PERILAKU BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK DI DINAS TATA KOTA KOTAMUBAGU Reonald Steven Maabuat, Program Studi Ilmu Pemerintahan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Manado Abstrak
Menilik dari fungsi utama pemerintah yang merupakan penyelenggara pelayanan publik, seiring dengan tuntutan perkembangan sudah menjadi seharusnya pemerintah melakukan perbaikan dalam pelayanan publik tersebut. Akan tetapi dewasa ini, kepercayaan masyarakat/publik terhadap kinerja pemerintah atau birokrasi mengalami degradasi yang semakin parah oleh akibat dari lemahnya kinerja aparat-aparat pemerintahan/birokrasi. Kepercayaan dan kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika pemerintah/birokrasi yang seharusnya berperan menghadirkan pelayanan prima kepada publik menjadi didominasi dan ditentukan oleh rezim yang berkuasa sehingga menyebabkan kebalikan dari pelayanan publik yakni publiklah yang menjadi pelayan bagi birokrasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku birokrasi dalam memberikan pelayanan publik, khususnya dalam pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Kotamubagu. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku birokrasi pada Dinas Tata Kota Kotamubagu, malalui indicator-indikator: etika pelayanan masyarakat, kedisiplinan, dan tanggungjawab masih digolongkan belum maksimal, namun dalam hal transparasi biaya yang dibutuhkan dalam pengurusan IMB, sudah dapat dikatakan baik, karena perincian biaya dipaparkan secara transparan. Key words: Perilaku, Birokrasi, Pelayanan Publik.
1
Pendahuluan Kondisi pelayanan publik di Indonesia masih diwarnai oleh prosedur yang berbelit-belit, akses yang sulit, biaya yang tidak transparan, waktu penyelesaian yang tidak jelas dan banyaknya praktek pungutan liar dan suap yang tidak jelas. Pelayanan publik dikantor pemerintahan di Indonesia masih terbilang buruk, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bank Dunia dari 157 negara, Indonesia berada di urutan 135 dalam kualitas pelayanan publiknya. S.P. Siangian (1996:39), mengatakan bahwa untuk memahami beberapa masalah yang sering menjadi keluhan publik terkait pelayanan birokrasi pemerintahan oleh aparat, diantaranya dapat disebutkan: 1. Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin; 2. Mencari berbagai dalih, seperti kekurang lengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain yang sejenis; 3. Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain; 4. Sulit dihubungi; 5. Senantiasa memperlambat dengan menggunakan kata-kata “sedang diproses”. Kita semua menyadari bahwa pelayanan publik selama ini bagaikan rimba raya bagi banyak orang. Amat sulit untuk memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyaknya ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan yang namanya birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan ini itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan sebarapa besar dana yang perlu disiapkan dalam pengurusan-pengurusan yang berkaitan dengan pelayanan birokrasi. Baik harga maupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau dengan masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian enggan berurusan dengan birokrasi publik. Pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Pelayanan
publik
pada
umumnya
masih
menunjukkan
ketidakpastian.
