STUDI KONSERVASI LUKISAN GUA PRASEJARAH DI MAROS DAN PANGKEP
OLEH : YUDI SUHARTONO, MA YUDHI ATMAJA H.P RIYANTO P LAMBANG
BALAI KONSERVASI PENINGGALAN BOROBUDUR 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat RahmatNyalah kami berhasil menyelesaikan studi dengan judul Konservasi Lukisan Gua Prasejarah Di Maros dan Pangkep. Dalam studi ini diuraikan antara lain mengenai kondisi keterawatan lukisan gua prasejarahb yang ada di Kabupaten Maros dan Pangkep. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur selaku atasan kami, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melakukan studi ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Dr. Nuryono, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam UGM selaku Nara Sumber, yang telah memberi arahan dan masukan pada penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Propinsi Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara berserta seluruh jajarannya yang banyak membantu kami selama kami berada di Makasar, Maros dan Pangkep. Selain itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami menyadari hasil studi ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi kesempurnaan studi ini. Semoga studi dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Borobudur, Akhir September
Mengetahui Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur
Ketua Tim Studi
Drs. Marsis Sutopo, M.Si
Yudi Suhatono, MA
NIP. 131953963
NIP. 132206644
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….
ii
BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………….
1
1.1. Latar Belakang ………………………..…………………………….
1
1.2. Permasalahan ………………………………………………………..
3
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………………....
3
1.4. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................
4
1.5. Tinjauan Pustaka .................................................................................
4
1.4.. Metodologi Penelitian ……………………………………………….
11
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN……………………
14
2.1. Lingkungan Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep ……………….
14
2.2. Situs Gua Prasejarah di Kabupaten Maros …………………...…….
16
2.3. Situs Gua Prasejarah di Kabupaten Pangkep ………........................
29
BAB III. KONDISI KETERAWATAN LUKISAN GUA …………………..
42
3.1. Kerusakan dan Pelapukan Pada Lukisan Gua …………………….
42
3.2. Evaluasi Pelaksanaan Konservasi Yang Pernah dilakukan di Lukisan Gua……..........................................................................
46
A. Konservasi Lukisan Gua Oleh Samidi ........................................
46
B. Evaluasi Pelaksanaan Konservasi Oleh Samidi ..........................
49
BAB IV. ANALISA DATA 4.1. Analisa Laboratorium ........................................................................
54
A. Uji Bahan Pengganti Lukisan Gua ...............................................
54
B. Uji Bahan Pengganti Permukaan Dinding Gua ...........................
57
C. Uji Kekuatan Bahan Pengganti Lukisan dan Bahan Permukaan Dinding Gua ..................................................................................
58
D. Ui Petrografi ...................................................................................
61
E. Uji Di Laboratorium Kimia ...........................................................
61
4.2. Pembahasan ..........................................................................................
65
A. Bahan Lukisan ...............................................................................
65
B. Bahan Pengganti Lukisan Gua ......................................................
68
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ………………………………………………………….. 72 4.2. Rekomendasi ………………………………………………………..
73
DAFTAR PUSTAKA ……………………..…………………………………...
74
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam
maupun sumberdaya
budaya yang bisa digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Kekayaan sumber daya budaya dapat berupa fisik maupun non fisik. Salah satu kekayaan tersebut adalah sumberdaya arkeologi yang tersebar di seluruh Indonesia. Sumberdaya arkeologi atau benda cagar budaya beserta situsnya adalah sisa-sisa hasil budaya fisik peninggalan nenek moyang yang masih dapat dilihat di muka bumi sampai saat ini. Sumberdaya arkeologi tersebut merupakan warisan budaya dan merupakan data yang sangat penting untuk rekontruksi sejarah serta mengetahui proses perubahan masa lalu. Scovil, Gordon dan Anderson (1977 dalam Tjahjono, 1996) mengatakan bahwa sumberdaya arkeologi adalah semua bukti fisik atau sisa budaya yang ditinggalkan oleh manusia masa lampau pada bentang alam tertentu yang berguna untuk menggambarkan, menjelaskan, serta memahami tingkah laku dan interaksi mereka sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perubahan sistem budaya dan alamnya. Pendapat yang hampir sama juga dikemukan oleh Subroto (1994) yang mengatakan bahwa sumberdaya arkeologi (benda cagar budaya dan situs) merupakan petunjuk bahwa di tempat tersebut pernah dilakukan aktivitas-aktivitas tertentu oleh suatu kelompok masyarakat dan lokasi tempat keberadaannya dapat memberikan gambaran tentang lingkungan alam dan penguasaan teknologi masyarakat pendukung situs tersebut. Salah satu kawasan yang memiliki banyak sumberdaya arkeologi adalah kawasan pegunungan kapur Maros dan Pangkep di Propinsi Sulawesi Selatan. Di kawasan pegunungan kapur (kars) terdapat gua-gua yang pada masa prasejarah dihuni oleh manusia. Terpilih gua sebagai tempat bermukim manusia tidak terlepas dari tersedianya sumberdaya alam yang terdapat pada lingkungan sekitar gua. Sumberdaya alam tersebut adalah tersedianya kebutuhan akan air, tersedianya tempat-tempat yang diperlukan untuk bergerak (pantai, rawa, sungai, dan hutan), tersedianya sumber makanan (flora dan fauna), serta kemudahan dalam memperoleh makanan (Nasrudin, 1996). Apabila sumberdaya alam di sekitar gua
sudah tidak mencukupi, tidak tertutup kemungkinan gua tersebut ditinggalkan. Mereka mencari daerah baru yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah (Budiarto, 1996). Di samping
itu, pemilihan gua juga didasarkan pada
pengetahuan manusia bahwa gua merupakan tempat yang cukup ideal untuk bermukim, karena dapat melindungi mereka dari sinar matahari, hujan, serta gangguan binatang buas (Drajat, 1986). Selain sebagai tempat tinggal, dinding-dinding gua digunakan sebagai media untuk mengekspresikan pengalaman, perjuangan dan harapan hidup manusia dalam bentuk lukisan gua (Stern, 1973 dalam Linda, 2005). Seni lukis pertama kali lahir ketika manusia mulai diliputi oleh rasa iseng dan juga rasa takut terhadap lingkungannya, lebih-lebih setelah mereka tinggal di dalam gua atau ceruk. Rasa iseng tersebut diduga diawali dengan usaha meniru bekas garutan kuku binatang pada dinding gua atau ceruk, yang kemudian tanpa disadari telah menghasilkan bentuk-bentuk yang dikehendaki, antara lain model binatang dan bayangan tangan atau cap tangan. Bentuk-bentuk tersebut dianggap sebagai asal mula lukisan. Selain itu penggambaran garis-garis imajinasi dalam bentuk binatang menunjukkan bahwa si pelukis atau si pemburu pada waktu itu mulai tergerak hatinya oleh dorongan rasa yang artistik (Kosasih, 1987). Lukisan gua di Indonesia diketahui berkembang pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut (Kosasih, 1983). Menurut R.P. Soejono (1993 dalam Permana, 2008) manusia penghuni gua di Indoneisia berasal dari ras Mongoloid dan Australomelanesoid yang berkembang pada masa neolitik atau masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut Dari penelitian terhadap rangka manusia rangka
di
hasil temuan di beberapa tempat, diketahui bahwa temuan
Sumatera,
Jawa
dan
Nusa
Tenggara
berasal
dari
ras
Australomelanesoid, dan hanya di Sulawesi Selatan yang menunjukkan ciri ras Mongoloid. Menurut H.R. Van Hekeren (1972 dalam Permana, 2008) kemungkinan besar kehidupan gua di Sulawesi Selatan berlangsung sejak pertengahan atau penghujung kala Pleiostosen akhir yakni sekitar 50.000 hingga 30.000 tahun sebelum Masehi. Setelah ribuan tahun ditinggalkan, kini lukisan dinding gua di Kabupaten Maros dan Pangkep telah banyak mengalami kerusakan karena proses pelapukan dan pengelupasan kulit batuan terus berlanjut. prasejarah
umumnya
mengalami
kerusakan
Lukisan pada dinding gua yang
sama,
selain
terjadi
2
pengelupasan juga terjadi retakan mikro dan makro. Di samping itu di beberapa tempat warna lukisan memulai memudar terutama lukisan yang terletak di bagian dinding depan mulut gua. Demikian pula proses inkrastasi (pengendapan kapur) terus berlanjut, hampir semua gua terjadi proses pengendapan kapur pada kulit batuan gua, coretan spidol dan goresan benda tajam juga banyak dijumpai (Said, dkk, 2007). Melihat kondisi lukisan gua prasejarah di Kabupaten Maros dan Pangkep yang telah banyak mengalami
kerusakan, dan sering upaya pelestariaannya
sebagai sumberdaya arkeologi yang tidak dapat diperbaharui, maka perlu dilakukan kajian yang mendalam
tentang berbagai jenis permasalahan yang
terdapat pada lukisan dinding gua.
1.2. PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka permasalahan yang muncul pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimana permasalahan kerusakan
yang terdapat pada lukisan gua
prasejarah di Maros da Pangkep dan faktor-faktor apa yang menyebabkan kerusakan yang terjadi pada lukisan tersebut ? 2.
Apa saja bahan yang digunakan untuk melukis lukisan gua dan bahan pengganti apa yang aman dan dapat digunakan untuk merekontruksi lukisan gua yang mengalami kerusakan ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang diajukan, maka penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui permasalahan dan faktor-faktor peyebab kerusakan yang terjadi pada lukisan gua di Maros dan Pangkep 2. Untuk mengetahui bahan yang digunakan oleh manusia prasejarah dalam membuat lukisan pada dinding gua di Maros dan Pangkep. 3. Untuk mencari alternatif bahan pengganti yang aman dan dapat digunakan dalam upaya merekontruksi lukisan gua yang telah hiilang dan mengalami kerusakan.
3
1.4. RUANG LINGKUP PENELITIAN Sesuai dengan tujuan penelitian maka ruang lingkup penelitian ini adalah lukisan
yang terdapat pada gua-gua prasejarah di Kabupaten Maros dan
Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini terfokus pada guagua yang telah mengalami kerusakan yang cukup parah terutama pada lukisan yang terdapat pada dinding gua. Penetapan fokus penelitian diperlukan agar pengkajian terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dapat tercapai sesuai dengan tujuan penelitian (Muhadjir, 2002 : 148).
1.5. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang kawasan Kars Kars (bahasa Inggris : karst, bahasa Italia : carso, bahasa Slovenia : kars) adalah nama suatu daerah di timur laut kota Trieste, Slovenia. Kekhasan bentang alamnya, Cvijic, geologiawan abad 19 yang meneliti daerah itu mengabadikan dengan istilah kars. Kars diartikan sebagai bentuk bentang khas yang berkembang di suatu kawasan batuan karbonat atau batuan lain yang mudah larut dan telah mengalami proses kartifikasi sampai pada kondisi tertentu. Kekhasan ini antara lain dapat dilihat dari fenomena yang ada di permukaan (exokarst) dan di bawah permukaan (indokarst) Berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1456/K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars, memberikan definisi bahwa kars adalah bentukan bentang alam pada batuan karbonat yang bentuknya sangat khas, berupa bukit, lembah, dolin dan gua. Sedangkan kawasan kars adalah kawasan batuan karbonat (batu gamping dan dolomit) yang memperlihatkan morfologi kars (Hermawan, 2005). Sejumlah bentukan khas dari kawasan kars yang disebutkan di atas memiliki pengertian sebagai berikut, seperti yang dijeaskan oleh Tim Geologi Kuarter dan Lingkungan pada tahun 2003 (Hermawan, 2005). 1.
Bukit-bukit berbangun kerucut (conical hills) berpuncak melengkung (sinusoid hills), dan pepino hills.
2.
Lembah kering, dengan panjang lebar dan kedalaman yang beragam. Selama musim hujan lembah kering ini akan berubah menjadi sungai
4
musiman. Beberapa lembah kering sering berakhir pada sebuah ponora atau mulut sistem perguaan (blind valley). Gua-gua yang berkembang di sepanjang dinding lembah memiliki arti arkeologi, karena pernah dihuni oleh manusia masa prasejarah dan meninggal jejak budaya seperti lukisan gua dan alat-alat batu. 3.
Dolina, yaitu lekuk topografi berbangun membulat atau melonjong yang umumnya tertutup, dengan ukuran beragam. Lekuk tofografi ini tersebar di banyak tempat, di antara bukit dan perbukitan gamping. Oleh karena merupakan suatu segmen rendahan, maka dolina akan berfungsi menjadi tempat pengendapan terra rossa yang diangkut oleh air larian selama musim hujan dari bagian lereng dan puncak perbukitan di sekitarnya. Penduduk setempat memanfaatkan lapisan tanah ini untuk bercocok tanam, sehingga sebagian besar dolina merupakan lahan pertanian kering atau tegalan. Pada dolina yang berumur tua seluruh dasarnya telah tertutup tanah, sehingga mempunyai permukaan yang rata dan luas. Bentuk dolina mungkin tidak akan tampak lagi, dan bukit-bukit batu gamping seolah-olah tumbuh di atas daratan.
4. Telaga kars berbagai ukuran, yang tersebar di banyak tempat. Telaga itu merupakan akumulasi air hujan di permukaan, yang mengisi lekuk-lekuk topografi di antara bukit batu gamping. Kumpulan air juga berasal dari mata air yang sering dijumpai di pinggiran lekuk topografi. Mendasarkan pada sifatnya, dijumpai telaga yang berair sepanjang tahun (perenial) dan musiman. Telaga perenial berbentuk lapisan terrra rossa yang besifat kedap air cukup tebal, sehingga mampu menutup sistem percelah retakan atau lubang lari air yang terdapat di bagian dasar lekuk topografi. Sedangkan lapisan terra rossa
hanya tipis, sehingga ada retakan atau
lubang lari yang tidak tertutupi, akan mempengaruhi akumulasi air yang membentuk telaga musiman. 5. Ponora atau swallow hole atau mulut-mulut sistem perguaan yang terdapat di ujung lembah kering (blind valley), yang berfungsi sebagai lubang lari air. Lubang lari itu menjadi tempat masuknya aliran permukaan, terutama di musim hujan, sehingga kehadirannya akan memperbanyak luah sistem air bawah tanah yang terdapat di jalur percelahan retakan, rongga dan sungai bawah tanah di kedalaman lapisan batu gamping.
5
6. Gua, yang tersebar hampir merata di seluruh segmen batu gamping berfasies
terumbu.
Ketebalan
lapisan
batu
gamping
yang
cukup
menyebabkan gejala endokars itu dapat berkembang dengan baik. Fungsi gua merupakan komponen utama pembentuk nilai startegisnya yang beragam. Sebagian besar gua memiliki fungsi sebagai lubang lari air permukaan pada musim hujan, sehingga kehadirannya mendukung dan memenuhi
fungsi
hidrologi
umum
kawasan
kars.
Gua-gua
berair
mempunyai manfaat sebagai sumber air bersih, terutama pada musim kemarau. Gua yang menjadi hunian aneka jenis walet, seriti dan kelalawar memiliki fungsi bioekonomi dan bioskosistem yang mepunyai aspek keanekaragaman hayati gua (biospleleologi). Nilai ekonomi lainnya berasal dari aspek estetika aneka jenis speleotem di dalamnya, sehingga berpotensi
untuk
dikembangkan
menjadi
gua
wisata.
