REPRESENTASI SBY DALAM DELAPAN ARTIKEL THE JAKARTA POST TERKAIT ISU KEHARMONISAN UMAT BERAGAMA: ANALISIS WACANA KRITIS Oleh Grace Natalia*
Abstrak Penelitian ini berjudul “Representasi SBY Dalam Delapan Artikel The Jakarta Post Terkait Isu Keharmonisan Umat Beragama”. Delapan artikel yang digunakan dalam penelitian ini membahas tentang kekerasan dan diskriminasi yang terjadi pada umat beragama minoritas di Indonesia, khususnya pada kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah dan pelarangan GKI Yasmin serta peran SBY sebagai pemimpin negara. Penelitian ini membahas representasi SBY sebagai pemimpin dalam menangani masalah umat beragama dan kuasa The Jakarta Post dalam merepresentasikan SBY melalui delapan artikelnya. Penelitian ini dijabarkan menggunakan teori analisis wacana kritis Van Dijk sebagai teori utama. Penjabarannya dilakukan melalui tataran makro dan mikro. Tataran makro digunakan untuk menganalisis kuasa The Jakarta Post dan tataran mikro untuk menganalisis representasi SBY. Hasil analisis menjelaskan bahwa The Jakarta Post memiliki kuasa dalam merepresentasikan SBY secara negatif melalui akses yang dimilikinya. Hasil analisis selanjutanya menjelaskan bahwa SBY direpresentasikan negatif dalam bentuk negative other presentation melalui headlines, main events dan comments serta level of description and degree completeness. Kata kunci : SBY, kuasa, representasi negatif, analisis wacana kritis.
*
Mahasiswa Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Univ.Padjadjaran, Kajian Linguistik. Lulus pada tanggal 19 Juli 2012.
1
Abstract This research is entitled “Representation of SBY in Eight Articles of The Jakarta Post Related to The Harmony of Religious Groups Issue”. The eight articles used in this research discuss about violence and discrimination happened to minority religious groups in Indonesia – specifically in attacking against the Ahmadiyah followers and prohibiting of GKI Yasmin cases – and also the SBY’s role as a leader. This research discusses about the representation of SBY as a leader in handling religious problems and the power of The Jakarta Post in representing SBY towards its eight articles. The research is elaborated through critical discourse analysis by Van Dijk as the grand theory. The data is analysed through macro and micro levels. The macro level is used to analyse the power of The Jakarta Post and the micro level is used to analyse the representation of SBY. The result explains that The Jakarta Post has a power to make a negative representation of SBY based on its access. The further analysis explains that SBY is represented negatively by The Jakarta Post in the form of negative other presentation through headlines, main events, comments and level of description and degree completeness. Keywords : SBY, power, negative representation, critical discourse analysis.
Pendahuluan Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) merupakan suatu bentuk analisis wacana yang salah satu kajiannya menganalisis praktik kekuasaan. Konsep kekuasaan disini ialah alat yang dipakai untuk mengontrol sesuatu, dalam hal ini berbentuk wacana yang terhubung dengan masyarakat. Hal ini berarti suatu wacana bisa merupakan bentuk praktik kekuasaan di tengah-tengah masyarakat. Praktik kekuasaan dalam analisis wacana salah satunya dapat terlihat dalam media massa. Van Dijk (1988:2) mengatakan bahwa media bersifat membujuk dan
2
memengaruhi karena ia berpotensi mengontrol pikiran pembaca atau penonton walaupun tidak secara langsung mengontrol tindakan mereka. Namun apabila kita mampu memengaruhi pikiran seseorang, secara tidak langsung kita juga mampu memengaruhi tindakan mereka. Dengan demikian dapat terlihat ada praktik kuasa di dalam media massa. Analisis praktik kuasa sebagai bagian dari analisis wacana kritis dapat terlihat dari bagaimana media mempunyai kuasa untuk merepresentasikan atau menggambarkan suatu peristiwa, orang, kelompok, atau apapun di dalam teks. (Fairclough,1995 : 103) Praktik kuasa pada media massa terlihat dari cara The Jakarta Post merepresentasikan SBY sebagai pemimpin melalui pemberitaan yang dibuatnya terkait isu keharmonisan umat beragama. The Jakarta Post banyak memberitakan berita mengenai konflik dan kekerasan yang terjadi pada umat beragama minoritas, seperti kasus kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah dan penyegelan GKI Yasmin di Bogor. Berita yang dilansir oleh The Jakarta Post tersebut memunculkan representasi negatif terhadap SBY karena SBY sebagai pemimpin dinilai gagal dalam melindungi keamanan dan kebebasan beragama di Indonesia serta bertindak tidak tegas dalam menindaklanjuti para pelaku kekerasan tersebut. Kuasa The Jakarta Post terlihat ketika surat kabar ini mampu membuat perencanaan dan mengontrol pemberitaan mengenai SBY serta memunculkan representasi negatif terhadap SBY melalui artikel-artikelnya. Representasi SBY dan kuasa The Jakarta Post menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis model Van Dijk dengan membongkar kuasa The Jakarta Post pada tataran makro dan representasi SBY pada tataran mikro melalui delapan artikel dari The Jakarta Post yang dipilih sebagai data utama.
