Meraba Konflik Umat Beragama* Oleh Alamsyah M. Dja’far** “Membicarakan agama, bukan hanya memerlukan usaha keras, tapi juga cukup nyali.” Jacques Waardenburg Konflik memang tak sama dengan kekerasan. Tapi dari konflik yang tak terkelola, kekerasan bermula. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) elektronik, konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, pertentangan. Konflik sosial maknanya, pertentangan antaranggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.1 Sementara kekerasan perihal yang bersifat, berciri keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan juga bisa bermakna paksaan.2 Jenis konflik bisa rupa-rupa: konflik agama, budaya, politik, dan lain-lain. Penyebabnya juga beragama. Kadang-kadang dimulai dari remeh-temeh. Gara-gara kabel pengeras suara masjid dicabut secara sengaja, satu kampung Klepu, Ponorogo, Jawa Timur, geger. Masalah yang terjadi pada 2008 ini naik jadi perkara serius ke lembagalembaga setingkat Kabupaten Ponorogo: Departemen Agama (Depag), Majlis Ulama, Nahdlatul Ulama, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Masyarakat yang berbeda sikap, mendirikan masjid sendiri (Hamdi 2009, 112-113). Kekerasan dalam skala masif dapat dilihat menjelang Orde Baru tumbang dan masa-masa sesudahnya. Pada 1999, jumlah insiden kekerasan membukukan 300 kasus dengan 1.813 korban tewas. Meningkat menjadi 408 insiden dengan 1.617 korban di tahun 2000. Setelah itu menurun di tahun 2001 menjadi 233 insiden dengan korban tewas 1.065 orang (Tadjoeddin 2002, 33). Belakangan konflik massif ini menurun. Seiring itu fenomena yang kian tampak adalah konflik dan kekerasan di internal umat beragama. Biasanya dimulai dengan praktik penyebaran kebencian dan penyesatan. Tak sedikit aksi penyesatan dilakukan bersamaan dengan aksi persekusi. Sepanjang 2012, laporan the Wahid Institute mencatat tindakan penyebaran kebencian oleh aktor non-negara terjadi sebanyak 13 tindakan, penyesatan kelompok lain 13 tindakan (Wahid Institute 2012, xiii). Meski rupa-rupa, dalam setiap konflik dan kekerasan apapun bisa dijumpai pola yang sama. “Dalam kekerasan, kita lupa siapa kita,” kata novelis perempuan Amerika Mary McCarthy. Jika disederhanakan, terdapat dua sumber konflik: kultural dan struktural. Pemahaman dan cara pandang yang beragam, kadang saling bertentangan, dari pihak-pihak yang terlibat termasuk dalam kategori pertama. Muhammad Ahmad Abu Zahrah, guru besar hukum di Universitas Al-Azhar, cukup baik menjelaskan faktor-faktor ini. Dalam bagian pendahuluan al-Madzahib al-Islamiyah – *
Tulisan ini dipersiapkan untuk “Diklat Teknis Substantif Peningkatan Kompetensi Penggerak Kerukunan Umat Beragama Angkatan I dan II” Pusdiklat Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Minggu 09 Juni 2013 di Kampus Pusdiklat Pegawai Kementerian Agama, Ciputat ** Peneliti the Wahid Institute, Jakarta 1 “Konflik,” Kamus Besar Bahasa Indinesa, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (diakses 07 Juni 2013) 2 “keras,” Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php ((diakses 07 Juni 2013)
1
karya yang lengkap membahas ragam sekte politik dan akidah dalam Islam— ia menyebut sejumlah sebab yang menyebabkan perbedaan dan pada akhirnya konflik. Di antaranya, kenyataan pluralitas pemikiran manusia yang tak terbantahkan, bias pemahaman dalam melihat substansi materi, dan perbedaan persepsi. Ia lalu melempar tamsil yang sering kita dengar: si buta meributkan bagaimana rupa gajah (Zahrah t.t, 5-6) Agama Salah satu kenyataan perbedaan pemikiran dan persepsi ini justru bisa dilihat dari kerumitan mendefinisikan agama. “Membicarakan agama bukan hanya memerlukan usaha keras, tapi juga cukup nyali,” kata Professor emeritus University of Lausanne, Switzerland, Jacques Waardenburg dalam Classical Approach to the Study of Religion (Permata 2000, 13). Sejauh ini memang tak pernah ditemukan pengertian seragam tentang agama di kaalangan para ahli. Dalam instrumen internasional seperti Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights, diangkat ICCPR, selanjutnya disebut Konvensi Hak Sipol). Konvensi ini