KRISTEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Ketika seorang Muslim menyebut nama Nabi Muhammad atau membacanya - seperti dalam buku ini misalnya - ia menambahkan salam damai serta berkah 1 atasnya. Demikian juga halnya bila ia menyebut nama Yesus. Hal ini mungkin mengejutkan bagi para pembaca yang awam tentang Islam. Agama ini sebenarnya bukan merupakan agama baru setelah Kristen, melainkan sebagai penyempurnaan Agama Ibrahim (QS. 42:13). Dengan demikian Islam dapat dipandang sebagai agama termuda dan sekaligus merupakan agama tertua dari tiga agama samawi. Tanpa perlu menyinggung toleransinya 2 yang mendasar, Islam tidak menuntut hak absolut dalam pengertian gereja Katolik. Lebih dari itu, Islam - berdasarkan kesaksian para nabi sebelumnya 3 - merupakan inti dari wahyu-wahyu yang datang melalui para nabi tersebut 4 ; al-Qur’an - meminjam istilah Paul Schwarzenau - merupakan wahyu bagi seluruh umat beragama. 5 Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepadaNya-lah kami menyerahkan diri.“ (Q.S. 3:84) Karena itu, keabsahan Islam bukanlah berdasarkan pada penolakan terhadap kedua agama dunia lainnya, melainkan bedasarkan perbandingan agama 6 . Justru Islam, Yahudi dan Kristen merupakan agama-agama yang ‘bersaudara’ , yang perbedaannya hanya sedikit dibanding dengan Hindu atau Budha. 7 Jadi jelas, bahwa Islam memandang Yesus sebagai nabi Islam dan karena ia juga tunduk pada kehendak Tuhan ia juga dipandang sebagai ‘Muslim’, tetapi tidak sebagai nabi terakhir. 8 Menurut teologi Islam, tidak hanya dalam Perjanjian Lama saja, tetapi Yesus sendiri juga telah menyatakan bahwa Muhammad (‘Ahmad’) adalah nabi terakhir (QS. 33:40) yang menyempurnakan seluruh wahyu. 9 1
„SAW: sallalahu ‘alaihi wa sallam“ Lihat Bab: Toleransi atau Kekerasan? 3 Al-Qur’an surat 2:87; surat 6:83-87 4 Al-Qur’an surat 33:7; surat 5 :46 5 Paul Schwarzenau, Korankunde für Christen, Cetakan II, Hamburg 1990 6 Bandingkan Emanuel Kellerhans, Der Islam, Cetakan II, Basel 1956, Hal. 377 dan hal. berikutnya 7 “So sieht es der Weisse Vater”, Pater Gregor Böckermann, harian Frankfurter Allgemeine Zeitung, tanggal 25.09.1989 Hal. 11 8 Bandingkan dalam Muh. Ata ur-Rahim, Jesus, A Prophet of Islam, cetakan III, London 1983; Ahmad AbdelWahab, Dialogue Transtextuel entre le Christianisme et l’Islam, Paris 1987; Kenneth. G. Robertson, Jesus or Isa: A Comparison of Jesus of the Bible and the Jesus of the Koran, New York 1983; Nilo Geagea, Mary of the Koran: A Meeting Point Between Christianity and Islam, New York 1984 9 Berpegang pada Yoh. 16, 13 dengan alasan Parakletos (Penolong, Penghibur) Perikytos dalam bahasa Arabnya adalah “Ahmad”. Bandingkan David Benyamin, Muhammad in der Bibel, Muenchen 1987, Hal. 183 dan 2
22
Gambaran Islam mengenai Yesus dan Maria khususnya tertulis dalam al-Qur’an surat 3 dan surat 19 10 , dan juga ada dalam hadits (meskipun kurang begitu dikenal). Dalam surat tersebut diterangkan mukjizat-mukjizat yang terjadi dalam kehidupan mereka, sebagai pesan-pesan penting yang tersirat. “”Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Qur’an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ...lalu Kami mengutus Roh Kami kepadanya, maka ia menjelma dihadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna...Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku...“ (Q.S. 19: 16-20) Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril):“Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah“, lalu jadilah dia. Dan Allah akan mengajarkan kepadanya al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil. (Q.S. 3:47 dan seterusnya) Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka):...aku menyembuhkan orang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah... (Q:S: 3:49) Di sini terbukti bahwa orang muslim tidak melihat Yesus sebagai hasil dari suatu perkawinan sebagaimana umumnya (QS. 112:3; 72:3), melainkan sebagai seorang nabi di dalam tradisi Yahudi yang diciptakan langsung oleh kuasa ilahi yang dilahirkan oleh perawan Maria, nabi yang membawa mujizat dan diilhami oleh Tuhan (QS. 5:110). Tetapi bukan sebagai ‘Anak Tuhan’ yang sudah ada sebelum masa penciptaan sebagaimana dipahami oleh ajaran Inkarnasi, melainkan sebagai pelayan/hamba-Nya. Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempunyai anak.“ Maha suci Allah; Dia-lah yang maha kaya;...(Q.S. 10: 68) Dan mereka berkata: “Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.“Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, (Q.S. 19: 88 dan seterusnya) Al Qur’an dengan tegas menolak setiap pikiran tentang ketrinitasan Tuhan.(Surat 5:72-75) termasuk penuhanan Maria (Surat 5:116-118), yang tampak dalam pemujaan Maria yang berlebihan (termasuk dogma naiknya Maria ke sorga). 11 Maria,seterusnya; Sahib Mustaqim Bleher, Das Zeugnis der Bibel - Kesaksian Bibel atas kebenaran al-Qur’an, Weilerwist 1984, Hal. 18, Schwarzenau, (ibid catatan kaki nr. 5). 10 Bandingkan juga al-Qur’an surat 2:116; surat 21:26-30; A. Von Denffer, Der Islam und Yesus, München 1991 11
Dalam kehidupan Religius pada prakteknya posisi Roh Kudus telah digantikan oleh Maria menjadi nomor 4. Para Sufi dapat terjebak dalam pemujaan Maria yang berlebihan, demikian dalam Pujian semesta alam bagi Maria dari Charles Andre´ Gillis, Maria en Islam, Paris 1990 23
dan juga anaknya- merupakan sebuah ‘pertanda bagi semesta alam’ (QS. 21:91) dan terhitung di antara orang-orang yang taat (QS. 66:12), tak lebih dan tak kurang. ...dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga“, berhentilah (dari ucapan itu)...Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa...(Q.S. 4:171) Al Qur’an membenarkan hal kenaikan Yesus ke langit (surat 4:158), tanpa adanya kematian di kayu salib seperti yang dipaparkan oleh para penulis Injil. Bagaimana kita, dengan pola pikir modern, memandang penolakan terhadap ketuhanan Yesus dan Roh Kudus sebagai oknum Tuhan, yang berarti juga penolakan atas trinitas? Saya melihat, dalam hal ini Islam justru mendapat banyak pengikut di kubu Kristen. Agama Kristen tidak lagi menerima begitu saja sosok ‘Roh Kudus’. Kian hari kian jelas, bahwa oknum Tuhan yang satu ini merupakan suatu imajinasi akal, yang keberadaannya dipengaruhi oleh pola pikir platonis dan gnostis sebelum Kristus, dan juga neoplatonis yang datang kemudian. Orang lebih terbayang akan tuhannya Platon (Tuhan/Demiurg/Logos) dan Trilogi Plotin atau Proklus (Eksistensi/Akal/Roh), daripada Isis/Osiris/Horus. Penulis Injil Yohaneslah, siapa pun dia, yang meniupkan hal yang spekulatif ini: “ Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah...” Figur filosofis dari oknum Tuhan ketiga itu dikukuhkan dalam teks Perjanjian Baru dengan terjemahan yang interpretatif. Dari “Penghibur“, lalu “Roh“, dan kemudian - dengan huruf besar - menjadi “Roh Kudus“ 12 . Tetapi logos atau roh dalam Perjanjian Baru umumnya tidak diterangkan sebagai oknum, misalnya sebagai Roh dari Tuhan (I Kor. 2, 10-12) dan sebagai ‘Berkat’(Lukas 11,13). Bagaimana Trinitas itu sebenarnya? Yang pasti, Yesus sendiri tidak pernah memberikan pernyataan mengenai hal yang fundamental ini. Ia, seperti semua Yahudi-Kristen lainnya, jelas-jelas memiliki gambaran Tuhan seperti dalam agama Yahudi. 