Gua
yang
mengawetkan temuan arkeologi merupakan situs penting yang perlu dilindungi keberadaannya. Samodra
(2001)
menyatakan
bahwa
kawasan
kars
merupakan
sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan sangat peka terhadap segala bentuk perubahan. Pembentukan kars membutuhkan waktu yang sangat lama, ribuan hingga ratusan tahun, sementara umur manusia maksimal hanya puluhan tahun. Daya dukung kawasan kars yang rendah dan sangat sukar diperbaiki bila mengalami kerusakan. Kerusakan itu dapat disebabkan aktivitas penambangan, pertanian, dan pembangunan infrastuktur yang berlebihan. Musim kering yang panjang dan minimnya kuantitas air di permukaan pada wilayah kars menyebabkan keseterdiaan air menjadi faktor penting yang tidak hanya berguna bagi manusia tetapi juga diperlukan oleh kawasan itu sendiri dalam mempertahankan bentang alamnya. Gua merupakan salah satu bentukan yang mempunyai nilai fungsi dan arti tersendiri. Proses pembentukan gua membutuhkan waktu ratusan sampai ribuan tahun untuk mencapai kondisi seperti sekarang. Pola ini berakhir pada bentukan sungai ataupun danau bawah tanah. Pada sungai gua bawah tanah terdapat ornamen-ornamen gua yang sangat menarik. Kondisi ini menjadikan lingkungan gua sangat unik dan ekstrim. Terutama pada kondisi suhu dan kelembaban yang relatif tetap sepanjang waktu. Perjalanan air saat melewati celah dan lapisan batu gamping, sambil melarutkan batu gamping yang terdiri
6
dari senyawa penyusun utama kalsium karbonat (CaCO3), sehingga air menjadi mengandung kalsium karbonat. Air celah ini yang kemudian muncul menetes dari atap-atap gua, dan meninggalkan partikel kalsium karbonat tersebut di atap, dan proses ini berlangsung terus menerus dan tumbuh menjadi stalaktit (stalactite). Oleh karena itu perbedaan kadar kalsium karbonat dan bentuk rekahan, antara satu tempat dengan tempat lain menyebabkan stalaktit berbeda-beda bentuk. Sebagian tetesan air tersebut menetes sampai ke lantai, meninggalkan senyawa kalsium karbonat dalam bentuk stalagmit (stalagmite). Jika suatu saat, stalaktit dan stalagmit bertemu, maka terbentuk tiang dari lantai sampai atap yang disebut pilar atau column. Ornamenornamen akibat tetesan air ini disebut batu tetes atau drip stone. (http://geohazard.blog.com, 2008) Jika air celah dan air perlapisan tersebut muncul dan mengalir di dindingdinding gua maka disebut flow stone. Bentukan ini merupakan ornamen gua yang indah, menyerupai payung (canopy) atau tirai (gordyn). Di beberapa gua dijumpai akumulasi air yang melimpah. Karena batu gamping mudah larut air di akifer kars mempunyai angka kesadahan sangat tinggi. Pergerakan air tanah kars dimulai dari masuknya air hujan menuju saluran pelarutan di bawah permukaan melalui porositas primer dan sekunder. Pada batugamping terumbu air tanah bergerak melalui rongga-rongga saluran pelarutan. Pergerakan air tanah membentuk arus sederhana dan menunjukkan rongga-rongga saluran pelarutan yang dilewati air tanah. Pada batugamping berlapis, pergerakan air tanah menjadi lebih kompleks. Air tanah bergerak melalui saluran pelarutan dan celah antar bidang perlapisan serta melalui ruang antar butir. Pada akhirnya air tanah tersebut muncul pada tepi kars melalui celah antar bidang perlapisan dan juga pada batas kontak dengan batu lempung kedap air . (http://geohazard.blog.com, 2008)
B. Tinjauan Tentang Lukisan Gua Salah satu alasan manusia tinggal dalam gua (cave) dan ceruk (rockshelter) adalah adanya desakan kebutuhan akan rasa aman dari berbagai gangguan, ketakutan dan ancaman. Gamgguan dan ancaman tersebut dapat datang dari binatang buas, persaingan antar individu atau kelompok sosial lain. Apabila kebutuhan akan rasa aman tersebut telah terpenuhi, pengetahuan
7
akan dapat lebih berkembang melalui adanya waktu luang untuk melakukan eksperimen dalam gua. Hal ini dikarenakan ketika manusia tinggal di alam terbuka, waktu luang dan eksperimen, diekspresikan oleh kebutuhan yang lebih mendesak, yaitu rasa aman, sehingga pengetahuan tidak dapat berkembang sama sekali. Akan tetapi arah perkembangan pengetahuan pada saat manusia tinggal di alam terbuka berada pada keterbatasan strategi untuk bertahan hidup. Seiring dengan terpenuhinya rasa aman tersebut muncul kebutuhan-kebutuhan lain yang berkaitan dengan kebutuhan kehidupan mereka. Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain religi, seni dan identitas. Bukti adanya kebutuhan tersebut dapat ditemukan misalnya dalam teknologi yang mereka gunakan. Apabila diamati dengan cermat, tinggalan teknologi yang ada sampai saat ini ditemukan pada gua-gua hunian prasejarah, tidak semata-mata berdasarkan atas pertimbangan fungsional, akan tetapi juga memperhatikan aspek keindahan melalui proporsi keseimbangan formal, selain melalui teknologi, kebutuhan akan religi, seni dan identitas, juga tertuang pada keberadaan lukisan gua (Restiyadi, 2007). Dilihat dari warna yang digunakan, pada umumnya lukisan gua di Maros dan Pangkep hanya memiliki dua warna yaitu merah dan hitam. Warna merah yang dipergunakan dalam pembuatan lukisan umumnya dapat dihasilkan dari oker (ochre) atau oksida besi (Fe2O3 (haematite) yang bersumber dari bahan batuan mineral , sedangkan warna hitam biasanya menggunakan bahan arang (McCarthy, 1979 ; Lerol Gourham, 1981 dalam Permana, 2008). Selain itu, pada lukisan gua juga terdapat warna coklat, yang diperkirakan bukan merupakan warna aslinya. Semula lukisan dalam hal ini lukisan tangan, diperkirakan berwarna merah, namun kemudian berubah menjadi coklat akibat pengaruh cuaca dan proses kimiawi pada batuan dinding gua. Warna merah yang tetap bertahan terutama terdapat pada batuan yang sangat keras dan terlindung dari proses pelapukan dan perusakan alamiah (Permana, 2008) Warna merah yang digunakan pada lukisan gua di Maros dan Pangkep diduga berasal dari hematit. Dugaan ini didasarkan atas temuan hematit yang terdapat di Gua Burung 2 dan Pattae. Temuan hematit di Gua Burung 2 diperoleh pada penggalian yang dilakukan oleh I.C. Glover pada tahun 1973. Hematit ini ditemukan pada berbagai lapisan bersama-sama dengan temuan batu inti dan alat serut. Hematit yang ditemukan berupa pecahan seperti batu
8
merah dan tampak adanya alur-alur yang diduga sebagai akibat dari usaha manusia untuk memanfaatkannya (Glover, 1981 dalam Restiyadi, 2007). Hematit di Gua PattaE ditemukan oleh Van Hekeren tahun 1950. Selain itu ditemukan pula alat-alat batu berupa mikrolit, serpih, mata panah dan kapak genggam Sumatera. Kapak genggam Sumatera ini diduga pernah digunakan sebagai bahan pukul atau batu giling karena pada beberapa bagiannya tempak bekas-bekas warna merah (Heekeren, 1965 dalam Restiyadi, 2007). Hematit bukanlah perwarna instant yang siap dipakai, akan tetapi diperlukan sebuah proses pengolahan terlebih dahulu yaitu proses dari hematit padat ke pewarna cair. Melalui
temuan hematit dan adanya tanda-tanda pengerjaan yang
ditemukan oleh Glover dan Hekeren, dapat diduga adanya persiapanpersiapan (pra produksi) sebelum produksi lukisan gua (Restiyadi, 2007). Untuk membuat lukian gua terutama lukisan tangan pada umumnya dilakukan dengan teknik stencil.. Pada beberapa situs kadang kala ditemukan gambar tangan dengan teknik imprint, printing atau drawing (Permana, 2008). Pada lukisan-lukisan gua di Maros dan Pangkep semuanya dibuat dengan teknik stencil. Lukisan tangan teknik stencil, dibuat dengam cara meletakkan tangan pada permukaan dinding gua, lalu cairan warna disemprotkan ke sekitar tangan tersebut. Setelah pewarnaan selesai, maka tangan diangkap dan akan terlihat “cetakan” berupa bentuk tangan dari bagian yang tidak terwarnai. Gambar tangan yang dihasilkan dari teknik pembuatan seperti itu sering pula disebut dengan negative hand stencil
Adapun gambar tangan
teknik imprint dibuat dengan cara membasahi atau melumuri tangan dengan cairan warna, kemudian menempelkan tangan tersebut ke permukaan dinding gua. Penempelan tangan tersebut akan menghasilkan ‘cap’ berbentuk tangan. Gambar tangan yang dihasilkan dari teknik pembuatan seperti ini sering pula disebut dengan positive hand stencil atau hand print ( Maynard, 1977 ; Clegg, 1984 dalam Permana, 2008). Di lain pihak, lukisan tangan teknik painting dan drawing dibuat dengan cara melukis atau menggambar bentuk tangan dengan menggunakan alat atau bahan warna tertentu. Untuk teknik painting dilakukan dengan cara melukis bentuk tangan pada permukaan dinding gua menggunakan kuas atau sejenisnya dan bahan warna yang bersifat cair. Adapun untuk teknik drawing dibuat dengan cara menggambar bentuk tangan
pada permukaan dinding
9
menggunakan pewarna yang bersifat kering seperti arang, batuan, atau bahan warna kering lainnya (Maynard, 1977 ; Clegg, 1984 dalam Permana, 2008).
C. Tinjauan Tentang Konservasi Pemahaman tentang konservasi pada mulanya berhubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan mineral. Dalam hal ini memanfaatkan
tanah dan
air, tanaman, binatang, dan
konservasi dimaksudkan sebagai usaha di dalam
tanah dan sumber-sumber
alam secara
bijaksana, agar
tanah dan sumber-sumber alam tersebut dapat terpelihara secara baik dan terlindungi sehingga dapat dimanfaatkan lebih lama. Ide mengenai konservasi ini timbul karena adanya kesadaran bahwa tanah dan sumber-sumber alam di setiap area memiliki ketahanan yang terbatas, sedangkan tanah dan sumbersumber alam tersebut merupakan modal dasar bagi kehidupan manusia. Dari titik pandang inilah ide konservasi kemudian berkembang
menjadi suatu
usaha yang ditujukan pada pemeliharaan tanah, hutan, margasatwa dan situssitus arkeologi, dan sejarah (Subroto, 1995). Pengertian konservasi di bidang arkeologi berbeda pemahamannya dengan di bidang lain seperti arsitektur. Konservasi lingkungan pemukiman atau perkotaan di bidang arsitektur yaitu bahwa: (1) Konservasi, mencoba untuk melakukan pemeliharaan yang bersifat khusus suatu tempat atau lokasi agar dapat dipertahankan diartikan sebagai tanah
sesuai dengan konsep awalnya. Tempat itu atau area, gedung atau kelompok bangunan
termasuk lingkungannya. Selain itu, harus diperhatikan pula sejarah, budaya atau nilai-nilai tradisional,
fungsi sosial dan ekonomi, iklim dan lokasi
geografisnya. Dengan demikian, konservasi mencoba memelihara dan melindungi
sehingga suatu tempat atau area, gedung atau kelompok
bangunan dapat digunakan
secara efisien
sebagai tempat khusus;
(2)
Renovasi, yaitu usaha yang mencoba mengganti bagian-bagian gedung tua atau keseluruhan, dengan maksud mengadaptasi bangunan tersebut untuk tujuan penggunaan baru atau tetap pada fungsi sebelumnya atau difungsikan dengan konsep modern atau sesuai dengan kondisi yang ada; (3) Restorasi, adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mencoba kondisi semula
sebuah tempat
mengembalikan
ke
dengan melakukan pembersihan dan
memasang kembali bagian-bagian yang asli atau bagian yang telah hilang
10
dan (4) Rekonstruksi, adalah usaha mengembalikan kondisi sebuah tempat yang memungkinkan kelihatan asli sejauh yang dapat diketahui (Danisworo, 1997 dalam Taufik, 2005). Dalam konsepsi arkeologis, konservasi adalah
pengelolaan dan
pemeliharaan benda cagar budaya agar dapat dimanfaatkan lebih lama dengan tetap mempertahankan makna kulturalnya. Kegiatan konservasi di bidang
ini
meliputi;
pemeliharaan
berkesinambungan
(maintenance),
pengawetan objek tanpa melakukan perubahan (preservation), mengembalikan objek
pada
keadaan
sebenarnya
tanpa
menggunakan
bahan
baru
(restoration), mengembalikan objek pada keadaan mendekati aslinya dengan bukti bukti yang ada baik bukti fisik maupun bukti tertulis (reconstruction), dan memodifikasi objek sesuai dengan penggunaannya (adaptation) (Taufik, 2005). Pertimbangan melakukan konservasi tertuju kepada asumsi bahwa obyekobyek arkeologi terbuat dari bahan atau materi yang memiliki keterbatasan daya tahan, dan bangimana cara kita mempertahankannya selama mungkin agar dapat digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya pendidikan, ilmu pengetahuan dan ekonomi. Konservasi arkeologi harus memperhatikan faktorfaktor penyebab serta jenis kerusakan seperti kerusakan mekanik, kemis dan biologis. Konservasi yang dilakukan pada sumberdaya arkeologi, pertimbangan nilai penting yang tersimpan
karena
di dalamnya berupa informasi
pengetahuan, budaya, teknologi, sosial, politik, dan agama. Apabila objek arkeologi tersebut diproyeksikan atau dijadikan sebagai objek wisata maka harus mempertimbangkan nilai: ekonomi, estetika, informasi, arkeologis, dan nilai historisnya (Taufik,2005)
1.6.
METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Untuk membantu dalam penelitian
menggunakan metode Induktif
kualitatif. Metode ini bertolak dari data yang ada dilapangan yang kemudian akan dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, proposi, atau definisi yang bersifat umum. Induksi adalah proses dimana peneliti mengumpulkan data dan kemudian mengembangkan suatu teori dari data tersebut, yang
11
sering juga disebut grounded theory (Lawrence R. Frey, dalam Mulyana, 2006 : 156-157).
B. Tahap-Tahap Penelitian Sehubungan dengan tujuan penelitian ini,
maka penelitian dilakukan
melalui tahapan-tahapan penelitian yang meliputi : 1. Tahap Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data yairu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi lukisan gua prasejarah di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep. Sedangkan data sekunder meliputi informasi tentang lukisan gua prasejarah, kawasan kars, konservasi lukisan gua dan kawasan kars serta data pustaka penunjang lainnya. Penjaringan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu observasi langsung di lapangan dan analisis laboratorium untuk mendapatkan data primer dan studi pustaka untuk mendapatkan data sekunder. a. Observasi Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data
ke lapangan untuk
memperoleh data-data tentang kondisi lukisan gua prasejarah di Kabupaten Marod dan Pangkep. Selain itu juga diambil data mengembil kondisi lingkungan gua dan pengambilan sampel untuk dilakukan analisis di laboatorium. b. Studi Pustaka Pada tahap ini dilakukaan penelusuran pustaka yang berhubungan dengan topik yang dibahas dan dapat digunakan untuk pembahasan topik yang dibicarakan atau sebagai bahan acuan. Pustaka yang akan ditelaah meliputi konservasi lukisan gua baik di Indonesia maupun di negara lain, kawasan kars, lukisan gua prasejarah dan data-data lainnya yang mendukung.
2. Tahap Pengolahan Data Pada tahap ini, dilakukan pengolahan data hasil observasi berupa data kondisi lukisan gua, dinding gua media lukisan, data lingkungan sekitar gua dan data lainnya, yang kemudian akan digabungkan dengan
12
data hasil pengujian sampel di laboratorium. Hasil pengolahan data ini diharapkan dapat diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Tahap Penafsiran Data Berbeda dengan dua tahap sebelumnya, maka pada tahap ketiga akan dicoba untuk dianalisis lebih lanjut hasil pengolahan data yang telah dilakukan.. Hasil analisis ini kemudian akan ditafsirkan lebih lanjut untuk menjawab permasalahan yang ada.
Pada tahap ketiga ini diharapkan
diperoleh suatu kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Kesimpulan yang diambil tentu saja masih bersifat sementara, dan masih tetap diperlukan penelitian lebih lanjut serta lebih menyeluruh.
