TESIS
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU (Zea Mays) MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR MMP-1 DAN PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR UV-B
RINI DIANASARI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU (Zea Mays) MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR MMP-1 DAN PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR UV-B
RINI DIANASARI NIM : 1290761017
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU (Zea Mays) MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR MMP-1 DAN PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR UV-B
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
RINI DIANASARI NIM : 1290761017
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
Lembar Persetujuan Pembimbing/promotor TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 27 NOVEMBER 2014
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP 194612131971001
Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K),FINSDV,FAADV NIP .1956091219841211001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS NIP 194612131971001
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 19590215985102001
iii
Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis
Tesis ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana pada Tanggal : 27 November 2014
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No :................. Tanggal : ................. Panitia penguji Tesis adalah: Ketua : Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And, FAACS Anggota : 1. Dr.dr.A.A.G.P .Wiraguna,SpKK (K), FINSDV,FAADV 2. Prof.dr.I Gusti Made Aman, Sp. FK 3. Dr.dr.Ida Sri Iswari,Sp.MK.M.Kes 4. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Rini Dianasari
NIM
: 1290761017
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Judul Tesis
:
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU(Zea Mays L) MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR MMP 1 DAN PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR UV-B Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 27 November 2014 Yang membuat Pernyataan
( Rini Dianasari )
*Coret yang tidak perlu
v
UCAPAN TERIMAKASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT, karena rahmat dan karunia-Nya penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “Pemberian Krim Ekstrak Jagung Ungu (zea mays) Menghambat Peningkatan Kadar MMP-1 dan Penurunan Jumlah Kolagen pada Tikus Wistar (rattus norvegicus)Yang Dipapar Sinar UV-B” dapat berjalan lancar sesuai waktu yang direncanakan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir belajar untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana. Dengan selesainya laporan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat serta penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan fasilitas pendidikan dan kesempatan kepada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan yang sama ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, SpS(K) sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Budhiarsa, MA selaku Asdir I dan Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, PhD selaku Asdir II atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa di Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila SpAnd. FAACS, sebagai pembimbing I yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti program magister , khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna,SpKK(K),FINSDV,FAADV sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan saran dengan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, Prof. dr. N Tigeh Suryadhi,MPH,PhD , Dr. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes. selaku penguji yang secara teliti mengkoreksi tesis ini dan memberikan masukan yang positif baik saat akan mulai penelitian sampai penulisan, untuk lebih menyempurnakan laporan ini. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. I.Gusti Kamasan Nyoman Arijana, M.si.Med dan seluruh staf laboratorium di histologi yang membimbing, memberi saran, masukan sehubungan pelaksanaan pemeriksaan histologi laboratrium serta analisanya sehingga penelitian ini dapat berjalan lancar. Tak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Drs. I Ketut Tunas, Msi yang sangat banyak membantu terutama memberikan masukan, saran, terutama dalam analisa statistik sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada dr. Bayu Dwi Siswanto M.Si ,Dipl. Cid selaku pemilik PT Syifa Bio Derma yang membantu dan membimbing pada saat pembuatan krim ekstrak jagung ungu.
vi
Tak lupa penulis juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Bapak Yoga yang sudah banyak membantu dalam pembuatan ekstrak murni jagung ungu Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya juga saya sampaikan kepada Para dosen dan pengajar Ilmu Biomedik FK UNUD, dan seluruh karyawan bagian Ilmu Biomedik serta semua pihak yang telah membantu selama pendidikan, penelitian dan penulisan tesis ini, dengan rendah hati saya ucapkan beribu terimakasih. Tidak lupa penulis ucapkan kepada Bapak I Gede Wiranata yang selalu menyumbang pikiran positif serta memberi bantuan tanpa kenal lelah dari saat pemeliharaan tikus, melakukan biopsi sampai pengiriman hasil biopsi sehingga penelitian berjalan lancar. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Ayahanda Drs. Soepono (Alm) dan Ibunda Hj. Mun Komariah yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, menanamkan nilai-nilai luhur, sehingga tercipta suasana yang baik untuk berkembangnya intelektualitas, kreativitas dan kejujuran. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak mertua Drs. H. Muchsin Alwi MPH dan Ibu mertua Hj. S. Anisah atas dorongan dan dukungannya kepada penulis dalam menempuh pendidikan ini. Serta tak lupa kepada kakak-kakak dan adik-adik atas doa dan dukungannya selama ini. Akhirnya penulis sampaikan kepada suami tercinta Aria Suyudi , SH,LLM yang dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu mendampingi penulis selama ini, serta anak-anak tersayang Shalina Diandraissa Suyudi, Sultan Devino Suyudi dan Sybrant Drienardsyah Suyudi yang dengan penuh kerelaan dan pengorbanan membantu penulis untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan naskah tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada teman-teman di Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana, khususnya teman-teman angkatan 2012, atas motivasi, semangat dan kebersamaannya. Kekurangan adalah milik manusia, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Saran dari berbagai pihak akan penulis terima dengan hati terbuka untuk kelengkapan dan lebih baiknya laporan tesis ini. Semoga semua yang baik dari segala penjuru bersatu di dalam hati kita semua. Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada kita semua, Amin.
Denpasar, 19 November 2014
Rini Dianasari
vii
ABSTRAK
PEMBERIAN KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU (Zea Mays) MENGHAMBAT PENINGKATAN KADAR MMP-1 DAN PENURUNAN JUMLAH KOLAGEN PADA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) YANG DIPAPAR SINAR UV-B Pembentukan radikal bebas adalah mekanisme penting yang menyebabkan penuaan kulit. Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif dengan elektron tidak berpasangan yang dapat langsung merusak berbagai membran sel struktural, lipid, protein dan DNA. Antioksidan adalah zat yang dapat memberikan perlindungan dari tekanan oksidatif endogen dan eksogen oleh radikal bebas. Jagung Ungu mengandung asam fenolik, vitamin C dan antosianin. Antosianin merupakan kandungan utama pada jagung ungu dan merupakan antioksidan yang dapat menghambat proses penuaan kulit pada tikus yang dipapar sinar UV- B. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan efektivitas pemberian krim ekstrak jagung ungu dalam menghambat peningkatan kadar MMP-1 dan penurunan jumlah kolagen pada tikus wistar (Rattus norvegicus) yang dipapar sinar UV-B. Penelitian ini adalah merupakan animal experimental dengan post test only control group design. Sebanyak 36 ekor tikus dibagi menjadi 2 kelompok yang masing-masing terdiri dari 18 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol diolesi krim plasebo dan kelompok perlakuan diolesi krim ekstrak jagung ungu 50%. Semua kelompok dipapar sinar UV- B dengan dosis total 840 mJ/cm² selama 4 minggu, kemudian dilakukan biopsi untuk pemeriksaan kadar MMP-1 dan jumlah kolagen dermis. Hasil Uji Shapiro-Wilk dan Levene’test menunjukkan bahwa distribusi data kedua kelompok berdistribusi normal dan varian-nya homogen dengan p ≥ 0,05. Hasil analisis komparatif kedua kelompok dengan menggunakan tindependent test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara bermakna antara kedua kelompok baik itu rerata kadar MMP-1 maupun jumlah kolagen kedua kelompok dengan p < 0,05. Rerata jumlah kolagen dan rerata kadar MMP-1 perlakuan-2 masing-masing sebesar 71,7% dan 1,9 g/ml . Kelompok perlakuan-1 yang menunjukkan rerata jumlah kolagen dan rerata kadar MMP-1 masingmasing sebesar 65,54 % dan 3,22 g/ml. Simpulan penelitian adalah pemberian krim ekstrak jagung ungu 50 % menghambat peningkatan kadar MMP-1 dan penurunan jumlah kolagen dermis pada kulit tikus yang dipapar sinar UV-B. Kata kunci: Antosianin, krim ekstrak jagung ungu 50 %, kadar MMP-1, jumlah kolagen dermis, sinar UV-B.
viii
ABSTRACT
TOPICAL APPLICATION OF PURPLE CORN (Zea Mays L ) EXTRACT CREAM INHIBITS THE ELEVATION OF MMP-1 LEVEL AND THE DECLINE OF COLLAGEN AMOUNT ON WISTAR MICE (Rattus norvegicus) EXPOSED TO UV-B RAY
Formation of free radicals is an important mechanism causing skin aging. Free radicals are highly reactive molecules with unpaired electrons which can directly disrupt various structures of cell membrane, lipids, proteins, and DNA. Antioxidant is a substance which is able to give protection from endogenous and exogenous oxidative pressure caused by free radicals. Purple corn contains phenolic acid, vitamin C, and anthocyanin. Anthocyanin is the main contained substance in purple corn and acts as antioxidant and able to inhibits aging process on skin surface of mice exposed with UV-B ray. The aim of this research is to prove the effectivity of administration of purple corn extract cream on inhibiting the elevation of MMP-1 level and the decrease of of collagen amount on wistar mice (Rattus norvegicus) exposed with UV-B. This research is animal experiment with post test only control group design. As many as 36 mice were divided into 2 groups containing 18 mice each, control group with appliance of placebo cream and intervention group applied with 50% purple corn extract cream. All groups were exposed with UV-B with dose of 840 mJ/cm² for 4 weeks, and biopsy were taken to examine the level of MMP-1 and collagen amount on dermis. The results of Shapiro-Wilk and Levene’s test showed that the data distribution between the two groups were normally distributed with homogenous variance and p ≥ 0,05. Comparative analysis with t-independent test showed that there is a significant difference between both groups, either on the mean level of MMP-1 or the collagen amount on both groups with p < 0,05. The mean collagen amount and mean MMP-1 level of intervention 2 are 71,7% and 1,9 g/ml, respectively . Intervention-1 group shows the mean amount of collagen and MMP-1 level are 65,54 % and 3,22 g/ml, respectively. The conclusion of this research is the administration of 50% purple corn extract cream inhibits the increase of MMP-1 level and the decrease of the amount of dermal collagen on mice’s skin exposed with UV-B. Keywords: Anthocyanin, 50% purple corn extract cream, MMP-1 level, dermal collagen amount, UV-B ray.
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ............................. ................................................................... i PRASYARAT GELAR........................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI...................................................................... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................v UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................................vi ABSTRAK (BAHASA INDONESIA)..................................................................vii ABSTRACT (BAHASA INGGRIS)....................................................................viii DAFTAR ISI ..........................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiii DAFTAR TABEL.................................................................................................xiv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ...................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................8 1.3. Tujuan Penelitian ..........................................................................................8 1.3.1. Tujuan Umum.................................................................................... 8 1.3.2. Tujuan Khusus ................................................................................... 9 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................9 1.4.1. Manfaat Keilmuan ............................................................................. 9 1.4.2. Manfaat Praktis.................................................................................. 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................10 2.1. Proses Penuaan (Aging) .............................................................................10 2.1.1 Teori Penuaan dan Faktor yang Mempengaruhi Penuaan .................. 10 2.1.2 Mekanisme Aging ............................................................................... 14 1. Tahapan subklinik (usia 25-35 tahun) ................................................. 14 2. Tahap transisi (usia 35 -45 tahun) ....................................................... 14 3. Tahap klinik (Usia 45 th ke atas) ........................................................ 15
x
2.2 Proses Penuaan Pada Kulit .........................................................................15 2.2.1. Definisi penuaan pada kulit ............................................................. 15 2.2.2. Mekanisme Penuaan Kulit............................................................... 18 2.2.3. Fenomena Penuaan pada Kulit ........................................................ 19 2.3. Sinar Ultra Violet .......................................................................................20 2.3.1 Efek Radiasi Sinar UV .................................................................... 22 2.4. Anatomi dan Fungsi Kulit Manusia ...........................................................23 2.5. Fibroblas .....................................................................................................28 2.6. Matriks Metalloproteinase .........................................................................29 2.7. Photoaging dan Mekanisme Kerusakan pada Kolagen ..............................32 2.8. Manifestasi Klinis dan Histologis pada Kulit Mengalami Photoaging ...... 36 2.9. Radikal Bebas dan Antioksidan .................................................................37 2.9.1. Radikal Bebas .................................................................................. 37 2.9.2. Antioksidan ..................................................................................... 38 2.9.2.1. Peranan Antioksidan pada Kulit yang Mengalami Kerusakan karena Pajanan Sinar UV ........................................................................... 39 3.1. Jagung Ungu (Zea Mays L) ........................................................................40 3.2. Antosianin ..................................................................................................42 3.2.1. Struktur Kimia ................................................................................. 43 3.2.2. Efek Fisiologis ................................................................................. 44 3.3. Vitamin C ...................................................................................................45 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN47 3.1. Kerangka Berpikir ...................................................................................47 3.2. Konsep Penelitian ....................................................................................49 3.3. Hipotesis Penelitian .................................................................................50 BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................51 4.1 Rancangan Penelitian ...............................................................................51 4.2. Parameter yang diamati ...........................................................................52 4.3. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................52 4.4. Populasi dan Sampel ...............................................................................53 4.4.1. Populasi ........................................................................................ 53 4.4.2. Sampel .......................................................................................... 53 4.4.3. Besar sampel dan teknik penentuan sampel ................................. 54 4.5. Variabel Penelitian .................................................................................54 4.5.1. Klasifikasi variabel ....................................................................... 54 4.5.2. Hubungan antar variabel .............................................................. 55 4.6. Definisi operasional variabel ..................................................................56 4.7. Bahan dan Instrumen Penelitian ..............................................................58
xi
4.7.1. Bahan penelitian ............................................................................. 58 4.7.2. Instrumen penelitian ....................................................................... 58 4.7.3. Hewan percobaan ........................................................................... 58 4.8. Prosedur Penelitian ..................................................................................59 4.9. Analisis Statistik ......................................................................................64 BAB V HASIL PENELITIAN ..............................................................................66 5.1. Uji Normalitas Data..................................................................................66 5.2. Uji Homogenitas Data ..............................................................................67 5.3. Kadar MMP-1 ...........................................................................................67 5.4. Jumlah Kolagen ........................................................................................68 BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN .................................................72 6.1. Subyek Penelitian ....................................................................................72 6.2. Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian .................................72 6.3. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jagung Ungu ............................................73 6.3.1. Kadar MMP-1............................................................................... 73 6.3.2. Jumlah Kolagen ............................................................................ 77 BAB VII SIMPULAN DAN SARANAN .............................................................81 7.1. Simpulan .................................................................................................81 7.2. Saran .......................................................................................................81 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................82 Lampiran 1: Prosedur Penanganan Hewan Coba ...................................................90 Lampiran 2 : Ethical Clearance ..............................................................................95 Lampiran 3 : Hasil Analisis Ektrak Jagung Ungu ..................................................96 Lampiran 4 : Analisa Statistika ..............................................................................97 Lampiran 5 : Foto Aktifitas Penelitian ...................................................................98
xii
Daftar Gambar Gambar 2. 1 Model Mekanisme Photoaging (Helfrich et al., 2008) .................... 31 Gambar 2. 2 Model Hipotesis Patofisiologi Solar Scar (Fischer, 2001) ............... 35 Gambar 2. 3 Jagung Ungu (Varien Moos, 2013) .................................................. 41 Gambar 2. 4 Struktur 6 Jenis Antosianidin, dalam Bentuk Glukosida dengan Glukosa ................................................................................................................. 43 Gambar 4. 1 Rancangan The Randomized Post-test Only Control Group...........51 Gambar 4. 2 Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian ................................... 55 Gambar 5. 3. Jumlah kolagen pada Jaringan Dermis Tikus dengan Pengecatan Picro Sirius Red......................................................................................................71
xiii
Daftar Tabel Tabel 2. 1 Kandungan antosianin pada beberapa buah dan sayuran .................... 42 Tabel 5. 1 Hasil Uji Normalitas Data Kolagen dan MMP-1..................................66 Tabel 5. 2. Homogenitas Kolagen dan MM-1 antar Kelompok Perlakuan ........... 67 Tabel 5. 3. Perbedaan Rerata Jumlah Kolagen Antara Kelompok Sesudah Diberikan Krim Ekstrak Jagung Ungu 50%.......................................................... 69 Tabel 5. 4. Perbedaan Rerata Kadar MMP-1 Antar Kelompok ............................ 67
xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
A4M
:
American Academy of Anti Aging Medicine
AAM
:
Anti Aging Medicine
AP-1
:
Activator Protein
BPS
:
Badan Pusat Statistik
CIE
:
Commision Internationale d l’Eclairage
Ca
:
Kalsium
cDNA
:
Complementary Deoxyribonucleic Acid
Cu
:
kuprum
CoQ10
:
koenzim Q10
DHEA
:
Dehydroepiandrosterone
DNA
:
Deoxyribonucleic acid
deg.
:
Degeneratif
et al
:
dan kawan-kawan
ELISA
:
Enzym-linked Immunosorbent Assay
ECM
:
Extra Cellular Matrix
EPA
:
Eikosapentanoeat Acid
fe
:
ferrum
g
:
gram
GH
:
Growth Hormon
HCl
:
Asam Klorida
HRD-Avidin :
Horseradish peroxidase-conjugated avidin
IL-1
:
Interleukin-1
Kj
:
Kilo Joule
MED
:
Minimal Erythema Dose
mJ/cm²
:
mili Joule per sentimeter persegi
xv
MMP
:
Matrix Metalloproteinase
MMPs
:
Matrix Metalloproteinases
MMP-1
:
Interstitial Collagenase
MMP-14
:
Matrix Metalloproteinase-14
MMP-15
:
Matrix Metalloproteinase-15
MMP-16
:
Matrix Metalloproteinase-16
mRNA
:
Messenger Ribonucleic Acid
NF-κβ
:
Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells
O2
:
Oksigen
P
:
Fosfor
PDA M
:
Perusahaan Daerah Air Minum
pH
:
Pangkat Hidrogen
ROS
:
Reactive Oxygen Species
SOD
:
Superoxide Dismutase
SPSS
:
Statistical Package for the Social Science
TβRII
:
TGF-β type II receptor
TGF-β
:
Transforming Growth Factor-beta
TL
:
Tubular Lamp
TMB
:
Tetramethylbenzidine
TNF-α
:
Tumor Necrosing Factor-alfa
UV
:
Ultraviolet
UV-A
:
Ultraviolet A
UV-B
:
Ultraviolet B
UV-C
:
Ultraviolet C
Q10
:
Koenzim 10
α
:
alfa
β
:
beta
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penuaan atau aging process merupakan proses alami yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini, tetapi proses penuaan setiap orang tidaklah sama, ada beberapa orang yang mengalami proses penuaan lebih cepat dibandingkan dengan orang lain. Kecepatan proses penuaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor ekstrinsik maupun intrinsik . Proses penuaan intrinsik merupakan proses penuaan yang berlangsung secara alamiah yang disebabkan berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri, seperti genetik, hormonal, dan ras. Proses penuaan ekstrinsik terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh seperti sinar matahari/ultraviolet (Wlascheck, et al ., 2001;Yaar dan Gilchrest, 2007; Baumann dan Saghari, 2009), kelembaban udara (Cunnningham, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2007), suhu (Baumann dan Saghari, 2009), asap rokok, polusi (Baumann dan Saghari,2009), dan berbagai faktor eksternal lainnya yang dapat mempercepat proses penuaan kulit sehingga terjadi penuaan dini. Proses ini dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor yang mempercepat proses tersebut (Cunnningham, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2007; Baumann dan Saghari, 2009). Proses penuaan atau aging sangat erat kaitannya dengan radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Radikal bebas terbentuk baik dari proses metabolisme normal di dalam tubuh, ataupun dari kondisi patologis serta 1
2
dari sumber-sumber eksternal seperti asap rokok, polusi udara, radiasi sinar X, sinar ultraviolet, pestisida, dan lain lain (Devasagayam et al., 2004). Pembentukan radikal bebas di dalam sel terjadi secara terus menerus sebagai konsekuensi dari reaksi enzimatik maupun non-enzimatik. Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan kumpulan radikal bebas yang berasal dari oksigen seperti radikal superoxide, hydroxyl, hydroperoxyl, lipid peroxyl, dan lain lain (Devasagayam et al, 2004). Radikal bebas dapat merusak integritas sel baik secara struktural maupun fungsional yang dengan demikian dapat meningkatkan tingkat stres dan kerusakan oksidatif sehingga mempercepat proses penuaan (Devasagayam et al, 2004; Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Pada saat usia bertambah tua, akan terjadi penurunan fungsi dan kemampuan untuk adaptasi terhadap terjadinya kerusakan dalam tubuh. Disertai pula dengan terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh dan terjadinya perubahan fisik pada tingkat seluler maupun pada sistem oleh karena proses penuaan (Baskoro dan Konthen, 2008). Banyak faktor yang berperanan pada terjadinya proses tersebut, dimana dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi adanya radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal meliputi diet yang tidak sehat, gaya hidup yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, radiasi, sinar UV, asap rokok, dan stress (Rabe et al., 2006; Pangkahila, 2007). Sedangkan teori yang mendasari terjadinya proses penuaan tersebut pun beragam antara lain adalah wear and tear theory, dan teori program. Wear and
3
tear theory menyatakan bahwa pada prinsipnya tubuh dan sel menjadi rusak karena terlalu sering digunakan, dimana kerusakan terjadi secara terus menerus tidak hanya pada organ namun juga pada tingkat sel. Sedangkan teori program menyatakan bahwa dalam tubuh manusia terdapat jam biologis, mulai dari proses konsepsi sampai pada kematian dalam suatu model yang telah terprogram. Dari teori-teori tersebut yang paling banyak dianut adalah teori radikal bebas. Teori radikal bebas menyatakan bahwa proses menua diawali dengan inisiasi reaksi radikal bebas yang terus menerus secara progresif dan menyebabkan kerusakan sistem biologi (Pangkahila, 2007). Proses penuaan tersebut merupakan hasil interaksi dari program genetik dan kumulasi proses wear and tear selama hidup (Gilchrest dan Yaar, 2000; Rabe et al., 2006). Sama halnya dengan organ lain dalam tubuh manusia, kulit juga mengalami penuaan, baik internal maupun eksternal seperti yang disebutkan diatas. Selain itu, kulit adalah organ yang mengalami kontak langsung dengan lingkungan sehingga sangat terpengaruh oleh faktor lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) sinar matahari. Penuaan yang disebabkan oleh radiasi kronis UV sinar matahari disebut sebagai Photoaging (Gilchrest dan Krutmann, 2006), yang merupakan penuaan yang terjadi akibat efek buruk kronis dari sinar matahari yang bertumpuk dengan gejala penuaan kronologis. Proses ini bersifat kumulatif. Reaksi kronis dari pajanan sinar ultraviolet matahari selama bertahun-tahun dapat menimbulkan gangguan arsitektur kulit, dan terutama menyebabkan penuaan dini kulit (photoaging), serta kanker kulit (Walker et al ., 2003; Quan et al ., 2009).
