Tasawuf dan Nasionalisme; Perspektif Maulana Al Habib Luthfi bin Yahya Muhamad Zia Emil Ihsan∗ Abstract Mysticism (Tasawuf) and Nationalism; Al Habib Luthfi bin Yahya’s Perspective The degradation of morality that happens in Indonesia as the biggest majority of Moslem nation in the world is on danger and threatening its national independence because of the entity of a nation depends on his youth's behavior. This research tries to explain that "tasawuf"/ mysticism has a role to raise its civil nationalism. This research is based on Al Habib Luthfi bin Yahya's perspective that is correlated to nationalism. The conclusion is that mysticism can raise feelings of nationalism. Keywords: Al Habib Luthfi bin Yahya's perspective; the degradation of morality; nationalism; mysticism.
Abstraksi kemerosotan moral dan akhlak yang terjadi di Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia adalah hal serius dan mengancam, karena nasib suatu bangsa tergantung pada akhlaknya. penelitian ini mengetengahkan peranan tasawuf dalam membangkitkan nasionalisme. penelitian ini ditulis dengan mengkaji pandangan Al Habib Luthfi Bin Yahya terkait nasionalisme. Dari hasil penelitian penulis menemukan bahwa tasawuf dapat membangkitkan nasionalisme.
Kata kunci: Pandangan Al Habib Luthfi bin Yahya; kemorosotan moral dan akhlak; nasionalisme; tasawuf. ∗ Muhamad Zia Emil Ihsan, lahir di Bekasi 10 Agustus 1987. Pernah belajar agama di pesantren Annida al Islamy, Bekasi. Sekarang sebagai mahasiswa tingkat akhir jurusan Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, Jakarta.
1
Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Akan tetapi mengapa saat ini seakan kering dari moral dan sunyi dari akhlak terpuji. Padahal Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa agama ini memiliki tugas sebagai penyempurna akhlak. Hal tersebut dapat kita lihat pada hadits “innama bu’istu li utammima makarimal akhlak” yang artinya adalah “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Kemerosotan moral ini membahayakan bagi bangsa. Masih dapat kita ingat betul bahwa nasib suatu bangsa terletak pada pemudanya. Apabila pemudanya hancur, maka hancurlah bangsa itu. Apabila kita mengamati perkembangan tasawuf, maka akan kita dapati bahwa banyak ahli tasawuf yang memiliki nasionalisme yang tinggi. Al Habib Luthfi bin Yahya adalah sosok penting dalam dunia tasawuf di Indonesia yang perlu kita kaji pemikirannya. Dari beliau dapat kita jumpai bahwa tasawuf dapat menumbuhkan sikap nasionalisme. Tingkat kemerosotan moral dan rendahnya nasionalisme dapat kita jumpai dalam berbagai sikap dalam kehidupan masyarakat. Pertama, korupsi. Kedua, bendera merah putih yang diperjuangkan dengan air mata dan darah kini tidak lagi terlihat berkibar dari setiap rumah pada hari peringatan kemerdekaan tiba melainkan hanya dari sebagian rumah saja. Ketiga, semakin hari semakin banyak yang tidak hafal pancasila dan UUD 1945. Sekolah-sekolah tidak lagi merasa wajib mengibarkan bendera pada senin hari saat melaksanakan upacara. Pesan moral kini hanya menjadi pesan yang tidak terlaksanakan. Sebagai akibat salah satu akibat kemerosotan tersebut yaitu pudarnya nasionalisme bangsa itu. Nasionalisme semakin hari semakin terasa hilang dari negeri ini. Bahkan bangsa ini kian lupa dengan para pahlawannya. Bila hal ini dibiarkan, maka bangsa ini hanya tinggal menunggu detik-detik kehancurannya. Apakah kita mengenal tanah air, suku, dan bangsa kita dengan baik, apakah kita dapat memaknai dengan betul makna bhinneka tunggal ika, dan sebagainya menjadi pertanyaan yang perlu untuk kita renungkan lagi. Pertanyaan semacam inilah yang menurut Gus Dur kalau dihayati dengan baik sebenarnya bisa membangkitkan kesadaran rasa kebangsaan. Sebuah perasaan yang harusnya juga bisa dimunculkan dengan mengenal warisan budaya di tengah arus globalisasi sekarang.1 1 2
