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad Saw, yang oleh kebanyakkan disebut dengan sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Oleh karena itu, sistem pendidikan harus merefleksikan manusia sempurna. 42 Pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Mekkah, pada April 1971. Al-Attas mengajukan agar 41
Samsul Nizar, op. cit., h. 83 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, (Bandung: Mizan Media Utama, 1998). h. 174. 42
29
definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan dalam Islam menjadi ta’dib. Gagasan definisi pendidikan tersebut diterima sebagai istilah yang dikompromiskan dengan istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan.43 Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini kemudian menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept if Education in Islam yang disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang digunakan waktu itu. Dia mengatakan, “ struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur ilmu (ilm), instruksi (ta’lim) dan pembinaan yang baik (tarbiyah).44 Al-Attas berpendapat kata “tarbiyah” yang dalam bahasa latin ialah education. Tarbiyah adalah proses menghasilkan dan mengembangkan mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju dalam konsepsi pendidikan yang diturunkan dari konsep-konsep latin yang dikembangkan dari istilah-istilah tersebut di atas meliputi spesies hewan dan tidak dibatasi pada “hewan berakal”45. Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia saja dan medan-medan semantiknya meluas kepada spesiesspesies lain untuk mineral, tanaman dan hewan. 46 Konsep tarbiyah bisa diterapkan untuk berbagai spesies dan tidak terbatas hanya untuk manusia, dengan demikian konsep tarbiyah tidak 43
Ibid., h. 175. Ibid., h. 175. 45 Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Terj. dari The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984). h. 64. 46 Ibid., h. 66. 44
30
cocok untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan hanya untuk manusia saja.47 Selain itu tarbiyah pada dasarnya juga mengacu kepada gagasan “pemilikan”, seperti pemilikan keturunan oleh orang tuanya dan biasanya para orang tua sebagai pemilik yang berhak mentarbiyahkan keturunannya. Pemilikan-pemilikan yang dimaksud adalah pemilikan yang berhubungan dengan relasional. Mengingat bahwa pemilikan yang sebenarnya ada pada Tuhan sebagai Sang Pencipta, Pemelihara, Penjaga, Pemberi, Pengurus dan Pemilik segala sesuatu, yang kesemuanya itu tercakup dalam istilah tunggal ar-Rabb. Jadi kata Rabba yang diturunkan kepadanya jika diterapka pada manusia dan hewan-hewan menunjukkan suatu “milik yang dipinjamkan”. Yang mereka kerjakan dengan milik yang dipinjam ini adalah tarbiyah jika yang mereka kerjakan adalah mengasuh, menanggung,
memberi
makan,
membesarkan,
menjadikan
bertambah
mengembangkan, di
dalam
memelihara,
pertumbuhan
dan
sebagainya. Kesemuanya itu bukan pekerjaan pendidikan. Pendidikan adalah penanaman pengetahuan yang berkenaan dengan manusia saja dengan penggunaan intelektual manusia. 48 Jika penyelenggaran tarbiyah digunakan sebagai pendidikan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja akan menyebabkan pola pendidikan sekuler yang berprinsip utilitarian yang cenderung pada aspek-aspek fisik, material kehidupan sosial dan politis manusia.49 Konsep ta’dib adalah pendidikan yang menekankan pada adab yang mencakup amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin bahwasanya ilmu (ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat oleh karena inilah para pakar pendidikan dan para sarjanasarjana terdahulu mengombinasikan ilm dengan amali dan adab. Dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan. 50 47
Ibid., h. 67. Ibid., h. 68. 49 Ibid., h. 69. 50 Ibid., h. 62. 48
31
Adab adalah pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahankesalahan penilaian. Adab
berarti pengenalan dan pengetahuan tentang
hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai-bagai tingkat dan derajat-tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun ruhaniah seseorang.
51
Oleh karena itu, Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan
ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan. Al-Attas menolak tarbiyah sebab istilah tarbiyah hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional dalam perkembangan manusia dan hewan. Ibn Miskawaih Sebagaimana dikutip Al-Attas, misalnya menggunakan istilah ta’dib untuk menunjukkan pendidikan intelektual, spiritual, dan sosial, baik anak muda maupun orang dewasa. 52 Al-Attas memberikan contoh bagaimana adab hadir dalam pelbagai tingkat pengalaman manusia. Adab terhadap diri sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur, yaitu akal dan sifat kebinatangan. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifatsifat kebinatangannya, ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang semestinya dan karenanya ia telah meletakkan dirinya pada tempat yang benar adapun sebaliknya jika tidak, ia menjadi sesuatu yang tidak adil (zhulm al-nafs).53 Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti normanorma etika yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya dilakukan dilingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, posisi seseorang “bukanlah sesuatu yang ditentukan manusia berdasarkan kriteria kekuatan, kekayaan ataupun keturunan, melainkan ditentukan oleh alQur’an berdasarkan kriteria terhadap ilmu pengetahuan, akal pikiran dan perbuatan yang mulia. Jika manusia tersebut melakukannya dengan tulus
51
Ibid., h. 63. Wan Daud, op. cit., h. 180. 53 Ibid., h. 178. 52
32
ikhlas dan rendah hati, hal itu menunjukkan bahwa seseorang tersebut mengetahui tempat yang sebenarnya dalam hubungannya dengan mereka. Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hirarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan, yang memungkinkannya mengenal dan mengakui, bahwa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu itu jauh lebih mulia dibandingkan mereka yang pengetahuannya berdasarkan akal. Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar pelbagai bidang sains yang berbeda. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dalam upaya pencarian ilmu dan pendidikan adalah seseorang bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dalam kaitannya dengan alam, adab berarti pendisiplinan akal praktis dalam berhubungan dengan hirarki yang menjadi karakter alam semesta sehingga seseorang bisa membuat keputusan yang mengenai nilai-nilai dari segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta dalam pengembangan jasmaniah dan ruhaniah manusia. Adab terhadap bahasa berarti pengenalan dan pengakuan adanya tempat yang benar dan tepat untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun percakapan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam makna, bunyi dan konsep. Dalam Islam, kesustraan disebut dengan Adabiyah, sematamata karena ia dianggap sebagai penjaga peradaban dan penghimpun ajaran dan pernyataan yang bisa mendidik jiwa manusia dan masyarakat dengan adab sehingga keduanya menduduki tempat yang tinggi sebagai manusia dan masyarakat yang beradab. Untuk alam spiritual, adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap tingkat-tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual; pengenalan dan pengakuan terhadap pelbagai maqam spiritual berdasarkan ibadah; pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar telah menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangan pada spiritual ataupun akal. Al-Attas memberikan kesimpulan mengenai pengertian adab sebagai berikut:
33
1. Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran. 2. Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik. 3. Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan prilaku salah dan buruk. 4. Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji. 5. Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat. 6. Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu secara benar dan tepat. 7. Realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah. Yang dimaksud Al-Attas
adalah pendidikan berbeda dengan istilah
pengajaran dan pelatihan. Pelatihan dan pengajaran dapat dilakukan pada manusia dan hewan, sedangkan pendidikan hanya diperuntukkan manusia. Dengan menyintesiskan arti ilmu pengetahuan, makna dan arti adab, bisa dikatakan bahwa definisi pendidikan Islam
yang lengkap adalah
sebagaimana yang terkandung dalam konteks ta’dib, yang didalamnya terkandung tujuan, kandungan dan metode pendidikan yang sebenarnya: “Pengenalan dan pengakuan yang ditanam secara progresif dalam diri manusia mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam susunan penciptaan yang membimbing seseorang pada pengenalan dan pengakuan terhadap keberadaan Tuhan dalam tatanan wujud dan eksistensi.54 Dapat disimpulkan bahwa definisi pendidikan adalah sebuah proses penanaman akhlak dan adab dalam upaya menumbuhkan potensi peserta didik dalam domain kognitif, psikomotorik, afektif dan spiritual dalam upaya menjadikan manusia yang sempurna.
54
Ibid., h. 180.
34
2. Kurikulum Pendidikan Tujuan pendidikan dalam Islam, sebagaimana diuraikan secara mendalam oleh Al-Attas adalah menciptakan manusia yang baik, seorang manusia
beradab
dalam
pengertian
yang
komprehensip.
