Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
HUNIAN PRASEJARAH GUA KARAS KAIMANA Hari Suroto (Balai Arkeologi Jayapura) Abstract Excavations conducted at the site Gua Karas managed to open three boxes in sector I, the box GKQI (I6) dig as deep as 150 cm, box GKQI (F5) dig as deep as 130 cm, box GKQI (F6) dig as deep as 120 cm. This excavation produced findings are quite varied material culture that fragments of ceramic, pottery fragments, metal fragments, human bones, the remains of food in the form of shells of marine molluscs, freshwater mollusc shells, bone, various types of fauna, plant seeds, and charcoal combustion. Utilization Karas cave as a place to live based on the natural resources available in the vicinity, also based on the comfort and safety Cave Karas from natural disturbances. Utilization Cave Karas intensively marked by numerous archeological findings in the form of everyday equipment (artifacts) and food waste (ekofak) in the thick cultural layers. The findings demonstrate the use of multi-function varies Cave Karas, besides shelter also serves as the burial. Man Cave Karas cultural support in the past depends on the natural resources around. Based on the findings of leftovers in the form of marine mollusc shells and fish bones, indicating human cruising supporting Karas Caves in getting food source to reach the coast. Besides supporting man cave karas also made contact with the outside, this is evidenced by the findings of fragments of iron, ceramics and pottery. Key words: Karas cave, material culture, multifunction Latar Belakang Kehidupan manusia masa prasejarah, dalam mempertahankan hidupnya bergantung pada sumber daya alam sekitarnya. Seiring dengan tingkat kecerdasan dan teknologi yang dikenalnya, manusia saat itu lebih mampu mempertahankan hidupnya Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
15
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
dan mengeksploitasi alam daripada masa sebelumnya yang masih mengembara. Hal ini terlihat dalam pola hidup mereka untuk bertempat tinggal menetap dengan memanfaatkan gua (cave) atau ceruk (rock shelter) (Nurani, 2008: 154). Pemilihan tempat tinggal, jenis makanan dan bahan-bahan peralatan hidup dapat dipandang sebagai indikasi dalam upaya strategi adaptasi manusia masa prasejarah. Wilayah Papua dari segi tutupan batuan batugampingnya (limestone) adalah kawasan yang paling luas di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa formasi karst menyimpan historis yang sangat unik, rumit dan kompleks. Gua-gua batuan kapur seperti pada umumnya menjadi bukti nyata lorong konservasi dari kejadian sejarah organisme dan partikel lainnya. Struktur bangun gua-gua (fraktur, struktur, komposisi) dapat menyimpan semua kejadian tektonik dan paleo-klimatologi masa lalu. Selain itu, komposisi sedimentasi gua menjadi penanda yang baik tentang sejarah jejaring hidrologi bawah tanah. Setiap kubangan di dalam gua mampu mengakumulasi semua bukti-bukti fosil organisme, bukti dari catatan sejarah keanekaragaman hayati masa lampau (Sukamto, 2000). Situs-situs hunian prasejarah banyak terdapat di topografi kars berupa gua-gua batugamping. Ini artinya bahwa Papua mestinya banyak terdapat gua-gua yang berpotensi sebagai tempat hunian prasejarah. Secara umum menurut Veth