Sementara itu tasawuf adalah salah satu ide yang menurut penulis dapat menjadi obat untuk “penyakit” bangsa yang seakan tengah sekarat. Menurut hemat penulis, pemikiran tasawuf dan nasionalisme Habib Luthfi sangat relevan untuk dikaji. Penulis berharap tasawuf dapat menjadi solusi untuk permasalahan bangsa yang saat ini kering dari nilai-nilai moral yang mengakibatkan memudarnya nasionalisme bangsa ini. Kita harus ingat bahwa kejayaan suatu bangsa tergantung pada akhlak, budi pekerti, atau moral bangsa itu. Sumber tasawuf adalah akhlak,2 begitu menurut Habib Luthfi. Bangsa akan tegak bila akhlaknya tegak, bila akhlaknya runtuh maka runtuhlah bangsa itu, 3 dan begitu menurut Cak Nur. Kemerosotan moral menyebabkan runtuhnya nasionalisme pada suatu bangsa. Bila nasionalismenya runtuh, maka runtuhlah bangsa itu. Oleh karena itu bukan tidak mungkin krisis kebangsaan yang dialami oleh sebuah bangsa akan terhapus oleh ajaran tasawuf. Pemikiran Habib Luthfi mengenai tasawuf dan nasionalisme patut dikaji. Oleh karena Habib Luthfi tidak hanya merupakan tokoh penting, yakni sebagai: tokoh sufistik, tokoh agama, tokoh politik dan sejarawan, melainkan juga karena beliau adalah Rais ‘Âm Jam’îyah Ahli athTharîqah al-Mu’tabarah an-Nahdhîyah (JATMAN). JATMAN merupakan sebuah organisasi tasawuf atau tarekat resmi di bawah payung Nahdlatul Ulama. JATMAN menaungi berpuluhpuluh tarekat di Indonesia. Sejarah Tasawuf Berdasarkan sejarahnya tasawuf terlahir sebagai fenomena ajaran Islam, berawal dari abad pertama hijriah,4 tasawuf muncul sebagai sikap ketidakpuasan atas praktik ajaran Islam yang Abdurrahman Wahid., (2005). Nasionalisme Harus http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,3063-lang,id-c,wartat,Nasionalisme+Harus+Pro+Rakyat-.phpx, 05 September 2013.
Pro
Rakyat,
Dalam
2 Ahmad Tsauri (ed.), KH. Al Habib Muhammad Luthfi bin Yahya: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta, (Pekalongan: Menara Publisher, 2012), hal. 207. 3 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), hal 184. 3
cenderung dijadikan sebagai formalitas dan legalitas. Selain itu, tasawuf juga hadir sebagai kritik terhadap ketimpangan sosial, politik, moral dan ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam khususnya penguasa pada saat itu. Pada saat itu juga tasawuf tampil sebagai sebuah solusi untuk membenahi tindakan fisik dan perbaikan tindakan batin.5 Sejak masa itu kebangkitan meluas ke seluruh dunia muslim dengan semangat mengembalikan pesan yang orisinal dan sakral sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Tasawuf terpancar luas tanpa gerakan yang terorganisasi.6 Jika merujuk pada sejarahnya, tasawuf diharapkan bisa menjadi angin segar bagi kegersangan moral yang menimpa bangsa ini. Hal ini bukan harapan yang mengada-ada. Tasawuf mempunyai metode pendidikan yang membimbing manusia ke dalam harmoni dan keseimbangan total untuk mencapai kecerdasan emosi dan spiritual, yang intinya adalah agar bisa tetap mengikuti tuntunan agama dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, baik ketika berhadapan dengan musibah, keberuntungan, kekayaan, kemiskinan, kedengkian dan segala bentuk keadaaan susah atau pun senang.7 Tasawuf diharapkan bisa menjadi komando revolusi spiritual. Hal tersebut sangat mungkin karena tasawuf tidak seperti dimensi keagamaan lainnya. Tasawuf akan selalu menjadi penyemai kekosongan jiwa manusia. Limpahan materi dalam hidup ini menjadi tidak begitu penting dalam dunia tasawuf. Sebaliknya, kekayaan hatilah yang menjadi penopangnya. Sang sufi adalah 4 Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Krtik Sosial, (Bandung, Mizan 2006), hal. 34. 5 Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 11. 6 Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Krtik Sosial, (Bandung, Mizan 2006), hal. 34. 7 Said Aqil Siradj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Bandung: Mizan, 2006, hal. 53. 4