4
Kerusakan yang ditimbulkan dapat dilihat baik secara klinis, histologis atau patologi anatomi maupun secara fungsional (Berneburg et al ., 2000). Paparan radiasi UV sinar matahari menyebabkan kerusakan kulit melalui beberapa mekanisme, termasuk pembentukan sunburn cell, tercetusnya respon peradangan, terbentuknya thymine dimer dan produksi kolagenase (MMP / Matriks Metaloproteinase) (Baumann, 2005). MMP adalah enzym proteinase mengandung zinc, yang bertanggung jawab mendegradasi protein matriks ekstraseluler. MMP diklasifikasikan sebagai kolagenase, gelatinase, stromyelisin dan tipe membran (Quan et al ., 2009). Radiasi UV dengan panjang gelombang 100-400 nm merupakan 5% dari seluruh radiasi sinar yang ada. Radiasi UV terbagi atas tiga golongan yaitu UV-A (320-400nm), UV-B (280-320nm) dan UV-C (100-280nm). UV-C biasanya tidak sampai ke permukaan bumi kecuali pada dataran tinggi sekali dimana UV-C ini diserap oleh lapisan ozon pada atmosfir. Yang paling banyak berpengaruh kepada kesehatan kulit adalah UV-B, karena panjang gelombangnya yang lebih pendek dan paling banyak menembus bumi, sinar UV juga terbukti meningkatkan degradasi kolagen melalui aktivasi MMP. Sinar UV juga dapat memacu sintesis MMP-1 dan MMP-3 melalui pelepasan Tumor Necrosing Factor-alfa (TNF-α) oleh keratinosit dan fibroblas serta menyebabkan penurunan Transforming Growth Factor-beta (TGF-β) (Gilchrest dan Krutmann, 2006). Radiasi UV diketahui secara langsung dan tidak langsung mengganggu integritas ekstraselular matriks dengan cara meningkatkan aktivitas MMP. Pada kulit manusia, MMP-1 adalah tipe yang paling terpengaruh oleh induksi sinar UV
5
matahari dan bertanggungjawab terhadap pemecahan kolagen pada kulit yang mengalami photoaging (Fisher et al ., 2001). Ditemukan bahwa hanya dengan satu kali ekspos terhadap paparan radiasi UV sinar matahari dapat mengganggu jaringan konektif dengan menyebabkan gangguan sintesis kolagen yang hampir komplit, selama 24 jam yang kemudian diikuti dengan recovery 48-72 jam setelahnya ( Fisher et al ., 2001). Selain itu juga terjadi degradasi kolagen karena terjadi peningkatan kadar MMP-1 yang cukup signifikan yaitu sekitar 4,4 ± 0,2 kali lipat jika dibandingkan dengan kulit yang tidak dipajan radiasi UV (Fisher et al ., 2001). MMP-1 adalah mediator utama terhadap timbulnya degradasi kolagen pada
kulit
yang
mengalami
photoaging.
Enzim
MMP-1
kolagenolitik
mendegradasi fibril kolagen dan elastin, yang penting untuk kekuatan dan elastisitas kulit. Aktivitas MMP-1 di kulit akan meningkat walaupun hanya dengan radiasi UV yang singkat, yang akan menyebabkan timbulnya kerutan pada kulit, yang menjadi tanda photoaging (Yaar dan Gilchrest, 2008). Dengan demikian, hambatan terhadap MMP-1 adalah salah satu cara untuk mencegah kerusakan kulit akibat paparan sinar UV. Selain itu radiasi ultraviolet menghasilkan reactive oxygen species / ROS (Lee et al ., 2004; Yaar dan Gilchrest, 2007), bersama dengan aktivasi berbagai ROS- sensitive signaling Pathways, yang selanjutnya akan mempengaruhi berbagai macam fungsi selular termasuk menyebabkan fragmentasi kolagen dan sekresi MMP-1 (Yaar dan Gilchrest, 2008; Helfrich et al ., 2008). Stres oksidatif berpengaruh besar dalam proses photoaging dan fotokarsinogenesis dan juga dalam patogenesis fotodermatosis (Stahl et al ., 2006).
6
Antioksidan diketahui dapat mencegah dan menangkal terbentuknya radikal bebas (Stahl et al ., 2006; Yaar dan Gilchrest, 2007). Walaupun kulit mengandung banyak enzim antioksidan [Superoksid dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase) dan molekul antioksidan non enzim (tokoferol (vitaminE), koenzim Q10 (CoQ10), asam askorbat (vitamin C) dan karotenoid], tetapi masih jauh dari efektif dalam mengatasi stres oksidatif yang terjadi, dan cenderung terus berkurang bersama dengan bertambahnya usia (Yaar dan Gilchrest, 2007; Nichols dan Katiyar, 2010)
Penggunaan bahan kimia yang
berfungsi untuk melindungi kulit dari bahaya radiasi sinar matahari sudah banyak dipakai. Salah satunya adalah senyawa polifenol dari tanaman. Penggunaan bahan ini dimaksudkan untuk
mencegah, mengembalikan dan memperlambat efek
buruk radiasi sinar UV terhadap kulit. Efek fotoprotektif kulit dari bahan polifenol tampaknya diperoleh dari kemampuannya sebagai anti-peradangan, antioksidan, dan mekanisme DNA Repair (Nichols dan Katiyar, 2010). Polifenol adalah suatu kelompok bahan kimiawi (phytochemicals) yang ditemukan dalam tumbuhan, ditandai dengan adanya lebih dari satu unit fenol per molekul. Phenolic dalam makanan manusia terdiri dari Phenolic acid, tannin, dan flavonoid. Polifenol yang paling banyak diteliti adalah golongan flavonoid, yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu antosianin dan antosantin. Antosianin merupakan pigmen larut air yang sangat penting, yang bertanggung jawab dalam memberi warna merah, biru, dan ungu pada tanaman (Fuhrman dan Aviram, 2002). Pigmen ini banyak terdapat pada makanan kita, antara lain buah-buahan
7
seperti blueberry, cranberry, billberry, juga terdapat pada kulit terong ungu, beras merah, kulit anggur, ubi ungu, dan jagung ungu. Antosianin sudah banyak dipakai di seluruh dunia sebagai pewarna makanan, dan sejak jaman dahulu telah banyak dipakai sebagai obat herbal yang dapat menyembuhkan hipertensi, demam, gangguan liver, diare dan disentri, gangguan berkemih dan influenza (Konczak dan Zhang, 2004). Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa antosianin mempunyai bioaktivitas yang berpotensi tinggi dalam pencegahan berbagai penyakit kronik seperti diabetes dan katarak yang dipicu oleh diabetes (Ghosh dan Konishi, 2007). Antosianin juga dapat memperbaiki profil lipid darah dan memiliki efek vasoprotektif (Kahkonen dan Heinonen, 2003; Jawi dan Budiasa, 2009; Astadi et al ., 2009; Shipp dan Abdel-Aal, 2010), dan juga mempunyai efek dalam menghambat pertumbuhan dan merangsang apoptosis sel-sel kanker (Hui et al ., 2010). Jagung ungu ( Zea Mays L. ) telah banyak dibudidayakan di Amerika Selatan , terutama di Peru dan Bolivia , dan digunakan untuk menyiapkan minuman dan makanan penutup selama berabad-abad karena kandungan pigmen yang tinggi . Jagung ungu mengandung konsentrasi antosianin yang
tinggi ( ~
1640 mg/100g FW ) jauh lebih tinggi daripada sumber yang kaya antosianin lainnya, seperti berries ( 20 ~ 1500 mg/100g FW ) , lobak ( Raphanus sativus L. ) ( 11 ~ 60 mg/100g FW ) , dan kubis ( Brassica oleracea L. ) ( 322 mg/100g FW ) . Ketertarikan akan jagung ungu sebagai sumber antosianin sebagai warna dan fitonutrien telah meningkat selama tahun terakhir . Banyak manfaat kesehatan telah dikaitkan dengan ungu jagung , termasuk pengurangan
8
stres oksidasi , pencegahan obesitas dan diabetes , dan kanker usus besar ( Pu Jing, 2006). Dalam penelitian pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B kemudian diolesi krim ekstrak jagung ungu dengan dosis 25 %, 50 %, 100 % terbukti bahwa ekstrak jagung ungu dengan dosis 50 % mempunyai efek perlindungan pada kulit tikus Wistar yaitu dengan meningkatkan jumlah kolagen dermis dan menurunkan kadar MMP-1. (Dianasari, 2013). Dengan mempertimbangkan hal ini, timbul dugaan bahwa antosianin yang banyak terdapat dalam ekstrak jagung ungu dapat menghambat penuaan dini kulit, dengan menghambat peningkatan kadar MMP-1 pada tikus yang dipajan dengan sinar UV-B, karena efek antioksidannya. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan dugaan tersebut diatas.
1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah pemberian krim ekstrak jagung ungu menurunkan kadar MMP-1 pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B? 2. Apakah pemberian krim
ekstrak jagung ungu meningkatan
jumlah
kolagen dermis pada kulit tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui efektivitas pemberian krim ekstrak jagung ungu dalam menghambat peningkatan kadar MMP-1 dan penurunan jumlah kolagen pada tikus wistar (Rattus norvegicus) yang dipapar sinar UV-B
9
1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui krim
ekstrak jagung ungu
menurunankan kadar
MMP-1 pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B. 2. Untuk mengetahui krim
ekstrak jagung ungu meningkatkan
jumlah
kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Keilmuan Memberi informasi ilmiah tentang fungsi proteksi krim ekstrak jagung ungu dalam
melindungi kulit dari kerusakan akibat paparan sinar UV-B.
1.4.2. Manfaat Praktis Memberi informasi pada masyarakat tentang efek penggunaan krim ekstrak jagung ungu yang dapat memberikan perlindungan pada kulit dari pengaruh kerusakan oleh sinar UV-B dan mencegah penuaan dini sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Proses Penuaan (Aging) Secara umum proses penuaan akan dialami oleh semua mahluk yang hidup di muka bumi ini. Proses tersebut adalah hal alamiah yang harus dijalani dan tidak dapat dihindarkan, terjadi pada setiap orang dalam kecepatan yang berbeda tergantung pada keadaan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup yang dilakukan, sehingga proses penuaan tersebut dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung dari kesehatan individu (Fowler, 2003). Definisi aging
menurut A4M (American Academy of Anti Aging
Medicine) adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan dengan aging yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik, yang mana dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003). 2.1.1 Teori Penuaan dan Faktor yang Mempengaruhi Penuaan Bermacam-macam teori proses menua telah dikemukakan para ahli namun sampai saat ini mekanisme yang pasti belum diketahui. Batas waktu yang tepat antara terhentinya pertumbuhan fisik dan dimulainya proses menua tidak jelas, karena kedua proses tersebut saling berkaitan (Wasitaatmadja, 2003).
10
11
Teori Penuaan 1. Teori Radikal Bebas Banyak teori yang menjelaskan mengenai penuaan, yang paling banyak dianut adalah teori radikal bebas. Radikal bebas adalah elektron dalam tubuh yang tidak memiliki pasangan sehingga akan berusaha mencari pasangan agar dapat berikatan dan stabil. Sebelum mendapat pasangan radikal bebas akan terus menerus merusak sel tubuh termasuk sel tubuh normal. Hal tersebut mengakibatkan sel akan cepat rusak dan menua, bahkan mungkin dapat menimbulkan terjadi kanker atau keganasan. Radikal superoksid dan hidroksil akan terbentuk saat respirasi mitokondria yang timbul akibat auto oksidasi berbagai molekul intraseluler serta akibat pengaruh lingkungan seperti sinar ultraviolet. Enzim superoksid dismutase akan berkurang seiring bertambahnya umur sehingga akan mengakibatkan antioksidan alami tubuh tidak mampu lagi menetralisir oksidan yang terbentuk. 2. Teori Replikasi DNA (Deoxyribonucleic Acid Replication Theory) Teori ini mengemukakan bahwa proses menua merupakan akumulasi bertahap kesalahan dalam masa replikasi DNA. Kerusakan DNA akan menyebabkan pengurangan kemampuan replikasi DNA yang mempengaruhi masa hidup sel. Diperkirakan sekitar 50% DNA akan menghilang dari jaringan pada usia kira kira 70 tahun.
12
3. Teori Kelainan Alat (Orgell Error Theory) Kesalahan transkripsi DNA akan dapat menghasilkan RNA yang tidak sempurna, hal tersebut mengakibatkan kelainan pada berbagai enzim dan protein intraseluler sehingga terjadi gangguan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel bersangkutan. Jumlah enzim yang tidak aktif akan semakin bertambah dengan meningkatnya umur. 4. Teori Ikatan Silang (Cross Linkage Theory) Proses menua terjadi akibat terbentuk ikatan silang yang progresif antara protein intraseluler dan interseluler seperti contoh pada serabut kolagen. Ikatan silang ini akan meningkat dengan bertambahnya umur. Ikatan silang ini akan menyebabkan penurunan elastisitas dan kelenturan kolagen pada membran basalis atau pada substansi dasar jaringan penyambung dan hal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi organ. 5. Teori Program Genetik Teori ini mengatakan bahwa, organ tubuh kita sudah memiliki program genetik dalam DNA masing masing yang akan mengatur fungsi fisik dan mental masing masing individu. Program ini yang akan menentukan berapa usia kita mulai menua, usia berapa kita akan meninggal. Setiap manusia seakan memiliki bom waktu yang berdetik terus sampai masanya habis dan setelah itu meninggal.
13
6. Teori Endokrin Proses menua dikendalikan oleh alat pacu antara lain timus, hipotalamus, hipofise, kelenjar tiroid yang yang bekerjasama mengatur keseimbangan hormonal dan regenerasi sel tubuh manusia. Jumlah produksi hormon adalah saling berinteraktif. Bilamana salah satu hormon produksinya berkurang kan menyebabkan produksi hormon yang lain dapat berubah, bisa berkurang dan bahkan malah bertambah. 7. Teori Telomerase Telomer adalah rangkaian asam nukleat yang terdapat di ujung kromosom yang berfungsi sebagai penjaga keutuhan kromosom. Setiap kali sel tubuh membelah maka telomer akan menjadi lebih pendek. Bila ujung telomer sudah terlalu pendek maka kemampuan sel untuk membelah atau mereparasi
akan
berkurang, melambat dan sel akhirnya tidak dapat membelah lagi atau mati. ( Klatz dan Goldman, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008) Banyak faktor yang berperanan pada terjadinya proses penuaan, dimana dapat dikelompokkan menjadi faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi adanya radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan faktor genetik. Sedangkan faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup yang tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, radiasi sinar ultraviolet, stres dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).
14
2.1.2 Mekanisme Aging Proses penuaan yang terjadi pada individu tidak terjadi begitu saja dengan langsung menunjukkan tanda dan gejala penuaan seperti terjadinya perubahan fisik seperti massa otot berkurang, kulit berkerut, daya ingat berkurang, sulit tidur, mudah tersinggung dan tanda tanda lainnya. Namun proses tersebut terjadi secara bertahap meliputi tahapan sebagai berikut (Fowler, 2003; Pangkahila, 2007). 1. Tahapan subklinik (usia 25-35 tahun) Di rentangan usia ini sebagian besar hormon dalam tubuh mulai menurun, yaitu hormon testosteron, growth hormon, dan estrogen. Pembentukan radikal bebas mulai terjadi, namun kerusakan yang terjadi belum tampak dari luar sehingga pada tahapan ini individu masih merasa dan tampak normal, tanpa tanda dan gejala penuaan. 2. Tahap transisi (usia 35 -45 tahun) Pada tahap ini kadar hormon menurun sebanyak 25%. Massa otot berkurang 1 kg setiap beberapa tahun, akibatnya tenaga dan kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Mulai muncul gejala penuaan seperti rambut mulai putih, elastisitas kulit menurun, pigmentasi kulit menurun, demikian juga halnya dengan pendengaran, penglihatan, dan dorongan seksual. Kerusakan oleh radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik, resiko terjadinya penyakit meningkat. Saat ini orang akan mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.
15
3. Tahap klinik (Usia 45 th ke atas) Penurunan kadar hormon
terus berlanjut yaitu DHEA, melatonin, GH,
testosteron, estrogen, dan tiroid.
Terjadi penurunan sampai hilangnya
kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar 1 kg setiap tiga tahunnya, akibatnya terjadi ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Sistem organ mulai mengalami kegagalan, penyakit kronis menjadi lebih nyata. Ketidakmampuan menjadi faktor utama. Proses penuaan tidak selalu harus dinyatakan dengan gejala ataupun keluhan. Apabila tidak terjadi gejala atau keluhan bukan berarti tidak mengalami proses penuaan. Namun saat ini dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan proses penuaan dapat dianggap dan diperlakukan sama dengan penyakit, yang dapat dicegah, dihindari, dan diobati sehingga dapat kembali ke keadaan semula (Pangkahila, 2007).