Ketidakpastian harga, prosedur, maupun waktu. Pengurusan perizinan menjadi molor, ditambah lagi pungutan liar disana-sini. Konsekwensinya secara ekonomis, timbul biaya ekonomi yang tinggi. Sedangkan pelayanan publik sudah merupakan hak
setiap
warga
negara
yang
2
wajibdipenuhikarenanyanegaraberkewajibanmenyelenggarakan
sejumlah
pelayananguna memenuhi hak-hak dasar warganya yang dijamin oleh konstitusi dalam hal ini Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik. Semuanya itu berdampak pada rendahnya daya saing Indonesia dibanding negara-negara berkembang lainnya. Kondisi ini terjadi karena organ pelayanan publik tidak pernah menyadari hal tersebut, yang diperparah lagi dengan korupsi yang mengerogoti, sehingga kualitas pelayanan publik di Indonesia jauh dari harapan warga. Organ pelayanan publik mancakup sumbar daya manusianya, lembaga yang memberikan pelayanan, dan proses tata laksana pelayanan yang tidak dijalankan sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku. Semua orang pasti membayangkan, begitu masuki kantor atau dinas saat hendak mengurus sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan publik, pegawai di sana menyambut dengan senyum dan menyapa ramah “selamat pagi, Pak. Ada yang bisa kami bantu?” lalu meminta warga untuk mengambil nomor antrian dan mempersilahkan untuk duduk dan menunggu giliran. Pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) itupun sebenarnya tak perlu membutuhkan waktu yang lama, yang jelas dimana harus membayar dan seberapa dana yang harus dikeluarkan. Tanpa banyak meja yang harus didatangi, banyak mengeluarkan uang yang tidak jelas peruntukannya, dan tentu tanpa tawarmenawar dengan calo. Namun itu semua, masih jauh dari harapan masyarakat saat ini. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyaknya ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan harga pelayanan, yang bisa saja berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan dengan para pengguna jasa. Kota Kotamobagu yang menjadi fokus kajian penulis dalam pengajuan proposal yang akan diteliti, maka pelayanan publik yang baik merupakan syarat mutlak bagi Kotamobagu untuk kembali ke kota dunia. Pelayanan publik dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah, pelayanan menyangkut konsumsi dan transaksi ekonomi dilakukan oleh pihak swasta. Sedangkan pelayanan yang menyangkut hal-hal administratif jelas merupakan domain
3
pemerintah salah satunya pembuatan izin mendirikan bangunan (IMB). Izin Mendirikan Bangunan merupakan suatu izin yang mutlak untuk dimiliki bagi setiap masyarakat yang ingin mendirikan bangunan sebagaimanayang tertuang dalam Perda Kota Kotamobagu Nomor 15 Tahun 2004 tentang tata bangunan. Sudah banyak hal yang dilakukan Pemerintah Kota Kotamobagu dalam upaya memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Sejak 2005, Wali Kota Kotamobagu yang dinahkodai oleh Bapak Djealantik Mokodompit, mencanangkan pelayanan satu atap dalam pengurusan izin untuk memangkas birokrasi yang berbelit-belit. Menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan pentingnya iklim perizinan yang lebih kondusif dan untuk lebih menggairahkan perdagangan dan investasi, Pemerintah Kota Kotamobagu membentuk Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Kotamobagu Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan Kota Kotamobagu sebagai instansi yang memberikan jasa pelayanan publik yang dibentuk dalam rangka mengkoordinir Pelayanan Administrasi Pemerintah dibidang Pelayanan Perizinan yang secara spesifik bekerja untuk melayani permohonan berbagai perizinan, dan formalitas lainnya di Kota Kotamobagu yang menjalankan sistem administarasi satu atap. Sistem tersebut diharapkan dapat mempermudah para pengurus perizinan di Kota Kotamobagu. Setelah Kantor Pelayanan Administari Perizinan dibentuk, maka Pemerintah Kota Kotamobagu mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Walikota Kotamobagu Nomor 14 Tahun 2013 tentang tata cara pemberian izin pada Pemerintah Kota Kotamobagu. Dari Uraian diatas telah disebutkan bahwa keberadaan Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan di Kota Kotamobagu secara empirik diharapkan berhasil mendongkrak efisiensi dan produktifitas pelayanan publik di Kota Kotamobagu. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa fungsi dari Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan sesungguhnya tidak lebih sebagai front linear dalam penyelenggaraan pelayanan tertentu. Artinya, Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan memfungsikan dirinya sebagai ‘loket’ penerima permohonan yang akan dilanjutkan perosesnya pada dinas atau instansi fungsionalnya masing-masing. Dalam kondisi demikian, maka Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan justru
