Agama merupakan suatu pandangan hidup dan pedoman hidup bagi sebagian besar umat manusia. Keberadaannya memberikan pengaruh yang sangat besar dalam segala macam bidang kehidupan umat manusia, baik itu pengaruh psikologis, sosial, politik, maupun ekonomi dan lain sebagainya. Banyak metode dan pendekatan untuk memahami agama dan keberagamaan manusia yang bersifat kompleks tersebut, di antaranya pendekatan teologi, filsafat, sosiologi, dan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi terhadap agama bersifat deskriptif dan komparatif disamping itu dalam kajiannya mensyaratkan adanya sikap empati. Dengan demikian kajian dan pemahaman tersebut bisa dijadikan pelengkap bagi kajian lain seperti teologi yang bersifat normatif, selain itu pemahaman tersebut dapat dijadikan landasan kerjasama dan dialog antar umat beragama yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang harmonis.
Kajian Fenomenologi dan Keharmonisan Kehidupan Umat Beragama Oleh Djurban*
Kata kunci: epoche, empati, intensionaliti, eidetic Vision.
Pendahuluan Agama melibatkan berbagai macam unsur internal yang ada pada diri manusia. Unsur-unsur yang terkait itu di antaranya pikiran, perasaan dan fisik. Pikiran menjadi sarana untuk memahami berbagai ragam ajaran yang datang dari Tuhan, sedang perasaan berfungsi sebagai sarana untuk merasakan dan menghayati ajaran tersebut, adapun fisik sebagai sarana mengekspresikan berbagai macam pemikiran serta penghayatan ajaran keagamaan. Dalam prosesnya ketiga unsur tersebut saling terjadi hubungan dan pengaruh timbal-balik Selain itu keberagamaan seseorang juga melibatkan unsur eksternal manusia di antaranya unsur geografis,unsur historis, sosial, politik dan lain sebagainya. Oleh karena itu agama sering dikatakan sebagai sesuatu yang sangat kompleks sebab banyaknya unsur yang terkait di dalamnya. Dalam rangka memahami suatu fakta keagamaan diperlukan suatu perangkat pendekatan yang cukup banyak sebanding dengan banyaknya
unsur tersebut. Pemahaman keagamaan yang hanya menggunakan satu atau dua jenis pendekatan, hasilnya juga hanya mencakup sebagian kecil sisi saja. Sebagai misal pendekatan teologis yang lebih menekankan kajian ajaran agama dari sisi yang tertulis dalam Kitab Suci atau ajaran dogmatik agama tertentu dan lebih bersifat normatif. Pendekatan sosiologis yang lebih menekankan kajian yang berkenaan hubungan timbal balik antara agama dan kondisi dan struktur sosial tertentu. Kajian ini bersifat deskriptif. Masing-masing dari kajian tersebut tentunya mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut Joachim Wach, Untuk memahami agama orang lain diperlukan sejumlah kelengkapan yaitu kelengkapan intelektual, kondisi emosional yang cukup, kelengkapan kemauan, dan terakhir kelengkapan pengalaman, ia juga menekankan pentingnya metodologi yang dipergunakan dalam studi-studi agama-agama, tanpa mengabaikan manfaat pendekatan-pendekatan yang telah ada, ia menganjurkan dipergunakannya metode fenomenologi agama. 1 Pendekatan Fenomenologis merupakan salah satu sarana pendekatan untuk memahami satu dimensi keagamaan yang bersifat kompleks. Pendekatan tersebut dapat dijadikan sebgai sarana untuk melengkapi pendekatan yang lain dalam mengkaji agama dan fakta keagamaan, tentunya sebagai salah satu sarana pendekatan mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Agama dan fakta keagamaan dapat dikaji dengan berbagai ragam pendekatan seperti teologi, filsafat, psikologi, sosiologi antropologi serta fenomenologi. Pendekatan-pendekatan tersebut memiliki metodologi yang khas yang tidak bisa berdiri sendiri dalam arti kajian seperti teologi, filsafat dapat mengambil bahan dari kajian yang lain seperti fenomenologi begitu pula sebaliknya. Fenomenologi sebagai sebuah pendekatan mempunyai sejarahnya tersendiri dan juga spesifikasi yang berbeda dengan pendekatan yang lain. Disamping itu terdapat juga beberapa kelebihan serta kelemahan.. Kajian fenomenologi terhadap agama dan fakta kagamaan mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam menanamkan pemahaman keagamaan khususnya pemahaman agama dan fakta keagamaan yang bukan agamanya sendiri. Oleh karena itu, pembahasan pendekatan fenomenologi yang menjadi topik pada penulisan ini dipandang cukup relevan khususnya bagi usaha membentuk kehidupan yang harmonis dalam kehidupan keagamaan yang bersifat plural seperti pada bangsa Indonesia.
TinjauanSekilasPendekatanFenomenologis Terdapat banyak perbedaan dalam memahami istilah fenomenologi oleh karena itu sulit untuk mengambil satu pengertian yang bisa diterima
secara umum. Istilah Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phenomenon yang berarti sesuatu yang menunjuk pada dirinya sendiri atau sesuatu yang nampak.Menurut N Driyakara sebagaimana dikutip oleh Romdon , fenomenologi berarti uraian atau percakapan tentang fenomena atau sesuatu yang sedang menampilkan diri.2 Sedangkan fenomenologi itu mempunyai dua akar, yang berakar pada filsafat dan non-filsafat. Fenomenologi yang berakar pada non-filsafat terbagi menjadi dua bagian yaitu pertama yang digunakan dalam ilmu alam khususnya bidang fisika yang menekankan pada deskripsi. Kedua yang digunakan dalam studi agama yang bersifat deskriptif, sistematis dan komparatif.3 Sejarah awal munculnya istilah Fenomenologi dalam filsafat dimulai dari seorang ahli Matematika dan Filsafat keturunan Swiss-Jerman yang bernama Johann Heinrich Lambert. Ia mengartikan istilah tersebut dengan pernyataan atau pengucapan mengenai sesuatu yang menunjukkan dirinya sendiri Kemudian Imanuel Kant juga menggunakan istilah tersebut untuk membedakan sesuatu yang nampak pada kita yang disebut dengan fenomena dengan sesuatu sebagaimana kenyataannya yang disebut dengan noumena. Setelah itu George W.F. Hegel dalam bukunya Phenomenologi of the Spirit (1807), menurut pendapatnya fenomenologi adalah suatu ilmu yang akan membawa kita pada pengetahuan yang mutlak melalui kajian cara pikiran kita nampak pada kita. Kemudian pada awal tahun 1900 muncul seorang pemikir yang sangat berpengaruh, Edmund Husserl. Ia kelahiran Austria. Dalam filsafatnya ia mendasarkan pada intuisi bukan pada pendekatan empiris pada metodologi fenomenologinya.4 Periode Edmund Husserl dipandang sebagai momen yang sangat penting bagi perkembangan fenomenologi karena ia dapat merumuskan metodologi yang amat signifikan bahkan kemudian ia dipandang sebagai Bapak fenomenologi. Adapun ciri-ciri fenomenologi dalam filsafat secara umum terbagi menjadi lima yaitu: 1. Sifatnya deskriptif, metode fenomenologi itu merupakan suatu cara menggambarkan bukan eksplanasi yaitu mencari hukum-hukum dari suatu data yang bersifat universal . Tujuan dari fenomenologi adalah ilmu, disiplin atau pendekatan yang tepat dan deskriptif. Slogannya Zu den Sachen , mengarah pada sesuatu itu sendiri. 2. Melawan terhadap reduksionisme maksudnya dalam mengkaji sesuatu subjek harus bisa membebaskan dirinya dari berbagai anggapan yang akan mencegahnya dari kesadaran terhadap spesifikasi dan perbedaan fenomena. 3. Intensionalitas maksudnya subjek harus selalu intens terhadap objek Istilah itu mengacu pada seluruh kesadaran sebagai sadar terhadap sesuatu. Seluruh tindakan kesadaran diarahkan kepada pengalaman sesuatu.