et al. (1998: 161) bukti menunjukkan kehidupan hunian gua di Pulau New Guinea (Papua dan Papua New Guinea) berlangsung pada 20.000 tahun yang lalu. Di Papua Nugini dilaporkan penemuan beberapa situs hunian gua, terutama di kawasan pantai utaranya berlangsung pada 35.000 hingga 14.000 tahun yang lalu (Gorecki, 1996; Lilley, 1998: 143). Sedangkan untuk wilayah Papua, dari hasil penelitian Juliette M. Pasveer (1998:74) di kawasan kars Kepala Burung diketahui penghunian gua berlangsung 26.000 hingga 8000 tahun yang lalu. Teluk Arguni yang sempit memanjang seperti sungai besar diapit pegunungan berrelief kasar karst Lengguru, pada kontak antara kaki pegunungan dengan permukaan laut atau danau terdapat beberapa gua. Survei yang dilakukan oleh tim Ekspedisi Intersains Lengguru-Kaimana 2010 di Teluk Arguni berhasil menemukan Gua Karas yang berpotensi sebagai hunian prasejarah. Secara administratif, Gua Karas terletak di Desa Urisa, Distrik Arguni Bawah pada koordinat E: 030 18’ 23.7” dan S: 1330 45’ 02.4” merupakan gua yang sangat luas dengan lantai rata, permukaan kering, sedimen tebal dan mengandung beberapa temuan arkeologi pada permukaan lantai gua (http://lengguru.org). 16
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
Berdasarkan hasil survei permukaan dan pembukaan lubang uji (tespit) dalam ekspedisi tersebut menunjukkan bahwa Gua Karas memiliki potensi arkeologis yang tinggi. Karakter budaya kehidupan di gua berupa sisa makanan baik fauna darat maupun air, fragmen gerabah dan rangka manusia ditemukan di gua ini. Sisa-sisa materi budaya tersebut mengindikasikan bahwa situs Gua Karas pernah dimanfaatkan oleh manusia dalam jangka waktu yang cukup lama. Meski telah dilakukan penelitian oleh tim ekspedisi Lengguru namun ada sejumlah hal yang belum terjawab dan guna mendukung interpretasi yang luas maka perlu dilakukan penelitian tahap berikutnya. Untuk itu sangat penting dilakukan penelitian lanjutan dengan ekskavasi sehingga dapat mengungkap pemanfaatan gua oleh manusia pendukungnya. Permasalahan Gua sebagai tempat beraktivitas manusia prasejarah tentunya meninggalkan jejakjejak fisik sebagai gambaran aktivitas yang telah berlangsung. Untuk itu dalam penelitian ini akan diungkap beberapa masalah yaitu: 1. Ragam temuan arkeologis apa saja yang terdapat di situs Gua Karas? 2. Bagaimana pola pemanfaatan Gua Karas oleh manusia pendukungnya? 3. Bagaimana pola adaptasi manusia penghuni Gua Karas terhadap lingkungan alam sekitarnya dalam mempertahankan hidupnya? Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menjawab permasalahan di atas, yaitu untuk mengidentifikasi ragam temuan arkeologis yang terdapat di Gua Karas; mengetahui pola pemanfaatan Gua Karas oleh manusia pendukungnya; mengetahui pola adaptasi manusia penghuni Gua Karas terhadap lingkungan alam sekitarnya dalam mempertahankan hidupnya. Jika dikaitkan dengan tujuan ilmu arkeologi mengandung pemahaman yang berlandaskan kepada tiga paradigma kebudayaan (Binford, 1972: 78), data arkeologi yang diperoleh dalam penelitian ini untuk selanjutnya dipergunakan sebagai bahan dalam merekonstruksi cara hidup, menyusun sejarah budaya, dan mengetahui proses kebudayaan manusia yang pernah beraktivitas di Gua Karas pada masa lalu. Sasaran penelitian adalah temuan arkeologis di Gua Karas.