13
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
2.1. Lingkungan Gua Di Kabupaten Maros dan Pangkep Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep terletak di Propinsi Sulawesi Selatan. Pulau`Sulawesi terletak di daerah peralihan antara rezin hujan Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Garis peralihan ini terletak pada bujur 120 BT. Daearh yang terletak di sebelah barat garis peralihan memperoleh hujan maksimun pada bulan Januari, sedangkan daerah sebelah timur garis peralihan memperoleh hujan maksimun pada bulan Mei. Hujan maksimun di daerah ini pada umumnya disebabkan oleh pertemuan (konfergensi) angin pasat yang berasal dari belahan bumi selatan dan utara (Budiarto, 1996). Keadaan geomorfologi Sulawesi Selatan dibagi ke dalam dua barisan pegunugan yaitu pegunungan di
bagian barat dan pegunungan Bone. Kedua
barisan pegunugan tersebut dipisahkan oleh lembah Sungai Walanae atau disebut Depresi Walanae. Alur pegunugan ini bertemu pada ujung selatan yang membentuk suatu bentangan alam pegunugan yang didominasi oleh Volkano Lompobattang. Pegunungan bagian barat mempuyai hamparan yang hampir setengah luas keseluruhan daerah bagian barat Sulawesi Selatan dan melebar pada bagian selatan sekitar 50 km kemudian menyempit pada bagian utara sekitar 22 km (Rustam, 2001 dalam Linda, 2005). Puncak tertinggi dari pegunungan ini mencapai 1.649 meter, sedangkan ketinggian rata-ratanya mencapai 1.500 meter di atas permukaan laut. Pada lereng bagian barat terdapat topografi karst yang merupakan daerah perbukitan yang terbentuk oleh batuan pratersier (lebih tua dari 66,5 juta tahun) dan tersier (66,5 sampai 1,6 juta tahun). Kawasan bagian barat yang disebut kawasan karst Maros Pangkep tersebut seluruhnya termasuk dalam wilayah Kabupaten Maros dan Pangkep (Rustam, 2001 dalam Linda, 2005). Gugusan pegunungan kapur di Maros dan Pangkep terjadi akibat proses pengangkatan pada zaman Geologi Tersier dan mempunyai karakter tersendiri, yaitu adanya sisa-sisa jenis binatang laut, adanya menara-menara kars dan rekahan-rekahan pada gunung gamping. Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka wilayah tersebut dapat dimasukkan ke dalam tipe topografi karst. Satuan morfologi karst membujur ke arah timur sampai ke gugusan
pegunungan kapur Bulu Ballano yang merupakan daerah perbukitan gamping. Hal ini terbukti dengan adanya stalagtit dan stalagmit yang terdapat di dalam gua, adanya jembatan-jembatan alam, dan menara-menara karst (Sunarto, 1989) Topografi karst adalah suatu bentuk khas di daerah gamping yang terjadi akibat proses pelarutan dan erosi pada kurun waktu yang panjang. Perbukitan di kawasan ini mempunyai bentuk puncak bukit yang melengkung tumpul, dengan lembah yang sempit dan berdinding terjal. Dalam proses pelarutan yang berlangsung di daerah gamping, sering dihasilkan bentukan gua. Proses demikain yang mengakibatkan daerah Maros sampai Pangkep kaya akan gua dan ceruk (Linda, 2005) Kabupaten Maros meliputi wilayah pantai yang terbentang sepanjang kurang lebih 31 km dari Selat Makassar. Sebagian lahan yang berada di sekitar wilayah pantai ini umumnya digunakan penduduk sebagai tambak dan sebagai daerah penyimpanan penangkapan hasil-hasil laut. Dari wilayah pantai agak ke Timur merupakan wilayah dataran rendah yang cukup luas dan digunakan oleh penduduk sebagai wilayah pertanian tanaman pangan, holtikultura, dan buahbuahan. Selanjutnya lebih ke Timur lagi merupakan dataran tinggi dan bergununggunung, yang digunakan oleh masyarakat sebagai daerah perkebunan rakyat. Pada wilayah dataran tinggi dan pegunungan ini, berhulu sungai-sungai dengan anak cabangnya yang mengalir melewati daratan rendah dan bermuara ke laut (Siagian, 2007) indah, mLingkungan gua merupakan sebuah lingkungan yang unik dan khas dengan kondisi gelap total sepanjang masa. Lingkungan gua lazim dibagi menjadi 4 zona yaitu mulut, zona peralihan (zona remang-remang), zona gelap dan zona gelap abadi. Masing zona mempunyai karakteristik lingkungan (abiotik) yang berbeda-beda, begitu juga kehidupan faunanya (bioti) (Howarth 1991). Mulut gua merupakan daerah yang menghubungkan luar gua dengan lingkungan gua dan masih mendapatkan
cahaya matahari dan kondisi lingkungannya masih dapat
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan luar gua. Temperatur dan kelembaban berfuktuasi tergantung kondisi luar gua (canopy) atau tirai (gordyn). Di beberapa gua itu dijumpai akumulasi air yang melimpah. Karena batugampi
15
2.2. Situs Gua Prasejarah di Kabupaten Maros Kabupaten Maros terletak pada posisi 4º 45” LS sampai 5º 07” dan 119º 02” BT sampai 119º 20” BT memiliki luas 1.619,12 km². Kabupaten ini terdiri atas 12 kecamatan
yaitu
Kecamatan
Mandai,
Kecamatan
Camba,
Kecamatan
Bantimurung, Kecamatan Maros Baru, Kecamatan Maros Utara, Kecamatan Mallawa,
Kecamatan
Tanralili,
Kecamatan
Turikale,
Kecamatan
Marusu,
Kecamatan Simbang, Kecamatan Cenrana, dan Kecamatan Tompo Bulu (Tim Kaisar Unhas, 2003). Secara topografi wilayah Kabupaten Maros terdiri atas daerah datar dan daerah berbukit. Daerah datar meliputi Kecamatan Bantimurung, sedangkan daerah berbukit meliputi Kecamatan Camba dan sebagian wilayah Bantimurung. Daerah berbukit tersebut merupakan bagian dari pegunungan kapur (kars) yang berderet sampai ke wilayah Kabupaten Pangkajene dan kepulauan atau sering disebut dengan Kabupaten Pangkep. Pada saat sekarang bagian barat wilayah tersebut merupakan pusat kegiatan masyarakat, berupa persawahan dan tambak. Daerah pegunungan terjal pada bagian timur terbagi atas perbukitan karst dan daerah pegunungan vulkanik (Linda, 2005)
Gambar 2.1. Pegunungan kapur (kars) di Maros
Gua-gua prasejarah Kabupaten Maros terletak dalam kawsan seluas 70 km², yang terbagi dalam dua wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Bantimurung sebanyak 22 gua dan Kecamatan Simbang (Linda, 2005), yang dapat duraikan sebagai berikut :
16
I. Kecamatan Bantimurung NO 1
Naa GUa Petta”E
Desa Leang-leang
Dusun Panaikang
Letak Astronomis 04º 58’ 24” LS dan 119º 40’ 52” BT
2.
Petta Kere
Leang-leang
Panaikang
04º 58” 45” LS dan 119º 40’ 22” BT
3
Tinggia
Leang-leang
Panaikang
04º 58’. 52’’ LS dan 119º 40’ 48” BT
4.
Baratedong
Leang-leang
Panaikang
04º 58’ 49’’ LS dan 119º 41’ 08” BT
5.
Ulu Leang
Leang-leang
Tompo Balang
04º 59’ 29’’ LS dan 119º 40’ 06” BT
6.
Bettue
Leang-leang
Tompo Balang
04º 59’ 21’’ LS dan 119º 40’ 06” BT
7.
Lamnatorang
Leang-leang
Lambatorang
04º 58’ 04’’ LS dan 119º 40’ 11” BT
8.
Tenggae
Leang-leang
Lambatorang
04º 57’ 20’’ LS dan 119º 39’ 50” BT
9
Samungkeng
Leang-leang
Samungkeng
04º 58’ 14’’ LS dan 119º 39’ 30” BT
10.
Ambo Pacco
Kalabbirang
Tompo Balang
04º 58’ 20’’ LS dan 119º 41’ 45” BT
11.
Timpuseng
Kalabbirang
Tompo Balang
04º 59’ 34’’ LS dan 119º 39’ 57” BT
12.
Sampeang
Kalabbirang
Tompo Balang
04º 59’ 58’’ LS dan 119º 39’ 52” BT
13.
Uluwae
Kalabbirang
Lopi-lopi
04º 59’ 18’’ LS dan 119º 40’ 05” BT
14
Pajae
Kalabbirang
Lopi-lopi
04º 59’ 12’’ LS dan 119º 40’ 24” BT
15
Jin
Kalabbirang
Lopi-lopi
04º 59’ 30’’ LS dan 119º 38’ 36” BT
17
16
Burung
Kalabbirang
Pakalu
04º 00’ 40’’ LS dan 119º 39’ 10” BT
17
Bembe
Kalabbirang
Pakalu
04º 59’ 15’’ LS dan 119º 39’ 58” BT
18.
Batu Karope
Kalabbirang
Pakalu
04º 59’ 43’’ LS dan 119º 39’ 45” BT
19
Barugayya
Kalabbirang
Pakalu
04º 59’ 42’’ LS dan 119º 39’ 24” BT
20.
Bulu Sipong
Bontolempangan Pakalu
04º 53’ 36’’ LS dan 119º 36’ 46” BT
21
Pakulu
Bontolempangan Pakalu
04º 53’ 50’’ LS dan 119º 36’ 24” BT
22
Samaleri
Bontolempangan Pakalu
04º 53’ 51’’ LS dan 119º 36’ 40” BT
23
Wanuwae
Bungaeja
Panaikang,
04º 57’ 58,2” LS dan 119º 40’ 54,3”. BT
II. Kecamatan Simbang 05º 03’ 32’’ LS dan 1
Sarioa
Semanggi
Pattunuang
119º 42’ 09” BT 05º 03’ 42’’ LS dan
2.
Karassa
Semanggi
Pattunuang
119º 42’ 26” BT 05º 00’ 52’’ LS dan
3.
Jari’E
Semanggi
Pattunuang
119º 41’ 34” BT 05º 00’ 54’’ LS dan
4.
Tampuang
Semanggi
Pattunuang
119º 41’ 09” BT 05º 01’ 53’’ LS dan
5.
Pattumuang
Semanggi
Pattunuang
119º 41’ 28” BT
18
Pada penelitian ini, tidak dilakukan pada seluruh gua yang disebutkan di atas tetapi hanya beberapa gua yang dijadikan sampel obyek penelitian, yang terdiri dari a. Gua Patta Kere Gua Petta Kere terletak di bagian belakang Taman Prasejarah Leang-leang. Untuk menuju mulut gua harus menaiki tangga yang terbuat dari semen dan sebagian besi. Lingkungan
sekitar gua adalah bukit gamping yang ditumbuhi berbagai
macam pepohonan (Tim Kaisar Unhas, 2003). Gua Petta Kere merupakan gua jenis ceruk yang memiiki ornamen gua seperti stalagtit dan stalagmit. Mulut gua yang lebarnya 12 meter terletak pada sisi lereng dengan ketinggian 90 meter dari permukaan tanah, menghadap ke arah timur laut tepatnya N 40º E. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam gua terasuk sedang. Lantai gua kering dengan kemiringan +5º (Tim Kaisar Unhas, 2003).. Tinggalan arkeologis yang terdapat dalam gua ini adalah alat batu berupa serpih dan bilah, fragmen tembikar, cangkang moluska, dan lukisan dinding berupa cap tangan sebanyak 10 buah dan babi rusa sebanyak 2 buah yang terletak pada dinding yang sama (Tim Kaisar Unhas, 2003).
Gambar 2.3. Lukisan yang terdapat di dinding gua Pette Kere
Gambar 2.2. Tangga besi menuju gua Pette
Hasil pengukuran terhadap kondisi lingkungan di dalam gua Pette Kere, dapat diuraikan sebagai berikut :
19
Nama Gua
Suhu
Kelembaban
Kelembaban
Kelembaban
Suhu Per-
PH
PH
Udara
Udara
Tanah
Dinding
mukaan
Tanah
Air
( º C)
(%)
(%)
(SP)
Dinding
7
6
( º C)
Pette Kere
29, 5
63
30
12, 9, 8, 9, 9
26
b. Gua Petta’E Gua Petta’E berada di dalam kompleks Taman Prasejarah Leang-leang, yaitu di halaman depan taman, dengan posisi mulut gua berada di kaki bukit. Gua Petta’E merupakan suatu ceruk yang cukup besar, memiliki ornamen berupa stalagtit dan stalagmit. Mulut gua menghadap ke arah barat tepatnya N 290º E dengan ketinggian sekitar 36 meter dari permukaan laut. Lebar mulut Gua Petta’E sekitar 3 meter dan tinggi antara 5 – 6 meter. Lantai gua memiliki kemiringan +3º. Pada mulut gua telah dibuat pagar yang menutup gua (Tim Kaisar Unhas, 2003). Permukaan dinding Gua Petta’E sebagian besar bertekstur kasar, banyak terdapat tonjolan-tonjolan, sedangkan pada atap gua terdapat stalagtit. Intensitas cahaya \yang masuk ke gua ini tidak begitu besar, sehingga dalam gua menjadi remangremang (Nusantara, 1989 dalam Linda, 1989). Lukisan pada dinding Gua Petta’E pertama kali ditemukan oleh Heeren Palm pada tanggal 26 Februari 1950, berupa lukisan cap tangan dengan latar belakang warna merah sebanyak tujuh bush. Seluruh lukisan cap tangan tersebut menggambarkan tangan kiri, berjari lengakap dengan jari-jari yang ramping. Pagi hari berikutnya Van Heekeren menemukan lukisan babirusa dalam posisi melompat dengan mata panah tertancap di jantungnya. Di leher dan punggung babirusa tersebut terdapat lukisan lima atau enam berkas rambut yang kaku (Soejono, 1993 dalam Linda, 2003).
20
Gamabr 2.4. Bagian depan Gua Pettae
Hasil pengukuran terhadap kondisi lingkungan di dalam gua Pettse, dapat diuraikan sebagai berikut :
Suhu
Kelembaban
Kelembaban
Kelembaban
Suhu Per-
PH
PH
Nama
Udara
Udara
Tanah
Dinding
mukaan
Tanah
Air
Gua
( º C)
(%)
(%)
(SP)
Dinding
7
-
( º C)
Pattae E
27
71
80
6, 8, 6, 9, 6
23 dan 27
c. Gua Burung Gua Burung terletak di sisi kanan jalan Desa Kalabbirang, sekitar 4 km di sebelah utara ibukota Kecamatan Bantimurung. Mulut gua berada pada sisi lereng dengan ketinggian 7 meter dari permukaan tanah. Gua Burung merupakan gua jenis ceruk yang memiliki ornamen gua seperti stalagtit, stalagmit dan pilar. Mulut gua menghadap ke arah barat laut tepatnya N 310º E, dengan lebar 32 meter dan tinggi 6,5 meter. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam gua tergolong sedang. Lantai gua bersifat basah dengan kemiringan + 7º. Tinggalan arkeologis yang terdapat di gua ini berupa sampah dapur, alat batu serpih,
bilah, fragmen
tembikar, dan lukisan dinding berupa cap tangan dalam kondisi rusak, sehinnga sulit dikenali (Tim Kaisar Unhas, 2003)..
21
Kondisi lingkungan di sekitar gua sangat beragam. Di bagian depan gua sekitar 50 meter terdapat jalan aspal. Di kanan kiri jalan terdapat pemukiman penduduk, di bagian belakang terdapat hamparan sawah. Di sisi kanan sekitar 30 meter dari gua terdapat sungai Leang-leang.
Gambar 2.5. Bagian depan gua Burung
Gambar 2. 6. Lukisan di dinding gua Burung yang telah terkelupas
d. Gua Jing Gua Jing terletak di sisi kiri jalan Desa Kalabbirang, kurang lebih 1 km dari Taman Prasejarah Leang-leang. Posisi mulut gua berada pada sisi lereng dengan ketinggian sekitar 30 meter dari permukaan tanah. Gua Jin memiliki rongga berupa lorong yang panjangnya sekitar 10 meter dengan lebar 2 meter dan tinggi 1,5 meter. Di dalam gua terdapat lukisan dinding gua yang sebagian besar kondisinya telah rusak. Hasil pengukuran terhadap kondisi lingkungan di dalam gua Pettse, dapat diuraikan sebagai berikut :
Suhu
Kelembaban
Kelembaban
Kelembaban
Suhu Per-
PH
PH
Nama
Udara
Udara
Tanah
Dinding
mukaan
Tanah
Air
Gua
( º C)
(%)
(%)
(SP)
Dinding ( º C)
Jing
25
82
45
15
23
7
6
22
Gambar 2.8. Sebagian lukisan cap tangan yang ada di gua jing
Gambar 2.7. Mulut Gua Jing
e. Gua Barugayya Gua Barugaya terdiri atas dua gua yang keduanya hanya berjarak 40 meter yang dalam daftar inventaris situs diberi nama Gua Barugaya I dan Gua Barugaya II. Kedua gua berada di sebelah timur Leang Jing berjarak ± 250 meter yang terhubung oleh sebuah rongga, sehingga kedua gua tersebut dapat diakses tanpa harus turun ke pelataran yang melintas di kaki bukit. Gua Barugaya menghadap ke arah utara dengan ketinggian 45 m dpl. Tinggi gua dari tanah yang ada didepannya berkisar 5 meter dengan kemiringan lereng berkisar 40 derajat. Distribusi lahan di depan gua terdiri atas pelataran yang terletak tepat di depan gua dengan lebar ± 6 meter. Kemudian lahan miring sampai datar berada di bagian bawah pelataran dengan lebar berkisar 30 meter. Pada lahan yang kedua ini merupakan lahan kering yang diatasnya tumbuh tanaman yang terdiri atas pohon bambu, bitti (lokal) dan jati serta semak belukar. Di bagian luar lahan yang kering ini merupakan ruang produksi sekuritas pangan penduduk berupa persawahan yang memanjang sampai ke ujung areal pemukiman. Gua Barugayya termasuk kategori tipe gua kekar tiang yang ditandai dengan banyaknya rongga-rongga yang saling berhubungan, munculnya pilar-pilar di
23
sekitar pintu gua, berlangsungnya proses travertin yang menutupi lantai gua dan memunculkan beberapa flow stone sehingga lantai gua terkesan berterap. Pintu gua yang cukup lebar ini ± 30 meter mengakibatkan suhu udara di dalam gua lebih segar berkisar 26-29 derajat. Kelembaban rongga gua berkisar antara 65-75 %, sedangkan kelembaban dinding gua berkisar antara 20-26 %. Kandungan arkeologis yang terdapat di gua ini terdiri atas lukisan dinding gua, alat batu mikrolit dan
buangan sampah-sampah dapur.
Lukisan dinding gua
diidentifikasi sebagai gambar cap telapak tangan yang berwarna merah. Gambar cap telapak tangan ini pada umumnya diletakkan pada bagian langit-langit dan dinding gua yang dikerjakan dengan cara memercikkan cairan merah di atas punggung telapak tangan yang terlebih dahulu diletakkan pada bagian permukaan kulit batu. Alat-alat batu mikrolit yang ditemukan disitus ini pada umumnya diperoleh menyebar di dalam lahan pelataran situs yang diidentifikasi sebagai alat serpih, bilah, tatal dan pecahan yang dihasilkan dari proses teknologi batu patahan. Alat-alat batu mikrolit ini terbuat dari bahan batuan chert dan gamping kersikan. Sedangkan sisa-sisa sampah dapur berupa kulit kerang yang diidentifikasi berasal dari kelas gastropoda dan pelecypoda. Sisa-sisa makanan jenis ini ditemukan bersama dengan alat-alat batu yang berserakan di bagian pelataran gua.
Gambar 2.9 Bagian depan gua Barugayya
f.
