POLA OKUPASI GUA KIDANG, HUNIAN MASA PRASEJARAH KAWASAN KARST BLORA Indah Asikin Nurani A. Hasil Penelitian Selama Enam Tahap Hasil penelitian sampai pada tahap keenam (2012), dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
Pola adaptasi manusia penghuni Gua Kidang dalam mempertahankan hidupnya dengan penjadwalan musim untuk mengkonsumsi pangan. Pada musim kering mereka mengkonsumsi binatang invertebrata yaitu jenis kerang dan siput, sedangkan pada musim basah mereka mengkonsumsi binatang jenis vertebrata. Asumsi tersebut diperkuat dengan bukti stratigrafi silang siur pada lapisan atas didominasi temuan cangkang moluska spesies kerang dan siput baik berupa artefak maupun ekofak (sisa makanan), sedangkan pada lapisan bawah didominasi temuan tulang binatang darat terutama jenis vertebrata baik berupa artefak maupun ekofak. Selain itu, berdasarkan proses pengendapan membuktikan pada lapisan bawah terjadi penggumpalan dengan tingkat kelembaban sedang. Proses pengendapan tersebut disebabkan kondisi tanah basah. Pola pemanfaatan lahan gua Kidang, berdasarkan sebaran temuan pada kotak-kotak ekskavasi menunjukkan temuan relatif sama antarkotak, perbedaan terlihat pada per lapisan tanah yaitu pada lapisan atas didominasi cangkang moluska, sedangkan lapisan bawah didominasi temuan tulang vertebrata. Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan gua, tidak didasarkan pemanfaatan untuk per aktivitas. Kemungkinan pemanfaatan lahan gua dilakukan dengan pembagian lahan untuk aktivitas beberapa kelompok penghuni. Teknologi yang diterapkan dalam pembuatan alat dari cangkang kerang dan tulang menunjukkan tingkat teknologi relatif tinggi dibandingkan teknik pengerjaan alat kerang dan tulang temuan dari gua-gua lainnya di Jawa. Selain dari segi teknik pengerjaan, jenis alat atau perhiasan yang diproduksi juga memiliki variasi dan tipe yang lebih beragam dibandingkan dengan temuan alat dan perhiasan cangkang kerang dan tulang dari gua-gua di Jawa lainnya. Dari bahan cangkang yang digunakan untuk peralatan menunjukkan juga pemanfaatan yang maksimal tidak hanya dari cangkang class pelecypoda, tetapi juga dari class gastropoda. Hal tersebut yang sampai saat ini belum ditemukan di gua-gua hunian di Jawa. Adapun alat dari batu atau litik tidak berkembang dengan baik, umumnya alat litik dibuat untuk kebutuhan mengasah cangkang dan tulang sehingga teknik-teknik pangkasan sebagaimana dalam pembuatan serpih – bilah tidak ada. Selain itu, bahan baku batu yang tersedia di sekitar gua dan lingkungan sekitar tidak menyediakan bahan batu dengan silikaan tinggi, sebagian besar bahan baku yang tersedia adalah rijang merah dan kuning, serta batu andesit. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan alat batu bukan sebagai alat utama, namun sebagai alat pendukung saja. Namun, berdasarkan teknologi yang diterapkan pada pembuatan alat dan perhiasan dari cangkang kerang dan tulang, tampaknya penerapan teknologi pembuatan alat batu dilakukan. Diduga manusia penghuni gua Kidang penerapkan teknologi alat batu pada bahan cangkang kerang dan tulang. Data kubur membuktikan telah dikenalnya adanya kehidupan lain setelah kehidupan di dunia. Ini menunjukkan manusia saat itu meyakini adanya kekuatan lain berupa supranatural yang harus dihormati dan disucikan. Selain itu, sistem penguburan akan menyingkap segala aspek kehidupan manusia gua baik dari aspek sosial-budaya, ekonomi
