Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72.
PERILAKU PERMUKIMAN SEJAK MASA PRASEJARAH DI KAWASAN TUBAN-LAMONGAN: STUDI PALEO-EKOLOGI MACROSPACE TINGGALAN PRASEJARAH, KLASIK DAN FOLKLORE Yusuf Ernawan Dosen Antropologi FISIP Unair; lulusan UGM (S-l), UI (S-2) Abstract These paper describes interactions between men and environment since the prehistoric times. In the past, the community from the different stage of culture lived together within region. The activity was based on the land water supply. Mean while, the legend could see how the water supply system was stopped after th prehistoric man activity. The recent community, the legend has to manage, legitimiz and control the conflict in the community and between communities. Keywords: community, interaction, land water, legend, Tuban-Lamongan.
Secara geologis, kawasan Tuban-Lamongan terletak di jajaran Pegunungan Kapur Utara. Proses pembentukan kawasan telah dimulai sejak kala Miosen dengan ditandai sedimentasi batugamping karst di dalam lingkungan laut. Pada kala Pliosen berlangsung gaya endogen yang menyebabkan pengangkatan sedimentasi batugamping karst ke permukaan laut menjadi daratan antiklinal. Selanjutnya, pada kala Plestosen, berlangsung kegiatan vulkanis dan gerak tektonik yang dapat menyebabkan pembentukan sesar normal dan sesar geser. Arah sesar menuju utara-selatan dan timur-barat. Akhirnya, pada kala Holosen terjadi pelapukan dan erosi terhadap batugamping karst membentuk dataran aluvial (Triwuryani
1989:6). Proses pelapukan dan erosi masih berlangsung sampai kini. Wilayah sekitar pantai TubanLamongan merupakan bagian dari zona Rembang. Kemiringan lahan wilayah berkisar 10°-45°. Lahan wilayah mengandung batugamping foraminifera, batulempung dan batupasir yang berumur Miosen. Satuan batuan penyusun didominasi oleh batugamping karst yang mengandung fosil Pelecypoda, Foraminifera, Gastropoda (Triwuryani 1989:7). Batuan karst dapat berwarna putih segar sampai coklat keabuan. Batuan karst yang telah mengalami pelapukan akan memperlihatkan perubahan warna mulai coklat muda sampai coklat tua. Ketebalan lapisan karst dapat lebih dari 50 meter.
61
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. Kekunoan Permukiman Kehidupan manusia sekitar TubanLamongan telah berlangsung sejak masa prasejarah. Pada masa prasejarah, manusia dominan hidup di gua-gua dengan menggunakan teknologi epi-paleolitik. Lahan di kawasan yang memiliki lingkungan fisik batuan karst sangat ideal untuk terbentuknya gua-gua pemukiman prasejarah (Butzer 1984:131). Hasil survai dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1989 di Tuban, memperlihatkan gua-gua yang diduga sebagai pemukiman terdapat di: a. Semanding terdiri gua Akbar, gua Gedhe, gua Pawon, gua Butul, Gragas, gua Sumur, gua Panggung, gua Gembul, gua Peteng, gua Cilik, dan gua Bagong, b. Montong terdiri gua Terus, gua Lawa, gua Clangap, gua Suruh, c. Palang terdiri gua Suci, d. Plumpang terdiri gua Song Prahu, e. Rengel terdiri gua Gedhe. Peninggalan yang ditemukan dalam gua-gua berupa hasil teknologi prasejarah. Teknologi yang digunakan pemukim gua berupa hasil teknologi epi-paleolitik yang terdiri atas serpih/bilah, tatal batu, mata panah. Di samping itu, didapatkan pula sisa makanan berupa cangkang kerang dan fragmen tulang binatang darat. Khusus di gua Song Prahu ditemukan gerabah, serpih/ bilah, lancipan tulang, serpih cangkang kerang, gigi babi dan gigi manusia.