4. Bracketing atau epoche, secara harfiah berarti blangko atau kosong atau menunda penilaian. Maksudnya subjek harus mengurung terhadap keyakinan dan keputusan yang didasarkan atas sudut pandang yang tak teruji. 5. Eidetic vision maksudnya subjek mencari esensi. Fenomenologi tidak menggambarkan sesuatu yang kongkrit dan bersifat khusus tetapi mencari esensinya seperti ketika mengkaji terhadap manusia, fenomenologi tidak mengarahkan perhatiannya pada tiap individu manusia secara khusus tetapi pada kemanusiaan secara universal. 5 Akar fenomenologi dalam bidang non-filsafat selain bidang ilmu alam, bidang agama. Sebagai perintisnya adalah Cornelis Petrus Tiele dan Chanlepie de la sausaye. Keduanya kemudian dikukuhkan sebagai Bapak fenomenologi Agama. Generasi berikutnya yang berpartisipasi secara aktif mengembangkan fenomenologi agama seperti W.B. Kristenson, Van der Leeuw, C.J. Bleeker, Mircea Eliade. Dari sisi metodologi, fenomenologi Agama banyak mengadopsi metode fenomenologi Edmund Husserl, namun karena kompleksnya dan rumitnya dalam memahami fenomenologi maka tidak ada kata sepakat yang berkaitan dengan metode khususnya yang diaplikasikan dalam mengkaji fakta keagamaan. Fenomenologi agama menurut Joseph Dabney Bettis dapat dikaitkan dengan tiga pengertian, pertama ia dapat dikaitkan dengan aliran atau ajaran yang dimunculkan oleh seorang filosof Jerman, Edmund Husserl. Kedua ia dapat dikaitkan dengan sekelompok sarjana yang mengaplikasikan metode fenomenologi secara luas untuk mengkaji sejarah agama-agama. Ketiga, ia dapat dipahami dengan pengertian yang sangat luas sebagai aplikasi metode fenomenologi secara umum terhadap seluruh spektrum ide, aktivitas, institusi, kebiasaan atau tradisi serta simbol-simbol agama.6 Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa penggunaan metode fenomenologi dalam memahami fakta keagamaan berdasar atas hal-hal sebagai berikut : Pertama, dalam aplikasinya pendekatan fenomenologi itu bersifat deskriptif yaitu menggambarkan fakta keagamaan sebagaimana adanya tanpa mengadakan suatu penilaian sebagaimana kajian teologi atau filsafat yang bersifat normatif. Titik tekanya pada usaha deskripsi dan interpretasi yang akurat dan sesuai terhadap fenomena keagamaan seperti riual, simbol, upacara, teologi baik yang lesan maupun tulisan, kredo dan lain sebagainya.7 Kedua, agama dan fakta keagamaan itu bersifat kompleks sehingga dalam memahaminya tidak boleh melakukan simplifikasi atau reduksi seperti agama atau fakta keagamaan hanya dipahami sebagai fakta psyichologis atau sosiologis atau antropologis saja. Oleh karena itu jika akan memahaminya secara mendalam dan menyeluruh harus dilakukan
secara holistik yaitu melihat agama dan fakta keagamaan dari berbagai macam aspek serta sudut pandang. Ketiga, pendekatan fenomenologi mensyaratkan partisipasi yaitu subjek terjun langsung ke dalam objek. Dengan demikian subjek dapat mengetahui dan memahami segala macam seluk beluk dan perubahan yang terjadi secara akurat dan detail. Jadi kajian ini tidak bisa hanya dilakukan di balik meja karena agama dan kehidupan keagamaan itu bersifat dinamis, setiap saat selalu mengalami perubahan Keempat, kajian ini mensyaratkan bagi subjek untuk bersikap empati maksudnya subjek menaruh apresiasi atau penghargaan yang tinggi terhadap agama dan fakta keagamaan yang sedang dikaji karena setiap agama dan keagamaan itu mesti bermakna dan bermanfaat bagi pemeluknya. Kelima, kajian fenomenologis menekankan pada usaha mencari esensi dari fakta keagamaan. Menurut W.B. Kristenson yang dimaksud dengan esensi adalah fenomena keagamaan yang berkaitan dengan makna suatu fakta keagamaan dari berbagai ragam agama tanpa melihat latar belakang historis dan lokasi geografisnya. Sebagai contoh kajian tentang persamaan antara berbagai macam seremoni inisiasi atau bentuk umum kependetaan di antara agama-agama yang berbeda.8 Esensi dalam pemahaman fenomenologis adalah makna setiap fakta keagamaan bagi pemeluknya. Untuk mencapai hal tersebut biasanya digunakan studi komparasi yaitu dengan membandingkan unit-unit kecil dari dua atau lebih fakta keagamaan. Hal tersebut tentu berbeda dengan esensi dalam kajian filsafat yang titik tekannya pada usaha pencarian hakekat. Walaupun demikian tujuan dari studi fenomenologi tidaklah uuntuk menunujukkan superioritas atau inferioritas satu agama atas agama lain.9 Tiada gading yang tak retak, begitu pula yang terjadi pada fenomnologi agama yang tidak lepas dari kelemahan-kelemahan, oleh karena itu muncul beberapa kritik terhadapnya di antaranya, pertama, fenomenologi agama menekankan pada deskripsi tanpa intervensi dari subjek yang mengkaji, namun bagaimana hal yang sedemiian itu mungkin dilakukan secara jernih karena seseorang mesti dipengaruhi oleh seting budaya dan historisnya dan situasi sosialnya, sehingga sedikit atau banyak tentu ada pandangan atau penilaian yang bersifat subjektif terhadap fakta keagamaan yang dikaji. Kedua fenomenologi lebih menekankan pada penggunaan intuisi daripada sarana lain seperti rasio dan indera, bagaimana hal itu akan mencapai suatu pandangan yang objektif karena intuisi masing-masing orang tentunya mempunyai tingkatan yang berbedabeda.10
