Perilaku Cacing Tanah (Perionyx excavatus) Pada Media Kotoran Sapi: Langkah Awal Domestikasi
CATUR PUTRI PANGESTIKA
DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perilaku Cacing Tanah (Perionyx excavatus) Pada Media Kotoran Sapi: Langkah Awal Domestikasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Catur Putri Pangestika NIM G34100076
ABSTRAK CATUR PUTRI PANGESTIKA. Perilaku Cacing Tanah (Perionyx excavatus) pada Media Kotoran Sapi: Langkah Awal Domestikasi. Dibimbing oleh TRI HERU WIDARTO dan HOTNIDA C.H. SIREGAR. Cacing tanah yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah Perionyx excavatus. Cacing ini memiliki bobot dan panjang tubuh lebih besar dibanding cacing tanah jenis lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perilaku P. excavatus pada media kotoran sapi sebagai langkah awal domestikasi untuk memudahkan proses budidaya. Rancangan percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pengamatan dilakukan selama 24 jam dengan mengamati perilaku harian P. excavatus yang dipelihara di empat media, yaitu 100% kotoran sapi, 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi, 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi, dan 100% tanah, dengan 3 kali ulangan setiap media. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA. Perilaku harian P. excavatus dari yang paling dominan adalah inaktif, pergerakan, makan dan kawin. Media yang paling mendukung aktivitas P. excavatus berdasarkan persentase aktivitas pergerakan dan makan adalah 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi. Untuk mendukung produksi kokon, media yang paling baik adalah 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi, dan media yang paling baik untuk mendukung produksi juvenil adalah 100% kotoran sapi berdasarkan nilai koefisien keragamannya berturutturut sebesar 71,18% dan 10,23%. Kata kunci: cacing tanah lokal, perilaku harian, Perionyx excavatus
ABSTRACT CATUR PUTRI PANGESTIKA. Earthworm Behavior (Perionyx excavatus) in Cow Dung Media : The First Step of Domestication. Supervised by TRI HERU WIDARTO and HOTNIDAC.H.SIREGAR. The most common found earth worm in Indonesia is Perionyx excavatus. This worm has weight and body length larger than other types of earthworms. This study aimed to observe the behavior of P. excavatus on cow dung media as a first step to facilitate the process of domestication of cultivation. The experimental design used in this research was Completely Randomized Design. Observations were conducted by observing the daily behavior of P. excavatus for 24 hours, by observing the daily behavior P. excavatus were maintained in four media, 100% cow dung, 50% banana midrib : 50% cow dung, 90% banana midrib : 10% cow dung, and 100% soil. Each media were consisted of 3 replication. Data were analyzed using ANOVA. Based on observations, P. excavatus performed 4 main activities, which were movement, resting, eating and mating. The best media to supports the activities of P.excavatus based on the percentage of movement activity and eating was 50% banana midrib : 50% cow dung. To support the production of cocoon, the best media 90% banana midrib : 10% cow dung, and the best media to support the juvenile production was 100% cow dung based on the value of the coefficient of variance were 71.18%, and 10, 23%. Keywords: local earthworms, daily behavior, Perionyx excavatus
PERILAKU CACING TANAH (PERIONYX EXCAVATUS) PADA MEDIA KOTORAN SAPI: LANGKAH AWAL DOMESTIKASI
CATUR PUTRI PANGESTIKA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi
BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga September 2014 ini ialah berjudul Perilaku Cacing Tanah (Perionyx excavatus) Pada Media Kotoran Sapi: Langkah Awal Domestikasi. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir Tri Heru Widarto, MSc dan Ir. Hotnida C.H. Siregar, M.Si yang telah memberikan bimbingan, saran, dan ilmu yang bermanfaat selama melaksanakan penelitian dan penulisan karya ilmiah serta kepada Dr. Ir. Muhadiono, MSc sebagai penguji skripsi. Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua tercinta (Alm. Slamet dan Istilah), kakak (Rosiana Febrianti, Dwi Yani Setiowati dan Tri Yunita Safitri) dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, doa, semangat dan bantuannya selama melaksanakan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat – sahabat tercinta Sainstek 2012, Kemdik 2013, Kominfo 2014, YES IAM MUSLIM crew serta teman seperjuangan Feni, Ina, Nita, Hanin, Naili, Cut Tina dan teman-teman Biologi 47. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2015 Catur Putri Pangestika
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xi xi xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Prosedur Penelitian
2
Pengamatan
3
HASIL
3
Aktivitas Harian Cacing Tanah
3
Jumlah Kokon dan Juvenil yang Dihasilkan
6
PEMBAHASAN
7
Koleksi dan Pemeliharaan Cacing Tanah (P. excavatus)
7
Aktivitas Harian Cacing Tanah
8
Jumlah Kokon dan Juvenil yang Dihasilkan
9
SIMPULAN
11
SARAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12
LAMPIRAN
14
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL 1
Karakteristik morfologi cacing tanah Perionyx excavatus
7
DAFTAR GAMBAR 1 Rata-rata persentase aktivitas harian P. excavatus pada media A) 100% tanah, B) 100% kotoran sapi, C) 50% pelepah pisang: 50% kotoran sapi, D) 90% pelepah pisang: 10% kotoran sapi 2 Pola aktivitas harian P. excavatus pada media A) 100% tanah, B) 100% kotoran sapi, C) 50% pelepah pisang: 50% kotoran sapi, D) 90% pelepah pisang: 10% kotoran sapi 3 Pola aktivitas rata-rata cacing pada empat waktu yang berbeda 4 Rata-rata juvenil dan kokon yang dihasilkan pada media A) 100% tanah, B) 100% kotoran sapi, C) 50% pelepah pisang: 50% kotoran sapi, D) 90% pelepah pisang: 10% kotoran sapi
3
4 5
6
