The
WAHID Institute Monthly
Report
Pengantar Redaksi Hiruk pikuk menjelang Pemilihan Presiden 2009 mendatang sayangnya masih membetot isu agama ke dalam gelanggang kompetisi politik negeri ini. PKS, partai pendukung capres incumbent mempersoalkan Ani Yudhoyono yang tak berjilbab. Menurut petinggi partai berbasis kader itu, masalah jilbab sempat dikomplain para kader mereka di tingkat akar rumput. Komentar Presiden PKS Tifatul Sembiring terkait masalah itu di majalah Tempo justru berbuntut komplain baru. Oleh salah satu ormas di Sulawesi, komentar “hanya selembar kain”-nya itu dinilai menyakitkan umat Islam. Di Surabaya tuduhan kafir terhadap Tifatul karena pernyataan itu juga menjadi salah satu pemicu penyerbuan masjid. Masjid itu dinilai provokatif dan menjadi sarang teroris. Di samping isu ini masih ada isu aliran sesat yang kembali dicuatkan. Bahkan komitmen para capres-cawapres “menghabisi” aliran sesat menjadi alat tawar untuk melabuhkan dukungan. Beberapa kelompok meminta, jika terpilih mereka diminta membubarkan Ahmadiyah. Di luar bisingnya momen pilpres , problem dugaan aliran sesat hingga kini memang masih terjadi. Sejumlah kelompok divonis sesat oleh kelompok masyarakat tertentu di sejumlah daerah. Tak hanya terjadi di lingkungan muslim, tuduhan sesat dialami kelompok Kristen Sion Alak di Kupang pimpinan Nimrot Lasbau (49). Adapun kasus Lia Eden berakhir dengan vonis 2 tahun 6 bulan; 2 tahun untuk Wahyu, salah seorang anggota yang rajin menyebar surat-surat berisi “wahyu”. Sementara kelompok Satria Piningit, kelompok yang diduga sesat, sedang memasuki masa-masa awal persidangan. Terbuka kemungkinan mereka “diliaedenkan” . Dua fatwa yang menghebohkan juga kami muat: fatwa haram Facebook dan program The Master di salah satu stasiun teve swasta. Isu-isu lainnya bisa anda nikmati langsung di edisi ini, berikut sejumlah analisis dan rekomendasi. Selamat membaca!
Ed
is i
20 Ju
0 li 2
09
on Religious Issues
Dianggap Eksklusif dan Provokatif Masjid Disegel Warga Alamsyah M. Dja’far
M
enjelang pukul setengah sebelas malam, puluhan orang yang kebanyakan warga Sidotopo, Surabaya menyerbu masjid Al-Ihsan Sabilillah yang terletak di Sidotopo IV/343 A, Surabaya, Jumat (19/6/2009). Massa menduga masjid berlantai empat itu digunakan untuk aktivitas para teroris. Menurut keterangan Safrudin, Ketua RT 4 RW 4, Kelurahan Sidotopo, Kecamatan Semampir, Surabaya malam itu massa berteriak-teriak dan sebagian nya masuk ke dalam masjid lalu “menyapu” petugas penjaga masjid dan meminta mereka keluar. “Kafir... kafir, masjid harus disegel. Masjid milik warga ini tidak boleh digunakan sarang teroris,” ujar Safrudin menirukan teriakan warga seperti dikutip detiksurabaya.com Selasa (23/6/2009). Menurut laporan www.arrahmah.com (23/06), salah seorang di antara puluhan orang itu bahkan sempat memotret wajah-wajah para pengurus yang keluar kamar. Lalu salah seorang yang mengaku sekretaris RW setempat, masih menurut media yang didirikan Muhammad Jibriel Abdul Rahman ini, sempat memaksa pengurus masjid menunjukkan kartu identitas dengan nada tinggi dan kasar. Akhirnya ketiga orang pengurus yang tinggal di
masjid memberikan KTP. Setelah itu warga juga naik ke lantai empat dan mengaku sempat menemukan beberapa komputer. Tapi tak lama Umar Ibrahim, pimpinan takmir masjid, datang ke lokasi dan segera menemui warga yang mulai kelihatan beringas. Massa sempat mencerca Umar karena menemukan sebuah pengumuman yang tertempel di pintu kaca masjid berisi info pengajian rutin yang akan diisi KH. Abu Bakar Peristiwa Jumat malam itu bisa dinilai puncak kekesalan warga. Kegiatan di masjid itu, katanya, dinilai eksklusif Baasyir pada Sabtu 20 Juni 2009. Massa mempertanyakan juga status kepemilikan tanah masjid tersebut. Ketegangan belum mereda. Yulianto, putra Umar yang juga tercatat sebagai Tim Pembela Muslim Surabaya yang datang menengahi atas permintaan sang ayah, bahkan diusir karena dianggap bukan warga RW setempat. “Massa sempat memukul Mas Yulianto di luar masjid. Kejadiannya secara pasti saya tidak tahu, karena saya ada di dalam masjid,” ungkap Safrudin. Menurut informasi arrahmah, pukulan itu menyebabkan luka di bagian hidung.
Penerbit The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Alamsyah M. Dja’far | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Alamsyah M. Dja’far | Staf Redaksi: M. Subhi Azhari, Nurun Nisa’, Badrus Samsul Fatah | Lay out: Ulum Zulvaton | Kontributor: Suhendy (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal Adhan (Makassar), Akhdiansyah (NTB) | Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org
� Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009 Menjelang pukul setengah dua, akhirnya kesepakatan antara massa dengan pihak pengelola masjid dilakukan. Masjid segera dikosongkan. Oleh pihak kepolisian, Umar juga diminta hadir esoknya, Sabtu pukul 10.00 WIB di Polsek semampir dengan membawa dokumen seperlunya untuk bermusyawarah dengan pewakilan warga. Penyegelan memang dilakukan keesokan harinya, Sabtu (20/06). Masjid berbalut warna hijau itu tampak digembok dari luar. Suasana masjid yang di bagian depan terdapat logo Muhammadiyah dengan background biru dan tulisan berwarna kuning itu sepi aktivitas. Baru pada Rabu (24/06) masjid sudah mulai tampak digunakan kembali untuk salat.
Kepada tempointeractive.com (24/06), Nur Iskandar, seorang warga yang rumahnya tepat di depan masjid, menceritakan jika peristiwa Jumat malam itu bisa dinilai puncak kekesalan warga. Kegiatan di masjid itu, katanya, dinilai eksklusif. Jemaahnya yang ikut kebanyakan orang dari luar Sidotopo. Selain tertutup, lanjut Nur, ceramah-ceramahnya juga provokatif. Kekesalan warga makin memuncak setelah ditemukan takmir mengedarkan buletin Shoutul Jihad. Dalam ulasannya, Shoutul Jihad mengupas soal pernyataan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring soal jilbab. Menurut buletin itu, Tifatul disebut kafir karena menganggap jilbab tak lebih dari selembar kain. Buletin itu juga mencantumkan pengumuman, pada 20
Juli itu Amir Majelis Mujahidin KH. Abu Bakar Baa’syir akan memberikan ceramah. Stereotip negatif terhadap masjid tersebut semakin lengkap karena anak Umar, Abu Fida, pernah ditangkap polisi lantaran kasus terorisme. Masjid itu konon pernah pula disinggahi Dr. Azahari dan Noor Din M. Top, dua gembong teroris, saat dalam pelarian. Tapi pihak masjid Al-Ihsan Sabilillah, Dzulkarnain, membantah semua tuduhan warga. Menurut dia, semua kegiatan di masjid itu terbuka untuk umum. Kemarahan warga itu, kata Dzulkarnain lebih sebagai akibat akumulasi tersumbatnya komunikasi dengan Umar Ibrahim. M
Politisasi Isu Agama Masih Warnai Pilpres Nurun Nisa’
S
eperti sebuah siklus yang selalu terulang, isu agama kembali dibawa ke panggung politik negeri ini. Kampanye pada masa pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif dan bahkan pemilihan presiden tak pernah melewatkan isu ini. Ada kalanya digadang-gadang sebagai jualan demi menaikkan popularitas kandidat. Adakalanya pula dipakai demi menyerang kandidat tertentu. Monthly Report kali ini berusaha menelusuri sejumlah isu terkait momen pilpes mulai dari jilbab, representasi umat hingga aliran sesat. Gara-gara Selembar Kain Isu jilbab mulai bertiup kencang ketika komentar Zulkiefliemansyah, salah seorang pengurus Partai Keadilan Sejahtera dimuat sejumlah media massa. Kata Bang Zul, begitu dia akrab disapa, pendukung partai dengan perolehan suara keempat terbanyak pemilihan legislatif ini lebih sreg dengan pasangan capres/ cawapres lain yang beristrikan perempuan berjilbab. “Sebagian
2
besar hati kader PKS ada di JK-Wiranto karena istrinya berjilbab. Dan isu bahwa istri Pak JK dan Pak Wiranto berjilbab, walau sederhana tapi di akar rumput berpengaruh besar,” aku Zulkiefli, sebelum mengisi sebuah diskusi sebagaimana dikutip Kompas.com (25/05/09). Seperti dikutip majalah Tempo edisi 1 Juni 2009, masalah jilbab itu sempat juga dikeluhkan Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera KH. Hilmi Aminuddin ketika menemui Jusuf Kalla, calon presiden dari Partai Golkar di posko Slipi II, markas tim pemenangan KallaWiranto di Jalan Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta Pusat, pertengahan Mei lalu. Belakangan ungkapan ini dibantah Hilmi. Setelah itu isu bergulir jika PKS menekan SBY agar Ani Yudhoyono mengenakan jilbab. Presiden PKS Tifatul Sembiring malah terdengar lebih keras menolak isu tekanan politik ini. ”Apa kalau istrinya berjilbab lalu masalah ekonomi selesai? Apa pendidikan, kesehatan, jadi lebih baik?” katanya. ”Soal selembar kain