Dalam
pembentukkan kurikulum al-Attas menekankan aspek adab. Menurutnya, adab mencakup suatu pengenalann dan pengakuan mengenai tempat sesuatu secara benar dan tepat. Dengan ilmu pengetahuan dan metode yang berasaskan adab agar dapat mengetahui yang benar dan mampu menjaga manusia
dari
kesalahan
penilaian
dan
perbuatan
sehingga
dapat
memosisikan dirinya pada tempat yang benar dan sesuai.55 Kurikulum pendidikan dalam Islam berlandaskan sumber-sumber yang jelas dan mapan, yang pemahaman, penafsiran dan penjelasannya membutuhkan ilmu pengetahuan yang otoritatif. Al-Attas mengatakan otoritas yang tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam Al-Attas lebih menekankan keutamaan peranan guru. Guru memiliki peranan penting dalam proses pendidikan. Al-Attas menyarankan peserta didik dalam mencari guru untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada guru yang sembarangan. Pentingnya mendapatkan guru yang memiliki reputasi tinggi untuk mencapai gelar tertentu.56 Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Al-Attas, mengingatkan
dan
menekankan peserta didik untuk tidak sombong tetapi harus memperhatikan mereka yang membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan kebahagiaan dan tidak hanya berlandaskan kepada mereka yang termasyhur atau terkenal.57 Praktik pendidikan Al-Attas, tidak bergantung pada kuantitas buku yang terlalu banyak, tetapi hanya bertumpu pada buku yang sudah disahkan. Hal ini bisa dilihat dari perpustakaan pribadinya yang relatif memiliki kuantitas buku terbatas. 55
Ibid., h. 255. Ibid., h. 260. 57 Ibid., h. 261. 56
35
Adab guru dan peserta didik dalam filsafat pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh Al-Ghazali. Pandangan Al-Ghazali mengenai tugas-tugas guru dan peserta didik yang saling memberi manfaat. Selain persiapan spiritual, seperti mengamalkan adab yaitu mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar dengan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar. Guru pun dapat menerima nasihat yang datang dari peserta didik dan berproses sesuai dengan perkembangannya dan kemampuannya.58 Al-Attas dalam menjalankan sistem kurikulum pendidikan Islam mengacu kepada tradisi Islam dalam hal otoritas dan mengaplikasikan ide universal mereka secara kritis dan kreatif untuk menyelesaikan banyak permasalahan yang dihadapi. Al-Attas menginginkan kedisiplinan yang konsisten dari semua mahasiswanya untuk mengetahui hal-hal yang paling penting dan mengaplikasikannya secara tepat dalam kehidupan pribadi dan sosial. Memperhatikan dan memahami dengan benar isi dan pesan yang disampaikan oleh guru mereka.59 Dapat disimpulkan, kurikulum pendidikan Islam Al-Attas adalah kurikulum
yang
menekankan
konsep
ta’dib.
Sistem
kurikulum
menitikberatkan peranan guru (teacher oriented) dan penggunaan sumbersumber yang otoritatif dalam Islam (Al-Qur’an dan hadis).
3. Tujuan Pendidikan Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keberagamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun
58 59
Ibid., h. 263. Ibid., h. 264.
36
monarkis. Pandangan teoritis kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar.60 Berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah hewan yang bermasyarakat (social animal) dan ilmu pengetahuan pada dasarnya dibina di atas dasardasar
kehidupan
bermasyarakat,
mereka
yang
berpandangan
kemasyarakatan berpendapat bahwa pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan target pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah dengan itu pendidikan diharapkan dapat menyiapkan peserta didik yang mampu menghadapi segala bentuk perubahan yang ada. 61 Terdapat perbedaan mengenai orientasi peranan pendidikan, ada beberapa tokoh yang mengatakan pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat dibandingkan peranan pendidikan atas individu. Pada 1987 Paolo Freire sebagaimana dikutip Al-Attas mengatakan bahwa “Saya tidak percaya dengan ide kebebasan individu. Kebebasan adalah tindakan sosial dan kebebasan dalam pendidikan adalah proses masyarakat menuju pencerahan”.62 Praktik pendidikan cenderung berorientasikan terhadap
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat
terhadap
pendidikan
dibandingkan mengembangkan potensi dan minat peserta didik. Sementara itu, pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi pada individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat dan ekonomi. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa peserta didik. Berbeda dengan tujuan pendidikan Islam tradisional yang selalu menjadikan keberhasilan 60
Ibid., h. 163. Ibid., h. 164. 62 Ibid., h. 165. 61
37
individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat sebagai cita-cita dan tujuan pendidikan. 63 Namun tujuan pendidikan sekarang telah berubah cenderung berusaha meraih keberhasilan sosial-ekonomi bagi setiap peserta didik dengan harapan dapat memperkuat posisi penting dalam struktur sosial-ekonomi sehingga terjadi
perubahan orientasi
pendidikan dan menganggap
pendidikan sebagai alat mobilisasi dalam menguasai posisi penting dalam struktur sosial-ekonomi dalam pemerintahan suatu negara. Dominasi sikap tersebut berdampak dengan munculnya penyakit diploma (diploma disease) yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan melainkan karena nilai-nilai pendidikan.64 Dengan pola pendidikan
yang
berorientasi
sosial-ekonomi
akan
menyebabkan
kebingungan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan pengaruh sekularisasi Barat. Al-Attas menjelaskan tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan manusia yang baik. Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai. Al-Attas berpendapat, Dalam mengembangkan tujuan pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan individu dan masyarakat dalam persaudaraan kemanusiaan. Tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, kami tidak bermaksud untuk melahirkan masyarakat yang baik. Karena masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah pembuat struktur masyarakat.65
63
Ibid., h. 165. Ibid., h. 166. 65 Ibid., h. 188. 64
38
Al-Attas
menginginkan
dalam
tujuan
pendidikan
Islam
adalah
terciptanya manusia beradab (insan adabi). Manusia yang sadar akan individualitasnya dan hubungan yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat dan alam yang tampak maupun yang gaib. Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam, manusia yang baik adalah individu yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhan-Nya, ayah yang baik bagi anakanaknya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik dan warga negara yang baik bagi negaranya.66 Dapat disimpulkan, tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan individu yang beradab dalam upaya mengembangkan potensi-potensi dan kebutuhan masyarakat yang merupakan bagian dari struktur masyarakat. 4. Metode pendidikan Salah satu karakteristik pendidikan dan epistemologi Islam yang dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan oleh Al-Attas adalah apa yang dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu pengetahuan. Dia mengamati dalam keseluruhan sejarah kebudayaan, keagamaan dan intelektual Islam tidak terdapat zaman khusus, seperti yang dialami oleh Barat, yang ditandai dengan: Dominasi sistem-sistem pemikiran yang berdasarkan materialisme atau idealisme yang didukung oleh pendekatan dan posisi metodologis, seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme, positivisme, logika positivisme dan kritisisme, yang bergerak maju mundur dari abad ke abad dan muncul silih berganti hingga hari ini. 67 Sebaliknya, Al-Attas menemukan bahwa seluruh representasi tradisi Islam juga telah mengaplikasikan pelbagai metode di dalam penyelidikan mereka, seperti religius dan ilmiah, empiris dan rasional, deduktif dan induktif, subjektif dan objektif tanpa menjadikan salah satu metode lebih dominan dari yang lain. Sejalan dengan Ibn Sina, Al-Ghazali dan banyak tokoh Islam yang terkenal lainnya, Al-Attas membenarkan adanya kemampuan psikologis, yang dalam konsepsi Islam mengenai jiwa manusia 66 67
Ibid., h. 189. Ibid., h. 294.
