KONFLIK UMAT BERAGAMA DAN BUDAYA LOKAL
Oleh: Dr. Nawari Ismail, M.Ag.
i
PRAKATA Adanya pluralitas agama dan suku serta semakin tingginya mobilitas horizontal bangsa Indonesia telah menimbulkan kontak-kontak sosial-budaya secara lebih cepat dan meluas, termasuk kontak antarumat beragana. Akibat terjadinya kontak atau interaksi antarumat beragama tersebut kemudian dapat terjadi konflik ketika satu di antara kedua kelompok menganggap kelompok lain merugikannya, baik mengakses
identitas maupun dalam
berbagai kebutuhannya. Persoalan-persoalan pada level sosia-budaya
antarkelompok agama ditambah dengan persoalan politik sering melahirkan konflik antarumat beragama. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan dalam penyelesaian konflik antarumat beragama.
Buku ini lebih focus kepada upaya pengendalian dan
penyelesaian konflik antarumat beragama dengan mengaitkannya dengan budaya lokal yang secara aktual telah menjadi modal sosial dalam proses konflik, dan yang secara potensial dapat dijadikan sebagai modal sosial. Buku ini
pada awalnya merupakan
laporan hasil penelitian yang saya lakukan di lima daerah yaitu Tasikmalaya (Jawa Barat), Surakarta (Jawa Tengah), Kulonprogo (Daerah Istimewa Yogyakarta), Pasuruan (Jawa Timur), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). Penelitian ini dilakukan selama 3 tahun dalam Program Penelitian Hibah Bersaing XIII yang dibiayai oleh DitbinlitabnasDirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Sepanjang pelacakan penulis, buku yang mengkaji mengenai konflik , khususnya konflik antarumat bergama di Indonesia, belum menyentuh dua hal sekaligus yaitu: belum mengaitkannya dengan budaya lokal sebagai modal sosial yang harus dikembangkan pada masa-masa yang akan datang, dan belum
menguraikan dalam sebuah kesatuan mengenai
usaha-usaha sebelum
terjadinya konflik (pengendalian) dan sesudah terjadinya konflik (penyelesaian), termasuk faktorfaktor yang masih potensial menjadi masalah dalam relasi umat beragama. Buku ini sedikit banyak untuk menutupi kekurangan tersebut. Selain itu, buku ini juga menyajikan beberapa (lima) kasus konflik antarumat beragama yang berbeda dari segi budaya masyarakat berkonflik (Sunda, Jawa, Padhalungan, Sasak), dan pemicunya, judul bab II-VI sekaligus menunjukkan faktor pemicu konflik pada setiap daerah. Buku ini dapat menjadi bahan pengayaan bagi mahasiswa, khususnya yang mengambil mata kuliah sosiologi (agama) serta agama dan budaya lokal strata satu. Juga dapat menjadi
tambahan informasi bagi pemerhati masalah sosial-budaya, pegiat dan pengambil kebijakan terkait dengan kerukunan umat beragama pada level pusat maupun di daerah. Sistematika pembahasan dalam buku ini dilakukan dengan teknik multi-case yaitu mengemukakan kasus-kasus yang terjadi di lima daerah penelitian. Setiap kasus
ii
dikemukakan (a) gambaran umum wilayah, (b) profil konflik yang mencakup potensi sebelum terjadinya konflik dan kasus konfliknya, dan (c) budaya masing-masing. Juga mengenai (d) usaha-usaha pengendalian dan penyelesaian konflik yang sudah dilakukan di masing-masing daerah, serta (e) model pengendalian dan penyelesaian konfliknya. Deskripsi mengenai aspek-aspek bahasan tersebut dikemukakan dalam Bab II sampai Bab VI. Artinya, setelah membaca Bab II-VI tersebut pembaca diharapkan memperoleh pemahaman mengenai kelima hal tersebut. Setelah itu, di Bab VII, dibahas berdasarkan unsur-unsur yang dikaji dengan membandingkan pada setiap lokasi (daerah) yaitu: mengenai geografis dan setting sosial, potensi konflik, pengendalian
karakteristik konflik, upaya
potensi konflik, upaya penyelesaian konflik,
budaya lokal, model
pengendalian potensi konflik berbasis budaya lokal, serta model penyelesaian konflik berbasis budaya lokal. Sementara Bab I
menyajikan latar belakang kajian, tujuan,
kerangka konseptual dan metode. Harapannya agar pembaca memahami pentingnya kajian mengenai konflik di Indonesia, dan arah kajian dalam buku ini. Buku ini ditutup dengan pemberian simpulan dan rekomendasi. Dalam kaitan dengan penelitian tersebut, maka melalui buku ini
saya
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak tersebut. Pertama, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan dana sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik Kedua, terima kasih juga saya ucapkan kepada Pengembangan Pendidikan (LP3-UMY) yang
Ketua Lembaga Penelitian dan
telah banyak memberikan kemudahan
dalam pengurusan ijin penelitian dan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan penelitian, khususnya yang berasal dari DP3M Direjen Dikti. Ketiga, peneliti, saudara Arif Efendi, mas Isnaeni, ibu Dyna, dan Nukman. Keempat, tentu saya juga tidak akan melupakan jasa informan besar, ‘guru’ dan konsultan setia di lapangan selama penelitian ini dilakukan.
Mereka telah memberikan banyak informasi
dan penjelasan tentang
persoalan budaya masyarakatnya serta pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama, memberikan kritik terhadap kesimpulan sementara. Mereka bagi saya telah menjadi semacam ensiklopedi hidup ketika dan pasca penelitian dilakukan.
Yogyakarta, 1 Juni 2010 Nawari Ismail
iii
DAFTAR ISI Halaman HALAMA JUDUL
i
HALAMAN KATA PENGANTAR…………………………………………
ii
HALAMAN DAFTAR ISI…….……………………………………………..
iv
BAB I
: MENELISIK PERSOALAN KONFLIK A. Urgensi Kajian .................................................................
1
B. Kerangka Konseptual..………………………………….
3
C. Metode ...............…………………………………….. BAB II
: KULONPROGO: KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PENDIDIKAN …………………………………………….
BAB III
17
21
: SOLO: PELECEHAN AGAMA DALAM ARENA SUMBU PENDEK…………………………………………
68
BAB IV
: MATARAM: 171 DAN UNGKAPAN SOLIDARITAS........
109
BAB V
: PASURUAN: IMBAS PERTIKAIAN ELIT POLITIK…………
147
BAB VI
: TASIKMALAYA: IMBAS PENEGAKAN SYARIAH DI AKAR RUMPUT...................................................................................
BAB VII
183
: BUDAYA LOKAL DAN KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA A. Geografis dan Setting Sosial ...........................................
220
B. Potensi Konflik …………………………..………….
221
C. Karakteristik Konflik .....................................…………
222
D. Upaya Pengendalian Potensi Konflik...……………….
226
E. Upaya Penyelesaian Konflik ...…………………………
228
F. Budaya Lokal .........................................……………….
229
G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal.. 236 H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal…. BAB VIII
240
: CATATAN PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………
247
B. Saran-saran……………………………………………….
253
HALAMAN DAFTAR PUSTAKA………………………………………….
257
GLOSSARIUM ............................................................................................... HALAMAN LAMPIRAN…………….……………...…………..………….
I
iv
v
BAB I MENELISIK PERSOALAN KONFLIK A. Urgensi Kajian Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, konflik yang berkembang sebenarnya dapat dipilah ke dalam dua tipe yaitu konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal merupakan konflik yang didasarkan ide komunitas
tertentu yang dihadapkan kepada penguasa.
Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antarkomunitas dalam masyarakat akibat banyak aspek misalnya komunitas lain dianggap mengamcam kepentingan, nilainilai, cara hidup dan identitas kelompoknya. Pada era reformasi konflik horizontal mernjadi hal yang sangat menggejala di Indonesia. Kompas (20 Desember 2000) misalnya berdasarkan polling yang dilakukan pada
hampir 1500 responden
mencatat bahwa ada 3 jenis konflik horizontal yang
mencemaskan yaitu konflik antarumat beragama mencapai 73%, antarsuku mencapai 81%, dan konflik antarwilayah sebesar 90%. Akhir-akhir inipun
kita masih banyak
mendengar-melihat konflik horizontal itu terjadi. Apapun jenis konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, khususnya konflik antarumat beragama sebenarnya tidak berdiri sendiri melainkan berkelindan dengan aspek-aspek lain, seperti persoalan politik atau kebijakan pemerintah, kesukuan, ekonomi, pendidikan, dan penguatan identitas daerah setelah berlakunya otonomi daerah. Maraknya konflik antarumat beragama tersebut
tidak dapat dilepaskan dari
konstribusi penguasa Orde Baru. Sebab melalui politik SARA-nya penguasa telah menekan semua perbedaan yang berbau kesukuan, keagamaan, ras, dan antargolongan. Semuanya dimasukkan dalam bingkai kesatuan, dan stabilitas politik dan keamanan demi pertumbuhan ekonomi. Melalui kebijakan ini menjadikan konflik, baik laten maupun manifes, harus ditekan dan celakanya tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Pendekatan tersebut dari luar nampak berhasil, di mana kerukunan hidup beragama terlihat ‘ayemtentrem.’ Guna menumbuhkembangkan kerukunan hidup beragama, pihak pemerintah pada waktu itu mencanangkan Trilogi Kerukunan yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Konsep ini harus diakui didasarkan atas paradigma pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi, sehingga pemerintah menghendaki stabilitas politik
1
nasional. Tanpa mengabaikan terhadap keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dari proyek kerukunan tersebut, seperti dialog yang pernah dilakukan Wadah Musyawarah AntarUmat Beragama, kerja sama sosial, penelitian dan silaturrahmi, namun harus diakui proyek kerukunan itu belum menunjukkan peningkatan kualitatif karena lebih sering dilakukan secara top-down, elitis, parsial dan adhoc serta belum ada dialog yang genuine, jujur dan ikhlas (Azra, 1999: 62). Hal ini menyebabkan potensi dan budaya lokal, serta umat pada tingkatan bawah menjadi tersubordinasi dan tidak kreatif dalam mengendalikan konflik yang ada, karena mereka terbiasa menjadi obyek dalam setiap proses proyek kerukunan. Akibatnya masih sering muncul kasus konflik antarumat beragama di berbagai daerah yang menjadi ganjalan kerukunan
seperti di Bali, Situbondo, Pasuruan,
Yogyakarta, Solo, Bandung, Tasikmalaya, Ambon dan lainnya. Konflik yang memakan banyak korban harta maupun jiwa itu ada yang dapat relatif ditemukan penyelesaiannya, namun ada yang sampai sekarang masih menggantung dan berlangsung. Konflik yang terjadi itu telah merusak pertemanan, hubungan antarmanusia yang telah terjalin, dan tentu diperlukan waktu yang panjang untuk memulihkan trauma dan sakit hati. Jika proses pemulihan tidak dilakukan dengan serius, tidak mustahil masalah kerukunan di Indonesia pada tahun-tahun mendatang hanya sebuah nama (Suseno dalam BASIS no. 03-04, MaretApril 1999). Untuk itu kajian yang berusaha menggali
bagaimana umat beragama
mengendalikan dan menyelesaikan konflik antarmereka penting dilakukan. Kajian seperti ini dapat dijadikan bahan dalam menumbuhkembangkan keberdayaan dan ketahanan umat beragama dalam mengelola potensi konfliknya sendiri. Hal ini seiring dengan proses demokratisasi dan tumbuhnya kesadaran akan makna pentingnya keragaman dan budaya lokal dalam bingkai kesatuan budaya nasional. Budaya lokal tidak harus dilihat sebagai ancaman, namun dijadikan sebagai potensi yang harus ditumbuhkembangkan, khususanya dalam kerangka pengendalian potensi dan penyelesaian konflik antarumat beragama. Kecenderungan kajian tentang konflik antarumat beragama belum (a) memerinci anatomi kelompok afiliasi agama dan identitas subyek misalnya suku, dan strata sosialagama, tiap umat beragama yang berkonflik, (b) lokasi terbatas pada satu kasus, (c) begitu juga kalaupun menganalisis penyelesaian konflik belum dibandingkan dengan aspek yang menjadi karakteristik konflik (sumber konflik) secara
lebih komprehensif. (d)
Selain itu dalam konteks model penyelesaian konflik antarumat beragama masih bersifat
2
deduktif, artinya sebuah model yang hanya didasarkan atas penelitian yang lebih bersifat teoritik atau pemikiran. Sementara setiap komunitas-lokal yang berkonflik memiliki karakteristik konfliknya sendiri yang relatif berbeda dengan komunitas-lokal lainnya. Kajian ini berusaha menutupi kelemahan tersebut, sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan yang lebih komprehensif dan integral bagi institusi pengendali dan penyelesai konflik antarumat beragama Indonesia, tanpa mengabaikan budaya lokal yang ada. Kajian tentang konflik dan penyelesaiannya perlu memperhatikan kemungkinan adanya potensi konflik pascakonflik atau potensi konflik lanjutan, baik yang berupa potensi lama sebelum konflik awal maupun potensi baru pascapenyelesaian konflik. Hal ini penting karena pelacakan adanya potensi konflik lanjutan ini berkaitan dengan upaya pengendalian potensi konflik yang ada supaya tidak terulang menjadi konflik. Dengan demikian upaya pengendalian potensi konflik juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan penyelesaian konflik. Dalam upaya mengkaji pengendalian potensi konflik, kajian ini bukan hanya memfokuskan kepada sesudah terjadinya penyelesaian konflik, namun juga sebelum terjadinya konflik, hal ini karena konflik terjadi justru karena antarkelompok tidak dapat mengendalikan potensi konflik yang ada di antara mereka. Kajian ini difokuskan kepada beberapa isu: (1) karakteristik konflik antarumat beragama yang sudah
terjadi dan kemungkinannya pada masa akan datang, (2)
memerikan (mendeskripsi) upaya pengendalian potensi konflik (PPK) dan penyelesaian konflik (PK) antarumat beragama, dan (3) memerikan budaya lokal yang secara aktual dan potensial (dapat) dijadikan media dalam pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama
B. Kerangka Konseptual 1. Persoalan Konflik Kerukunan Hidup Beragama: Secara doktrinal setiap agama mempunyai ajaran yang mengatur tata kehidupan umatnya, baik di bidang keyakinan (credo) maupun ritual. Kedua bidang ini merupakan prinsip yang tidak dapat ditawar. Setiap agama mengajarkan umatnya supaya menyiarkannya kepada manusia (misalnya dalam QS. Ali-Imran,3:110; Perjanjian Baru Matius, 28:18-19), namun di sisi lain,
setiap agama juga menyuruh
umatnya menghormati agama lain (misalnya Qs. Al-Kafirun, 2-6; Al Baqarah, 2: 256 dan
3
Surat Korintus, 4: 6; 7:17). Berdasarkan adanya perbedaan prinsip (keyakinan dan ritual) tiap agama dan dorongan untuk saling menghormati antarumat beragama, salah satu pilihan yang perlu dikembangkan adalah prinsip agree in disagreement dalam pembinaan kerukunan antar umat beragama. Azra (1999: 29-42) menyebutnya dengan teologi kerukunan yang bersifat eksklusif-inklusif. Sebuah
doktrin
selain ada pengakuan
kebenaran agama oleh masing-masing umat beragama, namun pada saat yang sama umat beragama harus bersikap terbuka dan menghargai umat beragama lain. Secara praksis, guna menumbuhkembangkan kerukunan hidup beragama, pihak pemerintah
telah mencanangkan Trilogi Kerukunan
yaitu kerukunan
antarumat
beragama, kerukunan internumat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Konsep ini harus diakui banyak didasarkan atas paradigma pembangunan ekonomi yang mementingkan pertumbuhan, sehingga pemerintah menghendaki stabilitas politik nasional (Balitbang Depag RI, 1989/1990: 7-8). Sebenarnya sebelum terumusnya trilogi kerukunan, pemerintah (Orde Baru) sejak awal telah menyusun strategi pembinaan kerukunan hidup beragama, terutama sejak diselenggarakannya Musyawarah AntarUmat Beragama di Jakarta, dengan
menggunakan pendekatan dalam setiap tahapan yaitu
(Marse, 1995): (1) Tahap pertama digunakan pendekatan politis karena situasi keamanan; (2) Tahap kedua
digunakan pendekatan filosofis-ilmiah yang ditandai dengan
penyelenggaraan berbagai dialog dan diskusi tentang hubungan umat beragama yang kemudian menghasilkan
prinsip agree in disagreement; (3) Tahap ketiga digunakan
pendekatan pragmatis-praktis yang ditandai dengan pelayanan kepada masyarakat agar kehidupan keagamaan makin semarak, dan saat itu mulai dirumuskan Trilogi Kerukunan; (4) Tahap keempat digunakan pendekatan
dinamis-produktif, dalam arti setiap umat
beragama didorong agar memberikan sumbangannya dalam pembangunan, memadu kerja sama untuk menjawab tantangan zaman. Selama kurun waktu tersebut banyak keberhasilan yang dicapai dari proyek kerukunan yang bersifat top-down tersebut, seperti berbagai dialog yang pernah dilakukan Wadah Musyawarah Antarumat Beragama, kerja sama sosial, penelitian dan silaturrahmi, dan perangkat kebijakan untuk pengendalian konflik antarumat beragama seperti mengenai pedoman penyiaran agama (1978), pelaksanan dakwah dan kuliah subuh (1978), tata cara pengembangan ibadah dan pembangunan tempat ibadah (1969), penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan (1981). Bahkan di tingkat daerah seperti di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selain menyepakati dan mengatur pada skala nasional
4
tersebut juga mengatur mengenai perkawinan
beda agama dan penguburan janazah
(1983). Pada awal era reformasi, perangkat kebijakan untuk pengendalian konflik antarumat beragama tersebut sempat (akan) dituangkan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang tentang Kerukunan Umat Beragama. Draft RUU tersebut pada saat itu (2003) akan diajukan Departemen Agama kepada Presiden. Isinya banyak merangkum aspek-aspek dari kebijakan yang dilakukan Orde Baru yang sampai sekarang masih berlaku yaitu pengaturan penyiaran agama, bantuan asing keagamaan, peringatan hari besar keagamaan, pendirian tempat ibadah umum, penguburan janazah, perkawinan beda agama, penodaaan/penghinanan dan penyalahgunaan agama. Kemudian ditambah aspek yang dianggap menjadi sumber konflik antarumat beragama yaitu pelaksanaan pendidikan agama (sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional), dan pengangkatan anak beda agama. Terlepas dari keberhasilan yang dicapai dari proyek kerukunan yang dilakukan pemerintah tersebut, banyak kalangan memberikan kritik. Azra (1999: 62), misalnya menganggap proyek kerukunan itu belum menunjukkan peningkatan kualitatif karena lebih sering dilakukan secara top-down, elitis, parsial dan adhoc serta belum ada dialog yang genuine, jujur dan ikhlas. Akibatnya masih sering muncul kasus konflik yang bernuansa agama seiring dengan berjalannya proyek kerukunanan tersebut misalnya kasus Situbondo dan Pasuruan di Pripinsi Jawa Timur;
Ambon, dan Maluku Utara; Poso di
Sulawesi; Pekalongan dan Solo di Jawa Tengah; Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Tasikmalaya dan Bandung di Jawa Barat; dan di Propinsi Bali; Jakarta; dan Kupang (Sarwono, 2000; Retnowati, 2000; International Coalition for Religious Freedom, 2001; Tim Peneliti UMY- UAD-UAJY-USD, 2003) Makna dan Proses Konflik: Setiap komunitas memiliki struktur sosial yaitu jalinan hubungan antar individu atau kelompok sosial dalam masyarakat sesuai status dan peranan yang dimilikinya. Bentuk struktur sosial tersebut dapat berupa proses konflik dan integrasi dalam masyarakat. Konflik dan integrasi merupakan sebuah pasangan yang melekat dalam kehidupan masyarakat (Simmel dalam Saifuddin, 1986). Jadi walaupun konflik merupakan bentuk kontradiktif dari integrasi, namun tidak selamanya kedua hal tersebut harus dipertentangkan. Dalam kehidupan nyata integrasi bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan sebenarnya dapat ditata kembali (Usman, 1996: 80). Karena itu mengkaji konflik pasti berhubungan dengan integrasi.
5
Hidup rukun-tidak rukun menunjukkan adanya interaksi sosial positif-negatif. Interaksi sosial positif dapat berupa akomodasi, kerja sama dan akhirnya integrasi. Interaksi sosial negatif muncul apabila terjadi pertikaian dan konflik . Integrasi sosial adalah penyatuan antar satuan atau kelompok
yang tadinya terpisah satu sama lain
dengan
mengesampingkan perbedaan sosial dan kebudayaan yang ada (Saifuddin, 1986: 7). Secara umum menurut teori ‘conflict episode’ proses konflik mulai dari awal hingga akhir dapat terdiri dari lima episode (Pondy dalam Miall et.al, 2002) yaitu: (1) laten conflict, tahap munculnya faktor-faktor dalam situasi yang dapat menjadi kekuatan potensial munculnya kasus konflik; (2) perceived conflict, tahap ketika salah satu pihak memandang pihak lain menghambat atau mengancam kepentingannya; (3) felt conflict, tahap ketika salah satu atau kedua belah pihak merasakan dan mengenali keberadaan konflik, bukan sekedar pandangan atau anggapan; (4) manifest conflict, tahap ketika kedua belah pihak melakukan konflik terbuka yang mengundang reaksi pihak lain; (5) aftermath conflict, tahap sesudah konflik diatasi, namun masih terdapat sisa-sisa konflik sehingga menjadi potensi konflik lanjutan. Konflik Sebagai Tindakan Sosial dan Budaya Lokal: Dalam perspektif Weberian, seperti dikemukakan Talcott Parsons (dalam Hamilton, editor, 1990: 74) setiap tindakan sosial dipengaruhi oleh sistem budaya (norma, nilai-nilai), motivasi, tujuan dari tiap pelaku sosial, dan situasi sosial. Sebagai tindakan sosial, konflik antarumat beragama tidak bisa dilepaskan dari pengaruh berbagai aspek tersebut. Artinya dalam memahami karakteristik konflik antarumat beragama harus dilihat juga dari norma-norma, motivasi , dan tujuan para pihak yang berkonflik. Motivasi tindakan (baca berkonflik di antara umat beragama) adalah sesuatu yang menjadi kebutuhan seseorang. Setiap tindakan manusia tergantung kepada kuat lemahnya motivasi pelaku. Dalam melakukan tindakan berkonfliknya pelaku sudah mempunyai nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pedoman dalam waktu dan keadaan tertentu, misalnya norma-norma yang menjadi anutan kelompoknya (kalau konflik kolektivistik). Norma-norma yang menjadi anutan anggota kelompok dalam berkonflik tersebut dapat berasal dari budaya yang dimilikinya seperti tradisi suku, agama, dan varian keagamaan (abangan-santri). Pelaku juga bertindak sesuai dengan tujuan yang direncanakan sebelumnya, dan situasi yang mengitarinya. Potensi Konflik: Konflik sosial adalah pertentangan antar satuan atau kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang menyebabkan pertentangan. Pengertian ini berarti
6
mencakup kasus konflik (konflik yang sudah terjadi) dan potensialitas konflik (Mudzhar, 1998: 129). Dengan demikian konflik dilihat dari bentuk penampakannya dapat dipilah ke dalam potensi konflik dan kasus konflik. Potensi konflik merupakan semua aspek atau kondisi yang dapat menjadi sumber munculnya kasus konflik, sedangkan kasus konflik (selanjutnya disebut dengan ‘konflik’) merupakan konflik yang sudah terjadi dan muncul ke permukaan dalam bentuk pernyataan atau tindakan nyata pihak-pihak yang berkonflik. Potensi konflik antarumat beragama,
terutama yang berasal dari nilai-nilai
keagamaan masih terus menjadi persoalan. Pada hakikatnya semua sumber dan faktor munculnya konflik merupakan bentuk dari potensi konflik. Sumber dan faktor tersebut meningkat menjadi konflik karena ketidakmampuan satu dan atau kedua belah pihak dalam mengendalikannya. Dengan kata lain, sumber dan potensi tersebut tetap akan menjadi potensi konflik jika tidak ada suatu individu atau kelompok yang bergerak secara aktif atau radikal serta adanya pengendalian yang dilakukan oleh berbagai pihak yang ada dalam masyarakat tersebut. Pendekatan, Teori dan Sumber Awal Konflik: Jika dilihat dari dampaknya jenis konflik dapat dibagi ke dalam konflik yang konstruktif dam destruktif, hal ini tergantung kepada pendekatan dalam melihat konflik. Ada dua pendekatan dalam melihat konflik yaitu pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik.
Pendekatan
pertama menganggap masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari berbagai bagian, tiap bagian saling terkait dan befungsi, sehingga berkembang keseimbangan (Nasikun, 1995; Ritzer, 1985). Pendekatan ini mengabaikan kemungkinan suatu sistem menentang fungsifuingsi lainnya. Selain itu pendekatan ini beranggapan bahwa pada dasarnya masyarakat terintegrasi berdasarkan konsensus dari anggotanya mengenai nilai-nilai kemasyakaratan dalam segala pranata, jika terjadi konflik harus segera diselesaikan melalui
cara
penyelesaian sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Jadi keseimbangan akan terus dicapai jika dalam masyarakat berkembang interaksi sosial yang didasarkan atas standard penilaian umum dalam bentuk norma-norma sosial. Pendekatan konflik sebaliknya, di antaranya menyatakan bahwa masyarakat adalah perubahan, dan
hakikat dari
di dalamnya terdapat konflik-konflik yang
disumbangkan tiap unsur, masyarakat terintegrasi hanya karena adanya dominasi kelompok tertentu yang bersifat memaksa. Dilihat dari tujuan kepentingannya, konflik dapat dibagi ke dalam konflik (dalam budaya) individualistik dan kolektivistik (Ting Toomey dalam Gudykunst et. al., 1988:
7
278). Perbedaan keduanya dapat dilihat dari unsur penyebab konflik, hubungan isu dan pelaku, kondisi yang mengitari konflik, dan sikap pelaku. Konflik individualistik melihat penyebab konflik sebagai instrumen bukan ekspresif, sering memisahkan isu dengan pelaku konflik, konflik muncul ketika pengharapan individu terhadap prilaku yang pantas dilanggar, pelaku bersikap konfrontatif secara langsung. Sebaliknya konflik kolektivistik melihat penyebab konflik lebih sebagai ekspresif, tidak memisahkan antara isu dengan pelaku yang berkonflik, konflik muncul ketika norma kelompok dari pelaku dilanggar, cenderung tidak konfrontatif dan sikapnya tidak langsung terhadap konflik, artinya anggota kelompok berkeinginan kuat membentuk kelompok yang harmonis dan cenderung menggunakan komunikasi tidak langsung. Dilihat dari pandangan mengenai pihak yang berkonflik dan sumber awal konflik ada 3 pendekatan yaitu pendekatan makro, mikro, dan konvergensi (Abdel Salam, 2004). Pendekatan makro melihat sumber awal atau akar konflik berasal dari adanya persaingan antarkelompok dalam mengejar kekuasaan dan sumber daya yang ada. Pendekatan ini menganalisis konflik antarkelompok pada tataran kesadaran. Pendekatan mikro atau behaviour memandang sumber awal konflik dari adanya persaingan antarindividu dalam pemenuhan kebutuhan, dan sesuai dengan watak dasar manusia yang agresif. Sementara pendekatan kovergensi menjelaskan bahwa sumber konflik merupakan paduan antara unsur-unsur yang berasal dari individu dan kelompok. Sering sekali konflik sebenarnya bersifat pribadi, namun karena setiap individu memiliki identitas kelompok tertentu dan ditambah dengan hal-hal tertentu menjadi konflik antarkelompok. Sementara itu Soemardjan, Soelaiman (1964: 8-9) mengemukakan beberapa teori mengenai sumber konflik, yaitu: (1) teori ’hubungan masyarakat’ menyatakan konflik disebabkan polarisasi yang terus terjadi dan adanya ketidakpercayaan serta permusuhan antar kelompok yang terpola tersebut; (2) teori ’negosiasi prinsip’ menyatakan konflik disebabkan adanya perbedaan posisi dan pandangan dalam melihat konflik; (3) teori ’kebutuhan manusia’ menegaskan konflik terjadi karena terhalanginya dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental, dan sosial. Atau menurut (1991: 111)
Jary & Julia
karena adanya perjuangan antarindividu atau kelompok dalam mencari
keuntungan, dan dalam penguasaan akses sumber daya maupun kesempatan; (4) teori ’identitas’ menyatakan konflik disebabkan identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu pada masa lalu yang tidak
terselesaikan; (5) teori
’kesalahpahaman antarbudaya’ menyatakan konflik disebabkan ketidaksesuaian dalam
8
komunikasi antar budaya yang berbeda; (6) teori ’transformasi konflik’ berasumsi konflik disebabkan
persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan
yang muncul, baik dalam
masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Faktor-faktor Penyebab (Potensi ) Konflik: Sebagai fakta sosial,
konflik –
termasuk potensi konflik antarumat beragama-- dapat berasal dari level budaya dan sosial.1 Level budaya: Pada level ini
faktor penyebab adanya potensi konflik dan
terjadinya konflik dapat berupa nilai-nilai dan stereotif atau persepsi sosial. Setiap umat beragama memiliki nilai-nilai yang dianggap suci sebagai hasil pemahamannya terhadap ajaran agama yang dianutnya, dan karenanya sering melahirkan klaim kebenaran. Dalam sejarah keagamaan telah lama berkembang doktrin eksklusivitas agama: ‘agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan’ (Rahman, 2000). Semua berakar dari berkembangnya religiosentrisme antarumat beragama. Religiosentrisme merupakan penganalogian terhadap konsep etnosentrisme. Bedanya kalau dalam etnosentrisme nilai-nilai kesukuan yang menjadi acuan, sedangkan dalam religiosentrisme nilai-nilai keagamaan, termasuk varian atau subbudaya-agama, yang menjadi acuannya dalam menilai kebudayaan-agama atau subbudaya-agama lain. Dengan demikian resligiosentrisme adalah sebuah sikap yang menilai kebudayaan agama lain berdasarkan standar
kebudayaan (paham) agamanya sendiri, sehingga muncul
persepsi/stereotif terhadap penganut (paham) agama lain. Sementara etnosentrisme adalah sebuah sikap yang memadang kebudayaan suku lain berdasar kriteria kebudayaan sukunya sendiri, sehingga muncul stereotif negatif terhadap suku lain (Hariyono, 1994: 98, 102). Porter dan Samovar yang dikutip Bennett (dalam Mulyana dan Rakhmat, 1990: 80-81) menyatakan etnosentrisme
merupakan kecenderungan
memandang atau
menilai
1
Hal ini berkaitan dengan teori hubungan antara kebudayaan (ide, nilai-nilai, norma) dengan struktur sosial dan fakta sosial. Dalam perspektif klasik mengenai hubungan antargejala, khususnya kebudayaan dan strukltur sosial ada 4 perspektif yaitu hermeneutik (Dilthey), semiotik (Saussure), fungsionalisme struktural (Parsons), dan neomarxisme (Gramsci). Pendekatan hermeneutik memandang kebudayaan mempunyai otonomi kuat dan berpengaruh seara eksklusif terhadap struktur sosial yang ada. Sementara pendekatan semiotik menegaskan tidak ada kaitan antara kebudayaan dan struktur sosial, masingmasing berdiri sendiri. Pendekatan fungsionalisme memandang adanya hubungan timbal-balik antara kedua variabel tersebut, sementara pendekatan neomarxis memandang adanya hubungan timbal balik antara kebudayaan dan strukltur sosial, berbeda dengan fungsioanalisme yang memandang hubungan antara kedua faktormtersebut merupakan keharusan analisis secara emperik, sedangkan bagi neomaxis merupakan keharusan sejarah yang bersifat mekanistik. Uraian lebih lanjut lihat dalam Alexander, Jeffrey C & Steven Seidman (edit.), 1990, Culture and Society, Contemporary Debates, Cambridge: University Press, h. 3-10
9
(kebudayaan) orang lain dengan menggunakan nilai dan kebiasaan sukunya sendiri sebagai kriteria. Seperti halnya pada etnosentrisme, maka untuk mengetahui kecenderungan religiosentrisme juga dapat dilihat dari (a) persepsi sosial, dan (b) jarak sosial. Kedua hal ini dapat dijadikan tolok-ukur adanya potensi konflik antarumat beragama. Jika persepsi dan jarak sosial antarumat beragama masih bersifat negatif dan renggang, maka dapat disimpulkan bahwa potensi konfliknya masih besar di antara keduanya. Furchid (1982: 288) memberi pengertian persepsi sosial sebagai persepsi terhadap obyek-obyek, hubungan dan peristiwa sosial. Berdasarkan pengertian tersebut, persepsi sosial antara orang yang berbeda agama-suku dapat dipilah ke dalam dua jenis yaitu (a) persepsi sosial terhadap situasi hubungan antar pelaku, dan (b) persepsi antar pelaku. Dalam persepsi terhadap situasi hubungan sosial, antar pelaku sama-sama memberikan tanggapan atau penilaian terhadap kualitas hubungan (seperti akrab-tidak akrab), dan frequensinya (kuantitas) menurut penilaian masing-masing (jarang, cukup, sering). Selain itu tiap pelaku memberikan penafsiran (batasan atau alasan) terhadap kualitas dan kuantitas hubungan antar mereka. Dalam persepsi antar pelaku, tiap pihak memberi tanggapan atau penilaian terhadap ciri-ciri yang dianggap khas pada pihak yang lain, sifatnya bisa positif , nergatif, ganda, dan netral. Positif jika adanya penilaian 'kebaikan' atau keuntungan yang diperoleh pihak lain. Negatip jika ada ungkapan 'kejelekan' dan kerugian. Ganda jika ada ungkapan kebaikan dan sekaligus ungkapan kejelekan. Netral jika ada ungkapan yang tidak memberikan cap positip-negatip. Untuk lebih melengkapi data tentang persepsi sosial dapat dilihat pula dari konsep jarak sosial antar orang yang berbeda agama. Untuk ini akan digunakan skala Bogardus. Melalui konsep ini akan diketahui seberapa jauh jarak sosial antara dirinya dengan orang lain. Hal ini dapat diketahui dari tingkat kesesuaian dan kesetujuan seseorang terhadap orang lain dalam beberapa hal yaitu (a) cocok tidaknya pihak lain sebagai anggota keluarga, (b) untuk dinikahi, (c) makan bersama, (d) sebagai teman, (e) sebagai tetangga (diadopsi dari skala Bogardus yang diterapkan Schweizer, kecuali nomor b dari penulis). Sementara Mulkhan (2001) lebih melihat pola penyeragaman warisan orde lama sebagai pemicu adanya
konflik di Indonesia. Penyeragaman kebudayaan dan
keberagaman tidak hanya bertentangan dengan ide dasar demokrasi dan masyarakat madani tetapi juga dari hakekat dasar kemanusiaan yang unik. Keunikan inilah yang merupakan nilai universal dan abadi dari kemanusiaan dan juga firman Tuhan dalam
10
semua agama. Sayangnya keunikan kebudayaan dan keberagaman tersebut justru dimatikan oleh upaya penyeragaman nasionalisme kebangsaan dan sistem ritual keagamaan dari berbagai agama. Di sisi lain,
karena dalam pemahaman agama dipengaruhi oleh budaya dan
konteks lokal maka akan melahirkan sikap dan perilaku yang berbeda, dan selanjutnya tingkat religiusitas yang berbeda akan berbeda pula tingkat sosial keagamaannya, orang yang lebih agamis dapat menjadi lebih eksklusif dan yang lebih sosial menjadi lebih inklusif ( Sarwono, 2000).
Level sosial: Konflik, termasuk potensi konflik antarumat beragama, dapat bersumber dari hasil interaksi antar umat beragama dalam berbagai pranata sosial, baik pranata keagamaan, politik, ekonomi, dan upacara lingkaran hidup. Aspek-aspek yang ada dalam sistem perundangan dan draft RUU tentang Kerukunan Umat Beragama, sebagaimana diungkap di atas, lebih menyorot kemungkinan penyebab konflik antarumat beragama selama ini. Hal ini juga ditopang oleh penelitian yang dilakukan banyak peneliti. Nashir (1993) misalnya menemukan konflik umat Islam dengan Katolik dan Kristen karena
pembangunan gereja (Katolik) di tengah-tengah lingkungan
muslim dan
penggunaan rumah sebagai tempat ibadah umat Kristen. Sementara Sutopo (1993) dan Ismail (1993). juga menemukan hal yang sama yaitu konflik antarumat beragama yang disebabkan pembangunan tempat ibadah. Penyebab konflik yang lain yang bersumber dari pranata keagamaan ialah berasal dari penyiaran agama melalui cara pemberian materi (Widigdo, 1992). Retnowati (2000) yang melakukan penelitian di Situbondo mencatat faktor penyiaran agama dan tempat ibadah sebagai faktor konflik antarumat beragama. Pranata pendidikan agama juga menjadi penyebab konflik antarumat beragama khususnya antara umat Islam dengan Katolik dan Kristen (Tim Peneliti UMY, UAD, UAJY, USD, 2003). Konflik terjadi karena masing-masing pihak merasakan adanya kerugian yang dialami, pihak Kristiani (terutama yayasan penyelenggara pendidikannya) menganggap kebijakan pemerintah tentang adanya hak bagi siswa memperoleh pendidikan agama sesuai agamanya ( SKB 2 Menteri dan 3 Menteri)2 sebagai intervensi pemerintah
2
Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama Nomor 4/U/SKB/1999, Nomor 570 Tahun 1999 tentang 'Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan Pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikman Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya dikenal dengan dengan SKB 2 Menteri. Adapun yang disebut SKB 3 Menteri ialah Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri
11
kepada sekolah swasta, sehingga kebebasan dan otonomi untuk mengatur sekolahnya terganggu. Sementara kalangan muslim menganggap orang Kristen dan Katolik telah menjadikan sekolah sebagai
wadah kristenisasi terhadap siswa muslim karena
mengajarkan pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama siswa. 2. Pengendalian Potensi dan Penyelesaian Konflik Pengendalian Potensi Konflik: Supaya potensi konflik tidak menjadi kasus konflik dibutuhkan pengendalian. Sebenarnya pengendalian potensi konflik
dapat
dilakukan baik sebelum terjadinya kasus konflik maupun setelah penyelesaian konflik. Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa
proses konflik-integrasi dalam masyarakat
senantiasa silih berganti. Selain itu, karena sering terjadi penyelesaian konflik justru menyisakan potensi konflik lanjutan karena dalam prosesnya dianggap kurang memuaskan salah satu atau kedua belah pihak (Fetherston dalam Miall et.al, 2002: 91-92). Pengertian: Pengendalian sosial adalah proses mengajak atau memaksa anggota masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku dengan tujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat (Soekanto, 1982: 199). Kemudian kalau dikaitkan dengan istilah ‘potensi konflik’ menjadi ‘pengendalian
potensi konflik sosial’ atau disingkat menjadi
‘pengendalian potensi konflik’ berarti proses mengajak atau memaksa anggota masyarakat supaya mematuhi kaidah-kaidah, nilai-nilai sosial, dan menjaga supaya potensi konflik yang ada tidak menjadi kasus konflik, sehingga stabilitas dan integrasi dalam masyarakat dapat dipertahankan terus. Tujuan: Dari pengertian tersebut, pengendalian potensi konflik memiliki dua tujuan yaitu (1) supaya potensi konflik tidak menjadi kasus konflik, dan (2) untuk menumbuhkan dan keberlangsungan integrasi dalam kehidupan masyarakat. Cara pengendalian potensi konflik khusus untuk tujuan pertama yaitu supaya potensi konflik tidak menjadi kasus konflik bentuknya beragam tergantung kepada kesepakatan dan tradisi yang ada dalam masyarakat. Misalnya Gatut Murniatmo (dalam Jarahnitra, 1996/1997: 185) dalam konteks interakasi etnik Cina-Arab-Jawa menemukan pengendalian potensi konflik berupa usaha pembauran etnik minoritas (Cina dan Arab) ke dalam budaya etnik mayoritas (Jawa). Tuntutan agar orang Cina dan Arab membaur Agama, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Nomor 2/U/SKB/2001, Nomor 81 Tahun 2001, Nomor 423.7-011 tentang 'Penyelenggaraan Evaluasi Belajar Tahap Aakhir dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2000/2001.
12
dengan masyarakat Jawa dan supaya aktif dalam lembaga pembauran yang dibentuk oleh pemerintah secara top-down. Cara pengendalian potensi konflik untuk tujuan kedua (menumbuhkan integrasi antarumat beragama), umat beragama dapat mengembangkan nilai-nilai yang disepakati sebagai instrumen agar potensi konflik tidak tumbuh dan integrasi berkembang. Di antara nilai-nilai yang perlu dikembangkan misalnya tradisi yang berkembang di masyarakat seperti gotong-royong, tolong-menolong, merealisasikan filosofi-lokal, dan pemaknaan simbol-simbol lokal yang menjadi simbol pemersatu umat beragama. Pada masyarakat Sunda misalnya ada ‘ugeran’ (pepatah) ‘akur jeng batur sakasur, batur sadapur, batur sasumur, terus batur salembur’, Artinya, hidup rukun
dengan suami-isteri,
dalam
keluarga, tetangga, dam teman satu kampung atau masyarakat (Nashir, 1993). Sementara dalam masyarakat Jawa mengenal tradisi rewang, tetulung, juga ‘trah’ yang berfungsi sebagai kelompok sosial pemersatu karena tanpa membedakan agama anggotanya (Ismail, 2002). Isyanti (dalam Jarahnitra, 1999/2000: 119-144) juga menemukan bahwa kelompok sosial ‘trah’ dan asosiasi berdasarkan kesukuan dapat berfungsi sebagai pemersatu dari suku yang berbeda agama, juga berfungsi sebagai pengendali sosial dari orang yang beda agama terutama pada asosiasi kesukuan Sumatera (62,50%), dan Sulawesi (16,70%). Selain itu perlu dikembangkan juga pemanfaatan aktor lokal sesuai dengan tradisi yang ada untuk mengembangkan integrasi, misalnya dalam masyarakat Madura mengenal pepatah, ‘buppa’ babu’ guruh ratoh’ , maksudnya orang harus menghormati dan patuh secara berurutan kepada ‘bapak-ibu, guru-kyai, dan pemerintah’. Sementara Salamun dkk (dalam Jarahnitra, 1993/1994: 137-193) juga menemukan bahwa masyarakat Sarang Meduro Rembang dalam mengendalikan konflik yang berasal dari adanya ‘bank tithil’ menjadikan pejabat pemerintah dan kyai sebagai aktor lokal yang berfungsi sebagai pengendali, mereka berperan melakukan sosialisasi tentang kelemahan dari bank tersebut. Di sisi lain Usman (1996: 80-81) menyebutkan perlunya menumbuhkembangkan konsensus nilai-nilai
sosial yang bersifat fundamental, memanfaatkan banyaknya
masyarakat yang menjadi anggota dalam berbagai unit sosial sekaligus (cross-cutting affiliation) sehingga potensi dan kasus konflik dapat dikendalikan dan diredam karena adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities), dan adanya interdependensi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dari temuan Geertz (1987: 488-499) dan Saifuddin (1986: 70-95), dalam koteks hubungan internumat beragama, juga dapat ditarik ke dalam konteks cara pengendalian potensi konflik agar integrasi terus berkembang, yaitu (1)
13
mengembangkan adanya rasa satu kebudayaan nasional, kesadaran akan adanya kesatuan budaya tradisional. Sementara Geertz (1985: 3-4) menemukan bahwa varian abangan sangat memperlihatkan ciri-ciri seperti masyarakat moderen yaitu adanya toleransi yang tinggi terhadap umat agama lain. Hal yang sama terjadi dalam kasus perkawinan beda agama, pranata perkawinan telah menjadi intitusi mediasi integrasi antarumat beragama. Hal ini karena adanya pandangan keagamaan yang bersifat sinkretik dari masyarakat Jawa,
nilai-nilai abangan, dan pandangan yang bernuansa sekularistik yaitu
memposisikan agama sebagai hal yang bersifat pribadi (Ismail, 2002). Karena itu untuk pengendalian potensi, dan penyelesaian konflik, dapat juga dikembangkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan antarumat beragama. Koentjaraningrat (1985: 207-8) mengemukakan lima cara (model)
pengendalian
(potensi) konflik sosial, khususnya dalam kaitannya dengan mempertahankan nilai-nilai tradisi, yaitu: (a) Mempertebal keyakinan anggota masyarakat akan kebaikan adat-istiadat; (b) Memberi ganjaran kepada anggota masyarakat yang taat kepada adat-istiadat, (c) Mengembangkan rasa malu dalam jiwa masyarakat yang menyeleweng dari adat-istiadat, (d) Mengembangkan rasa takut dalam jiwa
masyarakat
yang hendak menyeleweng
dengan ancaman dan kekerasan, (e) Menciptakan sistem hukum yaitu sistem tata tertib dengan sangsi yang tegas bagi para pelanggar. Pendapat Koentjaraningrat ini dapat juga diaplikasikan dalam kaitannya dengan model pengendalian potensi konflik, baik untuk tujuan pertrama maupun kedua, untuk itu rumusannya sebagai berikut: (a) Mempertebal keyakinan anggota masyarakat akan makna penting menjaga potensi
konflik supaya tidak menjadi kasus konflik, bahkan jika
mungkin menghilangkannya, (b) Memberi ganjaran kepada anggota masyarakat yang patuh dalam menjaga
potensi konflik supaya tidak menjadi kasus konflik, (c)
Mengembangkan rasa malu dalam jiwa masyarakat yang berusaha menjadikan potensi konflik supaya tidak menjadi kasus konflik, (d) Mengembangkan rasa takut dalam jiwa masyarakat yang hendak menjadikan potensi konflik supaya tidak menjadi kasus konflik dengan ancaman dan kekerasan, (e) Menciptakan sistem hukum yaitu sistem tata tertib dengan sangsi yang tegas bagi para pelanggar Penyelesaian Konflik: Penyelesaian konflik merupakan upaya menangani penyebab konflik dan membangun hubungan baru yang dapat bertahan lama di antara kelompok yang berkonflik.
14
Secara garis besar ada dua pendekatan dalam penyelesaian konflik yaitu (1) pendekatan Marxis yang menghendaki penyelesaian dengan cara revolusi, juga dapat berupa gerakan penentangan, dan (2) pendekatan fungsionalisme yang bersifat persuasif dan lebih mementingkan peran mediator yang berfungsi sebagi penengah di antara kedua belah pihak yang berkonflik. Adam Curle (dalam Miall et.al, 2002: 81-82) mengidentifikasi empat unsur dalam proses mediasi yaitu: (1) mediator membangun dan meningkatkan komunikasi, (2) menyediakan informasi untuk dan antara pihak-pihak yang berkonflik, (3) menjadi teman pihak-pihak yang berkonflik, dan (4) mendorong pihakpihak yang berkonflik agar aktif dalam negoisasi kerja sama. Bentuk penyelesaian konflik, termasuk konflik antarumat beragama, beragam yaitu (a) integrasi atau kolaborasi, (b) kompromi, (c) dominasi atau kompetisi, (d) akomodasi (obliging), (e) menghindar (avoiding) (Rahim dalam Gudykunst, Yun Kim, 1997: 282). ’Integrasi’ atau ’kolaborasi’
merupakan bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan
secara bersama-sama di antara pihak yang berkonflik dengan
pendekatan menang-
menang
pihak
(win-win
approach).
Kepentingan
kedua
belah
diperhatikan,
ketidaksesuaian dibahas secara dirinci. Model ini sangat berguna ketika kepentingan kedua belah pihak sama-sama penting dan sulit dikompromikan. Dalam bentuk ’kompromi’, pihak-pihak yang berkonflik bersepakat
untuk berbagi sumber
yang
terbatas, kedua belah pihak setuju damai, namun persetujuan itu bukan pilihan pertama tiap pihak. Dalam bentuk ’kompetisi’ cenderung bersifat menang-kalah, pihak yang kuat akan menang dan mendominasi. Model ini berguna terutama dalam situasi keterbatasan sumber daya yang tersedia, juga ketika masa kritis yang menghendaki keputusan cepat harus diambil. Dalam bentuk ’akomodasi’ satu pihak berlapang dada menampung kebutuhan pihak lain dan mengorbankan
kepentingannya sendiri, sedangkan bentuk
’menghindari’ (avoiding) berarti salah satu dan atau kedua belah pihak menghindar dari situasi konflik. Dilihat dari aspek tujuan kepentingan konflik, bentuk-bentuk penyelesaian konflik tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu: (1) Kolaborasi dan kompromi masuk kategori penyelesaian konflik yang banyak digunakan oleh budaya individualistik, (2) akomodasi dan menghindar masuk kategori penyelesaian konflik yang bersifat kolektivistik, (3) sedangkan bentuk kompetisi masuk kategori penyelesaian yang dapat bersifat individualistik dan kolektivistik.
15
3. Budaya Lokal Kata budaya lokal atau kebudayaan lokal sering mengandung banyak tafsir, seiring dengan terjadinya perbedaan mengenai batasan ’kebudayaan’ itu sendiri. C. Kluckhohn dan A.L Kroeber (1952) memaknai kebudayaan sebagai seperangkat pola perilaku dan bertingkah laku secara eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang membentuk manifestasinya dalam
sesuatu yang khas dari kelompok manusia, termasuk
benda-benda materi.
Berdasarkan
pengertian tersebut maka
Koentjarangingrat (1984) mengemukakan tripatri dari kebudayaan yaitu perangkat ide atau nilai-nilai, perangkat aktivitas atau perilaku, dan hasil aktivitas.
Jika dikaitkan
dengan kebudayaan lokal berarti setiap ide (nilai-nilai, norma-norma, gagasan), aktivitas, dan hasil aktivitas dari kelompok manusia di suatu tempat atau daerah. Perangkat nilainilai atau sistem nilai dari suatu kelompok masyarakat lokal tidak dapat diketahui karena ia berada dan berupa peta kognitif pendukung kebudayaan. Ia hanya dapat diketahui dalam wujud pepatah atau ugeran atau bentuk aktivitas manusia atau hasil dari aktivitas dalam benda-benda budaya.
Nilai-nilai lokal ini atau disebut juga dengan kearifan lokal
terdapat di setiap suku yang ada di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan hidup rukun antarmanusia atau antarkelompok. Misalnya di
Maluku
sebagai nilai lokal yang mengajarkan agar masyarakat
ada ‘pela gandong’
hidup berdampingan dan
bertoleransi antaragama dan suku. Dalam kaitannya ini nilai-nilai budaya lokal tidak hanya berarti berorientasi
kepada nilai-nilai warisan nenek moyang masa lalu yang
cenderung dianggap ‘kuno’, tapi juga dapat berupa nilai-nilai yang sedang tumbuh di tengah kehidupan masyarakat saat ini. Yang terpenting nilai-nilai itu dijadikan rujukan dan kesepakatan bersama dari anggota masyarakat setempat. Adapun perangkat aktivitas manusia muncul sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Upaya pemenuhan tersebut yang kemudian melahirkan berbagai pranata. Di antaranya pranata keluarga dan kekerabatan, kebutuhan berkelompok ini juga melahirkan organisasi dalam kehidupan masyarakat. Kelompok dapat berupa satuan manusia akibat terjadinya perkawinan yang disebut juga dengan organisasi primer seperti keluarga dan kekerabatan. Selain itu ada kelompok organisasi yang dibuat atau biasa disebut dengan organisasi sekunder atau formal seperti RT/RW, desa, dusun, arisan, dan organsiasi bentukan lainnya. Di antara kedua bentuk kelompok tersebut
ada kelompok yang
didasarkan atas kekerabatan tapi dibuat saecara resmi seperti trah. Dalam setiap kelompok atau organisasi, baik primer maupun sekunder, melahirkan sistem kepemimpinan. Setiap
16
organisasi ada orang yang dijadikan panutan dan anggota. Di setiap
budaya hal ini
berbeda-beda. Begitu juga
upaya pemenuhan kebutuhan spiritual-emosional, baik
dalam
hubungannya dengan sesuatu yang dianggap transenden atau bukan, melahirkan berbagai upacara. Dari segi kepentingannya upacara atau ritus dapat dibagi ke dalam 2 tipe yaitu upacara yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kepentingan kelompok atau umum, misalnya untuk menjaga kelompok dari bencana,
upacara
yang berkaitan dengan
kesuburan tanah dan panen. Tipe upacara yang lain yaitu upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia
atau disebut dengan upacara
lingkaran hidup seperti
kehamilan, kelahiran, pubertas, perkawinan, dan kematian. Di antara upacara tersebut dalam suatu budaya dapat menjadi pemersatu antarkelompok seperti slametan, sambatan, sinoman, tahlilan, dibaan, bersih desa. Fungsi Budaya Lokal: Setiap budaya lokal mempunyai fungsi, setidaknya ada 4 fungsi (Suyanto, dalam Kompas 26 Desember 2001) yaitu sebagai: wadah cross-cutting, acuan moral bersama, kontrol sosial, dan sebagai garansi dan asuransi sosial. Pertama, budaya lokal sebagai wadah titik temu anggota masyarakat dari berbagai latar belakang seperti status social, suku, agama, ideologi, dan politik. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai upacara slametan yang terus berkembang di tengah deru modernisasi. Kedua, budaya lokal seperti lembaga adat, tradisi dapat juga berfungsi sebagai norma-norma sosial
yang memiliki pengaruh signifikan
dalam mengatur
sikap dan perilaku
masyarakat. Ketiga, budaya ini juga memiliki fungsi sebagai pengontrol sosial dari setiap anggota masyarakat . Misalnya tradisi bersih desa bukan sekedar sebagai kegiatan yang bersifat gotong royong dan lingkungan tetapi juga memiliki makna bersih dosa setiap anggota masyarakat. Keempat, budaya dapat berfungsi sebagai penjamin anggota pendukung budaya, sinoman dan sambatan misalnya memiliki nilai sosial-ekonomis bagi anggotanya. C. Metode Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus, dan dalam batas-batas tertentu juga menggunakan pendekatan kuantitatif, khususnya dalam penentuan subyek penelitian (responden), dan penggunaan teknik pengumpul data, misalnya selain menggunakan teknik baku pendekatan kualitatif (wawancara mendalam
17
dan observasi), juga menggunakan angket yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif (survei), termasuk juga dalam teknis analisis data statistik. Sebagaimana layaknya studi kasus, fokus kajian yaitu konflik antarumat beragama dijadikan sebagai bounded system yang berdiri sendiri sekaligus merupakan bagian dari yang lain (Abdullah, 2003: 23). Untuk itu model berpikir dalam penganalisaan digunakan model holistik maksudnya penelitian yang berusaha mencari uraian menyeluruh mengenai gejala-gejala yang berkaitan dengan konflik antarumat beragama. Setiap gejala, kasus atau konsep diperlakukan sebagai aspe-aspek yang satu dengan yang lain saling terkait. Adapun tipenya berupa studi kasus instrinsik, namun tidak menutup penggunaan tipe studi kasus instrumental karena bertujuan untuk menghasilkan temuan tentang model pengendalian dan penyelesaian konflik. Kajian ini didasarkan hasil penelitian di lokasi dengan kriteria: (1) kabupaten /kota yang pernah terjadi kasus konflik antarumat beragama dalam pranata sosial yang berbeda (pendidikan, sosial, penyiaran agama, politik); (2) Konflik antarumat beragama berada dalam masyarakat dengan suku yang berbeda. Hal ini dengan asumsi bahwa suku dari subyek yang berkonflik berbeda, dan/atau adanya nilai-nilai kesukuan yang berpengaruh dalam pengendalian dan penyelesaian konflik. Berdasarkan kriteria tersebut, maka lokasi daerahnya ditetapkan sebagai berikut: Propinsi Jawa Barat
dengan latar belakang
masyarakat Sunda yaitu Kabupaten Tasikmalaya (Islam dan Kristiani), Propinsi Jawa Tengah dan DIY dengan latar belakang masyarakat Jawa yaitu Kota Surakarta (IslamProtestan), dan Kabupaten Kulonprogo (Islam dan Protestan); Propinsi Jawa Timur dengan latar masyarakat Jawa-Madura yaitu Pasuruan (Islam dan Kristiani); dan Mataram (Islam dan Kristiani). Karakteristik persebaran konflik di kelima daerah tersebut agak berbeda yaitu: (1) lokasi konflik yang tersebar hampir di seluruh kota seperti di Mataram dan Surakarta; (2) konflik terjadi di sebuah lokasi terbatas seperti di Tasikmalaya dan Pasuruan; (3) konflik yang menyebar se-propinsi tapi yang diambil
di lokasi yang
intensitas konfliknya tinggi seperti di Kulonprogo Sesuai dengan kebutuhan data yang akan diperoleh pada setiap tahapan kegiatan, dan karena penelitian ini memadukan dua pendekatan yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif, maka
subyek penelitian ini dibagi ke dalam dua jenis yaitu informan dan
responden. Penentuan informan digunakan teknik purposive atau seleksi yang didasarkan atas kriteria tertentu (criterian-based selection). Dalam hal ini meliputi: Pejabat Depag kabupaten/kota, dan Kesbanglinmas
yang memahami seluk-beluk
tentang konflik
18
antarumat beragama yang pernah terjadi di daerahnya. Pimpinan Wadah Musyawarah AntarUmat Beragama yang memahami seluk-beluk tentang konflik antarumat beragama yang pernah terjadi. Individu dari umat beragama yang pernah terlibat konflik. Tokoh masyarakat di luar kelompok umat beragama yang berkonflik yang memahami selukbeluk
tentang konflik, antarumat beragama yang pernah terjadi di daerahnya.
Perkembangan pemilihan informan berikutnya digunakan teknik snowball. Responden di setiap daerah dalam penelitian ini adalah anggota kelompok umat beragama yang pernah terlibat konflik di lima kota/kabupaten. Penentuan responden digunakan random sampling. Artinya anggota kelompok tiap umat beragama
teknik quota yang dijadikan
responden sudah ditentukan jumlahnya, dan disesuaikan dengan banyak sedikitnya jumlah anggota kelompok dari tiap umat beragama yang pernah berkonflik. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, angket, dan documenter. Wawancara mendalam berfungsi dalam dua hal yaitu (1) wawancara mendalam mandiri, misalnya tentang proses konflik; dan pandangan pejabat pembina kerukunan, wadah musyawarah antarumat beragama, dan tokoh masyarakat
tentang
konflik antarumat beragama di daerahnya, (2) sebagai pelengkap atau tindak-lanjut dari observasi, dan atau angket. Observasi dilakukan antara lain untuk mengetahui peta persebaran lokasi konflik, potensi konflik lanjutan Jenis observasi digunakan antara observasi biasa dan observasi partisipan-pasif. Angket digunakan khusus untuk mengungkap data tentang potensi konflik, khususnya yang berasal dari level budaya yaitu persepsi dan jarak sosial antar umat beragama yang diperoleh dari responden (pimpinan dan anggota kelompok umat beragama yang berkonflik). Sebagaimana disebutkan di atas dari keseluruhan lokasi hanya di Mataram yang tidak dapat terlaksana. Adapun dokumenter untuk memperoleh data histories yaitu data monografi di kecamatan dan di Badan Pusat Statistik maupun data persoalan konflik. Teknik pengumpul data tersebut didukung oleh instrumen. Pada hakikatnya peneliti sendiri merupakan instrumen terpenting, sebab seperti halnya prinsip yang berlaku dalam penelitian kualitatif, sebaik apapun rancangan penelitian dan teknik pengumpul data tanpa didukung oleh peneliti yang baik, maka teknik dan rancangan tersebut tidak akan memiliki makna. Selain itu ditambah dengan instrumen penunjang seperti alat rekam, catatan saku, dan catatan lapangan (fieldnote). Analisis data dilakukan dalam dua tahap yaitu analisis ketika di lapangan dan analisis setelah penelitian di lapangan. Pertama, analisis
ketika di lapangan setelah
19
melalui pengolahan data akan dianalisis secara induksi-analistik. Tujuannya untuk menemukan simpul-simpul sementara. Kemudian dikembangkan pertanyaan
atau
hipotesis baru, lalu mengadakan penelitian lagi untuk memperoleh jawaban dan perluasan data dan seterusnya sampai ‘jenuh’ (teknik triangulasi). Kedua, analisis setelah di lapangan dilakukan dengan menggunakan analisis isi (content analysis), dan analisis perbandingan tetap (constant comparative analysis) dan bersifat holistik. Kedua jenis analisis tersebut diterapkan secara berurutan, mulai dari mengkategori dan menemukan konsep atau budaya lokal yang terkait dengan tujuan penelitian,
kemudian
menghubungkan antar konsep atau kategori, sehingga ditemukan karakterisitk konflik dan model pengendalian dan penyelesaian konflik berbasis budaya lokal secara utuh. Data yang terkumpul dipilah ke dalam data kualitatif dan data kuantitatif. Khusus kuantitatif
dianalisis
data
dengan menggunakan statistik sederhana berupa distribusi
frequensi-persentatif. Penafsiran data digunakan teknik interpterasi teoritis (theoritical interpretations). Artinya peneliti tidak membatasi satu teori dalam memahami data, namun menggunakan beberapa teori sebagai pembanding. Karena itu teori dalam hal ini bukan untuk menjelaskan dan menilai seluruh data, namun sekedar pembanding dan berfungsi sebagai pengarah analisis. Untuk itu data yang ada didialogkan dengan teori. Sistematika pembahasan dalam buku ini akan dilakukan dengan teknik multi-case yaitu mengemukakan kasus-kasus yang terjadi di lima daerah penelitian. Setiap kasus dikemukakan gambaran umum dan profil konflik dan budaya masing-masing daerah dengan semua subbahasannya.
20
21
BAB II KULONPROGO: DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PENDIDIKAN A. Geografis, Penduduk dan Setting Sosial Kulonprogo merupakan salah satu kabupaten dari tiga kabupaten dan satu kota yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun bukan menjadi pusat ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, namun Kulonrpogo pernah mempunyai makna penting dalam perkembangan Kesultanan Mataram Yogyakarta. Wilayah ini menjadi kekuasaan Pakualaman, dan karenanya sampai sekarang makam para keluarga Pakualaman diletakkan di daerah ini, sedangkan makam keluarga
Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta di Imogiri Bantul. Wilayah yang dikenal sebagai bukit Menoreh ini selain memiliki pantai di belahan selatan juga memiliki perbukitan di belahan utara. Wilayah yang ada di belahan utara antara lain Samigaluh, sebuah kecamatan yang berbatasan langsung dengan daerah Purworejo Jawa Tengah bagian utara-timur, dan memiliki enam desa di antaranya Desa Pagerharjo. Sebagai daerah rural, Samigaluh masih memiliki lahan pertanian yang luas. Karena itu kabanyakan penduduknya masih bergantung kepada sektor pertanian (46,46%) dan peternakan (38,20%). Selebihnya bekerja sebagai PNS/TNI (4,90%), sebagai buruh (4,14%), padagang dan pengusaha. Jumlah penduduk pada tahun 2004 menurut Monografi Kecamatan berjumlah 30.740 jiwa, laki-laki (50,52%) sedikit lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuannya (49,48%), dan semuanya terdiri dari dari warga negara Indonesia. Sebagian besar penduduk beragama Islam (77,06%), sedangkan umat Kristiani cukup banyak juga yaitu 22,93%, dengan rincian Protestan sebesar 11,48% dan Katolik mencapai 11,46%. Hampir 14% umat Kristiani tersebut terdapat di Desa Pagerharjo. Umat Hindu hanya ada 0,01%. Jumlah tempat ibadah masing-masing agama sudah sangat memadai. Masjid (105 unit) jika dibandingkan dengan jumlah umat Islam, ratarata menampung 225 orang/masjid. Sementara untuk gereja Kristiani (22 unit) rata-rata menampung 319 orang/gereja. Gereja Kristen ( 8 unit) rata-rtaa menampung 440 orang/gereja, dan gereja serta kapel Katolik (14 unit) rata-rata menampung 251 orang/gereja. Kebanyakan penduduk mengenyam pendidikan SD/sederajat (39,02%), sementara yang mengenyam SLTP/sederajat sebesar 17,55% dan SLTA/sederajat
21
sebesar 11,81%. Yang mengenyam
pendidikan tinggi sebesar
3,65%. Di antara
penduduk masih ada yang buta huruf, dan tidak tamat SD sebesar 11,24%., dan yang belum sekolah mencapai 16,73%. Lembaga pendidikan sekolah yang ada mulai dari TK sampai SLTA. Dari sekitar 35 SD/sederajat 7 di antaranya Islam, dan 2 SD miliki Katolik dan Protestan. Di tingkat SLTP/sederajat ada 5 unit, 2 di antaranya swasta Islam dan 1 Katolik. Untuk SLTA/sederajat hanya ada negeri 2 unit dan 1 SMK Bopkri (Protestan). Dari 2 unit SLTANegeri tersebut jenisnya SMA dan 1 SMK jarak jauh yang merupakan dampak dari konflik yang berkembang antara muslim dan Kristen.
B. Karakteristik Potensi Konflik Kasus konflik yang dijadikan fokus di Kabupaten Kulonprogo adalah konflik yang bersumber dari pranata pendidikan. Kasus konflik di daerah ini merupakan bagian dari konflik antarumat beragama, khususnya antara umat Islam dan Kristiani (Katolik dan Protestan) yang terjadi di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta
(selanjutnya disingkat ‘Propinsi DIY’). Dari empat kabupaten dan satu kota yang ada di propinsi ini terjadi konflik antarumat Islam dan Kristiani dengan intensitas yang beragam.
Kabupaten Kulonrpogo, khususnya di
Desa Pagerharjo Kecamatan
Samigaluh termasuk daerah yang tingkatan konfliknya relative tinggi. Konflik fokus dalam penelitian ini adalah konflik yang bersumber dari pranata pendidikan formal yaitu akibat munculnya Surat Keputusan Bersama Departemen Pendidikan
Menteri
dan Kebudayaan dengan Menteri Agama, biasa disebut
dengan ‘SKB 2 Menteri’.1 Pada intinya SKB ini berisi ‘siswa mempunyai hak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Dengan demikian konflik fokus dalam kasus ini berkisar dari tahun 2000 sampai 2001. Pembatasan waktu ini penting dilakukan untuk menjelaskan konfigurasi
potensi
konflik, baik prakonflik maupun pascakonflik fokus. 1
Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama Nomor 4/U/SKB/1999, Nomor 570 Tahun 1999 tentang 'Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan Pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikman Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya dikenal dengan dengan SKB 2 Menteri. Adapun yang disebut SKB 3 Menteri ialah Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Nomor 2/U/SKB/2001, Nomor 81 Tahun 2001, Nomor 423.7-011 tentang 'Penyelenggaraan Evaluasi Belajar Tahap Aakhir dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2000/2001.
22
Potensi Konflik Prakonflik: Jauh sebelum konflik yang bersumber dari pranata pendidikan
tersebut (selanjutny disebut konflik pendidikan) sebenarnya sudah ada
benih-benih konflik yang sangat potensial memicu konflik fokus. Potensi-potensi konflik tersebut antara lain: 1. Persepsi atau prasangka antarumat beragama Potensi konflik
prakonflik
fokus sudah berkembang di kalangan umat
beragama, terutama di kalangan umat Islam. Secara umum prasangka itu berkisar pada apa yang biasa disebut oleh umat Islam sebagai ‘proses kristenisasi’ dalam semua lini, khususnya di bidang pendidikan formal. Umat Islam melihat kristenisasi sudah berlangsung lama, di antaranya melalui berbagai kegiatan yang dilakukan umat Kristiani., misalnya misi Kristiani memberikan kebutuhan sehari-hari kepada umat Islam yang lemah secara ekonomi dan
keislamannya.
Prasangka kelompok
(stereortip) seperti ini terlihat juga dari hasil angket. Ketika ditanyakan kepada umat Islam apa yang menjadi ciri khas umat Kristani, sebagian besar (62,5%) jawaban responden muslim menyatakan bahwa umat Kristen
sebagai missionaris, suka
membagi materi kepada orang Islam untuk kepentingan membujuk
agar masuk
Kristen. Yang lain (25%) menyatakan umat Kristen fanatik dalam arti
terlalu
mementingkan agamanya sendiri, sehingga kurang bertoleransi, dan sekitar 12,5% menyatakan umat Krsietn tidak taat. Sementara dari kalangan
responden Kristiani kebanyakan (35,71%)
menyatakan umat Islam sebagai orang yang terlalu fanatik, sehingga tidak toleran terhadap umat
Kristen. Selebihnya menyatakan
umat Islam hanya mau
benarnya/menangnya sendiri dan mudah tersinggung atau curiga (28,57%), dan tidak taat (28,57%), sebagian kecil (7,14%) menyatakan umat Islam suka membagi materi kepada umat Kristiani. Adapun persepsi sosial dan jarak sosial antara muslim dan umat Kristiani dapat dilihat dari yang terdapat Persepsi sosial
pada responden dari kedua kelompok tersebut.
responden muslim kepada orang Kristiani
walaupun mayoritas
bersifat netral (80%), namun masih banyak yang bersifat negatif (20%). Jarak sosial muslim terhadap orang Kristiani menunjukkan 80% jarak sosial yang sedang, dan 20% jarak sosial tinggi (negatif). Dengan demikian jika variabel persepsi dan jarak sosial digabung dapat disimpulkan bahwa religiosentrisme muslim terhadap orang Kristiani mayoritas (80%) termasuk kategori cukup tinggi, dan cukup banyak (20%)
23
yang negatif. Sementara persepsi orang Kristiani kepada muslim antara yang bersifat netral dan positif sama-sama banyaknya (masing-masing 40%), sedangkan yang bersifat negatif sama dengan yang terdapat pada responden muslim yaitu 20%. Jarak sosial umat Kristiani terhadap muslim sebagian besar (60%) termasuk cukup, sedangkan yang lainya masing-masing 20% termasuk kategori positif dan negatif. Dengan demikian religiosentrisme umat Kristiani terhadap muslim adalah separuhnya (50%) termasuk cukup positif, 30% bersifat positif, dan 20% bersifat negatif. Prasangka dari kedua komunitas agama tersebut, nampaknya didasarkan atas pengalaman di lapangan atau sesuai dengan kenyataan (persepsi-obyektif), bukan sekedar
sesuatu yang ada di pikiran mereka (persepsi-subyektif). Sumber potensi
konflik yang berasal dari umat Kritsiani lebih banyak karena penyiaran agama, sedangkan
yang berasal dari umat Islam lebih banyak dari sikap dan pergaulan
sehari-hari. Prasangka dari masing-masing kelompok agama tersebut kemudian menjadi pemicu
munculnya konflik
pendidikan formal, ketika muncul SKB 2
Menteri. Di satu pihak umat Islam menganggap SKB tersebut sebagai keputusan yang tepat karena sekolah Kristiani selama ini memang telah menjadi lembaga Kristenisasi, sedangkan dari pihak Kristiani menganggap SKB tersebut sebagai bagian dari proses islamisasi. 2. Penggunaan simbol-simbol keagamaan Di Kulonprogo, khususnya di Kristiani
Samigaluh,
sering menggunakan ‘simbol-simbol’
umat Islam menyatakan umat
keislaman
sebagai sarana
misi
kepada umat Islam seperti penggunaan tahlilan untuk upacara keagamaan Kristiani, dan shalawatan yang diadopsi oleh umat Kristiani untuk kepentingan
missi yaitu
sebagai salah satu cara mendekati umat Islam.
Potensi Konflik Pascakonflik: Dalam kasus Kulonprogo istilah pascakonflik tidak begitu tepat karena konflik yang ada sebenarnya masih terus berlangsung sampai sekarang, hanya memang mengalami peredaan . Karena itu dapat dikatakan konflik yang ada reda (sementara) secara alamiah tersebut menjadi potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali, baik karena faktor yang
sejenis maupun
karena faktor pemicu yang lain. Dengan demikian potensi ini terus berkembang karena beberapa hal: Pertama, religiosentrisme
24
Ketika ditanyakan kepada
umat Islam apa yang menjadi ciri khas umat
Kristani, sebagian besar (62,5%) jawaban responden muslim menyatakan bahwa umat Kristen
sebagai misionaris, suka
kepentingan membujuk
membagi materi kepada orang Islam untuk
agar masuk Kristen. Yang lain (25%) menyatakan umat
Kristiani fanatik dalam arti terlalu mementingkan agamanya sendiri, sehingga kurang bertoleransi, dan sekitar 12,5% menyatakan umat Kristen tidak taat. Sementara dari kalangan responden Kristiani kebanyakan (35,71%) menyatakan umat Islam sebagai orang yang terlalu fanatik, sehingga tidak toleran terhadap umat Kristen. Selebihnya menyatakan
umat Islam hanya mau benarnya/menangnya sendiri dan mudah
tersinggung atau curiga (28,57%), dan tidak taat (28,57%), sebagian kecil (7,14%) menyatakan umat Islam suka membagi materi kepada umat Kristiani. Adapun persepsi sosial dan jarak sosial antara muslim dan umat Kristiani dapat dilihat pada jawaban responden dari kedua kelompok tersebut. Persepsi sosial responden muslim kepada umat Kristiani walaupun mayoritas bersifat netral (80%), namun masih banyak yang bersifat negatif (20%). Jarak sosial muslim terhadap orang Kristiani menunjukkan 80% jarak sosial yang sedang, dan 20% jarak sosial tinggi (negatif). Dengan demikian jika variabel persepsi dan jarak sosial digabung dapat disimpulkan bahwa religiosentrisme muslim terhadap orang Kristiani mayoritas (80%) termasuk kategori cukup tinggi, dan cukup banyak (20%) yang negatif. Sementara persepsi orang Kristiani kepada muslim antara yang bersifat netral dan positif samasama banyaknya (masing-masing 40%), sedangkan yang bersifat negatif sama dengan yang terdapat pada responden muslim yaitu 20%. Jarak sosial umat Kristiani terhadap muslim sebagian besar (60%) termasuk cukup, sedangkan yang lainya masing-masing 20% termasuk kategori positif dan negatif. Dengan demikian religiosentrisme umat Kristiani terhadap muslim adalah separuhnya (50%) termasuk cukup positif, 30% bersifat positif, dan 20% bersifat negatif. Kedua, sikap pihak terlibat. Hal ini dapat dilihat pada bersikukuhnya lembaga pendidikan dan sekolah Kristiani untuk menolak pemberian pendidikan agama Islam kepada siswa muslim serta ketidaksetujuan sebagian kelompok masyarakat atas keluarnya (atau pengeluaran) siswa/i muslim dari sebuah sekolah Kristen, dan ketidakpuasan atau penolakan terhadap Surat Keputusan Bupati
tentang pendirian
SMKN 1 Samigaluh oleh aparat desa. Di sisi lain pemerintah desa sendiri oleh
25
kelompok umat Islam pendukung SKB 2 dan 3 Menteri dianggap tidak bersikap netral dalam proses konflik yang berlangsung. Ketiga, penyiaran agama Kristen yang dianggap sebagai bagian dari Kristenisasi oleh muslim. Seorang informan muslim, Bsk, 50 tahun, upaya tersebut antara lain
penggunaan istilah ‘shalawatan’ sebagai kegiatan
keruhanian Kristen. Juga aktivitas Kristen di desa-desa Samigaluh
menyatakan
yang masuk Kecamatan
seperti selebaran berbahasa Arab yang berisi ayat-ayat Injil yang
disebarkan kepada keluarga muslim. C. Konfigurasi Konflik 1. Surat Keputusan Bersama 2 Menteri sebagai Sumber Konflik Latar Belakang: Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang berkaitan dengan kerukunan hidup antar umat beragama di DIY sebenarnya telah muncul setahun sebelum SKB 2 menteri yang ditetapkan tanggal 8 Oktober 1999 maupun SKB 3 Menteri yang ditetapkan pada tanggal 21 Maret 2001. Pada waktu itu telah lahir Surat Edaran Bersama Kepala Kanwil Depdiknas dan Kepala Kanwil Depag, tanggal 15 Juni 1998 yang berisi ‘Pedoman Pendidikan Agama Pada Sekolah Swasta yang Berciri Khas Agama di DIY.’ Landasan hukum yang melatarbelakangi lahirnya SKB adalah UUD 1945, pasal 29, ayat 2 yang isinya: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk
agamanya
masing-masing
dan
beribadat
menurut
agama
dan
kepercayaannya itu. Alasan yuridis formal lainnya adalah dengan mengacu pada kata pertama dari
tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang Undang
Sistem Pendidikan Nasional 1998 yakni demi meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa. Tujuan tersebut jelas tak dapat terlaksana jika siswa tidak dapat memperdalam dan menerima pendidikan agama sesuai dengan agamanya, hal ini terutama siswa yang ada di sekolah swasta yang berciri khas agama. Hal tersebut -- jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional-- menjadi tidak sejalan, sebab undang-undang tersebut menyatakan siswa berhak mendapat pendidikan agama sesuai yang dianutnya. Akan tetapi karena siswa maupun orang tuanya banyak yang belum tahu tentang fungsi dan isi undang-undang tersebut, mereka tidak menyampaikan pendapat atau tuntutannya kepada lembaga penyelenggara pendidikan. Sosialisasi : Langkah-langkah sosialisasi telah dilakukan sejak munculnya SKB 2 Menteri di tahun 1999
oleh Kanwil Departemen Agama bersama dengan
26
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propindi DIY, dengan cara mengundang para kepala sekolah serta ketua yayasan untuk melakukan dialog masalah pelaksanaan SKB. Isu pokoknya bahwa salah satu aspek reformasi bidang hukum dalam sektor pendidikan adalah masalah pendidikan agama, yang menjadi hak siswa untuk mendapatkannya sesuai dengan agama yang dianutnya. Sosialisasi
juga dilakukan kepada
masyarakat. Pihak Kanwil Departemen
Agama DIY telah menyampaikan tentang pelaksanaan SKB 2 Menteri maupun 3 Menteri ini melalui rapat koordinasi bidang penerangan agama untuk menitipkan kepada penyuluh agama agar masyarakat tahu bahwa anak-anak mempunyai kewajiban untuk mengikuti pendidikan agama sesuai yang
dianutnya. Sosialisasi
Kanwil Departemen Agama Kabupaten dilakukan oleh Kakandep, Kepala Bidang sampai ke cabang-cabang maupun ranting. Hal ini juga dilakukan di Kabupaten Kulonprogo. Pada tingkat masyarakat, sosialisasi antara lain dilakukan oleh Forum Ukhuwah Islamiyah DIY yang menyebarkan surat edaran tentang hal ini. Upaya Pelaksanaan: Dalam upaya pelaksanaan SKB tersebut Gubernur Propinsi DIY mengeluarkan Surat Edaran tertanggal 10 Mei 2001 yang intinya berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam pelaksanaan pendidikan kepentingan anak diutamakan, (2) Aqidah/keimanan anak didik oleh pengelola pendidikan/sekolah tetap diperhatikan dan dijamin, (3) Agar melaksanakan SKB 3 Menteri tersebut di atas dengan baik dan sebagaimana mestinya sesuai degan ketentuan pasal 13 khususnya Ebta untuk pelajaran Pendidikan Agama pada sekolah baik negeri maupun swasta dilaksanakan sebagai berikut: (a) EBTA pendidikan agama diberikan sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa yang bersangkutan, dan nilai pendidikan agama yang ditulis dalam rapor adalah nilai pendidikan agama yang dianut oleh siswa yang bersangkutan, (b) Pemberian nilai untuk mata pelajaran pendidikan agama kepada siswa pemeluk suatu agama tertentu yang di sekolahnya tidak dapat diajarkan pendidikan agama bagi siswa yang bersangkutan, dilakukan oleh pembina agama yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah dan diangkat oleh kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat. (c) Dalam hal pembina agama sebagaimana dimaksud dalam butir (b) tidak dapat ditunjuk dan diangkat, penentuan pemberian nilai mata pelajaran pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut siswa yang bersangkutan, pengaturannya diserahkan kepada Kepala Dinas propinsi/Kabupaten/Kota setempat. Untuk itu penanganan harus dilaksanakan kasus demi kasus.
27
Sementara upaya melaksanakan SKB 2 Menteri dan 3 Menteri di Kabupaten Kulon Progo antara lain dilakukan oleh Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Pertama, Depag memberikan surat tugas pada guru pendidikan agama Islam untuk mengajar di sekolah Kristiani. Para guru tersebut diambil dari guru agama Islam yang mengajar di sekolah negeri terdekat dengan sekolah Kristiani. Mereka pun berstatus sebagai pengawas dan korektor pendidikan agama Islam di sekolah swasta yang berciri khusus (tahun 2000/2001). Kedua, Depag menetapkan bahwa kurikulum pendidikan
agama Islam dan buku-buku yang
digunakan untuk mengajar agama Islam di sekolah Kristiani sama dengan kurikulum dan buku yang diberikan pada siswa-siswa yang bersekolah di sekolah negeri. Bersamaan dengan itu Depdikbud Kulon Progo (1) menerima kehadiran 2 orang yang membawa surat tugas (Nomor: 23/BAKTI/2000) untuk melakukan tugas reportase pelaksanaan EBTA pendidikan agama tahun ajaran 1999/2000 di sekolah-sekolah swasta berciri khas keagamaan di wilayah Kulon Progo. (2) pada tanggal 7 Juni 2000 mengirimkan surat ke Diknas DIY yang isinya: ada 6 sekolah yayasan penyelenggara pendidikan Kristiani di Kulon Progo yang tidak melaksanakan EBTA agama sesuai yang dianut siswa yaitu SMK Bopkri Wates, SMU Bopkri Wates, SMK Bopkri Sentolo, SMK Bopkri Samigaluh, SMU Sanjaya Nanggulan dan SMK Marsudi Luhur Wates. Hanya ada satu sekolah/yayasan Kristiani yang melaksanakan yaitu SMK Maranatha Temon. 2. Pandangan dan Alasan Munculnya SKB telah melahirkan konflik di antara umat Islam dan Kristiani, terutama konflik ide berupa pandangan masing-masing pihak. Pertama, pandangan yang berasal dari instansi pemerintah maupun Yayasan Penyelenggara Pendidikan Islam (YPPI) yang menyambut baik terhadap isi atau materi SKB. Menurut mereka, bila dilihat dari isi atau materi SKB sudah memadai, adil dan proporsional sebab di dalam SKB itu telah mengatur agar setiap siswa mendapatkan
haknya dalam memperoleh pendidikan agama sesuai dengan
keyakinannya. Walaupun dari keseluruhan isi maupun materi SKB tersebut dianggap tidak mempunyai daya yang benar-benar bisa dipatuhi oleh sekolah, sebab dalam SKB belum diatur mekanisme sangsi bagi sekolah yang tidak melaksnakan aturan tersebut. Yayasan Penyelenggara Pendidikan Islam sangat setuju dengan beberapa alasan:
28
1) Membantu siswa agar tidak mengalami kekaburan atau kebingungan dalam memahami imannya. Pelajaran agama itu bukan hanya sekedar memberikan pengetahuan agama semata melainkan sebagai proses pendidikan iman siswa. Itu sebabnya pendidikan agama
perlu ditangani oleh guru yang mempunyai
latarbelakang keagamaan yang sama dengan siswanya; 2) Menyadarkan
Yayasan Penyelenggara Pendidikan Kristiani untuk tidak lagi
mewajibkan orang tua membuat surat pernyataan: bersedia membiarkan anaknya mempelajari agama sesuai dengan agama yang dianut sekolah/yayasan 3) Sekarang ini, masyarakat sudah cukup kritis untuk mempersoalkan hal tersebut, maka jika tidak ada keterbukaan dari pihak sekolah/yayasan, kemungkinan peminat yang akan masuk ke sekolah tersebut dapat menjadi berkurang. Dengan adanya perkembangan sekolah-sekolah yang dikelola Muhammadiyah dan kelompok
Islam yang lain, maka sekarang ini masyarakat pun mempunyai
alternatif lain untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang sesuai dengan agama yang ia anut. Kedua, pandangan pengelola Yayasan Penyelenggara Pendidikan Kristiani (YPPK) yang merasa keberatan dengan munculnya SKB 2 dan 3 Menteri tersebut. Mereka melihat kebijakan tersebut lebih bersifat politis, karena pemerintah melihat kekhawatiran dari masyarakat (kalangan Islam) itu dalam konteks Kristenisasi. Yayasan Kristiani mensinyalir adanya kekhawatiran yang berlebihan dari pihak-pihak tertentu bahwa sekolah yang dikelola oleh yayasan Kristiani menjadi ajang penyiaran agama yang dapat mengakibatkan siswa melakukan perpindahan agama. Sikap kontra muncul dari pihak YPP Kristiani dengan alasan: 1) SKB tersebut cacat hukum sebab berlawanan dengan isi Undang-undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut mereka di dalam
undang-undang tersebut tidak ditemukan satu pasal-pun yang memberikan ketentuan tentang keharusan memberikan pendidikan agama tertentu bagi peserta didik di sekolah-sekolah swasta yang berciri khas keagamaan. Perubahan kata hak dalam sistem perundangan di atasnya menjadi wajib dalam SKB 2 Menteri telah memberi implikasi yang sangat besar. Dalam kata
hak mengandung adanya
kebebasan, dapat menolak maupun menerima, tidak ada keharusan, yang bersangkutan dapat menentukan apa yang akan dipilihnya. Adapun kata wajib berarti keharusan yang mengikat untuk dilaksanakan, jadi dengan kata wajib ini
29
kebebasan tidak ada. Mereka menafsirkasn hal ini dari pasal 14 ayat 5 PP 28 th. 1990 maupun Pasal 17 angka 2 PP 29 th. 1990 tentang Pedoman Pendidikan Agama pada sekolah swasta yang berciri khas agama di DIY, yang menyatakan bahwa sekolah swasta yang mempunyai ciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khas sekolah tersebut dan menyerahkan pendidikan agama kepada Pemerintah dan orang-tua masing-masing. 2) SKB 2 Menteri ini tidak sesuai dengan prinsip pendidikan di sekolah tersebut yaitu prinsip kebebasan bagi siswa untuk memilih dan menentukan sendiri, sehingga mendidik anak menjadi dewasa dan bertanggung jawab. 3) Setiap orang tua yang memasukkan anaknya ke sekolah Kristiani sejak awal sudah mengetahui bila anaknya akan mendapatkan pelajaran agama yang berbeda dengan yang dianutnya.