saja kok dirisaukan.” Komentar inilah yang kemudian menyulut reaksi dari para kader dan simpatisan PKS, termasuk kalangan di luar PKS. Dari daerah asal capres Jusuf Kalla, Makassar Dewan Pengurus Pusat (DPP) Wahdah Islamiyah menyesalkan pernyataan petinggi PKS itu. “Bagi kami ini adalah persoalan yang sangat serius ditinjau dari sisi akidah Islam karena sesungguhnya, perkara jilbab dalam pandangan kami bukan hanya sekedar simbol semata. Tapi pengejawantahan dari ajaran dan perintah Allah dan hal itu tidak pantas dikatakan hanya selembar kain,” tegas Wakil Ketua Umum DPP WI M Ikhwan Abd Jalil dalam konferensi pers di kantor DPP WI, jalan Antang Raya No 48 Makassar (tribun-timur. com, 3/06). Untuk mengklarifikasi komentarnya di Tempo itu kepada para kadernya ia mengirim sandek (pesan pendek). Berikut isi sandek itu seperti dikutip detik.com (05/06). “’Antum percaya Tempo atau ana? Antum baca deh artikel yang soal PKS di Tempo. Dia tanya, ‘Apakah PKS
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009 menekan SBY agar Bu Ani (Ani Yudhoyono) pakai jilbab?’, saya bilang ‘bukan!’. Dia tanya, ‘Apakah Bu Ani berjilbab lantaran alasan politik?’, saya jawab ‘Nggak tahu, tanya langsung ke orangnya!’. ‘Anda ini rewel banget,’ kata saya, ‘urusan selembar kain di atas kepala wanita, dia nggak pake kerudung ente ributin, dah pake kerudung diributin juga!’ Itu bahasa saya ke Tempo. Nah, percaya siapa?”. Mabruri, Kepala Bidang Humas dan Informasi PKS, hanya menyatakan bahwa SMS tersebut merupakan penjelasan kader secara internal sebagaimana dikemukakan. Meski demikian, isu ini terus berhembus karena lima hari kemudian di seberang kantor PKS terpampang spanduk berlatar hijau bertuliskan; “Saudaraku, banggakah ketika ibu negara kita menutup aurat dengan sempurna?”. Spanduk tersebut lengkap dengan gambar isteri pasangan capres-cawapres dari Partai Golkar dan Hanura, Mufidah Kalla dan Uga Wiranto yang berjilbab. Kesan yang muncul, spanduk itu bentuk tekanan agar Ani Yudhoyono dan Herawati Boediono memakai jilbab. PKS sendiri membantah terkait dengan pemasangan spanduk di seberang kantor mereka itu. “Nggak ada sama sekali kita terkait spanduk tersebut,” bantah Soeripto, anggota Majelis Syuro PKS kepada detik.com (29/05/09). Soeripto balik menuding spanduk itu dipasang oleh orangorang yang ingin melihat PKS tidak seratus persen mendukung SBYBoediono dalam pemilihan presiden 2009. Itu merupakan provokasi. Kata Soeripto, dukungan terhadap sang incumbent tidak ada sangkut pautnya dengan istri mereka karena yang dipilih adalah sang suami. Ketua DPP Bidang Kewanitaan PKS, Ledia Hanifa, sendiri membantah anggapan kalau di tataran akar rumput PKS, terutama kalangan perempuan, yang menolak SBY-Boediono karena istri mereka tidak berjilbab. “Mereka tidak komplain soal ini,” tambahnya. Sehari berikutnya, PKS justru menganjurkan agar Ibu Ani ber-
The WAHID Institute
jilbab tidak hanya memakai jilbab menjelang pemilu. Jilbab yang dipaksakan, kata Zulkieflimansyah, justru dapat menjadi blunder yang dapat menurunkan elektabilitas SBY-Boediono. “Bagaimana kalau Bu Ani memakai jilbab karena tekanan parpol kompetitor? Tentu saja malah bisa menurunkan elektabilitas SBY,” tandasnya (detik.com, 29/05/09). Perubahan opini ini seperti tak berguna, karena ternyata esok harinya, Ibu Ani Yudhoyono terlihat berjilbab dalam sebuah kalender yang dibagikan kepada peserta Silatnas (Silaturahmi Nasional) Koalisi SBY – Boediono. Lukman Edy dari PKB, salah satu anggota koalisi, menyebut pembagian poster berIsu jilbab yang dilontarkan oleh PKS sangat tidak intelek karena mempersoalkan sesuatu yang sifatnya hanya simbolik dan tidak substansial.
jilbab itu sebagai masalah momentum. Materi poster, sebagaimana dinyatakan Lukman kepada detik.com (30/05/09), diambil dari salah satu dokumentasi kegiatan kenegaraan salah satu peringatan hari besar keagaamaan. Lukman juga menambahkan bahwa Ibu Ani memang tidak berjilbab tetapi dia selalu menyesuaikan busana dengan acara, termasuk dengan memakai jilbab, jika memang acaranya dirasa memerlukan jenis pakaian seperti itu. Sesungguhnya isu pokoknya bukanlah selembar jilbab tetapi soal bagi-bagi kue kekuasaan. “Itu soal tawar-menawar politik,” jelas Ahmad Suaedy dalam seminar bertajuk “Pancasila dalam Pusaran Globalisasi dan Fundamentalisme” memperingati tragedi 1 Juni dan Hari Kesaktian Pancasila di Jakarta (01/06/09). Direktur the Wahid Institute itu menyatakan bahwa isu jilbab yang dilontarkan oleh PKS sebagai sangat tidak intelek kare-
na mempersoalkan sesuatu yang sifatnya hanya simbolik dan tidak substansial. Suaedy menambahkan bahwa Indonesia adalah negara yang pluralis dan karena itu, aturan memakai jilbab bukan hal yang bijaksana. “Lagi pula PKS ada-ada saja, seperti tidak ada hal lain yang perlu diurusi,” tambahnya. Ia pun menyarankan agar istri Yudhoyono dan Boediono tetap bertahan pada tampilan saat ini dan menganggapnya sebagai ujian tahap awal. Jika mereka ingin memakai jilbab, Suaedy mempersilakan. Tetapi bukan takut pamor karena justru akan menurunkan simpati masyarakat. Husein al-Habsyi, Presiden Ikhwanul Muslimin Indonesia, mengecam sikap PKS terhadap dukungannya terhadap SBY-Boediono. “Apa PKS tidak tahu kalau istri Boediono itu Katolik,” tandasnya kepada indonesiamonitor.com (29/05/06). Ia mengaku paling tidak suka dengan partai-partai Islam di Indonesia karena mereka memanfaatkan umat yang masih setia, konsekuen, dan istikamah dengan relijius. Tipikal umat ini dimanfaatkan oleh politisi yang mengaku relijius tapi jahat, semata untuk uang dan kursi. Ia juga menyatakan bahwa perubahan PKS tersebut adalah kursi, tetapi kursi ini bukan hasil negosiasi. “Itu suatu penghinaan SBY terhadap partaipartai Islam,” tambahnya. Pembubaran Ahmadiyah Seperti isu jilbab, wacana pembubaran Ahmadiyah juga mengemuka menjelang pemilihan presiden Juli mendatang. Isu ini menjadi alat bargaining beberapa kelompok Islam untuk mendukung atau tidak terhadap capres-cawapres tertentu. “Haram bagi FPI untuk memilih SBY,” kata Sekjen FPI Ahmad Shobri, antara lain, karena SBY sampai saat ini belum membubarkan Ahmadiyah. “SBY lebih senang mendengarkan orang asing sehingga Ahmadiyah tidak dibubarkan,” jelasnya kepada RMOnline (02/06/09). Indikasi kecintaan asing tersebut adalah pernyataan Ruhut Sitompul
3
� Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009 yang menyatakan bahwa etnis Arab (yang diidentikkan Islam) sebagai etnis yang sumbangannya sedikit terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Padahal, kata Shobri, sumbangannya negara Arab di Timur Tengah lebih banyak ketimbang Amerika Serikat, misalnya ketika terjadi tsunami di Aceh. Mirip persoalan Ahmadiyah, soal aliran sesat menjadi kontrak politik Jusuf Kalla (JK) dengan Forum Dai Muda Indonesia (FDMI) selain jilbab dan ekonomi syariat. JK diberitakan menyepakti bahwa aliran sesat mesti diberantas dengan dakwah dan tindakan-tindakan persuasif, jika tidak bisa maka melalui jalur hukum. Alasan mendukung JK adalah, se-
bagaimana dikemukakan oleh Ustadz Syahrul Zaky, karena didukung oleh istri salehah yang berjilbab. Ternyata akad politik ini berbuntut panjang. Forum Komunikasi Dai Indonesia (FKDMI) menerima reaksi yang beragam; setuju, komplain, dan bahkan marah. Sekjen FKDMI, Ahmad Ikrom, menyatakan yang membuat akad politik adalah FDMI, bukan FKDMI. FKDMI merupakan organisasi para dai muda yang dibentuk oleh para kiai, ustadz, dan alumni program Pembibitan Calon Dai Muda (PCDM) Depag RI dari berbagai pelosok nusantara pada tanggal 17 Desember 1996. Ahmad mengaku belum tahu tentang FDMI; kapan FDMI terbentuk, siapa
ketuanya, sudah berapa kali pergantian kepengurusan, dan sudah di mana saja pengurus wilayah dan cabangnya. Dukungan politik FKDMI hanya bisa diputuskan melalui musyawarah nasional yang akan diselenggarakan pada 26 Juni 2009. “Saya secara pribadi berharap agar FKDMI netral,” tambah Ahmad melalui tanggapan tertulisnya kepada the WAHID Institute (17/05/06). Namun bila musyawarah nasional tersebut memutuskan mendukung calon tertentu, suara FKDMI akan solid sebagaimana gerakan dakwah mereka selama ini. M
Lagi, Masjid Ahmadiyah Dibakar Alamsyah M. Dja’far
D
elapan orang jemaah Ahmadiyah masih khusyuk menunaikan salat subuh ketika dua orang tak dikenal datang membawa dirigen berisi bensin dan membuangnya ke arah gudang penyimpanan masjid Ahmadiyah di Jalan Ciputat Raya Gang Sekolah No 18. Rt 001/RW01 Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Tak lama kedua orang itu membakarnya dan sempat menghanguskan beberapa barang, termasuk sebuah sepeda. “Belum sempat menjalar, api sudah dapat dipadamkan,” terang Kapolsek Kebayoran Lama Jakarta Selatan Kompol Makmur Simbolon Selasa (2/6) kepada wartawan (republika.co.id, 2/06). Simbolon sendiri mengaku telah mengantongi ciri-ciri pelaku Selasa subuh (2/6) itu setelah menggali informasi dari tujuh orang saksi mata. Salah satu cirinya, katanya, memiliki jenggot (tempointeraktif.com, 03/06). Kepada polisi, beberapa anggota Jemaah juga mengatakan jika Senin sore ada beberapa orang yang menyusup, namun sempat diketahui beberapa jemaah. Merekapun kemudian melaporkan peristiwa itu ke Polsek Kebayoran Lama.