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Hasil analisis sidik ragam produksi kokon pada 4 jenis media Hasil analisis sidik ragam produksi juvenil pada 4 jenis media Jumlah kokon dan juvenil yang dihasilkan oleh P. excavatus pada 4 jenis media
14 14 14
PENDAHULUAN Latar Belakang Cacing tanah memiliki keunggulan dan potensi yang sangat besar. Mereka mampu menguraikan bahan organik limbah ternak maupun limbah rumah tangga menjadi bahan organik yang berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah. Cacing tanah juga berpotensi memperbaiki sifat fisik tanah karena dapat mempercepat proses penguraian sampah organik sehingga dapat memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Sebagai sumber protein hewani, cacing tanah dapat digunakan sebagai alternatif bahan pakan ternak dan ikan (Budiarti dan Palungkun 1992). Cacing tanah juga digunakan sebagai bahan obat-obatan, kosmetik, bahkan di beberapa negara seperti Thailand, Filipina dan Perancis, diolah sebagai campuran bahan pangan untuk konsumsi manusia (Sharma et al. 2005). Selama ini jenis cacing tanah yang sering dibudidayakan adalah jenis Lumbricus rubellus dan Eisenia foetida yang telah diketahui pola reproduksinya. Keduanya memiliki keunggulan yaitu, perkembangbiakan cepat dan produktivitas tinggi. Namun kedua jenis cacing tanah ini berasal dari daerah sub tropis atau beriklim dingin dan merupakan hewan eksotik yang memerlukan teknik budidaya khusus, sehingga kurang dapat tumbuh secara alami dan dapat menimbulkan resiko pada komunitas cacing tanah lokal (endemik) jika dibudidayakan di Indonesia (Palungkun 1999). Di daerah tropis khususnya Indonesia, jenis cacing tanah yang paling banyak ditemukan adalah Perionyx excavatus yang sering disebut dengan cacing kalung. Kelebihan dari cacing ini adalah bobot dan panjang tubuh yang lebih besar dibanding cacing tanah jenis lain. Oleh karena itu, cacing tanah asli Indonesia perlu mendapat perhatian karena diversitasnya tinggi dan telah beradaptasi dengan baik dalam lingkungannya. Pemanfaatan cacing tanah lokal saat ini masih kurang optimal karena belum tersedia informasi yang dapat dijadikan bahan rujukan dalam usaha untuk membudidayakannya. Budidaya cacing tanah umumnya menggunakan kotoran sapi dan pelepah pisang sebagai media biak. Kotoran sapi sebagai media tempat hidup juga dapat berfungsi sebagai bahan makanan cacing tanah. Menurut Catalan (1981), kotoran sapi adalah sumber protein dan mineral yang dapat digunakan sebagai media cacing tanah. Kandungan protein yang baik bagi cacing tanah berkisar antara 9%15% (Sihombing 2002). Pisang merupakan tanaman yang dibudidayakan secara intensif dan menghasilkan limbah berupa bagian tanaman pisang yang belum dimanfaatkan seperti pelepah dan kulit buah (Munadjin 1998). Menurut Palungkun (1999), pelepah dan kulit buah pisang dapat dijadikan media pertumbuhan cacing tanah karena memiliki kandungan air yang tinggi (92,5%) sehingga media selalu lembab dan tetap dingin walaupun pada hari-hari panas. Kondisi tersebut sangat baik untuk memaksimalkan produksi kokon cacing tanah. Selain itu, pelepah pisang juga memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, yaitu karbohidrat (4,6%), protein (0,35%), kalsium (0,12%), kalium (0,21%) dan fosfor (0,14%) (Munadjin 1998). Domestikasi merupakan pemeliharaan suatu jenis hewan dimana breeding, pemeliharaan dan pemberian pakan berada dibawah pengawasan manusia (Hale
2 1969). Oleh karena itu, domestikasi adalah upaya penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perilaku dan produktivitas cacing tanah (P. excavatus) dewasa kelamin pada media kotoran sapi sebagai langkah awal domestikasi untuk memudahkan proses budidaya berbasis limbah kotoran sapi.
METODE Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai dengan September 2014. Pengambilan sampel dilakukan di sekitar Fakultas Peternakan kampus IPB Dramaga. Pemeliharaan dilakukan di bagian Hewan, Departemen Biologi, FMIPA. Cacing tanah diperoleh dari sekitar kampus IPB Dramaga, untuk kemudian dipelihara di dalam ember plastik. Cacing tanah kemudian dipilih yang berukuran panjang 15-30 cm (19.3437 ± 4.7704) dan bobot tubuh 3,068-7,394 gram (4.5824 ± 1.4168) untuk digunakan sebagai hewan sampel. Hewan sampel yang dipilih adalah yang sudah dewasa kelamin. Prosedur Penelitian Sebelum penelitian dilakukan, cacing tanah yang diperoleh dimasukkan ke wadah berupa ember plastik yang telah diberi media kotoran sapi untuk proses habituasi. Selama habituasi, cacing tanah diberi pakan berupa kotoran sapi yang telah difermentasi selama ± 1 minggu. Penghitungan volume media dalam tiap pot menggunakan formula menurut Brata (2003). Y = ab Keterangan: Y= volume media a= bobot P. excavatus (g) b= lama pemeliharaan (hari) Kemampuan makan P. excavatus sebesar satu kali bobot badan per hari. Jumlah cacing yang dipelihara sebelum proses seleksi adalah 20 ekor setiap ulangan dengan bobot tubuh 3,068-7,394 gram (4.5824 ± 1.4168), sehingga jumlah pakan yang diberikan sebanyak [(4,582 x 20) x 7 hari] = 641,5 - 650 gram. Setelah satu minggu, dipilih 16 ekor cacing tanah yang telah dewasa kelamin. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas satu faktor perlakuan dengan tiga kali ulangan. Faktor perlakuan tersebut adalah komposisi media hidup cacing tanah dengan 4 variasi media biak, yaitu: 1) 100% kotoran sapi, 2) 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi, 3) 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi, dan 4) 100% tanah dan serasah. Peubah yang diamati adalah aktivitas harian, jumlah kokon dan jumlah juvenil. Data aktivitas disajikan dalam bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif. Data jumlah kokon dan jumlah juvenil dianalisis menggunakan ANOVA single factor. Bila uji F menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap hasil maka dilakukan uji beda nyata Duncan untuk menentukan perlakuan yang berpengaruh terhadap hasil.
