SERI AGAMA DAN KONFLIK 3
agama dan konstestasi ruang publik :
islamisme, konflik dan demokrasi Prolog: Marzuki Wahid Epilog: Alamsyah M. Dja’far
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
AGAMA DAN KONTESTASI RUANG PUBLIK: ISLAMISME, KONFLIK DAN DEMOKRASI @The WAHID Institute, 2011 Hak terbitan pada The WAHID Institute
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. Ukuran Hal Cet
: 15,5 X 23,5 cm : : Februari 2011
Tim Penulis Supervisor : Yenny Zannuba Wahid Prolog : Marzuki Wahid Epilog : Alamsyah M. Dja’far Anggota : Ahmad Suaedy Rumadi Ahmad Zainul Hamdi Nur Khalik Ridwan Yusuf Tantowi Ahmad Shidqi Siti Tarawiyah Tedi Kholiluddin Siti Rofi’ah Editor : Badrus Samsul Fata Perwajahan : Muhammad “Amax” Isnaini The WAHID Institute Jl. Taman Amir hamzah No. 8, Jakarta 10320, Indonesia Phone: +62 21 3928233, 3145671 Fax: +62 21 3928250 www.wahidinstitute.org;
[email protected]
ii
Pengantar Redaksi
T
untutan penerapan syariat Islam oleh sebagian kelompok melalui perda dan regulasi daerah menjadi gejala umum di Indonesia sejak 1999-2009. Selama satu dasawarsa, terhitung sebanyak 154 perda bernuansa agama yang tersebar di 69 kabupa ten dan kota di seluruh wilayah Indonesia. Fakta ini cukup memprihatinkan sebab perda atau regulasi yang seharusnya bersifat nonsektarian dan non-diskriminatif, justru malah berlaku sebaliknya. Favoritisme kelompok mayoritas menjadi warna dominan dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. Tentu saja, pihak minoritas keagamaan selalu menjadi korban penetapan regulasi diskriminatif tersebut. Tindakan diskriminatif melalui perda inilah yang kemudian menarik minat kami untuk lebih memperdalam secara kritis melalui riset sehingga menghasilkan tulisan dalam buku ini. Secara umum, kami tidak mungkin meneliti seluruh perda dan regulasi bernuansa agama, mengingat cukup banyak lembaga, stakeholder dan bahkan perorangan yang juga sedang melakukan hal yang sama. Kami hanya fokus pada beberapa wilayah yang kami anggap luput dari kajian mereka. Hasil riset yang tersaji dalam buku ini cukup memberi gambaran kuat tentang situasi kelompok minoritas keagamaan di Indonesia, khsusnya dalam konteks kekinian. Bahkan, dapat dikatakan, kelompok minoritas keagamaan di Indo nesia saat ini tengah berada diujung tanduk (living on the edge), mengingat gempuran dan intimidasi melalui perda dan regulasi diskriminatif serta berbagai tindakan kekerasan dan pembunuhan yang setiap saat mengancam. Dalam kasus termutakhir, penye rangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik Banten yang menewaskan 3 anggota kelompok ini serta pembakaran gereja di Temanggung, Jawa
iii
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
Tengah menjadi “penanda” (signifier) menyangkut lemahnya penegakan hukum dan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakin an berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. Dengan demikian, kaum minoritas saat ini menghadapi ancaman dari dua sudut sekaligus, yakni regulasi/perda agama serta menguatnya gerakan islamisme. Tulisan bertajuk “Dinamika dan Ragam Isu Perda Bernuansa Agama” memberi gambaran cukup baik, bagaimana kebijakan negara berbau agama dapat mengancam kelompok-kelompok minoritas. Sementara kasus penyerangan FPI terhadap Sapta Darma di Yogyakarta, Penutupan Gereja Isa Almasih (GIA) Karangroto, Kecamatan Genuk, Semarang, dan protes terhadap Gereja Bethelis Indonesia Pasir Mas Banjarmasin, Kalimantan Selantan menyajikan gambaran akan menguatnya gerakan islamisme. Yang menarik dalam kasus penutupan gereja Isa Almasih Karangroto, benih-benih islamisme juga mulai menggejala di tubuh NU yang selama ini dikenal sebagai kelompok moderat. Sejumlah organisasi di lingkungan NU di wilayah itu melalui payung Masyarakat Peduli Bangsa (MPB), dalam penelitian tesebut, disebutsebut sebagai pelaku penutupan gereja. Mungkin saja penamaan islamis terhadap sebagian kecil kelompok NU ini masih bisa diperdebatkan di sini. Tedi Kholiludin dan Siti Rofi’ah, dua peneliti kasus tersebut, menyebut mereka sebagai “tradisionalisme radikal”. Kali lain menyebutnya dengan kelompok fundamentalis. Fenomena tersebut patut diperhatikan, mengingat sejauh ini masyarakat NUlah yang menjadi payung moderatisme di Indonesia. Tidak melebihlebihkan kiranya jika “virus” islamisme menjangkiti NU dampaknya akan berpengaruh pada wajah moderatisme Islam di Nusantara. Gejala ini juga dapat dirasakan dalam gerakan penerapan Syariat Islam di Pamekasan, Madura Jawa Timur, sebagaimana disajikan Ahmad Zainul Hamdi dalam tulisannya “Pluralisme di Antara Gempita Syariat Islam dan Pragmatisme Politik (Studi Kasus Penerapan Syariat Islam Di Pamekasan Madura”. Dalam konteks ini, nuansa politik lebih terasa, sehingga indikasi tentang anasir-anasir penerapan ideologi syariat Islam dalam masyarakat dan kekuatan politik yang ada di sana sepertinya masih bisa ditinjau kembali. Minimal, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam untuk menjawab pertanyaan apakah syariat Islam yang ada di jantung masyarakat NU itu sama atau berbeda dengan syariat Islam yang dikembangkan kelompok islamis lain.
iv
Pengantar Redaksi
Sementara itu, peristiwa Vihara Jaya Wijaya, Dusun Tebango, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), juga menyuguhkan bukti lain bahwa konflik keagamaan dan ancaman terhadap minoritas juga berbalut persaingan politik dalam lingkup internal pemeluk agama. Dengan kata lain, ia bukanlah khas Islam, tapi juga berkembang di agama-agama lain. Dan ini mesti menjadi perhatian komunitas agama di masa-masa mendatang. Meski terdapat banyak pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari fakta dan fenomena yang disajikan, namun buku ini telah cukup dijadikan warning terhadap terancamnya kelompok-kelompok minoritas di negeri ini.
Jakarta, Mei 2011
v
vi
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi .......................................................................... iii Daftar Isi .................................................................................. vii Daftar Singkatan .............................................................................. ix Prolog Anomali Agama dan Politik: Fenomena Regulasi Bernuansa Islam Marzuki Wahid .......................................................................... 1 BAB I DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
11 -192
Bagian I : Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi: Survei Singkat dari Berbagai Daerah Rumadi, dkk ................................................................................ 13 Bagian II : Syariat Islam dan Pragmatisme Politik: Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Pamekasan Madura Ahmad Zainul Hamdi .............................................................. 163 Bagian III : Penerapan Syariat Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Ahmad Suaedy ............................................................................ 183
vii
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
BAB II AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
193 - 302
Bagian I: Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta Nur Khalik Ridwan dan Ahmad Shidqi .................................. 195 Bagian II : Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih (GIA) Karangroto, Semarang, Jawa Tengah. Tedi Kholiluddin dan Siti Rofi’ah ............................................ 239 Bagian III : Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya: Kasus Vihara Jaya Wijaya di Lombok Utara NTB. Yusuf Tantowi ............................................................................. 263 Bagian IV : Toleransi Setengah Hati: Kasus Gereja Bethelis Protestan di Kalimantan Selatan Siti Tarawiyah ............................................................................ 281 Epilog Minoritas Dalam Ancaman Alamsyah M. Dja’far ....................................................................... 303 Bibliografi .................................................................................. Lampiran Index
viii
DAFTAR SINGKATAN
AGSI AMMS BPS BPUPKI-PPKI DDII DI/TII DPC DPD DPR DPRD DPW ELSAM FAKI FKAWJ FKMJPS FKUB FMKI FORKUIS FPI FPIS FPUB FSPP FUIY GAM Gapas Garis Garis GBI GIA GKMI GPI GPK HKBP
: Asosiasi Guru Sejarah Indonesia : Angkatan Muda Muslim Surakarta : Badan Pusat Statistik : Badan Persiapan Usaha-Usaha : Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia : Darul Islam/Tentara Islam Indonesia : Dewan Pimpinan Cabang : Dewan Perwakilan Daerah : Dewan Perwakilan Rakyat : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Dewan Pimpinan Wilayah : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat : Front Anti Komunis : Forum Komunikasi Ahlisunnah Waljama’ah : Forum Komunikasi Masyarakat Jombang Peduli Syariah : Forum Kerukunan antar Umat Beragama : Masyarakat Katolik Indonesia : Forum Komunikasi Umat Islam Surakarta : Fron Pembela Islam : Forum Pemuda Islam Surakarta : Forum Persaudaraan Umat Beriman : Forum Silaturahmi Pondok Pesantren. : Forum Ukhuwah Islamiyah Yogyakarta : Gerakan Anti Maksiat : Gerakan anti Pemurtadan dan Aliran Sesat : Gabungan Remaja Islam : Gerakan Reformis Islam : Gereja Bethel Indonesia : Gereja Isa Almasih : Gereja Kristen Muria Indonesia : Gerakan Pemuda Islam : Gerakan Pemuda Ka’bah : Huria Kristen Batak Protestan
ix
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
HTI : Hizbut Tahrir Indonesia ICDHRE : Islamic Center for Democracy and Human Rights Empowerment ICRP : Indonesian Religion on Religion and Peace IMB : Izin Mendirikan Bangunan JCC : Jombang Care Center JMS : Jamaah Masjid Surakarta KADP : Koalisi Anti Diskriminasi Dan Prostitusi KADP : Koalisi Anti-Diskriminasi dan Prostitusi KASI : Konferensi Agung Sanggha Indonesia KHI : Kompilasi Hukum Islam. KKPI : Koalisi Kesatuan Komando Pemuda Islam Kompetend : Komunitas Pemerhati Potensi Daerah KPI : Koalisi Perempuan Indonesia KPPI : Kesatuan Komando Pemuda Islam KPPSI : Komite Persiapan Pelaksanaan Syariat Islam KPS : Komite Penegak Syariah KPSI : Komite Penegakan Syariat Islam KPU : Komisi Pemilihan Umum KUHP : Kitab Undang-Undang Hukup Pidana KUI : Kongres Umat Islam KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia KWI : Konferensi Waligereja Indonesia Lakspesdam : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia LBH : Lembaga Bantuan Hukum LDII : Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDK : Lembaga Dakwah kampus LINK : Lingkar Indonesia untuk Keadilan LkiS : Lembaga Kajian Islam LP2SI : Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam LP3SI : Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syariat Islam) LPPI : Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam LUIS : Laskar Umat Islam Surakarta Magabudi : Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia Majabumi : Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia MBI : Majelis Buddhayana Indonesia MK : Mahkamah Konstitusi MPB : Masyrakat Peduli Bangsa MPR : Majlis Permusywaratan Rakyat MPRS : Majlis Permusywaratan Rakyat Sementara MPS : Masyarakat Peduli Syariah MSI : Maha Sangha Indonesia MTA : Majlis Tafsir Al-Quran MUABI : Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia MUBI : Milis Umat Buddha Indonesia MUBSI : Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia
x
Pengantar Redaksi
MUI : Majlis Ulama Indonesia MWC : Majlis Wakil Cabang NAD : Naggroe Aceh Darussalam NII : Negara Islam Indonesia Otsus : Otonomi Khusus PA : Peradilan Agama PAD : Pendapatan Asli Daerah Pangestu : Paguyuban Ngesti Tunggal PGI : Persatuan Gereja Indonesia PGI : Persatuan Gereja Indonesia PGI : Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia PKBI : Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKL : Pedagang Kaki Lima PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil PSK : Pekerja Seks Komersial Sagin : Sanggha Agung Indonesia Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja SCC : Student Crisis Center SCC : Student Crisis Centre SKB : Surat Keputusan Bersama STI : Sanggha Therawada Indonesia Subud : Susila Budhi Dharma TSM : Tasikmalaya Solidarity of Muslim UNSFIR : United Nations Support Facility for Indonesian Recovery WALUBI : Perwalian Umat Buddha Indonesia WCC : Women Crisis Center VOC : Vereenigde Oostindische Compagnie
xi
xii
PROLOG
ANOMALI AGAMA DAN POLITIK: Fenomena Regulasi Bernuansa Islam Oleh: Marzuki Wahid
“
Anomali agama dan politik”, sebuah ungkapan reflektif untuk menyebut hasil penelitian yang hadir dihadapan pembaca budiman. Buku ini mengungkap secara detil sinema anomalik tersebut dengan pelakon kaum agamawan dan elit-politik demi kekuasaan melalui regulasi bernuansa agama. Tidak saja ideologi besar di balik gerakan ini, namun buku ini juga menyajikan datadata empiris politik lokal sejak proses hingga hasil akhirnya. Buku seri ketiga1 ini mengurai regulasi bernuansa agama yang muncul di wilayah Jawa, yakni Banjar, Tasikmalaya, Cianjur (Provinsi Jawa Barat), Surakarta (Provinsi Jawa Tengah), Yogyakarta (Provinsi DI Yogyakarta), Pasuruan, dan Jombang (Provinsi Jawa Timur). Meski hanya wilayah Jawa, uraian buku ini mampu meng gambarkan peta dinamika politik kontemporer Indonesia paskareformasi, khususnya paska penerapan otonomi daerah. Paska kejatuhan rezim orde baru yang sentralistis, mayoritas bersepakat tentang pentingnya penerapan desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. Alih-alih semakin mempercepat terwujudnya proses demokratisasi di Indonesia, kebijakan otonomi daerah sampai pada tingkat tertentu ternyata juga memiliki dampak ikutan, termasuk “desentralisasi korupsi” atau “praktek money politic”. Tidak hanya itu, dalam bidang sosial-keagamaan misalnya, kebijakan otonomi daerah mengalami pembajakan oleh “kaum Islamis” me-
1 Lihat buku seri Agama dan Konflik I dan II dalam Ahmad Suaedy, dkk, Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia serta Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007/2009).
1
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
lalui tuntutan formalisasi syariat Islam ke dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.2 Beruntungnya, tuntutan kaum Islamis untuk amandemen Pembukaan UUD 1945, khususnya Pasal 29 dalam beberapa kali Sidang Umum MPR selalu mengalami kegagalan.3 Dalam konteks politik, demokrasi menjamin setiap orang untuk menyalurkan aspirasinya secara bebas, tanpa tekanan, termasuk mengusulkan “negara Islam” atau “formalisasi syariat Islam dalam negara”, asalkan dilakukan melalui jalur konstitusional dan prosedur demokratis.4 Dalam demokrasi, bahkan kaum anti-demokrasi sekalipun harus tetap mendapat jaminan keamanan dan perlindu Amien Rais, “Islam dan Negara di Indonesia: Mencari Akhir Pencarian”, kata pengantar dalam buku Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi..., hlm. xv. Pada tanggal 21 Agustus 2008, rombongan FUI menemui Ketua MPR, Hidayat Nurwahid di Jakarta. Mereka meminta MPR mengamandemen kembali UUD 1945 dengan memasukkan Islam sebagai agama resmi dalam pasal yang mengatur ideologi negara. Amandemen itu sekaligus menjadi bentuk pengakuan konstitusi terhadap Islam sebagai agama mayoritas. Baca “FUI Minta Islam Jadi Agama Resmi di UUD 1945”, dalam http://www.mpr.go.id/pimpinan1/?p=337, diakses 20 September 2008. Dengan mengutip pendapat Pierce, Shalahuddin Wahid menjelaskan bahwa relasi agama dan negara dalam kaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam oleh negara dapat dibedakan dalam lima tingkatan penerapan. Pertama, masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, dan kewarisan. Kedua, urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat. Ketiga, praktik ritual keagamaan, seperti mengenakan jilbab dan sanksi bagi yang tidak puasa. Keempat, penerapan hukum pidana Islam, terutama berkaitan dengan jenis sanksi yang dijatuhkan pada pelanggar. Kelima, penggunaan Islam sebagai dasar negara dan sistem kenegaraan. Baca koran KOMPAS, edisi 7 April 2002. 3 Desakan kalimat “…dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” untuk menggantikan Pasal 29 UUD 1945 disampaikan pada SU MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002 dalam paket Amandemen UUD 1945. Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 akhirnya memutuskan Teks Pembukaan tetap sebagaimana adanya. Dibandingkan dengan Sidang Konstituante 1959, pendukung Piagam Jakarta berkurang drastis, dari 201 suara (43.1%) pada 1959, hanya menjadi 84 suara (12%) pada 2000. Sebaliknya, penolak Piagam Jakarta semakin besar, dari 265 suara (56.9%) pada tahun 1959 menjadi 611 suara (87.9%) pada 2000. Umar Basalim, Pro-Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi..., hal. 259-260. Bandingkan Tim Lindsey, “Indonesian Constitutional Reform: Muddling Towards Democracy,” dalam Singapore Journal of International & Comparative Law 6 (2002), hal. 246, 250, dan 269-27; dan Nadirsyah Hosen, Shari’a & Constitutional Reform in Indonesia (Singapore: Iseas, 2007), hal. 188-215. Penjelasan mendalam tentang gagasan dan proses amandemen UUD 1945 dalam Sidang Umum MPR 1999 dapat dibaca dalam Slamet Effendy Yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945 (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000). 4 Baca “Demokrasi, Alat Perjuangan Syari’ah?”, wawancara dengan Muhammad Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dalam http://hizbuttahrir.or.id/2009/03/26/demokrasi-alat-perjuangan-syariah/. 2
2
Prolog
ngan atas aspirasi politiknya. Padahal, apabila kaum anti-demokrasi berkuasa, mereka tidak segan-segan member label musuh dan “haram” terhadap praktek demokrasi. Lebih lanjut, mereka akan menelikung demokrasi demi kepentingan anti-demokrasi; mengikuti dan menggunakan prosedur demokrasi untuk selanjutnya mengakhiri dan melarangnya. Meski tidak bisa digeneralisasi, karena faktor kesejarahan dan konfigurasi politik lokal yang berbeda, tetapi —sebagaimana uraian buku ini— sutradara, penulis skenario, dan aktor utama tuntutan formalisasi syariat ini dalam skala nasional tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya dalam lakon pembantu dan penggembira. Dalam beberapa kasus, malah skenarionya sama, karena mereka melakukan plagiarisme sempurna (perfect plagiarism) melalui —apa yang disebut— studi banding. Isu gerakan ini seragam, yakni tuntutan penerapan syariat Islam dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Mayoritas Paranoid” Seandainya diminta memberikan satu kata atau frase sebagai simpulan, saya akan menawarkan beberapa label yang patut dipertimbangkan, yakni “anomali demokrasi”, “mayoritas paranoid”, atau “negara sub-agama”. Inilah frase yang hadir dalam benak saat membaca hasil penelitian terhadap pemberlakuan regulasi bernuansa agama ini, sebagai sebuah “perda diskriminatif”; meminjam istilah Komnas Perempuan.5 Label “mayoritas paranoid” merujuk pada sikap kelompok Islam pro regulasi bernuansa agama yang terkesan tidak percaya diri dengan jumlahnya yang mayoritas, dan keyakinan agamanya sen diri yang (semestinya) bisa tegak tanpa legitimasi politik negara dan sokongan penguasa. Sikap ini terlihat dari syak wasangka mereka terhadap praktek ajaran mayoritas selama ini. Alih-alih bersikap independen dalam praktek beragama, me reka justru pesimis atas daya ajaran sendiri yang sebenarnya mampu tegak tanpa intervensi kuasa negara. Mereka menganggap, menelikung agama melalui kuasa politik merupakan cara aman untuk Baca Laporan Penelitian PKHN Komnas Perempuan berjudul “Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia”, Juli 2009. 5
3
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
menegakkan syariat Islam. Atas nama agama, struktur kebangsaan dan kenegaraan dilanggar serta praktek diskriminasi dan kekerasan dihalalkan. Secara tidak langsung, pertelikungan agamawan dan elit-politik untuk menegakkan syariat Islam mencerminkan tiga hal. Pertama, merendahkan ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam seolah tidak dapat dijalankan umat Islam tanpa dukungan otoritas politik. Kedua, merendahkan kaum muslimin. Seolah kaum muslimin tidak akan taat menjalankan agamanya, kecuali harus dengan paksaan penguasa. Ketiga, mereduksi hukum agama —yang digali dari wahyu Tuhan— di bawah hukum politik manusia. Seolah keberadaan hukum agama tidak akan kuat tanpa legitimasi penguasa melalui keputusan hukum. Padahal secara teoritik, hukum adalah sekumpulan norma dan perangkat hasil kompromi sesuai kepentingan politik, ekonomi, dan ideologis para pembuat hukum. Ketidakpercayaan dan ketidak-pede-an ini berlanjut dengan sikap paranoid, yakni perasaan takut yang berlebih pada agama atau kelompok lain yang mereka anggap membahayakan diri, umat, kuasa, dan kepentingannya. Manifestasi dari sikap paranoid ini adalah melarang, menghalangi, menutup, menyegel, atau bahkan merusak tempat ibadah agama lain. Kepada pihak lain yang memiliki keyakinan berbeda —dengan menggunakan kuasa fatwa—mere ka menuduh kelompok lain sebagai aliran sesat atau terlarang. Akal sehat dan inti ajaran agama yang rahmatan lil ‘âlamîn, pro-kedamaian, keadilan, dan kemanusiaan lalu tertutupi (mahjûb) demi semangat mempertahankan diri yang berlebihan ini.
Agama Menegara Sikap dan tindakan yang memaksakan penerapan syariat Islam ke dalam system konstitusi negara menunjukkan bahwa mereka mendorong Islam masuk ke dalam tubuh negara dan terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum negara. Artinya, tidak sekadar warga bangsa yang harus bernegara, tetapi agama pun —dalam sikap mere ka— harus dinegarakan. Dalam kerangka ini, agama yang bersumber dari wahyu Tuhan harus dirumuskan, dikonsepkan, ditentukan, dan dipaksakan pelaksanaannya melalui surat edaran, surat keputusan bupati/gubernur atau perda. Inilah perkembangan sosial-politik-
4
Prolog
keagamaan paling mutakhir, khususnya paska kebijakan otonomidaerah, yang disebut buku ini sebagai anomali. Anomali-anomali politik ini secara detil diurai dengan baik dalam buku ini. Melalui buku ini, kita segera memahami bahwa anomali itu tidak memiliki landasan teologis yang jelas, tetapi lebih banyak bermotif pragmatisme politik yang didesain para penguasa daerah lokal. Pendekatan sosial politik untuk membaca anomali formalisasi syariat Islam atau legislasi perda bernuansa agama ini sangat tepat. Pendekatan teologis tidak mampu menjelaskan gejala ini, sebab memang bukan ranah teologis, melainkan murni bermodus operandi politik. Geliat para elit-politik local di balik lahirnya regulasi bernuansa agama ini adalah indikator kuatnya “politisasi agama” atau “agamanisasi politik”. Tentu saja, hal ini sangat tergantung dari mana arah formalisasi syariat Islam ini kita bidik.
Mengapa Anomali? Sedari awal, konstitusi negara Pancasila ini menjamin dan membebaskan seluruh warganya untuk menjalankan dan mengamal kan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tak terkecuali juga agama Islam. Pernyataan ini jelas secara definitif (qath’i) dijamin dalam sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945. Umat Islam dalam pengalaman sejarah Indonesia tidak saja memperoleh jaminan dan perlindungan kebebasan, melainkan juga telah menjalankan dan mengamalkan syariat Islam secara memadai. Selain kegiatan-kegiatan ritual yang umum dilakukan setiap pemeluk Islam, sejumlah undang-undang dan regulasi yang bertendensi ke arah syariat Islam juga telah diterbitkan, baik pada masa pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, maupun Susilo Bambang Yudoyono dewasa ini.6 Sekadar menyebut contoh untuk beberapa undang-undang 6 Seperti dikatakan Sholahuddin Wahid “….fakta itu menunjukkan bahwa tanpa Piagam Jakarta, kita sudah bisa mewujudkan peraturan perundang-undangan yang memberi akomodasi bagi ketentuan syariat Islam. Karena itu, perjuangan Piagam Jakarta belakangan tidak lebih sebagai upaya “formalisasi Islam” ke dalam negara, bukan untuk “memberlakukan syariat Islam”, Kompas (7/04/2002).
5
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
yang mengakomodasi syariat Islam adalah: a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; b) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan; c) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Juncto UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; d) UU No. 7 Tahun 1992 Juncto UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Perbankan Syariat; d) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam; e) UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji; f) UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat; g) UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan lain-lain. Itu semua —meski melalui negosiasi politik dan perdebatan yang alot— berjalan seperti sewajarnya, tidak menimbulkan gejolak politik yang pelik seperti sekarang. Baik kalangan muslim yang sekarang menolak gerakan syariat Islam maupun kalangan nonmuslim yang banyak diam, semuanya menerima segala peraturan perundang-undangan tersebut dan tidak melancarkan aksi perlawanan yang berarti. Justru konsistensi umat Islam sendiri perlu dipertanyakan dalam menjalankan dan menjabarkan aturan perundang-undang an tersebut. Tidak sedikit dari peluang-peluang hukum yang telah dilegislasikan itu belum dapat dioperasikan secara optimal. Sebut saja misalnya zakat dan haji yang memiliki potensi ekonomi luar biasa; sejauhmana pelaksanaan zakat dan haji sesuai dengan undang-undang yang ada dan seberapa jauh penerapan ajaran ini bermanfaat bagi kemaslahatan bangsa, adalah pertanyaan yang belum terjawab dalam kenyataan. Kontroversi segera muncul ke public, ketika sejumlah kelompok kepentingan (politik) umat Islam mengangkat kembali isu “Piagam Jakarta” untuk dicantumkan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 dalam agenda Amandemen Pasal 29. Tak berhenti di situ, di berba gai daerah, muncul isu “pemberlakuan” syariat Islam melalui legislasi, yakni memformalkan syariat Islam ke dalam undang-undang, peraturan paerah, atau surat keputusan/edaran bupati/gubernur. Dengan demikian, pangkal masalahnya bukan soal “pemberla kuan”, “penerapan” atau “pelaksanaan”, melainkan upaya “formali sasi” dan “politisasi” syariat Islam ke dalam tubuh negara. Dalam pengertian lain, bisa disebut dengan “politisasi syariat Islam”, karena menjadikan syariat Islam sebagai bagian dari kendaraan politik menuju panggung kekuasaan.
6
Prolog
Di antara daerah yang menggelorakan pemberlakuan formalisasi syariat Islam adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sebagai satu-satunya daerah yang telah memiliki kepastian dan kekuatan hukum. Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam7 (UU NAD) yang memperkuat UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh8 adalah dasar hukum yang absah untuk melaksanakan dan memformalkan syariat Islam di bumi rencong ini. Di daerah lain seperti Banten, Riau, Gorontalo, Sumatera Barat, Makasar, Ternate, Palembang, Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, Banjar, Surakarta, Yogyakarta, dan Serang, formalisasi syariat Islam masih dalam bentuk peraturan daerah, surat edaran, surat ke putusan atau rancangan peraturan daerah. Semua itu masih kontroversial, baik di tingkat lokal maupun nasional, bahkan di beberapa tempat sedang diajukan judicial review atau executive review.
Absennya Komitmen Negara Membaca anomali-anomali ini sungguh mengaburkan arah reformasi. Agenda “reformasi” dibelokkan para politisi dan pemegang kuasa secara tidak bertanggungjawab. Bangunan demokratisasi yang kita cita-citakan (visioned democracy) kini hampir lenyap dari ingatan kolektif bangsa yang —meminjam Istilah M. Imam Azis9— tak kenal cara memaafkan. Ini ditandai dengan absennya sensitivitas kelompok agamaformal dalam mengekspresikan aspirasi politik keagamaan di ruang publik (public sphere). Trend ini juga ditandai dengan menjamurnya partai politik atas nama agama dan kelompok-kelompok kepenting an berbaju agama, mulai dari pentas nasional hingga ke daerahdaerah. Formalisasi syariat Islam atau legislasi regulasi bernuansa Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134. 8 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893. 9 Pengantar penerbit pada buku Dari Gontor ke Pulau Buru: Memoar H. Achmadi Moestahal, (Yogyakarta: Syarikat, April 2002), h. vi. 7
7
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
agama adalah buntut dari labirin alur gerakan revivalisasi kekuatan agama formal yang berlaga di panggung politik. Gerakan ini dianggap sebagai arus balik, karena ia bertendensi ke arah terbentuknya “negara Islam” yang bercorak teokratik,10 sesuatu yang sa ngat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dan UUD 1945. Ini tentu saja mengkhawatirkan kalangan pro-demokrasi dalam proses transisi menuju demokrasi. Meski dugaan ini terus dibantah, tetapi logika itu lazim berlaku di beberapa negara Islam di belahan dunia. Memang ganjil, ketika semua orang berbicara demokrasi dan pluralisme, terutama dalam konteks pemantapan otonomi daerah, sebagian dari kelompok kepentingan umat Islam bersama beberapa politisi di legislatif dan eksekutif di daerah malah ribut soal formalisasi “syariat Islam”. Apabila betul tujuan akhir gerakan ini adalah perubahan dasar negara untuk menjadi “negara Islam”, jelaslah gerakan itu melanggar konsensus nasional sejarah berdirinya negara Pancasila. Ironisnya, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, ketua MPR, ketua DPR, ketua DPD, dan ketua Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal Pancasila dan Konstitusi UUD 1945, tidak 10 Semenjak berdirinya negara ini, sekelompok politisi Islam di Indonesia tak henti-hentinya mendesakkan perjuangan dikembalikannya Piagam Jakarta. Dalam catatan sejarah bangsa, sudah empat kali perdebatan alot dan sengit mengenai kembalinya Piagam Jakarta terjadi, yakni: 1) masa sidang BPUPKI-PPKI tahun 1945; 2) masa sidang Majelis Konstituante 1956-1959; 3) masa sidang MPRS tahun 1966-1968. Hal serupa terulang lagi, meski tidak sealot peristiwa sebelumnya, yakni 4) pada Sidang Tahunan MPR tanggal 7-18 Agustus 2000, dan Sidang Tahunan MPR tanggal 1-10 Agustus 2002. Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) dan Fraksi Bulan Bintang (FBB) dalam rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang bertugas menyiapkan Amandemen UUD 1945 mengusulkan pencantuman kembali “tujuh kata” yang hilang dari Piagam Jakarta ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 pasal 29. Dari keempat peristiwa bersejarah itu, politisi Islam mengalami kegagalan dalam memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Karena itu, di tengah bergulirnya amandemen UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR mendatang, politisi Islam diduga kuat akan tetap memperjuangkan pencantuman Piagam Jakarta sebagai jaminan tegaknya formalisasi syariat Islam di Indonesia. Sebab, dalam butir Piagam Jakarta sangat jelas berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Praktis, apabila Piagam Jakarta dikembalikan dalam UUD 1945, syariat Islam menjadi hukum positif bagi umat Islam tanpa terkecuali. Itulah barangkali salah satu orientasi dan cita-cita perjuangan sekelompok politisi dan kelompok kepentingan Islam yang pro formalisasi syariat Islam. Lebih dari itu, pada suatu saat nanti mereka mengangankan berdirinya sebuah Negara Islam Indonesia (NII) yang dikuasai sekelompok umat Islam.
8
Prolog
mengambil langkah-langkah konstitusional secara cerdas dan cemerlang untuk mengakhiri gerakan inkonstitusional ini. Padahal, sebagaimana terungkap dalam buku ini, agenda ini juga digerakkan sebagian kalangan pemerintah, legislatif, dan politisi yang setiap bulannya memperoleh uang dari negara. Dengan demikian, nasionalisme para penyelenggara negara dan pemerintahan patut dipertanyakan kembali. Komitmen mereka terhadap Negara Pancasila dan kebhinnekaan juga perlu diperdebatkan ulang. Seharusnya merekalah penjaga dan pengawal Pancasila dan kebhinekaan dalam seluruh tatanan kebangsaan ini, bukan malah “bermain politik akrobatik” dengan kelompok Islamis untuk menggolkan kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek.
Agenda Ke Depan Penyajian buku ini menyadarkan kita bahwa negara ini te ngah mengalami pengikisan nasionalisme secara sistemik, baik dari dalam maupun dari luar, baik di daerah maupun di pusat. Absennya sikap dan komitmen petinggi negara ini untuk menegakkan pluralisme dan demokrasi, sebagai inti dari negara Pancasila dan UUD 1945, adalah bukti yang sulit dibantah. Politik kepentingan (kekuasaan) masih menjadi panglima dalam mengemudikan negara Pancasila. Dinamika politik lokal tentang formalisasi syariat Islam atau legislasi perda bernuansa agama tidak bisa dianggap remeh. Gerakan ini meski secara kuantitatif, dari tahun ke tahun, telah mengalami penurunan signifikan, tetapi sejarah Indonesia membuktikan keter ulangan agenda ini dari satu periode ke periode berikutnya. Internalisasi semangat nasionalisme Pancasila, keindonesiaan yang berbhineka tunggal ika, dan kemanusiaan yang adil dan ber adab kepada seluruh elemen anak bangsa secara sistematis kiranya mutlak diperlukan. Tidak saja kepada warga negara, tetapi justru mendesak kepada para petinggi negara dan petinggi pemerintahan, baik di daerah maupun di pusat. Agenda ini terkesan klasik —karena mengingatkan kembali arwah rezim orde baru— tetapi ini sungguhsungguh agenda yang sangat serius dan mendesak bagi kelangsu ngan negara-bangsa Indonesia. Apabila tidak segera memperoleh perhatian yang total, terutama dari petinggi negara ini, saya kuatir
9
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
pengikisan ini terus meluas dan pada saatnya akan terjadi longsor kebangsaan di mana-mana. Pendidikan adalah salah satu lembaga yang sangat strategis untuk penanaman nilai-nilai kebangsaan, pluralisme, demokrasi, dan kemanusiaan. Ini bisa dilakukan sejak pendidikan dini usia hingga pendidikan tinggi, bahkan dalam seleksi rekruitmen menjadi pegawai negara. Selain pendidikan, yang tak kalah pentingnya dan mendesak dilakukan adalah mengevaluasi secara total dan merekonstruksi sistem hukum nasional kita, termasuk undang-undang, peraturan daerah, surat keputusan, dan surat edaran, yang jelas-jelas berpotensi menciptakan diskriminasi, kekerasan, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Mekanisme hukum dan politik perlu didayagunakan secara revolusioner untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang berkeadilan, setara, berkemanusiaan, dan berkeindonesiaan. Mencermati aktor di balik gerakan formalisasi syariat Islam ini pada umumnya adalah Islam eksklusif, anti-pluralisme, dan antinegara Pancasila, maka penguatan pemahaman Islam yang rahma tan lil ‘alamin, pluralis, toleran, humanis, setara dan adil gender, serta bernuansa keindonesiaan juga menjadi sangat penting diagen dakan. Pribumisasi Islam —agenda besar Gus Dur— dapat menjadi ti tik masuk pengembangan dan penguatan pemahaman Islam tersebut. Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada para penulis buku ini yang telah berhasil menyajikan hasil penelitiannya secara cermat dan detil. Buku ini sangat penting dibaca sebagai pengayaan sosiologi politik kontemporer Indonesia. Kita akan banyak memperoleh penjelasan tentang pergulatan agama, demokrasi, dan politik kekuasaan pasca-pemberlakuan otonomi daerah. Cirebon, 30 Mei 2011. Marzuki Wahid
Direktur Fahmina Institute, Deputy Rektor ISIF Cirebon, Wakil Ketua PP Lakpesdam NU Jakarta.
10
BAB I DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
11
12
BagianI
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi: Survey Singkat dari Berbagai Daerah Oleh: Rumadi, dkk1
Pendahuluan
S
etelah gerbang demokratisasi dan desentralisasi terbuka lebar, berbagai anomali bermunculan di Indonesia. Lahirnya regulasi-regulasi bernuansa agama2 di beberapa provinsi adalah beberapa contoh anomali tersebut. Robin L. Bush (2007) mencatat, setidaknya terbit sekitar 78 perda bernuansa agama yang tersebar di 52 kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk surat edaran, surat keputusan gubernur, bupati 1 Bagian ini disusun tim peneliti dari berbagai daerah, antara lain: Ahmad Suaedy, Anas Saidi, Asrori S. Karni, Amin Mudzakkir, Ahmad Zainul Hamdi, Akhol Firdaus, Nurkhalik Ridwan, Anas Aijuddin, Endin Lidinillah, Atang Setiawan, dan Suhendi. 2 Perda bernuansa agama juga kerap disebut perda syariat. Kami sengaja tidak menggunakan istilah perda syariat, namun cenderung menggunakan istilah perda bernuansa agama. Pilihan istilah ini untuk menghindari perdebatan, meskipun perda-perda yang diteliti sama sekali tidak memuat kata syariat, namun nuansa keaga maan dengan berbagai manifestasinya termasuk isu moralitas, ritual keagamaan dan sebagainya, sangat tampak jelas. Karena itu, penggunaan perda bernuansa agama terasa lebih netral. Dengan demikian, maksud dari perda bernuansa agama adalah perda-perda yang diinspirasi ajaran-ajaran agama (Islam) atau terkait de ngan tafsir kelompok Islam tertentu dan diberi label keislaman formal.
13
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
dan walikota maupun draf perda yang belum diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Secara umum, muatan atau isi dari regulasi-regulasi bernuan sa agama itu dapat dipilah menjadi beberapa kategori: 1) mengatur ketertiban sosial, seperti larangan pelacuran, minuman keras, perzinaan, dan khalwat antara lelaki dan perempuan bukan mahram di tempat sepi; 2) mengatur kualitas keimanan dan ketakwaan, termasuk kewajiban mendirikan shalat bagi anak sekolah dan calon pengantin; 3) mengatur tata cara berpakaian, semisal keharusan berjilbab dan berbaju koko bagi pegawai negeri sipil; 4) mengatur ketrampilan beragama seperti keahlian baca-tulis al-Quran dan bebas buta aksara Arab; 5) mengatur mobilisasi ekonomi termasuk keharusan zakat, shadaqah, dan infak; 6) mengatur ketentuan hukum pidana, termasuk cambuk bagi pemabuk, potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pelaku zina. Merebaknya regulasi bernuansa agama di beberapa provinsi menyita perhatian banyak kalangan, mengingat dampak negatif atau mungkin positifnya, terhadap arah demokrasi di Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Sejauh ini, regulasiregulasi bernuansa agama mengandung problematika kronis, antara lain: pertama, proses formulasi regulasi-regulasi tersebut seringkali tidak memenuhi ketentuan standar pembuatan undang-undang, sebagaimana diatur UU No. 10 tahun 2004 perihal prosedur pembuatan perundang-undangan. Hal ini bisa dibuktikan dengan minim nya konsultasi publik (public concultation) sejak dalam proses perumusan perda-perda tersebut. Kalaupun ada, konsultasi publik hanya sekedar klaim segelintir elit politik yang punya kepentingan pragmatis. Kedua, regulasi-regulasi bernuansa agama itu juga menyalahi UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menetapkan, persoalan agama tidak masuk dalam kategori persoalan yang diotonomikan. Karena itu, pemerintah daerah tidak seharusnya mengatur persoalan-persoalan yang terkait dengan agama. Ketiga, regulasi-regulasi bernuansa agama itu, dalam beberapa hal mengancam Hak Asasi Manusia (HAM), seperti hak kebebasan beragama atau berkeyakinan serta hak kebebasan berekspresi. Keempat, regulasi-regulasi bernuansa agama itu juga turut berperan aktif mendiskreditkan perempuan dan bahkan membatasi
14
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
mereka tampil di muka publik. Karena ada regulasi pelarangan pelacuran di Kota Tangerang (Perda No. 8 tahun 2005) misalnya, seke lompok perempuan yang biasa bekerja malam hari ketakutan, dan bahkan sebagian di antara mereka ditangkap trantib dengan tuduhan berprofesi pelacur. Kejadian asal tangkap dan asal tuduh ini jelas menghinakan kehormatan perempuan. Tindakan diskriminatif seperti ini adalah salah satu dampak negatif dari regulasi-regulasi bernuansa agama yang memang masih menyisakan berbagai problem mendasar. Kehadiran regulasi-regulasi bernuansa agama dikuatirkan ba nyak kalangan akan menyuburkan benih-benih penegakan Darul Islam Indonesia atau Negara Islam Indonesia (DII/NII) yang bercitacita mengganti dasar negara Pancasila dan UUD 1945 dengan sya riat Islam. Berbagai spekulasi muncul, kelompok pengusung Negara Islam sedang bergerilya di pinggiran kota melalui regulasi-regulasi bernuansa agama untuk kemudian mengepung negara ini. Namun, di sisi lain, terdapat beberapa faktor obyektif yang mempengaruhi tumbuh suburnya regulasi-regulasi tersebut, antara lain: pertama, latar historis suatu daerah, terutama daerah-daerah bekas ideologisasi DII/TII. Kedua, kepentingan pribadi seorang kepala daerah atau kepentingan politik elit tertentu, misalnya untuk menutupi kasus korupsi yang dilakukan seorang kepala daerah. Ketiga, pragmatisme politik, seperti ketika seorang kepala daerah atau politisi tertentu hendak mencalonkan diri, ia perlu menawarkan isu yang bisa menarik simpati para pemilih. Dan keempat, ketidakmampuan para politisi daerah untuk menemukan solusi terbaik yang bisa memberikan dampak positif terhadap masyarakat seperti pertanian dan problem kemiskinan pada umumnya.3 Jika pertumbuhan regulasi bernuansa agama ini terus meningkat dan kian menjamur, sedangkan tidak ada upaya untuk memangkasnya, tidak mustahil akan mematikan masa depan demokrasi di negeri ini. Atas dasar inilah, tim peneliti sangat berminat mengetahui lebih dalam regulasi-regulasi bernuansa agama tersebut. Secara umum, penelitian ini dilakukan di tiga provinsi: Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Secara sepesifik, penelitian Robin L. Bush, 2007, “Regional Shari’ah Regulation in Indonesia: Anomaly or Symptom?” Makalah dipresentasikan pada Forum Indonesian Update, September 2007 di Australian National University (ANU), Canberra (tidak diterbitkan). 3
15
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
mengambil 7 kabupaten atau kotamadya dalam lingkup provinsi di atas yang menjadi tumbuh suburnya perda bernuansa agama, meliputi: Banjarnegara, Tasikmalaya, Cianjur, Surakarta, Yogyakarta, Pasuruan dan Jombang. Penelitian terhadap perda-perda bernuansa agama di beberapa povinsi dan kabupaten ini memiliki beberapa tujuan utama, yakni: a) mengidentifikasi muatan, bentuk, sebaran daerah dan implikasi nya, berdasarkan tabulasi kasus secara terperinci; b) menggali motif di balik regulasi-regulasi bernuansa agama tersebut, sekaligus me lacak aktor-aktor “kuasa” dibaliknya. Penelitian ini mengkaji ber bagai pendapat dan perspektif yang bersumber dari para pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, baik di pusat maupun daerah, mengenai lahirnya perda-perda bernuansa agama tersebut; mewawancarai tokoh-tokoh agama, pemuka adat dan tokoh informal yang lain; c) mengkaji sejauhmana penerapan regulasi-regulasi bernuansa agama tersebut di tengah-tengah masyarakat; d) mendemonstrasikan secara spesifik dampak positif dan negatif regulasi-regulasi bernuansa agama tersebut terhadap kelompok agama, perempuan atau laki-laki, anak-anak, pekerja, tradisi atau budaya; e) menganalisa respon berbagai elemen masyarakat terhadap regulasi-regulasi bernuansa agama tersebut.
Kerangka Teoritik Munculnya perda beruansa agama di berbagai daerah dapat dilihat sebagai gerakan sosial-keagamaan yang di dalamnya me ngandung beberapa aspek, yakni: 1) aktor atau pelaku yang menggerakkan dan pengikut yang mendukung gagasan aktor utama; 2) pandangan dunia (world view) atau sistem nilai yang mencakup keyakinan teologis, paham ideologis, simbol-simbol, serta cita-cita yang mendasarinya; 3) proses faktual sebagai dasar sosial keagama an yang mendorong kelahiran, pertumbuhan, dinamika, kontinuitas dan diskontinuitasnya; 4) konteks sosial budaya meliputi tindakan dan reaksi yang dihadapi para pendukungnya.4 Secara umum, gerakan sosial-keagamaan biasanya mengambil James A. Beckford, Social Theory and Religion (United Kingdom: Cambridge University Press, 2003). Lihat juga, Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP, 2007). 4
16
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
beberapa model, antara lain: 1) gerakan transformatif (transformative movement) dan gerakan revolusioner (revolutionary movement), yang keduanya bertujuan melakukan perubahan struktur kehidupan masyarakat yang dipandang krisis secara total; 2) gerakan reforma tif (reformative movement) yang bertujuan merubah aspek-aspek tertentu dari kehidupan masyarakat; 3) gerakan penyelamatan (redemptive movement) yang lazim terjadi dalam lingkup aliran atau sekte keagamaan menuju keselamatan paripurna; serta 4) gerakan alternatif (alternative movement), sebagai kebalikan dari gerakan penyelamatan yang bertujuan merubah sebagian kecil aspek kehi dupan individu anggotanya.5 Di samping itu, lahirnya perda bernuansa agama di berbagai daerah tidak terlepas dari teori tentang relasi agama dan negara. Da lam konteks ini, setidaknya ada tiga teori yang berkembang dalam dikursus politik Islam. Pertama, teori integralistik (integralistic theory). Asumsi dasar teori ini, Islam merupakan wahyu paripurna yang dibawa para nabi, sejak Adam as hingga Muhammad Saw yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak diatur Islam. Karena itu, Islam wajib diyakini dan diamalkan secara kaffah, tidak boleh setengahsetengah. Berangkat dari asumsi dasar ini, hukum ketatanegaraan Islam dan politik adalah satu. Paham integralistik inilah yang menjadi dasar kekuasaan teokrasi (theocratic power). Kedua, teori sekularistik (secularistic theory). Teori ini ber asumsi, antara agama dan negara adalah dua hal yang terpisah, karena agama dan negara mempunyai logikanya sendiri. Agama yang diyakini berasal dari wahyu yang kebenarannya absolut, sedangkan negara adalah produk sejarah kemanusiaan yang bersifat relatif. Agama menuntut kepasrahan secara mutlak dan total, sedangkan negara adalah ranah yang menuntut rasionalitas. Agama adalah wilayah privat yang mengatur hubungan individu dengan Tuhan, sementara negara adalah wilayah publik yang harus diperdebatkan. Karena keduanya memiliki karakter dan sifat yang berbeda, agama dan negara harus dipisahkan, sebab jika digabung akan terjadi “agamanisasi politik” atau “politisasi agama”. Ketiga, teori interseksi (intersection theory). Teori ini berfungsi Anthony Giddens, New Rules of Sociological Method (California: Stanford University Press, 1993). 5
17
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
untuk menengahi binaritas dua teori sebelumnya. Paham ini ber asumsi, antara agama dan negara tidak bisa dipisahkan secara mutlak dan tidak bisa disatukan secara mutlak. Selalu ada kemungkinan untuk mengintegrasikan beberapa aspek-aspek dari nilai agama ke dalam dasar negara, terutama nilai-nilai universal yang dibawa Islam. Akan tetapi, meski secara teoritik benar, namun dalam praktiknya, paham interseksionis ini juga akan terjebak pada upaya penyatuan agama dan negara. Hal ini bisa dilihat dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia, dimana hukum Islam yang ditransformasikan ke dalam hukum negara adalah hukum yang belum mengalami proses obyektifikasi. Akibatnya, cita rasa hukum Islam dalam hukum publik masih sangat terasa, sehingga komunitas lain yang secara doktrinal tidak terikat dengan hukum itu, bukan saja tidak merasa memiliki, tetapi juga merasa dipaksa untuk mengikuti hukum agama lain yang secara keagamaan dia tidak terikat. Sampai di sini, teori tentang “ruang” (sphere) layak diperbincangkan. Wacana tentang ruang public dan private senantiasa mewarnai diskusi tentang relasi agama dan negara. Dua ruang tersebut selalu mengandaikan sebuah ketegangan. Dalam konteks ini, selalu muncul adagium terkenal “agama adalah urusan privat dan negara adalah urusan publik”. Negara yang bergerak dalam wilayah publik tidak boleh memaksa dan mengintervensi privasi masyarakat, termasuk memaksa untuk taat atau tidak taat kepada agamanya. Betapapun sederhana, pernyataan ini memang benar, meski masih membutuhkan penjelasan dan elaborasi agar tidak terjebak pada simplifikasi. Dalam bingkai inilah, pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah apa yang dimaksud dengan “ruang privat” (private sphere) dan “ruang publik” (public sphere) tersebut. “Ruang publik” adalah ruang dimana setiap orang tanpa melihat agama, suku, ras maupun golongan dapat melakukan kontestasi secara bebas dan fair. Kata kunci dari ruang publik adalah kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat dalam kontestasi tersebut. Dengan demikian, dalam konteks politis, ruang publik dapat dipahami sebagai ruang untuk warga negara, yakni individu bukan sebagai anggota ras, agama atau etnis, tetapi sebagai anggota politis atau rakyat (demos). Ruang publik bukanlah institusi atau organisasi, tetapi lebih, mengutip terminologi Habermas, sebagai jaringan yang amat kompleks untuk mengkomunikasi
18
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
gagasan, opini dan aspirasi. Setiap komunitas dimana di dalamnya dibahas norma-norma publik, secara otomatis akan menghasilkan ruang publik. Karena itu, dalam negara demokratis, banyak terdapat ruang publik. Dalam konteks ini, makna ruang publik bisa kabur, penuh kompetisi, bahkan anarkhis, meskipun hal itu tidak berarti tanpa aturan. Dengan demikian, terma “publik” sendiri meniscayakan pemilahan tema-tema dan alasan-alasan rasional dalam masyarakat. Sedangkan “ruang privat” adalah ruang dimana seseorang bisa hidup dalam dirinya sendiri, tanpa campur tangan pihak lain. Inilah ruang independen, dimana orang bisa secara bebas melakukan pilihan-pilihan, atau juga tidak memilih atas segala sesuatu. Dalam ruang tersebut, seorang individu memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan menyempurnakan dirinya di luar campur tangan institusi luar. Sebagai akibat pemisahan agama dan negara, agama mendapatkan locus-nya di ruang privat. Terminologi privat di sini dimaknai dalam bingkai nilai-nilai moral dan religius. Konsep-konsep seperti makna hidup, keyakinan religius, pandangan hidup, kesempurnaan hidup dan sebagainya merupakan wilayah yang harus dikembalikan kepada individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Situasi ini akan melahirkan kesadaran akan hakhak privat individu (individual private rights) dan hak milik pribadi (property rights) yang akan bermuara pada ekonomi pasar bebas, dimana negara dilarang mengintervensi kebebasan berusaha warga nya. Dalam perkembangannya, konsep ruang privat juga mengacu pada “ruang intim” (intimate room) yang mencakup wilayah rumah tangga, pemenuhan kebutuhan dasar, reproduksi, dan seksualitas. Negara sebagai institusi politik yang berada di wilayah publik seharusnya mampu menjadi pengawal independensi masing-ma sing. Dalam konteks ini, negara berfungsi untuk mempublikkan yang publik, dan memprivatkan yang privat. Negara diktator muncul karena adanya ekspansi ruang privat ke ruang publik, pasalnya ruang publik dalam rezim diktator selalu tereliminasi. Jika hal ini terjadi, akan terjadi privatisasi negara. Negara yang seharusnya milik semua orang berubah menjadi milik sekelompok orang yang dengan kekuasaannya bisa berbuat apa saja. Kebutuhan untuk memisahkan dua ruang tersebut, publik dan privat, penting dilakukan mengingat keniscayaan proses sekularisasi dalam kehidupan politik, agar tidak terjadi tumpang tindih antara
19
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
fungsi agama dan negara. Hal ini untuk menghindari proses “agamanisasi politik” atau “politisasi agama”, sekaligus untuk mewujud kan kekuasaan demokratis dan toleransi hidup beragama. Dalam masyarakat pra-modern, dimana agama merupakan institusi total yang belum terdiferensiasi, seluruh aspek kehidupan politik, ekonomi dan budaya hanya dirajut dengan agama. Akibatnya, masyarakat tidak bisa membedakan antara yang profan dan yang sakral. Dalam kehidupan seperti ini, individu tengggelam tanpa hak, alam lahiriah dimaknai sebagai bersifat ilahi dan seterusnya. Meskipun secara teoritis, pembedaan dan pemisahan ruang privat dan ruang publik cukup jelas, namun dalam realitasnya, ter nyata sulit menemukan sesuatu yang benar-benar privat atau sebaliknya. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah cara berpikir oposisi biner ini dapat menyelesaikan masalah? Terlebih, dalam realitas empiris, kita sering menemukan ruang yang sebenarnya privat, namun di dalamnya mengandung unsur-unsur publik, demi kian pula sebaliknya. Pada dasarnya, kehendak “patuh” atau “tidak patuh” pada sebuah agama adalah hak privat seseorang, namun dalam kenyataannya, hal ini seringkali juga menjadi urusan orang lain atau kelompok di luar individu bersangkutan. Di samping itu, agama-agama bukan saja menyeru pada kesa lehan individu, tetapi juga bicara soal sosial kemasyarakatan yang melampaui batas-batas individu. Bukan saja bicara tentang internalisasi nilai-nilai keagamaan, tetapi juga eksternalisasi atau eks presi sebagai bentuk ketaatan terhadap agama yang diyakini. Pada tingkat eksternalisasi inilah, agama sering dituntut perannya dalam membangun masyarakat yang lebih demokratis dan berperadaban. Bagaimana mungkin agama dapat berperan dalam membangun masyarakat, jika ia hanya dikungkung sekedar urusan privat semata? Inilah pertanyaan teoritis yang bisa menjadi bahan untuk menganalisis penelitian ini.
Metodologi Penelitian Kompilasi data dalam penelitian ini dilakukan dengan 3 meto de, meliputi: 1) studi pustaka (literature research) untuk menelusuri data-data pustaka dan sejumlah dokumen terkait regulasi bernuansa agama di wilayah yang menjadi fokus penelitian ini; 2) penelitian
20
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
lapangan dan observasi (field and observatory research) melalui kunjungan ke sejumlah wilayah untuk melihat bagaimana dampak implementasi perda-perda bernuansa agama di setiap daerah; 3) wawancara terstruktur (structured interview) dengan aktor-aktor penting yang memiliki peran sentral dalam perumusan perda bernuansa agama, baik dari kalangan legislatif, eksekutif, maupun aktoraktor lain yang dianggap penting. Setelah beroleh data-data, peneliti membuat uraian dalam format tabulasi data secara sistematis. Merebaknya regulasi bernuansa agama bukan semata-mata gerakan sosial yang lahir karena faktor sosiologis, tetapi kuat kemungkinan dipicu suatu keyakinan atau paham Islam tertentu yang memandang totalitas agama untuk menyelesaikan seluruh problem kehidupan. Tren penyusunan perda bernuansa agama merupakan perwujudan dari Islamisasi yang mengambil corak tertentu. Di sana, ada kontinuitas ideologis gerakan Islam Indonesia sebelumnya, dan bahkan belahan dunia lain. Namun, di sana juga ada perubahanperubahan sesuai dengan konteks yang dihadapi. Kemunculan ge rakan ini melahirkan kontroversi, mereproduksi konflik teologis dan ideologis, beriringan dengan kompleksitas dinamika sosial di Indonesia, baik dalam konteks kehidupan umat Islam maupun kehidupan berbangsa secara umum. Tren lahirnya perda bernuansa agama dalam berbagai corak dan spesifikasi isu ini bukanlah gerakan yang berhenti pada satu titik, kecuali jika puncak cita-cita idelogisnya tercapai. Karena itu, munculnya perda bernuansa agama harus dilihat dari berbagai su dut pandang. Perda-perda bernuansa agama tidak bisa semata-mata dibingkai dalam konteks “demokrasi prosedural”. Prosedur demokrasi sering dibajak kekuatan ekstra parlementer untuk mengeluarkan keputusan-keputusan yang justru bisa menjadi ancaman terhadap demokrasi. Karena itu, demokrasi yang substantif perlu dikedepan kan untuk melihat fenomena tersebut. Dari sini, kita bisa melihat kemana sebenarnya arah demokrasi Indonesia. Penelitian tentang regulasi bernuansa agama sudah banyak dilakukan, baik dari perguruan tinggi maupun sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Penelitian ini mengambil fokus tertentu sesuai dengan concern dan kepentingannya. Ada yang memberi perhatian pada isu perempuan, isu hukum, menguatnya ideologi salafisme dan sebagainya. Fokus daerah yang diteliti juga berpencar-pencar sesuai dengan kebutuhan penelitian.
21
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Subair dan Syamsul Pattinjo (2006) dalam buku Pluralitas, Politik dan Gerakan Formalisasi Agama: Catatan Kritis atas Formalisasi Agama di Maros dan Pangkep, secara khusus mengkaji dua kabupaten di Sulawesi Selatan, Maros dan Pangkep. Dua kabupaten ini dipandang penting untuk diteliti secara khusus, karena keduanya bisa dikatakan sebagai kelanjutan proyek Islamisasi perda yang sudah berlangsung di Bulukumba. Kedua kabupaten ini termasuk yang paling gencar menyuarakan penegakan syariat Islam, mengikuti jejak Kabupaten Bulukumba yang telah lebih dulu melakukannya. Kedua peneliti menemukan, perda keagamaan di Maros dan Pangkep lebih merupakan komoditas elit politik lokal, dan sama sekali tidak terkait dengan kepentingan masyarakat secara langsung. Di samping itu, peneliti menemukan motif ekonomi di balik lahirnya perda-perda tersebut. Namun, penelitian ini tidak melacak lebih jauh menyangkut dampak dari regulasi-regulasi tersebut terhadap masyarakat. Penelitian ini belum melihat dampak langsung yang diala mi masyarakat, terkait dengan penerapan sejumlah perda tesebut. Penelitian yang sama juga dilakukan Syamsurijal Adhan dan Zubair Umam (2006) di Bulukumba bertajuk Perdaisasi Syariat Islam di Bulukumba.6 Peneliti menemukan situasi yang nyaris sama dengan kesimpulan sebelumnya, bahwa “perdaisasi syariat Islam” sekedar menjadi alat untuk menggapai kepentingan politik. Perdaperda ini juga dinilai tidak toleran terhadap tradisi lokal yang telah dipraktikkan masyarakat secara turun temurun. Penelitian lain dilakukan Haedar Nasir (2007) berjudul Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia.7 Karya yang cukup tebal ini pada awalnya merupakan disertasi di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang mengulas penerapan syariat Islam di sejumlah wilayah, seperti Sulawesi Selatan, Aceh, Jawa Barat dan beberapa daerah lain. Namun, penelitian ini lebih difokuskan pada penelusuran ideologi salafiyah di Indonesia. Karena itu, gerakan formalisasi syariat Islam melalui perda sekedar dijadikan sebagai indikator bangkitnya ideologi salafisme dan neo-fundamentalisme yang mengambil bentuk Islamisasi dari bawah. Dengan 6 Syamsurijal Adhan dan Zubair Umam, “Perdaisasi Syariat Islam Di Bulukumba” dalam Jurnal Taswirul Afkar, Perda Syariat Islam Menuai Makna (Jakarta: PP. Lakpesdam, edisi 20, 2006). 7 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Jakarta: PSAP, 2007).
22
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
demikian, karya ini tidak membahas lebih jauh mengenai implikasi sejumlah perda dimaksud dalam kehidupan masyarakat. Nasir menggunakan teori gerakan sosial sebagai alat pembacaan terhadap fenomena bangkitnya ideologi salafisme melalui perda bernuansa agama. Meski teori gerakan sosial mempunyai keterbatasan, namun penelitian ini mampu memberi konteks ideologis gerakan “Islami sasi perda”. Dengan demikian, ideologi salafisme tidak pernah mati. Dia akan bangkit, jika momentum sosial politiknya mendukung. Di wilayah Garut Jabar, Sutrisno dan beberapa peneliti juga melakukan penelitian bertajuk Penerapan Syariat Islam: Persepsi Masyarakat Garut.8 Penelitian ini lebih menyoroti kemunculan organisasi massa Islam, seperti Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) dan Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syariat Islam (LP3SI) yang sangat mempengaruhi proses-proses penerapan syariat Islam di Garut. Proses-proses tersebut tidak hanya dilihat sebagai gerakan berbasis politik yang didukung elemen pemerintah dae rah, melainkan juga sebagai salah satu bentuk kebangkitan kembali gerakan Islam yang pernah diusung Darul Islam (DI), di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Penelitian lain di wilayah Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Banten juga dilakukan lembaga Rahima. Dalam penelitian ini, Rahima lebih melihat dampaknya terhadap perempuan dengan melibatkan sejumlah mitra lokal di masing-masing wilayah. Penelitian ini antara lain dilakukan Syaik Abdillah, dkk berjudul Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam: Studi Kasus Formalisasi Syariat Islam di Garut.9 Hampir senada dengan penelitian Sutrisno, penelitian ini juga membahas kesinambungan gerakan Islam lokal seperti Gerakan Cimareme (1920) sampai DI Kartosuwiryo yang menjadi inspirasi lahirnya gerakan Islam masa kini melalui formalisasi syariat Islam. Penelitian ini lebih difokuskan pada berbagai bentuk implikasi dari formalisasi Syariat Islam tersebut kepada kehidupan perempuan, seperti pelarangan tindakan asusila, pelacuran, Sutrisno, “Penerapan Syariat Islam: Persepsi Masyarakat Garut” dalam Jurnal Istiqro’ (Jakarta: Ditpertasi Depag, Vol 02, Nomor 01, 2003). 9 Syaik Abdillah, dkk., “Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam: Studi Kasus Formalisasi Syariat Islam di Garut”, makalah dipresentasikan pada Seminar bertajuk Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam: Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten, Senin 26 April 2004, Hotel Ambhara, Kebayoran, Jakarta Selatan. 8
23
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
berbuat mesum dan sebagainya. Meskipun formalisasi syariat Islam itu sendiri belum efektif menyasar kehidupan perempuan, tetapi kekhawatiran terhadap kemungkinan munculnya dampak lanjut bagi kehidupan perempuan pada masa selanjutnya menjadi titik tekan penelitian ini. Penelitian lain dilakukan Lembaga Studi dan Advokasi Masya rakat (Elsam) bertajuk Pengkajian atas Perda-Perda Bermasalah (2008). Penelitian ini menfokuskan kajian pada perda bernuansa agama di tiga wilayah, meliputi Padang, Garut dan Bulukumba. Meskipun sejauh ini baru berupa draft laporan, tapi beberapa poin pentingnya sudah bisa dilihat. Penelitian ini menguliti perda-perda bernuansa agama dengan menggunakan persepktif Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal-pasal yang ada dalam sejumlah regulasi bernuansa agama dianalisis dalam perspektif HAM. Penelitian ini juga me ngu las aktor-aktor pengusung perda, proses perumusan, sekaligus dampak yang ditimbulkan. Penelitian Elsam tersebut sampai pada beberapa kesimpul an: 1) keberadaan perda-perda tersebut memunculkan kerancuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain tidak mengindahkan tata cara pembuatan peraturan perundang-undang an, beberapa muatan di dalamnya banyak yang bertentangan, atau bahkan melanggar perundang-undangan yang lebih tinggi dan prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM); 2) proses pembuatan perda tidak didahului mekanisme uji publik (public examination) yang memadai, baik dari segi prosedur hukum maupun transparansinya di ruang public; 3) implementasi perda-perda tersebut mengancam kehidupan kelompok minoritas, termasuk agama dan keyakinan lokal, serta keragaman hidup masyarakat, khususnya dalam praktik keagamaan dan keyakinan yang berbeda-beda; 4) perda-perda tersebut lebih tepat sebagai hasil dari perselingkuhan para elit politik dan agama yang bukan hanya memiliki orientasi terhadap kekuasaan, melainkan juga berkepentingan terhadap penunggalan tata cara hidup masyarakat. Daerah lain yang sering menjadi wilayah penelitian terkait de ngan perda bernuansa agama adalah Sumatera Barat. Penelitian Sudarto, dkk (2006) berjudul Implikasi Perda-Perda Bernuansa Syariat Islam di Sumatera Barat penting untuk dilihat. Penelitian ini memotret dan mengkritisi lahirnya perda-perda bernuansa syariat Islam yang ada di hampir seluruh Kabupaten/Kota di Sumatera
24
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Barat. Di dalamnya, ia juga mengupas berbagai kesaksian korban dan fakta-fakta empirik lainnya, sebagai implikasi dari penerapan perda yang ada. Selain itu, Sudarto mengulas relasi kekuasaan dan implikasi dari penerapan perda-perda Syariat Islam di wilayah tersebut. Penelitian lain yang bisa disebutkan adalah penelitian Centre for the Study of Religion and Culture (2007), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Hasil penelitian ini diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-muslim. Penelitian ini dilakukan di sejumlah daerah termasuk Aceh, Bulukumba, Indramayu, Tangerang, Tasikmalaya, Bima, dan beberapa yang lain. Nilai penting penelitian ini adalah penggabungan dua metodologi sekaligus, kuantitatif dan kualitatif. Namun, data kualitatif yang disajikan dalam penelitian ini lebih cenderung sebagai pendukung temuan-temuan data kuantitatif. Akibatnya, penelitian ini hanya memberi gambaran umum tentang perda syariat dan belum melihat dampak sosial empiris penerapan perda-perda itu sendiri. Meskipun penelitian ini menganalisa dampak/akibat, namun tetap saja berdasarkan pendekatan kuantitatif. Dengan kata lain, meski penelitian ini memberi gambaran tentang persepsi masyarakat, namun ia belum bisa memberi informasi tentang dampak sosial politiknya secara mendalam. Beberapa temuan penting penelitian ini, antara lain: 1) dukungan masyarakat terhadap perda sangat kuat; 2) manfaat yang paling meyakinkan dari perda-perda tersebut adalah meningkatnya keamanan dan ketertiban social; 3) perda-perda itu dirumuskan melalui prosedur yang kurang demokratis. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan perda. Perda cenderung dibuat secara tertutup, tanpa proses dialog partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat; 4) perda keagamaan tersebut lebih sebagai alat politik segelintir elit yang tidak mempunyai korelasi dengan kebutuhan masyarakat. Penelitian lain juga dilakukan Amin Mudzakir di Tasikmalaya yang kemudian dipublikasikan berjudul Menjadi Kota Santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya.10 Setelah melihat Amin Mudzakir, “Menjadi Kota Santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya” dalam Jurnal Taswirul Afkar, Perda Syariat Islam Menuai Makna (Jakarta: PP. Lakpesdam, edisi 20, 2006). 10
25
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
akar-akar keislaman di Tasikmalaya, Amin Mudzakkir mengkorela sikan dengan munculnya arus islamisasi melalui perda dan respon yang diberikan kelompok-kelompok civil society di wilayah tersebut. Amin menggambarkan situasi yang terjadi di Tasikmalaya sebagai proses pencarian identitas di tengah transisi politik dan krisis ekonomi. Dengan melihat sejumlah penelitian tersebut, ada beberapa unsur kesamaan wilayah dari penelitian ini, terutama di Jawa Barat, yaitu Tasikmalaya dan Cianjur. Dua wilayah ini paling sering menjadi wilayah kajian perda syariat Islam. Akan tetapi, selain mengkaji partisipasi dan dampak sosialnya, penelitian ini juga melacak implikasinya terhadap perkembangan dan arah demokrasi secara lebih dalam. Sedangkan untuk wilayah Jawa Timur meliputi Jombang dan Pasuruan, kami hampir belum menemukan penelitian yang melihat perkembangannya di dua wilayah ini. Demikian juga dengan Yogyakarta dan Surakarta. Mayoritas peneliti di wilayah ini lebih mengulas geliat kelompok radikal. []
26
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Bagian II Dinamika dan Ragam Isu (Ra) Perda Bernuansa Agama
I. Raperda Anti-Pelacuran Jombang, Jawa Timur A. Jombang dalam Kilasan Jombang adalah salah satu kota paling strategis di Jawa Timur. Kota ini berada pada posisi lintas arteri primer Surabaya, Madiun dan jalan Kolektor Primer Malang, Babat, Lamongan. Sebagai daerah perlintasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, Jombang memang menjadi kota yang sangat mudah diakses dan terbuka bagi persentuhan dengan berbagai perkembangan. Jombang, menurut sebagian warga, merupakan per paduan kata ijo (hijau) dan abang (merah). Hijau adalah representasi kesantrian dan Merah merepresentasikan Islam Jawa yang memiliki orientasi hidup Kejawen. Kelompok terakhir ini biasanya disebut dengan istilah abangan. Tafsir ini setidaknya bisa kita temukan dalam penjelasan salah satu aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jombang, Abdul Khair Wattimena. Ia mengurai, kata ijo dan abang adalah simbol betapa Jombang adalah perpaduan antara kaum santri dan abangan. Pegiat Islamic Center for Democracy and Human Rights Empowerment (ICDHRE) ini menganggap, potret Jombang yang sebenarnya adalah perpaduan antara kehidupan santri dan kelompok abangan. Apabila kita menyempatkan diri ke wilayah-wilayah pinggir an Jombang, segera dapat diketahui ternyata ruang lingkup kaum santri hanya terpusat di sekitar pusat kota. Sekalipun uraian antropologis Wattimena di atas cu kup rasional, namun tafsir mainstream lebih melihat nama Jombang dengan konsep kesantrian secara eksklusif, dari pada keseimbangan antara santri dan abangan. Hijau artinya kesejahteraan, kemakmuran dan kebaktian kepada Tuhan, dan Merah berarti keberanian, dinamis dan kritis. Dengan
27
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
begitu, Jombang bermakna kesejahteraan karena berbakti kepada Tuhan yang disertai sikap kritis dan dinamis. Setidaknya, makna inilah yang terus menerus direproduksi. Banyaknya pesantren dan para tokoh agama nasional maupun internasional yang berasal dari Jombang agaknya menjadi bukti nyata kesantrian kota Jombang. Jombang yang santri inilah yang terus-menerus disosialisasikan para elit agama Islam di Jombang. Bahkan, KH. Israfil Amar, selaku Ketua Tanfidz PCNU Jombang pada Desember 2007, menyampaikan ilustrasi yang senada kepada jamaah Nah dliyin. Pemaknaan tersebut mengindikasikan secara kuat citra kesantrian Kabupaten Jombang. Seakan menjadi kesepakatan antar elit politik dan aga ma tentang kesantrian Jombang. Pemerintah Kabupaten Jombang juga mengakomodasi keyakinan ini menjadi visi pemerintahan. Visi Pemkab Jombang yang dirumuskan pada 2005 adalah “Pembedayaan dan Pelayanan Prima Me nuju Masyarakat Jombang Sejahtera dan Beriman”. Layak nya meneguhkan sebuah identitas, visi ini diyakini merep resentasikan kepentingan pemerintah dan mayoritas warga untuk menjadikan Jombang sebagai kota ”hijau” atau kota santri. Kelompok santri bisa dikatakan berhasil meneguhkan identitasnya sebagai representasi sah kabupaten Jombang. Konon, pesantren-pesantren besar yang ada di Jombang saat ini, pada awalnya juga sengaja didirikan di wilayah-wilayah ”hitam”. Hal ini dikuatkan penuturan Maghfuri dari Linkar Indonesia (Link) yang menggap hal; itu sebagai bagian dari strategi penyebaran dakwah Islam di masa lalu. Islam adalah agama mayoritas penduduk kota Jombang, bahkan lebih dari 90% total penduduk Jombang. Secara statistik dapat dilihat dari data BPS berikut ini. Tabel I Prosentase Penganut Agama Tahun 2006/2007 2005/2006 2004/2005
28
Islam 1.188.361 1.175.322 1.142.698
Protestan 14.865 14.413 13.308
Katolik 3.563 3.346 3.324
Hindu 1.119 770 335
Buddha 1.480 1.418 1.402
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Berdasarkan total populasi Islam di Jombang, KH. Isrofil Amar mengklaim, sekitar 80% warga Jombang adalah kaum Nahdliyin (NU). Merujuk data survey BPS 2004-2005, warga Nahdliyin di Jombang diperkirakan berjumlah 928.854 (80%) dari total 1.142.698 penduduk kota ini. Sedangkan sisanya sekitar 20% adalah mereka yang bergabung dengan berbagai ormas lain, pengikut tarekat atau bahkan tidak teridentifikasi sebagai anggota ormas Islam manapun. Jumlah pengikut Nahdliyin ini mengindikasikan betapa besar peran Nahdlatul Ulama (NU), baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya di Jombang. B. Pertumbuhan Ekonomi, Angka Kemiskinan dan Putus Sekolah Apapun identitas keagamaan dan kesantrian yang tengah dan akan dikokohkan kota ini, Jombang tetap saja sebuah cermin kota-kota baru di Indonesia yang masih me rang kak dari kemiskinan. Merujuk data BPS, jumlah ke luarga pra-sejahtera di Jombang dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan signifikan. Tahun 2006/2007, tercatat 88.692 keluarga pra-sejahtera dan ini merupakan potret mayoritas keluarga di Jombang. C. Profil (Ra)perda Anti-Pelacuran1 Raperda yang terkenal dengan istilah raperda antipelacuran ini adalah raperda tentang larangan pelacuran di Kabupaten Jombang. Dalam draf, rasionalisasi raperda ini bisa dilihat dalam lembar pertimbangannya. Perda anti-pelacuran sangat diperlukan mengingat Jombang adalah kota santri. Di samping itu, pelacuran adalah pelanggaran tata susila, agama dan sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Pada 2009, raperda anti-pelacuran ini telah ditetapkan DPRD Jombang menjadi Perda No. 15 tahun 2009 secara sah. Saat ini, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Koalisi Anti Diskriminasi dan Prostitusi (KADP) beserta Lembaga Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LINK) Jombang sedang mengupayakan legislative review terhadap Perda Pelarangan Pelacuran ini. Akan tetapi, sampai tulisan ini diterbitkan, kami belum mendapat keputusan terkait hal tersebut. 1
29
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Dalam lembar pertimbangan raperda tersurat, “Kabupaten Jombang adalah daerah agamis, karena memerlukan kondisi lingkungan yang bersih dari pelacuran, maka dipandang perlu untuk melarangnya dengan menuangkan dalam per aturan daerah”. Raperda ini terdiri atas tujuh bab dan tujuh pasal. Babbab tersebut bisa diuraikan sebagai berikut: Bab I (Ketentuan Umum). Bab ini terdiri dari satu pasal dan sebelas ayat yang menjelaskan masalah-masalah umum terkait dengan raperda tersebut. Bab ini juga menjelaskan definisi pelacur, persetubuhan, perbuatan cabul, pelacuran, mucikari (bordeel) dan lain-lain. Bab II (Larangan). Bab ini terdiri dari satu pasal dan lima ayat yang berisi larangan melakukan praktik pela cur an; memikat orang dengan sikap, perkataan dan atau isyarat yang diduga kuat mengarah pada praktik pelacuran; menawarkan, menyediakan tempat dan menampung sese orang untuk dijadikan pelacur dan/atau membiarkan terjadi nya pelacuran; serta melakukan perbuatan cabul dan atau pelacuran. Bab III (Ketentuan Pidana). Bab ini terdiri dari satu pasal dan tiga ayat yang menjelaskan tentang sanksi atau den da bagi para pelanggar larangan sebagaimana yang diatur dalam bab II. Dengan merujuk pasal dua dan ayatayatnya, dalam bab ini dijelaskan ketentuan denda mulai dari kurungan tiga bulan atau denda Rp 5.000.000,- sampai kurungan tiga bulan atau denda Rp 15.000.000,-. Bab IV (Ketentuan Penyidikan). Bab ini terdiri dari satu pasal dan tiga ayat yang mengurai tentang siapa yang boleh melakukan penyidikan, kewenangan dan kewajibannya. Kewenangan penyidikan terletak penyidik polri dan penyidik pegawai negeri sipil dilingkungan Pemda Kabupaten Jom bang. Kewenangan penyidik adalah mencari, menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana pelacuran; melakukan tindakan pertama sewaktu berada di tempat kejadian; menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang; melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
30
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
mengambil sidik jari dan memotret seorang; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau sebagai tersangka; mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara dan menghentikan penyidikan. Bab V (Pembinaan). Bab ini terdiri dari satu pasal yang mengulas kewajiban Pemda Jombang untuk melakukan pem binaan mental-spiritual dan/atau kesusilaan serta ke trampilan bagi pelacur yang sedang dalam masa tahanan. Di samping itu, pemerintah daerah juga didorong untuk mengadakan perluasan lapangan kerja. Semua himbauan moral ini pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Bupati Jombang. Bab VI (Ketentuan Peralihan). Bab ini terdiri dari satu pasal dan dua ayat yang menjelaskan hal-hal yang belum diatur dalam perda akan diatur kepala daerah sekaligus mencabut peraturan sebelumnya, Perda tanggal 4 tahun 1953 tentang Penutupan Rumah Pelacuran dan Perda tanggal 4 Juli tahun 1953 tentang Pencegahan Pelacuran di Jalan. Bab VII (Ketentuan Penutup). Bab ini memuat satu pasal yang berisi tentang —jika pada akhirnya Raperda ini diundangkan— tanggal berlaku dan agar perda ini dimasukkan ke dalam Lembaran Daerah Kabupaten Jombang. D. Upaya Kaum Santri Meneguhkan Identitas Jombang adalah kota santri. Sebagai predikat, tidak serta merta membuat kota ini demam perda keagamaan. Polemik yang sempat melahirkan pro kontra di kota ini satu-satunya adalah raperda anti-pelacuran. Sejumlah partai dan ormas Islam di kota ini menuntut pengesahan dan pemberlakuan raperda anti-pelacuran di kota santri ini. Argumentasi yang paling dominan adalah hukum pidana tidak cukup memadai untuk mengatur praktik prostitusi yang ada di daerah-daerah. Ketua Panitia Khusus (Pansus) raperda anti-Pelacuran, Zubaidi Muchtar, menganggap pasal 287 dan 287 KUHP tidak cukup memadai untuk menyelesaikan masalah pelacuran, khususnya di Jombang. Pasal 284 KUHP hanya mengatur perzinaan,
31
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
sementara pasal 506 hanya mengatur tentang mucikari saja. Hukum positif di Indonesia tidak cukup menampung masalah sosial prostitusi. Sejalan dengan Zubaidi Muchtar, mantan ketua Tan fidziyah PCNU Jombang, KH. Tamim Romli, juga menyu guhkan argumentasi yang sama. Ia menyatakan, perlu ada peraturan daerah tentang larangan pelacuran yang isinya rinci. Pernyataan KH. Tamim ini mewakili pandangan NU secara umum sekaligus sebagai dukungan penuh atas pra karsa perda anti-pelacuran di kota ini.2 Argumentasi di atas ditanggapi Bahana Bella Binanda, wakil ketua DPC PDIP Jombang, secara dingin. Ia beranggapan, perda seharusnya memuat aturan-aturan penjelas atas ber bagai produk hukum yang perlu diterjemahkan ulang di daerah. Raperda anti-pelacuran tidak memiliki signifikansi sebab hukum positif kita sudah mengaturnya secara jelas. Tidak ada produk perundang-undangan di Indonesia yang membolehkan prostitusi, dan masalah pelacuran juga sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun berhasil disahkan, tidak akan menjadikan perda tersebut sebagai produk hukum yang aplikatif. Jika persoalan pidana sudah diatur dalam KUHP, aturan semisal perda anti-pelacuran tidak mungkin dirujuk hakim. Karena itu, Bella sangat yakin pada gilirannya, raperda ini akan menjadi aturan yang mubadzir. Misalnya, terjadi pelanggaran atas perda anti-pelacuran, kemudian diproses di pengadilan, tentu hakim tidak mungkin merujuk perda tersebut karena sudah tertuang dalam KUHP. Mengandaikan perda anti-pe lacuran mampu menggantikan posisi KUHP dalam penye lenggaraan hukum di daerah adalah jauh panggang dari api. Menurut Bella, sistem hukum di Indonesia tidak memung kinkan perda ini menggantikan KUHP dan dengan begitu perda ini akan selalu gagal diaplikasikan. Terlepas dari polemik di atas, mengutip pandangan Zubaidi Muchtar, raperda anti-pelacuran ini hendak difung sikan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan prob lem sosial, ekonomi dan budaya yang melingkup dunia 2
32
Radar Mojokerto, 11 September 2006.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
pe la curan. Perbedaan raperda ini dengan KUHP adalah tekanannya pada penyelesaian masalah sosial dan ekonomi menyangkut problem pelacuran. Pesan yang disampaikan raperda adalah agar pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan transformasi sosial, ekonomi dan budaya serta pemberdayaan terhadap para pekerja seks komersial (PSK). Selaku Ketua Pansus, ia menganggap raperda ini sama sekali tidak hendak “memberangus” para pelaku pelacuran, tetapi sebaliknya, menyelesaikan problem sosial ekonomi yang mereka hadapi. Miftahul Ansori, Koordinator Advokasi Lakpesdam NU Jombang, juga setuju dengan cita-cita substansial raperda ini. Menurutnya, perda pelacuran perlu ada di Jombang karena secara normatif, ia bisa membentengi penyakit masyarakat. Dalam konteks ini, makna membentengi adalah bagaimana pemerintah dapat membina, mengarahkan dan mengentaskan pelaku pelacuran ke taraf hidup yang lebih baik. Masalahnya adalah raperda anti-pelacuran yang ada saat ini tidak cukup komprehensif melindungi para pelaku pelacuran. Raperda ini hanya untuk melegalkan penyidikan dan tindak pidana, akan tetapi tidak cukup rinci mengatur tahapan pembinaan terhadap pelaku pelacuran. Meskipun terkesan ambigu, argumentasi Miftah ini dapat dibenarkan karena hanya ada satu pasal dalam raperda anti-pelacuran yang mengulas pembinaan terhadap para pelaku pelacuran. Sayangnya, ulasan masih sangat normatif dan tidak ada bedanya dengan model pembinaan pelacuran yang ditangani dinas sosial saat ini. Bab V Pasal 5 raperda anti-pelacuran menyebutkan, pelacur yang sedang dan atau telah menjalani masa kurungan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) berkewajiban mengikuti pembinaan mental spiritual dan atau kesusilaan dan ketrampilan. Pihak Pemerintah Daerah juga bertanggung jawab mendorong mereka terhadap perluasan lapangan kerja. Berkenaan dengan pelaksanaan raperda, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bupati Jombang. Pasal di atas sepintas lalu sesuai dengan gambaran Zubaidi Muchtar, sebuah perda idealnya tidak hanya mem
33
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
berikan hukuman, tetapi juga pemberdayaan. Akan tetapi, jika diamati dengan cermat, pembinaan mental-spiritual, kesusilaan dan ketrampilan sebagaimana dalam pasal di atas selalu menjadi ”pasal karet”, sebab seluruh pelaksanaannya secara definif tergantung bupati dan Pemka Jombang. Inilah salah satu pasal yang menurut Aan Ansori, koordinator Koalisi Anti Diskriminasi dan Prostitusi (KADP), sebagai ”pasal karet” yang bisa menjadikan pelaksanaan semua aturan yang ada dalam raperda anti-pelacuran sangat ter gantung sepenuhnya pada definisi aparat penegak hukum dan pemerintah. Cita-cita pembedayaan terhadap pelaku pelacuran sebagaimana disampaikan Ketua Pansus, bisa menjadi ke nyataan apabila raperda ini mengatur juga tahapan rinci pembinaan sebagaimana dipaparkan Miftah dan didukung anggaran yang cukup. Menyangkut anggaran, Zubaidi me yakinkan, jika raperda anti-pelacuran memberi man dat Pemerintah Daerah melakukan pembedayaan, konse kuen sinya, Pemda Jombang harus mengembangkan kebijakan anggaran untuk melakukan transformasi sosial bagi para pelaku pelacuran. Inilah yang membedakan raperda antipelacuran tersebut dengan produk hukum lainnya. Sayangnya, pandangan Ketua Pansus ini tidak dapat diverifikasi dalam teks raperda yang sedang dirumuskan DPRD Jombang saat ini. Tidak ada satu pasal dalam raperda tersebut yang menyinggung masalah pengembangan kebi jakan anggaran untuk menopang problem sosial ekonomi seputar masalah pelacuran. Ungkapan Ketua Pansus ini se makin meneguhkan keyakinan mayoritas kalangan aktivis, raperda anti-pelacuran ini tidak mungkin dapat menye lesaikan problem sosial, ekonomi dan budaya yang mengikuti masalah pelacuran. Tidak salah, jika sebagian kalangan menganggap, raperda anti-pelacuran ini tidak ada bedanya dengan perda anti-pelacuran di beberapa daerah lain. Ifa Cahyaningtyas dari Women Crisis Center (WCC) meyakini, raperda anti-pe lacuran tersebut hanya hasil edit-copy-paste. Koalisi Anti Diskriminasi dan Prostitusi (KADP) juga sudah melakukan kajian isi dan hasilnya, menurut Ifa, raperda tersebut tidak
34
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
berbeda dengan perda-perda senada di daerah lain. Meskipun argumentasi perda anti-pelacuran dapat di mentahkan melalui analisis isi (content), namun para pe nyo kong tetap bersikukuh dengan identitas kesantrian Jombang. Dukungan terhadap raperda anti-pelacuran ini hanya sekedar melihat latar belakang Jombang sebagai kota santri dengan banyak pondok pesantren besar. KH. Tamim Rusli Romli selaku Ketua PCNU Jombang, misalnya, sangat berharap kepada DPRD untuk segera mensahkan raperda ini, karena bisa menyelamatkan Jombang dari praktik prostitusi yang semakin marak. Mengutip berita Radar Mojokerto, sang Kiai menegaskan, PCNU harus mengamankan Jombang dan memperhatikan apa yang menjadi keluhan masyarakat. Bagaimanapun juga, menurutnya, pelacuran itu dilarang agama. Di samping NU, sejumlah ormas Islam dan pesantren yang bergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Jombang Peduli Syariah (FKMJPS) juga menyampaikan du kungan yang sama. Koalisi taktis yang diketuai KH. Abdul Kholiq, pengasuh PP. al-Wardliyah Bahrul Ulum, menganggap jika DPRD tidak ditekan, raperda ini hanya akan menjadi sebatas wacana dan akan”mentok”. Keseriusan FKMJPS memperkuat sikap ormas-ormas Islam di Jombang yang sudah mengambil kata sepakat untuk menerimanya tersebut sebagai peraturan daerah. E. Koalisi Anti-Diskriminasi dan Prostitusi (KADP): Sebuah Resistensi Koalisi Anti-Diskriminasi dan Prostitusi (KADP) ter bentuk pada pertengahan Juli 2006. Koalisi ini beranggotakan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan beberapa organisasi mahasiswa Jombang. Gerakan ini menjadi satusatunya kekuatan resistensi terhadap raperda anti-pelacuran, karena menganggap berpotensi mengabaikan Hak Asasi Manusia dan bersifat ”melecehkan” perempuan. Aan Ansori, Koordinator KADP, menjelaskan bahwa penolakan terhadap raperda anti-prostitusi lebih karena ”raperda ini bersifat diskriminatif, mengabaikan hak-hak
35
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
sipil dan ekonomi korban”. Koalisi ini merupakan konsorsium beberapa lembaga, antara lain: Women Crisis Center (WCC), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), PMII, Yamajo, Yayasan Mbah Coolen, Humanistik, Lakpesdam NU, Student Crisis Center (SCC) dan Yapesi Marindo.3 Koalisi berbeda pendapat dengan Pansus soal bagaima na praktik pelacuran harus diselesaikan. Dalam pernyataan resminya, koalisi menyatakan sikap penolakan pada prak tik prostitusi, karena membahayakan kesehatan dan berten tangan dengan norma agama. Akan tetapi, koalisi tidak sependapat apabila masalah pelacuran hanya diselesaikan dengan menerbitkan perda anti-pelacuran yang berpotensi melanggar wilayah ”privat” masyarakat, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan menjadikan mayoritas perempuan berpotensi sebagai korban razia pelacuran, karena pasalpasal karet dalam aturan raperda. Koalisi sangat aktif melakukan audensi dan hearing dengan berbagai kekuatan sosial dan politik di Jombang. Pertama, koalisi mengajukan audensi dengan PCNU Jom bang dan akhir Agustus 2006 dan diterima pengurus PCNU Jombang. KH. Tamim Romli dan sejumlah pengurus me nerima tim secara langsung. Menurut Aan Ansori, saat itu koalisi meminta PCNU untuk mengingatkan kader-kadernya yang ada di dewan agar tidak membuat produk peraturan yang diskriminatif”. Koalisi berdebat panjang dengan pengurus PCNU menyangkut pelacuran dan langkah terbaik menyelesaikan masalah tersebut. Hampir semua pengurus PCNU saat itu menunjukkan sikap anti terhadap praktik pelacuran, namun tidak secara eksplisit menyatakan dukungan atas raperda anti-pelacuran yang sedang dirumuskan DPRD. Secara ke lembagaan, pada saat itu, PCNU masih belum menyatakan sikap menolak atau mendukung raperda tersebut. Satusatunya orang yang mengingatkan agar bersikap hati-hati dengan raperda tersebut karena potensi diskriminatifnya adalah KH. Isrofil Amar, ketua Tanfidziah PCNU Jombang, periode 2007-2008. 3
36
Radar Mojokerto, 29 Agustus 2006.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Namun, pada 10 September 2006, secara mengejutkan PCNU melakukan press conference berisi dukungan NU se cara kelembagaan atas raperda anti-pelacuran yang sedang dibahas DPRD. Koalisi akhirnya berharap mendapat dukungan dari DPC PDIP dan DPC PKB Jombang. Pada bulan yang sama, koalisi mengajukan audensi dengan kedua partai. Meskipun PDIP memiliki sikap yang hampir sama dengan koalisi, namun permohonan audensi ini tidak segera direspon DPC. Koalisi mendesak DPW PDIP Jawa Timur agar DPC PDIP Jombang berkenan menerima audensi. DPC PDIP akhirnya menyatakan sikap penolakan yang sama sebagaimana sikap KADP. Bahana Bella Binanda mengatakan, sejak awal, PDIP memang tegas menolak Raperda tersebut. KADP juga mendesak DPC PKB Jombang melalui Imam Nachrowi, Ketua DPW PKB Jawa Timur yang mengakui, ka der-kader PKB yang ada di DPRD Jombang menjadi inisiator lahirnya raperda anti-pelacuran. DPC PKB Jombang me nerima audensi KADP. Saat itu, koalisi diterima langsung Ketua Dewan Syura PKB, KH. Azis Mansyur. Setelah men de ngarkan keberatan yang disampaikan KADP, KH. Azis Mansyur menyatakan sikap penolakannya terhadap raperda anti-pelacuran. Melalui pertemuan ini, KH. Azis Mansyur meminta Ke tua DPC PKB dan Ketua DPRD Jombang, Halim Iskandar, untuk mengkonsolidasi kader-kader partai agar mengambil sikap menolak raperda anti-pelacuran, karena berpotensi sa ngat diskriminatif. Setidaknya, raperda tersebut sudah dua tahun ini tidak pernah dibawa ke dalam rapat pleno DPRD Jombang. F. Perdebatan Isi Regulasi pelacuran di Jombang dalam bentuk perda se benarnya sudah ada sejak 1953. Hal ini dapat dilacak melalui Perda tanggal 4 tahun 1953 tentang Penutupan Rumah Pe lacuran dan Perda tanggal 4 Juli 1953 tentang Pencegahan Pelacuran di Jalan. Meskipun demikian, Wahyuning Asri dari Jombang Care Center (JCC) menjelaskan, kedua perda ter sebut tidak aplikatif. Pemerintah daerah sendiri tidak
37
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
pernah secara serius menyelesaikan masalah pelacuran di kota ini. Razia terhadap pelacur terjadi secara sporadis dan banyak diwarnai pemerasan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terhadap para pelacur. Argumentasi yang sama juga menjadi alasan utama, mengapa KADP keberatan dengan raperda anti-pelacuran. Banyaknya “pasal karet” dan tidak adanya kejelasan dalam hukum-acara selama proses penyidikan berlangsung, dapat mendorong lahirnya berbagai macam pelanggaran aparat terhadap “korban”. Keberatan inilah yang disampaikan da lam poin pertama pernyataan sikap KADP dalam press con ference. Bunyi pernyataan sikap tersebut adalah sebagai berikut: “..... Akan merugikan masyarakat umum, karena raperda ini mengabaikan asas praduga tidak bersalah, sehingga apa rat bisa seenaknya menangkap seseorang yang diduga se bagai pelacur. Raperda ini juga tidak mengatur penerapan asas ganti-rugi dan rehabilitasi, jika terjadi kesalahan pe nangkapan seperti yang telah dikenal dalam hukum pidana nasional”.4
Menelisik materi naskah raperda anti-pelacuran, KADP menemukan pengabaian asas praduga tidak bersalah, khu susnya dalam Bab II Pasal 2 ayat (2) berbunyi, “seseorang dilarang memikat orang dengan sikap, perkataan dan atau isyarat yang diduga kuat mengarah pada praktik pelacuran”. Apalagi hal ini dikuatkan ayat 5, “Larangan sebagaimana dimaksud ayat 1, ayat 2, ayat 3 pasal ini berlaku untuk: a) seluruh daerah Kabupaten Jombang; b) seluruh warga ma syarakat yang bertempat tinggal di Kabupaten Jombang; c) seluruh masyarakat daerah lain dan/atau orang asing yang berada di Kabupaten Jombang”. Menurut Ifa Cahyaningtyas, pasal 2 sebagaimana ter surat di atas merupakan “pasal karet” yang dapat menjerat siapapun dan menjadikan mayoritas perempuan menjadi korban kriminalisasi karena dicurigai sebagai pelacur. Kata 4
38
Press Conference, 23 Agustus 2006.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
“memikat orang dengan sikap, perkataan dan atau isyarat yang diduga kuat mengarah pada praktik pelacuran” me nurutnya, dapat diterjemahkan penegak hukum dan petugas Satpol PP secara sepihak dan besar kemungkinan petugas akan membabi buta mengidentifikasi siapa saja dengan dugaan sebagai pelacur untuk dirazia. Cahyaningtyas menambahkan, hal ini mengingat, stig ma pelacur di dalam kognisi masyarakat kita tidak lain adalah perempuan. Aan Ansori juga menilai, potensi kriminalisasi korban dan stigmatisasi tersebut merupakan bukti raperda anti-prostitusi bersifat diskriminatif, sekaligus membenarkan pelanggaran hak-hak asasi manusia bagi korban. Hal ini diperparah dengan ketiadaan asas ganti-rugi dan atau rehabilitasi, jika terjadi kesalahan penangkapan, sebagaimana dalam hukum pidana nasional. Tidak ada satu pun pasal dalam raperda tersebut yang mengatur soal gantirugi dan atau rehabilitasi, jika ternyata aparat penegak hu kum keliru dalam menangkap “korban”. Hal ini juga diakui Pansus, raperda ini tidak memuat pasal yang secara eksplisit mengatur masalah ganti-rugi dan atau rehabilitasi. Meski pun demikian, dengan nada apologetik, Zubaidi Muchtar mengungkap bahwa sistem hukum positif kita tidak mengenal asas ganti-rugi dan atau rehabilitasi. Menurutnya, hal ini bisa saja menimpa tidak hanya pada kasus pelacuran, sebab dalam banyak kasus pidana seperti korupsi, asas ganti-rugi dan atau rehabilitasi tidak pernah dijalankan. Ironisnya, pansus sendiri tidak menyiapkan draf raper da yang dapat menekan potensi diskriminasi misalnya de ngan mengedepankan asas praduga tak bersalah, asas gantirugi dan atau rehabilitasi. Lalu, bagaimana jika terjadi salah tangkap seperti kasus-kasus daerah lain yang memiliki perda anti-maksiat? Dengan enteng Zubaidi menjawab, itu adalah kesalahan petugas Satpol PP dan kita tidak bisa menyalahkan hukum itu sendiri. Bab V Pasal 4 Ayat (2) menjabarkan kewenangan pe nyi dik sebagai betikut: Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah: a) mencari, menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana pelacuran; b) melakukan tindakan pertama pada saat
39
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
di tempat kejadian; c) menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang; d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) mengambil sidik jari dan memotret seorang; g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau sebagai tersangka; h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hu bungannya dengan pemeriksaan perkara. Di samping tidak mengindahkan asas praduga tak bersalah, ayat-ayat pada pasal di atas juga memberikan kewenangan kepada para penyidik yang sangat melampaui batas. Seorang penyidik, termasuk penyidik PPNS, memiliki kewenangan mencari dan menerima pengaduan, melakukan tindakan, menangkap, menahan, menggeledah, menyita, dan lain-lain. Menanggapi ini, dalam pernyataan resminya, KADP mengkawatirkan razia akan dilakukan di wilayah pribadi, karena raperda ini tidak memiliki kejelasan definitif batas “ruang publik” dan “ruang privat” dalam pelacuran. Bahkan, membayangkan jika “korban” yang ditangkap ada lah perempuan pada umumnya dan secara kebetulan ber ada pada ruang dan waktu yang salah, pada posisi seperi ini “korban” sama sekali kehilangan hak-haknya untuk mela kukan pembelaan atas tuduhan yang dialamatkan padanya. Menurut KADP, raperda ini juga tidak memiliki ke je lasan dalam hukum-acara proses penyidikan, sehingga rawan terjadi pelanggaran. Tidak adanya asas ganti rugi, rehabilitasi dan kemungkinan “korban” berhak menuntut aparat jika ditemukan penyelewengan di lapangan, menjadi kan posisi masyarakat pada umumnya, terutama perempuan, berada pada posisi powerless di depan negara. Koalisi ini menganggap, raperda ini menyimpan semangat diskriminasi terhadap perempuan dan tidak menghormati kelompok ber orientasi seksual alternatif yang cenderung minoritas karena raperda ini mengkategorikan pelaku hubungan sejenis seba gai pelacur. Menurut Cahyaningtyas, jika raperda ini tetap disahkan, perempuan akan menjadi kelompok paling dirugikan. Raperda ini hanya mengatur sangsi yang berat bagi pelacur, akan te tapi sama sekali tidak ada sanksi yang tegas terhadap para
40
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
pengguna (users) layanan prostitusi. Menurutnya, di samping sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan, raperda ini juga besifat diskriminatif terhadap person/kelompok sosial yang memiliki orientasi seksual alternatif. Terlepas dari semangat diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok orientasi seksual alternatif, raperda ini tetap dianggap bermasalah, karena tidak pernah ada tahapan uji publik (public examantion) atas naskah akademik raperda ini. Tidak adanya data yang memadai tentang pelacuran di kota ini juga menandai, proses penyusunan raperda ini tidak melalui kajian yang serius terhadap masalah prostitusi di Jombang. Selanjutnya, jika DPRD bersikukuh membawa raperda tersebut ke sidang pleno, maka KADP akan tetap menunjuk kan keseriusannya menolak pemberlakuan raperda tersebut. Ia menegaskan, jika raperda ini disahkan, KADP akan me nempuh jalur hukum, baik melakukan tuntutan hukum mau pun uji material atas perda anti-pelacuran”. G. Nasibnya Kini Sejak diajukan pada 2006 hingga akhir 2008, Raperda Anti-Pelacuran belum disahkan. Meskipun demikian, ang gota DPRD dari FKB, Zubaidi Muchtar tetap optimis, pada gilirannya nanti, raperda tersebut tetap akan lolos menjadi peraturan daerah. Menurutnya, apabila diprosentase, raperda tersebut sudah 75% dan tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi perda. Bahana Bella Binanda meyakini, raperda tersebut akan mengalami jalan buntu, karena PDIP akan menolak. Menu rutnya, proses persidangan raperda tersebut cukup panjang, sedangkan masa kerja DPRD saat itu tinggal setahun, yakni akhir 2009. PDIP pesimis raperda ini akan menjadi perda, meski raperda ini diajukan kembali untuk dibahas dalam Pleno DPRD Jombang hasil pemilu 2009. Perdebatan antara pansus pengusung di satu sisi, dan penolakan DPC PDIP Jombang di sisi lain, terus mewarnai proses persidangan ra perda anti-pelacuran sejak pertama kali naskah akademik diajukan kepada ketua DPRD Jombang.
