PEMBERIAN KOTORAN SAPI PADA PERTANAMAN JAGUNG (Zea mays) : DINAMIKA PERUBAHAN KADAR KARBON ORGANIK DAN NITROGEN TERSEDIA PADA ULTISOL GUNUNG SINDUR, JAWA BARAT
Prito Rayesha Trihutomo A14062811
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN PRITO RAYESHA TRIHUTOMO. Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays): Dinamika Perubahan Kadar Karbon organik dan Nitrogen tersedia pada Ultisol Gunung Sindur, Jawa Barat. Di bawah bimbingan ARIEF HARTONO. Penelitian Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays) : Dinamika Perubahan Kadar karbon (C) organik dan nitrogen (N) tersedia pada Ultisol Gunung Sindur ini dilaksanakan di Desa Cibadung, Gunung sindur, Jawa Barat, sementara analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika perubahan kadar karbon organik dan juga kadar nitrogen tersedia (ammonium dan nitrat) pada tanah Ultisol Gunung Sindur yang diberi perlakuan kotoran sapi pada pertanaman jagung. Perlakuan yang diberikan adalah 0 ton ha-1 dan 20 ton ha-1 kotoran sapi dalam kondisi kering udara. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada minggu ke-1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, dan 14 pada daerah perakaran. Kadar C-organik pada petak yang diberikan 20 ton ha-1 kotoran sapi meningkat dan selalu lebih tinggi dibandingkan petak kontrol sampai minggu ke6. Kesetimbangan tercapai dimana kadar karbon organik pada petak yang diberikan 20 ton-1 kotoran sapi dan petak kontrol sama pada minggu ke-14. Kadar amonium petak yang diberikan 20 ton ha-1 kotoran sapi meningkat dan selalu lebih tinggi dibandingkan petak kontrol sampai minggu ke-14 dimana pada minggu ke-14 kadar amonium petak yang diberikan 20 ton ha-1 kotoran sapi dan petak kontrol sama. Persamaan first order kinetic tidak dapat digunakan untuk mensimulasi data amonium. Kadar nitrat meningkat dengan meningkatnya minggu inkubasi. Kadar nitrat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai amonium baik pada petak kontrol dan petak yang diberikan 20 ton ha-1 kotoran sapi. Dengan persamaan first order kinetic didapat bahwa N yang berpotensi termineralisasi menjadi nitrat pada kontrol adalah 494 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.61 minggu-1 sementara pada petak yang diberikan 20 ton ha-1 kotoran sapi adalah 620 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.41 minggu-1. Untuk N tersedia (amonium + nitrat), N yang berpotensi termineralisasi menjadi N-tersedia adalah 538 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.63 minggu-1 sementara petak yang diberikan 20 ton ha-1 kotoran sapi adalah 665 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.46 minggu-1. Dari hasil penelitian ini bahwa N yang berpotensi termineralisasi baik menjadi nitrat ataupun N-tersedia pada perlakuan 20 ton ha-1 dibawah pertanaman jagung pada Ultisol Gunung Sindur habis termineralisasi pada minggu ke-14. Hasil ini menunjukan di Ultisol Gunung Sindur kesetimbangan pemberian 20 ton ha-1 kotoran sapi pada pertanaman jagung untuk karbon organik, amonium, nitrat, dan nitrogen tersedia tercapai pada minggu ke-14. Mineralisasi N-organik menjadi nitrat dan N-tersedia dapat dengan baik disimulasikan dengan persamaan first order kinetic. Kata Kunci : C-organik, Mineralisasi N, N tersedia, Ultisol Gunung Sindur
ABSTRACT PRITO RAYESHA TRIHUTOMO. The Application of Cow Dung on Corn (Zea Mays) Cultivation: The Dynamic of Changes in Organic Carbon and Available Nitrogen Content in Ultisol Gunung Sindur. Supervised by ARIEF HARTONO. The research entitled The application of Cow Dung on Corn (Zea Mays) Cultivation: The Dynamic of Changes in Organic Carbon (C) and Available Nitrogen (N) Content in Ultisol Gunung Sindur was conducted in Cibadung village, Gunung Sindur, West Java. Chemical Analyses were conducted in Laboratory of Soil Chemistry and Fertility Department of Soil Science and Land Resource, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. The objectives of this research were to evaluate the dynamic of changes in Organic C and available N (ammonium and nitrate) in Ultisol Gunung Sindur treated by cow dung on corn cultivation. The treatments were 0 ton ha-1 (control plot) and 20 ton ha-1 of cow dung in air air-dried condition. The soil samples collection were conducted at 1st, 2nd, 3th, 4th, 6th, 8th, 10th and 14th week after planting in root zone. Organic C content in plot treated by 20 ton ha-1 of cow dung increased with time of soil samples collection and their values were always higher than those of control plot up to 6th week. The equilibrium where the content of organic C of control and plot treated by 20 ton ha-1 of cow dung were similar and constant, occured at 14th week after planting. Ammonium content in plot treated by 20 ton ha-1 of cow dung increased with time of soil samples collection and their values were always higher than those of control plot up to 14th week. Similar to organic C content, the equilibrium was reached at 14th week after planting. The first order kinetic equation coud not be used to simulate the data of ammonium. The Nitrate content increased with time of soil samples collection. The nitrate contents in control plot and plot treated with 20 ton ha-1 of cow dung as well, were always higher than those of ammonium in all time of soil samples collection. The first order kinetic equation revealed that in control plot N which was potential to mineralize to be nitrate was 494 mg kg-1 with rate constant 0.61 week-1 while in plot treated with 20 ton ha-1 of cow dung, N which was potential to mineralize to be nitrate was 620 mg kg-1 with rate constant 0.41 week-1. As for availabe N (ammonium + nitrate), N which was potential to mineralize to be available N in control plot was 538 mg kg-1 with rate constant 0.63 week-1 while in plot treated with 20 ton ha-1 of cow dung N which was potential to mineralize to be available N was 665 mg kg-1 with rate constant 0.46 week-1. The first order kinetic equation also revealed that N from 20 ton ha-1 will fully mineralize to be nitrate and available N at 14th week after planting. The results suggested that equilibrium of application of 20 ton ha-1 cow dung on corn plantation in Ultisol Gunung Sindur for organic C, amonium, nitrate and available N occured at 14th week. N mineralization to be nitrate and available N was simulated well by first order kinetic equation.
Key words: Availale N, N mineralization, Organic C, Ultisol Gunung Sindur
PEMBERIAN KOTORAN SAPI PADA PERTANAMAN JAGUNG (Zea mays) : DINAMIKA PERUBAHAN KADAR KARBON ORGANIK DAN NITROGEN TERSEDIA PADA ULTISOL GUNUNG SINDUR, JAWA BARAT
PRITO RAYESHA TRIHUTOMO A 14062811
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays) : Dinamika Perubahan Kadar Karbon organik dan Nitrogen tersedia pada Ultisol Gunung Sindur, Jawa Barat.