mereka yang kaya hati, namun tidak pasif atas kenyataan hidup. Kehidupan dunia ini bagi para sufi adalah kenyataan yang tidak mungkin bisa diingkari. Mereka menghadapinya secara realistis. Kedekatan kepada Allah dan kepercayaan diri membuat aktivisme mereka menyala tapi tetap bertujuan mencari ridho Allah.8 Krisis Moral dan Kebangsaan Kemerosotan moral bangsa ini semakin memprihatinkan. Masyarakat tengah dilanda sebuah bencana moral yang serius. Pornografi, perilaku korup dan tindakan manipulatif serta pelanggaran berbagai nilai-nilai dan norma agama, adat-istiadat, nilai-nilai budaya serta etika kemanusiaan.9 Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Betapa tidak diharapkannya kemerosotan moral pada akhirnya mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi nasionalisme. Kemerosotan moral juga mengakibatkan merajalelanya penggunaan narkoba oleh para pemuda. Hal ini sangat berbahaya. Seperti yang menjadi kekhawatiran Habib Luthfi: “Merajalelanya penggunaan narkoba dikalangan anak muda sekarang menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan jati diri dan identitas sehingga pelariannya dengan menggunakan obatobatan terlarang yang sangat membahayakan bagi masa depan mereka. Jika pemuda telah kehilangan jati dirinya, otomatis juga telah kehilangan rasa nasionalisme dan patriotismenya. Tidak ada lagi semangat dalam dirinya untuk memajukan bangsa apalagi membangun bangsa.” “Padahal jika kita melihat perjuangan para pemuda dahulu sebelum merdeka, sehingga tercetus sumpah pemuda bersatu tanah 8 Ibid, hal. 46. 9 Said Aqiel Siradj., (2009). Spirit Nasionalisme Ulama Perlu Diwariskan ke Generasi Muda, Dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,33789-lang,id-c,warta-t,Kang+Said+ +Awas++Kemerosotan+Rasa+Nasionalisme+Kian+Nyata-.phpx 05 september 2013.
5
air, bangsa dan bahasa yang terimplementasi dalam kebersamaan mewujudkan kemerdekaan, kita seharusnya malu karena kita belum bisa berbuat apa-apa untuk bangsa ini” 10 Habib Luthfi sangat prihatin atas kemerosotan moral yang menimpa banyak para pemuda belakangan ini. Keprihatinan ini sangat wajar karena apabila kita melihat sejarah bangsa ini merdeka tidak lepas dari peran dan buah perjuangan para pemuda. Kebangkitan nasional yang melahirkan Budi Utomo (1908) tidak lain dipelopori oleh para pemuda. Sumpah pemuda 12 oktober 1928 juga atas jerih payah kaum muda. Masa depan bangsa ada ditangan para pemuda. Apabila pemudanya lemah, moralnya lemah, nasionalismenya lemah, lalu kepada siapa bangsa ini bertumpu harapan. Cinta Tanah Air; Sebuah Pesan dari Sang Sufi Habib Luthfi adalah Rais ‘Âm Jam’îyah Ahli ath-Tharîqah al-Mu’tabarah an-Nahdhîyah (JATMAN). JATMAN itu sendiri merupakan sebuah organisasi tasawuf atau tarekat resmi di bawah payung Nahdlatul Ulama. Para sufi memang dikenal memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, jadi tidak heran bila beliau terlihat sangat nasionalis dan peduli terhadap keadaan bangsa dan tanah airnya. Di samping itu beliau mempunyai seorang guru sufi yang sangat nasionalis dan sangat menjunjung tinggi arti cinta tanah air, yaitu Syaikh Abdul Malik Bin Ilyas dari Purwokerto. Pernah suatu ketika Syaikh Abdul Malik mengajak jalan-jalan Habib Luthfi. Di tengah perjalanan tiba-tiba Syaikh Abdul Malik menyuruh pak Suyuti, supirnya, untuk berhenti. Tanpa banyak bertanya sang supir pun menghentikan mobilnya. Sang Syaikh memerintahkan agar pak Suyuti menepi ke tempat yang adem saja biar enak untuk gelaran. Waktu itu sekitar pukul 09.45 WIB. Setelah mendapat tempat untuk beristirahat, tikar digelar dan termos juga dikeluarkan. Syaikh Abdul Malik mengeluarkan rokok khasnya, klembak menyan, kemudian beliau meraciknya sendiri sebelum dinikmati. Sesekali dia mengeluarkan jam dari kantongnya sembari 10 Habib Muhammad Luthfi bin Yahya., (2009). Disayangkan Pemuda Krisis Nasionalisme, Dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,19781-lang,id-c,warta-t,Habib+Luthfi+ +Disayangkan+Pemuda+Krisis+Nasionalisme-.phpx, 05 September 2013.