2.2 Proses Penuaan Pada Kulit Sama halnya dengan organ lain dalam tubuh manusia, kulit juga mengalami proses penuaan. 2.2.1. Definisi penuaan pada kulit Menurut Medical online Dictionary, penuaan pada kulit adalah suatu mekanisme biologis yang ditandai dengan adanya perubahan struktur maupun elastisitas kulit, yang terjadi bersama dengan waktu sebagai bagian dari proses penuaan fisiologis (intrinsik) maupun yang dipicu oleh efek dari luar (ekstrinsik).
16
1. Faktor penuaan intrinsik (intrinsic Aging, Chronologic Aging) Merupakan proses menua fisiologik yang berlangsung secara alamiah, disebabkan berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri seperti genetik, hormonal maupun rasial. 2. Faktor Menua Ekstrinsik Terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh. Faktor lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) sinar matahari, kelembaban udara, suhu dan berbagai faktor luar lainnya dapat mempercepat proses penuaan kulit sehingga terjadi penuaan dini kulit. Selain itu, kulit adalah organ yang mengalami kontak langsung dengan lingkungan sehingga sangat terpengaruh oleh faktor lingkungan. Proses penuaan ekstrinsik berbeda dengan proses penuaan intrinsik baik secara klinis maupun secara histologis. Secara klinis pada penuaan ekstrinsik (terutama akibat radiasi sinar uv), kulit menjadi kering, kasar, tidak merata, warnanya tidak merata (hipo/hiperpigmentasi), terjadi kerutan yang dalam atau atrofi yang parah, timbul teleangiektasis, pembentukan lentigo solaris, timbulnya lesi kulit premalignant, tidak elastis dan kaku, serta leathery appearance (Helfrich et al., 2009). Ditambah tanda-tanda lain seperti elastosis (kulit menjadi kasar, kuning dan timbul cobblestone effect) serta actinic purpura (kulit menjadi mudah memar yang disebabkan oleh rapuhnya dinding pembuluh darah) (Gilchrest dan Yaar, 2000). Sebaliknya penuaan kulit intrinsik (chronologic skin aging), ditandai oleh timbul kerutan halus, xerosis, kusam, dan timbulnya berbagai tumor kulit jinak kulit seperti seborrheic keratosis dan cherry angioma (Yaar dan Gilchrest, 2008). Penuaan ekstrinsik, secara histologis memiliki karakteristik berupa massa elastin yang kusut dan kemudian mengalami degradasi membentuk massa yang
17
amorfik,
jaringan
penyangga
kulit
yang
sebagian
besar
terdiri
dari
glikosaminoglikan dan proteoglikan meningkat. Sementara itu, jumlah serat kolagen berkurang karena degradasinya meningkat akibat peningkatan enzym matriks metallo proteinase dan pelepasan sitokin, ditambah lagi dengan kontraksi pada septa di lemak subkutan sehingga timbul kerutan. Kompaksi stratum corneum meningkat, lapisan sel granular di epidermis menebal, epidermis menipis akibatnya kulit jadi kering dan kasar. Melanosit yang mengalami hipertrofi meningkat jumlahnya, begitu pula kadar melanin per unit nya, akibatnya muncul frecless dan hiperpigmentasi (Yaar dan Gilchrest, 2008). Penuaan berkaitan dengan perubahan yang bersifat progresif yang terjadi di semua jaringan termasuk pada kulit. Suatu proses yang merupakan akibat dari penggunaan sel secara terus menerus dan senescense, yang akhirnya akan diakhiri dengan berkurangnya viabilitas dan kematian. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, akumulasi dari pengaruh faktor lingkungan dan faktor endogen lainnya yang berperanan pada life-span mahluk hidup (Tschachler dan Morizot, 2006; Yaar, 2006). Ada 2 teori dasar penuaan pada kulit yaitu teori programmatik dan teori stokastik (Gilchrest dan Yaar, 2000). Teori programmatik meliputi; 1) terjadinya pemendekan telomere yaitu ujung kromosom eukariotik karena DNA polymerase tak mampu mengadakan replikasi pada ujung akhir; 2) penuaan seluler dimana adanya keterbatasan sel untuk membelah. Teori stokastik meliputi adanya; 1) stress oksidatif yaitu tingkat penggunaan oksigen berkaitan dengan proses penuaan, karena kurangnya efisiensi sistem
18
pertahanan oksidatif maka selama masa kehidupan terjadilah akumulasi kerusakan oksidatif molekuler yang terkadang mengakibatkan terjadinya kematian sel secara apoptosis; 2) Adanya kerusakan DNA ; 3) amino acid racemization: yaitu proses penggantian asam amino-D dengan asam amino-L di dalam protein, terjadi selama proses penuaan serta dapat mempengaruhi fungsi protein
dan menyebabkan
akumulasi protein yang sudah tidak fungsional lagi pada jaringan; 4) nonenzymatic glycosylation. Proses penuaan berjalan sesuai waktu atau usia seseorang (chronological / intrinsic aging ) dan juga dapat diperberat oleh adanya faktor eksternal termasuk yang paling banyak berperan adalah pajanan sinar ultra violet (exstrinsic aging). 2.2.2. Mekanisme Penuaan Kulit Adanya akumulasi Reactive Oxygen Species (ROS) dinyatakan berperanan penting pada proses penuaan kulit, dan hal ini terbukti dari penelitian yang telah dilakukan.
Kulit merupakan organ yang paling banyak mengalami kontak
langsung dengan lingkungan, sehingga banyak terpapar
dengan ROS yang
berasal dari lingkungan termasuk dari udara, radiasi matahari, ozon, dan polusi. Selain itu hasil metabolisme normal pun menghasilkan ROS, dari proses rantai respirasi mitokondria yang mana elektron berlebih akan diberikan pada molekul oksigen untuk kemudian terbentuk anion superoksid. Dengan bertambahnya usia membuat berkurangnya kemampuan aktivitas sistem pertahanan dari enzymatic antioxidant (Chung et al., 2004).
19
ROS yang terbentuk dari pajanan sinar ultra violet tersebut dapat menekan serta merusak enzymatic antioxidant dan non enzymatic antioxidant yang merupakan mekanisme pertahanan kulit terhadap radikal bebas. Hal ini akan memicu terjadinya kerusakan oksidatif pada komponen seluler dan non seluler yang akan berakibat pada terjadinya supresi sistem imun, penuaan dini kulit, bahkan sampai mengakibatkan kanker kulit. ROS akan mengaktifkan jalur signal tranduksi sitoplasmik pada fibroblast, hal ini berkaitan pada pertumbuhan, diferensiasi, senescence, dan degradasi jaringan ikat, juga menyebabkan perubahan genetik yang permanen (Kim et al., 2004). Diperkirakan jumlah kolagen di dermis akan berkurang sebanyak 1 % tiap tahunnya pada usia dewasa. Mekanisme berkurangnya kolagen selama proses penuaan
alamiah
adalah
akibat
dari
peningkatan
ekspresi
Matriks
Metalloproteinase (MMP). Peningkatan MMP mempengaruhi sintesis kolagen, dimana dengan bertambahnya umur maka level MMP-1, 2, 9, dan 12 akan makin bertambah sementara ekspresi procollagen mRNA lebih rendah dibanding saat masih berusia muda (Chung et al., 2004). Pada proses penuaan alami terjadi penurunan sintesa kolagen serta peningkatan ekspresi Matriks Metalloproteinase sementara pada photoaging tampak peningkatan Matriks Metalloproteinase yang lebih besar (Chung et al., 2001). 2.2.3. Fenomena Penuaan pada Kulit Proses penuaan pada kulit terdiri dari 2 fenomena yang berbeda secara signifikan namun dapat terjadi secara simultan, yaitu proses penuaan intrinsik
20
(intrinsic aging/chronological aging) dan penuaan ekstrinsik (extrinsic aging /photoaging). Penuaan intrinsik merupakan proses menyeluruh, dan berlangsung secara alamiah sejalan dengan bertambahnya usia. Proses ini disebabkan oleh berbagai faktor dari dalam tubuh sendiri yaitu faktor genetik, hormonal, dan ras. Pada proses penuaan intrinsik yang terjadi lebih banyak ditandai dengan adanya penurunan fungsi organ oleh karena bertambahnya usia tersebut dibandingkan dengan perubahan morfologi yang tampak. Proses penuaan ekstrinsik (extrinsic aging/photoaging), suatu proses penuaan yang diakibatkan oleh berbagai faktor dari lingkungan di luar tubuh yang terjadi secara terus menerus. Banyak faktor dari lingkungan yang ada di luar tubuh yang dapat mempengaruhi proses penuaan antara lain sinar ultra violet, kelembaban udara, suhu, polusi asap, dan paparan bahan kimiawi. Dari faktor lingkungan tersebut yang paling banyak berperanan dalam penuaan kulit adalah pengaruh dari pajanan sinar ultra violet, oleh karena itu proses penuaan ini disebut juga sebagai photoaging. Faktor yang berpengaruh dari luar tersebut dapat dihindari untuk mencegah terjadinya proses penuaan dini (Gilchrest dan Yaar, 2000 ; Chung et al., 2004).
2.3. Sinar Ultra Violet Radiasi
sinar
ultraviolet
adalah
bagian
dari
spektrum
cahaya
elektromagnetik yang panjang gelombangnya lebih panjang daripada sinar-X tetapi lebih pendek daripada sinar tampak yaitu antara 10 – 400 nm dan energi
21
antara 3 – 124 eV. Spektrum ultraviolet sinar matahari dapat dibagi menjadi 3 segmen berdasarkan panjang gelombang radiasinya. Yaitu gelombang pendek (UV-C), gelombang medium (UV-B), dan gelombang panjang (UV-A). 1. UV-C dengan spektrum 200-290 nm, adalah radiasi yang paling banyak diserap di lapisan ozon atmosfer bumi dan normalnya tidak mencapai permukaan bumi. Panjang gelombang ini memiliki energi yang sangat hebat dan bersifat sangat mutagenik. Radiasi UV-C dapat menembus kulit sampai 60-80 µm dan dapat merusak molekul DNA. 2. UV-B dengan spektrum 290-320 nm, paling banyak menembus atmosfer bumi. Walaupun hanya 5% dari total radiasi sinar matahari, tetapi bertanggungjawab atas sebagian besar photodamage pada kulit. Radiasi UV-B dapat menenbus kulit sampai kedalaman kira-kira 160-180 µm. Sehingga dapat menembus seluruh lapisan epidermis (70% diserap di stratum korneum, 20% dikeseluruhan epidermis) dan sebagian dermis (sekitar 10%). Radiasi UV-B dapat memicu baik langsung maupun tidak langsung, kerusakan DNA, stres oksidatif, penuaan dini kulit dan berbagai efek terhadap sistem imun, serta memiliki efek penting terhadap timbulnya tumor kulit. 3. UV-A dengan spektrum 320-400 nm, adalah jenis radiasi yang lemah. 1000 kali lebih lemah daripada UV-B namun 100 kali lebih banyak mencapai permukaan bumi, sekitar 90-95% dari total radiasi sinar matahari yang berhasil sampai ke permukaan bumi. UV-A dapat menembus sampai kedalaman 1000 µm. Radiasi UV-A diserap sebagian
22
besar pada lapisan epidermis, tetapi 20-30% mencapai bagian yang lebih dalam dermis kulit manusia. Dan bertanggung jawab atas timbulnya tumor kulit baik yang jinak maupun kanker (Kochevar dan Taylor, 2003; Nichols dan Katiyar, 2010). 2.3.1 Efek Radiasi Sinar UV Paparan sinar UV dari matahari dapat memicu pembentukan radikal bebas pada kulit. Radikal bebas yang terbentuk akan menyebabkan menurunnya kinerja enzim untuk mempertahankan fungsi sel, merusak protein dan asam amino yang merupakan struktur utama kolagen dan elastin. Radiasi sinar ultra violet memiliki rentangan yang luas dalam efek akut yang ditimbulkannya. Efek yang ditimbulkan selain sunburn inflammation (erythema) dan tanning (melanogenesis) juga dapat mengakibatkan DNA photodamage, immunosupresi, dan sintesis vitamin D. Sedangkan paparan kronik dari
sinar matahari
dapat memicu terjadinya
photoaging dan lebih jauh lagi dapat memicu terjadinya kanker kulit seperti squamous cell ca, basal cell ca, dan melanoma maligna (Young, 2000). Sunburn (eritema) adalah reaksi inflamasi akut pada kulit ditandai dengan kemerahan yang muncul akibat ekspos langsung berlebihan dengan radiasi sinar UV. Radiasi UVA maupun UV- B dapat menimbulkan kemerahan pada kulit, namun intensitas dan kecepatan menimbulkan kemerahannya berbeda. Reaksi kemerahan kulit terhadap UVA lebih cepat tapi kurang intensif dibandingkan dengan UV- B. Pada UV- B, respon kemerahan (eritema) muncul dalam waktu 624 jam setelah ekspos langsung, tergantung dari dosis penyinaran. Dosis terkecil
23
yang dapat mengakibatkan reaksi kemerahan minimal yang terlihat dengan jelas 24 jam setelah ekspos disebut MED (Minimal Erythema Dose). Paparan radiasi UV sinar matahari menimbulkan respon pigmentasi berupa timbulnya warna kecoklatan (tanning) dan diikuti dengan pembentukan melanin baru. Hal ini dipengaruhi oleh panjang gelombang radiasi. Pada paparan UVA, respon pigmentasinya bertahan lebih lama dibandingkan dengan UV- B. Hal ini mungkin disebabkan oleh UVA menginduksi pigmentasi pada lapisan yang lebih dalam. Pada melanogenesis yang disebabkan oleh UV- B, akan menghilang bersama dengan pelepasan sel epidermis tiap bulan (Fisher et al., 2001) Hanya dengan satu kali ekspos terhadap paparan radiasi UV sinar matahari dapat mengganggu jaringan konektif dengan menyebabkan gangguan sintesis kolagen yang hampir komplet, selama 24 jam yang kemudian diikuti dengan recovery 48-72 jam setelahnya( Fisher et al., 2002). Selain itu juga terjadi degradasi kolagen karena terjadi peningkatan kadar MMP-1 yang cukup signifikan yaitu sekitar 4,4 ± 0,2 kali lipat jika dibandingkan dengan kulit yang tida di pajan radiasi UV (Fisher et al., 2001).
2.4. Anatomi dan Fungsi Kulit Manusia Kulit adalah organ tubuh yang penting untuk menjamin kelangsungan hidup dan menyokong penampilan serta kepribadian seseorang, terletak pada lapisan terluar dengan luas 1,5 m² pada orang dewasa dengan berat kira-kira 15% dari berat badan (Wasitaatmadja, 2007).
24
Secara garis besar kulit tersusun atas tiga lapisan yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Batas antara dermis dan epidermis tidak teratur, dimana tonjolan dermis yang disebut papilla dermis saling mengunci dengan tonjolan epidermis yang disebut epidermal ridges. Sedangkan batas antara dermis dan subkutis tidak ada garis tegas yang memisahkannya (Wasitaatmadja, 2007; Junqueira et al., 1997). Secara histopatologis lapisan kulit dapat dijabarkan sebagai berikut: 2.4.1
Lapisan Epidermis terdiri atas:
2.4.1.1 Stratum korneum(lapisan tanduk) Adalah lapisan kulit yang paling luar, terdiri atas beberapa lapis selsel gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). 2.4.1.2 Stratum lusidum Berada langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. 2.4.1.3 Stratum granulosum (lapisan keratohialin) Merupakan 2-3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya, butiran kasar tersebut terdiri atas keratohialin
25
2.4.1.4 Stratum spinosum (stratum malphigi) Lapisan ini disebut juga prickle cell layer, terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya, di antara sel-sel terdapat jembatan antar sel yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans. 2.4.1.5 Stratum basale Terdiri atas sel-sel berbentuk kubis (kolumnar) yang tersusun vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini adalah lapisan epidermis paling bawah. Lapisan ini terdiri dari 2 jenis sel yaitu sel kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dan sel melanosit yang merupakan sel pembentuk melanin dengan sitoplasma basofilik dengan inti gelap mengandung butir pigmen (melanosom). 2.4.2
Lapisan Dermis Lapisan ini lebih tebal daripada epidermis, terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut . dermis dibagi menjadi dua bagian yaitu
26
2.4.2.1 Pars papilare Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. 2.4.2.2 Pars retikulare Terdiri dari serabut-serabut penunjang seperti serabut kolagen, elastin dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas asam hialuronat dan kondroitin sulfat, terdapat juga fibroblast. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung hidroksiprolin
dan
hidroksilisin.
Serabut
elastin
biasanya
bergelombang berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis. Retikulin mirip dengan kolagen muda. 2.4.3
Lapisan Subkutis Kelanjutan dari dermis yang terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak didalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dipisahkan satu sama lainnya dengan trabekula yang fibrosa. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah bening. Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus yaitu yang terletak di bagian atas dermis (pleksus superfisialis) dan yang terletak di subkutis ( pleksus profunda) .
27
Kulit juga memiliki berbagai fungsi bagi tubuh antara lain adalah : 1. Fungsi proteksi Kulit menjaga bagian dalam tubuh dari gangguan yang bersifat fisik atau mekanis, gangguan kimiawi, radiasi sinar ultra violet, gangguan kuman maupun jamur. Fungsi ini terjadi karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan jaringan penunjangnya yang berperanan terhadap gangguan yang bersifat fisik. Adanya melanosit turut berperan dalam melindungi kulit dari pajanan sinar ultra violet. Keasaman kulit dengan pH 5-6,5 merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri dan jamur. 2. Fungsi ekskresi Kelenjar-kelenjar kulit akan mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna dan sisa metabolism dalam tubuh. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 – 6,5. 3. Fungsi persepsi Fungsi persepsi ini disebabkan karena adanya ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. 4. Fungsi pengaturan suhu tubuh Peranan kulit dalam pengaturan suhu tubuh terjadi dengan cara mengeluarkan keringat.
28
5. Fungsi imunitas 6. Fungsi sintesis vitamin D dan melanin
2.5. Fibroblas Fibroblas adalah sel yang utama di lapisan dermis, berbentuk dengan sitoplasma bercabang cabang tidak teratur,
spindel
nukleus berbentuk lonjong,
besar dan pucat dengan nukleolus yang jelas. Sel fibroblas bertanggung jawab terhadap produksi kolagen, serat retikulin, serat elastik dan jaringan penyangga dari dermis. Selain itu fibroblas juga dapat menghilangkan serat-serat tersebut dengan mensekresikan enzim seperti collagenase (MMP-1) dan elastase (Obagi, 2000 ; Junqueira et al., 1997). Fibroblas berperanan penting pada proses penyembuhan luka (wound healing process). Adanya suatu kerusakan pada jaringan dapat merangsang sel fibrosit dan mitosis fibroblas. Jadi dapat dikatakan bahwa fungsi utama fibroblas adalah menjaga integritas struktur jaringan ikat dan mengatur turnover jaringan ikat dengan memproduksi enzim yang dapat mendegradasi kolagen (collagenase), elastin (elastase), proteoglikan dan glikosaminoglikan (stromelysin dan lysosomal hydrolase). Dengan bertambahnya usia, secara umum ukuran fibroblas akan menjadi semakin mengecil dan menjadi berkurang aktivitasnya, sementara pada kulit yang mengalami kerusakan oleh karena pajanan sinar ultra violet fibroblasnya sering menjadi hipertopi.
29
Dari suatu penelitian dinyatakan bahwa sel fibrolas memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap pajanan UV-B dibandingkan dengan sel lain seperti keratinosit dan melanosit dengan dosis yang bersifat sitotoksik dari pajanan narrowband UV-B (100,200, dan 400 mJ/cm²) ataupun broadband UV-B (5,10, dan 25 mJ/cm² ) (Cho et al., 2008).