(mata pencaharian) maupun aspek religi yang dianut manusia saat itu. Adanya orientasi kubur (barat - timur) yang dipercaya sebagai unsur hidup – mati (matahari terbit – matahari tenggelam). Posisi terlipat yang dipercaya sebagai posisi janin, dengan pengertian lahir kembali dalam kehidupan lain. Temuan rangka Homo sapiens penghuni gua Kidang yang ditemukan di kotak T6S1 berupa rangka bagian bawah (kaki) memperjelas bahwa penghuni gua Kidang telah mengenal ritual memperlakukan mayat. Sistem penguburan yang telah diketahui berdasarkan temuan rangka ini adalah susunan bongkahan batu gamping berorientasi baratlaut – tenggarayang menimbun rangka, penaburan remis-remis cangkang kerang dan remukan batugamping merah, serta beberapa penyertaan fragmen vertebrata seperti spesies cervidae, macaca, dan suidea di sekitar rangka. Temuan rangka dari kotak T6S1 adalah rangka seorang remaja berumur antara 14 – 19 tahun dengan tinggi tubuh antara 160-170 cm. Untuk jenis kelamin belum dapat diketahui mengingat temuan pinggul belum tersingkap, karena berada di kotak T6S2 (belum digali). Indikasi lainnya yang menarik adalah adanya penimbunan barang berat pada bagian sekitar lutut sehingga kenampakkan tulang pipih. Belum diketahui apakah ini merupakan suatu ritual yang dikenalnya ataukah bukan. Namun yang jelas pipihnya tulang terjadi setelah menjadi mayat bukan pada masa hidupnya. Temuan rangka utuh di kotak T6S2 sejak kedalaman 115 cm menambah informasi sistem kubur yang telah dikenal oleh penghuni gua Kidang. Berbeda dengan temuan rangka yang telah ditemukan tahap kelima (2011) pada kedalaman akhir 170 cm yang baru bagian ekstremitas bawah di kotak T6S1, temuan rangka utuh ini dapat diidentifikasi jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan afinitas. Sistem kubur yang tampak pada temuan ini berbeda dengan sistem kubur temuan ekstremitas bawah yaitu orientasi rangka timur – barat dengan kepala di timur miring menghadap barat. Posisi rangka semi fleksi dengan posisi tangan terlipat di bawah kepala (sebagai bantal ?), kaki semi terlipat. Taburan remis cangkang kerang pada rangka, beberapa cangkang kerang utuh yang diletakkan pada bagian-bagian tertentu rangka, serta penyertaan tulang hewan di sekitar rangka. Hasil analisis paleoantropologi berhasil mengidentifikasi rangka meskipun pada beberapa bagian rangka sudah tidak utuh (fragmented), namun demikian posisi masing-masing tulang sebagian besar masih dalam posisi anatomis sehingga masih dapat dibaca dan diidentifikasi. Dari hasil identifikasi estimasi umur individu antara 25 - 35 tahun dengan jenis kelamin laki-laki dan tinggi badan 153,23 ± 3,37. Afiliasi rasial diduga adalah Australomelanesoid. Temuan kedua rangka Homo sapiens yang terletak pada kotak dan posisi lapisan tanah yang berbeda, dapat disimpulkan adanya dua periode yang berbeda dengan ritual perlakuan mayat yang berbeda pula. Hal tersebut menunjukkan bahwa penghuni gua Kidang telah dihuni oleh komunitas yang berbeda pada periode yang berbeda dan memiliki ritual penguburan yang berbeda pula. Jenis binatang yang dikonsumsi manusia penghuni gua Kidang terdiri atas spesies invertebrate baik dari air tawar maupun laut dan spesies vertebrata antara lain jenis cervidae, suidae, macaca, bovidae, rodentsia. Temuan yang menarik dari jenis binatang adalah fragmen gigi stegodon dan elephas di kotak B2U7. Kedua jenis binatang ini habitat terdekat berada di sekitar Bengawan Solo yang merupakan situs manusia purba kala Plestosen di Pati Ayam, Kudus; Sangiran; dan yang terdekat berada di Jigar, Manden, dan Ngandong di Blora bagian tenggara. Berdasarkan temuan tersebut menarik untuk ditelusuri seberapa jauh jelajah manusia penghuni gua Kidang bereksplorasi dalam mempertahankan hidupnya. Selain itu, menarik untuk dikaji lebih mendalam tentang evolusi manusia purba menuju manusia prasejarah yaitu penghuni gua tertua. Data