C. Asal Usul Korban Dalam hasanah sejarah agama-agama disebutkan bahwa manusia sudah melakukan persembahan atau kurban sejak awal keberadaannya yang dimulai dari anak Adam yang bernama Habil dan Qabil. Mereka mempersembahkan kurban berupa persembahan hewan dan buah-buahan. Persembahan mereka itu dimaksudkan sebagai bentuk ekspresi dari keyakinan mereka akan adanya satu kekuatan yang Maha Kuasa dan juga sebagai suatu wujud ungkapan syukur dari seorang hamba kepada penciptanya. Di balik persembahan itu terkandung suatu permohonan agar karunia Tuhan tetap diberikan secara kontinyu dan berlimpah ruah. Berawal dari peristiwa tersebut kemudian diabadikan oleh agamaagama yang ada di alam semesta ini dalam wujudnya yang sangat variatif. Korban itu bisa dalam bentuk pengorbanan manusia dan atau hewan atau hasil tumbuh-tumbuhan seperti buah-buahan. Tujuannya bisa beraneka macam di antaranya untuk menyelamatkan hasil panenan dari serangan hama atau ancaman alam seperti banjir, angin topan, untuk mencegah penyakit yang epidemik, untuk menyembuhkan penyakit, untuk mencegah kemurkaan Tuhan sebagai sarana mencapai kesatuan dengan Tuhan dan lain sebagainnya.11 Secara umum, Korban dalam agama primitif dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1. Korban yang sifatnya komunal yaitu penyembelihan korban yang dagingnya dimakan secara bersama-sama. Hal tersebut berdasar satu keyakinan bahwa Tuhan pada waktu makan bersama itu juga hadir di tengah-tengah mereka atau ada keyakinan pesta korban itu sebagai sarana perjanjian baru dengan Tuhan. 2. Korban sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan maksud dari korban di sini sebagai ungkapan rasa hormat kepada Tuhan. Korban yang sifatnya memberikan kesenangan kepada Tuhan yang dipandang sedang murka.12 Secara historis pada dasarnya ada dua momen yang amat berpengaruh dalam korban. Momen pertama korban yang dilakukan oleh Qabil dan Habil dan monen kedua, korban yang dilakukan oleh Ibrahim dan anaknya. Korban yang pertama kemudian diabadikan oleh generasi keturunan Adam pada periode-periode berikutnya dengan berbagai variasi dan perubahan. Sedang yang kedua diabadikan oleh agama Islam. Sedang dua agama lainnya, yaitu Yahudi dan Kristen yang merupakan satu muara dengan agama Islam tidak mengabadikannya dan melanjutkan korban tersebut.
D.KorbandalamAgamaKristendanIslam Ajaran korban dalam agama kristen berdasar atas pengorbanan Yesus Kristus yang rela disalib untuk menebus dosa umat manusia yan bersifat primordial;. Hal tersebut di antaranya tercantum dalam kitab Perjanjian Baru surat Ibrani ayat 25-28: 25.Bukannya supaya Ia mempersembahkan dirinya kerap kali, seperti imam besar pada tiap-tiap tahun masuk ke dalam tempat kudus dengan darah yang bukan darahnya sendiri.26. Karena jikalau begitu tak dapat tiada kerap kali Ia merasai sengsara daripada masa dunia in dijadikan. Tetapi sekarang ini, pada akhir zaman. Ia sekali juga sudah menjadi nyata akan melenyapkan dosa dengan keadaan mengorbankan Dirinya sendiri. 27. Sedangkan manusia telah tentu satu kali akan mati, dan kemudian daripada itu datang hukuman. 28. Demikianlah juga Kristus, sesudah satu kali dipersembahkan akan menanggung dosa orang banyak, maka pada kali yang kedua kelak, dengan tiada menanggung dosa. Ia akan kelihatan kepada segala orang yang menantikan Dia, akan menyelamatkan mereka itu13
Manusia menurut ajaran Kristen adalah manusia yang menanggung dosa asal maksudnya secara primordial manusia sudah berdosa karena kesalahan Adam dan Hawa ketika di Surga tidak mematuhi perintah Tuhan untuk tidak memakan buah khuldi. Namun perintah itu tidak mereka patuhi. Akibatnya mereka terusir dari Surga sebagai hukuman atas kesalahan mereka. Dosa manusia yang bersifat primordial itu diwarisi oleh anak cucu Adam. Oleh karena itu pada dasarnya manusia memiliki dosa sejak ia dilahirkan di muka bumi. Namun demikian Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah tidak membiarkan makhluk ciptaan-Nya terkatung-katung hidupnya dalam kegelapan dosanya. Oleh karena itu Tuhan berkenan untuk menebus dosa manusia dengan penebusan yang bersifat ilahiyah. Tuhan berkenan mengutus Anak-Nya yang sekaligus memiliki sifat kemanusiaan untuk disalibkan di kayu salib di bukit Golgotta. Setelah penyaliban itu kemudian dalam beberapa hari jasadnya bangkit dan diangkat ke langit, maknanya bahwa pengorbanan Anak-Nya yang bernama Yesus itu sudah diterima Tuhan. Hal tersebut mempunyai makna eskatologis dalam kehidupan umat manusia, maksudnya manusia yang secara turun temurun itu mewarisi dosa asal akan ditebus dosanya dengan mengakui peristiwa penyaliban dan kebangkitan Yesus. Itulah pada dasarnya ajaran Korban dalam agama Kristen. Dalam Prjanjian Baru diungkapkan bahwa Yesus yang disalib merupakan wujud pre-existence yang masuk ke dalam Anak Tuhan yang tanpa dosa.14 Menurut sebagian besar teolog, mereka menafsirkan sebagai satu korban terhadap dosa manusia yang merupakan kelanjutan dari sistem pengorbanan bangsa Yahudi.15 Dia dipandang sebagai Korban yang darahnya menghapus dosa manusia.