2.6.Matriks Metalloproteinase Matriks Metalloproteinase
(MMP )
adalah sekelompok proteinase
mengandung Zinc, yang bertanggung jawab mendegradasi protein matriks ekstra seluler. MMP terdiri dari sekitar 25 anggota, dimana 24 nya terekspresi pada mamalia. MMP diklasifikasikan sebagai kolagenase, gelatinase, stromelisin dan tipe membran (Seltzer dan Eisen, 2003; Quan et al., 2009). Pada berbagai studi ditemukan bahwa jenis yang paling banyak terpengaruh pada paparan radiasi UV adalah interstisial kolagenase (MMP-1), stromyelisin-1 (MMP-3), 92kd-gelatinase (MMP-9) (Fisher et al., 2002). UV menginduksi MMP-1 untuk menginisiasi pemecahan fibril kolagen (tipe I dan III di kulit) pada satu tempat di tengahtengah tripel heliks fibril kolagen (Fisher et al., 2002). Kolagen adalah penyusun utama kulit manusia, yang memberikan kekuatan dan kekenyalan pada kulit. Kolagen tipe I adalah struktur protein utama penyusun matriks ekstra seluler. Fibroblas dermis membuat molekul prekursor yang disebut prokolagen. Prokolagen kemudian di sekresi ke dalam ruang ekstra seluler yang kemudian di proses secara enzymatik menjadi kolagen matur. Kolagen matur spontan membentuk fibril, yang segera di stabilkan dengan crosslink.. fibril kolagen memiliki estimasi half life sekitar 17 tahun. Itu sebabnya
30
fibril kolagen yang terpecah dapat terakumulasi sepanjang waktu dan memiliki konsekuensi yang panjang, terhadap struktur maupun fungsi kulit (Quan et al., 2009) Terdapat dua regulator utama dalam proses produksi kolagen yaitu : transforming growth factor (TGF-β) dan activator protein-1 (AP)-1.
TGF-β
adalah sitokin yang meningkatkan produksi kolagen. Sedangkan AP-1 adalah faktor transkripsi yang menghambat produksi kolagen serta meningkatkan pemecahan kolagen melalui regulasi aktivitas enzym yang disebut matriks metalloproteinase (MMP) (Helfrich et al., 2008). Radiasi UV diketahui secara langsung dan tidak langsung mengganggu integritas ekstraselular matriks dengan cara meningkatkan aktivitas MMP. Pada kulit manusia, MMP-1 adalah tipe yang paling terpengaruh oleh induksi sinar UV matahari dan bertanggungjawab terhadap pemecahan kolagen pada kulit yang mengalami photoaging (Fisher et al., 2001). Ditemukan bahwa hanya dengan satu kali ekspos terhadap paparan radiasi UV sinar matahari dapat mengganggu jaringan konektif dengan menyebabkan gangguan sintesis kolagen yang hampir komplit, selama 24 jam yang kemudian diikuti dengan recovery 4872 jam setelahnya ( Fisher et al., 2002). Selain itu juga terjadi degradasi kolagen karena terjadi peningkatan kadar MMP-1 yang cukup signifikan yaitu sekitar 4,4 ± 0,2 kali lipat jika dibandingkan dengan kulit yang tidak dipajan radiasi UV (Fisher et al., 2001). MMP-1 adalah mediator utama terhadap timbulnya degradasi kolagen pada kulit yang mengalami photoaging. Enzim MMP-1 kolagenolitik mendegradasi fibril kolagen dan elastin, yang penting untuk kekuatan dan elastisitas kulit. Aktivitas MMP-1 di kulit akan meningkat walaupun hanya
31
dengan radiasi UV yang singkat, yang akan menyebabkan timbulnya kerutan pada kulit, yang menjadi tanda photoaging (Yaar dan Gilchrest, 2008). Secara garis besar pengaruh sinar UV matahari terhadap timbulnya Photoaging dapat dijelaskan dengan gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Model Mekanisme Photoaging (Helfrich et al., 2008)
Radiasi UV akut menyebabkan timbulnya ROS (Radical Oxygen Species), yang meningkatkan AP-1 dan menurunkan TGF-β. Peningkatan AP-1 dapat meningkatkan MMP yang bertindak sebagai pemecah kolagen, sementara itu penurunan TGF-β juga menurunkan sintesis kolagen. Pemecahan kolagen selalu diikuti dengan sintesis dan perbaikan, yang seperti pada hampir semua proses penyembuhan luka, tidak pernah sempurna dan menyisakan bekas, walaupun awalnya ecara klinis tidak terlihat. Tetapi bersama dengan bertambahnya usia dan
32
ekspos sinar UV yang terus terjadi, terjadi penumpukan solar scar, yang lama kelamaan mulai terlihat secara klinis berupa kerutan (photoaging) (Helfrich et al., 2008). Dengan demikian, hambatan terhadap MMP-1 adalah salah satu cara untuk mencegah kerusakan kulit akibat paparan sinar UV. Matriks metaloproteinase-1 adalah mediator kunci yang mendegradasi kolagen pada kulit yang mengalami photoaging (Fisher et al., 2002).
2.7.Photoaging dan Mekanisme Kerusakan pada Kolagen Photoaging adalah proses penuaan dini yang terjadi akibat efek kumulatif pajanan kronis UV matahari dengan gejala penuaan kronologis. Kerusakan yang ditimbulkan dapat dilihat baik secara klinis, histologis atau patologi anatomi maupun secara fungsional (Berneburg et al., 2000). Reaksi kronis dari pajanan sinar ultraviolet matahari selama bertahuntahun dapat menimbulkan gangguan arsitektur kulit, dan terutama menyebabkan penuaan dini kulit atau photoaging (Quan et al., 2009) Pajanan UV akan berakibat pada timbulnya reactive oxygen species (ROS) yang merusak membran lipid, protein seluler, dan DNA . Kerusakan pada protein akan menginaktifkan enzim yang mempengaruhi kemampuan sel tersebut untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh sinar UV dan ini akan berakibat pada kematian sel atau terjadinya mutasi permanen DNA seluler Gilchrest, 1995).
(Yaar dan
33
Dilaporkan bahwa penyinaran ultraviolet merusak matriks kolagen kulit melalui dua jalur yang berbeda yaitu terjadinya stimulasi degradasi kolagen dan hambatan produksi kolagen (Fisher et al., 2004). Saat kulit terekspos dengan sinar matahari, radiasi UV terserap oleh molekul kulit yang dapat menimbulkan senyawa berbahaya yang disebut raective oxygen species (ROS) (Fisher et al., 2002). Yang mana dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada komponen sel seperti dinding sel, membran lipid, mitokondria, dan DNA. ROS ini juga berpengaruh besar pada jalur molekul. Penyinaran kulit bokong manusia dengan 2 MED (minimal erythema dose, yaitu dosis minimal radiasi UVA / UV- B yang dapat menimbulkan efek erythema pada kulit) dapat meningkatkan hidrogen peroksida, suatu ROS, dalam 15 menit (Helfrich et al., 2008). Sedangkan penelitian lain menemukan bahwa hanya dengan satu kali ekspos penyinaran radiasi UV sebesar 4 MED, dapat menginduksi marker stres oksidatif pada kulit (epidermis maupun dermis), yaitu H2O2 (menggunakan dihydrorhodamine-123, DHR) , Nitric Oxide (menggunakan spektrofotometri), Peroksidasi Lipid (menggunakan Malondialdehida, MDA), dan infiltrasi lekosit inflamasi (menggunakan antibodi sel CD11b+ ) yang meningkat paling signifikan pada 48jam setelah ekspos UV. Seperti diketahui bahwa adanya nitric oxide (NO) dan hidrogen peroksida (H2O2) sangat merusak dan sitotoksik terhadap sel target. NO mengandung elektron tak berpasangan dan bersifat paramagnetik, dan oleh karena itu bereaksi cepat terhadap anion superoksid untuk menbentuk anion
34
peroksi nitrat. Dekomposisi peroksi nitrat adalah oksidan yang kuat, sama seperti radikal hidroksil (Katiyar et al., 2001). Selain itu penyinaran radiasi UV dapat menimbulkan perubahan pada kolagen dermal melalui dua cara: (1) stimulasi pemecahan kolagen, menghasilkan kolagen yang terpecah dalam fragmen dan tidak beraturan. (2) menghambat biosintesis prokolagen, sehingga kandungan kolagen berkurang (Yaar dan Gilchrest, 2008; Helfrich et al., 2008). Hanya dengan satu kali penyinaran UV dengan dosis 2 MED, dapat menghambat sintesis prokolagen hampir total, yang bertahan untuk 24 jam, diikuti dengan perbaikan dalam 48-72 jam setelahnya (Fisher et al., 2001). Penelitian-penelitian sebelumnya juga telah menemukan bahwa AP-1 (Activator protein-1) dan MMP meningkat dan tetap bertahan sampai sekitar 24 jam setelah paparan radiasi UV serta terdapat peningkatan pemecahan kolagen yang signifikan. Setiap paparan radiasi UV sepanjang usia hidup, sesungguhnya terus terakumulasi sebagai ‘solar scar’, yang kemudian bermanifestasi sebagai kerutan (wrinkle).
35
Gambar 2. 2 Model Hipotesis Patofisiologi Solar Scar (Fischer, 2001)
Gambar 2.2 memperagakan model hipotesis terbentuknya solar scar. Kulit yang terekspos sinar UV pada tahap sebelum terjadi sunburn, memicu ekspresi MMP (Matrix Metalloproteinase) dalam keratinosit (KC) di lapisan luar kulit dan fibroblas (FB) di jaringan konektif. MMP kemudian mendegradasi kolagen pada matriks ektraseluler lapisan dermis. Tingkat destruksi matriks dibatasi
secara
simultan
oleh
TIMP-1
(Tissue
Inhibitor
of
Matrix
Metalloproteinase), yang secara parsial bekerja menghambat aktivitas MMP. Pemecahan kolagen selalu diikuti dengan sintesis dan perbaikan, yang seperti
36
pada hampir semua proses penyembuhan luka, tidak pernah sempurna dan menyisakan bekas, walaupun awalnya ecara klinis tidak terlihat. Tetapi bersama dengan bertambahnya usia dan ekspos sinar UV yang terus terjadi, terjadi penumpukan solar scar, yang lama kelamaan mulai terlihat secara klinis berupa kerutan (photoaging).
2.8. Manifestasi Klinis dan Histologis Kulit yang Mengalami Photoaging Pada kulit yang mengalami kerusakan akibat pajanan sinar ultraviolet secara klinis akan tampak permukaan kulit kasar menebal (leathery skin), kering, pigmentasi tidak merata (lentigines, hipomelanosis gutata, atau hiperpigmentasi yang persisten), bernodus, timbulnya kerutan dari yang halus sampai dalam, elastisitas berkurang, dan teleangiektasia. Karakteristik yang khas pada kulit yang mengalami kerusakan karena pajanan sinar ultra violet adalah elastotic wrinkle yang sering dijumpai pada kulit tipe III-V (Yaar, 2006). Sedangkan secara histologis tampak adanya penebalan lapisan epidermal yang ireguler. Tepat di bawah epidermis adanya suatu gerombolan materi yang bersifat eosinofilik (Grenz zone), kemungkinan ini merupakan analog dari suatu mikroskar akibat proses perbaikan dari pajanan sinar ultra violet. Pada papilari dermis menunjukkan adanya aggregasi nodular fibrous dengan materi elastotik. Pada dermis jumlah glikosaminoglikan dan proteoglikan meningkat, sementara serat kolagen berkurang menggumpal dan sebagian terdegradasi sebagai akibat dari terpicunya sekresi Matriks Metalloproteinase oleh sinar ultra violet (Yaar, 2006)
37
Salah satu ciri karakteristik secara histologis pada kulit yang mengalami kerusakan akibat pajanan sinar ultra violet adalah solar elastosis yaitu suatu materi yang terbentuk dari sejumlah besar jaringan elastin yang terdegradasi dan membentuk suatu masa yang kusut. Tampak juga adanya infiltrat radang yang terdiri dari sel mast, histiosit, dan sel mononuklear lainnya (Yaar, 2006 ).
2.9. Radikal Bebas dan Antioksidan 2.9.1. Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mempunyai jumlah
elektron ganjil atau elektron tidak berpasangan tunggal pada lingkar
luarnya. Elektron tidak berpasangan tersebut menyebabkan instabilitas dan bersifat reaktif, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada disekitarnya. Hilang atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain menciptakan radikal bebas baru dan akan mengakibatkan suatu perubahan secara fisik dan kimiawi (Cooper, 1997 ; Pham-Huy et al., 2008). Radikal bebas tersebut diproduksi secara endogen dan juga diperoleh secara eksogen. Secara endogen radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma, dan inti sel. Secara eksogen berasal dari asap rokok, polutan, radiasi, obat obatan, dan pestisida. Dalam keadaan fisiologis, radikal bebas yang terbentuk secara normal akan dinetralisasi sebelum terjadinya perusakan yang berat pada sel.
38
Tidak selamanya senyawa oksigen reaktif yang terdapat di dalam tubuh itu merugikan, pada kondisi-kondisi tertentu keberadaannya sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem antioksidan dalam tubuh. 2.9.2. Antioksidan Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor) yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif
oksidan
dalam tubuh.
Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat. Antioksidan berfungsi melindungi zat lainnya dari kerusakan karena reaksi oksidasi yang dipicu oleh ROS dan radikal bebas. ROS dan radikal bebas ini memicu terjadinya proses degenerasi (Pham-huy et al., 2008). Secara umum antioksidan
dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu
antioksidan enzimatis dan antioksidan non enzimatis. Antioksidan enzimatis antara lain adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Sedangkan antioksidan non enzimatis dibedakan menjadi dua kelompok yaitu antioksidan non enzimatis yang larut lemak (seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, dan quinon) dan antioksidan non enzimatis yang larut dalam air
(asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein
pengikat heme). Kedua golongan antioksidan
tersebut bekerja
sama untuk
memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh, sehingga terjadinya stress oksidatif dapat dihambat oleh kerja antioksidan tersebut.
39
2.9.2.1. Peranan Antioksidan pada Kulit yang Mengalami Kerusakan karena Pajanan Sinar UV Secara alami kulit bergantung pada antioksidan untuk melindungi dari ROS yang dihasilkan oleh sinar matahari maupun proses metabolisme normal. Antioksidan enzimatis dan non enzimatis akan berinteraksi untuk memberikan perlindungan, termasuk di sini adalah vit E, coenzyme Q10, askorbat, karotenoid, superoksid dismutase, katalase, dan glutation peroksidase.
Namun oleh karena
paparan ultra violet yang berlebihan, mengakibatkan terjadi deplesi pada suplai antioksidan tersebut, terbentuklah
suatu keadaan stress oksidatif.
Untuk itu
diperlukan juga antioksidan yang diaplikasikan secara topikal untuk menambah cadangan antioksidan kulit. Pada keganasan kulit seperti basal sel ca, ditemukan kadar karotenoid yang rendah, sehingga
diperkirakan antioksidan ini sangat
penting pada pertahanan kulit terhadap radiasi UV dan photokarsinogenesis (Pinnel, 2003 ; Rabe et al., 2006). Interaksi antara radiasi matahari pada kulit mengakibatkan terbentuknya radikal bebas. ROS akan mengakibatkan terjadinya hidroksilasi, pemutusan rantai, penambahan radikal pada cincin aromatik, pembentukan aldehid, dan deplesi thiol. Terjadi pula autooksidasi asam lemak tak jenuh ganda pada membran lipid, yang kemungkinan berkaitan dengan singlet oksigen dan radikal hidroksil. Disini antioksidan akan berperanan untuk mengurangi efek dari ROS tersebut melalui 1. Scavenging (mengikat) : R+PH* RH+ P* 2. Inhibisi (penghambatan) : RO2 + PH* ROOH+P 3. Proteksi : (ROOH + PH* ROH + POH
40
Dimana R adalah komponen bervariasi, dan PH adalah antioksidan protektif yang mampu memberikan ion hidrogen.
3.1. Jagung Ungu (Zea Mays L) Tanaman jagung dalam tata nama atau sistematika (taksonomi) tumbuhtumbuhan jagung diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Class
: Monocotyledoneae
Ordo
: Graminae (Poales)
Famili
: Graminaceae (Poaceae)
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L
(Tjitrosoepomo, 1991) Jagung pati
adalah kelompok sereal yang mempunyai kontribusi kandungan
( karbohidrat komplek) sekitar 80% , 10% gula yang memberikan
rasa manis, 11% protein, 2% mineral , vitamin B dan asam askorbat. Selain nilai gizi, jagung ungu memiliki komposisi yang kaya phytochemical, terutama antosianin dan senyawa fenolik (Moos 2013). Jagung ungu
kaya akan antosianin, merupakan tanaman Andean,
dibudidayakan di lembah rendah di Amerika Selatan terutama di Peru dan Bolivia. Dikenal juga diSpanyol dengan sebutan "maiz morado" dan telah lama digunakan untuk makanan penutup,pewarna makanan dan minuman. Pewarna makanan dan
41
minuman dari jagung ungu banyak digunakan di Asia, Amerika Selatan dan Eropa saat ini (Pu Jing.,2006). Berbeda dengan jagung yang kebanyakan dikonsumsi masyarakat yaitu jagung kuning atau jagung putih, jagung ungu masih jarang dikenal sebab jagung tersebut sangat jarang dibudidayakan di Indonesia.
Gambar 2. 3 Jagung Ungu (Varien Moos, 2013)
Kandungan antosianin rata-rata jagung ungu adalah 1.640 mg/100g berat segar (Jones, 2005), lebih tinggi dari blueberry segar (73-430 mg/100g) (Moyer et al ., 2002). Cyanidin-3-glucoside adalah antosianin utama yang terdapat dalam jagung ungu ( Nakatani et al . , 1979) , pelargonidin , dan peonidin glukosida juga telah ditemukan
( Styles dan Ceska , 1972) serta turunannya malonyl
masing-masing ( Pascual et al. , 2002).
42
Tabel 2. 1 Kandungan antosianin pada beberapa buah dan sayuran (dikutip dari Pu Jing 2006) Sumber Buah Apel Bilberry Blackberry Black chokeberry Blackcurrant Blackberry Black raspberry Blueberry Cranberry Elderberry Anggur Lingonberry Marion berry Strawberry
Nama Ilmiah
Antosianin (mg/100 mg)
Referensi
Malus pumila P. Mill. Vaccinium myrtillus L. Rubus spp. Aronia melanocarpa (Michx.) Elliot Ribes nigrum L. Rubus spp. Rubus occidentalis L.
1 ~ 17 300 ~ 808
(Wu et al ., 2006 ) (Prior et al ., 1998; Maatta-Riihinen et al ., 2004)
72 ~ 1221 307 ~ 1480
(Clark et al ., 2002 ) (Strigl et al ., 1995; Wu et al ., 2004)
96 ~ 452 72 ~ 1221 145 ~ 607
(Kampuse et al ., 2002; Wu et al ., 2004) (Clark et al ., 2002) (McGhie et al ., 2002; Moyer et al ., 2002)
63 ~ 430
(Prior et al ., 1998; Moyer et al ., 2002)
20 ~ 360
(Prior et al ., 2001; Wang and Stretch, 2001)
332 ~ 1374 27 ~ 120 31 ~ 92
(Maatta-Riihinen et al ., 2004; Wu et al ., 2004) (Wu et al ., 2006 ) (Wang et al ., 2005)
62 ~ 155 13 ~ 55
(Deighton et al ., 2000; Wada and Ou, 2002) (Cordenunsi et al ., 2002)
45 86
(Wu et al ., 2006 ) (Wu et al ., 2006 )
38 ~ 98 1640 11 ~ 60 322
(Lazcano et al ., 2001) (Cevallos-Casals and Cisneros-Zevallos, 2003) (Giusti et al ., 1998) (Wu et al ., 2006 ) (Rodríguez-Saona et al ., 1998) (Wu et al ., 2006 )
Vaccinium corymbosum L. Vaccinium macrocarpon Aiton. Sambucus nigra L. Vitis vinifera Vaccinium vitis-idaea L. Rubus ursinus Fragaria × ananassa D.
