Kerja Dalam Perspektif Islam
KERJA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Muhammad Saiful Anam Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Jember Abstrak Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang sudut pandang Islam dalam kaitan dengan kerja atau bisnis. Kajian lebih ditekankan pada perspektif ajaran. Dengan perspektif ini, analisis lebih diarahkan pada “apa yang dikatakan” oleh ajaran Islam tentang kerja dan bisnis. Sungguhpun demikian, analisis juga diperkuat secara relatif terbatas dengan fakta-fakta historis-empiris sebagai pendukung Kata kunci: kerja, Islam PENDAHULUAN Pandangan Islam terkait dengan kerja atau, lebih khusus lagi, dengan bisnis, tidak jarang dipertanyakan setidak-tidaknya karena dua konteks: negara dan kehidupan umat Islam. Dalam konteks negara, negara-negara Islam atau negara-negara dengan mayoritas penduduknya Islam dalam beberapa abad belakang ini secara umum bukanlah pemegang dominasi kekuatan ekonomi dunia. Biasanya mereka “dimasukkan” dalam kategori negara-negara tertinggal, dunia ketiga. Meskipun aspek ketertinggalan tentu saja kompleks, tetapi kelemahan ekonomi merupakan salah satu aspeknya. Sementara dalam konteks kehidupan umat Islam, memang tidak sedikit di antara umat Islam yang masih berkutat dalam kubangan keterbatasan atau kelemahan ekonomi, kemiskinan. Karena agama pada dasarnya adalah suatu sistem keyakinan dan ajaran yang menjadi pedoman perilaku para penganutnya, maka Islam sebagai agama tidak luput dari sorotan terkait dengan realitas ekonomi umat Islam sebagaimana disinggung di atas. Di antara pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pandangan Islam terhadap kerja, atau lebih khusus lagi, tentang bisnis? Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang sudut pandang Islam dalam kaitan dengan kerja atau bisnis. Kajian lebih ditekankan pada perspektif ajaran. Dengan perspektif ini, analisis lebih diarahkan pada “apa yang dikatakan” oleh ajaran Islam tentang kerja dan bisnis. Sungguhpun demikian, analisis juga diperkuat secara relatif terbatas dengan fakta-fakta historis-empiris sebagai pendukung.
Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
101
Muhammad Saiful Anam
Pandangan Islam terhadap Kehidupan Dunia Seringkali penegasan Islam terhadap kehidupan akhirat menimbulkan kesalah-pahaman bahwa Islam bersikap negatif terhadap kehidupan dunia. Islam disalah-pahami sebagai agama yang mengajarkan kepada pemeluknya untuk mengabaikan kehidupan dunia demi mengejar kehidupan akhirat. Kesalah-pahaman semacam ini seolah memeroleh pembenaran dengan adanya sebagian ayat alQur‟an yang sepintas lalu bernada pengecaman terhadap penguasaan kekayaan, penumpukan harta, dan atau praktik hidup bermewahmewah. Penting dijelaskan bahwa kesalah-pahaman semacam itu tidak didukung oleh adanya dasar yang kuat jika dilihat dari perspektif ajaran Islam secara utuh. Penegasan Islam tentang pentingnya meyakini adanya kehidupan akhirat sama sekali tidak dimaksudkan untuk mendorong manusia mengabaikan kehidupan di dunia, apalagi meninggalkannya sama sekali. Memang Islam menegaskan pentingnya kepercayaan terhadap keniscayaan kehidupan akhirat. Islam menegaskan bahwa setelah kehidupan di dunia ini, terdapat kehidupan akhirat yang tidak seorangpun bisa menghindarinya. Ajaran Islam tentang keharusan memercayai adanya kehidupan akhirat sebagai