Peristiwa penyaliban tidak hanya sebagai satu peristiwa sejarah masa lampau, tetapi peristiwa itu dipahami sebagai satu realitas masa kini yang selalu terjadi dalam sakramen.16 Hal itu berarti penyaliban Yesus yang merupakan realitas masa kini dalam setiap kehidupan orang Kristen. Penyaliban selain membebaskan dosa di masa lampau maka ia berarti bebas dari kegelisahan dalam menghadapi masa depan.17 Dalam 2 Korintus 5 :17 disebutkan, sebab itulah jikalau barang seseorang hidup dalam Kristus maka ialah kejadian yang baru, maka perkara-perkara yang lama sudah lenyap, bahkan yang baharu sudah terbit.18 Peristiwa historis yang lain adalah kebangkitan Yesus yang tidak bisa dipisahkan dari peristiwa penyaliban, menurut Rudolf Bultmann kedua peristiwa itui merupakan satu bentuk peristiwa kosmis yang tak dapat dibagi.19 Oleh karena itu menurur penganut agama Kristen peristiwa penyaliban dan kebangkitan Yesus sebagai satu tindakan nyata Tuhan, di mana hal tersebut dipahami sebagai rahmat-Nya. Maka seseorang yang mau menerima rahmat tersebut berarti ia telah menyerahkan dirinya sendiri disalib dan dibanglkitkan bersama Yesus. Dengan demikian dalam agama Kristen terdapat Satu Korban yaitu pengorbanan diri Yesus Kristus kepada Tuhan untuk menghapus dosa dan membuka hati manusia pada jalan menuju Diri-Nya, seluruh umat manusia mendapat panggilan tidak hanya mengulangi pengorbanan akan tetapi ketaatan berkorban kepadaNya.20 Peristiwa Korban yang sangat monumental tersebut kemudian diabadikan dan dilanmjutkan oleh umat Kristiani dalam wujud ritual sakaramen Ekaristi.. Adapun bentuk ritualnya, dengan mengadakan perjamuan yang dilakukan oleh umat kristiani di bawah pimpinan uskup atau imam yang bertindak selaku pribadi Yesus, yang mempersembahkan dirinya yang hadir sebagai rizki rohani kepada umat beriman yang diikutsertakan dalam persembahannya. Upacara ritual tersebut dapat dilakukan pada hari dan jam manapun, bertempat di tempat suci dan korban tersebut harus dilakukan di atas altar yang sudah disucikan.21 Dalam agama Islam ajaran Korban merupakan pengabadian dari pengorbanan Nabi Ibrahim atas anaknya, Ismail berdasarkan perintah Allah lewat mimpi keduanya. Hal tersebut diabadikan dalam al-Qur’an surat al-Shaffat ayat 102, Kemudian ketika (anaknya) sudah mencapai (usia) dapat bekerja dengan dia, ia berkata. “Hai anakku ! Aku melihat dalam mimpi, bahwa aku menyembilihmu sebagai korban maka bagaimana pendapatmu ? (anaknya) berkata.”Wahai ayahku ! laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah akan kau lihat aku termasuk golongan orang yang sabar dan tabah !” Maka seelah keduanya berserah diri (kepada Alah) dan dia meletakkannya terbaring di atas dahinya
(untuk korban , Kami panggil dia. :hai Ibrahim! Engkau telah memenuhi Apa yang akan kau lihat dalam mimpi.!-demikianlah Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat kebaikan. Sungguh ini suatu ujian yang nyata- Dan Kami tebus dia dengan korban yang besar22 Berdasar peristiwa tersebut kemudian Allah memerintahkan umat Islam untuk melakukan penyembelihan hewan korban pada setiap tanggal 9 Dzilhijjah yang bersamaan dengan bulan dilaksnakannmya Haji. Perintah tersebut terdapat dalam al-Quq’an surat al-Kautsar ayat 2, Maka sembahlah dan berkorbanlah.23 Adapun hewan yang disembelih meliputi kambing, sapi (kerbau) dan unta. Setelah diadakan penyembelihan kemudian dagingnya dibagi bagikan kepada Fakir- miskin Makna korban secara bahasa berarti pendekatan, kemudian jika dikaitkan dengan penyembelihan hewan, itu berarti ketaatan kepada perintah Alah dengan harapan supaya pelakunya semajikn dekat kepada Allah dengan mematuhi segala perintah dan menjauhi segala laranganNya. Dari penjelasan tersebut nampak adanya beberapa perbedan yang fundamental antara ajaran korban dalam agama Kristen dan Islam. Di sini dapat ditarik beberapa perbedaan. Pertama, dalam agama Kristen., ajaran Korban berdasarkan atas peristiwa pengorbanan Yesus Kristus pada tiang salib yang itu bersifat ilahiyah, sedang dalam ajaran Islam korban berdasar pada peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim atas anaknya Ismail uyang kemudian oleh Allah diganti dengan seekor hewan. Kedua, Korban yang dilkukan sekarang oleh umat Kristiani mengandumng makna penebusan dosa sedang dalam ajaran agama Islamtidak tekandung penebusan dosa mlainkan satu sikap ketaatan dan kepasrahan manusia atas perintah dan Kehendak tuhan dalam menghadapi ujian hidup yang diberikan oleh Allah. Ketiga, Korban yang diberikan kepada Tuhan secara fisik mempunyai kekuatan ilahiyah sedang dalam agama Islam secara fisik hewan Korban tidak dipandang mempunyai kekuatan ilahiyah karena yang sampai kepada Allah bukan materinya melainkan ketaqwaan pelaku korban. Keempat, Korban dalam agama Kristen tidak secara langsung mempunyai implikasi sosial sedang dalam Islam implikasi sosialnya langsung bisa dirasakan.