Nama
: Prito Rayesha Trihutomo
NRP
: A14062811
Menyetujui,
Pembimbing
Dr Ir Arief Hartono, MSc Agr NIP. 19680628 199303 1012
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr Ir Syaiful Anwar, MSc NIP. 1962 1113198703 1003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 November 1987. Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Purnomo dan Ibu Yusniar. Penulis memulai studinya di Taman Kanak-Kanak (TK) Bina Insani, Bogor tahun 1993. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pengadilan 5 Bogor dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan dari SLTPN 1 Bogor, kemudian tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikannya di SMU Negeri 1 Bogor. Tahun 2006 penulis diterima dan melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Pengantar Ilmu Tanah (2009) dan praktikum Kimia Tanah (2010). Penulis juga pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) pada kepengurusan 2007-2008 dan menjadi Ketua Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (BP-HMIT) pada kepengurusan 2008-2009.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Penyusunan skripsi yang berjudul “Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays): Dinamika Perubahan Kadar Karbon organik dan Nitrogen tersedia pada Ultisol Gunung Sindur.” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada 1. Dosen pembimbing, Dr Ir Arief Hartono, MSc Agr atas kesabaran, bimbingan, dan semua saran sejak dimulainya penelitian ini hingga penulis sampai pada penyelesaian skirpsi ini, 2. Dr Watanabe dan Mr Hirotaka Okumoto dari Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Kyoto, Jepang yang telah memberikan bantuan dan saran dalam pelaksanaan penelitian, 3. Bapak Asep serta seluruh karyawan di Desa Cibadung yang telah banyak membantu selama di lapang, 4. Kedua Orang tua, 5. Semua laboran di laboratorium KDKT yang telah sabar membantu penulis dalam masa-masa analisis di laboratorium, 6. Teman-teman yang telah membantu penulis sejak awal pengambilan sampel hingga analisis di laboratorium : Gama Putra Prakarsa, Maulana Wijaya, Tommy, Syifa Fauziah, Poppy Haryani, Anggraini Widhi, Arini Hidayati, dan semua teman-teman di laboratorium yang tak bisa disebutkan namanya satu per satu, 7. Teman-teman sesama dosen pembimbing Hafiz Hernandi, Laras Dewi Adistia, dan Dina Wahyuni,
8. Seluruh soiler 43 yang selalu memberikan semangat dukungannya kepada penulis, Maulana Wijaya, Dempo Satriandu, Patra Ismail,
dan semua
teman-teman yang tak bisa disebutkan namanya satu per satu, 9. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menjalani penelitian ini. Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya, namun saran dan kritik sangat diharapkan sebagai masukkan kepada penulis. Penulis sangat berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, 2011
penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2. Tujuan .......................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
3
2.1. Ultisol .......................................................................................................
3
2.2. Bentuk-bentuk Nitrogen dalam Tanah ......................................................
4
2.3. Bahan Organik Tanah ................................................................................
5
III. BAHAN DAN METODE ........................................................................
7
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................................
7
3.2. Bahan dan Alat .........................................................................................
7
3.3. Rancangan Penelitian ...............................................................................
7
3.4. Pelaksanaan Penelitian .............................................................................
9
3.4.1. Persiapan Awal ...............................................................................
9
3.4.2. Pemilihan Tanaman dan Pemeliharaan ...........................................
9
3.4.3. Pengambilan Contoh Tanah ...........................................................
9
3.4.4. Analisis Laboratorium ....................................................................
10
3.4.5. Analisis Data ..................................................................................
11
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
12
4.1. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi ..........
12
4.1.1. Kakteristik Ultisol Gunung Sindur .................................................
12
4.1.2. Karakteristik Kotoran Sapi Yang Digunakan ..................................
13
4.2. Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar C-organik Ultisol Gunung Sindur...............................................................................
14
4.3. Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar NH4+ (amonium) dan NO3- (nitrat) pada Ultisol Gunung Sindur ..............
15
V. KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................
22
5.1. Kesimpulan ................................................................................................
22
5.2. Saran .........................................................................................................
23
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
24
LAMPIRAN ....................................................................................................
26
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Data Analisis Awal Ultisol Gunung Sindur ................................................. 12 2. Analisis Kotoran Sapi ...................................................... ............................. 13 3. Perbandingan Kadar C-organik pada Tanah dengan Perlakuan Kotoran Sapi dan Kontrol ........................................................................................... 14 4. Perbandingan Kadar NH4+ pada Tanah dengan Perlakuan Kotoran Sapi dan Kontrol ........................................................................................... 16 5. Perbandingan Kadar NO3- pada Tanah dengan Perlakuan Kotoran Sapi dan Kontrol ........................................................................................... 17 6. Konstanta Kecepatan dan N Maximum yang dapat Dimineralisasi menjadi Nitrat ............................................................................................... 18 7. Perbandingan Jumlah N-tersedia pada Tanah dengan Perlakuan Kotoran Sapi dan Kontrol ........................................................................................... 19 8. Konstanta Kecepatan dan N Maximum yang dapat Dimineralisasi menjadi N-tersedia ..................................................................................................... 20
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Denah Lahan Penelitian................................................................................
8
2. Titik-titik Pengambilan Sampel dalam Satu Plot ............ ............................. 8 3. Kadar C-organik Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu .................................................................................................... 15 4. Kadar NH4+ Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu .................................................................................................... 16 5. Kadar NO3- Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu .................................................................................................... 17 6. pH Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu ....................................................................... ............................. 18 7. Kadar N-tersedia pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu .................................................................................................... 20
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Prosedur Analisis pH H2O dengan pH Meter ............................................... 27 2. Prosedur Penetapan NH4+ dengan Metode Destilasi-Titrasi ........................ 27 3. Prosedur Penetapan NO3- dengan Metode Destilasi-Titrasi ......................... 28 4. Prosedur Penetapan C-organik dengan Metode Walkley dan Black ........... 28 5. Prosedur Penetapan C-organik Kotoran Sapi dengan Metode Pengabuan Kering ........................................................................................ 29 6. Prosedur Penetapan N-total Kotoran Sapi dengan Metode N-Kjeldahl .................................................................................................... 29 7. Parameter Sifat Kimia Tanah ....................................................................... 31