3
Pembahasan Analisis Wacana Kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis model Van Dijk. Van Dijk memberikan definisi tentang apa itu Critical Discourse Analysis (CDA) ; Critical discourse analysis (CDA) is a type of discourse analytical research that primarily studies the way social power abuse, dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by text and talk in the social and political context. (2001:352) Dari definisi di atas, Van Dijk melihat analisis wacana kritis sebagai suatu bentuk analisis wacana yang secara khusus berfokus pada penyalahgunaan kuasa, dominasi, ketidaksetaraan, keberpihakan yang terdapat dalam suatu teks. Analisis wacana kritis juga tidak hanya membahas unsur kebahasaan semata melainkan bagaimana suatu teks dibentuk, dihasilkan, diproduksi dan dimaknai oleh masyarakat. Teks di sini dapat berbentuk lisan maupun tulis. Dengan menggunakan analisis wacana kritis model Van Dijk, maka penelitian ini menggunakan dua tataran analisis. Analisis tataran makro dan tataran mikro. Analisis tataran makro berfokus pada hal-hal di luar teks yang juga turut memengaruhi teks tersebut, sedangkan tataran mikro berhubungan dengan unsurunsur di dalam teks. Tataran makro dianalisis dengan menggunakan penjabaran identitas, pola akses (planning, setting, controlling communicative events) dan social situation. Tataran mikro berfokus pada analisis superstruktur (headlines, main events, dan comments) dan analisis mikro dengan instrumen level of description and degree completeness. Salah satu fokus dari analisis wacana kritis adalah praktik kekuasaan. Van Dijk (1993 : 254) menyebutkan bahwa “Power involves control, namely by (members of) one group over (those of) other groups. Such control may pertain to action and cognition: that is, a powerful group may limit the freedom of action of others, but also influence their minds.”
4
Berdasarkan definisi Van Dijk tentang kuasa, dapat dilihat bahwa kuasa mengandung kontrol yang dapat membatasi ruang gerak seseorang atau suatu kelompok, terlebih lagi ketika kontrol tersebut dapat memengaruhi pemikiran orang banyak serta menyetir tindakan mereka. Ketika hal itu terjadi dapat dikatakan ada praktik kuasa di dalamnya. Praktik kekuasaan dalam analisis wacana kritis juga dapat terlihat dalam media massa. Van Dijk (1995 : 10) menyebutkan bahwa “Media power is generally symbolic and persuasive, in the sense that the media primarily have the potential to control to some extent the minds of readers or viewers, but not directly their actions”. Media mempunyai potensi untuk mengontrol dan memengaruhi pikiran para pembacanya, sehingga media bisa menjadi salah satu alat untuk menjalankan praktik kuasa. Berdasar pada teori Van Dijk, analisis kuasa pada tataran makro menggunakan penjabaran identitas, pola akses, dan situasi sosial (social situation). Analisis penjabaran identitas dilakukan untuk mengetahui akses apa yang dimiliki oleh suatu pihak atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan identitasnya di masyarakat. Setelah penjabaran identitas, analisis kuasa dilanjutkan pada pola akses yaitu planning, setting dan controlling communicative events sedangkan analisis social situation didasarkan pada aksi dan tindakan yang merupakan bagian dari peristiwa sosial. Pola Akses Van Dijk (1996:85) mengatakan bahwa kuasa seseorang atau kelompok dapat diteliti melalui akses apa yang dimilikinya, akses tersebut dapat berupa status sosial, jabatan, materi, pendidikan, atau pekerjaannya di tengah-tengah masyarakat. Analisis pola akses berfokus pada planning, setting dan controlling communicative events.