Gambar 2.10. Lukisan di dinding gua Barugayya
Gua Karassa Gua Karassa terletak di pinggir jalan poros Maros-Bone, di Kampung Taddeang Desa Samanggi Kecamatan Simbang ± 19 km sebelah timur Kota Maros atau
24
sekitar 9 km sebelah tenggara Taman Purbakala Leang-Leang. Gua Karassa menghadap ke utara berhadapan langsung dengan jalan raya. Permukaan lantai gua rata dengan jalan raya di depannya serta lebih tinggi ± 2 m lebih tinggi dari dasar Sungai Taddeang yang mengalir di sebalah utara jalan. Vegetasi di sekitarnya berupa mangga, jati, jenis palm dan belukar tumbuh di sepanjang aliran Sungai Taddeang. Temuan arkeologis yang masih dapat dijumpai adalah sampah dapur berupa cangkang-cangkang moluska yang tersebar pada seluruh permukaan lantai gua serta artefak batu, meskipun sangat sulit ditemukan lagi. Kondisi situs sangat teracak dan tak terawat, meskipun memiliki juru pelihara dan berpagar. Pagar duri yang terpasang dalam keadaan rusak parah, terlepas dari tiang atau putus. Dinding-dinding gua dipenuhi dengan coretan-coretan (vandalis), sampah-sampah modern yang berserakan serta bekas-bekas pembakaran di mana-mana. Ancaman lain adalah jalan raya yang menempati area situs bahkan masuk dalam ruang gua.
Gambar 2.11. Gua Karassa
g. Gua Sampeang Gua Sampeang terletak di sisi kanan, sekitar 500 meter ke arah timur dari jalan Desa Kalabbirang. Jarak Gua Sampeang
dari Taman Prasejarah Leang-leang
sekitar 3 km ke arah selatan. Posisi mulut gua berada pada sisi lereng dengan ketinggian 40 meter dari permukaan laut. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam gua tergolong kurang. Lingkungan di sekitar gua berupa vegatasi dan terdapat sungai pada jarak 60 meter dari gua. Gua Sampeang merupakan jenis gua yang
25
memiliki ornamen berupa stalagtit, stalagmit, pilar, dan flowstone. Mulut gua menghadap ke arah barat laut tepatnya N 330ºE, dengan lebar 10 meter dan tinggi 7,5 meter. Lantai gua ini bersifat kering dengan kemiringan 0º. Tinggalan arkeologis dberupa sampah dapur, fragmen tembikar, dan lukisan gua. Lukisan tersebut berupa cap tangan sebanyak tujuh buah dan abstraksi manusia yang warnanya sudah memudar (Tim Kaisar Unhas, 2003).
Gambar 2.13. Sebagian lukisan cap tangan
Gambar 2.12. Mulut Gua Sampeang
Gambar 2.14. Lukisan manusia di gua
Sampeang h. Gua Jari’E Gua Jari”E terletak kurang lebih 300 meter ke arah utara dari jalan poros Maros – Camba. Posisi mulut gua berada di sisi lereng dengan ketinggian 10 meter dari permukaan tanah. Gua Jari’E merupakan gua yang memiliki ornamen berupa stalagtit, stalagmit dan pilar. Mulut gua menghadap ke selatan tepatnya N 190º E, dengan lebar 13,5 meter dan tinggi 7 meter. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam gua sangat baik. Lantai gua bersifat basah dengan kemiringa + 10º (Tim Kaisar Unhas, 2003).
26
Penelitian terhadap Gua Jari”E pertama kali dilakukan oleh Van Hekeren pada tahun 1950. Pada penelitian tersebut ditemukan dua kelompok lukisan cap tangan pada bagian dinding dekat pintu masuk gua. Masing-masing kelompok terdiri atas tujuh dan lima lukisan cap tangan. Kondisi lukisan dalam keadaan rusak. Pada bagian yang lebih dalam ditemukan empat lukisan cap tangan, satu diantaranya berjari empat dan yang lainnya berjari tiga. Pada bagian atas gua juga terdapat dua kelompok lukisan cap tangan, masing-masing terdiri atas empat dan lima lukisan. Pada celah bagian terakhir ditemukan empat lukisan cap tangan yang kondisinya sudah rusak (Heekeren, 1972 dalam Linda, 2005). Tinggalan arkeologi yang terdapat di gua ini berupa serpih dan bilah, fragmen tembikar polos, cangkang moluska, dan lukisan tangan sebanyak 15 buah. Sepuluh buah di antara lukisan tersebut dalam konsisi rusak dan sulit dikenali (Tim Kaisar Unhas, 2003).
Gambar 2.15. Bagian dari Gua Jari’E
i. Gua Wanuwae Gua Wanuwae berada di bagian tenggara lintasan kaki Bukit Bomboro. Secara administratif berada di dalam Kampung Panaikang, Desa Bungaeja Kecamatan Bantrimurung. Berjarak kurang lebih 800 meter sebelah utara Taman Prasejarah Leang Leang pada posisi astrnomik S 04O 57’ 58,2” E119O 40’ 54,3”. Gua Wanuwae berada pada ketinggian ± 50 m dpl, sedang tingginya dari permukaan tanah datar di depannya ± 8 meter. Distribusi lahan di depan gua dirunut sebagai pelataran landai selebar kurang lebih 6 meter. Di bagian luar pelataran landai yang terletak di sebelah baratnya terdapat lahan miring kurang
27
lebih 45 derajat selebar 30 meter. Pada lahan miring ini tumbuh beberapa jenis tanaman yang terdiri atas bambu, enau, nangka, jati, kapok dan lapisan penutup berupa semak belukar. Di bagian sisi terluar lahan miring merupakan lahan produksi penduduk berupa sawah tadah hujan. Gua Wanuwae termasuk kategori tipe gua kekar lembaran yang ditandai kurangnya proses travertine serta tidak adanya rekahan-rekahan yang terdapat di dalam rongga gua bagian atas. Gua yang menghadap ke arah barat ini mempunyai pintu yang berukuran tinggi kurang lebih 2,5 meter dengan lebar kurang lebih 7 meter. Temperatur suhu rata-rata di dalam rongga gua berkisar 26 derajat selesius dengan kelembaban rata-rata berkisar 89 %, sedang kelebaban rata-rata dinding gua berkisar antara 17-26 %. Akumulasi temuan arkeologis yang teramati di situs gua ini terdiri atas lukisan dinding gua dan sisa-sisa makanan. Sedangkan untuk temuan artefak batu tidak diperoleh. Lukisan dinding gua diidenfikasi sebagai gambar telapak tangan berwarna merah berjumlah 12 buah. Penyebaran gambar telapak tangan di dalam gua ini ditempatkan pada bagian atap gua yang rendah dan pada bagian dinding gua sebelah kanan. Kondisi lukisan gua ini sebagian besar rusak akibat pengelupasan permukaan dinding gua. Sedangkan untuk temuan sisa makanan jumlahnya tidak banyak berupa fragmen cangkang-cangkang moluska yang diidentifikasi berasal dari kelas gastropoda.
Gambar 2.16. Jalan menuju gua Wanuwae
Gambar 2.17. Lukisan di dinding gua Wanuwae yang telah mengalami kerusakan
28
3.3. Situs Gua Prasejarah di Kabupaten Pangkep Kabupaten Pangkep terletak sekitar 22 km di sebelah utara Kabupaten Maros, pada posisi 4º 46’ LS sampai 4º 54’ LS dan 119º 31’ BT sampai 119º 45’ BT, secara geografis terbagi menjadi dua bagian, yaitu wilayah daratan da wilayah kepulauan. Wilayah daratan terletak mulai dari pesisir pantai sampai di darah pegunungan kapur, sedangkan wilayah kepulauan terletak di bagian barat jazirah selatan Puau Sulawesi, berbatasan dengan Laut Jawa (Eriawati, 1992 dalam Linda, 2005). Keadaan geomorfologis daerah Pangkep secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu daerah dataran aluvial yang terletak di pesisir pantai, karst Randebene yang terletak di sebelah timur dataran aluvial, dan karst menara batu gamping. Batuan dasar daerah karst tersebut adalah batu gamping numulit Eosen, berlapis tebal, lapisannya agak mendatar, dan relatif murni. Batu gamping numulit Eosen ini mengandung batu gamping kersikan. Batu gamping kersikan merupakan bahan yang umum dipakai untuk pembuatan alat oleh manusia prasejarah di Pangkep, Sulawesi Selatan (Budiarto,1996). Geologi wilayah Pangkep termasuk geologi regional Pangkep, Maros dan Bone. Pada geologi regional ini tedapat dua garis pegunungan yang membujur dengan arah utara bagian laut. Kabupaten ini terutama pada kecamatan Pangkajane, dicirikan oleh formasi geologis pegunungan kapur yang tergolong topografi karst. Topografi demikian ditandai oleh adanya bukit yang membulat dengan lereng yang terjal (cenderung menjadi tebing), menara-menara yang membulat (tower karst), dan pada lereng maupun tebing terdapat ceruk maupun gua-gua (Sumantri, 2004).
Gambar 2.18. Pegunungan kars di Pangkep
29
Perbukitan kapur di daerah Pangkep terselubungi oleh vegetasi yang rapat dan hanya pada dinding atau lereng yang terjal tidak terselubungi vegetasi, sehingga terlihat seperti singkapan batuan. Sedikitnya jenis tumbuhan di daerah perbukitan kapur, disebabkan oleh kondisi tanahnya. Tanah di daerah perbukitan kapur mempunyai kadar kalsium yang tinggi, sehingga beberapa jenis tumbuhan tidak dapat tumbuh. Jenis-jenis vegetasi di perbukitan ini adalah paku-pakuan, pandan, semak-semak, tumbuhan merambat, dan pohon jati (Budiarto, 1996). Situs-situs di daerah Pangkep tersebar di kaki gugusan pegunungan kapur yang membentang di sebelah timur ibukota Kabupaten Pangkep. Berdasarkan hasil pendataan tahun 2003 yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Pangkep diketahui bahwa gua-gua tersebut tercakup dalam empat wilayah kecamatan yang berbeda, yaitu 5 gua di kecamatan Labakkeng, 8 gua di Kecamatan Bungoro, 22 gua di Kecamatan Pangkajene, dan 2 gua di Kecamatan Balocci (Linda, 2005), yang dapat diuraikan sebagai berikut :
I. Kecamatan Lebakkang NO
Naa GUa
Desa
Letak Astronomis
1
Pamelakang Tedong
Pundata Baji
04º 47’ 54’’ LS dan 119º 31’ 18” BT
2.
Lasitae
Pundata Baji
04º 47’ 42’’ LS dan 119º 42’ 26” BT
3.
Pabjjagbujangang
Pundata Baji
04º 47’ 50’’ LS dan 119º 31’ 37” BT
4.
Bala Suji
Siloro
04º 46’ 48’’ LS dan 119º 36’ 48” BT
5.
Bulu Ballang
Siloro
04º 46’ 49’’ LS dan 119º 36’ 47” BT
Desa
Letak Astronomis
Biraeng
04º 49’ 50’’ LS dan 119º 35’ 15” BT
II. Kecamatan Pangkajene NO 1
Naa GUa Bubuka
30
2.
Cadi’a
Biraeng
04º 49’ 54’’ LS dan 119º 35’ 04” BT
3
Buto
Biraeng
04º 50’ 03’’ LS dan 119º 35’ 18” BT
4.
Tinggia
Biraeng
04º 49’ 48’’ LS dan 119º 35’ 12” BT
5.
Lompoa
Biraeng
04º 50’ 08’’ LS dan 119º 35’ 35” BT
6.
Lesang
Biraeng
04º 49’ 50’’ LS dan 119º 34’ 57” BT
7.
Kajuara
Biraeng
04º 50’ 12’’ LS dan 119º 35’ 47” BT
8.
Patenunggang
Biraeng
04º 50’ 13’’ LS dan 119º 35’ 48” BT
9
Jempang
Biraeng
04º 50’ 09’’ LS dan 119º 35’ 35” BT
10.
Tana Rajae
Biraeng
04º 50’ 15’’ LS dan 119º 35’ 48” BT
11.
Sakapao
Biraeng
04º 50’ 03’’ LS dan 119º 36’ 06” BT
12.
Bujung
Biraeng
04º 50’ 24’’ LS dan 119º 36’ 00” BT
13.
Bujung II
Biraeng
04º 50’ 24’’ LS dan 119º 36’ 01” BT
14
Bayya
Biraeng
04º 50’ 26’’ LS dan 119º 35’ 58” BT
15
Bulo Ri.ba
Biraeng
04º 50’ 30’’ LS dan 119º 35’ 40” BT
31
16
Cammingkana
Biraeng
04º 50’ 31’’ LS dan 119º 35’ 36” BT
17
Ujung Bulu
Biraeng
04º 50’ 36’’ LS dan 119º 35’ 43” BT
18.
Ujung Bulu II
Biraeng
04º 50’ 37’’ LS dan 119º 35’ 42” BT
19
Batang Lamara
Biraeng
04º 50’ 56’’ LS dan 119º 35’ 44” BT
20.
Sapiria
Biraeng
04º 50’ 56’’ LS dan 119º 35’ 50” BT
21
Sa,sang
Biraeng
04º 50’ 48’’ LS dan 119º 35’ 42” BT
22
Kassi
Biraeng
04º 50’ 10’’ LS dan 119º 35’ 39” BT
Desa
Letak Astronomis
Limbua
04º 48’ 24’’ LS dan 119º 36’ 42” BT
III. Kecamatan Bungoro NO
Naa Gua
1
Garunggung
2.
Mattampa
3.
Cumi’lantang
4.
Saluka
5.
Macinna
6.
Bulo
Limbua
04º 48’ 20’’ LS dan 119º 36’ 53” BT
Limbua
04º 48’ 48’’ LS dan 119º 36’ 58” BT
Limbua
04º 48’ 58’’ LS dan 119º 36’ 47” BT
Limbua
04º 48’ 12’’ LS dan 119º 36’ 48” BT
Limbua
04º 48’ 35’’ LS dan 119º 36’ 52” BT
32
7.
Ajung
8.
Parewa
Limbua
04º 48’ 36’’ LS dan 119º 36’ 50” BT
Limbua
04º 48’ 32’’ LS dan 119º 36’ 49” BT
Desa
Letak Astronomis
Balocci Baru
04º 54’ 58’’ LS dan 119º 38’ 57” BT
Balocci Baru
04º 48’ 20’’ LS dan 119º 38’ 57” BT
IV. Kecamatan Balocci NO 1
2.
Naa Gua Bulu Sumi
Sumpang Bita
Pada penelitian ini, tidak dilakukan pada seluruh gua yang disebutkan di atas tetapi hanya beberapa gua yang dijadikan sampel obyek penelitian, yang terdiri dari a. Gua Sakapao Gua Sakapao terletak pada lereng gugusan pegunungan kapur di Belae. Gua Sakapao merupakan gua yang cukup besar dan luas, dengan panjang 20 meter, lebar rongga gua 16 meter, dan lebar mulut gua 8 meter. Di sebelah barat terdapat sebuah lorong yang memanjang ke arah barat. Atap gua di bagian utara lebih rendah daripada di bagian selatan. Mulut gua menghadap ke arah timur, di depannya terdapat sebuah lembah dan sungai yang mengalir dari sebuah mata air. Gua Sakapao dapat dicapai melalui pendakia lebih kurang sepanjang 100 meter dengan kemiringan sekitar 60º (Nusantara, 1989 dalam Linda, 2005), Susunan stratigrafi Gua Sakapao terdiri dari satuan batu lempung dan satuan endapan alluvial. Satuan batu lempung berwarna putih sampai kelabu muda, sedangkan satuan endapan alluvial terdiri dari material lempung, pasir, dan kerikil. Endapan alluvial terbentang di sekitar bagian depan Gua Sakapoa dan dataran rendah Balae (Nusantara, 1989 dalam Lin da, 2005), Di Gua Sakapoa terdapat tinggalan arkeologis berupa alat batu serpih, bilah, sisasisa kulit kerang dan lukisan dinding. Lukisan dinding yang ditemukan di gua ini terdiri atas lukisan babirusa berwarna merah, lukisan cap tangan kanan dan kiri,
33
Gambat 2.19. Lukisan babirusa di gua Sakapao serta lukisan babi berwarna hitam yang digambarkan dalam posisi melompat. Pada bagian punggung babi terdapat gambar anak panah. Selain itu juga terdapat gambar abstark, berupa enam buah garis berwarna merah, yang tampaknya merupakan lukisan babirusa yang belum selesai (Nusantara, 1989 dalam Lin da, 2005). Hasil pengukuran terhadap kondisi lingkungan di dalam gua Sakapao, dapat diuraikan sebagai berikut :
Nama Gua
Suhu
Kelembaban
Kelembaban
Kelembaban
Suhu
PH
PH
Udara
Udara
Tanah
Dinding
Per-
Tanah
Air
( º C)
(%)
(%)
(SP)
mukaan Dinding ( º C)
Sakapao - Dalam
25
92
40
9, 8, 22, 25
23
6,9
6
- Luar
27
63
5
8, 9, 12, 15
24
7
6
b. Gua Kajuara Gua Kajuara memiliki mulut gua yang berada pada sisi lereng dengan ketinggian 10 meter dari permukaan laut. Penamaan ”Kajuara” mengacu pada sebutan masyarakat setempat terhadap pohon beringin yang tumbuh di dekat gua tersebut.
34
Tinggalan arkeologis yang terdapat pada Gua Kajuara antara lain alat batu serpih, bilah, sisa-sisa kerang, dan lukisan dinding. Lukisan yang ditemukan terletak pada dinding mulut dan langit-langit gua, berupa lukisan cap tangan berwarna merah dan lukisan manusia berwarna hitam (Mulyadi, 2004 dalam Linda, 2005).