3 Kotoran sapi yang digunakan sebagai media adalah yang sudah melaui proses fermentasi selama ± 2 minggu. Pelepah pisang yang digunakan dicacah dengan ukuran 2-5 cm. Empat ekor cacing tanah kemudian dimasukkan ke dalam terarium kaca berukuran 30x30x5 cm yang telah diberi media perlakuan. Terarium kaca diletakkan secara tegak, kemudian ditutup dengan kain hitam sehingga cacing tanah tidak terpapar cahaya matahari dan media tidak kehilangan kelembabannya. Pengamatan aktivitas harian dilakukan selama 24 jam pada masing-masing ulangan. P. excavatus merupakan cacing tanah yang biasa hidup pada permukaan tanah (epigeik) (Barrat 2003). Cacing epigeik pada umumnya juga tidak terlalu terpengaruh oleh cahaya (Red Worm Organic 2007). Pengamatan Perilaku harian cacing tanah (P. excavatus) diamati dan dicatat ke dalam tabel perilaku (ethogram). Ethogram menjelaskan berbagai aktivitas hewan amatan yang biasanya disajikan dalam format grafik (Orzech 2005). Pencatatan mencakup seluruh aktivitas cacing tanah yang teramati, yaitu inaktif, pergerakan, makan dan kawin. Pergerakan merupakan semua aktivitas perpindahan lokasi yang dilakukan oleh cacing tanah, tetapi aktivitas ini tidak termasuk saat cacing tanah melakukan pergerakan ketika aktivitas makan berlangsung. Inaktif merupakan kondisi saat cacing tanah sama sekali tidak melakukan aktivitas apapun. Makan merupakan segala aktivitas cacing tanah saat terlihat aktif memasukkan makanan ke dalam prostomiumnya. Kawin adalah aktivitas reproduksi yang melibatkan interaksi cacing tanah dengan cacing tanah lain, baik yang menjadi pemberi dan penerima sperma selama kontak berlangsung. Pada setiap media dilakukan pula perhitungan jumlah kokon dan juvenil yang dihasilkan untuk melihat pengaruh media yang digunakan terhadap produktivitas cacing tanah (hari ke 14 dan 30).
HASIL Aktivitas Harian Cacing Tanah Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas cacing tanah didominasi oleh aktivitas inaktif dan pergerakan pada keempat jenis media (Gambar 1).
Aktivitas (%)
80 60 40 20 0 A
B
C
Inaktif
D
A
B
C
Pergerakan
D
A
B
C
Makan
D
A
B
C
D
kawin
Gambar 1 Rata-rata persentase aktivitas harian P. excavatus pada media A) 100% tanah, B) 100% kotoran sapi, C) 50% pelepah pisang: 50% kotoran sapi, D) 90% pelepah pisang: 10% kotoran sapi
4
Aktivitas (%)
Aktivitas (%)
Aktivitas pada semua media didominasi oleh aktivitas inaktif terutama pada media 100% tanah. Cacing tanah pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi ditemukan lebih banyak melakukan aktivitas pergerakan dibandingkan dengan cacing tanah pada media lainnya. Aktivitas makan juga paling banyak terdapat pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi. Sedangkan aktivitas kawin hanya teramati pada media 100% kotoran sapi dan 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi. Hal tersebut dimungkinkan karena pengamatan perilaku yang dilakukan selama 24 jam dengan lama pengamatan per jamnya 15 menit. Sehingga secara umum terlihat bahwa pada komposisi media 50% pelepah pisang: 50% kotoran sapi merupakan media yang paling mendukung aktivitas cacing tanah.
100 80 60 40 20 0 6
12 18 Jam Pengamatan
24
Aktivitas (%)
Aktivitas (%)
1
80 60 40 20 0 1
6
12 18 Jam Pengamatan
100 80 60 40 20 0
24
1
6
12 18 Jam Pengamatan
24
1
6
12 18 Jam Pengamatan
24
100 80 60 40 20 0
Keterangan:
Gambar 2 Pola aktivitas harian P. excavatus pada media A) 100% tanah, B) 100% kotoran sapi, C) 50% pelepah pisang: 50% kotoran sapi, D) 90% pelepah pisang: 10% kotoran sapi Cacing tanah (P. excavatus) pada media 100% tanah dan 100% kotoran sapi teramati memiliki kesamaan yaitu aktif rata-rata pada pagi hari pukul 03.00 hingga pukul 08.00. Namun pada malam hari cacing tanah pada media 100% tanah aktif rata-rata pada pukul 22.00 hingga pukul 00.00, sedangkan cacing tanah pada media 100% kotoran sapi aktif rata-rata pada pukul 20.00 hingga pukul 01.00. Hasil ini senada dengan penelitian Baldwin (1917) yang menunjukkan bahwa cacing tanah dari spesies yang berbeda yaitu L. terestris paling aktif pada pukul 6 pagi dan tengah malam.