13 Seperti yang telah diketahui, hal ini tidaklah menghalangi Konsili Nikea (325 M) untuk meresmikan Trinitas dengan gaya konstitusi (tidak hanya sebagai deklarasi) - tentu saja hanya sebagai dogma -, dan memusnahkan seluruh literatur Kristen awal yang bertentangan dengan dogma tersebut. Satu hal penting (atau malah tragis), manuskrip Perjanjian Baru yang tertua yang ada sekarang ini baru disusun setelah berlangsungnya konsili tersebut. Karena itu orang sebenarnya tak perlu mengutip buku Karlheinz Deschner berjudul 12
Cocokkan Yoh. 14,16 dan 14,25; bandingkan Bleher (ibid cat. kaki nr. 9) Hal. 18-22; Benjamin, Hal. 180 dan seterusnya. 13 Bandingkan Adolf Schlatter, Die Geschichte der ersten Christenheit, Gütersloh 1892, John Hick dan Edmund S. Meltzer(Hrsg.), Three Faith - One God: A Jewish, Christian, Muslim Encounter, London 1986 24
“Kriminalgeschichte des Christentum“ (Aib-aib dalam sejarah Kristen), bukunya yang berjudul “Gefälschten Glauben“ (Kepercayaan yang Dipalsukan) sudah mewakili pandangan kaum Muslim 14 tentang Kristen. Demikian juga dalam hubungannya dengan eksistensi Yesus dan juga perannya sebagai ‘Juru Selamat’ Sekarang ini, paling tidak para teolog Protestan dan Katolik mulai sadar, bahwa bukti-bukti historis tidaklah mendukung, belum lagi adanya sejumlah besar kontradiksi dan kekacauan kronologis di dalam Injil dan masuknya unsur-unsur paganisme dalam praktek. Kurangnya bukti-bukti yang ada bahkan membuat penelitian ilmiah meragukan adanya proses pengadilan Yesus. Hanya sedikit yang dapat diceritakan tentang kematiannya. Dan sama sekali tak terbukti, bahwa penguburan dan kebangkitannya disaksikan oleh para saksi mata. 15 Keadaan tersebut yang menyebabkan terjadinya “Jesus-Boom“ dalam literatur kontemporer, yang 30 tahun belakangan ini indeksnya saja mencapai lebih dari 500 halaman. Lebih sulit lagi adalah pembuktian mengenai perwujudan Tuhan dalam diri Yesus. Dalam terjemahan Perjanjian Baru yang lengkap seorang pembaca yang obyektif tidak akan menemukan satu pun pernyataan Yesus yang mengindikasikan ‘ketuhanannya’. Yesus dan Tuhan tidak tampil identis, malah sebaliknya. Bukan hanya di Bukit Golgota (ketika Yesus disalibkan), juga secara umum. Bahkan dalam Injil Yohanes Yesus berkata: “Aku berjalan menuju Bapaku dan kepada Bapa kalian, kepada Tuhanku dan Tuhan kalian” (Yoh. 20,17). Istilah ‘Bapa’ dan ‘Anak’ di sini juga tidak istimewa, karena istilah tersebut digunakan dalam semua agama sebagai simbol untuk untuk menggambarkan hubungan umat dengan Tuhannya. Berdasarkan hal tersebut saya ingin membagi Kristologi dalam lingkup gereja sekarang ini dalam 4 bagian: a) Sebagian
besar adalah kalangan awam, khususnya di daerah pedalaman, yang percaya pada monotheisme, di mana Yesus kurang lebih diidentikkan sebagai Tuhan. Pandangan Tuhan dalam wujud Manusia - bayi dalam palungan- muncul karena adanya kebutuhan manusia untuk memuja sesuatu yang tidak terlalu berbeda dengannya. (Tuhan inilah yang dibunuh oleh Nietzsche!)