41
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Akhirnya, setelah menimbulkan banyak kontroversi, pada Juli 2009, raperda anti-pelacuran ditetapkan DPRD Jom bang menjadi Perda No. 15 tahun 2009 secara sah menjadi Perda Pelarangan Pelacuran, tanpa ada perubahan atau revisi yang berarti dari darft sebelumnya. Banyak pegiat sosial dan akademisi menilai perda ini tidak berbobot, sebab muatannya mengandung banyak kerancuan dan ketimpangan. Atho’illah, praktisi hukum asal Surabaya menilai, pasal 2 ayat 4 dalam perda tersebut sangat rancu dan timpang, karena tidak mengatur sanksi bagi pelanggarnya. Demikian juga, Perda No 15/2009 tidak mengatur adanya keseimbangan sanksi antara pelaku pelacuran dan orang yang membujuk untuk melakukan tindak pelacuran. Ia menambahkan, perda tersebut tidak berbobot dan mengandung banyak ketimpang an. Bahkan, beberapa pasal saling bertolak belakang antara satu dengan yang lain. Misalnya, sanksi denda yang sama yakni Rp. 5 Juta antara pelaku dan perayu serta hukuman pidana kurungan yang sama yakni 3 bulan dinilai tidak se suai dengan KUHP.5 Selain itu, tugas dan tanggung jawab Pokja Pembinaan dan Pemberantasan Pelacuran juga tidak dijelaskan secara rinci. Ironisnya, pokja memiliki hak menutup tempat pela curan dan menangkap pelaku pelacuran, sedangkan dampak penutupan dan perluasan lapangan kerja tidak diatur. Ketua Komisi A DPRD Jombang, Joko Triono mengurai, pi haknya akan menjembatani aspirasi masyarakat yang meng harapkan agar Perda Pelarangan Pelacuran tersebut direvisi. Menurutnya, telah dibentuk Badan Legislasi yang bertugas mengevalusai setiap perda yang dikeluarkan, sambil terus mendesak Bupati agar solusi atas Perda tersebut segera ditemukan. Di lain pihak, Kapala Desa Sukodadi, Kabuh, Slamet Mulyono dengan geram memaksa agar perda yang merugikan 5 Lakspedam Nu Jombang, Suara Warga: Perda Pelarangan Pelacuran Tidak Berbobot, http://www.lakpesdamjombang.org/home/index.php?option=com_conten t&view=article&id=270:perda-pelarangan-pelacuran-tidak-berbobot&catid=7:hotnews
42
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
warga lokalisasi Klubuk segera direvisi. Ia menilai, perda tersebut tersebut dibuat tanpa memperhatikan aspek sosial masyarakat. DPRD Jombang diminta segera merevisi perda tersebut karena secara ekonomis sangat merugikan dan tidak melihat aspek kemanusiaan.6 Kritik senada dilontarkan Maria, Aktivis Kontras Su rabaya. Menurutnya, setiap perda seharusnya tidak menim bulkan masalah baru, khususnya masalah sosial kemanu siaan. Alih-alih menjadi solusi, perda No 15/2009 tentang pelarangan pelacuran, terdapat banyak ketimpangan, yakni tidak jelasnya sasaran perda tersebut. Menurutnya, jika target perda adalah pelaku pelacuran, maka penutupan lokalisasi bukan solusi yang tepat. Begitu juga, jika targetnya tempat lokalisasi pelacuran, tidak tepat jika mucikari atau pelaku pelacuran ikut serta ditangkap. Karena itu, perda ini sangat diskriminatif terhadap perempuan. Saat ini, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Koalisi Anti Diskriminasi dan Prostitusi (KADP) dan Lembaga Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LINK) Jombang sedang mengupayakan legislative review atas Perda Pelarangan Pe lacuran ini. Akan tetapi, sampai tulisan ini diterbitkan, kami belum mendapat keputusan terkait hal tersebut.7
II. Perda Ramadhan di Pasuruan A. Pasuruan di Era Pemekaran Berdasarkan sensus 2000, kota Pasuruan dengan luas 35.290 m2 dihuni sekitar 157.739 jiwa terdiri dari 77.079 laki-laki dan 80.739 perempuan. Terbitnya Surat Gubernur Jawa Timur No. PM.012.4/1421/1978 pada 19 Oktober 1978 menahbiskan pemekaran beberapa wilayah Kotamadya Dae rah Tingkat II, termasuk Pasuruan, Mojokerto, Probo linggo dan Blitar. Surat tersebut ditindaklanjuti dengan 6 “Polisi Diminta Pergi dari Lokalisasi”, lihat di http://cangkang.vivanews.com/ aff/news/read/105565-polisi_diminta_pergi_dari_lokalisasi 7 “Perda Prostitusi Jombang Tak Atasi Prostitusi”, lihat di http://www.lakpesdamjombang.org/home/index.php?option=com_content&view=article&id=233%3 Aperda-prostitusi-jombang-tak-atasi-prostitusi&catid=7%3Ahot-news&Itemid=41
43
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
terbitnya Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pasuruan Nomor PM.012.4/2911/1978 pada 28 Desember 1978, perihal pemekaran fisik Kotamadya Daerah Tingkat II Pasuruan. Kedua surat ini selanjutnya diajukan ke DPRD Pasuruan un tuk mendapatkan pembahasan dan pengkajian lebih lanjut. Pada 24 Maret 1979, DPRD Pasuruan resmi menyetujui pengajuan tersebut. Keputusan itu sekaligus mendukung penyerahan sebagian wilayah Pasuruan kepada Pemerintah Kotamadya Pasuruan. Pemekaran wilayah ini menyimpan sejarah khusus, terutama menyangkut desa-desa yang diserahkan ke kotamadya. Selain penyerahan 13 desa ke kotamadya Pasuruan, pihak walikota juga meminta tambahan 2 desa Randusari dan Krapyakrejo untuk ditambahkan. Permintaan walikota ini berdasarkan turunan Surat Gubernur Jawa Timur, pada 1 Mei 1979 Nomor PM.015/617/1979/Rhs. Tampak jelas, masalah ini begitu pelik sampai Pemkot Pasu ruan memutuskan untuk menyerahkan masalah ini ke pe merintah pusat agar mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. Peliknya masalah ini tidak sekedar masalah administratif, tetapi juga menyangkut kepentingan politik. Hal ini tampak dari penolakan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Usulan penyerahan 35 Desa tersebut mengundang reaksi penolakan PCNU Kabupaten Pasuruan dengan alasan utama, sebagian besarnya adalah kantong-kantong warga NU. Padahal, pihak PCNU, sebagai pendukung fanatik Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mengkhawatirkan penurunan jumlah perolehan suara Pemilu 1982 terutama perolehan kursi di legislatif. Usaha pemekaran baru berhasil pada 1982 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 tahun 1982 tentang Pe ru bahan Batas Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Pasuruan. Berdasarkan PP. No. 46 tahun 1982, pemekaran wilayah secara fisik resmi berlaku sejak September 1983. B. Kultur Keagamaan Ketika memasuki Kota Pasuruan, baik dari arah Sura baya, Malang maupun Probolinggo, nuansa keislaman terasa begitu kental. Terlebih, menjulang gapura megah bertuliskan
44
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Selamat Datang dengan ornamen masjid berkubah besar sebagai ciri khasnya. Sulit untuk disangkal, Islam adalah agama mayoritas warga setempat. Menyusuri jalan dan re lung kota Pasuruan, tampak beragam ornamen dan tulisan Arab, seperti Lailaha Illa Allah, Subhananallah atau Alham dulillah. Tulisan-tulisan tersebut mengukir lampu hias di setiap sudut perkotaan. Secara lebih sepesifik, dua pertiga penduduk adalah warga NU. Sehari-hari, masyarakat Pasuruan terbiasa mengenakan busana muslim termasuk sarung, baju koko, dan kopyah. Sehingga, tidak aneh jika kita menyaksikan dan menjumpai lalu-lalang warga mengenakan baju muslim di tempat umum termasuk pasar, jalanan kota, warung sekitar masjid jami’ dan juga toko-toko. Demikian juga, kaum perempuan kota ini sangat terbiasa dengan pakaian muslimahnya. Pemandangan yang khas itu hampir setiap saat kita temui. Namun, khususnya sepanjang warung jalan protokol kota, tampak jelas nuansa islami, terlebih di pagi hari. Pa salnya, sehabis salat subuh di Masjid Jami’ Pasuruan, masya rakat setempat memiliki kebiasaan berkumpul dan mengobrol di warung sekitar masjid, sambil minum kopi dan makan ketan; sejenis nasi yang terbuat dari beras ketan. Sekali lagi, pemandangan semacam ini sangatlah tidak asing dan dapat kita jumpai setiap pagi hari. Sementara dari sisi bahasa, masyarakat Pasuruan cu kup familiar dengan bahasa Arab, baik dalam percakapan maupun komunikasinya. Kosa kata Arab seperti ente, ana, khoir, akhi, raja’, harim, walad, zaujah, sayarah, dukhon, suhul dan lain-lainnya, meski dengan dialek Pasuruan sa ngat akrab di telinga masyarakat setempat. Karena itu, tidak mengherankan jika slogan-slogan dan simbol-simbol yang dipasang menggunakan istilah-istilah berbahasa Arab. Meski hal ini tidak memiliki hubungan langsung, tetapi penggunaan kosa kata Arab dan slogan-slogan berbahasa Arab, secara sederhana, dapat mencerminkan bagaimana pemahaman dan konstruksi sosial keagamaan masyarakat Kota Pasuruan yang sebenarnya.
45
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
C. Konfigurasi Politik Menjelang periode multipartai paska reformasi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendominasi perolehan suara di Kota Pasuruan, mengungguli Golkar dan PDI. Hanya saja, saat pemilihan Walikota sebelum 1999-2005, DPRD Pasuruan mengangkat H. Ambjah sebagai Walikota terpilih melalui dukungan koalisi Golkar dan TNI. Akan tetapi, memasuki era multipartai, berbagai partai politik bermunculan meramaikan Kota Pasuruan layaknya daerah-daerah lain di Indonesia. Pada 2004, berdasarkan data KPU Kota Pasuruan, 24 partai ikut meramaikan Pemilu 2004. Pada Pemilu 1999 dan 2004, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memenangi kontestasi politik di Kota ini. Selama dua periode Pemilu tersebut, PKB menang telak. Ini misalnya, bisa dilihat dalam perolehan kursi legislatif Pemilu 2004: PKB (10 orang), Golkar (3 orang), PDIP (3 orang), PAN (3 orang), Demokrat 3 (orang), dan Pelopor (1 orang). Hasil lengkapnya tersurat dalam Daftar Rekapitulasi Perolehan Suara Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Kota Pasuruan.8 Fakta politik ini berdampak signifikan terhadap perolehan suara pada pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Pasuruan 2004 dan 2005. Mayoritas masyarakat Nahdliyin Pasuruan memberikan dukungan politiknya kepada PKB dan figur yang diusung atau dijagokan partai ini untuk menduduki posisi Walikota Pasuruan. Mengingat wakil PKB di legislatif menjadi mayoritas, situasi ini memudahkan partai ini mengusung kadernya menjadi Walikota 2 periode sekaligus; 2000-2005 dan 2005-2010. Dalam Pilkada 2000, berkoalisi dengan PDIP, PKB mengusung pasangan Aminurokhman (PKB) dan Pujo Basuki (PDIP) juga berhasil menempatkan calonnya menjadi Walikota dan Wakil Walikota periode 2000-2005. Mengusung pasangan yang sama, pada Pilkada langsung 2005, PKB juga memenangkan posisi Walikota periode 2005-2010. Perolehan suara dalam Pilkada tersebut digambarkan dalam tabel berikut: 8
46
KPUD Kota Pasuruan 2004.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Tabel 3 Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pilkada Kota Pasuruan Tahun 2005 No. 01.
Kecamatan Gadingrejo
Nama Pasangan Calon 1. Aminurokhman dan Pujo Basuki 2. Reza E. Prasetyo dan T. Heru Pribadi 3. Hariyono dan Indro Moetojo
Perolehan Suara 17.631 6.813 4.594
02.
Purworejo
1. Aminurokhman dan Pujo Basuki 2. Reza E. Prasetyo dan T. Heru Pribadi 3. Hariyono dan Indro Moetojo
17.985 7.742 5.124
03.
Bugul Kidul
1. Aminurokhman dan Pujo Basuki 2. Reza E. Prasetyo dan T. Heru Pribadi 3. Hariyono dan Indro Moetojo
15.881 6.529 5.015
Sumber: KPUD Kota Pasuruan Tahun 2005
Sedangkan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 Tahap I, perolehan suaranya terdeskripsikan sebagai mana tabel berikut: Tabel 1 Hasil Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 Tahap I No. Kecamatan 01. Bugul Kidul
Nama Calon 1. Wiranto-Sholahuddin W. 2 .Mega-Hasyim 3. Amin Rais-Siswono 4. Susilo BY-Yusuf Kalla 5. Hamzah H-Agum G
Jumlah TPS 135 135 135 135 135
Jumlah Suara 9.976 4.261 2.864 13.167 596
02.
Gading Rejo
1. Wiranto-Sholahuddin W. 2. Mega-Hasyim 3. Amin Rais-Siswono 4. Susilo BY-Yusuf Kalla 5. Hamzah H-Agum G
147 147 147 147 147
9.962 5.685 2.094 14.241 788
03.
Purworejo
1. Wiranto-Sholahuddin W. 2. Mega-Hasyim 3. Amin Rais-Siswono 4. Susilo BY-Yusuf Kalla 5. Hamzah H-Agum G
160 160 160 160 160
11.264 5.703 3.767 14.948 575
47
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Dari data hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 di atas terlihat jelas, pasangan Wiranto-Sholahuddin Wahid berhasil memperoleh suara yang siginifikan, menjadi nomor dua setelah pasangan Susilo Bambang YudoyonoYusuf Kalla. Kondisi ini memberikan gambaran kepada kita bagaimana sebenarnya faktor keagamaan masih be gitu dominan dan menunjukkan ciri khas masyarakat pa ter nalistik. Faktor ke-NU-an cukup berpengaruh sebagai pertimbangan politik masyarakat Pasuruan. Kecilnya suara pasangan Megawati-Hasyim Muzadi bisa memberikan beberapa informasi sebaliknya. Akan tetapi, yang sangat jelas terekam di lapangan, karena Megawati seorang perempuan dan karenanya tidak layak dalam benak warga Pasuruan tidak sah seorang presiden. Situasi ini bisa jadi kesimpulan awal karakter keislaman warga Pasuruan. Meski mayoritas warga kota ini berafiliasi ke NU, namun karakter ke-NU-an mereka cenderung bersifat konservatif. Memang, hingga saat ini, masih melekat kuat pandangan para ulama kharismatik kota Pasuruan yang bias gender menyangkut peran dan posisi perempuan, terlebih menduduki posisi presiden. Para ulama Pasuruan, posisi tertinggi dalam pemerintahan tetap harus dipegang kaum laki-laki, sebagaimana interpretasi keagamaan yang mereka anut. Pandangan stereotype di atas terbukti dalam perolehan suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahap II, sebagaimana tabel berikut: Tabel 1 Hasil Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 Tahap II No. 01.
Kecamatan Bugul Kidul
02.
Gading Rejo
03.
Purworejo
Nama Calon 1. Mega-Hasyim 2. Susilo BY-Kalla 1. Mega-Hasyim 2. Susilo BY-Kalla 1. Mega-Hasyim 2. Susilo BY-Kalla
Sumber: KPUD Kota Pasuruan
48
Jumlah TPS 135 135 147 147 160 160
Jumlah Suara 6.861 22.954 7.628 23.774 8.303 26.371
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
D. Perkembangan Ekonomi Pada sektor industri, perkembangan sektor industri di Pasuruan mengalami peningkatan, baik dari sisi jumlah, penyerapan tenaga kerja, investasi dan nilai produknya. Perkembangan industri utama kota ini adalah industri kecil. Sektor inilah yang dari tahun ke tahun mengalami pe ningkatan. Sejak 1995, jumlah kelompok industri kecil me ningkat dari 2.374 menjadi 2.457 perusahaan pada akhir 1999. Apabila diuraikan berdasarkan sektor formal dan informal, justru pada sektor formal terjadi penurunan dibanding pada 1998, yakni 474 perusahaan menjadi 422 perusahaan. Se baliknya, untuk sektor informal, terjadi peningkatan dari 1.968 perusahaan menjadi 2.035 perusahaan. Jenis industri kerajinan dan umum merupakan jenis industri yang paling banyak, baik sektor formal maupun informal. Adapun salah satu unsur kegiatan ekonomi sektor in for mal adalah pedagang kaki lima (PKL). Pada dasarnya, PKL adalah jenis usaha informal yang banyak tumbuh dan berkembang di perkotaan. PKL adalah pedagang yang men jajakan dagangannya di sektor informal dan mereka eksis di tengah warga perkotaan. Predikat tersebut seringkali di berikan kepada jenis usaha yang memiliki ciri-ciri, sebagai berikut: 1) bermodal usaha kecil; 2) jenis daganganya sedikit dan tidak beragam; 3) kios semi permanen dan terbuat dari kayu/papan; 4) mudah berpindah-pindah; 5) fasilitas umum sebagai tempat transaksi dan waktu berdagang tidak pasti. Berdasarkan data 2001, perkembangan PKL di Pasuruan tumbuh dengan sangat cepat. Dalam kurun waktu tiga tahun antara 1998-2001, tingkat pertumbuhannya mencapai tiga kali lipat, dari 125 unit pada akhir 1998 menjadi 389 unit pada akhir 2001. Pertumbuhan terbesar terjadi pada masa krisis ekonomi, paruh kedua 1997. E. Isi dan Cakupan Perda Ramadhan Perda Ramadhan di sini merujuk pada perda Kota Pa suruan Nomor 04 tahun 2006 tentang Pengaturan Membuka Rumah Makan, Rombong, dan yang sejenis pada waktu
49
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
puasa bulan Ramadhan. Secara garis besar, perda tertanggal 11 September 2006 dan ditandatangani Walikota Pasuruan, Aminurrokhman, mengatur beberapa poin berikut: Pertama, rumusan dan penerbitan perda ini berdasarkan pada 3 pijakan utama, sebagaimana terlampir dalam perda. Kedua, perda ini juga mempertimbangkan dan mencantumkan 11 perundang-undangan dan peraturan, baik pusat maupun daerah, sebagai landasan yuridisnya, sebagaimana terlampir dalam perda. Ketiga, perda ini terdiri dari 7 bab, 10 pasal dan 13 ayat lengkap dengan penjelasan. Masing-masing item mengandung muatan sebagai berikut: Bab I (Ketentuan Umum). Bab ini berisi 1 pasal yang menjelaskan beberapa definisi dasar. Misalnya, definisi ”rumah makan” adalah sejenis rombong atau tempat umum untuk usaha jual beli makanan, minuman, dan rokok yang secara langsung dapat dimakan, diminum serta dihisap di tempat tersebut. ”Tempat umum” adalah tempat di mana orang sering berkumpul, bertemu dan saling berkomunikasi atau berinteraksi. Sementara, pengertian ”waktu puasa” ada lah datangnya waktu imsak hingga menjelang waktu salat maghrib saat bulan ramadhan. Bab II (Maksud dan Tujuan). Bab ini memuat 1 pasal yang menjelaskan maksud dan tujuan penetapan perda, yak ni untuk memberikan jaminan pelayanan keamanan dan ke tertiban dalam menjalankan ibadah puasa bagi umat Islam selama bulan Ramadhan. Bab III (Larangan). Bab ini memuat 2 pasal dan 5 ayat yang menegaskan larangan kepada setiap orang untuk membuka rumah makan, rombong dan sejenisnya, sekaligus larangan bagi orang untuk makan, minum dan atau merokok di tempat umum selama bulan Ramadhan. Larangan itu di kecualikan bagi setiap orang yang membuka toko swalayan, supermarket dan toko-toko yang memperjualbelikan makan an, minuman atau rokok yang tidak untuk dimakan, diminum atau dihisap di tempat tersebut. Begitu juga, bab ini memuat seruan bagi orang yang membuka rumah makan dan atau rombong yang dibuka sejak pukul 17.00 WIB dalam rangka menyediakan orang yang akan berbuka puasa. Bab IV (Pengawasan). Bab ini memuat 1 pasal dan 2
50
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
ayat menjelaskan fungsi satuan Polisi Pamong Praja sebagai penanggung jawab pengawasan terhadap pihak-pihak yang dimaksud dalam bab-bab sebelumnya. Akan te ta pi, jika dipandang perlu, walikota dapat membentuk Tim Pengawas Terpadu yang terdiri dari unsur Sekretariat Daerah, Kantor Satuan Polisi Pamong Praja, Bawasda, Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat serta unsur kepolisian. Bab V (Penyidikan). Bab ini terdiri dari 1 pasal dan 3 ayat menjelaskan wewenang khusus satuan pejabat tertentu di lingkungan pemerintah Pasuruan sebagai penyidik, se bagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana. Bab VI (Ketentuan Pidana). Bab ini memuat 2 pasal dan 3 ayat yang mengatur jenis denda atau sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar ketentuan di atas. Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 3 ayat (1) diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah); jika melanggar pasal 3 ayat (2) diancam kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Selanjutnya, hasil denda akan disetor ke kas daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah. Bab VII (Ketentuan Penutup). Bab ini memuat 2 pasal yang mengurai teknis penetapan walikota menyangkut pe laksanaan perda dan pemberlakuannya sejak tanggal pene tapan. Akan tetapi, pada akhirnya, perda tersebut tidak bisa dilaksanakan. Gagalnya pengajuan ini bukan karena pe nolakan dari pihak-pihak yang ada di Pasuruan, tetapi ka rena penolakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sendiri. Meskipun gagasan perda ini berasal dari sekelompok elit agama Islam Pasuruan, namun hampir tidak ada elemen masyarakat Pasuruan yang menyuarakan keberatan, atau bahkan penolakan terhadap perda tersebut. Kalaupun ada yang keberatan, mereka cenderung diam sehingga keberatan mereka tidak akan diperhitungkan. Pihak yang keberatan ini, misalnya, orang-orang yang mencari nafkah selama bulan Ramadhan dengan cara membuka warung makanan.
51
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
F. Penolakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur Awalnya, Pemkot Pasuruan mengajukan usulan Perda Ramadhan ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui surat tertanggal 20 September 2006 Nomor 188/448/423.012/2006. Berselang 5 bulan, pihak Pemprov Jatim mengirimkan surat balasan Nomor 188/1314/013/2007 dan ditandatangani Sekretaris Daerah, Soekarwo, tertanggal 02 Februari 2007. Dalam surat balasannya, Pemprov Jatim menjelaskan, sete lah berkoordinasi bersama instansi teknis yang terkait, diputuskan hal-hal berikut: 1. Apabila ditinjau dari sisi peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemberlakuan peraturan daerah tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan di kemudian hari, mengingat berdasarkan Pasal 28 (a) UUD 1945, pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya, jelas Perda Ramadhan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). 2. Apabila ditinjau dari posisinya, letak kota Pasuruan sangat strategis karena jalan lintas Bali, Surabaya, Malang, sehingga apabila dikaitkan dengan kondisi mayoritas muslim, dibutuhkan kearifan dan pemahaman yang mendalam terhadap masyarakat non-muslim. 3. Berdasarkan hal tersebut, menurut Pemprov Jawa Timur, peraturan daerah tersebut seyogyanya tidak dilaksana kan. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat dila kukan penyempurnaan-penyempurnaan materinya dan disesuaikan dengan norma hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat dengan menuangkannya dalam bentuk surat edaran yang sifatnya hanya “himbauan”. Berdasarkan penolakan pihak Pemprov Jawa Timur tersebut, Pemkot Pasuruan tidak dapat menjalankan Perda Ramadhan. Namun, gagasan dasar Perda Ramadhan itu tetap dijalankan pihak Satpol PP melalui Perda Trantib. Hanya saja, Satpol PP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena tidak adanya Perda khusus yang mengatur masalah
52
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
tersebut. Sehingga, tidak dapat memberikan sanksi kepada orang yang tetap berjualan makanan di siang hari pada bulan Ramadhan. Kondisi ini tentu saja sangat mengecewakan para ulama yang sangat getol menginisiasi perda tersebut, seperti penjelasan di bawah ini. G. Ulama Sebagai Inisiator Perda Ramadhan Citra sebuah kota seringkali lahir dari spirit warga untuk membangun daerahnya. Akan tetapi, justru di sinilah titik rawannya. Sejak awal, jika citra yang dibangun justru mengandung benih-benih diskriminatif, secara otomatis, gerak pembangunan ke depan akan selalu mengarah pada titik tertentu dan tanpa disadari mengandung bias-bias diskriminatif pula. Fenomena inilah yang terjadi dengan Pasuruan. Nuansa Islami ini menghadirkan Kota Pasuruan sebagai kota santri. Tidak ada yang salah dengan citra kesantrian ini. Akan tetapi, citra ini sangat berpotensi menjadi dalih praktik intoleransi dan diskriminasi, karena semua orang dipaksa menjadi santri atau “pura-pura” menjadi santri. Menyangkut ide dasar perda, hampir semua kalangan menyepakati atas dasar identitas santri yang melekat pada Kota Pasuruan. Walikota, Ketua DPRD, Ketua MUI, pengurus ormas Islam dan para ulama menyatakan, ide dasar Perda Ramadhan merupakan upaya untuk mewujudkan dan atau merealisasikan apa yang dimaksudkan dengan predikat kota santri. Mudah ditebak memang, keinginan untuk menyantrikan warga Pasuruan melalui instrumen negara telah mengendap cukup lama di benak para ulama Pasuruan. Jelas, pada masa orde baru, ide ini tidak mungkin disuarakan terlebih untuk dipraktikkan. Secara politis, kesempatan itu baru muncul paska reformasi. Reformasi tidak hanya menghadirkan kesempatan bagi kelompok mana saja untuk bersuara, tetapi juga membuka kesempatan bagi kelompok yang selama ini tersingkir untuk betul-betul memiliki kekuasaan politik secara nyata.
53
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Kemenangan PKB di Pasuruan jelas memberi ruang para ulama dan tokoh-tokoh PKB, baik langsung maupun tidak langsung, dalam mengatur dan mengelola roda peme rintahan. Paling tidak, mereka memiliki akses yang sangat mudah untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan, terma suk proses pembuatan legislasi. Munculnya gagasan pelarangan untuk membuka wa rung pada siang hari bulan Ramadhan mulai diperdengarkan kepada para anggota DPRD sejak 1999-2004. Keinginan yang begitu kuat ini senantiasa muncul dari para tokoh agama Islam dalam berbagai forum dan kegiatan, baik kepada DPRD maupun Pemkot Pasuruan. Suara ulama Pasuruan ini tentu bukan sesuatu yang begitu mudah bisa diabaikan, karena relasi ulama dan umat yang sangat paternalistik. DPRD masa bakti 2004-2009 tidak mungkin untuk menghindar dari tuntutan tersebut dan akhirnya menyepakati pemberlakuan perda tersebut. Realisasi keinginan ini sebenarnya sulit terbebas dari motif politis beberapa elit PKB saat itu. Dalam hal ini, DPRD Pasuruan, khususnya PKB sebagai unsur mayoritas di legislatif sadar betul bahwa mewujudkan aspirasi itu ber arti melanggengkan dukungan dan bisa berdampak besar bagi eksistensi partai, khususnya perolehan suara dalam Pemilu. Sebaliknya, jika aspirasi tersebut tidak ditangkap, PKB adalah partai pertama yang akan berhadapan vis-a-vis ulama dan tokoh agama, sehingga bisa berpotensi sangat merugikan bagi perolehan suara ke depan. Menyangkut kenyataan ini, Hasani selaku Ketua DPRD Pasuruan periode 2004-2009 mengatakan: ”...... Sebenarnya keinginan itu sudah lama, sejak periodenya Ahid Sufiaji, Ketua DPRD Pasuruan periode 1999-2004. Perda ini juga aspirasi para kiai dan habaib, hanya saja saat itu belum ditanggapi, karena respon dewan saat itu rendah. Ketika periode pertama selesai dan saya masuk dalam jajaran pimpinan fraksi, keinginan itu saya tangkap, karena secara politis dapat mendukung perolehan suara PKB di Kota Pasuruan. Meskipun sebenarnya saya sadar, akan ada kendala pada saat pelaksanaannya, tetapi karena ada desakan dari tokoh masyarakat seperti itu, DPRD merealisasikannya. Sidang-sidangnya cukup lama, melibatkan ulama, tokoh-tokoh masyarakat, ormas-
54
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
ormas Islam, NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya. Tidak ada yang keberatan. Sikap keberatan justru datang dari kalangan Muslim sendiri yang memiliki warung. Alasannya, mereka menjadi kesulitan mencari nafkah”.9
Bagi ulama, keberadaan Perda Ramadhan tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi. Menurut Ketua MUI Pasuruan, KH. Fayumi, pemberlakuan perda ini merupakan harga mati, bahkan ia mengancam mengundurkan diri dari posisinya, jika perda tersebut tidak dilaksanakan.10 Senada dengan itu, pengasuh PP. Sunniyah Salafiyah Pasuruan, Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf menegaskan, tidak ada yang perlu diributkan dari kelahiran perda ini. Menurutnya, selain bertujuan untuk menghormati kaum Muslim di bulan Ramadhan, juga sebagai bentuk keinginan agar Islam dan umat Islam diperlakukan sama dengan agama dan umat agama lain. Tidak jelas apa maksud Habib Taufiq dengan “keinginan agar Islam dan umat Islam diperlakukan sama dengan umat non-muslim”. Tidak ada di dalam sejarah Pasuruan di mana Islam diperlakukan diskriminatif, terlebih jika dibanding dengan pemeluk agama lain. Identitas kota santri justru memperlihatkan, umat Islam menempati posisi istimewa di Kota Pasuruan dibanding dengan umat non-muslim. Jadi, pernyataan Habib Taufiq tersebut perlu dikaji ulang sebagai ”kepentingan politik” umat Islam yang menganggap umat Islam sebagai warga mayoritas, legislasi negara harus memperlihatkan corak keislaman yang kental. Tampak jelas logika inilah yang digunakan Habib Taufiq ketika menyebut Kota Pasuruan sebagai basis mayoritas muslim dikenal sebagai kota santri. Statemen Habib Taufiq di atas sesungguhnya memper lihat kan keinginan klasik sebagian umat Islam untuk menjalankan syariat Islam melalui institusi negara. Meskipun demikian, Habib Taufiq menolak jika perda ini dikategorikan sebagai perda syariat. Terkait dengan persoalan ini, Habib Taufiq mengatakan: 9 10
Wawancara dengan Hasani, 05 April 2008. Wawancara dengan KH. Fayumi, 16 April 2008.
55
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
”Perda ini tidak dapat dikategorikan sebagai perda Syariat. Itu penilaian yang berlebihan. Kita sebagai umat Islam hanya ingin agama kita dihormati, tidak dilecehkan. Bagaimana kita tidak tersinggung, jika ada orang seenaknya makan, minum, merokok di depan kita pada bulan Ramadhan. Apanya yang salah dengan perda ini? Kota Pasuruan ini dikenal dengan kota santri. Apanya yang salah? Coba saja lihat, ketika umat Hindu merayakan Nyepi di Bali, kita yang di Tosari, salah satu kota di Pasuruan juga ikut memadamkan lampu dan api. Kita tidak marah dan tersinggung dengan aturan tersebut, karena itu merupakan bentuk penghormatan kepada orang-orang Hindu. Jadi, apakah salah jika kita juga berharap hal yang sama: di saat berpuasa, mereka juga menahan untuk tidak makan, minum, merokok di depan umum dan melakukan penghornatan yang sama. Dan yang perlu diingat, perda ini bukan hanya untuk mereka, tetapi khusus untuk umat Islam sendiri.”11
Melihat pernyataan Habib Taufiq, jelas Perda Ramadhan tersebut diperuntukkan bagi semua orang. Meskipun sering dinyatakan bahwa umat Islam menjadi target utama perda tersebut, namun jelas pernyataan tersebut menjangkau semua pihak; pemilik warung dan pembeli yang tidak berpuasa. Habib Taufiq adalah salah seorang ulama Pasuruan yang memiliki ribuan umat. Setiap Ramadhan mulai tang gal 10 sampai 29, ia membuka majelis pengajian mulai pukul 21.00 sampai 24.00 WIB. Habib Taufiq sendiri yang mendanai dan memasang spanduk-spanduk yang berisi seruan-seruan moral terkait dengan bulan Ramadhan. Tidak salah jika dikatakan, Habib Taufiq adalah sosok yang sangat penting dalam kehidupan keislaman di Kota Pasuruan. Ber kai tan dengan pengajiannya yang selalu dihadiri ribuan orang, banyak kalangan yang merujuknya sebagai sebuah perjuangan Islam kultural. Seperti pernyataan M. Nawawi, seorang aktivis LSM Kompetend (Komunitas Pemerhati Potensi Daerah) Pasuruan, pengajian yang dilakukan Habib Taufiq perlu diteladani ulama-ulama lain. Ketika perjuangan Islam kultural seperti ini berhasil, sudah tidak lagi dibutuhkan perda untuk menghormati bulan Ramadhan. Agaknya, kita memang harus hati-hati dalam membuat penilaian apakah seseorang 11
56
Wawancara dengan Habib Taufiq, 08 Mei 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
sedang memperjuangkan Islam kultural atau struktural. Masalahnya, banyak orang yang mengambil jalur kultural bukan karena kesadaran dakwah, tetapi karena hanya di wilayah itulah dia bisa berperan. Begitu pintu politik terbuka, dengan sangat cepat dia akan menerapkan hukum Islam melalui pintu negara. Mungkin penilaian yang hatihati ini juga perlu kita berikan kepada Habib Taufiq.12 Dinas atau instansi pelaksana perda adalah Satpol PP. Hal ini karena tidak ada struktur atau dinas baru yang dibentuk secara khusus untuk menjalankan Perda Ramadhan ini. Dengan demikian, secara langsung tidak berdampak pada penambahan alokasi anggaran untuk hal itu. Kenyataan ini dapat kita lihat dari peruntukkan dan perincian pengalokasian APBD, sekaligus dinas atau bidang-bidang yang ada di struktur birokrasi pemerintah Kota Pasuruan. H. Respon Terhadap Penolakan Pemprov Jawa Timur Tidak bisa dipungkiri, beberapa ulama sangat kecewa dengan respon Pemprov Jatim terkait unsur pelanggaran HAM jika perda ini direalisasikan. Habib Taufiq menganggap respon tersebut aneh dan terlalu berlebihan. Habib Taufiq menyatakan, “Jika ada yang mengatakan perda ini melanggar HAM, mana unsur melanggarnya? Jika ada yang mengatakan merugikan, kami akan ganti kerugian mereka.”13 Senada dengan Habib, KH. Fayumi juga sangat kecewa dengan tanggapan Pemprov Jawa Timur. Dia termasuk salah seorang yang sangat getol berusaha agar Perda Ramadhan diberlakukan. Ketidaksetujuan Pemprov dan menyarankan agar sekedar menjadi ”himbauan” dinilai sebagai sebuah kegagalan. Menurutnya, jika hanya sekedar himbauan sama sekali tidak memiliki kekuatan hukum apapun, sehingga merupakan hal yang sia-sia jika tetap diperjuangkan. KH. Fayumi menuturkan: ”Begini…sebelum bulan Ramadhan tahun lalu (1428/2007), sudah ada rapat Muspida lengkap dimana kami dari MUI mengusulkan kepada 12 13
Wawancara dengan M. Nawawi, 16 April 2008. Wawancara dengan Habib Taufiq, 08 Mei 2008.
57
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
pemerintah supaya bulan Ramadhan ini benar-benar terwujud sesuai dengan apa yang dikatakan sebagai kota santri. Akhirnya, DPR kota melakukan pembicaraan tentang Perda Ramadhan lewat sidangsidangnya. Setelah disepakati, perda tersebut kemudian diajukan ke pemerintah daerah. Kedua belah pihak sepakat menerapkan Perda Ramadhan tahun 1428 (2007). Akan tetapi, setelah diajukan ke atas, provinsi meminta perda diralat dan supaya bersifat himbauan semata. Dan itu yang menjadi ketidakpuasan kami”.14
Seperti halnya Habib Taufiq dan Fayumi, Hasani juga mempersoalkan dan mempertanyakan maksud Pemprov Jawa Timur yang menyatakan perda ini mengandung unsur pelanggaran HAM. Hasani mengatakan, “…. ketika ada hasil koreksi itu (maksudnya, jawaban dari Pemprov Jatim), saya bertanya-tanya, kan sebenarnya ada banyak daerah yang memiliki perda-perda seperti itu, misalnya Banjarmasin atau luar Jawa. Namun, kenapa tidak dikatakan melanggar HAM, tetapi ini dikatakan melanggar HAM? Menurut saya, Perda Ramadhan ini tidak melanggar HAM, sehingga semua sepakat, baik non-muslim maupun tokoh-tokoh agama lain”.15 Senada seirama, Walikota Pasuruan, Aminurakhman menyatakan, ide dasar kelahiran perda ini sebenarnya ke inginan dari kalangan ulama berdasarkan citra Kota Pasu ru an selama ini sebagai kota santri. Dalam pengertian, para ulama melihat bukanlah sesuatu yang berlebihan, jika keinginan tersebut diwujudkan dalam bentuk perda yang memiliki kekuatan hukum tetap dan jelas dan diberlakukan di kota yang telanjur dikenal sebagai kota santri ini. Sang walikota mengatakan: “… ya sebenarnya itu berangkat dari aspirasi yang berkembang dari para ulama, karena dari luar, Kota Pasuruan ini brand-nya sebagai kota santri. Masak sih, hal itu tidak dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang formal, karenanya ada ide untuk membuat sebuah peraturan daerah, yakni Perda Ramadhan”.16
Wawancara dengan KH. Fayumi, 16 April 2008. Wawancara dengan Hasani, 05 April 2008. 16 Wawancara dengan Aminurrakhman, 24 April 2008. 14
15
58
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Menurut walikota Pasuruan yang berasal dari PKB ini, penilaian Pemerintah Provinsi itu berlebihan. Pihak Pemerintah Provinsi seharusnya lebih dapat melihat kebu tuhan daerah. Jangan sekedar melihat aspek-aspek tekstual tanpa melihat konteksnya. Sebab hal ini, menurut Walikota, bisa mengakibatkan lahirnya kebijakan yang tidak aspiratif, tidak akomodatif terhadap kepentingan daerah. Akan lebih bijaksana lagi, manakala pemerintah provinsi datang dan terjun langsung ke daerah agar tahu persis kebutuhan riil di masyarakat, dan jangan hanya melihat redaksi tekstual saja. Pihak pemerintah kota Pasuruan sendiri terlihat ambigu. Hal ini terlihat paska penolakan Pemprov Jatim terhadap Perda Ramadhan. Sekalipun Pemda Pasuruan mempertanyakan alasan penolakan Pemprov, namun pihak Pemda juga tidak melakukan apa-apa. Pihak Pemkot Pasuruan sendiri tidak terus menuntut persetujuan dan penerapan perda. Buktinya, sampai saat ini pemerintah Kota Pasuruan belum membahas lagi persoalan perda yang ditolak tersebut. Menurut wali kota, perda ini sebenarnya sebagai shock therapy bagi ma sya rakat. Kata kuncinya adalah kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat. Jika nantinya kesadaran masyarakat sudah tumbuh, perda itu tidak perlu lagi dijalankan, sebab masyarakat sudah sadar. Sebenarnya, kesadaran itulah yang menjadi target dari pemberlakuan perda itu. Ambiguitas ini mungkin karena ketidakmampuan me reka untuk mengatasi tuntutan ulama yang selama ini men jadi konstituen politik, di satu sisi, dan keharusan mener bitkan sebuah aturan yang tidak diskriminatif, di sisi lain. Ambiguitas ini, misalnya, terlihat dari ungkapan walikota tentang daya kekuatan Perda Ramadhan tersebut. Sekalipun jelas di dalamnya terdapat satu bab yang berisi larangan, namun Aminurrohman menyatakan, sebenarnya perda itu hanya bersifat mengatur dan bukan melarang orang ber dagang. Dia menyatakan perda itu hanya mengatur waktu penjual baru diperbolehkan mulai pukul 17.00 WIB. Tentu saja, penjelasan Walikota ini menggelikan karena kalau membuka warung baru boleh di atas pukul 17.00 WIB itu berarti sebelum pukul tersebut dilarang membuka warung, dan itu berarti pelarangan. Apalagi di dalam perda juga
59
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
disebutkan secara eksplisit dengan istilah “larangan”. Bagi pihak penggagas Perda Ramadhan, terutama ka langan ulama, hal ini jelas sekali mengecewakan. Kekece waan ini bisa dipahami karena jika Perda Ramadhan disetu jui dan direalisasikan, pelaksanannya akan berjalan efektif. Melihat Pemkot Pasuruan yang tidak melakukan perlawanan apa pun terhadap ketidaksetujuan Pemprov Jatim, ulama Pasuruan memandang Pemkot Pasuruan sendiri tidak sungguh-sungguh. Ini bisa dilihat dari ungkapan Habib Taufiq. Menurutnya, ”Pemkot Pasuruan yang tidak serius merealisasikan perda itu”. Alasannya, setelah perda ditolak, Habib Taufiq melihat Pemkot Pasuruan seolah-olah tidak melakukan tindakan apapun, sehingga terkesan pasrah atas kebijakan pemerintah provinsi tersebut. Habib Taufiq mengatakan: ”Intinya, kita sendiri umat Islam yang kurang serius menanggapi masalah ini, terlebih lagi Pemkot Pasuruan. Buktinya, paska penolakan Pemda Tk I, tidak ada upaya lebih lanjut dari Pemkot Pasuruan, terlebih membentuk tim misalnya”.17
Menyangkut masalah ganti rugi seperti usulan para penggagas perda, Hasani dan Nawawi menilai akan ada masalah teknis yang rumit dan serius, bahkan dikhawatirkan terjadi penyimpangan di lapangan. Jika ide ganti rugi tersebut direalisasikan. Misalnya, permasalahan tersebut menyangkut besarnya nominal kompensasi dan jumlah pemilik warung penerima ganti rugi. Di samping itu, ide ganti rugi juga tidak mengemuka secara serius dalam berbagai kesempatan perbincangan mengenai Perda Ramadhan ini. “Dari kalangan ulama maunya seperti itu, ada ganti rugi, tetapi kita sadari hal itu tidak mudah, karena akan banyak bermunculan orang-orang baru yang mengatakan memiliki warung dan ini akan menjadi krusial permasalahannya”, jelas Hasani.18 Hal senada juga diungkapkan Nawawi. Menurutnya, jika ganti rugi itu direalisasikan, sangat mungkin akan 17 18
60
Wawancara dengan Habib Taufiq, 08 Mei 2008. Wawancara dengan Hasani, 05 April 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
terjadi banyak penyimpangan. Dia mencontohkan dengan melonjaknya jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) setelah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), jumlah madrasah menjadi berlipat-lipat, jika dibanding dengan sebelum adanya dana BOS. Berkaca pada persoalan tersebut, bisa jadi nanti akan banyak terjadi pemilik warung fiktif hanya karena ingin mendapatkan dana kompensasi penutupan warung dari pemerintah. Sebuah pemikiran yang realistis dan bisa dipahami. Jadi, persoalannya tidak sesederhana seperti yang diungkapkan para ulama tentang ganti rugi penutupan warung.
I. Tentang Aspirasi dan “Suara Lain” Sebagaimana disinggung di atas, kelahiran Perda Ramadhan di Kota Pasuruan tidak muncul begitu saja. Ia telah lama menjadi keinginan, terutama kalangan santri. Ketika kesempatan tersedia, keinginan itu betul-betul ditindaklanjuti menjadi sebuah usaha nyata. Bahkan, prosesproses formal semisal penyerapan aspirasi juga dilakukan. Baik kalangan birokrat maupun tokoh-tokoh Islam me nyatakan, perumusan perda tersebut telah melalui pem bi caraan serius dengan melibatkan banyak elemen, yakni Muspida, para ulama, ormas-omas Islam, kalangan non-muslim dan juga para pemilik warung. Habib Taufiq menyatakan, pro ses pembuatan perda tersebut telah melibatkan pemuka-pemuka agama lain, anggota dewan juga pemilik warung. Mereka semua duduk bersama membicarakan persoalan ini. Menurutnya, mereka semua sepakat karena perda tersebut demi kebaikan bersama dan tidak merugikan siapapun. Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Zubair Hamzah, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam dan sekaligus Sekretaris Majlis Wakil Cabang (MWC) NU Bugul Kidul menyatakan, kelahiran perda itu memang benar-benar digali dari aspirasi masyarakat. Menurutnya, di internal NU wilayah Bugul Kidul, pernah dilakukan forum aspirasi dari warga Nahdliyin anggota DPRD dari PKB perihal bagaimana seandainya di Kota Pasuruan ini dimunculkan
61
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
perda yang mengatur jam buka warung dan sejenisnya di bulan Ramadhan. Dalam forum itu disepakati, perda seperti itu dianggap sebagai sesuatu yang perlu dan positif bagi masyarakat Kota Pasuruan. Zubair juga memastikan, tidak hanya NU yang men dukung secara penuh kelahiran perda tersebut, tetapi demikian halnya juga dengan ormas-ormas lainnya. Kenya taan itu dibuktikan ketika terjadi public hearing menyangkut perda tersebut di kantor DPRD, semua pihak mendukung, menyetujui dan tidak ada yang keberatan, termasuk kelompok non-muslim. Menurut Zubair, lagi-lagi seperti pandangan sebelumnya, perda lebih ditujukan untuk mengatur umat Islam sendiri, seperti dalam pernyataan berikut: Menanggapi pernyataan sebelumnya, M. Nawawi juga menganggap proses kelahiran perda tersebut memang melibatkan berbagai pihak. Para ulama sangat aktif mewa canakan Perda Ramadhan di berbagai forum. Meski pun demikian, Nawawi memandang pemberlakuan perda ada lah alternatif terakhir. Kalau terpaksa diundangkan, harus didahului dengan pengkondisian secara maksimal. Peng kondisian ini adalah upaya dakwah yang maksimal untuk membangkitkan kesadaran umat Islam. Karena itu, langkah yang perlu dilakukan para ulama adalah berdakwah untuk menimbulkan kesadaran umat Islam dalam menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Kalau kesadaran ini sudah terbentuk, Kota Pasuruan sebetulnya bisa seperti Martapura yang sekalipun tidak memiliki Perda Ramadhan, tetapi tercipta suasana yang sangat kondusif saat bulan Ramadhan, di mana semua masyarakatnya saling menyadari dan menghormati. Dia kemudian merujuk pada dakwah Habib Taufiq sebagai contoh dakwah Islam kultural. “Bayangkan saja, majelis Habib Taufiq itu mulai tanggal 10–29 setiap Ramadhan, semalam ada dua majelis, mulai jam 21.00-24.00 WIB, yang ikut ribuan, bukan ratusan; Kita bisa bayangkan betapa dahsyat imbasnya, jika hal itu juga dilakukan ulama-ulama dan pihak lain. Habib Taufiq tidak hanya lewat oral, tetapi juga mendanai dan memasang spanduk-spanduk terkait seruan Ramadhan yang juga mendapatkan dukungan dari MUI, dalam hal ini
62
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
KH. Fayumi. Jadi, yang berbentuk kultural ini sebenarnya sangatlah efektif, sehingga perda tidaklah perlu”, katanya dengan tegas.19 Pendapat Nawawi ini bertentangan dengan pandangan K.H. Fayumi. Menurut Fayumi, pelaksanaan puasa Ramadhan tidak cukup hanya melalui pengajian, tetapi harus dilakukan melalui perda. Sekali lagi, ini karena Kota Pasuruan adalah kota santri.20 Sekalipun bagi Nawawi perjuangan kultural (dakwah) lebih penting daripada perjuangan struktural (legislasi berupa perda), namun menurutnya, Perda Ramadhan sa ngat pas diterapkan di Kota Pasuruan. Yang dia inginkan hanyalah agar perda tersebut dilakukan ketika perjuangan kultural sudah tidak lagi efektif. Di samping itu, proses dan pelaksanannya tidak terkesan dipaksakan. Komentar Nawawi tersebut seakan mengindikasikan, dakwah Islamiyah di Kota Pasuruan belum berjalan maksimal. Pertanyannya adalah apakah memang betul demikian? Jika keberadaan penjual makanan di siang pada bulan Ramadhan dijadikan indikasi tidak maksimalnya dakwah Islam, hampir tidak ada dakwah Islam yang maksimal, bahkan di zaman kenabian. Hal ini karena hampir tidak mungkin membayangkan adanya sebuah umat pemeluk agama yang secara keseluruhan menjalankan ajaran agama yang bersangkutan secara penuh. Yang perlu dikembangkan justru adalah sebuah pemikiran, legislasi hanya bisa diundangkan jika ia berlaku untuk urusan publik yang mengenai pada semua orang. Peraturan tidak bisa masuk ke ruang privat, apalagi mengatur masalah-masalah yang dalam pelaksanannya terkait dengan kesadaran seseorang. Tidak masuk dalam logika untuk mempidanakan orang yang tidak menjalankan puasa Ramadhan, sekalipun dilakukan di muka umum, karena hal itu bukan kriminal, tetapi hanya terkait dengan masalah kesopanan publik. Sekalipun dinyatakan, proses pembahasannya telah melibatkan beberapa pakar, pihak-pihak terkait, tokoh-tokoh 19 20
Wawancara dengan M. Nawawi, 16 April 2008. Wawancara dengan KH. Fayumi, 16 April 2008.
63
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
agama, ormas-ormas Islam, MUI, gereja, tidak ketinggalan pemilik warung, menyangkut isi dan substansi perda yang hendak diberlakukan, namun tetap tidak bisa menghilangkan fakta, perda ini pada awalnya muncul dari sekelompok kecil orang. Seakan sudah menjadi rumus baku, perda seperti ini sejak awal telah mengandung pikiran-pikiran diskriminatif. Perda Ramadhan Kota Pasuruan diberlakukan sematamata untuk memberikan penghormatan kepada umat Islam sebagai kelompok mayoritas. Asumsi ini dianggap sesuatu yang wajar apabila minoritas memberikan penghargaan dan pengormatan kepada yang mayoritas, tanpa sedikitpun mempertimbangkan pelanggaran HAM yang sangat potensial untuk terjadi, baik kepada umat Islam sendiri maupun nonmuslim. Jika dinyatakan ide Perda Ramadhan tersebut telah disosialisasikan ke publik dan mendapatkan apresiasi yang positif, pertanyaan yang muncul adalah segmen masya rakat manakah dimintai pendapatnya dalam masalah perda tersebut. Jika sosialisasinya melalui organisasi NU, kesimpulannya sudah bisa ditebak, mereka akan setuju karena yang hadir dalam forum-forum NU adalah kalangan santri. Elit-elit agama lain juga sangat mungkin akan tidak menunjukkan reaksi penolakannya karena penentangan yang vulgar atas ide yang datang dari ulama di wilayah seperti Kota Pasuruan sungguh bukan sikap yang strategis. Begitu juga dengan elemen-elemen masyarakat lain. Ini misalnya diindikasikan Hasani, pada awalnya Fraksi PDIP tidak setuju dengan perda tersebut. Akan tetapi, ketakutan yang akhirnya membuat mereka terpaksa harus menyetujuinya. Hasani menyatakan: “Bicara internal dewan, awalnya PDIP merasa keberatan, karena juga menganggap melanggar HAM. Akan tetapi, lama-kelamaan fraksi PDIP menerima, karena takut berhadapan langsung dengan masyarakat, para kiai dan habaib”.21
Jika benar semua elemen masyarakat telah diajak 21
64
Wawancara dengan Hasani, 05 April 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
berdiskusi dalam proses awal pembentukan perda tersebut, bisa dipastikan kalangan muslim-santri yang mendapatkan porsi terbesar untuk didengar suaranya. Suara kalangan muslim-abangan atau bahkan non-muslim diabaikan, karena mereka dianggap minoritas dan dianggap tidak penting terkait dengan pelaksanaan Perda Ramadhan. Ini terlihat pada pengakuan Fayumi. KH. Fayumi mengakui, selama proses dialog berlangsung, ada satu keberatan dari pemilik warung jika perda itu diberlakukan. Pemilik warung tersebut kebetulan beretnis Cina dan nonmuslim. Menanggapi persoalan itu KH. Fayumi mengang gapnya hal yang biasa, sebab menurutnya, mereka nonmuslim tidak memiliki kepentingan dengan perda ini. Artinya, secara substansial perda ini lebih diterapkan kepada pihak Muslim sendiri, meski juga tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak non-muslim. Hal ini sangat realistis jika dikaitkan, mayoritas yang memiliki warung dan berbuka puasa di warung-warung itu sebagian besar adalah Muslim. Namun, apapun alasannya perda ini harus tetap diterapkan karena Kota Pasuruan terlanjur lazim sebagai kota santri. Predikat ini menjadi alasan utama berbagai pihak yang menyepakati dan memandang, bahkan memaknai Perda Ramadhan ini sebagai sesuatu wajib dilaksanakan. Penelitian menemukan bahwa perda tersebut datang dari kalangan elit, dengan berbagai kepentingan masingmasing. Sementara, kalangan bawah melihat perda tersebut sebagai sesuatu yang merugikan, atau paling tidak, tidak perlu karena selama ini kehidupan keberagamaan di Kota Pasuruan berjalan dengan baik dan masih banyak hal penting yang perlu diselesaikan pemerintah. Mayoritas responden yang dihubungi, ulama, MUI, NU, LSM, eksekutif dan legislatif menganggap, ide dasar dan upaya pemberlakuan perda ini adalah perlu dan sangat positif. Karena didasarkan atas niat yang baik dalam rangka menegakkan ajaran agama Islam dan memunculkan kesadaran orang atau pihak lain untuk menghormati pihak yang lain. Semua juga menyepakati, perda ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memaksakan pihak lain. Bahkan, seperti disebutkan di atas, seandainya pihak agama lain
65
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
meminta dan mengusulkan diberlakukannya perda untuk kelompok dan agama mereka yang memang minoritas, hal itu juga akan diberlakukan. Misalnya saja nanti muncul Perda Natal, Perda Nyepi dan sebagainya. Meskipun untuk mewujudkan ini, menurut walikota, perlu ada kajian yang mendalam, mengingat selama ini menyangkut eksistensi mereka tidak ada masalah. Akan tetapi, pandangan berbeda disampaikan Pur wanto, pemilik usaha warung nasi di Jalan Patimura, Bugul Kidul yang telah membuka usaha warungnya itu sejak tahun 1990-an. Meskipun dia mengakui tidak mewakili para pemilik warung yang lain, karena tidak tahu persis dan tidak pernah berbicara dengan pemilik warung yang lain sehingga pendapatnya merupakan pendapat pribadi, namun menurutnya, keberadaan perda ini sangatlah tidak menguntungkan bagi pemilik warung nasi seperti dirinya. Dia keberatan jika keberadaan warung yang buka siang hari dianggap menyebabkan orang tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Berikut pandangan Purwanto: ”Selama Ramadhan 2007, warung saya tutup dan baru buka menjelang jam 5 sore. Terkait Perda Ramadhan, sudah lama dengar, tetapi tidak tahu persis isinya. Saya sendiri tidak pernah diajak ngobrol, tetapi tidak tahu yang lain. Keberadaan perda itu jelas merugikan saya, ya rugi dari sisi pendapatan saya. Contoh kecil saja, jam buka usaha menjadi berkurang dan sangat sedikit. Menurut saya tidak relevan jika dikatakan karena adanya warung, orang akan berbuka atau membatalkan puasa. Jadi, penyebabnya jelas bukan karena adanya warung nasi yang buka dan berjualan”.22
Menurut Purwanto, membuka warung di siang hari adalah masalah ekonomi. Tidak ada pikiran lain apa pun, kecuali ekonomi keluarganya tetap harus dijaga. Karena itu, dia setuju jika bagi pemilik warung yang diminta untuk menutup warungnya akan diberi kompensasi sebagai ganti rugi selama ditutupnya warung mereka itu. Purwanto melihat jika itu dilakukan, pihak pemilik warung tidak lagi merasa dirugikan. Sebab orang berdagang, menurutnya, mencari 22
66
Wawancara dengan Purwanto, 16 Mei 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
untung dan tidak ingin merugi. Bahkan, menurutnya hal itu termasuk bagian dari menghargai para pedagang, khu susnya pemilik warung. Pemerintah hendaknya lebih mem prioriaskan persoalan-persoalan lain yang lebih mendesak di masyarakat, terutama masalah jaminan kesehatan, pendi dikan dan kesejahteraan. Menyangkut hal ini, Purwanto menyatakan, “kita ini sebenarnya bicara atas nama apa, negara atau agama? Masing-masing jelas acuannya. Menurut saya ada hal yang lebih prinsip dan menjadi perhatian bagi tokoh agama dan pemerintah untuk diselesaikan. Menurut filosofi Jawa, sebe narnya pemerintah itu biasanya pamong. Pamong itu hang ngemong, hang ngayom, hang ngayem. Hang ngemong itu lebih menyangkut masalah pendidikan, hang ngayom itu lebih terkait masalah perlindungan hukum dan keadilan dan hang ngayem itu menyangkut kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan”.23 Jika menggunakan alasan perda diberlakukan sebagai pijakan atau landasan agar terjadi penghormatan dari pi hak lain, muslim atau non-muslim, kepada muslim yang berpuasa, Purwanto melihat bukan sebagai alasan yang tepat untuk memberlakukan perda. Saling menghormati sangat tidak cocok jika harus diatur dalam bentuk perda. Demikian halnya, jika pemerintah berkeinginan menutup warung-warung yang buka siang hari. Pemerintah berharap pihak pemilik warung menghormati orang yang berpuasa, pemerintah juga harus menghormati hak pemilik warung untuk berusaha mencari nafkah. Sebab perda ini memiliki korelasi langsung dengan kesejahteraan masyarakat, ber dampak pada berkurangnya pendapatan. Karena itu, peme rintah harus memiliki kebijakan untuk memberikan kom pensasi, misalnya dalam bentuk uang sebagai ganti rugi. Sementara itu, Nurul selaku warga Bugul menyatakan, selama ini jika membincang kehidupan antar agama di Pasuruan hampir tidak ada persoalan. Maksudnya, selama ini kehidupan masyarakat aman, damai dan tenteram. Dalam pengertian, tidak pernah ada persoalan atau bahkan 23
Wawancara dengan Purwanto, 16 Mei 2008.
67
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
perselisihan antar pemeluk agama atau perselisihan de ngan motif agama. Menurutnya, memang selama bulan Ramadhan ada warung-warung yang menjalankan usaha di siang hari. Biasanya mereka menutup sebagian warungnya dengan tabir, sehingga yang terlihat hanyalah kaki-kakinya. Namun, yang menarik, ia tidak pernah merasa tersinggung dan terhina jika ada masyarakat yang melakukan hal ini. Nurul menganggap urusan beribadah adalah urusan pribadi. Ia berpendapat, “saya tidak merasa terlecehkan dan terhina, sebab saya pikir saya menjalankan ajaran agama saya karena perintah Allah, bukan karena orang lain. Saya sadar saya berpuasa karena agama saya memerintahkan demikian, sehingga ketika orang lain, muslim atau non-muslim tidak berpuasa saya menganggap karena mereka, yang Islam, belum sadar akan ajaran agamanya. Berpuasa atau tidak itu urusan masing-masing”.24 Menurut Nurul, Perda Ramadhan ini sangat berlebihan, terlebih ada unsur pemaksaan di dalamnya. Jika Perda itu dijalankan, pasti muncul perlawanan dari kaum minoritas. Hanya saja, karena mereka minoritas, perlawanan yang dilakukan selalu dalam bentuk diam (silent rebellion). Nurul mengkhawatirkan, jika Perda ini tetap dilakukan, akan timbul perasaan kurang adil bagi pihak minoritas. Perasaan itu jika dibiarkan akan mengendap dan suatu saat akan dapat dimunculkan dalam bentuk lain. Jika ini yang terjadi, dapat dipastikan tinggal menunggu waktu saja rasa tidak aman, tidak tenteram, bahkan kekacauan di Kota Pasuruan terjadi. Sekalipun demikian, Nurul sepakat jika hal tersebut diterapkan dalam bentuk himbauan atau anjuran. Dalam hal ini, setiap tokoh agama berhak menghimbau kepada umatnya untuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Sementara, pihak pemerintah memberikan dukungan secara proporsional. Senada dengan Purwanto, Nurul berpendapat, jika pemerintah pada akhirnya memberlakukan perda, sebaiknya pemerintah juga memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang ditutup warungnya. Terlebih jika dikaitkan dengan kondisi perekonomian saat ini, baik dalam konteks 24
68
Wawancara dengan Nurul, 19 Mei 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
lokal maupun nasional. Tentu saja pendapat Nurul di atas tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan riil masyarakat. Secara sosiologis, ide dasar pembentukan dan pemberlakuan Perda Ramadhan bukan sesuatu yang mendesak. Pasalnya, mengutip Purwanto dan Nurul, persoalan dasar yang harus segera diselesaikan peme rintah adalah persoalan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Akan tetapi, logika politisi agaknya berbeda dengan logika orang awam. Politisi sekedar berpikir bagaimana men dapatkan simpati publik untuk mengamankan dukungan po litik, tanpa memerdulikan sejauhmana kebijakannya dapat menyelesaikan problem riil di masyarakat. Sebaliknya, orang awam berpikir sangat sederhana, yaitu bagaimana kesulitan hidup yang mereka tanggung harus secepatnya diselesaikan. Agaknya, kisah perselisihan antara kepentingan elit dan masyarakat awam selalu merupakan kisah klasik di negeri ini.
III. Daerah Istimewa Yogyakarta A. Memahami Kemacetan Usulan Perda Bernuansa Agama Selama masa reformasi, di antara daerah-daerah yang ingin mendorong perda bernuansa agama adalah DIY (Daerah Istimewa Yogykarta), namun upaya ini gagal. Aspirasi ini muncul sejak 2006, ketika Forum Ukhuwah Islamiyah Yogyakarta (FUIY) mengusulkan Perda Wajib Jilbab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta. FUIY adalah koalisi beberapa organisasi Islam di Yogyakarta dengan karakter anggota yang cair dan tidak tetap, dipimpin Ahmad Mursyidi, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan mantan Direktur Program Studi Cross Religious and Cultural Studies (CRCS) UGM. Penelitian pendek ini hendak mengupas kemacetan usu lan perda bernuansa agama di wilayah Yogyakarta. Beberapa rumusan pertanyaan yang hendak dijawab adalah: Manakah kelompok Islam yang selama ini concern mengusung perda
69
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
bernuansa agama di DIY? Apa argumentasi kelompokkelompok tersebut? Sejauhmana usulan perda bernuansa syariat Islam tersebut? Bagaimana posisi dan peta kekuatankekuatan politik, kelompok minoritas dan organisasi sosial keagamaan yang lain, termasuk NU dan Muhammadiyah? B. Demografi Keagamaan dan Organisasi Islam DIY adalah provinsi dengan wilayah kecil terdiri dari 5 kabupaten/kota: Kota Yogyakarta, Sleman, Kulonprogo, Bantul dan Gunungkidul. Letaknya berbatasan dengan Klaten di Timur, Purworejo dan Magelang di Barat, Wonogiri di Tenggara dan Laut Kidul atau Samudra Hinda di Selatan. Luas wilayah DIY hanya sekitar 3.185.80 km2 atau 0.17% dari seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2005, penduduk DIY berjumlah 3.281.800 jiwa terdiri dari 50.78% perempuan dan 49.22% laki-laki. Dalam skala perbandingan, prosentase penduduk kota mencapai sekitar 59.11%, sedangkan penduduk desa mencapai 40.89 %. Akan tetapi, BPS berbeda ketika menyebut data pemeluk agama yang berjumlah sekitar 3.464.198 jiwa terdiri dari: 91.21% Islam; 5.58% Katolik; 2.84% Kristen; 0.19% Hindu; dan sekitar 0.17% Buddha. Data demografi keagamaan BPS DIY ini berbeda dengan data Pikda Depag Pusat, yang mendasarkan pada sensus BPS pusat. Letak perbedaannya adalah kategori “lainlain”, selain agama-agama resmi. Menurut data Pikda Depag Pusat berdasarkan data BPS tahun 2004, jumlah pemeluk Islam adalah 2.863.751 jiwa, Katolik 165.410 jiwa, Protestan 79.852 jiwa, Hindu 5.175 jiwa, Buddha 3927 jiwa dan agama atau aliran lain berjumlah 2.023 jiwa. Meskipun mayoritas pemeluk beragama Islam, perlu dipahami, keislaman masyarakat DIY adalah abangan, meminjam kategori Clifford Geertz. Selain itu, juga terdapat banyak aliran kepercayaan, yang tercatat sekitar 30 aliran kepercayaan, baik yang bermarkas pusat di Yogyakarta atau sekedar cabang organisasinya semata. Pemeluk Islam sebagai kelompok mayoritas di Yogya
70
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
karta bisa dibedakan sesuai organisasi-organisasinya, antara lain: 1. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). 2. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) berpusat di Kotagede dengan sebaran cabang organisasi di berbagai daerah. Pusat pengkaderan terletak di Pesantren al-Mukmin Ngruki, Surakarta. 3. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di bawah komando KH. Sidiq al-Jawi, sekaligus merupakan cabang dari HTI pusat. 4. Jamaah Tabligh Yogyakarta sekaligus sebagai cabang Jamah Tabligh Indonesia. 5. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). 6. Front Pembela Islam (FPI) yang juga cabang FPI pusat, meskipun tidak cukup mengakar di Yogyakarta. 7. Forum Silaturahmi Remaja Masjid Yogyakarta (FSRMY) yang bermarkas di Masjid Jogokaryan dan memiliki jaringan cukup banyak di tingkat masjid. 8. Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) Yogyakarta, yang merupakan cabang DDII pusat. Beberapa organisasi Islam tersebut kemudian mendiri kan Forum Ukhuwah Islamiyah Yogyakarta (FUIY) pada 1997, sebagai satu-satunya wadah aliansi organisasi Islam di Yogyakarta, mengecualikan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
C. Gerakan Sosial dan Politik di Yogyakarta Selain organisasi keislaman di atas, di wilayah DIY juga terdapat organisasi masyarakat sipil yang biasa disebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pusat Studi dan gerakan-gerakan kemahasiswaan. Beberapa LSM ada yang bergerak di bidang lingkungan, pluralisme, gender, transparansi anggaran, dan yang lain. beberapa LSM yang cukup terkenal adalah Dian Interfidei, LBH, FPUB, LKiS, PKBI, Rifka an-Nisa’, Mitra Wacana, Sarikat, dan sejenisya. Beberapa LSM tersebut membentuk aliansi bersama menjadi Forum LSM DIY dengan anggota tidak kurang
71
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
dari 72 LSM. Dalam gerakannya, Forum LSM ini kerap membentuk organ taktis yang beragam sesuai kebutuhan. Ketika merespon penyerangan LOS Yogyakarta pada April 2008 misalnya, mereka menamakan diri Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo). Di samping Forum LSM Yogyakarta, ada juga Aliansi Yogyakarta untuk Indonesia Damai (Aji Damai), yang juga menghimpun berbagai elemen di DIY. Berbeda dengan LSM, anggota Aji Damai terdiri dari unsur-unsur yang tidak melulu LSM, karena di dalamnya ada unsur LSM, Ormas seperti PGI, Gerakan Mahasiswa seperti Jaringan Islam Kampus (Jarik), Rumpun Nusantara dan seterusnya. Di samping gerakan-gerakan sosial di atas, juga ter dapat kekuatan-kekuatan politik yang mencerminkan pan dangan atau keyakinan pemilih terhadap partai tertentu. Meskipun penduduk mayoritas Yogyakarta adalah pemeluk Islam, namun partai-partai nasionalis dan sekular lebih mendapatkan tempat. Dalam hal ini, peta kekuatan politik di Yogyakarta bisa disebutkan ada 5 fraksi besar yang men dominasi di seluruh wilayah pada pemilu 2004. 1. Fraksi PDIP 18 kursi di DPRD DIY; 11 kursi masingmasing di Kota, Sleman, dan Gunungkidul; 16 kursi di Bantul; dan 7 kursi di Kulonprogo. 2. Fraksi PAN 11 kursi di DPRD DIY; 9 kursi di Kota; 7 kursi di Sleman; 8 kursi di Gunungkidul; 7 kursi di Bantul; dan 6 kursi di Kulonprogo. 3. Fraksi Golkar 8 kursi di DPRD DIY; 5 kursi di Kota; 6 kursi di Sleman; 12 kursi di Gunungkidul; 5 kursi di Bantul; dan 5 kursi di Kulonprogo. 4. Fraksi PKB 6 kursi di DPRD DIY; di Kota nol; 10 kursi di Sleman; 8 kursi di Gunungkidul; 6 kursi di Bantul; dan 7 kursi di Kulonprogo. 5. Fraksi PKS 6 kursi di DPRD DIY; 5 kursi di Kota; 6 kursi di Sleman; nol di Gunugkidul; 5 kursi di Bantul, dan 5 kursi di Kulonprogo. Sementara itu, jika dipilah berdasarkan asal partai, wakil dewan di DPRD DIY hasil pemilu 2004 bisa disebutkan asal partai dan perolehan kursinya sebagai berikut: (a) PDIP
72
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
15 kursi; (b) PAN 11 kursi; (c) Golkar 8 kursi; (d) PKB 6 kursi; (e) PKS 6 kursi; (f) PPP 3 kursi; (g) PKPB 3 kursi; (h) Demokrat 2 kursi; (i) PBB 1 kursi. Meski pada pemilu 2009 terjadi pergeseran setelah muncul Partai Demokrat (PD) dan Gerindra, namun secara umum, PDIP tetap mendominasi hasil Pemilu, sebagai berikut: (a) PDIP 11 kursi; (b) PD 10 kursi; (c) PAN 5 kursi; (d) PKS 5 kursi; (e) Golkar 5 kursi; (f) PPP 2 kursi; (g) Gerindra 2 kursi. Peta kekuatan politik ini menunjukkan dominasi suara PDIP, dan PAN di urutan kedua. di antara partai-partai yang ada, PKB beroleh suara besar hanya di wilayah Sleman, tetapi masih tetap di bawah PDIP. Begitu juga, anggota legislatif DPRD Kota Yogyakarta, dari 40 anggota DPRD Kota Yogyakarta, sepuluh di antaranya merupakan muka lama yang setengahnya adalah politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). D. Problem-Problem Sosial di Yogyakarta Dari total penduduk Yogyakarta, angka pengangguran yang tercatat di Dinas Tenaga Kerja pada 2004 berjumlah sekitar 80.462, dan pada 2005 meningkat menjadi 87.937, dengan total keseluruhan berjumlah 168.399 orang. Data ini harus dilihat sebagai data pengangguran yang men cari pekerjaan dan tercatat di Dinas Tenaga Kerja, atau pe ngangguran yang aktif mencari pekerjaan. Sementara data pengangguran sebenarnya, termasuk yang tidak mencari Kartu Kuning di Dinas Tenaga Kerja tentu juga banyak, tetapi sampai sekarang belum ada data yang lebih jelas. Sementara itu, berdasarkan data BPS 2004, penduduk miskin di Yogyakarta dapat dibedakan menjadi dua: 1) fakirmiskin dan 2) miskin. Jumlah fakir-miskin mencapai 80.011 orang, sedangkan penduduk miskin mencapai 61.620 orang. Level kemiskinan di Yogyakarta juga cukup bervariasi. Kategori miskin ini adalah ukuran minimal pendapatan per kapita setiap bulan di masing-masing daerah, sebagai berikut: Kota Yogyakarta dengan nilai kemiskinan berkisar Rp 168.310/bulan; Sleman Rp 154.689; Bantul Rp 126.748; Gunung Kidul Rp 121.436; dan Kulonprogo Rp 129.057.
73
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Sedangkan kategori fakir-miskin merujuk pada jumlah pendapatan yang jauh di bawah garis kemiskinan tersebut. Di samping soal kemiskinan, problem sosial lain adalah tingkat melek aksara dan gizi buruk balita. Berdasarkan data 2002, angka buta aksara di Yogyakarta rata-rata tercatat 14.1% dengan sebaran distributif sebagai berikut: Kota Yogyakarta 5.1%; Sleman 11.4%; Gunungkidul 16.6%; Bantul 16.6%; dan Kulonrpogo 16.9%. Sedangkan prosentase gizi buruk balita rata-rata mencapai 16.9% di DIY dengan sebaran distributif sebagai berikut: Kota Yogyakarta 14.3 %; Sleman 12.1%; Gunungkidul 21.6%; Bantul 17.0%; dan Kulonprogo 22.8 %. Ada juga masalah yang berkaitan dengan akses penduduk terhadap kesehatan dan air bersih. Data tentang akses air bersih yang bisa ditemukan hanya pada tabulasi 2002. Berdasarkan data ini, jumlah penduduk yang tidak memiliki akses air bersih rata-rata mencapai 38.9% dengan sebaran distribusi: 43.3% di kota; 42.4% di Sleman; 34.0% di Gunungkidul; 42.3% di Bantul; dan 23.7% di Kulonrpogo. Sedangkan jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan di DIY rata-rata mencapai 7.7% dengan sebaran distribusi: 3.6% di Kota; 7.1% di Sleman; 4.0% di Gunungkidul; 4.2% di Bantul; dan 21.2% di Kulonprogo. Data di atas merupakan realitas empiris yang meng gambarkan berbagai problem sosial di Yogyakarta, dan masih banyak persoalan sosial lain, termasuk korupsi, tingkat harapan hidup, dan sebagainya. E. FUIY dan Usulan Perda Bernuansa Agama Gagalnya usulan perda bernuansa agama di Yogyakarta memiliki korelasi dengan organisasi koalisi yang tergabung dalam FUIY. Lembaga ini sendiri terbentuk pada 1997 di Gedung Persaudaraan Djemaah Haji Indonesia (PDHI), sebagai satu-satunya wadah yang menggabungkan beberapa organisasi Islam lintas organisasi di wilayah DIY. Sebagai wadah koalisi beberapa organisasi Islam lokal di DIY, FUIY menjadi fenomena tersendiri yang cukup
74
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
menarik. Pasalnya, sebelum terbentuknya FUIY, organisasiorganisasi Islam belum membentuk wadah serupa, kecuali ikut dalam forum MUI. Dalam konteks ini, FUIY dan MUI memiliki perbedaan: MUI mendapat alokasi anggaran dari APBD dan dibentuk atas prakarsa pemerintah, sedangkan FUIY mandiri dan dibentuk kalangan organisasi Islam di luar pemerintah. Meski begitu, ada juga tokoh MUI yang menjadi anggota FUIY, atau bahkan menjadi pengurus FUIY. Menelisik sejarah kelahiran FUIY, peneliti menemukan dua versi: pertama, pembentukan FUIY adalah atas prakarsa tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jakarta, seperti Yunan Nasution, Anwar Harjono dan Husein Umar. Terlebih, tokoh-tokoh ini memiliki hubungan dekat dengan salah satu tokoh FUIY, Saunardi Sahuri, selaku ketua DDII Yogyakarta kala itu. Kedua, FUIY berdiri atas prakarsa MUI pusat yang memiliki Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), sehingga di daerah juga perlu dibentuk, termasuk di Yogyakarta. FUIY merupakan organisasi koalisi yang tidak memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) resmi, namun dijalankan berdasarkan beberapa kesepakatan tertentu. Bahkan, FUIY juga tidak memiliki visi dan misi tertulis. KH. Thoha Abdurrahman, selaku perwakilan NU di FUIY menyebutkan: “FUIY terbentuk karena umat Islam Yogyakarta membutuhkan wadah untuk menjalin ukhuwah Islam di daerah ini”.25 Kepengurusan FUIY juga tidak memiliki surat keputusan tertulis. Sejak FUIY berdiri hingga saat ini, kepengurusannya belum banyak berubah. Ketua FUIY Yogyakarta adalah Ahmad Mursyidi, dan ketika diangkat pada 1997, ia masih dianggap mewakili struktur Muhammadiyah, bahkan saat itu masih menjabat Rektor UMY periode 1997-2002. Sekretaris FUIY adalah Adaby Darban, sejarawan UGM yang berlatar belakang Muhammadiyah. Wakil Ketua ditunjuk Thoha Abdurrahman, mewakili unsur NU. Bendahara diberikan kepada Sunardi Sahuri yang berasal dari DDII, Yogyakarta. Meskipun ada unsur Muhammadiyah dan NU di dalam FUIY, 25
Wawancara dengan KH. Thoha Abdurrahman, 19 Agustus 2008.
75
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
tetapi NU dan Muhammadiyah secara formal tidak terlibat dalam FUIY, dan karenanya lebih tepat kalau FUIY disebut sebagai upaya koalisi di antara tokoh-tokoh dan elit-elit organisasi Islam yang kecil. F. Beberapa Kiprah FUIY Sejak didirikan pada 1997, FUIY telah melakukan serangkaian aksi dan gerakan. Kiprah yang dijalankan FUIY selalu berkaitan dengan isu-isu syariat Islam, moralitas, dan gerakan anti Amerika dan Israel. KH. Thoha Abdurrahan, salah satu tokoh FUIY, menjelaskan bahwa kegiatan FUIY mencakup segala bidang terkait dengan ajaran dan kema juan umat Islam. Di antara beberapa gerakan FUIY dapat disebutkan di antaranya: 1. Kampanye anti sekolah Nasrani sejak 2001. FUIY menyebarkan pamlet-pamlet tentang fatwa MUI DIY dan tausiyah yang mengharamkan kaum Muslim sekolah di sekolah Nasrani. FUIY juga menerbitkan direktori sekolah Nasrani yang tidak boleh dimasuki siswa Muslim. 2. Kampanye anti penyakit masyarakat (pekat), seperti mi numan keras, prostitusi, pelacuran, narkoba, dan seje nisnya. Kegiatannya adalah menjelang Ramadhan, biasa nya mereka menuntut ditutupnya tempat-tempat hiburan. Pada 29 Oktober 2003 misalnya, FUIY datang ke gedung DPRD Kota Yogyakarta untuk mendukung keputusan penutupan tempat hiburan malam selama bulan puasa. 3. Pada 20 Agustus 2006, FUIY menggelar aksi bersama yang diikuti beberapa ormas dan orpol Islam di Yogyakarta, bertempat di Perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Aksi ini digelar dengan mengerahkan lebih kurang 500 massa umat Islam. Massa menuntut pemerintah Indonesia dan pemerintah dunia Islam untuk berhenti berharap dan bahkan keluar dari PBB. Mereka juga menuntut pemerintah Indonesia dan pemerintah dunia Islam untuk membekukan hubungan diplomatik dengan Amerika dan negara-negara pendukung Israel. Senada, demonstran
76
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
menuntut pemerintah Indonesia mengirim TNI ke Libanon dan Palestina untuk berjihad mengusir Israel dan melindungi kaum muslimin dan rakyat sipil lainnya. 4. Pada 26 Mei 2007, FUIY membuat pernyataan dan memprotes acara Yogyakarta Festival 2007 & Pengobatan Massal yang diselenggarakan di Stadion Mandala Krida pada 30 Mei hingga 2 Juni 2007, dengan alasan acara itu dianggap sebagai upaya kristenisasi dan pemurtadan. 5. Pada 7 September 2006, FUIY pergi ke DPRD tingkat I propinsi DIY untuk mengusung gagasannya, menuntut adanya perda jilbab, dengan alasan perda ini sebagai alternatif untuk menekan angka kriminalitas terhadap kaum wanita serta memperbaiki akhlak bangsa. 6. Pada 16 November 2006, FUIY melakukan audiensi dengan pimpinan DPRD DIY di ruang Lobby, Jl. Malioboro No. 54 Yogyakarta. FUIY menolak kedatangan Bush dan DPRD disuruh meneruskan aspirasi itu. 7. Pada 20 November 2006, FUIY menggelar unjuk rasa di Tugu Yogyakarta, sebagai bentuk penolakan atas kedatangan Bush. Menurut beberapa tokoh FUIY, gerakan ini bertujuan mengatasi kemunduran umat Islam. Kenapa ini penting dilakukan, karena menurut KH. Thoha Abdurrahman, Wakil Ketua FUIY, gerakan umat Islam sekarang ini mengalami kemunduran dan lebih banyak terkena godaan setan, berupa uang, fasilitas dan jabatan. Sehingga pemikiran-pemikiran mereka banyak yang menyimpang dari ajaran Islam.26 G. Usulan Perda Jilbab dan Argumentasinya Perda penerapan pemakaian jilbab di wilayah Provinsi DIY, menurut FUIY, mendesak dilakukan. Pandangan ini pernah disampaikan FUIY, ketika menyampaikan aspirasi di DPRD DIY. FUIY berharap DPRD DIY segera menyiapkan draf Raperda Wajib Jilbab, khususnya bagi siswi sekolah dan 26
Wawancara dengan KH. Thoha Abdurrahman, 19 Agustus 2008.
77
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
pegawai wanita di level pemerintahan. Ahmad Mursyidi,27 selaku Ketua FUIY, dalam sebuah wawancara dengan Radar Yogyakarta (15/9/2006) menyam paikan, Perda Wajib Jilbab adalah alternatif untuk menekan angka kriminalitas terhadap kaum wanita serta bertujuan untuk memperbaiki akhlak bangsa. Sedangkan menurut KH. Thoha Abdurrahman,28 alasan perlunya dibentuk Perda Wajib Jilbab di DIY dilatarbelakangi oleh penerapan serupa di beberapa daerah. KH. Thoha Abdurrahman menyebutkan persoalan lokal Yogyakarta berkaitan dengan Perda Jilbab, Perda Pelacuran atau hal-hal yang mendekati pemberlakuan syariat Islam, salah satunya karena ingin meniru gerakan umat Islam di beberapa kota di Jawa Barat, termasuk Tangerang dan Tasikmalaya. Menurut KH. Thoha Abdurrahman, usulan penerapan Perda Jilbab adalah bagian dari perjuangan Islam yang harus dilakukan secara serius. Salah satu bukti keseriusan itu adalah bagaimana mendorong aspirasi umat Islam ke seluruh regulasi dan kebijakan pemerintah DIY, termasuk aspirasi umat Islam tentang Perda Jilbab. KH. Thoha Abdurrahman menambahkan, Perda Jil bab adalah salah satu ajaran Islam yang menyatakan, anak perempuan yang sudah akil baligh diwajibkan me ma kai jilbab. Sementara tentang tata cara, aturan, dan pelaksanaan usulan tersebut sepenuhnya diserahkan par le men dalam bentuk regulasi. Meskipun begitu, ia tidak menyetujui perjuangan Islam seperti yang dilakukan FPI yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan kekerasan, intimidasi, teror, perusakan, termasuk tindakan membakar masjid Ahmadiyah. Karena itu, menurutnya, FPI tidak diperbolehkan masuk dalam MUI, karena tindakan FPI 27 Ahmad Mursyidi pernah menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakakarta, Direktur CRCS UGM yang bekerjasama dengan Amerika Serikat, seka ligus Ketua Senat UGM. Sejak FUIY didirikan sampai sekarang, ia masih menjabat sebagai ketua FUIY. 28 KH. Thoha Abdurrahman adalah dosen IAIN Sunan Kalijaga di Fakultas Syariah. Selama ini dikenal sebagai orang NU dan pimpinan tarekat. Ia adalah salah satu mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah. Di lingkungan DIY, ia pernah menjadi wakil ketua MUI DIY, meskipun tidak memiliki jabatan penting di NU.
78
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
justru merusak citra umat Islam sebagai pembawa ajaran yang damai dan rahmatan lil`alamin. Argumentasi tentang pentingnya Perda Jilbab tersebut juga diikuatkan salah satu anggota HTI, Andi Sutopo. Menurutnya, penegakan perda agama ini adalah bagian perjuangan Islam. Perda ini tidak merugikan umat Islam, termasuk yang bukan muslim. Perda Jilbab ini diharapkan menjadi dasar hukum kewajiban menggunakan jilbab bagi pegawai negeri sipil dan pelajar putri di sekolah. Pemakaian jilbab akan memberi rasa keadilan dan akan melindungi pemakainya dari godaan, hambatan, dan ancaman dari sistem yang merujuk hukum kafir.29 Aspirasi soal Perda Jilbab ini pernah disampaikan FUIY ke Komisi E DPRD DIY. Selain mengajukan Perda Jilbab, FUIY juga mendesak penerapan Perda Pekat (penyakit masyarakat) yang harus diberlakuan di seluruh DIY. FUIY juga menyoroti masalah pendidikan, yang menurut Mursyidi telah menumpuk di semua level. Karena itu, masalah ini harus mendapatkan prioritas penyelesaian. Sampai tulisan ini dibuat, Perda Jilbab ini belum lolos. KH. Thoha Abdurrahman menuturkan, setelah dua tahun pengajuan, Perda Jilbab ini tidak dibahas DPRD DIY. Mereka ini tidak pernah memikirkannya atau ikut-ikutan saja. Mereka ini, menurut KH. Thoha Abdurrahman, hatinya sudah tertutup dan sibuk memperkaya diri.30 Usulan dari FUIY tentang Perda Jilbab ini belum jelas bentuknya, karena draft-draft untuk mendukung itu dibebankan kepada DPRD DIY. FUIY hanya sekadar mengusulkan pentingnya perda ini, namun draft perdanya tetap dibebankan kepada DPRD DIY, sehingga usulan perda ini menjadi wacana simbolik semata. H. Perspektif Lain atas Usulan Perda Jilbab di Yogyakarta Beberapa kelompok minoritas menanggapi usulan Perda Jilbab secara berbeda, termasuk aliran Sapta Darma dan 29 30
Wawancara dengan Andi Sutopo, 12 Agustus 2008. Wawancara dengan KH. Thoha Abdurrahman, 19 Agustus 2008.
79
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Katolik. Di mata mereka, usulan perda yang bernuansa agama ini perlu disikapi dengan hati-hati, meskipun sebenarnya kehati-hatian itu sebagai sebuah penolakan dengan cara halus. Slamet Basuki, salah satu juru bicara Sapta Darma, menanggapi persoalan usulan Perda Jilbab dengan penuh hati-hati. Sapta Darma tentu akan melihat perkembanganya, karena sampai sekarang secara konstitusional di DIY hal itu belum berlaku. Karena itu, pihak Sapta Darma akan melihat muatan dan tujuannya. perda semacam itu untuk siapa: umat Islam saja atau untuk semua golongan masyarakat di DIY. Persoalan Perda Jilbab, menurut Slamet Basuki, perlu dilihat konteksnya. ”Kita lihat perkembanganya saja ini mau ke mana, kalau hanya persoalan jilbab, itu kan lingkupnya Islam saja. Sebab, tentu tidak mungkin hal itu diberlakukan bagi non-muslim kan?”, tambahnya. Akan tetapi, secara pribadi Slamet Basuki menanggapi positif kemunculan wacana dan gerakan menyukseskan Perda Jilbab dan Perda Pelacuran, karena mungkin tujuannya baik. Misalnya, untuk mengurangi jumlah kriminalitas, seks bebas. Asalkan semua itu harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada. Sebab kalau tidak demikian, hal ini berarti pemaksaan pribadi atau golongan atas heterogenitas masyarakat yang plural. Lebih lanjut, Slamet Basuki menggarisbawahi, secara kelembagaan Sapta Darma belum bisa mengambil keputusan dan memilih sikap hati-hati.31 Turmudzi, selaku sesepuh Sapta Darma, menyatakan sangat beruntung Yogyakarta dipimpin Sri Sultan Hameng kubuwono. Menurutnya, seiring pergantian waktu, kelompokkelompok seperti Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), FPI, dan kelompok garis keras lain mulai memudar di Yogyakarta. Menurutnya, beberapa tahun lalu, Sri Sultan secara tegas memperingatkan pihak-pihak garis keras untuk tidak berbuat kerusuhan atau kekerasan di Yogyakarta. Kalau mereka tetap melakukan kekerasan, Sri Hultan memerintahkan pihak keamanan untuk tembak di tempat pada pelaku kekerasan
31
80
Wawancara dengan Selamet Basuki, 20 Agustus 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
tersebut.32 Perspektif yang lebih tegas diwakili Sigit Widianto, selaku Ketua Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) Cabang Yogyakarta. Sigid Widianto sangat tidak setuju dengan munculnya gagasan Perda Jilbab di Yogyakarta. Ada dua argumen penting: Pertama, argumen normatif. Kalau kita bicara soal arah politik hukum nasional, semuanya harus berdasarkan Pancasila. Pancasila adalah konsensus berbangsa dan bernegara berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Kedua, argumen substantif. Kalau kita mem bincang perda, regulasi atau kebijakan publik, minimal ada empat nilai dasar yang harus menjadi acuan, antara lain: 1) mengusung kesejahteraan bersama; 2) menghargai martabat kemanusiaan; 3) menghargai prinsip solidaritas, yang kuat membantu yang lemah; 4) subsidiaritas, yaitu apa yang bisa ditangani kelompok masyarakat sipil tak perlu diambil alih negara. Atas dasar prinsip-prinsip tersebut, Perda Jilbab tidak masuk, karena itu tidak membawa pada kesejahteraan bersama.33 Selain itu, muculnya gagasan perda syariah atau negara Islam itu sebenarnya telah membuat umat nonmuslim merasa tidak nyaman. Meskipun mereka mengakui perda bernunsa agama hanya berlaku bagi umat muslim, tetapi dalam implementasinya umat non-muslim juga terkena dampaknya. Misalkan seperti yang terjadi pada kasus Perda Jilbab di Padang. Meskipun Pemda setempat mengakui perda ini ditujukan kepada umat Islam saja, tetapi pada akhirnya siswi non-muslim juga terkena. Siswi-siswi kami di SMU Don Bosco Padang misalnya, juga akhirnya tidak luput dikenakan Perda Jilbab tersebut. Alasannya, karena ini adalah adat, dan adat basandi syara’. Perda Ramadhan di Banjarmasin juga mewajibkan semua warung tutup di siang hari. Akibatnya, sebagian umat non-muslim yang tidak puasa juga tidak bisa berjualan di siang hari. Jadi, meskipun perda bernunasa agama ditujukan untuk umat muslim, namun dalam implementasinya non-muslim 32 33
Wawancara dengan Turmudzi, 20 Agustus 2008. Wawancara dengan Sigit Widianto, 28 Agustus 2008.