5
Jumlah (%)
Cacing tanah (P. excavatus) pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi dan media 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi teramati memiliki kesamaan, yaitu aktif rata-rata pada hampir semua waktu, kecuali pada siang hari sekitar pukul 12.00 hingga pukul 14.00. Aktivitas makan pada media 100% tanah rata-rata teramati sekitar pukul 07.00 pagi, 13.00 siang dan 23.00 malam, sedangkan pada media 100% kotoran sapi rata-rata teramati sekitar pukul 00.00 sampai 06.00 pagi dan pada malam hari sekitar pukul 19.00 sampai 21.00. Pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi aktivitas makan teramati tersebar hampir sepanjang hari, sedangkan pada media 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi aktivitas makan rata-rata teramati hanya pada malam hingga pagi hari yaitu sekitar pukul 21.00 sampai 08.00. Pada media 100% kotoran sapi, aktivitas kawin rata-rata teramati sekitar pukul 08.00 sampai 10.00 pagi. Pada media 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi aktivitas kawin rata-rata teramati sekitar pukul 09.00 sampai 11.00 pagi. Sedangkan pada media 100% tanah dan media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi aktivitas kawin tidak teramati.
80 70 60 50 40 30 20 10 0 -10
Inaktif Pergerakan Makan Kawin Dini Hari
Pagi Hari Siang Hari Malam Hari Waktu Pengamatan
Gambar 3 Pola aktivitas rata-rata cacing pada empat waktu yang berbeda Cacing tanah (P. excavatus) dalam penelitian ini ditemukan menggunakan 69,1% dari aktivitas hariannya untuk melakukan aktivitas inaktif, 45,83% untuk aktivitas pergerakan, 6,25% untuk aktivitas makan dan 1,38% untuk aktivitas kawin. Secara umum pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa persentase tertinggi dari masing-masing aktivitas yaitu sebanyak 45,83% cacing tanah melakukan aktivitas pergerakan pada dini hari, 1,38% melakukan aktivitas kawin pada pagi hari, 69,1% melakukan aktivitas inaktif pada siang hari dan 6,25% melakuan aktivitas makan pada malam hari. Gambar 1 dan Gambar 3, memperlihatkan bahwa setelah aktivitas inaktif, cacing tanah lebih banyak melakukan aktivitas pergerakan dari pada aktivitas lainnya seperti makan dan kawin. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena dalam satu terarium kaca hanya berisi 4 ekor cacing tanah yang sudah dewasa kelamin, sehingga cacing tanah lebih banyak bergerak untuk mencari pasangan dibandingkan untuk makan.
6 Jumlah Kokon dan Juvenil yang Dihasilkan Jumlah kokon pada media 100% tanah, 100% kotoran sapi, 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi, 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi berturut-turut adalah 5 (KK = 101,98%), 21 (KK = 91,10%), 8 (KK = 93,54%), 15 (KK = 71,18%) dengan rata-rata 12,25/ 4 ekor induk/ bulan. Hasil analisis statistik menggunakan ANOVA single factor dengan α-5%, menunjukkan bahwa pengaruh media terhadap jumlah kokon yang dihasilkan tidak berbeda nyata (P = 0,18) dengan rata-rata koefisien keragaman sebesar 50,77% (KK terendah pada media 10% kotoran sapi : 90% pelepah pisang sebesar 78,09%) (data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1). Sebaliknya hasil analisis statistik menggunakan ANOVA single factor dengan α-5%, terhadap jumlah juvenil yang dihasilkan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P = 0,02) dengan rata-rata koefisien keragaman sebesar 78,09% (KK terendah pada 100% kotoran sapi yaitu 10,23%). Empat ekor induk cacing dalam satu bulan pada media 100% kotoran sapi menghasilkan jumlah juvenil yang tertinggi (77 ekor), kemudian diikuti oleh media 90 % pelepah pisang : 10% kotoran sapi (31 ekor), 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi (23 ekor) dan terendah di media 100% tanah (5 ekor) (data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2). 35 30 25 Jumlah
20 15
kokon
10
juvenil
5 0 -5
A
B
C
D
-10
Gambar 4 Rata-rata juvenil dan kokon yang dihasilkan pada media A) 100% tanah, B) 100% kotoran sapi, C) 50% pelepah pisang: 50% kotoran sapi, D) 90% pelepah pisang: 10% kotoran sapi Juvenil yang dihasilkan pada media 100% kotoran sapi terbanyak, namun ukurannya cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan juvenil yang dihasilkan pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi dan 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi yang cenderung memiliki tubuh lebih besar dan panjang. Namun, warna tubuh juvenil pada media 100% kotoran sapi terlihat lebih segar dan pergerakannya lebih lincah jika dibandingkan dengan juvenil pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi dan 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi yang berwarna pucat dan pergerakannya lebih lambat.
7
PEMBAHASAN Koleksi dan Pemeliharaan Cacing Tanah (P. excavatus) Cacing tanah yang dikoleksi dari sekitar Fakultas Peternakan dan kandang monyet Departemen Biologi FMIPA IPB merupakan hewan invertebrata terrestrial anggota dari filum Annelida, kelas Chaetopoda, ordo Oligochaeta (Lee 1959). Hasil identifikasi menunjukkan bahwa cacing tanah yang ditemukan tersebut berasal dari famili Megascolecidae, genus Perionyx, spesies Perionyx excavatus. Cara membedakan spesies cacing tanah dapat dilihat dari panjang tubuh, warna kulit, jumlah segmen, tipe prostomium, jumlah seta per segmen, warna dan posisi klitelum, posisi dan jumlah lubang jantan seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik morfologi P. excavatus Morfologi Bentuk tubuh Panjang tubuh dewasa(cm) Warna kulit Jumlah Segmen (total) Tipe Prostomium Jumlah seta per segmen Tipe seta Tipe klitelum Posisi Klitelum (pada segmen ke-) Jumlah segmen dalam klitelum Posisi lubang jantan (pada segmen ke-) (Roslim et al. 2013)
Perionyx excavatus Bulat 14-30 cm Keunguan atau merah kecoklatan 125-190 Prolobous 60 Perychaetine Annular 13-17 5 18
Lama hidup cacing tanah hingga mati mencapai 1-5 tahun, namun masa produktifnya hanya 1-2 tahun saja (Palungkun 1999). Untuk keperluan budi daya, cacing tanah yang dibutuhkan adalah yang berada pada masa produktif. Oleh sebab itu, cacing tanah yang digunakan adalah cacing tanah dewasa. Cacing tanah dewasa ditandai dengan adanya klitelum yang telah berkembang. Klitelum merupakan tanda cacing telah dewasa kelamin. Klitelum berfungsi sebagai alat reproduksi. Klitelum juga merupakan penciri utama pembeda spesies cacing tanah yang berasal dari penebalan jaringan epitel permukaan dan mengandung banyak sel-sel kelenjar. Sel-sel kelenjar tersebut menghasilkan sekreta yang menyerupai lendir. Sekreta tersebut berguna untuk pembentukan kokon serta pelindung pada saat embrio berkembang (Edward dan Lofty 1972). Klitelum dapat berkembang hanya pada sisi dorsal (tipe saddleshape) atau berkembang melingkari tubuh (tipe annular) (Segun 1973). P. excavatus memiliki klitelum tipe annular.