6
berkata, “Dilut maning (sebentar lagi)”. Habib Luthfi sebagai murid pun merasa heran, mengapa berulang kali gurunya mengucapkan ‘dilut maning’ itu. Akan tetapi setelah pukul 09.50 WIB, rokok yang belum habis tadi tiba-tiba dimatikan. Kemudian Syaikh Abdul Malik berkata, ”Ayo Pak Yuti, Habib mriki (kesini)!” Setelah itu Syaikh Abdul Malik membacakan Al Fatihah untuk Nabi, sahabat Nabi dan seterusnya sampai disebutkan pula sejumlah nama pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiai Mojo, Jenderal Sudirman dan lain-lain. Ketika tepat pukul 10.00 WIB, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyyah ini terdiam beberapa saat dan kemudian berdoa Allahummaghfirlahum warhamhum. Setelah selesai, karena penasaran dengan apa yang dilakukan gurunya, Habib Luthfi bertanya kepada Syekh Malik, “Mbah, wonten napa ta (ada apa)?” “Anu, napa niki jam 10, niku napa namine, Pak Karno Pak Hatta rumiyin baca napa (pukul 10 dulu Pak Karno Pak Hatta dulu membaca apa) ?” tanya Syaikh Abdul Malik. “Proklamasi, Mbah,” jawab Habib Luthfi. “Ya niku lah, kita niku madep ngormati (ya itulah kita berhenti sejenak menghormati),” jawab Syaikh Abdul Malik, Mursyid Thariqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah11 yang juga sebagai Mursyid Thariqoh As Syadziliyah.12 Habib luthfi sangat menekankan pentingnya mengingat dan memahami sejarah. Sebagaimana gurunya Syaikh Abdul Malik, Habib Luthfi selalu mengajak umat untuk mengenang riwayat para pendiri bangsa. Menurutnya, sejarah adalah salah satu alat untuk bisa membangkitkan rasa nasionalisme yang tinggi. Betapa ulama-ulama kita terdahulu sangat menghargai jasa-jasa para pahlawan dan sangat mnghormati perjuangan mereka. Itu karena mereka ingat sejarah. Kita harus selalu ingat bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah. Kemerdekaan ini diraih dengan keringat, airmata, dan darah. 11 Ajie Najmuddin., (2013). Kiai Abdul Malik dan Detik Proklamasi, Dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,46489-lang,idc,nasional-t,Kiai+Abdul+Malik+dan+Detik+Proklamasi-.phpx, 05 September 2013. 12 Ahmad Tsauri (ed), KH. Al Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta, hal. 359.
7
Tasawuf sebagai Penegak Nasionalisme Tasawuf mempunyai peran penting untuk menumbuhkan nasionalisme. Berikut ini adalah hasil wawancara penulis kepada Maulana al Habib Luthfi bin Yahya tentang tasawuf dan nasionalisme. Rata-rata ulama tasawuf nasionalismenya tinggi, karena para beliau bisa menikmati apa yang telah diberikan oleh Allah swt, yang jelas iman islam. Setelah iman islam itu, beliau bisa menjaga amanat Allah ta’ala yang diperintahkan, yang ditulis dalam agama, menjaga pemberian Allah, seperti berupa tanah air ini, bukan rejeki yang berbentuk yang bisa dimakan saja. Tanah air ini diberikan kepada kita menjadi negara kita, menjadi tanah air kita. Itukan dari Allah swt. Nah sudah kewajibannya, sudah selayaknya, kita akan menjaga tanah air itu, karena kita melihat siapa yang memberinya, dan akan menjaganya dengan baik segala pemberiannya dan tidak akan melepaskan karena bukan haknya kepada orang lain. Maka rasa mencintai kepada tanah airnya itupun akan tumbuh, karena dengan mencintai tanah air itu, dia akan mendapatkan ilmu yang luar biasa karena cintany. diantaranya apa? Kita bisa mempelajari apa yang tumbuh dari bumi pertiwi ini, dari segi obat-obatan, ilmu ini, dunia pertanian dan lain sebagainya sampai ada obat-obatan dari nabati. Dan itu bagian dari nasionalisme, dan sebagainya. Ketika kita melihat gunung-gunung yang ada dinegara kita. Perlunya gunung itu umpamanya ada yang harus masih bekerja (aktif) ternyata gunung-gunung yang bekerja (aktif) itu sebab untuk menyuburkan tanah lingkungannya. Nah, bagaimana