81
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
juga terkena dampaknya. Inilah yang membuat kaum nonmuslim merasa tidak nyaman. Karena itu, menurut Sigid Widianto, kebijakan yang berbasis agama akan sulit memenuhi keadilan masyarakat Indonesia yang dikenal plural ini. Ia menolak bukan saja perda syariah, melainkan juga terhadap Perda Kristen yang sempat muncul di Manokwari beberapa waktu lalu. Memang harus diakui, saudara-saudara kita yang di Indonesia Timur itu terkadang juga kurang memperhatikan konteks pluralitas Indonesia. Ia menambahkan, usulan Perda Jilbab memang menjadi sebuah aspirasi yang sama sekali tidak memberikan kenyamanan kepada non-muslim. Namun, ketidaknyamanan ini tentu berlaku sama, termasuk Perda Kristen di Manokwari bagi pemeluk Islam di sana. Kebijakan negara itu harus mencerminkan kesejahteraan, semantara perda semacam itu tidak mencerminkan aspek itu. Aktivis perempuan di Lembaga Kajian Islam (LKIS), Hanifah menyebutkan, usulan Perda Jilbab yang macet memang tidak berhasil mendapat simpati warga Yogyakarta, karena memang bukan menjadi sesuatu yang penting bagi masyarakat Yogyakarta. Bahkan, ada yang menilai, Perda Jilbab memiliki motif kepentingan ekonomi dengan industri jilbab. Sedangkan secara kultural sendiri jelas perda ini akan berbenturan dengan budaya Jawa. Kalau perda ini diberlakukan, bagaimana dengan para abdi dalem perempuan yang harus memakai kemben, pakaian perempuan degan dada di atas payudara terbuka. Karena itu, perda ini tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat Yogyakarta. Lebih lanjut Hanifah menjelaskan, secara sosiologis daerah Yogyakarta sendiri secara sosiologis merupakan kota yang plural karena banyaknya para pendatang dengan berbagai latar belakang sosial, budaya, dan agama yang tinggal di Yogyakarta. Meskipun masyarakat asli Yogyakarta itu mungkin homogen, yaitu orang Jawa, namun ketika sudah dimasuki para pendatang dengan sendirinya Yogyakarta kini menjadi kota yang plural. Karena itu, nilai-nilai toleransi di Yogyakarta selama ini relatif terjaga dengan baik. Mungkin sesekali muncul ketegangan atau gesekan antara masyarakat,
82
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
tetapi itupun akibat kepentingan politik jangka pendek.34 Perspektif-perspektif lain tentang usulan Perda Jilbab ini sebenarnya menjelaskan satu hal, perda ini tidak cukup mendapat simpati, bahkan tidak mendapat dukungan masya rakat, meskipun mayoritas penduduk Yogyakarta pemeluk Islam. I. Memahami Kemacetan Usulan Perda Jilbab di Yogyakarta Telah dijelaskan, usulan Perda Jilbab sudah diusulkan sejak September 2006, dan sampai sekarang sudah hampir dua tahun tidak berjalan. KH. Thoha Abdurrahman, selaku wakil FUIY menjelaskan alasan kemacetan tersebut. Menurutnya, kegagalan perda ini lebih karena tidak mendapat respon dari DPRD. Penjelasan ini sebenarnya menunjukkan, di sisi lain, peta kekuatan politik di DPRD Yogyakarta yang menjadi wadah atau tempat di mana aspirasi itu disuarakan. Peta kekuatan politik tentu ikut menentukan bagaimana aspirasi itu direspon. Dalam hal ini, peta kekuatan politik hasil Pemilu 2004 menunjukkan konfigurasi kultural dan keberagamaan di Yogyakarta yang cukup beragam, meskipun mayoritas penduduk Yoogyakarta beragama Islam. Saat itu, konfigurasi politik di DPRD Yogyakarta sebagai berikut: fraksi PDIP 18 kursi, PAN 11 kursi, Golkar 8 kursi, PKB 6 kursi, PKS 6 kursi, dan Persatuan Bintang Demokrasi 6 kursi. Sementara itu, jika dirunut dari asal partainya, tercatat sebagai berikut: PDIP 15 kursi, PAN 11 kursi, Golkar 8 kursi, PKB 6 kursi, PKS 6 kursi, PPP 3 kursi, PKPB 3 kursi, Demokrat 2 kursi, dan PBB 1 kursi. Seluruhnya berjumlah 55 kursi. Peta kekuatan ini menunjukkan bagaimana suara kursi yang cenderung pada aspirasi Islam hanya diwakili PKS, PBB, dan PPP. Sedangkan PKB dan PAN, meskipun konstituennya berasal dari NU dan Muhammadiyah, tetapi merupakan partai terbuka dan mendukung ide demokrasi. Salah satu anggota DPRD dari PPP, Muslih Ilyas berkomentar, tindak lanjut aspirasi Perda Jilbab bagi PNS dan pelajar putri masih diperbincangkan dalam fraksi dan 34
Wawancara dengan Hanifah, 21 September 2008.
83
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
akan menempuh jalur lobi. Artinya, substansi permasalahan tetap menjadi didiskusikan dengan cara yang terhormat. Ia menyadari beragamnya kepentingan politis dari anggota DPRD Yogyakarta. Proses ini berlangsung terus, terlebih dengan padatnya jadwal dan agenda dewan. Sebagaimana tata tertib dewan, jika perda ini merupakan inisiatif dewan, dukungan dari fraksi-fraksi lain harus diraih untuk sampai pada pembentukan Panitia Khusus (Pansus).35 Wakil dari PAN, Immawan Wahyudi, menyebutkan tentang belum jelasnya usulan Perda Jilbab. Menurutnya, padatnya jadwal DPRD Yogyakarya belum memungkinkan pembahasan usulan perda tersebut. Butuh usaha yang panjang untuk sampai ke tahap Pansus. Harus ada pembicaraan yang intensif di lintas fraksi, pembicaraan dengan teman-teman eksekutif, sebagaimana diatur dalam tata tertib DPRD. Apalagi perda ini merupakan perda inisiatif dewan. Immawan menambahkan, jika melihat tujuan dan substansi Perda Jilbab untuk menanggulangi masalah-ma salah moral, solusinya bukan dengan membuat perda agama, melainkan dengan melakukan penegakan hukum yang ada. Masalah penyakit masyarakat tersebut sudah tercantum dalam KUHP yang berlaku secara nasional dan mengikat seluruh warga. Immawan cenderung melihat, perda seperti ini kurang relevan dilihat dari sebab yang dikemukakan, khususnya menyangkut soal moralitas, karena ia sudah termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).36 Ahmad Subagya, mantan anggota DPRD dari PPP peridoe 1999-2004, juga memberikan komentar. Menurutnya, jika belakangan ini muncul gerakan yang menuntut formalisasi syariat dalam sistem hukum, hal ini sangat kontraproduktif. Artinya, sistem perundang-undangan di Indonesia akan sangat rumit sebab juga perlu memasukkan sistem yang diusung berbagai ormas semisal MMI, HTI, FPI, dan lain sebagainya. Aspirasi Perda Jilbab bagi PNS dan pelajar putri, misalnya, jika hal tersebut dilihat sebagai evolusi 35 36
84
Wawancara dengan Muslih Ilyas, 23 September 2008. Wawancara dengan Immawan Wahyudi, 25 September 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
pembentukan hukum di daerah, sebenarnya tidak masalah. Akan tetapi, perda ini akan menjadi masalah jika gerakan tersebut mempunyai agenda dengan domain politik lebih tinggi dibanding domain pembangunan hukum. Misalnya, ternyata pokok masalahnya bukan pada pemakaian jilbab, melainkan adanya agenda politik lain yang lebih strategis. Hal ini yang sebenarnya dipermasalahkan umat Islam itu sendiri. Dilihat dalam konteks DIY, gerakan ini tidak memiliki relevansi. Budaya masyarakat Yogyakarta adalah beragam, bahkan dalam hal keagamaan. Menguatnya gerakan forma lisasi syariat hanya akan mendesakkan satu penafsiran dan mengabaikan penafsiran lain. Dengan demikian, dibutuhkan energi besar untuk menyeimbangkan budaya Yogyakarta. Sejauh pengamatan Immawan, belum ada pembicaraan lebih lanjut untuk mengevaluasi perkembangan penanganan Perda Jilbab tersebut.37 Beberapa pernyataan anggota Fraksi PPP dan seorang dari PAN itu menggambarkan bagaimana usulan Perda Jilbab dilihat dari sisi internal mereka. Di tingkat internal fraksi-fraksi, usulan perda ini terhambat dua masalah utama: Pertama, padatnya jadwal DPRD yang bisa jadi bergantung pada sejauh mana perda ini menjadi inisiatif dewan. Kedua, beberapa partai Islam seperti PPP melihat usulan ini tidak memiliki relevansi sebagai solusi beberapa problem sosial di Yogyakarta. Terlebih, kekuatan politik di DPRD DIY cen derung didominasi partai-partai yang tidak sepakat dengan perda ini, seperti dominasi PDIP yang memang mewakili kalangan nasionalis abangan, PKB dan PAN yang mewakili nasionalis yang lebih religius. Konfigurasi politik menjelaskan, suara atau fraksi dari kelompok Islam, yang cenderung diwakili PKS tidak cukup besar, padahal PKS sendiri belum tentu setuju. Berdasarkan peta politik tersebut, gerakan formalisasi syariat ini hanya muncul di jalanan, bukan muncul di DPRD dan eksekutif. Di jalanan pun hanya disuarakan FUIY dengan jumlah anggota yang kecil dan hanya didukung beberapa 37
Wawancara dengan Immawan Wahyudi, 25 September 2008.
85
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
organisasi kecil, meskipun kegigihannya perlu diacungi jempol. J. Wibawa Sri Sultan Hamengkubuwono X Faktor lain penyebab macetnya usulan Perda Jilbab adalah faktor Sri Sultan Hamengkubuwono. Selain sebagai Gubernur, Sri Sultan adalah pengayom tertinggi Yogyakarta sekaligus mewakili kultur Islam keraton yang lebih cen derung pada dua hal: mistis dan abangan. Kajian Mark R. Woodward tentang Islam Jawa cukup mampu mengupas dua kecenderungan di atas. Figur Sri Sultan juga merupakan manifestasi keragaman Yogyakarta. Dalam berbagai hal, tentu ia akan melihat dan mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan yang lebih besar. Berdasarkan logika ini, kalau aspirasi tentang Perda Jilbab merupakan suara yang besar dari sisi riil politik di DPRD Yogyakarta misalnya, tentu Sultan tidak akan bisa mengelak, karena tuntutan dari wakil-wakil rakyat yang besar. Demikian juga sebaliknya, kalau kekuatan yang besar tidak mendukung ide tertentu untuk ditetapkan sebagai sebuah perda atau regulasi, tentu Sri Sultan juga akan mendengar suara-suara ini. Faktor ketokohan Sri Sultan tersebut juga sangat menentukan terhadap lolos tidaknya sebuah perda yang diajukan. Hal ini diakui Slamet Basuki, salah satu anggota Sapta Darma. Menurutnya, selama ini Sultan terbukti mampu mengayomi masyarakat dengan keragaman rasa, suku, agama dan budaya masyarakat Yogyakarta, dengan catatan tidak membikin kerusuhan. Bahkan, dalam sejarah, Sultan Agung Hanyokromokusomo juga menggabung kalender Jawa dan Islam, salah satu bukti historis kepemimpinan Yogyakarta berdasarkan falsafah momong, momot, lan mengkoni. Bahkan, KH. Thoha Abdurrahman sendiri mengakui adanya korelasi heterogenitas Yogyakarta dengan figur Sri Sultan. Menurutnya, Sri Sultan mampu mendorong kelompok mayoritas untuk hidup toleran dengan kaum minoritas, baik dalam konteks agama, suku maupun kelas sosial. Tak pelak, Sultan Hamengkubuwono dengan segala kharisma yang
86
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
dimiliki menjaga ketentraman Yogyakarta dengan falsafah Jawa seperti alon-alon waton kelakon (pelan-pelan yang penting tercapai tujuan). Memang, resikonya menjadikan Yogyakarta sangat adem dan terkesan kurang akseleratif. Akan tetapi, jauh lebih kecil resiko dan kerugiannya, jika dibanding fakta sebaliknya. Tentang pilihan masyarakat atas kepemimpinan Sri Sultan tentu masih lebih baik. K. Peran Kunci NU dan Muhammadiyah Faktor lain pemicu macetnya usulan Perda Jilbab adalah tidak adanya dukungan riil dari dua ormas besar, NU dan Muhammadiyah. Meskipun komposisi pengurus FUIY juga merangkul unsur NU dan Muhammadiyah termasuk KH. Thoha Abdurrahman, Ahmad Mursyidi, dan Adabi Darban, namun keterlibatan mereka di FUIY hanya mewakili individu, dan bukan mewakili institusi. Lambat laun, organisasi seperti FUIY tidak lagi terdengar, meskipun masih tetap eksis dan belum dibubarkan. Pengakuan KH. Thoha Abdurrahman justru menyebutkan, ”kebanyakan yang datang itu dari ormas-ormas kecil. Memang pendanaan organisasi ini berasal dari masingmasing organisasi, lalu dicoba cari cara bagaimana agar organisasi besar ikut hadir. Caranya, tempat rapat diputar: besok di NU, besoknya lagi di Muhamadiyah, besoknya lagi ke organisasi lain. Lalu, salah satu hasil rapatnya, jadwalnya di kantor NU, tapi tidak bisa karena ketuanya sedang berobat ke Singapura, akhirnya dipindahkan di Muhammadiyah yang menghasilkan atau memfatwakan aliran sesat bagi alQiyadah al-Islamiyah”, tuturnya.38 Pengakuan KH. Thoha Abdurrahman ini menunjukkan problem internal FUIY. Ternyata, organisasi yang banyak aktif dan terlibat adalah organisasi-organisasi kecil. Pengakuan ini sekaligus menunjukkan tidak adanya dukungan kuat dari organisasi-organisasi besar seperti NU dan Muhmmadiyah. Ti dak adanya dukungan organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah ini, tentu saja, menyulitkan dukungan 38
Wawancara dengan KH. Thoha Abdurrahman, 19 Agustus 2008.
87
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
ge ra k an itu. Bahkan, andaikan saja FUIY mendapat du kungan NU dan Muhammadiyah, belum tentu juga usulan Perda Jilbab tersebut bisa lolos, karena tergantung kekuatan politik yang ada di DPRD Yogyakarta. Sementara itu, NU dan Muhammadiyah bukanlah organisasi politik yang memiliki wakilnya secara langsung di DPRD DIY. L. Faktor-Faktor Lain Ada faktor lain pemicu gagalnnya usulan Perda Jilbab yang bersifat tidak langsung, tetapi berkaitan dengan kul tur masyarakat. Menimbang Perda Jilbab yang sudah mulai tidak ramai lagi diperbincangkan, Sigid Widianto, ketua masyarakat Katolik Yogyakarta menjelaskan, ”kita ini me mang masyarakat yang mudah lupa. Kita bahkan lupa terhadap kejahatan-kejahatan yang pernah terjadi di era orde baru dulu. Sehingga, bisa jadi masyarakat kita sudah lupa dengan hiruk-pikuk perda syariat yang dulu pernah ramai diperbincangkan orang. Tetapi ini bisa dimaklumi, karena masalah di Indonesia itu banyak sekali dan begitu cepat berkejaran datang silih berganti”, ulasnya. Di samping itu, menurut Sigid Widianto, ada situasi politik lokal yang masih ramai antara pendukung Pilkada dan Penetapan, bisa jadi juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan wacana perda agama kini mulai memudar. Be gitu juga, adanya counter wacana yang mengusung substansi perda. Artinya, perda bernuansa agama bukan lagi hanya dimaknai sebagai kebijakan yang mengatur moralitas dan kesalehan individual, melainkan justru perda keagamaan menyangkut keadilan publik, seperti perda keagamaan ten tang haramnya pembalakan liar (illegal loging), korupsi, dan seterusnya.39 M. Masalah Mendesak di Yogyakarta Masalah-masalah mendesak di Yogyakarta adalah me nyelesaikan problem-problem sosial, seperti masalah ke 39
88
Wawancara dengan Sigit Widianto, 28 Agustus 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
miskinan, pengangguran, kekurangan gizi, dan sejenisnya. Dilihat dari soal itu, usulan Perda Jilbab di Yogyakarta sama sekali tidak mendesak kalau dasar pikirannya ingin mengakomodasi, karena masalah-msalah mendesak justru terletak pada pengangguran, kemiskinan, dan masalahmasalah sosial lain seperti korupsi. M. Subkhi Ridho, Koordinator Aji Damai, memberikan komentar yang lebih mendasar. Menurutnya, masalahmasalah sosial di Yogyakarta seperti korupsi dan kemiskinan lebih penting dari sekadar isu jilbabisasi, karena tanpa perda masyarakat juga sudah berjilbab. Usulan Perda Jilbab hanya akan mengalihkan isu penting yang lebih mendasar di masyarakat, apalagi di Yogyakarta merupakan wilayah yang memiliki kultur Jawa yang kental, sehingga perda seperti itu menjadi tidak relevan. Sebaiknya pemerintah dan DPRD DIY lebih fokus mencari solusi problem-problem sosial demi kesejahteraan masyarakat, dan bukan meributkan Perda Jilbab yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat Yogyakarta. Kebijakan sebuah daerah harus mencerminkan pemecahan masalah di daerah itu, bukan hanya demi sensasi politik untuk meraup simpati dukungan agama tertentu.40 N. Kesimpulan Dari sini dapat disimpulkan, militansi organisasiorganisasi Islam yang kecil dan kemudian membentuk FUIY, telah secara gigih hendak memperjuangkan perda bernuansa agama dan isu-isu lain yang mereka anggap penting. Usulan itu telah disampaikan ke DPRD DIY, dengan basis argumentasi meningkatnya tingkat kriminalitas, perjudian, dan moralitas. Macetnya usulan Perda Jilbab bersumber pada peta kekuatan politik di DIY, sebagai institusi yang bisa berinisiatif mengusulkan draft perda tersebut. Kekuatan politik dominan tidak menyuarakan adanya perda semacam itu. Faktor ter penting lain adalah figur Sri Sultan yang sekaligus menjadi 40
Wawancara dengan M. Subkhi Ridho, 02 November 2008.
89
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Gubernur yang bisa juga menyusun inisiatif dari pemda untuk membuat draft perda, tidak merespon usulan FUIY. Dalam konteks Yogyakarta, usulan perda syariat ter masuk Perda Jilbab dan Perda Pekat justru tidak mendapat simpati masyarakat setempat. Sebaliknya, penerbitan Per da Anti Perjudian dan Anti Pelacuran di Bantul dan Kota Yogyakarta, tanpa bungkus simbol agama, akan lebih berhasil. Temuan-temuan ini justru menunjukkan, DPRD dan Pemda DIY harus segera mencari solusi masalah-masalah sosial yang lebih relevan seperti kemiskinan, korupsi, gizi buruk, dan persoalan-persoalan lain yang menjadi masalah riil masyarakat, daripada merembuk dan memunculkan dis kusi tentang perda syariat.
IV. Surakarta: Dinamika Perda Bernuansa Agama A. Memahami Aspirasi Perda Bernuansa Agama di Surakarta Surakarta merupakan kota kecil, tetapi menyimpan sejarah panjang konflik sosial, politik, dan ekonomi. Salah satu kota yang menjadi pusat budaya Jawa ini memiliki berbagai persoalan, termasuk ketegangan dan gesekan antar kelompok yang tidak jarang berujung pada konflik sosial. Di kota ini, lahir beberapa kelompok Islam yang secara serius turut berperan dalam mendorong penerapan syariat Islam. Gerakan mereka ini kerapkali mengambil tindakan taktis-politis, dan bahkan sampai tindakan radikal yang cenderung menggunakan cara-cara kekerasan. Sebaliknya, di sini juga ada kelompok muslim moderat, termasuk kelompok abangan, kelompok feminis, aktifis LSM, kalangan non-muslim, budayawan, dan tokoh adat, serta akademisi yang mendorong penerapan agama Islam secara lebih subtantif, dan bukan melalui regulasi formal-simbolik. Kelompok moderat lebih menekankan penguatan masyarakat dengan menanamkan nilai-nilai keagamaan, memberikan keteladanan pada masyarakat, dan menjaga kondisi harmoni sedapat mungkin. Dalam beberapa kasus, dua kelompok tersebut menem
90
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
puh jalan tengah melalui penerbitan dua perda jalan tengah: Pertama, Perda Usaha Retribusi dan Hiburan Umum (URHU) yang mengatur pendirian dan jam operasional tempat hiburan umum. Dan kedua, Perda Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial (PESK) yang mengatur tentang perlindungan bagi anak-anak dan perempuan dari segala macam bentuk eksploitasi seksual. Berdasarkan latar belakang singkat di atas, penelitian ini hendak menelisik dinamika aspirasi perda bernuansa agama di wilayah Surakarta. Sejauhmana peluang dan tantangan penerapan perda bernuansa agama di Surakarta?
B. Surakarta dalam Kilasan Surakarta juga dikenal dengan nama Solo. Kota ini terletak di pedalaman pulau Jawa sekaligus salah satu kota administratif di provinsi Jawa Tengah. Kota ini tergolong kota yang tidak terlalu besar. Luas wilayahnya hanya 44.040 km2. Kota ini dikelilingi beberapa kabupaten yang sekaligus menjadi penyangga ekonomi dan budaya. Sebelah timur Solo berbatasan dengan Karanganyar dan Sukoharjo, sebelah barat dengan Boyolali, sebelah utara dengan Karanganyar dan sebelah selatan dengan Sukoharjo. Di samping itu ada beberapa kabupaten lain yang secara sosial ekonomi memiliki hubungan erat dengan kota Surakarta, yaitu Wonogiri, Klaten, dan Sragen. Surakarta dibagi menjadi 5 kecamatan. Setiap kecamatan dibagi menjadi beberapa kelurahan dan RT dan RW. Surakarta memiliki 5 kecamatan: Banjarsari, Jebres, Laweyan, Pasar Kliwon, dan Serengan. 5 kecamatan ini mencakup 51 kelurahan. Jumlah penduduk kota Surakarta pada 2005 adalah 552.542 jiwa, terdiri dari 270.721 laki-laki dan 281.821 perempuan, tersebar di lima kecamatan yang mencakup 51 kelurahan. Perbandingan jenis kelaminnya 96.06%, yang berarti setiap 100 orang perempuan terdapat 96 orang lakilaki. Jika membandingkan jumlah penduduk pada 2003 dengan jumlah hasil sensus pada 2000 yang sebesar 488.834 jiwa, berarti dalam 3 tahun mengalami kenaikan sebanyak 83.708 jiwa.
91
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
C. Demografi Keagamaan Peta keagamaan di Surakarta, tidak terlepas dari se jarah masa lalu, terutama sejarah Keraton Surakarta di bawah seorang Raja Islam. Meskipun begitu, karena keraton dan masyarakat sekitarnya menganut sistem Kejawen, peta keagamaan di Surakarta juga sangat kental dengan corak budaya Jawa. Di Surakarta, umat Islam adalah kelompok mayoritas, tetapi corak kejawen dan abangan sangat kental, karena di daerah ini terdapat peninggalan keraton Jawa Islam, Mangkunegaran dan Kasunanan. Data BPS pada 2006, afiliasi keagamaan dapat diklasi fikasikan berdasarkan sebarannya di tiap kecamatan, sebagai berikut: a) pemeluk Islam di kecamatan Laweyan sebesar 87.162, Serengan 47.940, Pasar Kliwon 67.177, Jebres 93.505, dan Banjarsari 113 208 jiwa; b) pemeluk Katolik di Laweyan mencapai 10.451, Serengan 7.395, Pasar Kliwon 10.085, Jebres 22.129, dan Banjarsari 24.193 jiwa; c) penganut Protestan di Laweyan mencapai 16.753 jiwa, Serengan 7.550, Pasar Kliwon 8.963, Jebres 22.115, Banjarsari 22.157; d) pemeluk Buddha di Laweyan berjumlah 417, Serengan 90, Pasar Kliwon 847, Jebres 1.822, dan Banjarsari 1.448 jiwa; e) pemeluk Hindu di Laweyan mencapai 537, Serengan 54, Pasar Kliwon 177, Jebres dan Banjarsari 915 jiwa. Di samping kelompok yang berafiliasi dengan agamaagama resmi, di Surakarta juga terdapat aliran kebatinan yang jumlahnya mencapai 80 aliran. Di antara aliran tersebut yang besar adalah: Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) yang banyak didukung kerabat Keraton Mangkunegaran, Susila Budhi Dharma (Subud), Papandayan, Mahayana, Hinayana, Tri Darma, Sumarah, dan Kadang. Di tengah mayoritas muslim, kaum santri mengem bangkan jenis keberagamaannya dengan basis pesantren. Di Surakarta ada beberapa pesantren yang mewakili berbagai kecenderungan: 1. Pesantren Popongan, yakni kelanjutan dari pesantren Jamsaren Kiai Jamsari, sejak Kasunanan Pakubuwono IV. Pendiri pesantren Popongan ini adalah KH. Mansyur, dan saat ini diasuh KH. Salman ad-Dahlawi. Pesantren ini berafiliasi ke ormas Nahdlatul Ulama (NU).
92
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
2. Pesantren al-Muayyad berdiri sejak 1937 bertepatan dengan pembukaan pengajian al-Qur’an di Laweyan di bawah bimbingan KH. Umar Abdul Manan, salah satu murid KH. Mansyur. Satu dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1947, Abdul Manan mendirikan pesantren al-Muayyad dan berkembang dengan sangat pesat. Pesantren ini sekarang dipimpin KH. Abdul Razak Safawi. Pesantren ini juga berafiliasi ke ormas Nahdlatul Ulama (NU). 3. Perguruan al-Islam yang didirikan KH. Abu Amar, salah satu alumni Jamsaren. Ia dan beberapa tokoh agama di Surakarta mendirikan Yayasan Perguruan Islam AlIslam (YPIA), dan telah memiliki 27 cabang sekolah yang tersebar di Surakarta, mulai dari tingkat TK, SLTP, MTs, MA, SMA, dan Madrasah Diniyah. 4. Pesantren al-Mukmin Ngruki, yang didirikan pada 10 Maret 1972 berawal dari kegiatan pengajian sehabis shalat dhuhur. Setelah berjalan, para pengurusnya mengembangkan menjadi Madrasah Diniyah di komplek Gading Kidul 72A. Setelah berkembang, pengurusnya bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Islam dan Panti Asuhan Yatim/Piatu Surakarta untuk mendirikan Ponpes al-Mukmin. Setelah dua tahun berjalan, yayasan pesantren al-Mukmin memindahkan pesantrennya ke Dukuh Ngruki, Desa Cemani, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, tepatnya di atas tanah wakaf KH. Abu Amar. Salah satu pimpinan pesantren al-Mukmin adalah Abdullah Sungkar yang dikenal keras dan radikal. Saat ini, pesantren al-Mukmin Ngruki dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Pesantren ini memiliki sekolah umum dan sekolah agama. 5. Pesantren Ta’mirul Islam di Bumi Laweyan yang diasuh KH. Naharur Surur. 6. Pondok Pesantren Assalam, Pabelan, Kartasura. Pesantren ini didirikan Abdullah Sukari. Pondok pesantren ini memiliki santri ribuan dengan jenjang pendidikan SMP dan SLTA.
93
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
7. Pondok Pesantren Sobron yang diasuh pengurus Muham madiyah Surakarta. Di samping pengembangan dan basis kalangan santri dengan bentuk pesantren, ada beberapa organisasi dan majlis agama yang dirikan beberapa kalangan santri di Surakarta. Beberapa di antaranya adalah MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) dengan jamaah yang cukup besar. MTA berdiri pada 19 September 1972 melalui Majelis Talim di bawah pimpinan Abdullah Tufail Saputra. Kegiatan MTA ini berpusat di Semanggi, Pasar Kliwon. MTA ini membawa paham skripturalis. Saat ini, MTA dipimpin Achmad Sukina. Di samping itu, di Surakarta juga terdapat lembaga sosial keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang tidak cukup besar jamaahnya, jika dibanding dengan kelompokkelompok Islam skripturalis, termasuk Muhammadiyah, LDII, MMI, Al-Irsyad, dan organisasi-organisasi kecil seperti FPI Solo, Laskar Hizbullah, Laskar Jundullah, Laskar Mujahidin Surakarta, FKAM, Barisan Bismillah, Gerakan Pemuda Ka’bah, dan Brigade al-Islah. Dalam gerakan taktisnya, kelompok-kelompok Islam ini, terutama organisasi-organisasi kecil yang militan, selain NU dan Muhammadiyah, sering membuat aliansi bersama, seperti Jamaah Masjid Surakarta (JMS), Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), Kesatuan Komando Pemuda Islam (KPPI), dan Forum Komunikasi Umat Islam Surakarta (FORKUIS). D. Peta Kekuatan Politik Meskipun mayoritas warga Surakarta pemeluk Islam, tetapi peta kekuatan politik berbeda-beda. Justru kekuatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah mayoritas di wilayah ini. Bahkan, wakil PDIP sampai saat ini selalu menjadi walikota, yaitu Slamet Suryanto (2000-2005) dan Joko Widodo (2005-2010). Peta kekuatan politik di Surakarta bisa dilihat berdasar kan komposisi keanggotaan dan keterwakilan masyarakat yang memilih wakil-wakilnya di DPRD Surakarta, sebagai
94
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
hasil pemilu 2004. Komposisi wakil rakyat, dapat disebutkan: PDIP 13 kursi, Golkar 5 kursi, Demokrat 5 kursi, PAN 7 Kursi, PKS 4 kursi, PDS 5 kursi, dan PPP 1 kursi. Komposisi ini menunjukkan, partai nasionalis kebangsaan seperti PDIP, Golkar, Demokrat, dan PAN, mendapatkan suara terbesar. Sementara partai berbasis NU, seperti PKB dan PNU hanya mendulang suara sangat sedikit. Sedangkan partai-partai Islam seperti PKS dan PPP juga tidak cukup kuat. E. Masalah-Masalah Sosial di Surakarta Beberapa masalah sosial di Surakarta adalah pengang guran, kemiskinan, buta aksara, dan gizi buruk. Di Kota Solo pada 2007, data Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), jumlah pengangguran mencapai 19.491 orang. Meskipun begitu, data ini mengalami penurunan dibanding data sebelumnya sebanyak 26.196 orang. Sedangkan jumlah pencari kerja hingga November 2007 sebanyak 5.758 orang. Di samping masalah pengangguran, Surakarta meng hadapi masalah gizi buruk balita. Sebanyak 140 anak berusia di bawah lima tahun (balita) mengalami berat badan kurang atau dalam istilah kesehatan biasa dikenal dengan istilah di bawah garis merah (BGM). Berita terakhir belum bisa dilacak.41 Data kemiskinan yang dilansir Pemkot Solo pada 2007 menyebutkan, jumlah penduduk miskin sekitar 103.725 jiwa atau sekitar 29.199 KK dan penghuni panti asuhan mencapai 1.041 jiwa, sehingga total penduduk miskin 104.766 jiwa. Itu artinya jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan 15.251 jiwa dari sebelumnya. Kategori miskin ini berdasarkan SK Walikota No. 470/36/1/2007 sebagai berikut: memiliki luas lantai kurang dari 8 meter, jenis lantai tanah, dinding rumah kayu atau bambu, tidak memiliki fasilitas MCK, sumber air minum bukan PDAM, penerangan bukan listrik, membeli daging maksimal 1 kali sepekan, frekuensi makan dua kali sehari, 1 tahun membeli 1 stel pakaian, tidak mampu berobat ke Puskesmas, lapangan pekerjaan buruh tani, buruh 41
Solo Pos, 4 Juni 2005.
95
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
bangunan dan lainnya, pendapatan di bawah Rp 600.000,-/ bulan, pendidikan tertinggi tidak tamat sekolah dan tidak tamat SD, tidak memiliki tabungan, barang yang mudah dijual nilainya tidak sampai Rp 500.000,- dan tidak memiliki kompor atau menggunakan arang. Jumlah buta aksara berdasarkan laporan 2007, dari sekitar 500 ribu penduduk Kota Solo, masih terdapat sekitar 3.600 warga menyandang buta aksara. Namun, lewat gerakan pemberantasan buta aksara dalam satu tahun terakhir, dari 3.600 jiwa penyandang buta aksara, 3.511 jiwa diantaranya sudah memiliki kepiawaian baca tulis. Prestasi ini, menurut Pemkot Solo, mampu mengantarkan Kota Solo terbebas dari buta aksara, dan pada 21 April 2007, Joko Widodo meresmikan Taman Balekambang, sebagai monumen prestasi tersebut. Selain masalah-masalah sosial di atas, di Surakarta tentu masih menghadapi masalah lain, termasuk korupsi. Bahkan di daerah ini, sekitar 43 anggota DPRD Surakarta periode 1999-2004 menjadi tersangka kasus korupsi. Masa_ lah-masalah sosial lain di Surakarta tidak sedikit dan perlu mendapat penanganan serius. F. Perbedaan Aspirasi Penerapan Bernuansa Agama Di Surakarta, ruang yang didominasi kalangan santri dan organisasi garis keras ternyata menjadi lahan subur munculnya aspirasi perda bernuansa agama. Selama ini, muncul aspirasi besar untuk mendorong penerapan syariah Islam di Surakarta, tetapi aspirasi itu sendiri berbedabeda, khususnya ketika dilihat dari perspektif kaum santri. Aspirasi ini bisa dibedakan menjadi dua: Pertama, aspirasi yang saling bertolak belakang. Kedua, aspirasi yang bersifat mutual antar keduanya. Kedua aspirasi ini masing-masing didukung keragaman organisasi-organisasi Islam itu sendiri. Berkenaan dengan wacana perda syariat, organisasi Islam Surakarta terbagi ke dalam dua pilihan: pertama, kelompok yang menghendaki Islam diterapkan secara legal formal. Kedua, kelompok yang mendorong Islam sebagai inspirasi dan tidak perlu diterapkan secara formal.
96
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Kelompok pertama diwakili aktivis MMI dan penasehat Yayasan al-Abidin, Suparno Zaenal Abidin. Menurutnya, penerapan syariat Islam itu harus kaffah. Masyarakat harus berkomitmen dengan Islam, dengan begitu akan menjalankan undang-undang Allah. Undang-undang Allah jelas melarang perjudian, pelacuran dan bukan malah dilokalisasi, pencuri dalam ukuran tertentu harus dipotong tangannya, dan yang membunuh harus di-qishas, kecuali keluarganya memaafkan pelakuknya. Ia tegas menantang keberanian umat Islam untuk menegakkan al-Quran dan Sunnah secara benar. Mereka hanya tunduk pada undangundang Allah dan bukan manusia. Suparno juga menyayangkan para aparat pemerintah yang tidak berani menjalankan undang-undang Allah, karena pasti tidak cukup berani bertentangan dengan undangundang, partai atau golongannya. Pada dasarnya manusia itu diatur dua undang undang, yakni undang-undang Allah dan undang-undang manusia atas dasar suara mayoritas. Ia menegaskan, UU manusia inilah yang berlaku sekarang. Bahkan, ia menyebut tidak ada partai Islam di Indonesia yang berani mengawal syariat Islam, termasuk di Solo, karena seenarnya partai-partai itu adalah partai campuran. Menurutnya, partai seperti PKS, PPP dan PBB hanya asasnya saja yang Islam, tetapi perilakunya belum tentu Islami. Ia menambahkan, partai-partai Islam yang ada saat ini belum sepenuhnya Islami. Padahal menurutnya umat Islam harus menerapkan undang-undang Allah Swt. Argumentasi Suparno adalah, jika orang Islam diminta menjalankan aturan yang bertentangan dengan hukum Allah, ia wajib menolak. Jangankan pemerintah, orang tua kita sendiri saja harus kita tentang perintahnya, jika terbukti bertentanagn dengan perintah Allah. Sayangnya, kerapkali orang-orang yang berani menjalankan Islam dikatakan teroris, radikal, garis keras, dan sebagainya. Jelas, pendapat seperti ini adalah pandangan kafir. Dengan demikian, konflik saat ini adalah antara ”Islam keras” melawan ”kafir keras”. Suparno mencontohkan, jika ada orang yang mencuri 1 milyar itu sudah harus dipotong tangannya, karena ini akan menimbulkan efek jera. Masalahnya hal ini tidak mudah
97
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
sebab jika kita konsisten pada Islam akan banyak yang memusuhi. Termasuk perintah mengenakan jilbab, karena perintah dari Allah harus dijalankan dengan sepenuhnya. Isu tentang penerapan hukum pemerintah berdasarkan syariat tidak bisa dilepaskan dari cita-cita MMI yang mempengaruhi para aktivisnya. Tentu saja, ada juga organisasi-organisasi di Surakarta, meski kecil yang memiliki pola pemahaman seperti ini dan terus menyuarakan perlunya penerapan syariat Islam secara formal.42 Kelompok Kedua mengusung perspektif yang berbeda termasuk salah satu anggota PKS Surakarta adalah Budi Hartanto. Menurutnya, syariat Islam itu luas dan ulasan tentang hudud dalam Islam hanya memiliki porsi sekitar 5%. Sedangkan, hampir 95% Islam lebih banyak menyinggung masalah kesejahteraan, keadilan, pendidikan dan persoalan masyarakat lainnya. Ia menekankan pentingnya menggarap isu riil, dan tidak langsung melalui legalisasi syariat secara formal melalui perda syariat. Bahkan Budi menyebutkan, di Solo ada Perda PESK sebagai jaminan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Perda ini merupakan usaha kompromi dengan berbagai kekuatan DPRD di Solo. Salah satu tujuan pener bitan perda ini memberikan perlindungan korban kekerasan, saksi, dan rumah aman bagi korban kekerasan. Di samping itu, juga ada Perda URHU yang mengatur tentang aktifitas dunia hiburan di Solo. Dengan perda tersebut, Solo telah menjalankan syariat tanpa harus mengatakan syariat secara simbolis. Dan saat ini, DPRD Solo sedang mendorong rancangan Perda Miras.43 Dalam hal ini, tampaknya kalangan PKS cukup berhati-hati dengan isu penerapan syariat secara formal. Sikap seperti ini juga diadopsi kalangan Islam yang tergabung dalam PPP dan PBB, yang bagi para aktifis Majlis Mujahidin Indonesia masih dianggap campuran dan belum murni mewakili Islam. Subagyo dari NU mengakui, saat ini ada kelompok masyarakat yang menginginkan perjudian, 42 43
98
Wawancara dengan Suparno Zaenal Abidin, 05 Juni 2008. Wawancara dengan Budi Hartanto, 12 Juni 2008.
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
miras dan pelacuran itu diberantas dengan jalan penerapan perda syariat. Dalam konteks ini, umat Islam harus melihat secara jernih dahulu. Sebab ada kelompok masyarakat yang menginginkan simbol, tetapi juga ada yang menginginkan substansi. Ia menambahkan, jika kelompok pendukung formalisasi syariat menghendaki undang-undang Islam anti korupsi itu justru salah, karena anti korupsi itu sendiri sudah Islami. Undang-undang Islam perlindungan anak dan perempuan itu juga salah, sebab perlindungan anak dan perempuan itu sudah Islami. Jadi, kalau diformalkan menjadi tidak tepat. Dalam pengertian lain, jika semua pihak konsisten, nilai-nilai Islam tentu akan menjadi ruh setiap kebajikan, tanpa perlu melakukan formalisasi syariat Islam.44 Menyangkut trend menguatnya gerakan Islam radikal di Solo, Subagyo menyebutkan, gerakan radikal di Surakarta tempatnya tidak menetap, dan selalu berpindah-pindah. Akan tetapi, markasnya terpusat di Cemani, Gumuk Penumping dan Semanggi, MTA. Mereka ini menunggu momentum untuk menyuarakan aspirasi mereka. Misalnya, mereka selalu aktif berdemonstrasi di daerah Gladak membawa isu Palestina dan Anti-Amerika untuk meraup simpati masyarakat. G. Titik Temu Aspirasi Isu tentang pemberantasan judi, miras dan prostitusi merupakan isu di luar usulan perda syariat. Menyangkut isu ini, kalangan Islam memiliki banyak sikap yang sama, termasuk antara MMI dengan ormas-ormas Islam yang lain. Bahkan, banyak gerakan-gerakan Islam di Surakarta yang mengangkat isu ini, karena fenomena perjudian, miras, dan prostitusi bagi mereka merupakan isu yang paling tampak di masyarakat. Budi Kuswanto, aktivis Tim Pencari Fakta (TPF) sekaligus tokoh PPP menuturkan, selama ini, TPF banyak menangani kasus-kasus penyakit masyarakat (pekat), seperti perjudian, miras dan sebagainya di Solo. Dalam kasus ini, biasanya laskar Islam ketika melihat orang berjudi melaporkan kepada 44
Wawancara dengan Subagyo, 20 Juni 2008.
99
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
polisi, namun biasanya tidak ada tanggapan. Para laskar kemudian mengambil tindakan, dan timbullah tuduhan penganiayaan, perusakan dan lainnya. Menurut Budi, di Solo pada 1997 sudah ada Perda Miras, tetapi seiring berjalannya waktu, perda tersebut dirasa tidak akomodatif lagi. Karena itu, pada 2003 didesakan ulang perda senada, dan munculah Perda URHU yang mengatur tentang aktifitas dunia hiburan termasuk di dalamnya peredaran miras. Kalau Perda URHU ini dilaksanakan secara konsisten, tidak akan muncul gerakan Islam radikal seperti sekarang ini.45 Aspirasi-aspirasi sejenis pemberantasan miras, perju dian, dan prostitusi di Surakarta bisa mempertemukan berbagai kelompok santri, terutama dari organisasi-orga nisasi kecil yang militan. Bahkan, mereka yang mewakili aspirasi mendasar tentang penerapan syariat Islam juga bergabung atau bisa bertemu dalam soal ini. Dengan kalangan NU, perbedaannya terletak pada strategi bagaimana memberantasnya. Subagyo dari NU misalnya mengatakan, kita bisa melihat bagaimana respon dari masyarakat, ketika terjadi berbagai perusakan dan sweeping. Di satu sisi, mereka melakukan untuk tujuan kebaikan, amar makruf nahi munkar. Akan tetapi, kebaikan itu juga harus disertai dengan jalan yang baik pula, bukan dengan jalan kekerasan. H. Pro Kontra Penerapan Syariat Islam di Surakarta Pada dasarnya, MMI yang terus mendorong penerapan syariat formal, dan PKS serta NU yang lebih menekankan bentuk dan cara lain, terbentuk melalui dinamika dan argu mentasi di antara mereka sendiri. Argumentasi dan dinamika di antara mereka ini cukup memiliki perbedaan mendasar, meskipun sama-sama mengusung pentingnya syariat Islam. Perbedaan itu juga menyangkut strategi dan cara dalam mengusung syariat agama di Surakarta. Perbedaan aspirasi ini memiliki basis argumentasi sendiri-sendiri. Menurut MMI, beragama yang benar bagi 45
Wawancara dengan Budi Kuswanto, 22 Juli 2008.
100
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
umat Islam adalah berpegang teguh pada ajaran al-Quran dan Sunnah. Bagi mereka, syariat adalah kesatuan hidup yang berpegang pada al-Quran dan Sunnah. Melanggar satu diantara keduanya adalah keluar dari rel syariat, sebuah tindakan celaka yang dalam bahasa agama merupakan tindakan bid’ah dan syirik. Suparno Zainal Abidin mengemukakan, yang paling penting adalah orang Islam tidak terjebak dalam bid’ah dan musyrik beserta akibatnya, karena tindakan itu menentukan di hari akhir kelak. Kalau sudah terjebak dalam dua hal di atas, ibadah apapun termasuk puasa, haji, dan lainnya akan siasia. Karena itu, mereka menyerukan pemurnian dengan jalan kembali perpegang pada al-Quran dan Sunnah secara mutlak. Pasalnya, dosa syirik adalah dosa yang tidak terampuni.46 Berbeda dengan itu adalah apa yang dikemukakan Budi Hartanto, anggota DPRD Kota Surakarta dari Fraksi PKS yang memaknai syariat sebagai semua aspek kehidupan ini. Baginya, tidak hanya terbatas pada perjudian, pelacuran dan kewajiban jilbab saja, tetapi juga pada wilayah pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.47 Bagi PKS, syariat Islam itu mutlak diperjuangkan dalam konteks Indonesia, tetapi syariat yang dimaksudkan bukan syariat yang dalam pemahaman sempit yang berkaitan dengan hudud yang jumlahnya hanya 5% saja, tetapi syariat yang mencakup semua aspek kehidupan seperti kesejahteraan, keadilan, pendidikan, dan persoalan masyarakat lainnya. Sebagai orang yang berada di DPR Budi mengatakan, upaya penerapan syariat dalam bentuk regulasi harus ada peraturan di atasnya sebagai tertib hukum. Karena itu, melihat kekuatan politik umat Islam masih kecil, penguatan gerakan kultural untuk pelaksanaan syariat Islam itu lebih memungkinkan. Sedangkan argumentasi yang diberikan Subagyo dari NU menyebutkan, letak perbedaan ada di tafsir soal penerapan syariat. Ada yang ingin legal dan ada yang ingin substansi. Bagi kami kalau mereka dari kelompok yang menginginkan 46 47
Wawancara dengan Suparno Zaenal Abidin, 05 Juni 2008. Wawancara dengan Budi Hartanto, 12 Juni 2008.
101
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
formalitas menginginkan misalnya undang-undang Islam anti korupsi justru salah, karena anti korupsi itu sendiri sudah Islami. Jadi kalau diformalkan menjadi tidak tepat. Artinya kalau semua mau konsisten dan istiqomah saja akan bisa dilaksanakan syariah Islam tanpa mengatakan ini syariat secara formal. Jadi letak perbedaan ada pada soal yang menginginkan formalitas dan substansi.48 Perbedaan argumentasi di antara kalangan Islam ini membedakan juga strategi yang ditempuh. Untuk menerapkan syariah bagi MMI adalah dengan memperkuat komitmen pada penguatan keberagamaan masyarakat, bagaimana masyarakat bisa dengan teguh menjalankan syariat Islam secara menyeluruh. Dengan begitu, telah menjalankan undang-undang Allah. Itu artinya, masyarakat harus komit men menerapkan syariat Islam, juga harus diterapkan di pemerintahan. Tujuan hukum pemerintahan harus melalui penetapan syariat. Untuk menyuarakan itu beberapa organisasi Islam yang setuju dengan MMI sering melakukan gerakan jalanan dengan berdemonstrasi, yang menurut Subagyo dari NU, sering terjadi di Gladak. Isu Amerika dan Palestina menurutnya digunakan untuk mencari simpati. Karena pemerintahan dan partai-partai yang ada tidak Islam, strategi yang ditempuh kemudian berada di luar dan melakukan gerakan jalanan yang kadang-kadang membuat masyarakat di Surakarta menjadi miris. Berbeda dengan MMI, PKS melakukan pembasisan di masyarakat yang dianggap lebih penting, dengan melibatkan soal-soal riil yang tidak disentuh MMI. Budhi Hartanto menuturkan, jangan sampai ketika bicara perda syariat, kita melupakan persoalan kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Problem-problem sosial inilah yang didorong PKS saat ini. Dalam bidang pendidikan, PKS berusaha melakukan pengawasan penyelenggaraan penerimaan siswa baru sesuai sistem yang ada. Hal ini didasarkan pada penerimaan siswa baru yang tidak transparan tahun 2005, PKS membuat PSB online. Hal ini memiliki imbas tidak adanya jual beli 48
Wawancara dengan Subagyo, 20 Juni 2008.
102
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
bangku dan orang miskin yang memiliki potensi juga bisa masuk sekolah. Di bidang kesehatan, ada Program Kesehatan Masyarakat (PKM) sebagai jaminan kesehatan bagi warga miskin dengan perawatan gratis di kelas 3. Program ini mirip dengan Askeskin, tetapi dananya diambil dari APBD. Dengan dua hal ini, kita bisa menghadirkan syariat bukan sebagai ancaman, akan tetapi sesuatu yang ada di masyarakat. Jadi, perda syariat itu adalah al-Quran dan sunnah itu sendiri. Dengan sendirinya, PKS melihat usaha penerapan sya riat Islam bisa dilakukan dengan jalan memasukan nilai syariat pada perda yang dihasilkan. Budi mengatakan, Perda ESK misalnya, sejak awal PKS menghendaki perda ini diformalkan menjadi perda syariat, tetapi melihat peta kekuatan dewan dari partai Islam, akhirnya disepakati perda itu Perda ESK, sebagai bentuk kompromi terbaik. Di samping itu, PKS juga berusaha membangun jari ngan dengan berbagai organisasi Islam lain. Ia mengata kan, menyangkut kelompok lain seperti NU dan Muham madiyah, kita mencoba menjelaskan identitas PKS. Akhirakhir ini, kita telah me-launching platform partai dengan harapan orang lain dapat melihat PKS secara lebih jelas. Hal ini sejalan dengan agenda PKS yang tidak pernah berkoalisi secara idiologis, tetapi berkoalisi dalam program. Bagi kami, masa perdebatan ideologi telah selesai, dan saat ini kita keluar berdasarkan platform program. PKS memiliki dua kategori keanggotaan, kader dan non-kader. Kader itu yang mengikuti serangkaian pengkaderan dari kader pemula, madya, dan purna. Sedangkan non-kader adalah yang secara program bertemu dengan program PKS. Masalah perda adalah soal taktik semata. Menurutnya, jika langsung menembak dengan perda syariat, tentu tidak mungkin, sebab kekuatan politik di Solo berimbang. Akan tetapi, jika para anggota DPR muslim tetap konsisten, sebenarnya masih ada peluang untuk itu. Ia menambahkan, syariat agama yang diperjuangkan harus terus didorong, sebab kemungkinan diterima menjadi perda sangat besar. Ia menuturkan, pengalaman PPP pada pemilu 1999 membuk tikan mampu meraih 15 kursi saja dan tidak mampu melo loskan satu pun perda syariat. Akan tetapi, mereka telah
103
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
memberikan warna dan mendukung gerakan pelaksanaan syariat di masyarakat. Ketika terjadi konflik dengan diskotik Legend misalnya, dewan dari PPP saat itu sangat mendukung gerakan Laskar Islam di Solo. Jadi, kalau perda syariat tentu sangat berat, tetapi jika melalui substansinya tentu sangat mungkin. Karena itu, langkah TPF terkait dengan Raperda Miras yang sedang diproses ini adalah mendesak dewan untuk segera menggunakan hak inisiatifnya demi mempercepat proses payung hukum masalah ini. Di samping itu, dewan akan didorong untuk mendesakan nilai syariat agama di dalamnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan, pekerjaan TPF juga menjelaskan kepada Laskar di Solo, para anggota dewan tidak akan melegalkan dan menghalalkan miras, tetapi me ngatur peredarannya. Kalau tidak kita jelaskan akan bisa salah paham tentang hal ini. Perbedaan strategi ini ternyata mempengaruhi lemah nya penerapan syariat secara formal. Menurut Budi Hartanto, yang mempengaruhi lemahnya desakan penerapan syariat Islam, karena gerakan di Solo cenderung atraktif, bahkan terkesan reaktif, dan hanya didukung kekuatan yang sangat minim. Berkenaan dengan desakan arus bawah yang atraktif, gerakan itu tidak mewakili aspirasi warga Solo, tetapi mewakili warga Solo Raya meliputi Surakarta, Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Klaten, dan Boyolali. Seperti MMI misalnya, markas pusatnya bukan di Solo, tetapi di Sukoharjo.49 I. Koalisi-Koalisi Taktis Menimbang perbedaan argumentasi dan strategi, muncul koalisi-koalisi bentukan organisasi Islam militan. PKS dan partai-partai Islam lain, karena memiliki basis yang jelas dan ikut pemilu, bermain di level dewan DPRD Surakarta. Sedangkan organisasi lain yang tidak ikut pemilu secara organisatoris, justru melakukan gerakan jalanan untuk mengusung wacana penerapan syariat dan berantas maksiat. 49
Wawancara dengan Budi Hartanto, 12 Juni 2008.
104
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Beberapa koalisi yang pernah dibentuk di Surakarta antara lain: 1) Jamaah Masjid Surakarta (JMS) yang dibentuk untuk mensikapi berbagi isu miras, perjudian, dan pelacuran serta tindak maksiat lainnya di Surakarta yang berbasis di masjid-masjid; 2) Koalisi Kesatuan Komando Pemuda Islam (KKPI) yang didirikan untuk menegakan amar makruf nahi munkar di Surakarta. KKPI biasanya bergerak pada bulan-bulan Ramadhan dengan alasan menjaga kesucian bulan Ramadhan dari tindakan maksiat; 3) Forum Komunikasi Umat Islam Surakarta (FORKOUIS) yang bertujuan untuk melakukan sweeping pada bulan Ramadhan dan penggerebakan tempat maksiat; 4) Forum Pemuda Islam Surakarta (FPIS) sebagai koalisi berbagai eleman Islam di Surakarta yang banyak mengangkat isu nasional seperti Poso, Ambon, dan lainnya; (5) Lembaga Umat Islam Surakarta (LUIS) sebagai lembaga yang berkonsentrasi pada isu internasional maupun nasional, terutama berkaitan dengan konflik dan kebijakan publik. Selain gerakan-gerakan koalisi di atas, ada gerakan yang dilakukan secara mandiri, antara lain: Laskar Jundullah, Laskar Hisbullah, Laskar Jihad, Laskar Bismillah, Gerakan Pemuda Ka’bah, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Front Anti Penculikan. Laskar-laskar ini bergerak sendiri, tetapi isu yang diangkat hampir sama, yaitu penegakan amar makruf nahi munkar, penutupan tempat maksiat dan pemberantasan miras dan perjudian. Berkaitan dengan koalisi-koalisi ini, pernyataan Budi Kuswanto menarik dicermati. Menurutnya, pada tataran praksis, koalisi di Solo adalah koalisi pragmatis dalam menyikapi persoalan sosial kemasyarakatan. Sekilas, pada 1998, gerakan Islam di Solo berawal ketika membentuk Angkatan Muda Muslim Surakarta (AMMS), kemudian membentuk Forum Pemuda Islam Surakarta (FPIS) yang tidak terkait dengan Front Pembela Islam (FPI) Jakarta. Kasus demi kasus yang muncul setiap tahun seperti perjudian, miras dan lainnya menjadikan FPI mengkristal menjadi kekuatan yang disegani. Mereka selalu kompak ketika menghadapi isu bersama, tetapi setelah itu kembali pada basis kelompok masing masing. Laskar tersebut memiliki karakter yang
105
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
berbeda, tetapi masing masing sudah saling memahami dan tidak ada konflik. Misalnya, MMI dengan FPI, FPIS dengan Laskar Jundullah dan lainnya. Kalau tidak ada isu bersama, MMI akan kembali pada basis utamanya di Sukoharjo, LUIS akan kembali ke basisnya juga. Kekuatan kelompok koalisi mereka hanya pada isu bersama, dan tidak cukup solid dalam gerakan di dewan, karena sudah berbeda-beda, bahkan cenderung bersebarangan. Mereka lebih memilih strategi jalanan, yang menurut Subagyo dari NU, karena jumlahnya sedikit tetapi militan. J. Konteks Sosial Isu Penerapan Syariat Islam di Surakarta Upaya mengusung wacana penerapan syariat Islam di Surakarta, meski berbeda dalam bentuknya, sebenarnya memiliki konteks sosialnya. Dalam hal ini ada dua hal menonjol, meskipun tentu ada beberapa hal lainnya lagi, yaitu: Pertama, persepsi tentang hukum yang berlaku di Indonesia sebagai hukum kafir. Kedua, kewajiban agama untuk memberantas tindakan dan tempat-tempat maksiat di Surakarta. K. Hukum Indonesia Jauh dari Syariat Islam Bermula dari kekecewaan kelompok Islam di Surakarta dan berlanjut dengan tuntutan penerapan syariat Islam di Surakarta. Akar masalahnya menurut Suparno Zainal Abidin, karena Indonesia bukan negara Islam yang menerapkan syariat Islam. Indonesia tidak menjadi Islam yang sebenarnya, karena hanya menerapkan hukum Islam yang ragu-ragu, dan bukan hukum Islam dalam bentuknya yang tegas. Indonesia bukan negara yang menerapkan syariat Islam secara keseluruhan dalam bentuk formal. Bahkan, sampai sekarang belum ada partai yang betul-betul Islam. Kekecewaan ini disuarakan MMI secara lantang. Meskipun beberapa kalangan Islam lain juga menyuarakan nya, namun tidak sejelas dan sekeras MMI.
106
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
L. Kondisi Lokal Surakarta dan Sekitarnya Secara spesifik, menurut Budi Kuswanto, gerakan yang menuntut penerapan syariat Islam lebih banyak dilatarbelakangi konteks lokal Surakarta. Konteks lokal yang dimaksud adalah keberadaan tempat-tempat perjudian, prostitusi, dan minuman keras yang menjamur, serta merebaknya praktik preman yang mengganggu masyarakat. TPF menjelaskan, maraknya tuntutan penerapan syariat Islam di Surakarta adalah dalam rangka memberantas penyakit masyarakat. Budi mencontohkan beberapa tempat yang terkena sweeping kelompok Islam, antara lain: kafe 2000 di sekitar stadion Manahan, Wulan Beterai, Legen di dalam Pasar Gedhe, Kafe Scorpio yang berlokasi dekat RRI Solo, Diskotik Freedom, Kafe Waru Doyong, Solo Baru, Kafe Bengawan Sport, tempat judi mesin Kipli di Gading, tempat judi Jhekport dan dingdong di Baturetno, Wonogiri, serta beberapa kasus di berbagai wilayah di Boyolali, Purwodadi, Grobogan, dan sebagainnya. Budi menambahkan, kekhawatiran terbesar dari marak nya tempat-tempat maksiat di Surakarta dan sekitarnya adalah rusaknya mental, moral, dan akhlak generasi muda. Anak-anak dan adik-adik yang kita didik baik-baik dari rumah maupun sekolah, ketika keluar rumah dan masuk ke tempat-tempat tersebut akan menjadi lepas kendali. Beberapa laskar seperti FPIS, Hisbullah, Jundullah, MMI, LUIS, dan berbagai gerakan lainnya muncul dilatarbelakangi hal-hal tersebut, yang salah satu agenda utamanya adalah sweeping tempat-tempat maksiat serta melakukan kegiatan rutin di bulan Ramadhan untuk menutup tempat lokalisasi dan tempat-tempat maksiat di Surakarta.50 Selain dua konteks sosial di atas, sebenarnya ada hal lain yang memicu timbulnya wacana penerapan syariat Islam di Surakarta, yaitu wacana kristensiasi, yahudinisasi dan wacana umat Islam di berbagai tempat di Indonesia yang sedang diserang kaum kafir, termasuk di Maluku dan 50
Wawancara dengan Budi Kuswanto, 22 Juli 2008.
107
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Poso. Wacana-wacana ini sering dijadikan dasar kelompokkelompok Islam di Surakarta untuk menerapkan syariat Islam. M. Perspektif Lain tentang Wacana Penerapan Syariat Islam di Surakarta Bagian ini mengulas beberapa perspektif lain tentang penerapan syariat secara formal, misalnya dalam bentuk pembentukan perda syariat di Surakarta. Mengungkap perspektif lain ini penting untuk mengetahui, sejauhmana tuntutan dan wacana semacam itu di kalangan masyarakat Surakarta sendiri. Menurut Sudarmono, selaku tokoh adat dan kebudayaan Surakarta, wacana penerapan syariat Islam dapat dibingkai dalam diskusi soal Islam Jawa. Baginya, Islam Jawa adalah Islam yang menyatu antara ajaran adiluhung Jawa dengan Islam. keduanya saling mengisi tanpa menegasikan, meskipun juga tidak terjebak dalam sinkretisme. Islam tetap Islam bagi orang Jawa. Baginya, Islam telah berproses dengan budaya Jawa sejak lama, bahkan hampir dalam seluruh sendi budaya Jawa memiliki corak Islami. Dalam menanggapi kelompok radikal di Surakarta, Sudarmono menyebutkan, kelompok Islam yang mengingin kan penerapan syariat Islam itu harus dilihat petanya dulu. Ada tiga Abdullah yang mesti dilihat di sini, yaitu Abdullah Tofeil Saputra pendiri Majelis Tafsir al-Quran (MTA), Abdullah Sungkar pendiri Pesantren Al-Mukmin Ngruki, dan Abdullah Sukari pendiri Assalam dan pusat ekonomi Goro. Ketiga tokoh inilah yang saat ini getol menuntut penerapan syariat Islam.51 Sedangkan masyarakat Surakarta yang moderat, menurut Sudarmono jumlahnya sangat banyak dan saat ini hanya menjadi penonton saja. Apa yang akan dilakukan orang tersebut dengan jumlah masa seperti itu. Belum lagi kelompok abangan yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi konflik besar dengan kelompok puritan. Organisasi 51
Wawancara dengan Sudarmono, 24 Juli 2008.
108
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
mereka seperti MTA, MMI dan pengajian Nggumuk akan sulit menguasai Solo, terutama Solo Utara yang sudah didesain Mangkunegaran dengan corak pluralismenya yang kental. Perspektif lain juga diberikan Pdt. Prihantoro Gendro wiyono dari Gereja Kronelan, Surakarta. Ia mengemukakan, penerapan regulasi bernuansa syariat bagi umat Kristen perlu dikaji terlebih dahulu. Pertanyaan yang muncul adalah apa yang mau diatur, kemudian kenapa harus menggunakan perda syariat, apakah hukum positif tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam pandangannya, semua warga negara ini memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum. Kaum muslim memiliki hak untuk melaksanakan agama dan keyakinannya sebagai mana orang Hindu, Buddha, Konghucu, Kristen dan Kato lik. Negara harus menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurutnya kalau penerapan perda itu yang dimak sudkan untuk mengatur kehidupan masyarakat seperti pela curan, perjudian, dan minuman keras, tentu hal ini sangat baik. Akan tetapi, jika dibahasakan dalam kalimat syariat, tentu akan menimbulkan resistensi kelompok yang lain, kecuali perda itu hanya untuk satu golongan saja.52 Perspektif lain juga diberikan Setyo dari Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro). Setyo mengemukakan, perda syariat adalah usaha untuk memformalkan ajaran Islam. Formalisasi ini berwujud regulasi, dan karenanya Islam itu sekarang diarahkan pada formalisasi syariat. Seharusnya hubungan antara manusia dan Allah harus seimbang. Ka lau dalam kiasannya adalah kubus, bukan piramida yang mengkerucut di atas. Kubus itu memiliki empat dimensi yang sama. Artinya, hal itu melambangkan dimensi kemanusiaan dengan dimensi ketuhanan yang seimbang. Sedangkan dalam simbolisasi piramida, dimensi kemanusiaan itu lebih lebar dibanding dengan yang berdimensi ketuhanan. Kalau begitu semua kehidupan masyarakat akan dibawa ke wahyu, sekali lagi kalau bentuk kubus Islam hadir akan merealisasikan problem kemanusiaan, dan di sinilah Islam 52
Wawancara dengan Pdt. Prihantoro Gendrowiyono, 13 Agustus 2008.
109
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
menemukan kebenarannya. Kalau dipaksakan untuk menerapkan regulasi ter sebut, menurut Setyo, sangat tidak mungkin melihat per bandingan dewan di DPRD Surakarta; 50% non muslim dan 50% adalah muslim. Di masyarakat, kekuatannya juga berimbang. Memperjuangkan perda syariat secara substantif tentu bisa, tetapi kalau berbunyi syariat langsung, hal itu akan menimbulkan resistensi. Argumentasi Setyo ini belum dirinci lagi, yang muslim pun memiliki aspirasi lain tentang penerapan syariat, tidak sama di antara mereka. Setyo mengungkapkan, belajar dari pengalaman tentang konflik di Solo, masalahnya lebih pada persoalan ekonomi dibanding dengan persoalan SARA. Karena itu, kalaupun ada perda syariat, yang paling penting adalah perda yang dapat menyelesaikan persoalan ekonomi ini. Misalnya perda pajak, kalau dibunyikan perda syariat pajak pasti akan terjadi resistensi. Secara substantif, perda pajak sudah mengandung nilai syariat, meskipun secara formalitas mengakomodir semua kelompok.53 Menurut Subagyo dari NU, berkaitan dengan aktifitas kelompok Islam yang keras ia menuturkan, kelompok Islam keras hanya di permukaan saja. Mereka hanya ber usaha dikenal dengan mengangkat berbagai isu, di surat kabar dan lainnya. Itu strategi mereka. Jumlah mereka sebetulnya sedikit, namun di permukaan mereka tampak besar. Sedangkan orang moderat itu ikhlas, tidak tampak di luar. Mereka cenderung melihat, mengamati, kemudian melakukan perubahan, tanpa harus melakukan pengrusakan dan konflik. Ibaratnya orang moderat itu menarik benang tanpa merusak kain. Mengambil ikan tanpa harus membuat keruh airnya. Orang moderat, memiliki kecenderungan toleran dan lebih mengedepankan sentuhan personal. Mereka lebih mengedepankan keteladanan hidup di masyarakat. Mereka bekerja dan melakukan perubahan sesuai dengan taraf kemampuan masyarakat. Gagasan Subagyo untuk mengimbangi gerakan keras di Surakarta adalah dengan melestarikan sikap moderat, yakni 53
Wawancara dengan Setyo, 19 Agustus 2008.
110
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
simbol inklusif bisa diterima semua golongan. Simbol ini harus berkaitan dengan aktifitas sosial budaya masyarakat, dan tidak menimbuklan keresahan, seperti kegiatan halal bi halal idul fitri, Sekaten, Yasinan, dan Tahlilan untuk mengirim doa pada orang meninggal. Inilah yang dimaksud Subagyo sebagai simbol kemoderatan.54 Senada dengan Subagyo, Siti Kasiyati, selaku Ketua Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Aisyiyah Surakarta, berpandangan, yang menjadi pertanyaan, apakah dengan perda syariat berarti harus mengatur semua urusan masya rakat. Dalam konteks ini, saya tidak menolak, tetapi apa yang diatur dan harus memiliki landasan konstitusional. Misalnya, pengarusutamaan gender melalui Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Kasiyati menambahkan, perda itu harus bersifat spesifik, tidak boleh orang Islam diatur syariat tetapi yang lain tidak. Hukum itu tidak boleh debatable, tidak boleh multi-tafsir. Bukanya saya menolak, kata Kasiyati, tetapi harus selesai pada tingkat pembahasanya, jangan hanya karena desakan tertentu. Sebab kita ini hidup di negara hukum, meskipun sebenarnya hukum Islam masuk menjadi sumber hukum, sebagaimana juga hukum adat dan hukum Barat. Kalau Aceh ada kekhususan, karena di sana ada qanun-nya, sedangkan perda di Aceh menjabarkan kehendak qanun itu. Seperti Perda Jilbab, kita mau cantolkan di mana, sementara jilbab sendiri masih diperdebatkan apakah wajib atau tidak bagi perempuan. Dalam hal ini, kita harus menterjemahkan hal yang bersifat illahiyah ke ranah sosiologis, dan ini butuh keahlian tertentu. Perspektif-perspektif lain ini memberikan penjelasan tentang wacana penerapan syariat Islam secara formal dalam bentuk perda di Surakarta, tidak serta merta mudah akan mendapat tempat di kota ini. Bahkan, menurut Subagyo, secara kuantitatif mereka yang meneriakkan penerapan syariat sebagai simbol itu sedikit, hanya saja secara kualitas mereka itu militan.55 54 55
Wawancara dengan Subagyo, 20 Juni 2008. Wawancara dengan Siti Kasiyati, 21 Agustus 2008.
111
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Berdasarkan pertimbangan di atas, jelas peluang perda bernuansa syariat secara formal memang ada karena sebagian umat Islam menyuarakan itu, tetapi tantangannya juga tidak kecil, karena terletak pada peta politik, faktor keraton, perbedaan tafsir, serta dinamika sosiologis di kalangan kaum santri sendiri. N. Kesimpulan 1. Peta politik di Surakarta didominasi PDIP yang beroleh 13 kursi, Golkar 5 kursi, Demokrat 5 kursi, PAN 7 Kursi, PKS 4 kursi, PDS 5 kursi, dan PPP hanya 1 kursi. Dari peta ini, partai yang mengatasnamakan MMI atau kelompok Islam yang segaris tidak ada, karena memang mereka tidak membentuk partai politik, dan hanya menjadi organisasi sosial. Dilihat dari sisi agama saja, berimbang antara anggota dewan yang Islam dan nonIslam. Padahal di kalangan wakil dewan yang beragama Islam, yang masuk dan tersebar ke partai-partai Islam itu, masih terbelah-belah, karena memiliki cara pandang dan argumentasi yang berbeda tentang penerapan syariat Islam secara formal di tengah kerangka kebangsaan. PKS saja, yang dianggap memiliki basis dan akan menerapkan syariat Islam, hanya memperoleh 4 kursi, dan kemudian PPP hanya diwakili 1 kursi. Selebihnya, wakil dewan diisi dari kalangan yang memiliki aspirasi kebangsaan. 2. Faktor keraton, mengutip Sudarmono selaku tokoh adat dan budaya Surakarta, ikut andil dalam mendesain Sura karta untuk selalu menghargai kemajemukan. Sebagai penerus kerajaan Mataram yang mewakili sejenis Islam Jawa yang mengakui NKRI, sampai hari ini belum menunjukkan dukungan terhadap perda bernuansa sya riat Islam. Andai pun aspirasi penerapan syariat Islam secara formal mendapat dukungan keraton, juga masih berbenturan dengan faktor konfigurasi pemerintah kota dan dewan yang didominasi basis-basis abangan seperti PDIP. Bahkan, selama reformasi saja, walikota dijabat pertama oleh Slamet Suryanto dari PDIP dan kemudian
112
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Joko Widodo yang berduet dengan FX. Rudyatmo dari PDIP. Dari konfigurasi seperti ini wacana perda bernuansa syariat sangat sulit. 3. Lebih sulit lagi ternyata perda bernuansa syariat itu tidak mendapat dukungan dari ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah, bahkan dari kalangan wakil dewan sendiri yang beragama Islam, karena berbeda dalam menafsirkan atau strategi untuk menerapkan syariat Islam. Aspirasi lain menginginkan agar syariat diterapkan dalam substansinya, dan bungkusnya dengan budaya setempat, atau berkompromi dengan semua kalangan, karena setiap perda menyangkut dan menjangkau semua kelompok masyarakat. Padahal, kalau sudah kompromi dan percampuran ini, menurut MMI seperti diwakili Suparno Zainal Abidin, semuanya ini campuran dan tidak memperjuangkan Islam. 4. Di tengah peta yang demikian, mustahil perda bernuansa syariat Islam secara legal formal akan mendapatkan dukungan, meskipun desakan, seruan, dan tuntutan sering disuarakan beberapa organisasi Islam terus didorong tiga tokoh seperti Abdullah Tufail (MTA), Abdullah Sungkar (MMI), dan Abdullah Sukari (Assalam).
V. Cianjur: Dinamika Regulasi Bernuansa Agama A. Cianjur Dalam Kilasan Secara geografis, Kabupaten Cianjur terletak di ba gian tengah Provinsi Jawa Barat. Secara administratif, Kabupaten Cianjur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Purwakarta di sebelah Utara, Sukabumi di sebelah Barat, Samudera Indonesia di sebelah selatan, Bandung dan Garut di sebelah Timur. Sebenarnya, letak Cianjur yang berada di jalur antar regional cukup strategis untuk pengembangan kegiatan ekonomi, meskipun peluang ini tampaknya belum tergarap secara maksimal. Kabupaten Cianjur mempunyai variasi yang sebagian besar bersifat perbukitan. Meski de mikian, wilayah bagian utara pada umumnya datar, datar
113
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
bergelombang, sampai datar berbukit. Sementara itu, wilayah selatan berbukit sampai berbukit terjal. B. Demografi Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Cianjur tahun 1995 sebanyak 1.745.763 jiwa, tahun 2000 sebanyak 1.922.106 jiwa, dan tahun 2005 sebanyak 2.098.644 jiwa. Periode 19952005, laju pertumbuhan penduduk, rata-rata sebesar 1.86% per-tahun. Angka laju pertumbuhan penduduk berdasarkan data SUSENAS lebih tinggi, bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk berdasarkan Pencacahan Sensus Penduduk (SP) tahun 2000, yaitu sebesar 1.57%. Angka ini turun 0.25%, dibanding laju pertumbuhan penduduk Hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 1990, yaitu sebesar 1.82%. Akan tetapi, angka itu masih berada di atas laju pertumbuhan penduduk nasional, yaitu 1.49%, dan di bawah rata-rata Jawa Barat pada periode 2004-2005, yaitu 2.09%. C. Demografi Keagamaan Jika dilihat dari komposisi keagamaan, berdasar data 2005, mayoritas penduduk Cianjur beragama Islam dengan prosentase 99.23% atau berjumlah 2.042.289 jiwa. Sementara itu, pemeluk Katolik mencapai 7.203 pemeluk, Protestan 3.498 pemeluk, Hindu sebanyak 617 pemeluk, dan Buddha setara dengan 4.527 pemeluk. Jumlah jemaah haji berubah secara fluktuatif, yakni pada 2001 berjumlah 801 orang dan pada 2005 berjumlah 659 orang. Sarana dan prasarana peribadatan berupa masjid sebanyak 4.074 buah, mushola 5.240 buah, majelis taklim 3.588 buah, TPA 2.775 buah, PAF 19 buah, PAH 318 buah, pondok pesantren 694 buah, gereja Katolik 3 buah, gereja Protestan 27 buah, pura 5 buah, dan wihara 1 buah.
D. Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan Di Kabupaten Cianjur, batas garis kemiskinan melalui perhitungan pendapatan per/kapita pada 2004 sebesar Rp
114
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
121.902/kapita/bulan. Jumlah penduduk miskin pada 2004 sebesar 357.900 jiwa atau sekitar 30.01%. Sedangkan pada 2005, warga miskin mencapai 161.552 KK atau 28.24%. Hal ini menunjukkan adanya penurunan penduduk miskin. Koefisien Gini Ratio dapat digunakan sebagai bahan untuk me ngevaluasi dan menganalisa pembangunan di bidang eko nomi: apakah pembangunan dinikmati penduduk berpenghasilan tinggi, menengah, atau rendah? Angka Gini Ratio pada 2000 mencapai 0.181% dan pada 2005 menurun 0.156%. Dibanding tahun 2000, terjadi peningkatan pemerataan pendapatan sebesar 2.43%. Pada 2000, 40% penduduk berpendapatan rendah dengan kon tribusi sebesar 29.07%, dan pada 2005, kontribusi kelompok ini sebesar 22.40%. Pada 2000, 40% penduduk berpendapatan menengah dengan kontribusi sebesar 51.03% dan tahun 2005 kontribusi kelompok ini sebesar 46.05%. Pada 2000, 20% penduduk berpendapatan tinggi dengan kontribusi sebesar 19.90% dan pada 2005 meningkat menjadi 31.55%
E. Gerbang Marhamah dan Figur Wasidi Swastomo Kemunculan wacana regulasi bernuansa agama di Ci anjur tak bisa dilepaskan dari proses suksesi Bupati Cianjur 2001. Saat itu, beberapa kelompok Islam yang tergabung dalam Majelis Muslim Bersatu (MIMBAR) menggalang dukungan bagi kandidat bupati yang akan bertarung dengan syarat menandatangai kesediaan untuk menerapkan syariat Islam di Cianjur. Dari sekian calon yang bertarung, Wasidi Swastomo, ketika itu menjabat Sekretaris Daerah Cianjur, adalah calon yang secara terbuka menunjukan kesediaannya untuk menerapkan visi syariat Islam. Setelah melalui pemilihan yang ketat, Wasidi Swastomo akhirnya terpilih menjadi Bupati Cianjur 2001-2005. Dari 45 anggota DPRD Cianjur, Wasidi memperoleh dukungan 22 suara, mengalahkan rival terkuatnya, Tjetjep Muhtar Sholeh yang memperoleh dukungan 21 suara, dan dua suara lainnya dianggap abstain. Komposisi anggota DPRD Cianjur 1999-2004, sebagai berikut: Partai Golkar 12 kursi, PDIP 10 kursi, PPP 10 kursi, TNI 5 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi,
115
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
PAN, PNU, PKP, dan PPP masing-masing 1 kursi (4 kursi). Segera setelah terpilih, Wasidi Swastomo mendek larasikan apa yang disebut sebagai “Gerbang Marhamah” atau “Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Ka rimah” pada 1 Muharram 1422 atau 26 Maret 2001. Untuk merumuskan bagaimana pelaksanaannya, Pemkot Cianjur melalui SK. Bupati Cianjur No. 34/2001 membentuk Lem baga Pengkajian dan Pengembangan Islam (LPPI). Lembaga ini bertugas menyusun format pelaksanaan syariat Islam di Cianjur. Berdasar kajian yang dilakukan LPPI, Gerbang Marhamah akan diimplementasikan ke dalam dua tahapan, yaitu periode “peletakan kerangka landasan” yang berlang sung dalam kurun waktu 2001-2005 dan periode “peman tapan” yang berlangsung dalam kurun waktu tahun 20062010. Selanjutnya, untuk menerjemahkan visi Gerbang Marhamah ke tingkat yang lebih praktis dan aplikatif, Bu pati Wasidi Swastomo mengeluarkan SK. Bupati Cianjur No. 451/277/Asda-1/2001 yang berisi petunjuk untuk: a) membudayakan shalat berjamaah terutama pada saat jam kerja; b) membudayakan mengeluarkan zakat, infak, dan shadaqah setiap rizqi/pendapatan yang diterima; c) meningkatkan kegiatan pengajian di unit kerja, majlis taklim, dan tempat lainnya; d) menciptakan lingkungan yang Islami dan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberi contoh keteladanan (uswatun hasanah). Berbagai petunjuk di atas, tentu saja, perlu disosiali sasikan ke masyarakat. Karena itu, Pemkab Cianjur menyiap kan 450 petugas Penyuluh Akhlakul Karimah (PAK) yang bertugas memberi bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat terkait dengan program-program Gerbang Marhamah. Mereka tersebar di berbagai tempat. Selain disebar ke desa-desa, PAK juga ditugaskan di rumah sakit, kantor polisi, dan instansi-instansi pemerintah. Untuk mendukung keberadaan mereka, Pemkab Cianjur mengalokasikan angga ran khusus untuk gaji PAK yang diambil dari APBD. Alokasi anggaran yang tersedia sebesar 400 juta, masing-masing PAK mendapat 750 ribu/tahun. Sementara itu, Bupati Wasidi Swastomo sendiri ber
116
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
usaha mengawal pelaksanaan Gerbang Marhamah secara langsung. Setiap Jumat Wasidi dikabarkan melakukan kam panye pemberlakuan syariat Islam melalui program Jumat keliling ke desa-desa. Berkaitan dengan itu, beberapa desa kemudian dimaklumatkan sebagai desa perconThohan dalam program Gerbang Marhamah. Program Gerbang Marhamah meliputi juga bidang eko nomi, termasuk di dalamnya pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah. Salah satu program di bidang ini adalah skema pinjaman modal usaha dan peningkatan kualitas SDM de ngan sasaran pondok pesantren yang jumlahnya mencapai 700 di Cianjur. Untuk kelancarannya, Pemkab telah menjalin kerjasama dengan berbagai bank syariah. Mengenai zakat, infaq, dan shadaqah, Pemkab akan mengambil “zakat” dari APBD sebesar 2.5 persen untuk keperluan pendidikan dan dakwah. Program ini dipandang perlu dilakukan karena umat Islam di Cianjur yang mencapai 99.5% sebagian besar masih tergolong lemah dalam hal pendidikan. Menurut Thoha, Ketua Partai Bulan Bintang Cianjur, pengertian zakat 2.5% dari APBD itu adalah minimal 2.5% dari anggaran APBD harus dianggarkan untuk program keagamaan di Cianjur.56 Semua program Gerbang Marhamah selalu dievaluasi setahun sekali pada tiap pergantian tahun baru Hijriyah. Kegiatan evaluasi dan konsolidasi Gerbang Marhamah di lak sanakan dalam acara yang disebut Silaturahmi Umat Islam (SILMUI). Peserta yang mengikuti SILMUI membentuk jejaring yang dinamakan Majelis Ukhuwah Umat Islam (MUUI). Acara SILMUI yang diadakan setiap tahun itu dihadiri perwakilan dari kalangan ulama, birokrat, aktifis LSM, ormas, kalangan intelektual, tokoh-tokoh masyarakat. Biaya kegiatannya sebagian besar ditanggung dari dana Pemda Cianjur. Jumlahnya yang hadir tidak lebih dari 300an orang. Akan tetapi, sampai 2005, Gerbang Marhamah tetap merupakan program yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Karena itu, Wasidi mengusulkan agar Gerbang Marhamah dijadikan peraturan daerah. Selain 56
Wawancara dengan M. Thoha, 08 Mei 2008
117
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
ditujukan secara formal ke DPRD, usulan Wasidi diumumkan kepada publik dan dikirim kepada tokoh-tokoh Islam untuk menunjukan komitmen dia terhadap penegakan syariat Islam di Cianjur. Bagi sebagian kalangan, apa yang dilakukan Wasidi dengan usulan rancangan Perda Gerbang Marhamah tidak bisa dilepaskan dari pertarungan politik lokal di Cianjur yang sedang menghadapi Pilkada 2006. Kekuatan politik Wasidi sejak awal memang berasal dari dukungan tokoh-tokoh ormas Islam. Ia tampaknya percaya bahwa dukungan tersebut masih bisa dimobilisasi untuk agenda pencalonan dirinya dalam Pilkada Cianjur 2006. Di sisi lain, tokoh-tokoh ormas Islam meyakinkan Wasidi tentang potensi umat Islam di Cianjur masih berada dalam kontrol mereka sebagai otoritas keagamaan. Secara kuantitatif, potensi umat Islam tersebut tercermin dalam renstra Gerbang Marhamah 2001 yang menyebut bahwa 99.23% dari total penduduk Cianjur adalah muslim. Selain itu, renstra Cianjur 2001 mencatat bahwa di Cianjur terdapat sekitar 4.169 ulama, 4.046 juru dakwah, 9.965 khatib Jumat, dan 510 penyuluh penerangan agama Islam. Untuk memobilisasi dukungan terhadap Wasidi dalam menghadapi Pilkada Cianjur 2006, tokoh-tokoh ormas Islam dari NU, Muhammadiyah, PUI, Persis, dan tentu saja MUI membentuk “Relawan Marhamah”. Wasidi menyediakan dana besar untuk kepentingan ini. Dalam perkembangan lebih lanjut, tokoh-tokoh ormas Islam yang tergabung dalam “Relawan Marhamah” bahkan pernah membuat fatwa yang mewajibkan umat Islam Cianjur memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah (disingkat Mawaddah) dalam Pilkada Cianjur 2006. Menurut mereka, memilih pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah berarti mendukung tegaknya syariat Islam di Cianjur. Pilkada Cianjur 2006 diikuti empat pasang calon, yaitu pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah yang diusung partai Golkar, PKB, PBB, dan beberapa partai kecil yang tidak punya kursi di DPRD Cianjur PAN, PNBK, PKPB, dan Partai Pelopor. Kemudian, pasangan Dadang Rahmat dan Kusnadi Sanjaya yang diusung PDIP. Selanjutnya, pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh dan Dadang Sufianto yang diusung Partai
118
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Demokrat dan PKS. Dan terakhir, pasangan Yayat Rustandi dan Titin Suastini yang diusung PPP. Komposisi anggota DPRD Cianjur 2004-2009: Partai Golkar 17 kursi, PDIP 8 kursi, PPP 8 kursi, Partai Demokrat 4 kursi, PKS 3 kursi, PKB 2 kursi, PBB 2 kursi. Akan tetapi, meski diusung partai-partai kuat di DPRD Cianjur dan didukung tokoh-tokoh ormas Islam besar, Wasidi Swastomo akhirnya harus menerima kekalahan. Pasangan Tjetjep Muhtar Sholeh-Dadang Sufianto akhirnya menang dengan 311.802 suara, lalu disusul pasangan Wasidi Swastomo-Ade Barkah dengan 309.181 suara, pasangan Dadang Rahmat-Kusnadi Sandjaya dengan 218.391 suara, dan pasangan Yayat Rustandi-Titin Suastini dengan 67.936 suara. F. Perda Gerbang Marhamah Paska Wasidi Swastomo Kekalahan Wasidi Swastomo ternyata tidak menyurut kan langkah beberapa kelompok Islam untuk tetap men dorong formalisasi Gerbang Marhamah menjadi sebuah perda. Di sisi lain, meski Gerbang Marhamah identik dengan Wasidi, Bupati Tjetjep Muhtar Sholeh ternyata melanjutkan pembahasan Raperda Gerbang Marhamah. Alasannya, Ra perda Gerbang Marhamah telah dibahas pansus DPRD se belum dia menjabat bupati. Dari sisi politik, Bupati Tjetjep Muhtar Sholeh tampaknya khawatir dengan posisinya jika dia menarik Raperda Gerbang Marhamah dari pembahasan di DPRD. Pada tingkat masyarakat, dukungan tokoh-tokoh or mas Islam di Cianjur terhadap formalisasi Gerbang Marha mah menjadi peraturan daerah terkait dengan harapan akan besarnya alokasi dana dalam APBD untuk kegiatan keagamaan.57 Akan tetapi, di sisi lain, disetujuinya Perda Gerbang Marhamah telah memicu konflik antar kiai menjadi semakin terbuka. Hal ini berkaitan dengan salah satu klausul dalam Perda Gerbang Marhamah yang memberi otoritas kepada Ketua MUI untuk menyetujui atau tidak sebuah 57
Wawancara dengan M. Thoha, 8 Mei 2008
119
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
ajuan kegiatan keagamaan kepada Pemkab Cianjur. Bagi kiai pesantren kecil yang kurang memiliki akses ke Ketua MUI, hal ini jelas menimbulkan kecemburuan. Kenyataannya, seringkali bantuan keagamaan hanya turun kepada tokohtokoh Islam di sekitar ketua MUI Cianjur.58 Sementara itu, untuk membahas Raperda Gerbang Mar hamah yang telah diusulkan pihak eksekutif sejak masa akhir kepemimpinan Bupati Wasidi, DPRD Cianjur membentuk pansus yang melibatkan beberapa anggota DPRD yang berasal dari semua fraksi. Udin Adhari dari Fraksi Partai Golkar ditunjuk sebagai Ketua Pansus Raperda Gerbang Marhamah tersebut. Selama Pansus berkerja ini, berbagi perdebatan muncul di kalangan anggota Pansus itu sendiri. Iwan Permana, anggota Pansus dari Fraksi PDIP menilai ada rekayasa untuk memaksakan Raperda Gerbang Marhamah menjadi perda, meski materi Raperda tersebut banyak yang bertentangan dengan UU No. 10/2004 tentang tata cara penyusunan perundang-undangan dan UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Misalnya, dalam UU disebutkan, azas sebuah perda adalah Pancasila dan UUD 1945, sementara dalam Perda Gerbang Marhamah disebutkan, azasnya adalah Gerbang Marhamah. Selain itu, dalam UU disebutkan, setiap perundang-undangan harus bersifat kebangsaan dan kebhinekaan, bukan hanya mengurusi salah satu pemeluk agama.59 Absennya partisipasi publik adalah soal lain yang mengiringi proses legislasi Perda Gerbang Marhamah. Kelompok-kelompok masyarakat yang menolak Raperda tersebut tidak pernah diundang dalam public hearing yang diselenggarakan DPRD. Fraksi PDIP pernah meminta kepada Ketua Pansus untuk mengundang kelompok-kelompok yang keberatan dengan materi Raperda Gerbang Marhamah, tetapi permintaan itu tidak terima. Karena itu, sebagai bentuk protes atas berbagai masalah yang mengiringi pembahasan Raperda Gerbang Marhamah, Fraksi PDIP tidak menandatangani laporan hasil Pansus. 58 59
Wawancara dengan Aang Muhammad Dudun, 5 Mei 2008 Wawancara dengan Iwan Permana, 7 Mei 2008
120
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Pada tingkat masyarakat, kritik terhadap materi Raperda Gerbang Marhamah datang dari Abah Ruskawan, salah satu pengurus Lembaga Kebudayaan Cianjur dan Ketua Cabang Paguyuban Pasundan Cianjur. Menurutnya, materi dalam Raperda Gerbang Marhamah justru merendahkan substansi syariat Islam itu sendiri. Apa yang diatur dalam Perda Gerbang Marhamah sebenarnya telah menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari umat Islam Cianjur.60 Senada Ruskawan, Iwan Permana menjelaskan, praktik keberagamaan yang diatur dalam Perda Gerbang Marhamah sebenarnya telah menjadi living law yang berkembang di masyarakat dan biarlah tetap berlangsung demikian, tanpa perlu diatur sebuah perda. Lebih lanjut, Permana dan Ruskawan menilai, pembuatan Perda Gerbang Marhamah tidak mencerminkan kepentingan masyarakat Cianjur, tetapi lebih merupakan kepentingan elit politik Cianjur untuk menjadikan Islam sebagai komoditas. Kedua tokoh Cianjur ini sepakat, anggaran untuk membuat Perda Gerbang Marhamah lebih baik digunakan untuk kepentingan publik yang lebih urgen, terlebih Cianjur masih banyak menghadapi problem pembangunan yang belum tergarap serta tingginya angka kemiskinan di kabupaten tersebut. Akan tetapi, meski menimbulkan pro kontra, Raperda Gerbang Marhamah akhirnya disetujui menjadi Perda No. 3/2006 pada 20 Juli 2006. Ada 12 butir yang diatur dalam perda ini, antara lain: bidang akhlak, peribadatan, peme rintahan, politik, pendidikan, dakwah, ekonomi, kemasya rakatan, hukum, seni dan budaya, lingkungan hidup, serta pembinaan dan pengembangan. Paska disetujuinya Perda Gerbang Marhamah, berbagai penilaian muncul ke permukaan. Kalangan yang sejak awal mendorong Gerbang Marhamah mengakui, sejauh ini belum ada upaya serius yang dilakukan Pemkab Cianjur untuk mengimplementasikan perda tersebut.61 Di sisi lain, Iwan Permana, politisi dari PDIP, tetap menilai Perda Gerbang 60 61
Wawancara dengan Abah Ruskawan, 7 Mei 2008 Wawancara dengan M. Thoha, 08 Mei 2008
121
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Marhamah telah cacat secara hukum sejak awal. Dari sisi materi, Perda Gerbang Marhamah ini dipandang Iwan Permana tidak memuat aturan yang jelas, misalnya tentang bentuk sanksi terhadap pelanggar hal-hal yang diatur dalam perda. Beberapa kelemahan ini akan menyulitkan aparat pemerintah untuk mengimplementasikan perda di lapangan. Selain itu, meski pihak Pemkab mengalokasikan dana hingga Rp 250.000.000,- untuk mengkaji bagaimana implementasi Gerbang Marhamah, sampai sekarang hasil dari kajian tersebut tidak diketahui dengan jelas. Menyusul penetapan Perda No. 3/2006 tentang Gerbang Marhamah, Pemkab Cianjur mengeluarkan dua regulasi untuk mengimplementasikan visi besar perda tersebut. Pertama, Peraturan Bupati Cianjur No.15/2006 tentang Pakaian Dinas Harian Pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cianjur. Termaktub dalam peraturan tersebut, jenis pakaian dinas adalah pakaian muslim. Bentuk dan model pakaian muslim yang harus dipakai PNS baik laki-laki maupun perempuan diatur dalam peraturan tersebut. Kedua, Instruksi Bupati Cianjur No. 2/2007 tentang pemasangan papan visi dan misi Kabupaten Cianjur serta penyelenggaraan pengajian/tadarus al-Quran. Dalam regulasi ini, semua kepala SKPD dan kepala desa diinstruksikan untuk menyelenggarakan pengajian atau tadarus al-Quran sebelum melaksanakan tugas pekerjaan di lingkungan kantor masing-masing selama 15 menit pada setiap hari kerja. Respon masyarakat terhadap Perda Gerbang Marhamah tentu saja beragam, tetapi kalangan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tergabung dalam Paguyuban Cianjur menilai, Gerbang Marhamah tidak membawa perubahan berarti bagi kehidupan ekonomi mereka. Mereka merasa tidak memperoleh perhatian apapun dari Pemda Cianjur. Mereka justru banyak terjebak rentenir yang berkedok koperasi simpan pinjam (Kosipa). Bunga yang harus dibayar peminjam dari kosipa mencapai 30% per bulan.62 Sementara itu, respon masyarakat terhadap Intsruksi Bupati No. 2/2007 tentang penyelenggaraan pengajian 62
Wawancara dengan Maman Abdurrahman, 08 Mei 2008
122
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
atau tadarus al-Quran sebelum melaksanakan tugas kantor juga memicu respon beragam. Salah seorang kepala SKPD mengakui, kantornya tidak menjalankan instruksi itu. Pengakuan yang sama disampaikan beberapa PNS di beberapa kantor intansi pemerintah. Mereka menilai instruksi tersebut tidak jelas, karena jika dilanggar pun tidak mempunyai sanksi yang jelas. Seorang PNS bercerita, dalam sebuah acara pelantikan pejabat Pemkab Cianjur di Gedung Bale Rancage, ada salah satu PNS perempuan yang menjadi Kasubdin di Dinas kesehatan yang dilantik, tetapi tidak memakai pakaian muslimah. Beberapa PNS yang lain banyak yang berkomentar miring atas sikap seorang PNS perempuan tersebut. Namun, setelah mengetahui bahwa PNS perempuan tersebut adalah non-muslim, mereka tidak mempersoalkannya. Sejauh ini, memang belum ada laporan baik dari PNS maupun masyarakat luas yang merasa diperlakukan diskriminatif adanya Perda Gerbang Marhamah. Selama ini, kelompok-kelompok non-muslim di Cianjur merasa ada kebijakan Pemkab Cianjur yang diskriminatif soal bantuan keuangan dari Pemkab Cianjur. Alokasi dana keagamaan dari Pemkab hanya diberikan untuk kegiatan keagamaan Islam saja, sementara kegiatan keagamaan yang dilakukan kelompok non-muslim kurang difasilitasi Pemkab Cianjur. G. Posisi Kelompok Minoritas Beberapa kelompok minoritas cukup mengkhawatirkan munculnya regulasi bernuansa agama di Cianjur. Meski tidak pernah secara terbuka menolak kehadiran regulasi bernuansa agama, kelompok-kelompok minoritas menyadari, mereka adalah “kelompok sasaran” (targeted groups) dari regulasi-regulasi tersebut. Ketidakterbukaan sikap kelompok minoritas dalam merespon regulasi bernuansa agama tampaknya adalah pilihan strategis yang paling mungkin diambil, sebab ketiadaan jaminan politik dan keamanan atas eksistensi mereka di tengah masyarakat Cianjur. Suara mereka seolah hilang ditelan keriuhan pertarungan politik elit politik yang terus berubah.