8 Aktivitas Harian Cacing Tanah Pada penelitian ini terarium kaca ditutupi oleh kain hitam, sehingga faktor cahaya tidak mempengaruhi pola aktivitas cacing tanah. Perionyx excavatus merupakan cacing tanah epigeik yang pada umumnya tidak terlalu terpengaruh oleh cahaya (Red Worm Organic 2007). Oleh sebab itu kemungkinan faktor kelembaban yang menyebabkan perbedaan pola aktivitas pada cacing tanah (Rukmana 1999). Media 100% tanah dan 100% kotoran sapi cenderung lebih kering dibandingkan dengan media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi dan 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi yang cenderung lembab dan basah, sehingga cacing tanah lebih banyak melakukan aktivitas pergerakan pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi dan 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi. Pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi, kadar air yang tersedia pada kotoran sapi terjaga karena adanya campuran pelepah pisang, sehingga kelembaban lebih tinggi dan terjaga dari kondisi lingkungan luar yang memiliki cuaca yang cukup ekstrim. Suhu udara luar dapat rendah pada malam hari (± 1719 ºC) dan sangat tinggi pada siang hari (± 27-32 ºC) (Juhastantie 2000). Cacing tanah lebih mudah bergerak di media yang lembab dari pada media yang kering karena 75%-90% bobot tubuhnya adalah air. Media yang kering akan menyebabkan cacing tanah kehilangan cairan tubuhnya, sehingga untuk mempertahankan hidupnya, cacing tanah bergerak dari tempat yang kering ke tempat yang lebih basah (Edwards dan Lofty 1972). Selain memberikan kelembaban, pelepah pisang juga membuat media menjadi lebih berpori sehingga kotoran sapi tidak terlalu padat. Hal ini membuat cacing tanah lebih mudah bergerak pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi. Media 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi lebih berpori dari pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi, tetapi kadar airnya terlalu tinggi sehingga pori media di bagian bawah terarium terisi oleh air. Kondisi ini menyebabkan pergerakan cacing tanah menjadi terbatas hanya pada bagian atas media karena cacing tanah tidak menyukai media yang tergenang air (Edwards dan Lofty 1972). Aktivitas tertinggi lainnya adalah aktivitas makan yang juga paling banyak dilakukan oleh cacing tanah pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi. Kandungan nutrisi paling tinggi terdapat pada media 100% kotoran sapi, namun media ini terlalu kering, sehingga selain menyulitkan cacing tanah dalam bergerak melakukan aktivitas makan, juga menyulitkan proses ingesti (memasukkan makanan ke dalam prostomium) (Food and Agriculture Organization 2007). Pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi, makanan lebih tersedia karena bahan makanan yang tersedia lebih basah akibat proses dekomposisi yang ditunjang oleh adanya campuran pelepah pisang. Engelstad (1991) menjelaskan bahwa materi organik yang sedikit mengalami dekomposisi merupakan sumber makanan yang paling disukai oleh cacing tanah. Pada media 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi, cacing sedikit melakukan aktivitas makan karena media yang basah membatasi aktivitasnya. Aktivitas makan yang tinggi pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi juga dikarenakan aerasi media yang baik pada media ini (Budiarti dan Palungkun 1992). Aerasi yang baik dapat meningkatkan ketersediaan oksigen di dalam media, sehingga metabolisme cacing tanah akan meningkat dan
9 meningkatkan aktivitas makan. Seperti yang disebutkan oleh Red Worm Organic (2007), bahwa kelembaban mempengaruhi pertumbuhan, daya reproduksi dan daya serap cacing tanah terhadap oksigen. Aktivitas makan, selain dipengaruhi oleh kelembaban, pori atau aerasi, juga dipengaruhi oleh rasio C/N pada media karena rasio C/N menentukan kemampuan cacing tanah dalam mencerna makanan. Cacing tanah tidak memiliki enzim selulosa yang dapat menguraikan selulosa (Watanabe dan Tokuda 2001). Menurut Hadisusanto (1992), pada saluran pencernaan makanan cacing tanah ditemukan bakteri yang dapat mendegradasi selulosa melalui proses fermentasi. Bakteri ini membutuhkan unsur N untuk perkembangan sel mikroba pendegradasi selulosa yang mempengaruhi pencernaan makanan pada cacing tanah dan unsur C yang penyusun utamanya adalah karbohidrat dan lemak yang kemudian dioksidasi menghasilkan energi untuk proses metabolisme (Chumaidi 1986). Sumber bakteri dan unsur N dalam penelitian ini adalah kotoran sapi, sedangkan sumber unsur C adalah pelepah pisang. Jumlah bakteri yang ada dalam media dan saluran pencernaan cacing tanah serta rasio C/N sangat menentukan kecepatan proses fermentasi media biakan menjadi sumber nutrisi yang tersedia bagi cacing tanah. Hasil penelitian Erlinda et al. (2013) menunjukkan pemberian media dengan rasio C/N yang berbeda akan mempengaruhi biomassa cacing tanah. Rasio C/N 30 menunjukkan biomassa yang lebih tinggi dibandingkan rasio C/N 10-20. Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan perhitungan C/N yang optimal. Cacing tanah dapat tumbuh subur pada media yang kaya akan bahan organik, yaitu bahan yang berasal dari organisme yang mengandung senyawa karbon (C) (Brinkhurst dan Cook 1974). Pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi, rasio C/N lebih seimbang dibandingkan dengan media 100% tanah dan 100% kotoran sapi, hal ini disebabkan karena adanya tambahan sumber karbon berupa pelepah pisang yang mengakibatkan proses dekomposisi media masih terus berlangsung. Yuherman (1987) mengatakan rasio C/N yang tinggi akan meningkatkan aktivitas cacing tanah karena cacing tanah memperoleh banyak karbon sebagai sumber energinya. Pada media 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi rasio C tinggi, sebaliknya rasio N yang berasal dari kotoran sapi sedikit sehingga jumlah bakteri pencerna serat kasar juga sedikit yang mengakibatkan cacing tanah sulit untuk mencerna serat kasar. Menurut Michon (1954) cacing tanah melakukan banyak aktivitas makan untuk menaikkan bobot tubuhnya sampai cacing tanah tersebut mencapai fase dewasa kelamin. Setelah itu perlahan cacing tanah akan mengalami penurunan bobot tubuhnya sampai waktunya klitelum akan menghilang yang menandakan cacing tanah tersebut telah mencapai fase senescence. Secara umum aktivitas P. excavatus menyebar pada bagian atas, tengah, samping dan bawah media. Aktivitas kawin hanya teramati pada media 100% kotoran sapi dan 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi. Hal tersebut dimungkinkan karena pengamatan perilaku yang dilakukan selama 24 jam dengan lama pengamatan per jamnya 15 menit. Jumlah Kokon dan Juvenil yang Dihasilkan Aktivitas kawin pada media 100% tanah dan 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi tidak teramati (Gambar 1). Namun pada kedua jenis media ini terdapat adanya kokon dan anak cacing (juvenil) (Gambar 4). Hal ini mungkin
10 disebabkan karena aktivitas kawin yang terjadi diluar jangka waktu pengamatan atau setelah pengamatan perilaku berakhir. Jumlah kokon yang dihasilkan pada keempat media tidak berbeda nyata, karena jangka waktu penelitian ini tidak terlalu lama (satu bulan). Media yang diberikan sudah diperhitungkan untuk mencukupi kebutuhan makan selama satu bulan pengamatan sesuai hasil penelitian Brata (2003). Induk cacing dalam penelitian ini menghasilkan sekitar 2 kokon/ bulan. Hasil ini sesuai dengan produksi kokon pada penelitian Samosir (2000) yaitu 1 kokon/ 2 minggu atau 2 kokon/ bulan pada media 70% pelepah pisang : 30% kotoran sapi. Hasil penelitian Samosir (2000) menunjukkan bahwa cacing tanah jenis Perionyx excavatus memiliki kemampuan yang rendah dalam memproduksi kokon, namun menghasilkan jumlah juvenil dari penetasan kokonnya lebih banyak dari pada jenis cacing L. rubellus dan E. foetida. Oleh karena itu, cacing tanah lokal P. excavatus cukup berpotensi untuk dikembangkan karena massa cacing per kokonnya cukup banyak. Jumlah juvenil yang dihasilkan pada keempat media berbeda nyata, dengan produksi tertinggi pada media 100% kotoran sapi, yaitu 77 juvenil dari 21 kokon yang dihasilkan oleh 4 induk selama satu bulan atau sekitar 1 juvenil/ kokon/ bulan (KK= 10,23%). Pada media 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi dihasilkan 0,5 juvenil/ kokon/ bulan (KK= 35,63%). Begitu juga pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi dihasilkan 0,7 juvenil/ kokon/ bulan (KK= 37,40%) dan pada media 100% tanah dihasilkan 0,25 juvenil/ kokon/ bulan (KK= 74,83%). Kemampuan media 100% kotoran sapi dalam mendukung kehidupan juvenil juga ditunjukkan oleh penampilan juvenil yang berwarna cerah dan pergerakannya lincah meskipun ukurannya kecil dibanding media yang diberi campuran pelepah pisang. Seperti yang disebutkan oleh Ciptanto dan Paramita (2011), ciri-ciri cacing tanah yang sehat adalah gerakannya lincah dan warnanya terlihat segar. Juvenil yang sehat pada media ini mengindikasikan kebutuhan hidupnya tercukupi karena bahan organik diduga belum terdekomposisi secara sempurna, sehingga masih tersedia sebagai sumber nutrisi bagi juvenil untuk pertumbuhannya (Gaddie dan Douglas 1975). Lambatnya proses dekomposisi media ini disebabkan oleh kurangnya rantai karbon sebagai sumber energi sehingga diduga jumlah dan pertumbuhan bakteri pada media ini juga rendah. Berdasarkan hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa kebutuhan C/N pada induk cacing dengan juvenil berbeda. Pada induk cacing tanah, dibutuhkan unsur C yang cukup sebagai sumber energinya, sementara itu dari data jumlah juvenil yang dihasilkan menunjukkan bahwa juvenil paling banyak dihasilkan pada media 100% kotoran sapi yang mengandung unsur N paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa juvenil usia kurang dari satu bulan lebih membutuhkan unsur N yang merupakan nutrisi untuk mendukung pertumbuhannya, sedangkan kebutuhan terhadap unsur C tidak setinggi kebutuhan pada induk cacing. Ukuran juvenil yang lebih besar pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi dan 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi tidak diikuti dengan kondisi juvenil yang sehat, terlihat dari warnanya yang pucat dan gerakannya yang lambat (Gaddie dan Douglas 1975). Proses dekomposisi media biak ini lebih cepat dibanding media 100% kotoran sapi. Pengamatan media pada saat perhitungan juvenil menunjukkan kondisi media pada 100% kotoran sapi masih berbau