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
17
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
Metode Penelitian Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: a. Studi pustaka berupa penelusuran data baik itu sumber dari internet maupun literatur yang berkaitan dengan Gua Karas sebagai bahan acuan dalam pembuatan desain dan strategi pelaksanaan penelitian yang nantinya dapat menjadi panduan dalam kegiatan penelitian. b. Survei di Gua Karas dengan cara mengamati permukaan lantai gua, selain itu juga dilakukan survei permukaan di lingkungan sekitar gua untuk mendapatkan data arkeologi dalam konteks dengan lingkungan sekitarnya. c. Ekskavasi menggunakan metode box, grid, quadrant, dengan teknik spit, interval ketebalan 10 cm, luas kotak yang dipatok dan digali seluas 1 X 1 m. Dengan ekskavasi diharapkan akan diperoleh keterangan mengenai bentuk temuan, hubungan antartemuan, hubungan stratigrafis, hubungan kronologis, tingkah laku manusia pendukungnya serta aktivitas setelah temuan terdepositkan. Analisis data dilakukan dengan analisis artefak, analisis startigrafis, dan analisis kontekstual. Analisis artefak menitikberatkan pada ciri-ciri fisik artefak yaitu bentuk, ukuran, warna, teknologi dan gaya, analisa stratigrafi berupa interpretasi lapisan tanah untuk menjelaskan kronologi situs sedangkan analisis kontekstual menitikberatkan pada hubungan antar data arkeologi. Pembahasan Ekskavasi dalam penelitian ini menggunakan metode box, grid, quadrant, dengan teknik spit, interval ketebalan 10 cm, luas kotak yang dipatok dan digali seluas 1 X 1 m. Ekskavasi ini berhasil membuka tiga kotak pada sektor I, yaitu kotak GKQ1 (I6) digali sedalam 150 cm, kotak GKQ1 (F5) digali sedalam 130 cm, kotak GKQ1 (F6) digali sedalam 120 cm. Fragmen gerabah ditemukan di kotak GKQ1 (I6) pada spit 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1; di Kotak GKQ1 (F5) pada spit 6, 5, 4, 3, 2; di kotak GKQ1 (F6) spit 10, 7, 4, 3. Analisis dengan mengamati orientasi tepian diketahui tepian terbuka dengan bentuk gerabah jenis periuk polos dan periuk berhias, hasil pengematan pada permukaan fragmen gerabah diketahui gerabah dibuat dengan teknik tangan, hal ini terlihat adanya cekungan bekas tekan jari, ketebalan gerabah tidak merata. Warna bagian permukaan hitam, penampang 18
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
lintang hitam, menunjukkan proses pembakaran di tempat terbuka. Motif hias geometris dibuat dengan teknik gores. Analisis terhadap bahan pembuat gerabah diketahui berupa tanah liat dengan temper pasir. Terdapat jejak pakai berupa jelaga, mengindikasikan gerabah berfungsi untuk memasak. Artefak berbahan tulang berupa alat. Alat tulang ditemukan di kotak GKQ1 (F5) pada spit 4, 12 dan 13, di kotak GKQ1 (I6) pada spit 1, 2 dan 14. Alat tulang berupa lancipan pada bagian distal berbentuk meruncing dan terdapat bekas-bekas pengerjaan berupa goresan pada pangkal. Diperkirakan lancipan tulang ini berkaitan dengan aktivitas pencungkilan isi kerang. Alat tulang berbentuk mata panah ditemukan di kotak GKQ1 (I6) pada spit 3, berukuran panjang 4,8 cm, lebar 1,8 cm, tebal 1,4 cm, proses pembentukan alat ini diketahui dengan pemangkasan pada distal dan proksimal. Setelah itu penghalusan permukaan bekas pangkasan. Artefak logam ditemukan di kotak GKQ1 (I6) spit 3, berdasarkan pengamatan warna patina hitam diketahui fragmen artefak logam berbahan