4
dapat dipersepsikan sebagai penambahan rantai birokrasi dala pelayanan kepada masyarakat. Untuk menghindari kesan yang negatif ini, maka mau tidak mau perilaku birokrasi pada pelayanan Izin Mendirikan Bangunan harus dapat bekerja secara profesional, dalam pengertian bahwa meskipun terjadi penambahan rantai birokrasi, namun proses penyelesaian jasa dapat dilakukan secara lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik. Berdasarkan atas apa yang telah di uraikan pada bagian sebelumnya, dimana sesuatu yang berhubungan masalah pelayanan publik merupakan hal yang pokok yang harus dikembangkan oleh pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota Kotamobagu. Maka masalah yang diangkat dalam penelitian kali ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana perilaku Birokrasi Dinas Tata Kota Kotamobagu dalam memberikan pelayanan Izin Mendirikan Bagunan (IMB)? Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku birokrasi pada dinas tata kota kotamubagu dalam memberikan pelayanan izin mendirikan bangunan. Pembahasan Kepuasan masyarakat (pemohon) dapat diketahui dengan melihat etika pelayanan yang diberikan, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam melayani, biaya yang dikeluarkan selama pengurusan, serta kelengkapan saran prasarana serta kemudahan akses. a. Etika Pelayanan Masyarakat Etika pelayanan publik merupakan suatu praktek administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik” yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan. Melihat hal tersebut, maka penulis melihat etika pelayanan masyarakat sebagai perilaku aparat pemerintahan ketika dibutuhkan oleh masyarakat yang akan mendapatkan pelayanan serta perilaku dalam menanggapi keluhan dan kesulitan masyarakat yang dilayani, semuanya ini sangat terkait
5
dengan perilaku dan tindakan aparat yang bertindak sebagai birokrat dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal utama yang dilihat masyarakat (pemohon) yaitu sikap aparat dalam melayani masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam proses pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ada 4 (empat) instansi SKPD yang dilalui oleh pemohon yaitu Kelurahan, Kecamatan, KPAP Kota Kotamubagu, dan Dinas Tata Kota Kotamubagu. Empat instansi SKPD tersebut memperlihatkan sikap yang berbeda-beda dalam melayani masyarakat. Dari hasil wawancara baik dengan aparat pemerintahan maupun dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan dan pengamatan secara langsung yang dilakukan oleh penulis, terlihat bahwa masih adanya perilaku-perilaku yang tidak sewajarnya yang diperlihatkan oleh aparat selama memberikan pelayanan kepada masyarakat selaku pelayan masyarakat. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya ketidaksopanan aparat dalam melayani masyarakat (pemohon) serta terjadinya perilaku diskriminatif atau sikap membeda-badakan antara pemohon yang satu dengan pemohon yang lainnya. Semuanya itu terlihat pada pelayanan pada tingkat kelurahan dan kecamatan. Dari situ dapat dikatakan bahwa ada perbedaan antara apa yang dikatakan oleh aparatur pemerintahan khususnya pada tingkat kelurahan dan kecamatan berbeda dengan kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat sebagai penerima layanan. Disisi lain perilaku diskriminatif yang nampak dilakukan oleh pihak kelurahan adalah membiarkan sebagian masyarakat mendirikan bangunan tanpa memiliki izin mendirkan bangunan. Berikut hasill wawancara yang dilakukan penulis dengan masyarakat pemilik bangunan yang didirikan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB). Dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh penulis, terbukti bahwa fenomena yang terjadi selama ini yaitu masih banyaknya bangunanbangunan yang didirikan dalam Kota Kotamubagu, khususnya di bagian pinggiran Kota Kotamubagu tanpa memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Hal ini terjadi karena kerja sama antara pemilik bangunan dengan pihak kelurahan. Apalagi kalau bangunan yang didirikan tersebut hanya berupa renovasi,
6