kelanjutan kehidupan dunia merupakan bagian dari ajaran pokok. Keimanan terhadap kehidupan akhirat banyak disebutkan dalam al-Qur‟an dan, karena itu, merupakan bagian sangat penting dalam sistem ajaran Islam. Namun demikian, bukan berarti bahwa Islam memandang kehidupan dunia ini tidak memiliki arti penting, dan dengan demikian harus ditinggalkan atau diremehkan begitu saja demi mengejar kehidupan akhirat. Al-Qur‟an mengingatkan agar kehidupan dunia memeroleh perhatian sebagaimana mestinya, di antaranya dengan menegaskan 1: Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. 28: 77)2. Penegasan al-Qur‟an tersebut memberikan visi dasar yang jelas tentang pandangan positif Islam terhadap kehidupan. Islam 1Teks
ayat al-Qur‟an yang dimaksud di sini, dan selanjutnya dalam makalah ini, ditulis dalam halaman lampiran. 2Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Kumudasmoro, 1994), 623
102 Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
Kerja Dalam Perspektif Islam
menekankan pentingnya keseimbangan antara meraih kehidupan dunia dan akhirat. Yang ditekankan bukan hanya salah satunya, melainkan kedua-duanya. Visi dasar Islam ini mendorong umat Islam agar senantiasa berusaha meraih kesuksesan dalam meraih kehidupan dunia yang baik dengan tetap berusaha senantiasa dekat kepada Allah.3 Ajaran Islam yang menyatukan antara mengejar kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat sebagaimana dipaparkan di atas, sangat dihayati oleh umat Islam pada umumnya. Karena itu, dalam kenyataan, umat Islam tidak hanya melulu mengejar kehidupan akhirat, katakanlah, misalnya, dengan hanya rajin do‟a, shalat, puasa, dzikir, dan semisalnya. Melainkan, mereka juga bekerja keras mencari nafkah sesuai dengan profesi atau jenis pekerjaannya masing-masing. Pada umumnya, demikianlah kenyataan umat Islam dalam kehidupan mereka. Menyatukan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat bukan hanya menjadi ruh aktivitas keseharian mereka, melainkan juga menembus dimensi angan-angan atau harapanharapan mereka. Karena itu, do‟a yang umum mereka panjatkan dengan penuh harap dan permohonan ke hadirat Allah secara rutin setiap hari atau bahkan setiap usai shalat lima waktu adalah, “Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.4” Keseimbangan seperti diharapkan ajaran Islam tersebut, memang bisa saja mengalami pergeseran menuju ketidakseimbangan. Pergeseran menuju pengutamaan kecintaan kepada kehidupan akhirat secara berlebihan bisa menimbulkan sikap abai terhadap kekayaan dunia. Hal ini bisa saja berlanjut ke dalam bentuknya yang ekstrim dengan penolakan keras terhadap kehidupan duniawi. Terhadap kemungkinan kecenderungan semacam itu, Islam dengan tegas memberikan pengertian bahwa sesungguhnya Allah tidaklah memandang bahwa kekayaan dunia itu negatif secara absolut bagi manusia. Dalam al-Qur‟an surat al-A’raf ayat 32, Allah berfirman: yang artinya: “Katakanlah: „siapakah yang mengharamkan perhiasan 3Bukhori
Alma, Dasar-dasar Etika Bisnis Islam (Bandung: Alfabeta,
1993), 86 4Rabbana
atina fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirah hasanah wa qina ‘adzab al-nar / Rabbana atina fi al- dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah waqina ‘adzab al-nnar). Dalam tradisi umat Islam, do‟a ini biasanya selalu dipanjatkan sebagai bagian akhir do‟a dalam setiap do‟a yang dipanjatkan.
Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
103
Muhammad Saiful Anam
(yang diberikan) Allah, yang telah dikeluarkan-Nya untuk hambahamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?...‟5” (QS. 7: 32). Pandangan seorang intelektual muslim, Syekh Muhammad Abduh, bahwa umat Islam seharusnya tidak memberikan penekanan terlalu berlebihan terhadap kehidupan akhirat dengan mengorbankan kehidupan dunia6, dalam pandangan penulis, pada prinsipnya senafas dengan semangat ayat di atas. Artinya, pandangan tersebut tidak dimaksudkan untuk tidak mementingkan kehidupan akhirat, melainkan untuk mengembalikan keseimbangan ketika orientasi kehidupan umat Islam di mata Abduh terlalu berorientasi kehidupan akhirat sedemikian rupa sehingga kurang sekali memerhatikan kehidupan duniawi. Sementara itu, pergeseran menuju pengutamaan secara berlebihan terhadap kehidupan dunia akan bermuara pada sikap cinta dunia secara berlebihan. Sikap seperti ini pada puncaknya akan mengarahkan manusia kepada kehidupan yang menomor-satukan nilai kekayaan dunia di atas nilai-nilai mulia lainnya yang diajarkan Islam seperti keadilan, kebajikan, persaudaraan, dan sebagainya. Puncak dari kecenderungan ini adalah orientasi hidup yang hanya mengejar kekayaan secara mutlak, dan untuk itu cara apapun dipandang abash dilakukan. Karena itu, puncak kecenderungan pergeseran semacam ini dikenal sebagai bentuk orientasi hidup yang menuhankan harta-benda dan, biasanya dikaitkan dengan sikap, menghalalkan segala cara. Orientasi hidup yang berhulu sekaligus berhilir hanya pada kekayaan dunia akan terus menjerumuskan para pelakunya dalam pusaran lingkaran pengejaran kekayaan secara terus-menerus. Pada akhirnya, orientasi semacam ini dapat membawa manusia pada sikap bermegah-megahan yang membius atau melalaikan dan tak berkesudahan. Islam memandang bahwa seharusnya orientasi hidup semacam itu tidak sampai terjadi dan, karena itu, harus dihindari. Dalam kaitan dengan hal ini, dijelaskan di antaranya melalui alQur‟an surat al-Takatsur ayat 1-3: yang artinya: “Bermegah-megahan 5Depag.
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Kumudasmoro, 1994), 225 6Wael B. Hallaq, History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Combridge: Combridge University Press, 1997), 212
104 Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
Kerja Dalam Perspektif Islam
telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, jangan begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).7” (QS. 102: 1-3), Dalam al-Qur‟an surat al-Humazah ayat 1-6, ditegaskan: yang artinya: “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam huthamah, dan tahukah kamu apa huthamah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan.8” (QS. 104: 1-6). Surat al-Humazah ini mengandung kecaman dalam bentuk ungkapan yang tegas terhadap penumpukan harta dan sikap sombong atas penumpukan harta tersebut9, yang pada prinsipnya merupakan kecaman terhadap orientasi hidup yang secara timpang menomor-satukan kekayaan dunia dengan mengingkari dimensi lain yang bernilai dan bermakna dalam konteks kehidupan akhirat. Dalam orientasi kehidupan yang secara berlebihan telah condong pada kekayaan dunia semisal dengan yang dijelaskan di atas, hemat penulis, kritik Sang Hujjatul Islam, al-Ghazali, terhadap sikap cinta berlebihan terhadap (kekayaan) duniawi10 menemukan relevansi dan signifikansinya. Pandangan Islam terhadap Kerja Pandangan positif Islam terhadap kehidupan dunia berimplikasi pada pandangannya terhadap kerja. Dasar-dasar pandangan positif Islam terhadap kerja memeroleh penegasan yang kuat dalam Islam. Dalam konteks historispun, sejak awal Islam hingga sekarang, Islam tidak pernah mengutuk kerja sebagai perbuatan yang tercela. Menurut Mustaq Ahmad, pandangan positif Islam terhadap kerja dapat dilihat dari dua segi.11 Pertama, dari segi bahwa Islam 7Depag. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Kumudasmoro, 1994), 1096 8Ibid.. 1101 9Ashgar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology (New Delhi: Sterling Publisher Private Ltd., 1990), 75 10Baca, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din (Semarang: Thaha Putera, T.Th.), Juz III, 196-219 11Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 9-13
Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
105
Muhammad Saiful Anam