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar belakang Lahan kering di Indonesia merupakan lahan yang potensial dilihat dari
luasan yang ada. Berdasarkan data yang dibuat oleh puslitbangtanak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2002), potensi lahan kering di Indonesia sekitar 75,133,840 ha. Walaupun demikian produktivitas lahan-lahan kering di Indonesia relatif sangat rendah. Hal ini karena pada umumnya lahanlahan kering di Indonesia bereaksi masam dan mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah (Hartono et al., 2005). Tanah-tanah di lahan kering Indonesia pada umumnya mempunyai order Ultisol. Tanah-tanah dengan order Ultisol dicirikan adanya horison Argilik pada horison B. Variasi yang terjadi pada tanah Ultisol adalah pada tebal tipisnya lapisan atas atau yang disebut top soil. Umumnya Ultisol di Indonesia mempunyai top soil yang tipis dan mempunyai kadar C-organik yang rendah (Hartono et al., 2005) dengan pH tanah sangat masam sampai masam. Dalam kaitan dengan pertumbuhan dan produksi tanaman, secara kimia faktor pembatas yang sering ditemui adalah rendahnya status hara-hara yang penting bagi pertumbuhan tanaman seperti Nitrogen (N), Fosfor (P) dan kationkation basa Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Kalium (K). Rendahnya unsurunsur tersebut karena pengelolaan lahan kering masih bersifat subsisten sehingga penggunaan pupuk untuk meningkatkan produksi tanaman sangat sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Sementara untuk faktor pembatas fisik pada umumnya lahan-lahan kering di Indonesia mempunyai lapisan atas yang padat dan keras. Gunung Sindur adalah salah satu wilayah di Kabupaten Bogor yang didominasi oleh lahan kering dengan order tanah Ultisol. Kegiatan pertanian di Gunung Sindur adalah pertanian lahan kering. Karena terbatasnya akses petani terhadap pupuk inorganik maka pupuk organik menjadi pilihan untuk meningkatkan produksi tanaman di lahan kering. Pupuk organik yang sering digunakan adalah kotoran sapi.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bahan organik berupa kotoran sapi dapat memberikan pengaruh yang baik dalam mengatasi masalahmasalah sifat fisik dan kimia. Aplikasi kotoran sapi pada tanah dapat meningkatkan pH tanah (Akinyemi, 2001). Di samping itu pemberian kotoran sapi meningkatkan kandungan N, P, K, Ca, dan Mg baik pada tanah dan pada daun tanaman sayuran (Awodun, 2008). Gana (2009) melaporkan bahwa pemberian pupuk inorganik yang dikombinasikan dengan kotoran sapi dapat meningkatkan kandungan C-organik tanah dan kapasitas tukar kation tanah di tanah savana Nigeria. Sehingga dapat dikatakan bahwa kotoran sapi sangat potensial sebagai sumber bahan organik yang dapat memperbaiki sifat kimia maupun fisik tanah dan juga untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Walaupun demikian ketersediaan kotoran sapi juga tidak banyak. Peternakan sapi sebagai penyedia kotoran sapi tidak selalu ada. Oleh karena itu penggunaan kotoran sapi oleh petani sebagai sumber bahan organik dan hara tidak disebar merata ke lahan yang diolah melainkan ditabur pada timbunan tanah yang akan ditanami. Sehingga dalam hal ini kotoran sapi bukan sebagai bahan amelioran tetapi berfungsi sebagai pupuk. Hal ini dilakukan petani untuk meningkatkan efisiensi pemupukan. Rata-rata pemberian kotoran sapi yang digunakan petani pada tanah-tanah di lahan kering adalah 20 ton ha-1. Penelitian mengenai bagaimana dinamika hara-hara yang dilepaskan dari kotoran sapi dalam satu periode tanam di tanah-tanah Ultisol belum banyak dilakukan. Sementara informasi kinetika dekomposisi kotoran sapi seperti konstanta kecepatan dan potensi maksimum hara yang dapat dilepaskan pada suatu jenis tanah dalam satu hamparan diperlukan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi dinamika C-organik dan N-tersedia pada tanah Ultisol dalam satu periode pertumbuhan tanaman.
1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika perubahan
kadar C-organik dan juga kadar N-tersedia (ammonium dan nitrat) pada tanah Ultisol Gunung Sindur yang diberi perlakuan kotoran sapi pada pertanaman jagung.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ultisol Ultisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai horizon Argilik atau Kandik dengan nilai kejenuhan basa yang rendah. Pada umumnya tanah ini berkembang dari bahan induk tua, seperti batu pasir dan batu liat. Ultisol merupakan tanah yang mengalami perkembangan profil dengan batas horizon yang jelas, berwarna merah hingga kuning. Mengenai konsistensi tanah, Ultisol memiliki konsistensi dimana semakin kebawah semakin teguh dan agregat berselaput liat. Ultisol di Indonesia umumnya terbentuk dari bahan induk yang mengandung kuarsa seperti tufa liparit, dasitik, atau riolit dan dijumpai di daerah pegunungan dengan ketinggian diatas 1,000 m dari permukaan laut seperti di puncak gunung Bukit Barisan dan di pegunungan di Irian Jaya, atau di daratan rendah seperti di Bangka dan Kalimantan dengan rata-rata curah hujan 1,500 mm per tahun (Soepardi, 1983). Proses terbentuknya Ultisol diawali oleh proses podsolisasi yang merupakan proses pencucian yang mirip dengan latosolisasi. Hasil dari proses ini adalah tanah yang mempunyai lapisan atas pucat, karena semua unsur tercuci kecuali silikat (sebagai kuarsa). Curah hujan dan suhu yang tinggi memungkinkan terjadinya pencucian terhadap basa-basa sehingga dalam waktu yang relatif singkat menyebabkan kejenuhan basa rendah dan tanah menjadi masam. Kelangsungan proses podsolisasi tersebut ditunjang oleh adanya asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik yang mempunyai daya pelarut yang efektif pada iklim yang basah dan panas (Soepardi, 1983). Soepraptohardjo (1961) melaporkan bahwa karakteristik tanah Ultisol mempunyai kemasaman tanah yang tergolong tinggi (pH 3.5-5.5), kandungan bahan organik kurang dari dua persen, jenis liat dominan adalah kaolinit dan gibsit, kapasitas tukar kation (KTK) rendah sampai tinggi bergantung pada tekstur dan mineral liat, kandungan hara terutama N, P, K, dan Ca rendah, permeabilitas lambat sampai sedang, dan vegetasi alamiah meliputi berbagai jenis pohon hutan tropis, alang-alang, pinus, melastoma, dan pakis. Pada umumnya tanaman yang ditanam di Ultisol memberikan produksi yang baik pada beberapa tahun pertama, selama unsur-unsur hara di permukaan
tanah yang terkumpul melalui proses biocycle belum habis. Reaksi tanah yang masam, kejenuhan basa yang rendah, kadar Al yang tinggi, kadar unsur hara yang rendah merupakan penghambat utama bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Untuk penggunaan yang berkaitan dengan pertanian, diperlukan pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan tanah yang tepat (Hardjowigeno, 2003).
2.2. Bentuk-bentuk Nitrogen dalam Tanah Sumber nitrogen utama dalam tanah adalah dari bahan organik melalui proses mineralisasi bahan organik menjadi amonium dan nitrat. Selain itu, Nitrogen dapat juga bersumber dari atmosfer (78%) melalui curah hujan (8-10%). Selain itu nitrogen dapat diperoleh melalui penambatan (fiksasi) oleh mikroorganisme tanah baik secara simbiosis dengan tanaman maupun hidup bebas dan dari proses pemupukan. Nitrogen diserap tanaman dalam jumlah yang tinggi dibandingkan dengan unsur-unsur yang lain (Soepardi, 1983). Bentuk nitogren yang diserap tanaman adalah NH4+ dan NO3-. Jumlah ion-ion ini tergantung dari jumlah pupuk yang diberikan dan kecepatan dekomposisi bahan organik. Menurut Harjowigeno (2007) tiga tahap proses transformasi nitrogen yang sangat mempengaruhi ketersediaannya dalam tanah yaitu melalui 1) Aminisasi, merupakan proses transformasi protein menjadi asam amino, 2) Amonifikasi, merupakan proses transformasi asam amino menjadi amonium dan 3) Nitrifikasi, merupakan proses transformasi amonium menjadi nitrat. Reaksi transformasi nitrogen tersebut adalah sebagai berikut: Aminisasi
: Bahan organik (N-organik) + enzim (mikroorganisme) senyawa amino (R-NH2) + CO2 + Energi.