4
Polisi sendiri sempat melakukan penjagaan di sekitar masjid hingga menjelang tengah malam sekitar pukul 23.00 WIB. Dan peristiwa itu terjadi menjelang subuh. Menurut warga sekitar, yang sempat diwawancarai vivanews. com mereka memang sempat melihat dua orang berlari ke arah jalan raya bersama dengan informasi adanya upaya pembakaran masjid Al Hidayah. Namun mereka tak sempat melihat kejadian tersebut, karena warga hanya masuk masjid bila ada bakti sosial pembagian sembako kepada warga. “Warga baru bisa masuk kalau ada pembagian sembako murah,” ujar Rahmadi Selasa (vivanews.com, 2/06) Atas insiden ini sejumlah pihak langsung melontarkan pernyataan sikap. Salah satunya datang dari Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute. Ia menyayangkan mengapa peristiwa semacam ini bisa terulang lagi. “Tindakan semacam ini terus terjadi dan berulang akibat negara tidak pernah bersikap tegas dan tuntas mengusut setiap tindakan kekerasan atas nama agama,” katanya. Ia juga mendesak agar aparat keamanan mengusut tuntas kasus ini untuk menghentikan aksi-
aksi serupa di tempat lain. Bahkan ia menegaskan semestinya isu kebebasan ini dimasukan dalam visi-misi capres/cawapres. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Asfinawati, pembakaran itu bukti ketidaktegasan Surat Keputusan Bersama (SKB) pelarangan aktivitas jemaah Ahmadiyah. “SKB tidak efektif karena dia mengatur yang seharusnya sesuatu yang tidak diatur. Karena ada larangan untuk melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah,” katanya Selasa (2/6), seperti dikutip primaironline.com. Dalam materi SKB itu, Ahmadiyah disinyalir mengadopsi pandangan sesat sehingga bisa dijadikan pegangan masyarakat untuk menghakimi kelompok Ahmadiyah. Karena itu, Asfinawati mendesak agar pemerintah mendatang mencabut SKB. Mewakili pihak MUI, Slamet Effendi Yusuf yang juga mantan anggota DPR-RI itu turut pula melontarkan kecaman. “Itu mencerminkan akal sehat dikalahkan oleh amarah. Saya kira polisi harus bertindak tegas agar hal serupa tidak terulang lagi,” kata Slamet kepada detik.com Selasa (2/6/). M
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009
2 Tahun 6 Bulan Untuk Lia Eden Alamsyah M. Dja’far
V
onis majelis hakim atas dakwaan penistaan dan penodaan agama yang dilakukan Syamsuriati alias Lia Eden, pemimpin ajaran Tahta Suci Kerajaan Tuhan, diketuk sudah Selasa awal Juni ini (02/06): 2 tahun 6 bulan penjara untuk perempuan mantan pengusaha kembang kertas itu. Lia dituduh menodai dan menistakan agama lantaran pernyataan Lia dituduh menodai dan menistakan agama lantaran pernyataan yang dikeluarkannya pada November hingga Desember 2008. yang dikeluarkannya pada November hingga Desember 2008. Selama rentang itu, Lia Eden menyebarkan empat risalah ke berbagai institusi, termasuk Presiden RI, di antaranya berisi seruan penghapusan seluruh agama. “Dengan demikian, Pasal 156a juncto Pasal 55 KUHP tentang Penistaan Agama secara bersamasama terpenuhi,” ujar Subachran ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat seperti dikutip detik.com (2/06). Wahyu Andito Putro Wibisono, tangan kanan Lia Eden juga dijatuhi hukuman selama dua tahun penjara. Pasal yang dikenakan serupa. Beberapa hal yang meringankan menurut pertimbangan majelis hakim, yang bersangkutan masih muda dan bukan dianggap pelaku utama. Seperti diberitakan media
sebelumnya, pria berusia 27 tahun kelahiran Jakarta inilah yang aktif menyebarkan 1200 amplop “wahyu” berisi empat lembar kertas. “Yang sudah disebar ke seluruh Indonesia sebanyak 1.000 amplop, sisanya berhasil kita sita,” papar Kadiv Humas Irjen Pol Abubakar Nataprawira sepeti dikutip inilah. com (15/12/2008). Dalam profil yang dimuat situs Kerajaan Tuhan itu, www.mahoni30.0rg, memang Wahyu Andito yang bertanggung jawab mendokumentasikan “sapaan-sapaan Malaikat Jibril” di Eden. “Wahyu” yang ditujukan kepada Presiden SBY yang disebutkan turun pada 23 November 2008 pukul 09.30 itu tertulis jika pemerintahan SBY telah mengabaikan semua perintah Tuhan. “Inilah Surat-Ku yang berisi fatwa penghapusan kedaulatanmu sebagai pemimpin negara Indonesia. Aku takkan memberimu peluang untuk terpilih kembali, dan pemerintahanmu ini akan berakhir chaos, dan negaramu Kubuat tak berdaya, karena Aku menundukkanmu, dan Aku akan mendirikan Kerajaan-Ku dengan segala cara!” Sementara itu, dalam wahyu yang ditujukan kepada Polri yang disebutkan turun pada 14 November 2008 pukul 09.50, Lia Eden mengatakan, Tuhan meminta Polri melindungi komunitas Eden menyusul fatwa penghapusan agama Islam sekaligus fatwa penghapusan semua agama.
Atas vonis 2 tahun 6 bulan penjara itu, Lia Eden mengajukan banding. Dia menolak didakwah telah menodai agama. “Masak sih nggak kelihatan apa yang saya sampaikan itu sebuah kebenaran,” kata perempuan kelahiran Makasar 21 Agustus 1947 ini kepada wartawan usai sidang. Lia Eden ditangkap aparat 15 Desember 2008 dari markas kerajaannya di Jalan Mahoni dan dibawa ke Markas Polisi Daerah Metro Jaya. Selain Lia, Abdul Rachman, salah seorang anggota kelompok ini ikut ditangkap Pada 2006, pengadilan yang sama telah menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dengan dakwaan berdasarkan Pasal 157 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), dan Pasal 335 Ayat (1) juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Yang pertama terkait unsur perbuatan penghinaan terhadap suatu golongan masyarakat, sedang yang kedua terkait unsur perbuatan tidak menyenangkan terhadap orang lain. Lia pun menjalani masa tahanan hingga bebas pada 30 Oktober 2007. Berbeda dengan pengadilan keduanya ini, dakwaan yang didasarkan pada Pasal 156 a juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, di pengadilan pertama dinilai tak terbukti. M
Satria Piningit Terancam Diliaedenkan Alamsyah M. Dja’far
D
icecar pertanyaan seputar sertifikat masuk surga, saksi Aswan Yulianto, salah seorang pengikut aliran Satria Piningit
The WAHID Institute
Weteng Buwono, seperti terserang penyakit pikun tiba-tiba. “Saya lupa,” jawab Aswan seperti dirilis detik. com (08/06). Saat ditanya apakah
ia betul-betul dibaiat Agus Imam Solichin, sang pemimpin aliran itu, Aswan juga menjawab lupa. “Kamu itu kayak band Kuburan saja. Lupa-
5
� Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009 lupa ingat?” kata Haryanto, salah seorang anggota majelis hakim Senin siang itu (08/06) disambut gerr pengunjung sidang. Berdiri pada 2001, band Kuburan adalah grup musik asal bandung yang populer dengan lagu “Lupa-Lupa Ingat” dan penampilan yang ber-make up tebal berwarna putih, berlipstik, dengan pakaian warna hitam. Siang itu bersama seorang pengikut lainnya, Aswan sengaja dihadirkan sebagai saksi pada persidangan lanjutan kelompok Satria Piningit Weteng Buwono di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan. Dalam sebuah pengajian di markas aliran ini di Jalan Kebagusan 2, RT 10 RW 6 No 37, Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kepada majelis hakim Aswan mengaku jika Agus Imam pernah membagikan sertifikat yang konon jika dimiliki dijamin masuk surga. Entah mengapa, lanjut Aswan, sertifikat itu ditarik kembali oleh Agus. Sebelumnya, dalam sidang perdana, Senin (18/05), yang menghadirkan pemimpin kelompok yang sudah berdiri sejak 1999 itu, Jaksa Penuntut Umum Rahmad Purwanto menuntut Agus Imam dengan dakwaan melakukan penodaan agama sebagaimana diatur pasal 156 A KUHP. “Agus Imam Solichin diancam maksimal hukuman lima tahun penjara, karena melanggar Pasal 156A KUHP tentang penodaan agama,” katanya seperti dikutip kompas.com (18/05). Di muka sidang Agus yang mengenakan kemeja lengan panjang warna putih dan peci hitam duduk menyimak.
Dalam surat dakwaan, pengajian yang pertama kali digelar di rumah mertuanya di Jalan Batu Zamrud, Kampung Ambon, Kayu Putih, Jakarta Timur, dengan 30 orang pengikut, belakangan diduga melakukan praktik persetubuhan secara bersama dengan pasangannya masing-masing dalam keadaan telanjang bulat di hadapan Agus. Menurut keterangan Agus, seperti dibacakan jaksa, ritual tersebut dilakukan untuk menguji sejauhmana keyakinan para pengikutnya terhadap Agus dan ajaran yang disampaikannya. Agus juga dianggap telah menyuruh jemaahnya menggugurkan kewajiban salat, puasa, dan zakat. Bagi Agus, salat pada hakikatnya adalah mengingat Tuhan. Jadi apabila sudah ingat kepada Tuhan, salat tidak diwajibkan. Di hadapan para jemaahnya, Agus juga mengaku sebagai Tuhan. Keputusan itu lalu menjadi rujukan kepolisian menetapkan Agus sebagai tersangka. Atas dugaan itu Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) menganggap aliran Satria Piningit Weteng Buwono menyimpang. Rapat koordinasi yang dihadiri perwakilan dari kepolisian, Dinas Pendidikan, Kodim, dan Kantor Agama Jaksel itu digelar di Kantor Kejari Jakarta pada 30 Januari silam. Keputusan itu lalu menjadi rujukan kepolisian menetapkan Agus sebagai tersangka (okezone. com, 1/02).
Seperti diberitakan sebelumnya, setelah markasnya digerebek warga dan Agus menghilang beberapa lama akhirnya ia menyerahkan diri ke Mapolres Jakarta Selatan, sore pukul 05.00 WIB akhir Januari silam. Sebelum itu, oleh salah seorang mantan pengikutnya Kusmana, Agus diadukan ke Polres Jakarta Selatan atas tindak pencabulan terhadap para pengikutnya. Kusmana melaporkan Agus karena putrinya, Ratna Ayu Sukmaningrum, meninggal dunia akibat sakit TBC. Agus melarang Ratna berobat ke dokter dan menangani perawatannya sendiri (okezone.com, 29/01) Saat kasus ini menguak, kelompok Agus diketahui pula tengah membangun komplek di atas tanah seluas 5.300 meter di Kampung Karet, Desa Situsari, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di bawah bangunan induk, rencananya akan dilengkapi sarana bunker. “Itu untuk tempat ibadah,” aku Priyatno, salah seorang pengikut di Cileungsi, Bogor Kamis (okezone. com, 29/1). Hingga laporan ini diturunkan, proses persidangan hingga pembacaan vonis oleh hakim masih terus berjalan. Dan jika terbukti di pengadilan, kemungkinan Agus menyusul Lia Eden, terdakwa dengan pasal sama, yang sudah dijatuhi vonis 2 tahun 6 bulan beberapa waktu lalu. Pasal itu menyebut “Barangsiapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa penduduk negara Indonesia dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun”. M
Penyesatan Sekte Sion Kota Alak Nurun Nisa’
J
ika selama ini tuduhan aliran sesat kerap dialamatkan kepada kelompok tertentu di lingkungan muslim, kini tuduhan itu menimpa pula sekte Kristen.