Gambat 2.20. Lukisan cap tangan di gua Kajuara c. Gua Kassi Gua Kassi menghadap ke arah barat daya dan berada 15 meter dari permukaan laut. Tinggi gua dari permukaan tanah di depannya berkisar antara 0 sampai 5 meter. Distribusi lahan di depan gua dirunut sebagai pelataran seluas 0,75 ha dengan kondisi miring yang berkisar antara 0 sampai 40 derajat. Di bawah pelataran terdapat daerah cekungan yang pada musim hujan berubah menjadi rawa-rawa dan mengakibatkan ujung bagian bawah pelataran menjadi dataran banjir. Vegetasi pada rawa-rawa adalah tanaman rumbia atau sagu. Pada bagian barat pelataran situs terdapat mata air berasal dari kaki bukit yang debitnya cukup tinggi sepanjang atahun. Mata air tersebut telah dijadikan sumber air baku PDAM Kabupaten Pangkep untuk memenuhi kebutuhan air penduduk Kota Pangkajene. Pada hari-hari libur mata air ini dijadikan sebagai tempat rekreasi masyarakat kota Pangkajene. Sisi terluar distribusi lahan sekitar Gua Kassi sesudah jalan aspal yang menghubungkan Kota Pangkajene dan Kampung Belae terdapat bangunan gedung pusat kontrol distribusi air PDAM. Gua Kassi termasuk kategori gua kekar tiang yang dicirikan dengan banyaknya stalaktit dan stalagmit serta rekahan-rekahan vertikal pada langit-langit gua. Lebar pintu gua 24 meter dan tinggi 30 meter. Sebagian besar lantai gua tertutupi oleh bongkahan-bongkahan batu dari runtuhan langit-langit gua. Temperatur suhu rata-
35
rata di dalam rongga gua kurang lebih berkisar 260 C dengan kelembaban ratarata 87 %, sedangkan kelembaban rata-rata dinding gua berkisar antara 15-30 %. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada Gua Kassi terdiri atas lukisan dinding gua, artefak batu dan sisa-sisa makanan. Kenampakan lukisan dinding gua terdiri
Gambar 2.21. Lingkungan di luar gua Kassi
Gambat 2.22. Lukisan manusia di gua Kassi
atas 5 buah gambar telapak tangan berwarna merah, 3 buah gambar yang didentifikasi manusia berwarna hitam dan beberapa ganbar berwarna hitam yang tidak teridenfikasi wujudnya. Lukisan terbesar di gua ini berukuran 17 Cm. Lukisan ini diletakkan pada langit-langit dan dinding sebelah kanan serta dinding sebelah kiri.
d. Gua Lompoa Gua Lompoa berada 20 meter di atas permukaan laut dengan arah hadap selatan. Tinggi gua dari tanah yang ada di depannya berkisar antara 0 sampai 5 meter. Distribusi lahan yang terdapat di depan gua terdiri atas pelataran seluas 0,60 ha dengan lebar kurang lebih 17 meter. Tingkat kemiringan pelataran berkisar antara 0 sampai 45 derajat. Di bawah pelataran terdapat rawa selebar kurang lebih 30 meter yang tergenang sepanjang tahun sehingga pada musim hujan kaki pelataran merupakan dataran banjir. Di sebelah barat gua atau pelatannya terdapat mata air yang berasal dari dalam dinding gua yang mengalir sepanjang tahun. Sumber mata air ini telah dibendung dan dimanfaatkan untuk mendistribusikan kebutuhan air sawah penduduk. Pada bagian barat rawa terdapat jalan beraspal selebar 4 meter yang juga berfungsi menghubungkan kampng Belae dengan kota kecamatan Minasate’ne. Lahan terluar di depan gua adalah sawah penduduk yang berada di sebelah jalan aspal.
36
Gua Lompoa termasuk kategori gua kekar tiang. Memiliki tiga buah pintu masuk masing-masing memiliki lebar 16 meter, 4 meter dan 8 meter dengan tinggi 6 meter. Tinggi langit-langit dalam rongga gua bervariasi antara 4 sampai dengan 10 meter. Temperatur suhu rata-rata di dalam gua berkisar 270 C dengan kelembaban rata-rata dinding gua berkisar antara 17-20 %. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada Gua Lompoa berupa sisa-sisa makanan, artefak batu dan lukisan dinding gua. Buangan sisa-sisa makanan jumlahnya cukup banyak dan terdeposit mengikat artefak batu di sekitar pelataran gua. Sisa makanan ini berupa moluska dan artropoda serta rahang tulang binatang besar (hewan bertulang belakang). Artefak batu yang teramati di situs ini jumlahnya juga cukup banyak berupa alat-alat microlith hasil teknologi tatahan yang dibuat dari batu gamping kersikan dan batu rijang. Alat-alat microlith ini diidentifikasi sebagai alat serpih, alat bilah, alat tatal dan batu inti. Artefak batu ini kebanyakan ditemukan tersebar di pelataran gua yang miring. terdapat di gua ini
Lukisan dinding gua yang
sebanyak 11 buah gambar. 5 buah diidentifikasi sebagai
gambar telapak tangan berwarna merah dan 6 lainnya berwarna hitam. Di luar gambar telapak tangan, gambar-gambar lainnya diidentifikasi sebagai gambar manusia, hewan, garis-garis tumpal dan garis-garis lengkung lainnya serta sebuah gambar yang menyerupai alat batu serpih. Lukisan terbesar di gua ini berukuran 19 Cm. Secara umum peletakan lukisan yang menampilkan telapak tangan berada pada gua atau pintu gua sebelah kanan sedang gambar lainnya di letakkan pada mulut gua sebelah kiri. Teknik penggambaran yang dilakukan di situs ini dilakukan dengan cara dipercik atau disemprot untuk jenis telapak tangan dan untuk jenis lainnya dilakukan dengan cara digaris atau dilukis.
Gambar 2.23. Lingkungan di luar gua Lompoa
Gambar 2.24. Lukisan manusia di gua Lompoa
37
e. Gua Pattennung Gua Pattennung menghadap ke arah tenggara dan berada 13 meter di atas permukaan laut. Tinggi gua dari permukaan tanah di depannya berkisar antara 0 sampai 2 meter. Distribusi lahan di depan gua tidak banyak berbeda dengan gua Leang kajuara yang berada di dekatnya kecuali pelatarannya memiliki luas 0,1 ha dan pada musim hujan atau beberapa bulan sesudahnya termasuk dataran banjir mencapai ke mulut gua. Vegetasi di pelatan ini didominasi tanaman rumbia. Lahan di luar pelataran banjir yang terletak di sebelah timurnya dimanfaatkan penduduk sebagai areal persawahan yang terbentuk atas beberapa petak, sedangkan lahan yang lebih ke timurnya lagi termasuk tanah kering sehingga penduduk banyak membangun rumah-rumah di atasnya sebagai lahan pemukiman. Juga di atas areal kering ini terdapat fasilitas sosial berupa gedung sekolah untuk tingkat Sekolah Dasar. Gua Pattennung termasuk kategori gua kekar tiang yang ditandai dengan banyaknya stalagmit dan rekahan batuan di dalam rongga gua. Pada dasarnya pintu gua hanya ada satu namun pada bagian rongga sebelah barat dayanya terdapat celah sempit yang dapat dilalui keluar masuk gua ini. Pintu gua berukuran tinggi 22 meter dan lebar 8 meter. Tinggalan arkeologis yang terdapat pada Gua
Pattennung terdiri atas lukisan
dinding gua dan sisa makanan.. Lukisan dinding gua Pattennung diidentifikasi sebagai gambar telapak tangan sebanyak 18 buah, gambar telapak kaki satu buah dengan ukuran panjang 10 centimeter dan sebuah gambar manusia berukuran 12 centimeter. Gambar-gambar ini keseluruhannya dibuat di atas warna merah dengan meletakkan pada dinding dan rekahan bagian dalam rongga gua. Untuk jenis gambar telapak tangan dan telapak kaki dibuat dengan cara atau tehnik percik dan semprot dimana objek terlebih dahulu diletakkan di atas permukaan batu. Sedangkan untuk gambar jenis manusia dibuat dengan cara dilukis, sehingga seluruh bidang objek mendapat perwarnaan. Buangan sisa makanan yang teramati dari situs ini berupa cangkang moluska yang diidentifikasikan berasal dari kelas gastropoda dan pelecypoda tetapi jumlahnya hanya sedikit.
38
Gambar 2.25. Lukisan cap tangan di gua Pattennung
e. Gua Bulu Sumi Gua Bulu Sumi berada dalam kompleks Taman Prasejarah Sumpang Bitta. Gua ini terletak sekitar 500 meter dari jalan raya poros Pangkep – Makasar. Gua Bulu Sumi terletak di kaki perbukitan kapur dengan kemiringan sekitar 30º dan berada pada ketinggian 220 meter dari permukaan laut. Mulut gua menghadap ke arah utara dengan lebar sekitar 4,1 meter dan kedalaman ruang gua sekitar 8,8 meter serta ketinggian atap gua lebih kurang 11 meter. Pada jarak sekitar 80 meter di sebelah timur laut gua terdapat sumber mata air. Keadaan permukaan tanah pada Gua Bulu Sumi relatif agak rata. Kondisi lingkungan sekitar Gua Bulu Sumi berupa semak belukar dan tanaman keras, antara lain pohon lontar dan pohon jati. Pada bagian mulut gua terdapat bongkahan-bongkahan batu kapur yang menghalangi sebagian pintu masuk gua (Budiarto, 1996). Tinggalan arkeologis yang ditemukan di dalam Gua Bulu Sumi antara lain alat-alat serpih, fragment gerabah polos, lancipan, kulit kerang, dan lukisan dinding. Lukisan dinding yang ditemukan di gua ini berupa lukisan cap tangan, yaitu cap tangan orang dewasa dan anak-anak yang semuanya berjari lengkap, serta lukisan babirusa dengan warna merah sebanyak dua buah. Lukisan-lukisan tersebut ditemukan di dinding gua bagian dalam. Di bagian atap gua tidak ditemukan lukisan (Budiarto, 1996).
39
Gambar 26. Lukisan cap tangan di Gua Bulu Sumi
f.
Gua Sumpang Bita Gua Sumpang Bita juga terletak di dalam Taman Prasejarah Sumpang Bita. Gua in terletak sekitar 150 meter di sebelah barat Gua Bulu Sumi. Gua Sumpang Bita terletak di kaki perbukitan kapur dengan kemiringan sekitar 30º dan berada pada ketinggian 260 meter dari permukaan laut. Mulut gua menghadap ke arah timur, dengan lebar sekitar 14 meter. Kedalaman ruang gua sekitar 24 meter dengan tinggi lebih kurang 12 meter (Budiarto, 1996). Vegetasi di sekitar Gua Sumpang Bita berupa semak belukar dan tanaman keras, antara lain pohon lontar dan pohon jati (Tectona grandis). Pada bagian mulut gua terdapat bongkahan-bongkahan batu. Di dalam gua masih berlangsung proses pembentukan stagmit dan stalagtit, sebagai akibat dari proses perembesan air dan proses travertine (Budiarto, 1996). Tinggalan arkeologis yang ditemukan di Gua Sumpang Bita berupa tulang dan gigi manusia, kulit kerang, fragmen
gerabah polos dan berhias geometris, serta
lukisan dinding. Jenis lukisan dinding yang ditemukan berupa lukisan cap tangan, lukisan cap kaki, lukisan babirusa, dan lukisan berbentuk perahu dengan warna merah. Lukisan-lukisan tersebut ditempatkan di dinding gua bagian dalam. Lukisan cap tangan yang terdapat di Gua Sumpang Bita terdiri atas cap tangan orang dewasa dan anak-anak, sedangkan lukisan cap kaki brupa cap kaki anak-anak (Budiarto, 1996).
40
Gambar 27. Lingkungan babirusa di gua Sumpang Bita
Gambar 28. Lukisan perahu di gua Sumpang bita
Hasil pengukuran terhadap kondisi lingkungan di dalam gua Sumpang Bita, dapat diuraikan sebagai berikut
Nama Gua
Suhu
Kelembaban
Kelembaban
Kelembaban
Suhu
PH
PH
Udara
Udara
Tanah
Dinding
Per-
Tanah
Air
( º C)
(%)
(%)
(SP)
mukaan
7
7
Dinding ( º C)
Sumpang Bita
28
71
30
6, 8, 9, 11, 12
22
41
BAB III KONDISI KETERAWATAN LUKISAN GUA
3.1. Kerusakan dan Palapukan Pada Lukisan Gua Berdasarkan hasil pengumpulan data dan pengamatan langsung pada gua-gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, dapat diketahui
beberapa faktor penyebeb
kerusakan lukisan gua yang dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Kerusakan lukisan tidak terjadi pada pudar/lunturnya bahan/cat yang digunakan untuk melukis tetapi terjadinya pelupasan lapisan pada permukaan batuan di mana lukisan itu dibuat.
Gambar 3.1 Lapisan permukaan dinding yang telah mengelupas pada Gua Jing di
2. Tumbuhnya ganggang di permukaan lukisan yang membuat tidak terlihat jelas
Gambar 3.2. Tumbuhan ganggang di dinding gua Pette Kere di Maros
Dari 2 sampel ganggang (algae) yang diambil pada dinding gua Pette Kere, setelah dilakukan analisis laboratorium diketahui jenisnya sebagai berikut : 1. Asal sampel : Pette Kere Jenis algae tipe butiran Species : Aphanotece bullosa Genus : Aphanotece Nag Family : Chroococcaceae Nageli Order : Chroococcales Wettstein Class : Cyanophyceae Sachs Divisi : Cyanophyta 2. Asal sampel : Pette Kere Jenis algae tipe butiran Species : Gloeocapsa atrata Genus : Gloeocapsa Kutzing Family : Chroococcaceae Nageli Order : Chroococcales Wettstein Class : Cyanophyceae Sachs Divisi : Cyanophyta 3. Lukisan terhapus oleh aliran air hujan yang melewati lukisan.
Gambar 3.3. Bekas aliran air yang merusak lukisan di gua Sumpang Bita Pangkep (kondisi setelah direkontruksi tahun 1986)
Kerusakan lukisan dalam gua di atas dapat sebabkan oleh terjadinya pelapukan batuan dalam gua.
Pelapukan adalah dekomposisi batuan, tanah dan
minaralnya akibat kontak langsung dengan atmosfer. Berbeda dengan erosi yang melibatkan pergerakan dan disintegrasi batuan dan mineral oleh beberapa faktor
43
seperti air, es, angin dan gravitasi, pelapukan tidak diikuti oleh perpindahan batuan atau mineral. Pelapukan diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu pelapukan mekanik atau fisik dan kimia. Pelapukan mekanik atau fisik melibatkan pemecahan/kerusakan batuan dan tanah melalui kontak langsung dengan kondisi atmosfer seperti panas, air, es dan tekanan. Pelapukan kimia adalah proses penghancuran batuan, tanah dan mineral yang melibatkan pengaruh langsung dari bahan kimia dalam atmosfer atau yang dihasilkan oleh makluk hidup. Pelapukan yang disebabkan oleh makluk hidup ini juga dikenal dengan pelapukan biologi. Material yang dihasilkan oleh pelapukan bergabung dengan bahan organik menghasilkan tanah. Kandungan mineral tanah ditentukan oleh bahan induknya. Jadi tanah turunan dari satu jenis batuan dapat sering kekurangan satu mineral atau lebih untuk kesuburan tanah, sedangkan tanah hasil pelapukan berbagai campuran batuan (seperti endapan glasial (glacial), eosial (eocial) atau aluvial sering membuat tanah lebih subur.
Faktor yang menjadi penyebab terjadinya pelapukan diduga antara lain: 1. Pelapukan Fisik (Mekanik) Pelapukan mekanik merupakan penyebab disintegrasi batuan. Proses awal pelapukan mekanik adalah abrasi, proses di mana fragmen (clasts) dan partikel lain terpecah menjadi berukuran kecil. Pelapukan fisik dan kimia sering saling terkait dan terjadi bersama-sama. Sebagai contoh, retakan yang tereksploitasi oleh pelapukan mekanik akan meningkatkan luas permukaan yang akan diteruskan oleh aksi kimia. Selanjutnya, aksi kimia pada mineral dalam retakan dapat membantu proses disintegrasi (http://en.wikipedia .org/wiki/Weathering) Pelapukan mekanik yang cukup dominan dalam memberi kontribusi terhadap terjadinya kerusakan lukisan adalah pelapukan ekspansi termal. Ekspansi termal, juga dikenal sebagai pelapukan kulit bawang, eksfoliasi, pelapukan insolasi atau sok termal, terjadi karena adanya fluktuasi temperatur yang besar dalam sehari. Temperatur naik tinggi pada siang hari dan turun tajam pada malam hari. Ketika batuan terkena panas dan mengembang pada siang hari, lalu dingin dan terkontraksi di malam hari, tekanan (stress) sering dialami oleh lapisan luar. Tekanan menyebabkan terkelupas lapisan luar batuan menjadi lapisan tipis. Meskipun ekspansi termal ini disebabkan
44
terutama oleh perubahan temperatur, proses ini juga diperparah oleh adanya kelembaban yang tinggi (highly moisture). Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa lukisan yang berada di mulut gua (terbuka) memiliki tingkat kerusakan yang lebih tinggi dari pada yang ada di bagian dalam gua.