memandang kerja sebagai sesuatu yang sangat penting. Hal ini ditunjukkan Islam dengan, antara lain, memandang kerja sebagai kewajiban, banyaknya frekuensi penyebutan kerja (amal), yakni, sebanyak 360 ayat, celaan terhadap kemalasan dan berpangku tangan, konsiderasi atau perhatian terhadap pekerja, serta kerja sebagai satusatunya penentu status manusia. Kedua, dari segi desakan Islam untuk bekerja. Hal ini dapat dilihat dari adanya janji pahala bagi orang yang bekerja, anjuran untuk terampil dan menguasai teknologi, serta pandangan positif terhadap kerja untuk penghidupan atau mencari nafkah. Pandangan Islam yang tegas dalam mendorong manusia untuk bekerja, menurut Bachtiar Effendy, juga dapat dilihat dengan memerhatikan beberapa hal: tinjauan terhadap kata rizqi dan amal, pandangan Islam tentang fungsi kekhalifahan manusia, serta kata-kata bijak yang dikenal luas dalam tradisi Islam. Dalam al-Qur‟an, kata rizqi, dan segala derivasinya, disebut sebanyak 112 kali dalam 41 surat. Ini menurut catatan M. Dawam Rahardjo, sebagaimana dijelaskannya dalam karya ensiklopedisnya, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Dalam catatan Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam Mu’jam alMufahras-nya, kata rizqi, dengan segala derivasinya, disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak 123 kali. Ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata rizqi dengan segala derivasinya tersebut mengandung semangat yang bernuansa “pencarian”, “berusaha”, “bekerja”, dan sebagainya yang mempunyai konotasi aktif.12 Hal lain yang menunjukkan dorongan bekerja adalah banyaknya kata ‘amal disebutkan dalam al-Qur‟an.13 Kata ini mengandung banyak arti konotasi. Namun, makna asal yang dikandungnya adalah “bekerja”, “berbuat”, “melakukan.” Kata ‘amal bahkan banyak digandengkan dengan kata iman, yang menegaskan keterkaitan keduanya. Keimanan Islam harus berlanjut ke dalam tindakan dalam bentuk kerja nyata. Karena itu, Mustaq Ahmad 12Bahtiar
Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenal Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewira-usahaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 198-99 13Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenal Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewira-usahaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 200
106 Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
Kerja Dalam Perspektif Islam
mengibaratkan hubungan iman dan amal seperti akar dan pohon: salah satunya tidak mungkin eksis tanpa adanya yang lain.14 Konsep Islam tentang fungsi kekalifahan manusia juga menunjukkan dorongan Islam untuk bekerja. Inti pandangan dalam konsep ini adalah bahwa manusia mendapat mandat “mewakili” Tuhan mengelola dan memakmurkan dunia. Dengan sendirinya konsep ini mengharuskan manusia untuk memiliki kegairahan untuk bekerja.15 Peribahasa atau kata-kata bijak yang tersebar luas dalam masyarakat Islam juga merupakan indikasi lainnya. Dalam tradisi Arab-Islam misalnya, terdapat pepatah yang dikenal luas yang mengatakan inna al-sama’ la tumtiru dhahaban wala fidhatan/inna-s-sama’ la tumtiru dhahaban wal fidhotan (langit tidak menurunkan hujan emas dan perak). Artinya, untuk memperoleh kekayaan orang harus bekerja, tidak boleh hanya menggantungkan pada harapan atau do‟a belaka. Jadi dalam pepatah tersebut terkandung ajakan untuk bekerja keras.16 Ajaran Islam untuk bekerja yang demikian tegas, menunjukkan bahwa dalam sistem ajaran Islam, kerja, amal, atau praksis adalah bentuk keberadaan (mode of existence) manusia. Kerja sebagai mode of existence manusia mengandung arti bahwa manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi exsistensi kemanusiaan. Karena demikian pentingnya kerja dalam sistem ajaran Islam tersebut yakni bahwa dalam perspektif Islam kerja adalah mode of existence manusia, maka kerja selayaknya dijadikan ikon kehidupan dalam Islam. Demikian inilah yang tampaknya ingin dianjurkan Nurcholish Madjid, ketika ia mengatakan: Jadi, jika failasuf perancis, Rene Descartes, terkenal dengan ucapannya, “aku berfikir , maka aku ada “(cogito ergo sum--- Latin : Je pense, done je sus--Perancis) –karena berfikir baginya adalah bentuk wujud manusia--maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya
14Mustaq
Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 10 15Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenal Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewira-usahaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 200 16Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenal Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewira-usahaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 199
Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
107
Muhammad Saiful Anam
“Aku berbuat, maka aku ada.17” Pandangan Islam Terhadap Bisnis Jika secara umum kerja merupakan bagian penting dalam ajaran Islam bagaimana sikap terhadap bisnis ? petanyaan ini mungkin kelihatan remeh. Terlebih lagi di zaman sekarang yang di dalamnya bisnis merupakan bagian aktivitas biasa masyarakat yang memperoleh tempat terhormat, apalagi jika ada kesuksesan. Namun demikian, jika melihat preseden sejarah, persoalan apakah bisnis sebagai aktivitas yang di pandang positif atau negatif, merupakan masalah yang tidak bisa diremehkan. Sikap terhadap bisnis merupakan topik yang memperoleh perhatian serius baik oleh kalangan filosof maupun kalangan agama. Dalam sejarah, masyarakat Yunani Kuno pada umumnya, sebagaimana di paparkan K. Bertens, memiliki prasangka terhadap kegiatan dagang dan kekayaan. Hal ini, misalnya, tampak pada pandangan Plato (427-47 SM). Dalam pandangan Plato perdagangan mempertebal keserakahan manusia. Padahal, yang berharga bagi manusia adalah keutamaan bukan kekayaan duniawi.18 Sementara itu, Aristoteles (384-322) memandang bahwa perdagangan sebagai upaya menambah kekeyaan sebagai sesuatu yang negatif atau tidak etis. Pardagangan hanya dibenarkan jika untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Perdagangan atau tukar-menukar untuk hanya memenuhi kebutuhan rumah tangga diistilahkan Aristoteles sebagai oikonomike tekhne.19 Pandangan yang mengandung prasangka dalam masyarakat Yunani Kuno juga tampak dalam kenyataan bahwa dewa Yunani Hermes dipandang sebagai dewa perlindungan bagi baik pedagang maupun pencuri. Memang pandangan Yunani Kuno ini tidak dimaksudkan sebagai kualifikasi etis bahwa pedagang disetarafkan dengan pencuri. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan K. Bertens, “bagi orang modern tetap bisa timbul keheranan, kerena pedagang dan pencuri tanpa merasa keberatan dapat disebut dalam satu tarikan nafas.20”
17Nurcholish
Madjid, Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 417 18K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 46 19Ibid., 46-47 20Ibid., 48
108 Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
Kerja Dalam Perspektif Islam
Dalam konteks agama, khususnya pada zaman Kuno dan Pertengahan, di kalangan Kristen berkembang pemahaman keagamaan yang memandang profesi dagang sebagai profesi yang kurang pantas; di samping juga berkembang pandangan yang menempatkan perdagangan secara positif, dengan penilaian terhadap kaulifikasi etisnya bergantung pada apa yang dilakukan manusia dalam kegiatan perdagangan tersebut. Dalam konteks pandangan yang cenderung negatif terhadap perdagangan, tercermin dalam pandangan Augustinus (354-430). Augustinus mengatakan bahwa seorang pedagang barang kali bisa berkelakuan tanpa dosa, tapi tidak pernah menjadi sesuatu yang sunguh-sunguh baik. Bahkan ada seorang teolog Abad ke-5 atau 6, yang bepandangan ekstrim bahwa profesi pedagang tidak pantas bagi seorang Kristen dan bahwa seorang Kristen harus memilih : menjadi pedagang atau tetap hidup sebagai Kristen.21 Pandangan Kristen Era Kuno dan Pertengahan yang bernada negatif terhadap perdagangan ini, perlu ditegaskan kiranya, memang bukan satu-satunya. Seperti dijelaskan di atas, ada juga pandangan yang positif terhadap kegiatan dagang, terutama tergambarkan dari publikasi luas temuan Max Weber bahwa ada afinitas antara perkembangan kapitalisme dengan etika Protestan, khususnya dari sekte Calvinisme. Namun yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa pandangan keagamaan yang cenderung negatif dalam melihat perdagangan, memang pernah berlangsung dalam sejarah. Nah, dalam konteks ini, kembali pada pertanyaan di awal, bagaimana pandangan Islam terhadap bisnis ? Islam lahir dalam masyarakat yang sedang mengalami perkembangan pesat dalam perdangan. Kegiatan dagang merupakan usaha yang sangat dominan. Kota Mekah, sebagai kota tempat awal kemunculan Islam, waktu itu adalah daerah gersang yang sebagian besar masyarakatnya menggantugkan diri pada aktivitas perdagangan. Suku Quraisy di kenal sebagai suku dominan dalam perdagangan Mekah. Sebelum kelahiran Nabi SAW, Mekah sudah mencapai kemakmuran karena jasa perdagangan. Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang berasal dari suku Quaraisy, terkait langsung dengan kegiatan dagang sejak masih kanak-kanak. Pada masa kanakkanak, Nabi SAW pernah ikut serta dalam perjalanan dagang ke 21Ibid.,