6
Penuduhnya, otoritas resmi Kristen. Sekte dimaksud adalah sekte Sion Alak di Kupang pimpinan Nimrot Lasbau (49) yang dianggap menyimpang dari ajaran Kristen
pada umumnya. Nimrot, kata Herry Sulistiyono, Kapolres Kota Kupang berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi, melarang pengikutnya melakukan
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009
kegiatan perjamuan kudus di gereja, mengikuti kebaktian setiap hari Minggu, dan melarang menikah secara gereja. Penganut ajaran ini juga memilki ritual yang unik ketika melakukan ibadah; tidak menggunakan celana dalam bagi perempuan saat beribadah dan jemaat lakilaki wajib memakai jubah, dan alas kaki harus dilepas ketika memasuki rumah ibadah. Perkawinan, dalam sekte ini, diperbolehkan hingga empat sampai tujuh kali. Nimrot sendiri mengaku, kata Herry, menikah tujuh kali merupakan persyaratan penyembuhan luka jari tangan kanannya pada 2011 nanti. Masih menurut Herry, Nimrot melarang seluruh pengikutnya untuk tidak ke gereja hingga 2011. Jemaatnya juga dilarang melayat ke tempat duka karena dalam pandangannya orang mati adalah urusan orang mati, bukan orang hidup mengurus orang mati. Larangan ke gereja ini membuat Nimrot dan semua pengikutnya yang berjumlah 11 orang ditangkap. “Ia (pimpinan aliran sesat) itu melarang seluruh pengikutnya yang berjumlah sekitar 11 orang untuk tidak ke gereja. Atas dasar itu, mulai hari ini saya keluarkan perintah penahanan kepada pimpinan sekte Sion Kota Alak tersebut,” terang Herry sebagaimana dikutip Antara News (01/06/09). Kepolisian Resort Kupang sudah menyita sejumlah barang bukti, sebagaimana dilaporkan okezone. com (04/01/06), seperti tujuh buah jubah yang biasa digunakan untuk beribadah dengan beragama warna (kuning, hijau, putih, biru, coklat, ungu). Nimrot dan tujuh pengikutnya menjadi tersangka dan sisanya hanya menjadi saksi. Jubah yang bermacam-macam ini berhubungan dengan struktur sekte tersebut yang tertata. Nimrot, selaku pimpinan, atau dikenal sebagai Kuda Putih alias Anak Domba mengenakan jubah putih. Nataniel Hendrik Ngahu sebagai Imam Besar
The WAHID Institute
Walikota Kupang, Daniel Adoe, yang dihubungi terpisah, berpendapat bahwa ajaran Nimrot adalah sesat dan mendukung upaya polisi.
mengenakan jubah putih. Ruben Huki Hawu sebagai Rasul Paulus mengenakan jubah biru, Nehemia Ludji Wadu sebagai Yesaya memakai jubah biru tua, dan Kornelis Basten Baitanu sebagai Panglima Resim (Malaikat) mengenakan jubah coklat. Meon Nubatonis sebagai Rasul Yohanes mengenakan jubah kuning dan Davit Agustinus sebagai Yeremia mengenakan jubah ungu. Selain itu juga disita enam buah selempang yang digunakan sebagai ikat pinggang, dua buah buku pujian, dan buku kidung jemaat. Ketua Majelis GMIT Jemaat Rehobot-Baakunase, Pendeta Eni Telnoni-Foenay yang dihubungi terpisah mengakui ada anggota jemaatnya yang terlibat dalam sekte sesat tersebut. “Dua anggota yang terlibat yakni Nimrot Lasbaun yang bertindak sebagai pimpinan dan mendapat julukan Kuda Putih sedangkan anggota jemaat lainnya adalah Natanel Hendrik yang bertindak sebagai imam,” jelasnya kepada vivanews. com (02/06/09). Kelompok tersebut, kata Pendeta Eni, telah melakukan praktik itu sejak tahun 2006 lalu. Walikota Kupang, Daniel Adoe, yang dihubungi terpisah, berpendapat bahwa ajaran Nimrot adalah sesat dan mendukung upaya polisi. “Ini bentuk penyesatan. Ajaran dari mana yang melarang orang untuk tidak boleh ke gereja,” tandasnya kepada okezone.com (04/06/09). Ajaran sekte ini, kata Daniel, tidak hanya bertentangan dengan ajaran agama tetapi juga bertentangan dengan hukum positif negara. Nimrot memiliki argumentasi sendiri soal ajaran-ajaran yang dicap sesat itu. Perjamuan kudus di gereja
dilarang, misalnya, karena itu cuma dijadikan simbol belaka. Pernikahan di gereja dilarang karena gereja adalah tempat ibadah semata, bukan yang lain, termasuk tempat pemberkatan pernikahan. Larangan ke gereja, kata Nimrot, adalah didasarkan pada petunjuk Tuhan. “Sejak 2008 lalu ada petunjuk dari Tuhan agar kami tidak boleh mengikuti kebaktian di gereja sampai dengan tahun 2011 mendatang,” ujar pria yang sehari-hari bertani ini. Nimrot dan pengikutnya masih Kristen dan selalu menggunakan Alkitab saat menunaikan ibadah. Demikian pula soal melepas alas kaki seperti dilansir okezone.com. “Kalau kami masuk ke rumah ibadah harus meninggalkan alas kaki. Ini juga petunjuk Tuhan,” ujarnya. Meskipun dituduh sesat, Nimrot merasa bahwa ajarannya adalah yang paling benar. Bahkan ia dan pengzikutnya sempat melakukan doa di Mapolresta Kupang. “Apa yang kami lakukan lakukan sesuai dengan bisikan roh Allah kepada saya selaku anak domba,” ujarnya Nimrot kini dikenai tuduhan telah melakukan penodaan agama sebagaimana termaktub dalam pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara sebagaimana orangorang yang dituduh melakukan “kejahatan” serupa. kepada vivanews.com (02/06/09). Apapun dalihnya, Nimrot kini dikenai tuduhan telah melakukan penodaan agama sebagaimana termaktub dalam pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara sebagaimana orangorang yang dituduh melakukan “kejahatan” serupa. Namun hanya Nimrot yang akan diproses, sebagaimana ditulis Kompas.com (01/06/09), karena para pengikut Nimrot mengaku hanya mengikuti ajaran Nimrot saja. M
7
� Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009
Kasus Sapto Dharmo Belum Selesai Nur Khalik Ridwan
F
ebruari 2009 serombongan aktivis Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai) berdialog dengan Brigadir Jenderal Polisi Untung S Rajab di kantor Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rombongan dipimpin Pusvita Sari, Koordinator AJI Damai dan dihadiri sejumlah aktivis dari organisasiorganisasi yang tergabung di dalamnya di antaranya Joe Marbun (Parkindo), Subkhi Ridho (Jarik Yogyakarta), Slamet Basuki, Sugiarto (Rumpun Nusantara), Edi Safitri (Pusat Studi Islam UII), Beni Susanto. Pertemuan berlangsung 1,5 jam. Saat itu, Untung masih menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) DIY sebelum dipindah ke luar Jawa dan digantikan Brigjen Sunaryono. Dalam dialog tersebut Untung yang didampingi beberapa stafnya mendengarkan penyampaian sejumlah fakta kekerasan dari salah seorang perwakilan Aji Damai. Kepada Kapolda perwakilan ini juga mempertanyakan penanganan kasus penyerangan FPI terhadap Sapto Dharmo. Sebab menurut pihak Aji Damai, sejauh ini belum ada aksi konkret aparat dalam menindaklanjuti kasus kekerasan tersebut. Kepada para perwakilan AJI Damai dengan gaya khasnya Untung menjelaskan sikap aparat terkait kasus Sapto Dharmo. Pihaknya, kata Untung, tetap akan menindak siapapun yang melakukan aksi kekerasan dan mengganggu orang atau kelompok lain. Namun secara diplomatis Untung mengatakan, tindakan dan praktik di lapangan tentu ditangani langsung oleh jajaran kepolisian terkait. Dalam penjelasannya itu Untung sering mengutip ayat al-Quran dengan intonasi, yang menurut salah seorang peserta mirip mubalig. Ia juga kerap melontarkan guyonan. Tak ada kesepakatan apa pun antara Kapolda dengan Aji Damai
8
dalam pertemuan itu, terutama menyangkut kasus Sapto Dharmo. Menurut Sugiarto dari Rumpun Nusantara, Pertemuan para aktivis Aji Damai dengan Kapolda itu sendiri sangat cair dan membicarakan banyak tema. Meski demikian ia menilai, jawaban Kapolda dianggap cukup menunjukkan komitmen kepolisian atas kasus penindakan terhadap pelaku kekerasan, termasuk kasus Sapto Dharmo yang hingga kini belum ada pelaku yang dibawa ke pengadilan. Menurut salah seorang anggota Sapto Dharmo yang diwawancarai, setelah pertemuan tersebut pihak kepolisian mulai menindaklanjuti kasus kekerasan yang menimpa komunitas mereka. Beberapa korban dan pengurus Sapto Dharmo di wilayah Sleman dipanggil kepolisian untuk memberi keterangan terkait kasus penyerangan. Menurut narasumber ini, pihak kepolisian menilai bukti-bukti terkait kasus masih kurang dan karenanya meminta mereka mencari rekaman pemukulan ketika penyerangan terjadi. Pencarian bukti itupun segera dilakukan. Pihak Sapto berusaha menghubungi sejumlah jaringan yang dianggap menyimpan bukti itu, termasuk mencarinya di situs Youtube atau situs lain. Sayangnya, rekaman itu sudah tak ada lagi. “Kenapa sudah tidak bisa dilacak di Youtube ya? Apa ini ada operasi?” kata sumber itu. Gagal menemukan di jalur maya, si narasumber mencari rekamannya di sejumlah televisi lokal di kota gudeg itu. Namun oleh salah satu pengurus stasiun televisi di sana, ia disarankan mencarinya ke stasiun di Jakarta. Sebab kata pengurus itu, yang menayangkan kasus penyerangan terhadap Sapto Dharmo itu hanya diputar di beberapa televisi di Jakarta.
Sebelum pelacakan bukti rekaman berhasil ditemukan, kepolisian justru sudah mengantongi rekaman yang sedang dicari-cari itu. Sejumlah korban dari pihak Sapto Dharmo diminta melihat rekaman dan menunjuk pelakunya. Tapi atas alasan keamanaan, si korban tak mau menyebut nama pelaku. Karena khawatir muncul serangan susulan dan pertimbangan keamanan korban, nama pelaku memang sengaja tak disebut dan kasusnya tak segera diselesaikan pihak kepolisian dan segera memejahijaukan para pelaku.