Sayuran Kacang hitam Eggplant Wortel ungu Jagung Ungu Radish Kubis merah Kentang merah Bawang merah
Phaseolus vulgaris L. Solanum melongena L. Daucus carota Zea mays L. Raphanus sativus L. Brassica oleracea L. 14 ~ 45 Allium cepa L.
49
3.2. Antosianin Antosianin adalah suatu jenis polifenol grup flavonoid yang paling banyak ditemukan pada buah-buahan dan sayuran. Antosianin adalah pigmen yang dapat larut dalam air, memberi warna merah, ungu dan biru pada banyak buah-buahan, sayuran, bunga dan biji-bijian (Wang dan Stoner, 2008).
43
Berbagai macam flavonoids termasuk antosianin, flavonol, flavone dan flavanol telah banyak dilaporkan mempunyai efek anti karsiogenik, anti mutagenik antibakteri (Puupponen-Pimia et al ., 2005) dan efek vasodilatasi pada hewan (Steinmetz et al., 2005). 3.2.1. Struktur Kimia Antosianin
adalah
derivatif
polihidroksi
atau
polimetoksi
dari
2-
fenilbenzopirilium yang terglikosilasi, mengandung 2 cincin benzoyl (A dan B) yang dipisahkan oleh cincin heterosilik (C) (Gambar 2.6). Dengan kata lain, antosianin adalah senyawa antosianidin dan glukosa dalam asam organik. Ada 6 jenis antosinidin yang ditemukan dalam tanaman, yaitu cyanidin, delphinidin, malvidin, pelargonidin, peonidin dan petunidin (Abdel-Aal et al., 2010).
Gambar 2. 4 Struktur 6 Jenis Antosianidin, dalam Bentuk Glukosida dengan Glukosa
Bentuk glikosida dari 3 non-metilasi antosianidin (cyanidin, delphinidin, pelargonidin) adalah yang paling banyak ditemukan, kira-kira 80% pada daundaunan berwarna, 69% pada buah-buahan dan 50% pada bunga. Mereka biasanya
44
berikatan dengan senyawa sakarida seperti glukosa, galaktosa, rhamnosa atau arabinosa, dalam bentuk 3-glikosida atau 3,5-diglikosida. Perbedaan warna antara antosianin biasanya karena perbedaan pola cincin B antosianidin, pola glukosilasi dan derajat esterifikasi glukosa dengan asam alifatik atau aromatik, dan pH, suhu, jenis pelarut dan adanya pigmen penyerta (Shipp dan Abdel-Aal, 2010). 3.2.2. Efek Fisiologis Antosianin paling dikenal sebagai antioksidan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain sebagai antioksidan, antosianin juga mempunyai efek anti-inflamasi, efek anti-diabetik, anti-kanker, dan dapat memperbaiki profil lipid darah dan memiliki efek vasoprotektif (Wrolstad, 2001; Shipp dan Abdel-Aal, 2010). Struktur fenolik antosianin bertanggung jawab dalam efek antioksidan-nya, yaitu gugus hidroksil pada posisi 3 dari cincin C dan posisi 3’, 4’, 5’ dari cincin B. Sebagai antioksidan, antosianin bekerja sebagai scavenger ROS seperti superoksid (O2- ), singlet oksigen (‘O2), peroksida (ROO-), hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH.) (Wang dan Stoner, 2008). Mekanisme efek antosianin sebagai anti-inflamasi memang belum diketahui, tapi suatu penelitian in vitro menunjukkan bahwa administrasi antosianin dapat menurunkan aktivasi faktor transkripsi NFKB dan menurunkan ekspresi beberapa sitokin dan mediator proinflamasi (Karlsen et al ., 2007). Suatu penelitian epidemiologi menunjukkan penurunan insidens penyakit-penyakit inflamasi pada populasi yang mengkonsumsi makanan kaya polifenol (Spormann
45
et al ., 2008), dan konsumsi antosianin menunjukkan berkurangnya risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, arthritis dan keganasan (Wang dan Stoner, 2008). Dari berbagai literatur dan penelitian belum ada yang meneliti efek proteksi antosianin dari jagung ungu terhadap radiasi sinar UV-B terhadap kulit secara invivo. Padahal penelitian dengan antosianin dari tumbuhan lain sudah banyak yang memberikan hasil yang menjanjikan. Dengan mempertimbangkan hal ini, timbul dugaan bahwa antosianin yang banyak terdapat dalam ekstrak jagung ungu dapat menghambat penuaan dini kulit, dengan menghambat peningkatan kadar MMP-1dan peningkatan jumlah kolagen pada tikus yang dipajan dengan sinar UV-B, karena efek antioksidannya. Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan dugaan tersebut diatas.
3.3. Vitamin C Vitamin C atau asam askorbat merupakan salah satu antioksidan yang poten dan telah terbukti dapat meminimalkan eritema dan terbentuknya sel sunburn setelah paparan sinar UV. Potensi antioksidan pada bahan topikal inilah yang terbukti dapat melindungi kulit dari kerusakan akibat paparan sinar UV. Vitamin C terdiri dari 6 rantai karbon lakton yang disintesis dari glukosa di dalam hepar mamalia kecuali manusia, oleh karena manusia tidak mempunyai enzim glunolakton oksidase yang dapat mensintesis asam askorbat dari glukosa (Padayatty et al., 2003; Baumann dan Alleman, 2009). Fungsi vitamin C topikal pada kulit dapat 1) meningkatkan satbilitas dan menurunkan sensitivitas kolagen terhadap panas, 2) merangsang pertumbuhan kolagen baik secara in vitro maupun in vivo (Humbert et al., 2003), 3) melindungi kulit dari
46
kerusakan akibat paparan sinar UV melalui aktivitas antioksidannya, 4) meningkatkan kepadatan papila dermis melalui mekanisme angiogenesis (Sauemann et al., 2004). Vitamin C merupakan kofaktor hidroksilase prolil dan lisil yang akan mengkatalisasi pembentukan hidroksiprolin dan hidroksilisin. Prolin dan lisin banyak dijumpai pada molekul kolagen, hidroksilasi keduanya akan merangsang ekskresi prokolagen keluar dari fibroblas sehingga dapat meningkatkan stabilitas kolagen dan mengurangi sensitivitas terhadap panas (Zussman et al., 2010). Vitamin C juga merangsang morfogenesis barier epidermal dan proliferasi fibroblas, membantu sintesis DNA
dan metabolisme mitokondria, merangsang
pembentukan membran plasma, mempercepat penutupan luka dan mengurangi kontraksi luka (Boyce et al., 2002). Vitamin C juga berperan penting untuk reaktivasi vitamin E yang telah mengalami perubahan menjadi radikal tokoferil dengan menarik radikal bebasnya (Fernandes, 2008). Vitamin C mendonorkan dua elektron yang berasal dari ikatan rangkap antara karbon kedua dan ketiga. Senyawa reaktif yang diberi elektron oleh vitamin C kemudian berubah menjadi senyawa yang stabil, sedangkan vitamin C kemudian berubah menjadi bentuk radikal semidehidroaskorbat atau radikal askorbil yang tidak reaktif (Zussman et al., 2010).
47
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi berbagai organ, demikian pula halnya dengan organ kulit yang mengalami perubahan fisik, baik ditingkat seluler maupun molekuler. Perubahan tersebut disebabkan oleh faktor internal seperti genetik, hormonal, radikal bebas, sistem imun tubuh, proses metilasi, glikosilasi, dan apoptosis; serta faktor eksternal yang meliputi sinar ultraviolet, polusi asap rokok, polusi lingkungan, bahan kimia, obat-obatan, gaya hidup , dan asupan makanan yang tidak sehat. Faktor eksternal yang utama dalam menimbulkan penuaan kulit dini adalah sinar UV. Apabila sinar UV mengenai sel-sel pada jaringan kulit dapat menyebabkan berbagai reaksi fotokimia, seperti fotoadisi, fotoisomerasi, dan fotooksidasi. Reaksi fotooksidasi terjadi akibat pelepasan ROS berupa anion superoksida (O2-●), hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksi (OH●) oleh kromofor yang menyerap sinar ultraviolet. Efek ROS terhadap kulit salah satunya adalah meningkatkan enzim matriks metaloproteinase1 (MMP-1) pada lapisan dermis yang akan mendegradasi jaringan kolagen dan akan mempercepat proses penuaan kulit dini.Demikian pula halnya pada
kulit, akan mengalami proses penuaan. Diketahui bahwa pajanan sinar ultra violet khususnya sinar ultra violet B karena sifatnya yang poten, walaupun dalam dosis 47
48
yang kecil yang terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan kerusakan pada kulit. Pada tahap awal kerusakan yang ditimbulkan masih bersifat akut, terjadi segera setelah terpapar oleh sinar ultra violet, dimana akan tampak warna kemerahan (erythema) pada kulit. Kerusakan lebih lanjut terjadi jika paparan sinar ultra violet berulang terus menerus, dan dapat menimbulkan suatu kerusakan pada lapisan epidermis dan dermis. Hal tersebut diawali dengan terbentuknya radikal bebas pada kulit akibat paparan sinar ultra violet dan selanjutnya akan memicu terjadinya peningkatan enzim Matriks Metalloproteinases. Salah satu di antaranya adalah enzim MMP-1 yang akan mendegradasi kolagen yang akan mengakibatkan terjadinya
proses penuaan pada kulit. Antosianin sebagai
antioksidan berperanan menghambat dan mencegah terjadinya kerusakan kulit oleh radikal bebas yang ditimbulkan oleh pajanan sinar ultra violet pada kulit, dengan mengikat singlet oksigen dan menghambat peroksidasi lipid. Dengan terjadinya hambatan tersebut, sintesis MMP-1 akan berkurang dan proses degradasi kolagen terhambat sehingga kulit terlindungi dari proses penuaan dini akibat pajanan sinar ultra violet B tersebut.
49
3.2. Konsep Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusun suatu kerangka konsep yang digambarkan sebagai berikut :
KRIM EKSTRAK JAGUNG UNGU 50 %
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
-Genetik -Hormon -Radikal bebas -Glikosilasi -Metilasi -Apoptosis -Sistem imun tubuh
-Paparan asap rokok -Polusi lingkungan -Bahan kimia -Obat-obatan -Stres -Gaya hidup tidak sehat Radiasi sinar UV-B -Diet
TIKUS DIPAPAR SINAR UV-B JUMLAH KOLAGEN KADAR MMP-1
Keterangan gambar : : Tidak diteliti : Diteliti
UV : Ultraviolet MMP : Matriks metaloproteinase
Gambar 3.1 Konsep Penelitian
50
3.3. Hipotesis Penelitian Dari kajian pustaka dan kerangka konsep tersebut, maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: 1. Krim ekstrak jagung ungu (Zea mays) menghambat peningkatan kadar MMP-1 pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B. 2. Krim ekstrak jagung ungu (Zea mays) menghambat penurunan jumlah kolagen dermis pada tikus Wistar yang dipapar sinar UV-B
51
BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan the randomized post-test only control group (Paik, 2007). Bagan rancangan penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4.1.
P1
Populasi
Random
Sample
O1
Random P2
O2
Gambar 4. 1 Rancangan The Gambar Randomized 4.1 Post-test Only Control Group Keterangan : P1 = Perlakuan 1 (subyek diolesi bahan dasar krim plasebo/krim dasar dan dipapar sinar UV-B, selanjutnya disebut Kelompok 1) P2 = Perlakuan 2 (subyek diolesi krim ekstrak jagung ungu (Zea mays l.) +krim pembawa dan dipapar sinar UV-B, selanjutnya disebut Kelompok 2) O1 = Hasil observasi kelompok perlakuan 1 O2 = Hasil observasi kelompok perlakuan 2 Observasi adalah hasil kadar MMP-1 dan jumlah kolagen kelompok kontrol post-test
Penelitian ini dilakukan secara in vivo, menggunakan hewan coba tikus Wistar sebanyak 36 ekor berumur 10-12 minggu, jenis kelamin jantan dan berat badan antara 150 - 160 g, dikelompokan secara random menjadi 2 kelompok dan
51
52
masing-massing kelompok terdiri dari 18 ekor tikus. Kelompok 1 adalah kelompok yang diberikan bahan dasar krim plasebo (krim dasar saja); Kelompok 2 adalah kelompok yang diberikan krim ekstrak jagung ungu (Zea mays l.); Kelompok 1 dan kelompok 2 disamping diberikan krim juga dipapar dengan sinar UV-B.
4.2. Parameter yang diamati Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1. Jumlah kolagen dermis kulit tikus Wistar, apabila terjadi peningkatan merupakan tanda adanya efek perlindungan dari krim ekstrak jagung ungu (Zea mays) terhadap kerusakan kolagen akibat paparan sinar UV-B dan biomarker peningkatan produksi fibroblas. 2. Kadar MMP-1 kulit tikus Wistar, apabila terjadi peningkatan merupakan petanda adanya stres oksidatif, dan apabila menurun merupakan petanda adanya efek perlindungan dari krim
ekstrak
jagung ungu (Zea mays) terhadap kerusakan kolagen akibat paparan sinar UV-B.
4.3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi FK UNUD dan Laboratorium Histologi FK UNUD. Sedangkan pembuatan ekstrak jagung ungu dilakukan di Laboratorium Teknologi Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UNUD, pembuatan krim ekstrak jagung ungu dikerjakan di Bogor. Pemeriksaan histologi dan pengecatan Sirius red dilakukan di
53
Laboratorium Histologi FK UNUD. Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yang berlangsung mulai bulan Februari 2014 sampai dengan Juli 2014
4.4. Populasi dan Sampel 4.4.1. Populasi Populasi pada penelitian ini adalah: a. Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh tikus Wistar (Rattus norvegicus)galur Wistar race yang menerima perlakuan dan dipelihara di kandang hewan Laboratory Animal Unit Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana serta sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan dalam penelitian. b. Populasi terjangkau meliputi tikus yang berumur 10 – 12 minggu dengan berat badan 150 - 160 g. 4.4.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah tikus Wistar dewasa, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut : Kriteria inklusi : a.
Tikus Wistar, jantan dan sehat.
b.
Umur 10-12 minggu karena usia tikus 10 - 12 minggu memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik (Bhattacharya dan Thomas, 2004; Bartke, 2005).
c.
Berat badan 150 - 160 g.
Kriteria drop Out : apabila tikus Wistar mati pada saat penelitian.
54
4.4.3. Besar sampel dan teknik penentuan sampel Penentuan jumlah ulangan mengikuti rumus penentuan replikasi yang dilakukan oleh Federer (Montgomery, 2001; Islam, 2007)
yaitu dihitung
berdasarkan rumus: ( t-1) (r-1) ≥ 15 Keterangan: t = banyaknya taraf perlakuan r = banyaknya replikasi Dalam penelitian ini t = 2, sehingga (2 -1) (r-1) ≥ 15, dengan memakai rumus tersebut akhirnya diperoleh jumlah r = 16 Tiap kelompok ditambah 10% sebagai cadangan ( 10% x 16 = 2 ) untuk mengantisipasi adanya kematian pada kelompok tikus Jadi total sampel (16 x 2) + (2 x 2) = 36 ekor tikus yang dibutuhkan untuk penelitian secara keseluruhan.
4.5. Variabel Penelitian 4.5.1. Klasifikasi variabel a. Variabel prakondisi: dalam penelitian ini yang menjadi variabel prakondisi adalah sinar UV-B b. Variabel bebas (variabel yang mempengaruhi secara langsung), yaitu : 1. Dosis paparan sinar UV-B, 2. Krim dasar, 3. Krim ekstrak jagung ungu yang diberikan secara topikal.
55
c. Variabel tergantung: variabel tergantung dari penelitian ini adalah efek yang ditimbulkan akibat pemberian krim ekstrak jagung ungu, kadar MMP-1dan jumlah kolagen. d. Variabel kendali: Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel tergantung di luar variabel bebas akan dikendalikan. Faktor yang dikendalikan tersebut adalah strain tikus, umur, berat badan, jenis kelamin dan pakan tikus Wistar. 4.5.2. Hubungan antar variabel Untuk lebih memudahkan dalam memahami hubungan antar variabel penelitian, dibuat skema hubungan antar variabel seperti disajikan pada Gambar 4.2.
Variabel Prakondisi
Variabel Bebas
Sinar UV-B
Krim Ekstrak Jagung Ungu
Variabel Tergantung - Jumlah kolagen - Kadar MMP-1
Variabel Kendali Strain, Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan Tikus,Pakan
Gambar 4. 2 Skema Hubungan Antar Variabel Penelitian
56
4.6. Definisi operasional variabel 1. Jagung ungu (Zea Mays) adalah Jagung ungu
yang diperoleh dari
supermarket Food Hall Sogo, berupa import dari Negara China 2. Ekstrak jagung ungu adalah ekstrak dari jagung ungu yang dibuat dengan menggunakan pelarut etanol, kemudian dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator Danke dan Kunkel, IKA Labortechnik RV 06-ML, sehingga diperoleh ekstrak kasar (crude extract), dikerjakan di Laboratorium Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Jagung ungu yang dipilih yang segar dengan kriteria sebagai berikut: panjang kira kira 20 cm, diameter tengah tongkol 5 cm,dan jumlah baris tongkol 16 - 18 baris, berat 400 gram,warna ungu kehitaman, tidak cacat, tidak busuk, tidak ada serangga dan kotoran.Jagung ungu yang digunakan merupakan jagung yang sudah layak untuk dikonsumsi. 3. Bahan dasar krim adalah bahan untuk pembuatan krim yang tidak mengandung bahan aktif seperti ekstrak jagung ungu, dibuat di PT Syifa Bio Derma, Depok
4. Krim dasar (placebo) diberikan secara topikal selama empat minggu masing-masing sebagai kontrol. 5. Sinar UV-B adalah sinar UV-B yang diberikan pada tikus Wistar dari sumber UV-B buatan China, tipe KN-4003 B, alat ini dapat memancarkan sinar UV-B dengan besar dosis radiasi yang dapat diukur dengan UV meter. Paparan sinar UV-B diberikan 3 kali perminggu selama 4 minggu dengan total dosis 840 mJ/cm2 yaitu minggu pertama 50 mJ/cm2, minggu kedua 70 mJ/cm2, minggu ketiga dan keempat 80 mJ/cm2.
57
6. Jaringan kulit adalah jaringan yang diambil dengan cara eksisi dari kulit pada bagian punggung tikus Wistar yang telah dipapar dengan sinar UVB, 3 kali perminggu selama 4 minggu dengan total dosis 840 mJ/cm2. Jaringan kulit tikus Wistar disimpan dalam botol simpan dan direndam dengan menggunakan buffer formalin 40%. Jaringan kulit dipotong melintang untuk pemeriksaan kadar kadar MMP-1 dan jumlah kolagen 7. Jumlah kolagen dermis adalah persentase pixel jaringan kolagen berupa jaringan
berwarna
merah
terang
dengan
pewarnaan
Sirius
red
dibandingkan dengan pixel seluruh jaringan yang tampak pada foto sediaan histologis dan dinyatakan dalam persen (%). Penilaian dilakukan pada foto preparat dalam format JPEG yang diambil dengan kamera LC Evolution dan mikroskop Olympus Bx51 dengan pembesaran objektif 40 kali, masing-masing preparat difoto sebanyak 3 kali. 8. Kadar MMP-1 adalah konsentrasi MMP-1 pada jaringan kulit yang sudah diekstrak, kemudian dianalisis dengan menggunakan kit Rat Matrix Metalloproteinase 1 (MMP-1/collagenase1) buatan MyBiosource, USA dengan teknik ELISA dan dinyatakan dalam satuan picogram/mg jaringan (pg/mg). 9.