123
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Jemaah Ahmadiyah adalah kelompok minoritas yang paling rentan dengan terbitnya penerapan regulasi bernuansa agama di Cianjur. Mereka adalah kelompok yang paling sering mengalami tindakan diskriminatif. Hal ini terbukti dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Bupati Cianjur, Kajari Cianjur, dan Kepala Kantor Departemen Agama Cianjur No. 21/2005 tentang larangan melakukan aktifitas penyebaran ajaran Ahmadiyah di Cianjur. SKB ini lahir sebagai respon terhadap tekanan beberapa kelompok Islam yang menganggap Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Tekanan terhadap Ahmadiyah ini memang berskala nasional, didorong dan dilegitimasi fatwa MUI yang menyebut Ahmadiyah sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Akan tetapi, kondisi-kondisi lokal, termasuk keluarnya SKB pelarangan Ahmadiyah pada tingkat lokal, menjadi faktor yang membuat fatwa MUI yang berskala nasional tersebut menjadi bekerja secara efektif.63 Katolik adalah kelompok minoritas lain di Cianjur yang sering menjadi objek diskriminasi regulasi-regulasi bernuansa agama. Salah satu kasus krusial adalah keberadaan tempat ziarah umat Katolik di Lembah Karmel, Sukaresmi, Cianjur. Tempat ziarah ini sering dicurigai beberapa kelompok Islam radikal sebagai basis Kristenisasi. Terjebak dengan prasangka ini, Bupati Wasidi Swastomo pada 2005 mengeluarkan Surat Peringatan Bupati Cianjur No. 453.2/2580/Kesbang tentang peringatan satu kepada rumah retret/rumah penziarahan umat Katolik Lembah Karmel. Merasa mendapat legitimasi formal, beberapa kelompok Islam sering meneror bahkan sempat memblokade jalan menuju Lembah Karmel. Gerakan Reformis Islam (Garis) pimpinan H. Chep Hermawan adalah kelompok yang paling getol menolak keberadaan Lembah Karmel. Kelompok ini pula yang melakukan provokasi dan mobilisasi massa untuk menyerang jemaah Ahmadiyah di Cianjur pada 2005.
63
Wawancara dengan Haris, 15 Mei 2008
124
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
H. Kesimpulan Beberapa temuan ini menjelaskan, pertarungan politik selalu menjadi kondisi yang mencukupi untuk lahirnya regulasi bernuansa agama di Cianjur. Peran politisi dan terlebih- figur bupati begitu kuat, ditambah peran elit agama yang selalu menggunakan politik sebagai sarana memperjuangkan agenda ideologis mereka. Sayangnya, per temuan kepentingan antara elit politik dan agama berjalan tanpa diimbangi kehadiran kelompok masyarakat sipil yang kritis. Organisasi-organisasi Islam, seperti NU dan Mu hammadiyah, hampir tidak memainkan perannya sebagai penyeimbang political society, bahkan dalam banyak kasus mereka justru menjadi ektensi kepentingan-kepentingan politik kekuasaan kaum elit. Di sisi lain, posisi kaum minoritas agama, termasuk Ahmadiyah, benar-benar terdiskriminasi dan hampir tidak muncul kelompok-kelompok masyarakat sipil yang mem perjuangkan eksistensi mereka.
VI. Tasikmalaya: Dinamika Regulasi Bernuansa Agama A. Sekilas Tentang Tasikmalaya Batas-batas geografis Kabupaten Tasikmalaya secara adminsitaratif adalah: Utara berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Majalengka; Ti mur dengan Kabupaten Ciamis; Selatan dengan Samudera Indonesia; dan Barat dengan Kabupaten Garut. Secara demografis, penduduk Kabupaten Tasikmalaya berkembang dari 1.535.859 jiwa pada 2001 menjadi 1.645.971 jiwa pada 2005. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tasikmalaya bersifat alamiah, artinya secara dominan, laju pertumbuhannya dipengaruhi angka fertilitas dan mortalitas. Faktor migrasi dapat diabaikan karena Tasikmalaya bukan kawasan industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Sebaliknya, Tasikmalaya juga bukan daerah minus, sehingga hal ini sering menjadi menjadi faktor pendorong bagi penduduknya untuk melakukan emigrasi ke keluar daerah.
125
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Data BPS 2005 menunjukkan, hampir 97% dari total 1.571.041 jiwa adalah pemeluk Islam. Sementara itu, secara etnis, sebelum adanya pemisahan antara kota dan kabupaten, komposisi kelompok etnis dan agama relatif plural, terutama jika melihat kehidupan sosial di pusat kota Tasikmalaya. Setelah terjadi pemisahan kota dan kabupaten, kelompok etnis Tionghoa hanya terdapat di wilayah Tasikmalaya Utara, yaitu Ciawi dan Rajapolah. Begitu juga, umat Katolik lebih banyak berdomisili di daerah Pakemitan, Ciawi, dan Nagaraherang, Rajapolah. Sedangkan agama Kristen Pasundan terdapat di daerah Cipatujah.64 B. Lahirnya Visi Tasikmalaya Sebagai Kabupaten Religius/ Islami. Jatuhnya rezim orde baru membuka peluang bagi bangkitnya kekuatan-kekuatan Islam politik untuk berpe ran lebih besar dalam arena pertarungan politik dan kon figurasi kebijakan publik. Di Tasikmalaya, segera sete lah terselenggaranya sebuah pemilu yang dianggap demokratis pada 1999, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mem buktikan dirinya sebagai pemenang, mengalahkan Golkar seba gai seteru lamanya selama masa orde baru. Dengan meraih 11 kursi di DPRD, PPP adalah partai terkuat di Kabupaten Tasikmalaya, diikuti Partai Golkar yang meraih 9 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 7 kursi, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 5 kursi. Sementara itu, PAN meraih 3 kursi, PBB meraih 2 kursi, dan PKP mencapai 1 kursi. Kemenangan PPP dan perolehan suara partai Islam lain, seperti PBB, di Kabupaten Tasikmalaya pada Pemilu 1999, menjadi salah satu pendorong menguatnya aspirasi untuk menegakkan apa yang disebut “syariat Islam” di Tasikmalaya. Meskipun lebih banyak tampil karena popularitas personal daripada representasi kelembagaan, tokoh-tokoh partai Islam cukup getol memobilisasi dukungan publik untuk mem formalisasikan ide syariat Islam ke dalam praktik 64
BPS Kabupaten Tasikmalaya, 2001
126
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
kebijakan publik. Mobilisasi paling awal dalam isu syariat ini dapat dilihat dari pertarungan di sekitar pembuatan rencana strategis (renstra) Kabupaten Tasikmalaya 20012005, sebagaimana termaktub dalam PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap pemerintah daerah membuat rencana strategis (renstra) sebgai acuan pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Anggota DPRD dari PPP dan PBB berusaha memasukkan visi syariat ke dalam renstra tersebut. Partai-partai yang lain, meskipun cenderung menolak ide tersebut, tampaknya tidak menunjukan sikap yang tegas. Ketidaktegasan anggota DPRD di luar partai-partai Islam dalam menyikapi visi syariat dalam renstra Tasikmalaya pada awal 2000 sebagai respon politik terhadap konstruksi ideologis yang menempatkan visi syariat dalam kebijakan publik. Jika tidak mendukung visi syariat dalam renstra atau perda, seseorang akan segera dituding sebagai tidak Islam, tidak “nyantri” atau bahkan anti-Islam. Konstruksi seperti ini dianggap dilematis bagi kalangan politisi yang mempertimbangkan Islam sebagai komoditas penting dalam pertarungan politik. Meskipun tidak setuju dengan formalisasi syariat, banyak politisi yang tidak mengungkapkan sikapnya tersebut di publik, karena dikhawatirkan akan kontraproduktif terhadap agenda-agenda kepentingan politik mereka. Bahkan bagi kalangan politisi dari partai non-agama, pilihan untuk mendukung atau menolak visi syariat dalam renstra merupakan hal yang dianggap perlu diambil, apalagi di tengah kondisi masyarakat Tasikmalaya yang dipercaya sangat kental dengan tradisi keislamannya.65 Pertimbangan-pertimbangan politik yang mengiringi proses legislasi renstra Tasikmalaya bersamaan waktunya dengan kondisi transisional yang menempatkan kepercayaan terhadap struktur negara dalam titik nadir. Lebih dari itu, negara yang diwariskan orde baru dianggap sekuler dan dipandang gagal menyelesaikan krisis. Sementara hukum dan birokrasi sudah kehilangan kewibawaannya, moral masyarakat secara umum dilihat sedang berada dalam kemerosotan. Karena itu, sebuah visi syariat dianggap 65
Wawancara dengan Ade Nurjaeni, 4 Mei 2008 dan Ade Sugianto, 8 Mei 2008
127
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
sebagian kalangan Islam sebagai solusi, paling tidak pada level moral. Akhirnya, Perda No. 13/2001 yang berisi Renstra Kabupaten Tasikmalaya itu diputuskan dengan mencantumkan visi Kabupaten Tasikmalaya yang “religius/ Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur sekaligus mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada 2010”. Tak lama kemudian, sebagai bentuk realisasi terhadap pelaksanaan visi Tasikmalaya yang religius/Islami itu, Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim, mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan. Setelah itu, lahir juga Keputusan Bupati Tasikmalaya kedua No. 13/2003 451/Se/04/Sos/2001 tentang persyaratan memasuki jenjang pendidikan SD, MI, SMP, dan MTs. Dua tahun kemudian, visi renstra direvisi melalui Perda No. 13/2003. Dalam perda revisi ini, visi Kabupaten Tasikmalaya diubah sedikit menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agrobisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Belakangan, lahir Perda No. 5/2005 tentang pengendalian dan pengawasan minuman keras di Kabupaten Tasikmalaya. Meski demikian, perlu juga dicatat bahwa sebelum lahirnya perda tentang visi Tasikmalaya sebagai kabupaten religius/ Islami, telah keluar Perda No. 28/2000 tentang pemberantasan pelacuran yang ditetapkan ketika masa kepemimpinan Bupati H. Suljana WH pada 2000. C. Kelompok “Ajengan Bendo” dan Para Pengkritiknya Regulasi bernuansa agama yang dikeluarkan Bupati Tatang Farhanul Hakim paska penerbitan Perda No. 13/2001 tentang Renstra Kabupaten Tasikmalaya memicu tanggapan yang beragam dari masyarakat Tasikmalaya. Kalangan yang sejak awal mendorong lahirnya perda bernuansa syariat tentu saja mendukung langkah-langkah yang ditempuh bupati. Selain para politisi dari partai-partai Islam, beberapa tokoh Islam yang sering disebut “Ajengan Bendo” adalah
128
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
kalangan yang secara terbuka mendukung kebijakan yang diambil Bupati Cianjur. Kalangan yang disebut terakhir sebenarnya merupakan fenomena baru dalam konfigurasi sosial politik Islam di Tasikmalaya. Pasalnya, sebagian besar dari mereka adalah para pendakwah yang laris, ide dan pandangan mereka tentang isu-isu keagamaan, termasuk isu mengenai visi syariat dalam renstra, dengan cepat mendapat tempat dalam wacana keagamaan masyarakat Tasikmalaya. Keberadaan kalangan “Ajengan Bendo” dalam kon fi gurasi sosial politik Islam Tasikmalaya paska orde baru seringkali menimbulkan reaksi dari kalangan kiai atau ajengan lama. Kemunculan mereka yang belakangan tetapi kemampuan mereka yang besar untuk mempengaruhi wacana publik dalam waktu yang relatif singkat tentang isu-isu politik dan keagamaan dianggap kalangan kiai atau ajengan yang telah mapan hanya sekedar menumpang antusiasme publik terhadap gerakan “reformasi”. Jika kiai atau ajengan lama sebagian besar berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), kalangan “ajengan bendo” mencoba membangun kelompok-kelompok baru di perkotaan. Meski demikian, NU sebagai sebuah lembaga tidak pernah menunjukan sikap oposisi terhadap keberadaan kelompok ajengan bendo ini.66 Acep Zamzam Noor, seorang budayawan terkemuka dan putra (alm) KH. Ilyas Ruhiyat Cipasung Tasikmalaya, adalah figur penting yang selalu memberikan kritik tajam terhadap keberadaan kelompok “Ajengan Bendo”. Menurutnya, ke munculan kelompok ini dimulai paska peristiwa kerusuhan Tasikmalaya 1996. Meski tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa tersebut, mereka dengan cepat mengambil simpati publik dengan memerankan diri sebagai kritikus orde baru yang kukuh. Bersamaan dengan kemenangan PPP dan beberapa partai Islam lainnya di Tasikmalaya, keberadaan kalangan Ajengan Bendo ini semakin menemukan tempat kuat dalam wacana dan praktik keagamaan di Tasikmalaya. Di luar keterlibatan di partai politik, mereka adalah para pemimpin organisasi-organisasi Islam radikal, seperti FPI, Laskar Taliban, dan MMI. Selain itu, beberapa di antara 66
Wawancara dengan Kyai Abdul Hamid, 2 Mei 2008
129
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
mereka juga mendirikan organisasi-organisasi yang lebih taktis, seperti Gerakan Anti Maksiat (GAM), Tasikmalaya Solidarity of Muslim (TSM), dan Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP). Kritik terhadap kelompok Ajengan Bendo lebih didasar kan pada aktifitas meraka yang sering melakukan praktik premanisme terhadap kelompok lain, terlebih terhadap ke lompok yang tidak setuju dengan sudut pandang mereka. Jargon “Tasikmalaya adalah kota santri yang religius/Islami” sering dijadikan alat legitimasi. Di sisi lain, mereka diketahui sering melakukan “transaksi atau negosiasi” atas nama regulasi bernuansa agama. Hal inilah yang menjadi sasaran kritik Acep Zamzam Noor dan kelompok-kelompok yang berada di sekitar diri nya. Ia menjelaskan, yang sering menjadi korban dari praktik premanisme kelompok Ajengan Bendo adalah para pedagang atau pengusaha kecil, seperti pemilik hotel kecil. Ia juga sering melontarkan kritik kepada para pejabat atau politisi yang menggunakan alasan syariat untuk melakukan poligami. Melalui kampanye-kampanye publik yang terlihat “nyentrik”, misalnya dengan cara memasang spandukspanduk yang berbunyi “dengan syariat Islam kita budayakan poligami”, Zamzam Noor dan kelompok-kelompok kritis lainnya berusaha menyadarkan publik bahwa isu syariat Islam tak lebih dari kepentingan personal yang dibungkus simbol agama.67 Belakangan, perseteruan antara Acep Zamzam Noor dan kelompok Ajengan Bendo tampak mereda seiring dengan meredanya isu mengenai syariat Islam itu sendiri. Konfigurasi politik Tasikmalaya terakhir menunjukkan adanya kompromi antara kelompok-kelompok pendukung regulasi bernuansa agama dengan para pengkritiknya. Apa yang disebut kompromi sebenarnya lebih tepat digambarkan sebagai meredanya antusiasme kelompok pendukung regulasi bernuansa agama dalam memperjuangkan agendaagendanya. Alasan di balik perkembangan baru ini tentu perlu dicari lebih lanjut. 67
Wawancara dengan Acep Zamzam Noor, 8 Mei 2008
130
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
D. Respon Persis dan Muhammadiyah Kalau kelompok Ajengan Bendo tampil secara terbuka dan cenderung radikal dalam menunjukan dukungannya terhadap regulasi bernuansa agama, kelompok dari gerakan Islam lama seperti Persatuan Islam (Persis) tampil secara lebih berhati-hati dalam menyikapi persoalan tersebut. Secara umum, mereka memandang regulasi bernuansa agama sebagai cara untuk menjawab berbagai problem masyarakat, terutama dalam bidang moral yang dianggap semakin merosot. Akan tetapi, di sisi lain, mereka menilai regulasi bernuansa agama yang ada di Tasikmalaya belum memiliki hubungan positif dengan kebutuhan dasar masyarakat. Sampai di sini, apa yang disebut regulasi bernuansa agama tampaknya masih merupakan istilah yang tidak jelas. Sejauh yang dipahami beberapa orang tokoh Persis, regulasi bernuasa agama di Tasikmalaya masih terbatas pada bidangbidang yang sifatnya elementer, seperti program sertifikasi bagi lulusan Madrasah Diniyyah, sebagai salah satu syarat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP dan SLTA. Akan tetapi, dalam persoalan ini, beberapa tokoh Persis menilai program tersebut belum dijalankan secara maksimal. Hampir tidak ada kerja riil yang dilakukan aparat pemerintah, misalnya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan Madrasah Diniyyah. Persis bersikap, pemerintah memang menunjukan perhatiannya dengan memberi bantuan sebesar 20 juta/tahun untuk kelancaran kegiatan organisasi, tetapi apakah hal itu berkait dengan adanya regulasi bernuansa agama atau tidak tetap menjadi tanda tanya dikalangan pengikut Persis sendiri.68 Regulasi bernuansa agama di Tasikmalaya tampaknya hanya terbatas pada pencantuman istilah ‘religius/Islami’ dalam renstra Kabupaten dan istilah ‘iman dan taqwa’ dalam renstra kota. Akan tetapi, pencantuman istilah-istilah tersebut dalam visi renstra sebuah kota atau kabupaten seringkali dipahami sebagai payung hukum untuk melegitimasi gerakan ‘Islamisasi’ pada tingkat yang lebih 68
Wawancara dengan H. Dadang, 9 Mei 2008 dan H. Latif Amin, 3 Mei 2008
131
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
luas, sehingga imajinasi mengenai batas antara ruang publik dan ruang privat dalam urusan keagamaan menjadi kabur. Beberapa tokoh Persis bahkan mengusulkan untuk membuat peraturan yang mengatur hubungan antara ulama dan pemerintah agar keduanya bisa bekerjasama lebih intensif dalam menegakkan tujuan dari syariat Islam di Tasikmalaya. Seorang tokoh Muhammadiyah Tasikmalaya mem berikan pandangan yang lebih moderat mengenai regulasi bernuansa agama. Menurut Iip Syamsul Arif, Ketua Muhammadiyah Tasikmalaya, sejauh ini memang terjadi beberapa problem menyangkut implementasi regulasi bernuansa agama, tetapi problem tersebut sepenuhnya bersifat teknis. Misalnya, pihak kepolisian dan kejaksaan menilai regulasi bernuansa agama itu tidak jelas sanksinya, selain aturannya secara keseluruhan bersifat terlalu umum. Menurutnya, antusiasme eksekutif dan legislatif di Kabupaten Tasikmalaya sekarang tidak lagi terkonsentrasi ke dalam isuisu syariat, digantikan dengan isu mengenai pemindahan kota kabupaten dan pembangunan fasilitas-failitas penun jangnya. Isu syariat atau regulasi bernuansa agama dipan dangnya sekedar “ngabebenyokeun” (mengelabui) masyarakat Tasikmalaya dari isu-isu yang lebih urgen dan prinsipil. E. Posisi Kelompok Minoritas Visi Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 dan beberapa peraturan atau himbauan yang mengiringinya tentu saja menimbulkan respon beragam dari masyarakat Tasikmalaya. Djudju Djubaedah menilai, peraturan-peraturan tersebut secara umum tidak merefleksikan kebutuhan rakyat. Selain itu, peraturan-peraturan tersebut dipandangnya akan memicu praktik diskriminatif terhadap kaum perempuan. Peraturan tentang aturan berbusana yang menutup aurat, misalnya, hanya menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi dari pandangan patriarkhis kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, absennya sosialisasi terhadap publik mengakibatkan sebagian besar masyarakat Tasikmalaya sebenarnya tidak mengetahui adanya perda-perda bernuansa agama tersebut. Hal ini terjadi karena bahkan sejak awal
132
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
proses legislasi perda-perda bernuansa agama itu hampir tidak melibatkan partisipasi publik.69 Kalangan minoritas agama merupakan kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan diskriminatif de ngan terbitnya regulasi-regulasi bernuansa syariat. Dalam beberapa kasus, umat Kristen seringkali menghadapi ke su litan dalam menyelenggarakan ritual peribadatan, se per ti terjadi di Ciawi. Hal yang sama juga terjadi ketika umat Kristen merayakan Natal. Seringkali, terutama bagi ummat Kristen di wilayah non-perkotaan, seperti dialami sebuah Jemaat Kristen di Nagara Herang, Rajapolah, Natal menjadi sesuatu yang sulit dirayakan karena ada tekanan dari kelompok-kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut, dengan alasan Tasikmalaya adalah kota santri yang memiliki visi religius Islami, menganggap perayaan Natal tidak boleh dilaksanakan di lingkungan masyarakat Muslim.70 Selain umat Kristen, jemaat Ahmadiyah adalah ka langan yang belakangan mengalami diskriminasi, bahkan kriminalisasi sedemikian rupa. Pemicunya memang berasal dari adanya fatwa dan exposure media pada tingkat na sio nal, tetapi kondisi-kondisi lokal turut menyediakan peluang dan kesempatan yang memungkinkan faktor-faktor pemicu tersebut bekerja. Di Tasikmalaya, jemaat Ahmadiyah sudah berulang kali menerima dampak dari adanya fatwa MUI yang menyebut mereka sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Dua kali Surat Keputusan Bersama (SKB) yang terbit pada 2005 dan 2007 di Tasikmalaya, juga belakangan di Kota Tasikmalaya, semakin membuat jemaat Ahmadiyah kehilangan hak eksistensialnya. Dalam hal ini, meski tidak berkait secara langsung dengan eksistensi Ahmadiyah, regulasi-regulasi bernuansa agama di Tasikmalaya telah membentuk wacana keagamaan yang bersifat eksklusif. Kelompok-kelompok Islam radikal mendapat peluang untuk mendominasi wacana keagamaan Wawancara dengan Hj. Djudju Djubaedah, 23 April 2008 Wawancara dengan Romo Agus, 25 April 2008 dan Cahya Wandawa, 23 April dan 8 Mei 2008 69 70
133
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
dengan tafsir-tafsir yang secara sosial berdampak pada ekslusi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Jemaat Ahmadiyah, juga orang Islam yang tidak mendukung visi syariat dalam regulasi, segera dituduh sebagai orang-orang yang menghalangi kemajuan Islam, bahkan disebut antiIslam. F. Kesimpulan Jika dibandingkan dengan Cianjur, Tasikmalaya mem punyai potensi kelompok masyarakat sipil kritis yang lebih besar. Dalam isu regulasi bernuanasa agama, figur seperti Acep Zamzam dan kelompok-kelompok sekitar dirinya me rupakan kekuatan counter discourse yang cukup efektif ter hadap agenda-agenda kelompok-kelompok pendukung formalisasi agama. Meski demikian, keberadaan figur dan kelompok kritis tersebut tampaknya belum terorganisasi dengan cukup baik. Kurangnya komunikasi dengan jaringan serupa di tempat lain membuat gaung kelompok-kelompok kritis ini tidak terdengar nyaring, dan bahkan sering berhenti di tengah jalan. Selain itu, keberadaan kelompok-kelompok kritis, yang sebagian besar berasal dari kalangan anak muda NU dan kalangan budayawan, ini sangat rentan terhadap godaan politik kekuasaan. Banyak cerita menyebutkan hijrahnya kalangan anak muda NU kritis di Tasikmalaya ini ke panggung politik, meninggalkan agenda-agenda pemberdayaan publik yang semestinya tetap dikerjakan, agar publik mempunyai kesadaran kritis terhadap ide dan praktik formalisasi agama ke dalam regulasi publik.
VII. Banjar: Dinamika Regulasi Bernuansa Agama A. Sekilas Tentang Banjar Secara geografis, letak wilayah Kota Banjar berada di bagian Timur Provinsi Jawa Barat berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas wilayah Kota Banjar adalah: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisaga, Ciamis, Jawa Barat, dan Kecamatan Dayeuh Luhur
134
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
serta Kecamatan Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah; sebelah timur dengan Kecamatan Lakbok, Ciamis, dan Kecamatan Wanareja Cilacap; sebelah selatan dengan Kecamatan Lakbok dan Kecamatan Pamarican Ciamis; sebelah barat dengan Kecamatan Cimaragas dan Kecamatan Cijeungjing Ciamis. Luas wilayah Kota Banjar berdasarkan penjelasan UU No. 27/2002 adalah 113.490 km2 atau 11.349 Ha. Ber dasarkan pengukuran Peta Rupa Bumi Bakosurtanal, seperti dikemukakan dalam Data Potensi Kota Banjar dari Bapeda 2003, luas wilayahnya kota ini adalah 13.197.23 Ha. B. Pemekaran dan Lahirnya Regulasi Bernuansa Agama Kota Banjar lahir adalah buah dari ide pemekaran yang berlangsung ektensif paska “reformasi”, melalui ke bijakan otonomi daerah dan desentralisasi. Segera setelah dikeluarkannya UU No. 27/2002, Banjar secara resmi terpisah dari Kabupaten Ciamis. Sebelumnya, status kota ini adalah kota administratif di lingkungan pemerintahan Kabupaten Ciamis. Pemekaran yang terjadi di Tasikmalaya, Cimahi, dan Depok pada tahun sebelumnya tampaknya mengilhami sebagian elit politik di Banjar untuk mengikuti jejak serupa. Berpisah dengan Ciamis dipandang akan mengakselerasi Banjar menjadi lebih maju, terlebih dengan kenyataan bahwa ketika itu, Banjar memiliki posisi yang lebih penting sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan Kota Ciamis sekalipun. Banjar dianggap lebih “kota” daripada Ciamis, karena di sana berbagai fasilitas penunjang kegiatan perekonomian tersedia lebih lengkap daripada di Ciamis. Untuk melengkapi prosedur administrasi kepe merin tahan seperti pada umumnya, Kota Banjar diharuskan me nyusun renstra yang salah satu materi di dalamnya adalah menentukan visi dan misi kota tersebut. Dalam hal ini, pihak eksekutif dan legislatif Kota Banjar tampaknya sedang terpengaruh dengan tren kalangan kota atau kabupaten yang mencantumkan simbol-simbol atau idiom-idiom Islam dalam visi kota mereka. Termuat dalam Perda No. 47/24 tentang Renstra 2004-2009, visi Kota Banjar adalah “terwujudnya kemandirian Kota Banjar yang berlandaskan iman dan
135
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
taqwa sebagai pintu gerbang Jawa Barat 2010”. Kata-kata “iman dan taqwa” dalam visi Kota Banjar tersebut kemudian dianggap menjadi legitimasi bagi penerapan syariat Islam di Banjar, meski tingkat dan cakupannya tetap menjadi bahan perdebatan terus menerus. Pengalaman Banjar dalam menerapkan regulasi ber nuansa agama masih terbatas pada aturan mengenai kete ram pilan dan kewajiban ritual keagamaan. Sejauh ini, ha nya terdapat dua regulasi yang dapat dikategorikan sebagai regulasi bernuansa agama, yaitu 1) Instruksi Kepala Daerah Kota Banjar No. 422/Ins. 132-Huk/05/2005 tentang persyaratan memasuki SLTP dan SLTA di Kota Banjar. Dan 2) Perda No. 6/2008 tentang pengelolaan zakat, infak, dan sedekah. Meski demikian, sebuah pengetahuan tentang bagaimana proses yang melingkupi formalisasi kedua regulasi bernuansa agama tersebut akan diperlukan untuk menilai sejauhmana keduanya diimplementasikan dan direspon publik. C. Menciptakan Anak Saleh melalui Perda Instruksi Walikota Banjar No. 422/Ins.132-Huk/05/2005 tentang persyaratan memasuki SLTP dan SLTA yang harus menunjukan sertifikasi Madrasah Diniyyah (MD) merupakan regulasi bernuansa agama pertama yang diputuskan di Banjar. Latar belakang lahirnya regulasi ini pertama kali diusung MUI Banjar yang menilai kurangnya jam pelajaran agama di sekolah-sekolah. Dalam argumentasi MUI, jumlah jam pelajaran agama di sekolah-sekolah akan pararel de ngan prilaku dan moral para pelajar. Masih menurut MUI, jika jam pelajaran agama di sekolah-sekolah hanya dua jam per minggu, bagaimana mungkin bisa menghasilkan para pelajar yang memahami dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang dimaksud agama jelas merujuk pada Islam. Karena itu, segera setelah aspirasi MUI tersebut disampaikan secara lisan kepada Walikota Banjar, pemerintah kota segera mengundang berbagai elemen yang terkait dengan penyelenggaraan MD. Mereka adalah Bagian Kesejahteraan
136
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
Sosial Setda Banjar, MUI, Departemen Agama, Dinas Pendidikan, para pengelola MD dan TPA. Mereka kemudian sepakat untuk memberi mandat kepada walikota untuk merumuskan aturan yang diperlukan demi keberhasilan apirasi mengenai MD tersebut. Akhirnya, sebuah instruksi Walikota dikeluarkan tanpa ada reaksi penentangan. Instruksi tersebut menyebut persyaratan kepada semua siswa muslim untuk melampirkan sertifikat kelulusan MD jika hendak melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP dan SLTA. Bagi siswa SLTA yang akan lulus, diwajibkan juga menyertakan bukti kelulusan MD sebagai salah satu syarat kelulusan di sekolah bersangkutan. Instruksi ini tidak berlaku bagi siswa non-muslim atau siswa yang berijazah Madrasah Ibitidaiyyah jika hendak melanjutkan ke SLTP dan siswa yang beijazah Madrasah Tsanawiyyah jika hendak melanjutkan ke SLTA.71 Dalam pelaksanaannya, instruksi walikota tersebut berdampak pada keharusan bagi guru-guru agama di sekolah umum untuk bekerjasama lebih intens dengan pihak pengelola MD. Meski demikian, pihak sekolah-sekolah umum mengaku tidak mendapatkan alokasi anggaran untuk menyukseskan program walikota tersebut. Menurut pengakuan beberapa kepala sekolah dan guru-guru agama di sekolah-sekolah umum, mengajar pelajaran agama sudah menjadi kewajiban mereka sebagai guru pegawai negeri sipil. Mereka tidak mendapat gaji tambahan dari program tersebut, meskipun mendapat tugas tambahan untuk mengkoordinasikan ber bagai problem pengajaran agama dengan pihak MD, termasuk bagaimana menentukan kriteria penilaian terhadap anak didik yang akan mendapatkan sertifikasi MD.72 Para pengelola MD adalah kalangan yang antusias dengan adanya instruksi walikota mengenai MD. Melalui alokasi anggaran dalam APBD, para guru MD sekarang mendapatkan honor setiap bulan dari pemerintah. Meskipun jumlahnya relatif kecil sekitar 150 ribu per bulan, namun 71 72
Wawancara dengan Drs H. Kartono, 03 April 2008. Wawancara dengan Yoyoh Heryani, Enceng, Amat Rahmat, 10 April 2008.
137
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
bagi kalangan guru MD merupakan kemajuan berarti bagi kesejahteraan mereka. Dari tahun ke tahun, honor untuk guru-guru MD ini naik secara bertahap. Ketika pertama kali Instruksi Walikota diberlakukan pada 2005, honor guru MD adalah 100 ribu, kemudian sekarang naik menjadi 150 ribu, dan tahun depan direncanakan naik lagi menjadi 200 ribu per bulan. Melihat alokasi anggaran untuk MD dalam APBD paska pemberlakuan Instruksi Walikota, jumlah MD, seperti sudah dapat diduga, meningkat dengan tajam. Sebelum keluarnya Instruksi Walikota, jumlah MD di Banjar hanya sekitar 80 buah. Pada 2008, jumlah tersebut meningkat menjadi 234 MD. Menurut beberapa pihak, peningkatan jumlah tersebut dianggap hanya memanfaatkan situasi, sementara yang lain melihatnya secara lebih positif, yakni sebagai bentuk respon masyarakat terhadap kebutuhan akan adanya MD. Bagaimanapun, semua anak sekolah umum di Banjar sekarang harus punya sertifikat MD jika hendak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kenyataan ini merupakan potensi besar bagi para pengelola MD. Kalangan non-Islam, khususnya Kristen, menilai Instruksi Walikota tentang sertifikasi MD merupakan sesuatu yang wajar dan tidak merugikan posisi mereka sebagai kaum minoritas. Meski demikian, beberapa orang dari mereka mengusulkan agar pemerintah menyediakan alokasi dana, atau dukungan kebijakan, agar sekolahsekolah umum yang mempunyai anak didik dari keluarga Kristen menyediakan guru-guru agama Kristen. Selama ini, pengajaran agama Kristen dilakukan pihak gereja dengan dana sepenuhnya berasal dari kas gereja. Kegiatan pengajaran agama dilakukan setiap hari Minggu. Biasanya, siswa-siswa dari beberapa sekolah bergabung dalam satu kelas. Ketika saatnya diminta sekolah, pihak gereja akan mengirim hasil penilaian sekolah minggu itu sebagai dasar penilaian pelajaran agama di sekolah-sekolah umum untuk anak didik yang bersangkutan.73 73
2008.
138
Wawancara dengan Simon Sudiparyitno, Surtinah, dan Purnanto, 11 April
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
D. Berharap Kemakmuran kepada Pengelolaan ZIS Regulasi bernuansa agama kedua yang diberlakukan belakangan di Banjar adalah Perda No. 6/2008 tentang pengelolan zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS). Layaknya proses terbitnya Instruksi Walikota mengenai MD, proses lahirnya Perda No. 6/2008 bermula dari tuntutan MUI kepada walikota untuk mengelola potensi ZIS yang besar agar bisa diberdayakan bagi kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan ZIS sebelum itu dipandang parsial, sehingga potensi umat yang besar itu menjadi sia-sia.74 Akan tetapi, formalisasi ide pengelolaan ZIS yang selama ini dilakukan masyarakat ke dalam sebuah mekanisme regulasi bukan pekerjaan gampang. Bagaimanapun, ide pengelolaan ZIS pada dasarnya berangkat dari wacana agama yang mempunyai bahasa-bahasa tertentu yang seringkali sulit diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa hukum positif. Kesulitan ini sebagian besar disebabkan gagalnya menerjemahkan wacana agama ke dalam logika dan prinsip hukum positif yang biasa digunakan dalam mekanisme perumusan perundang-undangan. Dalam banyak pengalaman, termasuk seperti yang terjadi di Banjar, ide mengenai pengelolaan ZIS ternyata hanya menjiplak ide serupa di tempat lain. Dalam hal ini, Pemkot Banjar melakukan studi banding ke Bandung untuk melihat bagaimana mekanisme dan juga materi mengenai pengelolaan ZIS dibuat. Dalam kenyataannya, produk perda mengenai ZIS yang diputuskan di Banjar tidak jauh beda dengan produk perda yang sama di Bandung.75 Salah satu materi yang krusial dalam perda mengenai pengelolaan ZIS adalah siapa saja subjek hukum yang terkait dengan pemberian sanksi jika terdapat pelanggaran terhadap aturan-aturan dalam perda tersebut. Selain itu, sanksi yang bersifat pidana terhadap siapa saja yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap klausul-klausul yang dimuat dalam materi perda merupakan hal baru dalam praktik pengelolaan ZIS. Jika tidak disiapkan perangkat pendukungnya, perda 74 75
Wawancara dengan Asep Rosyidin, 26 April 2008. Wawancara dengan Rusmawan, 05 Mei 2008.
139
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
ini dikhawatirkan akan memicu konflik kepentingan dalam tubuh aparat birokrasi dan penegak hukum lainnya. Akan tetapi, problem mengenai subjek hukum, sanksi, dan bagaimana serta siapa yang menjalankan sanksi dalam perda mengenai ZIS ini belum dibahas tuntas.76 E. Menuju Syariat Islam Meskipun masih terbatas pada soal MD dan pengelolaan ZIS, beberapa tokoh Islam Banjar berpendapat, penerapan syariat Islam di Banjar akan terus berlanjut. Visi Kota Banjar yang berlandaskan “iman dan taqwa” dipandang sebagai legitimasi untuk terus memproduksi peraturan atau regulasi yang akan membumikan syariat Islam ke tingkat yang lebih luas. Dalam hal ini, hampir tidak ada perbedaan pandangan yang signifikan antara tokoh NU, Muhammadiyah, dan Persis. Mereka berargumen, regulasi syariat merupakan solusi terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Meski dalam penerapannya harus dikontekstualisasikan dengan kondisi setempat, syariat Islam merupakan cita-cita ideal yang dibutuhkan masyarakat, terlebih di tengah kejenuhan masyarakat atas hukum-hukum yang ada selama ini di Indonesia.77 Logika bahwa Muslim adalah mayoritas dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengimplementasikan apa yang disebut syariat Islam tampak mendominasi pandangan beberapa tokoh Islam Banjar. Karena itu, negara harus tunduk kepada aspirasi kaum mayoritas. Posisi kaum minoritas akan dilindungi sejauh mereka tidak “neko-neko” terhadap kaum mayoritas. Pandangan bahwa syariat Islam akan mendiskriminasikan kaum mayoritas dipandang beberapa tokoh Islam Banjar sebagai usaha Barat untuk melemahkan Islam. Para tokoh Islam itu menunjukan bagaimana di masa lalu para khalifah Islam mampu melindungi orang-orang nonIslam sejauh mereka tidak mengganggu orang Islam. Mereka 76 77
Wawancara dengan Tatang R, 11 Mei 2008. Wawancara dengan KH Munawwir, Asep Santo SAg, dan Eso Suterso, 14 Mei
2008.
140
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
menyayangkan sebagian umat Islam yang menolak syariat Islam dengan alasan demokrasi dan HAM. Bagi beberapa tokoh Islam Banjar, demokrasi dan HAM adalah kedok Barat untuk menutupi usaha mereka melemahkan Islam. Khusus mengenai regulasi syariat di Banjar, yaitu instruksi walikota mengenai MD dan perda mengenai ZIS, beberapa tokoh Islam Banjar melihat, proses legislasi di sekitar regulasi tersebut telah berjalan dengan baik. Meski ada seorang yang mengaku tidak dilibatkan pada bagianbagian awal pembahasan, secara substantif dia setuju dengan materi regulasi tersebut.78 Di masa depan, tokoh-tokoh Islam Banjar tersebut akan mendorong legislatif dan eksekutif untuk memformalisasi aturan-aturan agama menjadi kebijakan publik. Yang sedang disiapkan dalam waktu dekat adalah Perda Shalat Jumat dan Perda Munkarot. Dengan formalisasi melalui regulasi pemerintah, para tokoh Islam Banjar tersebut berharap syariat Islam akan menjadi kenyataan di tengah masyarakat. Mereka tidak terlalu peduli dengan bentuk negara apa, yang penting di dalam negara tersebut syariat Islam dapat diterapkan dan dijalankan. F. Kesimpulan Meski sejauh ini masih terbatas di sekitar persoalan ritual dan keterampilan keagamaan, tidak menutup kemungkinan di masa depan, jenis dan cakupan regulasi bernuansa agama di Banjar akan semakin beragam dan semakin luas. Hal ini berdasarkan pandangan tokoh-tokoh Islam di sana yang tampak seragam dalam menunjukan dukungannya terhadap ide penerapan syariat Islam melalui kebijakan publik. Pada saat yang sama, kalangan birokrat dan partai politik tampak mengikuti saja logika yang dikemukakan para tokoh Islam. Belum diketahui dengan jelas, apa argumentasi atau kepentingan di balik sikap para birokrat dan kalangan partai politik ini. Satu hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah adanya korelasi dan koeksistensi antara dinamika 78
Wawancara dengan Eso Suterso, 17 Mei 2008.
141
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
regulasi bernuansa agama dengan kesempatan yang diberikan melalui kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi. Sementara itu, di sisi lain, Banjar hampir tidak mem punyai kelompok masyarakat sipil yang kritis terhadap isu regulasi bernuansa agama. Para tokoh Islam tampak satu suara dalam menyikapi hubungan antara agama dan negara, antara Islam dan politik. Perlu penelitian lanjutan untuk memahami persoalan ini secara lebih baik.
VIII. Analisis A. Kasus Jombang Kabupaten Jombang merupakan tipikal masyarakat homogen yang sedang berubah. Seperti umumnya daerah lain, ia membutuhkan penegasan identitas-diri dengan membalut citra yang telah dibangun dari potret sosial yang didefinisikan sendiri. Ada beberapa hal menarik dari kasus Raperda Anti-Pelacuran yang diwacanakan di wilayah ini kala itu. Pertama, kasus tersebut mengisahkan dinamika sosialpolitik lokal, dimana gerakan civil society telah mem perlihatkan fungsi mediatif secara optimal. Pihak penyokong maupun penentang menggunakan ruang publik untuk mendialogkan gagasan masing-masing, tanpa menggunakan ”kekerasan/tekanan”. Dalam konteks ini, salah satu prinsip demokrasi telah berjalan. Meskipun terbatas, kesadaran bersama telah tampil menjadi tradisi baru, sebagai landasan ber wacana. Jika tradisi ini dapat dipertahankan, kota Jom bang adalah sebuah prototype komunitas homogen yang”berhasil” meletakkan budaya baru dalam menuju kemandirian masyarakat sipil. Kedua, baik pihak yang menolak raperda maupun yang mendukung, sama-sama tidak mendukung praktik pelacuran. Perbedaan utamanya, lebih pada kebutuhan pe maknaan simbolik. Menurut kelompok penyokong, raperda itu dibutuhkan untuk menandai Jombang sebagai kota santri. Sebaliknya, pihak penentang menyatakan, raperda dikhawatirkan akan menjadi awal diskriminasi terhadap
142
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
korban, yang secara cepat akan memudahkan peluang terjadinya pelanggaran HAM. Menurut pihak penyokong, KUHP dianggap tidak mencukupi untuk melihat kebutuhan problem solving ter hadap penyakit masyarakat, khususnya pelacuran. Di sini sesungguhnya, tidak ada unsur formalisasi agama se bagai ”bibit” tuntutan atas perlunya Indonesia untuk di giring menjadi negara agama (teokrasi). Demikian juga, pihak penentang raperda juga tidak menginginkan ruang publik yang “kosong” dari kalkulasi moral sebagai bibit ke inginan Indonesia untuk memilih negara menganut paham sekularisme. Dalam konteks ini, tidak ada yang perlu di khawatirkan secara berlebihan menyangkut proses dialogis tentang terjadinya pro-kontra Raperda Anti-Pelacuran. Di luar konteks isu raperda, baik menyangkut subtansi maupun metode yang ditempuh, tidak memperlihatkan nuansa garis keras fundamentalisme agama (teokrasi) mau pun fundamentalisme sekuler (sekularisme). Mekanisme yang ditempuh juga tidak memperlihatkan adanya upaya saling melemahkan satu atas yang lain. Pro-kontra ini semata mempertontonkan perbedaan pandangan, dan tidak sampai bermuara pada tekad untuk melakukan ”dekulturalisasi” substansi moralitas agama (anti moralitas publik), atau se baliknya ingin melakukan ”destrukturasi” hukum positif, kecuali sekedar ingin melengkapi keterbatasan jangkauan dari masing-masing kelemahan. Dalam spirit ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Proses menjadi (becoming) yang ditempuh masyarakat Jombang masih dalam track yang wajar. Tidak ada tanda-tanda yang merisaukan, kecuali dalam kadar yang terbatas tentang proses pergeseran masyarakat inklusif menuju masyarakat yang eksklusif. Proses check and balance berlangsung cukup memadai dalam perjalanan pembahasan Raperda Anti-Pelacuran di Jombang. Pasalnya, di Jombang tersedia organisasi masyarakat sipil yang berperan sebagai penyeimbang (balancing force) terhadap opini arus utama. Di samping cara pandang mayoritas, juga muncul perspektif lain yang memperingatkan implikasi laten perda tersebut, berupa prilaku diskriminatif
143
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
terhadap perempuan, dan kecenderungan tindakan otoriter aparat dalam menetapkan tersangka pelacur. Memang tidak selalu bisa dicapai keseimbangan kepentingan antar kedua pihak, tetapi minimal, telah terbangun proses negosiasi dalam penyusunan regulasi. Ini isyarat positif bagi iklim demokrasi di Jombang. Hanya saja, proses check and balance itu belum tuntas menegosiasikan agenda substantif yang menjadi ajang sengketa. Koalisi penentang raperda berhasil mengantongi dukungan elit PKB setempat, sehingga anggota DPRD asal PKB bisa ditekan untuk menghentikan sementara pengesahan raperda. Situasi demikian sejatinya adalah “bom waktu”. Seolah tenang, padahal ada bara dalam sekam. Suatu saat, tiba-tiba saja bisa meledak dan membalikkan keadaan: Kelompok pro raperda berhasil menggalang dukungan balasan, untuk mengesahkan raperda tanpa mempedulikan aspirasi kelompok kontra raperda. Gejala tirani mayoritas demikian pernah terjadi sebelumnya, ketika mayoritas fraksi dan pimpinan NU tibatiba serempak mendukung raperda, sembari mengabaikan aspirasi koalisi penentang, walaupun kalangan penentang telah memberi penjelasan pokok-pokok argumennya melalui dialog. Iklim ini tidak sehat. Yang terbangun adalah suasana menang-kalah, zero sum game dengan mengedepankan show of force kekuatan politik. Situasi demikian bisa kontra pro duktif terhadap para aktifis demokrasi. Seperti dilaporkan peneliti, kekuatan kanan yang anti demokrasi bisa mencuri keuntungan, dengan merangkul simpul-simpul arus utama, termasuk pengurus NU dan melakukan pembusukan karakter terhadap kelompok pro demokrasi, yang notabene banyak digawangi anak-anak muda NU sendiri, sebagai bagian arus utama. Tentu saja, akan jauh lebih produktif bila iklim check and balance yang telah terbangun itu dioptimalkan untuk menegosiasikan problem pokok secara tuntas, dalam suasana dialog yang rasional dan sehat. Lagi pula, problem pokok yang diperselisihkan sebenarnya sudah teridentifikasi, dan bila dinegosiasikan secara jernih, bukan perkara yang sulit dicapai titik temu. Kalangan yang kontra raperda juga
144
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
tidak setuju prostitusi. Kelompok ini hanya menentang dua masalah pokok: Pertama, keberatan pasal proses pembuktian (hukum acara) yang terlalu lentur, sehingga mudah mengakibatkan salah tangkap. Pada saat yang sama, tidak tersedia mekanisme ganti-rugi bagi korban salah tangkap, juga mekanisme sanksi bagi aparat yang salah menangkap. Padahal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saja menyediakan mekanisme pra-peradilan bagi warga yang diperlakukan tidak proporsional. Problem inilah yang masih bercokol dalam Perda Anti-Pelacuran Kota Tengerang. Jombang mestinya belajar dari kekurangan kota Tangerang. Kedua, filosofi raperda, yang menurut pansus, untuk mengatasi problem sosial ekonomi akibat pelacuran, bu kan sekadar menindak pelacur, tidak dijabarkan secara rinci dalam perda. Apabila dua problem ini diakomodasi, sebenarnya, tidak ada kepentingan fundamental kaum mayo ritas yang terganggu. Citra kota santri juga tidak akan ternoda. Peluang tercapainya kompromi yang winwin sebenarnya begitu benderang. Jadi, terciptanya iklim negosiasi yang sehat, sehingga tercapai kohesi sosial, dan kemampuan berargumen yang meyakinkan bagi kebaikan bersama, bukan kebaikan sepihak adalah hal terpenting yang selalu harus dilestarikan. Kemampuan mencapai konsensus, kohesi, dan kepiawaian mengelola konflik, adalah sarat penting dalam banyak pengalaman transisi demokrasi. Tak jarang, praktik transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi selalu diwarnai chaos, akibat kegagalan membangun kohesi paska tumbangnya rezim otoriter, sehinga melahirkan otoritaria nisme model baru. Karena itu, ketangguhan organ seper ti KADP Jombang sebagai balancing force, yang mam pu menundukkan tirani mayoritas, harus diimbangi dengan kepiawaian membangun kohesi, menemukan titik temu, mengembangkan toleransi sosial-politik, sehingga konsolidasi dan stabilitas demokrasi lebih tahan lama. Partisipasi politik tanpa toleransi politik akan menghambat konsolidasi demokrasi. Toleransi politik diukur dari kesediaan menerima eksistensi dan aspirasi kelompok yang paling
145
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
tidak disukai. Peluang membangun model negosiasi yang efektif dalam memperjuangkan prinsip anti-diskriminasi sebenarnya bisa dikembangkan dari “bola” yang sudah dilempar pengusung raperda. Para pejuang anti-diskriminasi tinggal menggiring dan mengawal terus “bola” itu hingga ujung. Ketua pansus menegaskan, raperda ini bukan untuk memberangus pelacur, tetapi untuk mendorong transformasi sosial, dan menyelesaikan problem sosial-ekonomi yang dihadapi pe la cur. Filosofi ini sebenarnya cukup progresif dibanding pengusung perda sejenis di daerah lain, yang terkesan lebih mengedepankan formalitas. Problemnya, filosofi progresif itu tidak diterjemahkan secara operasional dan rinci dalam raperda dan bisa jadi sekadar menggantung jadi papan nama belaka. B. Kasus Pasuruan Lengkapnya, Peraturan Kota Pasuruan No. 04 Tahun 2006 tentang Pengaturan Membuka Rumah Makan, Rombong, dan yang sejenis pada waktu puasa di Bulan Ramadhan. Perda ini ditandatangai walikota pada 11 September 2006. Seperti dilaporkan dalam penelitian, perda ini dimotori kalangan ulama. Motif pokoknya adalah untuk meneguhkan identitas lokal Pasuruan sebagai kota santri. Para ulama risau, saat Bulan Ramadhan, banyak orang makan, minum, dan merokok pada siang hari dan di tempat terbuka. Suasana itu dinilai tidak pantas berlangsung di kota berjuluk kota santri. Karena itu, disusunlah perda yang berintikan dua hal. Pertama, larangan makan, minum, dan merokok siang hari Ramadhan di tempat umum. Kedua, pembatasan jadwal buka warung makan, dan hanya di bolehkan menjelang buka puasa. Dari aspek kepercayaan pada institusi demokrasi, proses pengusahaan Perda Ramadhan ini dijalankan melalui prosedur institusi resmi, seperti DPRD dan walikota. Untuk menutup warung makan pada siang hari Ramadhan, elit agama Pasuruan, sejauh yang dilaporkan, tidak menempuh jalur aksi kekerasan jalanan, seperti biasa dilakukan FPI dan
146
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
kelompok jalanan sejenis, di berbagai kota lain. Akan tetapi, mereka memilih instrumen perda. Keinginan adanya regulasi yang mengatur jam buka warung dan makan di tempat umum pada Bulan Ramadhan, menurut sejumlah responden, telah muncul sejak zaman orde baru. Akan tetapi, iklim politik orde baru dinilai tidak memadai untuk mengakomodasi aspirasi tersebut. Begitu keterbukaan politik era reformasi hadir, hasrat tersebut merasa mendapat peluang lebih baik. Seolah mereka percaya, proses politik yang lebih terbuka dan partisipatif di era reformasi akan lebih akomodatif pada aspirasi mereka. Namun demikian, meski sudah masuk reformasi, ke inginan tersebut tidak otomatis bisa direalisasikan. Periode lima tahun pertama, 1999-2004, upaya Perda Ramadhan belum berhasil. Karena DPRD belum antusias merespons. Upaya tersebut baru berhasil pada periode lima tahun kedua. Dan sepanjang itu pula, sejauh yang dilaporkan, para elit agama pengusung Perda Ramadhan tidak kehilangan kesabaran, dengan memilih jalur ekstra parlementer, atau yang bernuansa kekerasan untuk memperjuangkan aspirasi. Kesetiaan pada institusi demokrasi itu, tampaknya, lebih karena sejumlah simpul institusi, seperti partai politik, DPRD, dan walikota, lebih akomodatif dan membela aspirasi tersebut, hingga sampai disahkannya perda. Namun, sinyalsinyal apatisme pada institusi demokrasi mulai terlihat, ketika upaya perda tersebut mengalami hambatan dari Pemprov Jatim yang menilai perda tersebut berpotensi melanggar hak atas pekejaan para pedagang. Pemprov menyarankan, aturan tersebut tidak dituang kan dalam bentuk perda, tetapi melalui surat edaran walikota yang bersifat tidak mengikat. Sikap Pemprov ini membuat para ulama berang. Ketua MUI Pasuruan mengancam mun dur. Para ulama menilai Pemprov tidak bekerja profesional. Alasannya, mereka hanya melihat teks, tidak melihat konteks. Pada saat yang sama, Pemkot Pasuruan dinilai tidak melakukan perlawanan serius. Situasi ini memunculkan benih apatisme pada institusi demokrasi. Tetapi tidak terlihat, mereka berencana menempuh jalur lain di luar koridor demokrasi, seperti aksi sweeping
147
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
dan aksi melanggar hukum lainnya. Terkait koreksi Pemprov Jatim itu, terlihat kinerja institusi resmi yang setengah hati. Koreksi Pemprov itu, dalam konteks demokrasi adalah bagian dari proses check and balance, yang difasilitasi UU Pemda 32/2004. Inilah yang dimaksud mekanisme executive review atas perda. Sayang, langkah ini dijalankan setengah hati. Pemprov sebenarnya sudah tepat menangkap problem mendasar materi Perda Ramadhan, yakni melanggar hak dasar pedagang atau hak untuk bekerja yang dilindungi UU dan konstitusi. Semestinya, menurut panduan Pasal 145 UU Pemda, Pemprov Jatim meneruskan ke pemerintah pusat, untuk dinilai. Apabila perda itu dinilai melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tentu saja bisa dibatalkan melalui Peraturan Presiden (PP). Proses penilaian itu hanya diberi waktu 60 hari sejak diajukan Pemkot. Apabila lewat 60 hari tidak lahir Perpres yang membatalkan perda, secara otomatis perda tersebut dinyatakan berlaku. Anehnya, Pemkot Pasuruan, terkesan dari yang dilaporkan, seolah perda itu tidak bisa diberlakukan. Sekali lagi, sejauh yang muncul dalam laporan, Pemprov dan Pemkot terkesan tidak paham panduan UU Pemda dalam penanganan perda. Situasi demikian bisa memicu ketidakpuasan masyarakat pada kinerja lembaga demokrasi. Baik kalangan pro maupun kontra atas perda itu. Pihak yang pro perda merasa aspirasinya digantung dan dibuat mengambang, sedangkan pihak yang dirugikan perda merasa tidak diproteksi hak dasarnya. Ketidakpuasan pada kinerja demokrasi akan berimbas pada ketidakpercayaan pada institusi demokrasi. Lebih jauh, warga yang setia pada demokrasi bisa berubah menjadi warga yang teralienasi. Mereka tertarik pada politik, tetapi tidak percaya pada institusi politik. Mereka bisa menyalurkan ketertarikan politiknya lewat aktivitas politik ekstra-institu sional dan ekstra demokrasi, seperti aksi kekerasan. Perilaku politik demikian dapat mengganggu stabilitas sistem demo krasi. Meski, gejala ke arah aksi demikian, sejauh terpantau dari laporan, belum termanifes. Proses penggalangan dukungan pada perda ini, di laporkan, didahului dengan dialog yang melibatkan berbagai
148
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
kalangan. Baik kalangan berbagai varian di internal kaum muslim, seperti NU dan Muhammadiyah, serta kalangan non-muslim. Dan dilapokan, menurut para responden, secara umum tidak ada kalangan yang keberatan, temasuk komunitas non-muslim. Dari aspek civic engagement, pelibatan berbagai kalangan, temasuk non-muslim, menan dakan tersedianya modal sosial yang kondusif bagi proses demokrasi. Terkait hak dasar kalangan yang dirugikan, para ulama menawarkan mekanisme ganti-rugi sebagai skema kompensasi kerugian pada para pedagang yang jadwal dagangannya dibatasi. Para pedagang yang diwawancarai juga menerima skema kompensasi tersebut. Formula ini se benarnya bisa menjadi instrumen untuk melindungi terlang garnya hak-hak dasar kalangan yang dirugikan. Sayangnya, formula tersebut tidak diadopsi dalam perda. Dari segi isi, Perda Ramadhan Pasuruan mengandung sejumlah kelemahan asas-asas legislasi, sebagaimana dipandu UU 10/2004. Misalnya, asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, serta asas pengayoman. Hak mayoritas muslim untuk dihormati ketika berpuasa adalah wajar, namun belum diseimbangkan, diserasikan, diselaraskan dengan hak pada pedagang untuk mencari nafkah. Pengayoman pada muslim mayoritas juga mesti diseimbangkan dengan pengayoman pada pedagang yang akan mengalami ketidaktentraman bila usaha mereka dibatasi. Lebih-lebih di tengah situasi ekonomi yang belum menentu. Akar masalah semua itu, persis yang dilaporkan peneliti, karena tidak tersedianya kekuatan penyeimbang terhadap kalangan mayoritas, dalam proses negosiasi publik itu. Keterlibatan politik dan partisipasi politik hanya didominasi kalangan mayoritas, yang lebih leluasa mengartikulasikan aspirasinya. Sementara itu, kalangan pedagang tidak cukup berani dan mampu menyeimbangkan negosiasi pemberlakuan perda itu. Sehingga tidak tersedia kekuatan memadai untuk mendesakkan skema kompensasi itu dalam perda. Bahkan, dalam banyak pertemuan, dilaporkan, pilihan kompensasi itu tidak pernah tuntas dibahas, karena artikulatornya tidak ada. Proses check and balance horizontal antar warga belum
149
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
optimal, tetapi sudah ada proses check and ballance vertikal dari Pemprov yang mengoreksi isi dan kemasan perda. Sikap Pemprov ini lebih maju ketimbang sikap Depdagri yang berpendapat semua perda bernuansa agama tidak ada masalah. Sayangnya, lontaran Pemprov Jatim itu tidak ada yang menindaklanjuti dengan langkah-langkah advokasi. Hal itu karena belum tersedianya organisasi civil society di Pasuruan yang punya kepekaan dengan isu-isu emansipasi. Akan tetapi penting ditekankan, langkah advokasi itu patutnya dalam semangat keseimbangan antara kepentingan mayoritas dan minoritas, bukan menciptakan ketidak seimbangan baru, karena bisa membuat langkah advokasi mengalami resistensi keras, dan bisa menghambat upaya membantu kalangan lemah. Bisa jadi, kalangan lemah justru akan menjadi sasaran amuk. Sebagaimana amuk terhadap Ahmadiyah. Upaya negosiasi yang santun, rasional, dan adil, harus dikembangakan terus. Sebagaimana terjadi di Jombang, isu yang mengemuka di Pasuruan adalah berkaitan dengan kebutuhan penegasan identitas lokal. Bagi Pasuruan, identitas santri yang dirumuskan sendiri yang membutuhkan penegasan kolektif, ternyata dianggap tidak mencukupi jika sekedar ditawarkan pada kehendak bersama melalui mekanisme kultural. Penegasan image kolektif dirasakan hanya memadai jika mendapatkan dukungan skruktural (intitusionalisasi). Apapun interpretasinya terhadap gejala itu, ada bebe rapa hal yang menarik dalam kasus Pasuruan itu. Pertama, institusionalisasi Perda Ramadhan sepenuhnya disadari bukan sebagai langkah awal menuju penerapan syariat Islam. Langkah ini hanya ingin memenuhi kebutuhan romantisisme kolektif yang terlanjur diimajinasikan. Kedua, sebagai bentuk jaminan, gagasan itu tidak akan ”melanggar” hak dasar pencari nafkah, dibuktikan adanya ke sediaan untuk mengganti kerugian ekonomi (selama tidak jualan di siang hari), meskipun secara teknis jelas tidak mudah dilaksanakan. Ketiga, prosedur yang ditempuh melalui sosialisasi, khususnya kepada kelompok minoritas (tokoh agama non-muslim) dan para calon korban (pedagang kaki lima), telah dilakukan secara persuasif (non-violance)
150
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
dan mendapat “kesepakatan”. Keempat, secara politik telah mendapatkan dukungan penuh dari anggota dewan lokal (DPRD). Artinya, prosedur politik telah ditempuh demikian juga prosedur budayanya, mendialogkan gagasan dengan berbagai lapisan. Semuanya itu telah menunjukkan beberapa hal: 1) de ngan tidak adanya wacana tandingan dalam civil society memberikan gambaran atas lemahnya masyarakat madani di kota ”santri” ini. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari masyarakat homogen yang dengan budaya patrilinial yang sangat kental (berbeda dengan Jombang); 2) semangat awal penetapan larangan jualan makanan dan minuman pada pagi-siang hari tidak dimaksudkan untuk melegalkan syariat Islam di ruang publik, tetapi ”larangan” berjualan itu telah menggeser ruh agama dari bentuk ”kesukaleraan” menjadi ”keharusan” (pemaksaan); 3) masalah yang masih tersisa dari wacana ini adalah pendefinisian ulang tentang pengertian pelanggaran HAM dalam merelasikan agama sebagai salah satu sumber hukum positif. Lebih jauh dari itu, perlu dibangun kesadaran di ka langan masyarakat Pasuruan, dan juga tempat lain, yang tingkat partisipasi politiknya tinggi, agar memprioritaskan agenda legislasi daerah pada upaya mengatasi problem funda mental warga. Seperti kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan pengangguran. Apabila problem mendasar ini bisa diatasi, pembenahan kesadaran keagamaan, termasuk kesadaran berpuasa akan lebih mudah dibenahi dengan mekanisme dakwah. Memang, aksi makan-minum di muka umum saat Ramadhan di Pasuruan cukup sensitif. Akan tetapi, masalah itu lebih baik diselesaikan dengan pendekatan dakwah, bukan hukum positif. Perlu dibangun pemahaman tentang proporsi keterlibatan regulasi negara dalam perkara agama. Disebut proporsi, karena legislasi Indonesia, bukan anti agama, bisa saja mengatur perkara agama, hanya perlu proporsional. Persoalannya pada beda pandangan tentang tema agama mana yang perlu diatur negara. Regulasi negara pun bertingkat-tingkat. Ada yang bersifat memaksamengikat (mandatory) seperti perda, ada pula yang bersifat
151
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
himbauan (voluntary), seperti surat edaran kepala daerah. Penanganan orang yang tidak puasa adalah domain agama. Sebaiknya dijalankan oleh para ahli agama, ulama, kiai, ustadz, dan sebagainya. Sedangkan porsi negara adalah penanganan ekses sosial, gangguan ketertiban sosial (social order), yang diakibatkan tindakan warga, termasuk tindakan warga yang tidak berpuasa. Apabila orang yang tidak berpuasa, tidak menimbulkan ekses destruktif yang memuat penghinaan, provokasi, atau pelecahan, yang bisa memancing konflik sosial, maka hukum tidak perlu campur tangan. Apabila aksi orang yang tidak berpuasa menimbukan persepsi “tidak menghormati orang berpuasa”, maka kri teria “tidak menghormati” itu harus dirinci dan terukur. Kadarnya ringan atau berat. Jika kadarnya ringan, misal nya, menimbulkan suasana kurang nyaman, maka cukup diselesaikan dengan langkah persuasi, nasehat, dan dia log. Tapi kalau kadarnya berat, mengandung unsur pelang garan hukum, mengandung nuansa “tindakan tidak menye nangkan”, barulah hukum bisa turun tangan. Untuk efektivitas advokasi, strategi yang dipakai sebaiknya bukan konfrontasi, misalnya, dengan menyalahnyalahkan upaya para kiai memperjuangkan Perda Rama dhan. Apalagi bila konfrontasi itu memakai argumen perlin dungan HAM. Seperti respons yang muncul atas “penolakan” Pemprov Jatim, bisa diduga, reaksi dan resistensi yang muncul akan sangat keras. Situasi itu justru akan mempersulit posisi kalangan yang terpinggirkan, seperti para pedagang kecil, yang hendak dibela. Strategi yang tepat adalah dengan secara bertahap membangun kesadaran sebagai skala prioritas legislasi daerah. Energi legislasi diarahkan untuk emansipasi. Legislasi untuk melindungi kaum lemah. Penting menjadi pertimbangan, penyelesaian tertib sosial tidak selalu dengan hukum. Bahkan, hukum adalah opsi terakhir, ketika instrumen tertib sosial yang lain tidak bisa optimal. Kesadaran ini penting, supaya dikembangkan instrumen tertib sosial lain yang lebih soft, yang tidak menimbulkan suasana angker, rentan ketegangan, dan berpeluang berakibat membatasi hak orang lain, sebagaimana
152
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
bila upaya hukum ditempuh. Peluang jalan tengah polemik perda ini sebenarnya sudah mulai muncul. Membiarkan perda berjalan, tapi ganti rugi harus tetap diberikan. Pihak yang menhendaki formalitas terpenuhi, yang dirugikan, diganti kerugiannya. Langkah konfrontatif melawan perda seperti dilakukan Pemprov, justru bisa membuat ongkos sosial mahal. Resistensi akan tinggi. Situasi ini akan makin menyulitkan kaum lemah. Susana negosiasi damai (musyawarah) sebaiknya dipertahankan. Proses take and give jalan terus. Pada saat yang sama, penyadaran lewat penguatan kelompok minoritas bisa dilakukan. Apabila suasana negosiasi damai tersedia, maka opsiopsi lain untuk merevisi perda, sehingga lebih melindungi hak-hak kaum terpinggirkan juga terbuka. Misalnya, opsi dengan skema aturan, jam buka warung tak perlu dibatasi. Yang penting, kalau membuka pada siang hari, tidak boleh menyolok, bisa dengan hanya membuka pintu, jendela tertutup, sehingga orang yang makan, minum, dan merokok, tidak terlihat masyarakat umum. Kunci jalan tengahnya adalah tidak makan-minum di ruang publik. Tekanannya adalah nomenklatur “ruang public”. Jadi, orang yang makan, minum, merokok, dan jualan makanan, selama tidak dipertotonkan di ruang publik tidak masalah. Beberapa pilihan altenatif semacam ini belum dikaji secara tuntas. Iklim negosiasi terbuka yang sudah tumbuh itu hanya dimanfaatkan sebagian pihak yang berparadigma sempit tentang agenda legislasi. Legislasi hanya dipakai untuk agenda artifisial dan simbolik. Budaya demokrasi yang tumbuh, kepercayaan pada kinerja lembaga demokrasi, termasuk kepercayaan pada sistem otonomi daerah, harus diisi dengan para elit yang memiliki paradigma baru dalam mendefinisikan dan mengidentifikasi prioritas kebutuhan warga yang mendasar. C. Kasus Solo Solo merupakan contoh kota yang paling plural dimana seluruh kepentingan ideologis dapat dijajakan. Tidak adanya
153
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
kelompok dominan yang menjadi tuan rumah budaya, baik secara kultural-keagamaan, maupun secara politik, membuat setiap upaya determinasi akan mengundang risiko. Sementara secara ekonomi sangat rentan atas hadirnya deprivasi-relatif sebagai penyulut pelatuk konflik yang berbantal semangat kecemburuan sosial. Ada dua hipotesa kerja yang layak dikembangkan untuk memastikan kerisauan itu. Pertama, secara sosiologis, Solo merupakan wilayah yang memberi kesempatan yang paling terbuka bagi siapa saja untuk beraktualisasi secara sempurna. Di satu pihak, pendukung paham sekularisme yang mengabaikan pentingnya moralitas publik dipelihara, termasuk dalam mencari keuntungan materi melalui cara-cara yang dianggap melanggar etika publik, seperti: perjudian, pelacuran, dalam banyak hal mendapatkan tempat yang paling nyaman di kota ini. Di lain pihak, para pengusung paham teokrasi (negara agama) merasa menemukan lahan berlaga yang tepat dan memperoleh kesempatan untuk mengaktualisasikan keyakinannya secara sempurna. Sehingga, begitu kedua pendukung ideologis ekstrem ini melembagakan aspirasinya melalui cara-cara subordinatif, maka potensi konflik akan terus terbuka. Kedua, meskipun secara politik maupun budaya semangat jalan-tengah jauh lebih mengatasi daripada yang sebaliknya, tetapi kuatnya semangat sektarian keagamaan yang sangat militan dalam mengusung perda bernuansa agama dengan meletupkan kekerasan, termasuk sweeping, menjadi kerisauan yang semi-permanen. Ketidakseimbangan dalam merespon cara-cara kekerasaan inilah yang paling merisaukan. Bentuk kegelisahan kolektif itu tentu bukan apakah perda syariah itu memiliki peluang dukungan politik atau tidak, tetapi pada proses sosial yang sangat berpeluang terjadinya berbagai disfungsi-sosial. Ketiga, meskipun elemen-elemen civil society yang menghendaki semangat pluralitas yang mengedepankan prinsip-prinsip toleransi lebih banyak, tetapi tiadanya koalisi yang sistematis dan solid, membuat dominasi wacana berjalan secara tidak seimbang. Tidak ada counter discourse yang memadai ini menunjukkan lemah civil society di kota
154
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
ini. Meski kelompok-kelompok civil society ada, namun gerakannya masih sporadis dan belum bersinergi. Apa yang dibutuhkan dalam masyarakat seperti ini adalah kesadaran kolektif bahwa pluralisme adalah merupakan condition sine quanon. Kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Bahwa perbedaan sebuah realitas sosial yang harus didialogkan tanpa kekerasan. Perumusan kehendak bersama sebagai landasan kehidupan yang tidak saling memusuhi dan memandang perbedaan sebagai realitas sosial yang harus dikelola dengan kearifan. Dalam konteks Solo, ada dua kelemahan yang tidak boleh dilestarikan: a) belum ada masyarakat sipil yang kuat sebagai kelompok penekan dan penyeimbang dalam menuju masyarakat plural. Sementara kelompok destruktif yang menggunakan kekerasan sebagai instrumen penyampaian gagasan, tidak pernah mendapat perlawanan, baik dalam tingkat wacana maupun tindakan (ditindak tegas); b) pluralisme belum menjadi kebutuhan dasar (basic need), tetapi baru menjadi daftar keinginan bersama. Tidak ada koalisi yang sistematis yang menjadikan pluralisme sebagai kebutuhan ideologi bersama. Dengan demikian, kebutuhan jangka pendek adalah mendesak penyelengga negara untuk menindak secara tegas setiap kekerasan publik yang dibungkus egoisme kolektif yang terbalut dalam semangat keagamaan. Dalam jangka menengah menggalang koalisi semi-permanen diantara kelompok strategis (civil society), untuk secara progresif melakukan respon terhadap setiap upaya negatif yang merusak harmoni ketentraman sosial, baik dalam tingkat wacana maupun tindakan. Dalam jangka panjang melakukan advokasi kesadaran kolektif di kantong-kantong pusat sosialisasi (masjid, sekolah) atas kebutuhan pentingnya dikembangkan paham kebangsaan yang inklusif, toleran, non-diskrimintif, anti-kekerasan, dan lain-lain. D. Kasus Yogjakarta Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan contoh tipikal masyarakat plural yang sedang bergulat menemukan
155
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
formulasi masyarakat majemuk yang sesuai dengan kehendak warganya. Ada beberapa persamaan sekaligus perbedaan yang mendasar dengan kota Solo. Persamaannya, keduanya sama-sama pewaris budaya Jawa yang secara kultural berwajah sinkretis. Keduanya merupakan masyarakat majemuk yang secara politik didominasi kelompok abangan. Beberapa perbedaannya adalah, pertama, betapapun di DIY muncul gerakan yang menginginkan Perda Wajib Jilbab bagi warganya yang diusung Farum Ukhuwah Islamiyah Yogjakarta (FUIY), tetapi kelompok ini gerakannya sangat anti-kekerasan. Kedua, secara kultural keagamaan FUIY ada di luar mainstream utama (Muhammadiyah dan NU) yang secara tegas menolak usulan Perda Jilbab. Kesadaran kolektif keagamaan yang dominan adalah Islam kultural (subtansial) yang tidak terlalu mengedepankan kebutuhan Islam simbolik. Sedangkan secara politik telah didominasi kaum abangan (PDIP) dan nasionalisme-religius (PAN dan PKB) yang lebih menginginkan model “Islam subtantif”. Jadi, tidak ada dukungan baik secara politik maupun kultural-keagamaan yang memadai untuk kemungkinan lahirnya perda syariat. Ketiga, di kota ini civil society cenderung bersifat mandiri dan progresif dalam merespon hal-hal sensitive, khususnya dalam menggapi isu-isu publik. Meskipun bukan berarti proses negoisasi dalam mewarnai ruang publik tidak ada hambatan. Kuatnya semangat Islamisasi yang bercorak verbalistik telah melanda kalangan mahasiswa, juga terjadi di wilayah ini. Keempat, posisi keraton sebagai icon sentral budaya Jawa, yang direpresentasikan Sri Sultan Hamengkubuwono ke X, baik secara kultural maupun politik memiliki otoritas sebagai pendorong kemajemukan. Daya perekat dan kewibawaan kultural inilah yang tidak dimiliki Solo. Kelima, diatas segalanya tidak ada semangat yang membabi buta untuk membawa wilayah ini sebagai daerah zona metropolis yang sekuler. Betapapun sebagai kota besar tidak bebas dari semangat untuk mengadopsi globalisasi, namun tetap bersifat tidak determinan. Karenanya, dalam konteks realitas sosial masyarakat DIY, yang perlu
156
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
didorong adalah menyediakan ruang publik yang bebas dari kemungkinan datangnya tradisi kekerasaan, dan meminimalisasi embrio model Islamisasi yang ekslusif, tidak toleran, yang mulai merambah di kampus-kampus umum dan masjid-masjid di pinggiran perkotaan. E. Kasus Cianjur Cianjur dalam kasus perda syariat menduduki tempat istimewa. Dalam kadar yang terbatas, ia merupakan inspirator daerah lain untuk menerapkan perda syariat. Di luar, penerapan perda bernuansa agama ini dianggap pioneer selain memperlihatkan dampak sampingan yang dikhawatirkan. Jika dilihat dari seluruh mekanisme yang ada, ada beberapa hal yang menarik untuk dideskripsikan. Pertama, konsideran yang melatarbelakangi perda syariat ini tampaknya tidak seluruhnya didasarkan pada kebutuhan mempertegas identitas, tetapi lebih pada kebutu han politik. Karenanya, persetujuan itu mudah masuk dalam ranah “politisasi” agama, daripada cerminan atas aktualisasi kelompok revivalis yang sedang memperjuangkan ideologinya. Dominasi parpol sekuler seperti Golkar yang memperoleh 12 kursi dan PDIP 10 kursi, semakin mempertebal asumsi bahwa semangat ideologisasi Islam tersebut tidak memiliki afirmasi sosial yang kuat. Kedua, Gerbang Marhamah yang telah mendapatkan landasan yuridis melalui SK Bupati No. 34/2001 tersebut tidak memuat “keharusan” dalam menjalankan prinsipprinsip yang ditetapkan. Dari empat poin yang dijabarkan, seluruhnya bersifat sukarela atau sekedar himbaun. Misalnya, membiasakan shalat berjamaah, membiasakan membayar zakat, peningkatkan pengajian dan menciptakan lingkungan yang Islami. Jadi, di sini tidak ada “pemaksaan” seperti “wajib” (baca: dipaksa) membayar zakat, atau “dilarang” berjualan pada bulan puasa, misalnya. Dalam tahap ini, tidak ada yang layak dipersoalkan. Namun, jika dalam praktiknya unsur kesukarelaan ini berubah menjadi paksaan bisa dipermasalahkan dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM).
157
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Ketiga, Gerbang Marhamah baru mendapatkan reaksi, terutama dari PDIP, paska ditetapkan sebagai perda dengan tambahan 12 elemen, yang sebelumnya hanya memuat 4 elemen. Bentuk reaksinya, perda itu dianggap bertentangan dengan UU di atasnya dan dikhawatirkan akan membawa implikasi negatif, khususnya kepada kelompok minoritas non-muslim. Keempat, kekalahan Bupati Wasidi Swastomo sebagai penggagas Gerbang Marhamah pada periode kedua, oleh Tjetjep Muhtar yang hanya didukung partai kecil (Demokrat 6 dan PKS 3), membuka tafsir baru. Apakah Wasidi yang gagal memetik tabungan pemantapan Gerbang Marhamah pada periode 2006-2010 itu, bisa dipahami sebagai bentuk penolakan masyarakat atas perda ini yang dianggap boros biaya dan tidak memiliki implikasi pada perbaikan ekonomi rakyat. Meski tidak ada jawaban pasti, yang jelas masyarakat mulai tidak silau dengan jargon-jargon keagamaan dalam dunia politik. Kelima, setelah ditetapkan menjadi Perda No. 3/2006, regulasi ini menuai dampak sampingan. Berdasarkan SKB yang ada, ajaran Ahmadiyah dilarang disebarkan dan penziarahan umat Katolik Lembah Karmel dicurigai sebagai upaya Kristenisasi. Dalam kasus Cianjur sesungguhnya tidak memiliki akar yang mengkhawatirkan atas kuatnya semangat fundementalis kelompok revivalis yang berpeluang menjadi produsen pelanggaran HAM. Ekologi politik yang ada sama sekali tidak memiliki akar genealogis yang patut dikhawatirkan. Apalagi 12 elemen yang menjadi muatan perda tersebut bersifat tidak “memaksa”. Ekses lain atas pelarangan Ahmadiyah, meskipun dapat dikatagerikan sebagai pelanggaran HAM (menghalangi kelompok tertentu untuk mengekspresikan keyakinan yang dijamin UUD 1945), nampaknya lebih merupakan buah semangat mimicry yang dilakukan kelompok tertentu dalam mengikuti irama tren nasional, ketimbang representasi ideologis kelompok fundamental. Demikian juga, tampaknya kecurigaan ter hadap kelompok Kristen lebih merupakan hukum sosiologis, dimana kelompok mayoritas selalu risau atas perkembangan
158
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
minoritas, tetapi tidak sampai pada bentuk diskriminasi sebagai dampak langsung dari penetapan perda itu. Singkatnya Cianjur adalah tipe sebuah kota, yang mengikuti irama kebebasan politik era reformasi, dan mencoba mengisi ruang kekosongan itu dengan isu politik keagamaan. Tidak terlihat di balik gejala itu, semangat yang menggelora untuk mencari ideologi alternatif yang bersumbu pada “ideologi agama”. Tradisi yang dibangun hanya menekankan ritualisasi keagamaan dan bersifat sukarela. Seperti umumnya, kebutuhan politik yang tidak dudukung basis ideologis, tentu ia hanya bersifat sangat artifisial dan cepat menguap. F. Kasus Tasikmalaya Seperti umumnya daerah yang secara politik dan budaya relatif homogen, semangat tampilnya identitas kolektif seringkali dianggap sebagai kebutuhan. Perda bernuansa agama yang diusung penyelenggara negara ini, nampaknya didasarkan pada pola adaptasi politik paska pergeseran dominasi partai lama oleh PPP. Simptom ini dimaknai sebagai peluang untuk mengikat emosional kolektif, tetapi tidak didasari cetak biru yang jelas, seperti umumnya garis ideologi. Konsekuensinya, perda-perda yang diproduksi hanyalah bentuk baru dari sebuah labelisasi yang kosong dari kepentingan ideologis. Secara singkat, ada beberapa hal yang menarik. Pertama, perda yang bernuasa agama lebih merupakan hasil spontan yang mencoba memanfaatkan masa transisi sebagai hasil spekulasi politik, daripada sebagai tanda-tanda menguatnya Islam fundamentalis. Kedua, secara kultural semangat ideologis itu tidak mendapatkan dukungan dari kelompok mainstream (ajengan lama), dan hanya didukung ajengan baru (ajengan bendo) yang menguasai ruang publik. Bahkan, kelompok-kelompok yang sering dikategorikan sebagai puritan seperti Persatuan Islam (Persis), malah mempertanyakan subtansi perda ter sebut disbanding kebutuhan dasar masyarakat yang lebih vital.
159
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Ketiga, baik kelompok yang mendukung (ajengan bendo) maupun yang menolak (ajengan lama), sama-sama tidak memiliki argumentasi ideologis yang memadai. Apakah perda bernuansa agama ini lebih merupakan tahap-tahap awal untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dan sebagai alternatif atas gagalnya pemerintahan masa lalu. Atau sebaliknya, perda bernuansa agama itu akan dianggap “menghalangi” terciptanya Islam yang rahmatan lil alamin, misalnya. Kesan yang lebih terbaca pro-kontra itu hanyalah hasil “perebutan” ruang publik diantara para ajengan. Keempat, perda-perda yang diproduksi tidak memiliki juklak yang jelas. Karenanya, tidak mudah untuk diukur apakah perda-perda itu telah memproduksi tindakan diskriminatif atau tidak. Meskipun dampak sampingnya telah mulai menelan korban. Misalnya, sekelompok Jemaat Kristen non-perkotaan tidak mudah untuk menjalankan ritual Natal dengan argumen Tasikmalaya merupakan kota santri yang memiliki visi religius Islami dan menganggap perayaan Natal tidak boleh dilaksanakan di lingkungan masyarakat Muslim. Begitu juga, Ahmadiyah semakin tidak mendapatkan tempat setelah difitnah sebagai aliran “sesat”. Di atas semuanya, dampak yang paling nyata dari perdaperda itu adalah kelompok radikal menjadi memiliki ruang yang luas untuk mewacanakan monopoli interpretasi Islam yang eksklusif dan intoleran, tanpa diikuti counter wacana yang memadai. Kelima, dalam perkembangannya, semangat mene gakkan syariat Islam semakin meredup, sejalan dengan ke sadaran bahwa perda itu tidak bersentuhan dengan kebu tuhan masyarakat yang sesungguhnya. Dalam bahasa lokal lazim disebut ngabebenyokeun (mengelabui) masyarakat Tasikmalaya dari isu-isu yang lebih urgen dan prinsipil. Keenam, proses atas lahirnya perda bernuansa agama ini tidak disosialisasikan melalui proses yang demokratis, tidak seperti di Pasuruan dan Jombang. Kooptasi gagasan telah mengambil manfaat suasana konflik 1996, yang me mudahkan stigmatisasi pada kelompok penentang perda bernuansa agama sebagai “anti-Islam”. Karena itu, suasana yang mengkhawatirkan justru lebih pada berpeluangnya
160
Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi
image kolektif yang mengatasnamakan mayoritas, yang berkolaborasi dengan Islam fundamentalis. Afinitas negatif ini jelas akan merugikan masyarakat Tasikmalaya. Ketujuh, seluruh dinamika yang terjadi di balik muncul nya perda bernuansa agama ini memperlihatkan lemahnya kekuatan civil society yang mandiri dan kritis terhadap setiap isu yang berpotensi memproduksi diskriminasi, dis fungsi terhadap kesejahteraan masyarakat, dan lain-lain. Kerapuhan ini tidak kondusif bagi lahirnya masyarakat yang inklusif. Dengan demikian, kebutuhan Tasikmalaya selain mendorong lahirnya masyarakat sipil yang mandiri dan kritis, juga perlu meningkatkan advokasi gagasan yang lebih menagih pada masalah-masalah yang lebih subatansial, seperti: pemberantasan korupsi, pengentasan kemiskinan, membebasan pendidikan dan sebagainya yang selama ini “dialpakan” dari ruang publik. G. Kasus Banjar Sebagai daerah hasil pemekaran, Banjar lebih meru pa kan konsumen dari sebuah replikasi. Semangat meniru daerah lain yang dianggap memiliki kemiripan adalah ke cenderungan yang paling kuat. Salah satu dari keinginan untuk meniru daerah lain ini antara lain tampak pada SK bernuansa agama. Meski begitu, ada beberapa hal yang membedakan Banjar dengan daerah lain yang homogen (Tasikmalaya, Jombang dan Cianjur) dalam melegalisasi regulasi bernuansa agama. Pertama, Instruksi Walikota No. 422/Ins.132-Huk/05/ 2005 yang bernuansa Islami itu pada awalnya merupakan keprihatinan tokoh-tokoh agama (baca: MUI) atas minimnya pengetahuan para pelajar umum tentang Islam. Jalan yang ditempuh dengan “mengharuskan” lulusan SLTP dan SLTA untuk menunjukkan sertifikasi lulus Madrasah Diniyah. Instruksi lain adalah menyangkut penggalangan zakat se cara optimal. Dalam tahap ini, surat keputusan walikota lebih sebagai upaya penguatan Islamisasi ke dalam yang tidak berkaitan dengan terlanggarnya hak-hak minoritas.
161
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Meskipun begitu, di luar instruksi itu akan menjadi beban tersendiri bagi siswa. Begitu juga, penguatan BAZIS juga dianggap memiliki peluang abuse of power. Kedua, kedua intruksi walikota tersebut sepenuhnya disetujui secara kolektif, baik bagi komunitas politik (DPRD) maupun ormas keagamaan tanpa kecuali. Kelompok yang sering disebut sebagai ormas moderat (NU dan Muham madiyah) menerima tanpa menyisakan pertanyaan kritis, dan juga kelompok non-muslim. Ketiga, instruksi walikota tersebut itu disadari sepe nuhnya sebagai langkah awal menuju perda syariat yang lebih menyeluruh. Kebutuhan ini dianggap sebagai jalan alternatif atas “kegagalan” masa lalu (baca: ideologi Pan casila). Jadi, ada kesadaran kolektif (minimal di tingkat para elite), regulasi syariat tersebut bukan sekedar kebutuhan penegasan identitas, tetapi perjuangan untuk penerapan ajaran Islam melalui institusi formal. Keempat, terdapat persepsi yang relatif sama di ka langan tokoh-tokoh agama tentang HAM sebagai produk Barat yang secara sengaja bertujuan melemahkan kekuatan Islam. Jadi, di sini sudah terdapat permadani budaya yang siap dijadikan landasan gerakan pemurnian Islam. Kelima, di luar semua fenomena itu, jelas menunjukkan tidak ada kelompok civil society yang secara kritis mampu memberikan peringatan tentang upaya sistematis dari bebe rapa kelompok fundamentalis Islam yang bertujuan menjadikan kota Banjar sebagai lahan eksperimentasi perda syariat Islam yang lebih menyeluruh. Dengan demikian, Banjar sangat berbeda dengan Cianjur dan Tasikmalaya. Daerah baru ini memiliki embrional yang nyaris sempurna sebagai pangkalan mendorong syariat Islam kaum revivalis. Dengan demikian, kebutuhan yang mendesak adalah penguatan masyarakat sipil, khususnya di kalangan ormas keagamaan tentang pemahaman bahwa HAM memiliki afinitas yang sangat kuat dengan Islam. Advokasi kesadaran kolektif atas perlunya pencerahan ten tang Islam yang inklusif, dan rahmatan lil ‘alamin mendesak di wacanakan di daerah ini.[]
162
Bagian II
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
(Studi Kasus Penerapan Syariat Islam di Pamekasan Madura) Oleh: Ahmad Zainul Hamdi
I. Pendahuluan Sejak reformasi politik bergulir di tahun 1998, berbagai upaya untuk mengundangkan syariat Islam melalui peraturan daerah atau sejenisnya merebak di berbagai daerah. Fenomena ini bahkan melanda daerah-daerah yang selama ini tidak memiliki record historis sebagai daerah yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Jawa Timur yang selama ini tidak memiliki catatan sejarah sebagai wilayah perjuangan syariat Islam pun tidak luput dari arus syariatisasi ini. Hal ini bisa dilihat pada apa yang terjadi di Pamekasan. Pamekasan adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur yang merancang konsep penerapan syariat Islam dengan apa yang dinamakan Gerbang Salam (Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami) yang disusun Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP2SI).1 Meski tidak langsung disebut sebagai syariat Islam, namun peraturan yang diundangkan jelasSaya berterima kasih kepada Fathol Holiq yang telah membantu mendapatkan data-data tentang sejarah Gerbang Salam dan beberapa kasus diskriminatif sebagai akibat pelaksanaan syariat Islam di Pamekasan. 1
163
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
jelas dimotivasi dan disadari sebagai penerapan syariat Islam di Pamekasan.2 Bagaimanapun juga, fenomena ini perlu dibaca dalam konteks Indonesia paska reformasi, di mana kekuatan Islam politik mulai tumbuh kembali setelah sekian lama mati selama orde baru.3 Apa yang terjadi di Pamekasan bukan sebuah gejala tunggal, tetapi gambaran umum dari apa yang sedang terjadi. Dalam kerangka pemahaman ini pula, konteks Jawa Timur di mana Pamekasan menjadi salah satu bagian didalamnya perlu diungkap lebih dulu. Selama ini, banyak pihak yang menilai Jawa Timur sebagai propinsi yang cukup kedap dari upayaupaya syariatisasi Indonesia. Dari perspektif tertentu, penilaian ini bisa diterima, terutama jika dikomparasikan dengan Sulawesi Selatan, misalnya. Akan tetapi, asumsi ini segera memudar jika kita melihat data-data yang ada. Beberapa wilayah di Jawa Timur memiliki kegairahan yang tidak kalah dengan daerah lain dalam hal penerapan syariat Islam. Wilayah yang cenderung mengeluarkan regulasi berbasis syariat adalah daerah-daerah yang mengidentifikasi diri sebagai wilayah santri. Kota Pasuruan, misalnya, mengintrodusir Perda Kota Pasuruan Nomor 04 tahun 2006 tentang Pengaturan Membuka Rumah Makan, Rombong, dan yang Sejenis Pada Waktu Puasa di Bulan Ramadhan atau yang lebih terkenal dengan sebutan Perda Ramadhan. Memang, perda tersebut tidak bisa dilaksanakan karena pihak Pemprov Jawa Timur menolaknya. Mekipun demikian, ide dasar Perda Ramadhan itu tetap dijalankan melalui Perda Trantib yang dijalankan Satpol PP.4 Dengan alasan kota santri, pada Maret 2008, Pemda Kabupaten Gresik, dalam rangka HUT Kota Gresik, selama tiga hari mewajibkan pegawai di lingkungan Pemkab Gresik untuk Tempo Interaktif, 4 November 2002, diakses pada 20 juli 2010. Arskal Salim dan Azyumardi Azra, “Introduction: The State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra (eds.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Sigapore: ISEAS, 2003), 1-3; Azyumardi Azra, “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia,” dalam Virginia Hooker dan Amin Saikal (eds.), Islamic Perspectives on the New Millenium (Singapore: ISEAS, 2004); Bachtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003), bab “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia: A Postscript”. 4 Ahmad Zainul Hamdi, Peraturan Daerah (Perda) Ramadhan di Kota Pasuruan, penelitian tidak diterbitkan, 2008. 2 3
164
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
berpakaian Muslim dan Muslimah.5 Kecenderungan seperti ini juga sedang tumbuh di Madura. Pada 30 Maret 2009, menjelang dibukanya jembatan Suramadu, sejumlah perwakilan PCNU se-Madura menemui Gubernur Jawa Timur untuk membicarakan beberapa aspirasi tersebut. Beberapa ”tuntutan” yang diajukan adalah perda berbasis syariat Islam di Madura.6 Dalam konteks inilah, upaya penerapan syariat Islam di Pamekasan terjadi. Tentu saja alasannya bisa sangat spesifik sesuai dengan dinamika sosial-politik yang terjadi di kabupaten yang menyebut dirinya Serambi Madinah tersebut. Berdasarkan data-data tersebut, paska reformasi jelas terlihat, Jawa Timur, khususnya Madura, bukan propinsi yang kedap dari menguatnya gerakan penerapan syariat Islam paska-reformasi. Dalam setting sosial-politik ini, muncul upaya penerapan syariat Islam di Pamekasan. Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2003 tentang Indonesia terbitan Biro Demokrasi, Hak-Hak Asasi dan Perburuhan PBB,7 menyebutkan maraknya kecenderungan para pemimpin politik daerah memproduk regulasi berbasis syariat Islam, di mana salah satu contoh yang diangkat adalah Kabupaten Pamekasan di Pulau Madura, Jawa Timur. Pemberlakuan syariat Islam di Pamekasan ini menjadi semakin penting untuk dikaji, terlebih jika ia diletakkan dalam konteks perubahan kultur keislaman masyarakat Madura. Lacakan sejarah ke belakang tidak menunjukkan adanya upaya untuk menerapkan syariat Islam dalam struktur formal pemerintahan. Di samping itu, kultur keislaman masyarakat Madura juga moderat, sehingga hampir tidak ada catatan kekerasan berbasis agama di Madura. Selama ini, memang banyak pihak yang mengidentikkan Madura dengan kekerasan. Orang Madura dinilai sebagai orang yang suka melakukan tindakan kekerasan. Akan tetapi, masyarakat Madura tidak memiliki record melakukan tindakan kekerasan dengan motif agama, sekalipun mereka terkenal dengan keteguhannya dalam ber-Islam. 5 6 7
Monthly Report on Religious Issues, The Wahid Institute, April 2008. Monthly Report on Religious Issues, The Wahid Institute, April 2009.
Diterbitkan pada 18 Desember 2003.
165
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Sejauh carok diacu sebagai bukti bagi penilaian atas praktik kekerasan orang Madura, ia selalu terjadi dengan alasan harga diri individu atau keluarga, baik dengan motif cinta maupun ekonomi.8 Semangat keislaman masyarakat Madura juga tidak pernah muncul dalam bentuk tuntutan pelembagaan syariat Islam dalam struktur pemerintahan sebagaimana di Jawa Barat maupun di Sulawesi, misalnya. Catatan sejarah kekerasan politik masyarakat Madura justru terjadi ketika mereka memberontak Kerajaan Mataram Islam.9 Akan tetapi, apa yang terjadi pada Kabupaten Pamekasan menunjukkan gejala pergeseran yang semakin menjauh dari sumbu moderatisme keislaman. Ada perubahan dalam kultur keislaman Madura paska-reformasi politik 1998. Tulisan ini ingin mengungkap politik syariat Islam di Kabupaten Pamekasan dan dampaknya terhadap bangunan pluralisme di salah satu Kabupaten di pulau garam tersebut. Apa yang hendak dinyatakan di sini adalah upaya penerapan syariat Islam di Pamekasan adalah bagian dari lahirnya kembali Islam politik di Indonesia paska-reformasi yang mewujud ke dalam upaya pengundangan syariat Islam, baik di level pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai bagian dari gerakan politik, kalkulasi-kalkulasi pragmatis juga sering menjadi alasan di balik pemberlakuan syariat Islam. Meskipun sikap pragmatisme menjadi motif utama, namun hal ini juga dapat melahirkan dampak yang mengancam terhadap pluralisme dan kemungkinan pelanggaran HAM warga negara, khususnya warga Madura sendiri.