Dating pada fragmen tulang di gua Pandean (Tuban) memperlihatkan bahwa aktivitas manusia dalam gua Pandean berasal dari masa awal teknologi metal (nilai 795) dan abad XII-XV (nilai 630-755). 1 Dengan demikian, tampak bahwa kehidupan penghuni gua dari abad XII-XV merupakan kehidupan penghuni berteknologi epi-paleolitik prasejarah yang berdampingan dengan kehidupan masyarakat lain yang hidup pada masa sejarah Klasik Indonesia (masa Majapahit akhir). Pola hidup berdampingan antara masyarakat berteknologi epipaleolitik dan Klasik tampak pula dari hasil penentuan umur fragmen tulang yang ditemukan di situs gua Perawan (Sidomukti, Lamongan). Situs gua Perawan terdapat di perbukitan pesisir pantai timur perbatasan wilayah Kabupaten Tuban. Tinggalan prasejarah di gua Perawan terdiri atas sisa makanan berupa cangkang kerang (terebrallia phallustris, venus sp., strombus, trochus, tellescopium), fragmen tulang binatang (kerbau, sapi, kijang, babi, macan, badak), alat batu (serpih/ bilah, batu inti, serut cangkang kérang, lancipan tulang). Tampaknya penghuni gua telah menggunakan api untuk membakar/memasak binatang. Hal ini terlihat dari sejumlah tulang yang hangus terbakar; selain juga ditemukan fragmen tulang yang tidak hangus terbakar. Hasil penentuan umur terhadap fragmen tulang di gua Perawan dapat memperlihatkan bandingkan dengan nilai pada Tabel 3.
62
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. kisaran dari abad XII sampai XV-an (nilai 585-680 dan 750) 2 . Hasil perhitungan umur fragmen tulang dari gua Pandean dan gua Perawan semakin dapat memperlihatkan masyarakat prasejarah di kawasan Tuban dan sekitarnya pernah berdampingan hidup dengan masyarakat dari jaman Klasik. Groneveldt (1960:45-6) menyatakan bahwa pada abad XV pelabuhan Tuban sudah ramai dengan kapal asing yang bersandar, dan para pedagang yang sering diganggu penduduk lokal yang tidak berpakaian dan tinggal di gua-gua. Tuban telah menjadi kota pelabuhan yang relatif ramai sejak awal abad XI. Pada masa Airlangga terdapat pelabuhan Hujung Galuh dan Kembang Putih, sebagai tempat perdagangan barang niaga antarpulau dan antarbenua (Casparis 1958:19-20). Prasasti Kembang Putih (1050 M) menyebutkan tentang perbaikan pelabuhan yang diduga terletak di sekitar kota Tuban sekarang ini (Sedyawati 1992:6).3
2 Bandingkan
Tabel 3.
dengan nilai pada
Kitab Ying Yai Sheng-Lan menyebutkan bahwa kota Tuban tidak memiliki tembok kota seperti kotakota di Cina, dan penduduknya terdiri dari ribuan keluarga dengan dua kepala keluarga yang mengaturnya; diantara tempat tinggal keluarga-keluarga ini terdapat orang dari propinsi Kuang-tung dan Chang-chou yang biasa bermukim di pusat kota (Mills 1970:86). Dalam perkembangannya, kitab Pararaton (abad XVII) menyebutkan kota Tuban telah memiliki tembok kota. Teluk Tuban dinilai aman sebagai pelabuhan perahu besar. Sumber Belanda menyebutkan kedalaman teluk Tuban berkisar lima vadem (satu uadem sama dengan 1,698798 meter), panjang pantai sekitar 14 paalen (satu paalen adalah 1506,943 meter) (Sedyawati 1992:9). Pelabuhan Tuban diduga pernah diperdalam pada abad XVI. Dugaan ini didasarkan pada abad XV dan XVI, kapal-kapal dagang berukuran besar harus membuang sauh yang cukup jauh dari kota (Graf dan Pigeaud 1986:163). Di samping itu, pelabuhan Tuban juga dianggap memiliki fasilitas air tawar yang cukup banyak untuk mendukung persediaan air pada kapal-kapal yang singgah. Sumber-sumber air tawar ini masih didapatkan sampai sekarang di sekitar pesisir Tuban-Lamongan.