Berarti mereka itu memiliki hak dan kebebasan untuk
menentukan pilihan tersebut. 4) Pendidikan itu pada prinsipnya terbuka untuk umum (terbuka terhadap suku, agama, ras dan golongan apa saja) yang secara akademis bermutu dan memperhatikan pembentukan kepribadian manusia seutuhnya
3. Proses dan Dampak Konflik Pandangan umum dan upaya pelaksanaan SKB tersebut pada tingkat sekolah di Kulonprogo
berlangsung dengan dinamika yang lebih keras. YPPK menolak
memberikan pendidikan Islam terhadap siswa muslim yang bersekolah di sekolah Kristiani, satu di antaranya di sebuah sekolah Kristen di Samigaluh. Penolakan ini mendapat reaksi bukan hanya dari pihak pemerintah, namun juga dari umat Islam. Adapun prosesnya sebagai berikut: Pertama, pada bulan Desember 2000 terjadi demonstrasi siswa/i SMK Bopkri yang beragama Islam di Balai Desa Pagerharjo. Demonstrasi yang dimotori oleh seorang guru muslim di sekolah tersebut pada intinya
mengadukan
tentang
penolakan sekolahnya terhadap SKB 2 Menteri. Pihak aparat desa ketika itu meskipun banyak yang muslim, nampak kurang antusias menanggapi demonstrasi tersebut dengan alasan tidak ada pemberitahuan sebelumnya sehingga merasa dilangkahi atau merasa ‘kecolongan’. Selain itu kegiatan tersebut dianggap menimbulkan keresahan dalam masyarakat karena demonstrasi ini belum pernah terjadi sebelumnya.
30
Kedua, menindaklanjuti demonstrasi tersebut pemerintah desa melakukan pertemuan di
balai desa. Dengan menghadirkan pihak-pihak yang berkonflik, di
antaranya pimpinan sekolah,
pihak pemerintah kabupaten dan kecamatan seperti
Kepala Pendidikan Nasional Kabupaten Kulonprogo, Bakesbanglinmas, dan Camat dan Kepala Penyuluhan Agama Kantor Urusan Agama Samigaluh, guru-guru sekolah yang bersangkutan, Majelis Ulama’ Indonesia Kulonprogo, tokoh agama yang mewakili dari NU, dan Forum Ukhuwah Islamiyah Ketiga, pertemuan yang dimaksudkan untuk berdialog tersebut berlangsung dalam suasana sangat tegang dan panas karena terbuka untuk umum. Sering terdengar hujatan, gebrakan meja, dan bahkan ada pengunjung yang naik ke atas meja. Hardikan dan intimidasi tersebut ditujukan kepada pihak pemerintah kabupan (Diknas) dan KUA kecamatan, MUI Kulonprogo, dan tokoh Islam. Menurut informan saya, masyarakat yang menghujat tersebut adalah orang-orang yang didatangkan oleh pihak sekolah dan (oknum) pemerintah desa dalam rangka menolak upaya pemindahan siswa dari sekolah Kristen ke calon SMK Negeri Samigaluh yang diletakkan di SMP 4 N Samigaluh. Dalam pertemuan tersebut tidak tercapai kesepakatan, masing-masing pihak tetap menegaskan posisinya. Pihak sekolah Kristen tetap menolak memberikan pendidikan agama Islam terhadap siswa muslim, begitu juga pemerintah desa dan sebagian masyarakat menolak pemindahan siswa dan pendirian SMKN Samigaluh. Keempat, Tidak adanya kesepakatan
dan ketidakpuasan
tiap pihak telah
mempertebal ‘in-group’ atau identitas masing-masing. Dari pihak muslim muncul Forum Penyelamat Aspirasi (Forpentas) yang dikoordinir Drs. H. Maryono. Forum ini mengadvokasi siswa dan wali siswa muslim sekolah Kristen, di
antaranya
menyampaikan orasi dan aspirasi kepada Pemda Kulonprogo, Kantor Departemen Pendidikan Nasional kabupaten dan propinsi dengan 2 tuntutan pokok yaitu: (1) supaya pemerintah memberlakukan SKB 2 dan 3 Menteri di sekolah Kristen di Samigaluh, (2) agar siswa muslim yang keluar dari sekolah Kristen tersebut dapat melanjutkan ke SMKN yang dipersiapkan.
Selain itu dua organisasi Islam yaitu
Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK) dan Forum Ukhuwah Islamiyah ikut terlibat dalam proses konflik. Sementara dari pihak Kristiani
menyusun kekuatan dengan terus
mempengaruhi elemen-elemen yang ada di masyarakat setempat seperti perangkat
31
desa/dusun, dan sebagian umat Islam sehingga mereka menolak terhadap pengeluaran siswa dan pendirian SMKN di Samigaluh. Peningkatan in-group masing-masing pihak ini seiring dengan yang terjadi pada level propinsi. Di kalangan pendukung sikap umat YPP Kristiani ada yang membentuk Forum Komunikasi Orang Tua Siswa Sekolah Swasta Kristiani yang diketuai oleh KGPH Hadiwinoto (kakak Sri Sultan Hamengku Buwono X). Forum ini terdiri dari orangtua siswa yang mempunyai agama berbeda dengan agama yang dianut sekolah swasta tempat mereka belajar. Mereka membuat surat pernyataan, bertanggal 2 Juni 2000, yang ditujukan kepada Kakanwil Depdiknas, Kakanwil Depag, Kepala Dinas P&P di Propinsi DIY dengan tembusan kepada Presiden, Menteri Pendidikan, Menteri Agama, Gubernur DIY, Dirjen Dikdasmen Depdiknas di Jakarta, DPRD Tk. I DIY dan DPRD Tk. II Kota/Kabupaten se DIY. Mereka menyatakan keprihatianan dengan adanya informasi bahwa ada kemungkinan putra/putri mereka tidak akan menerima STTB atau bahkan tidak diluluskan karena mereka tidak mengikuti EBTA pendidikan agama sesuai dengan agama yang mereka anut. Dalam surat pernyataan tersebut mereka mengungkapkan bahwa dengan sadar mereka menggunakan hak mereka untuk memilih sekolah swata Kristiani dan menerima pendidikan agama ciri khas sekolah tersebut. Selain itu di lingkungan Kristiani juga terbentuk Forum Komunikasi Yayasan Pengelola Sekolah Kristiani (Katolik dan Protestan). Sementara di kalangan muslim memperkuat barisan melalui Forum Ukhuwah Islamiyah DIY, Majelis Dikdasmenbud Pimpinan Wilayah Muhammadiyah juga ikut mendukung terhadap SKB 2 dan 3 Manteri dengan mengirimkan surat kepada Departamen Pendidikan dan Kebudayaan DIY. Kelima, Suasana tegang antarkelompok dalam masyarakat terutama di Desa Pagerharjo semakin terasa. Antarkelompok yang bertikai saling mengintimidasi dan mempersiapkan segala kemungkinan. Proses konflik mulai bergeser dari konflik ide/wacana ke kemungkinan konflik sosial-fisik. Pihak yang tidak senang dengan pengeluaran siswa dan pendirian SMKN Samigaluh melakukan intimidasi kepada siswa dan walinya, misalnya penyegelan sekolah, pencurian papan dan peralatan sekolah, bahkan pelarangan kepada sopir angkutan umum mengangkut siswa-siswa yang akan berangkat ke SMKN di SMP 4 Samigaluh. Sementara dari pihak muslim melakukan reaksi dan ini melibatkan
32
Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), GPK dengan massa sekitar 2 mobil mencari orangorang yang melakukan
intimidasi terhadap siswa dan walinya. Mengetahui hal
tersebut kelompok yang pertama
mempersiapkan diri untuk melawan. Kedua
kelompok tidak saling bertemu dan tidak terjadi konflik fisik karena kesigapan aparat kepolisian. Keenam, Semenjak terjadinya puncak konflik tersebut, aparat kepolisian terus berjaga-jaga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik fisik, namun di sisi lain kelompok-kelompok yang bertika masih saling waspada, bahkan cenderung terus melakukan intimidasi. Konflik sosial-fisik merada seiring dengan berjalannya waktu, namun konflik ide terus berlangsung walaupun tersubordinasi untuk sementara waktu. Ketujuh, dalam proses konflik tersebut ada beberapa media yang dijadikan sebagai alat pengungkap kepentingan masing-masing, misalnya brosur, pamflet, orasi massa
melalui demonstrasi sebagaimana dilakukan pihak muslim. Sementara di
kalangan Kristiani melakukan isu moral-personal yang ditujukan kepada salah satu guru muslim yang mengajar di SMK Bopkri, dan penggalangan kekuatan yang ada dalam masyarakat seperti
di kalangan ojek, petani, masyarakat di kampung dan
pemerintah desa. Bahkan media massa seperti
surat kabar dan telivisi
juga
memberitakannya dan sekaligus menjadi ajang penciptaan opini publik dari kedua belah pihak. Kedelapan, sejak kasus tersebut kini telah berdiri SMK Negeri Samigaluh (Vilial) yang sementara bertempat di SMPN 4 Samigaluh berdasarkan SK Bupati no 218 tahun
2003. Sampai tahun 2005 ini, SMK Bopkri Samigaluh mengalami
penurunan siswa yaitu dari 224 orang sebelum konflik terjadi dan sekarang tinggal 122 orang, sebagian besar siswa muslim. Bahkan tahun 2004 SMK Bopkri (Yayasan dan sekolah) memberi pendidikan agama Islam kepada siswa muslim, dan siswanya diperbolehkan berkerudung, tapi guru dipilih oleh yayasan. Pemberian pendidikan agama Islam ini dilakukan di luar jam sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa konflik yang terjadi telah berdampak terhadap tindakan akomodatif yaitu melunaknya sikap dan kebijakan dari YPKK dan pimpinan sekolah. Di sisi lain di kalangan orang tua muslim mulai ada kesadaran baru akan makna pentingnya pendidikan agama bagi anaka-anaknya, setidaknya dapat dilihat dari kehati-hatian orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah Kristiani.
33
4. Profil dan Anatomi Kelompok dan Subyek Terlibat Dari uraian mengenai proses konflik memperlihatkan bahwa secara umum lonflik yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk di Kulon Progo merupakan konflik antara umat Islam dan pemerintah dengan umat Kristiani, baik dari Katholik maupun Protestan. Walaupu begitu jika dicermati pada profil kelompok dan subyek yang terlibat konflik, baik pada level ide/wacana maupun pada level sosial dan fisik, perlu hati-hati. Di lapangan menunjukkan bahwa konflik itu ternyata sangat tumpang-tindih. Sebab terlihat bukan hanya konflik antarumat Islam dan Kristiani tapi juga kelompok umat Kristiani dan pendukungnya. Bahkan antara pemerintah tingkat desa dan pedusunan dengan aparat pemerintah tingkat kabupaten. Ada beberapa kelompok dan subyek yang terkait dengan konflik yang bersumber dari pendidikan agama di sekolah ini. Pertama, dari pihak umat Islam dan pendukung SKB 2 dan 3
Menteri.
Kelompok yang terlibat adalah FUI DIY, MUI Kulon Progo, Forum Penyelamat Aspirasi (Forpentas), Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), siswa dan wali /orang tua siswa muslim SMK Bopkri. Khusus pihak yang tersebut ketiga dan keempat, orangorangnya kebanyaka sama yaitu terdiri dari kalangan Gerakan Pemuda Ka’bah Kulon Progo. Selain itu ada orang-orang yang direpresentasikan dari kalangan NU seperti KH Mah. dan Drs. Mar, walaupun dalam proses dialog tokoh yang tersebut pertama lebih diterima daripada yang tersebut kemudian.
Oleh pemerintah desa dan kelompok
Kristiani. Muhammadiyah, walapun secara kelembagaan seolah-olah tidak ikut terlibat konflik di Samigaluh, sedangkan di tingkat propinsi sangat aktif, bukan berarti tidak terlibat. Orang-orang Muhammadiyah cukup aktif dalam proses ini, dan hal ini dapat direpresentasikan dari pimpinan Depdiknas ketika itu Majelis Ulama Indonesia sebenarnya memiliki posisi sebagai mediator dalam konflik-konflik antarumat beragama. Wadah keagamaan Islam yang dibentuk pada masa Orde Baru ini
biasanya berkomunikasi dengan wadah umat beragama lain
seperti DGI, dan PGI. Dalam kasus ini forum komunikasi antarwadah umat beragama tersebut tidak jelas lagi posisi dan perannya. Dalam proses konflik ini MUI justru berposisi berhadapan dengan kelompok Kristiani dan pendukungnya. Kedua, sementara dari pihak Kristen dan pendukungnya meliputi (1) Pimpinan Yayasan Penyelengaran Pendidikan Kristiani, (2) Pimpinan Yayasan Penyelenggara Pendidikan Bopkri dan (3) pimpinan SMK Bopkri Samigaluh. Pihak lain yang terlibat
34
konflik yang memposisikan diri sebagai pendukung kelompok Kristiani atau setidaktidaknya berposisi berhadapan dengan kelompok Islam pendukung SKB 2 dan 3 Manteri adalah (4) beberapa aparat desa/pedusunan yang beragama Kristen dan Islam, serta beberapa umat Islam yang tergabung dalam persatuan ojek yang dikoordinir oleh oknum aparat desa. Khusus kelompok yang dapat dinamakan dengan pendukung pihak Kristen ini sebenarnya keterlibatannya lebih fokus pada penolakan keluarga siswa/i muslim dari SMK Bopkri dan pendirian SMKN di Samigaluh. Hal ini terjadi karena adanya pergeseran issu dari penolakan YPPK Kristen dalam memberikan pendidikan agama Islam terhadap siswa muslim kepada kedua issu tersebut tersebut. Penolakan ini terutama karena pemerintah desa merasa dilangkahi oleh kelompok Islam dan pemerintah Kabupaten Kulonprogo, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mengeluhkan siswa/i muslim dan memindahkannya ke SMKN yang akan dibuka tanpa ijin dari kelurahan selaku penanggung jawab di desa. Terjadinya pergeseran issu tersebut
tentu menguntungkan bagi kelompok
Kristen, sebab mereka memperoleh dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung dari individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat Islam. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam proses konflik tersebut pihak Kristen lebih ’lihai’ memainkan peran, di antaranya karena pengaruhnya di aparat desa, selain karena tokoh-tokoh mereka yang memiliki pengaruh di masyarakatnya, misalnya ada yang jadi anggota DPRD Kulonprogo, dan guru.
D. Upaya Pengendalian Konflik Tidak dapat dipungkiri bahwa, sebagaimana masyarakat di kabupaten lain di Propinsi D.I. Yogyakarta, masyarakat di Kabupaten Kulonprogo bersifat dinamis dan terus berubah. Perubahan yang terjadi memiliki 2 kemungkinan yaitu: (1) perubahan yang menuju arah yang kontruktif (membangun atau positif) atau (2) perubahan yang menuju arah destruktif (merusak atau negatif). Perubahan pada arah positif mungkin suatu hal yang sangat menggembirakan. Hal ini ditandai dengan kehidupan yang harmonis antarindividu dan kelompok masyarakat. Kerukunan dapat terwujud dalam masyarakat sehingga ketentraman dan ketertiban masyarakat dapat terwujud. Di sisi lain, dalam suasana yang harmonis, rukun dan tenteram bukan berarti masyarakat bebas dari konflik. Justru dalam setiap keharmonisan bisa dipastikan ada benih
35
ketidakharmonisan karena sifat masyarakat yang dinamis. Untuk itu, dibutuhkan cara atau bagaimana supaya konflik yang ada dalam masyarakat tidak mengarah pada konflik yang destruktif (merusak). Karena itu upaya-upaya pengendalian konflik dalam masyarakat perlu dilakukan dengan melibatkan segala komponen yang ada baik itu dari pihak pemerintah maupun dari warga masyarakat itu sendiri. Dari pemerintah dengan kewenangannya menjaga keamanan dan ketertiban dan oleh masyarakat sendiri dengan menjaga keharmonisan masyarakat dengan kearifan lokalnya. Ada dua cara pengendalian konflik yang telah dilakukan di Kabupaten Kulonprogo yaitu: (a) yang dilakukan oleh aparat pemerintah (cara struktural), dan (b) yang dilakukan oleh masyarakat setempat (cara kultural). Keduanya berkelindan sehingga dalam upaya pengendalian konflik peran keduanya menjadi sama-sama penting. Pertama, cara struktural,
pengendalian konflik oleh pemerintah ditingkat
kabupaten tergambar dari program kerja Kantor Kesbanglinmas Kabupaten Kulonprogo. Ada 2 seksi yang langsung terkait dengan upaya pengendalian, termasuk penyelesaian konflik dalam badan pemerintah ini yaitu: Seksi Hubungan Antar Lembaga, dan Seksi Kesatuan Bangsa. Seksi Hubungan AntarLembaga memfasilitasi
pelaksana
hubungan
mempunyai peran: (1) Merumuskan dan antar
lembaga.
Kegiatannya
meliputi:
menyelenggarakan pemantapan stabilitas wilayah kecamatan dan desa, melakukan deteksi dini dan penyelesaian masalah strategis di Kabupaten Kulonprogo, melakukan kegiatan operasi/razia dan pembinaan terhadap anak remaja dan pelajar (BAKOPPAR); (2) Merumuskan dan memfasilitasi pelaksanana hubungan organisasi kemasyarakatan, profesi, lembaga swadaya masyarakat dan partai politik. Kegiatannya mencakup: menyelenggarakan
forum
komunikasi
dengan
Orkemas,
Orsos
dan
LSM,
menyelenggarakan forum komunikasi antara parpol, tokoh agama, dan tokoh masyarakat dengan pemerintah Kabupaten Kulonprogo, melaksanakan monotiring dan yustisi terhadap organisasi dan pendataan ulang organisasi, memberikan pelayanan perijinan dan atau rekomendasi kepada masyarakat atau instansi atau lembaga yang berkepentingan sesuai hasil telaah dan peraturan yang berlaku; (3) Mengkaji masalah strategi bidang sosial ekonomi, sosial budaya, sosial kemasyarakatan dan sosial politik; (4) Mengkaji laporan hasil pengkajian masalah sosial ekonomi, sosial budaya, sosial kemasyarakatan dan sosial politik.
36
Seksi Kesatuan Bangsa bertugas: (1) Merumuskan dan melaksanakan program kegiatan peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa dengan kegiatan: mengadakan sarasehan Wawasan Kebangsaan bagi semua komponen masyarakat, menyelenggarakan pemantapan kesatuan bangsa di 12 kecamatan se Kabupaten Klonprogo, mengadakan sarasehan Wawasan Kebangsaan bagi tokoh agama dalam rangka memantapkan kesatuan bangsa, pemantapan dan pendataan WNI dan WNA, monitoring dan pendataan terhadap warga eks Tapol G 30 S/PKI; (2) Mengumpulkan, mensistimasi, mengolah dan mengevaluasi data yang diperlukan dalam upaya peningkatan pembauran bangsa, ketahanan nasional, demokratisasi dan pemahaman Wawasan Kebangsaan dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa; (3) Melaksanakan koordinasi komunikasi dan kerjasama dengan instansi
terkait dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan; (4)
Menyiapkan/memfasiliasi kegiatan peningkatan persatuan dan kesatuan
bangsa yang
dilaksanakan oleh instansi/lembaga/organisasi lain. (5) Melaporkan kegiatan yang telah dilaksanakan dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa. (6) Monitoring pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Penelitian di wilayah Kabupaten Kulonprogo dalam rangka menjaga iklim sejuk di Kabupaten Kulonprogo Tugas-tugas ideal tersebut berlaku di seluruh Indonesia, termasuk di kelima kabupaten/kota yang menjadi lokasi penelitian ini. Adapun kegiatan nyata yang telah dilakukan Kesbanglinmas Kulonprogo dalam upaya pengendalian konflik adalah: 1) Mengundang para pemeluk agama yang diwakili oleh pimpinan organisasi keagamaan, pimpinan organisasi kemasyarakatan, partai politik, pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat dalam acara-acara dan pertemuan Wawasan Kebangsaan yang difasilitasi oleh Kesbanglinmas bekerjasama dengan pihak yang terkait seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam kesempatan ini peserta diberikan informasi mengenai persoalan kebangsaan termasuk hubungan antarkelompok dalam masyarakat yang pluralis. 2) Membentuk forum/badan lembaga guna mempermudah komunikasi antar kelompok. 3) Melakukan seminar/pertemuan ditingkat kecamatan 1 tahun sekali, di kab. Kulonprogo ada 12 kecamatan. Sumber/pembicara bisa dari unsur pemerintah, agama (Depag), FKUB wilayah (propinsi), Pihak keamanan seperti Kodim dan Kepolisian (jika sangat diperlukan dari Kejaksaan)
37
Dalam forum tersebut yang kami lakukan adalah menyosialisasikan pentingnya kerukunan antar umat beragama baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Menyosialisasikan aturan atau hukum yang berkembang sehingga diharapkan semua sadar hukum. Pesertanya adalah kepala desa, dukuh sekecamatan, tokoh agama, tokoh masyarakat (mereka yang dituakan dalam masyarakat tersebut), dan pemuda. Alasan dilakukan pertemuan setahun sekali ditingkat kecamatan dan setahun sekali ditingkat kabupaten karena keterbatasan anggaran yang tersedia, disamping itu ada masalah-masalah (masalah temporer seperti kasus-kasus khusus keagamaan) yang harus segera diselesaikan. Untuk itu terkadang ada pertemuan yang harus tertunda atau tidak diadakan. Ditingkat kabupaten, selama ini hampir tidak ada kendala, namun yang menjadi masalah adalah terkadang Kesbanglinmas harus terlibat dalam hasil sosialisasi pertemuan-pertemuan antar agama. Artinya tidak semua hasil-hasil pertemuan antar agama yang difasilitasi Kesbanglinmas dapat tersosialisasi dengan baik oleh organisasi keagamaan. Artinya pertemuan itu masih pertemuan elit dan belum merakyat. Untuk masalah yang satu ini masih mencari jalan keluar yang tepat. Salah satunya adalah memberikan sokongan dana supaya pertemuanpertemuan dapat dilakukan (sokongan dana dilakukan oleh Kesra Pemkab Kulonprogo). 4) Ditingkat kecamatan (Samigaluh) dari data monografi 2005 jumlah penduduk yang beragama islam 23.646 orang, Kristen 3.521 orang Katholik 3.517, Hindu 2 orang (untuk agama
lain
yang
belum disebutkan belum ada catatan)
telah
diselenggarakan pertemuan kebangsaan sekali dalam satu tahun, biasanya dilakukan menjelang peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Namun dalam acara tersebut tidak membicarakan masalah kerukunan antar umat beragama, tetapi lebih pada pentingnya persatuan dan kesatuan dan pesertanya berasal dari segala kelompok, termasuk tokoh organisasi agama. Sementara itu Departemen Agama pemerintah yang lain seperti
melakukan koordinasi dengan lembaga
Kesbanglinmas dan organisasi sosial keagamaan
membentuk FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama).
Forum ini pengurus dan
pengelolanya berasal dari anggota forum terebut yaitu organisasi sosial keagamaan. Lembaga pemerintah tersebut memberikan bantuan dana operasional kepada Forum.
38
Kemudian sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 setiap kabupaten/kota diharuskan membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Karena itu di setiap kabupaten/kota yang sudah ada
forum
komunikasi antarumat beragamanya harus menyesuaikan diri dengan Peraturan Bersama tersebut. Untuk Kabupaten Kulonprogo sampai penelitian ini dilakukan FKUB baru belum terbentuk, sedangkan FKUB lama sudah habis masa baktinya (demisioner) sehingga kerja praktis belum bisa dilakukan yang berakibat pada tersendatnya pertemuan-pertemuan tersebut. Secara legal formal pertemuan-pertemuan tersebut belum bisa dilakukan. Namun pertemuan dapat dilakukan dalam forum yang diselenggarakan oleh Kesbanglinmas. Penentuan waktunya sesuai dengan kebutuhan karena dalam forum tersebut dapat dijadikan forum pembentukan FKUB yang baru. Sesuai dengan aturan baru, sekretaris FKUB adalah adanya wakil dari pemerintah (posisi dalam struktur sebagai sekretaris), dalam kaitan ini, pendirian tempat ibadah seperti masjid, mushola, gereja, wihara harus mendapat persetujuan dari FKUB. Kedua, cara kultural dilakukan masyarakat di tingkat desa/dusun, masyarakat menyelenggarakan peringatan hari besar keagamaan dan acara upacara adat. Kegiatan ini biasanya difasilitasi juga oleh pemerintah setempat, terutama memberikan sokongan dana. Dalam peringatan acara tersebut diselipkan pentingnya hidup rukun. Biasanya hal ini dilakukan oleh aparat desa dalam memberikan sambutan-sambutan sebelum acara dimulai.
E. Upaya Penyelesaian Konflik Dari beberapa hasil wawancara dengan beberapa sumber, pemerintah berperan penting dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Terlebih dalam mencegah supaya konflik tersebut tidak meluas. Berikut adalah beberapa peran pemerintah yang diwakili dinas atau lembaga terkait dalam penyelesaian kasus yang pernah terjadi di Kabupaten Kulonprogo : 1. Kasus Samigaluh Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, di daerah ini pernah terjadi konflik antarumat beragama yang bersumber dari kebijakan di bidang pendidikan. Langkah penyelesaian yang diambil oleh pemerintah waktu itu adalah : 1) Berkaitan dengan pengajaran agama, pemerintah melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Kulonprogo dan Kanwil Pendidikan Provinsi DI. Yogyakarta menjadi Fasilitator.
39
2) Akhirnya menemukan titik temu dengan mendirikan SMK 1 Samigaluh yang bentuknya filial pada SMK N 1 Pengasih guna menampung siswa yang tidak lagi meneruskan sekolah di SMK Bobkri Samigaluh. 3) Pihak kecamatan Samigaluh dan aparat desa Pagerharjo menjadi perantara, karena wilayah konflik berada diwilayah kecamatan Samigaluh. Pihak kecamatan menjadi perantara antara Dinas pendidikan dan pihak yang berkonflik dan aparat desa berkaitan dengan penempatan sekolah baru yaitu SMK N Samigaluh yang berada didesa Pagerharjo. 4) Berkaitan dengan keamanan maka kepolisian dan pemerintah setempat (desa) melakukan tugas pengamanan dengan sterilisasi wilayah. Mencegah orang-orang yang tidak berkepentingan masuk di desa Pagerharjo dan Kebonharjo di Kecamatan Samigaluh guna mencegah meluasnya konflik. Pada waktu itu sempat diberlakukan jam malam. Peran tokoh masyarakat memang dilibatkan, namun dari data lapangan menunjukkan, mereka justru terfragmentasi pada dukung-mendukung salah satu pihak yang berkonflik. Dalam hal ini peran mereka dalam konflik tersebut sebagai tokoh yang berupaya meredam massa masing-masing supaya mampu menahan diri, bukan sebagai penengah. Sebagai contoh Pur (mantan Kepala desa Kebonharjo), Puj (tokoh masyarakat Ngaliyan, Ngargosari), Sai (tokoh masyarakat Banjarsari), Muh (tokoh pemuda Kebonharjo), dan KH Ma (tokoh agama NU) ikut dalam kubu Fropentas pimpinan Drs Mar. 2. Kasus Kedunglo Kasus ini terjadi di Pesantren Kedunglo Kecamatan Pengasih. Kasus ini berawal dari aktivitas seorang tokoh agama (kyai) yang berasal dari luar Kedunglo. Ia memberikan ajaran Islam yang tidak sesuai dengan paham muslim pada umumnya (Aliran Wachidiyah). Penolakan bukan saja dilakukan oleh muslim, namun juga oleh nonmuslim (Kristen, Katholik). Ajaran agama Wakhidiyah dianggap ‘nyleneh’ dan karena itu meresahkan masyarakat. Penyelesaian yang dilakukan adalah pemerintah memanggil tokoh Wakhidiyah dan menegaskan bahwa setiap orang yang masuk dan beraktifitas keagaamaan seharusnya meminta izin (kulo nuwun) pada masyarakat setempat. Jika ingin melakukan aktifitas organisasi, maka harus meminta izin kepada pemerintah setempat dan melengkapi perizinan
40
Pada akhirnya pesantren Kedunglo tersebut diperbolehkan dengan syarat tidak mengajarkan ajaran-ajaran yang membuat resah masyarakat dan mengurus perizinan baik kepada pemerintah setempat (desa) dan pemerintah daerah (kabupaten) 3. Kasus Kokap dan Toyan Ditempat tersebut ada 2 (dua) KK yang memeluk agama Kristen. Rumah mereka sering digunakan acara-acara yang oleh pemeluk Islam setempat disebut dengan kebaktian, namun pemeluk Kristen tersebut menganggap hanya pertemuan biasa, sedangkan nyanyian yang diperdengarkan adalah sebagai rutinitas doa dalam agama Kristen (lagu-lagu kebaktian). Kegiatan pemeluk Kristiani tersebut dianggap bermasalah oleh pemeluk Islam karena pihak pertama tersebut belum meminta izin kepada warga setempat. Bagi pemeluk Islam setiap orang yang ingin mengadakan acara keagamaan harus meminta izin kepada warga setempat supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Mereka mencontohkan juga dengan pernikahan, setiap orang yang ingin melakukan (resepsi) pernikahan perlu mendapatkan izin, baik formal dan non formal pada pemerintah setempat (RT/RW). Dengan demikian dalam kasus ini ada prosedur (formal) yang tidak dipenuhi, dengan kata lain ada penyalahgunaan rumah biasa menjadi tempat ibadah. Sebab dalam pemahaman muslim setempat ada tata cara yang harus dipenuhi jika tempat tersebut ingin dijadikan tempat ibadah, misalnya (1) tanah tersebut harus diserahkan pada pengelola (dalam bahasa islamnya diwakafkan pada yayasan atau badan); (2) bangunan yang diajukan harus khusus, sehingga dapat dibedakan antara bangunan tempat ibadah dan rumah tempat tinggal. Sebenarnya ini juga berlaku bagi seluruh agama termasuk Islam yang ingin mendirikan mushola atau masjid; dan (3) selain itu dalam pendirian gereja, UU terdahulu mensyaratkan ada 50 pemohon yang menyetujui tempat ibadah tersebut, namun sekarang menjadi 60 orang. Lalu ada jamaah sedikitnya 90 orang. Sebagai catatan, untuk kasus di tempat lain seperti di Glagah, mensyaratkan adanya 50 orang pemohon, dan dari pihak pemohon sudah memenuhinya. Dalam kasus ini surat ijin pendirian gereja belum dikeluarkan karena lokasinya berada di kawasan wisata Glagah, sebab harus menunggu konfirmasi dari Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata terlebih dahulu. Jadi dalam kasus ini belum ada penyelesaian tuntas. Dari beberapa kasus konflik antarumat
beragama
Kulonptogo ternyata
penyelesaiannya lebih cenderung menggunakan cara-cara struktural kekuasaan dan belum memanfaatkan cara-cara kultural. Cara struktural adalah cara yang dipakai oleh aparat dan
41
lembaga pemerintah setempat
atau pihak keamanan dalam menyelesaikan konflik.
Memang ini bukan sebuah kesalahan total, namun dengan mengabaikan cara kultural konflik-konflik yang terjadi antar umat beragama seringkali berulang dalam pola yang sama. Penyelesaian konflik tidak mengakar dalam diri masyarakat. Cara penyelesaian yang tidak melibatkan tokoh-tokoh dalam masyarakat ini karena sering tokoh agama sendiri tidak lagi menjadi pengayom bagi masyarakat secara keseluruhan. Dalam kasus konflik tersebut mereka sering berpihak kepada satu golongan. Di sisi lain aparat pemerintah di level bawah (desa, dusun, kampong sampai RW-RT) belum dilibatkan secara optimal. Aspek sangsi hukuman juga belum ditegakkan, karena memang
dalam kasus tersebut belum ada aturan tentang sangsi hukuman bagi
penyalagunaan rumah menjadi tempat ibadah, akibatnya kasus yang sama akan selalu berulang. Penyelesaian sudah mempertemukan dan mengadakan musyawarah antarpihak yang berkonflik, tetapi pembicaraan lebih mengarah pada hukum posistif tentang aturan yang berlaku dalam negara. Dalam banyak kasus, misalnya pendirian tempat ibadah lebih cenderung pada aspek pemenuhan persyaratan perizinan dan kelengkapan surat-surat.
F. Profil Budaya 1. Umum Budaya Jawa, termasuk di Kulonprogo sangat akomodatif terhadap adanya bentuk budaya baru, keduanya (budaya Jawa dan budaya baru) kemudian bersimbiosis serta melakukan akulturasi sehingga sering sulit untuk membedakan mana budaya Jawa dan budaya baru tersebut. Sebagai bahan perbandingan, Islam yang telah melakukan perkawinan budaya (akulturasi) dengan Jawa maka hasilnya adalah Islam Jawa. Sebagai contoh adalah upacara safaran, di dalamnya terjadi akulturasi antara budaya Jawa dengan ajaran Islam. Demikian juga dengan Kristen yang melakukan akulturasi dengan Jawa maka yang ada adalah Kristen Jawa. Jika budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh datangnya Hindu/Budha maka sebenarnya secara tidak langsung juga terjadi akulturasi antara IslamHindu/Budha, atau Kristen-Hindu/Budha. Serta tidak menutup kemungkinan pada agama lain. Seperti halnya masyarakat Jawa umumnya, masyarakat Kulonprogo secara umum menggunakan bahasa ngoko, dan krama. Bahasa Jawa-ngoko digunakan dengan orang yang saling mengenal akrab, juga terhadap orang yang lebih muda usia dan lebih rendah
42
status sosialnya. Bahasa Jawa-krama digunakan untuk bicara dengan orang yang belum akrab dan tidak sebaya usianya, juga terhadap orang yang lebih tua usia dan lebih tinggi status sosialnya.
Untuk itu sebelum menggunakan bahasa dengan orang yang diajak
bicara, seseorang harus memperhatikan dengan seksama bahkan dengan bertanya orang yang diajak bicara. 2. Sistem kekerabatan Secara tradisional sistem kekerabatan orang Jawa Kulonprogo adalah bilateral yaitu garis keturunan yang mempertimbangkan hubungan kekerabatan melalui orang lakilaki maupun wanita. Dalam era modern saat ini sistem kekerabatan mereka tak jauh berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya yang telah dipengaruhi oleh nilai-nilai modern. Bentuk keluarga masyarakat saat ini yang terpenting adalah keluarga batih (somah). Keluaraga ini terdiri dari suami-isteri dan/atau anak-anak yang diperoleh dari perkawinan atau adopsi yang belum kawin. Dalam rumah tangga keluarga batih (somah) sering terdapat anggota keluarga lain seperti keponakan, bapak atau ibu mertua dari suami atau isteri. Keluarga batih berfungsi dalam banyak aspek seperti sosialisasi nilai budaya Jawa kepada anak-anak, sementara dalam hubungannya dengan kerabat yang lain dan masyarakat ia punya posisi penting yaitu sebagai mediator kepentingan keluarga batih dengan keluarga batih lain dan masyarakat pada umumnya. Memang masih ada keluarga luas (extended family) tetapi jumlahnya semakin menyusut, keluarga luas ini terutama masih ada di masyarakat pedesaan. Keluarga luas ini terdiri dari dua atau lebih keluarga inti ditambah dengan beberapa orang yang masih mempunyai pertalian darah, baik dari pihak suami ataupun isteri, bahkan keponakan (anak dari kakak atau adik) Proses kian berkurangnya keluarga luas dan kian berkembangnya keluarga inti disebut juga dengan proses kontraksi keluarga. Proses kontraksi keluarga ini berkembang seiring dengan kian kuatnya perubahan pola tempat tinggal pasangan baru yaitu dari pola patrilokal-matrilokal ke neolokal. Pola neolokal terkait dengan kian berkurangnya tanah, sehingga pasangan baru melakukan mobilitas horizontal ke tempat lain. Fenomena ini juga terkait dengan bergesernya usia nikah yaitu dari perkawinan usia muda ke perkawinan usia yang lebih dewasa, sehingga pasangan baru lebih matang dan mandiri secara ekonomi dan mental. Karena itu keluarga luas banyak yang terdiri dari mereka yang belum mampu membangun rumah sendiri. Selain itu karena adanya kebiasaan dari orang tua mempertahankan seorang anaknya yang sudah menikah untuk tetap menempati
43
rumahnya dengan tujuan agar anaknya ngopeni orang tua yang sudah lanjut usia, biasanya anak bungsu. Masyarakat Kulonprogo juga mengenal kelompok kekerabaatn ambilineal, suatu kerabat keluarga batih yang diorientasikan kepada ego (nenek moyang) yang jauh. Kelompok ini disebut alurwaris. Anggota kerabat dalam kesatuan alurwaris ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Dari segi hubungan dengan ego (pancer) orang
Jawa Kulonprogo, khususnya di Samigaluh,
mengenal terma nama sebutan untuk generasi ke atas dan ke bawah yaitu: Mbah Udeg-udeg – Mbah Canggah – Mbah Buyut – Simbah/Siwo/Eyang – Bapak/ibu – Anak – Putu – Buyut – Canggah – Wareng – Udeg_udeg – Gantung Siwur – Gropak Senthi – Cici_uni – Cendeng – Iyeng_iyeng – Ampleng. Penjelasan garis dari atas meliputi: Mbah Udeg-udeg: keturunan tertinggi/pertama dalam susunan keluarga (pancer); Mbah Canggah: anak dari udeg-udeg atau orang tua dari mbah Buyut; Mbah Buyut: anak dari Canggah atau orang tua dari Simbah/Siwo/Eyang; Simbah/Siwo/Eyang: anak dari mbah buyut atau cucu dari Canggah atau orang tua dari bapak. Penyebutan untuk simbah laki-laki adalah simbah lanang dan perempuan simbah wadon atau eyang kakung dan Eyang Putri; Bapak: orang tua dalam tradisi trah Adapun garis keturunan ke bawah meliputi: Anak adalah turunan pertama dari orang tua; Putu: turunan kedua dari orang tua (bapak/ibu) atau sering disebut cucu; Buyut: turunan ketiga dari orang tua (bapak/ibu); Canggah: anak dari Buyut, cucu dari Putu; Wareng: anak dari Canggah, cucu dari Buyut; Gantung Siwur: anak dari Wareng; Gropak Senthi: anak dari Gantung Siwur; Cici Uni: anak dari Gropak Senthi; Cendeng: anak dari Cici Uni; Iyeng-iyeng: anak dari Cendeng; Ampleng: anak dari Iyeng-iyeng Dalam sistem kekerabatan tersebut setiap turunan dapat menjadi orang tua, anak atau cucu dan seterusnya, tergantung dari mana memulainya. Misalnya Cici uni dapat menjadi orang tua dari Cendeng, artinya Cendeng dapat menjadi orang tua dari Iyengiyeng. Jadi Cici Uni merupakan kakek (mbah) dari Iyeng-iyeng. Begitu pula sebaliknya, Iyeng-iyeng adalah cucu dari Cici Uni. Walaupun begitu secara fungsional, hubungan kepada ego umumnya hanya berlaku pada generasi ketiga, misalnya dalam hubungan silaturrahim dan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Adapun hubungan sampai pancer generasi keempat dan seterusnya hanya berupa hubungan tradisional, karena mereka sudah jarang sekali melakukan hubungan, bahkan tidak saling mengenal, apalagi kalau tempat tinggalnya saling berjauhan.
44
Kesadaran akan adanya hubungan fungsional di antara anggota kerabat tersebut pada sebagian kelompok kerabat telah melahirkan asosiasi kekerabatan. Sebuah asosiasi yang dibentuk atas kesadaran untuk mengumpulkan
dan memelihara hubungan
antaranggota kerabat yaitu trah. Trah ini bukan hanya terdapat pada bangsawan, tapi juga
di kalangan masyarakat biasa.
Misalnya
menengah ke atas seperti Trah Ki Onggo Suto, Trah Ki
keturunan
trah di kalangan
Atmangali, atau trah Ki
Kertoyudo yang sama-sama bersandar pada Kyai Kampak. Trah Ki Onggo Suto misalnya memiliki keturunan KRT Ki HP, pernah menjabat carik desa dan mempunyai anak perempuan yang menjadi kepala desa saat ini. Yang penting dicatat dari keberadaan trah ini adalah banyak dari anggotanya yang mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda, baik dari segi paham agama maupun agama yang dianutnya. Karena itu dari segi agama anggotanya, trah ini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu trah yang anggotanya sama-sama beragama Islam atau dapat disebut dengan trah homogen. Selain itu ada trah yang anggotanya ada yang berbeda agama, disebut juga dengan trah heterogen. Perbedaan agama dan bahkan suku, status sosial anggota ini dimungkinkan karena dasar keanggotaan sebuah trah adalah adanya hubungan darah dalam garis keturunan pancer dan perkawinan. Seorang informan yang sekaligus sesepuh trah, Ki HP, menegaskan: Tradisi ini diikat semata-mata dari tradisi hubungan pertalian darah, perbedaan agama, suku dan/atau kelompok tidak pernah menjadi penghalang. Misal, salah satu anak dalam keluarga tersebut menikah dengan orang Kalimantan, maka orang Kalimantan tersebut dapat masuk menjadi keluarga trah sebab memiliki ikatan pernikahan. Walaupun ada perbedaan jenis trah dari segi agama dan status sosialnya, namun ada peran utama yang dimainkannya yaitu sebagai penjalin hubungan antaranggota kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri seorang pancer. Dalam bahasa setempat sebuah trah berfungsi sebagai tradisi nglumpukke balung sumsum. Mereka melakukan kegiatan pertemuan secara priodik seperti selapanan, tiga bulanan atau setahun sekali, juga bersifat incidental milsanya ketika ada pernikahan kerabat khitanan, namun pada umumnya pada hari raya Idul Fitri yaitu dalam tradisi Syawalan. Kegiatannya selain ada petuah-petuah atau sosialisasi nilai-nilai kejawaan, pentingnya hidup rukun dan persaudaraan, nilai-nilai kebaikan yang patut dicontoh dari si mbah, pengisinya dari sesepuh atau penceramah. Juga diisi dengan kegiatan yang bernilai ekonomis seperti arisan. Juga yang terpenting adalah pengenalan setiap anggota trah, baik mengenai nama,
45
nasab dan posisi masing-masing dalam kaitannya dengan pancer. Dengan demikian trah ini sebenarnya menjadi wadah
dalam batas-batas tertentu di sebagian masyarakat Kulonprogo telah pemelihara ikatan
(revitalisasi) fungsi sosial
primordialisme dan menghidupkan kembali
dari keluarga luas. Dalam batas-batas tertentu
ia telah
berfungsi sebagai perekat sosial (sosial cement) dari orang-orang yang berbeda agama. Bagi seorang anggota biasanya memiliki dua trah yaitu trah dari pihak kerabat bapak , dan dari kerabat ibu. Dalam sistem kekerabatan itu, yang diundang adalah 3 turunan ke atas dan semua turunan kebawah (vertikal) dari keluarga turunan bapak atau ibu. Hal ini dilakukan untuk mempermudah mengetahui hitungan dalam sistem kekerabatan tersebut. Jadi dalam pertemuan (reuni) trah, hanya dari salah satu trah orang tua. 3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal Di Kulonprogo, termasuk di Samigaluh terdapat beberapa kelompok sosial, terutama yang berupa asosiasi. Asosiasi ini dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yaitu: 1) Asosiasi yang berkaitan dengan kekerabatan 2) Asosiasi tradisional yang mengurusi pemerintahan 3) Asosiasi modern yang mengurusi pemerintahan 4) Asosiasi sosial-kemasyarakatan Pertama, asosiasi kekerabatan yang berkembang di Kulonprogo adalah trah, sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Kedua, lembaga pemerintahan tradisional pada
tingkat desa sampai dusun adalah lembaga ‘kelurahan’ yang kemudian digantikan dengan ‘pamong limo’, dan akhirnya menjadi lembaga ‘desa’ seperti saat ini. Sementara di tingkat dusun sebelumnya bernama ‘bayan’, kemudian menjadi dukuh dan akhirnya dusun. Pada era kelurahan sebuah kelurahan dipimpin oleh
kepala lurah, masyarakat biasa
menyebutnya dengan Pak Lurah. Pak Lurah dibantu oleh carik (sekretaris desa), bayan atau tamping (kepala dusun), bekel (orang kedua lurah), jogoboyo (keamanan) dan congkok (pembantu jogoboyo), ulu-ulu atau jogotirto (irigasi), dan naib (penghulu), dan ketib (pembantu administrasi). Pada saat ini lembaga pemerintahan tingkat desa dan dusun seperti ini sudah sebagian besar sudah berubah, terutama dari segi penamaan dan perannya. Memang masih ada beberapa nama jabatan yang masih dikenal dan biasa digunakan oleh masyarakat yaitu bayan untuk menunjuk kepada kepala dusun, dan naib untuk bagian Kesra saat ini.
46
Di tingkat dusun jabatan yang masih aktual dan fungsional yang mengurus di bidang keagamaan yaitu kaum dan rais. (1) Kaum adalah mereka yang biasanya memahami acara-tradisi dengan baik dan menjadi pemimpin dalam acara tersebut (terutama acara adat). Misalnya dalam acara pernikahan dan khitanan, kaum memimpin prosesi acara (2) Rois adalah orang yang memiliki pengetahuan agama yang lebih dalam masyarakat dan dituakan. Dalam upacara pernikahan dan khitanan rois memimpin doa. Kedua lembaga sekaligus tokoh ini
sangat disegani oleh masyarakat, karena
umumnya terdiri dari
sesepuh di dusun atau di desanya masing-masing. Ketiga, adapun lembaga pemerintaha modern pada level desa sampai RT meliputi kepala desa yang dibantu oleh carik, kepala urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan kepala dusun. Di bawah kepala dusun masih ada Ketua RW dan RT yang menjadi lembaga semi pemerintahan. Keempat, orientasi yang
asosiasi
atau organisasi sosial kemasyarakatan cukup banyak dengan
beragam. Misalnya yang berorientasi kepada
agama seperti
NU,
Muhammadiyah, organisasi kegerejaan. Di bidang keagamaan ini ada juga organisasi yang dari sejarahnya dibentuk oleh pemerintah seperti MUI. Selain itu ada organisasi yang berorientasi kepada pemberdayaan keluarga atau perempuan seperti PKK, Dasa Wisma. Aktor atau tokoh yang ada di Kabupaten Kulonprogo beragam. Di kabupaten ini hampir tidak ada tokoh tradisional yang sangat menonjol. Memang di beberapa tempat ada tokoh-tokoh yang memiliki kaitan dengan Pakualaman seperti di Samigaluh yaitu orang yang memiliki status sosial tinggi atau priyayi karena penghargaan yang diberikan oleh Pakualaman, mereka biasanya bergelar ‘KRT’. Mereka ini juga menjadi sesepuh dari trah dan juga dihormati oleh masyarakatnya. Dalam pemerintahan desa tradisional dan modern tokoh yang bergelar KRT dan keturunannya memegang jabatan penting. Di sebuah desa sebuah trah memiliki jaringan yang luas karena anggotanya menyebar di kalangan masyarakat desa, dan karena tokoh trah yang ada menjadi tokoh maka jaringan kharisma tokoh trah tersebut menjadi menyebar juga. Karena itu pengaruh mereka dalam merespon terhadap suatu masalah sangat mempengaruhi masyarakatnya. Hal ini nampak dari kasus konflik antarumat beragama di Samigaluh antara muslim dan orang Kristen yang ada dalam SMK Bopkri. Karena orang Kristen mampu mendekati tokoh trah setempat, maka anggota trah tersebut, seperti Kepala Desa, staf di kantor desa yang sekaligus menjadi koordinator ojek, dan beberapa kepala dusun condong ke kelompok Kristiani.
47
Di luar tokoh bangsawan-tradisional tersebut masih ada tokoh-tokoh lokal agama seperti kiai, dan organisasi keagamaan. Sementara pada tingkat dusun
di beberapa
kecamatan ada tokoh yang dihormati oleh masyarakatnya yaitu rais dan kaum. Kedua tokoh ini sangat disegani oleh masyarakat, karena umumnya terdiri dari sesepuh di dusun atau di desanya, dan sekali lagi mereka biasanya terafiliasi dalam trah tertentu. 4. Nilai-nilai Lokal Pertama, tayub. Pada umumnya ditempat lain tayub identik dengan seni taripanggung yaitu tari-tarian yang dilakukan oleh laki-laki dewasa, namun tayub juga dimaknai sebagai sebuah nilai oleh masyarakat seperti pada masyarakat Nglinggo Samigaluh. Adapun seni tayub yang berkembang ditempat lain, di daerah tersebut disebut dengan gambyong, yaitu penari perempuan yang diibing penari laki-laki yang diiringi dengan gamelan, namun sejak tahun 1945 pasca kemerdekaan, tari tersebut tidak lagi ada karena ada larangan pemerintah. Sebagai sebuah nilai tayub merupakan ugeran yang dijadikan pedoman bersama oleh masyarakat agar kehidupan masyarakat menjadi rukun-damai. Dalam hal ini tayub berasal dari kata ‘ta’ diambil dari kata tata (menata) dan ‘yub’ diambil dari kata guyub (rukun-kekeluargaan). Secara etimologis berarti menata kehidupan masyarakat agar hidup rukun penuh kekeluargaan. Dengan demikian nilai tayub bermakna menjaga dan menata-memupuk kembali rasa kekeluargaan dan menjaganya supaya semangat kekeluargaan itu tidak hilang. Semangat ini bukan semata sebatas hubungan keluarga berdasarkan pada hubungan darah, tetapi kekeluargaan yang berarti semua manusia dan makhluk lain dianggap sebagai keluarga. Baik itu alam sekitar, tetangga jauh apalagi tetangga dekat. Dalam hal ini tanpa membeda-bedakan status sosial, agama, dan sebagainya. Nilai tayub ini juga dapat dilihat dalam acara upacara tradisional seperti Saparan (bulan Shofar). Dalam upacara adat tersebut siapapun dapat melihat, boleh datang dan berpartisipasi tanpa melihat latar belakangnya apakah dari kelas sosial tertentu, kelompok, agama golongan dan suku. Kedua, di lain itu ada ucapan yang selalu dipegang oleh masyarakat setempat guna menjaga suasana tempat mereka tetap sejuk dan kondusif. Jika ada permasalahan mereka akan ngugemi (berpegang) ugeran ‘leliru saka liyan’. Leliru dapat diartikan dengan ’mendapatkan ganti’ dan kata saka liyan berarti dari yang lain. Jika digabung maka akan
48
didapatkan kalimat ’mendapatkan ganti dari dan dalam bentuk lain’. Dalam hal ini seorang informan, Ki. HP), memberi contoh: Ada seseorang yang kehilangan kambing, dia tahu siapa yang telah mengambil kambingnya tersebut. Orang yang kehilangan kambing tersebut tidak marah, memukul dan memperkarakan pencurinya pada pihak berwajib (polisi agar dipenjara) atau pada pemerintah setempat, apalagi menghakimi (dengan catatan agar perbuatan tersebut tidak diualngi lagi). Orang yang kehilangan kambing tersebut memiliki keyakinan bahwa dia akan mendapatkan ganti yang lebih baik dalam atau dari bentuk yang lain (leliru saka liyan).
Secara filosofis leliru saka liyan memiliki makna rasa berserah diri bahwa pada saatnya apa yang dimiliki akan kembali pada yang punya yaitu sing nduwe kersa (Yang Maha Berkehendak) atau akan kembali pada Tuhan. Di lain itu, leliru saka liyan juga dapat diartikan bahwa memaafkan itu lebih baik, bersaudara dalam biduk kerukunan lebih baik daripada apa yang telah hilang (rukun lebih baik daripada seekor kambing yang hilang). Keyakinan kepada sang Maha Pencipta bahwa apa yang diambil darinya merupakan sesuatu yang memang harus dikeluarkan. Ketiga,
nilai-nilai tepo seliro (tenggang rasa), alon-alon asal klakon (sikap
berhati-hati), dan sambatan (saling membantu dan bekerja sama). Nilai-nilai ini pada umumnya memberikan rambu-rambu bagi anggota masyarakat, agar memiliki rasa saling menghargai dan memahami perasaan orang lain, juga memberikan bantuan dalam hal apapun sesuai kemampuan yang dimilikinya. Tujuan
akhirnya adalah supaya dalam
kehidupan masyarakat berkembang kerukunan tanpa membeda-bedakan latar belakang orangnya. e. Upacara Upacara adat di Kulonprogo dapat dipilah ke dalam upacara yang berkaitan dengan kepentingan umum atau upacara umum, dan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia atau upacara lingkaran hidup Pertama, ada beberapa upacara adat umum yang masih berkembang di Kulonprogo yaitu: 1) Baritan
Gelar yang diberikan kepada KRT Ki HP adalah gelar kehormatan yang diberikan keraton Pakualamana atas jasanya dalam menjaga petilasan Kyai Sangkelat milik Keraton Pakualaman. Ki HP sebenarnya masih menjadi kerabat Keraton Pakualaman jika dilihat dari trah Kyai Kampak. Namun sekarang ini Ki HP masuk dalam Trah Oggo Suto sebagai bagian trah Kyai Kampak. Data untuk trah Oggo Suto belum ditemukan, namun trah Kampak sudah ada
49
Upacara Baritan (lebar ngarit/pasca panen) dilakukan setahun sekali. Upacara ini berkembang di kalangan masyarakat Samigaluh khususnya di Desa Gerbosari, Banjarsari dan Pagerharjo. Dalam upacara ini setiap masyarakat diwakili salah satu keluarga membawa hewan dan hasil panen yang dimiliki, lalu berkumpul di sawah, ladang atau tempat yang ditentukan. Kalau di Banjarsari menuju watu bongkang (bongkahan batu besar dalam susunan bertumpuk). Mereka membawa ubarampe berupa dua tumpeng, kupat (ketupat) dan tahu atau lauk pauk lainnya seperti pelas udang, dan pelas yuyu. Berdasarkan kasus yang ada di Dusun Balong Desa Banjarsari (Jum’at 4 Agustus 2006), prosesi upacara ini dilakukan secara rancak. Upacara dimulai dari pelataran desa menuju Watu Tumpang dengan membawa ubarampe dipimpin oleh sesepuh setempat, selama dalam perjalanan tersebut diiringi dengan seni gambyong sampai ketempat tujuan yaitu Watu Tumpang.
Sesampainya di sana ubarampe diletakkan dan pengiringnya
duduk berderet di depan bongkahan batu besar. Upacara inti dimulai dengan mengucap doa dan syukur serta selamat, menaburkan bunga di Watu Tumpang, acara ditutup dengan ngibing tayub oleh undangan dan masyarakat setempat. Dalam upacara tersebut dihadiri
juga oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kulonprogo,
Camat
Samigaluh, dan sesepuh setempat. Upacara ini dilakukan secara rutin setelah panen raya padi sebagai ungkapan rasa syukur atas pemberian rezeki dan keselamatan yang diberikan Tuhan. Dalam kaitan ini Ki HP menyatakan: Upacara baritan dilakukan dengan maksud tetap menjaga kerukunan dalam masyarakat termasuk jika dikaitkan dengan kerukunan agama. Disaat orang berlebihan (secara ekonomi) biasanya orang lupa, maka upacara baritan adalah upacara sebagai bentuk mengingat (introspeksi diri) bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, karena itu dengan harta yang berlebih manusia harus ingat. Dengan mengingat Tuhan diharapakan panen tetap bisa baik seperti sebelumnya. Mengingat itu diwujudkan dengan upacara baritan sebagai bentuk rasa syukur. …Meski upacara tersebut pada umumnya dilakukan dengan tradisi Jawa-Islam, umat selain Islam tidak pernah mempermasalahkan. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap tradisi yang telah bertahun-tahun ada dan dipegang masyarakat.
2) Saparan Saparan adalah upacara adat yang diselenggarakan pada bulan Sapar (Shofar dalam penanggalan Islam). Pada waktu dulu upacara saparan dilakukan setiap tahun pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di pertengahan bulan, dipimpin oleh Paku Buwono IV yang oleh warga setempat disebut sebagai Pangeran Proyogati atau Kyai nDalem Tanu untuk membuka perkampungan di Puncak Nglinggo.
50
Pada tahun 1942-1945 upacara tersebut tidak dapat dilaksanakan karena penjajah Jepang melarang, namun pada tahun 1946-1948 terjadi wabah aradan (sakit pagi, malam lalu meninggal/ sakit malam, pagi meninggal. Kejadian ini menghilangkan ketenteraman dalam masyarakat,
juga sering gagal panen seperti
jagung dimakan babi hutan. Untuk itu beberapa upacara sudah dilakukan guna mencegah wabah tersebut, seperti nyadran di petilasan Kyai nDalem Tanu, namun wabah tersebut tidak juga hilang. Upacara Saparan menjadi pilihan karena dulu Kyai nDalem Tanu yang membuka dusun Nglinggo. Setelah upacara saparan dilaksanakan kehidupan normal seperti semula. Prosesi upacara ini dimulai pada pagi hari yaitu ditampilkan kesenian lokal, kesenian masyarakat setempat seperti jatilan, namun sekarang jatilan yang diganti dengan hasil kreatifitas warga setempat dianggap kurang bagus. Kira-kira pukul 10.0012.00 diadakan kenduren (upacara selamatan), jam 12.00-13.00 dilakukan Sholat Dhuhur/Jum’at. Setelah itu sekitar pukul 13.00 dilakukan acara jejer wayang. Pukul 16.00 dilanjutkan dengan penampilan kesenian lokal). Mulai pukul 20-23.30 ditampilkan acara gambyong yaitu perempuan menari dan diibing oleh laki-laki namun berbeda tempat (tidak berdekatan). Pukul 24.00 – pagi disajikan acara wayangan. Semua acara itu dikenal dengan tradisi tayub yang berarti Tata lan Guyub (menata kembali rasa kekeluargaan). Tujuan dari acara ini adalah untuk mengusir segala bentuk kesukaran supaya tidak datang lagi. Meminta berkah kepada Tuhan dan sebagai bentuk rasa syukur. Peserta upacara boleh penganut agama saja, tapi yang beragama non Islam tidak melaksanakan sholat (Jum’at). Upacara adat yang ada tidak murni atau dominan tradisi Hindu/Budha lagi. Dalam tradisi Jawa-Islam, dalam budaya dan adat setempat doa-doa pun berubah dengan cara Islam sedang bentuk dari upacara adat sedikit berubah. Upacara adat nyekar misalnya sebagai warisan dalam Hindu/Budha, dilakukan dalam Islam juga dilakukan oleh penganut Kristen-Katholik. Jika dalam Islam nyekar biasanya dilakukan menjelang dan di awal bulan Ramadhan atau peringatan hari-hari besar Islam lainnya seperti Syuro (muharram) dan Sapar (Safar), dalam Kristen dan Khatolik biasa diadakan menjelang hari Natal, terkadang juga hari Paskah. Begitu juga dengan upacara bersih deso, upacara Saparan, dan Baritan, sebenarnya awalnya ditujukan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para dewa, tetapi dalam Islam merupakan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan. Sedang doa yang
51
dahulunya berbentuk mantra, dalam tradisi Jawa-Islam berganti dengan doa-doa Islam yang diwariskan secara turun menurun. 3) Upacara Jamasan Pusaka Upacara dilaksanakan oleh masyarakat di Suroloyo Gerbosari Samigaluh setiap tanggal 1 Suro tahun Jawa. Pusaka yang dijamasi (dimandikan) ialah tombak Kiai Manggala Murti dan Songsong Kiai Manggolo Dewo yang merupakan pemberian Kesultanan Yogyakarta. Prosesi upacara dimulai dengan kirab dari kediaman sesepuh Dusun Kecemen menuju Sendang Kawidodaren. Arak-arakan terdiri dari sesepuh dan tokoh masyarakat yang membawa hasil bumi berbentuk gunungan serta rombongan kesenian tradisional. Dalam kegiatan ini ada udik-udik berupa hasil bumi yang diperebutkan
anggota masyarakat dan pengunjung
yang bertujuan untuk
mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar pertanian berhasil. 4) Selain ketiga upacara tersebut masih banyak lagi upacara yang tersebar di banyak desa dan kecamatan yaitu (a) Saparan Kalibuka tiap Jumat atau Selasa Kliwon di Desa Kalireja Kokap yang bertujuan untuk permohonan keselamatan semua warga, (b) Sadranan Ki Gono Tirto di petilsan Ki Gono Tirto Desa Hargotirto Kokap tiap Jumat atau Selasa Kliwon pada Bulan Besar, upacara ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dan keselamatan wargakepada Tuhan Yang Maha Esa. (c) Bersih Desa Taruban di Desa Tuksono Sentolo tiap bulan Besar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen. (d) Dulkaidahan di Dusun pringtali Jatimulyo Girimulyo tiap Jumat Pon Bulan Dzulkaidah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen. (e) Rejeban Gondang di Dusun Balong Jatimulyo Girimulyo tiap Selasa Kliwon Rejab sebagai permohonan keselamatan kepada Tuhan. (f) Nawu Sendang di Dusun
Clapar Hargowilis Kokap tiap Jumat Kliwon untuk mohon
keselamatan dan ketentreman masyarakat.(g) Nggumbregi di Dusun Karanggede Jatimulyo Girimulyo tiap Selasa atau Jumat Kliwon sebagai ungkapan rasa syukur dan mohon keselamatan warga kepada Tuhan. Yang penting dicatat adalah bahwa dalam upacara adat tersebut telah terjadi akulturasi antarberbagai unsur, sehingga sebenarnya upacara tersebut tidak murni tradisi Hindu/Budha yang dominan. Dalam tradisi Jawa-Islam, dalam budaya dan adat setempat (lokal) doa-doa pun berubah dengan cara Islam sedang bentuk dari upacara adat sedikit berubah. Upacara adat nyekar misalnya sebagai warisan dalam Hindu/Budha, selain dilakukan oleh orang Islam juga dilakukan oleh orang agama lain
52
seperti Kristiani. Jika dalam Islam biasanya dilakukan menjelang dan awal bulan Ramadhan atau peringatan hari-hari khusus dalam Islam seperti Syuro (muharram) dan Sapar (Safar),
maka orang Kristiani biasa mengadakan menjelang hari Natal,
terkadang juga hari Paskah. Berbagai upacara tersebut seperti bersih desa, upacara Saparan, Baritan, dan sebagainya pada awalnya ditujukan sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada para dewa, tetapi dalam Islam diubah menjadi ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan. Sedang doa yang dahulunya berbentuk mantra, dalam tradisi Jawa Islam berganti dengan doa-doa Islam yang diwariskan secara turun menurun. Kedua, upacara lingkaran hidup Upacara Kelahiran: ada beberapa acara guna menyambut kelahiran seseorang yaitu disebut dengan (1) tingkepan, (2) pasaran, (3) puputan (ketika tali pusar copot dari pusat bayi) dan (4) selapanan. Tingkepan dilakukan guna menyambut kedatangan bayi (yang belum lahir) yang dilaksanakan ketika kandungan berumur 8 bulan atau akhir bulan kandungan ketujuh. Prosesi tradisi tersebut sebagai berikut: perempuan yang sedang hamil beserta suaminya dimandikan dengan air dari 7 sumur, bunga 7 warna dan jarik (kain untuk orang jawa) tujuh lapis dengan warna yang berbeda. Air tujuh (7) sumur ini diibaratkan kelahiran seseorang paling tidak telah diterima oleh tujuh (7) keluarga yang artinya diterima seluruh warga setempat. Yang memandikan adalah keluarga yang terdekat dari perempuan/suami yang sedang tingkepan tersebut, namun biasanya dalam hubungan kekerabatan lebih dekat dengan si perempuan yang sedang mengandung. Jumlah orang yang memandikan juga ada tujuh orang. Acara selanjutnya adalah selamatan. Dalam selamatan dibuat tujuh (7) tumpeng yang nantinya akan diberikan pada para laki-laki yang ikut acara selamatan yang air sumurnya diambil, baru setelah itu si tetangga membaginya untuk peserta yang hadir. Yang hadir dalam acara tersebut adalah orang-orang yang ada dalam kampung tersebut secara keseluruhan yang berjenis kelamin laki-laki. Biasanya mereka ada dalam satu teritori dusun, tanpa melihat latar belakang suku agama dan lainnya. Upacara pasaran dilakukan guna menyambut kelahiran dan dilaksanakan pada hari ke-4 atau hari ke-7 setelah kelahiran. Biasanya dibarengi dengan upacara selamatan dan doa untuk bayi dan keluarga. Pemberian nama untuk bayi sesaat setelah
53
rambutnya dipotong satu helai. Acara ini bagi kebanyakan masyarakat Islam Jawa biasanya dibarengi dengan aqiqohan, yaitu penyembelihan 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki dan 1 ekor kambing untuk bayi perempuan. Acara puncaknya adalah selamatan dan pemberian nama untuk si bayi. Upacara Puputan dilakukan guna menyambut kedatangan anggota keluarga baru. Prosesinya diawali dengan mengadakan selamatan untuk si bayi, rambut si bayi dipotong sehelai dan diberi nama. Upacara ini dilaksanakan ketika tali pusar bayi terlepas dari pusatnya yang berarti waktunya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Acara penyerta dan puncak acara sama dengan upacara pasaran. Upacara Selapanan dilakukan pada hari ke-36 dihitung sejak hari kelahiran bayi yang didasarkan pada pertautan antara hari (pasaran) dalam jawa dan hari pada umumnya. Jika dia dilahirkan pada hari Selasa Kliwon maka upacaranya diadakan selapan harinya lagi adalah Selasa Kliwon berdasar pada weton. Acara penyerta dan puncak acara sama dengan tradisi pasaran dan puputan dikarenakan sama-sama dalam rangka
menyambut
kedatangan
bayi.
Yang
membedakan
adalah
waktu
pelaksanaannya. Upacara Perkawinan dan Pubertas: Acara nikah disebut mantenan, khitanan disebut teta’an/ngislamke dan ngguwang suker (disebut ngislamke karena budaya khitan hanya ada dalam tradisi Islam). Dalam masyarakat tersebut, bagi yang tidak khitan dianggap keturunan Belanda yang berarti musuh. Bentuk acara adalah selamatan. Prosesi pernikahan dapat dilihat dalam pernikahan adat Jawa pada umumnya. Secara lebih khusus belum ditemukan data spesifik. Begitu juga dengan acara khitanan. Kematian: Upacara peringatan kematian biasanya dilakukan selamatan dengan waktu khusus sebagai berikut : 1-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 1000 hari. Pada peringatan kematian ke 1000 hari ini biasanya diselenggarkan acara/tradisi ngijing (tetenger) yaitu membangun bangunan diatas kubur keluarga yang sudah meninggal. Ngijing ini digunakan untuk mempermudah mengenali kubur sesorang. Biasanya digunakan dalam acara nyekar di bulan Ruwah ( Sya’ban). Orang yang hadir dalam setiap ada orang mati dan upacara peringatan orang mati terdiri dari berbagai kalangan dan latar belakang agama, suku dan lainnya. Hampir semua upacara tersebut masih fungsional dan dilakukan oleh masyarakat setempat. Seorang informan, Ism, menegaskan:
54
Tradidi yang ada dalam masyarakat, khususnya di Samigaluh, masih terjaga dengan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan masih dilakukannya upacara-upacara adat yang dilakukan oleh warga setempat. Setiap desa memiliki upacara adat yang berbeda namun tetap merupakan satu kesatuan karena nilai, tempat dan sebagainya masih merupakan rangkaian. …Namun ada juga yang antara desa (tempat) satu dengan lainnya yang sedikit berbeda namun memiliki bentuk dan pola yang sama. Misalnya bersih dusun, upacara pernikahan, khitanan, kematian yang menggunakan tradisi yang berpegang dengan adat setempat (budaya lokal). Dalam banyak upacara tersebut, hal yang tidak dapat dipisahkan adalah penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa utama (bukan bahasa Indonesia)
G. Model Pengendalian Potensi
Konflik Berbasis Budaya Lokal
Dari uraian sebelumnya diketahui bahwa dalam pengendalian potensi konflik antarumat beragama yang
sudah berlangsung dalam masyarakat masih
dominan
pendekatan struktural yaitu upaya yang dilakukan pemerintah, baik yang dilakukan Kantor Ksbanglinmas maupun Departemen Agama dan instansi terkait lainnya di Kulonprogo. Sementara pendekatan kultural yang berupaya
memanfaatkan potensi
budaya lokal masih belum dikembangkan dengan baik. Upaya-upaya yang dilakukan yaitu: (a) Sosialisasi wawasan kebangsaan yang menekankan pentingnya persoalan kebangsaan termasuk
hubungan antarkelompok secara damai.
(b)
Membentuk
forum/badan lembaga guna mempermudah komunikasi antar kelompok. (c) Sosialisasi khusus tentang kerukunan umat beragama (trilogi kerukunan) dan peningkatan kesadaran hokum. (d) Deteksi dini kemungkinan terjadinya konflik. Masalahnya adalah tidak semua hasil-hasil pertemuan antar kelompok agama yang difasilitasi pemerintah dapat tersosialisasi dengan baik oleh organisasi keagamaan. Hal ini karena pertemuan itu masih pertemuan elit dan belum merakyat. Para informan sepakat bahwa dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus ada yaitu (1) Evaluasi posisi modal budaya lokal. (2) Adanya
kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-
komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, (3) Adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali konflik. (4) adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal. 1. Evaluasi Budaya Lokal Sebagaimana dikemukakan dalam tinjauan pustaka, yang dimaksud budaya lokal adalah semua
ide, aktivitas dan
hasil aktivitas
manusia
dalam suatu kelompok 55
masyarakat di lokasi tertentu. Budaya lokal tersebut secara aktual masih tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta disepakati dan dijadikan pedoman bersama. Dengan demikian sumber budaya lokal bukan hanya berupa nilai, aktivitas dan hasil aktivitas tradisional atau warisan nenek moyang masyarakat setempat, namun
juga semua
komponen atau unsur budaya yang berlaku dalam masyarakat serta menjadi ciri khas dan atau hanya berkembang dalam masyarakat tertentu. Pemaknaan budaya lokal secara relatif luas tersebut penting, karena pada era globalisasi saat ini kontak antarbudaya pasti terjadi, sehingga dimungkinkan terjadinya saling akomodasi dan akulturasi budaya. Setiap daerah memiliki karakter yang berbeda dengan daerah lain. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki, karakter tersebut sebenarnya merupakan keunggulan yang jika ditelusuri lebih jauh merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang plural. Karakter itu muncul sebagai sebuah identitas yang digunakan sebagai sistem penjelas pola kehidupan masyarakat. Identitas biasanya digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain, sehingga dengan identitas itu pula tingkat perkembangan sebuah suku, kelompok, dan bangsa itu dilihat. Nilai yang terkandung dalam karakter tersebut boleh jadi bertolak belakang dengan karakter ditempat lain. Penggunaan identitas di satu sisi merupakan penegasan sebuah karakter tertentu sebagai cara untuk menunjukkan diri sehingga dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk pengendalian dan penyelesaian konflik antarkelompok. Di sisi lain ia dapat menjadi pemicu dari perbedaan yang terjadi tersebut hingga bisa menimbulkan konflik baik secara terbuka maupun tertutup. Komponen budaya lokal
dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu (a)
kelompok sosial, (b) aktor lokal, (c) nilai-nilai, dan (d) upacara. Karena itu dalam mencari model pengendalian, termasuk penyelesaian, konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut, tentu dengan nuansa yang berbeda pada setiap daerah. Evaluasi terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari status atau keberadaannya dalam
proses pengendalian konflik. Dari aspek ini, ada 3
kemungkinan statusnya yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin
diperankan
dan diberdayakan
sebagai
instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi
56
masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama. Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses pengendalian potensi konflik, menurut para informan, di Kulonprogo terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat suku Jawa di Kulonprogo saat ini tanpa memandang latar belakang agamanya. Nilai-nilai tentang hidup rukun yang potensial tersebut terdapat dalam
ugeran tayub, leliru saka
liya, teposelira, sambatan dan gotong royong. Tayub kepanjangan dari tata lan guyub berarti menata hidup rukun penuh kekeluargaan dalam masyarakat. Leliru saka liya pada intinya bermakna bahwa persaudaraan dan hidup rukun itu jauh lebih baik daripada apa yang hilang. Teposelira berarti sikap hidup bertenggang rasa antarorang. Sambatan adalah saling membantu dan bekerja sama antar anggota masyarakat. Keempat ugeran tersebut dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran anggota masyarakat, terutama dari kalangan generasi tua. Sementara pengukuhan terhadap generasi muda dilakukan melalui sosialisasi
dalam keluarga dan pertemuan-pertemuan
yang ada di masyarakat serta sekolah. Supaya nilai-nilai rukun dalam ugeren-ugeran dapat menjadi instrumen dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya, menurut para informan harus ada prasyarat atau langkah-langkah yang harus dilakukan. Di antaranya perlu dilakukan sosialiasasi melalui kehidupan keluarga, melalui kegiatan kelompok-kelompok sosial , dan sekolah, termasuk juga melalui media massa. Sementara
ugeran alon-alon waton klakon meskipun masih aktual dalam
kehidupan masyarakat, namun dianggap tidak terkait secara langsung dengan hidup rukun di kalangan masyarakat. Ia lebih mengacu kepada membangun sikap hati-hati dari setiap individu. Karena itu ugeran yang satu ini masuk dalam kategori nilai-nilai yang inpotensial. Kedua, kelompok sosial yang dianggap potensial untuk dikembangkan dalam pengendalian konflik adalah trah dan PKK, dan dasa wisma.
Trah merupakan wadah
yang didalamnya terdapat jaringan kekerabatan melahirkan budaya ‘sungkan’ dan saling
57
hormat di antara anggota trah dan kerabat. Dalam hubungan antarorang, orang Jawa akan selalu bertanya ‘orang itu keturunan siapa’. Kalau orang tersebut ternyata ada hubungan kekerabatannya dengan dirinya, berikutnya yang bersangkutan akan bertanya tentang posisinya dalam struktur kekerabatannya, sehingga timbul saling hormat dan sungkan. Trah di Kulonprogo dapat
diperankan sebagai media dalam pengendalian konflik
setidaknya karena beberapa alasan. (1) trah cukup banyak, baik pada kelompok masyarakat berstatus sosial tinggi maupun menengah-bawah. (2) jenis trah bersifat heterogen (anggotanya beragam latar belakang agama) dan homogen
(anggotanya
memeluk satu agama), (3) frequensi kegiatannya selain pada lebaran/tahunan juga ada kegiatan lapanan, (4) Dari pertemuan tersebut terjadi interaksi antaranggota trah yang berbeda agama dan sosialisasi tentang makan penting kerukunan. Hanya saja ada satu syarat penting yang harus diperhatikan supaya trah ini dapat diperankan sebagai
wadah pengendali konflik
dirorientasikan berfungsi sebagai wadah
secara efektif. Trah harus lebih
cross cutting affiliation dari anggotanya,
sehingga secara sadar punya orientasi kegiatan dalam pengendalian konflik terutama yang melibatkan anggotanya. Begitu juga ketika terjadi konflik antarumat beragama yang melibatkan anggotanya pimpinannya harus proaktif dalam ikut penyelesaiannya. Ini sangat dimungkinkan karena pimpinan dan khususnya sesepuh trah mempunyai wibawa dan dihormati oleh anggota (kerabatnya). PKK dan dasa wisma sebenarnya bukan kelompok sosial khas lokal Kulonprogo, sebab ia merupakan lembaga yang ada dalam skala nasional dan mempunyai jenjanghirarkis dari tingkat pusat sampai RT (khususnya PKK). Hanya saja kelompok sosial ini di Kulonprogo termasuk kategori aktif, sehingga dimunculkan oleh informan. Alasannya karena ia mempunyai jaringan hirarkis, ada pertemuan dan kegiatan rutin mingguan, anggotanya ibu-ibu
yang dianggap mempunyai sikap feminis, sebuah
watak yang
dibutuhkan dalam upaya sosialisasi nilai-nilai kerukunan dan budaya hidup damai, latar belakang agama anggotanya heterogen. Ketiga, di Kulonprogo ada tiga aktor lokal yang dianggap punya pengaruh yaitu priyayi khususnya yang punya kaitan dengan Puro Pakualaman, kyai, dan pamong baik pada tingkat desa dan dusun. Agak berbeda dengan di tempat lain, di Kulonprogo relatif tidak ada aktor lokal yang dominan. Secara aktual, selama ini dalam proses pengendalian, dan penyelesaian konflik antarumat beragama, tingkat pemeranannya masih berbeda. Pamong sudah banyak dilibatkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian konflik,
58
sedangkan kyai dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Sementara priyayi belum banyak diperankan dalam pengendalian dan penyelesaian konflik secara langsung. Artinya belum dilibatkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian melalui dialog-dialog yang difasilitasi pemerintah. Hal ini perlu diperhatikan karena jumlah mereka cukup banyak dan sama-sama mempunyai pengaruh dalam struktur masyarakat di daerah ini, khususnya dalam kaitannya denga anggota kerabatnya. Gotong royong selain
berupa ugeran (nilai) juga dapat berupa kegiatan yang
dilakukan masyarakat. Dalam makna ini, gotong royong merupakan wadah yang sudah lama dilakukan masyarakat. Ia telah menjadi wadah tempat orang orang yang berbeda agama
berinteraksi satu dengan lainnya. Walaupun begitu ia belum menjadi wadah
sosialisasi tentang hidup rukun dan damai. Keempat, masyarakat pada tingkat desa dan dusun menyelenggarakan peringatan hari besar keagamaan dan acara upacara adat. Kegiatan ini biasanya difasilitasi juga oleh pemerintah setempat, terutama memberikan sokongan dana. Dalam peringatan acara tersebut diselipkan pentingnya hidup rukun. Biasanya hal ini dilakukan oleh aparat desa dalam memberikan sambutan-sambutan sebelum acara dimulai. Upacara adat
di setiap kecamatan dapat berbeda-beda, dan karenanya
dapat
dikelompokkan ke dalam kategori tertentu yaitu: (1) upacara adat yang secara eksklusif hanya berlaku dan dilakukan oleh kelompok agama tertentu, dalam hal ini kasusnya dianggap tidak ada (2) Upacara adat yang dilakukan oleh beberapa kelompok agama namun dengan tempat, waktu yang berbeda seperti ‘nyekar’ selain dilakukan umat Islam juga oleh umat Kristen pada waktu dan tempat yang berbeda, artinya dilakukan sendirisendiri. Begitu juga dengan sadran, meskipun awalnya hanya dipraktekkan di kalangan muslim, namun saat dipraktekkan juga oleh umat Kristen. (3) Upacara adat yang berlaku dan dilakukan masyarakat umum secara bersama-sama
dan lintas kelompok agama,
misalnya baritan, saparan, jamasan pusaka, dan bersih desa. Dari ketiga ketegori upacara adat tersebut, tingkat potensialitas untuk dikembangkan dalam pengendalian konflik adalah upacara adat yang lintas agama atau umum, baru kemudian upacara adat yang dipraktekkan 2 atau lebih kelompok umat beragama secara terpisah, dan upacara adat yang dipraktekkan hanya oleh satu kelompok agama. Tingkatan potensialitas ini jika dilihat dari banyaknya fungsi yang ada pada setiap upacara adat. Upacara adat lintas agama atau umum, selain berfungsi sebagai media
59
sosialisasi hidup rukun juga interekasi antarumat beragama. Sementara
2 kelompok
upacara adat yang lain hanya berfungsi sebagai media sosialisasi hidup rukun. Tabel 2: Status Komponen Budaya Lokal Status Komponen Budaya
Potensial PB/Sos Inter
Aktual PB/Sos Inter
Inpotensial PB/Sos. Inter.
Nilai-nilai:
1. Tayub 2. Leliru saka liyan 3. Teposeliro 4. Sambatan dan gotong royong 5. alon-alon asal klakon Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. Gotong royong
Aktor lokal: 1. Priyayi 2. Kyai 3. Pamong Upacara Adat: 1. Baritan (UA Tipe 3) 2. Jamasan pusaka (Tipe 3) 3. Bersih desa (Tipe 3) 4. Saparan (Tipe 2) 5. Nyekar (Tipe 2) 6. Sadranan (Tipe 2) Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian
+ + + + + + +
+
+ + +
+ + + + + + + + +
+ + +
+
+
Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.=Interakasi
PB=Pedoman Bersama
Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian dapat dijadikan sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara tersebut, termasuk upacara slametan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir berasal dari orang-orang yang berbeda agama. Berdasarlam evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya dalam pengendalian konflik di daerah ini lebih banyak berbasis kepada kelompok mayoritas suku. Artinya modal yang dimiliki dan didasarkan atas budaya dominan yaitu suku Jawa. Misalnya komponen nilai-nilai didasarkan atas budaya Jawa yang menjadi bagian terbesar masyarakat Kulonprogo, demikian juga dengan upacara adat. Memang dalam upacara adat ini telah terjadi akulturasi antara budaya Jawa dan agama-agama global seperti Islam dan Kristiani. Dalam komponen lembaga sosial dan aktor lokal lebih banyak didasarkan atas budaya kelompok suku mayoritas, kecuali kyai, namun pada hakikatnya dengan adanya konsep sesepuh di daerah ini menunjukkan adanya pengaruh budaya Jawa
60
yang kuat. Sesepuh ini adalah orang tua yang dihormati atau dituakan yang nasehatnasehatnya
sangat diperhatikan. Sesepuh ini biasanya berupa tokoh
tradisional dan
termasuk priyayi. Adapun dalam upacara lingkaran hidup bersifat paduan budaya Jawaagama, khususnya agama Islam. 2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik Yang dimaksud fungsi di sini adalah konstribusi yang diberikan dan disediakan oleh setiap komponen budaya dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama. Fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing. Fungsi nilai-nilai budaya yang terdapat dalam semua ugeran di Kulonprogo seperti tayub dan teposelira pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari masyarakat tanpa mengenal perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan lainnya.. Nilai-nilai ini harus disosialisasikan kepada masyarakat melalui wadah seperti kelompok sosial tradisional maupun modern. Kelompok-kelompok sosial
yang potensial sebagai pengendali konflik lebih
banyak yaitu trah berfungsi sebagai wadah sosialisasi dari nilai-nilai tentang hidup rukun, juga sebagai media interaksi antarorang yang berbeda agama, khususnya dari kalangan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Sementara ketiga aktor lokal lebih berfungsi sebagai subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Dalam hal ini ke depan ketiga tokoh lokal tersebut perlu diberikan media yang dapat mempertemukan secara lebih intensif, dan mempertahankan media yang sudah ada. Hal ini dianggap penting karena ketiganya mempunyai pengaruh di lingkungan masing-masing. Upacara adat
mempunyai fungsi yang berbeda-beda, perbedaan ini terutama
tergantung kepada tipe upacara adat tersebut. Sebagaimana dikemukakan di bagian sebelumnya, upacara adat yang ada di daerah ini hanya terdiri dari dari 2 kelompok yaitu upacara adat yang bersifat umum atau lintas agama, dan upacara adat yang dilakukan oleh 2 atau lebih kelompok umat beragama di tempat, waktu dan ritual yang berbeda. Untuk upacara adat tipe umum-lintas agama dapat diperankan dalam dua hal sekaligus yaitu sebagai wadah interaksi antarumat beragama dan sosialisasi nilai-nilai rukun. Adapun untuk upacara adat yang dilakukan 2/lebih umat beragama hanya lebih berfungsi atau
61
diperankan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama masing-masing.
Upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai
kematian dapat berfungsi sebagai wadah interaksi antarumat beragama, dan dapat juga dikembangkan sebagai wadah sosialiasasi nilai-nilai kerukunan. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 3 berikut Tabel 3: Fungsi dan Sumber Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Fungsi Pedoman
Nilai-nilai 1. Tayub 2. Leliru saka liyan 3. Teposeliro 4. Sambatan dan gotong royong Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. Gotong royong Aktor lokal: 1. Priyayi 2. Kyai 3. Pamong Upacara Adat: 1. Baritan (UA Tipe 3) 2. Jamasan pusaka (Tipe 3) 3. Bersih desa (Tipe 3) 4. Saparan (Tipe 2) 5. Nyekar (Tipe 2) 6. Sadranan (Tipe 2) Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian
Berbasis Kepada Sosialisasi
Interaksi Suku mayoritas
+ + + + Suku mayoritas + + -
+ + + Suku mayoritas Agama mayosritas
+ + + + + + + + +
+ + +
+
Suku mayoritas
Suku mayoritas– agama global
3. Mekanisme Dalam usaha menerapkan status dan fungsi dari budaya lokal tersebut harus dilakukan melalui sebuah alternatif cara dan proses. Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama dibedakan ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi. Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilainilai lokal oleh kyai, pamong, dan sesepuh-priyayi dalam kegiatan kelompok sosial yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan trah dan upacara adat dan lingkaran hidup, termasuk dalam kegiatan PKK-dasa wisma.
62
Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh aktor-aktor di luar pamong, kyai dan priyayi melalui berbagai kesempatan (seperti melalui pelatihan, workshop). Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain Dari kedua pola mekanisme tersebut pola yang bersifat integratif dianggap lebih tepat untuk penerapan model pengendalian konflik antarumat beragama ke depan. Hal ini karena dalam masyarakat modern pola interaksi antarorang dan kelompok semakin dinamis dan menyebar, apalagi dalam sebuah kelompok masyarakat.