Amonifikasi
: R-NH2 +HOH NH3 + H2O
Nitrifikasi
: 2NH4+ + 3O2 2NO2- + O2
R-OH +NH3 + Energi NH4+ + OH2NO2- + 2H2O + 4H+ + Energi 2NO3- + Energi
Nitogen dalam bentuk amonium merupakan bentuk yang stabil terutama pada tanah tergenang. Selama suasana lingkungan tidak memungkinkan untuk proses nitrifikasi, amonium dapat diabsorbsi dan diretensi oleh koloid tanah
sehingga pergerakannya akan terbatas dan tidak mudah tercuci air perkolasi. Nitrogen dalam bentuk nitrat bersifat lebih mobil dalam tanah karena sifatnya yang mudah larut dan tidak teradsorpsi oleh koloid tanah. Pada kondisi curah hujan yang tinggi atau penambahan air irigasi maka nitrat tercuci dari horizon atas ke horizon di bawahnya atau masuk dalam sistem perairan. Selama musim kemarau yang hebat dan pergerakan air kapiler memungkinkan ke atas dan ke bawah, maka nitrat akan diakumulasikan pada bagian atas horizon tanah bahkan di permukaaan tanah (Tisdale et al., 1990).
2.3. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan hasil pelapukan sisa tanaman atau hewan yang bercampur dengan bahan mineral tanah. Pembentukkannya dalam tanah umumnya terjadi secara alami. Kadar bahan organik dalam tanah dengan mudah dapat berkurang karena proses-proses perombakkan oleh jasad mikro tanah (Suhardjo et al., 1993). Menurut Tan (1984) bahan organik tanah terdiri dari bahan yang terhumifikasi dan tak terhumifikasi. Bagian yang terhumifikasi itu sendiri adalah suatu bahan yang hingga saat ini dikenal sebagai humus atau yang biasa disebut senyawa humat dan merupakan hasil akhir dari dekomposisi bahan tanaman di dalam tanah. Senyawa ini dapat memperbaiki kesuburan tanah melalui perbaikan terhadap kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah. Secara kimia fungsi bahan organik tanah adalah memberikan sumbangan hara melalui proses dekomposisi. Sebagai contoh pupuk kandang yang ditambahkan ke dalam tanah dapat menyumbangkan unsur N, P, dan K, sehingga meningkatkan ketersediaan unsurunsur tersebut didalam tanah. Penambahan bahan organik kedalam tanah dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme. Bahan-bahan yang yang terhumifikasi menjadi koloid organik yang meningkatkan muatan variabel tanah. Kotoran sapi merupakan salah satu bentuk pupuk organik. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam tanah mengalami dekomposisi yang berakhir dengan mineralisasi dan terbentuknya bahan yang relatif resisten yaitu humus (bahan yang terhumifikasi). Humus yang tersusun dari selulosa, lignin, dan protein mempunyai kandungan C-organik umumnya sebesar 58% sehingga dapat
dipahami bahwa pemberian kotoran sapi akan meningkatkan jumlah humus dalam tanah yang juga berarti meningkatkan C-organik tanah (Syukur dan Harsono, 2008). Peningkatan C-organik dalam tanah juga akan meningkatkan bahan organik tanah (Brady, 1990). Menurut Inoko (1982), beberapa komponen nitrogen dalam limbah hewan atau lumpur terurai dengan mudah. Simanjuntak (2005) menyatakan bahwa kotoran sapi dapat memberikan energi bagi kehidupan mikroorganisme tanah, menambah inokulum ke dalam tanah, serta memperbaiki kondisi lingkungan terutama aerasi dan kelembaban tanah. Kotoran sapi yang diberikan ke dalam tanah dengan nisbah C/N>30 segera diubah secara cepat oleh mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, fungi, dan aktinomycetes. Kemampuan dekomposisi bahan organik tanah cukup mirip dengan tingkat mineralisasi N per unit dari total organik N yang ada pada tanah (Miranda et al., 2008). Proses komposting dan penyimpanan dari material organik dengan rasio C/N yang rendah, akan mengurangi proses kemampuan dekomposisi. Tetapi hal itu sering tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahaan C/N karena kehilangan C dan N biasanya bersamaan dengan proses dekomposisi (Gale et al., 2006).
III.
BAHAN DAN METODE
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Lahan Kering di desa Cibadung Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Tanah di lokasi penelitian masuk dalam sub grup Typic Hapludult. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini dilaksanakan sejak Oktober 2009 hingga Mei 2010.
3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah kotoran sapi yang telah diinkubasi dan disaring dengan saringan 0.5 cm, benih jagung hibrida, dan bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk analisis di laboratorium. Alat-alat yang digunakan adalah peralatan untuk mempersiapkan lahan seperti cangkul, kored, tugal, skop, dan tali raffia. Peralatan pengambilan sampel seperti pisau, ring sample, plastic untuk sampel, dan plastic tape. Alat-alat keperluan penelitian di laboratorium antara lain timbangan dan alat-alat gelas seperti gelas piala, gelas ukur, botol penampung, labu destilasi, buret, Erlenmeyer, labu takar, dan sebagainya.
3.3. Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, dengan menggunakan dua perlakuan yaitu perlakuan kontrol (0 ton ha-1) dan perlakuan kotoran sapi (20 ton ha-1). Masing-masing perlakuan memiliki tiga kali ulangan yaitu tiga petak kontrol dan tiga petak perlakuan kotoran sapi. Denah penelitian disajikan pada Gambar 1. Titik-titik pengambilan sampel tanah disajikan pada Gambar 2.
Plot kotoran sapi 72 m
Plot 20ontrol 12 m
8m Gambar 1. Denah Lahan Penelitian
X
x
x
x
x
x
X
x
x
x
x
x
1
2
3
4
6
8
10
14
1
2
3
4
6
8
10
14
1
2
3
4
6
8
10
14
1
2
3
4
6
10
14
1
2
3
4
6
8
10
14
x
8
x
X
x
x
x
x
x
X x x x x x Gambar 2. Titik-titik Pengambilan Sampel dalam Satu Plot. Nb : angka pada gambar adalah minggu pengambilan sampel.
3.4. Pelaksanaan Penelitian 3.4.1. Persiapan Awal Kotoran sapi yang masih segar disiapkan pada sebuah lahan penempatan kotoran sapi. Kotoran sapi tersebut diinkubasi dan dikeringan selama kurang lebih dua minggu. Kemudian kotoran tersebut disaring dengan saringan berukuran 0.5 cm. Selama penyiapan kotoran sapi tersebut dilakukan pengambilan contoh tanah awal yang akan digunakan untuk analisis awal di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah. Lahan selebar 12 x 72 m dibagi menjadi enam petak dengan masingmasing petak berukuran 12 x 8 m. Setiap petak terdiri dari 11 baris. Jarak parit antar petak adalah 80 cm. Setelah dua minggu inkubasi kotoran sapi tersebut diaplikasikan ke petakpetak percobaan. Pengaplikasian dilakukan dengan menebar kotoran sapi pada petak perlakuan hanya di barisnya saja. Dosis kotoran sapi yang diaplikasikan adalah sekitar 17.45 kg per barisnya. Setelah diaplikasikan kotoran tersebut diinkubasi selama dua minggu sebelum ditanami jagung.
3.4.2. Pemilihan Tanaman dan Pemeliharaan Selama proses inkubasi dilakukan persiapan-persiapan untuk menanam. Benih yang digunakan untuk penelitian ini adalah benih jagung hibrida bisi-2. Setelah inkubasi dua minggu, benih ditanam dengan jarak tanam 80 x 40 cm. Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram tanaman dan mencabuti gulma. Penggunaan pestisida dilakukan jika terlihat ada gejala terserang hama atau penyakit.