b) Terutama dalam Protestan, Yesus mulai tidak dipandang sebagai
Tuhan lagi, melainkan sesamanya dan ringan
sebagai teladan, yang mengasihi tangan, terlepas dari sifat
14
Karlheinz Deschner, Der gefälschte Glaube, München 1988; Kisah kriminalitas Kristen, Hamburg, Jilid I 1986, Jilid II 1988 15 Bandingkan Weddig Fricke, „Standrechtlich gekreuzigt“, Person dan Proses Yesus dari Galilea, Frankfurt 1986 25
eksistensinya; bagaimanapun juga Humanisme Kristen sebagai Weltanschauung telah membuktikan keistimewaannya. Dalam hal ini figur Yesus ‘direndahkan’ menjadi prototype seorang pekerja sosial bagi kaum lemah. c) Berlawanan
dengan hal tersebut adalah Kristologi tentang mitos Yesus, yang akhirnya lari ke dalam misteri mistik, disebabkan karena kesulitan-kesulitan pemahaman.
Demikianlah saya menilai Rüdiger Altmann, yang mengaku sebagai seorang “Gnosis Kristen“ 16 dan dalam tulisannya tentang “Mysterium der Nacht“(Rahasia Malam), ketika Tuhan (benar-benar) dilahirkan. Para penganut doktrin ini mencukupkan dirinya dengan sumber-sumber yang menampilkan mitos-mitos Tuhan, Ibu yang suci, cahaya, kejatuhan manusia dalam dosa (kisah Adam dan Hawa - penterjemah) sebagai titik tolak. Mereka tanpa ragu menyatakan penjelmaan Tuhan menjadi manusia adalah merupakan pemisahan totall dan tanpa merasa melakukan penghujatan menyatakan, “Dia, Tuhan, melalui 17 Inkarnasi benar-benar telah menjadi pribadi yang lain“. d)Yang keempat - Hans Küng mendukung aliran ini- melihat kelabilan teks-teks tua tersebut dengan lebih tenang dan realistis, tidak bersembunyi di balik iluminasi gnostis maupun dalam cara pandang yang terlalu membumi. Aliran ini berusaha untuk mengatasi problem yang ada -historis dan ontologisdengan meluruskan front lewat penafsiran ulang. Dalam definisi baru ini, Yesus adalah “yang dipilih dan diberi kuasa oleh Tuhan.“; Trinitas menjadi „Wahyu Tuhan dalam Yesus melalui Roh Kudus“ 18 (Roh Kudus dalam bahasa Jerman ditulis dengan huruf besar, meskipun tidak dianggap sebagai oknum.) Dengan ini Küng menerima konsekuensi yang timbul dari perbedaan besar antara makna semula tentang Bapa, Anak dan Roh dengan doktrin gereja tentang dogma Trinitas yang muncul kemudian, juga dari beragamnya konsep-konsep Kristologi dalam Perjanjian Baru. Küng mengakui, bahwa trinitas tidak tersurat dan tidak tersirat dalam Perjanjian baru - bahkan yang mengarah ke sana pun tidak ada. 19 Bila kristologi ini benar-benar mengakui, bahwa Yesus bukanlah penjelmaan Tuhan ataupun berkonsubstansi denganNya dan Roh Tuhan bukanlah Tuhan, maka pandangan ini sesuai dengan pandangan muslim dan memperkuat pendapat, bahwa “Muslim adalah Kristen yang lebih sempurna”, sekaligus yang tertua. Hanya dalam Al Qur’an kita dapatkan Kristologinya Kristen Yahudi dalam bentuknya yang asli seperti yang ditemukan kembali oleh Küng.