48-49
Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
109
Muhammad Saiful Anam
Syam, dalam rangka ikut membantu dagang pamannya, Abu Thalib. Kegiatan dagang secara mandiri ke Syam kemudian juga dilakukan Nabi SAW dengan bekerjasama dengan Khadijah. Tertarik dengan kepribadian Nabi SAW, di antaranya diketahui dari cerita Maysarah, orang Khadijah yang disuruh menyertai perjalanan dagang Nabi SAW, Khadijah kemudian melamar Nabi SAW untuk menjadi istriya.22 Karena itulah, dalam buku-buku sejarah, Nabi SAW dikenal sebagai pedagang. Setelah menjadi nabi, Nabi Muhammad SAW tidak melarang kagiatan dagang. Aktivitas dagang di antara para pengikutnya tetap berjalan sebagaimana biasanya, di samping aktivitas bisnis lainnya, seperti peternakan, dsb. Karena itu, sebelum hijrah ke Madinah, pernah kalangan Musyrik Mekah melakukan penekanan terhadap Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya, dengan melakukan baikot dagang. Orang-orang Mekah dilarang melakukan transaksi dagang dengan Nabi SAW dan para pengikutnya. Ini bisa terjadi karena memang aktivitas dagang biasa dilakukan umat Islam Awal tersebut. Hal yang demikan juga berjalan ketika di Madinah. Hanya saja di Madinah, kegiatan bisnis memang lebih beragam, meskipun perdagangannya tidak sebesar di Mekah. Di Madinah, di samping ada pasar sebagai pusat aktivitas dagang, terdapat banyak lahan pertanian yang dikenal cukup subur. Bisnis pertanian berkembang baik di Madinah. Juga terdapat industri kerajinan besi, peternakan, dsb. Semua kegiatan bisnis tersebut dilakukan umat Islam awal. Jadi, pada masa-masa Islam Awal, berbagai kegiatan bisnis dijalankan umat Islam sebagaimana biasanya. Seiring dengan perkembangan Islam, yang ditandai dengan semakin meluasnya daerah di bawah kekuasaan Islam, berbagai kegiatan bisnis dalam masyarakat Islam berkembang semakin kompleks dan berjalan sebagaimana biasanya. Dalam catatan Ibn Khaldun yang hidup pada abad ke-12/13 M, pada masanya terdapat berbagai kegiatan bisnis dalam masyarakat Islam. Namun, memang kegiatan perdagangan dikenal dalam sejarah Islam memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung dengan penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Jalur perdagangan merupakan salah satu sarana penopang penyebaran Islam. Masuknya Islam ke wilayah 22Muhammad
Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah (Bogor: Litera Antar Nusa, 1992), 35; 56; serta, 62-65
110 Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
Kerja Dalam Perspektif Islam
Nusantara sebagai salah satu contohnya, tercatat dalam sejarah di antaranya adalah melalui jalur perdagangan di mana para pedagang muslim yang datang di samping melakukan aktivitas dagang juga memerkenalkan dan menyebarkan ajaran Islam. Demikianlah sedikit gambaran singkat tentang betapa berbagai aktivitas bisnis dilakukan dan berkembang dalam kenyataan sejarah umat Islam. Tampak jelas bahwa umat Islam melibatkan diri dalam aktivitas bisnis, dengan segala ragam dan jenisnya, sesuai perkembangan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari ajaran Islam sendiri. Islam sejak awal memandang perdagangan, dan berbagai macam kegiatan bisnis pada umumnya, secara positif. Perdagangan, misalnya, dengan tegas dipandang halal, sebagaimana di antaranya dinyatakan al-Qur‟an dalam surat al-Baqarah (2) ayat 275: “…Allah telah menghalalkan jual-beli…23” Artinya bahwa kegiatan dagang merupakan kegiatan bisnis yang secara etis-Islam dipandang baik. Memang Islam juga mengajarkan larangan-larangan dalam bisnis. Larangan-larangan itu terkait dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan cara-cara zalim atau merugikan hak orang lain, serta mengurangi takaran dalam timbangan, penipuan, dsb. Dalam AlQur‟an surat al-Syu’ara (26) ayat 181-183 berikut terdapat contoh larangan tersebut: yang artinya : “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan jangnlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.24” (QS. 26: 181-183) Tampak sekali bahwa Islam mengarahkan larangan pada kualitas aktivitas yang terdapat pada bisnis, dan bukan bisnisya itu sendiri yang dilarang. Islam hanya melarang suatu bisnis yang didalamnya melibatkan cara-cara konsumsi yang tidak halal, atau melanggar dan merampas hak dan kekayaan oaring lain.25 Islam sangat mengahargai bisnis yang tidak melibatkan tindakan-tindakan zalim. Hasil bisnis semacam ini dinilai sebagai karunia dan rizqi yag diberikan Allah SWT . Kegiatan bisnis semacam 23Depag.