manusia tertua penghuni gua sangatlah penting diungkap, sehingga evolusi manusia dapat terekonstruksi tanpa putus. Hasil pertanggalan radiocarbon sampel arang dengan konteks temuan cangkang kerang dan tulang pada dua kotak menghasilkan dating 8600 ± 310 B.P. (1950) dari kotak T7S2 (Gua Kidang A) kedalaman 58-60 cm dari permukaan tanah. Adapun sampel arang dari kotak U31T49 (Gua Kidang AA) kedalaman 50 cm dari permukaan tanah menghasil dating 7770 ± 220 B.P. (1950). Selanjutnya pada kedalaman 100 cm pada gua Kidang A (kotak T6S2 dengan sampel cangkang moluska) menghasilkan angka 9.600 ± 160 BP. (1950). Berdasarkan survei di teras sungai Lusi yang merupakan penemuan situs baru, korelasi antara gua Kidang dengan situs-situs kala Pleistosen (DAS Solo, Pati Ayam, dan Sangiran) semakin jelas. Pertanggalan relatif yang didukung temuan arkeologis di kelima situs tersebut dapat disimpulkan adanya kesinambungan baik dari aspek budaya maupun manusia sejak kala Pleistosen sampai kala Holosen. Bukti stratigrafi di kotak B2U7 pada lapisan 4 menunjukkan adanya lapisan yang selaras dengan stratigrafi di teras sungai Lusi. Sementara itu data hominid juga memberikan informasi yang lebih jelas perkembangannya dari Homo erectus ke Homo sapiens. Diharapkan berdasarkan beberapa kejelasan permasalahan terkait kesinambungan budaya kala Pleistosen ke kala Holosen yang selama ini masih missing link akan terungkap pada situs gua Kidang ini. Hunian awal di gua Kidang besar kemungkinan akan menjawab missing link tersebut. B. Pola Hidup Komunitas Penghuni Gua Kidang, Blora
1. Tipe dan Teknologi Artefak Cangkang Kerang dan Tulang Temuan artefak cangkang kerang dari Gua Kidang meliputi beberapa jenis antara lain: calon alat, serut, lancipan, serut – lancipan, dan manik-manik. Adapun temuan artefak tulang meliputi jenis lancipan, sudip, spatula, pengasah, dan perhiasan. Kedua jenis artefak Serut bergerigi, no.temuan: 294 dari kotak T6S1. cangkang kerang dan tulang ini beberapa Foto: Andreas/balar jogja tampak terbakar. Di antara temuan artefak cangkang kerang yang menarik adalah serut bergerigi temuan dari kotak T6S1, dengan nomor temuan 294 berukuran 4,5 x 2,8 x 0,3 cm. Pengerjaan serut bergerigi ini tampak jelas dikerjakan dengan aspek teknologi yang “tinggi”. Alat ini seperti gergaji, yaitu dengan pengerjaan intensif pada lateral kiri dengan membuat retus bergerigi mikro sepanjang bagian lateral sampai bagian bawah. Sementara itu lateral kanan dikerjakan dengan pangkasan makro berbentuk cekung dengan jejak pemakaian cukup intensif juga. Dengan demikian alat Alat multi fungsi: serut bergerigi sekaligus perhiasan ini tampaknya berfungsi ganda yaitu sebagai no. temuan 261 dari kotak T6S1. gergaji dan serut. Foto: Andreas/balar jogja Alat pengasah dari tulang no. tem. 402 dari kotak T6S1
Temuan lainnya yang menarik adalah temuan bernomor 261 dari kotak T6S1. Specimen ini menunjukkan alat berfungsi ganda bukan sebagai manik-manik (perhiasan) saja, tetapi juga berfungsi sebagai alat. Ukuran alat 4,9 x 2,8 x 0,5 cm. Manik-manik ditandai dengan membuat
lubang berdiameter 1,2 cm pada bagian tengah cangkang. Sementara itu pada bagian bawah dikerjakan dengan teknik pengerjaan retus untuk membentuk tajaman runcing secara mikro seperti gergaji dengan ukuran lebih lebar dari pada gergaji sebagaimana specimen specim serut gergaji di atas. Temuan artefak tulang yang menarik adalah alat pengasah yang merupakan temuan dari kotak T6S1 dengan nomor temuan 402. Alat ini dibuat dari tulang panjang bovidae.. Ukuran alat 7,7 x 3,9 x 2,2 cm. Teknik pengerjaan dilakukan deng dengan an cara pemangkasan secara longitudinal pada kedua sisi tulang. Sementara itu bukti kalau alat ini merupakan alat pengasah adalah pada bagian atas tulang yaitu terdapat lekukan melebar. Kemungkinan pengasahan dilakukan dengan cara memegang tangkai tulang d dan an alat yang hendak diasah diletakkan di bagian lekukan tersebut. Alat yang diasah diduga adalah alat kerang. Temuan berbagai artefak cangkang kerang dan tulang Gua Kidang ini menunjukkan adanya perbedaan temuan artefak cangkang kerang dan tulang dari gua-gua gua lainnya di Jawa baik dari segi teknologi maupun tipe alat. Selama ini artefak cangkang kerang temuan dari berbagai gua-gua gua di Jawa umumnya berupa serut tipe bulan sabit yang teknik pengerjaannya dengan pangkasan-pangkasan pangkasan sederhana dan pangkasan se sekunder kunder berupa retus-retus retus untuk mempertajam alat. Adapun alat tulang temuan Gua Kidang secara keseluruhan belum dianalisis, namun