Masih menurut sumber ini, si pelaku ternyata masih bertetangga dekat dengan korban. Karena khawatir muncul serangan susulan dan pertimbangan keamanan korban, nama pelaku memang sengaja tak disebut dan kasusnya tak segera diselesaikan pihak kepolisian dan segera memejahijaukan para pelaku. “Kasus tersebut sengaja diambangkan,” kata sumber tersebut. Isu ini pun kian tenggelam dengan proses pergantian Untung S Radjab dengan Kapolda yang baru Brigadir Jenderal Sunaryono , dan gonjang-ganjing Pemilu Legislatif dan Presiden 2009. Si narasumber sangat berharap kasus ini terus ditindaklanjuti dan tidak tenggelam begitu saja dengan isu lain. Apalagi sejumlah bukti juga bisa dijadikan pegangan untuk meneruskannya hingga proses pengadilan. Sebelumnya sejumlah lembaga negara seperti Komisi Nasionak Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur DIY, dan Bina Hayat mengeluarkan surat terkait masalah ini. M
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009
Ahmad Silet Bantah Tuduhan Aliran Sesat Alamsyah M. Dja’far
D
i ruang tamu rumah panggung beralas tikar, Teungku Muhammad yang akrab disapa Ahmad Silet dan puluhan santrinya menggelar jumpa pers di Desa Buket Seuraja, Julok, Aceh Timur, Sabtu (9/5). Isu yang diangkat, bantahan atas tuduhan sesat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Timur lewat surat keputusan lima hari sebelumnya (4/5). “Yang perlu diingat kami tidak pernah menafikan sesuatu apa pun di dalam syariat. Kami tetap berpegang pada mazhab akidah ahlisunnah waljamaah seperti yang tercantum dalam mazhab Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Maturidi dan bermazhab fikih dengan mazhab Imam Syafi’i, berpegang teguh dengan al-Quran serta Hadis,” kata Ahmad seperti dikutip kompas.com (11/5). Melalui surat sebanyak empat halaman itu, ia juga menyangkal bahwa dirinya menyatakan bahwa salat itu bisa digantikan dengan zikir saja. Dalam kesempatan itu, pihak Ahmad Silet juga menghadirkan Geuchik Buket Seuraja, Ilyas dan Imam Desa, Mukhtar. Menurut Ilyas,
Kami tetap berpegang pada mazhab akidah ahlisunnah waljamaah seperti yang tercantum dalam mazhab Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Maturidi dan bermazhab fikih dengan mazhab Imam Syafi’i, berpegang teguh dengan alQuran serta Hadis selama 40 tahun lebih menetap di desa yang dipimpinnya, Ahmad Silet dinilai tidak tampak melakukan praktik yang dianggap menyimpang. “Puasa, salat, dan semuanya sama dengan kita juga,” katanya seperti dikutip kompas.com. Ahmad Silet, tambahnya, juga sudah sering menjadi imam dan kini berstatus sebagai ketua tuha peut, lembaga yang diisi tokoh masyarakat yang memberi pertimbangan-pertimbangan tertentu kepada keuchik, kepala desa. “Jadi, realita yang kami lihat selama ini tidak seperti yang berkembang di luar di sana,” katanya.
Seperti diberitakan, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Timur meminta kepada pengikut atau penyebar aliran yang diduga sesat di Kecamatan Indra Makmue, Aceh Timur, untuk segera menghentikan aktifitasnya. Aliran tersebut dinilai dapat memecah belah masyarakat. Keputusan itu dihasilkan melalui rapat bersama unsur Muspika Indra Makmue, Peureulak, Senin (4/5). Wakil Ketua MPU Aceh Timur Tgk Azhar BTM kepada wartawan Serambi Indonesia menjelaskan, berdasarkan hasil duduk bersama (rapat) dan data, serta informasi yang diperoleh MPU di lapangan, MPU meminta agar aliran yang disebarkan di Indra Makmue itu dihentikan segera. Para pengikut kelompok itu menurut Azhar tak bisa menjawab ketika ditanya ajaran apa yang termuat di buku yang mereka sebarkan. Mereka juga tak hadir saat diminta datang dan tak bisa menunjukkan siapa guru mereka. “Sangat mengambang jawaban mereka,” ujarnya. M
Peran Tuan Guru NU Selesaikan Kasus Ahmadiyah Lombok Yusuf Tontowi
A
wal Maret lalu, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Ahmadiyah NTB mengirim surat pemberitahuan. Jemaah mereka yang hidup di penampungan berniat kembali ke kampung halaman di Ketapang, Gegerung, Lombok Barat. Surat itu ditujukan kepada gubernur NTB, Kepala Polisi Daerah (Kapolda) NTB, Bakesbanglinmas (Badan Keselamatan Bangsa dan Perlindungan
The WAHID Institute
Masyarakat) NTB, Kepala Kandepag (Kantor Departemen Agama) NTB, Kepala Polisi Resort (Kapolres) Kota Mataram, Bupati Lombok Barat, Kakandepag Lombok Barat, Kapolres Lombok Barat dan pihak-pihak terkait lainnya. Dua kali surat pemberitahuan serupa dilayangkan ke Gubernur NTB Tuan Guru Haji Zainul Majdi, namun tak ada tanggapan. Belakangan
diketahui, surat pemberitahuan itu tak sampai ke meja gubernur yang juga cucu pendiri Ormas Nahdlatul Wathon (NW) Tuan Guru Haji Zainudin Abdul Majid itu. Menurut info yang diterima Saiful Uyun, penasihat Jemaat Ahmadiyah, si penerima surat rupanya tak menyampaikannya kepada gubernur. Soal apa motifnya, ia sendiri tak tahu persis. Seperti dikisahkan Ketua Dewan
9
� Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009 Pimpinan Wilayah (DPW) Ahmadiyah NTB Jauzi kepada MRORI via sambungan telpon (16/03), merasa tak mendapat tanggapan pihakpihak terkait, DPW Ahmadiyah NTB akhirnya memutuskan akan memulangkan jemaah Ahmadiyah ke kampung halaman mereka pada 14 Maret 2009. Mendengar informasi ini, pemerintah setempat langsung berSejak pertemuan itu, Saiful Uyun mengakui jika komunikasi dirinya dengan TGH. Anwar MZ mulai intens. Ia pernah datang bersilaturrahmi ke pondok TGH. Anwar di Duman, Lingsar, Lombok Barat. Ia juga mengakui TGH. Anwar MZ menjadi mediator yang cukup aktif memediasi tim gubernur dengan pengurus DPW Ahmadiyah NTB.
eaksi, termasuk salah satu kelompok yang selama ini getol menolak kehadiran warga Ahmadiyah di Lombok Barat. Mereka kembali bersuara menolak kahadiran warga Ahmadiyah dengan segala cara. Respon mereka atas rencana tersebut dimuat sejumlah media massa lokal. Kamis pagi (12/03), lima orang yang diutus pemerintah Lombok Barat mendatangi warga Ahmadiyah di tempat pengungsian di gedung Transito, Majeluk, Mataram. Perwakilan itu meminta warga Ahmadiyah tak meneruskan niatnya kembali ke Ketapang, kampung halaman mereka. Alasannya mereka tak bisa menjamin keamanan warga Ahmadiyah. Utusan ini bahkan berjanji akan membeli tanah milik warga Ahmadiyah dan mencarikan lokasi baru. Tapi bagi Jauzi tawaran tersebut menurut warga Ahmadiyah cukup sulit direalisasikan. Pertanyaannya, dari mana dana itu dialokasikan. Belum lagi adanya kekhawatiran munculnya prokontra atas kebijakan tersebut. Sorenya giliran utusan khusus gubernur NTB berjumlah 17 orang
10
mendatangi Transito. Terdiri dari beberapa tuan guru, Kakandepag NTB Drs.H Suhaimi Ismi dan Kepala Bakesbanglinmas NTB. Rombongan yang disebut “Tim Penyelaras” bentukan gubernur ini langsung menggelar pertemuan dengan warga dan pengurus Ahmadiyah. Meski dibentuk secara khusus oleh gubernur NTB, rupanya misi kedatangan tim yang berusaha mencari solusi tepat terhadap masalah Ahmadiyah ini tidak seragam. Ini terungkap dari pembicaran mereka dengan pengurus Ahmadiyah. Ada sebagian anggota tim yang lebih bersikeras agar warga Ahmadiyah kembali ke “Islam murni” seperti yang mereka anut. Kelompok ini diwakili para tuan guru yang berasal dari NW. Sebagian lagi memang bertujuan untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah secara keseluruhan seperti masalah keyakinan, tempat tinggal dan masa depan Ahmadiyah di tanah Lombok. Mereka diwakili Tuan Guru Haji (TGH) Anwar MZ, Wakil Ketua Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat dan pimpinan Pondok Pesantren Daarun Najah, Duman, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Menyikapi tuntutan tersebut, sebelum pertemuan berakhir Saiful Uyun kemudian memimpin jemaahnya mengucap kalimat syahadat. Tujuannya supaya para tuan guru dan tim yang hadir ditempat itu menyaksikan dan mendengar secara langsung bunyi syahadat jemaah Ahmadiyah yang tak beda sedikitpun dengan syahadat pada umumnya. Tak ada tambahan syahadat yang menyebut Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi. Sayang, satu minggu setelah pertemuan muncul berita di media massa lokal, warga Ahmadiyah telah menyatakan syahadat di hadapan para tuan guru untuk kembali kepada Islam yang “sebenarnya”. Sejak pertemuan itu, Saiful Uyun mengakui jika komunikasi dirinya dengan TGH. Anwar MZ mulai intens. Ia pernah datang bersilaturrahmi ke pondok TGH. Anwar di Duman, Ling-
sar, Lombok Barat. Ia juga mengakui TGH. Anwar MZ menjadi mediator yang cukup aktif memediasi tim gubernur dengan pengurus DPW Ahmadiyah NTB. Walau diakui juga, pandangan para tuan guru yang berasal dari NW tampaknya belum mengalami perubahan. Dari TGH. Anwar juga pengurus Ahmadiyah tahu, Tim Penyelaras beberapa kali mengadakan pertemuan membahas persoalan warga Ahmadiyah. Tim Penyelaras juga meminta keterangan secara tertulis mengenai keyakinan Ahmadiyah. Permintaan itu pun langsung dipenuhi pengurus Ahamadiyah dengan menerbitkan sebuah diktat yang diberi judul “Serial Pokok-Pokok Kepercayaan dan Keyakinan Jemaah Ahmadiyah”. Pokok-pokok kepercayaan ini lalu menjadi bahan kajian dari Tim Penyelaras. Hingga berita ini diturunkan, warga Ahmadiyah belum mendapatkan informasi terakit kesimpulan Tim Penyelaras. Sementara itu, janji Pemda Lombok Barat membeli tanah milik warga Ahmadiyah di Gegerung sampai hari ini belum juga terealisasi. Beredar informasi, Pemda Lombok Barat tak sanggup. Penyebabnya, selain prosesnya tidak mudah, sumber pendanaannya juga tidak jelas. Janji itu juga sulit direalisaikan di tengah kondisi Lombok Barat (Lobar) yang tak menentu. Apalagi pasangan bupati terpilih Zaeni Arony-H.Mahrip dalam Pilkada Lobar beberapa waktu lalu saat itu belum dilantik. Karenanya muncul lagi informasi, Pemda Lobar menyerahkan masalah Ahmadiyah untuk diselesaikan Pemerintah Propinsi NTB. Sayang, sampai saat ini belum ada penjelasan resmi dari Pemerintah Propinsi. Menyikapi berlarut-larutnya masalah ini, Saiful Uyun yang ditemui di rumahnya, Selasa (28/05) mengatakan warga Ahmadiyah tetap akan kembali ke kampung halamannya. Kapan waktunya, Saiful dan warga Ahmadiyah masih menunggu hasil pembicaraan dengan tim gubernur dan pihak keamanan warga ahmadiyah. Pilihan itu terpaksa diambil kare-