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal Setiap penyelesaian konflik antarumat beragama berbasis budaya lokal disyaratkan memperhatikan beberapa komponen yaitu: 1. Memperhatikan karakter konflik 2. Pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar 3. Pemanfaatan budaya lokal 1. Memperhatikan karakter konflik Konflik antarumat beragama
di setiap daerah memiliki kekhasannya masing-
masing, selain ada persamaannya. Kekhasannya itu terutama terkait dengan jenis, sumber konflik, dan subyek berkonflik. Jenis konflik di Kulonprogo termasuk konflik ide dan gerakan massa, sejauh menyangkut Samigaluh tidak ada konflik yang signifikan sebelumnya. Subyek berkonflik melibatkan elit dan massa umat agama Islam dan elit agama Kristen, khususnya dari penyelenggara pendidikan pemicu konflik adalah kebijakan pemerintah
Kristiani. Penyebab atau
di bidang pendidikan, khususnya yang
berkaitan dengan aturan yang menyatakan bahwa setiap siswa mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Adapun sumber konflik karena adanya salah paham antarbudaya atau masing kelompok. Selain itu
prasangka negatif dari masing-
karena adanya misiologi
di bidang pendidikan, dan
penggunaan simbol agama tertentu oleh umat agama lain. 2. Pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar Pengalaman dalam penyelesaian konflik antarumat beragama sebelumnya harus menjadi perhatian. Artinya penyelesaian konflik masa lalu tersebut harus dipelajari dan
63
dievaluasi.
Dari
beberapa
kasus
konflik
antarumat
beragama
di
Kulonprogo
penyelesaiannya lebih cenderung menggunakan cara-cara struktural kekuasaan dan belum memanfaatkan cara-cara kultural. Cara struktural adalah cara yang dipakai oleh aparat dan lembaga pemerintah setempat
atau pihak keamanan dalam menyelesaikan konflik.
Karenanya pendekatan yang digunakan bersifat tidak langsung
berupa mediasi dan
fasilitasi yang dilakukan pemerintah. Bahkan dalam kasus Samigaluh tahun 2000/2001 penyelesaian
juga menggunakan pendekatan langsung berupa musyawarah/dialog
langsung antarelit kelompok agama dan bahkan tokoh masyarakat, namun dalam musyawarah tersebut tidak membahas akar masalah dan cenderung ada keinginan memaksakan keinginan masing-masing, sehingga tidak melahirkan kesepakatan. Hal ini karena
mereka justru terfragmentasi pada dukung-mendukung salah satu pihak yang
berkonflik. Dalam hal ini peran mereka dalam konflik tersebut sebagai tokoh yang berupaya meredam massa masing-masing supaya mampu menahan diri, bukan sebagai penenga atau mediator. Karena itu menjadi wajar kalau akhirnya penyelesaian tidak melibatkan tokoh-tokoh dalam masyarakat ini karena sering tokoh agama sendiri tidak lagi menjadi pengayom bagi masyarakat secara keseluruhan. Dari
kenyataan tersebut dapat
disimpulkan beberapa hal: (1) pendekatan
langsung berupa musyawarah/dialog antartokoh dari kelompok-kelompok terlibat mengalami kegagalan karena tidak ditujukan untuk mengkaji akar masalah dan belum berkembangnya sikap ‘saling memberi-menerima’ sebagaimana layaknya dalam sebuah negoisasi. Hal ini terjadi karena masih tebalnya prasangka masing-masing pihak dan terfragmentasinya tokoh-tokoh agama dan pamong ke dalam kelompok-kelompok yang berkonflik. (2) Pendekatan langsung dan tidak langsung dilakukan secara berbalik yaitu dimulai dari pendekatan langsung baru ke pendekatan tidak langsung. Padahal dalam kondisi yang saling curiga dan sama-sama dalam kondisi ‘memanas’ dibutuhkan pihak ketiga untuk tidak saling mempertemukan kedua belah pihak terlebih dahulu. Ini terkait dengan mekanisme yang harus dijalankan yaitu supaya penyelesaian berjalan efektif perlu dilakukan pendekatan tidak langsung terlebih dahulu baru ke pendekatan langsung yang bertujuan untuk mencari akar masalah dan kesepakatan dan solusi agar tidak terjadi konflik di masa-masa yang akan datang. (3) hukum, khususnya hukum positif, belum menjadi acuan dalam penyelesaian konflik antarumat beragama. 3. Pemanfaatan budaya lokal.
64
Berdasarkan kepada kedua aspek tersebut langkah selanjutnya adalah mencari posisi dan peran yang dapat dimainkan komponen-komponen budaya lokal yang relevan. Pertama, dalam kasus Kulonprogo aktor-aktor lokal khususnya tokoh agama dan pamong terfragmentasi ke dalam kepentingan-kepentingaan kelompok yang terlibat konflik. terutama aktor dan kelompok sosial lokal.
Dalam kasus seperti ini sebenarnya
dapat memerankan tokoh lain. Untuk itu dapat ditempuh cara sekaligus. a. Kalau di suatu daerah terdapat beberapa kelompok aktor lokal yang sama-sama mempunyai pengaruh kuat di lingkungannya seperti di Kulonprogo, maka ketika salah satu atau dua kelompok aktor lokal tersebut (di Kulonprogo pamong dan tokoh agama) terfragmentasi dalam kelompok-kelompok berkonflik atau bahkan terlibat konflik, maka dapat memerankan aktor lokal lain yang tidak terlibat dan tidak terfragmentasi. Dalam kasus ini adalah sesepuh dan priyayi setempat. Sesepuh-priyayi tersebut dapat berfungsi sebagai mediator atau fasilitator dari kelompok-kelompok yang berkonflik. Pilihan ini sangat tepat karena mereka menjadi sosok yang netral dari kepentingan dan orang yang disegani. Bahkan lebih jauh mereka dapat diperankan sebagai sosok pemrakarsa dalam proses selanjutnya yaitu dalam penyelesaian dengan pendekatan langsung antarkelompok yang berkonflik, baik dalam proses negosiasi, dialog maupun rekonsilisasi. Dari kedua pendekatan (tidak langsung
dan langsung) tersebut sesepuh-priyayi
harus
mendorong agar pihak-pihak yang terlibat konflik mampu mengidentifikasi dan memecahkan akar masalah bersamaan dengan langkah-langkah penciptaan suasana kondusif saat itu. b. Pemanfaatan trah, sesepuh dan pimpinannya Di antara sesepuh-priyayi setempat ada yang menjadi sesepuh atau pimpinan dari kelompok trah. Sesepuh-priyayi yang diperankan sebagai aktor penyelesai konflik
akan lebih efektif lagi jika mereka berposisi sebagai
sesepuh/pimpinan dari trah atau jaringan kekerabatan dari tokoh/orang-orang yang berbeda agama yang terlibat konflik. Hal ini karena adanya sikap sungkan dan hormat di antara orang-orang yang sekerabat terhadap sesepuh di kelompok trah tersebut. Bahkan
jika
orang-orang yang terlibat konflik antarumat beragama
tersebut merupakan anggota yang sama dari sebuah trah atau jaringan kekerabatan, maka penyelesaian yang dilakukan sesepuh atau pimpinan
trah dapat
juga
65
dilakukan di tingkat internal trah tersebut. Hal ini dianggap memiliki efektivitas daripada dilakukan sesepuh (baik sesepuh nontrah maupun sesepuh trah) di luar trah misalnya dengan melibatkan
lembaga pemerintahan dan ditempatkan di
kantor-kantor tertentu. Dalam kasus penyelesaian konflik tahun 2000 misalnya, dalam batas-batas tertentu telah muncul di daerah ini. Sebagai contoh tokoh dari sekolah Kristen dan tokoh muslim setempat mempunyai hubungan kekerabatan, dan keduanya mengaku faktor hubungan kekerabatan ini berkonstribusi dalam mempercepat suasana
kembali kondusif.
Memang kesadaran ini belum menjadi bagian
penyelesaian konflik yang terencana. Kedua, upacara adat dan nilai-nilai lokal secara relatif dapat juga diperankan dalam proses penyelesaian konflik antarumat beragama, khususnya pascakonflik yaitu sebagai media untuk memperkuat dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan antarkelompok yang terlibat konflik. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh sesepuh-priyayi yang tidak terlibat konflik, juga aktor-aktor lain yang sama-sama punya pengaruh yang tidak terlibat konflik atau tidak terfragmentasi dalam kelompok-kelompok yang berkonflik. Sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik tersebut tersebut juga dapat dikukuhkan dengan nilai-nilai lokal yang terkandung dalam beberapa ugeran setempat sebagaimana dicantumkan dalam bahasan tentang model pengendalian konflik. Nilai-nilai dalam ugeran dan kerukunan tersebut diuapayakan menjadi pedoman bersama. Ketiga, penerapan komponen budaya tersebut dalam penyelesaian konflik antarumat beragama tersebut dapat ditempuh dengan dua cara yaitu mandiri dan integrasi. (1) Mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan dengan utuh
dan secara mandiri. Misalnya
sesepuh-priyayi melakukan
penyelesaian konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam konteks normanorma yang berlakun di trah atau kekerabatan, dan dengan mengukuhkan nilai-nilai lokal yang ada.
Alternatif lain memerankan priyayi, kyai dan pamong yang tidak terlibat
konflik atau tidak terfragmentasi dalam kelompok-kelompok yang berkonflik sebagai penyelesai konflik. Aktor-kator lokal tersebut memanfaatkan dan memerankan upacara adat, trah dan dasa wisma-PKK sebagai media sosialiasi hasil penyelesaian. Nilai-nilai setmpat yang berkaitan dengan hidup rukun dijadikan dan dikukuhkan sebagai acuan bersama. (2) Mekanisme penerapan komponen budaya lokal secara integratif. Artinya, satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam upaya penyelesaian
66
konflik. Memberdayakan sesepuh-priyayi, atau aktor lokal lain yang punya pengaruh, untuk menjadi subyek penyelesai konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung bersama-sama dengan aktor lain seperti dari pemerintah ataupun lainnya. Selain itu dapat juga melakukan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh ketiga aktor lokal yang ada atau aktor lain dari pemerintahan di level yang lebih tinggi melalui berbagai kesempatan (seperti melalui pelatihan, workshop). Juga pemanfaatan kelompok sosial dan upacara lain sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh aktor lokal di luar priyayi, kyai dan pamong.
.
67
68
BAB III SOLO: PELECEHAN AGAMA DALAM ARENA SUMBU PENDEK
A. Geografis, Penduduk dan Setting Sosial Solo, dalam hal ini adalah Kota Surakarta, merupakan pusat Kesultanan Mataram setelah Ngayogyakarta, dan seperti halnya Yogyakarta, Solo merupakan pusat budaya Jawa. Saat ini Solo memiliki lima kecamatan yaitu Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Banjarsari. Terdiri dari dari 51 kelurahan, 592 RW, dan 2645 RT. Luas daerahnya mencapai sekitar 44,04 Km2, kecamatan terluas adalah Banjarsari (14,81 Km2), Jebres (12,58 Km2), sedangkan terkecil adalah Serengan (3,19 Km2). Dua kecamatan yang lain Laweyan sekitar 8,63 Km2, dan Pasar Kliwon mencapai 4,82 Km2. Jumlah penduduk kota Solo pada tahun 2003 sebanyak 497.234 jiwa.1 Kepadatan penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Pasar Kliwon yang mencapai 15.837/Km, kemudian diikuti sedangkan kepadatan
Serengan (14.660 jiwa/Km), Banjarsari (11.291 jiwa/Km), terkecil terdapat di Kecamatan Laweyan (10.240/Km), dan
Jebres (10.425/Km). Penduduk perempuannya
(51,21%) lebih banyak daripada
penduduk laki-laki (48,79%). Kecenderungan ini terdapat pada semua kecamatan dan sudah terjadi sejak tahun 1980. Lebih sepertiga (34,38) penduduk usia 10 tahun ke atas (415.928 orang) sudah mengenyam pendidikan SMA/sederajat, disusul kemudian oleh yang mengenyam SD/sederajat (22,93) SLTP/sederajat (19,90). Adapun yang mengenyam pendidikan tinggi ada 10,61, di antara mereka ada yang tidak tamat SD dan tidak sekolah (12,18). Mayoritas penduduknya bekerja di sektor usaha modern seperti industri, perdagangan, jasa, dan pegawai. Hal ini seiring dengan kian sempitnya lahan pertanian, lahan pertanian ini hanya terdapat di Laweyan dan Banjarsari. Mata pencaharian penduduk kebanyakan sebagai buruh (33,90), baik sebagai buruh industri, bangunan, dan tani. Selebihnya sebagai PNS (12%), pedagang (7,56), dan angkutan (5%). Solo sejak dulu dikenal sebagai kota batik dan pakaian. Citra ini nampaknya belum hilang, terbukti 1
Jumlah ini berdasarkan sumber Hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendaftaran Penduduk Berkelanjutan (P4B). Sementara berdasarkan hasil Survei Sosial Eknoomi Nasional 2003 yang dilakukan BPS Kota Surakarta jumlahnya 485.501 jiwa, dan menurut sumber yang berasal dari kumpulan Monografi Kelurahan BPS mencatat sekitar 555.125 jiwa. Dalam laporan ini masing-masing sumber tersebut digunakan untuk menganalisis aspekaspek tertentu. Ketiga sumber tersebut semuanya diambil dari Kota Surakarta Dalam Angka 2003.
68
dari volume dan nilai eksport tahun 2003 jenis barang ini menduduki posisi kedua setelah mebel. Usaha besar di bidang ini memang dikuasai pengusaha non-pribumi khususnya Cina, sementara orang Arab dan pribumi banyak bergerak di level menengah ke bawah. Konflik-konflik kelas yang bersumber dari sosial-ekonomi sering terjadi di Solo, dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya struktur sosial yang memang dibangun sejak pemerintahan kolonial Belanda. Sejak awal abad ke-20, konflik bernuansa agama-etnik sudah sering terjadi, misalnya konflik antara para pedagang batik muslim-Jawa-Arab
dengan Cina. Konflik ini bersumber dari kebijakan
diskriminatif pemerintah kolonial Belanda yang memposisikan (pedagang) pribumi sebagai kelompok kelas bawah setelah orang-orang Belanda, Indo, dan orang Cina. Dalam perdagangan importir misalnya, Belanda memasok bahan baku batik langsung kepada pedagang Cina, sehingga pedagang muslim-pribumi hanya memperolehnya dari pedagang Cina, itupun dengan berbagai syarat. Setelah merdeka struktur sosial terus berlanjut, meskipun konflik terus diusahakan oleh pemerintah Orde Baru. Misalnya pembentukan paguyuban suku-suku Arab-Cina-Jawa oleh pemerintah Kota Surakarta. Ini merupakan upaya pembauran suku minoritas ke dalam budaya suku mayoritas. Secara historis Solo dikenal sebagai pusat gerakan keagamaan, mulai dari Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Laweyan sampai
dengan
munculnya kelompok-kelompok ‘Islam konsisten’ seperti Front Pembela Islam Surakarta, dan Majelis Mujahidin yang muncul pada era reformasi. Kota ini dikenal juga sebagai kota yang masyarakatnya majemuk dari segi suku dan kelas sosialekonomi, agama, dan paham keislaman. Tak heran kalau banyak orang menyatakan bahwa di Solo semua tingkatan keislaman dan keagamaan tumbuh dan berkembang, mulai dari kelompok Islam yang paling militant-fundamentalis, moderat sampai yang liberal dan abangan. Kelompok-kelompok keislaman tersebut memiliki subkulturnya masing-masing, dan secara politik dapat dilihat juga dalam kekuatan partai politik yang mengindikasikan kekuatan masing-masing kelompok. Partai-partai Islam atau berbasis massa Islam cukup kuat selain partai nasionalis sekuler. Kedua kelompok partai tersebut sebagai representasi dari kelompok muslim tersebut. Walaupun umat Islam memiliki banyak subkultur, namun mereka masih menjadi bagian terbesar dari masyarakat, hanya persentasenya (72,36%) tidak mencapai
69
mayoritas mutlak. Yang luar biasa adalah perkembangan umat Kritiani yang mencapai lebih seperempat penduduk (26,36%) yang terdiri dari Katolik sebesar 13,20%, dan Protestan 13,16%. Sementara umat Budha dan Hindu masing-masing sebanyak 0,84% dan 0,44%. Perkembangan umat beragama dalam setiap tahunnya tidak mengalami perkembangan yang drastis, namun berkembang wajar sesuai dengan perkembangan penduduk pada masing-masing umat beragama. Misalnya tahun 2002 umat Islam mencapai 72,28%. Begitu pula umat Katolik sebanyak 3,36%, dan Protestan 13,19%. Semua agama tersebar di kelima kecamatan yang ada, namun sedikit berbeda dalam persentase persebarannya. Umat Islam meskipun di semua kecamatan masuk bagian terbesar, tapi persentasenya berbeda. Persentase terbesar ada di Laweyan yang mencapai 79,47% dibandingkan dengan umat beragama lain yang ada di kecamatan tersebut, sedangkan jumlah terkecil terdapat di Jebres yang hanya mencapai 66,21%. Sebaliknya umat Katolik dan Protestan lebih banyak terdapat di Jebres karena masingmasing mencapai 16,03% dan 15,78%, sedangkan di Laweyan kedua agama Kristiani ini termasuk yang terkecil yaitu masing-masing 9,90% dan 9,82%. Jumlah tempat ibadah tiap umat beragama cukup memadai. Masjid (437 unit) jika dibandingkan dengan jumlah umat Islam, rata-rata menampung 919 orang/masjid. Sementara untuk gereja Kristiani (153 unit) rata-rata menampung 957 orang/gereja. Untuk kuil (5 unit) rata-rata menampung 930 orang, dan untuk pura (3 unit) rata-rata menampung 813 orang. Jika dibandingkan dengan 3 tahun sebelumnya (tahun 2000) perkembangan jumlah gereja naik sampai 30 unit, sementara masjid naik 46 unit, dan untuk pura tetap, bahkan kuil turun 2 unit.
B. Karakteristik Potensi Konflik Fokus konflik yang dijadikan penelitian di Kota Surakarta adalah konflik yang bersumber dari penghinaan terhadap agama Islam. Kasus konflik di daerah ini merupakan bagian dari konflik antarumat beragama, khususnya antara umat Islam dan Kristen-Protestan. Konflik fokusnya bersumber dari ceramah yang dilakukan seorang pendeta Kristen, Ahmad Wilson (Ahmad Bukhari Muslim) melalui radio Kristen, PTPN Rasitania FM. Surakarta. Konflik fokus dalam kasus ini terjadi berkisar dari bulan Februari sampai sekitar Juli 2000 setelah divonisnya Wilson di Pengadilan Negeri Surakarta.
70
Potensi Konflik Prakonflik: Sebenarnya jauh sebelum terjadi konflik fokus tersebut sudah ada benih-benih konflik yang sangat potensial memicu konflik fokus. Potensi-potensi konflik tersebut antara lain: 1. Prasangka kelompok Potensi konflik prakonflik fokus sebenarnya sudah berkembang di kalangan umat beragama, terutama di kalangan umat Islam dalam bentuk prasangka. Secara umum prasangka itu berkisar pada apa yang biasa disebut oleh pihak umat Islam sebagai proses
kristenisasi.
Di kalangan umat Islam merasakan,
dan melihat
kristenisasi sudah berlangsung lama, di antaranya melalui berbagai kegiatan yang dilakukan umat Kristiani., misalnya misi Kristiani memberikan kebutuhan sehari-hari kepada umat Islam yang lemah secara ekonomi dan keislamannya. Potensi konflik dalam bentuk persepsi dan jarak sosial negatif, yang berujung pada tingginya religiosentrisme, ini menjadi aktual dan menemukan
peluangnya
ketika terjadi apa yang yang dianggap oleh muslim sebagai pelecehan agama oleh Wilson. 2. Penyebaran agama Prasangka atau persepsi dari kedua komunitas agama tersebut, nampaknya didasarkan atas pengalaman di lapangan atau sesuai dengan kenyataan, bukan sekedar sesuatu yang ada di pikiran mereka. Sumber potensi konflik yang berasal dari umat Kristiani lebih banyak karena penyiaran agama, sedangkan
yang berasal dari umat
Islam lebih banyak dari pandangan, sikap dan interaksinya dengan umat Kristiani. Berikut komentar beberapa informan muslim terhadap penyebaran agama Kristen: Jika yang dilihat kasus Wilson, maka mungkin dikategorikan dalam pelecehan agama Islam, tapi sebelumnya Kristen dalan penyebarannya menggunakan kaset rekaman yang disebarkan ke sekolah-sekolah, baik untuk dewasa maupun anak-anak muslim… Saya pikir kita sudah cukup toleransi dengan berbagai kegiatan kampung yang banyak melibatkan mereka dalam kepanitiaan, (tapi) gesekan terjadi karena penyebaran Kristen dengan cara berlebihan… Adapun sehubungan dengan Kristenisasi dengan pemberian sembako hal tersebut sudah berjalan lama dan terjadi di daerah pinggiran... Unsur keagamaan memungkinkan menjadi potensi konflik jika dilakukan secara berlebihan.
3. Ketimpangan sosial-ekonomi
71
Persoalan konflik
ketimpangan sosial ekonomi nampaknya juga menjadi potensi
yang sewaktu-waktu mencuat ke permukaan jika ada pemicu
yang
memungkinkannya. Informan muslim saya menuturkan: Saya rasa persoalan sebelumnya bukan hanya pada hal keagamaan, tetapi perbedaan sosial kedua belah pihak, perbedaan tingkat ekonomi antara keduanya… Pernyataan ini harus dilihat ke belakang mengenai struktur sosial yang sudah dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda seperti dikemukakan di awal yaitu konflik pribumi-muslim dengan Cina, sehingga melahirkan konflik-konflik yang berkepanjangan. Memang konflik antarstruktur sosial yang ada bukan murni karena keagamaan, namun berpadu dengan sosial-ekonomi. Pascakemerdekaan konflik kelas bernuansa agama tersebut bukannya tuntas, tapi terus menjadi potensi dan bahkan menjadi aktual dalam bentuk berbagai kerusuhan SARA di Solo. Apalagi ketika masa Orde Baru, tingkat ekonomi pribumi-muslim terus berada di bawah bayang-bayang Cina yang kebanyakan Kristiani atau nonmuslim, sehingga jarak sosial di antara kedua kelompok kian jauh, walaupun pemerintah mengusahakan proses pembauran melalui berbagai cara. Potensi Konflik PascaKonflik: Setelah terjadinya konflik fokus, nampaknya masih ada benih-benih konflik yang perlu dicermati, jika tidak benih tersebut akan menjadi aktual pada saat-saat tertentu. 1. Ketidakpuasan antarkelompok Ke depan konflik yang sudah terjadi dapat saja terjadi kembali. Pandangan ini dikemukakan oleh kelonpok muslim maupun Kristen. Bagi muslim beralasan karena mereka yakin pihak Kristen terus akan melakukan penyebaran agamanya
yang
berlebihan. Konflik Islam-Kristen akan terjadi karena pada dasarnya Kristen itu terbagi ke dalam Kristen laten, artinya gerakan penyebaran yang perlu diwaspadai, dan Kristen yang bersifat konfrontatif artinya mereka yang sengaja membuat masalah dengan umat Islam… Selama orang Kristen tidak membuat persoalan, maka konflik tidak akan terjadi… Kalau mereka dapat mengendalikan cara-cara penyebaran agamanya, tidak mencoba memancing kemarahan bagi umat muslim dan sesuai dengan cara bermasyarakat yang baik, mungkin tidak akan memunculkan konflik baru dalam hal keagamaan… Di kampung saya ini dulu sewaktu hari raya Islam dengan Kristen bebarengan maka ditulis di spanduk “Selamat Idul Fitri-Natal dan Tahun Baru” sehingga acaranya pun menjadi amburadul karena disertai dengan acara ‘Pangunci’ (Paguyuban Ngunjuk Ciu), maka terjadi keributan bahkan laskar Mujahidin terpaksa turun tangan… di samping itu rupanya hampir di setiap kampung di kota Surakarta ini orang Kristen menyewa rumah
72
yang awalnya hanya sebagai tempat tinggal ternyata digunakan untuk kebaktian bahkan kadang dekat masjid. Ditemui pula kesengajaan dari Kristen membuat acara bareng dengan pengajian. Selama orang Kristen masih membuat masalah maka laskar-laskar siap menindas…
Sementara dari pihak Kristen menegaskan, seperti dikemukakan Kris, bahwa selama pemahaman umat Islam terhadap ajaran dari orang Kristen masih seperti sekarang, maka potensi konflik tersebut akan terus berkembang seperti sikap tertutup dan sempit pandangan serta tidak ada budaya untuk bisa menerima orang lain yang berbeda agama. Menurutnya setelah kasus Wilson belum ada sikap dan perilaku yang berarti dari umat Islam untuk hidup berdampingan secara damai. Pandangan-pandangan tersebut pada intinya ingin menegaskan bahwa potesi pasca konflik fokus (kasus Wilson) akan terus berlangsung selama kedua belah pihak merasa saling dirugikan oleh pihak yang lain dan jika tidak adanya perubahan sikap dan perilaku terhadap ajaran dan antarumat serta cara-cara penyebaran agama yang sudah berlangsung tidak berubah. 2. Religiosentrisme Pandangan religiosentrisme
antarkelompok kelompok.
Dari
tersebut hasi
nampaknya angket
seiring
dengan
tingkat
menunjukkan
bahwa
tingkat
religiosentrisme umat Islam terhadap Kristen sangat tinggi (75%), sementara dari umat Kristiani terhadap muslim mencapai 45%. Ini berarti religiosentrisme umat Islam dan Kristen sebagian besar negatif. Keadaan yang sama terdapat pada persepsi dan jarak sosial di antara kedua kelompok umat beragama, terutama dari umat Islam terhadap umat Kristiani. Beberapa dari persepsi sosial antarumat beragama tersebut meliputi anggapan orang Kristen toleran terhadap kemaksiatan, dan kecurigaan yang nampak tidak rasional. Kalau saya pribadi sebenarnya budaya berpakaian bagi remaja yang memamerkan aurat telah memungkinkan terjadinya kemaksiatan lebih-lebih lagi dengan berdirinya tempattempat dugem (?) dan Kristen toleran sekali dengan hal-hal tersebut… Selama ini mereka (Kristen) telah membiarkan kemaksiatan berlangsung untuk kepentingannya yaitu agar orang Islam jauh dari agamanya… Kalau kita saksikan dengan pengobatan-pengobatan yang dilakukan dengan do’a, ternyata itu semua salah, mereka (tokoh-tokoh Kristen) sengaja menyantet orang kemudian mereka sembuhkan sendiri.
73
Tingkatan religiosentrisme pascakonflik, khususnya prasangka antar kelompok, nampaknya tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan sebelum terjadinya konflik fokus. Walaupun subyek konflik fokus dari pihak ‘Kristennya Wilson’, namun ada generalisasi dari pihak muslim yaitu memberlakukan untuk semua
agama
Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Sementara dari pihak Kristen menganggap bahwa mereka sudah berupaya untuk berinteraksi secara baik dengan masyarakat yang mayoritas muslim, baik dalam kegiatan kampung maupun dalam budaya masyarakat. Menurut seorang informan Kristen, Kris, potensi konflik senantiasa akan ada selama belum berkembang keterbukaan dan masih sempitnya pandangan dari kalangan muslim, serta kesalahpahaman terhadap ajaran Kristen dan kegiatan-kegiatannya. Lebih jauh ia mengemukakan: Sebenarnya Islam-Kristen adalah satu rumpun dari satu keturunan Adam, sehingga semua (agama) mengajarkan untuk bagaimana meyakini adanya satu Tuhan. (Ajaran) kami bukan Trinitas, adanya sebutan Bapak, Anak Bapak sebenarnya hanya esensinya. Bapak adalah Tuhan sebagaimana dalam Islam, Allah itu dusebut juga dengan Pangeran atau Gusti. Adapun Anak Bapak adalah merujuk pada kedekatan antara Isa dengan Tuhan dan bukan sebagaimana dibayangkan orang pada umumnya. Hal ini yang tidak dipahami umat lain.
Dilihat dari issu-issu potensi konflik antara sebelum dan sesudah konflik fokus terlihat adanya kemiripan yaitu: (1) Berasal dari persepsi dan prasangka sosial di antara kedua belah pihak dan lebih luas lagi karena tingginya religiosentrisme. (2) Penyebaran agama yang dianggap tidak proporsional. (3) Tidak adanya keterbukaan, dan penerimaan terhadap agama lain.
C. Karakteristik Konflik 1.Sumber dan Faktor Sebagaimana disinggung di awal, konflik umat Islam dengan Kristen, khususnya Protestan di Surakarta ini disebabkan dan dipicu oleh pelecehan agama yang dilakukan pendeta Ahmad Wilson melalui radio PTPN Rasitania FM, sebuah radio yang nampaknya banyak mengakomodasi orang atau tokoh Kristen yang sebelumnya beragama Islam. Pelecehan agama dilakukan Ahmad Wilson terhadap agama Islam khususnya tentang Nabi Muhammad, Wilson mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebelum masuk (memeluk) Islam adalah pemeluk agama Kristen. Sebuah pernyataan yang
74
dilontarkan Wilson di radio tersebut pada acara dialog interaktif bertema ‘Upaya Mengatasi Konflik Antarumat Beragama’ pada tanggal 24 Februari 2000. Sebenarnya pernyataan Wilson ini, seperti dikemukakan beberapa tokoh Kristen sendiri, tidak jadi masalah seandainya dilakukan di forum terbatas yang khusus dan mendatangkan pembicara dari pihak muslim. Selain itu, pernyataan melalui radio tersebut muncul di tengah-tengah merebaknya konflik SARA di Indonesia, khususnya antara Islam-Kristen seperti di Poso, Maluku, Bandung, Situbondo, dan Tasukmalaya. Artinya, dalam skala nasional memang situasinya tidak menguntungkan. Apalagi dengan munculnya berbagai gerakan dan organisasi Islam yang dikenal sangat militan di beberapa daerah termasuk di Solo, organisasi tersebut sangat peduli dan peka terhadap gerakan agama lain, selain perjuangannya tentang penegakan syariah Islam. Jika ditilik lebih jauh, pernyataan Wilson tersebut menjadi serius karena terkait dengan apa yang disebut oleh pihak muslim sebagai penyebaran agama Kristen atau ‘Kristenisasi’ yang dilakukan umat Kristen sebelum terjadi konflik fokus tersebut. Inilah pernyataan beberapa tokoh Islam tentang hal ini: Jika yang dilihat kasus Wilson, maka mungkin dikategorikan dalam pelecehan agama Islam, tapi sebelumnya Kristen dalam penyebarannya menggunakan kaset rekaman yang disebarkan ke sekolah-sekolah, baik untuk dewasa maupun anak-anak muslim. Mereka (orang-orang Kristen) selama ini perilakunya membentuk sosial budaya yang tidak wajar, maksudnya, melakukan misi seperti membangun tempat ibadah, memberi kebutuhan sehari-hari kepada umat Islam yang menyebabkan lingkungan masyarakat di sekitarnya merasa terusik… kalau di kampung ini (Lawean) jelas karena mereka terangterangan menggelar pesta miras.
Pernyataan ini menyimpulkan bahwa konflik fokus tidak tiba-tiba terjadi, tapi ada kaitannya dengan peristiwa dan proses interaksi antara umat Islam dan Kristen yang sudah lama berlangsung, salah satu pihak khususnya muslim merasa dirugikan oleh pihak Kristen. Pihak muslim yang peka menganggap selama ini apa yang dilakukan oleh pihak Kristen banyak merugikan kepentingan pihak Islam, terutama dalam hal penyebaran agama Kristen. Karena itu, walaupun di dalam Kristen ada beberapa kelompok tetapi di kalangan umat Islam sudah berkembang persepsi bahwa setiap kegiatan Kristen identik dengan Kristenisasi, semua Kristen sama saja padahal seperti dituturkan oleh Kris (tokoh Kristen) dalam Kristen itu ada beberapa kelompok, ada yang mengutamakan kuantitas dan ada yang mengutamakan kualitas. Selain itu, konflik juga dipicu oleh lahir dan berkembangnya apa yang disebut oleh muslim setempat sebagai ‘muslim yang konsisten’. Kelompok ini, berkembang
75
terutama sejak era-reformasi seperti Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan lainnya. Mereka memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap Kristenisasi serta memiliki karakter mudah terbakar emosinya ketika melihat kemaksiatan. Suatu kasus keagamaan yang sama mungkin direspon secara biasa di tempat lain, tetapi di Solo hal itu akan menjadi konflik terbuka.
2. Sekitar Wilson dan Ajarannya Wilson lahir di Ampelgading, 15 Agustus 1956. Pada masa kecilnya, bernama Ahmad Bukhori Muslim, ia terlahir di lingkungan pondok pesantren sekaligus cucu dari Kyai Ilyas, pengasuh pondok pesantren di Ampelgading Kabupaten Pemalang. Ayahnya bernama Kyai Wahyani Thoha Mahmud dan ibunya bernama Marti’ah. Ahmad Wilson memiliki 4 saudara, yaitu Abu Nawawi, Sikriyah, Umi Kalsum dan Muhammad. Pada usia 15 tahun Ahmad Bukhori sudah banyak menghafal Al-Quran dan Hadis. Ketika di pesantren yang diasuh oleh ayahnya, Ahmad Bukhori memperoleh bimbingan langsung darinya. Ia menerima pendidikan keislaman, menghafal ayat AlQuran dan Hadis juga buku-buku filsafat, terutama filsafat Yunani. Ayahnya juga mendorong supaya ia mempelajari kitab Injil dengan harapan dapat menjadi ulama yang paham dengan benar tentang ajaran agama di luar Islam. Untuk menambah wawasan agamanya, Ahmad Bukhori menuntut ilmu ke berbagai lembaga pendidikan, misalnya di Pondok Pesantren Lirboyo. Ia juga sempat berguru kepada Gus Maksum, terutama tentang retorika. Selain itu, Ahmad Bukhori mengikuti pendidikan formal mulai tingkat dasar sampai atas, pada usia 17 tahun ia masuk Pendidikan Guru Agama (PGA) Muhammadiyah di Comal selama setahun. Pada masa ini, bersama temantemannya ia mendirikan Penyelidik Teologi Agama (PTA) yang banyak membahas tentang ketauhidan dan doktrin Ketuhanan. Menginjak usia dewasa, Ahmad Bukhori bertemu dengan pendeta Sinambela dari Gereja Advent, seorang yang memberikan pekerjaan dan sangat mempengaruhi arah kehidupan Wilson pada masa-masa berikutnya yaitu konversi agama dari muslim ke Kristen. Melalui pendeta Sinambela, tahun 1982 ia mengikuti pendidikan teologi di Tanjung Enim dan dilanjutkan di Akademi Teologi Amarat, Bogor. Tahun 1983 ia meneruskan kuliah di Teologi Seminari Arstama, Jakarta. Setelah menikah, ia sempat sekolah lagi di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya untuk mengikuti program Latihan
76
Khusus Hamba Tuhan (LKHT). Setelah itu, ia mempraktekkan penginjilan di Blitar selama 3 tahun. Tahun 1989, mengikuti pendidikan teologi di Ponorogo dengan memperoleh gelar kependetaan tahun 1991 dengan nama Pendeta Ahmad Wilson. Setelah menjadi pendeta, ia memimpin gereja-gereja Advent di Klaten dan Kartasura. Tahun 1992 Ahmad Wilson mengikuti pendidikan di Universitas Advent Bandung. Setelah di Klaten dan Solo, pemikiran teologis Wilson semakin mantap. Sebuah teologi yang dianggapnya dapat merukunkan antarumat Kristen dan Islam tapi sebenarnya sangat menyinggung perasaan umat Islam dan bahkan di antara temanteman Kristennya sendiri ada yang kurang setuju. Berikut ini beberapa percikan pemikiran teologi Wilson (Sarwoto, 2000): 1) Agama Nasrani pada awalnya adalah agama tauhid, meyakini keesaan Allah, bukan Trinitas yang mengakui Allah Bapak, Allah Anak dan Allah Roh. Tiga Allah itu tidak ada dalam Al-Kitab, tapi itu berasal dari Anthonius (d. 37 M). Keyakinan teologi Wilson ini didasarkan atas teks-teks dalam Al-Kitab seperti dalam Keluaran, 3:14; Ulangan, 6:4 ; Korintus, 8:6 ; Yoh 5, 37 dan 17:13. Konsep ketuhanan Kristen dan Islam sama yaitu sama beriman kepada Allah, bukan lainnya atau Trinitas. Dalam Kristen, Trinitas yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Tuhan Roh sebenarnya mengacu pada sifat-sifat Allah seperti halnya yang terdapat dalam Islam seperti Allah punya sifat Qidam, Baqa’, Wujud dan lain-lain. 2) Dengan keyakinan teologi seperti ini sebenarnya Wilson telah memberikan kritik yang pedas atas pemahaman umum umat Kristiani. Oleh karena itu, ia memproklamirkan dirinya sebagai ‘orang Kristen yang mengikuti Al-Kitab’ atau ‘Kristen Independen’ karena menurutnya ‘memang belum ada yang sama seperti saya.’ 3) Semua agama pada dasarnya mengajarkan ketauhidan dan melarang kemusyrikan. Selain itu umat beragama harus mempelajari Kitab-kitab suci yang diturunkan Allah agar memiliki pandangan yang luas dan mencegah dari pemahaman sempit yang menimbulkan pembenaran secara mutlak doktrin ajarannya sendiri. Menurutnya umat Islam juga harus melakukan itu karena Al-Quran mengajarkan itu seperti dalam Qs. Ali-Imron, 3. Kesemua itu tiada lain merupakan kerangka teologi kerukunan yang ingin dibangunnya. 4) Wilson mencari kesamaan ajaran antara Kristen dengan Islam. Misalnya ( 1) Menurutnya Kitab Injil mengandung kebenaran sebagai firman Allah karena hal
77
itu ditegaskan bukan hanya oleh Injil sendiri dalam surat Roma, 16, tapi juga diakui oleh Qs. Ali-Imron, 3 (2) Ia juga menegaskan bahwa setiap agama mengajarkan cinta kasih. 5) Nabi Muhammad sebelum memeluk Islam sudah memeluk agama Kristen-tauhid. Seba, menurutnya, Nabi Muhammad terlahir pada zaman jahiliyah yang ketika itu keyakinan masyarakat hanya terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu agama tauhid, yaitu Nasrani dan penyembah berhala (jahiliyah). Dengan data historis seperti itu, menurutnya, dapat disimpulkan secara logis bahwa tidak mungkin Nabi Muhammad sebelum menjadi Rasul sebagai penyembah berhala (jahiliyah) dan karena itu dapat dipastikan beliau beragama Nasrani. Apalagi beliau, menurut Wilson, pernah menjadi murid dari seorang pendeta. Akhlak Nabi Muhammad yang penuh dengan kebijakan, patuh dan bahkan bergelar Al-Amin merupakan sifat keruhanian yang tinggi dan itu sangat selaras dengan doktrin Nasrani-tauhid. Menurutnya dengan pandangan seperti ini bukan berarti ia menjelekan Nabi Muhammad, sebaliknya ingin menjunjung tingginya. Oleh karena itu agar ada pemahaman dan kerukunan di antara umat Islam dan Kristen, Wilson mengusulkan: (1) Sering dilakukan dialog antaragama yang didasari atas kesadaran untuk saling menerima pendapat orang lain, akal sehat dan bukan pada fanatisme yang berlebihan. Dengan dialog tersebut akan lahir wawasan terhadap kesamaan teologis antara Islam dan Kristen. (2). Perlu dikembangkan kesadaran untuk mempelajari kitab suci agama lain, selain kitab suci agamanya sendiri, sehingga akan saling memahami perbedaan masing-masing dan selanjutnya melahirkan toleransi.
3. Proses dan Dampak Konflik Beberapa informan saya menegaskan bahwa pada dasarnya konflik Islam dan Kristen yang terjadi di Solo tidak dapat dipisahkan dari konstelasi konflik secara nasional, tapi untuk daerah ini muncul seiring dengan kegiatan umat Kristiani di satu sisi dan munculnya kelompok Islam yang masuk kategori militan dan memiliki kepekaan terhadap ap-apa yang dilakukan umat Kristiani sekaligus kepedulian atas (umat) Islam. Kepekaan terhadap hubungan Islam dan Kristen ini seperti dikatakan Jok. (mantan aktifis FPIS), sangat terkait dan merupakan bagian dari solidaritas umat Islam
78
Surakarta terhadap saudaranya di Ambon. Selain itu, jika diarahkan kepada konflik fokus maka ada beberapa proses yang berlangsung yang dapat digambarkan sbb: 1) Tanggal 24 Feb 2000, tepatnya pukul 20.05-20.55 WIB, Wilson menyampaikan pandangannya dalam acara dialog interaktif yang bertajuk Upaya Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama. Sebuah tema yang sangat aktual dengan kondisi saat itu ketika konflik SARA, khususnya konflik antarumat beragama, merambah di banyak tempat di Indonesia. Mulai dari Ambon, Poso, Jakarta, Tasikmalaya dan lainnya. Dialog ini diprakarsai dan disiarkan langsung melalui Radio PTPN Rasitania Surakarta. Semestinya acara tersebut dihadiri dari tokoh lintas agama, tapi karena hanya Wilson yang hadir, acara tetap dipaksakan berlangsung berdasarkan kesepakatan Wilson dengan pemandu program tersebut. Pada kesempatan ini Wilson mengemukakan gagasannya tentang apa yang disebutnya sebagai teologi kerukunan. Diantaranya yang kemudian paling banyak disorot umat Islam, adalah pernyataanya tentang Nabi Muhammad sebelum berislam adalah pemeluk Nasrani. 2) Pernyataan Wilson tersebut kebetulan didengar oleh seorang mahasiswi Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, kemudian melaporkannya kepada pimpinan Front Pembela Islam Surakarta (FPIS). Pernyataan Wilson tersebut dianggap oleh pimpinan FPIS dan kemudian beberapa tokoh Islam, baik dari kalangan HMI Surakarta, tokoh dari partai seperti PAN, PPP, PBB, dan PKB sebagai pelecehan terhadap agama Islam (Nabi Muhammad). Suatu hal yang menarik adalah mengapa mahasiswi tersebut langsung memberitahukannya kepada pimpinan FKIS bukan kepada kelompok muslim seperti Muhammadiyah atau NU. Hal ini menunjukkan dua hal: Pertama, memperlihatkan kepercayaan orang Islam terhadap kelompok ‘Islam konsisten’ ini dibandingkan dengan kelompok Islam
mapan. Khususnya dalam kaitannya
dengan permasalahan interaksi umat Islam-Kristen. Kedua,. jika ini benar, maka ada pembenaran bahwa kelompok Islam konsisten di Solo yang direpresentasi pada sosok FPIS (dan kemudian Majelis Mujahidin Indonesia) sebagai kelompok yang memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap gerakan Kristenisasi. 3) Pencitraan FPIS sebagai kelompok yang peduli dan peka terhadap gerakan Kristenisasi ini nampaknya benar-benar sesuai kenyataan, hal ini dapat dilihat pada gerakan yang dilakukannya begitu menerima laporan dari mahasiswi tersebut,
79
pihak FPIS langsung melakukan koordinasi dengan elemen-elemen dari kelompok Islam yang lain. Mereka membagi tugas gerakan yaitu koordinasi dengan unsur umat Islam dari Muhammadiyah, NU dan partai Islam/berbasis massa Islam. Mereka membagi tugas gerakan yaitu (a) panggalangan opini melalui media massa, (b) koordinasi dengan pihak aparat keamanan dan persoalan hukum, dan (c) pengerahan masa. Pertama, penggalangan opini melalui media massa dilakukan beberapa tokoh Islam, terutama dari tokoh-tokoh parpol Islam atau berbasis massa Islam misalnya Sahil Hasni (PAN), Mudrick SM
Sangidoe (PPP), Ipmawan Iqbal
(PBB), Husein Syifa (PKB), Fajri Muhammad (PKS). Mereka pada intinya menyampaikan dua hal. (a) Ceramah Wilson jelas merupakan pelecehan terhadap agama (umat) Islam. (b) Ceramah tersebut bersifat provokatif
yang merusak
persatuan, dan karenanya Wilson harus dituntut secara hukum. Kedua, proses hukum dilakukan pengacara dari elemen muslim (H. M.Taufiq/ Fraksi Pembaharuan DPRD Solo). Ia melaporkan Wilson ke Polresta Surakarta. Dalam laporan bernomor LP/K/167/III/2000/PMT, yang langsung ditangani Letda (Pol) H. Perdana, tersebut ditegaskan bahwa Wilson dan Jefrey Ohio telah melakukan panghinaan terhadap Islam. Ketiga, pengerahan massa dikoordinir langsung oleh FPIS yang melibatkan berbagai komponen personal umat Islam di Solo, dan tentu anggotanya sendiri. Aksi pertama dilakukan 2 Maret 2000 pukul 09.00WIB bertempat di depan Radio PTPN Rasitania Surakarta. Ratusan massa muslim ikut dalam kegiatan ini, dan dari orasi-orasi yang ada pada dasarnya berisi berbagai tuntutan yaitu: (a) Menuntut agar pendeta Wilson diadili, termasuk pemandu acara; M. Zarkoni (Jefrey Ohio), Direktur radio, C. Boedioka. (b) Meminta pihak berwajib memproses secara hukum kasus pelecehan Islam. (c) Menuntut Radio PTPN agar meminta maaf di lima media massa (Solo Pos, Jateng Pos, Suara Merdeka, Wawasan, dan Pos Kota) selama 7 hari berturut-turut. (d) Radio PTPN harus meminta maaf melalui radio tersebut dengan menyiarkannya secara langsung selama 7 hari dan setiap harinya sebanyak 5 kali secara berurutan pada pukul 6.30, 9.30, 11.30, 18.30 dan 20.30. Dalam aksi masa tersebut, di antaranya ada poster yang menyatakan Wilson sama dengan Salena Rushdi. Tuntutan pada pengerahan masa yang pertama ini
80
disetujui oleh pihak Radio PTPN yang diwakili IG Hananto Sukarno, ia mengatakan ‘apabila kami mengingkari janji di kemudian hari, kami siap dihukum. Atas nama Keluarga besar Radio PTPN Rasitania, kami sekali lagi mengatakan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada umat Islam di Indonesia khususnya Kota Solo.’ Gerakan massa berikutnya dilakukan selama persidangan terhadap Wilson di Pengadilan Negeri Surakarta. Pada hari yang sama, polisi memeriksa beberapa orang yang dianggap bertanggung jawab dalam ‘kasus Wilson.’ Polisi juga menyita dan mengamankan sejumlah barang bukti berupa peralatan penyiaran Radio PTPN Rasitania. Karena itu sejak tanggal 2 Maret 2000 pukul 12.00 radio tersebut tidak mengudara untuk sementara waktu. Langkah ini dilakukan polisi untuk mencegah pembakaran atau perusakan oleh massa. Di tengah proses tersebut,
juga ada pertemuan-pertemuan
yang
dikoordinasi oleh Departemen Agama dan Polresta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh pejabat Depag, Polresta, tokoh-tokoh Islam dan pendeta Wilson. 4) Setelah terjadi reaksi umat Islam melalui berbagai kegiatan tersebut kemudian muncul pembelaan dan reaksi dari kelompok Kristen. Wilson misalnya dalam pertemuan yang dikoordinir oleh pemerintah daerah setempat menyatakan bahwa pandangannya bukan untuk mendiskreditkan umat Islam,
sebaliknya untuk
merukunkan kedua agama melalui sistem teologi kerukunan yang dibangunnya. Ia menegaskan ‘tidak punya kepentingan melakukan kristenisasi.’ Selain itu ia berharap penyelesaian atas
kasusnya
dilakukan melalui dialog dengan
mengedepankan akal-sehat, bukan melalui kekuatan fisik. Kekhawatiran ini muncul setelah melihat reaksi berupa ancaman, dan isi spanduk yang menyamakan statusnya seperti Salman Rushdi, sebuah status yang memiliki konsekwensi berat bagi orang yang dijadikan sasaran. Sementara reaksi positif muncul dari pihak pengelola
Radio PTPN
Rasitania yang intinya menerima semua tuntutan kelompok Islam. Di sisi lain di beberapa tempat di Solo dan sekitarnya berkembang antipati umat Islam terhadap umat Kristiani tanpa memandang aliran Kristennya. 5) Mulai 2 Maret sampai Juli 2000 Wilson ditahan sebagai tersangka dan melalui proses persidangan yang lama di Pengadilan Negeri Surakarta, akhirnya ia divonis
81
hukuman lima tahun. Selama di persidangan
Wilson didampingi
seorang
pengacara Kristen, yang sebelumnya beragama Islam, yaitu Syarif Hidayatullah. 6) Dampak dari munculnya konflik antarumat Islam dan Kristen ini terjadi pada kedua belah pihak. Di kalangan kelompok muslim yang langsung berkonflik kian melahirkan solidaritas internal mereka, ingroup dan identias mereka menjadi lebih menguat. Sementara di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kian berkembang kesadaran dan kepekaan terhadap issu kristenisasi. Hal ini ditandai dengan pemberian informasi kepada masyarakat Islam melalui pengajian dan ceramah keagamaan lainnya. Di kalangan kelompok Kristiani, konflik tersebut mengakibatkan Radio PTPN Rasitania tidak mengudara selama tujuh hari, dan Ahmad Wilson akhirnya dihukum, walaupun oleh teman dan Wilson sendiri hukuman itu bukan dianggap sebagai hal yang negatif karena ia sudah terbiasa hidup prihatin dan bahkan terus melakukan tugas missi di penjara. Dari kedua belah pihak memang tidak ada kerugian jiwa dan fisik seperti bangunan rumah, sarana dan prasarana sosial. Namun kerugian secara psikologis jelas ada, luka psikologis ini akan berpengaruh kepada pola-pola hubungan sosial di antara kedua belah pihak yang membutuhkan waktu untuk menganyamnya kembali. Apalagi jika dilihat dari pernyataan-pernyataan kedua kelompok, khususnya dari kelompok muslim yang masih sangat keras sebagaimana diurai dalam bagian potensi konflik pascakonflik. 4. Anatomi Kelompok dan Subyek Sebaran konflik di Surakarta ini sangat terbuka. Meskipun lokasinya terbatas pada daerah yang menjadi kerumunan massa seperti di lokasi Radio PTPN dan Pengadilan Negeri, tetapi karena media pengungkap konflik melalui media massa dan pengerahan massa yang bergerak, menyebabkan sebarannya mencakup wilayah Surakarta dan sekitarnya. Ada beberapa kelompok dan subyek yang terlibat dalam konflik yang bersumber dari pelecehan agama ini. Pertama, dari pihak umat Islam adalah: (1) Front Pembela Islam Surakarta, dan (2) Tokoh-tokoh partai politik Islam atau berbasis massa muslim. Keterlibatan FPIS dalam kasus ini sangat dominan, organisasi ini bukan hanya sebagai penerima laporan terhadap terjadinya pelecehan terhadap Islam dari seorang mahasiswi, tapi juga mengkoordinasi semua
82
gerakan sebagai reaksi terhadap pernyataan Wilson, termasuk yang paling menonjol adalah pengerahan massa baik ketika melakukan tuntutan-tuntutan terhadap pihak Kristen (Radio PTPN Rasitania, pemandu acara dan Wilson) maupun selama berlangsungnya persidangan di Pengadilan Negeri atas Wilson. Sejak awal kasus, organisasi ini melakukan tekanan agar orang-orang yang terlibat dalam pelecehan terhadap agama Islam diproses secara hukum. Pimpinan dan anggotanya sangat disiplin agar massa yang ada tidak terjerumus ke dalam sistem anarkis. Memang ada aksi yang menyimpang di lapangan seperti pemukulan terhadap pengacara Wilson, tetapi hal itu lebih bersifat spontanitas sesaat. Anggota FPIS termasuk muslim yang taat, mereka biasa menyebut diri sebagai penganut
Islam ‘kaffah’.
Nilai-nilai doktrin keislaman
lembaga sangat
mempengaruhi keyakinan dan perilaku anggotanya, termasuk dalam menghadapi issu kemungkaran dalam masyarakat dan kristenisasi. Kelompok muslim yang lain adalah tokoh-tokoh parpol Islam atau berbasis massa Islam. dalam kasus ini tokoh-tokoh parpol tersebut kompak dalam mereaksi kasus pelecehan agama ini, baik PPP, PBB dan PK (sekarang PKS) maupun PAN dan PKB. Yang menarik adalah tidak ada respon menyolok yang diberikan oleh ornas Islam mapan seperti Muhammadiyah dan NU. PKB yang merupakan parpol representasi dari keluarga Islam tradisionalis (NU) dalam kasus lokal ini responnya seiring dengan kelompok Islam yang lain. Selama ini orang-orang NU dikenal lebih ‘toleran’ dan dekat dengan Kristen. Meskipun dalam dataran wacana tokoh PKB juga menegaskan bahwa Wilson sangat provokatif dan memecah belah antar umat beragama. Memang ada penafsiran dari kalangan muslim sendiri bahwa respon ramai dari parpol Islam atau berbasis massa Islam tersebut tiada lain karena untuk membangun citra positif politik mereka bagi umat Islam Surakarta, maklum kasus ini terjadi masih berdekatan dengan selesainya pemilu dan awal-awal tokohtokoh tersebut berkiprah di lembaga legislatif. Terlepas dari kepentingan politik yang ingin mereka bangun, pernyataan mereka sangat penting dicermati dalam 2 hal: ada pembelaan terhadap kepentingan (umat) Islam, sekaligus memberikan tekanan agar respon umat Islam tidak mengarah kepada gerakan anarkisme yaitu dengan cara menekankan kepada penyelesaian hukum.
83
Kedua, dari kelompok Kristen, secara kelembagaan melibatkan pengelola Radio PTPN dan tentu Wilson sendiri sebagai tokoh utama. Meskipun Wilson selalu menganggap dirinya sebagai ‘Kristen independen’ karena belum ada kelompok Kristen yang sama dengannya, tapi ia punya jamaah yang bernaung dalam gereja Advent. Mereka termasuk golongan menengah ke bawah, dan oleh muslim Wilson dan jamaahnya dianggap melakukan ritual di rumah ibadah.
D. Upaya Pengendalian Potensi Konflik Secara garis besar upaya pengendalian konflik antarumat beragama ada 2 pendekatan yaitu struktural dan kultural. Meskipun harus diakui sanmpai saat sebagian besar masih didominasi oleh pendekatan struktural. Pendekatan struktural
berlaku nasional dan karenanya
pemerintah Solo hanya
menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan peraturan yang ada pada tingkat nasional. Upaya-upaya ini tidak jauh berbeda dengan daerah lain
yaitu: (a) Sosialisasi wawasan
kebangsaan, (b) Antisipasi atau deteksi dini melalui kegiatan intelegen, (c) Sosialisasi program pemeritah di bidang pembangunan agama Pertama, sosialisasi wawasan kebangsaan dilakukan oleh Badan Keselamatan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas).
Kegiatan ini bertujuan menanamkan
nilai-nilai kebangsaaan, pluralitas dan berbagai isu nasional seperti tentang hak azasi manusia, demokratisasi, dan hal yang terkait dengan hubungan antarkelompok dalam masyarakat (SARA). Melalui kegiatan ini diharapkan peserta memahami dan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang makna penting nilai-nilai kebangsaan, sehingga stabilitas dalam masyarakat dapat dipertahankan. Adapun sasarannya adalah tokoh masyarakat, pemuda dan tokoh agama, perwakilan dari partai politik pada tingkat kecamatan. Pembinanya berasal dari lintas instansi pemerintah dan masyarakat seperti DanKodim (TNI), Kapolsek yang berkaitan dengan hukum dan kamtibmas, dan hubungan umat beragama Kedua, deteksi dini kemungkinan terjadinya konflik suku, agama, ras, dan antrgolongan (SARA). Kegiatan ini dilakukan Komunitas Intelejen Daerah (Kominda) yang diketuai oleh Sekda dan ketua hariannya dari kepala Kesbang, sedangkan anggotanya meliputi Kasi Kodim, Unit Intel Kodim, Kasi Intel Kejaksaan, Kasat Intelpam Polres, Kasi Intel Brigib AD dan AU, Kesbanglinmas, dan BIN daerah. Tugas pokok dari lembaga ini adalah memantau dan mengantisipasi berbagai isu dan benih-benih konflik SARA dalam
84
masyarakat. Memang tugas ini mirip dengan kegiatan intelegen masa Orde Baru, namun ada perbedaan substansial yaitu lembaga ini dalam menjalankan tugasnya memperhatikan HAM. Dalam bekerja Kominda dibantu oleh Bakorpulahtasida atau Badan
Koordinasi
Pengumpulan dan Olah data Situasi Daerah. Badan ini merupakan badan pelaksana yang menyiapkan segala informasi yang berkaitan dengan kondisi lingkungan masyarakat. Hasil olah informasi itulah yang kemudian digunakan oleh Kominda untuk mengambil kesimpulan, kebijakan dan aksi. Sebenarnya pada masa Orde Baru ada lembaga Pembinaan Opini Publik yang berusaha untuk mengendalikan opini masyarakat supaya tidak
mengarah kepada konflik. Dalam hal ini di Solo
mengambil substansi dari
instrumen tersebut. Ketiga, sosialisasi program pemerintah di bidang keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan hubungan intern dan antarumat beragama. Selama ini tugas tersebut dilakukan oleh beberapa kelompok yang merupakan jejaring di bawah Departemen Agama. Kelompok tersebut misalnya PAH, Forum Komunikasi Umat Beragama, wadah musyawarah umat beragama seperti MUI, dan organisasi keagamaan. Ada komentar menarik mengenai pembakuan nama forum komunikasi antarumat beragama menjadi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagaimana termaktub dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Th 2006/Nomor 8 Tahun 2006, 21 Maret 2006 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Tempat Ibadah.’ Komentar tersebut berkaitan dengan posisi Departemen Agama. Dengan adanya Forun tersebut seolah Departemen Agama ingin cuci tangan
dari persoalan yang berkaitan dengan konflik antarumat
beragama, khususnya wewenang Forum tersebut sebagai penentu dalam pembangunan tempat ibadah. Memang ada nilai lebihnya karena dalam Forum ini bersifat kolektif, dalam arti anggotanya berasal dari semua unsur umat beragama, sehingga dimungkinkan terjadinya dialog dalam proses pengambilan keputusannya. Sementara upaya pengendalian konflik yang berbasis budaya lokal masih dalam taraf kajian dan uji-coba. Sebenarnya upaya ini juga mencakup upaya penyelesaian konflik, dan tidak dikhususkan bagi konflik umat beragama namun berlaku untuk konflik sosial pada umumnya. Karena program ini masih baru maka perlu dikemukakan secara panjang lebar mengenai hal ini.
85
Program ini dinamai ‘pengembangan ketahanan masyarakat,’ tidak disebut dengan ‘pembangunan perdamaian masyarakat’ karena Solo pernah dan sering terjadi konflik. Ketahanan merupakan upaya pemberdayaan kondisi masyarakat supaya tidak mudah terprovokasi dan mampu menyelesaikan masalahnya
secara mandiri. Dalam hal ini
pemerintah, via Kesbanglinmas, hanya sebagai motivator dan fasilitator karena hakikat pengendalian konflik melalui pengembangan ketahanan ini bersifat botton-up. Berdasarkan buku panduan
tentang ‘Pedoman Pengembangan Ketahanan
Masyarakat di Kota Solo’, program ini bertujuan untuk: a. membangun kesadaran warga akan pentingnya budaya damai dan kesediaan warga untuk berperan aktif dalam menciptakabn budaya damai b. menguatnya peran lembaga-lembaga formal dan informal di masyarakat dalam mengupayakan perdamaian c. menguatnya peran tokoh-tokoh masyarakat, agama, etnis dan kepemudaan dalam menguapayakan perdamaian d. tersedianya data yang lengkap tentang pola-pola konflik di masyarakat e. terciptanya mekanisme damai dalam pengelolaan konflik di masyarakat f. adanya
dikumentasi
tentgang
kegiatan-kegiatan
yang
dapat
menunjang
berkembangnya perdamaian, yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Dalam kegiatan uji cobanya di Kelurahan Gandekan dan Gilingan upaya ketahanan pengembangan masyarakat ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu (1) identifikasi dan analisis masalah (penyebab konflik) yang dilakukan melalui sarasehan dan
meyode
cluster, dan fokus group discussion, (2) tahap penyelesaian masalah. Di dalam tahapan ini dilakukan kesepakatan mengenai akar masalah, alternative soluasi, dan menyusun rencana tindak lanjut dengan mempertimbangkan potensi dan sumber daya lokal melalui analisis SWOT dan SMART (specific, maesureable, acceptable, relevance, tain), sosialisasi hasil kepada seluruh warga kelurahan, aksi bersama masyarakat, (3) tahap penilaian mandiri melalui
pertemuan
rutin
warga
pada
tingkat
RT/RW-kelaurahan,
(4)
tahap
mempertahankan dan meningkatkan hasil yang telah dicapai.
E. Upaya Penyelesaian Konflik Solo dikenal sebagai kota yang ‘bersumbu pendek’, istilah ini banyak dikemukakan oleh para ahli di kota ini karena masyarakatnya mudah terbakar, mudah marah dan mudah terjadi kekerasan. Dalam sepanjang sejarahnya kota ini tidak pernah sepi dari konflik kekerasan. Peristiwa konflik kekerasan yang masih segar di ingatan adalah yang terjadi
86
pada awal era reformasi yaitu pada tahun 18-19 Mei 1998. Jika kita menengok ke belakang seperti dikemukakan informan ahli, Dr. SK (63 tahun), konflik SARA sudah terjadi sejak akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20 ketika pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Konflik-konflik kelas yang bersumber
dari sosial-ekonomi-politik
sering terjadi di Solo, dan hal ini tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya struktur sosial yang memang dibangun sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya konflik antara para pedagang batik muslim-Jawa-Arab dengan Cina. Konflik ini bersumber dari kebijakan diskriminatif pemerintah kolonial Belanda yang memposisikan _(pedagang) pribumi sebagai kelompok kelas bawah setelah orang-orang Belanda, Indo, dan orang Cina. Dalam perdagangan importir misalnya, Belanda memasok bahan baku batik langsung
kepada
pedagang
Cina,
sehingga
pedagang
muslim-pribumi
hanya
memperolehnya dari pedagang Cina, itupun dengan berbagai syarat. Setelah merdeka struktur sosial terus berlanjut, meskipun konflik terus diusahakan oleh pemerintah Orde Baru. Misalnya pembentukan paguyuban suku-suku Arab-Cina-Jawa oleh pemerintah Kota Surakarta. Ini merupakan upaya pembauran suku minoritas ke dalam budaya suku mayoritas. Adapun
khusus antarumat beragama
yang
terbaru terjadi
Februari-Juli 2000.
Konflik antara umat Islam-Protestan tersebut bersumber dari penghinaan terhadap agama Islam. Konflik fokusnya bersumber dari ceramah yang dilakukan seorang pendeta Kristen, Ahmad Wilson melalui radio Kristen, PTPN Rasitania FM. Surakarta. Upaya penyelesaian konflik khususnya antarumat beragama selama ini belum banyak memanfaatkan budaya lokal yang ada, sebaliknya yang banyak berperan dan diperankan adalah budaya nasional. Berdasarkan
hal tersebut pada saat ini pemerintah
Solo
melakukan upaya dalam 2 pendekatan yaitu pendekatan ‘konvensional’ dan ‘baru.’ Pendekatan konvensional merupakan pendekatan yang dilakukan secara struktural, peran pemerintah sangat dominan, pendekatan jenis ini dilakukan secara nasional di setiap daerah. Adapun pendekatan baru dilakukan dengan berupaya memberdayakan dan meningkatkan ketahanan masyarakat
melalui pemanfaatan budaya lokal yang ada.
Pendekatan tipe ini memang bukan dikhususkan
untuk mengendalikan dan
menyelesaikan konflik antarumat beragama, namun konflik SARA pada umumnya. Dalam penyelesaian konflik antarumat beragama, seperti dikemukakan oleh informan saya, Suh. (45 tahun), pemerintah berperan sebagai mediator, fasilitator, dan sekaligus inisiator penyelesaian. Hal ini dilakukan karena pemerintah belum melihat adanya aktor
87
lokal yang dapat menjadi figur panutan masyarakat, misalnya aktor yang berasal dari Kraton, karena dalam kraton sendiri terjadi konflik internal. Dalam hal ini pemerintah kota berusaha mengkoordinir pertemuan dengan mendatangkan dari kelompok-kelompok keagamaan yang ada seperti MUI, dan DGI . Sementara dari pihak pemerintah meliputi Kesbanglinmas, Departemen Agama, dan menjadi pola rutin saat
kepolisian. Upaya penyelesaian seperti ini
menghadapi konflik sosial dalam masyarakat. Bahkan oleh
seorang informan dianggap berhasil, buktinya konflik dapat diredam dan pihak-pihak yang berkonflik dapat menerimanya. Berkaitan dengan itu wajar saja jika selama ini penyelesaian konflik melalui hukum jarang dilakukan. Hal ini karena pihak pemerintah lebih mementingkan
pendekatan
kekeluargaan berdasarkan prinsip musyawarah atau mufakat. Melalui musyawarah semua pihak diperlakukan sama dan duduk bersama serta dapat saling menjelaskan satu dengan yang lainnya persoalan masing-masing. Memang betul pernah terjadi penegakan hukum seperti pada kasus Ahmad Wilson yaitu diajukan ke pengadilan dan dikenai hukuman, namun hal itu tidak menghilangkan prinsip dasarnya yaitu musyawarah. Masing-masing pihak yang bermusyawarah selama ini dianggap legowo setelah mereka memahami latar belakang dan sumber terjadinya konflik Sebab, menurut Suh, jika mereka tidak legowo mestinya akan melakukan upaya hukum yang ada. Upaya penyelesaian konflik yang memanfaatkan budaya lokal belum dilakukan secara optimal. Saat ini, pemerintah Kota Solo baru melakukan uji coba penyelesaian, dan juga pengendalian, konflik SARA termasuk konflik antarumat beragama di dua kalurahan sebagaimana dijelaskan dalam bagian pengendalian konflik di atas. Selain itu ada juga gagasan untuk memanfaatkan kelompok PKK dan kelompokkelompok sosial yang melibatkan ibu-ibu dalam upaya penyelesaian konflik. Hal ini seperti ditegaskan oleh informan saya, Gun (56 tahun), karena ibu-ibu
dianggap lebih
sabar, lembut, tekun dan greteh atau tidak jemu dan tidak putus asa dalam setiap berusaha. Dengan sifat lemah lembutnya sebenarnya
kaum wanita dapat dilibatkan dalam setiap
penyelesaian konflik, termasuk dalam pengendalian konflik. F. Profil Budaya 1. Umum Solo merupakan bagian dari daerah-daerah yang yang disebut daerah kejawen. Daerah kejawen yang lain seperti Banyumas, Yogyakarta, Kedu, Madiun dan Kediri.
88
Karena itu dalam konteks kebudayaan Jawa, selain Yogya, Solo merupakan pusat kebudayaan Jawa yang sama-sama bekas Kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755. Bagian terbesar masyarakat menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi kesehariannya. Ada 2 macam bahasa
yaitu ngoko dan krama. Bahasa Jawa-ngoko
digunakan dengan orang yang saling mengenal akrab, juga terhadap orang yang lebih muda usia dan lebih rendah status sosialnya. Bahasa Jawa-krama digunakan untuk bicara dengan orang yang belum akrab dan tidak sebaya usianya, juga terhadap orang yang lebih tua usia dan lebih tinggi status sosialnya. Sebelum menggunakan bahasa dengan orang yang diajak bicara, seseorang harus memperhatikan dengan seksama. Solo saat ini memperlihatkan wajahnya yang pluralistik dan terjadinya perubahanperubahan kultural akibat pergumulan antarkelompok keagamaan dan kejawen. Tidak salah kalau dikatakatan oleh seorang informan, SK, (63 tahun), ‘di Solo akan ditemukan dari orang dan kelompok yang paling kejawen dan abangan sampai yang paling santri, dari yang paling moderat sampai yang paling radikal-ekstrim. Saat ini Kota Solo berjuang keras untuk menjadi Kota Budaya dengan beberapa misi ( dalam CDS Indonesia: 5) yaitu: 1) Mengembangkan Kota Solo sebagai kota budaya yang bertumpu pada perdagangan dan jasa, pendidikan, budaya dan pariwisata 2) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam penguasaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan serta teknologi, guna mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat berdasarkan Ketuganan Yang Maha Esa 3) Menjadikan seluruh kegiatan ekonomi daerah sebagai pemacu tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang bersaing dengan mendayagunakan potensi budaya lokal dan teknologi terapan yang akrab lingkungan 4) Menjadikan hukum supremasi, hukum, pelaksanaan hak azasi manusia dan demokrasi sebagai budaya masyarakat termasuk parav penyelenggara pemerintahan kota 5) Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen stakeholder dalam semua bidang pembangunan, merekatkan kohesi sosial budaya dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai ‘Solo Kota Budaya’. 2. Sistem Kekerabatan Sebagaimana pada masyarakat Jawa umunya, sistem kekerabatan orang Jawa Solo adalah bilateral yaitu garis keturunan yang mempertimbangkan hubungan kekerabatan melalui garis laki-laki maupun wanita. Dalam era modern saat ini sistem kekerabatan mereka telah dipengaruhi oleh nilai-nilai modern. Di antara perubahan kekerabatan orang Solo adalah terjadinya perubahan bentuk keluarga yaitu semakin berperannya keluarga batih (somah). Keluarga batih berfungsi dalam banyak aspek seperti sosialisasi nilai budaya Jawa kepada anak-anak, sementara dalam hubungannya dengan kerabat yang lain 89
dan masyarakat ia punya posisi sebagai mediator kepentingan keluarga batih dengan keluarga batih lain dan masyarakat pada umumnya. Karena itu keluarga luas jumlahnya semakin menyusut, keluarga luas ini terutama masih ada di masyarakat pedesaan. Masyarakat Solo juga mengenal kelompok kekerabaatn ambilineal, suatu kerabat keluarga yang diorientasikan kepada pancer atau nenek moyang yang jauh. Anggota kerabat dalam kesatuan alurwaris ini terdiri dari semua kerabat sampai tujuh turunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Dari segi hubungan dengan pancer orang Jawa Solo mengenal istilah sebutan untuk generasi ke atas dan ke bawah seperti mbah canggah, mbah buyut, eyang, bapak/ibu , anak , putu , buyut, canggah dan seterusnya. Walaupun begitu secara fungsional, hubungan kepada ego atau pancer umumnya hanya berlaku pada generasi ketiga, misalnya dalam hubungan silaturrahim dan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Adapun hubungan sampai pancer generasi keempat dan seterusnya hanya berupa hubungan tradisional, karena mereka sudah jarang sekali melakukan hubungan, bahkan tidak saling mengenal, apalagi kalau tempat tinggalnya saling berjauhan. Pada saat ini ada perkembangan baru dalam hubungannya dengan kekerabatan ini yaitu munculnya wadah yang berusaha mengikat dan meningkatkan kesadaran hubungan primordial isme kekerabatan. Wadah tersebut adalah trah, wadah ini bukan hanya terdapat di keluarga-keluarga bangsawan atau kelas menengah atas, namun juga terdapat di masyarakat kelas menengah-bawah dan di pedesaan. 3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal Kelompok Sosial: Ada beberapa kelompok sosial di Kota Solo. Kelompok sosial tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yaitu: (1) kelompok sosial-kemasyarakatan (2) kelompok yang mengurusi pemerintahan, dan (3) kelompok yang berkaitan dengan kekerabatan. Pertama, secara historis Solo dikenal sebagai pusat gerakan keagamaan, mulai dari Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Laweyan, di kota ini juga ada ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Bahkan saat ini Solo dikenal dengan keberadaan kelompok-kelompok sosial keagamaan yang militan atau menurut sebutan mereka sebagai kelompok ‘Islam konsisten’ seperti Front Pembela Islam Surakarta, dan Majelis Mujahidin Indonesia yang muncul di era reformasi. Kota ini dikenal juga sebagai kota yang masyarakatnya majemuk dari segi suku dan kelas sosial-ekonomi, agama, dan paham keislaman Tak heran kalau banyak orang menyatakan di Solo semua tingkatan
90
keislaman dan keagamaan tumbuh dan berkembang, mulai dari kelompok Islam yang paling militan-fundamentalis, moderat sampai yang liberal dan abangan. Kelompokkelompok keislaman tersebut memiliki subkulturnya masing-masing, dan secara politik dapat dilihat juga dalam kekuatan partai politik yang mengindikasikan kekuatan masingmasing kelompok. Partai-partai Islam atau berbasis massa Islam cukup kuat selain partai nasionalis sekuler. Kedua kelompok partai tersebut sebagai representasi dari kelompok muslim tersebut. Sementara di kalangan umat Kristiani Katolik, Protestan, dan berbagai sekte
cukup banyak kelompoknya mulai dari
yang
agresif secara metodologi penyebaran
agamanya. Di bidang keagamaan ini ada juga organisasi yang dari sejarahnya dibentuk oleh pemerintah seperti MUI. Kelompok sosial lain yang berorientasi kepada sosial kemasyarakatan cukup banyak misalnya PKK, dasa wisma, pos yandu. Kedua, di Kota Solo saat ini lembaga pemerintaha modern pada level desa sampai RT meliputi kepala desa yang dibantu oleh carik, kepala urusan pemerintahan, pembangunan, kesejahteraan rakyat, dan kepala dusun. Di bawah kepala dusun masih ada Ketua RW dan RT yang menjadi lembaga semi pemerintahan. Sementara di tingkat dusun jabatan tradisional yang masih aktual dan fungsional yang mengurus di bidang keagamaan yaitu kaum dan rais. (1) Kaum adalah mereka yang biasanya memahami acara-tradisi dengan baik dan menjadi pemimpin dalam acara tersebut (terutama acara adat). Misalnya dalam acara pernikahan dan khitanan, kaum memimpin prosesi acara (2) Rois adalah orang yang memiliki pengetahuan agama yang lebih dalam masyarakat dan dituakan. Dalam upacara pernikahan
dan khitanan rois
memimpin doa. Kedua lembaga sekaligus tokoh ini sangat disegani oleh masyarakat, karena umumnya terdiri dari sesepuh di dusun atau di desanya masing-masing. Ketiga, di Solo sebagaimana dikemukakan oleh informan ahli saya, Dr.SK (63 tahun), terdapat banyak kelompok kekerabatan bernama ‘trah’. Trah ini bukan hanya terdapat pada
keturunan bangsawan, tapi juga di kalangan masyarakat biasa. Misalnya trah di
kalangan bangsawan atau menengah ke atas seperti Hadijayan (putra Paku Buwono X), Trah Kartopawiron. Yang menarik saat ini trah juga berkembang di desa dari kalangan masyarakat awam. Dari sekian trah tersebut ada yang anggotanya mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda, baik dari segi paham agama maupun agama yang dianutnya. Karena itu dari segi agama anggotanya, trah ini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu trah yang
91
anggotanya sama-sama beragama Islam atau dapat disebut dengan trah homogen. Selain itu ada trah yang anggotanya ada yang berbeda agama, disebut juga dengan trah heterogen. Perbedaan agama dan bahkan suku, status sosial anggota ini dimungkinkan karena dasar keanggotaan sebuah trah adalah adanya hubungan darah dalam garis keturunan pancer dan perkawinan. Peran utama dari trah
adalah sebagai penjalin hubungan antaranggota kerabat
sekaligus sebagai penegas identitas diri dari kelompok kerabat tersebut, hal ini sesuai dengan tujuan awalnya yaitu nglumpukke balung sumsum. Mereka melakukan kegiatan pertemuan secara priodik seperti selapanan, tiga bulanan atau setahun sekali, juga bersifat incidental milsanya ketika ada pernikahan kerabat khitanan, namun pada umumnya pada hari raya Idul Fitri yaitu dalam tradisi Syawalan. Kegiatannya selain ada petuah-petuah atau sosialisasi nilai-nilai kejawaan, pentingnya hidup rukun dan persaudaraan, nilai-nilai kebaikan yang patut dicontoh dari si mbah, pengisinya dari sesepuh atau penceramah. Juga diisi dengan kegiatan yang bernilai ekonomis seperti arisan. Juga yang terpenting adalah pengenalan setiap anggota trah, baik mengenai nama, nasab dan posisi masing-masing dalam kaitannya dengan pancer.
Aktor Lokal: Menurut informan saya, Suh. (45 tahun), berbeda dengan di Yogyakarta yang masih memiliki figur tradisional panutan yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono, di Solo saat ini tidak mempunyai figur tradisional panutan, hal ini terutama karena terjadinya konflik internal di kalangan Kraton sendiri. Konflik tersebut telah berdampak kepada menurunnya kharisma dan wibawa kraton di hadapan masyarakat. Sebelum terjadinya kasus itupun sebenarnya pihak kraton sudah jarang dijadikan sebagai instrumen dan aktor dalam kaitannya dengan permasalahan hubungan antarkelompok masyarakat termasuk dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik. Dalam hal keagamaan tokoh lokal yang penting disebut adalah pemimpin pondok Ngruki, Ustadz Abdul Basyir. Meskipun secara geografis tidak masuk Kota Solo, namun ia sangat berpengaruh juga di masyarakat Islam Solo, terutama di kalangan kelompok Islam konsisten seperti Majelis Mujahidin. Dari keseluruhan aktor lokal, menurut SK (63 tahun), di Solo yang banyak berpengaruh adalah tokoh partai politik. Hal ini yang menyebabkan Solo menjadi kota yang bersumbu pendek, mudah terbakar dan sering terjadi konflik kekerasan. Tokoh agama seperti kiai dan tokoh adat tidak menjadi panutan atau setidaknya pengaruhnya
92
lebih kecil daripada tokoh politik. Karena tokoh politik yang lebih banyak berperan maka untuk menentukan aktor lokal yang berpengaruh tergantung kepada partai politik yang lebih dominan atau banyak memperoleh suara. Akibat lain dari besarnya pengaruh tokoh partai ini adalah aktor lokal yang ada menjadi tersebar di beberapa partai. Keadaan ini mendukung pernyataan beberapa informan bahwa di Solo saat ini tidak dikenal adanya figur panutan tunggal. Kecenderungan tersebut juga dapat dibuktikan dengan kasus Ahmad Wilson. Dalam kasus tersebut yang banyak memimpin aksi dan advokasi adalah dari tokoh-tokoh partai Islam bekerja sama dengan tokoh di
Front
Pembela Islam Surakarta (FPIS). Pernyataan Wilson ketika itu dianggap pimpinan FPIS dan tokoh dari partai seperti PAN, PPP, PBB, dan PKB sebagai pelecehan terhadap agama Islam (Nabi Muhammad). Tokoh-tokoh tersebut menggalang opini melalui media massa misalnya Sahil Hasni (PAN), Mudrick SM
Sangidoe (PPP), Ipmawan Iqbal (PBB),
Husein Syifa (PKB), Fajri Muhammad (PKS).
4. Nilai-nilai Lokal Nilai-nilai lokal, atau norma menurut SK (63 tahun),
yang masih cukup
berkembang di Kota Solo adalah nilai-nilai tepo seliro (tenggang rasa) dan sambatan (saling membantu dan bekerja sama), dan gotong royong. Ketiga nilai ini dalam masyarakat sering saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam tepo seliro atau tenggang rasa akan membuat orang mampu mengendalikan emosi bahkan kepentingan pribadi atau kelompoknya, sehingga muncul kebersamaan seperti mau membantu orang lain dan mau bergotong royong serta membantu untuk kepentingan umum maupun orang lain secara individual. Nilai-nilai ini pada umumnya memberikan rambu-rambu bagi anggota masyarakat, agar memiliki rasa saling menghargai dan memahami perasaan orang lain, juga memberikan bantuan dalam hal apapun sesuai kemampuan yang dimilikinya. Tujuan akhirnya adalah supaya dalam kehidupan masyarakat berkembang kerukunan tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan lapisan sosialnya. Misalnya
jika
tetangga memiliki hajatan, maka tetangga, dan juga kerabat, ikut gotong royong, baik diminta atau tidak. Pada waktu kegiatan
yang bersifat nasional seperti
ketika
memperingati 17-an tiap orang ikut bergotong royong Supaya terjadi kehidupan yang rukun, menurut beberapa informan seperti SK , dan Gun, maka harus dikembangkan sikap tenggang rasa. Ironisnya di bidang politik
93
tenggang rasa ini tidak ada atau sangat kecil, namun di bidang ekonomi tenggang rasa itu masih cukup besar karenanya orang Cina biasa hidup rukun denganh orang kampung. Ironi tenggang rasa dan kehidupan politik ini perlu diangkat karena justru aktorlokal yang banyak berpengaruh di Solo adalah tokoh-tokoh pertai politik. Jika ini berlangsung terus maka
jika ada masalah kecil kalau itu terkait dengan kepentingan politik kelompok
partai maka akan menjadi masalah besar dan bahkan menjadi konflik terbuka di antara kelompok sosial dan agama yang ada. 5. Upacara Adat Dalam masyarakat Solo upacara adat dapat dibagi ke dalam upacara umum dan upacara lingkaran hidup seseorang.
Di dalam upacara tersebut terkandung adanya
interaksi antarorang atau kelompok yang berbeda latar belakang agama, suku, lapisan sosial, dan lainnya. Tentu selain hal-hal yang berkaitan dengan substansi upacaranya sendiri. Pertama, upacara adat umum misalnya upacara yang dilaksanakan oleh Kraton Kasunanan Pakubuwana Surakarta misalnya Jumenenangan, Suro, Grebeg, Tahun Dal, Sekaten, Sesajen, dan Malem Selikuran atau Maleman Sriwedari.
Upacara tersebut
dilaksanakan pada bulan dan hari tertentu, misalnya malem selikuran diselenggarakan pada tanggal 21 Ramadhan setiap tahun. Diawali dengan acara prosesi atau arak-arakan keluarga besar Raja Kasunanan yang biasanya berlangsung pukul 18-21.00 dari Kraton Kasunanan (alon-alun utara) menuju Taman Sriwedari, dan sejak itu acara pasar malam dibuka untuk umum di Taman Sriwedari sampai akhir bulan Ramadhan. Upacara yang diselenggarakan Kraton ini dilaksanakan
demi kesinambungan
pranata budaya, khususnya bagi kesinambungan generasi penerus Mataram saat ini. Yang penting dicatat adalah bahwa upacara tersebut diupayakan agar bukan sekadar menjadi tontonan tapi sekaligus menjadi tuntunan bagi masyarakat, sehingga berfungsi sebagai benteng budaya lokal dan pergaulan budaya ke depan yang cenderung ke arah pada identitas peradaban budaya global. Kedua, upacara lingkaran hidup dimulai dari sejak manusia dalam kandungan sampai wafat. Dari Dalam Kandungan sampai
Pubertas: Pada saat kehamilan tujuh bulan
diadakan mitoni, pada upacara ini para ibu memandikan yang mitoni yang disebut dengan tingkeban. Ketika bayi lahir dilakukan slametan
yang disebut dengan brokohan yang
terdiri dari nasi tumpeng dan ikan asing serta jajanan pasaran, dan ketka bayi sudah
94
berusia 5 hari dilakukan slemetan sepasaran dengan jenis makanan yang sama dengan brokohan, pada saat ini bayi dipotong sedikit rambutnya. Slametan selapanan dilakukan saat bayi berusia 35 hari, jenis makanan sama dengan sepasaran hanya rambut bayi dipotong habis. Setelah tujuh lapanan diadakan acara tedak siti. Pada akhirnya anak menjelang remaja diadakan teta’an atau sunatan/khitan. Pada saat ini banyak anggota masyarakat yang tidak melakukan secara ketat rentetan upacara tersebut. Pada umumnya masyarakat hanya menyelenggarakan upacara kehamilan, sepasaran atau selapanan dan tetaan.. Teta’an di kalangan muslim santri lebih diutamakan dan biasanya menggunakan istilah khitan atau sunnat karena lebih bersifat religius dan sunnah Nabi, terutama untuk anak laki-laki. Ketika pelaksanaan upacara tersebut mengundang
orang yang punya hajat biasanya
tetangga, atau kerabat yang jauh tanpa
mempedulikan latar belakang
agama, suku dan lainnya. Kalau yang bersangkutan mempunyai trah biasanya mengundang anggota trah khususnya sesepuh trah tersebut. Perkawinan: Sebuah perkawinan diawali dengan tahapan melamar. Memasuki perkawinan sendiri terdiri dari banyak rangkaian acara seperti siraman (pemandian yang dilakukan sehari sebelum akad nikah), midodareni yang terkadang dijadikan satu dengan upacara temu-manten. Pada malam midodareni kerabat dan para tetangga dekat
hadir
sambil bercengkarama dan main kartu sampai hampir tengah malam. Tuan rumah menyediakan makanan-minuman sesuai dengan kemampuan. Setelah itu baru memasuki upacara akad-nikah. Pelaksanaanya biasanya pagi hari sehingga yang punya hajat harus menyediakan makanan-minuman. Akad nikah dilakukan penghulu dan disaksikan oleh beberapa kerabat dan tetangga. Temu manten biasanya menjadi pusat perhatian utama, bahkan kadang lebih dianggap sakral dibandingkan dengan akad nikahnya sendiri, atau setidaknya dianggap sebagai bagian dari rukun perkawinan. Pada waktu temu manten ini yang datang
paling awal adalah anggota kerabat agar tuan rumah
kerepotan dapat
membantu. Temu manten ini terdiri dari banyak prosesi seperti suap menyuap makanan antara pengantin, acara ngabakten (melakukan sembah kepada bapak-ibu), tilik nganten oleh orang tua laki-laki ke rumah/gedung setelah acara temu selesai, namun hal ini sekarang jarang sekali dilakukan. Kemudian baru ada sambutan-sambutan. Para tamu undangan dalam hajatan manten terdiri dari tetangga, teman dan kerabat dari orang tua atau penganten. Dalam hal ini tidak ada pembedaan dari segi
95
agama, suku, dan lapisan sosial. Hanya kalau tamu tersebut berasal dari kalangan yang lebih tinggi derajatnya biasanya akan dihormati. Kematian: Pada saat upacara kematian
selain dilakukan perawatan janazah
sebagaimana ajaran agama (memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan), juga ada prosesi adat seperti sambutan-sambutan sebelum pemberangkatan janazah ke makam, kadang juga dilakukan geblak. Setelah hari kematian ada tradisi slametan seperti metung dino, matangpluh dino, nyatus, pendak siji (setahun pertama), sampai nyewu. Dalam upacara pada saat hari kematian tetangga, teman dan kerabat akan datang dengan sendirinya tanpa diundang ketika mendengar kematian seseorang, mereka terdiri dari berbagai latar belakang suku dan agama dan lainnya. Adapun ketika slametan pasca kematian, selain metung dino biasanya pesertanya diundang, dan undangan tersebut tanpa membedakan agama dan sukunya. Pada saat sekarang di kalangan masyarakat Solo terutama dari kalangan lapisan sosial bawah dan santri yang masuk kategori modernis dan konsisten tidak berkembang lagi. Hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh SK (63 tahun),
selain karena alasan
ekonomis (terutama di kalangan masyarakat lapisan bawah) juga karena karena alasan paham keagamaan.