5
Planning Analisis planning dapat dilihat dari pihak mana yang mempunyai inisiatif terlebih dahulu untuk membuat suatu perencanaan. Akses pihak yang memiliki insiatif ini terlihat dari bagaimana ia memberikan usulan, merancangkan suatu kegiatan, menentukan waktu, tempat, topik yang akan dibicarakan dan pihak mana saja yang akan diikutsertakan. Setting Pihak yang memiliki kuasa dapat dilihat ketika ia dapat menentukan elemen dalam suatu peristiwa komunikasi seperti tempat, waktu, siapa yang diwajibkan hadir dan tidak, siapa yang berhak berbicara, peristiwa apa yang akan dibahas, latar dan waktu pemberitaan, dan sebagainya. Selain itu, analisis setting juga dapat terlihat dari pengaturan jarak, penempatan posisi, pengaturan dekorasi dan rincian lainnya.
Controlling Communicative Events Unsur penting lainnya untuk membongkar kuasa melalui pola akses adalah bagaimana suatu pihak dapat mengendalikan suatu peristiwa komunikasi. Hal ini dapat dilihat dari penentuan gaya bahasa yg dipakai, siapa yang berhak memotong percakapan dan bertanya, wacana seperti apa yang diijinkan untuk dibahas, pendapat siapa yang akan dipakai. Selain itu, Van Dijk juga menyebutkan bahwa setiap peserta mempunyai akses yang berbeda-beda dalam suatu peristiwa komunikasi. Akses itulah yang menentukan tingkat kuasa yang dimiliki oleh suatu pihak. Menurut Fairclough dalam Eriyanto (2001:289), representasi adalah bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Ia mengatakan bahwa penempatan suatu pihak atau peristiwa dalam teks dapat dilihat dari kategori yang dipakai dalam teks tersebut
6
untuk menggambarkannya, seperti pemilihan kosa kata atau vocabulary (Fairclough, 1995 : 109). Analisis representasi pada tataran mikro berfokus pada struktur mikro dan superstruktur. Analisis superstruktur menggunakan instrumen headlines, main events dan comments yakni dengan melihat wacana berdasarkan judul, isi serta respon, sedangkan analisis mikro menggunakan instrumen level of description and degree completeness untuk melihat bagaimana suatu wacana diberitakan secara detil. Van Dijk (1988 : 53-56) menjabarkan headlines, main events dan comments sebagai bagian dari suprestruktur. Headlines mengandung gambaran umum dari suatu wacana. Analisis representasi pada headlines dapat dilihat dari bagaimana headlines menonjolkan, mengecilkan atau menggambarkan pihak tertentu yang nantinya akan dijabarkan di dalam main events. Analisis main events dilihat dari bagaimana pokok-pokok utama yang menjadi topik tersebut dijabarkan dengan lebih rinci. Di dalam penjabaran main events terdapat verbal reactions yang merupakan komentar atau pendapat baik dalam bentuk langsung maupun tidak langsung dari para tokoh yang berkaitan dengan topik yang diberitakan. Pendapat tersebut dapat berupa komentar positif ataupun negatif. Selain headlines dan main events, analisis representasi juga menggunakan instrumen comments. Comments berisi respon, baik dari media maupun para pembaca. Comments terbagi ke dalam dua bagian: Evaluation dan Expectation. Evaluasi berisi pendapat yang mengomentari peristiwa sosial yang dijabarkan dalam suatu wacana, sedangkan ekspektasi (prediksi) berisi pernyataan yang berupa harapan atau prediksi akan suatu peristiwa yang diharapkan mungkin atau seharusnya akan terjadi. Analisis representasi pada struktur mikro menggunakan level of description and degree completeness. Elemen ini berkaitan dengan bagaimana suatu pihak dideskripsikan atau diberitakan secara umum ataupun spesifik dengan menggunakan unsur semantis pada teks. Van Dijk (1993 : 275) menyatakan bahwa jika suatu pihak
7