MaknaKorbanDalamKehidupanUmatManusia Walaupun ajaran Korban dalam agama Kristen dan Islam terdapat sisi perbedaan yang fundamental, namun jika dikaji secara mendalam akan terdapat garis-garis paralel jika tidak bisa dikatatakan sama. Di antaranya, pertama, Korban dalam agama Kristen merupakan perwujudan dari sikap penerimaan terhadap karya besar Tuhan yang berkenan dengan mengorbankan Anaknya untuk menebus dosa manusia. Dalam penerimaan tersebut tergambar pengakuan manusia akan kelemahannya
dalam mencapai keselamatan hidupnya sekaligus manusia berada secara eksisitensial membuang sikap sombongnya atas kemampuan dirinya dan bersedia tunduk dan patuh kepada Tuhannya. Dengan pengakuan dan penerimaan tersebut secara indikatif manusia sudah mewujudkan keselamatan dalam kehidupannya. Namun secara imperatif ia mesti menghimplikasikannya dalam bentuk kehidupan kongkrit yaitu memenuhi segala kehendak dan kemauan Tuhan.24 Dalam agama Islam Korban bisa diartikan sebagai simbolisasi dari penyembelihan atau pelenyapan sikap egoisme dan keangkuhan karena terlalu mementingkan kemauan dan kepentingan diri sendiri sehingga mengabaikan kepatuhan dan ketaatan kepada kehendak Tuhan. Kedua korban dalam agama Kristen secara tidak langsung pada dasarnya mengandung aspek sosial. Seseorang yang sudah bersedia menerima dan melaksanakan korban, ia mestinya bersedia berkorban sebagaimana pengorbanan Yesus atas umat manusia. Wujudnya ia mesti selalu menebarkan sikap kasih kepada seluruh umat manusia terutama kepada umat yang lemah dalam berbagai bidang kehidupan. Korban dalam Islam secara langsung mempunyai aspek yang bersifat sosial dengan dibagi-bagikan daging korban kepada orang-orang yang lemah. Hal tersebut pada dasarnya merupakan dorongan lebih lanjut kepada umat manusia untuk selalu menumbuhkembangkan perbuatan baik kepada sesama manusia khususnya kaum yang lemah. Ketiga korban baik dalam agama kristen maupun Islam sebagai sarana dan upaya manusia untuk selalu dekat kepada Tuhan, jadi, pada dasarnya korban merupakan gambaran dari keterkaitannya antara taqwa dan budi pekerti luhur.25 Dengan demikian Korban yang bersifat simbolis tersebut baik dalam agama Kristen maupun Islam,. oleh penganutnya masing-masing mestinya dicari makna esensialnya dan kemudian diwujudkan secara nyata dalam realitas kehidupan sehingga pelaksanaannya tidak terjebak pada ungkapan-ungkapan simbolik dan akan mempunyai makna yang lebih signifikan bagi kehidupan umat manusia. Persoalan-persoalan yang dihadapi umat beragama saat ini khususnya yang terjadi di Indonesia di antaranya munculnya berbagai konflik baik yang vertikal maupun horisonmtal yang khususnya menyangkut hubungan antar umat beragama dan juga munculnya berbagai macam krisis multi dimensional terutama krisis ekonomi dan moral di antaranya menunjukkan kurangnya umat beragama menangkap makna esensial dari ritual-ritrual yang dilakukan sehingga mereka hanya terjebak pada ungkapan simbolik dari ritual yang mereka laksanakan dan kurang ,menangkap maknanya. Oleh karena itu, pengaruhnya secara sosial kurang bisa dirasakan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya peningkatan pemahaman dan penghayatan baik secara emosional maupun intelektual dan spiritual
terhadap ajaran-ajaran agama yang dipeluk. Jika hal tersebut sudah terwujud, tentunya seorang pemganut agama tidak lagi terjebak pada bentuk ungkapan yang bersifat simbolik semata. Tetapi tentunya ia juga dapat menangkap pesan-pesan di balik berbagai ajaran ritual tersebut. Dengan demikian seorang agamis selain ia akan selalu dekat dengan Tuhan, ia juga akan dekat dengan manusia. Ia selalu berusaha mewujudkan kedekatannya dengan Tuhan tesebut dengan menebarkan sifat kasih-sayang Tuhan kepada seluruh alam semesta sehingga tercipta kehidupan yang aman, tenteram dan damai pada seluruh makhluk khususnya umat manusia.
Signifikansi Kajian Fenomenologi bagi Penegakan KeharmonisanKehidupanAgama Sudah menjadi hukum Tuhan bahwa alam ini diciptakan tidak bersifat tunggal dalam arti bahwa di alam semesta ini penuh dengan keanekaragaman yang meliputi di antaranya tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia. Namun disitulah terletak keunikannya, dalam keanekaragaman ciptaan tersebut terdapat hubungan yang harmonis, sehingga terjadi keselarasan dalam hubungan antara satu makhluk dengan yang lain. Begitu pula yang terjadi dalam hidup dan kehidupan manusia, di dalamnya penuh dengan keanekaragaman jenis, agama. budaya serta tradisi. Agama termasuk faktor yang amat dominan dalam kehidupannya dan ia merupakan unsur yang intrinsik dan inherin sehingga segala macam lapisan masyarakat mesti mengenal agama walaupun dalam bentuknya yang sangat sederhana seperti agama pada masyarakat primitif. Agama dalam perkembangannya telah melalui suatu proses perkembangan yang sangat panjang, jika mengikuti pola berpikir para pendukung evolusionisme, maka agama itu telah berkembang dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi yaitu dari dinamisme,animisme, politeisme, henoteisme dan monoteisme. Dalam keanekaragaman bentuk tersebut agama sebagai pandangan hidup telah banyak membentuk pikiran, sifat, sikap, serta tingkah laku manusia. Realitasnya terdapat banyak bentuk agama baik yang bersifat sederhana seperti agama pada suku-suku yang belum tertata secara baik dan rapi maupun yang bersifat maju sebagaimana agama-agama besar yang terorganisir dengan baik Oleh karena begitu banyaknya agama dan keagamaan pada kehidupan manusia seringkali banyak menimbulkan persingungan bahkan konflik yang disebabkan faktor internal maupun eksternal penganutnya. Walaupun pada dasarnya setiap agama itu mengajarkan kerukunan dan kasih sayang, di dalam ajarannya selalu
terkandung ajaran moral dan etika yang bisa membawa manusia ke tingkat kesempurnaan yang tinggi. Agama ibarat sekeping mata uang yang mempunyai dua sisi yang berbeda, satu sisi mempunyai potensi mengintegrasikan umat manusia sedang sisi yang lain mempunyai potensi disintegrasi. Banyak gambaran yang mendukung pernyataan tersebut. Kenyataan sosiolgis memperlihatkan hal tersebut. Banyak konflik dan disintergrasi suatu bangsa yang disebabkan oleh masalah sosial, politik atau ekonomi yang kemudian dapat diredam akibat dari pengaruh suatu ajaran dari suatu agama. Namun sebaliknya agama dapat dijadikan sumber konflik dan disintergrasi karena sentimen keagamaan itu sangat sensitif sehingga jika hal tersebut mendapatkan satu persinggungan sedikit saja, akan mudah tersulut dan cepat berkobar. Hal tersebut sebagaimana yang terjadi antara Islam, Katholik, Protestan… ketiganya terlibat dalam hubungan pertentangan dan konflik, eksklusivisme dan intoleran. Secara iman dan moral masing-masing penganut terpanggil untuk menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak, yang diyakini masing-masing atas kesesatan dan kecelakaan fatal, yang dianggap berada di pihak lain.26 Untuk mengarahkan agama dan sentimen keagamaan menuju pada potensi yang bersifat positif yaitu