penambahan atau bangunan tersebut didirikan dalam lorong (gang) yang susah untuk dilihat secara langsung oleh pihak pengawas bangunan dari Dinas Teknis. b. Kedisiplinan dan Tanggung Jawab Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumya bahwa indikator yang digunakan penulis dalam melihat kedisiplinan dan tanggung jawab dari aparatur pemerintahan yang bertindak sebagai pelayan masyarakat yaitu disiplin terhadap waktu dan tanggung jawab dalam menjalankan peraturan yang berlaku, baik kedisiplinan menjalankan jadwal waktu pelaksanaan pelayanan maupun kedisiplinan dan tanggung jawab terhadap waktu dalam proses pengurusan izin mendirikan bangunan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Berbicara masalah jadwal waktu pelaksanaan pelayanan terkait pelayanan terhadap masyarakat yang ingin mengurus izin mendirikan bangunan, dapat dilihat mulai dari Kelurahan, Kecamatan, KPAP Kota Kotamubagu, dan Dinas Tata Kota Kotamubagu. Dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh penulis terkait masalah jadwal waktu pelaksanaan pelayanan di kelurahan dan di kecamatan semua informan yang berasal dari aparatur yang berada di kelurahan dan di kecamatan menyatakan bahwa jam pelayanan di kelurahan dan di kecamatan pada hari Senin sampai dengan hari Kamis dimulai pada pukul 07.30 sampai dengan pukul 15.30, sedangkan pada hari Jumat dimulai pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00. Untuk jam istirahat pada hari Senin sampai dengan Kamis dimulai pukul 12.00 samapi dengan pukul 13.00, hari Jumat dimulai pukul 11.30 sampai dengan pukul 13.30. pernyataa-pernyataan tersebut sangat jauh berbeda dengan hasil pengamatan dan wawancara penulis dengan masyarakat yang butuh pelayanan. Dimana hasil pengamatan yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa sebagian besar para pegawai yang bertugas dikelurahan itu datang nanti pada pukul 08.00 bahkan ada juga yang datang nanti pukul 09.00, begitu pula yang terjadi di kantor kecamatan pada umumnya. Sedangkan hasil pengamatan dan wawancara dengan aparat pemerintahan yang dilakukan penulis di Kantor Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Kotamubagu semuanya juga menyatakan hal yang sama bahwa hari Senin sampai
7
dengan hari Kamis pelayanan dimulai pada pukul 07.30 sampai dengan pukul 15.30 dan pada hari Jumat dimulai pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 15.00. Penyataan-penyataan tersebut diatas, menunjukkan bahwa pada tingkat kelurahan dan kecamatan belum ada upaya yang dilakukan untuk mewujudkan ketepatan waktu dalam pelaksanaan pelayanan dan hal ini perlu mendapatkan perhatian yang khusus buat Pemerintah Kota Kotamubagu. Sedangkan di Kantor Pelayanan Admnistrasi Perizinan dan Dinas Tata Kota Kotamubagu terlihat sudah adanya upaya untuk melaksanakan waktu pelayanan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan baik itu oleh kepala kantor maupun oleh kepala dinas. Sementara kalau berbicara kedisiplinan dan tanggung jawab terhadap waktu dalam proses pengurusan izin mendirikan bangunan, ini masih kurang terselenggara dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan lewat dari waktu pengurusan yaitu 12 hari kerja. Berikut hasil wawancara yang dilakukan penulis secara langsung. Dari hasil wawancara dan pengamatan lansung yang dilakukan oleh penulis tersebut, dapat dikatakan bahwa ketidak tepatan waktu yang sering terjadi dalam pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) menyebabkan masyarakat (pemohon) sering merasa tidak adil dalam hal waktu pengurusan. Tetapi setelah penulis melakukan pengematan dan wawancara secara langsung baik itu dengan pihak Kantor Pelayanan Admnistarsi Perizinan Kota Kotamubagu maupun dengan pihak Dinas Tata Kota Kotamubagu, ternyata hal ini disebabkan karena Kantor Pelayanan Admnistrasi Perizinan yang merupakan SKPD yang ditunjuk langsung oleh Walikota sebagai instansi yang menerbitkan izin masih dikendalikan dan masih bergantung pada dinas teknis salah satunya Dinas Tata Kota Kotamubagu yang mengkaji secara teknis berkas permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) yang disebab karena belum adanya tenaga teknis yang ditempatkan di Kantor Pelayanan Admnistarsi Perizinan Kota Kotamubagu sebagia perwakilan dari dinas teknis. Namun, disisi lain Dinas Tata Kota juga mengakui bahwa selain gambar yang biasa bermasalah dalam proses penerbitan rekomendasi, masalah tenaga teknis juga biasa menjadi kendala dalam memproses permohonan yang masuk karena keterbatasan tenaga yang turun ke lapangan untuk meneliti secara langsung
8
kondisi lokasi dan ini harus orang-orang yang betul-betul berkompeten dibidangnya. Dalam seharinya petugas dari staf pengendalian kawasan Dinas Tata Kota Kotamubagu yang turung langsung lapangan menijau hanya bisa meninjau kurang dari 15 (lima belas) lokasi apalagi kalau lokasi-lokasi tersebut saling berjauhan letaknya. c.