39
dan proses kognitif. Kemampuan tersebut diletakkan sesuai dengan peranannya yang tepat. Islam dalam mengakui validitas pelbagai saluran ilmu pengetahuan, seperti panca indera, berita yang benar, akal sehat, dan intuisi yang digabung dengan di dalam akidah.68 Al-Attas menerangkan dalam diskusinya mengenai manusia dan psikologi jiwa manusia, jiwa adalah realitas tunggal dengan empat keadaan (ahwal / modes) yang berbeda, seperti intelek (aql), jiwa (nafs / soul), hati (qalb / heart) dan ruh (spirit) yang masing-masing terlibat dalam kegiatankegiatan manusia yang bersifat kognitif, empiris, intuitif dan spiritual.69 Kesemuannya tersebut merupakan metode tauhid yang diterapkan oleh AlAttas. Al-Attas mempergunakan argumentasi dari riwayat yang sahih dan sumber-sumber wahyu. Al-Attas berpendapat bahwa intuisi itu adalah salah satu saluran yang absah dan penting untuk mendapatkan pengetahuan kreatif, meskipun dapat diakses juga dengan persiapan etika dan intelektual tertentu. Al-Attas dengan tujuan yang ikhlas, integritas moral, kontemplasi atau berpikir dan doa itu sangat vital dalam mencari ilmu pengetahuan dan pemahaman yang benar.70 Ciri-ciri metode pendidikan Al-Attas yang lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan, sebuah metode yang juga banyak digunakan dalam Al-Qur’an dan hadis. Izutsu sebagaimana dikutip oleh Al-Attas mengatakan bahwa para filosof Muslim cenderung menggunakan metafora dan perumpamaan dalam metafisika, khususnya dalam penjelasan mengenai hubungan antara kesatuan dan keragamaan atau realitas absolut dan hal-hal fenomenal yang tampak kontradiktif.71 Salah satu metafora yang paling sering diulang-ulang oleh Al-Attas adalah metafora papan penunjuk jalan (signpost) untuk melambangkan sifat teolologis alam dunia ini, yang sering dilupakan orang, khususnya para ilmuwan. Dunia ini bagaikan papan penunjuk jalan yang memberi penunjuk 68
Ibid., h. 297. Ibid., h. 297. 70 Ibid., h. 300. 71 Ibid., h. 311. 69
40
kepada musafir, arah yang harus diikuti serta jarak yang diperlukan untuk berjalan menuju tempat yang akan dituju. Jika papan penunjuk jalan tersebut jelas (muhkam), dengan kata-kata yang tertulis jelas dapat menunjukkan tempat dan jarak sang musafir tanpa ada masalah apapun. Adapun sebalik jika penunjukan jalan tersebut tidak jelas (mutasyabih) akan membingungkan sang musafir tersebut. Cerita-cerita dan metafora Al-Attas tidak hanya digunakan pada domain metafisika; dia juga menggunakannya untuk menggambarkan situasi-situasi domain etika dan epistemologi.72 Dapat disimpulkan, metode pendidikan Islam adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan yang berlandaskan nilai ketauhidan dan cerita-cerita perumpamaan dalam upaya menciptakan individu yang beradab.
5. Materi-materi pendidikan Al-Attas berpendapat secara konsisten bahwa muatan pendidikan itu sangat penting dibandingkan metode. Ketika menekankan pentingnya muatan pendidikan daan bukannya metode, Al-Attas tak bermaksud bahwa metode tidak memiliki dampak positif terhadap output pendidikan tetapi sebaliknya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, adab itu sendiri termasuk metode yang benar untuk mengetahui dan berbuat sesuatu. Pandangan Islam mengenai realitas sangat mempertimbangkan adanya pelbagai hierarki dalam semua domain, termasuk jiwa, ilmu pengetahuan, kemampuan manusia dam alam. Kajian Al-Attas mengenai muatan pendidikan Islam berangkat dari pendangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama, yang memenuhi kebutuhan permanen dan spiritual dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional. Dalam hal ini, Al-Attas sepakat dengan Al-Ghazali terhadap pembagian kebutuhan manusia. Al-Attas membagi muatan pendidikan ke dalam fardu ain dan fardu kifayah.73
72 73
Ibid., h. 312. Ibid., h. 270.
41
Al-Attas secara tegas mengusulkan pentingnya pemahaman dan aplikasi yang benar mengenai fardu ain dan fardu kifayah. Ini adalah ciri khas lain filsafat pendidikan Al-Attas yang menandakan komitmen seumur hidupnya dalam menghidupkan kembali elemen-elemen universal prinsip-prinsip intelektual dan spiritual Islam periode awal. Pengkategorisasian ini mungkin juga karena perhatiannya terhadap kewajiban manusia dalam menuntut ilmu dan mengembangkan adab.74 Kurikulum pendidikan Islam diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature); aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal (fardu kifayah) sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilahistilah ruh, nafs, qalb dan aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti (fardu ain).75Fardu ain adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keagamaan. Pertama, Kitab suci Al-Qur’an merupakan ilmu yang wajib diajarkan kepada peserta didik dan mahasiswa. Materi pengajaran Al-Qur’an studi yang mengenai konsep dan sejarah wahyu, penurunannya, pengumpulan, penjagaan dan penyebarannya, ilmu-ilmu untuk memahami Al-Qur’an (nasikh-mansukh, al-khashsh wa al-am, muhkam-mutasyabih
dan amr-
nahy). Al-Attas menganggap tafsir Al-Qur’an merupakan karya ilmiah yang fundamental yang tidak mudah terkena kesalahan. Sebuah ilmu pengetahuan yang berdasarkan metode ilmiah bahasa Arab yang sistemnya akarnya tidak beraturan. Kedua, Sunnah: kehidupan Nabi yang berhubungan dengan sejarah, risalah dan hadis beserta perawiannya. Mata kuliah sejarah dan metodologi hadis wajib bagi semua mahasiswa ISTAC. Selain itum mata kuliah ini merupakaan pengkajian yang mendalam mengenai sejarah kritik hadis, beberapa istilah teknisnya (musthalahat al-hadis), analisis perbandingan
74 75
Ibid., h. 271. Ibid., h. 274.
42
terhadap kitab-kitab kumpulan hadis yang penting dan pengategoriannya, ilmu biografi dan kamus utama mengenai biografi. Ketiga, Syariat: fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam. Al-Attas menganggap pengetahuan syariat sebagai aspek yang terpenting dalam pendidikan Islam. Dalam pelaksanaan syariat dalam kehidupan individu dan masyarakat harus didasarkan pada ilmu yang tepat, sikap moderat dan adil. Al-Attas menilai bahwa pengajaran hukum Islam mendapat perhatian dan setelah mendapat pengertian awal mengenai hukum Islam, pengkajian selanjutnya mengenai materi tersebut berada dalam kategori fardu kifayah. Oleh karena itu, Al-Attas mata kuliah dalam bidang hukum dan fiqih Islam tidak diwajibkan kecuali dalam kasus-kasus yang bersifat
individual,
yaitu
jika
pembimbing
mahasiswa
merekomendasikannya atau jika mahasiswa itu belajar bidang kebudayaan Islam. Keempat, teologi (ilmu kalam): Tuhan, Zat-Nya, Sifat-Sifat, Nama-Nama dan perbuatan-Nya (al-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang sangat penting yang masih belum diberi tempat layak dalam kurikulum pendidikan Islam. Beberapa mata kuliah yang ditawarkan dalam teologi Islam di ISTAC tidak diwajibkan bagi semua mahasiswa kecuali bagi mereka yang mengambil pemikiran Islam dan yang direkomendasikan oleh pembimbing mahasiswa tersebut. Kelima, Metafisika Islam (al-tashawwuf-irfan): psikologi, kosmologi dan ontologi. Al-Attas mengatakan bahwa mata kuliah ini merupakan yang paling fundamental karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaimana diterangkan Al-Qur’an dan hadis, melainkan juga karena mencakup ringkasan semua disiplin intelektual lain, seperti ilmu Al-Qur’an, hadis, teologi dan filsafat serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik. Keenam, Ilmu bahasa: bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi dan sastra. Tujuannya bukan hanya menguasai keterampilan berbicara melainkan untuk menganalisis dan menginterprestasikan sumber-sumber
43
primer dalam Islam, khazanah intelektual dan spiritual penting dalam bahasa Arab. Di ISTAC, kursus bahasa Arab selama dua tahun wajib bagi semua mahasiswa. Mata kuliah bahasa pilihan lain yang sekarang ini ditawarkan di ISTAC, seperti Persia, Melayu, Yunani dan Latin kecuali direkomendasikan oleh penasihat mahasiswa ataupun pembimbingnya dan disetujui oleh direktur. 76 Setiap pelajar Muslim di tingkat universitas harus mengambil sejumlah mata kuliah yang cukup dari subjek-subjek di atas. Hal ini akan membuatnya mampu mengetahui bukan hanya isu-isu dan prinsip-prinsip utama, metedologi, permasalahan dan perbedaan dalam setiap disiplin ilmu dalam menghadapi tuntutan masyarakat global dan plural. Pengetahuan mengenai fardu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap Muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat Mukmin akan bertanggung jawab jika tidak seorang pun dari masyarakat tersebut yang mempelajarinya, karena masyarakat akan merasakan akibatnya. Kategorisasi ini sangat penting karena berlandaskan teori dan motivasi keagamaan kepada ummat untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Al-Attas membagi pengetahuan fardu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu.77 a. Ilmu kemanusiaan b. Ilmu alam c. Ilmu terapan d. Ilmu teknologi e. Perbandingan agama f. Kebudayaan barat g. Ilmu linguistik: bahasa Islam h. Sejarah Islam Ilmu-ilmu yang bersifat fardu ain itu dinamis dan berkembang sesuai dengan kemampuan intelektual dan spiritual seseorang serta keadaaan 76 77
Ibid., h. 275. Ibid., h. 275.