3.4.3. Pengambilan Contoh Tanah Contoh tanah yang diambil adalah contoh tanah berdasarkan periode minggu setelah tanam. Sampel tanah diambil dengan cara soil composit yaitu mengambil sampel di lima titik secara acak. Pengambilan sampel dilakukan pada minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, dan 14. Sampel-sampel tanah ini segera ditaruh dalam freezer sampai analisis dilakukan.
3.4.4. Analisis Laboratorium Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimia tanah awal. Contoh tanah komposit yang diambil dikeringudarakan, dihaluskan dan disaring dengan menggunakan saringan ukuran 2 mm. Setelah itu, analisis pendahuluan dilakukan. Analisis pendahuluan meliputi pH H2O 1:1 yang diukur dengan alat pH meter, C-organik yang diperoleh dengan metode Walkley dan Black, P-tersedia yang diperoleh dari hasil ektraksi dengan metode Bray I, P potensial yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan HCl 25 %, KTK dan basa-basa yang dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na) yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan 1 N NH4OAc pH 7, Al dan H yang dapat ditukar yang diperoleh dari hasil ektraksi dengan 1 N KCl, N-total yang diperoleh dari hasil destruksi dengan metode N-Kjeldahl, dan kadar Fe, Cu, Zn, Mn yang diperoleh dari ektraksi dengan 0.05 N HCl, serta tekstur tanah yang diperoleh dengan menggunakan metode pipet. Kejenuhan basa (KB) diperoleh dengan menghitung nisbah total basa-basa dapat ditukar terhadap KTK tanah dan dieskpresikan dalam persen. Analisis kotoran sapi untuk pH, C-organik, P-total dan kadar abu juga dilakukan. C-organik kotoran sapi diperoleh dengan menggunakan metode Walkley dan Black, N-total diperoleh dengan destruksi menggunakan metode NKjeldahl, dan P-total diperoleh dari destruksi menggunakan asam-asam kuat HclO4 dan HNO3. Analisis untuk NH4+ dan HNO3 diperoleh dengan ekstraksi menggunakan 1 N KCl kemudian didestilasi dan dititrasi.
3.4.5. Analisis Data Data hasil analisis pH, C-organik, NH4+, dan NO3- selama masa inkubasi kemudian diolah dan dievaluasi dengan menggunakan software dengan menggunakan persamaan first order kinetic: N = Nm * (1-exp(-kt)) Keterangan : N
= Konsentrasi N tersedia (mg kg-1)
Nm
= N yang berpotensi termineralisasi (mg kg-1)
k
= Konstanta kecepatan mineralisasi (minggu-1)
t
= Waktu (minggu)
Sigma Plot
IV.
4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi
4.1.1. Kakteristik Ultisol Gunung Sindur Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah disajikan pada tabel.1. Status sifat kimia tanah yang diteliti berdasarkan kriteria Balai Penelitian Tanah (2009).
Tabel 1. Data Analisis Awal Ultisol Gunung Sindur No
Analisis
Metode
Hasil
1
pH pH H2O
pH meter
5.4
2
C-organik
Walkley dan Black
2.31
%
Sedang
3
N-total
N-Kjeldahl
0.22
%
Sedang
4
P-tersedia Bray I
12.1
Mg kg-1
P-Bray I P-HCl 25 % 5
Satuan
Status Hara
Masam
Tinggi -1
HCl 25%
447
Mg (100g)
NH4OAc pH 7.0
1.43
Cmol+ kg-1
Tinggi
basa-basa Ca Mg K Na
NH4OAc pH 7.0 NH4OAc pH 7.0 NH4OAc pH 7.0
1.33 0.19 0.18
Sangat Rendah
+
-1
Sedang
+
-1
Rendah
+
-1
Sedang
+
-1
Cmol kg Cmol kg Cmol kg
6
KTK
NH4OAc pH 7.0
16.8
Cmol kg
Sedang
7
KB
NH4OAc pH 7.0
20.8
%
Rendah
+
-1
8
Al
KCl 1 N
0.38
Cmol kg
9
H
KCl 1 N
0.22
Cmol+ kg-1
10
unsur mikro Fe
HCl 0.05 N
3.60
Mg kg-1
Cu
HCl 0.05 N
2.40
Zn
HCl 0.05 N
4.56
Mn
HCl 0.05 N
12.5
tekstur
pipet
-----
11
Mg kg-1
pasir
5.38
%
debu
53.6
%
liat
41.0
%
Status sifat kimia tanah dinilai berdasarkan kriteria Soepratohardjo et al. (1983). Ultisol di Gunung Sindur ini mempunyai pH yang tergolong masam. Kapasitas tukar kation (KTK) masuk dalam kategori sedang sementara kejenuhan basa (KB) masuk dalam kategori rendah. Kejenuhan Al termasuk rendah. N-total dan C-organik masuk dalam kategori sedang. P-tersedia yang diukur dengan metode Bray 1 pada tanah ini tergolong tinggi. Dari hasil analisis pendahuluan Ultisol Gunung Sindur relatif lebih subur dibandingkan dengan lahan kering masam pada umumnya. Hal ini karena pemupukan organik di tempat ini telah lama dilakukan.
4.1.2. Karakteristik Kotoran Sapi Yang Digunakan Kotoran sapi dianalisis untuk mengetahui sifat kimianya. Kadar air kotoran sapi didapat sebesar 26.1 %. Analisis C-organik dengan metode pengabuan kering didapat nilai sebesar 32.3 %. Kadar abu yang juga diukur dengan metode pengabuan kering didapat sebesar 44.2 %. Analisis N-total dengan metode NKjeldahl didapatkan hasil sebesar 0.74 %. Analisis P total dari destruksi menggunakan asam-asam kuat HClO4 dan HNO3 didapatkan hasil 0.44 %. Nisbah C/N kotoran sapi didapatkan hasil sebesar 43.7, nisbah C/N yang tinggi ini menunjukan bahwa kotoran sapi yang akan digunakan ini belum matang.
Tabel 2. Analisis Kotoran Sapi Jenis Analisis KA
Hasil (%) 26.1
C-organik
32.3
Kadar abu
44.2
N-total
0.74
P-total
0.44
4.2
Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar Corganik Ultisol Gunung Sindur Data hasil analisis C-organik pada minggu-minggu pengamatan disajikan
pada Tabel 3 dan Gambar 3. Pada minggu ke-1 sampai minggu ke-6 rata-rata kadar C-organik di dalam tanah pada petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 terus mengalami peningkatan dengan puncaknya pada minggu ke-6. Kadar Corganik pada petak percobaan mulai menurun pada minggu ke-7. Pada minggu ke8 baik petak perlakuan maupun petak kontrol mengalami titik dimana jumlah kadar C-organik hampir sama, hal ini mungkin dikarenakan tingginya curah hujan. Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan kotoran sapi yang terdapat pada tanah tercuci. Kadar C-organik di Ultisol Gunung Sindur mulai stabil menuju pada kadar C-organik semula pada minggu ke-14. Hal ini tidak berbeda dengan yang diperoleh pada penelitian yang sama di Andisol Lembang (Adistia, 2010).