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Kumudasmoro, 1994), 69 24Ibid., 586 25Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 125
Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
111
Muhammad Saiful Anam
ini mendapat apresiasi yang tinggi. Bahkan, walaupun kegiatan bisnis yang dimaksud tegolong tak istimewa, masih di pandang lebih baik dari bisnis-bisnis yang melibatkan cara-cara zalim. Islam mendorog umatnya untuk aktif melakukan bisnis untuk memenuhi kewajiaban mencari dan memberikan nafkah hidup. Di sisi lain Islam juga mendorong agar bisnis dilakukan dengan cara-cara yang baik. Oleh karena itu, dorongan Islam untuk melakukan bisnis diiringi dengan pesan-pesan yang mencegah umat Islam agar tidak terjerumus dalam tindakan-tindakan melanggar hak orang lain yang terlibat dalam bisnis, secara semena-mena. Dalam Al-Qur‟an banyak terdapat larangan berbuat zalim dalam meraih rizki di samping perintah ataupun kebolehan melakukan bisnis secara benar, yang di antaranya sebagai berikut: Artinya : “Hai oang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu ……26“ (QS. 4: 29) Artinya : “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya.27” (QS. 17: 35) Dengan demikian, bisnis dalam perspektif Islam tidak dipandang negatif secara intrinsik. Sebaliknya, bahkan bisnis sebagai upaya untuk mencari karunia Allah SWT agar bisa meraih kehidupan dunia yang baik, makmur, dan dilakukan dengan benar, memeroleh tempat yang terhormat dalam sistem ajaran Islam. Islam mewajibkan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap pihak lain, seperti anggota keluarga, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Juga Islam sangat menganjurkan berbuat kebajikan sosial seperti memberi bantuan ekonomi, pendidikan, dan sebaginya, kepada mereka yang membutuhkannya. Semua itu tentu tidak akan bisa dipenuhi tanpa melakukan bisnis. Dengan bisnis, umumnya kekayaan bisa diperoleh. Karena itu, Islam juga mecela kecenderungan keengganan bekerja 26Depag.
RI, Al-Qur’an Kumudasmoro, 1994), 122 27Ibid., 429
dan
Terjemahnya
112 Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
(Semarang:
PT.