44
masyarakatnya dan pengetahuan fardu kifayah juga berkembang sesuai dengan keperluan dan program masyarakat tertentu. Kategorisasi fardu ain dan fardu kifayah menjamin kepentingan individu dan masyarakat, karena individu merupakan bagian dari masyarakat, identifikasi potensi dan kemampuannya
akan
berdampak
positif
terhadap
perkembangan
masyarakat. Dapat
disimpulkan,
materi
pendidikan
Islam
adalah
ilmu-ilmu
pengetahuan yang akan diajarkan kepada peserta didik dalam upaya menciptakan peserta didik yang dapat mengembangkan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan dalam upaya menjawab tantangan zaman.
G.
Kajian Yang Relevan Dalam proses penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Terdapat dalam beberapa buku dan juga terdapat dalam artikel dan Skripsi, diantaranya buku yang ditulis oleh Ismail Raji AlFaruqi, dengan judul: Islamisasi Pengetahuan, Terj. dari Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan oleh Anah Mahyuddin. Di dalam buku ini Anah Mahyuddin menerjemahkan buku yang berisikan Gagasasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Buku yang ditulis
oleh
Abdurrahmansyah,
dengan
judul:
Sintesis
Kreatif:
Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Di dalam buku ini membahas sistesis kurikulum Ismail Ra’ji Al-Faruqi.
BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian Penelitian skripsi yang berjudul “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Perspektif Isma’il Raji Al-Faruqi” dilaksanakan mulai Februari-April 2014, dengan jadwal sebagai berikut: Januari-Februari digunakan untuk pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari koleksi, buku-buku yang ada diperpustakaan, internet serta sumber lain yang mendukung penelitian. Kemudian waktu selebihnya digunakan untuk melakukan menganalisis data, menyimpulkan penelitian serta menyusunnya dalam bentuk penelitian atau laporan. Selanjutnya tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini bertempat di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, “Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan, mengulas dan membahas penemuan data yang ditemukan.1 Dan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif menurut Best, “metode deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.”2 Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.3 Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang diteliti secara tepat. Dalam melakukan penelitian ini, menggunakan teknik mengumpulkan datadata yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti, yaitu. Penelitian kepustakaan 1
Amin Abdullah, Metedologi Penelitian Agama Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta: kurnia Kalam semesta, 2006), h. 140. 2 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta :PT. Bumi Aksara, 2009), cet 9. h. 157. 3 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. 2, h. 3.
45
46
(Library Receach) metode ini digunakan untuk memperoleh data-data atau teori dari berbagai sumber seperti buku, majalah, atau sumber-sumber lain yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kepustakaan (library research) karena permasalahan yang akan diteliti mengkaji pemikiran tokoh terhadap kurikulum pendidikan islam maka dari itu diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan kurikulum pendidikan islam. Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data, fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan untuk mencari pijakan atau fondasi landasan teori, misalnya berupa jurnal, buku-buku yang relevan, majalah, naskah, catatan kisah sejarah; surat kabar, internet dan sumber lain4 yang berhubungan dengan Ismail Ra’ji Al-Faruqi dan pemikiran terutama tentang kurikulum pendidikan Islam. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder atau sumber sekunder lainnya. a. Sumber primer dalam penulisan skripsi ini pemikiran Ismail Ra’ji AlFaruqi, “Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, terj Islamisasi Pengetahuan oleh Anas Mahyuddin. b. Sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku yang relevan dan berkaitan dengan penelitian yang diteliti. Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengklasifikasi data-data yang 4
Sukardi, op., cit. h. 33-34.
47
relevan dan yang mendukung pokok pembahasan, untuk selanjutnya penulis analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh. D. Prosedur Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data Pengecekan keabsahan data pada skripsi ini dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu: 1.
Kredibilitas data Kriteria kredibilitas melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif adalah kredibel atau dapat dipercaya dari perspektif partisipan dalam penelitian tersebut.
Strateginya
meliputi
perpanjangan
pengamatan,
ketekunan
penelitian, triangulasi (mengecek keabsahan data dengan memanfaatkan berbagai sumber dari luar data sebagi bahan perbandingan), diskusi teman sejawat, analisis kasus negatif dan membercheking. 2.
Transferabilitas. Dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada semua orang untuk membaca laporan penelitian sementara yang telah dihasilkan oleh peneliti, kemudian pembaca diminta untuk menilai substansi penelitian tersebut
dalam
meningkatkan
kaitannya
dengan
trransferabilitas
fokus
dengan
penelitian.
melakukan
Peneliti suatu
dapat
pekerjaan
mendeskripsikan konteks penelitian dan asumsi yang menjadi sentral pada penelitian tersebut. Dengan kata lain apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. 3.
Dependabilitas DataApakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Artinya apakah peneliti akan memperoleh hasil yang sama jika peneliti melakukan pengamatan yang sama untuk kedua kalinya.5
4.
Konfirmabilitas Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam 5
Emzir, op., cit, h. 79-80.
48
laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.6 E. Analisis Data Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkripsi wawancara, catatan lapangan dan materi-materi lain yang telah dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman sendiri mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan disajikan apa yang sudah ditemukan kepada orang lain. analisis melibatkan pekerjaan dengan data, penyusunan dan pemecahannya ke dalam unit-unit yang dapat ditangani, perangkumannya, pencarian pola-pola dan penemuan apa yang penting dan apa yang perlu dipelajari dan pembuatan keputusan apa yang akan dikatakan kepada orang lain. 7 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content analysis) merupakan proses memilih, membandingkan, menggabungkan, memilih berbagai pengertian hingga ditemukan pengertian yang relevan dengan fokus penelitian.8 Penulis menggambarkan permasalahan, menganalisa secara terperinci tentang masalah yang diteliti dari berbagai buku yang ada dalam sumber tersebut sehingga dapat dihasilkan suatu kesimpulan.