Tabel 3. Perbandingan Kadar C-Organik pada Tanah dengan Perlakuan Kotoran Sapi dan Kontrol Inkubasi
Kadar C-organik (%)
Kadar C-organik (%)
(Minggu)
Kontrol
Perlakuan
1
1,07
1,21
2
1,10
1,92
3
1,15
2,05
4
2,19
2,62
6
2,91
3,07
8
1,92
1,98
10
1,60
1,55
14
1,45
1,61
3.50
Kadar c-organik (%)
3.00 2.50 2.00 1.50
Kontrol
1.00
Perlakuan
0.50 0.00 1
2
3
4
6
8
10
14
Minggu
Gambar 3. Kadar C-organik Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu. 4.3 Pengaruh Pemberian Kotoran Sapi pada Perubahan Kadar NH4+ (amonium) dan NO3- (nitrat) pada Ultisol Gunung Sindur. Data hasil pengukuran amonium dari minggu ke-1 sampai minggu ke-14 disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 4. Tabel 4 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar amonium meningkat sampai minggu ke-4. Mulai minggu ke-5 kadar amonium menurun dan stabil menuju ke kadar amonium semula. Nilai kadar amonium petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 dan kontrol mengalami kesetimbangan pada minggu ke-14. Hubungan antara kadar amonium dan waktu pengambilan sampel tidak dapat disimulasikan dengan menggunakan persamaan first order kinetic karena bentuk kurvanya yang tidak memenuhi syarat first order kinetic. Hal ini mungkin karena amonium bukan hasil akhir dari mineralisasi nitrogen. Dari data amonium dan nitrat, sebagian besar mineralisasi nitrogen terakumulasi menjadi nitrat. Hal ini ditunjukkan nilai nitrat yang jauh lebih tinggi dibandingkan amonium.
Tabel 4. Perbandingan Kadar NH4+ pada Tanah Petak Kontrol dengan Petak Kotoran Sapi. Kadar NH4+ (mg kg-1)
Inkubasi (Minggu)
Petak Kontrol
Petak Kotoran Sapi
1
25.8
32.1
2
31.0
45.1
3
43.5
58.9
4
49.6
68.1
6
49.8
64.1
8
47.0
57.8
10
43.1
46.9
14
35.2
36.8
Kadar NH4 + (mg kg-1)
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00
Kontrol
30.00
Perlakuan
20.00 10.00 0.00 0
5
Minggu 10
15
Gambar 4. Kadar NH4+ Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu. Kadar nitrat disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 5. Kadar nitrat meningkat dengan meningkatnya minggu inkubasi. Kadar nitrat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai amonium baik pada petak kontrol dan petak perlakuan.
Tabel 5. Perbandingan Kadar NO3- pada Tanah Petak Kontrol dengan Petak Kotoran Sapi. Kadar NO3- (mg kg-1)
Inkubasi (Minggu)
Petak kontrol
Petak kotoran sapi
1
259
257
2
347
356
3
407
428
4
405
446
6
485
573
8
504
609
10
540
639
14
462
603
700
NO3 (ppm)
600 500 400 Perlakuan 300 Kontrol 200 100 0 0
5
10
15
waktu (minggu)
Gambar 5. Kadar NO3- Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu. Tingginya nitrat dibandingkan dengan amonium terkait dengan pH tanah. Hasil analisis pH disajikan pada Gambar 6, menunjukkan bahwa pH lokasi percobaan adalah sekitar 5. Sementara pH tanah petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 lebih tinggi sekitar 0.7 satuan pH dibandingkan dengan kontrol sampai minggu ke-10. pH tanah baik di petak kontrol dan petak percobaan relatif tidak
terlalu masam (agak masam). Kemudian fosfor tersedia di plot percobaan relatif tinggi. Kondisi ini menguntungkan reaksi nitrifikasi, dimana NH4+ cepat berubah menjadi nitrat (Funakawa et al., 2008). Hal inilah yang menyebabkan kadar nitrat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan amonium. 5.8 5.6
pH
5.4 5.2 Plot kontrol
5
Plot perlakuan
4.8 4.6
1
2
3
4
6
8
10
14
waktu (minggu)
Gambar 6. pH Tanah pada Petak Kontrol dan Petak Perlakuan selama 14 Minggu. Hubungan antara kadar nitrat dan waktu pengambilan sampel secara sangat baik digambarkan dengan persamaan first order kinetic. Tabel 6 menyajikan nilai konstanta kecepatan mineralisasi N dan N potensial yang dapat dimineralisasi menjadi nitrat. Tabel 6. Konstanta Kecepatan dan N maximum yang dapat dimineralisasi menjadi nitrat Perlakuan
Kontrol Kotoran sapi (20 ton ha-1)
N yang berpotensi termineralisasi (mg kg-1) 494
K (minggu-1)
R2
0.61
0.89**
620
0.41
0.95**
** sangat nyata
Dari Table 6 dapat dilihat bahwa potensi N yang berpotensi termineralisasi menjadi nitrat pada perlakuan kotoran sapi lebih besar dan mempunyai konstanta kecepatan yang lebih lambat dibandingkan dengan kontrol. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian kotoran sapi meningkatkan N yang berpotensi termineralisasi menjadi nitrat.
Dari hasil simulasi dengan pesamaan kinetik oder pertama, bahwa N yang berpotensi termineralisasi pada petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 akan seluruhnya menjadi nitrat pada minggu ke-14. N-tersedia yang merupakan jumlah amonium dan nitrat disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7. Tabel 7 dan gambar 7 menunjukkan bahwa mulai dari minggu pertama kadar N-tersedia pada petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 selalu lebih tinggi dibandingkan dengan petak kontrol. Penambahan bahan organik pada tanah mempengaruhi kadar N-tersedia di tanah, hal ini terlihat pada perbedaan jumlah N-tersedia pada petak kontrol dan petak perlakuan yang diberikan kotoran sapi. Pada minggu ke-14, N yang berpotensi menjadi N tersedia habis termineralisasi.
Tabel 7. Perbandingan Jumlah N-tersedia pada Plot Kontrol dan Plot Kotoran Sapi. Inkubasi
N-tersedia (amonium + nitrat) (mg kg-1)
(Minggu)
Total Kontrol (mg kg-1)
Total Perlakuan (mg kg-1)
1
284
290
2
378
401
3
450
487
4
454
514
6
535
609
8
551
656
10
583
697
14
498
640
800.00
N-tersedia (ppm)
700.00
N-tersedia kontrol
600.00 500.00 400.00 300.00
Perlakuan Ntersedia
200.00 100.00 0.00 0
5 10 Waktu (minggu)
15
Gambar 7. Kadar N-tersedia pada plot kontrol dan plot perlakuan selama 14 minggu. Hubungan antara kadar N-tersedia dan waktu pengambilan sampel secara sangat baik digambarkan dengan persamaan first order kinetic. Tabel 8 menyajikan nilai konstanta kecepatan mineralisasi N dan N potensial yang dapat dimineralisasi menjadi N-tersedia. Tabel 8. Konstanta kecepatan dan N maximum yang dapat dimineralisasi menjadi N-tersedia Perlakuan
Kontrol Kotoran sapi (20 ton ha-1)
N yang berpotensi termineralisasi (mg kg-1) 538
K (minggu-1)
R2
0.63
0.90**
665
0.46
0.96**
** sangat nyata
Jumlah N yang berpotensi termineralisasi menjadi N-tersedia pada perlakuan kotoran sapi adalah 665 mg kg-1. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan kontrol yang mempunyai jumlah N yang berpotensi termineralisasi sebanyak 538 mg kg-1. Konstanta kecepatan pada petak perlakuan kotoran sapi sebesar 0.46 minggu-1 dimana lebih lambat dibandingkan dengan kontrol yang
mempunyai konstanta kecepatan 0.63 minggu-1. Jumlah N yang berpotensi termineralisasi pada petak perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 di Ultisol Gunung Sindur lebih besar dan mempunyai konstanta kecepatan yang juga lebih besar dibandingkan pada Andisol Lembang yang mempunyai jumlah N yang berpotensi termineralisasi sebesar 560 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.23 minggu-1 (Adistia, 2010). N yang berpotensi termineralisasi akan habis termineralisasi pada minggu ke-14 sama halnya dengan yang termineralisasi menjadi nitrat. Sementara untuk Andisol adalah 30 minggu (Adistia, 2010). Waktu yang dibutuhkan untuk N yang berpotensi termineralisasi pada perlakuan kotoran sapi di Ultisol Gunung Sindur lebih cepat dibandingkan dengan Andisol Lembang mungkin disebabkan karena perbedaan karakteristik iklim. Di Gunung Sindur lebih panas dibandingkan dengan Lembang.