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009 na pihaknya merasa selama di pengungsian kondisi jemaahnya sangat memprihatinkan. Nasib mereka semakin tak menentu. Apalagi bantuan makanan dari pemerintah daerah sudah lama dihentikan, termasuk
ketidakjelasan penyelesaian yang ditawarkan Tim Penyelaras bentukan. Hingga saat ini tawaran solusi itu belum dikeluarkan secara resmi. Tampaknya isu Ahmadiyah di tanah Lombok masih perlu menunggu
sikap tegas Zainul Majdi; menunggu sang Tuan Guru Bajang membuktikan visi-misinya ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur NTB “Menghargai kemajemukan dan keberagaman masyarakat NTB”. M
Facebook yang Diharamkan Ahmad Zainul Hamdi
D
ari forum Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) seJawa Timur di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, 20-21 Mei 2009, fatwa haramnya layanan jejaring sosial Facebook menuai pro-kontra. Sebagian pihak beranggapan, fatwa pengharaman itu berlebihan. Ditanya seputar fatwa tersebut oleh wartawan, Rais Syuriah PBNU K.H. Tolchah Hasan menyatakan, Facebook tidak semestinya disikapi dengan hukum halal-haram (metrotv. com, 23/5/2009). Komentar senada juga dilontarkan KH. Ahmad Mustofa Bisri.”Seharusnya, Islam bukan hanya urus soal semacam itu,” kata tokoh NU yang juga dikenal sebagai budayawan ini (okezone.com, 31/05). Berbeda dengan dua tokoh agama itu, pakar telematika Roy Suryo Notodiprojo justru menyambut baik dilirisnya fatwa. Dari sisi positif, katanya, fatwa tersebut dianggap usaha menghindari penyalahgunaan fasilitasi jejaring tersebut. “Saya tidak memiliki kapasitas untuk mengomentari halal dan haram, tapi saya menyambut baik rekomendasi itu,” katanya, seperti yang dikutip dari antara.co.id, Selasa (26/05) Isu yang dibahas forum yang digelar secara periodik di lingkungan pesantren putri se-Jawa Timur beberapa waktu lalu itu sebetulnya bukanlah hanya soal Facebook. Hukum pemasangan gambar calon wanita, wali anak zina, kasus dukun cilik Ponari juga menjadi bahasan dalam forum yang diikuti 700-an
The WAHID Institute
peserta ini. Entah mengapa, justru hanya isu Facebook yang lebih mencuri perhatian media. Dalam membahas sejumlah isu, peserta forum yang tak hanya dihadiri dari kalangan santri perempuan ini dibagi dalam tiga komisi: A, B, dan C. Komisi A membahas hukum pemasangan gambar calon legislatif wanita dan masalah wali nikah anak zina, Komisi B mengenai hukum pengobatan Ponari, sementara Komisi C hukum mendekati lawan jenis melalui teknologi komunikasi seperti mobile phone atau layanan jejaring sosial terpopuler Facebook. Fatwa Facebook berkembang dari pertanyaan tentang bagaimana hukum PDKT (Pendekatan --red) via handphone, telpon, short message service (SMS), 3G, chatting, Friendster, Facebook, dan lain-lain, dengan lawan jenis dalam rangka mencari jodoh yang paling ideal atau untuk penjajakan dan pengenalan lebih intim tentang karakteristik kepribadian seseorang yang diminati untuk dijadikan pasangan hidup, baik sebelum atau pasca-khitbah (melamar—red). Dengan menggunakan berbagai rujukan kitab kuning, forum tersebut menyepakati komunikasi via seluler pada dasarnya sama dengan komunikasi langsung. “Hukum komunikasi dengan lawan jenis tidak diperbolehkan kecuali ada hajat seperti dalam rangka khitbah, muamalah, dan lain sebagainya. Mengenai pengenalan karakter dan penjajakan lebih jauh terhadap lawan jenis seperti dalam deskripsi tidak dapat dikategorikan
hajat karena belum ada ‘azm (keinginan kuat untuk menikahi orang tertentu –red). Sedang hubungan via 3G juga tidak diperbolehkan bila menimbulkan syahwat atau fitnah,” demikian hasil kutipan fatwa yang diterima redaksi Monthly Report. Lantas bagaimana jika fasilitasfasilitas seperti telpon, SMS, 3G, chatting, Friendster, Facebook, dan sejenisnya digunakan untuk sesuatu yang dinilai nyerempet maksiat, bisakah dikategorikan atau semakna dengan khalwah (berduaan dengan lawan jenis –red) jika dilakukan di tempat-tempat tertutup atau mojok? “Kontak via HP sebagaimana dalam deskripsi di atas yang dapat Agaknya perlu sikap kehatihatian dalam mengambil keputusan hukum terkait teknologi yang selalu membawa dampak positif dan negatif. Tanpa kajian yang lebih dalam dan hati-hati, sebuah fatwa justru bisa membuat umat makin resah menimbulkan syahwat atau fitnah tidak dapat dikategorikan khalwah namun hukumnya haram”. “Facebook itu ibarat pisau. Kalau digunakan sama orang baik akan bermanfaat, tapi kalau dipegang penjahat akan membahayakan,” ungkap juru bicara Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) Jawa Timur Emha Nabil Haroen kepada media massa, Minggu (okezone, 24/5).
11
� Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009
Seperti diberitakan media massa, hasil forum pembahasan masalah ini kemudian dibawa ke Majelis Ulama Indonesia Kediri dan Jatim. “Pihak MUI Kediri menyambut baik fatwa tersebut kami tahu bahwa banyak sekali dijumpai tampilan di Facebook atau fasilitas internet lainnya yang menampilkan gambar tidak senonoh,” tandas Khafabiyi Mahrus, yang juga pengurus Pondok Pesantren Putri Lirboyo, Kediri. (inilah.com, 22/05/2009 - 16:49). Sementara MUI Jatim tampak lebih hati-hati. Secara kelembagaan, seperti diungkapkan Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI Jatim, Rachman Aziz, pihaknya belum berani menyatakan
Facebook haram. Ia beralasan itu butuh kajian lebih lanjut. (www.gpansor.org, 26/05/2009) . Sikap hati-hati merespon isu ini juga ditunjukkan MUI pusat. Menurut Amidhan, pihaknya tak akan mengeluarkan fatwa pengharaman. Meski demikian ia bisa memahami keputusan FMP3 (okezone,22/5/2009). Anehnya dari suara yang menolak pengharaman itu, muncul nama K.H. Idris Marzuki pengasuh Pesantren Lirboyo. Ia membantah fatwa haram Facebook, bahkan menyatakan tidak mengenal Nabil Haroen (okezone, 23/5/2009). Suara tak mengharamkan Face-
book juga datang dan disuarakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kudus. Menurut KH. Syafiq Nashan, Facebook hukumnya tidak haram sebab telah banyak bermanfaat seperti mempererat tali persaudaraan, menambah teman dan menyampaikan informasi (okezone, 24/5/2009). Agaknya perlu sikap kehati-hatian dalam mengambil keputusan hukum terkait teknologi yang selalu membawa dampak positif dan negatif. Tanpa kajian yang lebih dalam dan hati-hati, sebuah fatwa justru bisa membuat umat makin resah. M
The Master Yang Diharamkan Ahmad Zainul Hamdi dan Nanang Haryono
S
etelah Bahtsul Masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur yang diadakan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, 20-21 Mei 2009 mengharamkan facebook, kali ini giliran acara televisi The Master yang ditayangkan stasiun televisi swasta RCTI yang difatwa haram oleh forum Bahtsul Masail Wustho di Ponpes Abu Dzarrin, Kendal, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro, Kamis (4/6/2009). Sebagaimana disampaikan juru bicaranya, Khorul Rozy dari LPI Al-Fatimah Bojonegoro, dengan keharaman The Master, maka haram pula orang yang menontonnya (beritajatim.com, Jumat, 5/6). Bahstul Masail yang digelar dalam rangka haul KH Dimyati Adnan ke XIX dan KHA Munir Adnan ke VII tersebut diikuti sejumlah perwakilan dari beberapa pesantren: PP Abu Dzarrin (Bojonegoro), PP Al Fatimah (Bojonegoro), PP Lirboyo (Kediri), PP Tanggir (Tuban), PP Gilang (Babat/ Lamongan), Langitan (Tuban), AlKhozini (Sidoarjo), Ponpes Sidogiri (Pasuruan), dan beberapa perwaki-
12
lan dari pondok pesantren lain di Jawa Timur (Surya, 6/6; beritajatim. com, 5/6). Para peserta pertemuan mempertanyakan hukum atraksi The Master yang dilakukan Joe Sandy, Limbad, dan lainnya dalam acara tersebut yang dinilai jauh dari jangkauan akal sehat. Atraksi yang Penonton The Master digolongkan tafarruj bi al-ma’asyi, merasa senang dengan adanya kemungkaran. dipertunjukkan dalam acara tersebut diduga kuat atas bantuan jin dan makhluk halus lainnya. Fenomena tersebut direspon peserta Bahtsul Masail dengan mencari landasan hukum pada kitab Bughyatul Mustarsyidin. Di dalamnya dijelaskan bahwa pertunjukan tersebut dikategorikan sebagai sihir dan haram hukumnya (Surya, 6/6/09). Penonton The Master digolongkan tafarruj bi alma`asyi, merasa senang dengan adanya kemungkaran. Hal inilah