6
Ibid.,, h. 81. Ibid., h. 85-86. 8 Amin Abdullah, op., cit,. 226. 7
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi Ismail Ra’ji Al-Faruqi Al-faruqi dilahirkan di Jaffa (Yaifa), pada tanggal 1 Januari 1921 Palestina dan meninggal pada tahun 1986. Ayahnya adalah seorang qadi terpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al-Faruqi. Meskipun Al-Faruqi dilahirkan di Palestina yang notabene negara Muslim tetapi pendidikan dan pengalaman studinya sebagian besar diperoleh dari Barat, bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan Al-Faruqi lebih banyak diperoleh dari Barat. 1 Al-Faruqi menghabiskan masa studinya di Barat karena di tanah kelahirannya kurang kondusif untuk study. Perjalanan intelektual atau pengalaman awal pendidikannya dimulai dengan belajar di College Des Freres (St. Joseph) Lebanon sejak tahun 1926 sampai mendapatkan sertifikat pada tahun 1936, setelah sebelumnya melewati proses pendidikan awal di Madrasah di tempat kelahirannya. Pada tahun 1941, Al-Faruqi melanjutkan studinya di American University of Beirut dengan mengambil bidang kajian filsafat sampai kemudian berhasil meraih gelar sarjana muda (Bachelor of Art). Setelah mendapat gelar B.A, Al-Faruqi sempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris. Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama 4 tahun, untuk kemudian ia diangkat sebagai Gubernur Galilea. Posisi sebagai Gubernur ini ternyata merupakan jabatan Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestina pada waktu itu, karena sejak tahun 1947 provinsi yang dipegang oleh AlFaruqi dikuasai oleh Israel. Keadaan ini membuat Al-Faruqi harus hijrah dan pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.2 Dinegara Paman Sam itu garis kehidupannya berubah. Dia dengan tekun menggeluti dunia akademis, sehingga ia mendapat gelar masternya di bidang filsafat di Universitas Indiana, AS, pada tahun 1949 dengan judul tesis On Justifying The God:Metaphysic dan Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisikan dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar doktornya diraih dari Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al-Faruqi juga
1
Hasan Baharun, Akmal Mundiri, dkk, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011. h. 106. 2 Abdurrahmansyah, Sintesis Kreatif: Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Ra’ji Al-Faruqi, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002. h. 22.
49
50
memperdalam ilmu agama di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama empat tahun.3 Usai studi di Kairo, Al-Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada selama dua tahun. Pada tahun 1962 Al-Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan. Setahun kemudian, pada tahun 1963, Al-Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago. Setelah mendirikan program pengkajian Islam di University Syracuse, New York dan kemudian pindah ke Temple University, Philadelphia memantapkan dirinya sebagai tenaga ahli dalam pengkajian Islam. 4 Al-Faruqi pernah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan. Diantaranya kepala study keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam di University Chicago, Direktur Institut Internasional Pemikir Islam di Washington dan presiden Institut Study Lanjutan Washington.5 Selain itu, dia juga menjadi guru besar tamu diberbagai negara, seperti di University Mindanao City, Filifina dan di Universitas Qum, Iran. Dia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. AlFaruqi berpendapat bahwa Zionisme harus dihancurkan dengan cara berperang dikarenakan tidak ada cara lain selain berperang. Lantaran pemikirannya tersebut Al-Faruqi dan istrinya, Dr. Lois Lamya serta keluarganya tewas oleh kelompok yang tak dikenal. Untukm mengenang jasa-jasa, usaha dan karyanya, organisasi masyarakat Islam di Amerika Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al-Faruqi Memorial Fund, yang bermaksud menlanjutkan cita-cita “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.6 Dapat disimpulkan, sepanjang hidup Al-Faruqi lebih banyak tinggal di negeri Barat sehingga menimbulkan pola pikir kritis dan rasional, namun AlFaruqi tidak lupa terhadap kampung halamannya yang menjadi kekerasan dan kedzaliman kaum Zionis. Oleh karena itu, di penghujung hidupnya Al-Faruqi 3
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi, Bandung:PT. Mizan. 2003. h. 329. 4 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2005. h. 108. 5 AM Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus, Jakarta: PT. PPA Consultants, 2010. h. 65. 6 Hery Sucipto, op. cit, h. 331
51
menentang keras terhadap zionisme sehingga Al-Faruqi beserta istri dan anaknya meninggal dalam keadaan tragis di rumahnya. B. Karya-karya Ismail Ra’ji Al-Faruqi Al-Faruqi merupakan tokoh intelektual yang mendunia sehingga wajar jika Al-Faruqi banyak melahirkan karya-karya ilmiah dalam bentuk buku, artikel maupun makalah. Beberapa karya intelektual Al-Faruqi sebagai berikut:7 1. Al-Tawhid: Its Implication for Thoughy And Life (1982) Dalam karya ini yang berisi 13 bab, Al-Faruqi mengenalkan pandangannya bahwa tauhid harus menjadi inti dalam segala sendi kehidupan manusia. 2. Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan Dalam buku ini, Al-Faruqi berusaha mensosialisasikan pandanganpandangannya tentang problem mendasar yang dialami umat Islam sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia Muslim. 3. Cristian Ethics, Trioluge of Abraham Faiths Dalam
karyanya
ini,
Al-Faruqi
mengenalkan
konsep-konsep
perbandingan agama dengan tiga pandangan pokoknya. Pertama, tiga agama saling memandang. Kedua, konsep tiga agama (Yahudi, Kristen dan Islam) tentang negara dan bangsa. Ketiga, konsep tiga agama tentang keadilan dan perdamaian. 4. The Life of Muhammad Buku ini membahas sejarah hidup Nabi Muhammad dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1973. 5. The Culture Atlas of Islam Buku ini menggambarkan peta peradaban dan kultur Islam sejak masa paling awal sampai abad pertengahan. Dalam buku ini, Al-Faruqi ingin mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan. 7
Hasan Baharun, op. cit, h. 108.
52
Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit islam sebagai prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang, yaitu semangat tauhid. C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Ra’ji Al-Faruqi Islamisasi ilmu yang muncul pada era modern (abad 20) merupakan respons kritis atas peradaban global Barat yang sekuler, kering nilai-nilai Illahiah, spiritualis, dikotomis akal-wahyu, ilmu-amal, dan material-spiritual yang mengakibatkan munculnya problem kemanusiaan, seperti degradasi moral-religius, kekosongan jiwa, dan tradisi taqlid dikalangan umat islam.8 Islamisasi merupakan solusi yang dilakukan Al-Faruqi untuk mengubah sistem pendidikan yang sesuai dengan cita-cita Islam yang telah lama ditinggalkan oleh ummat Islam dan sistem pendidikan yang diadopsi oleh ummat Islam dari Barat merupakan sistem pendidikan yang membahayakan ummat Islam dengan memisahkan wahyu dengan akal.9 Islamisasi merupakan suatu upaya mereformulasikan kembali-kembali ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepada ummat Islam dengan berdasarkan ajaran dan cita-cita Islam. Al-Faruqi memberikan pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasikan kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam.10 Dalam melihat fenomena di masyarakat yang mengalami problem serius tersebut, al-Faruqi bergerak hatinya untuk memberikan obat, yaitu dengan gagasan yang ditawarkan berupa islamisasi ilmu. Ismail Raji al-Faruqi mengatakan bahwa islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan (buku dasar) di perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern ke dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap kedua system
8
Hasan Baharun, op. cit., h. 110. Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, h. 29. 10 Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Terj. dari Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan oleh Anah Mahyuddin, (Bandung : Mizan, 1984). h. 38. 9
53
pengetahuan Islam dan Barat. Islamisasi pengetahuan merupakan suatu cara mengislamkan ilmu-ilmu Islam (tradisional) dengan ilmu modern (sekuler) dengan menyesuaikan ajaran dan visi Islam. Disamping itu, al-Faruqi juga memberikan
langkah-langkah
procedural
bagi
terlaksananya
program
islamisasi ilmu.11 Islamisasi ilmu dalam hal ini, berarti upaya membangun paradigm keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai islam, baik pada aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Menurut al-Faruqi, islamisasi ilmu harus merujuk pada tiga sumbu, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan berkaitan dengan tidak ada lagi pemisahan pengetahuan rasional (aqli) dan irasional (naqli). Kesatuan hidup berkaitan dengan semua pengetahuan yang harus mengacu pada tujuan penciptaan, yang berdampak lanjutan pada tidak bebasnya pengetahuan dari nilai, yaitu nilai ketuhanan. Kesatuan sejarah berkaitan kesatuan disiplin yang harus mengarah sifat keumatan dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah. 12 Al-Faruqi berpendapat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan dan mencari jalan keluar dari malaise yang dihadapi ummah, pengetahuan harus diislamisasikan dan menuangkan kembali berdasarkan kerangka Islam dengan membuat teori-teori, metode, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan yang tunduk kepada: Kesatuan Tuhan, Kesatuan Alam Semesta, Kesatuan Kebenaran dan Pengetahuan, Kesatuan Kehidupan dan Kesatuan Umat Manusia.13 Sebagai penggagas utama ide Islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi memberikan gambaran tentang bagaimana islamisasi itu dilakukan. Al-Faruqi menetapkan lima program sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu, yaitu : 1. Penguasaan disiplin ilmu modern. 2. Penguasaan khazanah Islam. 3. Menentukan relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern. 4. Mencari cari untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu-ilmu modern.