3 Di samping itu, di Tuban pernah pula ditemukan (a) prasasti Malenga (1052 M) yang berisi anugerah tanah perdikan (sima) oleh Sri Maharaja Sira Haji Garakan pada penduduk atas jasa mempertahankan wi-layah kerajaan dari serangan Haji Lingga-jaya, (b) prasasti Jaring (1181 M) Keberadaan sumber air tawar berisi penetapan wilayah desa Jaring di dekat pantai dapat berkaitan sebagai tanah perdikan oleh Sri Maharaja; dengan keberadaan hutan yang terdalam prasasti Jaring terdapat istilah senapati sarwwajala yang berarti panglima kawasan kerajaan Kadiri, (c) prasasti seluruh perairan, sehingga diduga pada Karangbogem (tahun 1308 M). masa itu telah ada armada laut yang menguasai pantai dan pelabuhan di
63
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. dapat di bagian selatan wilayah Tuban. Sumber berita Belanda pernah menyebutkan mengenai keberadaan dan pemanfaatan serta keterbengkelaian hutan dari daerah Lasem dan Tuban. Luas hutan berkisar lima jam kali setengah jam perjalanan naik kuda (Sedyawati 1992:30-1). Keberadaan hutan lebat di daerah Tuban dapat pula ditinjau dari perbedaan ukuran cangkang kerang Venus sp. yang ditemukan dalam gua-gua dengan ukuran cangkang sejenis yang terdapat pada saat ini. Ukuran cangkang kerang dari gua berkisar 10 kali lebih besar dari cangkang kerang sekarang. Artinya, lingkungan hidup cangkang kerang dari gua di tepi pantai berlumpur masih terpenuhi secara melimpah renik-renik yang menjadi makanannya. Renik-renik berasal dari pelarutan mineral dan sumber hayati hutan yang melimpah atau lebat (Alley 1959:587). Di samping, temuan fragmen tulang binatang dari gua-gua juga dapat memperlihatkan sebagai jenis binatang yang hidup di daerah hutan tropis lebat dan padang rumput. Pelabuhan Tuban dominan berfungsi bukan sebagai pelabuhan feeder point atau pusat pemasok barang, melainkan berfungsi sebagai pelabuhan collecting center. Sumber Cina menyebutkan pelabuhan Tuban disinggahi kapal-kapal dari Persia, Arab, Gujarat, Bengal, Malaya, Cina dan sebagainya. Kapal-kapal membawa barang mewah untuk mensuplai kebutuhan elit di daerah pedalaman. Berita Cina pada abad XV menyebutkan bahwa bangsawan 64
Jawa senang memakai alat rumah tangga porselen berwarna biru, memakai baju sutera bersulam emas, dan manik-manik (Sedyawati 1992:39). Data arkeologis dapat memperlihatkan bahwa keramik asing masih banyak ditemukan di pinggiran pantai dan laut. Hasil survai bawah air di sekitar pantai desa Bulu, Gadon, Tuban, dan Palang ditemukan keramik Eropa, dan Cina dari dinasti Yuan abad XIII dan XIV. Keramik Cina abad XXIV dan keramik Belanda abad XVIII ditemukan pula dalam penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta (1980) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (1983) di desa Bancar. Tingkat keramaian pelabuhan Tuban didukung beberapa faktor. Sumber Belanda menyebutkan pelabuhan Tuban sebagai collecting center didukung oleh kemampuan wilayah sekitar sungai Bengawan Solo sebagai penghasil beras, nila, dan hasil hutan yang dibutuhkan dalam perdagangan. Disamping itu, pada akhir abad XVI diberitakan bahwa raja Tuban mengatakan kepada orang Portugis yang mencari pemandu untuk berlayar ke Maluku agar menunggu saja di Tuban, karena tiga bulan lagi akan datang 40 jung yang membawa cengkih dari Maluku (Sedyawati 1992:45). Di lain pihak, prasasti-prasasti yang ditemukan di Babad, Ngimbang dan Ploso dapat memperlihatkan hubungan pelabuhan Tuban dengan daerah pedalaman dilakukan melalui jalur darat. Sarana transportasi sungai juga dapat menghubungkan pela-
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. buhan Tuban dengan daerah pedalaman. Pada tahun 1275 M, pelabuhan Tuban merupakan pelabuhan pertama yang menjadi basis tentara Singasari yang akan berkat ke Melayu. Selain itu, pelabuhan Tuban juga menjadi basis pertama tentara Cina yang akan menyerang Singasari, sebelum berpencar melalui jalur sungai Brantas dan Kali Mas. Surutnya peran pelabuhan Tuban disebabkan munculnya pelabuhan baru di bagian timur, misalnya Gresik dan Surabaya.