11 kotoran sapi. Sedangkan pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi sudah menjadi kompos (warna kehitaman, tidak berbau dan teksturnya remah) (Sugiarti 2011). Media biak yang sudah terdekomposisi sempurna ini tidak dapat lagi digunakan oleh juvenil sehingga juvenil kekurangan nutrisi. Kurangnya nutrisi pada juvenil ini akan menyebabkan menurunnya jumlah nutrisi yang dapat diangkut oleh plasma darah yang mengandung hemoglobin di dalam tubuh juvenil sehingga warna juvenil terlihat pucat (Gaddie dan Douglas 1975). Jumlah juvenil yang dihasilkan pada media 100% kotoran sapi hanya 1 ekor/kokon/bulan, sedangkan hasil penelitian Samosir (2000) menunjukkan 1 kokon cacing tanah P. excavatus mampu menghasilkan sekitar 5 ekor juvenil per bulan. Produksi juvenil yang rendah pada penelitian ini dapat disebabkan oleh kesuburan yang rendah pada induk cacing akibat kurangnya nutrisi. Media 100% kotoran sapi sebenarnya mengandung unsur N yang banyak bagi bakteri yang membantu cacing tanah dalam mencerna makanan, namun bakteri tersebut tidak bisa tumbuh karena kekurangan unsur C yang banyak terdapat pada pelepah pisang. Akibatnya, proses fermentasi media biak ini menjadi lebih lambat sehingga nutrisi yang tersedia untuk cacing tanah lebih sedikit (Sugiarti 2011). Selain itu, nutrisi media dalam penelitian samosir lebih tinggi karena dilakukan penambahan pakan setiap dua hari sekali. Sedangkan pada penelitian ini pakan hanya diberikan di awal pengamatan tanpa penambahan pakan. Jumlah juvenil yang stabil terdapat pada media 100% kotoran sapi kerena memiliki koefisien keragaman sebesar 10,23%, sedangkan untuk kokon terdapat pada media 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi yaitu sebesar 71,18%. Dilihat dari hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) dan nilai koefisien keragamannya, media yang baik untuk mendukung kehidupan juvenil adalah pada media yang memiliki nutrisi tinggi (protein), sedangkan media yang baik untuk produksi kokon adalah pada media yang memiliki kelembaban tinggi.
SIMPULAN Perilaku harian cacing tanah P. excavatus yang teramati paling dominan berturut-turut adalah inaktif, pergerakan, makan dan kawin. Aktivitas lebih banyak teramati pada malam hari sampai menjelang pagi, saat kondisi kelembaban tinggi. Komposisi media yang paling mendukung aktivitas P. excavatus berdasarkan persentase aktivitas pergerakan dan aktivitas makan adalah 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi. Media yang paling baik untuk mendukung produksi kokon, adalah 90% pelepah pisang : 10% kotoran sapi, dan media yang paling baik untuk mendukung produksi juvenil adalah di 100% kotoran sapi berdasarkan nilai koefisien keragamannya berturut-turut sebesar 71,18% dan 10,23%.
SARAN Media budi daya cacing tanah sebaiknya dibedakan untuk pemeliharaan cacing tanah dewasa dan juvenil. Cacing tanah dewasa sebaiknya dipelihara pada media 50% pelepah pisang : 50% kotoran sapi yang mengandung serat kasar, sedangkan juvenil sebaiknya pada media 100% kotoran sapi yang tinggi protein.
12
DAFTAR PUSTAKA Baldwin F M. 1917. Diurnal activity of earthworm. F.Anim Behav. 7, 187-90. Barrat D. 2002. Best Practice Guideline and Standards Relating to The Menufacture, Storage, Transportation and Quality Testing of Vermiculture Products [Internet]. [diunduh 1 Juli 2006]. Tersedia pada: http://www.earthworms.co.pdf. Brata B. 2003. Pertumbuhan, perkembangbiakan dan kualitas eksmecat daari beberapa spesies cacing tanah pada kondisi lingkungan yang berbeda [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Budiarti A, Palungkun R. 1992. Cacing tanah: Aneka Cara Budidaya, Penangannan Lepas Panen, Peluang Campuran Ransum Ternak dan Ikan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Brinkhurst RO, Cook DG. 1974. Aquatic Earthworm (Annelida: Oligochaeta). Pollution Ecology of Freshwater Invertebrates. New York (US): Academic Press. Catalan G I. 1981. Earthworms a News Resource of Protein. Philippines (PH) : Philippine Earthworm Center. Chumaidi dan Suprapto. 1986. Populasi Tubifex sp. di Dalam Media Campuran Kotoran Ayam dan Lumpur Kolam [Bulletin]. Penelitian Perikanan Darat . 5(11): 11. Ciptanto S, Paramita U. 2011. Mendulang Emas Hitam Melalui Budi Daya Cacing Tanah. Yogyakarta (ID) : Andi Offset. Gaddie RE, Douglas DE. 1975. Earthworm for Ecology and Profit.Vol I. California (US): Bookworm Publishing Company Ontario. Edwards C A, Lofty J R. 1972. Biology of Earthworm. New York (US) : Chapma and Hall. Engelstad F. 1991. Impact of Eartworm in Decomposition of Garden Refuse, Bio Fertil. Soil Springer-verlag. 12 : 137-140. Erlinda O T H. 2013. Pengaruh Penggunaan Kompos Limbah Organik Unit Gas Bio dan Jerami Padi sebagai Media Cacing terhadap Kecepatan Pertumbuhan dan Kandungan Nutrisi Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) [Skripsi]. Malang (ID): Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Jerami Fermentasi sebagai Pakan Alternatif bagi Ternak Sapi pada Musim Kemarau (Lombok Tengah-Nusa Tenggara Barat) [Internet]. [diunduh 20 Januari 2007]. Tersedia pada: http://database.deptan.go.id. Hadisusanto. 1992. Ekologi Semut. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah mada. Hale M E. 1969. How to Know the Lichens. Washington DC (US): WMc Brown Company. Juhastantie, Ardyana. 2000. Laju pertumbuhan cacing tanah dari tiga spesies yang berbada (Lumbricur rubellus, Eisenia foetida dan Perionyx excavatus) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Lee K E. 1959. A key for the identivication of New Zealand earthworms. Tuatara. 8(1) 13-60. Lee K E. 1985. Earthworm Their Ecology and Relationships with Soil and Land Use. Sydney (AU): CSIRO Division of Soil Adelaide Academic Press.