2. Pelapukan Kimia Pelapukan kimia melibatkan perubahan komposisi batuan, yang sering menghasilkan kerusakan bentuk. Hal ini terjadi melalui gabungan air dan berbagai kimia menghasilkan asam yang secara langsung merusak bahan. Pelapukan tipe ini terjadi pada periode waktu tertentu. Pelapukan kimia dapat mengakibatkan pembentukan bahan kimia batuan melalui perubahan mineral dalam batuan atau menambah beberapa mineral baru. (http://en.wikipedia .org/wiki/Weathering) Dua pelapukan kimia yang diduga memiliki kontribusi tinggi adalah pelarutan dan biologi a. Pelarutan (Dissolution) Air hujan bersifat asam karena karbon dioksida atmosfer larut dalam air hujan menghasilkan asam karbonat. Dalam lingkungan tidak tercemar, pH air hujan sekitar 5,6. Hujan asam terjadi jika gas seperti sulfur dioksida dan nitrogen oksida ada dalam atmosfer. Oksida ini dalam air hujan menghasilkan asam kuat dan menurunkan pH sampai 4,5 atau 3,0. Sulfur dioksida berasal dari erupsi gunung berapi atau dari bahan bakar foil, dapat menjadi asam sulfat dalam air hujan, yang menyebabkan pelapukan larutan pada batuan yang terkena air hujan. Salah satu proses pelapukan larutan yang paling dikenal adalah karbonasi, proses di mana karbon dioksida atmosfer mengacu pada pelapukan larutan. Karbonasi terjadi pada batuan yang mengadnung kalsium karbonat seperti batuan kapur. Hal ini terjadi apabila karbon dioksida atau asam organik membentuk asam karbonat lemah yang bereaksi dengan kalsium karbonat (batuankapur) dan membentuik kalsium bikarbonat. Reaksi itu adalah sebagai berikut: CO2 + H2O
H2CO3
karbon dioksida + air
asam karbonat
45
H2CO3 + CaCO3
Ca(HCO3)2
Asam karbonat + kalcium karbonat
kalsium bikarbonat
Karbonasi pada permukaan batuan batu retak menyerupai sumuran menghasilkan
pavement
batuan kapur
diskret
yang paling efektif
memperlebar serta memperdalam retakan. Air, yang bereaksi dengan karbon dioksida dapat membentuk asam karbonat, mengalir melewati permukaan batuan yang ada lukisan dapat menyebabkan kerusakan lukisan. Karbon dioksida, dalam bentuk asam karbonat, jika bercampur dengan mineral batuan dapat menyerang feldspar dan mineral lainnya mengakibatkan silika dan kalium-natrium karbonat menjadi terlarut dan terbawa oleh aliran air sehingga lukisan dapat terkelupas. Di samping itu, apabila aliran air yang mengandung garam terlarut melewati lukisan jika berada di uadara terbuka atau suhu atmosfer tinggi mengakibatkan terjadinya pengendapan dan dapat menutupi lukisan.
b. Biologi Sejumlah tumbuhan dan hewan dapat menciptakan pelapukan kimia melalui pelepasan senyawa asam, yaitu moss pada akar diklasifikasikan sebagai pelapukan. Bentuk paling umum pelapukan biologi adalah pelepasan senyawa kelat, yaitu asam, oleh tumbuhan sehingga merusak senyawa yang mengandung aluminium dan besi dalam tanah yang ada di bawahnya. Peluruhan dari tumbuhan mati dalam tanah dapat membentuk asam organik yang, jika larut dalam air, menyebabkan pelapukan kimia. Pelepasan senyaawa kelat dapat secara mudah mempengaruhi batuan dan tanah yang ada di sekitarnya, dan dapat menyebabkan leaching tanah yang hebat yang melepaskan mineral seperti besi dan aluminium.
3.2. Evaluasi Pelaksanaan Konservasi Yang Pernah dilakukan Di Lukisan Gua A. Konservasi Lukisan Gua Oleh Samidi Pelaksanaan konservasi Samidi dilakukan pada tahun 1985 dan 1986 di 2 lokasi yaitu Gua Pette Kere Kabupaten Maros dan Gua Sumpang Bita di Kabupaten Pangkep (Samidi, 1985 dan Samidi, 1986).
46
1. Gua Pette Kere Masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar lukisan dinding gua adalah pengelupasan kulit batu yang membawa serta lukisannya. Konservasi lukisan dimaksudkan sebagai upaya mengurangi faktor penyebab pengelupasan, memperkuat kembali kulit batu yang masih ada, dan perbaikan lukisan yang hilang Fokus utama konservasi di gua ini adalah
dipilih lukisan babi rusa,
dengan alasan lukisan ini telah mengalami pengelupasan yang lanjut, mencapai sekitar seperempat bagian dari luas lukisan. Dilakukan pendokumentasian lukisan, juga dilakukan pemetaan langsung (plotting) di atas lukisan dengan menggunakan kertas kalkir, dengan tujuan untuk mengetahui secara pasti bentuk dan ukuran lukisan maupun daerah pengelupasan. Sebelum konservasi dilakukan percobaan, antara lain dengan melakukan pembersihan lukisan dengan air dan alkohol, yang dimaksudkan untuk mengetahui cara pembersihan lukisan dan sekaligus mengetahui apakah metode konsolidasi dengan Barium Karbonat (yang pelarutnya air) dapat diterapkan Ada 2 jenis pelaksanaan konservasi yaitu a). Pembuatan lubang respirasi (diameter 1,5 cm dan ± 1 cm) pada kulit batu yang dimaksudkan untuk memberi jalan keluar air yang berada dalam pori-pori batu, sehingga pengendapan diharapkan tidak terjadi di bawah kulit batu. b). Konsilidasi lukisan dengan cara mengisi rongga di antara kulit batu dengan induk dengan menggunakan dua bahan konsolidasi arternatif yaitu •
Barium Karbonat (an organik) Menggunakan larutan : - Ba (OH)2
20 %
- Urea
5 %
- Glycerin
25 %
- Dengan pelarut air Urea dalam air mengalami hidrolis dan mengeluarkan gas CO2 yang bereaksi dengan Ba (OH)2 untuk membentuk Barium
47
Karbonat (BaCO3). Glycerin berfungsi sebagai katalisator
agar
reaksi tersebut dapat terjadi pada suhu udara normal . Konsolidasi dengan Barium Karbonat tidak akan menutup pori, karena kadarnya hanya ± 25 %. Untuk memperoleh kadar konsolidasi yang lebih tinggi perlu dilakukan pengulangan. •
Resin sintetis (organik) Konsolidasi dengan resin sintetis menggunakan epoxy resin Ciba EP-IS yang mempunyai daya rekat tinggi dan viskositan rendah (100 Centipois), sehingga mudah mengalir ke dalam
rongga.
Berbeda dengan Barium Karbonat, resin ini akan menutup pori. Konsolidasi dilakukan dengan sistem injeksi baik melalui rongga batu maupun lubang pengeboran yang dibuat untuk keperluan konsolidasi . •
Restorasi lukisan Restorasi lukisan dimaksudkan untuk memperbaiki lukisan yang telah hilang oleh pengelupasan
kulit batu, agar tetap diperoleh
gambaran yang utuh mengenai bentuk lukisan. Dengan demikian restorasi lukisan hanya diterapkan pada permukaan batu yang telah mengelupas. Zat warna yang digunakan untuk restorasi adalah haematit (oker merah), seperti halnya yang masih digunakan untuk pembuatan lukisan pada rumah tradisional di Sulawesi Selata (Toraja). Sedangkan media perekatnya menggunakan dua bahan alternatif yaitu perekat tradisional tuak dan resin sintetis Ciba EP-IS Untuk membuat garis-garis digunakan warna tua (campuran kental), sedangkan untuk bagian tengah lukisan digunakan warna yang lebih muda (agak encer). Untuk membedakan dengan luksian yang asli, garis dibaut putus-putus (Samidi, 1985).
2. Gua Sumpang Bita Lukisan dinding gua sumpang bita yang paling parah adalah lukisan perahu. Penyebab kerusakan adalah adanya aliran air hujan di beberapa tempat yang hampir menghabiskan lukisan.
48
Aliran air hujan yang telah menyebabkan terjadinya erosi lukisan terdapat di tiga tempat, yakni di bagian tengah dan kanan. Di tempat-tempat terjadinya aliaran air hujan tersebut, lukisan sudah hilang sama sekali akibat erosi, kecuali di bagian yang kanan masih ada sisa luksan samarsamar. Aliran air hujan yang ditengah, selain telah menghabiskan lukisan, juga telah menyebabkan terjadinya pengendapan kapur yang cukup menonjol. Lukisan bagian kiri tidak terkena aliran air hujan, tetapi sebagian besar telah mengelupas. Pengelupasan tersebut disebabkan oleh karena terhambatnya penguapan air ke permukaannya. Dengan
melihat
pada
kerusakan
tersebut,
perlu
diambil
langkah
penyelamatan lukisan sebagai berikut : a. Pengalihan air hujan, agar tidak meleawati permukaan batuan yang mengandung
lukisan,
dilakukan
dengan
cara
memasang
alat
penampung dan penyalur air hujan pada setiap daerah aliaran secara individual, sebelum air mencapai lukisan. b. Restorasi Lukisan Bagian ujung kanan lukisan perahu / sampan yang masih kelihatan samar-samar telah direstorasi dengan dilukis ulang, agar tidak hilang sama sekali. Metode restorasinya sama dengan di Gua Pettae Kere, yakni dengan memberi warna dasar yang agak muda, kemudian diberi garis-garis pembatas / profil putus-putus. Bahan pewarna yang digunakan adalah haematit, dengan pelarut Paraloid B – 72 5 % dalam larutan ethyl acetate. Paraloid B 72 adalah acrylic resin yang merupakan kopoliner setara methyl acrylate dan ethyl methacrylate. Resin ini mempunyai sifat yang unggul yakni tidak mudah terpengaruh oleh sinar, dan makin lama akan semakin stabil tanpa perubahan warna. Selain sebagai perekat, Paraloid B 72 juga dapat berfungsi sebagai konsolidan.
B. Evaluasi Pelaksanaan Konservasi Oleh Samidi Setelah lebih dari 20 tahun, konservasi yang dilakukan di gua Pettae Kere dan gua Sumpang Bita perlu dilakukan evaluasi, untuk mengetahui sampai sejauah
49
mana efektifitas terhadap konservasi yang telah dilakukan dan dampak yang mungkin timbul pada lukisan gua . 1. Gua Pettae Kere •
Konsolidasi menggunakan Barium Karbonat Dari pengamatan yang dllakukan, konsoldasi menggunakan Barium Karbonat hasilnya cukup efektif, tetapi dalam aplikasinya kurang baik sehingga ada endapan putih, jika aplikasi baik, barium karbonat ini efektif dapat dipergunakan
Gambar 3.4. Konservasi menggunakan Barium Karbonat (lingkaran biriu) •
Konsolidasi menggunakan Resin Ciba EP-IS Dari pengamatan yang telah dilakukan, konsolidasi menggunakan Resin Ciba EP-IS, hasil yang diperoleh kurang baik. Hal ini terlihat pada lukisan yang tampak mengkilat sehingga berbeda dengan warna aslinya
Gambar 3.5. Konservasi menggunakan Resin Ciba EP-IS (lingkaran biriu)
50
•
Restorasi Lukisan Menggunakan Hematit (oker merah) dengan pelarut epoxy resin Ciba EP-IS Dari
pengamatan
yang
telah
dilakukan
pada
hasil
restorasi
menggunakan hematit (oker merah) dengan pelarut epoxy resin Ciba EP-IS, terlihat bahwa lukisan yang direkontruksi masih bagus, tetapi hasilnya menunjukkan kilat yang menyolok. Hal ini membuat berbeda dengan lukisan yang asli.
Gambar 3.6
•
Konservasi menggunakan heamatif dengan Resin Ciba EP-IS (lingkaran biriu)
Restorasi Lukisan Menggunakan Hematit (oker merah) dengan pelarut Paraloid B-72 dengan larutan ethyl acetate Dari
pengamatan
yang
telah
dilakukan
pada
hasil
restorasi
menggunakan hematit (oker merah) dengan pelarut Paraloid B-72 dengan larutan ethyl acetate terlihat bahwa lukisan yang direkontruksi masih bagus, tetapi hasilnya menunjukkan kilat yang mencolok. Hal ini membuat lukisan hasil rekontruksi berbeda dengan lukisan yang asli.
51
Gambar 3.7 Konservasi menggunakan hematit dengan pelarut Paraloid B-72 dan larutan ethyl acetat (lingkaran biriu)
•
Restorasi Lukisan Menggunakan Hematit dengan pelarut Tuak Dari
pengamatan
yang
telah
dilakukan
pada
hasil
restorasi
menggunakan hematit dengan pelarut tuak cukup efektif, tetqpi warnanya tajam dan tidak mirip dengan aslinya. Hal ini terlihat lukisan yang direkontruksi masih kuat dan tidak mengkilat.
Gambar 3.8. Konservasi menggunakan hematit dengan pelarut
52
2. Restorasi Lukisan di Gua Sumpang Bita Menggunakan Hematit (oker merah) dengan pelarut Paraloid B-72 dan larutan ethyl acetate Dari pengamatan yang telah dilakukan pada hasil restorasi lukisan yang terdapat di gua Sumpang Bita menggunakan hematit (oker merah) dengan pelarut Paraloid B-72 dan larutan ethyl acetate terlihat bahwa lukisan yang direkontruksi masih bagus, tetapi hasilnya menunjukkan kilat yang mencolok. Hal ini membuat lukisan hasil rekontruksi berbeda dengan lukisan yang asli.
Gambar 3.8 . Konservasi menggunakan hematit dengan pelarut Paraloid B-72 dengan larutan ethyl acetat (lingkaran biriu)
Gambar
Konservasi menggunakan hematit dengan pelarut Paraloid B-72 dengan larutan ethyl acetat (lingkaran biriu)
Berdasarkan hasil evaluasi di atas, dapat disimpulkan bahwa konservasi menggunakan bahan kimia menyebabkan kondisi lukisan yang di konservasi tidak sama seperti aslinya, sehingga dapat mengurangi nilai arkeologis dari lukisan tersebut. Untuk itu, konservasi menggunakan bahan kimia dapat dikurangi seminimal mungkin, yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya arkeolog dimaksud.
53
BAB IV ANALISA DATA
4.1 Analisa Laboratorium A. Uji Bahan Pengganti Lukisan Gua Lukisan gua di kabupaten Maros dan Pangkep sebagian besar berwarna merah. Berdasarkan beberapa
pendapat ahli yang pernah
melakukan penelitian
tentang lukisan di kabupaten Pangkep dan Maros, diduga bahan untuk melukisn lukisan di dinding gua menggunakan sejenis hematif (batuan merah). Uji bahan pengganti lukisan gua dilakukan di laboratorium Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makasar. Bahan utama yang
digunakan dalam uji
Gambar 3.2 Batuan merah yang berasal dari sekitar situs Sumpang Bita coba ini adalah batuan merah yang ditemukan di sekitar situs Sumpang Bita, yang terletak di Kabupaten Pangkep. Untuk menghasilkan bahan berbentuk cairan yang akan digunakan untuk melukis, batuan merah dihaluskan, kemudian dibagi menjadi 8 sampel. Tahap
selanjutnya, 8 delepan
Gambar 3.2.. Batuan merah yang telah dihaluskan
batuan
merah ini
dicampur dengann 8 larutan yang mana satu sampel dicampur dengan satu larutan. Delapan larutan itu adalah : 1. Larutan buah asam jawa 10 % 2. Larutan cuka 3. Air buah kalla (buah siwalan) segar 4. Air buah kalla (buah siwalan) prementasi 5. Larutan daun sirih 6. Larutan buah pinang 7. Larutan daun sirih + larutan buah pinang 8. Aquades
Gambar 3.3 Larutan yang digunakan untuk campuran batuan merah
Gambar 3.4 Proses pencampuran batuan merah dengan 8 larutan
Setelah di dapat campuran batuan merah dengan 8 jenis larutan, kemudian dioleskan pada batuan kars Maros.
yang berasal dari lingkungan gua di Kabupaten
Penggunaan batuan kars yang berasal dari lingkungan gua sebagai
media untuk mengoleskan 8 campuran dengan pertimbangan bahwa batuan terebut merupakan bagian dari gua dan dianggap bisa mewakili dari dinding gua tempat lukisan berada. Di bagian yang rata pada batuan merah di beri tanda
55
dengan membuat delapan kotak sebagai tempat pengolesan 8 sampel yang telah dibuat. Kemudian dilakukan pergolesan satu persatu sampel pada kotak tersebut.
Gambar 3.5 Batuan Kars yang digunakan untuk percobaan
Gambar 3.6 Prosen pengolesan cairan batuan merah ke batuan karst
Selesai dilakukan pegolesan pada batuan kars, kemudian didiamkan sekitar 1 (satu) bulan dan di letakkan di tempat terbuka di laboratorium Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Hal ini dimaksudkan supaya sampek menempel dan beradaptasi dengan batuan kars.
56
Setelah sekitar 1 bulan sampel bahan lukisn beradaotasi dengan batuan kars, kemudian dilakukan ”Ageing test”, dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan dari bahan lukisan yang menempel di batuan karst.