G. Model Pengendalian Konflik Berbasis Budaya Lokal Sebagaimana halnya di daerah lain, pengendalian beragama yang
sudah berlangsung di Solo masih
potensi konflik antarumat
dominan pendekatan structural.
Sementara pendekatan kultural yang berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal masih belum dikembangkan dengan baik, dan masih terbatas pada tahap uji-coba. Kegiatan yang dilakukan yaitu: (a) Sosialisasi wawasan kebangsaan yang menekankan pentingnya persoalan kebangsaan termasuk hubungan antarkelompok secara damai. (b) Deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik SARA (c) Sosialisasi khusus tentang kerukunan umat beragama (trilogi kerukunan). Dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu (1) Evaluasi posisi modal budaya lokal. (2) Adanya kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, (3) Adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali
96
konflik. (4) Adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal. 1. Evaluasi Komponen Budaya Lokal Sebagaimana ditegaskan dalam kajian pustaka dan diterapkan di lokasi yang lain, komponen budaya lokal
dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu (a) kelompok
sosial, (b) aktor lokal, (c) nilai-nilai, dan (d) upacara. Karena itu dalam mencari model pengendalian, termasuk penyelesaian, konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut. Evaluasi terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari status atau keberadaannya dalam
proses pengendalian konflik. Dari aspek ini, ada 3
kemungkinan statusnya yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin
diperankan
dan diberdayakan
sebagai
instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan pengendali konflik. Di sisi lain ia
dianggap aktual
kalau
sebagai instrumen
sudah diperankan oleh
masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama. Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses pengendalian potensi konflik terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat suku Jawa di di kota Bengawan ini saat tanpa memandang latar belakang agamanya. Nilai-nilai tentang hidup rukun yang potensial tersebut terdapat dalam
ugeran teposelira, sambatan dan gotong royong. Teposelira
berarti sikap hidup bertenggang rasa antarorang. Ugeran ini mengandung prinsip timbalbalik yaitu melakukan sesuatu
yang kita harapkan orang lain melakukan bagi kita.
Sambatan adalah saling membantu dan bekerja sama antar anggota masyarakat. Keriganya dianggap potensial
karena masih menjadi kesadaran anggota
masyarakat, terutama dari kalangan generasi tua. Hanya saat ini ugeran tersebut terutama di kalangan generasi muda ada tanda-tanda kian melemah, sehingga dibutuhkan sosialisasi kepada mereka melalui berbagai media.
97
Agar supaya nilai-nilai rukun dalam ugeren-ugeran dapat
menjadi instrumen
dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya harus ada langkah-langkah yang harus dilakukan, terutama di kalangan generasi muda. Untuk itu perlu sosialiasasi dalam kehidupan keluarga, melalui kegiatan kelompokkelompok sosial, dan sekolah, dan media massa. Gotong royong selain
berupa ugeran (nilai) juga dapat berupa kegiatan yang
dilakukan masyarakat. Dalam makna ini, gotong royong merupakan wadah yang sudah lama dilakukan masyarakat. Ia telah menjadi wadah tempat orang orang yang berbeda agama
berinteraksi satu dengan lainnya. Walaupun begitu ia belum menjadi wadah
sosialisasi tentang hidup rukun dan damai. Sementara ugeran alon-alon waton klakon semakin kehilangan maknanya dalam kehidupan masyarakat, juga dianggap tidak terkait secara langsung dengan hidup rukun di kalangan masyarakat. Karenanya ia masuk dalam kategori nilai-nilai yang inpotensial. Kedua, kelompok sosial yang dianggap potensial untuk dikembangkan dalam pengendalian konflik adalah trah dan lembaga semi-pemerintah. Hal ini mirip dengan yang terjadi di Kulonprogo. Trah merupakan wadah yang didalamnya terdapat jaringan kekerabatan melahirkan budaya ‘sungkan’ dan saling hormat di antara anggota trah dan kerabat. Bagi orang Jawa di Solo ketika berhubungan dengan orang lain akan bertanya dengan siapa orang tersebut dan ada-tidaknya hubungan kekerabatannya dengannya. Jika ada
hubungan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana posisinya dalam struktur
kekerabatannya. Alasan trah dapat diperankan sebagai media dalam pengendalian konflik ternyata tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di Kulonprogo, yaitu: karena banyaknya trah, baik yang terdapat pada kelompok menangah ke atas maupun menengah ke bawah, serta jenis trahnya bersifat heterogen dan homogen, frequensi kegiatannya selain bersifat tahunan juga lapanan. Dari pertemuan tersebut terjadi interaksi antaranggota trah yang berbeda agama, dan
sosialisasi
tentang makna penting kerukunan. Sosialisasi dan
interaksi yang terjadi pada tingkat trah ini dapat dilanjutkan dan dikukuhkan dalam keluarga batih masing-masing anggota. Hanya saja ada satu syarat penting yang harus diperhatikan supaya trah ini dapat diperankan sebagai wadah pengendali konflik secara efektif. Trah harus difungsikan secara sadar dalam kegiatan dalam pengendalian konflik. Begitu juga ketika terjadi konflik antarumat beragama yang melibatkan anggotanya pimpinannya harus proaktif
98
dalam ikut penyelesaiannya. Ini sangat dimungkinkan karena pimpinan dan khususnya sesepuh trah mempunyai wibawa dan dihormati oleh anggota (kerabatnya). Lembaga semi-pemerintah tingkat bawah seperti RT-RW dan PKK-dasa wisma sebenarnya bukan kelompok sosial khas lokal Solo, sebab ia merupakan lembaga yang ada dalam skala nasional dan mempunyai jenjang-hirarkis dari tingkat pusat sampai RT (khususnya PKK), sedangkan RT-RW ada di diseluruh Indonesia. Hanya saja kelompok sosial ini termasuk kategori aktif, sehingga dimunculkan oleh informan, juga termasuk bagian kelompok sosial yang dilibatkan dalam uji coba yang dilakukan oleh
Tim
Pengembangan Katahanan Masyarakat. PKK-dasa wisma mempunyai jaringan hirarkis, ada pertemuan dan kegiatan rutin mingguan, anggotanya ibu-ibu
yang dianggap
mempunyai sikap feminis, sebuah watak yang dibutuhkan dalam upaya sosialisasi nilainilai kerukunan dan budaya hidup damai, heterogen. Sementara RT-RW
dan latar belakang agama anggotanya
mempunyai akses secara langsung kepada masyarakat
yang berlatar belakang beragam karena ia memang kumpulan dari anggota bmasyarakat itu sendiri, sehingga ia dianggap lebih memahami budaya sekaligus menjadi bagian dari komponen budaya dari masyarakat itu sendiri. Karena itu selayaknya di tiap daerah sampai tingkat desa, setiap RT-RW memiliki karakter tersendiri, mempunya orientasi kegiatan yang khas setempat, selain yang bersifat nasional. Ini juga berlaku untuk PKK dan dasa wisma. Ketiga, meskipun tidak ada tokoh panutan tunggal dan karenanya tidak ada aktor lokal yang dominan, namun masih ada dua aktor lokal yang dianggap memiliki pengaruh berbeda-beda. Mereka adalah tokoh partai politik, dan kyai, sedangkan priyayi dan tokoh dari Kasunanan pengaruhnya sangat lemah, apalagi setelah konflik internalnya. Tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat adalah tokoh partai politik, kemudian kyai atau tokoh agama Islam. Secara aktual, selama ini dalam proses pengendalian, dan penyelesaian konflik antarumat beragama, tingkat pemeranannya masih berbeda. Tokoh-tokoh parpol lebih banyak dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik, sedangkan kyai belum banyak dilibatkan dalam pengendalian dan penyelesaian konflik. Keempat, di kalangan masyarakat sering dilakukan acara upacara adat. Kegiatan ini ada yang didanai oleh pemerintah setempat. Upacara adat dapat dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu upacara adapt yang diselenggarakan oleh Kasunanan Surakarta, dan upacara adapt yang tumbuh dan diselenggarakan oleh masyarakat umumnya. Upacara
99
adat oleh kraton misalnya Jumenangan, Suro, Grebeg, Tahun Dal, Sekaten, Sriwedaren (Malem Selikuran). Adapun yang berkembang di masyarakat misalnya sesajen, nyadran, padusan Upacara adat yang diselenggarakan kraton tersebut dapat dijadikan sebagai instrument dalam pengendalian konflik berupa sosialisasi tentang hidup damai dan rukun, walaiupun sebagian sumber upcara tersebut berupa paduan Jawa-Islam, namun yang hadir berasal dari latar belakang yangb beragam. Hanya saja potensi ini selama ini belum banyak diperankan karena ada kendala ‘pakem’ dari Kraton, dan karenanya perlu pendekatan kepadanya agar menjadi wadah sosialisasi yang efektif tentang hidup damai dan rukun antarkelompok. Semua upacara adat yang diselenggarakan kraton punya potensi yang sama untuk dikembangkan. Adapun yang berlangsung di di kalangan masyarakat umumnya adalah nyadran dan nyekar, sedangkan padusan tidak dianggap potensial karena dilakukan di luar Solo dan bertentangan dengan paham keagamaan
sebagian kelompok masyarakat
(muslim). Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian dapat dijadikan sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama yaitu sebagai wadah interaksi antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara tersebut, termasuk upacara slametan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir berasal dari orang-orang yang berbeda agama. Tabel 1: Status Komponen Budaya Lokal Status Komponen Budaya
Potensial Sos/PB. Int.
Aktual Sos./PB Int.
Inpotensial Sos./PB Int.
Nilai-nilai:
1.Teposelira 2. Sambatan 3. Gotong royong 4. Alon-alon waton klakon
Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. RT-RW 4. Gotong royong Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol 2. Kyai 3. Kasunanan Upacara Adat: Dilaksanakan kraton/Pemkot
+ + + -
+ + + -
+
+ + + -
-
+
+ + +
+
+
100
Dilaksanakan masyarakat Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
+
-
+
Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.=Interakasi
PB=Pedoman Bersama
Berdasarlam evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya dalam pengendalian konflik di daerah ini lebih banyak berbasis kepada kelompok mayoritas suku. Artinya modal yang dimiliki dan didasarkan atas budaya dominan yaitu suku Jawa, misalnya komponen nilai-nilai yang tercantum dalam beberapa ugeran, dan upacara adat yang berkembang di masyarakat umum. Sementara dalam upacara adat, yang diselenggarakan kraton
terjadi akulturasi
antara budaya Jawa dan agama mayoritas (Islam), termasuk dalam upacara lingkaran hidup. Dalam komponen lembaga sosial dan aktor lokal lebih banyak didasarkan atas budaya modern karena yang terkuat adalah tokoh parpol, meskipun ada yang didasarkan atas budaya kelompok agama mayoritas yaitu kyai
2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik Yang dimaksud fungsi di sini adalah konstribusi yang diberikan dan disediakan oleh setiap komponen budaya dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama. Fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing. Fungsi nilai-nilai budaya yang terdapat dalam semua ugeran di Solo seperti teposelira, sambatan dan gotong royong pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari
masyarakat tanpa mengenal perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan
lainnya. Kelompok-kelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik yaitu trah berfungsi sebagai wadah sosialisasi dari nilai-nilai tentang hidup rukun. Trah juga dapat berfungsi sebagai media interaksi dan komunikasi antarorang yang berbeda agama, khususnya dari kalangan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Hal ini berlaku juga bagi PKK-dasa wisma dan RT-RW. Walaupun bukan khas Solo namun karena lembaga-lembaga ini langsung berhubungan dengan anggota masyarakat dengan
101
segala budaya yang dimilikinya, maka ia dapar dijadikan sebagai wadah yang potensial untuk dua hal sekaligus yaitu sosialisasi dan interaksi antarorang yang berbeda agama. Sementara aktor lokal seperti tokoh parpol dan kyai lebih berfungsi sebagai subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Dalam hal ini ke depan kedua tokoh lokal tersebut perlu diberikan media/wadah yang dapat mempertemukan secara lebih intensif, dan mempertahankan media yang sudah ada. Untuk kasus Solo karena pada komponen kelompok sosial muncul untuk memerankan kelompok PKK-dasa wisma, dan RT-RW, maka sangat relevan untuk memerankan juga tokoh dari lembaga-lembaga tersebut, masing-masing mewakili dari pihak wanita, dan lembaga pada level bawah. Tokoh-tokoh ini dapat dianggap potensial dan penting karena tokoh-tokoh besar yang ada di Solo lebih bersifat berlaku untuk kelompok agama masingmasing, kyai
yang ada hanya berpangaruh kuat di kalangan (sebagian) umat Islam
khususnya Islam santri, sedangkan tokoh parpol lebih banyak pendekatan politik praktis yang justru potensial menjadi sumber konflik itu sendiri. Sementara tokoh-tokoh dari PKK-dasa wisma, RT-RW dapat menaungi semua kelompok umat beragama. Upacara adat
mempunyai fungsi yang berbeda-beda, perbedaan ini terutama
tergantung kepada pelaksannya. Di Solo upacara adapt lebih dominan yang diselenggarakan oleh Kraton, meskipun ada
juga upacara yang berkembang di
masyarakat. Upacara adat yang diselenggarakan kraton, meskipun ada yang paduan JawaIslam namun dapat diperankan dalam dua hal sekaligus yaitu sebagai wadah interaksi antarumat beragama dan sosialisasi nilai-nilai rukun. Sebab peserta dalam acara tersebut selain terdiri dari orang yang beragama Islam juga umat agama lain. Hal yang sama dapat diterapkan pada upacara kirab budaya yang diadakan tiap tahun sekali, khususnya dalam memperingati hari jadi Kota Solo. Adapun upacara yang berkembang di masyarakat umumnya berfungsi sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama masing-masing, misalnya dalam acara nyadran-nyekar. Acara nyadran dan nyekar ini walaupun dalam sejarahnya bersumber dari tradisi Jawa-Islam, namun saat ini dilakukan juga oleh agama lain seperti Katolik. Upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai
wadah interaksi antarumat beragama, dan dapat juga dikembangkan sebagai
wadah sosialiasasi nilai-nilai kerukunan. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 2.
102
Tabel 2: Fungsi dan Sumber Kebudayaan Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Fungsi Pedoman
Sosialisasi
Berbasis Kepada Interaksi
Nilai-nilai:
1.Teposelira 2. Sambatan 3. Gotong royong
Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. RT-RW 4. Gotong royong Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol 2. Kyai 3. Tokoh wanita (PKK) 4. Ketua RT-RW Upacara Adat: 1. Dilaksanakan kraton 2. Dilaksanakan masyarakat Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
Suku mayoritas + + +
+ + + -
+ + + +
Nasional Agama mayoritas Nasonal Nasional
+ +
+ + + +
Suku mayoritas Nasional Nasional Suku mayoritas
+ +
Suku mayoritas Suku mayoritasagama global Suku mayoritas– agama global
c. Mekanisme Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama dibagi ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi. Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilainilai lokal oleh kyai, tokoh parpol, dan tokoh RT-RW dan wanita dalam kegiatan kelompok sosial yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan trah dan upacara adat yang berkembang di masyarakat dan lingkaran hidup, termasuk dalam kegiatan PKK-dasa wisma. Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh selain aktor-aktor di atas melalui berbagai kesempatan (seperti melalui pelatihan, workshop), dan sebaliknya sosialisasi dan pengkajian tentang potensi konflik antarumat beragama (prasangka antarkelompok umat, misiologi agama (khususnya Kristenisasi), kesejangan sosial-ekonomi, dan Islam konsisten) oleh aktor-aktor lokal yang ada. Bahkan memerankan mereka dalam FKUB yang dibentuk pemerintah, dalam rangka
103
sosialisasi nilai-nilai lokal yang ada sebagai pengukuhan ajaran agama yang berkaitan dengan kerukunan antarkelompok. Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain. Dari kedua pola mekanisme tersebut pola yang bersifat integratif dianggap lebih tepat untuk penerapan model pengendalian konflik antarumat beragama ke depan Hal ini karena dalam masyarakat modern pola interaksi antarorang dan kelompok semakin dinamis dan menyebar, apalagi dalam sebuah kelompok masyarakat plural saat ini.
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal Uraian tentang perumusan model ini (akan) didasarkan atas 2 hal: (1) rumusan yang disusun peneliti berdasarkan atas temuan-temuan penelitian tahun pertama dan kedua, dan jawaban kritis serta kesepakatan para informan atas rumusan yang disusun peneliti. Dalam setiap penyelesaian konflik antarumat beragama berbasis budaya lokal seharusnya memperhatikan beberapa komponen yaitu: karakter konflik, pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, pemanfaatan budaya lokal 1. Memperhatikan karakter konflik Karakter konflik terutama terkait dengan berkonflik. Jenis konflik di Solo berupa
jenis, sumber konflik, dan subyek
konflik ide dan gerakan massa. Sejauh
menyangkut konflik antarumat beragama selama priode era reformasi tidak ada konflik yang signifikan sebelumnya. Subyek berkonflik melibatkan elit dan massa umat agama Islam dan elit agama Kristen, khususnya dari pengelola radio Kristen dan pendeta Wilson. Penyebab atau pemicu konflik adalah pelecehan (tokoh) agama oleh elit kelompok agama minoritas. Adapun sumber konflik karena adanya salah paham antarbudaya atau prasangka negative dari masing-masing kelompok. Selain itu karena adanya misiologi agama kelompok minoritas yang dianggap agresif, dan mumculnya kelompok Islam konsisten yang punya kepekaan terhadap misi agama lain. 2. Pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar Pengalaman penyelesaian konflik antarumat beragama yang jadi fokus penelitian ini harus dipelajari
dan dievaluasi. Sebagaimana dimaklumi penyelesaian konflik
antarumat beragama di kota Bengawan ini lebih cenderung menggunakan cara-cara struktural kekuasaan dan belum memanfaatkan cara-cara kultural. Cara struktural adalah cara yang dipakai oleh aparat dan lembaga pemerintah setempat atau pihak keamanan dalam menyelesaikan konflik. Karenanya pendekatan yang digunakan bersifat tidak
104
langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah. Alasannya, pemerintah belum melihat adanya aktor
yang dapat menjadi figure panutan seperti Kraton di
Yogyakarta, juga karena tokoh seperti partai politik, khususnya parpol Islam, terfragmentasi pada salah satu pihak yang berkonflik. Untuk itu mereka lebih berperan sebagai peredam emosi massa masing-masing supaya mampu menahan diri, bukan sebagai penengah atau mediator. Sementara aspek penegakan hukum atau aturan sudah
dilakukan, namun tetap
didasarkan atas prinsip musyawarah. 3. Pemanfaatan budaya lokal. Berdasarkan kepada kedua aspek tersebut langkah selanjutnya adalah mencari posisi dan peran yang dapat dimainkan komponen-komponen budaya lokal yang relevan. Pertama, secara umum alasan-alasan pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal dalam penyelesaian konflik sama dengan dalam alasan-alasan yang yang tercantum dalam pembahasan pengendalian konflik. Walaupun begitu ada perbedaannya, dalam konteks penyelesaian konflik, status dan fungsi komponen-komponen dapat berbeda dengan yang ada dalam pengendalian konflik. Kedua, dalam kasus Solo aktor-aktor lokal besar yaitu aktor-aktor yang mempunyai lingkup pengaruh luas di tingkat kota Solo dan lintas kelompok agama belum muncul. Misalnya tokoh parpol, terutama yang berazaskan dan berbasis massa umat agama, terfragmentasi dalam kelompok yang berkonflik, hal ini dapat dilihat ketika konflik yang terjadi tahun 2001. Begitu juga dengan (sebagian ) kyai atau tokoh agama mayoritas justru terlibat konflik, terutama dari tokoh dari kelompok Islam-konsisten. Sementara untuk tokoh dari Kraton justru terlibat konflik internal yang berkepanjangan sampai sekarang, selain tokoh Kraton dianggap tidak dekat dengan tokoh agama. Walaupun begitu bukan berarti aktor-aktor lokal tersebut tidak dapat diperankan sebagai bagian dari penyelesai konflik. Tokoh parpol Islam atau berbasis massa muslim dapat menjadi peredam sekaligus penyalur aspirasi dari kelompok yang seideologis. Hal ini secara aktual telah dilaksanakan ketika konflik kelompok Islam dan Kristen. Dengan peran seperti itu massa dapat dikendalikan untuk tidak melakukan sesuatu yang anarkis, dan mampu diarahkan ke penyelesaian secara hokum. Dalam hal ini tokoh parpol lebih berfungsi sebagai peredam dan penyalur arpirasi bukan sebagai fasilitator dan mediator. Hal yang sama berlaku bagi tokoh agama dari Islam konsisten. Dalam konteks tokoh agama ini sebanarnya dapat dilakukan alternatif: (1) Tetap memanfaatkan mereka
105
dan menjadikannya sebagai negoisator dengan tokoh agama Kristen sehingga melahirkan kesepakatan dengan didasarkan atas sumber konflik atau solusi atas akar masalahnya. (2) jika memang tidak memungkinkan dapat memanfaatkan tokoh-tokoh Islam lain yang seideologis/sepaham agamanya dengan kelompok Islam yang berkonflik, atau tokoh Islam lain yang paham keislamannya berbeda dengan kelompok Islam yang berkonflik dengan persetujuan dari kelompok terakhir tersebut. Suatu hal yang menarik untuk dikaji adalah tokoh dari trah heterogen yaitu trah yang anggotanya
terdiri dari penganut beragam agama. Sebagaimana dikemukakan
dalam pembahasan tentang pengendalian konflik, di Solo trah heterogen cukup berkembang. Karena itu sangat wajar juga untuk melibatkan tokoh-tokohnya dalam proses penyelesaian konflik antarumat beragama. Mereka dapat diperankan sebagai mediator atau fasilitator. Ada 2 alternatif pola pemeranan mereka. (1) jika ada anggotanya yang berbeda agama ikut terlibat konflik antarumat beragama, maka tokoh (pimpinan dan sesepuh) trah dapat menjadi fasilitator. Hal ini dimulai dari mempertemukan dan melakukan dialog antaranggota yang ikut terlibat konflik dengan tokoh trah sebagai fasilitator, ini sebagai bagian dari masalah internal trah. Kemudian setelah ada informasi dari kedua belah pihak, tokoh trah dapat diperluas perannya untuk menjadi (bagian) sebagai fasilitator/mediator antarkelompok umat yang berkonflik, atau setidaknya berperan sebagai pendorong dan pemberi informasi mengenai akar masalahnya kepada fasilitator-mediator lainnya. (2) tokoh trah mendorong dan memanfaatkan anggota-anggota trah yang berbeda agama yang punya pengaruh di kelompok-kelompok yang terlibat konflik
untuk menjadi aktor
ataupun di kelompok-kelompok sosial yang lain misalnya dalam Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), parpol tertentu, dan lainnya. Ini bagian wujud dari pemanfaatan aktor yang berposisi sebagai cross-cutting-affiliation. Ketiga, upacara adat dan nilai-nilai lokal secara relatif dapat juga diperankan dalam proses penyelesaian konflik antarumat beragama, khususnya pascakonflik yaitu sebagai media untuk memperkuat dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan antarkelompok yang terlibat konflik. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh aktor-aktor lokal yang tidak terlibat konflik, sebagaimana disebutkan di atas, baik oleh tokoh trah, tokoh parpol. Hanya saja khusus untuk upacara adat sepanjang kelompok yang terlibat konflik adalah Islam konsisten, dan kelompok yang mengedepankan puritas Islam, maka ada syarat yang harus dipenuhi yaitu upacara adapt tersebut tidak bertentangan dengan paham agama mereka.
106
Untuk nilai-nilai lokal yang ada di Solo sebagaimana termuat dalam ugeran dianggap tidak masalah karena tidak bertentangan dengan ajaran agama dari kelompok manapun. Upaya sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik tersebut tersebut juga dapat dikukuhkan dengan nilai-nilai lokal yang terkandung dalam beberapa ugeran setempat sebagaimana dicantumkan dalam bahasan tentang model pengendalian konflik. Nilai-nilai dalam ugeran dan kerukunan tersebut diuapayakan menjadi pedoman bersama. Keempat, pemanfaatan kelompok sebagai wadah penyelesai konflik, sekaligus pengendali konflik, tidak perlu
lembaga baru, namun cukup mengoptimalkan dan
mengembangkan peran dari kelompok-kelompok sosial yang sudah ada. Untuk ini ada 2 alternatif yaitu: (1) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang dibentuk oleh pemerintah setempat. .Misalnya
Forum Komunikasi Umat Beragama
(FKUB) sebagaimana disinggung dalam bahasan daerah lain. Dalam kasus Solo, FKUB juga masih perlu mengembangkan (a) representasi anggota internal forum berdasarkan budaya lokal yang ada, khususnya dari segi pelibatan aktor lokal sesuai dengan budaya yang setempat, serta memahami dan mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai lokal. Selain juga (b) mengimplimentasikannya
dan mengefektifkan perannya di lapangan.
(2)
mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang tumbuh dalam masyarakat. Misalnya trah heterogen sebagaimana sudah dibahas di depan. Kelima, penerapan komponen budaya tersebut dalam penyelesaian konflik antarumat beragama tersebut dapat ditempuh dengan dua cara yaitu mandiri dan integrasi. (1) Mekanisme mandiri adalah memberdayakan komponen-komponen
budaya lokal
sebagai instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya tokoh trah melakukan penyelesaian konflik, baik secara langsung (negoisasi, rekonsiliasi) maupun tidak langsung (mediasi, fasilitasi), dalam konteks norma-norma yang berlakun di trah atau kekerabatan, dan dengan mengukuhkan nilai-nilai lokal yang ada. Alternatif lain memerankan tokoh parpol, tokoh agama dan tokoh trah yang tidak terlibat konflik atau tidak terfragmentasi dalam kelompok-kelompok yang berkonflik sebagai penyelesai konflik. Aktor-kator lokal tersebut memanfaatkan dan memerankan upacara adat, trah dan dasa wisma-PKK
sebagai
media sosialiasi hasil penyelesaian konflik. Nilai-nilai
setempat yang berkaitan dengan hidup rukun dijadikan dan dikukuhkan sebagai acuan bersama.
107
(2) Mekanisme penerapan komponen budaya lokal secara integratif. Artinya, satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam upaya penyelesaian konflik. Memberdayakan tokoh trah atau aktor lokal lain yang punya pengaruh, untuk menjadi subyek penyelesai konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung bersama-sama dengan aktor lain seperti dari pemerintah ataupun lainnya. Selain itu dapat juga melakukan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh ketiga aktor lokal yang ada atau aktor lain dari pemerintahan di level yang lebih tinggi melalui berbagai kesempatan. Juga pemanfaatan kelompok sosial dan upacara lain sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh di luar tokoh agama, trah, parpol. Keenam, upaya-upaya tersebut harus diimbangi dengan
sebuah kegiatan
yang
bertujuan untuk: (1) mengukuhkan dan mempertahankan komponen-komponen budaya tersebut
sebagai instrument/media dalam pengendalian dan penyelesaian konflik
antarumat beragama. Misalnya pengembangan dan pengukuhan citra positif terhadap komponen-komponen budaya yang ada melalui berbagai saluran, tentu tanpa melupakan pemahaman keagamaan dari kelompok masyarakat terhadap komponen budaya tersebut, seperti terhadap upacara adat dan nilai-nilai budaya yang ada. Juga melalui peningkatan sikap apresiatif terhadap peran tokoh lokal, termasuk pengorbitan tokoh-tokoh lokal tertentu yang dapat dijadikan sebagai panutan lintaskelompok. (2) Prinsip dasar pendekatan penyelesaian konflik di Solo, juga berlaku di daerah lain, adanya kesadaran dan dorongan agar pendekatan penyelesaian konflik dilakukan secara langsung, khususnya melalui negoisasi dan dialog langsung antarkelompok berkonflik. Tentu tanpa melupakan
pendekatan tidak langsung, baik melalui mediasi maupun
fasilitasi.
108
BAB IV MATARAM: 171 DAN UNGKAPAN SOLIDARITAS
A. Georgafis, Penduduk dan Setting Sosial Propinsi Nusa Tenggara Barat (selanjutnya disingkat ‘NTB’) memiliki dua pulau yaitu Pulau Lombok dan Sumbawa. Kota Mataram berada di Pulau Lombok sekaligus menjadi ibukota propinsi. Secara administratif, Propinsi
NTB memiliki 7
kabupaten/kota, 4 di antaranya ada di Pulau Lombok yaitu selain Kota Mataram juga Kabupaten Lombok Barat (Lobar), Lombok Tengah, dan Lombok Timur. Adapun 3 kabupaten yang terdapat di Pulau Sumbawa meliputi Kabupaten Dompu, Bima, dan Sumbawa. Mataram,
yang memiliki motto ‘Kota Ibadah’, sebagaimana halnya Lombok
umumnya lebih banyak
mendapat curah hujan dibandingkan dengan Sumbawa
ataupun Bali. Luas wilayahnya mencapai 6.130 Ha, dengan kemiringan tanah hanya 0-2% atau sebagian besar tanahnya datar, mirip dengan Lombok Tengah serta berbeda dengan Lombok Barat dan Timur yang dominan wilayah terjal. Di sebelah utara dan selatan berbatasan dengan Kecamatan Gunungsari dan Labu Api Kabupaten Lobar, sedangkan di barat ada Selat Lombok, dan di timur ada wilayah Kecamatan Nirmada.
Kota Mataram memiliki tiga kecamatan yaitu Kecamatan
Mataram (luas 17,72/Km2), Cakranegara (19,94/Km2), dan Ampenan (23,59/Km2). Ampenan adalah kota tua yang memiliki nilai historis, sebab melalui pelabuhan Ampenan, yang sekarang sangat sepi, masyarakat Lombok berkomunikasi dengan dunia luar, khususnya dari arah barat seperti Bali. Bahkan VOC dan pemerintah Belanda
menguasai Lombok melalui pelabuhan ini. Karena itu tidak heran jika di
daerah ini sekarang banyak dihuni oleh berbagai etnis seperti Arab, Bali, Jawa, Cina, selain Sasak sendiri. Ampenan juga pernah dijadikan ibukota Karesidenan Lombok pada pemerintahan kolonial Belanda. Menurut
Kota Mataram dalam Angka, berdasarkan survei Susenas jumlah
penduduk tahun 2004 yang lalu mencapai 348.870 jiwa, perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini berbeda dengan tahun 2000, dari 314.968 jiwa penduduk laki-lakinya (50,51%) lebih banyak
daripada perempuannya (49,49%). Tingkat
pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 1990-2000 mencapai 1,41%, berada di atas pertumbuhan di 3 kabupaten yang ada di Pulau Lombok yang rata-rata hanya 109
0,97%. Walaupun Kota Mataram memiliki penduduk tersedikit, tapi karena
luas
wilayahnya kecil, maka kepadatan penduduknya terbesar (5.589 jiwa/Km2) di NTB. Di kabupaten yang lain kepadatan penduduknya sangat sedikit, seperti di Lombok Timur sebesar 605/jiwa, bahkan Kabupaten Sumbawa hanya 52 jiwa/Km2. Secara historis Mataram adalah nama sebuah Kerajaan yang berdiri tahun 1838 dan dapat mengalahkan pemerintahan Kerajaan Karangasem Singosari di Lombok satu tahun berikutnya. Kerajaan ini meskipun nampak kuat tapi sebenarnya tidak mengakar di sebagian besar masyarakat Sasak (Lombok), hal ini terutama karena perbedaan agama. Karena itu kerajaan ini selalu mendapat perlawanan yang panjang dari suku Sasak yang muslim yang melahirkan Perang Praya I dan II (1801-1894), menjelang akhir Perang Praya II
masyarakat Sasak dipimpin oleh Tuan Guru
Bangkol/Lalu Ismail, dan berakhir ketika Belanda ikut campur tangan tahun 1894 (H. Masnun dkk, 2003: 29-55). Dengan demikian sejarah konflik suku Sasak-muslim dengan Bali-Hindu sudah ada sejak berkuasanya Kerajaan Karangasem di Lombok (1692) dan dilanjutkan oleh Kerajaan Mataram (1838-1894). Sementara Kerajaaan Selaparang Islam berdiri 1639 setelah Selaparang Hindu ditaklukkan Sultan Alauddin dari Kerajaan Islam Goa-Tallo. Sejak tahun 1669 yaitu sejak ditandatanganinya perjanjian Bungayya (Capapaya ri Bungayya) antara Kerajaan Goa-Tallo dengan Belanda yang mengakui monopoli VOC di seluruh Indonesia Timur termasuk Lombok, maka kekuasaan Islam Goa-Tallo di Lombok ikut menghilang (H. Masnun dkk, 2003: 61). Kedatangan Belanda juga membawa missi Kristen di Mataram. Secara sosio-kultural masyarakat Mataram dan Lombok umumnya bersifat multi etnis, walaupun begitu suku Sasak masih menjadi bagian terbesar. Menurut data tahun 2000 jumlah orang Sasak mencapai 65,59% dari total penduduk, orang Bali (15,43%) dan Jawa (7,91%) cukup banyak setelah Sasak, sementara suku
Bima mencapai
2,77%, dan Sumbawa (Sumawa) sebesar 2,06%. Selebihnya ada orang Sunda, Arab, Bugis, Cina, dan lainnya seperti Manado, Batak, dan Kupang. Orang Sasak identik dengan muslim, demikian juga dengan orang Sumawa, Arab, Jawa dan Bugis. Adapun orang Bali beragama Hindu, dan orang Cina, Kupang, Manado, dan Batak beragama Kristen, sebagian orang Cina juga beragama Budha. Orang Sasak-muslim menyebar baik di Mataram maupun di Lombok pada umumnya. Sementara orang Bali-Hindu cukup banyak di Cakra selain di Lombok Barat, hal ini tidak terlepas dari sejarah
110
penguasaan Kerajaan Karangasem di Lombok Barat. Orang Bali saat ini banyak bergerak dalam bidang perdagangan di Mataram seperti halnya orang Cina yang menguasai perdagangan di Ampenan dan Cakra, begitu juga
Arab di Ampenan.
Orang Jawa banyak terdapat di Praya dan dalam kota Mataram, mereka banyak berdagang dan sebagai pegawai. Orang Jawa selain tersebar tapi juga memiliki perkampungan Jawa, sama seperti halnya orang Arab yang memiliki perkampungan Arab di Ampenan. Partai politik di Mataram memperlihatkan kondisi seperti di Indonesia bagian Timur pada umumnya yaitu partai nasionalis-sekuler khususnya Golkar masih sangat besar. Pada Pemilu 2004 misalnya, untuk DPRD Kota Mataram Golkar memperoleh suara seperempat lebih (26,73%) dari total pemilih, dua partai terbesar berikutnya diduduki oleh partai nasionalis-sekuler yaitu PDI-P (15,39%) dan Partai Demokrat (10,92%). Urutan berikutnya dikuasai oleh partai-partai Islam/berbasis massa Islam yaitu PKS (7,94%), PPP (7,40%), PAN (5,77%), PBR (4,19%), PKB (3,31), dan PBB (2,57%). Sementara partai yang berbasis Kristen seperti Partai Damai Sejahtera memperoleh 1,31%. Golkar lebih banyak terdapat di Kecamatan Mataram, sedangkan PDI-P agak lebih kuat di Cakranegara dan Partai Demokrat relative merata di tiga kecamatan. Adapun partai-partai Islam/berbasis massa Islam beragam tingkat kekuatannya di tiga kecamatan yang ada. PKS, PPP, dan PAN relatif merata, sedangkan PBR dan PBB agak kuat di Kecamatan Mataram, dan PKB agak kuat di Ampenan. Khusus Partai Damai Sejahtera persebaran suaranya merata di dtiga kecamatan yang ada. Pada tahun 2000, mayoritas (81,27%) penduduk beragama Islam, sedangkan umat Hindu cukup besar yaitu 15,46%, umat Budha hanya 1,15%. Adapun umat Kristiani tidak lebih dari 2,10% yang terdiri dari umat Protestan sebesar 1,15%, dan Katolik sebesar 0,95%. Selain itu ada umat agama lain (mungkin sekali Konghucu) sebesar 0,01%. Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dengan dengan tahun 2004 seperti yang terdapat dalam Mataram dalam Angka 2004, pada tahun ini umat Islam naik menjadi 81,44% dari jumlah penduduk sebesar 348.870 jiwa, sedangkan umat Hindu turun menjadi 15,29%, pada tahun ini data umat Budha digabung dengan agama lainnya menjadi 1,16%. Sementara umat Kristiani tidak mengalami kenaikan yaitu sebesar 2,10% dengan perincian sama dengan yang tertdapat pada tahun 2000.
111
Umat beragama menyebar di ketiga kecamatan, tapi tingkat persebarannya agak berbeda. Umat Islam lebih banyak terdapat di Ampenan dibandingkan dengan di kedua kecamatan yang lain. Umat Hindu lebih banyak terdapat di Cakranegara, sedangkan umat Protestan hampir merata dan umat Katolik lebih banyak terdapat di Ampenan. Tempat ibadah umat Islam terdiri dari masjid, langgar, dan mushalla. Pada tahun 2004 jumlah masjid
sebanyak 208 unit, sedangkan gereja untuk umat Kristiani
berjumlah 17 unit dengan rincian 8 unit di Ampenan, 6 unit di Mataram, dan 3 unit di Cakranegara. Pura baik untuk umum dan keluarga sebanyak 121 unit, dan Vihara ada 3 unit yang terdapat di Ampenan (1 unit), dan Cakranegara (2 unit)., selain itu ada 1 Klenteng yang terdapat di
Cakranegera. Jika dibandingkan dengan jumlah umat
beraga pada tahun yang sama, tiap masjid rata-rata harus menampung 1366 muslim, sedangkan gereja rata-rata hanya menampung 431 umat Kristiani. Pura rata-rata dapat menampung 441 umat Hindu, meskipun untuk Pura ini agak kurang cermat kalau diambil rata-rata karena kebanyakan pura yang ada berupa Pura keluarga. Vihara kalau digabung dengan Klenteng rata-rata dapat menampung 1014 umat Budha/Konghucu. Dari data ini menunjukkan bahwa tempat ibadah yang paling banyak dibandingkan dengan jumlah umatnya adalah gereja. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari ‘gairah’ umat Kristiani untuk membangun tempat ibadah di Kota Mataram. Keislaman orang Sasak biasa dibagi ke dalam dua subkultur yaitu Wetu Telu dan Waktu Lima.3
Ciri khas Waktu Lima
ialah memiliki ketaatan dan komitmen
keislaman yang tinggi, dan sangat selektif
terhadap tradisi lokal. Mereka
menggunakan tradisi sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Islam, secara teologis mencegah diri dari praktek yang mendekati kepada kemusyrikan dan khurafat. Sementara subkultur Wetu Telu secara teologis mereka masih memuja roh leluhur, tingkat ketaaan dan komitmen keislamannya rendah, dan lebih mementingkan tradisi atau mencampurkan antara tradisi dengan ritual agama. Proses dinamika budaya dari subkultur Wetu Telu menjadi Waktu Lima dalam masyarakat Islam Sasak tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, dan ini tidak dapat dilepaskan dari peran yang dimanikan oleh para Tuan Guru. Tuan Guru adalah status yang dimiliki oleh orang Sasak muslim yang sudah naik haji dan memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang tinggi. Menurut informan saya, Pak Is, seorang Tuan Guru harus memiliki 3
Diramu dari hasil wawancara dengan beberapa informan di Mataram dan dari Avonius, Leena, 2004, Reforming Wetu Telu, (Helsinki: t.n.p), hal. 31-40.
112
pondok atau majelis taklim, tidak menjadi pegawai negeri sebab kalau menjadi pegawai negeri ia hanya berstatus sebagai ustadz serta tidak harus orang Sasak asli. Terlepas dari statusnya yang kharismatik melalui usaha, yang jelas seorang tuan guru punya peran utama melakukan sosialisasi doktrin dan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, termasuk kepada muslim Wetu Telu. Karena tuan guru merupakan status capaian yaitu status yang diperoleh karena upaya seseorang, maka seringkali terjadi persaingan antarmereka, terutama dalam memperoleh anggota dan memperluas pengaruhnya, bukan hanya di bidang sosial-keagamaan tapi juga di bidang lain seperti ekonomi, dan politik.
B. Potensi Konflik Fokus konflik yang dijadikan titik perhatian di Kota Mataram adalah konflik yang bersumber dari imbas solidaritas umat Islam di Mataram terhadap muslim di Maluku dan Poso. Mereka sangat prihatin dengan peristiwa yang menimpa umat Islam di kedua daerah tersebut akibat perlakuan dari pihak Kristen. Konflik fokus dalam kasus ini terjadi pada 17 Januari 2000. Masyarakat setempat memberi kode ‘171’ atas peristiwa tersebut. Peristiwa yang semula berupa tabligh akbar kemudian, ‘entah siapa’ dan ‘pihak mana’ yang memulai menurut beberapa informan, bergeser menjadi pembakaran gereja yang ada di Kota Mataram. Potensi Konflik Prakonflik: Dari
informasi yang ada menunjukkan bahwa
walaupun peristiwa pembakaran gereja itu bukan merupakan bagian acara dari tabligh akbar, namun hal tersebut bukan berarti terjadi begitu saja. Sebaliknya sebenarnya hal itu tidak dapat dilepaskan dari potensi-potensi
konflik yang sudah ada di antara umat
beragama. Potensi-potensi tersebut sebagai berikut: 1. Pembangunan gereja yang dianggap tidak proporsional 2. Missi Kristen yang memberikan kebutuhan sehari kepada muslim tak mampu 3. Kesejangan sosial-ekonomi 4. Pendidikan formal Kristen Pertama, menurut L.Ju, umat Islam sebenarnya sudah lama tidak dapat menerima kenyataan atas pertumbuhan gereja di Kota Mataram, sebab pertumbuhannya sudah tidak proporsional lagi, hal ini karena tidak sebanding dengan jumlah umat Kristiani. Lebih jauh beliau menyatakan:
113
Aksi tersebut (tabligh akbar) bukan karena alasan solidaritas semata, melainkan karena persoalan masa lalu yang tidak tuntas penyelesaiannya….Untuk itu sebenarnya masalah pokok adalah karena tidak berdayanya masyarakat menghadapi kekuasaan (baca: pemerintah) selama ini yang sedemikian longgar terhadap umat Kristiani dalam penyiaran agamanya d kalangan penduduk yang mayoritas beragama Islam, khususnya dalam hal pendirian rumah ibadah (gereja).
Hal senada
dikemukakan beberapa informan muslim yang pada intinya
mengemukakan keberadaan gereja dianggap mengganggu karena dua hal yaitu: (a) tidak seimbang, dalam arti melampauhi batas dari jumlah umat Kristiani sendiri, dan (b) karena banyak dari gereja itu dibangun di tengah-tengah pemukiman umat Islam yang mayoritas. Dari penegasan informan tersebut dapat diketahui bahwa salah satu faktor pokok semakin banyaknya jumlah gereja tersebut karena sikap pemerintah yang dianggap terlalu longgar, sehingga cenderung menyalahi aturan perundangundangan yang ada misalnya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang ‘Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya,’ terutama item yang menyatakan bahwa ‘setiap pendirian/pembangunan tempat ibadah harus mendapat izin dari Kepala Daerah/Walikota.’ Jika kita lihat perbandingan antara jumlah umat Kristiani dan gereja, sebagaimana disebutkan sebelumnya, memang
daya tampung rata-ratanya paling sedikit
dibandingkan dengan tempat ibadah umat lainnya, terutama jika dibandingkan dengan masjid yang dimiliki umat Islam. Bahkan jika kita lihat data tahun 2000, ketika itu umat Kristiani berjumlah 6626 orang dengan jumlah gereja sebanyak 17 unit, berarti rata-rata satu gereja hanya menampung 390 orang. Jika dilihat per-kecamatan menunjukkan sebagai berikut: di Ampenan gereja rata-rata menampung 319 umat Kristiani, di Mataram rata-rata menampung 348 orang, dan di Cakranegera menampung 664 orang. Sementara itu pada tahun yang sama, masjid (ada 256 unit) harus menampung sekitar 1141 muslim. Kedua, selama ini dari pihak muslim menganggap orang Kristen meskipun secara sembunyi-sembunyi memberi kebutuhan sehari-hari terhadap muslim tidak mampu. Hal itu sebenarnya, menurut informan muslim yang lain, sepenuhnya bukan kesalahan orang Kristen, umat Islam dan lembaga-lembaga Islam punya andil karena sudah kurang peduli terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari muslim yang miskin.
114
Respon
pihak Kristen terhadap persepsi umat Islam ini, mirip seperti yang
diberikan oleh pemimpin gereja di Pasuruan, yang menyatakan bahwa orang Islam tidak memahami ajaran Kristen (Protestan), dalam Kristen ada ajaran yang disebut diakone atau pelayanan umat, baik ke dalam maupun keluar. Pelayanan kebajikan keluar dilakukan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan, jadi dalam hal ini sisi kemanusiannya yang penting. Dengan demikian ada satu kegiatan yang dimaknai berbeda oleh kedua belah pihak akibat perbedaan budaya (norma atau keyakinan) yang dijadikan kriteria. Bagi pihak Kristen kegiatan itu sebagai bagian aktualisasi kebajikan dan pengamalan agama, tapi bagi muslim dianggap sebagai bagian misi Kristen yang merugikan kepentingan Islam, atau seperti dikemukakan Tg. Sof. ‘mereka memanfaatkan kemiskinan umat Islam untuk kepentingan misinya.’ Berbeda dengan orang Hindu, walaupun jumlahnya jauh lebih banyak dari Kristen dan memiliki sejarah konflik dengan Sasak-Islam, namun karena di Mataram mereka tidak ofensif seperti orang-orang Kristen dalam menyebarkan agamanya, bahkan orang Hindu menjadi sasaran orang Kristen dan Islam, maka tidak terjadi konflik antara orang Islam dengan orang Hindu. Ketiga, seperti di tempat lain, potensi konflik antarumat beragama, khususnya Islam-Kristen di Mataram juga ada kaitannya dengan kesenjangan sosial-ekonomi antarkelas dari kelompok yang berbeda agama. Dalam kasus ini, seperti dituturkan oleh Tg. Sof. terutama di Ampenan dan Cakranegara. Seperti diulas di depan bahwa umat Kristiani terdiri dari orang-orang Cina dan orang non-Sasak seperti Manado dan Batak. Suku-suku ini memiliki status sosial-ekonomi yang mapan terutama orang Cina yang menguasai perdagangan kelas menengah ke atas di Kota Mataram. Itulah mengapa, pada saat peristiwa ‘171’ tersebut juga terjadi penjarahan toko serta perusakan rumah dan kendaraan milik orang-orang Kristen, terutama dari kalangan Cina. Keempat, Kristen memiliki banyak lembaga pendidikan sekolah
mulai
dari
tingkat SD sampai SMA. Siswanya banyak berasal dari kalangan muslim. Hal ini dianggap sebagai ancaman oleh pihak muslim. Pertanyaannya mengapa kesadaran akan adanya ‘ancaman’ itu baru muncul. Hal ini nampaknya dapat dilihat dari dinamika budaya yang berkembang di kalangan muslim sendiri. Sebagaimana dikatakan P. Is, beberapa waktu sebelum pecah peristiwa ‘171’ sampai sat ini mulai
115
muncul dan berkembang kelompok muslim ‘tekstual’ yang memiliki kesadaran pengamalan Islam secara kaffah juga kepekaan terhadap
gerakan misi Kristen.
Kesadaran ini tidak menutup kemungkinan terfokus juga kepada persoalan pendidikan sekolah Kristen. Memang sampai saat ini belum ada aksi seperti pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi Konflik Pascakonflik: Setelah terjadinya peristiwa ‘171’ dan setelah pertemuan antarwadah umat beragama, bukan berarti potensi konflik punah. Dari penjelasan kedua belah pihak, baik muslim maupun Kristen, dan kecenderungan di lapangan menunjukkan adanya potensi ke arah ini. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam dua hal: (1) pembangunan kembali gereja, dan (2) pernyataan
mengenai
penegakan kesepakatan dan gerakan Islam-tekstual Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa potensi konflik prakonflik yang paling utama adalah karena pertumbuhan gereja yang tidak proporsional, yang kemudian berpadu dengan faktor-faktor lain. Faktor ini telah menjadi ancaman bagi muslim yang kemudian menjadi aktual ketika ada peluang
untuk itu yaitu mengambil
kesempatan ketika tabligh akbar tersebut. Setelah terjadinya konflik, tokoh Islam menghendaki ada semacam rasionalisasi atau relokasi terhadap keberadaan gereja, namun di lapangan menunjukkan hal lain. Sebab hampir semua gereja yang dibakar dibangun kembali, bahkan beberapa di antaranya dibangun lebih megah dan lebih besar dari semula. Selain itu potensi ini juga dapat dilihat dari pernyataan tokoh agama, misalnya dari pihak muslim, seperti dikemukakan P.Is dan Tg.Sof: Potensi konflik dan konflik ke depan tidak akan ada sepanjang kelompok umat beragama termasuk umat Islam, hanya membina umatnya masing-masing, bukan membina umat lain baik kasar maupun halus…(tetapi) konflik akan muncul lagi kalau orang Kristen menyalahgunakan arti kebebasan bermisi, memanfaatkan kemiskinan umat Islam…sebab kalau umat Islam dizalimi kita berhak mereaksi.
Pernyataan ini mengandung peringatan dini dan halus bagi pihak lainnya akan makna penting mematuhi kesepakatan dan melakukan kegiatan yang wajar. Di dalamnya jelas tersirat adanya perasaan terancam atas kegiatan-kegiatan pihak lain yang merugikan kepentingannya. Hal ini akan melahirkan konflik aktual atau kasus jika di pihak yang lain melakukan sesuatu yang dianggap merugikan. Apalagi di Mataram saat ini muncul gerakan keislaman
tekstual yang memiliki kepekaan
terhadap kegiatan misi agama lain.
116
C. Karakteristik Konflik 1. Sumber dan Penyebab Di tengah arus informasi yang mengglobal, dunia seperti ‘sedaun kelor’ karena peristiwa di suatu tempat yang jauh dapat didengar, dilihat dan ditonton dalam waktu singkat dan bahkan bersamaan di tempat lain. Pada saat sekarang arus informasi ini dapat diperoleh dari berbagai media seperti koran-majalah-buletin, film melalui VCD, serta telepon dan telivisi. Hal ini yang terjadi dengan peristiwa konflik antarumat beragama di Maluku dan Poso. Informasi ini diperoleh umat Islam Mataram selain dari berita di media cetak dan elektronik, juga dari CD/VCD yang berisi perlakuan umat Kristen terhadap umat Islam di kedua tempat tersebut. Peristiwa-peristiwa tersebut telah dimaknai secara beragam oleh berbagai pihak. Umat Islam, khususnya di Mataram, memaknainya sebagai sesuatu yang banyak merugikan kepentingan umat Islam, karena umat Islam di sana diperlakukan tidak baik oleh kelompok agama lain. Demikian juga umat Kristen memaknai dari perspektif lain sesuai kepentinganya. Di kalangan umat Islam Mataram dan sekitarnya peristiwa tersebut kemudian melahirkan ide untuk mengadakan Tabligh Akbar. Tabligh Akbar ini bukan bertujuan untuk anarkis dengan pembakaran gereja, tapi sebagai: (a) ungkapan solidaritas terhadap sesama muslim yang ada di Ambon dan Poso, sekaligus (b) menggalang dana dari umat Islam Mataram untuk disampaikan kepada muslim di wilayah konflik yang ada di Maluku dan Sulawesi tersebut. Di tengah-tengah acara tersebut kemudian terjadi pembakaran
gereja. Masih terjadi
silang pendapat mengenai siapa pembakar gereja tersebut. Misalnya ada yang berpendapat bahwa ada pihak ketiga, yang selalu menjadi kambing hitam dalam banyak konflik atau kerusuhan massal yang merugikan suatu pihak di Indonesia. Dari berbagai informasi yang ada dapat disimpulkan bahwa peristiwa ‘171’ sebagai ungkapan sentimen keagamaan yang sudah cukup lama berkembang dalam masyarakat, terutama di kalangan muslim. Hal ini dapat dilihat dari potensi-potensi konflik prakonflik sebagaimana diulas di depan. Kita juga tidak dapat mengatakan lagi bahwa peristiwa itu bersifat spontanitas, sebab di lapangan menunjukkan sebuah gerakan massa yang rapi dan terkoordinir (by design) sehingga pembakaran terjadi secara hampir serentak. Dengan demikian pembakaran ini sebenarnya sebuah simbol ketidaksenangan atas tempat ibadah yang ada pihak lain. Sebagaimana ditegaskan oleh L.Ju. bahwa
117
masalah pokoknya karena umat Islam tidak
dapat menerima kenyataan dengan
semakin banyaknya gereja dan cenderung tidak proporsional di Mataram. Hal ini terjadi karena pemerintah bersikap sangat longgar terhadap kegiatan misi, khususnya dalam pendirian gereja, tetapi selama ini terutama pada masa Orde Baru masyarakat tidak mampu mengemukakan aspirasinya secara bebas akibat sistem politik yang represif dan kebijakan kerukunan demi stabilitas negara. Pergantian pemerintahan Orde Baru
yang otoriter ke pemerintahan baru yang lebih demokratis telah
menimbulkan banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, misalnya masyarakat mulai berani menyuarakan aspirasinya, dan bahkan seringkali tanpa kendali. Suasana euferia
kebebasan merebak, sehingga potensi-potensi konflik
yang selama ini
terpendam menjadi aktual, baik konflik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Konflik horizontal yang berbau SARA di berbagai wilayah
Indonesia merebak
terutama akhir tahun 90-an dan awal 2000. Inilah konstelasi sosial-politik-keagamaan di Indonesia ketika itu, tak terkecuali di Mataram. Kenyataan ini dituturkan secara gambang oleh L.Ju: Peristiwa 171 tersebut di atas lebih dikarenakan selama ini pemerintah dengan alasan demi stabilitas nasional selalu menggunakan pendekatan represif dalam menangani setiap permasalahan di masyarakat khususnya yang berbau SARA. Bilamana timbul masalah seperti itu masyarakat selalu ditekan sedemikian rupa menjadi tidak berdaya, padahal sebenarnya stabilitas yang terjadi/tercipta itu merupakan stabilitas semu karena dibawah permukaan masih terssimpan dendam yang membara….Hal ini terbukti ketika kekerasan itu tiba dan bertepatan dengan isu pembantaian kaum muslimin di Ambon, masyarakat berusaha mengekspresikan kekesalannya yang terpendam selama ini. Dari uraian tersebut menunjukkan beberapa hal. (a) Acara Tabligh Akbar tersebut pada hakikatnya merupakan ungkapan solidaritas ingroup kelompok muslim terhadap outgroup, Kristen. Ini sekaligus mengindikasikan adanya konflik yang dikemas dalam kegiatan bernuansa keagamaan. Meskipun ingroup ini difokuskan kepada muslim yang jauh tempatnya, tapi kemudian (b) issu
solidaritas tersebut
berkelindan dengan permasalahan sosia-keagamaan lokal, khususnya yang berasal dari pembangunan tempat ibadah
dari pihak yang dianggap outgroup. (c) sebuah
permasalahan yang sebenarnya sudah lama terpendam tapi baru dapat diaktualkan ketika peluang itu ada, baik dari segi perubahan politik nasional dan lokal maupun dari segi peristiwa yang dapat dijadikan saluran atau wadah yang dapat ‘didomplengi.’
118
Dengan demikian sumber konflik yang utama adalah karna permasalahan lokal yang berasal dari pembangunan tempat ibadah. Hal ini muncul karena pemerintah sendiri nampaknya kurang memberikan perhatian terhadap perkembangan ini. Sikap pemerintah ini memperlihatkan budaya-politik yang khas Mataram. Hal ini mungkin karena terkait dengan pengalaman masa lampau di mana penyebaran agama di Mataram melalui pendekatan struktural-kekuasaan telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan, sehingga pemerintah lokal mengambil kebijakan mengambil jarak dengan persoalan yang berkaitan dengan penyebaran agama. Adapun penyebab atau pemicu yang lebih mempercepat konflik aktual tersebut adalah adanya solidaritas ingroup dari kelompok muslim terhadap peristiwa konflik di Ambon dan Poso. Selain itu, mirip dengan di tempat lain karena terjadinya perubahan sosial-politik pada skala nasional maupun lokal, dari pemerintahan represif yang mementingkan stabilitas nasional
ke pemerintahan yang lebih demokratis,
sehingga menimbulkan sikap berani dalam masyarakat. Pemicu yang lain adalah berkembangnya kelompok atau gerakan keislaman yang bersifat tekstual, sebagian muslim lain menyebut dengan ‘muslim fanatik’ yang menggelorakan semangat jihad, yang selain berusaha mengamalkan Islam secara kaffah juga peka terhadap kegiatan missi agama lain. Sementara itu sebelum peristiwa 171,
forum komunikasi
antarwadah umat beragama, setidaknya setelah era reformasi, tidak berjalan.
2. Proses dan Dampak Sebagai sebuah peristiwa pada dasarnya konflik Islam dan Kristen di Mataram tidak dapat dipisahkan dari konstalasi konflik secara nasional, di ‘Kota Ibadah’ ini muncul seiring dengan kegiatan umat Kristiani di satu sisi dan munculnya kelompok Islam
yang memiliki kepekaan terhadap ap-apa yang dilakukan umat Kristiani
sekaligus kepedulian terhadap (umat) Islam, terutama terkait dan merupakan bagian dari solidaritas umat Islam Mataram terhadap saudaranya di Ambon dan Poso yang berkElindan dengan permasalahan keagamaan lokal. Jika diarahkan kepada konflik fokus maka ada beberapa proses yang dapat digambarkan sebagai berikut: 1). Sebelum puncak peristiwa 171 di lingkungan umat Islam Mataram sudah banyak beredar VCD yang berkaitan dengan nasib umat Islam di Ambon maupun Poso akibat konfliknya dengan umat Kristiani. Walaupun dalam media massa di Indonesia,
119
konflik di Ambon maupun Poso dikemas tanpa menunjuk kelompok-kelompok yang berkonflik secara jelas, namun melalui filem tersebut umat Islam maupun Kristen memahami bahwa konflik di dua wilayah tersebut melibatkan kelompok Islam dan Kristen. Apalagi setelah era reformasi setiap orang bebas mengakses informasi dari berbagai saluran seperti internet. Informasi mengenai konflik Islam-Kristen di kedua wilayah tersebut bukan hanya dipahami oleh kalangan masyarakat bawah tetapi juga di kalangan akademisi yang berpendidikan tinggi, baik dari kalangan Islam maupun Kristen. Itulah mengapa dari kalangan muslim yang memiliki rencama untuk mengadakan acara solidaritas terhadap muslim Ambon dan Poso tersebut datang dari kalangan akademi yaitu masjid di Universitas Negeri Mataram (Unram). 2) Ketika itu panitia yang diketuai oleh Bapak As, memberikan informasi kepada umat Islam akan adanya acara Tabligh Akbar di lapangan umum Mataram. Acara pokoknya adalah pemberian dukungan dan solidaritas terhadap umat Islam di Ambon, dan Poso, sekaligus penggalangan dana untuk diserahkan kepada muslim di sana. Informasi mengenai acara ini disampaikan secara lisan kepada umat Islam melalui pengajianpengajian dan ketika shalat Jum’at, sedangkan kepada pimpinan ormas Islam, seperti Nahdhatul Wathan, Nahdhatul Ulama’ dan Muhammadiyah, termasuk para tuan guru pengasuh pondok diberikan undangan tertulis 3) Ada kejadian yang menarik, ketika itu PAM Swakarsa yang sebelumnya sudah menyanggupi untuk mengamankan keadaan, pada hari itu tidak jadi ikut, sehingga kemudian polisi yang mengamankan di luar lapangan, sedangkan di dalam lapangan dilakukan oleh orang yang dipersiapkan panitia. 4) Tanggal 17 Januari 2000 setelah shalat Dhuhur umat Islam berbondong-bondong menuju lapangan umum, tempat Tabligh Akbar. Panitia memberikan selebaran tentang peristiwa Ambon dan Poso. Setelah itu diisi dengan orasi dari pembicara yang diundang khusus untuk itu yaitu Tuan Guru Sofwan, seorang pengasuh Pondok Nurul Hakim yang terletak di Kecamatan Kediri Kabupaten Lobar. Sebelumnya diisi ikrar umat Islam yang disampaikan Pak Buntaro, Kepala SMAN Mataram dan akitivis Muhammadiyah. Ikrar pada intinya berisi tentang keharusan memberikan solidaritas atas sesama muslim. Setelah pembicara yang diundang secara formal ternyata kemudian ada beberapa
berbicara,
peserta dari massa yang naik panggung dan
120
memberikan orasi yang cenderung provokatif, di antaranya seorang guru, yang kemudian di proses di Pengadilan. Menjelang selesainya acara ternyata ada kelompok massa yang tidak terkendali, mereka kemudian membakar gereja yang ada di dekat lapangan umum Mataram. Dari situ kemudian merembet ke gereja-gereja yang lain yang ada di Kota Mataram. Selain itu beberapa rumah dan kendaraan dibakar serta beberapa pertokoan terutama milik orang Cina dijarah terutama di Ampenan. Pembakaran dan penjarahan terjadi pada hari yang sama. 5) Ditengah-tengah peristiwa itu, pemerintah mengundang pihak-pihak terkait untuk melakukan pertemuan khusus. Peretemuan ini dihadiri oleh Muspida, Polresta, Polda, beberapa
tuan guru, dan wadah
umat beragama Islam, Kristen dan Katolik.
Pertemuan menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain: (1) Melarang adanya orang-orang asing masuk kota, (2) Tuan guru, bersama jajaran Polres dan Polda ditugaskan untuk terjun ke lapangan langsung untuk menenangkan massa. Ketika di lapangan beberapa tuan guru langsung menggring sebagian massa ke masjid perkampungan Arab Ampenan. (3) Pemerintah harus terus membina kerukunan dengan menegakan perarturan perundangan yang ada berkaitan dengan kerukunan antarumat beragama. 6) Dari peristiwa tersebut telah menimbulkan dampak dari kedua belah pihak. Kalangan Kristen mengalami kerugian fisik yaitu bangunan gereja. Tidak kurang sembilan (9) gereja yang dirusak dan dibakar massa ketika itu yaitu: (1) gereja Betlehem di Jalan Pemuda, (2) Santa Maria di Jalan Pejanggik, (3) Immanuel di Jalan Sudirman, (4) Jamaat Isa Al-Masih (Advent Church), (5) GPIB di Jalan Bung Karno, (6) Pantekosta di Jalan Pariwisata, (7) Pantekosta di Jalan Panji Tilar Ampenan, (8) Pantekosta di Jalan Tenun Cakra, dan (9) GKT Gloria di Jalan Subak. Selain itu ada kerugian yang diderita oleh jamaah Kristen seperti rumah, kendaraan dan pertokoan yang dijarah oleh massa. Di antara rumah tersebut adalah milik seorang pengurus gereja GPIB, Sinaga, bahkan istrinya menjadi shock akibat pembakaran tersebut dan meninggal dunia. Pada hari kejadian nampaknya banyak orang Kristen melihat gejala adanya pembakaran dan perusakan fasilitas yang dimiliki orang Kristen. Hal ini dapat dilihat dari upaya yang dilakukan mereka dengan segera meninggalkan Mataram menuju ke tempat yang aman seperti Bali dan Jawa, misalnya yang dilakukan Sinaga yang mengungsi ke Bali selama 1,5 bulan.
121
Sementara dari kalangan muslim memang tidak ada korban dan kerugian dari peristiwa tersebut. Sebaliknya di antara mereka semakin tumbuh kesadaran dan kepekaan terhadap kegiatan agama lain khususnya Kristen. Dampak yang langsung terkait dengan kepentingan kedua belah pihak adalah terbentuknya dan pengoptimalan peran
forum
komuniasi antarumat beragama.
Memang dalam forum ini tidak ada pengurus tapi diharapkan intensif melakukan dialog permanen, bukan hanya ketika terjadi konflik. 1. Anatomi Kelompok dan Subyek Selama ini informasi yang berkembang di luar mengenai kelompok yang berperan dalam peristiwa 171 adalah Pondok Nurul Hakim dengan tuan guru yang ada di dalamnya, terutama yang paling menonjol Tuan Guru Sofwan Hakim. Mereka ini dipersepsi sebagai tokoh dan pondok yang berpaham puritan dan fanatik. Tuan Guru Sofwan menepis persepsi masyarakat khususnya mengenai keterlibatannya dalam pembakaran gereja dengan alasan: (a) ia hanya diundang panitia untuk memberi orasi dan menegaskan orasinya tidak bersifat provokatif dibandingkan dengan pembicara lain yang tidak ditugaskan. (b) Sejak awal tidak ada sama sekali motif untuk melakukan pembakaran. (c) Santri Pondok Nurul Hakim dilarang ikut tabligh akbar. (d) Untuk itu beliau menegaskan bahwa jika ia mau memprovokasi maka akan habis semua gereja yang ada di Mataram dan sekitarnya, sebab ada seorang yang minta ijin beliau untuk membakar gereja, tapi ia melarangnya. Pada intinya walaupun ia dikenal ‘keras’ dalam pemahaman keagamaan, tapi secara metodologi aksinya tidak menyukai kekerasan. Itulah mengapa Bupati Lombok Barat (Lobar) sering memintanya untuk menjadi mediator konflik, misalnya konflik antara Islam dan Hindu di daerah Tanjung sebelum tahun 2000 agar ia menenangkan umat Islam. Walaupun begitu memang tidak dapat disangkal bahwa kehadiran dan orasinya dalam acara Tabligh Akbar tersebut memberikan simbol dukungan dan keprihatinan terhadap nasib umat Islam akibat perlakuan orang Kristen, dan dalam batas-batas tertentu memberikan catatan terhadap misi Kristen di Mataram. Pada acara Tabligh Akbar tersebut
hampir semua komponen umat Islam
menghadirinya, baik anggota dari NW, NU, Muhammadiyah, dan juga kelompok kelompok Islam yang lain yang masuk kategori ’muslim-tekstual’. Walaupun begitu tidak ada seorang informan pun yang menegaskan identitas massa pembakar gereja. Dari mereka hanya terlontar, ’pihak ketiga yang tidak terlihat’, atau pernyataan, ‘ada
122
orang-orang yang berusaha
memanfaatkan keadaan’, dan lainnya. Terlepas dari
budaya ‘pengambinghitaman pihak ketiga’ ini yang jelas dari beberapa potensi konflik menjadi sumber dari konflik antarumat beragama di daerah ini, seberapapun intensitas dan keluasannya.
D. Upaya Pengendalian Potensi Konflik Sebenarnya selama ini sudah banyak kegiatan yang dilakukan dalam rangka merekatkan hubungan antarkelompok, khususnya antarumat beragama. Hanya saja seperti dikemukakan oleh UA (58 tahun)
banyak dari kegiatan tersebut
belum
dianggap optimal. Adapun bentuk-bentuk pengendalian yang dilakukan sebagai berikut. Pertama, bergotong royong membersihkan tempat ibadah umat beragama. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk menumbuhkembangkan kebersamaan dan kerukunan di antara kelompok umat beragama. Misalnya melakukan pembersihan tempat ibadah di awali dari pembersihan tempat ibadah Masjid Jami’ Cakranegara yang dipimpin langsung oleh Kakandepag Mataram dan diikuti seluruh pimpinan agama yang ada di Mataram. Selain itu melakukan pembersihan pura yang ada di Cakranegara, dan pembersihan Wihara yang ada di Mataram. Kedua, dialog dan diskusi antarumat beragama sekota Mataram. Kegiatan ini dilakukan di aula Departemen Agama Mataram tahun 2004. yang diikuti oleh pimpinan agama,
organisasi kepemudaan masing-masing agama, dan
tokoh
masyarakat. Diskusi tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama. Dialog antar umat beragama juga dilakukan dalam rangka sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006, pada tanggal 27, 28 juli 2005 di aula Departemen Agama Mataram. Dalam acara tersebut diikuti oleh ketua majelis agama, ormas keagamaan, tokoh masyarakat, Bakesbanglinmas, kejaksaan, organisasi kepemudaaan NW, NU, Muhammdiyah, pemuda Kristen, pemuda Hindu, pemuda Katholik, dan pemuda Walubi. Pada dialog tersebut terbentuk pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Mataram. Ketiga, melakukan ngayo (Bahasa Sasak). Ngayo dapat diartikan dengan pertemuan silaturahim antar berbagai unsur. Ngayo ini pertama kali dilakukan di rumah Kakandepadg Mataram yang diikuti MUI, WALUBI, PHDI, dan PGI. Dalam
123
ngayo tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan silaturahim dalam 3 bulan sekali. Keempat, melalui kegijakan
pemerintah kota yang berusaha mendukung
tumbuh-kembangnya kerukunan umat beragama. Kebijakan tersebut meliputi: (a) Himbauan kepada masyarakat oleh pemerintah daerah, untuk ini walikota mengeluarkan surat edaran yang berisi pentingnya toleransi antarumat beragama dalam ritual keagamaan. (b) Menciptakan slogan Kota Mataram “ di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.” (c) Pencanangan hari Jum’at sebagai hari imtaq untuk seluruh umat beragama sehingga masing-masing instansi, sekolah harus memakai pakaian sesuai dengan agama yang dianutnya. (d) Optimalisasi peran serta pemerintah desa untuk selalu memfasilitasi dialog antarumat beragama Kelima, memfungsikan lagi hukum adat yang ada di Lombok yang biasa di sebut dengan awig-awig yaitu
peraturan yang dipegang teguh oleh masyarakat.
Berdasarkan deskripsi tersebut nampak bahwa upaya pengendalian konflik antarumat beragama lebih banyak dilakukan oleh pemerintah, sementara prakarsa dari pihak masyarakat belum banyak berkembang. Memang ada upaya untuk memfungsikan kembali awig-awig namun hal itu juga baru datang dari pemerintah. Selain kelima
upaya tersebut masih ada upaya-upaya
yang dilakukan
pemerintah setempat, dan upaya tersebut sama seperti yang dilakukan di daerah lain karena sifatnya berupa kebijakan dalam skala nasional. Upaya tersebut misalnya yang dilakukan oleh Kesbanglinmas
yaitu kegiatan sosialisasi wawasan kebangsaan
(Wasbang), deteksi dini kemungkinan terjadinya konflik suku, agama, ras, dan antrgolongan (SARA). Kegiatan ini dilakukan Komunikasi Intelejen Daerah (Kominda). Juga sosialisasi program pemerintah di bidang keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan hubungan intern dan antarumat beragama yang dikoordinir oleh Departemen Agama.
E. Upaya Penyelesaian Konflik Upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan konflik antarumat beragama, baik pada kasus 171 maupun yang lainnya masih didominasi oleh pendekatan struktural. Artinya pemerintah yang dominan dalam memprakarsai dan memimpin
serta
memfasilitasi penyelesaian. Dalam hal ini dengan cara menggerakan seluruh
124
stackholder yaitu mengumpulkan seluruh pejabat pemerintah yang terkait, tokoh agama khususnya tuan guru, tokoh masyarakat dan kepemudaan (AMPIBI). Walikota secara langsung mengundang mereka untuk berkumpul di pendopo. Dari hasil pertemuan itu kemudian diambil keputusan bersama. Misalnya dalam kasus 171 ada beberapa keputusan yaitu: (a) Melindungi seluruh masyarakat yang ada di Kota Mataram dari seluruh agama. (b) Membatasi jumlah gereja yang ada di Kota Mataram. (c) Relokasi gereja sehingga gereja hanya berdiri di kota Mataram hanya berjumlah 17 buah. (d) Mengadakan safari jum’at dan safari sholat fardu di seluruh masjid sehingga menyatukan langkah bahwa kejadian 171 itu sudah berakhir dan masyarakat di harapkan tenang. (e) Mendirikan forum umat beragama Alasan mengapa walikota Mataram mengambil inisiatif ketika itu
karena
beberapa saat setelah kerusuhan roda perekonomian yang ada di Kota Mataram terganggu, sehingga akan berpengaruh kepada aspek sosial. Sebagaimana diketahui pada waktu itu banyak pedagang Cina yang mayoritas beragama Kristen yang tidak melakukan aktivitas. Walapun dalam penyelesaian tersebut didominasi oleh lembaga pemerintah, namun dalam proses tersebut ada pemberian peran kepada tuan guru untuk menenangkan massa. Pemberian peran kepada tuan guru ini merupakan ciri khas Mataram,
hal ini sekaligus menunjukkan masih tingginya penghargaan terhadap
statusnya yang kharismatik di kalangan muslim-Sasak. Meskipun pemeranan modal sosial lokal ini belum optimal, tapi ke depan memang perlu dikembangkan terus. Sebagai elit yang memiliki fungsi sosio-kultural di kalangan muslim, maka ke depan peran mereka bukan hanya sebagai agent of change dalam pemikiran dan pengamalan keislaman yang kaffah, tapi juga pemimpin yang mampu melakukan penyelesaian konflik. Dengan demikian mereka akan dapat melakukan fungsi kepemimpinan yang polimorfis (polymorphic) di dalam masyarakatnya. Untuk hasil penyelesaian konflik 171 sebenarnya banyak di antara kelompok agama yang tidak puas, baik dari kalangan muslim maupun dari kalangan nonmuslim, tetapi mereka tidak menampakkan secara langsung di masyarakat. Kalangan nonmuslim banyak yang tidak puas karena pemerintah dianggap tidak memperhatikan terhadap kurban seperti pengrusakan rumah Pendeta Sinaga dan rumah-rumah dari korban yang lain. Sementara dari pihak muslim sangat kecewa karena ternyata banyak
125
di antara gereja yang terbakar dibangun kembali tanpa mempertimbangkan kembali kelayakan pendirian gereja tersebut di sebuah lokasi yang ada.
F. Profil Budaya Lokal 1. Umum Suku asli penduduk di Pulau Lombok, khususnya Kota Mataram adalah Sasak. Sampai sekitar tahun 2000 suku Sasak di Lombok mencapai 90% lebih dari total penduduk.
Kata Sasak berasal dari Saksak yang artinya bambu yang ditata
kemudian diikat menjadi satu dan digunakan untuk alat transportasi di air. Saksak ketika itu digunakan oleh pendatang dari Jawa ke Lombok. Hal ini sejalan dengan temuan bahwa suku asli Lombok berasal dari Jawa. Karena ketika menyeberang ke Lombok menggunakan saksak, maka mereka diberi nama suku Saksak, kemudian ada perubahan pengucapan menjadi Sasak. Adapun Pulau Lombok berasal dari kata Lombok yang artinya lurus. Budaya masyarakat Lombok atau suku Sasak mempunyai filsafat dalam hidup yang didasarkan atas ketuhanan
atau mengenal adanya Tuhan dan nilai-nilai
ketuhanan. Karena itu budaya masyarakat Sasak merupakan perpaduan antara tradisi dan agama. Perpaduan antara keduanya melahirkan perilaku religius dalam kehidupan orang Sasak. Masyarakat Sasak menggunakan bahasa Sasak dan memiliki tiga tingkatan yaitu bahasa jamak atau biasa (aok ape=ya-apa), bahasa halus (tiang-enggih=sayaya), dan bahasa raden (kaji-merah=saya-iya). Dalam komunikasi sehari-hari orang Sasak biasa menggunakan bahasa jamak dan halus. Adapun bahasa raden hanya digunakan di kalangan kelompok ningrat (perwangsa). Dalam masyarakat tradional Sasak terdapat sanksi bagi pelanggar adat-istiadat. Sanksi ini dikenal dengan istilah dedose yang berarti pelanggaran adat, yaitu sanksi yang harus ditanggung jika masyarakat Sasak melanggar hukum adat. Ada 6 jenis hukuman bagi yang melanggar 1) Pelilak (dipermalukan), jika ada yang melanggar maka akan disidang di tempat umum untuk mengakui serta mempertaggungjawabkan kesalahannya. 2) Ngayah (kerja paksa), bagi yang melanggar akan dipaksa untuk melakukan pekerjaan, misalnya membersihkan jalan sehingga orang akan mengetahui bahwa ada orang yang melanggar hukum adat.
126
3) Denda, bagi yang melanggar akan didenda sesuai dengan kesalahanya. 4) Peluah (dibiarkan), pelanggar adat dibiarkan oleh masyarakat setempat sampai masa hukuman selesai. Misalnya jika ada orang hajatan tidak akan pernah diundang. 5) Selong (buang), pelanggar diasingkan. 6) Ilen pati (dibunuh) hanya ada satu hukuman mati dalam adat Sasak yaitu orang tersebut akan diberi batu di kaki dan tangannya yang beratnya 5 kali berat badan orang tersebut dan ditenggelamkan ke laut. 2. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan orang Sasak adalah bersifat patrilineal yaitu keturunan yang berasal dari garis laki-laki. Hal ini mempengaruhi juga dalam sistem pelapisan sosial khususnya dalam penentuan kebangsawanan. Sistem kekerabatan terkecil dari masyarakat suku Sasak adalah keluarga batih. Sebuah keluarga di dalam suku Sasak di golongkan terdiri dari suami-isteri dan anakanak. Seorang bapak biasa disebut dengan amaq, sedangkan ibu dengan inaq dan anak-anak dengan kanaq. Untuk anak laki-laki disebut mame dan anak perempuan disebut nine. Keluarga batih berperan dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai kepada anak dalam berbagai bidang. Karena sistem keluarga bersifat patriarki, maka seorang bapak berstatus sebagai pemimpin rumah tangga, ia harus berperan sebagai pengendali dan penyelesai persoalan rumah tangganya,
mencari
nafkah untuk
menghidupi
keluarganya. Sementara isteri sebagai pengurus rumah tangga atau sektor domestik seperti mengurus dan mengasuh anak-anak, dan mengurus kehidupan rumah tangga. Saat ini banyak perempuan (isteri) Sasak yang bekerja di sektor publik dan sosial seperti menjadi pegawai pemerintah, di perusahaan swasta dan berniaga. Sebuah perkawinan tradisional suku Sasak tidak gampang karena harus memenuhi banyak syarat. Selain itu jika ada yang menikah berbeda agama pelaku akan dipeluah, dikucilkan atau ‘dicue’in, oleh keluarga dan masyarakatnya.
3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal Pada dataran masyarakat terdapat banyak lembaga, baik yang berorientasi umum maupun agama. Organisasi sosial keagamaan misalnya yang khas yang tidak
127
ada di tempat lain misalnya Nahdlatul Wathan. Selain itu di Mataram cukup banyak pondok pesantren yang diasuh oleh para tuan guru. Sistem pelapisan
sosial khususnya dalam penentuan kebangsawanan pada
orang Sasak sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatannya, kekerabatan mereka bersifat patrilineal. Karena itu orang disebut bangsawan jika bapaknya termasuk bangsawan, meskipun ibunya misalnya dari golongan awam. Selain itu dalam masyarakat Mataram ada beberapa tipe pemimpin yaitu (1) pemimpin yang berkaitan dengan sistem pemerintahan, dan (2) pemimpin yang di luar sistem pemerintahan atau dapat disebut dengan pemimpin masyarakat. Pemimpin tipe pertama terdiri dari (a) pemimpin tradisional dan (b) pemimpin modern. Pemimpin tradisional adalah mereka yang mempunyai
kepemimpinan
berdasarkan adat setempat. Hal ini seiring dengan adanya kelompok sosial tradisional yang terkait dengan pengurusan kewilayahan atau pemerintahan terdiri dari tiga (3) tingkatan yaitu (1) Pengusung (2)
Keliang, dan (3) Banjar. Ketiga tingkatan
kepemimpinan itu kalau dianalogikan dengan
organisasi pemerintahan saat ini
setingkat dengan desa, dusun, dan RT-RW. Pengusung (desa) yang dipimpin oleh seorang pengusung (kepala desa), ia bertugas mengatur segala urusan mengenai desa. Dalam bertugas pengusung dibantu oleh juru tulis (sekretaris desa),
pekasih
(jogotirto/ulul-ulu/irigasi), dan lang-lang (jogoboyo) yang merangkap sebagai kebayan. Keliang (dusun/kampung) di pimpin oleh seorang keliang yang sekaligus sebagai pengemban adat atau pengrakse adat. Keliang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Sasak karena mereka yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan keperluan masyarakat mulai dari perkawinan sampai kematian. Dalam menjalankan tugasnya keliang dibantu oleh seorang
jeroah (wakil keliang) jika keliang
berhalangan, penghulu (petugas pernikahan) dan pemangku (bertugas sebagai pemimpin dalam urusan agama). Banjar (kampung) dalam suku Sasak merupakan wilayah yang paling kecil. Dengan demikian setiap keliang terdiri dari banyak banjar. Dalam menjalankan tugasnya pengusung sampai keliang digaji dengan tanah garapan yang di sebut dengan pecatu atau bengkok.. Dalam prakteknya saat ini kepemimpinan tradisional ini kadang digabung penyebutan dan fungsinya dengan kepemimpinan modern yaitu kepemimpinan yang didasarkan atas birokrasi modern yang berlaku secara nasional, seperti kepala desa, 128
kepala dusun, dan wilayah di bawahnya seperti
ketua
Rukun Tetangga (RT).
Seringkali masyarakat menyebut pemimpin modern tertentu dalam pengertian peran sebagaimana dalam pemimpin tradisional. Misalnya menyebut kepala dusun, tapi yang dimaksud merujuk kepada tugas-tugas seorang keliang. Adapun tipe kepemimpinan masyarakat atau non-pemerintah yang ada di suku Sasak adalah tuan guru dan lalu. Pertama, istilah tuan guru terkait dengan istilah raddin. Raddin yang berasal dari kata rad (hukum) dan din (agama) merupakan gelar tingkatan
masyarakat Sasak yang paling tinggi menurut fungsi dan perannya bukan
sebagai tingkatan kasta, karena orang yang bergelar raddin berfungsi sebagai penegak hukum agama dalam masyarakat dan sebagai orang tempat bertanya bagi masyarakat Sasak. Karena datangnya orang Jawa maka berubah menjadi raden dan fungsinya ikut berubah menjadi status sosial. Karena banyak raddin yang berubah menjadi raden dan fungsinyapun berubah maka supaya peran raddin kembali seperti semula maka berganti menjadi tuan guru. Walaupun pada perkembangan saat ini tuan guru selain berkaitan dengan peran sebagai pembimbing keagamaan juga cenderung menjadi simbol status sosial terutama dalam sosial keagamaan. Mereka menjadi aktor atau tokoh lokal yang kharismatis dan sangat dihormati. Bahkan pengaruhnya mengalahkan para lalu, dan kepemimpinan pemerintahan. Peran tuan guru dalam lintasan sejarah masa lalu dan kini dalam masyarakat Mataram dan Lombok pada umumnya sangat besar. Mereka memimpin perlawanan orang Sasak ketika melawan Kerajaan Bali dari Karangasem yang menduduki Lombok Barat pada abad ke-17. Mereka juga menjadikan Islam sebagai dasar ideologis perjuangan melawan kolonial Belanda yang dianggap kafir.
Bahkan karena
kegigihannya memimpin melawan Belanda ini tuan guru menjadi lebih berpengaruh daripada bangsawan Sasak yang berorientasi kepada tradisi lokal. Mereka mengajarkan Islam dan praktek keagamaan Islam yang murni kepada masyarakat Sasak termasuk kepada orang Wetu Telu, mendirikan pondok pesantren, yang kemudian menjadi organisasi keagamaan,
seperti Nahdlatul Wathan
yang
didirikan oleh TG Zainuddin Abdul Majid (1950). Pada saat ini pondok pesantren yang didirikan oleh para tuan guru ini sudah mengintegrasikannya dengan sekolah. Jaringan alumninya telah memperluas peran dan pengaruh tuan guru di Lombok. Penyebaran agama
atau lebih tepatnya Islamisasi
dalam arti proses
pemurnian ajaran Islam terutama dilakukan di kalangan orang Wetu Telu. Hal ini
129
mengakibatkan
terjadinya polarisasi
antara dua kelompok
dengan orientasi
kepemimpinan yang berbeda. Wetu Telu lebih loyal kepada kepemimpinan yang mengembangkan tradisi, sedangkan kelompok Waktu Lima, muslim yang taat beragama, lebih loyal kepada tuan guru yang lebih cenderung mengembangkan dan memurnikan ajaran Islam dari tradisi yang bertentangan dengan agama.