Legenda Desa Sidomukti Desa Sidomukti terletak di kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, propinsi Jawa Timur. Letak desa sekitar 20 kilometer dari Tuban atau Brondong, dan sekitar 5 kilometer dari garis pantai Laut Jawa. Lokasi desa terletak sekitar 12 kilometer di selatan Gua Perawan. Luas desa sekitar 609.254 hektar, dengan peruntukan sekitar tiga per empat luas wilayah dipakai sebagai tambak garam, dan ditanami padi tadah hujan, jagung, ketela, dan kedelai. Tambak garam terdapat pada dataran aluvial di selatan desa yang bersambung sampai pantai; lahan pertanian terdapat pada area dataran aluvial yang lebih tinggi dari tambak garam. Semula desa Sidomukti bernama Petcakaran. Namun pada tahun 1928, kepala desa yang bernama Taslim mengubah nama desa Petcakaran menjadi Sidomukti. Alasanya, sering terjadi perkelahian dan pertengkaran antarwarga dan
antartetangga desa; sehingga agar tercapai kehidupan dan penghidupan yang lebih damai dan sejahtera, nama desa diubah sesuai harapannya. Upacara perubahan nama desa dilakukan dengan melakukan pesta makan bersama —mirip potlach pada Indian Amerika. Upacara masih dilakukan sampai saat ini, ketika terjadi pergantian kepala desa. Pada saat ini, penduduk desa Sidomukti berkisar 3.750-an dengan komposisi jenis kelamin laki-laki yang relatif sebanding dengan jumlah wanita. Mata pencaharian penduduk dominan sebagai penggarap tambak garam, dan petani lahan tadah hujan. Biasanya garam merupakan penghasilan setiap hari bagi penduduk desa. Garam dijual pada pembeli ke lokasi setiap sore dengan harga Rp. 5.000,- per truk. Hasil penjualan dibagi antara pemilik tambak dan penggarap. Hasil pertanian tadah hujan yang dipanen tiap musim, dipakai lumbung keluarga dan sebagian dijual di pasar desa. Di samping itu, penduduk desa Sidomukti juga memperoleh penghasilan sebagai tenaga kerja masai di luar pemukimannya. Penduduk desa menjadi tenaga kerja "kasar" di Jakarta, dan Kalimantan; di samping menjadi tenaga kerja luar negeri di Brunei dan Malaysia. Biasanya, penghasilan yang diperoleh dikirim dengan dititipkan pada teman yang kebetulan pulang ke desa, atau dibawa sendiri. Penghasilan dominan diujudkan menjadi perhiasan emas yang cenderung dipakai setiap hari oleh orang tua dan anak-anaknya, sapi, dan kam65
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. bing; sehingga kemilikan dan keberhasilan usaha seseorang dapat dilihat dan diukur secara langsung oleh anggota lainnya.
dua orang tersebut berhasil membuat sebilah keris, sehingga pertandingan dilanjutkan dengan perkelahian; yang berakhir sama kuat.
Binatang ternak, dominan tidak dikandangkan secara terpisah dari rumah induk. Binatang ternak dikandangkan di dalam rumah induk berbaur dengan ruang tamu dan dapur. Penduduk beralasan bahwa cara pengandangan di dalam rumah akan lebih aman, mudah memberi makan, memberikan minum agar tidak kehausan karena tidak terdapat sumber air tawar di lahan penggembalaan. Sumber air tawar berupa sendang (telaga kecil yang dinamakan Sendang Watu Celeng) telah tidak berair lagi.
Mpu Supo yang merasa lebih tua mengajak bertanding mengangkat batu yang bernama Watu Celeng yang kebetulan terdapat di dekat arena. Mpu Suro mampu mengangkat batu, namun ketika meletakan kembali telah menutup satu-satunya sumber mata air tawar di desa ini. Lokasi sumber air yang tertutup diberi nama Sendang Watu Celeng, dan desa ajang perkelahian diberi nama Petcakaran; berarti pet sebagai mampetnya air, dan cakaran sebagai cakar-cakaran atau berkelahi.
Tampaknya, aspek kesulitan sumber daya alam menjadi latar belakang legenda desa. Legenda desa terdiri atas dua versi dengan tokoh utama Suro dan Supo. Informasi diperoleh dari seorang penduduk yang mengaku memiliki nenek moyang dari daerah Madiun, dan penduduk lain yang mengaku memiliki nenek moyang dari Madura; memunculkan dua versi legenda. a. Versi Pertama Cerita diawali dengan perjalanan Mpu Supo yang sedang mencari saudaranya. Di suatu desa, Mpu Supo bertemu dengan Mpu Suro yang mengaku sebagai saudara. Mpu Supo meragukannya, dan mengajak beradu kesaktian. Dikatakannya, bila Mpu Suro dapat menandingi kesaktianya, Mpu Suro diaku sebagai saudara. Adu kesaktian ini diawali dengan memijat Wesi Aji menjadi sebilah keris. Ternyata ke66
b. Versi kedua Suatu ketika kerajaan Majapahit dilanda penyakit yang banyak membawa korban. Wabah juga mengena putri raja bernama Rondo Upas. Seluruh dukun tidak ada yang mampu mengobati, sehingga raja memberi sayembara bagi siapapun yang sanggup menyembuhkan. Bila laki-laki akan diangkat menjadi menantu, bila wanita akan diangkat sebagai adik dari putrinya. Di Tegal Ombo berdiam Mbah Supo yang pandai membuat keris. Mbah Supo mendengar sayembara, dan berniat mengikutinya. Namun keikutsertaannya tidak bertujuan memperebutkan putri, tetapi ingin memiliki keris pusaka Majapahit bernama Sanggrok Semalang Gandring. Mbah Supo mengatur siasat. Sesampai di istana, Mbah Supo menyatakan ikut sayembara.