Tikus Wistar adalah famili tikus coba yang digunakan, diperoleh dari Laboratorium Animal, Bagian Farmakologi FK UNUD.
10. Umur tikus adalah waktu dihitung dari tikus percobaan lahir dan dinyatakan dalam satuan minggu.
58
11. Berat badan tikus dalam satuan gram (g) yang ditimbang menggunakan alat timbang analitik digital scale, merk Tann dengan kapasitas maksimal 2 kg dan ketelitian 2 angka dibelakang koma. 12. Pakan tikus adalah sesuai formula standar berupa konsentrat yang diperkaya dengan vitamin B12. 4.7. Bahan dan Instrumen Penelitian 4.7.1. Bahan penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus Wistar berusia 10-12 minggu dengan berat badan 150 - 160 gram dengan pakan ternak, krim plasebo (krim dasar) dan krim ekstrak jagung ungu dan krim pembawa. Bahan-bahan kimia yang digunakan ini adalah pro analisis (p.a.) yang terdiri dari: kit MMP-1, antibodi MMP-1, , formaldehid, NaH2PO4, Na2HPO4, parafin, xylol, pewarna Sirius red, etanol, Avidin-HRV dan DAB. 4.7.2. Instrumen penelitian Instrumen yang dipergunakan adalah kandang tikus individual, alat fiksasi tikus, alat pencukur, timbangan, buku dan alat pencatatan data, alat sumber sinar UV-B buatan China merk KN-4003B, alat-alat untuk pembuatan preparat, kamera LC Evolution dan mikroskop Olympus Bx51, komputer dengan piranti lunak Adobe PhotoShop Cs2 versi 9.0, SPSS buatan IBM versi 20, sentrifugasi, neraca analitik, seperangkat alat ELISA. 4.7.3. Hewan percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus galur wistar (Rattus norvegicus) berusia 2 bulan dengan berat badan 150-200 gram
59
dengan makanan yang mengandung protein 20-25% (tetapi hanya 12% kallau menggunakan asam amino komplit), kadar lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar kira-kira 5%, dan abu 4-5% ,pakan juga perlu ditambah vitamin dan mineral misalnya ternak diet standar dengan menggunakan HPS 511 dari PT.Charoen Pokphand jumlah perhari 12 g-20g dan air biasa untuk minum ad libitum. Hewan yang digunakan sesuai dengan persyaratan penelitian eksperimental. Persyaratannya adalah tikus ditempatkan dalam kandang yang terbuat dari wadah plastik berukuran 23 cm x 17 cm x 9,5 cm untuk 15 ekor tikus (1080 cm2 untuk 4-5 ekor tikus) dengan alas sekam padi dan tutup dari anyaman kawat. Kandang harus cukup kuat, tidak mudah rusak, tahan gigitan, hewan tidak mudah lepas, tapi hewan harus tampak jelas dari luar. Kandang ditempatkan dalam ruangan berventilasi dan udara alami.
4.8. Prosedur Penelitian Jagung ungu yang dibeli dibuat ekstraknya. Ekstrak Jagung ungu diolah kemudian diolah dalam bentuk krim dalam konsentrasi 50 % dan dimasukkan dalam tube. Krim ekstrak jagung ungu dioleskan pada kulit punggung tikus sesuai dengan kelompoknya. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, maka dibuat alur penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 4.3. a. Sebanyak 36 ekor tikus diadaptasi selama 1 minggu di dalam kandang, dengan diberi makan dan minum ad libitum. Kondisi kandang adalah ruangan dengan ukuran panjang 23 cm lebar 17 cm dan tinggi 9,5 cm yang ada lampunya dengan suhu 25±2°C, kelembaban 50±10%. Satu kandang
60
maksimal dihuni 2 ekor tikus, idealnya satu kandang untuk 1 ekor tikus. Kandang harus cukup kuat, tidak mudah rusak, tahan gigitan, hewan tidak mudah lepas, tapi hewan harus tampak jelas dari luar b. Kemudian secara random tikus
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
kelompok 1, kelompok 2, masing-masing kelompok terdiri dari 18 tikus Wistar. c. Tikus dari semua kelompok dicukur bulu punggungnya, kemudian dioleskan bahan dasar krim pada kelompok 1 dan 2, masing-masing krim dioleskan sebanyak 0,05mg/cm2 luas permukaan kulit tikus. d. Paparan kronis UV-B diberikan terhadap kelompok 1dan 2 Paparan dilakukan sebanyak 3 kali seminggu yang dimulai dengan 50 mJ/cm2 pada minggu pertama, diikuti dengan 70 mJ/cm2 pada minggu kedua, dan 2 minggu berikutnya dengan 80 mJ/cm2 sehingga total sinar UV-B yang diterima oleh masing-masing kelompok tikus tersebut adalah 840 mJ/cm2 selama 4 minggu. e. Bahan dasar krim, krim jagung ungu 50 % diaplikasikan 2 kali sehari, yaitu 20 menit sebelum disinari (untuk memberikan waktu absorpsi bahan topikal ke dalam kulit) dan 4 jam setelah penyinaran (terbentuknya ROS dimulai 4 jam setelah paparan). Aplikasi bahan topikal tetap dilakukan pada hari tanpa penyinaran. f. 48 jam setelah penyinaran terakhir, untuk menyingkirkan pengaruh penyinaran akut, semua tikus dari kelima kelompok didekapitasi kemudian diambil jaringan kulit punggungnya dengan ukuran 2 x 2 cm setelah
61
diekstrak kemudian diukur kadar MMP-1. Jaringan kulit tikus lainnya dibuat sediaan histologis untuk pemeriksaan jumlah kolagen, g. Pembuatan sediaan histologis: 1) Tahap fiksasi Jaringan kulit tikus direndam dalam larutan formalin buffer fosfat 10% selama 1 hari ( 24 jam). Kemudian dilakukan trimming bagian jaringan yang akan diambil. 2) Tahap dehidrasi
Jaringan kulit tikus direndam dengan alkohol bertingkat berturut-turut 50%, 70%, 90%, 96% dan 100% masing-masing selama 2 jam. 3) Tahap clearing Jaringan dimasukkan ke clearing agent (xylene) selama 24 jam sampai transparan. 4) Tahap embedding Diawali dengan proses infiltrasi sebanyak 2 kali selama masingmasing 1 jam dengan parafin murni (Histoplast) cair (suhu 60o C) kemudian jaringan ditanam ke dalam parafin cair dan dibiarkan membentuk blok yang memakan waktu selama satu hari, agar mudah diiris dengan mikrotom. 5) Tahap pemotongan Pemotongan menggunakan mikrotom rotari (Jung Histocut Leica 820), tebal 5 mikro meter secara seri dan diambil irisan ke 5, 10, 15 untuk selanjutnya dilakukan penempelan pada gelas obyek, lalu diinkubasi pada suhu 60o C selama 2 jam.
62
h. Pewarnaan dengan Sirius red. 1). Sebelum dilakukan pengecatan, slide melalui proses deparafinisasi dan rehidrasi meliputi perendaman dalam larutan xylene 2 x 5 menit, etanol 100% selama 2 menit, etanol 96% 2 x 2 menit, etanol 70% selama 2 menit dan aquadest selama 2 menit. 2). Pewarnaan inti sel dengan Haematoxylin Weigert’s selama 8 menit, dan cuci sediaan selama 10 menit dengan air mengalir. 3). Kemudian pewarnaan dengan picro-sirius red selama 1 jam untuk memberikan pewarnaan mendekati seimbang di mana penambahan waktu tidak meningkatkan hasil dan waktu yang lebih pendek tidak disarankan meskipun warna terlihat baik. 4). Cuci dengan air asam sebanyak 2 kali. 5). Hilangkan air yang berlebihan secara fisik dengan menggoyang secara perlahan. 6). Dehidrasi dalan ethanol 100% sebanyak 3 kali. 7). Bersihkan dalan cairan xylene dan mounting pada medium yang bersifat asam. i. Pengamatan hasil. Jumlah kolagen dihitung dengan metode analisis digital, setiap sediaan preparat difoto dengan menggunakan kamera LC Evolution dan
63
mikroskop Olympus Bx51 dengan pembesaran objektif 40 kali, masingmasing preparat difoto sebanyak 3 kali disimpan dalam format JPEG. j. Prosedur penghitungan jumlah kolagen dermis. Dengan menggunakan piranti lunak Adobe PhotoShop Cs2 versi 9.0, foto preparat tersebut dianalisis jumlah kolagennya yang merupakan persentase kolagen dari seluruh area jaringan. Jaringan kolagen yang tampak berwarna merah terang dipilih dan hasil histogram dari segmentasi gambar kolagen tersebut berupa pixel area kolagen, kemudian hasilnya dicatat. Sedangkan jaringan lain dengan warna yang berbeda kemudian dipilih dan dicatat pixel dari histogramnya. Jumlah kolagen dihitung sebagai persentase pixel area kolagen dibandingkan dengan pixel area seluruh jaringan (pixel area kolagen dijumlahkan dengan pixel area jaringan lain) ( Widodo dan Dahlan, 2007).
pixel area kolagen X 100%
Jumlah kolagen = pixel area seluruh jaringan
k. Pada akhir penelitian tikus Wistar dieuthanasia melalui cara di suntik dengan Ketamin 75mg Xylazin 75g i.m. Bila sudah mati, tikus Wistar ditempatkan dalam ruang kaca yang tertutup dan transparan. Setelah dieuthanasia sisa organ dan jaringan yang tidak digunakan dikubur .
64
Alur penelitian 36 Ekor Tikus Usia 10-12 Minggu , Berat Badan 200– 250 gram
Diadaptasi selama 1 minggu
Kelompok Perlakuan 1 (18 Ekor)
Kelompok Perlakuan 2 (18 Ekor)
Paparan UV-B 3 x seminggu dengan dosis total 840mJ/cm2 + Diolesi krim plasebo 2x/hari
Paparan UV-B 3 x seminggu dengan dosis total 840 mJ/cm2 + Diolesi krim ekstrak jagung ungu 2x/hari
4 minggu
4 minggu
Istirahat 48 jam untuk menghindari efek akut paparan UV-B 840 mJ
Biopsi dan Pengambilan darah
Jumlah kolagen dermis dan kadar MMP-1 Gambar 4.3 Bagan Alur Penelitian
4.9. Analisis Statistik Semua data yang diperoleh kemudian dideskripsikan. Selanjutnya untuk melakukan analisis perbedaan jumlah kolagen, kadar dan kadar MMP-1 pada tikus coba antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan langkah-langkah analisis statistik sebagai berikut: 1. Seleksi data termasuk editing, koding dan tabulasi mengunakan file navigator program SPSS for windows buatan IBM versi 20.
65
2. Penentuan normalitas data kadar dan kadar MMP-1, jumlah kolagen pada masing-masing kelompok dianalisis dengan uji Shapiro-Wilk, karena sampel < 50 dan berdistribusi normal (p>0,05) 3. Homogenitas varian dianalisis menggunakan Levene’s test didapatkan data homogen (p>0.05) 4. Analisis komparasi dilakukan dengan t-test independent, karena data berdistribusi normal dan variannya homogen . Analisis komparasi bertujuan untuk mengetahui pengaruh krim ekstrak jagung ungu terhadap kadar MMP-1, dan jumlah kolagen .
66
BAB V HASIL PENELITIAN BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian eksperimental dengan
Randomized Post Test Only Control
Group Design, menggunakan 36 ekor tikus Wistar jantan sehat dengan berat 150 160 gram dan berumur 10 – 12 minggu , yang dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok kontrol (dipapar sinar UV- B+placebo) dan kelompok perlakuan (dipapar sinar UV- B + krim ekstrak jagung ungu 50 %).
5.1. Uji Normalitas Data Data jumlah kadar MMP-1
dan kolagen dermis diuji normalitasnya
dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5. 1 Hasil Uji Normalitas Data Kolagen dan MMP-1 Kelompok Subjek
n
p
Ket.
MMP-1 Perlakuan 1
18
0,624
Normal
MMP-1 Perlakuan 2
18
0,051
Normal
Kolagen Perlakuan 1
18
0,947
Normal
Kolagen Perlakuan 2
18
0,826
Normal
Keterangan :
n = jumlah sampel P = nilai kemaknaan / significancy
66
67
5.2. Uji Homogenitas Data Data jumlah kolagen dan kadar MMP-1 diuji homogenitasnya dengan menggunakan
Levene’s test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05),
disajikan pada Tabel 5.2 Tabel 5. 2. Homogenitas Kolagen dan MM-1 antar Kelompok Perlakuan Variabel F p Keterangan MMP-1
3,75
0,061
Homogen
Kolagen
0,01
0,981
Homogen
Keterangan : F = Nilai levene’s test P = Nilai Kemaknaan / significancy
5.3. Kadar MMP-1 Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar MMP-1 antar kelompok kontrol dan kelompok yang diberikan krim ekstrak jagung ungu 50 %. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.3 . Tabel 5. 3. Perbedaan Rerata Kadar MMP-1 Antar Kelompok Kelompok Subjek
n
Rerata MMP-1 (g/ml)
SB
Perlakuan 1
18
3,22
0,47
Perlakuan 2
18
Keterangan : n = Jumlah Sampel SB = Simpangan Baku
1,9
t
p
5,71
0,001
0,86
t = Uji t-independent p = Nilai kemaknaan / significancy
68
Pada Tabel 5.3, menunjukkan bahwa rerata MMP-1 kelompok kontrol adalah 3,220,47 dan rerata kelompok krim ekstrak jagung ungu adalah 1,900,86. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 5,71 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata MMP-1 pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Gambar 5.1 Perbandingan MMP-1 antara Kelompok Perlakuan 1 dengan Kelompok Perlakuan 2 Keterangan : Perlakuan 1 adalah kelompok yang diolesi krim dasar dan dipapar sinar UV-B. Perlakuan 2 adalah kelompok yang diolesi bahan dasar krim ekstrak jagung ungu 50 % dan dipapar sinar UV-B
5.4. Jumlah Kolagen Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan jumlah kolagen antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa krim ekstrak jagung ungu 50 %. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.4 .
69
Tabel 5. 4. Perbedaan Rerata Jumlah Kolagen Antara Kelompok Sesudah Diberikan Krim Ekstrak Jagung Ungu 50%
Kelompok Subjek
n
Rerata Kolagen (%)
SB
Perlakuan 1
18
65,54
5,61
Perlakuan 2 Keterangan :
18
n = Jumlah Sampel SB = Simpang Baku
71,7
t
p
3,44
0,00 2
5,11
t = uji t-independent p = nilai kemaknaan / significancy
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa rerata kolagen kelompok kontrol adalah 65,545,61 dan rerata kelompok krim ekstrak jagung ungu adalah 71,705,11. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 3,44 dan nilai p = 0,002. Hal ini berarti bahwa rerata jumlah kolagen pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
70
Gambar 5. 2 Perbandingan Rerata Jumlah Kolagen antara Kelompok Perlakuan 1 dengan Kelompok Perlakuan 2 Keterangan : Perlakuan 1 adalah kelompok yang diolesi krim dasar dan dipapar sinar UV-B. Perlakuan 2 adalah kelompok yang diolesi bahan dasar krim ekstrak jagung ungu 50 % dan dipapar sinar UV-B Hasil uji rerata antara kelompok adalah: p<0,05 vs semua kelompok
71
A
B
Gambar 5. 1. Jumlah kolagen pada Jaringan Dermis Tikus dengan Pengecatan Picro Sirius Red
Keterangan: A. Diberikan sinar UV-B dan bahan dasar krim: terjadi kerusakan pada susunan dan struktur jaringan kolagen berwarna merah yang tampak tipis. Tanda panah hitam menunjukkan serat kolagen yang utuh. Tanda panah kuning menunjukkan serat kolagen yang tidak utuh B. Diberikan sinar UV-B dan krim ektrak jagung ungu 50 %: Jumlah kolagen dengan serat kolagen berwarna merah tampak lebih lebar dan tebal dimana serat kolagen yang utuh mulai nampak. Tanda panah hitam menunjukkan serat kolagen yang utuh. Tanda panah kuning menunjukkan serat kolagen yang tidak utuh.
72
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1. Subyek Penelitian Untuk menguji pemberian ekstrak jagung ungu terhadap peningkatan kolagen dan penurunan MMP-1, maka dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan Randomized Post Test Only Control Group Design, menggunakan 36 ekor tikus Wistar jantan sehat dengan berat 150 - 160 gram dan berumur 10 – 12 minggu sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok kontrol (dipapar sinar UV- B+plasebo) dan kelompok perlakuan (dipapar sinar UV- B + krim ekstrak jagung ungu). Pada penelitian ini menggunakan tikus wistar ( Rattus norvegicus) karena memiliki banyak keuntungan, yaitu tidak mahal, mudah didapat, hanya membutuhkan sedikit ruang , makan dan minum, mudah dalam pemeliharaan dan dapat diubah secara genetik . Usia yang dipilih berkisar 10-12 minggu, karena pada usia ini tikus memiliki persamaan dengan usia manusia dewasa dan belum mengalami penuaan intrinsik (Bhattacharya dan Thomas, 2004; Bartke, 2005). Jenis kelamin yang dipilih adalah tikus jantan agar tidak terpengaruhi siklus estrus dan kehamilan (hormonal).
6.2. Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian Data hasil penelitian berupa kolagen dan MMP-1 sebelum dianalisis lebih lanjut, terlebih dahulu diuji distribusi dan variannya. Untuk uji distribusi
72
73
digunakan uji Shapiro Wilk, yaitu untuk mengetahui normalitas data dan uji homogenitas dengan uji Levene test. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05).
6.3. Pengaruh Pemberian Ekstrak Jagung Ungu 6.3.1. Kadar MMP-1 Pada penelitian ini pemberian paparan sinar UV-B pada kelompok perlakuan 1 selama empat minggu dengan dosis total 840 mJ/cm2 menyebabkan terjadinya peningkatan kadar MMP-1 yang bermakna dibandingkan dengan kelompok perlakuan 2. Rerata MMP-1 kelompok perlakuan 1 adalah 3,220,47 dan rerata kelompok perlakuan 2 yang diberikan krim ekstrak jagung ungu adalah 1,900,86. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 5,71 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata MMP-1 pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05). Matriks metaloproteinase adalah suatu zinc-dependent endopeptidase, suatu enzim yang bertanggung jawab
dalam degradasi jaringan ikat dermis.
Matriks metaloproteinase terlibat dalam berbagai aktivitas proteolitik baik dalam keadaan fisiologis maupun patologis seperti embriogenesis, penyembuhan luka, inflamasi, angiogenesis, dan kanker (Quan et al., 2009). Matriks metaloproteinase pada kulit yang paling banyak dipicu pembentukannya oleh paparan sinar UV adalah MMP-1 dan paling bertanggung jawab terhadap pemecahan kolagen. Disamping oleh paparan sinar UV, kadar
MMP-1
juga meningkat dengan
74
bertambahnya usia, hal ini akan mengakibatkan fragmentasi dan disorganisasi susunan serat kolagen pada dermis (Seltzer dan Eisen, 2003 ; Fisher et al., 2009). Paparan sinar UV pada kulit, akan menimbulkan stres oksidatif dan ini akan mengaktivasi reseptor sitokin dan growth factor pada permukaan keratinosit epidermis dan sel fibroblas di dermis. Aktivasi reseptor ini akan menginduksi sinyal intraseluler MAP Kinase yang selanjutnya mengaktivasi faktor transkripsi AP-1. Activator protein -1 (AP-1) yang merupakan nuclear transcription factor, terdiri dari dua sub unit yaitu c-jun dan c-fos, berfungsi untuk mengontrol transkripsi MMP (Helfrich et al., 2009; Ichihashi et al., 2009). Nuclear factor kappa B (NF-kB) dan activator protein-1 (AP-1) merupakan faktor transkripsi yang diatur oleh keadaan redoks seluler, dan terlibat dalam regulasi ekspresi gen. Kedua faktor transkripsi tersebut bertanggung jawab dalam pengaturan berbagai molekul sinyal ekstraseluler yang terlibat dalam proses inflamasi, proliferasi sel, apoptosis, tumorigenesis, dan perbaikan jaringan. Kedua faktor transkripsi ini sangat penting dalam proses degeneratif yang diakibatkan oleh paparan sinar UV yang berhubungan dengan photoaging seperti induksi matriks metaloproteinase, dan keduanya merupakan target terapi pencegahan anti-penuaan (Ichihashi et al., 2009). Matriks metaloproteinase-1, MMP-3 dan MMP-9 adalah yang paling meningkat kadarnya setelah paparan sinar UV-B. Peningkatan mRNA MMP-1 dan MMP-3 hampir 1000 kali lipat setelah 24 jam paparan sinar UV (Quan et al., 2009). Setelah kolagen dipecah oleh MMP-1, maka kolagen semakin mengalami degradasi dengan meningkatnya MMP-3 dan MMP-9 (Fisher et al., 2001; Quan et al., 2009).