Dalam
perkembangan selanjutnya tuan guru lebih dominan daripada kepemimpinan yang lain seperti Lalu, bahkan banyak pemimpin yang berorientasi kepada tradisi atau termasuk kelompok Wetu Telu berubah menjadi Waktu Lima. Pengaruh pemimpin atau bangsawan yang berorientasi kepada tradisi saat ini semakin berkurang, mereka relatif masih kuat di daerah Tanjung dan Bayan. Informasi terakhir (2010) mereka yang berorientasi kepada tradisi berupaya merevitalisasinya dengan berjuang di bidang politik dan berhasil mendirikan Kabupaten Lombok Utara, atau setidaknya mereka berupaya merevitalisasi tradisi dalam kabupaten yang baru ini. Tuan Guru adalah status yang dimiliki oleh orang Sasak muslim yang sudah naik haji dan memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang tinggi. Menurut informan saya, Pak Is, seorang Tuan Guru harus memiliki pondok atau majelis taklim, tidak menjadi pegawai negeri sebab kalau menjadi pegawai negeri ia hanya berstatus sebagai ustadz serta tidak harus orang Sasak asli. Terlepas dari statusnya yang kharismatik melalui usaha, yang jelas seorang tuan guru punya peran utama melakukan sosialisasi doktrin dan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, termasuk kepada muslim Wetu Telu. Karena tuan guru merupakan status capaian yaitu status yang diperoleh karena upaya seseorang, maka seringkali
terjadi persaingan
antarmereka, terutama dalam memperoleh anggota dan memperluas pengaruhnya, bukan hanya di bidang sosial-keagamaan tapi juga di bidang lain seperti ekonomi, dan politik.1 Seorang tuan guru mempunyai isteri yang disebut dengan dende artinya pembimbing. Ia
bukan menunjuk kepada status sosial, tetapi sebuah gelar yang
diberikan karena fungsi dan perannya membantu raddin untuk menjalankan tugasnya. 1
Adanya persaingan antar tuan guru dalam berbagai pranata ditemukan juga oleh Avonius (2003) yang menyatakan bahwa di antara Tuan Guru biasa terjadi persaingan untuk merebut pengaruh keanggotaan dan sosial-ekonomi-politik. Misalnya, Tuan Guru Sw yang alumnus perguruan di Makkah (Ummul Qura’ ?) adalah pembina pondok dan Ketua Persatuan Pondok pesantren dan MUI Lombok Barat, afiliasi politiknya ke PBB. Sementara pengasuh yang lain seperti Tuan Guru Mh yang alumunus Gontor berafiliasi ke PKS, Tuan Guru Is alumnus Irak berafiliasi ke Golkar, dan Tuan Guru Mus ke PBB.
130
Sehingga seorang dende harus bisa menyesuaikan dengan suaminya dalam menjalankan tugas. Kedua, lalu berasal dari bahasa Arab allah, disebut demikian karena orang yang bergelar lalu harus bisa menjalankan apa yang telah di jalankan oleh bapaknya. Lalu adalah anak dari raddin yang bukan berasal dari perkawinan dengan dende sehingga diturunkan satu tingkat menjadi lalu. Lalu sebenarnya bukan gelar status sosial di masyarakat Sasak, namun diberikan bagi anak raddin yang kawin dengan selain dende sehingga ia merupakan gelar dalam fungsinya di masyarakat Sasak, saat ini berubah fungsi menjadi status sosial. Isteri seorang lalu disebut baiq, karena itu perempuan yang mendampingi lalu harus perempuan yang baiq-baiq, karena fungsinya sama dengan dende yang mendampingi raddin dalam menjalankan tugasnya di masyarakat. Meskipun kelompok lalu tidak banyak berperan dalam
penyiaran agama, namun mereka tetap
melaksanakan ajaran agama secara konsekuen sepertti shalat, bahkan naik haji. Mereka ini sekarang banyak berperan dalam bidang pemerintahan. Jika seorang raddin yang kawin dengan dende melahirkan anak laki-laki di sebut juga raddin dan jika perempuan disebut dende. Sebaliknya jika raddin kawin dengan perempuan bukan dari keturunan dende, anak laki-lakinya disebut lalu dan jika perempuan disebut baiq. Begitu juga dengan lalu yang kawin dengan baiq, anaknya menggunakan gelar lalu atau baiq, tetapi jika lalu kawin dengan perempuan yang bukan baiq maka anaknya akan menjadi rakyat biasa begitu juga sebaliknya. Pada saat sekarang di masyarakat Sasak jika lalu kawin dengan yang bukan baiq, anak lakilakinya tetap memakai lalu dan perempuanya tetap disebut baiq, tetapi jika perempuan baiq kawin dengan yang bukan lalu maka gelarnya akan hilang. 4.. Nilai-nilai Lokal Dalam masyarakat suku Sasak ada banyak nilai-nilai lokal yang digunakan untuk pemersatu di antaranya: (a) Ngejot, (b) Blangan, (c) Bebagar atau bersih desa, (d) Nyongkol. Ngejot merupakan sebuah tradisi bagi masyarakat Sasak yaitu memberikan bantuan berupa apa saja kepada tetangga atau masyarakat yang sedang mengalami kesusahan ataupun senang baik ke masyarakat muslim maupun non muslim. Yang dimaksud dengan blangan adalah memberikan sumbangan atau bantuan kepada masyarakat yang kesusahan. Nilai-nilai yang ada dalam blangan berupa saling
131
menolong di antara manusia. Tradisi ini hanya berlaku di kalangan masyarakat Islam. Bebagar sangat melekat di kalangan masyarakat Sasak karena menjadi media pemersatu atau gotong royong di semua kalangan, dalam acara ini biasanya berkaitan dengan besen tulak (tolak balak). Nyongkol adalah tradisi suku Sasak yang sampai sekarang masih berjalan dan sering dilakukan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada saat pemuda/pemudi sedang kawin, dengan berjalan kaki mempelai pria diantar ke rumah mempelai wanita dengan diiringi musik (kecimol). 5. Upacara Adat Upacara adat dapat dipilah ke dalam upacara yang berkaitan dengan kepentingan umum/ masyarakat atau disebut juga dengan upacara untuk umum, dan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup dari sebuah keluarga atau individu atau upacara lingkaran hidup, mulai dari kehamilan, kelahiran, pubertas, pernikahan, dan kematian. Pertama, upacara umum di Mataram khususnya yang berlaku di kalangan orang Sasak cukup banyak, di antaranya ialah: 1) Upacara Pujawali atau Perang Ketupat. Upacara ini dilaksanakan oleh orang yang beragama Hindu, Wetu Telu, orangorang Boda di wilayah Bantek tiap tahun pada sekitar bulan Nopember. Upacara ini dilakukan untuk menghormati Batara Rinjani dan gde Lingsar. Dewa-dewa yang ada di Gunung Rinjani sangat dihormati dan ditakuti, dan dalam peristiwa tersebut penduduk mempersembahkan beragam makanan, namun persembahan daging babi dilarang karena dianggap najis (camah) 2) Ngentunin. Upacara ini berupa upacara turun ke sawah untuk pertama kalinya, dan diiikuti dengan upacara menanam padi. Sebelum sawah diolah
petani
mengadakan ngeramein gumi yaitu mencangkul sudut-sudut sawah masing-masing tiga kali. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan gangguan makhluk halus (bake). Baru setelah selesai diadakan ngentunin yang dilakukan pemilik atau yang membajak sawah. Dalam upacara ini dilakukan
dibaca kalimat sacral guna
memberi keselamatan bagi semua makhluk hidup, manusia, khewan, dan tanaman padi. 3) Bau Nyale
132
Bau nyale berarti menangkap nyale yaitu sejenis cacing laut yang keluar bersama gelombang laut pada pagi hari. Biasanya terjadi saat hujan lebat pada bulan Februari. Menurut kepercayaan masyarakat, banyaknya-sedikitnya nyale yang bisa ditangkap menjadi pertanda tingkat keberhasilan panen yang akan datang. Pada saat sekarang upacara adat ini semakin memudar terutama di kalangan masyarakat perkotaan. Kedua, sebagaimana di tempat lain, pada masyarakat Sasak Mataram ada upacara lingkaran hidup. Upacara kehamilan sampai Pubertas:
Ketika bayi masih di dalam
kandungan yaitu jika sudah berumur 7 bulan dilakukan upacara syukuran tujuh bulanan sampai anak itu lahir. Setelah 5 hari dari kelahiran anak akan putus tali pusatnya di sebut dengan pra api (penamaan), kemudian ada ngurisin atau potong rambut. Selanjutnya anak laki-laki atau perempuan sebelum belajar membaca AlQur’an akan disunat terlebih dahulu. Proses Menuju Perkawinan: Jika anak sudah menginjak remaja dan dewasa artinya sudah menginginkan kawin.
Perkawinan diawali dengan midang (apel).
Midang dilakukan ke rumah pihak perempuan dengan tujuan mencari kesepakatan dengan si perempuan kapan akan di bawa pergi dari rumah atau selarian tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga perempuan. Selarian dilakukan pada waktu malam, biasanya sehabis magrib. Jika membawa larinya pada siang hari maka akan dikenahi denda adat. Perempuan yang sudah dibawa lari dititipkan di rumah keluarga si laki-laki atau dititipkan ke penghulu. Setelah selama 3 x 24 jam keluarga laki-laki atau kepala dusun tempat laki-laki (sejati) akan melapor kepada kepala dusun di pihak perempuan atau kepada keluarga perempuan. Pemberitahuan itu di sebut dengan selabar. Selanjutnya kedua belah pihak akan menyepakati jumlah mahar, waktu dan tempat pelaksanaan akad nikahnya. Pihak perempuan pada saat musyawarah ini benar-benar jadi pihak
yang paling berwenang artinya syarat apapun harus dipenuhi oleh pihak
laki-laki. Kadang ada yang menyuruh pihak laki-laki untuk duduk di halaman bahakan di atas kotoran kuda, hal itu harus di lakukan supaya tidak dikenai hukuman atau denda adat. Semakin banyak melanggar semakin besar juga biaya yang akan di
133
keluarkan pihak laki-laki, apalagi lagi jika kakak si perempuan belum menikah maka pihak laki-laki yang akan memberikan plakahnya (plengkat). Akad nikah bertempat di rumah perempuan atau masjid, selanjutnya mempelai perempuan dibawa ke pihak keluarga laki-laki dengan diantar rombongan dari kampung pihak perempuan, pihak laki-laki sudah menyiapkan pesta. Setelah itu pihak laki-laki akan pergi ke pihak perempuan (bejanggu=ngunduhi [Jawa]) dengan diiringi oleh seluruh teman dan kerabat (nyongkol). Selanjutnya pihak perempuan akan ke pihak laki-laki (balik tampak) setelah sebelumnya ditentukan harga adat (aji krame) Dalam resepsi perkawinan biasanya yang hadir semua kerabat dan orang-orang dekat dari pihak penganten dan orang tua penganten. Dalam hal ini tanpa melihat latar belakang status sosial, suku maupun agama. Upacara kematian: Karena masyarakat mayoritas beragama Islam maka adat yang di gunakan juga layaknya ajaran Islam. Jika ada yang meninggal maka seluruh warga baik itu laki-laki ataupun perempuan ikut ke makam. Kemudian diadakan tahlilan 7 , 9, 40, 100, 400,1000 harinya, dan kalau setahun di adakan peringatan kematian. Dalam upacara kematian ini dihadiri oleh semua orang tanpa melihat latar belakang agama, suku maupun lainnya. Semua orang yang mengetahui kematian seseorang apalagi tetangga maka ia akan menghadirinya. Bagi mereka yang bukan tetangga jika orang itu mengenal dan teman maka ia akan menghadirinya.
G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal Pengendalian potensi konflik antarumat beragama yang sudah berlangsung di Mataram agak beda dengan daerah lain yang masih dominan pendekatan struktural. Di Mataram sudah ada upaya untuk merivatalitasi
pendekatan kultural dan berupaya
memanfaatkan potensi budaya lokal. Adapun kegiatan yang dilakukan
melalui pendekatan struktural yaitu: sosialisasi
wawasan kebangsaan, deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya sosialisasi dan institusionalisasi
konflik SARA,
tentang kerukunan umat beragama, dan kebijakan
pemrintah Kota berupa surat dan himbauan tentang pentingnya beragama, optimalisasi peran pemerintah desa
toleransi antarumat
untuk memfasilitasi dialog antarumat
beragama. Juga dialog dan diskusi antarumat beragama yang menghasilkan Forum Komunikasi Antarumat Beragama.
134
Adapun kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan kultural namun masih diprakarsai oleh pemerintah yaitu: pencanangan hari Jumat sebagai hari imtaq dengan penggunaan pakaian khas sesuai dengan agama
yang dianut, gotong royong antarumat beragama
membersihkan tempat ibadah umat beragama yang dilakukan aparat pemerintah bersama dengan tokoh umat beragama. Sementara kegiatan revitalisasi budaya lokal berupa kegiatan ngayo dan memberdayakan awig-awig. Dalam penyusunan model pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan yaitu: evaluasi posisi modal budaya lokal; adanya kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, serta adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali konflik, termasuk dalam penyelesaian konflik; dan adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal.
1. Evaluasi Komponen Budaya Lokal Sebagaimana halnya ditegaskan dalam kajian pustaka dan diterapkan di lokasi yang lain, komponen budaya lokal
dalam penelitian ini meliputi empat aspek yaitu: (a)
kelompok sosial, (b) aktor lokal, (c) nilai-nilai, dan (d) upacara. Karena itu dalam mencari model pengendalian, termasuk penyelesaian konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut. Penilaian terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari statusnya dalam
proses pengendalian konflik. Untuk itu ada 3 kemungkinan statusnya yaitu:
potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatan, dan pelaksanaannya dalam masyarakat, dan keyakinan (keagamaan) yang berkembang dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrument pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama. Hanya yang
135
penting dicatat sejak awal
bahwa pemerintah dan masyarakat Mataram
memiliki
semangat untuk merevitalissasi budaya lokal dalam menumbuhkembanngkan kerukunan umat beragama. Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses pengendalian potensi konflik terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat yang masih didominasi suku Sasak ini. Nilainilai yang mengandung dorongan untuk hidup rukun dan potensial terdapat dalam tradisi ngejot, blangan, bebagar/bersih desa. Ngejot adalah tradisi dalam masyarakat Sasak berupa bantuan dalam bentuk apa saja ketika orang lain mengalami kesusahan ataupun sebang tanpa pandang agama, suku dan lainnya, baik pikiran
dan tenaga. Blangan
mengandung nilai tolong menolong dan memberikan sumbangan atau bantuan kepada orang lain yang kesusahan. Meskipun nilai blangan berlaku di kalangan orang Islam, namun nilai-nilai ini dianggap dapat diperluas kepada penganut agama lain karena mengandung kebaikan bersama. Sememntara yang dimaksud bebagar atau bersih desa mengandung nilai gotong royong dalam pengertian sempit yaitu kerja bakti
yang
dilakukan masyarakat khususnya untuk kegiatan besen-tulak (tolak balak). Ketiganya dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran anggota masyarakat. Baik ngejot, blangan maupun bebagar selain berupa nilai juga berupa wadah kegiatan dimana orangorang yang berbeda agama berinteraksi. Selain itu saat ini pemerintah juga menciptakan slogan yang dapat dijadikan sebagai nilai bagi masyarakat yaitu ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Nilai yang tercantum dalam slogan ini adalah dorongan agar setiap orang yang hidup di bumi Mataram, tanpa pandang latar belakang agama, suku, lapisan sosial, sekse, harus secara bersama-sama dan pribadi menjunjung martabat, dan ketahanan masyarakat Mataram. Karena itu dibutuhkan kerja sama dan menjauhi konflik antarsesama dan kelompok. Siapapun dan dengan latar belakang apapun harus menjadi bagian dari orang Mataram yang memiliki kebiasaan menjunjung kebersamaan, toleransi, menjaga ketahanan dan martabat. Nilai-nilai dalam slogan ini telah diaktualisasikan melalui sosialisasi kepada masyarakat untuk menjaga toleransi dan martabat bersama masyarakat Mataram, dan sekaligus potensial untuk dikembangkan. Slogan ini bersumber dari nilai adat merang dalam masyarakat Sasak yaitu nilai-nilai solidaritas
antar sesama atau nilai-nilai
kebersamaan tanpa pandang latar belakang seseorang.
136
Informan saya
memberikan penekanan agar supaya nilai-nilai rukun dalam
ugeran-ugeran dapat menjadi instrumen dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya harus ada langkah-langkah yang harus dilakukan, terutama di kalangan generasi muda, dan juga peran pemerintah
untuk
merevitalisasinya. Untuk itu perlu sosialiasasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat serta berupa kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kedua, kelompok sosial lokal-tradisional
yang ada di daerah ini berupa
pengusung, keliang, dan banjar. Para informan menyadari bahwa
kelompok sosial
tradisional ini secara kelembagaan pada saat sekarang sudah dapat dikatakan tidak ada, karena sudah digantikan oleh lembaga pemerintahan modern yaitu mulai dari desa sampai RT-RW. Meskipun secara institusional kelompok sosial tersebut sudah tidak ada, dan secara fungsional, peran-perannya sebagian besar telah diadaptasi oleh lembaga pemerintah modern tersebut, namun mereka menekankan agar fungsi substansialtradisional dari pengusung-keliang-banjar harus terus dilanjutkan atau ditambahkan pada lembaga pemerintahan modern di tingkat desa, dusun dan RT-RW saat ini dan ke depan. Misalnya fungsi pengendalian sosial dan kedekatan secara psikologis dalam suasana keguyuban. Potensialiatas
kelompok ini dapat dilihat dari kesadaran masyarakat
tentangnya, misalnya sebagian orang Sasak masih menyebut mau ke keliang kalau mereka mau ke kepala dusun. Dengan demikian pengusung-keliang-banjar ‘hanya’ potensial secara fungsional sebagai institusional dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Potensi kefungsionalan ini yang harus diadaptasikan kepada lembaga (semi) pemerintah modern mulai dari desa-RT-RW. Hal ini karena masih adanya persepsi dan kesadaran masyarakat tentang fungsi-tradisional dari kelompok tersebut. Juga karena kelompok sosial ini dapat membawahi ragam masyarakat yang berbeda agama. Sementara itu meskipun ada pondok pesantren namun di kota ini tidak banyak dan karenanya dianggap tidak dimasukkan ke dalam kelompok sosial yang potensial dalam pengendlaian konflik. Di pihak lain, lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Wathan (didirikan oleh TG. Zainuddin Abdul Majid tahun 1950) dapat dianggap sebagai lembaga lokal yang potensial sebagai wadah pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab lembaga ini telah memiliki jaringan yang cukup luas, dan sebagai pondok pesantren, telah melahirkan alumni dan pengaruh di kalangan tuan guru.
137
Ketiga,
tokoh lokal yang paling menonjol di daerah ini adalah tuan guru.
Walaupun keberpengaruhannya tuan guru bertingkat, mulai dari tingkat kampung sampai kota, dan lintas-kota/kabupaten. Peran-peran ketuanguruan dilakukan melalui lembagalembaga sosial lokal yang ada di masyarakatnya, seperti MUI, organisasi keagamaan, pondok pesantren, bahkan dalam partai politik. Upaya pemanfaatan tuan guru sebagai instrumen pengendalian konflik berarti lebih
berbasis kepada kelompok agama mayoritas Mataram (Islam). Hal ini karena
mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Sasak dan Mataram umumnya. Tokoh lokal yang lain yang pantas diperhitungkan adalah lalu. Hal ini karena lalu saat ini berbeda dengan jaman dulu yang dianggap kurang dekat dengan pihak muslim. Saat ini walau mereka tidak banyak perperan dalam penyiaran agama, namun mereka muslim taat. Lebih dari itu lalu saat ini banyak berperan di bidang pemerintahan, dan ini dapat menjadi modal utama mereka dalam berperan serta dalam pengendalian, termasuk dalam penyelesaian konflik antarumat beragama Sementara pengusung-keliang-banjar sebagai sebuah
aktor dianggap tidak
potensial lagi seiring dengan hilangnya secara institusional. Aktor lokal tradisional ini sudah digantikan oleh aktor lembaga pemerintahan modern. Keempat, upacara adat yang ada di Mataram antara lain pujawali/perang ketupat, ngentunin ( menanam padi), bau nyale (menangkap cacing laut), sadranan. Hanya sayangnya upacara adat tersebut, khususnya pujawali, ngentunin, dan bau nyele dianggap tidak potensial lagi untuk dijadikan sebagai instrumen pengendalian konflik antarumat beragama. Hal ini karena beberapa alasan yaitu: (1) Seiring dengan menguatnya peran tuan guru dalam pemurnian Islam, maka upacara adat yang berbau Hinduisme, wetu telu dan animisme dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, (2) dan karenanya upacara tersebut dianggap tidak layak lagi untuk dikembangkan keberadaannya. (3) Karena selama ini konflik yang terjadi antara Islam dan Kristiani, maka upacara itu dianggap tidak layak dijadikan instrumen karena upacara tersebut banyak dianut oleh masyarakat Hindu. (4) Di wilayah perkotaan seperti Mataram upacara itu sudah memudar dan bahkan hanya tinggal kenangan. Sementara sadranan hanya lebih berupa ziarah ke kubur terutama di kalangan muslim, sehingga dianggap tidak
potensial untuk dijadikan sebagai instrumen
pengendalian konflik.
138
Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian (seperti tujuh bulan dari kehamilan, pra-api/penamaan, ngurisin/potong rambut, sunatan, perkawinan, kematian, dan tahlilan) dianggap dapat dijadikan sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab dalam upacara-upacara tersebut, termasuk upacara slametan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir (dapat) berasal dari orang-orang yang berbeda agama. Sebagai bagian dari upacara lingkaran hidup, khususnya perkawinan, nyongkol juga dianggap masih potensial untuk dijadikan sebagai
wadah pengendalian konflik
antarumat beragama, khususnya sebagai wadah interaksi antarumat agama. Hal ini selain masih menjadi kesadaran dan bahkan dilaksanakan oleh masyarakat Sasak, juga tidak ada halangan dari tokoh agama untuk menumbuhkembangkannya.
Berdasarkan
evaluasi
tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya yang potensial untuk menjadi instrumen pengendalian konflik di daerah Mataram lebih banyak berbasis budaya Islam. Tabel 1: Status Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Status Potensial
Aktual
Inpotensial
Nilai-nilai: + + + +
1. Ngejot 2. Blangan 3. Bebagar 4. Bumi dipijak di situ langit dijunjung/Merang
Kelompok sosial 1. Pengusung-keliang-banjar
2. Org.agama:Nahdatul Wathan 3. Pondok pesantren Aktor lokal: 1. Tuan guru 2. Lalu 3. Pengusung-keliang-banjar Upacara Adat: 1. Pujawali 2. Ngentunin 3. Bau Nyele 4. Sadran Upacara lingk.hidup: Kelahiran- nyongkol, kematian
+Adaptasi fungsi, bukan institusi + + + +
+ +
+ + + +
+
139
Misalnya komponen tokoh-tokoh panutan dan kelompok sosial yang ada yaitu tuan guru, organisasi Islam, dan sumber yang berasal dari tradisi kesukuan seperti nilai-nilai yang tercantum dalam ugeran dan slogan.
2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa fungsi komponen budaya dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing. Nilai-nilai budaya di Mataram seperti ngejot, blangan, bebagar, atau merang pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari
masyarakat tanpa harus mengenal
perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan lainnya. Sementara kelompokkelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik yaitu organisasi keagamaan berfungsi sebagai wadah
sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun. Dalam konteks
hubungan antarumat beragama ia hanya berfungsi sebagai media sosialisasi tentang hidup rukun dan damai kepada umat Islam. Hal yang berbeda adalah posisi bebagar, sebagai
pranata di dalamnya ada
kegiatan yang dilakukan masyarakat secara berulang dalam waktu yang relatif lama dan sebagai upaya pemenuhan kebutuhannya. Dalam konteks ini bebagar berfungsi sebagai media interaksi antar orang yang berbeda agama, dan perbedaan identitas lainnya. Aktor
lokal seperti tuan guru, dan lalu berfungsi sebagai
subyek pemberi
sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Sebenarnya sosialisasi hidup rukun dan damai ini
dapat diterapkan juga kepada tokoh agama
nonIslam yang sering dan potensial terlibat konflik antarumat beragama yaitu tokoh-tokoh Kristiani, baik Protestan maupun Katolik. Satu di antara ciri khas daerah Mataram adalah tidak ada kelompok sosial dan aktor lokal yang memayungi semua komunitas yang berbeda agama, maka
potensial
untuk dikembangkan suatu kelompok atau wadah yang di dalamnya aktor lokal lintas agama dapat berdialog, bertinteraksi, dan melakukan aksi bersama. Sebenarnya selama ini sudah ada wadah sejenis, namun sifatnya sangat termporer dan sangat tergantung kepada pemerintah seperti Forum Umat Beragama (FUB). Wadah ini dianggap temporer karena kegiatannya terbatas kepada aksi bersama ketika ada komando dari pemerintah, sehingga yang banyak berperan adalah pemerintah. Ke depan wadah lintas agama, termasuk
140
Forum Kerukunan Umat Beragama, anggota di dalamnya harus (a) melibatkan tokohtokoh lokal (seperti tuan guru, tokoh Kristiani, dan lalu) atau wakil dari tokoh-tokoh lokal tersebut, (b) berfungsi sebagai media komunikasi-interaksi, sosialisasi-dialog dan aksi bersama, (c) memiliki kegiatan yang rutin dan berkala, yang (d) dilakukan bersama, bukan didominasi oleh pihak lain khususnya pemerintah, pemerintah sebaiknya berposisi dan memposisikan diri sebagai fasilitator ketika dibutuhkan. Upacara adat seperti pujawali, ngentunin, dan bau nyele sebenarnya dapat berfungsi sebagai wadah interaksi dan bahkan sosialisasi nilai -nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama, namun sejak awal upacara adat ini
banyak
ditentang oleh
informan terutama dari kalangan tuan guru karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama. Ini sekaligus menunjukkan bahwa walaupun secara substansial ada upacara yang mirip di dua atau lebih daerah, namun belum tentu upacara adat itu dapat difungsikan sama dengan di daerah lain. Hal ini biasanya tergantung kepada 2 hal yaitu: (1) pandangan keagamaan dari tokoh (agama) lokal yang ada dan sekaligus tingkat keberpangaruhannya, (2) kesadaran dan pelaksanaan upacara adat itu oleh masyarakat. Sementara upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai
wadah
interaksi antarumat beragama. Adapun nyongkol sebagai bagian dari upacara perkawinan dapat diterima untuk dikembangkan sebagai instrument dalam pengendalian, termasuk dalam penyelesaian konflik antarumat beragama, terutama sebagai wadah interaksi antarumat beragama dan dalam batas-batas tertentu untuk sosialiasi nilai-nilai kerukunan. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 2 berikut. Tabel 2: Fungsi dan Sumber Kebudayaan Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Rencana Fungsi Pedoman
Sosialisasi
Berbasis Kepada
Interaksi
Nilai-nilai:
1. Ngejot 2. Blangan 3. Bebagar 4. Bumi dipijak di situ langit dijunjung/Merang
Kelompok sosial 1. Pengusung-keliang-banjar 2. Org.agama:Nahdatul Wathan Aktor lokal: 1. Tuan guru 2. Lalu
+ + + +
Suku mayoritas
+ adaptasi fungsi +
Suku mayoritas Agama mayoritas
+ +
Agama dan suku mayoritas
141
Upacara Adat: 1. Pujawali 2. Ngentunin 3. Bau Nyele Upacara lingk.hidup: Kelahiran- nyongkol kematian
Suku-agama +
c. Mekanisme Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama dibedakan ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi. Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya pemanfaatan nilainilai lokal oleh tuan guru, dan lalu, dan tokoh agama dalam kegiatan kelompok sosial yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan organisasi agama masing-masing, dan upacara lingkaran hidup termasuk nyongkol, atau melalui wadah baru yang lintas agama-suku yang dibangun bersama. Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh selain aktor-aktor di atas melalui berbagai kesempatan dan saluran, misalnya melalui pelatihan dan media massa, dan sebaliknya sosialisasi dan pengkajian tentang potensi konflik antarumat beragama (prasangka antarkelompok umat, misiologi agama, khususnya Kristenisasi, kesejangan sosial-ekonomi) oleh aktor-aktor lokal yang ada. Bahkan memerankan mereka dalam FKUB yang dibentuk pemerintah, dalam rangka sosialisasi nilai-nilai lokal yang ada sebagai pengukuhan ajaran agama yang berkaitan dengan kerukunan antarkelompok. Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain.
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal Penyelesaian konflik
antarumat beragama
memperhatikan beberapa komponen yaitu: (a)
berbasis budaya lokal seharusnya memperhatikan karakter konflik dan
sejarah konflik, (b) pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, (c) pemanfaatan budaya lokal 1. Mengkritisi karakter dan sejarah konflik Karakter konflik terutama terkait dengan
jenis, sumber konflik, dan subyek
berkonflik. Jenis konflik di Mataram termasuk konflik kekerasan fisik bangunan karena
142
adanya pembakaran gereja dan toko serta rumah. Hal ini tidak terkait dengan sejarah konflik
yang terjadi sebelumnya, sebab sebelumnya belum pernah terjadi konflik yang
melibatkan orang Islam-Kristiani. Subyek berkonflik melibatkan massa agama Islam dan elit/massa Kristiani, dan dari segi suku sebenarnya dari pihak Islam Sasak dan Kristiani nonSasak (Batak, Manado). Sumber konflik karena pembangunan tempat ibadah dan agresifitas penyiaran agama minoritas, munculnya Islam konsisten yang peka terhadap kegiatan dan simbol-simbol agama lain. Sumber ini kemudian dipicu oleh solidaritas ingroup dari kalangan kelompok agama mayoritas. 2. Pengalaman Penyelesaian Konflik Pengalaman dalam penyelesaian konflik antarumat beragama sebelumnya harus menjadi
perhatian. Artinya penyelesaian masa lalu tersebut harus dipelajari
dievaluasi. Selama ini penyelesaian konflik
hanya menggunakan pendekatan
dan tidak
langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah. Namun dalam kasus Mataram ada kekhususan karena dalam proses mediasi tersebut
telah banyak
memberdayakan budaya lokal seperti tuan guru, dan hukum adat (awig-awig). Dalam kaitan ini penegakan hukum (positif) tidak menjadi perhatian pokok. Karena itu para informan setuju, pendekatan tidak langsung tersebut perlu dilanjutkan dan dikembangkan pendekatan secara langsung antarpihak terlibat konflik, baik berupa negosiasi maupun rekonsiliasi. Juga terus mempertahankan dan mengembangkan pemanfaatan budaya lokal yang sudah ada. 3. Pemanfaatan budaya lokal. Uraian tentang pemanfaatan budaya lokal dalam penyhelesaian konflik ini didasarkan atas alasan-alasan pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal dalam pengendalian konflik. Perbedaannya, terletak pada status dan fungsi komponen-komponen budaya tersebut. Pertama, tuan guru meskipun merupakan tokoh Islam, namun mereka secara aktual telah menjadi aktor lokal penting yang dihormati oleh tokoh agama lain, dan sekaligus menjadi peredam serta penyalur aspirasi dari kelompok Islam. Hal ini secara aktual telah dilaksanakan ketika konflik kelompok Islam dan Kristen, bahkan dalam kasus konflik Islam dan Hindu di Lombok Barat. Dengan peran seperti itu massa dapat dikendalikan untuk tidak melakukan sesuatu yang (lebih) anarkis dan tidak berkepanjangan. Selama ini mereka lebih menjadi penyalur arpirasi bukan sebagai fasilitator dan mediator. Padahal sebenarnya berdasarkan posisinya yang dihormati oleh tokoh agama lain, tuan guru dapat
143
diperankan atau berperan sebagai fasilitator/mediator antara kepentingan Kristiani dan massa Islam, khususnya jika kelompok Islam yang berkonflik dengan kelompok agama lain melibatkan tokoh Islam lain yang bukan tuan guru. Sementara untuk lalu perlu diberdayakan agar mereka
punya peran dalam
penyelesaian konflik antarumat beragama, hal ini karena citra mereka di hadapan muslim (taat) juga mulai positif seiring dengan meningkatnya ketaatan agama mereka, juga karena mereka banyak berperan dalam lembaga pemerintahan. Sementara dari pihak kelompok agama lain (Kristiani) mereka merasa lebih ‘sreg’ dengan lalu daripada tuan guru, meskipun tuan guru dihormatinya. Mereka dapat diperankan terutama sebagai mediator atau fasilitator dalam proses penyelesaian konflik tersebut.
Untuk itu ke depan agar
supaya terjadi peran yang strategis dan sinergis antara tuan guru-lalu dan tokoh agama lain, maka perlu dibuka saluran atau jaringan komunikasi, dan tidak ada upaya untuk saling menafikan peran masing-masing. Pemanfaatan tuan guru dan kelompok sosial lokal, seperti organisaasi agama, sebagai instrumen penyelesaian konflik
menunjukkan bahwa penyelesaian konflik di
daerah ini lebih berbasis kepada kelompok agama mayoritas. Sebab saat ini tuan guru merupakan bagian tak terpisahkan dari perkembangan budaya masyarakat (Islam) Sasak. Hal ini sejalan dengan yang terdapat dalam model pengendalian konflik. Untuk ini ada 2 alternatif yang dapat dikembangkan yaitu: (1) Secara umum dalam kasus-kasus konflik antarumat beragama, tuan guru dapat dijadikan sebagai subyek penyelesai konflik antarumat beragama. Baik melalui pendekatan secara langsung (berupa rekonsialisasi dan negosiasi) dengan aktor-aktor
dari kelompok agama lain maupun
pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi). Hal ini terutama jika konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan tuan guru. (2) Dalam kasus khusus yang melibatkan tuan guru sebagai subyek berkonflik dengan elit/umat agama lain, maka tuan guru dan atau lalu dapat dijadikan sebagai penyelesai konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika tuan guru tetap dijadikan sebagai penyelesai konflik, maka harus digunakan pola tertentu yaitu (a) memanfaatkan tuan guru yang punya pengaruh kewilayahan atau kepemimpinan yang levelnya lebih tinggi atau tuan guru lain yang selevel dengan tuan guru yang terlibat konflik. (b) Tuan guru tersebut juga mempunyai kedekatan secara ideologis dan paham agama dengan tuan guru yang berkonflik. Adapun kalau menjadikan lalu sebagai agen penyelesai harus dikomunikasikan dengan tuan guru yang terlibat konflik dan pihak agama lain.
144
Kedua,
upacara
adat
tidak
dapat
dijadikan
sebagai
instrumen
dalam
menyelesaiakankonflik dengan pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam uraian tentang pengendalian konflik di atas. Adapun nilai-nilai lokal yang ada dapat diperankan dalam dua tahap. Pada tahap proses penyelesaian dijadikan sebagai sumber pendorong dan pedoman bersama dalam proses pengambilan keputusan bersama. Pada tahap pascakonflik yaitu sebagai pemerkokoh (sosialisasi) hasil-hasil kesepakatan antarpihak yang terlibat konflik. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak kelompok mayoritas maupun minoritas secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Dalam kaitan dengan nilai-nilai lokal ini, terutama yang berkaitan dengan penerapan hokum, pemerintah dan masyarakat Mataram telah bertekad untuk merevitalisasi awig-awig sebagai bagian dari penyelesaian konflik, termasuk konflik antarumat beragama. Awig-awig merupakan seperangkat aturan atau hukum adat yang ada di daerah Lombok, termasuk Bali. Awig-awig terkait dengan pengatur dan pelaksananya, dulu hal itu dilakukan oleh pemangku (mangku) atau wet adat-istiadat, sebagai salah satu bagian dari wet tu telu (wet=-wilayah territorial, tu= orang, telu=tiga) selain wet agama, dan wet pemerintah. Para mangku (adat) inilah yang merumuskan, menjalankan, menentukan dan member sanksi adat (awig-awig). Masalahnya adalah setelah berlakunya UU No.5/1974 dan UU no.5/1979 tentang pemerintahan desa, maka status dan fungsi mangku menjadi hilang karena peran-perannya diintegrasikan ke dalam lembaga pemerintahan desa.
Dalam upaya revitalisasi awig-awig ke depan khususnya dalam
penyelesaian konflik, termasuk dalam pengendalian konflik SARA, ada 2 opsi yang mungkin dilakukan: (1) mengintegrasikan pelaksanaan awig-awig tersebut dalam peranperan pemerintahan desa-RT/RW, (2) merevitalisasi awig-awig sekaligus merevitalisasi juga lembaga adat yaitu mangku Ketiga, pemanfaatan kelompok sosial sebagai wadah penyelesai konflik, sekaligus pengendali konflik, cukup mengoptimalkan dan mengembangkan peran dari kelompokkelompok sosial yang sudah ada. Untuk ini ada 2 alternatif yaitu: (1) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang dibentuk oleh pemerintah setempat. .Misalnya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) sebagai realisasi dari SKB 2 Menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006. Hanya saja FKUB masih perlu
mengembangkan: (a) representasi anggota internal forum berdasarkan
budaya lokal yang ada, khususnya dari segi pelibatan aktor lokal sesuai dengan budaya yang setempat, serta memahami dan mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai lokal. Selain
145
juga (b) mengimplimentasikan
dan mengefektifkan perannya di lapangan.
(2)
mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang tumbuh dalam masyarakat. Keempat, mekanisme penerapan komponen budaya lokal tersebut dalam proses penyelesaian konflik antarumat beragama dilakukan secara integratif. Artinya, satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam
upaya penyelesaian konflik.
Memberdayakan tuan guru atau lalu untuk menjadi subyek penyelesai konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung bersama-sama dengan aktor lain seperti dari pemerintah ataupun lainnya. Selain itu dapat juga tuan guru atau lalu, bersama tokoh agama lain melakukan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik melalui berbagai peristiwa dan saluran. Juga pemanfaatan kelompok sosial (organisasi keagamaan) dan upacara
lingkaran hidup, termasuk nyongkol, sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil
kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh aktor di luar pemerintahan ataupun tokoh masyarakat lainnya.
146
BAB V PASURUAN: IMBAS PERTIKAIAN ELITE POLITIK
A. Geografis, Penduduk dan Setting Sosial Kota Pasuruan termasuk bagian panjang dari daerah pantai utara pulau Jawa. Bagian selatan, barat dan timur dibatasi oleh wilayah yang masuk bagian Kabupaten Pasuruan, sedangkan di utara berbatasan langsung dengan Selat Madura. Saat ini memiliki tiga kecamatan yaitu Bugul Kidul, Purworejo, dan Gadingrejo. Menurut Kota Pasuruan dalam Angka 2004, ketiga kecamatan yang ada memiliki 34 kelurahan. Luas daerahnya mencapai sekitar 36,58 Km2, kecamatan terluas adalah Bugul Kidul (17,66 Km2), sedangkan terkecil adalah Purworejo (8,39 Km2). Sementara kecamatan Gadingrejo luasnya sekitar 10,53 Km2. Jumlah penduduknya pada
tahun 2004 sebanyak 162.333 jiwa. Kepadatan
penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Purworejo yang mencapai 6.856/Km, hal ini karena luas daerahnya terkecil tapi penduduknya terbesar (57.526 jiwa). Kemudian Gadingrejo dengan jumlah penduduk sebanyak 56.638 jiwa, kepadatan penduduknya mencapai 14.786 jiwa/Km. Sementara Bugul Kidul dengan jumlah penduduk sebanyak 48.169 jiwa memiliki kepadatan penduduk sebesar 5.379 jiwa/Km. Penduduk perempuannya
(51,18%) lebih banyak daripada penduduk laki-laki (48,82%).
Kecenderungan ini
terdapat pada semua kecamatan. Di Bugul Kidul misalnya
perbandingannya berkisar antara 51,32% untuk perempuan dan 48,68%. Berdasarkan Hasil Sensus 2003 Propinsi Jawa Timur, lebih sepertiga (30,69) penduduk usia 10 tahun ke atas mengenyam pendidikan SD/sederajat, 22,57% dari mereka mengenyam
SLTA/sederajat, disusul kemudian oleh mereka yang
mengenyam pendidikan SLTP/sederajat (17,68%). Adapun yang mengenyam pendidikan tinggi hanya 3,48%, di antara mereka ada yang tidak tamat SD dan tidak sekolah (25,158%). Mayoritas penduduknya bekerja di sektor usaha modern seperti industri, perdagangan, jasa, dan pegawai. Hal ini seiring dengan kian sempitnya lahan pertanian, lahan pertanian ini banyak terdapat di Bugul Kidul Jenis pekerjaan utama penduduk kebanyakan di bidang produksi (42,15%),. Selebihnya bekerja di bidang penjualan/perdagangan (24,94%), bidang pertanian (9,13%), dan jasa (7,64%), dan lain-lain (16,13%) seperti TNI, tata usaha, dan profesional. Wilayah kota ‘tapal kuda’ ini dapat dibagi ke dalam wilayah-wilayah yang ada di ‘lor rel-kereta api’ dan ‘kidul 147
rel-kereta api.’Pembagian khas masyarakat
lokal ini sarat dengan simbol sosial-
ekonomi-budaya-agama. Wilayah ‘lor rel’ antara lain meliputi Panggungrejo, Mandaranrejo, dan Bugullor (Kecamatan Bugul Kidul), Mayangan dan Ngemplakrejo (Kecamatan Purworejo), Tambaan dan sebagian Gadingrejo (Kecamatan Gadingrejo). Secara fisik wilayah ini berdasarkan pengamatan termasuk kurang asri dibandingkan dengan wilayah di belahan ‘kidul rel’. Aroma kehidupan pantai sangat kentara, rumah-rumah penduduk yang terkesan kumuh mengelilingi tempat ibadah seperti masjid yang megah dan besar. Ekonomi masyarakat selain tergantung pada nelayan dan perkayuann juga usaha industri logam dan kecil-kecilan yang lain, dan kebanyakan tingkat sosial-ekonominya termasuk sederhana atau kelas bawah, tapi yang naik haji paling banyak. Secara etnik di wilayah ini banyak dihuni oleh orang keturunan Madura atau setidaknya campuran Madura-Jawa. Bahasa Jawapun bercampur dengan
logat Madura, bahkan di beberapa tempat masih terdengar
pembicaraan dalam bahasa Madura. Iklim, kondisi fisik-geografis, dan campuran budaya Jawa-Madura melahirkan temperamen masyarakat yang keras dan emosional. Mereka sangat tunduk kepada kiai dalam banyak aspek seperti agama, politik, dan sosial lainnya. Secara keagamaan karena pengaruh kiai sangat besar, wilayah ini menjadi pusat Islam tradisional, dan secara politik tergantung kepada afiliasi politik kiai. Kondisi sosial-budaya ini sudah dimaklumi oleh masyarakat Pasuruan, tapi seperti ditegaskan seorang informan, Iis, beberapa tahun terakhir ini ada kecenderungan semakin banyaknya orang yang tidak taat beragama seperti berjudimelacur. Konflik-konflik kelas yang bersumber dari sosial-ekonomi sering terjadi di daerah ini, bahkan mereka sering diberi stempel sebagai biang dari setiap ada konflik termasuk
peristiwa konflik Mei 2001, walaupun sebenarnya mereka, seperti
dikemukakan beberapa informan, lebih banyak sebagai pelaksana atau pihak yang dimanfaatkan. Umat Islam masih menjadi bagian terbesar dari masyarakat (91,77%),
umat
Protestan hanya 3,81% dan Katolik sebesar 2,50%. Sementara umat Budha dan Hindu masing-masing sebesar 1,08% dan 0,84% dari keseluruhan penduduk tahun 2004 sebesar 162.333 orang. Perkembangan agama
Islam dibandingkan tahun 2001
(92,76%) mengalami penurunan, begitu juga dengan umat Budha (1,32% tahun 2001), dan Hindu (0,92% tahun 2001). Sebaliknya umat Katolik mengalami kenaikan karena tahun 2001 sebesar 2,11%, umat Protestan juga naik karena tahun 2001 sebesar 2,89.
148
Semua agama tersebar di ketiga kecamatan yang ada, namun sedikit berbeda dalam persentase persebarannya. Umat Islam meskipun di semua kecamatan masuk bagian terbesar, tapi persentasenya sedikit berbeda di tiap kecamatan. Persentase terbesar terdapat di Bugul Kidul yang mencapai 93,26%, sedangkan jumlah terkecil terdapat di Purworejo yang mencapai 90,03%. Sebaliknya umat Protestan lebih banyak terdapat di Purworejo yang mencapai 6,31%, sedangkan yang terkecil terdapat di Gadingrejo. Umat Katolik
lebih banyak terdapat di Bugul Kidul dibandingkan dengan di
Gadingrejo, sedangkan di Purworejo sangat sedikit. Jumlah tempat ibadah tiap umat beragama nampak berbeda. Masjid (88 unit) jika dibandingkan dengan jumlah umat Islam, rata-rata menampung 1693 orang/masjid. Sementara untuk gereja Protestan (8 unit) rata-rata hanya menampung
773
orang/gereja. Gereja Katolik sebaliknya karena hanya ada 1 unir maka menampung 4058 orang. Untuk kuil (1 unit) menampung 1364 orang. Afiliasi keagamaan umat Islam mayoritas NU, walaupun ada sebagian kecil yang Muhammadiyah. Menurut pengakuan orang Muhammadiyah, warganya hanya sekitar enam ribuan, hal ini didasarkan atas perkiraan kasar yaitu orang yang melaksanakan sholat Idul Fitri/Adha di lapangan.
B. Karakteristik Potensi Konflik Fokus konflik yang dijadikan titik perhatian di Kota Pasuruan adalah konflik yang bersumber dari imbas pertikaian elit politik.
Kasus konflik di daerah ini
merupakan bagian dari konflik antarumat beragama, khususnya antara umat Islam dan Kristiani/Kristen. Konflik fokus dalam kasus ini terjadi sekitar pada 28-30 Mei 2001 ketika terjadi kerusuhan menjelang dilengserkannya Gur Dur dari kursi kepresidenan. Peristiwa ‘Mei Kelabu’ tersebut, begitu orang Muhammadiyah menyatakan, lebih dikenal sebagai konflik politik khususnya antara pendukung Gus Dur, presiden ketika itu, dengan seteru politiknya terutama Amien Rais,1 serta Muhammadiyah, PAN, dan 1
Pada tingkat lokal, tekanan dan serangan yang ditujukan kepada Amien Rais dan Muhammadiyah sudah muncul sejak Juni 1998. Ketika tokoh Muhammadiyah ini akan memberi ceramah pada pengajian dalam rangka Milad Muhammadiyah ke-88, tapi pengajian batal karena ada hujatan, dan penolakan dari kelompok yang menamakan diri Garda Arepas, dan santri Pondok Mental. Pada Mei 2001 tersebut hujatan dan penolakan dalam bentuk spanduk banyak dipajang di jalan-jalan Pasuruan. Di antaranya ada yang berbunyi,’Amin Rasis bajingan, sing ndak nrimo nyango Mayangan’. Mayangan seperti dikemukakan di atas salah satu daerah di ‘lor rel’ Berdasarkan rincian mengenai daftar kerugian oleh lembaga Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah sekitar Rp. 118.288.000. Hal ini belum termasuk kerugian yang menimpa rumah orang-orang /simpatisan Muhammadiyah.
149
PDI-P. Dalam peristiwa ini selain terjadi perusakan dan pembakaran rumah-rumah orang Muhammadiyah dan PAN, fasilitas pendidikan dan masjid Muhammadiyah serta PDI-P, juga terjadi pembakaran gereja Protestan GPIB (Gereja Pantekosta Immanuel Barat) dan perusakan gereja Katolik, Anthonius. Bahkan beberapa fasilitas umum dan lembaga pemerintahan juga menjadi sasaran amuk massa. Potensi Konflik Prakonflik: Sebenarnya jauh sebelum terjadi konflik fokus tersebut sudah ada benih-benih konflik yang sangat potensial memicu konflik fokus langsung ataupun tidak langsung. Potensi-potensi konflik tersebut antara lain: 1. Persepsi negatif Mirip dengan yang terjadi di lokasi penelitin yang lain, potensi konflik prakonflik fokus sebenarnya sudah berkembang dikalangan umat beragama, terutama di kalangan umat Islam. Persepsi negatif muncul dari kalangan muslim bersumber dari proses
‘kristenisasi’.
memberikan
bantuan
Muslim setempat menganggap orang Kristen biasa
dan merekrut anak-anak orang Islam yang tidak mampu.
Masalahnya adalah seperti dikatakan oleh Pdt. L.: Dalam Kristen (Protestan) ada kewajiban melakukan pelayanan kebajikan (Diakone) ke dalam dan ke luar. Ke dalam dilakukan kepada anggota jamaah, sedangkan ke luar berupa pelayanan terhadap semua manusia dalam semua aspek kehidupannya, misalnya pelayanan kesehatan, membangun MCK sesuai kebutuhan masyarakat, dan lainnya. Ajaran ini yang tidak dipahami oleh orang lain.
Persepsi dan jawaban atas
persepsi menunjukkan adanya perbedaan
pemahaman antarpihak. Pihak Kristen memandang apa yang dilakukannya selama ini sebagai bagian dari kewajiban agama, namun dari pihak muslim setiap gerakan pelayanan Kristen kepada masyarakat dianggap sebagai proses kristenisasi. Sebenarnya persepsi negatif muslim atas kegiatan pelayanan ((diakone) Kristen ini menurut Pdt. L. merupakan sisa-sisa persepsi terhadap kegiatan yang dilakukan Belanda yang masih terus bertahan sampai sekarang. Walaupun begitu, terlepas dari itu, memang untuk menghilangkan atau meminimalisir kesalahpahaman ini perlu sebuah dialog pada tingkat bawah. Di sisi lain dari pihak Kristen muncul persepsi bahwa baik pada level akar rumput muslim maupun kiai masih belum terbuka dengan pihak Kristen. Pdt L. menyatakan: Pada akar rumput (muslim) masih tertutup…sampai saat ini pondok pesantren dan kiai di Pasuruan ini masih belum bersifat terbuka, mereka masih tertutup, baik ketika di forum-forum resmi maupun nonformal..Di tingkat elite, di Jakarta sangat baik
150
ketika di forum-forum, tapi dalam kenyataan di bawah sebaliknya, belum terbina komunikasi antara muslim, pondok pesantren dan Kristen terutama nonformal, sehingga terjadi pembakaran… (Kami) meskipun minoritas tapi punya hak-hak azasi, jangan dilihat jumlahnya tapi substansinya…
Dari pernyataan tersebut menunjukkan dua hal yaitu: (a) sebelum terjadinya konflik fokus, dan bahkan sampai pascakonflik, komunikasi tidak berjalan dengan baik antarmuslim dan Kristen karena dianggap belum ada keterbukaan dari pihak muslim. (b) Ini menjadi salah satu faktor pemicu konflik dalam bentuk pembakaran gereja. Artinya, potensi konflik dalam bentuk persepsi sosial negatif, yang berujung pada tingginya religiosentrisme, ini menjadi aktual dan menemukan
peluangnya
ketika terjadi kerusuhan massal pada kasus Mei 2001 tersebut. 2. Penyebaran agama dan sisa konflik Persepsi sosial dari kedua komunitas agama didasarkan atas pengalaman di lapangan atau sesuai dengan kenyataan, bukan sekedar
sesuatu yang dibangun atas
pikiran subyektif. Mirip dengan yang terjadi di Solo sumber potensi konflik yang berasal dari umat Kristiani lebih banyak karena penyiaran agama, sedangkan
yang
berasal dari umat Islam lebih banyak dari pandangan dan interaksinya dengan umat Kristiani. Pada tahun 1992 terjadi konflik antara umat Islam dengan Kristen
yang
berakibat pada pembakaran gereja di Rejoso. Peristiwa ini bermula dari kegiatan yang dilakukan sebuah yayasan Kristen, Lion, dari Malang dalam bentuk rekruitmen anak-anak muslim tidak mampu, Anak-anak usia SD sampai SMA berjumlah sekitar 340 orang disantuni dan memperoleh bimbingan belajar di gereja, orang tua mereka juga disantuni kebutuhan sehari-harinya. Selain itu yayasan tersebut juga menyebar buletin yang isinya oleh umat Islam dianggap menghina Al-Qur’an (umat Islam). Ketika itu NU dan Muhammadiyah, seperti dituturkan Dj., membentuk sebuah forum yang ketuanya dari pihak NU dan sekretarisnya dari Muhammadiyah. Forum sempat melakukan pertemuan sampai lima kali dengan melibatkan tokoh-tokoh Islam. Hasil pertemuan di antaranya: (a) Berusaha menarik kembali anak-anak muslim dari keluarga miskin tersebut agar tidak terjadi pemurtadan. (b) Mengumpulkan dana dari kalangan muslim melalui berbagai jalur seperti jum’atan, dan pengajian. Sayangnya forum tersebut kemudian berhenti di tengah jalan karena munculnya saling curiga di antara anggota forum yang berbeda paham agama tersebut, khususnya mengenai
151
tujuan ke depan dari forum tersebut, di satu pihak mencurigai bahwa forum tersebut didirikan hanya untuk kepentingannya, sementara pihak lain menganggap yang lainnya sebagai kelompok yang tidak punya perhatian terhadap Kristenisasi. Di tengah-tengah proses tersebut terjadi pembakaran gereja oleh kelompok dari umat Islam. Alasan yang mengemuka dibangun
di tengah-tengah
atas pembakaran tersebut karena gereja
pemukiman muslim
dan jamaahnya bukan dari
masyarakat setempat, tapi dari tempat lain, bahkan ada yang dari daerah Probolinggo. Penyelesaian atas konflik tersebut tidak pernah tuntas dan tidak dituntaskan oleh kedua belah pihak, sehingga masih terus menjadi benih-benih yang setiap waktu menjadi aktual, walaupun dalam rentang waktun yang lama. Setidak-tidaknya memberikan persepsi negatif dari kedua belah pihak yang terus melekat dan tersosialisasi serta terinternalisasi di antara anggota tiap kelompok. Hal ini kemudian semakin memperkuat identitas masing-masing yang melahirkan saling curiga. 3. Persaingan Bidang Pendidikan Persaingan di bidang pendidikan
formal telah melahirkan perasaan adanya
ancaman antar kelompok muslim dan Kristen, persaingan ini sudah berlangsung lama, terutama antara Muhammadiyah dan Kristen. Bagi orang Muhammadiyah ancaman pendidikan Kristen ini terutama pada umat Islam tingkat
menengah ke atas
sebagaimana dituturkan oleh Dj: Banyak sekali orang tua muslim tingkat menengah ke atas menyekolahkan anakanaknya di sekolah-sekolah Kristen (Katolik maupun Protestan). Para orang tua muslim tersebut turun dari masjid sambil lalu membawa sajadah menjemput anak-anaknya di sekolah-sekolah Kristen karena sekolah-sekolah tersebut dianggap bermutu.
Sebagai kelompok yang sama-sama minoritas, Muhammadiyah dan Kristen nampaknya sama-sama mengaktualisasikan perannya melalui jalur pendidikan. Sebab jalur ini dianggap lebih aman dan sekaligus menjadi kebutuhan masyarakat yang mayoritas muslim-NU, selain untuk kebutuhan internal anggotanya. Dari data yang ada umat Kristen mendirikan lembaga pendidikan mulai dari tingkat TK sampai SMA, begitu juga Muhammadiyah. Keduanya sama-sama memiliki sekolah favorit yang berkualitas. Sebagian besar siswa sekolah Kristen adalah muslim-NU, demikian juga banyak siswa sekolah Muhammadiyah berlatar belakang muslim-NU. 4. Kesenjangan Sosial-Ekonomi Jika ditilik
dari komentar beberapa informan sangat mungkin massa yang
membakar dan merusak gereja sebagian dari orang-orang lor rel, selain yang berasal
152
dari tempat lain seperti Rejoso, dan dari wilayah ‘atas’ seperti Pesuk. Khusus mereka yang berasal dari lor-rel sangat besar bermotif ekonomi yang bercampur dengan sentimen keagamaan. Pandangan ini sangat wajar
karena sebagaimana diurai
sebelumnya bahwa tingkat ekonomi lor-rel kebanyakan termasuk tingkat bawah, selain memiliki tempermen tinggi dan mudah emosional apalagi jika berkaitan dengan persoalan agama. Faktor kesenjangan ini sudah lama berlangsung, sebab di tengahtengah masyarakat muslim Jawa-Madura tersebut hidup juga orang-orang Kristen Cina dan lainnya yang kebanyakan mapan secara ekonomi. Jamaah gereja banyak yang beretnis Cina yang tinggal di daerah sekitar lor-rel. Kebetulan lokasi gereja, baik Anthonius maupun GPIB hanya berjarak puluhan meter dari pemukiman penduduk lor-rel. Beberapa kejadian perusakan dan seringnya pelemparan kaca gereja Anthonius sebelum terjadinya peristiwa Mei 2001 juga memperlihatkan faktor ekonomi ini. Misalnya ketika terjadi kampanye PPP tahun 1992, sebelum ada partai Islam dan berbasis massa Islam seperti sejak tahun 1999, perusakan terjadi karena ada massa yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya oleh orang-orang yang ada di gereja tersebut. Potensi Konflik PascaKonflik: Ke depan konflik yang sudah terjadi dapat saja terjadi kembali karena ternyata benih-benih konflik pasca peristiwa Mei 2001 tetap ada. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi, baik dari pihak muslim maupun Kristiani. 1. Pascakonflik 2001 masih sering
ditemukan bondet (mercon untuk menangkap
ikan) di lingkungan GPIB oleh orang yang tak dikenal, terakhir kali bondet itu ditemukan satu setengah tahunan yang lalu. Model ancaman dalam bentuk bondet ini sering muncul di Pasuruan ketika ada pihak yang merasa dirugikan atau kurang senang terhadap keberadaan pihak lain, seperti yang ditemukan di tempat yang sama ketika peristiwa Mei 2001, dan juga yang ditemukan di beberapa rumah warga Muhammadiyah. Begitu juga pelemparan
terhadap gereja Anthonius
(Katolik). 2. Walaupun Gus Dur dan petinggi NU saat itu, sudah menemui para pemuka agama Kristen untuk melakukan persuasi dan bantuan, tetapi hal itu tidak mengubah pandangan pihak Kristen terhadap muslim, bahkan pascakonflik tersebut pandangan mereka cenderung lebih ‘peka’. Begitu juga dari pihak muslim, dengan kata lain masih ada persepsi negatif timbal-balik antar kedua belah pihak.
153
Pondok di Pasuruan ini selalu menghubungkan agama dan adat, tapi sampai saat ini pondok belum bersifat terbuka…Mereka (kiai) tertutup karena Kristen dianggap minoritas di sini…Kenapa soal politik dibawa-bawa sampai ke agama, kasus politik (semestinya) dipisahkan tapi dalam Islam tidak. Hal ini aneh jika dilihat dari ajaran Kristen. Hal ini (juga terjadi) karena hubungan Islam dan Kristen di atas baik tapi di bawah, di lapangan saling mencurigai… (Selain itu) di kalangan umat Islam telah terjadi kesalahpahaman tentang kebaktian keluarga/rumah dari pihak kami (GPIB), sebab sebenarnya acara tersebut lebih bertujuan untuk silaturrahmi kalau dalam Islam, tolong beritahukan dan dialogkan hal ini kepada kiai-kiai! Gus Dur memang dikenal dekat dengan Kristen, tapi itu kelihatannya tidak berpengaruh di Pasuruan. Hubungan tokoh lokal NU dengan Kristen selama ini tidak terbangun.
Pada intinya pernyataan-pernyataan tersebut selain ada
memberikan bukti bahwa
persepsi yang kurang baik dari pihak Kristen terhadap elite lokal
muslim di Pasuruan membuktikan bahwa setelah terjadinya konflik Mei 2001 interaksi antarumat/elite agama lokal tetap tidak terjalin dengan baik. Padahal salah satu syarat munculnya kerukunan adalah tiadanya persepsi negatif dan terjadinya interaksi yang baik, terutama dalam bentuk dialog ide maupun
praktis dan
keterbukaan. Dari hasil angket juga menunjukkan bahwa tingkat religiosentrisme umat Islam terhadap Kristen cukup besar (40%), sementara dari umat Kristiani terhadap muslim mencapai 30%. Ini berarti religiosentrisme umat Islam dan Kristen kebanyakan negatif. Keadaan yang sama terdapat pada persepsi dan jarak sosial di antara kedua kelompok umat beragama, terutama dari umat Islam terhadap umat Kristiani. Dari pihak Kristen, sebagaimana dikemukakan Pdt L. menekankan bahwa kerukunan akan berkembang jika berkembang kesadaran akan makna pluralisme dan humanisme. Dialog juga penting agar kalimat suci agama tidak berfungsi atau difungsikan sebagai alat perusak. Sebaliknya pihak muslim menyoroti kegiatan misi Kristen terutama Protestan yang sering masuk rumah-rumah orang Islam dengan alasan menjual buku, tapi tujuan pokoknya penyebaran agama karena buku yang dijual ternyata tentang ajaran Kristen. Dilihat dari issu-issu potensi konflik antara sebelum dan sesudah konflik fokus terlihat adanya kemiripan yaitu: (a) Berasal dari persepsi dan prasangka sosial di antara kedua belah pihak, (b) Penyebaran agama yang dianggap tidak
154
proporsional, (c) Tidak adanya keterbukaan, dalam arti sikap menerima terhadap agama lain.
C. Karakteristik Konflik 1. Sumber dan Penyebab Konflik antara umat Islam dengan Kristen di Pasuruan merupakan imbas dari persaingan politik elite, atau lebih tepat bersamaan waktunya dengan peristiwa ‘Mei Kelabu’ yang melibatkan kelompok pendukung Presiden Abdurrahman Wahid dan pendukung poros tengah yang dimotori oleh Ketua MPR, Amien Rais. Jika demikian apa yang menjadi sumber awal munculnya konflik antara Islam dan Kristen tersebut. Sebab ketika melihat peristiwa tersebut orang selalu memfokuskan konfliknya pada sosok pendukung Gus Dur dan Amien Rais, orang kemudian tidak mencermati pada sosok yang lain, misalnya sosok Megawati dengan PDI-Pnya. Kita harus memahami bahwa PDI-P merupakan bagian dari konflik yang berkembang, baik pada tingkat nasional maupun di Pasuruan sendiri. Sebab ketika proses pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan, Megawati dan PDI-P bersatu dengan poros tengah. Pada tingkat lokal di Pasuruan konflik elit Gus Dur dan Megawati ini dimanifestasikan dalam perusakan kantor PDI-P yang dilakukan pendukung Gus Dur yang secara politik merupakan simbol penting dari PKB dan secara keagamaan simbol dari kelompok NU. Jika menengok sejarah kepartaian, konflik
NU dan parta nasionalis sekuler
sudah berlangsung lama di daerah ini. Hefner (1999) menegaskan bahwa Pasuruan sejak awal merupakan replika pertarungan antara dua partai tersebut. Basis massa (partai) NU ada di bagian utara (bawah), sedangkan partai nasionalis sekuler di selatan (atas). Misalnya pada Pemilu tahun 1955, partai NU memperoleh mayoritas relatif (61%), sedangkan PNI plus PKI sebesar 30,8%. Ketika masa Orde Baru, peta kepartaian tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti, sebab PPP terus memenangkan setiap Pemilu, kecuali tahun 1982 yang dimenangkan Golkar. Pada Pemilu 1999 di Kota Pasuruan, seperti termuat dalam Kota Pasuruan dalam Angka 2000,
PKB memperoleh 11 kursi (36,67% dari suara pemilih) di DPRD Kota,
sedangkan PDI-P dan Golkar masing-masing 7 (23,33%) dan 4 kursi (13,33%), selebihnya diperoleh Fraksi Pembaharu (3 kursi=10%), Fraksi TNI (3 kursi=10%), dan Nonfraksi (2 kursi=6,67%). Sementara pada Pemilu 2003, sebagaimana tertuang dalam Kota Pasuruan dalam Angka 2004, PKB memperoleh 14 kursi (60% dari suara
155
pemilih) dan Fraksi Gotong Royong, yang di dalamnya ada PDI-P, Golkar, dan lainnya, memperoleh 11 kursi (40%). Perolehan suara PKB ini hampir sama dengan yang diperoleh Partai NU pada Pemilu 1955. Jika pendukung partai NU /PKB didukung oleh orang-orang NU atau santritradisonalis, maka PNI/PDI-P didukung oleh orang-orang wilayah atas, orang-orang Kristen dikemukakan oleh
juga
mendukung
abangan yang ada di PDI-P, sebagaimana
pimpinan Kristen, Suj., ‘walaupun melalui Surat
Gembala
Konferensi Wali Gereja Indonesia mengemukakan bahwa umat Katolik agar memilih sesuai dengan hati nurani, tetapi kebanyakan jamaahnya memberikan suaranya kepada PDI-P.’ Bahkan lebih tegas lagi beliau menyatakan, ‘mereka membakar dan merusak gereja karena kebanyakan jamaahnya masuk PDI-P yang ketika itu musuh PKB atau Gus Dur.’ Itulah mengapa kemudian muncul pertanyaan dari pihak pimpinan Protestan, ‘mengapa persoalan politik dicampurbaurkan dengan persoalan agama, dan agama dijadikan alat politik.’ Kepentingan dan pertikaian politik tersebut
berpadu dengan persoalan-
persoalan lain yang sudah lama menjadi potensi konflik di antara muslim-NU tingkat bawah dengan Kristen yang secara ras-suku dan tingkat ekonomi berbeda. Dengan demikian pada akhirnya ada dua kelompok yang saling berhadapan atau setidaknya salah satu pihak merasa berhadapan dengan pihak yang lain yaitu antara muslim NU yang terdiri dari Madura-Jawa yang kurang beruntung secara sosial-ekonmomi vis-àvis Kristen yang Cina atau yang mapan secara sosial-ekonomi. Jika ditengok ke belakang kelas sosial-ekonomi keagamaan ini sudah berlangsung lama sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Konflik kemudian terus terjadi karena tiadanya penyelesaian yang komprehensif dan tuntas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber konflik fokus tersebut karena masih adanya potensi-potensi konflik sebagaimana dikemukakan di bagian sebelumnya terutama terkait dengan penyebaran agama dan sisa konflik sebelumnya, kesenjangan sosial-ekonomi, dan pandangan negatif timbal-balik antara kedua belah pihak. Sumber dan faktor tersebut berpadu, artinya potensi-potensi yang sudah ada ditambah dengan persoalan politik, dan berbagai kepentingan yang lain, maka benihbenih yang ada menjadi api yang membara.
2. Proses, Dampak Konflik, dan Subyek Berkonflik
156
Secara umum peristiwa Mei 2001
dipahami orang sebagai peristiwa yang
bernuansa politik dan jika dilihat pada hubungan umat beragama lebih bersifat konflik internal umat Islam, NU vis-à-vis Muhammadiyah. Walaupun demikian karena dalam peristiwa tersebut juga terjadi pembakaran gereja, kita harus memikirkan juga bahwa hal itu terkait dengan konflik antarumat beragama. Pandangan logis untuk itu sudah diurai dalam bagian sebelumnya, terutama dengan melihat potensi prakonflik dilihat dari beberapa data pendukung. Untuk itu lebih mamahami bagaimana konflik itu terjadi dapat digambarkan sebagai berikut, khususnya yang berkaitan dengan sisi lain peristiwa Mei 2001. 1) Sejak awal Mei 2001 masyarakat Kota Pasuruan dan sekitarnya telah dilanda demam konflik. Mereka sudah terpolarisasi ke dalam dua kutub utama yaitu pendukung Gus Dur, Presiden ketika itu, dan kelompok yang dianggap sebagai pendukung lawan-lawan politik Gus Dur akibat upaya pelengserannya dari kursi kepresidenan.
Mereka ini adalah pendukung Amien Rais
direpresentasikan
kepada
orang/lembaga
yang kemudian
Muhammadiyah,
PAN
dan
simpatisannya, juga orang PDI-P dan Golkar. Memasuki tanggal 25 Mei polarisasi itu semakin mengkristal yang ditandai dengan gerakan pemasangan spanduk dan massa. Gerakan massa mencapai puncak emosionalnya pada tanggal 29 Mei, karena saat itu mereka mulai merusak berbagai fasilitas dan asset yang dimiliki Muhammadiyah, PDI-P, dan Golkar. Di kalangan orang-orang Kristen sudah mendengar akan terjadinya kerusuhan massal, namun mereka tidak menyangka akan menimpa juga gerejageraja
yang mereka miliki. Waktu perusakan dan pembakaran gereja hampir
bersamaan dengan perusakan fasilitas milik Muhammadiyah dan lainnya yaitu sekitar pukul 10.00 pagi. Bedanya fasilitas Muhammadiyah dan yang lain hanya dirusak, sedangkan gereja lebih parah lagi yaitu dirusak dan dibakar (GPIB), dan dirusak saja seperti pada Gereja Antonius. Di GPIB pada jam-jam di hari tersebut
‘kebetulan’ tidak ada orang,
pendeta masih di Surabaya, dan para kaster tidak masuk kerja. Mungkin sekali mencegah keamanan diri, sebab ketika itu banyak juga fasilitas umum yang terpaksa tutup seperti toko Cina,
apotik, dan poliklinik. Juga belajar dari
pengalaman sebelumnya. Setiap ada kerumunan dan kerusuhan massal, gereja sering dijadikan sasaran perusakan. Misalnya yang menimpa Gereja Antonius
157
ketika kampanye PPP pada Pemilu 1992, juga sebuah gereja di Bangil pada saat kampanye PPP tahun 1997, selain juga toko-toko Cina dan beberapa bank tidak luput dari sasaran amuk massa (Suara Independen, 7/III, Mei 1997).
Fakta ini
menunjukkan bahwa ketika terjadi kerusuhan massal sering memfokuskan targetnya pada simbol
keagamaan dan kemapanan ekonomi. Ini merupakan
indikasi adanya potensi konflik yang berlatar belakang SARA, khususnya dari segi agama dan suku. 2) Puluhan pemuda berhasil masuk ke dalam GPIB, peninggalan Belanda yang megah dan besar ini serta berdiri November 1829, dengan melompat pagar dan sebagian menaiki tangga. Mereka kemudian masuk
gereja melalui jendela,
menumpuk kursi dan membakarnya. Pembakaran ini berlangsung sampai pukul 14.00, sehingga meludeskan kayu jati besar, besi dan atap gereja, juga puluhan buku
yang berusia ratusan tahun dan sangat bernilai bagi gereja. Pamadam
kebakaran yang mau mendekat gereja ditahan oleh massa, sekitar pukul 14.00 massa membubarkan diri dan jamaah gereja yang sebelumnya berbaur dengan massa dan penonton mulai berani memasukinya untuk melihat keadaan. Yang menarik adalah di tengah pembakaran tersebut ada pekikan kalimah suci ‘Allahu Akbar’ bercampur dengan
teriakan
yang mengindikasikan
kebencian terhadap yang berbau Kristen. Misalnya ada pernyataan dalam logat Jawa-timuran, ‘saiki gerejane sing diobong sesok wonge.’ Bahkan ketika Gus Dur dan petinggi NU datang ke gereja tersebut untuk persuasi dan memberi bantuan beberapa hari setelah peristiwa, massa yang ada di luar gereja meneriaki Gus Dur agar cepat pergi dari sana, ‘wis Gus dang cepet metu soko kono.’ Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan dua hal. Pertama, menunjukkan adanya sentimen keagamaan yang sangat kuat khususnya kepada Kristen. Kedua, memberikan bukti bahwa peristiwa itu bukan bersifat spontanitas massa akibat kejadian pokok atau kerena massa terdesak oleh aparat keamanan yang menyebabkan mereka masuk gereja. Sementara di gereja Katolik, Antonius, terbatas pada perusakan kaca, selain beberapa peralatan dan usaha perampasan barang miliki pengurus gereja. Adanya dua gereja yang saling berdekatan (kurang lebih 30 meter) tapi memperoleh perlakuan berbeda oleh massa saat itu, menurut Pdt. L. karena GPIB merupakan gedung peninggalan Belanda dan terbesar di Pasuruan. Alasan seperti ini harus
158
dirunut ke belakang dalam kaitannya dengan hubungan orang keturunan Madura dengan Belanda. Menurut Hefner (1999: 13) dan Lombard (1996: 36-37) orangorang Madura datang ke Pasuruan
terjadi sejak tahun 1730 karena Belanda
membutuhkan pekerja untuk membuka perkebunan. Mereka melintasi Selat Madura untuk bekerja sekaligus membawa budayanya. Pada akhirnya mereka selain sebagian besar mendiami di daerah pantai atau lor-rel sekarang, juga daerah atas. Dengan demikian hubungan Belanda dan orang-orang Madura di Pasuruan ketika itu adalah hubungan antarkelas
sosial-ekonomi-politik, dan agama yang
berbeda. Kesadaran identitas kelas dan agama ini nampaknya terus berlangsung dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Saat ini kemudian gedung GPIB dianggap bagian dari simbol kemapanan secara sosial-ekonomi dan agama yang masih tersisa. 3)
Setelah kejadian tersebut pada pimpinan umat
beragama Kristen, Protestan
maupun Katolik, melakukan pertemuan dengan MUI, Departemen Agama, dan kiai. Tujuannnya saling tukar informasi dan mengevaluasi mengenai peristiwa tersebut. Baru beberapa hari kemudian, sebagaimana dikemukakan di atas, Gus Dur dan petinggi NU menemui pimpinan umat Kristen sebagai langkah persuasi dan memberi bantuan. Dalam hal ini pimpinan gereja Katolik menolak dengan alasan kerusakannya tidak terlalu parah dan menyarankan untuk diberikan kepada pimpinan GPIB. 4) Dalam peristiwa ini memang tidak ada korban jiwa, namun terbatas pada kerugian fisik yaitu terbakarnya dan rusaknya dua gereja. Walaupun demikian yang paling memprihatinkan adalah dampak secara psikologis dan sosial-keagamaan, sebab dengan peristiwa itu menjadi (lebih) memperlebar jarak sosial antara pihak Islam dan Kristen. Hal ini dirasakan oleh pihak Kristen sebagaimana dikemukakan Pdt. L. bahwa ia tidak melihat adanya toleransi pada tingkat bawah, dan tentu sangat mengganggu proses kerukunan antarumat beragama. D. Upaya Pengendalian Potensi Konflik Upaya-upaya pengendalian masih terbatas melalui pendekatan struktur yaitu upaya pengendalian yang dilakukan oleh pihak lembaga pemerintah dan aparat keamanan. Berbagai upaya tersebut adalah: (1) Sosialisasi dan institusionalisasi
159
tentang kerukunan umat bergaama, (2)
Sosialisasi wawasan kebangsaan
dan
ketahanan nasional, dan (3) Antisipasi atau deteksi dini melalui kegiatan intelegen Sosialisasi program pemerintah di bidang keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan hubungan
intern dan antarumat beragama. Di Pasuruan
ada
beberapa kegiatan yang berkaitan dengan hal ini yaitu: (1) pembinaan dan pemanfaatan dai/mubaligh. (2) Pembinaan kader dan dialog dari kalangan agamawan muda intern dan antarumat beragama. (3) Kegiatan yang dilakukan Forum Komunikasi AntarUmat Beragama (FKAUB), dan Penyuluh Agama Honorer (PAH). Upaya sosialisasi kerukunan antarumat beragama
di antaranya dengan
memanfaatkan da’i/mubaligh yang ada. Kegiatan ini tertuang dalam Surat Gubernur Jawa Timur No. 451/4107/032/2005 tanggal 22 Nopember 2005 tentang Pembinaaan Dai/Mubaligh se-Jawa Timur kepada bupati dan walikota. Kegiatan tersebut sekaligus sebagai upaya tindak lanjut dari Pembinaan da’i/mubaligh
yang diselenggarakan
Kanwil Depag Jatim tanggal 5-7 September 2005 di Pandaan Pasuruan. Pesertanya terdiri dari
kalangan da’i muda
dari organisasi
sosial keagamaan seperti NU,
Muhammadiyah, ta’mir masjid, dan majelis taklim atau pengajian. Sayangnya dalam hal ini tidak ada tindak lanjut di lapangan. Hal ini menurut informan saya, HI, karena kurangnya perhatian dari pimpinan di Kota Pasuruan. Sosialisasi permasalahan kerukunan umat beragama juga dilakukan melalui kegiatan dialog agamawan muda sekaligus upaya institusionalisasi alumni dialog tersebut. Kegiatan ini diprakarsai dan difasilitasi oleh Timur.
Pemerintah Propinsi Jawa
Pesertanya meliputi tokoh atau pemimpin agama, organisasi keagamaan,
cendikiawan, mahasiswa, pelajar, guru agama, perempuan LSM agama, baik dari kalangan Islam, Kristen-Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Sasaran dari kegiatan ini adalah untuk membangun komunikasi dan interaksi antaragamawan muda dari berbagai
agama, sekaligus mencairkan
sikap ekslusifisme dan permusuhan,
menumbuhkembangkan solidaritas dan persaudaraan antaragamawan muda lintas agama, sekaligus mencari bentuk kerja sama dalam rangka mterciptanya suasana kerukunan. Dilihat dari sasaran tersebut semestinya wadah ini sampai pada level bentuk aksi, namun hal itu tidak berjalan dengan baik, jika tidak dapat dikatakan gagal.
160
Upaya yang mengarah kepada pengendalian potensi konflik juga dilakukan dilakukan oleh Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUAB). Pembentukan FKUAB ini di pasuruan didasarkan atas Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 451/1178/031/2000 tanggal 10 Februari 2000 tentang Anjuran Pembentukan Forum Komunikasi Antar Umat Beragama di Daerah.
Pimpinan dalam FKUAB Kota
Pasuruan terdiri dari wakil dari wadah musyawarah umat beragama seperti MUI (KH. Fayumi) dan Kristen (Pendeta La) Sejak tahun 2006 ini secara nasional bernama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Perubahan diberlakukannya Peraturan Bersama
ini berlaku sejak
Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Th
2006/Nomor 8 Tahun 2006, 21 Maret 2006 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Tempat Ibadah.’ Di Kota Pasuruan FKUB berdasarkan PB Menag dan Mendagri tahun 2006 tersebut belum terbentuk. Dalam kaitan ini beberapa pihak mengakui bahwa forum ini pada masa lalu tidak berperan secara efentif dalam pengendalian potensi konflik. Forum ini lebih banyak dikenal sebagai wadah ketika penyelesaian konflik antarumat beragama, itupun sifatnya sangat sementara. Karena itu ada kritik membangun dari informan dari masyarakat seperti dikemukakan HI dan Mm: Dalam mengisi FKUB tahun 2006 harus ada keberanian dari tokoh-tokoh lama untuk melakukan (hal-hal) yang berarti dibandingkan sebelumnya. Karena selama ini Forum ini hanya cenderung menunda konflik karena akar masalahnya tidak pernah tersentuh seperti upaya penanaman sikap toleransi, kemauan saling memahami lintas agama terutama dari kalangan muda, tidak ada kegiatan kongkrit di lapangan seperti kegiatan bersama mengurangi kemiskinan atau bencana, bukan hanya doa bersama dan berbicara dari forum ke forum. Selama ini usaha memerangi kemiskinan banyak dilakukan oleh orang Kristen yang kemudian melahirkan kecurigaan dari kalangan muslim…. Akibatnya Forum yang ada sangat bersifat elitis dan tidak menyentuh masyarakat kebanyakan.
Untuk ini memang perlu penerjamahan secara lebih rinci pada level praksis, sehingga
forum ini memiliki peran dalam pengendalian
potensi konflik. Lebih
penting dari itu adalah bagaimana mengimplimentasikannya
di lapangan dan
mengefektifkan perannya serta menumbuhkembangkan representasi keanggotaan internal forum sesuai dengan perkembangan yang ada. Misalnya perlu pelibatan generasi muda.
161
Selain forum ini masih ada wadah yang ikut berperan melakukan sosialisasi yaitu Penyuluh Agama Honorer (PAH). Lembaga ini memiliki peran mediator dari kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Hanya saja belum dioptimalkan dalam upaya pengendalian potensi konflik antarumat beragama. Padahal sebenarnya ia potensial untuk dijadikan sebagai struktur mediasi dalam alih nilai dan kebijakan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Hal ini karena di dalamnya terdiri dari tokoh agama
yang dapat dijadikan panutan masyarakat Islam. Di Pasuruan
wadah ini ada sekitar 127 orang yang tersebar di 3 kecamatan yang ada Sosialisasi wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dan hak-ahak azasi manusia. Kegiatan ini dilakukan oleh Badan Keselamatan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Kota Pasuruan. Tujuan pokok dari kegiatan ini sama dengan yang ada lembaga yang sama di Indonesia seperti di tasikmalaya dan lainnya yaitu menanamkan nilai-nilai kebangsaaan, pluralitas dan berbagai isu nasional seperti tentang hak azasi manusia (HAM), demokratisasi, serta hal yang terkait dengan hubungan antarkelompok dalam masyarakat (SARA). Melalui kegiatan ini diharapkan kelompok-kelompok dan kader memahami dan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang makna penting nilai-nilai kebangsaan, sehingga stabilitas dalam masyarakat dapat dipertahankan. Secara lebih rinci kegiatan Wawasan Kebangsaan penanaman pemahaman tentang pentingnya
bertujuan untuk
persatuan, kesatuan, dan patriotisme,
sehingga tercipta Pasuruan yang dinamis dan kondusif. Pesertanya pimpinan parpol, osmas dan LSM sebanyak 100 orang dan diadakan sekali dalam setahun. Kegiatan Ketahanan Nasional atau Bangsa
melibatkan santri dari pondok pesantren yang ada
Kota Pasuruan, setiap angkatan sebanyak 50 orang. Dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan pihak Departemen Agama. Adapun kegiatan Peningkatan HAM dan demokratisasi pesertanya lintas agama yaitu dari ormas-ormas keagamaan, tokoh masyarakat, kiai dan ustad,
pelajar SMA, dan pejabat eselon tiga. Kegiatan ini
dilakukan setahun sekali dan setiap angkatan berkisar 75 orang. Dari ketiga kegiatan tersebut seperti dikemukakan Pak Bb, tidak ada lanjut baik dalam bentuk dialog ide maupun kegiatan bersama. Pernah sekali aksi bersama yaitu memberikan sumbangan bencana ke Yogya. Selain kegiatan rutin (ketiga kegiatan tersebut) yang karenanya kegiatannya dipertanggungjawabkan
memiliki dana dan
kepada DPRD, ada juga kegiatan
162
nonrutin seperti koordinasi
dengan aparat keamanan dan memfasilitasi
wakil
pengunjuk rasa ke DPRD dan juga menyalurkan tuntutan pengunjuk rasa ke Presiden dan pihak lain seperti walikota. Kegiatan non rutin ini sebenarnya masuk dalam ketegori kegiatan penyelesaian konflik. Deteksi dini kemungkinan terjadinya konflik suku, agama, ras, dan antrgolongan (SARA). Kegiatan ini dilakukan Forum Komunikasi Koordinasi dan Informasi Daerah (Forkorinda)) yang diketuai oleh Sekda dan ketua hariannya dari kepala Kesbang, sedangkan anggotanya meliputi Kasi Kodim, Unit Intel Kodim, Kasi Intel Kejaksaan, Kasat Intelpam Polres, Kasi Intel Btigib AD dan AU, Kesbanglinmas, dan BIN daerah. Tugas pokok dari lembaga ini adalah memantau dan mengantisipasi berbagai isu dan benih-benih konflik SARA dalam masyarakat. Melalui kegiatannya akan diketahui akan terjadinya
sebuah peristiwa yang berkaitan dengan hubungan
antarkelompok, khususnya antarumat beragama. E. Upaya Penyelesaian Konflik Sebagaimana dijelaskan dalam laporan tahun pertama, di daerah ini terjadi banyak konflik kasus antarumat beragama yaitu antara umat Islam dan Kristiani. Satu di antaranya adalah konflik fokus yang terjadi sekitar pada 28-30 Mei 2001 ketika terjadi kerusuhan menjelang dilengserkannya Gur Dur dari kursi kepresidenan. Selain itu pasca 2001 tersebut masih ada konflik menjelang pendirian gereja di Rumah Tahanan (Rutan) Pasuruan pada Agustus 2005. Dari berbagai konflik yang ada, upaya penyelesaian konflik sepenuhnya dilakukan oleh
aparat dari lembaga pemerintah (pendekatan struktur), baik sebagai
penengah (mediator) dan fasilitator Lembaga
maupun sebagai pemrakarsa dan pemimpin.
tersebut terutama adalah Kesbanglinmas dan Departemen Agama.,
termasuk kepolisian. Sementara dari pihak FKUAB dan pimpinan keagamaan dan unsur-unsur yang terlibat diundang oleh lembaga pemerintah, dan hal ini disesuaikan dengan peristiwanya. Misalnya dalam kasus konflik Mei 2001. Pada saat itu pimpinan umat beragama Kristen, Protestan maupun Katolik, melakukan pertemuan dengan MUI, Departemen Agama, dan kiai. Tujuannnya saling tukar informasi
dan
mengevaluasi mengenai peristiwa tersebut.