diratifikasi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil And Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Kata “agama” tak cukup mendapat pengertian yang utuh di sini. Penyebutan agama selalu disandingkan dengan kata keyakinan (belief). Komentar Umum 22 paragraf 2 yang menjelaskan pasal 18 Konvensi Hak Sipol menjelaskan. Agama atau kepercayaan ini tak hanya merujuk pada agama-agama tradisional atau agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang memiliki karakteristik institusional atau praktik-praktik yang serupa dalam agama-agama tradisional tersebut. Agama atau kepercayaan yang baru dibentuk, masuk dalam kategori “kepercayaan” atau “agama”. (UNHCR 2013)3 Sejumlah ahli kemudian melihat agama dari sudut unsur-unsur yang ada di dalamnya. Salah satunya dilakukan Kent Greenawalt dalam Religion as a Concept in Constitutional Law (1984). Ia mencatat sejumlah kriteria yang umumnya ada dalam agama-agama besar (Vicker 2008, 18). Pertama, keyakinan akan Tuhan atau “Yang Tertinggi”; kedua, sebuah pandangan menyeluruh mengenai dunia dan tujuan-tujuan manusia; ketiga, kepercayaan mengenai kehidupan setelah mati; keempat, komunikasi dengan “Tuhan” melalui ibadah dan doa; kelima, perspektif tertentu mengenai kewajiban moral yang berasal dari kode moral atau dari konsepsi mengenai sifat Allah; keenam, praktik-praktik yang melibatkan pertobatan dan pengampunan dosa; ketujuh, perasaan “keagaaman” mengenai kekaguman, rasa bersalah dan penyembahan; kedelapan, penggunaan teks-teks suci; kesembilan, organisasi untuk memfasilitasi aspek korporasi dari praktik-praktik agama dan untuk mempromosikan dan melanggengkan praktik-pratik dan kepercayaan tertentu. Unsur-unsur ini sebagiannya memang berbeda dengan rumusan Departemen Agama pada 1961 di bawah kepemimpinan KH. Wahib Wahab. Agama dalam definisi itu harus merangkum sejumlah unsur: kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, nabi, kitab suci, umat dan suatu sistem hukum bagi penganutnya (Munawar-Rachman 2010, xviii). 3
UNHCHR, “General Comment No. 22: The right to freedom of thought, conscience and religion ( Art. 18) : . 07/30/1993. CCPR/C/21/Rev.1/Add.4, General Comment No. 22. (General Comments)” paragraph 2 http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/%28Symbol%29/9a30112c27d1167cc12563ed004d8f15?Opendocument (diakses 7 Juni 2013)
2
Kriteria ini yang membuat aliran kepercayaan terlempar dari makna agama. Dalam perjalanan kebangsaan ini dikenal pula istilah “agama diakui” dan “tidak diakui”, yang belakangan dinyatakan Mahmakah Konstitusi tak konstitusional. Definisi tersebut juga muncul sebagai hasil dari pergulatan politik dan berkembangnya kelompok keagamaan yang disebut aliran kepercayaan tadi. Pada tahun 1952, di sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muh. Dimyati menuntut agar aliran kebatinan dilarang keberadaannya. Setelah itu munculah definisi dan kriteria agama. Jika merujuk kriteria Greenawalt tadi maka agama-agama lokal yang di sini disebut sebagai penghayat kepercayaan bisa disebut agama (religion), meksi dengan embel-embel lokal. Gerakan Keagamaan Baru Agama atau kepercayaan yang baru dibentuk yang disebut dalam konvensi di atas tampaknya lebih dekat pengertiannya dengan gerakan keagamaan baru (new religious movement). Istilah ini merujuk pada keyakinan keagamaan atau sebuah gerakan etis, spiritual, atau filsafat baru yang bukan bagian dari aliran keagamaan atau lembaga agama yang lebih mapan. Gerakan yang mulai berkembang sejak Perang Dunia Kedua (1939-1945) ini menawarkan tak hanya pernyataan yang dinilai sempit mengenai eksistensi dan sifat kekuatan supernatural, tapi juga mengusulkan jawaban beberapa jenis pertanyaanpertanyaan mendasar yang secara tradisional “ditangani” agama arus utama. Mislnya Adakah tuhan? Siapa aku? Bagaimana saya bisa menemukan arah, yang berarti dan tujuan hidup? Apakah ada kehidupan setelah kematian? Adakah sesuatu yang lebih banyak untuk manusia dari Sekedar fisik dan tubuh mereka atau interaksi langsung dengan orang lain? (Barker 1999, 16) INFORM (Information Network Focus on Religious Movements), sebuah lembaga amal berbasis di London School of