Kerja Dalam Perspektif Islam
atau keengganan terlibat aktif dalam bisnis untuk memperoleh rizki. Sikap malas, bahkan juga meminta-minta padahal masih mampu bekerja, dicela dalam Islam. Karena Islam memandang bisnis secara intrinsik adalah positif, dampaknya terhadap masyarakat Islam sangat terasa. Umat Islam tidak mengalami kendala psikologis untuk melakukan kegiatan bisnis. Umat Islam tidak mengalami kendala etis-keagamaan untuk memasuki berbagai kegiatan bisnis. Sejauh memiliki kemampuan, umat Islam bisa melibatkan diri dalam kegiatan berbagai macam bisnis yang memang diinginkannya. Kesimpulan Dalam paparan di atas, jelas bahwa Islam mengandung pandangan yang positif terkait dengan topik bahasan ini. Secara makro, Islam mengajarkan bersikap “ya” pada kehidupan duniawi, bukan sebaliknya, mengajarkan “lari” darinya. Konsep “akhirat”, dalam hubungannya dengan konsep “dunia”, bukanlah berarti pertentangan, penafian, atau semacamnya. Artinya, adanya konsep “akhirat” bukan untuk menghindari kehidupan dunia, bukan untuk lari dari kehidupan dunia. Keduanya hanya berbeda dalam konteks sekuensi kronologis bahwa setelah kehidupan dunia akan dilanjutkan dengan kehidupan akhirat. Secara riil, kehidupan dunia seorang muslim atau umat Islam “akan menentukan” kehidupan akhirat-nya. Al-dunya mazra’ah al-akhirah/Ad-dunya mazra’atu-l-akhirah). Implikasi lebih jauh, Islam juga memandang positif terhadap kerja ataupun bisnis. Islam mengajarkan berbuat/kerja (yang baik) dan meng-halal-kan kegiatan bisnis. Larangan-larangan terkait dengan tindakan-tindakan tertentu dalam aktivitas bisnis, memang ada. Namun demikian, hal tersebut lebih karena tindakan-tindakan yang dilarang tersebut mengandung kezaliman, ketidak-adilan, dsb. Secara prinsip, Islam membolehkan bisnis. Sebagaimana diketahui, dalam sistem ajaran Islam, semua perbuatan yang baik, dan dilandasi dengan niat, cara, dan tujuan yang sejalan dengan ajaran Islam, termasuk kegiatan bisnis, dipandang sebagai tindakan ibadah. Karena itu, dikenal luas bahwa ibadah mencakup yang khusus (Shalat, puasa, dsb) dan yang umum (mencari nafkah/bisnis, dsb). Status ibadah pada kerja/bisnis ini memertegas kesimpulan di atas bahwa Islam bersikap positif terhadap kerja/bisnis. Memang, fenomena sosial-ekonomi umat Islam, tentu
Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014
113
Muhammad Saiful Anam
berkaitan dengan multi-aspek atau multi-faktor. Dan sejauh hal itu dikaitkan dengan faktor agama, sebenarnya ajaran Islam sangat kondusif bagi tumbuh-kembangnya kerja/bisnis dan kemajuan ekonomi secara umum, baik dalam konteks kemajuan ekonomi negara-negara muslim maupun kemajuan ekonomi umat Islam. Wallahu A’lam.@ DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis dalam Islam. Terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001). Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya ‘Ulum alDin. Juz III. (Semarang: Thaha Putera, tt). Alma, Bukhori, Dasar-dasar Etika Bisnis Islam (Bandung: Alfabeta, 1993).
Bertens, K., Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000). Depag. RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Kumudasmoro, 1994).
Effendy, Bahtiar, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenal Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewira-usahaan. (Yogyakarta: Galang Press, 2001). Engineer, Ashgar Ali, Islam and Liberation Theology (New Delhi: Sterling Publisher Private Ltd, 1990). Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad. Terj. Ali Audah (Bogor: Litera AntarNusa, 1992). Hallaq, Wael B., History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Combridge: Combridge University Press, 1997). Madjid, Nurcholish,. Islam: Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000).
Teks ayat-ayat al-Qur’an dalam kutipan: :القصص )77 ( ...) وابتغ فيما اتك اهلل الدار األخرة والتنس نصيبك من الدنيا1 :)اف 32 (األعر...قل من حرم زينة اهلل الىت اخرجو لعباده والطيبات من الرزق )3:التكاثر -1 ( . كال سوف تعلمون. حىت زرمت املقابر.اهلكم التكاثر ناراهلل. وما أدرك مااحلطمة. كال لينبذن ىف احلطمة. حيسب أن مالو أخلده. الذى مجع ماال وعدده.ويل لكل مهزة )6-1: (اهلمزة.املوقدة )275 : (البقرة...واحل اهلل البيع وحرم الربوا... وال تبخسوا الناس اشياءىم وال تعثوا ىف األرض. وزنوا بالقسطاس املستقيم.اوفوا الكيل وال تكونوا من املخسرين
)2 )3 )4 )5 )6
.مفسدين :النساء )29 ( ....) ياأيها الذين امنوا التأكلوا اموالكم بينكم بالباطل إال ان تكون جتارة عن تراض منكم7 :اإلس)رأ 35( .) واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس املستقيم ذلك خري واحسن تأويال8
114 Al-Mashraf, Vol.1, No.1 Oktober 2014