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. Untuk mengobati putri, Mbah Supo meminta ijin dipinjamkan keris yang terselip di pinggang raja Brawijaya. Berbekal keris pinjaman, Mbah Supo menuju tempat putri raja. Melihat keadaan putri, Mbah Supo mengajukan permintaan agar peminjaman keris diperpanjang satu hari lagi. Ketika dikabulkan, Mbah Supo pulang ke Tegal Ombo, dan membuat keris yang serupa. Keesokan hari ketika mengobati putri, Mbah Supo mengatakan dalam diri putri terdapat pasangan keris Sanggrok Semalang Gandring. Mbah Supo mengeluarkan keris dari diri putri. Sebenarnya, keris itu merupakan keris buatan Mbah Supo. Mbah Supo mengatakan keris yang keluar dari tubuh putri merupakan keris yang berjenis kelamin wanita; sedang keris milik raja merupakan keris berjenis kelamin laki-laki. Selanjutnya, Mbah Supo memasukkan kembali kerisnya ke dalam tubuh putri; tetapi bukan keris yang semula keluar dari tubuh putri tetapi keris milik raja, dan raja tidak mengetahuinya. Putri menjadi sembuh, dan raja memenuhi janji; tetapi Mbah Supo tidak mau tinggal di kerajaan. Mbah Supo pulang ke Tegal Ombo dengan membawa putri dan keris yang diidamkannya. Di rumah, Mbah Supo membuat banyak keris yang memiliki pamor seperti keris asli. Mbah Supo menjadi terkenal dan sibuk membuat keris; sehingga melupakan isterinya. Pada suatu malam, isterinya mengajak berhubungan seks. Karena sudah terlalu lama tidak berhubungan seks, tiba-tiba dari liang vaginanya keluar ular lempe
yang berbisa. Mbah Supo mencabut ular, dan membuangnya sampai desa Gembong di Pasuruan. Suatu hari, isterinya bertanya mengapa Mbah Supo tidak mau tinggal di istana. Semula Mbah Supo tidak berterus terang, namun setelah didesak akhirnya mengakui maksudnya. Pada saat itu secara kebetulan, patih kerajaan akan bertandang kerumah Mbah Supo. Sesampainya di depan rumah, patih tidak sengaja mendengar penjelasan Mbah Supo kepada isterinya. Patih melaporkan kejadian pada raja. Raja marah, dan Mbah Supo melarikan diri ke Madura. Mbah Supo berpesan pada isterinya yang sedang hamil. Bila lahir laki-laki diberi nama Subali. Di Madura, Mbah Supo kawin lagi. Ketika isterinya mengandung tujuh bulan, kejaran raja hampir menangkap Mbah Supo. Mbah Supo kembali melarikan diri, dan berpesan kalau melahirkan anak laki-laki harap diberi nama Joko Suro. Mbah Supo pergi ke Genok: Lembor di Tuban. Beberapa tahun setelah kelahiran Joko Suro, ibunya menyuruh agar mencari ayahnya di Tuban. Dalam perjalanan, Joko Suro bertemu Subali yang sedang mencari ayahnya. Keduanya bersaing, dan mengajak saling adu kesaktian. Joko Suro mencakar tanah sampai keluar air dan terbentuk sendang. Joko Suro menantang Subali untuk menutup sendang. Subali mengangkat batu dan menutup pancaran air. Mereka bersepakat memberi nama desa menjadi Petcakaran, dan 67
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. bersama-sama mencari ayahnya di desa Genok Lembor. Legenda dapat mencerminkan bagaimana suatu folk berpikir dan mengabadikan peristiwa yang dianggap penting dalam suatu masa secara sadar atau tidak menyadari tindakannya (Dananjaya 1991:17-8; Noth 1990:120). Fokus oposisi pada kedua versi legenda desa mengenai persaudaraan: perkelahian, keluarnya air: mampatnya air, merupakan wilayah persepsi penduduk dalam mengabadikan pengalaman masa lalu (Sonnenfeld 1972:248; Porteous 1977:139; Sukadana 1983:9). Upaya mengabadikan pengalaman masa lalu melalui legenda desa mengacu pada penggambaran keeratan hubungan kerabat ketika menghadapi lingkungan hidup yang relatif sulit, dan penggambaran harapan yang dapat diperoleh melalui siasat/upaya tertentu —serupa upacara kesuburan pohon aridu ketiku atau dan katoda paraingu yang berlatar belakang sumber daya alam yang kurang menguntungkan di Sumba Timur (Adams 1974: 327332; Fox 1977)— yang mempengaruhi constancy dan resistence sistemnya (Orians 1974:139-144). Constancy dan resistence sistem tampak pada kurangnya persediaan air tawar sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia —faktor mengalir dan mampatnya sumber air sendang. Disamping faktor pertengkaran antarkerabat yang relatif tinggi, yang memunculkan homeostat berupa perdamaian antartokoh utama legenda —saat ini diujudkan dengan penggantian nama desa dan 68