kita bisa menjaga dan lain sebagainya, air yang jernih yang diberikan kepada kita, tanah air kita untuk kita, karena kita mencintai dan menyayanginya. Pasti akan mempergunakan bagaimana hasil karya bumi ini untuk menyuburkan, untuk memakmurkan daripada penghuni tanah air itu sendiri, akan membelanjakan dan lain sebagainya. Karena kita bisa mengetahui segala pemberian apa yang diberikan kepada kita merupakan tanah air itu, maka muncul kehormatan, harga diri, jati diri, dari sebab itu muncul karakter. Maka apabila kita bisa menghormati apa yang diberikan kepada kita, merupakan tanah air dan sebagainya, pasti orang yang bisa
8
menghormati dirinya pasti akan menghormati orang lain dan tidak akan intervensi.13 Tasawuf bukan hanya berperan membangkitkan nasionalisme. Tasawuf juga memiliki peran penting untuk kemajuan bangsa. Karena tasawuf mengajarkan manusia untuk tidak cinta dunia. Bukan berarti tidak boleh memiliki dunia atau tidak boleh menjadi kaya. Boleh menjadi kaya raya, akan tetapi dilarang untuk mencintai kekayaannya. Tasawuf juga menekankan agar manusia tidak cinta jabatan. Sekali lagi harus diingat, bahwa bukan berarti tidak boleh menjadi pejabat, tapi ia tidak boleh mencintai jabatannya. lihat secara jelas bagaimana Habib Luthfi menjawab pertanyaan penulis tentang peranan tasawuf untuk kemajuan bangsa. Tasawuf sangat berperan untuk kemajuan bangsa. Tasawuf sangat menekankan sekali tidak cinta pangkat tidak cinta dunia. Bukan berarti tidak boleh berpangkat dan tidak boleh mencari dunia, tapi kita lebih mencari kepada si pemberi pangkat, lebih dekat kepada si pemberi pangkat, ataupun pemberi rejeki itu sendiri, sehingga ketika kita dekat kepada yang maha kuasa, yaitu si pemberi pangkat jabatan kepada kita, rejeki kepada kita itu, kedekatan kita itu membuat kita bisa mengontrol bagaimana menggunakan dunia, dan bisa memisahkan mana yang halal dan yang haram dan bisa menggunakan pangkat itu mana yang amanah dan yang tidak beramanah, karena kita dekat.14 13 Habib Luthfi bin Yahya, diwawancara oleh Muhamad Zia Emil Ihsan, 11 Maret 2013.
14 9
Intinya adalah tasawuf menekankan kita agar menjadikan segala sesuatu sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila ia seorang kaya maka tidak akan pernah sombong dengan kekayaannya melainkan ia akan merasa bahwa kekayaannya adalah amanat Allah yang harus ia manfaatkan sebaik-baiknya. Apabila ia seorang pejabat maka jabatannya tidak membuat ia serakah dan pongah melainkan menjadikan jabatannya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Yang ditekankan dalam ajaran tasawuf adalah pembersihan hati.15 Karena tasawuf berkaitan dengan hati, maka bila pelaku tasawuf menjadi seorang pemimpin atau pejabat, ia akan menjadi pemimpin dan para pejabat yang bukan hanya pantas jadi orang terhormat tetapi juga akan menjadi bijaksana. Sebagai contohnya jika ia seorang gubernur yang akan membangun daerahnya, maka ia akan mbangun jiwo (membangun jiwa; pendidikan, keterampilan, tanggung jawab dll) bukan hanya mbangun rogo (bukan hanya membangun infra stuktur atau fisiknya saja). Tujuan tasawuf sendiri adalah sebuah upaya memerangi hawa nafsu guna menjadi manusia berakhlak serta beradab16 Dengan demikian dapat diketahui bahwa tasawuf
bertujuan
menanamkan ke dalam jiwa kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam hidup dan Tuhan selalu mengawasi tingkah laku kita.17 Sebagai langkah awal pembersihan hati, tasawuf memulainya dengan membentuk kebiasaan baik dari hal-hal yang kecil. Tasawuf mengajarkan manusia untuk bisa mengatur diri sendiri. Sebagai contoh, memakai baju dengan tangan kanan terlebih dahulu, lalu melepaskannya Habib Luthfi bin Yahya, diwawancara oleh Muhamad Zia Emil Ihsan, 11 Maret 2013.