13 Michon J. 1954. Influence the Isolement a sexual biology of Lumbricidae. C.r. hebd. Sean. Acad. Sci, Paris. 238: 2457-8 Munadjin. 1998. Teknologi Pengolahan Pisang. Jakarta (ID): PT. Gramedia. Palungkun R.1999. Sukses Beternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Bogor (ID) : PT. Penebar Swadaya. Orzech K. 2005. Sample ethogram [Internet]. [diunduh 5 Januari 2014]. Tersedia pada: http://tolweb.org/online contributors. Pechenik J A. 2000. Biology of The Invertebrates: Fourth edition. Boston (GB) : McGraw Hill. Red Worm Organic. 2007. Basic Earthworm Biology [Internet]. [Diunduh pada 15 Januari 2007]. Tersedia pada: http://wormswrangler.com/article10.html. Roslim D I, Nastiti D S, Herman. 2013. Karakter morfologi dan pertumbuhan tiga jenis cacing tanah local pekanbaru pada dua macam media pertumbuhan. Biosantifika. 5(1)(2013). Rukmana R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Samosir C M F. 2000. Studi Performa Produksi Cacing Tanah dari Tiga Spesies yang Berbeda (Eisenia foetida, Lumbricus rubellus dan Perionix excavatus) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Segun, A. O. 1973. Earthworm. Benin City (ET): Ethiope Publishing Corporation. Sharma S, Pradhan K, Satya S, Vasudevan P. 2005. Potentialy of earthworms for waste management and in other uses. J Am Sci 1:4-16. Sihombing D T H. 2002. Satwa Harapan I Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya. Bogor (ID): Pustaka Wirausaha Muda. Sugiarti H. 2011. Pengaruh Pemberian Kompos Batang Pisang Terhadap Pertumbuhan Semai Jabon (Anthocephalus Cadamba Miq.) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Watanabe H, Tokuda G. 2001. Animal cellulases. Cellular and Molecular Life Sciences CMLS 58(9) 1167-1178. Yuherman. 1987. Pengaruh Dosis Penambahan Pupuk Pada Hari Kesepuluh Setelah Inokulasi terhadap Pertumbuhan Populasi Tubifex sp. [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
14
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisis sidik ragam produksi kokon pada 4 jenis media Sumber keragaman Media Galat Total Koreksi
db 3 12 15
Jumlah Kuadrat 51.584 187.333 238.917
Kuadrat Tengah 20.916 11.083
F hitung
Pr>F
1.8872
0.185**
Keterangan : **Tidak berbeda nyata pada taraf α = 0.05
Lampiran 2 Hasil analisis sidik ragam produksi juvenil pada 4 jenis media Sumber keragaman Media Galat Total Koreksi
db 3 8 11
Jumlah Kuadrat 940.003 90.667 1030.670
Kuadrat Tengah 222.889 37.667
F hitung
Pr>F
5.9174
0.0198*
Keterangan : *Berbeda nyata pada taraf α = 0.05
Lampiran 3 Jumlah kokon dan juvenil yang dihasilkan oleh P. excavatus pada 4 jenis media Perlakuan 100% tanah 100% Kotoran Sapi 50% : 50% 10% : 90%
Jumlah Kokon 5 21 8 15
Jumlah Juvenil 5a 77c 23b 31b
Keterangan: angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata pada DMRT 5% (Uji Duncan)
15
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Maret 1992 dari pasangan Bapak Slamet dan Ibu Istilah. Penulis merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2004 di SDN Papanggo 01 Jakarta, pendidikan lanjutan menengah diselesaikan pada tahun 2007 di SMPN 129 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2010 di SMAN 80 Jakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), terdaftar pada program Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama menyelesaikan pendidikan, penulis aktif sebagai bendahara umum ROHIS SMPN 129 Jakarta, sekertaris Divisi Pendidikan PASKIBRA SMPN 129, bendahara umum ROHIS SMAN 80 Jakarta, tutor sebaya mata pelajaran Biologi SMAN 80 Jakarta, pengurus Klub Taekwondo Karakatau Club SMAN 80 Jakarta, staf Divisi Service Forum for Scientific Studies (FORCES) IPB, staf Departemen Sains dan Teknologi BEM FMIPA, staf Kementrian Pendidikan dan Keilmuan BEM KM IPB, bendahara Biro Komunikasi dan Informasi BEM KM IPB dan pemimpin redaksi media YES IAM MUSLIM. Penulis juga aktif menjadi kepala divisi desain, dekorasi, dokumentasi di berbagai kepanitiaan diantaranya EXPLOscience, Road to International Scholarship and Education Expo (ISEE 2013), IPB Dedication for Education (IDEA 2013) dan IPB Inovation Fair. Penulis pernah melakukan Praktik Lapangan di PT. Biofarma di bagian Uji Hewan. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Perkembangan Hewan dan Fungsi Hayati Hewan.