dideskripsikan secara terperinci dan diberikan detil-detil secara berlebihan maka hal ini dapat bertujuan untuk memarjinalkan atau memberikan kesan negatif terhadap pihak tersebut. ““One of the most conspicuous forms of over-completeness in discourse is the irrelevant negative categorization of participants in order to deligitimate or marginalize their opinions or actions.” (Van Dijk,1993 : 275). Contoh : “The terror trail of Noordin Mohammad Top, a most-wanted terrorist for the past nine years, ended at the hands of the National Police’s antiterrorist…” Dari kalimat di atas dapat diketahui bahwa adanya penambahan detil tentang identitas Noordin M.Top yakni sebagai teroris yang paling dicari selama sembilan tahun terakhir, memberikan representasi negatif terhadap dirinya yang dimunculkan dalam bentuk negative other presentation. Pemunculan detil juga menunjukkan bahwa penulis teks ingin menyoroti hal tersebut. Analisis tekstual pada tataran mikro dan superstruktur akan mengarah pada suatu representasi, baik itu negatif maupun positif. Van Dijk (1993 :275) mengatakan bahwa negative other presentation suatu pihak, kelompok atau peristiwa ditunjukkan dengan pemberian detil-detil atau gambaran yang bersifat negatif sedangkan positive other presentation ditunjukkan dengan pemberian detil-detil atau gambaran yang bersifat positif. Contoh analisis kuasa The Jakarta Post melalui pola akses; controlling communicative events. Kuasa The Jakarta Post terlihat dalam mengontrol peristiwa komunikasi, dalam hal ini pemberitaan tentang konflik umat beragama di Indonesia. Akses The Jakarta Post salah satunya dapat dilihat dari bagaimana The Jakarta Post menentukan dan memilih narasumber serta tokoh-tokoh yang akan diwawancarai. Dalam delapan artikel yang dipilih sebagai data utama, The Jakarta Post banyak
8
mewawancarai para tokoh yang berkecimpung dalam bidang keagamaan, rohaniwan, aktivis keagamaan, dan LSM seperti juru bicara dari GKI Yasmin (Bona Sigalingging), tokoh Muhammadiyah (Din Syamsuddin), tokoh NU, aktivis muslim (Muhammad Guntur Romli), LSM Wahid Institute, Setara Institute, CSIS, dan Human Rights Watch (HRW). The Jakarta Post juga memasukkan pendapat dari aparatur negara seperti Menteri Agama (Suryadharma Ali), Jubir Kepresidenan (Julian Aldrin Pasha), Wali Kota Bogor (Diani Budiarto). Para tokoh yang diwawancarai di atas memiliki akses yang berbeda-beda. Dalam kasus konflik umat beragama, tokoh-tokoh agama lebih memiliki akses untuk berbicara mengenai isu keagamaan dibandingkan pemerintah, sehingga masyarakat lebih mendengarkan pendapat mereka dibandingkan pihak pemerintah. Tokoh agama dan LSM yang disebutkan di atas banyak yang mengkritik kinerja pemerintahan SBY dalam menjaga kerukunan umat beragama. Pemerintah dianggap belum bisa melindungi kebebasan umat beragama untuk beribadah. Dimasukkannya pendapat para tokoh di atas dapat diasumsikan sebagai salah satu cara The Jakarta Post untuk memunculkan representasi SBY agar berimbang tidak hanya berdasarkan pendapat dari surat kabar The Jakarta Post sendiri. Selain itu, pendapat dari para aparatur negara juga turut dihadirkan namun dalam bentuk kutipan tidak langsung, pendapat mereka pun tidak begitu dominan bila dibandingkan dengan para tokoh agama dan LSM. Pendapat para tokoh agama dan LSM yang lebih dominan dibandingkan dengan pihak pemerintah serta penilaian yang negatif dari mereka dapat membentuk representasi negatif terhadap SBY. Dengan dimunculkannya pendapat para tokoh di atas, terlihat bahwa The Jakarta Post memiliki kendali dalam mengontrol suatu pemberitaan. Contoh analisis representasi SBY dalam superstruktur ; headlines, main events dan comments.