Economics, mencatat lebih dari 2,600 gerakan keagamaan baru di dunia dewasa ini. Pihak lain menyebut ada 10,000 agama baru dengan 12 juta atau lebih pengikut di Amerika, Asia, Afrika dan Pasifik (Barker 1999, 16). Beberapa nama gerakan bisa disebut di sini antara lain Hare Krishna yang didirikan tokoh spiritual Hindu Bhaktivedanta Swami Prabhupada pada 1965 di New York City (iskconindonesia.com). Atau Gereja Scientology yang didirikan Penulis fiksi ilmiah L. Ron Hubbard (1911-1986) pada 1954. Kelompok ini jalur tepat mengarah ke pemahaman yang lengkap dan pasti dan menyediakan hubungan yang hakik untuk diri sendiri, keluarga, kelompok, manusia, semua bentuk kehidupan, alam semesta material, dan tuhan (www.scientology.org). Di Indonesia, gerakan keagamaan baru mungkin dapat dilekatkan dengan gerakan dengan gerakan Ahmad Mushaddeq Pimpinan Al-Qiyadah Islamiyah atau Lia Aminuddin Eden, pemimpin Komunitas Eden. Sebagian, memasukan Ahmadiyah dalam kategori agama baru di Indonesia. Di hadapan arus utama, gerakan keagamaan baru ini umumnya dianggap sebagai “saingan” dan mengganggu kemapanan. Sejumlah kalangan menilai, gerakan ini mendapat pengikutnya justru karena arus utama tak mulai abai atas kebutuhankebutuhan spiritual anggotanya. Gerakan ini juga tumbuh seiring globalisasi.
3
Keyakinan “Yang bukan agama” adalah pengertian ringkasnya. Jadi mendefinisikannya bisa dilakukan dengan melihat unsur-unsur dalam agama. Sesuatu yang tak dicakup dalam agama, dapat dikategorikan sebagai keyakinan. Karenanya ide-ide besar seperti humanisme, ateisme, agnotisme, bisa dikategorkan sebagai keyakinan (belief). Sejumlah ahli mendefiniskan keyakinan sebagai “sesuatu yang mengisi sebuah tempat dalam kehidupan manusia yang setara dengan sesuatu yang dianugerahkan tuhan dari pegangan keyakinan keagamaan tertentu ini (Vickers, 23). Yang lain menyebut sebagai “sebuah sistem interpretasi yang terdiri dari keyakinan personal mengenai struktur dasar, cara sesuatu dilakukan (modality), dan fungsi dari dunia. Tapi, kepercayaan bukanlah sistem saintifik (Vickers, , 23-24). Dengan pengertian ini, kecintaan berlebihan pada bola, umpamanya, tak dikategorikan kepercayaan. Defenisi “resmi” pemerintah, penghayat kepercayaan tidak masuk definisi agama atau mungkin “agama yang belum diakui”, istilah yang dipakai UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Defnisi ini banyak dinilai sumber tindakan diskriminasi. Pasal 6 ayat (2) yang menyebut: … bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Definisi yang lebih tegas dinyatakan pasal 1 ayat 18 PP Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Pemeluknya disebut peghayat Masih perlu didiskusikan lebih jauh apakah “aliran kepercayaan” ini dimasukan dalam konteks “keyakinan”. Sebab bagi sebagian kalangan aliran kepercayaan disebut pula sebagai “agama lokal” atau “agama tradisional”. Wewenang Negara dan Pemerintah Konflik berbasis agama yang berujung kekerasan kadang-kadang terjadi akibat cara pemahaman penyelenggara negara yang kurag tepat. Tak sedikit pejabat dan pegawai pemerintah mengambil posisi subyektif sebagai pemeluk agama tertentu dalam memutuskan perkara benar-tidaknya suatu agama atau keyakinan tertentu warga negara. Sebagai pribadi yang beragama atau berkeyakinan tertentu, pegawai atau pejabat pemerintah boleh saja menganggap seseorang sesat atau tidak. Itu hak yang dijamin konstitusi. Tapi, sebagai pegawai atau pejabat pemerintah yang menjalankan tugas konstitusi, subyektivitas tadi tak boleh mendiskriminasi hak beragama warga negara. Karena itu tindakan tak mencatatkan Surat Nikah di KUA karena alasan karena mereka anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau pemeluk agama lokal tertentu adalah tindakan diskriminatif. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, seperti termaktub dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian disebut, “Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur 4
aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan”. Mereka juga terikat dengan undang-undang lain seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU HAM menyebut diskriminasi sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya. Diskriminasi dalam ranah kemerdekaan agama adalah manakala tindakan tersebut dilakukan atas dasar agama atau keyakinan tertentu. Dengan kesadaran semacam itu negara melalui pemerintah perlu memberi pendidikan jangka panjang bagaimana mengelola perbedaan dan peningkatan pengetahuan agama dan keyakinan di luar dirinya secara lebih utuh. Ini juga bisa dilakukan lembaga-lembaga keagamaan seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tokoh agama, dan masyarakat umum. Kita masih sering menjumpai ketidakmengertian masyarakat akan agama lain. Biasanya muncul dalam anggapan yang keliru. Misalnya pernyataan, bahwa kelompok Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) melakukan “kristenisasi” di lingkungan yang umumnya Betawi atau etnis di luar Batak. Kadang banyak masyarakat yang tak tahu beda Katolik dan Protestan. Seolah-seolah Kristen seragam. Seperti juga dijumpai masyarakat yang melihat Islam seolah seragam. Di sini pentingnya memberi informasi yang lebih utuh mengenai keragaman agama dan keyakinan berikut sekte-sekte, di dalamnya secara lebih obyektif. “Orang yang hanya tahu satu hal, sesungguhnya tak tahu apa-apa,” kata Friedrich Max Muller, filologis dan orientalis kelahiran Jerman. Sekte adalah kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut.4 Kata ini berasal dari bahasa Latin secta (dari sequi, mengikut) berarti: suatu langkah atau jalan kehidupan; suatu aturan perilaku atau prinsipprinsip dasar; suatu aliran atau doktrin filsafat. Dalam praktik sehari-hari sekte juga dipakai sebagai sinonim denga mazhab, golongan pemikiran keagamaan. Di lingkungan Islam Indonesia, misalnya, terdapat sejumlah organisasi keislaman yang merepresentasikan golongan Sunni seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, alWasliyah, Nahdlatul Wathan. Selain itu ada pula Syiah dan Ahmadiyah. Di lingkungan penganut Budha, tercatat sekitar 60 persen mengikuti aliran Mahayana, 30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut aliran Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Dalam Protestan sendiri tercatat lebih dari 200 aliran di antaranya Lutheran: Aliran Calvinis, Baptis, Metodis, Karismatik , dan lainlain. Terdapat lebih dari 200-an organisasi kekristenan. Seringpula ditemui stigma dan pelabelan. Misalnya istilah “sesat”, “kafir”, “menodai”, “teroris” dan lain-lain sudah saatnya diberi penjelasan yang lebih utuh 4
“sekte,” http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (diakses 7 Juni 2013)
5
dengan konteks-konteks yang melingkupinya. Sebab bobot istilah-istilah ini bukan perkara ringan. Kesadaran mulai menyebut “terduga” untuk menyebut aksi teroris bisa menjadi contoh yang baik. Dalam khazanah Islam, doktrin “penodaan agama” tampaknya lebih dekat dengan konsep penghinaan kepada Allah (sabb allah) dan rasul (sabb ar-rasul). Dua istilah ini meliputi tindak penggunaan kata-kata penghinaan terhadap Allah, malaikat, dan nabinabi (Zuhayli 1997, 184). Ibnu Hazm memasukan penghinaan terhadap orang-orang shaleh (Ibnu Hazam, t.t., 2235). Mayoritas ulama berpandangan, tindakan ini digolongkan sebagai dosa besar. Jika yang melakukan seorang muslim dihukumi sebagai murtad dan diberi sanksi hukuman mati. Sebagian ahli fikih berpandangan, mereka tetap dianggap sebagai muslim namun tetap mendapat sanksi. Lainnya lagi menyatakan mereka otomatis dinyatakan keluar dari Islam. Jika yang melakukan non-muslim juga diberi sanksi hukuman mati (Saeed dan Saeed 2004, 38). Dalam konteks Pancasila, doktrin semacam ini tentu harus direkontekstualisasi sesuai hukum yang berlaku. Penegakan Hukum Di antara sumber struktural yang menyebabkan konflik meletup adalah masih hadirnya sejumlah peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Lainnya lagi lemahnya penegakan hukum dan tindakan tegas aparat. Di lapangan, aparat sering mengevakuasi korban, ketimbang memberi tindakan tegas pada pelaku kekerasan. Pelaku kekerasan sering dihukum ringan. Sebaliknya, korban justru menjadi tersangka dengan vonis berat. Di lapangan, aparat sering kali membiarkan tindakan penyebaran kebencian dan intimidasi terhadap kelompok