75
Fibroblas dermis merupakan sumber utama MMP-1 dan meningkat setelah paparan sinar UV-B pada sel kultur maupun sel kulit secara in vivo (Fagot et al., 2002,
2004).
Matriks
metaloproteinase-1,
MMP-3
dan
MMP-9
pada
permulaannya dihasilkan di epidermis, tapi enzim tersebut dapat berdifusi ke dalam dermis dan kemudian mendegradasi kolagen (Quan et al., 2009). Difusi ini juga dibantu oleh ikatan
langsung MMP ke kolagen matriks ekstraseluler.
Walaupun ada penelitian yang mengemukakan bahwa keratinosit adalah sumber utama MMP, yang diproduksi sebagai respon kulit terhadap paparan sinar UV-B (Fisher et al.,1997; Fisher dan Voorhees,1998) tapi ada kemungkinan bahwa fibroblas dermis juga memainkan peran dalam produksi MMP oleh keratinosit melalui mekanisme parakrin tidak langsung yaitu dengan pelepasan growth factor dan sitokin yang memicu produksi MMP oleh keratinosit (Quan et al., 2009). Paparan sinar UV-B dengan total dosis 840 mJ/cm2 selama empat minggu mampu meningkatkan kadar MMP-1 pada jaringan kulit tikus (Sun-Young et al., 2004). Setelah diberikan krim ekstrak jagung ungu secara topikal maka kadar MMP-1 mengalami penurunan. Hal ini membuktikan bahwa senyawa tersebut mempunyai aktivitas peredaman terhadap radikal bebas. Kemampuan ekstrak jagung ungu menurunkan kadar MMP-1 jaringan dermis tikus Wistar diperankan oleh berbagai zat aktif yang terkandung di dalamnya antara lain vitamin C , antosianin dan polifenol.. Polifenol merupakan antioksidan kuat, dalam beberapa penelitian in vitro terbukti aktivitas antioksidannya lebih kuat dari vitamin C, E dan karotenoid. Efek
76
perlindungan dari buah dan sayuran dalam menurunkan risiko penyakit yang dikaitkan dengan stres oksidatif seperti penyakit jantung, kanker atau osteoporosis sebagian diduga berasal dari polifenol. Efek antioksidan senyawa fenolik dalam tubuh dapat melalui tiga mekanisme yaitu: 1) peredaman radikal bebas, 2) menekan pembentukan radikal bebas dengan menghambat beberapa enzim atau chelating trace metals
yang terlibat dalam produksi radikal bebas, dan 3)
meningkatkan persediaan antioksidan atau melindungi pertahanan antioksidan. Ekstrak fenolik, seperti ekstrak delima, teh dan ekstrak anggur telah terbukti dapat mengurangi kerusakan oksidatif akibat paparan sinar UV pada kulit. Senyawa fenolik yang dimurnikan seperti antosianin, proantosianidin dan EGCG dapat menghambat stres oksidatif akibat paparan sinar UV dan kerusakan sel keratinosit secara in vivo (Dai dan Mumper, 2010). Kemampuan krim
ekstrak jagung ungu 50 % dalam menurunkan kadar
MMP-1 kemungkinan karena zat aktif yang terdapat dalam ekstrak jagung ungu bekerja secara sinergistik sehingga dapat meningkatkan kapasitas antioksidannya. Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan 2 terjadi peningkatan kolagen dan penurunan MMP-1 dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1.
Hal ini disebabkan karena jagung ungu
mengandung konsentrasi antosianin yang tinggi (~1640 mg/100g FW) jauh lebih tinggi daripada sumber yang kaya antosianin lainnya, seperti berries ( 20 ~ 1500 mg/100g FW) , lobak (Raphanus sativus L.) (11 ~ 60 mg/100g FW) , dan kubis ( Brassica oleracea L.) (322 mg/100g FW). Ketertarikan akan jagung ungu sebagai
77
sumber antosianin sebagai warna dan fitonutrien telah meningkat selama tahun terakhir. Banyak manfaat kesehatan telah dikaitkan dengan ungu jagung , termasuk pengurangan stres oksidasi , pencegahan obesitas dan diabetes , dan kanker usus besar ( Pu Jing, 2006). Antosianin paling dikenal sebagai antioksidan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain sebagai antioksidan, antosianin juga mempunyai efek anti-inflamasi, efek anti-diabetik, anti-kanker, dan dapat memperbaiki profil lipid darah dan memiliki efek vasoprotektif (Wrolstad, 2001; Abdel et al., 2010). Struktur fenolik antosianin bertanggung jawab dalam efek antioksidan-nya, yaitu gugus hidroksil pada posisi 3 dari cincin C dan posisi 3’, 4’, 5’ dari cincin B. Sebagai antioksidan, antosianin bekerja sebagai scavenger ROS seperti superoksid (O2- ), singlet oksigen (‘O2), peroksida (ROO-), hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH.) (Wang dan Stoner, 2008).
6.3.2. Jumlah Kolagen Uji perbandingan antara kedua kelompok sesudah perlakuan berupa pemberian ekstrak jagung ungu menggunakan uji t-independdent. Rerata kolagen kelompok kontrol adalah 65,545,61 dan rerata kelompok krim ekstrak jagung ungu adalah 71,705,11. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 3,44 dan nilai p = 0,002. Hal ini berarti bahwa rerata kolagen pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
78
Penurunan ekspresi kolagen jaringan dermis pada kelompok perlakuan 1 merupakan suatu petanda adanya stres oksidatif akibat terjadinya pembentukan radikal bebas yang berlebihan (Narayanan et al., 2010). Molekul oksigen (O2) yang ada di bagian bawah epidermis merupakan target utama sinar UV-B yang masuk ke dalam kulit. Sinar UV yang menembus kulit dapat sebagai donatur sebuah elektron pada molekul oksigen yang menyebabkan oksigen menjadi tidak stabil, menjadi radikal bebas yang agresif (anion superoksid).
Anion superoksid (O2-) tersebut akan mengambil secara acak sebuah elektron dari molekul yang terdekat dan tidak hanya akan merusak molekul, tapi juga mengubahnya menjadi radikal bebas, dan ini menimbulkan reaksi berantai. Tipe pembentukan atau penyebaran radikal bebas semacam ini dapat merusak berbagai komponen di dalam kulit, seperti enzim dan membran sel. Elektron kedua yang berasal dari sinar UV-B dapat diberikan pada anion superoksid, dengan membentuk hidrogen peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida juga dapat dikonversi menjadi radikal hidroksil (OH) dengan adanya zat besi (Fe2+) melalui reaksi Fenton. Radikal hidroksil menjadi ancaman yang sangat berbahaya terhadap sel, sebab radikal bebas ini dapat masuk melalui membran inti dan merusak DNA. Kadar H2O2 dan OH dapat dideteksi dalam 15 menit setelah paparan sinar UV dan berlanjut hingga 60 menit (Droge, 2002; Fisher et al., 2002). Dilaporkan bahwa penyinaran ultraviolet merusak matriks kolagen kulit melalui dua jalur yang berbeda yaitu terjadinya stimulasi degradasi kolagen dan hambatan produksi kolagen (Fisher et al., 2004).
79
Saat kulit terekspos dengan sinar matahari, radiasi UV terserap oleh molekul kulit yang dapat menimbulkan senyawa berbahaya yang disebut raective oxygen species (ROS) (Fisher et al., 2002). Yang mana dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada komponen sel seperti dinding sel, membran lipid, mitokondria, dan DNA. ROS ini juga berpengaruh besar pada jalur molekul. Penyinaran kulit bokong manusia dengan 2 MED (minimal erythema dose, yaitu dosis minimal radiasi UVA / UV- B yang dapat menimbulkan efek erythema pada kulit) dapat meningkatkan hidrogen peroksida, suatu ROS, dalam 15 menit (Helfrich et al., 2008). Sedangkan penelitian lain menemukan bahwa hanya dengan satu kali ekspos penyinaran radiasi UV sebesar 4 MED, dapat menginduksi marker stres oksidatif pada kulit (epidermis maupun dermis), yaitu H2O2 (menggunakan dihydrorhodamine-123, DHR) , Nitric Oxide (menggunakan spektrofotometri), Peroksidasi Lipid (menggunakan Malondialdehida, MDA), dan infiltrasi lekosit inflamasi (menggunakan antibodi sel CD11b+ ) yang meningkat paling signifikan pada 48jam setelah ekspos UV. Seperti diketahui bahwa adanya nitric oxide (NO) dan hidrogen peroksida (H2O2) sangat merusak dan sitotoksik terhadap sel target. NO mengandung elektron tak berpasangan dan bersifat paramagnetik, dan oleh karena itu bereaksi cepat terhadap anion superoksid untuk menbentuk anion peroksi nitrat. Dekomposisi peroksi nitrat adalah oksidan yang kuat, sama seperti radikal hidroksil (Katiyar et al., 2001). Selain itu penyinaran radiasi UV dapat menimbulkan perubahan pada kolagen dermal melalui dua cara: (1) stimulasi pemecahan kolagen, menghasilkan
80
kolagen yang terpecah dalam fragmen dan tidak beraturan. (2) menghambat biosintesis prokolagen, sehingga kandungan kolagen berkurang (Yaar dan Gilchrest, 2008; Helfrich et al., 2008). Hanya dengan satu kali penyinaran UV dengan dosis 2 MED, dapat menghambat sintesis prokolagen hampir total, yang bertahan untuk 24 jam, diikuti dengan perbaikan dalam 48-72 jam setelahnya (Fisher et al., 2001). Penelitian-penelitian sebelumnya juga telah menemukan bahwa AP-1 (Activator protein-1) dan MMP meningkat dan tetap bertahan sampai sekitar 24 jam setelah paparan radiasi UV serta terdapat peningkatan pemecahan kolagen yang signifikan.
81
SaranBAB VII SIMPULAN DAN SARAN BAB VII SIMPULAN DAN SARANAN
7.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Pemberian krim ekstrak Jagung Ungu 50 % secara topikal menghambat peningkatan kadar MMP-1 jaringan dermis kulit tikus Wistar yang dipapar dengan sinar UV-B. 2. Pemberian krim ekstrak Jagung Ungu 50 % secara topikal menghambat penurunan jumlah kolagen jaringan dermis kulit tikus Wistar yang dipapar dengan sinar UV-B.
7.2. Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah: Perlu dilakukan uji klinik terhadap khasiat ekstrak jagung ungu pada manusia dalam mencegah dan memperbaiki tanda-tanda penuaan kulit dini akibat paparan sinar ultra violet.
81
82
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Aal ,Jaclyn Shipp and El-Sayed M 2010 Food Applications and Physiological Effects of Anthocyanins as Functional Food Ingredients , The Open Food Science Journal, 2010, 4, 7-22 Astadi, I.R., M. Astuti, U. Santoso and P.S. Nugraheni. 2009. In vitro antioxidant activity of anthocyanins of black soybean seed coat in human low density lipoprotein (LDL). Food Chem., 122: 659-663. Bartke, A. 2005. Role of the growth hormone/insulin-like growth factor system in mammalian aging. Endocrinology .10: 2-12. Baskoro, A., Konthen, P.G. 2008. Basic Immunology of Aging Process. Naskah Lengkap pada 5th Bali Endocrine Update 2nd Bali Aging and Geriatric Update Symposium. Bali 11-13 April 2008. Baumann, L. 2005. Cosmetic and Skin Care in Dermatology, in : Fitzpatrick T.B. et al , editors. Dermatology in General Medicine, Mc graw-Hill Book co. p. 2363-2367. Baumann, L. 2008. Cosmetics and Skin Care in Dermatology. In: Wolff, K., Goldsmith, L.A, Katz, S.L., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th. Ed. New York: McGrawHill. p.2357-63 Baumann, L & Saghari, S 2009, Photoaging. in: Baumann L, Saghari, S, Weisberg (eds). Cosmetic dermatology principles and practice. New York: McGraw-Hill, pp. 2-19. Berneburg, M., Plettenberg, H., Krutmann, J. 2000. Photoaging of Human Skin. Photodermatology, Photoimunology, dan Photomedicine. 16: 239-244. Bhattacharyya, T. K., and Thomas, J. R. 2004. Histomorphologic Changes in Aging Skin. Observation in the CBA Mouse Model. Archives of Facial Plastic Surgery. 6 (1): 21-5. Boyce, S.T., Supp, A.P., Swope, V.B., and Warden, G.D. 2002. Vitamin C Regulates Keratinocyte Viability, Epidermal Barrier, and Basement Membrane In Vitro, and Reduces Wound Contraction after Grafting of Cultured Skin Substitutes. J Invest Dermatol. 118: 565-72. 82
83
Campbell, D. 1963. Experimental and Quasi-Experimental Design for Research. Boston: Houghton Miffin Company. p. 13-22. Cho,T.H., Lee, J.W., Lee, M.H. 2008. Evaluating the Cytotoxic Doses of Narrowband and Broadband UV-B in Human Keratinocytes, Melanocytes, and Fibroblast. Photodermatology, Photoimmunology dan Photomedicine. Vol 24. P.110-114. Choi, C.P., Kim, Y.I., Lee, J.W., Lee, M.H. 2007. The Effect of Narrowband Ultraviolet B on the Expressions of Matrix Metalloproteinase1,Transforming Growth Factor- β1 and Type 1 Collagen in Human Skin Fibroblast. Experimental Dermatology, Original Article. Department of Dermatology, Kyunghee University, Seoul, Korea. Chung, J.H., Cho, S., and Kang, S. 2004. Why Does the Skin Age? Intrinsic Aging , Photoaging and Their Pathophysiology. in: Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W., Dover, J.S. editors. Photoaging. New York: Marcel Dekker Inc. p. 1-23. Chung, J.H., Seo, J.Y., Choi, H.R., Lee, M.K., Youn, C.S., Rhie, G., Cho, K.H., Kim, K.H., Park, K.C., and Eun, H.C. 2001. Modulation of Skin Collagen Metabolism in aged and Photoaged Human Skin In Vivo. The Journal of Investigative Dermatology. vol 117 no 5: p. 1218-1224. Cooper, R. 1997. Oxidant, antioxidant and Free Radicals, in Antioxidant, Woodland Health Series. p.1- 8 Cunningham W, Aging and Photoaging., Baran R ,Maibach HI Editor. Texbook of Cosmetic and Dermatology Edisi ke-3. Abingdon: Taylor & Francis Group, 2005: 445-54. Dai, J., and Mumper, R.J. 2010. Plant Phenolics: Extraction, Analysis and Their Antioxidant and Anticancer Properties. Molecules. 15:7313-52. Dianasari, R. 2013. Photochemoprotection Effect of Active Component of Purple Corn (Zea Mays L) on Rats’ Skin. Denpasar. (penelitian pendahuluan) Devasagayam ,TP., Tilak, JC., Boloor, KK., Sane, KS., Ghaskadbi, SS., Lele ,RD., Free radicals and antioxidants in human health: current status and future prospects. PubMed 2004 Droge, W. 2002. Free Radicals in the Physiological Controlof Cell Function. Physiol Rev.82: 47–95. Eichler, O., Sies, H., Stahl, W. 2002. Divergent Optimum Level of Lycopene, βCarotene and Lutein Protecting Against UV-B Irradiation in Human Fibroblast. Journal of Photochemistry and Photobiology. 75(5). 503-506
84
Fagot, D., Asselineau, D., and Bernerd, F. 2004. Matrix metalloproteinase-1 production observed after solarsimulated radiation exposure is assumed by dermal fibroblasts but involves a paracrine activation through epidermal keratinocytes. Photochem Photobiol. 79:499–505. Fernandes, D. 2008. Evolution of Coemeceuticals and Their Application to Skin Disorders, including Aging and Blemishes. In: Walters, K.A., Roberts, M.S. Editor. Dermatologic, Cosmeceutic, and Cosmetic Development. New York: Informa. p. 51-5. Fisher, G.J., Kang, S., Varani, J., Csorgo, Z.B., Wan, Y., Datta, S., Voorhees, J.J. 2001. Mechanism of Photoaging and Chronological Skin Aging. Arch Dermatol. Department of Dermatology, University of Michigan, Ann Arbor. Vol 138: p. 1462-1470. Fisher, G.J., Quan, T., Purohit, T., Shao, Y., Cho, M.K., Varani, J., Kang, S., Voorhess, J.J. 2009. Collagen Fragmentation Promotes Oxidative Stress and Elevates Matrix Metalloproteinase-1 in Fibroblast in Aged Human Skin. The American Journal of Pathology, vol 174: p. 101-115. Fisher, G.J., Voorhees, J.J., Kang, S., Quan, T., He, T. 2004. Solar UV Irradiation Reduces Collagen in Photoaged Human Skin by Blocking Transforming Growth Factor-β TypeII Receptor/Smad Signaling. American Journal of Pathology. vol 165: no 3. p. 741 -758. Fourtanier, A., Moyal, D. 2004. Acute and Chronic effect of UV on skin, What Are They and How To Study Then. In: Rigel, D.S., Weiss, R.A., Lim, H.W., Dover, J.S. editors. Photoaging. New York: Marcel Dekker Inc. p. 15-31. Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging in Klatz, R. Anti Aging Medical Therapeutic Vol 5. The A4M Publication.Chicago. p. 43. Furr, H.C., Clark, R.M. 1997. Intestinal Absorption and Tissue Distribution of Carotenoid. Journal of Nutritional and Biocemistry, vol 8: p. 364-377. Fuhrman, B., Aviram, M. 2002. Polyphenols and Flavonoids Protect LDL against Atherogenic Modifications. In: Canedas, E., Packer, L. Handbook of Antioksidants, 2nd edition New York : Marcel Dekker, Inc. p. 306-311 Ghosh, D., Konishi, T. 2007. Anthocyanin and Anthocyanin-rich extracts: role in diabetes and eye function. Asia Pac J Clin Nutr 16(2): 200-208 Gilchrest, B.A., Yaar, M. 2000. Aging of Skin. In: Fitzpatrick T.B. et al , editors. Dermatology in General Medicine, Mc Graw-Hill Book Co 2, p. 1386-1387. Goldman, R., Klatz. 2003. The New Anti-Aging Revolution.Australasian Edition.Theories of Aging. p. 22-24, 191-194.