9
Artikel : SBY Must Change in 2012† Headlines : SBY Must Change in 2012 Pembahasan : Headlines mengandung gambaran umum suatu wacana, penempatan SBY sebagai subyek pada kalimat headlines di atas menunjukkan bahwa SBY menjadi fokus pemberitaan dalam headlines yang akan dijabarkan dalam main events. The Jakarta Post menggunakan modal „must‟ yang bermakna “used to say that something is very important (sometimes involving rules or law)” (Oxford Dictionary, 2000 : 1006). Ini berarti ada suatu tekanan yang mengharuskan dengan sangat agar SBY berubah di tahun 2012. Perubahan ini apabila dihubungkan dengan jabatannya sebagai presiden dapat berkaitan dengan kinerja, keputusan, sikap atau hal-hal lain yang berhubungan dengan kepemimpinannya. Dari kalimat headlines di atas dapat diasumsikan bahwa kepemimpinan atau kinerja SBY ditahun sebelumnya tidaklah baik atau kurang memuaskan sehingga Ia diminta untuk harus melakukan perubahan di tahun 2012, karena apabila kinerjanya sudah memuaskan Ia tidak perlu lagi diharuskan untuk berubah, mungkin hanya diminta untuk meningkatkan apa yang kurang saja. Secara tidak langsung, headlines yang dibuat oleh The Jakarta Post tersebut memunculkan representasi negatif terhadap SBY. Hal ini akan dijabarkan secara lebih rinci dalam main events. Main events pada artikel SBY Must Change in 2012
†
http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/13/sby-must-change-2012.html
10
Pada main events artikel SBY Must Change in 2012 terdapat kalimat “an analyst from the CSIS said that Yudhoyono’s slow response to every conflict in the country had contributed to the weakening of state authority in the country, a condition that gradually led people to use violence in pursuit of their demands” Dalam kalimat ini ditujukkan bahwa lambatnya respon SBY terhadap setiap konflik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan melemahnya otoritas negara. Sikap kurang tegas dan lambat SBY dalam menangani konflik umat beragama di Indonesia dapat membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan juga terhadap SBY sebagai seorang pemimpin. Masyarakat dapat merasa tidak aman akibat banyaknya aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Selain itu pada kalimat “He said that Yudhoyono aggravated the problems by not handling them decisively” juga muncul representasi negatif terhadap SBY berkaitan dengan aksi kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik. Dikatakan bahwa SBY justru memperburuk masalah dengan tidak menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara tegas. Apa yang digambarkan pada headlines bahwa SBY harus melakukan perubahan di tahun 2012 berkesinambungan dengan penjabaran dalam main events. Sikap SBY yang tidak tegas dan lambat dalam menindaklanjuti konflik dan kekerasan terhadap umat beragama membuat beberapa pihak merasa pesimis dan memberi penilaian negatif terhadap SBY. Comments Masih dalam artikel yang sama, terdapat komentar dari para narasumber yang berisi evaluasi dan prediksi mengenai SBY. Evaluation “Last year was the year of living dangerously for minority groups in Indonesia as it started with an attack on the Ahmadiyah sect in Cikeusik, and ended with shootings of residents in Bima, West Nusa Tenggara. This year (2012) could
11
remain dangerous for minorities if the government remains reluctant to punish perpetrators and bring them to justice,” Vermonte said. Pembahasan : Dari evaluasi yang diberikan oleh Vermonte (peneliti di LSM CSIS) dapat terlihat bahwa pemerintah belum mampu memberi perlindungan terhadap warganya, khususnya kelompok minoritas dan SBY sebagai pemimpin juga belum berhasil menyelesaikan kasus kekerasan yang menimpa Jamaah Ahmadiyah terlihat dari masih adanya kekerasan dan penyerangan terhadap kelompok minoritas. Expectation “Experts have made a dire prediction that unless President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gets his act together by becoming more decisive, things will only get worse as forces within society take over control from the state” Pembahasan : Para ahli memprediksi bahwa apabila SBY tidak juga mengambil tindakan tegas maka kekerasanlah yang akan menguasai negara ini. Prediksi ini menunjukkan bahwa kekerasan semakin marak terjadi dan masyarakat mengharapkan SBY untuk segera mengambil tindakan cepat dan tegas untuk menyelesaikan masalah ini. Analisis representasi SBY pada struktur mikro menggunakan instrumen level of description and degree completeness. The repeated violence against religious followers has shown up a lack of state action in its failure to protect citizens from attacks by others.‡ Pembahasan : Pada contoh data di atas, terlihat adanya detil yang mendeskripsikan pemerintah secara negatif, yakni pada kalimat “…has shown up a lack of state action ‡