163
Dominasi
aktor
dari
lembaga pemerintah dalam penyelesaian konflik
sebagaimana dikemukakan oleh informan saya, Bb, dan Mm, setidaknya karena dua hal yaitu: (1) pemerintah sendiri tidak mau disaingi oleh tokoh-tokoh panutan lokal dari kalangan masyarakat, dan (2) masih lemahnya inisiatif dan motivasi dari tokoh masyarakat. Hal ini terkait dengan adanya persepsi yang kuat bahwa penyelesaian konflik sepenuhnya menjadi kewajiban pemerintah, dan karenanya mereka hanya menunggu, dan kadangkala hanya menjadi penungguan karena pemerintah sendiri kurang memberikan peluang kepada mereka. Apalagi jika diingat bahwa antaraktor lokal dari masyarakat sendiri (antar kiai) terkesan ada persaingan terutama mereka yang ikut berperan atau diperankan dalam politik. Sebab biasanya kiai yang berperan dalam bidang politik praktis kharismanya menjadi menurun dan tidak menjadi lintaskelompok. Mengenai kepuasan tidaknya dari pihak-pihak yang terlibat tidak ada ukuran yang disepakati bersama. Ukuran kepuasan terhadap hasil penyelesaian bersifat subyektif dan cenderung kelompok mayoritas yang diuntungkan. Sebenarnya jika terjadi ketidakpuasan, setiap kelompok dapat mengajukan
ke pengadilan, namun
selama ini belum pernah terjadi atau proses hukum dari pihak yang yang tidak puas. Sebagaimana dikemukakan oleh Pdt. Lt, pihak Kristiani biasanya mengikuti apapun keputusan yang diambil dalam musyawarah atau pertemuan karena erasa pihaknya sebagai minoritas, tujuannya agar tidak terjadi permasalahan baru. Aspek hukum memang belum menjadi opasi penyelesaian konflik yang ada di Kota Pasuruan. Dalam kaitan ini memang ada dua pandangan yang saling bertolak belakang seperti dikemukakan oleh informan saya, Bb, dan HI: Hukum tidak perlu dulu dalam menyelesaikan konflik, yang penting justru penyelesaian di luar pengadilan untuk menghindari balas dendam dan pro-kontra antarpihak yang terlibat. Penyelesaian secara kekeluargaan dengan surat pernyataan yang diketahui Muspida lebih efektif, lalu disosialsiasikan kepada anggota yang terlibat. Lalu memantau realisasi dari surat pernyataan tadi... Mengenai bidang hukum dalam penyelesaian konflik antarumat beragama tidak pernah terjadi karena khawatir menimbulkan masalah baru dan kerawanan baru...Sebenarnya supaya jera hukum harus ditegakkan karena dengan tanpa hukuman menjadi tidak mendidik anggota masyarakat.
Persoalan penegakan hukum ini nampakanya dilematis, di satu sisi sangat penting ditegakkan untuk memberikan efek jera bagi anggota masyarakat, terutama
164
untuk tidak melakukan kerusuhan ketika berkonflik dengan pihak lain. Di sisi lain dikhawatirkan
menimbulkan rentetan
persoalan lanjutan dari kelompok yang
anggotanya kena hukuman, terutama jika kelompok itu termasuk mayoritas dalam masyarakat. F. Profil Budaya 1. Umum Pasuruan dikenal dengan jalur atau daerah tapal kuda yang membentang sampai Banyuangi. Karena itu daerah-daerah yang masuk Kota Pasuruan disebut dengan daerah pedhalungan yaitu suatu daerah yang secara kultural terjadi titik temu atau akulturasi antara budaya Madura dan Jawa, terutama di bagian pantai Pasuruan. Daerah ini didominasi oleh suku Madura, hal ini nampak dari logat bahasa Jawa masyarakat, selain bahasa Madura sendiri, yang umumnya khas Madura sebagai bahasa komunikasi harian. Meskipun tidak ada data resmi secara pasti, namun seorang informan
di
bagian P & K, Muh (42 tahun), memperkirakan jumlah keturunan orang madura mencapai 50-60% dari penduduk Pasuruan. Orang Madura datang ke Pasuruan sekitar tahun 1730 karena Pemerintah kolonial Belanda membutuhkan tenaga pekerja untuk membuka perkebunan di wilayah Pasuruan. Sebagaimana juga dikemukakan Hefner (1999:13) sampai akhir abad ke-19 separuh penduduk Pasuruan terdiri dari orang Madura. Para migran Madura tersebut kemudian membawa serta bahasa dan tradisi mereka dan mempengaruhi budaya masyarakat setempat. Ciri khas lain dari budaya pedhalungan adalah masyarakat Islamnya dikenal sebagai kelompok santri-tradisional dan pengaruh kiai sangat kuat, memiliki temperamen keras serta mudah tersinggung, terutama masyarakat di lor-rel sepanjang pantai. Ketundukan kepada kiai merupakan sebuah keharusan tanpa pamrih, sebuah budaya yang bersumber dari nilai-nilai agama. Hubungan kiai-santri atau pengikut menunjukkan adanya hubungan patron dan klien, di mana dominasi kiai menjadi sangat besar. Bahkan walaupun seorang muslim yang termasuk kategori abangan dalam arti tidak melaksanakan ajaran Islam secara utuh, namun jika orang mengejek kiai atau agama Islam termasuk simbol-simbol Islam mereka akan tersinggung. Kiai dianggap memiliki karomah dan kesaktian.
165
Dalam konteks hubungan kiai-santri-pengikut ini seorang budayawan Pasuruan, KK (45 tahun), mengemukakan secara skeptis dan kritis: Pada masa-masa yang akan datang tokoh agama, kiai itu harus dikendalikan pengikut, bukan kiai yang mengendalikan pengikutnya. Kiai harus mengikuti kemauan pengikut. Hal ini dapat dicapai kalau ada kesetaraan antara tokoh dengan pengikut, terutama dari segi pendidikan dan ideologi. Melalui peningkatan pendidikan maka pengikut akan mempunyai wawasan yang luas sehingga mereka kritis terhadap yang dilakukan kiai terutama dalam persoalan politik. Sekarang ini banyak kiai yang bermain di bidang politik mulai menghadapi resistensi dari masyarakat, sehingga mereka tidak menjadi panutan untuk semua masyarakat dan tidak bisa jadi penengah karena tidak netral lagi. Hal ini terlihat ketika dalam Pilkada yang baru lalu.
Sebenarnya budaya masyarakat Pasuruan bukan hanya terdiri dari budaya santri-Islam, tapi juga budaya priyayi-Mataraman, dan Cina. Informan saya, KK (45 tahun) mengemukakan secara panjang lebar tentang hal ini: ...Secara sederhana budaya yang berkembang di Pasuruan saat ini ada tiga subbudaya yaitu budaya santri, Mataraman, dan Cina...Budaya santri adalah budaya yang dimiliki orang Islam yang taat menjalankan syariat dan memiliki tata cara kelakuan yang didasarkan atas ajaran agama. Mereka ini sekarang adalah orang Jawa dan Madura atau keturunan Jawa-Madura, sedangkan pada masa lalu terdiri dari orang Jawa yang berpenduduk asli. Setelah jatuhnya Pasuruan ke tangan kekuasaan Mataram pada tahun 1617, maka budaya Mataram mulai mempangaruhi masyarakat Pasuruan. Budaya Mataram atau disebut budaya Jawa mengandung ajaran tentang pendidikan budi pekerti, dasar perilaku dalam pergaulan dan konsep manunggaling kawula gusti, dan pendidikan dasar anak. Budaya Cina yang ada di pasuruan sudah banyak mengalami perubahan akibat proses akulturasi budaya karena pengaruh budaya Belanda dan Jawa. Dalam tataran manifes budaya Cina berbaur dengan budaya-budaya yang ada di Pasuruan, tetapi pada tataran nilai budaya masih dipegang teguh oleh orang Cina seperti sembahyang, upacara kematian, perayaan hari besar besar Cina dan kesenian (barongsai). Bahkan dari segi pemukiman yang bernama pecinan.
Budaya Pasuruan saat ini merupakan proses morfologi selama ratusan tahun. Walaupun begitu ketiga subbudaya yang ada tidak mengkristal menuju pembentukan budaya baru yang seragam, namun budaya santri masih dominan. Memang ada akulturasi budaya terutama pada level lahiriyah atau struktur, tetapi bukan pada level nilai. Hal ini karena tiap subbudaya (santri, priyayi-Mataraman, dan Cina) mempunyai karakter eksklusif. Selain itu antara budaya santri dengan priyayi dan Cina sering terjadi konflik, terutama pada level nilai. Masyarakat asli Pasuruan memiliki budaya yahanno yang
166
berarti pura-pura, artifisial. Budaya yahanno merupakan bentuk perlawanan diamdiam terhadap dominasi budaya kaum pendatang. Secara lahiriah seolah tidak ada masalah, namun sebenarnya bermasalah, tidak menyukai terhadap budaya priyayi Mataraman dan Cina. Hal ini pada awalnya terpaksa dilakukan
karena adanya
dominasi secara politik baik dari Kerajaan Mataram maupun pemerintah kolonial Belanda. Pada pemerintah kolonial Belanda status pribumi berada di bawah status sosial Londo, peranakan, dan Cina. Pada perkembangan selanjutnya menjadi nilai budaya yang berada di bawah sadar masyarakat asli. Karena itu budaya yahanno ini oleh KK (45 tahun) dianggap sebagai api dalam sekam yang jika ada akselator tertentu dapat
meledak. Ia mencontohkan kasus
kerusuhan dan konflik antara masyarakat asli terhadap orang-orang Cina dan dengan penguasa yang dianggap representasi kaum priyayi di masa lalu sebagai bukti resistensi tersebut. Pada masa berikutnya
sampai saat ini budaya yahanno ini
terungkap dalam konflik kaum santri dengan Cina yang dianggap representasi dari kelompok non-muslim (Kristiani). Ini sekaligus menunjukkan, dalam bentuknya yang lain, terjadi pergeseran sasaran budaya yahanno dari Cina ke Kristen. Meskipun ada konflik antara kaum santri-asli terhadap priyayi-Mataraman, namun ada sifat inklusifisme dan egalitarianisme pada budaya santri. Hal ini yang menyebabkan, terpaksa atau tidak, kaum priyayi-penguasa tetap diterima dan bahkan diberi penghargaan. Gejala ini dapat ditarik
ke belakang yaitu sejak Kerajaan
Mataram memasukkan Pasuruan sebagai bagian wilayahnya. Tradisi pemasangan orang-orang Mataram di Pasuruan ini terus berlangsung seperti Untung Suropati sebagai Adipati Pasuruan (1686), Arya Adikara (1725) hingga R.M. Adipati Soegondo, dan secara substantif berlangsung sampai masa Orde Baru. Adapun bentuk penghargaan kaum santri terhadap priyayi-penguasa disimbolisasikan diperbolehkannya
melalui
mereka dimakamkan di belakang Masjid Agung Pasuruan, ini
merupakan penghargaan luar biasa karena yang boleh dimakamkan di masjid tersebut adalah orang yang berpangkat wali atau ulama’. 2. Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan orang Pasuruan berdasarkan prinsip keturunan bilateral yaitu sistem yang mengacu kepada garis keturunan laki-laki maupun perempuan. Hal ini tidak berbeda dengan sistem kekerabatan orang Jawa dan Madura pada umumnya.
167
Perkawinan antara penduduk asli dan pendatang atau antarsuku sudah biasa terjadi di masyarakat Pasuruan. Demikian juga dengan perkawinan antarorang yang memiliki status sosial yang berbeda. Sementara perkawinan antarorang yang berbeda agama masih tabu, sehingga sampai saat ini belum ditemukan kasus perkawinan beda agama, setidaknya di kalangan penduduk asli. Mereka menolak perkawinan seperti itu karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Setelah pasangan kawin masih banyak di antara mereka yang tinggal bersama dengan orang tua perempuan (matrilokal), dan orang tua laki-laki (patrilokal). Selain itu banyak juga yang mulai bergeser
menempati tempat-tinggal baru (neolokal).
Pasangan baru tersebut membentuk keluarga batih baru. Hal ini biasanya tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi pasangan baru dan keluarga pihak suami atau isteri. Suatu kebanggaan bagi pasangan laki-laki jika dapat menyediakan tempat tingal baru bagi isterinya. Jika pasangan baru masih terus bertempat tinggal di kediaman salah-satu orang tua pasangan maka dalam keluarga tersebut akan terbentuk keluarga luas (extended family). Keluarga luas terutama terdapat di masyarakat yang ada lor-rel kereta-api atau pantai. Sebagaimana diketahui kebanyakan masyarakat lor-rel kereta api ini adalah terdiri dari orang keturunan Madura. Hal ini terutama karena faktor ekonomi, banyak keluarga baru bahkan yang sudah mempunyai anak masih tinggal bersama dengan orang tua mereka. Di masyarakat Pasuruan cukup
berkembang asosiasi yang berdasarkan
kekerabatan, biasanya disebut dengan bani, seperti Bani Imran atau Basaiban. Bani ini tidak jauh berbeda dengan trah yang ada di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Perbedaannya adalah kalau trah merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dan anggotanya dapat berbeda agama, sedangkan bani anggotanya hanya menganut satu agama yaitu Islam. Kata bani sendiri
berasal dari
Bahasa Arab yang berarti anak keturunan seperti Bani Adam merupakan anakketurunan Nabi Adam. Kata bani ini juga sekaligus untuk menunjukkan bahwa kumpulan dari orang sekarabat tersebut bersifat religius atau taat beragama. Di Pasuruan kelompok kerabat yang mendirikan bani umumnya orang-orang yang memiliki status sosial tinggi seperti Bani Imran atau Basaiban tersebut. Menurut informan saya, KK,
sebenarnya fungsi pokoknya untuk menyambung 168
silaturrahmi di antara anggota kerabat yang tunggal ‘mbah buyut’, selain untuk membedakan dengan komunitas kerabat yang lain. Kegiatannya adalah melakukan pertemuan minimal setahun sekali. Umumnya pada waktu lebaran Idul Fitri. Mereka menyebutnya dengan pertemuan syawalan bani. Pada saat itu
selain dilakukan salam-salaman, yang terpenting
adalah ceramah
keagamaan yang diberikan oleh sesepuh ataupun orang yang diminta untuk pembicara syawalan. Intinya berkisar tentang pentingnya silaturrahmi antarkeluarga dan dengan siapapun, memelihara kerukunan dan ketaatan beragama seperti shalat lima waktu, puasa atau bersedaqah bagi yang mampu, dan saling menolong di antara anggota kerabat. Di antara bani ada juga yang mengadakan pengumpulan dana sosial yang diperuntukkan bagi anggota kerabat yang tidak mampu ataupun ketika ada musibah yang menimpanya. 3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal Kelompok sosial yang ada di Pasuruan cukup banyak dan beragam dari segi orientasinya. 1) Lembaga sosial kemasyarakatan bentukan atau prakarsa pemerintah yang ada pada skala nasional seperti MUI kota, DGI, PGI, PKK, dan juga semi pemerintah seperti Forum Kerukunan Umat Beragama yang (akan) dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006, dan Penyukuh Agama Honorer (PAH) 2) Kelompok sosial kemasyarakatan yang dibentuk oleh masyarakat yang ada pada tingkat lokal-kota
Pasuruan dengan orientasi yang berbeda-beda. Misalnya
kelompok yang berorientasi keagamaan
seperti majelis taklim, dan pondok
pesantren, orgnaisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, kelompok gereja.1 Pondok pesantren dan majelis taklim atau kelompok pengajian yang cukup banyak terdapat di Kota Pasuruan. Sebagaimana dimaklumi bahwa sebagai kota santri dalam arti kota yang masyarakatnya taat beragama, kota ini juga dikenal
1
Di Kota Pasuruan ada 12 gereja yang sekaligus menunjukkan sebagai kelompok sosial pemeluk Kristiani. Ke-10 gereja tersebut yaitu (1) GPDI Anugerah , (2) GPDI W.R. Supratman, (3) Gereja Kristen Indonesia (GKI), (4) Gereja Pantekosta Immanuel, (5) Gereja Sidang Jemaat Alah, (6) Gereja Bethel Injil Sepenuh, (7) GPIB ‘Pniel’, (8) Gereja Bethel Tabernakel, (9) Gereja Advent (GMAHK), (10) Gereja Kristen Jawi Wetan, (11) Persekutuan Doa ‘Agape’, dan satu-satunya gereja Katolik (12) yaitu Gereja Katolik St. Antonius.
169
sebagai kota santri dalam arti kota yang banyak berdiri pondok pesantren dan kelompok pengajian. Pada saat ini di kalangan muslim sudah
bermunculan
kelompok keagamaan yang melakukan kajian dari rumah ke rumah termasuk juga Hizbut Tahrir Indonesia. Kelompok yang berorientasi kedaerahan. Kelompok ini anggotanya berasal dari orang-orang yang memiliki hubungan asal daerah, seperti Kelompok Arisan Tulungangung, Banyuangi, Malang, dan lainnya. Ketika acara arisan biasanya diisi juga dengan kegiatan ceramah untuk memupuk solidaritas di antara anggotanya. Setiap anggota diharapkan dapat saling membantu ketika anggota lain mengalami kesulitan. 3) Kelompok yang berdasarkan pada hubungan kekerabatan yaitu bani sebagaimana dijelaskan di atas Dalam setiap kelompok dan masyarakat pasti ada pemimpin, begitu juga di setiap daerah akan memiliki pemimpin
atau aktor lokal yang dihormati dan dijadikan
panutan oleh masyarakatnya. Di Kota Pasuruan aktor lokal yang menonjol adalah kiai. Seorang kiai adalah tokoh lokal muslim
di kalangan orang Pasuruan. Dengan
demikian secara rinci yang termasuk seorang kiai adalah: seorang pemimpin Islam, yang jadi panutan di kalangan muslim, bahkan juga di kalangan nonmuslim, memiliki pengetahuan agama yang lebih di antara anggota masyarakat lainnya, dan mengasuh pondok pesantren ataupun bukan. Kiai pada umumnya memiliki peran: (1) moral-keagamaan dan memimpin kegiatan
mendidik masyarakat Islam tentang di bidang keagamaan. (2) Ia menjadi
pribadi panutan masyarakat dalam keseluruhan kepribadiannya. Selain itu mereka memiliki peran sekunder yaitu menjadi panutan dalam banyak aspek seperti sosial, politik, dan bahkan ekonomi. Peran pokok di bidang keagamaan mencakup semua kegiatan
alih informasi pengetahuan keislaman melalui berbagai media seperti
pengajian atau majelis taklim, khutbah, dan atau pondok pesantren. Mereka juga memimpin perawatan janazah, hajatan manten, dan syukuran kelahiran. Lebih dari itu seorang ajengan menjadi aktor lokal, sesuai dengan tingkatannya, yang seluruh akhlak pribadinya menjadi sosok tauladan
bagi orang sekitarnya. Bahkan begitu
banyak cerita yang berkembang dalam masyarakat Islam Pasuruan bahwa seorang kiai adalah sosok sakti dan mempunyai karamah seperti yang dituturkan oleh Pak KK.
170
Seorang kiai juga memiliki peran sekunder di bidang politik. Memang di kalangan tokoh masyarakat ada persepsi bahwa seorang kiai yang terjun ke dunia politik praktis biasanya kharismanya akan memudar dan tingkat keberpengaruhannya pada lintas kelompok menjadi luntur. Jika seorang kiai memihak kepada salah satu partai, apalagi salah satu calon dalam Pilkada maka akan ada resistensi dari kalangan kelompok Islam sendiri. Pada akhirnya jika dikaitkan dengan adanya konflik antarkelompok dalam masyarakat, seorang kiai yang terjun ke dunia politik praktis tidak dapat menjadi penengah atau mediator konflik. Peran kiai di bidang politik praktis ini sering dilematis di hadapan kiai sendiri. Di satu sisi mereka ingin tetap menjadi netral dalam aktivitas politik, namun di sisi lain tarikan ke arah itu sangat kuat dengan berbagai iming-iming (kedudukan dan materi) yang menggiurkan. Berdasarkan kenyataan tersebut
maka
di kalangan masyarakat
muncul
sebuah ide tentang perlunya redefinisi kiai pada saat ini. Menurut informan tersebut, Pak HI dan Pak KK: Seorang kiai atau tokoh masyarakat sebaiknya tidak bermain dalam politik, sebab jika itu dilakukan maka akan muncul penolakan masyarakat terhadap kiai tersebut. Ini sudah dapat dicontohkan dengan seorang kiai (menyebut nama seorang kiai) yang memihak kepada salah satu calon Pilkada akhirnya kurang dihormati oleh masyarakat. Karena itu seorang kiai seharusnya mengikuti kemauan pengikut bukan pengikut yang mengikuti kiai, tapi itu perlu perjuangan , utamanya pendidikan masyarakat harus setara.... Ketokohan kiai itu karena keihlasannya dan kesederhanaanya, tidak berorientasi kepada materi atau jabatan...
Keberadaan dan keberpengaruhan kiai yang ada saat ini tidak sekuat kiai-kiai sepuh sebelumnya yang sudah meninggal, misalnya KH Yasin Hasan Abdullah (w.1996), KH. Hamid, dan lainnya. Pada saat ini peran kiai nampaknya
relatif
menyebar, kecuali KH Subadar. Meskipun KH. Subadar tempat tinggalnya masuk Kabupaten Pasuruan namun ia juga mempunyai pengaruh di Kota Pasuruan. Tokoh atau kiai yang lain seperti Kiai Fayami, Idris Hamid. Di bawah itu ada tokoh-tokoh yang dapat dikatakan berada pada level kedua seperti Ustad Dhofir. Kiai ini berperan dalam banyak kelompok seperti di MUI, pondok pesantren, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), organsiasi sosial keagamaan terutama NU. Mereka juga, terutama tokoh yang berada pada level kedua,
banyak yang
menjadi anggota legislatif setempat.
171
Sementara di kalangan Kristiani tokoh yang paling menonjol adalah Pendeta G.J.H. Lantu, M.Th. Ia adalah Pendeta di Gereja GPIB ‘Pniel’, sebuah gereja yang dibakar massa pada Mei 2001 dan sering mengalami ancaman bondet (mercon untuk menangkap ikan). Gereja tertua di Pasuruan ini mempunyai jamaah
yang
lebih
banyak daripada gereja-gereja Protestan lainnya. Pendeta Lantu juga menjadi anggota dalam FKUB. Di luar tokoh-tokoh tersebut masih ada tokoh komunitas tertentu terutama tokoh dari komunitas Madura seperti H. Hasan. Ia sekarang menjadi anggota legislatif dan ketua PKB. Yang paling penting dicatat sampai saat ini memang tokoh di luar kiai belum ada yang mampu menyainginya. 3. Nilai-Nilai Lokal Dalam masyarakat Pasuruan cukup
banyak terdapat nilai-nilai lokal yang
dipegangi oleh masyarakat agar supaya dalam kehidupan masyarakat rukun antarsesama. Memang ada nilai yahanno yang mungkin cenderung bersifat negatif dari penduduk asli, namun di sisi lain secara umum budaya orang Pasuruan sangat bersifat egaliter dan terbuka. Sifat-sifat yang terakhir ini yang kemudian
budaya orang
Pasuruan sangat akomodatif terhadap budaya lain. Adapun beberapa nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Pasuruan sebagai berikut: Pertama, gotong royong masih dipegangi oleh sebagian besar masyarakat. Meskipun menurut Pak KK
nilai-nilai budaya ini semakin terkikis oleh sifat
materialitik dalam kehidupan masyarakat.
Mereka menganggap gotong royong
sebagai sesuatu yang buang-buang waktu dan tidak ekonomis, waktu yang seharusnya untuk berusaha memperoleh uang menjadi tidak memperoleh apa-apa. Kedua, mbiodo adalah menyediakan tenaga, dan dapat juga pikiran, untuk membantu orang lain, tetangga ataupun kenalan yang sedang mengadakan hajatan. Tradisi mbiodo ini terutama berlaku dalam hajatan pernikahan dan juga sunatan. Dalam mbiodo orang tanpa melihat latar belakang agama, suku, pendatang atau asli, dan status sosial orang yang membantu atau dibantu. Bahkan kalau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi atau agama nonIslam melakukan mbiodo kepada
172
orang yang status sosial lebih rendah atau penganut Islam, maka orang tersebut lebih dihormati lagi. Ketiga, bowo adalah memberi bantuan secara ikhlas tampa pamrih ketika ada hajatan atau resepsi. Bedanya dengan mbiodo, dalam bowo ini yang dibantu adalah orang yang memiliki hubungan kerabat dengan yang membantu. 4. Upacara Upacara lingkaran hidup yang berkembang di masyakarat Pasuruan antara lain yaitu: upacara yang terkait dengan kematian yaitu tradisi layatan atau ‘nglayat’ orang meninggal. Tradisi ini sangat kuat di kalangan masyarakat. Selain itu ada juga ‘tahlilan’. Ada 2 jenis tahlilan yaitu: (1) tahlilan untuk memperingati kematian seseorang mulai dari 1-7 hari, 40 hari, 100 atau nyatosin, setahun, dan nyewun/ nyebunen. (2) tahlilan yang diadakan secara rutin yaitu tiap malam Jum’at yang diadakan di masjid, mushalla atau rumah tertentu. Yang penting dicatat dalam kegiatan layatan, khususnya tahlilan ini adalah meskipun diperuntukkan dan berlaku di kalangan orang Islam, namun tidak menutup pesertanya adalah orang nonIslam. Bahkan jika ada orang nonIslam yang datang menghadiri tahlilan terutama tahlilan jenis pertama, tuan rumah menjadi sungkan dan menaruh hormat. G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal Sebagaimana halnya di daerah lain, pengendalian
potensi konflik antarumat
beragama yang sudah berlangsung di Pasuruan masih dominan pendekatan struktural. Sementara pendekatan kultural yang berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal masih belum dikembangkan. Kegiatan yang dilakukan yaitu: (a) Sosialisasi dan institusionalisasi tentang kerukunan umat beragama (b) sosialisasi wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional. (c) Deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik SARA. Prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam penyusunan model pengendalian konflik yaitu: evaluasi posisi modal budaya lokal; adanya kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk memerankan komponen-komponen budaya lokal dalam upaya pengendalian konflik antarumat beragama, atau adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali konflik;
173
dan adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal. 1. Evaluasi Komponen Budaya Lokal Komponen budaya lokal dalam penelitian ini meliputi empat hal yaitu: kelompok sosial, aktor lokal, nilai-nilai, dan upacara. Karena itu dalam
mencari model
pengendalian, termasuk penyelesaian, konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut. Penilaian terhadap keempat komponen budaya lokal tersebut dilihat dari statusnya dalam
proses pengendalian konflik. Untuk itu ada 3 kemungkinan statusnya yaitu:
potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatna, dan pelaksanaannya dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan
sebagai instrument pengendali konflik. Di sisi lain ia
dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali konflik antarumat beragama. Pertama, nilai-nilai yang masih ada dan potensial untuk diperankan dalam proses pengendalian potensi konflik terdapat dalam banyak ugeran. Ugeran-ugeran tersebut masih bisa diterima anggota masyarakat yang masuk daerah pedhalungan ini saat tanpa memandang latar belakang agamanya. Nilai-nilai tentang hidup rukun yang potensial tersebut terdapat dalam membantu berupa pikiran
ugeran mbiodo, bowo, dan gotong royong. Mbiodo adalah dan tenaga ketika orang lain mempunyai hajatan, seperti
hajatan nikah atau sunatan. Bowo adalah membantu tanpa pamrih saat hajatan kerabat. Sememntara yang dimaksud gotong royong lebih dalam pengertian senpit yaitu kerja bakti yang dilakukan masyarakat untuk kegiatan sosial tertentu seperti perbaikan jalan kampong, membersihkan tempat-tempat yang dianggap rawan penyakit, membuat gapura. Ini menunjukkan bahwa nilai kerukunan di daerah ini berada di level keluarga dan masyarakat secara umum. Ketiganya dianggap potensial karena masih menjadi kesadaran anggota masyarakat.
174
Nilai-nilai rukun dalam ugeren-ugeran dapat menjadi instrumen dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama, dan konflik antarkelompok lainnya, jika dilakukan langkah-langkah serius, terutama di kalangan generasi muda. Misalnya sosialiasasi dalam kehidupan keluarga, melalui kegiatan kelompok-kelompok sosial (pengajian, kegiatan keagamaan), sekolah dan pesantren, serta media massa. Gotong royong selain
berupa ugeran (nilai) juga dapat berupa kegiatan yang
dilakukan masyarakat. Dalam makna ini, gotong royong merupakan wadah yang sudah lama dilakukan masyarakat. Ia telah menjadi wadah tempat orang orang yang berbeda agama berinteraksi satu dengan lainnya. Kedua, kelompok sosial lokal yang ada di daerah ini yaitu bani atau trah (homogen), dan pondok pesantren. Trah di Pasuruan dianggap kurang potensial untuk dikembangkan dalam pengendalian konflik karena jenis trahnya homogen yaitu trah yang anggotanya terdiri dari mereka yang beragama Islam, dan kegiatannya jarang. Walaupun begitu ia masih dapat dijadikan sebagai wadah pengendalian konflik, khususnya dalam sosialisasi tentang hidup rukun kepada anggotanya yang muslim. Sementara pondok pesantren, meskipun tidak sebanyak seperti di Tasikmalaya, cukup banyak dan tokohnya banyak dijadikan panutan oleh masyarakat, karenanya pondok tergolong potensial untuk dijadikan sebagai wadah pengendalian konflik. Selain itu di daerah ini terdapat jaringan komunitas Madura yang eksklusif karena anggotanya terdiri dari orang Madura dan umumnya muslim. Kelompok sosial ini posisinya sama
dengan
trah homogen, karenanya potensial untuk dijadikan sebagai pengendali konflik, khususnya sosialisasi nilai-nilai kerukunan. Ketiga, tokoh lokal yang ada di daerah ini sesuai dengan ciri khasnya sebagai daerah pedhalungan. Dua ciri khas
yang menonjol dari daerah pedhalungan adalah
secara kultural terjadi titik temu antara budaya Madura dan Jawa, termasuk dalam bahasa, dan masyarakat Islamnya dikenal sebagai kelompok santri-tradisional di mana pengaruh kyai sangat kuat. Karena itu tokoh yang paling potensial untuk diperankan sebagai pengendali konflik adalah kyai dan tokoh agama Islam pada umumnya. Para kyai ini tersebar ke dalam beberapa kelompok sosial yang ada, khususnya pondok pesantren, partai politik dan anggota legislatif, MUI dan organisasi Islam. Ciri khas daerah pedhalungan lainnya adalah menguatnya budaya Madura dan segala atribut yang berkenaan dengannya, termasuk dalam kelompok sosial seperti adanya jaringan komunitas Madura. Mereka mempunyai tokoh-tokoh yang ‘disegani’, sebagian
175
orang menyatakan ‘ditakuti’, oleh kelompok lainnya. Mereka juga potensial untuk diperankan sebagai
sosok
dalam pengendalian konflik, alasan lain karena mereka
memiliki anggota dengan sifat-sifat kekerasan dan mudah emosional dan mudah menjadi massa berkonflik, sejarah konflik selama ini membuktikan hal itu. Karena itu mereka perlu dilibatkan dalam proses pengendalian konflik. Hal ini memang dibutuhkan pendekatan khusus kepada mereka, misalnya melalui kyai atau tokoh agama Islam yang diseganinya. Keempat, upacara adat yang ada di Pasuruan antara lain sesajen, hanya saja upacara ini tidak banyak dilakukan oleh umat beragama, meskipun mayoritas muslim tradisional. Acara ini banyak dilakukan oleh Islam abangan. Karena itu sesajen tidak potensial untuk dijadikan sebagai wadah pengendali konflik. Adapun upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian dapat dijadikan sebagai media pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab dalam upacaraupacara tersebut, termasuk upacara slametan atau tahlilan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir berasal dari orang-orang yang berbeda agama. Tabel 1: Status Komponen Budaya Lokal Status Komponen Budaya
Potensial Sos/PB. Int.
Aktual Sos./PB Int.
Inpotensial Sos./PB Int.
Nilai-nilai:
1.Mbiodo 2. Bowo 3. Gotong royong
+ + +
Kelompok sosial 1. Trah 2. Pesantren 3. Komunitas Madura 4. Gotong royong
+ + + -
Aktor lokal: 1. Kyai 2. Tokoh Madura
+ +
Upacara Adat: Sesajen
-
Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian
+
-
+
+
+
Keterangan : Sos.=Sosialisasi Int.=Interakasi PB=Pedoman Bersama + = ada dan perlu pada status tertentu - = tidak ada dan tidak perlu
Berdasarlam evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa komponen budaya dalam pengendalian konflik di daerah ini lebih banyak berbasis
budaya pedhalungan yang
176
merupakan paduan antara budaya Jawa-Madura-Islam. Misalnya komponen tokoh-tokoh panutan dan kelompok sosial yang ada. Termasuk dalam nilai-nilai yang tercantum dalam ugeran. 2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa fungsi komponen budaya dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan fungsi masing-masing. Nilai-nilai budaya di Pasuruan seperti mbiodo, bowo, dan gotong royong pada intinya berfungsi sebagai pedoman bersama dari masyarakat tanpa mengenal perbedaan latar belakang lapisan sosial, agama, dan lainnya. Sementara kelompok-kelompok sosial yang potensial sebagai pengendali konflik yaitu trah berfungsi sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai hidup rukun, hanya saja trah di daerah padhlungan ini berbeda dengan yang terdapat di Kulonprogo dan Solo, sebab berjenis homogen, sehingga ia hanya berfungsi sebagai media interaksi dan komunikasi di antara orang yang seagama. Dalam konteks hubungan antarumat beragama ia hanya berfungsi sebagai media sosialisasi tentang hidup rukun dan damai kepada umat Islam. Posisi yang sama terdapat pada kelompok sosial yang lain seperti pondok pesantren, dan komunitas Madura. Kedua kelompok ini hanya potensial untuk diperankan sebagai media
sosialisasi hidup rukun dan damai karena
anggotanyab terdiri dari satu umat beragama yaitu Islam. Hal yang berbeda adalah posisi gotong royong, sebagaimana dikemukakan bahwa gotong royong selain sebagai nilai juga sebagai
pranata. Sebagai pranata maka di
dalamnya ada kegiatan yang dilakukan masyarakat secara berulang dalam waktu yang relatif lama dan sebagai upaya pemenuhan kebutuhannya. Dalam konteks ini gotong royong berfungsi sebagai media interaksi antarorang yang berbeda agama, dan perbedaan identitas lainnya. Aktor
lokal seperti kyai atau tokoh agama dan tokoh suku/ Madura
lebih
berfungsi sebagai subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada masyarakat. Sebenarnya sosialisasi hidup rukun dan damai ini dapat diterapkan juga kepada tokoh agama nonIslam yang sering dan potensial terlibat konflik antarumat beragama yaitu tokoh-tokoh Kristiani, baik Protestan maupun Katolik. Di daerah ini tidak ada lokal yang memayungi semua
kelompok sosial-- kecuali gotong royong-- dan aktor kelompok agama. Karena itu potensial untuk
177
dikembangkan sebuah media atau kelompok yang di dalamnya aktor lokal yang berbeda agama dapat bertinteraksi (ide atau akasi). Sebenarnya selama ini sudah ada wadah sejenis, namun sifatnya sangat termporer dan sangat tergantung kepada pemerintah (Kesbanglinmas). Dianggap temporer
karena kegiatannya terbatas kepada aksi bersama
ketika memberi bantuan bencana di tempat lain, dan itupun yang banyak berperan adalah pemerintah. Sebenarnya wadah lintas
agama, termasuk Forum Kerukunan Umat
Beragama, yang ada dapat berperan optimal, hanya perlu dilakukan beberapa hal yaitu: keanggotannya melibatkan tokoh-tokoh lokal
(seperti kyai, tokoh komunitas Madura,
tokoh Kristiani) atau wakil dari tokoh-tokoh lokal tersebut, berfungsi sebagai media komunikasi-interaksi (ide maupun aksi), dan memiliki kegiatan berkala dan bersama secara rutin, serta tidak didominasi oleh pihak pemerintah. Pemerintah sebaiknya berposisi dan memposisikan diri sebagai fasilitator ketika dibutuhkan. Memang untuk melahirkan wadah seperti ini, sebagaimana dikemukakan dari pihak tokoh Kristiani, ada sedikit kendala
kalau tidak ada perubahan
sikap tertutup dari tokoh muslim
dalam
berkomunikasi dengan tokoh Kristiani. Karena itu jika dari tokoh-tokoh lokal tidak bisa langsung bertemu, untuk sementara khususnya pada awal pembentukannya dapat direkrut wakil-wakil yang dianggap mewakili aspirasi dari tokoh-tokoh lokal yang ada, namun sifatnya sementara. Upacara yang berkembang di masyarakat umumnya berfungsi sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai tentang hidup rukun kepada umat beragama masing-masing, misalnya dalam acara sesajen walaupun dalam sejarahnya bersumber dari tradisi JawaIslam, namun saat ini dilakukan juga oleh agama lain seperti Katolik. Upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai
wadah interaksi
antarumat beragama. Secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 2 berikut. Tabel 2: Fungsi dan Sumber Kebudayaan Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Fungsi Pedoman
Sosialisasi
Berbasis Pada Interaksi
Nilai-nilai:
1.Mbiodo 2. Bowo 3. Gotong royong
Kelompok sosial 1. Trah 2. Pesantreen 3. Komunitas Madura 4. Gotong royong
+ + +
Pendhalungan
+ + + -
+
Agama dan suku mayoritas (pendahlungan)
178
5. Wadah lintas agama-suku
+
+
Aktor lokal: 1. Kyai 3. Tokoh Madura
+
+ +
Upacara Adat: Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
+
Agama dan suku mayoritas (pendahlungan) + +
3. Mekanisme Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik antarumat beragama dibedakan ke dalam 2 cara yaitu mandiri dan integrasi. Pertama, mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan utuh dan secara mandiri. Misalnya
pemanfaatan nilai-nilai
lokal oleh kyai, tokoh agama, dan tokoh komunitas madura dalam kegiatan kelompok sosial
yang potensial menjadi pengendali konflik khususnya melalui kegiatan trah,
pesantren, komunitas suku dan upacara adat,dan lingkaran hidup, atau melalui wadah baru yang lintas agama-suku. Kedua, mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh selain aktor-aktor di atas melalui berbagai kesempatan (seperti melalui pelatihan, workshop), dan sebaliknya sosialisasi dan pengkajian tentang potensi konflik antarumat beragama (prasangka antarkelompok umat, misiologi agama, khususnya Kristenisasi, kesenjangan sosial-ekonomi) oleh aktor-aktor lokal yang ada.
Bahkan
memerankan mereka dalam FKUB yang dibentuk pemerintah, dalam rangka sosialisasi nilai-nilai lokal yang ada sebagai pengukuhan ajaran agama yang berkaitan dengan kerukunan antarkelompok. Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor lain. Kedua pola mekanisme tersebut dianggap dapat dilakukan bersama-sama dalam penerapan model pengendalian konflik antarumat beragama ke depan.
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal Dalam setiap penyelesaian konflik
antarumat beragama
berbasis budaya lokal
seharusnya memperhatikan beberapa komponen yaitu: karakter konflik, pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, dan pemanfaatan budaya lokal 1. Memperhatikan karakter konflik
179
Jenis konflik di Pasuruan berupa
amuk massa (sosial) dan kekerasan dari
kelompok mayoritas terhadap fasilitas ibadah kelompok minoritas. Hal ini mirip dengan konflik sebelumnya yang ada di wilayah Pasuruan. Subyek berkonflik melibatkan massa umat agama Islam. Penyebab atau pemicu konflik adalah imbas dari konflik elite politik di tingkat nasional. Sumber konflik karena adanya salah paham antarbudaya atau
prasangka
negative dari kelompok mayoritas. Selain itu karena adanya misiologi agama kelompok minoritas yang dianggap agresif, adanya sisa-sisa konflik sebelumnya ( tahun 1992 dan 1997), dan adanya karakter keras dari masyarakat pedhalungan. 2. Pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar Sebagaimana yang terjadi di lokasi lain, pengalaman penyelesaian konflik antarumat beragama yang jadi fokus penelitian ini harus dipelajari
dan dievaluasi.
Sebagaimana dimaklumi penyelesaian konflik antarumat beragama di kota tapal kuda ini lebih cenderung menggunakan cara-cara struktural kekuasaan dan belum memanfaatkan cara-cara kultural. Cara struktural adalah cara yang diterapkan oleh aparat dan lembaga pemerintah setempat
atau pihak keamanan dalam menyelesaikan konflik. Karenanya
pendekatan yang digunakan bersifat tidak langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan
pemerintah.
Pendekatan
ini
memang
mempunyai
kelebihan
seperti
mempercepat suasana menjadi ‘dingin’, hanya saja ia punya kelemahan yaitu menutup terjadinya dialog antarkelompok berkonflik. Akibatnya penyelesaian menjadi tidak tuntas, sehingga menimbulkan konflik yang berulang. Hal ini terbukti dari sejarah konflik yang ada di Pasuruan, baik pada tahun 1992 maupun 1997, dan bahkan sering terjadi upaya pengrusakan tempat ibadah kelompok minoritas. Berulangnya konflik tersebut karena pemerintah sebagai mediator masih sangat dominan. Untuk itu informan bersepakat, selain pendekatan tidak langsung perlu juga dilanjutkan dan dikembangkan pendekatan secara langsung antarpihak terlibat konflik, baik berupa negosiasi maupun rekonsiliasi, dan dialog
langsung.
Sementara aspek penegakan hukum tidak berlaku efektif karena
mengedepankan prinsip musywarah lebih maslahah. 3. Strategi Pemanfaatan budaya lokal Berdasarkan kepada kedua aspek tersebut langkah selanjutnya adalah mencari posisi dan peran yang dapat dimainkan komponen-komponen budaya lokal yang relevan.
180
Pertama, secara umum alasan-alasan pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal dalam penyelesaian konflik sama dengan dalam alasan-alasan yang yang tercantum dalam pembahasan pengendalian konflik. Kedua, yang harus dicatat sejak awal adalah bahwa
ketika pemanfaatan komponen
budaya lokal di Pasuruan, juga di lokasi lain, harus prasyarat yang harus dipenuhi yaitu mendorong
penyelesaian konflik
secara langsung antar (wakil-wakil) kelompok
berkonflik. Hal ini harus dilakukan setelah atau bersamaan dengan penyelesaian tidak langsung. Dalam kaitannya dengan
aktor lokal, secara umum dan ke depan dalam kasus-
kasus konflik antarumat beragama, kyai dan tokoh komunitas Madura dapat dijadikan sebagai subyek penyelesai konflik antarumat beragama, baik melalui pendekatan secara langsung dengan aktor-aktor
dari kelompok agama lain maupun pendekatan tidak
langsung (mediasi dan fasilitasi). Opsi ini diambil terutama
jika konflik
terbatas
antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan antartokoh agama. Dalam kasus konflik antartumat berragama yang terjadi di Pasuruan memang tidak pernah terjadi konflik yang melibatkan antartokoh umat beragama secara langsung. Hal ini yang membedakannya dengan daerah lain seperti Tasikmalaya. Di Pasuruan kyai yang berpengaruh lebih banyak dari kalangan kyai tradisional, mereka mempunyai level keberpengaruhan yang berbeda, baik dari segi geografis maupun bidang peran yang dijalankan. Secara geografis mulai dari level kampung, desa, kota/kabupaten dan bahkan nasional. Secara kelembagaan peran-peran mereka
banyak dilakukan di pesantren. Tingkat keberpengaruhan kyai
tersebut harus dipertimbangkan ketika menjadikan mereka sebagai penyelesai dan peredam massa. Hal ini disesuikan dengan tingkatan konfliknya dan sosok massanya. Selain itu yang harus dipertimbangkan adalah kedekatan secara emosional sosok massa dengan kyai yang akan dijadikan sebagai aktor penyelesai. Hany saja perlu dicatat bahwa masih ada kendala
untuk memerankan kyai dalam
penyelesaian konflik antarumat beragama yaitu adanya prasangka bahwa
tiap tokoh
agama (Kyai dan tokoh Kristiani) oleh pihak lain dianggap eksklusif terhadap kelompok lain. Karena itu dibutuhkan prakonsepsi yaitu upaya membedah ekslusidfitas dan prasangka antar pihak melalui kegiatan-kegiatan pendahuluan. Misalnya melalui wadah kultural lintas agama yang baru, di dalamnya setiap wakil kelompok bermitra dengan posisi yang sama. Tujuannya adalah menafikan prasangka dan mencari akar masalah
181
kerenggangan antarpihak
dan mencari solusinya. Untuk pemerintah dapat
menjadi
fasilitator sementara. Ketiga, nilai-nilai lokal dan kelompok sosial yang ada seperti trah, komunitas Madura, pesantren, dan kelompok Kristiani dalam batas-batas tertentu dapat diperankan, khususnya pascakonflik sebagai media dan wadah untuk memperkuat dan sosialisasi hasilhasil kesepakatan antarpihak yang terlibat konflik. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak kelompok mayoritas maupun minoritas secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Dalam konteks sosialisasi hasil-hasil tersebut juga dapat diperkuat dengan nilai-nilai lokal mengenai nilai-nilai kerukunan sebagai pedoman bersama. Keempat, mekanisme penerapan komponen budaya lokal tersebut dalam proses penyelesaian konflik antarumat beragama dilakukan secara integratif. Satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam
upaya penyelesaian konflik.
Memberdayakan kyai, termasuk tokoh komunitas Madura, untuk menjadi subyek penyelesai konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung bersama-sama dengan aktor lain seperti dari pemerintah ataupun lainnya. Selain itu dapat juga melakukan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh
tokoh lokal
tersebut dan
aktor lain melalui berbagai
kesempatan dan saluran. Juga pemanfaatan kelompok sosial sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh aktor di luar
kyai atau tokoh
komunitas Madura.
182
BAB VI TASIKMALAYA: IMBAS PENEGAKAN SYARIAH DI AKAR RUMPUT
A. Geografis, Penduduk dan Setting Sosial Pada saat ini Tasikmalaya terbagi ke dalam dua wilayah administratif yaitu Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, penelitian ini dilakukan di wilayah kabupaten. Kabupaten Tasikmalaya wilayahnya cukup luas, terdiri dari 39 kecamatan dan 345 desa. Di antara kecamatan
tersebut ada beberapa yang memiliki nilai sejarah,
misalnya Salopa pernah menjadi pusat pemerintahan Sukakerta, tepatnya di Dayeuh Tengah. Sebuah pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, penguasanya ketika itu
adalah Srigading Antog. Selain itu di Kecamatan Sukaraja
ada Desa Sukapura yag menjadi pusat pemerintahan Sukakerta berikutnya. Galunggung
pernah menjadi pusat Kerajaan Galunggung dan kemudian menjadi
cikal-bakal Tasikmalaya, dan tanggal kelahirannya dijadikan sebagai hari jadi Tasikmalaya yaitu 21 Agustus 1111, Tasikmalaya saat ini bukan lagi sebagai nama wilayah administratif kecamatan atau desa. Cipatujah adalah wilayah perhutani yang dibagun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kecamatan ini menjadi pusat kegiatan pengelolaan kehutanan di Tasikmalaya, karenanya di daerah ini jumlah umat Kristiani paling banyak dan ada 2 gereja Protestan dan Katolik. Cipatujah sendiri sekarang terdiri dari 15 desa yaitu Ciberas, Cipanas, Ciandum, Cipatujah, Sindangkerta, Ciawungading, Kertasari, Padawaras, Darawati, Bantarkalong, Tobangjaya, Naugelasari, Nagrog, Pemeutigan, dan Sukahurip. Pada saat sekarang ada beberapa kecamatan yang lebih terkenal misalnya Singaparna dan Manonjaya. Singaparna, yang disebut-sebut sebagai calon ibukota Kabupaten Tasikmalaya, dikenal sebagai pesantren
daerah pondok pesantren. Meskipun
banyak tersebar di kecamatan lain, namun di Singaparna terkumpul
pesantren besar dan terkenal dalam skala nasional seperti pondok pesantren di Sukamanah yang didirikan pahlawan nasional, KH. Zainal Muasthafa, pondok pesantren Cipasung yang diasuh KH. Rukhiyat Ilyas. Sementara Manonjaya terkenal setelah berdirinya Pondok Pesantren Miftahul Huda yang didirikan oleh Ajengan Khairu Affandi, mantan Bupati DI/TII Tasikmlaya Selatan. Pesantren ini merupakan cikal bakal pesantren
di Tasikmalaya yang menggunakan nama akhir
‘Huda’. 183
Alumnus pesantren ini menyebar di Tasikmlaya dan kota-kota sekitarnya. Manonjaya juga pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura, yang kemudian berbah menjadi Tasikmalaya, pada masa pemeritahan Wiradadaha VIII tahun 1832. Sebelumnya pusat pemeritahan Sukapura ada di Tasikmalaya, kemudian dipindah oleh Belanda ke Manonjaya untuk memperkuat benteng pertahanannya dalam menghadapi Diponegoro. Kecamatan ini sekarang berbatasan dengan Kabupaten Garut di Barat, sedangkan di Timurnya ada Kecamatan Karangnunggal, dan di utara ada Kecamatan Bojonggambir, Culamega, dan Bantarkalong, di Selatan dibatasi oleh Samudera Indoesia. Karena begitu banyaknya pondok pensatren, maka kabupaten ini dijuluki sebagai ‘Kota Santri’. Menurut ‘Kabupaten Tasikmalaya Dalam Angka 2003’ tercatat ada sekitar 149 pondok dengan jumlah total santri 15.118 orang, terdiri dari santri puteri (7.673 orang) dan putera, kyai sebanyak 353 orang, pondok pesantren ini tersebar di 19 kecamatan yang ada. Secara geografis ‘kota santri’ ini
dibatasi oleh Kabupaten Ciamis, Kota
Tasikmalaya dan Kabupaten Majalengka di sebelah utara, di selatannya ada Samudera Indonesia, di Barat ada Kabupaten Garut, dan di Timur ada Kabupaten Ciamis. Luas wilayahnya
sekitar 268.090 Ha. Sebagian
besar
merupakan tanah nonsawah.
Ketinggian wilayahnya sangat beragam dari sekitar 25 dpl seperti di Cikalong sampai 800 dpl seperti di Bojonggambir dan Taraju. Pada tahun 2003 jumlah penduduknya mencapai 1.606.711 jiwa. Penduduk perempuannya (51,69%) lebih banyak daripada penduduk laki-lakinya (48,31%). Kecenderungan ini terdapat juga di 30 kecamatan, sedangkan di Cipatujah justru lakilaki lebih banyak daripada perempuannya. Rata-rata kepadatan penduduk 627 jiwa/Km2. Kepadatan terbesar terdapat di Singaparna yang mencapai 3.187 jiwa/Km2. Tiga besar kecamatan terpadat berikutnya terdapat di Rajapolah (2712/Km2), Sukarame (2164/Km2), dan Jamanis (2112/Km2). Kepadatan terkecil terdapat di Pancatengah yang hanya mencapai 201 jiwa/Km2, tiga besar kepadatan terkecil lainya adalah Cipatujah (233/jiwa), Bojonggambir (251/Km2), dan Karangjaya (257/Km2). Faktor yang mempengaruhi tingkat kepadatan tersebut setidaknya ada 2 yaitu jumah penduduk dan luas daerah tiap kecamatan. Kecamatan-kecematan yang terbesar kepedatannya memiliki luas daerah yang kecil dan jumlah pnuduk yang lebih banyak, dan sebaliknya.
184
Sampai tahun 2003 mayoritas mutlak penduduknya beragama Islam (99,97%), sementara umat Kristiani hanya ada 429 orang, dengan rincian Protestan sebayak 0,02% (312 orang), dan Katolik 0,01 (117 orang). Hindu dan Budha hanya ada 5 orang, lainnya (mungkin sekali Konghucu) ada 79 orang. Tempat ibadah hanya dimiliki umat Islam dan Kristiani. Umat Islam selain memiliki masjid (3914 unit), juga mushala dan langgar (2421 unit). Adapun gereja ada 2 unit masing-masing milik umat Protestan dan Katolik, keduanya ada di Cipatujah. Memang setelah wilayah Tasikmalaya menjadi kota dan kabupaten, gereja yang masuk wilayah kabupaten hanya ada 2 unit tersebut. Sebenarnya sampai tahun 2001 umat Kristiani selain memiliki 2 gereja peninggalan Belanda di Cipatujah juga ada 1 rumah ibadah di kecamatan tersebut, tapi karena ada protes dari umat Islam kemudian ditutup. Sebelum pemekaran di wilayah Tasikmalaya ada sekitar 10-an gereja dan sekarang semuanya masuk wilayah kota. Perkembangan jumlah gereja ini yang dimasalahkan oleh umat Islam. Sebab masyarakat di bawah tidak menggunakan model berpikir kategoris-adimnistratif wilayah dalam melihat perkembangan jumlah gereja, mereka hanya mengetahui bahwa gereja kian banyak di Tasikmalaya. Umat Protestan
separuh lebih (57,05%) ada di Cipatujah, seperempatnya
(25,96%) di Ciawi. Selebihnya terada di Manonjaya (9,62%), serta di Sukaresik dan Singaparna. Sementara umat Katolik
separuhnya (50,43%) ada di Sukahening,
selebihnya ada di Ciawi (16,29%), dan Manonjaya dan Sukaresik masing-masing 11,11%, sedangkan di Cipatujah hanya ada 10% dari jumlah umat Katolik. Khusus di Cipatujah umat Islam mencapai 99,66%, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan umat Islam se-Tasikmalaya, umat Kristiani hanya 0,89% dengan rincian umat Protestan sebesar 0,82% dan Katolik 0,07%. Afiliasi keagamaan umat Islam di Tasikmalaya sebagian besar ‘tradisionalis’, tetapi secara sosial-budaya beragam, selain ada NU juga ada kelompok ‘Manonjaya’ yang ideologi keislamannya
berbeda dengan kelompok NU. Di tingkat bawah
pengaruh kelompok Manonjaya
ini lebih besar. Selain itu ada kelompok yang
diasosiasikan dengan kelompok modern-puritan seperti Muhammadiyah dan Persis. Sementara Ahmadiyah cukup banyak terutama di Singaparna. Di luar kelompok tersebut sekarang bermunculan kelompok ‘Islam konsisten’ yang memiliki ideologi ‘keras’ seperti Majelis Mujahidin.
185
Secara
politik
kepartaian
kelompok
Islam
tersebut
memperlihatkan
keragamannya. PPP sampai sebelum 1999, yang hampir selalu memenangkan setiap Pemilu, didukung oleh hampir seluruh kelompok Islam yang ada. Pada tahun 1999 dan 2004 seiring dengan banyaknya parpol Islam/berbasis massa Islam, partai berlambang Ka’bah ini didukung oleh kelompok ‘Huda’ , meskipun setelah PPP pecah menjadi PPP dan PBR ada sebagian kelompok ‘Huda’ yang menyeberang ke PBR seperti PP Salalatul Huda (Kota Tasikmalaya), PPP juga didukung oleh anggota Ahmadiyah dan Majelis Mujahidin. Sementara PKB didukung oleh orang-orang NU, dan orang Muhammadiyah banyak mendukung PAN, sementara PBB didukung oleh sebagian orang ‘Huda’ dan majelis Mujahidin.
B. Potensi Konflik Konflik yang terjadi di Tasikmalaya tidak dapat dilepaskan dari ‘euforia’ konflik SARA, khususnya antarumat beragama yang ada di Indonesia pada tahuntahun setelah reformasi menggelinding. Juga menunjukkan adanya penyelesaian yang tidak tuntas atas
permasalahan yang muncul di antara umat beragama, sehingga
masyarakat mudah terperangkap dalam tindakan konflik kekerasan. Hal ini karena daerah ini secara historis tidak sepi dari konflik. Adapun yang menjadi perhatian dalam bahasan ini adalah konflik yang terjadi di Kampung Kalaksanan Desa Cikawung Ading Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada Senin tanggal 18 September 2001. Waktu inilah yang menjadi pembatas analisis antara prakonflik dan pascakonflik. Potensi Konflik Prakonflik: Jauh sebelum terjadi konflik fokus tersebut sudah ada benih-benih konflik yang sangat potensial memunculkan konflik fokus. Potensipotensi konflik tersebut antara lain: 1. Struktur Sosial-Politik Tasikmalaya termasuk rawan konflik, baik horizontal maupun vertikal. Hal ini selain secara historis-geografis daerah ini pernah menjadi pusat perlawanan DI/TII Kartosuwiryo, dan masih kuatnya sisa-sisa pengaruh ide gerakan ini pada beberapa kelompok muslim di Tasikamalaya. Seperti dikatakan oleh Dd, ‘butuh waktu yang relatif lama untuk menghilangkan pengaruh DI/TII khususnya dalam pemahaman keagamaan masyarakat’. Selain itu ia memberi perbandingan dengan daerah lain yang juga rawan konflik. Tasikmalaya sangat terkait dan mirip dengan Aceh, dan Sulawesi.
186
Kalau di Tasikmalaya ada gerakan DI/TII Kartosuwiryo, maka di Aceh ada DI/TII Daud Beurereh, dan di Sulawesi ada Kahar Muzakar. Ketiga wilayah ini mempunyai garis segitiga-ideologis, sebab dari segi tujuannya sama yaitu penegakan syariat Islam, hanya saat ini tampilan konfliknya memisahkan diri Sulawesi isu
berbeda. Di Aceh isu konfliknya
ingin
dari NKRI dan melalui perjuangan bersenjata. Sementara di
konfliknya dihadapkan kepada Kristenisasi dan melalui kekerasan
seperti bom yang identik dengan terorisme. Di Tasikmalaya lebih berfokus kepada penegakan syariat Islam dalam skala lokal, tapi masih dalam bingkai NKRI, walaupun ada
juga kelompok yang
menginginkan apa yang disebut dengan Darul Islam Nusantara (DIN) yang meliputi bukan hanya Indonesia, tapi termasuk juga sebagian Filipina dan Malaysia. Untuk ini perlu kajian khusus secara mendalam. Hal ini seiring dengan diterapkannya otonomi daerah. Sebagaimana diketahui
banyak daerah
di Indonesia yang berusaha
menguatkan identitas daerahnya berdasarkan aspirasi terkuat dari masyarakat. Umat Islam Tasikmalaya
termasuk yang berupaya menerapkan syariat Islam tersebut.
Sebuah aspirasi yang bersifat legal di alam demokrasi seperti saat ini. Upaya penerapam syariat Islam ini semakian mengkristal sejak terpilihnya bupati periode 2000-2005, Drs. Tatang Farhanul Hakim, M.Pd. Terpilihnya bupati yang berasal dari PPP ketika itu tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan untuk penerapan syariat Islam struktural-politik,
dengan kelompok muslim di Tasikmalaya.
nampaknya
bupati
menepati
janjinya
Pada level dengan
mengimplementasikannya dalam berbagai produk kebijakan. Antara lain meliputi: 1) Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya No. 03 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2001-2005. Di dalamnya disebutkan visi daerah ini yaitu selain menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur, juga yang terpenting menjadikan daerah sebagai daerah religius/Islami. 2) Menindaklanjuti Perda tersebut bupati mengeluarkan berbagai kebijakan yaitu: Pertama, SK Bupati Nomor 421.2/Kep.326A/Sos/2001, tertanggal 29 Desember 2001 tentang ‘Persyaratan Memasuki Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dasn Madrasah Tsanawiyah (MTs) si Kabupaten Tasikmalaya’. Pada intinya surat keputusan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
keimanan dan ketaqwaan
bagi umat Islam di
lingkungan pendidikan sekolah. Untuk ditetapkan (1) bagi anak usia prasekolah
187
yang akan memasuki pendidikan SD/MI harus memiliki keterangan mampu membaca Al-Qur’an, (2) sedangkan bagi siswa SD dan SLTP harus mengikuti pendidikan Sekolah Diniyah, (3) Siswa lulusan SD/MI yang akan melanjutkan ke SLTP/MTs harus memiliki sertifikat/ijazah Madrasah Diniyah Awaliyah. Kedua, Bupati mengeluarkan Surat Himbauan bernomor 556.3/SH/03/Sos/2001 kepada pengelola kolam renang agar memperhatikan ajaran dan etika Islam. Di dalam surat tersebut antara lain ditegaskan: (1) supaya di dalam kolam renang tidak tercampur antara laki-laki dan perempuan, (2) pelatihan renang supaya dilakukan oleh jenis kelamin yang sama , (3) perlunya pendirian tempat ibadah muslim, (4) mengingatkan pengunjung jika tiba waktu shalat, (5) memperhatikan etika Islam. Ketiga, selain itu ada kewajiban bagi pegawai negeri sipil
di lingkungan
pemerintah daerah untuk memakai pakaian muslim bagi yang beragama Islam setiap hari Jum’at. Bagi laki-laki berpakaian ‘taqwa’, sedangkan bagi perempuan menggunakan jilbab. Di lapangan hal ini nampaknya dipatuhi oleh pegawai. Di sekolah murid dan pegawai juga dihimbau menggunakan busana muslimah. Keempat, bupati juga mengeluarkan surat dalam upaya pemberantasan narkoba, perjudian, dan pelacuran. Masalahnya penghilangan
adalah
ketika
penerapan
syariat
Islam
ditafsirkan
sebagai
pluralitas dalam kehidupan masyarakat terutama perbedaan agama.
Pada tingkat bawah pemikiran yang berkembang saat ini adalah upaya penerapan syariah Islam berarti harus tidak ada simbol-simbol agama lain seperti gereja. Pandangan seperti ini yang kemudian menjadi potensi konflik antarumat beragama. Kelompok-kelompok Islam yang dianggap militan atau radikal misalnya pondokpondok pesantren yang nama belakangnya berlebel ‘huda’, dan Majelis Mujahidin. Kelompok-kelompok ini selain
memiliki aspirasi penerapan syariah Islam juga
memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap kegiatan misi agama lain. Kesimpulan ini didasarkan atas kenyataan di lapangan. Beberapa kasus konflik Islam-Kristen
di
Tasikmalaya dan sekitarnya membuktikan hal itu, misalnya pembakaran gereja di Banjarsari dan di kota Ciamis melibatkan alumnus ‘huda’. Yang dimaksud dengan pondok pesantren ‘huda’ adalah pondok pesantren yang memiliki kaitan dengan Pondok Pesantren Miftahul Huda di Manunjaya. Biasanya para alumnus pondok ini kalau mendirikan pondok memberi nama ‘Huda’ di belakangnya seperti Pondok
188
Pesantren Bahrul Huda yang diasuh KH Marjudin yang terletak di Pemayangsari Desa Cikawungading. 2. Sisa-Sisa Konflik Konflik yang ada juga tidak dapat dilepaskan dari kasus-kasus konflik antarumat beragama yang sudah pernah terjadi di daerah ini. Pada tahun 1996 terjadi pembakaran gereja, dan tahun 2000 terjadi lagi konflik akibat pelecehan simbol agama yaitu pengalungan anjing oleh orang Kristen dengan kalimah yang dianggap suci oleh muslim. Konflik tahun 1996 yang berakhir dengan pembakaran gereja tersebut sering dianggap bersumber dari kecemburuan
sosial akibat kesenjangan sosial-ekonomi
antara pribumi dan nonpribumi, seolah-olah tidak ada kaitannya dengan persoalan hubungan antarumat beragama. Padahal menurut beberapa informan, seperti Pak Em, dan NA., sebenarnya peristiwa tersebut sangat kental dengan nuansa agama. Ada jarak sosial yang tinggi dan kepekaan dari umat Islam terhadap semua yang berbau Kristen. Peristiwa yang terjadi hari Kamis tersebut bermula
dari persoalan
di
kalangan umat Islam, seorang santri pondok di Condong yang kebetulan anak polisi bermasalah dengan santri yang lain, kemudian ia dikenai hukuman (dijilid) dan diserahkan kepada orang tuanya, ibunya ikut memukuli karena merasa malu. Sang bapak mengira anaknya dianiaya para santri yang mengantarkan ke rumahnya. Karena itu 4-5 santri tersebut dipanggil ke kantor polisi, dan disitulah terjadi penyiksaan, salah satu di antara polisi yang menyiksa kebetulan beragama Kristen, sehingga masalahnya menjadi berkembang dan serius. Terjadi penumpukan massa santri dari berbagai pondok yang tergabung dalam ‘Forum Komunikasi Pondok Pesantren’, terutama di rumah sakit. Mereka ingin menengok keadaan santri yang disiksa polisi tersebut. Pada waktu berikutnya, issu yang berkembang di masyarakat adalah ‘ada orang Kristen menyiksa santri’. Walapun ada kelompok Islam, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan juga Forum Komunikasi Pondok Pesantren, yang berusaha menenangkan keadaan, tapi pembakaran hampir semua gereja yang ada di daerah ini (Tasikmalaya sebelum dimekarkan menjadi kota dan kabupaten) tak terelakkan lagi. Di tengah pembakaran gereja tersebut terjadi juga pelemparan, perusakan dan penjarahan tokotoko Cina yang ada di Tasikmalaya. Pertanyaannya adalah mengapa orang Cina yang jadi sasaran, hal ini tidak lain, seperti dikemukakan NA, karena dalam masyarakat
189
Islam berkembang anggapan bahwa Cina adalah Kristen. Memang tidak menutup kemungkinan faktor kesenjangan sosial-ekonomi juga ikut memberikan konstribusi, namun bukan satu-satunya. Dalam kasus 2000 tiap informan berbeda dalam menyebut apa yang dimaksud dengan pelecehan simbol keagamaan, khususnya tentang tulisan yang dikalungkan ke leher anjing. Irf. misalnya melalui SMSnya menyatakan ‘orang Kristen mengalungkan kalimah ‘syhahadatain’ di leher anjing.’ Sementara yang lain menyebutnya dengan kalimah ‘Allah’, dan Kompas (19 –9-2001) menyebutnya dengan ‘kaligrafi berbahasa Arab’. Yang pasti hal tersebut dianggap sebagai pelecehan simbol Islam bagi pihak muslim. Dari kedua kasus tersebut memang tidak ada penyelesaian permanen serta tidak tuntas dan erat kaitannya dengan munculnya konflik fokus tahun 2001. Sebab sebagaimana akan diurai nanti, kasus konflik tahun 2001 terjadi di antaranya karena pengungkitan kembali isu pelecehan simbol agama di tengah-tengah persoalan yang muncul antara kelompok Islam dan Kristen. 3. Penyebaran Agama Kristen Ada kalimah singkat dan padat dari informan saya, Ir. Du melalui SMS, ‘Kasus Cipatujah ya jelas konflik muslim-Kristen karena pembangunan gereja dan kristenisasi, ujungnya gereja dibakar massa.’ Kalimat singkat ini untuk mewakili penjelasan panjang lebar mengapa konflik tahun 2001 tersebut. Artinya, pembakaran itu terjadi karena sebelumnya sudah ada potensi yang berasal dari penyebaran agama Kristen di Cipatujah. Hal ini sekaligus memiliki kemiripan dengan kasus-kasus yang terdapat di lokasi lain. Potensi Konflik Pascakonflik: Ke depan konflik dapat saja terjadi kembali karena ternyata benih-benih konflik pasca peristiwa September 2001 tetap ada. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi, baik dari pihak muslim maupun Kristiani. Adanya penguatan rasa ingroup dan solidaritas masing-masing
kelompok
pascakonflik memperlihatkan potensi itu. Dari pihak Kristen misalnya bantuan dari gereja yang diperoleh dari luar untuk membangun rumah orang-orang Kristen yang terbakar semakin memberikan ikatan ingroup yang lebih tinggi. Apalagi ketika muslim dihadapkan pada kenyataan bahwa gereja yang diharapkan oleh mereka tidak ada lagi justru dibangun kembali dalam waktu yang relatif singkat dan bahkan lebih
190
besar lagi dari yang sebelumnya. Itu sebabnya religiosentrisme (65%) dari kalangan muslim masih tinggi terhadap umat Kristiani
C. Karakteristik Konflik 1. Sumber dan Penyebab Potensi konflik prakonflik sebagaimana dijelaskan di atas memberikan gambaran bahwa konflik puncak antarkelompok selamanya bukan berlangsung secara spontan, tapi ada prakondisi dan melalui proses, terutama karena adanya benih-benih atau sumber yang sudah ada. Sebuah sikap yang dianggap merugikan kepentingannya dan karena
karakteristik
yang dimiliki
satu atau kedua belah pihak, seperti
pemahaman keagamaan dan pengalaman interaksinya dengan kelompok lain. Dalam konteks Tasikmalaya kedua hal tersebut yang terjadi. Penyebab kasus konflik tahun 2001 pada pokoknya karena dua faktor yaitu: (1) sebagai bagian dari upaya penerapan syariah Islam, (2) Diskriminasi dalam kasus illegal loging yang terjadi di Perhutani Cipatujah. Kedua faktor ini, ditambah dengan potensi-potensi yang lain, yang melahirkan konflik fokus, kedua faktor merupakan dua kepentingan dari kelompok yang berbeda. Meskipun ada anggapan bahwa jumlah umat Kristiani di lokasi kasus bersifat ‘turunan’ dari generasi sebelumnya, namun bukan demikian di hadapan kelompok muslim. Bagi mereka orang Kristen tidak pernah sepi
melakukan misi melalui
berbagai cara. Hal ini terlihat dari yang dikemukakan Ir.Du bahwa konflik terjadi karena pembangunan gereja dan misi Kristen. Ada dua hal yang perlu dicermati dari pernyataan tersebut. Pertama, masalah yang bersumber dari tempat ibadah Kristen di Cipatujah. Sebenarnya tempat ibadah di kecamatan ini tidak mengalami perubahan. Yang dimsalahkan bukan jumlahnya tapi bangunannya yang cukup besar, dan adanya rumah yang dijadikan sebagai tempat ibadah Kristen seperti yang ada di Cipanas. Kedua, masalah yang bersumber dari kegiataan orang Kristen yang dikelompokkan sebagai ‘kristenisasi’ oleh umat Islam. Faktor ini nampaknya yang lebih serius karena seperti dituturkan ajengan Is, ‘pemberian kebutuhan sehari-hari kepada orang Islam oleh Kristen adalah salah kaprah’, karena semestinya cukup diberikan kepada orang Kristen.’ Hal ini juga yang dijadikan alasan pemberian ‘kode khusus’ dalam bentuk stiker di rumah-rumah orang Islam. Menurutnya ‘untuk mencegah kristenisasi’.
191
Selain itu pihak muslim juga menganggap bahwa proses kristenisasi juga dilakukan dengan mendatangkan nelayan Kristen dari Cilacap ke daerah pantai Cipatujah, meraka kemudian menetap di sana, sementara orang-orang Kristen yang didatangkan dari tempat lain seperti Purwokerto menetap di daerah perkebunan. Sebagaimana dikemukakan di atas aspirasi penerapan syariah Islam setidaknya sudah berlangsung menjelang pemilihan bupati. Ketika itu PPP, sebagai partai yang memiliki
kursi signifikan di DPRD, mencalonkan bupati
dengan syarat
mau
menerapkan syariat Islam, dan ternyata menang. Pada tingkat bawah ternyata spirasi ini sudah berjalan lebih dulu dengan penafsirannya sendiri, misalnya penerapan syariah diartikan juga sebagai evaluasi kritis terhadap keberadaan dan kegiatan serta simbol-simbol agama lain. Secara politik, kemenangan PPP di daerah ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
kelompok yang secara historis berkaitan dengan DI/TII dan kelompok
militant lainnya. Berbeda dengan di tempat lain, PPP di daerah ini lebih didominasi oleh kelompok tersebut. Demikian juga NU yang ada adalah sayap keras, bukan kelompok
moderatnya Gus Dur, sayap moderat ini afiliasi politiknya ke PKB,
sedangkan yang berafiliasi ke PBB bersandar kepada faksi Ahmad Margono bukan Yusril. Pada tingkat lokal konflik antara kedua kelompok agama tersebut menjadi aktual setelah dipicu oleh kasus illegal logging. Cikawung Ading selain desa dekat pantai juga memiliki hutan yang cukup luas. Sejak sekitar tahun 1911 disitu sudah ada PTP, sekarang masuk dalam PTP VIII, warisan pemerintah kolonial Belanda. Di hutan ini sering terjadi pencurian dan penebangan kayu yang dilakukan pengusaha, kebetulan ada yang muslim dan Kristen. Suatu ketika orang Islam yang melakukan illegal logging dilaporkan dan ditangkap, sementara orang Kristen yang melakukan hal yang sama
dibiarkan karena Kepala Perhutaninya seorang Kristen. Hal ini
menunjukkan ada perasaan diskriminasi dalam menangani pelaku yang berbeda agama. Masalahnya kemudian mulai bergeser menjadi beralih ke persoalan agama karena waktunya sangat bertepatan dengan isu yang sedang berkembang di kalangan muslim. Fakta ini berbeda dengan apa yang pernah diberitakan oleh surat kabar seperti Kompas dan Republika (19-9-2001) yang didasarkan pada informasi dari Polda Jawa Barat. Kompas misalnya, di antaranya menyatakan:
192
…peristiwa di Cipatujah tersebut tidak bermuatan SARA…meski ada gereja dibakar, tetapi kejadian itu bukanlah perselisihan antarpemeluk agama. Bahkan dalam peristiwa itu banyak penduduk Muslim yang turut menjadi korban….kasus di Cipatujah berawal dari seorang pengusaha berinisial M, yang selama ini merasa terganggu akibat laporan warga setempat saat menggarap hutan Cikawung Ading secara illegal…’Karena sering dilapor, M memprovokasi warga dengan menggunakan sentimen agama…
Ada tiga bias dalam berita tersebut yaitu: (1) yang disebut sebagai sumber konflik utama adalah illegal logging dan karenanya dianggap bukan konflik SARA, tapi dianggap sebagai persaingan bisnis semata, (2) seolah yang dipersalahkan adalah pengusaha
muslim (yang berinisial M) karena dianggap memanfaatkan sentimen
agama akibat sering dilaporkan warga. Padahal inti masalahnya terletak pada adanya perasaan deskriminasi terhadap pelaku illegal logging yang berbeda agama, (3) M yang dimaksud bukan pengusaha tetapi elit agama yang menggunakan kayu untuk kepentingan pembangunan prasarana agama seperti madrasah dan masjid. Sentimen keagamaan muncul kembali dan menguat setelah KH. M, pengasuh PP. BH, menghubungkan kasus tersebut dengan perlakuan orang Kristen selama ini, di antaranya
tentang pelecehan simbol-simbol Islam
yang pernah dilakukan orang
Kristen, dan pengaitannya posisi Kristen dalam konteks daerah yang memberlakukan syariat Islam.
2. Proses dan Dampak Konflik di Tasikmalaya,
dalam kasus Cipatujah berjalan melalui sebuah
proses. Pertama, penangkapan orang Islam yang dianggap melakukan illegal logging di satu pihak, dan dibiarkannya orang Kristen yang melakukan hal yang sama telah memunculkan persepsi di kalangan muslim tentang terjadinya deskriminasi. Hal ini kemudian sampai juga kepada K. M yang ada dipondok BH. Kasus tersebut bertepatan waktunya dengan berkembangnya aspirasi penerapan hukum Islam, ditambah dengan kegiatan dan perilaku orang-orang Kristen sebelumnya, sehingga melahirkan sentimen keagamaan yang sangat tinggi. Hal ini meluas di kalangan muslim, bukan hanya di Cikawung Ading dan Cipatujah, tapi juga di kecamatan sekitar Cipatujah terutama di kalangan pesantren MH seperti di Cikatomas dan Cikalong. Kedua, dua hari sebelum kejadian pembakaran, rumah orang Islam ditandai dengan kode khusus yang menunjukkan identitas muslim seperti “Islam” atau “Assalamualaikum”, ada yang menyatakan kode itu dilakukan oleh orang lain. Tidak 193
jelas siapa yang memulai dan atas perintah siapa, tetapi hal itu menunjukkan bahwa ada perencanaan yang terkoordinasi dalam hal ini. Selain itu masyarakat juga sudah terkondisi dalam menghadapi apa yang akan terjadi, sekaligus menunjukkan adanya semangat konflik dalam kelompok muslim terhadap orang Kristen. Pemberian kode ini mempunyai makna penting karena pada saat pembakaran rumah, yang dibakar adalah rumah yang tidak ada kodenya karena dianggap milik orang Kristen. Itulah mengapa ada beberapa orang rumah Islam yang juga terbakar karena ada sebagaian dari mereka yang tidak sempat atau tidak diberi kode dan fakta ini pula yang dijadikan dasar Kapolda Jawa Barat ketika itu, Irjen Sudirman A, dengan menyatakan bahwa konflik Cipatujah bukan konflik SARA karena ‘banyak penduduk muslim yang menjadi korban’ (Kompas, 19-09-2001). Ketiga, dua jam sebelum pembakaran Camat Cipatujah sempat menengahi persoalan khususnya yang berkaitan dengan masalah illegal logging. Sekitar pukul 18.00, Senin, 18 September 2001 ada ratusan massa turun dari truk dan sepeda motor langsung mendatangi rumah penduduk yang tidak ada kodenya sambil membawa senjata tajam. Penghuni rumah keluar menyelamatkan diri ke hutan desa, dan rumah yang sudah kosong tersebut dibakar. Bersamaan dengan itu, massa juga langsung membakar dua gereja yang ada di sana serta beberapa barang milik orang Kristen. Keempat, setelah itu ada pertemuan yang diprakarsai oleh pemerintah dengan menghadirkan pimpinan kelompok Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Pada pertemuan itu, terjadi perdamaian terutama dari pihak Kristen yang menerima perdamaian itu karena terasa sebagai minoritas. Kelima, orang-orang yang terlibat dalam kasus ini tidak ada yang diproses sampai di pengadilan. Kasus ini hanya berakhir sampai di Polres berkat usaha dan jaminan dari orang-orang yang ada di Majelis Mujahiddin. Seperti dikemukakan Ajengan. Zz. , panglima Brigade Taliban, Lembaga Bantuan Hukum Taliban milik Majelis Mujahidin diminta untuk mendampingi orang-orang Islam yang terlibat dalam kasus tersebut. Aparat pemerintah menyatakan bahwa tidak adanya penahanan ini karena khawatir terjadi reaksi yang keras dari kelompok Islam seperti yang terjadi pada tahun 1996. Kerugian yang diderita dari umat Islam tidak ada sedangkan dari pihak Kristen, selain dua gereja juga 30an rumah dan warung orang Kristen serta kendaraan milik pengusaha dan pimpinan Kristen. Gereja yang dibakar adalah Gereja Pasundan,
194
sebuah gereja Katolik tertua di Tasikmalaya dan Gereja Advent (Protestan). Kedua gereja ini sekarang sudah dibangun kembali dengan lebih megah dibandingkan sebelumnya, bahkan rumah-rumah orang Kristen yang dibakar telah dibangun kembali dengan lebih baik, mereka memperoleh bantuan dari lembaga donor Kristen luar negeri atau dari luar Tasikmalaya. Pascakonflik ada penguatan solidaritas in-group dari masing-masing kelompok. Dari pihak Kristen misalnya, bantuan pembangunan rumah yang lebih baik telah memberikan ikatan in-group yang lebih tinggi. Sementara dari pihak muslim, solidaritas itu muncul ketika proses advokasi terhadap orang-orang yang terlibat dalam kasus tersebut. 3. Anatomi Subyek Terlibat Kalau kita memperhatikan kasus yang terjadi di Cipatujah, ada beberapa subyek yang terlibat di dalamnya baik dari pihak Islam maupun Kristen. Dari kelompok Islam antara lain Ajengan. M, pengusaha muslim, dan beberapa kelompok Islam. Ajengan M. adalah pengasuh pondok yang terletak di Pamayangsari Desa Cikawung Ading. Beliau merupakan pendatang yang kawin dengan perempuan Cikalong dan alumnus PP MH Manunjaya yang terkenal itu. Pondoknya adalah salah satu cabang MH. Adapun cabang-cabang yang lain misalnya Salalatul Huda (SH) di Bojong Sari Tasikmalaya, Miftahul Huda II atau MH II di Rajadesa Ciamis. Secara historis, PP MH di Manunjaya, daerah di bagian timur Tasikmalaya, adalah sebuah pondok yang didirikan oleh KH. KA yang berasal dari Cibubur Pangandaran Ciamis. Beliau seorang mantan pimpinan DI/TII Tasikmalaya bagian selatan. Ketika perlawanan DI/TII terhadap pemerintah Indonesia mengalami penurunan dan tidak berhasil melakukan perjuangan secara fisik, beliau kemudian mendirikan pondok tersebut. Ajengan M berperan dalam memberikan pemahaman bagi umat Islam tentang gerakan Kristen selama ini termasuk tentang pelecehan atas simbol-simbol Islam dan aspirasi umat Islam tentang penerapan syariah Islam di Tasikmalaya. Seperti halnya aspirasi dari pondok “huda” lainnya bersama kelompok lain seperti MM, mereka memperjuangkan melalui pendekatan kultural, penyadaran kepada masyarakat secara langsung, juga berupaya melalui pendekatan struktural yaitu melalui partai politik yang ada di legislatif dan pemerintah. Sementara dari kelompok Islam yang lain, kebanyakan dari alumnus pondok “huda”, terutama yang ada di Cikatomas dan Cikalong serta kecamatan lain di sekitar
195
Cipatujah. Mereka ini bertindak di lapangan pada tahun 2001 tersebut. Kelompok Islam yang lain seperti Majelis Mujahiddin, berperan aktif ddalam melakukan advokasi terhadap orang-orang Islam yang terlibat dalam kasus tersebut. Dari pihak Kristen, di antaranya adalah pengusaha sekaligus pemimpin Katolik yaitu S. juga pimpinan dan jemaah Gereja Advent yang ada di Cipatujah. S adalah elit yang dianggap terlibat dalam persoalan illegal logging di hadapan orang Islam. Ia menjadi sosok sumber deskriminasi dalam masalah ini, sebab sementara orang/tokoh Islam dianggap melakukan illegal logging dan ditangkapi, namun ia tidak.
D. Upaya Pengendalian Potensi Konflik Dalam setiap masyarakat pasti terdapat benih-benih konflik antarkelompok atau individu, mulai dari berskala kecil sampai konflik
tersebut
dapat
menjadi
konflik
besar. Benih-benih atau potensi
terbuka
mengendalikannya. Di Tasikmalaya sejak terjadinya
jika
tidak
ada
upaya
konflik yang diakibatkan
pelecehan simbol agama pada tahun 2000, sebelumnya sudah ada upaya-upaya yang dilakukan untuk mengendalikannya. Upaya-upaya tersebut memang masih terbatas melalui pendekatan struktur yaitu upaya pengendalian yang dilakukan oleh pihak lembaga pemerintah dan aparat keamanan. Berbagai upaya tersebut adalah: sosialisasi wawasan kebangsaan, antisipasi atau deteksi dini melalui kegiatan intelegen, dan sosialisasi program pemeritah di bidang pembangunan agama Pertama, sosialisasi wawasan kebangsaan dilakukan oleh Badan Keselamatan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas). Tujuan pokok dari kegiatan ini adalah menanamkan nilai-nilai kebangsaaan, pluralitas dan berbagai isu nasional seperti tentang hak azasi manusia (HAM), demokratisasi, serta hal yang terkait dengan hubungan antarkelompok dalam masyarakat (SARA). Melalui kegiatan ini diharapkan kelompok-kelompok dan kader memahami dan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang makna penting nilai-nilai kebangsaan, sehingga stabilitas dalam masyarakat dapat dipertahankan. Orang dan kelompok sasaran adalah tokoh masyarakat, pemuda dan tokoh agama (ajengan), perwakilan dari partai politik pada tingkat kecamatan. Pembinanya berasal dari lintas instansi pemerintah dan masyarakat seperti DanKodim (TNI), Kapolsek yang berkaitan dengan hukum dan kamtibmas, dan hubungan umat beragama berasal dari MUI.
196
Kedua, deteksi dini kemungkinan terjadinya konflik suku, agama, ras, dan antrgolongan (SARA). Kegiatan ini dilakukan Komunikasi Intelejen Daerah (Kominda)
yang diketuai oleh Sekda dan ketua hariannya dari kepala Kesbang,
sedangkan anggotanya meliputi Kasi Kodim, Unit Intel Kodim, Kasi Intel Kejaksaan, Kasat Intelpam Polres, Kasi Intel Btigib AD dan AU, Kesbanglinmas, dan BIN daerah. Tugas pokok dari lembaga ini adalah memantau dan mengantisipasi berbagai isu dan benih-benih
konflik SARA dalam masyarakat. Memang tugas ini mirip dengan
kegiatan intelegen masa Orde Baru, namun ada perbedaan substansial yaitu lembaga ini dalam menjalankan tugasnya sangat memperhatikan HAM. Melalui kegiatannya akan diketahui akan terjadinya
sebuah peristiwa yang
berkaitan dengan hubungan antarkelompok. Sebagai contoh ketika penelitian ini dilakukan (bulan Juli) lembaga ini telah mengetahui akan adanya ‘gangguan’ yang akan dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam terhadap acara yang akan dilakukan oleh Ahmadiyah. Ketiga, sosialisasi program pemerintah di bidang keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan hubungan intern dan antarumat beragama. Selama ini tugas tersebut dilakukan oleh Forum Komunikasi Antarumat Beragama, dan sejak tahun 2006 ini bernama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Perubahan ini berlaku sejak diberlakukannya Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Th
2006/Nomor 8 Tahun 2006, 21 Maret 2006 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Tempat Ibadah.’ Memang banyak pihak mengakui bahwa forum ini pada masa lalu tidak berperan secara efentif dalam pengendalian potensi konflik. Forum ini lebih banyak dikenal sebagai wadah ketika penyelesaian konflik antarumat beragama. Tugas rincinya
telah dikemukakan dalam bagian terdahulu. Dari deskripsi tentang tugas
forum ini tidak secara eksplisit menyebutkan tugas pengendalian konflik. Walaupun begitu pada pasal 9 ayat 2a dan d memberikan sinyal adanya tugas pengendalian ini yaitu ‘melakukan dialog dengan tokoh agama dan masyarakat’ (Pasal 9 ayat 2a), serta ‘mensosialisasikan peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama’ (Pasal 9 ayat 2d). Untuk ini memang perlu penerjamahan secara lebih rinci pada level praksis, sehingga forum ini memiliki peran dalam pengendalian potensi
197
konflik. Lebih penting dari itu adalah bagaimana mengimplimentasikannya
di
lapangan dan mengefektifkan perannya serta menumbuhkembangkan representasi internal forum. Sosialisasi juga dilakukan Penyuluh Agama Honorer (PAH) yang ada sejak tahun 1986. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa lembaga ini memiliki peran mediator dari kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Hanya saja nampaknya belum dioptimalisasikan dalam upaya pengendalian potensi konflik antarumat beragama. Padahal sebenarnya ia potensial untuk dijadikan sebagai struktur mediasi dalam alih nilai dan kebijakan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Islam. Hal ini karena di dalamnya terdiri dari banyak ajengan dan tokoh agama yang dapat dijadikan panutan masyarakat Islam. Upaya-upaya ini dilakukan terutama oleh aparat pemerintah. Sementara upaya yang dilakukan oleh masyarakat masih belum muncul
E. Upaya Penyelesaian Konflik Setiap kali terjadi konflik masyarakat dan pemerintah telah berupaya menyelesaikannya, meskipun sering tidak memuaskan dan menuntaskan akar persoalan. Dalam kasus konflik yang terjadi tahun 2001 ataupun tahun 2000 membuktikan hal ini. Pada kasus konflik tahun 2001, penangkapan orang Islam yang dianggap melakukan illegal logging di satu pihak, dan dibiarkannya orang Kristen yang melakukan hal yang sama telah memunculkan persepsi di kalangan muslim tentang terjadinya deskriminasi. Hal ini kemudian sampai juga kepada K. M yang ada dipondok BH. Kasus tersebut bertepatan waktunya dengan berkembangnya aspirasi penerapan hukum Islam ditambah dengan kegiatan dan perilaku orang-orang Kristen sebelumnya. Hal ini kemudian melahirkan sentimen keagamaan yang
meluas di
kalangan muslim, bukan hanya di Cikawung Ading dan Cipatujah, tapi juga di kecamatan sekitar Cipatujah terutama di kalangan pesantren MH seperti di Cikatomas dan Cikalong. Dua hari sebelum kejadian pembakaran, rumah orang Islam ditandai dengan kode khusus yang menunjukkan identitas muslim. Walapun dianggap tidak diketahui identitas pelaku, namun yang jelas ada perencanaan yang terkoordinasi dalam hal ini.