II. Sejarah Perda Syariat Islam di Pamekasan Dinamika politik lokal di Pamekasan perlu posisikan sebagai setting sosial di mana ide legislasi tersebut muncul dan bergumul. Dengan cara ini, kita bisa melihat bahwa arus syariatisasi Indonesia yang marak paska reformasi seringkali
8 A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LkiS, 2006), h. 69. 9 A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LkiS, 2006), h. 69.
166
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
memanfaatkan kondisi politik riil suatu daerah.10 Sejarah legislasi syariat Islam di Pamekasan tidak lepas dari persoalan politik kekuasaan. Dwiatmo Hadianto, Bupati Pamekasan 1999-2004, memiliki keinginan untuk berkuasa kembali sebagai bupati 2004-2008. Secara politik, bukan sesuatu yang aneh, jika seseorang yang hendak menjadi penguasa politik meraup dukungan dari kekuatan politik mayoritas. Saat itu, sang Bupati incumbent memiliki kalkulasi bahwa kekuatan politik yang harus dipastikan memberi dukungan kepadanya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi kekuatan politik utama di Pamekasan. Menguasai suara kedua partai ini berarti jaminan untuk menjadi bupati kembali. Pemberlakuan syariat Islam itu sendiri adalah bagian dari konsep Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami (Gerbang Salam) yang didasarkan pada Surat Edaran (SE) Bupati Pamekasan yang sudah disosialisasikan ke sejumlah kantor, instansi, dinas dan lembaga pendidikan di wilayah Kabupaten Pamekasan. SE tersebut menuntut seluruh karyawati harus memakai busana muslimah atau jilbab. Diharapkan pada awal 2003, seluruh karyawati, termasuk kepolisian, telah berjilbab. Bupati Pamekasan membentuk LP2SI yang beranggotakan seluruh Wakil Fraksi DPRD Pamekasan dan seluruh organisasi massa Islam, yaitu: Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, dan Sarikat Islam. Lembaga ini dibentuk dan ditetapkan dengan sebuah surat keputusan bupati.11 Gagasan ini sesungguhnya sudah diwacanakan sejak 2001 dengan penerbitan Perda No. 18/2002 tentang Larangan Peredaran Minuman Beralkohol. Tampaknya, panah politik bupati ini tepat di titik sasaran. Gayung bersambut, wacana legislasi syariat Islam di Pamekasan mulai bergulir di kalangan elit politik PPP dan PKB. Bupati Dwiatmo mendorong semakin Data-data tentang penerapan syariat Islam di Pamekasan yang terkonsep dalam Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami (Gerbang Salam) ini ditulis berdasarkan wawancara dengan beberapa individu yang memegang posisi penting dalam Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam (LP2SI), Kabupaten Pamekasan, Mei 2010. 11 Kompas, 4 November 2002. 10
167
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
jauh ide tersebut dengan mulai mengadakan forum-forum untuk mendiskusikan beberapa peraturan yang berkaitan dengan syariat Islam. Munculnya ide legislasi syariat Islam ke ruang publik pertama kali adalah pada saat seminar yang melibatkan berbagai tokoh agama, politik, dan masyarakat pada 16 Juli 2002, yang memperbincangkan tentang penerapan hukum atau syariat Islam. Jelas, seminar ini bukanlah titik awal, tetapi sematamata sebagai momentum untuk mulai memperdengarkan ide syariatisasi islam ke ranah publik Pamekasan, sebab di seminar ini pula, LP2SI dibentuk secara resmi Bupati dengan SK Bupati Pamekasan No. 188/126/441.012/2002. Lembaga ini beranggotakan individu-individu dari partai politik, organisasi sosial keagamaan, birokrat, akademisi dan para ulama. Di sini juga bisa dilihat, LP2SI yang bertugas mengkaji penerapan Islam di Pamekasan memiliki relasi politik cukup kental. Sejak awal, LP2SI ini dipimpin birokrat pemerintah. Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Pamekasan, Muhammad Alwi, menjadi sekretaris lembaga ini. Untuk menjalankan fungsinya, LP2SI mengadakan studi banding ke daerah Cianjur, Jawa Barat. Bulan Ramadhan tampaknya menjadi momentum yang tepat untuk mulai mewujudkan ide syariatisasi Pamekasan. Dengan demikian, Ramadhan 2002 menandai dimulainya pemberlakuan syariat Islam di Kabupaten Pamekasan.12 Sebagai organ penting dalam proses legislasi syariat Islam di Pamekasan, agenda utama LP2SI adalah mengingatkan praktik keislaman masyarakat dengan cara memberikan pemahaman tentang hukum Islam dan pengamalan nilai-nilai Islam, seperti menutup aurat dan shalat berjamaah di lingkungan birokrasi pemerintahan, lembaga pendidikan, dan masyarakat umum. LP2SI berfungsi sebagai think tank bagi Pemerintah Daerah (Pemda) terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masalah sosial keagamaan. Dalam konteks ini, LP2SI memberikan berbagai ide yang kemudian diteruskan ke pemerintah untuk dibuat keputusan formalnya. Dinamika ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan 12
Jawa Pos, 16 November 2002.
168
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
legislator. PPP yang banyak dikuasai kalangan kiai dan politisi dari Syarikat Islam (SI) setuju dengan ide tersebut dan berharap secepatnya diberlakukan. Sedangan PKB yang didukung NU mempertanyakan, dan bahkan menolak wacana tersebut. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang menarik ketika ide legislasi syariat Islam itu pada akhirnya diformalkan dalam program Gerbang Salam pada 4 November 2002. Pencanangan yang dilakukan di Masjid Agung Asy-Shuhada Kota Pamekasan tersebut dibacakan KH. Khalilurrahman, Ketua PC NU Pamekasan yang merangkap sebagai politisi PKB di DPRD Jawa Timur saat itu. Menariknya adalah karena PKB adalah partai yang awalnya mempertanyakan dan menolak upaya legislasi syariat Islam di Pamekasan. Alasan apapun yang ada di balik panggung, pembacaan pernyataan Gerbang Salam di hadapan masyarakat umum, muspika dan politisi berbagai partai politik tersebut memberi kesan jelas bahwa NU masuk ke dalam barisan kelompok pendukung upaya memformalisasikan ajaran Islam. Akan tetapi, karena dukungan ini dianggap setengah hati, pihak yang menuai keuntungan politik adalah PPP yang sejak awal memberi dukungan penuh. Lambat laun ide legislasi syariat Islam ini diambil alih Fraksi PPP. Dwi Atmo, selaku penggagas awal, mulai tenggelam dan digantikan Moh. Syafi’ie, politisi PPP yang menjadi Ketua DPRD Pamekasan. Moh. Syafi’ie menangkap ide ini sebagai keuntungan politik yang bisa dimanfaatkan untuk karir politiknya ke depan. Dengan ide legislasi syariat Islam, Moh. Syafi’ie mengam panyekan dirinya sebagai calon Bupati Pamekasan periode 2004-2009. Kampanye ini sukses. Moh Syafi’e menjadi Bupati Pamekasan periode 2004-2009. Dia mendapat dukungan politik dari dua pesantren besar dengan jaringan santri yang sangat luas di Pamekasan, yaitu Pesantren Mambaul Ulum (Bata-Bata Pamekasan) dan Pesantren Banyuanyar, Pamekasan. Kedua pesantren ini memberi dukungan penuh terhadap ide legislasi syariat Islam di Kabupaten pamekasan. Menjelang Pemilukada 2009, K.H. Khalilurrahman meng incar posisi sebagai orang pertama di Kabupaten Pamekasan. Sejalan dengan perilaku Moh. Syafi’ie, K.H. Khalilurrahman juga memanfaatkan wacana syariat Islam untuk mendapatkan
169
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
dukungan politik. Sekali lagi, sekalipun pragmatisme politik menjadi alasan utama di sini, namun hal itu dengan sendirinya menempatkan K.H. Khalilurrahman dalam posisi sebagai pendukung pemberlakukan syariat Islam di Pamekasan. Image sebagai pendukung syariat Islam ini membuat K.H. Khalilurrahman mendapatkan dukungan politik dari kelompok penting yang sebelumnya memberi dukungan politik pada Moh. Syafi’ie, yaitu Pesantren Mambaul Ulum (Bata-Bata, Pamekasan) dan Pesantren Banyuanyar, Pamekasan. Dukungan dua pesantren tersebut diwujudkan dalam bentuk seruan kepada semua santri untuk memilihnya. Akhirnya, ia menjadi Bupati Pamekasan 2009-2013 dengan mengalahkan kandidat lain.
III. Gerbang Salam dan Perda Bernuansa Syariat Peraturan daerah paling awal yang dirilis Pemerintah Kabupaten Pamekasan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam adalah Peraturan Daerah (Perda) No. 18/2001 tentang Larangan Peredaran Minuman Beralkohol. Perda ini dirumuskan ketika Moh. Syafi’ie menjadi Ketua DPRD Pamekasan. Perda ini menjadi rebutan Fraksi PPP dan PKB. Kedua parpol tersebut saling mengklaim perda tersebut adalah hasil karyanya. Memang, dua partai tersebut memiliki konstribusi besar terhadap keluarnya perda ini. “Rebutan” ini bisa dimaklumi karena sejak ide perda ini digulirkan, kalangan pesantren memberi dukungan sangat kuat. Dengan mengklaim Perda Larangan Peredaran Minuman Beralkohol tersebut sebagai karyanya, partai politik akan mendapatkan dukungan politik dari kalangan pesantren yang sangat menentukan terhadap pilihan politik rakyat. Perda ini menarik simpati kalangan Muslim khususnya berkaitan dengan pesantren-pesantren serta umat Islam yang tidak menginginkan adanya minuman beralkohol di daerah Pamekasan. Substansi perda ini bersinggungan secara langsung dengan ajaran Islam yang mengharamkan mengkonsumsi minu man keras. Perda ini melarang peredaran minuman beralkohol kecuali untuk alasan medis dan siapa pun yang mengkonsumsi akan dikenai hukuman penjaran 6 bulan atau denda Rp. 6.000.000,-. Tidak mengherankan, jika akhirnya semua partai politik menyetujui peraturan tersebut. Siapapun yang menolak
170
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
perda tersebut dengan sendirinya berarti bunuh diri politik. Realitas politik ini tidak mungkin diabaikan bagi siapa saja yang hendak membangun karir politik di Kabupaten Pamekasan. Realitas politik inilah yang semakin mematangkan rencana pelaksanaan syariat Islam di Pamekasan dalam bentuk yang semakin konkret. Dan, lahirlah Gerbang Salam yang dideklarasikan pada 4 November 2002 tersebut. Deklarasi itu disusul Surat Edaran Bupati No. 450/2002 ke berbagai instansi pemerintah dan lembaga pendidikan berisi antara lain: 1) himbauan agar para pegawai muslim dan muslimah mengenakan baju koko, kopiah dan jilbab setiap hari Jumat; 2) menghentikan kegiatan ketika adzan berkumandang; 3) memberi jeda shalat berjamaah di kantor; 4) mengadakan pengajian rutin sebulan sekali; 5) memberi tambahan waktu pelajaran agama di lembaga pendidikan, mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Surat edaran ini diterbitkan ulang ketika Moh. Syafi’ie menjabat sebagai bupati menggantikan Dwiatmo Hadianto. Saat ini muncul wacana perda pemberlakuan jam malam bagi kalangan perempuan. Untuk kesekian kalinya, Gerbang Salam kembali menjadi alasan di balik ide tersebut. Mulai digulirkannya Gerbang Salam hingga berbagai upaya legislasi saat ini, tetap saja melibatkan aktor dan institusi yang sama. Sekalipun beberapa orang baru telah masuk dalam upaya penerapan syariat Islam, tetapi aktor-aktor lama tetap terlibat. Hal ini bisa dimaklumi karena penerapan syariat Islam tidak semata-mata isu agama yang netral kepentingan, tetapi juga modal politik strategis yang tetap menjadi rebutan bagi aktor-aktor politik lokal.
IV. Menguatnya Konservatisme Tanggal 11 Desember 2009 adalah hari yang banyak dinantikan warga Pamekasan karena Ridho Rhoma, penyanyi dangdut muda yang sedang naik daun, hendak mengadakan konser di lapangan Soenarto Hadiwidjojo, Pamekasan. Ia adalah putra Rhoma Irama, penyanyi dangdut yang menjadi pujaan mayoritas orang Madura, yang dianggap sebagai ikon seniman yang menggunakan kesenian sebagai media dakwah. Akan tetapi, mimpi menyaksikan pertunjukan Ridho Rhoma
171
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
berubah menjadi kekecewaan masal karena pemerintah tidak memberi izin pertunjukan setelah mendapat masukan dari MUI setempat. Pihak pemerintah melarang karena event organizer acara mengingkari janji. Semula pihak organizer menjanjikan misi dakwah atau kegiatan sosial berupa sunatan masal dan ceramah agama. Akan tetapi, alasan pembatalan itu karena pemerintah Pamekasan mendapat masukan dari MUI Pamekasan. Ketua MUI Pamekasan, KH. Khalilurrahman mengatakan, la rangan MUI dikeluarkan setelah mempertimbangkan masukan dari masyarakat yang sadar moral dan resahnya ulama pesan tren Pamekasan. Keresahan ulama lantaran dalam konser itu para penonton lelaki dan perempuan yang bukan muhrim akan berjejalan dan berbaur jadi satu sehingga sangat mungkin mengundang kemaksiatan. Kebijakan Pemkab ini jelas menuai protes warga Pame kasan. Ribuan warga melakukan protes. Salah seorang karyawan radio lokal menyatakan, sedikitnya ada 1.000 pesan singkat yang berisi protes terhadap kebijakan pelarangan konser tersebut. Mayoritas mempertanyakan alasan kemaksiatan yang diajukan MUI, karena selama ini di Pamekasan banyak pementasan dang dut yang artis-artisnya berpenampilan lebih seronok namun tidak pernah dipersoalkan. Bahkan, dalam pementasan tersebut, sejumlah pria bergiliran nyawer dan berjoget bersama penyanyi, sambil tangannya memeluk tubuh penyanyi dan sang penyanyi juga ”melayaninya”. Selain itu, banyak VCD dangdut yang di jual bebas yang memperlihatkan pentas dangdut di mana pe nya nyinya berpakaian dan bergaya sangat seronok. Mereka mempertanyakan alasan kemaksiatan karena antara Rhoma Irama dan Ridho Rhoma sama-sama menampilkan dangdut untuk berdakwah. Perlawanan ini juga merambah di dunia maya. Ada gerakan facebooker melawan kriminalisasi tour Ridho Rhoma di Pamekasan.13 Kontroversi konser dangdut Ridho Rhoma di atas adalah gambaran sempurna dari menguatnya konservatisme Islam di 13 http://www.republika.co.id/, 12 Desember 2009; http://www.surya.co.id/, 16 Desember 2009; www.kapanlagi.com, 11 Desember 2009; http://www.mediaindonesia.com/, 12 desember 2009; http://www.suaramerdekacybernews.com, 12 Desember 2009; http://www.antarajatimnews.com, 11 Desember 2009, diakses pada 24 Juli 2010.
172
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
Pamekasan. Seperti siklus ayam dan telur, di mana ayam menge luarkan telur dan telur mengeluarkan ayam. Dari sisi doktrinal, penerapan syariat Islam di Pamekasan lahir dari semangat konservatisme agama (Islam). Begitu juga, penerapan syariat Islam tersebut menciptakan dan menguatkan konservatisme Islam di lapangan. Seakan sudah menjadi fenomena lumrah bahwa menguat nya konservatisme Islam selalu berhadapan dengan isu-isu Hak Asasi Manusia, misalnya, kebebasan berekspresi, penghormatan atas otonomi tubuh perempuan,14 dan kebebasan berkeyakinan. Bagi para pendukung pemberlakuan syariat Islam di Pamekasan, konser Ridho Rhoma adalah sebentuk kebebasan berekspresi berkesenian yang dekat dengan perilaku kemaksiatan. Begitu berbicara tentang kemaksiatan, pembicaraan segera berganti ke perempuan. Selanjutnya bisa diduga dengan sangat mudah, kriminalisasi tubuh perempuan.15 Pada Maret 2009, Satpol PP Pamekasan menggerebek hotel yang ada di Pamekasan dan mendapati beberapa pasangan yang bukan suami istri. Bupati Pamekasan kemudian mengeluarkan ancaman untuk menutup setiap hotel yang dianggap menfasilitasi perbuatan mesum. Alasan yang dikemukakan bupati adalah bentuk pelanggaran terhadap program Gerbang Salam (Gerakan Pengembangan Syariat Islam).16 Usulan bupati yang perlu dicatat adalah membuat perda ketertiban daerah anti seks bebas. Perda ini diharapkan dapat menekan perilaku penyimpangan seks bebas dan perzinaan. Perda ini dilatarbelakangi keprihatinan terhadap maraknya tindakan remaja pria dan wanita yang pacaran di tempat umum dengan berpelukan dan berciuman. Perda ini juga akan Hubungan antara konservatisme Islam dengan pandangan rendah terhadap perempuan, silahkan baca Gocken Art, “Women and Sexuality in the Fatwas of the Sheikhul Islam in Seventeenth Century Ottoman Empire,” dalam Pinar Ilkkaracan (ed.), Women and Sexuality in Muslim Societies (Istanbul: WWHR-New Ways, 2000). 15 Tulisan yang baik tentang masalah ini adalah Norani Othman (ed.), Muslim Women and the Challenge of Islamic Extrimism (Petaling Jaya, Selangor, Malaysia: Sister in Islam, 2005); Evelyne Accad, “Sexuality and Sexual Politics: Conflict and Contradictions for Contemporary Women in the Middle East,” dalam Pinar Ilkkaracan (ed.), Women and Sexuality in Muslim Societies (Istanbul: WWHR-New Ways, 2000). 16 Lihat di http://www.berita8.com, 17 Maret 2009, diakses pada 24 Juli 2010. 14
173
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
memberlakukan aturan berpakaian sopan dan jam malam bagi kaum perempuan. Di atas pukul 22.00 WIB, remaja putri tidak diperbolehkan keluyuran di jalan umum. Ide perda yang didorong ikon Pamekasan sebagai Kabupaten Gerbang Salam ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena ide tersebut juga disetujui Ketua Komisi A DPRD Pamekasan, Suli Faris. Untuk mewujudkan rencana perda ini, pemerintah mengadakan pertemuan antara ulama dan pemerintah.17 Jika argumen di balik ini semua adalah kehormatan perempuan, pertanyaan yang perlu disampaikan di sini adalah: siapakah yang paling berhak mendefinisikan kehormatan pe rem puan? Komnas Perempuan melihat perda seperti ini ber sifat diskriminatif.18 Kaum agamawan yang tergabung dalam Indonesian Religion on Religion and Peace (ICRP) juga meng anggap perda yang melarang perempuan keluar malam adalah diskriminatif. Perda seperti ini, sejak awal berangkat dari per puan spektif kriminalisasi tubuh perempuan.19 Tubuh perem akan selalu menjadi entitas yang dipersalahkan dan dikambing hitamkan untuk menyembunyikan semua kegagalan pemimpin dalam menyejahterakan rakyat. Sekali lagi, perempuan menjadi pihak yang dikorbankan. Di sini, suara perempuan tidak penting untuk didengar karena yang akan mendefinisikan kebaikan perempuan adalah laki-laki. Ketika laki-laki telah menguasai lembaga politik-keagamaan, suara agama dan kebijakan pemerintah akan merepresentsikan kepentingan laki-laki, bahkan ketika menyangkut persoalan perempuan. Menguatnya konservatisme keagamaan juga muncul dalam bentuk kekerasan berbasis agama. Jika selama ini sangat jarang mendapatkan catatan kekerasan berbasis agama di Madura, fakta menguatnya konservatisme Islam yang terkesan disponsori negara mulai menjalar ke masyarakat. Misalnya, pada Oktober 2009, ratusan warga Dusun Sumber Wangi, Desa Bandaran, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, membongkar paksa panggung Lihat di http://www.tribunnews.com, 4 Juli 2010, diakses pada 24 Juli 2010. Lihat di http://www.tempointeraktif.com, diakses pada 24 Juli 2010. 19 Lihat di http://www.detiknews.com, 9 Februari 2010, diakses pada 24 Juli 2010. 17
18
174
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
yang akan digunakan untuk pengajian kelompok (jamiyyah) Shalawat Wahidiah dengan tuduhan sebagai aliran sesat.20 Membaca fenomena legislasi syariat Islam di Pamekasan sebagai tanda menguatnya konservatisme bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Mewakili pandangan ini adalah pernyataan Hasyim Muzadi bahwa perda syariat Islam di beberapa wilayah adalah cerminan dari menguatnya semangat simbolisme Islam yang berlebihan sehingga kehilangan aspek substansinya.21 Syafi’i Ma’arif juga berpandangan senada. Menurutnya, gagasan pemberlakuan syariat Islam sesungguhnya adalah kelahiran kembali semangat lama untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, atau setidaknya menjadikan Islam sebagai agama negara di mana umat Islam adalah warga negara kelas satu. Dalam semangat inilah, beberapa organisasi keislaman kon servatif mendesak untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1.22
V. Ancaman Terhadap Pluralisme Kongres Badan Ekskutif Mahasiswa (BEM) se-Madura yang digelar di Kampus STAIN Pamekasan pada 21 Mei 2009 menghasilkan beberapa poin rekomendasi. Rekomendasi terse but antara lain: 1) penolakan pemberlakuan perda syariat Islam di empat kabupaten Madura; 2) perbaikan di bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya; 3) rekomendasi khusus pengurus BEM se-Madura tentang strategi dan taktik perjuangan maha siswa dalam mengusung ide pembangunan di Madura, setelah beroperasinya jembatan Suramadu. Kongres yang dihadiri 470 mahasiswa perwakilan pengurus BEM se-Madura tersebut bersepakat menyerahkan rekomendasi tersebut ke pihak legis latif. Mereka diterima Wakil Ketua DPRD Pamekasan, Fariduddin Tamim. Sebelum menyampaikan rekomendasi, para peserta kongres terlebih dahulu berorasi di sekitar Monumen Arek Lancor untuk membacakan 3 poin rekomendasi tersebut.23 Lihat di http://www.syahadah.com, CMARs Surabaya, Oktober 2009. Lihat di http://www.nuonline.com, 16 Juni 2006, diakses pada 24 Juli 2010. 22 Lihat di http://www.mazhida.wordpress.com/, diakses pada 24 Juli 2010. 23 Lihat di http://www.acehlongnews.com, 22 Mei 2009, diakses pada 24 Juli 2010. 20 21
175
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Penolakan para mahasiswa tersebut hanyalah sedikit kisah penentangan masyarakat sipil terhadap pemberlakuan syariat Islam di Pamekasan. Sekalipun hingga saat ini tetap berjalan, namun ide pelaksanaan syariat Islam di Pamekasan tetap menuai tantangan. Pro kontra yang menyeruak adalah dua arus logika tentang bagaimana seharusnya Pamekasan ditata ke depan. Para pemrakarsa Gerbang Salam berpendapat, syariat Islam adalah jawaban bagi problem pembangunan di Pamekasan. Sementara itu, organisasi sipil kritis seperti mahasiswa secara tegas menolak dengan alasan bahwa bagaimanapun juga, penerapan syariat Islam akan berdampak pada diskriminasi keagamaan terhadap warga non-muslim. Perseteruan ini terlihat pada sikap MUI Pamekasan, salah satu elemen pendukung pelaksanaan syariat Islam di Pamekasan. MUI Pamekasan mengecam sikap politik yang diambil BEM se-Madura yang menolak pemberlakuan syariat Islam di semua kabupaten di Madura. Kedua kubu ini pernah bertemu untuk mendialogkan sikap masing-masing.24 Di satu sisi, MUI menuduh mahasiswa tidak memahami syariat Islam, di sisi lain, mahasiswa memandang pelaksanaan syariat Islam bertentangan dengan Pancasila, berpotensi melakukan diskriminasi terhadap warga negara non-muslim serta bisa menciptakan perpecahan dan disintegrasi bangsa.25 Pandangan mahasiswa ini segaris dengan pendapat Ali Maschan Moesa. Saat masih menjabat sebagai Ketua PWNU Jawa Timur, ia menanggapi pemberlakuan syariat Islam di Pamekasan sebagai sesuatu yang kontradiktif dengan realitas bangsa Indonesia yang plural. Ia menyatakan, penerapan syariat Islam tidak bisa karena bangsa Indonesia sangat beragam.26 Kekhawatiran para mahasiswa tersebut bukan isapan jempol belaka. Sekalipun saat ini tidak ada gejolak dan penentangan dari kalangan non-muslim, namun hal itu sama sekali bukan jaminan tidak adanya keberatan. Seringkali keberatan kelompok minoritas hanya tercekat di tenggorokan.27 24 25
Lihat di http://www.beritakota.net, 27 Mei 2009, diakses pada 24 Juli 2010. Lihat di http://www.acehlongnews.com, 22 Mei 2009, diakses pada 24 Juli
2010. 26 27
Suara Merdeka, 6 November 2009. Wawancara dengan beberapa tokoh agama Kristen, Katolik dan Buddha, Mei
176
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
Beberapa pemuka agama non-Islam yang diwawancarai memang tidak mempermasalahkan penerapan syariat Islam, sepanjang mereka dapat melaksanakan ajaran keagamaannya pula. Di balik jawaban yang terkesan hati-hati ini, yang selalu kontan menjadi harapan mereka adalah sebuah kehidupan bersama yang menjamin adanya kebebasan beragama, di mana pemerintah diharapkan bisa memberi jaminan itu. Inilah yang tidak tersirat dalam penjelasan salah se orang tokoh Buddha di salah satu klenteng Talangsiring. Ia memperlihatkan foto sebuah kegiatan yang menunjukkan ke harmonisan kehidupan antar agama di klenteng Tuban, Jawa Timur. Ia juga menjelaskan adanya hubungan yang harmonis antara pemeluk Buddha dengan Muslim. Ia menjelaskan bahwa sumur yang digunakan warga Muslim sekitar kelenteng rasanya asin karena jarak pantai dengan daerah perkampungan hanya sekitar 50 meter. Satu-satunya sumur yang tawar adalah sumur di klenteng. Karena itu, umat Islam memanfaatkan sumur yang ada di klenteng.28 Di balik jawaban ini, tersirat kekhawatiran terhadap kemungkinan perilaku diskriminatif yang akan menimpa mereka sebagai pemeluk agama non-Islam. kekhawatiran ini bisa di benarkan karena bagaimanapun juga, regulasi berbasis syariah, secara langsung maupun tidak, berpotensi mendiskriminasi kelompok non-muslim atau minoritas karena Islam atau umat Muslim menjadi pertimbangan utama dalam upaya legislasi tersebut. Dalam beberapa kasus, kekhawatiran mereka terbukti di lapangan. Misalnya, ada beberapa orang karyawati beragama Kristen yang memakai jilbab karena adanya Surat Edaran Bupati Nomor 450 Tahun 2002 tentang penggunaan jilbab bagi karyawati di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pamekasan.29 2010. Wawancara dengan seorang petani di dekat Klenteng Buddha Talangsiring, Mei 2010. 29 Peneliti tidak berhasil mendapatkan data tentang motif di balik seruan pemakaian jilbab bagi para karyawati Kristen tersebut. Namun, peristiwa yang sama terjadi di Kabupaten Gresik. Pada 10-13 Maret 2008, seluruh pegawai negeri sipil dan honorer di lingkungan Pemkab Gresik diharuskan mengenakan seragam kerja berupa busana Muslim. Bagi kaum perempuan diharuskan memakai busana Muslimah khas Gresik dengan kudung sarung atau biasa disebut Kurosi. Sementara 28
177
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
VI. Teologisasi Kepentingan Politik Banyak perspektif untuk melihat kecenderungan pember lakuan syariat Islam di beberapa daerah yang justru disponsori negara ini. Teologi tidak mungkin untuk ditinggal sebagai salah satu faktor pendorong. Namun, sekuat apapun sebuah ajaran agama, ia tetap membutuhkan sebuah lingkungan yang kondusif untuk tumbuh. Situasi sosial-politik tertentu tetap dibutuhkan agar sebuah ajaran teologis tertentu mewujud dalam sebuah tindakan politik. Jika selama ini Madura dikenal sebagai salah satu kekuatan penting NU dengan ciri keislaman moderat, ironisnya moderasi keagamaan ini hanya berada dalam sikap dan tindakan. Sementara dalam ranah teologis, mereka tetap berpegangan pada rumusan-rumusan keislaman yang kurang lebih sama dengan yang dipegang kelompok Islamis. Ketika membicarakan persinggungan antara Islam tradi sional dengan kalangan Islamis, aspek penting yang perlu kita kemukakan adalah potensi konservatisme yang termuat dalam kelompok tradisional itu sendiri. Qasim Zaman menekankan, ajaran Islam yang selama ini dikaji para ulama tradisionalis adalah rumusan-rumusan keislaman klasik yang dari perspektif etika modern terhitung konservatif. Konservatisme tersebut bisa dilihat pada makna jihad, di mana dalam kitab-kitab kla sik dimaknai sebagai agresi terhadap negara non-muslim, di samping makna-makna lain yang lebih moderat. 30 Sekilas, ini tampak seperti interpretasi yang dianut kelompok Islam fundamentalis, padahal sesungguhnya ia jauh itu, pegawai laki-laki diharuskan menggunakan baju koko putih dengan celana panjang warna putih atau hitam. Pewajiban ini terkait dengan peringatan Hari Jadi Kota Gresik ke-521 yang jatuh pada 9 Maret 2008 serta HUT Pemkab Gresik ke-34 yang jatuh pada 27 Februari 2008. Pewajiban ini karena Gresik mendaku dirinya sebagai kota santri yang tentu saja berkonotasi Islam. Kelompok Islam dan pemerintah cenderung mengatakan, semua baik-baik saja karena tidak ada pemaksaan terhadap non-muslim. Akan tetapi, investigasi peneliti ke lapangan menunjukkan ada keresahan yang melanda sebagian besar karyawati non-muslim. Sekalipun tidak ada pewajiban, namun lingkungan kerja menekannya untuk memakai jilbab. Lihat Monthly Report on Religious Issues, The Wahid Institute, Maret 2008. 30 Muhammad Qasim Zaman, “Pluralism, Democracy, and The Ulama,” dalam Robert W. hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005), h. 69.
178
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
dari kategori tersebut. Masalah utama di sini adalah bahwa ia ingin mempertahankan makna jihad dalam pengertian agresi atau perang dengan kalangan non-muslim, karena makna tersebut tertera dalam fiqih Islam dan menjadi bagian dari tradisi kesejarahan Islam. Qasim Zaman menyebut posisi ulama ini dengan istilah ”theological defense”.31 Hal yang membedakan antara Muslim-tradisionalis dengan Muslimfundamentalis adalah jika kalangan fundamentalis cenderung menjadi aktivis yang berupaya mengimplementasikan doktrindoktrin Islam klasik, sedangkan Muslim-tradisionalis hanya memperlakukannya sebagai warisan pengetahuan Islam klasik yang bernilai berguna dan harus dijaga.32 Konservatisme ulama inilah yang membuatnya sulit untuk menerima gagasan-gagasan Muslim progresif yang menurutnya terlalu leluasa memberi ruang terhadap akal, sehingga mereduksi fungsi wahyu. Konservatisme ini juga yang membuat ulama, dalam momen-momen tertentu, menjalin kerja sama dengan kalangan fundamentalis. Studi Qasim Zaman menunjukkan, sikap konservatisme ulama tradisional berpotensi memiliki titik singgung dengan sikap kaum fundamentalis. Kolaborasi ini akan terjadi ketika menghadapi ”ancaman” yang ditebarkan kalangan Muslim progresif. Dengan kata lain, ulama dan Islamis meletakkan pe mikiran Islam progresif sebagai musuh bersama. Mereka melakukan perlawanan bersama terhadap Islam progresif yang dianggap terlalu memberi kesempatan yang luas terhadap rasio, sehingga melanggar rambu-rambu wahyu Tuhan yang sudah jelas dan tegas.33 Di samping itu, lemahnya legitimasi dan kontrol negara akan mendorong ulama untuk menjadi aktivis, yang ini berarti akan mendekatkannya kepada kalangan fundamentalis. Studi 31 Muhammad Qasim Zaman, “Pluralism, Democracy, and The Ulama,” dalam Robert W. hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005), h. 69. 32 Bandingkan dengan Alexander Bligh, “The Saudi Religious Elite (Ulama) as Participant in the Political System of the Kingdom,” dalam Syafiq Mughni (ed.), An Antology of Contemporary Middle Eastern History (Montreal, Quebec, Canada: Indonesia-Canada Islamis Higher Education Project, t.th). 33 Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2002), h. 172.
179
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Green tentang sikap dan perilaku ulama di Tunisia menyimpulkan, jika pemerintah memiliki kontrol yang efektif dan kuat terhadap rakyat, ulama akan cenderung diam. Sebaliknya, jika pemerintah tidak memiliki kontrol, kepemimpinan terhadap rakyat akan diambil alih para ulama.34 Jadi, keterlibatan ulama dalam politik praktis tergantung pada kuat atau lemahnya kontrol dan legitimasi pemerintah. Kerja sama antara ulama tradisional dengan kalangan Islamis di Indonesia paska-reformasi menunjukkan hal tersebut.35 Lemahnya legitimasi dan kontrol pemerintah terhadap rakyat paska-reformasi telah mendorong ulama untuk mulai terlibat ke dalam politik praktis. Ketika para ulama melangkah ke wilayah ini, mereka akan menemukan kelompok dengan isu yang sama, yaitu kalangan fundamentalis. Usaha untuk menjadikan Indonesia semakin dekat ke Islam adalah isu yang dihembuskan baik oleh ulama tradisional maupun fundamentalis. Inilah yang kita lihat dalam kasus Gerbang Salam di Pamekasan. Kalangan Muslim tradisional dan fundamentalis menyatu ke dalam front politik bersama untuk mewujudkan ide penerapan syariat Islam. Sekalipun demikian, kita tidak boleh mengabaikan dinamika politik lokal. Dinamika politik lokal seringkali menjadi penyebab langsung bagi lahirnya perda syariat Islam. Bahkan, kalkulasi politik atas dasar kekuasaan seringkali menjadi faktor yang dominan. Perebutan kekuasaan politik lokal sebagai akibat politik desentralisasi bisa menjadi pintu bagi tawar-menawar perda syariat Islam. Hal ini karena dengan desentralisasi memungkinkan daerah untuk membuat perda sendiri.36 Kasus Pamekasan setidaknya menunjukkan sangat jelas hal itu. Ketika pilihan politik rakyat masih sangat tergantung kepada kiai (ulama tradisional), sementara teologi politik kiai mengidealkan syariat Islam sebagai instrumen politik, berarti 34 Arnold H. Green, “Political Attitudes and Activities .of the Ulama in the Liberal Age: Tunisia as an Exceptional Case,” dalam Abubaker A. Bagader (ed.), The Ulama in the Modern Muslim Nation-State (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1983), h. 172. 35 Sebagai perbandingan, situasi yang sama juga bisa kita lihat di Pakistan pasca-kemerdekaan. Baca Ahmad Aziz, Islamic Modernism in India and Pakistan 1857-1964 (London, Bombay, Karachi: Oxford University Press, 1967), h. 238-241. 36 Mark Turner, dkk., Decentralisation in Indonesia: Redesigning the State (Canberra ACT: Asia Pacific Press, The Australian National University, 2003).
180
Syariat Islam dan Pragmatisme Politik
ide pemberlakuan syariat Islam bisa menjadi pilihan politik yang paling logis untuk mendapatkan jabatan. Ide penerapan syariat Islam berarti mendapatkan dukungan politik dari kiai, karenanya juga dari masyarakat. Pemberlakuan syariat Islam dengan sendirinya juga bisa diklaim sebagai upaya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Bahkan, syariat Islam juga bisa menjadi instrumen ampuh untuk mempertahankan kekuasaan politik. Jika semasa orde baru, Pancasila menjadi jimat sakti untuk menghancurkan setiap kekuatan kritis terhadap pemerintah, begitu juga, syariat Islam bisa menggantikan fungsi tersebut, bahkan lebih efektif. Bagaimanapun juga, sebagian kelompok masih melihat Pancasila dan tafsirannya sebagai produk sekular. Dalam hal ini, jika kekuasaan politik menjadikan agama sebagai dalih, setiap kekuatan oposisi akan bisa ditekuk atas nama agama. Tindakan penguasa ini tidak hanya mendapatkan legitimasi politis, tetapi juga teologis. Kekuatan oposisi tidak hanya dicap sebagai dosa politik, tetapi juga bisa dituduh murtad secara teologis. Bisa dibayangkan betapa efektifnya pertahanan politik melalui syariat Islam.
VII.
Kesimpulan
Apa yang bisa dibaca dari seluruh uraian di atas adalah bahwa kelemahan negara dan menguatnya Islamisme di Indonesia adalah latar sosial-politik bagi tumbuhnya ideide untuk menerapkan syariat Islam. Sejalan dengan teologi politik yang dipegang mayoritas umat Islam, situasi ini tinggal membutuhkan sejengkal langkah saja untuk menjadikan syariat Islam sebagai panacea yang ditawarkan untuk membenahi kondisi bangsa dan negara yang sedang guncang akibat reformasi politik 1998. Legislasi syariat Islam adalah solusi yang ditawarkan baik kelompok Muslim tradisional maupun Muslim fundamentalis yang pada dasarnya memiliki pandangan teologi politik mirip. Dalam banyak setting sosial politik, kedua kelompok tersebut bersatu karena situasi politik tertentu. Penerapan syariat Islam bisa dilatarbelakangi berbagai motif, tetapi konteks politik lokal tidak boleh diabaikan. Perebutan kekuasaan politik lokal seiring dengan pendistribusian
181
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
kekuasaan politik dari pusat ke daerah menjadi pintu bagi penerapan syariat Islam. Dalam konteks perebutan kekuasaan politik lokal inilah, pragmatisme politik menjadi faktor pendorong bagi munculnya ide-ide pemberlakuan syariat Islam. Syariat Islam di sini bisa berfungsi untuk merebut dukungan politik maupun mempertahankan kekuasaan politik. Apapun motif yang melatarbelakanginya, penerapan syariat Islam tetap memberi ancaman bagi bangunan pluralisme bangsa. Memang, sebuah regulasi pemerintah bisa datang dari mana saja, baik tradisi maupun kitab suci. Akan tetapi, ketika ia dibawa ke dalam ranah negara, regulasi tersebut harus bisa diperdebatkan dengan pertimbangan kebaikan bangsa secara keseluruhan, bukan berdasarkan asumsi-asumsi teologis yang hanya menguntungkan segelintir pihak yang meyakininya. Setiap regulasi yang sejak awal tertatanam semangat dis kri minatif dalam dirinya, secara otomatis, ia tertolak atas nama kebhinekaan bangsa.[]
182
Bagian III
Penerapan Syariat Islam dan Tantangan Demokrasi Di Indonesia1* Oleh: Ahmad Suaedy
D
alam konteks kekinian, aspirasi pemberlakuan syariat Islam dalam hukum sipil (mu’amalah) dan kriminal (jinayah) melalui negara (by law) menjadi fenomena umum di Indonesia, bahkan juga menjadi tren di beberapa belahan dunia Islam yang lain.2 Bahkan, aspirasi tersebut juga merambah ke negara Eropa, sebab banyak imigran Muslim Eropa berasal dari negara Asia dan Afrika, yang notabene berpenduduk Muslim.3 Dengan demikian, bukan sebuah fenomena istimewa, jika di Indonesia juga merebak undang-undang, rancangan undang-undang, peraturan daerah, surat keputusan bupati, walikota dan gubernur yang menjadi turunan dari hukum Islam atau syariat Islam.4 1∗
Paper ini merupakan pengembangan dari paper yang dipresentasikan pada The 9th Conference of The Asia Pacific Sociological Association, Improving the Quality of Social Life: A Challenge for Sociology, June 13 – 15, 2009, Kartika Plaza, Kuta, Bali, Indonesia. 2 Greg Fealy and Virginia Hooker, Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Source Book (Singapore: ISEAS, 2006), h. 1-10. 3 John L. Esposito and Fracois Burgot, Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in the Middle East and Europe New Jersey (Rutgers University Press: 2003). 4 Tampaknya, sebutan terminologis untuk “regulasi bernuansa agama” ini masih menjadi perdebatan. Beberapa sarjana dan peneliti silih berganti menggunakan
183
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Penerapan hukum keluarga (al-akhwal asy-shakhsiyyah) di Indonesia maupun di beberapa negara berpenduduk Muslim sudah berjalan sejak lama. Bahkan, hukum Islam juga telah diakomodir ke dalam sistem hukum nasional, baik dalam konteks Negara-Bangsa (nations state) maupun negara sekuler (secular state). Sejarah mencatat, selama masa kolonial Belanda, Muslim pribumi juga diakomodir melalui pembentukan lembaga formal bernama “Jawatan Agama Islam”. Lembaga ini bertugas melayani praktik-praktik keagamaan Muslim pribumi. Paska kemerdekaan hingga saat ini, tugas dan peran lembaga ini kemudian diambil alih Pengadilan Agama (PA) di bawah Koordinasi Kementerian Agama Indonesia.5 Akan tetapi, yang perlu dicatat, selama masa kolonialisasi, pemerintah Belanda melarang penerapan hukum Islam. Kebijakan seperti ini berjalan sampai kini. Bahkan, di masa orde baru, duplikasi kebijakan kolonial itu diberlakukan secara otoriter. Dalam hal ini, hanya hukum keluarga yang diakomodasi dan difasilitasi pemerintah Belanda, sebab ia dianggap telah menjadi adat-istiadat Muslim pribumi dan sama sekali tidak berpotensi mengganggu stabilitas politik kolonialisme saat itu. Tentu ini sangat berbeda dengan hukum muamalah dan hukum jinayah. Sebab, di samping dianggap berpotensi mengganggu kekuasaan politik kolonial, secara etis, kedua hukum ini juga bertentangan dengan dasar filosofi hukum sekuler Barat, seperti prinsip “kewargaan setara” (equal citizenship) dalam konteks nationsstate. Bahkan, selama masa kolonial, hukum muamalah dan jinayah nyaris dihapuskan sama sekali dari praktik kemasyarakatan dan kenegaraan dunia timur, dan hampir sepenuhnya digantikan denterminologi sebagai berikut: perda syariat Islam, perda bernuansa agama, perda bernuansa Islami, dan yang lain. Terlepas dari kontroversi tersebut, secara prinsipil, saya sendiri menilai perda semacam ini tentu sangat berpotensi menjadi penghalang bagi proses demokratisasi di Indonesia. Jadi, tidak hanya secara langsung berkorelasi dengan penerapan syariat Islam an sich. Robin L. Bush cenderung menggunakan istilah “Perda Syari’ah” (Shari’ah Regulation) dalam berbagai tulisannya. Secara kuantitatif, ia mencatat sekitar 78 perda syariah di Indonesia yang tersebar di 52 kabupaten dan kota, tidak termasuk SK bupati, walikota dan gubernur atau draf perda yang belum diputuskan DPRD. Robin L. Bush, 2007, “Regional ‘Shari’ah Regulation in Indonesia: Anomaly or Symptom?” Makalah dipresentasikan pada Forum Indonesian Update, September 2007 di ANU, Canberra (tidak diterbitkan). 5 Virginia Hooker, Indonesian Syariah: Defining National School of Islamic Law (Singapore: ISEAS, 2008), h. 9-18.
184
Penerapan Syariat Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia
gan hukum sekuler barat.6 Gejala tuntutan penerapan hukum muamalah dan kriminal Islam by law itu, tampaknya merupakan konsekuensi logis dari demokratisasi, dan bahkan globalisasi serta kecenderungan masyarakat paska kolonial yang bangkit hendak mensejajarkan diri dengan kelompok lain, khususnya Barat.7 Di Barat, tuntutan seperti itu menandai bangkitnya kesadaran hak akan ekspresi budaya yang dimiliki masyarakat tertentu, termasuk warga imigran.8 Kini, semakin disadari berbagai kalangan bahwa peminggiran hukum muamalah dan jinayah selama masa kolonialisme Belanda, justru berdampak pada hukum Islam itu sendiri yang semakin stagnan dengan karakter anti perubahan. Secara teoritis maupun praktis, hukum ini tidak lagi bersentuhan dengan perkembangan masyarakat, namun tetap hidup dan diyakini umat Islam sebagai pusaka yang tidak bisa dirubah. Dengan kata lain, selama ratusan tahun, hukum-hukum itu teraliensasi dari praktik hukum negara dan masyarakat.9 Namun, secara de facto, hukum-hukum itu tidak pernah mati, melainkan tetap hidup, diwariskan secara turun temurun, dan dirawat dengan baik melalui pengkajian pusat-pusat pengajaran agama Islam, baik di pesantren-pesantren Indonesia maupun di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Hukum itu terpelihara dalam kitab-kitab kuno atau kitab kuning maupun kitab baru, dipelajari dan diwariskan secara turun temurun, namun tidak dikembangkan dan tidak diusahakan untuk merespon perkembangan zaman serta berubah sesuai dengan tuntutan masyarakat, kalaupun merespon sangat terbatas.10 Hukum yang memfosil dan statis seperti inilah yang tiba-tiba menyeruak di banyak masyarakat Muslim sembari memanfaatkan kesempatan dan keterbukaan kini. 6 Rudolph Peters, Crime and Punishment in Islamic Law; Theory and Practice from the Sixteenth to the Twenty-first Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), h. 103-109. Lihat juga Virginia Hooker, Indonesian Syariah: Defining National School of Islamic Law (Singapore: ISEAS, 2008), h. 3-6. 7 Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), h. 15-40. 8 John L. Esposito & Fracois Burgot, Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in the Middle East. 9 Rudolph Peters, Crime and Punishment In Islamic Law: Theory and Practice from the Sixteenth to the Twenty-first Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), h. 9-102. 10 Virginia Hooker, Indonesian Syariah: Defining National School of Islamic Law (Singapore, ISEAS, 2008), h. 43-83.
185
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Dalam perspektif perubahan masyarakat paska-kolonial, di satu sisi, munculnya tuntutan pemberlakuan hukum syariat merupakan bagian dari hak atas budaya sendiri dalam kerangka dominasi budaya Barat modern. Ia merupakan kelanjutan historis dari tuntutan kemerdekaan, nasionalisme, dan pertarungan ideologi di masa lalu. Pertarungan itu kini tidak hanya dalam kerangka ideologi Islam atau Timur-Barat (baca: modernisasi), melainkan juga sistem yang terbangun di negara sendiri bentukan masa lalu, di mana Barat merupakan unsur dominan. Tak diragukan, marebaknya tuntutan formalisasi syariat juga tidak dapat dipisahkan dari peran tokoh-tokoh Islam yang sebelumnya teralienasi, agar dapat terjun dalam kancah politik akibat proses demokratisasi. Pengalaman keislaman mereka dalam kubangan hukum Islam yang statis berhadapan secara biner dengan perkemba ngan masyarakat yang begitu jauh jaraknya, baik dari segi zaman, sistem dan bahkan materi hukumnya. Peluang ini memungkinkan setiap tokoh dan aktor terjun dalam kancah politik, termasuk menjadi anggota parlemen daerah. Secara alamiah, tuntutan pemberla kukan Syariat itu pun lalu memunculkan wajah yang tidak seragam. Di sisi lain, pada saat yang sama, merebaknya tuntutan penerapan syariat sekaligus menandai kuatnya kontestasi hukum Islam yang termaktub dalam warisan hukum Islam (at-turats al-ahkam al-islami) dengan hukum adat lokal setempat,11 dalam hukum nasional yang mapan di mana Barat menjadi pewarna dominan. Dengan demikian, ada semacam dilema. Di satu sisi, demokrasi dan keterbukaan memberikan peluang kepada semua budaya dan kelompok masyarakat. Apapun warna aspirasi dan ekspresinya ha rus diakomodasi dalam sebuah sistem demokrasi. Akan tetapi, di sisi lain, budaya itu tidak selalu sejalan dengan prinsip demokrasi itu sendiri, seperti prinsip persamaan warga negara di depan hokum, prinsip citizenship, dan hak asasi manusia. Bagaimanakan hal ini ditangani? inilah tampaknya persoalan utama sekarang ini. Secara umum, ada dua perspektif untuk menjawab tantangan tersebut: pertama, satu pihak meniscayakan pengkajian secara komprehensif terhadap sistem ajaran Islam, dan mengubah paradigma Ratno Lukito, “Law and Politics in Post-Independence Indonesia: A Case Study of Religious and Adat Courts” dalam Arsekal Salim dan Azra, Shari’a and Politics in Modern Indonesia (ISEAS: Singapore, 2003), h. 17-32. 11
186
Penerapan Syariat Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia
hukum Islam sendiri sesuai dengan tuntutan paradigma modern. Secara historis, hukum Islam lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional yang bersifat paguyuban (gemainschaft); sistem masyarakat yang mendasarkan keanggotan komunitas berdasarkan etnis, agama atau identitas primordial lain.12 Dari sini, muncul sistem komunitas dar al-Islam (negara Islam), dar al-harb (negara perang) dan dar as-salam (negara damai). Ketiga konsep di atas merujuk pada konsep “kewargaan” yang mendasarkan keanggotaan komunitasnya berdasarkan pada homogenitas agama. Dalam struktur masyarakat semacam inilah, sesungguhnya awal mula hukum Islam terbentuk.13 Maka pilihan respon pertama ini, hendak mengubah keseluruhan paradigma hukum Islam tradisional tersebut seraya memasukkannya pada paradigma modern atau sistem patembayan (gesellschaft) dalam masyarakat di bawah sistem konstitusional nation-state dan tatanan hukum internasional modern.14 Model ini tidak menolak keseluruhan materi hukum Islam yang kini tersimpan dalam berbagai buku klasik maupun modern yang masih pedoman praktik kehidupan sehari-hari umat Islam. Akan tetapi, penerapannya dalam sistem hukum dan negara harus dimasukkan dalam paradigma tersebut. Dalam masyarakat negarabangsa, konsep kewargaan tidak lagi bisa didasarkan pada keanggotaan komunitas yang berbasis pada agama tertentu, melainkan pada kesamaan nasib yang bersifat nasional berdasarkan konstitusi.15 Mengikuti peradigma ini, bisa dan tidaknya pemberlakuan sebuah hukum (baca: hukum Islam), tidak hanya tergantung pada keyakinan atas wahyu ketuhanan dan klaim keagamaan suatu komunitas tertentu, melainkan harus berdasarkan pada kepentingan Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), h. 65-73. Lihat juga Abdullah Saeed and Hassan Saeed, Freedom of Religion: Apostasy and Islam (England: Ashgate Publishing, 2004), h. 37-40. 13 Arsekal Salim, Challenge the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, (Honolulu: University of Hawai’i Press, 2008), h. 33-41. 14 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam (Yogyakarta: LKIS, 1994). Lihat juga Abdullah Saeed, Freedom of Religion: Apostasy and Islam, (England: Ashgate Publishing, 2004), h. 36-37. 15 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Manila: the Philippines, Verso, 2002), h. 37-66. Lihat juga Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), h. 36-37. 12
187
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
bersama (common interest) dan nalar publik (public reason) yang rasional konstruktif dalam konteks nation-state tersebut.16 Dalam paradigma ini, penerapan atau akomodasi hukum Islam itu tidak saja harus didasarkan pada alasan dan proses demokrasi yang ada di dalam masyarakat, melainkan muatan atau content-nya tidak boleh bertentangan dengan prinsip dan realitas kebangsaan yang heterogen dan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal yang sama harus pula diberlakukan dalam konteks hukum internasional.17 De ngan demikian, dalam sistem hukum nasional, seluruh warisan hukum Islam adalah bahan baku, sejajar dengan hukum barat dan hukum adat setempat. Namun, penerapannya harus dalam koridor demokrasi berdasarkan kedaulatan publik, dan tidak hanya mendasarkan pada argumentasi agama atau kepemelukan agama.18 Perspektif kedua adalah dengan mempertahankan ideologi hukum Islam semula dan mendesakkannya ke dalam sistem hukum modern, baik secara ideologis maupun praksis. Ideologis dalam arti menggantikan sistem nation-state dengan prinsip heterogenisme menjadi sistem formalisme agama, yaitu Islam sebagai sistem negara secara formal. Abul A’la al-Maududi dan Sayyid Qutb adalah dua tokoh pemikirnya. Sedangkan dalam konteks negara, Iran, Pakistan dan Saudi Arabia adalah beberapa contoh yang menerapkan sistem ini. Pada model ini, semua produk pemikiran harus disesuaikan dengan ideologi dan doktrin Islam dan sepenuhnya merujuk pada 16 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), h.155-160. 17 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam (Yogyakarta: LKIS, 1994) 18 Lihat, Ahmad Suaedy, “Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariat”, Karya Abdulahi A. An-Na’im” dalam Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2009), h. 154-164. Peters misalnya berpendapat, hukum kriminal Islam memberikan sumbangan etik yang sangat tinggi terhadap hukum kriminal barat modern, tetapi sayangnya, ia tidak dikembangkan lebih lanjut, dan justru dihambat perkembangan dan digantikan secara total oleh hukum Barat di masa lalu. Peters tidak mengabaikan kemungkinan memunculkan lagi hukum kriminal Islam, melainkan dengan menyelaraskan dulu dengan prinsip-prinsip citizenship dan Hak Asasi Manusia (HAM). Rudolph Peters, Crime and Punishment In Islamic Law: Theory and Practice from the Sixteenth to the Twenty-first Century (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), h. 174-185.
188
Penerapan Syariat Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia
otoritas ulama fikih sembari mengabaikan nalar publik. Dengan demikian, ulama memiliki otoritas tertinggi dalam keseluruhan produk hukum dan juga kebijakan pemerintahan. Prosedur demokrasi bisa saja diberlakukan, tetapi kata akhirnya harus berada di tangan para ulama tersebut. Hukum Islam tidak bisa dipertanyakan dengan argumen publik reason, melainkan dengan doktrin normatif. Jika hukum asalnya haram atau halal, hukum dasar inilah yang dipakai. Sistem modern hanya bertugas menerapkan hukum yang sudah jadi tersebut. Tentu kedua pandangan di atas memiliki variannya sendirisendiri. Paradigma pertama berprinsip dan berdasar pada sistem negara konstitusional modern, sedangkan praktiknya bisa berbeda dari satu negara ke negara lain. Materi-materi hukum Islam bisa saja dimunculkan dalam sistem modern dengan sarat merujuk pada nalar publik dan tidak bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan Hak Asasi Manusia. Varian ini, dalam lingkup kajian keislaman, memungkinkan mempertanyakan latar belakang doktrin hukum Islam yang akan dimunculkan, tanpa mengabaikan tujuan asal dari penerapan hukum tersebut, atau biasa disebut maqashid asy-syari’ah (baca: tujuan hukum). Zakat, misalnya, yang dalam doktrin Islam diwajibkan bagi setiap Muslim dengan batas kepemilikan harta tertentu (nishab), harus mengeluarkan 2.5% dapat dipertanyakan jumlah prosentasenya, mengingat kesenjangan pendapatan di era modern sekarang ini dan kriteria pembayar zakat (muzakki)19 serta penerima zakat (mustahiq).20 Pertanyaan ini muncul ketika hukum zakat dan pengelolaannya hendak diakomodasi dan ditangani negara. Berbeda ketika zakat tetap ditangani masyarakat Islam secara sukarela, tentu hal itu sangat tergantung dari kesepakatan komunitas dan para pemimpin agama sendiri, baik dalam hal kriteria, distribusi maupun penggunaannya. Sedangkan inti dari paradigma kedua, penerapan hukum Islam Zakat profesi bagi para kaum professional, misalmya, masih menjadi perdebatan baik keharusan maupun jumlah prosentasenya. 20 Apakah zakat bisa didistribusikan kepada non-muslim dan bagaimana mendistribusikannya secara berkelanjutan juga masih mengundang perdebatan. Lihat, Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: P3M, 1993, cet. ke-3). 19
189
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
harus merujuk pada doktrin normatif. Dalam konteks ini, boleh saja muncul variasi menyangkut penerapannya, asalkan tidak menyimpang dari doktrin normatif. Dalam perbankan syariat, misalnya, tata kelolanya tidak dituntut selalu merujuk ideologi atau sistem Islami, melainkan harus mendasarkan pada doktrin keharaman riba bu nga bank. Karena itu, sistem perbankan syariat menerapkan model pembagian keuntungan (profit sharing). Dalam hal ini, hampir tidak ada peluang untuk mempertanyakan nalar publik, misalnya apakah sistem alternatif dengan pembagian keuntungan itu berimplikasi pada distribusi ekonomi secara lebih adil atau tidak, bahkan jika dibandingkan dengan sistem bunga? Penerapan doktrin anti-bu nga dan menggantinya dengan model profit sharing seperti model mudharabah, tidak dikaitkan dengan nalar publik berupa keharusan keadilan distribusi dalam suatu sistem ekonomi dalam Islam. Menurut Daniel E. Price, ada lima level kategori hukum Islam dalam penerapannya.21 Pertama, hukum privat (private law) mencakup: hukum nikah, cerai, wakaf, dan sadaqah. Kedua, hukum ekonomi seperti perbankan dan bisnis lainnya. Ketiga, praktik keagamaan dalam ruang publik seperti keharusan perempuan memakai jilbab, larangan minum alkohol, perjudian dan praktik kehidupan lain yang tidak sesuai dengan standar moral Islam. Keempat, hukum kriminal seperti hudud, jinayah atau qishash. Dan kelima, hukum siyasah sebagai dasar negara. Berbagai regulasi daerah yang muncul melalui peraturan daerah (perda) dan juga regulasi nasional yang masih dalam antrian pembahasan, masuk dalam salah satu dari lima kategori ini. Masing-masing dari kelima level tersebut bisa diuji dengan prinsip-prinsip nation-state dan HAM, sekaligus juga bisa diuji de ngan paradigma doktrin Islam. Meskipun hukum privat Islam sudah diterapkan ratusan tahun, namun tetap saja, dalam lingkup nationstate masih saja menimbulkan kontroversi. Misalnya, tentang boleh dan tidaknya pernikahan antar agama (interfaith marriage) dalam lingkup UU No. 1 tahun 1974. Penerapan syariat Islam di Indonesia yang marak melalui perda atau regulasi memiliki aspek positif, misalnya makin berkurangnya minuman keras yang diperdagangkan secara bebas. Dan ia juga menimbulkan aspek negatif, karena Arsekal Salim dan Azyumardi Azra (ed.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003), h. 11. 21
190
Penerapan Syariat Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia
berdampak pada makin menciutnya kebebasan berekspresi dan berpendapat, pemaksaan terhadap warga negara dalam domain privat seperti masalah pakaian, pembatasan peran perempuan, dan juga berdampak diskriminatif terhadap perempuan dan warga negara non-muslim.22 Beberapa temuan dalam penelitian the Wahid Institute23 menunjukkan, lahirnya berbagai perda bernuasa agama di satu pihak menunjukkan bagian dari dinamika politik yang tidak lepas dari pengaruh politik lokal, misalnya upaya kelompok atau partai atau politisi atau penguasa tertentu untuk mendapatkan simpati politik dari para pemilih atau rakyat demi mengamankan posisi politik tertentu. Di sisi lain, ia juga menunjukkan lemahnya para politisi dan penguasa tersebut serta civil society sendiri dalam merumuskan masalah-masalah dan tantangan penting lokal dan kebutuhan masyarakat yang mendesak untuk segera ditangani. Jilbab, misalnya, bagi sebagian politisi dan bahkan tokoh civil society, dianggap sangat mendesak karena ancaman moralitas bangsa ketimbang kemiskinan dan pendidikan. Akhirnya, dapat ditarik kesimpulan, secara ideal maraknya regulasi tersebut bukan merupakan akumulasi dari kekuatan politik yang membahayakan sendi-sendi bangsa seperti dasar Negara Pancasila dan UUD 1945. Namun, secara material UU tersebut cenderung akan menganggu dan beberapa diantaranya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti ancaman terhadap ke be basan berpendapat dan kebebasan beragama, berdampak dis kri minatif terhadap perempuan dan non-muslim. Memang, jika prinsip-prinsip tersebut terakomodasi ke dalam hukum positif, sangat sulit untuk mengembalikannya, apalagi jika berkelindan dengan kekuasaan otoritarian. Syukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syari’ah Islam dan HAM, Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-muslim (Jakarta: CSRC-KAS, 2007), h. 145-214. 23 Pada 2008, the Wahid Institute melakukan riset perda bernuansa agama di beberapa kota, termasuk Perda Ramadhan di Pasuruan, Perda Anti Pelacuran di Jombang, Raperda Jilbab di Yogyakarta, Perda Pekat di Surakarta, Gerbang Marhamah di Cianjur Jawa Barat, serta perda agama di Tasikmalaya dan Banjar yang sampai hari ini masih menjadi perdebatan masyarakat maupun parlemen daerah. Lihat Ahmad Suaedy dkk, “Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi Indonesia: Studi Kasus di Beberapa Kota di Pulau Jawa” (Jakarta: the Wahid Institute, 2008). 22
191
DEMOKRASI DAN EKSPANSI ISLAMISME
Dari sudut internal Islam sendiri juga menunjukkan masih kuatnya paradigma ideologis dalam memandang hukum Islam, khususnya dalam hal urusan muamalah atau jinayah, dan bukan ibadah (ritual) ketimbang menempatkannya sebagai pemecah masalah masyarakat kekinian. Dengan demikian, maraknya regulasi bernuansa agama tersebut, di satu pihak, tidak perlu ditempatkan sebagai suatu tantangan besar yang menyita seluruh perhatian dan tenaga para gerakan pro demokrasi. Akan tetapi, secara materi hukum (perda) harus menjadi perhatian serius dan ditangani secara kasuistik. Model-model respon terhadap fenomena demikian bisa menjadi pelajaran demokrasi yang berharga dan riil bagi masyarakat kita di Indonesia.[]
192
BAB II AGAM DAN KONFLIK SOSIAL
193
194
Bagian I
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta Oleh: Nur Khalik Ridwan dan Ahmad Shidqi
Pendahuluan Yogyakarta lebih dikenal dengan kredo city of tolerance, kota inspirasi penciptaan berbagai kreativitas budaya adiluhung. Namun, akhir Oktober 2008, warga Yogyakarta disentakkan dengan kasus pelarangan diskusi oleh Front Anti Komunis (FAKI) terhadap Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) serta kegiatan Sekolah-Bersama di Bantul, Yogyakarta. Tidak lama berselang, kasus kekerasan, pemukulan dan perusakan juga menimpa komunitas Kerohanian Sapta Darma yang berdomisili di Desa Parekambang Sleman oleh Front Pembela Islam (FPI). Peristiwa penyerangan ini menggemparkan masyarakat di Yogyakarta kala itu. Publik menganggap Front Pembela Islam (FPI) telah berbuat aniaya terhadap penghayat Sapta Darma. Padahal, eksistensi komunitas Sapta Darma di Yogyakarta sudah sejak lama diakui, hidup berdampingan dan tidak pernah meresahkan masyarakat. Tak pelak, simpati datang dari beberapa elemen masyarakat dan langsung menawarkan pendampingan terhadap komunitas tersebut. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang terlibat aktif mengawal kasus ini hingga ke tingkat Kapolda.
195
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Paska insiden kekerasan, beberapa spekulasi dan analisa bermunculan, antara lain: 1) konteks pencalonan Sultan Hamengkubuwono X sebagai calon presiden kala itu; 2) menguatnya ajaran wahabisme di lingkungan kelompok Islam tertentu sehingga mereka cenderung meniru modus gerakan wahabisme aktifitasnya; 3) kelemahan negara dalam menjamin dan melindungi hak-hak penghayat kepercayaan. Tulisan ini hendak mengkaji kasus penyerangan FPI ke Sapta Darma di atas berdasarkan beberapa rumusan berikut: a) kronologi peristiwa, proses dan vonis hukum; b) motif politik di balik insiden tersebut; c) kebijakan negara menyangkut status dan identitas kewargaan para penghayat; d) relasi insiden tersebut dengan tren wahabisme yang menggejala dalam gerakan Islam fundamentalis. Kami mengumpulkan data primer (primary source) menyangkut kronologi kejadian dengan mewawancarai beberapa korban penghayat Sapta Darma; merekam proses advokasi dan pendam pingan Aji Damai (Aliansi Yogyakarta untuk Indonesia Damai) di Yogyakarta; mewawancarai beberapa perwakilan Aji Damai yang bertanggung jawab mendampingi kasus; meminta respon beberapa lembaga dan organisasi massa terhadap kasus ini. Data sekunder (secondary source) dan data tambahan lain, kami kumpulkan dari berbagai kajian terkait meliputi buku, jurnal, media masa dan data internet yang mengulas insiden tersebut secara khusus dan sejarah Sapta Darma secara umum.
I. Sapta Darma, Ajaran dan Persada A. Ajaran Sapta Darma dan Sri Gutama Tentang asal mula ajaran Sapta Darma, peneliti men dasarkan pada kisah naratif yang disampaikan beberapa penganut Sapta Darma.1 Menurut kalangan Sapta Darma sendiri, kemunculan ajaran ini tidak lepas dari peran tokoh Peneliti mendasarkan sejarah ajaran Sapta Darma ini pada bahan-bahan sebagai berikut: Tuntunan Agung Kerokhanian Sapta Darma, Materi Press Release (Pers Conference) Sarasehan Agung Tuntunan Kerokhanian Sapta Darma di Yogyakarta, 2009, hlm. 3-4. Juga bisa dilihat dalam Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-Ilham oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya dalam www.sapta-darma.info 1
196
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
sentral Hardjosapoera yang kelak bergelar Sri Gutama (pelopor budi utama).2 Ajaran ini dicetuskan seorang bumi putra bernama Hardjosapoera kelahiran Pare, Kediri, Jawa Timur. Suatu hari, tepatnya 26 Desember 1952, ia seharian berada di da lam rumah. Ketika penat muncul, ia bergegas pergi ber kunjung ke rumah sahabat hingga larut malam. Setelah merasa cukup, ia pulang dan ketika hendak tidur, tepat pada jam 01.00 dini hari, mendadak sekujur tubuhnya bergerak sendiri secara otomatis seraya bersujud kepada Hyang Maha Kuasa sambil disertai bacaan-bacaan sujud seperti yang lazim dilakukan para penganut Sapta Darma saat ini. Gerak sujud ini berlangsung hingga jam 05.00 WIB. Karena itu, timbul rasa takut yang meliputi sebab selama hidup ia belum pernah mengalaminya. Hal ini memaksanya berkunjung ke sahabat karib bernama Djojojaimun, seorang tukang kulit. Pada pukul 07.00 WIB pagi, ia tiba di rumah karibnya seraya bercerita pengalaman mistis tersebut. Pada awalnya, Djojojaimun tidak percaya mendengar pengalaman mistis tersebut. Akan tetapi, mendadak seluruh badannya tergerak dengan sendirinya seperti yang dialami Hardjosapoera. Setelah Djojojaimun mengalami sujud di luar kesadaran, keduanya berniat mengunjungi sahabat lain bernama Kemi dengan harapan akan mendapatkan pen jelasan. Ia seorang sopir dan tinggal di kampung Gedang Sewu, Pare. Pada 28 Desember 1952 sekitar pukul 17.00 WIB mereka berdua tiba di rumah Kemi dan segera berceritalah keduanya tentang pengalaman mistik yang terjadi. Belum selesai bercerita, ketiga sahabat karib tersebut digerakkan kekuatan di luar dirinya. Hardjosapoera sendiri tiba-tiba mampu melihat bentuk-bentuk wadag tumbal yang tertanam di rumah Kemi. Setelah gerakan berhenti, Hardjosapoera lahir di desa Sanding Kawedanan, Pare, Kediri pada 1916. Ia pernah mengenyam bangku pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) selama lima tahun (1925); menjadi pandu dalam Kepanduan Sostrowidjajan (1937); dan pada masa revolusi pernah ikut menjadi anggota organisasi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) (Suwarno 2005: 231). Lihat dalam, Puji Lestari, Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005 (Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2007), h. 34. 2
197
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Hardjosapoera mengurai penglihatan mistik-nya tersebut. Setelah mengetahui bahwa seluruh penglihatan mistik ter sebut cocok, ketiga sahabat tersebut semakin yakin. Setelah bersepakat, mereka bertiga mengunjungi sahabat karib lain bernama Somogiman yang mengerti ilmu kebatinan, dengan harapan akan mendapatkan penjelasan lebih rinci darinya. Somogiman berprofesi sebagai penyedia jasa pengan gkutan di kampung Plongko, Pare, Kediri. Setiba di rumah Somogiman, Hardjosapoera menuturkan pengalaman gaib kepadanya. Sambutannya dingin dan kelihatan tidak percaya. Akan tetapi, mendadak Somogiman sendiri me ne rima gerakan otomatis di luar kemauan, seperti pengalaman ketiga sahabatnya. Sejak itu, kegaiban yang dialami Hardjosapoera dan kawan-kawannya tersebar luas dari mulut-ke-mulut ke seluruh penjuru kota Pare. Segera, kabar tersebut terdengar oleh Darmo (sopir angkutan) dan Reksokasirin (juragan batik). Anehnya, belum sempat mendengar langsung dari Hardjosapoera, kedua orang tersebut juga menerima gerakan otomatis yang sama. Pada kedua orang itu mengalami gerakan yang sama, semuanya juga bergerak seraya bersujud bersama-sama.3 Kini, jumlahnya genap menjadi enam orang. Tidak lama berselang, mereka semua kembali ke rumah masingmasing, kecuali Hardjosapoera. Ia memutuskan tidak mau kembali ke rumah karena takut mendapat gerakan-gerakan sendirian di rumahnya. Lebih dari 2 bulan lamanya, beliau tidak mengunjungi rumahnya sendiri dan hanya berpindahpindah dari rumah sahabat yang satu ke sahabat yang lain. Seolah-olah digerakkan kekuatan yang sama, keenam orang sahabat karib tersebut memutuskan untuk berkumpul setiap malam hingga dua bulan lamanya. Suatu malam, keenam sahabat karib tersebut menerima wangsit untuk kembali ke rumah Hardjosapoera untuk mene rima wejangan. Keesokan hari, pada 13 Februari 1953 tepat pada pukul 10.00 WIB pagi, mereka berkumpul di rumah Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-Ilham oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya, www.sapta-darma. info. 3
198
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
Hardjosapoera. Ketika sedang asyik berbincang mendadak Hardjosapoera menerima wangsit seraya berkata: ’’Kawankawan, lihatlah saya mau mati dan amat-amatilah saya”. Dengan berdebar, kawan-kawan mengamati Hardjosapoera yang berbaring membujur ke Timur sambil bersedekap. Mereka menyebut peristiwa ini sebagai racut (mati di dalam hidup). Dalam keadaan racut, sukma Hardjosapoera keluar dari wadag dan naik ke atas melampaui alam dunia, seraya memasuki ke dalam rumah besar, indah dan beliau sujud di dalamnya. Tidak lama, muncul perwujudan seorang makhluk dengan cahaya berbinar-binar, hingga badannya tak terlihat nyata karena sinar kilauan sinarnya.4 Setelah selesai sujud, perwujudan makhluk yang ber sinar tersebut memegang, menuntun dan mengayun tubuh Hardjosapoera menuju sebuah sumur. Merasa diperintah, ia membuka sumur dan mendapat petunjuk bahwa sumur itu adalah sumur Gumuling atau sumur Jalatunda. Setelah selesai, perwujudan makhluk yang bersinar memberi dua bilah keris Nagasasra dan Benda Sugada. Setelah itu, ia disuruh kembali pulang. Sepanjang perjalanan pulang, ia merasa diikuti sebuah bintang besar dibelakangnya. Tidak lama berselang, Hardjosapoera terbangun dari racut-nya. Lantas, ia menceritakan semua yang dialami ke pada kawan-kawannya. Setelah itu, ia menganjurkan kawankawan untuk menirukan ritual yang sama. Penerimaan ajaran Kerohanian Sapta Darma ini berlangsung setiap hari dan terus menerus selama 12 tahun hingga wafatnya sang Panuntun Agung Sri Gutama. Fenomena ini lambat laun menyebar dan banyak di dengar masyarakat tanah Jawa, bahkan banyak orang da tang ke Pare untuk menimba kaweruh kepadanya. Guna menyebarkan ajaran budi luhurnya itu, Sri Gutama mena warkan kepada para pengikutnya dan berkata: ”Siapa yang mau bertugas menyiarkan budi luhur dan menyampaikan kasih sayangnya kepada sekalian umat yang sedang men Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-Ilham oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya, www.sapta-darma. info. 4
199
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
derita kegelapan, terutama yang menderita sengsara sakit?” Tawaran itu diterima dengan senang hati oleh para warga dan berkunjung saat itu. Melihat ketulusan para pendatang, Sri Gutama menyeru: ’’Jika kalian semua mau dan sanggup menjalankan budi luhur, janganlah saudara mempunyai pamrih apa pun. Sebagai bekal, saya wariskan wejangan Sabda Waras untuk menyembuhkan orang yang lagi sakit, dan bahkan bisa juga untuk hewan sakit. Akan tetapi, jangan sekali-kali menerima upah atau memakai syarat apa pun. Apabila ada orang yang menginginkan sujud, ajarkanlah sujud ke hadapan Hyang Maha Kuasa/Tuhan Yang Maha Esa seperti yang saya ajarkan.”5 Setelah memberi wejangan, Sri Gutama dan para pe ngikutnya meninggalkan kota Pare untuk menyebarkan ajaran Sapta Darma ke penjuru Indonesia. Tak terhitung jumlah daerah yang telah dikunjungi rombongan ini dan di setiap wilayah mereka meninggalkan beberapa perwakilan Sapta Darma. Wilayah sebaran ajaran Sapta Darma meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Di antara pengikut rombongan tersebut banyak juga yang berasal dari keluarga ABRI. Sejak itulah, ajaran Kerohanian Sapta Darma mulai berkembang biak. Selama berkeliling, Hardjosapoera dan pengikutnya menyampaikan ajaran Sapta Darma kepada masyarakat luas dan melakukan peruwatan untuk membuang sengkala (halhal yang dianggap tidak baik). Peruwatan ini dilakukan di tempat-tempat keramat atau makam-makam tua di mana roh-roh sesat dan roh penasaran sering bersemayam untuk dimintakan ampun kepada Hyang Maha Kuasa atas dosadosa dan dimohonkan tempat yang semestinya.6 Pada tahun 1958, Hardjosapoera pernah menyinggahi kecamatan Juwana untuk menyebarkan ajaran Sapta Dar ma. Ia dan pengikutnya menginap di rumah Kepala Desa 5 Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-Ilham oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya, www.sapta-darma. info. 6 Puji Lestari, Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005 (Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2007), h. 67.
200
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
Mintomulyo bernama Sumo-Sumi. Untuk pertama kali, ajaran Sapta Darma disampaikan kepada Dargo (Kepala Desa Karang Anyar), Kunadi, Giri dan Trojowolo. Dari keempat orang inilah, ajaran Sapta Darma mulai menyebar di Juwana hingga Pati. Bahkan, sampai saat ini, pengikut Sapta Darma di daerah Pati masih cukup banyak.7 B. Beberapa Ajaran Kerohanian Sapta Darma Menurut versi Sapta Darma, Kerohanian Sapta Darma adalah ajaran yang diterima Hardjosapoera. Ajaran ini untuk mengembalikan moralitas manusia dan memberi pepadang kepada sekalian umat menuju amalan budi luhur. Sapta Darma bertujuan untuk memayu hayuning bahagianya buana, yaitu membimbing hidup manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan hidup jasmani dan rohani. Pada awalnya, ajaran Sapta Darma diterima dalam versi Jawa dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hingga kini, ajaran-ajaran Hardjosapoera yang dianut para pengikut Sapta Darma meliputi: a) inti dan pengertian ajaran Kerohanian Sapta Darma melalui sujud; sujud sebagai sarana untuk menghayati dan mendalami seluk-beluk kehidupan jagad pribadi (micro cosmos) dan alam semesta (macro cosmos); b) penguasaan dan pengertian getaran meliputi getaran kasar, getaran halus, getaran Hyang Maha Suci, getaran Hyang Maha Kuasa, getaran sapta rengga, baba han hawa sanga, pudak sinumpet, pernafasan tiga, racut, wejangan 12, wewarah 7, sesanti, dan simbol pribadi manusia.8 Kami akan mengulas 6 ajaran inti dalam Sapta darma, antara lain: pertama, “sujud” yang memuat tata cara menembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Caranya adalah duduk tegak menghadap ke Timur (Timur/Kawitan/ Asal), artinya di waktu sujud manusia harus menyadari/ 7 Puji Lestari, Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005 (Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2007), h. 68. 8 Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-Ilham oleh Bapak Pa nuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya, www.sapta-darma. info.
201
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
mengetahui asalnya. Tangan bersidakep, yang kanan di luar dan yang kiri di dalam. Bagi pria duduk bersila, kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi wanita duduk bertimpuh. Namun, diperkenankan mengambil sikap duduk sebisanya asal tidak meninggalkan kesusilaan dan tidak mengganggu jalannya getaran rasa. Setelah merasa tenang dan tenteram akan muncul getaran (hawa) yang merambat dari bawah ke atas. Selanjutnya, getaran rasa tersebut merambat ke atas sampai kepala, karenanya kedua mata akan terpejam dengan sendirinya. Setelah ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (Jawa: pating trecep), keluarlah air liur yang segera harus ditelan seraya mengucap dalam batin Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rakhim, Allah Hyang Maha Adil. Jika kepala terasa berat, tanda rasa telah terkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. Kemudian dimulai dengan merasakan aliran air suci (sari) yang ada di tulang ekor (Jawa: brutu atau silit kodok). Aliran air sari merambat halus sekali, naik seolah-olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. Membungkuknya badan harus diikuti terus sampai dahi menyentuh kain sanggar. Gerakan ini bukan karena kemauan sendiri tapi karena rasa yang menggerakkan. Setelah dahi menyentuh lantai, batin mengucap: kesalahan pada Hyang Maha Suci mohon ampun Hyang Maha Kuasa. Dengan perlahan, kepala tegak kembali dan melakukan hal yang sama sampai dahi menyentuh kain sanggar untuk yang ke-3 kalinya. Ritual ini diakhiri dengan duduk tegak, masih tetap dalam sikap tersebut hingga beberapa menit. Kedua, ajaran racut. Racut adalah tata cara rohani untuk mengetahui alam langgeng sekaligus melatih pisowanan ke Hyang Maha Kuasa. Hal ini dilakukan untuk memisahkan rasa hakiki dengan rasa emosi serta untuk melebur diri dalam roh suci. Racut dapat dijadikan medium untuk menghadapkan Hyang Maha Suci ke hadirat Hyang Maha Kuasa. Jadi, meski pun masih hidup di dunia, kita dapat menyaksikan tempat kem bali kelak baik ke alam langgeng atau surga. Sewaktu racut, kita dapat mengetahui roh kita sendiri naik menuju alam langgeng (surga) untuk
202
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
menghadap Hyang Maha Kuasa. Ritual racut dilakukan setelah melakukan sujud wajib (sujud dasar). Jadi, sujud dasar ditambah dengan satu bungkukan yang diakhiri dengan ucapan dalam batin: “Yang Maha Suci Menghadap Hyang Maha Kuasa”. Selanjutnya, sang pelaku diwajibkan berbaring dalam sikap “ulah rasa” sambil menyedekapkan kedua tangan, telapak tangan ka nan diletakkan di atas telapak tangan kiri menghadap ke bawah seolah meletakkannya di atas tali rasa “co” (tonjolan pertemuan dua tulang rusuk ke dua di dada tepat di bawah pertemuan kedua tulang selangkang). Dalam racut, aktifitas berfikir, imajinasi, angan-angan dan sebagainya harus dihentikan. Mengingat racut adalah ritual yang rumit, setiap pelaku memerlukan latihan penuh kesabaran, ketelitian, ke sungguhan dan ketekunan.9 Ketiga, ajaran olah-roso. Ritual ini adalah aktifitas penelitian tentang jalannya rasa dan getaran yang meliputi seluruh tubuh. Ritual ini bisa dilakukan sehabis melakukan sujud dasar, ditambah satu bungkukan lagi seraya meminta dalam batin akan geraknya rasa. Ibarat bertukar hawa, semua pakaian yang menekan dikendorkan. Setelah itu, pelaku diminta melakukan pemusatan untuk merasakan (meneliti) alur getaran dari tapak kaki merambat perlahan dan halus sekali meliputi seluruh tubuh. Meneliti alur halus rasa yang berjalan merambat perlahan melalui seluruh tubuh sampai pada bagian tubuh terdalam. Dalam keadaan ini, pelaku juga bisa merasakan aliran darah, denyut jantung, dan bahkan keluar masuknya udara, baik melalui hidung mau pun poripori. Jika setiap pelaku melatih ritual ini dengan penuh kesabaran dan ketelitian melalui inti ening, ia akan mampu merasakan jalannya detil sari getaran yang merata melalui tubuh dan bahkan sari denyut jantung.10 Ajaran keempat adalah simbol pribadi manusia. Ajaran ini menjelaskan asal usul, sifat, watak dasar, tabiat diri dan 9 Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-Ilham oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya, www.sapta-darma.info. 10 Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Ajaran dan Ilham-Ilham oleh Bapak Panuntun Agung Sri Gutama serta Perkembangan/Penyebarannya, www.sapta-darma.info.
203
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
bagaimana mengendalikan nafsu agar dapat mencapai keluhuran budi. Ajaran kelima adalah wewarah tujuh. Ajaran ini me ru pakan kewajiban, pandangan dan pedoman hidup manusia di dunia. Ajaran wewarah tujuh memuat: 1) setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Wasesa dan Maha Langgeng; 2) jujur dan suci hati. Pengikut harus setia menjalankan perundangundangan negaranya; 3) turut menyingsingkan lengan baju menegakkan berdirinya nusa dan bangsa; 4) menolong sesama berdasarkan rasa cinta tanpa mengharap imbalan; 5) berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri; 6) sikap hidup bermasyarakat, kekeluargaan, susila dan budi pakerti sebagai penunjuk jalan; 7) meyakini bahwa dunia tiada abadi, melainkan selalu berubah-ubah (anyakra manggilingan). Ajaran keenam adalah sesanti. Ajaran ini menjadi visi setiap penganut Sapta Darma, yakni: “ing ngendi bae marang sopo bae wargo sapto darmo kudu sumunar pindo baskoro”. Sesanti ini memiliki makna bahwa di mana saja dan kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus bersinar laksana surya. Di luar itu, semua penganut Sapta Darma harus menghargai ajaran-ajaran lain. C. Sapta Darma: Sebelum dan Sesudah Menjadi Ormas Hardjosapoera yang bergelar Sri Gutama menjadi pelopor dan penuntun agung Sapta Darma. Ia mendeklarasikan diri sebagai tuntunan tertinggi dalam struktur lembaga Kerohanian Sapta Darma.11 Kala itu, Sapta Darma belum berbentuk sebagai sebuah lembaga resmi sebagai organisasi masyarakat seperti saat ini. Dalam rangka konsolidasi internal, pada 17 Maret 1959, Sri Gutama membentuk Yayasan Srati Dharma dengan Akta Notaris No. 23/1959.12 Menurut Puji Lestari, Persada, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Yogyakarta: Persada, 2006, Pasal 1, Item 4). 12 Wawancara dengan Slamet Basuki, 15 Januari 2009. 11
204
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
pada 16 Desember 1964 sekitar pukul 12.00 siang, Sri Gu tama meninggal dunia di kediamannya yang terletak di Pandean, Pare, Kediri. Jenazahnya diperabukan di Krema torium Kembang Kuning, Surabaya dan pada 19 Desember 1964, abunya dilarung di laut Kenjeran, Surabaya dengan menumpang 7 perahu. Pelarungan ini mendapat izin Gubernur Jawa Timur dan Syah Bandar Surabaya.13 Sepeninggal Sri Gutama, perkembangan Sapta Darma semakin membaik, hingga meletus peristiwa 30 S/PKI 1965. Lazim diketahui, terjadi pembantaian terhadap orang-orang PKI atau yang dianggap dekat dengan organisasi ini tanpa proses hukum yang jelas. Paska peristiwa ini, perkembangan Sapta Darma mengalami surut. Menurut Puji Lestari, paska peristiwa Gestapu 1965, seluruh aliran yang terdaftar di Juwana, Pati dipaksa memeluk agama resmi pemerintah. Lebih parahnya, kala itu masyarakat yang tidak memeluk satu agama dianggap bagian atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun demikian, menurut Puji Lestari para warga Sapta Darma di daerah kecamatan Juwana tetap menjalankan kegiatan peribadatan di bawah tuntunan Suklar, yaitu penuntun Sapta Darma pertama di kecamatan Juwana. Sapta Darma di kecamatan Juwana pada waktu itu juga diawasi dari pihak kepolisian. Di dalam organisasi Sapta Darma sendiri, menurutnya tiap warga tidak memiliki ikatan, keluar masuk menjadi warga Sapta Darma adalah suatu kebebasan. Hanya setelah kasus 1965, dan paska pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI, perlu diadakan penelitian bagi warga baru, misalnya tanda bersih diri, kartu tanda penduduk, siapa penanggung jawab dan lain-lain. Perkembangan Sapta Darma mulai mengalami kemajuan kembali pada tahun 1978,14 yang tentu saja ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial politik, di mana semakin banyak para penghayat yang masuk ke kancah politik. 13 Puji Lestari, Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005 (Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2007, bab III). 14 Puji Lestari, Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005 (Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2007, bab III).
205
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Eksistensi Sapta Darma semakin kokoh sejak menjadi ormas berdasarkan UU No. 8 tahun 1985 tentang ke-ormasan. Dalam sarasehan agung, Kerohanian Sapta Darma melalui ke pu tus an No. 01/Kep/Sat/1986 tertanggal 27 Desember 1986, menuntut organisasi Persatuan Sapta Darma (Persada) sebagai satu-satunya wadah perhimpunan dan pembinaan para penganut Sapta Darma.15 Setelah menjadi Persada, pengorganisasian Sapta Darma semakin diperluas meliputi: 1) badan pembina (di pusat bernama pembina agung) yang terdiri dari tuntunan agung beserta staf tuntunan agung; 2) ketua umum, ketua bidang atau divisi, sekretaris, bendahara, perwakilan persada pusat, penelitian dan pengembangan. Puji Lestari menjelaskan bahwa meskipun eksistensi Persada semakin berkembang, namun karena undangundang menyangkut kehidupan penghayat belum banyak mengalami perubahan, tipologi para penganut Sapta Darma adalah sebagai berikut: 1. Warga yang beragama resmi, yakni orang yang sebelum masuk ke dalam ajaran Sapta Darma telah mengenal dan menjalankan ajaran agama tertentu. Jadi, sebelum menjadi penganut Kerohanian Sapta Darma orang tersebut beragama Islam, Kristen, Buddha maupun Hindu, dan secara otomatis meninggalkan agama sebelumnya. 2. Warga yang memeluk agama resmi sekaligus menjadi penganut Sapta Darma. Jadi, orang tersebut menjalankan agama, misalnya Islam atau Kristen, sekaligus menjalan kan ritual Sapta Darma. 3. Warga yang hanya mengenal kepercayaan, yaitu orang yang masuk Sapta Darma dan sebelumnya tidak pernah mengenal agama apa pun. Jadi orang tersebut pada dasarnya hanya mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.16
15 Persada, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (Yogyakarta: Persada, 2006, Pasal 1, Item 4), h. 3 16 Puji Lestari, Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005 (Skripsi Universitas Negeri Semarang, 2007), h. 68.
206
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
Menjelang akhir 2006, hampir seluruh penghayat kepercayaan memiliki status seperti ini. Para penghayat kepercayaan berhadapan dengan fakta bahwa pemerintah Indonesia hanya mengakui 6 agama resmi, antara lain: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Lebih parahnya, pemerintah Indonesia juga membuat ke bijakan bahwa dalam tiap KTP harus dicantumkan kolom agama. Dengan demikian, untuk berurusan dengan birokrasi, hampir seluruh KTP para penghayat kepercayaan tetap mencantumkan agama-agama resmi. Setelah dikeluarkannya UU Adminduk tahun 2006 dan PP No. 37 tahun 2007 yang memberi toleransi pencantuman status penghayat dan pernikahan mereka diakui,17 Sapta Darma mulai menjalankan transisi menuju proses-proses tersebut.
II. Kekerasan FPI Terhadap Sapta Darma A. Kronologi Kekerasan FPI terhadap Sapta Darma Pada 12 Oktober 2008, R. Baroto Hartoto, ketua Persada DI Yogyakarta, membuat kronologi penyerangan FPI ke Sapta Darma sebagai lampiran laporan kepada Persada pusat. Dalam laporannya, Hartoto menjelaskan, insiden kekerasan tersebut terjadi sekitar pukul 22.00 WIB pada 11 Oktober 2008, ketika 30 anggota FPI mendatangi Sanggar Candi Busono Perengkembang, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Saat itu, ada 4 penganut Sapta Darma yang lagi berbincang-bincang di dalam Sanggar termasuk Supriyadi, 17 Lihat UU RI No. 37 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan PP No. 37 tahun 2007 tentang peraturan pelaksana dari UU yang disebut pertama. Dalam pasal ayat 1 pasal 64 UU ini disebutkan sebagai berikut: 1) kartu tanda penduduk harus mencantumkan lambang garuda Pancasila dan peta wilayah NKRI, memuat keterangan tentang Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkannya KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan Nomor Induk Pegawai (NIP) pejabat yang menandatanganinya; 2) keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
207
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Sariman, Sugito dan Subali. Tanpa basa-basi, rombongan FPI langsung menanyakan keberadaan ketua sanggar dan surat ijin lingkungan. Keempat penganut menjawab semua pertanyaan secara gamblang. Tidak puas, rombongan FPI mengajukan pertanyaan seputar ajaran; mengapa shalat penganut Sapta Darma menghadap ke Timur? Sariman, salah satu pemeluk Sapta Darma, menjawab bahwa aktifitas tersebut bukan shalat, namun sujud.18 Pengikut FPI menghardik dan berseru bahwa ajaran tersebut harus dihentikan malam itu juga atau mereka akan membakar sambil mengancam akan membunuh pimpinan Sapta Darma. Sambil menghardik, beberapa anggota FPI mencopoti simbol pribadi, lukisan Sri Pawenang, lukisan Sri Gutama dan bahkan merobek lukisan mata Sri Gutama. Sementara itu, anggota FPI yang lain menggebrak beberapa kali, menendang gelas, mengacak isi almari arsip, mengambil dompet berisi KTP, ATM, SIM dan uang sebesar Rp 50.000 beserta tas berisi uang kas sanggar sebesar Rp 1.800.000. Selang seperempat jam, tas berisi uang Rp. 1.800.000 dikembalikan. Akan tetapi, dompet yang berisi KTP, ATM, SIM dan uang sebesar Rp 50.000,- belum dikembalikan.19 Sambil berteriak “Allahu Akbar”, anggota FPI memaki dan menuduh Sapta Darma sebagai aliran sesat dan harus dihentikan malam itu juga. Rombongan baru sedikit reda ketika salah satu anggota FPI bertanya kepada Supriyadi: “Apa agamamu? Ia menjawab: “Agamaku Islam”. Supriadi disuruh mengucap kalimat syahadat. Mendengar permintaan itu, Supriyadi langsung mengucapkan kalimat syahadat. Setelah agak reda, rombongan FPI menanyakan Sanggar Pusat Sapta Darma. Karena tertekan, panganut Sapta Darma menjawab bahwa Sanggar pusat terletak di Surokarsan. 18 R. Baroto Hartoto, Kronologi Kejadian Penyarangan FPI di Sanggar Candi Busono Desa Pereng Kembang, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta, 12 Oktober 2008. Keesokan harinya tertanggal 12 Oktober 2008, kami juga melakukan investigasi insiden Pereng Kembang tersebut bersama-sama beberapa orang, bertemu dengan beberapa pengikut Sapta Darma di Perengkembang serta beberapa wartawan. 19 R. Baroto Hartoto, Kronologi Kejadian Penyarangan FPI di Sanggar Candi Busono Desa Pereng Kembang, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta, 12 Oktober 2008
208
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
Sambil tetap mengumpat, rombongan FPI meninggalkan sanggar menuju Sanggar Candi Sapta Rengga Surokarsan, Yogyakarta.20 B. Paska Penyerangan FPI Menurut salah satu sumber dari Sapta Darma, tepat setelah terjadinya penyerangan, beberapa kelompok pemuda menawarkan jasa pengamanan untuk membentengi Sapta Darma, baik melalui telepon maupun datang secara sukarela, termasuk lembaga Ansor. Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan identitas Ansor tersebut. Bahkan, beberapa organisasi pemuda berniat membalas dan mengejar FPI, tetapi perwakilan Sapta Darma melarang agar tidak terjadi banjir darah di Yogyakarta.21 Rombongan FPI sendiri ternyata tidak jadi melakukan penyerangan kedua kali ke Surokarsan. Siang hari paska kejadian, banyak warga yang datang dan bersimpati terhadap penganut Sapta Darma termasuk beberapa wartawan dan jurnalis. Pihak Sapta Darma meminta agar kasus kekerasan ini diselesaikan kepolisian. Meski begitu, menurut Totok Baroto, penyerangan FPI tersebut tidak akan diadukan, karena kekerasan FPI tersebut bukan delik aduan, tetapi sebagai delik pidana murni, sehingga bolanya ada di tangan kepolisian. Silahkan saja kepolisian menindaklanjuti, tetapi warga Sapta Darma tidak akan mengadukan karena mempertimbangkan keselamatan warga Sapta Darma sendiri.22 Ada semacam keengganan untuk menuntut pelaku kekerasan sebab salah satu rumah korban pemukulan FPI berdekatan dengan rumah ketua FPI, Bambang Tedi. Istri Bambang Tedi sendiri merupakan kepala dukuh di Balecatur. Menurut Totok Baroto, sewaktu pemilihan Kepala Desa warga 20 R. Baroto Hartoto, Kronologi Kejadian Penyarangan FPI di Sanggar Candi Busono Desa Pereng Kembang, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta, 12 Oktober 2008 21 Informasi kami dapatkan dari Slamet Basuki, salah satu pengikut Sapta Darma, baik sewaktu di Pereng Kembang maupun sewaktu di Sanggar Persada. 22 Perbincangan dalam pertemuan Sapta Darma dan Aji Damai (13 Oktober 2008), kemudian diperkuat dengan Press Release pada 14 Oktober 2008 di kantor Sapta Darma.