Gambar 3.7 Batuan kars yang telah dioles 8 sampel bahan lukisan
B. Uji Bahan Pengganti Permukaan dinding gua Berdasarkan pengamatan di lapangan, kerusakan lukisan tidak terjadi pada pudar/lunturnya bahan/cat yang digunakan untuk melukis tetapi terjadinya pelupasan lapisan pada permukaan batuan di mana lukisan itu buat. Oleh karena itu, untuk membantu dalam pelestarian lukisan, perlu dicarikan bahan pengganti lapisan dinding,
sehingga rekontruksi lukisan
gua tidak pada dinding yang
lapisannya telah mengelupas, tetapi bisa dilakukan pada
dinding yang telah
dilapisi dengan lapisan permukaan dinding yang baru. Keuntungan dari lapisan permukaan dinding baru ini, jika terjadi kesalahan dalam merekontruksi lukisa, lapisan bisa dilepas dan digantikan dengan yang baru. Untuk membuat lapisan permukaan dnding gua, perlu dilakukan uji laboratorium terlebih dahulu. Bahan utama untuk membuat lapisan permukaan dinding gua adalah batuan kars. Batuan kars ini didihaluskan, kemudian dibuat 2 sampel, sampel yang pertama di campur dengan larutan cuka yang memiliki Ph 4. Sedangkan sampel kedua dicampur dengan gamping / kapur dan dicampur dengan air secukupnya. Kedua sampel ini kemudian dioleskan pada batuan karst yang telah mengelups pada permukaan batunya. Langkah selanutnya, kedua sampel ini yaitu sampel A dan B dibiarkan selama sekitar 1 (satu) bulan, dengan tujuan supaya lapisan permukaan baru ini menempel dengan baik pada batuan karst. Untuk memperkuat daya eratnya dikedua sampel, setiap hari selama satu minggu, kedua sampel diteteslam dengan air jernih.
57
Gambar 3.8 Proses pencampuran batuan karst yang telah dihaluskan dengan larutan cuka
Gambar 3.9 Pengolesan sampel ke batuan karst
Gambar 3.10. Batuan karst yang telah diolesi lapisan permukaan baru
C. Uji Kekuatan Bahan Pengganti lukisan dan Bahan Permukaan dinding gua Untuk mengetahui kekuatan dari bahan pengganti lukisaqn dan bahan pengganti lapisan permukaan dinding dilakukan uji kekuatan yang disebut dengan Ageing test. Ageing test dilakukan setelah sampel yang diuji melekat cukup kuat dengan batuan kars. Pelaksanaan Ageing test dilakukan 3 jenis perlakuan yaitu bahan yang diuji dioven, direndam dan dijemur diluar ruangan.
58
Gambar 3.11. Bahan yang akan diuji Ageing test (Kondisi awal setelah dilakukan pengolesan)
Untuk mendapatkan hasil yang efektif, maka dilakukan pengujian dengan 3 waktu yang berbeda yaitu : 1. Selama 3 Jam Bahan yang akan diuji dilakukan 3 jenis perlakuan yaitu di rendam, dioven dengan suhu 80 º Celciuc dan dijemur masing-masing selama 3 jam. Uji in dilakukan selama 10 kali untuk melihat ketahanan dari bahan yang diuji. Dari 8 sampel bahan lukisan yang diuji, terlihat bahwa 5 buah sampel lapisan merahnya masih dalam keadaan baik beradaptasi dengan batuan karst. Ke lima sampel tersebut adalah sampel nomer 3 (batuan merah + Air buah kalla (buah siwalan) segar), nomer 4 (batuan merah + Air buah kalla (buah siwalan) prementasi, sampel nomer 5 (batuan merah + larutan daun sirih), sampel nomer 6 (batuan merah + larutan buah pinang) dan sampel nomer 7 (batuan merah + larutan daun sirih + larutan buah pinang). Untuk bahan pengganti lapisan permukaan dinding gua, kedua buah sampel yaitu batuan
kars yang dihaluskan di campur dengan larutan cuka yang
memiliki Ph 4. dan batuan karst yang campur dengan gamping / kapur dan air secukupnya, kondisinya masih dalam keadaan baik beradaptasi dengan batuan karst.
59
2. Selama 24 Jam Seperti pada uji yang pertama, bahan yang akan diuji dilakukan 3 jenis perlakuan yaitu di rendam, dioven dengan suhu 80 º Celcius dan dijemur masing-masing selama 24jam. Uji in dilakukan selama 10 kali untuk melihat ketahanan dari bahan yang diuji. Dari 8 sampel bahan lukisan yang diuji, terlihat bahwa 3 buah sampel lapisan merahnya masih dalam keadaan baik beradaptasi dengan batuan karst. Ke tiga buah sampel tersebut adalah sampel nomer 3 (batuan merah + Air buah kalla (buah siwalan) segar), sampel nomer 5 (batuan merah + larutan daun sirih) dan sampel nomer 6 (batuan merah + larutan buah pinang). Untuk bahan pengganti lapisan permukaan dinding gua, kedua buah sampel yang diuji dalam keadaan rusak (terlepas dari batuan karst).
3. Selama 1 minggu Seperti pada uji yang pertama dan kedua, bahan yang akan diuji dilakukan 3 jenis perlakuan yaitu di rendam, dioven dengan suhu 80 º Celcius dan dijemur masing-masing selama 1 minggu dengan 9 kali siklus, bertujuan untuk melihat ketahanan dari bahan yang diuji. Dari 8 sampel bahan lukisan yang diuji, terlihat bahwa 2 buah sampel lapisan merahnya masih dalam keadaan baik beradaptasi dengan batuan kars. Ke dua buah sampel tersebut adalah sampel nomer 5 (batuan merah + larutan daun sirih) dan sampel nomer 6 (batuan merah + larutan buah pinang).
Gambar 3.12. Kondisi akhir setelah uji Ageing test
60
D. Uji Petrografi Uji petrografi ini bertjuan untuk mengetahui berbagai kondisi kekuatan yang ada pada batuan kars. Uji Petrografi yang dilakukan meliputi uji kekerasan, kuat tekan dan kadar pasir dalam batuan kars. Uji kekerasan batuan karst berpedoman pada kekerasan batu yang ada dalam skala mohs. Hasilnya menunjukkan bahwa kekerasan batuan karst
adalah 3 skala mohs. Hal ini
menunjukan kekersan batu tidak terlalu keras. Uji kuat tekan batuan karst menggunakan peralatan kuat tekan yang ada di laboratorium petrografi Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Hasil uji kuat tekan menunjukan bahwa ketika sampel batuan kars ditekan dengan beban 80,795945 /cm/kg, batuan tersebut mengalami keretakan. Batu karst akan pecah ketika ditekan dengan beban 166,79706 cm/kg. Uji kadar pasar dilakukan dengan sampel batuan karst yang telah ditimbang sebanyak 20 gram. Hasilnya menunjukan bahwa kandungan butiran yang ada pada pasir sebesar 8,3 gram, lempung / clay sebesar 9 gtram dan kapur sebesar 7,7 gram
E. Uji Di laboratorium Kimia a. Uji dengan menggunakan alat FTIR Uji menggunakan alat FTIR dilakuka dilaboratorium kimia Uniiversitas Negeri Yogyakarta (UNY). Uji FTIR dilakukan untuk menguji gugus fungsi dengan cara membandingkan kemiripan struktur antara senyawa dari grafik yang muncul setiap sampel yang diuji. Sampel yang diuji meliputi : •
Sampel batuan karst dari gua Sumpang Bita
•
Lapisan pengelupasan permukaan dinding gua Pettae Kere
•
Batuan merah (mineral merah) dari sekitar situs Sumpang Bita
•
Lapisan hitam dari gua Kassi
•
Lapisan merah dari gua Pettae
•
Sampel permukaan dinding gua Sakapoa
Hasil uji FTIR yahg dilakukan belum dapat menentukan jenis bahan yang digunakan dalam dalam lukisan gua.
61
b. Uji dengan menggunakan alat XRD Uji menggunakan alat XRD dilakuka dilaboratorium Kimia Analitik Uniiversitas Gadjah mada Yogyakarta (UGM). Uji XRD dilakukan untuk melihat mineral dari difraksi sinar X terhadap sampel yang diuji. Hasil dari uji XRD berupa grafik spektran sinar x dan bentuknya mencerminkan jenis mineral. Hasil yang diperoleh bersifat kualitatif. Sampel yang diuji meliput : •
Sampel batuan karst dari gua Sumpang Bita
•
Lapisan pengelupasan permukaan dinding gua Pettae Kere
•
Batuan merah (mineral merah) dari sekitar situs Sumpang Bita
•
Lapisan hitam dari gua Kassi
•
Lapisan merah dari gua Pettae
•
Sampel permukaan dinding gua Sakapoa
Hasil uji XRD yahg dilakukan (terlampir)
belum dapat menentukan jenis
bahan yang digunakan dalam dalam lukisan gua.
c. . Uji dengan menggunakan alat XRF Uji menggunakan alat XRF dilakuka di laboratorium Kimia Analitik Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Cabang Yogyakarta. Uji XRF dilakukan untuk melihat unsur dari difraksi sinar X terhadap sampel yang diuji. Hasil dari uji XRF berupa grafik spektran sinar x dan bentuknya mencerminkan jenis unsur. Hasil yang diperoleh bersifat semi kuantitatif. Sampel yang uji meliputi ; •
Sampel batuan karst dari sekitar situs Sumpang Bita
•
Lapisan merah dari gua ...
Kedua sampel kemudian dilakukan unsur, yang hasil yang dapat diuraikan sebagai berikut :
62
NAMA SAMPEL
PARAMETER
SATUAN
HASIL UJI
Cr
%
0,870 ± 0,013
Fe
%
20,970 ± 0,010
Pb
µg/g
604,000 ± 4,000
Ca
µg/g
1711,000 ± 33,000
Ti
%
1,7840 ± 0,0022
Fe
%
0,647 ± 0,005
Ca
%
18,069 ± 0,095
Pb
%
0,0129 ± 0,0004
(UNSUR)
Batuan
Merah
dari
sekitar situs Sumpang Bita
Lapisan
merah
dari
gua Jari’E
Hasil uji ini memperlihatkan bahwa batuan merah yang berasal dari sekitar situs Sumpang Bita termasuk dalam jenis hematit. Hal ini terlhat dari kandungan oksida besi (Fe) yang cukup tinggi sekitar 20 %. Sedangkan sampel dari lapisan merah gua Jari’E belum dapat dikatakan hematiti yang dapat memberikan warna merah (Fe). Hasil uji unsur Fe yang kecil, yang kemungkinan besar tidak dapat memberikan warna merah pada lukisan gua. Hal ini memerlukan uji laboratorium
pada sampel lapisan merah lainnya
yang berasal dari gua-gua prasejarah Maros dan Pangkep.
d. Uji dengan Metode Atomic Absorption Spect Uji menggunakan metode Atomic Absorption Spect (AAS) dilakuka di laboratorium Kimia Analitik Uniiversitas Gadjah mada Yogyakarta (UGM). Uji dengan metode AAS dilakukan untuk melihat unsur yang terkandung dalam sampel dan bersifat Kuantitatif. Sampel yang diuji meliputi : 1. Pasir sungai Taddeang 2. Lapisan merah dari gua Karassa 3. Lapisan merah dari gua Kassi 4. Lapisan merah dari gua Jari E 5. Lapisan terkelupas permukaan dinding gua Sikapao 6. Lapisan merah dari gua Pettae (Hasil uji terlampir)
63
Uji ini memperllihatkan bahwa kandiungan oksida besi (Fe) selalu ada dalam setiap sampel lapisan merah dan memiliki peran dalam pembentukan warna..
e. Analisis Unsur Analisis unsur dilakukan di laboratorium kimia Balai Konservasi Peninggalan Borobudur. Sampel yang diuji 6 buah yang hasilnya dapat diuraikan sebagai berikut :
No
Parameter yang dianalisis
Kode Sampel O1
O2
O3
O4
O5
O6
1
SiO2
30,51
4,52
3,96
3,83
2,88
3,76
2
Ca
7,74
3,85
2,00
1,87
20,20
9,92
3
Mg
6,24
3,89
2,63
2,16
13,81
8,49
4
Al
14,38
10,93
6,71
5,27
1,94
4,52
5
Fe
5,79
6,61
2,81
3,13
1,34
2,03
6
SO4
0,54
0,31
2,31
5,29
10,14
4,30
7
CO3
12,52
43,67
41,36
42,73
15,95
47,79
Keterangan: O1 :
Pasir sungai Taddeang
O2 :
Mineral merah gua Karassa
O3 :
Mineral merah gua kasssi
O4 :
Mineral merah gua Jari’E
O5 :
Lapisan terkelupas gua Sikapao
O6 :
Mineral merah Gua Pettake dibawah lukisan
Hasil analisi unsur memperlihatkan bahwa
usnsur yang saling mengikat
adalah adalh CO3, Mg dan fe, untuk warna diduga dari unsur Fe Dari data di atas juga menunjukan adanya campuran antara gibsum dan carbonat dilihat dai unsur SO4 dan Ca. Sedangkan Al unsur membuat keras dan tidak bertanggung jawab terhadap warna.