http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/13/leaders-demand-govt-guarantee-religiousfreedom.html
12
in its failure to protect citizens from attacks by others”. Detil ini menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi warganya dari serangan atau kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu, hal ini terlihat dari kekerasan yang terus terjadi terhadap kelompok umat beragama. Detil ini memunculkan representasi negatif terhadap pemerintah yang secara tidak langsung juga mengarah kepada SBY, karena SBY sebagai seorang pemimpin tidak bisa bertindak tegas terhadap aparatnya untuk melindungi warga dari tindak kekerasan. Representasi negatif terhadap pemerintah maupun SBY pun muncul dalam bentuk negative other presentation dilihat dari situasi sosial yang terjadi di masyarakat. Simpulan Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa kesimpulan yakni pada tataran makro, bentuk kuasa The Jakarta Post dalam merepresentasikan SBY terkait isu keharmonisan umat beragama dapat terlihat melalui pola akses salah satunya pada akses controlling communicative events. Kuasa The Jakarta Post terlihat dari pemilihan topik pemberitaan yakni kekerasan dan diskriminasi umat beragama di mana SBY terlihat powerless dalam isu ini, pemakaian kalimat pada headlines dan penjabaran main events yang memunculkan representasi negatif terhadap SBY, pemilihan narasumber yakni pendapat tokoh agama dan LSM yang lebih dominan dibandingkan aparat pemerintah serta penilaian negatif dari mereka terhadap kinerja SBY dan pemberian detil-detil yang mendeskripsikan SBY secara negatif dalam pemberitaannya. Pada tataran mikro, cara The Jakarta Post merepresentasikan SBY terlihat pada struktur mikro dan superstruktur. Pada bagian superstruktur, SBY direpresentasikan negatif oleh The Jakarta Post melalui headlines dan main events pada delapan artikel. Representasi negatif muncul karena SBY dianggap sebagai pemimpin yang belum berhasil menjaga keamanan dan kebebasan umat beragama di Indonesia. Pada struktur mikro, representasi negatif SBY muncul pada analisis level
13
of description and degree completeness. Detil-detil yang diberikan terhadap SBY dalam delapan artikel The Jakarta Post membentuk representasi negatif terhadap SBY terkait isu keharmonisan umat beragama dalam bentuk negative other presentation. Daftar Sumber : Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. (p.103,109). Great Britain : Edward Arnold. Van Dijk, T. A. 1988. News as Discourse. (p.2, 53-56). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers. . 1993. Principles of Critical Discourse Analysis. Discourse and Society (p.254, 275) ____. 1995b. Power and The News Media. In: D. Paletz (Ed.), Political Communication and Action. Cresskill, N.J: Hampton Press. ____. 1996. Discourse, Power and Access. In Carmen Rosa Caldas-Coulthard and Malcolm Coulthard (Eds.), Texts and Practices. Readings in Critical Discourse Analysis. (p.85). London: Routledge. ____. 2001. Critical Disourse Analysis. In D. Tannen, D. Schiffrin, & H. Hamilton, Handbook of Discourse Analysis. (p.352). Oxford: Blackwell. Post, The Jakarta.2012. SBY Must Change in 2012. Available at: http://www.thejakartapost.com.news/2012/01/13/sby-must-change-2012.html. (diakses 24 Februari 2012, 11: 37 am) Wardany, Irawaty.2012. Leaders Demand That Govt Guarantee Religious Freedom. Available at: http://www.thejakartapost.com/news/2012/02/13/leadersdemand-govt-guarantee-religious-freedom.html. (diakses 24 Februari 2012, 11:26 am) Hornby, AS, edited by Sally Wehmer. 2000. Oxford Advance Learners Dictionary of Current English. UK : Oxford University Press.
14