upacara makan bersama. Dengan demikian, hubungan keterbatasan air tawar dan aktifitas sosial dapat memperlihatkan kausalitas hypercognized pada skemata penduduk ketika menginterpretasi dan menyetujui peristiwa masa lalu dan moral percept- nya (Wileden 1970:191-3; Watson 1971:88; Ellen 1982:128; Levy 1986:218; Bennet 1976: 273). Di samping itu, dua versi legenda desa dapat pula memperlihatkan transformasi struktur mental penduduk dalam sistem dengan aturan yang kaku akibat sejarah masa lalu dan transmisi antar generasinya (Allan 1975:63; Trigger 1978:76). Sumber sejarah memperlihatkan bahwa pada sekitar abad XIV, Sultan Agung dari Mataram telah meminta pengiriman 40.000 orang Madura untuk mengisi kekurangan tenaga pertanian di daerah Gresik (Fruin-Mess 1925:18). Pengiriman tidak menutup kemungkinan terjadi persebaran orang Madura ke arah barat; mengingat sejak abad XV-an, pelabuhan Tuban, Jaratan, Sedayu telah ramai oleh lalulintas manusia. Di lain pihak, tidak tertutup kemungkinan bahwa kemunculan versi legenda yang berbeda berkaitan dengan upaya melegitimasi suatu kelompok agar dapat diterima oleh kelompok yang sebelumnya telah ada. Hal ini berkaitan dengan hasil pertanggalan fragmen tulang dan jenis temuan di situs gua Perawan, maka kemunculan legenda diduga setelah abad XV. Besar kemungkinan kemunculan legenda berkaitan dengan arus perpindahan penduduk dari Madura yang diprakarsai Sultan Agung.
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. Penutup Hubungan manusia dengan lingkungan di pesisir Tuban-Lamongan telah ramai sejak masa prasejarah. Mobilitas manusia sejak masa prasejarah dominan berkaitan dengan keterbatasan dan ketersediaan kebutuhan mendasar manusia berupa sumber air tawar. Ketersediaan air tawar pada masa prasejarah dan Klasik cenderung masih tercukupi karena didukung lebatnya lingkungan hutan sebagai faktor penghambat sifat tanah porus dalam meresap air. Setelah abad XV atau setelah masa Klasik —masa Sultan Agung— keterbatasan sumber air tawar memunculkan legenda yang berkaitan dengan mampatnya sumber air. Permukiman di kawasan Tuban-Lamongan bersifat heterogen. Heterogenitas corak budaya sangat tampak seperti mosaik pada masa prasejarah dan Klasik. Selanjutnya, pada masa yang lebih kemudian, muncul dua versi legenda yang dapat dianggap sebagai upaya memenejemeni konflik setiap kelompok dalam melakukan kompromi di suatu kawasan; semakin nyata ketika dilakukan perubahan nama desa.
Daftar Pustaka Adam, Marie Jeanne, "Symbols of the Organized Community in East Sumba, Indonesia," Bijdragen Tot de Tall en Land en Volkenkunde 130 (Graven-
hage: Martinus Nijjhoff, 1974, pp. 324-349). Alland, Alexander, "Adaptation," Annual Review of Anthropology, 1975, pp. 59-73. Alley, W.C., Principles of the Animal Ecology (Philadelphia: W.B Saunders Company, 1959). Bemmelen, R.W van, The Geology of Indonesia (The Hague: Martinus Nijjhoff, 1949). Bennet, John W., The Ecological Transition: Cultural Anthropology an Human Adaptation (New York: Pergamon Press, 1976). Binford, Lewis R., In the Pursuit of the Past (New York: Collin Renfrew, 1983). Butzer, Karl W., Archaeology as Human Ecology (Cambridge: Cambridge University Press, 1984). Casparis, J.G. de, Airlangga (Surabaya: Penerbit Universitas, 1958). Dananjaya, James, Folklor Indonesia (Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1991). De Datta, Surajit K., Principles and Practices of Rice Production (Toronto: John Willey and Sons, 1981). Djafar, Hasan, "Sumber-sumber Prasasti tentang Tuban dan Sekitarnya," Diskusi Tuban Kota Pelabuhan Jalan Sutera dan Prospeknya di Masa Depan, 1991, belum terbit.