11
Hasan Baharun, op. cit., h. 111. Ibid., h. 112. 13 Ismail Raji Al-Faruqi, op. cit., h. 56. 12
54
5. Mengarahkan aliran pemikiran islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah swt.14 Dalam merealisasikan gagasannya tersebut, menurut Al-Faruqi ada beberapa tugas yang harus dilakukan. Pertama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan sekuler. Perpaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistem baru yang terpadu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistem-sistem terdahulu. Kedua, menurut Al-Faruqi, gagasan Islamisasi ilmu harus diikuti pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian dari program studi mahasiswa. Hal ini akan membuat mereka semakin yakin terhadap agama dan warisan mereka. Ketiga, memperbaiki metodologi. Sesungguhnya, ilmu-ilmu Barat sudah melanggar salah satu syarat yang krusial dari metodologi
Islam, yaitu
kesatuan kebenaran. Keempat, harus diadakan pertemuan-pertemuan yang membicarakan tentang islamisasi dan beberapa rencana strategis yang pada akhirnya menuangkan kembali semua khazanah pengetahuan Barat terhadap Islam. 15 Untuk merealisir tujuan-tujuan ini, sejumlah langkah harus diambil menurut suatu urutan logis yang menentukan prioritas-prioritas masingmasing langkah tersebut. Langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai proses Islamisasi pengetahuan : 1. Penguasaan disiplin ilmu modern : penguraian kategoris. Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi
kategori-kategori,
problema-problema
dan
prinsip-prinsip, tema-tema.
metodologi-metodologi,
Penguraian
tersebut
harus
mencerminkan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan
14 15
Ibid., h. 98. Hasan Baharun, op. cit., h. 113.
55
kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu Barat dalam puncaknya. 2. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangan beserta pertumbuhan metodologisnya. Perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslin akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat. 3. Penguasaan khazanah islam : khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini , apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu. 4. Penguasaan khazanah ilmiah islam tahap analisa. Jika antologi-antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini. 5. Penentuan relevansi islam yang
khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
Relevansi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur’an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin modern. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, ke arah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah dan memperluas visi disiplin tersebut. 6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern. Jika relevansi Islam telah disusun, maka ia harus di nilai dan dianalisa dari titik pijak Islam. 7. Penilaian kritis terhadap khazanah islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
56
8. Survey permasalahan yang dihadapi ummat islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral dan spiritual dari kaum muslim. 9. Survei permasalahan yang dihadapi ummat manusia. Suatu studi yang sama, akan tetapi lebih memfokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan. 10. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin modern, serta menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disambungkan dengan prestasi-prestasi modern dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari yang sudah dicapai disiplin-disiplin modern. 11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam. ketika keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin
modern telah
dicapai, maka buku-buku teks (daras) universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam. 12. Penyebarluasaan ilmu-ilmu yang telah diislamiskan. Langkah terakhir untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli
di
bidang-bidang ilmu yang sesuai dalam merancang pemcahan masalahmasalah yang menguasai pengkotakan antardisiplin. Para ahli harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuanpertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan. 16
D. Pengembangan Kurikulum Islam Perspektif Ismail Ra’ji Al-Faruqi Konsep kurikulum Islam yang diinginkan Al-Faruqi adalah kurikulum yang mengembangkan sistem tradisional (Islam) dan sistem modern (Barat) dengan menyesuaikan dengan visi Islam. Al-Faruqi bertujuan untuk memadukan kedua sistem Islam dan sistem Barat dan menghilangkan kekurangan yang dimiliki kedua sistem. 16
Ismail Raji Al-Faruqi, op. cit., h. 99-116.
57
Sistem pendidikan Islam yang cenderung bersifat relegius, tidak memadainya buku-buku pegangan yang telah usang dan guru-guru yang tak berpengalaman di dalam sistem yang tradisional dan sistem pendidikan Barat yang cenderung bersifat sekuler yang memisahkan wahyu dengan akal dalam pencarian ilmu pengetahuan dan peniruan metode-metode dan ideal-ideal Barat sekular di dalam sistem yang sekular.17 Tujuan kurikulum Islam Al-Faruqi adalah menciptakan sarjana muslim yang dapat menguasai dan memiliki pemahaman dalam ilmu-ilmu Barat dan ilmu-ilmu Islam dalam upaya menanamkan pemahaman yang sesungguhnya dari kedua ilmu-ilmu tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Al-Faruqi sebagai berikut. Seorang profesor yang meraih gelar doktor di sebuah universitas Eropa. Dia mendapatkan pendidikan di Barat dan lulus dengan angka sedang. Karena di masa sebelumnya ia tidak mendapatkan motivasi Islam sehingga ia tidak menuntut ilmu demi Allah Ta’ala semata-mata, tetapi demi kepentingan materialistis, egoistis (atau paling tinggilah untuk tujuan nasional). Ia tidak mendapatkan semua pengetahuan yang dapat diperolehnya di Barat bahkan tidak lebih unggul dari guru-guru Barat. 18 Maka penguasaan dari kedua ilmuilmu Barat dan Ilmu-ilmu Islam diperlukan dalam upaya penanaman wawasan Islam yang menyeluruh. Tujuan islamisasi yang digagas Al-Faruqi adalah menghapus dikotomi sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan Barat dan menghapus kelemahan metodologi dalam sistem pendidikan Islam dan Barat. Sistem pendidikan Islam yang digunakan merupakan jiplakan dari sistem pendidikan Barat tetapi hanya sebuah karikaturnya saja. Sebagaimana pendidikan Islam, pendidikan Barat sangat bergantung kepada sebuah wawasan pandangan Barat dan wawasan Islam sangat berbeda dengan wawasan Barat. Itulah sebabnya mengapa hampir dua abad dengan sistem pendidikan sekular Barat, kaum
17 18
Ibid., h. 23. Ibid., h. 16.