besi (Fe) jenis senjata parang, panjang 3 cm, lebar 4 cm dan tebal 1,5 cm. Parang diperkirakan dibuat dengan teknik tempa. Fragmen tepian keramik bagian tepian ditemukan di kotak GKQ1 (I6) spit 2, panjang 2,5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 0,2 cm dan kotak GKQ1 (F6) spit 2 panjang 2,8 cm, lebar 1,9 cm, tebal 0,2 cm. Pengamatan terhadap orientasi, ketebalan dan diameter tepian diketahui bentuk utuhnya yaitu mangkuk. Bahan porselin warna putih, hiasan warna biru, motif hiasan geometris. Perhiasan kerang ditemukan di kotak GKQ1 (I6) spit 6, berupa fragmen gelang berukuran panjang 5,8 cm, lebar 1,1 cm, tebal 0,5 cm dan di kotak GKQ1 (F5) spit 10 berukuran panjang 3,5 cm, lebar 1 cm, tebal 0,7 cm, sedangkan perhiasan berbentuk lingkaran (simetris) dengan permukaan rata ditemukan di kotak GKQ1 (I6) yaitu pada spit 3 dengan ukuran diameter 1,3 cm tebal 0,2 cm, dan di spit 6 dengan ukuran diameter 3,6, tebal 0,4 cm. Dengan mengamati jejak-jejak pengerjaan diketahui bentuk lingkaran dibuat dengan teknik pemangkasan kemudian ditengahnya diberi lubang kecil dengan dibor menggunakan alat yang ujungnya lancip. Cangkang moluska yang ditemukan dalam kotak ekskavasi terdiri atas utuh, pecah, keropos, warna putih, dan coklat kehitaman. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan teknik pengolahan makanan. Cangkang moluska yang cenderung berwarna agak kecoklatan dan kehitaman dengan kondisi cangkang yang keropos mengindikasikan proses pengolahan dibakar terlebih dulu sebelum dikonsumsi. Sedangkan kondisi cangkang utuh warna Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
19
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
cangkang tidak berubah sesuai dengan aslinya mengindikasikan bahwa moluska tidak diproses sebelum dikonsumsi atau dikonsumsi mentah. Moluska famili veneridae dan archidae dikonsumsi langsung dengan cara membuka bagian pinggir dari sisi panjang moluska (width) untuk kemudian diambil isi dagingnya. Sedangkan famili Tridacnidae dibuka dengan merusak setengah dari bagian cangkang moluska atau dengan merusak bagian badan moluska di sekitar bagian varik (alur-alur vertikal pada badan) sehingga badan moluska berlubang. Dengan mengamati cangkang moluska kelas gastropoda dapat diketahui cara pengambilan isi dagingnya yaitu cara pertama, daging diambil langsung tanpa merusak cangkangnya yaitu pada moluska famili littorinidae, terebridae, costellariidae yang memiliki lubang yang besar di dekat columella (bagian dari badan moluska yang berlubang, tempat keluar masuknya moluska), sehingga cenderung lebih mudah diambil dagingnya. Cara kedua yaitu, dengan cara memotong bagian apex (ujungnya) hingga menyisakan setengah dari badan moluska untuk kemudian diambil dagingnya melalui lubang yang mendekati columella dengan cara disedot yaitu pada moluska famili trochiidae, cara ketiga yaitu hanya merusak bagian badan hampir di seluruh lubang yang mendekati columella dan melalui lubang itu dagingnya diambil dengan disedot yaitu pada moluska famili trochiidae. Cara keempat yaitu dengan merusak setengah dari bagian cangkang moluska yang berukuran besar seperti Stromboidae. Temuan arang ditemukan di kotak GKQ1 (F5) pada spit dua hingga empat belas, di kotak GKQ1 (F6) pada spit 1, 3, 6, 7, 8, 10, 11, 12 di kotak GKQ1 (I6) pada spit 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10. Dengan adanya arang mengindikasikan adanya aktivitas