209
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Sapta Darma banyak membantunya agar terpilih. ”Eh, kami diserang juga,” katanya.23 Bahkan, sebenarnya pimpinan FPI adalah tetangga dekat Supriadi, ketua tuntunan Sapta Darma wilayah Yogyakarta. Pertimbangan inilah yang menjadi alasan mengapa warga Sapta Darma menyerahkan kasus ini kepada kepolisian. Di saat yang sama, para aktivis di Yogyakarta ber konsentrasi untuk menyikapi uji publik RUU pornografi di kantor Kepatihan Gubernuran sehingga mereka tidak fokus pada kasus Sapta Darma. Tepat pada tanggal 13 Oktober 2008, Aji Damai bertemu dengan Pengurus Pusat Sapta Darma sekaligus sharing tentang rencana tindak lanjut penyerangn FPI ke sanggar Sapta Darma di Surakarsan. C. Laporan Persada Yogyakarta ke Persada Pusat Pada 13 Oktober 2008, Persada Daerah Istimewa Yogyakarta membuat laporan kronologis kepada Persada pusat tentang insiden penyerangan tersebut. Dalam lapo ran ini, Persada Yogyakarta menjelaskan detik-detik peristiwa secara cukup detail. Secara garis besar, kelompok FPI melakukan perusakan, intimidasi dengan kekerasan terhadap warga Sapta Darma yang berdomisili di Sanggar Candi Busana.24 Laporan ini dibuat sebagai dasar utama untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu dalam rangka memberikan pengayoman dan perlindungan terhadap hak-hak warga Sapta Darma, khususnya warga yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. D. Persada Pusat Meminta Perlindungan Komnas HAM Mendapat laporan dari Persada Yogyakarta, Pengurus Persada Pusat mengambil langkah-langkah berikut: Pertama, menyelenggarakan konferensi pers tertanggal 14 Oktober 2008 dibacakan Nain Suharyono dan beberapa sesepuh Sapta Darma. Konferensi pers tersebut memuat kecaman Wawancara dengan Totok Baroto, 14 Oktober 2008. R. Baroto Hartoto, Laporan Peristiwa SCB Pereng Kembang Sleman, tertanggal 13 Oktober 2008. 23 24
210
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
atas penyerangan FPI dan mendorong kepolisian untuk menindak para pelaku kekerasan.25 Kedua, pada 20 Oktober 2009, Persada pusat merespon laporan Persada Yogyakarta tertanggal 13 Oktober 2008 tentang pelanggaran HAM oleh FPI terhadap komunitas Sapta Darma. Sebagai warga negara yang teraniaya, Persada Pusat meminta bantuan hukum kepada Komnas HAM dan seluruh jajaran instansi pemerintah yang terkait termasuk ke pihak kepolisian. Pasalnya, paska penyerangan FPI, warga Sapta Darma masih trauma.26 Pihak Sapta Darma dalam surat ke kepolisian, misalnya, menegaskan bahwa kekerasan tersebut bukan delik aduan, melainkan murni tindakan kriminal dan pelanggaran HAM. Ironisnya, hingga surat ini dibuat, aparat keamanan tidak mengambil tindakan apapun, bahkan beberapa anggota kepolisisan secara lisan menyuruh penghentian semua aktifitas sementara dan menurunkan simbol-simbol di Sanggar Sapta Darma demi keamanan. Melalui surat ini juga, Persada Pusat berusaha meluruskan Kerohanian Sapta Darma kepada masyarakat umum melalui media cetak dan elektronik. Sapta Darma mengucapkan terima kasih kepada media cetak yang memuat klarifikasi terkait. Sayangnya, ada beberapa media elektronik yang belum menayangkan dan terkesan dis kriminatif, misalnya Metro TV. Salah satu sumber Persada menuturkan bahwa paska penyerangan, Mertro TV beberapa kali menayangkan beritanya. Namun, Press Release Persada Pusat tertanggal 14 Oktober yang berfungsi mengklarifikasi ajaran Sapta Darma justru tidak ditayangkan. E. Sikap Kaum Simpatisan Sapta Darma Pada November 2008, Monthly Report on Religious Issues (MRORI) edisi 16 menurunkan berita tentang sikap beberapa elemen Organisasi Kepemudaan (OKP) dan 25 Kami bersama beberapa orang, termasuk Slamet Basuki, juga hadir dalam press release tersebut dan memiliki rekaman prosesnya. 26 Tarmudji Djoharianto (Plt. Ketua Umum Persada) dan Saekoen Partowijono (Koordinator Staf Tuntutan Agung), Mohon Perlindungan, tertanggal 20 Oktober 2008.
211
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
sejumlah relawan menganggap bahwa penganiayaan oleh FPI tersebut tidak bisa lagi ditoleransi.27 Tepat seminggu paska penyerangan, beberapa elemen dari Jawa Timur menyatakan dukungan dan siap mengawal komunitas Sapta Darma. Anehnya, elemen OKP yang berangkat dari Jawa Timur dan berniat membalas perlakuan FPI terhadap Sapta Darma bukan cabang Persada atau pengikut Kerohanian Sapta Darma sendiri. Secara sukarela, mereka melakukan koordinasi dan berangkat dengan biaya sendiri. Setiba di Yogyakarta, para simpatisan mengunjungi Sanggar Sapta Darma seraya mengutarakan niat membalas penyerangan FPI. Saat itu, sanggar ditunggu beberapa pengurus teras Sapta Darma. Selesai mengungkapkan niat, ketua Sapta Darma menganjurkan sebaliknya tidak menyukai balas dendam apalagi membalas kekerasan dengan kekerasan hingga terjadi perdebatan alot. Berkalikali, para perwakilan Sapta Darma membujuk agar tidak terjadi pembalasan. Akhirnya, meski kecewa, pimpinan para simpatisan dapat meyakinkan dan meminta rombongan untuk pulang kembali ke Surabaya. Meski pembalasan tidak dilakukan, tetapi mereka tetap mencatat sampai kapan pun penyerangan FPI terhadap Sapta Darma adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. F. Aji Damai Mengecam FPI dan Mendorong Perdamaian Pada 22 Oktober 2010, Aji Damai mengeluarkan press release kecaman terhadap kekerasan dan intoleransi FPI. Aji Damai melihat kekerasan-kekerasan yang dilakukan FPI membalik nilai-nilai budaya tepo seliro dan toleransi. Kekerasan-kekerasan ini menjadikan Yogyakarta bukan lagi sebagai kota budaya yang aman untuk bersemainya nilainilai adi luhung.28 Pasalnya, toleransi telah menjadi salah Monthly Report on Religious Issues, edisi 16 (The Wahid Institute: Jakarta, 2008). Informasi ini juga kami peroleh dari salah seorang warga Sapta Darma yang tidak mau disebutkan dan beberapa kali bersedia diajak beridiskusi tentang penyerangan Sapta Darma, seminggu setelah penyerangan FPI. 28 Aji Damai, Menanam Perdamaian:Pernyataan sikap Aji Damai terkait dengan beberapa keketasan di Yogyakarta, tertanggal 22 Oktober 2008. 27
212
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
satu nilai dan sikap hidup yang dijunjung tinggi. Tepo seliro berarti menghargai dan menghormati kelompok dan budaya lain sebagaimana budaya dan kelompok kita perlu dan butuh dihormati. Press release Aji Damai menyerukan dukungan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk bersikap tegas terhadap kelompok-kelompok yang selama ini sering berulah melakukan kekerasan tanpa peduli tepo seliro terhadap kelompok lain; mendesak kepada kepolisian DIY atau kepolisian setempat segera mengusut tuntas dan tidak memberikan pembenaran dan melakukan pembiaran terhadap tindak kekerasan yang terjadi; mengajak semua kelompok dan elemen di DIY untuk mengedepankan sikap toleran serta tepo seliro dalam menyikapi perbedaan. G. Sikap Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Pada 31 Oktober 2008, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film menerbitkan surat yang ditujukan kepada Bupati Sleman.29 Surat tersebut memuat informasi dan klarifikasi sebagi berikut: pertama, kerohanian Sapta Darma bukan aliran keagamaan, namun suatu organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan terdaftar dalam Departemen Kebudayaan dan Pariwisata cq. Direktorat Kepercayaan Departemen Dalam Negeri sebagai Pembina Umum Organisasi Politik dan Kemasyarakatan. Kedua, kepercayaan Sapta Darma merupakan pernya taan dan pelaksanaan hubungan pribadi berdasarkan keya kinan yang termanifestasi dalam perilaku ketakwaan dan peribadatan serta pengamalan budi luhur yang bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, kerohanian Sapta Darma merupakan salah satu aliran kepercayaan masyarakat berdasarkan keputusan Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung membagi aliran keper cayaan menjadi beberapa kelompok: aliran keagamaan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Nilai Budaya Seni dan Flm, Informasi dan Klarifikasi, tertanggal 31 Oktober 2008. 29
213
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
aliran kepercayaan (termasuk Sapta Darma), mistik-mistik keagamaan, adat dan Kelenteng Cina. Keempat, komunitas Sapta Darma disebut penghayat kepercayaan, dan setelah itu disebutkan soal dasar hukum keberadaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia. Kelima, berdasarkan pertimbangan di atas, kegiatan penghayat kepercayaan termasuk Sapta Darma tidak berarti mencederai agama apa pun. Karena itu, Kerohanian Sapta Darma Perenghembang bukan aliran sesat seperti tuduhan FPI. Apabila surat ini tidak ditindaklanjuti, kehidupan penghayat kepercayaan akan tertekan, tidak tenteram, dan termasuk pelanggaran terhadap hak asasi. Tembusan surat ini diberikan ke 27 instansi pemerintah termasuk Kepala Desa Balecatur, Kapolsek Gamping, Kapolresta Sleman, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan lain-lain. H. Sikap Kepala Desa Balecatur Paska Penerbitan Surat Paska menerima Surat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film No. 483/SB/ NBSF/X/08, Kepala Desa Balecatur menerbitkan Surat No. 153/PP/Blc/2008 tertanggal 20 November 2008. Surat Kepala Desa khusus ditujukan kepada Supriyadi, selaku penanggung jawab Kerohanian Sapta Darma, Pereng Kembang, Balecatur, Gamping. Surat Kepala Desa tersebut memperbolehkan Kerohanian Sapta Darma melakukan ibadah, dengan catatan tidak mengatasnamakan agama Islam atau agama lain, dan harus atas nama kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pasalnya, ajaran Sapta Darma tidak terkandung dalam Islam maupun agama yang lain. Surat juga memuat tuntutan penghapusan status agama Islam dalam KTP penganut Sapta Darma menjadi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.30 I. Aji Damai dan Akhir Cerita Kekerasan Sapta Darma Aji Damai dalam tatap muka dengan Kapolda DIY 30
Sebrat Haryanti, Pemberitahuan Kepala Desa Balecatur (20 November 2008).
214
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
pada 12 Februari 2009 kembali menyinggung penanganan insiden Sapta Darma.31 Saat itu, serombongan aktivis Aji Damai berdialog dengan Untung S. Rajab, selaku Kapolda beserta beberapa jajaran kepolisian daerah. Dalam dialog itu, salah satu perwakilan Aji Damai menyampaikan beberapa fakta kekerasan yang muncul di Yogyakarta dan bagaimana sikap polisi dalam menanganinya. Salah seorang anggota Aji Damai juga mempertanyakan penanganan dan menuntut kepolisian untuk segera menegakkan hukum secara adil terkait kasus kekerasan FPI terhadap Sapta Darma. Saat itu, Aji Damai menganggap, kepolisian belum melakukan proses-proses kongkrit atas tindakan kekerasan yang menimpa Sapta Darma. Untung S. Rajab menegaskan polisi akan tetap menindak pelaku kekerasan, sedangkan tindakan teknis di lapangan akan ditangani jajaran kepolisian terkait. Selama pertemuan, tidak ada kesepakatan apa pun antara kapolda dengan Aji Damai, terutama menyangkut kasus Sapta Darma, sebab di samping dialog sangat cair juga banyak tema yang didiskusikan. Meski begitu, jawaban kapolda saat itu tetap memuat komitmen penindakan terhadap pelaku kekerasan, meskipun secara faktual masih belum ada proses hukum sampai ke pengadilan. Narasumber dari Sapta Darma menyebutkan,32 perte muan Aji Damai dengan kapolda saat itu memberikan arti penting, karena setelah itu, meski agak lama, ada proses pengusutan lanjutan menyangkut kasus penyerangan Sapta Darma. Pihak kepolisian memanggil beberapa korban dan pengurus Sapta Darma untuk dimintai keterangan dalam proses pengusutan kasus penyerangan Sapta Darma. Salah satu sumber kepolisian menyebutkan bahwa bukti-bukti terkait dengan insiden masih belum cukup. Karena itu, pihak kepolisian meminta Sapta Darma untuk bisa mencari rekaman pemukulan sewaktu kejadian penyerangan. 31 Kami ikut merekam proses pertemuan antara Aji Damai dengan Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta pada 12 Februari 2009 dan memiliki rekaman pembicaraan tentang itu. 32 Wawancara dengan Selamet Basuki, 25 November 2009.
215
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Mendengar tuntutan tersebut, pihak Sapta Darma melacak video tindak kekerasan ke internet termasuk ke portal Youtube dan mesin lain, namun video penyerangan sudah tidak ditemukan lagi. Perwakilan Sapta Darma mempertanyakan raibnya video kekerasan di Youtube dan sempat menyinggung tentang adanya “operasi” tertentu. Menemui jalan buntu, pihak Sapta Darma melacak ke televisi lokal di Yogyakarta dan nasional ke televisi Jakarta. Pasalnya, beberapa televisi lokal dan nasional juga menayangkan insiden penyerangan Sapta Darma. Sayangnya, meski dengan berbagai usaha, pelacakan video tersebut belum membuahkan hasil. Anehnya, pihak kepolisian justru memiliki rekaman insiden tersebut. Setelah diputar di hadapan pengurus Sapta Darma, pihak kepolisian meminta korban untuk melihat rekaman dan menunjuk pelakunya. Namun, korban tidak menyebutkan, benar tidaknya orang itu, karena mempertimbangkan keamanan. Menurut Selamet Basuki dari Sapta Darma, alasan mengapa kasus kekerasan FPI tidak segera diselesaikan adalah karena mempertimbangkan keamanan pelaku dan korban yang notabene bertetangga dan rumah keduanya berdekatan. Bahkan, pihak korban sendiri memiliki kekhawatiran tentang keamanan keluarga bila diteruskan, meskipun ini bukan delik aduan. Kepolisian sendiri tidak segera membawa kasus ini ke meja hijau. Narasumber ini juga menyebutkan bahwa kasus ini tampaknya memang sengaja diambangkan. Kasus kekerasan Sapta Darma semakin tidak jelas setelah terjadi pergantian Kapolda DIY dari Untung S. Radjab kepada penggantinya Sunaryono. Terlebih, saat itu juga memasuki pemilu legislatif 2009 serta gonjang-ganjing persiapan pemilihan presiden. Kapolda baru jelas dituntut untuk menuntaskan kasus ini sesuai dengan prosedur hukum dan melindungi korban. Akhirnya, narasumber dari Sapta Darma mengungkap sisi paradoksal kasus ini sebab meskipun telah terbit surat Komnas HAM, surat Mendagri kepada gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan surat Bina Hayat yang menegaskan jaminan perlindungan atas Sapta Darma tetap saja pihak Kepolisian terkesan enggan dan lamban dalam
216
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
penindakan. Pasalnya, pengusutan dan penindakan sangat tergantung pada kepolisian terlebih untuk mencari bukti dan kesungguhannya dalam menindak pelaku kekerasan. Membiarkan berarti melecehkan integritas kepolisian, karena seakan-akan kecanggihan polisi kalah dengan kecanggihan para penyerang Sapta Darma. Akhirnya, kasus Sapta Darma mengambang, tidak dilanjutkan dan juga tidak dijelaskan ke publik bagaimana nasib kasus tersebut. J. Pembacaan atas Penyerangan FPI ke Sapta Darma Membaca kejadian di Yogyakarta termasuk kekerasan FPI ke Sapta Darma, perlu mempertimbangkan konteks Yogyakarta selama ini yang masyhur sebagai salah satu pusat berkembangnya aliran keagamaan Jawa (Kejawen). Mulai dari aliran yang terlembagakan dan terdaftar secara formal meliputi Subud, Paguyuban Tri Tunggal dan Sapta Darma, hingga aliran-aliran kebatinan yang tidak tercatat di Depdagri, tetapi hidup dan diamalkan sebagian masyarakat luas, tumbuh subur dan berkembang di Yogyakarta. Tak heran, kantor pusat atau “markas” dari beragam aliran tersebut banyak terpusat di daerah Yogyakarta. Secara sosio-kultural, fenomena itu tentunya memiliki dasar yang cukup kuat. Hal itu karena keberadaan keraton sebagai simpul kebudayaan masyarakat Yogyakarta sekaligus menjadi ruang bagi tumbuhnya nilai-nilai dan kebudayaan Jawa yang sarat akan aliran-aliran kepercayaan dan kebatinan. Sehingga secara politik, kelompok-kelompok aliran kepercayaan ini merasa memiliki payung politik dan kultural untuk hidup dan tumbuh di bumi Mataram ini. Karena itu, sepanjang sejarah perjalanan Yogyakarta selama ini, tidak pernah kita jumpai gesekan-gesekan atau ketegangan-ketegangan, baik yang bersifat kultural maupun politik, antara kelompok Kejawen (biasa disebut aliran kepercayaan) dengan kelompok keagamaan yang lain di Yogyakarta. Hal itu tentunya karena agama Kejawen, meminjam istilah Mulder, berperan sebagai “ruang batin” masyarakat Yogyakarta. Sehingga sangat mudah menemukan percam
217
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
puran orang Muslim atau Kristiani di Yogyakarta. Namun, jika kita “bedah” lebih dalam lagi, tidak sedikit di antara mereka yang masih “mengamalkan” ajaran-ajaran Kejawen yang terfragmentasi ke dalam bentuk aliran kebatinan atau aliran kepercayaan ini.33 Ketika muncul peristiwa penyerangan FPI terhadap Sanggar Sapta Darma, sebagian besar masyarakat Yogya karta terkejut dan merasa heran. Pasalnya, aliran Sapta Darma sudah lama tumbuh dan berkembang dengan baik di Yogyakarta. Selama tumbuh dan berkembang, tidak pernah ada pihak Sapta Darma yang mempersoalkan apalagi menyerang dengan kekerasan seperti yang dilakukan FPI. Dari sini, berbagai analisis penyerangan FPI ke Sapta Darma tersebut mencuat ke permukaan. Sebagian pihak menilai peristiwa tersebut terkait erat dengan konteks pencalonan Sri Sultan Hemengkubuwono X sebagai Presiden dalam pemilu 1999. Sebagian yang lain menilai konflik FPI dan Sapta Darma merupakan dampak birokratisasi agama yang selama ini belum dituntaskan Negara. Namun, ada pihak lain yang membaca konflik FPI versus Sapta Darma ini sebagai gambaran dari menguatnya sikap puritanisme Islam yang belakangan ini mulai marak di Yogyakarta. K. Aroma Politik di balik Penyerangan Dalam wacana dan praktik politik kita mengenal apa yang disebut teori konspirasi (consciparcy theory). Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995),34 mengutip Triyono Lukmantoro, terma konspirasi merujuk ”sebuah rencana rahasia sekelompok orang untuk melakukan sesuatu yang ilegal atau merugikan”. Karena itu, setiap konspirasi mengandaikan perbuatan yang serba tersembunyi. Tidak ada pihak yang mengetahui secara pasti kecuali intelijen negara atau konspirator itu sendiri. Dalam hal ini, konspirasi identik dengan perilaku para telik sandi. Sedangkan makna 33 Niels Mulder, Ruang Batin Masyarakat Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. ix dan 39. 34 A. S. Hornby, Joanna Turnbull, Diana Lea, and Dilys Parkinson, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University, 1995).
218
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
teori konspirasi sebagaimana ditulis Wikipedia adalah teori tentatif yang menjelaskan sebuah peristiwa historis atau yang baru saja terjadi sebagai hasil perbuatan komplotan rahasia yang berasal dari para konspirator machiavelian yang penuh kuasa.35 Fokus ulasan di sini adalah kata “teori” yang bersifat informal. Teori dalam pengertian ini bercorak spekulatif dan hipotetis ketimbang ilmiah-empiris. Dengan kata lain, teori konspirasi lebih sebagai sebuah terminologi umum untuk membaca sebuah gejala sosial-politik tertentu, seperti konflik sosial. Secara politis, konflik sosial memiliki kaitan erat dengan kepentingan-kepentingan kekuatan politik tertentu. Dalam banyak hal, kekuatan politik bersekongkol atau berkonspirasi untuk memunculkan konflik sosial yang bertujuan untuk mendiskreditkan kelompok yang lain. Akan tetapi, kekuatan politik tertentu juga bisa mencipta konflik untuk mengalihkan perhatian publik dari problem sosial sebenarnya. Dengan demikian, teori konspirasi merupakan metode untuk membaca fenomena sosial yang dianggap penuh dengan rekayasa pihak-pihak tertentu dan dalam konteks ini rekayasa biasa dilakukan para penguasa. Teori konspirasi biasanya mudah mencuat dalam masyarakat dengan tingkat kepercayaan pada pemerintah terus menurun. Dalam tahapan ini, kredibilitas negara sangat rendah. Pasalnya, aparat kepolisian, militer, kejaksaan, intelijen dan bahkan birokrasi pemerintah dalam situasi ini sering merumuskan kebijakan publik yang blunder. Fakta ini diperparah dengan pengelolaan administrasi pemerintahan yang penuh kekacauan. Negara dengan segenap aparatnya, meminjam terminologi Hobbes (1588-1679), lebih mirip leviathan yang selalu ingin menerkam dan meneror rakyat sendiri.36 Secara empiris, teori konspirasi memang sulit dibuktikan karena merupakan operasi rahasia yang biasa dikendalikan intelijen. Meskipun demikian, masyarakat biasanya dapat menebak dan bisa mengidentifikasi sebuah peristiwa itu direkayasa atau bukan. 35 36
Triyono Likmantoro, Suara Merdeka, 16/5/2009 Triyono Likmantoro, Suara Merdeka, 16/5/2009
219
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Dalam banyak peristiwa politik, sebagian kelompok menilai fenomena di atas sebagai bentuk konspirasi elit kekuasaan. Kasus “Cicak versus Buaya” adalah salah satu ilustrasi tepat tentang adanya konspirasi pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus ini, Candra Hamzah dan Bibit Samad Rianto selaku wakil ketua KPK dijadikan tersangka tanpa bukti yuridis yang kuat. Berbagai kalangan menilai kasus ini sarat dengan konspirasi para elit kuasa untuk menekan peran KPK ketika semakin lantang dalam memberantas korupsi, khusunya di kejaksaan dan kepolisian. Kasus di atas hanya sebuah ilustrasi tentang teori kons pirasi sebagai perangkat analisis dalam membaca sebuah peristiwa. Pembunuhan guru ngaji yang dituduh dukun santet di Banyuwangi pada akhir tahun 1990 adalah beberapa contoh lain. Rekayasa kasus ini diperkuat kesimpulan Tim Pencari Fakta (TPF) Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Jawa Timur atas peristiwa tersebut. TPF GP Ansor menemukan bukti-bukti bahwa kerusuhan Banyuwangi tersebut hasil rekayasa atau konspirasi elit kekuasaan untuk menciptaklan chaos dan konflik antar agama di daerah-daerah basis NU. TPF menngurai bahwa motif dan tujuan rekayasa kerusuhan adalah merusak citra NU yang kala itu dipimpin KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum. Senada dengan kasus-kasus konspiratif di atas, sejumlah pihak melihat penyerangan FPI terhadap Sapta Darma cenderung bersifat konspiratif. Sejumlah kalangan aktifis Aji Damai menegaskan, peristiwa penyerangan FPI tersebut adalah bagian dari konspirasi politik tertentu untuk menjegal Sri Sultan Hemengkubuwono X yang saat itu mendeklarasikan diri sebagai calon presiden pemilu 2009. Situasi politik nasional saat itu cukup panas menje lang masa-masa “perang” yang dilakukan partai politik atau kekuatan politik untuk maju memperebutkan kursi kepre sidenan. Meskipun tahapan pemilu masih harus melewati pemilu legislatif, namun isu seputar calon presiden dan wakil presiden sudah mulai hangat diperbincangankan. Salah satu nama besar yang disebut-sebut akan maju sebagai calon presiden adalah Sri Sultan Hemengkubuwono X.
220
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
Sebagai warga negara, pencalonan tokoh nomor satu di Yogyakarta ini tentuya tidak menjadi masalah. Secara konstitusional, hak semua warga negara dijamin untuk dipilih dan memilih presiden di negeri ini. Namun, Sri Sultan Hemengkubuwono X tentunya bukan sekedar tokoh biasa seperti warga negara lain. Pasalnya, di samping menjabat gubernur, sang tokoh adalah seorang Raja Kraton Ngayogyokarto Hadinigrat yang secara kultural memiliki kharisma kuat dalam masyarakat setempat. Dengan demikian, jika Sri Sultan hendak mencalonkan diri sebagai presiden, secara politis sudah barang tentu akan memiliki dampak politik yang cukup besar. Terlebih, selama ini Sri Sultan juga dikenal sebagai tokoh politik nasional karena peran sentral sebagai salah salah satu pencetus Deklarasi Ciganjur dalam peta politik nasional paska reformasi. Begitu juga, Sri Sultan juga didukung kalangan budayawan dan aktifis masyarakat sipil. Karena itu, munculnya isu tentag pencalonan dirinya sebagai presiden cukup menggelisahkan atau membuat “panik” para elit status quo. Melihat kharisma dan ketokohan Sri Sultan Hemeng kubuwono X yang tidak bisa dianggap remeh, banyak elit kekuasaan yang khawatir dengan pengajuan dirinya sebagai calon presiden. Kekhawatiran ini semakin besar ketika kehendak pencalonan itu muncul bukan dari dirinya sendiri melainkan dari rakyat dan berbagai kalangan, bahkan juga muncul dari kalangan Raja-Raja Nusantara yang meminta Sultan untuk maju sebagai calon presiden dalam momentum Pisowanan Agung yang digelar beberapa kali di Keraton Yogyakarta. Karena itu, terjadilah peristiwa penyerangan FPI terhadap sanggar Sapta Darma. Dengan konflik ini, para konspirator mengharap mun culnya stigma bahwa Yogyakarta merupakan daerah Kejawen dan Sultan bagian dari Kejawen atau setidaknya tokoh yang melindungi aliran Kejawen. Dengan demikian, komitmen terhadap Islam dan umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini perlu diragukan, dan karena itu dibikin seolaholah dia tidak pantas menjadi pemimpin negeri ini. Peneliti menemukan bahwa pola konspirasi sama, yaitu polisi selalu tidak pernah menuntaskan kasus kekerasan ini dan sangat
221
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
lamban dalam menindak. Mengapa sanggar Sapta Darma menjadi target kekerasan FPI? Mengapa sanggar yang terletak di sebuah desa terpencil yang jauh dari kota? Dua pertanyaan ini penting diajukan untuk melihat secara kritis “konteks sosial-politik” peristiwa penyerangan itu. Padahal, sanggar Sapta Darma Pareng Kembang tersebut sudah sejak lama berdiri dan tidak pernah ada masalah atau laporan keberatan masyarakat atas sanggar tersebut. Masyarakat setempat juga tidak pernah mempersoalkan keberadaan sanggar tersebut. Begitu pula, keberadaan markas FPI yang berdekatan dengan sanggar selama ini juga tidak pernah memunculkan ketegangan di antara mereka. Terlepas dari bentuk penyelesaiannya, penyerangan terhadap sanggar Sapta Darma di desa Pareng Kembang yang berdekatan dengan markas FPI justru mengindikasikan bahwa target sebenarnya bukan Sapta Darma. Dalam pengertian lain, kedekatan geografis ini semakin memperkuat bahwa penyerangan itu tidak memiliki motif kuat selain stigmatisasi tentang relasi Sri Sultan, Kejawen dan Islam. Pembacaan ini cukup beralasan sebab sebelumnya masyarakat Yogyakarta tidak pernah resah atau terganggu dengan aliran Sapta Darma, khusunya warga Balecatur. Dengan demikian, ketika penyerangan terjadi, sebagian warga Yogyakarta melacak relasinya dengan konstalasi politik saat itu. Hipotesis ini bisa diterima sepanjang “teori konspirasi” menjadi pisau analisisnya. Temuan ini masih bersifat hipotetikal karena belum diperkuat dengan bukti-bukti empiris yang bisa diverifikasi. Meskipun demikian, tidak berarti temuan ini tidak valid, sebab pola seperti ini bukan dalam kerangka analisis hukum yang mengharuskan bukti materiil dan uji hukum empiris. Sebagai sebuah hipotesa, bangunan makna melalui teori konspiratif ini tentunya bersifat relatif dan spekulatif sehingga probabilitas kesalahan dan kebenarannya sangat terbuka lebar.37 Analisis atas motif politis antara peristiwa penyerangan FPI ke Sanggar Cipta Busana dengan pengajuan diri Sri Sultan sebagai calon presiden dalam pemilu 2009 ini muncul dalam obrolan atau wawancara tak terstruktur dan diskusi-diskusi 37
222
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
L. Birokratisasi Agama dan Ambiguitas Negara Analisis kedua tentang konteks peristiwa penyerangan FPI ke Sanggar Cipta Busana milik Sapta Darma terkait dengan birokratisasi agama yang bersifat ambigu sehingga kelompok-kelompok minoritas dan aliran kepercayaan kembali menjadi korban. Ambiguitas negara dalam konteks birokratisasi aga ma ini setidaknya tampak dari dua aspek: pertama, as pek peraturan perundang-undangan yang masih tumpang tindih dan tampak setengah hati dalam menjamin kebe basan beragama. Kedua, aspek sosialisasi perundanganundangan yang masih belum tuntas sehingga menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat. Secara khusus, aspek peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih itu tampak misalnya, dalam UU No.1/ PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan dalam UU No. 5/1969 melalui penetapan Presiden dan peraturan presiden sebagai undang-undang. Pasal 1 menyebutkan: “Setiap orang di larang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokokpokok ajaran agama”.38 Menurut Musdah Mulia, sekilas aturan hukum tersebut tampak cukup netral, yakni sekedar mengingatkan warga untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan rezim Soekarno awal ringan di kalangan sejumlah aktifis perdamaian di Yogyakarta. Jadi, secara khusus bukan pernyataan resmi dari salah seorang atau lembaga tertentu yang memang merespon peristiwa penyerangan tersebut. 38 Artikel Musdah Mulia di http://psikparamadina.blogspot.com/2006/07/menuju-kebebasan-beragama-di-Indonesia.html
223
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Januari 1965 dan dikukuhkan rezim Soeharto pada 1969 berdampak luas dalam konteks pengekangan kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa berikutnya. Penetapan ini justru digunakan sebagai legitimasi untuk “mengamankan” agama-agama resmi yang diakui negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu) terhadap tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain. Sekaligus, juga dijadikan alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan negara. Kondisi ini membahayakan kehidupan beragama; agama dijadikan alat politik penguasa. Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa.39 Lebih jauh, dosen ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengurai bahwa ketetapan itu menyebutkan “la rangan melakukan penafsiran” atau kegiatan yang “menyim pang dari pokok-pokok ajaran agama”. Ini dijelaskan lebih jauh dalam bagian penjelasan: “Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penye lewengan dan penyimpangan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan”. Ketetapan ini sangat jelas menguntungkan kalangan agamawan yang pro-pemerintah yang diwakili majelismajelis agama resmi termasuk MUI, WALUBI, PGI, KWI dan Hindu Darma. Majlis dan dewan tersebut yang diberi wewenang mengontrol bentuk-bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan di masyarakat. Kemurnian dan kesahihan tafsir yang benar pada gilirannya akan dijadikan dalih untuk mengontrol dan mengendalikan sejauhmana praktik-praktik keagamaan yang dijalankan seorang individu atau kelompok masyarakat menyimpang atau tidak dari garis-garis pokok ajaran keagamaan atau yang dikatakan sebagai induk semang agama.40 Korban berikutnya dari kebijakan negara dalam soal 39 Artikel Musdah Mulia di http://psikparamadina.blogspot.com/2006/07/menuju-kebebasan-beragama-di-Indonesia.html 40 Lihat artikel Musdah Mulia di http://psikparamadina.blogspot.com/2006/07/ menuju-kebebasan-beragama-di-Indonesia.html
224
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
“agar jangan sampai terjadi berbagai bentuk penyelewengan ajaran agama” ini, masih menurut Musdah Mulia, adalah kelompok-kelompok penganut agama atau kepercayaan lokal, seperti: Komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan; Komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan; dan Komunitas Kaharingan di Kalimantan Selatan. Mereka semuanya dipaksa untuk menganut salah satu agama resmi, yakni Hindu. Begitu pula, agama atau kepercayaan lokal, seperti: Kejawen di Jawa terpaksa memilih antara Islam atau Katolik. Dalam konteks ini, pemerintah selalu menuding agama atau kepercayaan lokal tersebut sebagai agama sempalan yang harus kembali ke agama induknya. Sebaliknya, berbeda dengan kebijakan negara, para penganut agama-agama lokal (indigenous religion) meyakini justru agama dan kepercayaan mereka yang seharusnya disebut agama asli atau agama induk. Pasalnya, agamaagama besar termasuk Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu merupakan agama impor. Jauh sebelum kelima agama impor datang ke Indonesia, agama dan kepercayaan lokal yang mereka anut sudah hidup ribuan tahun di Nusantara. Bagaimana mungkin para penganut agama lokal tersebut dipaksa memeluk agama asli atau agama induknya. Karena itu, Musdah Mulia menilai bahwa klaim “agama asli” dan “agama sempalan” menjadi sangat problematik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.41 Lebih jauh, ambiguitas negara dalam kebijakan birokratisasi agama menyangkut implementasi peraturan perundangan-undangan terkait dengan hak dan kebebasan warga negara dalam memeluk dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Secara legal-formal, Indonesia sudah cukup maju dalam menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Indonesia telah meratifikasi sejumlah kovenan menyangkut Hak Sipil dan Politik (Hak Sipol) di samping Hak Ekonomi Sosial Budaya (Hak Ekosob) tentunya. Kita juga telah memiliki Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU Lihat artikel Musdah Mulia di http://psikparamadina.blogspot.com/2006/07/ menuju-kebebasan-beragama-di-Indonesia.html 41
225
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
HAM). Bahkan, UUD 1945 tepatnya pasal 29 juga menjamin setiap warga negara untuk memeluk dan mengamalkan agama dan kepercayaan masing-masing. Senada dengan itu, UU. 23/2006 tentang Adminduk juga membolehkan aliran kepercayaan untuk dicatat dalam KK dan KTP. Peraturan Presiden (Perpres) No. 27/2007 tentang pelaksanaan UU No. 23/2006 secara khusus juga menjamin perkawinan penghayat kepercayaan sesuai dengan kepercayaan, hingga Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang pedoman pelayanan kepada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa. Peraturan Presiden (Perpres) No. 25/2008 tentang Tata Cara Pengurusan Kependudukan juga menjamin semua warga negara, termasuk para penganut kepercayaan untuk diakui keyakinanya. Semua peraturan perundang-undangan itu secara konstitusional mengatur dan menjamin kebebasan para penghayat kepercayaan dalam mengamalkan ajaran mulai dari pencatatan kelahiran, perkawinan, kependudukan dan kematian. Namun, banyaknya landasan hukum yang telah dibuat pemerintah ternyata tidak menghentikan berbagai aksi kekerasan yang dialami para penghayat kepercayaan. Pasalnya, penerbitan sejumlah regulasi tersebut tidak disertai dengan sosialisasi ke semua lapisan masyarakat secara komprehensif dan tuntas. Bahkan, masih banyak pegawai pencatatan sipil atau pejabat berwenang dalam administrasi penduduk di tingkat bawah yang masih belum memahami berbagai peraturan perundangan-undangan tersebut, atau bahkan memang sengaja tidak melayani karena alasan apologetis tentang “juklak dan juknis”. Akibatnya, mayoritas para penghayat kepercayaan masih harus mencantumkan nama salah satu dari 6 agama yang diakui negara dalam KTP mereka. Hal itu, sekali lagi, karena pemahaman birokrasi kita tentang hak-hak konstitusional penghayat kepercayaan masih cukup rendah. Padahal “keterpaksaan” untuk mencantumkan salah satu dari 6 agama “resmi” pemerintah dalam KTP berdampak cukup fatal bagi kehidupan sosial keagamaan di masyarakat. Banyak warga Indonesia yang sekedar menilai agama
226
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
seseorang sekedar yang tercantum dalam KTP. Akhirnya, kelompok minoritas semakin acuh terhadap pencantuman kolom agama di KTP sebab merasa warga kelas sudra. Hal ini adalah salah satu dampak pelayanan publik oleh para birokrasi yang kurang memahami perundang-undangan secara menyeluruh. Fenomena inilah yang tergambar dalam peristiwa penyerangan FPI terhadap warga Sapta Darma di Pareng Kembang, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Pasalnya, selain melakukan teror, kekerasan dan mengacak Sanggar, mereka juga menunjuk KTP sembari mempertanyakan agama para penganut Sapta Darma. Memang dalam KTP tercatat agama Islam, namun pencantuman Islam adalah sebuah keterpaksaan. Pasalnya, meskipun UU No. 23/2006 mengatur bolehnya pencantuman aliran kepercayaan dalam KTP, namun UU tersebut masih belum tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat luas. Ironisnya, FPI bersikap acuh dan tidak lagi perduli. Berdasarkan jenis agama yang tertulis dalam KTP penganut Sapta Darma, FPI semena-mena menyimpulkan bahwa ajaran Sapta Darma di Pareng Kembang adalah sesat, sehingga terjadilah peristiwa penyerangan dan tindakan kekerasan tersebut. Dengan demikian upaya birokratisasi agama yang dilakukan secara ambigu dan tidak tuntas ini memiliki dampak yang tidak ringan di kalangan masyarakat. Ketimpangan pemahaman masyarakat, terlebih para aparat birokrasi terhadap sejumlah peraturan perundanganundangan tentang hak-hak warga negara termasuk hak penghayat kepercayaan tersebut berdampak pada munculnya kesalahpahaman dalam menyikapi praktik dan aliran kepercayaan. Penyerangan FPI terhadap Sanggar Sapta Darma bukan satu-satunya peristiwa yang diakibatkan pandangan yang bias terhadap agama resmi. Berbagai peristiwa kekerasan di berbagai daerah selama ini juga dipicu perspektif pejorative terhadap kelompok aliran kepercayaan, seperti pengalaman komunitas Sunda Wiwitan, Agama Buhun dan puluhan kepercayaan lokal lainnya. Jelas landasan hukum di Indonesia menjamin agama
227
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
dan kepercayaan mereka. Namun, karena sosialisasi per aturan perundang-undangan ke masyarakat dan aparat birokrat tidak tuntas, mereka masih memandang aliran kepercayaan atau para penghayat kepercayaan ini sebagai penganut ajaran sesat. Dalam hal ini, pemerintah tampak setengah hati dalam menjamin dan melindungi kelompok aliran kepercayaan. Sikap setengah hati ini bukan hanya ditunjukkan dengan tidak tuntasnya sosialisasi peraturan perundangundangan, melainkan juga tampak dalam tidak adanya sikap yang tegas dari pemerintah. Dalam hal ini, aparat keamanan atau kepolisian tidak segera menindak tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan penyerangan terhadap penganut aliran kepercayaan. Tidak adanya sikap tegas untuk menindak mereka yang melakukan kekerasan terhadap warga Sapta Darma bisa menjadi bukti ambiguitas pemerintah dalam melindungi hak-hak kelompok aliran kepercayaan. M. Menguatnya Radikalisme Agama di Yogyakarta Analisis lain atas penyerangan FPI ke sanggar Sapta Darma adalah berkaitan dengan menguatnya gerakan radikalisme agama di Yogyakarta yang secara tidak langsung berdampak terhadap perubahan pola hidup dan interaksi sosial masyarakat setempat. Implikasinya, kehidupan yang semula berwatak toleran dan inklusif menjadi lebih eksklusif dan mudah terprovokasi dengan isu perbedaan agama dan keyakinan. Lazimnya, Yogyakarta dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Kokohnya bangunan keraton yang berdiri megah serta kesetiaan masyarakat setempat dalam menjaga serta melestarikan nilai-nilai budaya Jawa adalah bukti historis-antropologis yang cukup memperkuat identitas Yogyakarta. Sementara itu, di antara nilai-nilai budaya Jawa yang selama ini banyak mewarnai pola hidup masyarakat Jawa, mengutip istilah Franz Magnis Suseno, adalah prinsip hidup rukun dan saling menghormati. Prinsip hidup rukun meniscayakan dalam setiap situasi, manusia hendaknya
228
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
bersikap saling mengayomi sehingga tidak sampai menim bulkan konflik. Sedangkan prinsip menghormati menuntut agar manusia dalam cara berbicara dan membawa diri senantiasa menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain selaras dengan derajat dan kedudukannya. Kedua prinsip inilah yang kemudian menentukan bentuk-bentuk konkret interaksi sosial dan keagamaan masyarakat Jawa.42 Sehingga, tidak heran apabila masyarakat Jawa lebih dikenal memiliki sikap toleransi tinggi terhadap perbedaan, termasuk perbedaan budaya, agama dan keyakinan. Pasalnya, di kalangan masyarakat Jawa, aspek terpenting bukan bentuk simbolis suatu agama, namun esensi teologis dari setiap agama an sich. Karena itu, kita kerap menjumpai pernikahan lintas agama (interfaith marriage) di masyarakat Yogyakarta. Bukan hanya itu, berbagai ritual keagamaan seperti Idul Fitri atau Natal banyak yang dirayakan kedua umat beragama secara bersama-sama tanpa ada rasa curiga dan prasangka yang macam-macam. Begitu pula, dalam praktik keagamaan yang masih kental diwarnai adat-istiadat dan kebudayaan Jawa termasuk tradisi nyadran, ruwatan dan tradisi-tradisi Jawa yang lain. Dengan demikian, kebudayaan Jawa dan agama bagi masyarakat Yogyakarta merupakan satu kesatuan yang bersifat organik dan masing-masing di antara keduanya kadang berfungsi seperti “bungkus” dan “isi”-nya secara bergantian. Terkadang, agama berfungsi sebagai “identitas formal”, tetapi “substansi ajaran”-nya mengamalkan prinsipprinsip Kejawen. Bahkan, ada pula yang meletakkan agama sebagai isi, sedangkan kebudayaan Jawa sebagai bungkus. Dalam pengertian, pelestarian tradisi-tradisi Kejawen yang sudah lama dilestarikan dengan pemaknaan oleh ajaran agamanya. Demikianlah, orang-orang Jawa memaknai agamanya. Pemaknaan agama seperti ini tentunya didasarkan atas nilai budaya dan falsafah Jawa yang lebih menghargai Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijksanaan Hidup Jawa (Gramedia: Jakarta, 2001), h. 38 42
229
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
substansi daripada bentuk simbolis sebuah agama. Karena bentuk simbolis tidak terlalu penting dalam budaya Jawa, karakter inklusif dan tingkat reseptivitas terhadap suatu agama menjadi sangat mudah. Sehingga, dalam budaya Jawa, penilaian kualitas manusia tidak didasarkan pada agama, melainkan dari perilaku hidup kesehariannya. Karena itu, jarang sekali kita mendengar atau menyaksikan terjadinya konflik agama di Yogyakarta, bumi Mataram. Hal itu karena memang agama bagi orang Jawa tidak untuk dibedakan apalagi untuk dipertentangkan. Agama lebih diyakini sebagai pegangan hidup masing-masing orang untuk meningkatkan spiritualitas sebagai hamba Tuhan di muka bumi. Saat ini, watak toleransi budaya Jawa ini lebih dikukuhkan warga Yogyakarta dengan kredo the city of tolerance. Identitas ini tentunya bukan identitas yang baru dan sekedar bersifat karikatif, namun identitas yang terbentuk melalui sejarah panjang persentuhan masyarakat Yogyakarta dengan berbagai tahapan dan fase yang cukup panjang. Sejarah panjang pembentukan identitas inklusif dan toleran di Yogyakarta terbagi dalam beberapa tahap. Fase pertama adalah Mataram kuno pada masa Sri Sultan Hemengkubuwono I 1756. Pada masa ini, warga Mataram sudah mengalami perjumpaan dengan agama-agama besar dunia seperti Hindu, Buddha, Islam dan Kristen. Mereka juga berinteraksi dengan budaya-budaya besar dari luar seperti Eropa, Cina, Arab, India dan budaya-budaya lain dari wilayah Nusantara. Dalam episode sejarah lebih lanjut, Yogyakarta berkembang menjadi sebuah kota dengan basis budaya Jawa dan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat yang bersifat terbuka, inklusif, dan toleran bagi pendatang. Karena itu, Yogyakarta tetap menjadi pusat budaya di Indonesia. Fase kedua adalah sewaktu Yogyakarta menjadi ibu kota republik Indonesia antara 1945-1949. Secara politik, saat itu, Yogyakarta menjadi simpul kebangsaan dan secara tidak langsung menjadi ruang perjumpaan gagasan para pejuang dan para kaum republikan dari seluruh nusantara. Perjumpaan beragam gagasan inilah yang akhirnya turut membentuk watak toleransi masyarakat Yogyakarta.
230
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
Fase ketiga adalah status Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Berdirinya Universitas Gadjah Mada pada 1949 menandai babak baru pembentukan masyakarat Yogyakarta sebagai komunitas multikultur dengan visi dan misi kebangsaan yang melampaui model Kerajaan Mataram. Adalah Sultan Hamengkubuwono IX, tokoh visioner raja Mataram modern yang memandang pentingnya Yogyakarta menjadi laboratorium pembentukan spirit kebangsaan berbasis pada perbedaan geografis, etnis, agama dan ekonomis di seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda dalam rangka proses menjadi Indonesia. Sejak itu, mahasiswa dan pelajar dari berbagai wilayah tanah air, bahkan dari luar negeri, memilih belajar di Yogyakarta membawa aneka ragam kekayaan kebudayaan mereka. Mereka membaur di tengah masyarakat di kampung-kampung secara alamiah dan terjadilah proses akulturasi budaya secara massif. Sebaliknya, warga Yogyakarta juga belajar mengenal dan menerima berbagai keragaman budaya dan karakter manusia Indonesia dari luar budaya Yogyakarta.43 Demikian babak sejarah pembentukan watak dan sikap hidup masyarakat Yogyakarta yang melahirkan beragam identitas baru; kota budaya (Jawa), kota pendidikan, kota parawisata, dan kota toleransi (the city of tolerance). Dalam konteks kekinian, apakah watak dan identitas ini benar-benar menunjukkan realitas empiris kehidupan masyarakat Yogyakarta? Mungkin identitas tersebut tepat menggambarkan Yogyakarta tempo dulu. Pasalnya, saat ini kita kerap dihadapkan pada gejala sosial lain yang cukup berbeda dengan Yogyakarta yang dulu. Saat ini, kita kerap menjumpai sejumlah aksi kekerasan dan ketegangan yang dipicu perbedaan pandangan atau keyakinan antar masyarakat setempat, mulai dari ketegangan sosial politik, keyakinan agama, perbedaan suku, hingga konflik antar sesama pelajar dan remaja. Karena itu, tak heran jika Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri mengatakan, Yogyakarta kini mengalami kemunduran yang cukup menggelisahkan. Herry Zudianto, Kekuasaan Sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur (Kanisius: Yogyakarta, 2008), h. 51-65. 43
231
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Kemunduran ini bukan karena Yogyakarta ditimpa gempa bumi pada 2006, melainkan karena semakin menipisnya nilai-nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta belakangan ini. Berdasarkan data kekerasan agama yang dihimpun the Wahid Institute, kita bisa mengambil kesimpulan, Yogyakarta saat ini kurang mampu menujukkan watak masyarakat yang toleran dan cinta damai. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan aksi kekerasan berbasis agama di wilayah Yogyakarta.44 Terlebih, jika mengamati sejumlah media massa antara 2000 hingga 2008, kita akan mendapati sebuah gambar besar tentang Yogyakarta yang mulai diwarnai lahirnya gerakan-gerakan ideologi salafisme-wahabisme. Pada awal 2000 misalnya, kita dikejutkan dengan peristiwa tabligh akbar atau deklarasi Laskar Jihad oleh Forum Komunikasi Ahlisunnah Waljama’ah (FKAWJ) di bawah pimpinan Ja’far Umar Thalib. Forum ini nampaknya bukan sekedar pengajian agama biasa, melainkan bertujuan untuk menggerakkan kaum muslimin melakukan perang suci (Jihad) melawan orang-orang Kristen dalam konflik Ambon. Begitu juga, pada pertengahan 2000, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) juga dideklarasikan di gedung Wanita Tama, Yogyakarta. Lazim diketahui, kedua ormas tersebut mengusung formalisasi syariat Islam di Indonesia.45 Sejak saat itu, gerakan radikalisme agama mulai menunjukkan intensitas yang tinggi di kota ini. Mulai tragedi peledakan bom di perempatan kantor pos besar Yogyakarta pada 2000 hingga tuntutan jilbabisasi Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) melalui penerapan Perda Jilbab di Yogyakarta pada akhir 2006. Bahkan, bagi sebagian kalangan, Yogyakarta juga identik dengan tempat persembunyian para pelaku terorisme yang selama ini kerap meneror bangsa dengan peledakan bom atas nama agama.46 44 Pada 2008, terjadi 14 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan kekerasan berbasis agama dalam beragam bentuk di Yogyakarta. Lebih lanjut lihat, Laporan Tahunan: Menapaki Bangsa Yang Retak (The Wahid Institute: Jakarta, 2008). 45 Lihat Ahmad Shidqi, Sepotong Kebenaran Milik Alifa (Kanisius: Yogyakarta, 2008), h. 71-75. 46 Yogyakarta kerapkali menjadi tempat persinggahan sejumlah jaringan teroris
232
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
Seiring dengan gejala di atas, gerakan “Islamisasi” di sejumlah sekolah dan kampus Yogyakarta semakin gencar dilakukan, tidak terkecuali sejumlah kampus unggulan di Indonesia. Melalui gerakan-gerakan keagamaan semisal Lembaga Dakwah kampus (LDK) di kampus-kampus inilah benih-benih gerakan radikalisme agama berbasis wahabisme mendapatkan ruang konsolidasi dan kaderisasi.47 Hal ini dikuatkan hasil penelitian Imdadun Rahmat dan Khamami Zada bahwa hingga akhir 80-an, LDK menjadi tempat belajar dan berdakwah para aktifis yang menjadi pelopor gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), gerakan Salafi dan Laskar Jihad.48 Sehingga tak heran, perlahan namun pasti, masyarakat sekitar kampus-kampus turut terpengaruh gagasan radika lisme agama yang diusung gerakan “Islamis” di atas. Kota Bandung saat ini membuktikan fenomena menguatnya arus radikalisme dan sikap eksklusifitas masyarakat dalam praktik keagamaan setempat. Selain faktor historis basis gerakan Negara Islam Indonesia-Darul Islam Indonesia (NII/DII) yang memang pernah mewarnai sejarah kota-kota di Jawa Barat, tentunya fakta tersebut tidak lepas dari keberadaan kampuskampus di Bandung yang selama ini menjadi basis kaderisasi sejumlah gerakan Islam radikal.49 Begitu juga yang terjadi di Yogyakarta, menguatnya radikalisme agama di sejumlah kantung-kantung pendidikan ini secara tidak langsung cukup berpengaruh terhadap dinamika sosial, politik dan keagamaan yang terjadi di daerah sekitarnya.50 yang selama ini beoperasi di Solo, Temanggung dan Cilacap semisal Abu Dujana yang bersembunyi di daerah Sleman, Yogyakarta. Bahkan, ada salah seorang buronan teroris yang ditembak mati di kawasan jalan lingkar utara Maguwoharjo, Depok, Sleman. Kedaulatan Rakyat, edisi 21 Maret 2007 dan 12 Juni 2007. 47 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah (Teraju: Jakarta, 2002), h. 99–100. 48 Imdadun Rahmat dan Khamami Zada, Agenda Politik Gerakan Islam Baru (Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 16, 2004). 49 Sejarah gerakan Islam Radikal di Bandung bermula dari gerakan dakwah yang dipelopori Imaduddin Abdurrahim sewaktu aktif menjadi pengurus Masjid Salman, Institute Teknologi Bandung (ITB). Kepeloporan Masjid Salman ini kemudian diikuti para mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Lebih jauh, lihat Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah (Teraju: Jakarta, 2002). 50 Pengaruh gerakan Islam radikal kampus terhadap gerakan radikalisme ma-
233
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Memang bila kita telusuri secara lebih cermat, tidak ada korelasi langsung antara kemunculan FPI di Yogyakarta dengan fenomena radikalisme agama di kampus-kampus tersebut. Pasalnya, secara ideologis, gerakan-gerakan FPI sendiri dalam banyak hal tidak sesuai dengan spirit dasar kalangan salafisme, baik yang berbasis di kampus melalui gerakan-gerakan Usroh maupun yang di luar kampus seperti Laskar Jihad dan MMI. Namun, dari segi visi dan semangat keagamaan, khusunya terkait dengan masalah hubungan antar agama, kelompok semisal FPI sangat terkait dengan gerakan revivalisme agama secara umum di Yogyakarta. Dalam pengertian, fenomena menguatnya faham Islamisme eksklusif dan intoleran yang berbasis kampus dan kemudian menyebar ke lapisan masyarakat luas ini dijadikan sebagai momentum oleh FPI untuk melancarkan gerakan-gerakan keagamaan yang memang dikenal cenderung berbau kekerasan. Sehingga, sikap superioritas FPI terhadap sejumlah aliran kepercayaan menjadi semakin besar yang berujung pada tindakan kekerasan terhadap kelompok atau aliran apapun yang dianggap keluar dari jalur syariat Islam. FPI seolah meyakini, aksi yang mereka lakukan, termasuk terhadap warga Sapta Darma akan mendapat dukungan dari masyarakat Yogyakarta yang memang sudah berubah tidak toleran itu. Fenomena inilah yang bisa kita tangkap dari gambaran kehidupan masyarakat Yogyakarta belakangan ini. Perilaku sosial masyarakat Yogyakarta yang sebelumnya lebih bercorak toleran dan cinta damai berubah menjadi ketegangan dan bahkan sering berujung pada aksi-aksi kekerasan agama. Sementara itu, jika di tarik benang merahnya, menguatnya gerakan radikalisme semisal FPI ini jelas merupakan dampak lebih lanjut dari menguatnya gerakan-gerakan salafismewahabisme di sejumlah kampus di kota Yogykarta. syarakat di luar kampus tersebut juga diafirmasi sosiolog sekaligus peneliti UGM, Ari Sudjito, khususnya ketika menganalisa fenomena terorisme di Yogyakarta. Menurut pengamatannya, kelompok-kelompok studi dengan kajian khusus dengan keanggotaan eksklusif berpotensi mengkristalkan nilai-nilai radikal dalam masyarakat. Yogyakarta sebagai wadah perjumpaan para pendatang menyebabkan daerah ini rawan dijadikan tempat singgah para teroris. Opini di Kompas Jogja, edisi 22 Maret 2007.
234
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
III. Kesimpulan Dan Rekomendasi Di satu sisi, relasi antar agama dan relasinya dengan negara di sisi lain memang selalu menjadi persoalan yang tidak pernah tuntas di negeri ini. Hal ini setidaknya tampak dari maraknya ketegangan dan aksi kekerasan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Padahal, secara konstitusional negara sudah secara tegas mengakui dan menjamin hak dan kebebasan setiap individu dalam memilih dan mengamalkan ajaran agama dan keyakinan masing-masing. Namun, sebab kurangnya konsistensi pemerintah sebagai pengawal dan penjamin tegaknya amanat konstitusi, akhirnya berbagai tindakan diskriminatif dan aksi kekerasan menyangkut hubungan antar agama masih kerap muncul di tengah-tengah masyarakat. Situasi ini diperparah dengan munculnya sikap eksklusifisme keagamaan yang belakangan semakin tumbuh subur di negeri ini. Dalam kasus Yogyakarta, bukti sikap eksklusifisme adalah semakin maraknya kelompok dan gerakan keagamaan yang berwatak fanatik dan radikal di sejumlah kampus dan masyarakat umum. Dari kantung-kantung radikalisme ini, benih-benih sikap eksklusifisme dan radikalisme keagamaan menyebar ke berbagai dimensi kesadaran masyarakat Yogyakarta. Akibatnya, watak toleransi masyarakat Yogyakarta yang berbasis pada etika hidup Jawa yang inklusif dan cinta damai semakin hari semakin terpinggirkan dan cukup mengkhawatirkan. Kasus penyerangan FPI ke Sanggar Cipta Busana milik Sapta Darma, salah satu aliran kepercayan yang cukup besar dan berpengaruh di Jawa, khusunya di Yogyakarta ini menjadi indikator yang dapat menggambarkan situsi di atas. Hal itu karena selama ini kita tidak pernah menjumpai ketegangan atau kekerasan agama antara masyarakat dengan kelompok aliran kepercayan, khususnya Sapta Darma di wilayah Yogyakarta. Sehingga, terjadinya aksi kekerasan agama secara tiba-tiba ini memunculkan pertanyaan besar tentang bangunan sosial budaya masyarakat Yogyakarta saat ini secara khusus, dan bangunan sosial-budaya bangsa Indonesia secara umum. Artinya, secara ideal kita saat ini perlu merefleksikan kembali nilai-nilai kebangsaan kita, sebab kekerasan dan ketegangan antar agama semakin hari bukannya semakin berkurang, melainkan justru
235
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
semakin menunjukkan intensitas yang tinggi dengan eskalasi yang semakin meluas. Namun demikian, secara praktis negara perlu mempertegas kembali sikapnya untuk melindungi dan memberikan jaminan rasa aman kepada setiap warga negara tanpa perlu membedabedakan latar belakang agama dan kepercayaan masing-masing. Penegasan negara ini jangan hanya dinyatakan dalam retorika politik yang membodohkan rakyat, melainkan harus diwujudkan dengan pencabutan dan atau perubahan terhadap sejumlah UU dan atau regulasi yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara. Selanjutnya, UU dan atau regulasi hasil perubahan itu harus betul-betul disosialisasikan secara cepat, tepat dan sempurna ke semua lapisan masyarakat negeri ini. Sehingga, jika masih muncul aksi-aksi kekerasan dan pendzaliman terhadap kelompok-kelompok yang sudah dijamin hak dan kebebasannya dalam memeluk agama dan menganut kepercayaan itu, Negara harus bertanggungjawab untuk menindak tegas para pelaku kekerasan dan pendzaliman tersebut. Dari penelusuran dan investigasi terhadap kasus-kasus kekerasan agama yang terjadi di Yogyakarta, khususnya kasus penyerangan FPI terhadap warga Sapta Darma di Sanggar Cipta Busana, kami perlu direkomendasikan sejumlah hal yang perlu segera ditindaklanjuti pihak-pihak yang berwenang: 1. Negara perlu segera mencabut peraturan perundangundangan yang masih membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan warga Negara, seperti UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan dan atau penodaan agama. 2. Perlunya sosialisasi secara tuntas berbagai peraturan per undang-undangan yang menjamin kebebasan warga Negara dalam memeluk agama, seperti UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan; Peraturan Presiden (Perpres) 25/2008 tentang Tata Cara Pengurusan Kependudukan; Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2007 tentang pelaksanaan UU No. 23 tahun 2006; dan regulasi-regulasi lain terkait dengan pelayanan publik terhadap hak-hak warga Negara. 3. Negara harus mengambil sikap tegas terhadap setiap pe lang garan hukum dan tindakan kekerasan yang meng atasnamakan agama.
236
Penyerangan Komunitas Sapta Darma di Yogyakarta
4. Negara dan masyarakat perlu mewaspadai terhadap pihakpihak yang dengan sengaja menjadikan agama dan isu keagamaan sebagai “komoditas politik” demi kepentingan pribadi yang tidak sejalan dengan misi luhur dari agama itu sendiri. 5. Negara dan masyarakat harus selalu mewaspadai dan membentengi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari gerakan salafisme-wahabisme yang semakin menguat di tanah air, semakin tidak toleran dan tidak menenggang ragam perbedaan agama dan keyakinan yang menjadi sunnatullah. 6. Seluruh elemen masyarakat harus semakin aktif menjaga dan terlibat dalam advokasi kelompok minoritas keagamaan yang semakin terancam keberadaannya. Jika hal ini terabaikan justru akan mengancam sendi-sendi kehidupan beragama yang toleran di bumi Indonesia tercinta.
237
238
Bagian II
Tradisionalisme Konservatif:
Penutupan Gereja Isa Al-Masih (GIA) Karangroto, Semarang, Jawa Tengah Oleh: Tedi Kholiludin1 dan Siti Rofi’ah2
Pendahuluan Membaca tulisan Peter L. Berger berjudul The Desecularization of the World: A Global Review, membuat penulis berdecak kagum.3 Pertama, karena secara gentle, ia mengakui kekeliruannya saat memetakan imbas dari modernitas. Dalam beberapa karya sebelumnya, termasuk The Sacred Canopy, sang sosiolog agama terkemuka ini menuturkan, modernitas akan membawa dampak terpinggirkannya agama dari ruang publik.4 Dengan kata lain, modernitas menggiring manusia pada dimensi sekularisasi. Menyadari kekeliruan ini, Berger serta merta merevisi tesis di atas. Menurutnya, ia telah keliru memahami gejala modernisasi
1 Peneliti adalah mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah. Saat ini, ia aktif di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Semarang, Jawa Tengah. 2 Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Perdamaian dan Transformasi Konflik Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta. Saat ini, ia menjadi aktifis di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Semarang, Jawa Tengah. 3 Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview”, dalam Peter L. Berger (ed), The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics (Washington D.C-Grand Rapids Michigan: Ethics and Public Policy Center, William B. Eerdmans Publishing Company, 1999), h. 8 4 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion (Doubleday, 1967), h. 105-125.
239
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
yang berujung pada tesis bahwa ada proses sekularisasi di situ. Justru saat ini terjadi gejala sebaliknya, yakni desekularisasi (desecularization). Fase ini ditandai dengan hadirnya simbol-simbol, ritual dan idiom-idiom keagamaan yang semakin marak mewarnai ruang publik. Dari sini, penulis semakin kagum kepada Berger, karena ia mengakui kekeliruan dan merevisi tesisnya tentang modernisasi. Kedua, penulis kagum sebab meski tulisan Berger tersebut tidak menyuguhkan sebuah analisa yang tajam, namun ia mampu menunjukkan eksistensi ”Islam yang lain” di Indonesia. Hal ini menandai kebangkitan Islam di Indonesia yang diwakili gerakan kebangkitan paling kuat, yakni NU. NU, mengutip Berger, mampu menampilkan watak yang berbeda dengan kelompok fundamentalisme Islam di berbagai belahan dunia. Kekaguman inilah yang hendak penulis elaborasi lebih lanjut. Bahkan, Berger menunjukkan rasa simpatiknya yang cukup besar terhadap NU secara eksplisit sebagai berikut: “...Thus in Indonesia, the most populous Muslim country in the world, a very powerful revival movement, the Nahdlatul Ulama is avowedly pro-democracy and pro-pluralism, the very opposite of what is commonly viewed as Muslim “fundamentalism”.5
NU sebagai organisasi sosial masyarakat terbesar di Indonesia berhasil menampilkan wajah ramah dan inklusif terhadap gagasan demokrasi dan pluralisme. Begitulah Berger menggambarkan situasi keagamaan di Indonesia yang ditandai dengan hadirnya NU sebagai jangkar gerakan moderatisme Islam di Indonesia. Simpati Berger tentang eksistensi “Islam yang lain” di Indonesia menyembulkan segudang harap. Salah satu harapan itu adalah agar kehadiran NU sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia mampu memberi kontribusi bagi terbentuknya karakter Islam yang khas dengan kepribadian bangsa Indonesia. NU yang santun, ramah dan jauh dari sikap fanatisme keagamaan yang kerap berujung pada aksi kekerasan dan angkara murka. Menurut penulis, pernyataan Berger tersebut adalah penga5 Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview”, dalam Peter L. Berger (ed), The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics (Washington D.C-Grand Rapids Michigan: Ethics and Public Policy Center, William B. Eerdmans Publishing Company, 1999), h. 8
240
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
kuan tulus dan tanpa tendensi apapun. Pertanyaan yang muncul, sampai hari ini, apakah pujian Berger bahwa NU adalah gerakan pro demokrasi dan pro pluralisme bisa dipertahankan? Jika Berger menelisik perkembangan gerakan dan pemikiran Islam Indonesia paska Gus Dur, khususnya pergulatan tradisi di jantung NU, mungkin ia akan merubah pandangannya tentang gerakan Islam moderat. Sewaktu Berger menulis pada awal 1999, NU memang tengah concern menghembuskan wacana pluralisme, demokrasi dan pengembalian hak-hak minoritas. Saat itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah masinis yang baik bagi NU. Dalam situasi seperti itulah Berger menarik kesimpulan bahwa NU adalah gerakan pro pluralisme.6 Kalau boleh disebut, sikap NU yang demikian itu tidak terlepas dari hadirnya aktor yang dapat memainkan peran dengan baik di sana. Situasi berbeda dialami NU paska Gus Dur. NU tidak lagi bisa disebut sebagai lokomotif bagi gerbong moderatisme, pluralisme dan multikulturalisme. Dalam tubuh kelompok arus utama, semua faksi fundamentalisme hingga liberalisme saling bersaing. Tak pelak, faksi fundamentalis malah lebih dominan dan menguasai posisi-posisi strategis. Beberapa fatwa yang diterbitkan MUI merupakan bukti betapa kuatnya arus konservatisme mengendalikan institusi ini. Jangkar NU di akar rumput malah lebih parah lagi. Sebagian warga NU menutup rumah ibadah umat lain yang dianggap meresahkan warga. Salah satu kejadian yang melibatkan warga NU adalah penutupan Gereja Isa Almasih (GIA) Karangroto, Kecamatan Genuk Kota, Semarang pada 31 Juli 2005. Secara umum, jika dilihat dalam skala yang lebih luas, tahun 2005 merupakan tahun kelam dalam sejarah kekerasan agama di Indonesia. Sebagian besar kekerasan tersebut berupa penutupan tempat ibadah (gereja).7 Gereja Karangroto adalah salah satu kasus yang melibatkan warga NU sebagai panglima terdepan dalam soal penutupan tersebut. Di sini, tentu saja menarik melihat keterlibatan Perhatikan misalnya dalam Djohan Effendi, A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of a New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2008). 7 Untuk melihat secara lebih lengkap data Kekerasan atas Nama Agama Pasca Pemilu Presiden 2004, lihat Ahmad Suaedy. dkk, Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), h. 364. 6
241
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
warga NU dalam kasus penutupan rumah ibadah. Sekilas, fakta ini mengingatkan kembali kasus pembantaian anggota PKI 1965/1966 yang juga diduga melibatkan warga NU. Penelitian ini hendak mengurai beberapa masalah yang terdientifikasi sebagai pertanyaan penelitian. Pertama, faktor internal NU yang menjadi latar belakang konflik penutupan gereja. Kedua, peran negara dalam menengahi konflik penutupan gereja oleh warga NU.
Perspektif Pembacaan Dalam meneliti kasus ini, di satu sisi, penulis melihat posisi negara dan warga dalam bingkai pelayanan publik, sekaligus menelisik hubungan gereja dan berbagai kelompok sosial, di sisi yang lain. Kerangka analisis lebih lanjut adalah menyangkut konflik sosial (social conflict). Di wilayah sosial, konflik terjadi manakala persaingan dan kompetisi untuk mencapai sebuah tujuan tidak memperoleh ruang kanalisasi. Hal ini memunculkan ketidakpuasan sebagai kondisi awal dari konflik. Di sini, penulis hendak menelusuri keterkaitan konflik dengan relasi sosial kelompok-kelompok yang ada. Minimal, penulis hendak meneliti dua hal: pertama, relasi konflik sosial dan kepentingan kelompok sosial tertentu yang memiliki pengaruh terhadap pemangku kebijakan (pemerintah). Syahdan, relasi sosial dan kepentingan sangat erat terkait. Di sini, kepentingan adalah bagian dari artikulasi kelompok sosial. Sedangkan konflik adalah sesuatu yang memang menjadi karakter umum dialektika sosial, sehingga konflik merupakan bagian dialektika sosial an sich. Sebagai sebuah dialektika sosial, konflik mengandaikan sejumlah kepentingan berdasarkan motif dan tujuan yang hendak dicapai kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini, negara, kelompok penutup gereja dan jemaat gereja sendiri dapat di bingkai sebagai pemangku kepentingan. Karena itu, meneliti relasi antar berbagai kelompok ini adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, penulis menggunakan teori konflik Ralf Dahrendorf. Dalam teorinya, ia mengandaikan keberadaan otoritas-otoritas ”tidak resmi” lain di balik otoritas ”resmi” atau ”legal”. Meskipun pandangan Dahrendorf banyak terilhami pemikiran Marx, namun menurut hemat penulis, teori konflik Dahrendorf cukup relevan
242
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
digunakan sebagai pisau analisis terhadap kasus pembongkaran Gereja Karangroto tersebut. Dengan teori ini pula, penulis hendak melacak sejauhmana otoritas eksternal dapat mempengaruhi ”pemilik alat produksi” (pemerintah). Kedua, bagaimana peran negara dalam menjamin hak kebebasan beragama dan bagaimana dampak konflik tersebut dalam perspektif Johan Galtung.
GIA Karangroto dan Kronologi Konflik Secara administratif, Gereja Isa Almasih (GIA) Karangroto adalah rumah sewaan terletak di Karangroto Barat, Blok A, RT.06 RW.03, Genuk Kota, Semarang, Jawa Tengah. Sedari awal, rumah tersebut digunakan sebagai Tempat Pembinaan Iman (TPI) Jemaat Gereja Isa Almasih (GIA) Pringgading yang berdomisili di wilayah Karangroto. Sebelum menyewa rumah, jemaat binaan berpindahpindah dari satu rumah ke rumah jemaat lain. Mengingat jemaat terus bertambah, pengurus berinisiatif menyewa rumah untuk memudahkan jemaat beribadah dan tidak perlu berpindah-pindah. Rumah sewaan ini berada di area perkebunan pisang dan jauh dari perkampungan warga Karangroto, Genuk, Semarang. Perkebunan pisang yang sepi berubah menjadi perkampungan jemaat Gereja. Pada 1989, Pemkot Semarang melakukan normalisasi sungai.8 Konsekwensinya, penggusuran rumah-rumah penduduk tidak dapat terelakkan. Satu tahun berselang, tepatnya pada 1990, pemerintah mengalokasikan rumah tinggal baru bagi warga di sekitar bantaran sungai Semarang yang sebelumnya terkena proyek pelebaran. Kelurahan Karangroto adalah salah satu tempat relokasi penduduk yang terkena penggusuran. Sejak saat itu, desa ini mulai berangsur ramai dengan komunitas warga baru yang tentunya juga mempengaruhi pertumbuhan gereja dengan bertambahnya jemaat dari warga pendatang. Aktifitas pembinaan iman di wilayah tersebut berjalan dengan baik, tumbuh dan berkembang hingga menjadi jemaat. Lambat laun, mereka membutuhkan tempat yang layak untuk aktifitas dan kegiatan peribadatan tersebut. Berkembangnya jemaat juga sebenarnya Dokumen Tempat Pembinaan Iman (TPI) Umat Nasrani Wilayah Karangroto. Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009. 8
243
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
bukan karena keberhasilan mengkristenkan yang lain, tetapi juga karena implikasi dari relokasi juga. Relokasi itu datang dari berbagai tempat. Sehingga, jemaat Kristen dari luar daerah yang terkena gusuran juga sampai ke Karangroto dan sekitarnya. Bahkan, jemaat gereja lain seperti Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), Gereja Baptis dan GPdI juga bergabung ke Karangroto.9 Pasalnya, kalau jemaat harus beribadah ke gereja Citarum jaraknya sangat jauh. Sehingga, dibangunlah gereja yang cukup representatif untuk menampung jemaat yang berasal dari banyak denominasi tersebut. Sejak awal, hubungan pihak gereja dengan masyarakat terjalin dengan cukup baik, bahkan sejak jemaat GIA Pringgading mulai melaksanakan ibadah dari rumah ke rumah. Hampir tidak pernah terjadi ketegangan dan konflik menyangkut keberadaan rumah tersebut dan jemaat yang beribadah di dalamnya. Jemaat dan pengurus gereja adalah orang-orang sederhana yang juga memiliki cara berpikir sederhana pula. Mengingat telah terjalin hubungan baik antara warga dan pihak gereja, pengurus dan jemaat mulai membangun rumah ibadah di atas tanah yang sudah mereka beli dengan hanya “pemberitahuan lisan” pada warga sekitar. Mengingat jemaat yang kian bertambah, pada 1998, pengurus gereja menyewa sebuah rumah dan 1 kapling tanah dengan luas tanah keseluruhan 260 meter persegi atas nama Gustav AA. Dopong. Gustav inilah yang kemudian menjadi pendeta setempat. Pada 2002, jemaat mulai menggalang dana swadaya untuk membangun rumah sewaan tersebut, mengingat kondisinya yang sudah sangat rapuh dan tidak bisa lagi menampung kehadiran jemaat. Karena minimnya dana, peletakan batu pertama baru dimulai pada Juni 2004. Setahun berselang, tepatnya pada Juli 2005, pembangunan gereja selesai. Akhirnya, rumah sewaan yang semula berukuran 8x8 m2 berubah menjadi sebuah bangunan gereja berkerangka besi dengan luas total 200 meter perrsegi.10 Ironisnya, berdirinya bangunan gereja yang cukup layak tersebut justru menjadi awal pemicu konflik dengan warga sekitar. Pdt. Daud menuturkan, “Jemaat gereja saat itu kurang menyadari tentang adanya sarat perizinan dan sebagainya sebab menganggap sudah lama di sana. Sementara itu, sebagian pendatang lain 9 10
Wawancara dengan Pdt. Daud, 10 Desember 2009. Wawancara dengan Tri, 10 Desember 2009.
244
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
kurang memahami soal perizinan rumah ibadah dan komunikasi antar kedua belah pihak kurang terbangun dengan baik. Hal inilah yang menjadi titik awal ketegangan hingga berubah menjadi konflik terbuka”.11 Beberapa kalangan menilai, pembangunan gereja tersebut tidak sesuai dengan prosedur sebab tidak memiliki IMB. Sesaat setelah gereja dibangun, merebak isu kristenisasi di kalangan warga Karangroto. Baik pihak gereja maupun LPMK Karangroto kesulitan mengidentifikasi dari mana awal mula isu tersebut muncul. Saat itu, isu kristenisasi begitu kuat dan menyebar di wilayah Karangroto. Menurut beberapa warga yang sempat diwawancarai penulis, proses kristenisasi dilakukan dalam berbagai kegiatan gereja, salah satunya adalah melalui kelompok belajar anak-anak yang selama ini dibina gereja.12 Soal lain adalah menurut warga setempat gereja terlalu eksklusif dalam mengembangkan kegiatan sosial. Meskipun jika dilihat dari substansi kegiatannya cukup baik, namun karena dikembangkan pihak gereja dalam masyarakat yang mayoritas muslim, kegiatan sosial itu justru menjadi masalah. Semakin menguatnya isu kristenisasi, pada 4 Juni 2005, aliansi Muslim Kelurahan Karangroto mengeluarkan “Maklumat” yang berisi seruan terhadap pengurus gereja untuk menghentikan seluruh aktifitas gereja. Surat pernyataan ini ditandatangani 15 tokoh masyarakat.13 Maklumat ini sendiri memuat dua tuntutan: 1) menyegel bangunan gereja di RW III dan tuntutan penghentian segala aktifitas di dalamnya; 2) penyegelan gereja tersebut berlaku hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Pada Minggu 24 Juli 2005, pihak Kelurahan Karangroto mengadakan Musyawarah Kelurahan (Muskel). Agenda acara yang tercantum dalam undangan yang ditandatangani Lurah Karangroto, Karmo Dwi Listono, adalah Musyawarah Warga Kelurahan Karangroto Kecamatan Genuk. Undangan ini juga ditujukan kepada Ketua RT/RW, Pengurus LPMK, Pengurus Takmir Masjid, Ketua IPNU dan IPPNU, Fatayat, Tokoh Masyarakat dan Agama se-Kelurahan Karangroto dan MUSPIKA Genuk. Pertemuan dilaksanakan di Balai Wawancara dengan Tri, 10 Desember 2009. Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009. 13 Penandatangan Maklumat di atas adalah: Muhammad Shokhim, Muhrosin, Ali Subhan, Muzammil, KH. Muhtarom, Muhtadi, Suwardi, Irham, Abdul Wahid, Muhammad Munif, Slamet Ansori, Supriyanto, Munaryo, Muhammad Mahfudz dan K. Ali Mansyur. 11
12
245
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Kelurahan Karangroto pada pukul 08.30 WIB.14 Tampaknya, umat Islam setempat merasa harus melakukan semacam psywar dengan terlibat dalam pertemuan tanggal 24 Juli. Melalui forum yang bernama Masyarakat Peduli Bangsa (MPB).15 Pada saat yang sama, MPB menyebar undangan dan ditujukan kepada kaum Muslimin Muslimat. Mereka diminta untuk hadir di Halaman Aula Kelurahan Karangroto. Adapun agenda acaranya yang tercantum dalam undangan MPB adalah: 1) memberikan dukungan spiritual kepada umat Islam dalam musyawarah kelurahan; 2) aksi massa umat Islam Karangroto dan sekitarnya; 3) perang melawan pemurtadan. Hasil dari musyawarah itu sendiri tidak ada dokumentasi detailnya. Akan tetapi, menurut M. Syafi’i, selaku ketua LPMK Karangroto, salah satu poin penting dari musyawarah itu adalah penutupan gereja serta pengakuan Pdt. Gustav atas kekeliruannya. M. Syafi’i menuturkan, “Musyawarah kelurahan itu dihadiri semua kalangan termasuk Pdt. Gustav dari Gereja. Pdt. Gustav menyadari telah melakukan kekeliruan. Semua elemen terwakili sehingga camat kemudian mengeluarkan surat pembongkaran dan tidak merasa bersalah sedikitpun ketika mengeluarkan surat tersebut. Kesimpulan yang saya ingat adalah bahwa solusi untuk masalah itu hanya pembongkaran gereja, tidak ada solusi lain”.16 Berdasarkan hasil keputusan muskel itu, pada 28 Juli 2005, Pemerintah Kecamatan Genuk mengirimkan surat kepada Gustav AA. Dopong perihal pembongkaran bangunan di RT.06/RW.III, Kelurahan Karangroto. Dalam surat tersebut dicantumkan salah satu dasar pembongkaran adalah surat dari Lurah Karangroto tertanggal 25 Juli 2005 No. 332/85 tentang Hasil Musyawarah Kelurahan mengenai pembangunan Gereja di Karangroto pada tanggal 24 Juli 2005. Pemerintah Kelurahan Karangroto, Nomor 005/83, Undangan Muskel tertanggal 19 Juli 2005. 15 Masyarakat Peduli Bangsa (MPB) adalah sebuah forum gabungan yang terdiri dari berbagai organisasi keagamaan berbasis NU. Adapun organisasi yang tergabung dengan MPB antara lain: Tanfidziyah NU, Fatayat NU, Muslimat NU, IPNU, IPPNU, dan GP Ansor. MPB muncul sebagai gerakan yang mendukung penutupan gereja. Sebelum konflik gereja muncul, MPB belum pernah ada. Selanjutnya, MPB yang secara intens mendorong berbagai pihak terutama pemerintah untuk menutup Gereja Karangroto. 16 Wawancara M. Syafi’i, 29 November 2009. 14
246
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
Surat camat tersebut memuat sejumlah keputusan sebagai berikut: 1) pelaksanaan pembangunan gereja di RT.06/RW III dihentikan karena tidak melalui proses atau aturan yang berlaku; 2) menghentikan kegiatan apapun yang berhubungan dengan TPI atau Gereja tersebut; 3) dalam melaksanakan pemberian bantuan sosial agar berkoordinasi dan bekerjasama dengan lembaga yang ada di wilayah Kelurahan Karangroto; 4) masyarakat sepakat memberi waktu 1 minggu untuk membongkar bangunan Gereja tersebut; dan 5) apabila keputusan ini dilanggar maka umat Islam Karangroto akan melaksanakan pembongkaran secara paksa. Tidak lama berselang, Camat Genuk menginstruksikan agar bangunan gereja dibongkar dalam waktu 1 minggu, terhitung mulai tanggal 24 sampai dengan 31 Juli 2005. Apabila dalam rentang waktu tersebut pembongkaran tidak dilaksanakan jemaat sendiri, Tim akan membongkar secara paksa. Sebab pihak gereja tidak melakukan pembongkaran sendiri, pada 31 Juli 2005, eksekusi pembongkaran gereja dilakukan di bawah komando langsung camat setempat. Selama pembongkaran, diadakan pengajian di depan lingkungan gereja. Pembongkaran gereja dilakukan tim yang sengaja didatangkan dari luar wilayah Karangroto. Masyarakat Karangroto hanya melihat kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa. Dari hasil wawancara penulis, sebenarnya sebagian besar warga masyarakat tidak mengerti kenapa gereja harus dibongkar. Karena itu, selama pembongkaran berlangsung, masyarakat sekitar hanya terdiam melihat gereja roboh rata dengan tanah. Reaksi terhadap penutupan Gereja Isa Almasih (GIA) muncul dari berbagai kalangan. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan sejumlah tokoh kerukunan umat beragama meminta ketegasan pemerintah terkait masih terus terjadinya aksi perusakan dan penutupan rumah ibadah. “Kita meminta pemerintah bertindak. Kalau pemerintah tak mampu terpaksa umat bertindak sendiri,” ujar Gus Dur di gedung PBNU, Jakarta, Selasa 25 Agustus 2005.17 Gus Dur menyatakan, penutupan tempat ibadah secara paksa oleh siapa pun bertentangan dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 soal kebebasan menjalankan agamanya.
17
Christian Post, 26 Agustus 2005.
247
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
MPB dan Kelompok Tradisionalisme Konservatif Seperti yang telah disinggung di atas, konflik penutupan GIA Karangroto melibatkan dua komponen: MPB (masyarakat sipil) sebagai inisiator dan negara (pemerintah kecamatan) sebagai eksekutor. MPB merupakan ”forum dadakan” yang dibentuk umat Islam Karangroto secara spontan. Sementara mereka yang terlibat dalam forum itu hampir semuanya adalah Pengurus Ranting NU Karangroto; Tanfidziyyah, Muslimat, Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU. Dalam hal ini, menurut penulis, mereka bisa dikelompokkan dalam gerakan ”tradisionalis-radikal”. Secara geografis, kebetulan di RW III di mana gereja berdiri, tinggal Rais Syuriah (KH. Muhtarom) dan Ketua Tanfidziyyah NU Ranting Genuk. Selama ini, mereka berdua yang menjadi pembina kegiatan keislaman di Karangroto. KH. Muhtarom adalah pendatang dan berdomisili di sana sejak 1989.18 Biasanya, antar warga pendatang tidak saling mengenal. Terlebih, mayoritas warga pendatang di RW III dalam kondisi yang kurang beruntung secara ekonomi. Hal ini juga menjadi salah satu pemicu mengapa persoalan gereja menjadi sedemikian kompleks. Sebelum 2005, relasi antar umat Islam dan non-muslim sebenarnya tidak ada masalah. M. Syafi’i menceritakan keterlibatan mereka dalam kegiatan kelurahan, sebagai berikut: “Saya itu aktif di LPMD. Saya dan Pak Thomas (Katolik, Wakil LPMD/K) malah sering bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah desa. Tokoh-tokoh Kristen itu kebetulan banyak yang tidak aktif di desa, sehingga tidak banyak yang kenal dengan masyarakat setempat. Sementara, yang Katolik kebetulan ada yang mau berbaur, jadi sebagian diantaranya dikenal masyarakat. Jadi, hubungannya bagus. Sementara, adanya gesekan dengan kelompok Kristen itu karena tidak memiliki hubungan kelembagaan dengan umat Islam, jadi tidak banyak saling berhubungan. Mereka melakukan kegiatan keagamaan dalam lingkupnya sendiri. Jika kegiatannya dilakukan melalui jalur administrasi pedesaan seperti RT, RW lalu ke Desa mungkin gesekan itu bisa dieliminir. Sehingga aktifitas seperti bimbingan belajar, rekreasi itu akan berjalan aman jika melalui jalur formal (mengikuti alur desa)”.19
18 19
Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009. Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009.
248
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
Di sisi lain, umat Islam Karangroto menganggap mereka adalah kelompok mayoritas yang harus melakukan dan menguasai semua lini kehidupan mulai dari ekonomi, sosial, politik hingga keagamaan. Sebaliknya, di sana ada kelompok minoritas yang melakukan kegiatan dengan skala besar, tentu ketimpangan ini memunculkan iri dan amarah warga setempat. Syafi’i berujar, “Yang terjadi sesungguhnya mereka tidak mampu, tapi ketidakmampuan itu kemudian menjadi amarah”.20 Gereja Isa Almasih (GIA) Karangroto berdiri di dekat pemukiman agak kumuh yang menjadi tempat tinggal sebagian umat Islam setempat. Ketua ranting NU sendiri adalah pindahan dari Tambaklorok yang terkena pelebaran jalan Tol. Kebanyakan masyarakat RW III itu adalah pindahan dari Gabahan, Petempet dan Kranggan. Karena saat itu masih dalam bentuk sawah. Dalam hal ini, sejak 1987, sebenarnya pemerintah juga mengambil kebijakan yang keliru karena merelokasi masyarakat sebelum prasarananya memadai. Gereja hadir dalam “wilayah transmigrasi” dengan masyarakat yang merupakan pindahan dari berbagai tempat. Mereka orangorang susah. Kalau misalnya disiapkan, ini untuk rumah warga, lalu ada tempat ibadah, mungkin tidak akan pernah muncul gesekan itu. Pada 1989, dibangun SMP Nurul Ulum yang lahir dalam rangka memfasilitasi pendidikan dari anak-anak masyarakat pindahan. Jadi, aktifitas GIA masuk dalam situasi masyarakat yang serba kekurangan. Warga asli desa Karangroto sebenarnya adalah mereka yang tinggal di RW 8, 2, dan 7. Sebenarnya, warga pindahan (relokasi dari bantaran sungai dan lain-lain) itu memiliki kultur yang berbeda dan bisa dikatakan bahwa struktur sosial-keagamaan mereka lebih mirip dengan karakter “abangan”. Meski orang kota, mereka masuk kategori masyarakat kota dengan tingkat ekonomi yang bisa dikatakan belum mapan. Sehingga, problem pertama yang mereka hadapi ketika datang ke Karangroto adalah sarana dan prasarana. Sesaat menjelang meledaknya konflik pada 31 Juli 2005 yang diakhiri dengan pembongkaran gereja, Syafi’i selaku Ketua LPMK sudah mengingatkan kepada pihak gereja untuk segera membangun komunikasi dengan masyarakat. Menurutnya, Kristen itu bukan ba-
20
Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009.
249
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
rang baru, jadi sesungguhnya tidak perlu ada masalah.21 Sayangnya menurut dia, umat Kristen setempat kurang njawani. Dan juga saran untuk membangun komunikasi yang dilontarkannya, sepertinya sudah terlambat. Pasalnya, ketegangan yang menyeruak sudah sampai di tingkat kelurahan dan tinggal menunggu meledak saja. Arus penentangan yang kuat terhadap gereja muncul dari kelompok tradisionalis radikal tersebut. Terjadinya peristiwa itu karena, di satu sisi, mereka senang anaknya dapat bimbingan gratis, tetapi ketika disampaikan pada anggota keluarga lain, kegiatan itu menjadi bagian dari persoalan yakni prasangka dan ketakutan akan adanya kristenisasi, meski belum ada bukti. Kalau dicari penyebabnya dengan kacamata akademik, konflik itu merupakan akumulasi dari pelbagai masalah ekonomi, politik dan sosial. Termasuk gereja itu dibangun di tengah warga dan awalnya adalah rumah. Selain karena prasangka, kelompok “tradisionalis radikal” ini juga memiliki persoalan di bidang ekonomi. Umat Islam merasa marah karena ia tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Di lain pihak, kegiatan itu dilakukan umat lain tanpa ada komunikasi. Karena itu, selaku Ketua LPMK, M. Syafi’i memberikan saran kepada pihak gereja, kalau mereka memiliki paket kegiatan, biarlah paket kegiatan itu dijalankan teman-teman muslim. Jadi sederhana saja persoalan dan pemecahannya.22 Meskipun begitu, Syafi’i mengakui bahwa pesatnya perkembangan GIA adalah hasil prestasi mereka sendiri. Pengurus gereja mencari tanah, membangun gereja hingga mengurusnya sendiri. Keterlibatan pemerintah kecil, dalam situasi dimana mereka seharusnya hadir. Menyinggung soal keterlibatan NU sebagai lembaga dalam kejadian itu, Syafi’i mengatakan “kalau boleh digambarkan secara sederhana apa yang dilakukan Muhtarom itu adalah bahwa NU-nya pak Tarom itu bukan NU Ranting. Dengan begitu, ia lebih banyak mewakili dirinya”.23 Sementara itu, Busyairi Harits selaku Ketua NU Cabang Kota Semarang, menuturkan bahwa pembongkaran tersebut tidak dikoordinasikan dengan pihak Cabang NU setempat.24 Begitu ada masalah, Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009. Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009. 23 Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009. 24 Wawancara dengan Busyairi Harits, 6 Maret 2010. 21
22
250
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
baru ada komunikasi antara pihak Ranting, Majelis Wakil Cabang (MWC) dan Cabang NU. Padahal, pihak gereja sendiri juga telah meminta Cabang untuk menjadi fasilitator bagi pihak yang bertikai di Karangroto. Gereja Isa Almasih (GIA) Karangroto meminta konsistensi pengurus Cabang Kota Semarang sebagai pelanjut cita-cita Gus Dur. “Yang kami tahu, pemikiran NU itu sejalan dengan sikap Gus Dur yang membela kepentingan rakyat kecil”, ungkap pengurus GIA seperti ditirukan Busyairi.25 Busyairi menegaskan, NU memang konsisten untuk tetap membela kepentingan siapapun, tetapi ada beberapa pokok persoalan yang dianggap bermasalah bagi umat Islam di Karangroto. Salah satunya adalah perjanjian, agar pihak gereja menyelenggarakan kegiatan di lingkungan internal, yang dilanggar.26 Kalau pihak Gereja Isa Almasih (GIA) melaksanakan bantuan sosial, menyelenggarakan bimbingan belajar kepada anak-anak, umat Islam menganggap itu adalah bagian dari kristenisasi. Menurut Busyairi, yang juga staf pengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang, ada umat Islam yang melaporkan kepadanya bahwa ada beberapa anak yang sudah mulai simpati, sementara keluarganya tidak bisa menjelaskan perbedaan keyakinan itu secara tepat.27 Ketika disinggung soal izin, pihak gereja melalui Pdt. Daud mengatakan, memang ia mengakui ada kekeliruan gereja yang tidak memiliki IMB. Meski demikian, ia menyayangkan pembongkaran sebab IMB hanya sekedar isu pengalih dari ketidakmauan warga setempat untuk menerima gereja sebagai sebuah institusi keagamaan di tengah masyarakat. Pdt. Daud mengatakan “Soal izin itu sebenarnya peralihan saja. Pihak gereja memang harus diakui kurang menjalin komunikasi dengan aparat, pemerintahan desa dan lainnya. Alasannya, memang karena umat itu merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Kemungkinan lain, karena waktu itu tidak ada yang mengarahkan harus seperti apa atau mungkin juga mereka berpikir, daripada nanti ada masalah saat pengurusan, lebih baik tidak usah diurus saja sekalian”.28
Wawancara dengan Busyairi Harits, 6 Maret 2010. Wawancara dengan Busyairi Harits, 6 Maret 2010. 27 Wawancara dengan Busyairi Harits, 6 Maret 2010. 28 Wawancara dengan Pdt. Daud, 10 Desember 2009. Wawancara Tri, 10 Desember 2009 25 26
251
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Meskipun demikian, Ronny Chandra selaku rohaniwan GIA menyatakan, sebenarnya dari segi prosentase, gereja yang ditutup atau kesulitan perijinan itu jumlahnya lebih kecil jika dibanding dengan eksistensi gereja yangg tidak memiliki persoalan.29 Namun, bagaimanapun juga, situasi yang terjadi itu menimbulkan luka dan trauma tersendiri, khususnya bagi anggota jemaat Karangroto. Hanya saja, memang harus diakui ada aspek yang bisa dimaknai secara positif, yakni membuka kesadaran mengenai perlunya membangun komunikasi dengan pemeluk agama dan warga masyarakat lain secara intensif. Menurut pengurus Komisi Sosio-Religio-Kultural (SRK) GIA ini, jika hendak diambil hikmahnya, kejadian itu semacam shock terapy untuk warga dan pimpinan gereja dalam merumuskan ulang makna kehadirannya di tengah masyarakat. “Meski saya juga tidak membenarkan tindakan penutupan dan perobohan bangunan gedung gereja itu. Jelas itu juga melanggar kebebasan beragama dan beribadah”, tambahnya.30 Agar tidak berlarut-larut dan menyeret NU ke dalam kubangan radikalisme, Busyairi mengatakan, upaya penutupan gereja itu adalah opsi terbaik di antara pilihan-pilihan buruk yang tersedia. Tindakan itu perlu dilakukan karena NU memiliki dasar yang jelas dalam pengembangan keagamaan. NU itu memiliki prinsip yang dikenal dengan Ahlussunnah wal Jam’ah (Aswaja). NU dalam hal ini punya ciri tersendiri. Dalam ibadah, NU berpegang pada empat madzhab. Dan dalam kehidupan sosial keagamaan berprinsip pada empat hal, yaitu: 1) prinsip tawasuth (moderat). Dalam arti, NU itu garisnya moderat dan tidak ekstrem (tatharruf); 2) prinsip tawazun (seimbang) baik pada Allah, manusia dan alam; 3) prinsip tasamuh (toleran); dan 4) prinsip amar ma’ruf nahy munkar. Menurut Busyairi, hal ini dilakukan karena ia memegang prinsip tersebut, terutama prinsip tasamuh. Karena itu, setiap kali ada persoalan, kita selalu berpegang pada prinsip tasamuh ini. Dalam kejadian itu, umat Kristen sendiri yang melaporkan kepada pimpinan Cabang NU Kota Semarang bahwa gerejanya hendak dibongkar. Lazimnya, sebagian warga NU yang cenderung agak eksklusif menyitir ayat al-Quran Wa Lan Tardhaa ‘Anka al-Yahuudu Wa Lan al-Nashaara Hatta Tattabi’a Millatahum (orang Yahudi dan Nashra29 30
Wawancara dengan Ronny Chandra, 6 Maret 2010. Wawancara dengan Ronny Chandra, 6 Maret 2010.