69
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. Ellen, Roy, Environment, Subsistence and System (Cambridge: Cambridge University Press, 1982) Fox, James J., Harvest of the Palm, Ecological Change in Eastern Indonesia (Cambridge: Cambridge University Press, 1977). Fruin-Mess, W., Geschidenis van Java Deel II, (Volk Lectuur: Weltevreden, 1925). Graf, H.J. dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jaiva: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (Jakarta: Grafiti Press, 1986). Groneveldt, W.P., Historical Notes on Indonesia and Malay Compiled from China Sources (Jakarta: Bhatara, 1960). Levy, Robert I., "Emotion, Knowing and Culture," Culture Theory, Essays on Mind, Self and Emotion (Cambridge: Cambridge University Press, 1982). Mills, J.V.G (ed.), Ma Huan Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean's Shores (Cambridge: Cambridge University Press, 1970). Noth, Winfred, Handbook of Semiotics (Bloomington:Indiana University Press, 1990). Orians, Gordon H., "Diversity, Stability and Maturity in Natural Ecosystem," Unifying Concept of Ecology (Wegenigen, 1974, pp. 139-149). Porteous, J.Douglas, Environment and Behavior (Massachussets: Addison Wesley, 1977). 70
Sedyawati, Edi, "Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singasari," disertasi (Jakarta: Universitas Indonesia, 1985). Tuban: Kota Pelabuhan di Jalan Sutera (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992). (
Sonnenfeld, Joseph, "Geography, Perception and the Behavioral Environment," Man, Space and Environment (New York: Oxford University Press, 1976, pp. 244-251). Sukadana, Adi A., Antropo-ekologi (Surabaya: Airlangga University Press, 1983). Beberapa Hasil Penelitian Sisa-Sisa Kerangka Manusia di Jawa Timur (Surabaya: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Jawa Timur, 1977). t
Trigger, Bruce, Time and Tradition: Essays in Archaeological Interpretation (New York: Columbia University Press, 1978). Triwuryani, Laporan Penelitian Survai Kepurbakalaan di Kawasan Karst Tuban, Kabupaten Tuban (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1989) Watson, Patty Jo, Explanation in Archaeology (New York: Columbia University Press, 1971). Wileden, Arthur F., Community Development (New York: The Bedminster Press, 1970).
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. Lampiran Tabel 1. Dating Fragmen Tulang dari Gua Pandean (Tuban) Sesuai Metode Sukadana kMCiihllt-.lAi I v i l ivilt Willi I No • « . I n d i k a t o r Fisik Tulanq • M B * Sil I B 111;» i n t i 10 10 10 10 10 5 10 10 10 1 Warna Tulanq Putih Kapur 10 10 10 10 10 10 10 10 2 Permukaan Tulang Eroded 10 10 10 10 10 10 10 10 10 20 3 Permukaan Tulang Opaque 50 50 4 Sifat/Suara Keramik Tulang 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 5 Hilangnya Daya Lenting 50 50 6 Blade Test: + + W 100 100 100 100 100 100 100 100 100 10 10 10 7 Fraktura Splintering 10 0 10 0 10 20 50 50 50 50 8 Fraktura Remuk 50 50 0 50 50 20 0 20 20 20 20 0 9 Fraktura Membubuh 20 0 10 10 10 10 10 10 10 10 Trabeculae Eroded 10 10 10 11 Trabeculae Opaque 10 10 10 10 10 10 10 10 12 Kerah Matrik Yang Keras 20 20 20 20 20 20 20 40 40 100 13 Bone Cavity Lining Complete 100 100 100 100 100 100 100 100 0 14 Bone Cavity Lining Partial 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 Bone Cavity Lining Sporadic 25 0 0 10 10 10 10 10 10 16 Single Crystal 10 10 10 50 17 Multiple/Complex Crystals 50 50 50 50 50 50 50 50 10 10 10 10 18 Fine Crystals 10 10 10 10 10 100 100 50 50 50 100 100 100 100 19 Large Crystals 10 10 10 10 20 Single Crystal Layer 10 10 10 10 10 21 Multiple Crystal Layer 50 50 100 50 50 50 50 50 50 50 50 100 50 50 50 50 50 22 Crystaline Bone Substitution 50 Jumlah Nilai Indikator- teo 795 670 v 680 ¡§730 720 710 710 Diolah oleh Yusuf Ernawan, Program Studi Antropologi FISIP Unair, 2000.