kehidupan umat yang apresiatif terhadap umat yang lain, diperlukan suatu langkah yang kongkrit di antaranya penanaman pemahaman terhadap agama lain yang sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Nampaknya kajian fenomenologi menawarkan hal tersebut. Dalam kajian fenomenologi, terdapat hal-hal yang disepakati oleh para ahlinya sebagai suatu metode yang cukup baik dalam memahami agama dan fakta keberagamaan khususnya agama lain yang bukan agamanya sendiri. Terdapat beberapa sisi positif dalam kajian fenomenologi khususnya dalam penanaman pemahaman yang bersifat inklusif. Dalam metodenya, fenomenologi menekankan pada deskripsi yang tujuannya tidak menilai terhadap agama yang dikaji, subjek hanya menggambarkan fakta keagamaan sebagaimana adanya,. Kemudian fenomenologi juga mensyaratkan bagi subjek untuk bersikap empati terhadap agama atau fakta keagamaan yang menjadi objek kajiannya. Hal tersebut akan memberikan sikap apresiasi dan hormat terhadap agama lain dan juga tidak akan mempunyai anggapan yang negatif atau merendahkannya karena setiap fenomena keagamaan diyakini bermanfaat dan bernilai bagi pemeluknya apapun bentuknya. Selain itu kajian fenomenologi memberikan kepada subjek yang mengkaji suatu agama, pemahaman yang mendalam dan akurat karena kajian ini mensyaratkan adanya partisipasi langsung ke dalam objek yang dikajinya sebagai contoh apabila kajiannya berkaitan dengan ritual agama tertentu maka ia harus mengikuti secara
langsung proses ritual tersebut sejak persiapan sampai akhir pelaksanaannya. Dengan demikian ia akan memahami fenomena keagamaan tersebut secara mendalam dan akurat sebagaimana adanya. Selain itu kajian ini juga menekankan usaha penggalian esensi dari fakta keagamaan dengan cara mengadakan kajian perbandingan dari dua unit fenomena keagamaan yang berbeda. Esensi dalam pengertian fenomenologi adalah yang bersifat empiris yaitu yang berkaitan dengan makna agama bagi masing-masing pemeluknya. Hasil dari kajian ini berupa pemaparan fakta keagamaan sebagaimana adanya dan bersifat objektif tanpa adanya intervensi apapun dari peneliti. Dengan demikian kajian fenomenologi mempunyai sisi positif yang dapat digunakan untuk menegakkan kehidupan yang harmonis dalam kehidupan keagamaan yang bersifat plural, yaitu menumbuhkan sikap toleran dalam kehidupan beragama sehingga pemahaman fenomenologis dapat dijadikan pelengkap atau komplemen pemahaman keagamaan yang lain seperti pemahaman teologis. Apabila diamati realitas saat ini pemahaman teologis nampak sangat dominan di kalangan umat beragama khususnya kalangan masyarakat awam. Akibatnya agama maupun kehidupan keagamaan dilihat secara normatif. Pada tingkat teologis … Muncul kebingungan-kebingungan khususnya menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah agamaagama lain yang juga eksis dan punya keabsahan. Dalam persoalan ini didiskusikan apakah ada kebenaran dalam agama lain- yang implikasinya adalah apakah ada keselamatan dalam agama lain? Pertanyaan ini sebelumnya berakar dalam pertanyaan teologis yang sangat mendasar : Apakah kita menyembah Tuhan yang sama ? Dan repotnya, justru ketika kita mencoba memahami konsep ketuhanan antara agama itu- dan kita menganggap bahwa kita menyembah Tuhan yang sama-rupanya setiap agama mempunyai konsep ketuhanan yang berbeda.27 Oleh karena itu, sering terjadi pergesekan bahkan konflik di antara sesama penganut agama atau antar penganut agama lain yang berbeda. Hal tersebut disebabkan munculnya klaim kebenaran yang diploklamirkan oleh masing-masing penganut. Disamping itu, ketegangan antar mereka akan semakin meningkat manakala di antara mereka ada yang berusaha memaksakan klaim pemahaman teologisnya pada yang lain. Untuk menghindari gejala keagamaan yang sedemikian itu diperlukan suatu tindakan yang lebih mendasar yaitu pemahaman keagamaan yang lebih eksklusif dan toleran. Pemahaman Fenomenologis dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengurangi bahkan menghilangkan segala macam ketegangan dalam kehidupan keagamaan. Dalam pemahaman fenomenologi, penganut suatu agama akan dibawa pada kajian agama yang bersifat objektif dalam artian
subjek yang mengkaji agama lain, misalnya, diusahakan untuk tidak bertitik tolak dari ajaran agamanya sendiri sebagaimana kajian teologi, tetapi dibawa kepada suatu realita keagamaan sebagaimana adanya.Selain itu dalam kajian ini juga dihindari pandangan-pandangan yang bersifat evaluasi, seperti pandangan bahwa agama yang dikaji itu mempunyai tingkatan ajaran yang rendah atau sebaliknya tinggi, sehingga dengan demikian terhindar dari pandangan yang menganggap agama lain itu inferior sedang agamanya sendiri bersifat superior. Apabila seseorang sudah memiliki pemahaman agama dan keagamaan secara fenomenologi tentunya hal tersebut akan memberikan pengaruh yang besar pada sikap dan tingkah laku keagamannya. Di antaranya muncul kesadaran dalam dirinya suatu pemahaman keagamaan yang bersifat pluralis dalam artian munculnya kesadaran adanya agama lain selain agamanya sendiri. Menurut seorang guru besar dari universitas Havard AS yang juga salah seorang tokoh wanita dalam kepengurusan Dewan Gereja-gereja se-dunia sebagaimana dikuip oleh Victor I Tanja dalam bukunya pluralitas Agama dan Problema Sosial menyatakan bahwa pluralitas mengacu pada adanya hubungan saling bergantung antarberbagai hal yang berbeda. Ia membedakan dengan istilah kemajemukan (diversitas) yang mengacu ketidak adanya hubungan sebagaimana tersebut di atas.28 Dengan demikian berdasar realitas tersebut seseorang akan menyadari bahwa ia tidak hidup secara eksklusif dengan dirinya atau kelompoknya sendiri sehingga membangun kerjasama dengan pihak lain merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Selain itu juga muncul kesadaran sikap apresiasi yang tinggi terhadap agama lain dan kesadaran adanya berbagai macam kesamaan antara ajaran satu agama dengan ajaran agama yang lain. Dengan demikian kesadaran semacam itu akan menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi terhadap agama lain. Disamping itu juga akan membuka diri adanya kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan antara satu agama dengan agama yang lain dengan tanpa menyinggung wilayah-wilayah ajaran yang berbeda dan sensitif bagi masing-masing pemeluk agama. Pemahaman agama secara fenomenologi tersebut dapat ditanamkan pada para penganut agama sejak usia dini umpamanya sejak anak menginjak tingkat pendidikan menegah sehingga sejak awal mereka sudah memiliki kesadaran terhadap kehidupan agama yang bersifat pluralis. Selain itu juga sudah mulai tumbuh kesadaran dalam dirinya rasa apresiasi dan toleransi yang tinggi terhadap agama lain. Nampaknya Fenomena yang ada, kebanyakan pengajaran agama yang bukan agamanya sendiri pada masyarakat menengah ke bawah seperti pada kajian agama dalam pengajian-pengajian atau perkumpulan keagamaan dan juga di sekolah atau madrasah pada tingkat menegah lebih menekankan pada kajian teologis yang bersifat apologis.