salah satu temuan yang menunjukkan perbedaan dengan temuan alat tulang gua-gua gua di Jawa adalah alat pengasah. Temuan serupa ber berupa upa alat pengasah juga pernah ditemukan di Gua Pawon, Dander, Bojonegoro. Alat pengasah dari Gua Pawon tersebut dibuat dari rahang gigi Bovidae. Berdasarkan berbagai temuan artefak cangkang kerang dan tulang Gua Kidang yang berbeda dengan temuan artefak cangkang kerang dan tulang gua gua-gua gua di Jawa, tampak jelas gua ini memiliki peranan penting dalam mengungkap jejak budaya gua terutama di Jawa. Hal tersebut tampak jelas dengan variasi tipologi tipologis jenis alat dengan teknologi yang lebih rumit dibandingkan artefak temuan pada gua-gua di Jawa lainnya. Pengembangan alat dari batu atau litik tidak berkembang dengan baik, umumnya alat litik dibuat untuk kebutuhan mengasah cangkang kerang dan tulang, sehingga teknik-teknik teknik pangkasan batu sebagaimana dalam pembuatan serpih – bilah tidak ditemukan. Selain itu, bahan baku batu yang tersedia di sekitar gua dan lingkungan sekitar tidak menyediakan bahan batu dengan silikaan tinggi, sebagian besar bahan baku yang tersedia adalah rijang merah dan kuning, serta batu andesit. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan alat batu bukan sebagai alat utama, namun sebagai alat pendukung saja. Namun, berdasarkan teknologi yang diterapkan pada pembuatan alat dan perhiasan dari cangkang kerang dan tulang, tampaknya paknya penerapan teknologi pembuatan alat batu dilakukan. Dengan kata lain, ada dugaan manusia penghuni Gua Kidang mengenal teknologi alat batu yang dikembangkan pada teknik Alat serpih dari tulang pembuatan dari bahan yang berbeda yaitu cangkang kerang dan tulang. Dugaan tersebutt didasarkan dengan temuan alat tulang berupa alat serpih dan serut yang tampak penerapan teknologi litik yaitu berupa dataran pukul, bulbus dan pamgkasan pada bagian dorsal.
2. Rangka Homo sapiens Temuan rangka Homo sapiens penghuni gua Kidang yang ditemukan ukan di kotak T6S1 berupa rangka bagian bawah (kaki) memperjelas bahwa penghuni gua Kidang telah mengenal ritual memperlakukan mayat. Sistem penguburan yang telah diketahui berdasarkan temuan rangka ini adalah susunan bongkahan batu gamping berorientasi ba baratlaut – tenggara, penaburan remis-remis remis cangkang kerang dan remukan batugamping merah, serta beberapa penyertaan fragmen vertebrata seperti spesies cervidae, macaca, dan suidea di sekitar rangka. Temuan rangka dari kotak T6S1 adalah rangka seorang remaja berumur antara 14 – 19 tahun dengan tinggi tubuh antara 160-170 160 cm. Untuk jenis kelamin belum dapat diketahui mengingat temuan pinggul belum sepenuhnya tersingkap, karena berada di kotak T6S2 yang baru mencapai kedalaman 80 cm dari permukaan tanah. Indikasi si lainnya yang menarik adalah adanya penimbunan barang berat pada bagian sekitar lutut sehingga kenampakkan tulang pipih. Belum diketahui apakah ini merupakan suatu ritual yang dikenalnya ataukah bukan. Namun yang jelas pipihnya tulang terjadi setelah menjadi men mayat bukan pada masa hidupnya. Temuan rangka lainnya adalah rangka utuh di kotak T6S2 sejak kedalaman 115 cm menambah informasi sistem kubur yang telah dikenal oleh penghuni gua Kidang. Berbeda dengan temuan rangka yang telah ditemukan tahap kelima (2011) pada kedalaman akhir 170 cm yang baru bagian ekstremitas bawah di kotak T6S1, temuan rangka utuh ini dapat diidentifikasi jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan afinitas. Sistem kubur yang dikenal penghuni gua Kidang dalam memperlakukan mayat antar antara a lain adalah orientasi rangka timur – barat dengan kepala di timur miring menghadap barat. Posisi rangka semi fleksi dengan posisi tangan terlipat di bawah kepala (sebagai bantal ?), kaki semi terlipat. Taburan remis cangkang kerang pada rangka, beberapa cangkang kerang utuh yang diletakkan pada bagian-bagian bagian tertentu rangka, serta penyertaan tulang hewan di sekitar rangka.