pembakaran. Temuan ekofak lainnya yaitu buah kenari yang ditemukan di GKQ1 (I6) spit 2, biji tumbuh-tumbuhan ditemukan di kotak GKQ1 (I6) spit 2, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 14, dan 15. Di kotak GKQ1 (F6) ditemukan di spit 7, 10, 11, 12. Di kotak GKQ1 (F5) di spit 10 dan 11. Temuan buah kenari yang ditemukan dalam kondisi tidak utuh (terbelah), buah kenari dibelah menjadi dua guna mengambil isi di dalamnya, hasil pengamatan terhadap lingkungan sekitar situs diketahui terdapat pohon kenari. Tulang manusia yang ditemukan dari tiga kotak ekskavasi dominan fragmen, hanya satu yang utuh yaitu tulang vertebra torakalis di kotak GKQ1 (I6) spit 3. Secara fisik Gua Karas memiliki ruang luas, kondisi gua nyaman dan aman, pencahayaan bagus, permukaan lantai rata dan kering, sirkulasi udaranyapun baik, dekat dengan sumber air. Gua Karas sangat potensial dimanfaatkan manusia sebagai tempat 20
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
tinggal dan beraktivitas. Selain itu pemilihan lokasi yang dekat dengan sungai berkaitan dengan fungsi sungai yang memudahkan ruang gerak. Gua Karas dimanfaatkan secara intensif ditandai dengan banyaknya temuan arkeologis berupa peralatan sehari-hari (artefak) maupun sisa makanan (ekofak) dalam lapisan budaya tebal. Temuan yang bervariasi menunjukkan pemanfaatan multi fungsi Gua Karas. Selain tempat tinggal (hunian) juga berfungsi sebagai penguburan. Manusia pendukung budaya Gua Karas pada masa lalu sangat tergantung dengan sumberdaya alam di sekitar. Hasil analisis terhadap tulang binatang diketahui hewan yang diburu dan dikonsumsi adalah kanguru, tikus tanah, burung, kelelawar, kus-kus, ikan laut, kura-kura, kepiting, moluska air tawar dan moluska air laut. Kepiting, moluska dan kurakura merupakan objek perburuan yang cenderung jinak dan mudah untuk diburu. Dengan melihat ragam jenis fauna yang diburu, mengindikasikan telah ada struktur sosial awal dalam pembagian kerja. Hal ini dengan pertimbangan luas dan bahayanya areal perburuan serta kemampuan individu baik itu fisik maupun keterampilan. Dalam kegiatan perburuan maka jelajah wilayahnya tentu sangat luas sehingga memerlukan waktu yang lama dan fisik yang relatif kuat begitu juga dengan aktivitas memburu/membunuh binatang juga memerlukan fisik yang kuat sehingga orang tua, perempuan dan anak-anak kemungkinan besar tidak dilibatkan dalam kegiatan ini. Untuk mengisi waktu luang dalam upaya menunggu hasil buruan kelompok laki-laki maka kemungkinan para wanita, orang tua dan anak-anak tinggal di pemukiman dan mengeksploitasi lingkungan sekitar dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Kehidupan penghuni Gua Karas selain berburu juga meramu hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hasil hutan yang banyak dicari oleh penghuni Gua Karas adalah kenari dan biji tumbuhan. Berdasarkan temuan sisa makanan berupa cangkang moluska laut dan tulang ikan laut, mengindikasikan jelajah manusia pendukung Gua Karas dalam memperoleh sumber makanan, hingga pesisir pantai. Hal ini dimungkinkan oleh faktor iklim yang tidak selalu menyediakan bahan pangan sejenis setiap harinya. Artinya bahan pangan jenis tertentu tidak selalu melimpah di lokasi setiap hari, jadi kadangkala jumlahnya cenderung berkurang. Untuk menyingkapi kondisi tersebut manusia pendukung Gua Karas melakukan perburuan yang lebih intensif di sekitar hunian hingga pesisir pantai.