Pengajarannya lebih ditekankan pada pembenaran terhadap agamanya sendiri dan penanaman kesalahan dan titik-titik lemah yang ada pada agama lain. Walaupun pengajaran dan pemahaman semacam ini mempunyai pengaruh positif bagi penguatan iman dan rasa fanatisme yang tinggi terhadap agama yang dianut tetapi nampaknya kalau tidak disertai kajian dan pemahaman yang bersifat fenomenologi, akan berakibat terjadinya eksklusivisme dalam beragama. Untuk menghindari hal semacam itu perlu diberikan kepada mereka berbagai literatur yang memberi gambaran mengenai agama dan kehidupan keagamaan lain sebagaimana adanya dengan disertai peninjauan secara langsung di lapangan, umpamanya yang beragama Islam berkunjung ke Vihara atau gereja atau sebaliknya yang beragama Buddha atau Kristen berkunjung ke pusat-pusat keagamaan orang Islam atau Hindu sehingga dengan demikian mereka dapat mengamati dan memahami berbagai macam aktifitas seperti aktifitas ibadah, sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Hal tersebut untuk memperkaya dan mungkin melengkapi kajian-kajian mereka yang hanya bersumber pada literatur-literatur klasik yang mungkin sudah tidak banyak mempunyai relevansi dengan kenyataan yang sebenarnya. Di sisi lain, kalau yang ditekankan hanya kajian dan pemahaman fenomenologi semata, akibatnya akan muncul relativisme dalam beragama karena titik tekan kajian ini mencari esensi dari berbagai ragam agama yang nampaknya berbeda-beda. Dampak yang lain, adalah munculnya perasaan enferior terhadap agamanya sendiri karena melihat agama lain pada aspek yang sama nampak memiliki nilai yang lebih tinggi, sehingga hal tersebut kemungkinan akan mengurangi rasa fanatisme terhadap agamanya sendiri. Oleh karena itu kajian dan pemahaman teologi dan fenomenologi harus dilakukan secara bersama-sama supaya seseorang yang mengkaji suatu agama baik agamanya sendiri maupun agamanya orang lain secara internal ia memiliki basis yang kuat karena memahami secara benar kebenaran agamanya dan kesalahan atau kelemahan agama lain, namun di sisi lain ia juga mempunyai pemahaman bahwa disamping agamanya sendiri juga ada agama yang dianut oleh orang lain yang mempunyai titik-titik persamaan dengan agamanya sendiri dan harus dihormati dan diakui keberadaannya. Pemahaman teologi dan fenomenologi semacam ini dapat dijadikan landasan dialog antar umat beragama yang saling menghormati satu dengan yang lain. Dialog akan terjadi dengan baik apabila penganut satu agama di satu sisi memahami ajaran agamanya dari aspek ajaran teologi, ritual maupun sosialnya. Di sisi yang lain mereka juga memahami betul berdasar realitas yang sebenarnya dari agama lain. Pemahaman agama lain secara komprehensif tentunya akan menumbuhkan sikap
empati terhadapnya sebagaimana dinyatakan dalam satu pernyataan siapa tak kenal maka tak sayang berarti kalau seseorang mengenal agama lain dengan baik maka akan muncul dalam dirinya perasaan sayang. Hal tersebut dapat menjadi landasan bersama dalam kehidupan agama dan keagamaan yang bersifat pluralistik. Tentunya hubungan antar penganut agama yang berbeda itu mesti menerapkan suatu adagium agree and disagreement( Kesepakatan dalam perbedaan). Yang dimaksud dari ungkapan ini, adalah bahwa, Agama satu dengan lainnya adalah berbeda, tetapi di samping perbedaan itu terdapat juga persamaannya. Berdasarkan pengertian tentang persamaan dan perbedaan inilah, dialog antar umat beragama dilaksanakan,29 sebagaimana digagas oleh Bapak Perbandingan Agama di Indonesia Profesor Doktor Mukti Ali. Ungkapan tersebut mengisyaratkan adanya kesadaran dan pengakuan terhadap keberadaan agama lain tapi sekaligus tidak menyetujui kebenaran agama selain agamanya sendiri. Tentunya klaim tersebut tidak menumbuhkan sikap antipati dan permusuhan bahkan sikap penghargaan yang tinggi terhadapnya. Jadi nilai positif yang ada pada pemahaman fenomenologi yaitu pemahaman yang mendalam dan sikap empati terhadap agama lain. Hal ini tentunya menjadi modal yang besar bagi pengembangan kerukunan dan pengembangan kehidupan yang harmonis antara sesama umat beragama.