mm.mm
Q
I » iiXli 10 10 10 10 10 10 50 50 50 50 100 100 0 0 50 0 20 20 10 10 10 10 20 40 100 100 0 0 0 0 10 10 50 50 10 10 50 50 10 10 50 50 50 50 £70 -.640
Tabel 2. Dating Fragmen Tulang dari Gua Perawan (Lamongan) Sesuai Metode Sukadana Indikator Fisik Tulahci « N i l a l i i i ; tints lilllli IVtvri VIII No Nto 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 1 Warna Tulanq Putih Kapur 5 10 10 10 10 10 10 10 10 10 2 Permukaan Tulang Eroded 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 3 Permukaan Tulanq Opaque 50 50 0 25 4 Sifat/Suara Keramik Tulanq 50 25 50 25 50 25 25 50 30 50 50 50 50 50 50 50 50 50 5 Hilangnya Daya Lentinq 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 6 Blade Test: + + N 10 0 0 10 10 7 Fraktura Splintering 0 0 10 10 10 0 50 50 50 50 50 50 0 50 50 50 50 8 Fraktura Remuk 10 20 20 0 10 20 20 0 20 20 10 9 Fraktura Membubuh 10 10 10 10 10 10 10 10 Trabeculae Eroded 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 11 Trabeculae Opaque 20 20 20 12 Kerah Matrik Yanq Keras 20 20 20 20 20 40 20 20 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 13 Bone Cavity Lininq Complete 14 Bone Cavity Lininq Partial 50 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 Bone Cavity Lininq Sporadic 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 16 Sinqle Crystal 17 Multiple/Complex Crystals 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 18 Fine Crystals 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 50 50 50 50 50 50 50 50 100 25 19 Large Crystals 50 20 Sinqle Crystal Layer 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 50 21 Multiple Crystal Layer 50 50 50 50 50 50 50 50 50 25 22 Crystaline Bone Substitution 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 X Jumlah Nilai Indikator 1670 «670 660 625 •I!l645 660 1645 :iiJi)750 650 585 Diolah oleh Yusuf Ernawan, Program Studi Antropologi FISIP Unair, 2000.
71
Yusuf Ernawan, "Perilaku Permukiman Sejak Masa Prasejarah di Kawasan Tuban-Lamongan: Studi Paleo-ekologi Macrospace Tinggalan Prasejarah, Klasik, Folklore," Manusia Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Noinur 3, Juli 2001, 61-72. Tabel 3. Scoring dan Umur Tulang dari Beberapa Situs di Indonesia No, 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 1 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21, 22. 23. 24. 25.
Material
:
Liang Bua Liang Toge Liang Momer Anyer Gilimanuk Komodo Palindi Muncar A Rengasdengklok (Bekasi) Lewoleba Melolo Tuban-Bancar Tengkorak VIII (Snell) Surabaya Selondang Liang Leluat Gua Gabar Kelor VIII Kelor VII Gresik (abad XV-XVI) Gorontalo Kelor V Gua A (Snell) Kelor IV Gresik (abad XVI-XVII) Kelor VI Muncar B Gresik (abad XVII-XVIII) Kelor I Gresik (abad XVIII-XIX) Alas Purwo (umur ± 10 tahun)
Score j Daerah Asal' 780 770 730 930" 910* 685 685 680 680 680 660 650 650 640 605 585 585 565 540 515 505 490 485 465 455 405 400 385 225 190 25
Flores Flores Flores Jawa Barat Bali P. Komodo Sumba Jawa Timur Jawa Barat P. Lomblen Sumba Jawa Timur ? Jawa Timur Bali Timor Jawa Timur Jawa Barat Jawa Barat Jawa Timur Sulawesi Jawa Barat Sulawesi Jawa Barat Jawa Timur Jawa Barat Jawa Timur Jawa Timur Jawa Barat Jawa Timur Jawa Timur
.
- Perkiraan Umur/Jaman
Neolitikum (Soejono; Sukadana) C14 = 3550 ± 525 tahun (Jacobl Mesolitikum (Jacob) Neolitikum (Jacob) Permulaan jaman logam (Soejono) Mesolitikum 3000-5000 tahun (Sukadana) Permulaan jaman logam (Soejono) Permulaan jaman logam (Sukadana) Neolitikum Permulaan jaman logam (Lie Goan Liong) Permulaan jaman logam (Soejono) Abad XIV ? (Sukadana) Abad XII-XIII (Sukadana)
Abad XV-XVI (Sukadana)
Abad XVI-XVII (Sukadana)
Abad XVII-XVIII (Sukadana) Abad XVIII-XIX (Sukadana) 10-11 tahun
Sumber: Sukadana1977:46.
»menurut penilaian kami, score menjadi ekstrim disebabkan oleh temuan yang terdapat pada tepian pantai yang sangat dipengaruhi air laut, sehingga dapat mempengaruhi pengamatan atau pertumbuhan kristal dalam trabecullae tulang.
72