yang menjadi dasar Bahtsul Masail mengharamkan pertunjukan dan menonton The Master. Terlebih lagi bercampurnya laki-laki dan perempuan bukan muhrim dalam acara tersebut juga dinilai merupakan sebuah kemaksiatan. Bantahan fatwa datang dari produser The Master, Fabian Dharmawan. Dalam acara tersebut Fabian menegaskan tak ada ilmu hitam atau mistis dalam semua permainan di The Master. Lebih jauh Ketua MUI Indonesia, Amidhan menegaskan pihaknya belum menerima pengaduan dari masyarakat terkait tayangan The Master. Ketua MUI mengaku juga belum mengetahui adanya hukum haram tayangan The Master, menurut Amidhan pihaknya tidak bisa gegabah langsung memutuskan The Master itu haram. Sebab harus menunggu laporan, kemudian mempelajari tayangan tersebut. Amidhan menambahkan bahwa fatwa haram baru bisa diputuskan setelah MUI melakukan pengkajian dan masukan dari beberapa ulama. Ketua Majelis Ulama Indone-
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009 sia (MUI) Jatim KH Abdus Shomad menyatakan MUI Jatim belum menerima laporan dari forum pesantren di Bojonegoro. Menurut KH Abdus Shomad, sihir menggunakan kekuatan ilmu hitam ataupun meminta pertolongan selain pada kekuatan
Tuhan, hukumnya memang sangat tegas haram. Sekalipun demikian, dia masih mempertanyakan, apakah pertunjukan itu benar-benar menggunakan sihir. Menurutnya, unsur penggunaan sihir itulah yang perlu ditelusuri secara detil untuk mem-
buktikan adanya unsur sihir tersebut. Senada dengan pandangan Bathsul Masail, dia menyatakan bahwa jika memang ada, sudah pasti pertunjukan itu haram (surya.co.id, 07/06). M
Siaran Radio yang “Meresahkan” Alamsyah M. Dja’far
K
arena alasan meresahkan warga sekitar, radio Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) Solo ditegur Komisi Penyiaran Daerah (KPID). “Dakwahnya meresahkan dan menyinggung warga Nahdlatul Ulama,” kata Zainal Abidin Petir, Kamis (28/5) seperti dikutip tempointerktif.com (28/05). Dalam dakwah yang disiarkan radio hingga ke pelosok desa-desa di Jawa Tengah itu, Ahmad Sukina pimpinan radio MTA sering menyebutkan mengenai tidak perlunya peringatan bagi orang yang telah meninggal pada hari ketiga, ketujuh, sampai peringatan seribu hari. Padahal, katanya, ritual itu sudah melekat dalam tradisi masyarakat Nahdliyin. Dalam tradisi kaum santri, tradisi itu populer dengan istilah tahlilan. Nah, ketimbang kelak menimbulkan dampak negatif, maka pihak KPID akhirnya memberikan teguran. Siaran dakwah itu dinilai melanggar peraturan KPI Nomor 2/2007 dan Nomor 3/2007 tentang pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Apalagi, tambah Zainal, radio tersebut juga belum memiliki
prinsip siaran, baru mengantongi rekomendasi kelayakan. Pihak radio sendiri, seperti ditengarai Zainal, bersedia memperbaiki isi siaran. Pengelolaan radio MTA berada di bawah Yayasan Majlis Majlis Tafsir Al-Quran (MTA), sebuah lembaga pendidikan dan dakwah yang didirikan pertama kali di Surakarta, 19 September 1972. Pendirinya Abdullah Thufail Saputra, salah seorang pedagang sekaligus mubalig kampung. Bercita-cita mengajak umat Islam kembali ke al-Quran, lembaga ini kemudian dilegalkan sang pendiri atas nama Yayasan MTA pada Januari 1974. Selain radio, yayasan tersebut kini telah memiliki sejumlah lembaga pendidikan dan penerbitan. Cabangnya sudah berdiri di sejumlah propinsi melalui jaringan alumninya. Lain Solo, lain pula di Jember, Jawa Timur. Radio Prosalina FM Jember juga kena protes warga yang umumnya berasal dari kalangan NU lantaran menyiarkan rekaman azan impor dari Qatar. Seperti biasa, langgar di sekitar JemberBondowoso-Lumajang yang menangkap siaran radio ini merelai
azan itu melalui pengeras suara. Mereka yang protes menilai azan “menu” Qatar ini terdengar asing dikuping mereka dan mirip suara azan untuk orang meninggal ketika di liang lahat. Akhirnya siaran azan ini hanya beredar dua pekan. Awal Juni, radio yang berdiri pada 1989 itu kembali memutar azan dari muazin lokal, Muammar Z.A. ”Awalnya kami ingin ganti suasana, tapi ternyata banyak pendengar meminta azan Qatar itu diganti,” kata Produser Radio Prosalina FM, M. Dawud seperti dikutip majalah Tempo edisi 8-14 Juni 2009. Menurut Tempo, sebetulnya tak ada yang salah dengan azan ala Qatar ini. Bacaannya jelas, suaranya merdu, harakatnya juga tepat. Tapi KH Hamid Hasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar, Muktisari, Jember, mengingatkan bahwa fungsi azan tak sekadar pengingat waktu salat atau ajakan untuk salat berjemaah. Jenis azan sebaiknya mempertimbangkan selera kuping lokal. M
Pedagang Diajak Tinggalkan Pekerjaan Saat Azan Tedi Kholiludin
P
ersatuan Pemuda Sampangan (Perpas) Pekalongan Timur, menggelar pengajian di musala Al Amin, kompleks
The WAHID Institute
Pasar Banjarsari, Kamis malam (14/5). Dalam kegiatan tersebut, panitia mengundang kiai kocak asal Kelurahan Kergon yang disukai
masyarakat, KH Su’udi. Hadir dalam kegiatan keagamaan itu, tokoh masyarakat Kelurahan Sampangan dan pedagang di pasar setempat.
13
� Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009
Ketua panitia pengajian Edi Sapina mengemukakan, kegiatan ini digelar dalam rangka lebih mempererat tali silaturahmi antaranggota Perpas. Selain itu, juga untuk menambah pengetahuan soal keagamaan dan meramaikan musala Al Amin. ’’Mudah-mudahan, dengan pengajian ini tingkat keimanan yang kami miliki lebih bagus dan kami semakin rajin dalam menjalankan ibadah,’’ ujarnya. Sementara itu, dalam ceramah keagamaan KH Su’udi membahas soal ketakwaan. Dalam pengajian
tersebut, Su’udi bertanya kepada hadirin yang datang dalam pengajian itu. Ketika banyak pembeli datang ke dagangannya dan tiba-tiba terdengar azan, apakah mereka langsung meninggalkan pekerjaannya dan langsung menjalankan salat? Dia lalu menceritakan pengalamannya saat berada di Tanah Suci. Dia melihat bagaimana pedagang di Arab Saudi ketika di tengah kesibukannya mendengar panggilan salat. ’’Suasana pasar langsung sepi. Pembeli dan pedagang langsung
bergegas ke masjid menjalankan salat,’’ ujar dia. Jika hal itu bisa dilakukan oleh masyarakat, terutama warga Sampangan dan pedagang Pasar Banjarsari, KH Su’udi akan sangat bahagia. Paling tidak, mereka tidak hanya mementingkan soal duniawi namun juga harus menyiapkan amal ibadahnya saat dipanggil oleh Allah. ’’Supaya memiliki ketakwaan yang kuat, setiap hari harus selalu ingat kepada Allah,’’ tandasnya. (Suara Merdeka, 17 Mei 2009). M
Ramai-ramai Siapkan Perda Miras Tedi Kholiludin
M
inggu-minggu ini dua daerah di Jawa Tengah, Kota Tegal dan Surakarta, kembali hangat membincangkan masalah peraturan daerah tentang minuman keras. Di Tegal, menyusul banyaknya warga Kota Agar tidak terulang, Perda larangan minuman beralkohol yang sempat diajukan ke gubernur dan Mendagri harus bisa diterapkan di Kota Tegal. Tegal yang menjadi korban akibat mengonsumsi minuman keras (miras) oplosan, DPRD Kota Tegal meminta kepada Mendagri dan Gubernur Jateng untuk meninjau ulang pembatalan Perda No 5 Tahun 2007 tentang Larangan Minuman Beralkohol. Wakil Ketua DPRD Kota Tegal, Edi Suripno SH mengatakan, pihaknya mengaku prihatin dengan peristiwa tersebut. Agar tidak terulang, perda larangan minuman beralkohol yang sempat diajukan ke gubernur dan Mendagri harus bisa diterapkan di Kota Tegal. Selain itu, instansi terkait khususnya Satpol PP dan polisi untuk meningkatkan fungsi penga-
14
wasan dan pengendalian terhadap peredaran miras. Kejadian tersebut merupakan bukti kalau fungsi dan pengawasan dari pihak berwenang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebab, masih banyak ditemukan miras diperjualbelikan secara bebas. Karena itu, diperlukan adanya perda yang mengatur masalah tersebut. Hal serupa juga disampaikan Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Harun Abdi Manaf SH. Dia mengemukakan, Perda Miras No 5 Tahun 2007 tentang Larangan Minuman Beralkohol merupakan hasil adopsi perda yang diterapkan di Cilacap dan Indramayu. Menurut dia, perda tersebut saat ini tercatat dalam lembaran daerah dan sudah dikirim ke gubernur. Namun, selama tiga bulan tidak ada tanggapan. Akhirnya, Mendagri melalui gubernur diperintahkan untuk memberitahukan ke DPRD Kota Tegal untuk pembahasan ulang. Hal itu dimaksudkan agar perda disesuaikan dengan peraturan dari Menteri Perindustrian tentang Pengendalian Minuman Beralkohol. Harun mengatakan, dalam surat tersebut DPRD diberi batas waktu satu bulan untuk melakukan
pembahasan. Namun, saat dilakukan rapat pimpinan (rapim) yang dipimpin langsung Ketua DPRD, HA Ghautsun S.Sos., diputuskan untuk menolak pembahasan ulang. Akhirnya, setelah enam bulan berselang gubernur mengeluarkan surat pembatalan. Dengan demikian, perda tersebut tak bisa diterapkan. Menurut dia, dengan adanya musibah yang dialami masyarakat akibat miras, pihaknya mendesak agar Perda Larangan Minuman Beralkohol bisa diterapkan di Kota Tegal. “Kami tidak ingin jatuh korban lagi. Sebab miras bila ditinjau dari manfaatnya lebih banyak buruknya dari pada baiknya,” tandasnya. Sementara itu, Wali Kota Ikmal Jaya SE Ak mengatakan, tentang penerapan Perda Larangan Minuman Beralkohol, pihaknya belum bisa memastikan karena masih perlu pembahasan lebih lanjut. Pasalnya, perda tersebut bertentangan dengan peraturan di atasnya. Menurut dia, upaya yang secepatnya harus dilaksanakan adalah peningkatan dan pengawasan terhadap peredaran miras. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari seluruh pihak yang terkait, termasuk masyarakat. M
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XX, Juli 2009
Surakarta Siapkan Perda Tedi Kholiludin
S