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
21
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
Terdapat jenis moluska tertentu yang dominan ditemukan maka dapat diasumsikan bahwa moluska jenis ini merupakan makanan favorit, selain itu diperkirakan sangat mudah dalam mendapatkannya. Jenis moluska laut yang paling banyak ditemukan baik di kotak GKQ1 (I6), kotak GKQ1 (F5), kotak GKQ1 (F6) yaitu kelas bivalvia famili veneridae. Jenis moluska air tawar yang paling banyak ditemukan di kotak GKQ1 (F.5) dan kotak GKQ1 (I6) adalah kelas gastropoda famili littorinidae sedangkan jenis moluska air tawar yang paling banyak ditemukan di kotak GKQ1 (F6) adalah kelas gastropoda famili naticidae. Keberadaan fragmen gerabah pada kotak GKQ1 (I6) pada spit 7, GKQ1 (F5) pada spit 6, kotak GKQ1 (F6) spit 10, dapat diasumsikan bahwa manusia penghuni situs Gua Karas telah mengenal gerabah, secara umum keberadaan gerabah yang ditemukan pada situs prasejarah dikaitkan dengan budaya neolitik. Temuan fragmen gerabah mengindikasikan bahwa telah ada aktivitas pengolahan bahan pangan yang lebih variatif yaitu direbus. Pengamatan terhadap jenis tanah di sekitar gua karas tidak memungkinkan sebagai bahan pembuat gerabah, maka dapat diasumsikan keberadaan gerabah berasal dari luar. Temuan arang dan abu bekas perapian merupakan bukti aktivitas memasak mereka. Cangkang moluska hitam bekas terbakar. Pada kotak GKQ1 (I6) spit 1, 2, 3 dan kotak GKQ1 (F5) spit 4 ditemukan fragmen gerabah yang berkonteks alat tulang, yang membuktikan bahwa alat tulang tetap dipertahankan produksi dan pemakaiannya, di saat gerabah mulai muncul dan berperan dalam aktivitas sehari-hari di gua ini. Data sisa manusia yang didapatkan di Gua Karas berupa fragmen tulang dan gigi mengindikasikan adanya gejala penguburan. Tulang manusia yang ditemukan di Gua Karas dimakamkan pada lokasi yang sangat baik untuk beraktivitas. Konsep tersebut sangat erat hubungannya dengan adanya religi masyarakat tentang keinginan selalu dekat dengan leluhurnya. Sistem penguburan primer yaitu proses penguburan manusia yang dilakukan di Gua Karas tersebut didahului dengan membuat lubang kubur dan individu dimasukkan ke lubang kuburnya dan kemudian ditimbun. Di atas lokasi penguburan tersebut kemudian digunakan sebagai lokasi tempat beraktivitas. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya temuan artefak dan ekofak. Berdasarkan data arkeologi yang ditemukan, dapat diinterpretasikan berkaitan dengan kronologi hunian di situs Gua Karas, yaitu sejak neolitik dengan temuan gerabah 22
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
di kotak GKQ1 (I6) pada spit 7, GKQ1 (F5) pada spit 5, kotak GKQ1 (F6) spit 10, berlanjut hingga masa perundagian dengan adanya temuan fragmen besi di kotak GKQ1 (I6) spit 3. Kesimpulan Hasil ekskavasi di Gua Karas menghasilkan temuan yang signifikan, baik itu artefak maupun ekofak. Artefak berupa fragmen besi (ujung parang), fragmen keramik, fragmen gerabah, dan alat tulang. Ekofak berupa tulang dan gigi manusia, tulang dan gigi binatang, cangkang moluska, buah kenari dan biji tumbuhan. Selain itu ditemukan juga arang. Berdasarkan temuan yang ada dapat diketahui fungsi dari Gua Karas merupakan situs tempat tinggal (hunian) yang menyatu dengan kuburan, hal ini dapat dilihat dari adanya temuan sisa-sisa aktifitas manusia masa lampau dan temuan tulang dan gigi manusia. Penguburan yang dilakukan Gua Karas adalah penguburan langsung. Manusia pendukung Gua Karas hidup berburu dan mengumpulkan tumbuhtumbuhan. Fauna yang diburu yaitu fauna darat, dan fauna air. Berdasarkan temuan sisa makanan berupa cangkang moluska laut dan tulang ikan, mengindikasikan daya jelajah manusia pendukung Gua Karas dalam mendapatkan sumber makanan hingga menjangkau pesisir. Selain itu manusia pendukung Gua karas juga mengadakan kontak dengan luar, hal ini dibuktikan dengan adanya temuan fragmen besi, keramik dan gerabah. Pola pemanfaatan lahan Gua Karas, berdasarkan sebaran temuan pada tiga kotak ekskavasi menunjukkan lapisan atas didominasi cangkang moluska, sedangkan lapisan bawah didominasi temuan tulang binatang. Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan gua, tidak didasarkan pemanfaatan untuk per aktivitas. Kemungkinan pemanfaatan lahan gua dilakukan dengan pembagian lahan untuk aktivitas beberapa kelompok penghuni. Dengan kata lain Gua Karas dihuni oleh beberapa kelompok atau keluarga yang menempati bagian lahan tertentu untuk setiap kelompoknya, sehingga jejak aktivitasnya relatif sama antarlahan. Untuk mengetahui kronologi situs Gua Karas perlu dilakukan dating terhadap sampel arang dari kotak GKQ1 (F5) mulai dari spit dua hingga empat belas, di kotak GKQ1 (F6) sampel arang dari spit 1, 3, 6, 7, 8, 10, 11, 12. Sampel arang Kotak GKQ1 (I6) dari spit 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 14. Guna mengetahui ras manusia yang menghuni Situs Gua Karas perlu dilakukan analisis laboratoris terhadap tulang dan gigi manusia. Selain itu perlu dilakukan analisis Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
23
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
biologis terhadap gigi dan tulang binatang yang sebagian belum teridentifikasi. Untuk mendukung interpretasi yang luas perlu penggalian lanjutan di kotak yang sama. Keberadaan cangkang telur burung maleo diperkirakan situs sudah dalam kondisi teraduk, sehingga untuk mendukung interpretasi yang luas perlu penggalian lanjutan di kotak yang sama. Untuk menjaga keberadaan dan kelestarian Situs Gua Karas, maka Balai Purbakala Ternate perlu menunjuk juru pelihara situs yang berasal dari masyarakat asli setempat.
DAFTAR PUSTAKA Binford, Lewis R. 1972. Archaeological Perspective. New York: Seminar Press. Butzer, K. W. 1964. Environment and Archaeology. London: Methuen. http://lengguru.org diakses 20 Februari 2012 pukul 10.00 WIT. Gorecki, P. 1996. Early Pottery from Two Rockshelter near Vanimo, Papua New Guinea: Some Stratigraphic and Chronological Considerations. Makalah yang disampaikan dalam Conference on the Western Pacific, 5000 to 2000 Before Present diselenggarakan kerjasama Museum Nasional Vanuatu – Universitas Nasional Australia - ORSTOM. Port Villa, Vanuatu. http://geologi.iagi.or.id/2010/03/10/plato-gamping-ayamaru-papua-dan-hunianprasejarah/diakses 13 November 2011. Kisman dan Bambang Nugroho Widi. 2007. Inventarisasi Mineral logam di Kabupaten Kaimana, Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat). Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan non Lapangan Tahun 2007. Pusat Sumberdaya Geologi. Lilley, Ian. 1998. “East of Irian: Archaeology in Papua New Guinea” dalam Gert-Jan Bartstra (ed.), Bird’s Head Approaches; Irian Jaya Studies; A Programme for Interdisciplinary Research. Rotterdam/Brookfield: Balkema. Hlm. 135-156. Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books. Nurani, Indah Asikin. 2008. “Pola-pola Pemanfaatan Gua Kawasan Timur Jawa” dalam 24
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Hari Suroto Hunian Prasejarah Gua Karas Kaimana
Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi Ke-IX Kediri, 23-28 Juli 2002. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 95-112. Pasveer, Juliette M. 1998. “Kria Cave: An 8000-year Occupation Sequence from the Bird’s Head of Irian Jaya” dalam Gert-Jan Bartstra (ed.), Bird’s Head Approaches; Irian Jaya Studies; A Programme for Interdisciplinary Research. Rotterdam/ Brookfield: Balkema. Hlm. 66-89. Sukamto, Rab. 2000. Pengetahuan Geologi Indonesia Tantangan dan Pemanfaatan. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Tim Penyunting. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Veth, Peter, Mattew Spriggs, Ako Jatmiko, and Susan O’Connor. 1998. “Bridging Sunda and Sahul; The Archaeological Significance of the Aru Islands, Southern Moluccas” dalam Gert-Jan Bartstra (ed.), Bird’s Head Approaches; Irian Jaya Studies; A Programme for Interdisciplinary Research. Rotterdam/Brookfield: Balkema. Hlm. 157-177. Wiradnyana, Ketut. 2011. Prasejarah Sumatera Bagian Utara: Kontribusinya pada Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
25