58
Muslimin tidak menghasilkan sesuatu pun juga baik sekolah, universitas maupun cendekiawan sebanding dengan kreativitas atau kehebatan Barat.19 Materi-materi dan metodologi-metodologi yang kini diajarkan di Dunia Islam adalah jiplakan dari materi-materi dan metodologi-metodologi Barat, namun tak mengandung wawasan yang semula dan kini menghidupkannya di negeri Barat. Tanpa wawasan tersebut maka materi-materi dan metodologimetodologi tersebut hanyalah instrumen-instrumen yang bersahaja. Tanpa disadari, materi-materi dan metodologi-metodologi yang hampa ini terus memberi pengaruh jelek yang mendeislamisasikan siswa.20 Maka dengan itu, Al-Faruqi menawarkan pengintegrasian antara ilmu-ilmu Islam dan ilmu-ilmu Barat dan menanamkan wawasan Islam di setiap ilmuilmu yang diintegrasikan.21 Al-Faruqi berpendapat untuk memecahkan masalah pendidikan. Sistem pendidikan diubah dan kesalahan-kesalahannya diperbaiki dengan sistem yang baru. Dualisme sistem pendidikan Islam dan sekuler harus dihapuskan. Sistem pendidikan tersebut diintegralkan dan sistem tersebut harus sesuai dengan semangat Islam. Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem. Dengan perpaduan ini pengetahuan Islam akan bisa dijelaskan dalam gaya sekular, maksudnya pengetahuan Islam akan menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari di dunia ini, sementara pengetahuan modern akan bisa kita bawa dan masukkan ke dalam kerangka sistem Islam.22 Dalam upaya menghilangkan dualisme sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan Barat dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin di bawah kerangka Islam dengan membuat teori-teori, metode, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan tunduk kepada: 1. Keesaan Allah Keesaan Allah adalah prinsip pertama dari agama Islam dan setiap sesuatu yang Islamiah. Dialah sang Pencipta, dengan perintah-Nya 19
Ibid., h. 15. Ibid., h. 17 21 Budi, op., cit, h.175 22 Al-Faruqi, op., cit, h. 25. 20
59
segala sesuatu dan peristiwa telah terjadi. Dia adalah sumber kebaikan dan keindahan. Di dalam dunia yang seperti ini, tak ada sesuatu pun yang terjadi secara kebetulan, tak ada sesuatu pun yang sia-sia atau tak berarti. Allah adalah cause yang pertama dan terakhir dalam agama Islam. Allah Yang Maha Penciptakan segala yang ada di bumi dan di langit. Semua berjalan sesuai dengan ketentuan-Nya. Allah merupakan sumber pertama dan terakhir kebenaran dalam ilmu pengetahuan, maka itu ilmu pengetahuan harus sesuai dengan tujuan Allah. 2. Kesatuan alam semesta Alam semesta merupakan ciptaan Allah Yang Maha Tunggal. Alam semesta diciptakan sesuai dengan susunan dan pola Allah. Alam semesta diciptakan Allah untuk manusia manfaatkan dan pergunakan sesuai dengan kebutuhannya. Manusia di beri kebebasan untuk mengeksplorasi sumber daya alam (SDA) yang Allah ciptakan. Manusia diharapkan menemukan pola-pola alam semesta yang diciptakan oleh Allah supaya menemukan hubungan-hubungan dan pengetahuan yang dapat diambilkan dari alam semesta. Kewajiban manusia bukan untuk menciptakan pola-pola Allah melainkan untuk menjaga pola-pola Allah dari kerusakan dan mengembangkannya.23 Alam semesta yang diciptakan Allah merupakan ladangnya ilmu untuk manusia manfaatkan. Dalam pemanfaatannya manusia harus menaati norma-norma moral dan etika karena pada saat ini manusia banyak melakukan kesalahan dalam penggunaan dan pemanfaatan alam yang berlebihan dan tidak memperhatikan lingkungan. 3. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan Prinsip kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan adalah sebuah epistemologi yang memadukan wahyu dengan akal dan realitas. Wahyu yang diturunkan Allah tentulah benar dan tidak ada kekeliruan didalamnya karena wahyu diturunkan Allah Yang Maha 23
Ibid., h. 64
60
Benar tanpa ada kesalahan sedikitpun. Wahyu merupakan pembimbing akal dalam mencari ilmu pengetahuan. Akal manusia yang diciptakan Allah masih terdapat kekeliruan dalam menafsirkan suatu ilmu pengetahuan. Perbedaan epistemologi di kedua sistem pendidikan Barat ilmu pengetahuan dikatakan valid apabila dapat dibuktikan dengan akal (rasio). Berbeda dengan Islam ilmu pengetahuan harus sesuai dengan wahyu dan akal. Maka sistem pendidikan sekuler yang digunakan negara-negara Islam harus diubah karena sistem pendidikan sekuler memisahkan wahyu dan akal sehingga bertentangan dengan ajaran Islam. 4. Kesatuan hidup Allah mengamanatkan kepada manusia untuk mencari, memahami dan menegakkan pola-pola atau pengetahuan yang diturunkan oleh Allah. Manusia di beri anugerah kemerdekaan mengolah sumber daya alam yang diciptakan Allah dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dengan keistimewaan yang dimilikinya itulah (ilmu pengetahuan) Allah mengutus manusia di muka bumi ini walaupun manusia sering melalaikan perintah-Nya, membuat kejahatan dan pertumpah darah. Hanya manusia yang mengemban amanat Allah karena manusialah yang memiliki kemerdekaan moral. Kesanggupan manusia memikul amanah Allah sehingga manusia ditempatkan di atas para malaikat karena malaikat tidak memiliki kemerdekaan untuk mentaati atau mengingkari Allah. Itulah sebabnya Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada manusia. Malaikat hanya dapat mentaati perintah-perintah Allah dan memuji-muji Allah berbeda dengan manusia yang dapat mentaati Allah dan mengingkari Allah. Allah mengutus manusia di muka bumi sebagai khilafah. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk beraktivitas sesuai keinginannya dan kemampuanya akan tetapi tujuan aktivitasnya harus
61
bermuara kepada Allah. Allah menyuruh manusia untuk mencapai dua buah obyektif. Pertama, ummat manusia harus mengubah pola-pola Tuhan, untuk mengatur kembali material-materialnya agar sempurna dan bermanfaat bagi manusia. Kedua, dalam mengubah pola-pola Tuhan, manusia dituntut mendahulukan nilai-nilai etika dengan memilih cara transformatifnya sesuai dengan moral dan etika ummat manusia sehingga terjadilah keselarasan dalam pengabdian kepada Allah dan mengabdi kepada sesama manusia. 5. Kesatuan ummat manusia Semua manusia adalah satu dan sama, inilah dasar dan landasan universalisme Islam. Semua manusia adalah sama di mata Tuhan, yang membedakannya adalah perbuatan-perbuatan kebajikan moral mereka di dalam prestasi kultural.24 Islam tidak membedakan manusia dari ras, warna kulit, bentuk tubuh, kepriabadian dan bahasa seseorang melainkan dari segi perbuatan (takwa) berbeda dengan Barat yang selalu mengkotak-kotakkan atau mengdikotomi manusia dari segi ras maupun warna kulit suatu bangsa sehingga muncullah sikap etnosentrisme yang bertujuan memecah-belah manusia atau kelompok dengan mengklaim ia yang lebih kuat dan hebat dibandingkan manusia atau kelompok lain. Etnosentrisme dapat menimbulkan perpecahan, perselisihan, perang dan pertumpuhan darah. 25 Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam adalah 1. Kurikulum yang dapat mengembangkan potensi-potensi peserta didik (potensi jasmani, rohani dan akal) dan akhlak (moral) islam. 2. Kurikulum yang dapat menyediakan kebutuhan manusia hidup di dunia dan akhirat dalam upaya menciptakan insan kamil yang dapat menjawab tantangan dunia modern.
24 25
Ibid., h. 87. Ibid., h. 56
62
3. Kurikulum yang universal tanpa membeda-bedakan ras, suku dan warna kulit. Sistem pendidikan Islam yang bernuasa sekuler harus direformulasikan kembali sesuai dengan ajaran dan cita-cita Islam. Pendidikan Islam harus berlandasan universalitas Islam tanpa membeda-bedakan etnik atau ras. Ilmu pengetahuan harus menerima aksiologi islam dengan mempertimbangkan moral dan etika ummat dalam pemanfaatannya. Al-Faruqi berpendapat dalam menata pengembangan kurikulum Islam diperlukan tiga hal, yaitu: Pertama, menguasai sains modern (mastery of the modern sciences). Kedua, menguasai warisan Islam (mastery of legacy). dan ketiga, prinsip kesatuan (unity) yang harus melingkupi seluruh kajian dalam kurikulum pendidikan Islam. 26 Dalam menguasai sains modern, merupakan upaya melepaskan dikotomi ilmu pengetahuan di dalam kerangka ummat Islam. Ilmu modern telah berkembang pesat dalam berbagai bidang keilmuan atau disiplin kealaman, sosial, astronomi, ekonomi, kedokteran dan ilmu pengetahuan teknologi. Dalam penguasaan ilmu modern diharapkan dapat mengambil manfaat dari kemajuan ilmu-ilmu Barat dalam upaya membangun paradigma baru pendidikan Islam yang tanggap dengan perkembangan zaman. Dalam hubungan ini, Al-Faruqi mengatakan bahwa Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategorikategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tematema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmuilmu Barat dalam puncaknya.27 Dari penguraian-penguraian tersebut diharapkan sarjana-sarjana muslim dapat menciptakan buku-buku tingkat universitas menurut visi Islam. Al-Faruqi mengingatkan para sarjana muslim, bahwa mereka harus menyadari telah banyak 26 27
Abdurrahman, op. cit., h. 89. Al-Faruqi, op. cit., h. 99.