252
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
ni tidak akan pernah rela, sehingga kamu mengikuti agama mereka: edt). Secara literal memang seperti itu, tetapi dalam beragama, tutur Busyairi, kita tidak hanya mengandalkan pemahaman literal. Apalagi pembongkaran gereja itu sejatinya bukanlah ibadah.31 Dalam Islam ada ajaran Ud’u Ilaa Sabiili Rabbika Bi al-Hikmat (berserulah kamu sekalian ke jalan Tuhanmu dengan hikmah: edt). Kemungkaran itu tidak boleh dibalas dengan kejahatan. Kemungkaran harus dibalas dengan kebaikan. “Saya tidak sepakat kalau ayat Inna al-Dina ‘Inda Allah al-Islam hanya diartikan, agama yang paling benar itu agama Islam”, papar Busyairi.32 Kita harus mengetahui dan memahami di mana ayat itu kita letakan. Kalau ayat itu diletakan di tengah-tengah orang yang berbeda agama, bisa saja orang yang tidak Islam, tetapi berbuat baik akan tetap masuk surga. Ini adalah sebuah bentuk pemikiran yang harus ditanamkan saat kita temukan orang-orang Islam yang memiliki pengetahuan berbeda. Kendala umum yang dialami warga NU dalam konteks pengembangan toleransi adalah: 1) masih ada golongan ulama yang konservatif. Mereka yang sulit menerima perbedaan dan tidak bisa berpikir toleran. Bahkan, ketika NU menyimpan uang di Bank saja itu dipersoalkan. Dan juga perlu dipahami, institusi kiai dalam tradisi NU mendapat porsi penting. Sehingga, jika mau memberdayakan warga NU agar berpikir terbuka, harus terlebih dahulu membuka pemikiran para kiai; 2) pendidikan; 3) ekonomi. Dalam konteks penutupan GIA Karangroto, selain faktor ekonomi juga terutama karena ada persoalan komunikasi dengan lembaga pemerintahan desa, masalah komunikasi yang terhambat itu juga perlu diselesaikan. Misalnya, jika kegiatan gereja dilakukan dengan terlebih dahulu dikomunikasikan melalui jalur RT, kemungkinan terjadinya konflik bisa diminimalisir dengan lebih baik. Sejatinya, pihak gereja mengkomunikasikan kegiatan sosial itu dengan pihak pemerintahan desa, seperti bimbingan belajar. Gereja menyiapkan tempat, sementara desa menyiapkan tenaga pengajar, maka gesekan-gesekan itu bisa di atasi.33 Begitu juga, aktifitas pemuda, seperti karang taruna bisa menjadi saluran untuk membangun koWawancara dengan Busyairi, 6 Maret 2010. Wawancara dengan Busyairi, 6 Maret 2010. 33 Wawancara dengan M. Syafi’i, 29 November 2009. 31
32
253
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
munikasi bersama. Jadi, jika gereja memiliki kegiatan apapun bisa melibatkan semua elemen pemuda atau masyarakat secara umum, sehingga ada komunikasi. Sebagai solusi untuk merajut harmoni antara gereja dan lingkungannya, menurut Ronny, memang belum ada model ideal yang bisa ditauladani, karena dalam tradisi Pantekosta belum kuat kesadaran untuk secara sengaja merumuskan model bergereja yang selaras dan berimbang dengan kondisi sosial dan budaya setempat.34 Selama ini, orientasinya memang lebih ke arah vertikal. Hanya pada sejarah awal Gereja Isa Almasih (GIA) memang ada perkecualian, ada aktifitas-aktifitas sosial seperti pemberantasan buta huruf dan yang sampai sekarang masih dilakukan adalah bantuan-bantuan sosial bagi masyarakat sekitar termasuk bantuan sembako, pengobatan gratis atau murah dan lain-lain.35 Secara struktural, pihak Gereja Isa Almasih (GIA) merespon kejadian di Karangroto dengan membentuk komisi SRK di mana Ronny sendiri yang menggawanginya. Meskipun Ronny sendiri mengakui bahwa SRK adalah pionir dan anomali dalam lingkup GIA.36 Selama ini, upaya menjalin relasi dilakukan secara intensif melalui perjumpaan informal maupun formal. Berbagai pagelaran seni dan budaya lintas agama dilakukan sebagai jembatan komunikasi, termasuk pagelaran Kidung Damai dari Semarang dengan mengundang Emha Ainun Najib (Cak Nun) dan Kiai Kanjeng pada 2009. Kegiatan itu dilakukan di halaman parkir gereja serta dihadiri sekitar 2000 orang dari warga gereja, masyarakat sekitar gereja, jamaah pengajian Baiturahman dan lainnya.37 Selain dalam aspek seni dan budaya, SRK juga mengupayakan kegiatan yang menyentuh level diskursif. Kegiatan diskusi dan dialog secara rutin juga dilakukan dalam berbagai kerjasama dengan lembaga-lembaga.38 Penerbitan buletin sebagai upaya edukasi bagi warga gereja dan elemen masyarakat lain tentang pentingnya membangun dialog dilakukan dengan terbitan bulletin berkala bertajuk “pendamai”.
Wawancara dengan Ronny Chandra, 6 Maret 2010. Wawancara dengan Ronny Chandra, 6 Maret 2010. 36 Wawancara dengan Ronny Chandra, 6 Maret 2010. 37 Wawancara dengan Ronny Chandra, 6 Maret 2010. 38 Wawancara dengan Ronny Chandra, 6 Maret 2010. 34 35
254
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
Konflik Horisontal atau Kekalahan Negara? Setelah kita perhatikan secara seksama, konflik dalam penutupan GIA Karangroto tampak seperti satu model produksi konflik horisontal. Sederhananya, konflik antara masyarakat sipil dengan masyarakat sipil lainnya antara GIA dengan kelompok tradisionalisme radikal atau MPB. Pertanyaan pentingnya adalah di mana negara saat konflik itu berkecamuk? Aparat negara dalam konflik ini adalah Camat, Lurah, dan institusi yang paling kecil seperti Ketua RT dan Ketua RW. Meskipun negara adalah pihak yang mempunyai alat produksi, meminjam istilah Marx, sehingga negara memiliki kekuasaan kontrol, namun dengan mendasarkan pada teori Dahrendorf terdapat pihak lain yang juga mempunyai kekuatan kontrol yang ”tak terlihat”. Dalam konflik ini yang dimaksud dengan pihak lain tersebut adalah kelompok-kelompok sosial yang mampu mendorong pemilik alat produksi (pemerintah) menerbitkan kebijakan sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Berbagai kelompok sosial dalam masyarakat di wilayah tertentu memiliki posisi sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain. Karena kelompok sosial memiliki posisi, ia memiliki otoritas. Otoritas itu secara umum didasarkan pada status sosial mereka dan kekuatan yang dimiliki dalam masyarakat untuk bisa melakukan hegemoni.39 Terkait ini, Dahrendorf menyatakan, distribusi otoritas atau kekuasaan yang berbeda-beda merupakan faktor penentu bagi terciptanya konflik sosial yang sistematis. Menurutnya, berbagai Dalam konsep otoritas, Khaled M. Abou El-Fadl membedakan antara otoritas koersif dan otoritas persuasif. Otoritas koersif merupakan kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. Sementara itu, otoritas persuasif melibatkan kekuasaan yang bersifat normatif. Ia merupakan kemampuan untuk mengarahkan keyakinan atau perilaku seseorang atas dasar kepercayaan. Lihat Khaled M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. (terj.) oleh R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 37. Organisasi keagamaan yang sudah mendapatkan banyak kepercayaan seperti NU, memiliki otoritas persuasif yang lebih kuat dihati masyarakat dari pada otoritas koersif. Termasuk ketika organisasi ini memasuki wilayah pemerintahan. Sebagai mayoritas yang memiliki banyak pengikut tentu NU mempunyai kekuatan yang sangat besar. 39
255
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
posisi yang ada di dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda.40 Ada orang yang sangat berkuasa atau mempunyai otoritas yang tinggi dan ada orang lain yang mempunyai kekuasaan atau otoritas yang cuma sedikit. MPB sebagai salah satu kelompok sosial yang terdiri dari beberapa organisasi NU akhirnya mampu mempengaruhi dan mengambil fungsi kontrol pemerintah yang kemudian mendapat legitimasi pemerintah. Sebenarnya, jika dirunut secara lebih dalam, terdapat beberapa kelemahan argumen yang mendasari keputusan MPB sebagai alasan penutupan gereja yang yang akhirnya dibahas di tingkatan pemerintah dan akhirnya dikabulkan pemerintah. Jika merujuk surat Camat Genuk tertanggal 28 Juli kepada Gustav AA. Dopong perihal pembongkaran bangunan, salah satu dasar pembongkaran adalah surat dari Lurah Karangroto tanggal 25 Juli 2005 No. 332/85 tentang hasil Musyawarah Kelurahan mengenai pembangunan Gereja di Karangroto pada 24 Juli 2005 tentang: 1) Pelaksanaan pembangunan gereja di RT. 06 RW. III harus dihentikan karena tidak melewati proses atau aturan yang berlaku. 2) Apabila keputusan ini dilanggar maka umat Islam Karangroto akan melaksanakan pembongkaran secara paksa. Jika kita analisis lebih dalam, terdapat ketidaksinkronan antara point pertama 1 dan kedua. Alasan pertama mengatakan, pelaksanaan pembangunan harus dihentikan karena tidak sesuai aturan. Alasan kedua menegaskan, jika keputusan ini dilanggar, umat Islam Karangroto akan membongkar secara paksa. Pertanyaan selanjutnya adalah apa relasi antara penyalahan aturan dengan ancaman bahwa umat Islam akan turun tangan jika keputusan tersebut tidak dipatuhi? Jika terjadi kesalahan prosedur, kewenangan untuk menyelesaikan masalah ini tetap pemerintah dan bukan umat Islam. Dalam peristiwa ini, terjadi pencampuran kekuasaan negara dan agama. Dalam hal ini, umat Islam tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan IMB. Namun begitu, surat tersebut tetap diturunkan dan keputusan membongkar gereja tetap dilaksanakan. Penulis melihat, fungsi pemerintah kecamatan di sini hanya sebagai legitimator atas keinginan dan kepentingan beberapa pihak Bernard Raho, SVD, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007), h. 78. 40
256
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
saja yang kebetulan secara prosedural gereja mengambil langkah yang keliru karena tidak memiliki IMB. Tampak jelas bahwa pemerintah mendapat presure dari kelompok sosial tertentu yang belum tentu mewakili kepentingan masyarakat, tetapi lebih mewakili kepentingan kelompok tersebut. Keputusan Camat untuk membongkar gereja menurut penulis justru bertentangan dengan spirit kebebasan beragama yang dilindungi konstitusi negara Indonesia. Jika masalah utamanya adalah IMB, penghentian aktifitas pembangunan sudah cukup sambil mengurusi prosedur IMB. Apalagi bangunan tersebut adalah sarana ibadah. Dalam Economy and Society, Max Weber, membedakan antara kekuasaan dan dominasi. Kekuasan, power atau macht adalah kemungkinan seorang aktor dalam relasi sosialnya berada pada posisi sebagai pelaksana kehendak sendiri meskipun mendapat perlawanan, tanpa menghiraukan landasan posisi meletakkan kemungkinan itu.41 Sedangkan dominasi atau herrschaft adalah kemungkinan untuk memerintah yang mana dengan suatu kerelaan khusus tertentu dipatuhi sekelompok orang tertentu. Perbedaan penting antara kekuasaan dan dominasi terletak pada kenyataan bahwa kekuasaan pada dasarnya berhubungan dengan kepribadian individual, sedangkan dominasi selalu berhubungan dengan posisi atau peranan sosial seseorang. Dengan teori Weber ini, kita dapat memahami bagaimana pemerintah yang memiliki wewenang dapat memaksakan atau mengeluarkan kebijakan yang harus dipatuhi rakyatnya. Namun demikian, sebab wewenang berbeda dengan kekuasaan, kadangkala wewenang tersebut dikendalikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Hal ini didukung teori Ralf Dahrendorf bahwa pemilik alat produksi belum tentu memiliki fungsi kontrol terhadap alat produksinya. Terdapat kemungkinan ada pihak lain di luar pemilik alat produksi yang justru memiliki fungsi kontrol itu.42 Jika kita menggunakan teori dua tokoh di atas, kita semakin memahami, kewenangan yang dimiliki pemerintah senantiasa dapat dikendalikan pihak-pihak tertentu yang memiliki kuasa. Akibatnya, 41 Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology (University of California: Berkeley Press, Volume I, 1978), h. 53 42 Lihat teori dialektika konfliknya Ralf Dahrendorf dalam Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Wadsworth Publishing Company: 1998), h. 165
257
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
kebijakan pemerintah seringkali mewakili kepentingan golongan tertentu, dan yang paling banyak adalah golongan mayoritas. Inilah sebabnya regulasi di Indonesia banyak menemui kontradiksi, karena pengendali pemerintah adalah pihak luar terutama mayoritas. Sama halnya dalam kasus penutupan rumah ibadah. Banyaknya kasus penutupan gereja justru dilakukan pihak-pihak yang tidak memiliki kewenangan legal, namun selalu mendapat legitimasi dari pemerintah. Terjadinya ”penunggangan” wewenang dari kelompokkelompok yang memiliki kekuasaan merupakan wujud kemerosotan moral dan solidaritas sosial yang semakin tidak bisa memahami dan menerima perbedaan. Akibatnya, terjadilah kekerasan struktural sebagaimana diungkapkan Johan Galtung. Penutupan rumah ibadah oleh pemerintah dan kelompok tertentu merupakan wujud kekerasan struktural yang akhirnya menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs), dalam hal ini adalah menjalankan kehidupan beragama yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Johan Galtung membedakan tiga dimensi kekerasan, yaitu: kekerasan struktural, kultural, dan langsung. Kekerasan langsung seringkali didasarkan pada kekuasaan sumber (resource power). Kekuasaan sumber bisa dibagi menjadi kekuasaan punitif (kekuasaan yang menghancurkan), kekuasaan ideologis, dan kekuasaan renumeratif. Kekuasaan ideologis dan renumeratif cenderung menciptakan kekerasan kultural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan kekuasaan struktural, tetapi seseorang yang memiliki wewenang mampu menciptakan kebijakan publik.43 Selain bentuk kekerasan struktural, penutupan Gereja Karangroto juga merupakan kekerasan budaya. Galtung menekankan makna kekerasan budaya bukan dalam konteks kebudayaan sebagai keseluruhan sistem, namun aspek-aspek dari kebudayaan. Sebenarnya berbagai kekerasan yang terjadi di atas dapat diselesaikan jika hubungan antara negara dan agama diperankan masing-masing secara proporsional. Negara adalah komunitas bayangan yang merangkum aneka kepentingan masyarakat. Negara didirikan atas kontrak semua kelompok masyarakat. Hal ini merupakan gagasan etis modern tentang negara. Negara dengan sendiNovri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 110 43
258
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
rinya menjadi tempat kelompok-kelompok dapat melakukan transformasi menuju cita-cita yang diidealkan. Dari gagasan dimana negara menjadi tempat dan mekanisme transformasi yang disepakati, dengan sendirinya wilayah negara melahirkan entitas negara dan entitas warga. Warga adalah pemberi mandat dan negara dalam pengertian ini aparat-aparatnya adalah yang diberi mandat. Indonesia bukanlah negara sekuler, bukan pula negara agama, akan tetapi negara Pancasila. Dalam hal kebebasan beragama, negara sekuler berprinsip, mengutip terminologi Benyamin F. Intan sebagai “netral-pasif”.44 Dalam pengertian, pemerintah secara netral menjamin kebebasan beragama dari semua agama tanpa terkecuali, sekaligus tidak mendorong perkembangannya, alias bersikap pasif. Dalam negara agama, terjadi hal sebaliknya, negara memegang prinsip “sektarian-aktif”. Dengan kata lain, hanya agama tertentu yang mendapat perlakuan istimewa pemerintah. Kepada agama bersangkutan, pemerintah bukan hanya menjamin hak kebebasan beragamanya, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhannya. Berbeda dari kedua prinsip di atas, kebebasan beragama dalam negara Pancasila bersifat “netral-aktif”. Dalam hal ini, pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama dari semua agama, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama tersebut dengan tanpa terkecuali.45 Penutupan gereja merupakan wujud inkonsistensi pemerintah Indonesia sebagai negara Pancasila. Dari penutupan gereja tersebut, kebutuhan dasar manusia sebagai umat beragama tidak terpenuhi karena tidak diberi keleluasaan dalam beribadah. Johan Galtung menyebut kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sebagai akibat dari kekerasan struktural dan kekerasan budaya. Konflik penutupan Gereja Karangroto termasuk dalam salah satu kategori kekerasan struktural. Ia menegaskan, ketidakadilan yang diciptakan suatu sistem, sehingga manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs), merupakan konsep kekerasan struktural (structural violence).46 Benyamin Fleming Intan, “Rumah Ibadah dan Hegemoni Negara”, Suara Pembaruan, 1 Agustus 2009, h. 5 45 Benyamin Fleming Intan, “Rumah Ibadah dan Hegemoni Negara”, Suara Pembaruan, 1 Agustus 2009, h. 5 46 Terkait tentang teori basic human needs, selain John Burton, Johan Galtung juga menjelaskannya dengan cukup dalam. Selengkapnya lihat John Burton (ed), 44
259
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Dalam kasus ini, imbas dari kekerasan struktural berupa penutupan gereja dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar manusia (human needs) yaitu hak dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk mengekspresikan agama dan keyakinan tersebut dalam bentuk ibadah. Dalam konteks negara yang didirikan banyak kelompok inilah, negara harus menjamin kebebasan keyakinan dan keberagamaan masing-masing kelompok, bukan memberi hak luas pada satu kelompok dan mendiskriminasikan yang lain. Ronny Chandra menuturkan, aspek yang patut dicermati adalah peran negara dalam menjamin dan memberi perlindungan bagi warga negara untuk menjalankan hak beribadahnya.47 Memang tidak ada konflik vertikal, tetapi bisa saja terjadi pembiaran negara. Dalam hal ini, pemerintah tidak konsisten dengan slogan-slogan dan simbol-simbol yang terkesan pro pluralisme, namun di lapangan terjadi pembiaran. Penulis belum merasakan ketegasan pemerintah dalam menyikapi praktik-praktik penutupan tempat ibadah, penyerbuan kelompok yang berbeda penafsiran dan lain-lain. Perlu diingat bahwa dilihat dari segi kemunculannya, institusi negara adalah institusi baru. Jauh sebelum hadirnya negara, agama sudah terlebih dahulu ada. Kewajiban negara adalah berusaha untuk melayani hajat keberagamaan warga negaranya. Dalam kerangka inilah, seharusnya kita menempatkan negara ketika berurusan dengan wilayah agama. Negara melayani agama, bukan mengatur agama. Kalaupun mungkin ada pengaturan, hal tersebut tidak harus mencampuri urusan keagamaan. Dan prinsipnya negara harus memberi kebebasan sebebas-bebasnya kepada setiap individu. Menjadi hak setiap umat beragama untuk menjalankan aktivitas keagamaannya, termasuk membangun rumah ibadah. Negara atau pemerintah tidak seharusnya mengintervensi terlalu jauh hingga mengatur pendirian rumah-rumah ibadah. Negara boleh saja mengintervensi sekiranya pendirian rumah ibadah tersebut melanggar UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Tata Ruang. Dalam pasal 24 ayat 1 dan 2 Undang-Undang itu disebutkan: 1) negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan pemerintah; 2) pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat Conflict: Human Needs Theory (New York: ST. Martin’s Press, 1990) 47 Wawancara dengan Ronny Chandra, 6 Maret 2010.
260
Tradisionalisme Konservatif Penutupan Gereja Isa Al-Masih
1 memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang serta mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang. Berdasarkan undang-undang inilah semestinya pemerintah mengacu perihal pembangunan rumah ibadah. Aktifitas keagamaan termasuk membangun rumah ibadah merupakan bagian dari hak atas kebebasan beragama. Jaminan hak atas kebebasan beragama telah diakomodir ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya dalam pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipol (Undang-Undang No. 12 Tahun 2005), Komentar Umum No. 22 atas pasal 18 UU No. 12 Tahun 2005 tersebut. Selain itu juga tertuang dalam putusan Komite Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama. Namun, berbagai aturan tersebut belum memberikan jaminan yang sebenar-benarnya kepada seluruh warga negara Indonesia, karena kerapkali kedodoran di level implementasi.
Kesimpulan Melihat persoalan yang muncul dalam penutupan GIA Karangroto, penulis menggarisbawahi bahwa masalah utamanya tidak hanya terdapat pada warga NU, tetapi juga di pihak GIA. Kompleksitas persoalan inilah yang membuat pemecahan terhadap kasus GIA juga tidak mudah. Pilihan penutupan gereja dianggap sebagai solusi yang terbaik, meski pihak gereja tentu tidak menghendaki kejadian ini. Menurut peneliti, ada tiga kesimpulan yang bisa disuguhkan penelitian singkat ini. Pertama, dalam konteks pengembangan toleransi, tantangan paling berat yang dirasakan warga NU adalah masih adanya golo ngan ulama konservatif. Mereka sulit menerima perbedaan dan tidak bisa berpikir toleran. Misalnya, fatwa haram yang mereka keluarkan menyangkut bunga Bank. Perlu juga dipahami bahwa institusi kiai dalam tradisi NU mendapat porsi penting. Sehingga, jika mau memberdayakan warga NU untuk berpikir terbuka, harus terlebih dahulu membuka pemikiran para kiai. Selain itu, faktor pendidikan serta taraf ekonomi yang rendah juga ditengarai menjadi sebab lain dalam kasus penutupan GIA. Ini bisa dipahami karena masyarakat
261
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Karangroto sebagian adalah korban relokasi dan pelebaran jalan Tol yang harus “babat alas”. Selain tiga masalah itu, juga ada persoalan komunikasi antara warga NU dengan warga gereja yang kerap dibumbui kecurigaan. Kedua, dalam hubungannya dengan peran negara, penutupan Gereja Karangroto bisa diidentifikasi sebagai bentuk tekanan dan intervensi kekuasaan ”pihak eksternal” yang menundukkan otoritas pemerintah. Pihak luar tersebut memiliki kemampuan kontrol yang seharusnya hanya dimiliki pemilik alat produksi (pemerintah). Kemampuan kontrol pihak luar yang berupa kelompok sosial ini dimungkinkan karena mereka mempunyai posisi dan otoritas di masyarakat. Pada akhirnya, kelompok sosial ini mampu mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Salah satu solusi yang dapat diberikan dalam konflik penutupan rumah ibadah adalah hendaknya negara benar-benar menjalankan amanat konstitusi terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Karena pembangunan rumah ibadah adalah salah satu hak kebebasan beragama, hal ini juga harus dilindungi. Jaminan hak atas kebebasan beragama telah diakomodir ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya dalam pasal 18 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipol melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, Komentar Umum No. 22 atas pasal 18 UU No. 12 Tahun 2005 tersebut. Selain itu juga tertuang dalam putusan Komite Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkaitan dengan hak atas kebebasan beragama. Karena itu, beberapa peraturan lain seperti Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang pengaturan pendirian rumah ibadah yang kontradiktif dengan semangat kebebasan beragama di Indonesia hendaknya dihapus saja. []
262
Bagian III
Vihara Buddha Tidak Lagi Jaya Kasus Vihara Jaya Wijaya, Pemenang, Lombok Utara, NTB Oleh: Yusuf Tantowi1
Pendahuluan
D
i Kabupaten Lombok Utara (KLU),2 terdapat “tiga surga” tujuan utama wisata. Keelokan ketiganya tidak hanya menarik wisatawan domestik, namun juga wisatawan mancanegara. Tiga surga itu bernama Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan. Untuk mencapai lokasi ketiga Gili, seorang wisatawan tinggal menaiki perahu yang sudah disediakan pengelola di sana. Khusus bagi para pemeluk agama Buddha yang hendak berlibur di tiga Gili, mudah sekali menemukan tempat ibadah di lokasi tersebut. Mereka tinggal datang ke dusun Tebango, Desa Pemenang Timur. Di dusun tersebut terdapat Vihara Jaya Wijaya yang berjarak sekitar dua kilometer dari Bangsal, pintu masuk tiga Gili tersebut.
1 Koordinator Divisi Islam dan Civil Society, Lembaga Studi Kemanusiaan (LENSA) NTB. 2 Kabupaten Lombok Utara (KLU) merupakan pemekaran dari kabupaten Lombok Barat (Lobar). Pembentukan KLU ditetapkan menjadi kabupaten otonom melalui UU. No. 26/2008 DPR RI Jakarta pada 21 Juli 2008. KLU diresmikan resmikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada 30 Desember 2008 bertempat di halaman kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat. Bersamaann dengan itu, HL. Bakri dan Djohan Syamsu ditunjuk sebagai Plt. Bupati dan Plt. Sekda. Selang 1 tahun menjabat, tepatnya pada Januari 2009, HL. Bakri digantikan Ridwan Hidayat. Bakri dan Ridwan pernah bersaing dalam perebutan kursi Walikota Mataram, namun keduanya gagal karena dimenangkan pasangan Ruslan dan Akhyar Abduh. Lihat di Suara NTB, KLU Genap satu Tahun, 26 Februari 2009.
263
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Di sebelah timur agak ke atas, ada lagi Vihara Wanasaba Loka yang berada dalam lingkup Tebango Bolot. Sebelum menjadi seperti sekarang, Vihara Jaya Wijaya awalnya berbentuk Sanggah (bale balak). Setelah mengalami pemugaran pada 1969, Sanggah berubah menjadi Citia (bangunan mirip masjid Islam). Melihat kebutuhan umat Buddha yang semakin besar, khususnya dalam hal peribadatan, Citia dipugar untuk dijadikan vihara yang cukup representatif. Pada 1983, pelatakan batu pertama vihara di mulai. Berselang 8 tahun, tepatnya pada 1991, proses pembangunannya selesai dan diresmikan Bante Ghiri Rahito dari Surabaya selaku pembina umat Buddha wilayah timur. Dusun Tebango terletak di desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara (KLU). Jumlah total warga dusun adalah 354 Kepala Keluarga (KK). Mayoritas warga dusun ini beragama Buddha dengan perincian, 251 KK penganut Buddhayana dan 38 KK penganut Magabudi. Di samping itu, sekitar 50 KK beragama Islam dan 15 KK beragama Hindu. Pekerjaan utama warga adalah petani dan buruh. Sisanya berjualan di pasar Pemenang yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari dusun tersebut. Vihara Jaya Wijaya kini menjadi rebutan dua kelompok umat Buddha yang berbeda aliran, yaitu Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) dan Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudi). Kedua aliran ini merasa berhak memanfaatkan rumah ibadah tersebut, sebagai ahli waris tanah lokasi pembangunan Vihara Jaya Wijaya. Ketegangan pun tak dapat dihindarkan. Sampai akhirnya, salah satu kelompok merusak tembok vihara tersebut. Perselisihan antara dua aliran umat Buddha dusun Tebango ini tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari perpecahan Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) pusat sampai pada perbedaan cara pandang sewaktu merenovasi vihara. Hal inilah yang terus memicu berbagai gesekan dan ketegangan antar tokoh umat Buddha Tebango.
Perpecahan Walubi Bila dirunut kebelakang, perpecahan umat Buddha Tebango sebenarnya buah perpecahan ditubuh Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) Pusat dalam Musyawarah Nasional (Munas) II Ja-
264
Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya
karta pada 1992. Saat itu, terpilih Bikhu Girirakkhito sebagai ketua umum dan Budi Setiawan sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen). Di saat yang sama, Budi sedang menjabat Direktur Urusan Agama Buddha dan Siti Hartati Murdaya di dapuk sebagai Ketua Dewan Penyantun. Dalam Munas tersebut, dibentuk Badan Perumus AD/ART Walubi yang beranggotakan 30 orang. Dari sini, mulai timbul perselisihan, terutama menyangkut hasil kerja Badan Perumus AD/ART. Perselisihan ini berlanjut sampai terjadi aksi kekerasan terhadap 3 orang tokoh Majlis Buddha Indonesi (MBI) dan Martrisia. Kasus ini kemudian dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada 15 Oktober 1994, pengurus Walubi mengeluarkan Sanggha Agung Indonesia (Sagin) dan Majlis Buddha Indonesi (MBI) dari Walubi dengan tuduhan sesat, melakukan sinkretisme besar dan kecil, memecah belah umat, menghidupkan adat Cina dan dianggap tidak disiplin terhadap organisasi. Dampaknya, Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Hindu dan Buddha tidak mengakui Sagin dan MBI. Paska perselisihan, tepatnya pada 3 November 1998, gerakan reformasi lahir dan memaksa Walubi menerima kembali Sagin dan MBI, termasuk merehabilitasi citra dan nama baiknya. Dalam Munas III pada 6 November 1998, Dewan Pengurus Pusat Walubi menyebutkan penyesalan atas segala persoalan tersebut, namun Sagin dan MBI sendiri tidak diikutsertakan sebagai peserta Munas. Pada Munas III inilah, tokoh-tokoh Walubi yang berasal dari berbagai majelis sepakat membubarkan diri secara resmi. Paska bubarnya Walubi, 14 November 1998, terbentuk Konferensi Agung Sanggha Indonesia (KASI) sebagai wadah baru umat Buddha Indonesia.3 Pendirian KASI ini diprakarsai tokoh-tokoh Prinsip-prinsip dasar pendirian KASI: 1) Demokratis, tidak otoriter, dan tidak memaksakan kehendak sendiri. 2) Tanpa keakuan atau non-egoisme. 3) Mengakui pluralisme. 4) Kebersamaan dalam kesetaraan dan kesamaan martabat. 5) Kepemimpinan yang berorientasi pada fungsi dan tujuan lembaga. 6) Kerjasama yang baik, yang sepenuhnya menunjang kehidupan yang bersih dan suci. 7) Mengakui bahwa Tripitaka Pali, Tripitaka Mahayana dan Tripitaka Tibet (Kan-jur) sebagai kitab suci agama Buddha yang harus diyakini umat Buddha. 8) Saling menghargai keyakinan masing-masing Sanggha tanpa intervensi. 9) Saling membantu, saling mendukung satu dengan yang lainnya. 10) Tidak mencampuri urusan masing-masing Sanggha dan organisasi-organisasi di bawahnya. 11) Semua hubungan organisatoris yang berskala nasional dan bersifat mengikat harus melalui Konferensi Agung Sanggha Indonesia. 3
265
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Sanggha Therawada Indonesia, Sanggha Mahayana Indonesia, dan Sanggha Agung Indonesia. KASI juga didukung Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia (Majabumi), Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudi), Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia, dan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). Naskah berdirinya KASI ditandatangani bersama Bhiksu Dharmasagaro Mahasthavira (Ketua Umum Sangha Mahayana Indonesia), Bhikkhu Sri Panyavaro Mahathera (Ketua Umum Sangha Theravada Indonesia), Bhiksu Aryamaitri Sthavira (Sekjen Sangha Agung Indonesia) dan Bhiksu Prajnavira Mahasthavira yang terpilih sebagai Sekjen KASI. Bersamaan dengan ini, Hartati Murdaya kembali membentuk Walubi baru. Walubi baru ini bukan lagi singkatan Perwalian, tetapi berubah menjadi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Pendirian Walubi baru ini selain didukung mantan pengurus Walubi lama, juga banyak diisi tokoh-tokoh agama Buddha dari luar negeri. Menurut kubu Hartati Murdaya, istilah perwakilan digunakan untuk menandai bahwa organisasi umat Buddha yangbaru ini dikelola secara lebih modern dan dinamis. Tidak seperti dalam Perwalian yang sangat mengikat dan dinilai lebih konservatif. Selain itu, ia juga membentuk Dewan Sanggha, yang beranggotakan perorangan sekaligus sebagai tandingan KASI. Organisasi besar umat Buddha lain yang berada di luar Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi versi Hartati Murdaya) adalah Majelis Agama Buddha Tridharma Indonesia4 dan Majelis Agama Buddha Therawada Indonesia. Majelis Agama Buddha Therawada Indonesia (Magabudhi) menyatakan keluar dari keanggotaan Perwakilan Umat Buddha Indonesia pada 20 Maret 2000. Ketiga majelis ini mendukung KASI. Kekecewaan terhadap Walubi juga mendorong sekelompok umat mendirikan Partai Buddhis Demokrat Indonesia (Parbudi). Sempat terjadi konflik antara Walubi dengan MBI/KASI sehubungan dengan pengusulan calon anggota MPR dari Utusan Golongan. Akan tetapi, akhirnya yang diangkat menjadi anggota MPR adalah Hartati Murdaya dari Walubi, setelah dengan segala upaya menggusur perwakilan MBI yang semula dicalonkan Komisi Pemilihan Majelis Agama Buddha Tri Darma Indonesia dideklarasikan pada Desember 1998. Pada 3 Januari 1999, organisasi ini memisahkan diri dari Majelis Rohaniwan Tri Darma Indonesia (Martrisia). 4
266
Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya
Umum (KPU). Akhir dari kemelut organisasi ini, pada 27 Desember 1999, Dirjen Bimas Hindu dan Buddha menyatakan merangkul kembali Sagin dan MBI, di luar Walubi versi Hartati Murdaya.
Perselisihan Umat Buddha Tebango Perpecahan Walubi pusat merembet ke dusun Dusun Tebango dan Tebango Bolot yang terletak di Pemenang Timur, Pemenang, Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat (NTB). Menurut warga Tebango, aliran Buddhayana sudah dianut secara turun-temurun hingga membentuk dan mempengaruhi tradisi dan budaya nenek moyang mereka sejak tahun 1955. Sementara itu, aliran Buddhayana sendiri terbagi menjadi 3 sekte, yaitu Carawada, Mahayana dan Trantayana. Hal ini juga diakui Sukarman, kepala dusun Tebango dan Metawadi, seorang pemuda dusun Tebango. Ia menuturkan, paska Munas Walubi, tanpa mereka tahu penyebabnya, dua tokoh masyarakat Tebango bernama Tawilan dan Nursih Gunar keluar dari aliran Buddhayana dan masuk aliran Magabudi. Pada awal 2005, Tawilan beralih menganut Magabudi dan disusul Nursih Gunar. Tawilan adalah pensiunan Polisi Pamong Praja Pemkab Lombok Barat, sedangkan Nursih Gunar sendiri berprofesi wiraswasta. Kedua tokoh ini dulu sangat dihormati dan disegani warga Tebango. Akan tetapi, sejak keduanya keluar dari Buddhayana, masyarakat Tebango dan Tebango Bolot merasa kehilangan tokoh panutan. Secara ideologis, perbedaan mendasar antara Buddhayana dengan Magabudi terletak pada konsep ketuhanan Sang Hyang Adi Buddha. Buddhayana menganggap sang Buddha sebagai Tuhan. Sebaliknya, Magabudi menganggap Buddha bukan Tuhan, tetapi sebagai Maha Guru. Tuhan bagi penganut Magabudi tetap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini seperti termaktub dalam Kitab Utama 8 (delapan) yang menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak berbentuk, tidak diciptakan dan tidak dilahirkan. Walau tidak menganggap Sang Hyang Adi Buddha sebagai Tuhan, namun dalam setiap mengambil sumpah jabatan mereka tetap menyebut Sang Hyang Adi Buddha. Hal ini yang sering dikritik para pengikut Buddhayana. Hal ini terjadi karena sejak awal kewajiban penggunaan kata Tuhan Yang Maha Esa adalah kebijakan
267
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Departemen Agama (Depag) RI masa orde baru untuk menertibkan administrasi keagamaan masyarakat beragama di Indonesia. Penganut Buddhayana berkeyakinan, sebagaimana tersurat dalam kitab Damayana, bahwa ada kekutatan adi kodrati yang mengatur proses kehidupan ini, dan bukan secara kebetulan. Semua proses dan siklus kehidupan di dunia ini ada yang mengatur dan bukan muncul dengan sendirinya. Karena itu, dalam agama Buddha, terdapat 4 hal yang menjadi landasan dasar hidup. Keempat hal inilah yang dijadikan prinsip hidup bernama catur paramita (empat sifat Tuhan) seperti tersurat dalam kitab Tripitaka, antara lain: 1) meta, yakni cinta kasih universal terhadap sesama manusia, cinta terhadap binatang, cinta terhadap semesta alam dan segala isinya; 2) karuna, yakni perasaan simpati terhadap tetangga atau sesama baik dalam suasana bahagia atau sedih; 3) mudita, yakni perasaan belas kasih; 4) upaka, yakni keseimbangan batin (iman yang kuat). Apabila keempat ajaran ini bisa dilakukan, umat Buddha dijamin akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup. Karena itu, umat Buddha memiliki kewajiban untuk menegakkan prinsip dasar tersebut. Melalui prinsip hidup inilah Sang Hyang Adi Buddha berpesan kepada umatnya, “Tambahlah kebaikan, kurangi kejahatan dan sucikan pikiran”. Dalam agama Buddha, vihara memiliki 3 fungsi, yakni: 1) bakti sala, yakni tempat sembahyang; 2) dharma sala, yakni tempat musyawarah keagamaan; 3) kuti, yakni tempat tinggal Biksu yang terdiri dari tempat tidur, dapur dan kamar mandi. Jika melihat tiga fungsi ini, Vihara Jaya Wijaya yang terdapat pada dusun Tebango belum memiliki kuti (tempat tinggal biksu). Perbedaan lain antara Buddhayana dan Magabudi tampak pada sikap mereka terhadap budaya atau tradisi peninggalan nenek moyang. Dalam wawancara dengan tokoh Buddhayana terungkap bahwa mereka lebih akomodatif terhadap tradisi nenek moyang. Sebaliknya, Magabudi justru ingin memisahkan tradisi lokal dengan upacara-upacara keagamaan.5 Banyak tradisi dan kesenian 5 Perbedaan ini memiliki kemiripan dengan paham keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dengan Muhammadiyah. Begitu juga, antara Salafi-Wahabi yang memberantas berbagai bentuk tradisi yang dinilai bisa menodai agama dengan SalafiSunni yang lebih akomodatif dengan tradisi lokal.
268
Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya
masyarakat setempat yang dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran-ajaran Buddha. Beberapa tradisi atau budaya lokal masyarakat Tebango yang sampai hari ini masih dilakukan antara lain: 1) mentawar, yakni upacara adat yang dilakukan tiga bulan setelah seorang anak lahir dari rahim ibunya. Upacara ini dilaksanakan setelah sang jabang bayi diberi nama dan disaksikan tokoh-tokoh agama dan adat; 2) peradang, yakni sewaktu seorang laki-laki dan perempuan bersepakat melangsungkan pernikahan, keluarga mempelai laki-laki dan perempuan bermusyawarah dalam satu tempat. Setelah kedua keluarga menghasilkan keputusan, masing-masing mengumumkan kepada semua anggota keluarga dan seluruh masyarakat. Setelah itu, mempelai berdua baru secara resmi disandingkan dikursi pelaminan Dharma Sala. Selain perpecahan ditubuh Walubi, perbedaan ideologis, termasuk perselisihan menyangkut pola renovasi Vihara Jaya Wijaya pada 2005,6 semakin menegaskan perbedaan pandangan atau perselisihan umat Buddha di dusun Tebango. Seperti penuturan Tawilam,7 pada Rabu 29 Januari 2005, sekitar delapan orang warga Tebango datang menemuinya untuk membicarakan rencana merenovasi Vihara Jaya Wijaya. Hadir dalam rombongan itu, Nursih Gunar, Sukarman, Metawadi, Kartadi, Reniadi, Sukadi, Romo Pandita, Wirya Kanti Palo dan Karania. Dalam pertemuan itu dibicarakan berbagai hal menyangkut rencana renovasi vihara, termasuk bagaimana menggali sumber-sumber dana, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah Kabupaten Lombok Barat. Dalam pertemuan itu juga ditegaskan, agar selama proses renovasi melibatkan dan menggerakkan semua lapisan umat Buddha dusun Tebango, tanpa membedakan penganut sekte Buddhayana atau Magabudi. Selain itu, Tawilam juga mengusulkan agar organisasi Banjar dihidupkan kembali, sehingga masyarakat terorganisir dengan baik, termasuk dalam membentuk dan menyusun pengurus Banjar, kedua belah pihak harus dilibatkan. Pada hari itu juga disepakati pembentukan panitia renovasi 6 Tawilam, Kronologi Kesepakatan Bersama Untuk Merenovasi Vihara Jaya Wijaya, 27 September 2008. 7 Saat itu Tawilam sedang berada dirumahnya di Kebun Gawah Gunjan, Desa Akar-Akar, Kecamatan Bayan.
269
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Vihara Jaya Wijaya dengan susunan pengurus sebagai berikut: Tawilam, Nursih Gunar dan Sukarman (Kadus Tebango) menjadi pelindung, sedangkan para Romo Pandita kedua belah pihak menjadi penasehat. Forum sekaligus menunjuk Metawadi menjadi ketua panitia pelaksana dengan dua wakil ketua (Kartadi dan Reniadi), mengangkat dua sekretaris (Sukadi dan Dharma) dan dua bendahara (Satriadi dan Budiarta Santana). Selain pembentukan panitia renovasi, forum itu juga juga membentuk Banjar Taruna Karya. Forum ini juga menganjurkan agar dalam pembongkaran vihara, panitia melibatkan bikhsu dari kedua majelis sebagai wujud penghormatan. Panitia juga diharapkan bisa menyelesaikan pembuatan gambar vihara sebelum pembongkaran bangunan dilakukan sebagai bahan acuan dalam bekerja. Begitu juga, dalam pengajuan kepada donatur, hendaknya proposal mendapat persetujuan bikhsu pembina dari kedua belah pihak. Setelah itu, panitia memulai mengumpulkan bahan-bahan material seperti batu, pasir, semen dan lain sebagainya. Pada 3 Januari 2006, panitia mulai mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk membicarakan berbagai hal terkait renovasi. Pertemuan bertempat di balai banjar. Akan tetapi, pada hari itu tokoh-tokoh Magabudi tidak datang sebab ada salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia. Setelah itu, muncul ide untuk melakukan penurunan Buddha Rupang. Namun, menurut tokoh Magabudi, Tawilam, saat itu panitia tidak mengundang bikhsu untuk memimpin upacara tersebut. Meskipun begitu, dalam pelaksana annya penurunan Buddha Rupang tetap dipimpin bikhsu. Beberapa bulan kemudian, panitia mulai melakukan pembongkaran tembok vihara di bagian barat, sayang panitia kembali tidak melibatkan para bikhsu. Pada Selasa 1 Agustus 2006, panitia kembali mengadakan pertemuan bertempat di vihara. Dalam pertemuan itu, para peserta membahas berbagai hal, termasuk mengevaluasi kinerja panitia. Panitia juga diminta lebih banyak mengadakan pertemuan dengan melibatkan kedua belah pihak, baik MBI maupun Magabudi. Tampaknya, evaluasi kinerja kepanitiaan inilah yang memunculkan “benih-benih” kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Paska pertemuan, panitia kemudian membangun tempat puja bhakti di halaman vihara yang hanya melibatkan MBI dan tidak
270
Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya
mengundang pihak Magabudi. Merasa tidak dilibatkan dalam pembangunan tersebut, sebagai bentuk protes dan kekecewaan, tokohtokoh Magabudi melakukan puja bhakti di balai banjar yang letaknya tidak jauh dari lokasi bangunan vihara. Pada 18 Oktober 2006, panitia kembali mengundang rapat yang bertempat di halaman vihara dan dimulai pada pukul 19.30 WITA. Dalam pertemuan itu, tokoh-tokoh Magabudi sempat melakukan protes kepada panitia karena tidak diundang. Mereka datang justru karena mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa ada pertemuan di vihara. Dalam pertemuan itu juga, tokoh-tokoh Magabudi ternyata mengusulkan agar panitia tidak membongkar vihara de ngan alasan musim hujan sudah tiba. Jika dipaksakan, dikhawatirkan pembangunan akan terkendala hujan. Sebaliknya, panitia dari pihak Buddhayana menanggapi bahwa alasan tersebut merupakan bentuk penolakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan renovasi vihara. Padahal, kepanitiaan sudah terbentuk dan persiapanpersiapan sudah dilakukan cukup lama. Akhirnya perselisihan pun semakin memanas. Melihat situasi ini, Tawilam dan Nursih Gunar, selaku tokoh umat Buddha Tebango sekaligus selaku pelindung dan penasehat renovasi vihara, merasa tidak dihargai dan tidak didengar lagi. Akibatnya, pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan. Ketua panitia malah mengusulkan agar semua anggota masyarakat berkumpul untuk curah pendapat menyangkut masalah tersebut. Sayangnya, Tawilam dan Nursih Gunar lebih sepakat jika hal itu cukup dibicarakan di tingkat internal panitia sendiri. Perselisihan ini memakan waktu hampir 2 tahun dan pada 21 September 2008, panitia mulai melakukan pembongkaran tembok vihara. Bagi Magabudi, pembongkaran itu dilakukan pihak Buddhayana secara sepihak, tanpa mengundang kelompok Magabudi. Karena itu, tokoh-tokoh Magabudi menganggap pembongkaran itu dianggap sebagai bentuk perusakan tempat ibadah umat Buddha. Kejadian itu pun kemudian langsung dilaporkan ke Polsek Pemenang. Mendapatkan laporan, aparat kepolisian bersama unsur Muspika langsung menuju Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk mengecek masalah tersebut. Di sana, ratusan masyarakat sudah berkumpul. Para anggota Muspika pun kemudian berkumpul di rumah Sukarman (Kadus Tebango) yang berhadapan langsung dengan vi-
271
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
hara.8 Saat itu, pihak Muspika dan kepolisian hanya berjaga-jaga dan berkumpul di rumah Sukarman.
Upaya Mediasi Keesokan harinya, Camat Pemenang mengundang kedua belah pihak yang bertikai untuk membicarakan masalah tersebut. Akan tetapi, pihak Buddhayana yang biasanya diwakili Sukarman tidak bisa hadir dengan alasan tidak mendapatkan undangan. Pada pertemuan berikutnya, mereka bersama Kepala Desa Pemenang Timur bertemu di ruang kerja Camat Tanjung. Pada pertemuan tersebut, Camat Pemenang menganjurkan agar masalah itu diselesaikan di tingkat internal umat Buddha sendiri. Dalam pertemuan itu juga, kepala desa Pemenang Timur, Maknun, berjanji memfasilitasi dan bersedia menjadi mediator di tingkat desa. Selanjutnya, pada Rabu 24 September 2008, disepakatilah pertemuan lanjutan yang akan dilangsungkan di kantor desa. Namun, sampai pada hari yang telah disepakati bersama, pihak Buddhayana kembali tidak datang dengan alasan mereka khawatir akan mengganggu ketenangan umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa karena melibatkan banyak orang. Meskipun demikian, pada Jum’at 26 September 2008, Kades Pemenang Timur kembali mengundang kedua belah pihak untuk bertemu. Sabtu 11 Oktober 2008, kepala desa kembali mempertemukan pihak Buddhayana (MBI) dan Magabudhi di ruang aula desa Pemenang Timur.9 Dalam pertemuan tersebut, hadir unsur Muspika Kecamatan Pemenang, ketua Badan Perwakilan Desa, Ketua LPM desa Pemenang Timur dan kedua tokoh Buddha Magabudi dan Buddhayana, Pembimas Buddha Kakanwil Depag NTB. Dalam pertemuan itu, kedua belah pihak sepakat memisah tempat ibadah. Dan penyelesaian tanah tempat pembangunan Vihara Jaya Wijaya akan diserahkan kepada ahli waris tanah tersebut.10 Terkait dengan tanah Rumah Kadus Tebango tersebut hanya dipisah jalan kampung yang belum pernah disentuh aspal. 9 Saat itu Pemenang masih merupakan bagian dari Kabupaten Lombok Barat. Pemenang menjadi bagian dari Kabupaten Lombok Utara (KLU) pada 2009, ketika ia resmi menjadi kabupaten baru. 10 Berita acara pertemuan Magabudi dan Buddhayana ditandatangani Kepala 8
272
Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya
lokasi pembangunan vihara tersebut, muncul dua orang ahli waris, yaitu Sinanggi dan Rasiman. Keduanya memang memiliki hubungan kekeluargaan. Dalam surat pernyataan Rasiman, selaku ahli waris dari pihak Buddhayana (MBI),11 ia menyatakan bahwa benar tanah seluas 8000 M2 tersebut adalah tanah hibah almarhum I. Rutik untuk Vihara Jaya Wijaya. Dengan demikian, selaku ahli waris, Rasiman sangat mendukung pembangunan vihara tersebut. Pihaknya juga berjanji tidak akan menuntut hak apapun atas tanah tersebut. Adapun pihak Magabudi belum menunjukkan dokumen terkait ahli waris. Senin 27 Oktober 2008, pertemuan kembali diadakan di aula kantor desa Pemenang Timur, Kabupaten Lombok Barat. Kali ini, agenda pertemuan membahas penyelesaian masalah tempat pembangunan vihara tersebut. Selain dihadiri puluhan tokoh kedua belah pihak, beberapa perwakilan lembaga lain juga hadir termasuk kepala desa, Muspika, Ketua BPD dan ketua LPM. Sayangnya, pertemuan itu kembali tidak membuahkan kesepakatan karena pihak Magabudi menolak hasil kesepakatan pertemuan 11 Oktober 2008 sebelumnya.12 Sebagai jalan tengah, pihak Buddhayana sempat mengusulkan agar tanah tempat pendirian vihara itu dibagi dua sesuai ahli waris. Sayangnya, tawaran jalan tengah ini juga ditolak pihak Magabudi. Menyikapi masalah ini, Pengurus Daerah Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudi) mengeluarkan pernyataan sikap.13 Pernyataan sikap ini mempertegas penolakan Magabudi Desa Pemenang, Maknun dan ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lalu Zohri, tertanggal 11 Oktober 2008. 11 Surat pernyataan Rasiman dibuat di Tebango pada 23 September 2008. Ia menyetujui ahli waris yang lain, termasuk Sanisah, Diarsih, Sapriadi dan Samsiah. Saksi-saksi yang tercantum dalam surat ini antara lain: Sukarman (pengurus MBI Lombok Barat), Kartadi (pengurus Banjar Buddhaya), Yuli Anggriani (pengurus Wanita Buddhis Indonesia Pemenang) dan Wirya Pala (Pandita Vihara Jaya Wijaya). 12 Berita acara pertemuan Magabudi dan Buddhayana, Karang Montong, 27 Oktober 2008. 13 Peryataan sikap No.17/MT.PD NTB/XI/2008 ditandatangani Pengurus Daerah Magabudi NTB atas nama S. Chandrasusila dan Rusdianto selaku ketua dan sekretaris. Begitu juga, Sudiartono (ketua PC. Magabudi Kota Mataram), Yarsa (ketua PC. Mahabudi Kab. Lombok Barat), Romo Kantipalo (ketua PAC. Magabudi, Pemenang), Romo Padma Ramsy (Ketua Magabudi, Tanjung), dan Romo Darma Mitra (Ketua PAC. Magabudi). Pernyataan sikap ini juga ditujukan ke Dirjen Bimas Buddha Departemen Agama RI, Sekretaris Ditjen Bimas Buddha Departemen Agama RI, Pen-
273
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
terhadap kesepakatan terdahulu. Disebutkan juga bahwa berdirinya Vihara Jaya Wijaya atas prakarsa Tawilan dan Nursih Gunar. Kare na itu, peran kedua tokoh ini tidak bisa dikesampingkan. Untuk menghindarkan bentrokan fisik dan anarkis kedua belah pihak, ke dua tokoh meminta agar aparat keamanan menghentikan sementara kegiatan renovasi vihara sampai ada penyelesaian dari kedua belah pihak. Selain itu, keduanya juga mengharapkan pejabat Pembimas Buddha Wilayah Departemen Agama Provinsi NTB segera turun memfasilitasi penyelesaian persoalan tersebut tanpa berpihak kepada salah satu kelompok. Merasa tidak mampu memediasi kedua belah pihak yang berselisih, Maknun selaku kepala Desa Pemenang Timur, mengirim surat kepada Camat Pemenang untuk mempertemukan kelompok Buddhayana dan Magabudi.14 Saat itu, Sumadi selaku Camat Pemenang, sempat berjanji untuk menjadi mediator setelah pelantikan Plt. Bupati KLU. Namun, sampai berhenti menjadi Camat Pemenang, janji tersebut tidak direalisasikan. Pada 21 Mei 2009, pengurus Magabudi Lombok Utara mengadakan kegiatan Waisak bersama di Vihara Sanggupati, Desa Tegal Maja, Kecamatan Tanjung. Pengurus Magabudi menjadikan momentum ini untuk mengajak umat Buddha KLU bergotong royong bersama di Vihara Jaya Wijaya. Sebagai bentuk solidaritas sesama umat Buddha, gotong royong itu akhirnya diikuti ratusan orang. Mereka mengendarai 6 truk dan puluhan motor. Mereka juga membawa berbagai macam perlengkapan seperti ember, sapu lidi, sabit, parang dan lain-lain. Tentu saja, kedatangan ratusan orang itu mengagetkan masyarakat Tebango yang beraliran Buddhayana yang saat itu sedang mengadakan upacara adat. Kadus Tebango, Sukarman dan beberapa warganya pun berusaha menghentikan kegiatan gotong royong tersebut karena dianggap “ilegal”. Apa lagi pihaknya tidak pernah diberitahu. Ia juga meminta agar mereka pulang ke rumah. Karena dianggap menghalang-halangi, Kadus Tebango sempat akan dipukul massa, tetapi berhasil dicegah warga. Selang beberapa saat, gurus Pusat Magabudi dan Sangha Theravada Indonesia yang berada di Jakarta. Tembusan surat juga dialamatkan kepada Kakanwil Depag Provinsi NTB, Kapolda NTB, Bupati Lombok Barat, Kepala Resort Kepolisian Lombok Barat Gerung, Kepala Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri, Camat Pemenang, Kapolsek Pemenang, Danramil Pemenang dan Kepala Desa Pemenang Timur. 14 Surat kepala Desa Pemenang Nomor 14 tertanggal 29 Oktober 2008.
274
Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya
Kapolsek Pemenang datang bersama anggotanya, sehingga konflik fisik bisa terhindarkan. Untuk mencairkan ketegangan, Kapolsek Pemenang juga mendatangi kedua tokoh. Dalam pembicaraannya dengan Kapolsek, Kadus Tebango akhirnya mengizinkan warga Tebango yang beraliran Magabudi untuk melakukan gotong-royong, bukan orang Magabudi yang berasal dari luar kampung. Pada 1 Juni 2009, pihak Magabudi atas nama Panitia Rehabilitasi Vihara Jaya Wijaya mengirimkan surat permohonan penanganan ke pejabat Bupati Lombok Utara, Pemenang.15 Surat permohonan melampirkan kronologi kejadian yang menimpa umat Buddha Dusun Tebango termasuk kronologi kejadian pada 21 Mei lalu. Surat itu juga menjelaskan berbagai upaya yang telah mereka tempuh untuk menyelesaikan masalah tersebut, baik dari tingkat desa, kecamatan hingga tingkat kabupaten Lombok Barat. Perselisihan memuncak pada Rabu 14 Juli 2009, ketika sekelompok orang mendatangi dan merobohkan tembok Vihara Jaya Wijaya. Mereka mengaku sebagai ahli waris sah tanah tersebut sekaligus mengaku berhak memilikinya kembali. Aksi mereka tidak berlangsung lama, karena berhasil dicegah beberapa warga yang datang ke tempat itu. Tentu dapat dipastikan bahwa pelaku perusakan adalah anggota keluarga Sinanggi dari aliran Magabudi. Tidak lama berselang, warga Tebango melaporkan aksi perusakan tersebut ke Polsek Pemenang. Bahkan, kasus perusakan tembok vihara tersebut juga dilaporkan ke Bupati KLU, HL. Bakri. Namun, aparat kepolisian tidak berani menangkap pelaku perusakan. Menurut pihak Buddhayana, aksi perusakan itu sengaja tidak diproses karena para pelaku disinyalir memiliki hubungan kekerabatan dan pertemanan dengan anggota kepolisian Polsek Pemenang dan beberapa aparat pemerintahan KLU. Padahal, selain merugikan umat Buddha Tebango, aksi perusakan itu juga semakin memperparah perselisihan dua kelompok Buddhayana dengan Magabudi. 15 Surat Pemohonan Penanganan No. 02/PR.VJW/V/09 kepada Pejabat Bupati KLU di Tanjung. Surat tersebut ditandatangani Reniadi dan Sukadi mengetahui Romo Khanti Pallo (Ketua PAC. Magabudi, Pemenang), Romo Yasa (Ketua Magabudi Kabupaten Lombok Barat) dan Chandra Susila (Ketua Magabudi Provinsi NTB). Tembusan surat ini kepada Dirjen Bimas Buddha Departemen Agama RI Jakarta, Kakanwil Depag Provinsi NTB di Mataram, Pembimas Buddha Depag Provinsi NTB di Mataram, Pembimas Buddha Depag Kabupaten Lombok Barat, Camat Pemenang, Danposramil Pemenang dan Kepala Desa Pemenang Timur.
275
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Dua bulan paska perusakan, Plt. Bupati KLU mengundang kedua belah pihak untuk bertemu di kantor DPRD, Lombok Utara. Selain mendengar penjelasan kedua belah pihak, pejabat Plt. Bupati beserta Plt. Sekda kembali menegaskan agar permasalahan Vihara Jaya Wijaya diselesaikan di tingkat internal umat Buddha Tebango secara adil. Dengan demikian, pertemuan itu juga tidak menghasikan kesepakatan apa-apa. Namun, beberapa hari setelah pertemuan tersebut, kedua belah pihak mengirimkan butir-butir kesepakatan tertulis yang intinya sulit bagi mereka untuk bergabung kembali. Pasalnya, paska tragedi perusakan itu, kedua belah pihak sudah pisah tempat ibadah. Aliran Buddhayana beribadah di Vihara Jaya Wijaya, sedangkan kelompok Magabudi melaksanakan ritual peribadatan di balai Banjar Jaya yang juga berlokasi di dalam dusun Tebango dan tidak jauh dari vihara. Begitu juga, masing-masing sudah memiliki komunitas Banjar sendiri-sendiri sebagai tempat bermusyawarah dan mengambil keputusan. Meskipun begitu, tidak tertutup kemungkinan bahwa perselisihan dua kelompok yang berbeda aliran ini kembali memanas di masa-masa yang akan datang. Terlebih, belum adanya penyelesaian yang sama-sama menguntungkan. Magabudi tetap menganggap Buddhayana sengaja ingin mengambil alih vihara tersebut, sehingga mereka tidak diberikan porsi yang sama dalam proses renovsi vihara.
Sejauhmana Peran FKUB? Pertanyaan penting yang layak diajukan adalah: Dimanakah peran Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB)? Dalam kasus ini, tampak bahwa FKUB secara organisasi hampir tidak memiliki peran. Pasalnya, KLU adalah kabupaten baru hasil pemekaran kabupaten Lombok Barat sejak Juli 2008. Dengan demikian, pada saat terjadi konflik, FKUB belum terbentuk. Bukan hanya FKUB, Kepala Kantor Departemen Agama (Kakandepag) pun belum ada. HL. Bakri menjabat sebagai pejabat bupati sementara pertama dalam rentang antara Desember 2008 hingga Januari 2010. Meskipun FKUB KLU belum terbentuk, pihak yang paling bertenggungjawab terhadap kerukunan umat beragama adalah Plt. Bupati KLU. Hal ini diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang
276
Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Pada Bab I mengenai Ketentuan Umum Pasal 1 menyebutkan: 1) kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; 2) pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama; 3) rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga; 4) pada bab II ditegaskan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dari Pasal 2-5. Pasal 2 menjelaskan tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintah daerah dan Pemerintah. Pasal 3 menguraikan pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur, sebagaimana dijelaskan bahwa pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen agama provinsi. Pasal 4 menegaskan bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota. Di samping itu, pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Pasal 5 menjelaskan tentang tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi: a) memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsi; b) mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; c) menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; d) membina dan mengoordinasikan bupati/ wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban ma-
277
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
syarakat dalam kehidupan beragama. Dalam beberapa dokumen yang terkumpul, pemerintah di tingkat desa cukup pro aktif menyelesaikan masalah ini, meski sampai hari ini belum berhasil menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini bukan semata kelemahan aparat pemerintah, tetapi memang adanya perbedaan pandangan dari kedua belah pihak Buddhayana dan Magabudi terhadap masalah tersebut. Menurut aliran Buddhayana, penyelesaian masalah Vihara Jaya Wijaya dusun Tebango harus diselesaikan masyarakat Tebango sendiri tanpa mengabaikan adat istiadat dan tradisi masyarakat setempat. Melibatkan pihak luar justru dapat memperlebar masalah. Bagi aliran Magabudi, pendekatan yang dipakai lebih sering menggunakan pendekatan organisasi dan birokrasi. Berbagai inisitif dialog yang diusulkan selalu melibatkan dan meminta intervensi aparat birokrasi, baik dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Ini juga disebabkan karena sebagian besar anggota Magabudi berpendidikan dan sebagian beroperasi sebagai PNS, sementara sebagian besar pengikut aliran Buddhayana adalah masyarakat biasa yang bekerja sebagai petani dan buruh. Untuk itu, dalam menyelesaikan masalah, mereka tidak banyak berhubungan dengan unsur aparat birokrasi. Dari sini, jelas bahwa pemerintah desa cukup pro-aktif menfasilitasi penyelesaian kasus tersebut. Sebaliknya, pemerintah kabupaten KLU termasuk Pemerintah Provinsi NTB bertindak pasif. Padahal, Pemerintah Provinsi memanggul tanggung jawab sesuai mandat undang-undang untuk memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama di daerahnya. Hal ini juga menunjukkan ketidaksiapan sumberdaya kepala daerah hasil pemekaran. Sebagai daerah hasil pemekaran, tentu segala sesuatunya serba terbatas. Seorang kepala daerah tentu sangat disibukkan dalam penyusunan perangkat daerah, termasuk menyiapkan infrastruktur penunjung serta sumber-sumber pendapatan keuangan daerah.
Kesimpulan & Analisis Dari hasil wawancara dan kronologi kasus, konflik Vihara Jaya Wijaya terjadi karena beberapa hal. Pertama, munculnya perpecahan dalam tubuh Walubi setelah
278
Vihara Buddha yang Tak lagi Jaya
Musyawarah Nasional (Munas) II, 1992. Ketika itu, muncul Walubi versi Hartati Murdaya yang mengubah Perwalian menjadi Perwakilan. Perubahan ini memicu ketidakpuasan di kalangan umat Buddha dan lahirlah Konferensi Agung Shanga Indonesia (KASI). Kedua, keluarnya 2 tokoh Tebango yaitu Tawilam dan Nursih Gunar dari Budayana ke Magabudi. Sebelumnya, kedua tokoh ini sangat dihormati dalam komunitas umat Buddha, Tebango. Namun, setelah kedua tokoh tersebut keluar, umat Buddha Tebango merasa kehilangan panutan. Apalagi alasan keluarnya kedua tokoh tersebut sampai hari ini belum diketahui secara pasti. Ketiga, munculnya rencana renovasi vihara dan tidak satunya pandangan mereka dalam hal ini. Meskipun komposisi kepanitiaan berasal dari dua aliran yang berbeda, tetapi dalam pelaksanaan, ketua panitia yang nota bene-nya penganut aliran Buddhayana dianggap sering kali tidak melibatkan masyarakat dari aliran Magabudi. Keempat, klaim ahli waris yang berasal dari aliran yang berbeda. Munculnya klaim dari dua pihak semakin mempertajam masalah. Bahkan, mediasi yang dilakukan pihak desa dan unsur Muspika tidak mampu mendamaikan kedua belah pihak sehingga pilihan untuk membagi dua lahan tempat vihara berdiri juga tidak diterima. Kelima, dalam menyelesaikan masalah tersebut, pihak Buddhayana lebih banyak bermain di level grass roots (masyarakat bawah). Sebaliknya, pihak Magabudi seringkali bermain di level birokrasi kecamatan, kabupaten dan provinsi. Ini terlihat dari berbagai dokumen pertemuan yang mereka buat. Dengan demikian, pihak Magabudi selalu melibatkan pemerintah untuk mengintervensi kelompok Buddhayana. Begitu juga, pihak Magabudi melibatkan struktur organisasi Magabudi dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai pusat. Sebagian kelompok Buddhayana bersikukuh bahwa masalah Vihara Jaya Wijaya harus diselesaikan umat Buddha dusun Tebango sendiri, dan bukan melibatkan pihak luar. Mengundang pihak luar terlibat dalam masalah tersebut dianggap kurang tepat. Akibatnya kelompok Buddhayana lebih banyak menunggu. Keenam, unsur pemerintah dari tingkat desa sampai kabupaten menyarankan agar umat Buddha sendiri yang harus menyelesaikan perselisihan ini. Meskipun mediasi sudah sering dilakukan pihak pemerintah, namun kesepakatan damai tetap berpulang pada masingmasing pihak Buddhayana dan Magabudi.
279
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Kelima hal inilah yang menyeret Vihara Jaya Wijaya Dusun Tebango tidak lagi jaya. Jaya dalam arti bisa menampung berbagai perbedaan aliran dalam agama Buddha. Apabila Sang Buddha berkesempatan berkunjung ke Tebango, tentu ia akan sangat sedih melihat umat memperebutkan rumahnya. Dalam pidatonya ia berpesan, “tambahlah kebaikan, kurangi kejahatan dan sucikan pikiran”.[]
280
Bagian IV
Toleransi Setengah Hati: Kasus Gereja Bethelis Protestan di Kalimantan Selatan Oleh: Siti Tarawiyah
Pendahuluan Sejak 1995 hingga 2005, serangkaian konflik dan kekerasan terus terjadi di Indonesia. Konflik antar kelompok agama, etnis, adat dan budaya mewarnai lembar sejarah bangsa ini: konflik antar kelompok di Sulawesi dan Maluku; kampanye anti dukun santet di Jawa; mobilisasi laskar keagamaan; dan bahkan aksi pengeboman yang dalangi jaringan teroris atas nama . Selain itu, kekerasan yang menimpa Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan aliran-aliran keagamaan lainnya hingga kini semakin menambah deret hitung kekerasan bernuansa agama di Indonesia. Menjadi bangsa Indonesia sungguh sangat tidak mudah, ter utama bagi kelompok “minoritas” di tengah superioritas kelompok mayoritas. Masyarakat muslim di Pegayaman misalnya, dalam batas-batas tertentu harus secara rela mengasimilasikan diri dengan budaya Hindu-Bali, agar tetap mampu bertahan hidup di tengah “deru” kaum mayoritas. Masyarakat Wetu Telu di Lombok, penganut sinkretisme, harus bertahan melawan gerakan pemurnian para tuan guru muslim yang melakukan dakwah Islam di sana.1 Namun, Erni Budiwanti, “Mempertahankan Identitas dan Toleransi Antar Agama: Minoritas Muslim di Lombok dan Bali”, dalam Murni Djamal dkk., Ethno-Religious 1
281
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
kemampuan untuk terus bertoleransi pada masyarakat Indonesia semacam inilah, dengan berbagai kemungkinan konflik anarkis yang mendera, membuat masyarakat Indonesia senantiasa tetap rekat dalam bingkai NKRI. Kalimantan Selatan dengan komposisi muslim mayoritas juga menoreh jejak pergulatan kaum minoritas yang bertahan di tengah tekanan dan kekerasan yang kadang tidak adil, baik bersumber dari kelompok mayoritas maupun pemerintah sendiri. Insiden berdarah pada 23 Mei 1999, setidaknya membuktikan, provinsi ini juga menyimpan potensi konflik yang tidak bisa dianggap remeh. Jemaat Bethelis Protestan di Banjarmasin adalah salah satu aliran dalam Kristen yang hingga saat ini terus berjuang membangun eksistensi komunitasnya di tengah mayoritas Muslim Banjar dan sikap pemerintah. Secara kuantitatif, jemaat ini berjumlah sekitar 3000 jiwa atau sekitar 2.5% dari total penduduk Banjarmasin. Ironisnya, meskipun jumlahnya cukup signifikan, komunitas ini tidak memiliki gereja resmi untuk beribadah. Apabila dibandingkan dengan yang lain, jemaat Bethelis adalah yang termiskin dalam hal kepemilikan rumah ibadah. Sementara itu, jemaat Evangelis memiliki tiga gereja resmi di Banjarmasin, jemaat Katolik memiliki enam gereja, dan jemaat GPIB memiliki tiga gereja resmi. Gereja-gereja tersebut belum termasuk tempat-tempat peribadatan tidak resmi yang dilakukan di rumah maupun di hotel. Sebaliknya, rumah ibadah jemaat Bethelis di Banjarmasin sebenarnya adalah balai pertemuan, tanpa bentuk atau simbol luar yang identik dengan agama. Di Banjarmasin, jemaat Bethelis memiliki enam rumah ibadah, antara lain: 1)rumah Pdt. Petrus Yusuf di Banjar Indah; 2) rumah Pdt. Yonathan di Komplek DPR; 3) gelanggang olahraga di komplek S. Tubun; 4) ruko jalan Pramuka; 5) lantai dua swalayan resto di jalan Veteran; 6) rumah Pdt. Adolfina Koemesakh di Pasir Mas. Umumnya, rumah-rumah ibadah ini terletak di komunitas muslim, daerah sekitar pasar dan perkantoran yang memang sama sekali tidak kondusif untuk aktifitas peribadatan. Karena itu, tidak heran jika komunitas ini memiliki dinamika masalah yang cukup pelik. Conflicts in Indonesia today: Proceedings of the International Workshop on EthnoReligious Conflict In Indonesia Today, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001), 25-27 September 2001.
282
Toleransi Setengah Hati
Penelitian ini hendak memotret bagaimana dinamika jemaat Bethelis dalam berjuang mempertahankan dan membangun eksistensi gereja mereka di tengah mayoritas muslim dan sikap apatisme pemerintah terhadap golongan minoritas di Banjarmasin. Peneliti berharap, tulisan ini akan memberikan gambaran kehidupan keagamaan minoritas, sekaligus menjadi masukan berharga bagi semua pihak untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya potensi konflik-konflik anarkis yang lebih besar.
Demografi Sosial Keagamaan Banjarmasin Banjarmasin adalah wilayah yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Banjar. Wilayah kekuasaan kerajaan ini meliputi seluruh Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur.2 Mayoritas penduduk Banjarmasin beragama Islam dengan total penduduk berjumlah 572.300 jiwa, terdiri dari 278.952 laki-laki dan 293.348 perempuan. Seluruh penduduk tersebar di 5 kecamatan, yakni: Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Timur, Banjarmasin Barat, Banjarmasin Utara dan Banjarmasin Selatan dengan kepadatan penduduk rata-rata 30 jiwa/km2. Hampir 92% dari total penduduk didominasi suku Banjar, sisanya sekitar 2.5% merupakan kaum pendatang termasuk suku Jawa, Bugis, Madura, Minangkabau, Batak, Cina, Arab dan yang lain. Sebagai ibukota provinsi dan pusat pertukaran barang dan perekonomian, Banjarmasin mengalami pertumbuhan jumlah rata-rata pertahun paling tinggi dari kota-kota lain di Kalimantan Selatan. Sekitar 30% masyarakat Kalimantan Selatan terkonsentrasi di Kota Banjarmasin. Meski secara geografis merupakan kota kecil, namun ia padat penduduk dan menjadi pusat perekonomian daerah. Mata pencaharian penduduk Banjarmasin didominasi pedagang (39.70%), disusul sektor jasa (23.12%), sektor industri (15.35%), sektor angkutan dan komunikasi (12.10%). Sementara itu, sektor keuangan sebanyak 1.08% disusul beberapa sektor lain seperti pertanian, konstruksi, listrik dan gas sebanyak 0.4%. Kota ini menghadapi problem layaknya kota-kota metropolis yang sedang berkembang, yaitu pengangguran kriminalitas. Situasi 2
M. Suriansyah Ideham, Sejarah Banjar (Banjarmasin: Balitbangda, 2003), h.1.
283
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
ini adalah dampak langsung dari tidak sebandingnya angka pencari kerja dan lapangan kerja di kota Banjarmasin. Tingginya angka kejahatan yang didominasi kasus narkoba, perampokan dan pencurian setidaknya menunjukkan bahwa warga Banjarmasin, meskipun terkenal dengan kesan religiusitasnya, tetapi menyimpan potensi untuk dapat dimobilisasi dan digerakkan secara anarkis. Struktur keagamaan masyarakat Banjarmasin masih didominasi pemeluk Muslim. Umat Islam berjumlah sekitar 92.73%, Pro testan 2.56%, Katolik 1.96%, Buddha 2.23% dan Hindu 0.52%. Berdasarkan komposisi ini, wajar apabila simbolisme Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Kalimantan Selatan. Bahkan, beberapa istilah3 yang melekat di beberapa kota provinsi ini mengukuhkan identitas kota yang kental dengan semangat religius. Secara etnisitas, secara umum, kelompok minoritas non-muslim berasal dari para pendatang. pemeluk Kristen dan Buddha lebih didominasi suku Dayak dan Cina Melayu. Sebagian besar mereka berasal dari Kalimantan Tengah (Pontianak) dan sebagian kecil dari suku Bugis dan Jawa. Sedangkan pemeluk Hindu lebih banyak didominasi dua etnis utama, yakni: 1) suku Bali yang bertransmigrasi atau bekerja di Banjarmasin; 2) suku Dayak pedalaman yang ber akar dari kepercayaan Kaharingan. Kalangan pedagang dan pengusaha non-muslim di Banjamasin adalah pemeluk Buddha, Kristen dan Konghucu. Secara umum, kalangan ini bukan tipologi yang fanatis dalam hal agama, kecuali para agamawan mereka. Hal ini ditunjukkan dengan sangat longgarnya pemilihan beragama dalam setiap keluarga. Sebuah keluarga misalnya bisa menganut beberapa agama yang berbeda. Sedangkan pemeluk Hindu, hampir tidak yang ada berpofesi pedagang, mereka pada umumnya bekerja pada sektor jasa, pekerja pabrik atau pega wai negeri sipil dan cenderung lebih ketat menjaga adat, tradisi dan kepercayaan. Meskipun kota Banjarmasin didominasi masyarakat muslim, komposisi masyarakat non-muslim terbanyak juga terkonsentrasi di Beberapa kota di Kalimantan Selatan, seperti Martapura, dikenal dengan sebutan kota Santri. Sebagian warga juga menyebutnya serambi Mekkah karena di kota ini dikenal sejak berabad-abad lamanya sebagai pusat kaderisasi ulama Kalimantan dan Indonesia. Kota lain seperti Hulu Sungai Utara, meski tidak memliki julukan khusus, namun juga dikenal dengan pusat kota yang memiliki kuantitas madrasah dan pesantren yang sangat banyak. 3
284
Toleransi Setengah Hati
kota ini, setidaknya bila dibandingkan dengan kabupaten-kabupa ten lain di Kalimantan Selatan. Terjadinya kerusuhan pada 23 Mei 1997, yang dinilai sebagai bagian dari konflik komunal, menurut beberapa analisa, setidaknya menunjukkan bagaimana masyarakat kota ini masih sangat sensitif terhadap simbol-simbol agama,4 dalam resistensinya sebagai daerah dengan komposisi masyarakat yang paling heterogen di Kalimantan Selatan. Dalam lampiran peristiwa, paling tidak tercatat 11 gereja, antara lai: 1 di antaranya musnah dibakar dan 10 lainnya dirusak dan beberapa perabotnya sempat dijarah. Begitu juga, sekitar 3 vihara dan 1 klenteng sempat menjadi sasaran amuk massa.5 Meskipun beberapa kalangan lain berpendapat, kerusuhan tersebut lebih banyak bernuansa politik, namun hal itu tidak dapat mengabaikan faktorfaktor lainnya seperti agama, sosial, ekonomi, pendidikan dan lainnya.6
I. Gereja Bethelis Indonesia Pasir Mas Banjarmasin A. Gereja Tanpa Simbol Agama Gereja Bethel terletak di Kelurahan Pasir Mas. Kelu rahan ini adalah sebuah kawasan yang penduduknya di dominasi perusahaan dan pekerja perusahaan. Secara geo grafis, gereja ini berlokasi di sebuah Gang Surya kecil terasing yang diapit dua perusahaan. Sehingga, penduduk gang nampak seperti sebuah komunitas kecil masyarakat yang terisolir. Karena berada di kawasan industri, secara sosial, mayoritas warganya adalah kaum pendatang dari berbagai daerah dan provinsi. Gang Surya memiliki kompisisi etnis yang beragam. Sebagian warga bersuku asli Banjar, Jawa, Bugis dan Madura yang berprofesi sebagai buruh pabrik dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Selain
Hairus Salim dkk., Amuk Banjarmasin (Jakarta: YLBHI, 1997). Hairus Salim dkk., Amuk Banjarmasin (Jakarta: YLBHI, 1997). Lihat Lampiran Daftar Bangunan dan Barang yang kena amuk massa. 6 Muhaimin, AG, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia (Jakarta: Balitbang Depag RI, 2003), h. 19. Peristiwa kerusuhan di Banjarmasin ini terjadi pada Jumat tanggal 23 Mei 1997 dan bertepatan dengan putaran terakhir masa kampanye Golkar. 4 5
285
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
itu, gang ini adalah daerah persinggahan dengan tingkat mobilitas pendatang yang cukup tinggi sehingga sulit untuk didokumentasikan dengan akurat. Berdasarkan data statistik, kawasan sempit ini menam pung tidak kurang dari dua ratus KK. Mayoritas warganya pemeluk Islam, sedangkan pemeluk Protestan hanya ber jumlah 6 KK termasuk keluarga Adolfinah, pemilik rumah ibadah yang diperselisihkan warga setempat. Karena luas yang terbatas, jumlah yang tinggi dan letak di pusat kota, kawasan ini termasuk dalam kategori kawasan padat dengan tingkat mobilitas penduduk yang cukup tinggi. Rumah ibadah yang disebut dengan gereja Bethel adalah sebuah rumah kayu bertingkat dua yang bentuknya tidak mirip sama sekali dengan gereja, tanpa lambang dan simbol kristiani tertentu. Tidak terlalu sulit menemukan luas rumah ibadah ini sangat terbatas. Rumah dengan uku ran 7 X 4 m2 ini berhimpitan dengan rumah lain sebelah kanan dan kiri dengan luas halaman hanya berukuran 1 m2, dengan jalan kecil layaknya gang kelinci yang hanya bisa dilalui motor. Apabila berlangsung kebaktian atau misa mingguan, halaman rumah Adolfina ini hanya bisa memuat paling banyak 30 buah motor. Sedangkan sisa jemaat yang datang belakangan harus memarkir motor di halaman rumah tetangga atau berjejer di sepanjang jalan dan akhirnya menyempitkan pengguna jalan yang berlalu lalang. Menurut Adolfina, rumahnya bukan gereja, tetapi hanya rumah ibadah. Karena bentuknya sama sekali tidak mencitrakan bangunan gereja, tanpa salib, tanpa lonceng dan simbol-simbol kristiani yang lain. Selain letak rumah yang tidak kondusif sebagai tempat ibadah, format interior dalam rumah Adolfina sendiri juga tidak cukup mendukung kegiatan peribadatan. Bagian bawah rumah digunakan untuk kegiatan kebaktian dan berdoa. Sebuah ruangan luas bagian belakang dibiarkan tanpa sekat berfungsi sebagai dapur dan kamar mandi. Sedangkan bagian atas, digunakan sebagai ruang pribadi dan kamar tidur pendeta. Dengan struktur rumah yang terbuat hanya dari kayu, setiap kegiatan doa atau kebaktian akan menimbulkan suara
286
Toleransi Setengah Hati
gaduh yang terdengar jelas ke semua tetangga terdekat. Karena selain menyanyi, mereka juga menghentakkan kaki dan bertepuk tangan dengan sangat bersemangat. Suasana di dalam akan semakin tidak nyaman karena suhu udara di dalam ruangan terasa cukup pengap, terlebih jika jumlah jemaat kebaktian yang hadir sangat banyak. Sebuah pendingin ruangan yang terpasang tidak cukup membantu mengatasi pengapnya udara. Namun, hal tersebut tidak menghambat jemaat Bethelis Protestan untuk beribadah, bahkan, kian hari, jemaat yang memenuhi tempat Adolfinah semakin banyak, sehingga lambat laun menganggu aktifitas dan kenyamanan para tetangga didekatnya. B. Membangun Eksistensi Minoritas di Tengah Mayoritas Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pasir Mas berdiri pada 1997. Dalam tiap kebaktian mingguan, Gereja ini dihadiri seratus lima puluh jemaat. Gereja in awalnya sebuah rumah dengan status kontrak dan dikhususkan untuk kegiatan doa persekutuan7 dan sekolah mingguan anak-anak8. Sebelum Adolfinah menetap di sana, kegiatan di rumah ibadah ter sebut dibina Pdt. Rotherman Sundung yang khusus bertugas membina kerohanian ummat. Meski berada di tengah-tengah umat Islam, rumah ibadah ini tidak pernah sepi jemaat. Hampir setiap waktu mereka datang secara bergiliran dengan berbagai keperluan dan hajat. Pasalnya, selain menyediakan pelayanan untuk doa dan beribadat, Pdt. Rotherman dan Adolfinah juga melayani jemaat untuk terapi penyembuhan9 dan pelepasan roh.10 Persekutuan adalah sekelompok jemaat umat Bethelish Protestan dengan jumlah anggota di atas 12 orang dan telah dibaptis. 8 Sekolah minggu adalah kegiatan pembinaan kerohaniaan untuk anak-anak sejak umur balita hingga kelas enam sekolah dasar. Untuk kalangan di atas umur tersebut, terdapat pembinaan khusus lain yang disebut dengan pembinaan remaja. 9 Menurut Adolfina, gereja melayani terapi berbagai penyakit akut yang pada umumnya secara medis sudah sangat sulit bahkan mustahil disembuhkan, seperti penderia kanker atau tumor ganas. Selain itu, gereja ini juga melayani terapi untuk orang-orang yang hilang ingatan, depresi atau tekanan jiwanya. 10 Pihak gereja ini memberikan pelayanan kepada jemaat yang jiwanya dikuasai roh-roh halus, sehingga sikap dan cara hidupnya menjadi tidak terkendali. Roh7
287
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Selama tujuh tahun, sejak 1997, rumah tersebut ber status kontrak dari seorang perantauan Batak yang juga menganut Protestan. Baru pada 2004, rumah tersebut dibeli dan direhabilitasi menjadi lantai dua untuk lebih memudahkan aktifitas peribadatan didalamnya. Seiring de ngan pertambahan jemaat dan permintaan pelayanan yang semakin meningkat, Adolfinah, selaku pemimpin gembala di gereja rumah ibadah ini, melakukan kaderisasi wakil-wakil gembala baru untuk memenuhi kebutuhan jemaat tersebut. Saat ini, Adolfinah memiliki 7 perwakilan atau 7 wakil gem bala yang melayani jemaat yang disebarkan di berbagai tempat, seperti Banjarmasin Barat, Banjarmasin Timur, bah kan beberapa daerah di luar Banjarmasin. Secara umum, rumah ibadah ini menjadi pengayom jemaat Protestan di sekitar Kuin Cerucuk, Pelambuan dan sekitarnya yang tidak memiliki tempat ibadah secara khusus. Seiring berjalannya waktu, jemaat yang terlibat dalam gereja ini semakin meningkat dan tidak tertampung lagi. Awalnya, warga muslim sekitar cukup terbiasa dengan kegiatan ibadah yang dilakukan baik pada siang, sore mau pun tengah malam. Akan tetapi, lambat laun mereka juga merasa kesal karena aktifitas tersebut dianggap sangat menganggu komunitas muslim. Sebaliknya, Adolfinah dan jemaatnya tidak sedikit pun terganggu dengan aktifitas peribadatan umat Islam di sana.
II. Membangun Akulturasi dan Toleransi Setengah Hati A. Gereja yang Membaurkan Diri dengan Lingkungan Muslim Mempertahankan eksistensi rumah ibadah di sebuah komunitas muslim memang bukan sesuatu yang mudah. Apa lagi jika jumlah penganut Protestan di kawasan ter sebut sangat sedikit. Di tengah pesismisme yang kadang tidak bersahabat, terlebih jika berhadapan dengan dengan kelompok mayoritas, keberadaan rumah ibadah itu sendiri roh yang mereka maksud bisa berupa warisan roh leluhur yang datang dan mencoba bersemayam atau sengaja memang didatangkan seseorang yang berniat jahat.
288
Toleransi Setengah Hati
mencoba mengambil peran yang lebih pada masyarakat se cara general, tanpa melihat batas keyakinan. Setiap Idul Fitri misalnya, komunitas jemaat di rumah ibadah ini mengumpulkan dana dan membagikan sembako kepada penduduk setempat. Bekerjasama dengan ketua RT setempat, Adolfinah mendata penduduk setempat yang kurang mampu untuk diberikan bantuan sembako di saat lebaran, selain membagikan sembako dilingkungan gang tersebut, ia juga memberikan bantuan kepada para tukang becak atau buruh sekitar yang sering mangkal di depan gang. Selain dalam bentuk sembako, untuk kalangan ter batas muslim di Gang Surya, mereka juga membagikan mukena, baju koko atau kopiah untuk keperluan beribadah. Jika ada penduduk yang terkena musibah, seperti kebakaran, kematian atau pun sejenisnya, komunitas Protestan ini juga memberikan bantuan kepada penduduk setempat yang mayoritas beragama Islam. Selain mengasimilasikan diri dalam berbagai bentuk kegiatan sosial, rumah ibadah ini juga terlibat secara aktif dalam kegiatan keamanan dan sosial di kampung. Apabila kalangan pemuda sedang ada kegiatan pertandingan olah raga persahabatan dengan kampung lain misalnya, seperti sepakbola, tenis meja atau bulu tangkis, komunitas di rumah ibadah ini secara sukarela juga membantu, terutama dalam bentuk uang ataupun membelikan kaos seragam. Bahkan, ketika terjadi peristiwa kebakaran yang beruntun didaerah ini misalnya. Komunitas muslim dan Protestan yang samasama meresponnya dalam kacamata antroposentris, secara bersama-sama melakukan doa keliling untuk ”membersih kan” kampung. Tentu saja, dengan ritual dan kepercayaan masing-masing. Usaha ini tidak sia-sia, awalnya, hubungan mayoritasminoritas di daerah Pasir Mas berjalan baik dan harmonis. Selama lebih dari sepuluh tahun, keberadaan Adolfinah dan rumah ibadah yang dipimpinnya tidak pernah mendapat gangguan yang berarti, baik secara emosionl atau fisik. Karena itu, ketika terjadi insiden pemanggilan pemerintah setempat berkaitan dengan aktifitas rumah ibadahnya, Adolfinah sangat terkejut dan sama sekali tidak menyangkanya.
289
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
B. Ketertiban Sosial yang Memicu Pesimisme Sejak awal hingga sekarang, Adolfinah dan warga se kitar menyebut tempat tinggal Adolfinah sebagai rumah ibadah. Dengan status rumah ibadah, selama ini masyarakat tidak pernah bermasalah dengan istilah atau pun kegiatan di rumah Adolfinah selama bertahun-tahun. Masalah mulai muncul ketika aktifitas di tempat Adol finah semakin meningkat dan menganggu kelancaran pengguna jalan, ditambah lagi dengan adanya selebaran,11 meskipun memang hanya diperuntukkan bagi kalangan sendiri, untuk bergabung dengan komunitas tersebut, dan menyebutkan rumah Adolfinah sebagai Gereja Bethel Pasir Mas. Penggunaan istilah inilah yang kemudian memicu pro kontra yang semakin memanas di sebagian warga Gang Surya tersebut. Beberapa warga misalnya mengaku, sebutan ”gereja” meresahkan mereka. Berbekal 132 tanda tangan masyarakat dan ketua RT 36 Gang Surya, Abdul Aziz melayangkan surat keberatan kepada Depag Provinsi Kalimantan Selatan dan tembusan kepada Kecamatan, Polsek dan Koramil Banjarmasin Barat. Beberapa kalangan di jemaat Adolfinah menyebutkan, insiden tersebut tidak lebih karena adanya provokasi pihakpihak luar, dan bukan atas inisiatif warga secara independent. ”Selama bertahun-tahun hubungan kami dengan masyarakat sangat baik, bahkan masyarakat merasakan banyak sekali manfaat yang positif dengan adanya rumah ibadah ini. Protes kemarin itu cuma dilakukan orang luar yang fanatis dan tidak suka dengan kami. Namun, selama ini kami tidak pernah bermasalah dengan mereka”.12
Hal yang sama juga diungkapkan sendiri Pdt. Adolfinah, sebagai berikut: 11 Selebaran tersebut berisi ajakan untuk bergabung dengan komunitas gereja Bethel Indonesia Pasir Mas di tempat Adolfinah tersebut. Meskipun selebaran tersebut dibagikan secara memang hanya untuk kalangan sendiri. Namun, ketika ada salah satu masyarakat sekitar yang menemukanya secara tidak sengaja, mereka mulai resah dan mudah terprovokasi karena penggunaan istilah yang digunakan bukan lagi rumah ibadah seperti yang selama ini mereka kenal, tetapi telah berstatus gereja. Adapun selebaran yang dimaksud sebagaimana terlampir. 12 Wawancara dengan Pendeta Rotherman Sundung, Kamis 26 November 2009.
290
Toleransi Setengah Hati
”Terus terang, saya sangat terkejut dengan adanya pemanggilan dari pihak kecamatan berkaitan dengan keberadaan aktifitas rumah ibadah yang saya kelola. Karena selama ini, selama berpuluh tahun, saya tidak pernah mengalami masalah apapun, bahkan dapat dikatakan, seluruh masyarakat di sini justru sangat terbantu dengan adanya kegiatan yang dilakukan di rumah ibadah kami. Setiap lebaran kami membangun silaturrahmi yang sangat baik, kalau ada tetangga yang kena musibah kami bantu bersama, bahkan sesekali kalau saya sedang ada waktu luang, saya suka mengobrol atau ”rujakan” bersama tetangga terdekat. Kalau tiba lebaran, saya silaturahmi ke rumah-rumah, dan sebaliknya, apabila natalan, saya bahkan sering menerima bingkisan kue-kue kering dari tetangga yang hampir semuanya muslim. Saya merasa sudah sangat menyatu dengan masyarakat di sini, jadi rasanya mustahil kalau mereka tibatiba meginginkan saya keluar”.13
Beberapa warga dan perwakilan RT menyatakan, keberatan mereka terkait dengan rumah ibadah Adolfinah, bukan karena keberadaannya atau berkaitan dengan kegiatan ibadah kalangan minoritas di kawasan mayoritas, namun karena ketertiban jalan yang terganggu karena akti fitas yang semakin meningkat, termasuk suara kegiatan yang semakin gaduh dan dilakukan hingga tengah malam. Bahkan, beberapa warga mengeluh dan merasa risih dengan sebutan gereja tersebut: ”Masa mbak, kalau ada kawan yang tanya rumah saya dimana, saya selalu terpaksa menjawab: ”Itu, di sebelah gereja”. Padahal, saya kan muslim dan warga di sini semuanya Islam. Lagi pula, kalau sembahyang, mulai dari pagi, siang bahkan tengah malam itu mereka ribut sekali”.14
Abdul Aziz, selaku ketua RT yang telah menjabat selama sepuluh tahun, mengakui, selama ini hubungan mereka dengan Adolfinah dan keluarganya sangat baik. Adolfinah dan anak menantunya bahkan sering berkunjung ke rumah, meskipun tidak dalam rangka lebaran atau sejenisnya. Na mun, ia mengakui karena memang kondisi sosial rumah iba dah tersebut sudah sangat menganggu ketentraman 13 14
Wawancara dengan Adolfina Koemesakh, Sabtu 12 Desember 2009. Wawancara dengan Julaikha, Sabtu 12 Desember 2009.
291
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
warga, sehingga akhirnya ia harus bersikap, sekaligus juga mengisyarakatkan adanya provokasi pihak-pihak ”luar” untuk memperuncing konflik ini. ”Kalau kebaktian memang jalannya jadi macet mbak, gereja itu memang sudah bertahun-tahun di sini. Tapi kami di sini sangat toleran. Kalau kemudian saya melayangkan teguran dalam bentuk surat, bukannya saya di provokasi. Saya hanya mendengar dan mempertimbangkan masukan pihak-pihak lain. Lagi pula mereka itu harus waspada mbak, ini kan pemukiman muslim. Mana boleh ada gereja, itu orang FPI sering sekali telpon saya, mereka mau serang gereja itu, hanya saya saja yang tahan. Kalau bukan kita mbak, hancur sudah gereja itu oleh FPI. Mereka bilang, kapan saja saya mau, mereka bisa datang untuk membantu mengusir para jemaat tersebut. Ini saya ditelpon terus sama mereka nih”.15
C. Pembicaraan Tanpa Kesepakatan. Sebulan sejak surat keberatan tersebut dilayangkan kepada pihak-pihak terkait, Adolfinah dipanggil. Dalam surat keberatan yang mereka kirimkan, dua poin utamanya adalah: 1) tidak adanya pemberitahuan kepada warga sekitar tentang pendirian gereja tersebut; 2) aktifitas yang dilakukan jemaat di sana sangat mengangu warga sekitar yang mayoritas muslim. Menerima surat ini, Adolfinah mengaku sangat terkejut, karena selama sepuluh tahun lebih ia berada dan beraktifitas bersama jemaatnya di kawasan ini dan selama itu juga tidak pernah mengalami insiden apapun, baik secara emosional maupun secara fisik. Ketika di kecamatan, Adolfinah dihadapkan dengan KUA, pertama ia sempat terkejut, kenapa persoalan tempat ibadah harus dibicarakan dengan kepala Kantor Urusan Agama, dan bukan dengan pihak lain yang lebih berkompeten, dengan FKUB misalnya. Singkatnya, ketika terjadi pembicaraan antara Adolfinah dan pihak KUA pada 13 Juni 2009, Kepala KUA meminta agar seluruh aktivitas ibadah jemaat Bethelis tersebut agar dihentikan. Pihak Adolfinah sendiri menyatakan ketaatan dan kesediaannya menghentikan kegiatan tersebut dengan syarat, sebagai 15
Wawancara dengan Abdul Aziz, Kamis 10 Desember 2009.