Besaran Biaya Dalam Pengurusan IMB
Suatu hal yang tidak kalah pentingnya dalam melihat tingkat kepuasan masyarakat yang dilayani oleh aparat pemerintahan yang bertujuan untuk mengurus surat izin mendirikan bangunan (IMB) yaitu besaran biaya atau dana yang dipergunakan dalam proses pengurusan izin mendirikan bangunan, mulai dari awal hingga di terbitkannya izin tersebut. Besaran biaya atau dana yang dipakai dalam proses pengurusan izin mendirikan bangunan yang dimaksud yaitu terdiri dari biaya pengurusan surat bebas sengketa dan biaya retribusi yang dikenakan pemerintah kepada masyarakat sebagai pemohon. Pertama, biaya pengurusan surat keterangan bebas sengketa yang telah dijelaskan oleh penulis bahwa pengurusannya dilakukan di kantor kelurahan setempat dimana bangunan tersebut akan didirikan setelah pemohon mengisi dan meminta tanda tangan persetujuan dari tetangga di formulir yang telah diambil sebelumnya di Kantor Pelayanan Admnistarsi Perizinan Kota Kotamubagu. Hasil pengamatan serta hasil wawancara dengan yang dilakukan oleh penulis terlihat bahwa dalam hal pengurusan surata keterangan bebas sengketa yang dilakukan dan dikeluarkan oleh pihak kelurahan dan disetujui oleh pihak kecamatan menunjukkan tidak adanya standar biaya pengurusan yang dikenakan kepada masyarakat. Dari penyataan masyarakat dapat dikatakan bahwa masyarakat belum merasa puas dengan perilaku yang demikian, serta tidak adanya standar biaya yang ditetapkan oleh pemerintah setempat dalam hal pembuatan surat keterangan bebas sengketa. Hal yang seperti inilah yang merupakan cikal bakal terjadinya pungutan-pungutan liar ditingat kelurahan dan kecamatan. Kedua, besaran biaya retribusi yang dikenakan Pemerintah Kota Kotamubagu kepada masyarakat sebagai pemohon izin mendirikan bangunan (IMB) berdasarkan surat ketetapan retribusi daerah (SKRD) yang dikeluarkan
9
oleh Dinas Tata Kota sebagai dinas teknis. Berdasarkan dari hasil wawancara dan pengamatan secara langsung yang dilakukan oleh penulis, hampir semua informan menyatakan bahwa besaran biaya retribusi izin mendirikan bangunan (IMB) yang mereka bayar tersebut sudah sesuai dengan masyarakat inginkan yaitu adanya transparansi atau keterbukaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kotamubagu melaui Dinas Tata Kota Kotamubagu selaku dinas teknis dan Kantor Pelayanan Administrasi Perizinan Kota Kotamubagu tentang retribusi yang dikenakan kepada masyarakat (pemohon) melalui surat ketetapan retribusi daerah yang dikeluarkan Dinas Tata Kota Kotamubagu. Namun, disisi lain yang didapatkan dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis yaitu belum adanya pemberitahuan secara jelas bagaimana cara menghitung besaran retribusi dari suatu bangunan. Hal ini menyebabkan masyarakat (pemohon) tidak mengetahui sebelum mengajukan permohonan berapa biaya retribusi yang meraka harus bayar. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil melalui penelitian ini adalah: 1.
Proses pengurusan Izin Mendirikan Bangunan di Dinas Tata Kota Kotamubagu dapat dilaksanakan tepat waktu apabila berkas dan kelengkapan administrasi sebagai syarat untuk pengurusan IMB telah dilengkapi, walaupun memerlukan waktu dan proses yang tidak singkat.
2.