63
terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dengan visi Islam sehingga semua warisan ilmu pengetahuan umat manusia harus dikaji dari sudut pandangan Islam.28 Kedua, menguasai warisan Islam (mastery of legacy). Penguasaan warisan Islam merupakan titik awal usaha mengislamkan ilmu-ilmu modern. Proses islamisasi ilmu-ilmu modern tidak akan berhasil jika kita tidak menghiraukan khazanah atau wawasan klasik. Dalam upaya mereformulasi pendidikan Islam seorang sarjana muslim harus dapat menguasai kedua khazanah klasik dan modern dan sarjana muslim diharapkan dapat menemukan kriteria relevansi antara ilmu klasik dan modern. Penguasaan warisan Islam merupakan obat penangkal melawan proses deislamisasi dengan cara mewajibkan mempelajari kebudayaan Islam selama empat tahun. Pemberian mata pelajaran kebudayaan Islam merupakan pembekalan ilmu pengetahuan tentang warisan ummah, pengenalan kebudayaan Islam dan prestasi-prestasi serta kemajuan para tokoh muslim dalam ilmu pengetahuan. Jika mata pelajaran kebudayaan Islam tidak diajarkan kepada sarjana muslim, ia tidak akan tergugah hatinya untuk mengulang masa kegemilangan ummat Islam terdahulu.29 Kebudayaan Islam yang dimaksud Al-Faruqi adalah seluruh khazanah intelektual dan budaya Islam yang mencangkup kajian al-Qur’an, as-Sunnah, institusi Islam, kesenian, hukum dan undang-undang, kalam (teologi), tasawuf, falsafah, hellenistik, metafisika, epistemologi atau sains taba’i, aksiologi dan etika, termasuk juga aspek seni dan estetika Islam.30 namun semua khazanah Islam intelektual Islam harus diseleksi secara mendalam dan kritis guna mencari relevansi antara ilmu klasik dan ilmu modern. Al-Faruqi mengkritisi tiga peninjauan upaya merelevansikan khazanah Islam dengan modern. Pertama, mempunyai wawasan Islam sejauh yang ditarik langsung dari sumber wahyu beserta karakteristik dalam sejarah kehidupan
28
Abdurrahman op. cit., h. 92. Al-Faruqi, op. cit., h 101. 30 Abdurrahman op. cit., h. 104. 29
64
Rasulullah. Kedua, memperhatikan kebutuhan ummat saat ini. Ketiga, memperhatikan semua kebutuhan modern yang diwakili oleh disiplin tersebut.31 Ketiga, prinsip kesatuan (unity) yang harus melingkupi seluruh kajian dalam kurikulum pendidikan Islam. Setelah memahami dan menguasai khazanah Islam dan khazanah Barat baik kelebihan dan kekurangan masing khazanah. Tahap terakhir ini adalah mengupayakan penyatuan antara khazanah Islam dengan khazanah Barat. Perpaduan kedua khazanah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan kekurangan masing khazanah, seperti tidak memadainya buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistem tradisional dan peniruan metode-metode dari ideal-ideal Barat sekular dalam sistem yang sekuler.32 Sintesa kreatif ini diharapkan dapat mengembalikan kejayaan ummat Islam dan menghilangkan kemandegan yang terjadi pada ummat Islam. dalam mensintesa kreatif antara kedua khazanah tersebut pemikir Islam harus mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan relevansi dan cita-cita Islam.
31 32
Al-Faruqi, op. cit., h 108. AM Saefuddin, op. cit., h. 73.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Konsep kurikulum yang ingin dicapai Al-Faruqi adalah kurikulum yang dapat memadukan kelebihan dari kedua sistem pendidikan Islam dan Barat dalam upaya menghilangkan keburukan masing-masing sistem pendidikan. Al-Faruqi menawarkan pengembangan kurikulum Islam dengan tiga cara. Pertama, menguasai sains modern (mastery of the modern sciences). Dalam penguasaan ilmu modern diharapkan dapat membangun paradigma baru pendidikan Islam yang tanggap dengan perkembangan zaman. Kedua, menguasai warisan Islam (mastery of legacy). Penguasaaan warisan Islam, merupakan upaya yang dilakukan Al-Faruqi untuk memperkenalkan warisan khazanah
Islam
terdahulu.
Ketiga,
prinsip
kesatuan
(unity)
yang
mengintegrasikan ilmu-ilmu modern dan ilmu-ilmu tradisional dalam wawasan Islam. Dengan pengintegrasian kedua sistem pendidikan diharapkan dapat mengembalikan masa kejayaan ummat Islam terdahulu. Sistem pendidikan yang berwawasan keterpaduan modern dan klasik dalam upaya menciptakan peserta didik yang tanggap dengan perkembangan zaman dan mencintai khazanah-khazanah klasik.
67
68
B. Implikasi Dari beberapa kesimpulan di atas, adapun implikasinya adalah untuk menghilangkan kemunduran sistem pendidikan Islam para pemikir kurikulum diharapkan dapat mereformulasi kurikulum yang telah berkembang di ummat Islam. Kurikulum Islam yang dapat memadukan Ilmu-ilmu modern dan ilmuilmu Islam dalam upaya memadukan kedua sistem pendidikan tersebut ummat Islam harus selektif terhadap ilmu-ilmu modern dan di sesuaikan dengan visi Islam. kurikulum yang dapat menghasilkan peserta didik yang berakhlakul karimah dan berwawasan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
69
C. Saran 1. Pemerintah atau instasi pendidikan diharapkan dapat membuat kebijakan dalam pembuatan kurikulum berbasis keislaman dan IPTEK dan dapat menciptakan buku-buku modern yang sesuai dengan visi Islam. 2. Dengan penelitian skripsi ini diharapkan kepada teman-teman mahasiswa dapat lebih kritis dalam menghadapi kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah. 3. Dengan
penelitian
skripsi
diharapkan
akan
muncul
kependidikan yang berwawasan keislaman dan modern.
penelitian
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin.
Metedologi Penelitian Agama Pendekatan Multidisipliner.
Yogyakarta: kurnia Kalam semesta, 2006. Abdurrahmansyah. Sintesis Kreatif: Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002. Al-Rasyidin dan Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat : Ciputat Press, 2005. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010. Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi ,Safrudin ,Abdul . Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009. -----. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Bagir, Haidar. Konsep Pendidikan Dalam Islam Syed Muhammad Al-Naquib AlAttas. Bandung: Mizan. 1984. Baharun, Hasan dan Mundiri, Akmal, dkk. Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011. Edyar, Busman. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatrus, 2009. Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011. Halstead, J, Mark. Towards a Unified View of Islamic Education, Islam and Christian-Muslim Relations. 6, 1995. Handrianto, Budi. Islamisasi Sains Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Ihsan, Hamdani dan Ihsan , A, Fuad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2007. Jalaluddin dan Said, Usman . Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Langgulung, Hasan. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta:PT. Bulan Bintang, Mahyuddin, Anah. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Mizan, 1984. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. -----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. Nizar, Samsul dan Ramayulis. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Quantum Teaching, 2005. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat : Ciputat Press, 2002. Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga, 2005. Saefuddin, AM. Islamisasi Sains dan Kampus. Jakarta: PT. PPA Consultants, 2010. Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi. Bandung: Mizan, 2003. Sukardi. Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: PT.Bumi Aksara,2011. Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta :PT. Bumi Aksara, 2009. Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Amzah, 2009. Syaodih, Nana, Sukmadinata. Remaja Rosdakarya, 2007.
Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Wan Daud Nor, Wan Mohd . Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan Media Utama. 1998. Yasin, Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press, 2008. Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu. Malang: UIN Malang Press, 2008.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Diri Nama
: M. Chalilul Rahman
Tempat dan Tanggal Lahir
: Jakarta, 17 November 1991
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status
: Belum Menikah
Kebangsaan
: Indonesia
Tinggi Badan
: 172 cm
Berat Badan
: 65 kg
Alamat
: kp. Pulo jahe Jakarta Timur
No. Telp
: 089654391684
Pendidikan Formal (1997 – 2003)
SD Jatinegara 06 Pagi
(2003 – 2006)
SMP Negeri 270 Pegangsaan Utara
(2006 – 2009)
MA. Al-Wathoniyah 01 Jakarta
2009
UIN SyarifHidayatulah Jakarta
Pengalaman Organisasi (2003 – 2006)
Anggota OSIS SMP Negeri 270
(2006 – 2009)
Anggota OSIS MA. Al-Wathoniyah 01 Jakarta
(2009 – 2011)
Anggota Forsa UIN Jakarta Himpunan Mahasiswa Islam