198
Masyarakat juga sudah terkondisi dalam menghadapi apa yang akan terjadi, sekaligus menunjukkan adanya semangat konflik dalam kelompok muslim terhadap orang Kristen. Proses penyelesaian konflik kedua belah kelompok sebenarnya telah dimulai sejak awal sebelum terjadinya pembakaran. Misalnya dua jam sebelum pembakaran Camat Cipatujah sempat menengahi persoalan khususnya yang berkaitan dengan masalah illegal logging dengan mendatangkan tokoh yang berkonflik dari kedua belah pihak. Setelah terjadinya puncak konflik (pembakaran) ada pertemuan yang diprakarsai oleh pemerintah dengan menghadirkan pimpinan kelompok Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Dalam kasus konflik ini penyelesaian hukum tidak berjalan dengan efektif, justru karena pertimbangan politik dan suasana keamanan. Orang-orang yang terlibat tidak ada yang diproses sampai di pengadilan, namun hanya berakhir sampai di Polres berkat usaha dan jaminan dari orang-orang yang ada di Majelis Mujahiddin. Sementara dari pihak aparat pemerintah, atas tidak adanya penahanan ini karena khawatir terjadi reaksi yang keras dari kelompok Islam. F. Profil Budaya Lokal 1 .Umum Secara tradisional masyarakat Tasikmalaya termasuk dalam suku Sunda. Secara antropologi budaya, yang termasuk suku Sunda adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dalam keseharian. Batas kultural-geografis adalah sungai Cilasari dan Cilanday di sebelah timur (Harsojo dalam Koentjaraningrat,2002). Dilihat dari tingkatan bahasanya, suku Sunda dapat dibagi ke dalam (bahasa) Sunda
terhalus-murni,
halus,
dan
kurang
halus
(
Harsojo
dalam
Koentjaraningrat,2002). Bahasa Sunda terhalus adalah berkembang di masyarakat Cianjur. Bahasa halus berkembang di Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Bandung, Sumedang, dan Sukabuni, sedangkan bahasa Sunda kasar terdapat di daerah pantai utara seperti Cirebon, Banten, Krawang, dan Bogor. 2. Sistem kekerabatan Sistem kekerabatan masyarakat Tasikmalaya tak jauh dari sistem kekerabatan orang Sunda pada umumnya yang secara tradisional dipengaruhi agama Islam. Dalam perkawinan misalnya, orang sulit memisahkan antara adat dan ajaran Islam. Hal ini
199
menunjukkan adat dan Islam menjadi kebudayaan orang Sunda. Tentu dengan proses modernisasi yang sudah lama berlangsung dalam masyarakat, nilai-nilai modern ini juga ikut mempengaruhinya. Bentuk keluarga masyarakat Tasikmalaya saat ini yang terpenting adalah keluarga batih. Keluaraga ini terdiri dari suami-isteri dan/atau anak-anak yang diperoleh dari perkawinan atau adopsi yang belum kawin. Dalam rumah tangga keluarga batih sering terdapat anggota keluarga lain seperti keponakan, bapak atau ibu mertua dari suami atau isteri. Keluarga batih berfungsi dalam banyak aspek seperti sosialisasi nilai budaya kesundaan kepada anak-anak, sementara dalam hubungannya dengan kerabat yang lain dan masyarakat ia punya posisi penting yaitu sebagai mediator kepentingan keluarga batih dengan keluarga batih lain dan masyarakat pada umumnya. Selain itu ada juga golongan yang masih punya hubungan kekerabatan sekitar keluaraga batih (kindred), golongan ini biasanya terpencar di berbagai tempat. Walaupun mereka saling berjauhan, tapi biasanya saling mengundang pada peristiwa tertentu seperti dalam upacara lingkaran hidup, khususnya sunatan dan perkawinana. Dalam masyarakat Tasikmalaya juga ditemukan kelompok kekerabaatn ambilineal, suatu kerabat keluarga batih yang diorientasikan kepada ego (nenek moyang) yang jauh. Kelompok ini disebut bondoroyot. Anggota kerabat dalam kesatuan bondoroyot ini biasanya punya adat yang wajib atau dilarang dilakukan. Dari segi hubungan dengan ego, orang Sunda di Tasikmalaya mengenal terma untuk 7 generasi ke atas dan ke bawah. Sebutan generasi ke atas yaitu kolat, embah, buyut, bao, janggaweng, udeg-udeg, dan gantung siwur, sedangkan generasi ke bawah adalah anak, incu, buyut, bao, janggaweng, udeg-udeg, dan gantung siwur. Walaupun begitu secara fungsional, hubungan kepada ego hanya berlaku pada generasi ketiga, misalnya dalam hubungan silaturrahim dan pada peristiwa-peristiwa tertentu. Contoh: kelompok kerabat Sukapura, egonya adalah Raden Wijayapraja, yang punya beberapa anak seperti Sakiyah, Ningsih, Ema, Eme, dan seterusnya; Sakiyah punya anak (incu R.Wijayapraja), yaitu Herti yang punya anak
Dadan (buyut dari Wijayapraja),
Ningsih punya beberapa anak, diantaranya Harini (incu R.Widjayapraja). Dikatakan hubungan fungsional karena walau masyarakat Tasikmalaya mengacukan hubungan kekerabatannya kepada ego tertentu, seperti pada Raden Wijayapraja di kalangan kerabat Sukapura, namun generasi keempat dan seterusnya sudah jarang sekali
200
melakukan hubungan, bahkan tidak saling mengenal, apalagi kalau tempat tinggalnya saling berjauhan. Hal ini terlihat ketika lebaran, seorang incu atau buyut akan pergi ke rumah mbah atau buyut untuk meminta maaf. Hal ini sekaligus menunjukkan hubungan generasi keempat dan seterusnya hanya mempunyai fungsi tradisional. Sistem kekerabatan orang Sunda Tasikmalaya adalah bilateral yaitu garis keturunan yang mempertimbangkan hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki maupun wanita. Di daerah ini sangat jarang terjadi perkawinan antaragama, dan karenanya keluarga penduduk asli tidak ada yang bervariasi agama. Perkawinan campuran antarumat beragama ini lebih banyak terdapat pada keluarga pendatang, sehingga mengakibatkan adanya variasi agama dalam keluarga pendatang tersebut. 3. Kelompok Sosial dan Aktor Lokal Kelompok Sosial: Suatu kelompok merupakan suatu masyarakat karena di dalamnya ada sistem interaksi antaranggotanya, adat-istiadat,
sistem norma yang
mengatur interaksi, serta adanya kesinambungan rasa identitas yang mempersatukan semua anggota. Selain itu kelompok sosial kepemimpinan
mempunyai sistem organisasi
dan
aktor yang memiliki pengaruh tertentu. Sebuah organisasi dapat
berupa asosiasi dan organisasi yang tidak dibuat. Keduanya disebut juga dengan organisasi formal (secondary group) dan informal (primary group). Kelompok sosial di Tasikmalaya saat ini, khususnya dalam bentuk asosiasi cukup banyak seperti kelompok ibu-ibu yang tergabung dalam PKK. Selain itu ada kelompok taklim,
yang berorientasi keagamaan yaitu kelompok pengajian atau majelis Mejelis Ulama’ Indonesia (MUI), Dewan Geraja Indonesia (DGI) dan
Persekutuan Wali Gereja Indonesia (PGI). dan Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), Penyuluh Agama Honorer (PAH), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),1 dan tentu pondok pesantren. Dari segi
statusnya kelompok-kelompok tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: (a) Kelompok yang dibentuk oleh pemerintah atau berdasarkan atas perundangan secara nasional seperti PKK, FKUB, MUI kabupaten, DGI, PGI, PAH. 1
Misalnya FKUB didasarkan atas Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Th 2006/Nomor 8 Tahun 2006, 21 Maret 2006 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepalam Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Tempat Ibadah.’; PAH Kabuparten Tasikmalaya didasarkan atas Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan urusan Haji tentang Penyuluh Agama. Sedangkan pada tingkat Kabupaten Tasik didasarkan atas SK Kepala Kantor Depag No. Kd.10.06/I/BA.01.1/174/2006 tanggal 1 Maret 2006..
201
(b) Kelompok lokal yang dibentuk oleh pemerintah pada tingkat propinsi yaitu MUI kecamatan dan desa. (c) Kelompok yang dibentuk oleh masyarakat yang ada pada tingkat lokal-kabupaten dan propinsi Jawa Barat seperti majelis taklim. (d) Kelompok yang murni dibentuk oleh masyarakat seperti pondok pesantren. Dengan demikian jika dilihat dari ciri khas lokalnya, maka yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok sosial lokal pada tingkat kabupaten adalah MUI kecamatan dan desa, PAH kecamatan, majelis taklim, dan pondok pesantren. Dari segi peran pokoknya dalam kaitannya dengan hubungan umat beragama dapat dipilah ke dalam 3 macam yaitu:
(1) kelompok yang perannya berkaitan
dengan hubungan internal umat beragama seperti MUI, DGI, PGI, (2) kelompok yang perannya berkaitan secara langsung dengan hubungan antarumat beragama seperti FKUB; (3) kelompok yang secara tidak langsung berperan dalam persoalan hubungan umat beragama seperti PKK, majelis taklim, pondok pesantren, PAH. Khusus untuk MUI, berbeda dengan di propinsi dan daerah lain, di Tasikmalaya kelompok ini ada dari tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Pengurusnya adalah para ajengan dan ustad yang ada pada level desa atau kecamatan dan kebupaten. Umumnya ajengan yang menjadi pengurus MUI pada tingkat daerah tertentu menunjukkan level dan kualitas dari ajengan yang bersangkutan. Adapun peran pokok dari MUI, khususnya pada tingkat kecamatan dan desa, sama dengan MUI pada level di atasnya, hanya lingkup wilayahnya yang berbeda. Secara garis besar peran mereka memperkuat ukhuwah Islamiyah di kalangan umat Islam dan melakukan koordinasi yang berkaitan dengan perikehidupan umat Islam
serta
menyelesaikan masalah keagamaan yang muncul dalam kaitannya dengan umat agama lain. Sementara itu FKUB pada tingkat kabupaten memiliki peran
untuk (1)
melakukan dialog dengan tokoh agama dan masyarakat, (2) menampung aspirasi ormas keagamaan dan masyakarat, dan menyalurkannya dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati, (3) mensosialisasikan peraturan perundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang terkait dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat, (4) memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat.
Forum ini merupakan organisasi
yang sudah ada
sebelumnya dengan nama yang berbeda pada tiap daerah seperti Forum Komunikasi Antar
Umat
Beragama.
Yang
penting
dicatat
adalah
bagaimana
mengisi
202
keanggotaannya secara representatif sesuai dengan kondisi dan budaya lokal yang ada di setiap daerah, khususnya di Kabupaten Tasikmalaya. Peran pokok PAH
adalah memberikan bimbingan bagi umat Islam, baik
dalam aspek mental, moral dan ketaqwaan serta menyebarkan pembangunan melalui pintu dan bahasa agama. Adanya berbunyi’ ‘menyebarkan
semua aspek
penegasan peran yang
semua aspek pembangunan melalui pintu dan bahasa
agama’, maka PAH mempunyai posisi strategis, khususnya dalam membantu pengendalian konflik internal maupun antarumat beragama. Mereka biasanya berkumpul setiap triwulan untuk koordinasi, dan pada saat itu dilakukan pembinaan oleh berbagai pihak seperti dari kepolisian
mengenai keamanaan, ketertiban dan
hubungan antarkelompok dalam masyarakat (SARA), juga dari Dinas kesehatan untuk sosialisasi program kesehatan masyarakat. Dengan demikian lembaga ini sebenarnya potensial untuk dikembangkan sebagai kelompok yang berperan juga dalam kerukunan umat beragama. Sama seperti pada FKUB, yang penting dicatat adalah bagaimana mengisi anggotanya secara representatif sesuai budaya lokal yang ada. Tampaknya hal ini telah dilakukan, terbukti dengan dimasukkan ajengan di dalamnya. Dari 468 orang PAH berdasarkan surat Kepala Kantor Depag Kabupaten Tasikmalaya 1 Maret 2006, ada sekitar 314 orang ajengan, selabihnya adalah ustad dan mereka yang bergelar akademik dan haji. Walau dengan catatan bahwa banyak juga dari ajengan yang bergelar akademik. Selain lembaga-lembaga tersebut di Tasikmalaya
masih ada
lembaga
pemerintahan adat. Pada tingkat desa biasa disebut kuwu atau kepala Desa. Seorang kuwu didampingi oleh juru tulis, 3 kokolot, 1 kulisi, 1 ulu-ulu, dan 1 amil. Kuwu mengurus rumah tangga desa, mengadakan musyawarah dengan warga tentang kepentingan warga, termasuk jika ada pertikaian antarwarganya, pekerjaan umum (selokan dan jalan),
dan mengurus
harta benda. Kokolot
bertugas
menyampaikan perintah dan pemberitahuan pamong desa kepada warga yang ada di wilayahnya pada level rukun kampung, juga menyampaikan laporan dan pengaduan dari warga ke pamong. Juru tulis mengurusi administrasi desa, arsip, daftar hak milik warga dan pajak. Sementara ulu-ulu bertugas di bidang pembagian air atau irigasi; kulisi
bertugas memelihara keamanan dan mengurusi pelanggaran warga; Amil
bertugas mencatat kelahiran-kematian, nikah-talak-rujuk, mengucapkan doa dalam slamatan, mengurus masjid-langgar dan memelihara kuburan.
203
Keberadaan dan peran lembaga pemerintahan adat ini saat sekarang sudah digantikan oleh Kepala Desa dengan segala perangkatnya. Saat ini
yang tertinggal
adalah istilah yang masih dipahami oleh orang tua, terutama di pedesaan, sedangkan peran-perannya sudah digantikan oleh lembaga kepala desa tersebut. Aktor Lokal: Dalam setiap kelompok dan masyarakat pasti ada pemimpin, begitu juga di setiap daerah akan memiliki pemimpin atau aktor lokal yang dihormati dan dijadikan panutan oleh masyarakatnya. Di Kabupaten Tasik aktor lokal yang menonjol adalah ajengan. Ajengan adalah aktor lokal muslim
di kalangan orang Sunda-
Tasikmalaya. Meskipun secara umum terma ajengan ada kesamaan pemahaman di kalangan masyarakat, namun mengenei kriteria, kategori dan afiliasi dalam banyak aspek berbeda. Kriteria seorang ajengan secara lengkap adalah (1) ia seorang pemimpin Islam yang jadi panutan, (2) di kalangan muslim, (3) memiliki pengetahuan agama yang lebih di antara anggota masyarakat lainnya. (4) selain itu ia dapat mengasuh pondok pesantren ataupun bukan, (5) dan orang Sunda-Tasik. Kriteria 1-4 merupakan kesepakatan umum di kalangan masyarakat, sedangkan untuk kriteria nomor 5 masih diperdebatkan oleh masyarakat Tasik saat ini, setidaknya di antara informan. Kriteria kesundaan dan Tasik memang berbeda karena ajengan merupakan aktor lokal yang ada di daerah Pasundan yang lain, bukan hanya terdapat di Tasik. Masalahnya adalah apakah jika seorang nonSunda-Tasikmalaya yang memiliki kriteria seperti ajengan dapat disebut sebagai ajengan atau bukan. Jawaban terhadap hal ini berbeda-beda. Di satu pihak menganggap orang tersebut tetap dapat dikatakan sebagai ajengan walau misalnya tidak dapat berbahasa Sunda. Pendapat kedua menyatakan orang itu tidak dapat dianggap sebagai ajengan, dan pendapat ketiga menyatakan dapat dianggap ajengan jika ia dapat berbahasa Sunda. Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, namun yang jelas ajengan pada dasarnya harus memiliki peran: (1) keagamaan dan memimpin kegiatan
Mendidik masyarakat Islam tentang
moral-
di bidang keagamaan. (2) Menjadi pribadi
panutan masyarakat dalam keseluruhan kepribadiannya. Selain itu mereka memiliki peran sekunder yaitu menjadi panutan dalam banyak aspek seperti sosial, politik, dan bahkan ekonomi. Peran pokok di bidang keagamaan mencakup semua kegiatan alih informasi pengetahuan keislaman melalui berbagai media seperti pengajian atau majelis taklim,
204
khutbah, dan atau pondok pesantren. Mereka juga memimpin perawatan janazah, hajatan manten, dan syukuran kelahiran. Lebih dari itu seorang ajengan menjadi aktor lokal, sesuai dengan tingkatannya, yang seluruh
akhlak pribadinya menjadi sosok
tauladan bagi orang sekitarnya. Peran di bidang sosial-keagamaan misalnya mereka diminta masyarakat untuk menyelesaikan
perselisihan dalam pembagian warisan. Mereka memberi nasehat
dengan pendekatan keagamaan, dan biasanya dengan menggunakan hukum faraidh (hukum warisan Islam). Hal ini dilakukan
masyarakat sebelum pihak-pihak yang
bersengketa membawanya ke lembaga pengadilan (negeri atau agama). Biasanya kalau persoalan tersebut sudah dimintakan nasehat dari ajengan maka pihak anggota keluarga
mematuhinya. Peran di bidang sosial ini juga mencakup penyembuhan
orang sakit. Memang tidak semua ajengan berperan di bidang ini, hanya segelintir dari mereka yang melakukannya. Selain itu ajengan juga memberi nasehat atau perantara dalam penyelesaian dalam
sengketa rumah tangga, memberi doa-restu
untuk
kelancaran usaha ekonomi. Hal ini dilakukan ajengan jika diminta oleh seseorang. Ajengan juga memiliki peran sekunder di bidang politik. Pada umumnya mereka berusaha ‘tidak mendekat’ ke dalam kegiatan politik praktis atau setidaknya tidak mengemukakan secara eksplisit berafiliasi ke partai politik dan tokoh tertentu dalam Pilkada atau Pemilu. Walaupun begitu tidak dapat dipungkiri banyak ajengan, dari level desa sampai kabupaten, yang ‘didekati’ atau ‘mendekati’ secara implisit ataupun secara eksplisit ke dalam partai politik dan kegiatan politik praktis lainnya. Apalagi pihak partai politik
dan pegiat politik memahami
peran strategis
dan
pengaruh dari ajengan di lingkungan masyarakat dan komunitasnya. Hal ini terutama ajengan besar yang tingkat keberpengaruhannya sangat luas yaitu pada tingkat kabupaten dan nasional. Sebagaimana dikemukakan beberapa informan saya yang intinya menegaskan bahwa jika ajengan menyuruh masyarakat atau komunitasnya memilih partai politik atau tokoh politik tertentu maka pengikutnya akan memilih parpol dan tokoh tersebut. Kecenderungan ini terutama ajengan besar, sedangkan kalau ajengan kecil yang keberpengaruhannya ada pada level desa atau kampung, ia akan berpengaruh pada level tersebut. Banyak dari mereka yang tidak secara eksplisit menyatakan berafiliasi kepada partai politik dan tokoh tertentu, tapi masyarakat atau pengikutnya akan mencari tahu dan memahami dari sinyal-sinyal yang diberikaan oleh ajengan kemana dukungan akan diberikan. Dari pemahaman tersebut orang-
205
orang dekat ajengan mensosialisasikan kepada masyarakat melalui komunikasi tradisional yaitu dari orang ke orang. Hal ini dapat dicontohkan dengan kegiatan Pilkada bupati dan wakil bupati tahun 2005 yang lalu. Di beberapa kecamatan ada perbedaan
suara terbanyak
dari masing-masing calon karena adanya pengaruh
ajengan. Di Manonjaya misalnya bupati yang lama memenangkan
suara karena
pengaruh ajengan di Pondok Pesantren MH yang dikenal afiliasi politiknya ke PPP, sementara di Singaparna suara terbanyak diraih oleh calon bupati yang merupakan keluarga dekat dari ajengan Rukhiyat Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Cipasung Singaparna. Masih dalam kaitannya dengan peran ajengan di bidang sosial, sementara pihak berpandangan bahwa mereka masih lemah atau bahkan cenderung tidak peduli, ajengan dianggap terlalu perhatian terhadap peran-peran keagamaan dalam makna sempit, sebagaimana dikemukakan Dd dan Mm: ...Peran ajengan di tingkat kecamatan dan kabupaten sebagai da’i sangat kuat, banyak juga yang berperan di bidang politik, tapi kalau dalam soal bencana, PAD (?) peran mereka lemah. Mereka keras (sikapnya) terhadap pemerintah kalau berhubungan dengan adanya pelecehan agama seperti tentang prostitusi dan moral lainnya...Peran ulama masih banyak berkaitan dengan agama dalam pengertian sempit, sedangkan dalam isu santet mereka tidak berperan seperti di Jawa Timur, mestinya beliau-beliau itu peduli terhadap hal itu...
Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa ajengan merupakan aktor lokal yang kemimpinannya bersifat semi-polimorpi. Sebuah sifat kepemimpinan yang berperan dalam banyak bidang, namun sebagian bersifat sekunder, sedangkan peran primer mereka adalah tetap di bidang keagamaan. Pola peran
dan kepemimpinan seperti tersebut menunjukkan posisi ajengan
yang masih kuat dalam kehidupan masyarakat Sunda-Tasik. Karena itu tidak heran jika mereka tersebar dalam banyak organisasi, baik yang diprakarsai oleh pemerintah. Misalnya mereka dijadikan sebagai Penyuluh Agama Honorer (PAH) pada tingkat kecamatan, pengurus Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Sementara itu mereka juga terlibat dalam kepengurusan dan kegiatan yang diadakan masyarakat seperti majelis taklim, pondok pesantren, dan ormas keislaman seperti NU, Majelis Mujahidin dan Muhammadiyah. Sementara Ahmadiyah meskipun anggotanya cukup banyak tapi pemimpinnya bukan berasal dari kalangan ajengan setempat.
206
Secara organisasi dan ideologi keagamaan sebagian besar ajengan
masuk
dalam kelompok tradisionalis seperti NU, namun pada saat sekarang ada gejala baru yaitu berkembangnya ajengan yang berafiliasi ke dalam organisasi dengan ideologi fundamentalis seperti Majelis Mujahidin Indonesia. Dari segi level geografis, ajengan dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa jenis yaitu
ajengan yang mempunyai
pengaruh pada tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten yang sekaligus terkenal pada tingkat nasional. Untuk jenis yang terakhir ini dapat dicontohkan dengan ajengan Rukhiyat Ilyas (PP Cipasung Singaparna), Abah Anom ( PP Suryalaya), juga ajengan keturunan ajengan Khairu Affandi (PP Miftahul Huda Manonjaya). Meskipun ajengan Rukhiyat Ilyas lebih dikenal pada tingkat nasional karena afiliasinya ke Pengurus Besar NU, namun pada tingkat
lokal-kabupaten, dan juga Kota Tasik, ajengan
keturunan ajengan Khairu Affandi punya posisi yang hampir sama dengannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tingkat keberpengaruhan ajengan banyak berasal dari mereka yang memiliki pondok pesantren dibandingkan dengan ajengan yang tidak mempunyainya. Menurut beberapa informan saya, ajengan Rukhiyat Ilyas sebelum 1997-an masih menjadi tokoh
panutan
tahun
yang dominan di Tasik (sebelum
dikembangkan menjadi kota dan kabupaten sekarang), namun seiring dengan menguatnya pengaruh ajengan di Miftahul Huda dan MMI, saat ini hampir tidak ada tokoh panutan tunggal. Tepatnya sekarang ini tersebar, jika tidak (fundamentalis)
untuk mengatakan
terjadi aktor panutan yang relatif
pengaruh ajengan
ideologi keras
lebih menonjol, terutama dalam kaitannya dengan hubungan
antarumat beragama. Kasus Mei 2006 yang lalu menunjukkan hal itu. Dalam kasus ini kendaraan pendeta Daud atau Abraham dirusak dan kemudian dihukum karena dianggap
menghina Nabi Muhammad. Pada waktu itu yang banyak merespon
terhadap penghinaan ini berasal dari pihak muslim fundamentalis atau kaffah tersebut. Hal ini terjadi karena dalam hal hubungan Islam-nonIslam, ajengan yang berafiliasi ke NU lebih toleran terhadap penganut agama lain. Hal ini berbeda dengan ajengan yang berafiliasi pertimbangan
dengan Islam kaffah. Hal ini perlu menjadi
ketika nantinya membangun model pengendalian dan penyelesaian
konflik ke depan.
207
4. Nilai-nilai Lokal Selain keluarga inti (batur sakasur) masyarakat Sunda-Tasik juga mempunyai ciri keluarga yang di dalamnya suatu rumah hidup lebih dari satu keluarga inti, baik yang masih mempunyai hubungan kekerabatan atau tidak. Dalam istilah yang popular di sini keluarga seperti ini disebut dengan satu umpi, dimana satu umpi terdiri dari dua atau lebih kepala keluarga. Dalam satu umpi berlaku nilai batur sadapur. Setiap keluarga berhubungan dengan yang lain, khususnya yang ada di sekitar tempat tinggalnya yaitu tetangga. Di masyarakat Tasik dikenal tetangga dekat (batur sasumur) dan tetangga jauh (batur salembur). Menurut Bapak Uu’ dan Mm. konsep batur sasumur dan batur salembur ini pada saat sekarang sudah mengalami perubahan makna dan muatannya. Pada masa lalu yang dimaksud dengan batur sasumur adalah orang-orang yang berdekatan yang sering berhubungan karena adanya sumur sebagai tempat mengambil air sebagai kebutuhan pokok bersama. Sekarang istilah ini isinya bukan pada pengambilan air tersebut, namun lebih tergantung kepada frekuensi hubungan antarkeluarga, sehingga walaupun keluarga yang satu khususnya yang sekerabat jauh tempat tinggalnya dengan keluarga yang lain, tetapi kalau mempunyai interaksi yang tinggi, maka orang disebut duanggap sebagai tetangga dekat atau batur sasumur. Sebaliknya meskipun beberapa keluarga saling berdekatan tempat tinggal tetapi tidak pernah atau jarang berhubungan, maka keluarga-keluarga itu disebut ‘tetangga’ saja. Apakah pengertian ‘tetangga’ atau tetangga jauh seperti ini masih bisa disamakan dengan istilah batur salembur? Tetangga dekat ini ada yang sekerabat dan juga ada yang tidak sekerabat. Terlepas dari peristilahan tersebut, dalam kenyataan antartetangga dekat dari segi tempat tinggal ditandai dengan hubungan silih asah, silih asih, silih asuh yaitu saling menolong, saling mengasihi dan saling membimbing tanpa membedakan perbedaan latar belakang pada tiap individu, baik dari segi status kekerabatannya, penduduk aslitidaknya, mata pencaharian dan agama. Nilai-nilai batur sasumur dan batur salembur mengandung makna adanya hidup rukun di antara tetangga dan masyarakat, baik yang masih memiliki hubungan kekerabatan maupun tidak. Sebuah hubungan yang saling menghargai antarkelompok atau individu tanpa membedakan identitas masing-masing, baik dari segi suku, status sosial maupun agama.
208
Hubungan ketetanggaan yang baik masih terdapat di daerah ini, terutama di daerah pedesaan seperti desa-desa di wilayah Cipatujah. Hal ini terbukti dari sifat kegotongroyongan masyarakat. Jika ada kerja bakti, tetangga banyak yang ikut berpartisipasi baik tenaga maupun biaya. Begitu pula dalam pembangunan dan pelaksanaan siskamling ataupun pembangunan untuk kepentingan publik lainnya. Selain nilai-nilai batur sasumur dan batur salembur masyarakat juga masih memiliki nilai gototong royong. Nilai ini termanifestasi dalam kegiatan kerja bakti sosial seperti pembangunan atau perbaikan fasilitas umum secara bersama-sama, misalnya membangun MCK, jalan kampung dan lainnya. 5. Upacara Masyarakat
Tasikmalaya masih banyak melakukan beberapa upacara
tradisional, seperti upacara hajat laut di Manonjaya, ngalangsur di Karangpawitan. Selain itu masyarakat Tasikmalaya juga mengenal upacara slamatan, dan kaul. Upacara slamatan dilakukan terutama oleh masyarakat Islam merupakan upacara terpenting.
Waktunya dilakukan
di pedesaan dan
pada hari Kamis sore atau
malam Jumat. Dalam upacara ini peserta upacara melakukan doa dan bacaan, dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri juga dengan surat al-Fatihah. Upacara slamatan dipimpin oleh seorang modin atau ajengan dan undangan biasanya tetangga dan anggota kerabat yang lokasinya berdekatan. Semua tetangga diundang
tanpa
membedakan agama, suku, pendatang atau bukan. Adapun kaul yaitu pergi ke makam-makam suci atau makam orang yang semasa hidupnya dianggap wali atau ulama’. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan permohonan restu sebelum membuka usaha, pesta dan sebagainya. Makam wali dianggap mempunyai berkah yang dapat menjadi media dalam menyampaikan niat dan kepentingan orang yang menjalankan kaul. Pada saat ini niat seperti itu mulai ditafsir ulang (reinterpretation) yaitu bahwa mereka tidak meminta restu kepada orang yang sudah meninggal tapi sebagai
ungkapan penghormatan kepada yang
meninggal, permohonan doa langsung dilakukan
kepada Allah. Hal ini banyak
dilakukan oleh kalangan muslim. Upacara lain seperti pendirian rumah, tanaman padi semakin jarang dilakukan masyarakat. Adapun upacara lingkaran
hidup mulai dari
kehamilan sampai dengan
kematian masih banyak dilakukan anggota masyarakat. Yang penting dicatat bahwa dalam upacara lingkaran hidup ini seperti dikemukakan beberapa informan, Mm,
209
Uu,Tt, Nia, peserta atau yang diundang meliputi tetangga, kerabat dan teman tanpa melihat latar belakang
agama, suku, ataupun status sosialnya. Pemimpin dalam
upacara tersebut adalah modin atau ajengan setempat. Upacara kehamilan disebut dengan Babarid, upacara ini biasanya dilakukan pada 7 bulan dari kehamilan. Kemudian setelah bayi berusia 7 hari dari kelahiran disebut marasan, dalam kesempatan ini dilakukan pemotongan rambut, dibacakan berzanji, dan ekah (aqiqah) yaitu dengan menyembelih 1 ekor kambing bagi bayi perempuan dan 2 ekor kambing bagi laki-laki. Sebagian
anggota masyarakat
melakukan puput pusar sebelum 7 hari dari kelahiran bayi. Hal ini menunjukkan adanya akulturasi budaya Islam dan budaya nonIslam. Upacara jelang pubertas disebut dengan sunatan khususnya untuk anak-anak laki-laki. Upacara perkawinan dilakukan melalui serangkaian kegiatan. Meskipun begitu belum tentu semua rangkaian kegiatan ini dilakukan oleh sebagian angota masyarakat. Secara lengkap rangkaian kegiatan itu meliputi: tukar cincin, siraman
atau
mulangkeun seureuh, ileus; setelah itu ada acara ngeyek derek (widodarenan=Jawa); Seseraan dengan cara memberiakan barang-barang tertentu dari pihak penganten pria; Setelah itu dilakukan akad-nikah dan dilanjutkan dengan sumkem-sawer, buka pintu atau huap lingkung. Rangkaian perkawinan biasanya diakhiri dengan adanya resepsi dan mondah mantu atau mulung mantu. Dalam masyarakat Tasikmalaya sangat jarang
terjadi bahkan belum terdengar adanya perkawinan beda agama,
sedangkan perkawinan antarsuku banyak terjadi.
G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal Selama ini upaya pengendalian potensi konflik antarumat beragama di kota santri ini masih dominan pendekatan struktural yaitu upaya yang dilakukan pemerintah, baik melalui sosialisasi wawasan kebangsaan, antisipasi atau deteksi dini melalui kegiatan inteligen, dan sosialisasi program pemerintah di bidang pembangunan yang berkaitan dengan ideologis maupun hubungan antarkelompok. Sementara pendekatan kultural yang berupaya memanfaatkan potensi budaya lokal masih belum ditumbuhkembangkan atau kalaupun sudah belum dilakukan secara optimal. Pengendalian potensi konflik memiliki dua tujuan sekaligus yaitu (1) supaya potensi konflik tidak menjadi kasus konflik, keberlangsungan integrasi
dan (2)
dalam kehidupan masyarakat.
untuk
menumbuhkan dan
Dalam penyusunan model
210
pengendalian konflik ada beberapa prinsip dasar yang harus ada yaitu: (1) Adanya modal yaitu tumbuh dan berkembangnya keempat komponen budaya lokal, atau adanya potensi budaya lokal untuk dikembangkan/diperankan. (2) Kesadaran dan kemauan bagi masyarakat untuk menumbuhkembangkan komponen budaya lokal. (3) Adanya syarat atau alasan rasional dan relevan dengan kondisi dan perkembangan masyarakat setempat saat ini dan ke depan dalam pemanfaatan komponen-komponen budaya lokal sebagai alat pengendali konflik. (4) Adanya mekanisme yang jelas tentang cara penerapan satu atau lebih komponen budaya lokal. 1. Modal Komponen Budaya Lokal Sebagaimana dijelaskan dalam bagian di daerah lain, komponen budaya lokal dalam konteks Tasikmalaya ini meliputi 4 hal yaitu (a) kelompok sosial, (b) aktor lokal, (c) nilai-nilai, dan (d) upacara. Karena itu dalam
mencari model pengendalian dan
penyelesaian konflik antarumat beragama akan beranjak dari keempat komponen budaya tersebut. Dalam kasus Tasikmalaya keempat komponen budaya yang potensial dan aktual (dilaksanakan/berlaku) yang terkait dengan
upaya penyusunan model pengendalian,
termasuk dalam penyelesaian, konflik antarumat beragama tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, nilai-nilai yang masih potensial berkembang, menurut para informan, yaitu batur sakasur, batur sasumur dan batur salembur. Ugeran ini masih bisa diterima oleh anggota masyarakat suku Sunda yang ada di Tasikmalaya saat ini, baik dari kalangan umat Islam maupun nonmuslim. Meskipun
di kalangan umat Islam ada kelompok-
kelompok yang memiliki pemahaman agama yang berbeda, namun mereka dapat menerima nilai-nilai tersebut karena dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab nilai-nilai tersebut memberikan dorongan agar setiap orang hidup rukun mulai dari kehidupan keluarga, tetangga dan masyarakat umumnya. Kehidupan
harmoni di
lingkungan tetangga dan masyarakat tersebut tanpa perlu membedakan identitas masingmasing. Untuk itu bagi anggota masyarakat nonSunda atau nonmuslim ’selayaknya’ menerima dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya. Hanya saja di kalangan generasi muda nila-nilai batur sakasur, batur sasumur dan batur salembur ada kecenderungan semakin melemah. Karena itu menurut informan perlu kiat-kiat tertentu untuk lebih meningkatkan dan menguatkan nilai-nilai tersebut di kalangan generasi muda.
211
Beberapa syarat atau langkah diperlukan agar nilai-nilai tersebut dapat efektif sebagai instrumen pengendali potensi konflik antarumat beragama, terutama di kalangan generasi muda, yaitu: (1) Sosialisasi melalui media yang dianggap paling efektif yaitu melalui
seni-tradisional Sunda ataupun seni-modern yang menjadi kecenderungan
generasi muda, keluarga, dan kelompok sosial lainnya seperti melalui MUI kecamatan dan desa, majelis taklim, dan pondok pesantren. Untuk itu dibutuhkan kerja sama dan memang membutuhkan peran pemerintah (2) Selain itu perlu melibatkan para ajengan yang ada dalam setiap jenjang atau posisi, (3) Perlu penafsiran baru terhadap kandungan ugeran tersebut khususnya untuk batur salembur yaitu harus dimaknai sebagai menjalin hubungan harmoni dengan orang lain tanpa membedakan latar belakang agama dan suku. (4) Sosialisasi perlu dilakukan dalam
berbagai kesempatan, terutama yang berkaitan
dengan komponen budaya lainnya seperti melalui setiap upacara adat ataupun upacara lingkaran hidup tertentu. (5) Adapun mengenai perlunya sanksi para informan tidak sepakat, dan sebagian besar kurang setuju karena saat ini adat bukan sebagai perangkat hukum yang utama. Nilai-nilai atau ugeran tersebut hanya bisa memberikan sanksi moral. Kedua, kelompok sosial yang khas dari daerah setempat meliputi trah, MUI kecamatan dan desa, pondok pesantren, dan majelis taklim, sedangkan peran lembaga adat seperti kuwu (lembaga adat pemerintahan tingkat desa) telah diakomodasi oleh lembaga pemerintah desa. Karena itu kedudukan dan peran kuwu saat ini sudah tidak efektif, peran-perannya hanya dipahami oleh kalangan generasi tua tapi sudah tidak dalam realitas. Meskipun trah ada di daerah ini, namun dianggap tidak dapat dijadikan sebagai modal dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Hal ini karena tiga alasan yaitu: (a) hanya ada di lingkungan kerabat Sukapura (trah Sukapura), sementara di lingkungan kerabat kelompok masyarakat lain belum menjadi gejala yang umum, (b) selain itu trah (trah) di lingkungan kerabat Sukapura pun berupa trah homogen yaitu trah yang anggotanya menganut agama yang sama yaitu Islam, (c) kegiatannya hanya setahun sekali. Untuk alasan kedua tersebut sebenarnya tidak begitu masalah , sebab bukankah MUI atau majelis taklim dan pondok pesantren misalnya anggotanya terdiri dari satu kelompok yaitu umat Islam. Kelompok sosial yang potensial untuk dijadikan modal dan instrumen adalah MUI kecamatan dan desa, majelis taklim, dan pondok pesantren. Hal ini karena beberapa alasan yaitu: (a) Ketiganya merupakan lembaga yang berkembang dalam masyarakat.
212
Kalau dilacak lebih jauh alasan ini cukup meyakinkan. Misalnya, pondok pesantren di daerah ini menurut ‘Kabupaten Tasikmalaya Dalam Angka 2003’ tercatat sekitar 149 unit dengan jumlah total santri 15.118 orang, kyai sebanyak 353 orang dan tersebar di 19 kecamatan yang ada. Karena itu kabupaten ini dijuluki juga sebagai ‘Kota Santri’. Sementara MUI terdapat di setiap kecamatan dan desa yang ada. Begitu juga dengan majelis taklim. (b) Lembaga-lembaga tersebut milik kelompok mayoritas yaitu muslim. Hal yang perlu diperhatikan dalam konteks pengendalian konflik adalah jenis kelompok sosial. Kelompok sosial ini dapat dipilah ke dalam kelompok sosial bentukan pemerintah seperti MUI kecamatan dan desa, dan kelompok sosial yang murni dibentuk oleh masyarakat seperti majelis taklim dan pondok pesantren. Kedua jenis kelompok sosial ini
berbeda
peran-peran yang dimainkan, dan karenanya
akan berpengaruh
terhadap kegiatan dan upaya-upaya dalam memanfaataknnya sebagai pengendali konflik antarumat beragama.
Yang penting dicatat dari kelompok sosial
ini adalah di
Tasikmalaya belum ada kelompok sosial lokal yang anggotanya terdiri dari penganut agama yang berbeda. Karena itu dengan mempertimbangkan hal tersebut para informan sepakat
bahwa: (1) Kelompok sosial potensial
dari kelompok mayoritas dapat
dimanfaatkan sebagai instrumen atau wadah dalam pengendalian konflik. Hal ini karena kelompok sosial tersebut bagian dari budaya yang ada di masyarakat Tasikmalaya, ini terkait dengan pandangan bahwa masyarakat Sunda tak dapat dipisahkan dengan Islam. Selain itu
kalau kelompok sosial
yang berkembang di pihak mayoritas
(muslim)
dijadikan sebagai instrumen, berarti mencakup bagian terbesar dari masyarakat. Ini tentu akan berpengaruh terhadap melemahnya potensi konflik antarumat beragama. (2) Walaupun begitu upaya pengendalian
konflik tetap harus dilakukan juga kepada
kelompok-kelompok agama minoritas, terutama yang bersumber dari penyiaran agama dan tempat ibadah. Dengan demikian ciri khas yang dapat dikembangkan ke depan adalah pemanfaatan kelompok sosial yang berbasis kepada kelompok mayoritas. Ketiga, aktor lokal yang masih berpengaruh adalah ajengan. Dari segi keberpengaruhannya ajengan bertingkat mulai dari ajengan tingkat kampung sampai kabupaten, bahkan regional dan nasional. Peran-peran keajengan dilakukan melalui lembaga-lembaga sosial lokal yang ada di masyarakatnya, seperti MUI kecamatan-desa, pondok pesantren dan majelis taklim. Tentu selain melalui lembaga-lembaga sosial tingkat nasional seperti MUI kabupaten.
213
Sebenarnya ajengan
bukan hanya aktor
lokal yang terdapat di Tasikmalaya,
namun juga terdapat di masyarakat Sunda pada umumnya seperti di Bandung, dan Garut. Dalam kaitan ini, sebagaimana dalam hal kelompok sosial, pemanfaatan ajengan sebagai instrument pengendalian konflik berarti dalam hal pemanfaatan aktor lokal di daerah ini lebih berbasis kepada kelompok agama mayoritas. Hal ini karena ajengan merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Sunda. Keempat, upacara adat
terdapat di beberapa kecamatan seperti hajat laut
di
Cipatujah, namun beberapa upacara yang berlaku di kalangan masyarakat Tasikmalaya umumnya meliputi: slamatan tiap Kamis sore, kaul atau ziarah ke makam-makam orang suci/wali, sadranan, dan bersih desa. Sementara upacara lingkaran hidup meliputi: babarid (7 bulan dari kehamilan), ekah (aqiqah), puput pusar, khitanan, perkawinan, kematian, dan slametan setelah kematian. Memang tidak semua jenis upacara tersebut potensial untuk dijadikan sebagai modal dan instrumen dalam
pengendalian dan penyelesaian
konflik, misalnya kaul dan ziarah ke makam wali atau slamatan tiap Kamis sore atau malam Jumat. Hal ini karena upacara-upacara ini dianggap lebih berorientasi kepada hubungan manusia dan Tuhannya dan orang yang sudah meninggal, apalagi ziarah misalnya biasanya dilakukan di luar Tasikmalaya oleh masyarakat muslim daerah ini. Sementara sadranan dan bersih desa dapat dijadikan sebagai instrument dalam pengendalian konflik. Bersih desa umumnya diadakan oleh ibu-ibu (PKK) meskipun pesertanya bisa ibu-ibu dan bapak-bapak. Kegiatan ini dapat menjadi wadah interakasi antara orang-orang yang berbeda identitas, termasuk orang yang berbeda agama. Hal yang sama terdapat pada upacara hajat laut di Cipatujah karena dalam kegiatan ini yang hadir terdiri dari orang yang berbeda agama dan dihadiri juga oleh kepala desa setempat. Apalagi upacara hajat laut ini dijadikan sebagai bagian dari pemerintah. Adapun sadranan meskipun merupakan upacara
peristiwa wisata oleh yang biasa terdapat di
kalangan muslim, namun saat ini juga dilakukan kalangan nonmuslim. Upacara lingkaran hidup mulai dari kelahiran sampai kematian dapat dijadikan sebagai instrument pengendalian konflik antarumat beragama. Sebab dalam upacaraupacara tersebut, termasuk upacara slamatan setelah kematian, yang diundang dan yang hadir berasal dari orang-orang yang berbeda agama. Dengan demikian
modal komponen budaya dalam pengendalian konflik di
Tasikmalaya adalah modal yang lebih banyak berbasis kepada kelompok mayoritas. Artinya modal yang dimiliki dan didasarkan atas budaya dominan, baik suku dan agama.
214
Dalam
komponen nilai-nilai misalnya didasarkan atas nilai-nilai
suku Sunda yang
menjadi bagian terbesar masyarakat Tasikmalaya, termasuk dalam upacara adat tertentu seperti
hajat laut. Dalam komponen lembaga sosial dan aktor lokal
lebih banyak
didasarkan atas budaya kelompok agama mayoritas (Islam), sedangkan dalam upacara lingkaran hidup bersifat paduan budaya Sunda-agama, terutama Islam. 2. Fungsi Komponen Budaya dalam Pengendalian Konflik Dari keempat komponen budaya dan unsur-unsurnya terdapat perbedaan fungsi masing-masing. Para informan bersepakat bahwa fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam dua hal yaitu: (1) fungsi sebagai instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan (2) wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Fungsi nilai-nilai budaya batur sakasur, sasumur, dan salembur sebagai pedoman bersama dari masyarakat Tasikmalaya tanpa mengenal perbedaan agama. Nilai-nilai ini harus disosialisasikan kepada masyarakat melalui
wadah
seperti kelompok sosial
tradisional maupun modern. Lembaga-lembaga sosial yang potensial sebagai pengendali konflik lebih banyak berfungsi sebagai wadah sosialisasi dari nilai-nilai tentang hidup rukun termasuk ugeran batur sakasur, sasumur dan salembur di atas. Sementara aktor lokal seperti ajengan lebih berfungsi sebagai subyek pemberi sosialisasi tentang nilai-nilai lokal dan hidup rukun kepada jamaah atau umatnya, khususnya umat Islam. Upacara adat
berbeda-beda fungsinya, misalnya bersih desa lebih
berfungsi
sebagai wadah interaksi antarumat beragama, hajat laut mempunyai fungsi selain sebagai wadah interaksi juga dapat difungsikan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai kerukunan, sadranan dapat dijadikan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai kerukunan. Untuk upacara lingkaran hidup, mulai dari kelahiran sampai kematian dapat berfungsi sebagai
wadah
interaksi antarumat beragama, dan dapat juga dikembangkan sebagai wadah sosialiasasi nilai-nilai kerukunan. Secara visual dapat dilihat dalam tabel 1 berikut. Tabel 1: Fungsi dan Sumber Kebudayaan Komponen Budaya Lokal Komponen Budaya
Fungsi Pedoman
Nilai-nilai Kelompok sosial 1. Majelis taklim 2. Pondok pesantren
Sosialisasi
Berbasis Kepada Interaksi Suku mayoritas
+
Agama mayoritas + +
215
3.
MUI kecam/desa
+
Aktor lokal: Ajengan
Agama mayoritas
+
Upacara Adat: 1. Bersih desa 2. Sadran 3. Hajat laut Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
+ +
+ +
Suku mayoritas Agama mayoritas Suku mayoritas
+
+
Suku mayoritas-agama
3. Mekanisme Penerapan salah satu atau semua komponen budaya tersebut dalam proses pengendalian konflik antarumat beragama dibedakan ke dalam 2 cara yaitu berdiri sendiri, dan integrasi. Pertama, komponen-komponen
budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan
dengan utuh dan secara mandiri. Misalnya
pemanfaatan nilai-nilai lokal oleh para
ajengan yang memahaminya dalam kegiatan kelompok sosial yang potensial menjadi pengendali konflik yaitu MUI kecamatan dan desa, majelis taklim, dan pondok pesantren. Juga dalam kegiatan upacara. Karena itu dalam hal ini peran ajengan dalam semua level memiliki peran yang sangat penting dan meluas karena mereka menjadi subyek sosialisasi nilai-nilai kerukunan dalam berbagai upacara dan lembaga sosial yang ada. Kedua, satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik. Misalnya sosialisasi nilai-nilai atau ugeran yang ada oleh aktoraktor di luar ajengan melalui berbagai kesempatan (seperti melalui pelatihan, workshop). Selain itu dapat juga berupa pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi nilai kerukunan oleh aktor di luar ajengan.
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal Dalam setiap penyelesaian konflik
antarumat beragama
berbasis budaya lokal
seharusnya memperhatikan beberapa komponen yaitu: memperhatikan karakter konflik dan sejarah konflik, pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, dan pemanfaatan budaya lokal, khususnya aktor dan kelompok sosial lokal. 1. Karakter dan sejarah konflik Setiap daerah mempunyai karakter konflik antarumat beragama yang khas yang membedakannya dengan konflik di daerah lain, selain ada juga kesamaan-kesamaannya. Karakter itu terutama terkait dengan jenis, sumber konflik, dan subyek berkonflik. Jenis konflik di Tasikmalaya
termasuk konflik kekerasan fisik bangunan karena adanya 216
pembakaran geraja dan rumah-rumah orang Kristen. Hal ini juga terkait dengan sejarah konflik
yang terjadi sebelumnya. Subyek berkonflik melibatkan
elit agama Islam
(ajengan) dan penganut Kristen. Sumber konflik karena pembangunan tempat ibadah kelompok minoritas, agresifitas penyiaran agama minoritas, munculnya Islam konsisten yang peka terhadap kegiatan dan simbol-simbol agama lain, struktur sosial-politik yang berkaitan dengan penerapan syariat Islam, dan adanya sisa-sisa konflik sebelumnya yang tidak tuntas. 2. Pengalaman penyelesaian konflik masa lalu Pengalaman dalam penyelesaian konflik antarumat beragama sebelumnya harus menjadi
perhatian. Artinya penyelesaian masa lalu tersebut harus dipelajari
dievaluasi. Selama ini penyelesaian konflik langsung
hanya menggunakan pendekatan
dan tidak
berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah. Pendekatan ini
memang mempunyai kelebihan seperti mempercepat suasana menjadi ‘dingin’, hanya saja ia punya kelemahan yaitu
menutup terjadinya dialog antarkelompok berkonflik.
Akibatnya penyelesaian menjadi tidak tuntas, sehingga menimbulkan konflik yang berulang. Sebagaimana dimaklumi di daerah ini sebelum tahun 2001 telah terjadi konflik antarumat beragama dua kali yaitu tahun 1996 dan 2000. Berulangnya konflik tersebut karena pemerintah sebagai mediator masih sangat dominan. Karena itu para informan bersepakat, pendekatan tidak langsung tersebut perlu dilanjutkan dan dikembangkan pendekatan secara langsung antarpihak terlibat konflik, baik berupa negoisasi maupun rekonsiliasi.
Dalam
kaitan ini penegakan hukum (positif) tidak menjadi perhatian
pokok. 3. Pemanfaatan budaya lokal. Pertama, pemanfaatan budaya lokal, terutama aktor dan kelompok sosial lokal. Pemanfaatan ajengan dan kelompok sosial lokal, seperti pondok pesantren, majelis taklim, dan MUI kecamatan dan desa, sebagai instrument penyelesaian konflik menunjukkan bahwa penyelesaian konflik di daerah ini lebih
berbasis kepada kelompok agama
mayoritas. Sebab ajengan merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Sunda. Hal ini sejalan dengan yang terdapat dalam model pengendalian konflik. Upaya pemanfaatan ajengan sebagai subyek karena jumlahnya banyak dan terdapat di setiap tingkatan dan kelompok sosial lokal. Untuk ini ada 2 alternatif yang dapat dikembangkan yaitu: (1) Secara umum dalam kasus-kasus konflik antarumat beragama, ajengan dapat dijadikan
sebagai subyek
217
penyelesai konflik antarumat beragama. Baik melalui pendekatan secara langsung (berupa rekonsialisasi dan negoisasi) dengan aktor-aktor
dari kelompok agama lain maupun
pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi). Hal ini terutama jika konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan ajengan dan elit agama lain. (2) Dalam kasus khusus yang melibatkan ajengan sebagai subyek berkonflik dengan elit/umat agama lain, maka ajengan masih dapat dijadikan sebagai penyelesai konflik, baik
secara
langsung maupun tidak langsung. Hanya saja memang harus digunakan pola lain yaitu (1) memanfaatkan ajengan
yang punya pengaruh kewilayahan atau kepemimpinan yang
levelnya lebih tinggi atau ajengan lain yang selevel dengan ajengan yang terlibat konflik. Sebagaimana dimaklumi bahwa dilihat dari tingkat keberpengaruhan perannya, ajengan di Tasikmalaya bertingkat mulai dari level kampung, dusun, desa sampai nasional. Secara kelembagaan peran mereka tersalur melalui kelompok-kelompok sosial lokal serperti MUI desa dan kecamatan dan nasional, pondok pesantren, dan mejalis taklim.
(2)
Ajengan tersebut juga mempunyai kedekatan secara ideologis dan paham agama dengan ajengan yang berkonflik. Dalam kasus
konflik tahun
2001 pola ini digunakan secara terbatas yaitu
memanfaatkan ajengan yang tidak berkonflik dan punya kedekatan
secara
ideologis/paham agama, namun terbatas sebagai ‘perwakilan’ dari kelompok muslim yang dipertemukan dengan elit kelompok Kristiani yang difasilitasi oleh pemerintah. Artinya, dalam kasus tersebut ajenngan yang tidak berkonflik belum dijadikan sebagai mediator dan fasilitator antara ajengan yang berkonflik dengan elit kelompok agama lain. Juga ajengan yang berkonflik belum berdialog secara langsung dengan elit kelompok agama lain yang berkonflik dalam bentuk negoisasi. Mengenai upacara adat dan nilai-nilai lokal dalam batas-batas tertentu dapat saja diperankan khususnya pascakonflik yaitu sebagai media untuk memperkuat dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan antarpihak yang terlibat konflik. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak kelompok mayoritas maupun minoritas secara bersama-sama ataupun sendirisendiri. Dalam konteks sosialisasi haisl-hasil tersebut juga dapat diperkuat dengan nilainilai lokal seperti batur salembur dan nilai-nilai kerukunan sebagai pedoman bersama. Kedua, mekanisme penerapan komponen budaya lokal tersebut dalam proses penyelesaian konflik antarumat beragama dilakukan secara integratif. Artinya, satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam
upaya penyelesaian konflik.
Memberdayakan ajengan untuk menjadi subyek penyelesai konflik, baik secara langsung
218
maupun tidak langsung bersama-sama dengan aktor lain seperti dari pemerintah ataupun lainnya. Juga melakukan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh ajengan dan aktor lain melalui berbagai saluran dan kesempatan, serta pemanfaatan kelompok sosial dan upacara sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil kesepakatan dalam penyelesaian konflik oleh aktor di luar ajengan dan non-ajengan.
219
BAB VII BUDAYA LOKAL DAN KONFLIK UMAT BERAGAMA
A. Geografis dan Setting Sosal Secara umum daerah yang menjadi lokasi penelitian ada di wilayah perkotaan, meskipun dua di antaranya konflik fokusnya terdapat di pedesaan seperti Kulonprogo dan Tasikmalaya. Kulonprogo konflik fokusnya terdapat di pedesaan pedalaman, sedangkan di Tasikmlaya terdapat di pedesaan pesisir. Adapun 3 lokasi yang lain ada di daerah perkotaan. Latar belakang masyarakat meliputi suku Jawa pedalaman (Kulonrpgo dan Solo), Jawa-Madura (Pasuruan), Sunda (Tasikmalaya), dan Sasak (Mataram). Hal ini menunjukkan sistem budaya yang berbeda pada tiap lokasi. Walaupun seiring dengan proses
globalisasi
mempertimbangkan
dan
pembangunan
yang
terus
berlangsung,
namun
perbedaan sistem sosial-budaya ini masih terasa penting
dilakukan, apalagi setelah diberlakukannya otonomi daerah yang kadang dan bahkan kian menguatkan aspirasi
masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan
identitas budaya (termasuk agama) di daerah. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi karakter konflik antarumat beragama, misalnya yang terjadi di Tasikmalaya. Konflik yang terjadi pada lokasi fokus semuanya antara umat Islam sebagai mayoritas dan Kristiani (baik Kathalik maupun Protestan) sebagai minoritas. Walaupun perlu dicatat bahwa komposisi mayoritas-nimoritas ini tidak selalu memperlihatan
kekuatan dalam memainkan konflik
yang ada, sehingga pihak
minoritas memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok sosial di luar dirinya yang justru seagama dengan kelompok mayoritas. Kasus Kulonrpogo menunjukkan hal ini. Di daerah ini terjadi pergeseran issu sumber konflik yaitu dari persoalan penolakan umat Protestan terhadap kebijakan pemerintah tentang hak siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai agamanya, berubah menjadi penolakan terhadap pendirian sekolah negeri.
Akhirnya beberapa kelompok sosial yang anggotanya
muslim terperangkap dalam issu tersebut, sehingga konfliknya menjadi antara kelompok Islam dengan kelompok Protestan dan kelompok-kelompok sosial yang anggotanya beragama Islam.
220
Dari lokasi yang ada, Pasuruan, Tasikmalaya, dan Solo sama-sama pernah memiliki sejarah konflik sosial khususnya antarumat beragama. Di Kulonprogo, dan Propinsi Daeah Istimewa Yogyakarta, termasuk daerah yang selama ini dikenal tidak terjadi konflik terbuka, meskipun potensi konfliknya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di daerah lain.
B. Potensi Konflik Sama seperti halnya dalam mencari penjelasan sosial lainnya, penjelasan sosial (sosial explanation) mengenai potensi konflik antarumat beragama bersifat multitafsir dan multicauses. Walaupun demikian upaya mencari hubungan antarfaktor tetap perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendekatan holistik. Untuk membahas konflik yang terjadi antarumat beragama
diusahakan menjawab atas pertanyaan
kausal (why), dan bagaimana (how). Jawaban atau penjelasan atas pertanyaan pertama difokuskan kepada mencari faktor penyebab dan sumber atau potensi konflik, sedangkan pertanyaan kedua
difokuskan kepada penjelasan fungsional, terutama
mencari hubungan konflik dengan berbagai aspek yang ada dalam masyarakat, baik secara geografis, karakteristik dan kegiatan umat beragama, politik, dan lainnya. Kedua penjelasan tersebut dilakukan secara terpadu. Dalam kaitannya dengan konflik fokus, potensi konflik dapat dipilah ke dalam potensi prakonflik atau sebelum kasus konflik dan potensi pascakonflik atau sesudah konflik berlangsung. Jika dibandingkan antara potensi
pra dan pascakonflik
menunjukkan bahwa: (1) Potensi konflik yang ada pada prakonflik tidak selamanya menjadi potensi pascakonflik. Hal ini nampaknya tergantung kepada tingkat kepuasan masing-masing pihak setelah terjadinya konflik, juga perkembangan sosial-politik antara sebelum dan sesudah terjadinya konflik, baik pada skala nasional maupun lokal. Di Tasikmalaya misalnya, dari kelima aspek yang menjadi potensi prakonflik ada beberapa yang berbeda dengan potensi pascakonflik seperti sisa-sisa konflik sebelumnya dan penyebaran agama, dan pada pacscakonflik muncul potensi baru berupa penguatan ingroup akibat pembangunan kembali tempat ibadah dan rumah penduduk di kalangan umat Kristiani. (2) Ada potensi konflik pascakonflik yang mempunyai kaitan langsung dan merupakan lanjutan dari potensi prakonflik misalnya di Kulonprogo, penolakan terhadap pendirian SMK Negeri merupakan lanjutan dari potensi konflik yang muncul pada prakonflik di bidang pendidikan. (3) Antara potensi
221
prakonflik dan pscakonflik terkait dengan faktor yang sama seperti di Mataram tempat ibadah. (4) Yang penting dicatat, kecuali di Pasuruan, bahwa keberadaan ‘Islam konsisten’ (atau sebutan lainnya seperti ‘Islam tekstual’, ‘Islam kaffah’) merupakan faktor yang tetap ada baik pada sebelum maupun setelah konflik terjadi. Ini sejalan dengan tingkat religiosentrisme, atau lebih khusus lagi persepsi negatif antarkelompok yang masih berkembang, baik sebelum maupun sesudah terjadinya konflik. Dari deskripsi tersebut memperlihatkan bahwa potensi konflik prakonflik pada beberapa kasus tersebut menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan sekaligus. Selanjutnya lihat bagan dalam lampiran ‘Perbandingan Peta Konflik’. 1. Pada level budaya terkait dengan persepsi atau prasangka, hal ini terdapat di Kulonprogo, Solo, dan Pasuruan 2. Peda level sosial, masalah penyiaran agama terdapat di semua lokasi, penggunaan simbol keagamaan terdapat di Kulonprogo, ekonomi (Mataram, Solo, dan Pasuruan), tempat ibadah (Mataram dan Tasikmlaya), pendidikan (Mataram dan Kulonprogo), politik (Tasikmalaya). 3. Sisa-sisa konflik sebelumnya terdapat di Pasuruan dan Tasikmalaya 4. Sikap kelompok yaitu munculnya kelompok yang memiliki sikap kritis terhadap kelompok agama lain
terdapat di semua lokasi kecuali Pasuruan, di lokasi ini
karena adanya kelompok yang memiliki karakter keras. Di semua lokasi, kecuali Solo, pranata hukum belum dapat diterapkan secara konsekwen. Karena itu tidak ada subyek terlibat yang dihukum dalam beberapa kasus tersebut walaupun kasusnya sendiri ditangani pihak aparat keamanan. Hal ini karena mempertimbangkan keamanan pascakonflik jika orang-orang yang terlibat dikenai hukuman melalui pengadilan.
C. Karakteristik Konflik 1. Sumber dan Penyebab Pada hakikatnya apa yang menjadi potensi konflik prakonflik sekaligus menjadi sumber konflik. Karena itu pendeskripsian tentang sumber konflik harus mengacu kepada apa yang menjadi potensi konflik (lihat bagan dalam lampiran). Kalau dibandingkan dengan teori yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya mengenai sumber-sumber konflik menunjukkan bahwa sumber konflik terdiri dari tiga (3) aspek. Pertama, salah paham antarbudaya, teori ini menyatakan bahwa konflik
222
disebabkan ketidaksesuaian dalam komunikasi antarbudaya yang berbeda, dalam hal ini antara kelompok Islam dan Kristiani yaitu berupa kesalahpahaman akibat persepsi negatif yang muncul yang berkaitan dengan ciri-ciri yang dianggap melekat pada salah satu kelompok oleh kelompok yang lain, terutama yang berkaitan dengan kegiatan agama. Di satu kelompok menganggapnya sebagai kebajikan yang diperintahkan agama, sementara kelompok lain menganggapnya sebagai kegiatan yang bertujuan untuk ‘memurtadkan’ umatnya.
Hal ini terdapat di
Kulonprogo, Solo, dan
Tasikmalaya dan sebenarnya dalam batas-batas tertentu terdapat juga di Mataram. Kedua, temuan di lapangan mengenai sumber konflik juga dapat dijelaskan dari teori identitas yang menyatakan bahwa konflik bersumber dari identitas kelompok yang terancam, di antaranya karena hilangnya sesuatu oleh salah atau kedua kelompok pada masa sebelumnya yang tidak terselesaikan. Sumber konflik tersebut misalnya karena penyiaran agama yang dilakukan salah satu kelompok yang dianggap mengancam anggota kelompoknya, pembangunan tempat ibadah, dan penggunaan simbol-simbol agama yang dimanfaatkan kelompok agama lain. Sumber seperti ini terdapat di semua kasus. Ketiga, kasus yang terjadi di Mataram, Solo, dan Pasuruan memperlihatkan kesamaannya dengan teori kebutuhan manusia. Teori ini menyatakan bahwa konflik bersumber dari terhalanginya pemenuhan kebutuhan dasar manusia atau karena adanya perjuangan antarkelompok atau individu dalam mencari keuntungan dan dalam penguasaan akses sumber daya maupun kesempatan. Dalam hal ini terutama yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi akibat adanya kesenjangan ekonomi antara kedua kelompok agama. Keempat,
munculnya kelompok Islam konsisten yang memiliki kepekaan
terhadap setiap kegiatan umat Kristiani. Sumber ini dapat saja dimasukkan ke dalam sumber yang pertama dan kedua. Artinya perasaan adanya sesuatu yang mengancam salah satu kelompok sebenarnya banyak berasal dari kelompok ini. Persepsi negatif antarkelompok juga ada yang berasal dari kelompok ini, meskipun bukan satu-satunya kelompok Islam yang mempunyai persepsi seperti itu. Faktor penyebab konflik dalam kasus yang diteliti menunjukkan perbedaan. Di Kulonprogo faktor penyebab konflik adalah di bidang politik, khususnya adanya kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang dianggap merugikan kelompok agama tertentu yaitu Kristiani, sehingga memunculkan resistensi. Pembenaran atas
223
penolakan di antaranya dengan cara melakukan penafsiran atas isi peraturan yang berbeda dengan maksud dan penafsiran pihak pemerintah dan pihak muslim, misalnya penafsiran terhadap konsep hak dan kewajiban, surat edaran gubernur, dan istilah sekolah berciri khas agama. Dengan demikian di Kulonprogo penyebab konfliknya ada pada level sosial yaitu pranata politik. Hal ini mirip dengan yang ada di Pasuruan, namun berbeda bentuknya. Di Pasuruan walaupun penyebabnya dari pranata politik, tapi lebih banyak karena imbas konflik elit politik. Mirip dengan kedua kasus tersebut adalah yang terdapat di Tasikmalaya. Di daerah ini selain persoalan ekonomi (illegal logging) yang menjadi penyebab konflik, juga karena pranata politik terutama adanya tafsir yang berkembang di masyarakat bawah tentang penerapan syariah Islam yang diberlakukan pemerintah setempat. Di Mataram penyebab konflik karena munculnya solidaritas kelompok, khususnya dari kalangan muslim setempat atas penderitaan yang menimpa muslim di Ambon dan Poso. Walaupun pada awalnya berada pada level budaya karena perasaan simpati dan empati berada dalam pengetahuan atau gagasan anggota, tapi kemudian turun ke level sosial ketika hal itu diaktualisasikan dalam bentuk penggalangan massa. Sementara di Solo penyebabnya karerna adanya pelecehan tokoh agama oleh elit kelompok agama yang lain.
2. Anatomi Kelompok dan Subyek Kesulitan terbesar dalam penelitian ini adalah ketika
berusaha mencari
informasi tentang kelompok dan subyek terlibat, terutama di Pasuruan dan Mataram. Pada mulanya informasi yang muncul hanya sekitar ‘adanya pihak ketiga’ yang punya kepentingan tertentu. Mereka dianggap ‘membonceng’, memanfaatkan
dan
mematangkan potensi-potensi konflik yang ada di antara umat beragama. Memang ada multitafsir
terhadap gejala konflik terutama yang berupa
kerusuhan sosial yang bernuansa agama ini, di antaraya yag didasarkan asumsi adanya ‘gerakan intelejen’. Menurut tafsir ini, setelah reformasi dan demokratisasi bergulir, masyarakat mulai menggugat
tiga soko guru tegaknya Orde Baru yaitu Golkar,
birokrasi, dan tentara (termasuk polisi). Represifitas Orde Baru dalam menangani berbagai persoalan terutama didukung oleh tentara. Pada era reformasi peran tentara di bidang sosial-politik mulai dipertanyakan dan digugat banyak pihak. Karena itu tentara mulai resah dan untuk mempertahankan peran-perannya tersebut mereka
224
harus membuat situasi-kondisi
keamanan yang tidak stabil, tujuannya
agar
masyarakat mempunyai ketergantungan kembali kepada tentara (dan polisi) sebagai pengaman, sehingga peran sosial-politiknya pulih kembali. Apapun tafsiran tentang gejala kerusuhan bernuansa agama, termasuk teori gerekan intelejen, tapi yang jelas hal itu menunjukkan bahwa (1) umat beragama tidak mampu mengendalikan konfliknya, hal ini akibat sistem politik yang dibangun Orde Baru yang menjadikan
masyarakat sekedar
sebagai obyek, khususya dalam
pengendalian dan penyelesaian konflik.(2) Tafsiran tersebut bukan berarti menafikan adanya konflik antarumat beragama, justru sebaliknya setiap kasus tersebut kental berbau konflik antarumat beragama akibat potensi-potensi konflik atau sumber konfliknya yang besar. Diandaikan sebuah rumput, rumput basah (karena tidak ada potensi konflik atau umat beragama mempunyai kemampuan mengendalikan konfliknya) tidak akan terbakar walaupun ada pihak yang berusaha membakarnya. Kerentanan umat beragama dan adanya potensi konflik antar mereka itulah yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga tersebut. Terlepas
dari hal tersebut, suatu hal penting dicatat adalah adanya
kecenderungan baru dalam kaitan interaksi umat beragama, khususnya yang berkembang di kalangan muslim. Kecenderungan itu adalah adanya pergantian peran dari Islam mapan, seperti Muhammadiyah dan lainnya, ke kelompok ‘Islam konsisten’ yang semakin memperlihatkan sosoknya ketika era reformasi. Kelompok baru ini memiliki kepekaan dan kritisisme yang tinggi terhadap kegiatan dan simbol-simbol Kristiani. Apa yang terjadi di Kulonprogo, Tasikmalaya, Solo, dan dalam batas-batas tertentu di Mataram menunjukkan hal ini. Sementara dari pihak Kristiani di setiap lokasi
berbeda. Di Kulonprogo
misalnya meskipun pada tingkat propinsi melibatkan pihak Katolik dan Protestan, tapi di daerah ini hanya melibatkan kelompok Protestan. Di Solo juga melibatkan secara langsung kelompok Protestan, meskipun pendeta Ahmad Wilson menganggap dirinya sebagai Kristen Independen. Di tiga lokasi yag lain melibatkan kelompok Katolik dan Protestan. Hanya yang perlu dicatat meskipun di Kulonprogo dan Solo hanya melibatkan pihak Protestan tapi bagi umat Islam umumnya
bersikap
menggeneralisasi pada semua agama Kristiani. Selain itu kelompok Kristiani, kecuali di Kulonprogo, lebih banyak bersifat pasif dalam proses konflik tersebut.
225
Subyek terlibat pada umumnya terdiri dari laki-laki, dan mereka satu suku, kecuali di Mataram, karena sebagian besar umat Kristiani berasal dari luar suku Sasak. D. Upaya Pengendalian Potensi Konflik Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan agar potensi konflik tidak menjadi konflik kasus. Pendekatan dan bentuk upaya struktural dan top-down, dan karenanya peran pemerintah masih sangat dominan. Sementara upaya dan prakarsa dari kelompok masyarakat sendiri belum banyak dilakukan. Hal ini terdapat di semua lokasi penelitian. Pendekatan struktural-top-down tersebut dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu: (1) Kegiatan dialog, musyawarah, workshop atau cara lain yang sejenis. Semua cara tersebut intinya untuk melakukan pembinaan dan sosialisasi berbagai surat keputusan atau perundangan sekaligus untuk mencegah terjadinya konflik. Meskipun dalam praktik hampir semua upaya tersebut, di semua lokasi, tidak ada tindak lanjut dalam bentuk kegiatan nyata. Karena itu upaya ini lebih banyak bersifat wacana, dan menggugah kesadaran atau ranah kognitif dari peserta atau sasaran. (2) Cara lain yang digunakan oleh pemerintah yaitu melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya konflik antarumat beragama. Cara ini berupa
kegiatan
intelegen yang dilakukan secara korrodinatif antarlembaga pemerintah. Adapun pelaksanaannya menggunakan berbagai instrumen yaitu: (a) Pembuatan surat-surat keputusan atau perundangan yang mengatur khusus tentang hubungan antarkelompok atau umat beragama secara khusus. Instrumen ini mengatur tentang kelembagaan dan pedoman kerukunan antarumat beragama (b) Menjadikan Pancasila dan nasionalisme sebagai nilai dan norma
setiap kelompok umat beragama. Hal ini mirip yang
ditemukan Geertz (1987: 488-499)
dan Saifuddin
(1986: 70-95) dalam konteks
factor-faktor pengintegrasi antara kelompok (subbudaya) abangan, santri dan priyayi. Temuan kedua peneliti tersebut dapat ditarik ke dalam konteks cara pengendalian potensi konflik agar integrasi terus berkembang yaitu pengembangan rasa satu kebudayaan nasional. Hanya berbebda dengan temuan keduanya bahwa kesadaran akan adanya kesatuan budaya tradisional belum banyak dilakukan di semua lokasi penelitian. Memang ada kemauan politik dari pihak pemerintah untuk
226
menjadikan
budaya tradisional sebagai instrumen seperti di Mataram dan Solo,
namun masing-masing masih bersifat kemauan dan uji coba. Penggunaan instrumen surat keputusan atau peraturan sebagai
pedoman
pembinaan kerukunan umat beragama dapat dipilah ke dalam 3 tipe yaitu (1) upaya yang dilakukan pemerintah pada tingkat nasional, (2) tingkat propinsi , dan (3) tingkat kabupaten/kota. Sebagai contoh dalam bentuk peraturan berskala nasional terlihat dalam Keputusan Menteri Agama
RI Nomor 35 tahun 1980 tentang ’Wadah
Musyawarah Umat Beragama,’ Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1981 tentang ’Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Daerah’; pengadaan PAH, dan pendirian Badan Kordinasi Intelegen Nasional, dan yang terakhir Peraturan Bersama Menteri Agama dan Mendagri Nomor 9 Th 2006/Nomor 8 Tahun 2006, 21 Maret 2006 tentang ‘Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Tempat Ibadah’. Sementara pada tingkat propinsi yang merupakan ciri khas masing-masing propinsi tertuang dalam kebijakan propinsi setempat. Misalnya di Jawa Timur ada Surat Edaran Gubernur tentang
’Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama’
bernomor 451/2726/032/2005 tanggal 11 Agustus 2005, dan SE Gubernur nomor 451/1178/031/2000 tanggal 10 Februari 2000 tentang ’Anjuran Pendirian Forum Komunikasi AntarUmat Beragama (FKAUB)’. Di Nusa Tenggara Barat dan kota/kabupaten di lingkungan propinsi tersebut ada surat pendirian FKAUB. Adapun jalur hirakhis dari intelegen di propinsi ada Badan Koordinasi Intelegen Daerah (Bakorinda), dan di kabupaten/kota beragam, misalnya di Tasikmalaya
dan Solo
bernama Komunikasi Intelegen Daerah (Kominda), sedangkan di Pasuruan bernama Forum Komunikasi dan Informasi Daerah (Forkorinda). Masalahnya adalah banyak surat keputusan dan lainnya serta kegiatan dialog, pembinaan, dan sejenisnya
tidak ditindaklanjuti di lapangan. Karena adanya
ketidakpedulian dari pimpinan daerah dan terkesan wadah dan kegiatan hanya sebagai proyek
tersebut
untuk menghabiskan dana yang memang sudah ada di
pemerintahan. Kegiatan rutin itu berjalan dalam periode tertentu, biasanya setahun sekali, setelah dana habis kegiatan itupun berhenti sambil menunggu anggaran tahun berikutnya.
227
Pada tingkat
kabupaten/kota, upaya untuk merevitalisasi komponen-
komponen budaya lokal menjadi tidak berjalan, termasuk pemberdayaan inisiatif pada level akar rumput. Walaupun begitu bukan berarti kegiatan tersebut gagal total, sebab setidaknya upaya untuk mensosialisasikan tentang kerukunan umat beragama dalam skala terbatas yaitu elite (muda) sudah terlaksana. Meskipun potensi kelompokkelompok dan tokoh lokal masih berposisi sebagai obyek pembinaan belum menjadi subyek.