16
Rüdiger Altmann, Sisipan koran Frankfurter Allgemeine Zeitung,, tanggal 21.12.1985 Hans Waldensfells, koran Frankfurter Allgemeine Zeitung, tanggal 24.11.1985 18 Hans Küng/ J. Van Ess, Christentum und Weltreligionen, bagian I „Islam“ Gütersloh 1987 19 Hans Küng, Sebuah Dialog masa kini antara Kristen dan Muslim, Universitas Stuttgart 1984, Hal. 1351 17
26
Penafsiran baru (yang sebenarnya lama) tentang kodrat dan peranan Yesus begitu luar biasa, seperti juga kenabian merupakan sesuatu yang luar biasa. Tetapi para pendukung penafsiran Yesus ini harus bisa menerangkan mengapa mereka meskipun demikian masih merasa -dan mengakui- dirinya sebagai penganut Kristen. 20 Menurut saya, perasaan tersebut ada hubungannya dengan aspek penyelamatan dan penebusan dosa, yang latar belakangnya adalah dosa turunan dan penekanannya pada Penderitaan Yesus. Islam menolak pikiran mengenai Dosa Turunan, karena hal tersebut deterministis, yang bertolak dari kegagalan dalam ciptaan Tuhan dan bertentangan dengan pandangan al-Qur’an, bahwa manusia tidak menanggung beban dosa sesamanya, apalagi dosa kolektif. Pandangan-pandangan semacam ini bertentangan dengan Gambaran Tuhan dalam Islam. 21 Islam pun tidak hanya menyangkal kebutuhan akan penebusan dosa. Islam menilai teologi tentang pengorbanan di Kayu Salib sebagai sebuah penghujatan, yang terformulasi demikian: dalam sekarat di kayu salib, dimana seluruh penderitaan manusia terkumpul jadi satu, Tuhan menyelamatkan umat manusia dengan menanggung penderitaan mereka.“. 22 Karena Teologi seperti itu menuduh bahwa Tuhan tidak mampu “menyelamatkan“ umat manusia tanpa dengan menciptakan person ‘Tuhan’ kedua. Pandangan ini -Tuhan sebagai korban dari pemberontakan umat manusiajuga bertentangan dengan Gambaran Tuhan dalam Islam. Berdasarkan latar belakang tersebut - yang merupakan pandangan Paul Schwarzenau- penolakan terhadap kematian Yesus di kayu salib dapat dilihat sebagai bagian dari protes terhadap pandangan Kristen tentang Penyaliban. 23 Menurut pandangan Muslim, orang Yahudi tidak membunuh Yesus, meskipun kelihatannya demikian. Yesus sama sekali tidak mati, melainkan dipanggil kembali dan diangkat oleh Tuhan: “(Ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepadaKu...”(Q.S. 3:55) Sedangkan mengenai cara pemanggilan Yesus tersebut, tak seorang pun dapat memastikannya meski banyak muncul spekulasi-spekulasi apokrif 24 tentang hal tersebut. 20
Hans Kueng, Pourquoi suis-je toujours chre´tien? Paris, 1985 Dalam Fungsi dosa turunan dalam perjalanan sejarah gereja bandingkan Elaine Pagels, Adam, Eva und die Schlange: Theologie Dosa, Reinbeck 1990 22 Karl Alfred Odin, koran Frankfurter Allgemeine - Tajuk rencana 04.04.1985; bahkan di Perancis muncul Teologi kaum Lemah, dengan gambaran Tuhan yang penuh derita, bandingkan Jean Delumeau, Ce que je crois, Paris 1985 23 Schwarzenau, ibid catatan kaki nr. 5 24 Bandingkan komentar itu dengan terjemahan al-Qur’an oleh Hamza Boubakeur surat 4:157, cetakan III, Paris 1985; G. Parrinder, Jesus in the Qur’an, Oxford 1977. Dia tidak merubah terhadap penekanan kata ‘tidak dibunuh’, melainkan ‘anggapan mereka’, ini menandakan bahwa uraian kisah kejadian tersebut sesuai dengan cerita kaum Kristen. Padahal kejadian sesungguhnya sangat berbeda. 21
27