minoritas. Dalam sejumlah kasus, korban yang kehilangan banyak aset sampai saat ini tak pernah mendapat reparasi. Situasi semacam ini kemungkinan besar memberi “pelajaran” pada pelaku atau “calon” kekerasan atas nama agama melakukan kekerasan. Seperti virus, kekerasan menyebar jika penegakan hukum lumpuh. Itulah yang terjadi ketika tren pengeroyokan massal pada akhir tahun 90-an. Kata Albert Bandura, ahli psikologi kelahiran Kanada, kekerasan atau agresi sebetulnya sebagian besarnya merupakan hasil dari belajar kelompok. Agresi pelaku yang dipelajari tak lain hasil coba-coba yang berhasil. Jika seseorang melakukan coba-coba tindakan kekerasan dan dinilai menguntungkan, maka kekerasan dinilai berguna tinggi dan bisa terus dilaukan. Jika perilaku kekerasan dihukum dengan efektif, kemungkinan besar tindakan kekerasan tak diulangi. Maka jika pelaku penyerangan dan kekerasan tak mendapat hukum yang setimpal atau aparat terkesan mendukung, kekerasan akibat konflik agama mungkin akan sulit terjadi (Colombijn 2005, 293-294). Kekerasan yang dianggap sebagai hasil “pelajaran” juga dianut bekas profesor di American Academy di West Point. Dalam bukunya On Killing: the Psychological cost of Learning to kill in war and society, Grosman menyimpulkan sesunggunya ada rasa muak menggunakan kekerasan yang mematikan pada orang lain. Dalam bukunya itu ia bilang, hanya 20 persen penembak jitu Amerika yang menembak senjata untuk membunuh musuh. Belakangan, berkat pelatihan yang sistemik jumlahnya malah naik 55 persen dalam perang korea dan 90 persen dalam perang Vietnam. (Colombijn 2005, 294). Itu artinya penggunaan kekerasan bisa “dipelajari”. 6
Faktor lain lagi dari penyebab konflik adalah kelemahan karakter kepemimpinan dan tebalnya muatan politik di tingkat lokal menyebabkan isu agama masih sering dipakai dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, yang pada akhirnya menyulut praktikpraktik diskriminasi bahkan pelanggaran. Laporan the Wahid Institute mencatat, angka diskriminasi bahkan pelanggaran meningkat menjelang momen-momen politik seperti pemilihan kepala daerah [] Daftar Pustaka Abu Zahrah, Muhammad Ahmad. Al-Madzahib Al-Islamiyyah. Cairo: Adab, t.t Colombijn, Freek. “Budaya Praktik Kekersan di Indonesia: Pelajarann dari Sejarah,” dalam Dewi Fortuna Anwar, dkk, ed. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Serarah, EkonomiPolitik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor, 2005. Hamdi, Ahmad Zainul. “Tragedi Kabel Mik: Sepenggal Kisah Perseturuan Islam Pribumi dan Islam Puritan di Klepu Ponorogo.” Dalam Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia, Alamsyah M. Dja’far, ed. Jakarta: the Wahid Institute, 2009 . Ibn Hazam, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said. Al-Muhalla fi Syarh bi al-Hujazi wa alAstar. Hasan Abdul Mannan ed. Bait al-Afkar Ad-Dauliyah.t.t Tadjoeddin, Mohammad Zulfan. “Anatomi kekerasan sosial dalam konteks transisi : kasus Indonesia 1990-2001,” Working paper untuk United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, Jakarta, April 2002. Munawar-Rachman, Budhy ed., Membela Kebebasan Beragama. Jakarta: LSAF dan Paramadina, 2010. Permata, Ahmad Norma, “Pendahuluan Editor,” dalam Metodologi Studi Agama, Ahmad Norma Permata, ed. Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Saeed, Abdullah dan Hasan Saeed. Freedom of religion, apostasy and Islam. Burlington, Vt.: Ashgate, 2004. UNHCHR, “General Comment No. 22: The right to freedom of thought, conscience and religion ( Art. 18) : . 07/30/1993. CCPR/C/21/Rev.1/Add.4, General Comment No. 22. (General Comments)” paragraph 2 http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/%28Symbol%29/9a30112c27d1167cc12563ed004d8 f15?Opendocument (diakses 7 Juni 2013) Vickers, Lucy. Religious Freedom, Religious Discrimination and the Workplace. USA: Hart Publishing, 2008. Zuhayli, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Juz Enam. Dimashq: Dar al-Fikr, 1997 Barker, Eileen, “New Religious Movements: Their incidence and significance.”Dalam New Religious Movements: Challenge and response, Bryan Wilson dan Jamie Cresswell ed. London: Routledge, 1999
7