Selain itu ada upaya dari pemerintah untuk memanfaatkan budaya lokal
seperti untuk merevitalisasi uwig-uwig di Mataram meskipun masih terbatas kepada kemauan politik. Sementara di Solo ada upaya yang masih dalam taraf uji coba untuk menumbuhkembangkan potensi lokal yang bersifat botton up. E. Upaya Penyelesaian Konflik Dalam masyarakat yang berubah, perbedaan dalam masyarakat tidak mungkin dapat dihindarkan. Perbedaan itu merupakan anugerah Tuhan yang tiada banding nilainya, Rasulullah Muhammad menyatakan ’perbedaan di antara ummatku adalah rahmat’. Melalui perbedaan manusia akan mencapai kemajuan karena mereka saling belajar dari perbedaan tersebut. Ketika perbedaan itu bergerak pada wilayah pertentangan, maka pertentangan itu akan menghantarkan kepada penghancuran peradaban. Pertentangan itu lahir dari ketimpangan yang ada sedang yang menjadi pemicu biasanya adalah keyakinan. Sedang keyakinan biasanya berbentuk agama atau kepercayaan. Keyakinan inilah yang sering membuat orang kesulitan mengurai akar, dan pemicu konflik, sehingga konflik berlangsung terus. Keyakinan disatu sisi sebagai wajah kedamaian umat manusia, namun disisi lain menjadi sumber bencana. Konflik yang terjadi dalam masyarakat tidak mungkin dapat dihindari, sehingga alternatif untuk menjaga masyarakat agar tetap dinamis adalah mengelola konflik tersebut. Supaya konflik yang terjadi tidak lagi berkonotasi negatif dan dekontruktif, sebaliknya merubah konflik itu berwajah membangun (konstruktif) dan humanis (tetap dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan). Dari uraian sebelumnya menunjukkan bahwa dalam semua kasus, baik di Kulonprogo, Tasikmalaya, Pasuruan,
Mataram maupun Surakarta penyelesaian
konflik cenderung menggunakan pendekatan struktural dan top-down. Pendekatan struktural adalah cara yang dipakai oleh aparat, baik oleh pemerintah setempat, atau pihak keamanan dalam menyelesaikan konflik. Memang ini bukan sebuah kesalahan
228
total, namun dengan mengabaikan cara kultural konflik-konflik yang terjadi antar umat beragama seringkali berulang dalam pola yang sama. Penyelesaian konflik tidak mengakar dalam diri masyarakat. Memang tersebut, namun
tokoh-tokoh lokal masih dilibatkan dalam proses penyelesaian umumnya di setiap lokasi mereka menjadi peserta, bukan sebagai
penengah (mediator) atau pemrakarsa. Untuk kedua peran perakhir ini dilakukan pemerintah. Hal ini di antaranya karena tokoh lokal masyarakat sendiri tidak lagi menjadi pengayom secara keseluruhan, akan tetapi dalam kaitan konflik biasanya mereka (tokoh masyarakat) berpihak atau terfragmentasi pada satu golongan. Jadi para tokoh pun terjadi dalam blok tertentu. Ini sekaligus menjadi kendala dalam upaya mengoptimalkan peran budaya lokal, khususnya tokoh lokal. Cara penyelesaiannya dilakukan musyawarah
dan dialog. Mekanismenya
adalah pemerintah mengundang tokoh ormas keagamaan dan wadah musyawarah umat beragama yang dianggap mewakili kelompok yang terlibat konflik. Kemudian setelah itu dilakukan musyawarah untuk mengambil solusi terbaik saat itu dan ke depan. Karena lebih mengedepankan aspek musyawarah dan dialog, maka instrumen hukum menjadi tidak berjalan. Umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam dialog penyelesaian konflik sejauh mungkin menghindari sanksi hukum positif. Meskipun begitu ada kehendak politik dari pihak pemerintah untuk memanfaatkan sanksi hukum adat seperti dalam kasus Mataram yaitu menggunakan awig-awig. Persoalan penegakan hukum ini nampakanya dilematis, di satu sisi sangat penting ditegakkan untuk memberikan efek jera bagi anggota masyarakat, terutama untuk tidak melakukan kerusuhan ketika berkonflik dengan pihak lain. Di sisi lain dikhawatirkan menimbulkan rentetan persoalan lanjutan dari kelompok-kelompok yang anggotanya kena hukuman, terutama jika kelompok itu termasuk mayoritas dalam masyarakat. Misalnya akan terjadi kerusuhan baru yang membuat keadaan menjadi semakin tidak kondusif. F. Budaya Lokal Sebagaimana dikemukakan dalam tinjauan pusaka, budaya lokal yang dimaksud adalah semua ide, aktivitas dan hasil aktivitas manusia dalam suatu kelompok masyarakat di lokasi tertentu. Budaya lokal tersebut secara aktual masih tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta disepakati dan dijadikan pedoman
229
bersama. Dengan demikian sumber budaya lokal tidak berarti sekedar berupa nilai, aktivitas dan hasil aktivitas
tradisional atau warisan nenek moyang masyarakat
setempat, namun semua budaya yang masih berlaku dalam masyarakat, seperti dari budaya nasional
yang berkembang. Meskipun budaya lokal yang bersumber dari
tradisi merupakan suatu hal yang penting karena kekhasan masing-masing di setiap daerah. Penerimaan budaya dari berbagai sumber penting karena
pada era globalisasi saat ini
sebagai budaya lokal tersebut
kontak antarbudaya
pasti terjadi,
sehingga dimungkinkan terjadinya saling akomodasi dan akulturasi budaya. Setiap daerah memiliki karakter yang berbeda dengan daerah lain dengan kekhasan masingmasing. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dimiliki, karakter tersebut sebenarnya merupakan keunggulan yang jika ditelusuri lebih jauh merupakan kekayaan dari keanekaragaman bangsa yang plural dan heterogen. Karakter itu muncul sebagai sebuah identitas yang digunakan sebagai sistem penjelas pola kehidupan masyarakat. Identitas biasanya digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lain, sehingga dengan identitas itu pula tingkat perkembangan sebuah bangsa itu dilihat. Nilai yang dikandung dalam karakter tersebut boleh jadi bertolak belakang dengan karakter ditempat lain. Dalam pada itu, penggunaan identitas disatu sisi merupakan penegasan sebuah karakter tertentu sebagai cara untuk menunjukkan diri namun di sisi lain merupakan pemicu dari perbedaan yang terjadi tersebut hingga bisa menimbulkan konflik baik secara terbuka maupun tertutup. Komponen budaya lokal
dalam penelitian ini meliputi 4 aspek yaitu (a)
sistem kekerabatan, (b) kelompok sosial dan aktor lokal, (c) nilai-nilai, dan (d) upacara. Pertama, sistem kekerabatan. Semua masyarakat
di lokasi penelitian menggunakan sistem kekerabatan
bilateral. Walaupun begitu dalam hal kepemimpinan pihak laki-laki
menjadi
pemimpin dan utama (patriarki). Hal ini mempengaruhi kepada aktor lokal yang berkembang di setiap daerah yaitu terdiri dari laki-laki. Selain itu peran keluarga luas semakin terkontraksi dan sebaliknya peran keluarga inti semakin kuat, terutama dalam melakukan sosialisasi atau inkulturasi terhadap anggota keluarga inti. Proses kontraksi
keluarga ini nampaknya sejalan
dengan yang dikemukakan Durkheim dan Parsons atas pengamatannya di masyarakat
230
Barat ketika menuju masyarakat moderen. Bagi Parsons meluasnya keluarga inti karena memang struktur keluarga luas tidak sejalan dengan prinsip masyarakat moderen. Proses kontraksi ini terjadi pada semua lapisan sosial. Hal ini tidak seperti temuan Rene Konig (dalam Polak, 1979: 342), yang menyatakan bahwa keluarga luas hanya banyak berkembang pada lapisan atas, sedangkan keluarga inti banyak berkembang pada lapisan bawah. Memang ada perbedaan akselarasi pada setiap keluarga karena adanya perbedaan kemampuan secara ekonomis. Ada dua dimensi yang nampak saling bertentangan akibat dari proses kontraksi keluarga dalam masyarakat. Di satu sisi hubungan sosial tetap berlangsung di antara keluarga inti yang sekerabat, namun di sisi lain memunculkan liberalisasi dan isolasi sosial di antara keluarga inti. Proses kontraksi keluarga memunculkan otonomi keluarga inti yang lebih kuat. Otonomi ini ditandai dengan terjadinya proses liberalisasi dan munculnya isolasi sosial dari anggota keluarga inti. Anggota keluarga inti lebih mempunyai kebebasan dalam memutuskan hal yang terkait dengan persoalan internal keluarga, termasuk dalam pengasuhan anak dan sosialisasi nilai-nilai keagamaan dan tradisi. Dengan demikian ayah-ibu menjadi faktor primer dalam proses pengasuhan anak dalam keluarga, sedangkan anggota kerabat yang lain menjadi faktor sekunder. Munculnya isolasi sosial keluarga inti, baik di kalangan masyarakat luas maupun keluarga beda agama, memang menambah beban kehidupan yang lebih berat, namun tidak mengurangi kualitas solidaritas dan kasih sayang dari keluarga inti yang lain terutama dari orang tua, sebaliknya kualitas persaudaraan itu semakin menebal. Di sisi lain seiring dengan proses kontraksi keluarga luas ke keluarga inti saat ini juga terjadi dinamika budaya, hal ini ditandai dengan berkembangnya asosiasi yang didasarkan atas pertalian kekerabatan yaitu trah atau bani. Gejala ini muncul di Kulonprogo dan Solo, dan batas-batas tertentu di Tasikmalaya dan Pasuruan. Yang penting dicatat dari keberadaan trah ini adalah banyak dari anggotanya yang mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda, baik dari segi paham agama maupun agama yang dianutnya, dan mereka menjadi anggota dalam berbagai unit
sosial sekaligus (cross-cutting affiliation). Karena itu dari segi agama
anggotanya, trah ini dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu trah yang anggotanya samasama beragama Islam atau dapat disebut dengan trah homogen. Selain itu ada trah yang anggotanya ada yang berbeda agama, disebut juga dengan trah heterogen. Perbedaan agama dan bahkan suku, status sosial anggota ini dimungkinkan karena
231
dasar keanggotaan sebuah trah adalah adanya hubungan darah dalam garis keturunan pancer dan perkawinan. Kalau trah merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dan anggotanya dapat berbeda agama, sedangkan bani anggotanya hanya menganut satu agama yaitu Islam, dan
bani ini terdapat di
Pasuruan. Walaupun ada perbedaan jenis trah dari segi agama dan status sosialnya, namun ada peran utama yang dimainkannya yaitu sebagai penjalin hubungan antaranggota kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri seorang pancer. Mereka melakukan kegiatan pertemuan secara priodik seperti selapanan, tiga bulanan atau setahun sekali, juga bersifat insidental misalnya
ketika ada pernikahan kerabat
khitanan, namun pada umumnya pada hari raya Idul Fitri yaitu dalam tradisi Syawalan. Kegiatannya selain ada sosialisasi nilai-nilai kekerabatan dan kesukuan, pentingnya hidup rukun dan persaudaraan, nilai-nilai kebaikan yang patut dicontoh dari si mbah, pengisinya dari sesepuh atau penceramah. Juga diisi dengan kegiatan yang bernilai ekonomis seperti arisan, dan bantuan sosial-ekonomi lainnya. Juga yang terpenting adalah pengenalan setiap anggota trah, baik mengenai nama, nasab dan posisi masingmasing dalam kaitannya dengan pancer. Dengan demikian trah ini sebenarnya dalam batas-batas tertentu telah menjadi wadah
pemelihara ikatan
primordialisme dan
menghidupkan kembali (revitalisasi) fungsi sosial dari keluarga luas. Dalam batasbatas tertentu ia telah berfungsi sebagai perekat sosial (sosial cement) dari orangorang yang berbeda agama. Kedua, selain keluarga inti yang banyak berperan dalam sosialisasi nilai, serta trah atau bani, pada saat ini hampir semua lokasi berkembang kelompok sosial yang berupaya mengembangkan peran dan kesejahteraan keluarga inti seperti PKK, dasawisma yang diprakarsai oleh pemerintah secara nasional. Kelompok sosial dijalankan oleh ibu-ibu, dan karenanya perannya sangat strategis karena langsung terkait dengan kepentingan keluarga terutama ibu-ibu. Kelompok yang didalamnya ada ibu-ibu dapat dianggap efektif dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik karena mereka memiliki sifat feminis dan greteh yaitu tekun dan sabar dalam melakukan tugasnya yang tidak dimiliki oleh pihak laki-laki. Mengingat kedudukannya yang strategis, maka sebenarnya kelompok sosial yang langsung terkait dengan keberadaan dan kepentingan keluarga (inti) sangat berarti jika dijadikan sebagai instrumen dalam upaya pengendalian dan penyelesaian
232
konflik antarumat beragama. Selama ini upaya pengendalian dan penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah lebih bersifat massif-kelompok, tidak rutin, dan terfokus kepada wakil organisasi formal keagamaan dan cenderung elitis. Karena itu perlu diimbangi dengan upaya pengendalian dan penyelesaian konflik dari kelompok sosial yang terkait dengan keluarga atau kekerabatan ini karena lebih bersifat kontinu dan langsung bersentuhan dengan keluarga. Secara umum kelompok sosial khususnya asosiasi dari segi kekhasantidaknya, pemerintahan-masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam: 1. Kelompok sosial yang ada pada skala nasional yang dibentuk oleh pemerintah. Kelompok ini ada pada setiap daerah yang menjadi lokasi penelitian ini. Misalnya yang berorientasi keagamaan seperti MUI, DGI, PGI, PAH, FKUB; kelompok yang berorientasi kepada kesejahteraan
perempuan seperti PKK, dan
Dasa
Wisma, 2. Kelompok sosial yang ada pada skala nasional yang dibentuk masyarakat sendiri seperti orsos keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Majelis Muhahidin, FPIS, kelompok-kelompok gereja-Kristiani, Majelis Mujahidin,
pondok pesantren,
majelis taklim 3. Kelompok sosial skala lokal bentukan masyarakat sendiri 4. Kelompok sosial skala lokal bentukan pemerintah 5. Lembaga pemerintahan adat /tradisioanl 6. Lembaga (semi) pemerintahan modern level bawah dari tingkat desa-RT Setiap kelompok sosial, terutama dalam skala lokal,
memiliki peran yang
hampir sama tapi mempunyai tingkat pengaruh yang (relatif) berbeda di tiap daerah. Di Pasuruan
misalnya ada pondok pesantren, dan majelis taklim. Di Tasikmalaya
selain pesantren-majelis taklim juga ada organisasi sosial keagamaan yang memikiki ideologi fundamentalis seperti Majelis Mujahidin, sementara di Solo juga
ada
organisasi Islam fundamentalis sepeti Mejalis Mujahidin dan FPIS. Di Kulonprogo yang menonjol adalah kelompok tradisional seperti trah dan kelompok priyayi yang terkait dengan Pakualaman, sedangkan di Mataram yang menonjol adalah kelompok priyayi agama seperti tuan guru dan lalu. Jenis aktor lokal yang ada di tiap daerah dapat diklasifikasikan ke dalam: 1. Aktor
lokal yang terkait dengan
beroerientasi kepada aspek tertentu.
kelompok sosial kemasyarakatan yang Misalnya tokoh MUI, DGI, NU
233
Muhammadiyah, majelis Mujahidin, FPIS, pondok pesantren,
dan PKK. Jika
dilihat dari jenis kelamin maka ada tokoh wanita dan pemuda. 2. Aktor lokal yang terkait dengan lembaga (semi) pemerintahan modern seperti Kepala Desa- Ketua RT 3. Aktor lokal yang terkait dengan lembaga pemerintahan adat Dari segi tingkat keberpengaruhannya, aktor lokal dapat dibagi ke dalam: (1) aktor lokal yang berpengaruh dalam kelompoknya, (2) aktor lokal yang berpengaruh lintas kelompok. Aktor lokal yang paling berpengaruh di masyarakat berbeda-beda tiap daerah. Di Pasuruan ada kyai, di Tasikmalaya ada ajengan, di Mataram ada tuan guru dan lalu, di Solo lebih dominan tokoh (partai) politik, dan di Kulonprogo
tokoh tradisional
khususnya orang yang memiliki hubungan dengah Pakualaman. Keberpengaruhan mereka diakui oleh masyarakat setempat dan
berperan dalam banyak aspek
(polimorpi). Yang perlu dicatat dalam penyelesaian konflik, aktor lokal ini sering tidak dapat memposisikan diri sebagai penengah atau mediator karena mereka, disadari atau tidak, terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang bertikai, sehingga mereka sering menjadi bagian dari pihak yang berkonflik, meskipun secara tidak langsung. Hal ini misalnya nampak dalam kasus di Kulonprogo. Ada kecenderungan aktor lokal tersebar dalam berbagai kelompok sosial penting dalam masyarakatnya seperti di Tasikmalaya, Pasuruan, Mataram dan Solo, karena itu semakin memudarkan sosok tokoh lokal tunggal yang berpengaruh dalam seluruh masyarakat. Memang ada di antara tokoh-tokoh lokal tersebut yang mempunyai kharisma lebih, namun tidak dalam semua aspek. Bahkan sebenarnya di antara aktor lokal tersebut terjadi persaingan pengaruh dalam banyak dimensi seperti di bidang sosial-politik ekonomi, termasuk dalam perebutan simpati massa. Terjadinya persebaran pengaruh oleh banyak aktor berlangsung, hanya ketika
lokal tersebut sudah lama
era Orde Baru pelibatan dalam sebuah
kasus yang
dilibatkan aktor lokal-tunggal tertentu, hal ini didasarkan atas asumsi bahwa aktor lokal-tunggal tersebut membawahi semua aspirasi dan inisiatif seluruh anggota masyarakat lokal, padahal sejatinya tidak demikian. Kecenderungan saat itu adalah pemerintah merekayasa sosok aktor-tunggal yang ‘harus’ diterima oleh semua masyarakat lokal. Dalam kaitan ini tidak semua tokoh yang dianggap representasi dari kelompok sosial yang popular dan mereka yang memiliki massa kuat selalu
234
merepresentasikan
dari keseluruhan anggota
masyarakat. Lihat misalnya kasus
ketidakmampuan Gus Dur dan Megawati yang dianggap representasi massa berbasis dominan yaitu NU dan nasionalis dan non muslim, ternyata tidak mampu menangani konflik di Ambon dan Maluku. Sebab pihak-pihak yang berkonflik adalah kelompok agama garis keras. Hal ini sekaligus menunjukkan pentingnya analisis anatomi subyek berkonflik. Hal yang sama terdapat dalam kasus penyelesaian konflik antarumat beragama di lokasi penelitian ini. Subyek yang berkonflik termasuk kelompok yang keras-militan dari segi ideologis dan dalam batas-batas tertentu secara metodologi geakannya. Ketiga, di semua lokasi penelitian ada nilai-nilai lokal yang masih tumbuh dalam kehidupan masyarakat dalam rangka upaya merekatkan kohesi antarkelompok, khususnya antarumat beragama. Setiap daerah memiliki keunikannya sendiri, meskipun di antara daerah tersebut ada juga kesamaan substansi yaitu berfungsi merekatkan hubungan antar manusia dan kelompok yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan lapisan sosialnya Berbagai keunikan tersebut misalnya di
Mataram dengan latar belakang
budaya dominan Sasak ada nilai-nilai ngejot (memberikan bantuan berupa apa saja kepada tetangga atau masyarakat yang sedang mengalami kesusahan ataupun senang baik ke masyarakat muslim maupun nonmuslim; blangan (memberikan sumbangan atau bantuan/menolong kepada masyarakat yang kesusahan); bebagar atau bersih desa, khususnya berkaitan dengan besen tulak (tolak balak). Di Solo ada nilai-nilai tepo seliro (tenggang rasa), sambatan (saling membantu dan bekerja sama), dan gotong royong. Sementara di Kulonprogo ada tayub (tata=menata dan ‘yub’ dari kata guyub yang berarti menata kehidupan masyarakat agar hidup rukun penuh kekeluargaan tanpa membeda-bedakan status sosial, agama, dan sebagainya; ‘leliru saka liyan’ yang berarti “mendapatkan ganti dari dan dalam bentuk lain”, dan nilai-nilai tepo seliro (tenggang rasa), alon-alon asal klakon (sikap berhati-hati), serta sambatan (saling membantu dan bekerja sama). Di Tasikmalaya ada batur sakasur, batur sasumur dan batur salembur. Di Pasuruan ada gotong royong, mbiodo (menyediakan tenaga, dan dapat juga pikiran, untuk membantu orang lain, tetangga ataupun kenalan yang sedang mengadakan hajatan), bowo (memberi bantuan secara ikhlas tampa pamrih ketika ada hajatan atau resepsi).
235
Keempat, tidak semua upacara lokal, umum dan lingkaran hidup, dapat disetujui oleh semua kelompok masyarakat karena satu dan beberapa alasan seperti karena alasan ideologis/paham keagamaan maupun alasan ekonomis, dan semakin menurunnya fungsi dan keberadaan upacara itu sendiri akibat proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan masyarakat terhadap nilai-nilai lokal yang
pandangan kelompok
tidak banyak berbeda dan masyarakat
setempat mendukungnya. Fungsi upacara, khususnya upacara umum pada intinya untuk merekatkan hubungan antara manusia dengan ‘sesuatu yang dianggap transenden’ sekaligus untuk kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan hal itu akan berdampak kepada terjadinya interaksi antarmanusia atau kelompok ketika proses upacara itu berlangsung. Di Mataram misalnya ada upacara Pujawali (perang ketupat), Ngentunin (turun ke sawah saat menanam padi) , Bau Nyale (menangkap cacing laut); Di Solo ada upacara Jumenenangan, Suro, Grebeg, Tahun Dal, Sekaten, Sesajen, dan Malem Selikuran atau Maleman Sriwedari. Di Kulonprogo ada baritan (lebar ngarit/pasca panen), dan Saparan, dan lainnya. Adapun di Tasikmalaya ada upacara hajat laut, dan ngalangsur. Sementara upacara lingkaran hidup
selain berfungsi untuk memberikan
keselamatan bagi individu manusia, juga pada umumnya di tiap lokasi berfungsi sebagai wadah bertemunya orang-orang yang berbeda latar belakang agama, suku dan lainnya. G. Model Pengendalian Potensi Konflik Berbasis Budaya Lokal Kelayakan komponen budaya lokal untuk difungsikan sebagai instrumen pengendalian dan penyelesaian konflik didasarkan pada evaluasi dan seleksi terhadapnya. Langkah pertama mengidentifikasi status tiap komponen, dan kedua menetapkan fungsinya, dan terakhir mekanisme pelaksanaannya. Dari aspek statusnya, ada 3 kemungkinan yaitu: potensial, aktual, dan inpotensial. Komponen budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatna, dan pelaksanaannya dalam masyarakat. Komponen budaya
236
lokal dianggap inpotensial atau tidak potensial jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual
kalau
sudah diperankan oleh masyarakat sebagai pengendali dan penyelesai
konflik antarumat beragama. Dilihat dari fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen budaya terdapat perbedaan status dan fungsi masing-masing pada tiap daerah. Di tiap daerah
meskipun komponen
budaya lokal dapat difungsikan
sebagai instrumen
pengendalian dan penyelesaian konflik, namun tingkatan jenis statusnya berbeda, ada yang potensial, inpotensial, dan aktual. Sebagian besar komponen budaya yang terlacak dapat difungsikan sebagai instrumen, namun hanya ada satu atau lebih dalam sebuah komponen budaya yang sudah aktual atau inpotensial karena beberapa alasan. Budaya yang dianggap tidak potensial misalnya meliputi: alon-alon waton klakon (terdapat di Kulonprogo dan Solo), kasunanan (Solo), sesajen (Pasuruan), pondok pesantren, pangusung-keliang-banjar dan semua upacara adat seperti pujowali, ngentunin, bau nyele, dan sadran (Mataram). Sementara budaya yang sudah aktual berlaku di masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama meliputi gotong royong
yang menjadi wadah interaksi, kyai dan pamong serta baritan (di
Kulonprogo), ajengan (Tasikmalaya), gotong royong juga sudah dijalankan di Solo. Dari segi sumber kebudayaan, kebudayaan yang lebih dominan berfungsi pada setiap komponen, baik berdasarkan kepada suku, agama, atau perpaduan di antara keduanya. Peninjauan terhadap sumber kebudayaan ini menunjukkan ada kesamaan dan sekaligus perbedaan pada setiap daerah. Sebagaimana terlihat dalam tabel, pada tiap daerah menunjukkan bahwa sumber dari komponen budaya lokal yang ada didasarkan atas kebudayaan mayoritas, baik agama mayoritas (Islam) maupun suku mayoritas atau paduan antara keduanya (agama dan suku mayoritas), meskipun ada juga yang bersumber dari suku mayoritas-agama global, baik mayoritas maupun minoritas seperti dalam upacara lingkaran hidup. Perbedan dan persamaan di tiap daerah ini nampak juga dalam aspek mekanisme yang harus dilaksanakan dalam pemfungsian
komponen budaya tersebut dalam
pengendalian konflik. Ada daerah yang memilih menerapkan mekanisme integratif (Kulonprogo dan Solo), juga ada yang memilih untuk menerapkan mekanisme integrasi
237
dan mandiri (Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram). Mekanisme mandiri yaitu komponenkomponen budaya lokal menjadi instrumen yang diterapkan dengan utuh dan secara mandiri. Mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke dalam proses pengendalian konflik Adapun rincian dari perbandingan mengenai status, fungsi, sumber kebudayaan pada setiap komponen budaya, dan mekanismenya di tiap daerah dapat dilihat dalam tabel 1-5. Tabel 1: Model Pengendalian Konflik: Kulonprogo Potensial
Aktual
PB/Sos
PB/Sos
Inpotensial
Komponen Budaya Nilai-nilai: 1. Tayub 2. Leliru saka liyan 3. Teposeliro 4. Sambatan dan gotong royong 5. alon-alon asal klakon Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. Gotong royong Aktor lokal: 1. Priyayi 2. Kyai 3. Pamong Upacara Adat: 1. Baritan (UA Tipe 3) 2. Jamasan pusaka (Tipe 3) 3. Bersih desa (Tipe 3) 4. Saparan (Tipe 2) 5. Nyekar (Tipe 2) 6. Sadranan (Tipe 2) Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
Inter.
Inter
PB/Sos
Sumber Kebudyaan
Mekanisme
Inter Suku mayoritas
+ + + + -
Integratif +
+ +
+ Suku mayoritas
+ + +
Suku mayoritas Agama mayosritas Suku mayoritas
+ + + + + + + + +
+ + +
+
Suku mayoritas– agama global Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.= (Wadah) Interakasi PB=Pedoman Bersama + = menunjuk pada adanya subkomponen budaya pada kolom tertentu. +
Tabel 2: Model Pengendalian Konflik: Pasuruan Potensial
Aktual
Inpotensial
Komponen Budaya PB/Sos Nilai-nilai: 1.Mbiodo 2. Bowo 3. Gotong royong
+ + +
Kelompok sosial 1. Trah
+
Inter.
PB/Sos
Inter
PB/Sos
Sumber Kebudyaan
Mekanisme
Inter Pendhalungan Mandiri
dan
238
2. Pesantren 3. Komunitas Madura 4. Gotong royong
+ +
Agama dan suku mayoritas (pendahlungan)
+
Aktor lokal: 1. Kyai 2. Tokoh Madura
+ +
Integratif
Agama dan suku mayoritas (pendahlungan)
Upacara Adat: Sesajen
+
Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian
+
+
Agama-suku mayoritas sda
Tabel 3: Model Pengendalian Konflik: Tasikmalaya Potensial
Aktual
PB/Sos +
PB/Sos
Inpotensial
Komponen Budaya Nilai-nilai: Batur SasumurSalembur Kelompok sosial 1. Majelis taklim 2. Pondok pesantren 3. MUI kecam/desa Aktor lokal: Ajengan Upacara Adat: 1. Bersih desa 2. Sadran 3. Hajat laut Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
Komponen Budaya
2. Org.agama:Nahdatul Wathan 3. Pondok pesantren
Inter
PB/Sos
Mekanisme
Inter Suku mayoritas
Mandiri Agama mayoritas
+ + +
dan Integratif
Agama mayoritas
+
+ +
+
Suku mayoritas Agma mayoritas Suku mayoritas
+
+
Suku-agama mayoritas
+
Tabel 4: Model Pengendalian Konflik: Mataram Potensial Aktual Inpotensial Sumber Kebudyaan Mekanisme PB/Sos
Nilai-nilai: 1. Ngejot 2. Blangan 3. Bebagar 4. Bumi dipijak di situ langit dijunjung/Merang Kelompok sosial 1. Pengusung-keliangbanjar
Inter.
Sumber Kebudyaan
Inter.
PB/Sos
Inter
PB/Sos
Inter
+ + + +
Suku mayoritas
Mandiri
+ adaptasi fungsi
Suku mayoritas
dan Integratif
Agama mayoritas
+ +
+
Aktor lokal:
239
1. Tuan guru 2. Lalu 3. Pengusung-keliangbanjar Upacara Adat: 1. Pujawali 2. Ngentunin 3. Bau Nyele 4. Sadran Upacara lingk.hidup: Kelahiran- nyongkol, kematian
+ +
+ +
+
+ + + +
+ + + +
+
Agama dan suku mayoritas
Suku-agama
Tabel 5: Model Pengendalian Konflik: Solo Potensial
Aktual
PB/Sos
PB/Sos
Inpotensial
Komponen Budaya Nilai-nilai: 1.Teposelira 2. Sambatan 3. Gotong royong 4. Alon-alon waton klakon Kelompok sosial 1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. RT-RW 4. Gotong royong Aktor lokal: 1. Tokoh Parpol 2. Kyai 3. Kasunanan Upacara Adat: 1. Dilaksanakan kraton/Pemkot 1. Dilaksanakan masyarakat Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian
Inter.
Inter
PB/Sos
Sumber Kebudyaan
Mekanisme
Inter Suku mayoritas
+ + + -
+ + + -
+
+ + + -
-
Suku mayoritas Nasional Nasional Suku mayoritas
+
Integratif
Nasional Agmamayoritas
+ + -
+ Suku mayoritas
+
+
+
-
+
Suku ayoritasagama global Suku mayoritas– agama global
H. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Budaya Lokal Dalam penyusunan model penyelesaian konflik di setiap daerah memperhatikan 3 aspek yaitu: (1) memperhatikan karakter konflik, (2) pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, (3) pemanfaatan budaya lokal. Ketiga aspek tersebut sama-sama dijadikan bahan pertimbangan dalam penyelesaian konflik, meskipun dengan tingkatan yang berbeda-beda. Secara sederhana dapat dilihat dalam tabel 1. Pertama, aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan budaya lokal dalam proses penyelesaian konflik yang terkait dengan karakteristik konflik meliputi:
240
paham agama dari subyek berkonflik dan posisi mayoritas dan minoritas dari kelompok yang berkonflik. Paham agama subyek berkonflik (sangat) dijadikan pertimbangan karena terkait dengan pandangan mereka terhadap nilai-nilai dan upacara adat yang ada di suatu daerah. Misalnya di Mataram, hampir semua upacara adat dianggap tidak sesuai dengan pandangan keagamaan dari subyek dan aktor-aktor yang terlibat konflik terutama dari kalangan muslim. Begitu juga posisi mayoritas sangat menentukan komponen budaya lokal mana saja yang dapat dijadikan sebagai instrumen, baik dalam penyelesaian maupun pengendalian konflik. Misalnya ajengan, tuan guru, dan kyai dipilih sebagai aktor lokal yang berasal dari kelompok agama mayoritas (Islam) yang dianggap representatif. Juga dipertimbangkan
kebudayaan
dari suku mayoritas dari kelompok/subyek
yang
berkonflik atau lokasi di mana kelompok-kelompok agama yang berkonflik berada. Adapun unsur-unsur karakterisitk konflik yang lain tidak begitu jadi pertimbangan misalnya, jenis konflik, penyebab dan sumber konflik. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tiap unsur yang ada dalam komponen-komponen budaya lokal yang diseleksi dapat diterapkan untuk semua jenis, penyebab dan sumber konflik antarumat beragama di suatu daerah. Kedua, aspek lain yang dijadikan pertimbangan dalam upaya penyusunan model penyelesaian konflik ialah upaya penyelesaian yang pernah dilakukan di suatu daerah. Kalau di sebuah daerah sebuah komponen budaya lokal tertentu pernah dilakukan, maka hal itu menjadi penting untuk dilanjutkan dan dikembangkan. Misalnya gotong royong (di Solo dan Kulonprogo) selama ini telah pernah dijadikan sebagai
instrumen untuk
mengembangkan budaya damai, meskipun di kedua daerah ini gotong royong diterapkan bukan dalam konteks penyelesaian konflik antarumat beragama yang jadi fokus penelitian ini. Demikian juga pengembangan kyai dan pamong (di Kulonprogo), ajengan (Tasikmalaya), dan tuan guru (Mataram) yang sudah dilibatkan dalam penyelesaian konflik antarumat beragama, tapi masih terbatas karena mereka masih menjadi unsur sekunder, sedangkan unsur primernya masih ada di tangan pemerintah. Mereka juga masih dijadikan sebagai pihak penyelesaian konflik dengan pendekatan secara tidak langsung. Ketiga, sementara faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan model penyelesaian
konflik antarumat beragama lainnya tentu yang terkait dengan
karaktersitik budaya lokal di tiap daerah. Faktor ini
justru menjadi intinya, gambaran
241
perbandingan tiap daerah secara lebih sederhana dapat dilihat dalam tabel 6 tentang model penyelesaian konflik. Di semua daerah nampak ada upaya menjadikan pendekatan langsung (proses dialog, negosiasi, atau rekonsialisasi) sebagai bagian dari model penyelesaian konflik antarumat beragama (KAUB).
Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa selama ini,
kecuali di Kulonprogo, pendekatan ini belum pernah dilakukan, dan hanya dilakukan pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi), yang banyak dilakukan pemerintah secara struktural top-down. Hal ini sebagai akibat dari paradigma lama dari pemerintah era sebelumnya yaitu negara (pemerintah) harus mengontrol dan menjadi subyek dalam setiap penyelesaian konflik SARA, sedangkan aktor-aktor lokal hanya dijadikan sebagai obyek yang bersifat sekunder. Keinginan mengembangkan pendekatan langsung harus dijadikan sebagai modal utama dalam setiap penyelesaian KAUB di setiap daerah. Sebab ini menunjukkan adanya tekad yang kuat dari masyarakat untuk menyelesaikan konfliknya sesuai dengan karakter yang ada. Seiring dengan adanya keinginan untuk menerapkan pendekatan langsung, selain tidak langsung, di semua daerah juga berupaya menjadikan dan atau (lebih) menguatkan peran aktor lokal sesuai dengan sumber kebudayaan masing-masing daerah. Hal yang sama terdapat dalam unsur nilai-nilai lokal, dan kelompok sosial. Upaya
menjadikan
dan atau
menguatkan peran aktor lokal
misalnya di
Kulonprogo berupaya menjadikan sesepuh trah dan priyayi sebagai aktor, sedangkan di Pasuruan ada
Kyai dan tokoh komunitas Madura,
ajengan dalam berbagai level
(Tasikmalaya); tuan guru, dan lalu, serta (kemungkinan) tokoh dari lembaga tradisional /pemangku (Mataram); tokoh parpol Islam/berbasis massa Islam, tokoh Islam konsisten, dan tokoh trah heterogen (Solo). Memang ada nuansa perbedaan kemungkinan pemeranan masing-masing aktor lokal di setiap daerah, ada yang
mungkin dilakukan
tanpa
persyaratan, namun ada juga yang perlu prasyarat tertentu. Misalnya, di Kyai di Pasuruan dalam kasus konflik yang melibatkan kyai sendiri, maka
kyai dapat menjadi aktor
penyelesai konflik (secara langsung maupun tidak langsung) tapi dengan syarat tingkat kepemimpinan sang kyai, kedekatan secara emosional dengan kyai yang terlibat konflik. Hal yang sama pemeranan ajengan (Tasikmalaya), dan tuan guru (Mataram), tokoh Islam konsisten (Solo)
dalam kasus konflik yang melibatkan ajengan, tuan guru atau tokoh
Islam konsisten tersebut.
242
Selain itu ada juga alternatif dan model dalam pemeranan aktor lokal tertentu. Misalnya dalam kasus tokoh (sesepuh dan atau pimpinan) trah heterogen (Solo dan Kulonptogo). Jika mereka mau diperankan maka ada 2 kemungkinan modelnya yaitu: jika ada anggota trah yang berbeda agama terlibat KAUB, maka tokoh trah dapat menjadi fasilitator yang dapat dimulai dari internal trah, untuk kemudian diperluas di luar trah; atau dengan model tokoh trah mendorong anggota trah yang berbeda agama yang berposisi sebagai cross cutting affiliation di kelompok sosial, parpol, dan lainnya, untuk aktif menjadi peredam, fasilitator atau, mediator dalam KAUB. Sementara dalam penguatan kelompok sosial juga terdapat di semua daerah, hanya saja berbeda wadahnya, hal ini tentu sesuai dengan dominasi sumber kebudayaan yang berkembang di setiap daerah. Misalnya di Kulonprogo dan Solo ada trah heterogen, trah homogen, dan komunitas Madura
(Pasuruan). Sementara di Solo dan Mataram ada
berupaya mengoptimalkan lembaga-lembaga yang keangotaannya lintas agama, baik yang dibentuk pemerintah maupun yang berkembang di masyarakat sendiri. Khusus di Mataram dimungkinkan pemeranan atau revitalisasi lembaga tradisional yang pernah ada seperti pemangku (mangku), hal ini sejalan dengan tekad untuk memerankan awig-awig dalam proses konflik SARA khususnya KAUB. Adapun peran kelompok sosial tersebut dalam penyelesaian KAUB di setiap daerah terutama berfungsi pada pascakonflik yaitu sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil (kesepakatan) atau soluasi KAUB yang dilakukan aktor-aktor dari kelompok yang berkonflik. Nilai-nilai lokal, sesuai dengan khas kebudayaan masing-masing daerah, dapat diperankan dalam penyelesaian KAUB. Ia dijadikan sebagai pedoman bersama ketika dalam proses penyelesaian, dan menjadi pengukuh hasil kesepakatan pasca konflik. Hanya kelihatannya di tiap daerah berbeda keluasan pemeranan nilai-nilai lokal ini. Di Mataram memerankannya pada tahap proses konflik maupun pascakonflik, sedangkan di daerah yang lain hanya diperankan pada pascakonflik. Dari segi mekanisme pelaksanaan atau pemeranan budaya lokal dalam model penyelesaian konflik agak berbeda. Ada daerah yang memilih model mandiri dan integratif sekaligus seperti Kulonptogo dan Solo, sedangkan di daerah lainnya (Tasikmalaya, Mataram dan pasuruan) memilih model integratif. Sebenarnya mekanisme penerapan budaya lokal ini tidak menjadi masalah pokok, apakah menggunakan kedua model atau hanya satu model saja, sebab yang terpenting adalah disesuaikan dengan kesepakatan yang diambil oleh aktor-aktor ketika dalam proses penyelesaian konflik.
243
Tabel 6: Model Penyelesaian Konflik Daerah
Karakter Konflik
Upya Penyl
Pemfungsian Budaya Lokal
Konflik
Kulon progo
Pasu ruan
Tasikma laya
Jenis: konflik ide dan gerakan massa, Tak ada konflik sebelumnya. Subyek: elitmassa Islam dan elit Kristen Penyebab/ pemicu: kebijakan pemerintah di bidang pendidikan Sumber: salah paham antarbudaya (prasangka negatif), misiologi di sekolah, penggunaan simbol agama tertentu oleh umat agama lain.
Cara 1. Sesepuh trah dan priyayi dijadikan sebagai aktor Struktural PK pendekatan langsung (dialog), maupun tidak Pendekatan langsung (mediator/fasilitator). Trah yang ada langsung dilibatkan 2. Nilai difungsikan perkokoh /jadi pedoman hasil kesepatakan pasca konflik 3. Upacara adat dan ULH dijadikan sebagai wadah sosialiasasi hasil PK 4. Mekanisme: mandiri dan integrative.
Jenis: amuk massa (sosial) dan kekerasan dari kelompok mayoritas Subyek: massa Islam. Penyebab/pemicu: imbas konflik elite politik di tingkat nasional. Sumber: salah paham antarbudaya/ prasangka negative kelompok mayoritas, misiologi agama minoritas, sisa konflik, karakter keras dari masyarakat pendalungan.
Cara structuralkekuasaan dengan pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi dari pemerintah
1. Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, negoisasi, rekonsiliasi). 2. Kyai dan tokoh komunitas Madura jadi subyek penyelesai konflik antarumat beragama (KAUB), melalui pendekatan langsung atau tidak langsung, terutama jika konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan antartokoh agama. Untuk itu harus dipertimbangkan: (a) tingkat keberpengaruhan kyai yaitu disesuaikan dengan tingkatan konflik dan sosok massanya, (b) kedekatan secara emosional kyai dengan sosok massa berkonflik. (c) butuh kegiatan prakonsepsi 3. Kelompok sosial lokal (trah homogen, komunitas Madura, pesantren, dan kelompok Kristiani, secara terbatas dapat diperankan pascakonflik. Fungsinya: sebagai media/wadah sosialisasi, Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri. 4. Nilai-nilai lokal dapat memperkokoh dalam sosialisasi hasil kesepakatan. 5. Mekanisme: integratif Jenis: kekerasan cara-cara 1. Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, fisik bangunan. Terkait structuralnegoisasi, rekonsiliasi). dengan sejarah konflik kekuasaan 2. Ajengan menjadi subyek penyelesai KAUB, sebelumnya. dengan pendekatan langsung/tidak langsung, terutama jika Subyek: elit agama pendekatan konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan Islam (ajengan) dan tidak tidak melibatkan ajengan dan elit agama lain. Kristen. langsung 3. Tapi jika ajengan yang terlibat konflik dengan Sumber: (mediasi elit/umat agama lain, ajengan masih dapat jadi pembangunan tempat dan penyelesai konflik, langsung/tidak langsung, tapi
244
ibadah minoritas, dan fasilitasi agresifitas penyiaran dari agama minoritas, Islam pemerintah konsisten, penerapan syariat Islam, dan sisasisa konflik sebelumnya. 4.
5. Mata ram
Jenis: kekerasan fisik bangunan Tidak ada sejarah konflik sebelumnya Subyek: massa Islam dan elit/massa Kristiani, Islam-Sasak dan Kristiani-nonSasak Sumber pembangunan tempat ibadah dan agresifitas penyiaran agama minoritas, Islam konsisten Pemicu: solidaritas ingroup mayoritas.
Pendekatan 1. tidak langsung 2. berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan 3. pemerintah . Penegakan hukum (positif) tidak menjadi perhatian pokok
4.
5.
6.
gunakan pola lain yaitu (1) memanfaatkan ajengan yang punya pengaruh kewilayahan atau kepemimpinan yang levelnya lebih tinggi atau ajengan lain yang selevel, dan (2) ajengan tsb punya kedekatan secara ideologis dan paham agama dengan ajengan yang berkonflik. Upacara adat diperankan pascakonflik. Fungsi: sebagai media memperkuat dan sosialisasi hasil kesepakatan Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri. Nilai-nilai lokal seperti batur salembur dan nilainilai kerukunan sebagai pedoman bersama untuk memperkuat hasil kesepakatan Mekanisme penerapan: integratif Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, negoisasi, rekonsiliasi). Tuan guru karena dihormati tokoh agama lain dan sudah aktual terus dikuatkan sebagai penyelesai konflik, abaik pendekatan langsung/ tidak langsung, terutama jika konflik terbatas antarmassa umat beragama, dan tidak melibatkan tuan guru. Jika tuan guru yang terlibat konflik dengan elit/umat agama lain, gunakan model: (a) manfaatkan tuan guru dengan kepemimpinan lebih tinggi, atau tuan guru lain yang selevel, (b) dan punya kedekatan secara ideologis/paham agama dengan tuan guru yang berkonflik. lalu dapat difungsikan karena citranya di hadapan muslim (taat) kian positif dan banyak berperan dalam lembaga pemerintahan, serta pihak kelompok agama (Kristiani) merasa lebih ‘sreg’. Hanya harus dikomunikasikan dengan tuan guru yang terlibat konflik dan pihak agama lain. upacara adat tidak dapat dijadikan sebagai instrumen. Nilai lokal berfungsi dalam 2 tahap: Tahap proses penyelesaian sebagai sumber pendorong dan pedoman bersama dalam proses pengambilan keputusan bersama. Tahap pascakonflik sebagai pemerkokoh (sosialisasi) hasil-hasil kesepakatan antarpihak yang terlibat konflik. Dilakukan oleh pihak mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri. Ada dukungan kuat dari pemerintah dan masyarakat merevitalisasi awig-awig sebagai bagian dari penerapan hokum dalam penyelesaian konflik. Ada 2 opsi untuk memerankannya yaitu: (a) mengintegrasikan pelaksanaan awig-awig dalam peran-peran pemerintahan desa-RT/RW, (2) merevitalisasi awig-awig berarti merevitalisasi juga lembaga adat (mangku) Kelompok sosial diperankan dengan 2 alternatif yaitu: (a) mengembangkan lembaga yang
245
Solo
keanggotaannya lintas agama yang dibentuk oleh pemerintah setempat. Seperti FKUB. (b) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang tumbuh dalam masyarakat. 7. Mekanisme penerapan: integratif Jenis: konflik ide Pendekatan 1. Mengembangkan pendekatan langsung (dialog, dan gerakan massa. tidak negoisasi, rekonsiliasi). Tidak ada konflik yang langsung 2. Melanjutkan peran tokoh parpol Islam/ berbasis signifikan sebelumnya berupa massa muslim sebagai peredam dan penyalur (dalam era reformasi). mediasi aspirasi dari kelompok yang seideologis, bukan Subyek: elit dan dan sebagai fasilitator dan mediator. massa umat Islam dan fasilitasi 3. Tokoh Islam konsisten. dapat diperankan dengan elit agama Kristen yang syarat/alternatif: (a) menjadikannya sebagai Penyebab/pemicu: dilakukan negoisator dengan tokoh agama Kristen, sehingga pelecehan (tokoh) pemerintah lahirkan kesepakatan mengeacu pada sumber agama oleh elit agama konflik/akar akar masalah. (b) jika tidak mungkin, minoritas. maka perankan tokoh Islam lain yang Sumber: salah seideologis/sepaham agamanya dengan kelompok paham Islam yang berkonflik, atau tokoh Islam lain yang antarbudaya/prasangka paham keislamannya berbeda dengan kelompok negatif, agresiditas Islam yang berkonflik dengan persetujuan dari misiologi agama kelompok terakhir tersebut. minoritas, Islam 4.Tokoh trah heterogen sebagai mediator atau konsisten fasilitator. Ada 2 alternatif pola pemeranannya: (a) jika ada anggotanya yang berbeda agama ikut terlibat KAUB, maka tokoh trah menjadi fasilitator. (b) tokoh trah sebagai pendorong anggota trah yang berbeda agama yang berposisi cross cutting affiliation ( di kelompok sosial, parpol, FKUB). 5. Upacara adat diperankan pasca konflik sebagai media memperkuat dan sosialisasi hasil kesepakatan. Tapi dengan catatan dari kelompok Islam konsisten: upacara adat itu tidak bertentangan dengan paham agama mereka. Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri. Niilai-nilai lokal yang ada untuk memperkukuh hasil kesepakatan. 6. Wadahnya tak perlu lembaga baru, cukup optimalkan dan peran kelompok sosial yang sudah ada. Ada 2 alternatif yaitu: (a) kembangkan lembaga dengan anggotaan lintas-agama bentukan pemerintah seperti FKUB. (b) kembangkan lembaga lintas-agama yang tumbuh di masyarakat seperti trah heterogen. 7. Mekanisme: mandiri dan integrasi
246
BAB VIII MENCANDRA KERUKUNAN UMAT BERAGAMA KE DEPAN
A. Kesimpulan Kasus penelitian ini meliputi Jawa pedalaman (Kulonrpgo dan Solo), Jawa-Madura (Pasuruan), Sunda (Tasikmalaya, dan Sasak (Mataram). Hal ini menunjukkan sistem budaya yang berbeda pada tiap lokasi. Walaupun proses globalisasi dan pembangunan cenderung menghomogenisasi nilai dan mensubordinasikan budaya lokal, namun di sisi lain terjadi proses heterogenisasi yang ditandai dengan adanya penguatan budaya lokal. Dalam kasus Indonesia, terutama setelah diberlakukannya otonomi daerah, ditandai dengan
menguatnya aspirasi
masyarakat untuk memelihara
dan mengembangkan
identitas budaya (termasuk agama) di daerah. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi karakter konflik antarumat beragama di Indonesia. Dalam kaitan ini ada beberapa catatan yang penting dikemukakan. Pertama, Sebelum terjadi konflik di kalangan umat beragama telah ada potensi konflik. (a) pada level budaya terkait dengan persepsi atau prasangka, hal ini terdapat di Kulonprogo, Solo, dan Pasuruan. (b) pada level sosial, masalah penyiaran agama terdapat di semua lokasi, penggunaan simbol keagamaan terdapat di Kulonprogo, ekonomi (Mataram, Solo, dan Pasuruan), tempat ibadah (Mataram dan Tasikmlaya), pendidikan (Mataram dan Kulonprogo), politik (Tasikmalaya). Selain kedua faktor tersebut juga terdapat (c) sisa-sisa konflik sebelumnya seperti yang ada di Pasuruan dan Tasikmalaya. (d) munculnya kelompok Islam konsisten yang memiliki sikap kritis terhadap kelompok agama lain, hal ini terdapat di semua lokasi, sedangkan di Pasuruan karena adanya kelompok yang memiliki karakter keras. Jika dibandingkan antara potensi pra dan pascakonflik menunjukkan bahwa: (1) Potensi konflik yang ada pada prakonflik tidak selamanya menjadi potensi pascakonflik. Hal ini tergantung kepada tingkat kepuasan masing-masing pihak setelah terjadinya konflik, juga perkembangan sosial-politik antara sebelum dan sesudah terjadinya konflik, baik pada skala nasional maupun lokal. Di Tasikmalaya misalnya, dari kelima aspek yang menjadi potensi prakonflik
ada beberapa yang berbeda dengan potensi pascakonflik
seperti sisa-sisa konflik sebelumnya dan penyebaran agama, dan pada pacscakonflik muncul potensi baru yang berupa penguatan in-group akibat pembangunan kembali tempat ibadah dan rumah penduduk di kalangan umat Kristiani. (2) Ada potensi konflik 247
pscakonflik yang mempunyai kaitan langsung dan merupakan lanjutan dari potensi prakonflik misalnya di Kulonprogo, penolakan terhadap pendirian SMKN merupakan lanjutan dari potensi konflik yang muncul pada prakonflik di bidang pendidikan. (3) Antara potensi prakonflik dan pscakonflik terkait dengan faktor yang sama seperti di Mataram berkaitan dengan tempat ibadah. (4) Kecuali di Pasuruan, di semua lokasi menunjukkan keberadaan kelompok ‘Islam konsisten’ merupakan faktor permanen yang ada baik pra maupun pascakonflik, dan ini sejalan dengan tingkat resligiosentrisme antarkelompok yang masih berkembang baik pra maupun pascakonflik. Kedua, pendeskripsian sumber konflik mengacu kepada potensi konflik. Dari semua kasus sumber konflik berasal dari tiga (3) aspek. (1) Kesalahpahaman antarbudaya, yaitu konflik yang berasal dari adanya ketidaksesuaian dalam komunikasi antarbudaya antara kelompok Islam-Kristiani yaitu berupa kesalahpahaman akibat persepsi negatif yang berkaitan dengan cirri-ciri yang dianggap melekat pada salah satu kelompok oleh kelompok yang lain, terutama yang berkaitan dengan kegiatan agama. Hal ini terdapat di Kulonprogo, Solo, dan Tasikmalaya dan dalam batas-batas tertentu terdapat juga di Mataram. (2) Adanya identitas kelompok yang terancam, yaitu salah satu atau kedua kelompok merasa kehilangan sesuatu yang diakibatkan oleh kelompok lain, misalnya karena penyiaran agama yang dilakukan salah satu kelompok yang dianggap mengancam anggota kelompoknya, pembangunan tempat ibadah, dan penggunaan simbol-simbol agama yang dimanfaatkan kelompok agama lain. Sumber seperti ini terdapat di semua lokasi kasus. (3) Sumber konflik yang berasal dari perjuangan pemenuhan kebutuhan kelompok atau mencari keuntungan dalam penguasaan akses sumber daya maupun kesempatan, dalam hal ini terutama yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi akibat adanya kesenjangan ekonomi antara kedua kelompok agama.
Kasus ini terjadi di
Mataram, Solo, dan Pasuruan. (4) Munculnya kelompok Islam konsisten yang memiliki kepekaan terhadap setiap kegiatan umat Kristiani. Faktor penyebab konflik di semua kasus tersebut menunjukkan perbedaan. Di Kulonprogo faktor penyebab konflik
adalah di bidang politik, khususnya adanya
kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang dianggap merugikan kelompok agama tertentu yaitu Kristiani, sehingga memunculkan resistensi. Hal ini mirip dengan yang ada di Pasuruan, namun berbeda bentuknya. Di Pasuruan walaupun penyebabnya dari pranata politik, tapi lebih banyak karena imbas konflik elit politik. Sementara di Tasikmalaya selain terkait dengan persoalan ekonomi (illegal logging), juga karena pranata politik
248
terutama berkembangnya tafsir masyarakat bawah tentang penerapan syariah Islam yang diberlakukan
pemerintah setempat. Adapun di Mataram penyebab konflik karena
munculnya solidaritas kelompok, khususnya dari kalangan muslim setempat atas penderitaan yang menimpa muslim di Ambon dan Poso. Suatu faktor yang pada mulanya berada pada level budaya, tapi kemudian
bergeser ke level social ketika hal itu
diaktualisasikan dalam bentuk penggalangan massa.
Sementara di Solo penyebabnya
karerna adanya pelecehan tokoh agama oleh elit kelompok agama yang lain. Ketiga, Dalam proses konflik kelompok Kristiani, kecuali di Kulonprogo, lebih banyak bersifat pasif. Proses konflik dimulai dari pra konflik berupa benih-benih yang sudah ada dalam
kelompok umat beragama, kemudian ada faktor pemicu yang
mempercepat konflik
kasus, dan ditengah-tengah konflik kasus, terutama setelah
terjadinya puncak kejadian ada serangkaian upaya penyelesaian meskipun sering tidak tuntas dan bersifat artisifial. Penyelesesaian itu berupa mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan tidak dilakukan penegakan hukum pada pelaku yang terlibat dari kalangan mayoritas, sementara di Solo penegakan dilakukan pada pelaku (pelecehan) dari kalangan minoritas. Keempat, Konflik yang terjadi pada lokasi fokus semuanya antara umat Islam sebagai mayoritas dan Kristiani sebagai minoritas. Subyek terlibat pada umumnya terdiri dari laki-laki, dan mereka satu suku, kecuali di Mataram, karena sebagian besar umat Kristiani berasal dari luar suku Sasak. Dari seluruh lokasi, Pasuruan, Tasikmalaya, dan Solo sama-sama pernah memiliki sejarah konflik sosial khususnya antarumat beragama. Di Pasuruan dan Mataram subyek berkonflik bersifat massal, sehingga pada mulanya informasi yang muncul hanya sekitar ‘adanya pihak ketiga’ yang punya kepentingan tertentu. Selain itu ada kecenderungan baru dalam kaitan interaksi umat beragama, khususnya yang berkembang di kalangan muslim yaitu adanya pergantian peran dari Islam mapan ke kelompok ‘Islam konsisten’ yang memiliki kepekaan terhadap kegiatan dan simbol-simbol agama lain, khususnya Kristiani. Apa yang terjadi di Kulonprogo, Tasikmalaya, Solo, dan dalam batas-batas tertentu di Mataram menunjukkan hal ini. Sementara dari pihak Kristiani di setiap lokasi melibatkan kelompok Protestan,
berbeda-beda. Di Kulonprogo
meskipun pada tingkat propinsi
melibatkan pihak
Katolik dan Protestan. Di Solo juga melibatkan secara langsung kelompok Protestan. Di
249
tiga lokasi yag lain melibatkan kelompok Katolik dan Protestan. Kelompok Kristiani ini, kecuali di Kulonprogo, lebih banyak bersifat pasif dalam proses konflik tersebut. Kelima, Upaya-upaya pengendalian potensi konflik di
semua lokasi masih
bersifat top-down dan struktural. Sementara upaya dan prakarsa dari
kelompok
masyarakat sendiri belum banyak dilakukan. Hal ini terdapat di hampir semua lokasi penelitian. Walapun begitu ada upaya dari pemerintah untuk memanfaatkan budaya lokal seperti di Mataram atau menumbuhkembangkan potensi lokal yang bersifat botton-up seperti di Solo. Mengingat kedudukannya yang strategis, maka sebenarnya kelompok sosial yang langsung terkait dengan keberadaan dan kepentingan keluarga (inti) sangat berarti jika dijadikan sebagai pelaku dalam upaya pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama. Selama ini upaya pengendalian dan penyelesaian konflik yang dilakukan pemerintah lebih bersifat massif-kelompok, tidak rutin, dan terfokus kepada wakil organisasi formal keagamaan dan cenderung elitis. Upaya penyelesaian konflik tidak jauh berbeda dengan upaya pengendalian konflik yaitu sama-sama menggunakan pendekatan struktural-top-down. Tokoh-tokoh lokal di setiap lokasi sekedar menjadi peserta, bukan sebagai penengah (mediator) dan inisiator. Untuk kedua peran perakhir ini dilakukan pemerintah. Memang ada kendala sendiri dalam mengoptimalkan peran tokoh lokal sebagai pelaku utama dalam setiap penyelesaian. Sebab mereka terfragmentasi pada salah satu kelompok. Cara penyelesaiannya dilakukan musyawarah dan dialog. Mekanismenya adalah pemerintah mengundang
tokoh ormas
keagamaan
dan wadah musyawarah umat
beragama yang dianggap mewakili kelompok yang terlibat konflik. Setelah itu dilakukan musyawarah untuk mengambil
solusi yang dianggap terbaik. Karena
lebih
mengedepankan aspek musyawarah dan dialog, maka instrumen hukum menjadi tidak berjalan. Umumnya pihak-pihak yang terlibat dalam dialog penyelesaian konflik sejauh mungkin menghindari sangsi hukum positif. Meskipun begitu ada kehendak politik dari pihak pemerintah tertentu untuk memanfaatkan sangsi hukum adat seperti dalam kasus Mataram yaitu menggunakan awig-awig. Keenam, Seiring dengan proses kontraksi keluarga luas ke keluarga inti saat ini terjadi dinamika budaya, hal ini ditandai dengan berkembangnya asosiasi yang didasarkan atas pertalian kekerabatan yaitu trah atau bani. Gejala ini muncul di Kulonprogo dan Solo, dan batas-batas tertentu di Tasikmalaya dan Pasuruan. Banyak anggota trah (heterogen) yang berposisi sebagai cross-cutting affiliation. Walaupun ada perbedaan jenis trah dari
250
segi agama dan status sosialnya, namun ada peran utama yang dimainkannya yaitu sebagai penjalin hubungan antaranggota kerabat sekaligus sebagai penegas identitas diri seorang pancer. Dengan demikian trah ini sebenarnya dapat menjadi wadah pemelihara ikatan primordialisme dan menghidupkan kembali (revitalisasi) fungsi sosial dari keluarga luas. Dalam batas-batas tertentu ia telah berfungsi sebagai perekat sosial (social cement) dari orang-orang yang berbeda agama. Selain keluarga inti dan trah yang banyak berperan dalam sosialisasi nilai, pada saat ini hampir semua lokasi berkembang kelompok sosial yang berupaya mengembangkan peran dan kesejahteraan keluarga inti seperti PKK, dasawisma yang diprakarsai oleh pemerintah secara nasional. Kelompok sosial ini dijalankan oleh ibu-ibu, dan karenanya perannya sangat strategis karena langsung terkait dengan kepentingan keluarga terutama ibu-ibu. Hanya saja
potensi yang ada pada lembaga-
lembaga sosial tersebut belum
dalam upaya pengendalian dan
dijadikan instrumen
penyelesaian konflik yang ada. Pada saat ini aktor lokal tersebar dalam berbagai kelompok sosial penting dalam masyarakatnya seperti di Tasikmalaya, Pasuruan, Mataram dan Solo, karena itu semakin memudarkan sosok tokoh lokal tunggal yang berpengaruh dalam seluruh masyarakat. Memang ada di antara tokoh-tokoh lokal tersebut yang mempunyai kharisma lebih, namun tidak dalam semua aspek. Bahkan sebenarnya di antara aktor-aktor lokal tersebut terjadi persaingan pengaruh dalam banyak dimensi seperti di bidang sosial-ekonomi dan politik. Nilai-nilai lokal yang masih tumbuh dalam kehidupan masyarakat dalam rangka upaya merekatkan kohesi antarkelompok, khususnya antarumat beragama. Setiap daerah memiliki keunikannya sendiri, meskipun di antara daerah tersebut ada juga kesamaan substansi yaitu berfungsi merekatkan hubungan antar manusia dan kelompok yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan lapisan sosialnya Tidak semua upacara lokal, umum dan lingkaran hidup, dapat disetujui oleh semua kelompok masyarakat karena satu dan beberapa alasan seperti karena alasan ideiologis/paham keagamaan maupun alasan ekonomis, dan semakin menurunnya fungsi dan keberadaan upacara tersebut akibat proses modernisasi dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berbeda dengan pandangan kelompok masyarakat terhadap nilai-nilai lokal yang tidak banyak berbeda dan mendukungnya. Fungsi upacara, khususnya upacara umum pada intinya untuk merekatkan hubungan antara manusia dengan ‘sesuatu yang dianggap
251
transenden’ sekaligus untuk kesejahteraan masyarakat pada umumnya, dan hal itu akan berdampak kepada terjadinya interaksi antarmanusia atau kelompok ketika proses upacara itu berlangsung. Sementara upacara lingkaran hidup selain berfungsi untuk memberikan keselamatan bagi individu manusia, juga pada umumnya di tiap lokasi berfungsi sebagai wadah bertemunya orang-orang yang berbeda latar belakang agama, suku dan lainnya. Ketujuh, di tiap daerah meskipun komponen budaya lokal dapat difungsikan sebagai instrumen pengendalian dan penyelesaian konflik, namun tingkatan statusnya berbeda (potensial, inpotensial, dan aktual). Sebagian besar komponen budaya yang teridentifikasi dapat difungsikan sebagai instrumen, hanya sedikit dalam sebuah komponen budaya yang inpotensial karena beberapa alasan. Selain itu ada komponen budaya yang aktual (sudah diperankan) oleh masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian KAUB seperti gotong royong (Solo dan Kulonprogo), kyai dan pamong serta baritan (di Kulonprogo), ajengan (Tasikmalaya), dan tuan guru (Mataram). Sumber kebudayaan budaya lokal berasal dari kebudayaan mayoritas (suku dan agama). Mekanisme penerapan budaya lokal bersifat integratif (Kulonprogo dan Solo), integrasi dan mandiri (Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram). Kedelapan,
penyusunan
model
penyelesaian
konflik
di
setiap
daerah
memperhatikan 3 aspek yaitu: karakter konflik, pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, karakter budaya lokal. Aspek karakteristik konflik
yang
dipertimbangkan di beberapa daerah yaitu paham agama dari subyek berkonflik dan posisi mayoritas dan minoritas dari kelompok yang berkonflik. Kalau di sebuah daerah sebuah komponen budaya lokal tertentu pernah diperankan dalam penyelesaian konflik, maka penting dilanjutkan. Dalam pemeranan budaya lokal, di semua daerah berusaha menggunakan pendekatan langsung dalam penyelesaian KAUB, selain pendekatan tidak langsung. Di semua daerah juga berupaya (lebih) menguatkan peran aktor lokal. Hal yang sama terdapat dalam unsur nilai-nilai lokal, dan kelompok sosial.
Ada nuansa
perbedaan kemungkinan pemeranan masing-masing aktor lokal di setiap daerah, ada yang mungkin dilakukan
tanpa syarat, juga dengan prasyarat. Prasyaratnya adalah tingkat
kepemimpinan, dan kedekatan secara emosional
dan ideologis/paham agama dengan
tokoh agama yang terlibat konflik. Untuk kasus tokoh trah heterogen (kasus Solo dan Kulonprogo) ada 2 alternatif model dalam pemeranannya yaitu: menjadikan tokoh trah sebagai fasilitator atau pemeranan anggota trah yang berbeda agama yang berposisi cross cutting affiliation. Pemeranan kelompok sosial juga terdapat di semua daerah, hanya saja
252
berbeda
wadahnya. Ada
upaya
mengoptimalkan
lembaga-lembaga yang
keanggotaannya lintas agama, baik yang dibentuk pemerintah maupun yang berkembang di masyarakat sendiri (Solo dan Mataram). Juga ada upaya revitalisasi lembaga tradisional yang pernah ada seperti pemangku (Mataram), dan mereka berperan pada pascakonflik. Nilai-nilai lokal
ada yang diperankan pada tahap proses konflik dan pascakonflik
(Mataram), dan di daerah lain diperankan pada pascakonflik. Mekanismenya ada yang model mandiri dan integratif (Kulonptogo dan Solo), dan model integratif (Tasikmalaya, Mataram dan Pasuruan).
B. Prinsip-prinsip Kebijakan Pengembangan Kerukunan Umat Beragama Catatan penutup ini rasanya kurang ‘nikmat’ jika tidak diiringi dengan penjelasan tentang apa yang sebaiknya dilakukan ke depan dalam upaya keberlangsungan kerukunan umat beragama di Indonesia. Tentu hal ini didasarkan atas temuan-temuan penelitian di lapangan. Penjelasan ini sekaligus menunjukkan
betapa masih banyak hal yang harus
dilakukan oleh semua pelaku yang terlibat dalam
kerukunan umat beragama dalam
masyarakat yang treus berubah. Hal ini tentu bukan hanya harus menjadi renungan bagi pengambil kebijakan di bidang keagamaan, namun juga masyarakat beragama sendiri. Pertama, dalam proses penyelesaian konflik umat beragama ke depan, suatu hal yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi ulang terhadap pendekatan mayoritas. Selama ini pemerintah hanya melibatkan organisasi keagamaan mapan, khususnya di kalangan Islam, dalam setiap penyelesaian konflik umat beragama. Hal ini harus diimbangi dengan perlunya mulai memperhatikan serta mendekati organisasi ‘Islam konsisten’ yang terus mengembangkan pengaruhnya terutama dalam hubungan antarumat beragama, baik pada skala lokal maupun nasional. Pendekatan ini bukan berarti sebagai upaya ‘pemandulan’ aspirasi dan sikap peka mereka terhadap nonmuslim, namun mengarahkan agar kepekaan itu tidak menjadi konflik kekerasan. Selain itu mereka perlu dilibatkan dalam setiap program dan dialog antarumat beragama. Perhatian lebih juga perlu diberikan kepada kelompok Protestan, karena di berbagai daerah tersebut kelompok Kristiani ini yang lebih potensial menyulut konflik akibat kegiatannya
dibandingkan dengan kelompok
Katolik. Kedua, jika melihat sumber dan faktor penyebab konflik di setiap daerah penelitian, maka perlu dipertimbangkan beberapa hal oleh pengambil kebijakan. Hampir di semua lokasi kasus tempat ibadah dan penyiaran agama menjadi potensi/sumber dan
253
atau faktor penyebab konflik. Karena itu kedua hal tersebut perlu menjadi perhatian serius, misalnya dengan tetap memasukkan dan mengatur keduanya ke dalam rencana sistem perundangan
seperti Rancangan Undang-Undang tentang Kerukunan Umat Beragama.
Begitu pula dengan pendidikan agama di sekolah masih tetap relevan untuk diatur dalam rancangan tersebut. Aspek lain yang ternyata masih saja terjadi adalah pelecehan terhadap agama lain, baik kepada tokoh maupun doktrin agama lain. Ketiga, penggunaan simbol-simbol keagamaan yang dianggap melekat pada suatu kelompok agama yang dimanfaatkan kelompok agama lain penting diperhatikan pengaturannya, dan hal ini nampaknya belum diatur oleh sistem perundangan yang ada. Keempat, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah faktor yang memiliki kaitan dengan munculnya konflik antarumat beragama, seperti faktor kesenjangan sosial-ekonomi, dan penegakan hukum kepada pelaku yang terlibat. Kelima, dalam kaitannya dengan pemberdayaan aktor lokal ke depan, penanganan dan pengambilan keputusan
sebuah persoalan
atau pembangunan masyarakat tidak
cukup hanya diberikan kepada segelintir atau seorang tokoh hasil rekayasa dari atas, hal ini terutama pada tokoh dari kelompok mayoritas seperti Islam. Sebab ini tidak sesuai dengan kondisi yang berkembang saat ini yaitu semakin memudarnya sosok tokoh lokaltunggal. Karena itu pelibatan tokoh-tokoh yang mewakili berbagai kelompok sosial penting dilakukan misalnya di Solo, Tasikmalaya, Mataram, perlu dilibatkan tokoh-tokoh Islam dari kelompok Islam ‘konsisten’ dan kelompok Islam lainnya di luar kelompok Islam dominan. Selain itu perlu diimbangi dengan upaya pengendalian dan penyelesaian konflik dari kelompok sosial yang terkait dengan keluarga atau kekerabatan ini karena lebih bersifat kontinu dan langsung bersentuhan dengan keluarga. Keenam, pelatihan, pembinaan dan kegiatan sejenis selayaknya dilakukan rencana tindak lanjut (action plan) peserta di daerahnya pelatihan, pembinaan dan kegiatan sejenis
masing-masing. Bahkan kalau perlu
lebih baik
diselenggarakan pada tingkat
kabupaten/kota, bukan pada tingkat propinsi. Karena hakikatnya secara geo-sosio-politik potensi konflik dan konflik berada di suatu kabupaten/kota.
Hal ini sekaligus lebih
memungkinkan untuk memperluas jangkauan peserta pada tiap kecamatan sampai dusun. Ketujuh, forum komunikasi umat beragama yang pernah ada di tiap kabupaten/kota dianggap tidak efektif dalam mengendalikan dan menyelesaikan konflik antarumat beragama. Ada beberapa catatan yang berkaitan dengan FKUB yang didasarkan atas PB Menag dan Mendagri tahun 2006. (a) Perlu penerjamahan tugas secara lebih rinci pada
254
level praksis, sehingga forum ini memiliki peran dalam pengendalian potensi konflik. (b) Lebih penting dari itu adalah bagaimana mengimplimentasikannya
di lapangan dan
mengefektifkan perannya. (3) Menumbuhkembangkan representasi anggota internal forum berdasarkan budaya lokal yang ada, khususnya dari segi pelibatan aktor lokal sesuai dengan budaya yang setempat. Kedelapan, agar supaya dalam pengendalian dan penyelesaian konflik asntarumat beragama berjalan lebih efektif maka perlu dilakukan beberapa langkah misalnya: (a) membangun LSM yang menjadi simpul-simpul di tingkat desa, terutama di desa atau kecamatan yang ada masyarakatnya majemuk dari segi agama; (b) harus ada kehendak baik dari pimpina pada setiap level mulai dari bupati/walikota sampai RT-RW dalam upaya-upaya kongkrit
pengendalian dan penyelesaian konflik,
misalnya upaya
memfasilitasi kegiatan tindak lanjut dari pascapembinaan atau kaderisasi. Kesembilan,
cara penyelesaian konflik yang terjadi selama ini dengan cara
sruktural oleh pemerintah harus dibarengi cara kultural, tentunya dengan memperhatikan koridor hukum. Aparat pemerintah di tingkat lokal (desa, dusun, RT/RW) harus diberdayakan menjadi tokoh-tokoh kultural. Selain itu upaya penegakan hukum dalam konflik yang anarkhis harus melihat konteks geografis, dan sosial-budaya seperti aspek mayoritas-minoritas, namun agar ada efek jera dalam masyarakat maka ia harus ditegakkan dan jika perlu sanksi hukuman adat yang mungkin lebih efektif. Kesepuluh, modal utama dalam pemberdayaan atau revitalisasi budaya lokal adalah penumbuhkembangan kesadaran
masyarakat dan pemerintah tentang makna
penting revitalisasi budaya lokal tersebut dalam pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama. Hal ini dapat dimulai dari level atas dan bawah secara simultan. Pada level atas atau struktural, pemerintah (pusat dan daerah) memberi kebijakan
yang
memungkinkan komponen-komponen budaya lokal di setiap daerah dapat berkembang dan dikembangkan dalam proses pengendalian dan penyelesaian konflik. Sementara pada level bawah atau masyarakat berupaya menumbuhkembangkan kesadaran, terutama dari kalangan tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok sosial lokal. Dalam upaya merevitalisasi komponen budaya lokal tersebut, maka langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah memberdayakan peran aktor di setiap daerah. Mereka harus diberdayakan terlebih dahulu sebagai subyek langsung dalam merevitalisasi dan memberdayakan komponen budaya lokal yang lain seperti nilai-nilai, kelompok sosial lokal, dan upacara yang ada di daerahnya. Upaya pemberdayaan aktor lokal bukan berarti
255
seperti yang sudah berlangsung selama ini yaitu merekayasa seorang tokoh yang dipaksa tergantung sangat tinggi kepada pemerintah. Sebaliknya
pemberdayaan itu perlu
melibatkan aktor lokal sebanyak mungkin dan bersifat mandiri. Barangkali slogan yang penting dikemukakan adalah ‘pemberdayaan untuk semua aktor lokal dan kemadirian’. Dengan demikian peran mereka (tuan guru, lalu, kyai, ajengan, priyayi, pamong tingkat bawah, komunitas Madura, tokoh trah) perlu terus lebih dikuatkan lagi dan diperluas subyeknya. Jika ini dapat dilakukan maka persoalan kerukunan menjadi gerakan dan kesadaran koletif para aktor yang ada di suatu daerah, bukan hanya menjadi kesadaran segelintir aktor yang justru menjadi tidak produktif. Dalam kaitannya dengan upaya pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama, maka peran aktor lokal bersifat primer sedangkan pemerintah (pusat dan daerah) bersifat sekunder. Sifat primer berarti aktor harus diperankan sebagai penyelesai langsung (dialog, negoisator) maupun tidak langsung (fasilitator, mediator). Sifat sekunder berarti pemerintah, dan pihak-pihak di luar komunitas lokal hanya berperan sebagai mediator ketika dibutuhkan oleh aktor lokal, sekaligus tetap terus memberikan dukungan kebijakan dan pendanaan jika dibutuhkan. Jangan lagi seperti sering terjadi selama ini di mana upaya pengendalian dan penyelesaian konflik antarkelompok lebih sebagai proyek untuk memperoleh dana, dan
ketika
pengendalian dan penyelesaian konflik
kelompoknya tidak dilibatkan dalam proses dianggap tidak penting untuk dibantu
penyelesaiannya. Secara sederhana peran-peran tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Pemerintah Pusat/Daerah
Permberdayaan
Aktor/Lembaga Lokal
Revitalisasi
Nilai, Upacara,Kelompok,
Primer
Aktor lokal
Sekunder
256
257
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Suatu Pengantar Umum. Makalah Pelatihan Metopen Bidang Sosial Keagamaan Angkatan V. Jakarta: Ditbinlitabmas Dirjen Dikti Depdiknas. Abdel Salam, El Fatih A. 2004. Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik. Malaysia: IIUM. Alexander, Jeffrey C. & Steven Seidman (edit.). 1990. Culture and Society, Contemporary Debates. Cambridge: University Press. Anonimus. 2000. Pedoman Penyiaran Agama, Dakwah, Pendirian Tempat Ibadah, Peringatan Hari besar Keagamaan. Dicetak Ulang Proyek Bimbingan dan kerukunan Hidup Umat Beragama DIY. Departemen Agama. 2003. Draf Rancangan Undang-Undang tentang Kerukunan Umat Beragama. Balitbang Departemen Agama RI Dwipayana, AAGN. 2004. Bangsawan dan Kuasa, Kembalinya Ningrat di Dua Kota (Bali dan Solo). Effendi, Djohan, (editor). 1990. Agama dan Masa Depan. Jakarta: Balitbang Depag RI. Furchid, HP. (editor) . 1982. Dictionary of Sociology. New Jersey: Adam and Co. Gatut Murniatmo. 1996/1997. Interaksi Sosial AntarGolongan Etnik dalam Suatu Kebudayaan Umum Lokal di Surakarta Kasus Pasar Kliwon, dalam Jurnal Laporan Penelitian Jarahnitra. No. 007/P/1996.Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Terjamahan Grafiti Pers. Jakarta: Grafiti Pers. Gudykunst et. al., 1988. Cultural dand Interpersonal Communication. Sage Publication. Gudykunst, Yun Kim, 1997. Communicating with Stranger An Approach to Interpersonal Communication. McGraw Hill. Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi Research. Jilid I. Yogyakarta: Yayasan penerbitan Fakltas Psikologi UGM. Hamilton, Peter. 1990. Talcott Parsons dan Pemikirannya. Terj. Hartono.Yogyakarta: Tiara Wacana.
257
Hariyono, P. 1994. Kultur Cina dan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan. International Coalition for Religious Freedom, 2001, Religious Freedom World Report, ICRF, http://www.religiousfreedom.com Ismail, Nawari. 1993. Pola-pola Hubungan Sosial Antara Tokoh Yang Berbeda Agama Studi Kasus di Cigugur Tengah, Cimahi Bandung, Balitbang Depag RI, dalam Jurnal Hasil Penelitian Dosen. Edisi 1/1993. Yogyakarta: UMY Ismail, Nawari. 2002. Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perkotaan Studi Kasus di Sinduadi Mlati Sleman, Laporan Penelitian Dosen Muda Depdiknas RI Isyanti. 1999/2000. Fungsi Kelompok Sosial Pada Masyarakat Majemuk di Desa Catur Tunggal Kecamatan Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Laporan Penelitian Jarahnitra. No. 17/P/1999. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Jary, David & Julia. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Galsgow: HarperCollins,. Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Krueger, Richard A.1988. Focus Groups: A Practical Guide for Applied Research. New Delhi: SAGE Publications. Marse, Syamsuhadi. 1993. Peningkatan Kualitas Kerukunan Hidup Beragama. Makalah Pelatihan Peneliti Agama Angkatan XIV Jakarta: Balitbang Depag RI. Masnun dkk. 2003. H. Harun Al-Rasyid Meningkatkan Kesejahteraan Merajut Perdamaian. Jakarta: Cahaya Putra Utama. Miall, Hugh. et. al. 2002. Resolusi Damai Konflik Kontemporer Menyelesaikan, Mencegah, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Terjamahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mudzhar, M. Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Etika Kebangsaan dalam Pluralitas Sosial dan Keagamaan. Center for Information and Development Study. Mulyana, Deddy, Jalaluddin Rakhmat. 1990. Komunikasi AntarBudaya . Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nashir, Haidar. 1993. Proses Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antar Pemeluk Agama, Studi Kasus Babakan Ciparay Kodya Bandung, dalam Jurnal Hasil Penelitian, Edisi 1 Tahun 1993. Yogyakarta: UMY 258
Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nugroho, Heru. 2000. dalam Sutora Eko. Masyarakat PascaMiliter Tantangan dan Peluang Demiliterisasi di Indonesia. Yogyakarta: IRE. Rahman, Budhy Munawar, 2000, Mengembalikan http://media.isnet.org/islam/Etc/Plural.htm
Kerukunan
Umat
Beragama,
Retnowati. 2000. Agama, Konflik dan Integrasi Sosial (Rekonsiliasi Islam dan Kristen Pasca Kerusuhan Situbondo). Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Program Studi Sosiologi Pasca Sarjana UGM. Ritzer, George. 1985. Sosiologi, Ilmu Pengetahuan berparadigma Ganda. Terjamahan Alimandan. Jakarta: Rajawali. Saadah H, Sri. Hartati. 1991. Dampak Perkawinan Campuran terhadap Tatakrama Daerah Bali. Jakarta: Depdiknas. Saifuddin, Achmad Fedyani. 1986. Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali. Salamun dkk. 1993/1994. Kehidupan dan Interaksi Sosial-Budaya Masyarakat Sarang Meduro Kecamatan Sarang Rembang, dalam Jurnal Laporan Penelitian Jarahnitra. No. 005/P/1993. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Sarwono, Sarlito Wirawan, 2000, Religious Attitude in Indonesia, Jakarta: Faculty of Psychology, Indonesia University Sarwoto. 2000. ’Konversi Agama, Kasus Ahmad Wilson.’ Skripsi di Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam UMY, tidak diterbitkan. Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Soemardjan, Selo, Soelaiman S, 1964. Setangkai Bunga Soiologi. Jakarta: FE UI. Suparlan, Parsudi. 1991. Pengantar Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Makalah Pelatihan Peneliti Agama. Jakarta: Balitbang Depag RI. Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama Nomor 4/U/SKB/1999, Nomor 570 Tahun 1999 tentang 'Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah di Lingkungan Pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikman Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Nomor 2/U/SKB/2001, Nomor 81 Tahun 2001,
259
Nomor 423.7-011 tentang 'Penyelenggaraan Evaluasi Belajar Tahap Aakhir dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2000/2001. Suseno, Frans Magnis, 1999, Islam dan Kristen Bom Waktu atau Tumpuan Harapan, BASIS No 03-04, Maret-April 1999 Sutopo, Djoko. 1993. Potensi-potensi Konflik dan Faktor Peredam Studi kasus Kerukunan Hidup Beragama di Desa Pasir Endah Kecamatan Ujung Berung Kabupaten Bandung. Jakarta: Balitbang Depag RI. Tim Peneliti UMY, UAD, UAJY, Univ. Sanata Darma. 2003. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama, Kerja sama Antara Majelis Dikti-Litbang PP Muhammadiyah dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik. Usman, Sunyoto. 1996. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widigdo, Achmad. 1992. Profil Kerukunan Hidup Beragama di Desa Senden Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah. Jakarta: Balitbang Depag RI. Widiyanto, Paulus. 1998. Kerusuhan dan Masalah SARA, dalam Prisma, Jakarta: LP3ES.
260
GLOSARIUM
i
Afiliasi ganda, loyalitas ganda (cross-cutting affiliation; cross-cutting loyalities) adalah seseorang yang menjadi anggota dalam berbagai unit /kelompok sosial sekaligus, ia potensial menjadi mediasi antarkelompok (di mana ia menjadi anggota) yang berkonflik, sehingga kasus konflik dapat dikendalikan dan diredam karena adanya loyalitas ganda tersebut Akomodasi adalah bentuk penyelesaian konflik di mana satu pihak bersedia menerima kebutuhan pihak lain dan mengorbankan kepentingannya sendiri, Avoiding (menghindar) merupakan bentuk penyelesaian konflik di mana salah satu dan atau kedua belah pihak menghindar dari situasi konflik. Batur sakasur, batur sasumur, batur salembur merupakan nilai-nilai tiga serangkai yang menunjukkan relasi antar unsur agar tercapai keharmonisan dan kerukunan, yaitu: hubungan dalam keluarga, tetangga dekat dan masyarakat. Etnosentrisme adalah sebuah sikap yang memadang kebudayaan suku lain berdasar kriteria kebudayaan sukunya sendiri, sehingga muncul stereotif negatif terhadap suku lain Fieldnote atau catatan lapangan adalah catatan hasil penelitian yang diperoleh peneliti ketika di lapangan, baik haisl yang diperoleh dari wawancara, bincangbincang, dokumen, dan mengamati. Formatnya mengikuti model tertentu. Misalnya berisi uraian deskripsi dan refleksi. Catatan deskripsi berisi pemaparan apa adanya mengenai data yang diperoleh pada waktu tertentu. Catatan refleksi berisi komentar dan penafsiran atas data yang ada di catatan deksripsi, pemaran sikap dan perasaan pribadi, termasuk kegiatan lanjutan yang mungkin dilakukan dalam rangka melakukan proses triangulasi. Integrasi sosial adalah penyatuan antar satuan atau kelompok yang tadinya terpisah satu sama lain dengan mengesampingkan perbedaan sosial dan kebudayaan yang ada Kebudayaan adalah seperangkat pola perilaku dan bertingkah laku secara eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang membentuk sesuatu yang khas dari kelompok manusia, termasuk manifestasinya dalam bendabenda materi. Kerukunan hidup beragama merupakan proyek pemerintah yang dimulai pada masa Orde Baru yang bertujuan untuk membina dan melanggengkan kerukunan dan harmoni di antara umat beragama. Pemerintah pada waktu itu mencanangkan Trilogi Kerukunan yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Konflik sosial adalah pertentangan antar satuan atau kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang menyebabkan pertentangan. Ada dua hal yang dicakup dalam pengertian konflik yaitu kasus konflik atau konflik yang sudah terjadi dan potensialitas konflik Konflik vertikal merupakan konflik yang didasarkan ide komunitas tertentu yang dihadapkan kepada penguasa. Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antarkomunitas dalam masyarakat akibat banyak aspek misalnya komunitas lain dianggap mengamcam kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan identitas kelompoknya. Konflik individualistik merupakan salah satu jenis konflik dari aspek tujuan. Ciri-ciri dari konflik jenis ini adalah: melihat penyebab konflik sebagai instrumen bukan ekspresif, sering memisahkan isu dengan pelaku konflik, konflik muncul ketika pengharapan individu terhadap prilaku yang pantas dilanggar, pelaku bersikap konfrontatif secara langsung. Konflik kolektivistik merupakan salah satu jenis konflik dari aspek tujuan. Ciri-cirinya adalah: melihat penyebab konflik lebih sebagai ekspresif, tidak memisahkan antara isu dengan pelaku yang berkonflik, konflik muncul ketika norma kelompok dari pelaku dilanggar, cenderung tidak konfrontatif dan sikapnya tidak langsung terhadap konflik,
ii
artinya anggota kelompok berkeinginan kuat membentuk kelompok yang harmonis dan cenderung menggunakan komunikasi tidak langsung. Kolaborasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan secara bersamasama di antara pihak yang berkonflik dengan pendekatan menang-menang (win-win approach). Kepentingan kedua belah pihak diperhatikan, ketidaksesuaian dibahas secara dirinci. Model ini sangat berguna ketika kepentingan kedua belah pihak sama-sama penting dan sulit dikompromikan. Kompromi merupakan bentuk penyelesaian konflik di mana pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk berbagi sumber yang ada, kedua belah pihak setuju damai, namun persetujuan itu bukan pilihan pertama tiap pihak. Kompetisi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang keputusannya cenderung bersifat menang-kalah, pihak yang kuat akan menang dan mendominasi. Model ini berguna terutama dalam situasi keterbatasan sumber daya yang tersedia, juga ketika masa kritis yang menghendaki keputusan cepat. Kontraksi keluarga adalah proses kian berkurangnya keluarga luas dan kian berkembangnya keluarga inti. Proses kontraksi keluarga ini berkembang di antaranya karena kian kuatnya perubahan pola tempat tinggal pasangan baru yaitu dari pola patrilokalmatrilokal (tempat tinggal keluarga pasangan laki-laki atau perempuan) ke neolokal (tempat tinggal baru). Ngayo (Bahasa Sasak) adalah pertemuan silaturahim antar berbagai unsur dalam masyarakat. Pedhalungan suatu daerah yang secara kultural terjadi titik temu atau akulturasi antara budaya Madura dan Jawa, hal ini terutama terdapat di bagian pantai Pasuruan, termasuk juga di daerah Bangil, Probolinggo, Situbondo. Pendekatan struktural fungsionalisme merupakan pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai sistem yang terdiri dari berbagai bagian, tiap bagian saling terkait dan befungsi, sehingga berkembang equalibrium. Masyarakat terintegrasi berdasarkan konsensus dari anggotanya mengenai nilai-nilai kemasyakaratan dalam segala pranata, jika terjadi konflik harus segera diselesaikan melalui cara penyelesaian sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan. Pendekatan konflik merupakan sebuah pendekatan yang menyatakan bahwa hakikat dari masyarakat adalah perubahan, dan di dalamnya terdapat konflik-konflik yang disumbangkan tiap unsur, masyarakat terintegrasi hanya karena adanya dominasi kelompok tertentu yang bersifat memaksa. Pengendalian sosial adalah proses mengajak atau memaksa anggota masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku dengan tujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat Pranata merupakan usaha pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial yang sudah melembaga yang berlangsung dalam relatif lama. Misalnya pranata perkawinan, sosial, pendidikan, olah raga, politik, ekonomi, hukum. Religiosentrisme adalah sikap yang menilai kebudayaan agama lain berdasarkan standar kebudayaan (paham) agamanya sendiri, sehingga muncul persepsi/stereotif terhadap penganut (paham) agama lain. Sosialisasi adalah proses pengalihan nilai-nilai dari seseorang atau generasi kepada orang/kelompok lain. Struktur sosial yaitu jalinan hubungan antar individu atau kelompok sosial dalam masyarakat sesuai status dan peranan yang dimilikinya. Tayub di banyak daerah di Jawa merupakan suatu seni tari-panggung berupa taritarian yang dilakukan oleh laki-laki dewasa. Di Kulonpogo seni ini disebut gambyong, yaitu penari perempuan yang diibing penari laki-laki yang diiringi dengan gamelan Di Kulonprogo khususnya di Samigaluh, tayub dimaknai sebagai sebuah nilai, sebuah ugeran yang dijadikan pedoman bersama oleh masyarakat agar kehidupan masyarakat menjadi rukun-damai. Dalam hal ini tayub berasal dari kata ‘ta’ diambil dari kata tata (menata) dan ‘yub’ diambil dari kata guyub (rukun-kekeluargaan).
iii
Secara etimologis berarti menata kehidupan masyarakat agar hidup rukun penuh kekeluargaan, tanpa membedakan latar belakang agama, suku, dan lainnya. Triangulasi berarti memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi dari pelaku satu ke pelaku lain dan atau dari satu pelaku sampai ‘jenuh.’ Proses triangulasi dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu: (1) menggunakan multimetode untuk saling mendukung dalam memperoleh data (2) melakukan snow-ball dari sumber informasi satu ke satu informasi yang lain. (3) melakukan penggalian lebih jauh dari seorang atau beberapa informan dalam aspek yang sama dan yang terkait.
Perbandingan Peta Konflik Antar Lima Daerah Unsur
Kulonprogo
Surakarta
Mataram
A.Setting Sosbud: 1. Komposisi Islam mayoritas-Protestan Umat minoritas
Islam mayortas-Kristiani minoritas
Islam mayoritas-Protestan minoritas
2. Budaya/adat
Jawa
Sasak
3. Geografis 4. Sejarah konflik B. Potensi : 1. Prakonflik
Desa-pedalaman 1. Persepsi 2. Penyeb. agama 3. Penggunaan simbol agama 4. Pendidikan 5. Islam konsisten 1. Pendirian SMKN 2. Tolak pendid. agama sesuai agama siswa 3. Religiosentrisme
2. Pascakonflik
C. Konflik: 1. Sumber
1. Salah paham antarbudaya (persepsi) 2. Identitas terancam (Siar agama, symbol agama, pend. Protestan untuk siswa muslim) 3. Islam konsisten 2. Penyebab Kebij. pemerintah di bidang pendidikan 3. Jenis,Bentuk , 1. Individ.+ kolektif Sifat 2. Semi terbuka 3. Ide dan sosial (ancaman) 4. Sebaran Pagerharjo Samigaluh 5. Dampak/ 1. Jarak sosial Korban/Rugi 2. Siswa SMK Bopkri kurang
7. Waktu
2000-2001
Pasuruan
Tasikmalaya
Islam mayoritas-Kristiani minoritas
Islam mayoritas-Kristiano minoritas
Jawa
Jawa-Madura
Sunda
Perkotaan Islam-Hindu(1990, Lobar)
Perkotaan
1. 2. 3. 4. 5.
1. 2. 3. 4.
Perkotaan-pesisir Desa-pesisir Islam-Kristiani (1992, di di Pasuruan Islam–Kristiani,1996 Kota dan 1997 di Bangil), Di Kota dan 2000 di Cipatujah 1. Persepsi 1. Struktur sospol 2. Penyebaran agama 2. Penyebaran agama 3. Senjang sosek 3. tempat ibadah 4. Sisa-sisa konflik 4. Sisa-sisa konflik 5. Islam konsisten 5. Islam konsisten
Tempat ibadah Penyebar.agama Senjang sosek Pendidikan formal Islam konsisten
Persepsi Penyebaran agama Senjang sosek Islam konsisten
1. Tempat ibadah 2. Rasa terancam siar agama lain
1. Rasa terancam siar agama lain 2. Religisentrisme
1. Tempat ibadah 2. Penguatan ingroup
1. Salah paham antarbudaya (persepsi) 2. Identitas terancam (siar agama) 3. Akses sumber daya (senjaang sosek) 4. Islam konsisten
1. Rasa terancam siar agama lain 2. Religiosentrisme dan eksklusifitas 3. Karakter keras 1. Salah paham antarbudaya (persepsi) 2. Ancam. Identit. siar agama) 3. Akses SD (sosek) 4. Sisa konflik 5. Karakter keras
1. Akses sumber daya (senjang sosial-ekonomi), 2. Identitas terancam (siar agama, temp. ibadah) 3. Islam konsisten
Solidaritas ingroup
Hina (tokoh) agama
Imbas Konflik elit politik
1. Kolektif 2. Semi terbuka 3. Sosial (amuk) Kota Mataram
1. Individual + kolektif 2. Semi terbuka 3. Ide Kota Solo
1. Kolektif 2. Semi terbuka 3. Sosial (amuk) Kota Psuruan (lokasi gereja)
1. Tafsir penerapan syariat Islam 2. Illegal logging 1. Individual + kolektif 2. Semi terbuka 3. Sosial (amuk) Cikawungading Cipatujah
1. 9 gereja terbakar 2. Toko, rumah dan fasilitas org Kristiani rusak, dibakar,dijarah 3. Sepakat Tegak.aturan 17-1-2000
1. Wilson dihukum 5 tahun 2. Radio Rasitania seminggu tak on-air 3. Ingroup menguat
1. 1 gereka dibakar 2. 1 gereja dirusak
1. 2 gereja dibakar 2. 30-an rumah Kristiani dibakar 3. Penguatan ingroup
24 Februari – Juli 2000
28-30 Mei 2001
18 September 2001
1. Identitas terancam (Tempat ibadah, siar agama) 2. Struktur sosial politik 3. Sisa-sisa konflik 4. Islam konsisten
I
C. Lembaga/ Subyek 1. Lembaga /kelompok
1. 2. 3. 4. 5.
FUI, MUI, Forpentas-GPK YPPK & SMK Bopkri Wali murid Islam Apar. desa & kel. ojek Pimpinan SMK Bopkri,guru Muslim
2. Subyek Suku, Strata Sosial
1. Jawa-Jawa 2. Islam= elite + massa. Protestan = elite
1.
Massa
1. Sasak –Non Sasak (Batak, Manado) 2. Massa Islam),Kristiani (elit + anggota)
2. FPIS 3. Tokoh Parpol basis massa Islam 4. Pengelola Radio PTPTN Rasitania 5. Ahmad Wilson
1. Jawa-Jawa 2. Islam = elite + anggota. Protestan
1.
Massa
1. Jawa-Madura :Manado-Jawa 2. Islam=massa. Kristiani = elit dan anggota
2. 3. 4. 5. 6.
Pengasuh PP BH Alumnus PP Huda Majelis Mujahidin Ajengan IS Pimpinan Gereja dan Sp.
1. Sunda-Sunda 2. Islam =elit + anggota. Kristiani =elit + anggota
II