Penutup 1. Sudah menjadi hukum Tuhan dan alam bahwa hidup dan kehidupan di dunia ini bersifat plural. Khusus yng menyangkut kehidupan manusia terdapat beraneka ragam jenis manusia serta budaya dan agama. Pluralitas dalam kehidupan manusia itu dapat menjadi sumber intergrasi dan sebaliknya bisa menjadi sumber disintergrasi serta konflik antar sesama umat manusia. 2. Untuk menghindari munculnya konflik terutama dalam bidang kehidupan keagamaan diperlukan suatu pengertian dan pemahaman antara berbagai penganut agama yang berbeda-beda. Salah satu sarana yang dapat memenuhi hal tersebut adalah kajian dan pemahaman fenomenologi. 3. Ciri utama dari kajian dan pemahaman fenomenologi dalam agama adalah pertama diskreptif yaitu mengkaji dan memahami agama lain sebagaimana adanya dengan menghindari sebisa mungkin intervensi subjektif. Kedua dalam melaksanakan hal tersebut pengkaji mesti memiliki sikap empati yaitu bersikap apresiatif terhadap segala macam fenomena keagamaan. Ketiga dengan kajian tersebut bertujuan untuk mencari esensi atau makna fenomena keagamaan melalui proses komparasi.
4. Kajian dan pemahaman fenomelogis akan memunculkan sikap toleransi dan inklusivisme dalam beragama.Kajian dan pemahaman fenomenologi dapat dijadikan pelengkap bagi kajian lain seperti teologi dan filsafat. Apabila hal tersebut dipenuhi seseorang akan mempunyai pemahaman dan fanatisme terhadap agamanya secara kuat, di sisi lain ia juga memahami agama lain sebagaimana adanya, sehingga pemahaman yang komprehensif tersebut dapat dijadikan landasan kerjasama dan dialog antar umat beragama.[]
Catatan Akhir: Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Arief Subhan, Ilmu Perbandingan Agama: Ketegangan antara Dialog dan Dakwah, dalam Ulumul Qur’an, no.4, Vol.IV, 1993, hlm. 5. 2 Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, ( Jakarta : Rajawali, 1996),hlm.82 3 Mircea Eliade, The Encyclopedy of Religion, Harper &Raw,( New York: Harper &Raw 1960), hlm.274. 4 Ibid. 5 A.Scout Maureau, Phenomenology of Religion, Hyperlink, http/ www. Wheaton/edu. Missionn./Index, hjtm., hlm.1. 6 Joseph Dabney Bettis,ed., Pendahuluan,dalam Joseph Dabney Bettis, Phenomenology of Religion, ( New York: Harper & Raw Publisher,1969),Hlm. 1 7 Mircea Eliade, op.cit., 274-275. 8 A. Scout, op.cit., hlm. 4 . 9 W.B. Kristenson, The Phenomenology of Religion, dalam Joseph Dabney Bettis, ed., op.cit, hlm. 31 10 Ibid. 11 A. Scout Maerau, op.cit., hlm.5 12 Fergilius Verm, Encyclopedy of Religion,(New Jersey, Littlefield, Adam &Co., 1964), hlm. 304. 13 Fatchuddin Abd Gani, Perbandingan Agama, (Yogyakarta: LPI Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1970),hlm.49. 14 AlKitab,(Jakarta : Lembaga AlKitab Indonesia, 1980), hlm. 300. 15 H.W. Bartch, Kerygma anf Myth, (London, SCPK, 1953), hlm. 15. 16 H.B. Trocmarton, The New Testament And Mythology, (London: Darton Longman&Tood, 1960), hlm24-25 17 H.W. Batrch, op.cit., hlm.36. 18 Rudolf Bultmann,. Yesus Christ And Mythology,(Londom:SCM Press, 1962), hlm.77. 19 AlKitab, op.cit, hlm..262. * 1
H.W. Bartch, opcit., hlm.38. Hilman Hadikusumo, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),hlm.120. 22 Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Abdullah Yusuf, (Jarkata: Pustaka Firdaus, 1994), hlm.1161-1162. 23 Ibid.,hlm. 1405. 24 Rudolf Bultmann, op.cit.,hlm.48. 25 Nurcholis Madjid, Perjalanan Umrah dan Haji, (Jakarta: Paramadina. 1997), hlm.72. 26 Burhanuddin Daya, Hubungan Antar Agama Di Indonesia, dalam Ulumul Qur’an, no. 4, Vol. IV, 1993, hlm.53. 27 Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, (jakarta: Paramadina, 2001) hlm.33. 28 Victor I. Tanja, Pluralisme Agama dan Problema Sosial, (Jakarta: CIDES, 1998), hlm.3 29 Nasrullah Ali Fauzi, Abdullah Mukti Ali, dalam Ulumul Qur’an, no. 4 Vol. IV Th. hlm.5. 20 21
DAFTAR PUSTAKA AlKitab, Lembga AlKitab Jakarta, Jakarta: 1980. Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, terj. Abdullah Yusuf, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Arief Subhan, Ilmu Perbandingan :Ketegangan antara Dialog dan Dakwah, dalam Ulumul Qur’an, no.4, Vol. IV, 1993 A.Scout, Phenomenology of Religion. Hyperlink http,/www.wheaton./ Edu. Mission/ index hjtm. Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis, Jakarta, Paramadina, 2001. Burhanuddin Daya, Hubungan Antar Agama Di Indonesia, dalam Ulumul Qur’an, no,4, Vo; IV, 1993 Fatchudin Gani, Perbandingan Agama, Yogyakarta, LPI Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1970. Fergilius Verm, Encyclopedy of Religion, New Jersey, Littlefield Adam & Cow, 1960. H.B. Trocmarton, New Testament anf Mythology, London: Dorton Longman & tood, 1960. Hilman Hadikusumo, Antropologi Agama, Bandung : Citra Adtya Bakti, 1993.
H.W. Batrch, Kerygma and Myth, London: SCPK, 1953. Mircea Eliade, The Encyclopedy of Religion,New York: Harper& Raw, 1960. Nasrullah Ali Fauzi, Abdullah Mukti ali, dalam Ulumul Qur’an, no.4, Vol.IV, 1993. Nurcholis Madjid, Perjalanan Umrah dan Haji, Jakarta : Paramadina, 1997. Rudolf Bultmann, Yesus Christ and Mythology, London :SCM Press, 1962. Victor I Tanja, Pluralisme Agama dan Problema Sosial, Jakarta : CIDES, 1998. W.B. Kristenson, The Phenomelogy of Religion, dalam Joseph Dabney Bettis, Phenomenology of Religion, New York:Harper & Raw Publisher, 1969.