elain di Tegal, perda miras juga sedang diidamkan pemerintah Kota Surakarta. Walikota Surakarta, Jokowi menegaskan, penyusunan rancangan perda tentang minuman keras, terus diproses Bagian Hukum Pemkot Surakarta dan paling cepat akan diajukan September mendatang. Dia mengaku sudah mengingatkan Bagian Hukum dan HAM, agar raperda itu segera diselesaikan penyusunannya dan diajukan ke DPRD untuk dibahas serta ditetapkan sebagai perda. Pernyataan itu ia sampaikan seusai menghadiri acara pemus-
nahan miras hasil Operasi Cipta Kondisi 2009 di halaman Mapoltabes Surakarta (18/5). Kapoltabes Surakarta Kombes Pol Joko Irwanto berharap proses pembahasan raperda miras bisa berjalan lancar dan nantinya, jika sudah disahkan sebagai perda bisa diterima oleh masyarakat. Menurutnya, keberadaan perda itu bisa memberikan efek kepada penjual miras ilegal, agar mendapatkan sanksi yang setimpal. Raperda tentang pengawasan dan pengendalian penjualan minuman keras/beralkohol sebenarnya pernah diajukan pada tahun 2002
lalu. Namun dikembalikan lagi lantaran tidak ada kesepakatan. Raperda itu sebagai pengganti Perda 4/1975 tentang Penjualan dan Pemungutan Pajak atas Izin Penjualan Minuman Keras yang keberadaannya dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini, baik substansi maupun legal drafting-nya. Perda itu nantinya diharapkan menjadi payung hukum bagi pihak penegak hukum dalam mengatasi permasalahan yang timbul sebagai akibat dari minuman keras/beralkohol. (Sumber: Suara Merdeka, 16, 19 dan 20 Mei 2009). M
ANALISIS 1. Meski magnet agama tak bergigi di pemilu legislatif kemarin, tapi sejumlah kalangan masih ngotot membawa isu ini kembali ke gelanggang politik menjelang pemilu presiden 8 Juli 2009. Ada isu jilbab, representasi umat, dan aliran-aliran sesat. Partai-partai berlabel agama dalam pileg kemarin jelas tak mampu mengalahkan partai-partai nasionalis dan sekuler. Pemilih tak lagi memilih apakah partai itu berlabel agama atau bukan. Fenomena politisasi agama ini jelas berbahaya bagi pluralitas bangsa. Desakan pembubaran kelompok keagamaan tertentu tanpa alasan yang konstitusional dan usaha “menghabisi” aliran sesat sebagai kontrak politik atau tawar-menawar politik, jelas membahayakan kesatuan bangsa ini. Bagimanapun kita tak ingin, bangsa ini tercerai berai karena perbedaan itu. 2. Pembakaran masjid Ahmadiyah di Kebayoran Baru Jakarta Selatan membuktikan, para pengikut Mirza Ghulam Ahmad ini masih rentan mengalami aksi-aksi kekerasan. Itu belum termasuk sejumlah aksi diskiriminasi yang mereka alami seperti yang menimpa 68 jiwa pengikut Ahmadiyah di asrama pengungsian Transito, NTB. Keinginan pulang kampung tak mendapat “restu” pemerintah setempat. Alasannya apalagi kalau bukan soal keamanan. Padahal fasilitas hidup mereka di sana tak memadai. Nasib mereka juga tak jelas hingga kapan terus begitu. Alih-alih menyelesaikan kisruh Ahmadiyah, SKB 2 Menteri berisi 7 materi itu nyatanya alpa mencatumkan larangan tegas terhadap aksi-aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah. Tanpa itu, SKB 2 Menteri sangat rentan dijadikan beleid kelompok tertentu untuk melancarkan aksi ancaman, teror, bahkan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah seperti yang sudah disaksikan sejauh ini. 3. Kasus penyesatan terhadap kelompok tertentu harus dikatakan belum mengalami penurunan berarti. Jika sebelumnya banyak muncul di kalangan muslim, penyesatan Sekte Sion Kota Alak di Kupang menunjukan bahwa fenomena ini mulai merayap di kalangan nonmuslim. Namun begitu perlu juga catat, penyesatan dengan aksi kekerasan boleh dikatakan mulai menurun. Agaknya mulai ada kesadaran untuk menyelesaikan kasus penyesatan melalui jalur hukum, bukan dengan main hakim sendiri. Boleh jadi ini efek jera yang ditimbulkan dari sikap tegas aparat menyelesaikan para pelaku kekerasan tersebut, walaupun diakui hal tersebut masih perlu dimaksimalkan. Utamanya kesan jika aparat, seperti aparat peradilan misalnya, yang takut dengan adanya tekanan massa selama proses pengadilan berlangsung. 4. Tak ada yang salah dengan fatwa haram Facebook, juga fatwa haram The Master. Satu sisi, ia bisa dianggap bagian dari peran agamawan untuk merespon masalah publik. Apalagi beberapa problem yang dituangkan di dalamnya mengambil prinsip pokok yang bisa dipahami sebagai kebaikan bersama. Misalnya “mendatangkan maksiat” dalam pengharaman Facebook atau tafarruj bi al-ma`asyi, merasa senang dengan
The WAHID Institute
15
adanya kemungkaran, dalam pengharaman The Master. Fatwa tersebut juga memberi opsi terbuka. Jika tak memenuhi unsur itu, ia tak diharamkan. Ini yang tak banyak diungkap media. Fatwa hanya akan bermasalah jika ia bertentangan dengan prinsip konstitusi negeri ini, apalagi kemudian dijadikan fakta hukum dengan “dukungan” negara untuk menghakimi kelompok lain. Dalam dua kasus fatwa ini perlu juga dikatakan bahwa hasil fatwa tampaknya tidak memperhatikan prioritas isu dan masalah yang langsung terkait dengan urusan publik. Penguasaan terhadap masalah “sekuler” yang difatwakan juga perlu menjadi catatan mengingat masalah-masalah tersebut tidak hanya bisa dilihat dari sudut pandang doktrin agama yang menjadi keahlian agamawan. 5. Langkah KPID Solo menegur pengelola Majlis Tafsir Al-Quran (MTA) atas siaran dakwah yang dinilai dapat meresahkan warga, dan sikap pengelola radio Prosalina FM Jember yang bersedia untuk tidak lagi memutar azan impor dari Qatar merupakan langkah tepat dan patut diapreasiasi. Langkah KPID bisa dianggap langkah preventif lembaga pemantau siaran ini sebagai bentuk pembelajaran kepada para pengelola radio agar merilis siaran dakwah yang damai, bukan sebaliknya. Tapi preseden inipun sesungguhnya terbuka pula atas alasan tafsir “meresahkan” untuk membatasi bahkan membungkam kebebasan berekspresi dan beragama seseorang atau kelompok tertentu –sesuatu yang perlu diwaspadai. Kesediaan radio Prosalina FM mengganti model azan itu juga bisa jadi cerminan agar siaran-siaran keagamaan perlu mempertimbangkan kultur dan tradisi lokal. Meski demikian jangan pula desakan masyarakat agar mengganti suara azan ini justru menghambat para pengelola radio kehilangan “kreativitas” menyajikan siaran-siaran yang inovatif, berbobot, sekaligus diterima masyarakat. M
REKOMENDASI 1. Menghimbau kepada seluruh elemen bangsa ini agar tidak menjadikan agama sebagai jualan politik yang memecah belah bangsa dalam sekat-sekat tertentu. Kepada capres-cawapres yang bertarung dalam pemilihan presiden Juli mendatang untuk tidak tunduk pada tekanan sebagian kelompok yang berusaha menjadikan isu pembubaran kelompok keagamaan tertentu seperti Ahmadiyah atau “menghabisi” kelompok-kelompok sesat sebagai bargaining politik. Soal sesat dan sesat biarkan diselesaikan masyarakat dengan cara dialog yang jujur dan terbuka. Yang perlu dipegang capres-cawapres adalah sikap konsisten untuk melaksanakan amanat undang-undang untuk melindungi segenap warganya, apapun keyakinannya. Mereka perlu memegang prinsipprinsip yang termaktub dalam pasal-pasal ini: pasal 28e, 29 (2), pasal 22 UU No. 39 tahun 1999, pasal 18 UU no. 8 No. 12 tahun 2005. 2. Aparat kepolisian harus terus memburu dan mengadili para pelaku pembakaran masjid Ahmadiyah, termasuk mengorek motif di balik aksi mereka. Jika benar karena alasan kesesatan Ahmadiyah dengan menggunakan beleid fatwa MUI maupun SKB 2 Menteri mereka melakukan itu, maka pemerintah dan aparat keamanan wajib melakukan tindakan preventif agar menjamin keamanan warga Ahmadiyah dan meyakinkan masyarakat bahwa mereka yang melakukan aksi kekerasan diganjar hukuman setimpal. Sebab, preseden itu bukan tidak mungkin menginspirasi kelompok lain untuk melakukan hal yang sama kepada jemaah Ahmadiyah di tempat lain. Jika SKB 2 Menteri betul-betul dijadikan alasan dalam melancarakan aksi kekerasan, maka mencabut atau merevisinya patut dilakukan. Para pengungsi Ahmadiyah di Mataram yang terlunta-lunta nasibnya juga perlu segera mendapat perhatian dan penyelesaian sesegara mungkin tanpa melihat apakah karena mereka Ahmadiyah atau bukan, melainkan semata-mata karena mereka warga Indonesia yang wajib mendapat perlakuan sama. 3. Untuk menghindari tren pemenjaraan kelompok yang dituduh sesat umumnya menggunakan pasal 165a, sepe rti menimpa Lia Eden dan yang didakwakan kepada kelompok Satria Piningit serta Sekte Sion Kota Alak, maka rasanya tidak berlebihan jika pasal karet ini sebaiknya dihapus. Pasal ini jelas bertentangan dengan sejumlah konstitusi kita seperti termaktub di pasal 28e, 29 (2),pasal 22 UU No. 39 tahun 1999, pasal 18 UU no. 8 No. 12 tahun 2005. 4. Sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial, fatwa-fatwa ulama sebaiknya perlu mempertimbangkan isu-isu yang lebih berdampak langsung pada kebijakan publik. Misalnya isu-isu kemiskinan, keadilan, korupsi, dan lain-lain. Sehingga fatwa-fatwa yang dikeluarkan benar-benar bermanfaat dan langsung menyentuh pada kemaslahatan publik. Fatwa tersebut juga mesti dibarengi dengan kajian yang mendalam atas masalah yang hendak difatwakan dan melibatkan mereka yang “didakwa” atau para pakar di bidangnya. Sehingga fatwa yang dihasilkan benar-benar berbobot dan bisa dipertanggungjawabkan. 5. Menghimbau kepada pengelola dan pembuat siaran dan acara-acara di massa elektronik untuk berpegang teguh pada peraturan penyiaran yang berlaku dan berusaha melahirkan produk siaran, khususnya dalam bidang keagamaan, yang bermutu, sejuk, mencerahkan, dan mempertimbangkan aspek kultural para pendengar atau pemirsanya. M