Kepuasan Masyarakat terhadap Pelayanan IMB, dapat dilihat dari beberapa indikator: a. Etika Pelayanan Masyarakat Etika pelayanan kepada masyarakat selama proses pengurusan IMB terlihat jelas adanya perilaku tidak sopan dan perilaku diskriminatif (membedabedakan) yang ditunjukkan aparat pemerintahan dalam melayani masyarakat (pemohon). Hal ini terjadi ketika masyarakat (pemohon) hendak meminta persetujuan dan surat keterangan bebas sengketa dari pihak kelurahan dan kecamatan. b. Kedisiplinan dan Tanggung Jawab Kedisiplinan aparat pemerintahan terhadap jadwal waktu pelayanan masih jauh dari harapan masyarakat karena aparat yang bertindak sebagai pelayan
10
masyarakat tidak dapat tepat waktu sesuai dengan jadwal yang ditetapkan terutama di tingkat kelurahan dan kecamatan. Selanjutnya dari sisi tanggung jawab terhadap waktu pengurusan IMB masih sering terjadi ketidak tepatan waktu sesuai dengan peraturan yang berlaku yang disebabkan karena KPAP masih di kendalikan oleh dinas teknis (DTRB). c. Biaya Yang Dikeluarkan Selama Proses Pengurusan IMB Biaya yang dikeluarkan mesyarakat (pemohon) selama dalam proses pengurusan
izin
mendirikan
bangunan
(IMB)
mulai
awal
hingga
diterbitkannya izin tersebut, terdiri atas atas biaya pengurusan surat keterangan bebas sengketa dan biaya retribusi izin mendirikan bangunan. Untuk pengurusan surat keterangan bebas sengketa yang dikeluarkan pihak kelurahan dan disahkan oleh pihak kecamatan itu tidak jelas biaya pengurusan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga masyarakat tidak merasa puas dengan hal tersebut. Sedangkan untuk biaya retribusi itu sudah sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Kotamubagu, dan itu sudah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat (pemohon). Saran Saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini, berdasarkan kesimpulan diatas adalah: 1. Menyangkut masalah proses pengurusan izin mendirikan bangunan, Pemerintah Kota Kotamubagu sebaiknya membuat suatu peraturan atau regulasi untuk pembentukan SKPD satu atap yang mengurus semua perizinan yang diperlukan oleh masyarakat. 2. Untuk menghindari terjadinya pungutan-pungutan liar dalam pembuatan surat keterangan bebas sengketa yang merupakan syarat administrasi dalam proses pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) di Kota Kotamubagu, maka pemerintah juga harus membuat peraturan tentang penetapan besaran biaya yang harus dibayar oleh masyarakat dalam pembuatan surat keterangan bebas sengketa. 3. Dari segi perilaku aparatur dalam melayani masyarakat, Pemerintah Kota Kotamubagu harus melakukan pembinaan bagi aparatur-aparatur dari segi etika dalam melayani masyarakat. Pembinaan etika yang dilakukan, yang
11
pertama harus difokuskan pada aparat-aparat di kantor-kantor kelurahan dan kecamatan sebagai garda terdepan dari birokrasi pelayanan publik, setelah itu barulah menuju pembinaan kepada aparat pelayanan yang ada di dinas-dinas, karena selama ini yang dilakukan Pemerintah Kota Kotamubagu hanya perbaikan kualitas pelayanan pada level dinas.
12
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Kota Kotamobagu dan Badan Pusat Statistik Kota Kotamobagu, 2012, Kotamobagu Dalam Angka 2011, Badan Pusat Statistik Kota Kotamobagu, Kotamobagu Barata, Atep Adya, 2003, Dasar-Dasar Pelayanan Prima, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta Dwiyanto, Agus, 2011, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Lembaga Administrasi Negara, 2003, Penyusunan Standar Pelayanan Publik, Deputi Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan, Jakarta Moenir, H.A.S., 1992, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara Osborne, David, dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government : How tha Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Addison-Wesley. Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unhas, 2009/2010, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi. Kotamobagu FISIP Unhas Pramusinto,
Agus
dan
Purwanto,
Agus.
2009.
Reformasi
Birokrasi,
Kepemimpinan dan Pelayanan Publik : Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media Rasyid, Muhammad Ryaas, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru, Jakarta, Yasrif Watampone Sarwono, Jonathan, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta, Graha Ilmu Sedaryanti, 2004, Good Governance: Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas. Bandung: Mandar Maju Sinambela, L.P dkk, 2008, Reformasi Pelayanan Publik (Teori, Kebijakan, dan Implementasi), Jakarta, Bumi Aksara Syafie, Kencana Inu, 2004, Birokrasi Pemerintahan Indonesia, Bandung, Mandar Maju
13
Syakrani dan Syahriani, 2009, Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif Good Governance, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Thoha, Miftah, 2002, Perspektif Perilaku Birokrasi.Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada Widodo, Joko, 2001, Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insani Cendikia, Surabaya Dokumen - Dokumen: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Keputusan
Menteri
Pendayagunaan
63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang
Aparatur
Pedoman
Umum
Negara
Nomor:
Penyelenggaraan
Pelayanan Publik Peraturan Menteri Pekerjaan Umum R.I. Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung Peraturan Daerah Kota Kotamobagu Nomor 15 Tahun 2012 tentang Tata Bangunan
14