Hasil analisis paleoantropologi berhasil mengidentifikasi rangka meskipun pada beberapa bagian rangka sudah tidak utuh (fragmented), namun demikian posisi masing-masing tulang sebagian besar masih dalam posisi anatomis sehingga masih dapat dibaca dan diidentifikasi. Dari hasil identifikasi estimasi umur individu antara 25 - 35 tahun dengan jenis kelamin lakilaki dan tinggi badan 153,23 ± 3,37. Afiliasi rasial diduga adalah Australomelanesoid. Penelitian tahun 2013, pada kotak T7S2 kedalaman 105 cm dari permukaan tanah ditemukan satu individu rangka manusia lagi, meski belum tersingkap seluruhnya. Temuan rangka meliputi bagian lengan tangan sampai jemari yang bertemu dengan jemari kaki. Selain itu, sebagian punggung yaitu tulang rusuk bagian kanan. Melihat temuan ini, sepertinya posisi rangka adalah meringkuk. Melihat hanya sebagian dari rangka ini yang ditemukan, maka untuk mengetahui lebih lanjut mengenai jenis kelamin, tinggi badan, dan usia, serta ras si mati belum dapat dilakukan. Berdasarkan temuan tiga rangka manusia dengan posisi dan orientasi yang berbeda pada kedalaman yang berbeda, menunjukkan bahwa, pendukung gua Kidang memiliki sistem penguburan yang berbeda pada kurun waktu yang berbeda. Namun demikian, interpretasi ini masih belum didukung analisis baik laboratories maupun non laboratories baik temuan dari kotak T6S1 (kedalaman -170 cm dari permukaan tanah) dan kotak T7S2 (kedalaman -105 cm dari permukaan tanah) yang belum seluruhnya tersingkap. 3. Jangkauan Jelajah Ruang dan Waktu Manusia Penghuni Gua Kidang Jangkauan jelajah manusia penghuni gua Kidang dalam mempertahankan hidupnya berdasarkan temuan ekskavasi menjangkau sejauh 50 km. Jangkauan jelajah sejauh itu didasarkan pada temuan artefak batu (rijang) yang sumber bahan bakunya berada di DAS Solo. Selain itu juga, didasarkan temuan species elephas dan stegodon yang habitatnya berada di daerah Pegunungan Muria (situs Pati Ayam). Lebih lanjut berdasarkan survei pada teras sungai Lusi menunjukkan adanya korelasi stratigrafi dengan didukung temuan fragmen binatang sub fosil yang semasa dengan Gua Kidang, maka terdapat jangkauan yang lebih dekat dari situssitus Pleistosen di atas. Berdasarkan hasil survei teras Lusi, maka dapat dirumuskan suatu hipotesis terdapat tiga ring jangkauan jelajah manusia Gua Kidang dalam bereksplorasi mencari sumber pangan dan sumber bahan baku untuk peralatan sehari-hari. Lebih lanjut periksa peta berikut di bawah ini.
Konteks Catchment Area Situs Gua Kidang dengan Situs-situs Pleistosen
Selanjutnya berdasarkan stratigrafi di teras Sungai Lusi dan situs-situs kala Pleistosen dapat dirumuskan hipotesis jelajah waktu manusia gua Kidang. Korelasi stratigrafi antara gua Kidang dengan situs-situs kala Pleistosen (DAS Solo, Pati Ayam, dan Sangiran) semakin jelas dengan data baru dari teras sungai Lusi. Pertanggalan relatif yang didukung temuan arkeologis di kelima situs dapat disimpulkan adanya kesinambungan baik budaya maupun manusia sejak kala Pleistosen sampai kala Holosen. Bukti stratigrafi di kotak B2U7 pada lapisan 4 menunjukkan adanya lapisan yang selaras dengan stratigrafi di teras Sungai Lusi. Sementara itu, data hominid juga memberikan informasi yang lebih jelas perkembangannya dari Homo erectus ke Homo sapiens. Diharapkan berdasarkan beberapa kejelasan permasalahan terkait kesinambungan budaya kala Pleistosen ke kala Holosen yang selama ini masih missing link akan terungkap dari Situs Gua Kidang. Hunian awal (lapisan terbawah) di Gua Kidang besar kemungkinan akan menjawab missing link tersebut. Berikut dapat dilihat korelasi stratigrafi antara situs gua Kidang dengan situs-situs kala Pleistosen.
Korelasi Kronologis Relatif Situs Gua Kidang dengan Situs-situs Pleistosen