V.
5.1
KESIMPULAN
Kesimpulan Pemberian kotoran sapi pada tanah memberi efek perubahan C-organik
dan N-tersedia. Kenaikan C-organik pada perlakuan 20 ton ha-1 kotoran sapi adalah karena proses dekomposisi kotoran sapi yang melepaskan C-organik dan pelepasan eksudat akar oleh tanaman. Kadar C-organik pada lahan perlakuan 20 ton ha-1 kotoran sapi dan kontrol tanpa perlakuan berkesetimbangan pada minggu ke 14. Kadar amonium petak perlakuan 20 ton ha-1 selalu lebih tinggi dibandingkan kontrol, nilai kadar amonium plot perlakuan 20 ton ha-1 sama dengan kontrol terjadi pada minggu ke 14 setelah tanam. Kadar nitrat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan amonium. Hubungan antara kadar amonium dan waktu pengambilan sampel tidak dapat disimulasikan dengan menggunakan persamaan first order kinetic karena bentuk kurvanya yang tidak memenuhi syarat first order kinetic. Hal ini mungkin karena amonium bukan hasil akhir dari mineralisasi nitrogen. Persamaan first order kinetic dengan sangat baik dapat mensimulasikan proses mineralisasi N menjadi nitrat dan N-tersedia pada tanah Ultisol Gunung sindur. N yang berpotensi termineralisasi menjadi nitrat di bawah pertanaman jagung pada tanah tanpa perlakuan di Gunung Sindur adalah 494 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.61 minggu-1 sementara pada perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 adalah sebesar 620 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.41 minggu-1. Untuk N-tersedia, N yang berpotensi termineralisasi di bawah pertanaman jagung pada tanah tanpa perlakuan adalah 538 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.63 minggu-1 sementara pada perlakuan kotoran sapi 20 ton ha-1 adalah 665 mg kg-1 dengan konstanta kecepatan 0.46 minggu-1. Hasil ini menyebutkan kesetimbangan Ultisol Gunung Sindur dengan pemberian 20 ton ha-1 kotoran sapi pada pertanaman jagung untuk karbon organik, nitrat, dan nitrogen tersedia tercapai pada minggu ke-14. Mineralisasi N-organik menjadi nitrat dan N-tersedia dapat dengan baik disimulasikan dengan persamaan first order kinetic.
5.2
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada tanah yang berbeda untuk
mendapatkan faktor-faktor tanah yang berpengaruh terhadap N potensial yang dapat dimineralisasi dan konstanta kecepatan mineralisasi. Kemudian perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang mobilitas bentuk N yang tersedia hasil mineralisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adistia, L. 2010. Pemberian Kotoran Sapi pada Pertanaman Jagung (Zea mays): Dinamika Perubahan Kadar C-organik dan N-tersedia pada Andosol Lembang. Skripsi. Sarjana Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Akinyemi, O. 2001. Effect of co-applied cowdung and inorganic nitrogen on microbial respiration in soil under laboratory conditions.Commun. Soil Sci. Plant Anal, 32:3229-3242. Awodun, M. A. 2008. Effect of nitrogen released from rumen digesta and cow dung on soil and leaf nutrient content of Gboma (Solanum Marcocarpon L.). Journal of Applied Biosciences, 7:202-206. Brady, C. N. 1990. The Nature and Properties of Soils. Tenth Edition. Macmillan Publishing Company. New York. Funakawa, S., M. Makhrawie, and H. B. Pulunggono. 2009. Soil fertility status under shifting cultivation in East Kalimantan with special reference to mineralization patterns of labile organic matter. Plant Soil, 319: 57-66. Gale, E. S., M. Sullivan, C. G. Cogger, A. I. Bary, D. D. Hemphill, and E.A. Myhre. 2006. estimating plant-available nitrogen release from manures, compost, and specialty products. J. environ. Qual, 35 : 2321-2332. Gana, A. K. 2009. Evaluation of the residual effect of cattle manure combinations with inorganic fertilizer and chemical weed control on the sustainability of chewing sugarcane production at Badeggi Southern Guinea Savanna of Nigeria. Middle-East Journal of Scientific Research, 4:282-287. Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hartono, A., S. Funakawa, and T. Kosaki. 2005. Phosporus sorption-desortion characteristics of selected acid upland soils in Indonesia. Soil Sci. and Plant Nutr., 51: 787-799. Inoko, A. 1982. The Composting of Organic Materials and Associated Maturity Problems. Food and Fertilizer Technology Center. Departement of soils and Fertilizers. National Institute of Agriculture Sciences, Japan. Tech. Bul, 71:4. Miranda, F. S., H. Eckersten, and M. Wivstad. 2008. Net N mineralization of an Andosol influenced by chicken and cow manure applications in a maizebean rotation in nicaragua. Sci. Resear. and Ess, 3(7) : 280-286.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2002. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Pusat Penelitian Tanah. 1981. Jenis dan macam Tanah di Indonesia untuk Leperluan Survai dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Terms Of Reference. Type A. No. 28/1981 P3MT-PPT. Bogor. Indonesia. Simanjuntak, R. H.2005. Pengaruh Pemberian Bahan Organik, Kapur, dan Belerang terhadap Produksi Biomassa, Kadar dan Serapan Belerang pada Tanaman Jagung(Zea mays) di Tanah Podsolik (Typic Hapludults) Jasinga. Skripsi. Sarjana Fakultas Pertanian Institut Pertania Bogor. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soepraptohardjo. 1961. Jenis-jenis Tanah di Indonesia. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor. Suhardjo, H., Soepartini, dan Kurnia. 1993. Bahan Organik Tanah dalam Informasi Penelitian Tanah,Air, Pupuk, dan Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Syukur, A., dan Harsono. 2008. pengaruh pemberian pupuk kandang dan NPK terhadap beberapa sifat kimia dan fisika tanah pasir pantai samas bantul. J. Tanah lingk., Bogor. 