292
Toleransi Setengah Hati
bagian dari agama yang diakui keberadaannya berdasarkan Undang-Undang, mereka mengharap pemerintah memberikan alternatif ganti tempat yang legal, aman dan layak untuk bisa beribadah. ”Saya sempat kaget, kok saya diketemukan dengan Kepala KUA, bahkan saya sempat bertanya sambil bercanda, memang siapa yang mau dikawinkan pak? Intinya pada pertemuan itu, pihak kecamatan meminta agar kami menutup dan menghentikan kegiatan ibadah yang berlangsung dengan alasan bahwa mayoritas warga setempat adalah muslim, dan yang beribadah di sana adalah orang luar semua. Saya katakan, pertama, beribadah itu adalah kebutuhan buat kami, mungkin kami bisa saja tidak bisa makan, tidak bisa minum untuk beberapa saat. Namun, kami tidak bisa hidup bila tidak bisa beribadah. Lagi pula tempat ini selain telah ada selama waktu yang sangat lama, lebih dari sepuluh tahun dan sudah sangat menyatu dengan masyarakat di sana. Kriminalisasi di Banjarmasin sangat tinggi lo mbak. Kami melakukan terapi dan pembinaan terhadap anak-anak muda yang bermasalah seperti ketergantungan narkoba atau yang baru keluar dari penjara. Saya juga katakan, apabila pemerintah menginstrukiskan kami untuk pindah, kami akan pindah, asal kami diberi alternatif tempat yang resmi. Apabila kami disuruh pindah ke kantor Pemda, kami akan pindah ke sana. Apabila kami disuruh beribadah di tanah lapang, kami akan lakukan. Karena ajaran kami menyatakan bahwa kami harus taat kepada pemerintah”.16
Karena dari pihak Kecamatan tidak bisa memberikan jalan keluar terhadap persoalan gereja Bethel ini, perma sa lahan kemudian dilimpahkan kepada pemerintah kota dengan melibatkan pihak-pihak yang lebih berkompeten dan luas. Setelah lima minggu, Adolfina kemudian dipanggil pihak Pemkot pada 14 Agustus 2009. Panggilan kedua masih berkaitan dengan aktifitas rumah yang ia pimpin. Selain Adolfinah sendiri, pertemuan tersebut dihadiri pihak pemerintah Kota, Departemen Agama, pengurus FKUB dan warga sekitar. Pada intinya, masyarakat keberatan dengan adanya aktifitas tersebut berkaitan dengan tingginya jemaat yang sangat banyak, sehingga suaranya menjadi sangat gaduh dan kondisi parkirannya yang padat sangat menganggu 16
Wawancara dengan Adolfina Koemesakh, Sabtu 12 Desember 2009.
293
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
aktifitas umum masyarakat sekitar. Karena itu, Adolfinah diminta mengatur jemaatnya agar aktifitas mereka tidak lagi menganggu warga sekitar. Berdasarkan pertemuan itu, Adolfinah direkomendasikan untuk mengurangi jumlah jemaat agar aktifitasnya tidak lagi menganggu dan mengurus izin kegiatan ibadah di tempat tersebut dengan meminta tanda tangan 90 jemaat dan sedikitnya 60 KK sekitar. Untuk pengurusan izin ini, mereka diberi tenggat waktu selama dua tahun. Apabila tidak dapat diselesaikan, pemerintah akan menutup dan mengalihkannya ke tempat lain yang lebih layak. Saat ini, untuk mengurangi jumlah jemaat, aktifitas ibadah misa mingguan dibagi menjadi dua kelompok. Seba gian jemaat ditempatkan di rumah Adolfinah. Sedangkan kelompok yang lain menyewa tempat di Hotel Viktoria, jalan Ahmad Yani, Banjarmasin. Berkaitan dengan izin yang diminta pihak Pemda, Adolfinah sedang memproses dan berjalan tanpa hambatan. Menurut Adolfinah, meksipun proses perizinan rumah ibadah yang sedang dilakukannya berjalan lancar, untuk jangka panjang, ia tidak ingin men jadikan rumah ibadahnya sebagai gereja. Karena memang tempatnya sangat tidak memungkinkan. ”Kalaupun nanti izin yang sedang kami proses selesai, kami tidak punya niat untuk menjadikannya sebagai gereja, selain karena ini memang komunitas muslim, tempatnya juga sangat tidak layak. Apabila pemerintah benar-benar bisa membantu kami menyediakan lahan yang layak dan nyaman buat kami beribadah, kami beli pun tidak masalah. Asal ada jaminan keamanan untuk kami beribadah di sana. Tempat ini hanya pilihan terakhir, karena kami tidak punya pilihan lain yang lebih baik”.17
Bagaimanapun, di tengah minimnya harapan dan dukungan dari lingkungan dan pemerintah atas keberadaan mereka, umat Bethelis tetap menaruh harapan dan optimisme yang tinggi. Baginya, masyarakat Banjarmasin adalah mayoritas yang mampu secara toleran menerima perbedaan dan mengharapkan kepada pemerintah, sebagai bagian dari 17
Wawancara dengan Adolfina Koemesakh, Sabtu 12 Desember 2009.
294
Toleransi Setengah Hati
agama dan kepercayaan yang diakui pemerintah untuk dapat diayomi dan dilindungi, termasuk difasilitasi untuk dapat mendirikan rumah ibadah yang layak, aman dan nyaman bagi umat Bethelis sendiri maupun bagi masyarakat sekitar.
III. FKUB: Lembaga Setengah Hati Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB) adalah lembaga independen yang dibentuk pemerintah untuk mewadahi berbagai komunitas agama di Kalimantan Selatan. Lembaga ini diharapkan mampu membangun komunikasi dan menjembatani berbagai perbedaan dan konflik yang muncul dalam masyarakat. Komposisi pengurus FKUB tujuh puluh persen adalah tokoh agama, sedikit akademisi dan pegawai kantor departemen agama. Sebagai lembaga yang sebagian besar pengurusnya adalah tokoh masyarakat yang bergerak langsung mengayomi masyarakat berbagai pemeluk agama, FKUB adalah lembaga, terutama bagi kelompok minoritas, yang diharapkan akan dapat melindungi dan menegakkan hak-hak mereka sebagai minoritas di tengah-tengah mayoritas. ”Saya diminta dokter Tarigan, dokter anak yang praktik di komplek Citra itu untuk dapat membantu mendapatkan perizinan agar status rumah ibadah yang terletak di belakang lokasi Haji Idak ditingkatkan menjadi gereja, karena kalau sudah berstatus gereja, untuk beberapa hal, seperti biaya listrik dan air kan lebih murah. Sampai saat ini sih izinya belum bisa didapatkan dari masyarakat setempat yang memang mayoritasnya adalah muslim. Akan tetapi, kegiatan ibadahnya sendiri di tempat di tempat itu tidak pernah mendapatakan halangan”.18
Bukan hanya bagi kelompok minoritas, bahkan beberapa aliran dalam Islam juga mengharapkan FKUB menjadi ujung tombak bagi penyelesaian konflik-konflik internal.19 Meskipun Wawancara dengan Mahfudz Shiddiq, 03 November 2009. Ansori Mahmud, salah satu pengurus FKUB setempat, menuturkan bahwa suatu ketika di Landasan Ulin Banjarbaru, ada sebuah aliran Islam yang barafiliasi dengan Thariqat Naqsabandiyyah. Aktifitas kelompok ini selalu dihalang-halangi warga, bahkan diancam hendak dibubarkan karena dinilai sesat. Tuduhan sesat ini menimbulkan pro kontra di lingkungan warga. Bahkan, beberapa ulama NU sendiri terlibat perseteruan internal tentang “kemuktabaran” aliran ini. Mayoritas warga di Kalimantan Selatan menuduh bahwa aliran ini adalah bagian dari gerakan syi’ah. 18 19
295
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
demikian, FKUB sendiri diakui para pengurusnya tidak dapat bejalan secara maksimal, karena sebagai lembaga independen bentukan pemerintah, ia terkesan dilahirkan dengan setengah hati. Muhammad Rusli, salah satu pengurus FKUB kota Banjar masin menyatakan kebingungannya tentang posisi FKUB sendiri secara struktural. ”Saya pengurus FKUB sekaligus juga pegawai pada Kanwil Depag Provinsi. Sejak pertama, pembentukan FKUB memang membingungkan. FKUB dilahirkan Departemen Agama, namun pada pelaksanaannya, lembaga ini berjalan di bawah koordinasi dengan Kesbanglinmas Provinsi. Jadi, ketika dibentuk bersama Depag, operasionalnya dengan Kesbanglinmas. Kalau ada laporan berkaitan dengan persengketaan keagamaan, masuknya kan lewat Depag tuh, maka wajar apabila FKUB tidak bisa respon cepat. Kantor FKUB-nya saja di Kesbanglinmas. Jadi, membingungkan akhirnya. Sebenarnya sih lebih efektif apabila FKUB itu pos-nya di depag saja, hanya koordinasi saja dengan Kesbanglinmas, sehingga bisa lebih fokus untuk bisa menghandle persoalan antar umat beragama”. 20
Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan Mahfudz Shiddiq selaku Ketua FKUB: ”Kami sudah sering mencoba membuat berbagai program dan kegiatan daerah yang dharapkan efektif bisa membangun komunikasi antar agama. Tetapi, berkali-kali kami koordinasikan dengan pihak Depag, Pemda bahkan DPRD, jawabannya tidak karu-karuan, bahkan terkesan kami dipingpong ke sana kemari. Sampai-sampai, kawan saya dari Katolik yang sesama pengurus bilang, ”bubarkan saja
Padahal secara umum masyarakat sekitar Landasan Ulin adalah penganut madzhab sunni. Ketika imam Thariqat dimintai keterangan, ia menegaskan bahwa aliran ini tidak mengajarkan ajaran syi’ah, hanya semacam aliran thariqat di bawah bendera Thariqat Naqsabandiyyah. Kasus ini bahkan sempat sampai ke pengadilan, tidak jelas bagaimana prosesnya, namun belakangan, setelah ribut-ribut agak panjang, kegiatan kelompok ini sangat menurun drastis dan sangat tertutup. Bahkan, sang Habib selaku pemimpin aliran ini akhirnya pindah dan membangun eksistensi komunitasnya sendiri lagi di propinsi lain. Dalam konteks ini, pihak FKUB baik perorangan maupun institusional selalu diundang untuk melakukan mediasi, hingga pertentangan antara masyarakat dan pemimpin aliran tersebut dapat diselesaikan dengan cara damai. Ironisnya, jika mediasi dilakukan dengan cara damai, mengapa sang habib harus pindah ke provinsi lain? Wawancara dengan Ansori Mahmud, Senin 08 November 2009. 20 Wawancara dengan Muhammad Rusli, 10 Desember 2009.
296
Toleransi Setengah Hati
sudah FKUB, tidak ada gunanya juga”.21
FKUB sebenarnya adalah lembaga yang perannya sangat diharapkan dapat membantu terbangunnya komunikasi yang baik, penegakaan hak dan kewajiban bersama antar umat beragama maupun antar umat se-agama. Para pengurus FKB yang secara personal rata-rata adalah tokoh masyarakat, akademisi dan aktivis yang bergerak langsung di bawah, sangat memudahkan mereka untuk dapat berkomunikasi dan menyerap persoalan yang terjadi. Namun, keseriusan para pengurus FKUB dalam membenahi persolan antar umat beragama, terkendala dengan tidak seriusnya pemerintah dalam menangani dan merespon kebutuhan dan program FKUB. Sehingga lembaga ini, terkesan dibuat hanya sebagai formalitas untuk kemudian tertelantarkan tanpa penanganan yang serius. Sehingga, efek beruntunnya dapat ditebak, FKUB tidak mampu memberikan kontribusi secara nyata baik terhadap persolan umat beragama maupun antar umat se-agama.
IV. Membangun Toleransi Kemampuan Gereja Bethel yang bertahan di komunitas Muslim di Gang Surya, selama lebih dari sepuluh tahun dalam menjalankan aktifitasnya tanpa ada gangguan secara fisik maupun emosional yang berarti, menunjukkan bagaimana masyarakat mayoritas Banjarmasin, pada batas-batas tertentu, adalah masyarakat yang cenderung toleran dan terbuka terhadap golongan-golongan minoritas di luar mereka. Meskipun me mang tidak bisa dinafikan, sentimen dan pesisisme personal kerap ditemukan pada masyarakat mayoritas terhadap aktifitas kalangan Bethelis yang memang sangat minim di kawasan tersebut. Sebaliknya, jemaat Bethelis Protestan sebagai minoritas, di tengah keterbatasan fasilitas dan bantuan pemerintah, ternyata mampu membangun komunikasi yang baik, semangat kebersamaan yang kuat dan hubungan yang harmonis di tengahtengah mayoritas yang berbeda. Hal tersebut ditunjukkan dengan keperdulian mereka terhadap kalangan-kalangan menengah ke 21
Wawancara dengan Mahfudz Shiddiq, 03 November 2009.
297
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
bawah di kawasan tersebut, yang kerap diberikan bantuan baik dalam bentuk sandang, pangan maupun uang. Kebersamaan antar golongan agama juga kerap ditunjukkan ketika mereka bersama-sama menghadapi bencana kebakaran, gangguan keamanan dan tingginya tingkat kriminalitas di kawasan tersebut. Hal yang sama juga ditemukan pada beberapa komunitas Bethelis yang lain. Di Banjarbaru, Gereja Bethelis di Jalan Sidodi juga berada di komunitas Muslim yang padat, dari keseluruhan penduduk di jalan Sidodadi tersebut, penganut Protestan tidak lebih dari 20 Kepala Keluarga (KK), namun Pendeta Yonathan, selain diterima untuk mengelola rumah ibadah Bethelis Protestan, juga dipercaya menjabat ketua RT setempat selama dua periode di komunitas muslim tersebut. Di gereja Bethelis KS. Tubun, yang tempat ibadahnya sekaligus juga gelanggang olahraga, selain sama, juga berada di kawasan mayoritas Muslim. Para petugas keamanan dan pengatur parkir selalu membantu di setiap kebaktian dan acara misa mingguan, padahal mereka semuanya adalah Muslim. Mengutip pendapat Geertz, agama ternyata dapat menjadi akar integrasi sekaligus disintegrasi sebuah masyarakat. Kondisi ini merupakan bagian dari watak dan budaya masyarakat Indonesia yang secara umum dapat bertoleransi dan mampu mengelola konflik dengan cara-cara yang lebih damai. Linear dengan Laporan Paramadina tentang Pola-Pola Konflik Keagamaan 1990-2008 menunjukkan, sebanyak 832 insiden konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia, sekitar dua pertiga dari keseluruhan insiden mengambil bentuk aksi damai, sedangkan sepertiga lainnya mengambil bentuk kekerasan.22 Penelitian ini merupakan penelitiaan yang menggunakan laporan media massa sebagai sumber utama, yang diambil dari arsip–arsip berita di Kompas dan Antara, selama kurun waktu 19 tahun. Namun disebutkan, temuan ini tidak boleh dibaca dalam arah yang mengecilkan arti penting kekerasan, karena kekerasan, betapa pun rendah intensitasnya, harus terus diberantas. Melainkan, temuan ini harus dibaca dari segi bahwa masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki kemampuan untuk mewujudkan respons mereka terhadap isu-isu yang memicu konflik keagamaan dalam bentuk aksi-aksi damai, baik berupa protes maupun upaya-upaya yang memberi kontribusi pada penyelesaian konflik keagamaan yang terjadi. Persoalannya kemudian adalah bagaimana mendorong agar masyarakat tetap menjadikan aksi damai sebagai pilihan utama mereka dalam merespons berbagai isu 22
298
Toleransi Setengah Hati
Khusus menyangkut responden Muslim, hasil survei Saiful Mujani (2007) tentang “Dapatkah Muslim bertetangga dengan non-muslim?” Mayoritas responden (91.7%) menjawab “ya” dan sekitar 6.3% menjawab “tidak”. Jika dibandingkan dengan Amerika, pertanyaan yang mirip ternyata menunjukkan tingkat toleransi di Indonesia lebih tinggi. Survei Gallup Poll (2006) menunjukkan sebanyak 22% orang Amerika menyatakan, mereka tidak ingin menjadikan Muslim sebagai tetangga.23 Bahwa konflik adalah sesuatu yang nyata dan tidak terhindarkan dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Pecahnya berbagai konflik yang bersifat anarkis saat ini setidaknya menunjukkan, heterogenitis di Indonesia adalah hal yang harus dikelola secara serius. Namun, kompilasi temuan ini setidaknya menunjukkan, masyarakat Banjamasin pada khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, memiliki kemampuan dalam menangani konflik dengan cara-cara yang lebih damai.
V. Mempertanyakan Peran Negara Umat Bethelis di Banjarmasin merasa berada di bawah tekanan yang cukup membahayakan. Dalam situasi ketertekanan, mereka berusaha membangun eksistensi diri meski dengan situasi yang serba terbatas. Bahkan, dengan jumlah jemaat yang ada, jemaat Bethelis belum memiliki satu pun gereja yang dapat digunakan sebagai tempat ibadah resmi. Jadi, wajar jika mereka menyebut rumah ibadah yang ada dengan sebutan gereja. Meskipun secara fisik, tempat yang mereka sebut dengan gereja, sama sekali tidak mirip dengan bentuk layaknya gereja pada umumnya. Hanya bangunan rumah atau ruko tanpa simbol apapun yang berkaitan dengan agama. Bagi umat Bethelis, gereja atau rumah ibadah, sama sekali tidak ada bedanya. Enam tempat, di mana mereka berkumpul, berdoa dan sekaligus melakukan ritual keagamaan, disebutlah dengan gereja. Di satu sisi, karena rumah ibadah jemaat Bethelis rata-rata konflik keagamaan. Ihsan Ali Fauzi, dkk., Laporan pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia 1990-2008 (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2009), h. 40 23 The Gallup Coexist, A Global Study of Interfaith Relations, www.muslimwestfacts.com/mwf/File/.../Gallup-Coexist-Index-.aspx
299
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
berada di lingkungan Muslim atau area publik lain yang sama sekali kurang kondusif, aktifitas dan bentuknya pun menjadi sangat terbatas. Umat Bethelis di Banjarmasin dengan kondisi yang ada, telah merasa sangat bertoleransi dengan masyarakat dan lembaga pemerintah setempat. Mereka membangun eksistensinya sendiri secara mandiri, di tengah tekanan mayoritas tanpa berharap bantuan pemerintah. Meski sebagai agama resmi yang diakui undang-undang, mereka sama sekali tidak merasa mendapatkan pengayoman yang layak. Di sisi lain, kalangan muslim mayoritas telah merasa sangat toleran terhadap keberadaan rumah ibadah Bethelis yang sebenarnya sangat tidak layak berada di pemukiman Muslim. Namun, kaum mayoritas tampak terganggu ketika melihat jumlah jemaat yang semakin bertambah dan tidak tertampung lagi, sehingga bisa menganggu ketertiban sosial. Begitu juga, penggunaan istilah “gereja” yang ditolak sebagian warga sekitar semakin menambah keresahan dan pesisimisme kalangan mayoritas. Jika menengok teori Gramsci, negara adalah sebuah institusi hasil dari hubungan sosial masyarakat politis dan masyarakat sipil,24 sehingga akhirnya terbangun sebuah kehidupan sosial yang harmonis. Dalam kasus persengketan rumah ibadah atau Gereja Bethel Indonesia Pasir Mas, peran negara seperti ini hampir tidak ditemukan. Keresahan warga mayoritas dan ketidaknyamanan warga minoritas dalam beribadah menunjukkan bagaimana negara ini masih kacau dalam merumuskan kebijakan terkait dengan pola relasi antar umat beragama di Banjarmasin. Laporan-laporan berkaitan dengan persoalan sekitar konflik umat beragama tidak pernah ditindaklanjuti dengan serius. Parahnya, justru pemerintah Banjarmasin juga mengeluarkan berbagai regulasi dan perda syariat Islam yang makin memperuncing kecemburuan antar minoritas-mayoritas, seperti Perda Ramadhan, Perda Manajemen Ilahiyah dan beberapa yang lain.25 Di satu sisi, 24 Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 6 25 Menurut laporan Komnas Perempuan, Kalimantan Selatan adalah daerah ketiga terbanyak yang memproduksi Perda berbasis syariah yang bertujuan hendak menegaskan posisi daerah ini sebagai kawasan religious. Lebih lengkap lihat,
300
Toleransi Setengah Hati
kalangan minoritas ditelantarkan, sedangkan di sisi lain, kalangan mayoritas mendapatkan fasilitas yang berlimpah. FKUB, lembaga yang diharapkan mampu mengayomi sekaligus menjembatani berbagai persoalan umat beragama dengan pemerintah, ternyata tidak mampu berperan secara maksimal, karena sejak awal, pembentukan lembaga ini dilakukan setengah hati. Berbagai pihak telah berusaha secara serius untuk membangun komunikasi dan hubungan harmonis antar umat beragama, namun kurang direspon pemerintah pusat maupun daerah dengan baik. Jika hal ini terus berlanjut dan penanganan terhadap pembangunan eksistensi rumah ibadah kaum minoritas tidak mendapat jaminan pemerintah dengan benar dan serius, tentu saja potensi konflik yang bersifat anarkis antar umat beragama tidak akan bisa terhindarkan.
VI. Kesimpulan Konflik yang terjadi antara kelompok minoritas-mayoritas dalam bentuk pelaporan keberadaan kegiatan Gereja Bethelis di Banjarmasin lebih disebabkan karena timpangnya kebijakan pemerintah dalam menjamin dan menjaga relasi keberagamaan kaum minoritas dan mayoritas. Ketika penelitian ini dilakukan, konflik tersebut belum berubah menjadi kerusuhan fisik. Karena masyarakat di sini lebih memilih cara-cara damai dalam menghadapi konflik. Namun, paska pelaporan kalangan muslim terhadap aktivitas warga Bethelis di Gang Surya, hingga akhir tahun, tidak pernah ditindaklanjuti dengan aksi yang serius. Masyarakat mayoritas masih menyimpan pesismisme karena Tim Pemantau Komnas Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Terbatas untuk Kalangan Sendiri (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009). Namun bagi beberapa kalangan, dikeluarkannya Perda-perda tersebut tidak lebih hanya sebagai representasi dari kepentingan sejumlah elit politik agama untuk mendongkrak popularitas penguasa menjelang Pilkada. Lebih lengkap lihat, Irfan Noor, dkk., Riset Aksi: Peta Problem Penerapan Syari’at Islam di Kalimantan Selatan (Laporan Hasil Riset Aksi LK3: Banjarmasin, 2005), h. 31. Perda Syari’ah yang diberlakukan di Banjarmasin, pada batas-batas tertentu juga telah memicu pesimisme antar umat beragama, lihat, Siti Tarawiyah, Kekuasaan dan Sentimen Keagamaan: Implikasi Penerapan Perda No. 4 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No.13 tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadan Terhadap Hubungan antar Agama di Kota Banjarmasin (Jakarta: Litbang Depag RI, 2009).
301
AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
aktifitas yang tidak berubah, dan kalangan minoritas masih beribadah dengan harap-harap cemas, karena pemerintah belum juga memberikan fasilitas areal beribadah yang nyaman dan aman. Kemampuan bertoleransi kedua belah pihak, tidak didukung dengan struktur negara dengan baik. Departemen agama maupun FKUB terkesan hanya lembaga formalisasi tanpa aksi yang jelas untuk membangun harmonisasi antar ummat beragama.[]
302
EPILOG
MINORITAS DALAM ANCAMAN Oleh: Alamsyah M. Dja’far
M
eledaknya rentetan konflik dalam skala massif menjadi penanda zaman mengiringi kejatuhan Orde Baru dan beberapa masa sesudahnya. Kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa pada 13-14 Mei 1998, konflik etnis Dayak-Madura di Sambas, Kalimantan Barat tahun 1999, Maluku pada 2000-2001, darurat sipil di Aceh, atau konflik Muslim-Kristen di Poso sejak Desember 1998, untuk menyebut beberapa kasus penting di antaranya. Dalam laporan yang ditulis Mohammad Zulfan Tadjoeddin dari United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR) pada 2002 menunjukkan, jumlah kekerasan sejak 1998 melesat naik. Di tahun ini 124 insiden terjadi dengan korban tewas 1.343 orang. Dua tahun sebelum itu (1996) jumlahnya hanya 8 insiden dengan jumlah korban tewas sebanyak 227 orang. Pada 1997 terjadi 15 insiden dengan 131 korban tewas. 1 Setahun paska Soeharto jatuh (1999), jumlah insiden masih terus menanjak. Jumlahnya mencapai 300 insiden dengan 1.813 korban tewas. Pada 2000 menjadi 408 insiden dengan 1.617 korban. Sedang pada 2001, turun menjadi 233 insiden dengan korban tewas 1.065 orang. 2 Mohammad Zulfan Tadjoeddin, “Anatomi Kekerasan Sosial Dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia 1990-2001” (Jakarta: April 2002), h. 33. Tulisan ini merupakan kertas kerja yang disajikan untuk UNSFIR dalam Project Policy Support for Sustainable Social Economic Recovery. 2 Dalam pandangan Zulfan Tadjoeddin, kekerasan dalam kurun waktu 19902001 itu dibagi dalam empat kategori. Pertama, kekerasan komunal (communal 1
303
Umumnya pengamat dan peneliti berpandangan, ledakan konflik ini dipandang sebagai pengalaman “lumrah” negara-negara yang tengah menjalani masa transisi menuju demokrasi. Peristiwa semacam ini pernah dialami negara-negara Sub-Sahara Afrika, termasuk Angola, Mozambiq, Ruwanda, Burundi, Zaire, Uganda, Ethiopia, Somalia, Suda, Chad, Nigeria, Liberia, Zimbabwe dan Afrika Selatan. Misalnya, selama perang di Nigeria pada 1967-1970, diperkirakan telah menewaskan sejuta orang; puluhan ribu orang tewas dan 600.000 orang terlantar selam satu dasawarsa dalam perang di Srilangka; lebih dari 100 ribu orang tewas dan setengah juta orang mengungsi akibat meletusnya peperangan di Rwanda pada tahun 1994 antara kelompok mayoritas Hutu dan kelompok minoritas Tutsi.3 Sebagai sistem bernegara, demokrasi memberi peluang para aktornya mengelola dan mengatasi konflik di masa transisi. Melalui sistem ini, konflik dan kepentingan disalurkan baik dalam pemilu yang terbuka maupun melalui pembagian kekuasaan. Naviolence) berupa kekerasan sosial yang terjadi antara dua kelompok masyarakat/ komunal atau bisa berupa satu kelompok diserang kelompok lain. Pengelompokan komunal tersebut bisa berdasarkan etnis, agama, kelas sosial, afiliasi politik atau hanya sekedar perbedaan kampung, dan lain-lain. Kekerasan di Maluku, Poso dan Sambas adalah beberapa contoh dari kekerasan komunal. Kedua, kekerasan separatis (separatist violence), kekerasan yang terjadi antara negara dan masyarakat (daerah) yang berakar pada masalah separatisme daerah, yaitu gerakan yang dimotivasi oleh keinginan sebagian masyarakat di daerah-daerah tertentu untuk memisahkan diri dari negara Indonesia. Kekerasan sosial jenis ini mengacu pada konflik di Aceh dan Papua, dan sebelumnya terjadi di Timor-Timur. Ketiga, kekerasan negara-masyarakat (state-community violence). Biasanya kekerasan yang terjadi akibat protes dan bentuk ketidakpuasan masyarakat kepada institusi negara tanpa motif separatisme. Beberapa contohnya insiden Waduk Nipah di Sampang, Madura, tahun 1993, dan insiden penembakan mahasiswa Trisakti pada 1998. Keempat, kekerasan hubungan industrial (industrial relations violence) berupa kekerasan yang terjadi dalam masalah hubungan industrial, baik bersifat eksternal atau internal. Kekerasan hubungan industrial “eksternal” berarti konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Sedangkan “internal” berarti konflik antara buruh dengan perusahaan (konflik perburuhan). Konflik antara PT. Inti Indorayon Utama dengan masyarakat Tapanuli Utara sehubungan dengan isu lingkungan adalah contoh kasus “eksternal”. Sementara pemogokan buruh yang disertai kekerasan di Sumedang pada 1997 adalah contoh kasus “internal”. Lihat Mohammad Zulfan Tadjoeddin, “Anatomi Kekerasan Sosial Dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia 1990-2001”, (Jakarta, April 2002), h. 27 -28 3 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi, (terj), (Bandung: Penerbit ITB, 1998), h. 20a
mun demikian, sistem ini juga sering menghadapi ancaman besar di mana proses pelembagaan demokrasi mengalami kegagalan dan berujung konflik berkepanjangan. Dari keseluruhan jenis konflik sosial, konflik etnik —atau kekerasan komunal menurut Zulfan Tadjoeddin— merupakan jenis konflik yang paling sulit dikelola dan diatasi. Konflik ini menjadi ancaman paling serius bagi pemerintahan dan negara yang tengah memantapkan demokrasi, terutama sekali dalam masyarakat yang disebut Profesor pada Departemen Hukum dan Ilmu Politik di Univeritas Duke Amerika Serikat Donal L. Horowitz sebagai “masyarakat yang terkotak-kotak” (divided society).4 Di sini, etnik menunjuk pada identitas kelompok yang sangat eksklusif (relatif berskala besar) yang didasarkan pada ide tentang kesamaan asal-usul, keanggotaan yang terutama berdasarkan kekerabatan, dan secara khusus menunjukkan kadar kekhasan budaya. Dengan begitu, pengertian etnik melingkupi berbagai kelompok yang dibedakan atas dasar warna kulit, bahasa, dan agama.5 Salah satu yang membuat konflik etnis paling berbahaya adalah lantaran konflik tersebut tidak selalu terkait dengan persoalan materi yang dapat diselesaikan dengan cara-cara konvensional. Konflik etnis acap terjadi dalam urusan simbol-simbol budaya dan konsepsi moralitas tertentu, utamanya soal agama. Bobotnya tentu saja sangat berbeda dengan konflik yang terjadi gara-gara tuntutan pajak, upah, atau investasi infrastruktur. Tuntunan ini kemungkinan dapat diselesaikan dengan cara-cara konvensional. Karena menyangkut hal-hal yang immateril tadi, konflik etnik juga akan menghadapi tantangan yang tidak mudah, terutama dalam mengentaskan akar-akar konflik yang mendekam dalam alam pikir dan memori masyarakat. Apalagi jika memori tersebut sengaja dipelihara dan direproduksi terus menerus demi pemangku kepentingan tertentu. Mengatasainya diperlukan waktu panjang, yang bahkan tidak jarang menimbulkan konflik baru dalam anatomi yang berbeda dan dampaknya makin luas ketika bertumpuk dengan faktor-faktor lain semisal ekonomi. 4 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi, h. 20a. 5 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi, h. 20a.
Persis di titik ini, sesudah beberapa tahun kejatuhan Orde Baru, konflik tersebut muncul dalam bentuk yang lebih menciut dan “terorganisir”. Konflik etnis dengan korban dan dampak kerusakan yang luas dewasa ini menunjukkan pola penurunan, setidaknya dalam kurun lima tahun terakhir. Meski begitu, harus dicatat pula, potensi dan dampaknya masih mengancam proses pematangan demokrasi.
Peningkatan Kekerasan Terhadap Minoritas Seiring penurunan konflik dengan dampak luas tadi, kita juga menyaksikan konflik ini merembet masuk hingga dalam relasi mayoritas-minoritas dalam etnis atau agama tertentu. Jika sebelumnya konflik kekerasan yang dahsyat terjadi antara Muslim-Kristen misalnya, muslim yang mayoritas dan Kristen yang minoritas tepatnya, kini konflik juga terjadi dalam internal Islam, Kristen, agama atau kelompok lain. Dalam konflik itu, kelompok minoritas adalah korbannya. Terutama menyangkut isu keagamaan, asumsi ini diperkuat dengan beberapa laporan yang menunjukkan posisi minoritas –termasuk minoritas dalam mainstream keyakinan dalam Islam—menghadapi ancaman serius. Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Kehidupan keagamaan di Indonesia 2009 yang dirilis The Wahid Institute menyebut, dari 93 kasus intoleransi lebih dari 30 kelompok korban adalah minoritas dalam Islam, termasuk Ahmadiyah yang paling banyak mengalami tindakan intoleransi. Bentuk konflik ini rupa-rupa, dari penyesatan, pengusiran, intimidasi, penyerangan hingga perusakan rumah atau tempat ibadah. Jumlah kelompok itupun belum termasuk kategori korban individu yang dinilai sesat dan menodai agama. Contohnya Syahruddin yang beridentitas muslim. Lelaki ini dituding melakukan ritual pernikahan gaib atau pernikahan tanpa saksi. Padepokan miliknya di Desa Sekotong, Cimanuk, Pandeglang, Banten, ludes dibakar massa pada 8 September 2009. 6 Tidak berarti pula kasus-kasus antar etnis atau agama berkurang. Yang berubah mungkin skala dan korban yang diakiTim Penyusun, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Kehidupan keagamaan di Indonesia 2009 (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 60-61. 6
batkan. Kasusnya sendiri masih terus terjadi hingga saat ini. Masih dalam laporan Wahid Institute, konflik laten Islam-non Islam masih terus meletup. Konflik ini muncul dalam bentuk penolakan pendirian atau penyerangan terhadap rumah ibadah. Misalnya, kasus penyerangan dan pembakaran gereja Katolik St. Albertus Jalan Boulevard Bekasi pada 17 Desember 2009 atau penyegelan dan perusakan Sinagog Beth Hashem di Jalan Kayoon 4 Surabaya, Jawa Timur pada 7 Januari 2009.7 Problem rumah ibadah itu makin meningkat tahun ini. Setara Institute mencatat, belum genap setahun kasus penutupan dan perusakan gereja pada 2010 sudah membukukan 28 kasus -kebanyakan terjadi di Jawa Barat. Pada 2009 kasusnya sebanyak 18 peristiwa, dan 17 peristiwa pada 2008.8 Awal Februari silam, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), bahkan sudah menyampaikan masalah ini ke Komisi III DPR. Saat itu PGI melaporkan 10 kasus penutupan gereja, sedang KWI 4 kasus.9 Dari sudut bahasa, minoritas dimaknai sebagai golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibanding golongan lain dalam suatu, dan karena itu didiskriminasikan oleh golongan lain.10 Secara sosiologis, mereka yang disebut minoritas setidaknya memenuhi tiga gambaran. Pertama, anggotanya sangat tidak diuntungkan sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka. Kedua, anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas. Ketiga, biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.11 7 Tim Penyusun, Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Kehidupan keagamaan di Indonesia 2009 (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 54-57. 8 “Di Mana Tempat Kami Beribadah?” Review Tematik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan tentang Rumah Ibadah dan Hak Beribadah 2010 (Jakarta: Setara Institute, 26 Juli 2010), h. 10. 9 Tim Penulis, Monthly Report on Religious Issues (Jakarta: The Wahid Institute, Edisi 28 Maret, 2010). 10 Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2005), h. 745. 11 Eddie Riyadi Terre “Posisi Minoritas dalam Pluralisme: Sebuah Diskursus Politik Pembebasan” dalam http://interseksi.org/publications/essays/articles/posisi_minoritas.html. Diakses 18 Oktober 2010
Dalam diskursus multikulturalisme, minoritas dikelompokan dalam tiga bentuk. Pertama gerakan-gerakan sosial baru yang meliputi gerakan kaum homoseksual (gay dan lesbi), kaum miskin kota, para penyandang cacat, feminis, kelompok-kelompok aliran kepercayaan dan agama “baru” serta yang lain. Kedua, minoritasminoritas nasional yang meliputi suku-suku bangsa yang dulunya berdiri sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri-sendiri, namun kemudian melebur menjadi satu “negara bangsa” (nations state). Ketiga, kelompok-kelompok etnis yang meliputi kaum imigran yang meninggalkan komunitas nasionalnya di negeri asalnya dan masuk ke komunitas masyarakat lainnya yang mayoritas.12 Jika melihat kasus-kasus yang berkembang dewasa ini di Indonesia, dua kelompok minoritas yang disebut di atas (kelompok gerakan sosial baru dan minoritas nasional) merupakan kelompok yang paling sering muncul sebagai korban. Sedangkan kelompok ketiga relatif jarang terjadi. Kalaupun muncul, biasanya dalam wilayah provinsi atau kabupaten, dan bukan antar negara. Konflik tersebut lebih sering muncul di negara-negara maju. Kasus terbaru dari model minoritas jenis ketiga yang terjadi di tingkat provinsi atau kabupaten adalah kasus Tarakan yang menyebabkan lima orang tewas dan lebih dari 32 ribu orang mengungsi. Peristiwa yang dimulai dari hal sepele bergeser menjadi bentrok Bugis-Suku Tidung.13 Salah satu faktor yang sering disebut-sebut biang kerok meledaknya konflik adalah kecemburuan sosial. Dari sisi ekonomi, para pendatang (suku Bugis) yang lebih giat berusaha jauh lebih beruntung dibanding masyarakat lokal. Situasinya di perparah dengan 12 Eddie Riyadi Terre, “Posisi Minoritas dalam Pluralisme: Sebuah Diskursus Politik Pembebasan”. Diakses 18 Oktober 2010 13 Peristiwa ini dipicu ulah lima pemuda Bugis di komplek perumahan Juwata Permai Minggu malam (26/9) sekitar pukul 22.00 WITA. Karena pesta miras, mereka dianggap mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat. Abdul Rahman selaku pemuda dari suku pribumi, Tidung, menegur dan berakhir dengan perkelahian. Insiden ini membuat Abdul Rahman terluka hingga melaporkan kejadian ke keluarga. Tak lama berselang, terjadi serangan balasan hingga menimbulkan korban di kedua belah pihak. Sejumlah kios warga dari suku Bugis dibakar. Beruntung peristiwa ini berakhir dengan kesepakatan damai. Banyak orang mengkhawatirkan konflik ini menjadi “Sampit Jilid Dua”. Lihat “Mengapa Bentrok di Tarakan?” http:// jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/10/06/mengapa-bentrok-di-tarakan/ diakses 1 Nopember 2010
fenomena ketidakpastian kebijakan publik dan ketidaktegasan hukum. Sering terdengar kasus dimana tanah milik masyarakat lokal dirampas atas nama hukum yang tidak adil. Alasannya mereka dianggap tak punya surat-surat lengkap. Belum lagi jika pengadilan dan aparatnya mudah “dibeli”. Dan mereka yang bisa “membeli” tentu saja orang-orang yang memiliki ekonomi cukup, sebagian mereka adalah para pendatang. Situasi ini yang menyebabkan kelompok lokal merasa terpinggirkan dan tidak memiliki kekuasaan di wilayahnya sendiri. Sebaliknya, kekuasaan dan kelebihan-kelebihan itu justru mereka lihat dimiliki para pendatang. Kasus Tarakan ini merupakan gejala nyata dari apa yang oleh Key Deaux Profesor Psikologi dan kajian Perempuan pada Graduaet Center City University of New York (CUNY) dan Saun Wiley, asisten profesor di universitas yang sama, sebagai “perpindahan manusia” (moving people) dan “pergeseran representasi” (shifthing representasion). Dua teori ini dirujuk Ahmad Suaedy dalam prolog buku Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia – buku yang memiliki ketersinambungan dengan buku ini.14 Teori tersebut menjelaskan, perpindahan orang atau sekelompok orang di dalam negeri maupun antara negara, untuk jangka waktu permanen maupun sementara untuk berbagai tujuan, pendidikan, pekerjaan atau turisme kemudian berdampak pada komposisi penduduk yang dituju dan pada akhirnya mempengaruhi perubahan representasi masing-masing kelompok.15 Perpindahan ini bagaimanapun juga membawa implikasi lain, yaitu terjadinya perpindahan kebudayaan (culture flows) dari para pendatang yang bertemu dengan kebudayaan masyarakat lokal. Perjumpaan dan selanjutnya pergumulan antar budaya ini biasanya akan mempertegas perbedaan kebudayaan antar etnis. Sebab dengan hadirnya orang-orang lain dari kelompok etnis lain itulah yang menjadi peneguh identitas dan latar belakang kebudayaan etnis 14 Ahmad Suaedy dkk, Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h.4. Ia juga menyinggung mengenai perubahan representasi yang tak hanya terkait dengan sesuatu yang kuantitatif, tetapi juga kualitatif terkait simbol dan nilai-nilai tertentu. Problem simbol dan nilai-nilai, terutama nilai keagamaan, memang menjadi akar masalah dalam berbagai kasus. 15 Suaedy dkk, Agama dan Pergeseran Representasi: Konflik dan Rekonsiliasi di Indonesia (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 4
penduduk. Fenomena ini disebut Koji Miyajaki, antropolog asal Jepang, dalam Cultural Moves: Contemporary Migration in Southeas Asia sebagai konsep otherness (keberlainan).16 Situasi ini selanjutnya jika tak bisa dikelola dengan baik bisa dengan mudah berujung konflik jika dipicu dengan faktor-faktor lain seperti kesenjangan ekonomi, masalah agama, politik dan lain-lain.
Tantangan Gerakan Islamisme Peningkatan aksi-aksi intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan yang dialami kelompok minoritas di banyak tempat, baik kelompok “gerakan sosial baru” dan “minoritas-minoritas nasional”, tampaknya sebangun dengan menguatnya gerakan-gerakan pendukung di tempat tersebut. Dalam kasus-kasus kekerasan keagamaan yang menonjol sepanjang tahun 2010, bisa dilihat selalu saja ada kelompok-kelompok promotor yang intens menyuarakan isu-isu tertentu, atau menggerakannya hingga menjadi bentuk penyerangan fisik. Daerah-daerah dengan intensitas maraknya peristiwa intoleransi atau kekerasan keagamaan menunjukkan pula fenomena menguatnya gerakan tersebut. Di Bekasi, kelompok-kelompok yang getol meneriakkan kasus rumah ibadah di antaranya adalah FPI. Ketua DPW FPI Bekasi, Raya Murhali Barda, bahkan ditetapkan menjadi salah satu tersangka dalam kasus penusukan terhadap jemaat HKBP Ciketing Bekasi Timur, 12 September 2010. Pria ini diduga melakukan penghasutan terhadap sembilan tersangka lainnya untuk menganiaya jemaat HKBP yang sedang berjalan dari tempat ibadah di Ciketing.17 Bersama 15 ormas Islam lain di Bekasi, FPI juga berencana melakukan penyegelan Gereja Galileo, Perumahan Taman Galaxy, Kelurahan Jaka Setia, Kecamatan Bekasi Selatan pada awal 2010.18 Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia: Demografi-Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LIPI, 2007), h. 11 17 “Satu Lagi Tersangka Penusukan Pendeta”, http://radar-bekasi.com/index. php?mib=berita.detail&id=62723 Diakses pada 1 Nopember 2010. 18 “16 Ormas Islam Bekasi Menyegel Gereja Galilea”, http://www.antaranews. com/berita/1266187963/16-ormas-islam-bekasi-menyegel-gereja-galilea. Diakses 1 Nopember 2010. 16
Kelimabelas ormas tersebut, antara lain: Dewan Dakwah Bekasi, Irene Centre, MMI, Forum Silaturahmi Masjid dan Mushala Galaxi, Forum Remaja Islam Medan Satria, FKUB, Persis, Komite Penegak Syariah (KPS), Muhammadiyah, Gerakan Pemuda Islam(GPI), Masyarakat Peduli Syariah (MPS), dan Gabungan Remaja Islam (Garis).19 Sebagian besar kelompok ini juga terlibat dalam Kongres Umat Islam (KUI) di Bekasi yang menggagas Bekasi sebagai “Daerah Syuhada, Bersyariah”. 20 Di wilayah Cirebon, Jawa Barat, selain FPI setempat, kasuskasus yang diduga penistaan agama dan kristenisasi sering disuarakan kelompok seperti Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (Gapas), Gerakan Reformis Islam (Garis), dan Gamas. Kelompok inilah yang cukup intens mengawal pengadilan Ahmad Tantowi, terdakwa kasus pencabulan dan penistaan agama sekaligus pimpinan aliran Surga Adn. 21 Kelompok-kelompok serupa dapat ditemui di tempat-tempat lain dengan rupa-rupa isu yang dibawa. Gerakannya bisa pula dilacak sejak era 80-an dan kian menonjol paska kejatuhan Orde Baru. Dalam studi gerakan sosial, kelompok-kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial yang mencerminkan di mana sejumlah besar manusia dimobilisasi untuk menolak perubahan sosial.22 Gerakan ini disamakan dengan gerakan-gerakan sosial lain, seperti gerakan gender. Ahmad Suaedy dengan jelas memasukan kelompok ini sebagai gerakan sosial baru (new social movement) berhaluan radikal.23 Memang banyak istilah yang berseliweran untuk menyebut kelompok-kelompok ini. Dua di antaranya istilah fundamentalisme dan radikalisme. Istilah fundamentalisme itu kemudian dikritik lan19 “16 Ormas Islam Bekasi Menyegel Gereja Galilea”, http://www.antaranews. com/berita/1266187963/16-ormas-islam-bekasi-menyegel-gereja-galilea diakses 1 Nopember 2010 20 “Ormas Islam Bekasi Gagas Bekasi Daerah Syuhada, Bersyariah”, http:// www.antaranews.com/berita/1277053841/ormas-islam-bekasi-gagas-bekasi-daerah-syuhada-bersyariah di akses 1 Nopember 2010 21 “Terdakwa Penistaan Agama Dikeroyok Massa”, http://news.okezone.com/ read/2010/06/08/340/340838/340/terdakwa-penistaan-agama-dikeroyok-massa 22 M. Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek Demokrasi (Jakarta: LP3ES, 2007), h. 51 23 Ahmad Suaedy, Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), h. 20
taran terlalu terbebani praduga Kristen dan stereotype Barat untuk melihat fenomena dalam masyarakat Islam. Kritik itu di antaranya datang dari John L. Eposito.24 Professor Hubungan Internasional dan Studi Islam pada Universitas Georgetown ini lebih senang menyebut fenomena gerakan Islam itu sebagai “Kebangkitan Islam” (Islamic Revivalism) atau “aktivisme Islam” yang dinggap lebih sesuai dengan nilai-nilai dalam tradisi Islam, seperti konsep tajdid (pembaruan) dan islah (perbaikan).25 Belakangan lagi muncul pula istilah islamis atau gerakan islamisme yang dianggap cukup merangkum kekurangan istilah fundamentalisme atau radikalisme. Konsep itu merujuk pada paham dan gerakan yang melihat Islam sebagai ideologi yang tidak hanya mencakup penerapannya pada aspek politik semata. Islamisme juga mencakup segala dimensi pada masyarakat modern. Karena itu, dalam pandangan kelompok ini, Islam harus menentukan segala bidang kehidupan masyarakat, dari cara pemerintahan, pendidikan, sistem hukum, hingga kebudayaan dan ekonomi.26 Pandangan ini mengimplikasikan adanya keyakinan terhadap perlunya sebuah negara atau sistem Islam. Dalam sejarahnya, pandangan kelompok islamis mengenai negara Islam juga berbeda. Misalnya, konsep negara Islam yang dibayangkan Ayatullah Ali Khomeini lebih mengacu pada kekuasaan ulama (wilayatul imam). Sedangkan kelompok islamis lain menggambarkan pelan ulama yang terbatas dalam pemerintahan.27 Kelompok kedua lebih tegas dalam mendefinisikan dan merumuskan kriteria non-negara Islam. Ciri lain dari kelompok islamisme ini adalah paradigma aktivisme-nya. Sehingga menjadi seorang muslim, menurut kelompok ini, tidak hanya berarti menjalankan salat lima waktu, tetapi juga perlu berjuang melalui politik, sosial, dan bahkan dengan membentuk paramiliter, hingga aksi-aksi jihad dalam bentuk teror dan bom bunuh diri. 24 Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos atau Realitas (tej) (Bandung: Mizan, 1996), Cetakan III (edisi revisi), h. 17-18 25 Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos atau Realitas (tej) (Bandung: Mizan, 1996), Cetakan III (edisi revisi), h. 26 26 Greg Fealy dan Antony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia (Bandung: Mizan, 2007), h. 27 27 Greg Fealy dan Antony Bubalo, Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia (Bandung: Mizan, 2007), h. 28
Penyebutan atau pengistilahan kelompok tersebut dengan istilah-istilah berikut kategori-kategorinya memang tampak membatasi dan membingungkan. Akan tetapi, istilah tersebut sungguh diperlukan untuk menyebut fenomena yang tengah berkembang. Dalam beberapa kasus, penamaan itu sepertinya makin memicu reaksi kelompok-kelompok ini. Dengan menggunakan istilah islamisme, Greg Fealy dan Antony Bubalo dalam Jejak Kafilah: Pengarugh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, misalnya tidak menyinggung kehadiran FPI di dalamnya. Keduanya sepertinya mengeluarkan kelompok itu sebagai kelompok islamis. Di antara kelompok Salafi yang mereka berdua masukan adalah Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) pimpinan Ja’far Umar Thalib lengkap dengan kekuatan paramiliternya, Laskar Jihad (LJ). Mungkin karena alasan tidak cukup kuat memiliki hubungan dengan Timur Tengah, FPI tidak menjadi fokus penelitian tersebut. Namun demikian, penelitian ini juga menegaskan hal menarik bahwa penguatan kelompok-kelompok islamis tidak bisa mengabaikan pengaruh konteks lokal. Sebab, sejauh ini islamisme, dalam waktu lain disebut fundamentalis atau radikal, acapkali dilihat dalam konteks pengaruh dan ideologi trans nasional. Padahal, problem-problem lokal yang mendorong eskalasi gerakan kelompok islamis tidak selalu berbanding lurus dengan pasang surutnya pengaruh dari Timur Tengah. FPI salah satu contohnya. Meski pendirinya alumnus Timur Tengah, sarjana Pendidikan Hukum Islam King of Saud University, Riyadh, Arab Saudi, namun relasi dengan pendanaan atau impor ideologi Timur Tengah dalam aksi-aksi mereka sepertinya tidak cukup kuat. Konteks lokal dan problem-problem lokal lebih sering muncul dalam aksi-aksi organisasi yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 ini.28 Penelitian itu juga menegaskan jika gerakan islamisme tidak bisa dipandang sebagai gerakan yang monolitik. Ciri, pola dan pendekatannya amat beragam. Mulai dari “garis lunak” hingga keras. Di sini dibutuhkan kejelian untuk melihat.
Lihat profil FPI dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam. Diakses pada 1 Nopember 2010 28
Batu Sandung Kebijakan Negara Selain penguatan kelompok islamisme, berbagai kebijakan negara juga menjadi pintu masuk terjadinya berbagai peristiwa diskriminasi, intoleransi, kekerasan, dan pelanggaran terhadap hakhak kelompok minoritas. Di antara batu sandung itu adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang judicial reviewnya di tolak Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini memberi jalan bagi kelompok mayoritas untuk mengkriminalkan kelompok minoritas yang dituding sesat. Puluhan orang masuk penjara lantaran Undang-Undang tersebut, khususnya pasal pasal 156a. Dalam soal pendirian rumah ibadah, ada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan inilah yang selalu menjadi pegangan kelompok-kelompok islamis melakukan intimidasi, penyegelan, termasuk kekerasan terhadap jemaat gereja. Sebetulnya konflik rumah ibadah bisa tertangani dengan baik, jika pemerintah setempat serius menjalankan fungsinya, sebagaimana diatur dalam Perber. Jika prasarat 90 orang jemaat terpenuhi, namun tidak untuk 60 orang penduduk setempat, misalnya, Perber tegas menyebut pemerintah setempat bertanggungjawab memfasilitasi penggunaan rumah ibadah sementara. 29 Dalam banyak kasus, pemerintah dan politisi setempat kelihatan takut dengan tekanan kelompok islamis ini, atau merasa sikap pembelaan mereka terhadap minoritas tidak menguntungkan posisi politik dikemudian hari. Perlu juga diingat, kelompok-kelompok islamis ini sering juga dipakai untuk menjadi mesin penggerak saat musim Pilkada tiba. Di antara mereka lahir “perselingkuhan politik”. Di tingkat lokal sejumlah sejumlah peraturan daerah masih saja menjadi pengganjal bagi kehidupan yang majemuk. Misalnya, Perda Baca al-Quran bagi para pelajar dan calon pengantin baru 29 Lihat Pasal 13 ayat 3 UU No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
yang disahkan Pemerintah Kota Banjarmasin atau Perda No. 4 Tahun 2010 tentang Pendidikan Al-Quran. Bahkan, pada awal Oktober 2010, Bupati Indragri Hulu Yopi Arianto Oktober ini juga mengajukan Raperda Wajib Baca al-Quran ke DPRD.30 Peraturan-peraturan semacam ini jelas memberi angin segar bagi kelompok islamis untuk mendesakkan agenda dan kepentingannya. Bahkan, para politisi dan birokrat justru melihatnya sebagai “komoditas politik” yang mampu menarik simpati masyarakat dan sangat menguntungkan kedudukan politik. Namun, kecerobohan ini berdampak pada peningkatan ekslasi radikalisme, dan pada akhirnya juga menurunkan citra mereka sebagai pejabat. Ini yang terjadi di Bekasi atau Cisalada, Jawa Barat, dalam peristiwa kekerasan terhadap jemaat gereja dan Ahmadiyah.
Merespon Problem Minoritas Membaca anatomi konflik sebagaimana dijelaskan di atas, memaksa kita mengarahkan titik bidik penyelesaiannya pada dua sasaran sekaligus: Pertama, kebijakan negara di berbagai tingkatan. Usaha-usaha mengkritisi beragam policy (kebijakan) tingkat pusat maupun daerah, yang tidak menguntungkan kelompok minoritas perlu secara terus menerus dilakukan. Langkah-langkah itu di antaranya dilakukan dalam bentuk judicial review baik ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Secara bersamaan, harus pula dilakukan upaya-upaya pemantauan atau monitoring dan advokasi sebelum sebuah peraturan diketuk. Dalam usaha tersebut, tantangan terberat adalah kemampuan mempengaruhi dukungan publik yang diharapkan bisa mendeterminasi keputusan negara, pemerintah, kekuatan-kekuatan politik yang ada, yang menguntungkan usaha tersebut. Seringkali keberhasilan gerakan advokasi terhadap kebijakan negara ditentukan oleh seberapa besar dukungan publik. Gerakan ini juga penting untuk melakukan tekanan (pressure) terhadap pemerintah dan aparat untuk tegas terhadap berbagai aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok islamis. “Bupati Inhu Sampaikan Perda Wajib Baca Al-Quran ke DPRD”, http://www. pekanbaruexpress.com/bupati-inhu-sampaikan-perda-wajib-baca-alquan-ke-dprd. html. Diakses 1 Nopember 2010. 30
Sasaran kedua adalah meminimalisir dukungan masyarakat atas isu atau ideologi yang dibawa kelompok islamis. Upaya memperkecil dukungan masyarakat yang lebih luas, sepertinya jauh lebih efektif ketimbang mengubah pola pikir kelompok islamis. Tentu saja usaha-usaha mengubah langsung pola pikir kelompok islamis dalam jangka panjang juga menentukan dalam mengatasi problem kekerasan yang dilakukan kelompok islamis. Di sinilah pentingnya kembali memperkuat dan menemukan kembali modal sosial (capital sosial) yang sudah hidup di tengahtengah masyarakat. Modal sosial ini merujuk gambaran dari organisasi sosial yang di dalamnya berisi jaringan norma-norma dan kepercayan sosial yang memungkinkan efisiensi dan efektifitas koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan tujuan bersama. Di dalamnya terdapat beberapa ciri penting, yaitu partisipasi, saling bertukar “kebaikan” (resiprocity), kepercayan (trust), norma sosial, dan nilai bersama. Tradisi arisan merupakan salah satu contoh yang di dalamnya terbangun modal sosial, sehingga tradisi tersebut berjalan atas dasar kepercayaan antar anggotanya.31 Teoritikus lain dalam pendekatan sosiologis ini kemudian membedakan tiga jenis modal sosial, yakni: 1) bonding social capital; 2) bridging social capital; 3) linking social capital. Jika bonding social capital merujuk pada hubungan kerjasama dan saling percaya antara anggota-anggota sebuah jejaring yang punya kesamaan sosio-demografis, maka bridging social capital mengandaikan hubungan-hubungan saling menghormati dan saling menguntungkan antara orang-orang yang memiliki perbedaan sosio-demografis atau sosial seperti perbedaan usia, etnis, kelas sosial, dan lainnya. Sementara itu, linking social capital hubungan yang terjadi dan saling berinteraksi lintas kekuasaan formal dan terlembaga atau lintas tingkat otoritas di dalam masyarakat.32 Untuk membangun modal sosial yang mendukung kerjasama antar masyarakat yang berbeda-beda itu menuntut kita untuk terus menggali bagian-bagian penting dalam modal sosial, seperti norma Lihat Robert D. Putnam, Making Democracy Work: Civic traditions in Modern Italy (New Jersey: Princeton University Press, 1993), h. 167. 32 Bhisma Murti, “Determinan Sosio-Ekonomi, Modal Sosial, dan Implikasinya Bagi Kesehatan Masyarakat”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Tanggal 7 Januari 2010 31
dan nilai-nilai yang ada. Norma-norma tersebut bisa muncul dalam tradisi keagamaan maupun kearifan lokal. Di sini dibutuhkan tokoh-tokoh yang mampu menggali kembali, merumuskan sekaligus menyajikannya untuk bisa digunakan masyarakat berinteraksi antar mereka dan komunitas di luarnya. Problemnya, proses sejarah, konflik, dan gempuran berbagai informasi, seringkali menutup nilai-nilai penting yang bisa dijadikan modal sosial demi kehidupan yang lebih baik. Yang muncul justru sejarah yang mendukung permusuhan dan sikap eksklusif antar kelompok. Di daerah-daerah yang selama ini getol menyuarakan perda Islam, kelompok islamis seringkali menautkan gerakan ini dengan sejarah masa lalu yang mereka anggap pas. Di Jawa Barat, sejarah gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dibawa Kartosuwiryo sering didengung-dengungkan. Di Sulawesi, KPPSI berusaha membangkitkan Darul Islam atau tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kahar Muzakar. Sedang di Kalimantan Selatan kelompok-kelompok pendukung syariat Islam mewacanakan wacana Undang-Undang Sultan Adam (1825-1857) yang dibentuk 1835 sebagai legitimasi.33 Dalam peran inilah, sosok KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur adalah salah satu dari sekian figur jenius yang berusaha menggali, menemukan, dan menyajikannya sebagai memori kolektif umat. Gus Dur seperti seorang pengarsip ulung yang telah melakukan tugasnya menata tumpukan arsip-arsip masa lalu, lantas memilah-memilahnya, dan menyajikannya kepada pembaca. Tak semua diberikan, arsip-arsip yang hanya dianggapnya pentinglah yang akan disarankan dan disajikan kepada pembacanya. Di tengah gelombang islamisme, lewat ceramah dan tulisantulisannya misalnya, ia mampu menyajikan pemahaman bahwa NU adalah ormas keagamaan yang emoh Negara Islam, sebagaimana didengung-dengungkan kelompok islamis. Ia selalu merujuk hasil Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936 sebagai bukti sejarah, jika NU menerima Hindia Belanda sebagai negara yang sah. Dalam soal penerimaan Pancasila dan NKRI, Gus Dur mengingatkan umatnya pada hasil Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur. Penerimaan Pancasila berbanding lurus dengan penerimaan
Ahmad Suaedy, Perspektif Pesantren; Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi, hal. 38 33
terhadap nilai-nilai keislaman yang dipahami warga NU.34 Pada Gus Dur pula, tiga jenis modal sosial tadi dimilikinya sekaligus. Gus Dur mampu membangun komunikasi dan jaringan pada kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan sosio demografis. Di lingkungan kiai, dengan trah biru dan keluasan ilmunya Gus Dur dipandang menjadi bagian penting komunitas mereka. Dialah “ajimat” NU. Tapi ia juga punya kemampuan memnjembatani jejaring kelompok ini dengan kelompok kiai muda, anak-anak muda NU, atau komunitas non-muslim. Pada saat bersamaan, ia berhasil membangun jejaring ini dengan kekuasaan formal di luar mereka seperti pemerintah, LSM, atau kalangan internasional. Jika kemampuan membangun modal sosial ini juga dimiliki tokoh-tokoh lokal, besar harapan trust sebagai sebuah bangsa yang majemuk menguat dan gerakan islamisme tidak cukup kuat mendapat dukungan masyarakat.[]
34 Lihat misal tulisannya yang berjudul “NU dan Negara Islam (1)” dalam Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), h. 100-105. Lihat juga dalam “Islam, Negara, dan Pancasila” dalam Abdurrahman Wahid Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Jakarta: Grasindo, 1999), h. 91-95
BIBLIOGRAFI BUKU DAN JURNAL Accad, Evelyne (2000), “Sexuality and Sexual Politics: Conflict and Contradictions for Contemporary Women in the Middle East,” dalam Pinar Ilkkaracan (ed.), Women and Sexuality in Muslim Societies, Istambul: WWHR-New Ways. Adhan, Syamsurijal dan Umam, Zubair (2006), “Perdaisasi Syariat Islam Di Bulukumba” dalam Jurnal Taswirul Afkar, Perda Syariat Islam Menuai Makna, Jakarta: PP. Lakpesdam, edisi 20. AG, Muhaimin (2003), Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, Jakarta: Balitbang Depag RI. Anderson, Benedict (2002), Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Manila: the Philippines, Verso. An-Na’im, Abdullahi Ahmed (1994), Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKIS. An-Na’im, Abdullahi Ahmed (2007), Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Bandung: Mizan. Art, Gocken (2000), “Women and Sexuality in the Fatwas of the Sheikhul Islam in Seventeenth Century Ottoman Empire,” dalam Pinar Ilkkaracan (ed.), Women and Sexuality in Muslim Societies, Istambul: WWHR-New Ways. Aziz, Ahmad (1967), Islamic Modernism in India and Pakistan 1857-1964, London, Bombay, Karachi: Oxford University Press. Azra, Azyumardi (2004), “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia,” dalam Virginia Hooker dan Amin Saikal (eds.), Islamic Perspectives on the New Millenium, Singapore: ISEAS. Beckford, James A. (2003), Social Theory and Religion, United Kingdom: Cambridge University Press. Berger, Peter L. (1967), The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion, Doubleday. Berger, Peter L. (1999), “The Desecularization of the World: A Global Overview” dalam Peter L. Berger (ed), The Desecularization of the World:
319
Resurgent Religion and World Politics, Washington D.C-Grand Rapids Michigan: Ethics and Public Policy Center, William B. Eerdmans Publishing Company. Bligh, Alexander (t.th), “The Saudi Religious Elite (Ulama) as Participant in the Political System of the Kingdom,” dalam Syafiq Mughni (ed.), An Antology of Contemporary Middle Eastern History, Montreal, Canada: Indonesia-Canada Islamis Higher Education Project. Burton, John (ed) (1990), Conflict: Human Needs Theory, New York: ST. Martin’s Press. Dahrendorf, Ralf and Turner, Jonathan H. (1998), the Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company. Damanik, Ali Said (2002), Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah, Teraju: Jakarta. Diamond, Larry dan Plattner, Marc F. (1998), Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi, (terj), Bandung: Penerbit ITB. Effendi, Djohan (2008), A Renewal without Breaking Tradition: The Emergence of A New Discourse in Indonesia’s Nahdlatul Ulama during the Abdurrahman Wahid Era, Yogyakarta: DIAN/Interfidei. Effendy, Bachtiar (2003), “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia: A Postscript” dalam Islam and the State in Indonesia, Singapore: ISEAS. El-Fadl, Khaled M. Abou (2004), Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (terj.) R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Esposito, John L. (1996), Ancaman Islam Mitos atau Realitas (tej), Bandung: Mizan, 1996, Cetakan III. Esposito, John L. and Burgot, Fracois (2003), Modernizing Islam: Religion in the Public Sphere in the Middle East and Europe New Jersey, Rutgers University Press. Fauzi, Ihsan Ali, dkk. (2009), Laporan Pola-Pola Konflik Keagamaan di Indonesia 1990-2008, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Fealy, Greg & Hooker, Virginia (2006), Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Source Book, Singapore: ISEAS. Fealy, Greg dan Bubalo, Antony (2007), Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, Bandung: Mizan. Geertz, Clifford (1997), Santri, Abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya. Giddens, Anthony (1993), New Rules of Sociological Method, California: Stanford University Press. Green, Arnold H. (1983), “Political Attitudes and Activities of the Ulama in the Liberal Age: Tunisia as an Exceptional Case,” dalam Abubaker
A. Bagader (ed.), The Ulama in the Modern Muslim Nation-State, Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia. Hamdi, Ahmad Zainul (2008), Peraturan Daerah (Perda) Ramadhan di Kota Pasuruan, Penelitian tidak diterbitkan. Hooker, Virginia (2008), Indonesian Syariah: Defining National School of Islamic Law, Singapore: ISEAS. Hornby, Albert Sidney, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University: New York, 1995. Ideham, M. Suriansyah (2003), Sejarah Banjar, Banjarmasin: Balitbangda. Intan, Benyamin Fleming, “Rumah Ibadah dan Hegemoni Negara”, Suara Pembaruan, 1 Agustus 2009. Kamil, Syukron dan Bamualim, Chaider S. (2007), Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-muslim, Jakarta: CSRC-KAS. Lestari, Puji (2007), Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005, Skripsi Universitas Negeri Semarang. Lukito, Ratno (2003), “Law and Politics in Post-Independence Indonesia: A Case Study of Religious and Adat Courts” dalam Arsekal Salim dan Azra, Shari’a and Politics in Modern Indonesia, ISEAS: Singapore. Mas’udi, Masdar F. (1993), Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: P3M, cet. ke-3. Mubarak, M. Zaki (2007), Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan Pemikiran dan Prospek Demokrasi, Jakarta: LP3ES. Mulder, Niels (2001), Ruang Batin Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: LKiS. Nashir, Haedar (2007), Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP. Noor, Irfan, dkk. (2005), Riset Aksi: Peta Problem Penerapan Syari’at Islam di Kalimantan Selatan, Laporan Hasil Riset Aksi LK3: Banjarmasin. Othman, Norani (ed.) (2005), Muslim Women and the Challenge of Islamic Extrimism, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia: Sister in Islam. Peters, Rudolph (2005), Crime and Punishment in Islamic Law: Theory and Practice from the Sixteenth to the Twenty-First Century, Cambridge: Cambridge University Press. Putnam, Robert D. (1993), Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, New Jersey: Princeton University Press. Rahmat, Imdadun dan Zada, Khamami (2004), Agenda Politik Gerakan Islam Baru, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 16. Raho, Bernard (2007), Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Saeed, Abdullah dan Saeed, Hassan (2004), Freedom of Religion: Apostasy and Islam, England: Ashgate Publishing.
Salim, Arsekal (2008), Challenge the Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, Honolulu: University of Hawai’i Press. Salim, Arsekal dan Azra, Azyumardi (ed.) (2003), Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore: ISEAS. Salim, Arskal dan Azra, Azyumardi (2003), “Introduction: The State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra (eds.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Sigapore: ISEAS. Salim, Hairus dkk. (1997), Amuk Banjarmasin, Jakarta: YLBHI. Shidqi, Ahmad (2008), Sepotong Kebenaran Milik Alifa, Kanisius: Yogyakarta. Simon, Roger (2000), Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Kanisius. Suaedy, Ahmad (2009), Perspektif Pesantren: Islam Indonesia, Gerakan Sosial Baru, Demokratisasi, Jakarta: the Wahid Institute. Suaedy, Ahmad, dkk. (2007), Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia, Jakarta: The Wahid Institute. Subkhan, Imam (2008), Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogyakarta, Yogyakarta: Impuls-Kanisius. Susan, Novri (2009), Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media. Suseno, Franz Magnis (2001), Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi rentang Kebijksanaan Hidup Jawa, Gramedia: Jakarta. Sutrisno (2003), “Penerapan Syariat Islam: Persepsi Masyarakat Garut” dalam Jurnal Istiqro’, Jakarta: Dikti Depag RI, Vol 02, Nomor 01. Tarawiyah, Siti (2009), Kekuasaan dan Sentimen Keagamaan: Implikasi Penerapan Perda No. 4 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah No.13 tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan Terhadap Hubungan antar Agama di Kota Banjarmasin, Jakarta: Litbang Depag RI. Tim Pemantau Komnas Perempuan (2009), Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Terbatas untuk Kalangan Sendiri, Jakarta: Komnas Perempuan. Tim Penyusun (2002), Dari Gontor ke Pulau Buru, Memoar H. Achmadi Moestahal, Yogyakarta: Syarikat, April. Tirtosudarmo, Riwanto (2007), Mencari Indonesia: Demografi-Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: LIPI. Turner, Jonathan H. (1998), The Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company. Turner, Mark, dkk. (2003), Decentralisation in Indonesia: Redesigning the
State, Canberra ACT: Asia Pacific Press, The Australian National University. Wahid, Abdurrahman (1999), Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo. Wahid, Abdurrahman (2006), Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute. Weber, Max (1978), Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology, University of California: Berkeley Press, Volume I. Wiyata, A. Latief (2006), Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta: LkiS. Woodward, Mark R. (2007), Islam Jawa, Yogyakarta: LkiS. Zaman, Muhammad Qasim (2002), The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change, Princeton and Oxford: Princeton University Press. Zaman, Muhammad Qasim (2005), “Pluralism, Democracy, and The Ulama,” dalam Robert W. Hefner, Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization, Princeton and Oxford: Princeton University Press. Zudianto, Herry (2008), Kekuasaan Sebagai Wakaf Politik: Manajemen Yogyakarta Kota Multikultur, Kanisius: Yogyakarta.
PAPER, LAPORAN, DOKUMEN Abdillah, Syaik, dkk. (2004), “Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam: Studi Kasus Formalisasi Syariat Islam di Garut”, paper pada seminar bertajuk Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam: Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten, Senin 26 April, Hotel Ambhara, Kebayoran, Jakarta Selatan. Aji Damai (2008), Menanam Perdamaian: Pernyataan sikap Aji Damai Terkait dengan Beberapa Kekerasan di Yogyakarta, tanggal 22 Oktober. Amin, Muhammad, Indikator Lokal Kemiskinan untuk Efektifitas Program Penanggulangan kemiskinan di Kota Surakarta, dalam www.idwikipedia.go.id. Berita Acara Pertemuan Magabudi dan Buddhayana (2008), 11 Oktober. Berita Acara Pertemuan Magabudi dan Buddhayana (2008), Karang Montong, 27 Oktober. Budiwanti, Erni (2001), “Mempertahankan Identitas dan Toleransi Antar Agama: Minoritas Muslim di Lombok dan Bali”, dalam Murni Djamal dkk., Ethno-Religious Conflicts in Indonesia Today, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 25-27 September.
Bush, Robin L. (2007), “Regional ‘Shari’ah Regulation in Indonesia: Anomaly or Symptom?” Paper dipresentasikan pada Forum Indonesia Update di ANU, Canberra, September (tidak diterbitkan). Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan Film (2008), Informasi dan Klarifikasi, tertanggal 31 Oktober. Djoharianto, Tarmudji dan Partowijono, Saekoen (2008), Mohon Perlindungan, tertanggal 20 Oktober. Dokumen pertemuan 14 Juni 2006 GIA Jemaat Pringgading TPI Karangroto, Permohonan tempat/lokasi ibadah umat Kristiani, Nomor 059/TPI-GIA/IX/05, Hartoto, R. Baroto (2008), Kronologi Kejadian Penyarangan FPI di Sanggar Candi Busono Desa Pereng Kembang, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta, 12 Oktober. Kantor Sapta Darma (2008), Press Release, 14 Oktober. Laporan Penelitian PKHN Komnas Perempuan (2009), “Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia”. Lembaga Litbang Majelis Buddhayana Indonesia (2005), Sejarah Buddhayana, Jakarta, September. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134. Magabudi (2008), Pernyataan sikap Pengurus Daerah Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia, Mataram, 7 Oktober. Maklumat Umat Islam Karangroto, Penyegelan, 4 Juni 2005, Masyarakat Peduli Bangsa (MPB), Undangan, Nomor: 010/MPB/VII/2005, 20 Juli 2005 Murti, Bhisma (2010), “Determinan Sosio-Ekonomi, Modal Sosial, dan Implikasinya Bagi Kesehatan Masyarakat”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Tanggal 7 Januari. Nugroho, Kelik M, Dharmasaputra, Karaniya, Fuadi, Ahmad (1998), Dari Perwalian Menuju Perwakilan, www.tempointeraktif.com, 06 Oktober. Pemerintah Kelurahan Karangroto (2005), Undangan Muskel, Nomor 005/83, tertanggal 19 Juli. Pemerintah Kota Semarang Kecamtan Genuk, Pembongkaran Bangunan di RT. 06/RW III Kelurahan Karangroto, Nomor 640/576 Pemerintah Kota Semarang Sekretariat Daerah (2005), Perihal Tempat dan
Lokasi Ibadah, Nomor 452.2/4980, 20 Oktober. Pemerintah Kota Semarang Sekretariat Daerah (2006), Perihal Pendirian Tempat Ibadah Gereja, Nomor 452.2/3010, 4 Juli. Pengurus Daerah Magabudi NTB (2008), Peryataan Sikap No.17/MT.PD NTB/XI/2008. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Persada (2006), Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Yogyakarta: Persada, Pasal 1, Item 4. Pusat Kajian Antar Majelis Agama Buddha Di Indonesia (2009), Milist Pertikaian, Perpecahan, Dan Konflik Antar Organisasi Buddhis Di Nusantara, 06 Januari. Pusat Kajian Antar Majelis Agama Buddha Di Indonesia (2009), Reformasi Kelembagaan Agama Buddha Indonesia, 10 January. R. Baroto Hartoto (2008), Laporan Peristiwa SCB Pereng Kembang Sleman, tertanggal 13 Oktober. Rasiman (2008), Surat Pernyataan, Tebango, 23 September. Sebrat, Haryanti (2008), Pemberitahuan Kepala Desa Balecatur, Yogyakarta, 20 November. Setara Institute (2010), “Di Mana Tempat Kami Beribadah?” Review Tematik Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan tentang Rumah Ibadah dan Hak Beribadah 2010, Jakarta: Setara Institute, 26 Juli. Surat kepala Desa Pemenang Nomor 14 tertanggal 29 Oktober 2008. Surat Pemohonan Penanganan No. 02/PR.VJW/V/09 kepada Pejabat Bupati KLU di Tanjung. Surat Permintaan Mediasi Kepala Desa Pemenang Timur Kepada Camat Pemenang (2008), No.14, 29 Oktober. Surat pernyataan ahli waris, 23 September 2008. Tadjoeddin, Mohammad Zulfan (2002), “Anatomi Kekerasan Sosial Dalam Konteks Transisi: Kasus Indonesia 1990-2001”, Jakarta: April. Working Papers yang disajikan untuk UNSFIR dalam Project Policy Support for Sustainable Social Economic Recovery. Tawilam (2008), Dokumen Kronologi Kesepakatan Bersama Dalam Rangka Renovasi Vihara Jaya Wijaya, 27 September. Tawilam (2008), Kronologi Kesepakatan Bersama Untuk Merenovasi Vihara Jaya Wijaya, 27 September. Terre, Eddie Riyadi (2010), “Posisi Minoritas dalam Pluralisme: Sebuah Diskursus Politik Pembebasan”, dalam http://interseksi.org/publica-
tions/essays/articles/posisi_minoritas.html. The 9th Conference of the Asia Pacific Sociological Association (2009), Improving the Quality of Social Life: A Challenge for Sociology, June 13 – 15, Kartika Plaza, Kuta, Bali, Indonesia. Tim Penulis (2010), Monthly Report on Religious Issues, Jakarta: The Wahid Institute, Edisi 28 Maret. Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional (2005), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga. Tim Penyusun, (2008), Laporan Tahunan: Menapaki Bangsa Yang Retak, Jakarta: The Wahid Institute. Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma (2009), Materi Press Release Sarasehan Agung Tuntunan Kerohanian, Yogyakarta: Sapta Darma.
Majalah, Koran Cetak, Bulletin Christian Post, 26 Agustus 2005. Jawa Pos, 16 November 2002, diakses pada 20 juli 2010. Kedaulatan Rakyat, 21 Maret 2007 dan 12 Juni 2007. Kompas Jogja, 22 Maret 2007. Kompas, 4 November 2002, edisi 01 Juni 2009. Kompas, edisi 7 April 2002 Monthly Report on Religious Issues, edisi April 2008. Monthly Report on Religious Issues, edisi April 2009. Radar Mojokerto, 11 September 2006, diakses pada 21 September 2009. Radar Mojokerto, 29 Agustus 2006, diakses pada 01 Agustus 2009. Suara Merdeka, 16 Mei 2009. Suara Merdeka, 6 November 2009, diakses pada 20 juli 2010. Suara NTB, 26 Februari 2009. Suara Pembaruan, 1 Agustus 2009. Tempo Interaktif, 4 November 2002, diakses pada 20 juli 2010.
WAWANCARA Wawancara dengan M. Thoha, (Cianjur), 8 Mei 2008. Wawancara dengan Aang Muhammad Dudun, (Cianjur), 5 Mei 2008. Wawancara dengan Iwan Permana, (Cianjur), 7 Mei 2008.
Wawancara dengan Abah Ruskawan, (Cianjur), 7 Mei 2008. Wawancara dengan Maman Abdurrahman, (Cianjur), 8 Mei 2008. Wawancara dengan Haris, (Cianjur), 15 Mei 2008. Wawancara dengan Ade Nurjaeni, (Tasikmalaya), 4 Mei 2008. Wawancara dengan Ade Sugianto, (Tasikmalaya), 8 Mei 2008. Wawancara dengan Kiai Abdul Hamid, (Tasikmalaya), 2 Mei 2008. Wawancara dengan Acep Zamzam Noor, (Tasikmalaya), 8 Mei 2008. Wawancara dengan H. Dadang, (Tasikmalaya), 9 Mei 2008. Wawancara dengan H. Latif Amin, (Tasikmalaya), 3 Mei 2008. Wawancara dengan Hj. Djudju Djubaedah, (Tasikmalaya), 23 April 2008. Wawancara dengan Romo Agus, (Tasikmalaya), 25 April 2008. Wawancara dengan Cahya Wandawa, (Tasikmalaya), 23 April dan 8 Mei 2008. Wawancara dengan Drs H Kartono, (Banjar), 19 April 2008 Wawancara dengan Yoyoh Heryani, Enceng, Amat Rahmat, (Banjar), 07 Mei 2008 Wawancara dengan Simon Sudiparyitno, Surtinah, dan Purnanto, (Banjar), 12 April 2008 Wawancara dengan Asep Rosyidin, (Banjar), 16 April 2008 Wawancara dengan Rusmawan, (Banjar), 01 Mei 2008 Wawancara dengan Tatang R, (Banjar), 30 Maret 2008 Wawancara dengan KH Munawwir, Asep Santo SAg, dan Eso Suterso, (Banjar), 01 Maret 2008 Wawancara dengan Eso Suterso, (Banjar), 12 April 2008. Wawancara dengan Slamet Basuki, (Yogyakarta), 12, 13, dan 14 Januari 2009. Wawancara dengan Hasani, (Pasuruan), 05 April 2008 Wawancara dengan KH. Fayumi, (Pasuruan), 16 April 2008 Wawancara dengan M. Nawawi, (Pasuruan), 16 April 2008 Wawancara dengan Aminurrakhman, (Pasuruan), 24 April 2008 Wawancara dengan Habib Taufiq, (Pasuruan), 08 Mei 2008 Wawancara dengan KH. Zubair Hamzah, (Pasuruan), 11 Mei 2008 Wawancara dengan Purwanto, (Pasuruan), 16 Mei 2008 Wawancara dengan Nurul, (Pasuruan), 19 Mei 2008 Wawancara dengan Andi Sutopo, (Yogyakarta), 12 Agustus 2008 Wawancara dengan KH. Thoha Abdurrahman, (Yogyakarta), 19 Agustus 2008 Wawancara dengan Selamet Basuki, (Yogyakarta), 20 Agustus 2008
Wawancara dengan Turmudzi, (Yogyakarta), 20 Agustus 2008 Wawancara dengan Sigit Widianto, (Yogyakarta), 28 Agustus 2008 Wawancara dengan Hanifah, (Yogyakarta), 21 September 2008 Wawancara dengan Muslih Ilyas, (Yogyakarta), 23 September 2008 Wawancara dengan Immawan Wahyudi, (Yogyakarta), 25 September 2008 Wawancara dengan M. Subkhi Ridho, (Yogyakarta), 02 November 2008 Wawancara dengan Suparno Zaenal Abidin, (Surakarta), 27 April 2008 Wawancara dengan Budi Hartanto, (Surakarta), 28 April 2008. Wawancara dengan Ahmad Subagyo, (Surakarta), 26 April 2008. Wawancara dengan Budi Kuswanto, (Surakarta), 28 April 2008. Wawancara dengan Sudarmono, (Surakarta), 4 Mei 2008. Wawancara dengan Pdt. Prihantoro Gendrowiyono, (Surakarta), 25 April 2008. Wawancara dengan Setyo Dwi, (Surakarta), 2 Mei 2008. Wawancara dengan Siti Kasiyati, (Surakarta), 21 Agustus 2008 Wawancara dengan Drs H. Kartono, (Banjar), 03 April 2008. Wawancara dengan Yoyoh Heryani, Enceng, Amat Rahmat, (Banjar), 10 April 2008 Wawancara dengan Simon Sudiparyitno, Surtinah, dan Purnanto, (Banjar), 11 April 2008 Wawancara dengan Asep Rosyidin, (Banjar), 26 April 2008 Wawancara dengan Rusmawan, (Banjar), 05 Mei 2008 Wawancara dengan Tatang R, (Banjar), 11 Mei 2008 Wawancara dengan KH Munawwir, Asep Santo SAg, dan Eso Suterso, (Banjar), 14 Mei 2008 Wawancara dengan Eso Suterso, (Banjar), 17 Mei 2008 Wawancara dengan Pdt. Daud, (Semarang), 10 Desember 2009. Wawancara dengan Tri, (Semarang),10 Desember 2009. Wawancara M. Syafi’i, (Semarang), 29 November 2009. Wawancara dengan Busyairi Harits, (Semarang), 6 Maret 2010. Wawancara dengan Ronny Chandra, (Semarang), 6 Maret 2010. Wawancara dengan Pendeta Rotherman Sundung, (Banjarbaru), 26 November 2009. Wawancara dengan Adolfina Koemesakh, (Banjarmasin), 12 Desember 2009. Wawancara dengan Julaikha, (Banjarmasin), 12 Desember 2009. Wawancara dengan Abdul Aziz, (Banjarmasin), 10 Desember 2009. Wawancara dengan Mahfudz Shiddiq, (Banjarmasin), 03 November 2009.
Wawancara dengan Ansori Mahmud, (Banjarmasin), 08 November 2009. Wawancara dengan Muhammad Rusli, (Banjarmasin), 10 Desember 2009. Wawancara dengan Syarbani Haira, (Banjarmasin), 24 Novemver 2009. Wawancara dengan Sukarman, (Lombok Utara), 25 September 2009. Wawancara dengan Metawadi, (Lombok Utara), 05 Oktober 2009. Wawancara dengan Tawilam, (Lombok Utara), 07 Oktober 2009.
WEBSITE http://mazhida.wordpress.com/ www.acehlongnews.com www.antarajatimnews.com www.berita8.com www.beritakota.net www.detiknews.com www.kapanlagi.com www.mediaindonesia.com/ www.muslimwestfacts.com/mwf/File/.../Gallup-Coexist-Index-.aspx www.nuonline.com www.republika.co.id/ www.sapta-darma.info www.suaramerdekacybernews.com www.surya.co.id/ www.syahadah.com www.tempointeraktif.com www.tribunnews.com www.idwikipedia.go.id http://radar-bekasi.com/index.php?mib=berita.detail&id=62723. http://www.antaranews.com/berita/1266187963/16-ormas-islam-bekasimenyegel-gereja-galilea. http://id.wikipedia.org/wiki/Front_Pembela_Islam http://www.pekanbaruexpress.com/bupati-inhu-sampaikan-perda-wajibbaca-alquan-ke-dprd.html http://news.okezone.com/read/2010/06/08/340/340838/340/terdakwa-penistaan-agama-dikeroyok-massa http://psikparamadina.blogspot.com/2006/07/menuju-kebebasan-beragama-di-Indonesia.html
http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/10/06/mengapa-bentrok-ditarakan/ http://interseksi.org/publications/essays/articles/posisi_minoritas.html
Index A
C
Aan Ansori 34, 35, 36, 39 abangan 27, 65, 70, 85, 86, 90, 92, 108, 112, 156, 249 Abdul Khair Wattimena 27 Acep Zamzam Noor 129, 130, 327 adat basandi syara’ 81 Adolfinah 286, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294 Ahmad Subagya 84 akil baligh 78 al-akhwal asy-shakhsiyyah 184 aliran Buddhayana 267, 278, 279 aliran kebatinan 92, 217, 218 alon-alon waton kelakon 87 amar ma’ruf nahi munkar 78 Ambiguitas 59, 223 Amin Mudzakir 25 Aminurakhman 58 Antony Bubalo 312, 313
Cianjur 1, 7, 16, 23, 26, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 129, 134, 157, 158, 159, 161, 162, 168, 191, 323, 326, 327
B Bahana Bella Binanda 32, 37, 41 Banjarmasin iv, 58, 81, 282, 283, 284, 285, 288, 290, 293, 294, 296, 297, 299, 300, 301, 315, 317, 321, 322, 328, 329 Belanda 184, 185, 231, 317 BOS 61 BPS ix, 28, 29, 70, 73, 92, 126 brand 58 Budi Hartanto 98, 101, 104, 328 Budi Kuswanto 99, 100, 105, 107, 328 Bulukumba 22, 24, 25, 319
D Daerah vii, ix, x, xi, 3, 7, 13, 14, 24, 31, 33, 34, 43, 44, 46, 51, 52, 56, 69, 115, 136, 155, 162, 164, 168, 170, 210, 214, 215, 216, 273, 277, 301, 310, 311, 314, 321, 322, 324, 325 dar al-harb 187 dar al-Islam 187 dar as-salam 187 DIY 69, 70, 71, 72, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 85, 88, 89, 90, 156, 213, 214, 216 Djojojaimun 197 Donal L. Horowitz 305 Dusun Tebango v, 264, 267, 275, 280 Dwiatmo Hadianto 167, 171
E Economy and Society 257, 323 eksekutif 8, 16, 21, 65, 84, 85, 120, 132, 135, 141
G gerakan alternatif 17 gerakan penyelamatan 17
331
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
gerakan reformatif 17 gerakan revolusioner 17 Gerakan Sosial dan Politik 71 gerakan transformatif 17 Gerbang Marhamah 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 157, 158, 191 Gerbang Salam 163, 167, 169, 170, 171, 173, 174, 176, 180 Gereja Bethel Indonesia (GBI) Pasir Mas 287 Greg Fealy 183, 312, 313 Gustav AA. Dopong. Gustav 244
H Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf 55 Haedar Nasir 22 HAM 10, 14, 24, 25, 36, 52, 57, 58, 64, 141, 143, 151, 152, 157, 158, 162, 166, 188, 190, 191, 210, 211, 216, 225, 226, 261, 262, 265, 321 H. Ambjah 46 Hanifah 82, 83, 328 Hardjosapoera 197, 198, 199, 200, 201, 204 Hasani 54, 55, 58, 60, 64, 327 hudud 98, 101, 190 hukum ekonomi 190 hukum kafir 79, 106 hukum kriminal 188, 190 hukum privat 190
I ide dasar Perda Ramadhan 53, 164 ideologisasi DII/TII 15 Ifa Cahyaningtyas 34, 38 Immawan Wahyudi 84, 85, 328 indigenous religion 225 Instruksi Walikota Banjar 136 Islamisasi perda 22, 23 Islam kultural 56, 57, 62, 156 Isu Penerapan Syariat 106 Iwan Permana 120, 121, 122, 326
J Ja’far Umar Thalib 232, 313
332
Jawatan Agama Islam 184 jemaat Bethelis 282, 283, 287, 292, 297, 299 jemaat Evangelis 282 jembatan Suramadu 165, 175 jinayah 183, 184, 185, 190, 192 Johan Galtung 243, 258, 259 John L. Eposito 312 Jombang ix, x, 1, 16, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 41, 42, 43, 142, 143, 144, 145, 150, 151, 160, 161, 191
K Kabupaten Lombok Utara v, 263, 264, 272 kaffah 17, 97, 160 Karangroto iv, viii, 239, 241, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 258, 259, 261, 262, 324 kekuasaan teokrasi 17 kelas sudra 227 kelompok Ajengan Bendo 130, 131 Kemiskinan 29, 114, 323 kepentingan politik elit 15 Kerajaan Mataram Islam 166 Keraton Surakarta 92 keyakinan teologis 16 Key Deaux 309 KH. Abdul Kholiq 35 KH. Abdurrahman Wahid 220, 247, 317 khalwat 14 KH. Azis Mansyur 37 KH. Fayumi 55, 57, 58, 63, 65, 327 KH. Israfil Amar 28 KH. Tamim Romli 32, 36 KH. Tamim Rusli Romli 35 KH. Thoha Abdurrahan 76 koalisi 29, 36, 37, 43, 46, 69, 74, 75, 76, 104, 105, 106, 144, 154, 155 Koalisi-Koalisi Taktis 104 Koji Miyajaki 310 kompensasi 60, 61, 66, 67, 149 komunitas Sapta Darma 195, 211, 212, 214 Konfigurasi Politik 46 Konteks Sosial 106 Kraton 221, 230
INDEX
KUHP x, 31, 32, 33, 42, 84, 143 Kultur Keagamaan 44
L legislatif 8, 9, 16, 21, 44, 46, 54, 65, 73, 132, 135, 141, 175, 216, 220 Lembah Karmel 124, 158 Luas wilayah Kota Banjar 135
M Madrasah Ibtidaiyah 61 Magabudi x, 264, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 275, 276, 278, 279, 280, 323, 324, 325 Maghfuri 28 mahram 14 Mangkunegaran 92, 109 maqashid asy-syari’ah 189 masalah administratif 44 Max Weber 257 mayoritas Muslim Banjar 282 Megawati-Hasyim Muzadi 48 Menurut filosofi Jawa 67 Miftahul Ansori 33 Minoritas viii, 123, 132, 281, 287, 306, 307, 308, 315, 323, 325 mistik 197, 198, 214 M. Nawawi 56, 57, 62, 63, 327 model mudharabah 190 Mohammad Zulfan Tadjoeddin 303, 304 M. Subkhi Ridho 89, 328 M. Syafi’i 243, 245, 246, 248, 249, 250, 253, 328 mu’amalah 183 muslim-abangan 65 Muspida 57, 61
N Nasir 22, 23 nations state 184, 308 Negara xi, 2, 3, 7, 8, 9, 15, 18, 19, 109, 184, 185, 187, 188, 191, 218, 219, 223, 233, 236, 237, 255, 258, 259, 260, 299, 301, 314, 317, 318, 319, 321, 322, 323, 324
ngabebenyokeun 132, 160 nishab 189 non-muslim 6, 52, 55, 58, 61, 62, 64, 65, 67, 68, 80, 81, 82, 90, 123, 137, 149, 150, 158, 162, 176, 177, 178, 179, 189, 191, 248, 284, 299, 318 nuansa keislaman 44 Nursih Gunar 267, 269, 270, 271, 274, 279
P PAD xi paham ideologis 16 Pamekasan iv, vii, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 180 Pamong xi, 38, 51, 67, 267 pasal karet 34, 36, 38 paska reformasi 46, 53, 164, 165, 166, 221 Pasuruan 1, 16, 26, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 160, 164, 191, 321, 327 patembayan 187 Pdt. Daud 244, 251, 328 Pdt. Prihantoro Gendrowiyono 109, 328 pendekatan sosiologis 316 Penganut Buddhayana 268 gerakan
gerakan 17
perda anti-pelacuran 32, 34, 35, 36, 41 Perda Gerbang Marhamah 118, 119, 120, 121, 122, 123 Perda Ramadhan 43, 49, 52, 53, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 81, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 164, 191, 300 perda syariat 13, 25, 26, 55, 88, 90, 96, 98, 99, 102, 103, 104, 108, 109, 110, 111, 156, 157, 162, 175, 180, 184, 300 Perda Wajib Jilbab 69, 78, 156 Perkembangan Ekonomi 49 pernikahan antar agama 190 perspektif HAM 24
333
AGAMA DAN KONSTESTASI RUANG PUBLIK
peruwatan 200 pesantren 28, 35, 92, 93, 94, 114, 117, 120, 169, 170, 172, 185, 284 Peter L. Berger 239, 240, 319 PKL xi, 49, 122 poligami 130 politisasi agama 5, 17, 20, 224 pragmatisme politik 5, 15, 170, 182 pra-sejahtera 29 premanisme 130 primordial 187 problem kemiskinan 15 problem sosial 32, 33, 34, 74, 85, 88, 89, 102, 145, 146, 219 profit sharing 190 provinsi 13, 14, 15, 16, 58, 59, 60, 70, 91, 277, 279, 282, 283, 284, 285, 296, 308 PSK xi, 33
R rahmatan lil`alamin 79 rajam 14 Ralf Dahrendorf 242, 257 Ramadhan 43, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 68, 69, 76, 81, 105, 107, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 164, 168, 191, 300, 321, 322 regulasi formal-simbolik 90 Regulasi pelacuran 37 Rekomendasi 175, 235 resistensi 35, 109, 110, 150, 152 Robin L. Bush 13, 15, 184 Ronny Chandra 252, 254, 260, 328 ruang privat 18, 19, 20, 40, 63, 132 ruang publik i, 7, 18, 19, 20, 40, 132, 142, 143, 151, 153, 156, 157, 159, 160, 161, 168, 190, 239, 240
S santri 27, 28, 29, 31, 35, 53, 55, 56, 58, 61, 63, 64, 65, 92, 93, 94, 96, 100, 112, 130, 133, 142, 145, 146, 150, 151, 160, 164, 169, 170, 178 Sapta darma 201
334
SARA 110 Saun Wiley 309 secular state 184 sektarian-aktif 259 sektor industri 49, 283 sektor informal 49 sengkala 200 sensus 2000 43 Setyo 109, 110, 328 Sigit Widianto 81, 88, 328 sinkretisme 108, 265, 281 sisi peraturan 52 sistem Kejawen 92 Siti Hartati Murdaya 265 Slamet Basuki 80, 86, 204, 209, 211, 327 Somogiman 198 sosial-keagamaan 1, 16, 249 Sri Gutama 196, 197, 198, 199, 200, 201, 203, 204, 205, 208 Sri Sultan Hamengkubuwono X 86, 231 Sri Sultan Hemengkubuwono I 230 Subair 22 Sudarmono 108, 112, 328 Sudarto 24, 25 Surakarta ix, x, 1, 7, 16, 26, 71, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 98, 99, 100, 101, 102, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 191, 323, 328 Surat Gubernur Jawa Timur 43, 44 Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf Kalla 48 Syaik Abdillah 23 Syamsul Pattinjo 22 Syamsurijal Adhan 22
T Tasikmalaya xi, 1, 7, 16, 23, 25, 26, 78, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 159, 160, 161, 162, 191, 323, 327 Tawilam 269, 270, 271, 279, 325, 329 Tentang Aspirasi dan “Suara Lain” 61 teori integralistik 17 teori interseksi 17 teori konflik Ralf Dahrendorf 242 teori sekularistik 17
INDEX
terminologi Benyamin F. Intan 259 terminologi Habermas 18 Terminologi privat 19 Titik Temu Aspirasi 99 tokoh-tokoh agama 16, 58, 63, 161, 162, 266, 269 tren wahabisme 196 tulisan Arab 45 Turmudzi 80, 81, 328
U UIN Syarif Hidayatullah 25, 224, 282, 323 Universitas Gajah Mada 22
V Visi Tasikmalaya 126 VOC xi
W warga Nahdliyin 29, 61 warung 45, 51, 54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 81, 146, 147, 153 wejangan 198, 200, 201 Wiranto-Sholahuddin Wahid 48
Y yudikatif 16
Z Zubaidi Muchtar 31, 32, 33, 39, 41 Zubair Hamzah 61, 327 Zubair Umam 22
335
336