.”..Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat ‘Isa kepadaNya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “(Q.S. 4:157 dan seterusnya) 25 Karena itu legenda mengenai Hidup dan Matinya Yesus di Kashmir tetaplah hanya sebuah legenda, tidak lebih. 26 Ini merupakan latar belakang problem yang sangat aktual, yaitu apakah dialog Islam - Kristen dapat memberi sumbangan bagi perdamaian dunia. 27 “Tak ada perdamaian di dunia tanpa perdamaian agama“, menurut Hans Küng dalam ceramahnya di Aljazair, 22 November 1988, tanpa mengira akan meletusnya perang Teluk yang terjadi dua tahun kemudian. Ia mengharapkan suatu “Etos yang universal bagi bangsa-bangsa“ atas dasar pendekatan dan pengertian antar agama - bukan suatu penyatuan agama atau sinkretisme yang menimbulkan kekacauan.” Dari pihak Kristen banyak hal telah dilakukan untuk mempersiapkan suasana menuju dialog tersebut. 28 Termasuk di sini yaitu pertemuan antar agama di Cordoba, pernyataanpernyataan penuh hormat dari para biarawan seperti Michel Lelong, 29 ucapan selamat tiap tahun dari Paus kepada para muslim dalam merayakan Idul Fitri dan undangan Paus untuk menghadiri Doa Bersama di Assisi, 27 Oktober 1986 Namun, untuk dapat berkomunikasi, kedua belah pihak diharapkan untuk saling menerima pandangan masing-masing. Artinya, meskipun monoteisme Kristen tampak kabur, kaum muslim tidak mencela umat Kristen sebagai politeis, dan dari pihak Kristen diminta untuk meninggalkan prinsip “extra ecclesiam nulla salus“ (tak ada kesucian di luar gereja) bukan hanya formulasinya -seperti yang terjadi dalam Konsili Vatikan IItetapi juga semangat pandangan tersebut. Tetapi hal ini diragukan, selama gereja Katolik tetap berpegang pada prinsip “extra ecclesiam nullus propheta“ (tak ada nabi di luar Gereja), yaitu menerima Islam sebagai jalan menuju keselamatan, tetapi tidak mengakui Muhammad sebagai pemimpinnya. Vatikan dalam hal ini jelas tidak konsekuen, yaitu
25
Bandingkan Muh. Assad, The Message of the Qur’an, Gibraltar 1980, catatan kaki 171 untuk Qur’an surat 4:157; Yusuf Ali, The Holy Qur’an, cetakan VIII, Brentwood 1985, catatan kaki 663 untuk surat 45:157 26 Andreas Faber- Kaiser, Yesus hidup dan mati di Kashmir, Luzern 1986 27 lihat S.M. Abdullah, Islam: Berdialog dengan Kristen, cetakan III, Altenberge 1990 28 Bandingkan Pertemuan Islam dan Kristen, Koeln 1983; Maurice Borrmans, Wege zum chrislich-islamischen Dialog, Frankfurt 1985 29 Michel Lelong, Si Dieu l´avait voulu..., Paris 1986 28
memutuskan untuk menghormati para muslim, menyinggung al-Qur’an dan pembawanya. 30
tetapi
menolak
Dari keadaan ini terlihat adanya batasan sempit dalam pendekatan teologis, disebabkan adanya posisi yang tak tergoyahkan dari semua pihak, yang tidak mengarah pada disposisi, singkatnya tak bisa bernegosiasi. Seperti yang disampaikan oleh Hans Küng di Cordoba: Anak Tuhan bagi orang Kristen Al Qur’an bagi umat Islam Umat pilihan bagi Yahudi Jelas terlihat perbedaannya, bahwa Kristen berpusat pada satu orang, sedangkan Islam pada sebuah buku. Firman Tuhan dalam Kristen telah menjadi daging, dalam Islam tertuang dalam buku. 31 Kalau memang demikian, maka ‘perdamaian’ Teologi pun baru akan mungkin, bila umat Kristen melihat Yesus seperti dalam pandangan Küng dan menerima al-Qur’an sebagai Wahyu Tuhan. Ini tidak berarti, karena ketidakmampuan masing-masing untuk melakukan negosiasi tadi, menyebabkan dialog antar umat menjadi tak berguna. Kita tak boleh meremehkan langkah kecil dan manfaat praktis dari sebuah pertemuan dengan kelompok masyarakat, khususnya dengan para pekerja asing, dengan catatan tak seorang pun mempunyai maksud untuk saling mempengaruhi. Telah diketahui umum bahwa seorang muslim sebenarnya tak bisa merubah kepercayaannya menjadi Kristen.
30
Hans Kueng, Christentum und Islam, sebuah pertukaran Budaya, Stuttgart 1985, No.3, Hal. 311 dan seterusnya 31 Hans Kueng, tabloid Die Welt tanggal 06.03.1989, Hal. 13 29