8:143. Tan, K. H. 1984. Principles of Soil Chemistry. Van Nostrand Reinhold Company. New York. Tisdale SL, Nelson WL, and Beaton JD. 1990. Soil Fertility and Fertilizers, 4th ed.Macmillan Publishing Company. New York.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisis pH H2O dengan pH Meter 1. Timbang 10 gram tanah, masukkan ke dalam botol kocok. 2. Tambahkan air destilata 10 ml. 3. Kocok selama 30 menit dengan mesin pengocok. 4. Ukur nilai pH dengan menggunakan pH meter. Lampiran 2. Prosedur Penetapan NH4+ dengan Metode Destilasi-Titrasi 1. Timbang 10 gram tanah yang lolos saringan 0.05 mm. 2. Tempatkan pada botol kocok berukuran 200 ml. 3. Tambahkan 50 ml larutan KCl+HCl 1 N, kemudian kocok selama 30 menit. 4. Saring larutan dengan menggunakan kertas saring kemudian tamping pada botol penampung. 5. Pipet 10 ml larutan ekstrak ke dalam labu destilasi. 6. Tambahkan MgO sebanyak ± satu sudip kemudian tambahkan 100 ml air destilata. 7. Untuk penampungnya, pipet 10 ml H3BO3 1 % pada labu Erlenmeyer 250 ml, kemudian tambahkan 5 tetes indicator Conway. 8. Destilasi dilakukan hingga ekstrak yang tertampung mencapai 75 ml. 9. Hasil destilasi kemudian di titrasi dengan HCl 0.05 N. Titik akhir titrasi dicapai ketika warna berubah menjadi merah anggur. 10. Lakukan juga untuk penetapan blanko dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan contoh tanah. 11. Hitung kadar NH4+ dengan menggunakan rumus :
(ppm)=
Lampiran 3. Prosedur Penetapan NO3- dengan Metode Destilasi-Titrasi 1. Larutan ekstrak dipipet 10 ml dari larutan ekstrak yang telah dilakukan untuk menetapkan NH4+ (dari langkah 1-4) ke dalam labu destilasi. 2. Tambahkan devarda sebanyak satu sudip. 3. Tambahkan 1 ml etanol, kemudian langsung ditambahkan 100 ml air destilata. 4. Tambahkan 5 ml NaOH 50 % ke dalam labu destilasi. 5. Untuk penampungnya, pipet 10 ml H3BO3 1 % pada labu Erlenmeyer 250 ml, kemudian tambahkan 5 tetes indicator Conway. 6. Destilasi dilakukan hingga ekstrak yang tertampung mencapai 75 ml. 7. Hasil destilasi kemudian di titrasi dengan HCl 0.05 N. Titik akhir titrasi dicapai ketika warna berubah menjadi merah anggur. 8. Lakukan juga untuk penetapan blanko dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan contoh tanah. 9. Hitung kadar NO3- dengan menggunakan rumus :
(ppm)=
Lampiran 4. Prosedur Penetapan C-organik dengan Metode Walkley dan Black 1. Timbang tanah 0.5 gram yang lolos saringan 0.05 mm. 2. Tempatkan tanah dalam labu Erlenmeyer 500 ml. 3. Pipet 10 ml K2Cr2O7 1 N ke dalam erlenmeyer, goyang secara perlahan hingga tanah terdispersi dalam larutan. 4. Tambahkan 20 ml H2SO4 pekat ke dalam Erlenmeyer. Goyang dengan cepat. Usahakan agar tidak ada partikel tanah yang terlempar ke dinding labu Erlenmeyer. Diamkan campuran tersebut selama 30 menit. 5. Tambahkan 100 ml air destilata ke dalam erlenmeyer. Diamkan 30 menit hingga dingin. 6. Tambahkan 4-5 tetes indicator ferroin 0.025 M.
7. Titrasi dengan FeSO4 0.5 N. titik akhir titrasi dicapai jika larutan berubah warna menjadi merah anggur. 8. Buat titrasi untuk blanko juga dengan cara yang sama tetapi tidak dengan contoh tanah. 9. Hitung kadar C-organik dengan rumus : C-organik(%)=
!
Lampiran 5. Prosedur Penetapan C-organik Kotoran Sapi dengan Metode Pengabuan Kering 1. Timbang cawan yang akan digunakan untuk sampel yang akan di oven. Catat beratnya (A). 2. Timbang cawan (1) bersama dengan sampel kotoran sapi. Sampel kotoran sapi yang digunakan timbang sekitar 5 gram (B). 3. Oven selama 24 jam dengan suhu 105˚C. 4. Setelah 24 jam, timbang lagi berat cawan dan sampel tersebut. Catat nilainya (C). 5. Masukkan ke dalam tanur dengan suhu 700˚C untuk proses pembakaran selama 2 jam. 6. Diamkan selama ± 1 hari, buka tanurnya. Timbang beratnya (D). 7. Hitung kadar bahan organik dan kadar abunya dengan rumus : " # Organik(%)= ! $
Kadar abu(%)=
"# #
%
%
Lampiran 6. Prosedur Penetapan N-total Kotoran Sapi dengan Metode NKjeldahl 1. Timbang 0.5 gram kotoran sapi 2. Masukkan sampel tersebut ke dalam labu digestion 3. Tambahkan campuran Se sebanyak satu sudip ke dalam labu digestion
4. Tambahkan H2SO4 pekat 5 ml 5. Digestion selama 1 jam atau hingga sampel berubah warna menjadi kehijauan. 6. Lanjutkan digestion hingga ± 15 menit. Matikan alat digestion. Tunggu hingga agak dingin. 7. Masukkan sampel ke dalam labu destilasi. 8. Tambahkan air destilata ± 100 ml ke dalam labu destilasi 9. Kemudian tambahkan NaOH 50% sebanyak 20 ml 10. Untuk penampungnya, pipet 10 ml H3BO3 1 % pada labu Erlenmeyer 250 ml, kemudian tambahkan 5 tetes indicator Conway. 11. Destilasi dilakukan hingga ekstrak yang tertampung mencapai 75 ml. 12. Hasil destilasi kemudian di titrasi dengan HCl 0.05 N. Titik akhir titrasi dicapai ketika warna berubah menjadi merah anggur. 13. Lakukan juga untuk penetapan blanko dengan cara yang sama tetapi tanpa menggunakan contoh kotoran sapi. 14. Hitung kadar N-total dengan menggunakan rumus
N-total(%)=
Lampiran 7. Parameter Sifat Kimia Tanah Parameter tanah C (%) N (%) P2O5 HCl 25% (mg/100g) P2O5 Bray (ppm P) KTK (cmol (+)/100g) susunan kation Ca (cmol(+)/kg) Mg (cmol(+)/kg) K (cmol(+)/kg) Na (cmol(+)/kg) KB (%) kejenuhan Al (%) (Balai Penelitian Tanah,2005)
Tinggi 3-5
Sangat tinggi >5
0.1-0.2 5-10 5-7 5-16
Nilai Sedang 2-3 0.210.5 11-15 8-10 17-24
0.51-0.75 16-25 11-15 25-40
>0.75 >25 >15 >40
2-5 0.4-1 0.1-0.3 0.1-0.3 20-40 5-10
6-10 1.1-2.0 0.4-0.5 0.4-0.7 41-60 11-20
11-20 2.1-8.0 0.6-1.0 0.8-1.0 61-80 20-40
>20 >8 >1 >1 >80 >40
Sangat rendah <1
Rendah 1-2
<0.1 <5 <4 <5 <2 <0.3 <0.1 <0.1 <20 <5
Parameter Kemasaman Tanah sangat masam masam pH H2O <4.5 4.5-5.5 (Balai Penelitian Tanah,2005)
agak masam 5.5-6.5
netral 6.5-7.5
agak alkalis 7.6-8.5
alkalis >8.5