64
4.2. Pembahasan A. Bahan Lukisan Untuk mengetahui tentang bahan lukisan dinding gua, ada beberapa dasar pemikiran yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Bahan yang digunakan merupakan material anorganik. Bahan organik merupakan bahan yang relatif mudah terurai, sehingga bahan anorganik lebih mungkin untuk dapat bertahan hingga puluhan ribu tahun. Menurut informasi dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makasar, pada tahun 1998, Sadirin, mengadakan percobaan dengan menggunakan bahan organik. Hasil yang terperoleh bahwa bahan tersebut
hanya mampu
bertahan beberapa bulan. 2. Tingkat pengetahuan manusia prasejarah belumlah begitu tinggi, sehingga campuran yang digunakan bersifat relatif sederhana. Ramuan yang digunakan diduga tidak sangat kompleks dan rumit. 3. Sumber bahan yang digunakan berasal dari wilayah yang tidak terlalu jauh dari situs. 4. Kelekatan lukisan pada dinding gua yang kuat mengindikasikan adanya interaksi kimia yang efektif. Pengelupasan yang terjadi umumnya merupakan pengelupasan lapisan dinding, bukan lapisan lukisan yang terkelupas. Selama ini beberapa ahli mengatakan bahwa warna merah yang digunakan dalam dinding gua prasejarah diduga berasal dari hematit. Dugaan ini didasarkan atas temuan hematit yang terdapat di Gua Burung 2 dan Pattae. Temuan hematit di Gua Burung 2 diperoleh pada penggalian yang dilakukan oleh I.C. Glover pada tahun 1973. Hematit ini ditemukan pada berbagai lapisan bersama-sama dengan temuan batu inti dan alat serut. Hematit yang ditemukan berupa pecahan seperti batu merah dan tampak adanya alur-alur yang diduga sebagai akibat dari usaha manusia untuk memanfaatkannya (Glover, 1981 dalam Restiyadi, 2007). Hematit di Gua PattaE ditemukan oleh Van Hekeren tahun 1950. Selain itu ditemukan pula alat-alat batu berupa mikrolit, serpih, mata panah dan kapak genggam Sumatera. Kapak genggam Sumatera ini diduga pernah digunakan sebagai bahan pukul atau batu giling karena pada beberapa bagiannya tempak bekas-bekas warna merah (Heekeren, 1965 dalam Restiyadi, 2007). Hematit bukanlah perwarna instant
65
yang siap dipakai, akan tetapi diperlukan sebuah proses pengolahan terlebih dahulu yaitu proses dari hematit padat ke pewarna cair. Melalui
temuan
hematit dan adanya tanda-tanda pengerjaan yang ditemukan oleh Glover dan Hekeren, dapat diduga adanya persiapan-persiapan (pra produksi) sebelum produksi lukisan gua (Restiyadi, 2007). Oleh karena itu penulis berupaya membuat hipotesis mengenai bahan lukisan dan teknologi campurannya. Untuk mendukung hipotesis, penulis telah melakukan survei lapangan dan menemukan beberapa hal sebagai berikut : 1. Ditemukan mineral merah (hematit ?) disekitar situs. Berdasarkan observasi juga ditemukan bahwa mineral merah tersebut merupakan mineral yang menyusun struktur karst. Namun mineral tersebut bersifat lunak sehingga mudah terlarut (tergerus) oleh air. Keberadaan mineral tersebut saat ini tidak lagi melimpah saat ini karena sifatnya yang rapuh. Namun jejaknya masih dapat dilihat dengan mudah, yaitu berupa pecahanpecahan pada sampah dapur, dijumpai sebagai bongkahan di tanah, dan lapisan merah pada permukaan dinding karst yang dilewati air. Banyak dijumpai dinding karst yang berwarna merah secara alami, diduga ada mineral merah diatasnya yang tergerus oleh air kemudian mengendap pada permukaan. Penelusuran di sungai Taddeang juga menunjukkan bahwa sungai banyak mengandung endapan mineral merah, termasuk pasirnya yang berwarna kemerahan akibat bercampur dengan mineral merah yang halus. Survei di sekitar situs Sumpang Bita menemukan banyak bongkahan mineral merah di wilayah kaki pegunungan kars dari penggalian tanah oleh penduduk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mineral merah (hematit ?) merupakan mineral yang kelimpahannya tinggi di pegunungan karst Maros-Pangkep terutama pada masa lampau. 2. Observasi vegetasi di sekitar situs menemukan tumbuhan khas yang hampir selalu ada di sekitar situs adalah pohon asam dan pohon lontar (Talla; makassar, Siwalan; Jawa). Meskipun belum tentu berhubungan dengan lukisan, namun vegetasi ini juga perlu mendapat perhatian pada saat mempertimbangkan jenis campurannya. 3. Observasi terhadap hasil pengujian dari penelitian Samidi (1986) yang mengejutkan adalah dapat bertahannya campuran hematit dengan air tuak. Sampai observasi terakhir oleh tim penulis lapisan tersebut masih bertahan
66
dan cukup kuat, meskipun pada awalnya diragukan oleh peneliti sendiri. Fakta ini perlu diungkap secara ilmiah sehingga dapat mendukung hipotesis-hipotesis selanjutnya. Dasar teori yang digunakan untuk berpijak adalah teori mengenai pembentukan stalaktit pada gua. Reaksi kimia yang terjadi pada pembentukan stalaktit tersebut adalah sebagai berikut ; - Reaksi air dengan CO2 diudara H2O + CO2
H2CO3
- Asam karbonat (H2CO3) bereaksi dengan kapur H2CO3 + CaCO3
Ca2+ + HCO3- (larut)
- Reaksi menghasilkan seyawa bikarbonat (HCO3-) yang larut - Senyawa bikarbonat kembali menjadi karbonat yang keras, sehingga terbentuk stalaktit Ca2+ + 2HCO3-
CaCO3 (keras) + H2O + CO2
Secara ringkas dapat dituliskan : Karbonat (keras) + asam
Bikarbonat (larut)
Terurai kembali
menjadi Karbonat (keras Berdasarkan kerangka berfikir dan hasil observasi di atas maka disusun kembali beberapa hipotesis sebagai berikut : 1. Bahan pewarna (pigmen) yang digunakan berasal dari mineral merah (hematit) yang banyak terdapat di sekitar situs. 2. Bahan pengikat yang digunakan agar dapat melekat dengan kuat pada dinding karst adalah bahan alami yang bersifat asam (sedikit asam). Bahan pengikat tersebut tidak bersifat seperti perekat tetapi menggunakan prinsip pembentukan stalaktit di atas. Yaitu bahan asam bereaksi dengan dinding karst menyebabkan permukaan karst yang berkontak dengan larutan pewarna menjadi larut sementara, kemudian mengeras kembali dan bahan warna terikat (berinteraksi secara kimia). 3. Bahan alami bersifat asam dapat berupa berbagai ekstrak tumbuhan, pada umumnya ekstrak tumbuhan bersifat asam. Tim penulis memilih jenis vegetasi endemik yang hampir selalu dijumpai di setiap situs yaitu buah asam, air buah lontar, daun sirih dan buah pinang. Hasil uji laboratorium yang telah dilakukan dengan menggunakan uji FTIR, XRD, XRF, AAS dan analisis unsur, menunjukkan bahwa bahan lukisan
67
dinding gua yang digunakan tidak murni dari satu unsur, tetapi dari beberapa unsur yang saling mempengaruhi. Dengan demikian tidak hanya menggunakan bahan mineral merah saja (hematite)
tetapi juga menggunakan unsur lain
sebagai campuranya. Dalam hal ini hematite yang didominasi oleh unsur oksida besi (Fe) berperan dalam pembentukan warna merah. Melihat hal tersebut, kemungkinan besar pada masa lalu, manusia yang tinggal di gua, dalam membuat bahan lukisan menggunakan hamatite yang dicampur dengan media lainnya yaang kemungkinan beraasal dari bahan organik
B. Bahan Pengganti Lukisan Gua Bahan pengganti lukisan gua penting untuk segera dirumuskan mengingat selama ini restorasi lukisan gua jarang dilakukan karena belum ditemukannya bahan pengganti yang efektik untuk diterapkan dalam lukisan dinding gua. Pada tahun 1985 dan 1986 Samidi melakukan restorasi lukisan di gua Pettee Kere dan gua Sumpang Bita dengan menggunakan campuran dan bahan kimia. Hasilnya kurang memuaskan karena terlihat lukisan hasil restorasi lebih menkilat dan berbeda dengan lukisan aslinya. Untuk mencari bahn pengganti lukisan, penulis telah melakukan uji laboratorium dengan menggunakan bahan dasar batuan merah (hematite) yang berasal dari sekitar situs Sumpang Bita. Bahan dasar ini dicairkan dengan 8 buah larutan yang sebagian besar berasal bahan organik (lihat uji bahan prngganti lukisan di sub bagian 4.1) . Hasil uji dengan metode Ageing test memperlihatkankan bahwa bahan campuran hematite yang berasal dari bahan organik yang efektif
dan
hasilnya
relatif paling baik di antara 8
Gambar 3.14. Sampel dengan menggunakan daun sirih (kiri) dan buah piang (kanan)
Gambar 3.13. Perbandingan warna sampel yang telah diuji laboratoriu
68
sampel adalah menggunakan estraks tumbuhan, dalam uji ini menggunakan daun sirih (sampel no 5) dan buah pinang (sampel no. 6). Namun jika larutan daun sirih digabung dengan buah pinang untuk campuran hematite, hasilnya tidak tahan lama beradaptasi dengan batuan kars (sampel no. 7). Penggunaan ekstrak tumbuhan dalam hal ini daun sirih dan buah pinang sebagai bahan campuran lukisan dinding gua pada masa lalu masih dimungkinkan. Hal ini didasarkan
pada penggunaan daun sirih dan buah
pinang sebagai bagian dari budaya masyarakat Indonesia dan masyarakat melayu telah lama dilakukan dan tidak terpisah dari adat istiadat masyarakat. Sirih adalah nama sejenis tumbuhan merambat, daun dan buahnya dimakan orang dikunyah bersama gambir, pinang dan kapur. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sirih Dalam ilmu biologi, sirih dikenal dengan nama Piper Betle Linn dalam keluarga Piperaceae. Nama betel adalah dari bahasa Portugis - betle, berasal dari kata vettila dalam bahasa Malayalam di negeri Malabar. Dalam bahasa Hindi, sirih lebih dikenal dengan nama pan atau paan dan dalam bahasa Sunskrit
disebut
tambula.
Bahasa
Sri
Lanka
menyebut sirih dengan bulat, sedangkan dalam bahasa Thai disebut plu (www. melayuonline.com). Sirih
digunakan
sebagai
tanaman
obat
(fitofarmaka); sangat berperan dalam kehidupan dan berbagai upacara adat rumpun Melayu. Tanaman merambat ini bisa mencapai tinggi 15 m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan,berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Panjangnya sekitar 5 - 8 cm dan lebar 2 - 5 cm. Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat daun pelindung ± 1 mm berbentuk bulat panjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 1,5 - 6 cm dimana terdapat kepala putik tiga sampai lima buah berwarna putih dan hijau kekuningan. Buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabu-abuan.
69
Akarnya
tunggang,
bulat
dan
berwarna
coklat
kekuningan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sirih Pinang adalah tumbuhan tropis yang ditanam karena keindahannya, serta untuk mendapatkan buahnya. Tingginya bisa mencapai 10 meter, bentuknya runcing pada bagian pucuk. Garis tengah batangnya antara 15 cm hingga 20 cm. Buah pinang berwarna hijau pada waktu masih muda, dan apabila sudah masak akan berubah menjadi kuning serta merah. Nama ilmiah pinang adalah Areca catechu. Dalam bahasa Hindi buah ini disebut
supari,
dan
pan-supari
untuk
menyebut sirih-pinang. Bahasa Malayalam menamakannya
adakka
atau
adekka,
sedang dalam bahasa Sri Lanka dikenal sebagai
puvak.
menamakannya menyebutnya
mak,
Masyarakat dan
pin-lang..
orang
Pohon
Thai Cina pinang
dibiakkan dengan cara menanam bijinya yang sudah cukup masak. Biasanya biji yang akan ditanam disemai dulu, baru kemudian ditanam dalam pot atau tas plastik. Jika masih kecil, pohon pinang cocok ditanam di dalam pot, tetapi jika sudah besar sebaiknya ditanam di tanah bebas.. Alkaloid dalam pinang termasuk arekolin, arekaidin, arekain, guvacin, arekolidin, guvakolin, isoguvakolin, dan kolin. Arekolin yang toksid bersifat sebagai obat bius nikotin bagi sistem saraf. Arekolin adalah pembasmi parasit dan cacing, serta bersifat seperti asetil kolin. Pinang mengandung lebih kurang 15% tanin merah dan 14% lemak (www. melayuonline.com) Tradisi makan sirih dan buah pinang merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari 3000 tahun yang lampau atau di zaman Neolitik, hingga saat ini. Budaya makan sirih hidup di Asia Tenggara. Pendukung budaya ini terdiri dari berbagai golongan, meliputi masyarakat bawah, pembesar negara, serta kalangan istana. Tradisi makan sirih tidak diketahui secara pasti dari mana berasal. Dari cerita-cerita sastra, dikatakan tradisi ini berasal dari India. Tetapi jika ditelusur berdasarkan bukti linguistik, kemungkinan besar tradisi makan sirih berasal dari Indonesia. Pelaut terkenal Marco Polo menulis dalam catatannya di abad ke-13, bahwa orang India suka mengunyah segumpal
70
tembakau. Sementara itu penjelajah terdahulu seperti Ibnu Batutah dan Vasco de Gama menyatakan bahwa masyarakat Timur memiliki kebiasaan memakan sirih (Mudra dalam www. melayuonline.com). Berdasarkan keterangan di atas dan hasil uji laboratorium yang menunjukkan ekstrak tumbuhan sebagai campuran hematite yang memiliki daya tahan yang tinggi beradaptasi dengan batuan kars, ada kemungkinan ekstrak tumbuhan
digunakan sebagai campuran heatite oleh manusia
prasejarah pada masa lalu dalam membuat lukisan di dinding gua. Namun dugaan ini masih harus diteliti lebih lanjut secara ilimiah di laboratorium bagaimana bahan ekstrak tumbuhan tersebut mampu menjadi pengkiat bahan hematite sebagai bahan utama dalam pembuatan lukisan gua. Namun demikian, penelitian yang telah dilakukan ini dapat memberikan alternatif metode konservasi secara tradisional tanpa menggunakan bahan kimia, untuk merekontruksi lukisan dinding yang telah mengalami kerusakan. Untuk menjaga kelestarian lukisan gua, sebaiknhya rekontruksi dilakukan di lapisan permukaan dinding buatan, namun penelitian yang dilakukan untuk membuat lapisan permukaan dinding gua buatan belum memperoleh hasil yang memuaskan. Hasil uji dengan metode Ageing test,
2 buah sampel
lapisan permukaan dinding buatan telah mengelupas ketika memasuki uji fase ke 2 (uji selama 24 jam). Untuk itu, masih diperlukan uji laboratorium lainnya yang dapat menghasilkan bahan pengganti permukaan dinding gua yang memiliki daya tahan merekat dan beradaptasi lebih lama pada batuan kars
Gambar. 3.15. Kondisi lapisan permukaan dinding buatan sebelum di uji dengan
Gambar 3.16. Kondisi lapisan permukaan din-ding buatan setelah di uji Ageing test, tampak lapisannya telah hilang.
Ageing test
71
BAB V PENUTUP
4.1. Kesimpulan Dari hasil anaslisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Lukisan dinding pada gua-gua prasejarah telah banyak mengalami kerusakan yang disebabkan oleh : •
Kerusakan lukisan tidak terjadi pada pudar/lunturnya bahan/cat yang digunakan untuk melukis tetapi terjadinya pelupasan lapisan pada permukaan batuan di mana lukisan itu dibuat
•
Tumbuhnya ganggang di permukaan lukisan yang membuat tidak terlihat jelas
•
Lukisan terhapus oleh aliran air hujan yang melewati lukisan
2. Berdasarkan hasil analisis, kerusakan lukisan dinding disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah pelapukan fisik (mekanik) dan pelapukan kimia. Pelapukan kimia terdiri dari dua jenis yaitu Pelarutan (Dissolution) dan biologi. 3. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap konservasi yang pernah dilakukan pada tahun 1985 dan 1986, memperlihatkan bahwa konservasi menggunakan bahan kimia menyebabkan kondisi lukisan yang di konservasi tidak sama
seperti
aslinya, sehingga dapat mengurangi nilai arkeologis dari lukisan tersebut. Untuk itu, konservasi menggunakan bahan kimia dapat dikurangi seminimal mungkin, yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya arkeologi. 4. Berdasarkan hasil uji
laboratorium terhadap bahan lukisan dinding gua
prasejarah, menunjukkan bahwa bahan lukisan dinding gua yang digunakan tidak murni dari satu unsur, tetapi dari beberapa unsur yang saling mempengaruhi. Dengan demikian tidak hanya menggunakan bahan mineral merah saja (hematite)
tetapi juga menggunakan unsur lain sebagai
campuranya. Dalam hal ini hematite yang didominasi oleh unsur oksida besi (Fe) berperan dalam pembentukan warna merah. Melihat hal tersebut, kemungkinan besar pada masa lalu, manusia yang tinggal di gua, dalam
membuat bahan lukisan menggunakan hamatite yang dicampur dengan media lainnya yaang kemungkinan berasal dari bahan organik. 5. Hasil uji laboratorium terhadap bahan pengganti lukisan gua dengan menggunakan batuan merah (hematite) yang berasal dari sekitar situs Sumpang Bita sebagai bahan dasar yang dicampurkan dengan 8 buah larutan yang sebagian besar berasal bahan organik. Hasil uji ini memperlihatkankan bahwa bahan campuran hematite yang berasal dari bahan organik efektif dan hasilnya
relatif
yang
paling baik di antara 8 sampel adalah
menggunakan estraks tumbuhan, dalam uji ini menggunakan daun sirih dan buah pinang.
4.2. Saran 1. Dalam melakukan tindakan konservasi lukisan dinding gua sebaiknya menggunakan bahan-bahan alami dan sedikit mungkin menggunakan bahan kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahan bahan asli pembuatan lukisan dinding gua prasejarah
merupakan bahan-bahan alami sehingga pada
rekonstruksinya juga diusahakan menggunakan bahan-bahan alami. Bahan alami juga diharapkan bersifat lebih ramah terhadap objek dan lingkungannya. 2. Dalam melakukan rekontruksi lukisan gua, diupayakan bersifat reversible, artinya rekonstruksi yang dilakukan tidak bersifat tetap dan merusak. Sehingga pada saat ditemukan masalah atau kesalahan aplikasi masih dapat dikembalikan pada kondisi sebelum rekonstruksi.. Selain ini juga perlu memperhatikan teknik aplikasi yang sesuai dengan objek aslinya, sehingga hasilnya selaras dan bernilai estetika tinggi. Sebagai contoh pembuatan garisgaris lukisan pada gambar badan babi agar disesuaikan dengan pola garis lukisan aslinya. Dalam hal ini perlu melibatkan ahli (kurator) 3. Penelitian yang dilakukan ini masih bersifat penelitian awal sehingga belum dapat memecahkan seluruh permasalahan yang terdapat pada lukisan gua. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang bersifat komprehensif dan menyeluruh, dalam upaya untuk menjaga kelestarian lukisan gua prasejarah sebagai sumberdaya arkeologi yang bernilai tinggi.
73
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Eri. 1996. Gua Bulu Sumi dan Gua Sumpang Bita di Desa Balocci Baru Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan : Kajian Arkeologi Ruang Skala Meso. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Drajat, Hari Untoro 1995 “Manajemen Sumber Daya Budaya Mati” dalam Seminar Nasional Metodologi Riset Arkeologi. Depok : Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kusumohartono, Bugie,
1993
“Penelitian Arkeologi dalam Konteks Pengembangan
Sumberdaya Arkeologi”, Berkala Arkeologi, Nomor 2 Maret. Jogyakarta : Balai Arkeologi. Hermawan, Wisnu
2005
Sistem Permukiman Kawasan Kars Gunung Sewu Studi
Kasus Desa Tepus, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, Tesis Magister Perencanaan Kota dan daerah UGM. Kosasih, S.A. 1983.
“Lukisan Gua di Indonesia sebagai Data Sumber Penelitian
arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi III. Jakarta, hal 158-175 ----------------- “Lukisan Gua Prasejarah
: Bentang Tema dan Wilayahnya”, dalam
Diskusi Ilmiah Arkeologi II : Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal 16-37 Linda,
2005. Tata Letak Lukisan Dinding Gua di Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Budaya UGM
Mulyana, Deddy,
2006
Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta : Remaja Rosdakarya. Pearson, Michael & Sharon Sullivan, 1995 Looking After Heritage Places. Melbourne : Melbourne Universty Press Permana, R. Cecap Eka, 2008. Pola Gambar Tangan Pada Gua-gua Prasejarah Di Wilayah Pangep-Maros Sulawesi Selatan. Disertasi Depok : Universitas Indonesia Samodra, Hanang, 2001. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indoensia, Pengelolaan dan Perlindungannya. Balitbang ESDM Departemen ESDM, Bandung Siagian, Linda, 2007. Model Pemanfaatan Gua-gua Prasejarah di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Skripsi. Makasar : Fakultas Satra Universitas Hasanudin
74
Sumantri, Iwan. 2004. “Penerapan Kajian Pola Pemukiman Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan : Studi Kasus di Biraeng” artikel dalam Sumantri (ed) Kepingan Mozaik Sejarah Budaya Sulawesi Selatan. Makasar : Bagian Proyek Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan purbakala Sulawesi Selatan. Samidi, 1985. Laporan Hasil Survey Konservasi Lukisan Gua Sumpang Bita dan Pelaksanaan Konservasi Lukisan Gua Pettae Kerre, Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan Samidi, 1986, Laporan Konservasi Lukisan Perahu/ Sampan si Gua Sumpang Bita (Tahap Awal) dan Konservasi Lukisan Babi Rusa di Gua Pettae Kerre (Penyelesaian), Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan Restiyadi, Andri 2007. “Diskursus Cap Tangan Negatif Interpretasi Terhadap Makna dan Latar Belakang Penggambarannya di Kabupaten Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan” dalam Artefak Edisi XXVIII. Yogyakarta : Hima UGM
http://en.wikipedia.org/wiki/Weathering http://geohazard.blog.com http://www.melayuonline.com
75