85
Helfrich, Y.R., Sachs, D. L., and Voorhees, J. J. 2008. The Biology of Skin Ageing. European Dermatology. 39-42. Hui C, Bin Y, Xiaoping Y, Long Y, Chunye C, Mantian M, Wenhua L.2010 Anticancer activities of an anthocyanin-rich extract from black rice against breast cancer cells in vitro and in vivo. PubMed Humbert, P.G., Haftek, M., Creidi, P., Lapiere, C., Nusgens, B., and Richard, A. 2003. Topical Ascorbic Acid on Photoaged Skin: Clinical, Topographycal and Ultrastructural Evaluation; Double Blind Study vs Placebo. Exp Dermatol. 12:237-44. Ichihashi, M., Ando, H., Yoshida M., Niki Y., and Matsui, M. 2009. Photoaging of The Skin. J Anti-Aging Med. 6(6): 46-59. Jawi, I Made and Budiasa Ketut 2009 .Water Extract of Purple Sweet Potato Tub Decrease Total Cholesterol and Increase Total Antioxidant In Rabbit Blood. Denpasar Jones, Kenneth 2005. The Potential Health Benefits of Purple Corn. Herbal Gram, 65:46-49. American Botanical Council. Junqueira, L.C., Carneiro, J., Kelley, R.O.1997. Histologi Dasar Kulit. Edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal 357-369. Kähkönen MP and Heinonen M. 2003 ,Antioxidant activity of anthocyanins and their aglycons, PubMed. Kaminer, M.S. 1995. Photodamage: Magnitude of the Problem. in: Gilchrest, B.A., editor. Photodamage. Blackwell Science. p.3-9. Karlsen Anette, Lars Retterstøl, Petter Laake, Ingvild Paur, Siv Kjølsrud-Bøhn, Leiv Sandvik,and Rune Blomhoff (2007) Anthocyanins Inhibit Nuclear Factor-kB ,Activation in Monocytes and Reduce Plasma Concentrations of Pro-Inflammatory Mediators in Healthy Adults , The Journal of Nutrition. Norway, vol. 137 no. 8 1951-1954 Katiyar, S.K. and Afaq, F., 2010. Polyphenols: Skin Photoprotection and Inhibition of Photocarcinogenesis. Mini Rev Med Chem. 11(14): 1200–15. Kim, Hyeon Ho., Shin, C.M., Park, Chi-Hyun., Kim, K.H., Cho, K.H., Eun, H.C. Chung, Jin Ho. 2005. Eicosapentaenoic Acid Inhibits UV-Induced MMP-1 Expression in Human Dermal Fibroblast. Journal of Lipid Research, Vol 46: p. 1712-1719.
86
Kim, S.Y., Kim , S.J., Lee, J.Y., Kim W.G., Park,W.S., Sim Y.C., Lee, S.J. 2004. Protective Effects of Dietary Soy Isoflavones against UV-Induced Skin Aging in Hairless Mouse Model. Original Research Journal of the American College of Nutrition , vol 23: p.157-162. Klatz, R. 2003. Acknowledgement in: Klatz, R. 2003 Anti Aging medical Therapeutics Vol 5..The A4M publication. Chicago. p. 3. Konczak and Zhang 2004, anthocyanin rich extract-induced from WorldWideScience.org Krutmann, J. and Glichrest, B.A. (2006) Photoaging of Skin. In: Glichrest, B.A. and Krutmann, J., Ed., Skin Aging, Springer, Heiderberg, 33-43. Lee, Young-Rae, Noh, Eun-Mi, Jeong, E.Y., Yun, Eok-Kweon, Kim, J.H., Kwon, K.B., Kim, B.S., Lee, S.H., Park, C., Kim, Jong-Suk. 2009. Cordycepin Inhibits UV-B-Induced Matrix Metalloproteinase Expression by Suppressing the NFκB Pathway in Human Dermal Fibroblast. Experimental and Molecular Biomedicine, Vol 41, p.548-554. Leiden JJ. Clinical features of aging skin. Br J Dermatol 2003; 43: 1-3. Moon, Hee Jung, Lee Soon Ryen, Shim, S,N., Jeong, S.H., Stonik, V.A., Rasskavov, Valery A., Zvyagintseva, T., Lee, Y.H. 2008. Fucoidan inhibits UV-B-Induced MMP-1 Expression in Human Skin Fibroblast. Biol.Pharm.Bull.31(2). 284-289. Moos, Varien., 2013. Anthocyanins from Purple corn . http://cancer.vg/en/purple-corn-maize Moyer, R. A., Hummer, K. E., Finn, C. E., Frei, B., and Wrolstad, R. E. (2002). Anthocyanins, phenolics, and antioxidant capacity in diverse small fruits: Vaccinium, Rubus, and Ribes. Journal of Agricultural and Food Chemistry 50, 519-525. Nichols, J.A., and Katiyar, S.K. 2010. Skin Photoprotection by Natural Polyphenols: Anti-inflammatory, Antioxidant and DNA Repair Mechanisms. Arch Dermatol Res. 302(2):1-19. Nakatani, N., Fukuda, H., Fuwa, H.. Major anthocyanin of Bolivian purple corn Zea mays. Agric Biol Chem. 1979;43(2):389-392.
87
Narayanan, D.L., Saladi, R.N., and Fox, J.L. 2010. Ultraviolet Radiation and Skin Cancer. International Journal of Dermatology. 49:978–86.
Obagi, Z.E. 2000. Skin Health Concepts, in Obagi Skin Health Restoration dan Rejuvenation. Springer. p.27-45 Padayatty, S.J., Katz, A., Yao, H.W., Eck, P., Kwon, O., Lee, J.H., Chen, S., Corpe, C., Dutta, A., Dutta, S.K., and Levine, M. 2003. Vitamin C as An Antioxidant: Evaluation of Its Role in Disease Prevention. J Am Coll Nutr. 22(1):18-35. Paik, S.J. Experimental and Quasi-Experimental Research Designs. 2004. The LSS Review. 3(2): 3-4. Pangkahila,W. 2007. Anti Aging Medicine Memperlambat Penuaan Meningkatkan kualitas Hidup. Penerbit Buku Kompas. Jakarta, hal 10-1 Pascual S de – Teresa, c. Santos-Buelga, and JC Rivas-Gonzalo. LC-MS Analysis of Anthocyanins From Purple Corn Cob.Journal Science Food Agriculture 82:1003-1006 (2002) Pham-Huy, L.A., He, H., Pham-Huy, C. 2008. Free Radicals, Antioxidant in Disease and Health. International Journal of Biomedical Science, Vol 4: p. 89-96. Pinnel, R.S. 2003. Cutaneous Photodamage, Oxidative Stress, and Topical Antioxidant Protection, A Continuing Medical Education, American Academy of Dermatology. p. 1-19. Pu Jing, M.S. 2006.,Presented in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Doctor of Philosophy the Graduate School of The Ohio State University (Dissertation) Quan, T., Qin, Z., Xia, W., Shao, Y., Voorhees, J. J., and Fisher, G. J. 2009. Matrix-degrading Metalloproteinases in Photoaging. J Investig Dermatol Symp Proc. 14(1):20–4. Rabe, J.H., Mamelak, A.J., Mc Elgunn, P., Morison, W.L., Sauder, D.N. 2006. Photoaging : Mechanism and Repair, Continuing Medical Education, American Academy of Dermatology, Inc. p.1-19. Sauermann, K., Jaspers, S., Koop, U., and Wenek, H. 2004. Topically Applied Vitamin C Increases The Density of Dermal Papillae in Aged Human Skin. BMC Dermatology. 4:13. Seltzer, J.L., Eisen, A.Z. 2006. The Role of Extracellular Matrix Metalloproteinases in Conective Tissue Remodelling. In: Fitzpatrick T.B. et al , editors. Dermatology. Mc Graw-Hill Book co, p 200-209.
88
Smith, E.S. 2001. Demographics of Aging and Skin Disease, in Geriatric Dermatology part I. p. 63. Spormann, TM., Albert, FW., Rath, T., Dietrich ,H., Will, F., Stockis, JP., Eisenbrand, G., Janzowski, C., (2008) . Anthocyanin/polyphenolic-rich fruit juice reduces oxidative cell damage in an intervention study with patients on hemodialysis .Department of Chemistry, Division of Food Chemistry and Toxicology, University of Kaiserslautern, ErwinSchroedinger-Strasse 52, 67663 Kaiserslautern, Germany. Stahl, W., Heinrich, U., Wiseman, S., Eichler, O., Sies, H., and Tronnier, H. 2001. Dietary Tomato Paste Protects against Ultraviolet Light-Induced Erythema in Humans. J Nutr. 131:1449 – 51. Sun-Young, K., Su-Jun, K., Jin-Young, L., Wan-Gi, K., Won-Seok, P., Young-Chul, S., and Sang-Jun, L. 2004. Protective Effects of Dietary Soy Isoflavones Against UVInduced Skin-Aging in Hairless Mouse Model. Journal of American College of Nutrition. 23(2):157-62.
Styles E.D and O.Ceska. Flavonoid pigments in genetic strains of maize. Phytochemistry 11: 3019–21 (1972). Tinkler, J.H., Bohm, F., Scalch,W., Truscott, T.G. 1994. Dietary Carotenoid Protect Human Cells from Damage. Journal Photochemical Photobiology, Vol 26: p. 283-285. Tjitrosoepomo, C., 1991. Taksonomi Tumbuhan. Gajah Mada Universy Press, Yogyakarta. Tschachler, E., Morizot, F. 2006. Ethnic Differences in Skin Aging. In: Gilchrest, B.A., Krutmann, J. editors. Skin Aging. Springer. p. 23-31. Wang ,LS., Stoner ,GD., (2008) .Anthocyanins And Their Role in Cancer Prevention. Department of Internal Medicine and Comprehensive Cancer Center, Ohio State University College of Medicine, Columbus, OH 43210, USA. Wasitaatmadja, S.M. 2007. Anatomi dan Faal kulit. dalam: Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. editor. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit FKUI 2007. 7-8. WHO Report . 2010. WHOSIS (WHO Statistical Information System). Available at: http://apps.who.int/whosis/database/core/core_select_proccess.cfm/ Accesed Januari 9, 2011 Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan Radikal Bebas, Potensi dan aplikasinya dalam kesehatan. Kanisius.
89
Wlascheck, I. Tantcheva-Poor, L. Naderi, W. Ma, S. Alexander, Z. Razi-Wolf, J. Shuller, K. Scharffetter-Kochanek .Solar UV irradiation and dermal photoaging. Journal of Photochemistry and Photobiology B, 63 (2001), pp. 41–51 Wrolstad RE (2006) Anthocyanin Pigments—Bioactivity and Coloring Properties. Journal Food of Science. Volume 69, Issue 5, pg C419-425 Yaar, M. 2006. Clinical and Histological Features of Intrinsic versus Extrinsic Skin Agin., in : Gilchrest, B.A., Krutmann, J. editors. Skin Aging. Springer. p.10-21. Yaar, M., Gilchrest B.A.2008. Biochemical and Moleculer Changes in Photoaged Skin. in: Gilchrest, B.A., editor. Photodamage. Blackwell Science.p. 168179. Yolanda ,Rosi Helfrich, MD., Dana, L., Sachs, MD., John J,Voorhees., MD. Overview of Skin Aging and Photoaging. Dermatology Nursing. 2008;20(3):177-183. Young, A.R. 2000. Acute and Chronic Effect of Ultraviolet Radiation on the Skin, in: Fitzpatrick, T.B., et al ,editors. Dermatology. Mc Graw-Hill Book Co, 1275-1281. Yulianto, I. 2008. “The Changes of Fibroblast Cells due to UV-B Irradiation in Various Doses an In Vitro Experimental” (disertasi). Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Zussman, J., Ahdout, J., and Kim, J. 2010. Vitamin and Photoaging: Do Scientific Data Support Their Use? J Am Acad Dermatol. 63: 507-25.
90
Lampiran 1: Prosedur Penanganan Hewan Coba
Percobaan di laboratorium yang menggunakan hewan coba sebagai subjek penelitian dalam penelitian ini adalah tikus Wistar, dimana harus diperhatikan beberapa prinsip dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan yang baik diharapkan hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian dan juga dipandang dari segi etika penelitian yang berkaitan dengan penggunaan hewan coba (ethical clearance). Beberapa prinsip yang harus dipenuhi yaitu: 1. Pengawasan lingkungan Prinsip yang paling penting terkait dengan lingkungan tempat pemeliharaan hewan coba adalah suatu lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologis jenis hewan coba. Suhu, kelembapan dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrem harus dihindari. Pembuatan ventilasi yang baik mendukung kelancaran pertukaran udara, serta memungkinkan mengurangi penyebaran penyakit. Suhu ruangan yang optimum untuk pemeliharaan tikus Wistar berkisar antara 250 – 300 C. 2. Pengawasan kenyamanan Kenyamanan hewan coba terkait dengan kondisi kandang tempat pemeliharaan. Bahan kandang terbuat dari plastik yang ditutup kawat. Prinsip yang paling penting dalam memilih bahan untuk kandang tikus Wistar adalah mudah dibersihkan, tahan lama, tahan digigit tikus Wistar. Kisaran ukuran kandang tikus Wistar yang umum dipakai
91
berukuran 35 cm X 20 cm X 10 cm. Ukuran kandang tersebut cukup untuk memelihara 10 – 15 ekor tikus Wistar dalam satu kandang. Dengan asumsi memberi ruang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi. Sistem
kandang
juga dilengkapi tempat
makanan dan minuman yang mudah dijangkau oleh seluruh tikus Wistar. 3. Pengawasan nutrisi (makan dan minum) Selama percobaan hewan coba diberikan makan dan minum dengan kualitas yang optimum pula. Apabila hal ini tidak terpenuhi tentunya juga akan berpengaruh terhadap kehidupan, kesehatan tikus Wistar dan bias terhadap hasil penelitian. Misalnya tikus Wistar memerlukan makanan dengan kandungan protein sekitar 20 %. Sehingga untuk mendapatkan makanan dengan komposisi tersebut biasanya dipakai makanan dalam bentuk pelet yang komposisinya sudah tertera dalam kemasannya. Air minum bersih dan bebas dari kontaminasi harus selalu tersedia untuk hewan coba. Alat-alat minum harus sering dicuci dan disterilkan misalnya dua minggu sekali. 4. Pengawasan kesehatan Kandang hewan percobaan harus selalu dijaga kebersihannya, agar hewan berbiak dengan baik dan percobaan berhasil sesuai yang diharapkan. Kandang tikus Wistar harus dibersihkan sekurangkurangnya seminggu sekali. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumbuhnya jamur dan bakteri yang dapat mempengaruhi kesehatan
92
tikus Wistar. Biasanya kandang tikus Wistar yang terbuat dari bahan plastik dapat dibersihkan dengan mencuci kotak tersebut dan mengganti sekam yang dipakai sebagai alas kandang. Secara lengkap penanganan tikus Wistar yang dipakai dalam penelitian ini dapat dijabarkan seperti di bawah ini: 1. Penanganan sebelum penelitian Beberapa hal yang dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian terhadap tikus Wistar antara lain: a. Menyiapkan kandang pemeliharaan yang optimal dan nyaman bagi tikus Wistar; terkait dengan ukuran, keadaan kandang (ventilasi cukup, sekam padi untuk alas kandang) dan tempat makan/minum yang mudah dijangkau oleh seluruh tikus Wistar. b. Melakukan aklimatisasi; menyesuaikan tikus Wistar terhadap kondisi lingkungan tempat percobaan. Aklimatisasi dilakukan pada kandang pemeliharaan selama 14 hari sebelum pelaksanaan penelitian. c. Pemberian makan dan minum secara teratur. d. Pemeriksaan kesehatan tikus Wistar; apabila ada tikus Wistar yang sakit langsung dikeluarkan dari kelompok.
93
2. Penanganan selama penelitian Selama penelitian tikus Wistar harus selalu dalam keadaan terkontrol. Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: a. Kenyamanan dan kesehatan tikus Wistar; kandang tikus Wistar selama penelitian dijaga kebersihannya dan sekam padi diganti seminggu sekali. b. Pemberian makan dan minum yang teratur; diberi makanan dalam bentuk pelet secara ad libitum, tikus Wistar juga tidak boleh dalam keadaan tanpa air minum. Air minum harus tersedia dan air tidak terkontaminasi. Air minum diberikan dengan botol-botol plastik dan tikus Wistar dapat minum air dari botol tersebut melalui pipa plastik. c. Penanganan pemberian krim ekstrak jagung ungu Tikus Wistar dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
kelompok 1 dan
kelompok 2, masing-masing kelompok terdiri dari 18 tikus Wistar. Tikus dari semua kelompok dicukur bulu punggungnya, kemudian dioleskan bahan dasar krim (plasebo) pada kelompok 1 dan krim extrak jagung ungu ada kelompok
2, masing-masing krim
dioleskan sebanyak 0,05mg/cm2 luas permukaan kulit tikus. Paparan kronis UV-B diberikan terhadap kelompok 1dan 2. Paparan dilakukan sebanyak 3 kali seminggu yang dimulai dengan 50 mJ/cm2 pada minggu pertama, diikuti dengan 70 mJ/cm2 pada minggu kedua, dan 2 minggu berikutnya dengan 80 mJ/cm2
94
sehingga total sinar UV-B yang diterima oleh masing-masing kelompok tikus tersebut adalah 840 mJ/cm2 selama 4 minggu. Bahan dasar krim (plasebo) dan krim ekstrak jagung ungu 50 % diaplikasikan 2 kali sehari, yaitu 20 menit sebelum disinari (untuk memberikan waktu absorpsi bahan topikal ke dalam kulit) dan 4 jam setelah penyinaran (terbentuknya ROS dimulai 4 jam setelah paparan). Aplikasi bahan topikal tetap dilakukan pada hari tanpa penyinaran. 3. Penanganan setelah penelitian Pada akhir penelitian tikus Wistar dieuthanasia melalui cara di suntik dengan Ketamin 20mg/25g Xylazin 20mg/25g i.m., bila belum mati di tambahkan letal barbiturat (pentotal) i.m. Bila sudah mati, tikus Wistar ditempatkan dalam ruang kaca yang tertutup dan transparan. Setelah itu kadaver tikus Wistar
dikubur untuk
menghindari bau yang tidak sedap atau efek negatif lainnya.
95
Lampiran 2 : Ethical Clearance
96
Lampiran 3 : Hasil Analisis Ektrak Jagung Ungu
97
Lampiran 4 : Analisa Statistika Uji Normalitas Data Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Kelompok Kolagen MMP_1
Statistic
Kontrol
df
.099
Shapiro-Wilk
Sig. 18
Statistic
.200
df
Sig.
*
.980
18
.947
*
Perlakuan Kontrol
.148 .111
18 18
.200 .200*
.972 .961
18 18
.826 .624
Perlakuan
.190
18
.084
.897
18
.051
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
Uji t-inpendent Kolagen dan MMP-1 antar Kelompok Group Statistics Kelompok Kolagen
MMP_1
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Kontrol
18
65.5421
5.60838
1.32191
Perlakuan
18
71.6972
5.11418
1.20542
Kontrol
18
3.2233
.47317
.11153
Perlakuan
18
1.8989
.86234
.20326
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F Kolagen Equal variances assumed
.001
Equal variances not assumed
MMP_1 Equal variances assumed Equal variances not assumed
3.748
Sig.
t-test for Equality of Means
t
.981 -3.441
95% Confidence Std. Interval of the Mean Error Difference Sig. (2- Differenc Differenc tailed) e e Lower Upper
df 34
.002 -6.15511 1.78899 -9.79078 -2.51945
-3.441 33.715
.002 -6.15511 1.78899 -9.79191 -2.51831
.061 5.713
34
.000 1.32444
.23184
.85328 1.79561
5.713 26.386
.000 1.32444
.23184
.84822 1.80067
98
Lampiran 5 : Foto Aktifitas Penelitian Jagung Ungu (sebelah kiri) dan varitas jagung lainnya di supermarket
Jagung Ungu
Ektrak Jagung Ungu
Krim Ekstrak Jagung Ungu
99
Tikus Yang Sudah Dikelompokkan dan Telah Dicukur
Tikus Yang Sudah Dikelompokkan dan Telah Dicukur
Pengolesan Krim Ekstrak Jagung Ungu
Pengolesan Krim Ekstrak Jagung Ungu
100
Alat Simulator UV-B
Penyinaran Tikus Dengan Sinar UV-B
Dekapitasi Tikus
Biospi Kulit Tikus
101
KIT MMP-1