15 Ahmad Tsauri (ed), KH. Al Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta, hal. 208. 16 Ibid, hal. 252. 17 Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jilid 4, s.v. “Tasawuf” 10
dengan tangan kiri. Masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Lalu bagaimana membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Itu adalah bagian dari tasawuf. Tasawuf sebenarnya sudah diterapkan oleh orang-orang tua dari semenjak dahulu. Hanya saja mereka tidak mengatakannya dengan istilah tasawuf. Akan tetapi hal yang jelas dan terang dari tasawuf yaitu tidak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlak al karimah karena sumber tasawuf adalah adab.18 hal-hal kecil adalah awal dari hal-hal yang besar. Apabila dari hal-hal yang kecil saja kita sudah terbiasa dengan sesuatu yang baik, maka secara otomatis kita akan berprilaku baik ketika berhadapan dengan hal-hal yang besar. Apabila kebiasaan-kebiasaan baik itu telah tertanam dari semenjak kecil, maka ketika dewasa ia akan terbentuk sebagai manusia yang baik. Apabila jadi pemimpin ia akan menjadi pemimpin yang baik. Apabila jadi rakyat ia akan menjadi rakyat yang baik. Apabila ini diterapkan oleh seluruh komponen bangsa, maka pasti bangsa itu akan tegak akhlaknya. Bila akhlaknya tegak maka tegaklah bangsa itu. Penutup Perilaku kehidupan semakin semrawut dan akhlak tidak lagi jadi tumpuan. Kemerosotan tersebut mengancam bangsa karena pemudanya tidak mengenali diri lebih-lebih nilai-nilai luhur yang dapat diawarisi dari pendahulunya, salah satunya adalah nilai-nilai dalam tasawuf. Tasawuf yang mengedepankan permbershihan hati, memerangi hawa nafasu, dan yang pasti bersumber pada adab. Ketika berusaha menjadi muslim yang baik, ia akan merujuk pada Nabinya, Muhammad SAW, yang diutus untuk menyempurnakan akhak. Ketika akhlak ditegakkan, bangsa ini akan tegak. Hal tersebut terbukti dengan pelaku tasawuf yang pada umumnya memiliki nasionalisme tinggi. Sementara itu, bagi muslim itu sendiri mencintai negerinya adalah penyempurna imannya karena “Hubbul wathon minal iman,” mencintai negara adalah sebagian dari iman. Nasionalisme itu akan tumbuh sendiri dengan bertasawuf.
18 Ahmad Tsauri (ed), KH. Al Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta, (Pekalongan: Menara Publisher, 2012), hal. 206 dan 207. 11
Daftar Pustaka Al-Ghanimi, Taftazani Abu al-Wafa’, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung : Pustaka. 1418 H/1997 M. Al-Qusyairy, Abul Qosim, ar-Risalah Qusyairiyah fi ‘Ilmi at-Tashawwuf, edisi terjemahan: Hakim, M. Lukman, Surabaya: Risalah Gusti, 2006. cet. Ke-6. Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, Jakarta: AMZAH, 2012. Baqir, Haidar, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Arasy Mizan, 2005. Bin Yahya, Habib Muhammad Luthfi, (2009). Disayangkan Pemuda Krisis Nasionalisme, Dalam http://www.nu.or.id. Hamka, Tasauf: perkembangan dan pemurniaannya, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2005. CetXX Jindan, Fahmi (pen), Nasihat Spiritual: Mengenal Tarekat ala Habib Lutfi Bin Yahya, Bekasi Timur: Hayat, 2009. Cet. Ke-4 Kabbani, M. Hisyam, Self Purification and the State of Excellence: Encyclopedia of Islamic Doctrine, ed. Terjemahan: Zaimul Am, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Pustaka, 2007. Kellen, Willy Ichsan, Pelita Hati Seorang Ulama Sejati; biografi singkat Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, Pekalongan: KANZUS, 2005. 12
Kertanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina: 2005. cet. Ke-5. Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 2002), hal 184. Najmuddin, Ajie, (2013). http://www.nu.or.id.
Kiai
Abdul
Malik
dan
Detik
Proklamasi,
Dalam
Siradj, Said Aqil, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Bandung: Mizan, 2006. Siradj, Said Aqil, (2009). Spirit Nasionalisme Ulama Perlu Diwariskan ke Generasi Muda, Dalam http://www.nu.or.id. Tim Majelis Khoir, Habib Luthfi bin Yahya Berbicara Seputar Tarekat, Malang: Majelis Khoir, 2012. Tim Mejelis Khoir, Habib Luthfi bin Yahya Menjawab Keluh Kesah Umat, Malang: Majelis Khoir, 2012.
13